PENDAHULUAN
1
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
2.2 Etiologi
2
adanya DNA EBV dalam sel Reed-Sternberg. Juga dapat ditunjukkan produksi
protein EBV tertentu. Tetapi, apakah ada hubungan kausal langsung antara
infeksi EBV dan terjadinya morbus Hodgkin, ataukah ada kausa bersama untuk
kedua fenomena tanpa hubungan kausa langsung (misalnya imunodefisiensi
relatif) masih belum jelas.7,8
Pada tipe NHL tertentu, infeksi virus tampaknya memegang peran. Yang
paling banyak diketahui adalah peran virus Epstein-Barr (EBV). Kaitan langsung
untuk terjadinya NHL terdapat pada limfoma Burkitt (tipe endemik) pada anak-
anak kecil di Afrika Tengah. Dalam hal ini terdapat kerjasama infeksi EBV,
infeksi malaria, dan deregulasi onkogen karena translokasi kromosomal t(8; 14),
yang menyebabkan berkembangnya limfoma Burkitt. Juga di dunia Barat, EBV
dapat ditunjukkan dalam berbagai tipe NHL (yaitu NHL sel-B besar dan NHL
sel-T). Tetapi, peran langsung EBV dalam genesis NHL ini jauh kurang jelas
daripada untuk limfoma Burkitt tipe endemik.7,8
HTLV-1 adalah virus yang ada hubungannya dengan HIV-I (AIDS). Ada
hubungan dengan terjadinya limfoma sel-T dan leukemia di Jepang dan daerah
Karibia. Di Eropa, virus ini tidak atau hampir sama sekali tidak terdapat. Di
samping infeksi virus imunosupresi yang lama merupakan faktor etiologi yang
lain. Ini dapat merupakan imunodefisiensi congenital, seperti misalnya pada
ataksia, teleangiektasia, atau kelainan akuisita, seperti pada AIDS atau pada
terapi imunosupresif pada penderita transplantasi. Pada umumnya penderita ini
mendapat limfoma sel-B derajat tinggi. Dibanding dengan tumor solid telah lebih
banyak diketahui mengenai peran onkogen dalam terjadinya NHL. Pada NHL
terdapat translokasi kromosom. Yang khas di sini adalah bahwa bagian
kromosom spesifik, yang di dalamnya terlokalisasi gen reseptor immunoglobulin
atau sel T terpindah ke kromosom lain, yaitu ke tempat suatu onkogen. Bahwa
disini justru terlibat gen reseptor immunoglobulin dan sel-T bukanlah suatu
kebetulan. Dalam perkembangan dini sel-B dan T gen-gen ini mengalami proses
pengaturan kembali pada niveau DNA, dengan penyusunan gen-gen fungsional
dari berbagai komponen gen pada kromosom. Pada proses ini terjadi sementara
patah kromosom. Alih-alih terjadi perbaikan patah dalam kromosom asli malahan
3
dapat juga terjadi penggabungan yang keliru ke kromosom lain. Hasilnya adalah
suatu translokasi. Onkogen yang bersangkutan karena itu dapat terderegulasi dan
teraktivasi. Sebagai prototype adalah translokasi t(8; 14) tersebut di atas, dimana
satu dari gen-gen rantai berat immunoglobulin kromosom 14 tergabung ke
onkogen c-myc pada kromosom 8. Aktivasi c-myc menyebabkan proliferasi
hebat. Translokasi t(8; 14) secara spesifik terdapat pada limfoma Burkitt
(endemik dan sporadik) tetapi juga pada lain-lain NHL sel-B derajat tinggi.8
Translokasi yang dapat disamakan adalah translokasi t(14; 18) yang terdapat
dalam kira-kira 85% NHL folikular sentroblastik/sentrositik (dan dalam tipe yang
berasal dari ini). Onkogen bcl-2 yang bersangkutan dengan ini menyebabkan
sentrosit dalam keadaan normal mempunyai jangka hidup sangat terbatas, dapat
hidup lebih lama karena blokade terhadap apa yang disebut kematian sel
terprogram (apoptosis). Efek ini memegang peran penting pada terjadinya tipe
NHL ini. Jadi perlu dipahami bahwa onkogen dapat menstimulasi proliferasi
maupun menghambat kematian sel. Kedua faktor itu dapat menimbulkan replikasi
sel neoplastik.7
2.3 Epidemiologi
Berbeda dengan LH, LNH lima kali lipat lebih sering terjadi dan menempati
urutan ke-7 dari seluruh kasus penyakit kanker di seluruh dunia. Secara
keseluruhan, LNH sedikit lebih banyak terjadi pada pria daripada wanita. Rata-
rata untuk semua tipe LNH terjadi pada usia di atas 50 tahun.5
1) Pembuluh limfe
Sistem limfatik memiliki jaringan terhadap pembuluh-pembuluh limfe.
