Anda di halaman 1dari 53

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Masalah gizi di Indonesia dan di Negara berkembang pada umumnya

masih didominasi oleh masalah Kurang Energi Protein (KEP), masalah Anemia

Besi, masalah Gangguan Akibat Kekurangan Yodium (GAKY), masalah Kurang

Vitamin A (KVA) dan masalah obesitas (Supariasa, 2002).

Obesitas mulai menjadi masalah kesehatan diseluruh dunia, bahkan WHO

menyatakan bahwa obesitas sudah merupakan suatu epidemi global, sehingga

obesitas sudah merupakan suatu masalah kesehatan yang harus segera ditangani

(Hidayati, dkk, 2004).

Obesitas adalah keadaan patologis yang ditandai dengan penimbunan

lemak yang berlebih dibandingkan yang diperlukan untuk fungsi tubuh (Kapita

Selekta Kedokteran, 2000). Obesitas juga dapat didefinisikan sebagai berat badan

untuk tinggi badan di atas 90 persentil menurut grafik pertumbuhan National

Center for Health Statistics (NCHS) atau kelebihan berat badan di atas 120%

median untuk berat badan menurut umur, tinggi badan, dan jenis kelamin anak

(Lenders, dkk, 2003).

Angka kejadian obesitas pada masa kanak-kanak meningkat secara cepat

di seluruh dunia. Prevalensi obesitas pada anak usia 6 – 17 tahun di Amerika

Serikat dalam tiga dekade terakhir naik dari 7,6 – 10,8 persen menjadi 13 – 14

persen; sedangkan anak sekolah di Singapura naik dari 9 persen menjadi 19

persen (Misnadiarly, 2007).

1
2

Penelitian yang dilakukan disembilan kota besar Indonesia periode 2002-

2005 memperoleh prevalensi kegemukan pada anak-anak usia sekolah dasar

tertinggi ada di Jakarta (25%), Semarang (24,3%), Medan (17,75%), Denpasar

(11,7%), Surabaya (11,4%), Padang (7,1%), Manado (5,3%), Yogyakarta (4%),

Solo (2,1%). Rata-rata prevalensi kegemukan disembilan kota besar tersebut

mencapai 12,2% (2,1 – 25%) (Damayanti, 2005).

Penelitian lain di Sekolah Dasar 01 Menteng Jakarta tahun 2004

menunjukkan bahwa dari 486 anak yang berusia antara 6 – 12 tahun yang terdiri

dari 232 perempuan dan 254 laki-laki, ditemukan sebanyak 106 anak (21%)

mengalami obesitas (Hady, dkk, 2004). Sedangkan penelitian yang dilakukan Anis

Kristanti (2007) di SD H. Isriati Baiturrahman Semarang diperoleh data dari 74

sampel anak kelas IV dan V terdapat 38 siswa (51,4%) mengalami obesitas

(Kristanti, 2007).

Obesitas dapat menyebabkan banyak penyakit yang menjadi masalah pada

orang dewasa. Meskipun demikian, banyak penelitian yang menunjukkan bahwa

banyak ketidaknormalan tersebut dimulai pada saat anak-anak dan remaja.

Obesitas pada anak selalu dikaitkan dengan kondisi kesehatan kronik yang

membutuhkan penanganan jangka panjang (Sorof JM, dkk, 2002).

Obesitas pada anak-anak secara khusus akan menjadi masalah karena berat

ekstra yang dimiliki anak pada akhirnya akan mengantarkannya pada masalah

kesehatan seperti yang dialami orang dewasa, misalnya diabetes melitus, penyakit

jantung koroner dan hipertensi (Misnadiarly, 2007).

Salah satu penyakit yang berkaitan dengan obesitas adalah hipertensi.

Hipertensi ialah suatu keadaan tekanan darah sistolik dan atau diastolik ≥ 95
3

persentil untuk umur dan jenis kelamin pada pengukuran tiga kali berturut-turut

dalam waktu yang terpisah sebelum mengkarakteristikkan tingkat hipertensi.

Sedangkan tekanan darah normal didefinisikan sebagai tekanan darah sistolik dan

diastolik < 90 persentil menurut umur dan jenis kelamin. (American Academy of

Pediatrics, 2004).

Hipertensi bukan hanya menjadi masalah pada orang dewasa, melainkan

pada anak-anak juga. Penelitian yang dilakukan di Amerika Serikat menemukan

sejumlah anak-anak menderita tekanan darah tinggi. Dalam studi itu, peneliti

menganalisis catatan medis 14.187 anak berusia 3 – 18 tahun yang dikategorikan

sehat, kemudian diukur tekanan darah, tinggi badan dan berat badannya.

Hasilnya, 507 orang atau 3,6 persen menderita hipertensi (Arsyadi, 2006).

Penelitian yang dilakukan pada bagian anak di RS Dr Sardjito ditemukan

11.169 penderita anak dengan jumlah pasien hipertensi sebanyak 146 anak

(1,31%) (Pungky dan Damayanti, 2006).

Penelitian yang dilakukan dilima belas SD yang ada di kota Semarang

dengan sampel sejumlah 1320 anak yang diukur tekanan darahnya, ditemukan

sebanyak 119 (9,02%) anak masuk dalam kriteria hipertensi berdasarkan

pengukuran tekanan darah sistolik dan 151 (11,44%) anak menurut pengukuran

tekanan darah diastolik (Romdhonah, 2008).

Terdapat bukti bahwa hipertensi pada anak-anak dapat berkembang

menjadi hipertensi pada masa dewasa. Hipertensi merupakan faktor risiko

penyakit jantung koroner (PJK) pada orang dewasa, dan kehadiran hipertensi pada

anak dapat memberikan kontribusi pada perkembangan awal PJK. Deteksi dan
4

intervensi pada anak dengan hipertensi secara potensial bermanfaat untuk

mencegah komplikasai hipertensi jangka panjang (Gregory dan Roseann, 2006).

Pedurungan merupakan salah satu daerah perkotaan di kota Semarang.

Daerah perkotaan lebih rentan terhadap risiko obesitas yang merupakan faktor

risiko penyakit degeneratif. Hal ini dikarenakan menjamurnya makanan siap saji

dan padat kalori yang disukai oleh anak-anak dan juga fasilitas yang lengkap

sehingga menurunkan aktivitas fisik.

Berdasarkan uraian di atas, maka peneliti tertarik untuk meneliti hubungan

antara obesitas dengan tekanan darah pada siswa di Sekolah Dasar Negeri

Pedurungan Tengah 02 Semarang.

B. Perumusan Masalah

Apakah ada hubungan antara obesitas dengan tekanan darah pada siswa di

SDN Pedurungan Tengah 02 Semarang?


5

C. Tujuan Penelitian

1. Tujuan Umum

Mengetahui hubungan antara obesitas dengan tekanan darah pada siswa di

SDN Pedurungan Tengah 02 Semarang

2. Tujuan Khusus

a. Mendeskripsikan obesitas siswa di SDN Pedurungan Tengah 02

Semarang

b. Mendeskripsikan tekanan darah siswa di SDN Pedurungan Tengah

02 Semarang.

c. Menganalisis hubungan antara obesitas dengan tekanan darah pada

siswa di SDN Pedurungan Tengah 02 Semarang.

D. Manfaat Penellitian

1. Memberikan informasi kepada pihak sekolah dan orang tua murid

mengenai masalah obesitas dan hipertensi yang selanjutnya dapat

ditindaklanjuti dengan kegiatan preventif di lingkungan sekolah dan rumah

mengenai hubungan obesitas dengan tekanan darah pada anak.

2. Bagi program gizi, dapat digunakan sebagai bahan masukan untuk

pengambilan kebijaksanaan tentang upaya penanggulangan obesitas dan

hipertensi pada anak.


6

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. TELAAH PUSTAKA

1. Anak Usia Sekolah

Anak usia sekolah dapat digambarkan sebagai bocah berumur 6

sampai 12 tahun, dengan karakteristik masa pertumbuhan yang relatif tetap

dan dengan sedikit masalah pemberian makan. Pada masa ini terjadi

peningkatan nafsu makan secara alamiah, sebuah faktor yang dapat

meningkatkan konsumsi makanan. Anak usia sekolah tumbuh dengan

kecepatan genetis masing-masing dengan perbedaan tinggi badan yang

sudah mulai tampak. Ada sebagian anak yang terlihat relatif lebih pendek

atau tinggi. Atau pertumbuhannya lebih lambat dibandingkan dengan

teman-teman sebayanya (Muhilal dan Damayanti, 2003).

Komposisi tubuh anak usia sekolah juga mulai berubah. Komposisi

lemak mulai meningkat setelah anak berusia 6 tahun, yang diperlukan

untuk persiapan percepatan pertumbuhan pubertas. Komposisi tubuh anak

perempuan dengan anak laki-laki mulai terlihat berbeda walaupun tidak

bermakna. Tubuh anak perempuan banyak lemak, sedangkan badan anak

laki-laki lebih banyak jaringan otot (Muhilal dan Damayanti, 2003).

Sesudah usia 6 tahun, pertumbuhan badan menjadi agak lambat

daripada waktu-waktu sebelumnya. Sampai umur 12 tahun anak

bertambah panjang 5 sampai 6 centimeter tiap tahunnya. Sampai umur 10

tahun dapat dilihat bahwa anak laki-laki agak lebih besar sedikit daripada
7

anak wanita, sesudah itu maka wanita lebih unggul dalam panjang badan,

tetapi sesudah ± 15 tahun anak laki-laki mengejarnya dan tetap unggul

daripada perempuan (Monks, dkk, 2002).

