Anda di halaman 1dari 107

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Konsumsi masyarakat terhadap obat seiring waktu terus meningkat.

Peningkatan konsumsi obat ini mendorong terjadinya penumpukan obat di rumah

tangga (Abahussain and Ball, 2007). Menurut World Health Organization (WHO),

lebih dari separuh obat-obatan diresepkan dengan tidak tepat menyebabkan obat

menjadi tidak terpakai (World Health Organization, 2012).

Obat tidak terpakai (obat kedaluwarsa, rusak, tidak digunakan) telah

menjadi isu global karena menimbulkan dampak merugikan secara ekonomi,

lingkungan dan kesehatan (West et al., 2016). Sebuah penelitian di Taiwan

mencatat sebanyak kurang lebih 2,6 ton obat tidak terpakai dibuang (Chien et al.,

2013), survei di Inggris pada tahun 2009 mengestimasi harga obat tidak terpakai

di National Health Service (NHS) mencapai £300 juta setiap tahunnya (Trueman

et al., 2010). Penelitian di Vienna mengestimasi nilai obat yang sudah

kedaluwarsa mencapai 8,1 juta euro, sedangkan di Swiss obat-obatan yang

berakhir di tempat sampah mencapai lebih dari 400 juta euro per tahunnya

(Vogler et al., 2014).

Selain merugikan secara ekonomi, obat yang dibuang dengan cara yang

tidak tepat menimbulkan risiko terhadap keselamatan dan lingkungan yang serius.

Pada sebuah penelitian di Jerman oleh Ternes menemukan banyak senyawa obat

di perairan beberapa di antaranya adalah parasetamol, asam asetil salisilat,

1
2

benzafibrat dan carbamazepine (Ternes, 1998). Dalam studi monitoring kualitas

air di Amerika Serikat, Koplin et al. mendeteksi adanya senyawa obat antibiotik

linkomisin (Koplin et al., 2002). Meskipun ditemukan dalam jumlah yang relatif

kecil, senyawa obat dapat memberikan efek karena adanya perbedaan sensitivitas,

lama paparan dan adanya campuran zat yang bisa jadi memiliki efek yang lebih

besar (Altenburger, Walter and Grote, 2004).

Pedoman mengenai cara pengolahan obat tidak terpakai (kedaluwarsa,

tidak terpakai, rusak) telah dimuat dalam Guideline for Safe Disposal of

Unwanted Pharmaceuticals in and after Emergencies dari WHO pada tahun 1999,

dalam dokumen ini diketahui bahwa limbah obat dihancurkan dengan cara-cara

yang berbeda terrgantung jenis sediaannya. Pada tahun 2013, Food and Drug

Adminstration (FDA) Amerika Serikat mengeluarkan panduan untuk konsumen

tentang cara membuang obat yang tepat. Di tahun 2015 Badan Pengawas Obat

dan Makanan (BPOM) melalui Gerakan Nasional Peduli Obat dan Pangan Aman

(GNPOPA) dan Ikatan Apoteker Indonesia (IAI) melalui gerakan DAGUSIBU

(Dapatkan, Gunakan, Simpan, Buang) melakukan kampanye edukasi kepada

masyarakat mengenai cara, menggunakan, menyimpan dan cara membuang obat

yang benar (BPOM RI, 2015).

Ketersediaan informasi tentang cara membuang obat yang aman tidak

banyak diketahui oleh masyarakat sehingga menyebabkan pemahaman dan

kesadaran masyarakat yang kurang dalam membuang obat tidak terpakai. Oleh

karena itu perlu adanya program kerja dari pemerintah melalui tenaga dan sarana

pelayanan kesehatan untuk memberikan informasi dan edukasi yang cukup


3

kepada masyarakat. West et al., berdasarkan penelitiannya di Malta, menemukan

bahwa perlu dilakukan usaha lebih untuk mengedukasi masyarakat tentang cara

membuang obat yang benar dan meningkatkan kesadaran masyarakat mengenai

dampak sampah obat (West et al., 2016). Salah satu fakta kurangnya kesadaran

masyarakat tentang penanganan obat tidak terpakai terjadi di Indonesia. Pada

akhir tahun 2012, Kepolisian Reskrim (Reserse Kriminal) Metro Kota Bekasi

menemukan adanya tindakan pengedaran obat yang sudah tidak terpakai dan

kedaluwarsa oleh pemulung di Tempat Pembuangan Sampah Terpadu (TPST)

Bantargebang (Astuti, 2016). Obat yang dikumpulkan dijual kembali dan

jumlahnya mencapai 12.000 butir obat kedaluwarsa (Purba, 2016).

Bandung merupakan salah satu kota dengan kepadatan penduduk yang

cukup tinggi. Jumlah penduduk Kota Bandung menurut laporan Badan Pusat

Statistik (BPS) pada tahun 2016 adalah 2.490.622 jiwa (Badan Pusat Statistik,

2017). Berdasarkan data dari Dinas Kesehatan Kota Bandung, fasilitas kesehatan

di Kota Bandung total berjumlah 1.070 fasilitas kesehatan yang meliputi rumah

sakit umum, rumah sakit khusus, puskesmas rawat inap dan non rawat inap, balai

pengobatan/klinik, apotek dan toko obat (Badan Pusat Statistik, 2017). Sebanyak

71 % di antaranya adalah apotek dan toko obat (Badan Pusat Statistik, 2017).

Keberadaan fasilitas kesehatan yang banyak di Kota Bandung dapat

meningkatkan jumlah masyarakat yang menggunakan obat, sehingga risiko

penumpukkan obat tinggi. Berdasarkan kondisi tersebut penulis bermaksud untuk

melakukan penelitian tentang bagaimana gambaran kesadaran masyarakat Kota


4

Bandung terhadap penanganan obat tidak terpakai. Penelitian ini dilakukan

dengan metode survei yang berlangsung dari Oktober 2017 hingga Januari 2018.

1.2 Identifikasi Masalah

Identifikasi masalah berdasarkan latar belakang antara lain:

1. Bagaimana gambaran kesadaran masyarakat Kota Bandung terhadap

penanganan obat tidak terpakai?

2. Apakah terdapat hubungan antara aspek karakteristik demografi responden

dengan kesadaran terhadap penanganan obat tidak terpakai?

1.3 Tujuan Penelitian

Tujuan dari penelitian ini antara lain:

1. Menggambarkan kesadaran masyarakat kota Bandung terhadap penanganan

obat tidak terpakai

2. Mengetahui hubungan antara aspek karakteristik demografi responden dengan

kesadaran penanganan obat tidak terpakai

1.4 Kegunaan Penelitian

Hasil penelitian ini diharapkan dapat berguna bagi perkembangan

pengetahuan khususnya pada bidang farmasi dan kesehatan. Hasil dari penelitian

ini juga diharapkan dapat menjadi data awal mengenai kesadaran masyarakat kota

Bandung terhadap penanganan obat tidak terpakai untuk dilakukan penelitian

lebih lanjut dan dapat menjadi salah satu dasar untuk menentukan metode yang
5

tepat dalam melakukan edukasi kepada masyarakat mengenai cara membuang

obat yang tepat.

1.5 Metode Penelitian

Penelitian ini merupakan penelitian potong lintang deskriptif dengan

metode survei menggunakan alat pengumpul data berupa kuesioner untuk

melakukan pengamatan terhadap kesadaran masyarakat Kota Bandung tentang

kesadaran terhadap penanganan obat tidak terpakai dan dampaknya. Secara

singkat penelitian ini dilakukan melalui tahapan berikut:

1. Pengajuan surat pengantar izin penelitian di luar kampus

2. Pengajuan izin etik dari Komisi Etik Fakultas Kedokteran Universitas

Padjadjaran

3. Validasi kuesioner

4. Pengumpulan data melalui survei daring (online) dan wawancara secara

langsung dengan responden

5. Pengolahan dan analisis data

1.6 Lokasi dan Waktu Penelitian

Penelitian ini dilakukan di sejumlah tempat umum antara lain pusat

keramaian, taman, alun – alun, pusat perbelanjaan di Kota Bandung selama

periode Oktober 2017 hingga Januari 2017.


BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Kesadaran

Berdasarkan definisi dari Kamus Bahasa Inggris Internasional Cambridge

menyatakan bahwa kesadaran merupakan suatu keadaan di mana seseorang

mampu memahami apa yang sedang terjadi. Rogers (1974) dalam Syarifudin

(2009) menyebutkan bahwa kesadaran merupakan tahap pertama dalam adopsi hal

baru dalam lingkungan di mana orang menyadari atau dengan kata lain

mengetahui keberadaan objek baru tersebut (Syarifudin, 2009). Widjaya (1984)

berpendapat bahwa kesadaran merupakan suatu keadaan dimana seseorang merasa

mengetahui, mengerti dan merasa terhadap suatu hal tertentu (Widjaya, 1984).

Lebih jauh Widjaya (1984) menyebutkan bahwa terdapat dua sifat kesadaran

yakni:

a. Kesadaran yang bersifat statis, merupakan suatu bentuk kesadaran dengan

ketentuan yang ada dalam masyarakat

b. Kesadaran yang bersifat dinamis, merupakan suatu bentuk kesadaran yang

cenderung timbul dari dalam diri sendiri dan tumuh karena adanya rasa

tanggung jawab

6
7

2.1.1 Faktor yang Mempengaruhi Kesadaran

Menurut Soekanto (1982) kesadaran mempunyai empat indikator utama

yang merupakan suatu tahapan kondisi kesadaran seseorang antara lain

pengetahuan, pemahaman, sikap dan pola perilaku (Soekanto, 1982). Pengetahuan

menurut Notoatmodjo (2003) mempunyai enam tingkatan di antaranya

1. Tahu (know) merupakan suatu keadaan di mana seseorang mengenal suatu

objek dan dapat mendefinisikan objek tersebut;

2. Memahami (comprehension) adalah suatu keadaan di maan seseorang

dapat menjelaskan objek yang dipahami dan mampu menginterpretasikan

objek dengan benar;

3. Aplikasi (application) merupakan suatu keadaan di mana seseorang dapat

menerapkan pengetahuan dan pemahaman terhadap objek dalam kondisi

nyata;

4. Analisis (analysis) merupakan suatu kondisi seseorang dapat menjabarkan

secara rinci suatu objek;

5. Sintesis (synthesis) adalah kemampuan seseorang menyusun rancangan,

formulasi, atau teori baru berdasarkan objek yang dipahami;

6. Evaluasi (evaluation) adalah kondisi di mana seseorang dapat melakukan

penilaian terhadap suatu objek

(Notoatmodjo, 2003)

Menurut N.Y Bull dalam Djahiri (1985) menyebutkan bahwa kesadaran

memiliki beberapa tingkatan antara lain:


8

1) Kesadaran bersifat anomous adalah suatu tahap kesadaran paling rendah

dimana kesadaran terjadi tanpa dasar yang jelas baik alasan maupun

orientasinya

2) Kesadaran bersifat heteronomous adalah tahap kesadaran yang dilandasi

oleh berbagai dasar/orientasi yang berubah-ubah

3) Kesadaran bersifat sosio-nomous adalah tahap kesadaran yang didasarkan

pada perilaku umum yang terjadi di masyarakat

4) Kesadaran bersifat autosnomous adalah tahap kesadaran yang

berlandaskan pada konsep dari dalam diri sendiri

(Djahiri, 1985)

2.2 Obat

Menurut Undang – undang Nomor 36 tahun 2009 sediaan farmasi adalah

berupa obat, bahan obat, obat tradisional dan kosmetika sedangkan obat

didefinisikan sebagai “bahan atau paduan bahan, termasuk produk biologi yang

digunakan untuk mempengaruhi atau menyelidiki sistem fisiologi atau keadaan

patologi dalam rangka penetapan diagnosis, pencegahan, penyembuhan,

pemulihan, peningkatan kesehatan dan kontrasepsi untuk manusia” (Republik

Indonesia, 2009).

Efek obat terhadap tubuh terjadi karena adanya interaksi senyawa obat

dengan komponen dalam tubuh yang dikenal sebagai reseptor (Brunton, Chabner

and Knollmann, 2011). Besarnya efek yang ditimbulkan suatu obat bergantung
9

pada dosis obat yang masuk ke dalam tubuh. Suatu obat dapat memberikan

manfaat jika dosis yang diberikan berada dalam rentang dosis efektif dan dapat

bersifat toksik jika dosis yang diberikan berlebihan (Craig and Stitzel, 1997).

Berdasarkan Peraturan Menteri Kesehatan No. 917/1993 obat dibagi ke

dalam 4 golongan antara lain:

1. Obat Bebas

Obat bebas merupakan obat yang dijual secara bebas di pasaran dan dapat

diperoleh tanpa resep dari dokter. Obat golongan ini ditandai dengan etiket

bertanda lingkaran hijau dengan tepi garis berwarna hitam.

2. Obat Bebas Terbatas

Obat bebas terbatas merupakan obat yang dapat diperoleh tanpa resep dokter

namun dibatasi penggunaanya dan disertai dengan tanda-tanda peringatan

tertentu. Tanda khusus untuk golongan obat bebas terbatas adalah berupa

lingakaran berwarna biru dengan tepi garis berwarna hitam.

3. Obat Keras dan Psikotropka

Obat keras merupakan obat yang hanya dapat diperoleh jika disertai dengan

resep dokter. Golongan obat keras ditandai dengan lingkaran berwarna merah

dan tepi garis berwarna hitam disertai tulisan “K” berwarna hitam dalam

lingkaran.

Psikotropika merupakan golongan obat keras baik yang berasal dari alam

maupun hasil sintesis yang bukan termasuk narkotika yang memiliki efek

psikoaktif pada sistem saraf dan menyebabkan perubahan pada perilaku dan

mental.
10

4. Obat Narkotika

Obat narkotika adalah obat yang dapat berasal dari tanaman maupun bukan

tanaman, berupa zat hasil sintesis maupun semi sintesis yang dapat

menimbulkan perubahan dan menurunnya kesadaran, hilangnya rasa,

pengurangan hingga hilangnya rasa nyeri dan bersifat menyebabkan

ketergantungan.

2.3 Perilaku Masyarakat dalam Penggunaan Obat

Obat merupakan elemen penting dalam pelayanan kesehatan yang

digunakan untuk pengobatan penyakit kronis maupun keluhan ringan.

Penggunaan obat seiring waktu terus meningkat. IMS Health Prognostic

memprediksi pengeluaran total global untuk obat pada tahun 2020 akan mencapai

1,4 trilyun dolar, hal ini disebabkan adanya peningkatan akses terapi penyakit

kronis (IMS Institute for Healthcare Informatics, 2016).

Perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi serta informasi

memberikan pengaruh dalam berbagai bidang tak terkecuali pada bidang

kesehatan. Masyarakat umum semakin sadar terhadap pentingnya menjaga

kesehatan yang ditunjukan dengan meningkatnya praktik masyarakat dalam

melakukan pengobatan sendiri (swamedikasi). Swamedikasi diartikan sebagai

pemilihan dan penggunaan obat oleh individu untuk menangani keluhan

kesehatan tertentu (Ruiz, 2010) tanpa konsultasi dengan dokter (Hernandez-Juyol

and Job-Quesada, 2002)


11

Praktik swamedikasi banyak dilakukan di berbagai negara baik negara

maju maupun negara berkembang. Hasil peninjauan World Self Medication

Industry (WSMI) terhadap survei di 25 negara menunjukkan sekitar 25%

responden menggunakan obat bebas untuk menangani permasalahan

kesehatannya, 25% di antaranya menggunakan obat resep dan 50% tidak

menggunakan obat (World Self-Medication Industry, 2006). Di Punjab, India,

prevalensi praktik swamedikasi mencapai 73% (Bennadi, 2014). Menurut data

Kementerian Kesehatan RI tahun 2012, sebanyak 44,4% masyarakat Indonesia

melakukan praktik pengobatan sendiri dan diketahui 35.2% rumah tangga

menyimpan obat berupa obat keras, antibiotika, obat bebas, obat tradisional dan

obat-obat yang tidak teridentifikasi, yang digunakan untuk pengobatan sendiri

(swamedikasi) (Kementerian Kesehatan, 2013). Sebuah studi komunitas di

Tigray, Etiopia, terhadap sejumlah 1.034 rumah tangga yang diwawancara, 293 di

antaranya menyimpan obat di rumah dan lebih dari setengahnya obat tidak

disimpan dengan baik (Wondimu et al., 2015). Penyimpanan yang tidak tepat

dapat menyebabkan obat menjadi rusak dan tidak terpakai dan berdampak pada

ekonomi dan sistem kesehatan (Auta et al., 2012).

Menurut World Health Organization (WHO) kepatuhan dalam pengobatan

didefinisikan sebagai tingkat kesesuaian perilaku pasien dengan anjuran yang

diberikan oleh petugas kesehatan (Dobbels et al., 2005). Ketidaktpatuhan dalam

konsumsi obat merupakan suatu fenomena umum terjadi dan dipengaruhi oleh

berbagai faktor. Berdasarkan analisis-meta pada 569 studi yang dilakukan oleh

Van Dulmen et al. rata-rata laju ketidakpatuhan dalam konsumsi obat mencapai
12

25% (Van Dulmen et al., 2007). Penyebab ketidakpatuhan ini antara lain efek

samping obat (Hugtenburg et al., 2013) polifarmasi (Marcum and Gellad, 2012),

dan faktor ketidaksengajaan seperti lupa dan tidak tahu cara penggunaanya. Suatu

penelitian di Inggris menemukan bahwa sekitar 15 juta orang tidak menyelesaikan

pengobatannya dan sekitar 30 – 70% pasien tidak mengonsumsi obat sebagaimana

diresepkan (Zargazdeh, Tavakoli and Hassanzadeh, 2005).

Perilaku masyarakat dalam menggunakan obat terdapat keterkaitan

dengan keberadaan sampah obat. Kepatuhan pasien dalam mengonsumsi obat

yang rendah mengakibatkan obat tidak terpakai dan menjadi sampah obat. Praktik

swamedikasi mendorong masyarakat menggunakan obat dengan jumlah yang

tidak tertentu. Oleh karena itu pengobatan swamedikasi dan ketidakpatuhan

penggunaan obat merupakan faktor pendorong jumlah obat tidak terpakai atau

sampah obat meningkat (Buck, 2007; De Bolle et al., 2008; Matlin et al., 2015).

2.4 Obat Tidak Terpakai

Menurut WHO sampah farmasi adalah suatu produk farmasi yang sudah

kedaluwarsa, terkontaminasi atau tidak digunakan (World Health Organization,

2015). Obat merupakan suatu produk farmasi, obat tidak terpakai dapat

didefinisikan sebagai suatu produk obat baik obat resep ataupun obat bebas yang

tidak habis dikonsumsi (Abou-Auda, 2003) karena telah kedaluwarsa (Halloran,

Frewen and Frost, 1978) atau tanggal kedaluwarsa tidak tertera dengan jelas
13

(Sweileh et al., 2010) pada label maupun kemasannya (Zargazdeh, Tavakoli and

Hassanzadeh, 2005).

