Anda di halaman 1dari 17

BAB I

PENDAHULUAN

Neuritis Optik adalah peradangan atau demielinisasi saraf optikus akibat berbagai
macam penyakit.1 Neuritis Optik diklasifikasikan menjadi dua yaitu papilitis dan neuritis
retrobulbar. Neuritis Optik dalam populasi per tahun diperkirakan 5 per 100.000 sedangkan
prevalensinya 115 per 100.000. Berdasarkan data The Optic Neuritis Treatment Trial
(ONTT) lebih dari 77% pasien adalah wanita, 85% berkulit putih dan usia rata-rata 32 tahun.2

Etiopatogenesis terjadinya papilitis adalah adanya peradangan pada serabut retina


saraf optik yang masuk pada papil saraf optik yang berada dalam bola mata. Pada Neuritis
Optik pasien mengeluhkan penurunan tajam penglihatan yang mendadak dan disertai dengan
nyeri pada mata.3 Pada papilitis pemeriksaan oftalmoskopi dapat ditemukan tanda-tanda
disfungsi nervus optikus seperti hiperemi papil saraf optik dengan batas papil yang kabur,
pelebaran vena retina sentral dan edema papil, sedangkan pada neuritis retrobulbaris tidak
ditemukan tanda-tanda kelainan tersebut.

Penatalaksanaan pada Neuritis Optik yaitu kortikosteroid (berdasarkan ONTT) atau


ACTH (Adrenocorticotropic hormone). Selain itu diberikan juga terapi penyakit
penyebabnya.2 Tujuan penyusunan referat ini adalah untuk mengetahui secara umum
mengenai definisi, anatomi fisiologi, klasifikasi, patofisiologi, manifestasi klinis, serta
penatalaksanaan pada Neuritis Optik.

1
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Anatomi Saraf Optik

Nervus optikus adalah saraf yang membawa rangsang dan retina menuju otak.
Segmen intraokular saraf optik sepanjang 1 mm terbagi menjadi lapisan serabut-serabut saraf
superfisial, bagian prelaminar, laminar (lamina kribosa) dan retrolaminar. Papil saraf optik
(diskus optik) merupakan bagian prelaminar saraf optik berbentuk oval, 1,5 mm horizontal
dan 1,75 mm vertikal dengan cekungan (cup shaped depression) agak ke temporal. Papil
saraf optik merupakan daerah keluarnya akson-akson sel ganglion terletak sekitar 3-4 mm
sebelah nasal fovea. Bagian prelaminar dan laminar terdiri dari akson-akson sel ganglion
retina tak bermielin, astrosit dan arteri-vena retina sentralis yang keluar dari bagian tengah
papil saraf optik.1,4

Gambar 1. Nervus Optik5

2
Akson-akson bergabung menjadi fasikulus dan menembus sklera 200-300 lubang
pada lamina kribosa. Disini ketebalan saraf optik bertambah menjadi 3-4 mm akibat
pembentukan mielin akson-akson sel ganglion retina. Bagian prelaminar dan laminar
diperdarahi terutama oleh arteri siliaris posterior brevis yang beranastomosis dengan pleksus
pial dan pembuluh darah koroid peripapilar membentuk siklus Zinn-Haller.1,4

Segmen intraorbita saraf optik berukuran panjang 25-30 mm, lebih panjang dari jarak
antara belakang bola mata dan apeks orbita sehingga dapat bebas bergerak pada pergerakan
bola mata. Pada apeks orbita segmen saraf optik dikelilingi oleh anulus Zinn sebelum
berlanjut ke kanal optik. Saraf optik berjalan kearah porteromedial ke foramen optik (optic
ring) menuju kanal optik. Segmen intrakanalikular yang terdapat di dalam kanalis optik
memiliki panjang 4-10 mm. Kanalis optik dibentuk oleh tulang sphenoid parva minor. Bagian
ini diperdarahi oleh cabang pial arteri oftalmika.1,4

