TENTANG
Disusun Oleh :
Nama: Imra‟tulhasanah
NPM: 21901031007
Kelas: Agroteknologi 5A
FAKULTAS PERTANIAN
2021/2022
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Indonesia merupakan salah satu pusat keragaman genetik tanaman
pisang. Beberapa macam pisang liar yang tumbuh di Indonesia, antara lain
Musa acuminata ssp. sumatrana, halabanensis, breviformis, microcarpa,
zebrina, tomentosa, M. balbisiana cv. Kluthuk Wulung dan Kluthuk Awu, juga
M. ornata, M. troglodytarum, dan M. borneensis (Hapsari 2014). Pisang liar
dapat dimanfaatkan sebagai tetua dalam persilangan untuk pembentukan hibrida
karena merupakan sumber ketahanan terhadap cekaman biotik dan abiotik,
sebagaimana dilaporkan oleh Javed, Chai & Othman (2004) bahwa M.
acuminata bersifat tahan terhadap penyakit layu yang disebabkan oleh
Fusarium oxysporum f.sp. cubense ras 4 atau tropical race 4 (TR4).
B. Tujuan
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Definisi Kultur Jaringan
a. Sel dari suatu organisme multiseluler di mana pun letaknya, sebenarnya sama dengan
sel zigot karena berasal dari satu sel tersebut (Setiap sel berasal dari satu sel).
b. Teori Totipotensi Sel (Total Genetic Potential), artinya setiap sel memiliki potensi
genetik seperti zigot yaitu mampu memperbanyak diri dan berediferensiasi menjadi
tanaman lengkap.
Tahapan yang dilakukan dalam perbanyakan tanaman dengan teknik kultur jaringan
adalah:
1) Pembuatan media
2) Inisiasi
3) Sterilisasi
4) Multiplikasi
5) Pengakaran
6) Aklimatisasi
Pengakaran adalah fase dimana eksplan akan menunjukkan adanya pertumbuhan akar
yang menandai bahwa proses kultur jaringan yang dilakukan mulai berjalan dengan
baik. Pengamatan dilakukan setiap hari untuk melihat pertumbuhan dan perkembangan
akar serta untuk melihat adanya kontaminasi oleh bakteri ataupun jamur. Eksplan yang
terkontaminasi akan menunjukkan gejala seperti berwarna putih atau biru (disebabkan
jamur) atau busuk (disebabkan bakteri).
Teknik penyelamatan embrio (embryo rescue) mulai dikembangkan tahun 1900an yang
memungkinkan benih yang belum matang atau embrio diselamatkan untuk membentuk
tanaman baru. Ini biasanya dilakukan untuk benih – benih yang memiliki masa
dormansi yang panjang. Belakangan ini juga berkembang teknik penyelamatan bakal
biji yang telah terserbuki tapi tidak pernah menghasilkan benih viable. Penyelamatan
embryo banyak dilakukan untuk memperoleh hibrida interspesifik dan intergenerik.
Misalnya pada kentang dan berbagai tanaman hias.
Kultur embrio belum matang yang diambil dari biji memiliki 2 macam aplikasi.
Dalam beberapa hal, incompatibilitas antar spesies atau kultivar yang timbul setelah
pembentukan embrio akan menyebabkan aborsi embrio. Embryo seperti ini dapat
diselamatkan dengan cara mengkulturkan embrio yang belum matang dan
menumbuhkannya pada media kultur yang sesuai. Aplikasi lain kultur embrio adalah
untuk menyelamatkan embrio yang sudah matang agar tidak mati akibat serangan hama
dan penyakit.
Teknik embryo culture dan embryo rescue pada dasarnya melibatkan 3 tahapan, yaitu:
Embrio pada prinsipnya berada dalam keadaan steril. Hal ini disebabkan karena embrio
berada di dalam buah (di dalam biji) terlindung oleh jaringan-jaringan buah dan biji
yang berada di luar embrio, antara lain oleh kulit buah, daging buah dan kulit biji.
