KEPANITERAAN KLINIK
STATUS ILMU BEDAH
FAKULTAS KEDOKTERAN UKRIDA
Hari/tanggal presentasi kasus :
Senin, 29 Januari 2018
RS BETHESDA LEMPUYANGWANGI
1
Keluhan Tambahan
-
Riwayat Penyakit Sekarang
2 minggu SMRS, pasien merasakan nyeri di bagian tengah perut. Nyeri terasa
samar dan hilang timbul. Pasien diberikan obat magh oleh ibunya, karena ibunya
mengira hanya sakit magh biasa tetapi tidak mempan dan pasien merasa lama-kelamaan
nyeri dirasakan berpindah ke bagian kanan bawah perut.
1 minggu SMRS pasien berobat ke puskesmas dengan keluhan nyeri di perut
kanan bawah dan dirasakan semakin sering, tertusuk-tusuk dan disertai demam. Pasien
juga menjadi tidak nafsu makan. Kemudian pasien di rujuk ke RS Bethesda
Lempuyangwangi
3 hari SMRS Pasien berobat ke poli bedah RS Bethesda Lempuyangwangi
dengan keluhan yang sama dan tidak ada perbaikan. Pasien mengeluhkan mual dan
muntah ( 2x/sehari). Pasien merasakan cepat lelah saat sekolah dan sering pegal-pegal
pada kaki kanan saja. Keluhan disertai demam. BAB dan BAK lancar.
C. STATUS GENERALIS
i. Status Umum
Keadaan Umum : Tampak sakit sedang
Kesadaran : Compos mentis, GCS 15
Tekanan darah : 110/70 mmHg
Nadi : 98x/menit
Pernafasan : 23x/menit
2
Suhu : 37,7oC
VAS : 3/10
Tinggi Badan :-
Berat Badan : 24,51 kg
Thorax :
- Paru-paru depan belakang
Inspeksi : simetris kiri dan kanan saat statis dan dinamis, tidak ada
bagian dada yang tertinggal, tidak tampak retraksi sela iga.
Palpasi : vocal fremitus kanan kiri teraba sama kuat, nyeri tekan (-),
benjolan (-)
Perkusi : Sonor di kedua lapangan paru
Auskultasi : suara nafas vesikuler (+/+), rhonki (-/-), wheezing (-/-)
- Cor
3
Inspeksi : ictus cordis tak tampak
Palpasi : ictus cordis teraba pada ICS V, linea midclavicularis
sinistra
Perkusi
Batas kanan : ICS IV linea sternalis dextra
Batas atas : ICS II linea sternalis sinistra
Batas kiri : ICS V 1/3 lateral dari linea midclavicularis
sinistra
Batas bawah : ICS VI linea midclavicularis sinistra
Auskultasi : BJ I-II reguler, murmur (-), gallop (-)
Abdomen
Inspeksi : Bentuk perut datar, tidak membuncit, warna kulit sawo
matang, pelebaran pembuluh darah (-), tidak ada bekas luka operasi.
Auskultasi : Bising usus (+) normal
Palpasi : nyeri tekan pada titik mcBurney (+), psoas sign (+),
obturator sign (+), rovsing sign (+), Blumberg sign (+)
Perkusi : timpani pada seluruh lapang abdomen, asites (-)
D. STATUS LOKALIS
Pemeriksaan rectal toucher: tidak dilakukan
4
II. PEMERIKSAAN PENUNJANG
appendictogram
Appendictogram tanpa fluoroscopy
dan kompresi :
5
Neutrofil : 42.5% (N=50-70%)
Limfosit : 40.3% (N=25-40%)
Monosit : 5.5% (N=2-8%)
I.3 RESUME
Anak perempuan 9 tahun datang ke RS Bethesda Lempyangwangi dengan
keluhan nyeri perut kanan bawah sejak ± 1 minggu SMRS. Nyeri berawal terasa samar
dari area tengah perut 2 minggu SMRS dan berpindah ke perut kanan bawah . Nyeri
dirasakan tertusuk-tusuk dan terus-menerus. Pasien menjadi cepat lelah dan terasa pegal
pada tungkai kanan. Ada penurunan nafsu makan. Ada demam subfebris. Ada keluhan
mual dan muntah.
Pada pemeriksaan status generalis didapatkan :
Keadaan Umum : Tampak sakit sedang
Kesadaran : Compos mentis
Tekanan darah : 110/70 mmHg
6
Nadi : 98x/menit
Pernafasan : 23x/menit
Suhu : 37,7oC
Tinggi Badan :-
Berat Badan : 24,51 kg
Pada pemeriksaan fisik didapatkan :
Abdomen
Inspeksi : Bentuk perut datar, tidak membuncit, warna kulit sawo
matang, pelebaran pembuluh darah (-), tidak ada bekas luka operasi.
Auskultasi : Bising usus (+) normal
Palpasi : nyeri tekan pada titik mcBurney (+), psoas sign (+),
obturator sign (+), rovsing sign (+), Blumberg sign (+)
Perkusi : timpani pada seluruh lapang abdomen, asites (-)
DIAGNOSIS BANDING
a. Gastroenteritis
Dasar yang tidak mendukung diagnosis:
7
Tidak ada mual muntah diare yang mendahului nyeri.
Sifat nyeri lebih ringan dan tidak berbatas tegas.
