Anda di halaman 1dari 15

BAB 1.

PENDAHULUAN

Herpes genitalis merupakan penyakit merupakan penyakit menular seksual


yang disebabkan oleh Herpes Simplex Virus (HSV) tipe I atau tipe II. Herpes
genitalis masih menjadi salah satu penyakit menular seksusal yang sering terjadi
di seluruh dunia, dan sebagian besar terjadi setelah adanya kontak seksual secara
orogenital (Handoko, 2013; Government of Western Australia Departement of
Health, 2013).
Dikarenakan herpes genitalis terjadi setelah adanya kontal seksual, hal ini
akan menganggu kehidupan penderita dan pasangannya. Gejala awal yang muncul
biasanya gatal dan kesemutan pada kemaluan yang diikuti oleh lepuh yang
terbuka dan sangat sakit. Pada kebanyakan orang dapat asimtomatis (orang
tersebut tidak mengetahui jika sakit), namun apabila timbul gejala akan sangat
mengganggu kehidupan seksual (Herpes Viruses Association, 2017).
Herpes genitalis bersifat rekuren sehingga terapi difokuskan untuk
meringankan gejala yang timbul, menjarangkan kekambuhan, serta menekan
angka penularan. Dengan hal tersebut diharapkan kulaitas hidup pasien dan
pasangan menjadi lebih baik.
BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi
Herpes genitalis adalah infeksi menular seksual yang disebabkan oleh
Herpes Simplex Virus (HSV) tipe I atau tipe II yang ditandai oleh adanya vesikel
yang berkelompok di atas kulit yang sembab dan eritematosa pada daerah dekat
mukokutan yang dapat berlangsung primer maupun rekuren. Infeksi oleh kedua
tipe HSV ini bersifat seumur hidup, virus berdiam di jaringan saraf, yaitu di
ganglia dorsalis (Handoko, 2013).

2.2 Epidemiologi
Penyakit tersebar kosmopolit dan menyerang baik pria maupun wanita
dengan frekuensi yang tidak berbeda. Infeksi primer oleh HSV tipe I biasanya
dimulai pada usia anak-anak, sedangkan infeksi HSV tipe II biasanya terjadi pada
decade II atau III, dan berhubungan dengan peningkatan aktivitas seksual
(Handoko, 2013).
Insidensi infeksi primer HSV I yang menyebabkan herpes labialis paling
banyak terjadi pada masa kanak-kanak, di mana 30-60% biasanya terkespos oleh
virus ini. Jumlah kejadian infeksi HSV I meningkat seiring bertambahnya usia dan
mayoritas ditemukan pada orang dewasa berusia 30 tahun atau lebih dengan HSV
II seropositive. Infeksi HSV II berhubungan dengan perilaku seksual. Antibodi
terhadap HSV II sangat jarang ditemukan sebelum terjadi aktivitas seksual dan
meningkat secara terus-menerus setelahnya (Cohen, 2019).
Pada tahun 2005-2008, prevalensi infeksi HSV II pada populasi usia 14-49
tahun di Amerika Serikat sebesar 16%, dengan prevalensi wanita 21% dan pria
12%. Pada tahun 2010, insidensi infeksi HSV II pada warga Amerika Serikat
masih tinggi, di mana 1 dari 6 warga Amerika terinfeksi HSV II dan
prevalensinya tinggi pada perempyan dan ras Afrika-Amerika (16,2%) antara usia
14-49 tahun. Di Eropa Barat, prevalensi HSV II secara umum lebih rendah
daripada di Amerika Serikat, yaitu berkisar antara 10-15% pada hampir semua
negara (CDC, 2013).
2.3 Etiologi
HSV tipe I dan II merupakan virus herpes hominis yang merupakan virus
DNA. Virus herpes simplex hanya menginfeksi manusia. Terdapat 2 tipe, yaitu
HSV I dan HSV II. HSV I biasanya menyebabkan infeksi herpes non genital
(orofacial), HSV II biasanta menyebabkan infeksi herpes genital laki-laki dan
perempuan, akan tetapi kedua tipe virus tersebut dapat menginfeksi baik pada area
orofacial maupun genital dan dapat menyebabkan infeksi akut dan rekuren.
Pembagian tipe I dan II berdasarkan karakteristik pertumbuhan pada media kultur,
antigenic marker, dan lokasi klinis (tempat predileksi). Infeksi HSV genital 6 kali
lebih sering daripada orolabial (Handoko, 2013; Cohen, 2019).
Penularan herpes genitalis diperlukan kontak langsung dengan jaringan
atau secret dari penderita infeksi HSV. Kebanyakan infeksi pada alat genital
didapatkan dari partner dengan infeksi subklinis. Pasangan yang aktif secara
seksual dan sama-sama terinfeksi HSV tidak akan mengalami reinfeksi satu sama
lain. Penularan perinatal kepada bayi baru lahir dapat terjadi, terutama jika infeksi
baru terjadi pada kehamilan trimester akhir (Cohen, 2019).