Obat yang berada di lingkungan berasal dari berbagai aktivitas di fasilitas

kesehatan seperti pada preparasi sediaan intravena, peracikan, pembersihan,

penggunaan vial dan syringe, sediaan yang tidak digunakan ataupun obat yang

sudah kedaluwarsa (Smith, 2008). Perhatian tentang adanya obat di lingkungan

meningkat mengingat keberadaan senyawa obat dalam lingkungan dapat berakibat

pada lingkungan itu sendiri dan manusia karena senyawa obat merupakan bersifat

aktif secara biologis (California Department of Toxic Substance Control, 2007).

2.5 Perilaku Masyarakat dalam Membuang Obat Tidak Terpakai

Penggunaan obat baik obat resep atau obat bebas pada kenyataanya tidak

seluruhnya digunakan, karena berbagai alasan obat – obat tersebut bersisa dan

tidak terpakai. Beberapa alasan tersebut antara lain adanya peningkatan kondisi

kesehatan pasien, pasien atau dokter secara sengaja menghentikan proses

pengobatan karena pertimbangan efek samping atau kurang efektif, meninggalnya

pasien dan terlalu banyak obat (Coma et al., 2008).

Sebagai suatu bahan kimia, obat tidak dapat dibuang dengan cara yang

sembarangan. Meskipun begitu, masyarakat cenderung membuang obat tidak

terpakai dengan cara-cara tertentu. Banyak penelitian yang sudah dilakukan untuk

menelusuri bagaimana masyarakat membuang obat tidak terpakai. Sebuah survei


14

yang dilakukan di Amerika Serikat pada tahun 1996 oleh Kuspis dan Krenzelok di

100 apotek dan mengikutsertakan sekitar 500 pasien menemukan bahwa 54%

pasien membuang obat ke tempat sampah, 35,4% melalui saluran air, 7,2% tidak

membuangnya, 2% tetap disimpan untuk digunakan (sampai batas kedaluwarsa),

1,4% mengembalikannya ke apotek (Kuspis and Krenzelok, 1996). Pada survei

lain cara paling umum digunakan oleh masyarakat untuk membuang obat adalah

melalui tempat sampah atau dimasukkan ke dalam sampah rumah tangga, cara ini

digunakan di Kuwait (Abahussain and Ball, 2007), Inggris Raya (Bound, Kitsou

and Voulvoulis, 2006). Namun, berbeda dengan hasil sebelumnya, sebuah

penelitian di Swedia menemukan bahwa sekitar 45% responden dalam penelitian

mengembalikan obat ke apotek atau tetap menyimpannya di rumah (Persson,

Sabelström and Gunnarsson, 2009). Hasil serupa terdapat di Jerman, cara

pengembalian ke apotek juga menjadi praktik utama masyarakatnya untuk

‘membuang’ obat yang sudah tidak terpakai (Kusturica, Tomas and Sabo, 2017)

Perbedaan cara membuang obat tak terpakai terjadi pada bentuk sediaan

yang berbeda. Pada studi yang dilakukan di Selandia Baru, sediaan tablet, kapsul,

dan sediaan semisolid lebih sering dibuang melalui tempat sampah/sampah rumah

tangga, sedangkan sediaan cair umum dibuang melalui toilet (Braund, Gn and

Robynne, 2009).
15

2.6 Dampak Negatif Obat Tidak Terpakai

Obat yang tidak terpakai memiliki risiko berbahaya bukan hanya terhadap

lingkungan namun juga berisiko pada keselamatan masyarakat sekitar. Di

samping itu, obat yang tidak terpakai disimpan dengan tidak aman ataupun

dibuang dalam keadaan utuh mendorong terjadinya penyalahgunaan obat. Di

Amerika Serikat pada tahun 2001 hingga 2008, US Poison Control Centre

menerima lebih dari 450.000 laporan kasus penggunaan obat yang tidak disengaja

(accidental) oleh anak – anak yang berasal dari obat tidak terpakai (Wu and

Juurlink, 2014). Di tahun 2015 kondisi serupa terjadi dengan sedikit penurunan

yakni menjadi 440.000 laporan (Mowry et al., 2016). Pada tahun 2014 kunjungan

keracunan pada anak – anak di instalasi gawat darurat mencapai 57.448

kunjungan (Lovegrove, Weilde and Budnitz, 2015) dan 95% diantaranya terjadi

karena paparan yang tidak disengaja disebabkan karena kelalaian dalam

penyimpanan obat (MacKay et al., 2016).

Kontaminasi lingkungan oleh senyawa obat semakin sering terjadi dan

mulai mencapai tingkat mengkhawatirkan (Depledge, 2011). Dampak obat

terhadap lingkungan muncul jika obat-obat yang tidak terpakai dibuang oleh

masyarakat dengan cara atau ke tempat yang tidak seharusnya. Pembuangan obat

melalui saluran air, tanah, pembakaran di ruang terbuka dapat mengakibatkan

pencemaran lingkungan perairan dengan senyawa obat di mana senyawa obat itu

memiliki aktivitas terhadap makhluk hidup sehingga dapat menimbulkan

ketidakseimbangan ekosistem (Boxall, 2004).


16

Keberadaan obat di lingkungan berasal dari pembuangan obat melalui

saluran air, sampah rumah tangga, dan lain sebagainya. Dua dari cara umum

pembuangan obat yakni melalui toilet dan saluran air (Glassmeyer et al., 2009)

menyebabkan pencemaran pada lingkungan perairan. Fram dan Belitz dalam

penelitiannya menemukan sejumlah 14 senyawa obat dalam air tanah yang

digunakan sebagai pasokan air minum (Fram and Belitz, 2011) di antaranya

antibiotik, analgesik, antiepilepsi dan antihipertensi. Antibiotik yang mencemari

lingkungan meningkatkan resistensi bakteri. Hasil temuan lainnya diperoleh dari

penelitian Sanchez et al. di Perancis pada ikan di perairan Sungai Dore. Ikan yang

diperiksa diketahui mengalami kerusakan endokrin dan ditemukannya kelainan

seks pada ikan jantan (Sanchez et al., 2011).

Ditinjau secara ekonomi, keberadaan obat tidak terpakai mengakibatkan

kerugian bagi berbagai pihak. Obat – obat yang tidak terpakai jika diestimasikan

ke dalam satuan mata uang akan menghasilkan nilai yang cukup besar seperti

yang dilakukan di Inggris Raya (Trueman et al., 2010) dan Amerika Serikat

(Garey et al., 2004). Estimasi harga obat-obatan yang tidak terpakai di Inggris

mencapai £38 milyar (Zargazdeh, Tavakoli and Hassanzadeh, 2005), di New

Zealand berkisar antara $9 milyar dan $11 milyar (Braund, Gn and Robynne,

2009), di Australia mencapai AUS$ 1.308 per pasien dan $150 juta di Arab Saudi

dan negara timur tengah setiap tahunnya (Abou-Auda, 2003). Selain itu besarnya

anggaran kesehatan untuk pengadaan obat menjadi tidak efektif karena sejumlah

besar obat pada akhirnya tidak dibutuhkan karena peresepan yang tidak
17

diperlukan, kurangnya kepatuhan pasien, dan buruknya manajemen stok obat

(OECD, 2017).

2.7 Upaya untuk Mengurangi Obat Tidak Terpakai

Sebagai upaya untuk mengurangi paparan senyawa obat pada lingkungan

berbagai pihak termasuk pemerintah di berbagai negara telah mengeluarkan

kebijakan khusus baik berupa program, kampanye, maupun penerbitan petunjuk

praktis pembuangan obat yang tepat.

2.7.1 Pedoman Pembuangan Obat Tidak Terpakai

World Health Organization (WHO) pada tahun 1999 menerbitkan

pedoman penanganan obat tidak terpakai termasuk di dalamnya obat tidak

terpakai. Pedoman ini meliputi pemilahan obat tidak terpakai berdasarkan bentuk

sediaan dan kandungan senyawa aktif serta metode pembuangan obat yang sesuai

dengan kategori pemilahan.

1. Metode Pembuangan Obat Tidak Terpakai

Metode untuk membuang atau menghancurkan obat antara lain:

a. Pengembalian ke pabrik

b. Landfill

Metode landfill dilakukan dengan cara menempatkan obat tidak terpakai

secara langsung ke dalam suatu situs/area pembuangan tanpa perlakukan


18

terlebih dahulu (World Health Organization, 1999). Metode ini ada tiga

tipe yaitu open uncontrolled non-engineered dump, engineered landfill,

dan highly engineered sanitary landfill.

c. Enkapsulasi

Enkapsulasi dilakukan dengan membungkus obat dengan benda padat,

plastik, dan logam drum. Kemudian dicampur dengan semen dan sampah

lainnya dan ditimbun di dalam tanah (World Health Organization, 1999)

d. Inertisasi

Inertisasi merupakan suatu jenis proses enkapsulasi yang dilakukan

dengan terlebih dahulu melepaskan kemasan obat baik itu berupa kertas,

plastik, dari obat. Kemudian obat dihancurkan dan dicampurkan dengan

air, semen dan limun sehingga membentuk pasta homogen kemudian

dipindahkan ke dalam tanah dan dicampur dengan sampah padat (World

Health Organization, 1999)

e. Pembuangan melalui saluran air

Sampah obat yang berupa cairan seperti sirup dan cairan intravena (IV)

diencerkan dengan air kemudian diuang melalui saluran air sedikit demi

sedikit (World Health Organization, 1999)

f. Pembakaran dalam kontainer

Cara ini jarang dan tidak direkomendasikan untuk digunakan karena

dapat menyebabkan terlepasnya zat toksik ke lingkungan.

g. Insinerasi dengan temperatur medium

Insinerasi dengan temperatur tinggi


19

h. Dekomposisi kimia

Metode ini dilakukan jika perangkat insinerasi tidak tersedia dan

disetujui oleh ahli kimia dalam prosesnya.

2. Pemilahan Obat Tidak Terpakai

Pemilahan obat tidak terpakai yang dimaksud menurut dokumen WHO

(World Health Organization, 1999) adalah sebagai berikut:

a. Pemilahan awal, pada langkah ini meliputi pemilahan obat yang sudah

tidak layak pakai

b. Memisahkan obat berdasarkan kandungan senyawa obat dan bentuk

sediaan

c. Kandungan senyawa obat : narkotika, zat psikotropik, obat antibiotik,

antikanker (antineoplastik), antiseptik dan disinfektan

d. Bentuk sediaan obat : (1) padat, semi-padat dan serbuk (tablet, kapsul,

serbuk injeksi, krim, losion, gel, supositoria); (2) cairan (larutan,

suspense, sirup, emulsi), ampul; (3) sediaan aerosol.

Adapun rekomendasi metode pembuangan obat tidak terpakai berdasarkan

bentuk sediaan dan kandunngan senyawa aktif adalah sebagai berikut:

Tabel 2.1 Rekomendasi Cara Membuang/Menghancurkan Sampah Obat (World

Health Organization, 1999)

Kategori Metode Pembuangan Keterangan


Sediaan padat Landfill
Sediaan semi-
Enkapsulasi limbah obat
padat
Sediaan Inertisasi limbah obat
20

serbuk Insinerasi pada temperatur


medium hingga tinggi
Sediaan cairan Pembuangan melalui saluran air Kecuali antineoplastika
Hancurkan ampul dan bilas ke
Ampul Kecuali antineoplastika
dalam saluran air
Larutan antibiotik harus
diencerkan dengan air,
Enkapsulasi limbah obat didiamkan beberapa
minggu dan dibuang
Antibiotik
melalui saluran air
Inertisasi limbah obat
Insinerasi pada temperatur
medium hingga tinggi
Harus dienkapsulasi
Pengembalian ke pabrik sebelum dibuang dengan
metode landfill
Tidak dibuang melalui
Enkapsulasi limbah obat
saluran air
Tidak boleh diinsinerasi
Antineoplastik
Inertisasi limbah obat dengan temperatur
medium
Insinerasi pada temperatur
medium hingga tinggi
(cement kiln incinerator)
(chemical decomposistion)
Harus dienkapsulasi
Enkapsulasi limbah obat seblum dibuang dengan
metode landfill
Obat kontrol
Inertisasi limbah obat
ketat
Insinerasi pada temperatur
medium hingga tinggi
(cement klin incinerator)
Sediaan Jangan dibakar: dapat
landfill dan enkapsulasi
aerosol menyebabkan ledakan

2.7.2 Program pengembalian obat tidak terpakai (drug take back program)

Program pengembalian obat merupakan salah satu media bagi masyarakat

umum untuk mengembalikan obat-obatan yang tidak terpakai, rusak, atau


21

kedaluwarsa kepada suatu fasilitas kesehatan atau lembaga tertentu (Yang, Doshi

and Mason, 2015) sebagai upaya agar obat - obat tersebut dapat dibuang dengan

cara yang tepat. Beberapa negera yang sudah menerapkan program ini adalah

Amerika Serikat melalui Drug Enforcement Administation (DEA) dan Inggris

melalui National Health Service (NHS) (Tong, Peake and Braund, 2011).

Di Indonesia, pengembalian obat yang sudah memasuki waktu

kedaluwarsa dan rusak di atur dalam ranah peraturan distribusi obat yang lebih

dikenal dengan istilah penarikan kembali (recall). Berdasarkan Keputusan Kepala

Badan Pengawas Obat dan Makanan tentang Penerapan Pedoman Cara Distribusi

Obat yang Baik, penarikan kembali adalah suatu tindakan penarikan obat dari

rantai distribusi karena adanya keluhan reaksi obat yang serius, kerusakam obat,

kedaluwarsa, atau masalah terkait legalitas obat, kemasan dan lainnya yang

dilakukan berdasarkan pihak yang berwenang baik pemerintah, industri, importir

maupun distributor (BPOM RI, 2003).

2.6.1 Kampanye

Panduan pembuangan obat yang dimuat dalam dokumen WHO lebih

mudah diterapkan oleh suatu lembaga dengan fasilitas khusus pengelolaan

sampah obat. Kampanye pembuangan obat ini betujuan untuk mempromosikan

cara membuang obat yang benar yang dapat dilakukan oleh pasien/secara individu
22

Pada tahun 2013, Food and Drug Administration (FDA) di Amerika

Serikat menerbitkan suatu lembar informasi konsumen terkait cara membuang

obat (FDA, 2013). Pedoman yang keluarkan FDA adalah sebagai berikut:

1. Mengikuti instuksi cara membuang obat yang tertera pada label obat

2. Memanfaatkan program pengembalian obat jika tersedia

3. Jika tidak terdapat instruksi khusus, pembuangan obat dilakuan dengan cara

berikut:

a. Melepaskan obat dari kemasannya

b. Menghilangkan informasi yang tertulis pada wadah obat

c. Mencampurkan obat dengan sampah lainnya sehingga tidak dapat

dikenali

d. Masukkan campuran sampah ke dalam suatu plastik atau tempat lainnya

kemudian buang bersamaan dengan sampah rumah tangga

Di Indonesia pada tahun 2015 Badan Pengawasan Obat dan Makanan

(BPOM) mencanangkan Gerakan Nasional Peduli Obat dan Pangan Aman

(GNPOPA) (BPOM RI, 2015) dalam gerakan ini dimuat langkah-langkah praktis

untuk membuang obat dengan aman antara lain:

a. Menghilangkan semua label informasi pada wadah obat

b. Obat dengan bentuk sediaan kapsul, tablet atau yang berbentuk padat

terlebh dahulu harus dihancurkan kemudian dicampur dengan tanah

atau bahan yang kotor kemudian dibuang ke tempat sampah

c. Obat yang berbentuk cairan yang bukan obat antibiotik maka obat

dibuang ke saluran air. Obat cair berupa antibiotik dibuang bersama


23

wadahnya dengan terlebih dahulu menghilangkan label pada wadah

obat

Cara membuang obat berbeda sesuai dengan jenis obat dan bentuk sediaan

diantaranya dengan melepas semua label pada kemasan obat, menggerus,

mencampurkannya dengan sampah lain, mengencerkan (jika obat dalam bentuk

cairan) kecuali pada obat antibiotik cair yang harus dibuang beserta wadahnya ke

dalam tempat sampah. Ikatan Apoteker Indonesia (IAI) melalui gerakan

DAGUSIBU (Dapatkan, Gunakan, Simpan, Buang) melakukan kampanye edukasi

kepada masyarakat mengenai cara, menggunakan, menyimpan dan cara

membuang obat yang benar (BPOM RI, 2015).


24

2.8 Kerangka Konsep

Keterkaitan antar variabel atau hal-hal dalam permasalahan obat tidak

terpakai yang digunakan dalam menyusun teori maupun melihat hubungan yang

penting pada permasalahan tersebut ditunjukan pada Gambar 2.1.

Gambar 2.1 Kerangka konsep


25

Adapun kerangka pemikiran pada penelitian ini untuk melihat hubungan

karakteristik demografi responden dengan kesadaran terhadap penmasalahan obat

tidak terpakai dan dampaknya ditunjukan pada Gambar 2.2

Gambar 2.2 Kerangka pemikiran


BAB III

METODE PENELITIAN

3.1 Rancangan Penelitian

Penelitian ini merupakan studi potong lintang deskriptif korelatif dengan

pengambilan data dilakukan melalui survei. Penelitian deksriptif bertujuan untuk

memberikan gambaran suatu variabel yang independen (Sugiyono, 2004). Studi

potong lintang adalah suatu penelitian di mana peneliti melakukan observasi dan

pengukuran variabel pada satu waktu tertentu (Saryono, 2008).

3.2 Definisi Variabel Operasional

Variabel menurut Notoatmodjo (2002) meupakan suatu yang menjadi

atribut/ciri yang dimiliki oleh unit-unit dalam pengamatan yang berbeda dengan

unit lainnya (Notoatmodjo, 2002). Pada penelitian ini terdapat beberapa variabel

yang diamati antara lain variabel demografi responden, kesadaran informasi

mengenai penanganan obat tidak terpakai yang aman, kesadaran/pengetahuan

mengenai dampak penanganan obat tidak terpakai dan kesadaran mengenai

permasalahan dan dampak obat tidak terpakai. Variabel demografi meliputi jenis

kelamin, umur, riwayat pendidikan, pekerjaan, besaran pendapatan. Definisi

operasional merupakan definisi variabel secara operasional yang didasarkan pada

26
27

karakteristik yang diamati sehingga objek dapat diukur dengan cermat (Hidayat,

2007). Definisi operasional dalam penelitian ini disajikan pada Lampiran 1.

