Anda di halaman 1dari 8

Disampaikan pada Seminar Nasional PERIPI 2014 di Fakultas Pertanian Universitas

Jember, tanggal 22 Oktober 2014

PERAKITAN VARIETAS TANAMAN BUNCIS (Phaseolus vulgaris L.) BERDAYA


HASIL TINGGI DENGAN SIFAT WARNA POLONG UNGU DAN KUNING
Andy Soegianto1*) dan Sri Lestari Purnamaningsih1)
1)
Laboratorium Pemuliaan Tanaman, Program Studi Agroekoteknologi, Fakultas Pertanian,
Universitas Brawijaya, Malang
*)
Corresponding author. E-mail: a.soegianto@ub.ac.id
ABSTRAK
Sifat penting selain daya hasil pada tanaman buncis adalah kandungan β-karoten
dan anthosianin yang dicirikan berturut-turut oleh warna kuning dan ungu. Warna polong
kuning dan ungu belum dijumpai pada varietas buncis yang ditanam di Indonesia, dan
hanya dijumpai pada varietas introduksi, diantaranya adalah Cherokee Sun untuk sifat
polong berwarna kuning dan Purple Queen untuk sifat warna polong ungu. β-karoten dan
anthosianin secara medis berfungsi sebagai antioksidan untuk mencegah kanker dan
penyakit lainnya. Persilangan antara varietas buncis lokal Surakarta yang dikenal memiliki
rata-rata daya hasil lebih tinggi dari varietas lokal lainnya dengan varietas introduksi
diharapkan menghasilkan varietas baru yang merupakan gabungan keunggulan sifat lokal
dan introduksi tersebut.
Penelitian dilakukan dalam tiga tahap, yaitu melakukan persilangan antara tiga
varietas lokal asal Surakarta (Gilig Ijo, Mantili, dan Gogo Kuning) dengan dua varietas
introduksi asal Selandia Baru (Cherokee Sun dan Purple Queen) yang dilakukan secara
resiprok; dilanjutkan dengan pengamatan populasi F1 dan F2 untuk mempelajari pewarisan
sifat warna polong kuning dan ungu. Data pengamatan populasi F1 dilakukan analisis
heterosis, sedangkan data populasi F2 dianalisis dengan uji kecocokan menggunakan
metode Khi-Kuadrat atau Chi-Square (χ2) untuk melihat besarnya nilai perbandingan data
penelitian yang diperoleh dari persilangan yang telah dilakukan dengan hasil yang
diharapkan berdasarkan hipotesis secara teoritis.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa warna polong pada F1 dan F1 resiprok hasil
persilangan antara varietas introduksi Cherokee Sun (berpolong kuning) dengan varietas
lokal berpolong hijau Gilig Ijo, Mantili, dan Gogo Kuning, adalah berpolong kuning.
Warna polong F1 dan F1 resiprok keturunan persilangan Purple Queen (berpolong ungu)
dengan semua varietas lokal berpolong hijau, menampilkan polong warna ungu. Hal ini
menunjukkan bahwa persilangan untuk menggabungkan sifat warna polong kuning antara
varietas introduksi Cherokee Sun dengan varietas lokal yang digunakan tidak menunjukkan
pengaruh induk betina atau maternal effect. Demikian pula halnya persilangan antara
varietas introduksi Purple Queen dengan varietas lokal Gilig Ijo, Mantili, dan Gogo
Kuning tidak dipengaruhi oleh maternal effect. Nisbah warna polong kuning : hijau
ataupun ungu : hijau pada populasi F2 setelah dilakukan uji χ2 menghasilkan nisbah 3 : 1.
Dengan demikian, warna polong kuning maupun ungu dikendalikan oleh gen tunggal
dominan. Kombinasi persilangan antara Cherokee Sun dengan Gilik Ijo memiliki nilai
duga heterosis yang lebih baik dibandingkan kombinasi persilangan yang lain untuk sifat
umur genjah. Nilai duga heterosis yang lebih besar untuk sifat daya hasil dijumpai pada
kombinasi persilangan antara Cherokee Sun dengan Gogo Kuning dibandingkan dengan
kombinasi persilangan yang lain.