Pada umur 6 tahun keseimbangan badan anak relatif berkembang

baik, anak makin dapat menjaga keseimbangan badannya. Penguasaan

badan seperti membongkok, melakukan macam-macam latihan senam

serta aktivitas olahraga berkembang dalam masa anak sekolah. Juga

berkembang koordinasi antara mata dan tangan (visio-motorik) yang

dibutuhkan untuk membidik, menyepak, melempar dan menangkap

(Monks, dkk, 2002).

Sejak lama kriteria bagi anak untuk dapat diterima di sekolah dasar

adalah “kemasakan”. Bagi Indonesia kriteria umur memegang peranan

penting. Anak baru bisa diterima bila ia sudah mencapai umur 7 tahun.

Menurut Monks, dkk (2002) kriteria lain yang juga berhubungan dengan

kemasakan, yaitu:

A. Anak harus dapat kerjasama dalam kelompok dengan anak-anak

lain, yaitu anak tidak boleh masih tergantung pada ibunya, melainkan

harus dapat menyesuaikan diri dengan kelompok teman-teman sebaya.

B. Anak harus dapat mengamati secara analitis. Ia harus sudah dapat

mengenal bagian-bagian dari keseluruhan dan dapat menyatukan

kembali bagian-bagian tersebut. Jadi disini anak harus sudah

mempunyai kemampuan memisah-misahkan.

C. Anak secara jasmaniah harus sudah mencapai bentuk anak sekolah.

Petunjuk untuk ini adalah kalau sudah dapat memegang telinga


8

kirinya dengan tangan kanan melalui atas kepala, atau kalau anak

kidal maka tangan kiri harus dapat mencapai telinga kanan melalui

kepala.

2. Hipertensi

A. Definisi dan Batasan Hipertensi

Definisi hipertensi pada anak dan remaja didasarkan pada distribusi

normal tekanan darah pada anak sehat. Tekanan darah normal

didefinisikan sebagai tekanan darah sistolik dan atau diastolik < 90

persentil menurut umur dan jenis kelamin. Rata-rata tekanan darah sistolik

dan atau diastolik ≥ 90 persentil tetapi < 95 persentil dianggap tekanan

darah normal-tinggi dan diindikasikan meningkat menjadi hipertensi.

Untuk saat ini, sama dengan dewasa, anak-anak dan remaja dengan

tekanan darah ≥ 120/ 80 mmHg tetapi < 95 persentil harus

dipertimbangkan. Hipertensi adalah suatu keadaan tekanan darah sitolik

dan atau diastolik ≥ 95 persentil untuk umur dan jenis kelamin pada

pengukuran selama 3 kali dalam waktu yang terpisah sebelum

mengkarakteristikkan tingkat hipertensi (American Academy of Pediatrics,

2004).

B. Klasifikasi Hipertensi

Ukuran tubuh merupakan faktor penting yang menggambarkan

tekanan darah pada anak, hal ini sangat penting untuk memasukkan

persentil tinggi badan anak untuk menggambarkan tekanan darah yang

normal. Tabel tekanan darah anak yang sudah direvisi meliputi persentil
9

50, 90, 95 dan 99 menurut jenis kelamin, umur dan tinggi badan

berdasarkan data National Health and Nutrition Examination Survey 1999

– 2000. Tekanan darah harus diukur selama tiga kali atau lebih dalam

waktu yang terpisah untuk mengkarakteristikkan tingkat hipertensi

(Gregory dan Roseann, 2006).

Tabel 1. Klasifikasi Tekanan darah pada Anak dan Remaja

Istilah Tekanan darah sistolik atau diastolik


menurut jenis kelamin dan usia
Normal < 90 persentil
Pre-hipertensi ≥ 90 persentil, tetapi < 95 persentil
Hipertensi ≥ 95 persentil
Hipertensi I 95 persentil – 99 persentil plus 5 mmHg
Hipertensi II ≥ 99 persentil plus 5 mmHg
Dikutip dari Gregory dan Roseann, 2006.

C. Etiologi Hipertensi

 Hipertensi Primer : Bila tidak ditemukan penyakit yang

mendasari. Faktor yang berperan antara lain keturunan, masukan

garam, stress dan obesitas (Gregory dan Roseann, 2006).

 Hipertensi sekunder : Hipertensi yang diakibatkan penyakit

yang mendasari, paling sering karena penyakit ginjal. Hampir 80%

berasal dari penyakit parenkim ginjal (Bahrun, 1993).

D. Gejala Klinis Hipertensi

Hipertensi ringan atau sedang umumnya tidak menimbulkan

gejala. Gejala hipertensi baru muncul bila hipertensi menjadi berat atau

pada keadaan krisis hipertensi. Gejala-gejala dapat berupa sakit kepala,

pusing, nyeri perut, muntah, anoreksia, gelisah, berat badan turun,

keringat berlebihan, murmur, epistaksis, palpitasi, poliuri, proteinuri,


10

hematuri, atau retardasi pertumbuhan (Bahrun, 1993).

Pada krisis hipertensi dapat timbul ensefalopati hipertensif,

hemiplegi, gangguan penglihatan dan pendengaran, penurunan

kesadaran, bahkan sampai koma. Manifestasi klinik krisis hipertensi

yang lain adalah dekompensasi kordis dengan edema paru yang

ditandai dengan gejala edema, dispneu, sianosis, takikardi, ronki,

kardiomegali, suara bising jantung, dan hepatomegali. Bila segera

ditangani, gejala dapat menghilang tanpa gejala sisa (Bahrun, 1993).

E. Patofisiologi Hipertensi

Mekanisme terjadinya hipertensi adalah melalui terbentuknya

angiotensin II dari angiotensin I oleh angiotensin I-converting enzyme

(ACE). Darah mengandung angiotensinogen yang diproduksi di hati.

Hormon renin yang diproduksi oleh ginjal akan diubah menjadi

angiotensin I. Oleh ACE yang terdapat di paru-paru, angiotensin I

diubah menjadi angiotensin II. Angiotensin II inilah yang memiliki

peranan kunci dalam menaikkan tekanan darah melalui dua aksi utama.

Aksi pertama adalah meningkatkan sekresi hormon antidiuretik

(ADH). ADH diproduksi di hipotalamus (kelenjar pituitari) dan

bekerja pada ginjal untuk mengatur osmolalitas dan volume urin.

Dengan meningkatnya ADH, sangat sedikit urin yang diekskresikan ke

luar tubuh (antidiuresis), sehingga menjadi pekat dan tinggi

osmolalitasnya. Untuk mengencerkannya, volume cairan ekstraseluler

akan ditingkatkan dengan cara menarik cairan dari bagian intraseluler.


11

Akibatnya, volume darah meningkat, yang pada akhirnya akan

meningkatkan tekanan darah (Muhaimin, 2008).

Aksi kedua adalah menstimulasi sekresi aldosteron dari

korteks adrenal. Aldosteron merupakan hormon steroid yang memiliki

peranan penting pada ginjal (Muhaimin, 2008). Sekresi aldosteron

yang meningkat menyebabkan reabsorbsi natrium dan air meningkat

disertai meningkatnya ekskresi kalium melalui urin. Keadaan ini

menyebabkan hipervolemia, curah jantung meningkat dan terjadi

hipertensi (Bahrun, 1993).

F. Penegakan Diagnosis Hipertensi


1. Anamnesis

Anamnesis yang teliti dan terarah sangat diperlukan untuk

evaluasi hipertensi pada anak seperti riwayat pemakaian obat-obatan

seperti kortikosteroid, atau obat-obat golongan simpatomimetik (misal

efedrin) dan riwayat penyakit dalam keluarga, misalnya hipertensi,

stroke, gagal ginjal, dan lain-lain (Noer dan Soemyarso, 2008).

2. Pemeriksaan fisik

Pemeriksaan fisik perlu pula dilakukan secara teliti dan

sistematis karena ada beberapa kelainan yang dapat ditemukan dan

merupakan tanda – tanda dari penyebab hipertensi atau lamanya

hipertensi berlangsung (Bahrun, 1993).

Teknik pengukuran tekanan darah

Untuk mendapatkan hasil pengukuran tekanan darah yang tepat

perlu diperhatikan hal-hal sebagai berikut (Bahrun, 1993):

1) Manset yang digunakan harus cocok untuk ukuran anak.


12

Bila menggunakan manset yang terlalu sempit akan menghasilkan

angka pengukuran yang lebih tinggi, sebaliknya bila menggunakan

manset yang terlalu lebar akan memberikan hasil angka

pengukuran lebih rendah.

2) Lebar kantong karet harus menutupi ⅔ panjang lengan atas

sehingga memberikan ruangan yang cukup untuk meletakkan bel

stetoskop di daerah fossa kubiti, sedang panjang kantong karet

sedapat mungkin menutupi seluruh lingkaran lengan atas.

3) Periksa terlebih dahulu sphigmomanometer yang digunakan

apakah ada kerusakan mekanik yang mempengaruhi hasil

pengukuran.

4) Pengukuran tekanan darah sebaiknya dilakukan dalam

suasana yang tenang, usahakan agar anak jangan sampai menangis,

karena keadaan ini akan mempengaruhi hasil pengukuran.

Tekanan darah diukur pada ke dua lengan atas dan paha, untuk

mendeteksi ada atau tidaknya koarktasio aorta. Cara yang lazim

digunakan untuk mengukur tekanan darah adalah cara indirek dengan

auskultasi (Noer dan Soemyarso, 2008).

