Anda di halaman 1dari 13

Hadis merupakan sumber ajaran Islam kedua setelah al-Qur’an.

Hadis Nabi
merupakan penafsiran al-Qur’an dalam peraktek atau penerapan ajaran Islam
secara faktual dan ideal. Hal ini mengingat bahwa pribadi Nabi saw merupakan
perwujudan dari al-Qur’an yang ditafsirkan untuk manusia, serta ajaran Islam yang
dijabarkan dalam kehidupan sehari-hari.

Sumber: https://www.tongkronganislami.net/pengeritian-hadis-dan-sunnah/

Al-Hadis menurut bahasa adalah masdar dari baru yang berlawanan dengan kata al-
qadim yang artinya terdahulu. Hadis berarti pembicaraan, perkataan, percakapan,
certitra, kabar dan kejadian.

Sumber: https://www.tongkronganislami.net/pengeritian-hadis-dan-sunnah/

Dengan demikian al-hadis adalah sesuatu yang disandarkan kepada Nabi SAW. Baik
berupa perkataan, perbuatan, maupun penetapan dan pengakuannya.
Sedangkan al-sunnah adalah sesuatu yang telah diperaktekkan oleh Nabi SAW.
Yang patut diikuti dan dilaksanakan oleh umatnya.

Sumber: https://www.tongkronganislami.net/pengeritian-hadis-dan-sunnah/

Hadist memiliki peranan penting dalam menjelaskan (Bayan) firman-firman Allah SWT di dalam
Al-Quran. Secara lebih rinci, dijelaskan fungsi-fungsi hadist dalam islam adalah sebagai berikut:

1. Bayan Al- Taqrir (memperjelas isi Al Quran)


Fungsi Hadist sebagai bayan al- taqrir berarti memperkuat isi dari Al-Quran. Sebagai contoh hadist yang
diriwayatkan oleh H.R Bukhari dan Muslim terkait perintah berwudhu, yakni:

“Rasulullah SAW bersabda, tidak diterima shalat seseorang yang berhadats sampai ia
berwudhu” (HR.Bukhori dan Abu Hurairah)
Hadits diatas mentaqrir dari surat Al-Maidah ayat 6 yang berbunyi:

‫س ُح ْوا ِب ُر ُء ْو ِس ُك ْم َوا َ ْر ُجلَ ُك ْم اِلَى ْال َك ْعبَ ْي ِن‬ ِ ‫صلَو ِة فَا ْغ ِسلُ ْوا ُو ُج ْوهَ ُك ْم َوأ َ ْي ِد يَ ُك ْم اِلَى ْال َم َرا ِف‬
َ ‫ق َو ْام‬ ّ ‫يَااَيُّ َهاالَّ ِذ يْنَ ا َ َمنُ ْوااِذَاقُ ْمت ُ ْم اِلَى ال‬

“Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu hendak mengerjakan shalat, maka basuhlah muka dan
tanganmu sampai dengan siku, dan sapulah kepalamu dan (basuh) kakimu sampai dengan kedua mata
kaki” (QS.Al-Maidah:6)
2. Bayan At-Tafsir (menafsirkan isi Al Quran)
Fungsi hadist sebagai bayan at-tafsir berarti memberikan tafsiran (perincian) terhadap isi al quran yang
masih bersifat umum (mujmal) serta memberikan batasan-batasan (persyaratan) pada ayat-ayat yang
bersifat mutlak (taqyid). Contoh hadist sebagai bayan At tafsir adalah penjelasan nabi Muhammad SAW
mengenai hukum pencurian.

ِ ّ ‫ص ِل ْالك‬
‫َف‬ َ ‫ط َع يَدَهُ مِ ْن مِ ْف‬
َ َ‫ق فَق‬ َ ِ‫أَت َى ب‬
ِ ‫سا ِر‬
“Rasulullah SAW didatangi seseorang yang membawa pencuri, maka beliau memotong tangan pencuri
tersebut dari pergelangan tangan”
Hadist diatas menafsirkan surat Al-maidah ayat 38:

ِ‫سبَا نَكَاالً مِ نَ للا‬ َ ‫َّارقَةُ فَا ْق‬


َ ‫طعُ ْواا َ ْي ِد يَ ُه َما َجزَ ا ًء بِ َما َك‬ ِ ‫َّارقُ َوالس‬
ِ ‫َوالس‬

“Laki-laki yang mencuri dan perempuan yang mencuri, potonglah tangan keduanya (sebagai) pembalasan
bagi apa yang mereka kerjakan dan sebagai siksaan dari Allah” (QS.Al-Maidah:38)
Dalam AlQuran, Allah memerintahkan hukuman bagi seorang pencuri dengan memotong tangannya. Ayat
ini masih bersifat umum, kemudian Nabi SAW memberikan batasan bahwa yang dipotong dari
pergelangan tangan.

