Anda di halaman 1dari 28

LAPORAN PRAKTIKUM BIOTEKNOLOGI

PEMBUATAN MEDIA MURRASHIGE AND SKOOG,

ISOLASI DAN INOKULASI EKSPLAN ANTHER BUNGA WUNGU


(Graptophyllum pictum)

Disusun Oleh :

Mellany Wahyu Iryanti

16030204060

Pendidikan Biologi B 2016

JURUSAN BIOLOGI

FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM

UNIVERSITAS NEGERI SURABAYA

2018
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Kultur anther merupakan salah satu teknik dasar penerapan bioteknologi untuk
pemuliaan tanaman. Dari kultur anther akan didapatkan tanaman haploid.
Pembentukan tanaman haploid melalui pembentukan kalus atau androgenesis
langsung. Manfaat tanaman haploid dalam pemuliaan tanaman adalah apabila
digandakan kromosomnya dengan kolkhisin atau melalui fusi protoplas akan
diperoleh tanaman 100% homozigot (http://www.rudyct.com, 2010).
Pada kultur invitro dapat dilakukan pemulian in vitro,mikropropagasi, melalui
kultur kalus ataususpensi sel dengan memperbanyak tanaman melalui pembentukan
organ seperti anther atau embrio, mendapatkan tanaman bebas virus, sumber untuk
produksi protoplasma, sebagai bahan awal kreopreservasi, biotransformasi, dan
produksi metabolit sekunder (Pierik, 1997 dalam Aziz, 2014).
Bioteknologi kultur jaringan untuk tujuan perbanyakan bibit telah diaplikasikan
pada berbagai tanaman tahunan antara lain jati, ekaliptus, dan akasia. Perbanyakan
tanaman melalui kultur jaringan sangat berbeda dibandingkan dengan perbanyakan
secara konvensional karena perbanyakan melalui kultur jaringan memungkinkan
perbanyakan tanaman dalam skala besar dengan waktu yang relatif lebih cepat. Selain
itu teknik perbanyakan dengan kultur jaringan mempunyai beberapa keunggulan
dibandingkan cara-cara tradisional (Santoso dan Nursandi, 2002), antara lain
pertama, budidayanya dimulai dengan sedikit bahan tanaman (eksplan), kemudian
dimultiplikasi menjadi sejumLah tunas. Ini berarti hanya diperlukan sedikit bahan
untuk penggandaan sejumLah besar tanaman. Kedua, perbanyakan ini menggunakan
pendekatan lingkungan yang aseptik, bebas dari patogen sehingga merupakan awal
seleksi bahan tanaman yang bebas dari penyakit. Ketiga, meningkatkan efektivitas
perbanyakan klonal pada tanaman yang hampir punah dan sulit perbanyakan
vegetatifnya. Keempat, produktivitas perbanyakan klonal dengan kultur jaringan
dapat dilakukan sepanjang tahun tanpa tergantung pada kondisi perubahan iklim.
Kelima, hanya memerlukan areal yang tidak begitu luas untuk keperluan propagasi
dan pengelolaan stok tanaman. Oleh karena itu, praktikum kultur ini dilakukan untuk
menumbuhkan kalus dari anther bunga secara in vitro ini dilakukan pada anther
bunga wungu (Graptophyllum pictum).
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan di atas, maka dapat
dirumuskan beberapa masalah sebagai berikut.
1. Bagaimana cara pembuatan media Murrashige and Skoog (MS)?
2. Bagaimana teknik isolasi dan inokulasi anther bunga wungu (Graptophyllum
pictum) pada media Murrashige and Skoog (MS)?
3. Bagaimana pengaruh volume zat pengatur tumbuh (ZPT) terhadap pertumbuhan
eksplan?

C. Tujuan
Adapun tujuan dilakukannya penelitian ini adalah sebagai berikut.
1. Mengetahui cara pembuatan media Murrashige and Skoog (MS).
2. Mengetahui teknik isolasi dan inokulasi anther bunga wungu (Graptophyllum
pictum) pada media Murrashige and Skoog (MS).
3. Mengetahui pengaruh volume zat pengatur tumbuh (ZPT) terhadap pertumbuhan
eksplan.
BAB II

KAJIAN PUSTAKA

A. Kultur Anther

Kultur anther merupakan salah satu teknik dasar penerapan bioteknologi untuk
pemuliaan tanaman. Dari kultur anther akan didapatkan tanaman haploid.
Pembentukan tanaman haploid melalui pembentukan kalus atau androgenesis
langsung. Manfaat tanaman haploid dalam pemuliaan tanaman adalah apabila
digandakan kromosomnya dengan kolkhisin atau melalui fusi protoplas akan
diperoleh tanaman 100% homozigot (http://www.rudyct.com, 2010).
Kultur jaringan tanaman adalah suatu teknik pengisolasian dan pemeliharaan
sel atau potongan jaringan tanaman yang dipindahkan dari lingkungan alaminya,
kemudian ditumbuhkan pada media buatan yang sesuai dan kondisinya aseptik
(George dan Sherrington, 1984 dalam Nursyamsi, 2010). Bagian–bagian tersebut
kemudian memperbanyak diri dan beregenerasi menjadi tanaman lengkap kembali
(Gunawan, 1987).
Kultur anther dan serbuk sari digunakan untuk menghasilkan tanaman
monoploid atau haploid. Meskipun mutasi mudah terjadi dalam sel biakan namun
banyak mutasi tersebut bersifat resesif. Oleh karena itu tidak terdektesi karena sel–
selnya dalam keadaan diploid atau poliploid (Wijayani, 1994).
Tanaman haploid dapat dikembangkan dengan menggunakan teknik kultur
invitro anther dan pollen. Anther diperoleh dari tunas bunga dan dapat dikulturkan
pada medium padat atau cair sehingga terjadi embriogenesis. Selain itu pollen juga
dapat diambil secara aseptik dan dikulturkan pada medium cair. Proses perbanyakan
tanaman haploid dengan menggunakan gametofit jantan semacam ini diesebut
sebagai androgenesis. Ada dua macam androgenesis yaitu androgenesis langsung dan
tidak langsung. Androgenesis langsung adalah proses pembentukan plantlet haploid
dengan menggunakan kultur anther, sedangkan pada androgenesis tidak langsung
adalah plantlet terbentuk melalui pembentukan kallus yang kemudian mengalami
regenerasi menjadi plantlet (Yuwono, 2008).
Menurut Rostini (1999), keberhasilkan kultur antera sangat dipengaruhi oleh
kondisi pertumbuhan dari tanaman donor, umur tanaman donor, tahap perkembangan
antera/pollen, metode sterilisasi , perlakuan sebelum kultur, metode pengambilan
antera, medium kultur (cair atau padat), kondisi inkubasi dan subkultur dari kalus
mikrospora atau embrio.
Dasar-dasar dari kultur jaringan tanaman adalah karena adanya teori totipotensi,
konsep Skoog dan Miller, dediferensiasi, kompeten, dan determinan. Teori totipotensi
merupakan teori yang menyatakan bahwa setiap sel tanaman hidup, mempunyai
informasi genetik dan perangkat fisiologis yang lengkap untuk dapat tumbuh dan
berkembang menjadi tanaman utuh jika kondisi yang sesuai (Yusnita, 2003).
Sugiyama (1999) menyatakan pada proses dediferensiasi, sel yang dewasa
dapat kembali muda atau mengalami peremajaan, sel-sel diinduksi untuk membelah
secara intensif, dan mempunyai pertumbuhan dan potensi pembelahan yang tinggi.
Proses dediferensiasi sel terjadi dari sel eksplan yang sudah terdiferensiasi, sehingga
sel kembali muda (juvenile) dan dapat kembali bersifat meristematik dan determinan.
Pembentukan kalus ini dapat teijadi jika sel-sel pada eksplan kompeten.
Menurut Sugiyama (1999), pada kultur in vitro, pada tahap pertama yang terjadi
adalah sel pada jaringan eksplan harus memiliki sifat kompeten, dimana kompeten
merupakan kemampuan dari sel atau jaringan untuk merespon sinyal dari zat pengatur
tumbuh yang ditambahkan, sehingga sel atau jaringan dapat berkembang. Sel yang
kompeten mampu memberikan tanggapan terhadap signal lingkungan atau hormonal
yang ada pada media kultur.
Perbanyakan tanaman melalui kultur jaringan ini mempunyai keunggulan
(Nursyamsi, 2010) seperti: (a) tingginya homogenitas tanaman, (b) tingginya vigor
tanaman, (c) memiliki genetik yang sama dengan induknya. Penggunaan bibit hasil
kultur jaringan juga akan mengurangi biaya pemeliharaan seperti penyulaman atau
seleksi bibit inferior dan umur produksinya lebih singkat. Selain memiliki kelebihan,
teknik kultur jaringan juga mempunyai beberapa kelemahan misalnya munculnya
variasi somaklonal yang akan menyebabkan penyimpangan fenotip dari sifat genetik
tanaman induknya. Hal ini terjadi karena subkultur yang berlebihan serta
organogenesis tidak langsung (perbanyakan dari kalus), konsentrasi zat pengatur
tumbuh yang digunakan terlalu tinggi (Mariska et al.,
1992 dalam Nursyamsi, 2010). Perbanyakan tanaman dengan teknik kultur
jaringan untuk skala massal dapat menggunakan metode perbanyakan tunas
(shootmultiplication) karena cara ini relatif tidak ada kendala yang berarti (Wang et
al.,1993 dalam Nursyamsi, 2010). Masalah lain yang banyak dihadapi dalam
mengaplikasikan teknik kultur jaringan, khususnya di Indonesia adalah modal
investasi awal yang cukup besar dan sumberdaya manusia yang menguasai dan
terampil dalam bidang kultur jaringan tanaman masih terbatas.

