Anda di halaman 1dari 27

PEMBAHASAN

2.1 Diabetes melitus

2.1.1 Definisi

Diabetes Melitus (DM) merupakan suatu kelompok penyakit

metabolik dengan karakteristik hiperglikemia yang terjadi karena kelainan

sekresi insulin, kerja insulin atau kedua-duanya

Diabetes Mellitus Tipe 2 adalah penyakit gangguan metabolik yang

di tandai oleh kenaikan gula darah akibat penurunan sekresi insulin oleh

sel beta pankreas dan atau ganguan fungsi insulin (resistensi insulin).

2.1.2 Etiologi

Ada bukti yang menunjukan bahwa etiologi diabetes melitus

bermacam-macam. Meskipun berbagai lesi dengan jenis yang berbeda

akhirnya akan mengarah pada insufisiensi insulin, tetapi determinan

genetik biasanya memegang peranan penting pada mayoritas penderita

diabetes melitus. Diabetes melitus tipe 1 adalah penyakit autoimun yang

ditentukan secara genetik dengan gejala-gejala yang pada akhirnya menuju

proses bertahap perusakan imunologik sel-sel yang memproduksi insulin.

Individu yang peka terhadap kejadian-kejadian pemicu yang diduga auto

antibodi terhadap sel-sel beta, yang akan mengakibatkan berkurangnya

sekresi insulin yang dirangsang oleh glukosa. Bukti untuk

determinangenetik diabetes tipe 1 adalah adanya kaitan dengan tipe-tipe

histokompatibilitas human leukocyteantigen (HLA) spesifik.

2
Diabetes tipe 2 ditandai dengan kelainan sekresi insulin, serta kerja

insulin. Pada awalnya tampak terdapat resistensi dari sel-sel sasaran

terhadap kerja insulin. Insulin mula-mula mengikat dirinya kepada

reseptor-reseptor permukaan sel tertentu, kemudian terjadi reaksi

intraselular yang menyebabkan mobilisasi pembawa GLUT 4 glukosa dan

meningkatkan transpor glukosa menembus membran sel

Diabetes tipe lain yang antara lain disebabkan oleh defek genetik

fungsi sel beta, defek genetik kerja insulin, penyakit eksokrin pankreas,

endokrinopati, pengaruh obat dan zat kimia, infeksi.

Diabetes gestasional (kehamilan) (Schteingart, 2005).

2.1.3 Gambaran Klinik

1. Gejala diabetes melitus dibedakan menjadi akut dan kronik.

Gejala akut diabetes melitus yaitu:

a. Poliphagia (banyak makan)

b. Polidipsia (banyak minum)

c. Poliuria(banyak kencing/sering kencing di malam hari)

d. Nafsu makan bertambah namun berat badan turun dengan cepat

(5-10 kg dalam waktu 2-4 minggu)

e. Mudah lelah

Gejala kronik diabetes melitus yaitu :

a. Kesemutan

b. Kulit terasa panas atau seperti tertusuk tusuk jarum

c. Rasa kebas di kulit

3
d. Kram

e. Kelelahan

f. Mudah mengantuk

g. Pandangan mulai kabur

h. Kemampuan seksual menurun

i. Pria bisa terjadi impotensi

j. Pada ibu hamil sering terjadi keguguran atau kematian janin

dalam kandungan atau dengan bayi berat lahir lebih dari 4kg

(fatimah, 2015)

