Anda di halaman 1dari 467

http://facebook.

com/indonesiapustaka
http://facebook.com/indonesiapustaka
SEPTIMUS HEAP MAGYK BUKU 1

http://facebook.com/indonesiapustaka

PENULIS: ANGIE SAGE

PENERBIT: MATAHATI
http://facebook.com/indonesiapustaka
http://facebook.com/indonesiapustaka
http://facebook.com/indonesiapustaka
1. SESUATU DI SALJU
Silas Heap merapatkan jubahnya, menahan dinginnya
salju. Dia telah berjalan jauh melintasi Hutan, dan tubuhnya
terasa dingin sampai ke tulang. Tapi di dalam sakunya
tersimpan tanaman obat yang diberikan Galen, sang Tabib
Wanita, untuk bayi laki-lakinya, Septimus, yang dilahirkan
tadi pagi.
Silas sudah mendekati Kastil, dan dari celah-celah
pepohonan bisa dilihatnya kelap-kelip cahaya ketika lilin-
lilin mulai ditempatkan di jendela-jendela rumah-rumah
tinggi dan sempit yang berkelompok di sepanjang dinding
luar. Malam itu malam paling panjang sepanjang tahun ini,
dan lilin-lilin akan tetap dinyalakan sampai fajar nanti, untuk
menangguhkan kegelapan. Silas sangat menyukai perjalanan
menuju Kastil. Hutan itu tidak membuatnya takut pada siang
hari, dan dia menikmati berjalan kaki di tengah kedamaian
suasana, menyusuri jalan setapak berliku menembus
kerimbunan pepohonan hingga bermil-mil jauhnya. Kini dia
sudah dekat pinggiran Hutan, pepohonan tinggi mulai
berkurang, dan ketika jalan setapak itu mulai menurun tajam
ke dasar lembah, Silas bisa melihat pemandangan seluruh
Kastil terbentang di hadapannya. Tembok-temboknya yang
kuno merangkul sungai lebar yang berkelok-kelok serta
berzigzag mengelilingi rumah-rumah yang berkelompok tak
beraturan. Semua rumah dicat dengan warna terang, dan
yang menghadap ke barat tampak seperti terbakar ketika
http://facebook.com/indonesiapustaka

jendela-jendelanya menangkap galur-galur terakhir sinar


matahari musim dingin hari itu.
Kastil itu pada mulanya hanyalah sebuah desa kecil.
Karena lokasinya begitu dekat dengan Hutan, para penduduk
desa mendirikan tembok-tembok tinggi dari batu, sebagai
perlindungan dari wolverine, penyihir, dan warlock yang

~1~
tidak segan-segan mencuri biri-biri, ayam, dan terkadang
anak-anak mereka. Dengan semakin banyaknya rumah yang
dibangun, tembok-tembok itu pun diperluas dan digalilah
sebuah parit yang dalam, agar semua merasa aman.
Dengan segera Kastil itu menarik minat para
pengrajin yang cakap dari desa-desa lain. Tempat itu pun
berkembang dan menjadi kian makmur, begitu makmur
sampai-sampai para penduduknya mulai kekurangan tempat,
dan akhirnya seseorang memutuskan untuk membangun
Rumah Besar. Rumah Besar, tempat Silas, Sarah, dan anak-
anaknya tinggal, merupakan bangunan batu yang sangat
besar, menjulang di sepanjang tepian sungai. Bangunan itu
terbentang tiga mil di sepanjang sungai, lalu kembali lagi ke
Kastil dan merupakan tempat yang gaduh, sibuk, penuh
dengan lorong-lorong dan kamar-kamar, dengan pabrik-
pabrik kecil, sekolah-sekolah, dan toko-toko bercampur
baur dengan kamar-kamar keluarga, taman-taman atap
mungil, bahkan sebuah teater. Tidak banyak ruang di Rumah
Besar itu, tapi para penghuninya tidak keberatan. Selalu ada
teman yang menyenangkan dan orang yang bisa diajak anak-
anak bermain.
Sementara matahari musim dingin tenggelam di
bawah tembok-tembok Kastil, Silas mempercepat
langkahnya. Dia harus tiba di Gerbang Utara sebelum mereka
menguncinya dan menaikkan jembatan tarik saat malam
tiba.
Pada saat itulah Silas merasakan sesuatu di dekatnya.
http://facebook.com/indonesiapustaka

Sesuatu yang hidup, tapi hanya itu. Serasa ada detak jantung
manusia di suatu tempat di dekatnya. Silas berhenti. Sebagai
Penyihir Biasa, dia memiliki kepekaan, tapi berhubung dia
bukan Penyihir Biasa yang cakap, maka dia harus
berkonsentrasi penuh. Silas berdiri mematung, di tengah
hujan salju yang turun semakin deras dan sudah menutupi

~2~
jejak-jejak kakinya. Kemudian telinganya menangkap suara-
dengusan, rengekan, tarikan napas pelan? Dia tidak yakin,
tapi itu sudah cukup.
Di bawah semak-semak di samping jalan setapak ada
sebuah buntelan. Silas mengangkat buntelan itu dan...
terkejut mendapati dirinya menatap sepasang mata bayi
mungil yang serius. Silas menimang bayi itu dalam
dekapannya, dan bertanya-tanya bagaimana bayi itu bisa
tergeletak di tengah-tengah salju, pada hari yang paling
dingin sepanjang tahun. Seseorang telah membungkusnya
rapat-rapat dengan selimut wol tebal, tapi bayi itu sudah
sangat kedinginan: bibirnya membiru, dan butir-butir salju
menempel di bulu matanya. Ketika mata si bayi yang
berwarna ungu tua itu menatapnya lekat-lekat, muncul
perasaan tak enak dalam diri Silas; perasaan yang
mengatakan bahwa bayi itu, dalam usianya yang masih
begitu muda, telah melihat hal-hal yang tidak seharusnya
dilihat bayi mana pun.
Ketika teringat Sarah-nya di rumah, hangat dan aman
bersama Septimus dan putra-putranya yang lain, Silas
memutuskan bahwa mereka harus menyediakan sedikit
ruang untuk bayi mungil ini. Dengan hati-hati
dimasukkannya bayi itu ke balik jubah biru Penyihir-nya
dan dipeluknya erat-erat seraya berlari menuju gerbang
Kastil. Dia sampai di jembatan tarik tepat ketika Gringe, si
Penjaga Gerbang, hendak berteriak menyuruh si Bocah
Penjaga Jembatan untuk mulai menarik jembatan tersebut.
http://facebook.com/indonesiapustaka

"Kau datang tepat pada waktunya," gerutu Gringe.


"Tapi kalian para Penyihir memang aneh. Mau apa kalian di
luar pada hari seperti ini, aku tidak tahu."
"Oh?" Silas ingin cepat-cepat melewati Gringe, tapi
pertama-tama dia harus menyogok Gringe dengan keping
perak. Dengan cepat Silas menemukan sekeping penny perak

~3~
di salah satu sakunya, dan diulurkannya pada Gringe.
"Terima kasih, Gringe. Selamat malam."
Gringe menatap kepingan penny itu, seolah benda itu
kumbang yang menjijikkan.
"Marcia Overstrand, dia baru saja memberiku
setengah crown. Tapi dia memang berkelas, apalagi sekarang
dia sudah menjadi Penyihir LuarBiasa."
"Apa?" Silas hampir tersedak.
"Yeah. Berkelas, itulah dia."
Gringe melangkah mundur untuk memberi jalan, dan
Silas melewatinya. Walau sangat ingin tahu mengapa tiba-
tiba Marcia Overstrand bisa menjadi Penyihir LuarBiasa, dia
merasa buntelan itu mulai bergerak-gerak dalam kehangatan
jubahnya, dan instingnya mengatakan bahwa sebaiknya
Gringe tidak tahu tentang si bayi.
Begitu Silas menghilang di balik bayang-bayang
terowongan yang mengarah ke Rumah Besar, sesosok tubuh
jangkung berpakaian ungu melangkah keluar dari kegelapan
dan menghalangi jalannya.
"Marcia!" Silas tercekat. "Apa yang..."
"Jangan katakan pada siapa pun kau menemukannya.
Dia ditakdirkan menjadi anakmu. Mengerti?"
Dengan terkejut Silas mengangguk. Sebelum dia
sempat membuka mulutnya, Marcia sudah menghilang dalam
kilauan kabut ungu. Silas menghabiskan sisa perjalanan
panjang berliku-liku di dalam Rumah Besar dengan pikiran
kacau. Siapa bayi ini? Apa hubungan Marcia dengan bayi ini?
http://facebook.com/indonesiapustaka

Dan mengapa Marcia tiba-tiba menjadi Penyihir LuarBiasa?


Dan begitu Silas hampir sampai ke pintu merah besar yang
menuju kamar keluarga Heap yang sudah penuh sesak, satu
pertanyaan lagi melintas di benaknya, pertanyaan yang lebih
mendesak: Apa kata Sarah nanti, dengan adanya satu bayi
lagi yang harus dirawat?

~4~
Silas tidak sempat berpikir lama-lama tentang
pertanyaan yang terakhir itu. Begitu dia sampai, pintu
rumahnya terbuka seketika, dan seorang wanita bertubuh
besar, berwajah merah, memakai jubah biru tua Ibu Bidan
berlari ke luar, hampir menabrak Silas saat dia menerobos ke
luar. Wanita itu juga membawa buntelan, tapi buntelan itu
terbungkus rapat dari ujung kepala sampai ujung kaki, dan
dia mengempitnya di ketiak, seperti membawa paket yang
sudah terlambat diposkan.
"Sudah mati!" pekik si Ibu Bidan. Didorongnya Silas
ke samping dengan kuatnya, lalu dia berlari ke koridor. Di
dalam kamar, Sarah Heap menjerit.
Dengan berat hati Silas masuk. Dilihatnya Sarah
dikelilingi enam anak laki-laki berwajah pucat, semuanya
terlalu ketakutan untuk menangis.
"Dia membawanya pergi," kata Sarah putus asa.
"Septimus sudah mati, dan dia membawanya pergi."
Tepat pada saat itu kehangatan yang basah menyebar
keluar dari buntelan yang masih disembunyikan Silas di balik
jubahnya. Silas tak mampu berkata-kata, maka
dikeluarkannya buntelan itu dari balik jubahnya dan
diletakkannya di pelukan Sarah.
Tangis Sarah Heap meledak.
http://facebook.com/indonesiapustaka

~5~
2. SARAH DAN SILAS
Bayi itu menjadi anggota keluarga Heap dan diberi
nama Jenna, seperti nama ibu Silas.
Putra bungsu keluarga Heap, Nicko, baru berumur
dua tahun ketika Jenna datang, dan dia segera melupakan
adik laki-lakinya, Septimus. Lambat laun kakak-kakaknya
pun melupakannya. Mereka sangat menyayangi adik bayi
mereka, dan membawakannya berbagai macam harta benda
dari kelas Magyk mereka di sekolah.
Sarah dan Silas tentu saja tidak bisa melupakan
Septimus. Silas menyalahkan dirinya sendiri karena
meninggalkan Sarah sendirian sewaktu pergi mengambil
tanaman obat untuk si bayi dari Tabib Wanita itu. Sarah
menyalahkan dirinya sendiri untuk segalanya. Walau nyaris
tak ingat lagi apa yang terjadi pada hari yang menyedihkan
itu, Sarah tahu dia sudah berusaha memberikan napas buatan
pada bayinya, namun tidak berhasil. Dan dia juga ingat saat
Ibu Bidan membungkus tubuh Septimus kecilnya dengan
perban, lalu berlari ke arah pintu, berpaling sambil berteriak,
"Sudah mati!"
Sarah mengingatnya dengan jelas.
Namun dengan segera Sarah menyayangi bayi
perempuan mungil itu, seperti dia menyayangi Septimus-nya.
Selama beberapa waktu dia takut seseorang akan datang dan
membawa pergi Jenna juga, tapi bulan demi bulan berlalu,
Jenna tumbuh menjadi bayi montok yang suka berceloteh
http://facebook.com/indonesiapustaka

sendiri; Sarah menjadi lebih santai dan hampir-hampir tidak


khawatir lagi.
Sampai pada suatu hari sahabatnya, Sally Mullin,
datang terengah-engah di ambang pintu. Sally Mullin selalu
tahu segala sesuatu yang terjadi di Kastil. Dia perempuan
bertubuh kecil, sibuk, dengan rambut cokelat kemerahan

~6~
yang selalu saja mencuat keluar dari topi juru masaknya
yang kumal. Wajahnya bulat menyenangkan, sedikit tembam
karena kebanyakan makan kue, dan pakaiannya biasanya
penuh dengan bekas taburan tepung.
Sally mempunyai kedai kecil di atas jembatan di tepi
sungai. Plang yang terpampang di atas pintu ber-tuliskan:
KEDAI TEH DAN BIR SALLY MULLIN
TERSEDIA PENGINAPAN BERSIH GEMBEL
DILARANG MASUK
Tidak ada rahasia di kedai Sally Mullin. Apa pun dan
siapa pun yang datang ke Kastil lewat sungai diperhatikan
dan dikomentari, dan kebanyakan orang yang datang ke
Kastil memang lebih suka naik perahu. Tak seorang pun,
kecuali Silas, menyukai jalan setapak lewat Hutan yang
mengelilingi Kastil. Hutan itu masih bermasalah dengan
adanya wolverine jahat di malam hari, dan dipenuhi
pepohonan karnivora. Lalu ada juga Penyihir Wendron yang
selalu kekurangan uang dan dikenal suka memasang
perangkap untuk menjebak para pengelana yang lengah, dan
mereka ditinggalkan dengan hanya memakai kemeja dan
kaus kaki.
Kedai Sally Mullin berupa pondok yang ramai dan
penuh uap; pondok itu bertengger tidak aman di atas sungai.
Kapal-kapal dalam beragam bentuk dan ukuran ditambatkan
di jembatan kedai, dan berbagai macam orang dan binatang
keluar dari kapal-kapal tersebut. Sebagian besar datang ke
sana untuk menyegarkan diri dari perjalanan mereka dengan
http://facebook.com/indonesiapustaka

minum sedikitnya salah satu bir Sally yang dahsyat dan seiris
kue jawawut, sambil bertukar gosip terbaru. Dan siapa pun
penghuni Kastil yang punya waktu luang setengah jam dan
perutnya keroncongan pasti segera mengayunkan langkah di
jalan setapak yang sudah sering dilewati, menuju Gerbang
Pelabuhan, melewati Fasilitas Pembuangan Sampah Tepi

~7~
Sungai, dan di sepanjang jembatan ponton, menuju Kedai Teh
dan Bir Sally Mullin.
Sally mewajibkan diri menemui Sarah setiap minggu
untuk mengabarkan gosip terbaru. Menurut pendapat Sally,
beban Sarah terlalu berat dengan tujuh anak yang harus
diurus, belum lagi Silas Heap, yang dalam pandangan Sally
tidak terlalu banyak membantu. Cerita-cerita Sally biasanya
melibatkan orang-orang yang belum pernah didengar serta
tak akan pernah ditemui Sarah, namun Sarah selalu
menantikan kunjungan Sally untuk mendengarkan kabar di
lingkungan sekitarnya. Namun kali ini Sally hendak
menceritakan sesuatu yang berbeda. Lebih serius ketimbang
gosip sehari-hari, dan kali ini melibatkan Sarah. Dan untuk
pertama kalinya, Sarah mengetahui sesuatu tentang cerita itu
yang justru tidak diketahui Sally.
Sally menerobos masuk, lalu menutup pintu di
belakangnya dengan lagak penuh konspirasi.
"Aku bawa kabar buruk," bisiknya.
Sarah, yang sedang berusaha menyeka sisa sarapan
dari wajah Jenna dan tempat-tempat lainnya yang kena
semburan si bayi, dan sekaligus membersihkan bekas pipis
anak anjing serigala mereka yang baru, hanya mendengarkan
sambil lalu.
"Halo, Sally," sapanya. "Di situ ada tempat bersih.
Masuk dan duduklah. Mau secangkir teh?"
"Ya, mau. Sarah, kau percaya ini tidak?"
"Percaya apa, Sally?" tanya Sarah, yang mengira akan
http://facebook.com/indonesiapustaka

mendengar cerita tentang pembuat onar terbaru di kedai.


"Sang Ratu. Sang Ratu meninggal!"
"Apa?" Sarah tercekat. Diangkatnya Jenna dari kursi
bayinya dan digendongnya ke sudut ruangan, tempat
keranjang bayinya berada. Sarah membaringkan Jenna agar
tidur sebentar. Menurut pendapatnya, bayi harus dijauhkan

~8~
dari kabar buruk.
"Meninggal," ulang Sally dengan sedih.
"Tidak!" Sarah tercekat. "Aku tidak percaya. Dia
hanya tidak sehat setelah bayinya lahir. Itu sebabnya dia
tidak terlihat sejak saat itu."
"Itulah yang terus-terusan dikatakan Para Pengawal
Wali, bukan?" tanya Sally.
"Memang benar," Sarah mengakui, seraya
menuangkan teh. "Tapi mereka pengawalnya, jadi pasti
mereka tahu. Hanya saja aku tak mengerti, mengapa tiba-tiba
Ratu memilih untuk dikawal segerombolan centeng seperti
itu."
Sally mengambil cangkir teh yang ditaruh Sarah di
hadapannya.
"Nah. Mmm, enak. Baiklah, tepatnya..." Sally
memelankan suaranya dan celingak-celinguk, seolah
ketakutan kalau-kalau ada Pengawal Wali bercokol di sudut
sana, meskipun ada, dia takkan bisa melihatnya di tengah
ruang keluarga Heap yang berantakan. "Mereka itu memang
gerombolan centeng. Bahkan merekalah yang
membunuhnya."
"Dibunuh? Ratu dibunuh?" seru Sarah.
"Husss. Nah, begini..." Sally menarik kursinya lebih
dekat ke Sarah. "Ada cerita yang beredar-dan aku
mengetahuinya dari mulut si kuda..."
"Kalau begitu, dari mulut kuda yang mana?" Tanya
Sarah dengan senyum dikulum.
http://facebook.com/indonesiapustaka

"Hanya Madam Marcia"-dengan penuh kemenangan,


Sally duduk bersandar dan melipat kedua lengannya-"dialah
kudanya."
"Apa? Bagaimana kau bisa berurusan dengan
Penyihir LuarBiasa? Apa dia mampir untuk minum secangkir
teh?"

~9~
"Hampir saja. Terry Tarsal mampir, sekembalinya
dari Menara Penyihir, mengirimkan sepatu yang sangat aneh,
yang dibuatnya untuk Madam Marcia. Nah, setelah dia puas
mengeluh tentang selera sepatu pelanggannya dan betapa dia
sangat benci ular, Terry bilang dia tak sengaja mendengar
Marcia berbicara dengan salah satu Penyihir lainnya. Kurasa
dengan Endor, yang gemuk pendek itu. Nah, mereka bilang
Ratu ditembak! Oleh Para Pengawal Wali. Salah satu
Pembunuh Bayaran mereka."
Sarah tidak percaya dengan apa yang didengarnya.
"Kapan-" desahnya
"Nah, ini yang paling keterlaluan," bisik Sally
bersemangat. "Mereka bilang Ratu ditembak saat bayinya
dilahirkan. Tepat enam bulan yang lalu, dan kita tidak tahu
apa-apa tentang itu. Kejam... kejam sekali. Dan mereka juga
menembak Mr. Alther. Sampai mati. Begitulah ceritanya
Marcia bisa mengambil alih...."
"Alther sudah mati?" Sarah terkesiap. "Aku tidak
percaya. Sama sekali tidak percaya... Kami semua mengira
dia pensiun. Silas pernah menjadi Murid-nya. Dia sangat baik
hati-"
"Benarkah?" tanya Sally lirih, tak sabar ingin
melanjutkan ceritanya. "Tapi itu belum semuanya. Karena
Terry menduga Marcia telah lebih dulu menyelamatkan sang
Putri, lalu membawanya pergi ke suatu tempat. Endor dan
Marcia sebenarnya hanya berbincang-bincang, sungguh,
bertanya-tanya bagaimana keadaan sang putri. Tapi tentu
http://facebook.com/indonesiapustaka

saja sewaktu sadar Terry datang membawa sepatu, mereka


berhenti bicara. Marcia bersikap sangat kasar kepadanya,
katanya. Setelah itu Terry merasa sedikit aneh, dan menduga
Marcia merapalkan Mantra Lupa atas dirinya, tapi dia keburu
bersembunyi di balik pilar ketika dilihatnya Marcia komat-
kamit, sehingga mantra tersebut tidak bekerja dengan baik.

~10~
Terry kesal, karena dia tidak ingat apakah Marcia sudah
membayar sepatunya atau belum."
Sally Mullin berhenti untuk menarik napas dan
meneguk tehnya banyak-banyak.
"Putri kecil yang malang. Semoga Tuhan
melindunginya. Aku ingin tahu, ada di mana dia sekarang.
Mungkin terlunta-lunta di sel bawah tanah di suatu tempat.
Tidak seperti malaikat kecilmu di sana itu...
Bagaimana keadaannya?"
"Oh, dia baik-baik saja," sahut Sarah, yang biasanya
bakal bicara panjang-lebar tentang Jenna yang kena pilek,
dan gigi baru Jenna, juga bagaimana putrinya itu sudah bisa
duduk tegak dan memegang cangkirnya sendiri sekarang.
Namun pada saat itu Sarah ingin mengalihkan perhatian dari
Jenna-karena selama enam bulan belakangan ini Sarah terus
bertanya-tanya siapa bayi mungil itu, dan kini dia tahu.
Jenna pasti... sang Putri Raja cilik itu, pikir Sarah.
Kali ini Sarah merasa senang mengucapkan selamat
berpisah pada Sally Mullin. Dipandanginya wanita itu
berjalan tergesa-gesa di koridor, dan setelah menutup pintu
di belakangnya, Sarah mengembuskan napas lega. Kemudian
dia bergegas menghampiri keranjang bayi Jenna.
Sarah mengangkat Jenna dan menggendongnya
dalam pelukan. Jenna tersenyum, tangannya menggapai
kalung jimat milik Sarah.
"Nah, Putri kecil," gumam Sarah. "Sejak semula aku
tahu kau bayi yang istimewa, tapi tak kusangka kau ternyata
http://facebook.com/indonesiapustaka

sang Putri." Mata ungu tua bayi itu bertemu pandang dengan
tatapan Sarah dan menatap dengan sungguh-sungguh, seolah
berkata, Nah, sekarang kau sudah tahu.
Dengan lembut Sarah membaringkan Jenna kembali
ke dalam keranjang bayi. Kepalanya serasa berputar dan
tangannya gemetaran saat menuang teh untuk diminumnya.

~11~
Rasanya sulit memercayai semua yang tadi didengarnya.
Sang Ratu sudah meninggal. Alther juga. Jenna adalah
pewaris Kastil. Sang Putri. Apa yang sedang terjadi?
Sarah menghabiskan sisa sore itu dengan terombang-
ambing antara menatap Jenna, Putri Jenna, dan
mengkhawatirkan apa yang bakal terjadi kalau ada orang
yang mengetahui rahasia ini. Di mana Silas saat dia
membutuhkannya?
Silas sedang memancing seharian bersama anak-
anaknya.
Ada pantai kecil berpasir di kelokan sungai yang
memanjang dari Rumah Besar. Silas sedang menunjukkan
pada Nicko dan Jo-jo, dua anak yang paling kecil, cara
mengikatkan botol selai ke ujung tongkat pancing dan
mencelupkannya ke dalam air. Jo-jo sudah berhasil
menangkap tiga ikan kecil, tapi Nicko gagal terus, dan dia
mulai kesal.
Silas menggendong Nicko dan mengajaknya
menemui Erik dan Edd, si kembar berumur lima tahun. Erik
sedang asyik melamun sambil menggoyang-goyangkan
kakinya di dalam air yang hangat dan jernih. Edd sedang
mengorek-ngorek sesuatu di balik batu dengan sebilah
tongkat. Seekor kumbang air yang sangat besar. Nicko
merengek dan berpegangan erat di leher Silas.
Sam, yang usianya hampir tujuh tahun, memancing
dengan serius. Pada ulang tahunnya tahun lalu, dia mendapat
hadiah kail yang bagus, dan dua ekor ikan keperakan
http://facebook.com/indonesiapustaka

tergeletak di atas sebongkah batu di sampingnya. Dia baru


saja akan menarik ikan berikutnya, ketika Nicko memekik
kegirangan.
"Bawa dia pergi, Ayah. Dia membuat ikan-ikan
ketakutan," uiar Sam kesal.
Silas berjingkat pergi bersama Nicko, lalu duduk di

~12~
sebelah putra sulungnya, Simon. Simon memegang kail
dengan satu tangan dan sebuah buku di tangan lainnya.
Simon berambisi menjadi Penyihir LuarBiasa, dan dia sibuk
membaca semua buku sihir lama Silas. Buku yang sedang
dibacanya ini berjudul Mantra Lengkap Pemikat Ikan.
Silas berharap semua putranya menjadi Penyihir;
sudah turun-temurun dalam keluarga. Bibi Silas seorang
Penyihir Putih terkenal, dan ayah serta paman Silas adalah
Ahli Pengalih-Rupa, yang merupakan cabang spesialisasi;
Silas berharap putra-putranya menghindari cabang ilmu
yang satu ini, sebab Ahli Pengalih-Rupa yang sukses semakin
lama semakin tidak stabil seiring bertambahnya usia mereka;
kadang-kadang mereka tak mampu mempertahankan bentuk
tubuh asli mereka selama lebih dari beberapa menit. Ayah
Silas pada akhirnya menghilang di dalam lebatnya Hutan,
dalam bentuk sebatang pohon, tapi tidak ada yang tahu
pohon yang mana. Itulah salah satu alasan mengapa Silas
menyukai perjalanan melewati Hutan. Sering kali dia
menyapa sebatang pohon yang cabang-cabangnya tidak
beraturan, dengan harapan mungkin saja pohon itu
penjelmaan ayahnya.
Sarah Heap berasal dari keluarga Warlock dan
Penyihir. Ketika masih remaja, Sarah belajar tentang
tanaman obat dan penyembuhan dari Galen, sang Tabib
Wanita di Hutan; di situlah dia bertemu Silas pada suatu hari.
Waktu itu Silas sedang mencari ayahnya. Dia kebingungan
dan sedih, dan Sarah mengajaknya pulang untuk menemui
http://facebook.com/indonesiapustaka

Galen. Galen menolong Silas untuk memahami bahwa


ayahnya, sebagai Ahli Pengalih-Rupa, telah memilih jalan
hidupnya yang terakhir sebagai sebatang pohon bertahun-
tahun silam, dan kini sudah bahagia sepenuhnya. Dan Silas,
untuk pertama kali dalam hidupnya, menyadari bahwa dia
pun merasa sangat bahagia duduk di samping Sarah, di depan

~13~
perapian sang Tabib Wanita.
Setelah Sarah mendapatkan cukup ilmu tentang
tanaman obat dan penyembuhan, dia pun mengucapkan
selamat tinggal pada Galen, lalu tinggal bersama Silas di
kamarnya di Rumah Besar. Dan sejak saat itu di sanalah
mereka tinggal, di ruangan yang makin sesak karena makin
bertambahnya jumlah anak mereka. Silas dengan bahagia
meninggalkan Masa Berguru-nya dan mencari mata
pencaharian sebagai Penyihir Biasa. Sarah membuat ramuan
obat di meja dapur kalau punya waktu senggang-yang tidak
sering terjadi.
Malam itu, sewaktu Silas dan anak-anaknya
menapaki undak-undak di pantai, dalam perjalanan pulang
ke Rumah Besar, seorang Pengawal Wali bertubuh besar dan
bengis, berpakaian hitam-hitam dari ujung kepala sampai
ujung kaki, menghadang mereka.
"Berhenti!" bentaknya. Nicko mulai menangis.
Silas berhenti dan menyuruh anak-anaknya bersikap
sopan.
"Surat-surat!" teriak si Pengawal. "Mana surat-surat
kalian?"
Silas menatapnya. "Surat-surat apa?" tanyanya pelan,
tidak ingin mendapat masalah saat sedang bersama keenam
anak laki-lakinya yang sudah capek dan harus pulang untuk
makan malam.
"Surat-suratmu, Penyihir sialan. Wilayah pantai ini
terlarang bagi siapa pun yang tidak mempunyai surat-surat
http://facebook.com/indonesiapustaka

memadai," cemooh si Pengawal.