Keadaan ini menyebabkan sterilisasi embrio tidak perlu dilakukan.Sterilisasi permukaan
perlu dilakukan pada buah ataupun biji untuk mensterilkan permukaan buah/biji
sehingga pada waktu isolasi embrio tidak terdapat sumber kontaminan. Karena embrio
berada di dalam, sterilisasi dapat dilakukan dengan pembakaran buah/biji atau dengan
sterilan kimia seperti sodium hypochlorite dengan konsentrasi cukup tinggi (>2 %).
Seringkali masalah timbul saat isolasi embrio terutama untuk embrio berukuran kecil
sehingga isolasinya harus dilakukan di bawah mikroskop. Untuk embrio berukuran
besar, isolasi embrio tidak menjadi masalah. Isolasi harus dilakukan secara hati-hati
agar embrio tidak rusak dan kehilangan salah satu atau lebih bagian-bagiannya
(radicula, plumula, hypocotil, coleoptyl, dll). Selain itu harus tetap dijaga juga agar
isolasi dilakukan dalam kondisi tetap aseptis. Embrio yang telah diisolasi selanjutnya
ditanam pada media yang telah dipersiapkan.
Pada beberapa kasus, terutama untuk embrio muda atau embrio yang mengalami
dormansi, penambahan giberellin dalam media kultur dapat dilakukan. Untuk
pengecambahan embrio umumnya digunakan media padat sehingga agar pada
konsentrasi 0,8 sampai 1,6 % ditambahkan ke dalam media. Media cair kadangkala
diperlukan untuk pengecambahan, misalnya pada embrio kelapa. Kondisi
pengecambahan ini memodifikasi kondisi alamiah perkecambahan buah kelapa dimana
nutrisi tersedia dari endosperm yang cair yaitu berupa air kelapa. Apabila media cair
digunakan untuk pengecambahan, umumnya kultur ditempatkan di atas shaker (alat
penggojok) untuk menghindari kekurangan oksigen pada eksplan yang dapat
menyebabkan eksplan mati.
3). Aklimatisasi
Kedua teknik ini (embryo culture dan embryo rescue) dewasa ini dilakukan untuk
berbagai tujuan, antara lain:
1) Mematahkan dormansi
Tanaman anggrek merupakan salah satu contoh tanaman yang bijinya sangat
sulit berkecambah di alam. Biji anggrek sangat kecil dan memiliki endosperm yang
sangat miskin sehingga tidak bisa mendukung perkecambahan bijinya. Di alam, proses
perkecambahan anggrek teresterrial (tanah) diawali dengan simbiosis antara biji
anggrek dengan jamur (mycorrizha) dimana hifa jamur akan menembus kulit biji dan
mensuplai makanan bagi biji anggrek. Tanpa simbiosa ini, biji anggrek tidak
memperoleh cukup bahan makanan untuk perkecambahannya disebabkan karena
endospermnya yang sangat kecil. Meskipun anggrek epiphyt tidak memerlukan
simbiosa ini, namun biji anggrek epiphyt juga memiliki endosperm yang amat sangat
kecil sehingga sulit berkecambah secara alamiah. Dengan teknik kultur jaringan
(embryo culture), biji anggrek dikecambahkan secara invitro sehingga dewasa ini bisa
diperoleh bibit anggrek dengan mudah. Produksi bibit anggrek dewasa ini merupakan
industri yang berkembang sangat pesat dan menguntungkan. Teknik ini biasanya
didahului dengan persilangan untuk memperoleh silangan-silangan. Dalam setahun,
ribuan silangan baru anggrek bisa diperoleh. Masing-masing nursery biasanya memiliki
pohon induk dengan keunggulan yang berbeda sehingga dihasilkan beragam varietas
baru dengan bentuk dan warna bunga yang beragam.