Pembuluh-pembuluh limfe tersebut yang kemudian akan bercabang-
cabang ke semua jaringan tubuh.
2) Limfe
Pembuluh-pembuluh limfe membawa cairan jernih yang disebut limfe.
Limfe terdiri dari sel-sel darah putih, khususnya limfosit seperti sel B
dan sel T.
3) Nodus Limfatikus
Pembuluh-pembuluh limfe terhubung ke sebuah massa kecil dan bundar
dari jaringan yang disebut nodus limfatikus. Kumpulan dari nodus
limfatikus ditemukan di leher, bawah ketiak, dada, perut, dan lipat paha.
Nodus limfatikus dipenuhi sel-sel darah putih. Nodus limfatikus
menangkap dan membuang bakteri atau zat-zat berbahaya lainnya yang
berada di dalam limfe.
6
2.6 Klasifikasi
Berdasarkan gambaran histopatologisnya, limfoma dibedakan menjadi dua
jenis10, yaitu:
a. Limfoma Hodgkin (LH)
Diagnosis morbus Hodgkin berdasarkan pemeriksaan histologik, yang dalam
hal ini adanya sel Reed-Sternberg (kadang-kadang sel Hodgkin varian
mononuklear) dengan gambaran dasar yang cocok merupakan hal yang
menentukan sistem klasifikasi histologik, sebagaimana lebih dari 25 tahun
yang lalu telah dikembangkan oleh Lukes dan Butler, masih selalu berlaku
sebagai dasar pembagian penyakit Hodgkin.7
Limfoma jenis ini memiliki dua tipe. yaitu tipe klasik dan tipe nodular
predominan limfosit, di mana limfoma hodgkin tipe klasik memiliki empat
subtipe menurut Rye, antara lain:7,8
8
modern diimplementasikan dalam diagnostik NHL dan bahwa juga NHL
ekstranodal, yang dalam klasifikasi Kiel tidak dapat dimasukkan dengan baik
padahal kira-kira merupakan 40% semua NHL, secara eksplisit diikutsertakan.7
9
(a) (b)
Gambar 2.1. Gambaran histopatologis (a) Limfoma Hodgkin dengan Sel Reed
Sternberg dan (b) Limfoma Non Hodgkin
Jarang pada dewasa, tetapi lebih frekuen pda anak adalah NHL
limfoblastik dan limfoma burkitt. Limfoma limfoblastik pada usia dewasa
biasanya diterapi sebagai leukemia limfatik akut, termasuk profilaksis meningeal.
Limfoma burkitt disamping ciri-ciri morfologik dan kromosomal juga
mempunyai sifat-sifat klinis spesifik: limfoma ini sering menunjukkan
pertumbuhan cepat, lokalisasinya ekstranodal. Tempat preferensi adalah abdomen
yaitu sudut ileosekal. Kadang-kadang menampakkan diri sebagai perut akut
sebagai akibat invaginasi. Untuk tipe limfoma ini sering digunakan pembaian
stadium lain daripada klasifikasi Ann Arbor.7
10
2.8 Patofisiologi
Ada empat kelompok gen yang menjadi sasaran kerusakan genetik pada sel-
sel tubuh manusia, termasuk sel-sel limfoid, yang dapat menginduksi terjadinya
keganasan. Gen-gen tersebut adalah proto-onkogen, gen supresor tumor, gen
yang mengatur apoptosis, gen yang berperan dalam perbaikan DNA. 10
Proto-onkogen merupakan gen seluler normal yang mempengaruhi
pertumbuhan dan diferensiasi, gen ini dapat bermutai menjadi onkogen yang
produknya dapat menyebabkan transformasi neoplastik, sedangkan gen supresor
tumor adalah gen yang dapat menekan proliferasi sel (antionkogen). Normalnya,
kedua gen ini bekerja secara sinergis sehingga proses terjadinya keganasan dapat
dicegah. Namun, jika terjadi aktivasi proto-onkogen menjadi onkogen serta
terjadi inaktivasi gen supresor tumor, maka suatu sel akan terus melakukan
proliferasi tanpa henti. 10
Gen lain yang berperan dalam terjadinya kanker yaitu gen yang mengatur
apoptosis dan gen yang mengatur perbaikan DNA jika terjadi kerusakan. Gen
yang mengatur apoptosis membuat suatu sel mengalami kematian yang
terprogram, sehingga sel tidak dapat melakukan fungsinya lagi termasuk fungsi
regenerasi. Jika gen ini mengalami inaktivasi, maka sel-sel yang sudah tua dan
seharusnya sudah mati menjadi tetap hidup dan tetap bisa melaksanakan fungsi
regenerasinya, sehingga proliferasi sel menjadi berlebihan. Selain itu, gagalnya
gen yang mengatur perbaikan DNA dalam memperbaiki kerusakan DNA akan