Silas terkejut. Kalau tidak bersama keenam putranya,
dia pasti akan mendebat, tapi dia sudah melihat pistol yang
dibawa pengawal itu.
"Maaf," sahutnya. "Aku tidak tahu."
Si Pengawal mengamati mereka semua dari atas ke

~14~
bawah, seolah-olah sedang memutuskan apa yang harus
dilakukan. Tapi Silas beruntung karena masih banyak orang
lain yang harus diperiksa dan ditakut-takuti.
"Bawa gerombolanmu pergi dari sini dan jangan
kembali lagi," hardik si Pengawal. "Jangan berpergian."
Silas menyuruh keenam putranya yang masih
terkejut untuk menaiki undak-undak, dan masuk ke dalam
Rumah Besar yang aman. Sam menjatuhkan ikannya dan
mulai terisak-isak.
"Sudah, sudah," kata Silas, "tidak apa-apa." Tapi Silas
merasa keadaannya sudah pasti tidak baik-baik saja. Apa
yang terjadi?
"Mengapa pengawal tadi menyebut kita Penyihir
sialan, Yah?" tanya Simon. "Penyihir adalah yang terbaik, ya
kan, Yah?"
"Ya," sahut Silas bingung, "yang terbaik."
Tapi masalahnya, pikir Silas, kau tidak bisa
menyembunyikan keadaanmu sebagai seorang Penyihir.
Semua Penyihir, dan hanya Penyihir, yang memilikinya. Silas
memilikinya, Sarah juga, dan semua putranya kecuali Nicko
dan Jo-jo. Dan begitu Nicko dan Jo-jo belajar di kelas Magyk,
mereka juga bakal memilikinya. Perlahan tapi pasti, mata
anak Penyihir bakal berubah menjadi hijau ketika
mempelajari Magyk. Dulu hal ini merupakan suatu
kebanggaan. Sampai saat ini, ketika tiba-tiba hal itu menjadi
berbahaya.
Malam itu, setelah semua anak mereka tertidur, Silas
http://facebook.com/indonesiapustaka

dan Sarah berbincang-bincang sampai larut malam. Mereka


membicarakan sang Putri dan keenam anak lelaki mereka,
serta perubahan yang melanda Kastil. Mereka membahas
tentang melarikan diri ke Rawa-Rawa Marram, atau pergi ke
Hutan dan tinggal bersama Galen. Sewaktu fajar menyingsing
dan akhirnya mereka berdua tertidur, Silas dan Sarah telah

~15~
memutuskan untuk melakukan apa yang biasa dilakukan
keluarga Heap. Bertahan hidup dan mengharapkan yang
terbaik.
Maka selama sembilan setengah tahun berikutnya,
Silas dan Sarah tetap bungkam. Mereka mengunci dan
memalang pintu rumah, hanya bicara dengan tetangga dan
orang-orang yang bisa dipercaya. Ketika pelajaran Magyk
dihentikan di sekolah, mereka mengajari Magyk pada anak-
anak di rumah dan di malam hari.
Dan itulah sebabnya, sembilan setengah tahun
kemudian, semua anggota keluarga Heap, kecuali satu orang,
memiliki mata hijau tajam menusuk.
http://facebook.com/indonesiapustaka

~16~
3. WALI UTAMA
Saat itu pukul enam pagi dan hari masih gelap,
sepuluh tahun sejak Silas menemukan buntelan tersebut.
Di ujung Koridor 223, di balik pintu hitam besar
bernomor 16 yang dicap oleh Polisi Nomor, keluarga Heap
tidur dengan damai. Jenna meringkuk nyaman di dalam
ranjang kecilnya yang dibuat Silas dari kayu-kayu apung
yang terdampar di sepanjang tepian sungai. Ranjang itu
dibuat menyatu rapi dengan lemari besar yang membuka
dari sebuah ruangan besar, satu-satunya ruangan yang
dimiliki keluarga Heap.
Jenna sangat menyukai ranjang lemarinya. Sarah
telah membuatkan tirai-tirai dari kain perca yang bisa ditarik
Jenna menutupi ranjangnya, untuk menghangatkan sekaligus
menjauhkannya dari kakak-kakaknya yang berisik. Yang
paling menyenangkan, ada sebuah jendela kecil di dinding di
atas bantalnya yang menghadap ke sungai. Kalau Jenna tidak
bisa tidur, dia suka menatap ke luar jendela selama berjam-
jam, memandangi beraneka ragam perahu yang lalu lalang
tanpa henti dari dan menuju Kastil. Kadang pada malam-
malam terang, Jenna suka sekali menghitung bintang sampai
akhirnya jatuh tertidur.
Ruangan besar itu merupakan tempat semua anggota
keluarga Heap tinggal, memasak, makan, berdebat, dan
(sesekali) mengerjakan PR; ruangan itu amat sangat
berantakan. Ruangan itu penuh dengan segala macam barang
http://facebook.com/indonesiapustaka

yang dikumpulkan selama dua puluh tahun sejak Sarah dan


Silas mulai tinggal bersama di situ. Ada alat-alat pancing dan
tali-tali senar pancing, sepatu dan kaus kaki, tali dan
perangkap tikus, tas dan seprai, sarung bantal dan selimut,
jaring dan alat-alat rajut, pakaian dan panci-panci, dan buku,
buku, dan masih banyak lagi buku.

~17~
Jika kau cukup bodoh untuk melihat sekeliling
ruangan keluarga Heap, dengan harapan menemukan tempat
duduk, maka kemungkinan bukulah yang menemukan
tempat itu terlebih dulu. Ke mana pun mata memandang,
yang tampak hanyalah buku. Di rak-rak yang melengkung
keberatan, di dalam kotak-kotak, menggantung di dalam tas-
tas di langit-langit, menjadi ganjalan meja dan menumpuk
dengan ketinggian mengerikan hingga kelihatan bisa roboh
setiap saat. Ada buku cerita, buku tanaman obat, buku
masak, buku perahu, buku memancing, tapi sebagian besar
ada ratusan buku Magyk, yang diselamatkan Silas secara
diam-diam dari sekolah, sewaktu Magyk dilarang beberapa
tahun lalu.
Di tengah-tengah ruangan ada perapian besar yang
tersambung dengan cerobong tinggi yang meliuk sampai ke
atap; di perapian itu masih ada sisa-sisa api yang sekarang
sudah mulai mengecil, dan di sekelilingnya keenam anak
lelaki keluarga Heap serta seekor anjing besar tidur tumpang
tindih di tengah tumpukan selimut tebal dan selimut biasa.
Sarah dan Silas juga tidur nyenyak. Mereka berdua
memisahkan diri ke ruang kecil di loteng, yang dibuat Silas
beberapa tahun yang lalu dengan mengetok langit-langit
hingga berlubang, setelah Sarah menyatakan tidak tahan lagi
tinggal bersama enam anak laki-laki yang mulai beranjak
remaja hanya di dalam satu ruangan.
Tapi, di tengah semua kekacauan ruangan itu,
mencuat sebuah "pulau" kecil yang sangat rapi; sebuah meja
http://facebook.com/indonesiapustaka

panjang dan agak goyah ditutupi sehelai kain putih bersih. Di


atasnya ditaruh sembilan piring dan cangkir, dan di ujung
meja ada sebuah bangku berhiaskan buah-buah beri musim
dingin dan dedaunan. Di meja di depan kursi itu ditaruh
sebuah hadiah kecil, terbungkus rapi dengan kertas warna-
warni serta diikat pita merah, untuk dibuka Jenna pada ulang

~18~
tahunnya yang kesepuluh.
Semuanya tenang dan damai sewaktu anggota
keluarga Heap tidur nyenyak sepanjang jam-jam terakhir
malam gelap itu, sebelum matahari musim dingin terbit.
Kendati demikian, di sisi lain Kastil, di dalam Istana
Para Wali, tak ada tidur, nyenyak ataupun tidak.
Wali Utama telah dipanggil dari kamarnya, dan
dengan bantuan Pelayan Malam, terburu-buru mengenakan
tunik hitam berpinggiran bulu serta jubah tebal hitam
keemasan; atas instruksinya, si Pelayan Malam juga telah
mengikatkan tali sepatu sutra berbordir miliknya. Kemudian
dengan hati-hati dia mengenakan sendiri Mahkota indah di
atas kepalanya. Wali Utama tidak pernah tampil tanpa
mahkotanya, yang masih agak cuil ketika mahkota itu
terjatuh dari kepala Ratu dan terempas ke lantai batu.
Mahkota itu bertengger miring di atas kepala botaknya yang
agak lonjong, tapi si Pelayan Malam, karena masih baru dan
ketakutan, tidak berani mengatakannya.
Wali Utama berjalan terburu-buru menyusuri
koridor, menuju Ruang Singgasana. Dia pria bertubuh kecil,
seperti tikus, dengan mata pucat yang hampir tidak
berwarna, serta janggut kecil aneh yang biasa dirawatnya
selama berjam-jam. Dia hampir tenggelam dalam jubah
besarnya yang berlapis-lapis dan penuh disemati badge-
badge militer, dan penampilannya menjadi agak konyol
karena Mahkota-nya yang miring serta berkesan agak
feminin. Tapi kalau kau bertemu dengannya pagi itu, kau
http://facebook.com/indonesiapustaka

tidak akan tertawa. Kau akan mundur dan bersembunyi di


balik bayang-bayang, seraya berharap dia tidak melihatmu,
karena sosok sang Wali Utama menebarkan kesan penuh
ancaman.
Pelayan Malam membantu Wali Utama duduk di
singgasana yang penuh hiasan di Ruang Singgasana.

~19~
Kemudian dengan satu lambaian tak sabar, si Pelayan Malam
diusir pergi, dan dia pun tergopoh-gopoh mengundurkan diri
dengan rasa syukur, giliran kerjanya hampir selesai.
Udara pagi yang dingin menyelimuti Ruang
Singgasana. Wali Utama duduk tanpa ekspresi di atas takhta,
namun tarikan dan embusan cepat napasnya yang beruap
tidak bisa menyembunyikan luapan perasaannya.
Dia tidak perlu menunggu lama; seorang wanita
muda yang jangkung, dalam jubah hitam pekat dan tunik
merah tua Pembunuh Bayaran, melangkah masuk dengan
cepat dan membungkuk rendah-rendah, lengan bajunya yang
panjang dan dibelah dua menyapu lantai batu.
"Sang Ratu Kecil, tuanku. Dia sudah ditemukan," si
Pembunuh Bayaran berkata dengan suara pelan.
Wali Utama duduk tegak dan menatap si Pembunuh
Bayaran dengan mata pucatnya.
"Kau yakin? Kali ini aku tidak mau ada kesalahan
lagi," sahutnya penuh ancaman.
"Mata-mata kita, tuanku, sudah lama mencurigai
seorang anak. Dia menganggap anak itu asing di tengah
keluarganya. Kemarin mata-mata kita baru tahu kalau usia
anak itu sama dengan usia sang Ratu Kecil."
"Berapa tepatnya usianya?"
"Sepuluh tahun pada hari ini, tuanku."
"Benarkah?" Wali Utama duduk bersandar di
singgasana, mempertimbangkan ucapan si Pembunuh
Bayaran.
http://facebook.com/indonesiapustaka

"Saya membawa gambar anak ini, tuanku. Setahu


saya dia sangat mirip ibunya, mantan Ratu." Dari balik
tuniknya si Pembunuh Bayaran mengambil sehelai kertas
kecil. Di atasnya terdapat gambar seorang gadis cilik
bermata ungu tua dan berambut hitam panjang. Wali Utama
mengambil gambar itu. Ternyata benar. Gadis itu amat sangat

~20~
mirip dengan Ratu yang sudah meninggal. Dengan cepat Wali
Utama mengambil keputusan dan dijentikkannya jemari
kurusnya keras-keras.
Si Pembunuh Bayaran memiringkan kepalanya.
"Tuanku?"
"Malam ini. Tengah malam. Kau harus mendatangi...
di mana tempatnya?"
Kamar 16, Koridor 223, tuanku.
"Nama keluarganya?"
"Heap, tuanku."
"Ah. Bawa pistol perak. Ada berapa orang anggota
keluarganya?"
"Sembilan, tuanku, termasuk anak itu."
"Kalau begitu, bawalah sembilan peluru, untuk
berjaga-jaga kalau nanti ada masalah. Peluru perak untuk
anak itu. Lalu bawa anak itu ke hadapanku. Aku ingin bukti."
Wanita muda itu kelihatan pucat. Itu ujian pertama
dan satu-satunya bagi dirinya. Tidak ada kesempatan kedua
bagi seorang Pembunuh Bayaran.
"Baik, tuanku." Dia membungkuk hormat, lalu pamit
mundur, kedua tangannya gemetar.
Di sudut sepi Ruang Singgasana, hantu Alther Mella
menggeliat bangkit dari bangku batu dingin yang sedari tadi
didudukinya. Dia mendesah dan meregangkan kaki-kaki
hantunya yang tua itu. Kemudian dirapatkannya jubah
ungunya yang sudah pudar, dia mengambil napas dalam-
dalam dan berjalan ke luar, menembus dinding batu tebal
http://facebook.com/indonesiapustaka

Ruang Singgasana.
Di luar dia mendapati dirinya melayang setinggi
delapan belas meter di atas permukaan tanah, di tengah
dingin dan gelapnya udara pagi. Alih-alih berjalan dengan
sikap berwibawa sebagaimana seharusnya dilakukan oleh
hantu seusianya dan status seperti dirinya, Alther malah

~21~
membentangkan kedua lengannya bak sayap burung, dan
terbang menukik dengan anggunnya di antara butiran-
butiran salju yang turun.
Terbang merupakan satu-satunya hal yang disukai
Alther setelah menjadi hantu. Terbang, atau Seni Terbang
yang Telah Hilang, merupakan kecakapan yang tidak lagi
bisa dilakukan oleh Penyihir LuarBiasa masa kini. Bahkan
Marcia, yang bertekad ingin bisa terbang, hanya bisa
melayang sebentar sebelum terempas ke tanah. Entah di
mana, entah bagaimana, rahasia itu telah hilang. Tapi semua
hantu, tentu saja, bisa terbang. Dan sejak menjadi hantu,
Alther tidak lagi takut akan ketinggian; dengan riang dia
menghabiskan berjam-jam untuk menyempurnakan gerakan
akrobatiknya. Tapi di luar itu, tidak banyak hal lain yang
disukainya setelah menjadi hantu; duduk di Ruang
Singgasana, tempat dirinya menjadi hantu-sehingga di
sanalah dia harus menghabiskan tahun pertamanya plus satu
hari masa-masa baru menjadi hantu-merupakan salah satu
pekerjaan yang paling tidak disukainya. Tapi pekerjaan itu
harus dilakukan. Alther mewajibkan dirinya untuk tahu
rencana para Wali, dan berusaha memberitahu Marcia
kabar-kabar terbaru. Dengan bantuannya, Marcia berhasil
berada satu langkah lebih maju daripada para Wali dan
menjaga Jenna tetap aman. Hingga detik ini.
Selama bertahun-tahun, sejak kematian Ratu, Wali
Utama semakin meningkatkan usaha melacak keberadaan
sang Putri. Setiap tahun dia melakukan perjalanan panjang-
http://facebook.com/indonesiapustaka

dan amat menakutkan-ke Badlands; di sana dia harus


melaporkan perkembangan tugasnya kepada mantan
Penyihir LuarBiasa yang kini menjadi Necromancer alias
Penyihir Jahat bernama DomDaniel.
Penyihir ini yang mengirim Pembunuh Bayaran
pertama untuk membunuh sang Ratu, dan DomDaniel-lah

~22~
yang memerintahkan Wali Utama serta kaki-tangannya
untuk menggeledah Kastil dan mencari sang Putri. Sebab
selama sang Putri masih tinggal di Kastil, DomDaniel tidak
berani mendekat. Oleh karena itu, setiap tahun, Wali Utama
menjanjikan DomDaniel bahwa tahun ini dia akan berhasil.
Tahun ini dia akan menyingkirkan Ratu Kecil itu lalu
menyerahkan Kastil kepada Pemilik yang sesungguhnya,
DomDaniel.
Itulah sebabnya, sewaktu Alther meninggalkan
Ruang Singgasana, di wajah sang Wali Utama tampak seringai
yang oleh ibunya akan disebut sebagai seringai konyol.
Akhirnya dia berhasil melaksanakan tugas yang dibebankan
kepadanya. Tentu saja, pikirnya-seringai konyolnya berubah
menjadi senyum puas-hanya berkat kepandaian dan
bakatnya yang hebatlah dia berhasil menemukan gadis cilik
itu. Padahal sebenarnya tidak begitu-keberhasilannya
semata-mata karena suatu keberuntungan yang aneh.
Sewaktu Wali Utama mengambil alih Kastil, dia
melarang wanita masuk ke Pengadilan. Kamar Kecil Wanita,
yang sekarang tidak dibutuhkan lagi, diubah fungsinya
menjadi ruang komite kecil. Selama satu bulan belakangan
yang sangat dingin, Komite Wali diajak mengadakan
pertemuan di bekas Kamar Kecil Wanita, yang lebih
menyenangkan karena dilengkapi perapian kayu, ketimbang
Ruang Komite Wali yang berongga sehingga angin dingin
berembus masuk dan membuat kaki mereka beku seperti
balok es.
http://facebook.com/indonesiapustaka

Maka, tanpa disadari, sekali ini para Wali berada satu


langkah lebih maju daripada Alther Mella. Sebagai hantu,
Alther hanya bisa pergi ke tempat-tempat yang pernah
dikunjunginya selama masa hidupnya-dan sebagai Penyihir
muda yang dididik dengan baik, Alther belum pernah
menginjakkan kakinya ke Kamar Kecil Wanita. Paling-paling

~23~
yang bisa dilakukannya hanyalah melayang di luar,
menunggu, seperti sewaktu dia masih hidup dan berpacaran
dengan Hakim Alice Nettles.
Di suatu penghujung sore yang sangat dingin,
beberapa minggu yang lalu, Alther melihat Komite Wali
berjalan memasuki Kamar Kecil Wanita. Pintu yang berat,
dengan tulisan WANITA dalam huruf-huruf emas yang mulai
pudar, namun masih terbaca, berdebam tertutup di belakang
mereka, dan Alther melayang di luar dengan telinganya
menempel di pintu, berusaha mendengarkan apa yang
sedang terjadi di dalam. Tapi meski sudah berusaha keras
memasang telinga, Alther tidak mendengar Komite
memutuskan untuk mengirim mata-mata terbaik mereka,
Linda Lane, yang menaruh minat pada tanaman obat dan
penyembuhan, untuk tinggal di Kamar 17, Koridor 223.
Tepat di sebelah kamar keluarga Heap.
Jadi Alther maupun keluarga Heap sama sekali tak
menyangka bahwa tetangga baru mereka adalah mata-mata.
Dan mata-mata yang sangat hebat pula.
Selagi Alther Mella terbang melewati udara bersalju
seraya memikirkan cara menyelamatkan sang Putri. Tanpa
sadar, dia melakukan dua putaran yang nyaris sempurna
sebelum menukik cepat melewati butir-butir salju, untuk
mencapai Piramida emas yang memahkotai Menara
Penyihir.
Alther mendarat dengan mulus di atas kedua
kakinya. Selama beberapa saat dia berdiri dengan
http://facebook.com/indonesiapustaka

keseimbangan yang sempurna di ujung jari-jari kakinya.


Kemudian dia mengangkat kedua lengannya di atas kepala
dan berputar-putar, semakin lama semakin cepat sampai
tubuhnya mulai turun perlahan melewati atap, masuk ke
ruangan di bawahnya. Ternyata dia salah memperhitungkan
pendaratannya, sehingga dia jatuh menembus kanopi ranjang

~24~
bertiang empat milik Marcia Overstrand.
Marcia terduduk ketakutan. Alther yang terjengkang
di atas bantal Marcia kelihatan malu.
"Maaf, Marcia. Sangat tidak sopan. Tapi setidaknya
kau belum memakai penggulung rambutmu."
"Rambutku ini keriting asli, terima kasih, Alther,"
sahut Marcia kesal. "Mestinya kau bisa tunggu sampai aku
bangun, kan!"
Alther kelihatan serius dan menjadi agak lebih
transparan daripada biasanya.
"Tapi, Marcia," katanya dengan nada berat, "masalah
ini tidak bisa menunggu."
http://facebook.com/indonesiapustaka

~25~
4. MARCIA OVERSTRAND
Marcia Overstrand berjalan keluar dari kamar
tidurnya yang megah di menara, yang terhubung dengan
ruang berpakaiannya; dia membuka pintu ungu berat
menuju puncak tangga, dan mematut-matut diri di depan
cermin yang bisa disesuaikan.
"Minus delapan-koma-tiga persen!" perintahnya
pada cermin, yang punya sifat penggugup dan selalu
ketakutan saat pintu kamar Marcia terbuka setiap pagi.
Setelah bertahun-tahun, cermin itu sudah bisa mengenali
langkah kaki Marcia saat menapaki lantai papan, dan hari ini
langkah kaki itu membuat si cermin gelisah. Sangat gelisah.
Cermin itu berdiri tegak, dan saking bersemangat ingin
menyenangkan majikannya, dia membuat bayangan Marcia
83 persen lebih kurus hingga kelihatan seperti serangga kayu
berwarna ungu yang sedang marah. "Idiot!" bentak Marcia.
Si cermin menghitung ulang. Dia benci mesti
berhitung pada pagi hari, dan dia yakin Marcia memang
sengaja memberikan persentase yang kejam. Kenapa sih
angkanya bukan angka bulat kecil yang menyenangkan, 5
persen misalnya? Atau lebih bagus lagi, 10 persen. Si cermin
menyukai angka 10 persen; itu angka yang mudah.
Marcia tersenyum melihat pantulan dirinya. Dia
kelihatan cantik.
Marcia memakai seragam musim dingin Penyihir
LuarBiasa. Dan seragam itu sangat cocok untuknya. Jubah
http://facebook.com/indonesiapustaka

ungu rangkap dua bertepi bulu angora biru indigo yang


paling lembut. Jubah itu menjuntai anggun dari bahunya
yang lebar dan mengumpul dengan patuh di sekeliling kaki-
kaki lancipnya. Kaki Marcia lancip karena dia menyukai
sepatu lancip, dan sepatunya dibuat khusus, sesuai
permintaannya. Sepatu itu terbuat dari kulit ular piton ungu

~26~
yang dipelihara di halaman belakang toko sepatu hanya
untuk membuat sepatu Marcia. Terry Tarsal, si pembuat
sepatu, benci pada ular, dan yakin bahwa Marcia sengaja
memesan sepatu kulit ular. Barangkali perkiraannya itu ada
benarnya. Sepatu kulit ular piton ungu milik Marcia tampak
berkilauan tertimpa sinar pantulan dari cermin, dan emas
serta platinum di sabuk Penyihir LuarBiasa miliknya
berkilau mengesankan. Di lehernya menggantung Jimat
Akhu, simbol dan sumber kekuatan Penyihir LuarBiasa.
Marcia merasa puas. Hari ini dia harus tampil
mengesankan. Mengesankan dan sedikit menakutkan.
Baiklah, agak sedikit menakutkan jika perlu. Tapi dia
berharap hal itu tidak diperlukan.
Marcia tidak yakin dirinya bisa tampil menakutkan.
Dicobanya beberapa ekspresi di depan cermin, yang diam-
diam gemetar ketakutan, tapi Marcia tidak yakin dengan
semuanya. Marcia tidak sadar bahwa kebanyakan orang
menganggap dirinya teramat sangat menakutkan.
Marcia menjentikkan jarinya. "Punggung!"
bentaknya.
Cermin memperlihatkan bagian punggung
kepadanya.
"Samping!"
Cermin memperlihatkan sisi kanan-kirinya.
Kemudian Marcia pergi. Menuruni dua anak tangga sekaligus,
menuju dapur untuk menakut-nakuti kompor, yang sudah
mendengar kedatangannya dan bersusah payah menyalakan
http://facebook.com/indonesiapustaka

dirinya sebelum Marcia sampai ke pintu.


Kompor tidak berhasil melakukannya, dan Marcia
terus saja marah-marah sepanjang makan pagi.
Marcia meninggalkan peralatan makan pagi mencuci
diri sendiri, dan dengan langkah-langkah sigap dia keluar
dari pintu ungu berat yang menuju kamarnya. Pintu itu

~27~
menutup dengan debum lembut dan penuh hormat di
belakangnya sewaktu Marcia melompat ke atas tangga spiral
perak.
"Turun," perintahnya pada tangga. Tangga itu mulai
berputar bak alat pencabut sumbat botol raksasa,
membawanya perlahan menuruni Menara tinggi itu,
melewati lantai-lantai yang seakan tak ada habisnya dan
beraneka ragam pintu yang semuanya menuju kamar-kamar
yang dihuni oleh bermacam-macam Penyihir yang
mengagumkan. Dari kamar-kamar itu kedengaran suara
orang berlatih merapal mantra, melantunkan jampi-jampi,
dan obrolan biasa Penyihir selama makan pagi. Aroma roti
panggang dan daging asap serta bubur bercampur aneh
dengan semerbak samar dupa yang melayang dari Aula di
bawah sana, dan ketika tangga spiral itu berhenti perlahan,
Marcia turun dengan perasaan sedikit mual dan tak sabar
untuk segera keluar menghirup udara segar. Dia berjalan
cepat melewati Aula, ke arah pintu-pintu perak yang amat
besar dan kokoh yang menjaga jalan masuk ke Menara
Penyihir. Marcia menyebutkan kata kuncinya, pintu-pintu
itu terayun membuka tanpa suara. Dalam sekejap Marcia
sudah melewati jalan di bawah atap lengkung perak, lalu
keluar menuju hawa dingin menggigit di pertengahan musim
dingin yang bersalju.
Ketika Marcia menuruni anak-anak tangga yang
curam, melangkah dengan hati-hati di atas salju dalam
balutan sepatu lancipnya yang tipis, dia mengejutkan prajurit
http://facebook.com/indonesiapustaka

jaga yang sedari tadi iseng melempari seekor kucing dengan


bola-bola salju. Sebongkah bola salju mendarat pelan di sutra
ungu jubahnya.
"Jangan lakukan itu!" hardik Marcia, sambil
mengibaskan salju dari jubahnya.
Si prajurit jaga terlompat kaget dan berdiri tegap. Dia

~28~
tampak ketakutan. Marcia menatap bocah yang kelihatan
seperti anak gelandangan itu. Bocah itu memakai seragam
prajurit jaga yang sangat formal, rancangannya agak konyol,
terbuat dari katun tipis, dengan tunik bergarisgaris merah-
putih dan kerut-kerut ungu di seputar lengannya. Dia juga
memakai topi kuning besar yang lemas, celana ketat putih
dan sepatu bot kuning terang, dan tangan kirinya yang
tampak membiru kedinginan sedang memegang gagang
tombak yang berat.
Marcia pernah mengajukan keberatannya ketika
prajurit-prajurit jaga pertama tiba di Menara Penyihir.
Dikatakannya pada Wali Utama bahwa para Penyihir tidak
perlu dijaga. Mereka bisa menjaga diri sendiri dengan baik,
terima kasih banyak. Namun Wali Utama memamerkan
senyuman angkuhnya, lalu dengan mulut manisnya
meyakinkan Marcia bahwa keberadaan prajurit jaga adalah
demi keamanan para Penyihir. Marcia curiga para prajurit
jaga itu ditempatkan di sana bukan hanya untuk memata-
matai sepak-terjang para Penyihir, tapi juga agar para
Penyihir kelihatan konyol.
Marcia memandangi si prajurit jaga yang barusan
melempar bola salju. Topinya kebesaran, sampai melorot
dan tertahan di telinganya yang mencuat di tempat yang
tepat, sehingga topi itu tidak terus melorot menutupi
wajahnya. Topi itu menimbulkan semburat kekuningan yang
tidak sehat pada wajah si bocah yang tirus dan mengernyit.
Kedua bola mata abu-abunya terbelalak ketakutan dari
http://facebook.com/indonesiapustaka

bawah topi itu, saat menyadari bola saljunya mengenai sang


Penyihir LuarBiasa.
Kelihatannya dia terlalu kecil untuk menjadi prajurit,
pikir Marcia.
"Berapa usiamu?" tanya Marcia dengan nada
menuduh.