Gambar 2:Schematic representation of blood supply of: (A) the optic nerve head and (B) the
optic nerve. Abbreviations: A = arachnoid; C = choroid; CRA = central retinal artery; Col.
Br. = Collateral branches; CRV = central retinal vein; D = dura; LC = lamina cribrosa; NFL
= surface nerve fiber layer of the disc; OD = optic disc; ON = optic nerve; P = pia; PCA =
posterior ciliary artery; PR and PLR = prelaminar region; R = retina; RA = retinal arteriole;
S = sclera; SAS = subarachnoid space. 5

3
Segmen Intrakranial memiliki panjang sekitar 10 mm, antara kanalis optik sampai
kiasma optikum. Kiasma optikum memiliki ukuran 12 mm x 8 mm x 4 mm dan dikelilingi
oleh piamater dan araknoidmater. Serat ekstramakular dari retina inferonasal menyilang di
Wilbranda knee, serat ekstramakular dari retina supernasal langsung menyilang ke trakstus di
seberangnya dan serat ekstramakular temporal tidak menyilang di dalam chiasma dan traktus
optikus.1,4

Traktus optikus memiliki serat temporal ipsilateral dan nasal kontralateral nervus
optikus. Serat yang berasal dari proyeksi retina atas berjalan medial dan proyeksi retina
bawah berjalan lateral, kemudian keduanya berjalan ke badan genikulatum lateral (Corpus
Geniculatum Lateral) dimana badan ini merupakan zona sinaptik untuk proyeksi visual yang
lebih tinggi. Badan ini memiliki 6 lapis substansia grisea dan alba, dimana lapisan 1,4, dan 6
memiliki akson kontralateral; dan lapisan 2,3,dan 5 memiliki akson ipsilateral.4

Kemudian dilanjutkan dengan radiasio optikus yang menghubunhkan badan


genikulatum lateral dengan korteks lobus oksipital. Diawali dari kornu temporal ventrikel
lateral dan menuju loop of mayer dan bergerak ke arah area visual lobus oksipital, dimana
area ini merupakan area yang paling tipis.4

2.2 Fisiologi Jaras Visual

Secara fungsional rangsang visual ditangkap oleh retina (sebagai stasiun I) Retina
merupakan reseptor permukaan untuk informasi visual. Sebagaimana halnya nervus optikus,
retina merupakan bagian dari otak meskipun secara fisik terletak di perifer dari sistem saraf
pusat (SSP). Komponen yang paling utama dari retina adalah sel-sel reseptor sensoris atau
fotoreseptor dan beberapa jenis neuron dari jaras penglihatan. Lapisan terdalam (neuron
pertama) retina mengandung fotoreseptor (sel batang dan sel kerucut) dan dua lapisan yang
lebih superfisial mengandung neuron bipolar (lapisan neuron kedua) serta sel-sel ganglion
(lapisan neuron ketiga). Sekitar satu juta akson dari sel-sel ganglion ini berjalan pada lapisan
serat retina ke papila atau kaput nervus optikus. Pada bagian tengah kaput nervus optikus
tersebut keluar cabang-cabang dari arteri centralis retina yang merupakan cabang dari arteri
oftalmika.4,5

Nervus optikus memasuki ruang intrakranial melalui foramen optikum. Di depan


tuber sinerium (tangkai hipofisis) nervus optikus kiri dan kanan bergabung menjadi satu
berkas membentuk kiasma optikum.5 Di depan tuber sinerium nervus optikus kanan dan kiri

4
bergabung menjadi satu berkas membentuk kiasma optikum, dimana serabut bagian nasal
dari masing-masing mata akan bersilangan dan kemudian menyatu dengan serabut temporal
mata yang lain membentuk traktus optikus dan melanjutkan perjalanan untuk ke korpus
genikulatum lateral dan kolikulus superior. Kiasma optikum terletak di tengah anterior dari
sirkulus Willisi. Serabut saraf yang bersinaps di korpus genikulatum lateral merupakan jaras
visual sedangkan serabut saraf yang berakhir di kolikulus superior menghantarkan impuls
visual yang membangkitkan refleks opsomatik seperti refleks pupil.4

