Karst Dan Proses Pelarutan
Karst Dan Proses Pelarutan
Bentuklahan adalah bentukkan dari permukaan bumi sebagai hasil dari perubahan
(Verstappen, 1983). Secara genesis bentuklahan dibagi menjadi sembilan dan bentuklahan
asal solusional merupakan salah satunya. Syarat yang harus terpenuhi untuk terbentuknya
karst menurut Ritteeer (tahun 1979) adalah terdiri dari betugamping yang murni, masif, keras
dan kristalin; ketebalan lebih dari seratus meter; berlapis baik dan banyak rekahan serta
tereksresi oleh relief di atas permukaan lereng yang tinggi, sehingga dapat memudahkan
sistem sirkulasi.
Proses utama yang terjadi di dalam topografi karst adalah pelarutan. Terdapat dua hal
pokok dalam proses pelarutan, yaitu unsur pelarut dan batuan terlarut. Unsur pelarut berasal
dari air terutama air hujan, sedangkan unsur terlarut berupa batuan yang mudah larut seperti
batugamping (Bloom, 1979). Menurut Ritter (tahun 1979) unsur kimia penting yang
mempengaruhi Proses pelarutan adalah kadar-kadar karbon dioksida (CO2) dalam air hujan.
Karbon dioksida yang terlarut akan membentuk asam karbonat (H 2CO3). Reaksi kimia proses
Selanjutnya asam akan terurai dalam bentuk ion-ion pada reaksi (2)
Pada persamaan (4) reaksi ion-ion yang berasal dari dissosiasi CaCO3 dan H+ yang berasal
dari dissosiasi CO2 akan menghasilkan ketidakseimbangan antara pCO2 dalam air. Hal ini
akan menyebabkan lebih besar terdifusi dari udara ke dalam air dan selanjutnya terjadi reaksi
sebagai berikut:
Semua reaksi yang berjalan meupakan reaksi keseimbangan, sehingga arah jalannya dapat
berbalik (reversible). Hal ini menyebabkan perubahan suatu kondisi dapat mempengaruhi
rekasi-reaksi selanjutnya. Efek difusi dari kontak udara dengan air lebih dipercepat lagi bila
Terdapat tiga factor utama yang mengontrol pelarutan, yaitu iklim, aktivitas biologi
dan litologi. Iklim suatu daerah berkaitan erat dengan temperature dan curah hujan di daerah
tersebut. Temperatur mempunyai peranan yang sangat penting dalam mengontrol pelarutan
dan aktivitas organic. Karbon dioksida dalam bentuk gas lebih muda larut pada air yang
bersuhu rendah.
Karst merupakan salah satu bentang lahan yang ada di permukaan bumi ini. Bentang
lahan karst terbentuk oleh adanya proses karstifikasi pada batuan karbonat dan evaporit yang
mudah tersolusi seperti batu gamping, dolomit, marbel, gypsum, dan halite (Veni, 2001;
Waltham, 2005; Parise, 2007). Bentang lahan karst ini dicirikan oleh adanya aliran-aliran
tertelan (sinking stream), goa-goa, bentukan depresi tertutup, singkapan batuan berlubang dan
mata air yang besar (Ford dan Williams, 2007). Sistem karst tersebar pada berbagai
morfologi lahan seperti pegunungan, mata air pada lembah yang dalam, dataran, hingga
pantai (Litwin dan Andreychouk, 2007). Lebih lanjut Ford dan Williams (2007)
mendefinisikan istilah lahan karst sebagai suatu lahan yang memiliki bentuk dan hidrologi
khusus yang muncul oleh kombinasi pelarutan batuan yang tinggi dan porositas sekunder
Batuan karbonat memiliki sifat yang keras dan tidak berpori. Namun batuan tersebut
mudah terlarut olah air terutama air yang banyak mengandung unsur CO2 seperti air hujan.
Proses pelarutan pada batuan karbonat oleh air tersebut dinamakan dengan proses karstifikasi.
Proses pelarutan inilah yang memicu munculnya celah, rekah, dan rongga (lapies) pada
batuan tersebut. Celah dan rekah yang saling terhubung membentuk jalur yang menuju
lorong-lorong gua sebagai pengumpul air dalam akuifer karst. Air hujan yang jatuh pada
permukaan karst akan masuk melalui jalur porositas sekunder tersebut menuju akuifer.