~29~
Pipi bocah itu memerah. Selama ini orang seperti
Marcia tak pernah memandangnya, apalagi berbicara
padanya.
"Sesepuluh tahun, Madam."
"Lalu mengapa kau tidfek sekolah?" tanya Marcia.
Si prajurit jaga kelihatan bangga. "Aku tidak perlu
sekolah, Madam. Aku anggota Laskar Pemuda. Kami adalah
Kebanggaan Hari ini, Prajurit Masa Depan."
"Kau tidak kedinginan?" tanya Marcia tanpa diduga.
"Ti-tidak, Madam. Kami dilatih untuk tidak
merasakan dingin." Namun bibir bocah penjaga itu tampak
kebiruan, dan tubuhnya gemetaran saat bicara.
"Hmh," Marcia melangkah gemas di atas salju,
meninggalkan bocah itu menjalani empat jam sisa giliran
jaganya.
Marcia berjalan cepat-cepat melintasi pelataran
depan, menjauhi Menara Penyihir, dan menyelinap keluar
dari gerbang samping yang membawanya ke jalan setapak
sepi yang tertutup salju.
Sampai hari ini, Marcia sudah sepuluh tahun menjadi
Penyihir LuarBiasa, dan sewaktu memulai perjalanan,
pikirannya melayang ke masa lalu. Dia ingat masa-masa
ketika dia masih seorang Kandidat miskin, membaca apa saja
sebisanya tentang Magyk, berharap mendapatkan
kesempatan langka itu, Magang pada Penyihir LuarBiasa,
Alther Mella. Masa-masa bahagia itu dihabiskannya di dalam
sebuah kamar sempit di Rumah Besar, di antara begitu
http://facebook.com/indonesiapustaka

banyak Kandidat lainnya, yang sebagian besar sudah puas


Magang bersama Penyihir Biasa. Tapi Marcia tidak. Dia tahu
apa yang diinginkannya, dan dia menginginkan yang terbaik.
Tapi Marcia masih tidak bisa memercayai keberuntungannya
saat dia mendapat kesempatan menjadi Murid Alther Mella.
Meski menjadi Murid Alther tidak berarti dia bakal menjadi

~30~
Penyihir LuarBiasa, tapi itu satu langkah maju untuk
mewujudkan impiannya. Maka Marcia menghabiskan tujuh
tahun dan satu hari berikutnya tinggal di Menara Penyihir
sebagai Murid Alther.
Marcia tersenyum sendiri saat teringat betapa
menyenangkan Penyihir Alther Mella dulu. Bimbingan-
bimbingannya menyenangkan, dia sabar kalau ada mantra-
mantra yang salah dirapalkan, dan dia selalu punya lelucon
baru untuk diceritakan. Alther juga Penyihir yang luar biasa
hebat. Sebelum Marcia sendiri menjadi Penyihir LuarBiasa,
dia tidak menyadari betapa hebatnya Alther waktu itu. Tapi
yang terutama, Alther adalah orang yang sangat baik hati.
Senyum Marcia memudar saat teringat bagaimana dirinya
mengambil alih posisi Alther, dan dia memikirkan hari
terakhir kehidupan Alther, hari yang kini disebut para Wali
sebagai Hari Pertama.
Sambil tenggelam dalam pikirannya sendiri, Marcia
menaiki anak-anak tangga sempit yang mengarah ke langkan
terlindung yang membujur tepat di bawah dinding Kastil. Itu
jalan pintas ke arah seberang Sisi Timur, sebutan untuk
Rumah Besar sekarang, dan tempat tujuannya hari ini.
Langkan tadi disediakan untuk Patroli Bersenjata Wali, tapi
Marcia tahu bahwa, bahkan saat ini pun, takkan ada yang
menghentikan Penyihir LuarBiasa untuk pergi ke mana saja.
Maka, alih-alih menelusuri jalan-jalan sempit dan terkadang
ramai, seperti sering dilakukannya bertahun-tahun yang lalu,
Marcia bergerak cepat di sepanjang langkan sampai, kira-
http://facebook.com/indonesiapustaka

kira setengah jam kemudian, dia melihat pintu yang


dikenalnya.
Marcia menghela napas dalam-dalam. Inilah saatnya,
katanya dalam hati.
Marcia mengikuti serangkaian anak tangga menuruni
langkan, dan akhirnya tiba di depan pintu tadi. Baru saja dia

~31~
akan mendorong pintu itu dengan tubuhnya, pintu itu sudah
ketakutan dan langsung terbuka. Marcia terjungkal ke dalam
dan menabrak dinding yang agak licin di depannya. Pintu itu
membanting menutup dan Marcia terengah-engah. Jalan
sempit itu gelap; terasa lembap dan berbau kol rebus,
kencing kucing, dan kayu busuk yang sudah kering. Seingat
Marcia, dulu keadaannya tidak seperti ini. Dulu ketika dia
tinggal di Rumah Besar, jalan-jalan sempitnya hangat dan
bersih, diterangi obor alang-alang yang menyala setiap
beberapa waktu di sepanjang dinding, dan disapu bersih
setiap hari oleh para penghuninya yang bangga.
Marcia berharap bisa mengingat jalan ke arah kamar
Silas dan Sarah. Pada masa-masa Magangnya, dia sering
melewati pintu kamar mereka, seraya berharap Silas Heap
tidak melihat dan memintanya mampir. Yang paling
diingatnya adalah suara begitu banyak anak laki-laki
berteriak, melompat, berkelahi, dan melakukan apa saja yang
biasa dilakukan anak laki-laki, walau Marcia tidak terlalu
yakin apa yang dilakukan anak laki-laki-karena dia lebih
suka menghindari anak-anak sebisa mungkin.
Marcia merasa agak gugup ketika menyusuri jalan-
jalan sempit yang gelap dan suram. Dia mulai bertanya-
tanya, apa yang akan dilakukannya pada kunjungan
pertamanya ke tempat Silas setelah lebih dari sepuluh tahun
ini. Dia khawatir dengan apa yang harus disampaikan,
bahkan cemas apakah Silas bakal percaya kepadanya. Silas
adalah Penyihir yang keras kepala, dan Marcia tahu Silas
http://facebook.com/indonesiapustaka

amat tidak suka padanya. Maka, dengan semua pikiran itu


berkecamuk dalam benaknya, Marcia berjalan dengan
mantap menyusuri gang dan tidak memerhatikan hal-hal
lainnya.
Andai Marcia memerhatikan sedikit saja, dia bakal
takjub dengan reaksi orang-orang yang melihat dirinya. Saat

~32~
itu jam delapan pagi, yang disebut Silas sebagai jam sibuk.
Ratusan orang berwajah pucat berjalan menuju tempat kerja,
mata mereka yang masih mengantuk berkedip-kedip dalam
gang yang remang-remang, pakaian mereka yang tipis dan
murah dirapatkan untuk menahan sengatan udara dingin
yang memancar dari dinding-dinding batu yang lembap. Jam
sibuk di gang-gang Sisi Timur sebaiknya dihindari. Arus
manusia itu bisa menyeretmu hingga melewati belokan yang
harus kau ambil, sampai kau berhasil menggeliat
membebaskan diri dari mereka dan bergabung kembali
dalam aliran tersebut ke arah berlawanan. Suasana jam sibuk
selalu penuh dengan teriakan putus asa:
"Aku mau keluar di sini, tolongl"
"Berhentilah mendorongku!"
"Belokanku, belokankul"
Tapi Marcia telah membuat jam sibuk itu
menghilang. Jadi Magyk tidak diperlukan-begitu melihat
Marcia, semua orang berrhenti seketika di tempat.
Kebanyakan orang di Sisi Timur belum pernah melihat
Penyihir LuarBiasa. Kalaupun ada yang pernah melihatnya,
pasti itu dalam acara kunjungan ke Pusat Pengunjung
Menara Penyihir, tempat mereka bisa berkeliaran di
pelataran depan, sambil berharap dapat melihat sang
Penyihir sekilas, kalau beruntung. Karena itu, sungguh sulit
dipercaya bahwa kini sang Penyihir LuarBiasa berjalan di
antara mereka, di gang-gang Sisi Timur yang lembap ini.
Orang-orang terkesiap dan menyingkir. Mereka
http://facebook.com/indonesiapustaka

menarik diri ke balik bayang-bayang di ambang pintu, lalu


menyelinap pergi ke gang-gang samping. Mereka
menggumamkan mantra sendiri untuk diri masing-masing.
Beberapa ada yang mematung dan berdiri tidak bergerak
seperti kelinci yang kena sorot cahaya terang.
Mereka menatap Marcia seolah dia makhluk dari

~33~
planet lain, yang mungkin memang benar adanya, meski
banyak kemiripan antara hidupnya dan hidup mereka.
Tapi Marcia tidak terlalu menyadarinya. Sepuluh
tahun sebagai Penyihir LuarBiasa telah membuatnya
terasing dari kehidupan nyata. Betapapun terkejutnya dia
waktu hal semacam ini pertama kali terjadi, sekarang dia
sudah terbiasa melihat orang-orang menepi memberi jalan
padanya, juga pada sikap membungkuk dan menggumam
penuh hormat dari orang-orang di sekitarnya.
Marcia melaju di jalan utama, lalu menuju jalan
sempit yang mengarah ke rumah keluarga Heap. Dalam
perjalanan, Marcia memerhatikan bahwa sekarang semua
jalan memiliki nomor, sebagai ganti nama-nama keren yang
dulu digunakan, misalnya Sudut Berangin dan Jalur Jungkir
Balik.
Alamat keluarga Heap dulunya adalah: Pintu Merah
Besar, Baris Pulang-Pergi, Rumah Besar.
Kini alamat itu sudah berubah menjadi: Kamar 16,
Koridor 223, Sisi Timur. Marcia tahu mana yang lebih
disukainya.
Marcia sampai di depan pintu rumah keluarga Heap,
yang dicat hitam-menurut-peraturan oleh Polisi Cat
beberapa hari yang lalu. Terdengar olehnya kegaduhan acara
makan pagi keluarga Heap di balik pintu. Marcia menghela
napas dalam-dalam.
Dia tak bisa menunda-nunda lagi.
http://facebook.com/indonesiapustaka

~34~
5. DI RUMAH KELUARGA HEAP
"Buka," perintah Marcia pada pintu hitam keluarga
Heap. Tapi berhubung itu pintu Silas Heap, dia tidak
mematuhi perintah Marcia; malahan Marcia merasa melihat
pintu itu mengetatkan engsel-engselnya dan mengencangkan
gerendelnya. Maka dia, Madam Marcia Overstrand, Penyihir
LuarBiasa, terpaksa menggedor pintu tersebut sekeras
mungkin. Tak ada yang membukakan. Dia menggedor lagi,
lebih keras dan dengan dua kepalan tangan, tapi masih juga
tidak ada yang membukakan. Namun saat dia menimbang-
nimbang untuk menendang pintu itu (biar tahu rasa), tahu-
tahu pintu dibuka, dan Marcia berhadapan dengan Silas
Heap.
"Ya?" kata Silas dengan kasar, seolah-olah Marcia
hanyalah seorang penjual yang menyebalkan..
Sesaat Marcia tak mampu berkata-kata. Dia
memandang ke belakang Silas dan melihat ruangan yang
kelihatan seperti kapal pecah, dan sekarang, karena alasan
tertentu, penuh dengan anak laki-laki. Anak-anak itu
mengerumuni seorang gadis kecil berambut gelap yang
duduk di depan meja beralaskan kain putih bersih. Gadis
kecil itu memegang bingkisan kecil yang terbungkus kertas
berwarna-warni cerah dan diikat pita merah. Dia tertawa
dan mendorong beberapa anak lelaki yang pura-pura hendak
merebut bingkisan itu. Kemudian satu demi satu si gadis kecil
dan anak-anak lelaki itu mendongak memandang mereka.
http://facebook.com/indonesiapustaka

Keheningan yang aneh meliputi seisi rumah keluarga Heap.


"Selamat pagi, Silas Heap," sapa Marcia agak terlalu
sopan. "Dan selamat pagi juga, Sarah Heap. Dan, hmm, semua
anak keluarga Heap tentunya."
Anak-anak keluarga Heap, yang sebagian besar
bukan lagi anak-anak, tak menjawab. Namun enam pasang

~35~
bola mata hijau terang dan sepasang bola mata ungu tua
menatap lekat-lekat Marcia Overstrand. Marcia mulai
merasa canggung. Apakah hidungnya cemong? Apakah ada
helai-helai rambutnya yang berdiri hingga dia kelihatan
konyol? Atau mungkin ada sisa bayam terselip di giginya?
Marcia mengingatkan dirinya sendiri bahwa tadi pagi
dia tidak makan bayam. Ayo teruskan, Marcia, katanya
dalam hati. Kaulah yang berkuasa di sini. Maka dia berpaling
ke arah Silas, yang menatapnya seolah berharap dia segera
angkat kaki dari sana.
"Aku bilang selamat pagi, Silas Heap," ujar Marcia
kesal.
"Ya, tadi kau bilang begitu, Marcia, memang tadi kau
bilang begitu," sahut Silas. "Dan apa yang membawamu
datang kemari setelah bertahun-tahun ini?"
Marcia langsung ke pokok pembicaraan.
"Aku datang menjemput sang Putri," sahutnya.
"Siapa?" tanya Silas.
"Kau tahu benar siapa," hardik Marcia, yang tidak
suka ditanya-tanya oleh siapa pun, apalagi oleh Silas Heap.
"Kami tidak punya putri di sini, Marcia," sahut Silas.
"Kurasa seharusnya itu sudah cukup jelas."
Marcia melayangkan pandang ke sekelilingnya.
Memang benar, orang tidak bakal berharap menemukan
seorang Putri di tempat seperti ini. Malahan Marcia belum
pernah melihat tempat yang begitu berantakan seumur
hidupnya.
http://facebook.com/indonesiapustaka

Di tengah-tengah kekacauan itu, di samping perapian


yang baru dinyalakan, berdiri Sarah Heap. Sarah sedang
memasak bubur untuk sarapan ulang tahun ketika Marcia
memaksa masuk ke dalam rumahnya, dan ke dalam
hidupnya. Kini dia berdiri terpaku, memegang panci bubur
seraya memandangi Marcia. Tatapan Sarah menyiratkan

~36~
pada Marcia bahwa wanita itu tahu apa yang akan terjadi.
Ini, pikir Marcia, tidak akan mudah. Diputuskannya untuk
menghentikan sikap kerasnya dan memulainya dari awal
lagi.
"Boleh aku duduk, Silas... Sarah?" tanyanya.
Sarah mengangguk. Silas bersungut-sungut. Mereka
sama-sama tak mau membuka mulut.
Silas melirik ke arah Sarah. Istrinya duduk dengan
wajah pucat dan tubuh gemetar, serta menarik si gadis kecil
yang berulang tahun itu ke pangkuannya, memeluknya erat-
erat. Silas sangat berharap Marcia pergi, tapi dia tahu mereka
harus mendengar apa yang akan disampaikannya. Silas
menarik napas dengan berat, lalu berkata, "Nicko, ambilkan
kursi untuk Marcia."
"Terima kasih, Nicko," ujar Marcia sambil duduk
dengan hati-hati sekali di atas salah satu kursi buatan Silas.
Nicko si rambut kusut menyeringai kepada Marcia, lalu
mundur bergabung dengan saudara-saudaranya, yang
mengelilingi Sarah untuk melindunginya.
Marcia memandangi keluarga Heap dan kagum
melihat mereka sangat mirip satu sama lain. Semuanya,
termasuk Sarah dan Silas, mempunyai rambut ikal berwarna
kuning jerami, dan tentu saja mereka semua memiliki mata
hijau tajam Penyihir. Dan di tengah-tengah anggota keluarga
Heap duduklah sang Putri, dengan rambut hitamnya yang
lurus serta bola mata ungu gelapnya. Marcia mengeluh dalam
hati. Semua bayi kelihatan sama saja bagi Marcia, dan tidak
http://facebook.com/indonesiapustaka

pernah terpikir olehnya bahwa sang Putri akan sangat


berbeda dari semua keluarga Heap setelah dia semakin besar.
Pantas saja si mata-mata berhasil menemukannya.
Silas Heap sendiri duduk di atas peti kayu terbalik.
"Baiklah, Marcia, ada apa?" tanyanya.
Mulut Marcia terasa sangat kering. "Boleh minta

~37~
segelas air?" tanyanya.
Jenna melompat turun dari pangkuan Sarah, dan
menghampiri Marcia, menyodorkan cangkir kayu yang
sudah jelek, dengan bekas-bekas gigi di seputar bagian
atasnya.
"Ini, minum saja punyaku. Tidak apa-apa kok."
Dipandanginya Marcia dengan kagum. Jenna belum pernah
melihat orang seperti Marcia, orang yang begitu ungu,
mengilap, bersih, dan berpenampilan mahal, apalagi yang
memakai sepatu selancip itu.
Marcia menatap cangkir itu dengan ragu, tapi
kemudian, mengingat siapa yang memberikanya, dia berkata,
"Terima kasih, Putri. Eh, bolehkah aku memanggilmu
Jenna?"
Jenna tak menjawab. Dia terlalu asyik memerhatikan
sepatu ungu Marcia.
"Jawab pertanyaan Madam Marcia, Sayang," kata
Sarah Heap.
"Oh, ya, boleh, Madam Marcia," sahut Jenna,
kebingungan namun sopan.
"Terima kasih, Jenna. Senang sekali akhirnya bisa
bertemu denganmu setelah sekian lama. Dan tolong, panggil
saja aku Marcia," kata Marcia, yang tidak tahan berpikir
betapa miripnya Jenna dengan ibunya.
Jenna kembali ke samping Sarah, dan Marcia
memaksa dirinya meneguk air dari cangkir yang sudah
digigiti itu.
http://facebook.com/indonesiapustaka

"Ayo, katakan saja, Marcia," kata Silas dari peti


terbalik tempat duduknya. "Ada apa? Seperti biasa,
tampaknya kami selalu menjadi orang yang terakhir tahu di
sini."
"Silas, apa kau dan Sarah tahu siapa, eh... Jenna...
sebenarnya?" tanya Marcia.

~38~
"Ya, kami tahu. Jenna adalah anak perempuan kami,
itulah dia sebenarnya," sahut Silas keras kepala.
"Tapi kalian sudah menebaknya, kan?" tanya Marcia,
mengarahkan pandangannya pada Sarah.
"Ya," sahut Sarah pelan.
"Jadi, kalian bisa memahami kalau kukatakan dia
tidak aman lagi di sini. Aku harus membawanya. Sekarang,"
desak Marcia.
"Tidak!" pekik Jenna. "Tidak!" Gadis kecil itu
menghambur kembali ke pangkuan Sarah. Sarah
memeluknya erat-erat.
Silas marah. "Marcia, jangan mentang-mentang kau
Penyihir LuarBiasa, lalu kau bisa seenaknya datang kemari
dan mengacaukan kehidupan kami. Kau tidak boleh
membawa pergi Jenna. Dia anak kami. Anak perempuan kami
satu-satunya. Dia aman di sini, dan dia akan tetap bersama
kami."
"Silas," desah Marcia, "dia tidak aman tinggal
bersama kalian. Sudah tidak aman lagi. Dia sudah ditemukan.
Tetangga sebelah kalian adalah mata-mata. Linda Lane."
"Linda!" Sarah tercekat. "Dia mata-mata? Aku tidak
percaya."
"Maksudmu buntelan kentut tua jelek yang selalu
berkeliaran di sini, mengoceh tentang pil dan ramuan serta
menggambar anak-anak tanpa henti?" tanya Silas.
"Silas!" protes Sarah. "Jangan kasar begitu."
"Aku akan lebih dari kasar kalau dia memang benar
http://facebook.com/indonesiapustaka

mata-mata," seru Silas.


"Tidak ada kata 'kalau' tentang hal itu, Silas," ujar
Marcia. "Linda Lane memang mata-mata. Dan aku yakin
gambar-gambar yang dibuatnya terbukti sangat berguna bagi
Wali Utama."
Silas mengerang. Marcia menggunakan kesempatan

~39~
ini untuk membujuknya.
"Dengar, Silas, aku hanya ingin yang terbaik untuk
Jenna. Kau harus percaya padaku."
Silas mendengus. "Mengapa kami harus percaya
padamu, Marcia?"
"Karena aku telah memercayakan sang Putri
kepadamu, Silas," sahut Marcia. "Sekarang kau harus percaya
padaku. Apa yang terjadi sepuluh tahun lalu tidak boleh
terjadi lagi."
"Kau lupa, Marcia," tukas Silas dengan pedas, "bahwa
kami tidak tahu apa yang terjadi sepuluh tahun lalu. Tak
seorang pun mau menceritakannya pada kami."
Marcia menghela napas. "Bagaimana aku bisa
menceritakannya kepadamu, Silas? Lebih baik kau tidak
tahu. Itulah yang terbaik demi sang Putri, maksudku, Jenna."
Begitu kata Putri disebut lagi, Jenna mendongak
menatap Sarah.
"Madam Marcia tadi memanggilku begitu," bisiknya.
"Apa itu benar-benar aku?"
"Ya, Sayang," Sarah balas berbisik, lalu ditatapnya
Marcia lekat-lekat dan berkata, "Kurasa kita semua harus
tahu apa yang terjadi sepuluh tahun lalu, Madam Marcia."
Marcia melihat penunjuk waktunya. Ceritanya harus
singkat. Dia menarik napas dalam-dalam, lalu mulai
bercerita.
"Sepuluh tahun lalu," tuturnya, "aku baru saja lulus
ujian akhirku, dan aku pergi menemui Alther untuk
http://facebook.com/indonesiapustaka

berterima kasih padanya. Nah, tak lama setelah aku datang,


seorang pembawa pesan menghambur masuk untuk
memberitahunya bahwa sang Ratu telah melahirkan bayi
perempuan. Kami sangat gembira-itu berarti pewaris Kastil
akhirnya lahir juga.
"Si pembawa pesan memanggil Alther ke Istana

~40~
untuk melangsungkan Upacara Penyambutan bagi sang Putri
yang masih bayi. Aku ikut bersamanya untuk membantu
membawakan semua buku tebal, ramuan, dan jimat yang
diperlukannya. Dan untuk mengingatkannya pada urut-
urutan pelaksanaannya, karena Alther tua yang manis mulai
agak pelupa, kadang-kadang.
"Sesampainya di Istana, kami dibawa ke Ruang
Singgasana untuk menemui Ratu, yang tampak begitu
bahagia-amat sangat bahagia. Beliau duduk di singgasana,
menggendong bayinya yang baru lahir, dan menyapa kami
dengan kata-kata, 'Dia cantik sekali, kan"' Dan itulah kata-
kata terakhir yang dilontarkan Ratu kita."
"Tidak," gumam Sarah.
"Pada saat itu, seorang pria berseragam hitam dan
merah yang aneh menghambur masuk. Tentu saja sekarang
aku tahu bahwa seragamnya itu adalah seragam Pembunuh
Bayaran, tapi waktu itu aku belum tahu. Kukira dia semacam
pembawa pesan, tapi bisa kulihat dari ekspresi wajah Ratu
bahwa Ratu tidak sedang menunggunya. Kemudian kulihat
pria itu membawa sepucuk pistol perak panjang, dan aku
sangat ketakutan. Aku melirik Alther, tapi dia sedang sibuk
dengan buku-bukunya dan tidak memerhatikan. Lalu...
kejadiannya terasa begitu tidak nyata... aku hanya bisa
memandangi ketika pria itu, dengan sangat perlahan dan
tidak terburu-buru, mengangkat pistol, membidik, dan
menembakkannya tepat ke arah Ratu. Suasana sunyi senyap
mencekam ketika peluru perak itu melesat menembus
http://facebook.com/indonesiapustaka

jantung Ratu dan tertanam di dinding di belakangnya. Putri


menjerit dan terjatuh dari pelukan ibunya yang sudah tewas.
Aku melompat maju dan menangkapnya."
Wajah Jenna pucat, berusaha memahami apa yang
didengarnya. "Apakah itu aku?" tanyanya pelan pada Sarah.
"Apakah aku si Putri bayi itu?"

~41~
Sarah mengangguk pelan.
Suara Marcia sedikit gemetar saat melanjutkan
ceritanya. "Mengerikan sekali! Alther mulai merapalkan
Mantra PerisaiPenyelamat ketika tembakan berikutnya
dilepaskan, dan sebutir peluru merobohkannya. Aku
menyelesaikan mantra Alther untuknya, dan selama
beberapa saat kami bertiga aman. Si Pembunuh Bayaran
melepaskan tembakan berikutnya-kali ini ditujukan pada
sang Putri dan aku-tapi pelurunya berdesing memantul pada
perisai tak kasat mata dan berbalik ke arahnya, mengenai
kakinya, Si Pembunuh jatuh ke lantai, tapi masih tetap
memegang pistolnya. Dia tergeletak saja di sana dan menatap
kami, sambil menunggu kekuatan mantra itu habis, layaknya
semua kekuatan mantra pasti akan habis juga.
"Alther sekarat. Melepaskan Jimat-nya untuk
diberikan padaku. Aku menolak. Aku yakin jimat itu bisa
menyelamatkannya, tapi Alther lebih tahu. Dengan sangat
tenang dia berkata padaku bahwa ajalnya sudah tiba. Dia
tersenyum, lalu... lalu meninggal."
Ruangan itu sunyi senyap. Tak ada yang bergerak.
Bahkan Silas sengaja menunduk menatap lantai. Marcia
melanjutkan dengan suara pelan.
"Aku... aku tidak percaya rasanya. Aku
mengalungkan Jimat itu di leherku, lalu menggendong sang
Putri. Saat itu dia menangis, dan... yah... aku juga menangis.
Lalu aku lari. Aku lari begitu cepat hingga si Pembunuh
Bayaran tidak sempat menembakkan pistolnya.
http://facebook.com/indonesiapustaka

"Aku kabur ke Menara Penyihir. Aku tidak tahu mesti


ke mana lagi. Kusampaikan kabar buruk itu kepada para
Penyihir dan kuminta perlindungan mereka; mereka
memberikannya saat itu juga. Sepanjang sore kami
merundingkan apa yang akan kami lakukan pada sang Putri.
Kami tahu dia tak bisa berlama-lama di Menara. Kami tidak

~42~
bisa melindungi sang Putri selamanya; lagi pula, dia masih
bayi dan membutuhkan seorang ibu. Saat itulah aku teringat
padamu, Sarah."
Sarah tampak terkejut.
"Alther sering menceritakan tentang kau dan Silas.
Aku tahu kau baru saja melahirkan bayi laki-laki. Hal itu
menjadi bahan pembicaraan di Menara, putra ketujuh dari
putra ketujuh. Waktu itu aku tidak tahu dia meninggal. Aku
sangat berduka mendengarnya. Tapi aku tahu kau pasti akan
menyayangi sang Putri dan bisa membuatnya bahagia. Maka
kami memutuskan kaulah yang harus merawatnya.
"Tapi aku tidak bisa pergi begitu saja ke Rumah Besar
dan memberikannya kepadamu. Pasti bakal ada orang yang
melihatku. Jadi, di penghujung senja, aku menyelundupkan
sang Putri keluar dari Kastil dan meninggalkannya di tengah
salju, seraya memastikan kau, Silas, yang menemukannya.
Dan itulah yang terjadi. Tidak ada lagi yang bisa kulakukan.
"Kecuali, setelah Gringe memaksaku memberikan
setengah crown padanya, aku bersembunyi di kegelapan dan
mengamatimu saat kau kembali. Ketika kulihat caramu
memegangi jubah dan caramu berjalan, seolah sedang
melindungi sesuatu yang berharga, tahulah aku tahu bahwa
sang Putri sudah berada di tanganmu dan, ingatkah kau
waktu kukatakan, 'Jangan katakan pada siapa pun kalau kau
menemukannya. Dia ditakdirkan menjadi anakmu.
Mengerti"'"
Keheningan yang berat meliputi ruangan itu. Silas
http://facebook.com/indonesiapustaka

menunduk menatap lantai, Sarah duduk diam bersama Jenna,


dan semua anak laki-laki kelihatan seperti habis tersambar
petir. Marcia berdiri dengan tenang, dan dari dalam saku
diambilnya sebuah kantong kecil dari beludru merah.
Kemudian dia melintasi ruangan dengan berhati-hati, agar
tidak menginjak apa-apa, terutama anjing serigala besar yang

~43~
tidak terlalu bersih, yang baru tampak olehnya tertidur di
tengah tumpukan selimut.
Keluarga Heap menyaksikan dengan terpesona saat
Marcia melangkah khidmat ke arah Jenna. Semua anak laki-
laki Heap memberi jalan dengan hormat ketika Marcia
berhenti di depan Sarah dan Jenna, lalu berlutut.
Jenna menatap dengan mata membelalak lebar saat
Marcia membuka kantong beludru tadi dan mengambil
mahkota emas kecil dari dalamnya.
"Putri," kata Marcia, "ini dulu milik ibumu, dan kini
sah menjadi milikmu." Marcia memakaikan mahkota kecil itu
di kepala Jenna. Ukurannya pas sekali.
Silas memecah kesunyian. "Baiklah, kau telah
mengungkap seluruh kisahnya, Marcia," katanya gusar. "Si
kucing sudah benar-benar keluar dari dalam karung."
Marcia berdiri dan membersihkan jubahnya dari
debu. Waktu melakukannya, dia terkejut karena hantu
Alther Mella melayang menembus dinding dan berdiri di
samping Sarah Heap.
"Ah, ini dia Alther," kata Silas. "Aku yakin dia tidak
akan senang dengan masalah ini."
"Halo, Silas, Sarah. Halo, para Penyihir Muda-ku."
Semua anak laki-laki Heap menyeringai. Orang memanggil
mereka dengan banyak sebutan, tapi hanya Alther yang
memanggil mereka Penyihir.
"Dan halo juga, Putri Kecil-ku," sapa Alther, yang
selalu memanggil Jenna dengan sebutan itu. Dan kini Jenna
http://facebook.com/indonesiapustaka

tahu apa sebabnya.


"Halo, Paman Alther," sahut Jenna, yang merasa jauh
lebih senang ketika si hantu tua melayang ke sebelahnya.
"Aku tidak tahu Alther suka mengunjungi kalian
juga," kata Marcia, merasa agak tersisih, meski sedikit lega
bertemu dengan Alther.