Sering dijumpai hiperperistaltik.
b. Divertikulitis
Diagnosis yang tidak mendukung diagnosis:
Lokasi punctum maksimum nyeri yang berbeda yaitu pada kiri bawah atau suprapubik
c. Intususepsi
Diagnosis yang tidak mendukung diagnosis :
Ditemukan bab yang berlendir dan berdarah
IV. PENATALAKSANAAN
Appendektomi
V. PROGNOSIS
Ad vitam : ad bonam
Ad fungsionam : ad bonam
Ad sanationam : ad bonam
8
BAB II
ISI
Appendix merupakan derivat bagian dari midgut yang terdapat di antara Ileum
dan Colon ascendens. Caecum terlihat pada minggu ke-5 kehamilan dan Appendix
terlihat pada minggu ke-8 kehamilan sebagai suatu tonjolan pada Caecum. Awalnya
Appendix berada pada apeks Caecum, tetapi kemudian berotasi dan terletak lebih
medial dekat dengan Plica ileocaecalis. Dalam proses perkembangannya, usus
mengalami rotasi. Caecum berakhir pada kuadran kanan bawah perut. Appendix
selalu berhubungan dengan Taenia caecalis. Oleh karena itu, lokasi akhir Appendix
ditentukan oleh lokasi Caecum.1,2,3
Panjang Appendix bervariasi antara 2-22 cm, dengan rata-rata panjang 6-9 cm.
Meskipun dasar Appendix berhubungan dengan Taenia caealis pada dasar Caecum, ujung
Appendix memiliki variasi lokasi seperti yang terlihat pada gambar di bawah ini. Variasi
9
lokasi ini yang akan mempengaruhi lokasi nyeri perut yang terjadi apabila Appendix
mengalami peradangan. 1,2
10
oleh infeksi Yersinia, Salmonella, dan Shigella; atau akibat invasi parasit seperti
Entamoeba, Strongyloides, Enterobius vermicularis, Schistosoma, atau Ascaris. Insidensi
Appendicitis juga meningkat pada pasien dengan cystic fibrosis. Hal tersebut terjadi
karena perubahan pada kelenjar yang mensekresi mukus. Obstruksi Appendix juga dapat
terjadi akibat tumor carcinoid, khususnya jika tumor berlokasi di 1/3 proksimal. Selama
lebih dari 200 tahun, corpus alienum seperti pin, biji sayuran, dan batu cherry dilibatkan
dalam terjadinya Appendicitis. Faktor lain yang mempengaruhi terjadinya Appendicitis
adalah trauma, stress psikologis, dan herediter.6
Obstruksi lumen akibat adanya sumbatan pada bagian proksimal dan sekresi
normal mukosa Appendix segera menyebabkan distensi. Kapasitas lumen pada Appendix
normal 0,1 mL. Sekresi sekitar 0,5 mL pada distal sumbatan meningkatkan tekanan
intraluminal sekitar 60 cmH2O. Distensi merangsang akhiran serabut saraf aferen nyeri
visceral, mengakibatkan nyeri yang samar-samar, nyeri difus pada perut tengah atau di
bawah epigastrium. 2
11
Distensi berlanjut tidak hanya dari sekresi mukosa, tetapi juga dari pertumbuhan
bakteri yang cepat di Appendix. Sejalan dengan peningkatan tekanan organ melebihi
tekanan vena, aliran kapiler dan vena terhambat menyebabkan kongesti vaskular. Akan
tetapi aliran arteriol tidak terhambat. Distensi biasanya menimbulkan refleks mual,
muntah, dan nyeri yang lebih nyata. Proses inflamasi segera melibatkan serosa Appendix
dan peritoneum parietal pada regio ini, mengakibatkan perpindahan nyeri yang khas ke
RLQ. 2,6,7
12
yang berasal dari dinding Appendix berhubungan dengan peritoneum parietale, serabut
saraf somatik akan teraktivasi dan nyeri akan dirasakan lokal pada lokasi Appendix,
khususnya di titik Mc Burney’s. Jarang terjadi nyeri somatik pada kuadran kanan bawah
tanpa didahului nyeri visceral sebelumnya. Pada Appendix yang berlokasi di retrocaecal
atau di pelvis, nyeri somatik biasanya tertunda karena eksudat inflamasi tidak mengenai
peritoneum parietale sebelum terjadi perforasi Appendix dan penyebaran infeksi. Nyeri
pada Appendix yang berlokasi di retrocaecal dapat timbul di punggung atau pinggang.
Appendix yang berlokasi di pelvis, yang terletak dekat ureter atau pembuluh darah testis
dapat menyebabkan peningkatan frekuensi BAK, nyeri pada testis, atau keduanya.
Inflamasi ureter atau Vesica urinaria akibat penyebaran infeksi Appendicitis dapat
menyebabkan nyeri saat berkemih, atau nyeri seperti terjadi retensi urine.
13
Gejala Appendicitis akut umumnya timbul kurang dari 36 jam, dimulai dengan nyeri
perut yang didahului anoreksia.12,13 Gejala utama Appendicitis akut adalah nyeri perut.
Awalnya, nyeri dirasakan difus terpusat di epigastrium, lalu menetap, kadang disertai kram
yang hilang timbul. Durasi nyeri berkisar antara 1-12 jam, dengan rata-rata 4-6 jam. Nyeri
yang menetap ini umumnya terlokalisasi di RLQ. Variasi dari lokasi anatomi Appendix
berpengaruh terhadap lokasi nyeri, sebagai contoh; Appendix yang panjang dengan
ujungnya yang inflamasi di LLQ menyebabkan nyeri di daerah tersebut, Appendix di
daerah pelvis menyebabkan nyeri suprapubis, retroileal Appendix dapat menyebabkan
1,3
nyeri testicular.
Umumnya, pasien mengalami demam saat terjadi inflamasi Appendix, biasanya suhu
naik hingga 38oC. Tetapi pada keadaan perforasi, suhu tubuh meningkat hingga > 39oC.