B. Syarat Kultur Jaringan Tanaman


1. Media Kultur
Media kultur jaringan telah banyak ditemukan dan dikembangkan
hingga jumLahnya cukup banyak. Penamaan media biasanya sesuai dengan
nama penemunya. Media berisi komponen bahan kimia yang hampir sama,
hanya berbeda dalam besar kadarnya untuk setiap persenyawaan. Media
kultur jaringan mengandung garam-garam mineral yang terdiri dari unsur
hara makro dan mikro, sumber karbon, vitamin, asam-asam amino, zat
pengatur tumbuh dan bahan organik kompleks (Zulkarnain, 2009).
Komposisi unsur penyusun media yang digunakan untuk kultur
jaringan bervariasi tergantung dari jenis tanaman, jenis eksplan, sumber
eksplan dan tujuan kultur. Meskipun demikian komposisi media yang banyak
digunakan untuk kebanyakan tanaman yaitu media MS (Murashige Skoog)
dengan berbagai modifikasi komposisi dan kombinasinya (Abbas, 2011).
Ada pula penggunaan media dari bahan-bahan alami yang dapat mendukung
pertumbuhan eksplan dengan komposisi zat yang dimiliki oleh bahan-bahan
tersebut.
2. Eksplan
Keberhasilan morfogenesis suatu budidaya jaringan, salah satunya
ditentukan oleh eksplan. Eksplan adalah bagian dari tanaman yang digunakan
sebagai bahan untuk inisiasi suatu kultur (Vidyasagar, 2006 dalam Nursyamsi,
2010). Untuk teknik kultur jaringan, semua bagian tanaman yang dapat diperoleh
dan bebas mikroorganisme dapat dicoba sebagai eksplan, walaupun demikian
tidak semua jaringan tanaman mudah ditumbuhkan (Wareing dan Phillips, 1976
dalam Nursyamsi, 2010).
Hal yang harus diperhatikan dalam memilih bahan eksplan untuk kultur
adalah ukuran eksplan, umur fisiologinya, dan organ yang menjadi sumber bahan
tanaman (Hartmann et al., 1990 dalam Nursyamsi, 2010). Ukuran eksplan
mempengaruhi keberhasilan pertumbuhan planlet. Tunas dengan ukuran besar
lebih tahan pada saat dipindahkan ke dalam kondisi kultur, pertumbuhannya
lebih cepat dan menghasilkan lebih banyak mata tunas aksilar. Adapun
kelemahannya adalah sulit mendapatkan kultur yang aseptik dan memerlukan
bahan tanaman yang lebih banyak.
Pengambilan bahan tanaman sebagai eksplan dari umur fisiologi juvenil
lebih baik dibanding jaringan tanaman yang tua karena bagian-bagian tanaman
yang masih muda (juvenil), terutama kecambah memiliki daya regenerasi yang
lebih tinggi daripada tanaman dewasa (Gunawan, 1995). Jaringan muda
mempunyai kemampuan morfogenetik yang lebih besar daripada jaringan yang
tua.
Untuk tanaman tahunan berkayu misalnya tanaman jati, bagian tanaman
yang dapat digunakan sebagai bahan untuk kultur jaringan adalah tunas juvenil.
Tunas ini dapat diperoleh dengan melakukan pemangkasan berat. Tunas yang
muncul setelah pemangkasan, yang digunakan sebagai bahan tanaman atau
eksplan. Selain itu, fase juvenil kadang-kadang dapat juga diinduksi dengan cara
melakukan penyemprotan tanaman dewasa dengan GA3 atau campuran antara
auksin dan GA3 (George dan Sherrington, 1984).
Untuk memudahkan proses sterilisasi bahan tanaman, sebaiknya tanaman
induk berada atau ditanam di rumah kaca. Hal ini memudahkan perlakuan
penyemprotan dengan fungisida dan bakterisida secara periodik sehingga dapat
mengurangi tingkat kontaminasi bahan tanaman yang akan disterilisasi
(Nursyamsi, 2010).
Eksplan yang telah terpilih disterilisasi permukaannya dengan berbagai
bahan sterilisasi. Tipe dan konsentrasi sterilisasi serta waktu yang digunakan
ditentukan berdasarkan pengalaman dan pengamatan. Bahan sterilisasi yang
digunakan untuk sterilisasi permukaan misalnya sodium hipoklorit,
hidrogenperoksida, bromine water, dan silver nitrat. Pada sterilisasi permukaan
yang penting adalah seluruh permukaan basah oleh larutan sterilisasi.
Penggunaan alcohol 70% dan penambahan deterjen atau tween 80 dapat lebih
mengefektifkan sterilisasi (Biondi dan Thorpe, 1981 dalam Nursyamsi, 2010).
Wattimena (1992) dalam Nursyamsi (2010) menyatakan eksplan tanaman
berkayu seringkali mengeluarkan senyawa fenol yang menyebabkan terjadinya
pencoklatan bila jaringan diisolasi. Eksplan yang mengalami pencoklatan bila
dibiarkan akan mati. Untuk mengatasi masalah ini dapat dilakukan antara lain
dengan membilas terus-menerus dengan air atau menggunakan arang aktif yang
dapat mengabsorpsi senyawa fenol (Santoso dan Nursandi, 2002 dalam
Nursyamsi, 2010). Tiwari et al. (2002) dalam Nursyamsi (2010) dalam
percobaannya menggunakan pendekatan lain untuk menanggulangi masalah
pencoklatan pada kultur tanaman jati, yaitu dengan subkultur atau transfer
eksplan secara periodik dengan perlakuan waktu yang berbeda. Sumber eksplan
yang digunakan berasal dari tanaman jati terpilih berumur 45 tahun. Persentase
tumbuh eksplan jati dari berbagai macam perlakuan waktu transfer menunjukkan
transfer eksplan sebanyak lima kali ke media baru dengan selang waktu 12 jam
menghasilkan 76,8 eksplan yang tunas.

