Anda di halaman 1dari 25

BAB 1

PENDAHULUAN

1.1 Latar belakang


Limfoma maligna adalah tumor ganas primer dari kelenjar limfe dan
jaringan limfatik di organ lainnya. Penyakit ini dibagi dalam 2 golongan besar,
yaitu penyakit Hodgkin dan limfoma non Hodgkin (LNH). Sel ganas pada
penyakit Hodgkin berasal dari sel retikulum. Limfosit yang merupakan bagian
integral proliferasi sel pada penyakit ini diduga merupakan manifestasi reaksi
kekebalan seluler terhadap sel ganas tersebut. Limfoma non Hodgkin pada
dasarnya merupakan keganasan sel limfosit.1,2

Belakangan ini insiden limfoma meningkat relatif cepat. Sekitar 90%


limfoma Hodgkin timbul dari kelenjar limfe, hanya 10% timbul dari jaringan
limfatik di luar kelenjar limfe. Sedangkan limfoma non Hodgkin 60% timbul dari
kelenjar limfe, 40% dari jaringan limfatik di luar kelenjar. Jika diberikan terapi
segera dan tepat, angka kesembuhan limfoma Hodgkin dapat mencapai 80%
lebih. Prognosis limfoma non Hodgkin lebih buruk, tapi sebagian dapat
disembuhkan. Dengan semakin mendalam riset atas limfoma maligna, kini dalam
hal klasifikasi jenis patologik, klasifikasi stadium, metode terapi, diagnosis dan
penilaian atas lesi residif dan berbagai aspek lain limfoma telah mengalami kemajuan
pesat, hal ini sangat membantu dalam meningkatkan ratio kesembuhan limfoma.3,4
Dalam makalah ini akan dibahas secara terpisah antara penyakit Hodgkin dan
limfoma non Hodgkin.

1
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi Limfoma Maligna


Limfoma Maligna adalah keganasan primer jaringan limfoid yang bersifat
padat. Karena jaringan limfe terdapat di sebagian besar tubuh manusia, maka
pertumbuhan limfoma dapat dimulai dari organ apapun. Penyakit ini dibagi
dalam 2 golongan besar, yaitu penyakit Hodgkin dan limfoma non Hodgkin
(LNH).1

2.2 Etiologi

Limfoma merupakan golongan gangguan limfoproliferatif. Penyebabnya


tidak diketahui, tetapi sering dikaitkan dengan virus, khususnya virus Epstein
Barr yang ditemukan pada limfoma Burkitt. Terdapat kaitan jelas antara
limfoma Hodgkin dan infeksi virus Epstein Barr. Pada kelompok terinfeksi HIV,
insiden limfoma Hodgkin agak meningkat dibanding masyarakat umum, selain itu
manifestasi klinis limfoma Hodgkin yang terkait HIV sangat kompleks, sering kali
terjadi pada stadium lanjut penyakit, mengenai regio yang jarang ditemukan,
seperti sumsum tulang, kulit, meningen, dan lain-lain.5,6
Epidemiologi morbus Hodgkin menunjukkan kemungkinan adanya
peran infeksi virus yang berlangsung (abnormal) pada umur anak. Misalnya,
negara non industri, dimana terjadi pemaparan terhadap virus yang umum
terdapat pada umur lebih muda, puncak insidensi pertama morbus Hodgkin juga
terjadi jauh lebih dini (antara 5 dan 15 tahun) daripada di negara-negara Barat.
Dalam hal pemaparan terhadap virus umum terjadi belakangan, (misalnya pada
keluarga kecil, status ekonomi social yang lebih tinggi) insidensi morbus
Hodgkin relatif lebih tinggi. Ini dapat menunjukkan bahwa mengalami infeksi
virus tertentu mempunyai efek predisposisi, yang terutama berlaku kalau
infeksinya timbul pada usia lebih belakangan. Ada petunjuk bahwa virus Epstein-
Barr (EBV) mungkin memegang peran pada patogenesis morbus Hodgkin.
Dengan menggunakan teknik biologi molecular pada persentase yang cukup
tinggi kasus morbus Hodgkin (kecuali bentuk kaya limfosit) dapat ditunjukkan

2
adanya DNA EBV dalam sel Reed-Sternberg. Juga dapat ditunjukkan produksi
protein EBV tertentu. Tetapi, apakah ada hubungan kausal langsung antara
infeksi EBV dan terjadinya morbus Hodgkin, ataukah ada kausa bersama untuk
kedua fenomena tanpa hubungan kausa langsung (misalnya imunodefisiensi
relatif) masih belum jelas.7,8

Pada tipe NHL tertentu, infeksi virus tampaknya memegang peran. Yang
paling banyak diketahui adalah peran virus Epstein-Barr (EBV). Kaitan langsung
untuk terjadinya NHL terdapat pada limfoma Burkitt (tipe endemik) pada anak-
anak kecil di Afrika Tengah. Dalam hal ini terdapat kerjasama infeksi EBV,
infeksi malaria, dan deregulasi onkogen karena translokasi kromosomal t(8; 14),
yang menyebabkan berkembangnya limfoma Burkitt. Juga di dunia Barat, EBV
dapat ditunjukkan dalam berbagai tipe NHL (yaitu NHL sel-B besar dan NHL
sel-T). Tetapi, peran langsung EBV dalam genesis NHL ini jauh kurang jelas
daripada untuk limfoma Burkitt tipe endemik.7,8