~44~
"Lho, aku kan lebih dulu menjadi Murid-nya," hardik
Silas. "Sebelum kau menyikut masuk."
"Aku tidak menyikut masuk. Kau yang
melepaskannya. Kau memohon pada Alther untuk
membatalkan Masa Ma gang-mu. Kau bilang lebih suka
membacakan dongeng sebelum tidur untuk anak-anakmu
ketimbang terjebak di menara kecil dengan hidungmu di atas
buku mantra tua. Kadang kau memang paling bodoh di
antara yang bodoh, Silas," Marcia memandang dengan
tatapan marah.
"Anak-anak, anak-anak, sudah, jangan berdebat
sekarang," Alther tersenyum. "Aku sayang pada kalian
berdua. Semua Murid-ku istimewa."
Hantu Alther Mella agak berkilau diterpa panasnya
perapian. Alther memakai jubah Penyihir LuarBiasa
hantunya. Masih ada bercak darah di jubah itu, yang selalu
membuat Marcia marah saat melihatnya. Rambut panjang
beruban Alther diikat rapi menjadi ekor kuda, dan
janggutnya dicukur rapi hingga lancip. Ketika masih hidup,
rambut dan janggut Alther selalu berantakan-dia tak pernah
bisa mengimbangi kecepatan pertumbuhannya. Tapi kini,
setelah menjadi hantu, mudah saja mengatur rambut dan
jenggotnya. Dia sudah berhasil merapikannya sepuluh tahun
yang lalu, dan sampai saat ini keadaannya tetap begitu.
Binar-binar di sepasang mata hijau Alther mungkin tidak
seceria ketika dia masih hidup, namun kedua matanya masih
tetap antusias saat memandang sekitarnya. Dan ketika
http://facebook.com/indonesiapustaka

menatap keluarga Heap, dia merasa sedih. Banyak yang akan


berubah.
"Katakan padanya, Alther," pinta Silas. "Katakan
padanya dia tidak boleh membawa Jenna. Putri atau bukan,
dia tidak boleh membawanya."
"Andai aku bisa, Silas, tapi aku tak bisa," sahut Alther

~45~
dengan mimik serius. "Kalian telah ditemukan. Seorang
Pembunuh Bayaran sudah datang. Dia akan berada di sini
tengah malam nanti, dengan sebutir peluru perak. Kau tahu
apa artinya itu..."
Sarah Heap memegang kepala. "Oh, jangan," bisiknya.
"Ya," sahut Alther. Tubuh hantunya gemetar dan
tangannya menunjuk lubang kecil bekas tembakan peluru,
tepat di bawah jantungnya.
"Kami mesti bagaimana?" tanya Sarah, begitu pelan
dan tenang.
"Marcia akan membawa Jenna ke Menara Penyihir,"
tutur Alther. "Jenna akan aman di sana untuk sementara. Lalu
kita akan pikirkan apa yang mesti dilakukan selanjutnya."
Dia memandang Sarah. "Kau dan Silas harus pergi jauh
membawa semua anak laki-laki kalian. Ke tempat aman agar
tidak ada yang bisa menemukan."
Sarah memucat, tapi suaranya tetap mantap. "Kami
akan pergi ke Hutan," ujarnya. "Kami akan tinggal bersama
Galen."
Marcia melihat penunjuk waktunya lagi. Hari sudah
mulai larut.
"Aku harus membawa Putri sekarang juga," katanya.
"Aku harus kembali sebelum mereka mengganti
prajurit jaga."
"Aku tidak mau pergi," bisik Jenna. "Aku tidak harus
pergi, kan, Paman Alther? Aku ingin ikut pergi dan tinggal
bersama Galen juga. Aku mau ikut bersama yang lainnya. Aku
http://facebook.com/indonesiapustaka

tidak mau sendirian." Bibir bawah Jenna bergetar, dan air


matanya menggenang. Dia berpegang erat pada Sarah.
"Kau tidak sendirian. Kau akan bersama Marcia," kata
Alther dengan lembut. Tapi Jenna kelihatannya tidak
terhibur.
"Putri Kecilku," kata Alther, "Marcia benar. Kau

~46~
harus pergi bersamanya. Hanya dia yang bisa memberimu
perlindungan."
Jenna masih saja tidak kelihatan yakin.
"Jenna," kata Alther serius, "kaulah Pewaris Kastil,
dan kau harus tetap aman, agar kelak kau bisa menjadi Ratu.
Kau harus ikut Marcia. Kumohon."
Tangan Jenna meraba mahkota emas yang
dipakaikan Marcia di atas kepalanya. Di dalam lubuk hatinya
dia mulai merasa agak berbeda.
"Baiklah," bisiknya. "Aku akan ikut."
http://facebook.com/indonesiapustaka

~47~
6. MENUJU MENARA
Jenna tidak percaya dengan apa yang dialaminya. Dia
hampir tak sempat memberikan ciuman selamat tinggal pada
semuanya ketika Marcia menyelubungi dirinya dengan jubah
ungunya, dan menyuruhnya untuk tidak jauh-jauh darinya
dan senantiasa mengikuti langkahnya.
Kemudian pintu hitam besar keluarga Heap berderit
membuka dengan enggan, dan Jenna pun dibawa pergi dari
satu-satunya rumah yang dikenalnya selama ini.
Barangkali bagus juga Jenna ditutupi jubah Marcia,
sebab dia jadi tak bisa melihat wajah-wajah bingung keenam
anak lelaki Heap, atau ekspresi sedih di wajah Sarah dan Silas
Heap. Jubah ungu dengan empat kaki di bawahnya itu
berbelok cepat di sudut, di ujung Koridor 223, dan lenyap
dari pandangan.
Marcia dan Jenna mengambil jalan memutar untuk
kembali ke Menara Penyihir. Marcia tidak mau mengambil
risiko terlihat di luar bersama Jenna, dan koridor Sisi Timur
yang berkelok-kelok sepertinya lebih aman ketimbang jalan
pintas yang dilewatinya tadi pagi. Marcia melangkah cepat,
dan Jenna harus berlari di sampingnya agar bisa mengikuti
langkah kaki Marcia. Untunglah dia hanya membawa ransel
kecil berisi beberapa barang berharga untuk
mengingatkannya pada rumah; meski karena terburu-buru,
dia lupa membawa kado ulang tahunnya.
Sekarang sudah menjelang siang dan jam sibuk sudah
http://facebook.com/indonesiapustaka

selesai. Marcia lega karena hampir tak ada orang di koridor


sewaktu dia dan Jenna menelusurinya tanpa suara.
Tersembunyi di balik jubah tebal Marcia, Jenna tidak
bisa melihat banyak, maka dia memfokuskan pandangannya
pada dua pasang kaki di bawahnya: kaki-kaki kecilnya, kaki
pendek gemuk terbungkus sepatu bot cokelat dekil, serta

~48~
kaki Marcia yang panjang dan lancip, terbungkus sepatu kulit
ular piton ungu yang melangkah di bebatuan lembap dan
kelabu di bawahnya. Jenna langsung berhenti memandangi
sepatu botnya sendiri dan terpesona pada sepatu ular piton
ungu lancip yang menari di depannya-kiri, kanan, kiri, kanan,
kiri, kanan-sewaktu mereka menyusuri gang-gang yang
serasa tak ada habisnya.
Demikianlah, mereka berjalan tanpa ada yang
memerhatikan di dalam Kastil. Melewati pintu-pintu tebal
yang bergumam dan menyembunyikan bengkel-bengkel
kerja tempat orang-orang dari Sisi Timur menghabiskan jam-
jam bekerja dengan membuat sepatu bot, bir, pakaian, kapal,
ranjang, pelana, lilin, layar, roti, dan yang terbaru, senjata,
seragam, dan rantai. Melewati ruang-ruang kelas yang dingin,
tempat anak-anak yang kebosanan melantunkan tabel
perkalian tiga belas. Melewati gudang-gudang kosong dan
bergema tempat Pasukan Wali baru-baru ini mengambil
sebagian besar persediaan musim dingin untuk mereka
gunakan sendiri.
Akhirnya Marcia dan Jenna muncul di jalan sempit
menikung yang menuju pelataran Menara Penyihir. Jenna
menarik napas, dan mencuri pandang ke luar jubah itu.
Dia terkesiap.
Menara Penyihir menjulang tinggi di depannya,
begitu tinggi hingga Piramida emas di puncaknya nyaris
hilang ditelan gumpalan awan yang melayang rendah.
Menara itu bersinar keperakan dalam sinar matahari musim
http://facebook.com/indonesiapustaka

dingin, begitu terang hingga membuat mata Jenna sakit, dan


kaca ungu pada ratusan jendela kecilnya berkilau dan
gemerlapan dengan kegelapan misterius yang memantulkan
cahaya dan menyimpan rapat-rapat rahasia di baliknya.
Kabut tipis biru berkemendang di sekitar Menara,
mengaburkan garis-garis batasnya, sehingga Jenna kesulitan

~49~
memastikan di mana ujung Menara dan di mana langit
bermula. Udaranya pun terasa berbeda, aromanya aneh dan
manis, aroma mantra-mantra sihir dan dupa lama. Dan selagi
berdiri di sana, tak mampu melangkah lagi, Jenna tahu
dirinya dikelilingi suara-suara, terlalu pelan untuk didengar,
mantra dan jampi-jampi kuno.
Untuk pertama kalinya sejak meninggalkan rumah,
Jenna merasa takut.
Marcia merangkul bahu Jenna untuk melindunginya,
karena bahkan Marcia pun masih ingat bagaimana rasanya
ketika pertama kali melihat Menara itu. Menakutkan.
"Ayo, sudah hampir sampai," gumam Marcia
memberi semangat, dan mereka berdua menyelinap dan
meluncur melintasi pelataran yang tertutup salju, menuju
tangga pualam besar yang mengarah ke pintu masuk yang
berkilau keperakan. Marcia berusaha menjaga
keseimbangan, dan setelah tiba di undak-undak paling
bawah, baru dia memerhatikan bahwa tidak ada lagi prajurit
yang berjaga. Dia melihat penunjuk waktunya, bingung.
Waktu pergantian prajurit jaga masih lima belas menit lagi,
jadi di mana bocah pelempar bola salju yang dibentaknya
tadi pagi?
Marcia menengok ke kiri-kanan, menggerutu dalam
hati. Ada yang tidak beres. Si prajurit jaga tidak ada. Tapi juga
masih ada di sini. Sekonyong-konyong dia menyadari,
prajurit itu berada antara Di Sini dan Tidak Di Sini.
Bocah itu sedang sekarat.
http://facebook.com/indonesiapustaka

Seketika Marcia menghambur ke gundukan tanah di


samping jalan menikung, dan Jenna tersembul dari balik
jubahnya.
"Gali!" desis Marcia, sambil menggaruk-garuk
gundukan tanah tadi. "Dia ada di sini. Membeku."
Di bawah gundukan tanah itu terbaring tubuh putih

~50~
kurus si prajurit jaga. Tubuhnya meringkuk seperti bola,
seragam katun tipisnya basah kuyup oleh salju dan
menempel dingin di tubuhnya. Warna-warna cerah seragam
noraknya kelihatan mencolok dalam sinar matahari musim
dingin. Jenna gemetar melihat bocah itu, bukan karena
kedinginan, tapi karena suatu ingatan yang berkelebat dalam
benaknya.
Dengan hati-hati Marcia membersihkan salju dari
bibir biru beku bocah itu, sementara Jenna menyentuh
lengan kaku dan putih si bocah. Dia belum pernah memegang
tangan orang sedingin ini. Anak ini tentunya sudah mati, kan?
Jenna melihat Marcia membungkuk ke dekat wajah
bocah itu dan menggumamkan sesuatu dengan sangat pelan.
Marcia berhenti, mendengarkan, dan kelihatan cemas. Lalu
dia bergumam lagi, kali ini lebih cepat, "HidupLagi, Anak
Muda. HidupLagi." Marcia berhenti sebentar, lalu
mengembuskan napas panjang dan pelan ke wajah bocah itu.
Napas itu berembus tanpa henti dari bibir Marcia, lagi dan
lagi. Awan hangat merah muda menyelimuti bibir dan hidung
bocah itu dan perlahan... perlahan tampak menyingkirkan
warna biru menakutkan dan menggantikannya dengan
cahaya kehidupan. Bocah itu belum bergerak, tapi Jenna
merasa melihat dada bocah itu bergerak naik-turun. Anak itu
sudah bernapas kembali.
"Cepat!" bisik Marcia pada Jenna. "Dia tidak akan
selamat kalau kita meninggalkannya di sini. Kita harus
membawanya ke dalam." Marcia mengangkat bocah itu, lalu
http://facebook.com/indonesiapustaka

menggendongnya menaiki tangga pualam yang lebar.


Sesampainya di atas, pintu-pintu perak kokoh Menara
Penyihir terayun membuka tanpa suara di hadapan mereka.
Jenna menghela napas panjang dan mengikuti Marcia beserta
bocah itu masuk.

~51~
7. MENARA PENYIHIR
Setelah pintu-pintu Menara Penyihir berayun
menutup di belakangnya, Jenna tersadar sedang di pintu
masuk besar Aula yang keemasan. Dia menyadari kalau
hidupnya telah berubah. Jenna belum pernah melihat
ataupun bermimpi berada di tempat seperti ini. Dia tahu,
banyak orang lain di Kastil juga belum pernah melihat yang
seperti ini. Belum apa-apa dia sudah menjadi orang yang
berbeda dari mereka yang ditinggalkannya.
Jenna menatap kemegahan yang terasa asing baginya,
kemegahan di Aula melingkar yang teramat besar ini.
Dinding-dinding emasnya berkelap-kelip dengan lukisan-
lukisan hilang-timbul makhluk dalam dongeng, simbol-
simbol, dan negeri-negeri asing. Udaranya hangat dan berbau
dupa. Penuh dengan gumaman pelan dan lembut, suara
keseharian Magyk yang menjalankan Menara ini. Lantai di
bawah kaki Jenna bergerak bak pasir. Lantai itu terbuat dari
ratusan warna berbeda yang menari-nari di sekeliling sepatu
botnya dan membentuk kata-kata Selamat Datang, Putri,
Selamat Datang. Kemudian, ketika dia masih menatap
terpesona, huruf-huruf itu berganti menjadi bergegaslah!
Jenna mendongak dan melihat Marcia, yang agak
terhuyung-huyung karena menggendong si prajurit jaga,
melangkah menaiki tangga spiral perak.
"Ayo," kata Marcia tidak sabar. Jenna berlari, sampai
di anak tangga paling bawah dan mulai menaiki tangga.
http://facebook.com/indonesiapustaka

"Jangan, diam di situ," Marcia menjelaskan.


"Tangganya akan bergerak sendiri."
"Jalan," kata Marcia keras, dan Jenna terkagum-
kagum ketika tangga spiral itu mulai berputar. Mulanya
pelan, tapi kemudian berputar-putar semakin cepat dan
semakin cepat, naik dan terus naik hingga mereka tiba di

~52~
puncak Menara. Marcia melangkah turun dan Jenna
mengikutinya, melompat tepat sebelum anak tangga itu
berputar turun lagi, dipanggil oleh Penyihir lain, jauh di
bawah sana.
Pintu depan besar ungu milik Marcia langsung
terbuka, dan api di perapian buru-buru menyala. Sebuah sofa
menempatkan dirinya sendiri di depan perapian, dan dua
bantal serta selimut menghambur melayang di udara, lalu
mendarat rapi di atas sofa tanpa Marcia harus mengeluarkan
sepatah kata pun.
Jenna membantu Marcia membaringkan si bocah
prajurit jaga di atas sofa. Keadaannya buruk. Wajahnya
pucat, matanya terpejam dan dia mulai menggigil tak
terkendali.
"Menggigil itu pertanda baik," ujar Marcia cepat, lalu
menjentikkan jemarinya. "Baju basah lepas."
Seragam prajurit jaga itu terbang lepas dari tubuh si
bocah dan menumpuk basah di lantai.
"Kau ini sampah," kata Marcia pada pakaian itu, dan
seragam itu menggulung diri dengan sedih, lalu melompat-
lompat sambil menetes-netes basah ke saluran pembuangan
sampah; dia terjun ke dalam saluran, dan lenyap dari
pandangan.
Marcia tersenyum. "Pembersihan yang bagus,"
katanya. "Sekarang, baju kering pakai."
Sehelai piyama hangat muncul di tubuh bocah itu,
dan tubuhnya tidak terlalu menggigil lagi.
http://facebook.com/indonesiapustaka

"Bagus," kata Marcia. "Kita temani dia sebentar,


sampai nanti tubuhnya hangat kembali. Dia akan baik-baik
saja."
Jenna duduk di atas karpet di sebelah perapian, dan
tak lama kemudian dua cangkir susu panas beruap muncul.
Marcia duduk di sampingnya. Tiba-tiba Jenna merasa malu.

~53~
Si Penyihir LuarBiasa duduk bersamanya di lantai, sama
seperti yang dilakukan Nicko. Dia harus bilang apa? Jenna
tidak tahu mesti mengatakan apa, kecuali bahwa kakinya
kedinginan, tapi dia terlalu malu untuk melepas sepatu
botnya.
"Sebaiknya lepaskan saja sepatu bot itu," kata
Marcia. "Sepatumu basah kuyup."
Jenna membuka tali sepatu botnya dan
melepaskannya.
"Lihat kaus kakimu. Jelek sekali," seru Marcia.
Wajah Jenna bersemu merah. Sebelumnya kaus kaki
itu milik Nicko, dan sebelumnya lagi milik Edd. Atau milik
Erik, ya? Kaus kaki itu sudah banyak ditambal dan terlalu
besar untuknya.
Jenna menggoyang-goyangkan jari-jari kakinya di
dekat perapian dan mengeringkan kakinya.
"Kau mau kaus kaki baru?" tanya Marcia.
Jenna mengangguk malu. Sepasang kaus kaki ungu
tebal dan hangat muncul di kedua kakinya.
"Tapi kaus kaki yang lama tetap kita simpan," kata
Marcia. "Bersihkan," perintahnya pada kaus kaki usang itu.
"Lipat." Sepasang kaus kaki itu melakukan apa yang
diperintahkan; bergoyang-goyang menghilangkan
kotorannya yang mendarat menjadi tumpukan lengket di
perapian, lalu melipat diri dengan rapi dan menggeletak di
dekat perapian di samping Jenna. Jenna tersenyum, gembira
karena Marcia tidak menyebut hasil tisikan terbaik Sarah
http://facebook.com/indonesiapustaka

sebagai sampah.
Senja pertengahan musim dingin sudah menjelang,
dan sinar matahari mulai memudar. Bocah prajurit jaga itu
akhirnya sudah tidak menggigil lagi dan tertidur nyenyak.
Jenna meringkuk di dekat perapian, dan sedang melihat-lihat
salah satu buku bergambar Magyk milik Marcia ketika

~54~
terdengar gedoran bertubi-tubi di pintu.
"Ayolah, Marcia. Buka pintunya. Ini aku!" kata suara
yang kedengaran tidak sabar di luar pintu.
"Itu Ayah!" pekik Jenna.
"Shh...," kata Marcia. "Mungkin saja bukan."
"Ya ampun, Marcia, buka pintunya!" seru suara yang
tidak sabar itu.
Marcia merapal cepat Mantra TembusPandang.
Benar saja, dengan kesal tampak olehnya Silas dan Nicko
berdiri di luar sana. Tapi mereka tidak hanya berdua. Di
samping mereka, dengan lidah terjulur dan air liur menetes-
netes di bulunya, duduk si serigala yang memakai syal
berbintik-bintik di lehernya.
Marcia tak punya pilihan selain membiarkan mereka
masuk.
"Buka!" perintah Marcia pada pintu.
"Halo, Jen." Nicko menyeringai, melangkah hati-hati
ke atas karpet sutra lembut milik Marcia, diikuti oleh Silas
dan si serigala. Goyangan dahsyat ekor serigala menyapu
koleksi berharga pot-pot Peri-Rapuh hingga pecah
berantakan ke lantai.
"Nicko! Ayah!" pekik Jenna dan menghambur ke
pelukan Silas. Rasanya seperti sudah berbulan-bulan tidak
bertemu mereka. "Mana Ibu? Ibu baik-baik saja, kan?"
"Ibumu baik-baik saja," sahut Silas. "Ibu sudah pergi
ke tempat Galen bersama semua kakakmu. Ayah dan Nicko
datang untuk memberimu ini." Silas merogoh sakunya yang
http://facebook.com/indonesiapustaka

dalam. "Tunggu sebentar," katanya. "Ada di sini."


"Kau sudah gila, ya?" tanya Marcia. "Kaupikir kau
mau apa, datang ke sini? Dan singkirkan jauh-jauh serigala
menjijikkan itu dariku."
Serigala itu sedang sibuk meneteskan air liur di
sepatu kulit ular piton Marcia.

~55~
"Dia bukan serigala," kata Silas padanya. "Dia itu
anjing serigala Abyssinia keturunan anjing serigala Maghul
Maghi. Dan namanya Maximillian. Tapi mungkin dia tidak
keberatan kau panggil Maxie saja. Kalau kau baik padanya."
"Baik!" tukas Marcia cepat, nyaris kehabisan kata-
kata.
"Mungkin kami boleh menginap," lanjut Silas, lalu dia
menumpahkan isi karung kotor kecilnya ke atas meja Ouija
dari kayu eboni dan batu giok milik Marcia, dan memeriksa
isinya dengan teliti. "Sekarang sudah terlalu gelap untuk
pergi ke Hutan."
"Menginap? Di sini?
"Ayah! Lihat kaus kakiku, Yah," kata Jenna, sambil
menggoyang-goyangkan jari kakinya ke atas.
"Mmm, bagus sekali, Sayang," kata Silas, masih
merogoh-rogoh sakunya. "Ya ampun, tadi kutaruh di mana
sih? Aku yakin aku membawanya..."
Kau suka kaus kakiku, Nicko? "Ungu sekali," sahut
Nicko. "Aku kedinginan."
Jenna menuntun Nicko ke perapian. Ditunjuknya si
bocah prajurit jaga. "Kami sedang menunggu dia bangun. Dia
membeku kedinginan gara-gara terkubur salju, dan Marcia
menyelamatkannya. Marcia membuatnya bernapas lagi."
Nicko bersiul, terkesan. "Hei," katanya, "Sepertinya
dia sudah bangun." Bocah prajurit jaga itu membuka mata
dan melihat Jenna dan Nicko. Dia tampak ketakutan. Jenna
membelai kepala plontosnya. Terasa kasar dan masih agak
http://facebook.com/indonesiapustaka

dingin.
"Kau aman sekarang," katanya pada bocah itu. "Kau
bersama kami. Namaku Jenna, dan ini Nicko. Siapa
namamu?"
"Bocan 412, gumam bocah itu.
"Anak Empat Satu Dua...?" ulang Jenna bingung. "Tapi

~56~
itu kan angka. Tidak ada orang yang namanya berupa angka."
Bocah itu masih saja menatap Jenna. Kemudian
memejamkan matanya lagi dan kembali tidur.
"Ini aneh," kata Nicko. "Ayah bilang kalau mereka
hanya dinamai dengan angka di Laskar Pemuda. Barusan ada
dua orang di luar, tapi Ayah meyakinkan mereka bahwa
kami Pengawal. Dan Ayah juga masih ingat kata kunci dari
bertahun-tahun silam itu."
"Ayah yang baik. Kecuali," kata Jenna penuh
pengertian, "kurasa dia bukan ayahku. Dan kau bukan
kakakku..."
"Jangan bodoh. Tentu saja kami ini keluargamu,"
sahut Nicko kasar. "Tidak ada yang bisa mengubahnya. Dasar
Putri bodoh."
"Ya, kurasa begitu," kata Jenna.
"Ya, tentu saja," kata Nicko.
Silas mendengar percakapan itu. "Aku tetap ayahmu,
sampai kapan pun, dan Ibu juga tetap ibumu. Hanya saja kau
juga punya ibu yang pertama."
"Apakah dia benar-benar seorang Ratu?" tanya Jenna.
"Ya. Sang Ratu. Ratu kami. Sebelum ada para Wali di
sini." Silas kelihatan berpikir keras, kemudian ekspresi
wajahnya berubah cerah, seolah teringat sesuatu. Dia lalu
melepaskan topi wolnya yang tebal. Ini dia, di dalam saku
topinya. Tentu saja.
"Ketemu!" kata Silas penuh kemenangan. "Hadiah
ulang tahunmu. Selamat ulang tahun, Sayang." Diberinya
http://facebook.com/indonesiapustaka

Jenna hadiah yang ketinggalan itu.


Hadiah itu kecil dan lumayan mengejutkan beratnya
bila dilihat dari ukurannya. Jenna merobek kertas berwarna
yang membungkusnya dan memegang kantong bertali kecil
biru di tangannya. Dengan hati-hati ditariknya tali itu, sambil
menahan napas dengan berdebar-debar.

~57~
"Oh," katanya, tak sanggup menyembunyikan rasa
kecewa dalam suaranya. "Batu kerikil. Tapi kerikil yang
sangat bagus, Yah. Terima kasih." Diangkatnya batu abu-abu
licin itu dan ditaruhnya di atas telapak tangannya.
Silas mengangkat Jenna ke pangkuannya. "Itu bukan
batu kerikil. Itu batu peliharaan," jelasnya. "Coba gelitik
dagunya."
Jenna tidak yakin di mana dagunya, tapi digelitiknya
juga batu itu. Perlahan batu itu membuka bola mata hitam
kecilnya dan menatapnya, kemudian batu itu meregangkan
empat kaki gemuknya, berdiri, dan berjalan mengelilingi
telapak tangan Jenna.
"Oh, Ayah, hebat sekali," Jenna tercekat. "Kami sudah
menduga kau bakal menyukainya. Aku mendapatkan
mantranya dari Toko Batu Bergerak. Tapi jangan
memberinya makan terlalu banyak, karena nanti dia akan
berat sekali dan malas. Dia juga harus diajak jalan-jalan
setiap hari."
"Kunamai dia Petroc," kata Jenna. "Petroc
Trelawney.
Petroc Trelawney kelihatan gembira, segembira
yang bisa diperlihatkan sebutir batu, yang berarti dia
kelihatan tidak jauh berbeda dengan sebelumnya. Batu itu
menarik kaki-kakinya, memejamkan mata, dan kembali
tidur. Jenna menaruhnya di dalam saku agar tetap hangat.
Sementara itu Maxie sibuk mengunyah kertas
pembungkus hadiah, air liurnya menetes-netes di leher
http://facebook.com/indonesiapustaka

Nicko.
"Hei, pergi sana, dasar tukang ngiler! Sana, berbaring
di sana," kata Nicko sembari berusaha mendorong Maxie
turun ke lantai. Tapi anjing serigala itu tidak mau berbaring.
Dia sedang memerhatikan sebuah lukisan besar di dinding,
lukisan Marcia memakai gaun Lulus Masa Magang.

~58~
Maxie mulai mendengking pelan.
Nicko menepuk-nepuk Maxie. "Lukisannya
menakutkan, ya?" bisiknya pada anjing itu, yang
menggoyangkan ekornya tak acuh, lalu menyalak sewaktu
Alther Mella keluar dari lukisan itu. Maxie tidak pernah
terbiasa dengan kemunculan Alther.
Maxie merintih dan membenamkan kepala di balik
selimut yang menutupi Bocah 412. Hidungnya yang dingin
dan basah membuat bocah itu tersentak bangun. Secepat
kilat Bocah 412 terduduk dan memandangi sekelilingnya
seperti kelinci yang ketakutan. Dia tidak suka dengan apa
yang dilihatnya. Semua itu bagaikan mimpi terburuknya.
Tak lama lagi Komandan Laskar Pemuda pasti datang
mencarinya, dan dia bakal mendapat masalah besar.
Berakrab-akrab dengan musuh-begitulah istilah mereka
untuk orang yang berbicara dengan Penyihir. Dan saat ini dia
sedang bersama dua orang Penyihir. Dan satu hantu Penyihir
tua, begitulah kelihatannya. Belum lagi dua anak aneh, satu
dengan semacam mahkota di kepala, dan satunya lagi dengan
mata hijau Penyihir. Dan anjing yang menjijikkan itu. Mereka
juga telah melepaskan seragamnya dan memakaikannya baju
orang sipil. Dia bisa ditembak karena dituduh pengkhianat.
Bocah 412 mengerang dan memegangi kepalanya.
Jenna mengulurkan tangan dan memeluknya. "Tidak
apa-apa," bisiknya. "Kami akan merawatmu."
Alther kelihatan resah. "Wanita yang bernama Linda
itu. Dia yang memberitahukan keberadaan kalian. Mereka
http://facebook.com/indonesiapustaka

sedang menuju kemari. Mereka mengutus si Pembunuh


Bayaran."
"Oh, tidak," kata Marcia. "Pintu-pintu utama akan
kuberi MantraPengunci."
"Terlambat," kata Alther lirih. "Dia sudah masuk."
"Bagaimana bisa?"

~59~
"Ada orang yang membiarkan pintunya terbuka,"
sahut Alther.
"Silas, dasar bodoh!" bentak Marcia.
"Benar," kata Silas seraya berjalan menuju pintu.
"Kalau begitu kita pergi saja. Dan aku akan membawa Jenna.
Sudah jelas dia tidak aman bersamamu, Marcia."
"Apa?" pekik Marcia marah. "Dia tidak aman di mana
pun dia berada, bodoh!"
"Jangan panggil aku bodoh," tukas Silas. "Aku sama
pandainya denganmu, Marcia. Mentang-mentang aku hanya
Penyihir Bia..."
"Hentikan!" teriak Alther. "Sekarang bukan
waktunya berdebat. Demi Tuhan, dia sudah menaiki tangga."
Karena terkejut, semuanya berhenti dan
mendengarkan. Keadaan sunyi senyap. Terlalu sunyi. Yang
terdengar hanya suara pelan tangga perak yang tengah
berputar saat membawa penumpangnya perlahan menuju
puncak Menara Penyihir, menuju pintu ungu milik Marcia.
Jenna tampak ketakutan. Nicko merangkulnya. "Aku
akan menjagamu, Jen," katanya. "Kau akan baik-baik saja
bersamaku."
Tiba-tiba Maxie menegakkan telinganya dan
memperdengarkan lolongan yang membuat semua orang
bergidik. Bulu kuduk semua yang ada di ruangan itu
meremang.
Brakk! Pintu terbanting terbuka.
Siluet sang Pembunuh Bayaran berdiri tertimpa
http://facebook.com/indonesiapustaka

cahaya. Wajahnya pucat sewaktu mengamati pemandangan


di depan matanya. Dengan tatapan dingin dia melayangkan
pandang ke sekitarnya, mencari-cari mangsanya. Sang Putri.
Tangan kanannya memegang sepucuk pistol perak, pistol
yang terakhir dilihat Marcia sepuluh tahun silam di Ruang
Singgasana.