3.3 Alur Penelitian

Langkah-langkah yang dilakukan pada penelitian ini dapat diamati pada

Gambar 3.1.

Gambar 3.1 Alur penelitian

3.4 Waktu dan Lokasi Penelitian

Penelitian ini dilakukan di sejumlah tempat umum antara lain pusat

keramaian, taman, alun – alun, pusat perbelanjaan di Kota Bandung . Pengolahan


28

data dilakukan di Fakultas Farmasi Universitas Padjadjaran pada bulan Oktober

2017 hingga Januari 2018.

3.5 Populasi dan Sampel

Populasi menurut Sugiyono (2012) adalah keseluruhan objek atau subjek

yang memilki ciri-ciri tertentu yang dipilih oleh peneliti untuk dipelajari/diteliti

(Sugiyono, 2012). Sampel merupakan objek yang diteliti yang mewakili populasi

penelitian (Notoatmodjo, 2002).

3.5.1 Populasi

Populasi dalam penelitian ini adalah masyarakat umum Kota Bandung.

Berdasarkan data penduduk kota Bandung pada tahun 2016 diketahui jumlah

penduduk kota Bandung adalah 2.490.622 jiwa. Populasi target dalam penelitian

ini adalah masyarakat kota Bandung yang berumur 18 tahun atau lebih.

Sedangkan, populasi terjangkau dalam penelitian ini adalah masyarakat kota

Bandung yang berkunjung ke sejumlah tempat umum antara lain taman, alun –

alun, pusat keramaian maupun tempat lainnya yang dipilih dalam waktu penelitian

di Kota Bandung.
29

3.4.1 Sampel

1. Ukuran Sampel

Ukuran sampel pada penelitian ini menggunakan rumus Slovin karena

jumlah populasi penelitian diketahui. Perhitungan menggunakan rumus Slovin

adalah sebagai berikut,

Rumus Slovin

𝑁
𝑛=
(1 + 𝑁. 𝑒 2 )

Keterangan:

n = jumlah sampel

N = jumlah populasi

E = toleransi galat (error tolerance)/taraf signifikansi;

lazimnya menggunakan 0.05

(Husein, 2004)

Perhitungan ukuran sampel

2.490.622
𝑛= = 399,936
(1 + 2.490.622(0.05)2

Berdasarkan hasil perhitungan sampel yang dibutuhkan adalah 400,

sampel minimum ditambah 10% untuk mengantisipasi adanya responden yang

mengundurkan diri saat penelitian. Sehingga sampel dalam penelitian ini adalah

400 + 10% (400) = 440 responden.


30

2. Kriteria Sampel

a. Kriteria Inklusi

i. Masyarakat kota Bandung yang berumur 18 tahun atau lebih

ii. Bersedia menjadi responden

iii. Memahami bahasa Indonesia

iv. Berkunjung ke tempat penelitian terpilih, dalam hal kuesioner online

responden dapat membuka laman internet kuesioner

v. Pernah menggunakan obat

b. Kriteria Eksklusi

i. Mengundurkan diri saat penelitian

ii. Informasi tidak lengkap

3. Teknik Pengambilan Sampel

Penelitian ini menggunakan teknik pengambilan sampel Non probability

sampling yaitu suatu teknik pengambilan sampel dimana setiap unsur dalam

populasi tidak memiliki kesempatan yang sama untuk menjadi sampel (Ferdinand,

2006). Metode pengambilan sampel yang digunakan baik wawancara langsung

maupun kuesioner daring (online) adalah accidental sampling. Cara pengambilan

sampel secara accidental sampling didasarkan pada ketersediaan responden dan

kemudahan dalam mendapatkannya (Susila and Suyanto, 2014).


31

3.6 Etika Penelitian

Pada penelitian ini dilakukan permohonan izin etik penelitian kepada

Komisi Etik Penelitian Kesehatan Fakultas Kedokteran Universitas Padjadjaran.

Etika penelitian dilakukan sebagai upaya melindungi hak serta kerahasiaan

responden dan peneliti dalam penelitian. Keterlibatan responden dalam penelitian

bersifat sukarela sehingga responden mempunyai hak untuk mengundurkan diri

dari penelitian. Menurut Hidayat (2007) etika yang harus diperhatikan oleh

penelitia adalah sebagai berikut:

a. Lembar persetujuan (informed consent)

Lembar persetujuan merupakan dokumen yang berisi pernyataan kesediaan

responden dalam mengikuti penelitian dan berfungsi sebagai lembar

informasi mengenai penelitian (Hidayat, 2007).

b. Tanpa nama (anonymity)

Peneliti menjamin subjek bahwa tidak akan mencantumkan nama subjek

dalam lembar kuesioner (Hidayat, 2007).

c. Kerahasiaan (confidentiality)

Peneliti menjamin kerahasiaan informasi responden kecuali beberapa data

yang digunakan sebagai hasil penelitian (Hidayat, 2007).


32

3.7 Pengumpulan dan Pengolahan Data

Pada tahap ini dilakukan pengembangan kuesioner sebagai alat pengumpul

data, penetuan metode pengumpulan dan analisis data sehingga dapat diperoleh

gambaran hasil penelitian menggunakan serangkaian metodee tertentu.

3.7.1 Jenis dan Sumber Data

Sumber data yang diperoleh dari penelitian ini merupakan sumber data

primer. Data primer merupakan data yang diperoleh peneliti secara langsung dari

objek penelitian (Siregar, 2013). Data di peroleh dari wawancara langsung dan

informasi dari responden melalui online.

3.7.2 Metode Pengumpulan Data

Metode pengumpulan penelitian ini dilakukan melalui kuesioner

terstruktur yang disebarkan secara langsung kepada masyarakat dan melalui

media internet.

3.7.3 Alat Pengumpul Data

Alat pengumpul data yang digunakan dalam penelitian ini adalah berupa

kuesioner. Kuesioner merupakan suatu alat penelitian berupa sekumpulan

pertanyaan maupun pernyataan tertulis yang ditujukan dan dijawab oleh


33

responden (Sugiyono, 2004). Kuesioner kesadaran terhadap penanganan obat

tidak terpakai diadaptasi dari penelitian Al-Shareef et al. (Al-Shareef et al., 2016),

Nurolaini et al. (Nurolaini, Sultana and Wae See, 2016) dan Labu et al.(Labu et

al., 2013). Kuesioner mengenai kesadaran terhadap isu dan dampak obat tidak

terpakai dengan skala ukur Likert diadaptasi dari penelitian West et al. (West et

al., 2016).

Pertanyaan dalam kuesioner dibuat dalam tiga tipe yakni pertanyaan

terbuka, pertanyaan tertutup dan kuesioner dengan skala Likert. Pertanyaan

terbuka membebaskan responden untuk menjawab tanpa ada batasan, sedangkan

pertanyaan tertutup membatasi jawaban yang dapat diberikan responden pada

pilihan jawaban yang disediakan dalam kuesioner. Pada kuesioner skala Likert

responden diberikan pilihan jawaban antara “sangat setuju” “setuju”, “tidak

yakin”, “tidak setuju”, dan “sangat tidak setuju” terhadap pernyataan mengenai

pengetahuan mengenai isu permasalahan dan dampak obat tidak terpakai.

1. Uji Validitas

Pengujian validitas bertujuan untuk menilai apakah suatu alat ukur

benar-benar mengukur tepat apa yang diukurnya. Tiap item dalam kuesioner

dapat disebut valid jika r hitung > r tabel (Ghozali, 2005). Pengujian ini

dilakukan terhadap 20 orang yang tidak termasuk responden dan dilakukan di

luar lokasi penelitian, namun memiliki karakteristik yang sama dengan

responden di lokasi penelitian (Notoatmodjo, 2002).


34

Uji validitas dilakukan dengan melakukan uji korelasi antara skor tiap

item pertanyaan dengan total skor dari kuesioner tersebut dengan korelasi

Pearson product moment (Notoatmodjo, 2002).

2. Uji Reliabilitas

Pengujian reliabilitas kuesioner bertujuan untuk mengetahui sejauh

mana suatu kuesioner dapat menunjukkan hasil yang konsisten pada

pengukuran yang berulang terhadap gejala yang serupa (Notoatmodjo, 2002).

Alpha-Cronbach adalah metode untuk menguji reliabilitas kuesioner

di mana standar yang digunakan berupa perbandingan nilai r hitung dengan r

tabel dengan taraf signifikansi 5% dan taraf kepercayaan 95% (Notoatmodjo,

2002). Jika nilai Alfa Cronbach lebih besar dari 0,600, maka kuesioner

dikatakan reliabel (Trihendradi, 2011).

Rumus reliabilitas Alfa-Cronbach (Sugiyono, 2004)

𝑘 ∑ 𝑆𝑖 2
𝑟𝑖 = {1 − }
(𝑘 − 1) 𝑆𝑡 2

Keterangan:

k = rata – rata kuadrat antara subjek

∑ 𝑆𝑖 2 = rata – rata kuadrat keasalan

𝑆𝑡 2 = varians total
35

3.7.4 Prosedur Pengumpulan Data

Pengumpulan data dilakukan melalui dua cara yaitu melalui wawancara

secara langsung dan kuesioner daring (online).

1. Wawancara langsung

a. Mencetak sejumlah kuesioner untuk disebarkan secara langsung pada

masyarakat

b. Menjelaskan penelitian yang dilakukan dan tujuannya dan menanyakan

kebersediaan responden untuk mengikuti penelitian

c. Melakukan wawancara terpimpin dengan responden menggunakan

lembar observasi dan kuesioner

d. Peneliti menerima data

e. Melakukan pengolahan data

2. Survei daring (online)

a. Membuat kuesioner dalam suatu formulir online

b. Kuesioner disebarkan melalui media online baik media sosial maupun

media lainnya

c. Menjelaskan penelitian melalui deskripsi singkat pada laman kuesioner

d. Menanyakan kebersediaan responden untuk mengikuti penelitian dengan

mengajukan pertanyaan kesediaan pada kuesioner online

Dalam hal pengisian secara online, penilaian kesesuaian kriteria responden

dapat diperoleh dari data berikut:


36

1) Responden menuliskan domisili kota Bandung

2) Responden memilih kategori umur 18 tahun atau lebih

3) Responden mengisi “Setuju” pada permintaan kesediaan menjadi

responden

4) Responden menjawab “Ya” pada pertanyaan kepemilikan obat

5) Jawaban responden diperoleh lengkap pada rikhtisar di Google Form

e. Responden mengisi kuesioner

f. Peneliti menerima data

g. Peneliti melakukan pengolahan data

3.7.5 Pengolahan Data

Data yang diperoleh selanjutnya diolah melalui langkah-langkah berikut (Hidayat,

2007):

1. Editing, pada tahap ini dilakukan pemeriksaan isian kuesioner meliputi

kelengkapan, kejelasan tulisan, relevansi jawaban dengan pertanyaan dan

konsistensi.

2. Coding, pada tahap ini dilakukan pengubahan data dari huruf menjadi

billangan sehingga mudah untuk dilakukan analisis.

3. Entry data, merupakan tahap memasukkan data ke dalam suatu program

statistik di computer

4. Cleaning, pada tahap ini dilakukan pemeriksaan ulang terhadap data untuk

melihat kesalahan, ketidaklengkapan, dan lainnya.


37

3.7.6 Analisis Data

Analisis data univariat digunakan untuk menganalisis data dari setiap

variabel penelitian (Notoatmodjo, 2002). Analisis bivariat digunakan untuk

menelusuri hubungan anatar satu variabel bebas dengan variabel terikat (Hastono,

2006).

Tabel 3.1 Analisis Data

Analisis Variabel Jenis Data Analisis Data


Univariat Umur Kategorik/Ordinal Deskriptif
Jenis Kelamin Kategorik/Nominal Deskriptif
Pekerjaan Kategorik/Nominal Deskriptif
Pendidikan Kategorik/Ordinal Deskriptif
Pendapatan Kategorik/Ordinal Deskriptif
Kesadaran
informasi tentang
permasalahan obat Kategorik Deskriptif
tidak terpakai dan
penanganannya
Kesadaran tentang
dampak obat tidak Kategorik Deskriptif
terpakai
Bivariat Hubungan
karakteristik
demografi jenis
kelamin, kesadaran
Kategorik Chi square
informasi dengan
kesadaran terhadap
penanganan obat
tidak terpakai
Hubungan
karakteristik
demografi (umur,
pendidikan,
pendapatan) Kategorik Spearman
dengan kesadaran
terhadap dampak
penanganan obat
tidak terpakai
BAB IV

HASIL DAN PEMBAHASAN

Penelitian mengenai kesadaran masyarakat kota Bandung terhadap

penanganan obat tidak terpakai dilakukan pada 424 responden yang diperoleh

menggunakan kuesioner melalui wawancara langsung dan web-based survey

selama periode penelitian dari November 2017 hingga Januari 2018. Penelitian ini

telah memperoleh izin dari Komisi Etik Penelitian Kesehatan Fakultas

Kedokteran Universitas Padjadjaran dengan Nomor 1222/UN6.C.10/PN/2017.

4.1 Uji Validitas dan Reliabilitas Kuesioner

Uji validitas suatu kuesioner bertujuan untuk melihat kecermatan

kuesioner untuk mengukur variabel yang diukurnya. Kecermatan tersebut dlihat

berdasarkan koefisien korelasi item pertanyaan dalam kuesioner dengan skor total

dalam satu variabel yang sama atau disebut juga dengan validitas item. Penentuan

nilai koefisien korelasi dilakukan dengan menggunakan analisis Pearson Product

Moment. Suatu item pertanyaan dalam kuesioner dinilai valid jika nilai r hitung >

r tabel (Ghozali, 2005). Sedangkan uji reliabilitas diperlukan untuk mengetahui

apakah kuesioner dapat menunjukan hasil yang tetap (konsisten) pada pengukuran

yang berulang (Notoatmodjo, 2002). Uji validitas dan reliabilitas kuesioner

dilakukan terhadap 30 responden yang memiliki karakteristik serupa dengan

38
39

resonden namun tidak diikutsertakan kembali menjadi responden (Riwidikdo,

2008). Hasil uji validitas disajikan pada Tabel 4.1.

Tabel 4.1 Hasil uji validitas

Koefisien Korelasi
No. Pertanyaan Keterangan
(r hitung)
1 P1 0.849 Valid
2 P2 0.887 Valid
3 P3 0.849 Valid
4 P4 0.927 Valid
5 P5 0.805 Valid
6 P6 0.793 Valid

Berdasarkan tabel di atas, semua item pertanyaan dinyatakan valid karena

nilai koefisien korelasi (r hitung) lebih besar dari nilai r tabel yakni 0.361 yang

ditetapkan pada taraf signifikansi 5% untuk 30 data responden.

Reliabilitas kuesioner dengan skala Likert dilakukan menggunakan metode

Alpha-Cronbach yang menunjukkan nilai reliabilitas 0.923 yang dinyatakan

reliabel karena melebihi batas kritis yakni 0.600 (Trihendradi, 2011).

Tabel 4.2 Hasil Uji Reliabilitas

Variabel Nilai Reliabilitas Titik Kritis Keterangan


Kesadaran 0.923 0.600 Reliabel
40

4.2 Gambaran Umum Demografi Responden

Hasil penelitian diperoleh sejumlah 442 data responden dengan eksklusi

pada 18 data sehingga jumlah data yang dimasukkan dalam penelitian ini adalah

424 data responden. Adapun gambaran umum karakteristik demografi responden

pada penelitian ini tersaji pada Tabel 4.3

Tabel 4.3 Demografi Responden Penelitian

Demografi Kategori Frekuensi %


Jumlah responden 424 100.0
Pria 121 28.5
Jenis Kelamin
Wanita 303 71.5
18 – 30 tahun 353 83.3
31 – 40 tahun 19 4.5
Umur
41 – 49 tahun 38 9.0
50 – 59 tahun 14 3.3
SD 4 0.9
SMP 12 2.8
Pendidikan
SMA 254 59.9
Terakhir
Diploma/S1 139 32.8
S2/S3 15 3.5
Pegawai 82 19.3
Wirausaha 26 6.1
Pekerjaan Pelajar/mahasiswa 274 64.6
Tidak ada 24 5.7
Lainnya 18 4.2
≤ Rp1.000.000,- 181 42.7
Rp1.000.000,- – Rp3.000.000,- 161 38.0
Pendapatan
Rp3.000.000 – Rp5.000.000,- 40 9.4
 Rp5.000.000,- 42 9.9
Mempunyai obat Ya 375 88.4
tidak terpakai Tidak 49 11.6
41

Berdasarkan Tabel 4.3, mayoritas responden pada penelitian ini adalah

wanita dengan jumlah mencapai 303 responden (71.5%), kelompok umur

responden terbanyak berada pada rentang 18 – 30 tahun yakni sejumlah 353

responden. Hasil ini menunjukkan perbedaan dari hasil penelitian yang dilakukan

pada masyarakat umum di Malta, di mana sebanyak 92 (23.5%) responden berasal

dari kelompok umur 55 – 64 tahun dan paling sedikit berasal dari kelompok umur

85 tahun lebih (2.1%) dan 18 – 24 tahun (7.2%) (West et al., 2016). Gambaran

responden hampir serupa dengan penelitian yang dilakukan di Riyadh, Arab

Saudi, dengan komposisi 58.9% wanita dan 41% pria dengan sebagian besar

responden berada pada kelompok umur 18 – 25 tahun sebanyak 44.8% (Alshareef

et al., 2016). Akan tetapi berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS) jumlah

penduduk wanita di Kota Bandung lebih sedikit dibandingkan dengan penduduk

pria yakni 1.233.446 jiwa sedangkan penduduk pria bejumlah 1.257.176 jiwa, dan

paling banyak pada rentang umur 15 – 34 tahun (Badan Pusat Statistik, 2017).

Riwayat pendidikan sebagai besar responden adalah pendidikan menengah

(SMA) yang mencapai 254 (59.9%) responden dan paling sedikit adalah

pendidikan sekolah dasar yakni sejumlah 4 (0.9%) responden hasil ini serupa

dengan penelitian di Riyadh (Al-Shareef et al., 2016) dan Serbia (Kusturica et al.,

2012). Menurut besaran pendapatan sebagian besar responden pada penelitian ini

berasal dari kelompok pendapatan kurang dari Rp1.000.000. Sedangkan

berdasarkan pekerjaan sebanyak 271 (66.9%) responden berstatus

pelajar/mahasiswa, hasil ini berbeda dengan yang teramati di Malta dimana

sebagian besar responden merupakan pekerja (47.6%) (West et al., 2016). Sebaran
42

responden serupa juga teramati dari penelitian yang dilakukan oleh Yuningsih

dkk. (Yuningsih, Dewi and Gustyana, 2017) dan Insany dkk. (Insany et al., 2015)

pada masyarakat Kota Bandung.