HTLV-1 adalah virus yang ada hubungannya dengan HIV-I (AIDS). Ada
hubungan dengan terjadinya limfoma sel-T dan leukemia di Jepang dan daerah
Karibia. Di Eropa, virus ini tidak atau hampir sama sekali tidak terdapat. Di
samping infeksi virus imunosupresi yang lama merupakan faktor etiologi yang
lain. Ini dapat merupakan imunodefisiensi congenital, seperti misalnya pada
ataksia, teleangiektasia, atau kelainan akuisita, seperti pada AIDS atau pada
terapi imunosupresif pada penderita transplantasi. Pada umumnya penderita ini
mendapat limfoma sel-B derajat tinggi. Dibanding dengan tumor solid telah lebih
banyak diketahui mengenai peran onkogen dalam terjadinya NHL. Pada NHL
terdapat translokasi kromosom. Yang khas di sini adalah bahwa bagian
kromosom spesifik, yang di dalamnya terlokalisasi gen reseptor immunoglobulin
atau sel T terpindah ke kromosom lain, yaitu ke tempat suatu onkogen. Bahwa
disini justru terlibat gen reseptor immunoglobulin dan sel-T bukanlah suatu
kebetulan. Dalam perkembangan dini sel-B dan T gen-gen ini mengalami proses
pengaturan kembali pada niveau DNA, dengan penyusunan gen-gen fungsional
dari berbagai komponen gen pada kromosom. Pada proses ini terjadi sementara
patah kromosom. Alih-alih terjadi perbaikan patah dalam kromosom asli malahan

3
dapat juga terjadi penggabungan yang keliru ke kromosom lain. Hasilnya adalah
suatu translokasi. Onkogen yang bersangkutan karena itu dapat terderegulasi dan
teraktivasi. Sebagai prototype adalah translokasi t(8; 14) tersebut di atas, dimana
satu dari gen-gen rantai berat immunoglobulin kromosom 14 tergabung ke
onkogen c-myc pada kromosom 8. Aktivasi c-myc menyebabkan proliferasi
hebat. Translokasi t(8; 14) secara spesifik terdapat pada limfoma Burkitt
(endemik dan sporadik) tetapi juga pada lain-lain NHL sel-B derajat tinggi.8

Translokasi yang dapat disamakan adalah translokasi t(14; 18) yang terdapat
dalam kira-kira 85% NHL folikular sentroblastik/sentrositik (dan dalam tipe yang
berasal dari ini). Onkogen bcl-2 yang bersangkutan dengan ini menyebabkan
sentrosit dalam keadaan normal mempunyai jangka hidup sangat terbatas, dapat
hidup lebih lama karena blokade terhadap apa yang disebut kematian sel
terprogram (apoptosis). Efek ini memegang peran penting pada terjadinya tipe
NHL ini. Jadi perlu dipahami bahwa onkogen dapat menstimulasi proliferasi
maupun menghambat kematian sel. Kedua faktor itu dapat menimbulkan replikasi
sel neoplastik.7

2.3 Epidemiologi

Pada tahun 2002, tercatat 62.000 kasus LH di seluruh dunia. Di negara-


negara berkembang ada dua tipe limfoma hodgkin yang paling sering terjadi,
yaitu mixed cellularity dan limphocyte depletion, sedangkan di negara-negara
yang sudah maju lebih banyak limfoma hodgkin tipe nodular sclerosis. Limfoma
hodgkin lebih sering terjadi pada pria daripada wanita, dengan distribusi usia
antara 15-34 tahun dan di atas 55 tahun.9

Berbeda dengan LH, LNH lima kali lipat lebih sering terjadi dan menempati
urutan ke-7 dari seluruh kasus penyakit kanker di seluruh dunia. Secara
keseluruhan, LNH sedikit lebih banyak terjadi pada pria daripada wanita. Rata-
rata untuk semua tipe LNH terjadi pada usia di atas 50 tahun.5

Di Indonesia sendiri, LNH bersama-sama dengan LH dan leukemia


menduduki urutan keenam tersering. Sampai saat ini belum diketahui sepenuhnya
mengapa angka kejadian penyakit ini terus meningkat. Adanya hubungan yang
4
erat antara penyakit AIDS dan penyakit ini memperkuat dugaan adanya hubungan
antara kejadian limfoma dengan kejadian infeksi sebelumnya.8

2.4 Sistem Limfatik


Sistem limfatik adalah bagian dari sistem imun. Sistem limfatik terdiri
dari:3,4

1) Pembuluh limfe
Sistem limfatik memiliki jaringan terhadap pembuluh-pembuluh limfe.
Pembuluh-pembuluh limfe tersebut yang kemudian akan bercabang-
cabang ke semua jaringan tubuh.

2) Limfe
Pembuluh-pembuluh limfe membawa cairan jernih yang disebut limfe.
Limfe terdiri dari sel-sel darah putih, khususnya limfosit seperti sel B
dan sel T.

3) Nodus Limfatikus
Pembuluh-pembuluh limfe terhubung ke sebuah massa kecil dan bundar
dari jaringan yang disebut nodus limfatikus. Kumpulan dari nodus
limfatikus ditemukan di leher, bawah ketiak, dada, perut, dan lipat paha.
Nodus limfatikus dipenuhi sel-sel darah putih. Nodus limfatikus
menangkap dan membuang bakteri atau zat-zat berbahaya lainnya yang
berada di dalam limfe.

4) Bagian sistem limfe lainnya


Bagian sistem limfe lainnya terdiri dari tonsil, timus, dan limpa. Sistem
limfatik juga ditemukan di bagian lain dari tubuh yaitu pada lambung,
kulit, dan usus halus.