Manset yang cocok untuk ukuran anak dibalutkan kuat-kuat

pada ⅔ panjang lengan atas. Tentukan posisi arteri brakialis dengan

cara palpasi pada fossa kubiti. Bel stetoskop kemudian ditaruh di atas

daerah tersebut. Manset dipompa kira-kira 20 mmHg di atas tekanan

yang diperlukan untuk menimbulkan sumbatan pada arteri brakialis.

Tekanan di dalam manset kemudian diturunkan perlahan-lahan dengan


13

kecepatan 2-3 mmHg/detik sampai terdengar bunyi suara lembut.

Bunyi suara lembut yang terdengar ini disebut fase 1 dari Korotkoff

(K1) dan merupakan petunjuk tekanan darah sistolik (Bahrun, 1993).

Fase 1 kemudian disusul fase 2 (K2), yang ditandai dengan

suara bising (murmur), lalu disusul dengan fase 3 (K3) berupa suara

yang keras, setelah itu suara mulai menjadi lemah (fase 4 atau K4) dan

akhimya menghilang (fase 5 atau K5). Pada anak jika fase 5 sulit

didengar, maka fase 4 digunakan sebagai petunjuk tekanan diastolik.

The Second Task Force on Blood Pressure Control in Children

menganjurkan untuk menggunakan fase 4 (K4) sebagal petunjuk

tekanan diastolik untuk anak-anak berusia kurang dari 13 tahun,

sedang fase 5 (K5) digunakan sebagai petunjuk tekanan diastolik

untuk anak usia 13 tahun ke atas. Tabel di bawah ini menunjukkan

ukuran – ukuran manset untuk pengukuran tekanan darah pada anak

(Bahrun, 1993).

Tabel 2. Ukuran-ukuran manset yang tersedia di pasaran untuk


evaluasi pengukuran tekanan darah pada anak.
Lebar kantong Panjang kantong karet
Jenis Manset
karet (cm) (cm)
Neonatus 2.5 - 4.0 5.0 - 9.0
Bayi 4.0 - 6.0 11.5 -18.0
Anak 7.5 - 9.0 17.0 - 19.0
Dewasa 11.5 -13.0 22.0 - 26.0
Lengan besar 14.0 -150 30.5 - 33.0
Paha 18.0 -19.0 36.0 - 38.0

G. Penatalaksanaan Hipertensi
14

Ada dua cara penatalaksanaan hipertensi, yaitu non medikamentosa

dan medikamentosa. Penatalaksanaan tersebut berdasarkan pada

derajat beratnya hipertensi dan penyakit yang mendasarinya (Bahrun,

1993).

1. Non medikamentosa

Untuk anak dan remaja dengan hipertensi ringan, terapi

perubahan gaya hidup merupakan cara yang direkomedasikan. Hal

ini meliputi pengontrolan berat badan, latihan fisik secara teratur,

diet rendah lemak dan rendah garam, tidak merokok, dan tidak

mengkonsumsi alkohol (Gregory dan Roseann, 2006).

National High Blood Pressure Education Program

(NHBPEP) sudah mengambil keputusan untuk pembatasan

penggunaan natrium, rekomendasi yang diberikan adalah asupan

natrium sebesar 1.200 mg per hari. Diet yang dianjurkan adalah

Dietary Approaches to Stop Hypertension (DASH) diet, yaitu tidak

menambahkan garam dan lebih banyak mengkonsumsi buah dan

sayuran segar dikombinasikan dengan makanan yang rendah lemak

dan protein diharapkan dapat menurunkan tekanan darah pada

anak. Peningkatan asupan kalium dan kalsium juga disarankan

sebagai strategi gizi untuk menurunkan tekanan darah (Gregory dan

Roseann, 2006).

2. Medikamentosa

Pengobatan antihipertensi yang diberikan pada penderita

hipertensi didasarkan pada gejala hipertensi, kerusakan organ yang


15

ditimbulkan, hipertensi sekunder, hipertensi ringan yang tidak

dapat diatasi dengan perubahan gaya hidup, dan hipertensi sedang.

Mengatasi kerusakan organ dan kesakitan merupakan tujuan akhir

untuk menurunkan tekanan darah untuk mengurangi kurang dari

persentil 95 berdasarkan umur, tinggi badan dan jenis kelamin

(Gregory dan Roseann, 2006). Tabel 3 menunjukkan terapi obat-

obatan yang dapat diberikan kepada anak dengan hipertensi.


16

Tabel 3. Obat yang digunakan untuk penderita Hipertensi

Jenis Obat Nama Obat Dosis awal Dosis


maksimum
Angiotensin- 0.6 mg/ kg/
converting enzyme Benazepril(Lote 0.2 mg/ hari - 40 mg/
inhibitor nsin) kg/ hari - hari
10 mg/
hari
0.6 mg/ kg/
Enalapril 0.08 mg/ hari - 40 mg/
(Vasotec) kg/ hari - 5 hari
mg/ hari

Anak Anak dengan


Fosinopril dengan berat > 50
(Monopril) berat > 50 kg: 40 mg/
kg: 5 - 10 hari
mg/ hari

Lisinopril 0.07 mg/ 0.6 mg/ kg/


Angiotensin-reseptor
(Zestril) kg/ hari - 5 hari - 40
blocker
mg/ hari mg/ hari

Usia 6 –
Irbesartan 12 tahun: Sama
(Avapro) 75 -150 dengan dosis
mg/ hari awal

Usia 13
tahun: 150 Sama
- 300 mg/ dengan dosis
hari awal
Beta blocker
Losartan 0.7 mg/kg/
Calcium channel (Cozaar) hari - 50 1.4 mg/ kg/
blocker mg/ hari hari - 100
mg/ hari
Diuretic
17

Propranolol 1- 2 mg/
(Inderal) kg/hari 4 mg/kg/hari
Usia 6 – - 640
Amlodipine 17 tahun: mg/hari
(Norvasc) 2.5 - 5.0 10 mg/hari
mg/ hari

Hydrochlorothia 1 mg/ kg /
zide hari - 50 3 mg/kg/hari
(Hydrodiuril) mg /hari - 50 mg/hari
Dikutip dari Gregory dan Roseann, 2006.

3. Obesitas

A. Definisi Obesitas

Obesitas didefinisikan sebagai berat badan untuk tinggi

badan di atas 90 persentil menurut grafik pertumbuhan National

Center for Health Statistics (NCHS) atau kelebihan berat badan di atas

120% median untuk berat badan menurut umur, tinggi badan, dan jenis

kelamin anak. Indeks Massa Tubuh (IMT) merupakan standart yang

disusun untuk mengukur lemak tubuh yang dapat diperoleh dengan

perhitungan berat badan dalam satuan kilogram dibagi tinggi badan

dalam satuan meter kuadrat sehingga diperoleh nilai dalam satuan

kg/m2 (Lenders, dkk, 2003).

B. Etiologi Obesitas

Ada beberapa faktor penyebab obesitas, yaitu faktor

genetik dan faktor lingkungan. Kelainan hormon dan genetik hanya

memiliki jumlah persentase yang kecil untuk menyebabkan obesitas


18

pada anak. Faktor lingkungan yang dapat diubah seperti asupan

makanan dan aktivitas fisik juga merupakan faktor utama pada status

obesitas (Lenders, dkk, 2003)

Pola aktivitas dan pola makan tertentu tampaknya

merupakan faktor yang penting pada terjadinya obesitas pada anak.

Ditimbunnya kalori berlebih sebagai lemak merupakan hasil akhir

dari keseimbangan energi positif bersih (ambilan energi lebih besar

daripada pengeluaran energi) dalam waktu tertentu (Subardja, 2005).

Keseimbangan energi adalah hasil selisih antara masukan

energi yang dapat dimetabolisasi dan pengeluaran energi total.

Pengeluaran energi total sendiri terdiri dari metabolisme basal,

termogenesis postprandial dan aktivitas fisik. Berlebihnya ambilan

energi dibandingkan pengeluarannya menyebabkan peningkatan berat

badan dan obesitas disertai pula peningkatan pengeluaran energi total

sebagai konsekuensinya (Subardja, 2005).

Diagram 1. Hubungan Peningkatan Ambilan Makanan,


Peningkatan Berat Badan dan Peningkatan
Pengeluaran Energi Total.

Peningkatan ambilan
makanan
Peningkatan termogenesis
postprandial
Peningkatan penimbunan energi

Sedikit peningkatan
Peningkatan massa lemak
massa bebas lemak

Peningkatan berat badan

Peningkatan
pengeluaran energi
19

Peningkatan energi untuk


Peningkatan pengeluaran
pergerakan (aktivitas fisik)
energi total
Dikutip dari Subardja, 2005

Jadi kenaikan berat badan atau kegemukan dapat dicegah

bila peningkatan energi untuk pergerakan ditingkatkan melalui

aktivitas fisik (Subardja, 2005).

Berdasarkan hukum termodinamik, obesitas disebabkan

adanya keseimbangan energi positif, sebagai akibat

ketidakseimbangan antara asupan energi dengan keluaran energi,

sehingga terjadi kelebihan energi yang disimpan dalam bentuk

jaringan lemak. Obesitas adalah suatu penyakit multifaktorial yang

diduga bahwa sebagian besar obesitas disebabkan oleh karena

interaksi antara faktor genetik dan faktor lingkungan (Hidayati, dkk,

2004 ).

1. Faktor Genetik .

Parental fatness merupakan faktor genetik yang berperanan

besar. Bila kedua orang tua obesitas, 80% anaknya menjadi obesitas;

bila salah satu orang tua obesitas, kejadian obesitas menjadi 40% dan

bila kedua orang tua tidak obesitas, prevalensi menjadi 14% (Hidayati,

dkk, 2004 ).