Sebanyak 88.4% responden memiliki obat tidak terpakai di rumah. Hasil

temuan ini sesuai dengan yang ditemukan di Kabul dimana sebanyak 95.3%

responden memiliki obat tidak terpakai di rumahnya, namun lebih tinggi dengan

yang teramati di Washington yakni 56.4% responden menimpan obat tidak

terpakai di rumah (Seehusen and Edwards, 2006). Jenis obat tersisa yang dimiliki

oleh responden disajikan pada Gambar 4.1.

Pereda nyeri dan demam 42.95%


Vitamin dan suplemen 23.94%
Antibiotik 18.33%
Herbal 6.43%
Obat penurun tekanan darah 3.14%
Obat flu, batuk dan masuk angin 1.23%
Obat penurun gula darah 0.82%
Lainnya 3.14%

Gambar 4.1 Jenis obat tersisa yang dimiliki responden


43

Berdasarkan Gambar 4.1, obat tersisa yang paling banyak dimiliki oleh

responden pada penelitian ini adalah golongan obat pereda nyeri dan demam

(42.95%), kemudian vitamin dan suplemen (23.94%) dan antibiotik (18.33%).

Hasil ini serupa dengan penelitian di Karachi (Ahmed et al., 2013) dan Nigeria

(Auta et al., 2011).

Sebagai salah satu kota besar, masyarakat Kota Bandung memungkinkan

memiliki kesadaran kesehatan tinggi hal ini karena pendidikan yang sudah cukup

baik dan didukung dengan rata-rata pendapatan yang memadai untuk mengenyam

pelayanan kesehatan yang baik pula. Namun adanya obat yang bersisa dari

pengobatan menjadi masalah tersendiri. Risiko yang dapat muncul karena adanya

obat sisa di rumah antara lain penyalahgunaan obat, keracunan obat pada anak-

anak, swamedikasi yang tidak tepat dengan mengonsumsi obat dari pengobatan

sebelumnya.

Obat pereda nyeri dan demam menjadi obat yang paling banyak bersisa,

hal ini dimungkinkan penggunaan terhadap obat-obat ini yang juga tinggi.

Umumnya penggunaan obat pereda nyeri dan demam tidak mengharuskan

dikonsumsi sampai habis namun lebih digunakan jika gejala nyeri dirasakan oleh

pasien. Sehingga dalam hal ini tahap peresepan menjadi penting untuk

memastikan jumlah obat yang diberikan kepada pasien sesuai dengan yang

dibutuhkan oleh pasien,

Pada kasus obat diperoleh melalui swamedikasi, apoteker berperan untuk

memandu pasien untuk memilih obat yang tepat dengan jumlah yang tepat. Selain

itu pemberia informasi mengenai cara penggunaan dan penyimpanan juga


44

diperlukan untuk menghindari kerusakan obat selama masa penyimpanan. Hal

yang sama juga berlaku pada penggunaan vitamin dan suplemen.

Obat antibiotik, obat penurun tekanan darah dan obat penurun gula darah

merupakan obat yang diperoleh melalui peresepan oleh dokter. Obat-obat ini

digunakan untuk mengontrol kondisi tubuh serta antibiotik untuk

menghilangkan/mencegah pertumbuhan mikroba yang menyebabkan infeksi

untuk kurun waktu tertentu. Adanya obat bersisa pada jenis obat ini menunjukan

terdapat pemahaman yang tidak tepat dan kepatuhan pada pengobatan yang

rendah. Dokter dan apoteker sebagai tenaga kesehatan yang berperan dalam

peresepan dan pemberian obat pada pasien dapat melakukan edukasi pada pasien

untuk menjalani pengobatan dengan baik dan mengonsumsi obat sesuai dengan

yang diresepkan. Dengan demikian, adanya obat bersisa yang berasal dari

pengobatan penyaki kronis maupun infeksi dapat dihindari. Adapaun pada

penelitian ini, alasan obat menjadi bersisa disajikan pada Gambar 4.2

Kondisi tubuh membaik 261


Jumlah obat berlebih 87
Obat rusak 26
Pengobatan berubah 25
Terjadi efek samping/alergi 8
Tidak patuh 4
Label pada obat rusak/tidak jelas 4
Kedaluwarsa 3
Pasien meninggal dunia 1
Tidak tahu fungsi obat 1
Tidak ada 1
Hamil 1
Disimpan untuk persediaan 1
0 50 100 150 200 250 300

Gambar 4.2 Alasan obat bersisa/tidak terpakai


45

Alasan utama yang menyebabkan obat tidak terpakai antara lain kondisi

kesehatan tubuh yang membaik (61.6%) dan jumlah obat berlebih (20.5%).

Temuan ini serupa dengan yang diperoleh di Thailand di mana sejumlah 73.5%

responden merasa gejala sudah teratasi sehingga tidak perlu untuk melanjutkan

pengobatan (Wongpoowarak et al., 2004), di Barcelona kondisi membaik

(24.91%) menjadi alasan terbanyak kedua setelah alasan karena obat kedaluwarsa

(Coma et al., 2008), sedangkan di Swedia alasan ini mencapai 18.3% dari 992

responden (Ekedahl, 2006).

Penyampaian informasi kepada pasien tentang pengobatan dan

penyakitnya pada proses KIE (Komunikasi, Informasi dan Edukasi) maupun PIO

(Penyampaian Informasi Obat) membantu meningkatkan kepatuhan pasien dalam

konsumsi obat. Selain itu peresepan obat yang rasional (sesuai dengan kebutuhan

pasien) membantu mengurangi adanya obat bersisa pada pasien.

4.3 Gambaran Kesadaran Masyarakat Kota Bandung Terhadap Informasi


Mengenai Penanganan Obat Tidak Terpakai

Permasalahan mengenai obat yang tidak terpakai sudah menjadi isu

penting di berbagai negara. Obat tidak terpakai mengakibatkan dampak yang

cukup besar pada lingkungan (seperti pencemaran lingkungan), dan ancaman pada

keselamatan individu/masyarakat sekitar serta kerugian secara ekonomi yang

bensar.

Keberadaan informasi mengenai cara penanganan obat tidak terpakai yang

aman sangat diperlukan untuk mendukung tumbuhnya kesadaran terhadap


46

persoalan tersebut. Di Indonesia, sebagai upaya pencegahan terjadinya

penanganan obat tak terpakai yang tidak aman Badan POM sebagai lembaga yang

bertanggung jawab dalam pengawasan obat membuat suatu gerakan inovatif

mengajak masyarakat untuk lebih memperhatikan penanganan obat yang tidak

terpakai agar tidak mencemari lingkungan atau mendorong terjadinya

penyalahgunaan limbah obat melalui program GNPOPA. Gerakan serupa juga

dicanangkan oleh IAI (Ikatan Apoteker Indonesia) melalui program Dagusibu.

Selain mengajak masyarakat untuk memahami cara penggunaan obat yang baik

program ini juga memberikan informasi penting bagaimana obat yang tidak

terpakai harus ditangani. Program-program ini disosialisasikan melalui media

cetak, internet maupun secara langsung pada masyarakat.

Gambaran kesadaran terhadap informasi penanganan obat yang sudah

tidak terpakai disajikan pada Tabel 4.4.

Tabel 4.4 Kesadaran Informasi Cara Membuang Obat Tidak Terpakai


yang Aman

Jumlah
Kesadaran informasi Jawaban responden %
(n=424)
Ya 156 36.8
Mengetahui isu obat tidak terpakai
Tidak 268 63.2
Pernah mendengar kampanye Gema Ya 49 11.6
Cermat/Dagusibu/GNPOPA? Tidak 375 88.4
Pernah menerima informasi mengenai Ya 78 18.4
cara membuang obat dengan benar? Tidak 346 81.6
Mengetahui adanya dampak negative Ya 197 46.5
cara membuang obat yang tidak tepat Tidak 227 53.5
47

Berdasarkan tabel 4.4 diperoleh informasi bahwa sebagian besar

responden belum banyak mengetahui mengenai isu dan permasalahan obat tidak

terpakai hal tersebut dapat dilihat dari jawaban responden pada pertanyaan

‘Apakah Anda mengetahui isu obat tidak terpakai?’ di mana terdapat sebanyak

63.2% responden menyatakan “Tidak tahu”. Hasil dari penelitian ini sesuai

dengan yang ditemukan oleh Labu et al. di mana terdapat sebanyak 63.7%

responden yang belum mengetahui isu permasalahan obat tidak terpakai (Labu et

al., 2013).

Selain itu, lebih dari 80% responden belum pernah menerima informasi cara

membuang obat yang sudah tidak terpakai maupun mendengar informasi

penanganan obat dari kampanye seperti Gema Cermat, Dagusibu dan GNPOPA.

Temuan serupa juga dilaporkan dari beberapa penelitian lainnya dintaranya,

sebuah penelitian di Riyadh melaporkan sebanyak 83% responden tidak pernah

menerima informasi mengenai cara membuang obat yang aman (Al Azmi et al.,

2017), di Tanzania sebanyak 85% responden (Baltazary, 2013) dan Washington

sebanyak 80.3% (Seehusen and Edwards, 2006). Pada penelitian yang dilakukan

di Irlandia, diketahui sebanyak 19% dan 23% responden berturut-turut

menyatakan pernah diberi informasi dan mendengar adanya kampanye

pembuangan obat yang aman (Vellinga et al., 2014).

Hasil penelitian ini menujukkan bahwa meskipun kesadaran pada adanya isu

permasalahan obat tidak terpakai dan informasi cara membuang obat rendah,

kesadaran/pengetahuan responden terhadap adanya dampak obat tidak terpakai

mencapai yakni 46.7 % walaupun hasil ini masih lebih rendah dibandingkan
48

dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh Bashaar et al. di Kabul yakni

mencapai 98% (Bashaar et al., 2017) dan di Gondar, Etiopia, sebesar 85.67%

(Atinafu et al., 2014).

Kesadaran informasi mengenai permasalahan obat tidak terpakai yang

masih rendah tentu merupakan hal yang perlu diperhatikan. Kemungkinan

terjadinya dampak yang tidak diinginkan menjadi tinggi. Tanpa adanya

pengetahuan yang tepat tentang cara membuang obat yang aman, seseorang dapat

membuang obat tanpa melalui perlakuan khusus sebelumnya seperti

menghilangkan segala informasi pada label obat, membuang obat dalam bentuk

utuh dalam kemasan atau membuang obat yang berbentuk larutan ke saluran air

secara langsung. Jika hal tersebut terjadi, konsekuensi dari penanganan yang tidak

tepat tersebut dapat muncul antara lain penyalahgunaan obat bekas, penjualan

kembali obat kedaluwarsa, pencemaran lingkungan perairan (Lubick, 2010), dan

keracunan (Cipto, 2013).

Pada kondisi seperti ini, perluasan informasi mengenai penggunaan obat dan

penanganan obat tidak terpakai perlu dilakukan untuk meningkatkan kesadaran

masyarakat mengenai permasalahan yang diakibatkan oleh penanganan yang tidak

tepat. Edukasi pasien melaui pemberian informasi mengenai penggunaan obat

yang aman dan efektif perlu dilakukan untuk mencegah adanya obat sisa dari

pengobatan pengobatan (Chien et al., 2013; Bashaar et al., 2017). Pemberian

informasi dapat melalui komunikasi personal melalui tenaga kesehatan maupun

menggunakan komunikasi massa seperti televisi, radio, internet, dan lainnya.


49

Pada penelitian ini, responden yang pernah menerima informasi mengenai

cara penanganan obat tidak terpakai yang tepat memperoleh informasi melalui

media berikut.

TV
Perkuliahan 5%
6% Apoteker
26%

Media sosial
22%
Buku
1%
Dokter
6%
Keluarga
4%
Kampanye Internet
13% 17%

Gambar 4.3 Sumber informasi penanganan obat tidak terpakai

Berdasarkan Gambar 4.3 pada responden yang pernah menerima informasi

mengenai cara membuang obat sumber informasi tersebut adalah apoteker (26%),

kemudian media sosial (22%) dan internet (17%) serta sumber informasi lainnya

seperti dokter, perkuliahan, keluarga, buku dan lain-lain. Hasil penelitian ini

sedikit berbeda dengan yang ditemukan di Bangladesh, sebagian besar responden

menerima informasi dari tenaga kesehatan (35.48%) dan media cetak/koran

(32.25%) (Labu et al., 2013).


50

Sumber berupa media komunikai elektronik seperti internet dan media

sosial digunakan cukup banyak oleh responden (57%). Survei Asosiasi

Penyelenggara Jasa Internet Indonesia (APJII) tahun 2016 menyebutkan bahwa

pengguna internet di Indonesia mencapai 132.7 juta dari penduduk total 256.2 juta

jiwa pada tahun yang sama (Asosiasi Penyedia Jasa Internet Indonesia, 2016). Di

samping itu, pengguna media sosial mencapai lebih dari 100 juta jiwa di mana

sebagian besar (54%) menggunakan media sosial Facebook (Asosiasi Penyedia

Jasa Internet Indonesia, 2016). Hal ini tentu akan menjadi wadah sosialisasi yang

masif sehingga penyebaran informasi menjadi semakin luas dan kesadaran

masyarakat terkait penanganan obat tidak terpakai yang aman akan semakin baik.

Penyebaran informasi melalui media massa dapat menjadi cara yang cukup

efektif untuk memperluas jangkauan informasi mengenai penanganan obat tak

terpakai yang aman. Sementara itu, menurut Ratnasari (2005) setelah informasi

tersebar di antara masyarakat untuk meyakinkan masyarakat untuk mau

mengadopsi nilai-nilai yang terdapat dalam informasi tersebut diperlukan seorang

opinion leader atau adanya agen perubahan (Ratnasari, 2008). Bashaar et al.

menjelaskan bahwa tenaga kesehatan dan farmasi komunitas menempati posisi

penting dalam mengedukasi masyarakat tentang penanganan obat tidak terpakai

yang tepat (Bashaar et al., 2017). Perannya dalam pelayanan memungkinkan

tenaga kesehatan untuk banyak berinteraksi dengan pasien dan masyarakat secara

umum. Dengan demikian, disamping melakukan pelayanan sesuai dengan ranah

keprofesiannya, seorang tenaga kesehatan dapat melakukan promosi kesehatan

dalam pekerjaanya.
51

Apoteker sebagai bagian dari tenaga kesehatan yang bertanggungjawab

terhadap penggunaan obat pada pasien dapat menjadi pihak yang sesuai untuk

menjadi sumber informasi penanganan obat tidak terpakai untuk pasien maupun

masyarakat secara umum. Menurut Zorpas et al., peran apoteker antara lain

menjadi pihak yang membantu masyarakat dalam pengumpulan dan melakukan

penanganan obat tak terpakai yang tepat serta mencegah/tidak melakukan

penjualan obat tertentu tanpa adanya resep dari dokter (Zorpas, Dimitriou and

Voukkali, 2017).

Dokter pada umumnya merupakan tenaga kesehatan pertama yang ditemui

oleh pasien untuk menangani permasalahan kesehatannya. Melalui perannya yang

cukup esensial, dokter dapat berperan serta dalam penyampaian informasi

mengenai bahaya obat-obatan terhadap lingkungan dan memberikan obat dengan

jumlah sesuai dengan kebutuhan pasien (Zorpas, Dimitriou and Voukkali, 2017).

4.4 Gambaran Kesadaran Masyarakat Kota Bandung Terhadap Dampak


Penanganan Obat Tidak Terpakai

Kerugian karena membuang obat yang sudah tidak terpakai menimbulkan

dampak buruk bagi lingkungan dan menjadi ancaman serius bagi keselamatan

sekitar. Penanganan yang berbeda pada obat yang sudah tidak terpakai, tentunya

menimbulkan dampak negatif yang berbeda pula. Penyalahgunaan obat-obatan

yang sudah terbuang tak jarang terjadi di tengah masyarakat baik kasus keracunan

obat pada anak (Cipto, 2013) tindakan pejualan obat kedaluwarsa (Prakoso,

2016). Hal ini tentu disebabkan kurangnya kesadaran masyarakat umum dalam
52

menangani obat yang sudah tidak terpakai dengan cara yang aman juga

ketidaktahuan masyarakat pada dampak yang dapat ditimbulkan. Pengetahuan

reponden mengenai akibat yang dapat ditimbulkan dari penanganan obat yang

tidak terpakai disajikan pada Gambar 4.4.

Ada akibat Tidak ada akibat Tidak tahu

Dampak menyimpan obat yang sudah tidak


84 39 282
terpakai di rumah

Dampak membuang obat yang sudah tidak


79 22 304
terpakai ke tempat sampah secara langsung

Dampak membuang obat yang sudah tidak


87 22 296
terpakai ke saluran air secara langsung

Gambar 4.4 Keadaran responden terhadap dampak obat tidak terpakai

Temuan ini serupa dengan yang teramati di Riyadh dimana hanya

sebanyak 33.06% responden mengetahui bahaya menyimpan obat yang sudah

tidak terpakai di rumah (Al-Shareef et al., 2016). Berlainan dengan yang teramati

di India, Gupta et al. melaporkan dalam penelitiannya sebagian besar responden

(55%) meyakini bahwa obat digunakan untuk menyembuhan sehingga tidak

menimbulkan efek negatif pada lingkungan sekitar (Gupta et al., 2013).


53

Pengetahuan responden mengenai bentuk dampak negative penanganan obat tak

terpakai ditunjukan pada Tabel 4.5

Tabel 4.5 Pengetahuan Responden Mengenai Dampak Penanganan Obat Tidak


Terpakai

Pengetahuan Responden n
Dampak menyimpan obat tidak terpakai di rumah 84
Dikonsumsi oleh orang lain/keracunan 46
Obat mengalami kerusakan 13
Mencemari lingkungan 7
Disalahgunakan 6
Obat menumpuk 5
Bereaksi dengan bahan lain 1
Efek samping yang merugikan 1
Risiko penggunaan obat tanpa indikasi 1
Tidak disebutkan 4
Dampak membuang obat ke tempat sampah secara langsung 82
Disalahgunakan 37
Mencemari lingkungan 28
Resistensi bakteri 4
Dikonsumsi oleh orang lain 4
Dijual kembali 3
Membahayakan orang lain 1
Susah dipilah 1
Didaur ulang 1
Tidak disebutkan 3
Dampak membuang obat ke saluran air secara langsung 90
Mencemari lingkungan 77
Menyumbat saluran air 9
Resistensi bakteri 3
Tidak disebutkan 1

Berdasarkan Tabel 4.5 Sebanyak 47 dari 84 responden yang menjawab

‘Terdapat akibat jika menyimpan obat yang sudah tidak terpakai di rumah’

menyatakan bahwa risiko utama ketika obat yang sudah tidak terpakai disimpan di
54

rumah adalah terjadinya konsumsi obat tidak sengaja oleh orang lain (54.76%).

