Anda di halaman 1dari 16

BAB 4.

HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1 Hasil Penelitian


Penelitian ini dilaksanakan pada bulan November 2019 di Puskesmas
Patrang dan di wilayah kerja Puskesmas Patrang. Didapatkan sejumlah 66 sampel
dengan 33 sampel pasien TB Paru dan 33 sampel pasien kontrol.

4.1.1 Distribusi Frekuensi Berdasarkan Jenis Kelamin


Distribusi frekuensi berdasarkan Jenis Kelamin disajikan dalam tabel 4.1
sebagai berikut.
Tabel 4.1 Distribusi Frekuensi Berdasarkan Jenis Kelamin
Jenis Kelamin Jumlah (n) Persentase (%)
Laki-laki 37 56,1
Perempuan 29 43,9
Total 66 100
Berdasarkan tabel 4.1 diperolejenis kelamin dengan frekuensi tertinggi
yaitu laki-laki dengan jumlah 37 sampel (56,1%) sedangkan jenis kelamin
perempuan dengan jumlah 29 sampel (43,9%).

4.1.2 Distribusi Frekuensi Berdasarkan Usia


Distribusi frekuensi berdasarkan Usia disajikan dalam tabel 4.2 sebagai
berikut.

Tabel 4.2 Distribusi Frekuensi Berdasarkan Usia


Usia Jumlah (n) Persentase (%)
0-18 tahun 14 21,2
19-40 tahun 22 33,3
41-60 tahun 17 25,8
>60 tahun 13 19,7
Total 66 100
Berdasarkan tabel 4.2 diperoleh usia dengan frekuensi tertinggi pada
kategori usia 19-40 tahun dengan jumlah 22 sampel (33,3%) sedangkan frekuensi
terendah pada kategori usia >60 tahun dengan jumlah 13 sampel (19,7%).

4.1.3 Distribusi Frekuensi Berdasarkan Status Gizi


Distribusi frekuensi berdasarkan indeks massa tubuh disajikan dalam tabel
4.3 berikut.
Tabel 4.3 Distribusi Frekuensi Berdasarkan Indeks Massa Tubuh
Indeks Massa Tubuh Jumlah (n) Persentase (%)
Kurang 17 25,8
Normal 43 65,2
Gemuk 3 4,5
Sangat gemuk 3 4,5
Total 66 100
Berdasarkan tabel 4.3 diperoleh data indeks massa tubuh dengan frekuensi
tertinggi pada kategori normal yaitu 43 sampel (65,2%) sedangkan frekuensi
terendah pada kategori gemuk dan sangat gemuk dengan masing-masing sebesar 3
sampel (4,5%).

4.1.4 Distribusi Frekuensi Berdasarkan Riwayat Imunisasi BCG


Distribusi frekuensi berdasarkan riwayat imunisasi BCG disajikan dalam
tabel 4.4 sebagai berikut.
Tabel 4.4 Distribusi Frekuensi Berdasarkan Riwayat Imunisasi BCG
Riwayat Imunisasi BCG Jumlah (n) Persentase (%)
Tidak ada skar 40 60,6
Ada skar 26 39,4
Total 66 100
Berdasarkan tabel 4.4 diperoleh data riwayat imunisasi BCG dengan
frekuensi tertinggi pada kategori ada skar yaitu 40 sampel (60,6%) sedangkan
kategori tidak ada skar sebesar 26 sampel (39,4%).

4.1.5 Distribusi Frekuensi Berdasarkan Riwayat Diabetes Mellitus


Distribusi frekuensi berdasarkan riwayat diabetes mellitus disajikan dalam
tabel 4.5 sebagai berikut.
Tabel 4.5 Distribusi Frekuensi Berdasarkan Riwayat Diabetes Mellitus
Imunisasi Jumlah (n) Persentase (%)
Ada diabetes mellitus 14 21,2
Tidak ada diabetes mellitus 52 78,8
Total 66 100
Berdasarkan tabel 4.5 diperoleh data riwayat diabetes mellitus dengan
frekuensi tertinggi pada kategori tidak ada diabetes melitus yaitu 52 sampel
(78,8%) sedangkan kategori ada diabetes mellitus yaitu 14 sampel (21,2%).

4.1.6 Distribusi Frekuensi Berdasarkan Riwayat Kontak Penderita TB


Distribusi frekuensi berdasarkan tingkat pendapatan disajikan dalam tabel
4.6 sebagai berikut.

