Anda di halaman 1dari 33

FITOTERAPI PENGOBATAN DIARE, KONSTIPASI, DAN HEPATITIS

Diajukan untuk memenuhi tugas mata kuliah Fitoterapi Terapan

Disusun oleh:

Yasrina 260112190001
Clara Gracia 260112190023
Amelia Putri Pertiwi 260112190059
Galuh Ayu Wandita 260112190075
M. Naufal Mu’Tashim 260112190105

KELOMPOK 6 – KELAS A

PROGRAM STUDI PROFESI APOTEKER


FAKULTAS FARMASI
UNIVERSITAS PADJADJARAN
2019
DAFTAR ISI

DAFTAR ISI..............................................................................................................................2

BAB I DIARE ............................................................................................................................3

1.1 Pengertian Diare.................................................................................................... 3

1.1.1 Patofisiologi Diare ..................................................................................... 3

1.1.2 Faktor Risiko Diare .................................................................................... 3

1.2 Fitoterapi Pengobatan Diare ................................................................................. 4

1.2.1 Daun Jambu Biji (Psidium guajava L.) ..................................................... 4

BAB II KONSTIPASI ...............................................................................................................9

2.1 Pengertian Konstipasi ........................................................................................... 9

2.1.1 Patofisiologi Konstipasi ............................................................................. 9

2.1.2 Faktor Risiko Konstipasi.......................................................................... 10

2.2 Fitoterapi Pengobatan Konstipasi ....................................................................... 10

2.2.1 Senna (Cassia angustifolia Vahl.) ........................................................... 10

BAB III HEPATITIS ...............................................................................................................15

3.1 Pengertian Hepatitis ............................................................................................ 15

3.1.1 Patofisiologi Hepatitis .............................................................................. 15

3.1.2 Faktor Risiko Hepatitis ............................................................................ 16

3.2 Fitoterapi Pengobatan Hepatitis .......................................................................... 16

3.2.1 Meniran (Phylanthus niruri (Val.)).......................................................... 16

3.2.2 Temulawak (Curcuma xanthorhiza Roxb.) ............................................. 20

3.2.3 Kunyit (Curcuma domestica Val.) ........................................................... 23

3.2.4 Teh Hijau (Camellia sinensis (L.) Kuntze Theaceae) .............................. 27

DAFTAR PUSTAKA ..............................................................................................................31


BAB I
DIARE

1.1 Pengertian Diare


Diare adalah buang air besar dengan konsistensi lembek atau cair, bahkan
dapat berupa air saja dengan frekuensi lebih sering dari biasanya (tiga kali atau lebih)
dalam satu hari (Depkes RI, 2011). Diare dapat disebabkan oleh transportasi air dan
elektrolit yang abnormal dalam usus. Diseluruh dunia terdapat kurang lebih 500 juta
anak yang menderita diare setiap tahunnya, dan 20% dari seluruh kematian pada anak
yang hidup di negara berkembang berhubungan dengan diare serta dehidrasi.
Gangguan diare dapat melibatkan lambung dan usus (Gastroenteritis), usus halus
(Enteritis), kolon (Kolitis) atau kolon dan usus (Enterokolitis) (Wong, 2008).

1.1.1 Patofisiologi Diare


Mekanisme yang menyebabkan timbulnya diare adalah gangguan
osmotik, gangguan sekresi, dan gangguan motilitas usus (Suraatmaja, 2007).
Pada diare akut, mikroorganisme masuk ke dalam saluran cerna, kemudian
mikroorganisme tersebut berkembang biak setelah berhasil melewati asam
lambung, mikroorganisme membentuk toksin (endotoksin), lalu terjadi
rangsangan pada mukosa usus yang menyebabkan terjadinya hiperperistaltik
dan sekresi cairan tubuh yang mengakibatkan terjadinya diare (Suraatmaja,
2007).

1.1.2 Faktor Risiko Diare


1. Faktor umur
Sebagian besar episiode diare terjadi pada 2 tahun pertama
kehidupan. Insidensi tertinggi terjadi pada kelompok umur 6-11 bulan
pada saat diberikan makanan pendamping ASI. Pola ini
menggambarkan kombinasi efek penurunan kadar antibodi ibu,
kurangnya kekebalan aktif bayi, pengenalan makanan yang mungkin
terkontaminasi bakteri tinja dan kontak langsung dengan tinja manusia
atau binatang pada saat bayi mulai merangkak. Kebanyakan
enteropatogen merangsang paling tidak sebagian kekebalan melawan
infeksi atau penyakit yang berulang, yang membantu menjelaskan
menurunnya insiden penyakit pada anak yang lebih besar dan pada
orang dewasa.

2. Infeksi asimtomatik
Sebagian besar infeksi usus bersifat asimtomatik dan proporsi
asimtomatik ini meningkat setelah umur 2 tahun dikarenakan
pembentukan imunitas aktif. Pada infeksi asimtomatik yang mungkin
berlangsung beberapa hari atau minggu, tinja penderita mengandung
virus, bakteri atau kista protozoa yang infeksius. Orang dengan infeksi
asimtomatik berperan penting dalam penyebaran banyak enteropatogen
terutama bila mereka tidak menyadari adanya infeksi, tidak menjaga
kebersihan dan berpindah-pindah dari satu tempat ke tempat yang lain.

3. Faktor musim
Variasi pola musiman diare dapat terjadi menurut letak
geografis. Di daerah sub tropik, diare karena bakteri lebih sering terjadi
pada musim panas, sedangkan diare karena virus terutama rotavirus
puncaknya terjadi pada musim dingin. Didaerah tropik (termasuk
indonesia), diare yang disebabkan oleh retrovirus dapat terjadi
sepanjang tahun dengan peningkatan sepanjang musim kemarau,
sedangkan diare karena bakteri cenderung meningkat pada musim
hujan.

1.2 Fitoterapi Pengobatan Diare


1.2.1 Daun Jambu Biji (Psidium guajava L.)
A. Klasifikasi
 Kingdom : Plantae
 Filum : Tracheophyta
 Kelas : Magnoliosida
 Ordo : Myrtales
 Familia : Myrtaceae
 Genus : Psidium L.
 Spesies : Psidium Guajava L.
 Bagian yang Digunakan : Daun
(GBIF, 2019)

B. Deskripsi Tumbuhan
Jambu biji berasal dari Amerika tropik, tumbuh pada tanah yang
gembur maupun liat, pada tempat terbuka dan mengandung air cukup
banyak. Pohon ini banyak ditanam sebagi pohon buah-buahan. Namun,
sering tumbuh liar dan dapat ditemukan pada ketinggian 1-1200 m di
atas permukaan laut. Jambu bji berbunga sepanjang tahun. Sekarang
tanaman ini sudah menyebar luas ke seluruh dunia, terutama di daerah
tropis. Diperkirakan terdapat sekitar 150 spesies Psidium yang menyebar
ke daerah tropis dan berhawa sejuk.
Tumbuhan jambu biji termasuk jenis perdu atau pohon kecil,
tinggi 2- 10 m, percabangan banyak. Batangnya berkayu, keras, kulit
batang licin, mengelupas, berwarna cokelat kehijauan. Daun tunggal,
bertangkai pendek, letak berhadapan, daun muda berambut halus,
permukaan atas daun tua licin. Helaian daun berbentuk bulat telur agak
jorong, ujung tumpul, pangkal membulat, tepi rata agak melekuk ke atas,
pertulangan menyirip, panjang 6-14 cm, lebar 3-6 cm, berwarna hijau.
Buah tunggal, bertangkai, keluar dari ketiak daun, berkumpul 1-3 bunga,
berwarna putih. Buahnya berbentuk bulat sampai bulat telur, berwarna
hijau sampai hijau kekuningan. Daging buah tebal, buah yang masak
bertekstur lunak, berwarna putih kekuningan atau merah jambu. Biji
banyak mengumpul di tengah, kecil-kecil, keras, berwarna kuning
kecokelatan (Hapsoh dan Hasanah, 2011).

