Anda di halaman 1dari 10

A.

IKTERUS NEONATORUM
1. Definisi
Hiperbilirubinemia adalah kadar biliruban serum total lebih dari
sama dengan 5 mg/dL. Ikterus pada bayi atau yang dikenal dengan istilah
ikterus neonatarum adalah keadaan klinis pada bayi yang ditandai oleh
pewarnaan ikterus pada kulit dan sklera akibat akumulasi bilirubin tak
terkonjugasi yang berlebih. Pada orang dewasa, ikterus akan tampak
apabila serum bilirubin >2 mg/dl(>17μmol/L) sedangkan pada
neonatus baru tampak apabila serum bilirubin
>5mg/dl(86μmol/L).10
2. Klasifikasi
Terdapat 2 jenis ikterus yaitu yang fisiologis dan patologis:11
a. Ikterusfisiologi
Ikterus fisiologi adalah ikterus yang timbul pada hari kedua dan
hari ketiga serta tidak mempunyai dasar patologi atau tidak mempunyai
potensi menjadi karena ikterus. Adapun tanda-tanda sebagai berikut :
1) Timbul pada hari kedua dan ketiga
2) Kadar bilirubin indirek tidak melebihi 10 mg% pada neonates cukup
bulan.
3) Kecepatan peningkatan kadar bilirubin tidak melebihi 5% per hari.
4) Kadar bilirubin direk tidak melebihi 1 mg%.
5) Ikterus menghilang pada 10 hari pertama.
6) Tidak terbukti mempunyai hubungan dengan keadaan patologis.
b. IkterusPatologis
Ikterus patologis adalah ikterus yang mempunyai dasar patologis
atau kadar bilirubin mencapai suatu nilai yang disebut hiperbilirubinemia.
Adapun tanda-tandanya sebagai berikut :
1) Ikterus terjadi dalam 24 jam pertama.
2) Kadar bilirubin melebihi 10 mg% pada neonatus cukup bulan atau
melebihi 12,5% pada neonatus kurang bulan.
3) Pengangkatan bilirubin lebih dari 5 mg% per hari.

51
4) Ikterus menetap sesudah 2 minggu pertama.
5) Kadar bilirubin direk melebihi 1 mg%.
6) Mempunyai hubungan dengan proses hemolitik
Klasifikasi beradasarkan pemberian ASI:11
a. Breastfeeding jaundice
Ikterus karena kekurangan ASI. Biasanya timbul pada hari ke 2
atau 3 saat produksi ASIbelum banyak. Untuk neonates cukup bulan hal
ini tidakperlu dikawatirkan, karena bayi dibekali cadangan lemak coklat,
glikogen dan cairan yang dapat mempertahankan metabolism selama 72
jam.
b. Breastmilk jaundice.
Ikterus karena ASI.bilirubin turun pada hari ke-4 namun pada
kondisi ini terus naik mencapai 20-30 mg/dL pada usia 14 hari. Persentase
kasus hanya 2-4%. Pada hari ke-4 bilirubin naik sampai 20-30 mg/dL pada
usia 14 hari. Bila ASI dihentikan, bilirubin akan kembali naik tetapi tidak
setinggi sebelumnya.
3. Etiologi11
a. Produksi yang berlebihan
Hal ini melebihi kemampuannya bayi untuk mengeluarkannya, misal pada
hemolisis yang meningkat pada inkompabilitas darah Rh, ABO, golongan
darah lain, defisiensi enzim G6PD, piruvat kinase, perdarahan tertutup dan
sepsis.
b.Gangguan proses “uptake” dan konjugasi hepar.
Gangguan ini dapat disebabkan oleh immturitas hepar, kurangnya substrat
untuk konjugasi bilirubin, gangguan fungsi hepar, akibat asidosis, hipoksia
dan infeksi atau tidak terdapatnya enzim glukoronil transferase (sindrom
Criggler-Najjar) penyebab lain atau defisiensi protein Y dalam hepar yang
berperan penting dalam “uptake” bilirubin ke sel hepar.
c. Gangguan transportasi.
Bilirubin dalam darah terikat pada albumin kemudian diangkat ke hepar.
Ikatan bilirubin dengan albumin dapat dipengaruhi oleh obat misalnya