2.1.4 Patofisiologi

Karena hiperglikemia adalah pendahulu untuk diabetes melitus,

patofisiologi dapat dikaitkan. Kehadiran glukosa dalam aliran darah akan

menyebabkan produksi dan pelepasan insulin oleh sel beta pankreas serta

jaringan perifer di dalam tubuh. Dalam masalah metabolik ini, masalah

dengan toleransi glukosa yang terganggu menyebabkan tubuh anda

memasuki keadaan hiperglikemik karena cacat pada produksi insulin oleh

pankreas atau gangguan toleransi terhadap efek insulin. Dalam

Hiperglikemik, proses ini tidak sampai tingkat diabetes mellitus tetapi

keadaan glukosa yang meningkat itu berbahaya, dan tindakan pencegahan

harus segera dimulai (Alvarez,2017). Dalam patofisiologi DM tipe 2

terdapat beberapa keadaan yang berperan yaitu : Resistensi insulin dan

Disfungsi sel B pancreas . Diabetes melitus tipe 2 bukan disebabkan oleh

kurangnya sekresi insulin, namun karena sel sel sasaran insulin gagal atau

4
tidak mampu merespon insulin secara normal. Keadaan ini lazim disebut

sebagai “resistensi insulin”. Pada penderita diabetes melitus tipe 2 dapat

juga terjadi produksi glukosa hepatik yang berlebihan namun tidak terjadi

pengrusakan sel-sel B langerhans secara autoimun seperti diabetes melitus

tipe 2. Defisiensi fungsi insulin pada penderita diabetes melitus tipe 2

hanya bersifat relatif dan tidak absolut . Pada awal perkembangan diabetes

melitus tipe 2, sel B menunjukan gangguan pada sekresi insulin fase

pertama, artinya sekresi insulin gagal mengkompensasi resistensi insulin.

Apabila tidak ditangani dengan baik, pada perkembangan selanjutnya akan

terjadi kerusakan sel-sel B pankreas. Kerusakan sel-sel B pankreas akan

terjadi secara progresif seringkali akan menyebabkan defisiensi insulin,

sehingga akhirnya penderita memerlukan insulin eksogen. Pada penderita

diabetes melitus tipe 2 memang umumnya ditemukan kedua faktor

tersebut, yaitu resistensi insulin dan defisiensi insulin.

2.1.5 Faktor Resiko

Faktor resiko terjadinya Diabetes melitus yaitu:

a. Faktor risiko yang tidak bisa dimodifikasi (unmodifiable risk factor)

adalah Faktor risiko yang sudah ada dan melekat pada seseorang

sepanjang kehidupannya. Sehingga faktor risiko tersebut tidak dapat

dikendalikan oleh dirinya. Faktor risiko Diabetes melitus yang tidak

dapat di modifikasi antara lain:

5
 Ras dan etnik

Ras atau etnik yang dimaksud contohnya seperti suku atau

kebudayaan setempat dimana suku atau budaya dapat menjadi

salah satu faktor risiko Diabetes melitus yang berasal dari

lingkungan sekitar (Masriadi,2012).

 Riwayat keluarga dengan Diabetes melitus

Seorang anak yang merupakan keturunan pertama dari orang tua

dengan Diabetes melitus (Ayah, ibu, laki-laki, saudara perempuan)

beresiko menderita Diabetes melitus. Bila salah satu dari kedua

orang tuanya menderita Diabetes melitus maka risiko seorang anak

mendapat Diabetes melitus tipe 2 adalah 15% dan bila kedua orang

tuanya menderita Diabetes melitus maka kemungkinan anak

terkena Diabetes melitus tipe 2 adalah 75%. Pada umunya apabila

seseorang menderita Diabetes melitus maka saudara kandungnya

mempunyai resiko Diabetes melitus sebanyak 10% (Kemenkes,

2008).

 Usia

Risiko untuk menderita intoleransi glukosa meningkat seiring

dengan meningkatnya usia. Pada usia lebih dari 45 tahun sebaiknya

harus dilakukan pemeriksaan Diabetes melitus. Diabetes seringkali

ditemukan pada masyarakat dengan usia yang sudah tua karena

pada usia tersebut, fungsi tubuh secara fisiologis makin menurun

6
dan terjadi penurunan sekresi atau resistensi insulin sehingga

kemampuan fungsi tubuh untuk mengendalikan gluskosa darah

yang tinggi kurang optimal (Gusti & Ema, 2014).

 Riwayat kelahiran

Melahirkan bayi dengan berat badan lahir bayi yaitu lebih dari

4000 gram atau riwayat pernah menderita diabetes mellitus

gestasional (DMG) berpotensi untuk menderita Diabetes melitus

tipe 2 maupun gestasional. Wanita yang pernah melahirkan anak

dengan berat lebih dari 4 kg biasanya dianggap sebagai prediabetes

(Kemenkes, 2008).

b. Faktor risiko yang bisa dimodifikasi :

 Berat badan berlebih (IMT > 23 kg/m2).

Obesitas adalah ketidakseimbangan antara konsumsi kalori dengan

kebutuhan energi yang disimpan dalam bentuk lemak (jaringan

subkutan tirai usus, organ vital jantung, paru-paru, dan hati).

Obesitas juga didefinisikan sebagai kelebihan berat badan. Indeks

masa tubuh orang dewasa normalnya ialah antara 18,5-25 kg/m2.

Jika lebih dari 25 kg/m2 maka dapat dikatakan seseorang tersebut

mengalami obesitas (Gusti & Erna, 2014).

