Jalur Rempah Dan Dinamika Masyarakat Abad X-XVI - Kepulauan Banda, Jambi Dan Pantai Utara Jawa
Jalur Rempah Dan Dinamika Masyarakat Abad X-XVI - Kepulauan Banda, Jambi Dan Pantai Utara Jawa
EMBOSS
JALUR REMPAH DAN DINAMIKA MASYARAKAT ABAD X - XVI:
KEPULAUAN BANDA, JAMBI, DAN PANTAI UTARA JAWA
Pengarah
Hilmar Farid
Penanggung Jawab
Triana Wulandari, Agus Widiatmoko
Editor
Singgih Tri Sulistiyono
Penulis
M. Fauzi
Razif
Tata Letak dan Grafis
Wahid H, M. Hafiz W
ISBN: 978-602-1289-78-5
Penerbit
Direktorat Sejarah, Direktorat Jenderal Kebudayaan
Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan
Jalan Jenderal Sudirman, Senayan, Jakarta 10270
DAFTAR ISI
R
empah sebagai salah satu komoditas penting di Kepulauan Nusantara
selama berabad-abad telah memainkan peranan penting dalam
koneksitas antar wilayah di nusantara. Melalui pertukaran rempah
dengan komoditi kebutuhan pokok antar wilayah di kepulanan nusantara,
setidaknya telah membentuk jaringan masyarakat nusantara dalam suatu tata
kehidupan yang saling membutuhkan. Kekhususan komuditi rempah dan
keahlian masyarakat di masing-masing wilayah geografis di setiap pulau pada
gilirannya juga membentuk ikatan yang semula hanya terbatas kepentingan
jual-beli barang di sentra-sentra pelabuhan rempah, pada gilirannya juga
berkembang dalam ikatan budaya, sosial, religi, politik, dan ekonomi, Dinamika
masyarakat jalur rempah nusantara menjadi menarik ketika munculnya
kerajaan-kerajaan besar dan kuat karena ditopang perdagangan rempah, seperti
Ternate, Banten, Makassar, dan Palembang, Jambi, dan Siak kerajaan-kerajaan
Jawa yang berpusat di pesisir utara.
Tentu saja penulisan buku jalur rempah ini juga tidak dimaksudkan untuk
mengabaikan kajian-kajian sebelumnya yang sudah ada, tetapi justru menarik
manfaat dari kajian yang ada itu dan menjalin kembali serpihan informasi
penting yang tersebar di sana-sini menyangkut pelayaran dan perniagaan
rempah di Nusantara. Penulisan buku jalur rempah dengan judul “Dinamika
Masyarakat Jalur Rempah Abad X - XVI: Kepulauan Banda, Jambi, Dan Pantai
Utara Jawa” diharapkan dapat melengkapi kisah tentang peran masyarakat
Nusantara. Akhir kata selamat membaca semoga, semoga bermanfaat bagi
pembaca.
Triana Wulandari
PROLOG
N
arasi tentang masyarakat jalur rempah ini merupakan sebuah upaya
menghadirkan kisah tentang peran Nusantara dan masyarakat
yang tinggal di dalamnya dalam interaksi satu dengan lainnya dan
hubungan antara mereka dengan bangsa-bangsa lain di kawasan perairan
Nusantara. Kisah ini perlu diangkat kembali untuk melihat peran masyarakat
Nusantara selama berabad-abad dalam pelayaran dan perniagaan rempah-
rempah dan komoditas lain. Narasi tentang jalur rempah juga merupakan
suatu rekonstruksi sejarah dan geografi mengenai dinamika masyarakat yang
tinggal di kepuluan sepanjang jalur rempah di Nusantara. Hal itu dilakukan
dengan membaca ulang berbagai serpihan informasi dan narasi yang tersebar
di berbagai buku dan esai yang telah ditulis oleh para penulis sebelumnya,
terutama mengenai aktivitas dan dinamika masyarakat di sepanjang jalur
rempah di Nusantara. Narasi jalur rempah ini pun dilengkapi dengan membaca
beberapa sumber seperti folklor, roman, dan lain-lain. Penulisan ini kiranya
dapat melengkapi kisah tentang peran masyarakat Nusantara sebagai pelaku
penting dalam pelayaran dan perniagaan terutama di wilayah-wilayah yang
diuraikan tulisan ini.
komoditas lainnya seperti beras, garam, kain tenun bertukar tempat dari satu
kapal ke kapal lainnya sepanjang abad ke-10 hingga ke-16 di berbagai tempat di
Nusantara. Kesibukan berbagai pelabuhan sebagai salah satu titik pertemuan
antarsaudagar yang saling berniaga komoditas rempah dan lain-lain seperti
dapat dibaca dalam narasi wilayah-wilayah yang ditulis menujukkan bahwa
lalulintas pelayaran dan perniagaan Nusantara menjadi perairan yang sibuk
dan penting sepanjang abad ke-7 hingga ke-16. Berbagai wilayah di Nusantara
sebagai sumber produksi komoditas dagang seperti rempah-rempah antara
lain Kepulauan Banda, Makassar, Gresik, Tuban, Banten, lalu Pontianak,
Banjarmasin, Brunei, Jambi, Padang, Barus, dan Aceh menjadi tempat-tempat
pertemuan para saudagar dan transaksi berbagai komoditas. Kota-kota tersebut
yang juga memiliki pelabuhan sebagai tempat berlabuh bagi kapal-kapal yang
datang dari berbagai penjuru dan membawa komoditas-komoditas yang dijual-
belikan menjadi berkembang dan sebagai tempat tinggal berbagai golongan.
Komunitas-komunitas asing juga mulai tinggal dan kemudian membangun
pemukiman di kota pelabuhan itu, sekaligus menjadikannya sebagai salah satu
basis membangun hubungan dagang dengan kota-kota lain. Perniagaan yang
berlangsung di perairan Nusantara bukan hanya menumbuhkan kontak dan
transaksi niaga, tetapi juga menghubungkan berbagai bangsa yang kemudian
melahirkan persilangan budaya antar etnis dan bangsa.
Narasi jalur rempah ini juga tidak dimaksudkan untuk membantah kajian-
kajian sebelumnya yang sudah ada, tetapi justru menarik manfaat dari kajian
yang ada itu dan menjalin kembali serpihan informasi penting yang tersebar di
sana-sini menyangkut pelayaran dan perniagaan rempah di Nusantara. Narasi
jalur rempah ini menekankan pada pembacaan ulang terhadap literatur terkait
yang tersedia ditambah dukungan data hasil kunjungan ke berbagai objek dan
situs di wilayah yang diteliti yaitu Kepulauan Banda, Pantai Utara Jawa dan
sebagian Jawa Timur, serta Jambi. Wilayah-wilayah tersebut dipilih karena
ketiganya mempunyai beberapa hal menarik, antara lain misalnya Pantai Utara
Jawa dan Jawa Timur yang bercirikan masyarakat agraris tetapi sesungguhnya
juga memegang peran penting dalam perniagaan rempah melalui komoditas
pertanian seperti beras; Kepulauan Banda dengan gugusan pulau-pulaunya
berhadapan langsung dengan laut merupakan karakter maritim sejati sebagai
penghasil pala dan fuli menjadi incaran bangsa-bangsa asing; sementara Jambi
dengan karakter dan geografinya yang menempatkan sungai sebagai bagian
Jalur Rempah dan Dinamika Masyarakat Abad X - XVI | xi
Beberapa karya yang sudah ada akan diuraikan sekilas di sini, dan
manfaatnya dalam penulisan narasi jalur rempah ini. Karya M.A.P. Meilink-
Roelofsz berjudul Asian Trade and European Influence in The Indonesian
Archipelago Between 1500 and about 16301 menjelaskan aktivitas perniagaan di
wilayah Nusantara sejak abad ke-16 dengan menekankan pada peran saudagar
Nusantara dalam berhubungan atau berinteraksi dengan para pedagang asing
yang berasal dari Asia dan Eropa. Meilink-Roelofsz juga menjelaskan tentang
peran yang dimainkan oleh para pedagang perantara yaitu masyarakat Cina
di bagian tengah Sumatra dan Banten dalam melakukan transaksi perniagaan
atas berbagai komoditas antara lain rempah terutama lada serta kain asal
India. Buku tersebut juga melihat peran yang dimainkan oleh pedagang Eropa
terutama Portugis, Belanda, dan Inggris dalam dunia perniagaan di wilayah
Nusantara. Selain itu, karya Meilink-Roelofsz juga menyoroti tentang peran
dan praktik niaga yang dilakukan oleh para pedagang Asia, terutama asal India
dan China, dalam bertransaksi atau melakukan jual-beli dengan saudagar
lain asal Eropa yaitu Portugis, Belanda dan Inggris. Buku ini dalam hubungan
dengan narasi jalur rempah memberi uraian tentang bagaimana perniagaan
berlangsung dan dilakukan oleh mereka yang terlibat aktif di dalamnya di
wilayah Nusantara, apa saja yang diperjual-belikan, dan bagaimana proses
perniagaan itu hingga jumlah komoditas dan jenis kapalnya. Karya ini juga
memberi perspektif menyangkut praktik perdagangan grosir komoditas
rempah dan lada di Nusantara. Meilink-Roelofsz memaparkan pula peran
pelabuhan Malaka sebagai bandar perantara komoditas tekstil yang dibawa
pedagang Bengala, Gujarat, dan Koromandel yang dipertukarkan dengan
rempah-rempah dari Banda dan Maluku serta beras dan lada dari pantai utara
Jawa dan Sumatra. Dengan terbentuknya emporium Malaka pada abad ke-15,
pedagang China tidak lagi berlayar menggunakan jalur selatan atau “rute Jawa”.
Pedagang Cina hanya menunggu pedagang Jawa, Sumatra, Banda, dan Maluku
membawa komoditasnya di bandar Malaka. Sepanjang abad ke-15 dan ke-
16, pelabuhan Malaka menjadi reekspor rempah-rempah untuk China, India,
Mesir dan sebagian besar Eropa.
Dua jilid karya Anthony Reid dalam bahasa Indonesia yaitu Asia Tenggara
Dalam Kurun Niaga 1450-16802 memberi banyak informasi dan kaya akan
detil berbagai aspek sosial-ekonomi dan budaya masyarakat Asia Tenggara
pada kurun waktu tersebut. Reid tidak hanya membahas tentang bagaimana
masyarakat Asia Tenggara hidup dan menjalani kehidupannya dalam berbagai
aspek sosial-ekonomi dan budaya, tetapi juga menguraikan detil-detil yang
dilakukan masyarakat Asia Tenggara di bidang perniagaan. Kawasan Asia
Tenggara juga disebut oleh orang Cina, India, Persia dan Arab sebagai wilayah
“negeri di bawah angin”, karena angin musim yang membawa perahu-perahu
berlayar dan melintasi Lautan Hindia. Berbagai aspek kehidupan masyarakat
terkait budaya material dan penggunaan secara meluas rempah-rempah dan
berbagai tanaman lainnya dalam praktik keseharian penduduk dan untuk
keagamaan dijelaskan dalam buku ini. Reid memberi tekanan pula pada
lalulintas dan kesibukan pelayaran dan perniagaan di kawasan Asia Tenggara,
terutama di sekitar Selat Malaka dan bagian barat Nusantara. Meski demikian,
Reid juga memberi perhatian pada wilayah Nusantara terutama yang terkait
dengan aktivitas perniagaan sepanjang abad ke-15 hingga ke-16. Karya Reid
dalam kaitan narasi jalur rempah memberi informasi tentang penggunaan
rempah dalam kehidupan masyarakat Asia Tenggara, juga bagaimana rempah
dan produksi pertanian dan kehutanan dari Nusantara diperdagangkan dengan
melibatkan berbagai bangsa dalam aktivitas perniagaan lokal dan global.
Esai Roderich Ptak, “China and the Trade in Cloves, Circa 960-1435”3 dan
“The Northern Trade Route to the Spice Islands: South China Sea – Sulu Zone –
North Moluccas (14th to Early 16th Century)”4 menjelaskan tentang perniagaan
cengkeh dan rempah-rempah asal Maluku ke China. Uraian Ptak bermanfaat
dalam kaitan narasi jalur rempah terutama penjelasannya tentang bagaimana
cengkeh asal Kepulauan Maluku (Ternate, Tidore, Makian, Bacan, Moti, dan
2 Buku dua jilid yang awalnya berjudul Southeast Asia in the Age of Commerce 1430-1680 terbit
pada 1988 dan kemudian diterbitkan di Jakarta: Yayasan Pustaka Obor Indonesia, 2011.
3 Dalam Journal of American Oriental Society, Vol. 113, No. 1 (Jan-Mar 1993), hlm 1-13.
4 Dalam Archipel, Vol 43, 1992, hlm 27-56.
Jalur Rempah dan Dinamika Masyarakat Abad X - XVI | xiii
dikenal dengan “rute Jawa” dan jalur utara yang dikenal dengan “rute Borneo.”
Mengapa dikenal sebagai rute Borneo? Sebetulnya jalur utara ditemukan
ulang oleh orang-orang Portugis pada 1526. Mereka dari pelabuhan Malaka
menyusuri pesisir Kalimantan Utara dan menuju ke bandar Brunei. Dalam
ucapan Portugis sulit untuk mengujarkan Brunei, yang keluar dari ucapan
orang Portugis adalah Borneo, sehingga seluruh kepulauan Kalimantan mereka
sebut sebagai Borneo. Jalur dari bandar Malaka ke kepulauan rempah-rempah
mengikuti pantai Kalimantan Utara dan menyeberang Laut Sulawesi. Rute ini
sudah lama dipergunakan oleh pedagang-pedagang Melayu. Demikian pula,
pedagang Filipina (Mindanao dan Sulu) dengan Brunei telah ada hubungan
langsung, sebaliknya antara Brunei dan negeri-negeri Selat Malaka seperti
Johor dan Pahang. Kedua, Lapian dalam menguraikan perniagaan di jalur
rempah yang terpenting adalah peranan angin musim. Misalkan, pada musim
angin timur pedagang pantai utara Jawa seperti Gresik dengan perahu-perahu
jung berlayar ke Selat Malaka, Sumatera, Kalimantan, Patani, dan pelabuhan-
pelabuhan Siam. Kalau musim angin barat, mereka akan berlayar ke pulau-
pulau Nusa Tenggara dan menuju kepulauan rempah-rempah, juga ke Butun,
Buru, Mindanao, serta pulau-pulau Kei dan Aru.
Poin-poin penting dalam beberapa buku dan esai di atas menjadi bagian
penting dalam menjelaskan jalur rempah di wilayah Nusantara sepanjang
abad ke-10 hingga ke-16. Rekonstruksi dan konstruksi narasi jalur rempah
di Nusantara ini merupakan sebuah upaya melengkapi narasi tentang peran
dan pentingnya Nusantara dalam pelayaran dan perniagaan, dan juga
pergaulan sosial antarbangsa melalui perniagaan sebelum bangsa-bangsa
Eropa melabuhkan kapal-kapalnya dan menguasai Nusantara dalam bentuk
kolonialisme. Narasi jalur rempah ini juga berupaya mengurai peran Nusantara
bukan semata sebagai objek dalam narasi besar tentang jalur perniagaan antara
Timur-Barat, tetapi terutama sebagai subjek yang justru berperan penting
dalam seluruh kisah pelayaran dan perniagaan Nusantara dan hubungan atau
kontak niaga antara mereka dan berbagai bangsa hingga abad ke-16. Sekelumit
narasi tentang dinamika masyarakat jalur rempah di Nusantara dari abad
ke-10 hingga ke-16 ini diharapkan dapat menjelaskan peran dan pentingnya
Nusantara dalam konteks sejarah dan geografi baik di tingkat lokal maupun
global.
Pendahuluan| 1
PENDAHULUAN
Pendahuluan| 3
R
empah-rempah yang tumbuh dan ditanam di Nusantara selama
berabad-abad telah memikat dan menjadi daya tarik bagi bangsa-
bangsa lain untuk datang dan melakukan transaksi jual-beli, barter,
hingga menguasai jalur pelayaran dan memonopoli perniagaan rempah-rempah.
Berbagai bangsa Asia hingga Eropa sepanjang tahun tak henti-hentinya dengan
kapal-kapal layar berukuran besar menuju perairan Nusantara menempuh
pelayaran bermil-mil jauhnya dari negeri asalnya. Dalam pelayaran menuju
Nusantara itu, mereka membawa serta berbagai komoditas utama negerinya
seperti kain sutera, tekstil, porselen, besi, budak atau berbagai barang lainnya
yang dibutuhkan dan bernilai tinggi di pasaran. Sebaliknya dari Nusantara,
mereka mengangkut berbagai barang atau komoditas hasil perkebunan, hutan
atau pertanian seperti rempah-rempah, kayu cendana, kayu manis, beras,
atau emas untuk dibawa ke negerinya atau dijual kembali di negeri lain dalam
perjalanan pulang.
Narasi jalur rempah di Nusantara sejak abad ke-10 hingga ke-16 ini
merupakan sebuah upaya untuk menjelaskan tentang bagaimana pelayaran dan
perniagaan rempah-rempah dipahami sebagai persilangan dan perjumpaan
antarbangsa, koneksitas antara satu kota dengan kota lainnya, tali-temali
pelabuhan yang satu dengan pelabuhan lainnya di berbagai pulau Nusantara.
Narasi rempah ini juga menjadi salah satu cara memahami atau melihat
tentang bagaimana sejarah Nusantara dan peran masyarakat lokal di dalamnya
dalam perjalanan sejarah bangsa ini. Narasi ini juga ingin memperlihatkan
bahwa jalinan dan jejaring Nusantara dengan dunia atau bangsa-bangsa lain
sesungguhnya telah berlangsung sejak lama, dan perniagaan rempah-rempah
serta komoditas unggulan lainnya dalam hubungan ini menjadi simpulnya.
Kisah tentang masyarakat jalur rempah dalam narasi ini juga berusaha
menggambarkan dinamika dan perkembangan di tiga wilayah yaitu Banda,
pantai utara Jawa, dan Jambi. Ketiga wilayah ini memang tidak menggambarkan
secara utuh pelayaran dan perniagaan Nusantara secara keseluruhan, berikut
detil-detilnya di setiap wilayah. Meskipun begitu, narasi tentang jalur rempah
di ketiga wilayah ini berupaya menggambarkan apa yang sangat mungkin
berlangsung di Nusantara sepanjang abad yang diceritakan dalam narasi ini.
dalam berbagai aspek sosial dan keagamaan di tanah air, juga terlihat pada
berbagai candi, patung dan berbagai karya seni lainnya. Pada bagian ini,
berbagai capaian dan temuan dari masa klasik itu diuraikan sekilas, kaitannya
dengan perkembangan pada masa itu, dan koneksitasnya dengan jalur rempah
yang menjadi fokus narasi. Geografi sosial-budaya dan jejaring Nusantara
dengan negeri lain termasuk pula uraian pada bagian ini.
LATAR BELAKANG
HISTORIS TIGA
WILAYAH
Latar Belakang Historis Tiga Wilayah | 9
Kepulauan Banda
D
ewasa ini kepulauan Banda meliputi 11 pulau, tetapi hanya 7 pulau yang
dihuni dan ditanami pohon pala, sedangkan 4 pulau lainnya dipenuhi
batu karang yang tidak dapat dihuni dan ditanami tumbuhan. Juga,
yang menjadi lingkungan yang khas bagi pulau Banda tidak memiliki aliran
sungai. Situasi ini memperlihatkan Banda sebagai negeri maritim yang sejati.
Kepulauan Banda, baik latar depan maupun latar belakang berhadapan dengan
selat, teluk dan laut terbuka. Laut Banda merupakan laut biru kelam yang
memiliki Palung dengan kedalaman mencapai 7.400 meter. Palung Laut Banda
terbentuk karena pertemuan tiga lempeng kulit bumi, yaitu lempeng Eurasia,
lempeng Indo-Australia, dan lempeng Pasifik
Kecamatan Banda terletak pada posisi: 5°43 - 6°31 Lintang Selatan dan
129°44 -130°04 Bujur Timur dibatasi oleh Selat Seram disebelah Utara, Kep.
Teon Nila Serua disebelah Selatan, Laut Banda disebelah Timur dan Laut
Banda disebelah Barat. Luas keseluruhan kecamatan Banda 172,00 Km² yang
terdiri dari 12 pulau yang 5 pulau diantaranya tidak berpenghuni. Kecamatan
Banda mengalami iklim laut tropis dan iklim musim karena Kecamatan Banda
dikelilingi laut yang luas, sehingga iklim laut didaerah ini berlangsung seirama
dengan iklim musim yang ada. Secara Administratif Kecamatan Banda berada
di Kabupaten Maluku Tengah provinsi Maluku dan terdiri dari 18 Desa terdiri
dari Pulau Rhun, Pulau Ay, Lonthoir, Pulau Hatta, Selamon, Kampung Baru,
Dwiwarna, Rajawali, Merdeka, Nusantara, Waer, Tanah Rata, Uring-Tutra,
Lautang, Walling-Spanciby, Boiyauw, Dender dan Combir –Kaisastoren.1 Setiap
Desa di Banda disebut dengan Negeri sedangkan pemimpin negeri mendapat
julukan Raja Negeri. kepulauan Banda merupakan daerah yang produksinya
tidak berbasis pada pertanian. Tanaman pala bisa hidup berkelanjutan dari
angin dan curah hujan serta iklim belerang vulkanik. Salah satu pulau di
gugusan kepulauan Banda, yakni Pulau Run tidak mempunyai sumber mata
air. Kebutuhan air bersih seperti mandi, mencuci dan memasak dipenuhi oleh
warga setempat dengan menampung air hujan. Rumah penduduk di Pulau
Run telah dilengkapi dengan rancangan sistem penampungan air hujan. Kolam
1 Sumber: Kecamatan Banda dalam angka 2017 terbitan Badan Pusat Statistik Maluku Tengah
10 | Jalur Rempah dan Dinamika Masyarakat Abad X - XVI
penampungan air hujan di Benteng Eldorado berdiri pada abad ke-17 di atas
perbukitan dengan ukuran kolam besar masih tetap ada dan berfungsi.
Di Pulau Banda terdapat Gunung Api setinggi 670 meter dari permukaan
laut. Kompleks Gunung Api merupakan pulau sendiri yang dihuni oleh
puluhan keluarga yang mengelola tanaman perkebunan dan pertanian antara
lain kelapa, semangka, nenas, jamblang, mangga dan ubi-ubian serta sayur-
mayur. Gunung Api pernah meletus pada tahun 1615, 1720, 1810, 1891, dan
terakhir pada Mei 1988. Bisa dikatakan 30 tahun terakhir Gunung Api sedang
tidur.2
2 Menurut cerita penduduk setempat, ketika meletus pada Mei 1988 Gunung Api mengeluarkan
material dari perut gunung seperti batu dan debu pasir selama satu minggu terus-menerus, debu
vulkanik dan lemparan batuan mengarah menuju Pulau Ay (baca: Ai) yang berjarak sekitar 8 kilometer
dari Gunung Api.
Latar Belakang Historis Tiga Wilayah | 11
lain. Sementara itu, singkong ditanam di Neira, Banda besar dan Pulau Run
karena dibawa oleh Portugis pada awal abad ke-16. Produksi perkebunan dari
Kepulauan Banda hanya pala. Perkebunan pala senantiasa dijaga produksinya,
mulai dari penanaman, pemetikan buah, perlindungan pohon pala dari sinar
matahari dan penentuan harga pala.
Jauh sebelum datangnya orang-orang Cina dari Asia Timur dan orang-
orang Arab dari Asia Barat, masyarakat Banda telah menjalani zaman purbakala
atau kuno. Sejarah masyarakat Banda pada zaman kuno tidak lepas dari ikatan
interaksi dengan masyarakat Maluku Tenggara. Masyarakat Maluku Tenggara
yang mencakup Kepulauan Banda, Kepulauan Seram, Pulau Kei, Aru Ambon
dan Hitu. Dari temuan-temuan arkeologi di Kepulauan Seram, Ambon dan
Banda orang – orang Banda mempunyai kebudayaan dengan sistem religi
penghormatan kepada leluhur. Mereka menempatkan persembahan mereka di
meja-meja batu yang ditunjang dengan dolmen (batu pemali) sebagai bagian
dari zaman megalitikum.3 Kebudayaan yang serupa di seluruh kepulauan
Maluku adalah upacara “Bersih Negeri” atau kewajiban untuk menjaga desa,
Juga mereka mempunyai forum untuk memecahkan persoalan bersama atau
yang disebut Kakehang (musyawarah).
3 Di negeri Soya di lereng bukit Sirimau terdapat altar batu, kursi batu dan dolmen (batu pemali).
Hal yang sama terdapat pula di negeri lama Amahusu. Kedua situs arkeologi ini jaraknya tidak berjauhan
masih di sekitar Kepulauan Seram. Untuk hal ini lihat. Dr. Santoso Soegondho et.al. Survai Kepurbakalaan
Maluku (Seram dan Ambon) Tahun 1994. Maluku: Bagian Proyek Penelitan Purbakala, 1994, hlm. 15.
12 | Jalur Rempah dan Dinamika Masyarakat Abad X - XVI
meramu dan berburu, serta menangkap ikan dengan prou (perahu kecil). Hasil
tangkapan ikan sebagian mereka konsumsi dan sebagian mereka tukarkan
dengan rempah-rempah.
Sedangkan kebutuhan pokok beras dan garam, mereka impor dari pantai
utara Jawa dan pelabuhan Makassar. Pedagang pesisir utara Jawa, terutama
saudagar Gresik mendapatkan beras dari Jepara dan Demak, dan komoditi ini
didistribusikan ke kepulauan Banda. Demikian pula, di Makassar pada awal
abad ke-17 telah muncul saudagar grosir beras yang menempatkan agennya di
Banda, agar pertukaran beras dengan pala dan fuli dapat berjalan lancar.
4 Menurut Songhuiyao, Song Shi dan sumber lainnya, cengkeh dan pala diekspor kembali ke Cina
oleh perwakilan dagang dari Champa, Jawa, Sriwijaya, Chola dan Butuan, dan menurut Dade Nanhai
Zhi, rempah-rempah ditemukan di kalangan para shinhei yang dibawa ke Guangzhou di dermaga kapal
asing. Untuk hal ini lihat. Rodrich Ptak. “The Northern Trade Route to Spice Islands-Zulu Zones-North
Moluccas (14th early 16th century)” Archipel, volume 43, 1992, hlm. 27-56.
5 Pate Yusuf lahir di Malaka dan orangtuanya adalah pedagang dari Gresik. Ketika aktif sebagai
pedagang grosir yang menghubungkan Malaka-Jawa-Banda, Pate Yusuf berumur 50 tahun. Untuk hal ini
lihat. Tome Pires. The Suma Oriental. London: Hakluyt Society, 1944, hlm. 191.
14 | Jalur Rempah dan Dinamika Masyarakat Abad X - XVI
6 Para orang kaya itu merupakan penguasa-penguasa lokal di bawah penguasa yang lebih luas
kekuasaannya yang disebut Rat dan Raja ataupun Halaai. Besar kemungkinan tatanan masyarakat yang
dikembangkan ialah sistem kesatuan hidup yang membagi anggota-anggota masyarakat kedalam strata
sosial tertentu seperti kasta. Untuk hal ini lihat. R.Z. Leirissa et.al. Sejarah Kebudayaan Maluku. Jakarta:
Dirjen Kebudayaan, 1999, hlm. 112.
Latar Belakang Historis Tiga Wilayah | 15
Temuan survei arkeologi itu berupa beragam jenis gerabah yang dibuat
oleh kaum perempuan di desa Ouw untuk keperluan rumah tangga. Gerabah
dipergunakan untuk peralatan makan dan minum, serta peralatan memasak.
Bahan-bahan yang dipergunakan untuk pembuatan gerabah itu adalah tanah
liat, pasir, tanah untuk memberikan warna, serta bahan bakar yang meliputi
alang-alang, daun sagu, gaba-gaba, kayu, bambu, daun pisang kering dan
pelepah daun kelapa. Bahan pembakaran yang dipergunakan menunjukkan
kesesuaian dengan lingkungan etnografinya. Demikian pula kandungan bahan
gerabah itu meliputi tanah liat dan pasir laut dengan perbandingan 2:5.7
7 Biasanya di daerah lain yang kehidupan masyarakatnya jauh dari pantai, gerabah terbuat dari
tanah liat dan campuran sekam padi atau tanpa campuran. Untuk hal ini lihat. Dr. Santoso Soegondho
et.al. Laporan Penelitian Arkeologi Bidang Prasejarah. Survei Kepurbakalaan Maluku (Seram dan Ambon
Tahun 1994). Maluku: Bagian Proyek Penelitian Purbakala, 1994, hlm. 25.
8 Santoso Soegondho. Op.Cit. Survei Kepurbakalaan… hlm. 27.
16 | Jalur Rempah dan Dinamika Masyarakat Abad X - XVI
9 Jarak tempat bahan baku dengan tempat pembuatan gerabah itu antara 0,5 sampai 1 kilometer.
Santoso Soegondho. Op.Cit. Survey Kepurbakalaan…., hlm. 21.
10 Panjangnya sekitar 120 cm serta lebar sekitar 25 cm dengan ketebalan sekitar 10 hingga 15 cm.
Op.Cit. Santoso Soegondho. Survey Kepurbakalaan…, hlm. 15.
11 Dolmen ini meliputi batu datar berbentuk lonjong berukuran antara 70-80 cm dengan
ketebalan 11 cm, ditopang oleh empat buah tonggaj batu yang berukuran tinggi 60 cm berketebalan 11
cm. Op.Cit. Survei Kepurbakalaan..., hlm. 19.
18 | Jalur Rempah dan Dinamika Masyarakat Abad X - XVI
Ming.12
Ekskavasi arkeologi pada ukuran waktu 1996 hingga 1998 yang dilakukan
oleh Universitas Brown, Amerika Serikat bekerjasama dengan Yayasan Warisan
Kebudayaan dan Sejarah Banda Neira serta Fakultas Pertanian Universitas
Pattimura ditemukan adanya benda-benda perdagangan asing, termasuk
keramik Eropa, dan Asia bercampur dengan produksi keramik lokal. Di
penggalian lapisan tengah ditemukan kandungan gerabah antara lain sebuah
“beaver”, gerabah dengan pola hiasan, termasuk sisa letusan gunung berapi. Di
lapisan galian terbawah juga diperoleh tulang dan gigi babi.
15 Upacara “Cuci Parigi” dan upacara “Cuci Negeri” sangat berbeda. Pertama, upacara “Cuci
Parigi” hanya dilakukan di desa Lonthoir, pelaksanaan upacara dirayakan oleh seluruh penduduk Banda
Naira. Kedua, Nilai historis yang terkandung di dalam peringatan “Cuci Parigi” merupakan ide-ide
perjuangan dan sikap penuh pengorbanan para leluhur mereka yang berani melawan penjajahan di
tanah Belanda, meskipun harus mengorbankan nyawa, harta, dan keluarga mereka yang hilang tanpa
tanda jasa.
Latar Belakang Historis Tiga Wilayah | 21
Negeri Waraka dan Rohawa, Maluku Tengah. Keramik Cina yang berbentuk
piring berwarna biru-putih diperkirakan berasal dari Dinasti Ming yaitu
sekitar 800 tahun yang lalu. Konteks dari temuan artefak itu memperlihatkan
di Maluku Tengah telah berlangsung hubungan dengan negeri Cina. Bisa
pula, keramik tersebut dibawa oleh pedagang Ambon dari Sumbawa. Artinya
keramik itu telah dipertukarkan oleh orang-orang Cina kepada orang-orang
Kepulauan Sunda Kecil. Manik-manik yang ditemukan di Rohuwa dan Waraka
merupakan peninggalan turun-temurun dari nenek moyang mereka. Manik-
manik ini memiliki berbagai fungsi, baik sebagai perhiasan atau perlengkapan
upacara maupun sebagai benda magis religius. Manik-manik bisa juga sebagai
tanda hirarki sosial atau simbol status dari orang yang memilikinya. Misalnya
orang-orang dari golongan Patasiwa memakai manik-manik yang mewah
dengan susunan banyak dan orang dari golongan Patalima hanya mengenakan
rangkaian yang sederhana dan hanya sedikit.16 Pada era perdagangan abad ke-
15-16, manik-manik menjadi salah satu barang dagangan yang dipertukarkan
dengan rempah-rempah oleh pedagang Sumbawa.
Tradisi lisan ini akan menjadi lebih jelas diwujudkan dalam kesenian tari
Cakalele (tentara/penjaga) di mana kelompok orang lima mempunyai lima
penari dan kelompok orang sembilan mempunyai sembilan penari. Status
penari-penari itu bisa dilihat dari pakain penari bercakalele, seperti kapitan
(pimpinan) memakai kapsete (topi tembaga), sedangkan penari lainnya
berstatus hulubalang tengah mewakili raja, dua prajurit yang disebut maksi
berpakaian bertutup kepala sesuai dengan kebudayaan mereka. Pakaian-
pakaian asli Banda tersebut yang telah dipergunakan sehari-hari sebelum
16 Seluruh desa adat di Banda Naira menganut sistem adat Patalima yang bermakna orang lima.
Sementara, hanya di desa Lonthoir menganut sistem Patasiwa yang berarti orang sembilan. Untuk hal ini
lihat. Dr. Muhammad Farid, M.Sos. dan Najiwa Amsi Spd. Msi. “Studi Masyarakat Banda Naira: Sebuah
Tinjauan Sosiologis-Anthropologis,” Paradigma, Vol. 3. Februari 2017, hlm. 1-16.
22 | Jalur Rempah dan Dinamika Masyarakat Abad X - XVI
17 Farid. Op.Cit., “Studi Banda…. Paradigma. Vol. 3, Februari 2017, hlm. 1-16.
18 Sultan Ternate pernah menempatkan salah seorang keluarganya di Seram sebagai penguasa
atau wakil Sultan Ternate. Wakil inilah yang melalui jalan damai dan kekerasan bersenjata telah
menancapkan dan melebarkan kekuasaan Ternate atas kekuasaan tersebut. Des Alwi. Op.cit. Sejarah
Maluku….hlm. 8-9.
Latar Belakang Historis Tiga Wilayah | 23
Raja Sahulau (Tidore) sebagai kakak menerima 9 bagian dari daerah yang
direbut sebagai daerah kekuasaannya, sedangkan adiknya Sultan Ternate
memperoleh lima bagian. Di zaman kuno, sebelum kedatangan orang-
orang asing kawasan Maluku Tengah sudah terbagi atas kelompok Siwa dan
kelompok Lima. Patalima hampir semua beragama Islam yang berkuasa atau
yang berpengaruh, sedangkan pada Patasiwa orang bukan Islam yang berkuasa.
19 Dinasti Ming didirikan pada 1368, menggantikan Dinasti Yuan, yang mewakili periode
dominasi asing (Mongol). Penguasa Ming pertama, emperor Hongwu, berupaya untuk mengembalikan
nilai-nilai kepercayaan Cina, menegakkan kembali peraturan hubungan Cina dengan luar negeri yang
terus tumbuh leluasa sejak Dinasti Song (berdiri 960). Kebijakan ini mempunyai dampak besar antara
perdagangan Cina dengan Asia Tenggara. Selama kekuasaan Ming Ketiga, emperor Yongle, sejumlah misi
kerajaan telah dikirim keseberang lautan. Rekaman misi perdagangan ini sebagian besar dihancurkan
pada paruh pertama abad ke-15, ketika Cina memasuki periode Isolasionisme, hanya beberapa yang
dapat diselamatkan. Untuk hal ini lihat. John Miksic. An Historical Dictionary of Ancient Southeast Asia.
Lanham, Maryland: The Sacrecrow Press. Inc, 2007, hlm. 253
20 Bandar-bandar niaga di Maluku merupakan jaringan perdagangan interregional yang
menghubungkan dengan wilayah pelabuhan lainnya dengan pesisir utara dan tengah Jawa, Sulawesi,
Sumatera, Kalimantan, Papua bahkan daerah Kepulauan Asia Tenggara. Untuk hal ini lihat. Wuri
Handoko. “Aktifitas Perdagangan Lokal Di Kepulauan Maluku Abad ke 15-19. Tinjauan Awal Berdasarkan
Data Keramik Asing dan Komoditas Lokal,” Kapata Arkeologi Vol. 3, No. 4, Juli 2007, hlm. 100-118.