3. Unsur hara
Kebutuhan hara untuk pertumbuhan optimal eksplan yang dikultur secara
in vitro bervariasi diantara setiap spesies tanaman. Bagian tanaman dari jaringan
yang berbeda diperlukan komposisi nutrien yang berbeda untuk dapat tumbuh
dengan baik. Komposisi nutrien tersebut diantaranya adalah sebagai berikut :
1) Senyawa Organik
Senyawa organik adalah sumber nitrogen karena pada umumnya tanaman
yang dikultur secara in vitro mampu menyintesis vitamin meskipun
jumLahnya tidak mencapai optimal. Penggunaan medium cair pada tempat
kultur yang statis dalam kultur jaringan tanaman akan menyebabkan eksplan
tenggelam dan mati karena kekurangan oksigen. Untuk menghindari hal
tersebut, media kultur jaringan dipadatkan dengan menggunakan agar. Agar
merupakan polisakarida yang diperoleh dari rumput laut, media yang padat
dapat memudahkan dalam penanaman eksplan. Konsentrasi agar yang umum
digunakan adalah 0,8-1,0% jika konsentrasi terlalu tinggi akan menyebabkan
media terlalu padat dan nutrien tidak dapat berdifusi dengan eksplan (Abbas,
2011).
Pemadataan media kultur banyak digunakan karena dapat
mempertahankan kultur agar tetap hidup. Meskipun demikian agar bukan
merupakan bahan nutrisi media. Penggunaan agar juga sering menimbulkan
masalah karena agar sering kali tidak murni. Berdasarkan nutrisinya, agar
mengadung unsur Ca, Mg dan unsur lain yang dapat menyebabkan eksplan
keracunan unsur tertentu (Abbas, 2011).
2) Senyawa Anorganik
Senyawa anorganik seperti unsur mineral adalah sangat penting untuk
kehidupan tanaman contohnya Mg adalah bagian dari klorofil, Ca adalah
unsur pokok dari dinding sel, N adalah bagian yang penting dari asam amino,
vitamin, protein dan asam nukleat. Fe, Zn dan Mo merupakan bagian dari
enzim tertentu. Disamping C, H dan O terdapat 12 unsur yang esensial untuk
pertumbuhan tanaman seperti nitrogen, fosfor, sulfur, kalsium, potasium,
magnesium, besi, mangan, tembaga, seng, boron dan molibdenum. Enam
unsur dari yang pertama termasuk unsur makro dan yang lainnya adalah
unsur mikro (Gardner, 1985).

4. Hormon Pertumbuhan
Zat pengatur tumbuh (ZPT) penting ditambahkan ke dalam medium
untuk mendapatkan pertumbuhan yang baik. ZPT yang telah banyak
digunakan untuk kultur jaringan adalah kelompok auksin, sitokinin dan
giberelin (Abbas, 2011).
Giberelin terdiri dari banyak jenis (± 20) yang diketahui, tetapi yang
umum digunakan adalah GA3. Giberelin dilaporkan menstimulasi
pertumbuhan planlet secara normal. Faktor yang paling bervariasi dan perlu
disesuaikan dengan kebutuhan tanaman adalah ZPT seperti auksin dan
sitokinin baik dari jenisnya maupun komposisi dan konsentrasinya (Abbas,
2011).
Sitokinin merupakan hormon yang berperan untuk pembelahan sel,
dominasi apikal dan diferensiasi tunas. Pemberian sitokinin ke dalam
medium menyebabkan pembelahan sel dan diferensiasi tunas adventif dari
kalus menjadi organ. Jenis sitokinin yang banyak digunakan pada kultur
jaringan adalah BAP, 2- ip dan kinetin (Abbas, 2011).
Auksin dapat membantu dalam perpanjangan batang, internode,
tropism, apikal dorman, absisi dan perakaran. Dalam kultur jaringan auksin
digunakan untuk pembelahan sel dan dideferensiasi akar. Jenis auksin yang
banyak digunakan adalah IBA, NAA, NOA, 2,4,5-T, p- CPA dan 2,4-D
(Abbas, 2011).
C. Faktor yang Mempengaruhi Teknik Kultur Anther
1. Genotif
Genotif dari sumber bahan anther memegang peranan penting dalam
menentukan berhasil atau tidaknya kultur anther. Tidak terlalu banyak jenis
tanaman yang mempunyai kemampuan untuk memproduksi tanaman haploid
melalui kultur anther.
2. Komposisi
Media Kultur Andogenesis dapat dikembangkan pada komposisi yang
sesuai dengan kebutuhan kultur embrio. Dalam praktikum ini dilakukan
perbedaan komposisi auksin, sitokinin dan giberelin untuk mengetahui
pengatuhnya terhadap pertumbuhan eksplan.
3. Kondisi
Tanaman Donor Umur dan kondisi fisiologis tanaman donor sering
mempengaruhi keberhasilan kultur anther. Pada sebagian besar spesies, respon
yang paling baik berasal dari bunga pertama yang dihasilkan oleh tanaman.
Sebagaimana umumnya antera yang dikulturkanharus berasal dari bunga yang
masih kuncup.
4. Tahap Perkembangan Polen
Faktor kritis yang mempengaruhi produksi tanaman haploid dari kultur
anther adalah tahap perkembangan mikrospora. Pada sebagian besar jenis
tanaman, anther hanya responsive selama fase un-inukleat dari perkembangan
polen
5. Pra perlakuan
Pada beberapa spesies tanaman, produksi kultur anthernya dipengaruhi
oleh perlakuan pemberian suhu pada kuncup bunga sebelum proses sterrilisasi
dan isolasi anther. Produktivitas tanaman dapat dilakuakan pada suhu antara 4-
100 oC selama 3 hari sampai 3 minggu dan pada umumnya penyimpanan pada
suhu yang rendah memerlukan waktu yang lebih pendek dan sebaliknya (Luqman,
2012).

