PEMULIAAN TANAMAN
(PNA2320)
Semester:
Ganjil 2023
Disusun Oleh :
Diana Sefi Anggraeni
A1D022043
A. Latar Belakang
Pemuliaan adalah suatu cara yang sistematik merakit keragaman genetik menjadi suatu
bentuk yang bermanfaat bagi manusia. Dalam proses ini diperlukan bahan baku berupa
keanekaragaman genetik (plasma nutfah) yang tersedia di alam. Untuk pemuliaan tanaman,
peranan penelitian untuk mendapatkan bibit unggul adalah sangat penting. Kastrasi dan hibridasi
adalah teknik yang digunakan oleh para pemulia yaitu orang yang berusaha untuk
memperbanyak tanaman dalam lingkup pemuliaan tanaman untuk meningkatkan produktivitas
dari tanaman yang dimuliakan, kastrasi disini merupakan proses untuk menghilangkan kelamin
jantan dari suatu bunga pada tanaman untuk menghindari atau mencegah terjadinya penyerbukan
sendiri. Kastrasi digunakan agar tanaman itu tidak menyerbuk sendiri, jika suatu tanaman
menyerbuk sendiri secara terus-menerus mungkin dari filal juga tidak bisa optimal dalam hal
produksinya. Kastrasi bertujuan untuk mencegah terjadinya penyerbukan sendiri (self
fertilization). Kastrasi berfungsi agar tanaman dapat lebih menghasilkan ke pertumbuhan
vegetatif (penguatan batang yang lebih besar) dan juga untuk merangsang pembentukan bunga
betina yang sempurna. Ada beberapa cara untuk melakukan kastrasi yaitu dengan menggunakan
pompa pengisap, perlakuan dengan alkohol, dan secara manual dengan menggunakan pinset
(Selvia et al, 2022).
Rekayasa genetika adalah transplantasi satu gen ke gen lainnya baik antara gen dan lintas
gen untuk menghasilkan produk yang berguna bagi makhluk hidup. Pada awalnya, rekayasa
genetika hanya dilakukan pada tanaman untuk memecahkan kekurangan pangan penduduk
dunia, dan dalam pengembangannya rekayasa genetika tidak hanya berlaku untuk tanaman dan
hewan yang serupa, tetapi telah berevolusi pada manusia dan lintas jenis. Prinsip dasar
teknologi rekayasa genetika adalah memanipulasi perubahan komposisi asam nukleat DNA atau
menyelipkan gen baru ke dalam struktur DNA makhluk hidup penerima, hal ini berarti bahwa
gen yang disisipkan pada makhluk hidup penerima dapat berasal dari mahkluk hidup lain.
Rekayasa genetika ini memiliki manfaat dalam kehidupan manusia yaitu : dapat menghasilkan
produk produk yang jumlahnya lebih banyak dari produk yang jumlahnya sedikit, memiliki
kualitas yang lebih unggul karena DNA nya sudah dimodifikasi sehingga kandungan nutrisi lebih
tinggi, tahan lama, tahan cuaca, tahan terhadap hama serta dapat meningkatkan hasil panen
(Firdaus et al).
B. Tujuan
Tanaman kentang (Solanum tuberosum L.) merupakan tanaman dikotil yang bersifat
semusim, termasuk famili Solanaceae, dan memiliki umbi batang yang dapat dimakan. Tanaman
kentang berbentuk semak atau herba. Batangnya yang berada diatas permukaan tanah ada yang
berwarna hijau, kemerah-merahan, atau ungu tua. Kentang merupakan salah satu tanaman
hortikultura yang banyak dibudidayakan di Indonesia dan bernilai ekonomi tinggi serta
mempunyai arti penting dalam perwujudan ketahanan pangan, sehingga budidaya tanaman
kentang layak untuk diprioritaskan.
Produksi kentang ditentukan oleh mutu bibit karena salah satu yang mengakibatkan
rendahnya produksi kentang yaitu mutu bibit yang kurang baik. Salah satu cara untuk
memperoleh bibit kentang yang bermutu tinggi dapat dilakukan dengan perbanyakan secara in
vitro atau kultur jaringan. Penggunaan teknik kultur jaringan dapat menghasilkan bibit dalam
jumlah yang banyak dalam waktu yang relatif singkat. Selain itu, aplikasi teknik ini tidak
tergantung pada iklim dan musim serta dapat menghasilkan umbi mini sebagai bibit yang
memiliki volume dan bobot yang lebih rendah sehingga dapat memudahkan dalam proses
pengangkutan.