~60~
Si Pembunuh Bayaran melangkah maju.
"Kau ditangkap," ancamnya. "Kau tidak
diperbolehkan mengatakan apa pun. Kau akan dibawa dari
sini ke suatu tempat dan..."
Bocah 412 berdiri, gemetaran. Tepat seperti telah
diduganya-mereka datang untuk menangkapnya. Perlahan
dia berjalan ke arah si Pembunuh Bayaran, yang
memandangnya dengan tatapan dingin.
"Jangan halangi aku, bocah," bentak si Pembunuh
Bayaran. Dia menghantam Bocah 412 dan membuatnya
terempas ke lantai.
"Jangan lakukan itu!" teriak Jenna. Dia menghambur
ke arah Bocah 412 yang terjengkang di lantai. Saat dia
berlutut untuk melihat apakah bocah itu terluka, si
Pembunuh Bayaran mencengkeramnya.
Jenna menggeliat. "Lepaskan aku!" teriaknya.
"Diamlah, Ratu Kecil," seringai si Pembunuh Bayaran.
"Ada seseorang yang ingin bertemu denganmu. Tapi
dia ingin melihatmu... mati."
Si Pembunuh Bayaran mengangkat pistol peraknya
ke kepala Jenna.
Krakl
KilatHalilintar menyambar dari tangan Marcia yang
terulur. KilatHalilintar itu menghantam si Pembunuh
Bayaran hingga jatuh dan membuat Jenna terlempar lepas
dari cengkeramannya.
"Kepung dan Lindungi!" teriak Marcia. Seberkas sinar
http://facebook.com/indonesiapustaka

putih menyilaukan menyala bak sebilah pedang berkilau dari


lantai dan mengelilingi mereka, memisahkan mereka dari si
Pembunuh Bayaran yang tak sadarkan diri.
Lalu Marcia membuka pintu yang menutupi saluran
pembuangan sampah.
"Itu satu-satunya jalan keluar," katanya. "Silas, kau

~61~
duluan. Coba rapalkan Mantra Membersihkan saat kau
turun."
"Apa?"
"Kau dengar apa yang kukatakan. Cepat masuk!"
hardik Marcia, sambil mendorong Silas keras-keras melewati
pintu yang terbuka. Silas terjungkal masuk ke saluran
pembuangan sampah, terdengar teriakan, kemudian dia tidak
kelihatan lagi.
Jenna menarik Bocah 412 supaya berdiri. "Ayolah,"
katanya, lalu mendorong kepala anak itu masuk ke saluran.
Kemudian dia sendiri melompat masuk, diikuti Nicko,
Marcia, dan si anjing pemburu yang terlalu bersemangat.
http://facebook.com/indonesiapustaka

~62~
8. SALURAN PEMBUANGAN SAMPAH
Sewaktu Jenna melompat masuk ke saluran
pembuangan sampah, dia begitu ketakutan pada si
Pembunuh Bayaran, hingga tak sempat merasa takut
melompat ke saluran pembuangan itu. Tapi ketika tubuhnya
meluncur turun tak terkendali ke dalam keadaan gelap
gulita, kepanikan yang amat sangat menyerang dirinya.
Bagian dalam saluran pembuangan sampah itu dingin
dan licin seperti es. Saluran itu terbuat dari batu keras hitam
yang digosok sampai licin, dipotong dan disatukan oleh para
Tukang Batu Ahli yang membangun Menara Penyihir
beratus-ratus tahun yang lalu. Kemiringannya sangat tajam,
terlalu tajam sehingga Jenna tak mampu mengendalikan
posisi jatuhnya, jadi tubuhnya terantuk-antuk dan terpuntir-
puntir dan terguling-guling ke kanan-kiri.
Tapi yang paling menakutkan adalah kegelapannya.
Kegelapan yang gulita, kelam, pekat. Kegelapan itu
terasa menekan Jenna dari semua arah, dan meski dia mati-
matian berusaha menajamkan mata untuk melihat sesuatu,
apa saja, tetap tak ada yang terlihat. Jenna sampai-sampai
mengira kedua matanya telah buta.

Tapi dia masih bisa mendengar. Dan di belakangnya,
menyusul cepat, Jenna bisa mendengar desiran bulu-bulu
lembap si anjing pemburu.
Maxie si anjing pemburu merasa sangat senang. Dia
http://facebook.com/indonesiapustaka

menyukai permainan ini. Tadinya Maxie agak terkejut


sewaktu melompat ke dalam saluran pembuangan, sebab
tidak ada Silas yang menunggunya dengan membawa bola.
Dia lebih terheran-heran lagi ketika cakar-cakarnya
sepertinya tak bisa digunakan di sini. Tadi sejenak dia masih
menggaruk-garuk sekitarnya, mencoba mencari tahu

~63~
penyebabnya. Kemudian hidungnya membentur tengkuk si
wanita menakutkan itu, dan dicobanya menjilat remah-
remah yang kelihatannya enak dari rambut wanita itu, tapi
wanita itu mendorongnya dengan keras, hingga Maxie
terguling telentang.
Sekarang Maxie gembira sekali. Dengan hidung di
depan, cakar-cakar dirapatkan, dia menjadi gumpalan bulu
yang bergerak cepat tanpa hambatan, meluncur melewati
mereka semua. Melewati Nicko yang menangkap ekornya
tapi kemudian melepaskannya. Melewati Jenna yang
berteriak di telinganya. Melewati Bocah 412 yang meringkuk
seperti bola. Kemudian melewati majikannya, Silas. Maxie
merasa tidak enak melewati Silas, karena baginya Silas
adalah Anjing Nomor Satu dan Maxie Tidak Diperbolehkan
berada di Depan. Tapi si anjing pemburu tidak punya pilihan
lagi-dia melayang melewati Silas di tengah siraman daging
rebus dingin dan kulit wortel dan terbawa sampai ke bawah.
Saluran pembuangan sampah itu berkelok-kelok di
sekitar Menara Penyihir bak seluncuran raksasa yang
terkubur jauh di dalam dinding-dinding tebal. Saluran itu
menurun curam di setiap lantai, membawa bersamanya
bukan hanya Maxie, Silas, Bocah 412, Jenna, Nicko, dan
Marcia, tapi juga sisa-sisa makan siang para Penyihir yang
telah dibuang siang itu ke dalam saluran pembuangan.
Menara Penyihir tingginya dua puluh satu lantai. Dua lantai
paling atas adalah milik Penyihir LuarBiasa, dan di setiap
lantai di bawahnya terdapat dua apartemen Penyihir. Jumlah
http://facebook.com/indonesiapustaka

makan siang yang sangat banyak. Saluran itu bagai surga


anjing pemburu, dan sambil meluncur menuruni Menara
Penyihir, Maxie makan cukup banyak sisa makanan hingga
perutnya tak perlu diisi lagi sampai hari itu berakhir.
Akhirnya, setelah perjalanan yang terasa seperti
berjam-jam lamanya, meski sebenarnya hanya berlangsung

~64~
selama dua menit lima belas detik, Jenna merasa posisi
jatuhnya kini mulai melandai, dan kecepatan meluncurnya
berkurang jauh. Tak diketahuinya bahwa kini dia telah
meninggalkan Menara Penyihir dan memasuki rongga-
rongga bawah tanah, keluar dari kaki Menara, dan menuju
ruang-ruang bawah tanah Istana Para Wali. Keadaan di
dalam saluran itu masih tetap gelap gulita dan dingin
menggigilkan, dan Jenna merasa benar-benar sendirian. Dia
memasang telinga untuk menangkap suara orang-orang lain
di belakangnya, tapi semua orang tahu betapa penting untuk
tidak bersuara, jadi mereka tidak berani bersuara. Jenna
merasa mendengar desiran jubah Marcia di belakangnya, tapi
sejak Maxie meluncur cepat melewatinya, sama sekali tak
ada tanda-tanda ada orang lain di dekatnya. Dia mulai
dirasuki pikiran bahwa dirinya sendirian dalam kegelapan
itu. Gelombang kepanikan mulai melanda. Tapi persis ketika
Jenna hendak menjerit, seberkas cahaya memancar dari
dapur yang jauh di atas sana, dan dia sempat menangkap
sekilas sosok si Bocah 412 yang meringkuk seperti bola,
tidak jauh di depannya. Semangat Jenna bangkit kembali saat
melihat anak itu, dan dia iba pada si bocah penjaga yang
kurus dan kedinginan dalam balutan piyamanya itu.
Tapi pada saat itu si Bocah 412 sedang tidak bisa
merasa iba pada siapa pun, apalagi pada dirinya sendiri.
Ketika si gadis sinting dengan mahkota emas di kepalanya
mendorongnya masuk ke jurang tak berdasar ini, dia
otomatis meringkuk seperti bola dan tubuhnya terguncang-
http://facebook.com/indonesiapustaka

guncang di dalam saluran, seperti sebutir kelereng di dalam


pipa pembuangan. Si Bocah 412 merasa babak belur dan
lebam-lebam, tapi tidak merasa lebih ketakutan
dibandingkan ketika terbangun dan mendapati dirinya
berada bersama dua Penyihir, seorang anak lelaki Penyihir,
dan satu hantu Penyihir. Ketika saluran itu mulai melandai

~65~
dan dia pun mulai melambat, otak si Bocah 412 mulai
bekerja lagi. Dari beberapa pikiran yang berhasil
disatukannya, dia sampai pada kesimpulan bahwa ini pasti
sebuah Ujian. Banyak sekali Ujian bagi para anggota Laskar
Pemuda. Ujian-Ujian Kejutan Menakutkan selalu diadakan
pada tengah malam, saat kau sudah tertidur di ranjang dingin
dan sempitmu yang berusaha kaubuat sehangat dan
senyaman mungkin. Tapi yang satu ini sungguh suatu Ujian
Besar. Ini pasti salah satu Ujian Berani-atau-Mati. Bocah 412
mengertakkan gigi-giginya; dia tidak yakin, tapi saat ini
bagian yang sedang dijalaninya ini terasa seperti bagian Mati
dalam ujiannya. Apa pun itu, tak ada yang bisa dilakukannya.
Maka Bocah 412 memejamkan mata rapat-rapat dan terus
meluncur.
Saluran pembuangan itu membawa mereka semakin
ke bawah. Berbelok ke kiri dan memasuki bagian bawah
Ruang-Ruang Majelis Wali. Berbelok ke kanan mengunjungi
Kantor-Kantor Tentara. Lurus menembus dinding-dinding
tebal dapur-dapur bawah tanah yang melayani kebutuhan
Istana. Di sinilah keadaan menjadi kacau balau. Para Pelayan
Dapur masih sibuk bersih-bersih setelah jamuan makan
tengah hari Wali Utama, dan pintu-pintu bawah di dapur,
menghujani mereka dengan sisa-sisa jamuan makan yang
bercampur aduk. Bahkan Maxie yang sampai saat ini sudah
makan sebanyak-banyaknya, merasa siraman itu tidak
menyenangkan, terutama setelah puding beras beku
menghantam hidungnya. Pelayan Dapur paling muda yang
http://facebook.com/indonesiapustaka

melempar puding beras itu melihat Maxie sekilas dan


bermimpi buruk selama berminggu-minggu tentang serigala
di saluran pembuangan sampah.
Bagi Marcia, ini juga mimpi buruk. Dirapatkannya
jubah sutra ungunya yang terpercik kuah daging, dan
pinggirannya yang dari bulu berlumuran adonan telur, susu,

~66~
dan gula. Seraya merunduk menghindari hujan sayur kol, dia
berusaha melatih Mantra Kering Bersih Satu-Detik untuk
dirapalkan saat nanti keluar dari saluran pembuangan itu.
Akhirnya saluran pembuangan itu membawa mereka
menjauh dari dapur, dan keadaan menjadi sedikit lebih
bersih. Sesaat Jenna membiarkan dirinya lebih santai, tapi
tiba-tiba dia terkesiap ketika saluran pembuangan itu
menukik tajam ke bawah dinding Kastil, menuju tujuan
akhirnya di pembuangan sampah tepi sungai.
Silas yang pertama pulih dari gerakan menukik tajam
itu, dan dia menduga-duga bahwa perjalanan mereka akan
berakhir tak lama lagi. Dicobanya menajamkan mata ke
dalam kegelapan, mencoba melihat cahaya di ujung
terowongan, tapi dia sama sekali tak bisa melihat apa-apa.
Meski tahu bahwa saat ini matahari sudah tenggelam, Silas
berharap dengan terbitnya bulan purnama bakal ada cahaya
yang masuk sedikit. Kemudian dia terkejut ketika tubuhnya
terantuk sesuatu yang keras dan dia pun berhenti meluncur.
Sesuatu yang empuk dan berminyak dan baunya
memuakkan. Ternyata itu Maxie.
Ketika Silas masih penasaran mengapa Maxie
menyumbat saluran pembuangan sampah itu, si Bocah 412,
Jenna, Nicko, dan Marcia menabraknya satu per satu dengan
cepat. Silas baru menyadari bukan cuma Maxie yang terasa
empuk, berminyak, dan berbau menjijikkan-mereka semua
juga begitu.
"Ayah?" terdengar suara Jenna yang ketakutan dari
http://facebook.com/indonesiapustaka

kegelapan. "Kaukah itu, Ayah?"


"Ya, Sayang," bisik Silas.
"Kita ada di mana, Yah?" tanya Nicko parau. Dia
benci saluran pembuangan sampah. Sebelum melompat
masuk ke dalamnya, Nicko tidak tahu kalau dia ternyata
takut pada ruang sempit; cara yang hebat untuk bisa tahu,

~67~
pikirnya. Nicko berhasil mengalahkan rasa takutnya dengan
berkata dalam hati bahwa setidaknya mereka bergerak dan
akan segera keluar. Tapi kini mereka berhenti. Dan mereka
masih belum keluar dari sini.
Mereka terjebak.
Terperangkap.
Nicko mencoba duduk tegak, tapi kepalanya
membentur dinding batu dingin di atasnya. Dia meregangkan
kedua lengannya, tapi sebelum sempat meluruskannya dia
sudah menyentuh sisi-sisi saluran pembuangan yang semulus
es. Nicko merasa napasnya semakin memburu. Dia merasa
bakal gila kalau tidak keluar dari sini secepatnya.
"Mengapa kita berhenti?" desis Marcia.
"Ada yang menyumbat," bisik Silas, yang meraba-
raba melewati Maxie dan mengambil kesimpulan bahwa
mereka terhalang gundukan besar sampah yang menyumbat
saluran.
"Aduh," gumam Marcia.
"Ayah, aku mau keluar, Yah," Nicko terengah-engah.
"Nicko?" bisik Silas. "Kau baik-baik saja?" "Tidak..."
"Itu pintu tikus!" ujar Marcia penuh kemenangan.
"Ada jeruji besi untuk menghalangi tikus agar tidak bisa
masuk. Dipasang setelah Endor menemukan seekor tikus di
pancinya. Buka rangkanya, Silas."
"Aku tidak bisa mencapainya. Banyak sampah yang
menyumbat."
"Kalau tadi kau merapal Mantra Membersihkan
http://facebook.com/indonesiapustaka

seperti yang kusuruh, mestinya sampah itu tidak ada, kan?"


"Marcia," desis Silas, "orang yang merasa sudah mau
mati, tidak bakal memikirkan urusan bersih-bersih rumah."
"Ayah," kata Nicko putus asa.
"Kalau begitu, biar aku saja," hardik Marcia. Dia
menjentikkan jarinya dan dia merapalkan sesuatu perlahan-

~68~
lahan. Terdengar suara Mang teredam sewaktu pintu tikus
itu terayun terbuka dan desiran sewaktu sampah-sampah
terpaksa berhamburan keluar dari saluran pembuangan dan
jatuh masuk ke pembuangan.
Mereka sudah bebas.
Bulan purnama yang muncul menuntun keenam
pengelana kita yang kelelahan dan memar-memar ke tempat
yang sudah lama mereka nantikan.
Fasilitas Pembuangan Sampah Tepi Sungai.
http://facebook.com/indonesiapustaka

~69~
9. KEDAI SALLY MULLIN
Waktu itu malam musim dingin yang sepi seperti
biasanya di Kedai Sally Mullin. Dengung percakapan tanpa
henti memenuhi ruangan ketika para pelanggan tetap dan
para pelancong duduk bersama di depan meja-meja kayu
lebar yang mengelilingi tungku kayu bakar kecil. Sally baru
saja berkeliling dari meja ke meja, ikut bergurau,
menawarkan irisan kue jawawut yang baru diangkat dari
panggangan, dan mengisi lagi lampu-lampu minyak yang
sudah menyala sepanjang sore di musim dingin yang
membosankan ini. Kini dia berada di belakang bar, dengan
cermat menuang lima takar Bir Springo Spesial untuk Para
Pedagang dari Utara yang baru saja datang.
Ketika Sally melayangkan pandang ke arah mereka,
dengan terkejut dilihatnya bahwa raut muka Para Pedagang
dari Utara yang biasanya pasrah dan sedih sudah berganti
dengan seringai lebar. Sally tersenyum. Dia membanggakan
kemampuannya menjalankan kedai yang menyenangkan,
dan kalau dia bisa membuat tertawa lima Pedagang bermuka
masam, sebelum mereka minum gelas pertama Springo
Spesial, berarti dia telah melakukan hal yang benar.
Sally membawa minuman ke meja Para Pedagang di
dekat jendela, lalu menaruhnya dengan sigap di hadapan
mereka tanpa tumpah setetes pun. Namun Para Pedagang
tidak memerhatikan minuman itu, karena mereka terlalu
sibuk menggosok-gosok jendela yang berembun dengan
http://facebook.com/indonesiapustaka

lengan baju kumal mereka, dan mengintip ke kegelapan di


luar sana. Salah satu dari mereka menunjuk sesuatu di luar,
lalu mereka semua tertawa terbahak-bahak.
Tawa mereka merebak ke seluruh kedai. Para
pelanggan lain mulai menghampiri jendela dan ikut
mengintip ke luar, hingga tak lama kemudian semua

~70~
pengunjung kedai saling mendorong untuk mendapatkan
tempat di barisan jendela yang memanjang sampai ke
belakang.

Sally Mullin mengintip ke luar untuk melihat
penyebab keributan itu.
Dia terperangah kaget.
Di bawah cahaya bulan purnama, Penyihir
LuarBiasa, Madam Marcia Overstrand, berlumuran sampah
dan menari-nari bak orang gila di atas pembuangan sampah
kotapraja.
Tidak, pikir Sally, itu tidak mungkin.
Dia melihat ke luar lewat jendela berminyak itu lagi.
Sally tidak percaya apa yang dilihatnya. Memang benar itu
Madam Marcia, bersama tiga orang anak-tiga orang anak?
Semua orang tahu Madam Marcia tidak tahan dengan anak-
anak. Ada juga seekor serigala dan seseorang yang kelihatan
sangat tidak asing bagi Sally. Tapi siapa dia, ya?
Suami Sarah yang payah itu, Silas "Akan-Kukerjakan-
Besok-Saja" Heap. Itu dia.
Apa yang dilakukan Silas bersama Marcia
Overstrand? Bersama tiga orang anak? Di tempat
pembuangan sampah? Apakah Sarah tahu hal ini?
Pastinya, dia akan segera tahu.
Sebagai teman baik Sarah Heap, Sally merasa sudah
menjadi tugasnya untuk mencari tahu. Maka diserahkannya
kedai pada Bocah Pencuci Piring, lalu dia berlari ke luar di
http://facebook.com/indonesiapustaka

bawah sinar bulan.


Sally berjalan grubak-grubuk di gang sempit
jembatan ponton kedai dan berlari melewati salju, mendaki
bukit, ke arah tempat pembuangan sampah. Selama berlari,
benak Sally mengambil satu kesimpulan yang tak terelakkan.
Silas Heap melarikan diri bersama Marcia

~71~
Overstrand.
Masuk akal. Sarah sering kali mengeluh tentang Silas
yang begitu terobsesi pada Marcia, terutama sejak Marcia
menjadi penyihir LuarBiasa.
Benar-benar terobsesi dengan apa yang dilakukan
Marcia, itulah yang dikatakan Sarah.
Tapi tentu saja, renung Sally, yang sekarang telah
sampai ke kaki tumpukan tinggi sampah dan bersusah-payah
naik, Sarah juga tidak sepenuhnya tidak bersalah. Siapa pun
bisa melihat bahwa gadis cilik itu bukanlah anak Silas. Sally
pernah mencoba, dengan sangat hati-hati, menyinggung
tentang ayah Jenna, tapi Sarah cepat-cepat mengubah topik
pembicaraan. Ya, ya, ada sesuatu yang terjadi antara suami-
istri Heap selama bertahun-tahun. Tapi itu bukan alasan bagi
apa yang dilakukan Silas saat ini. Sama sekali bukan alasan,
pikir Sally marah seraya terseok-seok naik ke atas tumpukan
sampah.
Sosok-sosok yang berlumuran kotoran itu mulai
bergerak turun dan berjalan ke arah Sally. Sally melambai-
lambaikan tangan, tapi sepertinya mereka tidak melihatnya.
Kelihatannya mereka sibuk sendiri dan agak terhuyung-
huyung, seolah sedang pusing. Setelah lebih dekat, Sally bisa
melihat bahwa ternyata memang benar itu mereka.
"Silas Heap!" teriak Sally marah.
Kelima sosok itu terlonjak kaget dan melongo
menatap Sally.
"Huss, diam!" empat suara berbisik sepelan mungkin.
http://facebook.com/indonesiapustaka

"Aku tidak akan diami" seru Sally. "Kau pikir apa


yang sedang kau lakukan, Silas Heap? Meninggalkan istrimu
demi... wanita mur akan ini." Sally menggoyang-goyangkan
jari telunjuknya dengan tak senang ke arah Marcia.
"Wanita murahan?" Marcia terengah.
"Dan membawa anak-anak malang ini bersamamu,"

~72~
kata Sally pada Silas. "Teganya kau?"
Silas berjalan menyeberangi sampah ke arah Sally.
"Kau ini ngomong apa sih?" tanyanya. "Dan bisakah
kau diami"
"Huss, diam!" kata ketiga suara di belakangnya.
Akhirnya Sally diam juga.
"Jangan lakukan itu, Silas," bisik Sally dengan suara
serak. "Jangan tinggalkan istri dan keluargamu tercinta.
Kumohon."
Silas kelihatan kaget. "Aku tidak meninggalkan
mereka," sahutnya. "Siapa yang bilang begitu padamu?" "Kau
tidak meninggalkan mereka?"
"Tidak!"
"Huss, diam!"
Butuh waktu hampir sepanjang menuruni gunungan
sampah untuk menjelaskan pada Sally apa yang telah terjadi.
Matanya terbelalak dan mulutnya ternganga lebar saat Silas
menceritakan apa yang perlu diceritakan, agar Sally
berpihak kepadanya-dan bisa dibilang ini berarti
menceritakan semuanya. Silas sadar mereka tidak hanya
membutuhkan Sally agar tetap tutup mulut; mereka juga
membutuhkan bantuannya. Tapi Marcia tidak yakin. Sally
Mullin bukanlah orang pertama yang bakal dipilihnya kalau
hendak meminta bantuan. Marcia memutuskan untuk masuk
dan mengambil alih.
"Benar," katanya dengan nada tegas sewaktu mereka
sampai ke permukaan tanah di bawah tumpukan sampah.
http://facebook.com/indonesiapustaka

"Kurasa sebentar lagi si Pemburu dan


Gerombolannya akan diutus untuk mengejar kita."
Sebersit rasa takut melintas di wajah Silas. Dia sudah
mendengar tentang si Pemburu.
Marcia bersikap praktis dan tenang. "Aku sudah
memenuhi saluran pembuangan sampah dengan sampah lagi

~73~
dan merapalkan Mantra MengunciCepat dan Patri di pintu
tikus," ungkapnya. "Jadi, semoga saja dia mengira kita masih
terjebak di dalam sana."
Nicko bergidik memikirkan tempat itu.
"Tapi itu tidak lama menahannya," lanjut Marcia.
"Dan setelah itu dia akan datang mencari-dan bertanya."
Marcia menatap Sally, seolah berkata, Dan dia akan bertanya
kepadamu.
Semuanya terdiam membisu.
Sally membalas tatapan Marcia dengan mantap. Dia
tahu apa yang bakal terjadi. Tahu bahwa masalah besar akan
menimpa dirinya, tapi Sally teman yang setia.
Dia akan melakukannya.
"Baiklah, kalau begitu," sahut Sally cepat. "Berarti
kita harus menjauhkan kalian dari peri jahat, kan?"
Sally mengajak mereka ke rumah bedeng di belakang
kedai, tempat banyak pelancong yang kelelahan bisa
menemukan ranjang hangat untuk bermalam, dan pakaian
bersih jika memerlukannya. Saat ini rumah bedeng itu
kosong. Sally menunjukkan tempat penyimpanan pakaian,
dan menyuruh mereka mengambil sebanyak yang mereka
butuhkan. Malam itu bakal menjadi malam yang panjang dan
dingin. Cepat-cepat diisinya ember dengan air panas, agar
mereka bisa membasuh kotoran yang menempel, setelah itu
dia bergegas keluar sambil berkata, "Temui aku di pangkalan
pelabuhan sepuluh menit lagi. Kalian bisa memakai kapalku."
Jenna dan Nicko senang sekali bisa menyingkirkan
http://facebook.com/indonesiapustaka

pakaian mereka yang kotor, tapi Bocah 412 menolak


melakukan apa pun. Hari itu dia sudah cukup berganti
pakaian, dan dia bertekad untuk tetap mempertahankan apa
yang dipakainya, meski itu adalah piyama Penyihir yang
basah dan menjijikkan.
Pada akhirnya Marcia terpaksa menggunakan

~74~
Mantra Membersihkan padanya, diikuti dengan Mantra
Berganti Baju untuk memakaikannya baju hangat tebal
nelayan, celana panjang, dan jaket kulit domba ditambah topi
wol merah terang yang ditemukan Silas untuknya.
Marcia kesal karena harus memakai mantra untuk
Bocah 412. Dia ingin menyimpan tenaga untuk nanti, karena
perasaaanya mengatakan dia bakal memerlukan seluruh
tenaganya untuk menyelamatkan mereka semua.
Dia tentu saja telah mengerahkan sedikit tenaga juga
untuk Mantra Kering Bersih Satu-Detik untuk dirinya sendiri,
tapi berhubung keadaan jubahnya begitu menjijikkan, dia
ganti merapalkan Mantra Kering Bersih Satu-Menit dan tetap
tidak bisa menghilangkan seluruh noda kuah daging.
Menurut pendapat Marcia, jubah Penyihir LuarBiasa bukan
sekadar jubah, tapi juga merupakan instrumen yang disetel
dengan baik untuk Magyk dan harus diperlakukan dengan
hormat.
Sepuluh menit kemudian, mereka semua sampai di
galangan kapal.
Sally dan kapal layarnya sudah menunggu. Nicko
memandangi kapal hijau kecil itu dengan gembira. Dia suka
sekali kapal. Malah tidak ada yang lebih disukainya selain
berada di atas kapal, di lautan terbuka. Kapal itu lebar dan
kokoh, mengapung mantap di permukaan air dan
mempunyai sepasang layar baru berwarna merah. Namanya
pun bagus: Muriel. Nicko suka nama itu.
Marcia menatap kapal itu dengan ragu-ragu. "Lalu
http://facebook.com/indonesiapustaka

bagaimana cara kerjanya?" tanyanya pada Sally.


Nicko menyela. "Berlayar," katanya. "Dia berlayar."
"Siapa yang berlayar?" tanya Marcia, kebingungan.
Nicko menjawab dengan sabar. "Kapal itu yang
berlayar."
Sally mulai gelisah.

