Anda di halaman 1dari 7

Maraknya tindak kecurangan yang terungkap beberapa tahun terakhir baik di sektor privat maupun

di sektor pemerintahan mendapat perhatian yang serius dari publik. Khususnya yang terjadi di
sektor publik di Indonesia, tipologi fraud yang paling sensitif dan menjadi perhatian adalah
Korupsi.

Whistleblower adalah seseorang (pegawai dalam organisasi) yang memberitahukan kepada publik
atau kepada pejabat yang berkuasa tentang dugaan ketidakjujuran, kegiatan ilegal atau kesalahan
yang terjadi di departemen pemerintahan, organisasi publik, organisasi swasta, atau pada suatu
perusahaan (Georgiana Susmanschi, 2012). Whistleblowing menurut KNKG (Komite Nasional
Kebijakan Governance) di dalam Pedoman Sistem Pelaporan Pelanggaran adalah pengungkapan
tindakan pelanggaran atau perbuatan yang melawan hukum, tidak etis/tidak bermoral atau
perbuatan lain yang dapat merugikan organisasi atau pemangku kepentingan, yang dilakukan oleh
karyawan atau pimpinan organisasi kepada pimpinan organisasi atau lembaga lain yang dapat
mengambil tindakan atas pelanggaran tersebut.

Faktor pertama yang mempengaruhi tindakan untuk melakukan whistleblowing adalah Komitmen
Profesional. Komitmen profesional adalah tingkat loyalitas individu pada profesinya seperti yang
dipersepsikan oleh individu tersebut. Shaub et al (1993) menekankan perlunya untuk belajar
komitmen profesional karena karier seseorang merupakan bagian utama dari hidupnya dan
komitmen profesional mempunyai implikasi penting di tingkat individu dan organisasi. Tingkat
komitmen profesional mungkin merupakan refleksi hubungan auditor dengan lingkungan industri
profesional.

Faktor kedua yaitu lingkungan etika. Lingkungan etika meliputi standar perilaku bagi seseorang
profesional yang ditujukan untuk tujuan praktis dan idealistik (Putri dan Laksito, 2013: 3).
Lingkungan etika disini juga berarti komitmen etis organisasi yang terkait erat dengan persepsi
instansi terhadap nilai-nilai moral. Secara keseluruhan, semua penelitian tentang etika
menunjukkan bahwa karakter etika organisasi memiliki pengaruh dalam pengambilan keputusan
etis (Dickerson, 2009 dalam Muttaqin, 2014: 43). Pun dalam mempengaruhi keputusan seseorang
untuk melakukan whisteleblowing.

Faktor ketiga yang mempengaruhi tindakan untuk melakukan whistleblowing adalah intensitas
moral. Intensitas moral dapat dikaitkan dengan konsep persepsi control perilaku dalam teori
perilaku terencana (theory of planned behavior). Persepsi kontrol perilaku merupakan keyakinan
seseorang bahwa persepsi yang dimilikinya merupakan hasil dari control dirinya sendiri mengenai
persepsi perilaku tersebut, Hendriadi (2012).

Faktor terakhir yang dapat mempengaruhi tindakan whistleblowing adalah personal cost. Personal
cost adalah Melaporkan pelanggaran yang terjadi dalam suatu organisasi dengan pandangan
pegawai atau anggota organisasi terhadap risiko pembalasan/balas dendam atau sanksi dari
anggota lain di organisasi tersebut akan mengurangi minat atau niat pegawai untuk melakukan
whistleblowing.

Dari uraian diatas maka penelitian ini bertujuan untuk menguji dan membuktikan secara empiris
Pengaruh Komitmen Profesional, Lingkungan Etika dan Intensitas Moral terhadap Intensi untuk
melakukan whistleblowing internal .

Komitmen Profesional dan Intensi untuk Melakukan Whistleblowing internal

Komitmen profesional merupakan kepercayaan dan penerimaan tujuan profesi dan bersedia untuk
mengerahkan upaya yang keras atas namanya (Elias, 2008). Lee et al., (2000) Elias (2008)
menekankan pentingnya kajian mengenai komitmen profesional karena karir seseorang
merupakan bagian utama dalam hidup mereka dan komitmen profesional memiliki implikasi
penting pada level individual maupun organisasional.

Whistleblowing adalah pelaporan yang dilakukan oleh anggota organisasi (aktif maupun non-
aktif) mengenai pelanggaran, tindakan ilegal atau tidak bermoral kepada pihak didalam maupun
diluar instansi. Whistleblowing dapat digambarkan sebagai suatu proses yang melibatkan faktor
pribadi dan faktor sosial organisasional. Beberapa penelitian menunjukkan pentingnya
pengungkapan pelanggaran, dan penelitian pengungkapan pelanggaran yang menguji hubungan
antara whistleblowing dengan komitmen profesional mulai berkembang (Sugianto, 2011).

