DISUSUN OLEH :
ALFONSA KAKA
NIM : KP.16.01.120
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), Terapi merupakan usaha untuk
memulihkan kesehatan orang yang sedang sakit, pengobatan penyakit, perawatan
penyakit. Komplementer adalah bersifat melengkapi, bersifat menyempurnakan. Menurut
WHO (World Health Organization), Pengobatan komplementer adalah pengobatan non-
konvensional yang bukan berasal dari negara yang bersangkutan, misalnya jamu yang
merupakan produk Indonesia dikategorikan sebagai pengobatan komplementer di negara
Singapura. Di Indonesia sendiri, jamu dikategorikan sebagai pengobatan tradisional.
Pengobatan tradisional yang dimaksud adalah pengobatan yang sudah dari zaman dahulu
digunakan dan diturunkan secara turun – temurun pada suatu negara.
B. AKUPUNTUR
a. Pengertian
Kata akupunktur berasal dari bahasa yunani, yaitu Acus yang berarti
jarum, dan puncture yang berarti menusuk. Di dalam bahasa Inggris menjadi To
Puncture, sedangkan kata asal dalam bahasa cina adalah Cenciu. Kata tersebut
kemudian diadaptasikan ke dalam bahasa Indonesia menjadi akupunktur atau
tusuk jarum. Sebagai Suatu System pengobatan, akupunktur merupakan
pengobatan yang dilakukan dengan cara menusukkan jarum di titik-titik tertentu
pada tubuh pasien.
Medialis adalah bidang median yang terletak di dalam, dari jempol ke dalam
Superior- untuk menunjukkan letak relatif terhadap tinggi atau rendah dalam
Inferior perbandingan permukaan tubuh
Anterior-
- menunjukkan letak depan dan belakang dari tubuh
Posterior
Taju vertebra
tulang belakang setinggi bahu pada pertegahan jarak kedua acromeon
servikal
Tangan o Titik Nei Kuan, lebih hati-hati pada waktu penusukan karena berdekatan
dengan nadi
b) Letak tulang, otot, pembuluh darah dan organ dalam yang sering
dipergunakan dalam akupuntur
C. Prinsip Akupuntur
Ada tiga prinsip umum dalam pengobatan tradisional Cina. Pertama adalah
pengobatan ‘akar’ (Ben) dan ‘cabang'(Biao). Yang kedua adalah pengaturan Yin
dan Yang. Yang ketiga adalah menguatkan Qi normal dan mengeluarkan Qi
patogen (penyebab penyakit). Pengobatan ‘akar’ (Ben) dan ‘cabang'(Biao)
merupakan prinsip pengobatan terpenting dalam pengobatan Cina.
Pokok prinsip ini adalah menetapkan inti atau ‘akar’ dari penyakit itu agar dapat
menentukan pengobatan yang efektif. ‘Akar’ merupakan ketidakselarasan
Yin/Yang, Lima Tahapan atau Qi, yang menimbulkan ‘cabang’, yaitu gejala atau
aspek sekunder penyakit tersebut. Prinsip dasar pengobatan Cina adalah
memulihkan keseimbangan antara Yin dan Yang.
Diagnosa menentukan adanya kekurangan atau kelebihan Yin/Yang
dalam tubuh dan apakah mempengaruhi satu atau lebih organ Zangfu. Titik
akupuntur yang dipilih tergantung pada efek yang dituju, meningkatkan Yang
dalam tubuh atau sebaliknya. Melemahnya Qi normal dapat disebabkan oleh hal-
hal tersebut di atas atau dapat pula diperlemah oleh penumpukan Qi patogen yang
lalu menghambat fungsi Zangfu dan Jingluo. Seorang ahli pengobatan perlu
mengetahui perbandingan kekuatan Qi normal dengan Qi patogen.