24 | Jalur Rempah dan Dinamika Masyarakat Abad X - XVI
21 Sebagai contoh kain-kain Gujarat yang berkualitas dipertukarkan kepada pedagang Gresik
kemudian mereka simpan untuk diekspor kembali ke Kepulauan Banda.
22 Untuk hal ini lihat. Hadimulyono and C.C. Macknight. “Imported Ceramics in South Sulawesi,”
Review of Indonesian and Malaysian Affairs (RIMA), Vol. 17, Winter 1983, hlm. 66-88.
Latar Belakang Historis Tiga Wilayah | 25
Penemuan keramik dari Vietnam di situs Banda Naira dari abad ke-
15, yang dibawa dari pelabuhan Annam. Orang-orang Vietnam sejak abad
ke-14 tidak lagi terlibat dalam pelayaran perniagaan di Selat Malaka atau
kepulauan Maluku, mereka langsung berlayar ke pelabuhan Guangdong di
Cina. Kemungkinan besar, keramik Vietnam itu dibawa oleh pedagang Cina
ke pelabuhan Banda dan distribusikan di sana.23 Teknik produksi keramik
Vietnam tampaknya sama maju dengan produksi Cina, paling tidak dari masa
pendudukan Dinasti Han atas negeri tersebut. Masa yang paling inovatif dari
tempat-tempat pembakaran di daerah Hanoi dan Thanh-hoi ialah abad ke-14
dan ke-15, ketika warna hitam besi dan warna biru kobalt yang lebih banyak
dikenal dipakai untuk menghasilkan bentuk-bentuk yang khas dari jenis
kaligrafi yang meliuk-liuk dan dibawahnya dicampur kaca.
23 Meskipun ekspor keramik Vietnam memuncak pada akhir abad ke-14, ekspor itu menurun
pada akhir abad berikutnya karena Vietnam menunjukkan sikap permusuhan atau tidak tertarik dengan
meningkatnya arus perdagangan dari luar negeri. Untuk hal ini lihat. Anthony Reid. Asia Tenggara
Dalam Kurun Niaga 1450-1680. Jilid 2: Jaringan Perdagangan Global. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia,
2015, hlm. 76.
24 Di kalangan orang-orang Maluku Tengah, porselen dan keramik digunakan untuk ritual
perkawinan, upacara keagamaan dan upacara peperangan. Untuk hal ini lihat. W. Handoko. Op.Cit.
Aktifitas Perdagangan… hlm. 100-118.
26 | Jalur Rempah dan Dinamika Masyarakat Abad X - XVI
berlangsung mulai abad ke-13 hingga puncaknya pada abad ke-16.25 Keramik
campur kaca berkualitas tinggi dari Cina, merupakan komoditi utama untuk
perdagangan jarak jauh. Benda-benda itu dihias dengan indah dan dibakar
dengan temperatur yang jauh lebih tinggi daripada yang dilakukan pada tempat
pembakaran di Asia Tenggara. Piring-piring dan mangkuk-mangkuk menjadi
barang yang tinggi nilai dan statusnya. Di Maluku dan Sulawesi piring dan
mangkuk ditempatkan di seputar jasad orang meninggal di saat pemakaman,
untuk menemani almarhum dalam perjalanan ke dunia lain.26
25 Hadimulyono and C.C Macknight. Op.Cit. Imported Ceramic…dalam, RIMA, hlm. 66-88.
26 Pada abad ke-14 di Jawa, Bali dan Sulawesi Selatan, keramik Cina dipakai sebagai penghias
masjid, makam dan istana.
27 Sebagian besar keramik hadiah dari pejabat VOC untuk orang kaya Banda masih tersimpan di
Museum Yayasan Warisan Sejarah Kebudayaan Banda di kota Naira.
28 | Jalur Rempah dan Dinamika Masyarakat Abad X - XVI
berasal dari Dinasti Ming, 28 persen dari “Swatow,” dan kurang dari 1 persen
dari Dinasti Yuan.28
Tome´ Pires seorang ahli apoteker Portugis yang bekerja untuk Kerajaan
Portugis di Asia mencatat bahwa pedagang-pedagang Jawa dan Malaka setiap
tahun berlayar ke Maluku dan Kepulauan Banda membawa pakain katun dan
sutra dari Cambay32, Koromandel dan Bengali. Perjalanan mereka ke pelabuhan
Banda melalui rute “Jawa” atau selatan yang dapat singgah di sejumlah bandar
di pelabuhan pantai utara Jawa seperti Jepara dan Gresik.33 Di Gresik mereka
menurunkan sebagian pakaian tenun yang dibawa dari Malaka. Kemudian,
melanjutkan pelayaran, singgah di Sumbawa dan Bima untuk mendapatkan
pasokan air dan makanan. Di sana, mereka juga membeli beras dan kain tenun
kasar yang juga diminati di Banda. Akhirnya, di pasar Kepulauan Banda, beras
dan kain tenun kasar mereka pertukarkan dengan pala dan fuli.
Produsen kain katun yang juga berasal dari pesisir barat India adalah
Koromandel. Telah terselenggara pelayaran langsung dari sana ke pelabuhan
Malaka. Bagi orang-orang Koromandel pada abad ke-15-16 pasar Indonesia
begitu penting bagi produksi tekstil mereka.36 Tekstil Koromandel mencakup
kain katun murah dan mahal. Diperkirakan setiap tahun ada tiga atau empat
kapal yang berlayar dari Koromandel ke pelabuhan Malaka. Kargo setiap kapal
diperkirakan bernilai 12.000 hingga 15.000 Crusado. Di Malaka orang-orang
Koromandel membeli cendana putih, kamper, tawas, mutiara, lada, pala, fuli
dan cengkeh. Hanya sebagian kecil dari ketiga rempah terakhir yang dibawa ke
Koromandel.37
20 macam. Kain ini teksturnya sangat halus. Kain ini sangat diminati di
wilayah Indonesia. Keuntungan besar dapat diraih dari ekspor kain-kain ini
di pelabuhan Malaka. Produk kain Benggala sebagian besar mereka tukarkan
dengan cengkeh, pala dan fuli.
Dari tiga kota pelabuhan pesisir barat India sebagai penghasil tekstil tidak
satupun dari mereka yang berdagang langsung ke Kepulauan rempah-rempah.
Meskipun, produk tekstil mereka digemari di Kepulauan Banda. Produk kain
katun dari Gujarat, Koromandel, dan Benggala hanya alih muat di pelabuhan
Malaka. Setiap tahun pedagang Gresik yang bertolak dari pelabuhan mereka
dengan kargo membawa rempah-rempah seperti cengkeh, pala dan fuli
berlayar ke Malaka. Mereka kembali dari pelabuhan Malaka dengan kargo
penuh dengan kain-kain produk dari pesisir barat India. Kadangkala orang-
orang Banda dengan armada jung berlayar ke bandar Gresik dengan membawa
kargo memuat cengkeh, pala dan fuli. Kemudian, mereka kembali dengan
kargo penuh dengan dengan kain-kain katun itu untuk didistribusikan kepada
penduduk Kepulauan Banda.38
38 Kenneth Hall. A History of Early Southeast Asia: Maritime Trade and Societal Development 100-
1500. Lanham: Rowman and Littlefield, 2011, hlm. 317.
39 Pires. Op.cit. Suma Oriental, hlm. 198.
40 Pada awal abad ke-16 ketika perdagangan Jawa dengan Maluku dilakukan menggunakan jung-
jung kecil dengan tonase maksimum 40 ton. Sekitar 40 hingga 60 jung terlihat dalam perdagangan ini.
Untuk hal ini lihat. B.J.O. Schrieke. “Shifts In Political And Economic Power” dalam Indonesian Sociological
Studies. I: Selected Writings: II: Ruler and Realm in Early Java. The Hague: W.van Hoeve, 1957, hlm. 24
Latar Belakang Historis Tiga Wilayah | 33
41 Majunya perdagangan ini secara drastis menjadi kacau sejak tahun 1499 karena masuknya
kapal-kapal Portugis Ke Samudra Hindia. Orang-orang Portugis sedapat mungkin menenggelamkan atau
merampok setiap kapal Islam yang mengangkut rempah-rempah. Untuk hal ini lihat. Reid. Op.cit. Asia
Tenggara Dalam Kurun Niaga 1450-1680. Jilid 2, hlm. 17-18.
42 Dalam kitab Negarakertagama untuk wilayah Kepulauan Maluku disebutkan nama tempat di
antaranya Ambwan (Ambon), Maloko (Maluku), dan Wandan (Banda). Untuk hal ini lihat. Theodore. G.
Th. Pigeaud. Java in The 14th Century. A Study in Cultural History. The Hague: Martinus Nijhoff, 1962,
hlm. 34.
43 Rekaman inskripsi pasca abad ke-9 menjelaskan pembangunan komponen utama untuk sistem
pengairan persawahan dari Sungai Brantas, yakni bendungan, pintu air dan kanal. Untuk hal ini lihat.
Hall. Op.cit. A History Early Southeast Asia…, hlm. 138.
44 Pigeaud. Op.cit. Java In The 14 Century…hlm. 300-301.
34 | Jalur Rempah dan Dinamika Masyarakat Abad X - XVI
ton ke Maluku dan Banda. Pelabuhan lainnya yakni Surabaya dan Demak
menjual beras kepada orang-orang Maluku, Ambon, (Hitu) dan Ternate.
Sebaliknya orang-orang Banda dan Ternate menjual Pala dan Cengkeh kepada
saudagar pesisir utara Jawa.48
51 Di pelabuhan-pelabuhan Gresik dan Jaratan di produksi garam dengan kualitas yang baik.
Produk garam itu mereka jual ke Banda dan Maluku, atau sebaliknya pedagang Banda membelinya ke
pelabuhan Gresik dan Jaratan. Reid. Ibid., Asia Tenggara …, hlm. 33.
52 Secara periodik orang kaya harus diberikan hadiah agar mereka dapat bernegosiasi dengan
perwira VOC. Willard A. Hanna. Kepulauan Banda. Kolonialisme dan Akibatnya di Kepulauan Pala.
Jakarta: Yayasan Obor Indonesia-Gramedia, 1983, hlm. 11.
Latar Belakang Historis Tiga Wilayah | 37
Pada 1608, datang armada baru Belanda yang dipimpin oleh Pieterzoon
53 Pulau Run tidak mempunyai aliran sungai dan sumber mata air. Pasokan air bersih hanya bisa
diperoleh dari menampung air hujan. Orang-orang Inggeris membuat penampungan air bersih diatas
bukit di benteng Eldorado.
38 | Jalur Rempah dan Dinamika Masyarakat Abad X - XVI
Pada awal 1609, Verhooven yang sudah tidak sabar atas pelanggaran
monopoli yang terus-menerus dilakukan oleh orang kaya, membuat dia
ingin menyelesaikan perundingan secepatnya. Seiring dengan itu Verhooven
membangun benteng Nassau di tepi pantai Neira. Pembangunan benteng itu
membuat orang kaya khawatir dengan ramalan kekuasaan rambut merah.
Mereka mengirim perwakilan untuk bertemu dengan Verhooven untuk
mengantakan sepakat dengan perundingan yang tempatnya ditentukan
Verhooven.
Perangkap yang jitu dari orang-orang kaya Banda membuat VOC mundur
ke Pulau Banda Neira. Mereka membuat perjanjian kepada penduduk Neira,
bahwa “Banda Neira untuk selama-lamanya dikuasai oleh kerajaan Kerajaan
Belanda”. Juga setiap kapal yang masuk ke Neira harus diperiksa di depan
54 Untuk hal ini lihat. Bernard H.M. Vlekke. Nusantara. Sejarah Indonesia. Jakarta: Kepustakaan
Populer Gramedia, 2017, hlm. 148.
Latar Belakang Historis Tiga Wilayah | 39
benteng Nassau. Banyak orang Banda yang tinggal di Neira sudah putus asa
dengan keputusan ini pindah dari rumah-rumah mereka ke bukit-bukit dan
pulau-pulau terdekat.
Banda Neira pada paruh pertama perempat abad ke-17 telah dihuni oleh
para mardijker (budak yang telah merdeka), burgher (orang Belanda bebas yang
telah keluar dari dinas VOC) dan orang Cina—tetapi pulau itu tidak banyak
menghasilkan buah pala. Pada 1616, armada Belanda yang dipimpin oleh
Dirksen t’Lam tiba di Banda meliputi 12 kapal dan 10.000 serdadu. Belanda
memandang orang-orang Inggeris yang menjadi kendala bagi berlangsungnya
monopoli rempah-rempah Belanda karena orang-orang kaya menjualnya pala
kepada orang-orang Inggeris dari produksi Pulau Banda Besar. Penyerangan
pasukan Belanda ke Pulau Ay yang dipimpin oleh t’ Lam berhasil membuat
40 | Jalur Rempah dan Dinamika Masyarakat Abad X - XVI
Kekejaman yang luar biasa dilakukan oleh J.P. Coen terhadap orang-
orang kaya dengan memasukkan ke kapal Dragon dan berlayar ke Neira untuk
membawa mereka ke Benteng Nassau. Terdapat 44 orang kaya yang dibawa dari
Lonthoir, kedua tangan mereka diikat erat-erat dan dimasukkan ke kerangkeng
bambu. Kemudian, bagian tubuhnya seperti tangan, kaki dan kepala dimutilasi
oleh tentara Jepang. Peristiwa pembantaian tak berperikemanusiaan ini
disaksikan oleh orang tua, istri dan anak-anak korban agar mereka di masa
depan jera untuk melawan kekuasaan Belanda.57 Peristiwa ini juga disiarkan
dengan cepat ke penduduk Inggeris di Pulau Run. Mereka merespons berita
55 Orang-orang asli Banda menyebut identitas mereka sebagai Wandan, sesuai dengan dialek
bahasa mereka. Terdengar oleh orang Betawi menjadi Bandan. Di Batavia tiga belas “orang kaya” telah
dihukum mati, karena bersama dengan beberapa orang Jawa terlibat dalam dalam suatu komplotan
untuk membunuh Coen. Untuk hal ini lihat. Hanna. Op.cit. Kepulauan Banda.., hlm. 57.
56 Lima ratus tiga puluh orang Banda yang rindu kampung halaman, melarat dan menimbulkan
banyak kesulitan kemudian dikirim kembali ke Banda. Untuk hal ini lihat. Bernard H.M. Vlekke.
Nusantara: A History Of The East Indian Archipelago. Mass: Cambridge Press, 1943, hlm. 342.
57 Replika lukisan dari suasana pembantaian orang-orang kaya itu yang berlangsung di Benteng
Nassau terdapat di Museum Yayasan Warisan Budaya dan Sejarah Banda.
Latar Belakang Historis Tiga Wilayah | 41
Gambar 2.5 Pala dan Fuli Banda Sebagai salah satu Rempah
yang Paling Berharga
Sumber: Ahmad Faizin, Ekspedisi Jalur Rempah, Kemendikbud 2017
Pulau Sumatera
yang tak kalah penting dalam jual-beli di pasaran seperti halnya pala, cengkeh
dan lada. Bandar atau pelabuhan-pelabuhan di berbagai wilayah Nusantara
mulai dari Aceh, Bangka, Jambi, Palembang, kemudian Banten, Semarang,
Lasem, Tuban, Gresik, hingga Banjarmasin, Makassar, dan Banda menjadi
tujuan saudagar-saudagar berbagai negeri atau Nusantara untuk mendapatkan
barang-barang yang dibutuhkan oleh pasar Eropa, Timur Tengah, Asia Tengah,
India, Cina dan kawasan Asia Tenggara.
59 Lihat Denys Lombard. Kerajaan Aceh: Zaman Sultan Iskandar Muda (1607-1636). Jakarta:
Kepustakaan Populer Gramedia, Forum Jakarta-Paris, École française d’Extrême Orient, 2014, hm 59-60.
Latar Belakang Historis Tiga Wilayah | 45
60 Lihat Mestika Zeid, Saudagar Pariaman: Menerjang Ombak Membangun Maskapai. Jakarta:
LP3ES, 2017, hlm 16-24; Gusti Asnan. Dunia Maritim Pantai Barat Sumatera. Yogyakarta: Ombak, 20017,
hlm 53-54.
46 | Jalur Rempah dan Dinamika Masyarakat Abad X - XVI
Pariaman, Tiku sampai ke Barus dan Aceh Barat. Minangkabau di bagian barat
menjadi hulu bagi pantai timur. Istilah hulu-hilir dalam masyarakat maritim
seperti Sumatera selain menjadi konsep ruang atau geografis, juga menandai
suatu kebudayaan dalam masyarakatnya. Masyarakat yang berada di hilir
misalnya karena interaksinya dengan dunia luar atau seringnya pertemuan
dengan beragam masyarakat dipandang memiliki pandangan atau budaya
yang lebih terbuka daripada masyarakat hulu. Pandangan bahwa pantai timur
sebagai daerah rantau setidaknya bagi masyarakat Minangkabau menunjukkan
bahwa wilayah seputar Jambi, Bangka dan Palembang menempati kedudukan
penting bagi mereka. Daerah-daerah tersebut dipandang membuka jalan bagi
masyarakat yang berada di hulu untuk menjalin kontak atau hubungan dengan
masyarakat lain di kawasan Selat Malaka, Pantai Utara Jawa, atau bagian barat
dan selatan Kalimatan. Secara geografis, ketiga daerah tersebut juga membuka
jalan bagi hubungan niaga antara hulu dan hilir di wilayah tersebut dan kota-
kota lain di Nusantara. Posisi strategis bagian tengah Sumatera seperti Jambi
misalnya menempatkan kota ini sebagai salah satu wilayah yang penting dalam
arus pelayaran dan perniagaan Sumatera.
dagangan unggulan di pasaran berasal dari daerah pedalaman atau hulu sungai
Batang Hari. Pengangkutan lada dari wilayah hulu menuju hilir bertumpu pada
transportasi sungai di wilayah bagian tengah Sumatera seperti halnya Jambi. Di
perairan sungai Batang Hari mampu dilayari oleh kapal-kapal hingga bobot 20
ton dengan jarak tempuh hingga 300 km ke arah hulu. Batang Hari mempunyai
banyak anak sungai yang juga menjadi urat nadi pelayaran dan perniagaan di
Jambi antara lain Sungai Tembesi, Merangin, Bungo, Tebo. Anak-anak Batang
Hari itu hingga kini masih digunakan oleh penduduk untuk melakukan
berbagai aktivitas termasuk misalnya mengangkut hasil-hasil perkebunan atau
pertanian dari hulu menuju hilir. Sungai terpanjang ini berujung pada pantai
timur Sumatera, sekaligus menghubungkan wilayah Jambi dengan laut lepas
dan Selat Malaka yang tergolong sangat sibuk dan padat dengan kapal-kapal
berbagai ukuran dan muatan.
Para saudagar yang menuju Sumatera dari India yang semula bertujuan
mencari hasil-hasil hutan yang sangat diminati misalnya damar, kamper, dan
kemenyan, dalam perkembangannya kemudian berkembang membawa tujuan
61 Lihat Jane Drakard. “An Indian Ocean Port: Sources of the Earlier History of Barus,” Archipel,
Vol 37, 1989, hlm 53-82; Claude Gulliot (Ed.). Lobu Tua Sejarah Awal Barus. Jakarta: Yayasan Obor
Indonesia, École française d’Extrême Orient, Pusat Arkeologi Nasional, 2014.
48 | Jalur Rempah dan Dinamika Masyarakat Abad X - XVI
lain yakni menyebarkan agama Buddha dan Hindu di luar India. Sumatera
menjadi salah satu pelintasan dan persinggahan para rohaniwan agama Buddha
dan Hindu dalam menyebarkan agama mereka. Para rohaniwan kedua agama
tersebut berlayar menuju Nusantara dengan menaiki kapal-kapal niaga yang
berlayar menuju timur atau melintasi Selat Malaka yang mengangkut berbagai
komoditas yang akan diperjualbelikan di kota-kota sepanjang Semenanjung
Malaya, kawasan Indocina dan bahkan ke Cina, Aceh dan dan Sumatera Utara,
atau menuju pantai timur Sumatera hingga ke Banten dan Pulau Jawa atau
bagian timur Nusantara.
Sumatera hingga Selat Malaka dan Indocina. Ruang sosial Kerajaan Sriwijaya
yang menunjukkan seberapa jauh pengaruhnya di luar Sumatera hingga ke
India menunjukkan luasnya pengaruh kerajaan ini baik melalui kontak ekonomi
maupun politis. Ruang sosial Sriwijaya ditunjukkan oleh Pierre-Yves Manguin
dalam sebuah peta dengan menunjukkan bentang kekuasaan Sriwijaya saat
berkuasa berdasarkan prasasti-prasasti yang ditemukan di beberapa tempat.
Dalam peta itu, sejumlah prasasti Melayu kuno yang tidak berkaitan dengan
Sriwijaya (abad ke-8-11), maupun prasasti Sanskerta dan Cina yang ditulis atas
nama Raja Sriwijaya (abad ke-9-11) ditemukan di India dan Sumatera. Dalam
ruang sosial Sriwijaya itu, pertama, lingkup kekuasaan politik Sriwijaya berada
di sekitar Palembang atau bagian tengah Sumatera. Kedua, lingkup interaksi
dan kontak ekonomi dan politik Sriwijaya menjangkau hingga ke kawasan Selat
Malaka, Semenanjung Malaya, kawasan Indocina, sebagian besar Kalimantan,
dan sebagian Jawa. Ketiga, lingkup ekonomi dan relijius menjangkau hingga
ke sebagian barat dan tengah India, selatan Cina, Filipina, Kepulauan Maluku
dan Banda, hingga Nusa Tenggara. Keempat, lingkup luar pertukaran ekonomi
meluas hingga bagian barat Afrika, Timur Tengah, dan Asia Tengah.63
63 Lihat Pierre-Yves Manguin. “Sifat Amorf Politi-politi Pesisir Asia Tenggara Kepulauan: Pusat-
pusat yang Terbatas, Pinggiran-pinggiran yang Meluas,” dalam George Coedes (et.al). Kedatuan
Sriwijaya. Depok: École française d’Extrême Orient, Pusat Arkeologi Nasional, Komunitas Bambu, 2014,
hlm 335.
Latar Belakang Historis Tiga Wilayah | 51
tentulah lebih penting daripada Palembang, yang hanya disinggahi oleh kapal-
kapal dalam pelayaran antara Selat Malaka dan Pulau Jawa.64
Gambar 2.6 Gambaran Sungai Muaro Jambi sebagai Ruang Sosial di Jambi
Sumber: Agus Widiatmoko, Dokumentasi Pribadi, 2017
Wilayah lain di Jambi yang juga menjadi ruang sosial dan penting
kedudukannya karena letaknya yang mengarah ke laut lepas dan sering kali
disebut dalam berbagai catatan-catatan bangsa Arab adalah Zabak.65 Disebutkan
bahwa Zabak letaknya berhadapan dengan negeri Cina. Jarak antara keduanya
ditempuh dalam satu bulan pelayaran, bahkan kurang jika tiupan angin
musim membantu. Raja Zabak dikenal dengan nama maharaja. Luas kota ini
diperkirakan 900 parasange [ukuran parasange itu setara kira-kira 6,25 km].
Raja Zabak disebutkan pula berdaulat atas banyak pulau yang terbentang sejauh
64 Slamet Muljana. Kuntala, Sriwijaya dan Suwarnabhumi. Jakarta: Yayasan Idayu, 1981, hlm 51-
53.
65 Zabak –seperti diucapkan oleh penduduk Jambi– sebagai nama tempat di muara Batang Hari
terkadang ditulis dengan Zabak, Zabag, atau Zabaj. Untuk tulisan ini digunakan dengan nama Zabak.
Lihat Nilakanta Sastri. “Sri Vijaya,” Bulletin de l’Ecole français d’Extrême-Orient, Tome 40 No 2, 1940,
hlm 239-313.
52 | Jalur Rempah dan Dinamika Masyarakat Abad X - XVI
Dalam catatan lain yakni dari ahli geografi Mas’udi pada tahun 995
tentang Zabak, kota di muara Batang Hari ini adalah kerajaan dari maharaja,
raja pulau-pulau Zabak, di antaranya Kalah [Kra] dan Sribuza dan pulau-
pulau lain lagi di Laut Cina. Raja-raja Zabak semuanya disebut dengan gelar
maharaja. Negeri kekuasaan Maharaja Zabak mempunyai banyak penduduk
dan balatentaranya tidak terhitung jumlahnya. Disebutkan pula bahwa tidak
seorang pun mampu menjelajahi pulau-pulau yang semuanya berpenghuni itu
dengan kapal yang paling cepat sekalipun dalam tempo dua tahun. Raja mereka
mempunyai jenis wewangian dan rempah lebih banyak dari raja mana pun.
Tanahnya menghasilkan kamper, kayu gaharu, cengkeh, kayu cendana, pala,
kardumunggu, kemukus dan sebagainya.68 Sementara itu Ibnu Batuta menyebut
Al-Jaway yang merujuk kepada pulau penghasil utama adalah damar. Istilah
tersebut tidak berhubungan dengan Jawa yang memang dikenal dengan istilah
Jawadwipa.
Pulau Jawa
khususnya pada abad ke-19, Pulau Kei menjadi salah satu pusat industri
galangan di kawasan Kepulauan Maluku dan Banda. Maluku menjadi tempat
penjualan kapal asal Pulau Kei, dan industri kapal Kei ini sekaligus menjadi
sumber ekspor bagi kepulauan tersebut.
Berdasarkan sumber prasasti dan karya sastera yang berasal dari seluruh
periode Jawa kuno yang meliputi kurun waktu 754 tahun, dapat diketahui
terdapat sekurang-kurangnya 50 raja pernah memerintah. Seluruh raja dapat
digolongkan ke dalam lima periode kerajaan, yakni Mataram (732-928),
Tamwlang-Kahuripan (929-1051), Janggala-Kediri (1052-1222) Singasari
(1222-1292) dan Majapahit (1293-1486).71
71 Dalam susunan politik kerajaan Jawa kuno, para penyelenggara pemerintahan di tingkat
kerajaan dapat dibagi ke dalam lima kelompok umum atas dasar peranannya dalam pemerintahan,
yakni para raja, dewan pertimbangan kerajaan, para pejabat non-keagamaan, para pejabat keagamaan
dan peradilan dan pejabat-pejabat lainnya. Untuk hal ini lihat. Rahardjo. Op.cit. Peradaban Jawa…, hlm.
53.
72 Keterangan tentang kronologi dari masa pemerintahan raja-raja ini sulit ditetapkan karena
masih menjadi persoalan mengenai identifikasi tokoh-tokohnya dan juga kurangnya data tentang masa
pemerintahannya.., Rahardjo. Ibid. Peradaban Jawa…, hlm. 454.
73 Prasasti Matyasih ditemukan di Matesih, Magelang Utara, Jawa Tengah. Prasasti yang disebut
dengan prasasti Balitung atau prasasti tembaga Kedu berangka 828 saka atau 907 M.., Achmad. Op.cit.
Raja-Raja Jawa…, hlm. 14.
56 | Jalur Rempah dan Dinamika Masyarakat Abad X - XVI
yang bernama Sanna. Dalam hal ini disebutkan Prasasti Canggal negeri Medang
didirikan pada 717 atau awal abad ke-8. Kerajaan Sanjaya berlokasi di dataran
tinggi Dieng, tidak diketahui secara pasti kapan raja Sanjaya berkuasa.
74 Sanggaramawijaya Tunggadewi yang merupakan putra sulung Airlangga tidak berkenan
menjadi raja Kahuripan, melainkan sebagai pertapa bergelar Dewi Killi Suci. Achmad. Ibid., Raja-Raja
Jawa…, hlm. 12.
75 Untuk hal ini lihat. Supratikno Rahardjo. Peradaban Jawa. Dari Mataram sampai Majapahit
Akhir. Depok: Komunitas Bambu, 2011, hlm. 53.
76 Rahardjo. Ibid., Peradaban Jawa…, hlm. 54.
Latar Belakang Historis Tiga Wilayah | 57
77 Terdapat pula teori perpindahan itu adalah akibat dari larinya petani Jawa Tengah yang ingin
menghindari kerja paksa membangun berbagai monumen di sana. Untuk hal ini lihat. Robert. W. Hefner.
Geger Tengger. Perubahan Sosial dan Perkelahian Politik. Jogjakarta: LKIS, 1999, hlm. 50.
78 Hefner. Ibid. Geger Tengger…, hlm. 51.
79 Rahardjo. Op.cit. Peradaban Jawa…, hlm. 57.
80 Rahardjo. Op.cit. Peradaban Jawa…., hlm. 58.
58 | Jalur Rempah dan Dinamika Masyarakat Abad X - XVI
83 Untuk hal ini lihat. Jan Wisseman Christie. “Javanese Market and the Asian Sea Trade Boom of
the Teenth to Thirteenth Centuries AD,” Journal of the Economic and Social History of the Orient (JESHO)
1998 (41), Vol. 3, hlm. 344-81.
84 Kenneth R. Hall. “Indonesia’s Evolving International Relationships in the Ninth to Early Eleventh
Centuries: Evidence from Contemporary Shipwreck and Epigrapraphy,” Indonesia 90 (Oktober 2010),
hlm. 15-31.
85 Christie. Op.Cit., Javanese Market…., hlm. 344-81.
86 Hall. Op.cit. Indonesia’s Evolving…., hlm. 15-31
62 | Jalur Rempah dan Dinamika Masyarakat Abad X - XVI
Jaringan jalan raya juga alat untuk mengangkut beras dan barang dagangan
sistem wajib pajak kepada negeri-negeri di luar Pulau Jawa hingga mencapai
Asia Tenggara. Relasi kekuasaan itu tidak hanya pemungutan upeti, akan
tetapi membentuk jaringan niaga tidak hanya dengan masyarakat di nusantara,
namun juga dengan dunia internasional yang berkembang pada waktu itu.
PRODUKSI REMPAH,
PELABUHAN DAN
JARINGAN PERNIAGAAN
DI NUSANTARA
Produksi Rempah, Pelabuhan dan Jaringan Perniagaan di Nusantara | 67
D
alam rantai perniagaan Nusantara, ada beberapa jalur yang digunakan
para saudagar untuk menjangkau wilayah Nusantara. Pertama, para
pedagang ini masuk melalui Selat Malaka kemudian menyusuri
sepanjang pantai timur Sumatera sebelum menuju Jawa, bagian tengah dan
timur Nusantara. Kedua, mereka menyusuri sisi barat Sumatera lalu melewati
Selat Sunda untuk menuju kota-kota lain di Jawa atau bagian selatan Kalimantan
hingga bagian tengah dan timur Nusantara. Para pedagang juga menggunakan
jalur utara dengan berlayar menyusuri sisi barat dan utara Kalimantan, bagian
utara Sulawesi lalu menuju Kepulauan Maluku dan Banda. Jalur-jalur pelayaran
dan perniagaan ini dahulu telah membentuk suatu jaringan antarbangsa di
wilayah Nusantara.1
Dalam jejaring pelayaran dan perdagangan itu selain melalui laut juga
tidak kalah pentingnya keberadaan sungai-sungai yang berada baik di sekitar
pesisir barat dan pantai timur Sumatera, Jawa, dan Kalimantan. Sungai menjadi
penghubung atau mata rantai antara hulu dan hilir untuk mengangkut berbagai
komoditas penting. Peran sungai dalam pelayaran dan perniagaan Nusantara
sepanjang abad ke-10 hingga ke-16 besar artinya dalam pembentukan jejaring
perniagaan dan juga interaksi antarbangsa di wilayah Nusantara. Jaringan
perniagaan yang terbentuk di Nusantara itu merupakan suatu proses sosial yang
terjadi ketika berlangsung transaksi komoditas antara pelaku perdagangan yang
mencakup penduduk atau saudagar Nusantara dengan bangsa-bangsa asing di
sepanjang pantai timur dan juga barat Sumatera.2 Dalam jejaring perniagaan
antarbangsa ini, pelabuhan dan pengelolaannya sebagai pusat perniagaan
menempati posisi penting dalam rantai pelayaran dan juga perniagaan.
1 Lihat Reid. Op.cit. Asia Tenggara Dalam Kurun Niaga Jilid 2, hlm 73.
2 Lihat Asnan. Op.cit., hlm 143.
68 | Jalur Rempah dan Dinamika Masyarakat Abad X - XVI
orang yang datang dari barat (India, Pegu dan Pasai), ketiga untuk mereka yang
berbahasa Melayu yang datang dari timur (termasuk Jawa, Maluku, Sumatera
bagian selatan, Kalimantan, Filipina), dan keempat untuk orang-orang Asia
Timur (Cina dan Ryukyu). Tata kelola kesyahbandaran di Malaka ini juga
berpengaruh di berbagai tempat di tanah air. Pelabuhan Jambi misalnya pernah
dijabat oleh orang Islam Cina, begitu pula halnya dengan pelabuhan Jepara
dan pelabuhan Jaratan (Jawa Timur). Jabatan strategis di pelabuhan-pelabuhan
ini menempatkan syahbandar punya nilai penting dan secara ekonomi
menjadikannya masuk dalam golongan orang kaya dalam masyarakat lokal.3
3 Lihat Reid. Op.cit. Asia Tenggara Dalam Kurun Niaga…Jilid 2, hlm 139-41.
4 Lihat Pires. Op.cit. Suma Oriental, hlm 136.
5 Lihat Guillot (ed). Op.cit. Lobu Tua Sejarah Awal Barus, hm 10, 77.
Produksi Rempah, Pelabuhan dan Jaringan Perniagaan di Nusantara | 69
juga dibawa melalui sungai, lalu dipertukarkan dengan kain atau tekstil dan
komoditas lainnya. Catatan Ma Huan dalam Ying-yai Shêng-lan menyebutkan
bahwa uang berbahan emas dan timah telah dipakai pula di Sumatera.6
Kepulauan Banda
Produksi rempah Banda yang dicari oleh saudagar di dunia adalah buah
pala yang di dalamnya terdapat fuli. Pusat-pusat perdagangan di dunia barat,
pala mempunyai nilai pasar yang cukup tinggi. Sebagai gambaran ketika
pedagang yang membawa pala dari Banda dan tiba di pelabuhan Anden,
Hormuz, Surat, Aleksandria, Venesia, Barcelona dan Antwerp, maka pedagang
sekaligus menjadi distributor yang meraup untung besar dan menjadi kaya
raya. Termasuk sejumlah saudagar Gujarat yang mengontrol distribusi pala
untuk wilayah pasar Laut Tengah.9
Hal yang sama juga terjadi di Kepulauan Maluku yang pada abad ke-
13 seperti Ternate, Tidore, Makian dan Bacan sibuk melakukan pertukaran
cengkeh dan pala Banda. Sebaliknya, pedagang Banda hadir di pelabuhan
Ternate dan Makian untuk mencari cengkeh sebagai simpanan yang mereka
tukarkan dengan gading. Sedangkan pedagang pesisir utara Jawa membantu
pedagang Banda dalam pelayaran perniagaan. Pedagang pesisir utara Jawa
memperkenalkan pertukaran perantara antara kain tenun dengan pala serta
fuli. Demikian pula, beras dan bahan makanan lain seperti lada, bawang putih
dan merah dipasok pedagang Jawa. Atas peran pedagang Jawa inilah orang-
orang Banda diperkenalkan dalam jaringan perniagaan internasional. Pedagang
Jawa juga mendorong orang kaya melakukan pelayaran jarak jauh menuju ke
bandar Malaka. Pedagang Banda membeli kapal layar jung dengan orang Jawa,
selanjutnya Orang kaya berlayar ke bandar Malaka dengan menggunakan jalur
selatan yang menjadi rutenya orang Jawa berlayar ke kepulauan Maluku.10
10 Meilink-Roelofsz. Ibid., Asian Trade and European Influence ….., hlm. 103; Juga lihat. Pires.
Op.cit. Suma Oriental, hlm. 193.
11 Mata uang diperkenalkan pertama kali di kepulauan Maluku oleh orang-orang Portugis
pada abad ke-15. Mata uang Portugis yang populer adalah Crusado. Namun, mata uang yang secara
massif diperkenalkan kepada masyarakat Banda untuk pertukaran oleh Belanda dengan rijkdalder.
