Anda di halaman 1dari 102

PEMULIAAN TANAMAN MELON

(Cucumis melo L.) UNTUK KUALITAS BUAH

AMALIA NURUL HUDA

SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2017
PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN
SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA

Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis berjudul Pemuliaan Tanaman


Melon (Cucumis melo L.) untuk Kualitas Buah adalah benar karya saya dengan
arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada
perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya
yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam
teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.
Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut
Pertanian Bogor.
Bogor, November 2017

Amalia Nurul Huda


NIM A253150366
RINGKASAN

AMALIA NURUL HUDA. Pemuliaan Tanaman Melon (Cucumis melo L.) untuk
Kualitas Buah. Dibimbing oleh WILLY BAYUARDI SUWARNO dan AWANG
MAHARIJAYA.

Melon (Cucumis melo L.) merupakan komoditas hortikultura yang


memiliki keragaman genetik sekaligus nilai ekonomi yang tinggi. Disamping itu,
melon mengandung vitamin C, A, B-6, E, K dan niasin, serta mineral kalium,
kalsium, Fe, magnesium, fosfor, natrium, dan zink. Upaya perbaikan kualitas buah
melon dan ketahanan tanamannya terhadap penyakit dapat dilakukan melalui
pemuliaan tanaman. Kegiatan perakitan varietas melon dapat diawali dengan
karakterisasi keragaman genetik pada suatu koleksi plasma nutfah dan dilanjutkan
dengan seleksi. Informasi nilai heritabilitas karakter-karakter penting buah melon
diperlukan untuk menduga respon terhadap seleksi. Selain itu, identifikasi
pengaruh interaksi genotipe × lingkungan seperti pelakuan KNO3, ketahanan
genotipe terhadap penyakit embun bulu (downy mildew), dan pengaruh stadia
kematangan buah dinilai penting dalam perakitan varietas melon untuk kualitas
buah yang baik.
Percobaan 1 bertujuan untuk mempelajari keragaman genetik dari
sejumlah genotipe melon berdasarkan karakter morfologi dan marka molekuler
(inter simple sequence repeat, ISSR). Percobaan ini terdiri atas dua set: (1)
karakterisasi berdasarkan morfologi menggunakan 17 genotipe melon, dan (2)
karakterisasi berdasarkan morfologi dan marka ISSR menggunakan 20 genotipe
melon. Hasil analisis set 1 menunjukkan adanya keragaman genetik pada 17
genotipe melon berdasarkan karakter morfologi kecuali umur berbunga
hermaprodit. Genotipe yang memiliki potensi untuk sifat bobot buah dan padatan
terlarut total (PTT) tinggi adalah P21 dan P19, sedangkan P2 dan P12 masing-
masing memiliki potensi yang baik untuk bobot buah dan PTT saja. Analisis
keragaman genetik gabungan menggunakan karakter morfologi dan marka ISSR
pada set 2 juga mampu menggambarkan keragaman genetik antar genotipe.
Karakter morfologi seperti ukuran buah dan jala pada permukaan buah berperan
dalam menguatkan struktur pengelompokan genotipe.
Percobaan 2 bertujuan untuk menduga nilai heritabilitas arti sempit (h2ns)
melalui regresi parent-offspring dan mempelajari hubungan linier antar karakter
buah melon. Analisis parent-offspring dilakukan berdasarkan tiga metode, yaitu
rata-rata genotipe (mean basis), rata-rata plot (plot basis), dan nilai individu
tanaman (individual plant basis). Analisis ini menggunakan data percobaan pada
enam musim tanam dengan banyaknya genotipe yang berbeda antar musim. Hasil
analisis menunjukkan nilai h2ns mean basis yang tinggi pada sejumlah karakter.
Analisis plot basis menunjukkan nilai h2ns rendah hingga tinggi, sedangkan h2ns
individual plant basis tergolong rendah hingga sedang untuk karakter buah. Bobot
buah berkorelasi nyata dan positif terhadap kandungan PTT, panjang buah,
diameter buah, tebal daging buah, dan tebal kulit buah. Pada simulasi seleksi
sebesar 5% berdasarkan karakter bobot buah dan PTT, diperoleh perkiraan
kemajuan seleksi masing-masing sebesar 23.64% dan 7.01% per generasi.
Percobaan 3 bertujuan untuk mengetahui karakteristik buah melon pada
lima stadia kematangan yang berbeda, dengan menggunakan beberapa genotipe
yang termasuk dalam dua kelompok kultivar: reticulatus dan inodorus. Penelitian
dilakukan dalam tiga musim tanam. Stadia kematangan buah ditentukan
berdasarkan warna kulit buah dan intensitas jala pada permukaan kulit buah, dan
pengaruhnya terhadap kualitas buah dipelajari melalui analisis gabungan antar
musim. Stadia kematangan berpengaruh nyata terhadap karakter panjang buah,
diameter buah, tebal daging buah, bobot buah, dan PTT. Nilai tengah bobot buah
pada stadia kematangan 4 (838.90 g) dan 5 (931.79 g) berbeda nyata lebih besar
dari stadia 1 (584.42 g). Pengaruh stadia kematangan terhadap PTT ditunjukkan
oleh perubahan stadia kematangan 2 (5.51 oBrix) ke 3 (6.13 oBrix) serta
perubahan stadia kematangan ke 5 (8.18 oBrix). Bobot buah berkorelasi nyata
dengan panjang buah (r=0.53), diameter buah (r=0.85), tebal kulit buah (r=0.33),
dan tebal daging buah (r=0.63). Stadia kematangan buah berpengaruh terhadap
kualitas buah, sehingga menjadi pertimbangan penting dalam penentuan kriteria
panen buah melon.
Percobaan 4 bertujuan untuk mempelajari interaksi genotipe dengan
perlakuan kalium (G×E) terhadap peningkatan kualitas buah. Genotipe melon
yang diuji memiliki keragaman pada sejumlah karakter yang diamati kecuali
panjang buah dan vitamin C. Pengaruh interaksi G×E nyata terhadap karakter PTT
dan total asam tertitrasi (TAT). P25 merupakan genotipe yang menunjukkan
respon positif berupa peningkatan PTT pada perlakuan KNO3, namun sebaliknya
genotipe Eagle, P311, dan IPB Meta 9 menunjukkan penurunan PTT yang
signifikan pada perlakuan KNO3.
Percobaan 5 bertujuan untuk mengidentifikasi genotipe yang relatif tahan
terhadap penyakit downy mildew. Evaluasi ketahanan genotipe terhadap penyakit
downy mildew dilakukan pada dua musim tanam. Tingkat keparahan penyakit
downy mildew umumnya tidak menunjukkan korelasi yang nyata dengan karakter
buah pada kedua musim tanam, kecuali karakter PTT pada musim tanam pertama.
Genotipe IPB Meta 9 menunjukkan ketahanan terhadap downy mildew yang relatif
lebih baik dibandingkan dengan varietas pembanding Eagle pada kedua musim
tanam.
Berdasarkan hasil keseluruhan percobaan diketahui bahwa analisis
gabungan berdasarkan karakteristik morfologi dan marka ISSR dapat digunakan
untuk mempelajari keragaman genetik antar genotipe melon. Nilai estimasi
heritabilitas arti sempit berdasarkan rata-rata genotipe pada beberapa karakter
buah yang diamati tergolong tinggi (> 50%). Peningkatan satu stadia kematangan
buah diperkirakan meningkatakan rata-rata bobot buah dan padatan terlarut total
masing-masing sebesar 85.69 g dan 0.69 oBrix. Genotipe P25 menunjukkan
respon positif berupa peningkatan PTT pada perlakuan KNO3, sedangkan
genotipe IPB Meta 9 dapat dijadikan sumber materi genetik untuk ketahanan
terhadap penyakit downy mildew.

Kata kunci: heritabilitas, ISSR, parent-offspring, downy mildew


SUMMARY

AMALIA NURUL HUDA. Melon (Cucumis melo L.) Breeding for Fruit Quality.
Supervised by WILLY BAYUARDI SUWARNO and AWANG MAHARIJAYA.

Melon (Cucumis melo L.) is a horticultural crop with considerably high


economic value and large genetic diversity. Additionally, melon is a source of
vitamin C, A, B-6, E, K, and niacin, and also a source of minerals such as,
potassium, calcium, Fe, magnesium, phosphorus, sodium, and zinc. Improvement
of fruit quality and resistance to diseases can be carried out through plant
breeding. Initial stages in developing improved melon varieties involve assessing
genetic diversity of a germplasm collection, and followed by selection of potential
genotypes. Heritability estimates of important fruit quality traits are needed for
predicting the response to selection. Identification of environmental influences
such as KNO3 application, resistance to downy mildew disease, and fruit maturity
stages are considered important in breeding melon for fruit quality.
The aim of experiment 1 was to study the genetic variability among a
number of melon genotypes based on morphological traits and molecular markers
(inter simple sequence repeat, ISSR). This experiment consisted of two sets: (1)
morphological characterization using 17 melon genotypes, and (2) morphological
and ISSR characterizations using 20 melon genotypes. Diversity analysis on the
set (1) revealed the genetic variability among 17 genotypes based on
morphological traits except the days to hermaphrodite flowering. P21 and P19
genotypes were potential for fruit weight and total soluble solids (TSS), while P2
was potential for fruit weight and P12 for TSS only. From the set (2), a combined
analysis using morphological traits and ISSR are satisfactory for describing
variability among 20 melon genotypes. Distinguishing morphological traits such
as fruit size and fruit net strengthen the genotype grouping structure.
The aim of experiment 2 was to estimate the values of narow-sense
heritability (h2ns) through parent-offspring regression and to study the linear
relationships between fruit traits in melon. Parent-offspring regressions were
calculated based on three methods, namely mean basis, plot basis, and individual
plant basis. Six melon-growing seasons data with varying genotypes among
seasons were used. The results showed that the mean basis h2ns estimates were
high (> 50%) for all fruit traits observed. Additionally, the plot basis h2ns estimates
were low to high, while the individual plant basis h2ns estimates were low to
moderate. Correlations among fruit weight and TSS content, fruit length, fruit
diameter, flesh thickness, and rind thickness were positive and significant. The
results from simulation of 5% individual plant selection based on fruit weight and
TSS showed genetic advances of 23.64% and 7.01% per generation, respectively.
The aim of experiment 3 was to elucidate the characteristics of melon fruits
at five different maturity stages, involving several genotypes belonging to two
cultivar groups: reticulatus and inodorus. The experiments were conducted in
three planting seasons. Maturity stages were determined based on fruit rind color
and net coverage, and their effects on fruit quality were studied using combined
analyses over seasons. Maturity stage were significantly affected fruit length, fruit
diameter, flesh thickness, fruit weight, and TSS. The average fruit weight at
maturity stage 4 (838.90 g) and 5 (931.79 g) was significantly greater than that of
stage 1 (584.42 g). The effects of maturity stage on the TSS was shown at the
changes of maturity stage from 2 (5.51oBrix) to 3 (6.13oBrix) and to 5 (8.18oBrix).
Fruit weight was significantly correlated with fruit length (r=0.53), fruit diameter
(r=0.85), rind thickness (r=0.33), and flesh thickness (r=0.63). Maturity stages
affected the quality of melon fruits in general, and therefore becomes an important
consideration in determining the harvest criteria of melon fruits.
The aim of experiment 4 was to study the interaction of genotypes with
potassium treatment (G × E) on improving fruit quality. The melon genotypes had
a variability in several observed traits except fruit length and vitamin C. The
effects of G × E interaction were significant on the TSS and titratable acidity. P25
genotype showed a positive response of increased TSS in the KNO3 treatment, but
on the contrary, Eagle, P311, and IPB Meta 9 genotypes showed significant PTT
decrease in KNO3 treatment.
The aim of experiment 5 was to identify a relatively resistant genotype
against downy mildew. Evaluations of genotype resistance to downy mildew were
performed in two planting seasons. The severity of the disease did not show
significant correlations with fruit traits in both seasons, except with the TSS in the
first season. IPB Meta 9 shows relatively better resistance to downy mildew
compared to the Eagle variety in both seasons.
Based on the results the experiments, it is known that the combined
analysis based on morphological traits and ISSR markers can be used to study
genetic diversity among melon genotypes. The narrow sense heritability estimates
of several fruit traits based on genotype means were generally high (> 50%). An
increase in fruit maturity stage is estimated to increase the average fruit weight
and TSS by 85.69 g and 0.69 oBrix, respectively. P25 genotype showed a positive
response of increased TSS in the KNO3 treatment. IPB Meta 9 may be used as a
genetic source in melon breeding programs aimed for downy mildew resistance.

Keywords: heritability, ISSR, parent-offspring, downy mildew


© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2017
Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan
atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan,
penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau
tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan
IPB

Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis ini
dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB
PEMULIAAN TANAMAN MELON
(Cucumis melo L.) UNTUK KUALITAS BUAH

AMALIA NURUL HUDA

Tesis
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Magister Sains
pada
Program Studi Pemuliaan dan Bioteknologi Tanaman

SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2017
Penguji Luar Komisi pada Ujian Tesis: Ir Winarso Drajad Widodo, MS Ph.D
PRAKATA

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT atas segala karunia-
Nya sehingga penelitian ini berhasil diselesaikan. Judul penelitian ialah Pemuliaan
Tanaman Melon (Cucumis melo L.) untuk Kualitas Buah. Penelitian ini
merupakan salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada
Program Studi Pemuliaan dan Bioteknologi Tanaman Departemen Agronomi dan
Hortikultura Fakultas Pertanian IPB. Terima kasih penulis ucapkan kepada:
1. Dr Willy Bayuardi Suwarno, SP MSi dan Dr Awang Maharijaya, SP MSi
selaku komisi pembimbing atas segala bimbingan, nasihat, dan dorongan
selama penyelesaian penelitian tesis ini.
2. Dr Yudiwanti Wahyu EK, MS selaku ketua Program Studi Pemuliaan dan
Bioteknologi Tanaman dan Ir Winarso Drajad Widodo, MS Ph.D selaku
penguji luar komisi.
3. Bapak Ahmad Kurniawan, seluruh teknisi Kebun Percobaan IPB Tajur II,
Syabina, Wahyu, Kiki, dan seluruh staf PKHT yang yang telah membantu
penulis dalam melaksanakan kegiatan penelitian baik di lapang maupun di
laboratorium molekuler.
4. Dyra, Galuh, Fittia, dan Usamah, dan rekan-rekan lain atas dukungan dan
semangatnya selama penelitian.
5. Keluarga tercinta, Bapak Harun, Ibu Raharti, Faisal, Trio atas doa dan kasih
sayangnya.

Semoga penelitian ini bermanfaat dan menjadi tambahan informasi dalam


pengembangan komoditas melon unggul selanjutnya.

Bogor, November 2017

Amalia Nurul Huda


DAFTAR ISI

DAFTAR TABEL xiii


DAFTAR GAMBAR xiv
DAFTAR LAMPIRAN xv
1 PENDAHULUAN 1
1.1 Latar Belakang 1
1.2 Tujuan Penelitian 3
1.3 Ruang Lingkup Penelitian 3
2 TINJAUAN PUSTAKA 5
2.1 Botani Melon (Cucumis melo L.) 5
2.2 Taksonomi dan Keragaman Genetik Melon 6
2.3 Parameter Genetik dan Heritabilitas Arti Sempit 8
2.4 Interaksi Genotipe×Lingkungan (Aplikasi KNO3) terhadap
Kualitas Buah Melon 9
2.5 Pemuliaan Melon untuk Ketahanan Terhadap Penyakit
Downy Mildew (Pseudoperonospora cubensis (Berk. &
Curtis) Rostovzev) 10
3 KERAGAMAN GENETIK MELON BERDASARKAN KARAKTER
MORFOLOGI DAN MARKA MOLEKULER 13
Abstrak 13
Abstract 13
3.1 Pendahuluan 14
3.2 Metode Penelitian 16
3.3 Hasil dan Pembahasan 18
3.4 Simpulan 33
4 HERITABILITAS ARTI SEMPIT KARAKTER BUAH MELON
BERDASARKAN REGRESI PARENT-OFFSPRING 34
Abstrak 34
Abstract 34
4.1 Pendahuluan 35
4.2 Metode Penelitian 36
4.3 Hasil dan Pembahasan 37
4.4 Simpulan 41
5 KARAKTERISTIK BUAH MELON PADA STADIA
KEMATANGAN BUAH YANG BERBEDA 42
Abstrak 42
Abstract 42
5.1 Pendahuluan 43
5.2 Metode Penelitian 44
5.3 Hasil dan Pembahasan 46
5.4 Simpulan 52
6 ANALISIS RESPON DIFERENSIAL GENOTIPE MELON
TERHADAP PERLAKUAN KNO3 53
Abstrak 53
Abstract 53
6.1 Pendahuluan 54
6.2 Metode Penelitian 55
6.3 Hasil dan Pembahasan 56
6.4 Simpulan 62
7 KETAHANAN GENOTIPE MELON TERHADAP PENYAKIT
DOWNY MILDEW 63
Abstrak 63
Abstract 63
7.1 Pendahuluan 64
7.2 Metode Penelitian 65
7.3 Hasil dan Pembahasan 65
7.4 Simpulan 71
8 PEMBAHASAN UMUM 72
9 SIMPULAN DAN SARAN 75
9.1 Simpulan 75
9.2 Saran 75
DAFTAR PUSTAKA 76
LAMPIRAN 82
RIWAYAT HIDUP 84
DAFTAR TABEL
1 Karakter juring, intensitas jala, distribusi jala, bentuk buah, warna
permukaan buah, warna daging buah, dan tekstur melon 20
2 Rekapitulasi sidik ragam beberapa karakter tanaman dan buah melon 21
3 Rata-rata umur berbunga jantan, umur berbunga hermaprodit, umur
panen, panjang buah, dan diameter buah 17 genotipe melon 21
4 Rata-rata tebal daging buah, tebal kulit buah, bobot buah, dan kadar
gula 17 genotipe melon 22
5 Nilai duga komponen ragam dan nilai heritabilitas arti luas melon 23
6 Koefisien korelasi linier antar karakter pada genotipe melon 25
7 Nilai tengah karakter umur berbunga, umur panen, dan buah pada 20
genotipe melon dari percobaan di dua musim tanam 27
8 Nilai tengah karakter buah dan bunga pada 20 genotipe melon dari
percobaan di dua musim tanam 29
9 Karakter kualitatif 20 genotipe melon dari percobaan di dua musim
tanam 30
10 Rekapitulasi jumlah pita polimorfik dan monomorfik pada DNA
genotipe melon 31
11 Nilai heritabilitas arti sempit (h2ns) dan koefisien determinasi (R2) dari
analisis regresi parent-offspring berdasarkan mean basis, plot basis,
dan individual plant basis 38
12 Korelasi antar karakter buah melon 39
13 Simulasi seleksi karakter umur berbunga jantan, berbunga
hermaprodit, dan panen pada melon 39
14 Simulasi seleksi karakter bobot buah, kadar gula, dan panjang buah
melon 40
15 Simulasi seleksi karakter diameter buah, tebal daging buah, dan tebal
kulit buah 40
16 Karkter morfologi buah pada stadia kematangan yang berbeda 45
17 Tipe melon yang digunakan pada setiap musim tanam 46
18 Rekapitulasi sidik ragam pada lima stadia kematangan melon 47
19 Interaksi musim dengan stadia kematangan pada karakter panjang
buah dan diameter buah melon 48
20 Interaksi musim dengan stadia kematangan pada karakter tebal kulit
buah dan tebal daging buah melon 48
21 Interaksi musim dengan stadia kematangan pada karakter bobot buah
dan PTT melon 50
22 Persamaan regresi pada karakter melon 51
23 Koefisien korelasi diantara karakter yang berhubungan dengan stadia
kematangan buah (n=72) melon 52
24 Rekapitulasi sidik ragam karakter kuantitatif melon 57
25 Nilai tengah terkoreksi untuk umur berbunga jantan, umur berbunga
hermaprodit, umur panen, panjang buah, diameter buah, dan tebal
daging buah pada genotipe melon yang dievaluasi 57
26 Nilai tengah terkoreksi untuk tebal kulit buah, bobot buah, kadar gula,
total asam tertitrasi, dan vitamin C pada genotipe melon yang
dievaluasi 58
27 Nilai duga komponen ragam dan heritabilitas arti luas melon 60
28 Koefisien korelasi linier antar karakter buah melon 61
29 Koefisien korelasi linier antar karakter buah melon pada musim tanam
1 (bawah diagonal) dan 2 (atas diagonal) 66
30 Tingkat keparahan melon terhadap penyakit downy mildew pada
musim tanam 1 dan 2 67
31 Rekapitulasi nilai KT dan KK pada pengamatan karakter melon
musim tanam 1 dan musim 2 68
32 Rataan karakter umur berbunga, umur panen, panjang buah, dan
diameter buah melon pada musim tanam 1 69
33 Rataan karakter tebal daging buah, tebal kulit buah, bobot buah, dan
PTT melon pada musim tanam 1 69
34 Rataan karakter umur berbunga, umur panen, panjang buah, dan
diameter buah melon pada musim tanam 2 70
35 Rataan karakter tebal daging buah, tebal kulit buah, bobot buah, dan
PTT melon pada musim tanam 2 70

DAFTAR GAMBAR
1 Kerangka berpikir penelitian 4
2 Keragaan 15 genotipe melon yang memiliki keseragaman dalam
genotipe 19
3 Keragaman genotipe melon P3 dan P31 yang memiliki keragaman
dalam genotipe 19
4 Keragaan genotipe melon yang seragam 19
5 Seleksi simultan 17 genotipe melon. Sumbu X adalah rata-rata bobot
buah yang terstandarisasi dan sumbu Y adalah rata-rata PTT yang
terstandarisasi 24
6 Dendrogram 14 genotipe melon hasil analisis gerombol berdasarkan
karakter kuantitatif dan kualitatif 26
7 Keragaan buah 20 genotipe melon 28
8 Dendrogram berdasarkan karakter karakter morfologi pada 20
genotipe melon 31
9 Dendrogram berdasarkan marka ISSR pada 20 genotipe melon 32
10 Dendrogram berdasarkan morfologi dan marka ISSR pada 20 genotipe
melon 33
11 Interaksi panjang buah dan stadia kematangan melon (a); interaksi
PTT dan stadia kematangan melon (b) 49
12 Regresi stadia kematangan buah dengan bobot buah melon (g) (n=72)
(a); regresi stadia kematangan buah dengan PTT (oBrix) melon (n=72)
(b) 51
13 Interaksi G×E (perlakuan KNO3) terhadap karakter PTT melon 59
14 Interaksi G×E (perlakuan KNO3) terhadap karakter TAT melon 59
15 Melon IPB Meta 9-S pada musim tanam 1 (a); Melon IPB Meta 9-OP
pada musim tanam 2 67
16 Keragaan daun genotipe melon IPB Meta 9 (a); keragaan genotipe
melon lain (b) 67
17 Keragaan buah melon IPB Meta 9 68
DAFTAR LAMPIRAN
1 Musim tanam, jumlah genotipe, dan rancangan yang digunakan
dalam setiap percobaan 82
2 Musim tanam, jumlah genotipe, dan rancangan yang digunakan
dalam setiap percobaan (lanjutan) 83
1 PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Melon (Cucumis melo L.) merupakan komoditas hortikultura yang memiliki


nilai ekonomi tinggi. Berdasarkan data BPS (2017) produksi melon di Indonesia
pada tahun 2016 mencapai 117 344 ton. Sejak tahun 2010, produksi melon
mencapai puncaknya pada tahun 2014, yaitu sebesar 150 356 ton. Menurut Ditjen
Horti (2015), produktivitas melon pada tahun 2014 mencapai 18.37 ton ha-1
dengan luasan panen 8 185 ha yang tersebar di Jawa Timur, Banten, Jawa Tengah,
DI Yogyakarta, Lampung, dan Nusa Tenggara Barat. Berdasarkan data FAO
(2016) produksi melon dunia pada tahun 2014 adalah 52 000 ton dengan luasan
panen mencapai 2 300 ha dan produktivitas 22.60 ton ha-1. Perubahan pola hidup
sehat oleh masyarakat melalui konsumsi buah juga turut menyebabkan produksi
buah melon mengalami peningkatan.
Melon memiliki rasa yang manis dan kandungan nutrisi yang bermanfaat
bagi kesehatan seperti, polifenol, asam organik, lignan, dan kandungan lainnya
(Mallek-Ayadi et al. 2016). Berdasarkan data USDA (2016) dalam 100 g melon
tipe cantaloupe terdapat beberapa mineral, antara lain kalium 267 mg, kalsium 9
mg, Fe 0.21 mg, magnesium 12 mg, fosfor 15 mg, natrium 16 mg, dan zink 0.18
mg. Selain mineral, kandungan vitamin pada melon antara lain vitamin C 36.7 mg,
3 382 IU vitamin A, niasin 0.734 mg, vitamin B-6 0.072 mg, vitamin E 0.05 mg,
dan vitamin K 2.5 µg. Melon tipe inodorus memiliki kandungan vitamin C dan A
yang lebih rendah dibandingkan tipe cantaloupe, masing-masing adalah 18 mg
dan 50 IU. Menurut Rubatzky dan Yamaguchi (1997) terdapat tipe melon dengan
aroma buah yang terbentuk pada saat pemasakan buah (ripening). Rasa buah yang
manis, tekstur, warna daging buah, dan aroma pada melon umumnya menjadi
karakter yang diperhatikan oleh konsumen.
Produksi melon di Indonesia umumnya dapat dilakukan sepanjang tahun
dengan umur tanam berkisar 60–70 hari per musim tanam. Budidaya melon yang
dapat dilakukan sepanjang tahun umumnya kurang didukung oleh ketersediaan
benih. Benih melon yang digunakan di Indonesia sebagian besar merupakan benih
impor (Sobir dan Siregar 2014). Jumlah dan kontinuitas benih yang tidak terjamin
dapat mengganggu kestabilan persediaan benih melon di Indonesia. Kemandirian
benih selain bertujuan menjaga kestabilan persediaan benih, juga bertujuan
menyediakan benih dengan kualitas yang adaptif sesuai agroklimat di sentra
budidaya melon di Indonesia.
Cucumis melo L. merupakan spesies dengan kergaman genetik yang cukup
tinggi (Ali-Shtayeh et al. 2015). Menurut Hammer dan Galdis (2014) Cucumis
melo terdiri dari delapan kelompok subspesies, yaitu var. flexuosus (L.) Naud., var.
inodorus H. Jacq., var. cantalupensis Naud. (var. cantalupo Ser.), var. reticulatus
Ser., var. adana Pangalo, var. ameri Pangalo, var. chandalak Pangalo, dan var.
tibish Mohamed. Robinson dan Decker-Walters (1999) mengelompokkan C. melo
L. menjadi enam grup, yaitu cantalupensis, inodorus, flexuosus, conomon, dudaim,
dan momordica. Menurut Sobir dan Siregar (2014) terdapat tiga melon yang
populer di Indonesia, yaitu grup reticulatus, inodorus, dan cantalupensis.
2

Keragaman genetik melon yang cukup tinggi merupakan potensi yang dapat
dimanfaatkan dalam kegiatan pemuliaan tanaman. Perbaikan kualitas hasil
dilakukan melalui perakitan varietas yang mempunyai kandungan nutrisi lebih
baik, padatan terlarut total (PTT), bentuk, warna, dan daya simpan yang lebih baik
(Syukur et al. 2012). Analisis keragaman genetik melon selain menggunakan
penanda morfologi juga dapat mengggunakan penanda molekuler. Inter simple
sequence repeat atau ISSR melibatkan amplifikasi sekuen DNA yang berada
diantara dua mikrosatelit atau area yang berada dekat dengan sekuen berulang
(Zietkiewicz et al. 1994; Djè et al. 2010). Salah satu keunggulan ISSR
dibandingkan marka RAPD yaitu, bermanfaat pada analisis keragaman genetik
dan kekerabatannya dan sifatnya tidak random sehingga analisis dapat diulang
kembali (Yildiz et al. 2011).
Stadia kematangan buah melon merupakan salah satu hal yang penting dan
perlu mendapat perhatian pada kegiatan panen karena berkaitan dengan kualitas
buah melon. Menurut Mutton et al. (1981) PTT pada buah melon umumnya tidak
mengalami peningkatan setelah buah dipanen. Peningkatan PTT akan diperoleh
saat buah masih pada tangkai hingga kematangan buah yang maksimal.
Kebutuhan nutrisi dalam budidaya tanaman melon merupakan hal yang
perlu diperhatikan karena memiliki peran dalam produksi. Menurut Lester et al.
(2010) salah satu nutrisi tersebut adalah kalium (K) yang merupakan mineral
esensial yang dibutuhkan tanaman dan memiliki pengaruh secara signifikan pada
peningkatan kandungan nutrisi buah dan sayur. Kalium memiliki pengaruh
penting terhadap kualitas buah salah satunya adalah fitonutrisi. Kalium memiliki
peran yang penting pada proses fisiologi pertumbuhan dan perkembangan
tanaman, seperti transportasi air, fotosintesis, tranport asimilat, dan aktivitas
enzim (Pettigrew 2008). Karakter penting seperti bobot buah dan PTT diharapkan
menunjukkan adanya peningkatan pada perlakuan kalium. Salah satu informasi
penting dalam kegiatan pemuliaan tanaman dari perlakuan kalium adalah apakah
ada pengaruh interaksi antara genotipe dengan pupuk KNO3 terhadap kualitas
buah.
Salah satu faktor penting yang mempengaruhi kualitas buah melon adalah
ketahanan tanaman terhadap penyakit. Downy mildew atau embun bulu
merupakan salah satu penyakit utama yang umum menyerang tanaman melon
(Shashikumar et al. 2010). Serangan downy mildew tidak hanya ditemukan pada
melon, namun juga pada sebagian besar tanaman dari famili Cucurbitaceae.
Penyakit ini disebabkan oleh Pseudoperonospora cubensis (Berk. & Curtis)
Rostovzev (Labeda et al. 2016) dan umumnya ditemukan pada daerah tropis dan
temperate dengan kelembaban relatif yang tinggi (Prohens dan Nuez 2008).
Downy mildew umumnya menyerang pada bagian daun. Daun yang terserang
downy mildew pada awalnya akan berwarna kuning dengan pola tidak beraturan,
kemudian menyebar dan menyebabkan daun berwarna coklat. Pada kondisi yang
lebih parah, daun berwarna coklat tersebut lebih cepat mengalami kematian.
Serangan downy mildew akan menghambat proses fotosintesis pada daun. Buah
yang dihasilkan umumnya akan berukuran kecil dan tidak matang, sehingga
produksi dan kualitas hasil akan menurun secara signifikan (Lee et al. 2016).
Informasi keragaman genetik berdasarkan morfologi dan marka ISSR
menjadi dasar dalam kegiatan pemuliaan tanaman. Serangkaian kegiatan
pemuliaan tanaman melon dalam upaya pelepasan varietas dilakukan berdasarkan
3

pada perbaikan kualitas buah dan evaluasi ketahanan terhadap penyakit downy
mildew. Stadia kematangan buah dapat bermanfaat dalam memprediksi besarnya
peningkatan karakter kuantitatif melalui model linier. Perlakuan kalium pada
budidaya melon diharapkan dapat meningkatkan kualitas buah untuk genotipe-
genotipe tertentu.

1.2 Tujuan Penelitian

Penelitian ini bertujuan untuk: (1) mempelajari keragaman genetik dari


sejumlah genotipe melon berdasarkan karakter morfologi dan molekuler (ISSR);
(2) menduga nilai heritabilitas melalui regresi parent-offspring dan mempelajari
hubungan linier antar karakter buah melon; (3) mempelajari karakteristik
morfologi buah melon pada stadia kematangan buah yang berbeda dan
mengembangkan model linier untuk memprediksi nilai karakter kuantitatif buah
berdasarkan stadia kematangan; (4) Mempelajari interaksi genotipe dengan
perlakuan kalium (G×E) terhadap peningkatan kualitas buah; (5) mengidentifikasi
genotipe potensial yang memiliki bobot buah atau padatan terlarut total (PTT)
yang tinggi, atau tahan terhadap penyakit downy mildew.