2. Faktor lingkungan.

a. Aktifitas fisik.
20

Aktifitas fisik merupakan komponen utama dari energy

expenditure, yaitu sekitar 20-50% dari total energy expenditure.

Penelitian di negara maju mendapatkan hubungan antara

aktifitas fisik yang rendah dengan kejadian obesitas. Individu

dengan aktivitas fisik yang rendah mempunyai risiko

peningkatan berat badan sebesar 5 kg. Penelitian di Jepang

menunjukkan risiko obesitas yang rendah pada kelompok yang

mempunyai kebiasaan olah raga, sedang penelitian di Amerika

menunjukkan penurunan berat badan dengan jogging, aerobik

(Hidayati, dkk, 2004 ).

b. Faktor Gizi

Peranan faktor gizi dimulai sejak dalam kandungan dimana

jumlah lemak tubuh dan pertumbuhan bayi dipengaruhi berat

badan ibu. Kenaikan berat badan dan lemak anak dipengaruhi

oleh waktu pertama kali mendapat makanan padat, asupan

tinggi kalori dari karbohidrat dan lemak serta kebiasaan

mengkonsumsi makanan yang mengandung energi tinggi

(Hidayati, dkk, 2004 ).

Penelitian di Amerika dan Finlandia menunjukkan bahwa

kelompok dengan asupan tinggi lemak mempunyai risiko

peningkatan berat badan lebih besar dibanding kelompok

dengan asupan rendah lemak. Keadaan ini disebabkan karena

makanan berlemak mempunyai energy density lebih besar dan

lebih tidak mengenyangkan serta mempunyai efek termogenesis


21

yang lebih kecil dibandingkan makanan yang banyak

mengandung protein dan karbohidrat (Hidayati, dkk, 2004 ).

Makanan berlemak juga mempunyai rasa yang lezat

sehingga akan meningkatkan selera makan yang akhirnya terjadi

konsumsi yang berlebihan. Selain itu kapasitas penyimpanan

makronutrien juga menentukan keseimbangan energi. Protein

dan karbohidrat mempunyai kapasitas penyimpanan dalam

jumlah terbatas. Sedangkan lemak mempunyai kapasitas

penyimpanan yang tidak terbatas. Kelebihan asupan lemak tidak

diiringi peningkatan oksidasi lemak sehingga sekitar 96% lemak

akan disimpan dalam jaringan lemak (Hidayati, dkk, 2004 ).

3. Faktor sosial ekonomi.

Beberapa tahun terakhir terlihat adanya perubahan gaya

hidup yang menjurus pada penurunan aktifitas fisik, seperti ke

sekolah dengan naik kendaraan dan kurangnya aktifitas bermain

dengan teman serta lingkungan rumah yang tidak

memungkinkan anak-anak bermain diluar rumah, sehingga anak

lebih senang bermain komputer / games, nonton TV atau video

dibanding melakukan aktifitas fisik. Selain itu juga ketersediaan

dan harga dari junk food yang mudah terjangkau akan berisiko

menimbulkan obesitas (Hidayati, dkk, 2004 ).

C. Patofisiologi Obesitas

Pengaturan keseimbangan energi diperankan oleh hipotalamus

melalui 3 proses fisiologis, yaitu: pengendalian rasa lapar dan


22

kenyang, mempengaruhi laju pengeluaran energi dan regulasi sekresi

hormon yang terlibat dalam pengaturan penyimpanan energi. Fat-

derived hormon leptin dan insulin yang mengatur penyimpanan dan

keseimbangan energi (Hidayati, dkk, 2004).

Leptin memegang peran utama sebagai pengendali berat

badan. Sumber utama leptin adalah jaringan adiposa, yang disekresi

langsung masuk ke peredaran darah dan kemudian menembus sawar

darah otak menuju ke hipotalamus. Apabila asupan energi melebihi

dari yang dibutuhkan maka massa jaringan adiposa meningkat,

disertai dengan peningkatan kadar leptin dalam peredaran darah.

Leptin kemudian merangsang anorexigenic center di hipotalamus agar

menurunkan produksi Neuropeptide-Y (NPY), sehingga terjadi

penurunan nafsu makan dan asupan makanan (Hidayati, dkk, 2004).

Bila kebutuhan energi lebih besar dari asupan energi, maka

massa jaringan adiposa berkurang dan terjadi rangsangan pada

orexigenic center di hipotalamus yang menyebabkan peningkatan

nafsu makan dan asupan makanan. Pada sebagian besar orang

obesitas, mekanisme ini tidak berjalan walaupun kadar leptin didalam

darah tinggi dan disebut sebagai resistensi leptin (Hidayati, dkk,

2004).

D. Gejala Klinis Obesitas


 Anak yang obesitas relatif lebih tinggi pada remaja awal

tetapi pertumbuhan memanjangnya selesai lebih cepat, sehingga

mempunyai tinggi badan relatif lebih pendek dari anak sebaya.


23

 Bentuk muka anak menjadi tidak proporsional, hidung dan

mulut relatif kecil, dagu berlipat.

 Terdapat timbunan lemak di sekitar payudara sehingga

seolah-olah buah dada berkembang, perut menggantung dan

dinding perut berlipat-lipat, sering disertai garis-garis keputihan

(striae). Alat kelamin pada anak laki-laki seolah-olah kecil

karena timbunan lemak pada daerah pangkal paha.

 Paha dan lengan atas besar, jari-jari tangan relatif lebih

kecil dan runcing, kedua tungkai umumnya berbentuk X dengan

kedua pangkal paha bagian dalam saling menempel menyebabkan

laserasi dan ulserasi yang dapat menimbulkan bau yang kurang

sedap.

 Anak lebih cepat mencapai masa pubertas. Kematangan

seksual lebih cepat, pertumbuhan payudara, menstruasi,

pertumbuhan rambut kelamin dan ketiak juga lebih cepat (Anonim,

2008).

E. Klasifikasi Obesitas

Persentil merupakan indikator umum yang digunakan untuk

menilai ukuran dan pola perkembangan anak di Amerika Serikat.

Persentil menggambarkan nilai IMT berdasarkan umur dan jenis

kelamin. Grafik pertumbuhan CDC menunjukkan status obesitas pada

anak dan remaja (CDC, 2008).

Tabel 4. Klasifikasi Obesitas pada Anak


24

Klasifikasi Obesitas berdasarkan Indeks Massa Tubuh (IMT) menurut


umur
Kurus IMT < 5 persentil
Normal IMT 5 – 85 persentil
Overweight IMT 85 - < 95 persentil
Obesitas IMT ≥ 95 persentil
Dikutip dari CDC, 2008.

Sedangkan tabel dibawah ini menunjukkan klasifikasi obesitas


berdasarkan pengukuran BB/ TB pada anak.
Tabel 5. Klasifikasi ObesitasBerdasarkan pengukuran BB/ TB

Klasifikasi Obesitas berdasarkan pengukuran BB/ TB


( % median)
Obesitas ringan/ derajat 1 120 – 135
Obesitas sedang/ derajat II 135 – 150
Obesitas berat/ derajat III 150 – 200
Obesitas super (morbid) >200
Dikutip dari Buku Ilmu Kesehatan Anak

F. Komplikasi Obesitas

Pada kasus obesitas, ada risiko bahwa obesitas pada anak-anak

akan tetap berlanjut pada masa dewasa dan risiko tersebut meningkat jika

anak-anak tetap overweight ketika mereka tumbuh dewasa (Lenders, dkk,

2003).

Obesitas pada masa anak-anak dapat meningkatkan risiko

terjadinya obesitas pada masa dewasa. Orang dewasa yang mengalami

obesitas pada masa anak-anak lebih memiliki risiko besar terhadap

kesakitan dan kematian. Menurut Harvard Growth Study, remaja yang

overweight telah menunjukkan memiliki risiko yang lebih besar untuk

berkembang menjadi obesitas pada usia dewasa dan menimbulkan masalah

kesehatan yang berhubungan dengan obesitas meliputi penyakit


25

kardiovaskuler dan diabetes. Penelitian Sinaiko, dkk menunjukkan bahwa

peningkatan berat badan selama masa anak-anak dan remaja akan menjadi

indikator terhadap risiko penyakit kardiovaskuler pada dewasa muda

nantinya (Lenders, dkk, 2003).

Obesitas dapat menjadi faktor risiko berbagai penyakit, antara lain:

1. Faktor Risiko Penyakit Kardiovaskuler

Obesitas dapat meningkatkan risiko terjadinya penyakit

degeneratif. Faktor Risiko ini meliputi peningkatan kadar insulin,

trigliserida, LDL-kolesterol dan tekanan darah sistolik serta penurunan

kadar HDL- kolesterol. Risiko penyakit Kardiovaskuler di usia dewasa

pada anak obesitas sebesar 1,7 - 2,6. IMT mempunyai hubungan yang kuat

dengan kadar insulin. Anak dengan IMT > persentil ke 99, 40%

diantaranya mempunyai kadar insulin tinggi, 15% mempunyai kadar

HDL-kolesterol yang rendah dan 33% dengan kadar trigliserida tinggi.

Anak obesitas cenderung mengalami peningkatan tekanan darah dan

denyut jantung, sekitar 20-30% menderita hipertensi (Subardja, 2004).

2. Diabetes Mellitus tipe-2

Diabetes mellitus tipe-2 jarang ditemukan pada anak obesitas.

Prevalensi penurunan glukosa toleran test pada anak obesitas adalah 25%

sedang diabetes mellitus tipe-2 hanya 4%. Hampir semua anak obesitas

dengan diabetes mellitus tipe-2 mempunyai IMT ≥ 3 SD atau > persentil ke

99 (Subardja, 2004).