Komitmen profesional adalah suatu tindakan loyalitas terhadap pekerjaan yang sedang dijalani
berdasarkan norma dan aturan yang berlaku secara umum. Dengan semakin maraknya tindak
kecurangan, korupsi, sikap profesional seorang pegawai atau aparatur Negara di daerah sangat
diperlukan untuk mengungkapkan tindak kecurangan tersebut, karena selaku pegawai yang
professional tidak hanya bekerja untuk kepentingan organisasi saja, tetapi juga harus dapat
mempertanggungjawabkan hasil kinerjanya terhadap masyarakat (Nikmah, 2014).
Banyak penelitian yang meneliti tentang pengaruh komitmen profesional terhadap intensitas
melakukan whistleblowing. Elias (2008) melakukan penelitian tentang hubungan komitmen
profesional dan sosialisasi antisipatif dengan whistleblowing pada mahasiswa akuntansi tingkat
akhir. Hasil penelitian ini menunjukkan hubungan yang signifikan pada semua variabel. Semakin
tinggi komitmen profesional dan tingkat antisipatif maka semakin tinggi pula kecenderungan
mereka untuk menganggap whistleblowing menjadi suatu hal yang penting serta semakin tinggi
pula kemungkinan mereka melakukan whistleblowing. Penelitian ini sejalan pula dengan
penelitian yang dilakukan oleh Malik (2010), Sagara (2013), Nikmah (2014), dan Vinna (2016)

Lingkungan Etika dan Intensi untuk Melakukan Whistleblowing internal

Menurut penelitian penelitian Nuryanto dan Dewi (2001) dalam Putri dan Laksito (2013: 1),
tinjauan etika atas pengambilan keputusan berdasarkan pendekatan moral. Hasil penelitian
menunjukkan adanya korelasi antara pemahaman nilai-nilai etika dengan pengambilan keputusan.
Semakin tenaga kerja atau pegawai memahami kode etik maka keputusan yang diambil akan
semakin mendekati kewajaran, adil dan bermoral. Begitu juga dalam hubungannya dengan
keputusan seseorang untuk melaksanakan intensi whistleblowing.

Etika yang dapat digunakan sebagai dasar pertimbangan dalam kasus whistleblowing adalah etika
utilitarianisme. Termasuk didalamnya mempertimbangkan sejauh mana dan berapa besar atau
kecilnya kerugian atau keuntungan yang akan dialami negara jika ada pegawai membocorkan atau
mendiamkan kecurangan tersebut (Keraf, 1998:177).

Penelitian yang dilakukan oleh Dalton dan Radtke (2012) memfokuskan pada lingkungan etika
organisasi. Dalam penelitiannya dikatakan bahwa ada enam faktor yang mempengaruhi
lingkungan etika organisasi yakni nilai-nilai misi perusahaan, nilai-nilai kepemimpinan dan
manajemen, kelompok sebaya, prosedur atau aturan dan kode etik, etika pelatihan serta
penghargaan dan sanksi.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa lingkungan etika berpengaruh terhadap intensi melakukan
whistleblowing. Lingkungan etika yang baik mengindikasikan dampak yang baik terhadap intensi
melakukan whistleblowing.
Intensitas Moral dan Intensi untuk Melakukan Whistleblowing internal.

Zubair (1987) dikutip dari Hendriadi (2012) mendefinisikan intensitas moral sebagai kuat
lemahnya perasaan susah atau senang sebagai hasil dari suatu perbuatan baik atau buruk, salah
atau benar, dan adil atau tidak adil. Intensitas moral dapat dikaitkan dengan konsep persepsi
kontrol perilaku dalam teori perilaku terencana (theory of planned behavior). Persepsi kontrol
perilaku merupakan keyakinan seseorang bahwa persepsi yang dimilikinya merupakan hasil dari
kontrol dirinya sendiri mengenai persepsi perilaku tersebut.

Intensitas Moral adalah sebuah konstruk yang mencakup karakteristik- karakteristik yang
merupakan perluasan dari isu-isu yang terkait dengan isu moral utama dalam sebuah situasi yang
akan mempengaruhi persepsi individu mengenai masalah etika dan intensi keperilakuan yang
dimilikinya. Jones (1991) dikutip dari Novius (2011) mengidentifikasi bahwa intensitas moral
yang mempengaruhi proses pengambilan keputusan seseorang dan tingkat intensitas moral yang
bervariasi.