 Obesitas abdominal

Seorang yang mengalami obesitas abdominal (Lingkar pinggang

pria >90 cm sedangkan pada wanita >80 cm) maka berisiko 5,19

7
kali menderita Diabetes melitus Tipe 2. Hal ini dapat dijelaskan

bahwa obesitas sentral khususnya di perut yang digambarkan oleh

lingkar pinggang dapat memprediksi gangguan akibat resistensi

insulin pada Diabetes melitus tipe 2 (Trisnawati dkk, 2013).

Peningkatan jumlah lemak abdominal mempunyai korelasi positif

dengan hiperinsulin dan berkorelasi negatif dengan sensitivitas

insulin (Kemenkes, 2008). Itulah sebabnya mengapa obesitas pada

abdominal menjadi berisiko terhadap kejadian Diabetes Mellitus

tipe 2.

 Kurangnya aktivitas fisik.

Kurang aktivitas fisik dan berat badan berlebih merupakan faktor

yang paling utama dalam peningkatan kejadian Diabetes melitus

tipe 2 di seluruh dunia (Rios, 2010). Menurut WHO yang

dimaksud dengan aktifitas fisik adalah kegiatan paling sedikit 10

menit tanpa berhenti dengan melakukan kegiatan fisik ringan,

sedang maupun berat.

 Hipertensi (> 140/90 mmHg)

Disfungsi endotel merupakan salah satu hipertensi dengan

resistensi insulin. Pengaruh hipertensi terhadap kejadian Diabetes

mellitus disebabkan oleh penebalan pembuluh darah arteri yang

menyebabkan diameter pembuluh darah menjadi menyempit. Hal

ini yang akan menyebabkan proses pengangkutan glukosa dari

8
dalam darah ke sel menjadi terganggu. Seorang yang hipertensi

berisiko 2,3 kali untuk terkena Diabetes Mellitus tipe 2 (Wiardani,

2010).

 Dislipidemia pada kadar HDL ( High Density Lipoprotein)< 35

mg/dL dan atau trigliserida > 250 mg/dL.

Dislipidemia merupakan salah satu faktor risiko utama dari

aterosklerosis dan penyakit jantung koroner. Arterosklerosis dapat

menyebabkan aliran darah terganggu. Dislipidemia adalah salah

satu komponen dalam trias sindrom metabolik selain Diabetes dan

hipertensi (Pramono, 2009).

2.1.6 Diagnosis Diabetes Melitus

Diagnosis Diabetes melitus ditegakkan atas dasar pemeriksaan

kadar glukosa darah. Pemeriksaan glukosa darah yang dianjurkan adalah

pemeriksaan glukosa secara enzimatik dengan bahan plasma darah vena.

Pemantauan hasil pengobatan dapat dilakukan dengan menggunakan

pemeriksaan glukosa darah kapiler dengan glukometer. Diagnosis tidak

dapat ditegakkan atas dasar adanya glukosuria. Kecurigaan adanya

Diabetes melitus perlu dipikirkan apabila terdapat keluhan seperti:

1. Keluhan klasik Diabetes melitus: poliuria, polidipsia, polifagia dan

penurunan berat badan yang tidak dapat dijelaskan sebabnya.

2. Keluhan lain: lemah badan, kesemutan, gatal, mata kabur, dan

disfungsi ereksi pada pria, serta pruritus vulva pada wanita.

9
Kriteria diagnosis DM bisa dikategorikan sebagai berikut :

1. Pemeriksaan glukosa plasma puasa ≥126 mg/dl. Puasa adalah

kondisi tidak ada asupan kalori minimal 8 jam.

2. Pemeriksaan glukosa plasma ≥200 mg/dl 2-jam setelah Tes

Toleransi Glukosa Oral (TTGO) dengan beban glukosa 75 gram.

3. Pemeriksaan glukosa plasma sewaktu ≥200 mg/dl dengan keluhan

klasik.

4. Pemeriksaan HbA1c ≥6,5% dengan menggunakan metode yang

terstandarisasi oleh National Glycohaemoglobin Standarization

Program (NGSP).

2.1.7 Komplikasi Diabetes Melitus

Pada Diabetes yang tidak terkontrol dengan baik akan

menimbulkan komplikasi akut dan kronis. Menurut PERKENI

komplikasi Diabetes melitus dapat dibagi menjadi 2 kategori, yaitu :

1. Komplikasi kronis

a. Mikrovaskular

Komplikasi mikrovaskuler terutama terjadi pada penderita

Diabetes melitus tipe 1 seperti nefropati, diabetik retinopati

(kebutaan), neuropati, dan amputasi.

b. Makrovaskuler

Komplikasi makrovaskuler yang umum berkembang pada

penderita Diabetes melitus adalah trombosit otak (pembekuan

10
darah pada sebagian otak), mengalami Penyakit Jantung

Koroner (PJK), gagal jantung kongetif, dan stroke.