Media merupakan salah satu faktor yang menetukan keberhasilan dalam teknik kultur
jaringan. Media kultur yang memenuhi syarat adalah media yang mengandung nutrisi makro,
unsur mikro, sumber tenaga (pada umumnya sukrosa), vitamin, zat pengatur tumbuh, dan
pengkelat (agar-agar). Terdapat tiga jenis media dalam kultur jaringan, yaitu media padat, media
cair, dan media semi padat.
C. Sifat Tanaman.
Sifat fisik kentang yang dapat diidentifikasi pada penelitian yaitu meliputi sphericity, luas
permukaan, volume, dan densitas. Sphericity merupakan ukuran kebulatan suatu bahan yang
didefinisikan sebagai perbandingan antara diameter bola yang mempunyai volume yang sama
dengan objek dengan diameter bola terkecil yang dapat mengelilingi objek. Luas permukaan
merupakan salah satu sifat fisik yang juga berkaitan dengan dimensi atau ukuran dan bentuk.
Volume kentang pada penelitian ini dapat ditentukan dengan dua metode yaitu pengukuran dan
perhitungan. Selain sifat fisik yang telah disebutkan sebelumnya, densitas merupakan salah satu
sifat fisik yang merupakan ukuran kualitas bahan pertanian (Mustofa, M. 2019).
Sifat kimia tanah sangat berpengaruh untuk meningkatkan pertumbuhan tanaman.
Pemberian pupuk merupakan salah satu sarana produksi penting dalam budidaya tanaman,
sehingga ketersediaannya mutlak diperlukan untuk keberlanjutan produktivitas tanah dan
tanaman. Fungsi pupuk kimia yaitu sebagai penyedia hara makro seperti N, P, K, Ca, Mg, dan S
dan mikro seperti Zn, Cu, B, Mo, Co, Mn, Fe. Tanah pada bidang pertanian memiliki arti yang
khusus dan sangat penting sebagai media tumbuh Tanaman. Tanah merupakan hasil evolusi dan
mempunyai susunan teratur terdiri dari lapisan-lapisan atau horison-horison yang berkembang
secara genetik. Secara kimia, tanah berfungsi sebagai gudang dan penyuplai unsur hara.
Sedangkan secara biologi, tanah berfungsi sebagai habitat organisme tanah yang aktif dalam
penyediaan hara dan zat-zat aditif bagi pertumbuhan tanaman. Penggunaan tanah atau lahan
secara terus menerus untuk pemenuhan kebutuhan akan dapat berpengaruh terhadap penurunan
kualitas tanah. Salah satu penyebabnya adalah kesalahan dalam menerapkan pola penggunaan
lahan (Roring et al, 2020).
Solanum terdiri dari sekitar 2.000 spesies, sekitar 150 jenis di antaranya menghasilkan
umbi. Ada lima kelompok secara sitologi, dengan jumlah kromosom somatik 24, 36, 48, 60 dan
72. Sekitar 70% spesies kentang adalah diploid. Sebagian besar self-incompatible dan hanya
dapat menghasilkan benih jika diserbuki dengan polen yang memiliki S allele yang berbeda.
Spesies diploid yang self-compatible adalah S. morelliforme, S. poly-adenium, dan S.
verrucosum. Diploid kultivar yang banyak ditanam adalah S. phureja, yang banyak ditanam di
lembah pegunungan Amerika Selatan. Spesies ini dibedakan dengan tidak adanya dormansi
umbi, yang memungkinkan penanaman secara kontiniu sebanyak mungkin. Spesies ini sudah
digunakan secara ekstensif sebagai pollinator untuk menghasilkan tanaman haploid S.
tuberosum, sebagai tetua jembatan antara spesies diploid lainnya, dan S. tuberosum sebagai dasar
studi genetika (Peloquin et al., 1996). Kultivar diploid lainnya adalah S. stenotomum, yang
ditanam di areal serupa dengan S. phureja; S. ajanhuire, spesies yang keras dan tumbuh di
dataran tinggi Bolivia dimana umbinya digunakan untuk produksi tunta, produk kering-beku; dan
S. goniocalyx; yang tumbuh di lembah Peru (Bradshaw, 2007).
Persilangan antara tanaman tetraploid dan diploid jarang menghasilkan turunan triploid
karena ‘triploid block’ yang muncul dari faktor endosperma yang tidak seimbang dalam nukleus.