2.5 Fisiologi dan Peran Ssstem limfatik


Sistem limfatik adalah suatu bagian penting dari sistem kekebalan tubuh,
membentengi tubuh terhadap infeksi dan berbagai penyakit, termasuk kanker.
Suatu cairan yang disebut getah bening bersirkulasi melalui pembuluh limfatik,
dan membawa limfosit (sel darah putih) mengelilingi tubuh. Pembuluh limfatik
5
melewati kelenjar getah bening. Kelenjar getah bening berisi sejumlah besar
limfosit dan bertindak seperti penyaring, menangkap organisme yang
menyebabkan infeksi seperti bakteri dan virus.3,4
Kelenjar getah bening cenderung bergerombol dalam suatu kelompok
seperti pada sekelompok besar di ketiak, di leher dan lipat paha. Ketika suatu
bagian tubuh terinfeksi atau bengkak, kelenjar getah bening terdekat sering
membesar dan nyeri. Hal berikut ini terjadi, sebagai contoh, jika seseorang
dengan sakit leher mengalami ‘pembengkakan kelenjar’ di leher, cairan limfatik
dari tenggorokan mengalir ke dalam kelenjar getah bening di leher, dimana
organisme penyebab infeksi dapat dihancurkan dan dicegah penyebarannya ke
bagian tubuh lainnya.3,4

Peran penting dari sel T dan sel B


Ada dua jenis utama sel limfosit:
 Sel T
 Sel B
Seperti jenis sel darah lainnya, limfosit dibentuk dalam sumsum tulang.
Kehidupannya dimulai dari sel imatur yang disebut sel induk. Pada awal masa
kanak-kanak, sebagian limfosit bermigrasi ke timus, suatu organ di puncak dada,
dimana mereka menjadi matur menjadi sel T. Sisanya tetap tinggal di sumsum
tulang dan menjadi matur disana sebagai sel B. Sel T dan sel B keduanya
berperan penting dalam mengenali dan menghancurkan organisme penyebab
infeksi seperti bakteri dan virus. Dalam keadaan normal, kebanyakan limfosit
yang bersirkulasi dalam tubuh adalah sel T. Mereka berperan untuk mengenali
dan menghancurkan sel tubuh yang abnormal (sebagai contoh sel yang telah
diinfeksi oleh virus).3,4
Sel B mengenali sel dan materi ‘asing’ (sebagai contoh, bakteri yang telah
menginvasi tubuh). Jika sel ini bertemu dengan protein asing (sebagai contoh, di
permukaan bakteri), mereka memproduksi antibodi, yang kemudian ‘melekat’
pada permukaan sel asing dan menyebabkan perusakannya3

6
2.6 Klasifikasi
Berdasarkan gambaran histopatologisnya, limfoma dibedakan menjadi dua
jenis10, yaitu:
a. Limfoma Hodgkin (LH)
Diagnosis morbus Hodgkin berdasarkan pemeriksaan histologik, yang dalam
hal ini adanya sel Reed-Sternberg (kadang-kadang sel Hodgkin varian
mononuklear) dengan gambaran dasar yang cocok merupakan hal yang
menentukan sistem klasifikasi histologik, sebagaimana lebih dari 25 tahun
yang lalu telah dikembangkan oleh Lukes dan Butler, masih selalu berlaku
sebagai dasar pembagian penyakit Hodgkin.7
Limfoma jenis ini memiliki dua tipe. yaitu tipe klasik dan tipe nodular
predominan limfosit, di mana limfoma hodgkin tipe klasik memiliki empat
subtipe menurut Rye, antara lain:7,8

b. Limfoma Non-Hodgkin (LNH)


Limfoma non-Hodgkin merupakan satu golongan penyakit yang heterogen
dengan spectrum yang bervariasi dari tumor yang sangat agresif sampai kelainan
indolen dengan perjalanan lama dan tidak aktif. Dalam perjalanan waktu
dikembangkan berbagai usaha untuk mendapatkan klasifikasi NHL yang dapat
diyakini dan dapat direproduksi. Semula klasifikasi ini didasarkan atas sifat-sifat
morfologik dan sitokimiawi. Kemudian bertambah dengan kriteria imunologik
dan biologi molekuler, yang dapat memberi gambaran yang lebih tepat mengenai
tipe sel dan stadium pertumbuhannya. Di Eropa pada umumnya digunakan
klasifikasi Kiel, di Amerika Serikat kebanyakan klasifikasi menurut Lukes dan
Collins dan kadang-kadang juga menurut Rappaport. Karena dengan ini
perbandingan hasil terapi dan prognosis mendapat banyak kesukaran, pada tahun
7
1982 dikembangkan Working Formulation (WF). Ini bukanlah suatu sistem
klasifikasi baru melainkan suatu kompromi berdasarkan empiri klinik yang dapat
membedakan entities dengan implikasi prognostik.7
Limfoma non-Hodgkin berdasarkan atas asal limfositnya dibagi menjadi
2, yaitu NHL limfosit B yang nantinya akan berdeferensiasi menjadi sel plasma
yang membentuk antibodi (prevalensinya 70%) dan NHL limfosit T yang
nantinya akan berdeferensiasi menjadi bentuk aktif.