2. Komplikasi Akut

a. Hipoglikemi

Hipoglikemia adalah kadar glukosa darah seseorang di bawah

nilai normal (<50mg/dL). Hipoglikemia lebih sering terjadi pada

penderita Diabetes melitus tipe 1 yang dapat dialami 1-2 kali per

minggu, kadar gula darah yang terlalu rendah menyebabkan sel-

sel otak tidak mendapat pasokan energi sehingga tidak berfungsi

bahkan dapat mengalami kerusakan.

b. Hiperglikemia

Hiperglikemia adalah apabila kadar gula darah meningkat secara

tiba-tiba, dapat berkembang menjadi keadaan metabolisme yang

berbahaya, antara lain ketoasidosis diabetik, Koma

Hiperosmoler Non Ketotik (KHNK), dan kemolakto asidosis

(Fatimah, 2015).

2.1.8 Penatalaksanaan

1. Prinsip penatalaksanaan diabates melitus secara umum ada lima

sesuai dengan Konsensus Pengelolaan Diabetes melitus di

Indonesia tahun 2006 adalah untuk meningkatkan kualitas hidup

pasien Diabetes melitus. Tujuan Penatalaksanaan Diabetes melitus

adalah :

11
a. Jangka pendek : hilangnya keluhan dan tanda Diabetes melitus,

mempertahankan rasa nyaman dan tercapainya target

pengendalian glukosa darah.

b. Jangka panjang: tercegah dan terhambat nya progresivitas

penyulit mikroangiopati, makroangiopati dan neuropati.

Tujuan akhir pengelolaan adalah turunnya morbiditas dan

mortalitas DM. Untuk mencapai tujuan tersebut perlu dilakukan

pengendalian glukosa darah, tekanan darah, berat badan dan profil

lipid, melalui pengelolaan pasien secara holistik dengan

mengajarkan perawatan mandiri dan perubahan perilaku.

1) Diet

Prinsip pengaturan makan pada penyandang

diabetes hampir sama dengan anjuran makan untuk

masyarakat umum yaitu makanan yang seimbang dan

sesuai dengan kebutuhan kalori dan zat gizi masing-masing

individu. Pada penyandang diabetes perlu ditekankan

pentingnya keteraturan makan dalam hal jadwal makan,

jenis dan jumlah makanan, terutama pada mereka yang

menggunakan obat penurun glukosa darah atau insulin.

Standar yang dianjurkan adalah makanan dengan komposisi

yang seimbang dalam hal karbohidrat 60-70%, lemak 20

25% dan protein 10-15%. Untuk menentukan status gizi,

dihitung dengan BMI (Body Mass Indeks). Indeks Massa

12
Tubuh (IMT) atau Body Mass Index (BMI) merupupakan

alat atau cara yang sederhana untuk memantau status gizi

orang dewasa, khususnya yang berkaitan dengan

kekurangan dan kelebihan berat badan. Untuk mengetahui

nilai IMT ini, dapat dihitung dengan rumus.

BeratBadan (Kg)
IMT = ----------------------------------------------
Tinggi Badan (m) X tinggi Badan (m)

2) Exercise (latihan fisik/olahraga)

Dianjurkan latihan secara teratur (3-4 kali

seminggu) selama kurang lebih 30 menit, yang sifatnya

sesuai dengan Continous, Rhythmical, Interval,Progresive,

Endurance (CRIPE). Training sesuai dengan kemampuan

pasien. Sebagai contoh adalah olah raga ringan jalan kaki

biasa selama 30 menit. Hindarkan kebiasaan hidup yang

kurang gerak atau bermalas-malasan.

3) Obat

Oral hipoglikemik, insulin jika pasien telah

melakukan pengaturan makan dan latihan fisik tetapi tidak

berhasil mengendalikan kadar gula darah maka

dipertimbangkan pemakaian obat hipoglikemik.

13
4) Terapi Insulin

a. Pemberian insulin harus di lakukakan secara hati hati

karena bila terlalu banyak yang di berikan dapat

mengakibatkan hipoglikemia

b. Insulin biasanya diberikan dalam 2-3 kali injeksi per hari,

disekitar waktu makan, dosis insulin di tentukan oleh

dokter sesuai dengan kebutuhan masing-masing individu.