D. Manfaat Akupuntur
a) Membantu mengurangi sakit kepala dan migran
b) Meredahkan nyeri kronis,termasuk nyeri punggung,leher,lutut,dan artritis
c) Membantu mengobati insomnia
d) Meningkatkan pemulihan kanker dan efek kemoterapi
e) Membantu mencegah penurunan kehilangan fungsi otak kognitif
f) Kesehatan kehamilan, melahirkan dan pasca melahirkan
E. Teknik
Meskipun kata akupunktur yang berarti tusuk jarum, tetapi karena
terbukti bahwa titik–titik akupunktur yang merupakan reseptor di
permukaan tubuh daapt dirangsang dengan berbagai macam cara, asal
berupa energi, maka dapat berkembang juga teknik rangsangan pada
titik akupunktur ini. berbagai macam cara itu dalah :
a) Elektroakupunktur : Rangsangan Titik Akupunktur Menggunakan Listrik
b) Laserakupunktur : Rangsangan Titik Akupunktur Menggunakan Laser
c) Sonoakupunktur : Rangsangan Titik Akupunktur Menggunakan Suara
d) Aquaakupunktur : Rangsangan Titik Akupunktur Dengan Injeksi
e) Dry Needling Akupunktur : Penerapan Akupunktur Dengan Jarum Suntik
f) Akupresur : Rangsangan Titik Akupunktur Menggunakan Jari
C. KONSEP DASAR PENYAKIT ASMA
a. ANATOMI FISIOLOGI
1. Anatomi
Organ Pernapasan
b. PENGERTIAN
Asma adalah suatu kelainan berupa inflamasi (peradangan) kronik saluran
napasa yang menyebabkan hipereaktivitas bronkus terhadap berbagai rangsangan
yang ditandai dengan gejala episodik berulang berupa mengi, batuk, sesak napas
dan rasa berat di dada terutama pada malam hari atau dini hari yang umumnya
bersifat revrsibel baik dengan atau tanpa pengobatan (Depkes RI, 2013)
Asma adalah penyakit jalan napas obstruktif intermiten, reversibel dimana trakea
dan bronchi berespon dalam secara hiperaktif terhadap stimuli tertentu
(Smeltzer&Bare, 2012).
Asma Bronkial adalah penyakit pernapasan obstruktif yang ditandai oleh spame
akut otot polos bronkiolus. Hal ini menyebabkan obsktrusi aliran udara dan
penurunan ventilasi alveolus (Huddak & Gallo, 2013).
Jadi dapat disimpulkan bahwa asma adalah penyakit jalan napas obstruktif yang
disebabkan oleh berbagai stimulan, yang ditandai dengan spasme otot polos
bronkiolus.
c. ETIOLOGI
Ada beberapa hal yang merupakan faktor predisposisi dan presipitasi
timbulnya serangan asthma bronkial.
a. Faktor predisposisi
a) Genetik
Dimana yang diturunkan adalah bakat alerginya, meskipun belum
diketahui bagaimana cara penurunannya yang jelas. Penderita
dengan penyakit alergi biasanya mempunyai keluarga dekat juga
menderita penyakit alergi. Karena adanya bakat alergi ini, penderita
sangat mudah terkena penyakit asthma bronkhial jika terpapar
dengan faktor pencetus. Selain itu hipersentifisitas saluran
pernafasannya juga bisa diturunkan.
b. Faktor presipitasi
a) Alergen
Dimana alergen dapat dibagi menjadi 3 jenis, yaitu:
1. Inhalan, yang masuk melalui saluran pernapasan, seperti: debu, bulu
binatang, serbuk bunga, spora jamur, bakteri dan polusi.
2. Ingestan, yang masuk melalui mulut, seperti : makanan dan obat-
obatan.
3. Kontaktan, yang masuk melalui kontak dengan kulit, seperti :
perhiasan, logam dan jam tangan.
c. Perubahan cuaca.
Cuaca lembab dan hawa pegunungan yang dingin sering
mempengaruhi asma. Atmosfir yang mendadak dingin merupakan
faktor pemicu terjadinya serangan asma. Kadang-kadang serangan
berhubungan dengan musim, seperti: musim hujan, musim kemarau,
musim bunga. Hal ini berhubungan dengan arah angin serbuk bunga
dan debu.
a) Stress
Stress/gangguan emosi dapat menjadi pencetus serangan asma, selain
itu juga bisa memperberat serangan asma yang sudah ada. Disamping
gejala asma yang timbul harus segera diobati penderita asma yang
mengalami stress/gangguan emosi perlu diberi nasehat untuk
menyelesaikan masalah pribadinya. Karena jika stresnya belum diatasi
maka gejala asmanya belum bisa diobati.
b) Lingkungan kerja.
Mempunyai hubungan langsung dengan sebab terjadinya serangan
asma. Hal ini berkaitan dengan dimana dia bekerja. Misalnya orang
yang bekerja di laboratorium hewan, industri tekstil, pabrik asbes,
polisi lalu lintas. Gejala ini membaik pada waktu libur atau cuti.
c) Olah raga/aktifitas jasmani yang berat.
Sebagian besar penderita asma akan mendapat serangan jika
melakukan aktifitas jasmani atau olah raga yang berat. Lari cepat
paling mudah menimbulkan serangan asma. Serangan asma karena
aktifitas biasanya terjadi segera setelah selesai aktifitas tersebut.
d. MANIFESTASI KLINIK
Menurut Jones dan Barlett (2001) ada beberapa gejala serangan asma, yaitu:
1. Batuk. Batuk adalah respon tubuh terhadap iritasi pada saluran napas. Pada
penderita asma akan membatukkan lender untuk melonggarkan jalan napas.
Batuk akan meningkat jika berbaring.
2. Mengi. Bunyi ini disebabkan oleh menyempitnya jalan napas daan terdengar
pada saat menghirup dan menghembuskan napas.