Kata kunci : Buncis, Pewarisan sifat warna polong, -karoten, Anthosianin, Persilangan
1
Disampaikan pada Seminar Nasional PERIPI 2014 di Fakultas Pertanian Universitas
Jember, tanggal 22 Oktober 2014

I. PENDAHULUAN
Kebutuhan masyarakat akan buncis terus meningkat dari tahun ke tahun seiring
dengan pertumbuhan penduduk. Data statistik produksi tanaman sayuran buncis di
Indonesia periode 2009 sampai 2013 adalah 290,99; 336,49; 334,66; 322,15; dan 327,38
ton berturut-turut (BPS, 2014). Namun demikian, Indonesia masih harus mengimpor 30,91
ton buncis pada tahun 2012 guna mencukupi kebutuhan dalam negeri (Deptan, 2012).
Rata-rata hasil sayuran buncis pada tahun 2009 adalah 8,52 t.ha-1, dan rata-rata hasil
beberapa varietas sayuran buncis yang ditanam di Indonesia saat ini berkisar dari 16,3
sampai 27,5 t.ha-1. (Direktorat Jenderal Hortikultura, 2009). Data konsumsi buncis dari
tahun 2008 sampai dengan 2011 relatif stabil yaitu 0,87; 0,75 ; 0,77; dan 0,71
kg/kapita/tahun (Badan Pusat Statistik, 2012).
Pemuliaan tanaman merupakan suatu usaha untuk memperbaiki bentuk dan sifat
tanaman sehingga diperoleh varietas baru yang mempunyai sifat lebih baik dari tetuanya
dalam segi kuantitas seperti daya hasil maupun kualitas seperti kandungan gizi pada
polong, ketahanan terhadap hama penyakit, dan sebagainya. Brom (2000) menyatakan
bahwa tingkat konsumsi sayuran dimasa depan sangat dipengaruhi oleh faktor ketersediaan
(availability), keterjangkauan harga (affordability), kenyamanan atau kepraktisan
(convenience) dan keamanan produk (health). Penelitian Roininen et al. (2006),
membuktikan bahwa kesegaran, rasa, kebersihan, nilai kesehatan dan absennya
penggunaan pestisida juga merupakan faktor penting lainnya. Perbaikan varietas dapat
dilakukan melalui penggabungan sifat-sifat genetik yang diinginkan yaitu melalui
persilangan, sekaligus untuk meningkatkan dan memanfaatkan keragaman genetik, yang
dilanjutkan dengan seleksi dan evaluasi terhadap daya hasil dan kualitas. Adanya
keragaman (variabilitas) genetik dari karakter yang dapat diwariskan dan kemampuan
memilah genotipe-genotipe unggul dalam proses seleksi sangat menentukan keberhasilan
program pemuliaan tanaman. Dengan demikian, tujuan pemuliaan tanaman adalah untuk
mendapatkan varietas baru dengan sifat-sifat kuantitatif maupun kualitatif keturunan yang
lebih baik dari tetuanya, akan dapat tercapai apabila cukup tersedia keragaman genetik.
Pewarisan sifat adalah suatu proses pemindahan sifat atau gen dari tetua kepada
keturunannya. Sering dijumpai bahwa suatu individu berpenampilan relatif sama dengan
tetuanya, walau tidak semua sifat diwariskan dari tetuanya tersebut. Dengan demikian,
pewarisan warna polong pada buncis untuk mewariskan kandungan anthosianin tinggi dari
buncis varietas introduksi asal Selandia Baru yaitu varietas Purple Queen, serta kandungan
β-karoten tinggi dari varietas Cherokee Sun kepada beberapa buncis varietas lokal asal
Surakarta (Mantili, Gilik Ijo, dan Gogo Kuning) yang mempunyai karakter daya hasil
tinggi dan adaptif, diamati pada keturunan F1 dan F2 nya. Dalam setiap program pemuliaan
tanaman, evaluasi dan seleksi merupakan kegiatan utama yang harus dilakukan setelah
diperoleh keragaman genetik tinggi. Keragaman genetik yang tinggi adalah dijumpai pada
populasi bersegregasi, yaitu pada populasi F2 ketika tetua persilangannya adalah galur
homosigot.
II. TINJAUAN PUSTAKA
Buncis (P. vulgaris L.) sebagai tanaman yang sifat reproduksinya adalah
menyerbuk sendiri, mempunyai ciri populasi yang homosigot-homogen. Tanaman ini
bersifat diploid 2n = 2x = 22 (Cheng dan Basset, 1981). Penyebaran tanaman buncis
diduga berasal dari benua Amerika dengan dua pusat asal-usul yaitu Andean dan
Mesoamerika (Hornakova et al., 2003). Buncis yang ditanam di Indonesia merupakan
hasil introduksi dari kurang lebih 100 kultivar yang berasal dari Hawai, Belanda dan
2
Disampaikan pada Seminar Nasional PERIPI 2014 di Fakultas Pertanian Universitas
Jember, tanggal 22 Oktober 2014