12 Pantun itu menjadi populer dan menjadi cerita rakyat Banda pada masa itu. Sebagai simbol
pengikat antara penduduk dan tanaman pala. Untuk tulisan tentang folklor menjadi simbol zaman
harmoni. Lihat. Peter Burke. “History and Folklrore: A Historiographical Survey,” Foklore 115, 2004, hlm.
133-139.
Produksi Rempah, Pelabuhan dan Jaringan Perniagaan di Nusantara | 73
pelabuhan lainnya di pulau Banda Neira. Sementara pulau Run dan pulau Ai
yang juga menghasilkan pala dan fuli terletak berjauhan dari Banda Neira dan
pulau Banda Besar. Namun, Pulau Ai dan Run setiap kali panen pala mereka
mengirimkan ke pelabuhan Orantata di Banda Besar untuk ditaksir volume
dan nilai dari pala tersebut.
Karena, awak kapal sebagai budak yang tidak mempunyai disiplin kerja.
Seandainya kapal layar mengalami ketidakstabilan atau akan karam, mereka
cepat-cepat meninggalkan kapal. Ditambah pula, jangkar kapal layar yang
dipergunakan orang Banda dibuat dari kayu, bukan besi. Meskipun demikian,
pedagang Banda membeli kapal, kadang-kadang mereka sendiri lupa kapal
tersebut pernah menjadi milik mereka.14
14 Informasi ini penulis peroleh dari wawancara dengan Usman Thalib, Ambon, 11 Mei 2017.
Produksi Rempah, Pelabuhan dan Jaringan Perniagaan di Nusantara | 75
15 Menjelang akhir abad ke-14 era Dinasti Ming, pelaut-pedagang Cina telah berlayar ke sana
melalui Laut Sulu. Bagaimanapun, dari akhir abad ke-14 ke atas pedagang Cina tampaknya kurang
tertarik dengan perdagangan langsung, produk rempah-rempah Banda lebih terjamin diperoleh dari
pelabuhan perantara. Untuk hal ini lihat. Hall. Op.cit. A History of Early Southeast Asia …, hlm. 314.
76 | Jalur Rempah dan Dinamika Masyarakat Abad X - XVI
Pada awal abad ke-16, satu bahar fuli sama dengan tujuh bahar biji pala,
namun secara bertahap harga buah lada semakin murah jika dibandingkan
dengan harga fuli. Pada 1603 rasio perhitungannya adalah 1:10.19 Sementara
itu, Pires menyatakan bahwa harga satu bahar fuli sama dengan tiga hingga
tiga setengah cruzado (mata uang Portugis), sesuai kualitas barang yang akan
ditukar dengan fuli. Di sini Pires menduga, harga ini pasti sudah dipengaruhi
oleh persaingan antara orang Portugis dengan para pedagang Asia lainnya
yang menyebabkan naiknya harga di Kepulauan Banda. Dalam kenyataannya
pada 1603 menurut sebuah memorandum Belanda yang ditulis pada tahun itu
16 Padahal permintaan produksi rempah dari Banda sangat diminati di kalangan pedagang
internasional. Hingga akhir abad ke-14 produksi rempah kepulauan Banda dikonsumsi oleh pasar
internasional melalui pedagang Gujarat yang melakukan reekspor ke pasar Laut Tengah dan kemudian
mendistribusikan ke pasar Eropa. Untuk hal ini lihat, Hall. Op.cit. A History of Early Southeast Asia…,
hlm. 314.
17 Pantun ini dalam buku-buku teks membahas sejarah maritim Indonesia tidak penulis
temukan, namun penulis temukan di sebuah novel sejarah karya Hanna Rambe. Mirah dari Banda.
18 Satu bahar sama dengan 550 pound. Untuk hal ini lihat. Meilink-Roelofsz, Op.cit. Asian
Trade and European Influence ….., hlm. 324.
19 Meilink-Roelofsz, Ibid. Asian Trade and European Influence ….., hlm. 93.
Produksi Rempah, Pelabuhan dan Jaringan Perniagaan di Nusantara | 77
standar media sirkulasi adalah pala. Dapat diperkirakan bahwa nilai penting
buah pala Banda sudah melesat meningkat pada abad ke 16.20
20 Meilink-Roelofsz, Ibid. Asian Trade and European Influence ….., hlm.93.
21 Oleh karena itu di kepulauan Banda, benar-benar diselenggarakannya sebuah pasar
untuk barang-barang yang dibutuhkan untuk keperluan sehari-hari. Untuk hal ini lihat. J.C. van Leur.
Indonesian Trade And Society. Essays in Asian Social and Economic History The Hague, Bandung: W. van
Hoeve Ltd, 1955, hlm 388.
22 Sebetulnya dengan menggunakan jalur Borneo, orang-orang Portugis sedikit mendapatkan
barang dagangan yang dapat dijual, kecuali damar dan emas. Untuk hal ini lihat. Villiers. Op.cit. “Trade
and Society in The Banda Islands in Sixteenth Century”, hlm. 723-750.
78 | Jalur Rempah dan Dinamika Masyarakat Abad X - XVI
23 Orang-orang Portugis di kepulauan Banda tidak melakukan penaklukkan atau memecah
belah masyarakat di sana, tidak seperti mereka hadir di Hitu, Ambon yang membantu Hitu untuk
mengalahkan Huamual. Untuk hal ini lihat. Desy P Usmany dkk. Sejarah Terbentuknya Kota Dagang
Banda, Hitu, Dan Ambon Abad 15-17. Ambon: Balai Kajian Sejarah dan Nilai Tradisional, 2006, hlm. 57.
24 Satu bahar sama dengan 550 pon untuk ukuran pala di Kepulauan Banda.
25 Karena viceroy dan para gubernur memberikan hadiah kepada teman dan relasi. Untuk hal
ini lihat. Meilink-Roelofz. Op.cit.,, hlm. 160.
Produksi Rempah, Pelabuhan dan Jaringan Perniagaan di Nusantara | 79
Neck. Seluruh biaya perjalanan mereka ditanggung oleh VOC. Ketika mereka
datang ke syahbandar mendapatkan persyaratan untuk memberikan hadiah
kepada orang kaya dan membayar seluruh bea cukai terhadap syahbandar.
Orang-orang Belanda menyetujui permintaan tersebut dengan memberikan
hadiah cermin, pisau, gelas kristal, beludru merah dan meriam berukuran
kecil beserta mesiunya.26 Kemudian, orang kaya Banda membalas dengan
mengizinkan kepada Belanda untuk mendirikan pos dagang di rumah sewa
di tepi pantai. Pada sisi lain Belanda juga mulai menyusun strategi untuk
menguasai kepulauan Banda.
Pedagang Aru dan Kei tidak hanya membawa sagu, mereka juga membawa
emas dan produk mewah ke Banda, teristimewa burung nuri dan cenderawasih
yang dikeringkan. Kemudian, produk ini ditukar dengan tekstil oleh orang
Banda. Oleh karena itu melalui pedagang Benggala, produk mewah ini tiba di
tangan orang Turki dan Persia yang menggunakannya sebagai jambul penutup
kepala. Selain itu, pedagang Kei memperdagangkan perahu kepada pedagang
Banda. Perahu buatan orang Kei diminati oleh penduduk Banda untuk
melakukan pelayaran jarak pendek. Perahu ini cocok untuk rute pelayaran dari
kepulauan Kei ke kepulauan Banda. Perahu-perahu itu dipertukarkan dengan
tekstil atau rempah-rempah. Ketika, pasar dibuka di kepulauan Banda, terutama
26 Setiap Belanda memberikan hadiah kepada orang kaya, mereka harus memberikan hadiah
itu kepada seluruh orang kaya yang berjumlah 44 orang. Untuk hal ini lihat. Alwi. Op.cit. Sejarah Maluku,
Banda Naira, Ternate, Tidore dan Ambon., hlm. 48-49.
80 | Jalur Rempah dan Dinamika Masyarakat Abad X - XVI
pada musim angin timur, pedagang Aru dan Kei datang ke Banda. Kedekatan
orang Kei dengan penduduk Banda menciptakan hubungan yang erat dalam
perniagaan, mereka dapat memesan barang-barang yang diinginkan terlebih
dahulu.
Kepulauan Seram
Pengaruh Kepulauan Seram terhadap masyarakat Banda bisa terlihat dari
Hikayat Lonthor, menceritakan Cilubintang putri bangsawan Lonthor dipinang
oleh kapitan dari timur. Gelar kapitan timur dapat diterjemahkan bangsawan
dari Kesultanan Ternate. Di dalam Hikayat Lonthor, juga ditegaskan, “Pulau
Banda banyak pula didatangi orang-orang dari kepulauan dari sebelah timur,
sampai hari ini tempat itu disebut pantai timur.”28
27 Upaya yang dilakukan VOC adalah mendorong penyebaran agama Kristen di kalangan
penduduk kepulauan Aru dan Kei serta kepulauan Banda dengan harapan bisa membantu memulihkan
kembali hubungan perniagaan. Untuk hal ini lihat. Meilink-Roelofsz. Op.cit., hlm. 216.
28 Untuk hal ini lihat. Alwi. Op.cit., hlm. 15.
Produksi Rempah, Pelabuhan dan Jaringan Perniagaan di Nusantara | 81
yang ramai oleh orang Jawa. Mereka datang untuk mendapatkan cengkeh yang
ditukarkan dengan bahan makanan dan kain. Cepatnya perluasan penanaman
cengkeh itu dibuktikan dengan kedatangan sebuah armada junk pada 1538
di lepas pantai Hitu. Kedatangan armada tersebut untuk memuat cengkeh di
pelabuhan yang menjadi pusat pasar. Armada ini terdiri dari sepuluh kapal
junk besar. Diperkirakan pada perempat abad ke 16 panen cengkeh di Ambon
mencapai 2000 kuintal.32
Orang Jawa menyebarkan agama Islam di Hitu. Kota ini menjadi pusat
agama Islam, namun sebagian besar penduduknya masih kafir. Bahkan
tempat-tempat yang lebih kecil menjadi bawahan langsung Hitu tetap belum
Islam hingga awal abad ke-17. Walaupun sebagian besar kepala suku sudah
menjadi muslim pada saat itu. Pada awalnya orang Hitu melakukan hubungan
bisnis dengan orang Portugis mereka diizinkan untuk membangun sebuah
permukiman pada 1525. Akan tetapi, orang Portugis berupaya menghentikan
orang Jawa yang berdagang di sana . Karena mereka takut permintaan orang
Jawa akan menaikkan harga rempah-rempah, baik orang Jawa maupun orang
Hitu tidak dapat menerima gangguan tersebut. Penduduk Ambon menerima
bantuan melawan orang Portugis dari penduduk Kepulauan Banda serta dari
orang Jawa. Ambon sebelum kedatangan orang Portugis telah menjadi titik
pusat perdagangan. Tidak hanya rempah-rempah domestik, buah pala dan fuli.
Cengkeh dari Maluku dan Ambon juga dikumpulkan untuk dijual kepada para
pedagang asing yang datang ke Banda dari tempat-tempat di dalam dan di luar
Indonesia. Karena orang Banda adalah satu-satunya penduduk di kepulauan
rempah yang terlibat dalam pelayaran niaga, merekalah yang membawa
cengkeh dari Maluku dan Ambon ke Banda.
seperti Cochin Cina. Namun, daya tarik pulau Timor adalah cendana yang
banyak tumbuh di sana. Kayu ini sepertinya sudah dikenal orang Cina. Awal
abad ke-14 kapal-kapal pedagang Cina secara periodik pergi ke sana untuk
memuat muatan berharga ini.
Sementara itu, orang Jawa dan Melayu memasarkan kayu cendana kepada
orang India. Di India cendana digunakan untuk salep dan parfum. Di Eropa
cendana dipergunakan untuk obat-obatan. Cendana memiliki peran besar
dalam upacara kremasi dan pengorbanan. Menurut pedagang Malaka, kayu
ini hanya dapat ditemukan di Timor. Mereka memiliki peribahasa yang
mengatakan “Tuhan membuat Timor untuk cendana, Banda untuk buah pala,
dan Maluku untuk cengkeh.”35 Produk-produk Kepulauan Sunda Kecil ini dapat
diperoleh dengan cara ditukar dengan kain Gujarat yang murah, benda-benda
yang terbuat dari besi, seperti pedang, kapak, pisau, paku, serta manik-manik
berwarna, porselen, timah, merkuri dan timah hitam. Walaupun penduduk
Kepulauan Sunda Kecil mengunjungi pelabuhan-pelabuhan pesisir Jawa
menggunakan kapal-kapal kecil, pedagang dari Kepulauan Sunda Kecil tidak
memperluas perdagangannya ke pelabuhan Malaka. Para pedagang Malaka
harus mengambil sendiri produk-produk ini ke Kepulauan Sunda Kecil.
Demikian pula dengan pedagang-pedagang Banda yang melakukan pelayaran
ke sana melalui pesisir Pulau Babar, Kisar, Wetar, Alor dan tiba di Timor.
Barang-barang yang didagangkan adalah tenun kasar, manik-manik, timah,
alat-alat pertanian seperti kapak, pisau, pedang, dan paku. Barang-barang itu
dipertukarkan dengan kayu cendana, yang kemudian diperdagangkan oleh
orang-orang Banda kepada pedagang Gujarat dan Arab. Selain itu, pedagang
Banda datang ke Timor juga untuk membeli budak. Perdagangan budak sangat
ramai di seluruh kepulauan ini. Budak-budak yang dibeli pedagang Banda
untuk dipekerjakan di kebun-kebun pala. Kebanyakan budak-budak itu berasal
dari pedalaman Kepulauan Sunda Kecil seperti Sumbawa dan Bali.36
35 Ini merupakan ungkapan terkenal dari Tome Pires yang menyaksikan ramainya perdagangan
rempah-rempah di pelabuhan Malaka. Lihat, Meilink-Roelofsz, Ibid., hlm. 121.
36 Budak-budak yang diminati oleh pedagang Banda adalah budak perempuan untuk bekerja
di perkebunan. Untuk hal ini lihat. Reid. Op.cit. Asia Tenggara Dalam Kurun Niaga…Jilid 2, hlm.72.
Produksi Rempah, Pelabuhan dan Jaringan Perniagaan di Nusantara | 85
Ternate
Nama Maluku pada mulanya hanya menunjuk kepada mata rantai lima
pulau kecil yakni Ternate, Tidore, Morotai, Bacan dan Makian. Pemegang
peranan dari kepulauan ini adalah pulau kembar Ternate dan Tidore. Kedua
pulau itu masing-masing memiliki gunung berapi yang menyembul dari dasar
laut dengan ketinggian sekitar 1000 meter di atas permukaan laut. Secara
alamiah baik Ternate maupun Tidore pada abad ke-13 dan ke-14 merupakan
penghasil cengkeh dunia. Ternate merupakan Kolano (Sultan) yang menguasai
kawasan kawasan yang membentang ke barat sampai ke Sulawesi, Mindanao di
utara, Papua di timur dan Seram serta Ambon di selatan.
37 Untuk hal ini lihat, M.Adnan. Amal. Kepulauan Rempah-Rempah. Perjalanan Sejarah Maluku
Utara 1250-1950. Jakarta:Kepustakaan Populer Gramedia, 2016, hlm. 59.
86 | Jalur Rempah dan Dinamika Masyarakat Abad X - XVI
porselen.38
38 Kolano Sida Arif juga mengisi waktu luangnya untuk bergaul dengan para pedagang asing.
Ia bahkan belajar bahasa Arab dan Cina, serta memakai jubah dan destar serta pakaian yang digunakan
para pedagang Cina. Untuk hal ini lihat. Amal. Ibid., hlm. 59-60.
Produksi Rempah, Pelabuhan dan Jaringan Perniagaan di Nusantara | 87
Tidore
Pulau Tidore lebih luas dibandingkan kepulauan Ternate. Tidore dan
Ternate terletak bersebelahan, Tidore di sebelah selatan dan Ternate di bagian
utara. Pulau Tidore didominasi oleh Kie Matubu, gunung berapi tua dengan
ketinggian 1730 di atas permukaan laut. Tidore adalah salah satu pulau di
Maluku Utara sebagai penghasil utama cengkeh. Seperti kepulauan Banda,
Tidore sangat bergantung bahan makanan yang diimpor dari luar. Hal ini
dikarenakan tenaga mereka telah terkonsentrasi dengan tanaman cengkeh
dan berasumsi bahan makanan dapat diperoleh bila cengkeh berhasil dijual.
Meskipun, Tidore sebagai penghasil puting cengkeh, namun budidaya
tanaman itu baru dimulai perempat pertama abad ke-16. Pada masa itu, Tidore
sama sekali tidak memiliki pelabuhan, tempat kapal-kapal samudra berlabuh.
Meskipun, pulau ini menghasilkan sekitar 1400 bahar cengkeh setiap tahun.41
Penguasa Tidore belum lama memindahkan ibukotanya ke pesisir, tidak lama
sebelum kedatangan orang Portugis, dengan alasan jalur pesisir berkaitan
dengan melesatnya pemasukan perdagangan negaranya.
Makian
Dalam Hikayat Bacan diceritakan kelahiran kepulauan Maluku yang
sebagian besar meliputi produsen cengkeh yang mengundang negeri-
negeri mancanegara dan nusantara untuk berlayar ke sana. Hikayat Bacan
menyebutkan sejumlah pulau yang sebenarnya merupakan satu jalur perniagaan
di semenanjung Maluku bagian utara.
“Di zaman dahulu kala, Ternate, Tidore, Moti, Makian, dan Bacan bersambung
menjadi satu semenanjung, dan semuanya bernapa Gapi. Di semenanjung ini
terdapat banyak negeri yang dikepalaian masing-masing kepalanya dengan
kekuasaannya sendiri-sendiri. Kepala tiap-tiap negeri itu bergelar Ambasoya.
Maka terdapatlah Ambasoya Kasiruta, Sungebodoi, Indapoat, Lata-lata,
Supae, Mandioli, Topa atau Ombi, Sungai Ra, Salap, dan Samboki…44”
43 Untuk hal ini lihat. Reid. Op.cit. Asia Tenggara, Jilid 2… hlm. 211
44 Dikutip dari, Amal, Op.cit., hlm. 18.
45 Meilink-Roelofsz. Op.cit., hlm. 95.
46 Meilink-Roelofsz. Op.cit., hlm. 96
47 Amal. Op.cit., hlm 19.
90 | Jalur Rempah dan Dinamika Masyarakat Abad X - XVI
Sumber besi yang kaya dilapisi dengan nikel juga digunakan untuk
membuat keris, Bahkan keris Majapahit konon berasal dari Sulawesi bagian
tengah. Biji besi laterit yang kandungan besinya mencapai 50 persen dengan
lapisan nikel, yang banyak ditemukan dekat permukaan di tepi Danau Matano
dan di bagian hulu Sungai Kalaena. Besi dari Sulawesi bisa diekspor melalui
Teluk Bone, yang dikuasai kerajaan Luwu, atau melalui pantai timur Sulawesi
yang pada abad ke-16 dan sebelumnya dikuasai oleh kerajaan Banggai. Banggai
dan Luwu disebutkan dalam Negarakertagama sebagai pembayar upeti kepada
Majapahit. Hal ini menunjukkan bahwa ekspor besi dan persenjataannya dari
sumber yang sama. “Besi dalam jumlah besar berasal dari luar, dari Kepulauan
Banggai, kapak besi, parang, pedang dan pisau.”48
48 Untuk hal ini lihat. A.C. Kruijt. “Het Ijzer in Midden Celebes,” BKI 53 (1901), hlm. 148-160.
49 Pada pertengahan abad ke-17, “besi Luwu” masih tetap merupakan salah satu ekspor
utama dari Makassar ke Jawa bagian timur. Besi yang lebih murah pada waktu itu sudah mulai hadir dari
Cina dan Eropa, tapi para pembuat keris di Jawa tampaknya lebih menyukai besi Sulawesi yang banyak
mengandung kandungan nikel untuk membuat keris yang berpamor. Untuk hal ini lihat. Reid. Op.cit.
Asia Tenggara Dalam Kurun Niaga … Jilid I, hlm. 125.
Peta 9. Wilayah Wajib Pajak Kerajaan Majapahit, Termasuk Banggai dan Luwu
Produksi Rempah, Pelabuhan dan Jaringan Perniagaan di Nusantara | 91
Makassar
Makassar muncul sebagai pelabuhan perdagangan pada paruh pertama
abad ke-16, terdapat dua hal penting kehadiran dari kota niaga tersebut. Pertama,
karena ledakan perdagangan menjadi awal munculnya kota dagang. Makassar
dengan penduduknya ramai mendukung perdagangan baik perniagaan
rempah-rempah maupun perdagangan nonrempah seperti produksi beras dan
kain tenun. Kedua, ditaklukkannya Malaka oleh Portugis pada 1511 dalam
upaya untuk menguasai lalu lintas di Selat Malaka, mendorong perdagangan
mengambil rute alternatif dengan berlayar melintasi Semenanjung atau
melalui pantai Barat Sumatera ke Selat Sunda. Pergeseran ini melahirkan
pelabuhan perantara yang baru atau mendorong pelabuhan perantara di Aceh,
Tenasserim, Ayutthya, Patani, Pahang, Johor, dan Banten, Manila, Makassar,
Brunei, Kamboja, Gampa dan Hoi An.50
50 Dengan penaklukkan Malaka oleh Portugis terjadi pergeseran jalur perniagaan. Salah
satunya jalur lada yang sebelumnya melalui Laut Merah, Kairo dan Laut Tengah sampai ke dunia barat,
berangsur-angsur telah digeserkan hingga melalui Tanjung Harapan dengan menguntungkan bangsa
Portugis tetapi merugikan orang-orang Venice. Untuk hal ini Lihat. Lombard. Op.cit. Kerajaan Aceh, hlm.
63.
51 Untuk hal ini lihat. Meilink-Roelofsz Op.Cit., hlm. 160.
52 Reid. Op.cit. Asia Tenggara….Jilid I, hlm. 127.
Produksi Rempah, Pelabuhan dan Jaringan Perniagaan di Nusantara | 93
53 Pedagang Bugis pun mulai terlibat dalam perdagangan di kota pelabuhan Makassar. Untuk
hal ini lihat, Christian Pelras. Manusia Bugis. Jakarta: Forum Jakarta-Paris, 2006, hlm. 163
94 | Jalur Rempah dan Dinamika Masyarakat Abad X - XVI
jauh, para pedagang asal India dan Cina selama berbulan-bulan mengarungi
samudra untuk mengangkut komoditas penting dari Nusantara. Aktivitas
pelayaran dan perniagaan antarbangsa ini melibatkan jumlah orang dalam
skala besar baik penduduk lokal maupun asing. Seiring dengan aktivitas niaga
antarbangsa ini, kota dan pelabuhan di sepanjang jalur yang mereka lewati
tumbuh dan berkembang, misalnya Aceh, Barus, Riau, Jambi, Palembang,
hingga Banten dan kota-kota pantai utara Jawa, serta bagian tengah dan timur
wilayah Nusantara.
Jambi
Peninggalan-peninggalan penting di masa lampau yang menunjukkan
adanya suatu peradaban atau aktivitas perniagaan antara Jambi dengan wilayah
lain di nusantara dan luar nusantara diketahui dari sumber-sumber Cina dan
54 Lihat Claude Guillot (ed). Lobu Tua Sejarah Awal Barus. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia,
École française d’Extrême Orient, Pusat Arkeologi Nasional, 2014, hlm 109-110.
Produksi Rempah, Pelabuhan dan Jaringan Perniagaan di Nusantara | 95
dagang Belanda itu pada abad ke-17 membangun loji atau kantor dagangnya
di sekitar Muara Kumpeh, yang masih termasuk dalam aliran Batang Hari,
untuk melakukan pembelian lada dan komoditas lain dari Jambi, serta untuk
mengontrol aktivitas perdagangan perantara yang dikuasai oleh pedagang
Tionghoa.55 Pentingnya jalur sungai dan laut yang menghubungkan Jambi atau
Sumatera dengan dunia luar dalam pelayaran dan perniagaan internasional itu
setidaknya menunjukkan bahwa sungai dan laut di Nusantara sangat penting
dalam menghubungkan pusat-pusat produksi rempah dan hasil bumi lainnya
dari tanah air dengan pasar internasional. Hubungan niaga dalam ruang sosial
pantai timur Sumatera ini menempatkan wilayah pantai timur sebagai jalur
penting dalam perniagaan di Nusantara. Kapal-kapal dalam hal ini menjadi
bagian penting dalam seluruh rantai perniagaan yang berlangsung sejak abad
ke-10 hingga ke-16. Malaka kota di sisi barat Selat Malaka dikenal sebagai salah
satu tempat penjualan kapal-kapal atau jung. Para pedagang membeli jung di
kota itu dari pedagang lain yang tiba di Malaka untuk berdagang.56
Jambi yang disebut Tome Pires dikelilingi oleh sungai besar dan indah
dalam dunia perniagaan dikenal luas sebagai penghasil lada. Lada asal Jambi
dibutuhkan dan diperjual-belikan di berbagai tempat di Nusantara. Di masa
pemerintahan Adityawarman pada pertengahan abad ke-14, lada Kerinci
menjadi komoditas unggulan dari wilayah Jambi. Komoditas ini berasal dari
perkebunan di Kerinci dan lada Kerinci sangat dikenal dalam perniagaan
rempah-rempah. Selain lada, hasil hutan Jambi seperti kayu gaharu dan hasil
tambang berupa emas menjadi penghasilan penting dari wilayah ini. Hingga
pertengahan abad ke-16 misalnya, Jambi dikenal sebagai salah satu penghasil
lada terbaik. Lada asal Jambi tersebut menjadi tujuan para saudagar asing
terutama Portugis untuk datang membelinya pada abad ke-16 setelah Banten
mulai meredup pamornya dalam perdagangan lada di kawasan barat Nusantara.
Selain lada, tekstil adalah barang dagangan lain yang utama dalam
perniagaan Jambi. Bahan sandang ini sebagian besar dijual oleh para pedagang
Portugis saat mereka melakukan transaksi pembelian lada dan hasil bumi dari
Jambi. Dalam perniagaan tekstil dan juga komoditas lainnya, sungai-sungai di
55 Lihat Meilink-Roeloefsz. Op.cit. Asian Trade and European Influence…, hlm 259; Uka
Tjandrasasmita. Arkeologi Islam Nusantara. Jakarta: Kepustakaan Populer Gramedia, École française
d’Extrême Orient, Fakultas Adab dan Humaniora UIN Syarif Hidayatullah, 2009, hlm 178-79.
56 Lihat Pires. Op.cit. Suma Oriental…, hlm 145.
Produksi Rempah, Pelabuhan dan Jaringan Perniagaan di Nusantara | 97
57 Lihat Pires. Op.cit. Suma Oriental, hlm 154; Lapian, Op.cit., hlm 49.
58 Lihat Lapian. Ibid. Pelayaran dan Perniagaan, hlm 43, 49.
98 | Jalur Rempah dan Dinamika Masyarakat Abad X - XVI
timur maupun Jawa yang terbentuk seiring berkembangnya jalur rempah yang
telah berjalan sejak lama. Jalur lada bukan hanya menghubungkan Jambi dengan
Semenanjung Malaya dan kawasan Indo Cina, tetapi juga menghubungkan
Jambi dengan kota-kota dagang utama di Jawa seperti Jepara, Lasem dan kota-
kota di sekitar pantai utara Jawa dan Jawa Timur seperti Gresik dan Jaratan.
Di Jepara misalnya, lada Jambi ditukar dengan sutra, porselin, dan belanga
besi dari Cina. Pertukaran barang dagangan ini berlangsung di sepanjang abad
ke-15 dan abad ke-16. Perdagangan lada juga terjadi antara Jepara dengan
Palembang dan Indragiri. Kapal-kapal dari Semenanjung Malaya dan Patani
(Thailand) yang mengangkut lada dari Jambi ini disebutkan menjadi bagian
dalam jejaring perniagaan lada Sumatera dengan Jepara. Posisi penting lada
dalam dunia perdagangan sebagai komoditas utama yang diperjualbelikan
kemudian menjadikan barang dagangan ini ditetapkan sebagai standar mediun
dalam perniagaan pada tahun 1603.59
kawasan pantai timur Sumatera. Kota ini juga menjadi tempat tujuan lada asal
wilayah hulu di Minangkabau. Dalam perniagaan, untuk memasukkan barang
sandang, Jambi tidak memungut bea impor, tetapi untuk ekspor lada dipungut
10 persen. Bea ekspor ini diperuntukkan sebagian untuk raja tua dan raja
muda. Raja tua menerima 10 persen dari pungutan ini terhadap pedagang asal
Belanda, Inggris, dan Cina. Lalu Raja muda menerima 10 persen dari pedagang
Jawa dan Melayu sedangkan orang kaya menerima 90 persen.62 Jumlah terbesar
dari pungutan itu yang diterima oleh orang kaya menjadikan mereka mampu
menanamkan modalnya dalam usaha pelayaran dan perniagaan. Orang kaya
dalam struktur sosial masyarakat Sumatera misalnya bukanlah saudagar dalam
arti yang sesungguhnya. Mereka berdagang dalam bentuk commenda yakni
menyerahkan barang dagangan kepada orang lain untuk diperdagangkan atau
hanya memberikan sejumlah uang sebagai modal.63
Aspek lain dari perniagaan hingga abad ke-16 yang punya nilai penting
karena menjadi satu kesatuan di dalamnya yaitu perdagangan budak. Budak
yang diperdagangkan kemudian dipekerjakan di istana raja, rumah bangsawan
ataupun orang kaya. Budak-budak ini juga dipekerjakan di berbagai pelabuhan
sebagai pengangkut barang atau melakukan pekerjaan berat lainnya, dan
sebagai pendayung kapal terutama kapal-kapal perang. Palembang menjadi
pengekspor budak ke Malaka, bersamaan dengan pengapalan komoditas seperti
beras, bawang putih dan bawang merah, daging, arak, rotan, madu, damar,
katun, emas, dan besi. Pelabuhan lain yang juga penting dalam perdagangan
budak ini adalah Pelabuhan Sunda Kalapa. Pelabuhan ini menjadi pelabuhan
impor sekaligus ekspor bagi budak-budak yang diperdagangkan.64
Pada akhir abad ke-16 dan awal abad ke-17, seiring monopoli Malaka oleh
Portugis, mereka mulai aktif berdagang dan mengunjungi berbagai pelabuhan
di Sumatera dengan menggunakan kapal-kapal kecil. Tujuannya adalah agar
kapal-kapal itu dapat menjangkau pusat-pusat produksi langsung hingga
mendekati hulu. Jambi kala itu masih menjadi pusat perdagangan dan lada
menjadi barang dagangan utamanya. Dalam hal produksi lada, Jambi mampu
mengekspor lada sebanyak 40-50 ribu bag/kantong (1 bag setara 50 pon) lada
ke Malaka. Lada-lada asal Jambi ini kemudian dibawa oleh para pedagang
Portugis maupun Cina dari Malaka menuju berbagai tempat tujuan atau
langsung ke negeri masing-masing. Saudagar-saudagar Jawa juga diketahui
membeli lada di Jambi lalu menjualnya kembali kepada para pedagang Cina
di pelabuhan-pelabuhan yang terletak di Jawa. Pelabuhan Jepara misalnya
menjadi mata rantai penting dalam perniagaan lada ini sebelum dilakukan
pertukaran dengan komoditas-komoditas lain asal Jawa. Dalam perniagaan lada
yang melibatkan Portugis, mereka pergi membawa kain ke Jambi dan barang
dagangan yang populer lainnya lalu pulang dengan membawa lada berton-ton
beratnya. Dalam perniagaan ini, tidak ada pungutan berupa bea impor untuk
kain tapi pungutan berlaku untuk ekspor lada yang ditarik sebesar 10 persen.
Peran penting dalam perdagangan lada Jambi ini dipegang oleh para pedagang
Tionghoa yang bertindak sebagai pedagang perantara. Mereka menukarkannya
dengan kain, garam dan barang-barang lainnya. Pada awal abad ke-17 misalnya
atas dorongan dari pedagang-pedagang Cina dan Portugis terjadi kesepakatan
untuk mengekspor lada melalui Jambi. Dalam aktivitas perniagaan ini Portugis
menerima dua keuntungan sekaligus yaitu mendapatkan barang-barang
yang dibawa oleh para pedagang Cina dan sekaligus juga lada asal Jambi.
Para pedagang Cina ini membawa lada dengan jung untuk kemudian dijual
di pelabuhan-pelabuhan di Cina, sedangkan Portugis membawa lada untuk
perniagaan mereka dengan Timor di bagian tengah wilayah Nusantara.65
Sebelum Portugis dan juga Belanda menguasai Malaka atau beberapa wilayah
di Nusantara, peran saudagar-saudagar Nusantara dalam perniagaan tetap
penting. Mereka menjadi mitra dagang yang setara saat bertransaksi berbagai
kebutuhan akan barang dagangan atau komoditas utama yang sangat laku dan
dibutuhkan pasar waktu itu. Lada, pala, cengkeh, emas, kapur Barus, madu, dan
berbagai jenis kayu adalah beberapa di antara komoditas penting dalam dunia
perdagangan Nusantara. Peran inilah juga keuntungan yang bisa diraih dari
hasil penjualan lada, rempah, dan komoditas lainnya yang menjadi daya tarik
dan incaran pedagang asing untuk datang dan menguasai Nusantara melalui
jalan perniagaan rempah di tanah air. Mereka ingin menguasai langsung pusat-
pusat produksi dan juga jalur dan pintu masuk komoditas-komoditas itu. Cara
kekerasan misalnya terpaksa juga harus dipilih seperti dilakukan Belanda
atas rakyat Banda untuk mengendalikan dan mengontrol tata niaga pala pada
tahun 1620-1623. Pala di satu sisi sangat menguntungkan, tetapi di sisi lain bisa
membawa bahaya dan penderitaan penduduk.67
Tentang arti pentingnya lada Jambi dalam perniagaan global juga tampak
sejak tanaman ini mulai memasuki masa panen atau bahkan sebelum musim
panen tiba. Pada 1616 misalnya dikabarkan bahwa ada tiga jung Cina yang
berlabuh, padahal waktu itu lada belum memasuki musim panen, tetapi kapal-
kapal ini mampu mengangkut 11 ribu kantung lada. Dalam hitungan Belanda,
saat panen lada saja bisa mencapai 1200 ton (setara 25-30 ribu kantung). Pada
1623 yakni saat panen mencapai puncaknya misalnya, lada Minangkabau yang
diekspor melalui Jambi bisa mencapai sebanyak 50 ribu kantung. Pedagang
Cina dalam hal ini dengan sedikit menekan menyatakan bahwa jika raja tidak
mendukung impor lada, maka saudagar-saudagar ini akan datang ke Jambi
dengan membawa 6-7 jung. Dengan jumlah jung sebanyak ini, maka seluruh
lada Jambi akan mereka beli sekaligus. Sebagai tawaran untuk melepaskan lada
ke tangan para pedagang Cina ini, mereka menjanjikan untuk mendatangkan
beberapa orang Tionghoa yang pandai dalam pembuatan senjata/meriam.68
Tawaran dan daya pikat agar lada dijual kepada para pedagang Cina ini menjadi
bagian tak terpisahkan dalam negosiasi perniagaan lada Jambi pada abad ke-16
dan abad ke-17.