3. Sesak dada dan napas pendek. Ini terutama terjadi pada latihan yang keras.
Selama serangan yang parah, cuping hidung mengembang dan otot bantu
pernapasan digunakan.
4. Peningkatan denyut nadi dan kecepatan pernapasan
5. Kulit pucat
6. Keletihan
7. Gelisa
e. KLARIFIKASI
Asma dapat diklasifikasikan berdasarkan etiologi, berat penyakit dan pola
keterbatasan aliran udara. Klasifikasi asma berdasarkan berat penyakit penting bagi
pengobatan dan perencanaan penatalaksanaan jangka panjang. Semakin berat asma
semakin tinggi tingkat pengobatan (Depkes RI, 2007). Pengklasifikasian asma dapat
dilakukan dengan pengkajian terhadap gejala dan kemampuan fungsi paru. Semakin
sering gejala yang dialami, maka semakin parah asma tersebut. Begitu juga dengan
kemampuan fungsi paru yang diukur dengan Peak Flow Meters untuk mengetahui Peak
Expiratory Flow (PEF) dan Spyrometers untuk mengukur Force Expiratory Volume
dalam satu detik (FEV1) disertai dengan Force Vital Capacity (FVC). Semakin rendah
kemampuan fungsi paru, maka semakin parah asma tersebut (GINA, 2004).
Menurut Somantri (2008), berdasarkan etiologinya, asma bronkial dapat
diklasifikasikan menjadi 3 tipe, yaitu:
1. Ekstrinsik (alergik)
Tipe asma ini merupakan jenis asma yang ditandai dengan reaksi alergi oleh
karena faktor-faktor pencetus yang spesifik, seperti debu, serbuk bunga, bulu
binatang, obat-obatan (antibiotik dan aspirin) dan spora jamur. Asma ekstrinsik
sering dihubungkan dengan adanya suatu predisposisi genetik terhadap alergi.
Paparan terhadap alergi akan mencetuskan serangan asma. Gejala asma umumnya
dimulai saat kanak-kanak.
2. Intrinsik (idiopatik atau non alergik)
Tipe asma ini merupakan jenis asma yang ditandai dengan adanya reaksi non
alergi yang bereaksi terhadap pencetus yang tidak spesifik atau tidak diketahui,
seperti udara dingin atau bisa juga disebabkan oleh adanya infeksi saluran
pernapasan, emosi dan aktivitas. Serangan asma ini menjadi lebih berat dan sering
sejalan dengan berlalunya waktu dan dapat berkembang menjadi bronkitis kronik
dan emfisema. Pada beberapa pasien, asma jenis ini dapat berkembang menjadi
asma gabungan.
3. Asma gabungan
Jenis asma ini merupakan bentuk asma yang paling umum dan sering ditemukan.
Asma ini mempunyai karakteristik dari bentuk alergi maupun bentuk idiopatik
atau nonalergik.
f. PATOFISIOLOGIS
Kejadian patofisiologis ini mengakibatkan obstruksi jalan napas yang memburuk saat
ekspirasi. Obstruksi jalan napas menyebabkan ketidakcocokan V/Q dan hipoksemia sejak
dini. Terperangkapnya udara menyebabkan otot-otot pernapasan berada pada posisi
mekanis yang tidak menguntungkan dengan peningkatan beban kerja pernapasan yang
kemudian mengakibatkan penurunan ventilasi dan hiperkapnia. Dengan demikian, sebagian
besar pasien dengan gejala akut mulai dengan respirasi cepat, hipoksemia, dan alkalosis
respirasi, tetapi obstruksi jalan napas persisten mengakibatkan ventilasi dangkal yang tidak
efisien dan asidosis respirasi.
Pathway
g. PEMERIKSAAN DIAGNOSTIK
1. Spirometri
Untuk menunjukkan adanya obstruksi jalan nafas.
2. Tes provokasi :
1) Untuk menunjang adanya hiperaktifitas bronkus.
2) Tes provokasi dilakukan bila tidak dilakukan lewat tes spirometri.
3) Tes provokasi bronkial seperti :
a. Tes provokasi histamine
b. Metakolin
c. Alergen
d. Kegiatan jasmani
e. Hiperventilasi dengan udara dingin
f. Inhalasi dengan aqua destilata.
4) Tes kulit : Untuk menunjukkan adanya anti bodi Ig E yang spesifik dalam
tubuh.