4) Produksi tanaman haploid lewat penyelamatan embrio hasil persilangan antar jenis
tertentu
Salah satu cara yang dilakukan untuk memperoleh tanaman haploid adalah
silangan antar spesies tertentu. Contohnya adalah persilangan antara Hordeum vulgare
dengan H. bulbosum. Setelah penyilangan yang kemudian diikuti oleh pembuahan,
kromosom H. bulbosum tereliminasi sehingga hanya kromosom H. bulbosum yang
terekspresi, sehingga dapat dihasilkan biji haploid dari silangan ini. Sayangnya
persilangan ini mengakibatkan embrio gugur (buah gugur) sebelum buah tersebut
dewasa. Hasil silangan ini (buah haploid) tidak akan dapat diperoleh apabila buah muda
tersebut tidak diselamatkan dengan cara memanennya sebelum gugur lalu
mengecambahkan embrio muda (teknik embryo rescue) ini secara invitro.
Gugurnya buah sebelum buah tersebut dewasa sangat umum ditemukan pada
persilangan. Berbagai macam faktor dapat menyebabkan buah tersebut gugur sebelum
masak. Pada persilangan buah-buah batu, transportasi air dan hasil fotosintesa dari daun
dan batang ke buah terhambat sehingga mengakibatkan terbentuknya lapisan absisi pada
tangkai buah. Akibatnya buah tidak memperoleh nutrisi yang dibutuhkan untuk
perkembangannya sehingga buah dengan embrio yang terbentuk gugur sebelum dewasa.
Teknik embryo rescue umumnya dilakukan untuk menyelamatkan hasil silangan ini
dengan cara memanen buah muda hasil persilangan sebelum buah gugur kemudian
mengecambahkannya secara invitro.
7) Perbanyakan vegetatif
Saat ini teknik kultur jaringan digunakan bukan hanya sebagai sarana untuk
mempelajari aspek-aspek fisiologi dan biokimia tanaman saja. Akan tetapi sudah
berkembang menjadi metoda untuk berbagai tujuan seperti:
b. Perbaikan tanaman
Seperti telah diketahui bahwa dalam usaha perbaikan tanaman melalui metoda
pemuliaan secara konvensional untuk mendapatkan suatu galur murni akan memerlukan
enam atau tujuh generasi hasil penyerbukan sendiri maupun persilangan. Melalui teknik
kultur jaringan, antara lain dengan cara memproduksi tanaman haploid melalui kultur
polen, antera atau ovari yang diikuti dengan penggandaan kromosom, akan
mempersingkat waktu untuk mendapatkan tanaman yang homozigot.
d. Transformasi genetik
Penggunaan teknik kultur jaringan dimulai oleh Gottlieb Haberlandt pada tahun
1902 dalam usahanya mengkulturkan sel-sel rambut dari jaringan mesofil daun tanaman
monokotil. Akan tetapi usahanya gagal karena sel-sel tersebut tidak mengalami
pembelahan. Diduga kegagalannya itu karena tidak digunakannya zat pengatur tumbuh
yang diperlukan untuk pembelahan sel, proliferasi dan induksi embrio. Pada tahun 1904,
Hannig melakukan penanaman embrio yang diisolasi dari beberapa tanaman crucifers.
Tahun 1922, secara terpisah Knudson dan Robbin masing-masing melakukan usaha
penanaman benih anggrek dan kultur ujung akar.Setelah tahun 1920-an penemuan dan
perkembangan teknik kultur jaringan terus berlanjut. Berikut tabel yang menunjukkan
sejarah perkembangan bidang kultur jaringan tanaman yang diadaptasi dari berbagai
sumber.