Batuan evaporit terbentuk oleh hujan yang berasal dari air garam dan terkumpul
hingga melebihi batas kejenuhan penguapan mineral pada suatu lingkungan lagunal atau
danau (Waltham dkk, 2005). Batuan evaporite ini terdiri dari sulfat yang berupa gipsum
(CaSO42H2O) dan anhydrit (CaSO4), serta garam batu yang berupa halit (NaCl). Batuan
evaporit memiliki tingkat pelarutan yang lebih tinggi dibandingkan dengan batuan karbonat
(Parise dkk, 2007). Proses pelarutan pada batuan evaporit pada air akan meningkat sejalan
Fenomena Kars terutama terjadi pada daerah yang terbentuk dan tersusun dari
endapan batuan karbonat (linestone) dengan mineral utama kalsit (CaCO3), aragonit
(CaCO3) dan dolomit (CaMg(CO3)2 tetapi dapat juga terjadi pada batuan lain yang terbentuk
dari mineral-mineral mudah larut oleh air lainnya seperti gipsum (Ca2SO4. 2H2O), anhidrit
(CaSO4), halit (NaCl), batuan sedimen kalsit dengan semen yang mudah larut, maupun
batuan lain dimana proses pelarutan mineral bisa dan mudah terjadi (Ibnu maryanto, 2006:
56).
1) Terdapatnya cekungan tertutup dan atau lembah kering dalam berbagai ukuran dan
bentuk,
Karst mempunyai sistem drainase yang spesifik. Air karst merupakan air permukaan
atau air tanah dengan kualitas kimia yang menggambarkan aktivitas dalam pemecahan
karbonat selama perjalanan sampai outlet oleh sebuah massa/singkapan batugamping massif
(Pitty dalam Sweeting, 1972). Larutan CaCO3 pada air dari limestone berbeda-beda yang
selalu menunjukkan pola yang jelas, dalam arti bahwa larutan yang ada adalah murni, yaitu
tidak ada material lain dan air karst hamper tidak mempunyai endapan alluvium (Sweeting,
1972).
Ford dan Williams (1989 membagi akuifer karst menjadi tiga zone, yaitu zona kering
Pada zona kering tersusun berturut-turut dari atas ke bawah berupa tanah, subcutaneous
(epikarst) dan zona saluran perkolasi bebas. Zona peralihan merupakan zona yang
menghubungkan antara zona kering dan zona jenuh. Zona jenuh (phreatic) terdiri dari preatic
Aliran air tanah di batuan karbonat tergantung pada keberadaan ruang di batuan
tersebut. Artinya aliran air tanah melalui ruang-ruang tersebut dapat bervariasi dari turbulen
sampai laminar dengan media yang bermacam-macam. Berdasarkan tipe alirannya sistem
drainase oleh Atkinson (1985) dibedakan menjadi tiga, yaitu sistem drainase rekahan
(fissure), sistem drainase diffuse dan sistem drainase saluran (conduit). Sistem drainase
diffuse dicirikan oleh aliran laminar, sistem drainase saluran (conduit) dicirikan dengan aliran
turbulen, sedangkan sistem drainase rekahan (fissure) dapat berupa aliran laminar maupun
turbulen. Lebih jauh Chen Yusun dan Bian J (1988 dalam Sudarsono (1994)
mengklasifikasikan aliran melalui rongga (conduit) mempunyai lebar ruang 1 10.000 cm,
rekahan mempunyai lebar ruang 0,1 1 cm, dan aliran diffuse kurang dari 0,1 cm. Dari
penelitian yang telah dilakukan oleh Shuster dan White, 1971 dalam Ford dan Williams 189
menyimpulkan bahwa kandungan Ca2+, Mg2+, HCO3, pH dan temperature di sistem drainase
saluran (conduit) lebih bervariasi terhadap waktu daripada di sistem drainase diffuse yang
lebih konstan.
Penelitian Bakalowicz dan Mangin (1980) menyimpulkan bahwa terdapat variasi nilai
electrical conductivity pada sistem drainase. Pada sistem drainase yang mempunyai material
yang porous memiliki daya hantar listrik yang relatif tinggi. Pada sistem drainase fissure
memiliki nilai daya hantar yang relatif lebih rendah, sedangkan pada sitem drainase karst
Sistem drainase epikarst adalah satu sistem dari tiga drainase yang ada di daerah karst. Sistem
drainase karst mempunyai simpanan dan daya hantaar air besar (Sater, 1997). Simpanan air di
drainase epikarst terletak di ruang pelarutan, rekahan yang melebar karena pelarutan dan
pori-pori antar butir material endapan. Permeabilitas di mintakat epikarst terbesar berturut-
turut di sela-sela antara batugamping dan material endapan, saluran yang saling berhubungan
Pemunculan air dapat berupa mataair (spring), dan rembesan (seepage). Menurut Todd
(1980) mataair adalah pemusatan pengeluaran airtanah yang muncul di permukaan tanah
sebagai arus aliran air, sedangkan rembesan (seepage) merupakan mataair yang keluarnya
(Ford dan William, 1989) dibedakan menjadi tiga, yaitu autogenic, allogenic dan campuran
keduannya. Pada mataair di autogenic air berasal dari air hujan yang jatuh di atas daerah
karst. Pada mataair ini mempunyai variasi yang rendah pada aliran dan kandungan kimia air,
dimana ini secara keseluruhan berasal dari epikarst. Sebaliknya mataair dengan variasi yang
tinggi pada aliran dan kandungan kimianya sering berasosiasi dengan allogenic (Jakucc, 1959
dalam Williams, 1988), dimana air berasal sebagian atau keseluruhan dari batuan non karst.