Insulin kerja lama biasanya di berikan 1 dan 2 kali sehari.

5) Obat antidiabetes

a. Sulfonilurea

bekerja dengan jalan membantu meningkatkan

jumlah insulin yang di hasilkan oleh pankreas.

b. Metformin

Obat anti diabetes golongan biguanid, meningkat

kan ambilan glukosa kedalam sel-sel tubuh dan jika

digunakan secara tepat dapat menyebabkan asidosis laktat

(Fatimah, 2015).

14
Tabel 2.1.9 Kadar glukosa darah sewaktu dan puasa sebagai patokan

penyaring dan diagnosis DM (mg/dl).

Bukan DM Belum Pasti DM

Kadar glukosa Plasma vena <100 100-199 ≥200

darah sewaktu Darah kapiler <90 90-199 ≥200

(mg/dl)

Kadar glukosa Plasma vena <100 100-125 ≥126

darah puasa

(mg/dl) Darah kapiler <90 90-99 ≥100

Sumber : konsensus pengelolaan dan pencegahan DM tipe 2 di Indonesia,

Perkeni, 2015

15
2.2 DYSPEPSIA

2.2.1 Defenisi

Dispepsia berasal dari bahasa Yunani, yaitu dys- (buruk) dan -peptein

(pencernaan). Berdasarkan konsensus International Panel of Clinical

Investigators, dispepsia di definisikan sebagai rasa nyeri atau tidak nyaman

yang terutama dirasakan di daerah perut bagian atas, sedangkan menurut

Kriteria Roma III terbaru, dispepsia fungsional didefinisikan sebagai sindrom

yang mencakup satu atau lebih dari gejala-gejala berikut: perasaan perut penuh

setelah makan, cepat kenyang, atau rasa terbakar di ulu hati, yang berlangsung

sedikitnya dalam 3 bulan terakhir, dengan awal mula gejala sedikitnya timbul 6

bulan sebelum diagnosis. Dispepsia merupakan keluhan klinis yang sering

dijumpai dalam praktik klinis sehari-hari.

Menurut studi berbasiskan populasi pada tahun 2007, ditemukan

peningkatan prevalensi dispepsia fungsional dari 1,9% pada tahun 1988

menjadi 3,3% pada tahun 2003. Istilah dispepsia sendiri mulai gencar

dikemukakan sejak akhir tahun 1980-an, yang menggambarkan keluhan atau

kumpulan gejala (sindrom) yang terdiri dari nyeri atau rasa tidak nyaman di

epigastrium, mual, muntah, kembung, cepat kenyang, rasa penuh, sendawa,

regurgitasi, dan rasa panas yang menjalar di dada. Sindrom atau keluhan ini

dapat disebabkan atau didasari oleh berbagai penyakit, tentunya termasuk juga

di dalamnya penyakit yang mengenai lambung, atau yang lebih dikenal sebagai

penyakit maag.

16
2.2.2 Klasifikasi

Pengelompokan mayor dispepsia terbagi atas dua yaitu:

1. Dispepsia organik, bila telah diketahui adanya kelainan organik sebagai

Penyebabnya . Sindroma dispepsia organik terdapat kelainan yang nyata

terhadap organ tubuh misalnya tukak (ulkus peptikum), gastritis, stomach

cancer, Gastro-Esophageal reflux disease, hiperacidity.

2. Dispepsia non organik, atau dispepsia fungsional, atau dispepsia non ulkus

(DNU), bila tidak jelas penyebabnya. Dispepsi fungsional tanpa disertai

kelainan atau gangguan struktur organ berdasarkan pemeriksaan klinis,

laboratorium, radiologi, dan endoskopi (teropong saluran pencernaan).

Kriteria Rome III menetapkan dispepsia fungsional dibagi menjadi 2

kelompok yaitu :

1. Postprandial distress syndrom

Gejala yang dirasakan pada tahap ini yaitu

a. Rasa penuh setelah makan yang mengganggu, terjadi setelah makan

dengan porsi biasa, sedikitnya terjadi beberapa kali seminggu.

b. Perasaan cepat kenyang yang membuat tidak mampu menghabiskan

porsi makan biasa, sedikitnya terjadi beberapa kali seminggu.