Tabel 4.6 Distribusi Frekuensi Berdasarkan Riwayat Kontak Penderita TB


Riwayat kontak Jumlah (n) Persentase (%)
Ada kontak 10 15,2
Tidak ada kontak 56 84,8
Total 66 100
Berdasarkan tabel 4.6 diperoleh tingkat pendapatan dengan frekuensi
tertinggi pada riwayat tidak ada kontak dengan penderita TB sejumlah 56 sampel
(84,8%), sedangkan sampel riwayat ada kontak dengan penderita TB sejumlah 10
(15,2%).
4.1.7 Distribusi Frekuensi Berdasarkan Tingkat Pendidikan
Distribusi frekuensi berdasarkan tingkat pendidikan disajikan dalam tabel
4.7 sebagai berikut.
Tabel 4.7 Distribusi Frekuensi Berdasarkan Tingkat Pendidikan
Tingkat Pendidikan Jumlah (n) Persentase (%)
Tidak tamat SD 3 4,5
SD 23 34,8
SMP 18 27,3
SMA 19 28,8
Sarjana/Diploma 3 4,5
Total 66 100
Berdasarkan tabel 4.7 diketahui bahwa sampel terbanyak memiliki tingkat
pendidikan SD sebesar 26 orang (34,8%), sedangkan yang paling sedikit yaitu
dengan tingkat pendidikan tidak tamat SD dan Sarjana/Diploma dengan masing-
masing sebesar 3 orang (4,5%).

4.1.8 Distribusi Frekuensi Berdasarkan Luas Ventilasi


Distribusi frekuensi berdasarkan luas ventilasi disajikan dalam tabel 4.8
sebagai berikut.
Tabel 4.8 Distribusi Frekuensi Berdasarkan Luas Ventilasi
Luas Ventilasi Jumlah (n) Persentase (%)
<10% luas lantai 30 45,5
>10% luas lantai 36 54,5
Total 66 100
Berdasarkan tabel 4.9 diperoleh sampel yang memiliki luas ventilasi <10%
luas lantai sebesar 30 orang (45,5%), sedangkan sampel yang memiliki luas
ventilasi >10% luas lantai sebesar 36 orang (54,5%).

4.1.9 Distribusi Frekuensi Berdasarkan Jenis Lantai


Distribusi frekuensi berdasarkan jenis lantai disajikan dalam tabel 4.9
sebagai berikut.
Tabel 4.9 Distribusi Frekuensi Berdasarkan Jenis Lantai
Jenis Lantai Jumlah (n) Persentase (%)
Standar 46 69,7
Tidak standar 20 30,3
Total 66 100
Berdasarkan tabel 4.10 diperoleh jenis lantai rumah yang memenuhi
standar sebesar 46 sampel (69,7%) dan tidak satndar sebesar 20 sampel (30,3%).

4.1.10 Distribusi Frekuensi Berdasarkan Kepadatan Hunian


Distribusi frekuensi berdasarkan kepadatan hunian rumah disajikan dalam
tabel 4.10 sebagai berikut.

Tabel 4.10 Distribusi Frekuensi Berdasarkan Kepadatan Hunian


Kepadatan Hunian Jumlah (n) Persentase (%)
<10m2/orang 27 40,9
>10m2/orang 39 59,1
Total 66 100
Berdasarkan tabel 4.11 diperoleh kepadatan hunian rumah <10m2/orang
sebesar 27 sampel (40,9 %) dan untuk kepadatan hunian >10m2/orang sebesar 39
sampel (59,1 %).

4.2 Analisis Bivariat


Analisis bivariat dilakukan dengan menggunakan uji chi-square untuk data
nominal (jenis kelamin, riwayat imunisasi BCG, riwayat diabetes mellitus,
riwayat kontak dengan penderita TB, luas ventilasi, kepadatan hunian, dan jenis
lantai) dan uji korelasi Spearman’s rho untuk data ordinal (usia, status gizi, tingkat
Pendidikan). Hasil uji chi-square ditunjukkan pada Tabel 4.11 sebagai berikut.
Tabel 4.11 Hasil Uji Chi-Square
Variabel Kategori TB Paru
Odds
Ya Tidak p-value
Ratio
n % N %
Jenis Laki-laki 21 56,8 16 43,2
0,215
Kelamin Perempuan 12 41,4 17 58,6
Ada skar 17 42,5 23 57,5 0,131
Riw. Tidak ada 16 61,5 10 38,5
Imunisasi skar
BCG
Riwayat Ada Riwayat 10 71,4 4 28,6
DM DM
0,071
Tidak ada 23 44,2 29 55,8
Riwayat DM
Riwayat Ada kontak 10 100 0 0
Kontak Tidak ada
0,001 2,435
Penderita kontak 23 41,1 33 58,9
TB
Luas <10% luas 19 63,3 11 36,7
Ventilasi lantai
0,048 2,714
>10% luas 14 38,9 22 61,1
lantai
Kepadatan <10m2/orang 19 70,4 8 29,6
0,006 4,241
Hunian >10m2/orang 14 35,9 25 64,1
Jenis Standar 19 41,3 27 58,7
0,032 0,302
Lantai Tidak standar 14 70,0 6 30,0