~75~
"Kalian sebaiknya cepat-cepat pergi," katanya,
seraya menengok ke arah tempat pembuangan sampah. "Aku
sudah menaruh beberapa dayung pendek, kalau-kalau nanti
kalian memerlukannya. Juga sedikit makanan. Mari, biar
kulepas talinya dan berpeganglah pada tali ini saat kalian
naik."
Jenna yang pertama kali melompat masuk, sambil
memegang kuat-kuat lengan si Bocah 412 dan menariknya
bersamanya. Sesaat bocah itu menolak, tapi kemudian
menyerah. Bocah 412 merasa lelah sekali.
Berikutnya Nicko melompat masuk, kemudian Silas
mendorong Marcia yang sedikit enggan dari dermaga, masuk
ke kapal. Marcia duduk dengan tidak yakin di dekat tangkai
kemudi dan mendengus.
"Bau tidak enak apa ini?" gumamnya.
"Ikan," sahut Nicko, ingin tahu apakah Marcia tahu
bagaimana cara berlayar.
Silas melompat masuk bersama Maxie, dan Muriel
melesak sedikit lebih dalam dari permukaan air.
"Kudorong kapal ini sekarang," ujar Sally cemas.
Dilemparnya tali pada Nicko, yang dengan cekatan
menangkap dan menaruhnya dengan rapi di haluan kapal.
Marcia memegang erat tangkai kemudi, layar-layar
berkelepak keras, dan Muriel berbelok tajam ke kiri.
"Bolehkah aku memegang tangkai kemudinya?"
Nicko menawarkan diri.
"Memegang apa? Oh, pegangan ini? Baiklah, Nicko.
http://facebook.com/indonesiapustaka

Aku tidak ingin lelah." Marcia merapatkan jubahnya, dan


dengan sikap berwibawa sedapatnya, dia bergeser dengan
canggung ke bagian samping kapal.
Marcia merasa tidak senang. Dia belum pernah naik
kapal, dan tidak bermaksud naik kapal kalau memungkinkan.
Pertama, tidak ada tempat duduk. Tidak ada karpet, bahkan

~76~
tidak ada bantalan duduk dan tidak ada atap. Dan bukan
hanya ada terlalu banyak air di luar kapal, tapi juga agak
terlalu banyak air di dalam kapal. Apakah ini berarti
kapalnya akan tenggelam? Dan baunya benar-benar tidak
enak.
Maxie sangat gembira. Dia berhasil menginjak sepatu
berharga Marcia dan sekaligus menggoyangkan ekornya di
wajah Marcia.
"Minggir kau, anjing bodoh," kata Silas, mendorong
Maxie sampai ke haluan kapal; di sana anjing itu bisa
mengarahkan hidung panjangnya ke udara terbuka,
merasakan desiran angin dan mengendus aroma air.
Kemudian Silas merapatkan tubuhnya ke Marcia, yang
membuat Marcia semakin tidak nyaman, sementara Jenna
dan Bocah 412 meringkuk di sisi satunya.
Nicko berdiri dengan gembira di buritan kapal,
memegangi tangkai kemudi, dan dengan penuh percaya diri
siap melayari sungai.
"Kita akan pergi ke mana?" tanyanya.
Marcia masih terlalu sibuk dengan rasa cemasnya
karena tiba-tiba dikelilingi air begitu banyak, sehingga dia
tak mampu menjawab.
"Bibi Zelda," kata Silas, yang sudah membicarakan
masalah ini dengan Sarah setelah Jenna pergi tadi pagi, "kita
akan pergi dan tinggal bersama Bibi Zelda."
Angin mengembangkan layar-layar dan kapal itu
bergerak semakin cepat, menuju ke arus deras di tengah
http://facebook.com/indonesiapustaka

sungai. Marcia memejamkan mata dan merasa pusing. Dia


bertanya-tanya apakah kapal itu memang sengaja
dimiringkan sejauh itu.
"Penjaga di Rawa-Rawa Marram?" tanya Marcia agak
pelan.
"Ya," sahut Silas. "Kita aman di sana. Pondoknya

~77~
sudah Disihir secara permanen, setelah diserang oleh
Brownies Lumpur Isap di musim dingin lalu. Tidak ada yang
bisa menemukannya."
"Baiklah," kata Marcia. "Kita pergi ke tempat Bibi
Zelda."
Silas tampak terkejut. Marcia benar-benar
sependapat dengannya tanpa membantah. Tapi bukankah
mereka kini berada di kapal yang sama? Silas tersenyum
sendiri.
Maka kapal hijau kecil itu menghilang ditelan malam,
meninggalkan Sally yang kini hanya berupa sosok kecil di
kejauhan, melambaikan tangan dengan berani. Ketika Muriel
sudah tidak kelihatan lagi, Sally berdiri di dermaga dan
mendengarkan kecipak air menerpa bebatuan dingin.
Mendadak dia merasa sendirian. Sally berbalik dan mulai
berjalan pulang melewati tepi sungai yang bersalju, jalannya
diterangi oleh cahaya kuning yang memancar dari jendela
kedainya tak jauh dari situ. Beberapa pelanggannya melihat
ke luar selagi Sally bergegas kembali ke dalam kehangatan
dan celotehan di kedainya, tapi sepertinya mereka tidak
memerhatikan sosok mungilnya.
Sewaktu Sally mendorong pintu kedainya dan
menyelinap ke dalam keriuhan yang hangat, para
pelanggannya yang sering datang memerhatikan sikapnya
yang tidak seperti biasa. Dan mereka benar; tidak biasa bagi
Sally, hanya memikirkan satu hal saja dalam benaknya.
Berapa lama lagi sampai si Pemburu tiba?
http://facebook.com/indonesiapustaka

~78~
10. SANG PEMBURU
Butuh waktu tepat sepuluh menit dua puluh detik
bagi si Pemburu dan Gerombolannya untuk tiba di Tempat
Pembuangan Sampah Tepi Sungai setelah Sally melepas
kepergian Muriel di dermaga. Sally menjalani tiap detik dari
keseluruhan lima ratus detik itu dengan rasa takut yang kian
memuncak di perutnya. Apa yang telah dilakukannya?
Sally tidak bicara sepatah kata pun sejak kembali ke
kedai, tapi ada sesuatu pada sikapnya yang menyebabkan
sebagian besar pelanggannya cepat-cepat menenggak
Springo, melahap habis kue jawawut, lalu menghilang
dengan cepat ke dalam gelapnya malam. Pelanggan Sally
yang masih tersisa hanyalah lima Pedagang dari Utara yang
sedang menikmati Springo Spesial mereka yang kedua,
seraya mengobrol pelan dengan aksen merdu mereka yang
bernada sedih. Bahkan si Bocah Pencuci Piring pun sudah
tidak kelihatan batang hidungnya.
Mulut Sally terasa kering, tangannya gemetar, dan dia
berusaha melawan dorongan tak tertahankan untuk
melarikan diri. Tenang, tenang, katanya pada diri sendiri.
Bersikaplah tegar. Sangkal semuanya. Si Pemburu tidak
punya alasan untuk mencurigaimu. Kalau kau lari sekarang,
dia bakal tahu kau terlibat. Dan si Pemburu bisa menemukan
dirimu. Selalu bisa. Duduk diam dan tetap tenang.
Jarum panjang jam besar kedai terus berdetak.
Klik... klik... klik...
http://facebook.com/indonesiapustaka

Empat ratus sembilan puluh delapan detik... Empat


ratus sembilan puluh sembilan detik... Lima ratus detik.
Sinar lampu sorot besar menyapu puncak
pembuangan sampah.
Sally berlari ke jendela di dekatnya dan melihat ke
luar, jantungnya berdegup kencang. Bisa dilihatnya

~79~
sekumpulan sosok hitam berdesakan, berupa siluet dalam
terpaan sinar lampu sorot. Si Pemburu membawa
Gerombolannya, tepat seperti yang sudah diperingatkan
Marcia.
Sally menatap lekat-lekat, berusaha mencari tahu apa
yang sedang mereka lakukan, gerombolan itu berkerumun
mengelilingi pintu tikus, yang sudah disumbat Marcia dengan
Mantra MengunciCepat. Sally merasa lega karena
Gerombolan itu kelihatannya tidak terburu-buru, bahkan
tampaknya mereka sedang tertawa-tawa. Teriakan-teriakan
mereka sayup-sayup terdengar sampai ke kedai. Sally
memasang telinganya baik-baik. Apa yang didengarnya
membuat tubuhnya bergidik.
"...Penyihir sialan..."
"...Tikus terperangkap di pintu tikus..."
"...Jangan ke mana-mana, ha ha. Kami akan segera
menangkap kalian..."
Selagi Sally mengamati, bisa dilihatnya sosok-sosok
di sekeliling pintu tikus menjadi semakin gemas saat pintu
yang terpancang kencang itu tak juga mau membuka, meski
mereka sudah mengerahkan seluruh tenaga untuk
menariknya. Satu sosok berdiri agak jauh dari Gerombolan
itu sedang memerhatikan dengan tidak sabar; Sally menduga
dialah si Pemburu.
Tiba-tiba si Pemburu kehilangan kesabaran dengan
usaha membuka pintu tikus itu. Dia menghampiri, meraih
sebilah kapak dari salah satu anggota Gerombolan, dan
http://facebook.com/indonesiapustaka

dengan marah menghantam pintu itu. Bunyi benturan besi


bergema sampai ke kedai, hingga akhirnya pintu tikus yang
sudah penyok-penyok itu terlempar ke samping. Salah
seorang anggota Gerombolan diperintahkan masuk ke dalam
saluran pembuangan untuk menggali sampahnya. Kini lampu
sorot diarahkan tepat ke saluran pembuangan, dan

~80~
Gerombolan itu berkumpul mengelilingi pintu keluar. Sally
bisa melihat kilatan pistol mereka tertimpa silaunya sinar
lampu sorot. Dengan jantung serasa hampir melompat ke
luar, Sally menunggu mereka mendapati mangsa mereka
ternyata sudah kabur.
Tidak butuh waktu lama.
Sesosok tubuh kusut muncul dari saluran
pembuangan dan dengan kasar dicengkeram oleh si
Pemburu yang kelihatan sangat gusar. Tubuh orang itu
diguncang-guncang dengan keras, lalu dilemparnya, hingga
orang itu jatuh berguling-guling di lereng gunungan sampah.
Si Pemburu merunduk dan melihat dengan tatapan tak
percaya ke dalam saluran pembuangan sampah yang sudah
kosong. Sekonyong-konyong dia memberi isyarat kepada
anggota Gerombolan yang bertubuh paling kecil untuk
masuk ke dalam saluran pembuangan. Pria yang dipilih itu
bimbang dan enggan, tapi dipaksa masuk, dan dua anggota
Pengawal Gerombolan itu berjaga dengan memegang pistol
di mulut pintu tikus tersebut.
Si Pemburu berjalan perlahan menuju pinggiran
tumpukan sampah untuk menenangkan diri setelah tahu
mangsanya telah lolos. Seorang anak lelaki kecil
mengikutinya dari jarak yang aman.
Bocah itu berpakaian jubah hijau sehari-hari Murid
Penyihir, tapi tidak seperti Murid yang lainnya, dia memakai
sabuk merah dengan hiasan tiga bintang hitam. Bintang-
Bintang DomDaniel.
http://facebook.com/indonesiapustaka

Namun saat itu si Pemburu tidak memerhatikan


kehadiran Murid DomDaniel. Pemburu itu hanya berdiri
diam, tubuhnya pendek kekar, dengan potongan rambut
cepak khas Pengawal. Wajahnya cokelat dan bergurat-gurat
akibat bertahun-tahun berada di udara terbuka, memburu
dan melacak mangsa manusia. Dia memakai pakaian

~81~
Pemburu yang biasanya: tunik hijau tua dan mantel pendek
dengan sepatu bot kulit cokelat tebal.
Di pinggangnya melingkar sabuk kulit lebar tempat
menggantung sarung pisau dan sebuah pundi-pundi.
Si Pemburu tersenyum masam, mulutnya berupa
garis tipis dan tegas yang menekuk ke bawah pada tepi-
tepinya. Matanya yang biru pucat menyipit menjadi celah
sempit yang menyorotkan kewaspadaan. Jadi, ini bakal
menjadi suatu Perburuan? Baiklah, tidak ada yang lebih
disukainya daripada Perburuan. Selama bertahun-tahun dia
telah meniti karier, berusaha mencapai posisi teratas dalam
Gerombolan Pemburu itu. Kini dirinya sudah menjadi
Pemburu, yang terbaik dari semua anggota Gerombolan, dan
inilah saat yang sudah lama dinantikannya. Di sinilah dia,
bukan hanya memburu Penyihir LuarBiasa, tapi juga sang
Putri, si Ratu Kecil. Si Pemburu merasa berdebar-debar saat
membayangkan satu malam yang patut dikenang:
Mengamat-amati, Mencari Jejak, Mengejar, Mengakhiri, dan
Membunuh. Tidak masalah, pikir si Pemburu, senyumnya
semakin lebar hingga menampakkan gigi-giginya yang kecil
dan tajam di bawah dinginnya sinar bulan.
Si Pemburu mengalihkan pikirannya pada
Perburuan. Instingnya mengatakan bahwa buruannya telah
pergi jauh dari saluran pembuangan sampah itu. Tapi,
sebagai Pemburu yang efisien, dia harus memastikan bahwa
semua kemungkinan sudah dicoba. Dia memerintahkan
Pengawal Gerombolan masuk ke saluran pembuangan dan
http://facebook.com/indonesiapustaka

memeriksa semua jalan keluar ke arah Menara Penyihir. Si


Pemburu tak peduli bahwa tugas itu kemungkinan mustahil
dilaksanakan; anggota Pengawal Gerombolan adalah jabatan
paling rendah dari yang rendah; mereka bisa dijadikan
Tumbal, dan rela melaksanakan tugasnya atau gugur dalam
melaksanakannya. Dulu sang Pemburu pernah menjadi

~82~
Tumbal, tapi tidak lama-dia memastikan hal itu. Dan
sekarang, aku harus menemukan Jejak buruanku, pikirnya
dengan tubuh gemetar saking gembiranya.
Namun tempat pembuangan sampah itu hanya
memberi sedikit petunjuk, bahkan untuk pencari jejak selihai
si Pemburu. Hawa panas dari sampah yang membusuk telah
melelehkan salju, dan tikus serta burung camar yang
mengaduk-aduk sampah telah menghilangkan Jejak yang
tersisa. Baiklah, pikir si Pemburu. Berhubung tidak ada Jejak,
dia harus melakukan Pengamatan sampai ketemu.
Si Pemburu berdiri di titik yang paling
menguntungkan, yaitu di puncak tumpukan sampah, dan
meneliti pemandangan yang diterangi sinar bulan melalui
matanya yang disipitkan. Di belakangnya menjulang dinding-
dinding Kastil yang curam dan gelap, garis-garis menara-
menaranya tampak jelas, berlatar belakang langit dingin
yang bertabur bintang. Di depannya terbentang lanskap
bergelombang tanah pertanian yang membatasi ujung tepi
sungai, dan di kaki langit di kejauhan sana terlihat
Pegunungan Perbatasan. Si Pemburu memandangi lanskap
berselimut salju itu lama-lama dan penuh pertimbangan, tapi
tidak melihat apa pun yang menarik. Kemudian dialihkannya
perhatiannya pada pemandangan yang lebih dekat di
bawahnya. Dia melihat ke sungai lebar yang mengalir di
bawah sana, tatapannya mengikuti aliran air sungai yang
berkelok-kelok dan mengalir cepat ke arah sebelah
kanannya, melewati kedai yang bertengger di atas jembatan
http://facebook.com/indonesiapustaka

ponton yang mengapung, melewati dermaga kecil dengan


kapal-kapal yang ditambatkan. Matanya terus mengikuti
arah aliran sungai lebar sampai menghilang dari pandangan
di balik Karang Gagak, bebatuan menonjol yang menjulang di
atas sungai.
Si Pemburu mendengarkan dengan saksama, kalau-

~83~
kalau ada suara-suara yang berasal dari air sungai, tapi yang
terdengar olehnya hanyalah kesunyian salju yang turun
menyelimuti semua permukaan. Diamati air sungai untuk
mencari petunjuk-mungkin bayang-bayang di bawah tebing
sungai, seekor burung yang terlonjak kaget, riak air yang
membawa pertanda-tapi dia tidak bisa melihat apa-apa.
Tidak ada apa-apa. Kesunyian dan ketenangannya terasa
janggal, sungai yang gelap mengalir tanpa suara melewati
lanskap bersalju putih yang diterpa kilauan sinar bulan
purnama. Malam yang sempurna untuk berburu, pikir si
Pemburu.
Si Pemburu berdiri tak bergerak, tegang, menanti
Sasarannya menampakkan diri.
Mengamati dan menanti...
Matanya menangkap sesuatu. Seraut wajah pucat di
jendela kedai. Wajah ketakutan, wajah yang tahu sesuatu. Si
Pemburu tersenyum. Pengamatannya membuahkan hasil.
Jejak itu telah ditemukan.
http://facebook.com/indonesiapustaka

~84~
11. PENCARIAN JEJAK
Say melihat mereka datang.
Dia terlonjak mundur dari jendela, merapikan
roknya dan menenangkan pikirannya. Ayo lakukan, kata
Sally dalam hati. Kau pasti bisa melakukannya. Pasang raut
wajah Pemilik Kedai yang ramah, maka mereka takkan
curiga. Sally berlindung di balik bar dan, untuk pertama
kalinya, masih dalam jam buka kedai, dia menuang segelas
besar Springo Spesial dan menenggaknya.
Eurgh. Dia tidak pernah suka minuman itu. Terlalu
banyak tikus mati di dasar tong penyimpanannya.
Sewaktu Sally menenggak lagi minuman berbau tikus
mati itu, sinar lampu sorot yang sangat terang menimpa
kedai dan menyapu semua orang di dalamnya. Sesaat
sinarnya menyorot tepat ke kedua mata Sally, kemudian
bergerak menyinari wajah-wajah pucat Para Pedagang dari
Utara. Para Pedagang itu berhenti bicara dan saling bertukar
pandang dengan raut gelisah.
Sesaat kemudian Sally mendengar debum berat
langkah-langkah kaki bergegas melewati lorong. Jembatan
ponton berguncang sewaktu Gerombolan itu berlari di
atasnya, dan kedai ikut bergetar, piring-piring dan gelas-
gelas di dalamnya berantukan dan berdenting-denting gugup.
Sally menyingkirkan gelas birnya, berdiri tegak, dan dengan
susah payah menyunggingkan senyum selamat datang di
wajahnya.
http://facebook.com/indonesiapustaka

Pintu didobrak terbuka.


Si Pemburu melangkah masuk. Di belakangnya, di
bawah sinar lampu sorot, Sally bisa melihat Gerombolan itu
berbaris di sepanjang jembatan ponton, dengan pistol di
tangan.
"Selamat malam, Sir. Apa yang bisa kubuatkan untuk

~85~
Anda?" tanya Sally gemetaran.
Si Pemburu mendengar getaran dalam suara Sally
dan merasa puas. Dia suka kalau mereka ketakutan.
Pria itu berjalan perlahan menuju bar, bersandar di
meja bar dan menatap Sally lekat-lekat.
"Kau bisa memberiku informasi. Aku tahu kau
memilikinya."
"Oh?" Sally berusaha kedengaran tertarik. Tapi
bukan itu yang didengar oleh si Pemburu; yang didengarnya
adalah rasa takut dan mengulur waktu.
Bagus, pikirnya. Yang satu ini tahu sesuatu. "Aku
sedang mengejar sekelompok kecil teroris berbahaya," tutur
sang Pemburu, sambil mengamati wajah Sally dengan
saksama. Sally berusaha keras mempertahankan wajah
Pemilik Kedai yang ramah, tapi sesaat topengnya terkuak,
dan sekelebat menampakkan perasaan sesungguhnya:
terkejut.
"Terkejut ya, mendengar teman-temanmu disebut
sebagai teroris?"
"Tidak," sahut Sally cepat. Kemudian, sadar akan
ucapannya barusan, dia tergagap, "Aku... bukan itu
maksudku. Aku..."
Sally menyerah. Habis sudah. Bagaimana bisa terjadi
dengan begitu mudah? Pasti karena tatapan matanya, pikir
Sally, sinar dari celah matanya yang sipit namun tajam bak
dua lampu sorot yang menyoroti benakmu. Betapa
bodohnya ia, mengira bisa mengelabui si Pemburu. Jantung
http://facebook.com/indonesiapustaka

Sally berdetak begitu kencang, hingga dia yakin si Pemburu


bisa mendengarnya.
Tentu saja si Pemburu bisa mendengarnya. Itu salah
satu suara favoritnya, detak jantung mangsa yang terpojok.
Didengarkannya lebih lama lagi suara yang menyenangkan
itu, lalu katanya, "Kau harus memberitahu kami di mana

~86~
mereka berada."
"Tidak," gumam Sally.
Si Pemburu tidak kelihatan terganggu dengan sikap
membangkang kecil-kecilan ini. "Kau akan mengatakannya,
katanya tegas.
Si Pemburu bersandar di meja bar.
"Kedaimu ini menyenangkan, Sally Mullin. Bagus
sekali. Terbuat dari kayu, kan? Kalau tidak salah, aku pernah
ke sini. Sekarang kayu-kayu bangunan ini sudah kering dan
getas. Konon sangat mudah terbakar."
"Tidak...," bisik Sally.
"Baiklah, begini saja. Kau katakan ke mana teman-
temanmu itu pergi, dan akan kubuang jauh-jauh amarahku..."
Sally diam saja. Otaknya berpikir keras, tapi yang
terpikir malah hal-hal yang tidak masuk akal. Satu-satunya
yang terlintas di benaknya hanyalah dia belum mengisi lagi
ember-ember air untuk menyiram api setelah si Bocah
Pencuci Piring pernah secara tak sengaja membakar lap
dapur.
"Baiklah" kata si Pemburu. "Aku akan menyuruh
anak buahku menyulut api. Akan kukunci pintu-pintu itu
saat keluar nanti. Kita tidak ingin ada yang melarikan diri dan
terluka, kan?
"Kau tidak boleh..." Sally tertegun, mengerti bahwa si
Pemburu bukan hanya berniat membakar habis kedai yang
dicintainya, tapi juga bermaksud membakar habis kedai itu
beserta dirinya di dalamnya. Termasuk Para Pedagang dari
http://facebook.com/indonesiapustaka

Utara. Sally melirik ke arah mereka. Mereka sedang


bergumam gelisah.
Si Pemburu sudah menyampaikan maksudnya, dan
kini tiba saatnya untuk menunjukkan bahwa dia tidak main-
main. Sekonyong-konyong dia berbalik dan berjalan ke
pintu.

~87~
Sally menatapnya, tiba-tiba amarahnya meluap.
Berani-beraninya dia datang ke kedai-ku dan meneror
pelanggan-kul Lalu dengan seenaknya berniat membakar
habis kami semua? Orang itu, pikir Sally, hanya bisa
menggertak. Dan dia tidak suka orang yang suka menggertak.
Sally spontan berlari keluar dari belakang bar.
"Tunggu!" teriaknya.
Si Pemburu tersenyum. Taktiknya berhasil. Selalu
berhasil. Tinggalkan dan biarkan mereka
mempertimbangkannya selama beberapa saat. Mereka selalu
kembali ke akal sehat. Si Pemburu berhenti, tapi tidak
berbalik.
Sejurus tendangan keras kaki kanan Sally yang
memakai sepatu bot menghantam kaki si Pemburu dengan
tiba-tiba.
"Pembual," teriak Sally.
"Bodoh," kata si Pemburu terperangah, sambil
memegangi kakinya. "Kau akan menyesalinya, Sally Mullin."
Seorang Pengawal Senior Gerombolan itu muncul.
"Ada masalah, Sir?" tanyanya.
Si Pemburu tidak suka terlihat melompat-lompat
kesakitan dengan cara memalukan. "Tidak ada," hardiknya.
"Semua sesuai rencana."
"Pasukan sudah mengumpulkan kayu bakar, Sir, dan
menaruhnya di bawah kedai seperti yang Anda perintahkan.
Kayu-kayunya sudah kering dan percikan batu apinya juga
sudah cukup, Sir."
http://facebook.com/indonesiapustaka

"Bagus," sahut si Pemburu dengan bengis.


"Permisi, Sir?" ujar suara beraksen kental di
belakangnya. Salah satu Pedagang dari Utara telah
meninggalkan meja dan menghampiri si Pemburu.
"Ya?" sahut si Pemburu dengan gigi-gigi dirapatkan,
seraya memutar tubuhnya dengan satu kaki. Pedagang itu

~88~
berdiri dengan sikap canggung. Dia mengenakan tunik merah
tua Liga Hanseatic, kumal dan kotor akibat perjalanannya.
Rambut pirangnya yang acak-acakan ditahan dengan
bandana kulit yang sudah kotor di dahinya, dan wajahnya
putih seperti adonan ditimpa sinar lampu sorot.
"Kukira kami punya informasi yang Anda butuhkan?"
lanjut si Pedagang. Suaranya keluar perlahan, mencari-cari
kata-kata yang tepat dalam bahasa yang asing baginya,
nadanya meninggi seolah sedang bertanya.
"Benar begitu?" sahut si Pemburu, rasa sakit di
kakinya mulai hilang, karena pada akhirnya Perburuan ini
mulai bisa mencium Jejak.
Sally menatap si Pedagang dari Utara dengan
ketakutan. Bagaimana dia bisa tahu? Lalu Sally sadar.
Pedagang itu tadi pasti melihat mereka dari jendela.
Si Pedagang menghindar dari tatapan Sally yang
menuduh. Kelihatan gelisah, tapi yang jelas dia cukup
memahami bahwa ancaman si Pemburu juga patut ditakuti.
"Kami rasa orang-orang yang Anda cari sudah pergi?
Naik kapal?" tutur si Pedagang perlahan.
"Kapal. Kapal yang mana?" bentak si Pemburu, yang
kini sudah kembali memegang kendali.
"Kami tidak mengenal kapal-kapal kalian di sini.
Kapal kecil, dengan layar-layar berwarna merah? Satu
keluarga dengan seekor serigala."
"Seekor serigala. Ah, anjing kampung itu." Si
Pemburu bergerak terlalu dekat pada si Pedagang dan
http://facebook.com/indonesiapustaka

menggeram dengan suara pelan, "Ke arah mana? Ke hulu atau


hilir? Ke pegunungan atau Pelabuhan? Ingat baik-baik,
kawan, bila kau dan teman-temanmu ingin tetap merasa
dingin malam ini."
"Ke hilir. Ke Pelabuhan," gumam si Pedagang, yang
merasa embusan napas panas si Pemburu tidak enak baunya.

~89~
"Baik," sahut si Pemburu, puas. "Kusarankan kau dan
teman-temanmu angkat kaki sekarang juga, selagi masih
sempat."
Keempat Pedagang lainnya bangkit tanpa berkata-
kata, lalu menghampiri Pedagang kelima, yang dengan mimik
bersalah menghindari tatapan ketakutan Sally. Dengan cepat
mereka menghilang ke dalam kegelapan malam,
meninggalkan Sally menerima nasibnya.
Si Pemburu membungkuk hormat dengan sikap
mengejek pada Sally.
"Dan selamat malam juga, Madam," katanya. "Terima
kasih atas keramahan Anda." Si Pemburu melangkah pergi
dan membanting pintu di belakangnya.
"Paku pintunya!" teriaknya gusar. "Jendela-
jendelanya juga. Jangan sampai dia melarikan diri!"
Si Pemburu berjalan menyusuri lorong. "Siapkan
kapal peluru pengejar," perintahnya pada si Pelari yang
menunggu di ujung gang. "Berangkat ke dermaga. Sekarang!"
Si Pemburu tiba di tepi sungai dan menengok untuk
melihat kedai Sally Mullin yang sudah terkepung. Betapapun
besar keinginannya untuk melihat jilatan api pertama
sebelum pergi, dia tidak menghentikan langkahnya. Dia
harus menangkap Jejak itu sebelum menjadi dingin. Sewaktu
berjalan menuju dermaga untuk menunggu kedatangan kapal
peluru, tersungging senyum puas di wajah si Pemburu.
Tidak ada orang yang bisa mengelabui diri-nya dan
lepas begitu saja dari cengkeramannya.
http://facebook.com/indonesiapustaka

Di belakang si Pemburu yang tengah tersenyum, si


Murid berjalan mengikuti. Dia agak cemberut karena
ditinggalkan kedinginan di luar kedai, tapi dia juga sangat
gembira. Dirapatkannya jubah tebalnya dan dia memeluk
tubuhnya dengan penuh semangat. Bola mata hitamnya
berkilat-kilat, dan pipi pucatnya bersemu merah terkena

~90~
dinginnya udara malam. Ini akan menjadi Petualangan Besar
seperti telah dikatakan Guru-nya. Awal dari Kembalinya sang
Guru. Dan dia ikut ambil bagian di dalamnya, karena tanpa
dirinya hal ini tidak mungkin terjadi. Dia Penasihat si
Pemburu. Dialah Pengawas jalannya Perburuan. Orang yang
kekuatan Magyknya kelak bisa Menyelamatkan. Sekilas
keraguan melintas di benaknya memikirkan hal ini, tapi
disingkirkannya jauh-jauh. Dia merasa menjadi orang yang
begitu penting, hingga ingin rasanya berteriak. Atau
melompat-lompat. Atau memukul seseorang. Tapi tidak bisa.
Dia harus melakukan seperti yang diperintahkan Guru-nya
dan mengikuti si Pemburu dengan hati-hati dan tenang. Tapi
dia bisa memukul si Ratu Kecil itu sewaktu berhasil
menangkapnya nanti-biar tahu rasa gadis itu.
"Berhenti melamun dan cepat naik ke kapal!" bentak
si Pemburu. "Naik di belakang, jangan menghalangi jalanku."
Si Murid melakukan sesuai perintah. Dia tidak ingin
mengakui, tapi si Pemburu membuatnya takut. Dengan hati-
hati dia melangkah ke buritan dan merapatkan tubuhnya di
ruang sempit di depan kaki para pendayung.
Si Pemburu memandangi kapal cepat itu dengan
puas. Panjang, sempit, ramping dan sekelam malam, dilapisi
pernis yang membuat kapal itu mampu meluncur di air
setajam pisau sepatu luncur di atas permukaan es. Diperkuat
dengan sepuluh pendayung terlatih, kapal itu bisa melaju
cepat melampaui apa pun di atas permukaan air.
Di haluannya ditempatkan sebuah lampu sorot yang
http://facebook.com/indonesiapustaka

sangat terang dan kokoh untuk menaruh pistol. Si Pemburu


melangkah dengan hati-hati ke arah haluan dan menduduki
papan sempit di belakang tripod. Dengan sigap dan cekatan
dipasangnya pistol perak Pembunuh di atas tripod itu.
Kemudian diambilnya sebutir peluru perak dari dalam
kantongnya, dilihatnya baik-baik untuk memastikan

~91~
memang itu peluru yang diinginkannya, lalu ditaruhnya di
nampan kecil di samping pistol, siap digunakan. Akhirnya si
Pemburu mengambil lima peluru standar dari kotak peluru
kapal dan menjejerkannya di sebelah peluru perak. Dia
sudah siap. "Jalan!" perintahnya.
Kapal peluru melaju lancar dan tenang keluar dari
dermaga, sampai di arus cepat di tengah sungai dan
menghilang ditelan malam.
Tapi sebelumnya si Pemburu menengok ke belakang
dan melihat pemandangan yang sedari tadi dinantikannya.
Lidah api menjilat-jilat di tengah gelapnya malam. Api
berkobar-kobar membakar Kedai Sally Mullin.
http://facebook.com/indonesiapustaka

~92~
12. MURIEL
Beberapa mil ke arah hulu, kapal layar Muriel melaju
ditiup angin, dan Nicko merasa senang sekali. Dia berdiri di
dekat kemudi kapal kecil sarat penumpang itu, dan
mengemudikannya dengan cekatan menelusuri kanal yang
berliku-liku di tengah sungai, yang airnya mengalir deras dan
dalam. Gelombang musim semi surut dengan cepat dan
membawa mereka semua, sementara angin berembus cukup
kencang untuk membuat air berombak kecil sehingga Muriel
terangguk-angguk di sela-sela gelombang.
Bulan purnama bersinar tinggi di langit dan
memantulkan sinar keperakan terang di atas permukaan
sungai, menerangi jalan mereka. Sungai itu melebar saat
alirannya semakin dekat ke laut. Ketika para penumpang
kapal melihat bahwa tebing-tebing sungai yang letaknya
rendah dan ditumbuhi pepohonan rimbun serta pondok yang
berdiri sendirian tampak makin lama makin jauh. Kesunyian
menyelimuti ketika para penumpang kapal mulai merasa
betapa kecilnya mereka di tengah bentangan luas permukaan
air itu. Dan Marcia mulai merasa teramat sangat mual.
Jenna duduk di geladak kayu, bersandar pada badan
kapal seraya memegangi tali, seperti diperintahkan Nicko.
Tali itu diikatkan pada layar segitiga kecil di haluan,
tersentak-sentak dan tertarik oleh angin, dan Jenna sibuk
berusaha menahan tali itu agar tidak terlepas dari
genggamannya. Jemarinya kaku dan mati rasa, tapi dia tidak
http://facebook.com/indonesiapustaka

berani melepaskan tali itu. Nicko sangat bossy saat


mengemudikan kapal, pikir Jenna.
Angin terasa dingin, dan meski telah memakai baju
hangat tebal, jaket besar kulit domba, dan topi wol yang ada
di lemari pakaian Sally, Jenna tetap gemetar kedinginan.
Meringkuk di sebelah Jenna, terbaring Bocah 412.

