Anda di halaman 1dari 15

Nama : Nikmatul Maula Nur Rahmadani

NIM : 142011101006

RESUME JURNAL
Judul Jurnal An Action Video Game for The Treatment of Amblyopia in Children: A
Feasibility Study
Christina Gamacortaa, Mor Nahuma,b, Indu Vedamurthyc, Jessica Baylissd,
Josh Jordanf, Daphne Bavelierc,e, Dennis M. Levia
a. School of Optometry, Graduate in Vision Science and Hellen Wills
Neuroscience Institute, University of California, Berkeley, USA
b. School of Occupational Therapy, Faculty of Medicine, Hebrew
University, Jerusalem, Israel
c. Departmen of Brain and Cognitive Science, University of Rochester,
Rochester, NY, USA
d. School of Interactive Games and Media, Rochester Institute of
Technology, Rochester, NY, USA
e. Faculty of Psychology and Education Sciences, University of Geneva,
Switzerland
f. California School of Professional Psychology at Alliant International
University, USA
Vision Research 148 (2018): 1-14. Published by Elsevier.
Received 18 February 2018; accepted 1 April 2018
Pendahuluan Perkembangan visual yang abnormal telah diketahui selama beberapa
abad. Tiap tahunnya, jutaan anak tidak terdiagnosis sehingga tidak diterapi.
Laporan terkini menunjukkan prevalensi amblyopia sekitar 2,4% dari
populasi, yaitu sekitar 15.000.000 anak di seluruh dunia. Akibatnya, pasien
menghadapi kemungkinan hilangnya penglihatan monocular secara
permanen, dan bisa menghadapi gangguan penglihatan pada kedua mata
apabila mata yang sehat mengalami cedera atau penyakit lainnya.
Amblyopia juga dapat berdampak negatif terhadap kualitas hidup
seseorang, sehingga mengurangi kemampuan membaca dan keterampilan
motorik halus, dan bahkan mungkin berdampak negatif terhadap citra diri
seseorang.
Amblyopia terjadi karena defisit perkembangan yang luas dalam
berbagai fungsi visual karena kelainan dalam korteks visual primer yang
sepenuhnya belum dapat dijelaskan. Meskipun demikian, pengobatan
standar untuk amblyopia, yaitu koreksi refraksi dan oklusi (patching) pada
mata lainnya (non-amblyopia), berfokus pada peningkatan ketajaman
penglihatan. Saat ini terapi oklusi terbukti efektif, namun perbaikan
membutuhkan waktu yang lama. Penelitian sebelumnya menyebutkan
butuh sekitar 170 jam patching untuk anak usia 4 tahun, dan 236 jam untuk
anak usia 6 tahun. Bahkan butuh 400 jam untuk anak dengan usia lebih dari
7 tahun. Walaupun butuh waktu lama, fungsi visual kadang tidak
menunjukkan perbaikan ke level normal, bahkan juga gagal mencapai
kemampuan ketajaman penglihatan yang normal setelah menambah jangka
waktu terapi. Saat penglihatan sepenuhnya menjadi normal, sebanyak 25%
pasien mengalami kekambuhan pada tahun pertama pengobatan.
Oleh karena itu, selama dua dekade terakhir, banyak upaya untuk
mengembangkan terapi amblyopia pada anak yang lebih efisien, yaitu
menggunakan perceptual learning dan video game, baik dilakukan secara
monokular atau secara dichoptic. Karena perceptual learning di
laboratorium cenderung berulang-ulang dan membosankan, banyak yang
beralih ke video game. Bahkan action video games turut meningkatkan
berbagai aspek persepsi visual pada orang dewasa normal.
Action video games untuk kepentingan terapi dibuat dengan
mempertimbangkan berbagai hal. Video game dibuat sedemikian rupa agar
pemain dapat menentukan tindakan dengan keterbatasan waktu, memiliki
kemampuan untuk membagi perhatian sehingga pemain dapat menentukan
fokus mana yang harus dipilih sehingga dapat menentukan perencanaan
yang tepat. Dengan demikian, video game tidak selalu memiliki konten
kekerasan supaya dapat dianggap sebagai action video games.
Pada action video games seringnya terdapat target dan musuh yang
muncul, sehingga agar sukses pemain harus mampu membagi fokusnya
pada area yang terdapat pada layar, dan membuat keputusan yang tepat
dengan Batasan waktu. Setiap kali keputusan dibuat, pemain akan
mendapatkan keuntungan atau justru menjadi rugi karena keputusan yang
tidak tepat.
Action video games juga dapat meningkatkan kemampuan seseorang
untuk belajar secara efisien. Namun, yang terpenting, action video game
dapat meningkatkan perilaku yang lebih luas daripada perubahan