Dibedakan 3 derajat malignitas klinis: rendah (30%), intermedier (40%)


dan tinggi (20%), dan dalam kategori ini digunakan pengertian dari klasifikasi
Dorfman, Lukes, dan Collins. Dua sistem klasifikasi morfologik yang umum
dipakai di Amerika Serikat ini didasarkan atas pola pertumbuhan dan tipe sel.
Kriteria imunologik, yang antara lain membedakan antara tipe sel-B dan sel-T,
belum dimasukkan disini. Tetapi, kepentingan besar WF adalah dalam kenyataan
bahwa WF ini mempunyai nilai prediktif yang baik untuk perilaku klinis
malignitas ini. Karena itu, sistem ini merupakan dasar untuk tindakan terapeutik.7

Konsep klasifikasi Kiel berdasar atas perbandingan dengan pertumbuhan


sel-B dan sel-T normal. Limfoma non-Hodgkin dianggap sebagai lawan maligna
stadium spesifik dalam pertumbuhan ini dan dengan itu mempunyai fenotipe
yang cocok (morfologi dan pola penanda). Terutama dalam hal NHL sel-B ini
menyebabkan pengenalan entities biologic yang disebut penyakit limfoma.
Kepentingannya adalah pertama bahwa dalam golongan NHL dengan derajat
malignitas yang sama dapat dibuat prediksi mengenai kelakuan tumornya dalam
arti lokalisasi tumor yang diharapkan (lien, sumsum tulang, ekstranodal, susunan
saraf sentral) dan kemungkinan terhadap relaps. Kedua, cara klasifikasi demikian
merupakan dasar yang baik untuk penelitian medik biologik dalam lapangan non-
Hodgkin. Karena itu, di Amerika Serikat makin besar antusiasme untuk
penanganan demikian. Hal ini belakangan ini menyebabkan usul bersama
hematopatolog Eropa dan Amerika untuk memodernisasi klasifikasi Kiel,
berdasar atas kesatuan biologik yang didefinisikan dengan menggunakan
morfologi, imunohistologi, sitogenetika, dan biologi molekuler. Klasifikasi baru
ini berbeda dengan klasifikasi Kiel sedemikian rupa, bahwa tekhnik pemeriksaan

8
modern diimplementasikan dalam diagnostik NHL dan bahwa juga NHL
ekstranodal, yang dalam klasifikasi Kiel tidak dapat dimasukkan dengan baik
padahal kira-kira merupakan 40% semua NHL, secara eksplisit diikutsertakan.7

Formulasi Kerja (Working Formulation) membagi limfoma non-hodgkin


menjadi tiga kelompok utama, antara lain:10
 Limfoma Derajat Rendah
Kelompok ini meliputi tiga tumor, yaitu limfoma limfositik kecil,
limfoma folikuler dengan sel belah kecil, dan limfoma folikuler
campuran sel belah besar dan kecil.
 Limfoma Derajat Menengah
Ada empat tumor dalam kategori ini, yaitu limfoma folikuler sel
besar, limfoma difus sel belah kecil, limfoma difus campuran sel
besar dan kecil, dan limfoma difus sel besar.
 Limfoma Derajat Tinggi
Terdapat tiga tumor dalam kelompok ini, yaitu limfoma
imunoblastik sel besar, limfoma limfoblastik, dan limfoma sel
tidak belah kecil.

Perbedaan antara LH dengan LNH ditandai dengan adanya sel Reed-


Sternberg yang bercampur dengan infiltrat sel radang yang bervariasi. Sel Reed-
Sternberg adalah suatu sel besar berdiameter 15-45 mm, sering berinti ganda
(binucleated), berlobus dua (bilobed), atau berinti banyak (multinucleated)
dengan sitoplasma amfofilik yang sangat banyak. Tampak jelas di dalam inti sel
adanya anak inti yang besar seperti inklusi dan seperti “mata burung hantu” (owl-
eyes), yang biasanya dikelilingi suatu halo yang bening.10

9
(a) (b)
Gambar 2.1. Gambaran histopatologis (a) Limfoma Hodgkin dengan Sel Reed
Sternberg dan (b) Limfoma Non Hodgkin

2.7 Bentuk Khusus Limfoma Maligna

Jarang pada dewasa, tetapi lebih frekuen pda anak adalah NHL
limfoblastik dan limfoma burkitt. Limfoma limfoblastik pada usia dewasa
biasanya diterapi sebagai leukemia limfatik akut, termasuk profilaksis meningeal.
Limfoma burkitt disamping ciri-ciri morfologik dan kromosomal juga
mempunyai sifat-sifat klinis spesifik: limfoma ini sering menunjukkan
pertumbuhan cepat, lokalisasinya ekstranodal. Tempat preferensi adalah abdomen
yaitu sudut ileosekal. Kadang-kadang menampakkan diri sebagai perut akut
sebagai akibat invaginasi. Untuk tipe limfoma ini sering digunakan pembaian
stadium lain daripada klasifikasi Ann Arbor.7

Limoma burkitt terbagi 2, yaitu limfoma burkitt endemic dan sporadic.