Kemudian nervus optikus diteruskan melalui serabut saraf otak kedua (saraf optik) ke
Corpus Geniculaturn Laterale (CGL) sebagai stasiun ke II. CGL bertugas menyampaikan
informasi ke korteks serebri bagian oksipital dan juga informasi visual disebarkan ke seluruh
SSP yang mempunvai hubungan dengan indera pengelihatan ke pusat keseimbangan motorik,
medulla spinalis, pendengaran, dan sebagainya.5 Pada CGL terjadi rotasi 90° dari serabut
saraf, sehingga serabut saraf yang berasal dari retina bagian superior akan berada di bagian
medial CGL, sedangkan yang berasal dan bagian inferior retina akan berada di bagian lateral.

Gambar 4. Lapisan Neuron pada Retina

Radiasio optika mengandung 3 kelompok besar serabut yaitu (1) bagian superior
(berisi serabut yang mengurus lapangan pandang inferior), (2) bagian inferior (berisi serabut
yang mengurus lapang pandang superior), (3) bagian sentral (berisi serabut makula). Pada
radiasio optika (traktus genikulo-kalkarina) terjadi pemutaran, sehingga posisi serabut

5
penglihatan kembali seperti sebelum memasuki CGL yaitu bagian atas retina berjalan dan
diproyeksikan di bagian atas korteks serebri dan sebaliknya.1 Korteks proyeksi penglihatan
disebut juga korteks striata (area 17), berada di sepanjang bibir superior dan fissure kalkarina.
Ketika impuls sampai di area 17, maka akan terbentuk sensasi visual sederhana. Impuls ini
akan rnempunyai arti dan bentuk dengan perantaraan korteks asosiasi area 18 dan 19.5

Gambar 3. Perjalanan Serabut Saraf Nervus Optikus (tampak basal)

Pada refleks pupil, setelah serabut saraf berlanjut ke arah kolikulus superior, saraf
akan berakhir pada nukleus area pretektal. Neuron interkalasi yang berhubungan dengan
nukleus Eidinger-Westphal (parasimpatik) dari kedua sisi menyebabkan refleks cahaya
menjadi bersifat konsensual. Saraf eferen motorik berasal dari nukleus Eidinger-Westphal
dan menyertai nervus okulomotorius (N.III) ke dalam rongga orbita untuk mengkonstriksikan
otot sfingter pupil (gambar 6).4

Gambar 6. Jaras Refleks Pupil

6
2.3 Neuritis Optik

Neuritis Optik adalah peradangan atau demielinisasi saraf optik akibat berbagai
macam penyakit. Insidensi Neuritis Optik dalam populasi per tahun diperkirakan 5 per
100.000 sedangkan prevalensinya 115 per 100.000. Sebagian besar mengenai usia 20 sampai
dengan 40 tahun. Berdasarkan data The Optic Neuritis Treatment Trial (ONTT) 77% adalah
wanita, 85% kulit putih dan usia rata-rata 32 ± 7 tahun. Sebagian besar kasus patogenesisnya
disebabkan inflamasi demielinisasi dengan atau tanpa sklerosis multipel. Pada sebagian besar
kasus Neuritis Optik, monosimptomatik merupakan manifestasi awal sklerosis multipel.6

2.3.1 Epidemiologi
Pasien dengan Neuritis Optik biasanya berusia muda, dengan insidensi puncak
pada dekade ketiga dan keempat (30-40), dan lebih banyak wanita daripada pria.
Dalam peneletian Optic Neuritis Treatment Trial (ONTT), 77% pasien adalah
wanita, 85% berkulit putih, dan usia rata-rata adalah 32 tahun. Prevalensi Neuritis
Optik bervariasi mulai dari berdasarkan geografi dan ras. Kulit putih keturunan
Mediterania kurang umum terkena, dan di Afrika-Amerika dan Asia kondisinya
relatif tidak umum. Orang kulit hitam cenderung memiliki neuropati optik bilateral
dan juga memiliki prognosis visual yang baik dan hubungan dengan multiple
sclerosis lebih rendah.2
2.3.2 Etiologi
A. Demielinatif1