retinotopic dan tugas spesifik yang sering diamati dalam PL.
Orang dewasa dengan amblyopia menunjukkan perbaikan dalam
penglihatan setelah bermain video game komersial – baik Aksi (Medal of
Honor) atau non-Action (SIM City) video game secara monokular, di mana
mata lainnya ditutup. Li et al. (2011, 2015) menunjukkan bahwa bermain
video game secara monokular menggunakan mata amblyopia menunjukkan
berbagai perbaikan (ketajaman visual, stereoacuity, ketajaman posisi,
spasial dan pemusatan perhatian) pada orang dewasa. Namun, prinsip
penting adalah tingkat kesulitan harus disesuaikan kepada kapasitas
pemain. Oleh karena itu game komersial yang dirancang untuk pemain
dengan penglihatan normal menjadi tidak ideal, dan diperlukan adanya
modifikasi untuk menyesuaikan kemampuan pemain dengan masalah
penglihatan. Namun, sampai saat ini belum ada studi yang menggunakan
action video game (baik monoular atau dichoptic) pada anak dengan
amblyopia.
Tujuan dari studi ini adalah untuk menguji kelayakan dan efektivitas
awal dari penggunaan customized action video game dengan populasi anak
dengan amblyopia usia 7 – 17 tahun. Pada penelitian ini, juga
membandingkan video game yang dimainkan secara dichoptic maupun
secara monokular. Pada video game yang dimainkan secara dichoptic,
diberikan stimulus rendah pada mata normal dan stimulus tinggi ke mata
lemah. Sedangkan pada video game yang dimainkan secara monocular,
mata yang normal akan ditutup. Diharapkan dapat diketahui apakah ada
perbedaan yang signifikan antara video game yang dimainkan secara
dichoptic mauapun secara monocular. Pada studi sebelumnya didapatkan
beragam hasil, ada yang menunjukkan dengan game yang dimainkan secara
dichoptic memberikan hasil yang lebih baik dibandingkan dengan game
yang dimainkan secara monocular, ada juga studi yang menunjukkan di
antara keduanya tidak ada perbedaan.
Metode Penelitian berlangsung di laboratorium penelitian, di University of
Rochester, NY dan University of California, Berkeley. Pelitian sudah
disetujui oleh peserta dan orang tua/wali peserta serta pihak Etik . Total
didapatkan 21 anak dengan rentang usia 7 – 17 tahun yang dengan unilateral
amblyopia untuk menyelesaikan training selama total 20 jam dan datanya
akan dianalisis. Peserta didapatkan dari optik di sekitar lokasi penelitian
dan juga sebaran brosur.
Kriteria inklusi adalah: (1) usia 7 – 17 tahun; (2) amblyopia
anisometropik, amblyopia strabismic, atau campuran (anisometropi dan
strabismic); (3) ketajaman visual interokular (VA) perbedaan setidaknya
0,2 LogMAR; dan (4) tidak ada riwayat operasi mata kecuali untuk
mengoreksi Strabismus.
Kriteria eksklusi adalah: termasuk: (1) strabismus dengan sudut besar
(> 30 Prisma diopters); dan (2) kondisi patologis lain (misalnya, kelainan
makula) atau nystagmus.
Untuk mata yang sehat, tajam penglihatan semua peserta harus normal
atau mendekati normal. Selain itu retina normal dan media ocular juga
harus normal, didapatkan dari pemeriksaan dengan oftalmoskop.
Anisometropia didefinisikan sebagai perbedaan refraksi sferis ≥ 0.50
D atau selisih ≥ 1,5 D dalam astigmatisme pada meridian antara kedua mata.
Tes cover digunakan untuk membedakan sampel dengan amblyopia
anisometropia dan amblyopia strabismus, di mana pada strabismus terdapat
perbedaan sudut antara arah kedua mata.
Selama penelitian, peserta menggunakan alat bantu penglihatan yang
memang sudah digunakan, apabila tidak membawa maka akan diberikan
alat bantu sesuai dengan kondisi peserta. Selain itu juga dilakukan koreksi
ulang, dan apabila alat bantu perlu di update, maka sampel akan dilatih dan
dimonitor selama 6-8 minggu untuk beradaptasi, baru dapat melanjutkan
penelitian.
Peserta penelitian dibagi menjadi 2 kelompok, yaitu kelompok
dichoptic dan kelompok monocular, di mana pada kedua kelompok ini
terdapat peserta dengan amblyopia anisometropia dan amblyopia
strabismus. Pada kelompok dichoptic peserta bermain dengan kedua mata
menggunakan stereoskop, dan diberikan stimulus yang berbeda pada kedua
mata, pada mata yang normal diberikan stimulus yang lebih rendah.
Penilaian akan dilakukan pada awal, setelah training 10 jam, dan setelah
training 20 jam.