C. Nama Daerah
Sumatera: glima breueh (Aceh), galiman (Batak Karo), masiambu
(Nias), biawas, jambu krutuk, jambu krikil, jambu biji, jambu klutuk
(Melayu). Jawa: jambu klutuk (Sunda), hambu bhender (Madura).
Sotong (Bali), guawa (Flores), goihawas (Sika). Sulawesi: gayawas
(Manado), dambu (Gorontalo), jambu paratugala (Makasar). Maluku:
luhu hatu (Ambon), gayawa (Ternate, Halmahera).

(Hapsoh dan Hasanah, 2011).

D. Kandungan Kimia
Senyawa aktif yang berkhasiat sebagai antidiare pada ekstrak daun
Psidium guajava L. adalah kuersetin, tanin, minyak atsiri dan alkaloid.
Adanya senyawa kuersetin dari esktrak daun Psidium guajava L.
mampu menjadi agen antidiare yang menjadi antispasmogenik pada usus
dan menghambat pelepasan asetilkolin gastrointestinal tetapi juga dapat
memberikan efek sebagai inhibitor pertumbuhan dan perkembangan
bakteri yang dapat menyebabkan diare seperti Escherichia coli,
Salmonella, Shigella, Staphylococus aureus, dan Vibrio cholera (Ajiza,
A., 2010 ; Birdi, T., et al., 2010).
Kandungan daun Psidium guajava L. yang paling efektif sebagai
anti diare adalah kuersetin yang merupakan turunan dari flavonoid.
Kuersetin dapat menghambat berbagai neurotransmiter yang bersifat
spasmogenik. Asetilkolin merupakan salah satu neurotransmiter
spasmogenik usus yang dapat meningkat akibat adanya iritasi dari
bakteri di usus. Penghambatan pada asetilkolin tersebut akan
menyebabkan penurunan kontraksi usus sehingga dapat mengehentikan
diare (Lutterodt, GD., 1989)

E. Indikasi
Mengurangi frekuensi buang air besar
F. Kontraindikasi dan Peringatan
Tidak boleh diberikan pada anak dibawah 5 tahun dan penderita harus
minum oralit. Bila dalam penggunaan 3 hari tidak sembuh, hubungi
dokter anda

G. Dosis dan Cara Penggunaan


Di minum 2x1 @240 mg ekstrak kering daun jambu biji

H. Efek Samping
Pemakaian secara luas tidak dilaporkan mempunyai efek samping
berbahaya. Hipotensi, hipoglikemia, gangguan keseimbangan elektrolit.

I. Sediaan yang Beredar

Diapet®

 Keterangan :
Tiap kapsul mengandung Ekstrak Phyllanthi niruri Herba 20 mg
 Penggunaan :
- Dewasa dan Anak anak :
sehari 2 kali @ 2 kapsul
- Untuk mengurangi diare akut :
2 kali @2 kapsul dengan selang waktu 1 jam.
 Kemasan :
Strip @4 kapsul
 Golongan :
Jamu
 No. Registrasi :
TR. 122 365 721
 Produksi :
PT. SOHO Industri Pharmas

J. Uji Praklinik
Ekstrak daun jambu biji diuji untuk keefektifannya dalam
mengobati diare menular menggunakan model tikus C. rodentium. Tikus
pada kelompok uji (diobati dengan ekstrak daun P. guajava)
menunjukkan pembersihan infeksi lebih cepat dibandingkan dengan
kelompok kontrol. Jumlah bakteri dalam sampel tinja tikus dalam
kelompok uji lebih tinggi pada hari ke- 4 dibandingkan dengan pada
kelompok kontrol, menunjukkan keluarnya bakteri. Pada kelompok uji,
6/7 (85,71%) tikus menunjukkan pembersihan infeksi pada Hari 19.
Kelompok kontrol terus menunjukkan infeksi sampai hari ke-29. Dengan
demikian ekstrak daun jambu biji memiliki potensi untuk digunakan
dalam pengobatan diare akibat infeksi (Birdi, T. & Gupta., P., 2015).
BAB II
KONSTIPASI

2.1 Pengertian Konstipasi


Sembelit atau konstipasi merupakan keadaan tertahannya feses (tinja)
dalamusus besar pada waktu cukup lama karena adanya kesulitan dalam pengeluaran.
Hal ini terjadi akibat tidak adanya gerakan peristaltik pada usus besar sehingga
memicu tidak teraturnya buang air besar dan timbul perasaan tidak nyaman pada perut
(Akmal, dkk, 2010).

2.1.1 Patofisiologi Konstipasi


Patofisiologi konstipasi dapat dibagi menjadi dua faktor yaitu faktor
dari dalam lumen dan faktor dari luar lumen.

Faktor dari Lumen Kolon dan Rektum


Ada tiga faktor dari dalam lumen yang dapat menyebabkan konstipasi,
yaitu:
- Obstruksi kolon akibat keganasan, volvulus, atau striktur : obstruksi pada
kolon akan menyebabkan kesulitan pasase feses
- Berkurangnya motilitas usus : misalnya pada pasien yang menggunakan
laksatif secara berlebihan dalam waktu lama
- Obstruksi pada jalan keluar : misalnya akibat prolaps rektum, rectocele,
spasme sfingter anal eksternum, atau kerusakan nervus pudendus akibat
komplikasi persalinan spontan

Faktor dari Luar Lumen


Beberapa faktor dari luar lumen yang dapat menyebabkan konstipasi
adalah :
- Pola makan yang rendah serat, kurang cairan, serta konsumsi alkohol dan
kafein yang berlebihan
- Penggunaan obat yang mempengaruhi neurotransmitter yang mengatur
gerakan kolon
- Gangguan sistemik seperti gangguan endokrin dan gangguan neurologi
2.1.2 Faktor Risiko Konstipasi
Pengenalan dini faktor-faktor risiko pencetus konstipasi dapat
membantu kita untuk mencegah konstipasi itu sendiri. Faktor-faktor risiko
Konstipasi yaitu :
 Setelah operasi abdomen atau perianal/pelvik
 Mobilitas yang sedikit
 Tidak adekuatnya asupan (cairan ataupun serat)
 Pengobatan yang beragam
 Salah penggunaan laksansia
 Pasien dengan penyakit stadium lanjut
 Perjalanan
 Sejarah dengan konstipasi kronik