 Idiopatik

 Sklerosis multiple

 Neuromielitis optika (penyakit Delvic)

B. Diperantarai imun1

 Neuritis Optik pascainfeksi virus (morbili, mumps, cacar air, influenza,

mononukleosis infeksiosa)

 Neuritis Optik pascaimunisasi

 Ensefalomielitis diseminata akut

 Polineuropati idiopatik akut (sindrom Guillain-Barre)

7
 Lupus eritematosus sistemik

 Penyakit leber

C. Infeksi langsung1

 Herpes zoster, sifilis, tuberkulosis, crytococcosis, cytomegalovirus

D. Neuropati optik granulomatosa1

 Sarkoidosis

 Idiopatik

E. Penyakit peradangan sekitar1

 Peradangan intraocular

 Penyakit orbita

 Penyakit sinus, termasuk mukormikosis

 Penyakit intracranial: meningitis, ensefalitis

F. Intoksikasi racun eksogen1

 tobacco, etil alkohol, metil alkohol

G. penyakit metabolik1

 diabetes, anemia, kehamilan, avitaminosis

2.3.3 Klasifikasi
Penyakit ini dapat diklasifikasikan ke dalam bentuk:2
 Intraokular, yang mengenai bagian saraf bola mata (papillitis)
Papilitis adalah edema diskus yang disebabkan oleh peradangan pada caput nervi
optici (nervus optikus intraocular). Definisi lain menyebutkan papilitis
merupakan peradangan pada serabut saraf optic yang masuk pada papil saraf
optic yang berada dalam bola mata
 Retrobulbar, yang mengenai bagian saraf di belakang bola mata
Neuritis retrobulbar adalah radang saraf optic dibelakang bola mata. Biasanya
berjalan akut yang mengenai salah satu atau kedua mata. Neuritis retrobulbar
dapat disebabkan oleh sklerosis multiple, penyakit myelin saraf, anemia
pernisiosa, diabetes mellitus dan intoksikasi.