Studi Intervensi
Terdapat 2 kelompok. Kedua kelompok mengikuti eksperimen selama
total 20 jam, tiap sesi dilakukan selama 1 jam, 1-3 kali/minggu.
Diberlakukan action video game yang sudah dimodifikasi dan disesuaikan
dengan anak-anak. Diberlakukan latihan awal terlebih dahulu untuk melatih
anak dengan game yang akan diberikan. Setelah dilakukan latihan, game
yang diberikan pada eksperimen disesuaikan dengan progress dari masing-
masing individu. Game yang diberikan ada Magical Garden, Amblyopia
World, atau Chinatown.
Di sela-sela game, akan terdapat patch Gabor yang secara acak muncul
setiap beberapa detik hanya dalam untuk mata dengan amblyopia. Para
peserta yang diharuskan untuk memilih untuk tetap melanjutkan permainan
atau menanggapi hal. Patch Gabor memungkinkan kita untuk memonitor
resolusi mata dengan amblyopia dan memastikan bahwa mata dengan
amblyopia aktif terlibat selama bermain game. Pelatihan berlangsung di
laboratorium, di bawah pengawasan asisten penelitian. Dipastikan bahwa
semua pasien menerima dosis pelatihan yang sama dengan optik yang
tepat/terkoreksi serta dapat diharapkan melatih kesinergisan kedua mata
pada kelompok dichoptic. Untuk semua peserta, video game yang
ditampilkan pada Gamma corrected monitor (Mitsubishi Diamond Pro
2070 SB), dengan resolusi 1024 × 768 pixel dan refresh rate 60 Hz.
 Mode Dichoptic Game
Pada kelompok dichoptic, permainan disajikan dalam 2 layar terpisah,
di mana keduanya dikondisikan sesuai dengan kondisi mata, mata yang
sehat berbeda dengan mata amblyopia. Sebelum game dimulai, perlu
dipastikan lagi jika sampel melihat seluruh lingkup layar. Permainan video
aksi kami disajikan gambar yang sama untuk setiap mata (kecuali untuk
patch Gabor dan Bagian dari lingkup fiksasi) dengan Luminansi/kontras
yang berkurang di NAE.
 Mode Monocular Game
Peserta dalam kelompok permainan monokular memainkan video
kustom yang dijelaskan di atas, namun layar pada mata non amblyopia
dimatikan, dan mata tersebut diberi patch. Fitur lain dari permainan, seperti
persepsi tugas belajar yang diberikan kepada AE, identik dengan kelompok
dichoptic. Parameter pelatihan, seperti kesulitan permainan dan durasi sesi
juga tetap sama di kedua kelompok.