3. Bayan at-Tasyri’ (memberi kepastian hukum islam yang tidak ada di Al Quran)
Hadist sebagai bayan At tasyri’ ialah sebagai pemberi kepastian hukum atau ajaran-ajaran islam yang tidak
dijelaskan dalam Al-Quran. Biasanya Al Quran hanya menerangkan pokok-pokoknya saja. Sebagaimana
contohnya hadist mengenai zakat fitrah, dibawah ini:

َ ‫علَى كُ ِّل ُح ٍ ّر ا َ ْو‬


‫ع ْب ٍد‬ َ ‫صا عًا مِ ْن ت َ َم ٍرا َ ْو‬
َ ‫صا عًامِ ْن‬
َ ‫ش ِعي ٍْر‬ ِ َّ‫علَى الن‬
َ ‫اس‬ ْ ‫ض زَ كَا ة َ الف‬
َ ‫ِط ِر مِ ْن َر َم‬
َ َ‫ضان‬ َ ‫سلَّ َم فَ َر‬ َ ُ‫صلَّى للا‬
َ ‫علَ ْي ِه َو‬ ُ ‫ا َِّن َر‬
َ ِ‫س ْو ُل للا‬
َ‫ذَك ٍَر أ َ ْو أ ُ ْنثَى مِ نَ اْل ُم ْسلِمِ يْن‬

“Rasulullah telah mewajibkan zakat fitrah kepada umat Islam pada bulan Ramadhan satu sha’ kurma atau
gandum untuk setiap orang, beik merdeka atau hamba, laki-laki atau perempuan”(HR. Muslim).
4. Bayan Nasakh (mengganti ketentuan terdahulu)
Secara etimologi, An-Nasakh memiliki banyak arti diantaranya at-taqyir (mengubah), al-itbal
(membatalkan), at-tahwil (memindahkan), atau ijalah (menghilangkan). Para ulama mendefinisikan Bayan
An-nasakh berarti ketentuan yang datang kemudian dapat menghapuskan ketentuan yang terdahulu, sebab
ketentuan yang baru dianggap lebih cocok dengan lingkungannya dan lebih luas. Salah satu contohnya
yakni:

ٍ ‫صيَّةَ ل َِو ِار‬


‫ث‬ ِ ‫الَ َو‬

“Tidak ada wasiat bagi ahli waris”


Hadits ini menasakh surat QS.Al-Baqarah ayat 180:

َ ‫صيَّةُ ل ِْل َوا ِلدَ ي ِْن َواْأل َ ْق َربِيْنَ بِ ْال َم ْع ُر ْوفِ َحقًّا‬
َ‫علَى ال ُمت َّ ِقيْن‬ َ ‫علَ ْي ُك ْم اِذَا َح‬
َ ‫ض َر ا َ َحدَ كُ ْم ال َم ْوتُ ا ِْن ت ََركَ َخي َْر‬
ِ ‫الو‬ َ ‫ُكت‬
َ ‫ِب‬
“Diwajibkan atas kamu, apabila seseorang diantara kamu kedatangan (tanda-tanda) maut, jika ia
meninggalkan harta yang banyak, berwasiat untuk ibu-bapak dan karib kerabat secara ma’ruf. (ini
adalah) kewajiban atas orang-orang yang bertaqwa” (QS.Al-Baqarah:180)
Untuk fungsi hadist sebagai Bayan Nasakh ini masih terjadi perdebatan di kalangan ulama. Para ulama Ibn
Hazm dan Mutaqaddim membolehkan menasakh al-Qur’an dengan segala hadits walaupun hadits ahad.
Kelompok Hanafiyah berpendapat boleh menasakh dengan hadist masyhur tanpa harus matawatir.
Sedangkan para mu’tazilah membolehkan menasakh dengan syarat hadist harus mutawatir. Selain itu, ada
juga yang berpendapat Bayan Nasakh bukanlah fungsi hadist.