Berdasarkan Tabel 4.11 diketahui bahwa riwayat kontak dengan


penderita TB, luas ventilasi, kepadatan hunian, dan jenis lantai memiliki angka
signifikansi p<0,05, sehingga dapat disimpulkan bahwa riwayat kontak dengan
penderita TB, luas ventilasi, kepadatan hunian, dan jenis lantai memiliki
hubungan yang bermakna terhadap kejadian TB. Riwayat kontak dengan
penderita TB memiliki Odds Ratio sebesar 2,435 yang menunjukkan bahwa pada
orang yang pernah kontak dengan penderita TB berisiko mengidap TB 2,4 kali
lipat. Luas ventilasi memiliki Odds Ratio sebesar 2,714 yang menunjukkan pada
orang dengan luas ventilasi rumahnya kurang dari 10% luas lantai, berisiko
mengidap TB 2,7 kali lipat. Kepadatan hunian memiliki odds ratio 4,241 yang
menunjukkan orang dengan kepadatan rumah kurang dari 10m2/orang berisiko
mengidap TB 4,2 kali lipat. Jenis lantai memiliki odds ratio 0,302 yang
menunjukkan orang dengan jenis lantai rumah yang tidak standar berisiko
mengidap TB 0,3 kali lipat.

Hasil uji korelasi Spearman’s rho ditunjukkan pada tabel 4.12 sebagai
berikut.
Tabel 4.12 Hasil Uji Korelasi Spearman’s rho
Variabel Kategori TB Paru
Ya Tidak p-value r
N % n %
Usia 0-18 tahun 2 14,3 12 85,7
19-40 tahun 17 77,3 5 22,7
0,219 -0,153
41-60 tahun 6 35,3 11 64,7
>60 tahun 8 61,5 5 38,5
Status Gizi Kurang 14 82,4 3 17,6
Normal 15 34,9 28 65,1
Gemuk 1 33,3 2 66,7 0,035 0,260

Sangat 3 100 0 0
Gemuk
Tingkat Tidak tamat 2 66,7 1 33,3
Pendidikan SD
SD 12 52,2 11 47,8
SMP 8 44,4 10 55,6 0,666 0,54
SMA 10 52,6 9 47,4
Sarjana/ 1 33,3 2 66,7
Diploma

Berdasarkan Tabel 4.12 diketahui bahwa status gizi memiliki angka


signifikansi p<0,05, sehingga dapat disimpulkan bahwa status gizi memiliki
hubungan yang bermakna terhadap kejadian TB. Nilai r pada status gizi
menunjukkan r = 0,260 (korelasi lemah). Nilai r ini menunjukkan bahwa status
gizi semakin kurang dari normal makan kejadian TB akan semakin meningkat.
4.3 Analisis Multivariat
Analisis multivariat dilakukan untuk mengetahui variabel yang diduga
saling mempengaruhi dan mengetahui mana yang menjadi faktor utama
meningkatkan kejadian TB Paru. Variabel yang dapat dianalisis multivariat harus
memenuhi syarat p-value <0,25. Analisis multivariat dilakukan dengan uji regresi
logistik. Variabel yang memenuhi syarat sebagai kandidat untuk dilakukan analisis
multivariat dijelaskan pada Tabel 4.13 sebagai berikut.
Tabel 4.13 Angka Signifikansi Variabel
Variabel p-value Keterangan
Usia 0,189 Kandidat
Jenis Kelamin 0,215 Kandidat
Status Gizi 0,281 Bukan kandidat
Riw. Imunisasi BCG 0,131 Kandidat
Riw. DM 0,071 Kandidat
Riw. Kontak TB 0,001 Kandidat
Tingkat Pendidikan 0,622 Bukan kandidat
Luas Ventilasi 0,048 Kandidat
Kepadatan Hunian 0,006 Kandidat
Jenis lantai 0,032 Kandidat