Kriteria penunjang sindrom dispepsia jenis ini adalah adanya rasa kembung

di daerah perut bagian atas atau mual setelah makan atau bersendawa yang

berlebihan dan dapat timbul bersamaan dengan sindrom nyeri epigastrum.

17
2. Epigastric pain syndrome

Gejala yang dirasakan pada tahap ini yaitu

a. Nyeri atau rasa terbakar yang terlokalisasi di daerah epigastrum dengan

tingkat keparahan moderat/sedang, paling sedikit terjadi sekali dalam

seminggu

b. Nyeri timbul berulang

c. Tidak menjalar atau terlokalisai di daerah perut atau dada selain daerah

perut bagian atas/epigastrum

d. Tidak berkurang dengan BAB atau buang angin

e. Gejala-gejala yang ada tidak memenuhi kriteria diagnosis kelainan

kandung empedu dan sfinger oddi.

Kriteria penunjang sindrom dispepsia jenis ini adalah

a. Nyeri epigastrum dapat berupa rasa terbakar, tetapi tanpa menjalar ke

daerah retrosternal

b. Nyeri umumnya ditimbulkan atau berkurang dengan makan,tetapi

mungkin timbul saat puasa

2.2.3 Etiologi

Adapun berbagai penyebab dyspepsia berdasarkan penggolongannya yaitu :

1. Dyspepsia organic

a. Pengaruh tumor atau kanker saluran pencernaan

b. Regurgitasi ( alir balik, refluks ) asam lambung

c. Iritasi lambung (gastritis)

18
d. Ulkus gastrikum atau ulkus duodenalis

e. Peradangan kandung empedu (kolesistisis)

2. Dyspepsia non-organik

a. Perubahan pola makan

b. Pengaruh konsumsi obat-obatan yang berlebihan tanpa sesuai

takaran dosis

c. Alkohol dan nikotin.

2.2.4 Patofisiologi

Dari sudut pandang patofisiologis, proses yang paling banyak

dibicarakan dan potensial berhubungan dengan dispepsia fungsional adalah

hipersekresi asam lambung, infeksi Helicobacter pylori, dismotilitas

gastrointestinal, dan hipersensitivitas viseral. patofisiologi dispepsia hingga

kini masih belum sepenuhnya jelas dan penelitian-penelitian masih terus

dilakukan terhadap faktor-faktor yang dicurigai memiliki peranan bermakna,

seperti di bawah ini.

1. Abnormalitas fungsi motorik lambung, khususnya keterlambatan

pengosongan lambung, hipomotilitas antrum, hubungan antara volume

lambung saat puasa yang rendah dengan pengosongan lambung yang

lebih cepat, serta gastric compliance yang lebih rendah.

2. Infeksi Helicobacter pylori

3. Faktor-faktor psikososial, khususnya terkait dengan gangguan cemas dan

depresi.

19
 Helicobacter pylori

Peran infeksi Helicobacter pylori pada dispepsia fungsional belum

sepenuhnya dimengerti dan diterima. Kekerapan infeksi H. pylori pada

dispepsia fungsional sekitar 50% dan tidak berbeda bermakna dengan angka

kejadian infeksi H. pylori pada kelompok orang sehat. Mulai ada

kecenderungan untuk melakukan eradikasi H. pylori pada dispepsia fungsional

dengan H. pylori positif yang gagal dengan pengobatan konservatif baku.

 Sekresi asam lambung

Kasus dispepsia fungsional umumnya mempunyai tingkat sekresi asam

lambung, baik sekresi basal maupun dengan stimulasi pentagastrin, yang rata-

rata normal. Diduga terdapat peningkatan sensitivitas mukosa lambung

terhadap asam yang menimbulkan rasa tidak enak di perut.

 Dismotilitas

Selama beberapa waktu, dismotilitas telah menjadi fokus perhatian dan

beragam abnormalitas motorik telah dilaporkan, di antaranya keterlambatan

pengosongan lambung, akomodasi fundus terganggu, distensi antrum,

kontraktilitas fundus postprandial, dan dismotilitas duodenal. Beragam studi

melaporkan bahwa pada dispepsia fungsional, terjadi perlambatan

pengosongan lambung dan hipomotilitas antrum (hingga 50% kasus), tetapi

harus dimengerti bahwa proses motilitas gastrointestinal merupakan proses

yang sangat kompleks, sehingga gangguan pengosongan lambung saja tidak

dapat mutlak menjadi penyebab tunggal adanya gangguan motilitas.