BAB III
PEMBAHASAN
D E F
Tabel 1. Pengaruh kombinasi perlakuan BA, TDZ, dan PVP terhadap daya
hidup (%) embrio pisang M. acuminata ssp. sumatrana pada 6 BST
(The influence of combined treatment of BA, TDZ, and PVP
combinations to the survival rate (%) of banana embryos of M. acuminata
ssp. sumatrana on 6 MAP)
TDZ 0 mg/L TDZ 0,1 mg/L
BA (mg/L)
PVP 100 mg/L PVP 300 mg/L PVP 100 mg/L PVP 300 mg/L
0 66,7 16,7 50 50,0
1 100,0 12.5 33,3 50,0
3 25,0 83,3 100,0 25,0
5 16,7 16,7 66,7 100,0
Dari seluruh kombinasi perlakuan yang diujikan, hanya perlakuan BA 1
mg/L yang ditambah dengan PVP 100 mg/L yang menghasilkan persentase
perakaran yang tertinggi hingga 100% (Tabel 3) dan jumlah akar yang terbanyak
hingga 8,25 akar/ eksplan (Tabel 4). Sebaliknya, kombinasi perlakuan BA 5
mg/L dengan TDZ 0,1 mg/L dan PVP 100 mg/L sama sekali tidak menginduksi
perakaran (Tabel 4) dan menyebabkan jumlah tunas dan daun yang paling
banyak, berturut-turut adalah lima tunas/eksplan dan 15 daun/eksplan (Tabel 5
dan 6). Hasil yang serupa dilaporkan oleh Baruddin & Kayat (2015), tetapi
penggunaan BA 2 mg/L menyebabkan proliferasi tunas pisang M. acuminata ssp.
malaccnsis yang lebih rendah, yaitu sebanyak dua tunas/eksplan setelah
subkultur satu kali. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa akar masih
dapat terbentuk pada perlakuan BA dengan taraf yang rendah, yaitu 1 mg/L
(Tabel 4). Pada umumnya, akar terinduksi oleh zat pengatur tumbuh dari
kelompok auksin, tetapi morfogenesis akar ditentukan oleh rasio auksin dan
sitokinin yang tinggi di dalam jaringan tanaman. Hal tersebut mengindikasikan
bahwa taraf auksin endogen masih lebih tinggi daripada sitokinin,
walaupun media mengandung BA 1 mg/L. Kejadian sebaliknya terjadi ketika
media mengandung BA 5 mg/L dan TDZ 0,1 mg/L, akar tidak terbentuk namun
tunas banyak terbentuk, yaitu 5 mg/L (Tabel 5 dan Gambar 3). Perlakuan
tersebut diduga telah mengubah rasio auksin-sitokinin di dalam jaringan
tanaman sehingga kandungan auksin endogen lebih rendah daripada sitokinin
endogen. Hal tersebut menyebabkan morfogenesis mengarah pada pembentukan
tajuk, yaitu tunas dan daun.
Tabel 2. Pengaruh kombinasi perlakuan BA, TDZ, dan PVP terhadap daya tumbuh (%)
embrio pisang M. acuminata ssp. malaccensis var. sumatrana pada 6 BST (The
influence of combined treatment of BA, TDZ, and PVP to the growth percentage
(%) of banana embryos of M. acuminata ssp. sumatrana on 6 MAP)
Tabel 3. Pengaruh kombinasi BA, TDZ, dan PVP terhadap pembentukan akar
dari embrio pisang M. acuminata ssp. sumatrana pada 6 BST (The
influence of combined treatment of BA, TDZ, and PVP to the root
formation of banana embryo of M. acuminata ssp. sumatrana on 6 MAP)
TDZ 0 mg/L TDZ 0,1 mg/L
BA (mg/L)
PVP 100 mg/L PVP 300 mg/L PVP 100 mg/L PVP 300 mg/L
0 66,7 0 33,3 50,0
1 100,0 12.5 33,3 0
3 0 66,7 50,0 0
5 16,7 16,7 0 0
Tabel 4. Pengaruh kombinasi BA, TDZ dan PVP terhadap jumlah akar dari
akar yang terbentuk dari embrio pisang M. acuminata ssp. sumatrana
pada 6 BST (The influence of combined treatment of BA, TDZ, and PVP
to the root number of shoot derived from banana embryo of M.