1.3 Ruang Lingkup Penelitian

Penelitian ini diawali dengan melakukan karakterisasi sejumlah genotipe


melon berdasarkan karakter morfologi. Analisis molekuler menggunakan ISSR
dilakukan terhadap sejumlah genotipe yang seragam. Pendugaan nilai heritabilitas
arti sempit berdasarkan regresi parent-offspring bermanfaat dalam kegiatan
seleksi. Stadia kematangan buah digunakan untuk mempelajari perbedaan karakter
morfologi buah dan adanya peningkatan karakter kuantitatif melalui model linier.
Penelitian ini juga mempelajari pengaruh interaksi antara genotipe dengan
perlakuan kalium terhadap kualitas buah. Evaluasi juga dilakukan terhadap
sejumlah genotipe melon untuk ketahanan terhadap penyakit embun bulu (downy
mildew). Kerangka berpikir pelaksanaan penelitian ini digambarkan dalam
Gambar 1.
4

Keterangan: = output yang diharapkan

Gambar 1 Kerangka berpikir penelitian


5

2 TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Botani Melon (Cucumis melo L.)

Melon (Cucumis melo L.) merupakan salah satu spesies penting dari famili
Cucurbitaceae dan genus Cucumis (Rubatzky dan Yamaguchi 1997; Robinson
dan Decker 1999). Cucumis melo L. memiliki banyak istilah dalam
penyebutannya, seperti muskmelon, cantaloupe, sweet melon, rock melon, snap
melon, dan lainnya (Robinson dan Decker-Walters 1999).
Afrika merupakan daerah asal tanaman melon, sedangkan India merupakan
daerah asal tipe liar dari spesies tersebut. Sebagian juga berpendapat bahwa
domestikasi melon dimulai di Iran. Tanaman melon kemudian menyebar ke
daerah Timur tengah dan Asia, kemudian menjadi komoditas hortikultura penting
di India, Mesir, Iran, dan China. Istilah cantaloupe berasal dari kota Cantaluppi
atau kastil Cantalupo di Italia (Robinson dan Decker-Walters 1999). Keragaman
genetik melon yang cukup tinggi ditemukan juga di Spanyol (Rubatzky dan
Yamaguchi 1997).
Melon merupakan tanaman diploid yang memiliki jumlah kromosom 2n =
2x = 24 (Ramachandran dan Narayan 1985). Melon merupakan tanaman semusim
(annual) yang memiliki karakter bunga monoecious atau andromonoecious. Pada
melon dengan karakter andromonoecious terdapat dua tipe bunga, yaitu bunga
jantan dan hermaprodit. Bunga jantan terletak pada batang utama dan lateral,
sedangkan bunga hermaprodit terdapat pada setiap node dari cabang lateral.
Sistem perakaran tanaman melon menyebar luas tetapi bersifat dangkal.
Permukaan batang utama tanaman melon umumnya memiliki sulur dan bergerigi
akibat adanya rambut halus. Melon merupakan tanaman merambat dengan
susunan internode yang pendek. Pada setiap node batang utama terdapat daun
tunggal dengan bentuk entire, trilobate, pentalobate, 3- atau 5-palmately lobed
(Rubatzky dan Yamaguchi 1997; Robinson dan Decker-Walters 1999; Kole
2011).
Melon umumnya menghasilkan satu atau dua buah per tanaman, tetapi
melon dengan tipe buah kecil dapat menghasilkan lebih dari dua buah per
tanaman (Robinson dan Decker-Walters 1999). Bentuk buah, warna, dan tipe
permukaan kulit buah melon memiliki keragaman yang cukup tinggi. Bentuk buah
yang umum ditemui di pasaran adalah bulat dan lonjong, dengan permukaan buah
tanpa jala dan berjala. Selain jala, beberapa tipe melon juga memiliki juring yaitu
garis pada permukaan kulit. Warna permukaan kulit buah melon sebagian besar
adalah hijau dan kuning, tetapi terdapat juga yang berwarna putih. Daging buah
pada melon merupakan bagian mesocarp yang juga memiliki keragaman
ketebalan, warna, dan tekstur daging buah. Daging buah melon memiliki warna
hijau, putih, oranye, atau merah muda. Sebagian tipe melon mengalami perubahan
warna permukaan buah; warna buah saat masih kecil berbeda dengan warna saat
buah telah matang. Aroma pada melon terbentuk dari kandungan volatile meliputi,
alkohol, asam, dan senyawa ester lainnya yang terbentuk saat buah matang.
Jumlah dan rasio dari senyawa tersebut berbeda-beda antar grup melon, sehingga
memberikan keragaman pada karakteristik aroma dan rasa (Rubatzky dan
Yamaguchi 1997). Menurut Oh et al. (2011) perubahan kandungan volatile
6

selama tahap pertumbuhan, pematangan, dan pemasakan buah pada melon tipe
jala diketahui dipengaruhi oleh etilen dan respirasi.
Pada saat buah siap panen, tangkai akan terlepas dari buahnya pada melon
tipe reticulatus, sedangkan melon tipe inodorus tangkainya tidak akan terlepas
dari buah. Perubahan warna kulit buah menjadi lebih cerah pada tipe inodorus
merupakan karakter yang dapat digunakan dalam penentuan waktu panen selain
ditentukan berdasarkan umur panen (Sobir dan Siregar 2014). Melon merupakan
buah yang menghasilkan biji yang cukup banyak. Warna biji melon umumnya
krem dengan rata-rata panjang 5–15 mm (Rubatzky dan Yamaguchi 1997).
Karakter lain yang menyebabkan melon beragam adalah sifat klimakterik dan
nonklimakterik (Nuñez-Palenius et al. 2008). Melon tipe inodorus umumnya
bersifat nonklimkaterik, sedangkan tipe reticulatus dan cantalupensis bersifat
klimakterik (Sobir dan Siregar 2014).
Budidaya melon umumnya dilakukan pada wilayah dengan kisaran
ketinggian 250–700 m dpl dengan pH tanah 5.8–7.2. Pada tanah masam dapat
menyebabkan terjadinya gejala penguningan pada daun (acid yellowing) dan
tanaman akan menjadi kerdil. Selain kemasaman tanah, tanaman melon juga peka
terhadap kadar garam yang tinggi. Di dataran rendah yang ketinggiannya kurang
dari 250 m dpl, ukuran melon yang dihasilkan umumnya relatif lebih kecil dan
dagingnya kurang berair. Perbedaan suhu siang dan malam yang signifikan dapat
menghasilkan buah melon dengan aroma dan tingkat kemanisan yang tinggi.
Tanaman ini tumbuh optimum pada daerah dengan curah hujan 1 500–2 500 mm
per tahun. Suhu pertumbuhan optimum untuk tanaman melon 25–30 oC dengan
tingkat kelembaban 50–70%. Sebaiknya tanaman melon diusahakan di daerah
yang memiliki kecepatan angin kurang dari 20 km jam-1 karena angin yang terlalu
kencang dapat merusak pertanaman melon. Melon membutuhkan air yang cukup
banyak namun harus disesuaikan dengan pola kebutuhan tanaman. Tanaman
melon mampu berproduksi optimum dengan musim hujan yang kurang dari enam
bulan, tetapi memiliki cadangan air yang cukup atau daerah beririgasi. Tanaman
ini dapat tumbuh optimum pada daerah terbuka dengan penyinaran matahari
penuh, terutama saat tanaman sedang berbunga (Sobir dan Siregar 2014).

2.2 Taksonomi dan Keragaman Genetik Melon

Melon merupakan tanaman yang memiliki kelas: Dycotyledoneae, famili:


Cucurbitaceae, genus: Cucumis, subgenus: Melo, dan spesies: Cucumis melo
(Nuñez-Palenius et al. 2008). Selain melon, tanaman lain yang memiliki nilai
ekonomi penting dan termasuk dalam famili Cucurbitaceae antara lain timun
(Cucumis sativus L.), semangka (Citrullus lanatus (Thunb.) Matsum. & Nakai),
squash atau pumpkin (Cucurbita pepo L., Cucurbita maxima Duch. dan Cucurbita
moschata Duch.). Cucumis melo L. memiliki jumlah kromosom 2n = 2x = 24;
Cucumis sativus L. 2n = 2x = 14; Citrullus lanatus (Thunb.) Matsum. & Nakai 2n
= 2x = 22; Cucurbita pepo L., Cucurbita maxima Duch. dan Cucurbita moschata
Duch. memiliki jumlah kromosom yang sama yaitu, 2n = 2x = 40 (Cseke et al.
2011). Genus Cucumis terdiri dari 32 kelompok dan Cucumis melo memiliki 40
varietas (var.). Melon (Cucumis melo L.) merupakan kelompok utama cucurbit
7

yang memiliki keragaman genetik yang tinggi untuk tipe buah dan morfologi
tanaman (Nuñez-Palenius et al. 2008).
Buah melon memilki keragaman untuk ukuran, bentuk, warna kulit buah,
warna daging buah. C. melo L. var. flexuosus merupakan tipe melon yang sangat
panjang karena dapat mencapai 150 cm, sedangkan C. melo L. var. agrestis hanya
memiliki panjang 4 cm (Robinson dan Decker-Walters 1999; Nuñez-Palenius et al.
2008). Warna daging buah melon juga cukup beragam antara lain, oranye, oranye
muda, merah muda, kuning, putih, hijau, dan ada yang juga yang memiliki lebih
dari satu warna (tersusun seperti pelangi). Warna kulit buah melon antara lain,
hijau, kuning, putih, oranye, merah, abu-abu, dan tersusun dari beberapa warna.
Permukaan buah melon umumnya cukup beragam yaitu, halus dan berjala dengan
intensitas yang beragam, sedangkan untuk bentuknya adalah bulat, lonjong,
flattened, dan ovate (berbentuk lonceng). Karakter yang menjadi keragaman saat
buah matang adalah tangkai yang terlepas dari buahnya, sehingga memungkinkan
buah terjatuh dari tanaman atau tipe melon yang tangkainya tidak terlepas saat
buah matang (Nuñez-Palenius et al. 2008; Sobir dan Siregar 2014). Menurut Liu
et al. (2004) C. melo L. var. reticulatus dan C. melo L. var. cantalupensis
memiliki daya simpan yang lebih pendek dibandingkan dengan C. melo L. var.
saccharinus dan C. melo L. var. inodorus.
Charles Naudin, seorang ahli botani Perancis mengelompokkan Cucumis
melo L. menjadi enam kelompok. Pengelompokkan tersebut dilakukan
berdasarkan karakter buah dan kegunaannya, bukan berdasarkan keragaman
botani dan filogeninya. Pengelompokan tersebut kemudian dikenal dengan istilah
Naudin’s Categories, berikut adalah pengelompokkan tersebut (Robinson dan
Decker-Walters 1999):
1. Grup cantalupensis, umum dikenal dengan istilah cantaloupe dan muskmelon
yang memiliki ukuran buah sedang dengan jala pada permukaan buahnya.
Warna daging buah umumnya oranye dan hijau, memiliki aroma buah, dan
tangkai buah terlepas saat buah telah matang. Grup ini memiliki tipe tanaman
andromonoecious, yaitu terdapat bunga hermaprodit dan jantan dalam satu
tanaman.
2. Grup inodorus, dikenal dengan istilah winter melon (honeydew, canary,
casaba, dan crenshaw). Ukuran buah umumnya besar dengan waktu panen
yang relatif lebih lama, dan daya simpan yang lebih lama dibanding melon
grup cantalupensis. Permukaan buahnya halus atau berkerut, tetapi tidak
berjala. Daging buah berwarna putih atau hijau, serta tidak memiliki aroma.
Tangkai buah tidak terlepas saat buah matang dan umumnya merupakan
tanaman andromonoecious.
3. Grup flexuosus, dikenal dengan istilah snake melon atau armenian cucumber.
Grup ini dicirikan dengan bentuk buah yang ramping dan sangat panjang
(dapat mencapai 150 cm), buahnya dimanfaatkan ketika belum matang sama
halnya seperti timun. Tipe tanaman grup ini adalah monoecious, yaitu hanya
terdapat bunga hermaprodit dalam satu tanaman.
4. Grup conomon, dikenal dengan istilah pickling melon karena dimanfaatkan
dalam pembuatan acar atau asinan, contohnya Makura iri dan Tsuke iri.
Ukuran buahnya kecil, permukaan kulitnya halus, dan sedikit lunak. Warna
daging bauhnya putih, memiliki umur panen yang lebih singkat, sedikit manis,
dan berbau. Buahnya dapat dikonsumsi secara langsung atau dimanfaatkan
8

dalam bentuk acar atau asinan. Tipe tanaman grup ini adalah
andromonoecious.
5. Grup dudaim, dikenal dengan istilah pomegranate melon, chito melon, Queen
Anne’s pocket melon, dan mango melon. Ukuran buahnya kecil dengan bentuk
buah bulat hingga bulat telur. Warna daging buahnya putih dengan kulit buah
yang tipis.
6. Grup momordica, dikenal dengan istilah phoot dan snap melon. Ukuran
buahnya kecil dengan bentuk bulat telur hingga silindris dengan dimensi buah
30–60 × 7–15 cm. Warna daging buah putih atau oranye muda, tekstur seperti
tepung, kadar gula rendah, dan rasa hambar atau sedikit asam. Permukaan
buahnya halus dan retak atau pecah saat buah matang, serta memiliki tipe
tanaman monoecious.
Pada tahun 1960, Filov mengelompokkan melon (Cucumis melo L.)
menjadi enam kelompok subspesies (ssp.), antara lain (Mallick dan Masui 1986):
1. ssp. rigdus (Pang.) Fil., merupakan kelompok melon yang tumbuh di wilayah
dengan kondisi kering panas (Asia Tengah dan Iran)
2. ssp. orientale Sag., merupakan kelompok melon yang tumbuh di wilayah
panas, lembab (sebagian kecil wilayah Asia)
3. ssp. europaes Fil., merupakan melon yang tumbuh di wilayah dingin, kering
(Eropa)
4. ssp. flexuosus (L.) Gre., dikenal dengan istilah semi-feral melon (snake melon)
5. sub-spesies chinensis (Pang.) Fil., merupakan melon cina (tumbuh di wilayah
Asia Timur)
6. ssp. spontaneum Fil., merupakan melon liar.
Jeffrey (1980) mengelompokkan melon menjadi dua subspesies, yaitu
subspesies melo dan subspesies agretis. Pengelompokkan tersebut berdsarkan
hypanthium’s hairiness, subspesies melo memiliki karakter rambut halus yan
panjang, sedangkan subpesies agretis memiliki karakter sebaliknya. Menurut
Robinson dan Decker-Walters (1999); Rubatzky dan Yamaguchi (1997) grup
agrestis merupakan tipe melon liar dengan karakter tanaman kecil, serta bagaian
yang tidak dapat dikonsumsi hanya sedikit. Tipe melon ini banyak ditanam di
Asia dan ditemukan sebagai gulma pada daerah tropis.
Pada pengelompokkan oleh Jeffrey tersebut subspesies melo yang
memiliki karakter rasa buah tidak manis: chate, flexuosus, tibish; karakter buah
manis: adana, ameri, cantalupensis, chandalak, reticulatus, inodorus; karakter
buah beraroma wangi: dudaim. Subspesies agrestis yang memiliki karakter rasa
buah tidak manis: acidulus, conomon, momordica; karakter buah manis: makuwa,
chinensis; dan tidak ada tipe untuk karakter buah beraroma wangi (Jeffrey 1980).

2.3 Parameter Genetik dan Heritabilitas Arti Sempit

Keragaan atau fenotipe (P) suatu tanaman merupakan hasil dari pengaruh
genetik (G), lingkungan (E), dan interaksi keduanya (G×E). Secara umum
karakter penting seperti produksi dan kualitas hasil dikendalikan oleh banyak gen
yang memiliki pengaruh yang kecil terhadap karakter tersebut. Karakter tersebut
umumnya banyak dipengaruhi oleh lingkungan. Selanjutnya perlu diketahui
seberapa besar besar suatu karakter disebabkan oleh pengaruh genetik (aksi gen)
9

dan seberapa jauh dipengaruhi oleh lingkungan. Kegiatan seleksi karakter


kuantitatif dalam pemuliaan tanaman menggunakan ragam fenotipe individu-
individu dalam populasi, sehingga informasi ragam genetik dalam suatu populasi
menjadi penting. Parameter yang mengukur besarnya keragaman fenotipe yang
akan diwariskan disebut dengan heritabilitas (Syukur et al. 2012). Menurut
Falcorner dan Mackay (1996) ragam fenotipik (σP) terdiri dari ragam genetik (σG)
dan lingkungan (σE). Ragam genetik terdiri dari ragam genetik aditif (σA), ragam
genetik dominan (σD), dan ragam genetik epistasis (σI).
Proporsi ragam fenotipik diantara individu dalam suatu populasi yang
disebabkan oleh pengaruh genetik yang dapat diwariskan (pengaruh aditif) disebut
sebagai heritabilitas arti sempit (h2ns). Heritabilitas arti luas (h2bs) yaitu proporsi
ragam fenotipik yang disebabkan oleh pengaruh ragam genetik total (Holland et al.
2003).
h2ns = σA / σP
h2bs = σG / σP = (σA + σD + σI) / σP
Nilai heritabilitas suatu karakter merupakan informasi yang dibutuhkan
dalam kegiatan pemuliaan. Keragaman karakter yang diamati harus dapat
dibedakan, apakah disebabkan oleh perbedaan antar gen yang dibawa oleh satu
individu dari individu lainnya atau disebabkan oleh perbedaan-perbedaan
lingkungan dari setiap individu tempat mereka tumbuh. Berdasarkan hal tersebut
dibutuhkan suatu pernyataan yang bersifat kuantitatif yang menjelaskan peranan
faktor genetik relatif terhadap faktor lingkungan dalam memberikan penampilan
akhir atau fenotipe yang diamati. Analisis heritabilitas dapat bermanfaat dalam hal
tersebut (Syukur et al. 2012).
Terdapat banyak metode untuk menduga nilai heritabilitas. Heritabilitas
dapat diduga dengan cara tidak langsung dari pendugaan komponen ragam
(perhitungan ragam turunan dan pendugaan komponen ragam dari analisis ragam).
Selain itu, nilai heritabilitas dapat diperoleh dengan cara langsung melalui
pendugaan koefisien regresi (b) (Syukur et al. 2012). Regresi parent-offspring
merupakan metode pendugaan heritabilitas yang memanfaatkan data tetua dan
turunannya. Heritabilitas tersebut dibedakan untuk tanaman menyerbuk sendiri
dan menyerbuk silang. Rumus yang digunakan untuk menghitung nilai
heritabilitas tersebut adalah sebagai berikut: (Holland et al. 2003)
h2ns = b × 100% (heritabilitas untuk tanaman menyerbuk sendiri)
h2ns = 2b × 100% (heritabilitas untuk tanaman menyerbuk silang)

2.4 Interaksi Genotipe×Lingkungan (Aplikasi KNO3) terhadap Kualitas


Buah Melon

Kalium (K) merupakan salah satu nutrisi mineral yang memiliki pengaruh
yang besar terhadap kualitas buah, yang berkaitan dengan pemasaran buah, minat
konsumen, dan yang terpenting adalah kesehatan manusia yang berhubungan
dengan fitonutrisi (Lester et al. 2010). Dalam fisiologi tanaman, kalium memiliki
pengaruh terhadap hubungan air, fotosintesis, transport asimilat, dan aktivitas
enzim yang secara langsung akan berdampak pada produktivitas tanaman
(Pettigrew 2008).
10

Defisiensi kalium pada tanaman dapat mengurangi produksi jumlah daun


dan ukuran daun. Kedua dampak tersebut selanjutnya akan mengurangi bahan
untuk proses fotosintesis akibat penurunan luasan per unit area daun, dan secara
umum terjadi penurunan asimilat hasil fotosintesis yang seharusnya tersedia bagi
tanaman. Produksi asimilat hasil fotosintesis yang rendah dan pengurangan
transport asimilat dari daun menuju perkembangan buah akan berdampak pada
produksi dan kualitas buah (Pettigrew 2008).
Pada C. melo, aplikasi 4 kg K ha-1 per minggu menunjukkan pengaruh yang
signifikan terhadap kualitas buah, seperti padatan terlarut total, total gula,
kemanisan, dan kandungan fitokimia (asam askorbik dan beta karoten). Aplikasi
tersebut dilakukan per minggu dimulai saat terbentuknya buah (fruit set) hingga
buah matang. Jenis kalium yang digunakan antara lain KCl, KNO3, K2SO4, Gly-
complexed K (glisin asam amino kalium), KH2PO4, dan KTS dengan foliar
aplikasi. Diantara semua jenis kalium, aplikasi KNO3 tidak menunjukkan
perbedaan yang signifikan terhadap kontrol (tanpa perlakuan kalium). Hal ini
dimungkinkan karena waktu aplikasi yang kurang sesuai dengan jenis kalium
tersebut. Aplikasi dilakukan pada fase reproduktif (pertengahan-akhir musim),
sedangkan foliar aplikasi dengan KNO3 secara signifikan meningkatkan
kandungan N pada daun. Peningkatan kandungan N pada daun diharapkan dapat
memberikan stimulasi pada pertumbuhan vegetatif dan menghasilkan lebih
banyak asimilat untuk pembentukan buah (Lester et al. 2010).
Perbedaan genotipe menunjukkan kemampuan yang berbeda dalam proses
penyerapan dan pemanfaatan kalium (Rengel dan Damon 2008). Salah satu jenis
kalium yang umum digunakan dalam budidaya melon adalah KNO3 (Sobir dan
Siregar 2014). Efisiensi penyerapan dan pemanfaatan KNO3 yang berbeda antar
genotipe menjadi pertimbangan karena berkaitan dengan biaya input pupuk.
Analisis interaksi genotipe × lingkungan (perlakuan KNO3) perlu dilakukan untuk
mengetahui respon beberapa genotipe terhadap kualitas buah melon. Menurut
Dewi et al. 2015 analisis ragam gabungan memberikan informasi terkait interaksi
genotipe dengan lingkungan (G×E) yang dibutuhkan bagi pemulia dalam proses
identifikasi genotipe. Adanya pengaruh G×E mengindikasikan adanya keragaman
respon genotipe-genotipe yang dievaluasi terhadap aplikasi pupuk KNO3.
Aplikasi KNO3 dapat dilakukan pada genotipe yang responsif saja untuk
menghemat biaya input.

2.5 Pemuliaan Melon untuk Ketahanan Terhadap Penyakit Downy Mildew


(Pseudoperonospora cubensis (Berk. & Curtis) Rostovzev)

Stres biotik merupakan salah satu penyebab utama pengurangan hasil pada
sebagian besar tanaman, dilaporkan bahwa kehilangan hasil akibat stres biotik
dapat mencapai 90%. Serangan akibat stres biotik dapat disebabkan oleh beragam
jenis meliputi virus, bakteri, fungi, nematoda, hama, dan gulma (Borém dan
Fritsche-Neto 2012). Menurut Acquaah (2007) tingkat keparahan yang disebabkan
stres biotik adalah sebagai berikut: airborne fungi > soilborne fungi > virus >
bakteri = nematoda = serangga. Pemuliaan tanaman untuk ketahanan terhadap
stres biotik memiliki sedikit perbedaan dengan pemuliaan tanaman untuk toleransi
terhadap cekaman abiotik atau perbaikan suatu karakter tertentu. Pemuliaan untuk
11

ketahanan terhadap stres biotik membutuhkan manipulasi dua sistem genetik,


yaitu tanaman (inang) dan organisme (parasit) yang tidak hanya bersifat
independen, tetapi juga interaksi diantara keduanya. Pemulia perlu memahami
interaksi antara tanaman dengan parasit karena berkaitan dengan koevolusi dan
koeksistensi diantara keduanya.
Mekanisme pertahanan tanaman terhadap serangan patogen
dikelompokkan menjadi avoidance (antixenosis), toleran, dan resistensi
(antibiosis). Avoidance (antixenosis) merupakan mekanisme pertahanan tanaman
dengan memanfaatkan aroma yang tidak sedap, rasa atau struktur tanaman.
Morfologi dan kandungan kimia tanaman yang tidak disukai oleh patogen
menyebabkan interaksi antara keduanya menjadi rendah. Toleransi merupakan
kemampuan tanaman untuk tetap tumbuh; keberadaan patogen tidak membatasi
perkembangan dan produksi tanaman (Spacer-Philips et al. 2002; Maharijaya
2013; Daryanto 2016). Resistensi (antibiosis) merupakan mekanisme yang timbul
setelah inang mengalami serangan yang disebabkan oleh patogen. Mekanisme
yang muncul tersebut bertujuan untuk mengurangi pertumbuhan atau
perkembangan patogen melalui mekanisme biokimia, fisiologi, anatomi, atau
morfologi. Resistensi berkaitan dengan kemampuan genetik inang untuk
mengurangi dampak dari serangan patogen. Reaksi resistensi secara umum
dikelompokkan menjadi dua, yaitu vertikal dan horizontal. Resistensi vertikal
bersifat hipersensitif, spesifik terhadap patogen tertentu, umumnya dikendalikan
oleh gen mayor, tidak bertahan lama, dan bersifat kualitatif. Gen dominan
umumnya mengendalikan ketahanan terhadap virus, fungi, karat, dan nematoda.
Resistensi horizontal bersifat lambat, hanya sebagian atau tidak menyeluruh, tidak
spesifik, dan umumnya dikendalikan oleh gen minor (Acquaah 2007).
Downy mildew merupakan salah satu penyakit yang umum menyerang
tanaman dari famili Cucurbitaceae. Downy mildew disebabkan oleh oomycete
Pseudoperonospora cubensis (Berk. & Curtis) Rostovzev yang dapat
menyebabkan kerusakan secara luas pada tanaman cucurbit pada wilayah
temperate (Rubatzky dan Yamaguchi 1997; Benjamin et al. 2008; Shashikumar et
al. 2010). P. cubensis termasuk dalam kingdom Chromista, filum
Heterokontophyta, kelas Oomycetes, ordo Peronosporales, famili
Peronosporaceae, dan genus Pseudoperonospora. P. cubensis merupakan patogen
yang khusus menyerang tanaman Cucurbitaceae. Tanaman inang dapat terinfeksi
pada semua tahap pertumbuhan (perkecambahan, tanaman muda, dan dewasa).
Periode inkubasi, yaitu dari penetrasi hingga terlihatnya gejala pada tanaman
adalah 4–12 hari pada kondisi di lapang. Faktor yang mendukung penyebaran
penyakit ini adalah intensitas cahaya, suhu, kelembaban, dan konsentrasi
inokulum. Pada kondisi optimal (intensitas cahaya 50 W×m-2, suhu siang 20 oC
dan suhu malam 15 oC, serta kelembaban relatif 100% selama 6 jam) dapat
menunjukkan gejala lebih cepat, yaitu empat hari setelah inokulasi (Labeda dan
Cohen 2011; Olczak-Woltman et al. 2011). Di Indonesia istilah downy mildew
juga dikenal dengan nama embun bulu (Sobir dan Siregar 2014).
Bagian tanaman yang terlebih dahulu terinfeksi downy mildew adalah daun
daun tua yang selanjutnya menyerang daun muda. Daun yang terserang akan
ditandai oleh pola tidak beraturan berwarna hijau muda atau kuning. Pada
perkembangan selanjutnya, pola tersebut menjadi klorotik dan kemudian nekrotik
berwarna coklat dan mengering. Pada kondisi ini, tanaman akan mengalami
12

penurunan kemampuan untuk berfotosintesis. Akibat serangan downy mildew


buah yang dihasilkan umumnya tidak matang, berukuran kecil, dan kadar gula
yang rendah. Kondisi yang lebih parah dapat menyebabkan kematian pada
tanaman tanpa menghasilkan buah. Kehilangan hasil akibat penyakit downy
mildew dapat mencapai 80– 83%, hal ini pernah dilaporkan terjadi di
Czechoslovakia pada tahun 1985 dan 1989 (Labeda dan Cohen 2010; Olczak-
Woltman et al. 2011; Lee et al. 2015).
P. cubensis memiliki interaksi yang kompatibel dengan sebagian besar
genus Cucurbitaceae. Namun terdapat beberapa genotipe yang memiliki
ketahanan spesifik terhadap patogen ini. Ketahanan tersebut merupakan hasil dari
genetik dan metabolik spesifik yang dapat beradaptasi terhadap mekanisme
serangan P. cubensis. Ketahanan spesifik tersebut umumnya dikendalikan oleh
satu atau beberapa gen mayor (heritabilitas monogenik atau oligogenik). Aksesi
P1 124111 (C. melo var. reticulatus) yang memiliki ketahanan terhadap downy
mildew dikendalikan oleh dua gen dominan, yaitu Pc-1 dan Pc-2. Aksesi P1
124111F dan 31-10 yang berasal dari persilangan salah satu tetua P1 124111 juga
menunjukkan ketahanan terhadap downy mildew. Aksesi lainnya P1 124112 (C.
melo var. reticulatus) juga dikendalikan oleh dua gen dominan, yaitu Pc-1 dan Pc-
3 untuk ketahanan terhadap downy mildew. Ketahanan terhadap downy mildew
pada C. melo diketahui dikendalikan oleh aksi gen dominan (Labeda dan Cohen
2010; Shashikumar et al. 2010).
13

3 KERAGAMAN GENETIK MELON BERDASARKAN


KARAKTER MORFOLOGI DAN MARKA MOLEKULER
(Genetic Variability of Melon based on Morphological Traits
and Molecular Markers)

Abstrak

Pemuliaan tanaman melon memerlukan ketersediaan keragaman genetik dan


evaluasi yang ekstesif pada materi genetik yang digunakan. Evaluasi karakteristik,
kualitas buah, dan potensi hasil merupakan tahapan penting dalam pemuliaan
tanaman melon. Keragaman genetik melon dapat dianalisis berdasarkan morfologi
dan marka molekuler. Penelitian ini bertujuan untuk mempelajari keragaman
genetik dari sejumlah genotipe melon berdasarkan karakteristik kualitas buah dan
marka inter simple sequence repeat (ISSR) serta mengidentifikasi genotipe
potensial untuk dijadikan materi genetik dalam program pemuliaan. Percobaan
pertama untuk karakterisasi morfologi dilakukan pada bulan Agustus hingga
Oktober 2015 di Kebun Percobaan IPB Tajur II, Bogor menggunakan 17 genotipe
melon. Percobaan ini menggunakan rancangan kelompok lengkap teracak (RKLT)
faktor tunggal dengan empat ulangan. Percobaan kedua yaitu karakterisasi
morfologi dan molekuler dilakukan pada dua musim tanam, yaitu bulan Maret–
Juni 2017 dan bulan Juli–Agustus 2017 di Kebun Percobaan IPB Tajur II, Bogor
menggunakan 20 genotipe melon. Percobaan ini menggunakan rancangan
augmented dengan tiga ulangan pada musim pertama dan RKLT faktor tunggal
dengan tiga ulangan di musim kedua. Analisis molekuler dilaksanakan di
Laboratorium Genetika Molekuler Pusat Kajian Hortikultura Tropika (PKHT) IPB
menggunakan 7 primer polimorfik. Hasil percobaan pertama menunjukkan bahwa
genotipe berpengaruh nyata terhadap semua karakter yang diamati kecuali umur
berbunga hermaprodit. Karakter yang memiliki nilai heritabilitas arti luas lebih
besar dari 50% adalah umur berbunga jantan, umur panen, panjang buah, diameter
buah, tebal daging, tebal kulit, bobot, dan padatan terlarut total (PTT). Genotipe
yang memiliki potensi untuk sifat bobot buah dan PTT tinggi adalah P21 dan P19,
sedangkan P2 dan P12 masing-masing memiliki potensi yang baik untuk bobot
buah dan PTT saja. Karakter bobot buah memiliki korelasi positif dan nyata
dengan panjang buah, diameter buah, tebal daging buah, dan tebal kulit buah.
Hasil percobaan kedua menunjukkan bahwa analisis menggunakan karakter
morfologi dan marka ISSR secara umum dapat menggambarkan keragaman
genetik antar 20 genotipe melon yang dievaluasi. Karakter morfologi seperti
ukuran buah dan jala pada permukaan buah berperan menguatkan struktur
pengelompokan genotipe.

Kata kunci: heritabilitas, korelasi, seleksi simultan

Abstract

Breeding of melon requires the availability of genetic diversity and


extensive evaluations of the genetic materials. Evaluations on fruit quality and
14

yield potential are among the important steps in melon breeding. The genetic
diversity of melons can be analyzed by morphology and molecular markers. This
research was aimed at studying the genetic diversity of melon genotypes based on
fruit quality characteristics and inter simple sequence repeat (ISSR) marker and to
identify the potential genotypes to be used as genetic materials in melon breeding
programs. The first experiment for morphological characterization was conducted
from August to October 2015 at the IPB Experimental Station Tajur II, Bogor
using 17 melon genotypes. The experiment was arranged in a single factor of
randomized complete block design (RKLT) with four replications. The second
experiment of morphological and molecular characterization was performed on
two planting seasons, March–June 2017 and July–August 2017 at the IPB
Experimental Station Tajur II, Bogor using 20 melon genotypes. The experiment
used an augmented design with three replications in the first season and a single
factor randomized complete block design with three replications in the second
season. Molecular analysis was conducted at the Molecular Genetics Laboratory
of the Center for Tropical Horticulture Studies (PKHT) IPB using 7 polymorphic
primers. The results showed that genotype effects were significant for all observed
traits except for days to hermaphrodite flowering. Traits having broad sense
heritability estimates greater than 50% were days to male flowering, days to
harvest, fruit length, fruit diameter, flesh thickness, rind thickness, fruit weight,
and total soluble solids (TSS). P21 and P19 genotypes were potential for fruit
weight and TSS, while P2 was potential for fruit weight and P12 for TSS only.
Fruit weight showed significant positive correlations with fruit length, fruit
diameter, flesh thickness, and fruit rind thickness. The results of the second
experiment showed that the analysis using morphological characters and the ISSR
marker could generally describe the genetic variability among the 20 evaluated
melon genotypes. Morphological characters such as fruit size and netting
contribute to strengthen the genotype grouping structure.