8
2.3.4 Gejala Klinis
Hilangnya penglihatan merupakan salah satu gejala yang paling sering dan
cepat terjadi, biasanya selama beberapa jam hingga beberapa hari. Kehilangan
penglihatan dapat berlanjut hingga 1-2 minggu. Biasanya keluhan ini disertai dengan
berkurangnya kemampuan melihat warna, biasanya warna menjadi lebih gelap atau
warna menjadi pudar. Warna merah digambarkan menjadi merah muda atau coklat
pada pasien yang memiliki dischromatopsia.2,7
Patofisiologi dari timbulnya rasa sakit tidak diketahui, namun beberapa teori
mengatakan mungkin karena hasil dari penarikan duramater oleh otot mata yang
berasal dari annulus Zinn. Secara khas rasa nyeri akan menghilang setelah 3-5 hari,
jika rasa sakit bertahan lebih dari 7 hari, harus dicurigai penyebab nyeri yang lain
seperti neuropati optik.2
Pasien dengan Neuritis Optik umumnya memiliki berbagai bentuk keluhan
kilatan saat mengedipkan mata, biasanya pasien menggambarkan keluhan seperti
kilatan cahaya, kilauan, dan kotak cahaya yang bergeser. Keadaan ini diperburuk
oleh gerakan mata dan atau suara keras. Gejala ini hadir pada 30% pasien ONTT.
Keluhan ini biasanya muncul menyertai keluhan hilangnya pengelihatan dan juga
dapat bertahan selama berbulan-bulan setelah resolusi. Keluhan ini tidak spesifik
Neuritis Optik, maka jika ada keluhan ini, kita juga harus curiga adanya penyakit
retina yang menyertai seperti pada neuroretinitis.2
Gejala Uhthoff adalah gangguan visual sementara yang terkait dengan
peningkatan suhu tubuh. Gangguan penglihatan umumnya berbentuk pandangan
kabur, hilangnya kontras warna visual yang dimulai mulai beberapa menit setelah
terpapar panas, hingga 1 jam kemudian, lalu pengelihatan kembali normal tanpa ada
defisit residual. Gejala ini tidak unik untuk pasien Neuritis Optik. Adanya gejala
Uhthoff mungkin merupakan indikator prognostik yang buruk karena berkorelasi
dengan lesi pada white matter di MRI dan kedepannya dapat meningkatkan kejadian
multiple sclerosis dan Neuritis Optik berulang.2,7
2.3.5 Pemeriksaan penunjang
A. Magnetic Resonance Imaging (MRI)
MRI penting untuk memutuskan apakah daerah di otak telah terjadi kerusakan
myelin, yang mengindikasikan resiko tinggi berkembangnya sklerosis multipel.
MRI juga dapat membantu menyingkirkan kemungkinan tumor atau kondisi
lain. Pada pasien yang dicurigai menderita Neuritis Optik, pemeriksaan MRI
9
otak dan orbita dengan fat suppression dan gadolinium sebaiknya dilakukan
dengan tujuan untuk konfirmasi diagnosis dan menilai lesi white matter. MRI
dilakukan dalam dua minggu setelah gejala timbul. Pada pemeriksaan MRI otak
dan orbita dengan fat suppression dan gadolinium menunjukkan peningkatan
dan pelebaran nervus optikus. Lebih penting lagi, MRI dipakai dengan tujuan
untuk memutuskan apakah terdapat lesi ke arah sklerosis multipel. Ciri-ciri
resiko tinggi mengarah ke sklerosis multipel adalah terdapat lesi white matter
dengan diameter 3 atau lebih, bulat, lokasinya di area periventrikular dan
menyebar ke ruangan ventrikular.2
B. Funduskopi
Pemeriksaan funduskopi pada papilitis terlihat gambaran hiperemia dan edema
diskus optik sehingga membuat batas diskus tidak jelas. Pada papil terlihat
perdarahan, eksudat star figure yang menyebar dari papil ke makula, dengan
perubahan pada pembuluh darah retina dan arteri menciut dengan vena yang
melebar.4 Kadang-kadang terlihat edema papil yang besar yang menyebar ke
retina. Edema papil tidak melebihi 2-3 dioptri. 60% pasien dengan neuritis
retrobulbar memiliki gambaran funduskopi yang normal. Hal ini menyebabkan
adanya suatu istilah “The patient sees nothing and the doctor sees nothing”.
Namun apabila prosesnya sangat destruktif, dapat berakhir sebagai optik atrofi
dan papil menjadi pucat, tak berbatas tegas, dan matanya buta. Perdarahan
peripapil, jarang pada Neuritis Optik tetapi sering menyertai papilitis karena
neuropati optik iskemik anterior. Tanda lain adanya inflamasi pada mata yang
terdeteksi pada pemeriksaan funduskopi yaitu: perivenous sheathing.4

Gambar 7. Edema nervus optikus pada Neuritis Optik

10
C. Test Visually Evoked Potentials
Test Visually evoked potentials adalah suatu test yang merekam sistem visual,
auditorius dan sensoris yang dapat mengidentifikasi lesi subklinis. Test Visually
evoked potentials menstimulasi retina dengan pola papan catur, dapat
mendeteksi konduksi sinyal elektrik yang lambat sebagai hasil dari kerusakan
daerah nervus.2
D. Pemeriksaan darah
Pemeriksaan tes darah NMO-IgG untuk memeriksa antibodi neuromyelitis
optica. Pasien dengan Neuritis Optik berat sebaiknya menjalani pemeriksan ini
untuk mendeteksi apakah berkembang menjadi neuromyelitis optica.
Pemeriksaan tingkat sedimen eritrosit (erythrocyte sedimentation rate (ESR))
dipakai untuk mendeteksi inflamasi pada tubuh, tes ini dapat menentukan
apakah Neuritis Optik disebabkan oleh inflamasi arteri kranialis.2,3
2.3.6 Diagnosis Banding
Diagnosis banding mata tenang visus turun mendadak, adalah:1,4,

A. Nonarteritic anterior ischemic optic neuropathy

Terdapatnya nyeri terutama pada pergerakan mata (meskipun tidak mutlak)


secara klinis dan ditemukannya hyperemic sweeling optic disc disertai flame-
shaped peripapillary haemorrhage, dapat membedakan Neuritis Optik dengan
nonarteritic anterior ischemic optic neuropathy