67 Lihat Reid. Op.cit. Asia Tenggara Dalam Kurun Niaga … Jilid 2, hlm 345.
68 Lihat Meilink-Roelofsz, Asian Trade and European Influence, hlm 258.
102 | Jalur Rempah dan Dinamika Masyarakat Abad X - XVI
Pada abad ke-16 dan abad ke-17 misalnya, lada menempati peringkat
penting komoditas yang diekspor dari kawasan Asia Tenggara. Pada abad
ke-16, Sumatera menjadi pemasok kebutuhan lada untuk Eropa dan Laut
Tengah, yang sebelumnya juga dipasok dari India.70 Sekitar tahun 1600,
Sumatera, Semenanjung Malaya dan bagian barat Jawa (Banten) seluruhnya
menghasilkan 4.500 ton lada. Banten sebagai produsen lada di bagian barat
Jawa menghasilkan rata-rata sekitar 2000 ton lada per tahun. Selain di Jambi
dan juga Banten, lada juga ditanam di Semenanjung Malaya (Kedah, Patani,
Songkha, Pahang), juga Banjarmasin. Seluruh produksi lada itu mencapai 6000
ton pada 1630 dan mencapai lebih dari 8000 ton pada 1670. Pada pertengahan
abad ke-17, Belanda dan Inggris membeli lada asal India dalam jumlah kecil
karena lada asal Indonesia lebih murah dan berlimpah di pasaran.71
69 Lihat Meilink-Roelofsz, Asian Trade and European Influence, hlm 259 dan 288.
70 Lihat Reid. Asia Tenggara Dalam Kurun Niaga … Jilid 2, hlm 4-5, 10, 12.
71 Lihat Reid. Asia Tenggara Dalam Kurun Niaga … Jilid 2, hlm 13-14.
Produksi Rempah, Pelabuhan dan Jaringan Perniagaan di Nusantara | 103
Pada pertengahan abad ke-17 harga lada jatuh di pasaran Asia Tenggara
dan hal ini juga berdampak terhadap komoditas lain seperti penjualan
tekstil asal India. Era keemasan lada sebagai komoditas ekspor menjelang
abad ke-17 hampir berakhir seiring jatuhnya harga di pasaran internasional,
diperkenalkannya tebu sebagai tanaman ekspor, dan kembalinya pertanian
sebagai lahan garapan baru bagi penduduk. Lada di sisi lain juga dipandang
sebagai sumber konflik antara Belanda dan Inggris di wilayah Banten, dan
karena itulah pada 1620 pemusnahan atau pencabutan tanaman lada menjadi
suatu pilihan di Banten dan mengganti tanaman ekspor ini dengan padi.
Menjelang akhir abad ke-17 keinginan untuk mengakhiri tanaman lada karena
berbagai sebab sebagai komoditas utama di pasar dunia hingga abad ke-16
menjadi kenyataan. Naiknya kekuasaan Belanda dengan hak monopolinya
turut memberi andil pahit dan matinya lada dalam perniagaan. Jalan lada
berbagai kapal Nusantara dan asing yang ramai dan berjaya sejak abad ke-13
ini saat menyusuri pantai timur Sumatera lalu Selat Malaka, dilanjutkan ke
India hingga Laut Merah, Mesir, dan Laut Tengah sebelum sampai ke Eropa
berangsur-angsur mulai bergeser, meredup dan mati. Hikayat Banjar secara
tegas mengeluhkan kehancuran lada sebagai komoditas utama Nusantara
ini sekaligus memberi penekanan pada aktivitas baru yaitu penanaman padi
–sesungguhnya termasuk pula tanaman tebu seperti dilakukan di Banten.
Hikayat ini juga menggaris bawahi sisi buruk perniagaan lada dan akumulasi
yang dikumpulkan dari tata niaga lada. Pahitnya lada dalam konteks perniagaan
di masa lampau di seluruh perairan Nusantara tercermin dalam butir-butir
paragraf hikayat berikut ini:
Biarkan tak seorang pun di negeri ini menanam lada, sebagaimana hal itu tak
dilakukan di Jambi dan Palembang. Mungkin negeri-negeri ini menanamnya
demi uang agar bisa merengkuh kekayaan. Tak diragukan lagi bahwa mereka
akan tiba pada saat keruntuhannya. Yang didapat hanya perseteruan dan
bahan pangan akan menjadi mahal. Peraturan-peraturan akan berada dalam
kekacauan karena orang di kota raja tidak akan dihormati oleh penduduk
pedesaan; pengawal-pengawal raja tidak akan ditakuti oleh orang pedesaan….
Jika lebih banyak (lada yang melebihi kebutuhan rumah tangga) ditanam,
demi menggapai uang, bencanalah yang akan menyelimuti negeri… Perintah
dari kerajaan akan diabaikan karena orang-orang akan berani menentang
raja.72
72 Lihat Reid. Opcit. Asia Tenggara Dalam Kurun Niaga … Jilid 2, hlm 347; lihat pula Claude
104 | Jalur Rempah dan Dinamika Masyarakat Abad X - XVI
Malaka
Pelabuhan Malaka pada awalnya adalah tempat untuk mengambil air bersih
bagi kapal yang melintas di Selat Malaka. Pelabuhan Malaka terletak di sebelah
tenggara Sungai Malaka. Bandar Malaka berdiri sekitar tahun-tahun awal abad
ke-15 terkait dengan Penguasa Malaka. Mereka mempunyai perasaan sebagai
penerus Sriwijaya. Penguasa pelabuhan Malaka berupaya untuk mengawasi
kedua sisi selat.
Pada akhir abad ke-14 dan memasuki awal abad ke-15 produksi cengkeh
Maluku yang meliputi cengkeh dan pala, harus menempuh jalan bertahap-
tahap yang memakan waktu lebih lama untuk tiba di pasar Eropa. Produksi
cengkeh terlebih dahulu diangkut dari Maluku Utara ke Hitu dan Banda. Dari
dua pelabuhan itu, dialih muat ke kawasan barat nusantara, yakni ke pelabuhan-
pelabuhan pesisir Jawa, pantai timur Sumatera dan Selat Malaka. Pada abad ke-
15, pelabuhan Malaka berhasil menjadi pusat utama lalu lintas pernigaan dan
pelayaran rempah-rempah. Hasil hutan dan rempah-rempah dibawa langsung
dari Malaka ke India, terutama ke pelabuhan Surat dan Hormuz di tanah
Gujarat. Ketika itu, Gujarat telah mempunyai relasi perdagangan yang baik
dengan Malaka. Ditambah pula, Gujarat menjadi mata rantai penting dalam
perdagangan rempah-rempah di India.73 Pada waktu itu penghuni Malaka
selain penduduk Melayu, juga yang terbesar adalah orang Gujarat pada abad
ke-15. Pedagang Gujarat yang menghuni Malaka, menurut catatan Pires telah
mencapai 1000 orang, kebanyakan dari mereka membawa barangdagangan
kain pakaian ke sana. Selain itu, seluruh distribusi rempah-rempah untuk India
dan Eropa dikendalikan mereka dari pelabuhan Malaka. 74
Guillot. Banten Sejarah dan Peradaban Abad X-XVII. Jakarta: Kepustakaan Populer Gramedia, École
française d’Extrême Orient, Forum Jakarta-Paris, Pusat Penelitian dan Pengembangan Arkeologi
Nasional, 2008, hlm 183-85.
73 Meilink-Roelofsz, Op.cit., hlm. 102.
74 Meilink-Roelofsz. Ibid., hlm. 103.
Produksi Rempah, Pelabuhan dan Jaringan Perniagaan di Nusantara | 105
Prasasti Kui bertahun 840 M berasal dari Jawa Timur menjelaskan negeri
asal sekelompok “pelayan” (warggedalem), Campa (Cempa), Kalingga (kling),
India Utara (hanaya), Srilanka (singha), Bengali (gola), negeri Tamil (cwalika),
Malayalam (malayala), Karnataka (karnake), Pegu (reman) dan Kamboja
(kmir). Dari uraian antarbangsa itu telah menunjukkan sudah berlangsung
pergaulan antarbangsa sebelum penyebaran agama Islam secara meluas.76
Dalam prasasti-prasasti yang lebih muda seperti Taji 901 M, Kaladi, 909 M,
dan Palebuhan 927 M semuanya dari periode Jawa Timur, menyebut langsung
para pedagang (banjaga) yang berasal dari India Utara (arya) atau selatan
(kling, pandikidya, pandikita), dari Srilanka (singhala) atau Pegu (ramman).
Juga hal yang menonjol dalam prasasti-prasasti itu menyebutkan orang-orang
itu bertugas sebagai kilala atau kilalan, artinya sebagai pemungut pajak.77
Dalam prasasti Kaladi dengan gamblang dibicarakan tentang pemungutan
pajak bangsa kling, arya dan singhala. Prasasti-prasasti itu telah menguraikan
hal yang menarik tentang hubungan antara pedagang asing dan petugas pajak
raja. Pada abad ke-11, terutama di bawah pemerintahan raja Airlangga, ketika
pusat kegiatan kerajaan telah beralih ke periode ke Jawa Timur, pedagang asing
semakin banyak disebut dalam beberapa prasasti.78
Dalam prasasti Ulang Air I atau dikenal “prasasti Candi Perot menguraikan
sebuah kelompok yang meliputi para pedagang Jawa atau asing telah mendirikan
tempat pemujaan sendiri pada pertengahan abad ke-9 di dekat Candi Perot,
di dekat Temanggung (Karesidenan Kedu). Temuan ini juga menunjukkan
adanya kelompok pedagang pada masa itu.79
Sementara itu, pedagang Jawa pada abad ke-9 dan ke-10, tidak hanya
mempunyai hubungan perniagaan tekstil India, atau keramik Siam dan gading
dari Cina, akan tetapi mereka terlibat dalam perdagangan budak hitam.
Pembuktian terhadap perdagangan budak Afrika itu ditemukan istilah jenggi
dalam daftar abdi-abdi di prasasti perunggu Jawa kuno dari tahun 960 M yang
ditemukan di Jawa Timur. Selain itu, ditemukan istilah “budak senggi” di antara
pemberian yang dipersembahkan oleh He-ling (Walaing) kepada kekaisaran
Cina pada 813 M. Jadi, dapat disimpulkan bahwa sebagian dari budak Zanggi
yang diperoleh di pantai-pantai Afrika dikirim ke Jawa, dan bahkan ada yang
dikirim dari sana sampai ke Cina.80
ke Sumbawa dan Bali dengan membawa beras, lada dan tanaman pertanian
lainnya yang ditukarkan dengan kain tenun kasar.81 Sumbawa dan Bali pada
waktu itu merupakan tempat persinggahan yang bagus untuk para pedagang
jarak jauh. Karena kedua tempat itu mempunyai sumber air bersih yang baik
dan melimpah. Ditambah pula, Sumbawa penghasil kayu cendana dan secang.82
Kayu cendana merupakan sumber wangi aromatik yang banyak digemari oleh
pedagang Arab, Persia, Cina dan India, sedangkan secang minuman penyegar
dan dapat meningkatkan energi tubuh.
Pada abad ke-11 hingga ke-13 perniagaan menjadi sibuk di jalur laut
Samudra Hindia dengan laut Kepulauan Nusantara. Seiring dengan itu
pedagang-pedagang Jawa hilir mudik berniaga antara timur dan barat.84 Pada
abad pertama masehi orang Jawa dan kepulauan Nusantara telah membangun
sistem perdagangan laut dunia yang menghubungan dengan Cina. Keadaan
substansial perdagangan di pesisir utara Jawa telah dicatat oleh orang-orang
Cina pada abad ke-5. Pada waktu itu, penguasa-penguasa Jawa telah mulai
meminjam politik, agama, dan budaya bacaan India.85
yang berlokasi di laut Jawa bagian barat. Dari Jawa bagian barat pedagang dari
Majapahit mendapatkan kayu, lada, emas, besi dan budak. Jaringan kerajaan
Majapahit secara intensif membangun jaringan perniagaan dengan kepulauan
Indonesia bagian timur seperti Banda, Maluku, Banggai dan Kalimantan untuk
mempromosikan produksi beras, sebaliknya Majapahit memperoleh rempah
dan kebutuhan material besi.93 Orang-orang Majapahit membangun pelabuhan
khusus Tuban pada 1352 untuk pemberangkatan kapal ke wilayah Banda dan
Maluku.94
Pada bagian lain pedagang Cina pada abad ke-14 dan ke-15 sudah intensif
berlayar menggunakan rute Jawa. Pelayaran mereka tidak hanya berasal dari
Cina selatan, akan tetapi juga berasal dari Kamboja, Vietnam dan Thailand.
Pedagang Cina mencari lada dan tanaman rempah lain seperti secang yang
tersedia di pelabuhan pantai utara Jawa.95 Pedagang Cina membawa kain
sutera dan keramik yang akan mereka pertukarkan dengan komoditas yang
mereka cari. Selain pedagang Cina, pedagang India juga singgah di pelabuhan
pesisir utara Jawa dengan membawa kain katun yang akan mereka pertukarkan
dengan lada, cendana, dan gaharu yang mereka peroleh dari pedagang Jawa.96
93 Besi diperoleh oleh kerajaan Majapahit dari Banggai, Luwuk Sulawesi Selatan merupakan
besi yang khusus untuk membuat keris. Pada karya Negarakertagama, Banggai disebut sebagai
Banggawi. Pigeaud. Op.cit. Java in The Fourteenth Century…., hlm. 34.
94 Tuban dipergunakan sebagai pelabuhan pemberangkatan menuju kepulauan rempah-
rempah, karena pelabuhan ini tempat pembuatan kapal Majapahit dan juga pelabuhan Tuban langsung
berhadapan dengan laut lepas. Untuk hal ini lihat. Lombard. Nusa Jawa: Silang Budaya. Jaringan Asia.
Jilid. 2, hlm. 51.
95 Pedagang-pedagang pelabuhan pesisir utara Jawa memperoleh kayu secang dari Sumbawa
yang dikenal sebagai kayu brazil atau kayu pewarna merah. Untuk hal ini lihat. Meilink-Roelofsz. Op.cit.
Asian Trade and European Influence, hlm. 100.
96 Meilink-Roelofsz. Ibid., hlm. 103.
97 Pertengahan abad ke-11 komunitas pelabuhan Manananjung di lembah sungai Brantas
menempatkan beras merupakan yang pertama untuk daftar kebutuhan pokok untuk gudang pelabuhan.
112 | Jalur Rempah dan Dinamika Masyarakat Abad X - XVI
Untuk hal ini lihat. Christie. Op.cit. “Javanese Market and Asia Sea Trade Boom of Tenth of Thirteenth
A.D” , hlm. 344-381.
98 Untuk hal ini lihat. Pires. Op.cit. Suma Oriental, hlm. 246.
99 Reid. Op.cit. Asia Tenggara Dalam Kurun….hlm. 189.
114 | Jalur Rempah dan Dinamika Masyarakat Abad X - XVI
Peran kawasan pantai Juwana, Rembang dan Lasem di pantai utara Jawa
dalam dunia maritim di Nusantara sudah muncul sejak masa-masa awal abad
masehi. Ketika kerajaan Sriwijaya berkembang pesat di dunia Melayu sejak
abad ke-7 masehi, tampaknya Lasem dan pelabuhan di sekitarnya memiliki
peran penting di bidang kemaritiman. Sebuah kapal yang diperkirakan berasal
dari abad ke-7 masehi ditemukan di pantai Punjulharjo, Lasem, Jawa Tengah.101
Tidak menutup kemungkinan kawasan ini menjadi pusat-pusat perdagangan
penting baik perdangan lokal, antarpulau maupun pelayaran dan perdagangan
internasional. Peran ini semakin penting ketika pusat kekuasaan politik di Jawa
pindah dari pedalaman Jawa Tengah ke Jawa Timur yang tampaknya sangat
menekankan pada kegiatan pelayaran dan perdagangan.
Berdasarkan catatan sejarah yang ada, nama Lasem baik sebagai kota
pelabuhan maupn sebagai sebuah wilayah administratif lebih dahulu dikenal
daripada Rembang. Nama Lasem sudah dikenal sejak zaman kerajaan Majapahit
ketika diperintah oleh raja Hayam Wuruk. Pada masa pemerintahannya,
Lasem merupakan salah satu daerah vasal kerajaan Majapahit. Sumber lokal
100 Indrianto, dkk., “Rekontruksi Situs Galangan Kapal Lasem untuk Pengembangan Promosi
Paket Wisata Bahari di Rembang” (Laporan penelitian yang dibiayai oleh Direktorat Jenderal Pendidikan
Tinggi, Departemen Pendidikan Nasional, 2005).
101 “Situs Perahu kuno Punjulharjo, Perahu Tertua Abad-7 Zaman Mataram Hindu”, dalam:
http://rembanghitscomunity.blogspot.co.id/2016/04/situs-perahu-kuno-punggul-harjo-perahu.
html (Dikunjungi, 18 Desember 2017).
Produksi Rempah, Pelabuhan dan Jaringan Perniagaan di Nusantara | 115
yaitu Badrasanti menyebutkan bahwa pada tahun Saka 1273 Lasem diperintah
oleh Dewi Indu, seorang adik Hayam Wuruk dari Wilwatikta. Dewi Indu
yang bersuami Pangeran Rajasa Wardhana mempunyai wilayah kekuasaan
dari daerah Pacitan sampai ke muara Bengawan Silungangga.102 Bengawan
Silungangga diidentikan dengan Bengawan Solo. Berdasarkan keterangan
tersebut dapat diperkirakan bahwa Lasem merupakan salah satu pusat kerajaan
di bawah Majapahit yang wilayahnya cukup luas yaitu antara Pacitan di kawasan
pantai Laut Selatan hingga Muara Bengawan Solo berada di pantai utara Jawa.
102 Sri Soejatmi Satari, “Caruban, Lasem: Suatu Situs Peralihan Klasik – Islam”, Dalam:
Pertemuan Ilmiah Arkeologi III. Proyek Penelitian Purbakala Jakarta, Departemen Pendidikan dan
Kebudayaan, 1985, hal. 487-488. lihat juga Rekso Wardojo (ed), Sabda Badrasanti, 1985. Semarang,
tanpa penerbit.
116 | Jalur Rempah dan Dinamika Masyarakat Abad X - XVI
diperintah oleh seorang dengan gelar Paduka Bhattara, Bhrai atau Bhre.
Disebutkan dalam kitab itu bahwa kerajaan-kerajaan kecil sebagai vasal
kerajaan majapahit adalah Daha, Wengker, Matahun, Lasem, Pajang, Peguhan,
Singasari, Wirabhumi, Mataram, Kahuripan, dan Panawuhan.103
Sebuah prasasti yang berangka tahun 1273 Saka (1351 Masehi) yang
dikeluarkan oleh Rakryan Mahapatih Mpu Mada menggambarkan tentang arti
penting Lasem dalam kontek politik di pusat kerajaan Majapahit. Prasasti itu
menyebutkan adanya semacam dewan pertimbangan kerajaan Majapahit yang
disebut “Bhattara Saptaprabhu”. Dewan pertimbangan ini memiliki anggota
yang terdiri dari para sanak-saudara raja yang berjumlah 7 orang, salah satu dari
padanya adalah penguasa dari Lasem yang mendapat sebutan Bhre Lasem.104
Pentingnya Lasem juga bisa dilihat dari kenyataan bahwa dalam serangkaian
kunjungannya ke berbagai wilayah kerajaan yang dilakukan oleh Raja Hayam
Wuruk sebagaimana yang digambarkan dalam kitab Negara Kertagama.
Diceritakan dalam kitab itu bahwa raja Hayamwuruk telah berkunjung ke
Lasem pada tahun 1276 Saka, sedangkan Pajang pada tahun 1275 Saka, ke
Lumajang pada tahun 1281 Saka, dan sebagainya.
103 Slamet Muljono, Negara Kertagama dan Tafsir Sejarahnya. 1979. Jakarta: Bharatara Karya
Aksara.
104 Slamet Muljono, ibid., hal. 56; lihat juga dalam Sartono Kartodirdjo, 1975. Sejarah Nasional
Indonesia, II. Jakarta; Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, hal. 279.
Produksi Rempah, Pelabuhan dan Jaringan Perniagaan di Nusantara | 117
Bhre Hyang Wisesa, Bhre Lasem yang diperistri oleh Bhre Tumapel dan Bhre
Matahun. Bhre Lasem terakhir yang disebutkan adalah anak Bhre Pandan Salas
yang diperistri Bhre Tumapel. Sesudah itu belum ditemukan lagi informasi
mengenai penguasa di Lasem, yang mungkin menghilang bersamaan dengan
kemunduran dan keruntuhan kerajaan Majapahit pada abad ke- 16.105
109 Mengenai hubungan dagang antara kerajaan-kerajaan pantai utara Jawa dengan daerah-
daerah atau negeri-negeri lain di Asia dan Timur Tengan dapat dibaca dalam J.C. Van Leur, 1955,
Indonesian Trade and Society. The Hague Bandung: W Van Hoeve; Lihat juga dalam B.J.O. Schhrieke,
1959, Indonesian Sosiological Studies. The Hague Bandung: W. van Hoeve.
110 H.J. de Graaf, op.cit., hlm. 33-53.
111 Mengenai pendudukan dan pembakaran kraton Kartosuro oleh pemberontak Cina
dipimpin oleh Mas Garendi dapat dibaca dalam Leupe, “Verhaal van het gepaseerde te Kartasura voor
der vesting, door de opperchirurgijn. Aarnout Gerrits, 1742”, dalam BKI, 1964, No. 11, hlm. 119.
112 P. J. Veth, Java: Geografisch, Etnologisch, Historisch, jilid III, 1875-1878. Haarlem: De Erven
F. Bohn, hlm. 464.
Produksi Rempah, Pelabuhan dan Jaringan Perniagaan di Nusantara | 119
Sejak tahun 1777, produksi kayu jati di Lasem dan Rembang serta daerah
sekitarnya dimonopoli oleh VOC. Sebagian besar kayu jati dari daerah ini
dikirim ke Batavia yang digunakan untuk membangun sarana dan prasarana
yang dibutuhkan oleh VOC dan sebagian dijual kepada perusahaan swasta.
Setiap tahun dari daerah Rembang (termasuk Lasem), lebih dari 50.000 batang
dan 75.000 papan kayu jati dikirim ke Batavia. Sebagian besar kayu ini diangkut
oleh para pelayar Cina. Hanya sebagian kecil saja (sekitar 15%) diangkut oleh
prahu pribumi. Baik orang-orang Cina maupun orang Jawa yang berperan
dalam pengapalan kayu jati ini berasal dari Rembang dan Lasem. Namun
demikian sebagian besar armada yang digunakan untuk mengangkut kayu ini
berasal dari Lasem yaitu sekitar 2/3 volume prahu yang mengangkut sekitar 50
hingga 60% kayu jati dari kawasan Rembang.113
2. Jepara
Meskipun masih dalam perdebatan, kemunculan Jepara di atas panggung
sejarah Jawa setua dengan kerajaan Matara di pedalaman Jawa Tengah dan
Sriwijaya di Palembang (Sumatra). Menurut buku “Sejarah Baru Dinasti Tang
(618-906 M)” mencatat bahwa pada tahun 674 M seorang musafir Tionghoa
bernama I-Tsing pernah mengunjungi negeri Holing atau Kaling atau Kalingga
yang juga disebut Jawa atau Japa dan diyakini berlokasi di Keling, kawasan
timur Jepara sekarang ini. Pada waktu itu kerajaan ini dipimpin oleh seorang
raja wanita bernama Ratu Shima yang dikenal sangat tegas.114 Namun demikian
113 Lihat G.J. Knaap, Shallow Waters, Rising Tide: Shipping and Trade in Java around 1775
(Leiden: KITLV Press, 1996), hlm. 56 -60.
114 Banyak sarjana yang mengasosiasikan Ho-ling dengan kerajaan Kalingga yang berpusat
di kawasan Jepara. Pada tahun 422 seorang pendeta Buddha dari India berkunjung ke Ho-ling dalam
perjalanannya ke Cina. Ia sempat tinggal selama beberapa tahun di Ho-ling dan menjadi penasehat
raja Ho-ling yang juga beragama Buddha. Ho-ling juga telah mengirim utusan ke Cina bebeapa kali dari
tahun 430 hingga tahun 660-an. Lihat Keneth R. Hall, Maritime Trade and State Development in Early
120 | Jalur Rempah dan Dinamika Masyarakat Abad X - XVI
sayang sekali bahwa tidak ada informasi lebih detail mengenai sejarah Jepara
selama periode sebelum datangnya pengaruh Islam.
Southeast Asia (Honolulu: University of Hawaii Press, 1985), hlm. 104. Lihat juga W.J. Van der Meulen,
S.J., “In Search of Ho-ling”, Indonesia 23 (1977), hlm. 87-111.
115 M.C. Ricklefs, Sejarah Indonesia Modern 1200-2004 (Jakarta: Serambi Ilmu Semesta,
2005), hlm. 80-89).
116 H.J. de Graaf & Th. Pigeaud, De Eerste Muslimse Vorstendommen op Java: Studien over de
staatkundige Geschiedenis van de 15 en 16 de Eeuw (Leiden: KITLV, 1974), hlm. 93.
Produksi Rempah, Pelabuhan dan Jaringan Perniagaan di Nusantara | 121
117 Armando Cortesao, The Suma Oriental of Tome Pires: An Account of the East, 2nd Series
(London: Hakluyt Society, 1944), hlm. 187-188.
122 | Jalur Rempah dan Dinamika Masyarakat Abad X - XVI
Kemakmuran Jepara bisa dilihat dari deskripsi tentang kotanya. Kota ini
merupakan satu-satunya kota dengan tembok untuk pertahanan, di sekitar
pantainya dibangun dinding dari batu karang, dengan berbagai macam kubu-
kubu pertahanan dan meriam. Meskipun demikian, Jepara tidak terlindungi
dan terbuka bagi serangan yang datangnya dari arah pedalaman.122 Dalam
kota Jepara rumah-rumah dibangun dengan batu dan kapur. Jalan, tembok,
lapangan, dan pemandangan di sekitarnya menarik, dihiasi gedung-gedung
serba indah. Menyenangkan sekali berjalan-jalan di Jepara. Pasar-pasar penuh
dengan orang Jawa, Persia, Arab, Gujarat, Cina, Koromandel, Aceh, Melayu,
Peguana, dan lain-lain bangsa.
pada waktu itu masih merdeka. VOC dapat memperoleh segala kebutuhan
akomodasinya dari Surabaya. Bahkan VOC pun sanggup membantu Surabaya
dalam melawan Mataram meskipun hal itu masih bersifat basa-basi karena
Belanda melihat Surabaya memiliki potensi konflik yang tinggi.124
3. Tuban
Tuban merupakan kota pelabuhan tertua di Jawa dan mengalami
perkembangan pesat pada abad ke-11. Orang-orang Cina pada abad ke-13
berupaya untuk menaklukkan Tuban, tetapi gagal.125 Sebagian upeti-upeti dari
negara-negara bawahan mencapai ibukota Majapahit melalui pelabuhan Tuban.
Upeti ini membawa kekayaan dan kemakmuran bagi tuban dan penguasanya.
Tome Pires menggambarkan Tuban bukan sebagai kota perniagaan dan
pusat perdagangan. Tuban bahkan tidak memiliki pelabuhan yang layak
untuk berlabuhnya kapal-kapal yang relatif besar dan berat. Tuban hanya
memiliki tempat berlabuh terbuka yang berjarak cukup jauh dari kota.126 Pada
dasarnya Tuban menjadi pelabuhan makmur, karena menjadi kota pelabuhan
Majapahit.127
Gambar 3.6 Dermaga Boom Tuban yang masih beroperasi hingga saat ini
Sumber: Dokumentasi Direktorat Sejarah, 2017
128 Pelabuhan Tuban langsung berhadapan dengan Laut Jawa. Selain itu, penghubung antara
kota pelabuhan dengan pedesaan pengahasil produk pertanian melalui jalan darat. Untuk hal ini lihat.
Pires. Op.cit. Suma Oriental, hlm. 190.
129 Di Jawa peperangan antara kota-kota Islam di pantai utara dan kerajaan Hindu Majapahit
merupakan pertikaian yang cukup lama, dengan akibat orang Hindu mundur ke arah timur. Kekayaan
karena perdagangan dan teknologi militer sepanjang abad ke-16 membantu meningkatkan kekuatan
kota-kota pelabuhan seperti Demak, Jepara, Tuban, Gresik dan Surabaya. Untuk hal ini lihat. Reid.
Op.cit. Asia Tenggara Dalam Kurun Niaga … Jilid 2, hlm. 75-76.
130 Pigeaud. Op.cit. Java in The Fourtenth Century…, hlm. 33
Produksi Rempah, Pelabuhan dan Jaringan Perniagaan di Nusantara | 127
131 Tuban menjadi kantor dagang kerajaan Majapahit yang mengurus jaringan perdagangan.
Dalam Negarakertagama dinyatakan bahwa daerah itu mengirim seluruh hasil tanam pada setiap musim
panen. Kepada mereka diutus “pembesar-pembesar dan pejabat-pejabat tinggi untuk memungut upeti
secara tetap. Pigeaud. Op.cit. Java in The Fourteenth Century…., hlm. 12.
132 Pada abad ke-15, kota pelabuhan Tuban pernah sebagai sarang pebajak laut. Di sini
berkumpul bajak laut dari Cina dan Jawa yang menggunakan kapal-kapal jung besar.
133 Pada waktu itu, budak memang merupakan simbol status penting, yang menandakan para
bangsawan seringkali berperang untuk mendapatkan prajurit yang dikalahkan sebagai budak. Untuk hal
ini lihat. Lapian. Pelayaran dan Perniagaan Nusantara…., hlm. 51.
128 | Jalur Rempah dan Dinamika Masyarakat Abad X - XVI
Pada awal abad ke-15, orang-orang Banda sering singgah di Hitu untuk
mendapatkan beras yang dibawa oleh orang-orang Tuban. Sebaliknya, pedagang
Tuban singgah di pelabuhan Banda dengan membawa lada, beras dan garam
untuk ditukarkan dengan pala dan fuli, atau ditukarkan dengan kain tenun
Gujarat atau kain putih Koromandel. Kain putih menjadi kebutuhan orang-
orang Banda untuk ritual kematian. Jenazah yang akan dikuburkan dibungkus
dengan kain putih tersebut.
4. Gresik
Gresik merupakan Pelabuhan penting di pesisir utara Jawa pada abad ke-14
hingga awal abad ke-17. Pelabuhan Gresik ini mengendalikan impor rempah-
rempah dari Banda dan Maluku menuju ke pelabuhan Malaka. Tome Pires tidak
secara eksplisit menceritakan telah berlangsung relasi perniagaan rempah-
rempah antara Kepulauan Maluku, Jawa dan Malaka. Setiap tahun, 8 kapal
jung berlayar bersama dari Malaka dan Gresik menuju pelabuhan Banda dan
Maluku. Terdapat empat kapal dari Gresik dan empat kapal lainnya dari milik
saudagar Malaka. Penguasa Jawa di Gresik—yang bersama pedagang Hindu
di Malaka sangat menguasai seluk-beluk perdagangan rempah-rempah—juga
134 Kemungkinan kepulauan Banda tidak menjadi menjadi bawahan (vassal) dari kerajaan
Majapahit yang mesti memberikan upeti, karena agama Hindu yang dianut oleh Majapahit tidak
mempunyai pengaruh di Banda maupun di kepulauan Maluku lainnya.
Produksi Rempah, Pelabuhan dan Jaringan Perniagaan di Nusantara | 129
Pelabuhan Gresik selain pedagang pengepul, ada pula pedagang eceran yang
diperkirakan telah dimulai abad ke-11. Perdagangan eceran masih berlangsung
ketika Belanda hadir di kepulauan nusantara akhir abad ke-16. Pedagang dari
Malaka, berlayar sebagai penumpang atau awak kapal jung besar, berlayar
dengan membawa barang dagangannya, terutama kain ke Jawa. Di Jawa,
mereka menjual semua tekstil terbaik mereka untuk mendapatkan uang tunai
(koin tembaga Cina). Kemudian, mereka melanjutkan pelayaran ke Sumbawa.
Di sana mereka membeli kain katun murah dengan barang dagangan yang
mereka bawa dari Jawa. Uang tunai dan barang dagangan itu mereka tukarkan
dengan pala, fuli dan cengkeh di kepulauan Banda dan Maluku.136
Barat, atau pada abad ke-15 sudah berasimilasi dengan orang Asia Barat dan
penduduk Jawa.
Gresik boleh dikatakan sebagai pelabuhan utama untuk kain dari rute barat
dan rempah-rempah dari Maluku. Pires dengan puitisnya mendeskripsikan
untuk pelabuhan ini “Pelabuhan perdagangan bebas terbaik di seluruh Jawa,
Produksi Rempah, Pelabuhan dan Jaringan Perniagaan di Nusantara | 131
Pada waktu itu Gresik juga merupakan pelabuhan utama untuk kain tekstil
dari India, dan rempah-rempah dari Maluku. Eratnya perdagangan Maluku di
pelabuhan Gresik dengan Malaka terlihat jelas. Selain itu perniagaan Gresik
dengan kepulauan rempah-rempah telah mendorong pedagang kepulauan
Banda untuk aktif berniaga di perairan laut di rute selatan. Ketika, orang-orang
Banda memperoleh keuntungan dari perdagangan pala, mereka membeli
perahu-perahu jung di pelabuhan Gresik.144
143 Cerita rakyat atau folklor ini adalah sebuah sindiran terhadap sebuah legenda terkenal
Belanda tentang seorang perempuan pedagang kaya sebuah kota terkenal stavoren atau staveren.
Untuk hal ini lihat. Meilink-Roelofsz. Op.cit. Asian Trade…, hlm. 106.
144 Perahu jung itu dipergunakan oleh pedagang Banda untuk keperluan pelayaran jarak jauh.
Pedagang Banda merupakan pelaut dari Indonesia bagian timur pada abad ke-16 yang satu-satunya hilir
mudik dalam perniagaan maritim. Untuk hal ini lihat.Meilink-Roelofsz. Ibid., hlm.110.
145 Untuk hal ini lihat. Pires. Op.cit. Suma Oriental…, hlm. 199.
146 Pedagang-pedagang Cina sejak berdirinya bandar Malaka pada akhir abad ke-15 tidak lagi
singgah ke pelabuhan-pelabuhan di Jawa, akan tetapi mereka menunggu pedagang Jawa dan kepulauan
rempah-rempah hadir di Malaka.
147 Untuk hal ini lihat. Pires. Op.cit. Suma Oriental…., hlm. 230.
148 Pada bulan Oktober kapal-kapal sudah berangkat dari Maluku menuju pusat-pusat
perdagangan di Makassar, Gresik, Demak, Banten, sampai ke Malaka dan kota-kota lain disebelah barat.
Lapian. Op.cit. Pelayaran dan Perniagaan…, hlm. 4.
Produksi Rempah, Pelabuhan dan Jaringan Perniagaan di Nusantara | 133
(kiwi). Karena perjalanan jauh dan menempuh waktu yang lama, maka mereka
singgah di sejumlah pelabuhan pesisir utara-tengah Jawa. Pada abad ke-15-16
kota pelabuhan pesisir utara Jawa telah seperti emporium, artinya pelabuhan
telah menyediakan segala macam komoditi yang diperlukan. Sehingga mereka
dapat bertransaksi dengan mudah pada hari-hari di mana mereka singgah.
Misalkan di Jepara, mereka bisa mendapatkan beras murah, dan memperoleh
keramik dan gelas asal Siam. Kemudian, singgah di pelabuhan Lasem bisa
berniaga dan memperoleh uang kepeng tembaga Cina dan kain-kain berasal
dari Benggala.149
menggunakan kapal jung berukuran kecil, usaha Pati Yusuf itu mengalami
kegagalan. Dia kembali melakukan penyerangan terhadap kekuasaan Portugis
di Malaka dengan memesan sejumlah kapal di Pegu, akan tetapi tetap
mengalami kegagalan.156 Sejak itu hubungan Gresik dan Pelabuhan di Malaka
mengalami kemunduran dan para pedagang nusantara memindahkan pusat-
pusat perdagangannya ke daerah lain di pantai timur dan barat Sumatera dan
Banten di Jawa.
S
umber-sumber Sejarah tentang kepulauan Banda bersepakat bahwa di
kepulauan itu tidak ada kerajaan yang dipimpin oleh raja. Desa-desa
di sana dipimpin oleh orang kaya. Istilah orang kaya adalah keluarga
(oligarki) tertua di desa yang mempunyai basis kekayaan atas tanah dan
harta. Hal ini seperti di Mangindanao, Filipina desa komunal (barangay) yang
dipimpin oleh orang kaya.
1 Dalam sistem perkebunan ada keteraturan dan perawatan untuk pohon pala hingga
menghasilkan buah berkualitas. Juga, terdapat peraturan memetik buah pala, harus sudah merekah,
kalau melanggar akan dikenakan hukuman.