3. Obstruktive sleep apnea


26

Obstruktive sleep apnea merupakan gangguan pernapsan pada saat

tidur. Hal ini sering dijumpai pada anak obesitas dengan kejadian 1/100

dengan gejala mengorok. Penyebabnya adalah penebalan jaringan lemak

didaerah dinding dada dan perut yang mengganggu pergerakan dinding

dada dan diafragma, sehingga terjadi penurunan volume dan perubahan

pola ventilasi paru serta meningkatkan beban kerja otot pernafasan

(Subardja, 2004).

Pada saat tidur terjadi penurunan tonus otot dinding dada yang

disertai penurunan saturasi oksigen dan peningkatan kadar CO2, serta

penurunan tonus otot yang mengatur pergerakan lidah yang menyebabkan

lidah jatuh kearah dinding belakang faring yang mengakibatkan obstruksi

saluran nafas intermiten dan menyebabkan tidur gelisah, sehingga

keesokan harinya anak cenderung mengantuk dan hipoventilasi. Gejala ini

berkurang seiring dengan penurunan berat badan (Subardja, 2004).

4. Gangguan ortopedik

Pada anak obesitas cenderung berisiko mengalami gangguan

ortopedik yang disebabkan kelebihan berat badan, yaitu tergelincirnya

epifisis kaput femoris yang menimbulkan gejala nyeri panggul atau lutut

dan terbatasnya gerakan panggul (Hidayati, dkk, 2004).

5. Pseudotumor serebri

Pseudotumor serebri akibat peningkatan ringan tekanan intrakranial

pada obesitas disebabkan oleh gangguan jantung dan paru-paru yang

menyebabkan peningkatan kadar CO2 dan memberikan gejala sakit kepala,


27

papil edema, diplopia, kehilangan lapangan pandang perifer dan iritabilitas

(Hidayati, dkk, 2004).

G. Penentuan Obesitas

Untuk menentukan obesitas diperlukan kriteria yang berdasarkan

pengukuran antropometri dan atau pemeriksaan laboratorik (Hidayati, dkk,

2004):

1. Pengukuran berat badan (BB) yang dibandingkan dengan standar

dan disebut obesitas bila BB > 120% BB standar.

2. Pengukuran berat badan dibandingkan tinggi badan (BB/TB).

Dikatakan obesitas bila BB/TB > persentile ke 95 atau > 120% atau Z-

score = + 2 SD.

3. Pengukuran lemak subkutan dengan mengukur skinfold thickness

(tebal lipatan kulit/TLK). Sebagai indikator obesitas bila TLK Triceps

> persentil ke 85.

4. Pengukuran lemak secara laboratorik, misalnya densitometri,

hidrometri dan sebagainya yang tidak digunakan pada anak karena

sulit dan tidak praktis. DXA adalah metode yang paling akurat, tetapi

tidak praktis untuk dilapangan.

5. Indeks Massa Tubuh (IMT) > persentil ke 95 sebagai indikator

obesitas.

4. Genetik

Adanya faktor genetik pada keluarga tertentu akan menyebabakan

keluarga itu mempunyai resiko menderita hipertensi. Hal ini berhubungan

dengan peningkatan kadar sodium intraseluler dan rendahnya dan


28

rendahnya rasio antara potassium terhadap sodium. Orang dengan orang

tua dengan hipertensi mempunyai resiko dua kali lebih besar untuk

menderita hipertensi dari pada orang yang tidak mempunyai keluarga

dengan riwayat hipertensi (Anonim, 2008).

5. Faktor Stress

Stres yang terlalu besar dapat memicu terjadinya berbagai penyakit

seperti hipertensi (Muhaimin, 2008). Epinefrin (adrenalin) suatu hormon

stress dilepaskan dari kelenjar adrenal. Hormon ini bersama hormon

lainnya beredar dalam tubuh untuk meningkatkan tekanan darah dan

denyut jantung, kecepatan pernapasan dan mengubah proses tubuh lainnya.

Stress dalam kehidupan seseorang merupakan hal yang baik, namun akan

menimbulkan masalah bila stress tersebut berlebihan (Swarth, 2001).

6. Asupan Natrium

Keadaan hipertensi (tekanan darah tinggi) banyak ditemukan pada

masyarakat yang mengkonsumsi natrium dalam jumlah besar. Natrium

yang terlalu banyak ditandai dengan pengembangan volume cairan

ekstraseluler yang menyebabkan oedem. Kadar natrium dalam darah tidak

dapat digunakan sebagai indikator status natrium dalam tubuh. Indikator

yang baik bagi keseimbangan natrium ialah keadaan kardiovaskuler, seperti

pulsa (denyut) nadi dan tekanan darah, juga pengeluaran natrium di dalam

urin. Semuanya dapat menggambarkan status cairan ekstraseluler

(Winarno, 1995) .

Tekanan darah tinggi banyak dialami oleh masyarakat Asia yang

sudah biasa mengkonsumsi natrium dengan kadar tinggi dalam


29

makanannya ( 7,6 -8,2 gram per hari). Sumber utama natrium adalah garam

dapur, ikan asin, kecap, dan sebagainya ( Winarno, 1995).

7. Umur

Tekanan darah dalam kehidupan seseorang bervariasi secara alami,

bayi dan anak-anak secara normal memiliki tekanan darah yang jauh lebih

rendah daripada dewasa. Hipertensi sering ditemukan pada usia lanjut.

Sejalan dengan bertambahnya usia, hampir setiap orang mengalami

kenaikan tekanan darah, tekanan sistolik terus meningkat sampai usia 80

tahun dan tekanan diastolik terus meningkat sampai usia 55-60 tahun,

kemudian berkurang secara perlahan atau bahkan menurun drastis

(Muhaimin, 2008).

8. Jenis Kelamin

Laki-laki mempunyai resiko lebih tinggi untuk menderita

hipertensi lebih awal. Laki-laki juga mempunyai resiko lebih besar

terhadap morbiditas dan mortalitas kardiovaskuler. Sedangkan di atas

umur 50 tahun hipertensi lebih banyak terjadi pada wanita (Anonim,

2008).

9. Penyakit Ginjal

Hipertensi pada anak umumnya disebabkan oleh penyakit ginjal.

Terjadinya hipertensi pada penyakit ginjal adalah karena:

A. Hipervolemia yang disebabkan karena retensi air dan natrium, efek

kelebihan mineralokortikoid terhadap peningkatan reabsorbsi natrium

dan air di tubuli distal, pemberian infus larutan garam fisiologik,

koloid, atau transfusi darah yang berlebihan pada anak dengan laju
30

filtrasi glomerulus yang buruk. Hipervolemia menyebabkan curah

jantung meningkat dan menyebabkan hipertensi (Bahrun, 1993).

B. Gangguan sistem renin, angiotensin dan aldosteron

Renin merupakan enzim yang disekresi oleh sel aparatus juksta

glomerulus. Bila terjadi penurunan aliran darah intrarenal dan

penurunan laju filtrasi glomerulus, aparatus juksta glomerulus

terangsang untuk mensekresi renin yang akan mengubah

angiotensinogen yang berasal dari hati menjadi angiotensin I.

Kemudian angiotensin I oleh angiotensin converting enzym diubah

menjadi angiotensin II. Angiotensin II menimbulkan vasokonstriksi

pembuluh darah tepi dan menyebabkan tekanan darah meningkat.

Selanjutnya angiotensin II merangsang korteks adrenal untuk

mengeluarkan aldosteron. Aldosteron meningkatkan retensi natrium

dan air di tubuli ginjal dan menyebabkan tekanan darah meningkat

(Bahrun, 1993).

C. Berkurangnya zat vasodilator

Zat vasodilator yang dihasilkan oleh medula ginjal yaitu prostaglandin

A2, kilidin, dan bradikinin berkurang pada penyakit ginjal kronik

(Bahrun, 1993).

10. Hubungan antara Tekanan Darah dan Obesitas

Tekanan darah sistolik dan diastolik meningkat sesuai dengan IMT,

dan pada anak yang obesitas memiliki risiko yang lebih tinggi dalam

perkembangan hipertensi jika dibandingkan anak yang normal. Penurunan

berat badan akan menurunkan tekanan darah. Kemungkinan penyebab


31

hubungan tersebut adalah obesitas berhubungan dengan sirkulasi insulin

yang meningkat sehingga menyebabkan retensi garam pada ginjal dan

menyebabkan peningkatan tekanan darah. Latihan fisik diketahui

meningkatkan sensitivitas insulin, sehingga dapat menurunkan tekanan

darah (Sorof, 2002).

Terjadi pergeseran konsep bahwa saat ini dugaan yang mendasari

timbulnya hipertensi pada obesitas adalah leptin. Leptin merupakan asam

amino yang disekresi terutama oleh jaringan adipose. Fungsi utamanya

adalah pengaturan nafsu makan dan pengeluaran energi tubuh melalui

pengaturan pada susunan saraf pusat, selain itu leptin juga berperan pada

perangsangan saraf simpatis, meningkatkan sensitifitas insulin, natriuresis,

diuresis dan angiogenesis. Normalnya leptin disekresi kedalam sirkulasi

darah dalam kadar yang rendah, akan tetapi pada obesitas umumnya

didapatkan peningkatan kadar leptin dan diduga peningkatan ini

berhubungan dengan hiperinsulinemia melalui aksis adipoinsular. Kadar

leptin pada orang gemuk adalah lebih tinggi dibandingkan orang dengan

berat badan normal. Hiperleptinemia ini mungkin terjadi karena adanya

resistensi leptin (Anonim, 2008).