Gambar 8. Funduskopi Nonarteritic Iskemik Optik Neuropati Anterior

11
B. Syndrom viral dan post viral

Parainfectious optic neuritis umumnya mengikuti onset infeksi virus selama 1-3
minggu, tetapi dapat juga sebagai fenomena post vaksinasi. Umumnya
mengenai anak-anak daripada dewasa dan terjadi karena proses imunologi yang
menghasilkan demielinisasi nervus optikus. Post viral atau parainfeksius
Neuritis Optik dapat terjadi unilateral tetapi sering bilateral. Diskus optikus
dapat normal atau terjadi pembengkakan.

C. Ablasio Retina

Keadaan dimana terpisahnya sel kerucut dan batang retina dari sel epitel pigmen
retina. Ablasio retina akan memeberikan gejala terdapatnya gangguan
penglihatan yang kadang-kadang terlihat sebagai tabir yang menutup. Terdapat
riwayat adanya pijar api (fotopsia) pada lapang penglihatan. Pada pemeriksaan
funduskopi akan terlihat retina yang terangkat berwarna pucat dengan pembuluh
darah di atasnya dan terlihat adanya robekan retina berwarna merah.

Gambar 9. Retinal Detachment

D. Oklusi Arteri Vena Sentralis

Gangguan vaskular retina dengan potensial menimbulkan kebutaan yang sering


terjadi dan mudah didiagnosis. Pasien datang dengan penurunan penglihatan

12
mendadak yang tidak nyeri. Biasanya pada usia lebih dari 50 tahun dan
mengidap penyakit kardiovaskular terkait lainnya.

Gambar 10. Oklusi Arteri Vena Sentralis

E. Papil Edema

Kongesti non inflamasi diskus optik yang berkaitan dengan peningkatan tekanan
intrakranium. Keluhan yang dirasakan pasien biasanya nyeri kepala hebat, mual,
muntah namun ketajaman penglihatan masih normal. Pada funduskopi
didapatkan papil sembab, batas kabur, kapiler dan vena retina melebar dan
berkelok, terdapat perdarahan, eksudat dan terdapat penonjolan papil yang
melebihi 3 dioptri. Tidak terdapat gangguan pada lapang pandang. Keadaan ini
biasanya ditemukan bilateral.

Gambar 11. Acute Papiledema

13
2.3.7 Penatalaksanaan
A. Terapi jangka pendek
The Optic Neuritis Treatment Trial (ONTT) telah meneliti secara komprehensif
tentang penatalaksanaan Neuritis Optik dengan menggunakan steroid. Dalam
penelitiannya ONTT melibatkan sebanyak 457 pasien, usia 18-46 tahun dengan
Neuritis Optik akut unilateral. Data follow up didapatkan dari kohort ONTT
(Longitudinal Optic Neuritis Study (LONS)) menghasilkan informasi penting
tentang gejala klinis, penglihatan jangka panjang, penglihatan yang berkaitan
dengan kualitas hidup dan peranan MRI otak dalam memutuskan resiko
berkembang menjadi Clinically Definite Multiple Sclerosis (CDMS). Pasien
yang terlibat pada penelitian ini diacak menjadi 3 kelompok perlakuan terapi,
yaitu:2,6
 Mendapatkan terapi prednison oral (1 mg/ kg BB/ hari) selama 14 hari
dengan 4 hari tappering off ( 20 mg hari l, 10 mg hari ke 2 dan 4)
(kelompok terapi oral).
 Mendapatkan terapi dengan metilprednisolon sodium suksinat IV 250 mg
tiap 6 jam selama 3 hari, diikuti dengan prednison oral (1 mg/kg BB/ hari)
selama 11 hari dengan 4 hari tappering off (kelompok terapi dengan
metilprednisolon IV).
 Mendapatkan terapi dengan placebo selama 14 hari.