Anoreksia hampir selalu menyertai Appendicitis. Pada 75% pasien dijumpai muntah yang
umumnya hanya terjadi satu atau dua kali saja. Muntah disebabkan oleh stimulasi saraf dan
ileus. Umumnya, urutan munculnya gejala Appendicitis adalah anoreksia, diikuti nyeri
perut dan muntah. Bila muntah mendahului nyeri perut, maka diagnosis Appendicitis
diragukan. Muntah yang timbul sebelum nyeri abdomen mengarah pada diagnosis
2
gastroenteritis. Sebagian besar pasien mengalami obstipasi pada awal nyeri perut dan
banyak pasien yang merasa nyeri berkurang setelah buang air besar. Diare timbul pada
beberapa pasien terutama anak-anak. Diare dapat timbul setelah terjadinya perforasi
Appendix. 2,3
Skor Alvarado
Semua penderita dengan suspek Appendicitis acuta dibuat skor Alvarado dan diklasifikasikan
menjadi 2 kelompok yaitu; skor <6 dan skor >6. Selanjutnya ditentukan apakah akan dilakukan
Appendectomy. Setelah Appendectomy, dilakukan pemeriksaan PA terhadap jaringan Appendix
dan hasil PA diklasifikasikan menjadi 2 kelompok yaitu radang akut dan bukan radang akut.5
14
Gejala Adanya migrasi nyeri 1
Anoreksia 1
Mual/muntah 1
Nyeri lepas 1
Febris 1
Lab Leukositosis 2
Total poin 10
Bila skor 5-6 dianjurkan untuk diobservasi di rumah sakit, bila skor >6 maka tindakan bedah
sebaiknya dilakukan.2
Pada pemeriksaan fisik, perubahan suara bising usus berhubungan dengan tingkat inflamasi
pada Appendix. Hampir semua pasien merasa nyeri pada nyeri lokal di titik Mc Burney’s. Tetapi
pasien dengan Appendix retrocaecal menunjukkan gejala lokal yang minimal. Adanya psoas
sign, obturator sign, dan Rovsing’s sign bersifat konfirmasi dibanding diagnostik. Pemeriksaan
rectal toucher juga bersifat konfirmasi dibanding diagnostik, khususnya pada pasien dengan
pelvis abscess karena ruptur Appendix.6
Diagnosis Appendicitis sulit dilakukan pada pasien yang terlalu muda atau terlalu tua. Pada
kedua kelompok tersebut, diagnosis biasanya sering terlambat sehingga Appendicitisnya telah
mengalami perforasi. Pada awal perjalanan penyakit pada bayi, hanya dijumpai gejala letargi,
irritabilitas, dan anoreksia. Selanjutnya, muncul gejala muntah, demam, dan nyeri.7
15
retrocaecal, terjadi perangsangan ureter sehingga nyeri yang timbul menyerupai nyeri pada kolik
renal.6
Penderita Appendicitis umumnya lebih menyukai sikap jongkok pada paha kanan, karena
pada sikap itu Caecum tertekan sehingga isi Caecum berkurang. Hal tersebut akan mengurangi
tekanan ke arah Appendix sehingga nyeri perut berkurang. 6
Appendix umumnya terletak di sekitar McBurney. Namun perlu diingat bahwa letak
anatomis Appendix sebenarnya dapat pada semua titik, 360o mengelilingi pangkal Caecum.
Appendicitis letak retrocaecal dapat diketahui dari adanya nyeri di antara costa 12 dan spina
iliaca posterior superior. Appendicitis letak pelvis dapat menyebabkan nyeri rectal.6
Secara teori, peradangan akut Appendix dapat dicurigai dengan adanya nyeri pada
pemeriksaan rektum (Rectal toucher). Namun, pemeriksaan ini tidak spesifik untuk Appendicitis.
Jika tanda-tanda Appendicitis lain telah positif, maka pemeriksaan rectal toucher tidak
diperlukan lagi.6
Rovsing’s sign
Jika LLQ ditekan, maka terasa nyeri di RLQ. Hal ini menggambarkan iritasi peritoneum.
Sering positif pada Appendicitis namun tidak spesifik.
Psoas sign
16
Pasien berbaring pada sisi kiri, tangan kanan pemeriksa memegang lutut pasien dan tangan
kiri menstabilkan panggulnya. Kemudian tungkai kanan pasien digerakkan dalam arah
anteroposterior. Nyeri pada manuver ini menggambarkan kekakuan musculus psoas kanan
akibat refleks atau iritasi langsung yang berasal dari peradangan Appendix. Manuver ini
tidak bermanfaat bila telah terjadi rigiditas abdomen.
Obturator sign
Pasien terlentang, tangan kanan pemeriksa berpegangan pada telapak kaki kanan pasien
sedangkan tangan kiri di sendi lututnya. Kemudian pemeriksa memposisikan sendi lutut
pasien dalam posisi fleksi dan articulatio coxae dalam posisi endorotasi kemudian eksorotasi.
Tes ini positif jika pasien merasa nyeri di hipogastrium saat eksorotasi. Nyeri pada manuver
ini menunjukkan adanya perforasi Appendix, abscess lokal, iritasi M. Obturatorius oleh
Appendicitis letak retrocaecal, atau adanya hernia obturatoria.
17
Gambar 7. Dasar anatomis Obturator sign7
2.3.1 Laboratorium2,3,6,7
18
Vesica urinaria seperti yang diakibatkan oleh inflamasi Appendix, pada Appendicitis akuta
dalam sample urine catheter tidak akan ditemukan bakteriuria.
2.3.2.Ultrasonografi1,2,6,7
19
Gambar 3.7.Ultrasonogram pada potongan longitudinal Appendicitis 6
2.3.3. Pemeriksaan radiologi1,2,6,7
Foto polos abdomen jarang membantu diagnosis Appendicitis akut, tetapi dapat
sangat bermanfaat untuk menyingkirkan diagnosis banding. Pada pasien Appendicitis
akut, kadang dapat terlihat gambaran abnormal udara dalam usus, hal ini merupakan
temuan yang tidak spesifik. Adanya fecalith jarang terlihat pada foto polos, tapi bila
ditemukan sangat mendukung diagnosis. Foto thorax kadang disarankan untuk
menyingkirkan adanya nyeri alih dari proses pneumoni lobus kanan bawah.