2.2 Fitoterapi Pengobatan Konstipasi


2.2.1 Senna (Cassia angustifolia Vahl)

A. Klasifikasi
 Divisi : Tracheophyta
 Sub Divisi : Spermatophyta
 Classis : Magnoliopsida
 Ordo : Rosanae
 Familia : Phyllanthaceae
 Genus : Phyllanthus L.
 Species : Phylanthus niruri (Val.)
 Bagian yang Digunakan : Herba
B. Deskripsi Tumbuhan
Jati cina atau Senna (Cassia angustifolia Vahl) merupakan
tanaman yang tumbuh subur di daerah tropis. Daun jati cina digunakan
dalam pengobatan sejak dulu sebagai pencahar dan mengandung turunan
antrakuinon dan glikosida. Dalam dunia kedokteran daun jati cina
memiliki efek katarsis sehingga sangat berguna untuk pengobatan
konstipasi (Tripathy, 1999).
Senna terdiri atas daun kering dan buah disebut sebagai
Tinnevelly atau Indian senna (Fam. Leguminosae). Mereka tumbuh
dengan tinggi 20-60 cm dan ditandai oleh senyawa paripinnate daun
diatur dalam 4-7 kelompok daun kecil berlawanan satu sama lain. Daun
berwarna hijaun keabu-abuan dengan bentuk memanjang, runcing. Buah
berwarna kehitaman, memanjang, datar dan berbentuk ginjal. Efek
laksatif dari daun lebih besar dari buah. Antraquinon yang terkandung
dalam senna adalah glikosida diantharone (daun 1,5-3% dan buah 2-5%)
terutama sennosida A dan B (rhein dianthrones) (Supriyatna, et al.,
2015).

C. Kandungan Kimia
Daun dan biji mengandung glikosida antrasena yaitu senosida (A,
B, C, D, E dan F), glikosida rhein, sejumlah kecil aloeemodin, musilago
(10%), glikosida naftalena, isoramnetin, asam krisofanat, senapikrin, dan
katartomanit (Utami, 2008). Flavonoid yang sudah diketahui dari
tanaman ini adalah kaemferol, kaempterin dan isorhamnetin. Jati cina
juga mengandung beta sitosterol (0,33%) (Singh et al, 1997).
Daun jati cina juga mengandung diglikosida diantron dan
monoantrakuinon. Senosida A di dalam tubuh akan mengalami suatu
reaksi hidrolisis enzimatik dan reduksi oleh bakteri flora usus
(Entamoeba coli) menjadi rein antron. Rein antron merupakan suatu
senyawa yang menginduksi sekresi air dan mencegah reabsorbsi air
dalam saluran pencernaan, sehingga dapat digunakan dalam upaya
penyembuhan konstipasi akut (Mun’in & Hanani, 2011). Rein–9–antron
yang terkandung dalam daun senna adalah metabolit yang diproduksi
oleh bakteri di usus besar, sehingga membuat daun jati cina memiliki
khasiat sebagai laksatif stimulan (Werner & Merz, 2007).

D. Indikasi
Laksatif

E. Efek Farmakologi
Antraquinon biasanya berada di alam sebagai glikosida yang
mempunyai sifat seperti prodrug, membebaskan aglikon yang mana
bertindak sebagai laksatif. Senyawa ini bertindak pada saraf enterik atau
sel mukosa untuk menstimulasi pembebasan atau sintesis autokoid dan
atau neurotransmitter (prostaglandin, nitrit oksida, dll), yang mana
diketahui meningkatkan pergerakan usus dan menstimulasi akumulasi
caran dalam usus. Aksi laksatif dari antraquinon terjadi selama 6-12 hari
jam setelah pencernaan secara oral. Obat herbal yang mengandung
antraquinon sekarang ini direkomendasikan untuk pengobatan jangka
pendek (1-2 minggu) dalam kasus konstipasi atonis, dalam beberapa
kasus konstipasi akut dan sebelum endoskopi saluran gastrointestinal
obat ini tidak diizinkan untuk konstipasi spastik. Antraquinon dengan
serat juga efektif dan bertoleransi tinggi untuk onstipasi kronis pada
pasien yang sudah tua (Supriyatna, et al., 2015).
Sennosida A dan B dapat dianggap sebagai prodrugs, mereka
mencapai usus besar tanpa perubahan dan hidrolisis oleh flora bakteri
untuk membentuk metabolit aktif utama, rhein dan rhein anthrone. Rhein
anthrone untuk kadar yang lebih rendah bekerja baik sekresi dan
motilitas menyebabkan laktasi dan aksi ini sebagian besar tidak
berhubungan satu sama lain. Sennosida atau senyawa aktif rhein dan
rhein anthron telah terbukti untuk meragsang sintesis atau melepaskan
sejumlah secretagogues ususmeliputi prostaglandin, 5-
hydroxytryptamine dan nitrit oksida (Supriyatna, et al., 2015).

F. Kontraindikasi
Seperti halnya obat pencahar stimulan lainnya, obat ini
dikontraindikasikan pada orang yang memiliki obstruksi usus, stenosis,
atonia radang usus buntu, nyeri perut yang tidak diketahui penyebabnya,
keadaan dehidrasi parah atau sembelit kronis. Folium Sennae tidak boleh
digunakan pada anak di bawah usia 10 tahun (Komission E, 1993).

G. Dosis dan Cara Penggunaan


Daun senna telah digunakan sebagai pencahar stimulan dengan
dosis 0,6 hingga 2 g / hari, dengan dosis sennoside B harian dari 20
hingga 30 mg. Teh pahit dapat dibuat dengan memasukkan senna 0,5
hingga 2 g (0,5 hingga 1 sendok teh) ke dalam air hangat. Senna tidak
boleh digunakan pada dosis tinggi atau untuk jangka waktu yang lama
(Ulbricht, 2012).

H. Efek Samping
Penggunaan dosis besar dari senna dapat menimbulkan keluhan
perut (kembung, kram, nyeri, dll) perubahan warna urin dan wasir.
Penggunaan jangka panjang menyebabkan ketidakseimbangan elektrolit
dehirasi dan perubahan fungsi otot. Studi klinis telah menunjukkan
bahwa pengobatan pada ibu menyusui tidak menimbulkan efek laksatif
pada janin (Supriyatna, et al., 2015).