Sejumlah 79 responden yang menjawab ‘Terdapat akibat jika membuang obat

yang sudah tidak terpakai ke tempat sampah secara langsung’ berpandangan

bahwa hal tersebut mendorong terjadinya penyalahgunaan obat (46.83%),

mencemari lingkungan (35.44%). Sedangkan, sejumlah 76 dari 87 responden

(85.55%) yang menjawab ‘Terdapat akibat jika membuang obat yang sudah tidak

terpakai ke saluran air secara langsung’ menyebutkan bahwa cara tersebut akan

menimbulkan terjadinya pencemaran lingkungan.

Pemahaman mengenai dampak dari penanganan obat tidak terpakai yang

tidak tepat dapat dijadikan materi sosialisasi yang baik dalam rangka

meningkatkan kesadaran masyarakat. Melalui konteks ini, masyarakat dibuat

untuk memahami bahwa ketika obat yang tidak terpakai ditangani dengan cara

yang tidak tepat dampak yang ditimbulkan tidak hanya berimbas pada individu

semata namun lebih akan merugikan dan membahayakan orang lain. Dengan

demikian, dari dalam masyarakat itu sendiri timbul rasa keperluan untuk

melakukan hal tersebut.

Sebagaimana yang diungkapkan oleh Angi’enda dan Bukachi (2016)

dibutuhkan suatu gerakan sistematis dan terkoordinasi untuk mengampanyekan

risiko dan dampak negatif adanya obat tidak terpakai serta cara penanganannya

(Angi’enda and Bukachi, 2016). Gerakan tersebut dapat dilakukan oleh pihak

pemerintah maupun institusi yang bertanggungjawab dalam hal yang berkaitan

dengan pengelolaan obat misalnya farmasi komunitas maupun industri farmasi.


55

Di Indonesia, informasi mengenai penanganan obat tidak terpakai oleh

masyarakat sudah dikampanyekan kepada masyarakat melalui Gerakan Nasional

Peduli Obat dan Makanan (GNPOPA) oleh Badan POM dan program

DAGUSIBU oleh Ikatan Apoteker Indonesia (IAI) namun demikian metode

seperti ini sangat bergantung pada tingkat penyebaran informasi dan sosialisasi

program oleh pihak yang bersangkutan sehingga jika kedua faktor tersebut kurang

kesadaran masyarakat terhadap informasi tersebut tidak akan meningkat.

Program yang terkoordinasi dan memiliki regulasi yang jelas dapat

membantu tersebarnya informasi dan sosialisasi program dengan baik. Hasil

penelitian ini menunjukkan perlunya sebuah tempat/program khusus untuk

mengumpulkan obat-obat yang tersisa dari masyarakat ditunjukkan dengan lebih

dari 90% responden menyatakan ingin memanfaatkan fasilitas tersebut.

Salah satu program yang telah umum diberlakukan di negara maju dalam

menangani permasalahan obat tidak terpakai adalah Take Back Program. Take

Back Program merupakan suatu program pengembalian obat dari masyarakat

yang dilakukan secara berkala melalui pengumpulan obat di tempat tertentu

(biasanya di apotek) yang dikelola baik secara lokal maupun nasional.

Amerika Serikat merupakan salah satu negara secara legal memilki

program pengembalian obat yang dilakukan berkala oleh Drug Enforcement

Administration (DEA) pada April dan Oktober setiap tahunnya. Program ini

bertujuan untuk menjamin penanganan obat yang aman, nyaman dan

bertanggungjawab serta dan meminimalkan peredaran obat illegal dan menjadi

media edukasi bagi masyarakat (Drug Enforcement Administration, 2018).


56

Program serupa juga sudah banyak dilakukan terutama di negara-negara kawasan

Eropa.

4.5 Analisis Hubungan Karakteristik Demografi Responden dengan


Kesadaran Terhadap Penanganan Obat Tidak Terpakai

Kesadaran adalah suatu tahap awal seseorang menyadari adanya objek

dalam lingkungan atau mengetahui dan mengerti terhadap hal tertentu (Widjaya,

1984; Syarifudin, 2009). Menurut Bimo Walgito dalam Raimondus (2014)

kesadaran yang terjadi di masyarakat dipengaruhi oleh dua faktor yakni faktor

endogen yang merupakan pembawaan dan faktor eksogen yang berasal dari luar

diri meliputi pengalaman, alam sekitar, pendidikan dan lainnya (Angwarmas,

2014). Pada penelitian ini kemungkinan adanya pengaruh faktor tersebut pada

kesadaran responden terhadap penanganan obat tidak terpakai diamati melalui

jawaban responden pada enam (6) pertanyaan dengan menilai kesetujuan

responden pada pernyataan tersebut. Deskripsi jawaban responden disajikan pada

tabel berikut.

Tabel 4.6 Kesadaran Terhadap Permasalahan Obat Tidak Terpakai dan


Dampaknya

Sangat
Tidak Tidak Sangat
Pertanyaan tidak Setuju
setuju yakin setuju
setuju
Saya sangat sadar tentang
24 55 152 120 73
isu permasalahan obat (5.7%) (13.0%) (35.8%) (28.3%) (17.2%)
tidak terpakai
57

Saya sangat sadar tentang


dampak dari obat tidak 27 51 151 124 71
terpakai terhadap (6.4%) (12.0%) (35.6%) (29.2%) (16.7%)
pasien/individu
Saya sangat sadar tentang
dampak obat tidak terpakai 27 70 170 98 59
terhadap petugas (6.4%) (16.5%) (40.1%) (23.1%) (13.9%)
kesehatan
Saya sangat sadar tentang
24 56 153 117 74
dampak obat tidak terpakai
(5.7%) (13.2%) (36.1%) (27.6%) (17.5%)
terhadap masyarakat
Saya sangat sadar tentang
26 69 179 99 51
dampak obat tidak terpakai
(6.1%) (16.3%) (42.2%) (23.3%) (12.0%)
terhadap ekonomi
Saya sangat sadar tentang
dampak obat tidak terpakai 20 55 141 123 85
(4.7%) (13.0%) (33.3%) (29.0%) (20%)
terhadap lingkungan

Berdasarkan tabel 4.6 sebanyak 193 responden menyatakan sadar (setuju

dan sangat setuju) terhadap permasalahan obat tidak terpakai. Responden pada

penelitian ini sebagian besar sudah menyadari dampak obat tidak terpakai

terhadap lingkungan namun kesadaran terkait dampak terhadap ekonomi dan

petugas kesehatan masih rendah. Pada penelitian oleh West et al (2016), dampak

terhadap ekonomi cukup disadari oleh sebagian besar masyarakat umum di Malta,

sedangkan paling rendah adalah kesadaran pada dampak terhadap petugas

kesehatan (West et al., 2016).

Kesadaran terkait adanya dampak obat tidak terpakai terhadap berbagai

bidang tidak disadari secara bersamaan. Hal tersebut erat kaitannya dengan faktor-

faktor endogen dari seseorang seperti pengalaman, pendidikan dan lain-lain.

Sehingga, untuk melihat perbedaan kesadaran responden terkait dampak pada

berbagai bidang berdasarkan karakteristik demografi responden dilakukan uji


58

korelasi Spearman. Sedangkan untuk melihat apakah terdapat perbedaan

kesadaran pada permasalahan obat tidak terpakai dan dampaknya berdasarkan

jenis kelamin, riwayat penah menerima informasi dan mendengar kampanye

penggunaan obat digunakan uji Chi Square.

4.5.1 Analisis komparatif karakteristik demografi dan kesadaran terhadap


permasalahan obat tidak terpakai

Adanya dampak dari obat tidak terpakai terhadap berbagai bidang ini dapat

disadari dengan pemahaman melalui kajian informasi yang berbeda pada masing-

masing aspek. Sehingga, kesadaran penuh seorang individu terhadap

permasalahan obat tidak terpakai dan dampaknya dapat dicapai ketika individu

tersebut memahami kondisi yang terjadi pada keenam aspek tadi. Namun

demikian, seseorang dapat memiliki kesadaran penuh pada satu aspek namun

masih belum menyadari benar pada aspek yang lain. Hasil uji komparasi

kesadaran berdasarkan karakterisik demografi responden disajikan pada Tabel 4.7.

Tabel 4.7 Perbedaan Kesadaran Terhadap Isu Permasalahan dan Dampak


Penanganan Obat Tidak Terpakai

Nilai p (α = 0.05)
Aspek Kesadaran Pernah menerima Pernah mendengar
Jenis Kelamin
informasi kampanye
Permasalahan obat
0.165 0.000 0.005
tidak terpakai
Dampak obat tidak terpakai
Individu 0.974 0.000 0.069
Petugas kesehatan 0.706 0.000 0.003
Masyarakat 0.828 0.001 0.050
59

Ekonomi 0.945 0.002 0.711


Lingkungan 0.976 0.000 0.004

Berdasarkan hasil yang ditunjukkan pada tabel 4.7 tidak terdapat

perbedaan kesadaran pada responden pria maupun wanita. . Hal ini serupa dengan

yang ditemukan pada penelitian di Riyadh (Al-Shareef et al., 2016). Dalam

pandangan psikologi, baik laki-laki maupun perempuan dipengaruhi oleh konsep

diri yang mempengaruhi seseorang dalam menilai atau berperilaku dalam

lingkungan (Sarkawi, 2012). Secara sosiologis, Prijono (1996) dan Mansoer Fakih

(1996) menjelaskan bahwa perbedaan yang terdapat pada laki-laki dan perempuan

terbentuk dipengaruhi oleh kebudayaan tempat seseorang dilahirkan sehingga

pandangan, sikap, maupun sifat tertentu yang melekat pada keduanya merupakan

hasil benutkan secara sosial dan kultural (Fakih, 1996; Prijono, 1996).

Unit terkecil dalam budaya dan sosial adalah keluarga sehingga metode

sosialisasi/penyampaian informasi mengenai penanganan obat tak terpakai yang

tepat dan dampaknya dapat dilakukan denga menekankan pada tujuan untuk

menciptakan kesadaran dalam lingkungan keluarga terhadap permasalahan dan

dampak yang terjadi karena adanya obat tidak terpakai.

Hasil penelitian ini menunjukan terdapat perbedaan signifikan kesadaran

terhadap permasalahan obat tidak terpakai dan dampaknya pada responden yang

pernah menerima informasi mengenai cara membuang obat tidak terpakai dan

yang tidak pernah menerima informasi. Responden yang pernah menerima

informasi cenderung lebih menyadari mengenai permasalahan obat tidak terpakai


60

dan dampaknya. Hal ini menggambarkan bahwa pemberian informasi mengenai

cara membuang obat tidak terpakai dapat meningkatkan kesadaran masyarakat

akan perlunya penanganan yang aman dan bagaimana penanganan yang tidak

tepat dapat menimbulkan dampak negatif pada berbagai bidang. Intervensi yang

dapat dilakukan tentunya melalui sosialisasi penanganan obat tidak terpakai yang

lebih luas baik menggunakan media internet maupun melalui sosialisasi secara

langsung kepada masyarakat.

4.5.2 Analisis korelatif karakteristik demografi responden dengan


kesadaran terhadap isu obat tidak terpakai

Analisis korelatif pada pada bagian ini bertujuan untuk melihat apakah

terdapat hubungan antara karakteristik dmeografi responden meliputi umur,

pendidikan dan pendapatan dengan kesadaran terhadap permasalahan obat tidak

terpakai. Nilai pada koefisien korelasi dapat bernilai positif atau negatif. Nilai

korelasi positif memiliki makna hubungan yang terjadi antara variabel 1 dan

variabel 2 searah sedangkan nilai korelasi negatif memiki makna hubungan

berlawanan arah. Keeratan hubungan berdasarkan nilai koefisien korelasi

disajikan pada tabel di bawah ini.

Tabel 4.8 Interpretasi Nilai Koefisien Korelasi (Dahlan, 2011)

Nilai Koefisien Korelasi Interpretasi


0.00 – 0.199 Sangat lemah
0.20 – 0.399 Lemah
0.40 – 0.599 Sedang
0.60 – 0.799 Kuat
0.80 – 1.000 Sangat kuat
61

Hasil pengujian korelasi karakteristik dmeograf meliputi umur, pendidikan

dan pendapatan responden dengan kesadaran terhadap permasalahan obat tidak

terpakai ditunjukkan pada tabel 4.9.

Tabel 4.9 Hubungan Karakterisik Demografi Responden dengan Kesadaran


Terhadap Permasalahan Obat Tidak Terpakai

Karakteristik Aspek Kesadaran


demografi P1 P2 P3 P4 P5 P6
Umur
r 0.144 0.143 0.121 0.177 0.099 0.131
p 0.003 0.003 0.003 0.000 0.042 0.007
Pendidikan
r 0.201 0.103 0.189 0.123 0.210 0.173
p 0.000 0.035 0.000 0.000 0.000 0.000
Pendapatan
r 0.105 0.032 0.112 0.096 0.089 0.056
p 0.030 0.512 0.022 0.049 0.066 0.251
α = 0.05 (5%)
Keterangan:
P1 : saya sangat sadar tentang isu permasalahan obat tidak terpakai
P2 : saya sangat sadar tentang dampak obat tidak terpakai terhadap
pasien/individu
P3 : saya sangat sadar tentang dampak obat tidak terpakai terhadap petugas
kesehatan
P4 : saya sangat sadar tentang dampak obat tidak terpakai terhadap
masyarakat
P5 : saya sangat sadar tentang dampak obat tidak terpakai terhadap ekonomi
P6 : saya sangat sadar tentang dampak obat tidak terpakai terhadap
lingkungan

Hasil uji korelasi menunjukkan umur dan pendidikan responden

berkorelasi positif dengan kesadaran pada permasalahan obat tidak terpakai dan

dampaknya dengan nilai signifikansi kurang dari 0.05 (p < 0.05). Hal ini memiliki

makna bahwa semakin bertambah usia dan semakin tinggi pendidikan maka
62

responden cenderung menyadari tentang permasalahan obat tidak terpakai dan

dampak yang ditimbulkannya. Sedangkan pendapatan responden memiliki

hubungan dengan kesadaran terhadap isu permasalahan obat tidak terpakai,

dampak obat tidak terpakai pada petugas kesehatan dan masyarakat.

Berdasarkan keeratan korelasi hubungan antara karakteristik demografi

responden meliputi umur, pendidikan dan pendapatan secara umum dikategorikan

sangat lemah. Namun, korelasi antara pendidikan responden dengan kesadaran

terhadap isu permasalahan obat tidak terpakai dan dampaknya pada ekonomi

mempunyai korelasi yang lebih kuat meskipun dikategorikan lemah.

Hubungan antara umur, pendidikan dan pendapatan responden skor total

kesadaran terhadap permasalahan dan dampak obat tidak terpakai disajikan pada

Tabel 4.10.

Tabel 4.10 Korelasi Umur, Pendidikan dan Pendapatan Responden


dengan Kesadaran Terhadap Permasalahan Obat Tidak
Terpakai

Karakteristik demografis R Sig.


Umur 0.159 0.001
Pendidikan 0.178 0.000
Pendapatan 0.094 0.053

Berdasarkan tabel 4.9, pendidikan berkorelasi searah dengan kesadaran

responden terhadap permasalahan dan dampak obat tidak terpakai. Selain itu,

semakin dewasa umur responden menunjukkan responden lebih menyadari

permasalahan yang terjadi berkaitan dengan obat tidak terpakai dan dampaknya
63

sedangkan pendapatan tidak berkorelasi ditunjukan dengan nilai signifikasni yang

lebih dari 0.05.

Umur merupakan waktu hidup seseorang terhitung sejak orang tersebut

dilahirkan (Hoetomo, 2005). Pada dasarnya, semakin bertambah umur seseorang

semakin berkembang pula pengalaman, pengetahuan dan pemahaman orang

tersebut terhadap lingkungannya. Namun, perkembangan tersebut tidak

berlangsung sepanjang waktu, menurut Gunarsa (1998) kondisi mental seseorang

akan berkembang seiring dengan pertambahan umur namun pada titik (usia)

tertentu perkembangan ini tidak secepat pada usia muda (Gunarsa, 1998).

Di samping itu, sudah diketahui bahwa kesadaran terhadap suatu hal

dipengaruhi oleh pengetahuan terhadap hal tersebut (Widjaya, 1984). Perbedaan

penetrasi akses informasi yang berbeda pada kelompok umur tersebut dapat

menyebabkan perbedaan pada kesadaran terhadap berbagai hal.

Hakim (2010) menjelaskan bahwa setiap masa memiliki budaya serta taraf

pemanfaatan terhadap teknologi yang berbeda (Hakim, 2010). Penggunaan

internet, misalnya, pada beberapa dekade ke belakang pemanfaatan teknologi ini

belum sebanyak masa sekarang. Kelompok umur dewasa pertengahan/akhir (40 –

60 tahun) (Hurlock, 1968) pada masa itu belum terbiasa dengan keterbukaan

informasi yang sangat luas, sehingga hal tersebut dapat menjadi penyebab

kurangnya kesadaran pada umur tersebut. Hal ini juga didukung dengan hasil

survey APJII pada tahun 2016, pengguna internet di Indonesia paling banyak

berada pada kelompok umur 25 – 44 tahunn yakni berada pada usia dewasa awal

(Asosiasi Penyedia Jasa Internet Indonesia, 2016).


64

Pendidikan menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia merupakan suatu

proses perubahan perilaku individu maupun kelompok melalui pengajaran dan

latihan (Departemen Pendidikan Nasional, 2008). Sehingga pada individu yang

melalui jenjang pendidikan yang berbeda akan menghasilkan karakteristik

individu yang berbeda pula. Pendidikan secara nyata mempengaruhi tingkat

pengetahuan dan pemahaman seseorang dengan hal itu seseorang yang telah

melalui jenjang pendidikan yang lebih tinggi lebih dapat mengelola informasi dan

memahami suatu persoalan secara lebih mendalam. Hal ini juga teramati pada

pengaruh pendidikan pada kesehatan (Silles, 2009), kesadaran keamanan pangan

(Sriyono, 2015), dan kepedulian lingkungan hidup (Saputro, Rintayati and Supeni,

2016).