Air yang keluar pada mataair di allogenic sudah tidak murni berasal dari karst, akan tetapi
berasal dari daerah yang bukan merupakan batugamping yang masuk kedaerah batugamping,
sehingga pada allogenic sudah terbawa material dari non karst. Sedangkan campuran
keduannya bila air yang keluar sebagai mataair berasal dari autogenic dan allogenic.
Sedangkan campuran keduannya bila air yang keluar sebagai mataair berasal dari autogenic
dan allogenic.
Gua Dan Sungai Karst
Kawasan karst pada umumnya terbagi menjadi dua, yaitu eksokarst dan endokarst. Contoh-
contoh eksokarst( morfologi permukaan) adalah dolina, uvala, dan polje. Contoh-contoh
endokarst (morfologi bawah permukaan) adalah gua, terowongan, sungai bawah tanah,
saluran.
Gua karst merupakan bentuk akibat terjadinya peristiwa pelarutan beberapa jenis batuan
akibat aktivitas air hujan dan air tanah, sehingga tercipta lorong-lorong dan bentukan batuan
yang sangat menarik akibat proses kristalisasi dan pelarutan batuan tersebut.
Gua karst yang terjadi dalam kawasan batu gamping adalah yang paling sering ditemukan (70
% dari seluruh gua di dunia). Diperkirakan wilayah sebaran karst batu gamping RRC adalah
yang terluas di dunia. Gua karst lainnya terdiri dari gypsum (banyak di AS), halite / garam
NaCl dan KCl (banyak di Rusia, Rumania, Hongaria) dan dolomite (banyak di Eropa Barat)
Tahap awal, air tanah mengalir melalui bidang rekahan pada lapisan batu gamping
menuju ke sungai permukaan. Mineral-mineral yang mudah larut dierosi dan lubang aliran air
horisontal. Setelah semakin dalam tergerus, aliran air tanah akan mencari jalur gua
horisontal yang baru dan langit-langit atas gua tersebut akan runtuh dan bertemu sistem gua
Geode:Batu permata yang terbentuk dari pembentukan rongga oleh aktifitas pelarutan
air`tanah. Kemudian dalam kondisi yang berbeda terjadi pengendapan material mineral
(kuarsa, kalsit dan fluorit) yang dibawa oleh air tanah pada bagian dinding rongga.
Stalaktit ( stalactite )
Terbentuk dari tetesan air dari atap gua yang mengandung kalsium karbonat (CaCO3 )
yang mengkristal, dari tiap tetes air akan menambah tebal endapan yang membentuk
kerucut menggantung dilangit-langit gua. Berikut ini adalah reaksi kimia pada proses
Stalakmit ( stalacmite )
Merupakan pasangan dari stalaktit, yang tumbuh di lantai gua karena hasil tetesan air
Tiang ( Column )
Merupakan hasil pertemuan endapan antara stalaktit dan stalakmit yang akhirnya
Tirai (drapery)
Tirai (drapery) terbentuk dari air yang menetes melalui bidang rekahan yang memanjang
pada langit-langit yang miring hingga membentuk endapan cantik yang berbentuk
Teras Travertin merupakan kolam air di dasar gua yang mengalir dari satu lantai tinggi
ke lantai yang lebih rendah, dan ketika mereka menguap, kalsium karbonat diendapkan
di lantai gua
Sungai Karst
Sistem hidrologi daerah karst secara umum bersifat impermeabel, tetapi karena terdapat celah
dan rekahan maka batuan menjadi impermeabel (atau bisa disebut permeabilitas skunder),
dengan demikian air hujan dapat masuk ke dalam batuan, membentuk rekahan-rekahan yang
melebar, terbentuk gua-gua dan menyatu antara rekahan satu dengan yang lain akhirnya
Karstifikasi
Karstifikasi adalah proses kerja air terutama secara kimiawi, meskipun secara
Karstifikasi atau proses pembentukan bentuklahan karst didominasi oleh proses pelarutan.
Proses pelarutan batugamping diawali oleh larutnya CO 2 didalam air membentuk H2CO3.
Larutan H2CO3 tidak stabil terurai menjadi H− dan HCO3 . Ion H− inilah yang selanjutnya
Proses utama pembentukan bentangan alam Karst adalah pelarutan. Batuan batu
gamping dan dolomit mudah terlarutkan oleh air. Pelarutan yang terjadi secara terus menerus,
pada akhirnya menciptakan bentukan alam yang sangat beragam. Masa proses pelarutan
Proses karstifikasi pada batuan karbonat terjadi terutama pada batu gamping
merupakan batuan karbonat yang memiliki kandungan mineral kalsit (CaCO3) tinggi.