~93~
Begitu Jenna menariknya naik ke kapal, Bocah 412
memutuskan kalau tidak ada lagi yang bisa dilakukannya,
jadi dia berhenti melawan para Penyihir dan anak-anak aneh
itu. Sewaktu Muriel mengitari Karang Gagak dan Kastil sudah
tidak terlihat lagi, Bocah 412 langsung meringkuk di sebelah
Jenna dan segera tertidur. Saat ini Muriel telah mencapai
permukaan air yang arusnya lebih kuat, dan kepala Bocah
412 terantuk-antuk di tiang layar, seirama gerakan kapal.
Dengan lembut Jenna menggeser Bocah 412, kepala anak itu
dibaringkan di pangkuannya. Dipandanginya wajah kurus si
anak yang nyaris tersembunyi di bawah topi wol merahnya.
Bocah 412 tampak jauh lebih bahagia dalam tidur daripada
saat terbangun, pikir Jenna. Kemudian pikirannya beralih
kepada Sally.
Jenna menyayangi Sally. Dia sangat menyukai Sally
yang senang berceloteh dan caranya menghidupkan suasana.
Setiap kali Sally berkunjung ke rumah keluarga Heap,
sosoknya yang ceria memancarkan semua kegembiraan
hidup di Kastil, dan Jenna sangat menyukainya.
"Semoga Sally baik-baik saja," kata Jenna pelan,
sambil mendengarkan keriat-keriut dan desiran lembut
penuh arti dari kapal kecil yang melaju di atas air hitam yang
berkilauan.
"Ayah juga berharap begitu, Sayang," sahut Silas,
tenggelam dalam pikirannya.
Sejak Kastil menghilang dari pandangan, kini Silas
juga punya waktu untuk berpikir. Dan setelah memikirkan
http://facebook.com/indonesiapustaka

Sarah dan keenam putranya, serta berharap mereka sudah


sampai di rumah pohon Galen di Hutan dengan selamat,
pikirannya juga melayang pada Sally, dan membuatnya
gelisah.
"Dia akan baik-baik saja," sahut Marcia lemah. Dia
merasa mual, dan dia tidak menyukainya.

~94~
"Begitulah sifatmu, Marcia," hardik Silas. "Mentang-
mentang sudah menjadi Penyihir LuarBiasa, seenaknya saja
kau mengambil apa yang kauinginkan dari orang lain tanpa
memikirkan keadaan orang itu. Kau tidak hidup di dunia
nyata lagi, ya? Tidak seperti kami, Penyihir Biasa. Kami tahu
bagaimana rasanya berada dalam bahaya."
"Muriel baik-baik saja," kata Nicko gembira,
berusaha mengganti topik pembicaraan. Dia tidak suka kalau
Silas kesal tentang Penyihir Biasa. Menurut Nicko, menjadi
Penyihir Biasa lumayan bagus. Dia sendiri tidak terlalu suka-
terlalu banyak buku yang harus dibaca dan tidak cukup
banyak waktu untuk berlayar-tapi menurut pendapatnya, itu
pekerjaan terhormat. Lagi pula, siapa yang ingin jadi
Penyihir LuarBiasa? Terkurung hampir sepanjang waktu di
dalam Menara aneh itu dan tidak pernah bisa pergi ke mana-
mana tanpa menjadi tontonan orang. Nicko sama sekali tidak
mau jadi seperti itu.
Marcia menghela napas. "Kurasa JimatPelindung
platinum yang kuberikan padanya dari sabukku bisa
menolongnya," tuturnya perlahan, memandang lekat tepian
sungai di kejauhan.
"Kau memberi Sally salah satu Jimat sabukmu?"
tanya Silas kagum. "JimatPelindung milikmu? Tidakkah itu
agak berisiko? Barangkali kelak kau membutuhkannya."
"JimatPelindung itu untuk digunakan dalam
Kebutuhan Sangat Mendesak. Sally akan bergabung dengan
Sarah dan Galen. Barangkali jimat itu juga bisa berguna buat
http://facebook.com/indonesiapustaka

mereka. Sekarang diamlah. Perutku mual sekali."


Kesunyian yang canggung melanda.
"Muriel melaju dengan baik, Nicko. Kau pelaut yang
hebat," kata Silas beberapa saat kemudian.
"Terima kasih, Yah," sahut Nicko, tersenyum lebar,
seperti yang selalu dilakukannya kalau kapal berlayar

~95~
dengan baik. Nicko mengemudikan Muriel dengan cekatan
melintasi permukaan air, menyeimbangkan tarikan tangkai
kemudi melawan kerasnya embusan angin pada layarlayar,
dan membuat kapal kecil itu bernyanyi mengarungi
gelombang.
"Apakah itu Rawa-Rawa Marram, Yah?" tanya Nicko
setelah beberapa saat, menunjuk ke tepian sungai di
kejauhan di sebelah kirinya. Dia memerhatikan bahwa
lanskap di sekelilingnya mulai berubah. Saat ini Muriel
berlayar di tengah bentangan permukaan air yang luas, dan
di kejauhan Nicko bisa melihat bentangan luas dataran
rendah datar, berselimut salju dan berkilauan diterpa sinar
bulan.
Silas memandang jauh ke seberang permukaan air.
"Barangkali kau harus mengarahkan kapalnya sedikit
ke sana, Nicko," Silas menyarankan, sambil melambaikan
lengannya ke arah yang tadi ditunjuk Nicko. "Setelah itu kita
bisa mencari Parit Deppen. Tempat itulah yang kita
butuhkan."
Silas berharap bisa mengingat jalan masuk ke Parit
Deppen, yang merupakan kanal menuju Pondok Penjaga,
tempat Bibi Zelda tinggal. Sudah lama sekali dia tidak
bertemu Bibi Zelda, dan bagi Silas semua permukaan rawa
kelihatan sama saja.
Nicko baru saja mengubah haluan dan bergerak ke
arah lambaian lengan Silas sewaktu sinar terang benderang
menerebos kegelapan di belakang mereka.
http://facebook.com/indonesiapustaka

Ternyata itu lampu sorot kapal peluru.

~96~
13. PENGEJARAN
Semuanya-kecuali Bocah 412 yang masih tertidur-
menatap ke kegelapan. Saat itu pula lampu sorot kembali
menyapu kaki langit di kejauhan, menerangi bentangan luas
permukaan air sungai dan tepian dataran rendah di kedua
sisinya. Dalam benak semua orang terlintas satu hal yang tak
diragukan lagi.
"Itu kapal si Pemburu, benar kan, Yah?" bisik Jenna.
Silas tahu Jenna benar, tapi dia berkata, "Well, itu
bisa apa saja, Sayang. Hanya kapal yang sedang mencari
ikan... atau sesuatu," tambahnya pelan.
"Tentu saja itu si Pemburu. Naik kapal peluru, kalau
aku tidak salah," hardik Marcia, yang mendadak tidak
merasa mual lagi.
Marcia tidak menyadarinya, tapi dia tidak lagi
merasa mual karena Muriel sudah berhenti terangguk-
angguk di permukaan air. Bahkan sebenarnya Muriel sudah
berhenti total, hanya mengapung, tanpa arah dan tujuan.
Marcia menatap Nicko dengan sorot mata menuduh.
"Ayo, terus jalankan, Nicko. Kenapa kau
memperlambatnya?"
"Aku tidak bisa berbuat apa-apa. Anginnya berhenti,"
gumam Nicko, khawatir. Dia baru saja membelokkan Muriel
ke arah Rawa-Rawa Marram, dan mendapati ternyata angin
berhenti berembus. Muriel kehilangan kecepatan, dan layar-
layarnya menggelantung terkulai.
http://facebook.com/indonesiapustaka

"Kita tidak bisa diam menunggu di sini," kata Marcia,


gelisah melihat lampu sorot yang mendekat dengan cepat.
"Kapal itu akan sampai di sini beberapa menit lagi."
"Tidak bisakah kau membuat anginnya berdesir
supaya kita bisa jalan?" tanya Silas pada Marcia, kesal.
"Kukira kau sudah mempelajari Kendali Unsur Alam di Kelas

~97~
Mahir. Atau buatlah agar kita tidak kelihatan. Ayolah, Marcia.
Lakukan sesuatu."
"Aku tidak bisa 'membuat angin berdesir' begitu saja.
Waktunya tidak cukup. Dan kau tahu Menghilang adalah
mantra untuk diri sendiri. Aku tidak bisa melakukannya
untuk orang lain."
Lampu sorot kembali menyapu permukaan air. Lebih
besar, lebih terang, lebih dekat. Dan menuju ke arah mereka
dengan cepat.
"Kita harus menggunakan dayung," kata Nicko, yang
sebagai kapten kapal memutuskan untuk mengambil alih.
"Kita bisa mendayung sampai ke rawa-rawa dan sembunyi di
sana. Ayo. Cepat."
Marcia, Silas, dan Jenna masing-masing menyambar
dayung. Bocah 412 terbangun kaget sewaktu Jenna, yang
terburu-buru hendak mengambil dayung, membuat kepala si
bocah tergeser dan terbentur dek. Dia melihat ke
sekelilingnya dengan tidak senang. Mengapa dirinya masih
berada di kapal bersama semua Penyihir itu? Mengapa
mereka menginginkan dirinya?
Dengan kasar Jenna menyorongkan dayung yang
tersisa ke tangan bocah itu.
"Dayung!" perintah Jenna padanya. "Secepat
mungkin!" Nada suara Jenna mengingatkan si Bocah 412
pada guru pelatihnya. Dicelupkannya dayung ke air dan
mendayung secepat mungkin.
Pelan-pelan, amat sangat terlalu pelan, Muriel
http://facebook.com/indonesiapustaka

merayap menuju tempat aman di Rawa-Rawa Marram


sementara lampu sorot kapal peluru berayun maju-mundur
di atas permukaan air, memburu mangsanya tanpa kenal
ampun.
Jenna mencuri pandang ke belakangnya dan dengan
ngeri melihat bentuk hitam kapal peluru itu. Bentuknya

~98~
seperti kumbang panjang yang menjijikkan, lima pasang kaki
kurus hitamnya mengiris permukaan air ke depan dan ke
belakang, tanpa suara. Sementara para pendayungnya
terlatih mendayung, nyaris menyusul para penumpang
Muriel yang semakin panik mendayung.
Sosok yang duduk di haluan, tak salah lagi adalah si
Pemburu, tegang dan siap menyerang. Jenna menangkap
tatapan dinginnya yang penuh perhitungan, dan tiba-tiba
Jenna merasa cukup berani untuk bicara kepada Marcia.
"Marcia," kata Jenna, "kita tidak akan sampai ke
rawa-rawa tepat waktu. Kau harus bertindak. Sekarang."
Meski Marcia kelihatan terkejut karena langsung
diberi perintah seperti itu, dia setuju. Gadis ini bicara
layaknya Putri sejati, pikirnya.
"Baiklah," Marcia setuju. "Aku akan mencoba
memunculkan Kabut. Aku bisa melakukannya dalam lima
puluh tiga detik. Cuacanya cukup dingin dan lembap."
Awak Muriel tidak keberatan dengan sedikit dingin
dan lembap. Mereka hanya berharap masih punya waktu
lima puluh tiga detik lagi.
"Semuanya berhenti mendayung," perintah Marcia.
"Jangan bergerak. Dan diam. Jangan bersuara sedikit pun."
Awak Muriel mematuhi perintah itu, dan di tengah
kesunyian, mereka mendengar suara baru dari kejauhan.
Irama kecipak air dari dayung-dayung kapal peluru.
Marcia berdiri dengan hati-hati, berharap permukaan
kapal tidak terlalu bergerak-gerak. Kemudian dia bersandar
http://facebook.com/indonesiapustaka

di tiang layar untuk menjaga keseimbangan, menarik napas


dalam-dalam, dan merentangkan kedua lengannya lebar-
lebar. Jubahnya berkibar bak sepasang sayap ungu.
"Kegelapan Bangunlah!" bisik si Penyihir LuarBiasa
sekeras mungkin. "Kegelapan Bangunlah dan Beri
Perlindungan!"

~99~
Mantra yang indah. Jenna memerhatikan awan-awan
tebal putih bergumpal di langit yang diterangi sinar bulan,
dengan cepat mengaburkan bulan dan menurunkan hawa
dingin di udara malam. Dalam kegelapan semuanya diam
membisu sewaktu sulur-sulur halus pertama kabut mulai
muncul dari permukaan air gelap sejauh mata memandang.
Sulur-sulur itu bermunculan semakin cepat dan semakin
cepat, mengumpul jadi satu dan berkembang menjadi
gumpalan tebal Kabut, saat uap tipis dari rawa-rawa
bergulung-gulung di atas air untuk melebur. Tepat di tengah-
tengah Kabut, tempat Muriel berada, tenang dan menunggu
dengan sabar selagi kabut tipis turun, berputar-putar, dan
menebal mengelilinginya.
Tak lama kemudian Muriel telah diselimuti ketebalan
putih pekat yang terasa dingin menusuk tulang-tulang Jenna.
Di sebelahnya Bocah 412 mulai menggigil kedinginan. Dia
masih merasa dingin akibat terkubur di salju.
"Tepat lima puluh tiga detik," suara Marcia
bergumam dari balik Kabut. "Lumayan."
"Ssst," Silas menyuruhnya diam.
Kesunyian putih tebal melanda kapal kecil itu.
Perlahan Jenna mengangkat tangan dan menutupi matanya
yang terbuka lebar. Yang terlihat hanyalah warna putih. Tapi
dia bisa mendengar semuanya.
Bisa didengarnya kecipak teratur sepuluh dayung
setajam pisau keluar-masuk air, keluar, masuk, keluar,
masuk. Bisa didengarnya desir bisikan kapal peluru
http://facebook.com/indonesiapustaka

membelah sungai, dan sekarang... sekarang kapal itu sudah


begitu dekat, hingga bisa didengarnya napas memburu para
pendayung.
"Berhenti!" suara sang Pemburu menggelegar di balik
Kabut. Kecipak air dari dayung-dayung berhenti dan kapal
peluru berhenti. Di dalam Kabut, para penumpang Muriel

~100~
menahan napas, yakin bahwa kapal peluru itu sangat dekat.
Mungkin cukup dekat untuk bisa diraih dan disentuh. Atau
bahkan cukup dekat untuk si Pemburu melompat ke dek
Muriel yang padat penumpang....
Jenna merasa jantungnya berdegup cepat dan
kencang, namun dia berusaha bernapas perlahan-lahan,
tanpa suara, dan tetap diam tak bergerak. Dia tahu meski
mereka tidak terlihat, suara mereka masih bisa kedengaran.
Nicko dan Marcia melakukan hal yang sama. Silas juga,
ditambah dengan satu tangan menutup moncong Maxie yang
panjang dan basah untuk mencegahnya melolong, sementara
tangan satunya perlahan dan tenang mengelus anjing serigala
yang gelisah itu, yang sedari tadi ketakutan melihat Kabut.
Jenna bisa merasakan tubuh Bocah 412 yang terus
gemetaran. Perlahan dia mengulurkan lengan dan menarik
anak itu ke dekatnya untuk mencoba menghangatkannya.
Bocah 412 terasa tegang. Jenna tahu anak itu sedang
mendengarkan suara si Pemburu.
"Kita berhasil!" kata si Pemburu. "Ini Kabut Sihir. Dan
apa yang biasanya kau temukan di tengah Kabut Sihir?
Penyihir yang sedang beraksi. Dan kaki tangannya."
Tawanya yang puas dan parau menembus Kabut dan
membuat Jenna bergidik ketakutan.
"Menyerahlah... kalian...." Suara menggelegar si
Pemburu menyelimuti Muriel. "Sang Ra -- Putri tidak perlu
takut pada kami. Begitu juga kalian semua. Kami hanya
mencemaskan keselamatan kalian, dan ingin mengawal
http://facebook.com/indonesiapustaka

kalian kembali ke Kastil sebelum kecelakaan yang naas


menimpa kalian."
Jenna benci suara bermanis-manis si Pemburu. Juga
benci karena mereka tidak bisa menyelamatkan diri dari
kedaaan itu, karena mereka hanya bisa duduk menunggu dan
mendengarkan kebohongannya yang penuh bujuk rayu.

~101~
Jenna ingin berteriak padanya. Mengatakan padanya bahwa
dialah yang berkuasa di sini. Bahwa dia tidak takut pada
ancaman-ancaman si Pemburu. Bahwa kelak si Pemburu
akan menyesal. Kemudian dirasakannya Bocah 412 menarik
napas dalam-dalam, dan Jenna tahu benar apa yang akan
dilakukan bocah itu. Berteriak.
Jenna membungkam mulut Bocah 412 rapat-rapat
dengan telapak tangannya. Bocah itu meronta-ronta
dan mencoba mendorongnya, tapi Jenna mencengkeram
kedua lengan si bocah dengan tangan satunya serta
menahannya erat-erat. Jenna cukup kuat untuk anak
seukuran dirinya, dan sangat gesit pula. Bocah 412 yang
kurus dan lemah bukanlah tandingannya.
Bocah 412 geram. Kesempatan terakhirnya untuk
menebus kesalahan dihalangi. Seharusnya dia bisa kembali
ke Laskar Pemuda sebagai pahlawan, setelah dengan gagah
berani menggagalkan usaha pelarian para Penyihir. Tapi
tangan mungil kotor sang Putri malah membekap mulutnya
dan membuatnya mual. Dan sang Putri lebih kuat
dibandingkan dirinya. Ini tidak benar. Dia anak laki-laki dan
Jenna cuma gadis bodoh. Dengan marah Bocah 412
menendangkan kakinya dan menghantam dek dengan suara
gedebuk keras. Langsung saja Nicko menyerangnya,
mengunci kaki-kakinya dan memeganginya erat-erat sampai
Bocah 412 tidak bisa bergerak atau memperdengarkan suara
lagi.
Tapi suara berisik itu sudah terlanjur kedengaran. Si
http://facebook.com/indonesiapustaka

Pemburu mengisi pistolnya dengan peluru perak. Tendangan


marah Bocah 412 memberi petunjuk bagi si Pemburu untuk
mengarahkan bidikannya. Si Pemburu tersenyum sendiri
selagi memutar pistolnya di atas tripod untuk menghadap ke
Kabut. Bidikannya tepat mengarah kepada Jenna.
Marcia mendengar klik logam bunyi peluru perak

~102~
dimasukkan, suara yang pernah didengarnya satu kali dan
tidak pernah dilupakannya. Dia berpikir cepat. Dia bisa
merapal mantra Kepung dan Lindungi, tapi dia cukup
memahami si Pemburu, dan tahu bahwa orang itu pasti cuma
akan memandangi dan menunggu sampai pengaruh
mantranya hilang. Satu-satunya jalan keluar, pikir Marcia,
adalah Proyeksi. Marcia hanya berharap tenaganya masih
cukup untuk mempertahankan mantra itu.
Marcia memejamkan matanya, kemudian
Memproyeksikan. Dia Memproyeksikan Muriel dan semua
penumpangnya berlayar keluar dari Kabut dengan kecepatan
penuh. Layaknya semua Proyeksi, citra yang muncul
hanyalah pantulan cermin, tapi Marcia berharap dalam
kegelapan, dan dengan tahuM berlayar cepat, si Pemburu
tidak menyadarinya.
"Sir!" seorang pendayung berteriak. "Mereka
mencoba melarikan diri, Sir!"
Suara-suara pistol disiapkan pun berhenti. Si
Pemburu mengumpat.
"Ikuti mereka, dasar bodoh!" teriaknya pada para
pendayung.
Perlahan-lahan kapal peluru menjauh dari Kabut.
"Lebih cepat lagi!" teriak si Pemburu dengan marah, tak
sanggup menyaksikan mangsanya melarikan diri untuk
ketiga kalinya.
Di dalam Kabut, Jenna dan Nicko menyeringai.
Kedudukan: satu kosong untuk mereka
http://facebook.com/indonesiapustaka

14. PARIT DEPPEN


Marcia sigap. Benar-benar sigap. Mempertahankan
dua mantra sekaligus sungguh sulit dilakukan. Terutama
karena salah satunya, Proyeksi, merupakan bentuk
Pembalikan dari Magyk dan tidak seperti kebanyakan

~103~
mantra yang digunakan Marcia, mantra ini masih ada
hubungannya dengan sisi Gelap-sisi Lain, kata yang lebih
disukai Marcia untuk menyebutnya. Dibutuhkan Penyihir
yang berani dan berkemampuan tinggi untuk menggunakan
Magyk Pembalikan tanpa mengundang masuk sisi Lain itu.
Alther telah mengajari Marcia dengan baik, karena banyak
mantra yang pernah dipelajarinya dari DomDaniel memang
terpengaruh oleh Magyk Gelap, dan Alther pada akhirnya
menjadi mahir memblokir pengaruh itu. Marcia sangat
memahami bahwa selama dia menggunakan mantra
Proyeksi, sisi Lain itu melayang-layang di sekeliling mereka,
menanti kesempatan untuk menerobos masuk ke dalam
mantranya.
Itulah sebabnya Marcia merasa seakan-akan otaknya
begitu penuh, hingga tidak tersisa ruang untuk hal lain,
apalagi untuk berusaha bersikap sopan.
"Ya ampun, cepat jalankan kapal sialan ini, Nicko,"
bentak Marcia. Nicko kelihatan sakit hati. Tidak perlu kan,
bicara seperti itu kepadanya.
"Kalau begitu, harus ada orang yang mendayung,"
gumam Nicko. "Dan syukur-syukur aku bisa melihat arah
yang kita ambil."
Dengan agak susah payah, dan sikap semakin ketus,
Marcia membuka terowongan di tengah tebalnya Kabut. Silas
diam saja. Dia tahu Marcia harus menggunakan sejumlah
besar energi dan kemampuan tingkat tinggi Magyk, dan mau
tak mau dia jadi merasa hormat sekaligus iri. Silas takkan
http://facebook.com/indonesiapustaka

berani mencoba menggunakan Proyeksi, apalagi sekaligus


mempertahankan Kabut yang begitu tebal. Maka Silas
terpaksa mengakui-Marcia memang lumayan ahli.
Silas membiarkan Marcia dengan Magyk-nya dan dia
mendayung Muriel melewati kepompong putih tebal
terowongan Kabut, sementara Nicko dengan hati-hati

~104~
mengemudikan kapal ke arah langit yang bermandikan
cahaya bintang di ujung terowongan. Tak lama kemudian,
Nicko merasakan dasar kapal menggesek permukaan pasir
kasar, dan Muriel membentur jumbaian tebal rumput alang-
alang.
Mereka sudah sampai di Rawa-Rawa Marram yang
aman.
Marcia mengembuskan napas lega dan membiarkan
Kabut menghilang. Mereka semua lega, kecuali Jenna. Bukan
Jenna namanya kalau, sebagai satu-satunya anak perempuan
dalam satu keluarga penuh dengan enam anak laki-laki, dia
tidak belajar satu-dua hal. Dia menahan Bocah 412 yang
menelungkup di atas dek dengan mengunci kedua lengannya.
"Lepaskan dia, Jen," kata Nicko.
"Kenapa?" tanya Jenna. "Dia cuma bocah bodoh."
"Tapi dia hampir saja mencelakakan kita. Kita
menyelamatkan nyawanya saat dia terkubur di salju, dan dia
malah mengkhianati kita," sahut Jenna marah.
Bocah 412 diam membisu. Terkubur di salju?
Menyelamatkan nyawanya? Yang bisa diingatnya hanyalah
dia ketiduran di luar Menara Penyihir dan kemudian
terbangun sebagai tahanan di dalam kamar Marcia.
"Lepaskan dia, Jenna," kata Silas. "Dia tidak mengerti
apa yang terjadi."
"Baiklah," sahut Jenna, dan dengan agak enggan
dilepaskannya kuncian tangannya pada Bocah 412. "Tapi
menurutku dia brengsek."
http://facebook.com/indonesiapustaka

Pelan-pelan Bocah 412 duduk tegak, lalu


menggosok-gosok lengannya. Dia tidak suka dengan cara
mereka semua menatapnya. Dan tidak suka dengan cara si
Putri menyebutnya brengsek, apalagi sebelumnya gadis itu
bersikap begitu baik kepadanya. Bocah 412 meringkuk
sejauh mungkin dari Jenna dan berusaha memikirkan apa

~105~
yang telah terjadi. Segala sesuatunya tidak masuk akal. Dia
mencoba mengingat apa yang diajarkan di Laskar Pemuda.
Fakta. Hanya ada fakta. Fakta baik. Fakta buruk. Jadi:
Fakta Pertama: Diculik: BURUK.
Fakta Kedua: Seragam dicuri: BURUK.
Fakta Ketiga: Didorong ke saluran pembuangan
sampah: BURUK.
Sangat BURUK.
Fakta Keempat: Didorong masuk ke kapal yang
dingin dan bau: BURUK.
Fakta Kelima: Tidak dibunuh para Penyihir (belum):
BAIK.
Fakta Keenam: Kemungkinan akan segera dibunuh
oleh para Penyihir: BURUK.
Bocah 412 menghitung jumlah fakta BAIK dan fakta
BURUK. Seperti biasa, jumlah fakta BURUK mengalahkan
jumlah fakta BAIK, dan hal itu tidak mengejutkannya.
Nicko dan Jenna turun dari Muriel dengan susah
payah, lalu mendaki tepian berumput di samping pantai kecil
berpasir tempat kini Muriel membujur dengan layar-
layarnya yang menjuntai. Nicko ingin beristirahat dari
tugasnya mengemudikan kapal. Dia menganggap tugasnya
sebagai kapten kapal sangatlah serius, jadi ketika berada di
atas Muriel, bila ada yang tak berjalan mulus, Nicko merasa
itu adalah kesalahannya. Jenna gembira berada di daratan
kering lagi, atau lebih tepatnya daratan yang agak lembap-
rumput yang didudukinya terasa basah dan berair, seolah
http://facebook.com/indonesiapustaka

tumbuh di atas helaian spons basah, dan tertutup bintik-


bintik salju.
Begitu Jenna berada di jarak yang aman, Bocah 412
baru berani mendongak, dan dia melihat sesuatu yang
membuat bulu tengkuknya berdiri. Magyk. Magyk
berkekuatan besar. Bocah 412 menatap Marcia. Meski

~106~
sepertinya tidak ada orang yang memerhatikan, bisa
dilihatnya uap kabut energi Magyk yang mengelilingi
penyihir itu. Berkilauan ungu, berkelap-kelip di permukaan
jubah Penyihir LuarBiasa yang dikenakannya dan membuat
rambut hitam keritingnya bersinar ungu tua. Mata hijau
terang Marcia berkilau saat menatap dunia tanpa batas,
mengamati film bisu yang hanya bisa dilihat olehnya. Meski
pernah mendapat pelatihan anti-Penyihir dari Laskar
Pemuda, Bocah 412 mendapati dirinya terpesona atas
kehadiran Magyk.
Film yang ditonton Marcia, tentu saja, adalah larmM
dan keenam pantulan bayangan awaknya. Mereka berlayar
cepat menuju mulut sungai yang lebar dan hampir mencapai
laut terbuka di Pelabuhan. Si Pemburu terheran-heran
karena kapal itu melaju sangat kencang untuk ukuran kapal
layar kecil, dan meskipun kapal pelurunya berhasil
mempertahankan tarruM tetap berada dalam jarak pandang,
tapi mereka sulit untuk mendekatinya untuk bisa
menembakkan peluru peraknya. Kesepuluh pendayung juga
mulai kelelahan, dan suara si Pemburu mulai parau karena
meneriakkan kata-kata, "Lebih cepat, bodoh!" pada mereka.
Si Murid duduk patuh di bagian belakang kapal
selama Pengejaran berlangsung. Semakin memuncak
kemarahan si Pemburu, semakin si Murid tidak berani
mengucapkan sepatah kata pun, dan semakin dia menyelinap
turun ke tempat sempitnya di dekat kaki berkeringat
Pendayung Nomor Sepuluh. Tapi seiring berjalannya waktu,
http://facebook.com/indonesiapustaka

Pendayung Nomor Sepuluh mulai mengeluarkan komentar-


komentar yang amat kasar dan menarik tentang si Pemburu
di sela-sela napasnya, dan si Murid menjadi agak lebih berani.
Dilayangkan pandangannya ke permukaan laut dan menatap
istri-Mu yang melaju cepat. Semakin lama melihat tamiM,
semakin dia menyadari ada sesuatu yang tidak beres.