Tipe endemic ini terjadi di Afrika. Berhubungan erat dengan virus Epstein Barr
(EBV). Umumnya melibatkan ulang rahang, yang sangat jarang terjadi ada tipe
sporadic. Tipe ini juga umumnya melibatka abdomen. Sedangkan tipe sporadic
terjadi di bagian dunia lain di luar Afrika. Pengruh EBV tidaklah sekuat jenis
endemic meskipun bukti infeksi EBV didapatkan pada satu dari lima pasien. 90%
kasus melibatkan abdomen.7

10
2.8 Patofisiologi

Ada empat kelompok gen yang menjadi sasaran kerusakan genetik pada sel-
sel tubuh manusia, termasuk sel-sel limfoid, yang dapat menginduksi terjadinya
keganasan. Gen-gen tersebut adalah proto-onkogen, gen supresor tumor, gen
yang mengatur apoptosis, gen yang berperan dalam perbaikan DNA. 10
Proto-onkogen merupakan gen seluler normal yang mempengaruhi
pertumbuhan dan diferensiasi, gen ini dapat bermutai menjadi onkogen yang
produknya dapat menyebabkan transformasi neoplastik, sedangkan gen supresor
tumor adalah gen yang dapat menekan proliferasi sel (antionkogen). Normalnya,
kedua gen ini bekerja secara sinergis sehingga proses terjadinya keganasan dapat
dicegah. Namun, jika terjadi aktivasi proto-onkogen menjadi onkogen serta
terjadi inaktivasi gen supresor tumor, maka suatu sel akan terus melakukan
proliferasi tanpa henti. 10
Gen lain yang berperan dalam terjadinya kanker yaitu gen yang mengatur
apoptosis dan gen yang mengatur perbaikan DNA jika terjadi kerusakan. Gen
yang mengatur apoptosis membuat suatu sel mengalami kematian yang
terprogram, sehingga sel tidak dapat melakukan fungsinya lagi termasuk fungsi
regenerasi. Jika gen ini mengalami inaktivasi, maka sel-sel yang sudah tua dan
seharusnya sudah mati menjadi tetap hidup dan tetap bisa melaksanakan fungsi
regenerasinya, sehingga proliferasi sel menjadi berlebihan. Selain itu, gagalnya
gen yang mengatur perbaikan DNA dalam memperbaiki kerusakan DNA akan
menginduksi terjadinya mutasi sel normal menjadi sel kanker.7
Diagnosis morbus Hodgkin berdasarkan pemeriksaan histologik, yang
dalam hal ini adanya sel Reed-Sternberg (kadang-kadang sel Hodgkin varian
mononuklear) dengan gambaran dasar yang cocok merupakan hal yang
menentukan sistem klasifikasi histologik, sebagaimana lebih dari 25 tahun yang
lalu telah dikembangkan oleh Lukes dan Butler, masih selalu berlaku sebagai
dasar pembagian penyakit Hodgkin.7

11
Gambar 2.2 Skema Patofisiologi Terjadinya Keganasan7

2.9 Gejala Klinis


Baik tanda maupun gejala limfoma hodgkin dan limfoma non-hodgkin dapat
dilihat pada tabel berikut ini.11

Tabel 2.1 Manifestasi Klinis dari Limfoma


Limfoma Hodgkin Limfoma Non-Hodgkin
 Asimtomatik limfadenopati  Asimtomatik limfadenopati
 Gejala sistemik (demam  Gejala sistemik (demam
intermitten, keringat malam, intermitten, keringat malam,
BB turun) BB turun)
Anamnesis  Nyeri dada, batuk, napas  Mudah lelah
pendek  Gejala obstruksi GI tract dan
 Pruritus Urinary tract.
 Nyeri tulang atau nyeri
punggung
Pemeriksaan Fisik  Teraba pembesaran limonodi  Melibatkan banyak kelenjar

12
pada satu kelompok kelenjar perifer
(cervix, axilla, inguinal)  Cincin Waldeyer dan kelenjar
 Cincin Waldeyer & kelenjar mesenterik sering terkena
mesenterik jarang terkena  Hepatomegali &
 Hepatomegali & Splenomegali
Splenomegali  Massa di abdomen dan testis
 Sindrom Vena Cava Superior
 Gejala susunan saraf pusat
(degenerasi serebral dan
neuropati)

Selain tanda dan gejala di atas, stadium limfoma maligna secara klinis juga
dapat ditentukan berdasarkan klasifikasi Ann Arbor yang telah dimodifikasi
Costwell.7

Tabel 2.2 Klasifikasi Limfoma Menurut Ann Arbor yang telah dimodifikasi oleh
Costwell

Keterlibatan/Penampakan

Stadium

I Kanker mengenai 1 regio kelenjar getah bening atau 1 organ


ekstralimfatik (IE)

II Kanker mengenai lebih dari 2 regio yang berdekatan atau 2 regio


yang letaknya berjauhan tapi masih dalam sisi diafragma yang
sama (IIE)

III Kanker telah mengenai kelenjar getah bening pada 2 sisi


diafragma ditambah dengan organ ekstralimfatik (IIIE) atau limpa
(IIIES)

IV Kanker bersifat difus dan telah mengenai 1 atau lebih organ


ekstralimfatik

13
Suffix

A Tanpa gejala B

B Terdapat salah satu gejala di bawah ini:

 Penurunan BB lebih dari 10% dalam kurun waktu 6 bulan


sebelum diagnosis ditegakkan yang tidak diketahui
penyebabnya
 Demam intermitten > 38° C
 Berkeringat di malam hari

X Bulky tumor yang merupakan massa tunggal dengan diameter > 10


cm, atau , massa mediastinum dengan ukuran > 1/3 dari diameter
transthoracal maximum pada foto polos dada PA