Namun demikian, batu gamping yang memiliki kandungan kalsium karbonat murni adalah
sangat jarang. Waltham dkk (2005) menyebutkan besaran kandungan mineral kalsit pada
limestone adalah sebesar 50 90%, sedangkan dolomit hanya berkisar antara 10 40%.
Proses pelarutan pada batu gamping akan semakin intensif dengan semakin tingginya
kandungan kalsium karbonat tersebut. Peran temperatur dalam proses karstifikasi pada
limestone berbeda dengan batuan evaporit. Proses pelarutan akan semakin intensif dengan
Haryono dan Adjie (2004) menyebutkan bahwa proses karstifikasi dipengaruhi oleh dua
faktor yaitu faktor pengontrol dan faktor pendorong. Faktor pengontrol adalah faktor yang
memungkinkan terjadinya proses karstifikasi, sedangkan faktor pendorong adalah faktor yang
mempengaruhi kecepatan atau intensitas karstifikasi. Beberapa hal yang menjadi faktor
Batuan yang mudah larut, kompak, tebal, dan memiliki banyak rekahan
Faktor-faktor tersebut akan menentukan terjadi atau tidaknya proses karstifikasi pada batuan
b. faktor pendorong
Batuan yang mengandung CaCO3 tinggi akan mudah larut. Semakin tinggi kandungan
terbentuk seperti karen dan bukit akan cepat hilang karena proses pelarutanitu sendri maupun
gerak massa batuan, sehingga kenampakn karst tidak berkembang baik. Ketebalan
menentukan terbentuknya sirkulasi air secara vertical lebih. Tanpa adanya lapisan yang tebal
sirkulasi air akan berlangsung secara lateral seperti pada air-air permukaan dan cekungan-
cekungntuk. Rekahan tertutup tidak dapat terbentuk. Rekahan batuan merupakan jalan
masuknya air membentuk drainase vertical dan berkembangnya sungai bawah tanah serta
Curah hujan merupakan media pelarut utama dalam proses karstifikasi. Semakin besar curah
hujan, semakin besar media pelarut, sehingga tingkat pelarutan yang terjadi dibatuan
karbonat juga semakin besar. Ketinggian batu gamping terekspos dipermukaan menentukan
hanya terekspos beberapa meter diatas muka laut, karstifikasi tidak akan terjadi. Drainase
vertikal akan terjadi jika jarak antara permukaan batuganping dengan muka air tanah atau
batuan dasar dari batugamping semakin besar. Semakin tinggi permukaan batugamping
terekspos, semakin besar jarak antara permukaan batugamping dengan muka air tanah dan
semakin baik sirkulasi air secara vertikal, serta semakin intensif pula karstifikasi.
dengan temperature hangat seperti di daerah tropis merupakan daerah yang ideal bagi
perkembangan organisme yang selanjutnya menghasilkan CO2 dalam tanah yang melimpah.
evaporasi yang pada akhirnya akan menyebabkan rekristalisasi ini akan membuat pengerasan
permukaan (case hardening) sehingga bentuklahan karst yng telah terbentuk dapat
dipertahankan dari proses denudasi yang lain (erosi dan gerak massa batuan). Kecepatan
rekasi sebenarnya lebih besar di daerah temperature rendah karena konsentrasi CO2 lebih
rendah pada temperatur rendah. Namun demikian tingkat pelarutan di daerah tropis lebih
tinggi karena ketersediaan air hujan yang melimpah dan aktivitas organisme yang lebih besar.
Penutupan hutan juga merupakan factor pendorong perkembangan karst, karena hutan yang
lebat akan mempunyai kandungan CO2 melimpah dalam tanah akibat hasil dari perimbakan
sisa-sisa organik oleh mikroorganisme. Semakin besar konsentrasi CO2 dalam air semakin
tinggi tingkat daya larut air terhadap batugamping. CO2 di atnosfer tidaklah bervariasi secara
signifikan, sehingga variasi karstifikasi sangat ditentukan oleh CO2 dari pada aktivitas
organisme.
1. Bentuk-bentuk Konstruksional
a) Bentuk-bentuk minor.
1. Lapies, : bentuk yang tidak rata pada batugamping akibat adanya proses pelarutan dan
penggerusan
4. Palung karst : alur pada permukaan batuan yang besar dan lebar, kedalaman lebih dari
50 cm. Biasanya pada permukaan batuan yang datar atau miring rendah dan dikontrol
presipitasi pada air tanah yang membawanya masuk ke dalam gua. (Stalaktit,
stalakmit)
berhubungan, terbentuk karena adanya pengaruh aktivitas biologis yaitu algae yang
b) Bentuk-bentuk mayor.