C. Media yang Digunakan


Untuk media yang digunakan dalam perbanyakan kultur anther tanaman
anthurium adalah dengan menggunakan media MS semi padat dan cair untuk tahap
pengembangan teknik isolasi anther dan mikrospora. Media padat biasanya
berbentuk gel. Media padat merupakan media yang mengandung semua komponen
kimia yang dibutuhkan oleh tanaman dan kemudian dipadatkan dengan
menambahkan zat pemadat. Zat pemadat tersebut dapat berupa agar-agar batangan,
agar-agar bubuk, atau agar-agar kemasan. Metode padat dilakukan dengan tujuan
mendapatkan kalus dan kemudian dengan medium diferensiasi yang berguna untuk
menumbuhkan akar dan tunas sehingga kalus dapat tumbuh menjadi planlet.
kelemahan media padat salah satunya sulit menentukan tekstur media. Media yang
terlalu padat akan mengakibatkan akar sukar tumbuh. Sedangkan media yang terlalu
lembek akan menyebabkan kegagalan dalam pekerjaan. Kegagalan ini dapat berupa
tenggelamnya eksplan yang ditanam. Metode padat dapat digunakan untuk metode
kloning, untuk menumbuhkan protoplasstelah diisolasikan, untuk menumbuhkan
planlet dari protokormus setelah dipindahkan dari suspensi sel. Media padat
memiliki keunggulan diantaranya dapat menompang tanaman dengan kuat, akar
tanaman lebih kuat dan tahan lama dalam penggunaanya.
Media cair merupakan media kultur yang masih dalam berbentuk cair. Dalam
pembuatannya, media cair dalam pembuatannya tidak menggunakan pemadat.
Pembuatan media cair jauh lebih cepat daripada media padat karena tidak dilakukan
proses pemasakan. Kelemahan media cair adalah penggunaan metode ini kurang
praktis dibandingkan dengan metode padat, karena untuk menumbuhkan kalus
langsung dari eksplan sangat sulit sehingga keberhasilannya sangat kecil dan hanya
tanaman-tanaman tertentu yang dapat berhasil penggunaan media cair lebih
ditekankan untuk suspensi sel, yaitu untuk menumbuhkan PLB (prtocorm like
bodies) (Anonymous, 2012).
Pada litertur yang ada, medium awal yang sering digunakan untuk jenis
Dicotyledoneae dalam kultur jaringan adalah medium MS (Murashigie dan Skoog).
Alasan digunakan medium ini, karena lebih banyak mengandung nitrat, amonium
dan potasium dibandingkan dengan medium lainnya, sedangkan untuk
Monocotyledoneae digunakan medium Schenk dan Hilderlrandt. Ini berbanding
terbalik dengan penelitian yang dilakukan oleh Winarto, yang mana tanaman
anthurium merupakan jenis tanaman monokotil. Akan tetapi dalam penelitian
Winarto ini, menggunakan media MS sebagai media dalam kultur anther karena
memang media MS adalah media paling potensial digunakan dalam kultur anther
anthurium.
Kendala utama dalam pengembangan kultur anther dan mikrospora anthurium
adalah tingginya kontaminasi yang disebabkan oleh kontaminasi laten oleh bakteri
(Xanthomonas axonopodis cv. Dieffenbachiae). Eliminasi bakteri ini melalui
sterilisasi menjadi sulit karena bakteri dapat tumbuh dan berkembang secara
sistemik, dengan menempati sel-sel parenkim dan ruang antarsel pada seluruh
jaringan tanaman. Aktivitas bakteri meningkat dan bersifat merusak pada
eksplan/tanaman inang saat aktivitas/metabolisme sel-sel inang terganggu. Kondisi
tersebut menyebabkan mikroekosistem bakteri menjadi terganggu, terutama terkait
dengan ketersediaan asam amino, seperti metionin dan asam glutamat untuk
stabilitas hidup dan pertumbuhannya. Akibatnya bakteri akan tumbuh cepat dan
merusak jaringan tanaman inangnya.
Pendapat tersebut diatas diperkuat dengan kenyataan yang diamati selama
kegiatan penelitian berlangsung, jika antara proses isolasi hingga kultur berlangsung
cepat (kurang dari 1 menit), selanjutnya anther segera ditanam dan di benamkan
dalam media, diduga sel-sel dinding anther akan segera melakukan absorsi hara,
vitamin, dan hormon yang tersedia dalam media untuk menjaga viabilitas sel-selnya,
sehingga metabolisme dan mikroekosistem bakteri juga tetap terjaga. Sebaliknya jika
antara proses isolasi dan kultur pada media berlangsung lama dan menyebabkan sel-
sel anther kering, maka aktivitas sel lebih lama pulihdan akibatnya mikroekosistem
bakteri terganggu serta berubah menjadi patogen bagi sel-sel inang untuk tumbuh
dan berkembang lebih cepat. Kenyataannya bahwa bakteri ini tidak dapat bertahan
hidup lebih dari 2 minggu pada media MS tanpa adanya tanaman inang (Norman dan
Alvarez 1994). Fenomena ini sangat menarik untuk dikaji lebih lanjut lebih lanjut
dalam pengembangan aspek kultur jaringan anthurium dan menguak misteri
kontaminasi laten tersebut.
Pada T-3, meskipun menunjukkan tingkat kontaminasi yang rendah, tidak
hanya respons mikrospora dalam membentuk kalus diduga disebabkan seluruh
mikrospora yang dikultur mati dan tidak dapt bertahan hidup setelah sejumLah
medium cair yang disertakan saat dikultur menjadi kering akibat penguapan. Hal
lain diduga terjadi akibat jumLah kepadatan mikrospora yang dikultur menjadi
kering akibat penguapan. Hal lain diduga terjadi akibat jumLah kepadatan
mikrospora yang dikultur belum optimal dan viabilitas yang menurun drastis.
Secara keseluruhan dapat diketahui bahwa isolasi langsung yang diiukti
dengan pemotongan secara melintang pada bagian pangkal anther, kemudian
dilanjutkan dengan penanaman pada medium semi padat (T-1) merupakan teknik
yang potensial digunakan dalam mengembangkan kultur anther anthurium.
Selanjutnya kultur anther memilki peluang yang lebih baik dibanding kultur
mikrospora.