Beberapa klon triploid dibudidayakan, tetapi karena steril, dipertahankan dengan cara
perbanyakan aseksual. Tetraploid menghasilkan sekitar 15% spesies yang menghasilkan umbi.
Klon S. tuberosum subspesies andigena dapat bersilang dengan klon subspesies tuberosum, tetapi
umumnya menghasilkan hibrida yang matang lambat (late maturing), kecuali tetua andigena
telah diseleksi untuk matang cepat (early maturing). Klon dari subspesies ini merupakan sumber
yang berharga untuk banyak karakter yang diinginkan.
Keberhasilan dalam penyerbukan silang tergantung pada kedua tetua. Jika tanaman yang
tidak diketahui karakteristiknya digunakan sebagai tetua, keberhasilan lebih dari 50% sudah
bagus. Jika tetua betina diketahui menghasilkan bunga matang yang bagus, dan bunga jantan
menghasilkan polen yang bagus, persentase keberhasilan akan lebih tinggi, namun tidak selalu.
Polinasi dengan polen campuran dari beberapa klon dapat menghasilkan kesuksesan hingga 90%.
Keragaman genetik ditujukan untuk mengetahui sifat yang diamati disebabkan oleh
pengaruh genetik atau pengaruh lingkungan. Heritabilitas adalah satu alat ukur dalam sistem
seleksi yang dapat menggambarkan efektivitas seleksi genotip berdasarkan penampilan
fenotipnya (Fehr, 1987) sedangkan korelasi antar sifat diperlukan dalam seleksi tanaman, untuk
mengetahui karakter yang dapat dijadikan petunjuk/indikator seleksi secara langsung atau tidak
langsung untuk meningkatkan suatu sifat yang diinginkan (Wirnas dkk., 2006 dalam Halide et al,
2020).
Meskipun kentang merupakan pangan wholesome, perbaikan nutrisi untuk kesehatan perlu
dipertimbangkan. Saat ini ada ketertarikan untuk meningkatkan kesehatan masyarakat miskin
dengan melakukan pemuliaan tanaman pangan utama yang kaya nutrisi mikro (biofortification).
CIP telah menemukan aksesi pada koleksi plasma nutfah mereka yang memiliki kandungan besi
dan zinc yang lebih tinggi (Burgos et al., 2007). Uji in vitro juga menunjukkan variasi
ketersediaan besi antara genotipe kentang, khususnya kentang berdaging kuning, yang biasanya
memiliki kandungan karotenoid yang lebih tinggi dibandingkan kentang berdaging putih atau
krem. Heritabilitas konsentrasi karotenoid belum ditentukan, namun heritabilitas konsentrasi Fe
dan vitamin C, yang juga meningkatkan ketersediaan, cukup tinggi. Hal ini menunjukkan bahwa
pemuliaan untuk meningkatkan ketersediaan Fe pada kentang cukup fisibel.
DAFTAR PUSTAKA
Zuraida, N., & Sumarno, S. (2018). Pengelolaan Plasma Nutfah secara Terpadu Menyertakan
Industri Perbenihan.
Kwatrina, R. T., Takandjandji, M., & Bismark, M. (2011). Ketersediaan tumbuhan pakan dan
daya dukung habitat Rusa timorensis de Blainville, 1822 di kawasan hutan
penelitian Dramaga. Buletin Plasma Nutfah Vol, 17(2).
Roring, MA, Pioh, DD, & Najoan, J. (2020, Oktober). Identifikasi Sifat Kimia Tanah yang
Ditanam Tanaman Kentang (Solanum Tuberosum L.) di Desa Pinasungkulan
Utara Kecamatan Modoinding. Dalam COCOS (Vol.2, No.3).
Ambarwati, A. D., Purwito, A., Herman, M., & Sumaraow, S. M. (2009). Analisis integrasi dan
segregasi gen ketahanan terhadap hawar daun pada progeni F1 hasil persilangan
tanaman kentang transgenik dengan non transgenik.
Halide, E. S., & Paserang, A. P. (2020). Keragaman genetik, heritabilitas dan korelasi antar
kentang (Solanum tuberosum l.) yang dibudidayakan di napu. Biocelebes, 14(1),
94-104.