Teknik radiografi tambahan meliputi CT Scan, barium enema, dan radioisotop
leukosit. Meskipun CT Scan telah dilaporkan sama atau lebih akurat daripada USG, tapi
jauh lebih mahal. Karena alasan biaya dan efek radiasinya, CT Scan diperiksa terutama
saat dicurigai adanya Abscess appendix untuk melakukan percutaneous drainage secara
tepat.
Diagnosis berdasarkan pemeriksaan barium enema tergantung pada penemuan
yang tidak spesifik akibat dari masa ekstrinsik pada Caecum dan Appendix yang kosong
dan dihubungkan dengan ketepatan yang berkisar antara 50-48 %. Pemeriksaan radiografi
dari pasien suspek Appendicitis harus dipersiapkan untuk pasien yang diagnosisnya
diragukan dan tidak boleh ditunda atau diganti, memerlukan operasi segera saat ada
indikasi klinis.
20
2.4 DIAGNOSIS BANDING
Apabila gejala-gejala gastrointestinal seperti mual dan muntah lebih dominan, perlu
dipertimbangkan gastroenteritis sebagai diagnosis banding, terutama apabila gejala-gejala
gastrointestinal tersebut mendahului gejala nyeri perut, namun nyeri perut lebih ringan dan
tidak berbatas tegas. Hiperperistaltik lebih sering ditemukan. Demam dan leukositosis
kurang menonjol dibandingkan apendisitis akut.2,6
Kasus-kasus keganasan juga harus menjadi bahan pertimbangan. Karsinoma dengan
perforasi ke dalam sekum maupun kolon ascendens akan memberikan gejala nyeri yang akut
disertai tanda-tanda perangsangan peritoneum. Pada kasus yang jarang ditemui, dapat terjadi
apendisitis sekunder akibat obstruksi lumen sekum oleh karena karsinoma. Limfoma pada
ileum terminal juga dapat memberikan gejala-gejala yang menyerupai appendicitis. Secara
umum pada kasus-kasus keganasan abdominal dapat ditemukan tinja dengan test guaiac
yang positif, anemia, riwayat penurunan berat badan, perubahan kronis dari pola defekasi.2,6
Pada wanita usia muda , penyebab dari nyeri perut kanan bawah termasuk yang telah
disebutkan diatas dan ditambah dengan kelainan-kelainan seperti: kista ovarium terpuntir,
adneksitis dan kehamilan ektopik. Pada wanita usia premenopause, endometriosis
merupakan salah satu penyebab dari nyeri perut bawah kronik, yang pada keadaan akut
sering menyerupai apendisitis. Mengingat bahwa terdapat berbagai kelainan ginekologis
yang dapat menyerupai apendisitis maka perlu ditanyakan riwayat ginekologis pasien dan
pola siklus menstruasinya.2,6
1. Gastroenteritis akut
Penyakit ini sangat umum pada anak-anak tapi biasanya mudah dibedakan dengan
Appendicitis. Gastroentritis karena virus merupakan salah satu infeksi akut self limited
dari berbagai macam sebab, yang ditandai dengan adanya diare, mual, dan muntah. Nyeri
hiperperistaltik abdomen mendahului terjadinya diare. Hasil pemeriksaan laboratorium
biasanya normal.
2. Diverticulitis Meckel
Penyakit ini menimbulkan gambaran klinis yang sangat mirip Appendicitis acuta.
Perbedaan preoperatif hanyalah secara teoritis dan tidak penting karena Diverticulitis
21
Meckel dihubungkan dengan komplikasi yang sama seperti Appendicitis dan
memerlukan terapi yang sama yaitu operasi segera.
3. Intususseption
Sangat berlawanan dengan Diverticulitis Meckel, sangat penting untuk membedakan
Intususseption dari Appendicitis acuta karena terapinya sangat berbeda. Umur pasien
sangat penting, Appendicitis sangat jarang dibawah umur 2 tahun, sedangkan
Intususseption idiopatik hampir semuanya terjadi di bawah umur 2 tahun. Pasien
biasanya mengeluarkan tinja yang berdarah dan berlendir. Massa berbentuk sosis dapat
teraba di RLQ. Terapi yang dipilih pada intususseption bila tidak ada tanda-tanda
peritonitis adalah barium enema, sedangkan terapi pemberian barium enema pada
pasien Appendicitis acuta sangat berbahaya.
2.5 KOMPLIKASI
2.5.1. Perforasi
Perforasi adalah pecahnya appendiks yang berisi pus sehingga bakteri menyebar
ke rongga perut. Perforasi jarang terjadi dalam 12 jam pertama sejak awal sakit, tetapi
meningkat tajam sesudah 24 jam. Perforasi dapat diketahui praoperatif pada 70% kasus
dengan gambaran klinis yang timbul lebih dari 36 jam sejak sakit, panas lebih dari 38,5 0C,
tampak toksik, nyeri tekan seluruh perut, dan leukositosis terutama polymorphonuclear
(PMN). Perforasi, baik berupa perforasi bebas maupun mikroperforasi dapat menyebabkan
peritonitis.8
2.5.2. Peritonitis
Peritonitis adalah peradangan peritoneum, merupakan komplikasi berbahaya yang
dapat terjadi dalam bentuk akut maupun kronis. Bila infeksi tersebar luas pada permukaan
peritoneum menyebabkan timbulnya peritonitis umum. Aktivitas peristaltik berkurang
sampai timbul ileus paralitik, usus meregang, dan hilangnya cairan elektrolit
mengakibatkan dehidrasi, syok, gangguan sirkulasi, dan oligouria. Peritonitis disertai rasa
sakit perut yang semakin hebat, muntah, nyeri abdomen, demam, dan leukositosis.8
22
2.5.3. Appendicular infiltrat
2.5.3.1. Patofisiologi