Gambar 2.3 Penentuan Stadium Limfoma berdasarkan Klasifikasi Ann Arbor

14
2.10 Diagnosis

Diagnosis limfoma hodgkin maupun non-hodgkin dapat ditegakkan melalui


prosedur-prosedur di bawah ini.7

1. Anamnesis lengkap yang mencakup pajanan, infeksi, demam, keringat


malam, berat badan turun lebih dari 10 % dalam waktu kurang dari 6
bulan.
2. Pemeriksaan fisik dengan perhatian khusus pada sistem limfatik (kelenjar
getah bening, hati, dan lien dengan dokumentasi ukuran), infiltrasi kulit
atau infeksi.
3. Hitung sel darah rutin, pemeriksaan differensiasi sel darah putih, dan
hitung trombosit.
4. Pemeriksaan kimia darah, mencakup tes faal hati dan ginjal, asam urat,
laktat dehidrogenase (LDH), serta alkali fosfatase.
5. Pembuatan radiogram dada untuk melihat adanya adenopati di hilus
(pembesaran kelenjar getah bening bronkus, efusi pleura, dan penebalan
dinding dada.
6. CT scan atau MRI dada, abdomen, dan pelvis.
7. Scan tulang jika ada nyeri tekan pada tulang.
8. Scan galium, dilakukan sebelum dan sesudah terapi, dapat menunjukkan
area penyakit atau penyakit residual pada mediastinum.
9. Biopsi dan aspirasi sumsum tulang pada limfoma stadium III dan IV.
10. Evaluasi sitogenetik dan sitometri aliran

2.11 Diagnosis Banding7

 Citomegalovirus
 Mononukleosis infeksiosa
 Ca Paru
 Artritis rheumatoid
 Sarkoidosis
 Serum Sickness
 Sifilis
15
 Lupus Eritematosus Sistemik
 Toxoplasmosis
 Tuberculosis

Limfadenitis Tuberkulosis

Sumber penularan adalah penderita TB BTA positif. Pada waktu batuk atau
bersin, penderita menyebarkan kuman keudara dalam bentuk Droplet (percikan
Dahak). Droplet yang mengandung kuman dapat bertahan diudara pada suhu
kamar selama beberapa jam. Orang dapat terinfeksi kalau droplet tersebut
terhirup kedalam saluran pernapasan. Selama kuman TB masuk kedalam tubuh
manusia melalui pernapasan, kuman TB tersebut dapat menyebar dari paru
kebagian tubuh lainnya, melalui sistem peredaran darah, sistem saluran
linfe,saluran napas, atau penyebaran langsung kebagian-nagian tubuh lainnya.12

Daya penularan dari seorang penderita ditentukan oleh banyaknya kuman


yang dikeluarkan dari parunya. Makin tinggi derajat positif hasil pemeriksaan
dahak, makin menular penderita tersebut. Bila hasil pemeriksaan dahak negatif
(tidak terlihat kuman), maka penderita tersebut dianggap tidak menular.12

Kemungkinan seseorang terinfeksi TB ditentukan oleh konsentrasi droplet


dalam udara dan lamanya menghirup udara tersebut. Manifestasi klinis: Batuk
terus menerus dan berdahak selama 3 (tiga) minggu atau lebih. Gejala Lain Yang
Sering Dijumpai : Dahak bercampur darah, batuk darah, sesak napas dan rasa
nyeri dada, badan lemah, nafsu makan menurun, berat badan turun, rasa kurang
enak badan (malaise), berkeringat malam walaupun tanpa kegiatan, demam
meriang lebih dari sebulan; terdapat limfadenitis. Limfadenitis disini tidak
menimbulkan gejala yang spesifik yang menunjukan bahwa seseorang terkena
TBC.12

Pemeriksaan fisik terhadap keadaan umum pasien mungkin ditemukan


konjungtiva mata atau kulit yang pucat karena anemia, suhu demam (subfebris),
badan kurus atau berat badan menurun. Secara anamnesis dan pemeriksaan fisis,
TB paru sulit dibedakan dengan pneumonia biasa. Dalam penampilan klinis, TB

16
paru sering asimptomatik dan penyakit baru dicurigai dengan didapatkannya
kelainan radiologis dada pada pemeriksaan rutin atau uji tuberkulin yang
positif.12

Pada pemeriksaan radiologis, awal penyakit, lesi masih merupakan sarang-


sarang pneumonia, gambaran berupa bercak-bercak seperti awan dengan batas
yang tidak tegas. Bila lesi sudah diliputi jaringan ikat, bayangan terlihat berupa
bulatan dengan batas tegas (tuberkuloma). Pada cavitas, bayangan berupa cincin,
mula-mula berdinding tipis, lama-lama dinding jadi sklerotik dan terlihat
menebal. Pada kalsifikasi, bayangan tampak bercak-bercak padat dengan densitas
tinggi. Gambaran radiologis lain yang sering menyertai adalah penebalan pleura,
efusi pleura (empiema), pneumotoraks. Pemeriksaan radiologis lain adalah
bronkografi, CT scan, dan MRI.12

2.12 Penatalaksanaan

Pilihan terapi pertama pada Limfoma Maligna adalah sebagai berikut:11

Tabel 2.4 Pilihan terapi pertama pada Limfoma Maligna

Terapi pertama

Stadium I – II - Terapi standar: radiasi lapangan mantel dan


radiasi kelenjar paraaorta dan limpa; kadang-
kadang hanya lapangan mantel saja

- Jika ada faktor resiko, kemoterapi


dilanjutkan dengan radioterapi

- Dalam penelitian, kemoterapi terbatas


dengan “involved field radiation”