Dari Tabel 4.13 diketahui jika variabel yang dapat dilakukan analisis
multivariat adalah usia, jenis kelamin, riwayat imunisasi BCG, riwayat diabetes
mellitus, riwayat kontak dengan penderita TB, luas ventilasi, kepadatan hunian,
dan jenis lantai. Hasil analisis multivariat ditunjukkan pada Tabel 4.14

Tabel 4.14 Analisis Multivariat Faktor Risiko TB terhadap Kejadian TB Paru


Variabel Model 1 Model 2 Model 3 Model Akhir
p- OR p- OR p- OR p- OR
value value value value
Usia 0,567 1,308 0,817 1,096 - - 0,573 1,301
Jenis Kelamin 0,675 1,346 0,412 1,602 0,683 1,335 - -
Riw. 0,023 0,63 0,595 0,596 0,017 0,092 0,023 0,064
Imunisasi
BCG
Riw. DM 0,194 3,624 0,527 1,713 0,215 3,307 0,155 3,953
Riw. Kontak 0,998 1,01 - - 0,998 0,83 0,998 0,97
TB
Luas Ventilasi 0,007 0,006 0,309 0,285 0,008 0,007 0,005 0,006
Kepadatan 0,007 35,4 0,035 6,382 0,008 30,208 0,007 36,889
Hunian
Jenis Lantai 0,062 0,139 0,244 0,366 0,067 0,153 0,051 0,131

Dari Tabel 4.14 diketahui bahwa kepadatan hunian merupakan variabel


yang dominan berpengaruh terhadap kejadian TB Paru. Sedangkan riwayat
imunisasi BCG dan kepadatan hunian merupakan variabel cofounding (perancu).
Variabel perancu adalah variabel yang berpengaruh dalam menutupi faktor
lainnya. Adanya faktor perancu dapat memperbesar atau memperkecil hubungan
sebenarnya.