I. Sediaan yang Beredar

Senna®

 Keterangan :
Tiap kapsul mengandung Sennae Folium Extract 550 mg
 Penggunaan :
Minum secara teratur 2 kapsul sebelum tidur malam. Dosis dapat
ditingkatkan atau dikurangi sesuai kebutuhan
 Kemasan :
Dus, Botol @ 30, 60 & 100 kapsul
 Golongan :
Jamu
 No. Registrasi :
TR 062 363 921
 Produksi :
PT. Industri Jamu Borobudur Semarang

J. Uji Klinik
Uji toksisitas terhadap ekstrak daun jati cina pada tikus dan kelinci
tidak menunjukkan adanya efek toksik seperti kematian embrio,
teratogenik maupun fetotoksik (Mengs, et al., 1986). Penelitian lagi
terhadap ekstrak daun jati cina dilakukan oleh Hietala (1987) dengan
menggunakan menunjukkan bahwa sennosida sebagai kandungan utama
dari jati cina memiliki LD50 5000 mg/kg pada tikus dan mencit.
Senna merupakan laksatif bahan alam yang direkomendasikan
oleh komisi E Jerman (Supriyatna, et al., 2015). Dosis yang
direkomendasikan sebagai pencahar untuk orang dewasa, orang tua dan
remaja di atas 12 tahun (15-30 mg sekali sehari di malam hari) didukung
oleh pendapat para ahli dan oleh penyelidikan klinis (Kommision E,
1993). Rekomendasi ini juga diberikan dengan mempertimbangkan data
toksikologis, yang dievaluasi dan dipimpin untuk farmakovigilens
Jerman. Studi klinis juga menunjukkan bahwa pengobatan dengan senna
tidak mengakibatkan peningkatan resiko apapun selama kehamilan atau
pada janin. Sebaliknya senna menjadi pencahar pilihan dalam kehamilan
dan selama menyusui.
BAB III
HEPATITIS

3.1 Pengertian Hepatitis


Hepatitis adalah peradangan hati yang bisa berkembang menjadi fibrosis
(jaringan parut), sirosis atau kanker hati. Hepatitis disebabkan oleh berbagai faktor
seperti infeksi virus, zat beracun (misalnya alkohol, obat-obatan tertentu), dan
penyakit autoimun. Penyebab paling umum Hepatitis adalah yang disebabkan oleh
Virus Hepatitis B dan C.

3.1.1 Patofisiologi Hepatitis


Sel hati manusia merupakan target organ bagi virus Hepatitis B. Virus
Hepatitis B mula-mula melekat pada reseptor spesifik di membran sel hepar
kemudian mengalami penetrasi ke dalam sitoplasma sel hepar. Virus
melepaskan mantelnya di sitoplasma, sehingga melepaskan nukleokapsid.
Selanjutnya nukleokapsid akan menembus sel dinding hati.
Asam nukleat VHB akan keluar dari nukleokapsid dan akan menempel
pada DNA hospes dan berintegrasi pada DNA tersebut. Proses selanjutnya
adalah DNA VHB memerintahkan sel hati untuk membentuk protein bagi
virus baru. Virus Hepatitis B dilepaskan ke peredaran darah, terjadi
mekanisme kerusakan hati yang kronis disebabkan karena respon imunologik
penderita terhadap infeksi (Mustofa & Kurniawaty, 2013).
Proses replikasi virus tidak secara langsung bersifat toksik terhadap
sel, terbukti banyak carrier VHB asimtomatik dan hanya menyebabkan
kerusakan hati ringan. Respon imun host terhadap antigen virus merupakan
faktor penting terhadap kerusakan hepatoseluler dan proses klirens virus,
makin lengkap respon imun, makin besar klirens virus dan semakin berat
kerusakan sel hati. Respon imun host dimediasi oleh respon seluler terhadap
epitop protein VHB, terutama HBsAg yang ditransfer ke permukaan sel hati.
Human Leukocyte Antigen (HLA) class I-restricted CD8+ cell mengenali
fragmen peptida VHB setelah mengalami proses intrasel dan dipresentasikan
ke permukaan sel hati oleh molekul Major Histocompability Complex
(MHC) kelas I. Proses berakhir dengan penghancuran sel secara langsung
oleh Limfosit T sitotoksik CD8+ (Hardjoeno, 2007).
3.1.2 Faktor Risiko Hepatitis
Menurut WHO (2002), terdapat beberapa kelompok yang berisiko
terinfeksi virus hepatitis B:
1. Anak yang baru lahir dari ibu yang terinfeksi hepatitis B.
2. Anak-anak kecil di tempat perawatan anak yang tinggal di lingkungan
yang endemis.
3. Tinggal serumah atau berhubungan seksual (suami -istri) dengan
penderita. Risiko tertular untuk orang yang tinggal serumah terjadi karena
menggunakan peralatan rumah tangga yang bisa terkena darah seperti
pisau cukur, sikat gigi.
4. Pekerja Kesehatan. Paparan terhadap darah secara rutin menjadi potensi
utama terjadinya penularan di kalangan kesehatan.
5. Pasien cuci darah
6. Pengguna narkoba dengan jarum suntik
7. Mereka yang menggunakan peralatan kesehatan bersama seper ti pasien
dokter gigi, dan lain lain. Karena itu, seharusnya dokter menggunakan alat
sekali pakai atau mensterilkan alat setiap kali pemakaian.
8. Orang yang memberi terapi akupuntur atau orang yang menerima terapi
akupuntur.
9. Mereka yang tinggal di daerah endemis, atau seri ng bepergian ke daerah
endemis hepatits B.
10. Mereka yang berganti-ganti pasangan, dan ketidaktahuan akan kondisi
kesehatan pasangan.
11. Kaum homoseksual

3.2 Fitoterapi Pengobatan Hepatitis


3.2.1 Meniran (Phylanthus niruri (Val.))
A. Klasifikasi
 Divisi : Tracheophyta
 Sub Divisi : Spermatophyta
 Classis : Magnoliopsida
 Ordo : Rosanae
 Familia : Phyllanthaceae
 Genus : Phyllanthus L.
 Species : Phylanthus niruri (Val.)
 Bagian yang Digunakan : Herba

B. Deskripsi Tumbuhan
Semak, tanaman semusim. Terna tumbuh tegak, tinggi 0,5-1 m,
bercabang berpencar, cabang mempunyai daun tunggal yang berseling
dan tumbuh mendatar dari batang pokok. Batang berwarna hijau pucat
atau hijau kemerahan. Batang masif, bulat licin, tidak berambut,
diameter 3 mm. Daun majemuk, berseling, anak daun 15-24, berwarna
hijau. Bentuk daun bundar telur sampai bundar memanjang, panjang
daun 5 mm-10 mm, lebar 2,5-5 mm, permukaan daun bagian bawah
berbintik-bintik kelenjar, tepi rata, ujung tumpul, pangkal membulat.
Bunga berwarna putih, tunggal. Bunga keluar dari ketiak daun. Bunga
jantan terletak di bawah ketiak daun, berkumpul 2-4 bunga, gagang
bunga 0,5- 1 mm, helai mahkota bunga berbentuk bundar telur terbalik,
panjang 0,75-1 mm, berwarna merah pucat. Bunga betina di bagian atas
ketiak daun, gagang bunga 0,75-1 mm, helai mahkota bunga berbentuk
bundar telur sampai bundar memanjang, tepi berwarna hijau muda,
panjang 1,25-2.5 mm. Buah kotak, bulat, diameter 2 mm, berwarna hijau
keunguan, licin, panjang gagang buah 1,5-2. Biji kecil, keras, berwarna
coklat.