Gambar 2.1 Virus Herpes Simplex


2.4 Patofisiologi
HSV I dan HSV II termasuk family Herpes viridae dan subfamily Alpha
herpes viridae. Virus ini adalah virus DNA beruntai ganda ditandai dengan sifat
biologis sebagai berikut:
 Neurovirulensi : kemampuan untuk menyerang dan bereplikasi dalam sistem
saraf.
 Latensi : pembentukan dan pemeliharaan infeksi laten di ganglia saraf
proksimal dari local infeksi, pada infeksi HSV orofacial, ganglia trigeminal
yang paling sering terlibat, sementara pada infeksi HSV genital, akar ganglia
saraf sacral (S2-S5) yang terlibat.
 Reaktivasi : reaktivasi dan replikasi HSV laten, selalu di daerah yang
dipersarafi oleh ganglia di mana tempat virus latensi, dapat disebabkan oleh
berbagai rangsangan (demam, stress, hormonal) sehingga berakibat infeksi
berulang yang jelas atau samar-samar dan kemunculan kembali HSV. Pada
orang imunokompeten yang berada pada risiko sama tertular HSV I dan II baik
secara oral maupun genital, HSV I lebih sering terjadi reaktivasi pada daerah
oral daripada genital, HSV II mengaktifkan kembali 8-10 kali lebih sering di
daerah genital. Reaktivasi dapat lebih parah pada individu
immunocompromised.
Penyebaran infeksi herpes simpleks dapat terjadi pada orang dengan
gangguan imunitas sel T, seperti penerima transplantasi organ pada individu
dengan AIDS. HSV tersebar di seluruh dunia dan manusia adalah satu-satunya
reservoir alami.
Selama infeksi primer, replikasi dimulai di dalam sel berinti pada dermis
dan epidermis. Setiap sel yang terinfeksi pasti dibunuh dan jumlah sel yang
terlibat dalam proses infeksi menentukan apakah secara klinisakan berkembang
membentuk lesi, atau yang lebih sering menjadi subklinis. Dalam 2 keadaan
tersebut, ujung saraf sensoris akan terinfeksi, kemudian virus akan berpindah
melalui akson ke ganglia sakralis dan di sana akan dimulai periode laten. HSV
hanya dapat dikultur dari ganglion selama periode infeksi primer. Virus menyebar
ke daerah lain secara sentrifugal di mana vesikel terbentuk akibat migrasi dari
HSV tipe II ke saraf sensoris lainnya via autoinokulasi.
HSV II akan mempertahankan dirinya ke dalam periode laten di dalam
ganglion di mana aktivasi sistem kekebalan tubuh sangat terbatas. Virus tersebut
kemudian akan keluar dari neuron sensoris ke daerah genital sehingga
menyebabkan terjadinya periode subklinis atau berkembang menjadi lesi herpes
genital. Sistem imun penderita, terutama limfosit CD8+, sangat penting dalam
proses terbentuknya lesi genital. Terbentuknya lesi genital (simtomatik)
menunjukkan adanya viral shedding, yaitu saat di mana virus menjadi aktif dan
keluar dari ganglion saraf menuju ke permukaan kulit dan menimbulkan lesi.
(Schiffer dan Corey, 2009; Tronstein et al, 2011; Mindel, 2011)