1. Surupan (doline) : depresi tertutup hasil pelarutan dengan diameter mulai dari
3. Polje : depresisi tertutup yang besar dengan lantai datar dan dinding curam, bentuknya
4. Jendela karst : lubang pada atap gua yang menghubungkan dengan udara luar,
5. Lembah karst : lembah atau alur yang besar, terbentuk oleh aliran permukaan yang
Allogenic valley, lembah karst dengan hulu pada batuan kedap air (bukan
Blind valley, lembah karst yang alirannya tiba-tiba hilang karena masuk ke dalam
batuan.
Pocket valley, yaitu lembah yang berasosiasi dengan mata air yang besar dan keluar
dari batuan kedap air (bukan batugamping) yang berada di bawah lapisan
batugamping.
Dry valley, lembah yang mirip dengan lembah fluviatil tetapi bukan sebagai
penyaluran air permukaan karena air yang masuk langsung meresap ke batuan
6. Gua, adalah ruang bawah tanah yang dapat dicapai dari permukaan dan cukup besar
7. Terowongan dan jembatan alam adalah lorong dibawah permukaan yang terbentuk
Adalah morfologi yang terbentuk karena pelarutan dan erosi berjalan sangat lanjut
a) Kerucut karst ,Bukit Kars yang berbentuk kerucut dan berlereng terjal dan dikelilingi
b) Menara Karst, Bukit sisa pelarutan dan erosi berbentuk menara dengan lereng yang
terjal, tegak atau menggantung, terpisah satu dengan yang lain dan dikelilingi oleh
dataran alluvial
1. Faktor Fisik
Intensitas struktur (kekar), Kekar yang baik untuk proses karstifikasi adalah kekar
Kondisi kimia batuan, diperlukan sedikitnya 60% kalsit dalam batuan dan yang
Kondisi kimia media pelarut, Kalsit sulit larut dalam air murni, tetapi mudah larut
dalam air yang mengandung asam. Air hujan mengikat CO2 di udara dan dari tanah
3. Faktor Biologis
ke zona anaerobic.
Kondisi lingkungan di sekitar batugamping harus lebih rendah sehingga sirkulasi air
Klasifikasi Karst
Topografi karst telah banyak ditemukaan di berbagai tempat di belahan bumi dengan
berbagai tipe. Peneliti karst telah mencoba mejelaskan variasi karst dan mengklasifikasi
tipetepe karst. Klasifikasi karst secara umum dapat dikategorikan menjadi tiga kelompok,
yaitu
3) klasifikasi yang disarkan pada iklim (Sawicki, Lehmann, Sweeting). Beberapa Klasifikasi
Cvijic membagi topografi karst menjadi tiga kelompok, yaitu holokarst, merokarst, dan karst
transisi. Holokarst merupakan karst dengan perkembangan paling sempurna, baik dari sudut
pandang bentuklahannya maupun hidrologi bawah permukaannya. Karst tipe ini dapat terjadi
bila perkembangan karst secara horisontal dan vertikal tidak terbatas; batuan karbonat massif
dan murni dengan kekar vertikal yang menerus dari permukaan hingga batuas dasarnya; serta
tidak terdapat batuan impermeable yang berarti. Karst tipe holokarst yang dicontohkan oleh
Cvijic adalah Karst Dinaric, Lycia, dan Jamaica. Di Indonesia, karst tipe ini jarang
ditemukan, karena besarnya curah hujan menyebabkan sebagian besar karst terkontrol oleh
proses fluvial.
Merokarst merupakan karst dengan perkem-bangan tidak sempurna atau parsial dengan
yang relatif tipis dan tidak murni, serta khususnya bila batugamping diselingi oleh lapisan
batuan napalan. Perkembangan secara vertikal tidak sedalam perkembangan holokarst denga
evolusi relief yang cepat. Erosi lebih dominan dibandingkan pelarutan dan lsungai permukaan
berkembang. Merokarst pada umumnya tertutup oleh tanah, tidak ditemukan karen, dolin,
goa, swallow hole berekembang hanya setempat-setempa. Sistem hidrologi tidak kompleks,
alur sungai permukaan dan bawah permukaan dapat dengan mudah diidentifikasi. Drainase
bawah tanah terhambat oleh lapisan impermeabel. Contoh dari karst ini adalah karst di
Batugamping Carbonferous Britain, Irlandia, Galicia Polandia, Moravia karst Devonian, dan
karst di Prancis utara. Contoh merokarst diantaranya adalah karst di sekitar Rengel
Kabupaten Tuban.
perkembangan bentukan karst bawah tanah, akan tetapi batuan dasar yang impermeabel tidak
sedalam di holokarst, sehingga evolusi karst lebih cepat; lembah fluvial lebih banyak
dijumpai, polje hampir tidak ditemukan. Contoh dari karst transisi menurut Cvijic adalah
Karst Causses Prancis, Jura, Plateux Balkan Timur, dan dan Dachstein. Contoh holokarst di
Indonesia yang pernah dikunjungi penulis antara lain Karst Gunung Sewu (Gunungkidul,
Woonogiri, dan Pacitan), Karst Karangbolong (Gombong), dan Karst Maros (Sulawesi
Selatan).