4.4 Pembahasan
Penelitian ini dilakukan secara case control terhadap 66 sampel di Puskesmas
Patrang Bulan November Tahun 2019 dengan tujuan untuk menganalisis faktor
risiko yang berpengaruh pada kejadian tuberkulosis paru di wilayah kerja
Puskesmas Patrang. Pada hasil analisis bivariat menggunakan uji Chi-square
didapatkan beberapa faktor risiko yang memiliki hubungan dengan kejadian
tuberkulosis paru di wilayah kerja Puskesmas Patrang. Berdasarkan hasil analisis
statistik uji chi-square antara variabel riwayat kontak penderita TB, luas ventilasi,
kepadatan hunian, jenis lantai menunjukkan adanya hubungan yang signifikan
dengan kejadian tuberkulosis paru di Puskesmas Patrang. Hal ini dapat dilihat dari
p value < 0,05. Sementara itu, variabel indeks massa tubuh dengan kejadian TB
Paru menunjukkan ada hubungan yang signifikan menggunakan uji korelasi
Spearman’s rho dengan kekuatan korelasi yang lemah.
Hasil uji analisis chi-square hubungan antara jenis kelamin dengan
kejadian tuberkulosis paru didapatkan nilai signifikansi (p) 0,215 yang berarti
secara statistik tidak terdapat hubungan antara jenis kelamin dengan kejadian
tuberkulosis paru. Selain itu didapatkan nilai OR 1,859 dengan interval
kepercayaan 0,695 sampai 4,976. Maka dapat disimpulkan bahwa jenis kelamin
laki-laki 1,859 kali lipat lebih berisiko mengidap tuberkulosis paru. Penelitian ini
sesuai dengan hasil penelitian dari Fitriani (2013) yang mengatakan dari hasil uji
chi-square diperoleh p value sebesar 0,199, yang artinya tidak ada hubungan
antara jenis kelamin penderita dengan kejadian tuberkulosis paru. Hasil penelitian
ini juga didukung dengan adanya dua kajian yang berbeda. Menurut Prabu (2008),
menyatakan bahwa di benua Afrika banyak tuberkulosis terutama menyerang laki-
laki. Pada tahun 1996 jumlah penderita TB Paru laki-laki hampir dua kali lipat
dibandingkan jumlah penderita TB Paru pada wanita, yaitu 42,34% pada laki-laki
dan 28,9% pada wanita. Antara tahun 1985-1987 penderita TB Paru laki-laki
cenderung meningkat sebanyak 2,5%, sedangkan penderita TB Paru pada wanita
menurun 0,7%. TB Paru lebih banyak terjadi pada laki-laki dibandingkan dengan
wanita karena laki-laki sebagian besar mempunyai kebiasaan merokok sehingga
memudahkan terjangkitnya TB Paru. Menurut Dotulong (2015) laki-laki berisiko
lebih besar untuk terkena penyakit TB paru dibandingkan perempuan. Dimana
laki-laki lebih banyak yang merokok dan minum alkohol yang dapat menurunkan
imunitas tubuh sehingga lebih mudah tertular penyakit TB Paru. Sedangkan
menurut Umar Fahmi (2005), menyatakan bahwa dari catatan statistik meski tidak
selamanya konsisten, mayoritas penderita TB adalah perempuan. Hasil ini masih
memerlukan penyelidikan dan penelitian lebih lanjut, baik pada tingkat
behavioral, tingkat kejiwaan, sistem pertahanan tubuh, maupun tingkat molekuler.
Untuk sementara, diduga jenis kelamin wanita merupakan faktor risiko yang
masih memerlukan evidence pada masing-masing wilayah, sebagai dasar
pengendalian atau dasar manajemen.
Hasil uji korelasi Spearmen’s rho hubungan antara usia dengan kejadian
tuberkulosis paru didapatkan nilai signifikansi (p) 0,219 yang berarti secara
statistik tidak terdapat hubungan antara usia dengan kejadian tuberkulosis paru.
Hasil penelitian ini sesuai dengan penelitian dari Prihanti (2015) yang mengatakan
bahwa hasil uji regresi logistik biner antara usia dan kejadian TB Paru didapatkan
nilai signifikansi (p) 0,904 yang berarti tidak ada hubungan yang signifikan.
Secara teori, ada dua kajian yang berbeda mengenai pengaruh usia terhadap
kejadian TB Paru. Menurut Dotulong (2015) lingkungan kerja yang padat serta
berhubungan dengan banyak orang juga dapat meningkatkan risiko terjadinya TB
Paru. Kondisi kerja yang demikian ini memudahkan seseorang yang berusia
produktif lebih banyak menderita TB Paru. Sedangkan menurut Oktavia (2016)
menyatakan bahwa umur yang lebih tua dapat meningkatkan terjadinya TB Paru.
Hal ini terjadi karena adanya faktor agent, penjamu dan faktor lingkungan
perumahan yang tidak sehat. Faktor penjamu meliputi daya tahan tubuh.
Seseorang dapat terinfeksi penyakit TB Paru ini apabila adanya agent
(Mycobacterium tubercullosis) yang mengkontaminasi udara kemudian terhirup
oleh orang yang sehat dengan jumlah bakteri yang banyak, lama pajanan yang
lama dan tentunya imunitas seseorang yang rendah.