Bila semua proses patofisiologi Appendicitis berjalan lambat, omentum dan usus yang
berdekatan akan bergerak kearah Appendix hingga timbul suatu massa lokal yang disebut
Appendicularis infiltrat. Peradangan Appendix tersebut dapat menjadi abses atau menghilang.17
Appendicularis infiltrat merupakan tahap patologi Appendicitis yang dimulai dimukosa dan
melibatkan seluruh lapisan dinding Appendix dalam waktu 24-48 jam pertama, ini merupakan
usaha pertahanan tubuh dengan membatasi proses radang dengan menutup Appendix dengan
omentum, usus halus, atau Adnexa sehingga terbentuk massa periappendikular. Didalamnya
dapat terjadi nekrosis jaringan berupa abses yang dapat mengalami perforasi. Jika tidak terbentuk
abscess, Appendicitis akan sembuh dan massa periappendikular akan menjadi tenang untuk
selanjutnya akan mengurai diri secara lambat. 7
Pada anak-anak, karena omentum lebih pendek dan Appendix lebih panjang, dinding
Appendix lebih tipis. Keadaan tersebut ditambah dengan daya tahan tubuh yang masih kurang
memudahkan terjadinya perforasi. Sedangkan pada orang tua perforasi mudah terjadi karena
telah ada gangguan pembuluh darah.7
Kecepatan terjadinya peristiwa tersebut tergantung pada virulensi mikroorganisme, daya
tahan tubuh, fibrosis pada dinding Appendix, omentum, usus yang lain, peritoneum parietale dan
juga organ lain seperti Vesika urinaria, uterus tuba, mencoba membatasi dan melokalisir proses
peradangan ini. Bila proses melokalisir ini belum selesai dan sudah terjadi perforasi maka akan
timbul peritonitis. Walaupun proses melokalisir sudah selesai tetapi masih belum cukup kuat
menahan tahanan atau tegangan dalam cavum abdominalis, oleh karena itu penderita harus
benar-benar istirahat (bedrest).8
23
Appendix yang pernah meradang tidak akan sembuh sempurna, tetapi akan membentuk
jaringan parut yang menyebabkan perlengketan dengan jaringan sekitarnya. Perlengketan ini
dapat menimbulkan keluhan berulang diperut kanan bawah. Pada suatu ketika organ ini dapat
meradang akut lagi dan dinyatakan mengalami eksaserbasi akut. 8
24
Peristaltik usus sering normal, peristaltik dapat hilang karena ileus paralitik pada peritonitis
generalisata akibat Appendicitis perforata. Pemeriksaan colok dubur menyebabkan nyeri bila
daerah infeksi bisa dicapai dengan jari telunjuk, misalnya pada Appendicitis pelvika. 8
Pada Appendicitis pelvika tanda perut sering meragukan, maka kunci diagnosis adalah nyeri
terbatas sewaktu dilakukan colok dubur. Colok dubur pada anak tidak dianjurkan. Pemeriksaan
uji psoas dan uji obturator merupakan pemeriksaan yang lebih ditujukan untuk mengetahui letak
Appendix.8
2.5.3.4. Diagnosis
Riwayat klasik Appendicitis akut, yang diikuti dengan adanya massa yang nyeri di region
iliaka kanan dan disertai demam, mengarahkan diagnosis ke massa atau abscess Appendikuler.
Penegakan diagnosis didukung dengan pemeriksaan fisik maupun penunjang. Kadang keadaan
ini sulit dibedakan dengan karsinoma Caecum, penyakit Crohn, amuboma dan Lymphoma
maligna intra abdomen. Perlu juga disingkirkan kemungkinan aktinomikosis intestinal, enteritis
tuberkulosa, dan kelainan ginekolog seperti Kehamilan Ektopik Terganggu (KET), Adnexitis dan
Kista Ovarium terpuntir . Kunci diagnosis biasanya terletak pada anamnesis yang khas.7
Tumor Caecum, biasanya terjadi pada orang tua dengan tanda keadaan umum jelek, anemia
dan turunnya berat badan. Hal ini perlu dipastikan dengan colon in loop dan benzidin test. Pada
anak-anak tumor Caecum yang sering adalah sarcoma dari kelenjar mesenterium. Pada
Appendicitis tuberkulosa, klinisnya antara lain keluhan nyeri yang tidak begitu hebat disebelah
kanan perut, dengan atau tanpa muntah dan waktu serangan dapat timbul panas badan,
leukositosis sedang, biasanya terdapat nyeri tekan dan rigiditas pada kuadran lateral bawah
kanan, kadang-kadang teraba massa.7
Massa Appendix dengan proses radang yang masih aktif ditandai dengan:
1. keadaan umum pasien masih terlihat sakit, suhu tubuh masih tinggi;
2. pemeriksaan lokal pada abdomen kuadran kanan bawah masih jelas terdapat tanda-tanda
peritonitis;
3. laboratorium masih terdapat lekositosis dan pada hitung jenis terdapat pergeseran ke kiri.
Massa Appendix dengan proses radang yang telah mereda dengan ditandai dengan:
1. keadaan umum telah membaik dengan tidak terlihat sakit, suhu tubuh tidak tinggi lagi;
25
2. pemeriksaan lokal abdomen tenang, tidak terdapat tanda-tanda peritonitis dan hanya teraba
massa dengan batas jelas dengan nyeri tekan ringan
3. laboratorium hitung lekosit dan hitung jenis normal.6
2.5.3.5. Penatalaksanaan
Perjalanan patologis penyakit dimulai pada saat Appendix menjadi dilindungi oleh omentum
dan gulungan usus halus didekatnya. Mula-mula, massa yang terbentuk tersusun atas campuran
bangunan-bangunan ini dan jaringan granulasi dan biasanya dapat segera dirasakan secara klinis.