2.5 Gambaran Klinis


Masa inkubasi herpes genitalis berkisar antara 3-5 hari untuk infeksi
primer yang simtomatik, kadang 10 hari, jarang mencapai 3 minggu. Gambaran
klinis yang ditunjukkan sesuai dengan klasifikasi herpes genitalis, yaitu:
 Herpes Genitalis Primer
 Herpes Genitalis episode Pertama Lesi non Primer
 Herpes Genitalis Rekuren
 Infeksi Subklinis

a) Herpes Genitalis Primer


- Saat pasien pertama kali terinfeksi HSV.
- Berlangsung lama dan lebih berat, kurang lebih 3 minggu.
- Sering disertai gejala sistemik seperti demam, malaise, anoreksia, nyeri
kepala, terkadang disertai pembesaran KGB regional, fotofobia, kaku pada
leher.
- Lesi pada daerah genital atau perianal, multiple, biasanya bilateral, lesi
kutaneus muncul setelah 7-15 hari berupa papul, menjadi vesikel, menjadi
pustule, menjadi ulkus, lalu menjadi krusta, umumnya disertai vaginal
discharge, pada laki-laki urethral discharge disertai dysuria berat.
- Lesi pada mukosa atau permukaan yang lembab (missal introitus vagina,
labia minor, uretra, rectum) mengalami ulserasi lebih awal, sering disertai
dengan myeri berat dan tidak berubah menjadi krusta.
- Nyeri dan bengkak daerah inguinal sering ditemukan, biasanya bilateral.

Gambar 2.2 Lesi Herpes Genitalis Primer

b) Herpes Genitalis Episode Pertama Lesi non Primer


- Gambaran klinis seperti Herpes Genitalis Primer.
- Lesi lebih sedikit dan ringan dibandingkan infeksi primer.
- Biasanya terjadi selama 10-20 hari.
- Nyeri dan bengkak daerah inguinal lebih jarang ditemukan daripada infeksi
primer.

c) Herpes Genitalis Rekuren


- Riwayat pernah berulang.
- Terbentuk lesi berkelompok yang terdiri dari 2-10 lesi, lokasi di bagian
lateral dari garis tengah tubuh dan hanya terdapat di satu sisi tubuh
(unilateral), lesi tersebut muncul 2-3 cm, dari lokasi lesi sebelumnya.
- Dapat terjadi di daerah genital, perianal, bokong, paha, dan perut bagian
bawah (area boxer shorts).
- Lesi yang sering ditemukan adalah lesi ulseratif atipikal, didahului oleh
periode vesikuler ataupun pustular.
- Gejala neurologis prodromal biasanya muncul 1-2 hari sebelum timbul lesi,
biasanya berupa paresthesia (rasa terbakar, kesemutan) atau hypesthesia
pada daerah lesi atau sepanjang perjalanan nervus sakralis.
- Gejala sistemik, dan pembengkakan daerah inguinal jarang ditemukan.

Gambar 2.3 Lesi Herpes Genitalis Rekuren


d) Infeksi Subklinis
- Pada fase ini tidak ditemukan gejala klinis, tetapi HSV dapat ditemukan
dalam keadaan tidak aktif pada ganglion dorsalis
(Cohen, 2019).

2.6 Diagnosis
a) Anamnesis dan Pemeriksaan Fisik
b) Pemeriksaan Sitologi
Pemeriksaan sitologi dilakukan dengan Tzanck smears, pewarnaan Papani
colaou atau Romanovsky, dan imunofluoresens. Tzanck smears dengan
pewarnaan giemsa menggunakan bahan dari kerokan lesi kulit atau mukosa.
Dapat ditemukan sel datia berinti banyak dan badan inklusi intranuclear
(Handoko, 2013). Pewarnaan Papanicolaou atau Romanovsky menggunakan
bahan dari hasil biopsy, sedangkan deteksi sel yang terinfeksi dengan
imunofluoresens menggunakan hasil kerokan dasar vesikel.