D. Daun Wungu

1. Klasifikasi Daun Ungu Anther

 Kingdom: Plantae
 Subkingdom: Tracheobionta
 Super Divisi: Spermatophyta
 Divisi: Magnoliophyta
 Kelas: Magnoliopsida
 Sub Kelas: Asteridae
 Ordo: Scrophulariales
 Famili: Acanthaceae
 Genus: Graptophylum
 Spesies: Graptophylum pictum Griff

2. Persebaran dan Habitat Daun Wungu

Daun ungu (Graptophyllum pictum) atau biasa disebut juga daun wungu
adalah tumbuhan obat dari Papua Nugini dan Polinesia yang kemudian menyebar
ke Indonesia. Spesies ini memiliki nama daerah sebagai berikut, demung, tulak,
wungu (Jawa), handeuleum (Sunda), karotong (Madura), kadi-kadi, kobi-kobi
(Ternate), dan daun putri (Ambon). Di Jawa, daun ungu tumbuh sampai pada
1250 mdpl. Tumbuhan ini dibudidayakan sebagai tumbuhan pagar dan tumbuhan
hias, yaitu yang bervarietas daun yang berwarna merah. Habitatnya, biasanya
daun ungu tumbuh di tempat yang banyak disinari matahari. Selain itu pula, ia
tumbuh di tempat yang lembab, dan hangat (http://www.mi-aime-a-
ou.com/Graptophyllum_pictum.php)

3. Morfologi Daun Wungu

Daun wungu merupakan tumbuhan perdu menahun (parenial) yang tegak,


dengan ketinggian antara 1,8-2 meter. Batangnya aerial, berkayu, silindris, tegak,
warna ungu kehijauan, bagian dalam solid, permukaan licin, percabangan
simpodial (batang utama tidak tampak jelas), arah cabang miring ke atas.
penampang batangnya berbentuk mendekati segi tiga tumpul. Kulit dan daun
berlendir dan baunya kurang enak. Daun tanaman wungu adalah tunggal,
mempunyai struktur posisi daun tersusun berhadapan (folia oposita), warna ungu
tua, panjang 15-25 cm, lebar 5-11 cm, helaian daun tipis tegar, bentuk bulat telur,
ujung runcing, pangkal meruncing (acuminatus), tepi rata, pertulangan menyirip
(pinnate), permukaan mengkilat (nitidus). Bunga tersusun dalam 1 rangkaian
tandan yang berwarna merah tua. Bunga majemuk, muncul dari ujung batang
(terminalis). Buah memiliki tipe buah kotak sejati (capsula), lonjong, warna ungu
kecoklatan, bentuk biji bulat - berwarna putih (Namun di jawa jarang sekali
terbentuk buah).
BAB III

METODE PENELITIAN

A. Waktu dan Tempat Penelitian

Penelitian dilakukan pada tanggal 8 Oktober 2018 di Laboratorium Kultur


Jaringan Gedung C9 Jurusan Biologi FMIPA Universitas Negeri Surabaya.

B. Alat dan Bahan


1. Alat 2. Bahan
a. Pembuatan Media MS a. Pembuatan Media MS
1) Kompor Gas 1) Alumunium foil
2) Panci stainless dan pengaduk 2) Kertas Label
3) pH meter 3) Aquades
4) Beaker Glass 1000 mL 4) HCl 1 M
5) Gelas Ukur 1000 mL dan 10 mL 5) KOH 1 M
6) Timbangan digital 6) Stok hara medium MS
7) Botol media/kultur (ex selai) 80 (untuk 1 kelas)
8) Pipet tetes a) NH4NO3 82,5 g/l
9) Botol untuk larutan stok MS b) KNO3 95,0 g/l
10) Autoklaf c) CaCl2, 2H2O 88,0 g/l
11) Lemari es d) KH2PO4 34,0 g/l
e) H3BO3 1,24 g/l
NaMoO4.2H2O 0,05 g/l
CoCl2.6H2O 0,005 g/l
KI 0,166 g/l
f) MnSO4.2H2O 3,38 g/l
MgSO4.7 H2O 74,0 g/l
CuSO4.5 H2O 0,005 g/l
ZnSO4.7 H2O 1,75 g/l
g) Na2EDTA.2 H2O 1,865 g/l
FeSO4.7 H2O 1,390 g/l
7) Zat Organik
Mio inositol 100 mg/l
Thiamin HCl 0,1 mg/l
Asam nikotinat 0,5 mg/l
Piridoxin HCl 0,5 mg/l
Glisin 2,0 mg/l
Sukrosa 50 g/l
8) Zat Pengatur Tumbuh :
Auksin (NAA), Sitokinin (BAP) dan Giberelin (2,4-D)

b. Kultur Anther b. Kultur Anther


1) Botol Kultur/Botol Balsem 1) Alkohol 70% & 96%
2) Botol Saos 2) Byclean
3) Botol selai 3) HCl & KOH
4) Gelas Ukur 150 mL dan 50 mL 4) Tipol
5) Spet 10 mL 5) Detol cair
6) Pisau bedah 6) Fungisida
7) Mata pisau 7) Kertas Saring
8) Pinset 8) Kertas label
9) Alumunium foil 9) Aquades galon
10) Plastik PP 10) Formalin tablet
11) Kertas & karet untuk sterilisasi 11) Anthera bunga daun wungu
12) Cawan Petri 12) Media kultur
13) Botol Parfume
14) Tisue
15) Plastik wrap
16) Masker
17) Jas lab
Perlakuan

ZPT A B C

Auksin (NAA) 1 ppm 3 ppm 3 ppm

Sitokinin (BAP) 2 ppm 2 ppm 1 ppm

Auksin (2,4 D) 3 ppm 1 ppm 2 ppm

Keterangan:
1 ppm = 0,5 mL
2 ppm = 1,0 mL
3 ppm = 1,5 mL

C. Prosedur Kerja
1. Cara Pembuatan Stok Hara Medium MS
a. Pembuatan Stok Larutan Hara Makro (Stok A,B,C,D)
 Stok A dan B dibuat dalam 200 mL dibuat dengan cara menimbang dan
melarutkan hara makro dalam 100 mL akuades, kemudian ditambahkan
akuades hingga volumenya 200 mL, dituang ke dalam botol plastic dan
disimpan dalam lemari es.
 Stok C dan D dibuat dalam 100 mL dibuat dengan cara menimbang dan
melarutkan hara makro dalam 50 mL akuades, kemudian ditambahkan
akuades hingga volumenya 100 mL, dituang ke dalam botol plastic dan
disimpan dalam lemari es.
b. Pembuatan Stok Larutan Hara Mikro (Stok E dan F)
 Stok E dan F dibuat dalam 100 mL. Untuk membuat stok E dan
F,menimbang dan melarutkan hara mikro dalam 50 mL akuades,
kemudian ditambah akuades hingga volume 100 mL. Lalu dituang ke
dalam botol plastik 330 mL dan disimpan dalam lemari es.
c. Pembuatan Stok Zat Besi (Stok G)
 Stok G dibuat dalam 200 mL. Untuk Stok G, menimbang dan melarutkan
ion besi ke dalam 100 mL akuades. Kemudian ditambah dengan akuades
hingga volumenya mencapai 200 mL. Lalu dituang ke dalam botol
plastik 330 mL dan disimpan dalam lemari es.