Pendapatan atau dapat diistilahkan sebagai income merupakan sejumlah

pembayaran yang diterima oleh masyarakat maupun individu yang berasal dari

upah, bunga, laba dan lainnya (Davies and Pass, 1994). Status ekonomi yang baik

mendorong pemenuhan kebutuhan primer bahkan tersier seseorang. Dengan

demikian, seseorang dengan penghasilan yang lebih tinggi dimungkinkan

memiliki ketercapaian pendidikan yang lebih tinggi, pemenuhan kebutuhan tersier

yang tercukupi sehingga dapat memungkinkan adanya kesadaran yang lebih baik

pula pada permasalahan obat tidak terpakai dan dampaknya terhadap berbagai

bidang. Hasil penelitian ini menunjukkan adanya hubungan pendapatan responden

dengan kesadarannya terhadap permasalhan obat tidak terpakai dan dampak yang

dapat ditimbulkan pada petugas kesehatan dan masyarakat namun tidak


65

berhubungan dengan kesadaran terhadap dampak obat tidka terpakai pada

individu, ekonomi dan lingkungan

Penelitian ini tentu memiliki sejumlah keterbatasan berkaitan dengan

metode yang digunakan. Pengambilan data melalui kuesioner merupakan tipe

pelaporan-individu (self-reporting) dengan dibuat kriteria inklusi tertentu untuk

menjamin responden mamahami kuesioner yang diberikan dengan demikian hal

ini menjadi keterbatasan untuk melihat kesadaran terhadap permasalahan obat

tidak terpakai pada individu/masyarakat yang iliterasi. Jumlah responden yang

sedikit menjadi kekurangan penelitian ini untuk melakukan generalisasi pada

populasi. Namun demikian, hasil penelitian ini dapat berguna sebagai data dasar

kesadaran masyarakat Kota Bandung terhadap permasalahan dan dampak yang

dapat ditimbulkan obat tidak terpakai.


BAB V

SIMPULAN DAN SARAN

5.1 Simpulan

Berdasarkan hasil penelitian dapat disimpulkan

1. Kesadaran terhadap adanya permasalahan obat tidak terpakai masih rendah

yakni hanya 36.4% responden mengetahui isu permasalahan obat tidak

terpakai. Sebanyak 88.8% responden tidak pernah menerima informasi

tentang cara membuang obat yang tidak terpakai namun 46.5% responden

menyadari bahwa penanganan yang tidak tepat dapat menimbulkan dampak

pada lingkungan dan kesehatan.

2. Terdapat perbedaan kesadaran terhadap isu permasalahan dan dampak obat

tidak terpakai pada responden yang pernah menerima informasi penanganan

obat tidak terpakai. Berdasarkan uji korelasi diketahui umur dan pendidikan

mempunyai hubungan searah dengan kesadaran terhadap isu permasalahan

dan dampak obat tidak terpakai.

5.2 Saran

Penelusuran lebih lanjut dampak obat tidak terpakai dapat dilakukan untuk

melihat sejauh mana permasalahan obat tidak terpakai terjadi pada

masyarakat dan lingkungan seperti deteksi senyawa obat di lingkungan,

analisis ekonomi obat tidak terpakai dan lainnya. Studi menggunakan sampel

rumah tangga disertai dengan analisis obat yang bersisa dapat bermanfaat

66
67

untuk melihat kondisi aktual permasalahan obat bersisa dalam injauan rumah

tangga. Penyebaran informasi mengenai penanganan obat tidak terpakai yang

aman perlu dilakukan lebih luas disertai pemanfaatan teknologi yang tepat

untuk mendorong peningkatan kesadaran baik individu maupun masyarakat.


DAFTAR PUSTAKA

Abahussain, E. A. and D.E. Ball. 2007. Disposal of unwanted medicines from


households in Kuwait. Pharm World Sci. 29: 368–373.

Abou-Auda, H. S. 2003. An economic assessment of the extent of medication use


and wastage among families in Saudi Arabia and Arabian Gulf Countries.
Clinical Therapeutics. 25(4): 1276–1292.

Ahmed, A., N. Mustaq, M, Tariq, M. Durrani, S. Akhtar, M. Arif and G.


Yasmeen. 2013. Disposal Pracices of Unused and Expired Pharmaceuticals
in Karachi and Their Impact on Health and Environment. JUMDC. 4(2):
42-48.

Al-Shareef, F., S.A. El-Asrar, L Al-Bakr, M. Al-Amro, F. Alwahtani, F. Aleanizy


and S. Al-Rashood. 2016. Investigating the disposal of expired and unused
medication in Riyadh , Saudi Arabia : a cross-sectional study.
International Journal of Clinical Pharmacy.

Altenburger, R., H. Walter, and M. Grote. 2004. What Contributes to the


Combined Effect of a Complex Mixture?. Environmental Sciences &
Technology. 38(23): 6353–6362.

Angi’enda, S. A. and S.A. Bukachi. 2016. Household Knowledge and Perceptions


on Disposal Practices of Unused Medicines in Kenya. Journal of
Anthropology and Archaeology. 4(2): 1–20.

Angwarmas, R. 2014. Pola Kepemimpinan Lurah dalam Meningkatkan


Kesadaran Masyarakat Membayar Pajak Bumi dan Bangunan (PBB).
[Skripsi]. Malang: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas
Tribhuwana Tunggadewi.

Asosiasi Penyedia Jasa Internet Indonesia. 2016. Profil Pengguna Internet


Indonesia. Jakarta: Asosiasi Penyedia Jasa Internet Indonesia.

Astuti, K. 2016. Obat-obatan Kadaluwarsa yang Beredar dari Pemulung di


Bantargebang. Tersedia di:
m.republika.co.id/berita/koran/urbana/16/12/23/oimug319-obatobatan-
kedaluwarsa-yang-beredar-dari-pemulung-di-bantargebang [Accessed: 26

68
69

September 2017].

Atinafu, T., A. Takele, A. Kassie, A. Yehualaw, G. Tesfaw, T. Desseno, T.


Menkonnen and M. Fentie. 2014. Unused Medications Disposal Practices:
The case of Patients Visiting University of Gondar Speacialized Teaching
Hospital, Gondar, Ethiopia. International Journal of Pharma Science and
Research. 5(12): 999–1005.

Auta, A., S. Omale, D. Shalkur and A.H. Abiodun. 2011. Unused medicines in
Nigerian households: Types and disposal practices. J Pharmacol
Pharmacother. 2(3): 195–196.

Auta, A., S.B. Banwat, C.N. Sariem, D. Shalkur, B. Nasara, dan M.O. Atuluku.
2012. Medicines in Pharmacy Students’ residence and Self-medication
Practices. J Young Pharm. 4(2): 119–123.

Al Azmi, A, H. Al-Hamdan, R. Abualezz, F. Bahadig, N. Abonofal and M.


Osman. 2017. Patients Knowledge and Attitude toward the Disposal of
Medications. Journal of Pharmaceutics.

Badan Pusat Statistik. 2017. Kota Bandung dalam Angka 2017. Bandung: Badan
Pusat Statistik Kota Bandung.

Baltazary, G. 2013. Assessment of knowledge and practices for disposal of


unfinished, unwanted and expired medications from househoolds in Iringa
municipal council, Tanzania. East African Journal of Public Health. 10(1).

Bashaar, M., V. Thawani, M.A. Hassali and F. Saleem . 2017. Disposal practices
of unused and expired pharmaceuticals among general public in Kabul.
BMC Public Health. 17(45): 1–8.

Bennadi, D. 2014. Self-medication: A current challenge. Journal of Basic and


Clinical Pharmacy. 5(1): 19–23.

Bound, J. P., Kitsou, K. and Voulvoulis, N. 2006. Household disposal of


pharmaceuticals and perception of risk to the environment. Environmental
Health Perspectives. 21: 301–307.

Boxall, A. B. 2004. The environmental side effect of medication. European


70

Molecular Biology Organization. 5(12): 1110-1116

BPOM RI. 2003. Keputusan Kepala Badan Pengawas Obat dan Makanan tentang
Penerapan Pedoman Cara Distribusi Obat yang Baik. Kep KBPOM.

BPOM RI. 2015. Materi Edukasi tentang Peduli Obat dan Pangan. Jakarta:
BPOM RI.

Braund, R., G. Gn and R. Matthews. 2009. Investigating unused medications in


New Zealand. Pharm World Sci. 31: 664–669.

Brunton, L. L., B.A. Chabner and B.C. Knollmann (editors). 2011. Goodman &
Gilman’s : The Pharmacological Basis of Therapeutics. 12th Edition. New
York: McGraw-Hill Companies.

Buck, M. 2007. Self-medication by adolescents. J Pediatr Pharm. 13(5): 1–4.

California Department of Toxic Substance Control. 2007. Toxicological Issues


Associated with PPCPs. Available at:
http://dtsc.ca.gov/AssessingRisk/PPCP/PPCPTox.cfm [Accessed: 27
September 2017].

Chien, H., J Ko, Y. Chen, S. Weng, W. Yang, Y. Chang and H. Liu. 2013. Journal
of Experimental and Clinical Medicine Study of Medication Waste in
Taiwan. Journal of Experimental and Clinical Medicine. 5(2): 69–72.

Cipto, H. 2013. Lima Murid SD di Makassar Keracunan Obat. Tersedia di:


http://regional.kompas.com/read/2013/03/03/01243652/Lima.Murid.SD.di.
Makassar.Keracunan.Obat [Diakses: 3 Februari 2018].

Coma, A. P. Modamio, C.F. Lastra, M.L. Bouvy and E.L. Marino. 2008. Returned
medicines in community pharmacies of Barcelona, Spain. Pharm World
Sci. 30: 272–277.

Craig, C. R. and R.E. Stitzel. 1997. Modern Pharmacology with Clinical


Applications. 5th Edition. Boston: Little, Brown & Company.

Dahlan, M. S. 2011. Statistik untuk Kedokteran dan Kesehatan. Edisi Kelima.


71

Jakarta: Salemba Medika.

Davies, B. L. L. and C. Pass. 1994. Collins: Kamus Lengkap Ekonomi. Kedua.


Jakarta: Erlangga.

De Bolle, L., E. Mehuys, E. Aldiaens, J.P. Remon, L. van Bortel and T.


Christiaens. 2008. Home Medication Cabinets and Self-Medication: A
source of Potential Health Threats?. The Annals of Pharmacotherapy. 42:
572–579.

Departemen Pendidikan Nasional. 2008. Kamus Besar Bahasa Indonesia Pusat


Bahasa. Keempat. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama.

Depledge, M. 2011. Pharmaceuticals: Reduce drug waste in the environment.


Nature. 478(7367).

Djahiri, A. K. (1985) Strategi Pengajaran Afektif-Nilai-Moral VCT dan Games


dalam VCT. Bandung: IKIP Bandung.

Dobbels, F., R. van Damme-Lombaert, J. Vanhaecke and S. de Geest. 2005.


Growing pains: Non-adherence with the immunosupressive regimen in
adolscent transplant recipients. Pediatric Transplantation. 9(3): 381–290.

Drug Enforcement Administration. 2018. National Prescription Drug Take Back


Day. Available at: www.deadiversion.usdoj.gov/drug_disposal/takeback/
[Accessed: 3 February 2018].

Ekedahl, A. B. E. 2006. Reasons why medicines are returned to Swedish


pharmacies unused. Pharm World Sci. 28: 352–358.

Fakih, M. 1996. Analisis Gender dan Transformasi Sosial. Yogyakarta: Pustaka


Pelajar.

FDA. 2013. Consumer Health Information: How to Dispose of Unused


Medicines. 1–2.

Ferdinand, A. 2006. Metode Penelitian Manajemen. Semarang: Badan Penerbit


Universitas Diponegoro.
72

Fram, M. S. and K. Belitz. 2011. Occurence and concentrations of pharmaceutical


compounds in goundwater used for public water supply in California.
Science of The Total Environment. 409(18): 3409–3417.

Garey, K. W., M.L. Johle, K. Behrman and M.N. Neuhauser. 2004. Economic
consequences of Unused Medications in Houston, Texas. Annals of
Pharmacotherapy. 38(7–8): 1165–1168.

Ghozali, I. 2005. Aplikasi Analisis Multivariat dengan Program SPSS. Semarang:


Badan Penerbit Universitas Diponegoro.

Glassmeyer, S. T., E.K. Hinchey, S.E. Boehrne, C.G. Daughton, I.S. Ruhoy, O.
Conerly, R.L. Daniels, L. Lauer, M. McCarthy, T.G. Nettesheim, K.
Sykes, V.G. Thompson. 2009. Disposal practices for unwanted residential
medications in the United States. Environment International. 35(3): 566–
572.

Gunarsa, S. D. 1998. Psikologi Perkembangan Anak dan Remaja. Jakarta: BPK


Gunung Mulia.

Gupta, D., A. Gupta, N.A. Ansari and QS Ahmed. 2013. Patient’s Opinion and
Practice Toward Unused Medication Disposal: A Qualitative Study.
Journal of Pharmaceutical and Scientific Innovation. 2(5).

Hakim, H. A. B. 2010. Perpustakaan Hibrida Berbasis Web 2.0: Format


Perpustakaan di Era Milenium. Visi Pustaka. Tersedia di:
www.pnri.go.id/magazine/perpustakaan-hibrida-berbasis-web-20-format-
perpustakaan-di-era-milenium/.

Halloran, T., D.B. Frewen and B.R. Frost. 1978. An evaluation of the cost of drug
wastage in a South Australian community - a pilot study. Aust J Hosp
Pharm. 8(3): 84–86.

Hastono, S. 2006. Analisis Data. Depok: Fakultas Kesehatan Masyarakat


Universitas Indonesia.

Hernandez-Juyol, M. and J.R. Job-Quesada, J. 2002. Dentistry and self


medication: a current challenge. Med Oral. 7(5): 344–7.
73

Hidayat, A. 2007. Metode Penelitian Keperawatan dan Teknik Analisis Data.


Jakarta: Salemba.

Hoetomo. 2005. Kamus Lengkap Bahasa Indonesia. Jakarta: Mitra Pelajar.

Hugtenburg, J. G., L. Timmers, P.J.M. Elders, M. Vervloet and L. van Dijk. 2013.
Definitions , variants , and causes of nonadherence with medication : a
challenge for tailored interventions. Patient Preference and Adherence. 7:
675–682.

Hurlock, E. 1968. Developmental Psychology. 5th Edition. New York: Mc-Graw


Hill.

Husein, U. 2004. Metode Penelitian untuk Skripsi dan Tesis Bisnis Cetakan ke-6.
Jakarta: Raja Grafindo Persada.

IMS Institute for Healthcare Informatics. 2016. Global Medicines Use in 2020.
Available at: www.imshealth.com/en/thought-leadership/quintilesims-
institute/reports/global-medicines-use-in-2020£ims-form [Accessed: 19
September 2017].

Insany, A. N., D.P. Destiani, A. Sani, L. Sabdaningtyas dan I.S. Pradipta. 2015.
Hubungan Persepsi terhadap Perilaku Swamedikasi Antibiotik: Studi
Observasional melalui Pendekatan Teori Health Belief Model. Jurnal
Farmasi Klinik Indonesia. 4(2): 77–86.

Kementerian Kesehatan. 2013. Riset Kesehatan Dasar. Jakarta: Badan Penelitian


dan Pengembangan Kesehatan.

Koplin, D., E.T. Furlong, M.T. Meyer, E.M. Thurman, S.D. Zaugg, L.B. Barber
and H.T. Buxton. 2002. Pharmaceuticals, hormones and other organic
wastewater contaminants in US streams, 1999-2000: a nastional
reconnaissance. Environmental Sciences & Technology. 36: 1202–1211.

Kuspis, D. and E.P. Krenzelok. 1996. What happens to expired medications? A


survey of community medication disposal. Vet Hum Toxicol. 38(1): 48–9.

Kusturica, M. P., A. Sabo, Z. Tomic, O. Horvat and S. Zdravko. 2012. Storage


and disposal of unused medications: knowledge behavior, and attitudes
74

among Serbian people. Int J Clin Pharm. 34: 604–610.

Kusturica, M., A. Tomas and A. Sabo. 2017. Disposal of Unused Drugs:


Knowledge and Behavior Among People Around the World. Rev Environ
Contam Toxicol. 240: 71–104.

Labu, Z. K., M.M.A. Al-Mamun, M.H. Or-Rashid and K. Sikder. 2013.


Knowledge, Awareness and Disposal Practice for Unused Medications
among the Students of the Private University of Bangladesh. Journal of
Biomedical and Pharmaceutical Research. 2(2): 26–33.

Lovegrove, M., N.J. Weilde and D.S. Budnitz. 2015. Trends in emergency
Departement Visits for Unsupervised Pediatric Medication Exposures.
Pediatrics. 136(4): 821–829.

Lubick, N. 2010. Drugs in the environment. Environmental Health Perspectives.


118(5).

MacKay, J., A. Steel, E. Samuel, T. Creepy and A. Green. 2016. The Rise of
Medicine in the Home: Implications for Today’s Children. Washington
DC: Safe Kids Worldwide.

Marcum, Z. A. and W.F. Gellad. 2012. Medication Adherence to Multi-Drug


Regimens. Clin Geriatr Med. 28(2): 287–399.

Matlin, O. S., S.M. Kynes, A. Averbukh, N.K. Choudhry, T.A. Brennan, A.


Bunton, T.A. Ducharme, P.D. Simmons and W.H. Shrank. 2015.
Community Pharmacy Automatic Refill Program Improves Adherence to
Maintenance Therapy and Reduces Wasted Medication. The American
Journal of Managed Care. 21(11): 785–791.

Mowry, J., D.A. Spyker, D.E. Brooks, A. Zimmerman and J.L. Schauben. 2016.
2015 Annual Report of the American Association of Poison Control
Centers’ National Posion Data System (NPDS): 33rd Annual Report.
Clinical Toxicology. 54(10): 924–1109.

Notoatmodjo, S. 2002. Metodologi Penelitian Kesehatan. Jakarta: Rineka Cipta.

Notoatmodjo, S. 2003. Pendidikan dan Perilaku Kesehatan. Jakarta: Rineka


75

Cipta.

Nurolaini, K., S.M. Sultana and W. Wae See. 2016. Medication Wastage and its
Disposal Amongst Patients at Suri Seri Begawan Hospital in Brunei
Darussalam. Med & Health. 11(2): 139–150.

OECD. 2017. Tackling Wasteful Spending on Health. Paris: OECD Publishing.

Persson, M., E. Sabelström and B. Gunnarsson. 2009. Handling of unused


prescription drugs — knowledge , behaviour and attitude among Swedish
people. Environment International. 35(5): 771–774.

Prakoso, A. 2016. Tersangka Penjual Obat Kadaluarsa Sudah Jual Obat Selama
10 Tahun di Pasar Pramuka. Tersedia di:
http://m.tribunnews.com/metropolitan/2016/09/06/tersangka-penjual-obat-
kadaluarsa-sudah-jual-obat-selama-10-tahun-di-pasar-pramuka [Diakses: 3
Februari 2018].

Prijono, O. S. 1996. Pemberdayaan Wanita Sejajar Pria dalam Pemberdayaan:


Konsep, Kebijakan dan Implementasi. Jakarta: CSIS.