Gambar 2.4 Tzanck Smears


c) Pemeriksaan Biologi Molekular
Deteksi DNA HSV berdasarkan amplifikasi asam nukleat dan PCR menjadi
metode alternative karena pemeriksaan ini lebih sensitif, hasilnya tidak
dipengaruhi oleh cara pengumpulan sampel dan proses transportasi, serta
pengerjaan lebih cepat dari kultur virus. Sampel pemeriksaan didapatkan dari
swab, kerokan lesi kulit, cairan dari vesikel, eksudat dari dasar vesikel (Legoff,
Pere, Belec, 2014).
d) Kultur Virus
Digunakan untuk menentukan tipe virus. Sampel diambil dari swab, kerokan
lesi kulit, cairan dari vesikel, eksudat dari dasar vesikel, atau dari mukosa yang
tanpa lesi (Legoff, Pere, Belec, 2014).
e) Deteksi Antigen Virus
Antigen virus dapat dideteksi oleh direct immunofluorescence (IF) assay
dengan menggunakan antibody monoclonal spesifik yang sudah diberi label
fluorescein, atau oleh enzyme immunoassay (EIA) pada swab. Sampel diambil
dari kerokan lesi, swab lesi, cairan dari vesikel, eksudat dari dasar vesikel.
2.7 Diagnosis Banding
 Ulkus Mole
Ulkus mole merupakan ulkus yang kotor, merah, dan nyeri, penyakit menular
seksual yang ditandai dengan ulkus genitalis nekrotik yang sangat nyeri,
disertai limfadenopati inguinal dan disebabkan Haemophilus ducreyi.
Penyakit ini biasanya dimulai dengan papul inflamasi berukuran kecil di
tempat inokulasi, beberapa hari kemudian berubah menjadi ulkus yang sangat
nyeri. Pada ulkus mole, tanda radang akut lebih mencolok dan pada
pemeriksaan penunjang sediaan apus berupa bahan dari dasar ulkus tidak
ditemukan sel datia berinti banyak.

Gambar 2.5 Ulkus Mole


 Limfogranuloma venerum
Penyakit sistemik yang disebabkan oleh Chlamydia trachomatis, efek primer
biasanya cepat hilang, bentuk tersering adalah sindrom inguinal. Sindrom
tersebut berupa linfadenitis dan periadenitis beberapa kelenjar getah bening
inguinal media dengan tanda radang dan gejala konstitusi lalu mengalami
perlunakan yang tak serentak.
Gambar 2.6 Limfogranuloma Venerum
 Sifilis
Penyakit infeksi yang disebabkan oleh Treponema pallidum, bersifat kronik
dan sistemik. Pada anamnesis tidak terdapat gejala konstitusi, gejala setempat
tidak ada rasa nyeri. Pada infeksi primer terdapat erosis/ulkus bersih, soliter,
bulat/lonjong, teratur, indolen dengan indurasi  Treponema pallidum
positif, dapat nyeri jika disertai infeksi sekunder. Pada herpes simpleks
bersifat residif, dapat disertai keluhan berupa rasa gatal atau nyeri, lesi berupa
vesikel di atas kulit yang eritematous, berkelompok, jika telah pecah tampak
kelompok erosi, sering berkonfluensi dan polisiklik, tidak terdapat indurasi.

Gambar 2.7 Sifilis

2.8 Penatalaksanaan
a) Non Medikamentosa
Pada dasarnya semua tatalaksana non medikamentosa adalah sama untuk
seluruh perjalanan infeksi yaitu:
 Pasien diberi edukasi tentang perjalanan penyakit yang mudah menular
terutama bila ada lesi, dan infeksi ini dapat berulang, perlu abstinens, perlu
dijelaskan pasangan tetapnya.
 Proteksi individual, anjurkan penggunaan kondom dan busa spermisidal
 Sedapat mungkin hindari faktor pencetus
 Bila pasien sudah merasa terganggu dengan infeksi yang berulang dan ada
kecurigaan terjadi penurunan kualitas hidup, indikasi konsul psikiatri.
b) Medikamentosa
 Obat-obat simtomatik
- Pemberian analgetika, antipiretik, dan antipruritus
- Penggunaan antiseptic sebagai bahan kompres lesi atau dilanjutkan dalam
air dan dipakai sebagai sit bath missal povidone iodine yang bersifat
mengeringkan lesi, mencegah infeksi sekunder, dan mempercepat waktu
penyembuhan.
 Herpes Genitalis Episode Pertama Lesi Primer
- Asiklovir 5x200mg/hari selama 7-10 hari atau Asiklovir 3x400mg/hari
selama 7-10 hari
- Valasiklovir 2x500-1000mg/hari selama 7-10 hari
- Famsiklovir 3x250mg/hari selama 7-10 hari
- Kasus berat perlu rawat inap : Asiklovir intravena 5mg/kgbb tiap 8 jam
selama 7-10 hari.
 Herpes Genitalis Rekuren
Lesi ringan : terapi asimtomatik
Lesi Berat :
- Asiklovir 5x200mg/hari, per oral selama 5 hari atau Asiklovir
3x400mg/hari selama 5 hari atau Asiklovir 3x800mg/hari selama 2 hari
- Valasiklovir 2x500mg/hari selama 5 hari
- Famsiklovir 2x125mg/hari selama 5 hari
Rekurensi 6 kali/tahun atau lebih  diberi terapi supresif
- Asiklovir 2x400mg/hari
- Valasiklovir 1x500mg/hari
- Famsiklovir 2x250mg/hari
 Herpes Genitalis Pasien Imunocompromised
- Asiklovir oral 5x400mg/hari selama 5-10 hari atau hingga tidak muncul
lesi baru
- Valasiklovir 2x1000mg/hari
- Famsiklovir 2x500mg/hari
- Untuk pasien HIV simtomatik/AIDS digunakan Asiklovir oral
4x500mg/hari hingga lesi sembuh dilanjutkan terapi supresif dengan dosis
Asiklovir 2x400mg/hari atau Valasiklovir 2x500mg/hari
 Herpes Genitalis pada Wanita Hamil
- Penderita herpes genitalis primer dalam 6 minggu menjelang persalinan,
dianjurkan untuk melakukan seksio sesarea sebelum atau dalam 4 jam
sesudah pecahnya ketuban.
- Asiklovir dosis supresi 3x400mg/hari mulai dari usia kehamilan 36
minggu dapat mencegah lesi HSV pada aterm.
- Seksio sesarea tidak dilakukan secara rutin pada wanita dengan Herpes
genitalis rekurens, hanya yang dengan viral shedding atau memiliki lesi
genital.
(PERDOSKI, 2017)