Hasil uji korelasi Spearmen’s rho hubungan antara indeks massa tubuh
dengan kejadian tuberkulosis paru didapatkan nilai signifikansi (p) 0,035 yang
berarti secara statistik terdapat hubungan antara indeks massa tubuh dengan
kejadian tuberkulosis paru dengan korelasi lemah (r = 0,260). Hasil penelitian ini
sesuai dengan penelitian dari Oktavia (2016) yaitu responden dengan status gizi
kurang meningkatkan risiko 16,7 kali terkena TB Paru dibandingkan responden
dengan status gizi normal. Di populasi dengan tingkat kepercayaan 95%, orang
dengan status gizi kurang meningkatkan risiko 4,95 kali hingga 56,39 kali terkena
TB Paru dibandingkan responden dengan status gizi normal/berlebih. Keadaan
status gizi yang kurang berhubungan erat dengan penyakit infeksi TB Paru.
Penurunan gizi atau kurang gizi akan mengakibatkan daya tahan tubuh yang
rendah dan rentan terhadap penyakit sehingga reaksi imunitas terhadap penyakit
infeksi akan menurun. Peningkatan taraf ekonomi sosial dan peningkatan daya
tahan tubuh dengan makan makanan gizi seimbang dapat meningkatkan status gizi
seseorang.
Hasil uji analisis chi-square hubungan antara riwayat imunisasi BCG
dengan kejadian tuberkulosis paru didapatkan nilai signifikansi (p) 0,131 yang
berarti secara statistik tidak terdapat hubungan antara riwayat imunisasi BCG
dengan kejadian tuberkulosis paru. Selain itu didapatkan nilai OR 0,462 dengan
interval kepercayaan 0,168 sampai 1,267. Maka dapat disimpulkan bahwa
responden yang imunisasi BCG dapat menurunkan risiko terkena TB Paru sebesar
0,462 kali lipat daripada yang tidak menjalani imunisasi BCG. Hasil penelitian ini
sesuai dengan penelitian dari Oktavia (2016) yang menyatakan bahwa orang yang
diimunisasi dapat menurunkan risiko terkena TB Paru sebesar 0,6 kali
dibandingkan dengan orang yang tidak imunisasi. Pada populasi dengan tingkat
kepercayaan 95% orang yang diimunisasi dapat menurunkan risiko terkena TB
Paru sebesar 0,2 kali hingga 1,62 kali dibandingkan yang tidak imunisasi,
Hubungan kekebalan (status imunisasi) dengan kejadian tuberkulosis berdasarkan
penelitian Soysal et all tahun 2005 menyatakan bahwa anak yang divaksinasi
BCG memiliki protektif 0,6 kali terhadap kejadian TB Paru dibandingkan dengan
anak yang tidak divaksinasi. Hal yang sama dipertegas oleh Setiarini tahun 2008
bahwa walaupun imunisasi BCG tidak mencegah infeksi tubercullosis namun
dapat menurunkan risiko tubercullosis berat seperti meningitis TB dan TB millier
(Oktavia, 2016).
Hasil uji analisis chi-square hubungan antara riwayat diabetes melitus
dengan kejadian tuberkulosis paru didapatkan nilai signifikansi (p) 0,071 yang
berarti secara statistik tidak terdapat hubungan antara riwayat diabetes melitus
dengan kejadian tuberkulosis paru. Selain itu didapatkan nilai OR 3,152 dengan
interval kepercayaan 0,875 sampai 11,362. Maka dapat disimpulkan bahwa
adanya riwayat diabetes melitus 3,152 kali lipat lebih berisiko mengidap
tuberkulosis paru. Hasil penelitian ini sesuai dengan penelitian dari Oktavia
(2016) yang menyatakan bahwa responden yang memiliki penyakit DM
meningkatkan risiko sebesar 1,5 kali terkena penyakit TB Paru. Di populasi
dengan tingkat kepercayaan 95% orang dengan penyakit diabetes melitus
meningkatkan risiko sebesar 0,5 kali hingga 4,14 kali terkena penyakit TB Paru.
Namun pada penelitian ini menunjukkan tidak ada hubungan yang signifikan
antara riwayat diabetes melitus dengan kejadian TB Paru. Hal ini tidak sejalan
dengan penelitian sebelumnya dikarenakan proporsi yang sakit pada kelompok
kasus dan kontrol terlalu sedikit. Diabetes melitus sebagai faktor risiko
merupakan penyakit penyerta yang bisa memperparah infeksi TB paru.
Meningkatnya risiko TB pada pasien DM diperkirakan disebabkan oleh defek
pada makrofag alveolar atau limfosit T. Menurut Wang et all (2009) adanya
peningkatan jumlah makrofag alveolar matur pada pasien TB Paru aktif dapat
menyebabkan efek pada fungsi sel-sel imun dan mekanisme pertahanan pejamu.
Selain itu, ditemukan juga aktifitas bakterisidal leukosit yang berkurang pada
pasien DM, terutama pada mereka yang memiliki kontrol gula darah yang tidak
baik. Diabetes melitus dapat meningkatkan frekuensi maupun tingkat keparahan
suatu infeksi. Hal tersebut disebabkan oleh adanya abnormalitas dalam imunitas
yang diperantarai oleh sel dan fungsi fagosit berkaitan dengan hiperglikemia,
termasuk berkurangnya vaskularitas.