Jika peradangan pada Appendix tidak dapat mengatasi rintangan-rintangan sehingga penderita
terus mengalami peritonitis umum, massa tadi menjadi terisi nanah, semula dalam jumlah
sedikit, tetapi segera menjadi abscess yang jelas batasnya.7
Urutan patologis ini merupakan masalah bagi ahli bedah. Masalah ini adalah bilamana
penderita ditemui lewat sekitar 48 jam, ahli bedah akan mengoperasi untuk membuang Appendix
yang mungkin gangrene, dari dalam massa perlekatan ringan yang longgar dan sangat berbahaya,
dan karena massa ini telah menjadi lebih terfiksasi, sehingga membuat operasi berbahaya maka
harus menunggu pembentukan abscess yang dapat mudah didrainase.7
Massa Appendix terjadi bila terjadi Appendicitis gangrenosa atau mikroperforasi ditutupi
atau dibungkus oleh omentum dan atau lekuk usus halus. Pada massa periappendikular yang
pendindingannya belum sempurna, dapat terjadi penyebaran pus keseluruh rongga peritoneum
jika perforasi diikuti peritonitis purulenta generalisata. Pada anak, dipersiapkan untuk operasi
dalam waktu 2-3 hari saja. Pasien dewasa dengan massa periappendikular yang terpancang
dengan pendindingan sempurna, dianjurkan untuk dirawat dahulu dan diberi antibiotik sambil
diawasi suhu tubuh, ukuran massa, serta luasnya peritonitis. Bila sudah tidak ada demam, massa
periapendikular hilang, dan leukosit normal, penderita boleh pulang dan Appendectomy elektif
dapat dikerjakan 2-3 bulan kemudian agar perdarahan akibat perlengketan dapat ditekan sekecil
mungkin. Bila terjadi perforasi, akan terbentuk abscess Appendix. Hal ini ditandai dengan
kenaikan suhu dan frekuensi nadi, bertambahnya nyeri, dan teraba pembengkakan massa, serta
bertambahnya angka leukosit. 7
26
Tatalaksana Appendicular infiltrat pada anak-anak sampai sekarang masih kontroversial.
Dari hasil penelitian kasus terapi Appendicular infiltrat pada anak-anak, kebanyakan adalah
konservatif yaitu dengan observasi ketat dan antibiotik, dengan cairan intravena, dan
pemasangan NGT bila diperlukan. Konservatif berlangsung selama ± 6 hari di rumah sakit, lalu
direncanakan untuk dilakukan Appendectomy elektif setelah 4-6 minggu kemudian untuk
mencegah kemungkinan risiko rekurensi dan perforasi yang lebih luas. Dari hasil penelitian
komplikasi setelah operasi dengan penanganan konservatif terlebih dahulu lebih sedikit bila
dibandingkan dengan terapi pembedahan segera seperti cedera pada ileum (Ileal injury), abses
intrabdominal, infeksi karena luka saat operasi. Sehingga terapi non-operatif pada appendicular
infiltrat yang diikuti dengan Appendectomy elektif merupakan metode yang aman dan efektif.
Terapi tersebut sama dengan pada orang dewasa yaitu dengan konservatif terlebih dahulu yang
diikuti dengan appendectomy elektif. Hal ini dikarenakan untuk mencegah komplikasi post
operasi dan risiko dari prosedur pembedahan yang besar (extensive).2
Pada anak-anak, jika secara konservatif tidak membaik atau berkembang menjadi abscess,
dianjurkan untuk operasi secepatnya. Pada penderita dewasa, appendectomy direncanakan pada
Appendicular infiltrat tanpa pus yang telah ditenangkan. Sebelumnya pasien diberikan antibiotik
kombinasi yang aktif terhadap kuman aerob dan anaerob. Baru setelah keadaan tenang, yaitu
sekitar 6-8 minggu kemudian dilakukan Appendectomy.2
Akhir-akhir ini terdapat manajement terapi yang terbaru yaitu dengan PLD (Primary
Laparoscopic Drainage) yang dapat diikuti dengan LA (Laparoscopic Appendectomy). PLD ini
rata-rata memakan waktu operasi sekitar 80-100 menit, makanan oral dapat diberikan 2-3 hari
setelah PLD, penurunan panas badan pasien menjadi afebril pada 4-7 hari setelah PLD, antibiotik
intravena dapat dilepas 4-5 hari setelahnya, perawatan di rumah sakit antara 7-15 hari. PLD ini
tidak terbukti terdapat komplikasi selama intra maupun post operasi, sedangkan bila dilanjutkan
dengan LA, komplikasi yang dapat terjadi adalah adhesi obstruksi usus.2
Bila sudah terjadi abscess, dianjurkan untuk drainase saja dan Appendectomy dikerjakan setelah
6-8 minggu kemudian. Jika ternyata tidak ditemukan keluhan atau gejala apapun, dan
pemeriksaan fisik dan laboratorium tidak menunjukkan tanda radang atau abses, dapat
dipertimbangkan membatalkan tindakan bedah.2
27
2.6 EPIDEMIOLOGI
Insidensi Appendicitis acuta di negara maju lebih tinggi daripada di negara berkembang, tetapi
beberapa tahun terakhir angka kejadiannya menurun secara bermakna. Hal ini disebabkan oleh
meningkatnya penggunaan makanan berserat dalam menu sehari-hari. Apendisitis dapat
ditemukan pada semua umur, hanya pada anak kurang dari satu tahun jarang terjadi, karena
apendiks pada bayi berbentuk kerucut, lebar pada pangkalnya dan menyempit kearah ujungnya.
Keadaan ini menyebabkan rendahnya insidens kasus apendisitis pada usia tersebut. Insiden
tertinggi pada kelompok umur 20-30 tahun, setelah itu menurun. Insidens pada pria dengan
perbandingan 1,4 lebih banyak dari pada wanita. Anak berumur 2 sampai 3 tahun terdapat 15%.