Kedudukan Hadist

Sebagaimana yang telah dijelaskan diatas, hadist mempunyai kedudukan sebagai sumber hukum islam
kedua. Di dalam Al Quran juga telah dijelaskan berulang kali perintah untuk mengikuti ajaran Rasulullah
SAW, sebagaimana yang terangkum firman Allah SWT di surat An-Nisa’ ayat 80:

‫ظا‬ َ َ‫س ْلنَاك‬


ً ‫علَ ْي ِه ْم َحفِي‬ َ ‫َّللاَ ۖ َو َم ْن ت ََولَّ ٰى فَ َما أ َ ْر‬
َّ ‫ع‬ َ َ ‫سو َل فَقَ ْد أ‬
َ ‫طا‬ َّ ‫َم ْن يُطِ ِع‬
ُ ‫الر‬

“Barangsiapa yang mentaati Rasul itu, sesungguhnya ia telah mentaati Allah. Dan barangsiapa yang
berpaling (dari ketaatan itu), maka Kami tidak mengutusmu untuk menjadi pemelihara bagi
mereka.”(QS.An-Nisa: 80)
Selain itu, Allah SWT menekankan kembali dalam surat Al-Asyr ayat 7:

َ ‫س ْو ُل فَ ُخذ ُ ْوهُ َو َمانَ َها ُك ْم‬


…..…‫ع ْنهُ فَا ْنت َ ُه ْوا‬ َّ ‫……و َمااَت َا ُك ْم‬
ُ ‫الر‬ َ

“Apa yang diperintahkan Rasul, maka laksanakanlah, dan apa yang dilarang Rasul maka
hentikanlah” (QS.Al-Hasyr:7)
Demikianlah ulasan mengenai fungsi hadist dalam islam. Semoga kita bisa menjadi hamba yang taat
kepada Al Quran dan Al-Hadist. Di samping itu, kita juga perlu jeli dalam membedakan antara hadist yang
shahih, dho’if, dan hadist palsu.

https://dalamislam.com/landasan-agama/hadist/fungsi-hadist-dalam-islam

Macam-macam Sunnah
1. Sunnah Qauliyah.
Sunnah Qauliyah adalah bentuk perkataan atau ucapan yang disandarkan kepada Nabi
Muhammad Saw., yang berisi berbagai tuntunan dan petunjuk syarak, peristiwa-peristiwa atau
kisah-kisah, baik yang berkenaan dengan aspek akidah, syariah maupun akhlak.
Dengan kata lain Sunnah Qauliyah yaitu sunnah Nabi Saw. yang hanya berupa ucapannya saja
baik dalam bentuk pernyataan, anjuran, perintah cegahan maupun larangan. Yang dimaksud
dengan pernyatan Nabi Saw. di sini adalah sabda Nabi Saw. dalam merespon keadaan yang
berlaku pada masa lalu, masa kininya dan masa depannya, kadang-kadang dalam bentuk dialog
dengan para sahabat atau jawaban yang diajukan oleh sahabat atau bentuk-bentuk ain seperti
khutbah.

Dilihat dari tingkatannya sunnah qauliyah menempati urutan pertama yang berarti kualitasnya
lebih tinggi dari kualitas sunnah fi’liyah maupun taqririyah. Contoh sunnah qauliyah:

a. Hadis tentang doa Nabi Muhammad saw. kepada orang yang mendengar, menghafal
dan menyampaikan ilmu.

Dari Zaid bin dabit ia berkata, “Saya mendengar Rasulullah saw. bersabda: “Semoga Allah
memperindah orang yang mendengar hadis dariku lalu menghafal dan menyampaikannya
kepada orang lain, berapa banyak orang menyampaikan ilmu kepada orang yang lebih berilmu,
dan berapa banyak pembawa ilmu yang tidak berilmu.” (HR. Abu Dawud)

b. Hadis tentang belajar dan mengajarkan al-Qur’an.

Dari Usman ra, dari Nabi saw., beliau bersabda: “Orang yang paling baik di antara kalian adalah
seorang yang belajar al-Qur`an dan mengajarkannya.”. (HR. al-Bukhari)

c. Hadis tentang persatuan orang-orang beriman.

Dari Abu Musa dia berkata; Rasulullah saw. bersabda: “Orang mukmin yang satu dengan
mukmin yang lain bagaikan satu bangunan, satu dengan yang lainnya saling
mengokohkan. (HR. al-Bukhari dan Muslim)

2. Sunnah Fi’liyah.
Sunnah fi’liyah adalah segala perbuatan yang disandarkan kepada Nabi Muhammad Saw.
Kualitas sunnah fi’liyah menduduki tingkat kedua setelah sunnah qauliyah. Sunnah fi’liyah juga
dapat maknakan sunnah Nabi Saw. yang berupa perbuatan Nabi yang diberitakan oleh para
sahabat mengenai soal-soal ibadah dan lain-lain seperti melaksanakan shalat manasik haji dan
lain-lain.

Untuk mengetahui hadis yang termasuk kategori ini, diantaranya terdapat kata-kata kana/yakunu
atau ra’aitu/ra’aina. Contohnya:

a. Hadis tentang tata cara shalat di atas kendaraan.