Australia. Sentra awal penanaman buncis di Indonesia ada di Kotabatu (Bogor),


Pengalengan, Lembang (Bandung), dan Cipanas (Cianjur) (Fachruddin, 2000).
Berbagai metode pemuliaan tanaman dapat dilakukan pada tanaman menyerbuk
sendiri. Penyerbukan sendiri pada tanaman akan memunculkan galur-galur. Galur yang
terbentuk pada dasarnya adalah kelompok populasi yang secara genetik berbeda, dengan
keragaman dalam galur adalah sempit atau seragam sedangkan ragam antar galur adalah
besar. Penerapan atau pemilihan suatu metode pemuliaan untuk suatu komoditas tanaman
tertentu memerlukan pengetahuan dasar yang cukup karena banyak faktor atau hal yang
perlu diketahui. Salah satu faktor penentu keberhasilan pemuliaan tanaman adalah
tersedianya keragaman genetik. Keragaman genetik tanaman dapat diupayakan
diantaranya adalah melalui cara introduksi, hibridisasi, dan mutasi. Teknik persilangan
buatan (hibridisasi) dapat menyebabkan terjadinya kombinasi alel-alel yang dapat
meningkatkan keragaman genetik. Penentuan tetua merupakan tahap yang sangat penting
karena akan menentukan keberhasilan dari tujuan perolehan karakter yang diinginkan.
Pembentukan populasi dasar buncis berpolong ungu maupun kuning dilakukan melalui
persilangan antara varietas buncis lokal Surakarta yang memiliki rata-rata produksi tinggi
(Gilik Ijo, Gogo Kuning dan Mantili) dengan buncis introduksi yang memiliki kandungan
antosianin tinggi (Purple Queen) dan kandungan -karoten tinggi (Cherokee Sun). Seperti
disebutkan di atas bahwa hibridisasi dapat meningkatkan keragaman genetik, dan dengan
keragaman genetik tinggi, maka peluang untuk mendapatkan sifat-sifat unggul yang
diharapkan juga semakin besar. Dari persilangan tersebut diharapkan akan diperoleh
keturunan baru yang memiliki sifat unggul kombinasi tetuanya yaitu buncis berpolong
ungu dan kuning dengan daya hasil tinggi melalui serangkaian prosedur pemuliaan dan
seleksi yang tepat.
Salah satu metode seleksi pada keturunan hasil persilangan tanaman menyerbuk
sendiri adalah seleksi pedigree atau seleksi silsilah. Metode ini paling sering digunakan
khususnya untuk generasi F2. Seleksi pedigree ini membutuhkan nilai heritabilitas tinggi
untuk sifat yang digunakan sebagai kriteria seleksi. Prosedur seleksi pedigree dimulai
dengan melakukan persilangan sepasang tetua homosigot yang berbeda sehingga diperoleh
keturunan generasi F1 yang seragam. Penyerbukan sendiri populasi F1 ini akan
menghasilkan populasi generasi F2 yang bersegregasi. Seleksi pedigree diterapkan mulai
generasi F2 dan dilanjutkan pada generasi-generasi berikutnya (Gambar 1).
III. BAHAN DAN METODE
Bahan penelitian yang digunakan adalah 5 (lima) varietas buncis (Tabel 1) yang
terdiri dari 2 (dua) varietas introduksi asal Selandia Baru (Cherokee Sun, berpolong
kuning, dan Purple Queen, berpolong ungu) serta 3 (tiga) varietas lokal asal Surakarta yang
semuanya berpolong hijau (Gogo Kuning, Gilig Ijo, dan Mantili). Penelitian dilaksana
dalam 3 (tiga) generasi tanam yaitu, generasi tetua untuk persilangan, Generasi F 1, dan
generasi F2, yaitu penanaman pada bulan Februari sampai dengan September 2012 untuk
generasi tetua dan F1, kemudian dilanjutkan penanaman generasi F2 pada bulan Mei
sampai Agustus 2013.
Persilangan buatan dilakukan antara varietas introduksi dan varietas lokal serta
resiproknya. Populasi tetua masing-masing terdiri dari 20 tanaman yang ditanam dengan
jarak tanam 50 x 30 cm. Benih F1 dan resiproknya diperoleh dari persilangan yang
direncanakan pada populasi tetua dan ditanam sebanyak 50 individu untuk setiap populasi
F1. Sedangkan pada populasi F2 hasil selfing generasi F1 ditanam sebanyak 400 individu
tanaman per galur dengan jarak tanam 50 x 30 cm.