Penilaian Fungsi Visual


Peserta diharuskan memakai koreksi optik terbaik (jika untuk semua
penilaian visual. Penilaian mencakup tiga hal yaitu ketajaman visual (VA),
stereoacuity, dan kecepatan membaca. Ketajaman visual diukur Bailey-
Lovie logMAR letter charts atau highcontrast ETDRS format chart with
Sloan optotypes. Stereoacuity diukur menggunakan Randot Stereotest.
Kecepatan membaca diukur menggunakan MNREAD Acuity Chart yang
telah distandarisasi. Selain ketiga hal tersebut,dilakukan juga pengukuran
Inter-Ocular Ratio (IOR).

Data Analisis
Analisis dilakukan untuk membandingkan antara kelompok
monocular dan dichoptic dilihat dari ketajaman penglihatan, stereo acuity,
dan kecepatan membaca. Karena pada tajam penglihatan, stereo acuity
menunjukkan semakin kecil nilai semakin baik, sedang kecepatan
membaca semakin besar semakin baik, maka dilakukan konversi z-score
untuk tajam penglihatan dan stereo acuity dan mengalikannya dengan -1.
Analisis dilakukan dengan Multivariate Analysis of Variance (MANOVA).
Analisis dilakukan pada waktu penilaian (awal, pelatihan 10 jam, pelatihan
20 jam), hal yang dinilai (ketajaman penglihatan, stereo acuity, dan
kecepatan membaca), serta kelompok terapi (monocular atau dichoptic).
Data yang dianalisis adalah data yang lengkap, apabila ada data yang tidak
terpenuhi dan tidak bisa diukur, maka akan dieksklusi.
Hasil Pada penelitian ini melaporkan statistic deskriptif seluruh sampel, dan
analisis statistic dilakukan pada sampel yang memenuhi seluruh rangkaian
penelitian. Beberapa hal yang bisa menjadi data tambahan juga akan
dianalisis.

Kepatuhan
Tingkat drop out didapatkan sekitar 31% pada kelompok monocular
dan 23% pada kelompok dichoptic. Alasan terbesar adalah perlunya waktu
yang lama dalam penelitian. Didapatkan bahwa para sampel yang dropout
berada pada rentang usia yang hampir sama pada kedua grup, begitu pula
dengan presentase tipe amblyopia.