Dari Jabir bin ‘Abdullah berkata, “Rasulullah saw. shalat di atas tunggangannya menghadap ke
mana arah tunggangannya menghadap. Jika Beliau hendak melaksanakan shalat yang fardhu,
maka beliau turun lalu shalat menghadap kiblat. (HR. al-Bukhari dan Muslim).

b. Hadis tentang tata cara shalat.

“Shalatlah kalian seperti kalian melihat aku shalat.” (HR. al-Bukhari)


c. Hadis tentang tata cara manasik haji.

“Ambillah manasik (tata cara melaksanakan haji) kamu dariku.” (HR. Muslim)

3. Sunnah Taqririyah.
Sunnah Taqririyah adalah sunnah yang berupa ketetapan Nabi Muhammad Saw. terhadap apa
yang datang atau dilakukan para sahabatnya. Dengan kata lain sunnah taqririyah, yaitu sunnah
Nabi Saw. yang berupa penetapan Nabi Saw. terhadap perbuatan para sahabat yang diketahui
Nabi saw. tidak menegornya atau melarangnya bahkan Nabi Saw. cenderung mendiamkannya.
Beliau membiarkan atau mendiamkan suatu perbuatan yang dilakukan para sahabatnya tanpa
memberikan penegasan apakah beliau membenarkan atau menyalahkannya. Contohnya:

a. Hadis tentang daging dab (sejenis biawak).

Pada suatu hari Nabi Muhammad Saw. disuguhi makanan, di antaranya daging dzab. Beliau
tidak memakannya, sehingga Khalid ibn Walid bertanya, “Apakah daging itu haram ya
Rasulullah?”. Beliau menjawab:

“Tidak, akan tetapi daging itu tidak terdapat di negeri kaumku, karena itu aku tidak
memakannya.” Khalid berkata, “Lalu aku pun menarik dan memakannya. Sementara Rasulullah
Saw. melihat ke arahku.”. (Muttafaqun ‘alaih)

b. Hadis tentang Tayamum.

Dari Abu Sa’id Al Khudri ra. ia berkata: “Pernah ada dua orang bepergian dalam sebuah
perjalanan jauh dan waktu shalat telah tiba, sedang mereka tidak membawa air, lalu mereka
berdua bertayamum dengan debu yang bersih dan melakukan shalat, kemudian keduanya
mendapati air (dan waktu shalat masih ada), lalu salah seorang dari keduanya mengulangi
shalatnya dengan air wudhu dan yang satunya tidak mengulangi. Mereka menemui Rasulullah
Saw. dan menceritakan hal itu. Maka beliau berkata kepada orang yang tidak mengulangi
shalatnya: ‘Kamu sesuai dengan sunnah dan shalatmu sudah cukup’. Dan beliau juga berkata
kepada yang berwudhu dan mengulangi shalatnya: ‘Bagimu pahala dua kali’” (HR. ad-Darimi).
4. Sunnah Hammiyah.
Sunnah Hammiyah ialah: suatu yang dikehendaki Nabi Saw. tetapi belum dikerjakan. Sebagian
ulama hadis ada yang menambahkan perincian sunnah tersebut dengan sunnah hammiyah.
Karena dalam diri Nabi saw. terdapat sifat-sifat, keadaan-keadaan (ahwal) serta himmah (hasrat
untuk melakukan sesuatu). Dalam riwayat disebutkan beberapa sifat yang dimiliki beliau seperti,
“bahwa Nabi saw. selalu bermuka cerah, berperangai halus dan lembut, tidak keras dan tidak
pula kasar, tidak suka berteriak, tidak suka berbicara kotor, tidak suka mencela,..” Juga
mengenai sifat jasmaniah beliau yang dilukiskan oleh sahabat Anas ra. sebagai berikut:

Dari Rabi’ah bin Abu ‘Abdur Rahman berkata, aku mendengar Anas bin Malik ra. sedang
menceritakan sifat-sifat Nabi saw., katanya; “Beliau adalah seorang lakilaki dari suatu kaum yang
tidak tinggi dan juga tidak pendek. Kulitnya terang tidak terlalu putih dan tidak pula terlalu
kecoklatan. Rambut beliau tidak terlalu keriting dan tidak lurus.” (HR. Bukhari).

Termasuk juga dalam hal ini adalah silsilah dan nama-nama serta tahun kelahiran beliau.
Adapun himmah (hasrat) beliau misalnya ketika beliau hendak menjalankan puasa pada tanggal
9 ‘Asyura, sebagaimana diriwayatkan oleh Ibnu Abbas ra:

“Saya mendengar Abdullah bin Abbas ra. berkata saat Rasulullah saw. berpuasa pada hari
‘Asyura`dan juga memerintahkan para sahabatnya untuk berpuasa; Para sahabat berkata,
“Wahai Rasulullah, itu adalah hari yang sangat diagungkan oleh kaum Yahudi dan Nashrani.”
Maka Rasulullah saw. bersabda: “Pada tahun depan insya Allah, kita akan berpuasa pada hari
ke sembilan (Muharram).” Tahun depan itu pun tak kunjung tiba, hingga Rasulullah saw.
wafat..” (HR Muslim)

Menurut Imam Syafi’i dan rekan-rekannya hal ini termasuk sunnah hammiyah. Sementara
menurut Asy Syaukani tidak demikian, karena hamm ini hanya kehendak hati yang tidak
termasuk perintah syari’at untuk dilaksanakan atau ditinggalkan.

