Hasil uji korelasi Spearman’s rho ditunjukkan pada tabel 4.12 sebagai
berikut.
Tabel 4.12 Hasil Uji Korelasi Spearman’s rho
Variabel Kategori TB Paru
Ya Tidak p-value r
N % n %
Usia 0-18 tahun 2 14,3 12 85,7
19-40 tahun 17 77,3 5 22,7
0,219 -0,153
41-60 tahun 6 35,3 11 64,7
>60 tahun 8 61,5 5 38,5
Status Gizi Kurang 14 82,4 3 17,6
Normal 15 34,9 28 65,1
Gemuk 1 33,3 2 66,7 0,035 0,260
Sangat 3 100 0 0
Gemuk
Tingkat Tidak tamat 2 66,7 1 33,3
Pendidikan SD
SD 12 52,2 11 47,8
SMP 8 44,4 10 55,6 0,666 0,54
SMA 10 52,6 9 47,4
Sarjana/ 1 33,3 2 66,7
Diploma
Dari Tabel 4.13 diketahui jika variabel yang dapat dilakukan analisis
multivariat adalah usia, jenis kelamin, riwayat imunisasi BCG, riwayat diabetes
mellitus, riwayat kontak dengan penderita TB, luas ventilasi, kepadatan hunian,
dan jenis lantai. Hasil analisis multivariat ditunjukkan pada Tabel 4.14
4.4 Pembahasan
Penelitian ini dilakukan secara case control terhadap 66 sampel di Puskesmas
Patrang Bulan November Tahun 2019 dengan tujuan untuk menganalisis faktor
risiko yang berpengaruh pada kejadian tuberkulosis paru di wilayah kerja
Puskesmas Patrang. Pada hasil analisis bivariat menggunakan uji Chi-square
didapatkan beberapa faktor risiko yang memiliki hubungan dengan kejadian
tuberkulosis paru di wilayah kerja Puskesmas Patrang. Berdasarkan hasil analisis
statistik uji chi-square antara variabel riwayat kontak penderita TB, luas ventilasi,
kepadatan hunian, jenis lantai menunjukkan adanya hubungan yang signifikan
dengan kejadian tuberkulosis paru di Puskesmas Patrang. Hal ini dapat dilihat dari
p value < 0,05. Sementara itu, variabel indeks massa tubuh dengan kejadian TB
Paru menunjukkan ada hubungan yang signifikan menggunakan uji korelasi
Spearman’s rho dengan kekuatan korelasi yang lemah.
Hasil uji analisis chi-square hubungan antara jenis kelamin dengan
kejadian tuberkulosis paru didapatkan nilai signifikansi (p) 0,215 yang berarti
secara statistik tidak terdapat hubungan antara jenis kelamin dengan kejadian
tuberkulosis paru. Selain itu didapatkan nilai OR 1,859 dengan interval
kepercayaan 0,695 sampai 4,976. Maka dapat disimpulkan bahwa jenis kelamin
laki-laki 1,859 kali lipat lebih berisiko mengidap tuberkulosis paru. Penelitian ini
sesuai dengan hasil penelitian dari Fitriani (2013) yang mengatakan dari hasil uji
chi-square diperoleh p value sebesar 0,199, yang artinya tidak ada hubungan
antara jenis kelamin penderita dengan kejadian tuberkulosis paru. Hasil penelitian
ini juga didukung dengan adanya dua kajian yang berbeda. Menurut Prabu (2008),
menyatakan bahwa di benua Afrika banyak tuberkulosis terutama menyerang laki-
laki. Pada tahun 1996 jumlah penderita TB Paru laki-laki hampir dua kali lipat
dibandingkan jumlah penderita TB Paru pada wanita, yaitu 42,34% pada laki-laki
dan 28,9% pada wanita. Antara tahun 1985-1987 penderita TB Paru laki-laki
cenderung meningkat sebanyak 2,5%, sedangkan penderita TB Paru pada wanita
menurun 0,7%. TB Paru lebih banyak terjadi pada laki-laki dibandingkan dengan
wanita karena laki-laki sebagian besar mempunyai kebiasaan merokok sehingga
memudahkan terjangkitnya TB Paru. Menurut Dotulong (2015) laki-laki berisiko
lebih besar untuk terkena penyakit TB paru dibandingkan perempuan. Dimana
laki-laki lebih banyak yang merokok dan minum alkohol yang dapat menurunkan
imunitas tubuh sehingga lebih mudah tertular penyakit TB Paru. Sedangkan
menurut Umar Fahmi (2005), menyatakan bahwa dari catatan statistik meski tidak
selamanya konsisten, mayoritas penderita TB adalah perempuan. Hasil ini masih
memerlukan penyelidikan dan penelitian lebih lanjut, baik pada tingkat
behavioral, tingkat kejiwaan, sistem pertahanan tubuh, maupun tingkat molekuler.