Key words: correlation, heritability, simultaneous selection

3.1 Pendahuluan

Melon (Cucumis melo L.) merupakan spesies yang memiliki keragaman


genetik yang cukup tinggi. Secara umum keragaman tersebut berdasarkan
keragaan tanaman dan buahnya (Robinson dan Decker-Walters, 1999; Nuñez-
Palenius et al. 2008). Menurut Robinson dan Decker-Walters (1999) terdapat
enam kelompok melon, yaitu cantalupensis, inodorus, flexuosus, conomon,
momordica, dan dudaim. Hal yang sama juga dikemukakan oleh Mliki et al.
(2001) Cucumis melo L. terbagi menjadi dua subspesies, yaitu Cucumis melo L.
subsp. agrestis (Naud.) Pangalo dan Cucumis melo L. subsp. melo. Enam grup
kultivar melon pada Cucumis melo L. subsp. melo antara lain, 1) cantalupensis—
cantaloupe, muskmelon; 2) inodorus—honey dew, cassaba; 3) flexuosus—snake
melon; 4) conomon—pickling melon; 5) chito dan dudaim—mango melon—
pomegranate melon, Queen Anne’s Pocket melon; 6) momordica—snap melon.
Terdapat tiga kelompok melon yang populer di Indonesia menurut Sobir dan
Siregar (2014), yaitu inodorus, reticulatus, dan cantalupensis.
15

Melon tipe inodorus umumnya bersifat nonklimakterik, sedangkan tipe


reticulatus dan cantalupensis bersifat klimakterik. Pada saat buah siap panen,
tangkai akan terlepas dari buahnya untuk melon tipe reticulatus dan cantalupensis,
sedangkan melon tipe inodorus tangkainya tidak terlepas dari buah. Umumnya
tipe inodorus memiliki tekstur daging buah renyah, sedangkan tipe reticulatus dan
cantalupensis memiliki tekstur daging buah kenyal. Keragaman lainnya juga
terdapat pada karakter tipe kulit buah (berjala atau tidak berjala), warna kulit buah
dan warna daging buah (hijau, oranye, atau putih), tingkat padatan terlarut total,
bentuk buah, bobot buah, tekstur daging buah (lembut kenyal, atau renyah), dan
daya simpan buah (Nuñez-Palenius et al. 2008; Sobir dan Siregar 2014).
Kelompok cantalupensis di Indonesia lebih umum dikenal sebagai blewah,
intensitas jala lebih sedikit dibandingkan dengan kelompok reticulatus dan
terdapat juring pada permukaan buah (Sobir dan Siregar 2014). Menurut Acquaah
(2007) materi genetik merupakan salah satu bagian penting dalam pemuliaan
tanaman. Keragaman genetik menjadi modal penting dalam kegiatan seleksi.
Menurut Syukur et al. (2012) peningkatan keragaman genetik dapat diperoleh
melalui: 1) koleksi plasma nutfah (plasma nutfah lokal dan introduksi); 2)
hibridisasi (persilangan); 3) mutasi; 4) fusi protoplas; 5) transformasi genetik.
Marka atau penanda merupakan karakter yang dapat diwariskan yang
berasosiasi dengan genotipe tertentu dan digunakan untuk mengkarakterisasi
genotipe. Marka dapat dikelompokkan sebagai marka morfologi, sitologi, dan
molekuler. Marka morfolgi umumnya mudah diamati secara langsung, tetapi
dapat dipengaruhi oleh kondisi lingkungan, serta memiliki tingkat keragaman
(polimorfisme) yang rendah. Marka molekuler (DNA) memiliki keunggulan
antara lain dapat mendeteksi alel yang lebih banyak, tidak dipengaruhi lingkungan,
bebas dari interaksi epistatik, dan terekspresi dini dalam perkembangan tanaman
(Syukur et al. 2012).
ISSR merupakan marka berbasis PCR dengan pita hasil proses
elektroforesis sebagai pencerminan alel atau lokus. Marka molekuler dapat
membantu mengurangi ukuran populasi dan waktu yang dibutuhkan per siklus
seleksi, sehingga bersifat efisien untuk evaluasi dan seleksi pada program
pemuliaan tanaman. ISSR melibatkan amplifikasi sekuen DNA yang berada
diantara dua mikrosatelit atau area yang berada dekat dengan sekuen berulang
(Zietkiewicz et al. 1994). Tujuan dari penelitian ini adalah mempelajari
keragaman genetik antar 20 genotipe melon yang seragam berdasarkan karakter
morfologi dan marka ISSR
Evaluasi karakteristik morfologi tanaman, karakter buah, dan potensi hasil
merupakan tahap penting dalam pemuliaan tanaman melon. Penelitian ini
bertujuan untuk mempelajari keragaman genetik 17 genotipe melon berdasarkan
karakteristik buah dan mengidentifikasi genotipe potensial untuk karakter PTT
dan bobot buah, yang kemudian dapat dijadikan materi genetik dalam program
pemuliaan. Percobaan lain dengan menggunakan genotipe yang berbeda dan lebih
seragam dilakukan untuk mempelajari keragaman genetik antar 20 genotipe melon
berdasarkan karakter morfologi dan marka ISSR.
16

3.2 Metode Penelitian

3.2.1 Keragaman Genetik 17 Genotipe Melon berdasarkan Karakter


Morfologi

Penelitian dilakukan pada bulan Agustus sampai Oktober 2015 di Kebun


Percobaan IPB Tajur II, Bogor. Bahan tanaman yang digunakan dalam penelitian
ini ialah 17 genotipe yang merupakan koleksi Pusat Kajian Hortikultura Tropika
(PKHT) IPB, yaitu P2, P3, P5, P7, P9, P10, P12, P18, P19, P21, P23, P25, P26,
P27, P29, P31, dan P34 (IPB Meta 9). Penelitian dilakukan dalam rancangan
kelompok lengkap teracak (RKLT) faktor tunggal dengan empat ulangan.
Pengamatan mengacu pada Descriptor for Melon (Cucumis melo L.) dari IPGRI
(International Plant Genetic Resources Institute) 2003.
Persiapan lahan dilakukan melalui tahap pengolahan tanah dan pembuatan
bedengan. Pupuk dasar yang diberikan yaitu pupuk kandang dengan dosis 20 ton
ha-1, urea dosis 200 kg ha-1, SP-36 dosis 200 kg ha-1 dan KCl dosis 200 kg ha-1.
Jarak tanam yang digunakan adalah 60 cm × 60 cm. Pemangkasan cabang lateral
dilakukan kecuali pada cabang ke–9 sampai ke–12. Pupuk susulan berupa pupuk
NPK diaplikasikan dalam bentuk larutan (konsentrasi 20 g L-1 air) dan diberikan
pada pangkal batang tanaman setelah berumur 7, 14, 21, 28, 35, 42, dan 49 hari
setelah tanam (HST), serta pupuk KNO3 yang diaplikasikan dalam bentuk larutan
(konsentrasi 5 g L-1 air) sebanyak 200 ml per tanaman pada 45 HST.
Karakter yang diamati meliputi karakter kuantitatif dan kualitatif. Karakter
kuantitatif meliputi umur berbunga jantan, umur berbunga hermaprodit, umur
panen, panjang buah, diameter buah, tebal daging, tebal kulit, bobot buah, dan
PTT. Umur berbunga jantan dihitung mulai dari waktu pindah tanam hingga
waktu munculnya bunga jantan pertama, demikian halnya dengan untuk umur
berbunga hermaprodit. Umur panen dihitung mulai dari waktu pindah tanam
hingga buah tersebut siap untuk dipanen. Karakter kualitatif yang diamati meliputi
ada tidaknya juring, intensitas jala, distribusi jala, bentuk buah, warna permukaan
buah, warna daging buah, dan tekstur daging buah.
Analisis ragam dan uji perbedaan nilai tengah menggunakan metode uji
jarak berganda Duncan (DMRT) pada taraf nyata 5% dilakukan dengan
menggunakan perangkat lunak SAS. Nilai heritabilitas arti luas dihitung dari
perbandingan antara ragam genotipik dan ragam fenotipik berdasarkan nilai
harapan kuadrat tengah. Analisis korelasi Pearson dilakukan untuk melihat ukuran
keeratan hubungan antar karakter yang diamati dalam percobaan, menggunakan
perangkat lunak STAR (bbi.irri.org). Analisis gerombol (cluster analysis)
dilakukan untuk memperoleh informasi pengelompokan genotipe berdasarkan
karakter kualitatif dan kuantitatif. Perhitungan koefisien ketidakmiripan antar
genotipe menggunakan metode Gower dan pengelompokan (clustering)
menggunakan metode average linkage (Kaufman dan Rousseeuw 1990) dengan
perangkat lunak R.
17

3.2.2 Keragaman Genetik 20 Genotipe Melon berdasarkan Karakter


Morfologi dan Marka ISSR

Percobaan terdiri dari dua kegiatan utama, yaitu karakterisasi morfologi


yang dilaksanakan di lapang dan analisis berdasarkan marka ISSR di laboratorium
molekuler. Karakterisasi morfologi dilaksanakan pada dua musim tanam, yaitu
bulan Maret–Juni 2017 dan Juni–Agustus 2017 di Kebun Percobaan IPB Tajur II,
Bogor, sedangkan karaktersasi molekuler dilaksanakan pada bulan April–Juli
2017 di laboratorium molekuler Pusat Kajian Hortikultura Tropika IPB.
Materi genetik yang digunakan adalah 20 genotipe melon yang sebagian
besar berbeda dengan 17 genotipe. Genotipe yang digunakan pada percobaan ini
antara lain 140, 240, 258, 283, 318, 383, 10-3, 6-27, G13, G16, G27, G30, HBD-
5, IPB Meta 9, OMM, P25, P26, Sky Rocket, SMF, dan SMH. Pengamatan
morfologi mengacu pada Descriptor for Melon (Cucumis melo L.) dari IPGRI
(International Plant Genetic Resources Institute) tahun 2003. Persiapan lahan
dilakukan melalui tahap pengolahan tanah dan pembuatan bedengan. Pupuk dasar
yang diberikan yaitu pupuk kandang dengan dosis 20 ton ha-1, urea dosis 200 kg
ha-1, SP-36 dosis 200 kg ha-1 dan KCl dosis 200 kg ha-1. Jarak tanam yang
digunakan adalah 60 cm × 60 cm. Pemangkasan cabang lateral dilakukan kecuali
pada cabang ke-9 sampai ke-12. Pupuk susulan berupa pupuk NPK diaplikasikan
dalam bentuk larutan (konsentrasi 20 g L-1 air) dan diberikan pada pangkal batang
tanaman setelah berumur 7, 14, 21, 28, 35, 42, dan 49 hari setelah tanam (HST),
serta pupuk KNO3 pada 45 HST.
Karakter yang diamati meliputi karakter kuantitatif dan kualitatif. Karakter
kuantitatif terdiri dari 13 karakter meliputi, umur berbunga jantan, umur berbunga
hermaprodit, umur panen, PTT, tebal kulit buah, tebal daging buah, diameter
buah, panjang buah, bobot buah, panjang mahkota jantan, panjang mahkota
hermaprodit, diameter mahkota jantan, dan diameter mahkota hermaprodit.
Karakter kualitatif yang diamati terdiri dari 10 karakter meliputi, ukuran kelopak
bunga, bentuk calon buah, permukaan daun, bentuk cuping daun, juring buah, jala
buah, bentuk buah, warna permukaan buah, warna daging buah, dan tekstur buah.
Tahapan yang dilakukan pada analisis ISSR adalah sebagai berikut:
1. Isolasi DNA dan visualisasi dengan elektroforesis
Isolasi DNA dilakukan pada daun muda dari tanaman berumur 2 minggu
setelah tanam menggunakan metode CTAB berdasarkan Doyle dan Doyle 1987
yang telah dimodifikasi (Sulassih 2011). DNA hasil isolasi dipresipitasi dan
dicuci pada organik solvent (etanol) lalu di larutkan kembali dalam larutan TE
(tris-etanol) untuk disimpan pada suhu -4ºC hingga proses PCR. Selama isolasi ini
dilakukan optimaslisasi untuk mendapatkan DNA berkualitas yang digunakan
dalam ISSR. Sebagian sampel DNA diambil dan digunakan dielektroforesis untuk
melihat kualitas DNA yang didapat.
2. Seleksi primer
Dua belas primer yang akan digunakan untuk menguji semua sampel
sebelumnya diseleksi terlebih dahulu. Primer yang menunjukkan polimorfik
terhadap sampel yang secara morfologi berbeda jarak genetiknya selanjutnya
digunakan untuk menguji semua sampel genotipe (20 genotipe). Hasil seleksi
primer diketahui tujuh primer, yaitu PKBT2, PKBT6, PKBT7, PKBT8, PKBT9,
18

PKBT10, dan PKBT12 bersifat polimorfik dan kemudian diuji pada semua
genotipe.
3. Amplifikasi fragmen genomik
Amplifikasi dilakukan dengan alat PCR merk Applied Biosystem 2720
thermal cycler. Komposisi PCR mix yang digunakan dalam proses PCR meliputi
DNA template, primer ISSR, PCR mix go tag green master Promega, dan
nuclease free water. Selanjutnya, tahapan proses PCR meliputi pre heat,
denaturation, annealing, extention, dan pendinginan suhu.
4. Elektroforesis dan analisis data
Produk hasil amplifikasi PCR selanjutnya akan di elektroforesis. Peubah
yang diamati pada penanda molekuler adalah jenis primer dan ukuran pita,
sedangkan alel yang diamati adalah ada tidaknya pita. Pengamatan pola pita hasil
elektroforesis ditujukan pada tingkat migrasi yang sama yaitu bernilai skor 0
apabila tidak terbentuk pita dan skor 1 apabila terdapat pita. Data biner hasil
pengamatan dianalisis dan dikelompokkan berdasarkan matriks ketidakmiripan
Gower dan jarak antar gerombol average linkage menggunakan software
PBSTAT-CL (www.pbstat.com).

3.3 Hasil dan Pembahasan

3.3.1 Keragaman Genetik 17 Genotipe Melon berdasarkan Karakter


Morfologi

3.3.1.1 Keragaan Karakter Kualitatif


Karakter kualitatif pada Tabel 1 menunjukkan adanya perbedaan karakter
buah berdasarkan juring, intensitas jala, dan distribusi jala. Genotipe P7, P12, dan
P18 memiliki juring pada permukaan buahnya sedangkan yang lainnya tidak.
Genotipe melon pada kelompok varietas inodorus (P7, P18, P19, P27, P29, P31,
dan P34 (IPB Meta-9)) tidak memiliki jala pada permukaan buahnya, lain halnya
dengan genotipe melon pada kelompok varietas reticulatus (P2, P3, P5, P9, P10,
P12, P21, P23, P25, dan P26).
Karakter kualitatif umumnya dikendalikan oleh gen sederhana (satu atau
dua gen) dan sangat sedikit dipengaruhi oleh faktor lingkungan (Syukur et al.,
2012). Tingkat keragaman melon juga diamati berdasarkan bentuk buah, warna
buah, warna daging, dan tekstur (Tabel 1 dan Gambar 2). Karakter warna buah
dan warna daging buah masih menunjukkan adanya keragaman di dalam genotipe
(Gambar 3). Genotipe P3 dan P31 masih memiliki keragaman di dalam genotipe
untuk karakter warna kulit buah dan warna daging buah, sedangkan genotipe P2,
P27, IPB Meta 9, dan P7 memiliki tingkat keseragaman yang lebih tinggi
(Gambar 4). Perbedaan tingkat keseragaman di dalam genotipe kemungkinan
disebabkan oleh bahan genetik dalam penelitian yang masih berupa genotipe
seleksi atau telah berada pada generasi akhir menuju tahap penggaluran. Menurut
Syukur et al. (2012) pada tanaman tipe menyerbuk silang seperti melon memiliki
tingkat heterozigositas yang cukup tinggi.
19

Keterangan: Genotipe P34 = IPB Meta 9


Gambar 2 Keragaan 15 genotipe melon yang memiliki keseragaman dalam
genotipe

Gambar 3 Keragaman genotipe melon P3 dan P31 yang memiliki keragaman


dalam genotipe

Gambar 4 Keragaan genotipe melon yang seragam


20

Tabel 1 Karakter juring, intensitas jala, distribusi jala, bentuk buah, warna
permukaan buah, warna daging buah, dan tekstur melon
Intensitas Warna Warna
Distribusi Bentuk
Genotipe Juring jala permukaan daging Tekstur
jala buah
(skor 1-5) buah buah
tidak menyebar
P2 5 flattened oranye oranye lembut
ada penuh
putih-
tidak menyebar hijau
P3 5 globular hijau tua lembut
ada penuh muda,
oranye
menyebar
tidak
P5 2 pada satu globular hijau tua oranye lembut
ada
sisi
P7 ada 1 tidak ada ellips kuning oranye renyah
putih,
tidak menyebar
P9 3 globular kuning, putih renyah
ada penuh
hijau
tidak menyebar
P10 5 globular hijau tua oranye kenyal
ada penuh
menyebar
hijau tua-
P12 ada 2 pada satu oblate putih renyah
oranye
sisi
kuning-
P18 ada 1 tidak ada globular putih renyah
hijau muda
tidak
P19 1 tidak ada globular putih putih renyah
ada
menyebar
tidak
P21 3 pada satu globular kuning putih lembut
ada
sisi
menyebar hijau
tidak
P23 2 pada satu flattened kuning muda- lembut
ada
sisi putih
hijau
tidak menyebar hijau
P25 5 globular muda- renyah
ada penuh muda-putih
putih
putih-
tidak menyebar hijau
P26 3 globular hijau kenyal
ada sebagian muda-putih
muda
tidak
P27 1 tidak ada ellips kuning oranye renyah
ada
tidak
P29 1 tidak ada ellips kuning oranye renyah
ada
tidak putih, putih,
P31 1 tidak ada ellips renyah
ada kuning oranye
IPB Meta tidak
1 tidak ada ovate oranye putih renyah
9 ada
Keterangan: Skor intensitas jala 1: tidak ada jala (0%); 2: sangat sedikit (10-25%); 3: sedang (26-
50); 4: agak banyak (50-75); 5: (76–100%) sangat banyak

3.3.1.2 Keragaan Karakter Kuantitatif


Pengaruh genotipe nyata terhadap semua karakter kecuali umur berbunga
hermaprodit (Tabel 2). Karakter kuantitatif umumnya dikendalikan oleh banyak
gen serta dipengaruhi oleh lingkungan (Syukur et al., 2012). Umur panen
21

dipengaruhi oleh ketinggian tempat, dimana pada dataran rendah umumnya melon
lebih cepat panen dibandingkan pada dataran menengah dan tinggi (Afandi, 2013).
Pengaruh ulangan umumnya tidak nyata pada taraf 5% terhadap semua karakter
yang diamati kecuali umur berbunga hermaprodit dan umur panen (Tabel 2).
Karakter umur memiliki nilai koefisien keragaman (KK) yang lebih kecil (2.50-
6.62%) dibandingkan dengan hasil dan komponennya (6.35-18.87%),
menandakan bahwa keragaan karakter hasil lebih dipengaruhi oleh lingkungan
mikro dibandingkan dengan karakter umur. Genotipe P7 merupakan genotipe
yang memiliki umur berbunga jantan tercepat, yaitu 19 HST, sedangkan P12 dan
IPB Meta 9 memiliki umur berbunga jantan terlama, yaitu 24 HST (Tabel 3).
Tabel 2 Rekapitulasi sidik ragam beberapa karakter tanaman dan buah melon
Karakter KT genotipe KT ulangan KK (%)
Umur berbunga jantan 6.62** 0.91 tn 6.62
Umur berbunga hermaprodit 3.21 tn 9.37* 5.17
Umur panen 18.65** 13.10** 2.50
Panjang buah 5.80** 0.19 tn 8.69
Diameter buah 5.52** 0.60 tn 6.35
Tebal daging buah 0.31** 0.04 tn 9.33
Tebal kulit buah 0.12** 0.01 tn 14.06
Bobot buah 22 3247.32** 13 387.22 tn 18.87
Padatan terlarut total (PTT) 3.60** 0.65 tn 13.92
Keterangan: KT: kuadarat tengah; KK: koefisien keragaman; * berbeda nyata pada taraf 5%; **
berbeda nyata pada taraf 1 %; tn tidak berbeda nyata
Tabel 3 Rata-rata umur berbunga jantan, umur berbunga hermaprodit, umur
panen, panjang buah, dan diameter buah 17 genotipe melon
Karakter
Umur Umur
Umur Panjang Diameter
Genotipe berbunga berbunga
panen buah buah
jantan hermaprodit
(HST) (cm) (cm)
(HST) (HST)
P2 22 abcde 33 abc 65 bcd 15.80 a 13.91 a
P3 20 def 30 c 67 ab 12.61 bcde 13.15 abc
P5 20 ef 33abc 63 cd 12.52 bcde 11.32 efg
P7 19 f 33 abc 64 cd 13.94 a 10.34 g
P9 20 def 33 abc 64 cd 11.68 cde 10.96 efg
P10 20 def 32 bc 70 a 10.48 e 11.72 defg
P12 24 a 32 abc 69 a 10.69 e 11.38 efg
P18 21 bcdef 32 abc 69 a 13.04 bcd 11.82 cdef
P19 21 cdef 32 abc 65 bc 13.32 bc 12.21 bcde
P21 21 bcdef 35 ab 66 bc 12.92 bcd 12.22 bcde
P23 21 cdef 33 abc 66 bc 12.90 bcd 10.82 efg
P25 22 abcd 33 abc 69 a 12.35 bcde 13.02 abcd
P26 23 abc 34 ab 70 a 13.23 bcd 13.29 ab
P27 21 bcdef 33 abc 64 bcd 13.86 ab 10.35 g
P29 20 def 33 abc 65 bcd 14.21 ab 10.42 fg
P31 21 bcdef 34 ab 65 bcd 14.17 ab 11.12 efg
IPB Meta 9 24 ab 35 a 62 d 11.13 de 8.48 h
Keterangan: Nilai-nilai yang diikuti huruf yang sama pada tiap kolom peubah tidak berbeda nyata
berdasarkan uji lanjut DMRT pada taraf 5%
22

Umur berbunga hermaprodit berkisar antara 30-35 HST. Genotipe IPB


Meta 9 memiliki umur panen tercepat, yaitu 62 HST sedangkan genotipe P10 dan
P26 memiliki umur panen terlama, yaitu 70 HST. Genotipe yang memiliki nilai
panjang dan diameter buah terbesar adalah P2, yaitu 15.08 cm dan 13.91 cm
(Tabel 3). Genotipe IPB Meta 9 memiliki panjang buah 11.13 cm dan diameter
buah 8.48 cm. Keragaman pada panjang buah juga ditunjukkan pada C. melo L.
var. flexuosus yang memiliki panjang buah mencapai 150 cm, sedangkan C. melo
L. var. agrestis hanya memiliki panjang 4 cm (Nuñez-Palenius et al., 2008).

Tabel 4 Rata-rata tebal daging buah, tebal kulit buah, bobot buah, dan kadar gula
17 genotipe melon
Karakter
Genotipe Tebal daging Tebal kulit Bobot buah Padatan terlarut
buah (cm) buah (cm) (g) total (oBrix)
P2 2.31 bcde 0.96 a 1 555.20 a 6.41 c
P3 2.83 a 0.75 bc 1 198.90 bc 7.64 bc
P5 2.18 cde 0.63 cde 859.50 de 8.13 bc
P7 2.15 cde 0.38 gh 723.20 ef 7.54 bc
P9 2.51 abcd 0.53 defg 782.50 de 9.45 ab
P10 2.16 cde 0.86 ab 806.40 de 6.71 c
P12 2.52 abcd 0.64 cd 773.80 de 10.88 a
P18 2.13 de 0.67 cd 893.40 cde 8.58 bc
P19 2.55 abc 0.60 cde 1 087.10 bcd 8.44 bc
P21 2.90 a 0.57 def 1 083.60 bcd 9.23 ab
P23 2.15 cde 0.50 defgh 793.60 de 8.15 bc
P25 2.62 ab 0.85 ab 1 100.20 bcd 8.04 bc
P26 2.51 abcd 0.96 a 1 233.60 b 7.61 bc
P27 2.08 e 0.43 fgh 731.80 ef 8.50 bc
P29 2.10 de 0.47 efgh 723.10 ef 7.54 bc
P31 2.28 bcde 0.53 defg 877.00 cde 8.53 bc
IPB Meta 9 1.31 f 0.36 h 442.10 f 9.74 ab
Keterangan: Nilai-nilai yang diikuti huruf yang sama pada tiap kolom peubah tidak berbeda nyata
berdasarkan uji lanjut DMRT pada taraf 5%
Daging buah (bagian yang dapat dikonsumsi) yang tertebal dimiliki oleh
genotipe P21 (2.90 cm), sedangkan yang tertipis adalah IPB Meta 9 (1.31 cm).
Kulit buah tertebal dimiliki oleh genotipe P2 (0.96 cm), sedangkan genotipe IPB
Meta 9 memiliki kulit buah tertipis (0.36 cm) (Tabel 4). Nilai tengah bobot buah
tertinggi dimiliki oleh genotipe P2, yaitu 1 555.20 g, sedangkan IPB Meta 9
memiliki bobot terendah yaitu 442.10 g (Tabel 4). Menurut Khumaero et al.
(2014) melon dengan bobot buah kecil merupakan potensi untuk tipe buah yang
dikonsumsi pribadi dan dapat dihabiskan pada satu atau dua kesempatan. PTT
tertinggi dimilki oleh genotipe P12, yaitu 10.88 oBrix, sedangkan P2 memiliki
PTT terendah, yaitu 6.41 oBrix (Tabel 4). Pada pemuliaan melon, terdapat dua
karakter buah yang penting yaitu bobot buah dan PTT. Hal tersebut sesuai dengan
Suketi et al. (2010) bahwa langkah awal dalam pemuliaan tanaman buah
umumnya dimulai dari penentuan kriteria buah yang diinginkan, diantaranya
adalah yang memiliki bobot buah dan PTT tinggi. Pada daging buah melon,
sukrosa memiliki korelasi positif dan nyata dengan kadar gula total (r= 0.92),
23

demikian pula dengan glukosa (r= 0.89) dan fruktosa (r= 0.84) (Obando-Ulloa et
al., 2009). Menurut Oh et al. (2011) pada melon tipe jala terdapat adanya
peningkatan kandungan volatil selama tahap pertumbuhan, pematangan, hingga
pemasakan buah. Menurut Liu et al. (2004) melon tipe inodorus memiliki daya
simpan yang lebih panjang dibandingkan dengan melon tipe reticulatus dan
cantalupensis, dan menurut Manohar dan Murthy (2012) terdapat korelasi antara
daya simpan dengan tebal daging buah (r= 0.54).

3.3.1.3 Pendugaan Komponen Ragam dan Heritabilitas Arti Luas


Pendugaan komponen ragam digunakan dalam studi genetika untuk sifat
kuantitatif. Heritabilitas merupakan penentu proporsi variabilitas total yang
disebabkan oleh genetik, atau rasio ragam genetik terhadap ragam total.
Heritabilitas arti luas (h2bs) merupakan rasio antara ragam genetik dengan ragam
fenotipik (Syukur et al., 2012).
Karakter tebal kulit merupakan karakter yang memiliki nilai heritabilitas
tertinggi, yaitu 94.46%. Karakter bobot dan PTT memiliki nilai heritabilitas
88.59% dan 70.08% (Tabel 5). Nilai h2bs >50% termasuk dalam kategori tinggi,
30-50% adalah sedang, dan <30% adalah rendah. Menurut Jhonson et al. (2009)
karakter yang memiliki nilai heritabilitas >50% dimungkinkan untuk digunakan
sebagai karakter seleksi. Pendugaan komponen ragam dalam menentukan nilai
heritabilitas arti luas karakter bobot buah (99.36%), panjang buah (99.56%), dan
diameter buah (97.82%) menunjukkan nilai yang tinggi (Ibrahim, 2012). Nilai
heritabilitas arti luas bobot buah pada percobaan yang dilakukan Zalapa et al.
(2006) adalah 81%, sedangkan heritabilitas arti sempit adalah 45%. Selain
karakter buah, pada penelitian yang dilakukan oleh Shashikumar et al. (2010) nilai
heritabilitas arti luas untuk ketahanan terhadap penyakit downy mildew tergolong
tinggi, yaitu 88% pada percobaan di lapang dan 81% pada percobaan di green
house. Namun demikian, nilai ragam interaksi genotipe×lingkungan tidak dapat
dipelajari dalam penelitian ini, karena percobaan yang dilakukan hanya pada satu
musim, sehingga ragam genetik dan heritabilitas berpotensi untuk terestimasi-
lebih (overestimated) dari nilai yang sebenarnya.

Tabel 5 Nilai duga komponen ragam dan nilai heritabilitas arti luas melon
Karakter VG VE VP h2bs (%)
Umur berbunga jantan 1.49 1.88 1.96 75.99
Umur panen 5.18 2.75 5.86 88.28
Panjang buah 1.45 1.20 1.75 82.81
Diameter buah 1.60 0.54 1.74 92.26
Tebal daging 0.11 0.05 0.12 90.02
Tebal kulit 0.03 0.01 0.04 94.46
Bobot buah 5 8376.00 3 0085.00 6 5897.25 88.59
Padatan terlarut total 0.75 1.28 1.07 70.08
Keterangan: VG: ragam genetik;VE: ragam lingkungan; VP: ragam fenotipik ; h2bs: nilai heritabilitas
arti luas
24

3.3.1.4 Seleksi Simultan berdasarkan Bobot Buah dan PTT


Seleksi simultan melibatkan dua karakter atau lebih yang dinilai penting.
Karakter bobot buah dan PTT digunakan sebagai kriteria seleksi secara simultan
untuk mengidentifikasi genotipe-genotipe potensial. Hasil seleksi menunjukkan
bahwa genotipe yang memiliki potensi untuk sifat bobot buah dan PTT tinggi
adalah genotipe P21 dan P19. Selain itu genotipe P2 memiliki potensi yang baik
untuk karakter bobot buah, meskipun dengan PTT relatif rendah, dan genotipe
P12 memiliki potensi baik untuk karakter PTT, namun bobot buahnya relatif
rendah (Gambar 5). Hal serupa dikemukakan oleh Szamosi et al. (2010) dimana
kultivar melon Hungaria memiliki PTT yang lebih tinggi (9.8 oBrix) dibandingkan
dengan kultivar melon Turki (7.4 oBrix), tetapi keduanya tidak memiliki
perbedaan yang signifikan pada karakter bobot buah, yaitu 1 333.7 g dan 1 017.7
g. Hal ini menjadi menarik dalam pemuliaan melon ke depan karena dapat diduga
bahwa gen pengendali kedua faktor kualitas buah tersebut tidak terkait, sehingga
memungkinkan perakitan melon yang memiliki ukuran buah kecil maupun besar
dengan rasa manis sesuai dengan selera konsumen.

Gambar 5 Seleksi simultan 17 genotipe melon. Sumbu X adalah rata-rata bobot


buah yang terstandarisasi dan sumbu Y adalah rata-rata PTT yang
terstandarisasi
3.3.1.5 Keeratan Hubungan antar Karakter
Karakter bobot buah memiliki korelasi positif dan sangat nyata dengan
karakter panjang buah (r= 0.59, P<0.01), diameter buah (r= 0.93, P<0.01), tebal
daging buah (r= 0.64, P<0.01), dan tebal kulit buah (r= 0.76, P<0.01) (Tabel 6).
Hal ini sesuai dengan percobaan yang dilakukan oleh Wang et al. (2016) dimana
bobot buah berkorelasi dengan diameter buah, panjang buah, dan tebal kulit buah
pada percobaan yang dilakukan pada dua musim.
25

Tabel 6 Koefisien korelasi linier antar karakter pada genotipe melon


UBJ UBH UP BB PB DB TDB TKB
UBH 0.37 **
UP 0.41 ** -0.06 tn
BB -0.02 tn -0.14 tn 0.20 tn
PB -0.32 * -0.03tn 0.25 tn 0.59 **
DB 0.07 tn -0.17 tn 0.40 ** 0.93 ** 0.37 **
TDB -0.11 tn -0.20 tn 0.28 * 0.64 ** 0.17 tn 0.70 **
TKB 0.27 * -0.08 tn 0.56 ** 0.76 ** 0.13 tn 0.85 ** 0.43 **
PTT 0.12 tn 0.07 tn -0.07 tn -0.20 tn -0.22 tn -0.19 tn 0.12 tn -0.30 *
Keterangan: * berkorelasi nyata pada taraf 5% berdasarkan metode Pearson; ** berkorelasi nyata
pada taraf 1%; tn berkorelasi tidak nyata; UBJ: umur berbunga jantan; UBH: umur
berbunga hermaprodit; UP: umur panen; BB: bobot buah; PB: panjang buah; DB:
diameter buah; TDB: tebal daging buah; TKB: tebal kulit buah; PTT: padatan terlarut
total
Rata-rata bobot per buah memiliki korelasi negatif (r= –0.76, P<0.01)
dengan jumlah buah per tanaman (Zalapa et al. 2008). Melon tipe inodorus dalam
penelitian ini umumnya memiliki rata-rata kulit buah yang relatif lebih tipis (0.49
cm) dibandingkan dengan melon tipe reticulatus dan cantalupensis (0.73 cm),
namun rata-rata PTT kedua tipe tersebut hampir sama (8.41 dan 8.33 Brix).
Analisis korelasi menunjukkan adanya hubungan negatif antara tebal kulit buah
dan PTT namun koefisien korelasinya rendah (r= –0.30, P<0.05). Menurut Paris et
al. (2008) tingkat kekerasan kulit buah melon berkorelasi negatif dengan PTT (r=
–0.24, P<0.05). Karakter panjang buah berkorelasi positif dengan diameter buah
(r= 0.37, P<0.01). Menurut Malik et al. (2014), pengujian terhadap C. melo subsp.
agrestis grup momordica dan C. melo subsp. melo grup cantalupensis dan
reticulatus menunjukkan korelasi nyata antara PTT dengan tebal kulit buah (r=
0.65).