Purba, F. 2016. Pria Pengumpul dan Penjual Obat dari TPS Bantargebang
Dibekuk. Available at: m.liputan6.com/news/read/2685856/pria-pengepul-
dan-penjual-obat-dari-tps-bantargebang-dibekuk [Diakses: 26 September
2017].

Ratnasari, A. 2008. Komunikasi Kesehatan: Penyebaran Informasi Gaya Hidup


Sehat. Mediator. 9(1): 1–12.

Riwidikdo, H. 2008. Statistik Kesehatan. Yogyakarta: Mitra Cendikia Press.

Ruiz, M. 2010. Risks of sel-medication practices. Current Drug Safety. 5(4): 315–
323.

Sanchez, W., W. Sremski, B. Piccini, O. Palluel, E. Maillot-Marechal, S. Betoulle,


A. Jaffal, S. Ait-Aissa, F. Brion, E. Thybaud, N. Hinfray and J.M. Porcher.
2011. Adverse effects in wild fish living downstream from pharmaceutical
manufacture discharges. Environment International. 37(8): 1342–1348.
76

Saputro, D., P. Rintayati and S. Supeni. 2016. Hubungan Pengetahuan


Lingkungan Hidup, Tingkat Sosial Ekonomi dan Tingkat Pendidikan
Terhadap Sikap Peduli Lingkungan. Jurnal GeoEco. 2(2): 128–136.

Sarkawi, D. 2012. Pengaruh Jenis Kelamin dan Pengetahuan Lingkungan


Terhadap Penilaian Budaya Lingkungan. Cakrawala. 12(2): 123–131.

Seehusen, D. A. and J. Edwards. 2006. Patient Practices and Beliefs Concerning


Disposal of Medications. JABFM. 19(6): 542-547.

Silles, M. A. 2009. The causal effect of education on health. Economics of


Education Review. 28(1).

Siregar, S. 2013. Metode Penelitian Kuantitatif. Jakarta: Kencana Prenamedia


Group.

Smith, C. 2008. Managing Pharmaceutical Waste: A 10-Step Blueprint for


Healthcare Facilities in the United States. USA: Healthcare
Environmental Resource Center.

World Health Organization. 1999. Guidelines for Safe Disposal of Unwanted


Pharmaceuticals in and after Emergencies.1st Edition. Geneva: World
Health Organization.

Soekanto, S. 1982. Kesadaran Hukum dan Kepatuhan Hukum. Jakarta: Rajawali.

Sriyono. 2015. Pengaruh Tingkat Pendidikan dan Pemahaman Masyarakat


Tentang Ikan Berformalin Terhadap Kesehatan Masyarakat. Faktor
Exacta. 8(1): 79–91.

Sugiyono. 2004. Statistika untuk Penelitian. Bandung: Alfabeta.

Sugiyono. 2012. Metode Penelitian Kuantitatif, Kualitatif dan R&D. Bandung:


Alfabeta.

Susila and Suyanto. 2014. Metodologi Penelitian Cross Sectional. Klaten:


Penerbit BOSSSCRIPT.
77

Sweileh, W., F. Ansam, A.F. Sawalha, S.H. Zyoud and S.W. Al-Jabi. 2010.
Storage, utilization and cost of drug products in Palestinian households. Int
J Clin Pharmacol Ther. 48(1): 59–67.

Syarifudin, Y. F. 2009. Promosi Kesehatan Untuk Mahasiswa Kebidanan.


Jakarta: TIM.

Ternes, T. 1998. Occurence of drugs in German sewage treatment plants and


rivers. Water Res. 32(11): 3245–3260.

Tong, A., B.M. Peake and R. Braund. 2011. Disposal practices of unused
medicines throughout the world. Environment International. 37(1): 292-
298.

Trihendradi. 2011. Langkah Mudah Melakukan Analisis Statistik Menggunakan


SPSS 19. Yogyakarta: CV Andi Offset.

Trueman, P., D. Taylor, K. Lawson, J. Newbould, A. Blighe, M. Bury, A.


Meszaros, D. N. Barber, D. Wright, Y. Jani and J. Glanville. 2015.
Evaluation of the Scale, Causes and Costs of Waste Medicines. London:
YHEC and University of London.

Van Dulmen, S., E. Sluijs, L. van Dijk, D. de Ridderm R. Heerdink and J.


Bensing. 2007. Patient adherence to medical treatment: a review of
reviews. BMC Health Service Research. 7.

Vellinga, A., S. Cormican, J. Driscoll, M. Furey, M. O'Sullivan and M. Cormican.


2014. Public practice regarding disposal of unused medicines in Ireland.
Science of Total Environment. 478: 98–102.

Vogler, S., C. Leopold, C. Zuidberg and C. Habl. 2014. Medicine discarded in


household garbage: analysis of a pharmaceutical waste sample in Vienna.
Journal of Pharmaceutical Policy and Practice. 7(6): 1–8.

West, L. M., L. Diack, M. Cordina and D. Stewart. 2016. A cross-sectional survey


of the Maltese general public on medication wastage. International
Journal of Clinical Pharmacy. Springer Netherlands.

Widjaya, A. 1984. Kesadaran Hukum Mnausia dan Masyarakat Pancasila.


78

Jakarta: EraSwasta.

Wondimu, A., F. Molla, B. Demeke, T. Eticha, A. Assen, S. Abrha and W.


Melkam. 2015. Household Storage of Medicines and Associated Factors in
Tigray Region, Northern Ethiopia. PLOS ONE. 10(8).

Wongpoowarak, P., U. Wanakamanee, K. Panpongtham, P. Trisdikoon, W.


Wongpoowarak and S. Ngorsuraches. 2004. Unused medications at home -
reasons and costs. International Journal of Pharmacy Practice. 12: 141–
148.

World Health Organization. 2012. The Pursuit of Responsible Use of Medicines:


Sharing and Learning from Country Experiences. Genewa: World Health
Organization.

World Health Organization. 2015. Health-care waste. Available at:


http://www.who.int/mediacentre/factsheets/fs253/en/ [Accessed: 27
September 2017].

World Self-Medication Industry. 2006. Responsible Self-care and Self-


medication. Ferney-Voltare. Available at: www.wsmi.org/publications.

Wu, P. E. and D.N. Juurlink. 2014. Unused prescription drugs should not be
treated like leftovers. CMAJ. 186(11): 815–816.

Yang, C. H. J., M. Doshi and N.A. Mason. 2015. Analysis of Medications


Returned During a Medication Take-Back Event. Pharmacy. 3(3): 79–88.

Yuningsih, I., A.S. Dewi dan T.T. Gustyana. 2017. Analisis Literasi Keuangan di
Masyarakat ota Bandung. Jurnal Neraca. 1(1): 63–74.

Zargazdeh, A., N. Tavakoli and A. Hassanzadeh. 2005. A survey on the extent of


medication storage and wastage in urban Iranian households. Clinical
Therapeutics. 27(6): 970–978.

Zorpas, A. A., M. Dimitriou and I. Voukkali. 2017. Disposal of household


pharmaceuticals in insular communities: social attitude, behavior
evaluation and prevention actiivities. Eviron Sci Pollut Res.
LAMPIRAN

(1) Surat Persetujuan Komisi Etik Penelitian Kesehatan

79
80

(2) Kuesioner Penelitian

Bagian 1
Berilah tanda () pada jawaban yang sesuai dengan kondisi Anda!
1 Jenis kelamin  Laki – laki  Perempuan
2 Umur  18 – 30 tahun  50 – 59 tahun
 31 – 40 tahun  60 tahun atau
 41 – 49 tahun lebih
3 Pendidikan terakhir  SD  S1
 SMP  S2/S3
 SMA
4 Pekerjaan  Pegawai  Tidak ada
 Wirausaha  Lainnya
 Pelajar/mahasiswa …………………..
5 Pendapatan (per bulan)   Rp1.000.000
 Rp1.000.000 – Rp3.000.000
 Rp3.000.000 – Rp5.000.000
 ≥ Rp5.000.000
6 Apakah Anda  Ya
mempunyai obat tidak  Tidak
terpakai di rumah?
7 Jenis obat  Pereda nyeri dan demam
 Antibiotik
 Obat penurun tekanan darah
 Antidiabetes
 Vitamin dan suplemen
 Herbal
 Lainnya:
………………………………………………
8 Pilihlah Alasan yang  Ganti pengobatan
menyebabkan obat  Jumlah obat berlebih
menjadi tidak terpakai!  Sulit mengikuti petunjuk pemakaian
 Label pada obat rusak/tidak jelas
 Kondisi tubuh membaik
 Pasien meninggal dunia
 Sudah melewati tanggal kedaluwarsa
 Terjadi efek samping atau reaksi alergi
 Tidak tahu untuk apa obat tersebut
diresepkan
 Lain-lain
81

Bagian 2
Berilah tanda centang () pada jawaban yang sesuai!
1 Apakah Anda tahu tentang isu obat  Ya
tidak terpakai/obat kedaluwarsa?  Tidak
2 Apakah Anda pernah mendengar  Ya
kampanye  Tidak
Gema Cermat/Dagusibu/GNPOPA?
3 Apakah Anda pernah menerima  Ya
informasi megenai cara membuang  Tidak
obat dengan benar?
4 Jika ‘Ya’ dari mana Anda  Apoteker  Media sosial
menerimanya?  Perawat  Internet
 Dokter  Keluarga
 Kampanye  TV
 Buku  Lainnya
………
5 Apakah Anda tahu jika membuang  Ya
obat tidak terpakai dan obat  Tidak
kedaluwarsa dengan tidak benar
dapat menganggu lingkungan dan
kesehatan?
6 Apa akibatnya jika Anda  Akibatnya adalah
menyimpan obat yang tidak …………………………………….
terpakai atau obat kedaluwarsa di  Tidak ada akibat
rumah?  Tidak tahu
7 Apa akibatnya jika Anda  Akibatnya adalah
membuang obat yang sudah tidak …………………………………….
terpakai atau kedaluwarsa ke  Tidak ada akibat
tempat sampah secara langsung?  Tidak tahu

8 Apa akibatnya jika Anda  Akibatnya adalah


membuang obat yang sudah tidak …………………………………….
terpakai atau kedaluwarsa ke  Tidak ada akibat
saluran air secara langsung?  Tidak tahu
9 Jika ada sebuah tempat khusus  Sangat ingin
untuk menampung sampah obat,  Ingin
seberapa inginkah Anda  Tidak ingin
memanfaatkannya?  Sangat tidak ingin
82

Bagian 3
Berilah tanda centang () pada jawaban yang sesuai!
Sangat
Tidak Tidak Sangat
tidak Setuju
setuju yakin setuju
setuju
Saya sangat sadar tentang isu
permasalahan obat tidak
terpakai dan obat kedaluwarsa
Saya sangat sadar tentang
dampak dari obat tidak
terpakai dan obat kedaluwarsa
terhadap pasien/individu
Saya sangat sadar tentang
dampak obat tidak terpakai dan
obat kedaluwarsa terhadap
masyarakat
Saya sangat sadar tentang
dampak obat tidak terpakai dan
obat kedaluwarsa terhadap
ekonomi
Saya sangat sadar tentang
dampak obat tidak terpakai dan
obat kedaluwarsa terhadap
lingkungan
83

(3) Analisis data


1) Jenis Kelamin
Crosstab

Saya sangat sadar tentang isu


permasalahan obat tidak terpakai

Tidak setuju Setuju Total

Jenis Kelamin Pria Count 59 62 121

Expected Count 65.9 55.1 121.0

Wanita Count 172 131 303

Expected Count 165.1 137.9 303.0


Total Count 231 193 424

Expected Count 231.0 193.0 424.0

Chi-Square Tests

Asymptotic
Significance Exact Sig. (2- Exact Sig. (1-
Value df (2-sided) sided) sided)

Pearson Chi-Square 2.235a 1 .135


Continuity Correctionb 1.923 1 .165
Likelihood Ratio 2.229 1 .135
Fisher's Exact Test .160 .083
Linear-by-Linear
2.229 1 .135
Association
N of Valid Cases 424

a. 0 cells (0.0%) have expected count less than 5. The minimum expected count is 55.08.
b. Computed only for a 2x2 table

Crosstab

Saya sangat sadar tentang


dampak dari obat tidak terpakai
terhadap pasien/individu

Tidak setuju Setuju Total

Jenis Kelamin Pria Count 66 55 121

Expected Count 65.4 55.6 121.0

Wanita Count 163 140 303

Expected Count 163.6 139.4 303.0


Total Count 229 195 424
Expected Count 229.0 195.0 424.0
84

Chi-Square Tests

Asymptotic
Significance Exact Sig. (2- Exact Sig. (1-
Value df (2-sided) sided) sided)

Pearson Chi-Square .020a 1 .889


Continuity Correctionb .001 1 .974
Likelihood Ratio .020 1 .889
Fisher's Exact Test .914 .488
Linear-by-Linear
.020 1 .889
Association
N of Valid Cases 424

a. 0 cells (0.0%) have expected count less than 5. The minimum expected count is 55.65.
b. Computed only for a 2x2 table

Crosstab

Saya sangat sadar tentang


dampak dari obat tidak terpakai
terhadap petugas kesehatan

Tidak setuju Setuju Total

Jenis Kelamin Pria Count 74 47 121

Expected Count 76.2 44.8 121.0

Wanita Count 193 110 303

Expected Count 190.8 112.2 303.0


Total Count 267 157 424

Expected Count 267.0 157.0 424.0


85

Chi-Square Tests

Asymptotic
Significance Exact Sig. (2- Exact Sig. (1-
Value df (2-sided) sided) sided)

Pearson Chi-Square .239a 1 .625


Continuity Correctionb .143 1 .706
Likelihood Ratio .238 1 .625
Fisher's Exact Test .657 .352
Linear-by-Linear
.239 1 .625
Association
N of Valid Cases 424

a. 0 cells (0.0%) have expected count less than 5. The minimum expected count is 44.80.
b. Computed only for a 2x2 table

Crosstab

Saya sangat sadar tentang dampak dari


obat tidak terpakai terhadap masyarakat

Tidak setuju Setuju Total

Jenis Pria Count 68 53 121


Kelamin Expected Count 66.5 54.5 121.0

Wanita Count 165 138 303

Expected Count 166.5 136.5 303.0


Total Count 233 191 424

Expected Count 233.0 191.0 424.0

Chi-Square Tests

Asymptotic
Significance Exact Sig. (2- Exact Sig. (1-
Value df (2-sided) sided) sided)

Pearson Chi-Square .106a 1 .745


Continuity Correctionb .047 1 .828
Likelihood Ratio .106 1 .744
Fisher's Exact Test .829 .414
Linear-by-Linear
.106 1 .745
Association
N of Valid Cases 424

a. 0 cells (0.0%) have expected count less than 5. The minimum expected count is 54.51.
b. Computed only for a 2x2 table
86

Crosstab

Saya sangat sadar tentang dampak dari


obat tidak terpakai terhadap ekonomi

Tidak setuju Setuju Total

Jenis Pria Count 79 42 121


Kelamin Expected Count 78.2 42.8 121.0

Wanita Count 195 108 303

Expected Count 195.8 107.2 303.0


Total Count 274 150 424

Expected Count 274.0 150.0 424.0

Chi-Square Tests

Asymptotic
Significance Exact Sig. (2- Exact Sig. (1-
Value df (2-sided) sided) sided)

Pearson Chi-Square .033a 1 .856


Continuity Correctionb .005 1 .945
Likelihood Ratio .033 1 .856
Fisher's Exact Test .911 .474
Linear-by-Linear
.033 1 .856
Association
N of Valid Cases 424

a. 0 cells (0.0%) have expected count less than 5. The minimum expected count is 42.81.
b. Computed only for a 2x2 table

Crosstab

Saya sangat sadar tentang


dampak dari obat tidak terpakai
terhadap lingkungan

Tidak setuju Setuju Total

Jenis Kelamin Pria Count 61 60 121

Expected Count 61.6 59.4 121.0

Wanita Count 155 148 303

Expected Count 154.4 148.6 303.0


Total Count 216 208 424
Expected Count 216.0 208.0 424.0
87

Chi-Square Tests

Asymptotic
Significance Exact Sig. (2- Exact Sig. (1-
Value df (2-sided) sided) sided)

Pearson Chi-Square .019a 1 .890


Continuity Correctionb .001 1 .976
Likelihood Ratio .019 1 .890
Fisher's Exact Test .915 .488
Linear-by-Linear
.019 1 .890
Association
N of Valid Cases 424

a. 0 cells (0.0%) have expected count less than 5. The minimum expected count is 59.36.
b. Computed only for a 2x2 table

2) Menerima informasi
Crosstab

Saya sangat sadar tentang isu


permasalahan obat tidak
terpakai

Tidak setuju Setuju Total

Apakah Anda pernah Ya Count 19 59 78


menerima informasi Expected Count 42.5 35.5 78.0
mengenai cara
Tidak Count 212 134 346
membuang obat dengan
Expected Count 188.5 157.5 346.0
benar?
Total Count 231 193 424

Expected Count 231.0 193.0 424.0


88

Chi-Square Tests

Asymptotic
Significance Exact Sig. (2- Exact Sig. (1-
Value df (2-sided) sided) sided)

Pearson Chi-Square 34.972a 1 .000


Continuity Correctionb 33.499 1 .000
Likelihood Ratio 35.848 1 .000
Fisher's Exact Test .000 .000
Linear-by-Linear
34.889 1 .000
Association
N of Valid Cases 424

a. 0 cells (0.0%) have expected count less than 5. The minimum expected count is 35.50.
b. Computed only for a 2x2 table

Crosstab

Saya sangat sadar tentang


dampak dari obat tidak
terpakai terhadap
pasien/individu

Tidak setuju Setuju Total

Apakah Anda pernah Ya Count 26 52 78


menerima informasi Expected Count 42.1 35.9 78.0
mengenai cara Tidak Count 203 143 346
membuang obat dengan
Expected Count
186.9 159.1 346.0
benar?
Total Count 229 195 424

Expected Count 229.0 195.0 424.0


89

Chi-Square Tests

Asymptotic
Significance Exact Sig. (2- Exact Sig. (1-
Value df (2-sided) sided) sided)

Pearson Chi-Square 16.451a 1 .000


Continuity Correctionb 15.446 1 .000
Likelihood Ratio 16.563 1 .000
Fisher's Exact Test .000 .000
Linear-by-Linear
16.412 1 .000
Association
N of Valid Cases 424

a. 0 cells (0.0%) have expected count less than 5. The minimum expected count is 35.87.
b. Computed only for a 2x2 table

Crosstab

Saya sangat sadar tentang


dampak dari obat tidak
terpakai terhadap petugas
kesehatan

Tidak setuju Setuju Total

Apakah Anda pernah Ya Count 30 48 78


menerima informasi Expected Count 49.1 28.9 78.0
mengenai cara Tidak Count 237 109 346
membuang obat dengan
Expected Count
217.9 128.1 346.0
benar?
Total Count 267 157 424