Dari sifat-sifat, keadaan-keadaan serta himmah tersebut yang paling bisa dijadikan sandaran
hukum sebagai sunnah adalah hamm. Sehingga kemudian sebagian ulama fiqh mengambilnya
menjadi sunnah hammiyah.
https://www.rumahfiqih.com/x.php?id=1200047491&tingkatan-dan-jenis-hadits.htm

maka ada bermacam-macam derajat hadits seperti yang diuraikan secara singkat di bawah ini.

I- HADITS YANG DILIHAT DARI BANYAK SEDIKITNYA PERAWI

I-1-Hadits Mutawatir

I-2- Hadits Ahad, terdiri dari:

I-2-a- Hadits Shahih

I-2-b- Hadits Hasan

I-2-c- Hadits Dha’if

II. MENURUT MACAM PERIWAYATANNYA

II-1 Hadits yang bersambung sanadnya:(yaitu disebut hadits Marfu’ atau hadits Maushul)

II-2- Hadits yang terputus sanadnya:

II-2-a- Hadits Mu’allaq

II-2-b- Hadits Mursal

II-2-c- Hadits Mudallas

II-2-d- Hadits Munqathi

II-2-e- Hadits Mu’dhol

III. HADITS-HADITS DHA’IF DISEBABKAN OLEH CACAT PERAWI

III-a- Hadits Maudhu’

III-b- Hadits Matruk

III-c- Hadits Munkar

III-d- Hadits Mu’allal

III-f- Hadits Mudhthorib

III-g- Hadits Maqlub

III-h- Hadits Munqalib

III-i- Hadits Mudraj

III-j- Hadits Syadz

BEBERAPA PENGERTIAN DALAM ILMU HADITS

I. HADITS YANG DILIHAT DARI BANYAK SEDIKITNYA PERAWI

I.A. Hadits Mutawatir

Yaitu hadits Rasulullah SAW (catatan tentang sesuatu hal yang dikatakan atau dilakukan oleh Nabi Muhammad

SAW sendiri, HANYA oleh dan dari Beliau SAW, dan TIDAK SELAIN Beliau SAW ) yang diriwayatkan oleh
sekelompok orang dari beberapa sanad yang tidak mungkin bersepakat untuk berdusta. Berita itu mengenai

hal-hal yang dapat dicapai oleh panca indera. Dan berita itu diterima dari sejumlah orang yang semacam itu

juga. Berdasarkan itu, maka ada beberapa syarat yang harus dipenuhi agar suatu hadits bisa dikatakan

sebagai hadits Mutawatir:

Hadits mutawatir mempunyai empat syarat yaitu:

[1]. Rawi-rawinya tsiqat dan mengerti terhadap apa yang dikabarkan dan (menyampaikannya) dengan kalimat

bernada pasti. [Sifat kalimatnya Qath’iy (pasti) dan tidak Dzanni (berdasarkan dugaan) ].

[2]. Sandaran penyampaiannya kepada sesuatu yang konkret, yaitu perawinya menyaksikan secara langsung

dengan matanya sendiri bahwa hal itu dikatakan/dilakukan oleh Rasulullah SAW, atau mendengar secara

langsung dengan telinganya sendiri bahwa hal itu dikatakan/dilakukan oleh Rasulullah SAW, seperti misalnya:

“sami’tu” = aku mendengar

“sami’na” = kami mendengar

“roaitu” = aku melihat

“roainaa” = kami melihat

[3]. Bilangan (jumlah) perawinya banyak, sehingga menurut adat kebiasaan mustahil mereka berdusta secara

berjamaah dan bersama-sama. Dan kesemuanya menyampaikan dengan nada kalimat yang bersifat Qath’iy

(pasti) dan tidak Dzanni (berdasarkan dugaan).

[4]. Bilangan Perawi yang banyak ini tetap demikian dari mulai awal sanad, pertengahan sampai akhir sanad.

Rawi yang meriwayatkannya minimal 10 orang. Perawi2 tersebut terdapat pada semua generasi yang sama.