Dalam penelitian ini yang dinilai terutama tajam penglihatan dan sensitifitas
terhadap kontras sedangkan berkembangnya menjadi CDMS adalah hal kedua
yang dinilai. MRI otak dan orbita dengan menggunakan gadolinium telah
dilakukan untuk semua pasien. Hasil yang didapatkan dari penelitian ini
adalah:2,6,8,9

 Terapi dengan menggunakan metilprednisolon IV mempercepat pulihnya


penglihatan tetapi tidak untuk jangka panjang setelah 6 bulan sampai
dengan 5 tahun bila dibandingkan dengan terapi menggunakan placebo atau
prednison oral. Keuntungan terapi dengan menggunakan metilprednisolon
IV ini baik dalam 15 hari pertama saja.
 Pasien yang mendapatkan terapi dengan menggunakan prednison oral saja
didapatkan terjadi resiko rekurensi neuritis optiknya (30% setelah 2 tahun

14
dibandingkan dengan kelompok placebo 16% dan kelompok yang
mendapatkan steroid IV 13%) sampai dengan follow up 5 tahun.
 Pasien dengan monosymptomatik yang mendapatkan terapi dengan
menggunakan metilprednisolon intra vena didapatkan penurunan tingkat
perkembangan ke arah CDMS selama 2 tahun pertama follow up, tetapi
tidak bermanfaat setelah 2 tahun karena persentase perkembangan menjadi
CDMS hampir sama dengan kelompok prednison oral dan placebo.

B. Terapi jangka panjang


Di antara pasien dengan resiko tinggi berkembang menjadi CDMS yang
ditetapkan dengan kriteria MRI oleh ONTT (dua atau lebih lesi white matter),
telah dilakukan penelitian 383 pasien oleh (The Controlled High-Risk Avonex
MS Prevention Study (CHAMPS)) menunjukkan terapi dengan interferon β 1a
pada pasien acute monosymptomatic demyelinating optic neuritis berkurang
secara signifikan dalam 3 tahun dibandingkan dengan kelompok placebo, juga
terdapat pengurangan tingkat lesi baru pada MRI otak. Hasil yang sama juga
didapatkan pada pasien dengan Neuritis Optik. Semua pasien kelompok terapi
dengan interferon β-1a dan kelompok placebo juga mendapatkan terapi dengan
metilprednisolon IV selama 3 hari diikuti dengan prednison oral selama 11 hari
sesuai dengan protokol ONTT. Meskipun terapi dengan interferon β-1a pada
pasien Neuritis Optik dan pada pasien yang beresiko menurut pemeriksaan MRI
manfaat jangka panjangnya tidak diketahui, tetapi hasil dari CHAMPS
memberikan suatu terapi awal yang rasional. Ini didukung oleh hasil penelitian
dari Early Treatment of Multiple Sclerosis Study, (ETOMS)) yang menghasilkan
selama 2 tahun follow up terjadi penurunan yang signifikan jumlah pasien yang
berkembang menjadi CDMS dengan terapi awal interferon 13-1a (34%) bila
dibandingkan dengan kelompok placebo (45%).6,10,11
Jika pada pemeriksaan dengan MRI ditemukan lesi white matter dua atau lebih
(diameter 3 atau lebih) diterapi berdasarkan rekomendasi dari ONTT,
CHAMPS, dan ETOMS, yaitu:2,6
 Metilprednisolon IV (1 g per hari, dosis tunggal atau dosis terbagi selama 3
hari) diikuti dengan prednison oral (1 mg/ kg BB/ hari selama 11 hari
kemudian 4 hari tappering off).
 Interferon β-1a intramuskular satu kali seminggu.