Frekuensi mulai menanjak setelah usia 5 tahun dan mencapai puncaknya berkisar pada umur 9
hingga 11 tahun. Menurut The Lancet perkembangan mortalitas apendisitis terlihat dimana pada
tahun 1990 tingkat mortalitas pada keseluruhan umur adalah sebanyak 875.000 kematian
sedangkan pada tahun 2013 mengalami penurunan menjadi 719.000 kematian. Kasus
appendisitis di RSUP Prof. Dr. R. D. Kandou Manado pada periode Oktober 2012 – September
2015 terdapat 650 pasien. Jumlah pasien terbanyak ialah apendisitis akut yaitu 412 pasien (63%)
sedangkan apendisitis kronik sebanyak 38 pasien (6%). Dari 650 pasien, yang mengalami
komplikasi sebanyak 200 pasien yang terdiri dari 193 pasien (30%) dengan komplikasi
apendisitis perforasi dan 7 pasien (1%) dengan periapendikuler infiltrat. Kelompok umur
tersering yang menderita apendisitis ialah 20-29 tahun. Jumlah pasien laki-laki lebih banyak
daripada perempuan. Massa apendiks adalah hasil akhir dari walling-off perforasi apendiks dan
merupakan spektrum patologis mulai dari phlegmon ke abscess. Ini adalah entitas bedah umum,
dihadapi dalam 2% -6% dari pasien dengan appendicitis akut.9
2.7 PENATALAKSANAAN
1. Pre-operatif
Observasi ketat, tirah baring dan puasa. Pemeriksaan abdomen dan rektal serta pemeriksaan
darah dapat diulang secara periodic. Foto abdomen dan toraks dapat dilakukan untuk mencari
penyulit lain. antibiotic intravnea spectrum luas dan analgesic dapat diberikan seperti
28
Ceftriaxone 2x1gr IV, Ranitidin 2x1 dan Ketoroloac 2x 30 g. Pada perforasi apendiks perlu
diberikan resusitasi cairan sebelum operasi.8
2. Operatif
Apendektomi terbuka: dilakukan dengan insisi transversal pada kuadran kanan bawah
(Davis-Rockey) atau insisi oblik (McArthur- McBurney). Pada diagnosis yang belum
jelas dapat dilakukan insisi subumbilikal pada garis tengah.10
Laparoscopic Appendectomy
Laparoscopy dapat dipakai sebagai sarana diagnosis dan terapeutik untuk pasien dengan
nyeri akut abdomen dan suspek Appendicitis acuta. Laparoscopy sangat berguna untuk
pemeriksaan wanita dengan keluhan abdomen bagian bawah. Dengan menggunakan
laparoscope akan mudah membedakan penyakit akut ginekologi dari Appendicitis
acuta.1
3. Pasca-operatif
Perlu dilakukan observasi tanda vital untuk mengantisipasi adanya perdarahan dalam,
syok, hipertermia, atau gangguan pernapasan. Pasien dibaringkan dalam posisi Fowler
dan selama 12 jam dipuasakan terlebih dahulu. Pada operasi dengan perforasi atau
peritonitis umum, puasa dilakukan hingga fungsi usus kembali normal. Secara bertahap
pasien diberi minum, makanan saring, makanan lunak dan makanan biasa.8
2.8 PENCEGAHAN
Pencegahan Primer
Pencegahan primer bertujuan untuk menghilangkan faktor risiko terhadap kejadian
appendicitis. Upaya pencegahan primer dilakukan secara menyeluruh kepada masyarakat.
Upaya yang dilakukan antara lain:
a. Diet tinggi serat
Berbagai penelitian telah melaporkan hubungan antara konsumsi serat dan insidens
timbulnya berbagai macam penyakit. Hasil penelitian membuktikan bahwa diet tinggi
serat mempunyai efek proteksi untuk kejadian penyakit saluran pencernaan. Serat dalam
makanan mempunyai kemampuan mengikat air, selulosa, dan pektin yang membantu
29
mempercepat sisi-sisa makanan untuk diekskresikan keluar sehingga tidak terjadi
konstipasi yang mengakibatkan penekanan pada dinding kolon.
b. Defekasi yang teratur
Makanan adalah faktor utama yang mempengaruhi pengeluaran feces. Makanan yang
mengandung serat penting untuk memperbesar volume feces dan makan yang teratur
mempengaruhi defekasi. Individu yang makan pada waktu yang sama setiap hari
mempunyai suatu keteraturan waktu, respon fisiologi pada pemasukan makanan dan
keteraturan pola aktivitas peristaltik di kolon.
Frekuensi defekasi yang jarang akan mempengaruhi konsistensi feces yang lebih padat
sehingga terjadi konstipasi. Konstipasi menaikkan tekanan intracaecal sehingga terjadi
sumbatan fungsional appendiks dan meningkatnya pertumbuhan flora normal kolon.
Pengerasan feces memungkinkan adanya bagian yang terselip masuk ke saluran
appendiks dan menjadi media kuman/bakteri berkembang biak sebagai infeksi yang
menimbulkan peradangan pada appendiks.
Pencegahan Sekunder
Pencegahan sekunder meliputi diagnosa dini dan pengobatan yang tepat untuk mencegah
timbulnya komplikasi.10
2.9 Prognosis
Apendiktomi yang dilakukan sebelum perforasi prognosisnya baik. Kematian dapat
terjadi pada beberapa kasus. Setelah operasi masih dapat terjadi infeksi pada 30% kasus
apendiks perforasi atau apendiks gangrenosa
Ad Vitam : Dubia ad Bonam
Ad Fungtionam : Dubia ad Bonam
Ad Sanationam : Dubia ad Bonam
30
BAB III
PEMBAHASAN
Diagnosa apendisistis akut pada kasus ini dapat ditegakkan dengan dasar anamnesis,
pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang. Pada anamnesis, didapatkan keluhan utama
berupa nyeri perut kanan bawah sejak 1 minggu SMRS. Awalnya nyeri dirasakan di bagian
tengah perut menggambarkan gejala akibat distensi apendiks yang menstimulasi ujung saraf dari
afferent stretch fiber. Lalu nyeri berpindah ke kuadran kanan bawah menggambarkan
peradangan yang telah menyebar ke peritoneum parietalis. Nyeri yang dialami pasien berupa
nyeri akibat iritasi peritoneum sehingga memburuk saat bergerak atau batuk (Dunphy sign) dan
membaik saat diam. Pasien juga mengeluhkan adanya gejala gastrointestinal berupa mual dan
muntah setelah gejala nyeri muncul, hal ini sering dijumpai pada apendisitis akibat multiplikasi
bakteri yang cepat di dalam apendiks. Selain itu pasien juga mengeluhkan adanya demam yang
menggambarkan adanya infeksi yang terjadi. Selain itu pasien juga menyangkal adanya riwayat
penyakit lainnya yg diidap pasien ataupun keluarga.