Hasil uji korelasi Spearmen’s rho hubungan antara tingkat pendidikan


terhadap kejadian TB paru didapatkan nilai signifikansi (p) 0,666, berarti secara
statistik tidak terdapat hubungan yang signifikan antara tingkat pendidikan dan
kejadian TB paru. Hal ini sesuai dengan penelitian oleh Fitriani (2013). Pada
penelitian tersebut dijelaskan bahwa pengetahuan tentang penyakit TB Paru tidak
hanya dipengaruhi oleh tingkat pendidikan, melainkan dipengaruhi oleh faktor
lain seperti penyuluhan terkait penyakit TB Paru dan cara pencegahannya. Hal
yang mungkin terjadi yaitu penderita TB Paru mendapatkan penyuluhan setelah
mereka terdiagnosis menderita TB Paru.
Hasil Uji Chi-Square luas ventilasi terhadap kejadian tuberkulosis paru
didapatkan nilai signifikansi (p) 0,048 berarti secara statistik terdapat hubungan
antara luas ventilasi terhadap kejadian TB Paru, nilai OR sebesar 2,714 yang
artinya bahwa responden yang memiliki luas ventilasi tidak memenuhi syarat
2,714 kali lipat lebih berisiko mengidap TB Paru dibandingkan dengan sampel
yang memiliki luas ventilasi memenuhi syarat. Hal ini sesuai dengan penelitian
Prihanti et al. (2015), dan Oktavia et al. (2016) yang menunjukkan bahwa rumah
dengan luas ventilasi tidak memenuhi syarat berisiko untuk dapat menyebarkan
kejadian penyakit TB paru dibandingkan dengan ventilasi yang memenuhi syarat.
Dari hasil dari kunjungan rumah yang telah dilakukan bahwa mayoritas ventilasi
yang ada di rumah responden tidak memenuhi syarat kesehatan dengan luas
ventilasi <10% luas lantai sebesar 62,5%. Hal itulah yang menyebabkan
kurangnya pertukaran udara yang ada di dalam rumah memungkinkan
kelembaban juga ikut tinggi, dan pengap. Mycobacterium tuberculosis merupakan
bakteri yang bersifat mesofilik yang tumbuh optimal pada suhu 31-37 0 celcius
(Heriyanti, 2013). Kelembaban dalam rumah dapat menjadi tempat
perkembangbiakan Mycobacterium tuberculosis tinggi. Hal ini sesuai dengan
yang dikemukakan oleh Ikeu (2007) bahwa jumlah dan kualitas ventilasi yang
tidak memenuhi syarat kesehatan akan mengakibatkan berkurangnya konsentrasi
oksigen dan bertambahnya konsentrasi karbondioksida yang bersifat racun bagi
penghuninya, selain itu dapat meningkatkan kelembaban ruangan.
Hasil uji analisis Chi-square hubungan antara jenis lantai terhadap
kejadian TB Paru didapatkan nilai signifikansi (p) 0,032 berarti secara statistik
tidak terdapat hubungan yang signifikan antara jenis lantai dengan kejadian TB
Paru di Wilayah Kerja Puskesmas Jenggawah. Hal ini sesuai dengan penelitian
Dewi et al (2016). Pada penelitian ini ditemukan 7 rumah sampel (35 %) yang
tidak memenuhi syarat dan 2 rumah kontrol (10%) yang tidak memenuhi syarat,
dan sejumlah 31 sampel (77,5 %) telah memiliki rumah dengan jenis lantai
memenuhi syarat. Komponen yang harus dipenuhi rumah sehat memiliki lantai
kedap air dan tidak lembab. Jenis lantai tanah memiliki peran terhadap proses
kejadian tuberkulosis paru, melalui kelembaban dalam ruangan. Faktor lain yang
memengaruhi kelembaban ruangan yaitu musim, temperatur di luar ruangan, sinar
matahari yang dapat masuk ke ruangan, dan luas ventilasi (Heriyani et al., 2013).
Lantai tanah cenderung menimbulkan kelembaban, pada musim panas lantai
menjadi kering sehingga dapat menimbulkan debu yang berbahaya bagi
penghuninya. Diperlukan peningkatan taraf ekonomi dan penyuluhan tentang
lingkungan perumahan yang sehat agar masyarakat dapat terhindar dari faktor
risiko yang dapat menyebabkan kelembaban ruangan menjadi tinggi.
Hasil uji analisis Chi-square hubungan antara kepadatan hunian terhadap
kejadian TB Paru didapatkan nilai signifikansi (p) 0,006 berarti secara statistic
terdapat hubungan yang signifikan antara kepadatan hunian dengan kejadian TB
Paru. Hasil ini didukung oleh hasil penelitian oleh Oktavia et al. (2016) dan
Dotulong et al. (2015). Selain itu didapatkan nilai OR 4,241 dengan interval
kepercayaan 1,479 sampai 12,165. Hal ini menunjukkan bahwa rumah dengan
kepadatan hunian yang tinggi berisiko memiliki 4,241 kali lipat lebih berisiko
mengalami TB paru dibandingkan dengan hunian yang tidak padat. Kepadatan
penghuni merupakan salah satu faktor risiko TB, semakin padat rumah maka
perpindahan penyakit, khususnya penyakit menular yang melalui udara akan
semakin mudah dan cepat menular apabila terdapat anggota keluarga yang
menderita TB dengan BTA positif yang secara tidak sengaja batuk. Bakteri
Mycobacterium tuberculosis akan menetap di udara selama kurang lebih 2 jam
sehingga memiliki kemungkinan untuk menularkan penyakit pada anggota yang
belum terpajan bakteri Mycobacterium tuberculosis (Dotulong et al., 2015).
Jumlah penghuni yang semakin banyak akan berpengaruh terhadap kadar oksigen
dalam ruangan tersebut, begitu juga kadar uap air dan suhu udaranya. Dengan
meningkatnya kadar CO2 udara di dalam rumah, maka akan memberi kesempatan
tumbuh dan berkembang biak lebih bagi Mycobacterium tuberculosis.
Hasil uji analisis Chi-square hubungan antara riwayat kontak penderita TB
terhadap kejadian TB Paru didapatkan nilai signifikansi (p) 0,001 berarti secara
statistik terdapat hubungan yang signifikan antara riwayat kontak penderita TB
dengan kejadian TB Paru. Hasil ini didukung oleh hasil penelitian oleh Oktavia et
al. (2016) dengan level signifikansi p=0,02. Penelitian ini menunjukkan bahwa
orang yang pernah kontak dengan penderita TB berisiko tertular penyakit ini
sebesar 4,7 kali daripada yang tidak pernah terpapar penderita TB (OR = 4,7 ; CI=
95%; 1,44-15,07). Hal ini disebabkan oleh adanya host yang positif BTA
menularkan infeksi TB paru kepada orang yang sehat melalui droplet (percikan
ludah) yang mengandung ribuan bakteri Mycobacterium tuberculosis, dan apabila
kondisi seseorang tersebut imunitas sedang lemah maka sangat mudah terserang
penyakit TB paru.
BAB 5. KESIMPULAN DAN SARAN