Menurut dia karst dibedakan menjadi bare karst, covered karst, soddy karst, buried karst,
Covered karst merupakan karst yang terbentuk bila batuan karbonat tertutup oleh lapisan
Soddy karst atau soil covered karst merupakan karst yang di batugamping yang tertutup
oleh tanah atau terra rosa yang berasal dari sisa pelarutan batugamping.
Buried karst merupakan karst yang telah tertutup oleh batuan lain, sehingga bukti-bukti
Tropical karst of cone karst merupakan karst yang terbentuk di daerah tropis.
Karst menurut Sweeting diklasifikasi kan menjadi true karst, fluviokarst, Glaciokarst, tropical
karst, Arid an Semi Rid Karst. Klasifikasi Sweeting terutama didasarkan pada iklim.
True karst merupakan karst dengan perkembang-an sempurna (holokarst). Karst yang
sebenarnya harus merupakan karst dolin yang disebabkan oleh pelarutan secara vertikal,
semua karst yang bukan tipe dolin karst dikatakan sebagai deviant. Contoh dari true karst
Fluviokarst dibentuk oleh kombinasi antara proses fluvial dan proses pelarutan. Fluviokarst
pada umumnya terjadi di daerah berbatugamping yang dilalui oleh sungai alogenik (sungai
berhilir di daerah non karst). Sebaran batugamping baik secara lateral maupun vertikal jauh
lebih kecil daripada true karst. Perkembangan sikulasi bawah tanah juga terbatas disebabkan
oleh muka air tanah lokal. Mataair muncul dari lapisan impermeable di bawah batugamping
maupun dekat muka air tanah lokal. Lembah sungai permukaan dan ngarai banyak
ditemukan. Bentukan hasil dari proses masuknya sungai permukaan ke bawah tanah dan
keluarnya sungai bawah kembali ke permukaan seperti lembah buta dan lembah saku
perbatasan antara batugamping dan batuan impermeabel di bawahnya oleh sungai alogenik
fluviokarst pada umumnya tertutup oleh tanah yang terbaentuk oleh erosi dan sedimetasi
proses fluvial. Singkapan batugamping (bare karst) ditemukan bila telah terjadi erosi yang
Glasiokarst merupakan karst yang terbentuk karena karstifikasi didominasi oleh prises
glasiasi dan proses glasial di daerah yang berbatuan gamping. Nival karst merupakan karst
yang terbentuk karena proses karstifikasi oleh hujan salju (snow) pada linkungan glasial dan
limestone pavement (hal ). Erosi lebih intensif terjadi di sekitar kekar menhasilkan cekungan
dengan lereng terjal memisahkan pavement satu dengan lainnya. Dolin-dolin terbentuk
terutama disebabkan oleh hujan salju. Pencairan es menhasilkan ngarai, pothole, dan goa,
Karakteristik lain dari glasiokarst adalah goa-gaoa yang terisi oleh oleh es dan salju. Contoh
Tropical karst berbeda dengan karst di iklim sedang dan kutub terutama disebabkan
oleh presipitasi dan evaporasi yang besar. Presipitasi yang yang besar menghasilkan aliran
permukaan sesaat yang lebih besar, sedangkan evaporasi menhasilkan rekristalisasi larutan
karbonat membentuk lapisan keras di permukaan. Hal ini menyebabkan dolin membulat
seperti di iklim sedang jarang ditemukan digantikan oleh dolin berbentuk bintang yang tidak
beraturan. Dolin tipe ini sering disebut kocpit. Di antara dolin ditemukan bukit-bukit yang
tidak teratur disebut dengan bukit kerucut. Karst tropis secara lebih rinci dibedakan menjadi
menyambung.. Sela antar bukit kerucut membentuk cekungan dengan bentuk seperti bintang
yang dikenal dengan kockpit. Kockpit seringkali membentuk pola kelurusan sebagai akibat
kontrol kekar atau sesar. Depresi atau kockpit yang terkontrol kekar atau sesar ini oleh
Lemann disebut gerichteter karst (karst oriente). Contoh kegelkarst di Indonesia antara lain
dijumpai di daerah tropis. Tipe karst ini dicirikan oleh bukit-bukit dengan lereng terjal,
biasanya ditemukan dalam kelompok yang dipisahkan satu sama lain dengan sungai atau
dataran aluvial. Tower karst berkembang apbila pelarutan lateral oleh muka air tanah yang
sangat dangkal atau oleh sungai alogenik yang melewati singkapan batugamping. Beberapa
ahli beranggapan bahwa turmkarst merupakan perkembangan lebih lanjut dari kegelkarst
karena kondisi hidrologi tertentu. Distribusi dan sebaran bukit menara pada umumnya
Ukuran bukit menara sangat bervariasi dari pinacle kecil hingga blok dengan ukuran
beberapa kilometer persegi. Permukaan tidak teratur disebabkan oleh depresi-depresi dan
koridor dengan dedalaman hingga 150 meter. Kontak dari bukit menara dengan dataran
alluvium merupakan tempat pemumculan mataair dan perkembangan goa. Telaga dan rawa
juga sering ditemukan di kaki dari bukit-bukit menara. Rawa yang relatif bersifat asam
selanjutnya akan mempercepat pelarutan secara lateral membentuk bukit-bukit yang semakin
curam hingga tegak. Bila muka tanah turun, rawa akan teratus dan ditutupi oleh endapan
koluvium dari rombakan bukit menara, sehingga bukit menara berubah menjadi tidak curam.