C. Kandungan Kimia
Katekin, galokatekin, epikatekin, epikatekin-3-galat,
epigalokatekin, 4-hidroksilintetralin, 4-hidroksisesamin, epigalokatekin-
3-O-galat, limonen, norserurinin, 4-metoksinorserurinin, 2,3-dimetoksi-
isolintetralin, 24-isopropil kolesterol, asam askorbat, astragalin, β-
sitosterol, korilagin, simen, demetilenedioksi nirantin, asam
dotriakontanat, asam elagat, eriodiktiol-7-O-α-L-ramnosid, estradiol,
fisetin-41-O-βD-glukosid, asam galat, geranin, hinokinin,
hidroksinirantin, hipofilantin, isolintetralin, isokuersitrin, kaemferol-4-
O-α-Lramnosid, linantin, asam linoleat, asam linolenat, lintetralin, lupeol
asetat, lupeol, nirantin, nirfilin, nirtetralin, nirurin, nirurinetin,
norsekurinin, filantenol, filantenon, filanteol, filantin, filnirurin,
filokrisin, filetetrin, kuersetin, asam repandusinat, asam rikinoleat, rutin,
metal ester asam salisilat, seko-4-hidroksi-lintetralin, trans-fitol. Filantin,
hipofilantin, damar, kalium, tanin. Filantina; hipofilantina; kalium;
damar tanin.

D. Indikasi
Antihepatitis, Hepatoprotektor

E. Kontraindikasi, Peringatan dan Interaksi


 Kontraindikasi :
Kehamilan, penyakit jantung dan hipoglikemia
 Peringatan :
Dapat menimbulkan aborsi. Pemakaian berlebih dapat menyebabkan
impotensi
 Interaksi :
Meningkatkan efek insulin dan obat antidiabetes. Mengandung
graniin yang dilaporkan mempunyai efek inotropik dan kronotropik
negatif, hipotensi, karena itu dapat meningkatkan efek obat anti
hipertensi, ACE inhibitor, αblocker dan obat jantung. Ekstrak etanol
menghambat enzim sitokrom P450 in vivo dan in vitro.

F. Dosis dan Cara Penggunaan


2 x 1 kapsul (25 mg ekstrak) / hari
(Permenkes, 2016).
G. Efek Samping
Pemakaian secara luas tidak dilaporkan mempunyai efek samping
berbahaya. Hipotensi, hipoglikemia, gangguan keseimbangan elektrolit.

H. Sediaan yang Beredar

Hepacomb®

 Keterangan :
Tiap kapsul mengandung Ekstrak Phyllanthi niruri Herba 20 mg
 Penggunaan :
Untuk pemeliharaan: 3 x 1 kapsul sehari atau sesuai petunjuk dokter.
Untuk penderita penyakit liver atau yang baru sembuh: 2 kapsul, 2-3
x sehari atau sesuai petunjuk dokter.
 Kemasan :
Dus, Botol @ 30 ; @ 50 kapsul
 Golongan :
Jamu
 No. Registrasi :
TR 102314271
 Produksi :
Industri Jamu dan Farmasi Sido Muncul Tbk.

I. Uji Praklinik
Penelitian in vivo yang dilakukan Nworu (2010) pada mencit
menunjukkan bahwa ekstrak encer dari Phyllanthus niruri dapat
mengaktivasi dan meningkatkan aktivitas mitosis limfosit dalam skala
besar (Nworu, et al., 2010). Kandungan ekstrak Phyllanthus niruri
menyebabkan proliferasi limfosit T dan limfosit B secara signifikan.
Aktivasi limfosit oleh ekstrak Phyllanthus niruri juga berkaitan dengan
meningkatnya pelepasan interferon gamma (IFN- γ) dan interleukin-4
(IL-4). IFN- γ dan IL-4 dapat menginduksi sistem imun dan pada
akhirnya mampu mengeliminasi virus-virus yang melekat pada sel-sel
hati (Sarisetyaningtyas, et al., 2006).
J. Uji Klinik
Phylanthus niruri memperlihatkan aktivitas antihepatitis B virus
surface antigen pada studi in vivo dan in vitro. Studi pada 37 pasien
dengan hepatitis B kronik diterapi dengan Phylanthus niruri 600 mg/hari
selama 30 hari, memberikan hasil 59% pasien HBsAg negatif 2 minggu
pasca terapi. Pada evaluasi 9 bulan, Phylanthus niruri dapat menghambat
proliferasi virus dengan menghambat replikasi materi genetik

3.2.2 Temulawak (Curcuma xanthorhiza Roxb.)

A. Klasifikasi
 Divisi : Spermatophyta
 Sub Divisi : Angiospermae
 Classis : Dycotyledoneae
 Ordo : Zingiberales
 Familia : Zingiberaceae
 Genus : Curcuma
 Species : Curcuma xanthorhiza Roxb.
 Bagian yang Digunakan : Rimpang

B. Deskripsi Tumbuhan
Curcuma Rhizoma terdiri atas rimpang Curcuma xanthorriza
Roxb, familia Zingiberaceae. Dalam keadaan utuh atau dipotong-potong.
Bau aromatik; rasa tajam dan pahit, kepingan; ringan, keras, rapuh,
wama coklat kuning sampai coklat. Bagian tanaman yang digunakan
rimpang kering dari tanaman Curcuma xanthorrhiza. Tanaman ini
merupakan tema berbatang semu setinggi kurang lebih 2 m. Rimpang
induk besar mirip dengan tuber, bentuk bulat lonjong, dan rimpang
cabang berukuran lebih kecil. (BPOM, 2006)

C. Kandungan Kimia
Minyak atsiri (3-12 %): komponen utama adalah ar-
kurkumen(alta-kurkumcn). xanthorthtzok beta-kurkumen. germakrene,
furanodien, furanodienon. Kurkuminoid (0.8 - 2%) : terdiri atas
kurkumin dan desmetoksikurkumin. Pati (30-40%). (BPOM, 2006).

D. Indikasi
Hepatoprotektor

E. Kontraindikasi
Belum diketahui

F. Dosis dan Cara Penggunaan


Obat dijadikan serbuk untuk larutan infus dan sediaan-sediaan
galenika untuk penggunaan internal. Dosis harian: rentang dosis harian
yaitu 2 g obat; infus; 2 -3 kali sehari di antara waktu makan. (BPOM,
2006).

G. Efek Samping
Dosis besar atau pemakaian yang berkepanjangan dapat
mengakibatkan iritasi membran mukosa lambung. Tidak dapat
digunakan dalam cholangitis akut atau icterus. (BPOM, 2006).

H. Sediaan yang Beredar

Sari Temulawak

 Keterangan :
Ekstrak Curcumae xanthorrhiza Rhizoma 100% (25% kurkuminoid)
 Produksi :
PT. Sido Muncul