15
Pada pasien monosymptomatik dengan lesi white matter pada MRI kurang dari
2, dan yang telah didiagnosis CDMS, diberikan terapi metilprednisolon (diikuti
prednison oral) dapat dipertimbangkan untuk memulihkan penglihatan, tetapi ini
tidak memperbaiki untuk jangka panjang. Berdasarkan hasil penelitian dari
ONTT, penggunaan prednison oral saja (sebelumnya tidak diterapi dengan
metilprednisolon IV ) dapat meningkatkan resiko rekurensi.
2.3.8 Prognosis
Sebagian besar pasien sembuh sempurna atau mendekati sempurna setelah 6-12
minggu. Sembilan puluh lima persen penglihatan pasien pulih mencapai visus 20/40
atau lebih baik. Dan sebagian besar pasien mencapai perbaikan maksimal dalam 1-2
bulan, meskipun pemulihan dalam 1 tahun juga memungkinan. Derajat keparahan
kehilangan penglihatan awal menjadi penentu terhadap prognosis penglihatan.
Meskipun penglihatan dapat pulih menjadi 20/20 atau bahkan lebih baik, banyak
pasien dengan acute demyelinating optic neuritis berlanjut menjadi kelainan pada
penglihatan yang mempengaruhi fungsi harian dan kualitas hidupnya.2 Kelainan
tajam penglihatan (15-30%), sensitivitas kontras (63-100%), penglihatan warna (33-
100%), lapang pandang (62-100%), stereopsis (89%), terang gelap (89-100%),
reaksi pupil afferent (55-92%), diskus optikus (60-80%), dan visual-evoked
potensial (63-100%).6

16
DAFTAR PUSTAKA

1. Eva PR, Cunningham ET. Vaughan and Asbury's General Opthalmology, 19 ed. Jakarta:
EGC; 2017, Hall 266-274.
2. Liu GT, Volpe NJ, Galetta SL. Neuro-Ophtalmology Diagnosis and Management, 3 ed.
London: Elsevier; 2016, Hal 131 – 140.
3. Sidharta I. Ilmu Penyakit Mata, 5 ed. Jakarta: Balai Penerbit FKUI; 2015.
4. Nusanti S. Neuritis Optik. Sitorus RS, Sitompul R, Widyawati S, Bani AP (eds). Buku
Ajar Oftalmologi, 1 ed. Jakarta: Balai Penerbit FKUI; 2017. pp.
5. Hall JE. Guyton dan Hall Buku Ajar Fisiologi Kedokteran, 12 ed. Jakarta: EGC; 2016.
Hal 609-632.
6. American Academy of Ophtalmology Staff. Neuro-Ophtalmology : American Academy
of Ophtalmology staff, editor. Neuro-Ophtalmology. Basic and Clinical Science Course
sec. 5. San fransisco The Foundation of American Academy of Ophtalmology, 2009-
2010. P 28-31, 128-146.
7. Hidayat,M. Clinical Profile of Bilateral Optic Neuritis. Jurnal Kesehatan Andalas.
2018;7 (Supplement 1): 29-33. Diambil dari:
http://jurnal.fk.unand.ac.id/index.php/jka/article/download/767/623 [diakses 10 juli
2019].
8. Gal,RL, Vedula,SS, Beck,R. Corticosteroids for treating optic neuritis. Cochrane
Database System Rev. 2015;(8):CD001430. Available from:
doi:10.1002/14651858.CD001430.pub4.
9. Cadavid,D, Balcer,L, Galetta,S, Aktas,O, et al. Safety and efficacy of opicinumab in
acute optic neuritis (RENEW): a randomised, place-controlled, phase 2 trial. Lancet
Neural. 2018;16:189-189. Diunduh dari:
https://flore.unifi.it/bitstream/2158/1080744/1/Cadavid%20et%20al.%2C%202017.pdf
10. Cheng,EYI, Yong,MH, Mushawiahti,M, Hamzah,JC. Bilateral optic perineuritis
associated with p-ANCA vasculitis. Malaysian Journal of Opthalmology. 2019;1:139-
144. Diunduh dari: https://myjo.org/index.php/myjo/article/download/21/21 [diakses 10
juli 2019].
11. Falardeau,J, Fryman,A, Wanchu,R, Marracci,GH, et al. Oral lipoic acid as a treatment
for acute optic neuritis: a blinded, placebo controlled randomized trial. Multiple Sclerosis
Journal – Experimental, Translational, and Clinical. 2019;5(2):1-8. Available from: doi:
10.1177/2055217319850193

17

Anda mungkin juga menyukai