140 | Jalur Rempah dan Dinamika Masyarakat Abad X - XVI
Berdasarkan catatan Tom´e Pires penduduk Banda pada abad ke-16 antara
2500 hingga 3000 jiwa. Penduduk Banda memiliki kulit yang cerah dan rambut
hitam yang lurus, berkebalikan dengan orang Maluku yang mempunyai
kulit hitam dan rambut ikal keriting. Andreas Der Urdaneta, orang yang
mengunjungi kepulauan Banda pada 1535, mempunyai kesan telah tampak
tanda kemakmuran, usaha-usaha perniagaan dan kemajuan peradaban di
sana.2
Dari deskripsi pertukaran di atas, pala dan fuli menjadi daya tarik
kedatangan pedagang Jawa, Melayu dan Cina di abad ke-15 dan ke-16 ke
kepulauan Banda. Akhirnya mereka tinggal di sana dan menikahi perempuan
lokal. Pedagang dari pelabuhan pesisir utara Jawa seperti Tuban, Jaratan,
Gresik, Sedayu dan Surabaya biasanya mereka beberapa bulan tinggal di
kepulauan Banda menunggu musim angin yang baik untuk membawa mereka
kembali. Dalam situasi seperti ini mereka seringkali mengambil istri sesaat di
kalangan perempuan lokal. Pada 1609, saudagar Jawa menetap di kepulauan
Banda sekitar 1500 orang.4
2 Untuk hal ini lihat. Villers. Op.cit. “Trade and Society in The Bandan Islands…”, hlm. 723-750.
3 Pada 1547 saudagar Spanyol yang bersaing dengan Portugis dapat memperoleh 800 kuintal fuli
dan 6000 kuintal pala. Villiers. Op.cit.. “Trade and Society….,” hlm. 723-750.
4 Untuk hal ini lihat Villiers. Ibid., hlm. 723-750
Terbentuknya Komunitas Pesisir dalam Perniagaan Rempah | 141
5 Produk-produk rempah Maluku dan Banda yang dikapalkan oleh para pedagang Arab ke Timur
Dekat biasanya melewati pelabuhan-pelabuhan di India atau Srilanka dan sebagian dijual di sana. Untuk
hal ini lihat. Thalib. Op.cit. Islam di Banda Neira…, hlm. 63.
6 Orang Cina juga mengenal cengkeh dan pala pada masa Dinasti Tang, tetapi menggunakannya
dengan hemat sebelum abad ke-5. Untuk hal ini lihat. Reid. Op.cit. Asia Tenggara Dalam Kurun Niaga….
Jilid II, hlm. 5.
7 Jung, perahu layar besar dilengkapi beberapa tiang layar untuk perjalanan jauh membawa awak
seratus lebih bobot dari 150 hingga 400 ton, asal dari Jawa.
8 Untuk hal ini lihat. Schieke. Indonesian Sociological Studies. Selected Writing. Vol.2. The Hague:
W. Van Hoeve, 1957, hlm. 103.
142 | Jalur Rempah dan Dinamika Masyarakat Abad X - XVI
di wilayah Nusa Tenggara Timur. Hal yang sama dilakukan oleh perempuan
Banda mengenakan pakaian kulit kayu untuk bagian tubuh bawah, sedangkan
bagian atas telanjang. Mereka berpakaian seperti itu hanya pada upacara tradisi
keagamaan yang membutuhkan berpenampilan sempurna di hadapan Tuhan
Maha Pencipta. Oleh karena itu, ketika saudagar Jawa pertama kali datang ke
kepulauan Banda membawa pakaian bagi mereka merupakan suka cita.9
Juga, pada awal abad ke-12 penduduk Banda masih mengumpulkan pala
yang jatuh ke tanah dari pohon pala liar. Mereka mengumpulkan pala itu
sebelum dipertukarkan yang pengumpulannya dipusatkan di Orantata, Pulau
Banda Besar. Ketika itu, kepulauan Banda yang menghasilkan pala adalah
pulau Banda Besar, Neira, Ai, Run dan Rozengain (Pulau Hatta). Sedangkan,
pulau Gunung Api dijadikan tempat sebagai tanaman pohon lain yang
kayunya dipergunakan untuk membangun rumah dan kayu api. Sementara itu,
setelah pengiriman fuli dan biji pala secara teratur berlangsung tahun 1370
ke luar kepulauan Banda, maka mereka dapat membeli sejumlah budak untuk
membudidayakan pohon pala.11
Orang kaya kepulauan Banda tidak hanya dari kalangan jenis kelamin
lelaki, tetapi juga perempuan. Orang kaya perempuan dalam menyelenggarakan
kegiatan perniagaan seperti negosiasi dengan pedagang asing berpakaian
berjubah yang menutupi kepala dan berlengan panjang. Ketika, perempuan
orang kaya keluar dari rumah, dia diikuti dan dikawal oleh budak perempuan
yang membawa kipas dan payung.
Sementara itu, orang kaya pria berpakaian celana hingga sebatas betis dan
baju berbahan sutra, sedangkan bagian kepala berbulu burung cenderawasih.
Juga di bagian belakang orang kaya diikuti oleh budak-budak yang membawa
senjata laras panjang milik tuannya. Dalam berpakaian mewah seperti itu,
14 Pengelompokkan orang kaya dipergunakan Reid untuk menganalisa peran mereka di zaman
perdagangan Asia Tenggara dalam Asia Tenggara Dalam Kurun Niaga Jilid 2 Jaringan Perdagangan
Global, hlm. 134-135.
15 Gaya hidup orang kaya di Mangindanao, Filipina berlimpah kekayaan mulai dari berpakaian
berlapis emas, keris dengan gagang emas, berlian, dan makanan yang banyak dilayani oleh istri-istri
mereka. Untuk hal ini lihat. William Henry Scott. Barangay. Sixteenth Century Phillippine Culture and
Society. Manila: Ateneo University Press, 2004, hlm. 175-176.
Terbentuknya Komunitas Pesisir dalam Perniagaan Rempah | 145
oleh orang kaya. Singkatnya, terdapat dewan yang terdiri dari orang-orang tua
kampung yang sangat dihormati, tetapi tidak ada federasi dewan-dewan di satu
pulau atau yang meliputi seluruh kepulauan tersebut.
Pedagang Jawa pesisir utara seperti Gresik, Tuban, dan Melayu berlayar
menuju kepulauan Banda melalui jalur selatan yakni mulai dari Sumatera, Jawa,
Bali, Nusa Tenggara Barat (NTB), Nusa Tenggara Timur (NTT), dan masuk
ke kepulauan Maluku bagian tenggara di perairan kepulauan Banda. Jalur
selatan ini memudahkan pelayaran karena jarak antara satu pulau dengan pulau
lainnya dekat bahkan terlihat sambung-menyambung dan hanya dibatasi oleh
selat yang tidak begitu besar, sehingga lebih aman, mudah dicapai dan dikenali.
Pada abad ke-14 pedagang Jawa hampir setiap tahun berlayar mengunjungi
kepulauan Banda, mereka menggunakan perahu jung berlayar dengan awak 100
orang. Pada umumnya, perjalanan ditempuh selama 3 bulan tiba di pelabuhan
Banda Naira.19 Mereka menetap di sana untuk sementara menunggu arah angin
yang menguntungkan untuk membawa mereka pulang. Jika, mereka berangkat
18 Mulai abad ke-15 pedagang Jawa dan Malaka yang berdagang di pelabuhan Malaka berkunjung
ke kepulauan Banda setiap tahun. Untuk hal ini lihat. Tome Pires. Op.cit. Suma Oriental, hlm. 240
19 Selama perjalanan 3 bulan dengan membawa awak kapal 100 orang mereka memerlukan
makanan yang memadai. Kegiatan awak kapal yang pokok dan tidak pernah disoroti adalah memasak
makanan seperti menanak nasi. Untuk menanak nasi adalah perlunya pengapian. Pada abad ke-14
sudah dipergunakan arang untuk mendapatkan api yang baik bagi memasak. Arang ini diproduksi secara
masif di Cina. Ibid., Lombard. Op.cit. Nusa Jawa…Jilid II, hlm. 263.
Terbentuknya Komunitas Pesisir dalam Perniagaan Rempah | 147
dan mereka meminta untuk menjadi alat tukar dengan pala dan fuli.
Pola relasi perempuan dan pria itu merupakan ritus perkawinan resmi
dilakukan untuk hubungan yang sifatnya sementara ini, atas mana kedua
belah pihak terikat secara hukum. Apabila suaminya mempunyai barang untuk
dijual, dia membangun tempat jualan, dia menjualnya secara eceran, dengan
keuntungan yang jauh lebih baik dibandingkan kalau dijual secara borongan.
22 Pola perkawinan sementara antara pedagang Jawa dan perempuan lokal berlaku pula untuk
pedagang asing di Asia Tenggara seperti di Pegu, Filipina dan Thailand pada abad ke-15 dan ke-16. Cerita
di atas dikutip dari Reid. Op.cit. Asia Tenggara Dalam Kurun Niaga…Jilid 1, hlm. 178.
Terbentuknya Komunitas Pesisir dalam Perniagaan Rempah | 149
23 Tampaknya orang kaya Banda belajar berdasarkan pengalaman mereka, ketika mengunjungi
Malaka, di sana melihat syahbandar kolektif melayani beragam suku bangsa. Untuk hal ini lihat Hall.
Op.cit. A History of Early Southeast Asia…, hlm. 316.
24 Ekstirpasi—pembinasaan pohon pala menurut daftar yang telah dibuat lebih dulu, terutama
pohon yang pernah berbuah sekali atau lebih, tujuan kebijakan tersebut, mengatur supaya jumlah
pasokan pala dan fuli tidak terlalu banyak di pasar.
25 Informasi penggalian arkeologis ini diperoleh dari Alwi. Op.cit. Sejarah Maluku. Banda Neira,
Ternate, Tidore dan Ambon, hlm. 18.
150 | Jalur Rempah dan Dinamika Masyarakat Abad X - XVI
mangkok buatan Cina. Barang-barang ini merupakan pelayaran jarak jauh dan
menggunakan jalur yang berbahaya. Juga, barang-barang ini menggunakan
ruang-ruang yang terbatas di dalam kapal. Menurut Meilink-Roeloefsz barang-
barang tersebut merupakan kelompok komoditi mewah. Kelompok barang-
barang ini dikenakan tarif 1/11 bagian dari jumlah modal.26
Kemudian, kapal atau perahu layar pedagang Cina adalah kapal jung,
biasanya mereka dengan membawa awak kapal sekitar 100 orang dengan
berat volume kapal 400 ton. Kapal layar pedagang Cina ini mempunyai layar
sebanyak tiga buah. Satu layar di depan dan dua layar lainnya di bagian tengah
perahu. Kapal jung pedagang Cina mempunyai dua cadik, bagian depan dan
bagian belakang. Kedua cadik itu mempunyai hiasan ular naga yang sedang
menyeringai seperti kijang.
Jalur kedua, berangkat dari kota pesisir Guangzhou melewati pesisir barat
Vietnam, pelabuhan Hannam, kemudian melalui Champa (Kambodia), Pulau
26 Barang-barang yang diangkut dengan jarak jauh biasanya sudah diasumsikan sebagai barang
mewah. Untuk hal ini lihat. Meilink-Roelofsz. Op.cit. Asian Trade and European Influence, hlm. 56.
Terbentuknya Komunitas Pesisir dalam Perniagaan Rempah | 151
27 Sebenarnya masih ada jalur maritim yang ketiga, dikenal dengan nama “rute Borneo”. Jalur
ini ditemukan oleh pedagang Portugis, ketika mereka berlayar ke Banda, setelah menaklukkan Malaka.
Pedagang Portugis dari Malaka menuju ke Brunei dan mereka menyebut Brunei menjadi Borneo untuk
seluruh kepulauan tersebut sesuai dengan ejaan dan ucapan Portugis. Untuk hal ini lihat. Lapian. Op.cit.
Pelayaran dan Perniagaan Nusantara…, hlm. 83.
28 Sebagaian besar perdagangan di Filipina dikuasai oleh orang Cina. Untuk hal Ini lihat. Meilink-
Roelofsz. Op.cit. Asian Trade…, hlm, 71.
Terbentuknya Komunitas Pesisir dalam Perniagaan Rempah | 153
Pedagang Cina berlabuh di Banda pada musim angin Timur sekitar Juni
hingga Oktober. Mereka menghindari musim angin Barat, karena Laut Banda
tidak bersahabat ketika musim itu. Pada musim angin Barat sekitar Desember
hingga Maret Laut Banda berombak besar dan angin kencang. Pedagang Cina
berangkat dari Guangzhou atau Guandhong pada Mei dan singgah lebih dulu
di Malaka.
29 Sudah lama orang-orang Kei membuat perahu nelayan berukuran kecil yang diimpor salah
satunya ke kepulauan Banda. Lapian. Op.cit. Pelayaran dan Perniagaan…, hlm. 93
Terbentuknya Komunitas Pesisir dalam Perniagaan Rempah | 155
jalur selatan. Cara kerja seperti itu membutuhkan waktu panjang, situasi itu
membuat pedagang Cina untuk memutuskan tinggal sementara di kepulauan
Banda.
30 Informasi tentang kLenteng Son Tien Kong ini berasal dari pengelola Yayasan Museum Warisan
Sejarah Budaya Banda Neira.
Terbentuknya Komunitas Pesisir dalam Perniagaan Rempah | 157
31 Informasi pengaruh kebudayaan Cina dalam Islamisasi di Banda itu diperoleh dari wawancara
dengan Usman Thalib, Ambon, 11 Mei 2017.
32 Thalib. Op.cit. Islam di Banda Neira…., hlm. 109.
158 | Jalur Rempah dan Dinamika Masyarakat Abad X - XVI
berdirinya dan ramainya bandar Malaka di abad ke-15 hingga abad ke-17.
Pada periode kedua, jalur perniagaan yang dilalui oleh pedagang Arab juga
berbeda. Pada periode ini, mereka berangkat dari kota pelabuhan Hormuz di
pintu gerbang masuk Laut Merah. Kemudian mereka menyusuri pesisir timur
Samudra Hindia, dan masuk ke Selat Malaka. Dari Malaka, mereka mencari
barang dagangan untuk dibawa ke kepulauan Banda. Terutama, mereka
menuju ke pelabuhan Jepara untuk memperoleh beras, bawang merah dan
putih serta lada. Mereka berangkat ke kepulauan Banda dari Malaka dengan
menggunakan jalur selatan melalui Maluku Tenggara.
33 Pada saat itu, produksi rempah-rempah dari kepulauan Banda dipergunakan di Eropa dengan
hemat, karena sulit untuk mendapatkannya. Untuk hal ini lihat. Leirissa. Op.cit. Sejarah Kebudayaan
Maluku, hlm. 16.
34 Informasi ini berdasarkan wawancara dengan Usman Thalib, Ambon, 11 Mei 2017.
Terbentuknya Komunitas Pesisir dalam Perniagaan Rempah | 159
35 Di Banda Besar, di Selamon terdapat makam tua orang Arab yang diduga sebagai salah satu
penyiar agama Islam. Untuk hal ini. Thalib. Op.cit. Islam di Banda Naira…, hlm. 120.
36 Informasi mengenai Hikayat Lonthor ini dikutip dari. Thalib. Ibid., hlm. 112.
160 | Jalur Rempah dan Dinamika Masyarakat Abad X - XVI
Sistem pemerintahan “Lebe Tel Rat At” (Pemerintahan “Tiga Imam Empat
Raja”) mencerminkan pengalaman tiga bersaudara memperoleh pelajaran
Islam di luar daerah yang dimitoskan dengan perjalanan laut ke tempat yang tak
dikenal, memberi status keagamaan yang berbeda diantara keempat bersaudara
itu. Oleh karena saudara ketiga, Keleliang tidak mengikuti perjalanan agama
itu mendapatkan hanya gelar raja di Waer. Sementara itu, masalah keagamaan
di wilayah itu menjadi tanggung jawab Leleway yang menjabat Imam dan raja
di negeri Selamon. Sementara itu, putri bungsu Cilubintang mendapatkan
kedudukan sebagai pemimpin di sebuah hunian baru di Banda Naira, negeri
ratu. Negeri ratu sendiri adalah sebuah kampung dengan garis kepemimpinan
menurut garis keturunan ibu (matrilineal).37 Akan tetapi, persoalan keagamaan,
rakyat negeri Ratu tunduk kepada raja sekaligus imam negeri Lautaka.
37 Di kepulauan Banda apakah seorang anak mengikuti garis keturunan ibu (matrilineal) atau
ayah (patrilineal) berdasarkan pilihan anak setelah akil balik. Informasi ini berasal dari wawancara
dengan Usman Thalib. Ambon, 11 Mei 2017.
Terbentuknya Komunitas Pesisir dalam Perniagaan Rempah | 161
Setelah Ki Bondan meninggal dunia, kedua anaknya itu bekerja pada Raja
Pajang. Ketika raja Pajang meninggal dunia, Panjuwed mendapat kota
Mataram dan Pamanahan mendapatkan kota Pati.”38
Dari teks cerita yang diuraikan dalam Babad Tanah Jawa secara tersamar
dapat diterjemahkan bahwa dengan perkawinan politik antara Cilubintang
dengan bangsawan Majapahit, dan melahirkan seorang anak bernama Bondan
Kejawen yang di kemudian hari anak-anaknya melakukan penyiaran Islam
ke kota-kota pelabuhan utara Jawa. Selain itu, teks Babad Tanah Jawa, juga
memperlihatkan relasi antara Banda Naira dengan Majapahit berkaitan dengan
proses perkembangan Islam di Banda Naira. Cerita itu ditulis akhir abad ke-14
menjelang proses Islamisasi mencapai puncaknya di Naira.
Dari buku catatan harian Francisco Serrau dapat memperjelas bahwa Islam
telah hadir menjadi institusi pada abad ke-15. Selain itu, di kepulauan Banda
telah terselenggara sistem pemerintahan Lebe Tel Rat At atau Tiga Imam Empat
Raja. Juga orang kaya yang mengatur persoalan perdagangan pala dan fuli dan
syahbandar yang mengatur masalah kepelabuhan.
38 Teks Tanah Babad Tanah Jawa ini dikutip dari Thalib. Op.cit. Islam di Banda Naira…, hlm. 115-
116.
39 Teks buku catatan harian dari Francisco Serrau dikutip dari, Thalib. Ibid., hlm. 117.
162 | Jalur Rempah dan Dinamika Masyarakat Abad X - XVI
40 Tidak disebutkan adanya penggunaan kompas di laut hingga abad ke-13, tetapi penggunaanya
dari akhir abad ke-11.
41 Cerita legenda di Maluku banyak dipengaruhi oleh kebudayaan Arab, terutama sebelum
kedatangan bangsa-bangsa Barat. Untuk hal ini lihat. Amal. Op.cit. Kepulauan Rempah-Rempah…., hlm.
5.
42 Amal. Ibid., hlm. 19.
Peta 13. Peta Jalur Pelayaran Samudera Hindia Barat dan Timur
Sumber: Pengolahan Data Badan Informasi Geospasial (BIG), 2017
Terbentuknya Komunitas Pesisir dalam Perniagaan Rempah | 163
43 Pelayaran pedagang Arab menggunakan teks nautika berbahasa Arab yang diberi judul Mohit
(Mengelilingi Laut). Naskah ini disusun di Gujarat pada pertengahan abad ke-16 oleh seorang Laksamana
Turki bernama Sidi Ali Celebi. Dia adalah komandan armada Sultan Soliman yang melawan Portugis.
Untuk hal ini lihat. Meilink-Roelofsz. Op.cit. Asian Trade and European Influence.., hlm. 57.
Terbentuknya Komunitas Pesisir dalam Perniagaan Rempah | 165
kemampuan bermanuver. Kapal Arab lebih kecil dan lebih mudah beradaptasi
dengan kondisi angin dan cuaca di Samudra Hindia daripada junk-junk Cina
yang berat dan berbobot. Walaupun demikian, dhow Arab tidak terlalu kuat
melawan badai.44
Bagi penduduk Banda Naira Alquran menjadi daya tarik tersendiri. Karena
sebagian besar penduduk tidak bisa baca tulis mendengar orang membaca
Alquran dengan keras-keras mereka takjub. Dengan hanya menundukkan
44 Kapal Samudra Arab atau dhow masih digunakan hingga beberapa saat sebulan perang dunia
kedua. Kapal layar itu beroperasi dari pelabuhan Kuwait, mereka membawa penumpang dan barang
dengan biaya murah ke dan dari pesisir timur Afrika dan pesisir barat India. Meilink-Roelofsz. Ibid., hlm.
336
45 Persediaan beras yang melimpah di Jepara hanya 15 real per koyan atau 2 ton, tetapi di Banten
mencapai 40 atau 50 real. Meilink-Roelofsz. Ibid., hlm. 280-281.
46 Pada abad ke-14 komunitas pelabuhan di Neira meliputi orang-orang Arab yang menghuni di
blok terdepan atau bagian utara, sedangkan di blok tengah dihuni oleh orang-orang Banda asli, dan blok
timur atau paling pojok didiami oleh orang-orang Cina. Informasi ini diperoleh dari wawancara dengan
Usman Thalib. Ambon, 11 Mei 2017.
166 | Jalur Rempah dan Dinamika Masyarakat Abad X - XVI
kepala, mata menatap huruf bergaris bisa melantunkan suara yang merdu.
Penduduk Banda melihat pembaca Alquran sebagai orang sakti yang tidak
tertandingi.47
Sulawesi bagian tenggara yang menjadi pintu gerbang sebelah barat menuju
kepulauan rempah-rempah. Mereka berlayar ke Banda menggunakan angin
muson barat. Lama perjalanan dari Buton menuju kepulauan Banda sekitar
satu bulan. Mereka ke Banda dengan tujuan berniaga dengan membawa
peralatan besi seperti kapak, pisau, arit dan mata tombak yang diproduksi di
Tobungku, Luwuk-Banggai. Orang Buton juga menjual suami,49 jenis makanan
yang berasal dari singkong. Makanan singkong ini melalui proses direbus
dengan air bersih dan kemudian disusun tinggi seperti gunung. Jenis makanan
ini menjadi populer di perkebunan-perkebunan pala di masa yang lampau.
Pada abad ke-14 hingga abad ke-16 perniagaan pala dan fuli di kepulauan
Banda semakin ramai, situasi ini berakibat pula pada perkembangan
perkebunan, terutama dirasakan berkurangnya tenaga kerja di perkebunan.
Tenaga perkebunan itu, terutama untuk memetik buah pala dan memprosesnya
menjadi biji dan menguliti dagingnya untuk dijadikan fuli. Pekerjaan ini
membutuhkan banyak tenaga kerja. Pada periode itu, penduduk Banda
membutuhkan budak untuk dapat bekerja di perkebunan. Mereka, juga
mempergunakan mandor sebagai pengawas pekerjaan bagi para budak
tersebut.50
Namun demikian, budak-budak dari Buton dapat diperoleh pula dari orang
49 Informasi ini diperoleh dari Dodi staf peneliti BNP-Ambon melalui surat elektronik pada 5 Juli
2017.
50 Terdapat tiga mandor dalam melaksanan pengawasan di perkebunan. Pertama, mandor yang
mengawasi pemetikan buah pala. Kedua, mandor yang mengawasi pengasapan di dapur pala. Ketiga
atau terakhir, mandor yang mengawasi penyediaan makanan bagi para budak. Informasi ini diperoleh
dari Pongki van Broike di Banda Besar pada 5 Mei 2017.
51 Hanya kapal-kapal layar yang bersenjata yang dapat lolos dari sergapan para pembajak Bugis.
Meilink-Roelofsz. Op.cit. Asian Trade…, hlm. 84.
Terbentuknya Komunitas Pesisir dalam Perniagaan Rempah | 169
kaya melalui pemesanan dari kelas bangsawan Buton yang juga menggunakan
budak. Mereka menggunakan budak untuk mengayuh kapal galle mereka,
sekitar 60-an orang untuk mendayung kapal layar galle, yang seluruhnya
adalah budak. Mereka datang ke perkebunan pala secara bergelombang.
Mereka menciptakan semacam koloni di kebun-kebun pala. Budak sangat
diperlukan oleh perkebunan pala, saat panen dan juga merawat pohon pala,
seperti menyiangi rumput agar pohon pala sehat dan menghasilkan buah yang
berkualitas.
52 Para pembajak dari Bugis ini telah berlayar hingga ke Bago dan berkeliaran di Pesisir Jawa.
Meilink-Roelofsz. Ibid., hlm. 83
53 Meilink-Roelofsz. Ibid., hlm 85.
170 | Jalur Rempah dan Dinamika Masyarakat Abad X - XVI
54 Pelaut Bugis juga memiliki undang-undang maritim yang konon disusun oleh Amanna Gappa,
kepala komunitas Wajo di Makassar. Untuk hal ini lihat. Pelras. Op.cit., Manusia Bugis, hlm. 316.
Terbentuknya Komunitas Pesisir dalam Perniagaan Rempah | 171
seperti beras, bawang merah dan putih, serta lada. Juga, pakaian katun dan
sutra, keramik, peralatan besi, dan emas mereka perdagangkan di pasar Banda.
Kemudian, pengaruh angin muson barat dan timur sangat penting bagi
pedagang asing, terutama untuk menetap sementara di Banda. Pedagang
berlayar tidak sendiri, tetapi satu kapal bisa membawa 100 orang pendayung,
dan ketika mereka menghuni membutuhkan ruang tertentu di Banda.
Menghuni sementara merupakan pertukaran kebudayaan, mereka tidak hanya
berinteraksi satu sama lain, tetapi saling mempengaruhi dan membentuk
proses kebudayaan.
Wilayah Jambi sebagian besar atau enam puluh tujuh persen wilayahnya
merupakan dataran rendah dan selebihnya dataran tinggi serta perbukitan.
Sungai dan rawa mengelilingi sebagian wilayah Jambi. Laut sepanjang pesisir
timur Sumatera menjadi penghubung antara Jambi dengan kota-kota lain
Nusantara dan Asia Tenggara. Rawa air tawar dan gambut Jambi meliputi luas
30-50 km dari pesisir pantai. Sementara ketinggian dataran rendahnya berkisar
0-100 meter di atas permukaan laut meliputi beberapa kabupaten yaitu Kota
Jambi, Tanjung Jabung Barat, Tanjung Jabung Timur, Muaro Jambi, Merangin
dan Batang Hari. Dataran sedang dengan ketinggian 100-500 meter di atas
permukaan laut meliputi kabupaten-kabupaten sebagian Sarolangun, Tebo,
sebagian Batang Hari, Kota Sungai Penuh, Merangin, dan sebagian Tanjung
Jabung Barat. Sedangkan dataran tinggi dengan ketinggian lebih dari 500 meter
di atas permukaan laut meliputi kabupaten-kabupaten Kerinci, Kota Sungai
Penuh, sebagian Merangin, sebagian Sarolangun, dan sebagian Bungo.55 Material
abu vulkanik Pegunungan Kerinci yang dibawa oleh arus sungai-sungai yang
mengalir ke arah Jambi menyuburkan tanah di sepanjang aliran sungai Jujuhan
dan Tebo, sedangkan di wilayah Muara Jambi tanah di sekitarnya justru kurang
subur karena proses sedimentasi sehingga tanah banyak mengandung asam.
55 Lihat Lindayanti dkk. Jambi Dalam Sejarah 1500-1942. Jambi: Dinas Kebudayaan dan Pariwisata
Provinsi Jambi, 2013, hlm 2.
Terbentuknya Komunitas Pesisir dalam Perniagaan Rempah | 173
Satu cerita rakyat yang dikenal dalam masyarakat Jambi terkait hubungan
antara perairan dan aktivitas sosial adalah kisah tentang Batang Hari. Kisah ini
berjudul “Asal Mula Nama Sungai Batang Hari”56 yang menceritakan tentang
pencarian masyarakat Jambi mengenai calon raja yang akan memimpin
Jambi pada suatu masa. Dalam kisah itu disebutkan bahwa calon raja baru
dianggap terpilih jika ia mampu melewati tahapan-tahapan ujian dan beberapa
persyaratan lainnya. Oleh sebab itu dimulailah pemilihan untuk menentukan
calon raja Jambi. Beberapa tokoh masyarakat atau adat pun mengikuti seleksi
calon raja itu, tetapi semuanya mengalami kegagalan karena beratnya ujian.
Adapun tahapan ujian yang harus dilalui oleh para calon raja yaitu lolos dari
api yang dibakar berkobar-kobar, direndam dalam sungai selama tiga hari,
dan digiling dengan kilang besi yang besar. Calon-calon asal Jambi gagal,
kemudian pencarian calon raja baru diarahkan ke luar Jambi yakni hingga ke
India bagian selatan atau “Negeri Keling”, demikian negeri itu disebut dalam
56 Lihat Kaslani. Cerita Rakyat dari Jambi, Volume 2. Jakarta: Grasindo, 1997, dalam pranala
https://books.google.co.id/books?id=cRxVaY59occC&printsec=frontcover&dq=Cerita+Rakyat+dari+
jambi+2&hl=en&sa=X&ved=0ahUKEwiusIDgg5_WAhWFs48KHfIVBXEQ6AEIJTAA#v=onepage&q=
Cerita% 20Rakyat%20dari%20jambi%202&f= false diakses 12 September 2017, 1.41 pm
174 | Jalur Rempah dan Dinamika Masyarakat Abad X - XVI
cerita rakyat itu. Di India mereka temukan calon raja yang bersedia memimpin
Jambi sekaligus mengikuti ujian dan berjanji akan menyejahterakan rakyatnya
jika terpilih nanti. Atas kesediaannya itu, calon raja yang memahami astronomi
ini lalu dibawa ke Jambi dengan menggunakan dendang, yakni kapal besar
yang dibawa dari Jambi. Perjalanan mereka dari “Negeri Keling” itu dengan
menyusuri Samudera, melintasi bukit, dan menahan kencangnya tiupan angin
sebelum tiba di Jambi. Rombongan sempat singgah di Malaka untuk membeli
perbekalan, lalu di Aceh untuk beristirahat atau menambah persediaan air
tawar.
Apa makna cerita rakyat tersebut dalam konteks kemaritiman dan jalur
rempah selain sebagai tradisi lisan yang terus hidup dan dikisahkan secara
lisan turun-temurun dari satu generasi ke generasi dalam masyarakat Jambi.
Setidaknya penyebutan beberapa tempat seperti India atau “Negeri Keling”,
Malaka, Aceh, dan juga dendang (kapal), jalur pelayaran, muara dalam kisah
itu menunjukkan suatu hubungan atau relasi Jambi dengan bangsa dan
negeri lainnya, juga tentang pengetahuan masyarakat menyangkut pelayaran,
perkapalan, dan adat-istiadat dalam kehidupan sosial masyarakat Jambi.
Tradisi lisan dan pengetahuan lokal dalam cerita rakyat itu juga mengandung
suatu pesan penting bahwa hubungan antarbangsa sesungguhnya telah
berlangsung sejak lama dan Jambi merupakan suatu negeri yang terbuka,
sesuai karakter geografisnya yang dikelilingi banyak sungai yang bermuara
ke laut menjadi bagian penting kehidupan sosial-ekonomi Jambi. Perniagaan
maritim terutama di wilayah Sumatera dan bagian barat Nusantara serta
kawasan Asia Tenggara yang menempatkan Jambi sebagai bagian penting
dalam jalur pelayaran dan perniagaan di dalamnya, sebagaimana diuraikan
Terbentuknya Komunitas Pesisir dalam Perniagaan Rempah | 175
Penduduk Jambi yang beraneka suku dan latar belakang, sejak lama hidup
berdampingan dalam suatu ruang bersama sepanjang aliran Batang Hari.
Masing-masing memegang teguh dan mengembangkan kebudayaan serta
adat-istiadatnya dengan segala keunikannya. Mereka terdiri dari antara lain
masyarakat Melayu yang menjadi mayoritas penduduk Jambi hingga kini,
berbagai suku bangsa baik yang tinggal dan menetap di wilayah pedalaman
dan hutan, maupun masyarakat yang karena dihubungkan dengan perniagaan
ataupun pelayaran di masa lampau seperti masyarakat Tionghoa dan Arab
seluruhnya tinggal di berbagai wilayah di Jambi. Sungai menjadi bagian
penting dari kehidupan dan peradaban mereka selama berabad-abad. Beberapa
komunitas atau masyarakat yang menempati posisi penting dalam struktur
masyarakat Jambi, di antara masyarakat Melayu yang menghuni sebagian besar
wilayah Jambi, dan terutama dalam kaitannya dengan masyarakat sungai dan
kehidupan maritim di dalamnya diuraikan secara ringkas berikut ini.
57 Lihat John N. Miksic. “Traditional Sumatran Trade,” Bulletin de l’Ecole français d’Extrême-
Orient, Tome 74, 1985, hlm 437.
176 | Jalur Rempah dan Dinamika Masyarakat Abad X - XVI
58 Lihat Retno Purwanti. “Karangberahi Dalam Struktur Perekonomian Kerajaan Sriwijaya,” dalam
Kumpulan Pertemuan Ilmiah Arkeologi X, 26-30 September 2005; lihat pula Budi Wiyana. “Perdagangan
di Pantai Timur Sumatra Bagian Selatan Berdasarkan Temuan Manik-manik,” dalam Kumpulan
Pertemuan Ilmiah Arkeologi X, 26-30 September 2005; lihat pula laporan survei arkeologi Jambi yang
Terbentuknya Komunitas Pesisir dalam Perniagaan Rempah | 177
Orang laut59 merupakan suku bangsa yang tinggal di perahu dan hidup
mengembara dari perairan yang satu ke perairan yang lain. Di bagian barat
Nusantara misalnya mereka tinggal di sekitar Kepulauan Riau, Lingga, dan juga
pantai selatan Johor. Wilayah sekitar muara sungai seperti di Jambi atau pesisir
timur Sumatera dijadikan sebagai tempat pemukiman bagi orang laut. Meski
hidupnya kerapkali berpindah-pindah, mereka juga mempunyai pimpinan
tersendiri dan tidak berada di bawah Kesultanan Jambi.60 Saat Sriwijaya berkuasa
dilakukan oleh para ahli arkeologi dan peneliti Balai Pelestarian Cagar Budaya Jambi pada Mei 2012
(selanjutnya disebut Laporan Survei Arkeologi Jambi 2012, naskah tidak diterbitkan).
59 Lihat Lindayanti et.al. Op.cit. Jambi Dalam Sejarah 1500-1942.Lombard juga menguraikan
panjang lebar tentang komunitas pesisir yang sangat menarik ini dalam karyanya Nusa Jawa: Silang
Budaya Jilid 2 Jaringan Asia, hlm 87-101.