I. Uji Praklinik
Khasiat antihepatotoksik kurkumin secara in-vitro telah diteliti
yang melakukan induksi hepatotoksik pada hewan percobaan
menggunakan karbon tetraklorida dan d-galaktosamin. Pemberian
kurkumin dosis 1 mg/kg dapat mengurangi aktivitas enzim glutamate
oksaloasetat transaminase (GOT) sebesar 53%, serta menurunkan
aktivitas enzim glutamate piruvat transaminase (GPT) sebesar 20%.
Penelitian histopatologi mengenai aktivitas hepatoprotektor
ekstrak temulawak yang mengandung 5% kurkumin menggunakan
hewan percobaan yang diinduksi hepatotoksik dengan parasetamol dosis
tinggi (2500 mg/kg BB). Dosis ekstrak temulawak yang digunakan pada
penelitian ini terdiri atas dosis rendah (50 mg/kg BB) dan dosis tinggi
(250 dan 1000 mg/kg BB). Dengan menggunakan N-asctilsistein sebagai
pembanding, disimpulkan bahwa ekstrak temulawak dosis rendah tidak
memberikan aktivitas hepatoprotektor, tetapi pada dosis tinggi dapat
menurunkan kadar SGOT dan SG PT, serta menunjukkan perbaikan
gambaran histologi yang sama baik dengan N-asetilsistein. (BPOM,
2011).
Pemberian seduhan rimpang temulawak sebesar 400, 800 mg/kg
bobot mencit selama 6 hari serta 200, 400 dan 800 mg/kg bobot mencit
pada mencit selama 14 hari mampu menurunkan aktivitas enzim
Glutamic Pyruvic Transaminase (GPT) akibat dosis hepatotoksik
parasetamol dan mampu mempersempit luas daerah nekrosis
parasetamol secara nyata. Daya antihepatotoksik tergantung pada
besarnya dosis maupun jangka waktu pemberiannya (Raharjo, 2010).
Penggunaan temulawak sebagai minuman pada ternak kelinci betina
menunjukkan bahwa tidak terdapat lemak tubuh pada karkas dan
jaringan lemak di sekitar organ reproduksi (Raharjo, 2010).

J. Uji Klinik
Kriteria inklusi adalah penderita hepatitis kronik dan tidak sedang
menjalani terapi anti virus. Dasar diagnosis hepatitis kronis adalah
penderita sudah diketahui minimal dalam 6 bulan terakhir mempunyai
kadar SGOT dan SGPT > 1,5 kali diatas batas atas nilai normal.
Terhadap seluruh subyek penelitian dilakukan pemeriksaan SGOT,
SGPT, bilirubin total, PT, INR.
Penderita mendapat kaplet schizandrae tunggal 3 x 1 per hari atau
Schizandrae kombinasi 3 x 1 kaplet per hari selama 28 hari. Jumlah
penderita yang menyelesaikan penelitian dari kelompok schizandrae
tunggal sebanyak 19 orang dan dari kelompok scizandrae kombinasi
sebanyak 18 orang. Lima belas orang perempuan, 22 orang laki-laki,
berumur antara 21 – 76 tahun Hasil dari penelitian tersebut menunjukan
bahwa pemberian kombinasi schizandrae fructus 135 mg, sylimarin
phytosome 35 mg, ekstrak curcuma xanthorizzae rhiz. 150 mg, liquiritiae
radix 135 mg, choline bitartrate 150 mg, B6 2 mg sebanyak 3 x 1 kaplet /
hari selama 28 hari menunjukan penurunan SGOT dan bilirubin total
yang lebih baik dibandingkan schizandrae fructus 135 mg tunggal.

3.2.3 Kunyit (Curcuma domestica Val.)

A. Klasifikasi
 Divisi : Spermatophyta
 Sub Divisi : Angiospermae
 Classis : Monocotyledonae
 Ordo : Zingiberales
 Familia : Zingiberaceae
 Genus : Curcuma
 Species : Curcuma domestica Val
 Bagian yang Digunakan : Rimpang

B. Deskripsi Tumbuhan
Semak tinggi ±70 cm, batang semu, tegak, bulat, membentuk
rimpang, berwarna hijau kekuningan. Daun tunggal membentuk lanset
memanjang. Helai daun 3-8, ujung dan pangkal daun runcing, tepi rata,
panjang 20-40 cm, lebar 8-12 cm. Pertulangan daun menyirip, daun
berwarna hijau pucat. Bunga majemuk berambut bersisik. Panjang
tangkai 16-40 cm. panjang mahkota 3 cm, lebar 1 cm, berwarna kuning.
Kelopak silindris,bercangap 3, tipis dan berwarna ungu. Pangkal daun
pelindung putih. Akar serabut berwarna coklat muda. Rimpang warna
kuning jingga, kuning jingga kemerahan sampai kuning jingga
kecoklatan.

C. Kandungan Kimia
Kurkuminoid yaitu campuran dari kurkumin (diferuloilmetan),
monodeksmetoksikurkumin dan bisdesmetoksikurkumin. Struktur
fenolnya memungkinkan untuk menghilangkan radikal bebas. Minyak
atsiri 5.8% terdiri dari a-felandren 1%, sabinen 0.6%, sineol 1%,
borneol 0.5%, zingiberen 25%, dan seskuiterpen 53%. Mono- dan
seskuiterpen termasuk zingiberen, kurkumen, α- dan βturmeron.

D. Indikasi
Hepatoprotektor

E. Kontraindikasi, Peringatan dan Interaksi


 Kontraindikasi :
Obstruksi saluran empedu, kolesistitis. Untuk batu empedu konsul ke
dokter. Hipersensitivitas, Gagal ginjal akut, anak < 12 tahun.
 Peringatan :
Penggunaan pada masa kehamilan: keamanan pemakaian rimpang
kunyit selamam kehamilan belum dibuktikan. Sebagai perhatian
sebaiknya tidak digunakan selama kehamilan, kecuali ada petunjuk
medis. Penggunaan pada masa menyusui: ekskresi obat melalui air
susu dan efeknya terhadap bayi belum dibuktikan. Sampai data
tersedia, rimpang kunyit sebaiknya tidak digunakan kecuali atas
petunjuk medis.
 Interaksi :
Dapat meningkatkan aktivitas obat antikoagulan, antiplatelet,
heparin, trombolitik sehingga meningkatkan risiko perdarahan.
Interaksi kurkumin dengan herbal yang lain: Orang sehat diberi 2 g
curcumin dikombinasi dengan 20 mg piperine, bioavailabilitas
kurkumin meningkat 20 kali. Teh hijau meningkatkan efek curcumin.
 Data Manfaat
Farmakokinetik: Dosis sampai 5 μg/ml kurkumin yang ditambahkan
ke suspensi mikrosom dan hepatosit menghilang dalam 30 menit.
Pada tikus, 40-75% kurkumin per oral diekskresi melalui feces.
Kadar dalam darah < 5 μg/mL menandakan absorbsi gastrointestinal
yang buruk. Kurkumin dimetabolisme secara cepat dan diekskresi di
feses. Pada manusia estimasi bioavailabilitas setelah pemberian oral
adalah 65%. Kurkumin menghambat sitokrom P450 isoenzim 1A1
dan dimetabolisme oleh glukuronidase

F. Dosis dan Cara Penggunaan


3 x 1 tablet (500 mg ekstrak) / hari
(Permenkes, 2016).