menginduksi terjadinya mutasi sel normal menjadi sel kanker.7
Diagnosis morbus Hodgkin berdasarkan pemeriksaan histologik, yang
dalam hal ini adanya sel Reed-Sternberg (kadang-kadang sel Hodgkin varian
mononuklear) dengan gambaran dasar yang cocok merupakan hal yang
menentukan sistem klasifikasi histologik, sebagaimana lebih dari 25 tahun yang
lalu telah dikembangkan oleh Lukes dan Butler, masih selalu berlaku sebagai
dasar pembagian penyakit Hodgkin.7
11
Gambar 2.2 Skema Patofisiologi Terjadinya Keganasan7
12
pada satu kelompok kelenjar perifer
(cervix, axilla, inguinal) Cincin Waldeyer dan kelenjar
Cincin Waldeyer & kelenjar mesenterik sering terkena
mesenterik jarang terkena Hepatomegali &
Hepatomegali & Splenomegali
Splenomegali Massa di abdomen dan testis
Sindrom Vena Cava Superior
Gejala susunan saraf pusat
(degenerasi serebral dan
neuropati)
Selain tanda dan gejala di atas, stadium limfoma maligna secara klinis juga
dapat ditentukan berdasarkan klasifikasi Ann Arbor yang telah dimodifikasi
Costwell.7
Tabel 2.2 Klasifikasi Limfoma Menurut Ann Arbor yang telah dimodifikasi oleh
Costwell
Keterlibatan/Penampakan
Stadium
13
Suffix
A Tanpa gejala B
14
2.10 Diagnosis
Citomegalovirus
Mononukleosis infeksiosa
Ca Paru
Artritis rheumatoid
Sarkoidosis
Serum Sickness
Sifilis
15
Lupus Eritematosus Sistemik
Toxoplasmosis
Tuberculosis
Limfadenitis Tuberkulosis
Sumber penularan adalah penderita TB BTA positif. Pada waktu batuk atau
bersin, penderita menyebarkan kuman keudara dalam bentuk Droplet (percikan
Dahak). Droplet yang mengandung kuman dapat bertahan diudara pada suhu
kamar selama beberapa jam. Orang dapat terinfeksi kalau droplet tersebut
terhirup kedalam saluran pernapasan. Selama kuman TB masuk kedalam tubuh
manusia melalui pernapasan, kuman TB tersebut dapat menyebar dari paru
kebagian tubuh lainnya, melalui sistem peredaran darah, sistem saluran
linfe,saluran napas, atau penyebaran langsung kebagian-nagian tubuh lainnya.12
16
paru sering asimptomatik dan penyakit baru dicurigai dengan didapatkannya
kelainan radiologis dada pada pemeriksaan rutin atau uji tuberkulin yang
positif.12
2.12 Penatalaksanaan
Terapi pertama
17
Penatalaksanaan limfoma maligna dapat dilakukan melalui berbagai cara,
yaitu:
a. Pembedahan
Tata laksana dengan pembedahan atau operasi memiliki peranan yang
terbatas dalam pengobatan limfoma. Untuk beberapa jenis limfoma,
seperti limfoma gaster yang terbatas pada bagian perut saja atau jika ada
resiko perforasi, obstruksi, dan perdarahan masif, pembedahan masih
menjadi pilihan utama. Namun, sejauh ini pembedahan hanya dilakukan
untuk mendukung proses penegakan diagnosis melalui surgical biopsy.11
b. Radioterapi
Radioterapi memiliki peranan yang sangat penting dalam pengobatan
limfoma, terutama limfoma hodgkin di mana penyebaran penyakit ini
lebih sulit untuk diprediksi. Beberapa jenis radioterapi yang tersedia telah
banyak digunakan untuk mengobati limfoma hodgkin seperti
radioimunoterapi dan radioisotope. Radioimunoterapi menggunakan
antibodi monoclonal seperti CD20 dan CD22 untuk melawan antigen
spesifik dari limfoma secara langsung, sedangkan radioisotope
menggunakan 131Iodine atau 90Yttrium untuk irradiasi sel-sel tumor secara
selektif7. Teknik radiasi yang digunakan didasarkan pada stadium
limfoma itu sendiri11, yaitu:
Untuk stadium I dan II secara mantel radikal
Untuk stadium III A/B secara total nodal radioterapi
Untuk stadium III B secara subtotal body irradiation
Untuk stadium IV secara total body irradiation
18
Gambar 2.4 Berbagai macam teknik radiasi11
c. Kemoterapi9,11
Merupakan teknik pengobatan keganasan yang telah lama digunakan
dan banyak obat-obatan kemoterapi telah menunjukkan efeknya terhadap
limfoma.