3
Disampaikan pada Seminar Nasional PERIPI 2014 di Fakultas Pertanian Universitas
Jember, tanggal 22 Oktober 2014

Pengamatan dilakukan pada populasi F1 dan F2 untuk warna polong dan daya hasil.
Uji kesesuaian warna polong untuk analisis pewarisan sifat warna polong pada populasi F2
menggunakan metode Chi-Square (χ2) dengan rumus (Stansfield, 1983) :
Dimana : χ2 = nilai Chi-Square
O = Frekuensi hasil pengamatan
E = Frekuensi harapan

Adapun pendugaan efek heterosis dianalisis menggunakan metode high-parent dan mid-
parents heterosis atau heterobeltiosis dan heterosis standar untuk sifat berat polong dengan
rumus (Chaudary, 1984) :

x 100%

x 100%

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN


Hasil pengamatan warna polong pada populasi F1 dan F1 resiprok pada persilangan
antara Cherokee Sun dan semua varietas lokal menunjukkan dominansi warna polong
kuning dari tetua introduksi. Demikian pula pada persilangan antara Purple Queen dan
semua variteas lokal serta resiproknya menampilkan warna polong ungu berasal dari tetua
introduksi. Dengan demikian warna polong kuning dan ungu adalah dominan terhadap
warna polong hijau dan tidak dipengaruhi oleh efek induk betina. Dengan kata lain bahwa
pewarisan warna polong kuning dan ungu dikendalikan oleh gen-gen di dalam inti sel.
Perhitungan Chi-Square untuk analisis pewarisan sifat warna polong pada populasi
F2 memperkuat hasil yang diperoleh pada pengamatan F1 (Tabel 2). Tiga kombinasi
persilangan untuk tetua berpolong kuning dan hijau, semua populasi F2-nya menampilkan
segregasi ratio 3 kuning : 1 hijau. Tiga kombinasi persilangan lainnya untuk tetua
berpolong ungu dan hijau, maka segregasi ratio warna polong pada populasi F2-nya juga
menunjukkan 3 ungu : 1 hijau. Crowder (1997) menyebutkan bahwa pewarisan sifat
kualitatif pada umumnya dikendalikan oleh gen sederhana.
Efek heterosis yang cukup tinggi (Tabel 3) teramati pada peubah umur berbunga
dan berat polong, yaitu pada F1 keturunan persilangan (Cherokee Sun x Gogo Kuning),
(Purple Queen x Mantili) dan (Purple Queen x Gogo Kuning) yang menunjukkan umur
berbunga yang lebih awal dibandingkan tetuanya. Sedangkan untuk peubah berat polong
teramati gejala heterosis pada F1 keturunan persilangan (Cherokee Sun x Gogo Kuning).
Keragaman warna polong yang tinggi pada populasi F2 menunjukkan terjadinya
segregasi genetik pada susunan genotipe heterosigot akibat penyerbukan sendiri.
Keragaman warna polong ini dapat dilihat pada gambar 2. Keragaman genetik yang luas
menjamin efektivitas program seleksi, apabila nilai duga heritabilitas untuk karakter
seleksi adalah tinggi pula. Sebagai contoh, populasi F2 (Purple Queen x Gogo Kuning)
memiliki nilai heritabilitas tinggi untuk umur genjah.