Adanya keseimbangan jumlah antara rawi-rawi dalam lapisan pertama dengan jumlah rawi-rawi pada lapisan

berikutnya. Misalnya, kalau ada suatu hadits yang diberi derajat mutawatir itu diriwayatkan oleh 5 orang

sahabat maka harus pula diriwayatkan oleh 5 orang Tabi’in demikian seterusnya, bila tidak maka tidak bisa

dinamakan hadits mutawatir.

Catatan:

Apabila satu saja dari syarat-syarat di atas tidak terpenuhi maka TIDAK BISA digolongkan sebagai

hadts mutawatir.

I.B. Hadits Ahad

Yaitu hadits yang diriwayatkan oleh seorang atau lebih tetapi tidak mencapai tingkat mutawatir. Sifatnya atau

tingkatannya adalah “Dhonniy”. Sebelumnya para ulama ahli hadits membagi hadits Ahad menjadi dua

macam, yakni hadits Shahih dan hadits Dha’if. Namun Imam At Turmudzy kemudian membagi hadits Ahad ini

menjadi tiga macam, yaitu:

I.B.1. Hadits Shahih

Menurut imam ahli hadits Ibnu Sholah, hadits shahih ialah hadits yang bersambung sanadnya. Ia diriwayatkan
oleh orang yang adil lagi dhobit (kuat ingatannya) hingga akhirnya tidak syadz (tidak bertentangan dengan

hadits lain yang lebih shahih) dan tidak mu’allal (tidak cacat). Jadi hadits Shahih itu harus memenuhi beberapa

syarat sebagai berikut :

I.B-1-a. Kandungan isinya tidak bertentangan dengan Al-Qur’an.

I.B-1-b. Harus bersambung sanadnya

I.B-1-c Diriwayatkan oleh orang / perawi yang adil.

I.B-1-d Diriwayatkan oleh orang yang dhobit (kuat ingatannya)

I.B-1-e Tidak syadz (tidak bertentangan dengan hadits lain yang lebih shahih)

I.B-1-f Tidak cacat walaupun tersembunyi.

I.B.2. Hadits Hasan

Ialah hadits yang banyak sumbernya atau jalannya dan dikalangan perawinya tidak ada yang disangka dusta

dan tidak syadz.

I.B.3. Hadits Dha’if

Ialah hadits yang tidak bersambung (terputus) sanadnya dan diriwayatkan oleh orang yang tidak adil dan tidak

dhobit, syadz dan cacat.

II. HADITS MENURUT KUALITAS PERIWAYATANNYA

II.A. Hadits yang bersambung sanadnya

Hadits ini adalah hadits yang bersambung sanadnya hingga Nabi Muhammad SAW. Hadits ini disebut hadits

Marfu’ atau Maushul.

II.B. Hadits yang terputus sanadnya

II.B.1. Hadits Mu’allaq

Hadits ini disebut juga hadits yang “tergantung”, yaitu hadits yang permulaan sanadnya dibuang

oleh seorang atau lebih hingga akhir sanadnya, yang berarti termasuk hadits dha’if.

II.B.2. Hadits Mursal

Disebut juga hadits yang ”dikirim”, yaitu hadits yang diriwayatkan oleh para Tabi’in dari Nabi Muhammad SAW

tanpa menyebutkan Sahabat yang menerima hadits itu.

II.B.3. Hadits Mudallas

Disebut juga hadits yang ‘disembunyikan’ cacatnya. Yaitu hadits yang diriwayatkan oleh sanad yang

memberikan kesan seolah-olah tidak ada cacatnya, padahal sebenarnya ada, baik dalam sanad ataupun pada

gurunya. Jadi hadits Mudallas ini ialah hadits yang ditutup-tutupi kelemahan sanadnya.

II.B.4. Hadits Munqathi


Disebut juga hadits yang terputus yaitu hadits yang gugur atau hilang seorang atau dua orang perawi selain

Sahabat dan Tabi’in.

II.B.5. Hadits Mu’dhol

Disebut juga hadits yang terputus sanadnya yaitu hadits yang diriwayatkan oleh para Tabi’in dan Tabi’ut-

Tabi’in dari Nabi Muhammad SAW atau dari Sahabat tanpa menyebutkan Tabi’in yang menjadi sanadnya.

Kesemuanya itu dinilai dari ciri hadits Shahih tersebut di atas. Apabila BERTENTANGAN dengan ciri-ciri hadits

Shahih maka bisa dikategorikan termasuk hadits-hadits dha’if.

III. HADITS-HADITS DHA’IF (Lemah) DISEBABKAN OLEH CACAT PERAWI

III.A. Hadits Maudhu’

Yang berarti ‘yang dilarang’, yaitu hadits yang dalam sanadnya terdapat perawi yang pernah ketahuan

berdusta atau dituduh suka berdusta. Jadi hadits itu adalah hasil karangannya sendiri bahkan tidak pantas

disebut hadits alias hadits palsu.