20
 Psikologis

Pada kejadian stres akut yang dapat memengaruhi fungsi

gastrointestinal dan mencetuskan keluhan pada orang sehat. Dilaporkan adanya

penurunan kontraktilitas lambung yang mendahului keluhan mual setelah

pemberian stimulus berupa stres. Kontroversi masih banyak ditemukan pada

upaya menghubungkan faktor psikologis stres kehidupan, fungsi autonom dan

motilitas. Tidak didapatkan kepribadian yang karakteristik untuk kelompok

dispepsia fungsional ini, walaupun dalam sebuah studi dipaparkan adanya

kecenderungan masa kecil yang tidak bahagia, pelecehan seksual, atau

gangguan jiwa pada kasus dispepsia fungsional.

2.2.5 Manifestasi Klinis

Adapun beberapa gejala yang sering muncul yaitu sebagai berikut :

1. Rasa nyeri pada ulu hati

2. Mual, muntah

3. Perut kembung

4. Rasa lebih cepat kenyang

5. Perut terasa begah/penuh

6. Rasa panas pada daerah dada atau epigastrium

7. Nafsu makan menurun.

21
2.2.6 Pemeriksaan Penunjang

Adapun beberapa pemeriksaan penunjang yang perlu dilakukkan :

1. Pemeriksaan diagnostik

a. Anamnesis akurat : untuk menilai apakah keluhan itu local atau

berdasarkan gangguan sistemik.

b. Pemeriksaan fisis : untuk mengidentifikasi kelainan intralumen

organomegali.

2. Pemeriksaan laboratorium : untuk mengidentifikasi adanya faktor

infeksi seperti :

a. Leukositosis

b. Pancreatitis ( amylase/lipase )

c. Keganasan ( CEA, CA, 19, 9, AFP )

d. Cek KGD ( kadar gula darah )

e. Cek WIDAL

f. Tubex salmonella

g. Cek darah rutin

h. Cek urinalis : warna kuning jernih

3. Pemeriksaan Endoskopi : mengidentifikasi kelainan organic intra lumen

seperti tukak, tumor, lesi inflamasi, adanya obstruksi saluran cerna.

Pemeriksaan ini sangat dianjurkan untuk segera dikerjakan bila

dyspepsia tersebut disertai pula oleh adanya anemia, berat badan

menurun, muntah hebat, dugaan adanya obstruksi, muntah darah atau

keluhan sudah lama dan terjadi pada usia > 45 tahun. Keadaan ini

22
disebut sebagai alarm symptom karena sangat dicurigai sebagai suatu

keadaan gangguan organic terutama keganasan.

2.2.7 Penatalaksanaan

Penatalaksaan dispepsia terdiri dari pendekatan non-medikamentosa

dan medikamentosa.

1. Non-Medikamentosa

Modifikasi pola hidup dan dietik. Prinsip dasar menghindari makanan

pencetus serangan atau makanan yang merangsang, seperti pedas, asam,

tinggi lemak, dan lain-lain.

2. Medikamentosa

Pengobatan dispepsia mengenal beberapa obat, yaitu:

a. Antasida

Antasida merupakan obat yang paling umum dikonsumsi oleh penderita

dispepsia. Antasida akan menetralisir sekresi asam lambung. Obat yang

termasuk golongan ini adalah Alumunium hidroksida Al (OH)3,

Alumunium hidroksida Al(OH)2, Magnesium trisiklat, kalsium bikarbonat.

b. Antagonis resptor H2

Obat ini juga umum diberikan pada penderita dispepsia. Efeknya

menghilangkan rasa nyeri di ulu hati dan tidak memperbaiki keluhan

umum lainnya. Obat yang termasuk golongan ini adalah simetidin 200mg,

ranitidin 150 mg, famotidin 20/40 mg, dan nizatidin 75/150 mg.

c. Penghambat pompa proton (Proton pump inhibitor/PPI)

23
Obat ini bekerja langsung pada pompa proton sel parietal dengan

mempengaruhi enzim H, K, ATP-ase yang dianggap sebagai tahap akhir

proses pembentukan asam lambung. Obat-obat yang termasuk golongan

PPI adalah omeprazole 20 mg, lansoprazole 15/30 mg, pantoprazole20/40

mg, rabeprazole 10/20 mg, dan esomeprazole 20/40 mg.

d. Sitoprotektif

Prostaglandin sintetik seperti misoprostol (PGE1) dan enprostil (PGE2)

selain bersifat sitoprotektif juga menekan sekresi asam lambung oleh sel

parietal. Sukralfat 1gr berfungsi membentuk lapisan protektif yang

melindungi mukosa terhadap pengaruh asam dan pepsin.