Analisis Deskriptif
 Perubahan logMAR pada ketajaman penglihatan
Rerata peningkatan tajam penglihatan (logMAR) pada seluruh sampel
adalah 0,08 ± 0,02 logMAR setelah training 10 jam dan 0,095 ± 0,02
logMAR sejak awal hingga selesai training 20 jam. Pada kelompok
dichoptic, didapatkan peningkatan 0,1 ± 0,02 logMAR setelah training 10
jam dan 0,14 ± 0,02 logMAR setelah 20 jam. Sedangkan pada kelompok
monocular didapatkan peningkatan 0,06 ± 0,03 logMAR setelah training
10 jam dan 20 jam.
Pada tipe amblyopia anisometropia menunjukkan peningkatan 0,1 ±
0,03 logMAR dan 0,11 ± 0,03 logMAR setelah training 10 jam dan 20 jam
yang menunjukkan perubahan terbesar didapatkan setelah training 10 jam,
dan sedikit setelah dilakukan training tambahan. Sedangkan pada
amblyopia strabismus hanya didapatkan perubahan kecil yaitu 0,04 ± 0,02
logMAR setelah training 10 jam dan total hanya menunjukkan perubahan
0,07 ± 0,03 logMAR setelah training 20 jam.
 Perubahan pada stereoacuity
Rerata perubahan stereoacuity pada seluruh sampel adalah 0,08 ± 0,05
log arcsec setelah training 10 jam dan 0,07 ± 0,07 log arcsec setelah
training 20 jam. Pada kelompok dichoptic didapatkan peningkatan sebesar
0,16 ± 0,07 log arcsec dan 0,07 ± 0,11 log arcsec setelah training 10 jam
dan 20 jam (perlu diperhatikan bahwa sampelnya berbeda karena adanya
data yang tidak lengkap). Pada kelompok monocular terdapat peningkatan
sebesar 0,02 ± 0,06 log arcsec dan 0,06 ± 0,1 log arcsec setelah training 10
jam dan 20 jam. Selain itu didapatkan jika 7 dari 12 sampel dengan
amblyopia anisometropia menunjukkan peningkatan dalam stereoacuity
sedangkan pada amblyopia strabismus hanya 1 dari 9. Rerata pada
amblyopia anisometropia menunjukkan peningkatan sebesar 0,15 ± 0,06
log arcsec dan 0,2 ± 0,1 log arcsec setelah training 10 jam dan 20 jam.
Sedangkan pada amblyopia strabismus tidak menunjukkan peningkatan.
 Perubahan pada kecepatan membaca
Rerata perubahan kecepatan membaca dari seluruh peserta yaitu 7,5 ±
6,5 WPM dan 11,7 ± 5,9 WPM setelah training 10 jam dan 20 jam. Pada
kelompok dichoptic mengalami penurunan 4,6 ± 7,3 WPM setelah training
10 jam dan meningkat 18,8 ± 8,4 WPM setelah training 20 jam. Pada
kelompok monocular mengalami peningkatan 19,6 ± 8,9 WPM setelah
training 10 jam namun setelah training 20 jam hanya 10,8 ± 7,7 WPM. Pada
amblyopia anisometropia mengalami peningkatan 6,8 ± 6,5 WPM dan 26,1
± 5,4 WPM setelah training 10 jam dan 20 jam. Pada amblyopia strabismus
meningkat 8,4 ± 13 WPM setelah training 10 jam namun tidak ada
peningkatan lagi setelah training 20 jam.

Analisis Statistik
 Omnibus MANOVA
Hasil signifikan didapatkan pada hubungan antara waktu training dan
outcome, waktu training dengan jenis amblyopia, dan outcome dengan
dengan jenis amblyopia. Waktu dengan kelompok terapi tidak
menunjukkan hasil yang signifikan. Hasil ini menunjukkan bahwa kedua
mode game menunjukkan perubahan yang hampir sama untuk outcome
yang dituju, namun hasil yang didapat berbeda jika membandingkan 2 jenis
amblyopia.
 Hasil analisis perbaikan fungsi visual
Hasil signifikan ditunjukkan pada perubahan tajam penglihatan
dengan waktu training dan stereoacuity dengan jenis amblyopia.
 Korelasi antara outcome yang diukur
Tidak didapatkan korelasi antara outcome yang diukur (tajam
penglihatan, stereoacuity, kecepatan membaca)