51
salisilat, dan sulfaforazole. Defisiensi albumin menyebabkan lebih banyak
terdapat bilirubin indirek yang bebas dalam darah yang mudah melekat ke
sel otak.
d. Gangguan dalam ekskresi.
Gangguan ini dapat terjadi akibat obstruksi dalam hepar atau di luar hepar.
Kelainan di luar hepar biasanya disebabkan oleh kelainan bawaan.
Obstruksi dalam hepar biasanya akibat infeksi/kerusakan hepar oleh
penyebab lain.
4. Patofisiologi
Bilirubin adalah produk penguraian heme. Sebagian besar(85-90%)
terjadi dari penguraian hemoglobin dan sebagian kecil(10-15%) dari senyawa
lain seperti mioglobin. Sel retikuloendotel menyerap kompleks haptoglobin
dengan hemoglobin yang telah dibebaskan dari sel darah merah. Sel-sel ini
kemudian mengeluarkan besi dari heme sebagai cadangan untuk sintesis
berikutnya dan memutuskan cincin heme untuk menghasilkan tertapirol
bilirubin, yang disekresikan dalam bentuk yang tidak larut dalam air(bilirubin
tak terkonjugasi, indirek). Karena ketidaklarutan ini, bilirubin dalam plasma
terikat ke albumin untuk diangkut dalam medium air. Sewaktu zat ini beredar
dalam tubuh dan melewati lobulus hati ,hepatosit melepas bilirubin dari
albumin dan menyebabkan larutnya air dengan mengikat bilirubin ke asam
glukoronat(bilirubin terkonjugasi, direk) .1
Dalam bentuk glukoronida terkonjugasi, bilirubin yang larut tersebut
masuk ke sistem empedu untuk diekskresikan. Saat masuk ke dalam usus
,bilirubin diuraikan oleh bakteri kolon menjadi urobilinogen. Urobilinogen
dapat diubah menjadi sterkobilin dan diekskresikan sebagai feses. Sebagian
urobilinogen direabsorsi dari usus melalui jalur enterohepatik, dan darah porta
membawanya kembali ke hati. Urobilinogen daur ulang ini umumnya
diekskresikan ke dalam empedu untuk kembali dialirkan ke usus, tetapi
sebagian dibawa oleh sirkulasi sistemik ke ginjal, tempat zat ini diekskresikan
sebagai senyawa larut air bersama urin.11

51
Pada dewasa normal level serum bilirubin <1mg/dl. Ikterus akan
muncul pada dewasa bila serum bilirubin >2mg/dl dan pada bayi yang baru
lahir akan muncul ikterus bila kadarnya >7mg/dl.11
Hiperbilirubinemia dapat disebabkan oleh pembentukan bilirubin yang
melebihi kemampuan hati normal untuk ekskresikannya atau disebabkan oleh
kegagalan hati(karena rusak) untuk mengekskresikan bilirubin yang dihasilkan
dalam jumlah normal. Tanpa adanya kerusakan hati, obstruksi saluran ekskresi
hati juga akan menyebabkan hiperbilirubinemia. Pada semua keadaan ini,
bilirubin tertimbun di dalam darah dan jika konsentrasinya mencapai nilai
tertentu(sekitar 2-2,5mg/dl), senyawa ini akan berdifusi ke dalam jaringan
yang kemudian menjadi kuning. Keadaan ini disebut ikterus atau jaundice.11
5. Manifestasi Klinis
Bayi baru lahir(neonatus) tampak kuning apabila kadar bilirubin
serumnya kira-kira 6mg/dl. Ikterus sebagai akibat penimbunan bilirubin
indirek pada kulit mempunyai kecenderungan menimbulkan warna kuning
muda atau jingga. Sedangkan ikterus obstruksi(bilirubin direk)
memperlihatkan warna kuning-kehijauan atau kuning kotor. Perbedaan ini
hanya dapat ditemukan pada ikterus yang berat.11

Gambar 1. Derajat Kramer


6. Diagnosis11
1) Anamnesis
i. Riwayat pemberian ASI

51
ii. Riwayat ikterus pada anak sebelumnya
iii. Riwayat ikterus neonatorum di keluarga
iv. Riwayat tanda-tanda infeksi pada sebelum dan selama
persalinan
v. Riwayat bayi lahir asfiksia atau BBLR
b. Pemeriksaan fisik
1) Tanda-tanda prematuritas
2) Kecil masa kehamilan
3) Perdarahan seperti sefal hematom
4) Pucat (anemia hemolitik)
5) Hepatosplenomegali
c. Pemeriksaan penunjang
1) Bilirubin serum
2) Darah rutin
2) Apusan darah tepi
3) Golongan darah, rhesus