3.3.1.6 Pengelompokan Genotipe


Analisis gerombol dilakukan pada 14 genotipe melon berdasarkan 9 peubah
kuantitatif dan 15 peubah kualitatif yang menunjukkan keseragaman di dalam
genotipe (Gambar 6). Nilai koefisien ketidakmiripan yang semakin besar
menunjukan adanya perbedaan genetik yang semakin jauh antar genotipe. Pada
koefisien ketidakmiripan sekitar 0.52, terdapat dua kelompok. Kelompok pertama
berisi genotipe P25 dan P26 yang memiliki ciri-ciri tipe reticulatus (berjala) dan
keragaan buah yang sangat mirip (Gambar 2). Kelompok kedua umumnya
merupakan genotipe yang memiliki ciri-ciri tipe inodorus (tidak berjala) dan
sebagian reticulatus (berjala) lainnya, yang selanjutnya dapat dikelompokkan lagi
menjadi kelompok 2a dan 2b pada koefisien ketidakmiripan sekitar 0.50.
Kelompok 2a berisi genotipe-genotipe dengan tipe inodorus (kecuali P12),
sedangkan 2b berisi genotipe-genotipe dengan tipe reticulatus. Ning et al. (2014)
melaporkan bahwa pengelompokkan kultivar melon Hami di Cina dengan marker
SSR dibagi menjadi dua kelompok besar, yaitu melon dengan tipe kulit buah tipis
dan tebal.
26

Gambar 6 Dendrogram 14 genotipe melon hasil analisis gerombol berdasarkan


karakter kuantitatif dan kualitatif
Kelompok cantalupensis (nama yang umum adalah cantaloupe dan
muskmelon) memiliki ciri-ciri yaitu, buah yang berukuran sedang dan berjala,
daging buah umumnya berwarna oranye, namun ada juga yang berwarna hijau,
dan tangkai buahnya lepas saat masak. Kelompok inodorus memiliki karakteristik
yaitu, permukaan buah tidak berjala, daya simpan buah relatif lama, dan tangkai
buahnya tidak lepas saat masak (Robinson dan Decker-Walters 1999).

3.3.2 Keragaman Genetik 20 Genotipe Melon berdasarkan Karakter


Morfologi dan Marka ISSR

Pengujian terhadap 20 genotipe melon yang berbeda menunjukkan adanya


keragaman berdasarkan morfologi dan marka ISSR. Karakter morfologi yang
digunakan dalam analisis sebanyak 23 karakter, yang terdiri dari 13 karakter
kuantitatif dan 10 karakter kualitatif (Tabel 7, 8, dan 9). Keragaan buah 20
genotipe yang diamati ditunjukkan pada Gambar 7.
Umur berbunga jantan berkisar antara 19–31 HST, sedangkan umur
berbunga hermaprodit 33–39 HST (Tabel 7). Genotipe IPB Meta 9 memiliki umur
berbunga jantan dan hermaprodit yang relatif lebih lama dibandingkan genotipe
lainnya. Umur panen berkisar antara 62–67 HST. PTT terendah yaitu genotipe
140 (3.69 oBrix), sedangkan PTT tertinggi adalah genotipe G16 (12.38 oBrix). IPB
Meta 9 menunjukkan PTT yang relatif tinggi, yaitu 11.50 oBrix. Genotipe 240 dan
140 menunjukkan PTT yang relatif sama, yaitu 4.75 oBrix dan 3.69 oBrix. Hal
yang sama juga ditunjukkan oleh genotipe P26 dan P25, kedua genotipe tersebut
memiliki PTT yang relatif sama, yaitu 4.70 oBrix dan 4.83 oBrix.
27

Tabel 7 Nilai tengah karakter umur berbunga, umur panen, dan buah pada 20
genotipe melon dari percobaan di dua musim tanam

Genotipe UBJ UBH UP PTT TKB TDB


(HST) (HST) (HST) (oBrix) (cm) (cm)
140 23 35 65 3.69 0.79 1.83
240 24 35 64 4.75 0.79 2.15
258 20 35 65 5.00 0.90 1.80
283 28 38 65 5.38 0.90 2.13
318 26 36 65 4.50 0.57 1.97
383 27 37 65 5.50 0.60 1.40
10-3 27 36 65 6.00 0.83 2.15
6-27 26 37 65 5.33 0.53 1.80
G13 27 38 66 5.60 0.52 1.36
G16 26 37 66 12.38 0.45 1.53
G27 25 33 62 4.70 0.66 2.75
G30 20 35 66 4.90 0.72 2.36
HBD-5 26 37 67 4.95 0.74 2.26
IPB Meta 9 31 39 65 11.50 0.43 1.43
OMM 19 36 65 5.41 0.52 2.11
P25 25 36 67 4.83 0.86 2.36
P26 27 36 65 4.70 0.70 2.10
Sky Rocket 24 34 64 5.00 0.79 2.10
SMF 22 36 66 4.83 0.53 1.82
SMH 19 35 66 5.91 0.64 2.19
Rata-rata 25 36 65 5.74 0.67 1.98
Keterangan: HST: hari setelah tanam; UBJ: umur berbunga jantan; UBH: umur berbunga
hermaprodit; UP: umur panen; PTT: padatan terlarut total; TKB: tebal kulit buah;
TDB: tebal daging buah.
Genotipe yang memiliki juring atau garis vertikal pada permukaan buah
antara lain genotipe 140, 10-3, G13, dan G27 (Tabel 9 dan Gambar 7). Secara
umum kelompok melon inodorus tidak memiliki jala pada permukaan buahnya,
sedangkan kelompok reticulatus memiliki permukaan buah yang berjala
(Robinson dan Decker-Walters 1999). Selain ada tidaknya juring dan jala,
karakter buah lain yang juga menunjukkan keragaman antara lain adalah bentuk
buah, warna kulit buah, dan warna daging buah. Genotipe G13 dan IPB Meta 9
memiliki warna daging buah berwarna putih dan keduanya tidak memiliki jala
pada permukaan buahnya.
Genotipe IPB Meta 9, G16, dan G13 memiliki kulit buah yang relatif tipis,
masing-masing yaitu 0.43 cm, 0.45 cm, dan 0.52 cm. Tebal kulit buah genotipe-
genotipe yang diamati berkisar antara 0.43–0.9 cm, sedangkan tebal daging
buahnya berkisar antara 1.36–2.75 cm. Diameter buah dan panjang buah genotipe-
genotipe yang diamati masing-masing berkisar antara 9.20–12.6 cm dan 9.43–
15.65 cm (Tabel 8). Bobot buah tertinggi ditunjukkan oleh genotipe G30 (1
092.20 g), sedangkan genotipe 383 memiliki bobot buah terendah (432.00 g).
Selain karakter buah, pengamatan kuantitatif juga dilakukan untuk karakter bunga,
28

seperti panjang mahkota jantan dan hermaprodit, serta diameter mahkota jantan
dan hermaprodit. Varietas Sky Rocket memiliki panjang dan diameter mahkota
bunga jantan 2.45 cm dan 1.70 cm.

Gambar 7 Keragaan buah 20 genotipe melon


Gambar 8 menampilkan analisis dendrogram 20 genotipe berdasarkan
karakter morfologi. Pada koefisien ketidakmiripan sekitar 0.5, dendrogram
berdasarkan morfologi menunjukkan dua kelompok yang berbeda. Kelompok
pertama merupakan tipe melon tidak berjala (inodorus), sedangkan kelompok
kedua sebagian besar merupakan tipe melon berjala (reticulatus). Kelompok
pertama selanjutnya dikelompokkan menjadi 1a dan 1b. Kelompok 1a terdiri atas
genotipe G13, G16, dan IPB Meta 9. Ketiga genotipe tersebut memiliki keragaan
tanaman yang relatif sama dan tipe buah yang relatif kecil. Kelompok 2a sebagian
besar merupakan melon tipe berjala kecuali G30, sedangkan genotipe 140
memisah dengan genotipe-genotipe lainnya.
Primer polimorfik yang digunakan pada analisis molekuler adalah
sebanyak 7 primer, yaitu PKBT2, PKBT6, PKBT7, PKBT8, PKBT9, PKBT10,
dan PKBT12. Primer PKBT2, PKBT8, dan PKBT10 masing-masing memiliki 1
pita monomorfik, sedangkan primer PKBT9 memiliki 2 pita monomorfik (Tabel
29

10). Jumlah pita yang polimorfik dari jumlah pita secara keseluruhan adalah
sebesar 85.29%, sedangkan pita monomorfik sebesar 17.24%. PKBT7 memiliki
jumlah polimorfik terbanyak, yaitu 7 pita polimorfik.

Tabel 8 Nilai tengah karakter buah dan bunga pada 20 genotipe melon dari
percobaan di dua musim tanam

Genotipe DB PB BB PMJ PMH DMJ DMH


(cm) (cm) (g) (cm) (cm) (cm) (cm)
140 11.43 10.71 756.88 1.88 1.88 1.73 1.76
240 11.98 11.84 885.92 2.15 1.72 1.52 1.18
258 11.60 13.10 863.00 2.10 2.12 1.33 1.42
283 11.08 11.55 736.00 1.60 1.76 1.00 1.16
318 9.47 10.77 652.80 – 1.54 – 0.92
383 9.20 9.50 432.00 1.82 1.78 1.10 1.28
10-3 10.88 17.08 812.80 1.82 2.18 1.38 1.42
6-27 9.33 11.20 458.67 1.81 1.85 1.17 1.48
G13 9.56 13.76 703.60 1.72 1.97 1.12 1.47
G16 9.53 9.43 530.00 1.62 1.93 1.05 1.66
G27 12.20 14.52 1107.00 1.60 – 1.02 –
G30 12.60 14.52 1092.20 2.23 2.52 1.66 1.37
HBD-5 11.80 13.47 925.58 1.95 – 1.20 –
IPB Meta 9 8.53 11.30 447.67 1.81 2.73 1.35 1.92
OMM 10.40 14.58 753.64 1.95 2.12 1.69 1.58
P25 12.14 13.58 1052.56 2.07 2.28 1.75 1.96
P26 11.68 12.32 811.20 1.91 2.28 1.54 1.68
Sky Rocket 12.60 12.84 996.30 2.45 2.14 1.70 1.48
SMF 10.19 13.63 628.67 1.93 1.98 1.54 1.26
SMH 11.38 15.65 921.31 2.02 2.70 1.51 2.06
Keterangan: DB: diameter buah; PB: panjang buah; BB: bobot buah; PMJ: panjang mahkota
bunga jantan; PMH: panjang mahkota bunga hermaprodit; DMJ: diameter mahkota
bunga jantan; DMH: diameter mahkota bunga hermaprodit; – : data tidak tersedia.

Analisis kekerabatan berdasarkan molekuler DNA tersebut menggunakan


data biner skor pita DNA. Secara umum terdapat perbedaan antara dendrogram
hasil analisis morfologi dan marka ISSR. Berdasarkan hasil analisis marka ISSR
dapat diketahui bahwa pada koefisien ketidakmiripan mendekati 0.42 terdapat 2
kelompok, yaitu kelompok pertama yang terdiri dari genotipe G13 dan G16 dan
kelompok kedua adalah gabungan dari 18 genotipe lainnya (Gambar 9).
Kelompok kedua terdiri dari tipe melon berjala dan tidak berjala. Terdapat
genotipe-genotipe yang memiliki keragaan buah yang relatif mirip, dan pada
dendrogram tersebut juga terlihat memiliki jarak genetik yang relatif dekat, seperti
P25 dan P26.
Kedua informasi, yaitu karakter morfologi dan marka ISSR selanjutnya
digabung dan dianalisis gabungan, seperti ditunjukkan pada Gambar 10. Secara
umum ketiga dendrogram membagi dua kelompok besar pada koefisien
ketidakmiripan sekitar 0.4–0.5. Pada analisis gabungan morfologi dan marka
30

ISSR membagi dua kelompok besar pada koefisien ketidakmiripan sekitar 0.5.
Kelompok pertama terdiri dari genotipe IPB Meta 9, G16, dan G13. Ketiga
genotipe tersebut memiliki tipe buah kecil, tidak berjala, tekstur daging buah yang
renyah, serta memiliki permukaan daun yang sama, yaitu dull (tidak mengkilap) .
Genotipe G13 dan G16 terlihat memiliki jarak genetik yang dekat pada analisis
dendrogram menggunakan karakter morfologi saja (Gambar 8), marka ISSR saja
(Gambar 9), dan gabungan keduanya (Gambar 10).

Tabel 9 Karakter kualitatif 20 genotipe melon dari percobaan di dua musim


tanam
Genotipe UKB BCB PD BCD JB JaB BB WPB WDB TB
140 K G dull inter A A oblate hijau oranye kenyal
mediate muda
240 K I dull inter TA A globular hijau oranye kenyal
mediate
258 K I dull shallow TA A globular hijau oranye kenyal
tua
283 B I dull shallow TA A globular hijau hijau kenyal
muda muda
318 B I inter shallow TA A globular hijau hijau kenyal
mediate muda muda
383 K I dull shallow TA TA globular oranye- hijau kenyal
hijau muda
10-3 K I dull shallow A TA elliptical putih- oranye lembut
krem
6-27 S I inter shallow TA TA globular oranye oranye kenyal
mediate
G13 S L dull shallow A TA ovate kuning putih renyah
G16 S G dull shallow TA TA oblate hijau hijau lembut
muda- muda
putih
G27 dull shallow A A globular oranye oranye kenyal
G30 K G dull shallow TA TA globular kuning oranye kenyal
HBD-5 inter shallow TA A globular hijau oranye kenyal
mediate
IPB K L dull deep TA TA ovate kuning- putih renyah
Meta 9 oranye
OMM K L inter shallow TA TA elliptical kuning oranye renyah
mediate
P25 B I dull shallow TA A globular hijau hijau kenyal
muda muda
P26 B I dull shallow TA A globular hijau hijau kenyal
muda muda
Sky S G inter shallow TA A globular hijau hijau kenyal
Rocket mediate tua muda
SMF K L inter shallow TA TA elliptical kuning oranye renyah
mediate
SMH K L inter shallow TA TA elliptical putih oranye renyah
mediate
Keterangan: UKB: ukuran kelopak bunga (K: kecil; S: sedang; B: besar); BCB: bentuk calon buah
(G: globular; I: intermediate; L: long); PD: permukaan daun; BCD: bentuk cuping
daun; JB: juring buah; TA: tidak ada; A: ada; JaB: jala buah; BB: bentuk buah; WPB:
warna permukaan buah; WDB: warna daging buah; TB: tekstur buah
31

Gambar 8 Dendrogram berdasarkan karakter karakter morfologi pada 20


genotipe melon
Tabel 10 Rekapitulasi jumlah pita polimorfik dan monomorfik pada DNA
genotipe melon

Primer Jumlah pita Jumlah pita polimorfik Jumlah pita monomorfik


PKBT2 2 1 1
PKBT6 6 6 0
PKBT7 7 7 0
PKBT8 7 6 1
PKBT9 6 4 2
PKBT10 4 3 1
PKBT12 2 2 0
Total 34 29 (85.29%) 5 (17.24%)
32

Gambar 9 Dendrogram berdasarkan marka ISSR pada 20 genotipe melon


Kelompok kedua pada Gambar 10 terdiri atas genotipe melon berjala (140,
240, 283, Sky Rocket, P26, P25, G27, 258, 318, dan HBD-5) dan genotipe melon
tidak berjala (10-3, IPB Meta 9, SMH, 383, 6-27, G30, OMM, dan SMF).
Genotipe-genotipe melon tidak berjala yang masuk pada kelompok kedua tetap
terlihat memiliki jarak genetik yang dekat, seperti SMH, SMF, dan OMM.
Analisis gabungan menggunakan karakter morfologi dan marka ISSR dapat
menggambarkan pengelompokan yang relatif lebih sesuai untuk genotipe-genotipe
yang diamati dibandingkan dengan analisis menggunakan karakter morfologi atau
marka ISSR saja. Sebagai informasi tambahan, hasil penelitian Ning et al. (2014)
dengan menggunakan 36 marka SSR menunjukkan bahwa kelompok melon
inodorus dan cantalupensis memiliki jarak genetik yang lebih jauh (0.28)
dibandingkan dengan inodorus dan candalak (0.01) serta inodorus dan ameri
(0.04).
33

Gambar 10 Dendrogram berdasarkan morfologi dan marka ISSR pada 20


genotipe melon

3.4 Simpulan

Keragaman genetik melon dapat dipelajari berdasarkan analisis morfologi


dan molekuler DNA. Hasil percobaan pertama menggunakan 17 genotipe melon
menunjukkan adanya keragaman berdasarkan karakter morfologi kecuali umur
berbunga hermaprodit. Genotipe yang memiliki potensi terhadap karakter bobot
buah dan PTT tinggi adalah genotipe P21 (1 083.60 g dan 9.23 oBrix) dan P19 (1
087.10 g dan 8.44 oBrix). Selain itu, genotipe P2 memiliki potensi yang baik untuk
karakter bobot (1 555.20 g) dan genotipe P12 (10.88 oBrix) memiliki potensi baik
untuk karakter PTT yang tinggi. Semua karakter yang diuji memiliki nilai
heritabilitas arti luas lebih dari 50%. Hasil percobaan kedua menunjukkan bahwa
analisis menggunakan karakter morfologi dan marka ISSR secara umum dapat
menggambarkan keragaman genetik antar 20 genotipe melon yang dievaluasi.
Karakter morfologi seperti ukuran buah dan jala pada permukaan buah berperan
menguatkan struktur pengelompokkan genotipe.
34

4 HERITABILITAS ARTI SEMPIT KARAKTER BUAH


MELON BERDASARKAN REGRESI PARENT-OFFSPRING
(Narrow-Sense Heritability of Fruit Traits in Melon based on
Parent-Offspring Regression)

Abstrak

Estimasi respon terahadap seleksi memerlukan informasi tentang nilai


heritabilitas untuk karakter yang diamati. Regresi parent-offspring yang
memanfaatkan data tetua dan turunannya dapat digunakan untuk menduga nilai
heritabilitas arti sempit suatu karakter. Tujuan penelitian ini adalah mempelajari
heritabilitas arti sempit untuk beberapa karakter buah melon dan hubungan linier
antar karakter tersebut. Estimasi nilai heritabilitas dan korelasi menggunakan data
percobaan dari enam musim tanam yang dilaksanakan di Kebun Percobaan IPB
Tajur 2, Bogor pada bulan Mei 2015–Oktober 2016. Analisis heritabilitas arti
sempit dilakukan berdasarkan nilai rata-rata genotipe (mean basis), berdasarkan
nilai plot (plot basis), dan berdasarkan nilai individu tanaman (individual plant
basis). Nilai duga heritabilitas arti sempit untuk karakter buah melon berbasis
rata-rata pada umumnya tergolong tinggi (50.25–72.00%), lebih tinggi dari basis
plot (26.30–64.82%), dan basis individu (13.43–43.39%). Korelasi antar karakter
buah sebagian besar menunjukkan adanya hubungan yang nyata dan positif. Bobot
buah menunjukkan korelasi nyata dan positif dengan karakter panjang buah,
diameter buah, tebal daging buah, tebal kulit buah, dan padatan terlarut total.

Kata kunci: heritabilitas arti sempit, parent-offspring, pemuliaan melon

Abstract

Estimated response to selection requires information about heritability


values for the observed character. Parent-offspring regression that utilizes parent
and offspring data can be used to estimate the narrow sense heritability of a
character. The aimed of this study is to study the narrow sense of heritability for
several melon traits and the linear relationship between the traits. The estimation
of heritability and correlation values used experimental data from six planting
seasons was conducted at IPB Experimental Station Tajur II, Bogor in May 2015–
October 2016. The narrow sense heritability analysis was performed based on the
mean basis, plot basis, and individual plant basis. The narrow sense of heritability
based on mean basis for fruit traits is generally high (50.25–72.00%), higher than
the plot basis (26.30–64.82%), and the individual plant basis (13.43–43.39%). The
correlations between fruit traits largely indicate significant and positive
relationship. The fruit weight indicates significant and positive correlations with
fruit length, fruit diameter, flesh thickness, rind thickness, and total soluble solids.

Key words: melon breeding, narrow sense heritability, parent-offspring


35

4.1 Pendahuluan

Keragaman genetik merupakan potensi yang dapat dimanfaatkan dalam


kegiatan pemuliaan tanaman. Melon adalah tanaman yang memiliki keragaman
genetik yang tinggi (Ali-Shtayeh et al. 2015). Keragaman genetik tersebut
terdapat pada keragaan tanaman maupun karakter-karakter buah melon. Menurut
Syukur et al. (2012) perbaikan kualitas hasil dilakukan melalui perakitan varietas
yang mempunyai kandungan nutrisi lebih baik, padatan terlarut total, bentuk,
warna, dan daya simpan yang lebih baik. Menurut Acquaah (2007) tahap
selanjutnya dalam pemuliaan setelah tersedianya keragaman genetik adalah
seleksi. Seleksi merupakan kegiatan pemilihan sejumlah individu pada populasi
yang memiliki keragaan lebih baik dibanding lainnya dan digunakan pada
generasi berikutnya. Menurut Falcorner dan Mackay (1996) seleksi merupakan
upaya untuk meningkatkan seluruh potensi dari suatu tanaman. Seleksi melon
umumnya dilakukan berdasarkan karaketristik penting buah, yaitu bobot buah dan
padatan terlarut total yang tinggi. Karakter buah lainnya seperti warna kulit buah
dan warna daging buah juga menjadi pertimbangan dalam pemuliaan melon. Buah
yang memiliki karakter potensial tersebut dapat ditanam benihnya pada generasi
selanjutnya untuk dievaluasi lebih lanjut.
Seleksi karakter-karakter penting yang diharapkan secara umum menemui
beberapa kendala. Salah satu kendala yang dihadapi pada kegiatan seleksi adalah
menentukan penilaian genotipe karena yang diamati adalah fenotipe tanaman di
lapang. Pemulia perlu menentukan seberapa besar pengaruh genotipe terhadap
pengaruh lingkungan. Karakter penting seperti produksi dan kualitas hasil
umumnya dikendalikan oleh banyak gen dan memiliki pengaruh yang kecil
terhadap karakter tersebut. Karakter semacam ini banyak dipengaruhi oleh
lingkungan. Keragaman pada suatu karakter yang diamati perlu dapat dibedakan
penyebabnya, dipengaruhi oleh faktor genetik atau lingkungan. Untuk itu
diperlukan suatu parameter kuantitatif yang menjelaskan pengaruh faktor genetik
terhadap faktor lingkungan dalam memberikan penampilan akhir atau fenotipe.
Analisis heritabilitas dapat menjelaskan hal tersebut (Syukur et al. 2012).
Heritabilitas merupakan perbandingan antara besaran ragam genotipik
dengan besaran ragam fenotipik dari suatu karakter yang menggambarkan
seberapa jauh fenotipe yang tampak merupakan refleksi dari genotipe. Analisis
heritabilitas secara umum dibedakan menjadi dua, yaitu heritabilitas arti luas
(broad sense heritability) dan heritabilitas arti sempit (narrow sense heritability).
Heritabilitas arti luas merupakan perbandingan antara ragam genetik total dan
ragam fenotipik, dimana ragam genetik total terdiri dari ragam genetik aditif,
dominan, dan epistasis. Heritabilitas arti sempit merupakan perbandingan antara
ragam aditif dan ragam fenotipik (Syukur et al. 2012). Heritabilitas arti sempit
dapat diperoleh berdasarkan metode regresi parent-offspring dengan
memanfaatkan informasi tetua dan turunannya (Holland et al. 2003).
Holland et al. (2003) menambahkan bahwa heritabilitas arti sempit
ditentukan berdasarkan proposi ragam aditif, sedangkan heritabilitas arti luas
ditentukan berdasarkan proporsi ragam genetik total. Menurut Syukur et al.
(2012) heritabilitas arti sempit dapat menjelaskan pengaruh aditif setiap alel yang
diwariskan dari tetua kepada turunannya dan kontribusi penampilan tidak
tergantung pada adanya interaksi antar-alel. Karakter-karakter seleksi yang
36

dikendalikan berdasarkan gen aditif memiliki nilai kemajuan seleksi yang lebih
besar dan cepat. Salah satu metode dalam menentukan nilai heritabiltias arti
sempit adalah berdasarkan perhitungan komponen ragam dari analisis ragam.
Parent-offspring merupakan metode yang memanfaatkan informasi dari data tetua
dan turunannya.

4.2 Metode Penelitian

Penelitian dilaksanakan di Kebun Percobaan IPB Tajur II, Bogor. Penelitian


dilakukan pada enam musim tanam, yaitu Mei–Juli 2015, Agustus–Oktober 2015,
Desember 2015–Februari 2016, Februari–Mei 2016, Mei–Juli 2016, dan Agustus–
Oktober 2016. Karakter yang diamati mengacu pada Descriptor for Melon
(Cucumis melo L.) dari IPGRI (International Plant Genetic Resources Institute)
(2003) yang dimodifikasi meliputi, karakter umur berbunga jantan, umur
berbunga hermaprodit, bobot buah, padatan terlarut total (PTT), panjang buah,
diameter buah, tebal daging buah, dan tebal kulit buah.
Secara umum kegiatan budidaya pada keenam musim tersebut adalah sama,
diawali dengan persiapan lahan yaitu melalui tahap pengolahan tanah dan
pembuatan bedengan. Pupuk dasar yang diberikan yaitu pupuk kandang dengan
dosis 20 ton ha-1, urea dosis 200 kg ha-1, SP-36 dosis 200 kg ha-1 dan KCl dosis
200 kg ha-1. Jarak tanam yang digunakan adalah 60 cm × 60 cm. Pemangkasan
cabang lateral dilakukan kecuali pada cabang ke–9 sampai ke–12. Pupuk susulan
berupa pupuk NPK diaplikasikan dalam bentuk larutan (konsentrasi 20 g l-1 air)
dan diberikan pada pangkal batang tanaman setelah berumur 7, 14, 21, 28, 35, 42,
dan 49 hari setelah tanam (HST), serta pupuk KNO3 yang diaplikasikan dalam
bentuk larutan (konsentrasi 5 g L-1 air) sebanyak 200 ml per tanaman pada 45
HST.
Heritabilitas arti sempit berdasarkan perhitungan komponen ragam dari
analisis ragam salah satunya dapat memanfaatkan analisis parent-offspring.
Analisis parent-offspring yang dilakukan dibedakan menjadi tiga analisis, yaitu
berdasarkan nilai rata-rata genotipe (mean basis), nilai plot (plot basis), dan
berdasarkan nilai individu tanaman (individual plant basis). Pada analisis mean
basis nilai offspring merupakan nilai rataan genotipe, buah yang berasal dari hasil
persilangan sebelumnya ditentukan terlebih dahulu nilai midparentnya.
Pendugaan nilai per musim memanfaatkan informasi tingkat kematangan buah
sebagai peragam yang selanjutnya digunakan untuk menentukan nilai lsmeans
pada anova gabungan antar musim. Pada analisis plot basis, buah yang berasal
dari hasil persilangan ditentukan terlebih dahulu nilai midparentnya, kemudian
nilai offspring diperoleh dari lsmeans interaksi ulangan×genotipe per musim. Pada
analisis individual plant basis, tetua yang digunakan merupakan tetua terpilih,
yaitu hanya buah yang benihnya ditanam pada musim berikutnya. Buah-buah
yang berasal dari hasil persilangan tidak digunakan pada analisis ini.
Analisis heritabilitas berdasarkan regresi parent-offspring membedakan
antara tanaman menyerbuk silang dan menyerbuk sendiri. Pendugaan nilai
heritabilitas untuk tanaman meyerbuk silang dan menyerbuk sendiri adalah
sebagai berikut:
37

h2ns= 2b × 100% (tanaman menyerbuk silang)


h2ns= b × 100% (tanaman menyerbuk sendiri)
dimana nilai b diperoleh dari hasil regresi parent-offspring (Holland et al. 2003).
Melon merupakan tanaman yang menyerbuk silang (Robinson dan Decker-
Walters 1999), namun pada analisis ini menggunakan rumus h2ns= b × 100%. Hal
ini disebabkan karena nilai parent ditentukan berdasarkan nilai mid parentnya
(rata-rata nilai tetua betina dan tetua jantan), bukan berdasarkan nilai tetua
betinanya saja, artinya perlu diketahui informasi nilai tetua jantannya terlebih
dahulu.
Analisis korelasi bertujuan untuk mengetahui hubungan antar karakter
buah yang diamati dan juga bermanfaat dalam kegiatan seleksi. Nilai korelasi
pada analisis ini berdasarkan pada metode Pearson. Menurut Syukur et al. (2012)
kemajuan seleksi merupakan selisih antara nilai tengah turunan hasil seleksi
dengan nilai tengah populasi yang diseleksi. Pada percobaan ini, analisis
kemajuan seleksi dihitung menggunakan rumus:
G = (S) (h2ns ) atau G = (i) (σP) (h2ns)
dimana S merupakan diferensial seleksi, yaitu selisih antara nilai tengah tanaman
terseleksi dengan nilai tengah populasinya (xs – x0); nilai i merupakan intensitas
seleksi; nilai σP adalah simpangan baku fenotipe populasi; dan h2ns adalah
heritabilitas arti sempit.

4.3 Hasil dan Pembahasan

4.3.1 Heritabilitas Arti Sempit


Analisis parent-offspring yang dilakukan terdiri dari atas mean basis, plot
basis, dan individual plant basis. Berdasarkan analisis diperoleh nilai heritabilitas
arti sempit untuk karakter buah berdasarkan mean basis secara umum termasuk
pada kategori tinggi (> 50%), namun karakter umur termasuk pada kategori
sedang (20-50%) dan rendah (< 20%) (Tabel 11). Analisis berdasarkan plot basis
secara umum menunjukkan nilai heritabilitas sedang hingga kecil pada beberapa
karakter, kecuali karakter bobot buah, diameter buah dan tebal daging buah.
Analisis berdasarkan individual plant basis menunjukkan nilai heritabilitas sedang
seperti, bobot buah, panjang buah, diameter buah, tebal daging buah, dan umur
berbunga jantan. Karakter lain seperti, PPT, tebal kulit buah, umur berbunga
hermaprodit, dan umur berbunga jantan menunjukkan nilai heritabilitas yang
rendah. Pada percobaan yang dilakukan oleh Ibrahim (2012) menunjukkan bahwa
analisis heritabilitas arti luas (arti luas untuk karakter bobot buah adalah 99.36%,
panjang buah adalah 99.56%, broad sense heritability) untuk karakter buah melon
memiliki nilai yang tinggi. Heritabilitas diameter buah adalah 97.82%, dan tebal
daging buah adalah 99.07%.
38

Tabel 11 Nilai heritabilitas arti sempit (h2ns) dan koefisien determinasi (R2) dari
analisis regresi parent-offspring berdasarkan mean basis, plot basis, dan
individual plant basis
Individual plant
Mean basis Plot basis
Karakter basis
h2ns R2 h2ns R2 2
h ns R2
Bobot buah 62.67 0.45 52.11 0.22 26.47 0.25
Padatan terlarut total (PTT) 50.25 0.07 26.30 0.03 13.43 0.02
Panjang buah 67.49 0.38 37.44 0.08 43.42 0.39
Diameter buah 70.71 0.45 64.82 0.32 36.20 0.30
Tebal daging buah 72.00 0.52 63.14 0.24 43.39 0.26
Tebal kulit buah 53.49 0.34 37.45 0.13 19.69 0.18
Umur berbunga jantan 29.62 0.03 25.99 0.02 42.70 0.05
Umur berbunga hermaprodit 47.69 0.07 19.46 0.02 12.75 0.03

Percobaan lain oleh Metwally et al. (2015) membandingkan antara nilai


heritabilitas arti luas dan arti sempit pada melon. Estimasi nilai heritabilitas arti
sempitnya menggunakan metode Warner (1952) yang melibatkan nilai duga
ragam populasi F2 (populasi F2 single cross P1×P2), BCP1 (populasi back cross
dengan tetua 1; F1×P1), dan BCP2 (populasi back cross dengan tetua 2; F1×P2).
Rumus untuk menentukan nilai heritabilitas arti sempit menggunakan metode
tersebut adalah sebagai berikut:

h2ns = × 100%

Hasil analisis tersebut menunjukkan bahwa nilai heritabilitas arti luas bobot buah
adalah 95.7%, sedangkan heritabilitas arti sempit adalah 87.4%. Nilai heritabilitas
arti luas karakter panjang buah dan lebar buah adalah 91.0% dan 85.9%,
sedangkan heritabilitas arti sempit adalah 63.2% dan 54.3%. Karakter buah
penting lainnya adalah padatan terlarut total, dengan nilai heritabilitas arti luas
adalah 81.0% dan heritabilitas arti sempit adalah 45.2%. Secara umum nilai
heritabilitas arti sempit menunjukkan nilai yang relatif lebih kecil dibandingkan
dengan nilai heritabilitas arti luas.