Berdasarkan pemeriksaan fisik, keadaan umum pasien tampak sakit sedang dan
hemodinamik stabil, namun didapatkan suhu tubuh pasien 37,7oC dan VAS 3/10. Suhu tubuh
pasien nantinya dapat dipertimbangkan untuk dimasukkan ke dalam Alvarado Score, sedangkan
VAS dapat mendukung keluhan nyeri perut pasien. Berdasarkan pemeriksaan status generalis,
ditemukan kelainan pada abdomen melalui palpasi berupa : nyeri tekan dan nyeri lepas titik
McBurney, Rovsing sign, obturator sign dan psoas sign. Penemuan ini mendukung adanya iritasi
peritoneum parietalis lokal yang diduga akibat peradangan apendiks. Pada pemeriksaan fisik
lainnya tidak ditemukan kelainan, Tanda-tanda ini mendukung diagnosa apendisitis akut.
Berdasarkan pemeriksaan penunjang yang dilakukan, didapatkan non-filling appendix
dari pemeriksaan appendictogram. Selain itu, didapatkan skor 7 pada Alvarado score, yang
diinterpretasikan sebagai kemungkinan besar apendisitis (skor ≥7). Alvarado score sangatlah
berguna untuk menyingkirkan diagnosa apendisitis dan memilah pasien untuk manajemen
diagnostik lanjutan.
Temuan Poin Pasien
31
Anoreksia 1 1
Demam ≥36,3oC 1 1
Total 10 7
Berdasarkan diagnosa klinis yang telah ditegakkan, maka pasien direncanakan untuk
dioperasi open appendectomy. Tindakan ini menjadi pilihan karena apendisitis akut termasuk
dalam kegawatdaruratan dalam bidang bedah. Operasi cito menjadi pilihan untuk mencegah
progresi penyakit yang nantinya dapat menyebabkan kerusakan dan komplikasi yang lebih berat.
Selain itu, dengan berkembangnya apendisitis akut dan terjadi perforasi maka peritonitis akan
terjadi dan akan mempersulit penanganan pasien serta meningkatkan mortalitas. Sebagai
tatalaksana awal pasien dipasangkan IV line untuk memudahkan akses memasukkan obat dan
rehidrasi. Pasien diberikan cairan RL 18 tpm, analgesik (novalgin 3 x ½ A) dan antibiotik
(ceftriaxone 2 x500 mg) selagi mempersiapkan operasi. Lalu open appendectomy dilakukan
dalam anastesi umum. Apendiks yang ditemukan intra-operatif tampak berukuran 8 cm
berdiameter 0,8 cm, hiperemis, oedem, tidak ada perforasi, tidak ada pus, dan terletak retrocaecal
intraperitoneal. Setelah operasi selesai, sebagai tatalaksana post-operasi terapi yang diberikan
sebelumnya berupa cairan, analgesik dan antibiotik dilanjutkan. Selain itu, perlu dilakukan
observasi tanda vital untuk mengantisipasi adanya perdarahan dalam, syok, hipertermia atau
gangguan pernafasan.
32
DAFTAR PUSTAKA
1. Lally KP, Cox CS, Andrassy RJ, Appendix. In: Sabiston Texbook of Surgery. 17th edition.
Ed:Townsend CM, Beauchamp RD, Evers BM, Mattox KL. Philadelphia: Elsevier Saunders.
2009: 1381-93
2. Jaffe BM, Berger DH. The Appendix. In: Schwartz’s Principles of Surgery Volume 2. 8th
edition. Ed: Brunicardi FC, Andersen DK, Billiar TR, Dunn DL, Hunter JG, Pollock RE.
New York: McGraw Hill Companies Inc. 2008:1119-34
3. Way LW. Appendix. In: Current Surgical Diagnosis & Treatment. 11 edition. Ed:Way LW.
Doherty GM. Boston: McGraw Hill. 2006:668-72
4. Human Anatomy 205. Retrieved at October 20th 2011 From: http://www
.talkorigins.org/faqs/vestiges/vermiform_Appendix.jpg
5. http://www.med.unifi.it/didonline/annoV/clinchirI/Casiclinici/Caso10/Appendicitis1x.jpg
6. Ellis H, Nathanson LK. Appendix and Appendectomy. In : Maingot’s Abdominal Operations
Vol II. 10th edition. Ed: Zinner Mj, Schwartz SI, Ellis H, Ashley SW, McFadden DW.
Singapore: McGraw Hill Co. 2009: 1191-222.
7. Soybel DI. Appedix In: Surgery Basic Science and Clinical Evidence Vol 1. Ed: Norton JA,
Bollinger RR, Chang AE, Lowry SF, Mulvihill SJ, Pass HI, Thompson RW. New York:
Springer Verlag Inc. 2011: 647-62.
8. Tanto C. Liwang F. Hanifati S. Pradipta E A. Kapita selekta kedokteran edisi IV. Jakarta:
2014:h.213-214.
9. Thomas G.A, Lahunduitan I, Tangkilisan A. Angka kejadian apendisitis di RSUP Prof. Dr. R.
D. Kandou Manado periode Oktober 2012 – September 2015. Jurnal e-Clinic (eCl), Volume
4, Nomor 1, Januari-Juni 2016.
10. Potter, P., Perry, A., 2015. Buku Ajar Fundamental Surgery, Konsep, Proses, dan Praktik.
Edisi 4. Volume 2. Penerbit Buku Kedokteran EGC. Jakarta.
33