60 Lihat Lindayanti et.al., Op.cit., hlm 17-18.
178 | Jalur Rempah dan Dinamika Masyarakat Abad X - XVI
Dalam hal ini, orang laut menjadi bagian tak terpisahkan kehidupan
masyarakat sungai dan laut. Kehidupan mereka antara lain diisi dengan aktivitas
menangkap ikan, tinggal tersebar di atas sungai atau perahu yang terbuat dari
papan yang ditutup dengan daun kering. Di kawasan Lambur misalnya, sekitar
12 kilometer dari Muara Zabak, ditemukan sisa-sisa perahu yang terbuat dari
kayu bulian, tali ijuk pengikat papan perahu, dan pasak pengunci papan yang
terbuat dari kayu. Selain itu, ditemukan pula tonggak-tonggak kayu nibung
yang diduga merupakan fondasi bangunan rumah kuno. Temuan-temuan
arkeologis seperti di atas atau yang berkaitan dengan pemukiman juga pernah
ditemukan di Dusundua Sungairaya.61 Dalam hal ketangguhan, orang laut siap
bertarung bila menghadapi musuh. Kehidupan mereka berpindah-pindah dari
satu tempat ke tempat lainnya, seiring pergerakan perahu sebagai tempat tinggal
sekaligus alat transportasi mereka melakukan berbagai aktivitas termasuk
perniagaan. Di Kerajaan Malaka dan Johor misalnya, orang laut menempati
posisi penting sesudah sultan, menteri dan orang kaya.62 Sementara di bagian
pantai timur Sumatera, jika melihat geografi pantai timur Sumatera orang laut
termasuk salah satu masyarakat yang paling awal dan terdepan menjalin kontak
atau berhubungan dengan bangsa-bangsa lain yang datang ke wilayah itu.
antarbangsa sejak awal Masehi. Kapal-kapal asal Cina termasuk pelaku penting
dalam jalur pelayaran dan perniagaan di Nusantara. Hubungan masyarakat
Tionghoa dengan masyarakat Jambi di masa lalu terjadi karena interaksi
kedua bangsa ini di bidang perniagaan. Benda-benda arkeologis dalam bentuk
keramik yang kini tersimpan dalam ruang-ruang pamer Museum Siginjai di
Jambi memperlihatkan bahwa hubungan dengan Cina telah berlangsung sejak
lama. Di berbagai kota di Nusantara, termasuk pula Jambi, orang Tionghoa
yang datang ke Jambi dan kemudian membangun komunitasnya sendiri serta
tinggal dalam suatu lokasi yang dikenal sebagai “Kampung Pecinan”. Kampung
peCinan dapat ditemukan di berbagai kota di Nusantara, terutama tak jauh
atau berada di sekitar wilayah pesisir, di mana perniagaan menjadi aktivitas
utama perekonomian di wilayah itu. Lokasi pemukiman komunitas Tionghoa
ini berada di sekitar atau tak jauh dari kawasan pelabuhan yang menjadi
sentra aktivitas perniagaan. Dari segi arsitektur, desain rumah tinggal di
kawasan peCinan atau pemukiman komunitas Tionghoa ini tercermin dalam
rumah-rumah mereka yang berornamen naga disertai berbagai ukiran-ukiran
berbentuk barongsai yang melekat pada tempat tinggal mereka. Di sekitar
kawasan peCinan itu juga biasanya dibangun sebuah klenteng sebagai tempat
peribadatan bagi komunitas Tionghoa. Sisa-sisa klenteng yang dibangun sejak
berabad-abad lalu di berbagai wilayah di Nusantara sebagian masih berdiri
megah dan dapat dilihat kemegahan arsitekturnya.63
63 Tentang sejarah dan fungsi klenteng-klenteng, terutama yang didirikan di Jakarta sejak abad
ke-17, lihat Ch. Salmon dan D. Lombard. Klenteng-klenteng Masyarakat Tionghoa di Jakarta. Jakarta:
Yayasan Cipta Loka Caraka, 1985; Di Desa Dasun, Lasem, Jawa Tengah, Klenteng Tjoe An Kiong yang
diperkirakan dibangun pada abad ke-15 hingga kini masih kokoh berdiri dan aktif digunakan untuk
berbagai kegiatan peribadatan masyarakat Tionghoa. Posisi klenteng ini menghadap ke arah sungai yang
letaknya tak jauh dari klenteng ini.
180 | Jalur Rempah dan Dinamika Masyarakat Abad X - XVI
menjadi salah satu pusat perniagaan paling sibuk di kota Jambi. Jika melihat
aktivitas ekonomi yang berlangsung di Kota Seberang, besar kemungkinan
kawasan ini dahulu menjadi “kawasan internasional” yang menghubungkan
berbagai bangsa melalui perniagaan, sekaligus menjadi pemukiman mereka
selama menjalankan aktivitas perekonomiannya atau sekadar singgah untuk
menyelesaikan urusan perdagangan.
64 Lihat Meilink-Roeloefsz. Op.cit. Asian Trade and European Influence…, hlm 259-60.
65 Lihat “Jejak Pecinan di Kota Santri,” Kompas, 8 Juni 2017.
66 Lihat “Jejak Pecinan di Kota Santri,” Kompas, 8 Juni 2017.
Terbentuknya Komunitas Pesisir dalam Perniagaan Rempah | 181
Kampung Arab Melayu di Kota Seberang ini sejak dahulu menjadi tempat
pemukiman masyarakat keturunan Arab. Letak kampung berdekatan dengan
pemukiman masyarakat Tionghoa sehingga dapat dikatakan bahwa di wilayah
ini interaksi antar kedua masyarakat telah berlangsung lama. Perniagaan besar
kemungkinan menjadi titik simpul pertemuan antara kedua masyarakat ini di
wilayah Jambi.
Dalam masyarakat Jambi, yang juga akrab dengan berbagai folklor atau
cerita rakyat seputar sungai dan masyarakat sungai, kisah tentang orang kayo
juga hidup dalam tradisi lisan mereka. Dalam cerita rakyat itu, Rangkayo Hitam
dikenal sebagai orang sakti yang pemberani dan tidak bisa ditaklukkan oleh
raja Jawa. Dia putra Raja Jambi Datuk Paduko Berhalo dengan permaisuri Putri
Selaras Pinang Masak. Datuk Paduko Berhalo memiliki nama asli Ahmad Barus
atau Ahmad Salim. Pasangan Datuk Paduko Berhalo dan Putri Selaras Pinang
Masak ini mempunyai empat anak yang semuanya menyandang nama Orang
Kayo di awal namanya. Ahmad Barus adalah keturunan Turki. Dia datang ke
Jambi untuk menyebarkan agama Islam. Sementara itu Putri Selaras Pinang
Masak adalah putri Raja Pagaruyung.70 Orang kayo dalam tradisi lisan yang
berkembang dalam masyarakat Jambi ini erat kaitannya dengan kesultanan/
kebangsawanan. Pengakuan atas peran dan kontribusi orang kayo di masa lalu
bagi masyarakat Jambi terutama, kini diabadikan dalam bentuk nama jalan di
kota itu yakni Jalan Orang Kayo Hitam.
Orang kaya juga dikenal di wilayah lain seperti Banten. Di kota tersebut,
orang kaya umumnya tinggal di rumah. Jika ada kapal yang akan berlayar,
mereka akan meminjamkan uang kepada orang-orang yang akan berlayar
dengan tujuan agar uang dikembalikan sebanyak dua kali lipat. Jumlah uang
yang dipinjamkan dihitung atas dasar lama dan jauhnya pelayaran. Jika
pelayaran mendapatkan keuntungan yang baik, maka si pemberi uang dibayar
kembali sesuai perjanjian. Namun demikian jika si peminjam uang tidak
69 Lihat Zeid. Op.cit. Saudagar Pariaman…, yang mengisahkan tentang Muhammad Saleh gelar
Datuk Orang Kaya Besar, seorang saudagar Pariaman yang sukses membangun usahanya di bidang
pelayaran dan perniagaan sepanjang pesisir barat Sumatera; lihat pula J. Kathirithamby-Wells. “Royal
Authority and the ‘Orang Kaya’ in the Western Archipelago, circa 1500-1800”, Journal of Southeast Asian
Studies, Vol. 17, No. 2 (Sept 1986), hal 256-267.
70 Lihat https://daerah.sindonews.com/read/1017868/29/rangkayo-hitam-penguasa-jambi-
yang-tak-bisa-ditaklukkan-raja-jawa-1435515455, diakses 18 September 2017, pkl 5.37 pm
Terbentuknya Komunitas Pesisir dalam Perniagaan Rempah | 183
Bagi sebuah pulau, tentulah peran kawasan pantai sangat penting sebagai
titik penghubung (connecting point) antara masyarakat setempat dan hinterland
dengan dunia luar atau foreland. Peran ini sungguh sangat penting apalagi
ketika teknologi informasi dan dan komunikasi serta transportasi belum bisa
memanfaatkan ruang udara. Artinya kontak, komunikasi, dan pertukaran
(exchange) yang dilakukan masyarakat pulau dengan dunia luar pada zaman
pramodern masih semuanya dilakukan dengan melalui laut. Dalam konteks
inilah daerah pantai, khususnya pelabuhan menjadi titik perjumpaan atau
meeting point antara hinterland dan foreland.72 Oleh sebab itu bisa dipahami
71 Lihat Lapian. Op.cit. Pelayaran dan Perniagaan, hlm 62-63; lihat pula Guillot. Op.cit. Banten,
hlm 185, 236.
72 Peter Reeves dan kawan-kawan kota pelabuhan sebagai: “a city whose main economic base
184 | Jalur Rempah dan Dinamika Masyarakat Abad X - XVI
jika sejak zaman kuno pantai utara Jawa juga memiliki peran yang signifikan
dalam sejarah pulau Jawa secara umum. Seperti diketahui bahwa tanda-tanda
kemajuan masyarakat Jawa pada awalnya ditemukan di kawasan pantai. Kubur
batu dan dolmen serta peninggalan punden berundak yang menunjukkan
kemajuan sebelum terjadikan kontak dan komunikasi dengan India ditemukan
di kawasan Lasem yang terletak di pantai utara Jawa Tengah bagian timur.
Demikian juga kerajaan tertua di Jawa yaitu Tarumanegara juga ditemukan
di kawasan pantai di Bekasi, Jawa Barat. Kerajaan Kalingga atau Holing juga
diperkirakan di pantai utara Jawa tengah yaitu sekitar Jepara. Dalam hal ini
peran dunia kemaritiman sangat penting dalam konteks perkembangan
masyarakat pantai utara Jawa. Penemuan situs kapal kuno di Punjulharjo,
Lasem, kabupaten Rembang yang seusia dengan masa awal Kerajaan Sriwijaya
juga menunjukkan betapa masyarakat pantai utara Jawa sudah mengalami
perkembangan yang pesat sebelum wilayah pedalaman menggantikannya.
Banjarmasin yang berdagang batu permata dan memperoleh beras Jawa harus
menyusuri rute Jawa. Sebaliknya orang-orang Jawa baik dari Gresik maupun
Tuban berlayar ke Banjarmasin untuk mendapatkan hasil hutan seperti damar,
kayu, madu dan rotan. Hal itu berlangsung hingga masa-masa selanjutnya.74
74 R. Broersma, Handel en bedrijf in Zuid- en Oost-Borneo (The Hague: Naeff, 1927), hlm. 25-27.
75 Untuk perjalanan pelayaran orang-orang Cina dari Guang Dong lihat. Roderick Ptak.
“Northern Trade Route to the Spice Islands: South China Sea-Sulu Zone North Moluccas (Fourteenth to
Early Sixteenth Century). Dalam, Archipel No. 43, 1992, hlm. 27-56.
76 Pelayaran kapal dari Indonesia Timur menuju pelabuhan-pelabuhan Jawa utara masih
mempergunakan jalur selatan hingga tahun 1970-an. Pelaut-pelaut itu masih mempergunakan kapal
layar dan jadwal musim angin. Dari cerita para pelaut Banda pada 1970an mereka mengangkut kopra
dan rempah-rempah, biasanya mereka singgah di pelabuhan Sumbawa sebelum tiba di Surabaya.
Singgah di Sumbawa untuk mendapatkan air bersih dan makanan. Untuk hal ini lihat wawancara dengan
Abdullah pada 8 Mei 2017 di Pulau Run, Kepulauan Banda.
77 Situasi ini sangat berbeda di Eropa dan di Asia. Ketika itu di Eropa “kekasaisaran” lama pada
186 | Jalur Rempah dan Dinamika Masyarakat Abad X - XVI
abad ke 15-16 terjadi gabungan yang padu antara perdagangan dan politik.
Kesultanan di Nusantara juga aktif dalam sektor perdagangan. Para penuasa
pesisir beserta kerabatnya ikut berdagang dan mempunyai saham dalam
ekspedisi-ekspedisi di laut. Seperti diketahui bahwa bagian terbesar dari
pendapatan negara berasal dari pabean dan aneka ragam pajak perdagangan.78
Berdasarkan sumber-sumber sajarah dapat dituturkan beberapa pelabuhan
diciptakan untuk kebutuhan singgah para pedagang dan bahkan menetap di
pelabuhan pantai utara Jawa.
akhirnya berantakan. Sebagai akibat dari konflik-konflik antara Negara dengan Paus, Negara berkembang
menjadi sekuler. Banyak kota niaga tumbuh berkembang di atas fragmentasi politik dan membebaskan
diri menjadi kota “bebas” tempat kaum “borjuis” tidak hanya memegang kekayaan ekonomi tetapi
juga kekuasaan politik. Sebaliknya di Cina, sekalipun sering terjadi guncangan, pengertian “kerajaan”
sama sekali belum hilang kekuatannya. Kekuasaan agama dan kekuasaan politik tetap tak terpisahkan
dan masih di tangan para “menteri” (mandarin) yang mengelola wilayah agraris dan penuh prasangka
terhadap kalangan dagang. Untuk hal ini lihat. Denys Lombard. Nusa Jawa: Silang Budaya. Jaringan
Asia. Jilid II. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2008, hlm. 9-10.
78 Untuk hal ini lihat. Jan Wisseman Christie. “Javanese Markets and the Asian Sea Trade Boom
of Tenth to Thirteenth Centuies AD.” Dalam, JESHO No. 41 (3) 1998, hlm. 344-381.
79 Berkat analisa teks-teks itu, dapat diperoleh bayangan kembali sebagian mentalitas yang
telah berkembang ditengah-tengah masyarakat tersebut. Lihat, Ibid., Lombard. Nusa Jawa: Silang
Budaya……Jilid II, hlm. 8.
Peta 15. Peta Konektivitas Pesisir Jawa Abad 16
Terbentuknya Komunitas Pesisir dalam Perniagaan Rempah | 187
Ada juga informasi yang sangat menarik yang berasal dari sumber-sumber
sejarah perjalanan orang Cina, Mingshi dan Ying Yan Sheng Lan mengenai
komunitas Cina yang menetap di pelabuhan Gresik. Mereka berasal dari Kanton,
Zhangzhou, dan Quanzhou yang telah meninggalkan Cina dan menetap di
pelabuhan-pelabuhan pesisir utara Jawa. Di Gresik hanya ada “pantai tanpa
penghuni”, sebelum orang Kanton menetap di sana. Waktu Zeng He singgah
80 Untuk hal ini lihat. Th. Pigeaud. Java in the Fourteenth Century, Nagarakertagama. The
Hague: Martinus Nijhoff, 1966, hlm. 449-454.
81 Dalam teks prasasti tertulis acan, bentuk yang sekarang ditemukan kembali dalam kata
blacan, yang juga berarti terasi.
82 Ibid., Pigeaud. Java in the Fourteenth Century, hlm. 454.
83 Ibid., Pigeaud. Java in the Fourteenth Century, hlm. 456.
Terbentuknya Komunitas Pesisir dalam Perniagaan Rempah | 189
84 Ibid., Lombard. Nusa Jawa: Silang Budaya….Jilid II, hlm. 41-42.
190 | Jalur Rempah dan Dinamika Masyarakat Abad X - XVI
85 Baik orang Madura maupun orang Gresik menyebut Selat Madura sebagai “selat keluarga”
yang berkumpul untuk melakukan perdagangan. Untuk hal ini lihat. Tome Pires. The Suma Oriental.
London: Hakluyt Society, 1944, hlm. 180.
86 Ibid., Pires. The Suma Oriental, hlm. 183.
87 Dipergunakannya logam mulia seperti emas, dan perak, sebagai sarana transaksi, disusul
dengan pengenalan picis atau keping Cina ikut merangsang pertumbuhan perdagangan. Untuk hal ini
lihat. Op.Cit., Wisseman. “Javanese Markets and the Asian Sea Trade Boom of the Tenth to Thirteenth
Centuries AD, dalam JESHO 41 (3) 1998, hlm. 344-81.
Terbentuknya Komunitas Pesisir dalam Perniagaan Rempah | 191
sangat erat hubungannya dengan sosok Wali Songo di Jawa seperti Wali Lanang
dan Sunan Giri Gresik.
Adapun Sunan Giri adalah Raden Paku yang menjalin persahabatan dengan
Sunan Bonang, keduanya menjalin persahabatan. Mereka berdua mengadakan
perjalanan laut ke bandar Malaka, dengan rencana dari sana hendak ke Mekkah.
Setelah kembali ke Gresik, Raden Paku menetap di dekat pelabuhan, di bukit
Giri (“Gunung”), yang mempunyai pemandangan yang mengagumkan ke Selat
Madura.88 Ia membuka pondok pesantren yang murid-muridnya berasal dari
segala penjuru Nusantara. Ia memerintahkan pembangunan sebuah istana
(kedaton) dengan sebuah kolam besar. Untuk selanjutnya, ia terkenal dengan
nama Sunan Giri “Penguasa Gunung” yang memiliki kewibawaan yang tinggi
hingga wafatnya kira-kira tahun 1506. Makamnya dipahat indah dengan gaya
Cina. Hal itu merupakan karya seni yang paling elok masa itu.89 Dari situasi ini
memperlihatkan pula bahwa elit perdagangan tidak lagi menetap di tengah-
tengah dataran persawahan yang kaya, tetapi di dekat laut yang menjadi sumber
kehidupan mereka, di kota-kota pelabuhan dan perdagangan yang bakal
menjadi pusat-pusat sebuah peradaban baru. Karena fungsi dagang menjadi
penting, kota-kota pelabuhan tidak lagi berada di bawah kekuasaan ibukota-
ibukota lama yang agraris di pedalaman.
88 Sunan Giri yang mempunyai makna sebagai Penguasa Gunung menunjukkan identitas
warisan Jawa Kuno yang hidup di masa wangsa Medang. Identitas penguasa gunung itu terus tertanam
sebagai pengaruh orang yang disegani di masa penyebaran Islam. Untuk hal ini lihat bab satu pada
tulisan ini tentang latar belakang jalur rempah.
89 Menurut sumber-sumber Jawa, pembangunan istana itu dari tahun 1485 dan pembuatan
kolam dari tahun 1488. Pada 1977, beberapa arkeolog Indonesia menemukan reruntuhan tidak jauh
dari makam Sunan Giri yang kemungkinan bekas kedaton tadi. Lihat. Ibid., Lombard. Nusa Jawa: Silang
Budaya…..Jilid II, hlm. 389.
90 Op.Cit. Wisseman. “Javanese Market and the Asia Sea Trade”, dalam, JESHO 41 (3) 1998,
hlm. 344-81.
192 | Jalur Rempah dan Dinamika Masyarakat Abad X - XVI
Pelabuhan Jepara
Salah satu kota penting daam jalur perniagaan rempah Nusantara adalah
Jepara. Penduduk Jepara lebih sedikit dibandingkan dengan Demak. Namun
demikian pelabuhannya sangat penting. Letak pelabuhan Jepara berada di
dalam teluk yang dapat dilayari oleh kapal-kapal besar. Kapal-kapal itu datang
dari Malaka, Semenanjung Melayu, Patani, dan berbagai wilayah lain di
Nusantara. Oleh karena itu, Jepara menjadi bagian penting dalam mata rantai
pelayaran dan perniagaan antara Malaka dan kepulauan rempah-rempah
di Maluku dan Banda. Kota pelabuhan ini tampaknya juga menjadi “kota
internasional” karena interaksi antarbangsa melalui aktivitas pelayaran dan
perniagaan berlangsung di sekitar kota ini.91 Pedagang dari berbagai bangsa
saling bertemu melakukan transaksi jual-beli rempah-rempah, beras, sutera,
keramik, dan komoditas berharga lainnya.
Posisi Jepara yang penting dalam pelayaran dan perniagaan itulah yang
tampaknya menjadi pertimbangan Belanda untuk membangun sebuah
benteng yang mengarah ke teluk di wilayah Jepara pada sekitar abad ke-17.
Masyarakat setempat menyebut benteng tersebut sebagai Loji Gunung. Dari
letak dan ketinggian benteng sekitar 85 meter di atas permukaan laut, benteng
ini setidaknya mampu mengawasi kapal-kapal yang masuk dan melintasi teluk
Jepara. Sasaran sejauh 2 hingga 3 kilometer di sekitar teluk setidaknya masih
bisa dijangkau oleh meriam benteng ini. Benteng peninggalan Belanda yang
masih tersisa ini dahulu tidak hanya mengawasi kapal-kapal di sekitar teluk
atau pelabuhan Jepara saja, tetapi juga masyarakat yang berada di sekitarnya.
Hingga kini, tidak jauh dari lokasi benteng tinggalan Belanda itu menjadi
pusat aktivitas ekonomi masyarakat Jepara. Di kota pelabuhan ini pula denyut
kehidupan dan interaksi antarmasyarakat tidak banyak berubah sejak dulu
hingga kini, kecuali pada tata ruang dan meningkatnya populasi di wilayah ini.
Jepara tidak hanya menjadi simpul hubungan antara Malaka dan kepulauan
rempah-rempah seperti disebut di atas, tetapi kota pelabuhan ini juga terhubung
dengan Jambi dan kota-kota di sekitar pesisir timur Sumatera. Beras asal
Jepara yang dikirim ke pelabuhan dari pedalaman atau dari Rembang misalnya
dikirim ke Jambi untuk dipertukarkan dengan lada Jambi. Lada asal Jambi yang
tersedia di pelabuhan Jepara ini ternyata telah menarik para pedagang Cina
untuk datang dan membeli lada. Lada yang tersedia di Jepara dipertukarkan
dengan sutera, porselen dan belanga asal Cina.92
Pelabuhan Tuban
Seperti juga Jepara, kota lain di pantai utara Jawa yang penting perannya
dalam jalur rempah adalah Tuban. Kota ini dalam karya sastra Pramoedya
Ananta Toer dilukiskan sebagai kota yang aktif dalam perniagaan dan pelayaran.
Kapal-kapal dari berbagai penjuru barat, timur dan utara silih berganti setiap
waktu mendatangi pelabuhan Tuban untuk melakukan perniagaan. Komoditas
seperti rempah-rempah, pala, beras, minyak kelapa, gula, garam, kulit hewan
93 Lihat Pramoedya Ananta Toer. Arus Balik. Jakarta: Hasta Mistra, 1995, hlm 20.
94 Lihat WP. Groeneveldt. Historical Notes on Indonesia and Malaya, compiled from Chinese
Sources. Jakarta: Bharata 1960, hlm. 53
95 Lihat Supratikno Rahardjo. Peradaban Jawa: Dinamika Pranata Politik, Agama, dan Ekonomi
Jawa Kuno. Depok: Komunitas Bambu, 2002, hlm 363.
Terbentuknya Komunitas Pesisir dalam Perniagaan Rempah | 195
Pelabuhan Lasem
Kemudian, masyarakat pelabuhan Lasem, pendiriannya dituliskan dalam
prasasti bertanggal 1387 Masehi dan dikeluarkan oleh seorang penguasa
yang tidak disebutkan namanya (barangkali penguasa Lasem). Prasasti itu
berhubungan dengan pendirian sebuah “lungguh” di suatu tempat yang
disebut Karang Bogem atau “karang berbentuk kotak” di tepi laut.97 Pendirian
komunitas pelabuhan Lasem itu, tampaknya bukan untuk aktivitas pertanian,
namun untuk kegiatan pertukangan tertentu yang berhubungan dengan hasil
laut.
Pelabuhan Demak
Masyarakat pelabuhan Demak berkembang sekitar abad ke-14. Demak
berkaitan dengan tokohnya Raden Patah yang mendirikan kantor dagang
baru di dekat Gunung Muria. Raden Patah tetap mempertahankan Majapahit,
meskipun pindah ke Demak. Kemudian, menurut Lombard, kekuasaan Raden
Patah digantikan oleh cucunya yang bernama Arya Sumangsang.99 Ketika
Tome Pires mengunjungi Demak pada abad ke-15, dia mencatat bahwa
“Demak memiliki sampai empat puluh kapal jung yang telah memperluas
kewibawaannya hingga ke Palembang, Jambi, pulau-pulau Menamby, dan
sejumlah pulau lain di depan Tanjung Pura, yaitu Bangka. Pada waktu itu,
di Demak terdapat tidak kurang dari “delapan sampai sepuluh ribu rumah
dan tanah sekelilingnya menghasilkan beras berlimpah-limpah, yang untuk
sebagian besar diekspor ke bandar Malaka.100 Selain itu, Demak menjadi salah
satu kota pelabuhan penting dalam penyebaran agama Islam di Jawa. Periode
Islamisasi itu berlangsung pada masa Arya Sumangsang, yang ditandai dengan
pembangunan masjid besar. Sunan Bonang yang pertama kali menjabat
kedudukan sebagai imamnya. Kemudian, tersebarlah dongeng bahwa
pembangunannya selesai dalam satu malam saja berkat bantuan Wali Sanga,
yang untuk kesempatan itu telah berkumpul di sana.101
dan bangsa-bangsa lain. Namun, mereka besar dalam tatacara Jawa dan terutama
karena mereka telah kaya karena perdagangan. Selain itu, Demak dikelilingi
beberapa kota lain yang juga memanfaatkan kemajuan pesat perniagaan
besar: Juwana, Pati, Rembang, dan terutama Kudus dan Jepara. Sementara
itu Semarang pada waktu itu hanya merupakan kota kecil dengan “tiga ribu
penduduk” dan baru kemudian menggeser tetangga-tetangganya Jepara dan
Rembang yang letaknya dekat hutan-hutan jati dan terkenal karena galangan
kapalnya. Tome Pires menggambarkan bahwa “Pedagang yang beruang datang
ke sana untuk dibuatkan jung.”102
Pelabuhan Banten
Pelabuhan Banten menjadi sibuk hilir mudik kapal layar, karena jatuhnya
Selat Malaka ke tangan Portugis pada 1511. Hubungan pelayaran tidak lagi
bisa melalui kedua belah sisi Selat Malaka. Kapal-kapal yang ingin berlayar
melalui rute “selatan” atau “Jawa” harus memutar melalui Selat Sunda. Banten
menduduki tempat penting sejak awal abad ke 16. Sebagian perdagangan Selat
Malaka beralih ke Selat Sunda. Usaha Banten untuk menguasai Lampung
dan melakukan ekspansi ke daerah Palembang mungkin pula dikembangkan
dengan ambisinya untuk memegang hegemoni di wilayah Selat Sunda, selain
keinginannya untuk menguasai lada di Sumatera Selatan.
Namun demikian, kejayaan Banten dalam era perniagaan abad ke-16 telah
diawasi oleh VOC. Pada abad ke-17 VOC telah membangun benteng Speelwijk
di tengah pusat Kesultanan Banten. Benteng itu didirikan di sebelah barat laut
Istana Surosowan, sedangkan Laut Jawa berada di sebelah utara. Sementara itu,
posisi Pamarican (tempat pengolahan dan pergudangan tempat menyimpan
lada yang akan diekspor) ditutup dari jalur laut oleh Benteng Speelwijk. Dengan
penempatan seperti itu, Banten yang komoditi andalannya adalah lada menjadi
terpotong oleh perdagangan VOC. Geografi sejarah Banten menjadi terhambat
untuk mengakses jalan laut bagi perniagaan mereka.107
Masyarakat pelabuhan pantai utara Jawa aktif dalam pernigaan sejak abad
ke-10 hingga abad ke-17. Tidak dapat dipungkiri bahwa kejayaan jalur rempah
sangat didukung rute perjalanan laut, armada kapal dagang dan perang.
Beragam suku bangsa menghuni pelabuhan dan membangun menjadi kota
pelabuhan atau Bandar yang menjadi tempat singgah dan pertemuan para
pedagang.
P
enduduk Banda telah ratusan tahun lampau menyebut buah pala
sebagai buah emas. Buah pala separuh usianya akan berwarna
kuning keemasan. Dalam masa kuning keemasan buah pala belum
boleh dipetik. Buah pala boleh dipetik, pada saat berwarna kuning merekah
kemerahan Ketika sudah merekah dan fuli berwarna merah, dia diizinkan
untuk masuk ke dalam “Takiri”, sebutan untuk keranjang anyaman bambu bagi
pengumpulan buah pala. Hampir dipastikan buah pala berasal dari Kepulauan
Banda. Tome´ Pires mengutip ungkapan peribahasa pedagang Malaka terhadap
anugerah Tuhan yang Maha Kuasa atas menciptakan rempah dan kayu cendana.
“Tuhan membuat Timor untuk cendana, Banda untuk buah pala, dan Maluku
untuk cengkeh.1 Dalam Hikayat Lonthor dikisahkan buah pala di Kepulauan
Banda tumbuh meluas karena permintaan putri Cilubintang, bungsu dari
lima bersaudara. Menurut Hikayat Lonthor kelima bersaudara itu lahir dari
manusia pertama Banda, Andan dan Dalima. Cilubintang sekarang ini
sumber mata air di Naira dan setiap upacara buka kampung pada pukul 24.00
penduduk mengambil air dengan toples dan botol. Dalam Hikayat Lonthor juga
diceritakan adanya buah pala di Banda atas permintaan Cilubintang ketika dia
dipinang oleh Kapitan Timur.
“Pulau Banda banyak pula didatangi orang-orang dari kepulauan sebelah
timur. Sampai hari ini tempat itu pun disebut Pantai Timur. Salah seorang
Kapitan Timur bermaksud meminang Cilubintang (si bungsu), keempat
saudara pun menyetujuinya sedangkan sebagai mahar perkawinan
permintaan diserahkan sendiri kepada Cilubintang. Keputusan Cilubintang
maharnya berupa buah pala sebanyak 99 buah. Mendengar permintaan
Cilubintang, Kapitan Timur terkejut mendengarnya. Karena nama buah pala
baru didengarnya, bentuk dan rupanya pun belum diketahuinya. Setelah
beberapa lama mencari buah pala, kemudian Kapitan Timur itu kembali
dengan membawa 99 buah pala sebagai mahar, namun sayangnya sebelum
memasuki hari pernikahan Kapitan Timur meninggal dunia. Buah pala
yang diberikan Kapitan Timur itu oleh kelima bersaudara mulai ditanam di
tempat kelahiran mereka yaitu Gunung Kulit Cipu dan Gunung Bendera.
Semakin banyak pendatang dari seluruh pulau dari bagian barat ke Pulau
Banda, seperti orang Jawa, Kalimantan dan Sumatra.”2
Pada masa pendudukan Belanda atas Banda, alur produksi dan distribusi
perkebunan akan menjadi berbeda, ketika perkebunan pala dikuasai oleh kolonial
Belanda. Produksi pala tidak lagi mengalir ke tangan pedagang-pedagang Jawa
dan Melayu. Monopoli Belanda atas Pala di Banda mengakibatkan produksi
pala tidak lagi menuju ke pelabuhan Aden, Hormuz di Asia Barat yang dibawa
oleh pedagang Gujarat dari Bandar Malaka. Juga, produksi pala tidak lagi
didistribusikan ke pelabuhan Aleksandria, Mesir menuju Bandar Venesia dan
Barcelona. Akan tetapi produksi pala dari pelabuhan Banda dibawa ke Ambon
2 Cerita dari Hikayat Lonthor ini dikutip dari Alwi. Op.cit. Sejarah Maluku, Banda Neira, Ternate,
Tidore dan Ambon, hlm. 15-16.
3 Cerita ini penulis peroleh dari wawancara dengan petani pala di Pulaun Run, pada 10 Mei 2017.
Dinamika Masyarakat Jalur Rempah | 205
Selain itu, biji dan benih pala dilarang untuk dibawa keluar Banda untuk
ditanam di tempat lain. Pemerintah kolonial melakukan pengawasan ketat
untuk distribusi pala baik ke pasar internasional maupun domestik oleh rakyat
atau maskapai lain. Setelah melakukan penumpasan terhadap orang-orang
kaya pada 1621, kekuasan kolonial di Banda melakukan koreksi terhadap
keberadaan Benteng Nassau dan kemudian membangun Benteng baru yang
lebih kokoh dan menggunakan arsitektur pentagon di atas ketinggian 30 meter
di atas permukaan laut. Pada 1672 pembangunan benteng telah rampung dan
dinamai Benteng Belgica. Benteng yang baru dibangun ini mempunyai letak
yang strategis dan tidak jauh dari Benteng Nassau. Melalui Benteng Belgica ini
hampir semua titik Kepulauan Banda dapat di pantau. Benteng ini dibangun
untuk mengawasi gerak-gerik kapal yang melakukan penyelundupan rempah-
rempah, dan mengintai tentara Inggris yang masih berada di Pulau Run.
4 Ekstirpasi menjadi satu paket dengan kebijakan kolonial lainnya yang dipergunakan untuk
tanaman cengkeh yang tumbuh subur di Maluku Utara, yakni politik hongi. Hongi merupakan program
menghancurkan kebun-kebun cengkeh, baik yang tumbuh alami maupun yang ditanam oleh penduduk,
di pulau-pulau asalnya di Maluku Utara, dipindahkan ke Pulau Ambon, Seram, dan sekitarnya dengan
tujuan supaya persediaan di pasar dunia sedikit hingga harganya tinggi.
206 | Jalur Rempah dan Dinamika Masyarakat Abad X - XVI
5 Meskipun catatan itu tidak terlalu lengkap, namun jika digunakan untuk memperkirakan
produksi ekspor pala ke Eropa pada abad ke-15.
Dinamika Masyarakat Jalur Rempah | 207
Terdapat pula penulis yang memaparkan tinggi dan besarnya pohon pala.
Di dalam tulisan itu, juga dipaparkan bahwa tanaman pala dapat berbuah
sepajang tahun dan jumlah buah yang diproduksi oleh satu pohon pala cukup
banyak.
“Pala adalah pohon yang indah. Bila mencapai ukuran yang terbesar,
tingginya kira-kira dua puluh lima atau tiga puluh kaki. Dan bila bentuknya
bagus, garis tengah dari ujung ke ujung dahan-dahan bawahnya hanya
sedikit kurang dari itu. Rimbun daunnya berwarna hijau tua yang mengkilat
(seperti daun pohon bay), yang terus subur dan segar sepanjang tahun.
Daun yang gugur segera digantikan daun yang lain. Bunganya kecil, tebal
dengan kelopak seperti lilin, sangat mirip ukuran dan bentuknya dengan
bunga atau leli lembah. Buahnya tumbuh perlahan-lahan, dan pada saat
masanya masak, mudah disangka buah persik. Sebab besarnya sama dan
kulitnya sama-sama berbulu halus yang diperlukan untuk menyempurnakan
persamaannya hanyalah warna merah jambu. Kalau biji pala di dalamnya
sudah masak, buahnya membelahnya sampai ke tengahnya dan tetap dalam
keadaan setengah terbuka, menyingkapkan fuli merah tua cemerlang yang
membungkus biji pala terebut.
Dalam beberapa hari bila tidak dipetik buah tersebut akan terbuka lebar
besar. Biji dengan fuli di sekelilingnya jatuh, membiarkan kulit buahnya
tetap tergantung pada pohon, hingga menjadi layu dan runtuh pula. Apabila,
bijinya dikumpulkan, fulinya disingkirkan lebih dulu dengan hati-hati, lalu
dijemur sampai kering, di bawah fuli tersebut terdapat lapisan kulit tipis dan
keras yang mengandung biji pala. Ini tidak dipecah hingga biji pala tersebut
6 Karya Bartholomew Leonardo de Argensola, ditulis pada abad ke-17 dan dialihbahasakan dari
bahasa Spanyol ke Inggeris pada abad ke-18. Untuk hal ini lihat. Hanna. Op.cit. Kepulauan Banda..., hlm.
5.
208 | Jalur Rempah dan Dinamika Masyarakat Abad X - XVI
siap dikapalkan. Sebuah pohon yang baik menghasilkan 600 buah pala per
tahun, atau kurang lebih 8 pon beratnya. Buah pala tidak mengenal musim.
Bunga serta buahnya yang telah masak sering dapat terlihat bergantungan
pada dahan yang sama. Secara keseluruhan tidak banyak pohon yang lebih
indah baik dalam bentuk, kerimbunan daun, bunga dan buahnya, daripada
pohon pala yang sehat.”7
Tanaman pala ditemukan pula di Ambon dan Ternate, akan tetapi tidak
dalam jumlah besar, seperti yang tumbuh di Kepulauan Banda. Hal yang sama
pohon cengkeh ditemukan pula di Banda, akan tetapi dalam jumlah kecil
hanya sekitar tiga persen dari seluruh tanaman di Kepulauan Banda. Berbeda
dengan Ternate, Tidore, Moti, Makian, Bacan dan Ambon tanaman cengkeh
berlimpah di pulau rempah-rempah itu.8 Namun, tanaman cengkeh, syzjgium
aromaticum, yang melimpah di Ternate, pada abad ke-15 dan ke-16 ketika
panen sebagian kecil dibeli oleh saudagar Banda dan kemudian dijual kepada
pedagang-pedagang India, Portugis dan Arab.9
sejak abad ke-14, ketika permintaan pala di pasar dunia telah meningkat.