4
Disampaikan pada Seminar Nasional PERIPI 2014 di Fakultas Pertanian Universitas
Jember, tanggal 22 Oktober 2014

V. KESIMPULAN
Pewarisan warna polong kuning dan ungu berasal dari varietas introduksi adalah
bersifat dominan terhadap warna polong hijau varietas lokal dengan pola pewarisan 3
kuning atau ungu : 1 hijau, dengan gen pengendali bersifat intra nuclear chromosomal.
Seleksi pedigree untuk memperoleh galur berdaya hasil tinggi dengan polong
berwarna kuning atau ungu akan efektif dilakukan pada populasi F2 karena ragam genetik
dan heritbilitas untuk kedua sifat tersebut tinggi.
Peluang untuk mengembangkan secara langsung keunggulan umur genjah selain
daya hasil dan warna polong adalah cukup besar terutama dari persilangan antara Purple
Queen dan Gogo Kuning berdasarkan nilai duga heterosisnya.
UCAPAN TERIMAKASIH

Penulis menyampaikan ucapan terimakasih kepada Direktorat Jenderal Pendidikan


Tinggi, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, yang telah memberikan bantuan dana
penelitian Hibah Perguruan Tinggi Melalui DIPA Universitas Brawijaya Nomor : DIPA-
023.04.2.414989/2013, Tanggal 5 Desember 2012, dan berdasarkan SK Rektor Universitas
Brawijaya Nomor : 153/SK/2013 tanggal 28 Maret 2013, sehingga makalah ini dapat
disampaikan pada Seminar Nasional Pemuliaan yang dilaksanakan di Fakultas Pertanian,
Universitas Jember pada tanggal 22 – 23 Oktober 2014.

DAFTAR PUSTAKA
Brom, F.W.A. 2000. Food, Consumer Concerns, and Trust : Food Ethnics for A
Globalizing Market. J. Agric. And Environ. Ethnics 12(2): 127-139
Chaudary, R.C. 1984. Introduction to Plant Breeding. Oxford and IBH Publishing Co.,
New Delhi. 267p.
Cheng, S.S. and M.J. Bassett, 1981. Chromosome Morphology in Common Bean
(Phaseolus vulgaris) at the Diplotene Stage of Meiosis. Cytologia 46 : 675-684.
Crowder, L.V. 1997. Genetika Tumbuhan. Gadjah Mada University Press. Yogyakarta.
449p.
Fachruddin, L. 2000. Budidaya Kacang-kacangan. Kanisius. Yogyakarta.
Hornakova, O., M. Zavodna, J. Kraic, and F. Debre, 2003. Diversity of Common Bean
Landraces Collected in the Western and Eastern Carpatien. Czech J. genet. Plant
Breed.,39(3): 73-83.
Roininen K., A. Arvola, and L. Lahteenmaki. 2006. Exploring Consumer’s Perceptions of
Local Food with Two Different Qualitative Techniques: Laddering and Word
Association. Food Quality and Preference (17): 1-2:20-30.
Stansfield, W.D. 1983. Theory and Problem of Genetics. Ed ke-2. New York: McGraw
Hill.

5
Disampaikan pada Seminar Nasional PERIPI 2014 di Fakultas Pertanian Universitas
Jember, tanggal 22 Oktober 2014

GAMBAR DAN TABEL

Gambar 1.

6
Disampaikan pada Seminar Nasional PERIPI 2014 di Fakultas Pertanian Universitas
Jember, tanggal 22 Oktober 2014

Gambar 2. Keragaman fenotipe warna polong pada populasi F2.