Seseorang yang memiliki intensitas moral yang tinggi akan lebih cenderung untuk melaporkan
tindakan pelanggaran yang terjadi dikarenakan mereka memiliki rasa tanggungjawab untuk
melaporkannya. Sebaliknya apabila intensitas moral seseorang rendah maka dia tidak memiliki
rasa tanggung jawab untuk melaporkan tindakan pelanggaran yang terjadi.

Pada dasarnya whistleblower sangat penting dalam pengungkapan kasus korupsi karena posisi
mereka di dalam organisasi memungkinkan mereka untuk mengetahui berbagai rahasia organisasi
dan akses terhadap berbagai informasi organisasi. Peranan justice collaborator lebih penting lagi
karena dirinya merupakan salah satu pihak yang terlibat dalam kasus korupsi.
Whistleblower memiliki dua sisi. Pada satu sisi, whistleblower dianggap sebagai pahlawan karena
memiliki keberanian untuk mengungkapkan penyimpangan yang dilakukan organisasi pemerintah
(fairness). Di sisi lain, sebagian orang dalam organisasi pemerintah
menganggap whistleblower adalah pengkhianat karena telah mengungkapkan penyimpangan yang
terjadi dalam organisasi (loyality) dan tidak memiliki semangat esprit de corps.
Berdasarkan kepada pihak mana whistleblower mengungkapkan penyimpangan yang
diketahuinya maka whistleblower dikategorikan menjadi whistleblower internal
dan whistleblower eksternal. Kedua kategori whistleblower ini memiliki berbagai manfaat dan
risiko yang berbeda.
Whistleblower internal adalah pegawai yang mengungkapkan penyimpangan kepada pihak
internal organisasi (melalui saluran-saluran yang ada dalam organisasi). Dengan mengungkapkan
penyimpangan secara internal, maka risiko yang dihadapi whistleblower internal lebih rendah
namun ada kemungkinan tindakannya mengungkapkan penyimpangan yang terjadi tidak akan
memperoleh tanggapan dari pihak-pihak internal organisasi sebagaimana seharusnya.
Whistleblower eksternal adalah pegawai yang memilih untuk mengungkapkan penyimpangan
yang terjadi kepada pihak-pihak di luar organisasi. Dengan menjadi whistleblower eksternal maka
tindakannya mengungkapkan penyimpangan akan lebih cepat ditangani dengan risiko dirinya akan
dimusuhi oleh pihak-pihak di dalam organisasi yang terlibat dalam penyimpangan tersebut.
Risiko-risiko yang dapat dihadapi oleh sang whistleblower antara lain:
1. Dimusuhi, diintimidasi dan dikucilkan rekan-rekan kerjanya karena dianggap tidak memiliki
kesetiakawanan dengan rekan kerja dalam satu organisasi.

2. Dipecat dari pekerjaannya atau dimutasi ke organisasi lain yang terpencil.

3. Dipersulit dan dihambat karirnya.

4. Teror dari pihak-pihak yang dilaporkan hingga penyerangan secara fisik dan mental.

Whistleblower memilliki banyak dimensi, salah satunya adalah dimensi etika. Bagaimana etika
memandang whistleblower? Apakah whistleblower merupakan perilaku beretika atau justru
merupakan perilaku yang tidak beretika?
Dari segi etika, seseorang diwajibkan untuk mengungkapkan kasus-kasus korupsi yang
diketahuinya karena korupsi sangat merugikan masyarakat. Berkaitan dengan alasan etika dalam
situasi whistleblower, harus dipahami bahwa dalam konsep etika terdapat dua teori utama yaitu
teori deontologi dan teori teleologi. Bagaimana kedua teori ini memandang whistleblower?
Teori deontologi memandang sebuah tindakan adalah tindakan yang bernilai baik karena tindakan
tersebut dilakukan berdasarkan kewajiban yang dimiliki seseorang. Kewajiban seseorang di dalam
hal ini dapat berupa kewajiban terhadap organisasi tempatnya bekerja dan kewajiban terhadap
masyarakat. Dengan demikian, seorang whistleblowermemiliki dilema apakah dia akan
mengutamakan kewajiban terhadap organisasinya atau kewajiban terhadap masyarakat. Dilema
dan konflik etika seorang whistleblower menjadi semakin besar ketika pelaku penyimpangan.
adalah atasan atau rekan dekatnya, dibandingkan dengan apabila pelaku penyimpangan adalah
orang yang tidak dikenal dengan baik.
Teori deontologi menjelaskan bahwa mengatakan kebenaran adalah sebuah kewajiban dan sebuah
perbuatan yang beretika. Dengan demikian, ketika seorang aparat sipil negara mengetahui bahwa
telah terjadi penyimpangan di dalam organisasi pemerintah tempatnya bekerja maka berdasarkan
teori deontologi dirinya wajib mengungkapkan penyimpangan tersebut.