e. Golongan prokinetik

Obat yang termasuk golongan ini yaitu metoklopramid 10 mg,

domperidon 10 mg, dan cisapride 10 mg. Golongan cukup efektif untuk

mengobati dispepsia fungsional dan refluks esofagitis dengan

meningkatkan peristaltik dan mencegah refluks.

f. Obat lain

Pemberian obat antidepresan golongan trisiklik dosis rendah (seperti

amitriptilin) pada kasus dispepsia fungsional ditujukan untuk meredakan

keluhan dispepsia dan terutama rasa nyeri akibat gangguan persepsi.

2.2.8 Komplikasi

Komplikasi yang mungkin terjadi pada dispepsia adalah gastritis, tukak

lambung, perdarahan saluran cerna bagian atas, ulkus peptikum,dan perforasi.

24
2.2.9 Prognosis

Dispepsia yang ditegakkan setelah pemeriksaan klinis dan penunjang

yang akurat, mempunyai prognosis yang baik. Dispepsia fungsional memiliki

prognosis kualitas hidup lebih rendah dibandingkan dengan individu dengan

dispepsia organik. Tingkat kecemasan sedang hingga berat juga lebih sering

dialami oleh individu dispepsia fungsional. Lebih jauh diteliti, terungkap

bahwa pasien dispepsia fungsional, terutama yang refrakter terhadap

pengobatan, memiliki kecenderungan tinggi untuk mengalami depresi dan

gangguan psikis.

2.2.10 Pencegahan dan Edukasi

Pola makan yang normal dan teratur. Pilih makanan yang seimbang

dengan kebutuhan dan jadwal makan yang teratur. Sebaiknya tidak

mengkonsumsi makanan yang berkadar asam tinggi, cabe, alkohol dan pantang

rokok. Bila harus makan obat karena sesuatu penyakit, misalnya sakit kepala,

gunakan obat secara wajar dan tidak mengganggu fungsi lambung.

Edukasi

a. Atur pola makan seteratur mungkin

b. Olahraga teratur

c. Hindari makanan berlemak tinggi yang menghambat pengosongan isi

lambung (coklat, keju dan lain lain).

d. Hindari makanan yang menimbulkan gas di lambung (kol, kubis,

kentang, melon, semangka dan lain-lain).

e. Hindari makanan yang terlalu pedas.

25
f. Hindari minuman dengan kadar caffeine dan alcohol.

g. Hindari obat yang mengiritasi dinding lambung, seperti obat anti-

inflammatory, misalnya yang mengandung ibuprofen, aspirin, naproxen

dan ketoprofen. Acetaminophen adalah pilihan yang tepat untuk

mengobati nyeri karena tidak mengakibatkan iritasi pasa dinding

lambung.

h. Kelola stress psikologi se-efisien mungkin

26
2.3 IMPETIGO

2.3.1 Definisi

Impetigo adalah pioderma superficialis (terbatas pada epidermis).

Impetigo vesikobulosa disebabkan oleh Staphylococcus aureus, Strain

ini memiliki toksin yang dapat menyebabkan Staphylococcal scalded

skin syndrome (SSSS).

2.3.2 Klasifikasi

KLASIFIKASI

 IMPETIGO KRUSTOSA

Etiologinya biasanya Streptococcus B hemolyticus

 IMPETIGO BULOSA

Etiologinya biasanya Staphylococcus aureus

2.3.3 Predileksi

Tempat predileksi di ketiak, dada, punggung sering bersama-sama

miliaria. Kelainan kulit berupa eritema, bula dan bula hipopion.

2.3.4 Gejala Klinis

Impetigo bulosa berisi cairan jernih kekuningan berisi bakteri S.aureus

dengan halo eritematosa. Bula bersifat superfisial di lapisan epidermis,

mudah pecah karena letaknya subkorneal

2.3.5 Penatalaksanaan

Nonmedikamentosa

1. Menjaga higiene tubuh dengan baik, seperti mengganti baju tiap

berkeringat dan mandi dengan air bersih.

27
2. Memperkuat daya tahan tubuh, seperti mengonsumsi buah-

buahan, multivitamin, dan beristirahat cukup

3. Menjaga agar kulit pasien tidak terluka.

Medikamentosa

1. Fusidic acid cream 20 mg 3x1

2. Citirizin tab 10 mg 1x1

28

Anda mungkin juga menyukai