Pengobatan Awal:
1. MOPP regimen: setiap 28 hari untuk 6 siklus atau lebih.
1. ICE regimen
a. Ifosfamide: 5 g/m2, hari ke-2
b. Mesna: 5 g/m2, hari ke-2
c. Carboplatin: AUC 5, hari ke-2
d. Etoposide: 100 mg/m2, hari ke 1-3
2. DHAP regimen
20
3. EPOCH regimen – Pada kombinasi ini, etoposide, vincristine,
dan doxorubicin diberikan secara bersamaan selama 96 jam IV
secara berkesinambungan.
d. Imunoterapi
Bahan yang digunakan dalam terapi ini adalah Interferon-α, di mana
interferon-α berperan untuk menstimulasi sistem imun yang menurun
akibat pemberian kemoterapi.11
e. Transplantasi sumsum tulang
21
2.13 Komplikasi
Ada dua jenis komplikasi yang dapat terjadi pada penderita limfoma maligna,
yaitu komplikasi karena pertumbuhan kanker itu sendiri dan komplikasi karena
penggunaan kemoterapi. Komplikasi karena pertumbuhan kanker itu sendiri
dapat berupa pansitopenia, perdarahan, infeksi, kelainan pada jantung, kelainan
pada paru-paru, sindrom vena cava superior, kompresi pada spinal cord, kelainan
neurologis, obstruksi hingga perdarahan pada traktus gastrointestinal, nyeri, dan
leukositosis jika penyakit sudah memasuki tahap leukemia. Sedangkan
komplikasi akibat penggunaan kemoterapi dapat berupa pansitopenia, mual dan
muntah, infeksi, kelelahan, neuropati, dehidrasi setelah diare atau muntah,
toksisitas jantung akibat penggunaan doksorubisin, kanker sekunder, dan sindrom
lisis tumor.9
2.14 Prognosis
Stadium IV
Jumlah limfosit < 600/mm3 atau < 8% dari total jumlah sel darah putih
Jika pasien memiliki 0-1 faktor di atas maka harapan hidupnya mencapai 90%,
sedangkan pasien dengan 4 atau lebih faktor-faktor di atas angka harapan
hidupnya hanya 59%.9
22
Sedangkan untuk limfoma non-hodgkin, faktor yang mempengaruhi
prognosisnya antara lain:
23
DAFTAR PUSTAKA
1. Sudarmanto M, Sumantri AG. Limfoma Maligna. Dalam: Buku Ajar
Hematologi Onkologi. IDAI. Ed-3. Jakarta: 2012. h. 248-54.
2. Hudson MM. Limfoma Non Hodgkin. Dalam: Ilmu Kesehatan Anak
Nelson. 15th ed. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC. 2012.h. 1780-
83.
3. Vinjamaram S. Non Hodgkin Lymphoma. Jun 12, 2019 (Cited Nov 7th,
2019). Available at http://emedicine.medscape.com/article/203399-
overview
4. Alarcone P. Hodgkin Lymphoma. Mar 20,2017 (Cited Nov 7th,2019).
Available at http://emedicine.medscape.com/article/987101-
overview#a0101
5. Hudson MM. Penyakit Hodgkin. Dalam: Ilmu Kesehatan Anak Nelson.
15th ed. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC.2012.h. 1777-83.
6. Gillchrist G. Lymphoma. Dalam: Nelson Textbook of Pediatrics. 17th ed.
Wisconsin: Elsevier. 2007.h. 1701-6.
7. Price, S.A dan Wilson, L.M. “Pathophysiology: Clinical Concepts of
Disease Processes, Sixth Edition”. Alih bahasa Pendit, Hartanto,
Wulansari dan Mahanani. Patofisiologi Konsep Klinis Proses-proses
Penyakit Edisi 6. Jakarta: EGC.2005.
8. Reksodiputro, A. dan Irawan, C. “Limfoma Non-Hodgkin”. Disunting
oleh Sudoyo, Setyohadi, Alwi, Simadibrata, dan Setiati. Buku Ajar Ilmu
Penyakit Dalam. Jilid V. Jakarta: Balai Penerbit Fakultas Kedokteran
Universitas Indonesia; 2009.h. 727-33
9. Dessain, S.K. 2009. Hodgkin Disease..
http://emedicine.medscape.com/article/20188-overview (Cited Nov
7th,2019)
10. Kumar, Abbas, dan Fausto. 2005. Phatologic Basis of Diseases 7th
Edition. Philadelphia: Elsevier & Saunders
11. Berthold, D. dan Ghielmini, M. 2004. Treatment of Malignant
Lymphoma. Swiss Med Wkly (134) : 472-80.
24
12. Amin Z dan Bahar A. Tuberkulosis paru. Buku ajar ilmu penyakit dalam.
Jilid 2, Edisi ke-5. Jakarta: Pusat Penerbitan Ilmu Penyakit Dalam
Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia,2009.h.998-1010.
25