Teori teleologi menjelaskan bahwa etis atau tidaknya suatu tindakan dilihat dari apakah tindakan
tersebut dapat mencapai tujuan yang diinginkan atau tidak. Etika teleologi juga memandang baik
buruknya sebuah tindakan berdasarkan tujuan apa yang hendak dicapai dari tindakan tersebut.
Apabila tujuan yang hendak dicapai adalah baik maka tindakan tersebut merupakan tindakan yang
beretika. Baik buruknya tujuan yang dimaksud di sini dapat berupa baik untuk diri sendiri, baik
untuk organisasi ataupun baik untuk masyarakat.

Dalam kasus whistleblower, satu hal yang paling ditakuti oleh para whistleblower internal adalah
kekhawatiran tindakan mereka melaporkan penyimpangan yang terjadi tidak memperoleh respon
yang baik dari pihak-pihak lain seperti atasannya. Dengan demikian, perbuatan
sang whistleblower yang mengungkapkan penyimpangan yang terjadi dalam organisasi
pemerintah secara internal kepada atasannya tidak memiliki makna apapun. Hal inilah yang
kemudian mendorong para whistleblower untuk mengungkapkan penyimpangan yang
diketahuinya ke masyarakat umum.
Dimensi lain dalam fenomena whistleblower adalah dimensi budaya. Budaya yang berkembang
dalam sebuah organisasi dapat berupa budaya etis (ethical culture) atau sebaliknya berupa budaya
yang tidak etis (unethical culture). Budaya beretika di dalam organisasi dibangun dalam rangka
menciptakan perilaku beretika dalam organisasi tersebut. Implementasi budaya etis dalam
organisasi lebih mendorong munculnya whistleblower dibandingkan dengan kebijakan dan
prosedur formal sebuah organisasi mengenai whistleblowing.
Budaya yang tidak beretika mengakibatkan banyak individu yang melihat adanya penyimpangan
namun memilih untuk tidak melaporkannya karena nilai-nilai etika, budaya dan perilaku kerja
yang berkembang di dalam organisasi tidak mendukung. Pimpinan instansi pemerintah yang
seharusnya menjadi pionir dalam pelaksanaan nilai-nilai etika justru tidak mendukung hal tersebut.
Hal ini mengakibatkan sangat jarang ada whistleblower yang memiliki keberanian untuk
mengungkapkan kasus korupsi yang ditemuinya ke publik, terutama ketika dirinya harus
memberikan kesaksian di persidangan.
Budaya yang umum berlaku di Indonesia menekankan pada kebersamaan dan persaudaraan,
menjadikan hubungan kerja antar individu-individu dalam sebuah organisasi di Indonesia
cenderung menjauhi konflik antar sesama. Sebagai akibatnya para whistleblower yang berani
mengungkapkan penyimpangan yang diketahuinya dengan risiko menghadapi konflik dengan
pihak-pihak lain akan jarang muncul.
Whistleblower sendiri diatur dalam peraturan pemerintah tersendiri. Pasal 3 Ayat 10 Peraturan
Pemerintah Nomor 53 Tahun 2010 menyatakan bahwa salah satu kewajiban PNS adalah
melaporkan dengan segera kepada atasannya apabila mengetahui ada hal yang dapat
membahayakan atau merugikan negara atau Pemerintah terutama di bidang keamanan, keuangan,
dan materiil.
Keputusan seseorang menjadi whistleblower internal atau whistleblower eksternal dipengaruhi
oleh budaya dan seberapa baik nilai-nilai etika menjadi pedoman dalam organisasi pemerintahan.
Selain itu, komitmen pimpinan instansi pemerintah akan perilaku jujur dan beretika juga
memegang peranan penting.
Apabila dalam organisasi pemerintahan terdapat kode etik yang dilaksanakan oleh semua orang,
mulai dari pimpinan hingga bawahan, serta adanya dukungan pimpinan terhadap semua individu
di dalam organisasi untuk selalu mengimplementasikan perilaku etis dan nilai-nilai etika maka
seseorang akan lebih memilih untuk menjadi whistleblower internal. Sebaliknya ketika pimpinan
tidak mendukung perilaku etis bahkan cenderung berperilaku tidak etis maka seseorang akan lebih
condong mendiamkan penyimpangan yang terjadi atau menjadi whistleblowereksternal.

Anda mungkin juga menyukai