Resistensi leptin pada ginjal akan menyebabkan gangguan diuresis

dan natriuresis, menimbulkan retensi natrium dan air serta berakibat

meningkatnya volume plasma dan cardiac output, selain itu adanya

vasokonstriksi pembuluh darah ginjal perangsangan saraf simpatis akan

menambah retensi natrium dan air. Pada obesitas cenderung terjadi hal

yang sama, adanya peningkatan volume plasma akan meningkatkan curah


32

jantung yang berakibat meningkatnya tekanan darah, sedangkan resistensi

pembuluh darah sistemik pada obesitas umumnya normal dan tidak

berperan pada peningkatan tekanan darah (Anonim, 2008).

B. KERANGKA TEORI

Genetik

Asupan Tekanan
Obesitas:
Makana Darah
- IMT
n
- TLBK
Aktivitas (trisep dan
Fisik bisep)
- BB/ TB
Faktor Stress Penyakit
Ginjal

Asupan
Natrium

Umur

Jenis Kelamin
33

C. KERANGKA KONSEP

Obesitas Tekanan Darah

D. HIPOTESIS

Ada hubungan antara obesitas dengan tekanan darah pada siswa di

SDN Pedurungan Tengah 02 Semarang.

BAB III

METODE PENELITIAN

A. Ruang Lingkup Penelitian

1. Bidang Penelitian

Penelitian ini termasuk bidang penelitian Gizi Masyarakat.

2. Tempat Penelitian

Tempat penelitian adalah di SDN Pedurungan Tengah 02

Semarang.

3. Waktu Penelitian

a. Pembuatan proposal : September 2008 - Januari 2009

b. Pengambilan data : Juni - Juli 2009

c. Pengolahan data : Juli 2009

d. Penyusunan laporan : Juli 2009

B. Jenis dan Rancangan Penelitian


34

Penelitian ini termasuk jenis penelitian analitik yaitu penelitian

yang menguji hubungan antara dua variabel yaitu obesitas (variabel

independent) dan tekanan darah (variabel dependent).

Penelitian ini menggunakan rancangan cross sectional yaitu

rancangan penelitian yang digunakan untuk melihat hubungan antara dua

variabel, yaitu variabel dependent ( tekanan darah ) dan variabel

independent (obesitas ) pada saat yang bersamaan.

C. Populasi dan Sampel Penelitian

1. Populasi

Populasi dalam penelitian ini adalah semua siswa SD kelas IV dan V

berjumlah 205 anak.

2. Sampel

a. Besar Sampel

Kriteria sampel:

1. Tidak dalam keadaan sakit

2. Tidak sedang memiliki masalah dengan orang tua.

3. Bersedia ikut dalam penelitian.

Jumlah sampel ditentukan berdasarkan rumus:


2
Z (1−α/2 )xP(1−P) xN
n=
d (N −1)+Z 2 (1−α /2 )xP (1−P)
2

2
(1,96 ) x0,256(1-0,256 )x205
¿
(0,1) x (205−1 )+(1,96 )2 x0,256 (1−0,256 )
2
35

= 54 orang

Cadangan 10% = 54 + 5 = 59 orang

Keterangan:

n : jumlah sampel yang dibutuhkan

Z2 (1-α/2) : nilai baku distribusi normal pada α 0,05 (pada

derajat kepercayaan 95%)

P : prevalensi (25,6%)

N : jumlah populasi (205 orang)

d : presisi mutlak yang diinginkan peneliti (0,1)

b. Cara Pengambilan Sampel

Pengambilan sampel menggunakan metode proporsional

random sampling berdasarkan jumlah kelas. Hal ini dilakukan

karena sampel yang akan diambil terdiri dari 4 kelas, yaitu kelas

IVA, IVB, VA dan VB, sehingga tiap-tiap kelas dapat terwakili

secara proporsional sesuai dengan banyaknya populasi yang ada.

Penentuan jumlah sampel berdasarkan pada perbandingan.

Populasi untuk kelas IVA = 48 anak, IVB = 48 anak, VA = 53 anak,

VB = 56 anak. Sehingga jumlah total populasi sebanyak 205 anak.

Sedangkan besar sampel sebanyak 59 anak. Besar masing – masing

sampel untuk kelas IVA, IVB, VA dan VB dapat dihitung sebagai

berikut:

IVA = 48 x 59 = 14 anak
205

IVB = 48 x 59 = 14 anak
36

205

VA = 48 x 59 = 15 anak
205

VB = 48 x 59 = 16 anak
205 +

Jumlah = 59 anak

Tabel 6. Jumlah Sampel

Kelas Jumlah Jumlah Jumlah


populasi tiap Populasi sampel
kelas Total
IVA 48 48 14
IVB 48 96 14
VA 53 149 15
VB 56 205 16

D. Instrumen Penelitian

Alat dan Bahan yang digunakan dalam pengumpulan data adalah:

1. Timbangan injak dengan dengan kapasitas 200 kg dan ketelitian

0,5 kg untuk mengukur Berat Badan, dan microtoice ukuran 200 cm

dengan ketelitian 0.1 cm.

2. Kuesioner yang digunakan untuk mengambil data identitas sampel

3. Spygnomanometer untuk mengukur tekanan darah sistolik dan

diastolik pada anak.

4. Grafik pertumbuhan CDC IMT persentil untuk anak berdasarkan

usia dan jenis kelamin.

E. Jenis dan Cara Pengumpulan data


37

1. Jenis Data

a.Primer

Jenis data yang diperoleh secara langsung oleh peneliti dengan

mencatat langsung melalui wawancara dan pengukuran antropometri

meliputi data nama sampel, umur, jenis kelamin, BB, TB, Tekanan

Darah Sistolik dan Diastolik sampel.

b. Sekunder

Data sekunder meliputi data tentang jumlah siswa, keadaan

geografis dan demografis sekolah, jumlah tenaga pengajar, fasilitas

sekolah.

2. Cara Pengumpulan

1. Data Primer

Data identitas sampel yang diperoleh melalui pengisian kuesioner.

1. Data Umur dihitung melalui jarak antara tanggal

pengambilan data dikurangi tanggal lahir sampel dalam tahun

penuh.

2. Berat Badan (BB) diperoleh dengan mengukur BB sampel

dengan menggunakan timbangan injak dengan kapasitas 200 kg

ketelitian 0.5 kg.

3. Data Tinggi Badan (TB) diperoleh dengan mengukur TB

dengan menggunakan microtoice ukuran 200 cm dengan ketelitian

0.1 cm.
38

4. Data Indeks Masa Tubuh (IMT) diperoleh dan

membandingkan BB dan TB² yang dinyatakan dalam kg/m².

5. Data tekanan darah diperoleh dengan mengukur tekanan

darah sistolik dan diastolik dengan menggunakan

spygnomanometer yang dinyatakan dalam mmHg sebanyak 3 kali

pengukuran pada waktu yang berbeda yang dilakukan oleh

perawat.

2. Data Sekunder

Data–data tentang gambaran umum Sekolah Dasar yang

diperoleh dari catatan sekolah, meliputi:

a. Keadaan geografis dan demografis sekolah

b. Jumlah Siswa dan tenaga pengajar

c. Fasilitas Sekolah

F. Pengolahan Data

1. Pengolahan Data

a. Editing

Kegiatan ini bertujuan untuk mengoreksi data yang telah diperoleh

meliputi kelengkapan, kebenaran, konsistensi dan relevansi jawaban

pertanyaan.

b. Koding

Koding dilakukan untuk kepentingan analisis deskriptif yaitu

dengan memberikan kode pada klasifikasi data, yaitu:


39

Data Indeks Massa Tubuh

a. Kurus, kode 1

b. Normal, kode 2

c. Overweight, kode 3

d. Obesitas, kode 4

c. Pemasukan data (Entry)

Kegiatan memasukan data ke dalam master tabel, berupa data

karakteristik responden, meliputi jenis kelamin, umur, tinggi badan,

berat badan, IMT, status obesitas, tekanan darah sistolik, diastolik, dan

kategori tekanan darah.

G. Analisa Data

1. Univariat

Untuk variabel obesitas akan dideskripsikan nilai Berat Badan

(BB), Tinggi Badan (TB) dan indeks massa tubuh (IMT) sedangkan untuk

variabel tekanan darah akan dideskripsikan tekanan darah sistolik dan

diastolik ke dalam nilai mean, nilai maksimum, dan nilai minimum.

2. Bivariat

Analisis bivariat bertujuan untuk menguji hubungan variabel-

variabel pengaruh dengan variabel terpengaruh menggunakan program

SPSS. Hubungan antara obesitas dengan tekanan darah menggunakan uji:

a. Rank Spearman

Digunakan jika data tidak berdistribusi normal. Untuk mengetahui

kenormalan data menggunakan uji Kolmogorov Smirnov.


40

b. Koreksi Pearson Product Moment

Uji koreksi dilakukan bila data berdistribusi normal. Tingkat

signifikansi ditentukan dengan batas α = 0,05, jika:

1. p value > 0,05 maka Ho diterima dan Ha ditolak, berarti

tidak ada hubungan antara variabel yang diteliti.

2. p value ≤ 0,05 maka Ho ditolak dan Ha diterima, berarti ada

hubungan antara variabel yang diteliti.

Keeratan hubungan antar variabel ditunjukkan dengan nilai koefisien r.

Nilai koefisien berkisar antara –1 sampai +1 berdasarkan ambang batas

nilai r. Dengan syarat data berasumsi hubungan linier. Interpretasi

terhadap hasil adalah:

r = 0 artinya tidak berkorelasi

r = 0,01 – 0,20 artinya hubungan sangat rendah

r = 0,21 – 0,40 artinya hubungan rendah

r = 0,41 – 0,60 artinya hubungan agak rendah

r = 0,61 – 0,80 artinya hubungan cukup tinggi

r = 0,81 – 0,99 artinya hubungan tinggi

r = 1 artinya hubungan sangat tinggi (Usman, Husnaini dan Purnomo,

2000).