2. Cara Pembuatan Stok Hormon


a. mendapatkan konsentrasi NAA 10-2 M dilakukan dengan menimbang NAA
sebesar 0,19 g dan dimasukkan dalam gelas piala (beaker glass) yang diberi
akuades. Selanjutnya meneteskan sedikit demi sedikit NaOH 1 M sambil
dikocok hingga NAA larut. Kemudian ditambah dengan akuades hingga
volumenya mencapai 100 mL. Lalu dituang ke dalam botol kaca 150 mL dan
disimpan dalam lemari es.
b. Untuk mendapatkan BAP 10-2 M dilakukan dengan menimbang BAP sebesar
0,22 g dan dimasukkan dalam gelas piala (beaker glass) yang diberi akuades
50 mL. Selanjutnya meneteskan sedikit demi sedikit HCl 1 M sambil
dipanaskan dan dikocok hingga BAP larut. Kemudian ditambah dengan
akuades hingga volumenya mencapai 100 mL. Lalu dituang ke dalam botol
kaca 150 mL dan disimpan dalam lemari es.
c. Untuk mendapatkan konsentrasi ZPT yang sesuai perlakuan, stok ZPT
diencerkan menggunakan rumus:

V1. M1 = V2 . M2

Keterangan :
V1 : Volume larutan ZPT yang ada
M1: Konsentrasi ZPT yang tersedia
V2 : Volume larutan ZPT yang ditambahkan
M2 : Konsentrasi ZPT dalam larutan
3. Cara Pembuatan Medium MS
a. Memasukkan aquades ke dalam gelas piala (beaker glass) 1000 mL sebanyak
50 mL, kemudian menambahkan gula sukrosa 20 g sambil diaduk sampai
semua larut.
b. Menambahkan Mio-inositol 100 mg, Thiamin-HCl 0,1 mg, piridoxin-HCl 0,5
mg, Glisin 2 mg, Asam nikotinat 0,5 mg.
c. Memasukkan stok A, B dan G masing-masing sebanyak 20 mL. Kemudian
menambahkan stok C,D,E dan F masing-masing sebanyak 5 mL.
d. Menambhakan aquades hingga volumenya mencapai 900 mL.
e. Mengukur pH berkisar 5,8 dengan pH meter. Jika terlalu basa, ditambahkan
HCL 1 M. Jika terlalu asam, ditambahkan KOH 1 M.
f. Menambahkan aquades dalam larutan hingga volumenya mencapai 1000
mL.
g. Menuangkan larutan ke dalam panci, kemudian menambahkan agar batangan
(8 g/l) .
h. Media kemudian dipanaskan dengan kompor gas sambil diaduk hingga agar-
agar larut dan homogen.
i. Setelah agar-agar larut, media dituang ke dalam beaker glass 1000 mL. Lalu
ditambahkan NAA dan BAP serta 2,4D ke dalam media sesuai konsentrasi.
j. Memasukkan media ke dalam botol kultur yang telah disterilisasi, dengan
volume tiap botol 15 mL dan diberi label nama.
k. Botol yang telah berisi media ditutup dengan aluminium foil lalu disterilisasi
dalam autoklaf pada tekanan 1,5 kg/cm2 dan temperatur 121°C selama ± 15
menit.
l. Botol dikeluarkan dari autoklaf dan diinkubasi selama 3 hari, jika tidak
terjadi kontaminasi, media siap digunakan.

4. Kultur Anther
a. Menyiapkan alat (pinset, mata pisau skalpel, ganggang pisau skalpel, cawan
petri yang berisi kertas saring, alumunium foil), bahan (alkohol 90% dan 70%,
klorox 10% dan 5%, aquades) dan botol kultur yang telah berisi media MS
yang semuanya telah disterilkan. Sterilisasi dan inokulasi eksplan anther
bunga wungu dilakukan di LAFC atau entkas yang terlebih dahulu disterilkan
dengan sinar UV selama ± 2 jam.
b. Mencuci tangan menggunakan sabun cair kemudia dibilas dengan air mengalir
hingga sabun hilang dan bersih.
c. Mencuci eksplan bunga bunga wungu dengan sabun cair dettol kemudian di
bilas dengan air mengalir sampai sabun hilang dan bersih.
d. Eksplan bunga wungu direndam dalam desinfektan selama 30 menit.
Kemudian dicuci dengan air mengalir sampai bersih dan tidak boleh tersentuh
tangan.
e. Eksplan bunga bunga wungu dibawa ke dalam LAFC
f. Eksplan bunga bunga wungu direndam dengan aquades steril selama 2-3
menit sambil digoyangkan.
g. Merendam eksplan dengan alkohol 70% selama 5 detik sambil digoyangkan.
h. Eksplan dicuci dengan aquades steril selama 2-3 menit sambil digoyangkan.
i. Eksplan direndam dengan larutan chlorox 10% selama 2-3 menit kemudian
setelah itu direndam larutan chlorox 5% selama 2-3 menit.
j. Eksplan dicuci dengan aquades selama 2-3 menit sambil digoyangkan dan
diulangi 3 x pencucian.
k. Menempelkan eksplan bunga wungu pada cawan petri yang sudah diberi alas
kertas saring steril.
l. Eksplan bunga wungu dibuka mahkota yang masih kuncup untuk diambil
anthernya dengan cara memotong anther dari tangkai sarinya dan melukai
kedua ujung dari anther dengan menggunakan pisau skalpel dan pinset.
m. Eksplan anther yang telah siap kemudian di tanam di atas media MS dan
jangan sampai melukai media.
n. Menutup botol media dengan alumunium foil dan dibalut dengan plastik wrap
kemudian disemprot alkohol 70%.
o. Memberi label nama serta tanggal inokulasi.
p. Botol kultur diletakkan pada ruang inkubasi dan diamati perkembangannya.
B. Analisis Data
Pada praktikum “Isolasi dan Inokulasi Anther Bunga Wungu (Graptophyllum
pictum) pada Media MS” didapatkan hasil bahwa eksplan ada yang tumbuh menjadi
kalus, ada yang belum tumbuh dan ada yang mengalami kontaminasi pada salah satu dari
ketiga perlakuan media MS sampai pengamatan 20 hari. Hal ini dapat dilihat pada Tabel
1.
Pada Tabel 1, diketahui bahwa pada perlakuan A eksplan ketiga-tiganya
membentuk kalus pada hari ke-10 pada tanggal 18 Oktober 2018, ketiga-tiga eksplan
pada perlakuan B tidak tumbuah sampai pengamatan hari ke-15 pada tanggal 23 Oktober
2018. Dan ketiga-tiga eksplan pada perlakuan C mengalami kontaminasi oleh bakteri
yang diindikasikan lendir berwarna putih kekuningan pada pengamatan hari ke-4 pada
tanggal 13 Oktober 2018.