III.B. Hadits Matruk

Yang berarti ‘hadits yang ditinggalkan / diabaikan’, yaitu hadits yang hanya diriwayatkan hanya oleh seorang

perawi saja sedangkan perawi itu pernah ketahuan berdusta atau dituduh suka berdusta. Jadi hadits itu adalah

hasil karangannya sendiri bahkan tidak pantas disebut hadits alias hadits palsu.

III.C. Hadits Munkar

Yaitu hadits yang hanya diriwayatkan oleh perawi yang lemah yang bertentangan dengan hadits lain yang

diriwayatkan oleh perawi yang dikenal terpercaya / jujur. Maka hadits semacam ini tidak boleh digunakan, dan

sebagai gantinya harus menggunakan hadits dengan topik yang sama namun yang diriwayatkan oleh perawi

lain yang dikenal terpercaya / jujur.

III.D. Hadits Mu’allal

Artinya hadits yang dinilai sakit atau cacat, yaitu hadits yang didalamnya terdapat cacat yang tersembunyi.

Menurut Al-Imam Ibnu Hajar Al-Atsqalani bahwa hadis Mu’allal ialah hadits yang nampaknya baik tetapi

setelah diselidiki ternyata ada cacatnya. Hadits ini biasa disebut juga dengan hadits Ma’lul (yang dicacati) atau

disebut juga hadits Mu’tal (hadits sakit atau cacat).

III.E. Hadits Mudhthorib

Artinya hadits yang kacau, yaitu hadits yang diriwayatkan oleh seorang perawi dari beberapa sanad dengan

matan (isi) yang kacau atau tidak sama dan berkontradiksi dengan yang dikompromikan.

III.F. Hadits Maqlub

Artinya hadits yang ‘terbalik’, yaitu hadits yang diriwayatkan oleh perawi yang didalamnya tertukar dengan

mendahulukan yang belakang atau sebaliknya baik berupa sanad (silsilah) maupun matan (isi).
III.G. Hadits Munqalib

Yaitu hadits yang terbalik sebagian lafalnya hingga pengertiannya berubah.

III.H. Hadits Mudraj

Yaitu hadits yang diriwayatkan oleh seorang perawi yang didalamnya terdapat tambahan yang bukan hadits,

baik keterangan tambahan dari perawi sendiri atau lainnya, sehingga mengurangi kualitas keaslian hadits

tersebut, atau bahkan merubah pengertian dari hadits tersebut.

III.I. Hadits Syadz

Hadits yang ‘jarang’, yaitu hadits yang diriwayatkan oleh perawi yang tsiqah (terpercaya), namun isinya

bertentangan dengan hadits lain yang diriwayatkan dari perawi-perawi (periwayat / pembawa) yang terpercaya

pula. Demikian menurut mayoritas ulama Hijaz sehingga hadits syadz jarang dihapal ulama hadits. Sedang

yang banyak dihapal ulama hadits disebut juga hadits Mahfudz.

https://darulilmi1.wordpress.com/2011/10/28/macam-macam-derajat-hadits-rasulullah-nabi-
muhammad-s-a-w/

1. Al-Qur’an
Al-Qur’an adalah kalamullah yang berisikan firman-firman Allah, diwahyukan kepada Nabi
Muhammad SAW sebagai salah satu mukjizatnya melalui perantara malaikat Jibril. Al-
Qur’an yang merupakan kitab suci umat Islam yang berisikan tentang aqidah, ibadah,
hukum, peringatan, kisah-kisah dan isyarat pengembangan iptek yang dijadikan sebagai
acuan dan pedoman hidup bagi umat Nabi Muhamad SAW.

“Sesungguhnya Kami menurunkannya berupa Al Quran dengan berbahasa Arab, agar


kamu memahaminya“. (QS. Yusuf: 2)

2. Hadits (Sunnah)
Merupakan sumber ajaran Islam yang kedua. Sunnah merupakan kebiasaan yang
dilakukan oleh Rasulullah baik dari segi perkataan, perbuatan maupun ketetapan atau
persetujuan Rasulullah terhadap apa yang dilakukan oleh para sahabatnya.

Menurut ulama Salaf, As-Sunnah ialah petunjuk yang dilakukan oleh Rasulullah dan para
sahabatnya, baik tentang ilmu, i’tiqad (keyakinan), perkataan maupun perbuatannya.

As-Sunnah berfungsi untuk memperjelas, menafsirkan isi atau kandungan dari ayat-ayat
Al-Qur’an dan memperkuat pernyataan ayat-ayat Al-Qur’an serta mengembangkan
segala sesuatu yang samar-samar atau bahkan tidak ada ketentuannya di dalam Al-
Qur’an.