4.3.2 Hubungan Linier antar Karakter Buah Melon


Karakter umur berbunga hermaprodit memiliki korelasi yang nyata dan
negatif terhadap bobot buah dan diameter buah, artinya terdapat kecenderungan
bahwa buah yang memiliki umur berbunga hermaprodit cepat menunjukkan bobot
buah serta diameter buah yang relatif lebih besar (Tabel 12). Umur panen
menujukkan korelasi yang nyata dan positif dengan beberapa karakter buah
seperti, bobot buah (r= 0.32, P<0.05), diameter buah (r= 0.49, P<0.01), tebal
daging buah (r= 0.39, P<0.01), dan tebal kulit buah (r= 0.48, P<0.01) (Tabel 12).
Bobot buah menunjukkan korelasi nyata dan positif terhadap semua karakter buah
seperti, PTT, panjang buah, diameter buah, tebal daging buah, dan tebal kulit buah.
PTT menunjukkan korelasi yang nyata dan positif dengan panjang buah, diameter
buah, tebal daging buah, dan tebal kulit buah. Pada percobaan dua musim tanam
melon yang dilakukan oleh Naroui Rad et al. (2010) dengan menggunakan 49
39

genotipe karakter bobot buah menunjukkan korelasi yang nyata terhadap karakter
panjang buah (r= 0.50; P<0.01) dan diameter buah (r= 0.43; P<0.01), namun
karakter PTT tidak menunjukkan korelasi terhadap karakter buah lainnya.

Tabel 12 Korelasi antar karakter buah melon


UBJ UBH UP BB PTT PB DB TDB
**
UBH 0.39
UP -0.04 tn 0.04 tn
BB -0.03 tn -0.27 * 0.32 *
PTT 0.07 tn -0.09 tn 0.29 tn 0.43 **
tn
PB -0.02 -0.16 tn -0.28 tn 0.61 ** 0.34 **
DB 0.02 tn -0.25 * 0.49 ** 0.93 ** 0.40 ** 0.38 **
TDB -0.10 tn -0.21 tn 0.39 ** 0.75 ** 0.40 ** 0.26 * 0.80 **
TKB -0.15 tn -0.11 tn 0.48 ** 0.22 * -0.39 ** -0.12 tn 0.27 ** 0.17 tn
Keterangan: * berkorelasi nyata pada taraf 5% berdasarkan metode Pearson; ** berkorelasi nyata
pada taraf 1%; tn berkorelasi tidak nyata; UBJ: umur berbunga jantan; UBH: umur
berbunga hermaprodit; UP: umur panen; BB: bobot buah; PTT: padatan terlarut total;
PB: panjang buah; DB: diameter buah; TDB: tebal daging buah; TKB: tebal kulit
buah

4.3.3 Analisis Kemajuan Seleksi


Analisis kemajuan seleksi untuk karakter umur menunjukkan nilai negatif,
artinya melalui kegiatan seleksi diharapkan karakter umur yang menjadi lebih
singkat (Tabel 13). Pada seleksi 5% karakter umur berbunga jantan, umur
berbunga hermaprodit, dan umur panen menunjukkan kemajuan seleksi sebesar (-
7.30% atau -1.53 hari), (-1.55% atau -0.51 hari), dan (-2.11% atau -1.39 hari).

Tabel 13 Simulasi seleksi karakter umur berbunga jantan, berbunga hermaprodit,


dan panen pada melon
Umur berbunga jantan Umur berbunga hermaprodit
Seleksi (%)
Ĝ (HST) %G Ĝ (HST) %G
5 -1.53 -7.30 -0.51 -1.55
10 -1.30 -6.21 -0.47 -1.43
15 -1.15 -5.50 -0.44 -1.36
20 -1.04 -4.95 -0.42 -1.30
25 -0.94 -4.50 -0.41 -1.25
30 -0.86 -4.10 -0.39 -1.20
Keterangan: Arti angka negatif (-) menunjukkan penurunan nilai (seleksi ke arah kiri); Ĝ:
kemajuan aktual; %G: persentase kemajuan (%); HST: hari setelah tanam

Seleksi sebesar 5% pada karakter bobot buah akan meningkatkan


kemajuan seleksi sebesar 23.64% atau sebesar 229.44 g bobot buah, sedangkan
jika seleksi pada 30% kemajuan seleksi menjadi 13.28% atau meningkatkan
128.90 g bobot buah. Pada seleksi 5% untuk karakter PTT dan panjang buah
masing-masing meningkatkan kemajuan seleksi sebesar 7.01% dan 14.84% atau
40

0.58 oBrix dan 1.98 cm (Tabel 14). Pada percobaan yang dilakukan Metwally et al.
(2015) menggunakan dua tetua kelompok melon reticulatus yang memiliki jala
pada permukaan buahnya dengan warna daging buah masing-masing tetua adalah
putih dan oranye, menunjukkan kemajuan seleksi sebesar 5.40% pada tingkat
seleksi 5%. Kemajuan seleksi untuk karakter panjang buah, diameter buah, dan
padatan terlarut total masing-masing adalah 1.89%, 1.34%, dan 1.99%.
Menurutnya terdapat dua faktor yang membatasi kemajuan seleksi, yaitu adanya
keragaman dari ragam fenotipik dan nilai heritabilitas arti sempit.

Tabel 14 Simulasi seleksi karakter bobot buah, kadar gula, dan panjang buah
melon
Bobot buah Padatan terlarut total Panjang buah
Seleksi (%)
Ĝ (g) %G Ĝ (oBrix) %G Ĝ (cm) %G
5 229.44 23.64 0.58 7.01 1.98 14.84
10 195.18 20.11 0.49 5.97 1.68 12.63
15 172.83 17.80 0.44 5.28 1.49 11.18
20 155.70 16.04 0.39 4.76 1.34 10.07
25 141.35 14.56 0.36 4.32 1.22 9.15
30 128.90 13.28 0.33 3.94 1.11 8.34
Keterangan: Ĝ: kemajuan aktual; %G: persentase kemajuan (%)

Pada seleksi 5% karaketer diameter buah, tebal daging buah, dan tebal kulit
buah masing-masing menunjukkan adanya kemajuan seleksi sebesar 12.53% (1.47
cm), 21.05% (0.49 cm), dan 16.67 cm (0.11 cm) (Tabel 15). Seleksi sebesar 30%
pada karakter diameter buah, tebal daging buah, dan tebal kulit buah menunjukkan
kemajuan seleksi sebesar 7.04% (0.83 cm), 11.82% (0.28 cm), dan 9.42 (0.06 cm).

Tabel 15 Simulasi seleksi karakter diameter buah, tebal daging buah, dan tebal
kulit buah
Diameter buah Tebal daging buah Tebal kulit buah
Seleksi (%)
Ĝ (cm) %G Ĝ (cm) %G Ĝ (cm) %G
5 1.47 12.53 0.49 21.05 0.11 16.76
10 1.25 10.66 0.42 17.90 0.09 14.26
15 1.11 9.44 0.37 15.85 0.08 12.63
20 1.00 8.50 0.33 14.28 0.07 11.37
25 0.91 7.72 0.30 12.97 0.07 10.33
30 0.83 7.04 0.28 11.82 0.06 9.42
Keterangan: Ĝ: kemajuan aktual; %G: persentase kemajuan (%)
41

4.4 Simpulan

Secara umum karakter buah memiliki nilai h2ns yang relatif tinggi pada
analisis parent-offspring berdasarkan mean basis. Hasil analisis individual plant
basis menunjukkan nilai h2ns rendah hingga sedang pada karakter buah. Korelasi
antar karakter buah menunjukkan hubungan yang nyata dan positif. Bobot buah
berkorelasi nyata dan positif terhadap karakter PTT, panjang buah, diameter buah,
tebal daging buah, dan tebal kulit buah. Pada simulasi seleksi sebesar 5% karakter
bobot buah dan PTT, masing-masing menunjukkan kemajuan seleksi sebesar
229.44 g dan 0.58 oBrix.
42

5 KARAKTERISTIK BUAH MELON PADA STADIA


KEMATANGAN BUAH YANG BERBEDA
(Characteristics of Melon Fruits at Different Maturity Stages)

Abstrak

Pemuliaan melon untuk kualitas buah merupakan upaya penting untuk


memperoleh varietas unggul yang memenuhi permintaan konsumen. Tujuan
penelitian ini adalah mengetahui karakteristik buah melon pada lima stadia
kematangan yang berbeda dengan menggunakan sejumlah genotipe yang
termasuk dalam dua kelompok kultivar: reticulatus dan inodorus. Penelitian
dilakukan di Kebun Percobaan IPB Tajur II, Bogor, pada tiga musim tanam: (1)
Januari–Maret 2015 (13 genotipe), (2) (Desember 2015–Februari 2016 (56
genotipe), (3) Februari–Mei 2016 (9 genotipe). Masing-masing percobaan
menggunakan rancangan kelompok lengkap teracak faktor tunggal dengan tiga
kelompok. Stadia kematangan buah dengan skala 1-5 ditentukan berdasarkan
warna kulit buah dan intensitas jala pada permukaan kulit buah. Pengaruh stadia
kematangan terhadap kualitas buah dipelajari melalui analisis gabungan antar
musim. Stadia kematangan berpengaruh nyata terhadap karakter panjang buah,
diameter buah, tebal daging buah, bobot buah, dan padatan terlarut total. Nilai
tengah bobot buah pada stadia kematangan 4 (838.90 g) dan 5 (931.79 g)
menunjukkan berbeda nyata lebih besar dari stadia 1 (584.42 g). Pengaruh stadia
kematangan terhadap padatan terlarut total ditunjukkan oleh perubahan stadia
kematangan 2 (5.51 oBrix) ke 3 (6.13 oBrix) serta perubahan stadia kematangan ke
5 (8.18 oBrix). Bobot buah berkorelasi nyata dengan panjang buah (r=0.53),
diameter buah (r= 0.85), tebal kulit buah (r=0.33), dan tebal daging buah (r=0.63).
Stadia kematangan buah berpengaruh terhadap kualitas buah, sehingga menjadi
pertimbangan penting dalam penentuan kriteria panen buah melon.

Kata kunci: bobot buah, kadar gula, melon, stadia kematangan

Abstract

Breeding melon for fruit quality is important for obtaining improved


varieties that meet the consumers’ demand. The aim of this study was to elucidate
the fruit characteristics of melon at five different maturity stages, involving
several genotypes belonging to two cultivar groups: reticulatus and inodorus. The
experiments were conducted in three planting seasons: (1) January – March 2015
(13 genotypes), (2) December 2015 – February 2016 (56 genotypes), (3) February
– May 2016 (9 genotypes). Each trial was arranged in a single factor randomized
complete block design with three blocks. Maturity stages with a scale of 1–5 are
determined based on fruit rind color and net coverage and their effects on fruit
quality were studied using combined analyses over seasons. Maturity stage were
significantly affected the fruit length, fruit diameter, flesh thickness, fruit weight,
and sugar content. The average weight of the fruits at maturity stage 4 (838.90 g)
and 5 (931.79 g) was significantly greater than that stage 1 (584.42 g). Effects of
43

maturity stage of the sugar content was shown at the changes of maturity stage
from 2 (5.51oBrix) to 3 (6.13oBrix) and to 5 (8.18oBrix). Fruit weight was
significantly correlated with fruit length (r=0.53), fruit diameter (r=0.85), fruit
rind thickness (r=0.33), and flesh thickness (r=0.63). Maturity stages affected the
quality of melon fruits in general, and therefore becomes an important
consideration in determining the harvest criteria of melon fruits.

Keywords: fruit weight, melon, stage maturity, sugar content

5.1 Pendahuluan

Melon (Cucumis melo L.) merupakan buah yang memiliki kandungan


nutrisinya yang cukup banyak USDA (2016). Melon tipe cantalupensis
mengandung beberapa mineral, antara lain kalium, kalsium, Fe, magnesium,
posfor, natrium, dan zink. Selain mineral, kandungan vitamin pada melon antara
lain vitamin C, vitamin A, niasin, vitamin B-6, vitamin E, dan vitamin K. Melon
tipe inodorus memiliki kandungan vitamin C dan A yang lebih rendah
dibandingkan dengan tipe cantalupensis. Selain memiliki kandungan nutrisi yang
banyak, masyarakat juga memggemari melon karena memiliki rasa yang manis,
tekstur buah yang renyah atau kenyal, aroma buah yang khas, dan warna daging
buah melon yang bervariasi. Warna daging buah kuning atau oranye
mengindikasikan adanya kandungan karotenoid yang bermanfaat bagi kesehatan
jantung dan sistem imun tubuh. Warna daging buah hijau mengindikasikan
adanya kandungan vitamin B6 yang bermanfaat untuk menjaga kekuatan tulang
dan gigi.
Melon merupakan tanaman dengan keragaman yang tinggi untuk karakter
buah (Szamosi et al. 2010). Keragaman karakter buah tersebut meliputi bentuk,
ukuran, warna kulit dan daging buah, tekstur kulit, kadar gula, aroma, dan
perbedaan jenis buah (klimakterik dan non klimakterik) berdasarkan produksi
etilen. Menurut Robinson dan Decker-Walters (1999); Sobir dan Siregar (2014)
melon dikelompokan menjadi sejumlah kultivar; tiga diantaranya, yaitu grup C.
melo var. cantalupensis, C. melo var. reticulatus, dan grup C. melo var. inodorus.
Kelompok cantalupensis memiliki ciri-ciri yaitu, buah yang berukuran sedang,
berjuring, dan sedikit berjala, daging buah umumnya berwarna oranye. Buah yang
masak akan terlepas dari tangkainya. Aroma buahnya wangi dan kuat dengan
tekstur daging buah lembut. Kelompok reticulatus memiliki karakter buah yang
berjala, warna daging buah oranye dan hijau muda, umumnya memiliki aroma
buah tetapi tidak lebih kuat dibandingkan tipe cantalupensis. Kelompok inodorus
memiliki karakteristik yaitu, permukaan buah tidak berjala, daya simpan buah
relatif lama, dan buah tidak lepas dari tangkainya ketika masak
Kelompok melon reticulatus dan cantalupensis dengan karakter buah
klimakterik umumnya memiliki umur simpan (shelf life) yang lebih pendek dari
kelompok melon inodorus yang non-klimakterik. Penanganan pascapanen untuk
melon klimakterik perlu lebih diperhatikan untuk mencegah rusaknya buah melon
akibat transportasi dan lamanya penjualan. Umur simpan buah melon
menunjukkan korelasi yang nyata dengan karakter ukuran buah, ukuran benih,
44

padatan terlarut total, warna daging buah, dan perubahan warna pada permukaan
buah (Liu, et al., 2004). Faktor lain yang mempengaruhi umur simpan adalah
stadia kematangan buah. Kualitas buah seperti bobot buah dan padatan terlarut
total diduga akan dipengaruhi oleh stadia kematangan. Oleh sebab itu stadia
kematangan buah merupakan hal penting yang perlu diperhatikan pada kegiatan
panen. Padatan terlarut total pada buah melon tidak akan mengalami peningkatan
setelah buah dipanen, karena padatan terlarut total yang tinggi akan diperoleh saat
buah masih pada tangkai hingga kematangan buah yang maksimal (Mutton et al.,
1981).
Penelitian ini bertujuan untuk: (1) mempelajari karakteristik morfologi
buah melon pada lima stadia kematangan buah yang berbeda, (2) mengembangkan
model linier untuk memprediksi nilai karakter kuantitatif buah berdasarkan stadia
kematangan. Permodelan karakteristik buah khususnya bobot dan padatan terlarut
total akan bermanfaat untuk memprediksi besarnya peningkatan karakter-karakter
buah tersebut pada setiap kenaikan stadia kematangan. Variasi stadia kematangan
pada penelitian ini terjadi akibat serangan penyakit terutama embun bulu (downy
mildew) dan embun tepung (powdery mildew). Model regresi linier yang
dikembangkan diharapkan dapat bermanfaat bagi program pemuliaan tanaman
melon yang dilaksanakan di lingkungan suboptimum yang serupa dengan
penelitian ini. Buah-buah melon yang dipanen belum masak karena tanaman layu
akibat serangan penyakit atau kondisi suboptimum lainnya dapat diprediksi
besaran bobot buah dan padatan terlarut totalnya pada kondisi masak melalui
model regresi yang dikembangkan.

5.2 Metode Penelitian

Penelitian dilaksanakan di Kebun Percobaan IPB Tajur II, Bogor yang


terletak pada ±250 mdpl dan memiliki jenis tanah latosol. Penelitian dilakukan
dalam tiga percobaan: percobaan pertama (Januari–Maret 2015) menggunakan 13
genotipe, percobaan kedua (Desember 2015–Februari 2016) menggunakan 56
genotipe, dan percobaan ketiga (Februari–Mei 2016) menggunakan 9 genotipe.
Ketiga percobaan tersebut dilakukan pada lokasi yang sama dan menggunakan
rancangan kelompok lengkap teracak (RKLT) faktor tunggal dengan tiga
kelompok.
Musim tanam pertama menggunakan 13 genotipe yang terdiri dari, 10
genotipe melon tipe reticulatus dan 3 genotipe melon tipe inodorus. Musim tanam
kedua menggunakan 56 genotipe yang terdiri dari, 38 genotipe melon tipe
reticulatus dan 18 genotipe melon tipe inodorus. Musim tanam ketiga
menggunakan 9 genotipe yang terdiri dari, 1 genotipe melon tipe reticulatus dan 8
genotipe melon tipe inodorus (Tabel 17). Jumlah buah dengan stadia 1 hingga 5
masing-masing adalah, 183 buah, 124 buah, 87 buah, 74 buah , dan 40 buah.
Persiapan lahan dilakukan melalui tahap pengolahan tanah, pembersihan
lahan dari sisa tanaman dan gulma, serta pembuatan bedengan. Pupuk dasar yang
diberikan berupa pupuk kandang dengan dosis 20 ton ha-1 dan pupuk urea dengan
dosis 200 kg ha-1, SP-36 dosis 200 kg ha-1, dan KCl dosis 200 kg ha-1. Bedengan
ditutup dengan mulsa plastik hitam perak kemudian dibuat lubang tanam dengan
jarak tanam 60 cm × 60 cm. Penanaman dilakukan di sore hari untuk menghindari
45

tanaman stres akibat terik matahari. Pemangkasan cabang lateral dilakukan


kecuali pada cabang ke-9 sampai ke-12. Pupuk susulan berupa pupuk NPK dalam
bentuk larutan (konsentrasi 20 g L-1 air; 200 ml per tanaman) dan diberikan pada
pangkal batang tanaman setelah berumur 7, 14, 21, 28, 35, 42, dan 49 hari setelah
tanam (HST), serta pupuk KNO3 pada 45 HST (konsentrasi 5 g L-1 air; 200 ml per
tanaman). Ketiga percobaan dilaksanakan menggunakan teknik budidaya seperti
yang dikemukakan oleh Sobir dan Siregar (2014) yang dimodifikasi.

Tabel 16 Karkter morfologi buah pada stadia kematangan yang berbeda

Stadia 1 Stadia 2 Stadia 3 Stadia 4 Stadia 5


Tipe nodorus

Warna buah Warna buah Warna buah Warna buah Warna buah
hijau, terdapat kuning muda kuning, tidak kuning dan kuning cerah
bulu halus pada dan terdapat terdapat bulu permukaan dan
permukaan sedikit bulu pada buah halus. permukaannya
buah dan halus pada permukaan halus
sedikit lengket. permukaan buah, dan
buah. sedikit halus.
Tipe reticulatus

Tidak terdapat Terdapat Terdapat jala Terdapat jala Terdapat jala


jala pada sedikit jala dengan dengan dengan
permukaan pada intensitas intemsitas intensitas
buah, tangkai permukaan sedang dan banyak dan banyak dan
buah belum buah, tangkai tangkai buah tangkai belum distribusi jala
lepas, dan buah belum belum lepas. lepas. yang merata
terdapat bulu lepas, dan pada seluruh
pada terdapat bulu permukaan
permukaan pada buah, serta
buah, permukaan tangakai buah
permukaan buah. lepas.
sedikit lengket

Stadia kematangan buah ditentukan berdasarkan warna kulit buah dan


intensitas jala pada permukaan kulit buah dengan memberikan skor dari 1 (tidak
matang) hingga 5 (matang sempurna) (Tabel 16). Warna kulit buah melon
kelompok inodorus dibedakan menjadi dua, yaitu kuning dan putih.
46

Buah yang tidak matang memiliki ciri-ciri, yaitu warna permukaan buah
tidak cerah atau terang (inodorus) dan intensitas jala yang sedikit (reticulatus).
Ciri-ciri buah yang matang sempurna, yaitu warna permukaan kulit buah cerah
(tegas) (inodorus) dan intensitas jala yang tinggi atau menutupi seluruh
permukaan buah (reticulatus). Hal ini sesuai dengan pernyataan Cuevas et al.
(2010); Sobir dan Siregar (2014) bahwa kematangan buah melon inodorus
ditandai dengan perubahan warna permukaan buah dari warna hijau tua menjadi
putih atau kuning.
Pengamatan karakter morfologi menggunakan timbangan digital, mistar,
dan hand refractometer untuk mengukur kadar gula pada daging buah. Karakter
morfologi yang diamati meliputi, panjang buah, diameter buah, tebal daging buah,
tebal kulit buah, bobot buah, dan padatan terlarut total (PTT). Pengamatan
karakter morfologi tersebut mengacu pada Descriptor for Melon (Cucumis melo
L.) oleh IPGRI (International Plant Genetic Resources Institute) tahun 2003.
Analisis korelasi-regresi digunakan untuk mengetahui hubungan perbedaan stadia
kematangan dengan karakter morfologi yang diamati. Perangkat lunak yang
digunakan untuk analisis data adalah SAS.

5.3 Hasil dan Pembahasan

Kisaran waktu panen buah melon pada tiap musim percobaan tidak terlalu
jauh, kecuali pada musim 1 (61–79 HST). Rentang waktu panen pada musim 2
adalah 63–65 HST, sedangkan pada musim ketiga, seluruh buah yang diamati
dipanen pada umur 67 HST. Perbedaan stadia kematangan buah lebih disebabkan
oleh ketahanan tanaman karena serangan penyakit embun bulu (downy mildew),
yang disebabkan oleh cendawan Pseudoperonospora cubensis (Berk. & Curtis)
Rostovzev, atau embun tepung (powdery mildew) yang disebabkan oleh cendawan
Erysiphe cichoracearum. Serangan penyakit-penyakit tersebut ditemui pada
ketiga musim tanam dengan intensitas yang berbeda-beda, mengakibatkan
kelayuan pada daun dan menyebabkan tanaman tidak dapat berfotosintesis dengan
baik. Terhambatnya proses fotosintesis mengakibatkan perkembangan buah tidak
optimal, sehingga sebagian besar buah dipanen sebelum mencapai masak
fisiologis.

Tabel 17 Tipe melon yang digunakan pada setiap musim tanam


Umur
Bobot Kadar
Jumlah n=jumlah berbunga
Tipe melon Musim buah gula
genotipe buah hermaprodit
(g) (oBrix)
(HST)
Reticulatus M1 10 114 35 929.80 7.32
M2 38 126 33 729.56 4.33
M3 1 5 34 513.60 4.25
Inodorus M1 3 38 35 700.79 8.28
M2 18 144 33 711.76 5.78
M3 8 98 34 533.94 5.18
47

Hasil analisis ragam gabungan menunjukkan adanya perbedaan antar


musim untuk karakter panjang buah, diameter buah, tebal daging buah, bobot
buah, dan padatan terlarut total (P<0.01) (Tabel 18). Stadia kematangan
menunjukkan pengaruh yang nyata terhadap karakter panjang buah, diameter buah,
tebal daging buah, bobot buah, dan padatan terlarut total, namun tidak nyata untuk
karakter tebal kulit buah. Berdasarkan penelitian Feyzian et al. (2009),
kematangan buah melon merupakan karakter yang ditentukan oleh aksi gen non-
aditif, sedangkan bobot buah merupakan karakter yang dipengaruhi oleh aksi gen
aditif. Genotipe dalam musim menunjukkan pengaruh yang nyata pada semua
karakter.

Tabel 18 Rekapitulasi sidik ragam pada lima stadia kematangan melon


Musim ×
Genotipe Stadia KK
Karakter Musim stadia
(musim) kematangan (%)
kematangan
PB 26.20 ** 10.98 ** 24.34 ** 6.62 ** 11.64
DB 72.94 ** 7.38 ** 24.16 ** 1.06 tn 11.76
TKB 0.13 * 0.09 ** 0.03 tn 0.02 tn 25.32
TDB 5.91 ** 0.59 ** 1.19 ** 0.19 tn 20.06
BB 1115385.26 ** 226343.80 ** 566265.60 ** 43336.19 tn 29.98
PTT 63.22 ** 3.60 ** 28.11 ** 5.95 ** 20.28
Keterangan: PB: panjang buah; DB: diameter buah; TKB: tebal kulit buah; TDB: tebal daging
buah; BB: bobot buah; PTT: padatan terlarut total; KT: kuadarat tengah; KK:
koefisien keragaman; * berbeda nyata pada taraf 5%; ** berbeda nyata pada taraf 1
%; tn tidak berbeda nyata

Pengaruh interaksi antara musim dan stadia kematangan nyata terhadap


karakter panjang buah (Tabel 18). Hal ini antara lain disebabkan karena terlihat
adanya tren peningkatan panjang buah dari stadia kematangan 1 ke stadia
kematangan 5 pada musim 2, namun tidak pada musim 1 dan 3 (Gambar 11a). Hal
ini diduga disebabkan oleh jumlah buah inodorus yang diamati pada musim 2
lebih banyak dibandingkan dengan musim 1 dan 3 (Tabel 17). Tipe inodorus
umumnya memiliki karakter buah lonjong, sehingga tren peningkatan panjang
buah lebih terlihat pada musim 2. Nilai tengah tertinggi panjang buah berdasarkan
rata-rata pada ketiga musim terdapat pada stadia kematangan 4 (13.56 cm) dan 5
(13.25 cm). Pengaruh interaksi musim×stadia kematangan tidak nyata terhadap
diameter buah, namun pengaruh utama stadia kematangannya nyata. Rata-rata
diameter buah tertinggi terdapat pada stadia kematangan 5 (11.79 cm) dan 4
(11.36 cm) (Tabel 19).
48

Tabel 19 Interaksi musim dengan stadia kematangan pada karakter panjang buah
dan diameter buah melon

Stadia Panjang buah (cm)+ Diameter buah (cm)


kematangan M1 M2 M3 Rata-rata M1 M2 M3 Rata-rata
1 11.94abcd 12.41bcd 10.49cd 11.61d 10.74 9.86 8.17 9.59c
2 12.15abc 12.93bcd 11.87abc 12.31bcd 11.53 10.56 8.40 10.16bc
3 11.94abcd 13.01bc 12.96ab 12.63bc 11.42 11.01 9.39 10.61bc
4 12.55ab 14.94a 13.19a 13.56a 12.46 11.99 9.63 11.36a
5 13.14a 14.81ab 11.81abcd 13.25ab 12.71 12.53 10.13 11.79a
Keterangan: Nilai-nilai yang diikuti huruf yang sama pada tiap kolom peubah menunjukkan
berbeda tidak nyata pada uji lanjut Tukey-Kramer pada taraf 5%; M1: Musim 1; M2:
Musim 2; M3: Musim 3; + karakter yang menunjukkan pengaruh nyata pada
interaksi musim dan stadia kematangan

Perbedaan stadia kematangan tidak mempengaruhi perubahan tebal kulit


buah, namun mempengaruhi tebal daging buah dan bobot buah. Pada stadia
kematangan 5, rata-rata tebal kulit buah adalah 0.74 cm. Rata-rata tebal daging
buah pada stadia kematangan 3 (1.90 cm) tidak berbeda nyata dengan stadia 4
(2.03 cm) dan 5 (2.18 cm) (Tabel 20). Rata-rata bobot buah pada stadia
kematangan 1 (584.42 g) tidak berbeda nyata dengan stadia 2 (676.63 g),
namunterjadi perubahan yang nyata pada stadia kematangan 3 (720.02 g) ke stadia
kematangan 4 (838.90 g). Nilai tengah bobot buah pada stadia kematangan 4 tidak
berbeda nyata dengan stadia kematangan 5 (931.79 g) (Tabel 21).

Tabel 20 Interaksi musim dengan stadia kematangan pada karakter tebal kulit
buah dan tebal daging buah melon

Stadia Tebal kulit buah (cm) Tebal daging buah (cm)


kematangan M1 M2 M3 Rata-rata M1 M2 M3 Rata-rata
1 0.60 0.69 0.68 0.66a 1.95 1.91 1.09 1.65d
2 0.63 0.75 0.61 0.66a 2.17 2.09 1.23 1.83cd
3 0.65 0.76 0.71 0.71a 2.02 2.16 1.50 1.90abc
4 0.69 0.73 0.69 0.70a 2.16 2.38 1.55 2.03ab
5 0.64 0.83 0.75 0.74a 2.24 2.40 1.91 2.18a
Keterangan: Nilai-nilai yang diikuti huruf yang sama pada tiap kolom peubah menunjukkan
berbeda tidak nyata pada uji lanjut Tukey-Kramer pada taraf 5%; M1: Musim 1; M2:
Musim 2; M3: Musim 3
49

16 10

Padatan terlarut total (oBrix)


14 9

Panjang buah (cm)


8
12
7
10 6
8 M1 5 M1
6 4
M2 M2
3
4
M3 2 M3
2 1
0 0
0 2 4 6 0 2 4 6
Stadia kematangan Stadia kematangan

Keterangan: M1: musim tanam 1; M2: musim tanam Keterangan: M1: musim tanam 1; M2: musim tanam
2; M3: musim tanam 3 2; M3: musim tanam 3

(a) (b)

Gambar 11 Interaksi panjang buah dan stadia kematangan melon (a); interaksi
PTT dan stadia kematangan melon (b)
Interaksi antara musim dan stadia kematangan terhadap karakter padatan
terlarut total menunjukkan pengaruh yang nyata (Gambar 11b). Meskipun nyata,
pengaruh interaksi ini dinilai tidak besar karena pada ketiga musim masih terlihat
tren peningkatan kandungan padatan terlarut total dalam rentang stadia
kematangan 1–5. Nilai rata-rata padatan terlarut total tertinggi pada musim 1, 2,
dan 3 ditemukanpada stadia kematangan 5, masing-masing sebesar 8.36 oBrix,
8.67 oBrix, dan 7.52 oBrix. Pada rata-rata padatan terlarut total, pengaruh stadia
kematangan terhadap padatan terlarut total ditunjukkan oleh perubahan stadia
kematangan 2 (5.51 oBrix) ke 3 (6.13 oBrix) serta perubahan stadia kematangan 4
(6.73 oBrix) ke 5 (8.18 oBrix). Stadia kematangan 1 (5.32 oBrix) tidak
menunjukkan perbedaan yang nyata dengan stadia kematangan 2 (Tabel 21).
Pada percobaan oleh Abu-Goukh et. al., (2011) kandungan gula pada
melon jenis cantaloupe mencapai puncaknya pada 42 hari setelah antesis.
Menurut Senesi et al. (2005) terdapat perbedaan padatan terlarut total pada sampel
melon dengan stadia kematangan yang berbeda, yaitu stadia belum matang
(unripe), stadia matang (ripe), dan stadia lewat matang (overripe). Perubahan
tersebut terjadi pada kisaran 10 oBrix hingga 15 oBrix. Pada percobaan lain oleh
Suketi et al., (2010) nilai padatan terlarut total buah pepaya umumnya mengalami
peningkatan seiring dengan meningkatnya stadia kematangan buah. Menurut
Falah et al. (2015) pada peningkatan stadia kematangan buah pepaya, kandungan
karotenoid relatif stabil atau tidak menunjukkan adanya peningkatan yang
signifikan. Menurut Ezura dan Owino (2008) buah melon yang memiliki warna
daging buah oranye umumnya menghasilkan produksi etilen yang tinggi
dibandingkan dengan tipe melon yang memiliki warna daging buah hijau atau
putih. Umumnya melon dengan warna daging buah hijau atau putih memiliki daya
simpan yang lebih baik.
50

Tabel 21 Interaksi musim dengan stadia kematangan pada karakter bobot buah
dan PTT melon

Stadia Bobot buah (g) Padatan terlarut total (oBrix)+


kematangan M1 M2 M3 Rata-rata M1 M2 M3 Rata-rata
1 707.78 659.46 386.02 584.42c 7.34bcd 4.27c 4.34bcd 5.32c
2 828.15 737.63 464.42 676.73bc 7.26abcd 4.95bc 4.32bcd 5.51c
3 776.72 791.85 591.48 720.02b 8.00ab 5.33b 5.05abc 6.13b
4 893.61 979.27 643.82 838.90a 7.77abc 6.63a 5.78ab 6.73b
5 1035.52 1069.74 690.11 931.79a 8.36a 8.67a 7.52a 8.18a
Keterangan: Nilai-nilai yang diikuti huruf yang sama pada tiap kolom peubah menunjukkan
berbeda tidak nyata pada uji lanjut Tukey-Kramer pada taraf 5%; M1: Musim 1; M2:
Musim 2; M3: Msuim 3; + karakter yang menunjukkan pengaruh nyata pada
interaksi musim dan stadia kematangan

Karakteristik buah melon pada lima stadia kematangan buah yang berbeda
dapat dibedakan berdasarkan tipe buah, yaitu reticulatus (berjala) dan inodorus
(tanpa jala). Karakter buah yang menunjukkan perbedaan stadia kematangan
antara lain, perubahan tingkat kecerahan warna buah pada tipe buah inodorus dan
intensitas jala pada tipe buah cantalupensis (Tabel 16). Hal ini sesuai dengan
pernyataan Cuevas et al. (2010) bahwa kematangan buah melon ditandai dengan
perubahan warna permukaan buah dari warna hijau tua menjadi hijau muda atau
kuning (tipe inodorus). Selain karakter warna permukaan buah dan intensitas jala,
karakter lain seperti tangkai yang terlepas saat stadia kematangan 5 untuk tipe
buah cantalupensis juga dapat digunakan sebagai karakter yang membedakan
antar stadia kematangan. Hal ini dikemukakan oleh Sobir dan Siregar (2014)
sebagai kriteria panen, namun dalam percobaan ini karakter lepasnya tangkai buah
tersebut tidak diamati.
Kedua tipe buah melon juga dapat dibedakan berdsarkan karakter
klimakterik untuk tipe reticulatus dan non-klimakterik untuk tipe inodorus. Hal
ini sesuai dengan pernyataan Oh et al. (2011) bahwa melon yang memiliki jala
pada permukaan buah menunjukkan produksi etilen yang lebih tinggi
dibandingkan dengan melon tanpa jala. Menurut Pech et al. (2008) pemasakan
buah (fruit ripening) dipengaruhi oleh beberapa faktor yang yang bersifat
ethylene-dependent (sintesis aroma volatile, respirasi klimakterik, dan kondisi
permukaan kulit buah) dan ethylene-independent (inisiasi klimakterik, akumulasi
kandungan gula, pelepasan asam, dan warna pada daging buah). Penyusun asam
amino aromatik pada buah melon memiliki respon positif terhadap kandungan
etilen, sehingga terdapat hubungan antara aroma buah dengan kandungan etilen
(Li et al. 2016). Melon tipe reticulatus memiliki aroma buah yang meningkat
seiring dengan peningkatan stadia kematangan buah, sedangkan tipe inodorus
umumnya tidak menunjukkan adanya aroma buah. Menurut Oh et al. (2011)
aroma volatile pada muskmelon (tipe berjala) mengalami perubahan sejak
pertumbuhan, kematangan, dan kemasakan dan berhubungan dengan produksi
etilen dan respirasi. Penelitian ini berupaya mendekati keperluan praktis untuk
progam pemuliaan sehingga menggunakan karakteristik morfologi buah untuk
membedakan stadia kematangan, dan tidak melakukan analisis yang berkaitan
dengan pengaruh etilen terhadap kematangan buah.
51

1000 y = 84.077x + 495.93 9


931.79 y = 0.717x + 4.2597
900 R² = 0.9898 8 R² = 0.9104 8.18
838.90
800 7
720.02 6.73
700 676.73 6.13
6
Bobot buah (g)

PTT (OBrix)
600 584.42 5.32 5.51
5
500
4
400
3
300
200 2

100 1
0 0
0 1 2 3 4 5 0 1 2 3 4 5
Stadia Kematangan Stadia Kematangan

(a) (b)
Gambar 12 Regresi stadia kematangan buah dengan bobot buah melon (g)
(n=72) (a); regresi stadia kematangan buah dengan PTT (oBrix)
melon (n=72) (b)
Analisis regresi menggambarkan hubungan antara suatu peubah bebas (X,
stadia kematangan) dan satu peubah tak bebas (Y, karakter buah yang diamati).
Hubungan antara peubah bebas dan peubah terikat tersebut secara kuantitaif dapat
dimodelkan dalam suatu persamaan matematika yang kemudian dapat digunakan
untuk menduga nilai suatu peubah tak bebas (Y) jika diketahui nilai peubah
bebasnya (X). Regresi antara bobot buah dan stadia kematangan serta padatan
terlarut total dan stadia kematangan ditunjukkan pada Gambar 12.
Nilai a dan b disajikan dalam bentuk persamaan regresi (Tabel 22).
Besarnya perubahan nilai Y jika terjadi perubahan pada nilai X satu satuan adalah
sebesar b. Peningkatan satu stadia kematangan buah diperkirakan meningkatakan
bobot buah dan padatan terlarut total masing-masing sebesar 85.69 g dan 0.69
o
Brix (Tabel 22). Pendugaan bobot buah dan padatan terlarut total pada stadia
kematangan 5 masing-masing adalah 921.75 g dan 7.76 oBrix. Peningkatan satu
stadia untuk karakter panjang buah adalah 0.45 cm, diameter buah adalah 0.56 cm,
tebal daging buah adalah 0.13 cm, dan tebal kulit buah adalah 0.02 cm.