Analisi Tambahan
 In Game Interocular Suppression (IOR)
Didapatkan jika IOR meningkat secara signifikan seiring waktu.
Namun tidak didapatkan hubungan yang signifikan antara perubahan IOR
dengan perubahan tajam penglihatan maupun stereoacuity.
 Follow up
Setelah dilakukan training, diharapkan sampel tetap melanjutkan
follow up setelah 6-10 minggu, namun hanya 12 orang saja yang kembali.
Dari data yang ada didapatkan, menunjukkan jika peningkatan tajam
penglihatan dan stereoacuity tetap bertahan pada follow up dan tidak
didapatkan perbedaan setelah training.
 Faktor lain dari peserta
Tidak didapatkan hubungan antara usia dengan peningkatan tajam
penglihatan maupun usia dengan tajam penglihatan pada amblyopia. Tidak
didapatkan hubungan pada usia dengan kecepatan membaca.
Riwayat terapi berhubungan signifikan terhadap derajat peningkatan
fungsi visual. Pada sampel dengan riwayat terapi dengan menggunakan
“patch” menunjukkan sedikit bahkan tidak ada peningkatan dalam tajam
penglihatan dibandingkan dengan yang tidak menggunakan “patch”.
Namun perubahan peningkatan stereoacuity dan kecepatan membaca tidak
signifikan.
Pembahasan Tujuan dari penelitian ini adalah mengevaluasi sebuah custom-made
video game sebagai terapi untuk anak dengan amblyopia, dan menentukan
apakah bermain game secara dichoptic lebih efektif dibandingan dengan
secara monocular. Tujuan lainnya adalah mengetahui perbedaan outcome
pada dua tipe amblyopia yaitu anisometropia dan strabismus.
Pada penelitian ini, untuk pendekatan dichoptic, mata yang dominan
(normal) diberikan stimulus yang lemah dan meningkatkan stimulus pada
mata yang lemah sehingga diharapkan mampu mengembalikan fungsi
penglihatan binocular menjadi normal. Pada penelitian ini menunjukkan
adanya keuntungan bagi kedua tipe amblyopia dengan terapi game yang
dimainkan baik secara dichoptic maupun monocular. Walaupun pada
kelompok dichoptic didapatkan peningkatan tajam penglihatan,
stereoacuity, kecepatan membaca lebih baik dibandingkan dengan
kelompok monocular, namun hasilnya tidak signifikan. Perkembangan
ketiga outcome juga tidak berkorelasi satu sama lain.
Pada penderita amblyopia anisometropia menunjukkan perkembangan
yang lebih signifikan pada semua outcome, di mana perbedaan paling besar
ditunjukkan pada peningkatan stereoacuity.

Hubungan dengan Penelitian sebelumnya


Pada penelitian ini dilakukan training selama 20 jam, dan didapatkan
hasil: (1) Tajam penglihatan meningkat sekitar 0,14 logMAR pada
kelompok dichoptic dan sekitar 0,06 logMAR pada kelompok monocular;
(2) Peningkatan stereoacuity hampir sama pada kedua kelompok,
peningkatan sekitar 0,07 log arcsec pada kelompok dichoptic dan 0,06 log
arcsec pada kelompok monocular; (3) 7 dari 12 anak dengan amblyopia
anisometropia menunjukkan peningkatan stereoacuity dan hanya 1 dari 9
anak dengan amblyopia strabismus yang mengalami peningkatan.
 Tajam Penglihatan
Peningkatan tajam penglihatan yang diperoleh pada penelitian sesuai
dengan penelitian sebelumnya. Selain itu, riwayat terapi juga
mempengaruhi outcome, di mana pada anak yang sebelumnya sudah
mendapatkan terapi oklusi, peningkatan fungsi visual lebih rendah
dibandingkan dengan yang belum mendapatkan terapi. Penelitian
sebelumnya juga menunjukkan tidak adanya pengaruh yang signifikan pada
usia terhadap outcome yang didapat. Outcome yang didapat juga mungkin
berhubungan dengan kepatuhan peserta untuk mengikuti penelitian hingga
akhir, di mana penelitian sebelumnya menunjukkan kepatuhan peserta
menunjukkan hasil yang lebih baik. Pada penelitian ini, kepatuhan peserta
sudah diperketat yaitu bermain game di bawah pengawasan. Namun karena
penelitian berlangsung di laboratorium dan dalam kurun waktu yang cukup
lama, menjadi faktor yang turut mempengaruhi kepatuhan. Pada penelitian
ini dan juga penelitian sebelumnya, peningkatan fungsi visual dapat
diperoleh setelah training 10 jam hingga 20 jam. Namun karena kebanyakan
penelitian dilakukan dalam kurun waktu yang cenderung singkat, tidak
pernah lebih dari 100 jam, maka tidak diketahui dengan pasti berapa lama
waktu yang diperlukan untuk memperoleh outcome yang maksimal.
 Dichoptic vs Monocular
Pada penelitian ini, kelompok dichoptic menunjukkan adanya
peningkatan tajam penglihatan yang lebih besar daripada kelompok
monocular, namun karena jumlah sampel yang sedikit, hasilnya pun tidak
signifikan. Pada anak dengan amblyopia anisometropia juga menunjukkan
peningkatan outcome yang lebih baik daripada anak dengan amblyopia
strabismus. Rentang perbaikan outcome pada penelitian sebelumnya
menunjukkan nilai yang hampir sama untuk training dengan Perceptual
Learning, dichoptic training, maupun monocular training. Perubahan
terbesar didapatkan pada kelompok Perceptual Learning yang dilakukan
secara monocular dan menonton film secara dichoptic (dengan catatan
semua sampel pada penelitian ini tidak pernah diterapi sebelumnya).