Macam-macam Hadits atau Sunnah


Hadits atau sunnah dilihat dari segi bentuknya, diantaranya:
 Qauliyah yakni semua perkataan Rasulullah
 Fi’liyah yakni semua perbuatan Rasulullah
 Taqririyah yakni penetapan, persetujuan dan pengakuan Rasulullah
 Hammiyah yakni sesuatu yang telah direncanakan oleh Rasulullah dan telah
disampaikan kepada para sahabatnya untuk dikerjakan namun belum sempat
dikerjakan dikarenakan telah datang ajalnya.
 Mutawatir yaitu hadits yang diriwayatkan oleh orang banyak
 Masyhur yaitu diriwayatkan oleh banyak orang, namun tidak sampai (jumlahnya)
kepada derajat mutawatir
 Ahad yaitu diriwayatkan hanya oleh satu orang saja.

Hadits atau sunnah dilihat dari segi kualitasnya, diantaranya:

 Shahih yakni hadits yang benar dan sehat tanpa ada keraguan atau kecacatan.
 Hasan yakni hadits yang baik, memenuhi syarat seperti hadits shahih, letak
perbedaannya hanya dari segi kedhobitannya (kuat hafalan). Hadits shahih
kedhobitannya lebih sempurna daripada hadits hasan.
 Dhaif yakni hadits yang lemah.
 Maudhu yakni hadits yang palsu atau dibuat-buat.

3. Ijtihad
Ijtihad yaitu mengerahkan segala kemampuan berpikir secara maksimal untuk
mengeluarkan hukum syar’i dari dalil-dalil syara’ yaitu Qur’an dan hadits. Ijtihad dapat
dilakukan jika ada suatu masalah yang hukumnya tidak terdapat di dalam Al-Qur’an
maupun hadits, maka dapat dilakukan ijtihad dengan menggunakan akal pikiran dengan
tetap mengacu dan berdasarkan pada Al-Qur’an dan hadits.

Macam-macam Ijtihad

 Ijma’
Yaitu kesepakatan para ulama (mujathid) dalam menetapkan suatu hukum-hukum
berdasarkan Al-Qur’an dan Hadits dalam suatu perkara yang terjadi. Keputusan
bersama yang dilakukan oleh para ulama dengan cara ijtihad untuk kemudian
dirundingkan dan disepakati. Adapun hasil dari ijma’ adalah fatwa, yakni keputusan
bersama para mujtahid yang berwenang untuk diikuti seluruh umat.
 Qiyas
Yaitu menggabungkan atau menyamakan. Artinya menetapkan suatu hukum atau
suatu perkara yang baru muncul, yang belum ada pada masa sebelumnya namun
memiliki kesamaan dalam sebab, manfaat, bahaya dan berbagai aspek dengan
perkara terdahulu sehingga dihukumi sama. Dalam Islam, Ijma dan Qiyas sifatnya
darurat, bila memang terdapat hal-hal yang ternyata belum ditetapkan pada masa-
masa sebelumnya.
 Istihsan
Yaitu tindakan meninggalkan satu hukum kepada hukum lainnya disebabkan
karena adanya suatu dalil syara’ yang mengharuskan untuk meninggalkannya.
Berbeda dengan Al-Quran, Hadits, Ijma’ dan Qiyas yang kedudukannya sudah
disepakati oleh para jumhur ulama sebagai sumber hukum Islam. Istihsan ini
adalah salah satu cara yang digunakan hanya oleh sebagian ulama saja.
 Maslahah Mursalah
Yakni kemaslahatan yang tidak disyari’atkan oleh syar’i dalam wujud hukum,
dalam rangka menciptakan kemaslahatan, disamping tidak terdapat dalil yang
membenarkan atau menyalahkan.
 Sududz Dzariah
Yakni tindakan dalam memutuskan sesuatu yang mubah menjadi makruh atau
haram demi kepentingan dan kemaslahatan umat.
 Istishab
Yakni menetapkan ssuatu keadaan yang berlaku sebelumnya hingga adanya dalil
yang menunjukkan adanya perubahan keadaan itu. Atau menetapkan
berdasarkan hukum yang ditetapkan pada masa lalu secara abadi berdasarkan
keadaan, hingga terdapat dalil yang menunjukkan adanya perubahan.
 Urf
Yaitu segala sesuatu yang sudah dikenal oleh manusia karena telah menjadi
kebiasaan, adat atau tradisi baik bersifat perkataan, perbuatan atau dalam
kaitannya dengan meninggalkan perbuatan tertentu.

Anda mungkin juga menyukai