Tabel 22 Persamaan regresi pada karakter melon

R2 (%) Nilai P
Karakter Persamaan regresi
tersesuaikan a b
Panjang buah (PB) TK=11.31+0.45(PB) 81.47 <0.0001 0.0230
Diameter buah (DB) TK=9.02+0.56(DB) 99.18 <0.0001 0.0002
Tebal kulit buah (TKB) Tk=0.63+0.02(TKb) 79.66 <0.0001 0.0265
Tebal daging buah (TDB) TK=1.54+0.13(TDb) 98.08 <0.0001 0.0007
Bobot buah (BB) TK=493.30+85.69(BB) 97.85 0.0002 0.0009
Padatan terlarut total (PTT) TK=4.29+0.69(PTT) 87.71 0.002 0.0122
Keterangan : a: nilai intersep; b: nilai koefisien regresi
52

Panjang buah berkorelasi nyata terhadap diameter buah dan bobot buah
(Tabel 23). Bobot buah berkorelasi positif dan sangat nyata dengan panjang buah
(r= 0.53; P<0.01), diameter buah (r= 0.85; P<0.01), tebal kulit buah (r= 0.33;
P<0.01), dan tebal daging buah (r= 0.63; P<0.01) (Tabel 8). Pada percobaan oleh
Manohar dan Murthy (2012), daya simpan buah melon berkorelasi nyata dan
positif dengan karakter tebal daging buah (r= 0.54) dan bobot buah (r= 0.26).

Tabel 23 Koefisien korelasi diantara karakter yang berhubungan dengan stadia


kematangan buah (n=72) melon

PB DB TKB TDB BB
tn
DB 0.20
TKB 0.01 tn 0.39 **
TDB 0.11 tn 0.69 ** 0.31 **
BB 0.53 ** 0.85 ** 0.33 ** 0.63 **
PTT 0.11 tn 0.17 tn -0.27 * -0.06 tn 0.12 tn
Keterangan: * Berkorelasi nyata pada taraf 5% berdasarkan metode Pearson; ** berkorelasi nyata
pada taraf 1% berdasarkan metode Pearson; tn berkorelasi tidak nyata pada taraf 5%
berdasarkan metode Pearson; PB: panjang buah; DB: diameter buah; TKB: tebal
kulit buah; TDB: tebal daging buah; BB: bobot buah; PTT: padatan terlarut total

5.4 Simpulan

Stadia kematangan berpengaruh nyata terhadap beberapa karakter buah


melon, yaitu panjang buah, diameter buah, tebal daging buah, bobot buah, dan
padatan terlarut total. Model regresi linier yang diperoleh dapat memprediksi
beberapa karakteristik buah pada stadia kematangan yang berbeda. Peningkatan
satu stadia kematangan buah diperkirakan meningkatakan bobot buah dan padatan
terlarut total masing-masing sebesar 85.69 g dan 0.69 oBrix. Bobot buah
berkorelasi positif dan sangat nyata dengan panjang buah (r= 0.53), diameter buah
(r= 0.85), tebal kulit buah (r= 0.33), dan tebal daging buah (r= 0.63). Buah dengan
kualitas baik berdasarkan karakter diameter buah, tebal daging buah, bobot buah,
dan padatan terlarut total ditunjukkan pada stadia kematangan 5. Stadia
kematangan buah menunjukkan pengaruh terhadap kualitas buah, sehingga
menjadi pertimbangan penting dalam penentuan kriteria panen buah melon.
53

6 ANALISIS RESPON DIFERENSIAL GENOTIPE MELON


TERHADAP PERLAKUAN KNO3
(Differential Responses of Melon Genotypes to KNO3
Treatments)

Abstrak

Kalium (K) merupakan unsur yang dibutuhkan oleh tanaman dan


berpengaruh terhadap kualitas buah. Penelitian ini bertujuan untuk
mengidentifikasi pengaruh interaksi genotipe × lingkungan (perlakuan KNO3)
terhadap peningkatan kualitas buah melon. Percobaan dilakukan pada bulan
Agustus–Oktober 2016 di Kebun Percobaan IPB Tajur II, Bogor menggunakan
rancangan petak terbagi (split plot design) dengan tiga ulangan. Faktor petak
utama adalah perlakuan pupuk KNO3 dengan dua taraf, yaitu tanpa aplikasi dan
dengan aplikasi. Faktor anak petak adalah genotipe dengan delapan taraf, yang
terdiri dari tujuh genotipe uji dan satu varietas pembanding (Eagle). Perlakuan
KNO3 dilakukan setiap minggu mulai 7–49 HST dengan konsentrasi 5 g L-1 dan
volume aplikasi ± 200 ml tanaman-1. Interaksi G×E berpengaruh nyata terhadap
karakter padatan terlarut total (PTT) dan total asam tertitrasi (TAT). Genotipe P34
(IPB Meta 9) memiliki PTT dan TAT yang relatif tinggi. P25 merupakan genotipe
yang menunjukkan respon positif berupa peningkatan PTT pada perlakuan KNO3,
namun sebaliknya genotipe Eagle, P311, dan P34 (IPB Meta 9) menunjukkan
penurunan kadar gula yang signifikan pada perlakuan KNO3. Karakter yang
memiliki nilai heritabilitas (repeatabilitas) arti luas yang relatif tinggi adalah umur
berbunga jantan, umur berbunga hermaprodit, dan bobot buah, sedangkan yang
relatif sedang adalah umur panen, diameter buah, tebal daging buah, tebal kulit
buah, dan PTT. Bobot buah berkorelasi positif dengan diameter buah, tebal daging
buah, dan tebal kulit buah. Adanya interaksi genotipe × lingkungan
mengindikasikan bahwa aplikasi pupuk KNO3 disarankan pada pertanaman
genotipe melon yang memiliki respon positif.

Kata kunci: korelasi, KNO3, melon, padatan terlarut total

Abstract

Potassium (K) is a mineral nutrient needed by crops and influences fruit


quality. The objective of this study was to identify the interaction effects of
genotype by environment (KNO3 treatments) on fruit traits of melon. The
experiment was conducted from August to October 2016 at Tajur II Experimental
Station of IPB, Bogor, following a split plot design with three blocks. The main
plot was two levels of KNO3, i.e. without application and with application. The
subplot was eight genotypes, consisting of seven test genotypes and one check
variety (Eagle). The KNO3 treatments were applied weekly, started from 7–49
DAP with 5 g L-1 concentration, ±200 ml plant-1. G×E interaction were significant
for total soluble solid (TSS) and titratable acidity (TA). P34 (IPB Meta 9) had
relatively high TSS and TA. P25 showed a significant increase of TSS when
54

KNO3 is added, while Eagle, P311, and P34 (IPB Meta 9) showed significant
decrease of TSS. Days to male flowering, days to hermaphrodite flowering, and
fruit weight had relatively high broad sense heritability (repeatability), while days
to harvest, fruit diameter, flesh thickness, rind thickness, and TSS had relatively
medium heritability. Fruit weight had significant positive correlation with fruit
diameter, flesh thickness, and rind thickness. Significant of genotype ×
environmental interactions indicates that KNO3 application is suggested when a
postive-response melon genotypes is planted.

Key words: correlation, KNO3, melon, total soluble solids

6.1 Pendahuluan

Melon (Cucumis melo L.) merupakan komoditas hortikultura yang


termasuk dalam famili Cucurbitaceae. Afrika diduga merupakan daerah asal
penyebaran tanaman melon (Robinson dan Decker-Walters 1999; Malik et al.
2014). Produksi melon di Indonesia mengalami peningkatan sejak tahun 2010 (85
161 ton) dan mengalami puncaknya pada tahun 2014 (150 356 ton) (BPS 2017).
Selain adanya peningkatan produksi tersebut, melon juga merupakan buah yang
memiliki banyak nutrisi, seperti mineral dan vitamin (USDA 2016), sehingga
permintaan konsumen terhadap buah ini terus menunjukkan adanya peningkatan.
Melon juga merupakan tanaman yang memiliki keragaman genetik yang
tinggi (Robinson dan Decker-Walters 1999; Nuñez-Palenius et al. 2008; Ali-
Shtayeh et al. 2015), sehingga keragaman buah juga menjadi minat konsumen.
Warna daging buah melon secara umum adalah hijau muda, oranye muda, oranye,
dan putih. Beberapa tipe melon juga memiliki aroma buah melon yang khas, serta
tekstur daging buah yang berbeda, yaitu kenyal, renyah, dan lembut (Rubatzky
dan Yamaguchi 1997). Pengelompokan pada melon berdasarkan karakter buah
dan kegunaannya (bukan berdasarkan keragaman botani dan filogeninya) dikenal
dengan istilah Naudin’s Categories, yaitu melon grup cantalupensis, grup
inodorus, grup flexuosus, grup conomon, grup dudaim, dan grup momordica
(Robinson dan Decker-Walters 1999). Melon memiliki keragaman pada karakter
warna kulit buah, warna daging buah, permukaan buah, bentuk buah, dan karakter
buah klimakterik dan nonklimakterik (Nuñez-Palenius et al. 2008; Sobir dan
Siregar 2014).
Upaya perbaikan kualitas buah selain dipengaruhi oleh materi genetik juga
dipengaruhi oleh lingkungan. Pengaruh lingkungan dapat mendukung hasil akhir
kualitas buah melalui budidaya yang sesuai. Menurut Rubatzky dan Yamaguchi
(1997) kebutuhan nutrisi selama pertumbuhan dan perkembangan tanaman
merupakan hal yang perlu menjadi perhatian pada budidaya melon. Menurut
Lester et al. (2010) salah satu nutrisi tersebut adalah kalium (K) yang merupakan
mineral esensial yang dibutuhkan tanaman dan memiliki pengaruh secara
signifikan pada peningkatan kandungan nutrisi buah dan sayur. Kalium memiliki
pengaruh penting terhadap kualitas buah dan kandungan fitonutrisi penting pada
buah seperti asam askorbat, kalium, dan β-karoten. Selain itu, Pettigrew (2008)
menambahkan bahwa kalium memiliki peran yang penting pada proses fisiologi
pertumbuhan dan perkembangan tanaman, seperti transportasi air, fotosintesis,
55

tranport asimilat, dan aktivitas enzim. Defisiensi kalium pada tanaman dapat
mengurangi produksi jumlah daun dan ukuran daun, selanjutnya akan berdampak
pada produksi dan kualitas buah. Sobir dan Siregar (2014) mengemukakan bahwa
salah satu jenis pupuk kalium yang umum digunakan dalam budidaya melon
adalah KNO3
Rengel dan Damon (2008) mengemukakan bahwa genotipe yang berbeda
dapat menunjukkan kemampuan yang berbeda juga dalam proses penyerapan dan
pemanfaatan kalium. Efisiensi penyerapan dan pemanfaatan KNO3 yang berbeda
antar genotipe secara praktis menjadi pertimbangan karena berkaitan dengan biaya
input pupuk. Analisis interaksi genotipe×lingkungan (G×E) dapat dilakukan untuk
mengetahui perbedaan respon antar genotipe terhadap perubahan lingkungan.
Penelitian ini bertujuan untuk mempelajari pengaruh interaksi antara genotipe
melon dengan perlakuan pupuk KNO3 terhadap kerakteristik morfologi dan
kualitas buah melon.

6.2 Metode Penelitian

Penelitian dilaksanakan pada bulan Agustus–Oktober 2016 di Kebun


Percobaan IPB Tajur II, Bogor. Percobaan menggunakan rancangan petak terbagi
(split plot design). Perlakuan KNO3 sebanyak dua taraf, K0 (tanpa aplikasi KNO3)
dan K1 (dengan aplikasi KNO3) merupakan petak utama, sedangkan tujuh
genotipe uji (P2, P21, P25, P27, P29, P311, dan P34 (IPB Meta 9)) dan satu
varietas pembanding (Eagle) merupakan anak petak dalam percobaan. Model
linier aditif dari rancangan yang digunakan berdasarkan Mattjik dan Sumertajaya
(2006) adalah:

Yijk = m + Ki + (KB)ik + Gj + (KG)ij + Bk + eijk


(i=1,2; j=1,2,3,...,8; k=1,2,3)

dimana, Yij merupakan respon pengamatan dari perlakuan KNO3 ke-i, genotipe
ke-j, kelompok ke-k; m merupakan nilai tengah umum; Ki merupkan pengaruh
perlakukan KNO3 ke-i; (KB)ik merupakan pengaruh galat petak utama; Gj
merupakan pengaruh genotipe ke-j; (KG)ij merupakan pengaruh interaksi
perlakuan KNO3 ke-i dan genotipe ke-j; Bk merupakan pengaruh kelompok ke-k;
dan eijk merupakan pengaruh galat anak petak.
Persiapan lahan dilakukan melalui tahap pembersihan lahan dari sisa
tanaman dan gulma, pengolahaan tanah serta pembuatan bedengan. Pupuk dasar
yang diberikan berupa pupuk kandang dengan dosis 20 ton ha-1 dan pupuk urea
dengan dosis 250 kg ha-1, SP-36 dosis 250 kg ha-1, dan KCl dosis 250 kg ha-1.
Pemupukan susulan berupa NPK dan perlakuan KNO3 dilakukan setiap minggu
mulai 7–49 HST dengan konsentrasi NPK 5–20 g L-1 dan KNO3 5 g L-1 dan
diberikan sebanyak 200 ml tanaman-1. Pupuk diaplikasikan dalam bentuk larutan
disekitar lubang tanam.
Penanaman bahan tanam diawali dengan pengecambahan benih selama ±
36 jam pada suhu kamar dan dilanjutkan pada persemaian selama 10 hari atau
minimal terdapat tiga daun. Penanaman dilakukan dengan jarak tanam 60 cm × 60
cm sebanyak satu bibit per lubang. Penyulaman bibit di lapang dilakukan hingga
56

satu minggu setelah tanam. Pemeliharaan tanaman meliputi pemasangan ajir


paling lambat 3 hari setelah tanam, penyiraman, pengendalian hama penyakit
secara kimia dan mekanis, pengikatan tanaman serta buah, pemangkasan cabang
lateral kecuali cabang ke–9 sampai ke–12. Panen pada melon berjala dilakukan
setelah jala sudah memenuhi seluruh permukaan buah, tangkai buah mengalami
keretakan (cracking), dan buah mengeluarkan aroma harum. Pada melon tidak
berjala, panen dilakukan setelah warna kulit buah mengalami perubahan menjadi
lebih tua, serta tidak ada bulu halus pada permukaan kulit buah.
Pengamatan yang dilakukan mengacu pada Descriptor for Melon (IPGRI
2003). Pengamatan karakteristik morfologi tanaman dan buah dilakukan dengan
menggunakan jangka sorong, timbangan digital, meteran, penggaris, dan hand
refractometer. Bahan kimia yang digunakan pada analisis total asam tertitrasi
adalah NaOH 0.1 M dan indikator phenoftalin (PP) 1% (Askar dan Treptow 1993)
sedangkan, untuk analisis vitamin C adalah iodin 0.01 N, indikator amilum 1%,
dan akuades (Sudarmadji et al. 2007).
Karakter yang diamati meliputi karakter kuantitatif dan kualitatif. Karakter
kuantitatif meliputi umur berbunga jantan, umur berbunga hermaprodit, umur
panen, panjang buah, diameter buah, tebal daging, tebal kulit, bobot, kadar gula,
TAT, dan vitamin C. Analisis ragam dan uji perbedaan nilai tengah menggunakan
metode Tukey pada taraf nyata 5% dilakukan dengan perangkat lunak R dan SAS.
Nilai heritabilitas arti luas berbasis rata-rata genotipe (genotype mean basis)
dihitung sebagai perbandingan antara ragam genotipik dan fenotipik (Syukur et al.
2012). Analisis koefisien korelasi Pearson dilakukan untuk melihat ukuran
keeratan hubungan linier antakarakter yang diamati dalam percobaan (Walpole
1982).

6.3 Hasil dan Pembahasan

6.3.1 Interaksi Genotipe×Lingkungan (Perlakuan KNO3)


Analisis ragam menunjukkan pengaruh utama genotipe yang nyata
terhadap semua karakter kuantitatif yang diamati kecuali panjang buah dan
kandungan vitamin C (Tabel 24). Hal ini mengindikasikan keragaman sifat
diantara genotipe uji yang bermanfaat dalam program pemuliaan melon sekaligus
sebagai koleksi plasma nutfah (Ali-Shtayeh et al. 2015). Keragaman sifat antar
genotipe melon tidak hanya terdapat pada keragaan agronomi dan morfologi
buahnya tetapi juga pada kandungan biokimia daging buahnya. Penelitian
sebelumnya melaporkan bahwa total asam tertitrasi pada C. melo subsp. agrestis
grup momordica diketahui memiliki kandungan total asam tertitrasi tiga kali lebih
tinggi (0.24–0.36%) dibandingkan grup cantalupensis (0.07–0.18%) (Malik et al.
2014).
Penelitian ini berhasil mengidentifikasi pengaruh interaksi antara genotipe
dan KNO3 terhadap karakter PTT (P<0.01) dan TAT (P<0.05) (Tabel 1). Menurut
Lester et al. (2010) aplikasi beberapa bentuk kalium (K) yaitu, KCl, KNO3,
K2SO4, Gly–K, KH2PO4, dan KTS berpengaruh pada peningkatan kualitas buah
seperti kandungan PTT, total gula, dan β-karoten. Dalam penelitian tersebut,
aplikasi KNO3 yang dilakukan setiap minggu sejak fruit set hingga buah matang
tidak menunjukkan respon yang berbeda dengan kontrol (tanpa perlakuan K),
57

diduga karena waktu aplikasi K yang berhubungan dengan fenologi tanaman.


Aplikasi K pada penelitian tersebut dilakukan saat tanaman berada pada fase
reproduktif, sedangkan KNO3 mengandung N (± 30%) yang juga berperan pada
pertumbuhan vegetatif.

Tabel 24 Rekapitulasi sidik ragam karakter kuantitatif melon


Karakter Nilai KT KK (%)
Genotipe (G) G×E
Umur berbunga jantan 20.20 ** 3.48 tn 4.77
Umur berbunga hermaprodit 21.36 ** 0.20 tn 6.53
**
Umur panen 15.14 1.16 tn 2.51
tn
Panjang buah 3.38 0.61 tn 9.29
**
Diameter buah 4.75 0.46 tn 7.62
**
Tebal daging buah 0.43 0.03 tn 9.90
Tebal kulit buah 0.07 ** 0.01 tn 12.07
**
Bobot buah 165017.00 5100.00 tn 15.19
**
Padatan terlarut total (PTT) 2.27 1.05 ** 10.86
**
Total asam tertitrasi (TAT) 0.01 0.00 * 10.47
tn
Vitamin C 13.42 11.52 tn 13.72
Keterangan: KT: kuadrat tengah; KK: koefisien keragaman; * berbeda nyata pada taraf 5%; **
berbeda nyata pada taraf 1 %; tn tidak berbeda nyata

Genotipe P25, P29, dan P2 memiliki umur berbunga jantan tercepat (22–
24 HST), sedangkan genotipe P21, P311, IPB Meta 9, dan Eagle memiliki umur
berbunga jantan terlama (25–28 HST) (Tabel 25). Umur berbunga hermaprodit
tercepat terdapat pada genotipe P27, P2, dan P25 (30–33 HST), sedangkan yang
terlama adalah genotipe P21, P311, IPB Meta 9, dan Eagle (34-37 HST). Umur
panen genotipe melon pada percobaan ini adalah 62–66 HST. Genotipe P2, P27,
P29 memiliki umur panen tercepat (62 HST), namun tidak berbeda nyata dengan
P25 dan Eagle (63 HST), P311 dan P21 (64 HST dan 65 HST). Genotipe IPB
Meta 9 memiliki umur panen relatif lama, yaitu 66 HST.

Tabel 25 Nilai tengah terkoreksi untuk umur berbunga jantan, umur berbunga
hermaprodit, umur panen, panjang buah, diameter buah, dan tebal
daging buah pada genotipe melon yang dievaluasi
Umur Umur Tebal
Umur Panjang Diameter
berbunga berbunga daging
Genotipe panen buah buah
jantan hermaprodit buah
(HST) (cm) (cm)
(HST) (HST) (cm)
P2 24 cd 32 ab 62 b 13.9 11.8 a 2.3 a
P21 28 a 36 a 65 ab 11.7 10.6 abc 2.2 abcd
P25 22 d 33 ab 63 ab 12.9 11.8 a 2.3 ab
P27 25 bc 30 b 62 b 12.3 9.8 bc 1.8 cd
P29 23 cd 34 ab 62 b 13.4 9.5 c 1.7 d
P311 27 ab 34 a 64 ab 13.5 10.4 abc 2.6 a
P34 26 abc 34 a 66 a 11.8 9.5 a 1.9 bcd
Eagle 25 abc 34 a 63 ab 13.4 11.4 ab 2.2 abc
Keterangan: HST: hari setelah tanam; nilai-nilai yang diikuti huruf yang sama pada tiap kolom
peubah tidak berbeda nyata berdasarkan uji lanjut Tukey pada taraf 5%
58

Keragaan morfologi dan kualitas buah dalam percobaan ini kurang optimal
akibat adanya serangan penyakit embun bulu (downy mildew) selama percobaan
yang menyebabkan kondisi buah tidak dapat mencapai masak fisiologis. Panjang
buah (11.8–14.0 cm; P>0.05) tidak berbeda nyata antar genotipe yang diamati.
Keragaman genetik melon untuk karakter panjang buah dilaporkan cukup tinggi.
Menurut Robinson dan Decker-Walters (1999); Nuñez-Palenius et al. (2008)
terdapat subsp. melo yang memiliki panjang buah mencapai 150 cm sedangkan,
subsp. agrestis hanya memiliki panjang buah 4 cm. Genotipe P2, P25, dan Eagle
memiliki rata-rata diameter buah terbesar (> 11.0 cm), sedangkan genotipe P29,
P27, P311, dan IPB Meta 9 memiliki diameter buah relatif kecil (9.5–10.4 cm).
Daging buah P311, P2, P25, P21, dan Eagle rata-rata lebih tebal dari genotipe P27,
P29, dan IPB Meta 9 (Tabel 25).
Tebal kulit buah genotipe yang diamati berkisar antara 0.52–0.85 cm.
Meskipun kulit buah yang lebih tipis menandakan edible partion yang lebih besar,
namun kulit yang cukup tebal dan keras diperlukan untuk menjaga kualitas buah
selama transportasi. Genotipe P2 dan P25 (945–1 045 g) memiliki rata-rata bobot
buah yang relatif lebih besar dibandingkan genotipe P29, P27, dan IPB Meta 9
(540–583 g). Rata-rata PTT genotipe IPB Meta 9, P25, P311 (5.0–5.5 oBrix)
relatif lebih tinggi dari P2, P21, P29, dan Eagle (3.5–4.3 oBrix) (Tabel 26).
Rata-rata kandungan TAT genotipe IPB Meta 9 nyata lebih tinggi dari
semua genotipe lainnya, namun rata-rata kandungan vitamin C tidak berbeda
nyata antar genotipe (Tabel 26). Menurut Malik et al. (2014) terdapat keragaman
kadar gula dan TAT antar sub spesies melon yang berbeda. Grup momordica
(subsp. agrestis) memiliki PTT 3.6 oBrix dan TAT 0.31%, sedangkan grup
cantalupensis (subsp. melo) memiliki PTT 11.4 oBrix dengan TAT 0.09%.
Aplikasi K2SO4 juga menunjukkan pengaruh yang signifikan terhadap TAT dan
vitamin C pada buah jeruk ‘Kinnow’ mandarin (0.82% dan 25.79 mg/100 g)
dibandingkan dengan kontrol (0.75% dan 19.53 mg/100 g) (Nasir et al. 2016).
Estimasi nilai tengah terkoreksi untuk total asam tertitrasi dan vitamin C dalam
penelitian ini tidak dapat diperoleh untuk genotipe P2, P29, P311, dan Eagle
karena kurangnya jumlah pengamatan.

Tabel 26 Nilai tengah terkoreksi untuk tebal kulit buah, bobot buah, kadar gula,
total asam tertitrasi, dan vitamin C pada genotipe melon yang
dievaluasi
Padatan Total asam
Tebal kulit Bobot buah Vitamin C
Genotipe terlarut total tertitrasi
buah (cm) (g) (mg/100 g)
(PTT) (oBrix) (TAT) (%)
P2 0.85 a 1035 a 3.5 d – –
P21 0.61 bc 694 cd 3.9 cd 0.13 b 21.45
P25 0.76 ab 941 ab 5.0 abc 0.17 b 23.81
P27 0.57 c 562 d 4.7 abc 0.13 b 20.55
P29 0.52 c 540 d 4.3 bcd – –
P311 0.59 c 730 bcd 5.1 ab – –
IPB Meta 9 0.59 c 583 cd 5.5 a 0.27 a 21.96
Eagle 0.76 ab 809 abc 4.0 bcd – –
Keterangan: Nilai-nilai yang diikuti huruf yang sama pada tiap kolom peubah tidak berbeda nyata
berdasarkan uji lanjut Tukey pada taraf 5%; – data tidak mencukupi
59

Analisis interaksi genotipe×lingkungan (G×E) memberikan informasi yang


dibutuhkan bagi pemulia dalam proses identifikasi genotipe yang sesuai dengan
lingkungannya (Dewi et al. 2015). Interkasi G × KNO3 berpengaruh nyata
terhadap PTT sehingga dilakukan analisis lanjutan untuk melihat respon tiap
genotipe terhadap perlakuan KNO3 (Gambar 15). P25 merupakan genotipe yang
menunjukkan respon positif berupa peningkatan PTT pada perlakuan KNO3,
namun sebaliknya genotipe Eagle, P311, dan IPB Meta 9 justru menunjukkan
penurunan PTT yang signifikan pada perlakuan KNO3. Genotipe P2, P21, P27,
dan P29 tidak menunjukkan perbedaan PTT yang signifikan antara perlakuan
KNO3 dan kontrol (Gambar 13). Informasi terkait respon suatu genotipe terhadap
perlakuan KNO3 dapat bermanfaat bagi petani untuk mengefisienkan biaya input
dalam budidaya melon. Pengaruh interaksi G×E (perlakuan KNO3) juga signifikan
TAT, namun analisis interaksi tidak menunjukkan adanya perbedaan pola respon
yang nyata antar genotipe terhadap aplikasi KNO3 (Gambar 14).
7 a
a a
6
Kadar gula (OBrix)

a a a a b b
5 b a
a a
b a a
4
3 K0
K1
2
1
0
Eagle P2 P21 P25 P27 P29 P311 P34
Genotipe melon

Gambar 13 Interaksi G×E (perlakuan KNO3) terhadap karakter PTT melon

0.40
Total asam tertitrasi (TAT) (%)

a
0.30 a
a
a K0
0.20 a a
a a K1

0.10

0.00
P21 P25 P27 P34
Genotipe melon

Gambar 14 Interaksi G×E (perlakuan KNO3) terhadap karakter TAT melon


Demiral dan Köseoglu 2005 melaporkan bahwa pemberian kalium dengan
dosis 600 mg L-1 pada suatu percobaan melon di greenhouse menunjukkan
peningkatan rata-rata PTT yang nyata sebesar 2.3 oBrix dibandingkan kontrol.
PTT yang meningkat pada melon berkaitan erat dengan peranan kalium namun,
60

bobot per buah justru memiliki kecenderungan menurun yaitu, sebesar 169 g pada
penelitian tersebut. Lin et al. (2004) juga melaporkan bahwa aplikasi 240 mg L-1
K2SO4 pada percobaan melon di greenhouse dapat meningkatkan PTT dan
kandungan asam (asam glutamat, asam aspartat, alanin, dan kandungan volatile),
sedangkan perlakuan kalium tersebut tidak menunjukkan peningkatan bobot buah.
Pada tanaman tomat dengan perlakuan kalium dalam bentuk KCl juga
menunjukkan adanya peningkatan terhadap TAT. Kalium memiliki peran utama
terhadap faktor nutrisi buah. Kandungan kalium yang tersedia bagi tanaman akan
mempengaruhi konsentrasi TAT pada buah, karena tanaman juga meningkatkan
produksi asam-asam organik (Wang et al. 2009). Kalium memiliki peran terhadap
proses fotosintesis, akumulasi karbohidrat, dan asam organik yang mendukung
pertumbuhan dan fungsi tanaman (Huang dan Snapp 2009). Asam organik
umumnya ditemukan dalam jumlah yang lebih sedikit pada tipe melon yang manis
saat buah matang (sweet ripe melon) seperti inodorus, cantalupensis, dan
reticulatus. Tipe melon yang tidak manis saat buah matang (nonsweet ripe melon)
seperti grup flexuosus umumnya memiliki asam organik yang lebih tinggi (Nuñez-
Palenius et al. 2008).