Action Video Game pada anak-anak vs dewasa


Ada beberapa penelitian pada orang dewasa yang mirip dengan desain
penelitian ini. Pada penelitian tersebut diberlakukan dengan bermain action
video game secara dichoptic dan menonton film aksi secara monocular.
Tajam penglihatan meningkat sekitar 0,14 logMAR pada kelompok action
video game, dan meningkat sekitar 0,07 logMAR psfs kelompok film aksi.
Pasien dengan amblyopia anisometropia menunjukkan peningkatan yang
hampir sama antara kelompok action video game dan film aksi, sementara
pada amblyopia strabismus hanya menunjukkan peningkatan pada
kelompok action video game. Peningkatan stereoacuity dan kecepatan
membaca juga lebih baik pada kelompok video game.
Jika membandingkan peningkatan tajam penglihatan anak pada
kelompok dichoptic di penelitian ini dengan peningkatan tajam penglihatan
orang dewasa pada kelompok dichoptic, didapatkan angka yang hampir
sama. Yang menarik, anak dengan amblyopia anisometropia, fungsi
visualnya meningkat lebih cepat dibandingkan dengan orang dewasa
dengan amblyopia anisometropia.

Pengaruh Training pada Amblyopia anisometropia vs amblyopia


strabismus
Penelitian sebelumnya menujukkan terdapat perbedaan outcome
antara orang dewasa dengan amblyopia anisometropia dan amblyopia
strabismus. Penderita amblyopia anisometropia menunjukkan perbaikan
pada kedua kelompok (menonton film aksi secara monocular dan bermain
action video game secara dichoptic). Sedangkan pada penderita amblyopia
strabismus hanya menunjukkan perbaikan pada kelompok video game.
Hasil dari penelitian ini menunjukkan adanya perbedaan outcome pada
amblyopia anisometropia dan amblyopia strabismus. Pada amblyopia
anisometropia menunjukkan perbaikan pada ketiga outcome yang dinilai
dengan mengikuti training 20 jam. Yang paling terlihat perbandingannya
adalah peningkatan stereoacuity, di mana hampir seluruh penderita
amblyopia anisometropia mengalami peningkatan sedangkan pada
amblyopia strabismus tidak mengalami peningkatan.