Karst menara dapat dibedakan menjadi dua kelompok. Pertama, bukit menara
merupakan bukit sisa batugamping yang terisolir diantara rataan batugamping yang telah
tertutup oleh endapan aluvium. Kedua, bukit menara merupa-kan bukit sisa dari batugamping
Selain klasifikasi di atas, literatur atau peneliti karst lain telah memberi nama tertentu untuk
suatu kawasan karst. Penamaan yang digunakan hanya dimaksudkan untuk memberi nama
tanpa bermasud mengklasifikasi secara sistematis. Beberapa tipe karst yang sering digunakan
dan sering muncul di literatur karst antara lain labirynt karst dan polygonal karst.
Labyrint karst merupakan karst yang dicirikan oleh koridor-koridor atau ngarai memanjang
yang terkontrol oleh kekar atau sesar. Morfologi karst tersusun oleh blok-blok batugamping
yang dipisahkan satu sama lain oleh ngarai/koridor karst. Karst tipe ini terbentuk karena
Karst Poligonal merupakan penamaan yang didasarkan dari sudut pandan morfometri dolin.
Karst tipe ini dapat berupa karst kerucut maupun karst menara. Karst dikatakan polygonal
apabila ratio luas dolin dangan luas batuan karbonat mendekati satu atau satu. dengan kata
lain semua batuan karbonat telah berubah menjadi kumpulan dolin-dolin dan dolin telah
Foto udara dan foto lapangan dari tipe karst polygonal (Haryono dan Day, 2004)
Karst Fosil karst fosil merupakan karst terbentuk pada masa geologi lamapu dan saat
ini karstifikasi sudah berhenti (Sweeting, 1972). Dalam hal ini karstifikasi tidak berlangsung
hingga saat ini karena perubahan iklim yang tidak lagi mendukung proses karstifikasi. Karst
Karst fosil dapat dibedakan menjadi dua tipe. Pertama, karst yang terbentuk di waktu
geologi sebelumnya dan tidak tertutupi oleh batuan lain. Tipe ini disebut dengan bentuklahn
tinggalan (relict landform). Kedua, karst terbentuk di periode geologi sebelumnya yang
kemudian ditutupi oleh batuan nonkarbonat. Bentuklahan karst tersebut selanjutnya muncul
ke permukaan karena batuan atapnya telah tersingkap oleh proses denudasi. Tipe ini disebut
Bentang lahan karst merupakan bentang lahan yang memiliki peran yang sangat
penting bagi lingkungan. Luas singkapan bentang lahan karst mencapai 25% dari luas
permukaan bumi (Williams, 2011), sementara hampir 25% pula penduduk dunia
menggantungkan pemenuhan kebutuhan airnya pada air dalam akuifer karst (Veni, 2001;
Beberapa peran penting lain dari lahan karst menurut Day (2011) adalah :
bentang lahan unik yang memiliki mineral langka seperti gamping dan lain-lain.
manusia. Sementara tekanan dari faktor alami dan manusia terus mengalami peningkatan
(Day, 2011), yang dapat mengakibatkan semakin terdegradasinya lingkungan karst tersebut.
Porositas sekunder yang berupa celah ataupun rekah pada batuan karst sangat mudah
mengalirkan air permukaan yang terpolusi masuk ke akuifer. Air permukaan yang terpolusi
tidak terfiltrasi dengan baik dalam perjalanannya menuju akuifer karena jarangnya vegetasi
Air permukaan hanya dijumpai pada telaga-telaga karst yang jumlahnya juga sangat jarang.