C. Pembahasan
Berdasarkan hasil dan analisis data di atas diketahui bahwa metode yang digunakan
pada praktikum ini adalah dengan metode kultur jaringan secara invitro. Penelitian ini
bertujuan untuk mengetahui teknik isolasi dan inokulasianther bunga wungu pada media
MS.
Pemilihan eksplan dari anther pada bunga wungu yang masih kuncup diketahui dari
letak anther yang terselubung di antara kuncup mahkota bunga dimana kontaminan sukar
untuk menerobos ke dalam kuncup sehingga tingkat sterilnya lebih tinggi. Daun wungu
merupakan tumbuhan perdu menahun (parenial) yang tegak, dengan ketinggian antara
1,8-2 meter. Bunga tersusun dalam 1 rangkaian tandan yang berwarna merah tua. Bunga
majemuk, muncul dari ujung batang (terminalis). Buah memiliki tipe buah kotak sejati
(capsula), lonjong, warna ungu kecoklatan, bentuk biji bulat - berwarna putih (Namun di
jawa jarang sekali terbentuk buah). Oleh karena itu, wungu dapat dikembangbiakkan
lebih intensif baik secara in vivo apabila lahannya luas maupun in vitro apabila terjadi
krisis lahan.
Pengambilan bahan tanaman sebagai eksplan dari umur fisiologi juvenil lebih baik
dibanding jaringan tanaman yang tua karena bagian-bagian tanaman yang masih muda
(juvenil), terutama jaringan bunga yang masih kuncup memiliki daya regenerasi yang
lebih tinggi daripada tanaman dewasa (Gunawan, 1995). Jaringan muda mempunyai
kemampuan morfogenetik yang lebih besar daripada jaringan yang tua.
Pengambilan ukuran eksplan dari meristem sangat penting, karena ukuran
meristem akan menentukan kemampuannya untuk bertahan dalam media hara. Selain itu,
pengambilan ukuran juga bertujuan untuk menghilangkan penyakit sistemik seperti virus
(Karjadi, 2016). Ukuran normal eksplan 0,5 hingga 1 cm.
Metode kultur jaringan pada praktikum ini dimulai dari tahap persiapan, sterilisasi
alat, pembuatan media, sterilisasi media, isolasi dan inokulasi eksplan serta inkubasi.
Persiapan alat dan bahan seperti aquades untuk pengenceran larutan dan media serta
pembilasan alat. Alkohol 70% untuk sterilisasi alat dan ruangan. HCl dan NaOH untuk
pengaturan pH. Alumunium foil, wrapping plastik, dan karet gelang untuk menutup botol
kultur. Sabun cair dan tipol untuk pencucian botol kultur. Bahan antibiotik seperti
fungisida dengan merk Fulicor dan desinfektan seperti larutan Tween atau Dettol untuk
sterilisasi eksplan secara bertingkat (Rosmiati, et al., 2005). Sterilisasi untuk alat-alat dan
media yang digunakan dengan autoklaf pada suhu 121oC, 1 atm selama 20 menit.
Mekanisme pertumbuhan anther dalam media MS sama halnya dengan eksplan
pada umumnya. Inisiasi akar sering kali terjadi setelah eksplan anther membentuk tunas.
Hal ini disebabkan perkembangan tunas dapat mengubah kadar hormon endogen dalam
tanaman pada organ yang dilukai biasanya akan terbentuk kalus sebagai respon pertama
untuk menutupi luka, pembentukan kalus ini dipacu oleh keberadaan auksin yaitu NAA
dan 2,4 D serta sitokinin yaitu BAP pada jaringan tersebut (Mustakim, et.al., 2015).
Pada perlakuan A dengan perbandingan NAA, BAP dan 2,4 D yaitu 1:2:3 dimana
adanya auksin lebih banyak dibandingakan dengan sitokinin, eksplan membentuk kalus.
Berdasarkan teori kondisi ini akan memicu pertumbuhan akar. Sedangkan menurut
George dan Sherington (1984) bahwa pembentukan kalus tanaman dikotil dibutuhkan
auksin dan sitokinin yang tinggi dan sama. Daun wungu merupakan tanaman dikotil.
Hasil tersebut tentunya bertentangan dengan teori yang ada. Namun dapat diindikasikan
hal ini dapat terjadi kemungkinan karena bunga kuncup terdapat jaringan meristematik
yang aktif membelah. Berarti dibagian antherpun masih terdapat banyak sitokinin, seperti
yang kita ketahui bahwa salah satu sitokonin berfungsi mengontrol pembelahan sel.
Sehingga ketika bertemu dengan media yang memiliki ZPT dengan komposisi auksin
yang lebih banyak dan sitokinin lebih sedikit memperoleh perbandingan yang seimbang
karena sitokinin yang terdapat pada anther muda bunga wungu tersebut.
Pada perlakuan B dengan perbandingan NAA, BAP dan 2,4 D yaitu 3:2:1 dimana
konsentrasi auksin lebih tinggi dibandingkan sitokinin. Menurut teori perbedaan
komposisi auksin yang lebih tinggi daripada sitokinin akan memicu pertumbuhan akar.
Namun pada perlakuan B ini eksplan tidak tumbuh sehingga tidak dapat ditentukan
hasilnya dan dibandingkan dengan teori. Hal ini dapat terjadi karena kurangnya daya
tumbuh eksplan pada komposisi media ini. Eksplan mengalami dorman dengan
menghentikan metabolismenya menyesuaikan adaptasinya dengan media pertumbuhan
yang baru (Manshur, 2014).
Pada perlakuan C dengan perbandingan NAA, BAP dan 2,4 D yaitu 3:1:2 dimana
konsentrasi auksin sangat tinggi dibandingkan sitokinin yang memicu tumbuhnya akar.
Namun pada perlakuan C ini terjadi kontaminasi pada ketiga eksplan sehingga tidak
dapat diamati dan dibandingkan dengan teori. Hal tersebut dapat terjadi kemungkinan
karena media tidak dipakai secara segera karena botol C ini memiliki jumlah kontam
terbanyak jika diakumulasikan hasil satu kelas. George dan Sherington (1984)
menyatakan bahwa pembentukan akar adventif dari kalus dan akar pada stek in vitro
selain auksin tetap dibutuhkan sitokinin dalam konsentrasi yang rendah. Dalam
perlakuan ini diharapkan eksplan dapat tumbuh baik pada media dengan dominan
tumbuh akar adventif.
Tidak sesuai dengan teori dari George dan Sherington (1984), hasil yang diperoleh
dari isolasi dan inokulasi anther bunga wungu pada perlakuan A tumbuh kalus sementara
pada media B belum mengalami pertumbuhan sampai hari ke-15 dan pada media C
mengalami kontaminasi bakteri.
Proses inkubasi pada inokulan dilakukan pada kondisi gelap tanpa adanya cahaya
yang mengenai inokulan. Hal ini dikarenakan adanya penambahan hormon auksin pada
media dengan konsentrasi lebih tinggi dapat bekerja dengan baik apabila intensitas
cahaya yang rendah. Semakin tinggi intensitas cahaya yang didapatkan oleh eksplan,
maka proses pertumbuhan kalus akan terhambat karena hormon auksin tidak dapat
bekerja dengan baik. Ariany, et al., (2013) menyatakan tinggi planlet meningkat pada
intensitas cahaya yang lebih rendah disebabkan oleh hormon auksin. Auksin merupakan
hormon tumbuhan yang mempengaruhi pemanjangan sel, bersifat sensitif yang akan
mengalami kerusakan atau degradasi pada intensitas cahaya tinggi.
BAB V

KESIMPULAN DAN SARAN

A. Kesimpulan
Berdasarkan hasil dan pembahasan praktikum yang telah diuraikan, dapat
disimpulkan bahwa :

1. Media pertumbuhan eksplan pada metode kultur jaringan dimanipulasi dan


dikombinasikan kandungan unsur di dalamnya menyesuaikan dengan tujuan
menumbuhkan eksplan ke bentuk kalus, tunas dan planlet. Kandungan bahan-
bahan yang ada di dalam media meliputi unsur organik, unsur anorganik dan
hormon pertumbuhan. Media MS merupakan media universal yang kaya akan
vitamin dan unsur hara makro dan mikro yang cocok untuk pertumbuhan eksplan.
2. Hal yang harus diperhatikan dalam memilih bahan eksplan untuk kultur adalah
ukuran eksplan, umur fisiologinya, dan organ yang menjadi sumber bahan
tanaman. Pengambilan eksplan dari anther bunga wungu yang masih kuncup
meminimalisir kontaminasi karena tingkat sterilnya masih tinggi.
3. Hasil praktikum ini belum dapat digunakan untuk mengetahui volume zat pengatur
tumbuh (ZPT) terhadap pertumbuhan eksplan bunga wungu karena yang menjadi
kalus hanya eksplan botol A dengan perbandingan NAA, BAP dan 2,4-D secara
berurutan 1:2:3. Sedangkan pada botol B eksplan tidak mengalami pertumbuhan
dan pada botol C eksplan mengalami kontaminasi.