H. Definisi Operasional

Variabel Definisi Operasioanal Alat Ukur/ Hasil Ukur Skala


instrument

Obesitas Nilai IMT yang ditentukan Timbangan Nilai IMT Interval


41

dengan perhitungan berat injak dan


badan (BB) dalam kg dibagi microtoice
tinggi badan (TB) kuadrat
dalam satuan m.
Tekanan Kekuatan darah yang mengalir Sphygnoma Nilai Interval
darah di dinding pembuluh darah nometer tekanan
yang keluar dari jantung saat darah
berkontraksi dan yang kembali sistolik dan
ke jantung saat rileks yang diastolik
diukur dengan cara auskultasi.

BAB IV

HASIL DAN PEMBAHASAN

A. Gambaran Umum

1. Lokasi Penelitian

Penelitian ini dilakukan di SDN Pedurungan Tengah 02 Semarang

yang terletak di jalan Soekano Hatta No. 05 Kelurahan Pedurungan Tengah

Kecamatan Pedurungan Kota Semarang. SDN Pedurungan Tengah 02

Semarang berdiri pada tahun 1930 dengan luas tanah 3085 m 2 dan luas

bangunan 1047 m2. Saat ini mempunyai 657 siswa dari 6 kelas yang masing-
42

masing kelas terdiri dari kelas A dan kelas B. Distribusi siswa untuk masing-

masing kelas dapat dilihat pada tabel 7.

Tabel 7. Distribusi Jumlah Siswa Menurut Kelas dan Jenis Kelamin

No Kelas L P Jumlah
1 I 45 35 80
2 II 64 58 122
3 III 66 77 143
4 IV 52 46 98
5 V 62 48 110
6 VI 53 51 104
Jumlah 342 315 657

Fasilitas yang dimiliki SDN Pedurungan Tengah 02 Semarang

antara lain 12 ruang kelas, ruang kepala sekolah, ruang guru, ruang Usaha

Kesehatan Sekolah, ruang komputer, ruang Gudep, ruang laboratorium

bahasa, ruang laboratorium sains (IPA), ruang perpustakaan dan kantin.

Sedangkan untuk tenaga kepegawaian terdiri dari 1 kepala sekolah, 14 guru

kelas, 12 guru mapel, 1 pustakawan, 2 penjaga sekolah, 2 tata usaha, dan 1

orang satpam.

Mata pelajaran yang diberikan di SDN Pedurungan Tengah 02

Semarang sesuai dengan kurikulum yang ditetapkan Dinas Pendidikan

termasuk muatan lokal. Proses belajar mengajar dibedakan menjadi 2 yaitu

kegiatan belajar mengajar yang dilakukan secara tatap muka di kelas dengan

alokasi waktu yang telah ditetapkan dalam satu pelajaran dan kegiatan

kurikuler yaitu kegiatan belajar mengajar yang dilakukan dengan memberi

tugas kepada siswa diluar jam intra kurikuler.

Sedangkan untuk meningkatkan ketrampilan dan pengetahuan siswa

selain mendapat pelajaran di kelas adanya ekstra kurikuler yang dijadikan


43

alternatif pilihan siswa. Jenis ekstra kurikuler di SDN Pedurungan Tengah

02 Semarang antara lain seni musik ( band, vocal, ansamble music), seni

tari, sempoa, komputer, pramuka, renang, dokter kecil, seni lukis, dan

taekwondo.

2. Karakteristik Sampel

a. Jenis Kelamin

Sampel dalam penelitian ini adalah siswa kelas IV dan V SDN

Pedurungan Tengah 02 Semarang berjumlah 54 anak yang terdiri dari

laki-laki dan perempuan. Distribusi sampel menurut jenis kelamin dapat

dilihat pada diagram 2.

Diagram 2. Distribusi Sampel Menurut Jenis Kelamin

Diagram di atas menunjukkan bahwa jumlah sampel laki-laki

lebih banyak yaitu 29 anak (53,7%) dibandingkan perempuan yaitu 25

anak (46,3%).

b. Umur
44

Usia anak Sekolah Dasar biasanya berkisar antara 6 – 10 tahun

untuk perempuan dan laki – laki antara 8 – 12 tahun (Tanuwidjaya,

2002). Distribusi sampel menurut umur dapat dilihat pada tabel 8.

Tabel 8. Distribusi Sampel Menurut Umur

Laki-laki (n=29) Perempuan(n=25)


Mi Mea
Variabel Mi Ma Mea Mi Ma Mea Max SD
SD SD n n
n x n n x n
10, , 10, , 10, ,
Umur (tahun) 10 13 10 12 10 13
9 672 5 655 7 661

Berdasarkan tabel di atas dapat diketahui bahwa umur minimum

sampel adalah 10 tahun dan umur maksimum adalah 13 tahun. Adapun

rerata umur sampel adalah 10,7±0,661 tahun.

Rata-rata umur anak laki-laki adalah 10,9 tahun dan perempuan

10,5 tahun. Menurut WHO, umur 10 – 19 tahun merupakan masa remaja

atau adolesensi. Jika dipandang dari aspek psikologis dan sosialnya,

masa remaja adalah suatu fenomena fisik yang berhubungan dengan

pubertas. Masa pubertas adalah masa transisi antara masa anak dan

dewasa dimana terjadi suatu percepatan pertumbuhan (growth spurt).

Masa remaja berlangsung melalui 3 tahapan yaitu masa remaja awal

(10-14 tahun), menengah (15-16 tahun) dan akhir (17-20 tahun)

(Pardede, 2002). Rerata umur sampel 10,7 tahun menunjukkan bahwa

sampel termasuk dalam masa remaja awal.

3. Deskripsi Hasil Pengukuran

Data pengukuran yang dikumpulkan antara lain berat badan, tinggi

badan dan Indeks Massa Tubuh (IMT). Deskripsi Hasil Pengukuran dapat

dilihat pada tabel di bawah ini.


45

Tabel 9. Deskripsi Hasil Pengukuran variabel obesitas

Laki-Laki (n=29) Perempuan (n=25)


Variabel
Min Max Mean SD Min Max Mean SD
14, 10,
Berat Badan (kg) 22,0 78,0 44,7 20,0 58,0 39,5
7 9
Tinggi Badan (cm) 125,2 169,0 143,2 9,3 127,2 152,0 140,4 6,5
Indeks Massa Tubuh (kg/m2) 13,2 33,3 21,3 5,0 12,4 27,9 19,8 4,6

Berdasarkan tabel di atas dapat diketahui bahwa rerata berat badan

anak laki-laki adalah 44,7 kg lebih besar daripada anak perempuan yang

hanya 39,5 kg. Pada anak laki-laki berat badan minimal sebesar 22,0 kg

dan maksimal 78,0 kg, sedangkan anak perempuan berat badan minimal

20,0 kg dan maksimalnya 58,0 kg. Hal ini kemungkinan dipengaruhi oleh

hormon, dimana pada anak laki-laki terdapat hormon testosteron sebagai

androgen metabolik yang menyebabkan peningkatan berat badan anak

laki-laki lebih banyak pada ototnya dibandingkan deposisi lemaknya.

Anak laki-laki umur 10 – 17 tahun mempunyai massa otot dua kali lipat

dibandingkan dengan anak perempuan (Soetjiningsih, 2004).

Rerata tinggi badan anak laki-laki sebesar 143,2 cm yang lebih

tinggi dibandingkan anak perempuan yaitu 140,4 cm. Hal ini berbeda

dengan pendapat Pardede dan penelitian Soetjiningsih. Pardede

menyatakan pada usia kronologis yang sama, ketika berada di kelas V dan

VI, anak laki-laki seringkali lebih pendek daripada anak perempuan

(Pardede, 2002). Penelitian Soetjiningsih (1998) di Bali menunjukkan

bahwa pada umur 12 tahun anak perempuan mempunyai berat dan tinggi

badan yang lebih besar daripada anak laki-laki. Perbedaan tersebut dapat

disebabkan penelitian Soetjiningsih yang sudah representatif mewakili


46

semua sekolah yang ada di Bali, sedangkan penelitian ini hanya dilakukan

pada satu sekolah yang termasuk golongan sekolah menengah ke atas.

B. Analisis Data

1. Analisis Univariat

a. Obesitas

Hasil penelitian menunjukkan bahwa rerata IMT anak laki-laki

lebih tinggi yaitu 21,3 kg/ m2 dibandingkan anak perempuan yang hanya

19,8 kg/ m2 . Pada anak laki-laki dan perempuan nilai minimalnya

masing-masing sebesar 13,2 kg/m2 dan 12,4 kg/m2. Sedangkan nilai

maksimal pada anak laki-laki sebesar 33,3 kg/m2 dan pada anak

perempuan 27,9 kg/m2. Hasil tersebut terlihat pada tabel 9. IMT anak

laki-laki dan perempuan yang tinggi tersebut menunjukkan bahwa nilai

tersebut melebihi persentil ke-95 menurut umur dan jenis kelamin yang

berarti anak tersebut termasuk dalam kategori obesitas. Distribusi

sampel berdasarkan IMT dapat dilihat pada tabel 10.