Keberlanjutan dan Keterbatasan Penelitian


Adanya keharusan untuk mengunjungi laboratorium penelitian selama
2-3 kali/minggu, beberapa peserta pun drop out, di mana presentase drop
out sebesar 28%. Perlu adanya penyederhanaan penelitian, missal alat
penelitian dibuat portable dan menjanjikan sehinga peserta dapat
melakukannya di rumah. Walaupun demikian, hal ini juga memiliki
kelemahan karena tidak adanya pengawasan yang mengontrol peserta,
sehingga ditakutkan peserta yang seharusnya memakai “patch”, justru tidak
memakai “patch” saat bermain game. Penelitian sebelumnya menunjukkan
adanya ketidaksesuaian antara laporan yang di dapat dengan kenyataan.
Walaupun desain penelitian ini lebih menantang karena mengharuskan
peserta untuk datang ke laboratorium, namun pengawas dapat mengontrol
peserta saat bermain game sehingga masih berjalan sesuai seharusnya.
Penelitian pada anak lebih menantang diabndingkan pada orang
dewasa karena perlu untuk memotivasi lebih walaupun alat penelitian
menggunakan alat yang menarik seperti game. Hal ini menyebabkan
adanya hasil yang bervariasi. Walaupun pada penelitian ini, beberapa
hipotesis tidak menunjukkan hasil yang signifikan, namun hal itu memang
mungkin terjadi karena perbedaan antar peserta memang mungkin terjadi,
walaupun memang sampel pada penelitian ini terbilang kecil untuk
timbulnya suatu perbedaan yang besar.
Kesimpulan Penekanan dari studi ini adalah pada kelayakan menggunakan tindakan
video game untuk anak dengan amblyopia, dengan tujuan akhir adalah
menentukan apakah intervensi tersebut layak dan apakah pendekatan
dichoptic mungkin memiliki beberapa manfaat tambahan dibandingkan
dengan pelatihan monokular. Kedua bentuk action video-game (monokular
dan dichoptic) menunjukkan peningkatan pesat dalam ketajaman
penglihatan, pada penelitian ini kelompok dichoptic menunjukkan
peningkatan yang lebih baik, kesimpulan ini adalah seseuai dengan
penelitan Randomized, Control, and Trial (RCT) terbaru yang melibatkan
115 anak, remaja dan orang dewasa di mana tidak ada keuntungan bermain
video game dengan cara dichoptic dibandingkan dengan binocular video
game.
Studi ini menunjukkan bahwa menggunakan terapi aktif seperti
Perceptual Learning (PL) dan video game sebagai terapi amblyopia sama
efektifnya dengan terapi oklusi. Meskipun penelitian ini telah membuat
kemajuan, masih banyak pertanyaan yang tetap tak terjawab. Secara
khusus, kita perlu memahami bagaimana bermain permainan video
mempengaruhi kontrol oculomotor. Keterampilan gerakan mata penting
untuk pengembangan yang tepat dari perhatian spasial dan kegiatan seperti
membaca. Anak dengan amblyopia memiliki gangguan membaca, bahkan
ketika menggunakan kedua mata, sehingga pemahaman bagaimana
meningkatkan fungsi ini penting untuk hasil klinis dari pasien. Stabilitas
fiksasi binokular dan bifoveal alignment and fusion mungkin dapat menjadi
kunci untuk membentuk suatu terapi holistik pada gangguan perkembangan
ini. Diharapkan ke depannya, game ini bisa diaplikasikan ke alat portable
sehingga peserta tidak perlu datang ke lab, namun juga perlu dikembangkan
sistem yang lebih agar peneliti tetap dapat memantau dan menilai peserta.
Lampiran

Gambar 1. Kiri atas (stereoskop yang digunakan pada penelitian), lainnya


menunjukkan contoh game yang digunakan pada penelitian ini, bagian kiri
merupakan tampilan untuk mata yang normal, bagian kanan digunakan
untuk mata dengan amblyopia.
Gambar 2. Perubahan yang terjadi setelah dilakukan training selama 10
jam dan 20 jam

Gambar 3. Data in game IOR

Anda mungkin juga menyukai