B. Saran
1. Dalam melakukan metode kultur jaringan secara in vitro dapat dilakukan dengan
cara yang aseptik dan steril.
2. Tempat untuk inokulasi dan menginkubasi hasil kultur diupayakan dalam kondisi
aseptik dengan tidak membiarkan orang-orang keluar masuk ruang laboratorium
yang dapat meningkatkan sumber kontaminasi.
3. Diupayakan media yang telah dibuat tidak disimpan terlalu lama dan segera
digunakan untuk mengurangi tingkat kontaminasi.
4. Hati-hati dalam melakukan inokulasi pada LAF, kaki jangan berkontak langsung
dengan lantai ketika telah menghadap LAF sehingga tidak tersetrum.
DAFTAR PUSTAKA

Abbas, B. 2011. Prinsip Dasar Teknik Kultur Jaringan. Alfabeta.Bandung.

Anonim. 2012. Media MS, (online), http://haikalfaperta.blogspot.com/2012/02/kultur-


jaringan.html. Diakses tanggal 8 Juli 2012.

Ariany, S.P., Nirwan Sahiri dan Abdul Syukur. 2013. Pengaruh Kuantitas Cahaya terhadap
Pertumbuhan dan Kadar Antosianin Daun Dewa (Gynura pseudochina (L.) DC)
InVitro. e-Journal Agrotekbis 1 (5): 413-420

Aziz, Mochammad Masruri. 2014. Induksi Kalus Umbi Iles-Iles (Amorphophallus muelleri

Blume) dengan Kombinasi Konsentrasi 2,4-D ( 2,4 - Dichlorophenoxyacetic Acid) dan


BAP (6-Benzyl Amino Purine) secara In Vitro. Skripsi. Jurusan Biologi FMIPA
Universitas Negeri Surabaya

Backer, C.A., & Bahkuizen van den Brink, R.C. Jr. (1963). Flora of Java. (vol. 1).
Groningen: P. Noordhoff.

Bean, A. R. (2008). A taxonomic revision of Erythrina L. (Fabaceae: Faboideae) in


Australia. Austrobaileya, 7(4), 641-658

Gardner, F. P. 1985. Physiology of Crop Plants. The Lowa State University Press.

George, E.F. dan P.D. Sherrington. 1984. Plant Propagation by Tissue Culture,
Handbookand Directory of Commercial Laboratories. England: Exegenetic Limited

Gunawan, L.W. 1987. Teknik Kultur Jaringan Tumbuhan. Bogor: PAU Bioteknologi IPB

Gunawan. L.W. 1995. Teknik Kultur in vitro dalam Hortikultura. Jakarta: PT. Penebar
Swadaya.

http://www.mi-aime-a-ou.com/Graptophyllum_pictum.php

Karjadi, Asih K. 2016. Kultur Jaringan dan Mikropropagasi Tanaman Kentang


(Solanumtuberosum L). Artikel Ilmiah. Balai Penelitian Tanaman Sayuran

Luqman. 2012. Embrio dan Anther (http://H:/embrio%20n%20anther/makalah-kultur-


embrio.html). Diakses pada tanggal 16 Maret 2013 pukul 12.09 WIB.

Manshur, Muhammad Iqbal. 2014. Pertumbuhan Lumut Kerak Ramalina celastri pada Media
Propagasi Secara In Vitro. Skripsi. UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

Mustakim, Baiq Farhatul Wahidah dan Adi Al-Fauzy. 2015. Pengaruh Penambahan Air
Kelapa Terhadap Pertumbuhan Stek Mikro Tanaman Krisan (Chrysanthemum indicum)
SecaraIn Vitro. ISBN978-602-72245-0-6 Prosiding Seminar Nasional
MikrobiologiKesehatan dan Lingkungan Makassar, 29 Januari 2015

Nisa, C dan Rodinah. 2005. “Kultur Jaringan Beberapa Kultivar Buah Pisang
(Musaparadisiacal L.) dengan Pemberian Campuran NAA dan Kinetin. Bioscientiae
2(2): 23-36.

Nursyamsi. 2010. Teknik Kultur Jaringan sebagai Alternatif Perbanyakan Tanaman untuk
Mendukung Rehabilitasi Lahan. Prosiding Ekspose 2010. Balai Penelitian Kehutanan
Makassar

Pierik, R.L.M. 1987. In Vitro Culture of Higher Plants. Wageningen: Martinus Nijhoff
Publishers.

Rosmiati, Suryati, E dan Tenriulo, A. 2005. Sterilisasi Eksplan pada Kultur Jaringan
RumputLaut Kappaphycus alvarezii. BRPBAP Maros, Sulawesi selatan.

Santoso, U. dan F. Nursandi. 2002. Kultur Jaringan Tanaman. Malang: UMM Press

Sari, Niken P., F. Kurniawan, dan E.M.M. Putri. 2012. Penggunaan Ekstrak Mangsi
(Phillanthus reticulates poir), Dadap Merah (Erhythrina variegate), dan Rhodamin B
Pada Sel Surya Pewarna Tersensitisasi Termodifikasi Emas (SSPT) Termodifikasi
Emas. Prosiding Seminar. Jurusan Kimia, Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan
Alam, Institut Teknologi Sepuluh November (ITS)

Sugiyama, M. 1999. Organogenesis In Vitro. Current Opinion in Plant Biology 2:61-64.


Yusnita. 2003. Kultur Jaringan: Cara Memperbanyak Tanaman Secara Efisien. Jakarta:
Agro Media Pustaka.

Zulkarnain, H. 2009. Kultur Jaringan Tanaman. Bumi Aksara. Jakart


LAMPIRAN

No. Gambar Keterangan


1
Bunga Wungu
(Graptophyllum pictum)

2
Persiapan praktikan di
autoklaf

3
Perendaman kuncup pada
alkohol 96%

4
Pembedahan kuncup dan
pengambilan anther bunga
wungu
5
Pemisahan kepala anther
dengan bagian lain dan
pemotongan bagian ujung-
ujung anther

6
Peletakkan eksplan pada
media steril di botol kultur

7
Eksplan pada botol kultur A
tumbuh kalus hari ke-10

6
Eksplan pada botol kultur B
belum tumbuh hingga hari
ke-15

8
Eksplan pada botol kultur C
mengalami kontaminasi
bakteri pada hari ke-4

Anda mungkin juga menyukai