Untuk sementara, diduga jenis kelamin wanita merupakan faktor risiko yang
masih memerlukan evidence pada masing-masing wilayah, sebagai dasar
pengendalian atau dasar manajemen.
Hasil uji korelasi Spearmen’s rho hubungan antara usia dengan kejadian
tuberkulosis paru didapatkan nilai signifikansi (p) 0,219 yang berarti secara
statistik tidak terdapat hubungan antara usia dengan kejadian tuberkulosis paru.
Hasil penelitian ini sesuai dengan penelitian dari Prihanti (2015) yang mengatakan
bahwa hasil uji regresi logistik biner antara usia dan kejadian TB Paru didapatkan
nilai signifikansi (p) 0,904 yang berarti tidak ada hubungan yang signifikan.
Secara teori, ada dua kajian yang berbeda mengenai pengaruh usia terhadap
kejadian TB Paru. Menurut Dotulong (2015) lingkungan kerja yang padat serta
berhubungan dengan banyak orang juga dapat meningkatkan risiko terjadinya TB
Paru. Kondisi kerja yang demikian ini memudahkan seseorang yang berusia
produktif lebih banyak menderita TB Paru. Sedangkan menurut Oktavia (2016)
menyatakan bahwa umur yang lebih tua dapat meningkatkan terjadinya TB Paru.
Hal ini terjadi karena adanya faktor agent, penjamu dan faktor lingkungan
perumahan yang tidak sehat. Faktor penjamu meliputi daya tahan tubuh.
Seseorang dapat terinfeksi penyakit TB Paru ini apabila adanya agent
(Mycobacterium tubercullosis) yang mengkontaminasi udara kemudian terhirup
oleh orang yang sehat dengan jumlah bakteri yang banyak, lama pajanan yang
lama dan tentunya imunitas seseorang yang rendah.
Hasil uji korelasi Spearmen’s rho hubungan antara indeks massa tubuh
dengan kejadian tuberkulosis paru didapatkan nilai signifikansi (p) 0,035 yang
berarti secara statistik terdapat hubungan antara indeks massa tubuh dengan
kejadian tuberkulosis paru dengan korelasi lemah (r = 0,260). Hasil penelitian ini
sesuai dengan penelitian dari Oktavia (2016) yaitu responden dengan status gizi
kurang meningkatkan risiko 16,7 kali terkena TB Paru dibandingkan responden
dengan status gizi normal. Di populasi dengan tingkat kepercayaan 95%, orang
dengan status gizi kurang meningkatkan risiko 4,95 kali hingga 56,39 kali terkena
TB Paru dibandingkan responden dengan status gizi normal/berlebih. Keadaan
status gizi yang kurang berhubungan erat dengan penyakit infeksi TB Paru.
Penurunan gizi atau kurang gizi akan mengakibatkan daya tahan tubuh yang
rendah dan rentan terhadap penyakit sehingga reaksi imunitas terhadap penyakit
infeksi akan menurun. Peningkatan taraf ekonomi sosial dan peningkatan daya
tahan tubuh dengan makan makanan gizi seimbang dapat meningkatkan status gizi
seseorang.
Hasil uji analisis chi-square hubungan antara riwayat imunisasi BCG
dengan kejadian tuberkulosis paru didapatkan nilai signifikansi (p) 0,131 yang
berarti secara statistik tidak terdapat hubungan antara riwayat imunisasi BCG
dengan kejadian tuberkulosis paru. Selain itu didapatkan nilai OR 0,462 dengan
interval kepercayaan 0,168 sampai 1,267. Maka dapat disimpulkan bahwa
responden yang imunisasi BCG dapat menurunkan risiko terkena TB Paru sebesar
0,462 kali lipat daripada yang tidak menjalani imunisasi BCG. Hasil penelitian ini
sesuai dengan penelitian dari Oktavia (2016) yang menyatakan bahwa orang yang
diimunisasi dapat menurunkan risiko terkena TB Paru sebesar 0,6 kali
dibandingkan dengan orang yang tidak imunisasi. Pada populasi dengan tingkat
kepercayaan 95% orang yang diimunisasi dapat menurunkan risiko terkena TB
Paru sebesar 0,2 kali hingga 1,62 kali dibandingkan yang tidak imunisasi,
Hubungan kekebalan (status imunisasi) dengan kejadian tuberkulosis berdasarkan
penelitian Soysal et all tahun 2005 menyatakan bahwa anak yang divaksinasi
BCG memiliki protektif 0,6 kali terhadap kejadian TB Paru dibandingkan dengan
anak yang tidak divaksinasi. Hal yang sama dipertegas oleh Setiarini tahun 2008
bahwa walaupun imunisasi BCG tidak mencegah infeksi tubercullosis namun
dapat menurunkan risiko tubercullosis berat seperti meningitis TB dan TB millier
(Oktavia, 2016).