Stadium IIIA Kemoterapi ditambah dengan radioterapi

Stadium IIIB – IV Kemoterapi, ditambah dengan radioterapi

17
Penatalaksanaan limfoma maligna dapat dilakukan melalui berbagai cara,
yaitu:

a. Pembedahan
Tata laksana dengan pembedahan atau operasi memiliki peranan yang
terbatas dalam pengobatan limfoma. Untuk beberapa jenis limfoma,
seperti limfoma gaster yang terbatas pada bagian perut saja atau jika ada
resiko perforasi, obstruksi, dan perdarahan masif, pembedahan masih
menjadi pilihan utama. Namun, sejauh ini pembedahan hanya dilakukan
untuk mendukung proses penegakan diagnosis melalui surgical biopsy.11

b. Radioterapi
Radioterapi memiliki peranan yang sangat penting dalam pengobatan
limfoma, terutama limfoma hodgkin di mana penyebaran penyakit ini
lebih sulit untuk diprediksi. Beberapa jenis radioterapi yang tersedia telah
banyak digunakan untuk mengobati limfoma hodgkin seperti
radioimunoterapi dan radioisotope. Radioimunoterapi menggunakan
antibodi monoclonal seperti CD20 dan CD22 untuk melawan antigen
spesifik dari limfoma secara langsung, sedangkan radioisotope
menggunakan 131Iodine atau 90Yttrium untuk irradiasi sel-sel tumor secara
selektif7. Teknik radiasi yang digunakan didasarkan pada stadium
limfoma itu sendiri11, yaitu:
 Untuk stadium I dan II secara mantel radikal
 Untuk stadium III A/B secara total nodal radioterapi
 Untuk stadium III B secara subtotal body irradiation
 Untuk stadium IV secara total body irradiation

18
Gambar 2.4 Berbagai macam teknik radiasi11

c. Kemoterapi9,11
Merupakan teknik pengobatan keganasan yang telah lama digunakan
dan banyak obat-obatan kemoterapi telah menunjukkan efeknya terhadap
limfoma.
Pengobatan Awal:
1. MOPP regimen: setiap 28 hari untuk 6 siklus atau lebih.

o Mechlorethamine: 6 mg/m2, hari ke 1 dan 8

o Vincristine (Oncovine): 1,4 mg/m2 hari ke 1 dan 8

o Procarbazine: 100 mg/m2, hari 1-14


o Prednisone: 40 mg/m2, hari 1-14, hanya pada siklus 1 dan 4

2. ABVD regimen: setiap 28 hari untuk 6 siklus

o Adriamycin: 25 mg/m2, hari ke 1 dan 15

o Bleomycin: 10 mg/m2, hari ke 1 dan 15


o Vinblastine: 6 mg/m2, hari ke 1 dan 15
o Dacarbazine: 375 mg/m2, hari ke 1 dan 15

3. Stanford V regimen: selama 2-4 minggu pada akhir siklus

o Vinblastine: 6 mg/m2, minggu ke 1, 3, 5, 7, 9, 11


19
o Doxorubicin: 25 mg/m2, minggu ke 1, 3, 5, 9, 11
o Vincristine: 1,4 mg/m2, minggu ke 2, 4, 6, 8, 10, 12
o Bleomycin: 5 units/m2, minggu ke 2, 4, 8, 10, 12
o Mechlorethamine: 6 mg/m2, minggu ke 1, 5, 9
o Etoposide: 60 mg/m2 dua kali sehari, minggu ke 3, 7, 11
o Prednisone: 40 mg/m2, setiap hari, pada minggu ke 1-10,
tapering of pada minggu ke 11,12

4. BEACOPP regimen: setiap 3 minggu untuk 8 siklus

o Bleomycin: 10 mg/m2, hari ke- 8

o Etoposide: 200 mg/m2, hari ke 1-3


o Doxorubicin (Adriamycine): 35 mg/m2, hari ke-1
o Cyclophosphamide: 1250 mg/m2, hari ke-1
o Vincristine (Oncovine): 1,4 mg/m2, hari ke-8
o Procarbazine: 100 mg/m2, hari ke 1-7
o Prednisone: 40 mg/m2, hari ke 1-14

Jika pengobatan awal gagal atau penyakit relaps:

1. ICE regimen
a. Ifosfamide: 5 g/m2, hari ke-2
b. Mesna: 5 g/m2, hari ke-2
c. Carboplatin: AUC 5, hari ke-2
d. Etoposide: 100 mg/m2, hari ke 1-3

2. DHAP regimen

a. Cisplatin: 100 mg/m2, hari pertama


b. Cytarabine: 2 g/m2, 2 kali sehari pada hari ke-2
c. Dexamethasone: 40 mg, hari ke 1-4

20
3. EPOCH regimen – Pada kombinasi ini, etoposide, vincristine,
dan doxorubicin diberikan secara bersamaan selama 96 jam IV
secara berkesinambungan.

a. Etoposide: 50 mg/m2, hari ke 1-4


b. Vincristine: 0.4 mg/m2, hari ke 1-4
c. Doxorubicin: 10 mg/m2, hari ke 1-4
d. Cyclophosphamide: 750 mg/m2, hari ke- 5
e. Prednisone: 60 mg/m2, hari ke 1-6

d. Imunoterapi
Bahan yang digunakan dalam terapi ini adalah Interferon-α, di mana
interferon-α berperan untuk menstimulasi sistem imun yang menurun
akibat pemberian kemoterapi.11
e. Transplantasi sumsum tulang