5.1 Kesimpulan
Berdasarkan hasil analisis maka kesimpulan dari penelitian ini yaitu faktor
risiko yang berpengaruh terhadap kejadian tuberkulosis paru di wilayah kerja
Puskesmas Patrang adalah indeks massa tubuh, luas ventilasi, kepadatan hunian,
jenis lantai, dan riwayat kontak dengan penderita TB. IMT underweight memiliki
korelasi lemah terhadap kejadian TB paru (r=0,260), luas ventilasi yang tidak
memenuhi syarat memiliki odd ratio 2,714 kali lipat untuk menimbulkan TB paru,
kepadatan hunian yang tidak memenuhi syarat memiliki odd ratio 4,241 kali lipat
untuk menimbulkan TB paru, jenis lantai yang tidak memenuhi syarat memiliki
odd ratio 0,302 kali lipat menimbulkan TB paru, riwayat kontak dengan penderita
TB memiliki odd ratio 2,435 kali lipat untuk tertular TB paru. Faktor risiko yang
paling berpengaruh terhadap kejadian TB Paru adalah kepadatan hunian, dengan
luas ventilasi dan riwayat imunisasi BCG sebagai faktor perancunya.

5.2 Saran
5.2.1 Bagi Petugas Kesehatan
1. Perlunya evaluasi berkelanjutan terhadap faktor risiko yang berhubungan
dengan kejadian tuberkulosis paru
2. Perlu upaya kesehatan promotif dan preventif berdasarkan hasil analisis
faktor risiko untuk menurunkan angka kejadian TB paru di wilayah kerja
Puskesmas Patrang, Kabupaten Jember.
5.2.2 Bagi Peneliti Selanjutnya
1. Perlu dilakukan penelitian lebih lanjut dengan jumlah sampel yang lebih
besar dengan populasi yang lebih luas agar hasil penelitian dapat
digeneralisasi sesuai dengan keadaan yang ada di masyarakat.
2. Mempertimbangkan untuk mengamati faktor-faktor lain yang juga dapat
mempengaruhi kejadian tuberkulosis paru.

Anda mungkin juga menyukai