Hasil uji analisis chi-square hubungan antara riwayat diabetes melitus
dengan kejadian tuberkulosis paru didapatkan nilai signifikansi (p) 0,071 yang
berarti secara statistik tidak terdapat hubungan antara riwayat diabetes melitus
dengan kejadian tuberkulosis paru. Selain itu didapatkan nilai OR 3,152 dengan
interval kepercayaan 0,875 sampai 11,362. Maka dapat disimpulkan bahwa
adanya riwayat diabetes melitus 3,152 kali lipat lebih berisiko mengidap
tuberkulosis paru. Hasil penelitian ini sesuai dengan penelitian dari Oktavia
(2016) yang menyatakan bahwa responden yang memiliki penyakit DM
meningkatkan risiko sebesar 1,5 kali terkena penyakit TB Paru. Di populasi
dengan tingkat kepercayaan 95% orang dengan penyakit diabetes melitus
meningkatkan risiko sebesar 0,5 kali hingga 4,14 kali terkena penyakit TB Paru.
Namun pada penelitian ini menunjukkan tidak ada hubungan yang signifikan
antara riwayat diabetes melitus dengan kejadian TB Paru. Hal ini tidak sejalan
dengan penelitian sebelumnya dikarenakan proporsi yang sakit pada kelompok
kasus dan kontrol terlalu sedikit. Diabetes melitus sebagai faktor risiko
merupakan penyakit penyerta yang bisa memperparah infeksi TB paru.
Meningkatnya risiko TB pada pasien DM diperkirakan disebabkan oleh defek
pada makrofag alveolar atau limfosit T. Menurut Wang et all (2009) adanya
peningkatan jumlah makrofag alveolar matur pada pasien TB Paru aktif dapat
menyebabkan efek pada fungsi sel-sel imun dan mekanisme pertahanan pejamu.
Selain itu, ditemukan juga aktifitas bakterisidal leukosit yang berkurang pada
pasien DM, terutama pada mereka yang memiliki kontrol gula darah yang tidak
baik. Diabetes melitus dapat meningkatkan frekuensi maupun tingkat keparahan
suatu infeksi. Hal tersebut disebabkan oleh adanya abnormalitas dalam imunitas
yang diperantarai oleh sel dan fungsi fagosit berkaitan dengan hiperglikemia,
termasuk berkurangnya vaskularitas.
5.1 Kesimpulan
Berdasarkan hasil analisis maka kesimpulan dari penelitian ini yaitu faktor
risiko yang berpengaruh terhadap kejadian tuberkulosis paru di wilayah kerja
Puskesmas Patrang adalah indeks massa tubuh, luas ventilasi, kepadatan hunian,
jenis lantai, dan riwayat kontak dengan penderita TB. IMT underweight memiliki
korelasi lemah terhadap kejadian TB paru (r=0,260), luas ventilasi yang tidak
memenuhi syarat memiliki odd ratio 2,714 kali lipat untuk menimbulkan TB paru,
kepadatan hunian yang tidak memenuhi syarat memiliki odd ratio 4,241 kali lipat
untuk menimbulkan TB paru, jenis lantai yang tidak memenuhi syarat memiliki
odd ratio 0,302 kali lipat menimbulkan TB paru, riwayat kontak dengan penderita
TB memiliki odd ratio 2,435 kali lipat untuk tertular TB paru. Faktor risiko yang
paling berpengaruh terhadap kejadian TB Paru adalah kepadatan hunian, dengan
luas ventilasi dan riwayat imunisasi BCG sebagai faktor perancunya.
5.2 Saran
5.2.1 Bagi Petugas Kesehatan
1. Perlunya evaluasi berkelanjutan terhadap faktor risiko yang berhubungan
dengan kejadian tuberkulosis paru
2. Perlu upaya kesehatan promotif dan preventif berdasarkan hasil analisis
faktor risiko untuk menurunkan angka kejadian TB paru di wilayah kerja
Puskesmas Patrang, Kabupaten Jember.
5.2.2 Bagi Peneliti Selanjutnya
1. Perlu dilakukan penelitian lebih lanjut dengan jumlah sampel yang lebih
besar dengan populasi yang lebih luas agar hasil penelitian dapat
digeneralisasi sesuai dengan keadaan yang ada di masyarakat.
2. Mempertimbangkan untuk mengamati faktor-faktor lain yang juga dapat
mempengaruhi kejadian tuberkulosis paru.