Tabel 10. Distribusi Frekuensi IMT Menurut Jenis Kelamin

Perempuan Laki-Laki
IMT
n Persen n Persen
Kurus 3 12,0 1 3,4
Normal 11 44,0 13 44,8
Overweight 4 16,0 5 17,2
Obesitas 7 28,0 10 34,5
Total 25 100,0 29 100,0

Berdasarkan tabel di atas diketahui bahwa sebagian besar sampel

baik laki-laki maupun perempuan berstatus gizi normal, sedangkan yang

paling sedikit adalah kurus. Overweight dan obesitas memiliki jumlah


47

yang signifikan, yaitu 48,2%. Sedangkan obesitas saja sebanyak 17 anak

(31,5%) yang terdiri dari 7 anak perempuan (28,0%) dan 10 anak laki-

laki (34,5%). Hasil tersebut lebih tinggi dibandingkan dengan penelitian

Mihardja, dkk yang hanya terdapat 22,4% sampel yang memiliki berat

badan di atas normal. Pada penelitian ini, overweight dan obesitas

didapatkan lebih banyak pada anak laki-laki daripada anak perempuan.

Hal yang sama ditunjukkan pada penelitian Romdhonah bahwa rerata

IMT anak laki-laki lebih tinggi dibandingkan anak perempuan dengan

selisih 1 kg/ m2 (Romdhonah, 2008).

b. Tekanan Darah

Banyak faktor yang mempengaruhi tekanan darah pada anak,

antara lain umur, jenis kelamin, tinggi badan dan berat badan. Dengan

bertambahnya umur, berat badan dan tinggi badan ikut pula bertambah

sampai anak mencapai usia dewasa. Keadaan ini akan berpengaruh

terhadap nilai tekanan darah anak (Bahrun, 1993).

Tabel 11. Deskripsi Tekanan Darah Sampel


Laki-Laki (n=29) Perempuan (n=25)
Variabel Mea Mea
Min Max n SD Min Max n SD
Tekanan Darah Sistolik 130, 110, 11, 131, 105, 10,
90,0 81,7
(mmHg) 0 1 3 7 9 6
Tekanan Darah Diastolik
60,0 90,0 73,0 7,0 60,0 90,0 72,9 7,6
(mmHg)

Tabel di atas menunjukkan bahwa rerata tekanan darah sistolik

anak laki-laki lebih tinggi yaitu 110,1 mmHg dibandingkan anak

perempuan yang hanya 105,9 mmHg. Nilai minimal tekanan darah anak

laki-laki adalah 90,0 mmHg dan perempuan 81,7 mmHg. Sedangkan


48

nilai maksimal anak laki-laki lebih rendah dibandingkan anak

perempuan yaitu 130,0 mmHg dan 131,7 mmHg.

Rerata tekanan darah diastolik antara laki-laki dan perempuan

mempunyai nilai yang hampir sama, yaitu 73,0 mmHg dan 72,9 mmHg.

Sedangkan nilai minimal dan maksimal pada anak laki-laki maupun

perempuan sama yaitu masing-masing sebesar 60,0 mmHg dan 90,0

mmHg.

Tekanan darah yang tinggi pada anak dikaitkan dengan faktor

risiko untuk terjadinya hipertensi pada masa dewasa. Hal ini karena

hipertensi primer (esensial) telah teridentifikasi pada anak dan remaja.

Hipertensi primer pada anak biasanya dikarakteristikkan pada hipertensi

ringan atau hipertensi tingkat 1 yang sering dikaitkan dengan riwayat

hipertensi keluarga atau penyakit kardiovaskuler. Anak dan remaja

dengan hipertensi primer kebanyakan mengalami kelebihan berat badan

(overweight) (National High Blood Pressure Education Program

Working Group on High Blood Pressure in Children and Adolescents,

2004).

2. Analisis Bivariat

Tekanan darah sistolik dan diastolik meningkat sesuai dengan IMT,

dan pada anak yang obesitas memiliki risiko yang lebih tinggi dalam

perkembangan hipertensi jika dibandingkan anak yang normal (Sorof,

2002).

a. Obesitas dengan Tekanan Darah Sistolik


49

Obesitas merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi

hipertensi. Hasil analisa uji statistik dengan menggunakan rank

spearman menunjukkan bahwa ada hubungan antara obesitas dengan

tekanan darah sistolik (p=0,000). Hal tersebut menunjukkan bahwa

semakin tinggi IMT, maka tekanan darah sistolik juga akan meningkat.

Berdasarkan uji keeratan hubungan, obesitas dan tekanan darah sistolik

memiliki hubungan yang cukup tinggi (r = 0,664). Untuk lebih jelasnya

dapat dilihat pada diagram tebar di bawah ini.

Diagram 3. Diagram Tebar IMT dengan Tekanan Darah Sistolik

b. Obesitas dengan Tekanan darah Diastolik

Hasil analisa uji statistik dengan menggunakan rank spearman

menunjukkan bahwa ada hubungan antara obesitas dengan tekanan

darah diastolik (p=0,000). Hal tersebut menunjukkan bahwa semakin

tinggi IMT, maka tekanan darah diastolik juga akan meningkat.


Te ka n an D a rah D ia st ol ik

0 .0
1 5 .0
1 I n
dek
0 s
2 .0 M a
s s
a T
2 u
b
.0 u
5 0 h 3 0
. 0 5 .0
3
6 0
. 0

6 5
.0 0 RS
q L
i n
e a
r= 0 .5
4
7 0
. 0

7 5
.0 0

8 0
. 0

8 5
.0 0

9 0
. 0

Berdasarkan uji keeratan hubungan, obesitas dan tekanan darah

diastolik memiliki hubungan yang cukup tinggi (r=0,739). Hubungan

tersebut dapat dilihat pada diagram tebar di bawah ini.

Diagram 4. Diagram Tebar IMT dengan Tekanan Darah Diastolik


50

Hasil tersebut didukung oleh pernyataan Bahrun bahwa anak yang

lebih berat dan atau lebih tinggi mempunyai nilai tekanan darah yang

lebih tinggi dibandingkan dengan anak sebaya yang badannya lebih

kurus dan berat badannya kurang (Bahrun, 1993).

Keterkaitan obesitas dan tekanan darah adalah karena sirkulasi

insulin yang meningkat pada anak obesitas sehingga menyebabkan

retensi garam pada ginjal dan menyebabkan peningkatan tekanan darah.

Selain itu, pada obesitas didapatkan adanya peningkatan volume

plasma dan curah jantung yang juga akan meningkatkan tekanan darah

(NHBPEP Working Group on High Blood Pressure in Children and

Adolescents, 2004).

Data pada program skrining kesehatan di sekolah di Amerika

menunjukkan bahwa prevalensi hipertensi meningkat secara progresif

dengan peningkatan IMT dan hipertensi dideteksi pada 30% anak yang

mengalami kelebihan berat badan (IMT > persentil ke-95). Hubungan

yang kuat antara hipertensi dan obesitas ditandai dengan peningkatan

prevalensi obesitas pada anak-anak yang mengindikasikan bahwa


51

hipertensi dan pre-hipertensi menjadi masalah kesehatan yang

signifikan pada usia anak-anak (NHBPEP Working Group on High

Blood Pressure in Children and Adolescents, 2004).

Hubungan yang cukup tinggi antara obesitas dan tekanan darah

menunjukkan bahwa kelebihan berat badan selalu dihubungkan dengan

kenaikan tekanan darah. Pengontrolan berat badan tidak hanya

menurunkan tekanan darah, tetapi juga menurunkan sensitivitas

terhadap garam dan menurunkan faktor risiko kardiovaskular seperti

dislipidemia dan resistensi insulin. Sebuah studi menunjukkan bahwa

pengurangan IMT sebanyak 10% dapat menurunkan tekanan darah

antara 8 – 12 mmHg. Identifikasi terhadap komplikasi kelebihan berat

badan seperti hipertensi dapat menjadi motivator bagi pasien dan

keluarga untuk membuat perubahan (The Fourth Report on the

Diagnosis, Evaluation, and Treatment of High Blood Pressure in

Children and Adolescents, 2005).

BAB V
PENUTUP

A. Kesimpulan

1. Obesitas pada anak sebesar 31,5%, pada anak perempuan sebesar 28,0%

dan anak laki-laki 34,5%.

2. Rerata, nilai minimal dan nilai maksimal tekanan darah sistolik pada anak

laki-laki adalah 110,1±11,3 mmHg, 90,0 mmHg dan 130,0 mmHg.

Sedangkan pada anak perempuan sebesar 105,9±10,6 mmHg, 81,7 mmHg

dan 131,7 mmHg.


52

3. Rerata, nilai minimal dan nilai maksimal tekanan darah diastolik pada

anak laki-laki adalah 73,0±7,0 mmHg, 60,0 mmHg dan 90,0 mmHg.

Sedangkan anak perempuan adalah 72,9±7,6 mmHg, 60,0 mmHg dan 90,0

mmHg.

4. Ada hubungan antara obesitas dengan tekanan darah sistolik (p=0,000) dan

juga tekanan darah diastolik (p=0,000). Obesitas dan tekanan darah sistolik

serta diastolik memiliki hubungan yang cukup tinggi (r =0,664 dan r =0,739 ).

B. Saran

1. Perlu dilakukan monitor berat badan, tinggi badan dan tekanan

darah secara rutin setiap 6 bulan sekali sebagai upaya preventif.

2. Perlu adanya pendidikan dan penyuluhan kepada orang tua, tenaga

pengajar dan siswa tentang bahaya dan cara pencegahan obesitas.

3. Perlu adanya penelitian lanjutan tentang faktor-faktor yang

mempengaruhi obesitas dan tekanan darah pada anak sekolah, misalnya


53

aktivitas fisik, riwayat keluarga dan asupan makanan dengan sampel yang

lebih representatif (mewakili suatu wilayah).

Anda mungkin juga menyukai