6.3.2 Komponen Ragam dan Nilai Heritabilitas Arti Luas


Suatu parameter yang bertujuan untuk menghitung seberapa besar fenotipe
karakter dapat terwariskan disebut heritabilitas. Nilai tersebut diperoleh melalui
perbandingan antara besaran ragam genotipe dengan besaran total ragam fenotipe
dari suatu karakter (Syukur et al. 2012). Menurut Iathet dan Piluek (2006)
karakter lebar buah, panjang buah, bentuk buah, dan bobot buah menunjukkan
heritabilitas arti sempit yang tinggi, masing-masing adalah 60%, 68%, 55%, dan
71%. Heritabilitas arti luas yang dihitung berdasarkan pendugaan komponen
ragam pada percobaan yang dilakukan oleh Ibrahim (2012) menunjukkan bahwa
lebar buah (97.82%), panjang buah (99.56%), bobot buah (99.36%), dan tebal
daging buah (99.07%) memiliki heritabilitas yang tinggi.

Tabel 27 Nilai duga komponen ragam dan heritabilitas arti luas melon
Karakter σ2G σ2G×E σ2e σ2P h2bs (%)
Umur berbunga jantan 3.35 0.66 1.55 5.62 56.56
Umur bebunga hermaprodit 3.49 0.00 3.52 6.57 59.82
Umur panen 2.46 0.00 2.43 5.92 36.37
Panjang buah 0.45 0.00 1.20 3.20 17.98
Diameter buah 0.86 0.00 0.55 2.76 29.79
Tebal daging buah 0.08 0.00 0.04 0.31 25.69
Tebal kulit buah 0.01 0.00 0.01 0.03 29.18
Bobot buah 31469.70 0.00 9819.56 38016.06 82.78
Padatan terlarut total (PTT) 0.23 0.00 0.33 0.24 41.27
Keterangan: σ2G: ragam genotipik; σ2G×E: ragam interaksi G×E; σ2e: ragam galat; σ2P: ragam
fenotipik ; h2bs: nilai heritabilitas arti luas
61

Karakter umur berbunga jantan, umur berbunga hermaprodit, bobot buah


memiliki nilai heritabilitas arti luas (dalam hal ini adalah keterulangan atau
repeatabiltas) yang tinggi, menandakan bahwa karakter-karakter tersebut kurang
dipengaruhi oleh perubahan lingkungan mikro (Tabel 27). Menurut Syukur et al.
(2010) heritabilitas arti luas untuk bobot per buah dan bobot buah per tanaman
pada populasi cabai F5 adalah 53.64% dan 53.87% yang termasuk pada kriteria
tinggi.
Nilai heritabilitas yang tergolong sedang ditunjukkan oleh umur panen,
diameter buah, tebal daging buah, tebal kulit buah, dan kadar gula (Tabel 27).
Ragam genetik dan heritabilitas dapat terestimasi-lebih dalam penelitian ini
karena pengaruh interaksi genotipe×musim (G×M), genotipe×lokasi (G×L), dan
interaksi genotipe×musim×lokasi (G×M×L) tidak dipelajari.

6.3.3 Keeratan Hubungan Antar Karakter


Karakter diameter buah memiliki korelasi positif dengan karakter tebal
daging buah (r=0.71, P<0.05) dan tebal kulit buah (r=0.94, P<0.01) (Tabel 28).
Bobot buah berkorelasi positif dengan beberapa karakter yaitu, diameter buah
(r=0.96, P<0.01), tebal daging buah (r=0.72, P<0.05), dan tebal kulit buah (r=0.95,
P<0.01). Menurut Iathet dan Piluek (2006) panjang buah memiliki korelasi positif
dengan bobot buah (r=0.79, P<0.01), tetapi berkorelasi negatif dengan lebar buah
(r=-0.74, P<0.01).
PTT tidak berkorelasi dengan karakter-karakter buah yang diamati dalam
penelitian ini, namun Bianchi et al. (2016) mengemukakan bahwa karakter
tersebut berkorelasi positif dengan kekerasan daging buah (r=0.48, P<0.05).
Menurut Obando-Ulloa et al. (2009) pada tipe melon manis (sweet melon), total
gula berkorelasi postif dengan sukrosa (r=0.92, P<0.01), sedangkan pada tipe
melon tidak manis (non-sweet melon), total gula justru berkorelasi dengan glukosa
(r=0.90, P<0.01) atau fruktosa (r=0.84, P<0.01).

Tabel 28 Koefisien korelasi linier antar karakter buah melon

PB DB TDB TKB BB
DB 0.46 tn
TDB 0.43 tn 0.71 *
TKB 0.48 tn 0.94 ** 0.54 tn
BB 0.54 tn 0.96 ** 0.72 * 0.95 **
PTT -0.44 tn -0.44 tn -0.11 tn -0.47 tn -0.41 tn
Keterangan: * berkorelasi nyata pada taraf 5% berdasarkan metode Pearson; ** berkorelasi nyata
pada taraf 1%; tn berkorelasi tidak nyata; PB: panjang buah; DB: diameter buah;
TDB: tebal daging buah; TKB: tebal kulit buah; BB: bobot buah; PTT: padatan
terlarut total.
62

6.4 Simpulan

Genotipe melon yang diuji memiliki adanya keragaman pada sejumlah


karakter yang diamati kecuali karakter panjang buah dan vitamin C. Pengaruh
interaksi G×E nyata terhadap karakter PTT dan TAT. P25 merupakan genotipe
yang menunjukkan respon positif berupa peningkatan PTT pada perlakuan KNO3,
namun sebaliknya genotipe Eagle, P311, dan P34 menunjukkan penurunan PTT
yang signifikan pada perlakuan KNO3. Nilai heritabilitas arti luas yang tergolong
tinggi adalah umur berbunga jantan, umur berbunga hermaprodit, bobot buah
sedangkan yang tergolong sedang adalah umur panen, diameter buah, tebal daging
buah, tebal kulit buah, dan PTT. Bobot buah berkorelasi positif dengan beberapa
karakter yaitu, diameter buah, tebal daging buah, dan tebal kulit buah.
63

7 KETAHANAN GENOTIPE MELON TERHADAP


PENYAKIT DOWNY MILDEW
(Resistance of Melon Genotypes to Downy Mildew)

Abstrak

Melon (Cucumis melo L.) merupakan komoditas hortikultura yang memiliki


nilai ekonomi tinggi di Indonesia. Peningkatan dayasaing komoditas ini dapat
dilakukan melalui perakitan varietas yang memiliki kualitas buah tinggi dan tahan
terhadap hama dan penyakit. Downy mildew atau embun bulu merupakan salah
satu penyakit utama yang menyerang tanaman melon dan beberapa spesies
lainnya dalam famili Cucurbitaceae. Penelitian ini bertujuan untuk: (1)
mempelajari hubungan antara kualitas buah melon dengan ketahanan terhadap
penyakit downy mildew, dan (2) mengidentifikasi genotipe potensial yang
memiliki ketahanan terhadap penyakit tersebut. Percobaan dilaksanakan pada dua
musim tanam, yaitu Mei–Juli 2016 dan Agustus–Oktober 2016 di Kebun
Percobaan IPB Tajur II, Bogor. Tingkat keparahan penyakit umumnya tidak
menunjukkan korelasi yang nyata dengan karakter-karakter buah di kedua musim,
kecuali dengan karakter kadar gula pada musim tanam pertama. Hal ini
mengindikasikan adanya peluang pemuliaan melon untuk meningkatkan
ketahanan terhadap penyakit sekaligus mendapatkan kualitas buah yang baik.
Genotipe IPB Meta 9-OP yang berasal dari hasil penyerbukan terbuka (open
pollination) tetap menunjukkan ketahanan terhadap downy mildew (39.5%)
dibandingkan dengan varietas komersial Eagle (64.5%), meskipun terdapat
perubahan pada karakter warna daging buahnya. Penelitian ini mengindikasikan
potensi genotipe melon IPB Meta 9 sebagai sumber materi genetik untuk
pemuliaan ke arah ketahanan terhadap penyakit downy mildew.

Kata kunci: embun bulu, korelasi, pemuliaan melon

Abstract

Melon (Cucumis melo L.) is a horticultural crop with considerably


economic value in Indonesia. Development of improved varieties with good fruit
quality and resistant to pests and diseases were considered as an important
approach to increase the melon competitiveness. Downy mildew is one of the
major diseases attacking melon and other species in the Cucurbitaceae family. The
objectives of this study were to: (1) estimate correlations among fruit quality and
downy mildew resistance, and (2) identify potential genotypes with resistance to
downy mildew. This experiment was conducted in two planting seasons: from
May-July 2016 and August-October 2016,, at IPB Tajur II Experimental Station,
Bogor. Our results showed that the disease severity generally were not
significantly correlated with any fruit traits in both seasons, except with sugar
content in first planting season, indicating the opportunities to develop varieties
with a combination of downy mildew resistance trait and good fruit quality. IPB
Meta 9-OP genotype derived from open pollination exhibited resistance to downy
64

mildew (disease severity of 39.5%) than Eagle commercial variety (disease


severity of 64.5%), although flesh color has changed. This study indicated that
IPB Meta 9 is potential for use as genetic source of downy mildew resistance in
breeding.

Key words: correlation, downy mildew, melon breeding

7.1 Pendahuluan

Melon (Cucumis melo L.) memiliki kandungan nutrisi yang bermanfaat


bagi kesehatan seperti, polifenol, asam organik, lignan, dan kandungan lainnya
(Mallek-Ayadi et al. 2016). Hal ini dikonfirmasi juga oleh USDA (2016) yang
menyatakan bahwa buah melon memiliki kandungan nutrisi seperti mineral dan
vitamin yang cukup banyak. Selain kandungan nutrisi yang banyak, melon juga
memiliki rasa yang manis, tekstur, warna daging buah, aroma buah yang khas dan
menjadi minat konsumen terhadap buah tersebut. Berdasarkan data BPS (2017),
produksi melon di Indonesia dari kurun waktu 2010–2016 mencapai puncaknya
yaitu pada tahun 2014. Pada tahun 2014 produksi melon mencapai 137 887 ton
yang diperoleh dari 8 185 ha luasan panen dengan produktivitas mencapai 18.37
ton ha-1.
Cucumis melo L. merupakan spesies dengan keragaman genetik yang
tinggi (Ali-Shtayeh et al. 2015). Menurut Hammer dan Galdis (2014) Cucumis
melo terdiri dari delapan kelompok subspesies, yaitu yaitu var. flexuosus (L.)
Naud., var. inodorus H. Jacq., var. cantalupensis Naud. (var. cantalupo Ser.), var.
reticulatus Ser., var. adana Pangalo, var. ameri Pangalo, var. chandalak Pangalo,
dan var. tibish Mohamed. Robinson dan Decker-Walters (1999) mengelompokkan
C. melo L. menjadi enam grup, yaitu cantalupensis, inodorus, flexuosus, conomon,
dudaim, dan momordica. Menurut Nuñez-Palenius et al. 2008; Sobir dan Siregar
(2014) terdapat tiga grup melon yang populer di Indonesia, yaitu grup reticulatus,
inodorus, dan cantalupensis.
Keragaman genetik melon yang tinggi merupakan potensi yang dapat
dimanfaatkan dalam kegiatan pemuliaan tanaman. Perbaikan kualitas hasil
dilakukan melalui perakitan varietas yang mempunyai kandungan nutrisi lebih
baik, kadar gula, bentuk, warna, dan daya simpan yang lebih baik (Syukur et al.
2012). Upaya perbaikan hasil juga dilakukan melalui perakitan varietas tanaman
yang memiliki ketahanan tanaman terhadap penyakit. Downy mildew atau embun
bulu merupakan salah satu penyakit utama yang umum menyerang tanaman
melon dan juga sebagian besar tanaman dari famili Cucurbitaceae (Benjamin et al.
2008; Shashikumar et al. 2010). Penyakit ini disebabkan oleh fungi
Pseudoperonospora cubensis (Berk. & Curtis) Rostovzev (Lebeda et al. 2016)
umumnya ditemukan pada daerah tropis dan temperate dengan kelembaban relatif
yang tinggi (Prohens dan Nuez 2008). Downy mildew menyerang pada bagian
daun dengan pola tidak beraturan berwarna kuning, kemudian menyebar dan
menyebabkan daun berwarna coklat kering. Serangan downy mildew akan
menghambat proses fotosintesis pada daun. Buah yang dihasilkan akan berukuran
kecil dan tidak matang, sehingga produksi dan kualitas hasil akan menurun secara
signifikan (Labeda dan Cohen 2011; Lee et al. 2016; Olczak-Woltman et al.
65

2011). Kegiatan pemuliaan tanaman dalam upaya pelepasan varietas dilakukan


berdasarkan pada perbaikan kualitas buah dan evaluasi ketahanan terhadap
penyakit. Penelitian ini bertujuan untuk: (1) mempelajari hubungan antara kualitas
buah melon dengan ketahanan terhadap penyakit downy mildew, dan (2)
mengidentifikasi genotipe potensial yang memiliki ketahanan terhadap penyakit
tersebut.

7.2 Metode Penelitian

Penelitian dilaksanakan pada dua musim tanam, yaitu Mei–Juli 2016


(musim tanam 1) dan Agustus–Oktober 2016 (musim tanam 2) di Kebun
Percobaan IPB Tajur II, Bogor. Materi genetik yang digunakan pada musim tanam
1 dan 2 masing-masing adalah 8 dan 7 genotipe, serta varietas komersial Eagle
sebagai cek di kedua musim. Pengamatan karakteristik buah mengacu pada
Descriptor for Melon (Cucumis melo L.) oleh IPGRI (International Plant Genetic
Resources Institute) 2003. Analisis keparahan penyakit downy mildew dihitung
berdasarkan rumus berikut ini:


Keparahan penyakit = x 100%

Pengamatan penyakit downy mildew dilakukan saat daun tanaman melon


mulai terinfeksi, yaitu dengan ditandai adanya pola yang tidak beraturan berwarna
kuning. Pada tahapan lebih lanjut, pola tersebut akan berwarna coklat dan
menyebabkan daun menjadi kering.
Persiapan lahan dilakukan dengan pengolahan lahan, pemberian pupuk
dasar, dan pembuatan bedengan. Dosis pupuk kandang yang digunakan adalah 20
ton ha-1, pupuk urea 250 kg ha-1, SP-36 250 kg ha-1, dan KCl 250 kg ha-1. Jarak
tanam yang digunakan adalah 60 cm×60 cm. Pemangkasan cabang lateral
dilakukan kecuali pada cabang ke–9 sampai ke–12 yang diikuti seleksi buah untuk
memilih buah terbaik pada cabang tersebut. Pemanenan dilakukan pada buah yang
telah menunjukan ciri-ciri siap untuk dipanen. Ciri siap panen untuk melon tidak
berjala adalah terjadi perubahan warna kulit menjadi lebih tua, sedangkan untuk
melon berjala adalah adanya retakan (cracking) pada bagian tangkai buah (Sobir
dan Siregar 2014).

7.3 Hasil dan Pembahasan

Analisis korelasi linier antar karakter buah melon pada Tabel 29 disajikan
pada masing-masing musim. Pada musim tanam 1, karakter bobot buah memiliki
korelasi positif dan nyata dengan diameter buah (r= 0.91, P<0.01) dan tebal kulit
buah (r= 0.68, P<0.05), sedangkan tebal daging buah berkorelasi dengan tebal
kulit buah (r= 0.67, P<0.05). Pada muism 2, bobot buah memiliki korelasi positif
dan nyata dengan karakter diameter buah (r= 0.96, P<0.01), tebal daging buah (r=
0.71, P<0.05), dan tebal kulit buah (r= 0.95, P<0.01). Karakter diameter buah
memiliki korelasi positif dan nyata dengan tebal daging buah (r= 0.70, P<0.05)
66

dan tebal kulit buah (r= 0.95, P<0.01). Pada kedua musim tersebut, karakter bobot
buah memiliki korelasi yang nyata dan positif dengan karakter diameter buah. Hal
ini sesuai dengan pernyataan José et al. (2005) bahwa bobot buah berkorelasi
nyata dan positif dengan diameter buah pada analisis berdasarkan mid dan best
parent heterosis, masing-masing adalah r= 0.95 dan r= 0.89.
Tingkat keparahan penyakit downy mildew umumnya tidak menunjukkan
korelasi yang nyata dengan karakter-karakter buah pada kedua musim, kecuali
karakter PTT pada musim tanam 1. Hal ini mengindikasikan adanya peluang
pemuliaan melon untuk meningkatkan ketahanan terhadap penyakit sekaligus
mendapatkan kualitas buah yang baik.

Tabel 29 Koefisien korelasi linier antar karakter buah melon pada musim tanam
1 (bawah diagonal) dan 2 (atas diagonal)
UBJ UBH UP BB PB DB TDB TKB PTT TKP
tn tn tn tn tn tn tn tn
UBJ 0.49 0.61 -0.35 -0.43 -0.32 0.19 -0.39 -0.01 -0.34 tn
UBH -0.32tn 0.66 tn -0.09 tn -0.22 tn -0.03 tn 0.25 tn -0.18 tn -0.05 tn -0.55 tn
tn tn tn tn tn tn tn tn
UP -0.42 0.18 -0.31 -0.66 -0.30 0.08 -0.33 0.53 -0.87**
BB 0.09 tn -0.37 tn -0.38 tn 0.54 tn 0.96** 0.71* 0.95** -0.41 tn -0.01 tn
PB -0.29 tn -0.31 tn 0.14 tn 0.46 tn 0.46 tn 0.43 tn 0.48 tn -0.39 tn 0.61 tn
DB -0.19 tn -0.15 tn -0.41 tn 0.91** 0.27 tn 0.70* 0.94** -0.44 tn 0.02 tn
tn * tn tn tn tn tn tn
TDB 0.48 -0.83 -0.45 0.67 0.35 0.45 0.54 -0.11 -0.23 tn
TKB -0.31tn -0.72tn 0.04 tn 0.68* 0.46 tn 0.39 tn 0.67* -0.46 tn 0.08 tn
PTT -0.45 tn 0.34 tn 0.36 tn -0.43 tn 0.37 tn -0.42 tn -0.004 tn -0.15 tn -0.52 tn
TKP 0.15 tn -0.44tn 0.31tn -0.47 tn 0.24 tn -0.65 tn 0.22 tn -0.01 tn 0.78*
Keterangan: UBJ: umur berbunga jantan; UBH: umur berbunga hermaprodit; UP: umur panen;
BB: bobot buah; PB: panjang buah; DB: diameter buah; TDB: tebal daging buah;
TKB: tebal kulit buah; PTT: padatan terlarut total; TKP: tingkat keparahan
penyakit; * * berkorelasi nyata pada taraf 5% berdasarkan metode Pearson; **
berkorelasi nyata pada taraf 1%; tn berkorelasi tidak nyata

Pada musim tanam 1, IPB Meta 9-S hasil penyerbukan sendiri (selfing)
menunjukkan ketahanan terhadap penyakit downy mildew dibandingkan dengan
varietas komersial Eagle. Pada musim tanam 2, IPB Meta 9-OP yang berasal dari
hasil penyerbukan terbuka tetap menunjukkan ketahanan terhadap downy
mildew (39.5%) dibandingkan dengan varietas komersial Eagle (64.5%),
meskipun terdapat perubahan pada karakter warna daging buahnya (Gambar 15).
Keragaan daun IPB Meta 9 ditunjukkan pada Gambar 16a, sebagai
perbandingannya Gambar 16b merupakan genotipe yang peka terhadap downy
mildew. Bagian daun berwarna kuning dan coklat kering pada daun IPB Meta 9
lebih sedikit dibandingkan dengan genopite lain yang peka. Informasi kedua
musim ini menunjukkan adanya potensi genotipe melon IPB Meta 9 sebagai
sumber materi genetik untuk pemuliaan melon ke arah ketahanan terhadap
penyakit downy mildew. Keragaan buah IPB Meta 9 ditunjukkan pada Gambar 17.
Sejalan dengan hal tersebut, Shashikumar et al. (2010) mengemukakan bahwa
nilai heritabilitas arti luas untuk ketahanan terhadap downy mildew tergolong
tinggi, yaitu 0.88 pada percobaan di lapang dan 0.81 pada percobaan di green
house.
67

(a) (b)
Gambar 15 Melon IPB Meta 9-S pada musim tanam 1 (a); Melon IPB Meta 9-
OP pada musim tanam 2
Tabel 30 Tingkat keparahan melon terhadap penyakit downy mildew pada musim
tanam 1 dan 2
Musim tanam 1 Musim tanam 2
Genotipe Keparahan penyakit (%) Genotipe Keparahan penyakit (%)
P5-OP 42.3 b P2-OP 62.6 ab
P21-S 47.3 bc P21-S 45.2 bc
P23-OP 47.0 bc P25-S 48.9 abc
P25-OP 41.2 c P27-OP 67.3 a
P27-S 47.6 bc P29-OP 68.0 a
P29-OP 48.2 b P311-OP 52.8 abc
P311-OP 55.5 a IPB Meta 9-OP 39.5 c
IPB Meta 9-S 32.3 d Eagle-H 64.5 ab
Eagle-H 58.6 a
Keterangan: OP (open pollinated): benih berasal dari penyerbukan terbuka; S (selfing): benih
berasal dari penyerbukan sendiri; H (hibrida): benih F1; Nilai-nilai yang diikuti huruf
yang sama pada tiap kolom peubah tidak berbeda nyata berdasarkan uji lanjut DMRT
pada taraf 5%

(a) (b)
Gambar 16 Keragaan daun genotipe melon IPB Meta 9 (a); keragaan genotipe
melon lain (b)
68

Gambar 17 Keragaan buah melon IPB Meta 9


Genotipe menunjukkan pengaruh yang nyata pada beberapa karakter buah,
kecuali umur panen, diameter buah, dan bobot buah pada musim tanam 1,
sedangkan pada musim tanam 2 genotipe menunjukkan pengaruh yang nyata pada
semua karakter yang diamati (Tabel 31). Nilai koefisien keragaman pada kedua
musim untuk karakter umur umumnya relatif lebih rendah dibandingkan dengan
karakter buah (1.58–6.53%), mengindikasikan bahwa karakter umur lebih sedikit
dipengaruhi oleh faktor lingkungan mikro dibandingkan karakter kuantitatif buah.

Tabel 31 Rekapitulasi nilai KT dan KK pada pengamatan karakter melon musim


tanam 1 dan musim 2
Karakter Musim tanam 1 Musim tanam 2
KT genotipe KK (%) KT genotipe KK (%)
** **
Umur berbunga jantan 78.54 4.04 19.94 4.77
** **
Umur berbunga hermaprodit 39.32 1.94 19.79 6.53
tn **
Umur panen 0.44 1.58 14.12 2.51
* tn
Panjang buah 6.10 7.91 3.14 9.29
tn **
Diameter buah 3.03 7.64 4.20 7.62
* **
Tebal daging buah 1.16 17.81 0.37 9.90
* **
Tebal kulit buah 0.07 13.95 0.06 12.07
tn **
Bobot buah 96359.85 20.23 151673.34 15.19
** **
Padatan terlarut total (PTT) 2.89 17.81 2.29 10.86
** *
Keparahan penyakit 360.56 10.97 716.93 27.57
Keterangan: KT: kuadrat tengah; KK: koefisien keragaman; * berbeda nyata pada taraf 5%; **
berbeda nyata pada taraf 1 %; tn tidak berbeda nyata

Umur berbunga jantan tercepat pada musim tanam 1 adalah genotipe P27
(18 HST) dan P29 (18 HST), tetapi tidak berbeda nyata dengan P25 dan P5 (Tabel
32). Pada musim tanam 2, P25 merupakan genotipe yang memiliki umur berbunga
jantan tercepat (21 HST) (Tabel 34). Umur berbunga hermaprodit tercepat pada
musim tanam 1 adalah genotipe Eagle (30 HST), sedangkan pada musim tanam 2
adalah P27 (30 HST); tidak berbeda signifikan dengan genotipe P2. Umur panen
tidak menunjukkan perbedaan yang nyata pada musim tanam 1, sedangkan pada
musim tanam 2 genotipe P2 dan P29 (62 HST) menunjukkan umur panen tercepat
dan tidak berbeda signifikan dengan genotipe lain kecuali IPB Meta 9, P311, dan
69

P25. Secara umum genotipe IPB Meta 9 menunjukkan umur berbunga jantan,
hermaprodit, dan panen yang relatif lebih lama dibandingkan dengan genotipe lain.

Tabel 32 Rataan karakter umur berbunga, umur panen, panjang buah, dan
diameter buah melon pada musim tanam 1
Umur
Umur Umur
berbunga Panjang Diameter
Genotipe berbunga panen
hermaprodit buah (cm) buah (cm)
jantan (HST) (HST)
(HST)
Eagle 21 bc 30 d 60 a 11.2 ab 8.3 a
P21 23 b 32 bc 60 a 9.5 b 8.9 a
P23 22 b 33 b 60 a 10.9 ab 8.5 a
P25 20 cd 31 cd 60 a 11.8 a 10.4 a
P27 18 d 33 ab 60 a 10.7 ab 7.9 b
P29 18 d 33 b 60 a 11.1 ab 8.8 a
P5 20 cd 33 b 60 a 10.3 ab 9.4 a
IPB Meta 9 25 a 35 a 57 a 10.1 ab 7.6 a
Keterangan: Nilai-nilai yang diikuti huruf yang sama pada tiap kolom peubah tidak berbeda nyata
berdasarkan uji DMRT pada taraf 5%

Tabel 33 Rataan karakter tebal daging buah, tebal kulit buah, bobot buah, dan
PTT melon pada musim tanam 1

Tebal
Tebal kulit Bobot buah Padatan terlarut
Genotipe daging buah
buah (cm) (g) total (oBrix)
(cm)
Eagle 2.0 ab 0.8 ab 425 a 6.3 a
P21 1.7 abc 0.6 cd 422 a 4.3 b
P23 1.5 bcd 0.6 cd 408 a 4.1 b
P25 2.2 a 0.9 a 776 a 4.6 ab
P27 1.1 cd 0.6 cd 335 a 5.4 ab
P29 1.5 bcd 0.6 cd 461 a 5.1 ab
P5 1.6 abcd 0.7 bc 522 a 4.3 b
IPB Meta 9 1.1 d 0.5 d 329 a 5.6 ab
Keterangan: Nilai-nilai yang diikuti huruf yang sama pada tiap kolom peubah tidak berbeda nyata
berdasarkan uji DMRT pada taraf 5%

Pada musim tanam 1, genotipe P21 (11.8 cm) memiliki rata-rata panjang
buah tertinggi tetapi tidak berbeda nyata dengan semua genotipe lain kecuali P21
(Tabel 32). Diameter buah tidak menunjukkan perbedaan yang signifikan antar
genotipe. Tebal daging dan kulit buah genotipe P25 adalah 2.2 cm dan 0.9 cm,
tidak berbeda nyata dengan beberapa genotipe lainnya. Pada musim tanam 2,
genotipe P2 menunjukkan rata-rata panjang dan diameter buah tertinggi, yaitu
14.0 cm dan 11.8 cm. Genotipe P311 memiliki daging buah relatif tebal (2.6 cm)
70

tetapi tidak berbeda dengan P2 dan P25. Tebal kulit buah Eagle, P2, P25, dan P27
tidak berbeda nyata.
Tabel 34 Rataan karakter umur berbunga, umur panen, panjang buah, dan
diameter buah melon pada musim tanam 2
Umur Umur
berbunga berbunga Umur panen Panjang Diameter
Genotipe
jantan hermaprodit (HST) buah (cm) buah (cm)
(HST) (HST)
Eagle 25 cd 34 ab 63 bcd 13.4 a 11.5 ab
P2 24 cd 32 bc 62 d 14.0 a 11.8 a
P21 28 a 37 a 65 ab 11.8 a 10.7 bc
P25 21 e 33 b 63 bcd 12.8 a 11.8 a
P27 25 cd 30 c 62 cd 12.3 a 9.8 cd
P29 23 d 34 ab 62 d 13.3 a 9.4 d
P311 27 ab 35 ab 64 bc 13.5 a 10.4 bcd
IPB Meta 9 26 bc 34 ab 66 a 11.8 a 9.5 cd
Keterangan: Nilai-nilai yang diikuti huruf yang sama pada tiap kolom peubah tidak berbeda nyata
berdasarkan uji DMRT pada taraf 5%

Tabel 35 Rataan karakter tebal daging buah, tebal kulit buah, bobot buah, dan
PTT melon pada musim tanam 2

Tebal
Tebal kulit Padatan terlarut
Genotipe daging buah Bobot buah (g)
buah (cm) total (oBrix)
(cm)
Eagle 2.3 b 0.8 a 817 bc 4.0 d
P2 2.3 ab 0.8 a 1045 a 3.5 d
P21 2.2 b 0.6 b 706 cd 4.0 d
P25 2.3 ab 0.8 a 945 ab 4.9 bc
P27 1.8 c 0.6 a 562 de 4.7 bc
P29 1.8 c 0.5 b 541 e 4.2 cd
P311 2.6 a 0.6 b 739 c 5.2 ab
IPB Meta 9 1.9 c 0.6 b 583 de 5.5 a
Keterangan: Nilai-nilai yang diikuti huruf yang sama pada tiap kolom peubah tidak berbeda nyata
berdasarkan uji DMRT pada taraf 5%

Bobot buah pada musim tanam 1 tidak berbeda nyata antar genotipe,
sedangkan PTT Eagle (6.3 oBrix) tidak berbeda nyata dengan genotipe lainnya
kecuali genotipe P21, P23, dan P5 (Tabel 33). Pada musim tanam 2, genotipe P2
memiliki bobot buah terbesar yaitu, 1 045 g. IPB Meta 9 memiliki PTT tertinggi,
yaitu 5.5 oBrix tetapi tidak berbeda nyata dengan P311 (Tabel 35). Pada penelitian
yang dilakukan oleh Malik et al. (2014), melon tipe cantalupensis dan reticulatus
memiliki bobot buah masing-masing 0.72 dan 0.98 kg dengan PTT 11.4 dan 10.5
o
Brix.
71

7.4 Simpulan

Tingkat keparahan penyakit downy mildew umumnya tidak menunjukkan


korelasi yang nyata dengan karakter buah pada kedua musim tanam, kecuali
karakter PTT pada musim tanam 1. IPB Meta 9 menunjukkan ketahanan terhadap
downy mildew yang relatif lebih baik dibandingkan dengan varietas pembanding
Eagle pada kedua musim tanam. Hal ini menunjukkan bahwa genotipe tersebut
dinilai potensial untuk dijadikan sumber materi genetik dalam program pemuliaan
melon ke arah ketahanan terhadap penyakit downy mildew.
72

8 PEMBAHASAN UMUM

Melon merupakan komoditas hortikultura yang memiliki nilai ekonomi


tinggi di Indonesia. Produksi melon di Indonesia terus mengalami peningkatan
sejak tahun 2010 dan mencapai puncaknya pada tahun 2014 (150 356 ton) (BPS
2017). Meningkatnya permintaan konsumen terhadap melon dimungkinkan
karena adanya perubahan pola hidup sehat pada sebagian besar masyarakat.
Menurut data USDA (2016) melon memiliki kandungan nutrisi yang cukup
banyak, yaitu mineral (kalium, kalsium, Fe, magnesium, fosfor, natrium, dan
zink) dan vitamin (vitamin C, A, B-6, E, K, dan niasin).
Keragaman genetik melon yang tinggi memberikan peluang dalam
perakitan varietas unggul baru (Robinson dan Decker-Walters 1999; Nuñez-
Palenius et al. 2008; Ali-Shtayeh et al. 2015). Menurut Hammer dan Galdis
(2014) Cucumis melo terdiri dari delapan kelompok subspesies, sedangkan
Robinson dan Decker-Walters (1999) mengelompokkan C. melo L. menjadi enam
grup, yaitu cantalupensis, inodorus, flexuosus, conomon, dudaim, dan momordica.
Menurut Sobir dan Siregar (2014) terdapat tiga grup melon yang populer di
Indonesia yaitu grup reticulatus, inodorus, dan cantalupensis. Kendala yang
dihadapi dalam budidaya melon adalah ketersediaan benih yang sebagian besar
merupakan benih impor. Syukur et al. (2012) mengemukakan bahwa perbaikan
kualitas buah dan peningkatan ketahanan terhadap penyakit merupakan bagian
dari tujuan pemuliaan tanaman. Melalui kegiatan pemuliaan tanaman diharapkan
akan diperoleh varietas yang memiliki kualitas buah baik dan tahan terhadap
penyakit.
Analisis pada 17 dan 20 genotipe pada percobaan yang berbeda
menunjukkan bahwa terdapat keragaman genetik berdasarkan karakter morfologi.
Hasil seleksi pada 17 genotipe melon menunjukkan bahwa genotipe P21 dan P19
memiliki potensi untuk sifat bobot buah dan kadar gula tinggi. Selain itu genotipe
P2 memiliki potensi yang baik untuk karakter bobot buah, meskipun kadar
gulanya relatif rendah, dan genotipe P12 memiliki potensi baik untuk karakter
kadar gula, namun bobot buahnya relatif rendah. Analisis kekerabatan genetik
(dendrogram) berdasarkan gabungan karakter morfologi dan marka ISSR dapat
menggambarkan keragaman genetik pada 20 genotipe yang berbeda. Secara
umum pengelompokkan yang terbentuk adalah berdasarkan tipe buah, yaitu tipe
berjala (reticulatus) dan tidak berjala (inodorus).
Pada percobaan yang dilakukan oleh Yildiz et al. (2011), analisis
keragaman genetik berdasarkan marka RAPD, ISSR, dan RAPD terhadap 63
genotipe menunjukkan dua kelompok besar, yaitu tipe melon sweet (inodorus)
dan non-sweet (cantalupensis). Percobaan lain oleh Nhi et al. (2010)
menggunakan 59 landrace melon dari Vietnam menunjukkan adanya keragaman
genetik. Kultivar melon yang digunakan antara lain Conomon var. makuwa,
Conomon var. conomon, dan Momordica. Berdasarkan analisis morfologi
diketahui bahwa terdapat keragaman untuk karakter panjang buah, lebar benih,
panjang buah, diameter buah, bobot buah, dan PTT. Bobot buah menunjukkan
keragaman, yaitu berkisar dari 160 g hingga 2 700 g, sedangkan PTT berkisar 2
o
Brix hingga 7 oBrix. PTT tertinggi ditunjukkan oleh kultivar Conomon var.
makuwa (Nhi et al, 2010).
73