Expected Count 267.0 157.0 424.0


90

Chi-Square Tests

Asymptotic
Significance Exact Sig. (2- Exact Sig. (1-
Value df (2-sided) sided) sided)

Pearson Chi-Square 24.626a 1 .000


Continuity Correctionb 23.355 1 .000
Likelihood Ratio 23.821 1 .000
Fisher's Exact Test .000 .000
Linear-by-Linear
24.568 1 .000
Association
N of Valid Cases 424

a. 0 cells (0.0%) have expected count less than 5. The minimum expected count is 28.88.
b. Computed only for a 2x2 table

Crosstab

Saya sangat sadar tentang


dampak dari obat tidak terpakai
terhadap masyarakat

Tidak setuju Setuju Total

Apakah Anda pernah Ya Count 29 49 78


menerima informasi Expected Count 42.9 35.1 78.0
mengenai cara Tidak Count 204 142 346
membuang obat dengan
Expected Count
190.1 155.9 346.0
benar?
Total Count 233 191 424

Expected Count 233.0 191.0 424.0


91

Chi-Square Tests

Asymptotic
Significance Exact Sig. (2- Exact Sig. (1-
Value df (2-sided) sided) sided)

Pearson Chi-Square 12.197a 1 .000


Continuity Correctionb 11.333 1 .001
Likelihood Ratio 12.189 1 .000
Fisher's Exact Test .001 .000
Linear-by-Linear
12.169 1 .000
Association
N of Valid Cases 424

a. 0 cells (0.0%) have expected count less than 5. The minimum expected count is 35.14.
b. Computed only for a 2x2 table

Crosstab

Saya sangat sadar tentang


dampak dari obat tidak
terpakai terhadap ekonomi

Tidak setuju Setuju Total

Apakah Anda pernah Ya Count 38 40 78


menerima informasi Expected Count 50.4 27.6 78.0
mengenai cara Tidak Count 236 110 346
membuang obat dengan
Expected Count
223.6 122.4 346.0
benar?
Total Count 274 150 424

Expected Count 274.0 150.0 424.0


92

Chi-Square Tests

Asymptotic
Significance Exact Sig. (2- Exact Sig. (1-
Value df (2-sided) sided) sided)

Pearson Chi-Square 10.576a 1 .001


Continuity Correctionb 9.741 1 .002
Likelihood Ratio 10.208 1 .001
Fisher's Exact Test .002 .001
Linear-by-Linear
10.551 1 .001
Association
N of Valid Cases 424

a. 0 cells (0.0%) have expected count less than 5. The minimum expected count is 27.59.
b. Computed only for a 2x2 table

Crosstab

Saya sangat sadar tentang


dampak dari obat tidak
terpakai terhadap lingkungan

Tidak setuju Setuju Total

Apakah Anda pernah Ya Count 21 57 78


menerima informasi Expected Count 39.7 38.3 78.0
mengenai cara Tidak Count 195 151 346
membuang obat dengan
Expected Count
176.3 169.7 346.0
benar?
Total Count 216 208 424

Expected Count 216.0 208.0 424.0


93

Chi-Square Tests

Asymptotic
Significance Exact Sig. (2- Exact Sig. (1-
Value df (2-sided) sided) sided)

Pearson Chi-Square 22.068a 1 .000


Continuity Correctionb 20.906 1 .000
Likelihood Ratio 22.722 1 .000
Fisher's Exact Test .000 .000
Linear-by-Linear
22.016 1 .000
Association
N of Valid Cases 424

a. 0 cells (0.0%) have expected count less than 5. The minimum expected count is 38.26.
b. Computed only for a 2x2 table

3) Mendengar Kampanye
Crosstab

Saya sangat sadar tentang isu


permasalahan obat tidak
terpakai

Tidak setuju Setuju Total

Apakah Anda pernah Ya Count 17 32 49


mendengar kampanye Expected Count 26.7 22.3 49.0
Gema Tidak Count 214 161 375
Cermat/Dagusibu/GNPO
Expected Count
204.3 170.7 375.0
PA?
Total Count 231 193 424

Expected Count 231.0 193.0 424.0


94

Chi-Square Tests

Asymptotic
Significance Exact Sig. (2- Exact Sig. (1-
Value df (2-sided) sided) sided)

Pearson Chi-Square 8.747a 1 .003


Continuity Correctionb 7.868 1 .005
Likelihood Ratio 8.772 1 .003
Fisher's Exact Test .004 .003
Linear-by-Linear
8.726 1 .003
Association
N of Valid Cases 424

a. 0 cells (0.0%) have expected count less than 5. The minimum expected count is 22.30.
b. Computed only for a 2x2 table

Crosstab

Saya sangat sadar tentang


dampak dari obat tidak
terpakai terhadap
pasien/individu

Tidak setuju Setuju Total

Apakah Anda pernah Ya Count 20 29 49


mendengar kampanye Expected Count 26.5 22.5 49.0
Gema Tidak Count 209 166 375
Cermat/Dagusibu/GNPO
Expected Count
202.5 172.5 375.0
PA?
Total Count 229 195 424

Expected Count 229.0 195.0 424.0


95

Chi-Square Tests

Asymptotic
Significance Exact Sig. (2- Exact Sig. (1-
Value df (2-sided) sided) sided)

Pearson Chi-Square 3.882a 1 .049


Continuity Correctionb 3.305 1 .069
Likelihood Ratio 3.875 1 .049
Fisher's Exact Test .067 .035
Linear-by-Linear
3.873 1 .049
Association
N of Valid Cases 424

a. 0 cells (0.0%) have expected count less than 5. The minimum expected count is 22.54.
b. Computed only for a 2x2 table

Crosstab

Saya sangat sadar tentang


dampak dari obat tidak terpakai
terhadap petugas kesehatan

Tidak setuju Setuju Total

Apakah Anda pernah Ya Count 21 28 49


mendengar kampanye Expected Count 30.9 18.1 49.0
Gema Tidak Count 246 129 375
Cermat/Dagusibu/GNPO
Expected Count
236.1 138.9 375.0
PA?
Total Count 267 157 424

Expected Count 267.0 157.0 424.0


96

Chi-Square Tests

Asymptotic
Significance Exact Sig. (2- Exact Sig. (1-
Value df (2-sided) sided) sided)

Pearson Chi-Square 9.613a 1 .002


Continuity Correctionb 8.663 1 .003
Likelihood Ratio 9.257 1 .002
Fisher's Exact Test .003 .002
Linear-by-Linear
9.591 1 .002
Association
N of Valid Cases 424

a. 0 cells (0.0%) have expected count less than 5. The minimum expected count is 18.14.
b. Computed only for a 2x2 table

Crosstab

Saya sangat sadar tentang


dampak dari obat tidak
terpakai terhadap masyarakat

Tidak setuju Setuju Total

Apakah Anda pernah Ya Count 20 29 49


mendengar kampanye Expected Count 26.9 22.1 49.0
Gema Tidak Count 213 162 375
Cermat/Dagusibu/GNPO
Expected Count
206.1 168.9 375.0
PA?
Total Count 233 191 424

Expected Count 233.0 191.0 424.0


97

Chi-Square Tests

Asymptotic
Significance Exact Sig. (2- Exact Sig. (1-
Value df (2-sided) sided) sided)

Pearson Chi-Square 4.473a 1 .034


Continuity Correctionb 3.850 1 .050
Likelihood Ratio 4.453 1 .035
Fisher's Exact Test .046 .025
Linear-by-Linear
4.462 1 .035
Association
N of Valid Cases 424

a. 0 cells (0.0%) have expected count less than 5. The minimum expected count is 22.07.
b. Computed only for a 2x2 table

Crosstab

Saya sangat sadar tentang


dampak dari obat tidak
terpakai terhadap ekonomi

Tidak setuju Setuju Total

Apakah Anda pernah Ya Count 30 19 49


mendengar kampanye Expected Count 31.7 17.3 49.0
Gema Tidak Count 244 131 375
Cermat/Dagusibu/GNPO
Expected Count
242.3 132.7 375.0
PA?
Total Count 274 150 424

Expected Count 274.0 150.0 424.0


98

Chi-Square Tests

Asymptotic
Significance Exact Sig. (2- Exact Sig. (1-
Value df (2-sided) sided) sided)

Pearson Chi-Square .280a 1 .597


Continuity Correctionb .137 1 .711
Likelihood Ratio .277 1 .599
Fisher's Exact Test .635 .352
Linear-by-Linear
.279 1 .597
Association
N of Valid Cases 424

a. 0 cells (0.0%) have expected count less than 5. The minimum expected count is 17.33.
b. Computed only for a 2x2 table

Crosstab

Saya sangat sadar tentang


dampak dari obat tidak terpakai
terhadap lingkungan

Tidak setuju Setuju Total

Apakah Anda pernah Ya Count 15 34 49


mendengar kampanye Expected Count 25.0 24.0 49.0
Gema Tidak Count 201 174 375
Cermat/Dagusibu/GNPO
Expected Count
191.0 184.0 375.0
PA?
Total Count 216 208 424

Expected Count 216.0 208.0 424.0


99

Chi-Square Tests

Asymptotic
Significance Exact Sig. (2- Exact Sig. (1-
Value df (2-sided) sided) sided)

Pearson Chi-Square 9.164a 1 .002


Continuity Correctionb 8.267 1 .004
Likelihood Ratio 9.359 1 .002
Fisher's Exact Test .004 .002
Linear-by-Linear
9.142 1 .002
Association
N of Valid Cases 424

a. 0 cells (0.0%) have expected count less than 5. The minimum expected count is 24.04.
b. Computed only for a 2x2 table
100

Kesadaran terhadap permasalahan dan dampak obat tidak terpakai

Correlations

Pendidikan
Spearman's rho
Saya sangat sadar tentang isu Correlation Coefficient .201**
permasalahan obat tidak terpakai Sig. (2-tailed) .000

N 424

Saya sangat sadar tentang dampak Correlation Coefficient .103*


dari obat tidak terpakai terhadap Sig. (2-tailed) .035
pasien/individu N 424

Saya sangat sadar tentang dampak Correlation Coefficient .189**


dari obat tidak terpakai terhadap Sig. (2-tailed) .000
petugas kesehatan N 424

Saya sangat sadar tentang dampak Correlation Coefficient .123*


dari obat tidak terpakai terhadap Sig. (2-tailed) .011
masyarakat N 424

Saya sangat sadar tentang dampak Correlation Coefficient .210**


dari obat tidak terpakai terhadap Sig. (2-tailed) .000
ekonomi N 424

Saya sangat sadar tentang dampak Correlation Coefficient .173**


dari obat tidak terpakai terhadap Sig. (2-tailed) .000
lingkungan N 424

**. Correlation is significant at the 0.01 level (2-tailed).


*. Correlation is significant at the 0.05 level (2-tailed).
101

Skor Total

Correlations

Skor Total
Spearman's rho
Pendidikan Correlation Coefficient .178**

Sig. (2-tailed) .000

N 424

Pendapatan Correlation Coefficient .094

Sig. (2-tailed) .053

N 424

Umur Correlation Coefficient .159**

Sig. (2-tailed) .001

N 424

Pendidikan (--) Correlation Coefficient -.178**

Sig. (2-tailed) .000

N 424

Pendapatan (--) Correlation Coefficient -.094

Sig. (2-tailed) .053

N 424

Umur (--) Correlation Coefficient -.159**

Sig. (2-tailed) .001

N 424

**. Correlation is significant at the 0.01 level (2-tailed).


102

Correlations

Pendapatan
Spearman's rho
Saya sangat sadar tentang isu Correlation Coefficient .105*
permasalahan obat tidak terpakai Sig. (2-tailed) .030

N 424

Saya sangat sadar tentang Correlation Coefficient .032


dampak dari obat tidak terpakai Sig. (2-tailed) .512
terhadap pasien/individu N 424

Saya sangat sadar tentang Correlation Coefficient .112*


dampak dari obat tidak terpakai Sig. (2-tailed) .022
terhadap petugas kesehatan N 424

Saya sangat sadar tentang Correlation Coefficient .096*


dampak dari obat tidak terpakai Sig. (2-tailed) .049
terhadap masyarakat N 424

Saya sangat sadar tentang Correlation Coefficient .089


dampak dari obat tidak terpakai Sig. (2-tailed) .066
terhadap ekonomi N 424

Saya sangat sadar tentang Correlation Coefficient .056


dampak dari obat tidak terpakai Sig. (2-tailed) .251
terhadap lingkungan N 424

*. Correlation is significant at the 0.05 level (2-tailed).


**. Correlation is significant at the 0.01 level (2-tailed).
103

Correlations

Umur
Spearman's rho
Saya sangat sadar tentang isu Correlation Coefficient .144**
permasalahan obat tidak Sig. (2-tailed) .003
terpakai N 424

Saya sangat sadar tentang Correlation Coefficient .143**


dampak dari obat tidak terpakai Sig. (2-tailed) .003
terhadap pasien/individu N 424

Saya sangat sadar tentang Correlation Coefficient .121*


dampak dari obat tidak terpakai Sig. (2-tailed) .012
terhadap petugas kesehatan N 424

Saya sangat sadar tentang Correlation Coefficient .177**


dampak dari obat tidak terpakai Sig. (2-tailed) .000
terhadap masyarakat N 424

Saya sangat sadar tentang Correlation Coefficient .099*


dampak dari obat tidak terpakai Sig. (2-tailed) .042
terhadap ekonomi N 424

Saya sangat sadar tentang Correlation Coefficient .131**


dampak dari obat tidak terpakai Sig. (2-tailed) .007
terhadap lingkungan N 424

**. Correlation is significant at the 0.01 level (2-tailed).


*. Correlation is significant at the 0.05 level (2-tailed).
104

Hasil Uji Validitas

Correlations

STot

STot Pearson Correlation 1

Sig. (2-tailed)

N 30
Q1 Pearson Correlation .849**
Sig. (2-tailed) .000
N 30
Q2 Pearson Correlation .887**
Sig. (2-tailed) .000
N 30
Q3 Pearson Correlation .849**
Sig. (2-tailed) .000
N 30
Q4 Pearson Correlation .927**
Sig. (2-tailed) .000
N 30
Q5 Pearson Correlation .805**
Sig. (2-tailed) .000
N 30
Q6 Pearson Correlation .793**
Sig. (2-tailed) .000

N 30

**. Correlation is significant at the 0.01 level (2-tailed).

Hasil Uji Reliabilitas

Reliability Statistics

Cronbach's
Alpha N of Items

.923 6
Definisi Operasional

Variabel Definisi Operasional Alat Ukur Cara Ukur Hasil Ukur Skala Ukur
Demografi
Perbedaan yang dilihat Memberikan pertanyaan mengenai 1: Pria Nominal
Jenis
berdasarkan seks Kuesioner jenis kelamin dan diberikan pilihan 2: Wanita
Kelamin
responden sejak lahir. (1) pria dan (2) wanita
Memberikan pilihan beberapa 1: 18 – 30 tahun Ordinal
Umur responden ketika
kelompok umur dari 18 tahun hingga 2: 31 – 40 tahun
ikut serta dalam penelitian
Umur Kuesioner 60 tahun kemudian responden 3: 41 – 49 tahun
yang dinyatakan dalam
memilih pilihan kelompok umur 4: 50 – 59 tahun
rentang umur.
yang sesuai. 5: 60 tahun lebih
Memberikan pilihan tingkat 1: SD Ordinal
Tingkat pendidikan yang pendidikan dari tingkat sekolah 2: SMP
Riwayat
sudah ditempuh oleh Kuesioner dasar (SD) hingga pendidikan tinggi 3: SMA
Pendidikan
responden. setingkat S2/S3 kemudian responden 4: Diploma/S1
memilih pilihan tingkat yang sesuai 5: S2/S3
Memberikan pilihan jenis pekerjaan 1: Pegawai Nominal
tertentu meliputi pegawai, 2: Wirausaha
Pekerjaan/profesi yang
wirausaha, pelajar/mahasiswa, tidak 3: Pelajar/
sedang dijalani oleh
Pekerjaan Kuesioner ada pekerjaan dan diberikan kolom mahasiswa
responden saat dilakukan
jawaban khusus untuk menuliskan 4: Tidak ada
wawancara.
jenis pekerjaan di luar pilihan yang 5: Lainna
ditentukan.
Imbalan yang di terima Memberikan pilihan besaran 1: ≤ Rp1.000.000 Ordinal
Pendapatan oleh responden dalam Kuesioner pendapatan dari pendapatan kurang 2: Rp1.000.000 –
pekerjaana berupa uang dari Rp1.000.000,- hingga Rp3.000.000

105
106

dalam waktu kerja satu pendapatan lebih dari Rp5.000.000,- 3: Rp3.000.000 –


bulan. Sedangkan untuk kemudian responden memilih Rp5.000.000
pelajar/mahasiswa yang pilihan tingkat yang sesuai 4: ≥ Rp5.000.000
dimaksud pendapatan
adalah suang saku per
bulan.
Memberikan beberapa pertanyaan 1: Ya Nominal
Kesadaran
Riwayat penerimaan mengenai riwayat penerimaan 2: Tidak
informasi
responden pada informasi informasi penanganan obat tidak
penanganan Kuesioner
penanganan obat tidak terpakai dan pengetahuan tentang
obat tidak
terpakai dan dampaknya dampak obat tidak terpakai.
terpakai
Responden diberi pilihan Ya/Tidak.
Pengetahuan Memberikan pertanyaan untuk Pertanyaan Nominal*
mengenai Pengetahuan reponden menelusuri pengetahuan responden terbuka
dampak mengenai dampak mengenai dampak menyimpan obat
Kuesioner
penanganan beberapa penanganan obat tidak terpakai di rumah, membuang
obat tidak tidak terpakai secara langsung ke tempat sampah
terpakai dan saluran air.
Memberikan pertanyaan mengenai 1 : Sangat tidak Ordinal
Kesadaran
Kesadaran responden kesadaran terhadap isu permasalahan setuju
terhadap
terhadap isu permasalahan obat tidak terpakai dan dampaknya 2: Tidak setuju
permasalahan
obat tidak terpakai dan Kuesioner pada individu, petugas kesehatan, 3: Tidak yakin
dan dampak
dampak pada berbagai masyarakat, ekonomi dan 4: Setuju
obat tidak
bidang lingkungan dengan skala Likert 5 5: Sangat setuju
terpakai
poin
Obat tidak terpakai adalah
Obat tidak
semua produk obat yang - - - -
terpakai
diperoleh baik dari rumah
107

sakit, apotek ataupun toko


obat yang sudah tidak
digunakan oleh
masyarakat, karena rusak,
kedaluwarsa, atau tidak
dianjurkan untuk
digunakan kembali dalam
bentuk sediaan apapun.

Anda mungkin juga menyukai