Pada abad ke-15, budidaya perkebunan pala diurus oleh orang-orang kaya
(pengetua desa) yang berjumlah 44 orang sesuai dengan desa yang mereka
pimpin. Orang-orang kaya di Banda bisa dikatakan sebagai manejer dari
perkebunan pala. Setiap menjelang panen pala orang-orang kaya berkumpul
di Orantata (baca: Urtatang), Pulau Banda Besar. Pertemuan di kalangan orang
kaya itu untuk membicarakan berapa harga ditentukan di pasar. Pertemuan ini
cara untuk mengatasi agar harga pala tidak anjlok di pasar dunia.
Terdapat proses produksi buah pala agar dapat menjadi komoditi. Pertama,
pemetikan buah pala, sebagaimana telah diutarakan sebelumnya buah pala
harus dipetik dalam kondisi buah merekah. Kondisi seperti itu, menandakan
biji pala yang berada dibawah fuli sudah masak. Sehingga setiap hari kaum
perempuan dari keluarga pemilik kebun pala berkeliling di kebun mereka
11 Buah kenari dijatuhkan oleh burung walor, penduduk Banda menyebutnya burung kenari.
Karena burung walor, hanya bisa memakan kulit kenari, sedangkan biji atau cangkangnya tidak mungkin
dikupas oleh burung kenari. Pada umumnya kaum perempuan pemungut biji kenari membelah cangkang
kenari dengan sebilah golok.
12 Di masa perkenier zaman kolonial Belanda, jika didapatkan pelaku pemetik buah pala belum
merekah, akan dikenakan hukuman penjara selama dua bulan. Informasi ini penulis peroleh dari
wawancara dengan Pongki Van Broike di Walang, Lonthor, 8 Mei 2017.
210 | Jalur Rempah dan Dinamika Masyarakat Abad X - XVI
membawa penjapit (berbentuk galah memiliki tempat untuk buah pala) dan
keranjang untuk menampung (takiri) pala. Ketika itu, peraturan pemetikan
pala untuk sehari-hari tidak harus dari keluarga pemilik kebun, akan tetapi
siapa pun yang tinggall di Kepulauan Banda boleh mengumpulkan pala yang
telah jatuh dari pohon.
Dari novel sejarah Tambera di atas, dapat terlihat pada waktu itu penduduk
mempunyai tempat penyimpanan di kebun. Juga, dipergunakan untuk
pengeringan atau pengasapan biji pala, orang Banda menyebutnya dapur pala.
Sementara itu, proses produksi buah pala menjadi komoditi berbeda dengan
panen pala empat bulan sekali dalam satu tahun. Ketika, panen pala diperlukan
tenaga kerja cukup banyak. Pada umumnya, ketika panen pala, orang-orang
kaya membeli budak untuk pemetikan pala dan pengangkutan ke pelabuhan.14
13 Dikutip dari Tambera. Tambera adalah novel sejarah yang menceritakan perjanjian orang kaya
Banda dengan orang-orang Barat yang memerangkap mereka ke dalam aksi monopoli perdagangan
pala. Tambera pertama kali terbit pada 1949. Untuk hal ini lihat. Utuy Tatang Sontani. Tambera. Jakarta:
Balai Pustaka, 2002, hlm. 32.
14 Terdapat pula panen raya yang berlangsung tujuh tahun sekali, yang membedakan panen
empat bulan sekali dengan panen raya adalah jumlah pala yang dihasilkan bisa mencapai dua kali lipat
dari panen biasa.
Dinamika Masyarakat Jalur Rempah | 211
15 Reid. Op.cit. Asia Tenggara Tenggara Dalam Kurun Niaga…Jilid 2, hlm. 91
16 Kapal dalam bahasa Inggris “junk”, tapi itu bunyi suara Cina. Sebetulnya kata itu masuk ke
dalam bahasa Eropa melalui bentuk Melayu dan Jawa, “jong”. Sementara itu, teks Cina dalam periode itu
juga beranggapan bahwa itu adalah kata Melayu untuk kapal. Meskipun baik kata maupun teknologinya
barangkali masuk ke Jawa sebagai akibat adanya ekspedisi Mongolia. Reid. Ibid, hlm. 47.
17 Pires. Op.cit. Suma Oriental…, hlm. 204.
212 | Jalur Rempah dan Dinamika Masyarakat Abad X - XVI
Sejak abad ke-15 di pesisir Pulau Banda Besar dan Naira telah menghuni
penduduk lain dari luar yakni Jawa, Bugis, dan Buton yang mendapatkan nafkah
sebagai nelayan penangkap ikan. Bagi nelayan, laut merupakan nafkah hidup
sehari-hari bagi keluarga. Untuk itu, laut mereka asumsikan sebagai halaman
rumah yang harus teratur dan bersih. Dengan tujuan ikan dapat diperoleh
secara berkesinambungan sesuai dengan musim angin. Selama ratusan tahun
silam penangkapan jenis ikan oleh nelayan Kepulauan Banda tergantung
musim angin dan lokasi penangkapan ikan.
Jenis ikan tale atau ikan layang penangkapannya pada musim timur (Juni-
September) dengan lokasi sebelah barat Pulau Gunung Api, Pulau Banda Neira
dan Karaka. Sementara itu, untuk musim angin Barat (Desember-Maret) ikan
layang bisa ditangkap di wilayah timur Pulau Pisang, sebelah timur Pulau
Banda Naira dan bagian tenggara Pulau Banda Besar.
Pada abad ke-14 penduduk nelayan yang tinggal di pesisir Pulau Banda
Besar dan Naira menggunakan jenis perahu tonda dan bubu untuk menangkap
ikan. Jenis perahu itu memiliki tonase sekitar satu ton, jenis perahu yang bisa
18 Para nelayan Kepulauan Banda mempunyai pengalaman dan pengetahuan tentang jenis ikan
yang berkumpul di tempat dan waktu tertentu. Untuk hal ini lihat. Suhardi Djoko MR. Kepulauan Banda
dan Masyarakatnya. Jakarta: Direktorat Jenderal Kebudayaan, 1999/2001, hlm. 14-15.
Dinamika Masyarakat Jalur Rempah | 213
berlayar di pesisir dengan pendayung sekitar dua dan tiga orang. Mereka
membawa peralatan penangkapan ikan seperti jaring dan pancing.
Pada umumnya pedagang Banda berlayar jarak jauh setiap tahun sekali ke
bandar Malaka dengan menggunakan kapal layar jung yang tonasenya sekitar
30-40 ton. Sementara itu, mereka menggunakan kapal galley untuk mencari
cengkeh ke Ternate dan Tidore. Cengkeh yang mereka kumpulkan itu, mereka
jual lagi kepada pedagang Jawa dan Melayu.19
Kelima pelabuhan yang berlokasi di Pulau Neira dan Banda Besar saling
berhubungan, terutama komunikasi di antara orang kaya yang terlibat
melakukan pengawasan terhadap pelabuhan. Kontrol orang kaya itu terutama
terhadap penyediaan pala dan fuli di pelabuhan. Di kalangan orang kaya
seringkali melakukan perjalanan jarak pendek antar kepulauan Banda yang
ditempuh setengah hari perjalanan, menggunakan perahu-perahu yang dibuat
oleh orang-orang Seram.
dari berbagai bangsa itu berkumpul. Pada gilirannya jalur itu menimbulkan
perdagangan lokal yang makin sibuk dan memberikan pasokan kepada
pelabuhan-pelabuhan itu, dengan bahan makanan, bahan bangunan, dan
barang-barang dagangan lokal. Sebagian besar dari arus pengiriman ini
dilakukan dengan kole-kole20 atau lepa-lepa21 milik orang-orang Seram, Kei,
dan Aru. Mereka membawa sagu, sayuran, ikan asin, hewan, tuak, garam, dan
gula untuk memberi makan kepada orang-orang di daerah pelabuhan dan
perdagangan hasil bumi, membawa barang-barang logam, keramik dan tekstil
dari distributor kepada konsumen, mengumpulkan barang-barang ekspor dan
mendistribusi barang-barang impor.
Demikian pula, saudagar pesisir utara Jawa dan Melayu ramai mendatangi
pelabuhan Banda. Mereka datang tidak hanya membawa barang dagangan
produk negerinya saja, akan tetapi barang-barang dari negeri lain ada dalam
kargo kapal mereka. Misalkan, pedagang Jawa selain membawa beras, mereka
juga membawa tekstil produksi Gujarat. Hal yang sama dengan orang-orang
Melayu dari Sumatera, mereka tidak hanya membawa lada hasil bumi di sana,
tetapi juga keramik dari Cina dan lain-lain. Juga, saudagar Arab membawa
karpet Persia, kain katun Gujarat dan buah kurma.22
Pedagang dari pesisir utara Jawa, Melayu, India dan Arab pada abad ke-
15 dan ke-16 datang ke kepulauan Banda hampir setiap tahun. Kecuali orang-
orang Jawa dan Sumatra yang mempunyai jaringan penyaluran pala dan fuli.
Pada umumnya mereka singgah di pelabuhan Banda hanya beberapa minggu,
setelah mereka mendapatkan hasil bumi orang Banda mereka kembali berlayar.
tinggal lama dan kemungkinan bisa menjadi pelanggan, maka penduduk akan
membangun rumah.
Demikian pula, ketika bandar Malaka dikuasai oleh Portugis pada 1511,
dan mereka ingin mengawasi para pedagang yang berlayar melalui selat. Maka,
para pedagang memutar Semenanjung Melayu untuk menghindari Malaka.
Akibatnya muncul pelabuhan dan pusat perdagangan baru seperti bandar
Makassar, Banten, Ambon dan lain-lain. Pada awal abad ke-16 Pelabuhan
Makassar menjadi penting bagi penyaluran pala dan fuli produksi Banda.
Sebaliknya, pedagang Makassar dapat mendistribusikan produksi beras petani
Maros yang surplus melalui jalur pelayaran utara menuju pelabuhan Banda.
Pada saat kapal berlabuh di pelabuhan dan anak buah kapal menambatkan
tembang dan mengikatnya di dermaga pelabuhan. Nakhoda dan pedagang
Jawa menuruni tangga kapal menuju pelabuhan Naira. Kapal berlabuh persis
berhadapan dengan Gunung Api, yang menyebabkan kapal terlindung dari
ombak dan angin besar. Nakhoda kapal disambut oleh orang kaya yang juga
berperan sebagai syahbandar.24
23 Pelabuhan Ambon akan menjadi pusat perdagangan penting ketika VOC mengoperasi politik
perdagangan monopoli rempah-rempah.
24 Syahbandar, sebuah kata yang berasal dari bahasa Persia, biasanya digunakan di Timur untuk
menunjukkan orang yang dipercaya dengan pengawasan sebuah pelabuhan.
216 | Jalur Rempah dan Dinamika Masyarakat Abad X - XVI
Orang-orang Jawa itu sudah tinggal di Banda dan mempersunting istri dari
wilayah setempat. Syahbandar itu sudah mempunyai jaringan dengan kepala
kampung di perkebunan, untuk menjamin pengawasan mereka terhadap
produksi pala dan fuli serta memonopoli pasar di Banda. Pendek kata, orang-
orang Jawa itu sudah mengenal dan memahami relasi antara pelabuhan dengan
komunitas produksi di perkebunan. Hal ini, yang membuat sosok mereka
27 Pedagang Jawa yang menjadi syahbandar sebelumnya adalah saudagar yang membawa beras,
pakaian dari Gujarat ke Pelabuhan Naira. Untuk hal ini lihat. Hall. Op.cit. A History of Early Southeast
Asia…, hlm. 316.
28 Villiers. Op.cit., “Trade and Society in The Banda Islands…,” hlm. 729.
29 Hall. Op.cit. A History of Early Southeast Asia…, hlm. 318.
218 | Jalur Rempah dan Dinamika Masyarakat Abad X - XVI
32 Untuk hal ini lihat. Pierre-Yves Manguin. “Merchant and King: Political Myths of Southeast
Asian Coastal Politics,” Indonesia Vol. 52, hlm. 41-54.
33 Hall. Op.cit. A History of Early…, hlm 318.
220 | Jalur Rempah dan Dinamika Masyarakat Abad X - XVI
34 Tanah komunal desa itu tidak boleh dialihkan ke pemilik lain atau diperjualbelikan. Secara
turun-temurun tanah komunal itu untuk perkebunan pala.
35 Villiers. Op.cit. “Trade And Society in The Banda Islands…,” hlm.729
36 Ukuran bahar di beberapa kepulauan berbeda, misalkan untuk Kepulauan Banda satu bahar
sama dengan 550 pounds, sedangkan di Maluku satu bahar sama dengan 600 pounds, dan di Malaka
satu bahar sama dengan 530-540 pounds. Untuk hal ini lihat. Pires. Op.cit. Suma Oriental…, hlm. 206.
37 Villiers. Op.cit. “Trade And Society in The Banda Islands…,” hlm. 738.
38 Untuk hal ini lihat. Hanna. Op.cit. Kepulauan Banda…, hlm. 64.
Dinamika Masyarakat Jalur Rempah | 221
atau tuan kebun. Para tuan kebun ini dituntut oleh VOC untuk menghasilkan
pala yang berkualitas.
39 Perkenier adalah pengusaha perkebunan yang berlisensi yang memenuhi syarat untuk
mengelola dari satu perk.
222 | Jalur Rempah dan Dinamika Masyarakat Abad X - XVI
itu dilelang oleh Inggeris di suatu pelelangan di London, dan kabarnya hasil
pelelangan itu dapat menutup biaya ekspedisi mereka ke kepulauan Banda.40
Para perkenier menjadi penjudi dan spekulan yang telah mendarah daging.
Di antara para tuan kebun itu bersaing dalam kemewahan yang tidak perlu.
Mereka menjadi ketagihan berutang dengan pedagang Arab dan Cina. Mereka
berhutang tanpa mungkin dapat dibayarkan mengingat cara hidup yang boros.
Dalam berutang para perkenier mengajukan perk dan pendapatan tahunan
dari hasil bumi mereka sebagai jaminan. Dalam realitasnya perk itu sebagai
tanah sewaan dengan syarat-syarat yang ketat, dan bukan sebagai hak milik
40 Selain perampasan terhadap produksi pala, tentara Inggris juga mendapatkan pemberian uang
dari Gubernur Banda ketika itu sebesar 66.675 rijksdaalder. Untuk hal ini lihat. Hanna. Op.cit. Kepulauan
Banda…, hlm. 100-101.
41 Pengawas ini adalah mandor yang melakukan pengawasan terhadap pekerjaan menyiangi
rumput di perk, dalam pemetikan buah pala di perk dan pengasapan biji pala di dapur pala.
42 Para pejabat VOC mempunyai anekdot bahwa para perkenier seperti burung kasuari, sejenis
burung darat yang besar dan cepat larinya, tetapi buruk rupanya, menyerupai seekor emu. Anekdot
ini dapat diterjemankan bahwa para perkenier melakukan ketidakjujuran yang tidak terbilang. Hanna.
Op.cit. Kepulauan Banda…, hlm. 89.
Dinamika Masyarakat Jalur Rempah | 223
yang mudah dipindahalihkan, dan dengan demikian tidak dapat disita oleh
tukang gadai.
Para perkenier tidak dapat menanam modal di perk karena utang mereka
menumpuk. Namun, pada awal tuan kebun mengoperasi perk yang seluruh
perk berjumlah 68 buah, para perkenier pernah merasakan bahagia pada 1627
dapat menghasilkan pala dan fuli, hampir menyamai produksi pala, sebelum
peristiwa tahun 1621. Pada tahun 1627 itu, setiap perk dapat menghasilkan
10.000 pon per tahun, namun setelah tahun-tahun selanjutnya mengalami
kemerosotan karena bencana alam yang berkepanjangan.43
43 Untuk hal ini lihat. V.I. Van De Wall. “Bijdrage Tot de Geshiedenis der Perkeniers, 1621-1671.
Dalam B.K.I. LXXIV, 1934, hlm 45.
44 Pengangkutan budak-budak itu menggunakan kapal VOC untuk pelayaran tropis. Untuk hal ini
lihat. Usman Thalib dan La Raman. Banda Dalam Sejarah Perbudakan di Nusantara. Swastanisasi dan
Praktek Kerja Paksa di Perkebunan Pala 1770-1860. Yogyakarta: Ombak, 2015, hlm. 249.
224 | Jalur Rempah dan Dinamika Masyarakat Abad X - XVI
butuhkan 3000 budak sebagai tenaga kerja perkebunan pala dan melayani
perkerjaan lainnya. Oleh karena itu, armada VOC dengan gencar mencari
budak ke India depan, dan pantai Koromandel. Selain itu, mereka memperoleh
ratusan penduduk Kepulauan Kei dan Aru, juga penduduk Seram, dan Papua
telah diangkut menuju Banda dalam status sebagai Budak. Pada Januari 1624
kapal Amsterdam kembali mengirim 400 orang budak dan pada Februari
menyusul pula pengiriman 200 orang budak.45
Pada April hingga Juni 1636 dan di akhir abad ke 17, guncangan gempa
bumi yang kuat dirasakan berulang kali, uap-uap yang keras baunya dan hujan
abu panas yang lengket berlangsung selama lima tahun (1691-1696). Wabah
penyakit paling buruk menyusul terjadi seiring dengan letusan Gunung Api
terjadi tahun 1638, ketika 375 orang meninggal di kota Naira, tahun 1693 ketika
771 budak tewas di perk. Kematian budak-budak merupakan kerugian besar,
dengan kehilangan banyak budak harus cepat diganti dengan harga mahal.
Kehilangan budak pada 1693 dan dua wabah penyakit pada 1702 dan 1765
melenyapkan 1.529 orang dengan nilai nominal keseluruhan 61.160 reaal.49
Bencana alam yang terjadi pada 1778 membuat bangkrut perkenier Belanda.
Pada 28 April 1778 pada pagi hari selama satu jam yang menakutkan terjadi.
Secara serentak letusan Gunung Api, gempa bumi, ombak besar air pasang dan
angin topan yang menimbulkan kerusakan luar biasa. Wujud dari bencana
alam itu berupa kerusakan di kota-kota, perk, juga di benteng-benteng yang
kuat bangunannya itu. Kerusakan di kebun-kebun pala begitu besar sehingga
satu dari setiap dua pohon tumbang. Panen selama 12 bulan berikutnya turun
menjadi hanya 30.000 pon pala dan 10.000 pon fuli disbanding dengan 800.000
pon pala dan 200.000 pon fuli secara berturut-turut tahun 1777.50 Pendapatan
para perkenier anjlok sebanding dengan itu. Mereka begitu terpukul oleh
bencana tersebut, dan dihadapkan pada kenyataannya yang menyusul tidak
ada lagi orang yang mau meminjamkan uang, sehingga VOC turun tangan
untuk melindungi kepentingnnya sendiri. Serangkaian bencana alam baru
berlangsung pada 1815 dan 1816, dan kemudian pada 1820—hanya beberapa
tahun setelah kembalinya Belanda ke Banda,51 berlangsung gempa yang paling
merusakkan dalam sejarah Kepulauan Banda.
Pada perempat pertama abad ke-19 harga pala mulai merosot di pasar
dunia. Hal ini dikarenakan penanaman pala telah dilakukan di Bengkulu dan
beberapa tempat di jajahan Inggris seperti Ceylon (Srilanka).52 Penanaman itu
menghasilkan kualitas buah pala yang sama dengan Kepulauan Banda. Selain
itu, perkenier sudah kesulitan untuk melakukan monopoli perdagangan pala,
karena utang sudah bertumpuk, dan kondisi perkebunan perlu mendapatkan
perbaikan dari kerusakan bencana alam.
kewajiban membayar utang perkenier selama satu tahun. Jumlah dana itu
mencapai f.17.688. Sebenarnya biaya itu tidak begitu besar, akan tetapi perkenier
tidak punya uang untuk membayar. Selain itu, pemerintah mengambil alih
pula kewajiban pengobatan budak-budak perkebunan yang sakit. Kondisi ini
membebaskan para perkenier dari beban untuk menanggung pembiayaan itu.
Biaya yang dikeluarkan pemerintah sebesar f. 21,25 mencakup perumahan,
sandang, dan pangan untuk 530 budak per tahun.
Meskipun kerja kuli kontrak lambat dalam produksi pala, peningkatan hasil
setiap tahun tampak jelas. Pada 1854 untuk setiap pohon pala menghasilkan
biji pala 1,8 pon pala dan 0,45 pon fuli dan 291,6 pon pala serta 72,6 pon fuli
secara berturut-turut per tahun setiap tenaga kerja. Di tahun 1860 jumlah
menjadi 4,3 pon pala dan 1,01 pon fuli, dan 622,6 pon pala dan 177,2 pon fuli
setiap tenaga kerja.53
Masyarakat Jambi
Dalam Kehidupan Bahari dan Agraris
Dalam perkembangan lain, sejak akhir abad ke-15 hingga awal abad ke-16,
Jambi memasuki masa pemerintahan Kerajaan Jambi. Agama Islam menjadi
bagian dalam kehidupan masyarakat Jambi selama di bawah kekuasaan Kerajaan
Jambi ini. Islam di Jambi diperkirakan mulai berkembang pada sekitar abad
ke-14, seiring terjalinnya kontak-kontak pelayaran dan perniagaan dengan
bangsa-bangsa Arab yang datang ke Nusantara.
Dinamika Masyarakat Jalur Rempah | 229
Pola kekuasaan raja bergantung pada luas daerah dan kekuasaan para
pengikutnya. Wilayah kekuasaan raja adalah pada banyak-sedikit wilayah
kekuasaan para pengikutnya. Raja sebagai pimpinan resmi pemerintahan
mempunyai batas wilayah kekuasaan yakni “dari Tanjung Jabung sampai
Durian ditakuk Rajo, dari Sialang Balantak Besi ke Bukit Tambun Tulang.”
Tanjung Jabung merupakan wilayah pantai termasuk perairannya dan gugusan
Pulau Berhala. Durian Takuk Rajo berada di Tanjung Simalidu. Sementara
Sialang balantak besi berdiri tegak di Sitinjau Laut , dan Bukit Tambun Tulang
berada di Singkut.54
Kerajaan Jambi memiliki ikatan erat dengan orang laut. Orang Kayo Hitam
mengangkat orang laut melalui pemberian sebilah keris kerajaan dan hak
untuk mencari penghidupan di sepanjang pantai antara Jambi dan Palembang.
Rentang geografis itu juga menunjukkan wilayah kekuasaan Sriwijaya dahulu.
Ikatan antara kerajaan dengan orang laut ini dapat pula dipahami sebagai
bentuk relasi yang saling menguntungkan di kedua pihak. Di satu sisi, kerajaan
mendapat pendukung yang setia yakni orang laut ketika wilayah kerajaan berada
di luar jangkauan kekuasan raja dan orang laut sebagai komunitas terdepan
yang justru paling mengetahui apa pun yang akan datang atau mengancam
wilayah kerajaan. Pada sisi lain, orang laut mendapat dukungan pihak kerajaan
ketika penghidupannya merasa aman dan dijamin melalui kontrak antara
mereka dengan pihak kerajaan. 55
Kerjasama kedua pihak dalam lingkup wilayah Kerajaan Jambi ini juga
terjadi pada masa Kerajaan Sriwijaya. Wilayah dataran rendah di kawasan
pantai timur Sumatera sejak dulu menjadi tempat bermukimnya orang
laut. Penguasaan wilayah bahari itu oleh Sriwijaya dapat berlangsung jika
kerajaan mendapat dukungan dari orang laut. Melalui kerjasama dan ikatan
antara kerajaan dengan orang laut inilah maka kekuatan laut dapat dihimpun
dan mampu menjangkau wilayah bahari yang lebih luas. Dalam hitungan
waktu, Kerajaan Sriwijaya membutuhkan waktu selama dua tahun dengan
menggunakan kapal layar cepat untuk menjangkau semua pulau yang berada di
bawah kekuasaannya. Penguasaan wilayah maritim yang sangat luas pada masa
Kerajaan Sriwijaya itu hanya mungkin terlaksana bila ada angkatan laut yang
54 Lihat Lindayanti dkk. Op.cit. Jambi Dalam Sejarah 1500-1942, hlm 133.
55 Ibid.
230 | Jalur Rempah dan Dinamika Masyarakat Abad X - XVI
didukung tenaga dan armada serta perlengkapannya yang kuat yang diperoleh
dari orang laut yang sangat loyal kepada kerajaan.56 Begitu pula halnya dengan
Jambi, jika mengikuti kebijakan yang ditempuh oleh Kerajaan Sriwijaya dahulu,
tentunya Raja Jambi melihat arti penting dan strategisnya orang laut sebagai
bagian dari kekuasaannya, termasuk menjadi bagian dalam pengamanan
terhadap kapal-kapal yang melakukan perniagaan rempah-rempah dan lada di
wilayah Kerajaan Jambi.
Muara sungai besar yang menjadi tempat pemukiman orang laut, juga
menjadi lintasan berbagai kapal dari Teluk Persia dan India yang menuju Cina
atau dari Laut Jawa menuju Laut Natuna Utara, memberikan kepada kerajaan
suatu pertahanan dan pengawasan terhadap laut. Dalam sumber Cina yang
berasal dari tahun 1225 disebutkan bahwa wilayah Sriwijaya menjadi lintasan
berbagai kapal asing dan hasil semua negeri disimpan di sini untuk kemudian
dijual kembali kepada kapal-kapal yang singgah. Penduduk di wilayah itu
tersebar di luar kota atau di air di atas rakit yang terbuat dari papan yang ditutupi
dengan daun kering. Mereka berani mati jika menghadapi musuh dan tidak
ada tandingannya di antara bangsa-bangsa lain.57 Dari laporan di atas terlihat
bahwa orang laut di masa kekuasaan Sriwijaya yang menempati posisi penting
dan kuat di bagian barat Nusantara menjadi faktor penting dalam pertahanan
laut kerajaan ini. Mereka menjadi ujung tombak ketika menghadapi kapal-
kapal asing dan sangat setia kepada kerajaan. Jika mengikuti penjelasan di atas,
kerjasama antara Kerajaan Jambi dengan orang laut tentulah sangat strategis
dari sisi pertahanan terutama menyangkut wilayah kerajaan ini di pantai timur
Sumatera, juga berperan dalam mengamankan dan mengawasi jalur pelayaran
dan perniagaan kerajaan ini di sepanjang pantai timur Sumatera. Peran dan
kedudukan orang laut dalam geografi sejarah pantai timur Sumatera dan juga
Semenanjung Malaya sejak masa Kerajaan Sriwijaya hingga masa Kesultanan
Malaka pada abad ke-15 sangat penting. Bahkan, dalam Kesultanan Malaka
mereka menempati kedudukan penting sebagai satu kekuatan politik sekaligus
pertahanan untuk mempertahankan kesultanan baik terhadap ancaman dari
luar kesultanan maupun dari dalam yakni kekuatan orang kaya.58
56 Lihat Lapian. Op.cit. Orang Laut Bajak Laut Raja Laut…, hlm 101.
57 Lihat Lapian. Ibid. Orang Laut Bajak Laut Raja Laut…, hlm 101-102.
58 Ibid., hlm 104.
Dinamika Masyarakat Jalur Rempah | 231
Lada yang diangkut dari hulu Sumatera dengan perahu tiba di pasar yang
berada di hilir pelabuhan-pelabuhan pantai barat Sumatera yaitu Selebar,
Indrapura, dan Pariaman, sedangkan untuk pantai timur Sumatera di Jambi,
Indragiri, dan Kampar. Lada asal Sumatera juga diangkut ke pasar-pasar yang
berada di pantai utara Jawa yaitu pelabuhan Jepara dan Gresik. Lada Jambi
yang diangkut dengan perahu dari hulu dibeli oleh para saudagar Cina yang
bertindak sebagai pedagang perantara dalam perniagaan lada, juga berperan
penting dalam perniagaan kain. Sementara pembelian lada dalam jumlah
besar juga melibatkan orang kaya Jambi, saudagar Cina dan orang Jawa. 61
62 Di Banten misalnya, orang Cina juga bertindak sebagai eksportir antara lain kayu cendana,
rempah-rempah, pala, cengkeh, kulit penyu, dan gading gajah. Sebaliknya mereka sebagai importir
kain sutera, benang, porselen, dan senjata api ringan. Lihat Meilink-Roelofsz. Op.cit. Asian Trade and
European Influence…., hlm 246.
Dinamika Masyarakat Jalur Rempah | 233
barang pecah-belah keramik asal Cina dan tempat-tempat lain, berbagai jenis
koin atau uang kuno sisa perdagangan masa lalu masih dapat dilihat dalam
ruang-ruang kaca museum. Benda-benda bernilai sejarah itu memperlihatkan
bahwa sebaran geografis antarbangsa melalui pelayaran dan perniagaan di
jalur rempah sangat luas dan melebihi batasan geografis tempat asal barang itu
dibuat atau dihasilkan.
Pulau Jawa sejak awal Masehi telah dikenal menjadi bagian penting dalam
jaringan pelayaran dan perniagaan di kepulauan Nusantara. Kota-kota dan
pelabuhan yang terletak di sepanjang pesisir Jawa dari tahun ke tahun sibuk
melakukan aktivitas bongkar muat dan transaksi perniagaan, serta menjadi
tempat berlabuhnya bagi kapal-kapal asing dan kapal-kapal dari berbagai
kota di Nusantara. Pasar menjadi salah satu tempat pertemuan dan terjadinya
transaksi perdagangan berbagai komoditas dan kebutuhan penduduk. Pesisir
dengan pelabuhan sebagai pusat aktivitas pelayaran dan juga perniagaan
merupakan suatu tempat perjumpaan antarbangsa. Selain itu, pelabuhan dan
wilayah sekitarnya menjadi persemaian dan pertumbuhan sebuah kota dengan
beragam masyarakat dan aktivitas di dalamnya.
Pergerakan kapal-kapal yang tidak pernah berhenti itu pula yang terus
berlangsung sejak dulu yakni ketika Jawa menjadi tujuan pelayaran dan
Dinamika Masyarakat Jalur Rempah | 235
64 Lihat Reid. Op.cit. Asia Tenggara Dalam Kurun Niaga…Jilid 2, hlm 91.
65 Zed. Op.cit. Saudagar Pariaman.
66 Budak juga berasal dari Banten dan Kepulauan Maladewa. Kebutuhan terhadap budak karena
tanah yang dipakai sebagai lahan pertanian dan perkebunan luasnya tidak sebanding dengan kebutuhan
Dinamika Masyarakat Jalur Rempah | 237
Oleh karena perairan atau laut menjadi fokus dalam aktivitas penduduk,
maka kontruksi kota-kota pelabuhan pun menghadap ke laut dan pesisir
menjadi pusat aktivitas masyarakat. Kota-kota di sepanjang pantai utara Jawa
akan tenaga kerja. Budak juga dibutuhkan sebagai anak buah kapal dalam dunia pelayaran. Lihat Reid.
Op.cit. Asia Tenggara Dalam Kurun Niaga… Jilid 2, hlm 44, 59.
67 Lihat Reid. Ibid., hlm 80-81.
68 Mameluk adalah sebutan dari saudagar-saudagar Arab yang kemudian berubah menjadi
Maluku. Lihat Pramoedya Ananta Toer. Arus Balik. Jakarta: Hasta Mistra, 1995, hlm 20.
238 | Jalur Rempah dan Dinamika Masyarakat Abad X - XVI
69 Lihat Reid. Op.cit. Asia Tenggara Dalam Kurun Niaga…Jilid 2, hlm 83, 85, 88-9.
70 Prasasti Dhimanasrama pada abad ke-10 menyebut tentang jenis-jenis perahu yang digunakan
untuk mengangkut barang atau hasil bumi yaitu perahu dengan pengayuh galah [batasnya] 6, perahu
dengan lima gandung, perahu penawa dengan lima gandung, perahu pakbowan dengan empat gandung,
perahu jurag [batasnya] lima, perahu pangagaran [batasnya] lima, perahu pedagang [batasnya] lima,
perahu pannayan [batasnya] lima. Lihat Titi Surti Nastiti. Peranan Pasar di Jawa Pada Masa Mataram
Kuna (Abad VIII-XI Masehi). Tesis Program Studi Arkeologi Pascasarjana Universitas Indonesia, 1995,
hlm 136.
71 Lihat Reid. Op.cit. Asia Tenggara Dalam Kurun Niaga… Jilid 2, hlm 98. Dalam prasasti Jawa
kuno disebutkan bahwa ada dua jalur yang ditempuh oleh masyarakat Jawa untuk membawa dagangan
mereka menuju pasar. Untuk jalur darat, pedagang yang membawa dagangan dalam jumlah besar
menggunakan gerobak atau pedati (padati, mapadati, maguluhan). Lelaki pedagang yang tidak banyak
membawa barang dagangannya menggunakan kuda ataupun sapi (atitih), atau dibawa dengan pikulan
(pinikul dagannya), sedangkan perempuan pedagang membawa barang dagangnnya dengan bakul yang
digendong di belakang dengan memakai kain gendongan. Untuk jalur sungai, barang dagangan diangkut
dengan perahu (maparahu). Lihat Nastiti. Ibid., hlm 86.
Dinamika Masyarakat Jalur Rempah | 239
Tuban misalnya, kota yang dibangun pada sekitar abad ke-7 ini dihuni
oleh berbagai bangsa antara lain asal Arab, Bengala, Persia. Tuban menjadi
tempat persinggahan kapal-kapal dan saudagar yang datang dari India,
Kamboja, Cina, Vietnam, Campa, Bengala, dan Siam.73 Kota pesisir di Jawa
Timur ini juga penting bagi Kerajaan Majapahit karena diandalkan untuk
mengumpulkan pajak. Selain itu, sebagai kota pelabuhan yang memiliki laut
dalam dan pantai yang baik untuk kapal-kapal besar berlabuh, Tuban menjadi
tempat penumpukan rempah-rempah asal Kepulauan Maluku dan Banda.
Pramoedya Ananta Toer dalam roman sejarahnya berjudul Arus Balik menulis
tentang kota pelabuhan ini sebagai berikut, “Pedagang-pedagang Atas Angin
menamai bandar ini Permata Bumi Selatan.”74
72 Lihat Reid. Op.cit. Asia Tenggara Dalam Kurun Niaga…Jilid 2, hlm 78.
73 Lihat Lombard. Op.cit. Nusa Jawa: Silang Budaya. Jilid 2 Jaringan Asia, hlm 38-9.
74 Toer. Arus Balik, hlm 21.
240 | Jalur Rempah dan Dinamika Masyarakat Abad X - XVI
Kota-kota di pantai utara Jawa seperti Gresik dan Tuban juga menjadi
tempat perdagangan rempah-rempah. Gresik bersama Jaratan merupakan kota
pelabuhan di mana para pedagang dan berbagai komoditas mengalir tanpa
henti sepanjang tahun. Sejak Kerajaan Srwijaya melemah kekuasaannya atas
wilayah perairan barat Nusantara, peran kota-kota pantai utara Jawa termasuk
Gresik sebagai pelabuhan rempah-rempah meningkat sejak abad ke-14. Lada
asal Jambi dan Sumatera, cengkeh asal Kepulauan Maluku, banda dan fuli
asal Kepulauan Banda, juga kain, beras, ikan asin, gula, dan garam bertemu di
Gresik.
Pasar di Jawa dibagi dalam dua tipe yaitu pasar daerah pantai dan pasar
daerah pedalaman. Pasar pantai terdiri dari dua jenis komoditas yaitu barang-
barang impor yang dibawa oleh kapal-kapal niaga dan barang-barang hasil
produksi lokal baik berupa produk makanan maupun kerajinan. Barang
dagangan yang diperjualbelikan di pasar daerah pantai antara lain garam, terasi,
ikan asin, dendeng ikan, berbagai jenis ikan yaitu ikan kembung, ikan duri, ikan
kakap, ikan tenggri, ikan bawal, ikan selar, ikan pari, ikan gabus, cumi-cumi,
kepiting, udang. Ikan-ikan yang diperdagangkan di pasar itu ditangkap di laut
atau sungai dengan cara menjala, memakai bubu, atau mengail. Selain hasil-
hasil tangkapan laut, pasar-pasar di Jawa juga menjual beberapa jenis palawija
antara lain labu, ubi, talas/keladi, beligo, kacang jelasi, jawawut, terong dan
cabai.76 Sedangkan rempah-rempah dalam masyarakat Jawa berfungsi sebagai
75 Lihat Lombard. Nusa Jawa…Jilid 2, hlm 39-40. Untuk peta tentang wajib pajak pada masa
pemerintahan Hayam Wuruk ini lihat dalam karya Lombard ini pada halaman 37.