Regresi parent-offspring merupakan analisis yang memanfaatkan data


tetua dan turunannya untuk menduga nilai heritabilitas arti sempit. Menurut
Crosby (2000) analisis regresi parent-offspring yang menunjukkan nilai tinggi
dapat menduga perbandingan antara ragam aditif terhadap ragam fenotipe. Syukur
et al. (2012) menambahkan bahwa pengaruh aditif setiap alel diwariskan dari
tetua kepada turunannya, selanjutnya karakter yang dikendalikan oleh gen aditif
memiliki kemajuan seleksi yang besar dan cepat.
Analisis heritabilitas arti sempit pada percobaan ini dilakukan berdasarkan
mean basis, plot basis, dan individual plant basis. Analisis parent-offspring
berdasarkan mean basis menunjukkan bahwa karakter buah melon memiliki nilai
heritabilitas arti sempit yang tinggi. Nilai heritabilitas arti sempit untuk bobot
buah dan PTT masing-masing adalah 62.67% dan 50.25%. Analisis berdasarkan
plot basis secara umum menunjukkan nilai heritabilitas sedang hingga kecil pada
beberapa karakter, kecuali karakter bobot buah, diameter buah dan tebal daging
buah. Analisis berdasarkan individual plant basis menunjukkan nilai heritabilitas
sedang seperti, bobot buah, panjang buah, diameter buah, tebal daging buah, dan
umur berbunga jantan. Karakter lain seperti, PTT, tebal kulit buah, umur berbunga
hermaprodit, dan umur berbunga jantan menunjukkan nilai heritabilitas yang
rendah.
Pada percobaan yang dilakukan oleh Iatet dan Piluek (2006), heritabilitas
arti sempit berdasarkan pendugaan komponen ragam untuk karakter bobot buah,
panjang buah, dan diameter buah juga menunjukkan nilai yang tinggi, masing-
masing yaitu 71%, 68%, dan 60%. Pada percobaan oleh Cuevas et al. (2010) nilai
heritabilitas arti sempit menggunakan F2 dan BC untuk karakter β-karoten dan
kematangan buah menunjukkan nilai yang relatif tinggi, yaitu 55% dan 62%.
Metode lain yang digunakan adalah berdasarkan keragaman fenotipik individual
plant F3 yang menunjukkan nilai yang lebih rendah (27% dan 14%) dibandingkan
dengan metode keragaman fenotipik mean F3 (68% dan 57%).
Stadia kematangan buah berpengaruh terhadap kualitas buah, sehingga
menjadi pertimbangan penting dalam kegiatan pasca panen buah melon. Stadia
kematangan berpengaruh nyata terhadap karakter panjang buah, diameter buah,
tebal daging buah, bobot buah, dan PTT. Nilai rata-rata PTT tertinggi pada musim
1, 2, dan 3 ditemukan pada stadia kematangan 5, masing-masing sebesar 8.36
o
Brix, 8.67 oBrix, dan 7.52 oBrix. Nilai tengah bobot buah pada stadia kematangan
4 tidak berbeda nyata dengan stadia kematangan 5 (931.79 g). Peningkatan satu
stadia kematangan buah diperkirakan meningkatakan bobot buah dan kadar gula
masing-masing sebesar 85.69 g dan 0.69 oBrix.
Karakteristik buah melon pada lima stadia kematangan buah yang berbeda
dapat dibedakan berdasarkan tipe buahnya, yaitu reticulatus (berjala) dan
inodorus (tanpa jala). Hal ini sesuai dengan pernyataan Cuevas et al. (2010)
bahwa kematangan buah melon ditandai dengan perubahan warna permukaan
buah dari warna hijau tua menjadi hijau muda, putih atau kuning (tipe inodorus).
Selain karakter warna permukaan buah dan intensitas jala, karakter lain seperti
tangkai yang terlepas saat stadia kematangan 5 untuk tipe buah reticulatus dan
cantalupensis juga dapat digunakan sebagai karakter yang membedakan antar
stadia kematangan. Hal ini dikemukakan oleh Sobir dan Siregar (2014) sebagai
kriteria panen.
74

Kalium (K) merupakan nutrisi mineral yang dibutuhkan oleh tanaman


yang berpengaruh terhadap kualitas buah dan sayur. Interaksi G×E berupa aplikasi
KNO3 berpengaruh nyata terhadap karakter PTT dan total asam tertitrasi (TAT).
Genotipe P34 memiliki kadar gula dan TAT yang relatif tinggi. P25 merupakan
genotipe yang menunjukkan respon positif berupa peningkatan PTT pada
perlakuan KNO3, namun sebaliknya genotipe Eagle, P311, dan P34 justru
menunjukkan penurunan kadar gula yang signifikan pada perlakuan KNO3.
Aplikasi pemupukan KNO3 secara praktis disarankan pada pertanaman genotipe
melon yang memiliki respon positif. Pada percobaan kalium-nitrogen oleh
Contreras et al. (2012) diperoleh dosis yang meningkatkan produksi melon yaitu
355 kg K ha-1 dan 220 kg N ha-1.
Downy mildew atau embun bulu merupakan salah satu penyakit utama
yang menyerang tanaman melon dan beberapa spesies lainnya dalam famili
Cucurbitaceae. Selain melon, terdapat tiga komoditas lain yaitu timun (Cucumis
sativus L.), semangka (Citrullus lanatus (Thunb.) Matsum. & Nakai), dan labu
(Cucurbita spp.) yang umumnya juga diserang oleh downy mildew. Serangan
downy mildew dapat menyebabkan penurunan hasil hingga 80% (Savory et al.
2011).
Tingkat keparahan penyakit umumnya tidak menunjukkan korelasi yang
nyata dengan karakter-karakter buah di kedua musim, kecuali karakter PTT pada
musim tanam 1. Hal ini mengindikasikan adanya peluang pemuliaan melon untuk
meningkatkan ketahanan terhadap penyakit sekaligus mendapatkan kualitas buah
yang baik. IPB Meta 9-OP yang berasal dari hasil penyerbukan terbuka (open
pollination) tetap menunjukkan ketahanan terhadap downy mildew dibandingkan
dengan varietas komersial Eagle, meskipun terdapat perubahan pada karakter
warna daging buahnya. Penelitian ini mengkonfirmasi potensi genotipe melon IPB
Meta 9 sebagai sumber materi genetik untuk pemuliaan melon ke arah ketahanan
terhadap penyakit downy mildew.
75

9 SIMPULAN DAN SARAN

9.1 Simpulan

Keragaman genetik diperlukan pada program pemuliaan melon dalam


upaya perbaikan kualitas buah. Keragaman genetik dapat diperoleh beradasarkan
karakter morfologi maupun marka molekuler ISSR. Karakter morfologi seperti
jala pada permukaan buah dan ukuran buah berperan menguatkan struktur
pengelompokkan genotipe. Genotipe yang memiliki potensi terhadap karakter
bobot buah dan PTT tinggi adalah genotipe P21 dan P19. Selain itu, genotipe P2
memiliki potensi yang baik untuk karakter bobot buah dan genotipe P12 memiliki
potensi baik untuk karakter PTT yang tinggi. Heritabilitas arti sempit dapat
memberikan informasi pada program seleksi. Sebagian besar karakter buah
menunjukkan nilai heritabilitas yang tinggi berdasarkan parent-offspring mean
basis. Heritabilitas arti sempit berdasarkan mean basis karakter bobot buah dan
PTT masing-masing adalah 62.67% dan 50.25%. Peningkatan satu stadia
kematangan buah diperkirakan meningkatakan rata-rata bobot buah dan PTT
masing-masing sebesar 85.69 g dan 0.69 oBrix. Pengaruh interaksi G×E nyata
terhadap karakter PTT dan total asam tertitrasi. IPB Meta 9 memiliki ketahanan
terhadap penyakit downy mildew yang ditunjukkan dengan tingkat keparahan
penyakit yang signifikan lebih rendah dibandingkan dengan varietas komersial
Eagle pada dua musim tanam. Genotipe tersebut dapat dimanfaatkan sebagai
sumber materi genetik untuk pemuliaan melon ke arah ketahanan terhadap
penyakit downy mildew.

9.2 Saran

Penelitian lanjutan dapat menelaah tentang kandungan metabolit, nutrisi,


dan penanganan pasca panen buah yang mempengaruhi kualitas buah melon.
Selain itu, pengujian lanjutan terhadap genotipe-genotipe potensial juga
diperlukan pada lingkungan yang berbeda.
76

DAFTAR PUSTAKA

Abu-Goukh AA, Baraka AFM, Elballa MMA. 2011. Physio-chemical changes


during growth and development of ‘Galia’ cantaloupes. II. Chemical
changes. Agriculture and Biology Journal of North America. doi:10.5251/
abjna.2011.2.6.952.963
Acquaah G. 2007. Principles of Plant Genetics and Breeding. Oxford (UK): Black
well Publising Ltd.
Afandi, M.A., R. Sulistyo, N. Herlina. 2013. Respon pertumbuhan dan hasil lima
varietas melon (Cucumis melo L.) pada tiga ketinggian tempat. J. Produksi
Tanaman. 1(4): 342-352.
Ali-Shtayeh MS, Jamous RM, Shtaya MJ, Mallah OB, Eid IS, Zaitoun SYA. 2015.
Morphological characterization of snake melon (Cucumis melo var.
flexuosus) population from Palestine. Genet. Resour. Crop Evol. doi:
10.1007/s10722-015-0329-0.
Askar A, Treptow H. 1993. Quality Assurance in Tropical Fruit Precessing. Berlin
Heidelberg (NL): Springer-Verlag.
Benjamin I, Kenigsbuch D, Galperin M, Abrameto JA, Cohen Y. 2009. Cisgenic
melons over expressing glyoxylate-aminotransferase are resistant to downy
mildew. Eur J. Plant Pathol. 125: 355–365. doi: 10.1007/s10658-009-9485-
4.
Bianchi T, Guerrero L, Gratacós-Cubarsí M, Claret A, Argyris J, Garcia-Mas J,
Hortós M. 2016. Textural properties of different melon (Cucumis melo L.)
fruit types: sensory and physical-chemical evaluation. Scientia Horticulturae.
201: 46–56.
Borém A, Fritsche-Neto R. 2012. Challenges for plant breeding to develop biotic-
resistance cultivars. Plant Breeding for Biotic Stress Resistance. Berlin
(DE): Springer-Verlag Berlin Heidelberg. doi: 10.1007/978-3-642-33087-
2_1.
[BBI IRRI] Biometrics and Breeding Informatics IRRI. 2017. Statistical Tool For
Agricultural Research [Internet]. [Tersedia pada: http://bbi.irri.org/].
[BPS] Badan Pusat Statistik Republik Indonesia. 2017. Produksi tanaman buah-
buahan [Internet]. [Tersedia pada: https://www.bps.go.id/ site/resultTab.
Contreras JI, Plaza BM, Lao MT, Segura ML. Growth and nutritional response of
melon to water quality and nitrogen potassium fertigation levels under
greehouse mediterranean conditions. Communications in Soil Science and
Plant Analysis. 43: 434–444.
Crosby K. 2000. Narrow-sense heritability estimates for root ttraits and
Monosporascus cannoballus tolerance in melon (Cucumis melo) by parent-
offspring regression. Proc. Cucurbitaceae. (Eds.) Katzir N, Paris HS. Acta
Hort. 510.
Cseke LJ, Kirakosyan A, Kaufman PB, Westfall MV. 2011. Molecular and
Cellular Methods in Biology and Medicine Third Edition. New York (US):
CRC Press.
Cuevas HE, Staub JE, Simon PW. 2010. Inheritance of beta-carotene-associated
mesocarp color and fruit maturity of melon (Cucumis melo L.). Euphytica
173: 129–140.
77

Daryanto A. 2016. Analisis genetik dan pewarisan sifat ketahanan cabai terhadap
infestasi kutudaun melon, Aphis gossypii Glover (Hemiptera: Aphididae)
[tesis]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor.
Demiral MA, Köseoglu AT. 2005. Effect of potassium on yield, fruit quality, and
chemical composition of greenhouse-grown Galia melon. Journal of Plant
Nutrition. 28: 93–100.doi: 10.1081/PLN-200042179.
Dewi SM, Sobir, Syukur M. 2015. Interaksi genotipe x lingkungan hasil dan
komponen hasil 14 genotipe tomat di empat lingkungan dataran rendah. J.
Agron. Indonesia. 43(1): 59–65.
Djè Y, Tahi CG, Zoro AI, Baudoin JP, Bertin P. 2010. Use of ISSR markers to
assess genetic diversity of Africa edible seeded Citrullus lanatus landraces.
Scientia Horticulturae. 124: 159–164.

[Ditjen Horti] Direktorat Jenderal Hortikultura Kementerian Pertanian. 2015.


Statistik Produksi Hortikultura Tahun 2014. Jakarta (ID): Direktorat
Jenderal Hortikultura, Kementerian Pertanian.
Ezura H, Owino WO. 2008. Melon, an alternative model plant for elucidating fruit
ripening. Plant Science. 175:121-129.
Falah MAF, Nadine MD, Suryandano AG. 2015. Effect of storage condition on
quality and shelf-life of fresh-cut melon (Cucumis melo L.) and papaya
(Carica papaya). Procedia Food Science. 3:313-322.
Falcorner DS, Mackay TFC. 1996. Introduction to Quantitative Genetics. England
(GB): Longman.
Feyzian E, Dehghani H, Rezai AM, Jalali Javara M. 2009. Diallel cross analysis
for maturity and yield-related traits in melon (Cucumis melo L.). Euphytica.
168: 215-223.
[FAOSTAT] Food and Agriculture Organization of the United Nations Statistics
Division. 2016. Crops production [Internet]. [diunduh 2016 Nov 16].
Tersedia pada: http://faostat3.fao.org/download/Q/QC/E
Hammer K, Gladis T. 2014. Notes on infraspecific nomenclature and
classifications of cultivated plants in Compositae, Cruciferae, Cucurbitaceae,
Gramineae (with a remark on Triticum diccon Schrank) and Leguminosae.
Genet Resour Crop Evol. 61: 1455–1467. doi: 10.1007/s10722-014-0148-8.
Holland JB, Nyquist WE, Carvantes-Martinez CT. 2003. Plant Breeding Reviews.
J. Janick (eds). Estimating and Interpreting Heritability for Plant Breeding:
An Update. Vol. 22. New York (US): John Wiley and Sons Ltd.
Huang J, Snapp SS. 2009. Potassium and boron nutrition enhance fruit quality in
midwest fresh market tomatoes. Communications in Soil and Plant Analysis.
40: 1937–1952.doi: 10.1080/00103620902896811.
Iathet C, Piluek K. 2006. Heritability, heterosis and corelation of fruit characters
and yield in Thai Slicing Melon (Cucumis melo L. var. conomon Makno).
Kasetsart J. (Nat. Sci.). 40:20–25.
Ibrahim EA. 2012. Variability, heritability, and genetic advance in Egyptian
Sweet Melon (Cucumis melo var. aegyptiacus L.) under water stress
condition. International Journal of Plant Breeding and Genetics. 6: 238–
244.
78

[IPGRI] International Plant Genetic Resources Institute. 2003. Description for


melon (Cucumis melo L.). 92-9043-597-7. Roma (IT): International Plant
Genetic Resources Institute.
Jeffrey C. 1980. A review of the Cucurbitaceae. Botanical Journal of the Linnean
Society. 81:233-247.
Jhonson MTJ, Agrawal AA, Maron JL, Salminen JP. 2009. Heritability,
covariation and natural selection on 24 traits of common evening primrose
(Oenothera biennensis) from a field experiment. Eur. Soc. Evolutionary Biol.
22: 1295-1307.
José A, Iban E, Silvia A, Pere A. 2005. Inheritance mode of fruit traits in melon:
Heterosis for fruit shape and its correlation with genetics distance. Euphytica.
144: 31–38.
Kole C. 2011. Wild crop relatives: genomic and breeding resources vegetables.
Springer. Verlag Berlin Heldelberg. doi: 10.1007/978-3-642-20450-0.
Khumaero W, Efendi D, Suwarno WB, Sobir. 2014. Evaluasi karakteristik
hortikultura empat genotipe melon (Cucumis melo L.) Pusat Kajian
Hortikultura Tropika IPB. J. Hort. Indonesia. 5(1): 56-63.
Labeda A, Cohen Y. 2011. Cucurbit downy mildew (Pseudoperonospora
cubensis)—biology, ecology, epidemiology, host-pathogen interaction and
control. Eur J Plant Pathol. 129: 157–192. doi: 10.1007/s10658-010-9658-1.
Labeda A, Křístková E, Štěpánková J, Sedláková B, Wirdlechner MP. 2016.
Response of Cucumis melo accessions to isolates of Pseudoperonospora
cubensis with different levels of virulence. Scientia Horticulturea. 200: 45–
54.
Lee JH, Park MH, Lee S. 2016. Identification of Pseudoperonospora cubensis
using real-time PCR and high resolution melting (HRM) analysis. J Gen
Plant Pathol. 82: 110–115. doi: 10.1007/s10327-016-0646-y.
Kaufman L, Rousseeuw PJ. 1990. Finding Groups in Data: An Introduction to
Cluster Analysis. Toronto (CN): John Wiley & Sons Inc.
Lester GE, Jifon JL, Maskus DJ. 2010. Impact of potssium nutrition on
postharvest fruit quality: Melon (Cucumis melo L.) case study. Plant Soil.
335:117-131.doi: 10.1007/s11104-009-0227-3.
Li Y, Qi H, Jin Y, Tian X, Sui L, Qiu Y. 2016. Role of ethylene in biosynthetic
pathway of related-aroma volatiles derived from amino acid in oriental
sweet melons (Cucumis melo var. makuwa Makino). Science Horticulturae.
201:24-35.
Lin D, Huang D, Wang, Shiping. 2004. Effects of potassium level on fruit quality
of muskmelon in soilness medium culture. Scientia Horticulturae. 102: 53–
60.
Liu L, Kakihara F, Kato M. 2004. Characterization of six varieties of Cucumis
melo L. based on morphological and physiological characters, including
shelf-life of fruit. Euphytica. 135: 305-313.
Maharijaya A. 2013. Resistance to thrips in pepper [disertasi]. Wageningen (NL):
Wegeningen University.
Malik AA, Vashisht VK, Singh K, Sharman A, Singh DK, Singh H, Monfore AJ,
McCreight JD, Dhillon NPS. 2014. Diversity among melon (Cucumis melo
L.) landraces from the Indo-Gangetic plains of India and their genetic
79

relationship with USA melon cultivars. Genet Resour Crop Evol. 61: 1189–
1208. doi 10.1007/s10722-014-0101-x.
Mallek-Ayadi S, Bahloul N, Kechaou N. 2016. Characterization phenolic
compounds and functional properties of Cucumis melo L. peels. 221: 1691–
1697. Food Chemistry.
Mallick MFR, Masui M. 1986. Origin, distribution and taxonomy of melons.
Scientia Horticulturae. 28: 251–261.
Manohar SH, Murthy HN. 2012. Estimation of phenotypic divergence in a
collection of Cucumis melo, including shelf-life of fruit. Scientia
Horticulturae 148: 74-82.
Mattjik AA, Sumertajaya IM. 2006. Perancangan Percobaan dengan Aplikasi SAS
dan Minitab. Bogor (ID): IPB Pr.
Metwally EI, Ahmed MEM, Al-Ballat IA, Al-abbasy UK, Konsowa AM. 2015.
Gene action and heritability of fruit yield and it’s components on melon
(Cucumis melo L.). Egypt. J. Plant Breed. 19(3): 37–55.
Mliki A., J.E. Staub, S. Zhangyong, A. Ghorbel. 2001. Genetic diversity in melon
(Cucumis melo L.): An evaluation of African germplasm. Genetic Resources
and Crop Evolution. 48: 587–597.
Mutton LL, Cullis BR, Blakeney AB. 1981. The objective definition of eating
quality in rockmelons (Cucumis melo). J. Sci. Food Agric 32: 385-391.
Naroui Rad MR, Allahdoo M, Fanaei HR. 2010. Study of some yield traits
relationship in melon (Cucumis melo L.) germplasm gene bank of iran by
correlation and factors analysis. Trakia Journal of Science. 8(1): 27–32.
Nasir M, Khan AS, Basra SMA, Malik AU. 2016. Foliar application of moringa
leaf extract, potassium and zinc influence yield and fruit quality of ‘Kinnow’
mandarin. Scientica Horticulturae. 210: 227–235.
Nhi PTP, Akashi Y, Hang TTM, Tanaka K, Aierken Y, Yamamoto T, Nishida H,
Long C, Kato K. 2010. Genetic diversity in Vietnamese melon landraces
revealed by the analyses of morphological traits and nuclear and cytoplasmic
molecular markers. Breeding Science. 60: 255–266.
Ning X, Xiong L, Wang X, Gao X, Zhang Z, Zhong L, Li G. 2014. Genetic
diversity among Chinese Hami melon and its relationship with melon
germplasm of diverse origins revealed by microsatellite markers.
Biochemical Systematics and Ecology. 57: 432–468.
Nuñez-Palenius HG, Gomez-Lim M, Ochoa-Alejo N, Grumet R, Lester G,
Cantliffe DJ. 2008. Melon fruits: genetic diversity, physiology, and
biotechnology features. Biotechnology. 28: 13-55.doi:
10.1080/07388550801891111.
Obando-Ulloa JM, Eduardo I, Monforte AJ, Fernández-Trujillo JP. 2009.
Identification of QTL related to sugar and organic acid compsition in melon
using near-isogenic lines. Scientica Horticulturae. 121: 425–433.
Obando-Ulloa JM, Ruiz J, Monforte AJ, Rernández-Trujillo JP. 2010. Aroma
profile of a collection of near-isogenic lines of melon (Cucumis melo L.).
Food Chemistry. 118:815-822
Oh SH, Lim BS, Hong SJ, Lee SK. 2011. Aroma volatile changes of netted
muskmelon (Cucumis melo L.) fruit during developmental stages. Hort.
Environ. Biotechnol. 52(6): 590-595.
80

Olczak-Woltman H, Marcinkowska J, Niemirowicz-Szczytt K. 2011. The genetic


basis of resistance to downy mildew in Cucumis spp.—latest developments
and prospects. J. Appl. Genetics. 52: 249–255. doi: 10.1007/s13353-011-
0030-8.
Paris MK, Zalapa JE, McCreight JD, Staub JE. 2008. Genetic dissection of fruit
quality components in melon (Cucumis melo L.) using a RIL population
derived from exotic x elite US Western Shipping germplasm. Mol. Breeding.
22(3): 405.419. DOI: 10.1007/s11032-008-9185-3.
Pech JC, Bouzayen M, Latché A. 2008. Climacteric fruit ripening: Ethylen-
dependent and independent regulation of ripening pathways in melon fruit.
Plant Science. 175:114-120.
Pettigrew WT. 2008. Potassium influences on yield and quality production for
maize, wheat, soybean and cotton. Physiologia Plantarum. 133: 670–
681.doi: 10.1111/j.1399-3054.2008.01073x.
Prohens J, Nuez F. 2008. Vegetables I: Asteraceae, Brassicaceae,
Chenopodicaceace, and Cucurbitaceae. New York (US): Springer.
Ramachandran C, Narayan RKJ. 1985. Chromosomal DNA
variation in Cucumis. Theor Appl Genet. 69: 497–502.
Rengel Z, Damon PM. 2008. Crops and genotypes differ in efficiency of
potassium uptake dan use. Physiologia Plantarum. 133: 624–636. doi:
10.1111/j.1399-3054.2008.01079.x.
Robinson RW, Decker-Walters DS. 1999. Cucurbits. New York (US): CAB
International.
Rubatzky VE, Yamaguchi M. 1977. Worl vegetables: principles, production, and
nutrivive values 2nd ed. New York (US): Chapman Hall, International
Thompson Publishing.
Savory EA, Granke LL, Quesada-Ocampo LM, Varbanova M, Hausbeck MK,
Day B. 2011. The cucurbit downy mildew pathogen Pseudoperonospora
cubensis. Molecular Plant Pathology. 12(3): 217–226.
Senesi E, Casera LFD, Prinzialli C, Lo Scalzo R. 2005. Influence of ripening
stage on volatiles composition, physicochemical indexes and sensory
evaluation in two varieties of muskmelon (Cucumis melo L var reticulatus
Naud). J. Sci Food Agric 85: 1241–1251.
Shashikumar KT, Pitchaimuthu M, Rawal RD. 2010. Generation mean analysis of
resistance to downy mildew in adult muskmelon plants. Euphytica. 173:
121–127. doi: 10.1007/s10681-010-0132-0.
Sobir, Siregar FD. 2014. Berkebun Melon Unggul. Jakarta (ID): Penebar Swadaya.
Spencer-Philips PTN, Gisi U, Labeda A. 2003. Advances in Downy Mildew
Research. New York (US): Kluwer Academic Publisher.
Suketi K, Poerwanto R, Sujiprihati S, Sobir, Widodo WD. 2010. Analisis
kedekatan hubungan antar genotipe pepaya berdasarkan karakter morfologi
dan buah. J. Agron. Indonesia. 38(2): 130-137.
Suketi K, Roedhy P, Sriani S, Sobir, Widodo WD. 2010. Karakter fisik dan kimia
buah pepaya pada stadia kematangan berbeda. J.Agron.Indonesia. 38(1):60-
66.
Sudarmadji S, Haryono B, Suhardi. 2007. Analisa Bahan Makanan dan Pertanian.
Yogyakarta (ID): Liberty Yogyakarta.
81

Sulasih. 2011. Analisis hubungan kekerabatan manggis (Garcinia mangostana L.)


menggunakan penanda morfologi dan molekuler (ISSR) terhadap kerabat
dekatnya [tesis]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor.
Syukur M, Sujiprihati S, Yunianti R, Nida K. 2010. Pendugaan komponen ragam,
heritabilitas dan korelasi untuk menentukan kriteria seleksi cabai (Capsicum
annuum L.) populasi F5. J. Hort. Indonesia. 1(2); 74–80.
Syukur M, Sujiprihati S, Yunianti R. 2012. Teknik Pemuliaan Tanaman. Jakarta
(ID): Penebar Swadaya.
Szamosi C, Solmaz I, Sari N, Bársony C. 2010. Morphological evaluation and
comparison of Hungarian and Turkish melon (Cucumis melo L.) germplasm.
Scientia Horticulturae. 124: 170-182.
[USDA] United States Departement of Agriculture. 2016. National nutrient
database for standard references release 28 [Internet]. [diunduh 2016 Nov
15]. Tersedia pada: https://ndb.nal.usda.gov/ndb/foods/ show/2274.
Walpole RE. 1982. Pengantar Statistika. Bambang S, penerjemah. Jakarta (ID):
Gramedia Pustaka Utama. Terjemahan dari: Introduction to Statistics 3rd
Edition.
Wang YT, Liu RL, Huang SW, Jin JY. 2009. Effect of potassium application on
flavor compounds of cherry tomato fruits. Journal of Plant Nutrition. 32:
1452–1468.doi: 10.1080/01904160903092663.
Wang YH, Wu DH, Huang JH, Tsao SJ, Hwu KK, Lo HF. 2016. Mapping
quantitative trait loci for fruit traits and powdery mildew resistance in melon
(Cucumis melo L.). Bot. Stud. 57(1): 19. doi: 10.1186/s40529-016-0130-1.
Warner JN. 1952. A method of estimating heritability. Agron. J. 44: 427–430.
Yildiz M, Ekbic E, Keles D, Sensoy S, Abak K. 2011. Use of ISSR, SRAP, and
RAPD markers to assess genetic diversity in Turkish melon. Scientia
Horticulturae. 130: 349–353.
Zalapa JE, Staub JE, McCreight JD. 2008. Variance component analysis of plant
architectural traits and fruit yield in melon. Euphytica. 162: 129-143.
Zietkiewicz E, Rafalski A, Labuda D. 1994. Genome fingerprinting by simple
sequence repeat (SSR) anchored polymerase chain reaction amplification.
Genomics. (20):176-183.
82

LAMPIRAN

Lampiran 1 Musim tanam, jumlah genotipe, dan rancangan yang digunakan


dalam setiap percobaan
No Percobaan Musim tanam Jumlah genotipe Rancangan
1 Keragaman genetik
melon berdasarkan
karakter morfologi dan
marka molekuler

a. Keragaman genetik Agustus–Oktober 17 RKLT faktor


karakteristik buah 2015 tunggal 4
antar 17 genotipe ulangan
melon (Cucucmis
melo L.)
b. Keragaman genetik 1. Maret–Juni 20 1. Augmented
melon (Cucucmis 2017 design tiga
melo L.) berdasarkan 2. Juni–Agustus 20 ulangan
karakter morfologi 2017 2. RKLT
dan marka ISSR faktor
tunggal 2
ulangan

2 Heritabilitas dan 1. Mei–Juli 2015 1. Mean basis: 1 RKLT


hubungan linier antar 2. Agustus– 84 tetua- faktor
karakter buah melon Oktober 2015 turunannya tunggal 4
3. Desember 2. Plot basis: ulangan:
2015–Februari 280 tetua- musim 1
2016 turunannya dan 2
4. Februari–Mei 3. Individual 2 RKLT
2016 plant basis: faktor
5. Mei–Juli 2016 42 tetua- tunggal 3
6. Agustus– turunannya ulangan:
Oktober 2016 musim 3,
4, 5, dan 6
83

Lampiran 2 Musim tanam, jumlah genotipe, dan rancangan yang digunakan


dalam setiap percobaan (lanjutan)

Jumlah
No Percobaan Musim tanam Rancangan
genotipe
3 Karakteristik morfologi 1. Januari–Maret 1. 13 genotipe
buah melon pada stadia 2015 2. 56 genotipe
kematangan yang buah 2. Desember 3. 9 genotipe
berbeda 2015–Februari
2016
3. Februari–Mei
2016
4 Analisis interaksi Agustus–Oktober 8 genotipe Rancangan petak
genotipe×lingkungan 2016 terbagi (split plot
(aplikasi kno3) terhadap design); petak utama:
kualitas buah tanpa aplikasi KNO3
(K0) dan dengan
aplikasi KNO3 (K1);
5 Ketahanan genotipe 1. Mei–Juli 2016 1. 8 genotipe anak petak: 7
melon terhadap 2. Agustus– 2. 9 genotipe genotipe uji dan 1
penyakit downy mildew Oktober 2016 varietas pembanding
84

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Tegal, 21 Juni 1993. Penulis


adalah anak pertama dari tiga bersaudara keluarga Bapak
Harun dan Ibu Raharti. Penulis mulai bersekolah di TK
Nurul Huda pada tahun 1998, kemudian melanjutkan
pendidikan di MI Nurul Ilmi dan lulus pada tahun 2005.
Pada tahun 2008 penulis lulus dari SMP Negeri 3 Slawi dan
lulus SMA Negeri 3 Slawi pada tahun 2011. Penulis
melanjutkan pendidikan di Program Studi dan Departemen
Agronomi dan Hortikultura Fakultas Pertanian IPB melalui
jalur masuk Undangan dan menyelesaikan program Sarjana pada tahun 2015.
Program Magister ditempuh pada Program Studi Pemuliaan dan Bioteknologi
Tanaman Departemen Agronomi dan Hortikultura Fakultas Pertanian IPB.
Selama menempuh pendidikan Sarjana, penulis aktif di organisasi Badan
Eksekutif Mahasiswa (BEM) Fakultas Pertanian sebagai ketua Departemen
Keuangan dan Kewiraushaan pada tahun 2013. Pada tahun yang sama penulis
juga mengikuti Program Kreativitas Mahasiswa bidang Pengabdian Masyarakat
(PKM-K) DIKTI dan lolos seleksi untuk didanai. Penulis mengikuti International
Plant Breeding Conference (IPBC) di Malaysia pada tahun 2016 dan meraih juara
ketiga untuk poster terbaik pada kegiatan tersebut.

Anda mungkin juga menyukai