acuminata ssp. sumatrana on 6 MAP)
Tabel 5. Pengaruh kombinasi BA, TDZ dan PVP terhadap jumlah tunas yang
terbentuk dari embrio pisang M. acuminata ssp. sumatrana pada 6 BST (The
influence of combined treatment of BA, TDZ, and PVP to the shoot number of
banana embryo of M. acuminata ssp. sumatrana on 6 MAP)
E F G H
I J K L
M N O P
Tabel 6. Pengaruh kombinasi BA, TDZ dan PVP terhadap jumlah daun yang terbentuk dari
embrio pisang M. acuminata ssp. sumatrana pada 6 BST (The influence of combined
treatment of BA, TDZ, and PVP to the shoot number of banana embryo of M. acuminata
ssp. sumatrana on 6 MAP)
TDZ 0 mg/L TDZ 0,1 mg/L
BA (mg/L)
PVP 100 mg/L PVP 300 mg/L PVP 100 mg/L PVP 300 mg/L
0 2,5 0 1,5 1,7
1 4,3 0,5 1,3 6,5
3 0 3,67 1,8 4,0
5 2,0 1,67 1,2 15,0
A B C
PENUTUP
4.1. Kesimpulan
1. Alves, SAO, de Lemos, OF, dos Santos Filho, BG & da Silva, ALL 2011, „In
vitro embryo rescue of interspecific hybrids of oil palm (Elaeis oleifera x Elaeis
guineensis)‟, Journal of Biotechnology and Biodiversity, vol. 2, no. 2.
2. Arinaitwe, G, Rubaihayo, PR & Magambo, MJS 2000, „Proliferation rate effects
of cytokinins on banana (Musa spp.) cultivars‟, Scientia Horticulturae, vol. 86,
no. 1, pp. 13–21.
3. Bakry, F 2008, „Zygotic embryo rescue in bananas‟, Fruits, vol. 63, no. 2, pp.
111–115.
4. Baruddin, NH & Kayat, F 2015, „Development of Malaysian wild bananas seed
progenies, Musa acuminata ssp. malaccensis and Musa gracilis‟, J. Trop. Resour.
Sustain. Sci, vol. 3, pp. 247–251.
5. Burgos-Hernández, M, Castillo-Campos, G, Mata-Rosas, M, González, D,
Vovides, AP & Murguia-González, J 2014, „Seed germination of the wild banana
Musa ornata (Musaceae)‟, Seed Science and Technology, vol. 42, no. 1, pp. 16–
27.
6. Chimsa, MD 2003, „In vitro propagation of Enset (Ensete ventricosum (Welw.)
Cheesman)‟, University of Natal, Pietermaritaburg, 130 p.
7. Dayarani, M, Dhanarajan, MS, Arun, K, Uma, S & Narayani, P 2014, „Embryo
culture and embryo rescue studies in wild Musa spp.(Musa ornata)‟, Journal of
Applied Horticulture, vol. 16, no. 2, pp. 126–130.
8. Fathi, H & Jahani, U 2012, „Review of embryo culture in fruit trees‟, Ann Biol
Res, vol. 3, no. 9, pp. 4276–4281.
9. Gonçalves, MC, Pinto, LR, Souza, SC & Landell, MGA 2012, „Virus diseases of
sugarcane, A constant challenge to sugarcane breeding in Brazil‟, Functional
Plant Science and Biotechnology, vol. 6, no. 2, pp. 108–116.
10. Hapsari, L 2014, „Wild Musa species collection of Purwodadi Botanic Garden:
Inventory and its morpho-taxonomic review‟, Journal of Tropical Life Science,
vol. 4, no. 1, pp. 70–81.
11. Harry, GI, & Ebong, UU, V 2010, „In vitro rescue of zygotic embryos for the
enhancement of hybrid plantain (Musa, AAB group) production‟, Nigerian
Journal of Agriculture, Food and Environment, vol. 6, no. 3&4, pp. 8–13.
12. Heslop-Harrison, JS 2011, „Genomics, banana breeding and superdomestication‟,
Acta Horticulturae, no. 897, pp. 55–62.
13. Javed, MA, Chai, M & Othman, RY 2004, „Study of resistance of Musa
acuminata to Fusarium oxysporum using RAPD markers‟, Biologia Plantarum,
vol. 48, no. 1, pp. 93–99.