Transplasntasi sumsum tulang merupakan terapi pilihan apabila limfoma


tidak membaik dengan pengobatan konvensional atau jika pasien
mengalami pajanan ulang (relaps). Ada dua cara dalam melakukan
transplantasi sumsum tulang, yaitu secara alogenik dan secara autologus.
Transplantasi secara alogenik membutuhkan donor sumsum yang sesuai
dengan sumsum penderita. Donor tersebut bisa berasal dari saudara
kembar, saudara kandung, atau siapapun asalkan sumsum tulangnya
sesuai dengan sumsum tulang penderita. Sedangkan transplantasi secara
autologus, donor sumsum tulang berasal dari sumsum tulang penderita
yang masih bagus diambil kemudian dibersihkan dan dibekukan untuk
selanjutnya ditanamkan kembali dalam tubuh penderita agar dapat
menggantikan sumsum tulang yang telah rusak.11

21
2.13 Komplikasi

Ada dua jenis komplikasi yang dapat terjadi pada penderita limfoma maligna,
yaitu komplikasi karena pertumbuhan kanker itu sendiri dan komplikasi karena
penggunaan kemoterapi. Komplikasi karena pertumbuhan kanker itu sendiri
dapat berupa pansitopenia, perdarahan, infeksi, kelainan pada jantung, kelainan
pada paru-paru, sindrom vena cava superior, kompresi pada spinal cord, kelainan
neurologis, obstruksi hingga perdarahan pada traktus gastrointestinal, nyeri, dan
leukositosis jika penyakit sudah memasuki tahap leukemia. Sedangkan
komplikasi akibat penggunaan kemoterapi dapat berupa pansitopenia, mual dan
muntah, infeksi, kelelahan, neuropati, dehidrasi setelah diare atau muntah,
toksisitas jantung akibat penggunaan doksorubisin, kanker sekunder, dan sindrom
lisis tumor.9

2.14 Prognosis

Menurut The International Prognostic Score, prognosis limfoma hodgkin


ditentukan oleh beberapa faktor di bawah ini, antara lain:

 Serum albumin < 4 g/dL

 Hemoglobin < 10.5 g/dL

 Jenis kelamin laki-laki

 Stadium IV

 Usia 45 tahun ke atas

 Jumlah sel darah putih > 15,000/mm3

 Jumlah limfosit < 600/mm3 atau < 8% dari total jumlah sel darah putih

Jika pasien memiliki 0-1 faktor di atas maka harapan hidupnya mencapai 90%,
sedangkan pasien dengan 4 atau lebih faktor-faktor di atas angka harapan
hidupnya hanya 59%.9

22
Sedangkan untuk limfoma non-hodgkin, faktor yang mempengaruhi
prognosisnya antara lain:

 usia (>60 tahun)


 Ann Arbor stage (III-IV)
 hemoglobin (<12 g/dL)
 jumlah area limfonodi yang terkena (>4) and
 serum LDH (meningkat)

yang kemudian dikelompokkan menjadi tiga kelompok resiko, yaitu resiko


rendah (memiliki 0-1 faktor di atas), resiko menengah (memiliki 2 faktor di atas),
dan resiko buruk (memiliki 3 atau lebih faktor di atas).9

23
DAFTAR PUSTAKA
1. Sudarmanto M, Sumantri AG. Limfoma Maligna. Dalam: Buku Ajar
Hematologi Onkologi. IDAI. Ed-3. Jakarta: 2012. h. 248-54.
2. Hudson MM. Limfoma Non Hodgkin. Dalam: Ilmu Kesehatan Anak
Nelson. 15th ed. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC. 2012.h. 1780-
83.
3. Vinjamaram S. Non Hodgkin Lymphoma. Jun 12, 2019 (Cited Nov 7th,
2019). Available at http://emedicine.medscape.com/article/203399-
overview
4. Alarcone P. Hodgkin Lymphoma. Mar 20,2017 (Cited Nov 7th,2019).
Available at http://emedicine.medscape.com/article/987101-
overview#a0101
5. Hudson MM. Penyakit Hodgkin. Dalam: Ilmu Kesehatan Anak Nelson.
15th ed. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC.2012.h. 1777-83.
6. Gillchrist G. Lymphoma. Dalam: Nelson Textbook of Pediatrics. 17th ed.
Wisconsin: Elsevier. 2007.h. 1701-6.
7. Price, S.A dan Wilson, L.M. “Pathophysiology: Clinical Concepts of
Disease Processes, Sixth Edition”. Alih bahasa Pendit, Hartanto,
Wulansari dan Mahanani. Patofisiologi Konsep Klinis Proses-proses
Penyakit Edisi 6. Jakarta: EGC.2005.
8. Reksodiputro, A. dan Irawan, C. “Limfoma Non-Hodgkin”. Disunting
oleh Sudoyo, Setyohadi, Alwi, Simadibrata, dan Setiati. Buku Ajar Ilmu
Penyakit Dalam. Jilid V. Jakarta: Balai Penerbit Fakultas Kedokteran
Universitas Indonesia; 2009.h. 727-33
9. Dessain, S.K. 2009. Hodgkin Disease..
http://emedicine.medscape.com/article/20188-overview (Cited Nov
7th,2019)
10. Kumar, Abbas, dan Fausto. 2005. Phatologic Basis of Diseases 7th
Edition. Philadelphia: Elsevier & Saunders
11. Berthold, D. dan Ghielmini, M. 2004. Treatment of Malignant
Lymphoma. Swiss Med Wkly (134) : 472-80.

24
12. Amin Z dan Bahar A. Tuberkulosis paru. Buku ajar ilmu penyakit dalam.
Jilid 2, Edisi ke-5. Jakarta: Pusat Penerbitan Ilmu Penyakit Dalam
Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia,2009.h.998-1010.

25

Anda mungkin juga menyukai