3. Pemeriksaan kadar Ig E total dengan Ig E spesifik dalam serum.
4. Pemeriksaan radiologi umumnya rontgen foto dada normal.
5. Analisa gas darah dilakukan pada asma berat.
6. Pemeriksaan eosinofil total dalam darah.
7. Pemeriksaan sputum.
h.PENGKAJIAN
1. Identitas Klien
a. Riwayat kesehatan masa lalu :
Riwayat keturunan, alergi debu, udara dingin
b. Riwayat kesehatan sekarang :
Keluhan sesak napas, keringat dingin.
c. Status mental :
Lemas, takut, gelisah
d. Pernapasan :
Perubahan frekuensi, kedalaman pernafasan.
e. Gastro intestinal :
adanya mual, muntah.
f. Pola aktivitas :
Kelemahan tubuh, cepat lelah
2. Pemeriksaan Fisik
a. Dada
1) Contour, Confek, tidak ada defresi sternum
2) Diameter antero posterior lebih besar dari diameter transversal
3) Keabnormalan struktur Thorax
4) Contour dada simetris
5) Kulit Thorax ; Hangat, kering, pucat atau tidak, distribusi warna merata
6) RR dan ritme selama satu menit.
b. Palpasi
1) Temperatur kulit
2) Premitus : fibrasi dada
3) Pengembangan dada
4) Krepitasi
5) Massa
6) Edema
c. Auskultasi
1) Vesikuler
2) Broncho vesikuler
3) Hyper ventilasi
4) Rochi
5) Wheezing
6) Lokasi dan perubahan suara napas serta kapan saat terjadinya.
3. Pemeriksaan Penunjang
1) Spirometri
2) Tes provokasi
3) Pemeriksaan kadar Ig E total dengan Ig E spesifik dalam serum.
4) Pemeriksaan radiologi umumnya rontgen foto dada normal.
5) Analisa gas darah dilakukan pada asma berat.
6) Pemeriksaan eosinofil total dalam darah.
7) Pemeriksaan sputum.
g. DIAGNOSA KEPERAWATAN
a. Pola Napas Tidak Efektif
b. Bersihan Jalan Napas Tidak efektif
c. Kerusakan Pertukaran Gas
d. Resiko Ketidakseimbangan Nutrisi: Kurang dari kebutuhan tubuh
h. INTERVENSI KEPERAWATAN
a. Diagnosa 1 : pola napas tidak efektif
Tujuan: Dalam waktu 1 x 24 jam pola napas klien kembali efektif
Kriteria Hasil:
- Klien tidak mengeluh sesak
- RR 16-20 x/menit
- Wajah rileks
- Tidak ada penggunaan otot bantu napas
Intervensi
1. Kaji frekuensi nafas, kedalaman pernafasan dan ekspansi dada
Rasional: Kecepatan biasanya meningkat, kedalaman pernafasan
bervariasitergantung derajat asma
2. Auskultasi bunyi nafas dan catat adanya bunyi nafas
Rasional: Ronkhi dan mengi menyertai obstruksi jalan nafas
3. Tinggikan kepala dan bantu mengubah posisi
Rasional: Memungkinkan ekspansi paru dan memudahkan pernafasan
4. Kolaborasi pemberian oksigen tambahan
Rasional: Memaksimalkan bernafas dan menurunkan kerja nafas\
5. Kolaborasi pemberian obat
Bronkodilator golongan B2, Nebulizer (via inhalasi) dg golongan terbutaline
0,25 mg, fenoterol HBr 0,1% solution, orciprenaline sulfur 0,75 mg.
Rasional: Pemberian bronkodilator via inhalasi akan langsung menuju area
bronkus yg mengalamin spasme shg lebih cepat berdilatasi
Brunner dan Suddarth. (2011). Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah edisi 8,
Jakarta : EGC.
Brashers, Valentina L. (2008). Aplikasi Klinis Patofisiologi Pemeriksaan &
Manajemen Edisi 2. Jakarta: EGC
Muttaqin, Arif. (2008). Buku Ajar Asuhan Keperawatan Klien Dengan Gangguan
Sistem Pernapasan. Jakarta: Salemba Medika
Doegoes, Marilynn E. 2000. Rencana Asuhan Keperawatan. Jakarta : EGC
Depkes RI. 2009. Pedoman Pengendalian Penyakit Asma. Indonesia.
Hudack&Gallo. 2011. Keperawatan Kritis Edisi VI Vol I. Jakarta. EGC.
Direktorat BIna Farmasi dan Klinik. 2007. Pharmaceutical Care Untuk Penyakit
Asma.616.238 Ind P. Departemen Kesehatan RI.
Doengoes, Marilyn E, et al. 2010. Nursing Diagnosis Manual: Planning,
Individualizing, and Documenting Client Care 3th Edition . Philadelphia: F.
A. Davis Company
Mulia, J Meiyanti. 2012. Perkembangan Patogenesis Dan Pengobatan Asma
Bronkial. Jurnal Kedokteran Trisakti Vol 19 No. 3. Bagian Farmasi Fakultas
Kedokteran Universitas Trisakti
Smeltzer & Bare. Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah Brunner Suddarth.
Volume 2 Edisi 8. Jakarta : EGC. 2013