76 Prasasti Pangumulan A yang beragka tahun 825 Saka/903 Masehi menyebutkan jenis-jenis
barang yang dperdagangkan di pasar-pasar di Jawa. Lihat Nastiti. Op.cit, hlm 96-7, 100, 102, 117.
Dinamika Masyarakat Jalur Rempah | 241
bumbu dapur atau sebagai obat. Rempah sebagai bumbu dapur antara lain lada,
jemuju, jahe, sirih, dan kapulaga.77
saudagar dengan kemampuan modal dan jaringan yang besar tumbuh seiring
berkembangnya perniagaan di wilayah Nusantara. Mereka juga mampu
berbisnis dalam aneka usaha, tetapi tetap mempertahankan bisnis pokoknya
di bidang transportasi, sebagai distributor rempah atau hasil-hasil pertanian.
Kemunculan jenis pedagang grosir demikian yang tumbuh di kawasan pantai
utara Jawa seiring dengan ramainya dunia pelayaran dan perniagaan di
sepanjang pantai utara Jawa.
Dalam perniagaan di Jawa, mata rantai perniagaan antara hulu dan hilir
juga dipegang oleh pedagang keliling kecil dengan perahu-perahu miliknya
membawa hasil-hasil pertanian dari wilayah hulu ke pedagang perantara yang
siap menampung barang dagangan mereka. Dari pedagang perantara, barang
dagangan kemudian dibawa ke kota pelabuhan sebelum diangkut menuju
kapal-kapal. Perjalanan komoditas dari hulu ke hilir tidak dikuasai oleh
pedagang keliling kecil saja, tetapi juga melibatkan pedagang besar dengan
jaringan niaga yang luas dan modal yang besar dimiliki oleh mereka. Mereka
juga mempunyai kapal-kapal sendiri yang disewakan kepada para saudagar.
Dunia pelayaran dan perniagaan memang melibatkan banyak pihak termasuk
di dalamnya menyangkut jaringan maupun permodalan. Menguasai jalur
rempah sesungguhnya identik dengan menguasai dunia. Jalur rempah yang
terbentuk sejak lama seiring tumbuhnya keinginan bangsa-bangsa untuk
memanfaatkan rempah-rempah asal Nusantara sebagai aroma pewangi, obat-
obatan, dan bumbu masakan mendorong bangsa-bangsa asing datang ke
Nusantara.
Achmad, Sri Wintala. Sejarah Raja-Raja Jawa Dari Kalingga Hingga Mataram
Islam. Yogyakarta: Araska, 2017.
Alwi, Des. Sejarah Maluku, Banda Neira, Ternate, Tidore, dan Ambon. Jakarta:
Dian Rakyat, 2005.
Amal, M. Adnan. Kepulauan Rempah-Rempah. Perjalanan Sejarah Maluku
Utara 1250-1950. Jakarta: Kepustakaan Populer Gramedia, 2016.
Andaya, Barbara Watson. “The Cloth Trade in Jambi and Palembang Society
During The Seventeenth and Eighteenth Centuries,” Indonesia, No. 48,
1989.
Asnan, Gusti. Dunia Maritim Pantai Barat Sumatera. Yogyakarta: Ombak,
20017.
Boechari. “Epigraphy and Indonesian Historiography,” dalam An Introduction
to Indonesian Historiography, Soedjatmoko (et.al). Ithaca. NY: Cornell
University Press, 1966.
_______. Melacak Sejarah Kuno Indonesia Lewat Prasasti. Jakarta: Kepustakaan
Populer Gramedia, 2012.
Burke, Peter. “History and Folklore: A Historiographical Survey,” Foklore 115,
2004.
Casparis, J.G. De. Indonesian Paleography: A History Writing in Indonesia from
the Beginnings to c. AD 1500. Leiden: E.J. Brill, 1975.
Coedes, George. Asia Tenggara Masa Hindu-Buddha. Jakarta: Kepustakaan
Populer Gramedia, Forum Jakarta-Paris, dan Pusat Penelitian dan
Pengembangan Arkeologi Nasional, 2010.
Christie, Jan Wisseman. “Javanese Market and the Asian Sea Trade Boom of
248 | Jalur Rempah dan Dinamika Masyarakat Abad X - XVI
the Teenth to Thirteenth Centuries AD,” Journal of the Economic and Social
History of the Orient (JESHO), 1998 (41), Vol. 3.
Djoko MR, Suhardi. Kepulauan Banda dan Masyarakatnya. Jakarta: Direktorat
Jenderal Kebudayaan, 1999/2001.
Drakard, Jane. “An Indian Ocean Port: Sources of the Earlier History of Barus,”
Archipel, Vol 37, 1989.
Farid, Muhammad dan Najiwa Amsi. “Studi Masyarakat Banda Naira: Sebuah
Tinjauan Sosiologis-Anthropologis,” Paradigma, Vol. 3. Februari 2017.
Gulliot, Claude. Banten Sejarah dan Peradaban Abad X-XVII. Jakarta:
Kepustakaan Populer Gramedia, École française d’Extrême Orient, Forum
Jakarta-Paris, Pusat Penelitian dan Pengembangan Arkeologi Nasional,
2008.
_____________ (Ed.). Lobu Tua Sejarah Awal Barus. Jakarta: Yayasan Obor
Indonesia, École française d’Extrême Orient, Pusat Arkeologi Nasional,
2014.
Hadimulyono dan C.C. Macknight. “Imported Ceramics in South Sulawesi,”
RIMA, No. 17, 1983.
Hall, Kenneth. “Indonesia’s Evolving International Relationships in the Ninth
to Early Eleventh Centuries: Evidence from Contemporary Shipwreck and
Epigrapraphy,” Indonesia, Vol 90, Oktober 2010.
____________. A History of Early Southeast Asia: Maritime Trade and Societal
Development 100-1500. Lanham: Rowman and Littlefield, 2011.
Handoko, Wuri. “Aktifitas Perdagangan Lokal di Kepulauan Maluku Abad ke-
15 − 19. Tinjauan Awal Berdasarkan Data Keramik Asing dan Komoditas
Lokal,” Kapata Arkeologi, Vol. 3, No. 4, Juli 2007.
Hanna, Willard A. Kepulauan Banda. Kolonialisme dan Akibatnya di Kepulauan
Pala. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia-Gramedia, 1983.
Hardjowardojo. Pararaton. Jakarta: Bhratara, 1965.
Kartodirdjo, Sartono. Pengantar Sejarah Indonesia Baru: 1500-1900 Dari
Emporium Sampai Imperium, Jilid 1. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama,
1999.
Kathirithamby-Wells, J. “Royal Authority and the ‘Orang Kaya’ in the Western
Jalur Rempah dan Dinamika Masyarakat Abad X - XVI | 249
A Arab vii, xii, 11, 14, 24, 37, 43, 45, 47, 51, 52,
69, 81, 84, 85, 86, 107, 124, 141, 150,
Aceh vii, x, 42, 44, 45, 46, 47, 48, 52, 68, 92,
154, 157, 158, 159, 162, 164, 165, 166,
94, 97, 124, 166, 174, 231, 240
170, 171, 175, 180, 181, 186, 194, 199,
Aceh Barat 46 208, 213, 214, 222, 228, 235, 237, 239,
adas 110 242
Afrika 50, 106, 165 arkeologi 11, 12, 15, 17, 18, 52, 61, 95, 149,
176, 177
Ai 10, 73, 143, 145
armada 30, 32, 37, 39, 40, 82, 83, 93, 94, 119,
Airlangga 56, 106 120, 127, 128, 164, 190, 199, 210, 224,
Aleksandria 33, 71, 141, 204, 206 230
Alifuru 25 Aru xiv, 11, 21, 40, 71, 75, 77, 79, 80, 214, 224
Alor 27, 84 Asia ix, xi, xii, xiii, 3, 5, 11, 18, 23, 25, 27, 29,
30, 32, 33, 34, 35, 36, 42, 43, 44, 48, 50,
Amahusu 11
52, 54, 59, 64, 67, 68, 69, 75, 76, 84, 89,
Ambon xiii, 11, 12, 15, 16, 18, 19, 20, 21, 22, 90, 92, 94, 97, 101, 102, 103, 107, 108,
27, 33, 34, 35, 39, 40, 41, 70, 74, 77, 78, 111, 112, 113, 118, 120, 125, 126, 129,
79, 81, 82, 83, 85, 89, 92, 110, 122, 139, 130, 133, 141, 142, 143, 144, 145, 146,
142, 149, 150, 152, 156, 157, 158, 160, 148, 149, 164, 166, 172, 174, 177, 184,
165, 168, 186, 204, 205, 208, 215, 224 185, 186, 191, 204, 211, 217, 224, 233,
Ambwan 33 236, 237, 238, 239
angin xii, xiv, 9, 43, 44, 45, 51, 63, 75, 76, 77, Asia Tenggara xii, xiii, 5, 23, 25, 27, 29, 33, 34,
80, 105, 121, 131, 132, 140, 146, 147, 35, 36, 42, 43, 44, 48, 50, 52, 54, 59, 64,
154, 158, 161, 164, 165, 168, 171, 174, 67, 68, 69, 84, 89, 90, 92, 94, 97, 101,
185, 194, 206, 212, 213, 215, 226, 233, 102, 103, 107, 112, 113, 125, 126, 133,
234, 238, 239 141, 143, 144, 145, 148, 166, 172, 174,
211, 236, 237, 238, 239
angin musim xii, xiv, 43, 44, 45, 51, 63, 194,
234, 238, 239 Asia Timur ix, xiii, 11, 68, 164, 233
Anthony Reid xii, 25, 29, 34, 112, 143 Ay 9, 10, 12, 14, 18, 34, 37, 39, 205, 211, 213,
Anusapati 57 219, 220, 221
256 | Jalur Rempah dan Dinamika Masyarakat Abad X - XVI
bahar 76, 78, 88, 89, 98, 140, 198, 220 Belanda xiii, 14, 18, 20, 36, 37, 38, 39, 40, 41,
43, 54, 72, 76, 78, 79, 80, 83, 93, 96, 99,
Bahari vi, 114, 228 100, 101, 102, 103, 123, 124, 125, 129,
Bahuwa 18 132, 149, 170, 192, 204, 205, 208, 209,
210, 220, 224, 225, 226, 227, 231, 232
bajak laut 127, 169
Belang 157
Bali 3, 27, 84, 106, 107
belerang 9, 206
banda 76, 204, 240
Bengala xi, 132, 239
Banda Besar 36, 39, 40, 72, 73, 88, 143, 145,
147, 159, 168, 204, 205, 209, 211, 212, Bengawan Solo 115
213, 214, 219, 220 Benggala 28, 30, 31, 32, 76, 79, 105, 129, 133,
Banda Elat 80 162, 164, 169
Bandar 13, 23, 27, 30, 34, 44, 104, 129, 152, Benteng Nassau 14, 39, 40, 205, 225
199, 204, 216 Benteng Victoria 82
Banggai 90, 91, 111, 168 beras x, xi, 3, 5, 13, 30, 33, 34, 35, 43, 54, 61,
Banggawi 111 62, 63, 68, 71, 77, 85, 92, 93, 99, 102,
107, 109, 110, 111, 121, 122, 123, 127,
Bangka 44, 46, 98, 122, 196 128, 129, 132, 133, 140, 142, 147, 152,
banjaga 106, 107 155, 158, 165, 169, 170, 171, 184, 185,
190, 191, 192, 193, 196, 197, 198, 199,
Banjar 103 211, 213, 214, 215, 217, 218, 222, 227,
Banjarmasin x, 3, 44, 93, 102, 122, 170, 185 235, 236, 237, 240, 241
Banten vii, x, xi, 40, 44, 45, 48, 92, 94, 96, 97, Bersih Negeri 11
98, 100, 102, 103, 104, 121, 132, 133, biduk 214
135, 165, 175, 182, 183, 188, 197, 198,
bokor-bokor 25
215, 231, 232, 236
Bondan Kejawen 160, 161
barangay 139
Borneo xiii, xiv, 77, 152, 170, 171, 185
Barcelona 33, 71, 204
bowsprit 131
Barus viii, 46, 47, 68, 94, 98, 101, 182, 236
brazil 83, 111
Batang Hari 46, 47, 48, 51, 52, 95, 96, 172,
173, 174, 175, 176, 179, 180, 232, 233 Brunei x, xiv, 13, 77, 92, 97, 152, 171
Batavia 40, 41, 83, 118, 119, 123, 204, 223, 224 buah 11, 17, 36, 37, 39, 57, 68, 71, 73, 76, 77,
Indeks | 257
78, 82, 84, 85, 92, 120, 139, 140, 142, Champa 13, 150, 152
145, 147, 150, 159, 168, 169, 183, 203, Chola 13, 69
206, 207, 208, 209, 210, 214, 215, 222,
223, 226, 235, 237 Chuan Chuo 23
budak 3, 39, 40, 41, 68, 74, 84, 90, 92, 93, 99, Cilubintang 80, 159, 160, 161, 203
106, 111, 127, 139, 143, 144, 168, 169, Cina xi, xii, xiii, 11, 12, 13, 14, 17, 20, 21, 23,
170, 172, 198, 199, 204, 210, 220, 222, 24, 25, 27, 28, 30, 37, 39, 42, 43, 44, 47,
223, 224, 225, 226, 227, 236 48, 50, 51, 52, 54, 61, 68, 69, 71, 72, 75,
81, 83, 84, 85, 86, 88, 90, 93, 94, 95, 97,
budak senggi 106
98, 99, 100, 101, 102, 105, 106, 107,
Budha 4, 21, 52, 54, 245 109, 110, 111, 118, 119, 121, 123, 124,
125, 127, 129, 131, 132, 133, 140, 141,
Bugis 24, 25, 28, 45, 73, 81, 93, 154, 166, 168, 146, 147, 149, 150, 152, 154, 155, 156,
169, 170, 186, 199, 211, 212 157, 165, 171, 175, 178, 179, 185, 186,
bukit Sirimau 11, 17, 20 188, 190, 191, 193, 194, 195, 196, 198,
199, 211, 214, 215, 218, 222, 224, 230,
burgher 39 231, 232, 233, 234, 235, 236, 237, 239,
Buru xiv, 223 242
He-ling 106 J
Hikayat Bacan 89 Jacob van Neck 78
Hikayat Banjar 103 jahe 241
Hikayat Lonthor 80, 157, 159, 203, 204 Jailolo 162
hiliran 107 Jalan lada 103
Hindu 4, 14, 21, 48, 52, 54, 59, 94, 105, 114, jalur lada 92, 97
125, 126, 128, 245
jalur rempah vii, viii, ix, x, xi, xii, xiv, 4, 5, 6,
Hindu-Budha 4, 21, 52, 54 11, 13, 98, 139, 140, 143, 174, 184, 191,
Hitu iii, 11, 15, 28, 34, 71, 78, 81, 82, 83, 89, 193, 199, 228, 234, 241, 242, 245
104, 127, 128, 142 jalur selatan xi, xiii, 72, 83, 128, 146, 155, 158,
Hoi An 92 171, 185, 218
Hormuz 71, 104, 158, 162, 164, 171, 204 jalur utara xi, xii, 13, 67
Huamual 78, 81 Jambi vii, viii, x, xi, 3, 4, 42, 44, 45, 46, 47, 48,
50, 51, 52, 53, 68, 93, 94, 95, 96, 97, 98,
I 99, 100, 101, 102, 103, 121, 123, 133,
142, 172, 173, 174, 175, 176, 177, 178,
ikan 12, 15, 20, 36, 68, 75, 85, 140, 145, 154, 179, 180, 181, 182, 183, 192, 193, 196,
168, 170, 178, 186, 188, 195, 196, 206, 228, 229, 230, 231, 232, 233, 240, 245
212, 213, 214, 237, 240, 241
jamuju 109, 110
Ince Muda 123, 133
Janggala 55, 57
Inderapura 45
Janggala-Kediri 55, 57
India v, ix, x, 5, 11, 13, 24, 28, 30, 31, 32, 37,
42, 43, 44, 45, 47, 48, 50, 62, 68, 69, 71, jangkar 74
84, 94, 97, 98, 102, 103, 104, 105, 106, Jan Pieterszoen 38, 40, 80
107, 109, 110, 111, 113, 114, 119, 132,
133, 134, 141, 146, 147, 152, 162, 164, Jaratan 36, 68, 98, 121, 133, 140, 142, 240
165, 173, 174, 184, 186, 194, 208, 213, jaringan perdagangan 23, 27, 62, 72, 83, 105,
214, 218, 224, 228, 230, 236, 239, 242 109, 127, 134, 241
Indragiri 45, 98, 133, 231
jaringan perniagaan 5, 28, 71, 107, 110, 111,
Inggris ix, 35, 37, 43, 76, 78, 99, 102, 103, 205, 235, 240
211, 220, 222, 226
Jawa vii, viii, ix, x, xi, xii, xiii, xiv, 3, 4, 11, 13,
Iskandar Muda 44, 249 14, 20, 21, 23, 24, 27, 28, 30, 32, 33, 34,
35, 37, 40, 44, 45, 46, 48, 50, 51, 52, 54,
Islam vii, 4, 18, 23, 33, 35, 68, 82, 88, 94, 96,
55, 56, 57, 58, 59, 60, 61, 62, 63, 64, 67,
105, 115, 117, 118, 120, 121, 125, 126,
68, 69, 71, 72, 73, 75, 76, 77, 79, 81, 82,
131, 141, 142, 144, 157, 158, 159, 160,
161, 162, 164, 165, 166, 171, 172, 181, 83, 84, 85, 87, 90, 91, 92, 93, 94, 98, 99,
182, 190, 191, 196, 219, 220, 228, 247, 100, 102, 104, 105, 106, 107, 108, 109,
251 110, 111, 113, 114, 115, 116, 117, 118,
119, 120, 121, 122, 123, 124, 125, 126,
Islamisasi 157, 158, 160, 161, 162, 166, 171, 127, 128, 129, 130, 131, 132, 133, 140,
196 141, 142, 143, 146, 147, 148, 149, 154,
260 | Jalur Rempah dan Dinamika Masyarakat Abad X - XVI
160, 161, 163, 164, 167, 169, 170, 175, Kalingga 105, 119, 184, 247
176, 177, 179, 182, 183, 184, 185, 186,
Kampar 45, 231
187, 188, 189, 190, 191, 193, 194, 195,
196, 197, 198, 199, 204, 211, 212, 213, kamper 31, 43, 44, 47, 52, 68, 69
214, 215, 216, 217, 218, 219, 227, 228, kampung Bandan 40
230, 231, 232, 234, 235, 236, 237, 238,
239, 240, 241, 242, 245 Kampung Baru 9
Jawadwipa 52 kapak 84, 90, 147, 168
Jawa Tengah 54, 55, 56, 57, 94, 114, 117, 118, kapal ix, x, xiii, xiv, 3, 4, 5, 13, 20, 28, 30, 31,
119, 120, 121, 125, 179, 184 32, 33, 34, 37, 38, 39, 40, 42, 43, 44, 45,
46, 47, 48, 51, 52, 54, 55, 67, 69, 70, 72,
Jawa Timur x, xi, 34, 35, 55, 56, 57, 59, 61, 73, 74, 75, 78, 81, 82, 83, 84, 87, 88, 89,
62, 68, 94, 98, 105, 106, 107, 109, 110, 90, 92, 93, 94, 95, 96, 97, 98, 99, 100,
114, 117, 133, 141, 146, 194, 195, 235, 101, 102, 103, 104, 110, 111, 114, 120,
239, 241 121, 123, 124, 125, 126, 127, 128, 129,
Jazirah Almamluk 162 131, 132, 133, 135, 140, 141, 146, 147,
148, 150, 152, 154, 158, 161, 164, 165,
Jepara vi, 3, 13, 30, 34, 54, 68, 98, 100, 102, 168, 169, 171, 174, 175, 178, 179, 182,
117, 118, 119, 120, 121, 122, 123, 124, 184, 185, 189, 192, 193, 195, 196, 197,
125, 126, 133, 134, 158, 165, 167, 184, 198, 199, 204, 205, 211, 213, 214, 215,
188, 192, 193, 195, 197, 204, 231, 235, 216, 218, 219, 220, 223, 224, 228, 229,
238, 239 230, 231, 232, 233, 234, 235, 236, 237,
Johor xiv, 92, 177, 178, 231 239, 240, 241, 242, 245
jung xiv, 28, 30, 31, 32, 34, 72, 73, 77, 87, 89, kapitalisme 28
96, 97, 100, 101, 102, 120, 121, 123, kapsete 21
127, 128, 129, 132, 135, 141, 146, 148,
150, 154, 169, 180, 188, 196, 197, 211, Karaeng Matoaya 35
213, 218, 232 kardumunggu 52
junk 82, 133, 165, 211 Karnataka 105
Juwana 113, 114, 117, 123, 133, 197, 235, 238 kasturi 44
kacang 109, 240 katun 30, 31, 32, 68, 69, 75, 98, 99, 111, 129,
132, 133, 140, 141, 147, 152, 171, 214,
Kahuripan 55, 56, 57, 116 218
kain ix, x, xi, 3, 13, 24, 25, 28, 30, 31, 32, 36, kayu 3, 15, 43, 44, 48, 52, 68, 69, 70, 74, 77, 81,
37, 43, 69, 71, 75, 79, 81, 82, 84, 87, 88, 83, 84, 96, 97, 101, 107, 111, 119, 121,
90, 92, 93, 100, 104, 107, 111, 121, 122, 124, 133, 141, 142, 143, 145, 150, 170,
128, 129, 130, 132, 133, 134, 152, 155, 178, 185, 199, 203, 232, 235
169, 170, 185, 189, 190, 199, 210, 211,
kayu brazil 83, 111
214, 216, 218, 231, 232, 238, 240
kayu cendana 3, 52, 77, 84, 107, 121, 203, 232
kain tenun x, 13, 30, 71, 79, 81, 92, 107, 111,
128, 129, 155, 170, 189, 190, 199, 211 kayu gaharu 44, 52, 68, 96
Kakehang 11 kayu jati 68, 119
Indeks | 261
Laut Natuna Utara xiii, 230, 233, 239 105, 107, 113, 120, 121, 122, 123, 128,
129, 132, 134, 135, 146, 149, 152, 154,
Laut Sulawesi xiii, xiv, 178, 249
158, 161, 162, 164, 165, 167, 169, 170,
Laut Sulu xiii, 75, 150, 152 171, 174, 175, 176, 178, 190, 191, 192,
196, 197, 198, 199, 203, 204, 213, 215,
Laut Tengah 43, 71, 76, 92, 94, 102, 103, 139,
216, 217, 218, 219, 220, 228, 230, 232,
157
235, 236, 239, 241
leenheer 41 Maloko 33, 162
Leihitu 81 Maluku xi, xii, xiii, 3, 9, 11, 12, 13, 14, 15, 17,
lembah Brantas 61, 109 18, 20, 21, 22, 23, 24, 25, 27, 28, 30, 31,
32, 33, 34, 35, 36, 42, 43, 50, 55, 67, 68,
lilin 68, 207 69, 70, 71, 72, 73, 75, 76, 77, 78, 79, 82,
Lingapati 59 83, 84, 85, 87, 88, 89, 93, 104, 105, 109,
110, 111, 121, 122, 123, 126, 127, 128,
loji 36, 96, 124, 196 129, 130, 132, 133, 134, 139, 140, 141,
Lonthor 38, 78, 80, 88, 145, 147, 157, 159, 146, 149, 150, 152, 154, 155, 157, 158,
203, 204, 209 162, 165, 166, 168, 169, 170, 171, 190,
192, 203, 204, 205, 208, 213, 215, 216,
Luwu iii, 90, 91 218, 219, 220, 224, 228, 231, 233, 235,
Luzon 23, 150 237, 239, 240, 241, 245
Maluku Tengah 9, 15, 17, 20, 21, 23, 25, 208
M Maluku Tenggara 11, 71, 75, 157, 158
madu xi, 68, 81, 98, 99, 101, 133, 185 Mamluk 33, 206
Madura 118, 131, 186, 190, 191, 198 Manananjung 110, 111
Magelang 55 Manggarai 27, 253
maharaja 51, 52 manik-manik 18, 20, 21, 84, 90, 95, 149, 152
Ma Huan 63, 69, 194 mardijker 39
Majapahit vii, 33, 50, 55, 56, 57, 59, 62, 63, 69, Mataram 55, 56, 57, 93, 94, 114, 116, 117, 118,
90, 91, 94, 109, 110, 111, 113, 114, 115, 123, 124, 125, 161, 238, 247, 250
116, 117, 125, 126, 127, 128, 160, 161,
195, 196, 239, 240, 241 Medang 55, 56, 57, 191
Makassar vii, x, 3, 13, 27, 35, 44, 69, 70, 85, Meilink-Roelofsz, M.A.P. 250
90, 92, 93, 122, 132, 166, 170, 198, 215, meja batu 11, 156
225, 231
Melayu xiv, 11, 13, 14, 21, 28, 37, 46, 50, 68,
Makian xii, 23, 71, 85, 89, 139, 208, 215, 218, 75, 76, 77, 79, 83, 84, 92, 93, 99, 104,
224 114, 120, 121, 124, 134, 140, 141, 146,
150, 154, 161, 169, 170, 175, 178, 180,
Maladewa 198, 236
181, 186, 192, 199, 204, 211, 213, 214,
Malaka xi, xii, xiii, xiv, 3, 13, 25, 28, 30, 31, 32, 215, 231, 237, 240
42, 44, 45, 46, 47, 48, 49, 50, 51, 67, 68,
merkuri 84
69, 71, 72, 76, 77, 78, 83, 84, 92, 93, 94,
95, 96, 97, 98, 99, 100, 101, 103, 104, Mesir x, 103, 129, 139, 141, 204, 206
Indeks | 263
Miksic, John 250 Neira 11, 12, 14, 18, 37, 38, 39, 40, 73, 77, 141,
143, 149, 156, 157, 159, 161, 165, 204,
Minangkabau 45, 46, 99, 101
212, 213
Mindanao xii, 85, 152
nikel 90
Mindoro 23
Nina Suria Dewa 31
monopoli 14, 27, 28, 36, 37, 38, 39, 73, 87,
Nusantara vii, viii, ix, x, xi, xii, xiii, xiv, 3, 4,
99, 149, 205, 208, 210, 215, 217, 218,
5, 6, 9, 38, 40, 41, 42, 43, 44, 45, 46, 47,
226, 227
48, 50, 54, 65, 67, 68, 69, 70, 75, 85, 93,
monopoli rempah-rempah 38, 39, 215 94, 96, 97, 100, 101, 103, 107, 109, 110,
114, 121, 123, 127, 131, 151, 152, 153,
Morotai 85
172, 174, 175, 176, 177, 179, 184, 185,
Moti x, 89, 208 186, 190, 191, 192, 193, 197, 198, 223,
Muara 48, 52, 95, 96, 115, 172, 178, 230 228, 230, 231, 232, 233, 234, 235, 236,
237, 239, 240, 241, 242, 245
Muara Jambi 172
Nusa Tenggara xii, 45, 50, 142, 146, 155, 157,
Muara Sabak 52, 95 237, 240
Muara Zabak 48, 95, 178 Nyai Ageng Pinatih 130, 131, 190
Muko-muko 45
O
mutiara 31, 68, 69, 81
orang Belanda 14, 36, 37, 39, 40, 41, 79, 123,
N 210
naga 150, 156, 157, 171, 179 orang Inggris 37, 226
Nagarakertagama 110, 188, 239 orang kaya 14, 25, 27, 36, 37, 38, 39, 40, 41,
68, 71, 72, 73, 75, 79, 99, 131, 139, 140,
Naira 18, 20, 21, 25, 27, 35, 39, 79, 105, 141, 143, 144, 145, 146, 147, 149, 152, 161,
143, 145, 146, 147, 155, 158, 159, 160, 166, 168, 178, 182, 204, 205, 206, 209,
161, 165, 166, 203, 204, 205, 211, 212, 210, 211, 213, 215, 216, 217, 218, 219,
213, 214, 215, 217, 219, 220, 221, 222, 230, 231
225, 248, 251
Orang Kaya Sierra Lela 102
nakhoda 214, 215, 216
Orang Kayo 182, 229
Namasawar 157
orang laut 169, 176, 177, 178, 229, 230
narasi vii, viii, ix, x, xii, 4, 5, 6, 132, 159, 160,
237, 241 Orang Tionghoa 178
Narasi rempah 4 Orantata 24, 36, 73, 143, 145, 147, 209, 210,
211, 213
nasi 146
Ouw 15, 17, 20
Nassau 14, 38, 39, 40, 205, 225
negeri Amakusu 17 P
negeri pesisir 13 Padang viii, 228
Negeri Waraka 17, 21 padi gogo 33
264 | Jalur Rempah dan Dinamika Masyarakat Abad X - XVI
Pariaman 45, 46, 98, 133, 182, 198, 228, 231, pedang 84, 90
236, 252 Pegu 68, 105, 106, 135, 148, 223
Pasai 13, 44, 68, 98, 184, 218, 219, 239 pegunungan 113
pasar 3, 28, 30, 31, 35, 36, 37, 44, 61, 62, 63, pelabuhan vii, ix, x, xi, xii, xiv, 3, 4, 5, 11, 13,
69, 71, 73, 75, 76, 77, 79, 80, 82, 85, 88, 14, 15, 23, 24, 25, 28, 30, 31, 32, 33, 34,
92, 93, 96, 97, 101, 103, 104, 109, 110, 36, 40, 43, 44, 45, 47, 52, 54, 57, 59, 61,
124, 140, 149, 150, 154, 155, 164, 165, 62, 63, 67, 68, 69, 70, 71, 72, 73, 75, 77,
168, 169, 170, 171, 186, 189, 190, 205, 80, 81, 82, 83, 84, 87, 89, 90, 92, 93, 94,
206, 209, 215, 216, 217, 219, 226, 227, 97, 99, 100, 102, 104, 105, 107, 109,
231, 236, 238, 240 110, 111, 113, 114, 117, 118, 120, 121,
Pase 68 122, 123, 125, 126, 127, 128, 129, 130,
131, 132, 133, 134, 139, 140, 141, 143,
Patalima 21, 22, 23 145, 146, 147, 148, 149, 150, 152, 154,
Patani xiv, 92, 98, 100, 102, 192, 231, 232 155, 157, 158, 161, 162, 164, 165, 166,
Indeks | 265
170, 171, 178, 179, 183, 184, 185, 186, pisau 79, 84, 90, 147, 168
188, 189, 190, 191, 192, 193, 194, 195,
Pontianak x, 170
196, 198, 199, 204, 205, 210, 211, 212,
213, 214, 215, 216, 217, 218, 219, 220, porselen 3, 17, 20, 25, 28, 75, 84, 86, 149, 152,
225, 228, 231, 234, 235, 236, 237, 238, 193, 232
239, 240, 241, 242, 245
Portugis xi, xiv, 11, 28, 30, 31, 33, 43, 44, 72,
Pelayaran xiii, 20, 42, 45, 59, 76, 97, 98, 99, 76, 77, 78, 82, 86, 87, 88, 92, 93, 96, 97,
111, 119, 127, 131, 132, 133, 151, 152, 99, 100, 101, 104, 120, 121, 123, 134,
153, 154, 162, 163, 164, 167, 183, 185, 135, 140, 152, 161, 164, 166, 170, 171,
193, 197, 238, 239 197, 206, 208, 215, 228, 236
pelayaran antar pulau 71 candi
pembuatan kapal 5, 48, 111, 123, 133 borobudur
penyu 92, 232 Kalasan
perahu xii, xiv, 12, 14, 20, 40, 48, 63, 72, 74, Perot 5, 63, 110
79, 114, 132, 141, 143, 145, 146, 150,
Prancis 226
154, 157, 166, 168, 171, 173, 177, 178,
181, 183, 211, 212, 213, 214, 219, 225, Prapanca 33, 110
231, 232, 233, 235, 237, 238, 242 prasasti 50, 55, 56, 57, 59, 61, 105, 106, 114,
perahu kecil 12, 74 116, 188, 194, 195, 238, 241
perahu lesung 214 prasasti Kaladi 106
perairan Nusantara ix, x, 3, 5, 6, 42, 43, 44, 45, Prasasti Kui 105
47, 50, 68, 103, 228, 231, 233, 236, 241 prasasti Matyasih 55
perk 220, 221, 222, 223, 225, 226 prou 12
perkenier 14, 40, 41, 204, 209, 220, 221, 222, Pulau Ay 9, 10, 12, 14, 18, 34, 37, 39, 205, 219,
223, 224, 225, 226, 227 220, 221
Persia xii, 69, 76, 79, 89, 105, 107, 124, 129, Pulau Babar 84
157, 158, 159, 162, 164, 194, 214, 215,
230, 236, 239, 242 Pulau Formosa 23
Pesisir Arabia 71, 76, 158 Pulau Kei 11, 55, 80
pesisir barat India 13, 28, 30, 31, 32, 98, 165 Pulau Pascadores 23
pesisir utara Jawa 11, 13, 34, 35, 63, 71, 76, 83, Pulau Run 9, 11, 14, 35, 37, 39, 40, 83, 145,
107, 109, 111, 113, 128, 133, 140, 141, 185, 205, 211, 213
185, 188, 190, 195, 199, 214, 215 pulau Timor 84
Pidie 68, 98 Punjulharjo 114, 115, 184
Pidir 44
Pieterzoon Verhooven 37 R
Pinaho 17 raja 21, 24, 52, 55, 56, 57, 59, 61, 62, 81, 88, 99,
101, 102, 103, 106, 107, 109, 114, 116,
Pires, Tome 250 117, 118, 119, 139, 141, 160, 161, 173,
266 | Jalur Rempah dan Dinamika Masyarakat Abad X - XVI
Samudra Hindia 33, 47, 107, 157, 158, 164, Sirimau 11, 17, 20
165 sistem sungai 62, 63
Indeks | 267
Sumbawa 3, 21, 30, 83, 84, 93, 106, 107, 111, Sangir
129, 139, 168, 169, 170, 185, 204, 213, Tebo 46, 47, 48, 51, 52, 95, 96, 172, 173,
220 174, 175, 176, 179, 180, 232, 233
Sunan Giri 131, 191 Tenasserim 92
Sunda iii, 21, 45, 67, 69, 77, 83, 84, 92, 97, 98, Tengger 57
99, 110, 197, 198, 211, 220, 236
Ternate vii, xii, 15, 18, 22, 23, 28, 31, 34, 35,
Sunda Kecil 21, 77, 83, 84, 211, 220 70, 71, 73, 79, 80, 81, 85, 86, 87, 88, 89,
Sunda Kelapa 198 90, 139, 149, 150, 152, 162, 170, 186,
204, 208, 213, 215, 218, 220, 224, 231,
Sungai Brantas 33, 57, 63, 190, 191 247
Sungai Kalaena 90 Thailand 18, 98, 111, 148, 218, 233
Sungai Musi 48 Thanh-hoi 25
Surabaya 34, 36, 63, 83, 118, 122, 124, 125, Tidore xii, 18, 23, 28, 70, 71, 73, 79, 81, 85, 87,
126, 129, 131, 133, 140, 154, 155, 185, 88, 89, 92, 139, 149, 150, 152, 162, 186,
204, 231, 238 204, 208, 213, 215, 218, 224
sutra 30, 68, 98, 144, 171, 189, 199, 218 Tiku 46, 98, 228, 236
268 | Jalur Rempah dan Dinamika Masyarakat Abad X - XVI
U Y
uang kepeng 133 Yuwana 133
Ujung Pelancu 48
Z
Ulakan 45
Zabak 48, 51, 52, 54, 95, 178
V zaman bahari 162
Venesia 33, 71, 105, 204 zaman harmoni 72
Victoria 82 zaman kuno xiii, 11, 15, 21, 22, 23, 113, 184,
Vietnam 18, 25, 111, 150, 152, 233, 239 206
VOC 14, 27, 31, 36, 37, 38, 39, 73, 78, 79, 80, zaman perdagangan 143, 144, 150
83, 95, 118, 119, 123, 124, 125, 198,
208, 215, 220, 221, 222, 223, 224, 225, Zanggi 106
226, 232 Zheng He 63