G. Efek Samping
Penggunaan pada kehamilan dan menyusui harus dengan pengawasan
dokter. Mual pada dosis tinggi.

H. Sediaan yang Beredar

SHAD ULIVER®

 Keterangan :
Tiap kapsul mengandung: ekstrak daun sambiloto (Andrographis
folium), ekstrak kunyit (Curcuma domisticae rhizoma), ekstrak
temulawak (Curcumae xanthorizae rizhoma), Ecliptica herba,
Plantaginis folium (daun sendok)
 Penggunaan :
2 x 2 atau 2 x 3 kapsul sehari
 Kemasan :
Botol @ 30 @50 kapsul
 Golongan :
Jamu
 No. Registrasi :
TR 033321781
 Produksi :
PT SHAD GLOBAL INDONESIA

I. Uji Praklinik
Kunyit menunjukan aktivitas hepatoprotektor in vitro maupun in
vivo pada mencit, tikus dan itik yang diinduksi hepatotoksik dengan
karbon tetraklorida, aflatoksin B1, parasetamol, besi dan
cyclophosphamide. Pemberian 30 mg/kg BB kurkumin/hari selama 10
hari efektif sebagai protektor. Pemberian kunyit 80% dan kurkumin
pada konsentrasi 2 µg dapat menghambat induksi mutagen yaitu
aflatoksin B1 pada percobaan pembiakan Salmonella thyphimurium
Strain TA98 dan TA100. Pemberian kunyit 5% dan 10% merangsang
enzim (arylhidrokarbon hidroksilase, UDP glukuronil transferase,
glutathion-S-transferase) yang memetabolisme xenobiotik. Kurkumin
merupakan penghambat sitokrom 450 IA yang kuat yaitu isoenzim yang
terlibat pada beberapa toksin, termasuk benzopyren.
Curcumin melindungi sel terhadap lipid peroxidation yang
diinduksi parasetamol, mungkin karena efek antioxidatif gugus fenol
pada curcumin. Curcumin menurunkan aktivitas aspartate transaminase
and serum fosfatase alkali, serta kadar asam lemak bebas, kolesterol and
fosfolipid. Ekstrak air C. domestica (10 mg/mL) menghambat produksi
toxin 99% pada duckling yang diinduksi oleh aflatoxin. Ekstrak alkohol
menunjukkan penghambatan yang sama namun lebih lemah. Terapi
kunyit dan curcumin menunjukkan perbaikan hampir sempurna dari
perlemakan dan nekrosis yang diinduksi aflatoxin.

J. Uji Klinik
Serbuk kunyit terfermentasi dilakukan pada 60 pasien yang
didiagnosis mengalami peningkatan kadar SGOT antara 40-200 IU/L.
Uji klinik dilakukan dengan metode acak buta ganda selama 12 minggu.
60 pasien secara acak menerima kapsul serbuk kunyit terfermentasi 3
g/hari dan plasebo diberikan dalam dosis terbagi sehari tiga kali. Hasil
menunjukkan adanya penurunan nilai SGOT dan SGPT secara
signifikan sedangkan ALP, TB, kadar lipid tidakberubah bermakna.

3.2.4 Teh Hijau (Camellia sinensis (L.) Kuntze Theaceae)

A. Klasifikasi
 Divisi : Spermatophyta
 Sub Divisi : Angiospermae
 Classis : Dicotylledoneae
 Ordo : Guttiferales
 Familia : Camelliaceae
 Genus : Camelia
 Species : Camellia sinensis (L.)
 Bagian yang Digunakan : Daun
B. Deskripsi Tumbuhan
Camellia sinensis (L.) Kuntze merupakan pohon kecil karena
seringnya pemangkasan maka tampak seperti perdu. Bila tidak
dipangkas, akan tumbuh kecil ramping setinggi 5-10 m, dengan bentuk
tajuk seperti kerucut. Batang tegak, berkayu, banyak cabang, ujung
ranting dan daun muda berambut halus. Daun tunggal, bertangkai
pendek, letak berseling, helai daun kaku seperti kulit tipis, bentuknya
elips memanjang, ujung dan pangkal runcing, tepi bergerigi halus,
pertulangan menyirip, panjang 6-18 cm, lebar 2-6 cm, warnanya hijau,
permukaan mengilap. Bunga di ketiak daun, tunggal atau beberapa
bunga bergabung menjadi satu, berkelamin dua, garis tengah 3-4 cm,
warnanya putih cerah dengan kepala sari berwarna kuning, harum.
Buahnya buah kotak, berdinding tebal, pecah menurut ruang, masih
muda hijau setelah tua cokelat kehitaman. Biji keras, 1-3. Pucuk dan
daun muda yang digunakan untuk pembuatan minuman teh.

C. Kandungan Kimia
Kafein 2-3 %, teobromin, teofilin, tanin, minyak atsiri dan natural
flourida. Teh hijau dibuat melalui penguapan atau pengeringan daun teh
segar, mengandung polifenol, yaitu flavanol (lazim disebut katekin)
flavandiol, flavonoid dan asam-asam fenolat, sebesar 30% dari berat
kering daun. Katekin teh hijau adalah (-)-epigallokatekin-3-gallat
(EGCG), (-)-epigallokatekin (EGC),(-)epikatekin -3-gallat (ECG), (-)-
epikatekin (EC) dan (+)-katekin. Alkaloid utama adalah kafein, teobromin
dan teofilin, sebesar 4 % dari berat kering. Asam-asam fenolat berupa
asam gallat dan asam amino teanin.
Dalam proses pembuatan teh hitam polifenol mengalami
polimerisasi oksidase katalisis oksidatif membentuk bisflavamol,
teaflavin, tearubigin dan oligomeroligomer lain. Teaflavin (1-2% dari
berat kering total) termasuk teaflavin, teafalavin-3-O-galat, teaflavin-3’-
0-galat, dan teaflavin 3,3 ’-O-digalat yang memberi warna dan rasa yang
khas pada teh hitam. Tearubigin terdapat dalam 10-20 % berat kering.
D. Indikasi
Membantu memelihara kesehatan hati.

E. Kontraindikasi, Peringatan dan Interaksi


 Kontraindikasi :
Kehamilan, ibu menyusui, demam, insomnia, anemia, sembelit,
tekanan darah tinggi
 Peringatan :
FDA menyarankan untuk menghindari penggunaan teh pada wanita
hamil karena kandungan kafein dalam teh dapat menyebabkan efek
teratogenik (studi pada hewan) Demikian juga wanita menyusui
karena dapat menyebabkan bayi yang disusui mengalami gangguan
tidur)
 Interaksi :
Vitamin K yang terdapat pada teh dapat bersifat antogonis terhadap
antikoagulan warfarin. Karena warfarin memiliki indeks terapi yang
sempit, pasien harus menghindari penggunaan teh dalam jumlah
yang besar (lebih dari 4 cangkir/hari) dan harus mengkonsultasikan
dengan dokter sebelum mengkonsumsi produk herbal ini.
Penggunaan bersamaan obat-obatan yang bersifat basa dapat
menyebabkan penghambatan penyerapan obat-obatan tersebut karena
terjadi ikatan kimia dengan tanin yang terdapat dalam teh

F. Dosis dan Cara Penggunaan


2-4 kapsul usai sarapan pagi dan makan malam
(Permenkes, 2016).