Kekeringan merupakan fenomena yang paling sering dijumpai pada permukaan lahan karst di
berbagai tempat di dunia. Sebagian besar air terakumulasi pada lorong-lorong konduit yang
membentuk sungai bawah tanah. Dengan demikian, walaupun di bagian permukaan terjadi
kekeringan, namun dibawah permukaan dari lahan karst tersebut terkandung air dalam
jumlah yang sangat besar. Sistem sungai bawah tanah Bribin adalah salah satu contoh dari
sungai bawah tanah daerah karst. Potensi air yang ada pada sungai bawah tanah Bribin
mencapai 1500 liter/detik, dan ketika mencapai titik keluarnya di Pantai Baron mencapai
8000 liter/detik (Adji dkk, 2006; Soenarto, 2002). Jumlah potensi air sungai bawah tanah
yang sangat besar sering tidak termanfaatkan secara maksimal karena keterbatasan teknologi
dan dana serta pertimbangan nilai ekonomis yang kurang menguntungkan untuk mengangkat
air tersebut ke permukaan. Sebagai contoh dari hal tersebut adalah kasus pada pemanfaatan
air dari sistem sungai bawah tanah Bribin. Pada saat ini pemanfaatan air dari sungai bawah
tanah Bribin hanya berkisar 125 liter/detik (Sudarmaji dkk, 2005) yang berarti masih sangat
Masuknya air dari permukaan melalui berbagai rekahan yang ada menuju akuifer
membawa akibat pada berlangsungnya proses pelarutan pada bidang yang dilalui oleh air
secara vertikal ataupun horisontal. Proses pelarutan yang terus berlangsung secara intensif
akan memperbesar bidang rekahan yang ada. Hasil dari proses ini adalah terbentuknya
lubang-lubang ponor dan cekungan-cekungan pada permukaan yang disebut dengan doline.
Bentuk depresional yang berbentuk corong yang disebut doline ini menjadi salah satu penciri
utama daerah bertopografi karst (Santosa, 2006). Ketika lubang ponor yang berada pada
lembah doline tersumbat oleh endapan material, sehingga air tidak dapat masuk ke dalam
lubang ponor tersebut, akan terbentuk sebuah telaga. Bagi masyarakat sekitar telaga, seperti
di wilayah karst gunungsewu, air yang ada dimanfaatkan untuk pemenuhan kebutuhan
DAFTAR PUSTAKA
Adji, T. N., Sudarmadji, Woro, S., Hendrayana, H., Hariadi, B., 2006. The Distribution of
Flood Hydrograph Recession Constant of Bribin River for Gunungsewu Karst Aquifer
Characterization. Gunungsewu-Indonesian Cave and Karst Journal, Vol. 2. No. 2.
Day, M., 2011. Protection of Karst Landscapes in the Developing World: Lessons from
Central America, the Caribbean, and Southeast Asia. Karst Management. DOI:
10.1007/978-94-007-1207-2_20.
Fleury, S., 2009. Land Use Policy and Practice on Karst Terrains Living on Limestone.
Springer. Berlin.
Ford, D.C., Williams, P., 2007. Karst Hydrogeology and Geomorphology. John Wiley &
Sons. Chichester.
Haryono, E., Adji, T.N.,2004. Geomorfologi dan Hidrologi Karst. Bahan Ajar. Kelompok
Studi Karst. Fakultas Geografi UGM. Yogyakarta.
Litwin, L., Andreychouk, V., 2007. Characteristics of High-Mountain Karst Based on GIS
and Remote Sensing. Environ Geol. 54: 979-994. DOI: 10.1007/s00254-007-0893-5
Parise, M., Qiriazi, P., Sala, S., 2007. Evaporite Karst of Albania: Main Feature and Case of
Environmental Degradation. Environ Geol. 53: 967-974. DOI: 10.1007/s00254-007-
0722-x.
Santosa, L.W., 2007. Kerusakan Telaga Dolin Dan Faktor-Faktornya di Wilayah Perbukitan
Karst Kabupaten Gunungkidul. Jurnal Kebencanaan Indonesia, Vol. 1. No. 3. Hal. 176-
193. ISSN:1978-3450.
Soenarto, B., 2002. Penaksiran Debit Daerah Pengaliran Gabungan Sungai Permukaan dan
Bawah Permukaan Bribin-Baron Kabupaten Gunungkidul Propinsi Daerah Istimewa
Yogyakarta. Disertasi. ITB. Bandung.
Waltham, T., Bell, F., Culshaw, M., 2005. Sinkholes and Subsidensce Karst and Cavernous
Rocks in Engineering and Construction. Springer. Chichester.
Williams, P.W., 2011. Karst in UNESCO World Heritage Sites. Karst Management. DOI:
10.1007/978-94-007-1207-2_21.
Tugas 1
OLEH
TRYONO MANGA
LABORATORIUM PENGELOLAAN DAERAH ALIRAN SUNGAI
FAKULTAS KEHUTANAN
UNIVERSITAS HASANUDDIN
2017
PEMBAHASAN
5. Karstifikasi
7. Klasifikasi Karst