2.9 Komplikasi
Pada neonates dapat terjadi herpes simpleks ensefalitis, pada dewasa dapat
terjadi meningitis aseptic akut dan rekuren, meningoensefalitis HSV II,
radikulopati, nekrosis retina akut (Handoko, 2013).

2.10 Edukasi
 Memberikan pengobatan antivirus supresif akan menurunkan rekurensi dan
menurunkan ansietas serta memperbaiki kualitas hidup.
 Perjalanan penyakit.
 Penggunaan antivirus untuk mengatasi keluhan.
 Risiko transmisi melalui kontak seksual.
 Transmisi melalui pemakaian barang bersama (handuk, toilet).
 Abstinens ketika terjadi rekurensi atau prodromal.
 Transmisi juga dapat terjadi saat asymptomatic viral shedding.
 Penggunaan kondom dapat mengurangi transmisi
(PERDOSKI, 2017)

2.11 Prognosis
Selama pencegahan rekurens masih merupakan masalah, hal tersebut
secara psikologik akan memberatkan penderita. Pengobatan secara dini dan tepat
memberi prognosis yang lebih baik, yakni masa penyakit berlangsung lebih
singkat dan rekurens lebih panjang. Pada orang dengan gangguan imunitas
menyebabkan infeksi dapat menyebar dan bisa fatal. Prognosis akan lebih baik
seiring dengan meningkatnya usia seperti pada orang dewasa. Secara umum:
Quo ad vitam : bonam
Quo ad functionam : bonam
Quo ad sanationam : dubia ad bonam
(PERDOSKI, 2017)
DAFTAR PUSTAKA

CDC. 2013. Press Release: CDC Study Finds U.S. Herpes Rates Remain High.

Cohen, J. I. 2019. Herpes Simplex dalam FitzPatrick’s Dermatology 9th Edition.


New York: McGrawHillEducation.

Government of Western Australia Departement of Health. 2013. Genital Herpes.

Handoko, R. P. 2013. Herpes Simpleks dalam Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin
Edisi VI. Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Jember.

Herpes Viruses Association. 2017. Genital Herpes. England.

Legoff, J., H. Pere, L. Belec. 2014. Diagnosis of Genital Herpes Simplex Virus
Infection in the Clinical Laboratory. Virology Journal. 11: 1-17.

Mindel, A. 2011. Genital Herpes. Berlin: Springer.

PERDOSKI. 2017. Panduan Praktik Klinis. Jakarta: PERDOSKI.

Schiffer, J. T., L. Corey. 2009. New Concept in Understanding Genital Herpes.


Curr Infect Dis Rep. 11 (6): 457-464

Tronstein, E., C. Johnston, M. L. Huang, S. Selke, A. Marganet, T. Warren. 2011.


Genital Shedding of Herpes Simplex Virus Among Symptomatic and
Asymptomatic Persons with HSV 2 Infection. JAMA. 305 (14): 1441-1449.

Anda mungkin juga menyukai