Tabel 1. Deskripsi buncis varietas tetua Introduksi dan Lokal

Cherokee Purple Gogo


Deskripsi Gilik Ijo Mantili
Sun Queen Kuning
Asal-usul Introduksi Introduksi Lokal Lokal Lokal
Tipe Tumbuh Tegak Merambat Tegak Merambat Merambat
Warna Bunga Pink Ungu Putih Putih Putih
Warna Daun Hijau Hijau Hijau Hijau Hijau
Warna Batang Hijau Ungu Hijau Hijau Hijau
Warna Polong Kuning Ungu Hijau Hijau Hijau
Warna Biji Hitam Putih Kuning Putih Kuning
Umur Berbunga 27,6 hst 42,2 hst 24,67 hst 34 hst 29,33 hst
Awal Panen
35,33 hst 51,44 hst 33,67 hst 38,37 hst 40,48 hst
polong muda
Awal Panen
70,33 hst 88,35 hst 73,33 hst 78,2 hst 79,4 hst
polong kering
Panjang Polong 15,25 cm 19,5 cm 15,00 cm 17,33 cm 19,33 cm
Jumlah Biji per
5,4 8,55 5,33 10,38 10,77
Polong
Bobot per Polong 6,17 g 10,28 g 8,33 g 8,48 g 8,33 g
Bobot Polong per
221,00 g 608,94 g 543,33 g 810,00 g 723,33 g
Tanaman
Jumlah Polong
28,33 68,83 51,67 131,67 73,33
per Tanaman
Bobot 100 biji 31,27 g 35,96 g 33,47 g 31,67 g 35,63 g
Panjang Biji 1,13 cm 1,22 cm 0,86cm 0,74 cm 0,87 cm
Lebar biji 0,38 cm 0,43 cm 0,43 cm 0,33 cm 0,46 cm

7
Disampaikan pada Seminar Nasional PERIPI 2014 di Fakultas Pertanian Universitas
Jember, tanggal 22 Oktober 2014

Tabel 2. Perhitungan Chi-Square pada populasi F2 untuk pewarisan sifat warna polong
kuning dan ungu

Ratio warna polong Kuning : Hijau pada populasi F2


Per
3:1 9:7 13 : 3 15 : 1
silangan O
E E E E
CS x GI 280:120 300:100 0.26* 225:175 2.92* 325:75 3.08* 375:25 25.06*
CS x M 320:80 300:100 0.26* 225:175 6.7tn 325:75 1.03* 375:25 9.06tn
CS x GK 320:80 300:100 0.26* 225:175 6.7tn 325:75 1.03* 375:25 9.06tn
Ratio warna polong Ungu : Hijau pada populasi F2
Per
3:1 9:7 13 : 3 15 : 1
silangan O
E E E E
PQ x GI 320:80 300:100 0.26* 225:175 6.7tn 325:75 1.03* 375:25 9.06tn
* tn
PQ x M 320:80 300:100 0.26 225:175 6.7 325:75 1.03* 375:25 4.26tn
PQ x GK 340:60 300:100 1.06* 225:175 1.91* 325:75 3.04* 375:25 36.26tn
Keterangan : O = Frekuensi teramati; E = Frekuensi harapan;
= Chi-Square; tn = tidak nyata pada taraf 5%; *) = berbeda nyata pada taraf
5%
Tabel 3. Nilai duga pengaruh Heterobeltiosis (HP) dan Heterosis standar (HS) pada
persilangan buncis varietas introduksi dan lokal.

Umur berbunga Bobot polong


Persilangan
HP (%) HS (%) HP (%) HS (%)
CS x GI -19.53 -10.20 -26.16 -15.41
CS x M -9.95 -7.13 -13.58 -1.23
CS x GK -20.13 -15.26 3.94 7.07
PQ x GI 0.15 12.22 -2.02 2.95
PQ x M -20.62 -3.21 1.62 7.07
PQ x GK -40.87 -19.71 -8.19 7.05

Anda mungkin juga menyukai