7. Tatalaksana
Prinsip tatalaksana ikterus berdasarkan etiologi yang mendasari.
Pada hiperbilirubinemia, bayi harus tetap diberikan ASI dan jangan diganti
dengan air putih atau air gula karena protein susu akan melapisi mukosa
usus dan menurunkan penyerapan kembali bilirubin yang tidak
terkonyugasi. Pada keadaan tertentu bayi perlu diberikan terapi sinar. Transfusi
tukar jarang dilakukan pada ikterus dini atau ikterus karena ASI. Indikasi terapi
sinar dan transfusi tukar sesuai dengan tata laksana hiperbilirubinemia.
a. Breast feeding jaundice5
1) Pantau jumlah ASI, apakah cukup atau belum
2) Pemberian ASI sejak lahir minimal 8 kali sehari
3) Pemberian air, putih, sufor, dan air gula tidak diperlukan
4) Pemantauan BB, frekuensi BAK dan BAB

51
5) Jika kadar bilirubin > 15 mg/dL perlu penambahan volume
cairan dan stimulasi produksi ASI dengan melakukan pemerasan
payudara
6) Pemeriksaan komponen ASI dilakukan bila kadar bilirubin
menetap > 6 hari, kadar bilirubin > 20 mg/dL, atau riwayat
breastfeeding pada anak sebelumnya.
b.Breastmilk Jaundice:5
1. American Academy of Pediatric tidak menganjurkan
penghentian ASI
2. Gartner menyarankan penghentian ASI sementara

Gambar 3. Petunjuk Pelaksaan terapi pada hiberbilirubinemia


berdasarkan berat badan

51
Gambar 4. Petunjuk Pelaksaan terapi pada hiberbilirubinemia
berdasarkan usia

Gambar 5. Panduan fototerapi pada usia kehamilan ≥35 minggu

Gambar 6. Panduan transfuse tukar pada usia kehamilan ≥35 minggu

51
Gambar 6. Diagnosis banding ikterus neonatorum

51
DAFTAR PUSTAKA

1. Staf Pengajar Ilmu Kesehatan Anak Fakultas Kedokteran Indonesia. Ilmu


Kesehatan Anak, Edisi 1. Kedokteran Jakarta. EGC. 2000

2. IDAI. Asfiksia Neonatorum. Dalam: Standar Pelayanan Medis Kesehatan


Anak. Jakarta: Badan Penerbit IDAI; 2004. h. 272-276. (level of evidence
IV).

3. Azis, Abdul Latief. Pedoman Diagnosis dan Terapi Bagian/SMF


Kesehatan Anak, edisi III. RSU Dokter Sutomo. Surabaya. 2006.

4. Kosim, Sholeh. Buku Ajar Neonatologi, edisi pertama. Ikatan Dokter


Anak Indonesia. Jakarta. 2008

5. Suraatmaja, Sudrajat. Pedoman Diagnosis dan Terapi Ilmu Kesehatan


Anak. RSUP Sanglah, Denpasar. 2007.

6. Poesponegoro, Hardiono. Standar Pelayanan Medis Kesehatan Anak.


Ikatan Dokter Anak Indonesia. Jakarta. 2005

7. Departemen kesehatan republik Indonesia. Pencegahan dan


penatalaksanaan Asfiksia Neonatorum. 2008

8. Dr. Rusepno Hassan,dkk. Buku Kuliah 3 Ilmu Kesehatan Anak. Info


Medika Jakarta : Fakultas Kedokteran UI. 1985

9. Kosim, M. Sholeh, Dkk. Buku Ajar Neonatologi. Edisi Pertama. Jakarta:


Balai Penerbit IDAI. 2010;147-169.

10. Garna H, Nataprawira HMD. Pedoman diagnosis dan terapi ilmu


kesehatan anak. Edisi ke-3. Bandung: Bagian Ilmu Kesehatan Anak FK
Unpad. 2005; Ikterus Neonatorum;102-8..

11. Badan Litbangkes Depkes RI. Survey Kesehatan Rumah Tangga (SKRT).
Departemen Kesehatan Republik Indonesia. Jakarta. 2002;8-10.

12. Hasan R, Alatas H. Buku Kuliah Ilmu Kesehatan Anak, 3. Edisi IV.
Jakarta: Bagian IKA FKUI. 1996;1095-100.

13. Guyton. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran. Edisi Ke-11. Jakarta: EGC.
2007;906-907.

14. Kumar A, Bhatnagar V. Respiratory Distress in Neonates. Indian J Pediatr


2005. 2005;72(5):425-38.

51
15. Mathai S, Raju C, Kanitkar C. Management of respiratory distress in the
newborn. MJAFI. 2007;63(269-72).

16. Bissinger R, Carlson C. Surfactant. Newborn and Infant Nursing Reviews.


2006;6(2):87-93.

17. Masmonteil T. Expanded use of surfactant therapy in newborns. Clin


Perinatol. 2007;34:179-89.

51

Anda mungkin juga menyukai