G. Efek Samping
Belum diketahui

H. Sediaan yang Beredar

TeGreem®
 Keterangan :
Tiap kapsul mengandung Ekstrak daun teh hijau (20:1) (camellia
sinensis) 250mg
 Penggunaan :
2-4 kapsul sebelum tidur dan setelah makan pagi.
 Kemasan :
Botol @ 30 kapsul
 Golongan :
Suplemen
 No. Registrasi :
TI 054317151

I. Uji Praklinik
Ekstrak air mengandung polifenol 200 mg/mL yang dapat
menurunkan secara signifikan aktivitas enzim-enzim hati (alkalin
fosfatase, SGOT dan SGPT) serta lipid peroksidase, namun
meningkatkan secara signifikan enzim superoksida dismutase, katalase,
glutation tereduksi (GSH), total tiol, glutation peroksidase (GPx),
glutation reduktase (GR) dan glutation S-transferase (GST) hati mencit.
Ekstrak 2% juga mampu melindungi kerusakan hati dan ginjal akibat
pemberian aflatoksin 25 dan 50 mg selama 30 hari pada mencit. Selain
itu, ekstrak 0,5-1,5 % yang diberikan dalam air minum selama 1 minggu
dapat melindungi kerusakan jaringan prostat, hati dan ginjal mencit
akibat pemberian per oral 7,12-dimetil benz(a)antrsena (DMBA) 50
mg/kg bb.9) Ekstrak 50,100 dan 200 mg/kg BB diberikan per oral 5-kali
sebelum pemberian D-galaktosamin mampu mencegah kenaikan
aktivitas GOT, GPT dan ALP, mencegah penurunan albumin serum dan
kolesterol total pada tikus.
DAFTAR PUSTAKA

Ajizah A. Sensitivitas Salmonella typhimurium terhadap ekstrak daun Psidium guajava L.


Bioscientiae. 2004;1(1):31-8.
Akmal, Mutaroh, dkk. 2010. Ensiklopedi Kesehatan untuk Umum. Jogjakarta: Ar-Ruzz
Media
Birdi T, Daswani P, Brijesh S, Tetali P, Natu A, Antia N. Newer insights into the mechanism
of action of Psidium guajava L. leaves in infectious diarrhoea. BMC Complementary
and Alternative Medicine. 2010;10(33).
Birdi, T., Gupta, P. 2015. Psidium guajava leaf extract prevents intestinal colonization
of Citrobacter rodentium in the mouse model. J Ayurveda Integr Med. 6(1): 50–52.
BPOM, 2006. Acuan Sediaan Herbal , Vol 2 Edisi I. Direktorat Obat. Asli Indonesia. Badan
Pengawas Obat dan Makanan Republik.
BPOM. 2011. Formularium ramuan obat tradisional Indonesia Volume 1. Direktorat Obat
Asli Indonesia. Badan Pengawas Obat dan Makanan Republik
Choudhary, A ., dan Verma, RJ.. 2005. Ameliorative EfFects of Black Tea Extract on
Aflatoxin-Induced Lipid Peroxidation in The Liiver of Mice. Food Chem Toxicol.,
43(1):99-104.
Departemen Kesehatan RI. 2011. Panduan Sosialisasi Tatalaksana Diare Pada Balita.
Jakarta: Kementerian Kesehatan Republik Indonesia Direktorat Jenderal pengendalian
Penyakit dan Penyehatan Lingkungan
GBIF. 2019. Psidium Guajava L. Tersedia Online di https://www.gbif.org/species/5420380
(28 Oktober 2019)
Hapsoh dan Hasanah, 2011. Budidaya tanaman obat dan rempah. Medan: USU. Press.
Hardjoeno UL. 2007. Kapita selekta hepatitis virus dan interpretasi hasil laboratorium.
Makassar: Cahya Dinan Rucitra.
Kalra N, Prasad S, Shukla Y. 2005. Antioxidant Potential of Black Tea Against 7,12-
Dimethylbenz(a)anthracene- Induced Oxidative Stress in Swiss Albino mMice. J
Environ Pathol Toxicol Oncol. ,24(2):105-14.
Khan, SM. 2006. Protective Effect of Black Tea Extract on The Levels of Lipid Peroxidation
and Antioxidant Enzymes in Liver of Mice with Pesticide-Induced Liver Injury. Cell
Biochem Funct., 24(4):327-32.
Lutterodt, GD.1989. Inhibition of gastrointestinal release of acetylcholine by quercetin as a
possible mode of action of Psidium guajava leaf extracts in the treatment of acute
diarrhoeal disease. J Ethnopharmacol. 25(3):235-47.
Mun’im A., Hanani E., 2011. Fitoterapi Dasar. Edisi Pertama. Jakarta : PT.Dian Rakyat. Hal
168-171
Mustofa S, Kurniawaty E. 2013. Manajemen gangguan saluran serna: Panduan bagi dokter
umum. Bandar Lampung: Aura Printing & Publishing.
Nworu, C.S., Akah, P.A., Okoye, F.B.C., et al. 2010. The Effects of Phyllanthus niruri
Aqueous Extract on the Activation of MurineLymphocytes and Bone Marrow-
Derived Macrofags. Immunological Investigations. Informa Healthcare, 39: 245-267.
Permenkes. 2016. Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 6 Tahun 2016
Tentang Formularium Obat Herbal Asli Indonesia. Jakarta: Menteri Kesehatan
Republik Indonesia.
Raharjo. 2010. Penerapan SOP Budidaya Untuk Mendukung Temulawak Sebagai Bahan
Baku Obat Potensial. Perspektif Vol. 9 No. 2/ Desember2010. Hlm 78-93
Rahim N, Gowes DJ, Watanabe H, Rahman SR, Chomvarin C, Endtz HP, et al. Antibacterial
activity of Psidium guajava L. leaf and bark against multidrug-resistant Vibrio
cholerae: implication for cholera control. Japanese journal of infectious diseases.
2010;63(4):271-4
Sarisetyaningtyas, P.V., Hadinegoro, S.R., & Munasir, Z. 2006. Randomized controlledtrial
of Phyllanthus niruriinn extract. Paediatrica Indonesiana, 46: 3-4.
Supriyatna., Febriyanti, R. M., Dewanto., Wijaya, Indra., Ferdiansyah, Ferry. 2015.
Fitoterapi Sistem Organ. Yogyakarta: Depublish.
Suraatmaja, S. 2007. Kapita Selekta Gastroenterologi Denpasar: Anak Sagung Seto
Tannaz JB, Brijesh S, Poonam GD. Bactericidal effect of selected antidiarrhoeal medicinal
plants on intracellular heat-stable eterotoxin producing Escherichia coli. Indian
Journal of Pharmaceutical Sciences. 2014;76(3):229-35
Tripathy, Y.C.. 1999. Cassia Angustifolia, A versatile Medicinal Crop, International Tree
Crops Journal, UK.
Ulbricht C, Conquer J, Costa D, et al. An evidence-based systematic review of senna (Cassia
senna) by the Natural Standard Research Collaboration. J Diet Suppl.
2011;8(2):189-238.22432689
Utami. 2008. Tanaman Obat. Jakarta: Agromedia Pustaka.
Werner, C., and Merz, B. 2007. Assessment Report on Cassia senna Land Cassia angustifolia
Vahl, folium. London: European Medicine Agency.
Wong, D. L.,dan Whaly. 2008. Buku Ajar Keperawatan Pediatrik, Alih bahasa Sunarno,Agus
dkk.Edisi 6 Volume 1.Jakarta: EGC.
World Health Organization. 2002. Hepatitis B. Tersedia dari: http://www.who.int/. Diakses
25 Oktober 2019.

Anda mungkin juga menyukai