~107~
Akhirnya si Murid memberanikan diri berteriak
kepada si Pemburu, "Apa kau tahu nama kapal itu terbalik?"
"Jangan berlagak sok pintar denganku, Nak."
Penglihatan si Pemburu memang baik, tapi mungkin
tidak sebaik penglihatan bocah berusia sepuluh setengah
tahun itu, yang punya hobi mengoleksi dan melabeli semut.
Tidak percuma si Murid menghabiskan waktu berjam-jam
dengan Kamera Obscura milik Guru-nya, tersembunyi jauh di
Badlands, mengamati sungai. Dia tahu nama dan sejarah
semua kapal yang pernah berlayar di sana. Dia juga tahu
bahwa kapal yang sedari tadi mereka kejar sebelum terjadi
Kabut adalah Muriel, dibuat oleh Rupert Gringe dan
disewakan untuk menangkap ikan hering. Dia juga tahu
bahwa setelah munculnya Kabut, kapal itu jadi bernama
tabuM, dan "iabuM" ini merupakan pantulan cermin dari
"Muriel". Dan sebagai anak yang sudah cukup lama menjadi
Murid DomDaniel, dia mengetahui arti sebenarnya kata yang
terbalik itu.
"SabuM" merupakan Proyeksi, Penampakan,
Halusinasi dan Ilusi.
Keberuntungan berpihak pada si Murid, yang baru
akan memberitahu si Pemburu mengenai fakta yang menarik
ini, karena tepat pada saat itu, di Muriel yang asli, Maxie
menjilat tangan Marcia dengan jilatan ramah dan basah ala
anjing serigala. Marcia bergidik terkena ludah hangat anjing
serigala itu, sedetik konsentrasinya buyar, dan istri-Mu
sesaat menghilang tepat di depan mata si Pemburu. Kapal itu
http://facebook.com/indonesiapustaka

dengan cepat muncul kembali, tapi sudah terlambat. lahuM.


sudah ketahuan.
Si Pemburu berteriak murka dan menghujamkan
kepalan tinjunya ke kotak peluru. Dia lalu berteriak lagi, kali
ini karena kesakitan. Tulang buku jari kelimanya patah. Jari
kelingkingnya. Dan rasanya sakit. Sambil meraba-raba

~108~
jarinya, si Pemburu berteriak kepada para pendayung:
"Putar balik, dasar bodoh!"
Kapal peluru berhenti, para pendayung duduk
berbalik arah dan dengan cemas mulai mendayung ke arah
berlawanan. Si Pemburu kini berada di bagian belakang
kapal. Sementara si Murid, dengan kegirangan, kini berada di
bagian depan kapal.
Tapi kapal peluru itu bukan lagi mesin yang efisien
seperti sebelumnya. Para pendayung mulai kelelahan dan
tidak terima dengan penghinaan-penghinaan yang
diteriakkan pada mereka oleh orang histeris yang sebentar
lagi bakal jadi pembunuh ini. Irama mendayung mereka
tersendat-sendat, dan gerakan lancar kapal itu menjadi tidak
seimbang dan tidak nyaman.
Si Pemburu duduk dengan murka di bagian belakang
kapal. Dia tahu, sudah keempat kalinya malam itu Pencarian
Jejak-nya gagal lagi. Perburuan-nya mulai memburuk.
Tapi si Murid justru menikmati perubahan ini. Dia
duduk di tempat yang sekarang menjadi kemudi dan, mirip
seperti Maxie, mendongakkan cuping hidungnya ke udara
dan menikmati udara malam yang berembus melewatinya.
Dia juga merasa lega karena telah melaksanakan tugasnya.
Gurunya pasti bangga. Dia membayangkan dirinya berada di
sisi sang Guru dan menggambarkan cara mendeteksi
Proyeksi yang sangat sulit itu, dan menjadi pahlawan.
Mungkin itu bisa menghilangkan kekecewaan Guru-nya atas
kurangnya bakat Magykal dalam dirinya. Aku sudah
http://facebook.com/indonesiapustaka

berusaha, pikir si Murid, benar-benar sudah berusaha, tapi


entah mengapa tak pernah bisa melakukannya dengan benar.
Apa pun yang dilakukannya.
Jenna yang pertama melihat lampu sorot yang
menakutkan itu berbalik di kelokan.
"Mereka balik lagi!" teriaknya.

~109~
Marcia terlonjak, dia melepaskan Proyeksi-nya
sepenuhnya, dan nun jauh di Pelabuhan, SarmM. dan para
awaknya menghilang untuk selamanya, hingga mengejutkan
seorang nelayan yang sedang melamun di dinding pelabuhan.
"Kita harus sembunyikan kapalnya," kata Nicko,
lantas melompat berdiri dan berlari di sepanjang tepian
penuh rumput, diikuti Jenna.
Silas mendorong Maxie keluar dari kapal dan
menyuruhnya pergi dan berbaring. Kemudian dia menolong
Marcia keluar, dan Bocah 412 memanjat keluar di
belakangnya.
Marcia duduk di tepian berumput Parit Deppen,
bertekad mempertahankan sepatu kulit piton ungunya tetap
kering selama mungkin. Yang lainnya, termasuk Bocah 412-
41n ini yang membuat Jenna terkejut-masuk ke dalam air
dangkal dan mendorong Muriel dari pasir agar bisa
mengapung lagi. Kemudian Nicko menyambar tali dan
menarik Muriel sepanjang Parit Deppen sampai berbelok ke
sudut dan tidak terlihat lagi dari sungai. Saat ini air sudah
surut, dan Muriel mengapung rendah di Parit, tiang
pendeknya tersembunyi di balik tepian parit yang meninggi
dengan terjal.
Suara si Pemburu meneriaki para pendayung
terdengar melintasi bentangan air, dan Marcia melongokkan
kepalanya di atas Parit untuk. Dia belum pernah melihat
pemandangan seperti itu. Si Pemburu berdiri menentang
bahaya di bagian belakang kapal peluru, dengan marah
http://facebook.com/indonesiapustaka

menggerak-gerakkan satu lengannya di udara. Dia masih


terus melontarkan sumpah serapah kepada para pendayung
yang telah kehilangan irama mendayung sehingga kapal itu
bergerak zigzag di air.
"Seharusnya aku tidak boleh melakukannya," kata
Marcia. "Benar-benar tidak boleh. Tindakan ini picik dan

~110~
dilakukan untuk balas dendam serta merendahkan kekuatan
Magyk, tapi aku tidak peduli."
Jenna, Nicko, dan Bocah 412 bergegas ke puncak
Parit untuk melihat apa yang akan dilakukan Marcia. Selagi
mereka menonton, Marcia mengarahkan jarinya kepada si
Pemburu dan bergumam, "Menyelam!"
Sedetik kemudian si Pemburu merasa aneh, seolah
dirinya bakal melakukan sesuatu yang sangat bodoh-dan
memang bodoh. Untuk alasan yang tidak dipahaminya, dia
mengangkat kedua lengannya dengan anggun di atas kepala,
kedua tangannya tertuju ke air. Kemudian perlahan-lahan dia
menekuk lututnya dan melompat dengan indah dari kapal
cepat itu, seraya bersalto dengan mahirnya sebelum
mendarat dengan sempurna di air yang sedingin es.
Dengan enggan dan sengaja berlama-lama, para
pendayung mendayung balik dan menolong si Pemburu yang
tersengal-sengal naik ke kapal.
"Seharusnya Anda tidak melakukan itu, Sir," ujar
Pendayung Nomor Sepuluh. "Tidak dalam cuaca seperti tnr,
Si Pemburu tidak bisa menjawab. Gigi-giginya
bergemeletuk begitu keras hingga dia nyaris tak bisa
berpikir, apalagi bicara. Pakaiannya yang basah kuyup
lengket di badan saat dia menggigil setengah mati dalam
dinginnya udara malam. Dengan wajah muram diperiksanya
tanah berpaya-paya, karena yakin buruannya melarikan diri
ke sana, tapi dia tidak melihat tanda-tanda keberadaan
mereka. Sebagai Pemburu berpengalaman, dia tahu lebih
http://facebook.com/indonesiapustaka

baik jangan berjalan kaki merambahi Rawa-Rawa Marram


saat tengah malam buta. Tidak ada lagi yang bisa
dilakukannya-Pencarian Jejak itu sudah tidak ada gunanya
dan dia harus kembali ke Kastil.
Kapal peluru memulai perjalanannya yang panjang
dan dingin menuju Kastil, sementara si Pemburu meringkuk

~111~
di buritan kapal, mengelus-elus jarinya yang patah dan
merenungkan tentang Perburuan-nya yang gagal total. Juga
reputasinya yang hancur.
"Biar tahu rasa," ujar Marcia. "Dasar manusia pendek
keji."
"Tidak sepenuhnya profesional," suara yang tidak
asing lagi bergema dari dasar Parit, "tapi sungguh bisa
dimaklumi, sayangku. Sewaktu masih muda pun aku pasti
tergoda untuk melakukannya juga."
"Alther!" Marcia tercekat, wajahnya bersemu merah.
http://facebook.com/indonesiapustaka

~112~
15. TENGAH MALAM DI PANTAI
"Paman Alther!" teriak Jenna gembira. Dia melompat
turun dari tepian rawa dan bergabung dengan Alther, yang
berdiri di pantai sambil menatap kebingungan ke pancingan
yang sedang dipegangnya.
"Putri!" Alther berseri-seri dan memeluk Jenna
dengan pelukan hantunya, yang selalu membuat Jenna
merasa seperti dimasuki embusan angin hangat musim
panas.
"Wah, wah," kata Alther. "Dulu, ketika masih kecil,
aku suka datang kemari untuk memancing, dan sepertinya
aku juga membawa pancingannya. Aku memang berharap
menemukan kalian semua di sini."
Jenna tertawa. Tidak percaya bahwa Paman Alther
pernah menjadi anak kecil.
"Kau ikut dengan kami kan, Paman Alther?" tanya
Jenna.
"Maaf, Putri. Aku tidak bisa ikut. Kau tahu peraturan
Perkumpulan Hantu:
Hantu hanya boleh berjalan satu kali lagi
Ke tempat yang semasa masih hidup, pernah dia
datangi.
Dan, sayangnya, di masa kecil aku tidak pernah
berjalan lebih jauh dari pantai di sini. Terlalu banyak ikan
segar yang harus ditangkap, kau tahu kan. Nah," tutur Alther
sambil mengubah topik pembicaraan, "apa benar yang
http://facebook.com/indonesiapustaka

kulihat di dasar kapal itu keranjang piknik?"


Di bawah gulungan tali lembap memang tergeletak
keranjang piknik yang sudah disiapkan Sally untuk mereka.
Silas mengangkatnya keluar.
"Aduh, punggungku," erangnya. "Apa saja sih yang
ditaruh di dalamnya?" Silas membuka tutupnya. "Ah, jadi itu

~113~
sebabnya." Silas menarik napas. "Keranjang ini penuh dengan
kue jawawut. Berguna sebagai alat pemberat, ya?"
"Ayah," protes Jenna. "Jangan kasar begitu. Lagi pula,
kita memang suka kue jawawut, betul kan, Nicko?"
Nicko menunjukkan ekspresi tidak senang, tapi
Bocah 412 kelihatan penuh harap. Makanan. Dia lapar sekali-
bahkan tidak ingat lagi kapan terakhir dia makan. Oh, ya,
semangkuk bubur dingin menggumpal, tepat sebelum
panggilan pukul 6 tadi pagi. Serasa sudah berabad-abad
lamanya.
Silas mengangkat benda-benda lain yang agak
terimpit di bawah kue jawawut. Kotak berisi batu api dan
potongan kayu kecil untuk menyalakan api, sekaleng air,
sedikit cokelat, gula dan susu. Silas mulai membuat api kecil
dan menggantung kaleng air di atasnya untuk direbus.
Mereka semua berkerumun mengelilingi api yang berkelap-
kelip, menghangatkan tangan mereka sambil mengunyah
potongan tebal kue jawawut.
Bahkan Marcia pun mengabaikan kecenderungan
kue jawawut yang sering lengket di gigi dan dia makan
hampir satu potong penuh. Bocah 412 menelan jatahnya
dengan tergesa-gesa dan juga menghabiskan sisa kue semua
orang. Kemudian dia berbaring di atas pasir lembap dan
bertanya-tanya sendiri, apakah dia dapat bergerak lagi.
Bocah 412 merasa seakan ada yang menuang beton ke dalam
tubuhnya.
Jenna merogoh saku dan mengeluarkan Petroc
http://facebook.com/indonesiapustaka

Trelawney. Batu itu duduk diam dan tenang di tangan Jenna.


Jenna membelainya dengan lembut, dan Petroc
mengeluarkan keempat kaki gemuknya dan menggerak-
gerakkannya di udara dengan tak berdaya. Ternyata batu itu
terbalik seperti kumbang yang kandas.
"Ups, salah taruh." Jenna cekikikan. Dibaliknya batu

~114~
peliharaan itu, dan Petroc Trelawney membuka mata, lalu
berkedip perlahan.
Jenna menempelkan remah kue jawawut di ibu
jarinya dan menawarkannya pada batu peliharaan itu.
Petroc Trelawney berkedip lagi, mempertimbangkan
kue jawawut itu selama beberapa saat, lalu mengkerikiti
remah kue dengan halus. Jenna kegirangan.
"Dia memakannya!" serunya.
"Tentu saja," sahut Nicko. "Kue batu untuk batu
peliharaan. Sempurna."
Tapi bahkan Petroc Trelawney pun tidak bisa makan
lebih dari seremah besar kue itu. Batu itu melihat sekeliling
selama beberapa menit, kemudian memejamkan mata lagi
dan kembali tidur dalam kehangatan tangan Jenna.
Tak lama kemudian, air dalam kaleng di atas api
unggun mulai mendidih. Silas melumerkan balok-balok
cokelat hitam ke dalamnya serta menambahkan susu.
Diaduknya campuran itu seperti yang disukainya,
dan ketika mulai luber, dituangkannya gula dan diaduknya.
"Cokelat panas yang paling enak," seru Nicko. Tidak
ada yang tidak sependapat sewaktu kalengnya berpindah
dari satu tangan ke tangan lain dan isinya habis dengan
sangat cepat.
Selagi semua orang makan, Alther asyik melatih
teknik melempar pancing, dan ketika melihat mereka semua
sudah selesai makan, dia melayang menghampiri api unggun.
Raut wajahnya serius.
http://facebook.com/indonesiapustaka

"Sesuatu terjadi setelah kalian pergi," tuturnya pelan.


Silas merasa perutnya berat terbebani, dan bukan
hanya oleh kue jawawut, tapi juga karena ketakutan.
"Apa yang terjadi, Alther?" tanya Silas, yakin bakal
mendengar kalau Sarah dan anak-anak laki-lakinya telah
tertangkap.

~115~
Alther tahu apa yang dipikirkan Silas.
"Bukan itu, Silas," ujarnya. "Sarah dan anak-anak
baik-baik saja. Tapi kejadiannya sangat buruk. DomDaniel
sudah kembali ke Kastil."
"Apa?" Marcia tercekat. "Dia tidak boleh kembali.
Akulah Penyihir LuarBiasa-aku yang memegang
Jimat. Dan aku meninggalkan banyak sekali Penyihir di
Menara Penyihir-kekuatan Magyk di menara itu mestinya
cukup untuk menahan si tua yang masa kejayaannya sudah
lewat itu terkubur di Badlands, tempat yang pantas
untuknya. Kau memang yakin dia sudah kembali, Alther, atau
itu cuma lelucon Wali Utama-tikus kecil menjijikkan itu-
untuk bersenang-senang selama aku pergi?"
"Ini bukan lelucon, Marcia," sahut Alther. "Aku
melihatnya sendiri. Tak lama setelah Muriel melewati Karang
Gagak, dia Mewujudkan Diri di Pelataran Menara Penyihir.
Seluruh tempat itu berkemeretak dengan Magyk Gelap.
Baunya menyengat. Membuat Para Penyihir panik, berlarian
ke sana kemari dan berhamburan ke segala arah, seperti
sekumpulan semut ketika sarangnya terinjak kaki kita."
"Memalukan sekali. Apa sih yang ada di otak mereka?
Entahlah, kualitas rata-rata Penyihir Biasa memang rendah
sekarang ini," ungkap Marcia, seraya melayangkan pandang
ke arah Silas. "Lalu di mana Endor? Dia seharusnya menjadi
wakilku-jangan bilang padaku Endor juga panik?"
"Tidak, dia tidak panik. Dia keluar dan melawan
DomDaniel. Dia menaruh Palang di pintu-pintu Menara.
http://facebook.com/indonesiapustaka

"Oh, syukurlah. Menara aman," Marcia menarik


napas lega.
"Tidak, Marcia. DomDaniel menyerang Endor dengan
KilatHalilintar. Endor sudah mati." Alther mengikat simpul
yang cukup rumit di tali pancingnya. "Aku turut berduka
cita," katanya.

~116~
"Mati," gumam Marcia.
"Kemudian DomDaniel menyingkirkan Para
Penyihir."
"Semuanya? Ke mana?"
"Mereka semua dipaksa pergi ke Badlands-tidak ada
yang bisa mereka lakukan. Kurasa DomDaniel mengurung
mereka di salah satu Liang di sana."
"Oh, Alther."
"Kemudian Wali Utama-pria pendek kejam itu-
datang bersama rombongannya, menyanjung-nyanjung dan
nyaris seperti menjilati Majikan-nya. Tahu-tahu dia
mengawal DomDaniel masuk ke Menara Penyihir dan naik
ke... eh, ke kamarmu, Marcia."
"Kamarku? DomDaniel di dalam kamarku?"
"Well, kau bakal senang kalau tahu bahwa begitu dia
sampai ke sana, dia sudah kepayahan karena mereka harus
naik tangga. Tidak banyak Magyk yang tersisa untuk
menjalankan tangganya. Atau benda-benda lainnya di
Menara."
Marcia menggelang-gelengkan kepala tak percaya.
"Aku tidak mengira DomDaniel bisa melakukan itu. Sama
sekali tidak pernah."
"Aku juga begitu," sahut Alther.
"Kukira," kata Marcia, "selama kami Para Penyihir
bisa bertahan sampai sang Putri sudah cukup dewasa untuk
mengenakan Mahkota, kami akan baik-baik saja. Lalu kita
bisa menyingkirkan Para Pengawal itu, Laskar Pemuda, dan
http://facebook.com/indonesiapustaka

semua Kuasa Jahat mengerikan yang menyelubungi Kastil


dan membuat hidup rakyat sangat menderita."
"Aku juga mengira begitu," sahut Alther, "tapi aku
mengikuti DomDaniel sampai ke atas. Dia membual pada
Wali Utama bahwa dia sungguh tidak memercayai
keberuntungannya-bukan hanya kau meninggalkan Kastil,

~117~
tapi kau juga menyingkirkan satu rintangan baginya untuk
kembali."
"Rintangan?"
"Jenna."
Jenna menatap Alther dengan cemas. "Aku?
Rintangan? Kenapa?"
Alther menatap api unggun, berpikir keras.
"Kelihatannya, Putri, entah bagaimana kau mampu
mencegah Necromancer tua keji itu kembali ke Kastil. Cukup
dengan kehadiranmu di sana. Dan kemungkinan besar ibumu
juga begitu. Aku selalu ingin tahu, mengapa dia mengirim
Pembunuh Bayaran untuk membunuh Ratu, bukannya
membunuhku."
Jenna bergidik. Tiba-tiba dia merasa sangat
ketakutan. Silas merangkulnya. "Cukup sudah, Alther. Tidak
perlu menakut-nakuti kami semua. Jujur saja, kurasa kau
baru saja tertidur dan bermimpi buruk. Kau tahu kan,
kadang-kadang orang mengalami mimpi buruk. Para
Pengawal itu hanyalah segerombolan bajingan yang bisa
disingkirkan oleh Penyihir LuarBiasa terhormat mana pun
bertahun-tahun yang lalu."
"Aku tidak akan berdiam diri di sini dan dihina
seperti ini," sembur Marcia. "Kau tidak tahu betapa banyak
usaha yang sudah kami lakukan untuk menyingkirkan
mereka. Kau sama sekali tidak tahu. Kami sudah melakukan
segalanya untuk mempertahankan Menara Penyihir selama
beberapa waktu. Dan tanpa bantuan darimu, Silas Heap."
http://facebook.com/indonesiapustaka

"Well, aku tidak tahu kenapa hal ini mesti diributkan,


Marcia. DomDaniel kan sudah mati," sahut Silas. "Belum, dia
belum mati," kata Marcia pelan. "Jangan bodoh, Marcia,"
hardik Silas. "Alther yang mendorongnya hingga terjatuh
dari puncak Menara empat puluh tahun lalu."
Jenna dan Nicko terperangah. "Benarkah kau

~118~
melakukannya, Paman Alther?" tanya Jenna.
"Tidak!" seru Alther gusar. "Aku tidak
mendorongnya. Dia sendiri yang melompat dari Menara."
"Ya, terserah apa katamu," sahut Silas bersikeras.
"Tetap saja dia sudah mati."
"Sebenarnya tidak juga...," ujar Alther dengan suara
pelan, sambil menatap api unggun. Cahaya dari bara api
membentuk bayangan semua orang di sana, kecuali Alther,
yang mengapung sedih di sela-sela mereka, dengan linglung
berusaha membuka simpul yang baru saja diikatkannya di
tali pancing. Sesaat api membesar dan menerangi lingkaran
orang yang mengelilinginya. Tiba-tiba Jenna angkat bicara.
"Apa yang sebenarnya terjadi dengan DomDaniel di
puncak Menara Penyihir, Paman Alther?" bisiknya.
"Ceritanya agak menyeramkan, Putri. Aku tidak mau
membuatmu takut."
"Ah, sudahlah, ceritakan saja," kata Nicko. "Jen suka
cerita-cerita seram."
Jenna mengangguk dengan perasaan kurang yakin.
"Baiklah," sahut Alther, "sulit bagiku
menceritakannya dengan kata-kata, tapi akan kupaparkan
ceritanya sebagaimana yang pernah kudengar di pesta api
unggun jauh di tengah Hutan. Saat itu malam seperti
sekarang ini, tengah malam dengan bulan purnama, dan
cerita ini disampaikan oleh seorang Ibu Penyihir Wendron
tua dan bijaksana kepada para murid penyihirnya."
Demikianlah, di dekat api unggun, Alther Mella
http://facebook.com/indonesiapustaka

mengubah bentuknya menjadi wanita bertubuh besar


bergaun hijau yang enak dilihat. Berbicara dengan suara
parau dan pelan ala penyihir Hutan, dia memulai ceritanya.
"Ceritanya berawal dari puncak Piramida emas yang
menutupi bagian atas Menara perak yang tinggi. Menara
Penyihir berkilauan diterpa sinar matahari pagi. Menara itu

~119~
begitu tinggi sehingga kerumunan orang di bawahnya
kelihatan seperti semut bagi seorang pemuda yang sedang
dengan susah payah memanjat bagian samping Piramida
yang berundak-undak. Satu kali pemuda itu melongok ke
bawah, melihat semut-semut tadi, dan seketika dia merasa
pusing saking tingginya menara itu. Kini dilayangkannya
pandangannya lekat-lekat pada sosok di hadapannya-pria
yang lebih tua namun luar biasa gesit dan, untungnya, tidak
takut ketinggian. Jubah ungu pria yang lebih tua itu berkibar-
kibar ditiup angin yang selalu berembus kencang di puncak
Menara, dan bagi kerumunan orang di bawah sana, pria itu
tampak tak lebih seperti kelelawar ungu yang mengibaskan
sayapnya dan sedang merayap naik ke puncak Piramida.
"Para penyihir di bawah sana bertanya-tanya, apa
yang sedang dilakukan Penyihir LuarBiasa mereka? Dan
bukankah yang sedang mengikutinya itu Murid-nya, bahkan
seperti mengejarnya?
"Si Murid, Alther Mella, kini sudah mencengkeram
Guru-nya, DomDaniel, dalam genggamannya. DomDaniel
berhasil mencapai puncak tertinggi Piramida, mimbar kecil
persegi empat yang dibentuk dari emas tempa bertatahkan
tulisan hieroglif perak yang Menyihir Menara. DomDaniel
berdiri tegak, jubah ungu tebalnya berkibaran, sabuk emas
dan platinum Penyihir LuarBiasa miliknya mengilat diterpa
sinar matahari. Dia menantang si Murid untuk mendekat.
"Alther Mella tahu dia tak punya pilihan lagi. Dengan
lompatan nekat bercampur ngeri, diterjangnya Guru-nya
http://facebook.com/indonesiapustaka

yang terkejut. DomDaniel tersungkur, dan si Murid


menyerbunya, mencengkeram Jimat Akhu emas dan lapis
lazuli yang dikalungkan Guru-nya dengan rantai perak tebal
"Jauh di bawah sana, di pelataran Menara Penyihir,
orang-orang terperangah tak percaya selagi mendongak
dengan mata disipitkan karena silaunya pantulan sinar

~120~
matahari di Piramida emas, Mereka melihat si Murid
bergumul dengan Guru-nya. Kedua orang itu saling
menyeimbangkan diri di atas mimbar kecil itu, berguling ke
sana kemari sementara si Penyihir LuarBiasa berusaha
melepaskan cengkeraman Alther Mella pada Jimat miliknya.
"DomDaniel menatap Alther Mella lekat-lekat dengan
mata membelalak keji, bola matanya yang hijau gelap
berkilat marah. Bola mata hijau terang Alther menatapnya
tak berkedip, dan dirasakannya cengkeramannya pada Jimat
itu mulai longgar. Ditariknya Jimat itu keras-keras, rantai
kalung itu putus berhamburan, Jimat-nya lepas, namun
berhasil diraihnya.
"Ambil saja1' desis DomDaniel. 'Tapi aku akan
kembali untuk mengambilnya. Aku akan kembali bersama
yang ketujuh dari keturunan ketujuh."
"Satu teriakan melengking terdengar dari bawah
sana ketika kerumunan orang melihat Penyihir LuarBiasa
mengempaskan dirinya dari puncak Piramida, lalu terjatuh
dari Menara. Jubahnya mengembang bak sepasang sayap
yang mengagumkan, tapi tidak memperlambat jatuhnya yang
lama dan bergulung-gulung ke tanah. "Lalu dia menghilang.
"Di puncak Piramida, si Murid menggenggam Jimat
Akhu dan menatap kaget kejadian yang berlangsung di depan
matanya-Guru-nya masuk ke dalam Jurang Tak Berdasar.
"Kerumunan orang bergerombol di sekeliling tanah
hangus yang menandai tempat DomDaniel terempas ke
tanah. Masing-masing orang melihat kejadian yang berbeda.
http://facebook.com/indonesiapustaka

Ada yang bilang DomDaniel berubah menjadi kelelawar, lalu


terbang. Ada juga yang melihat kuda hitam muncul lalu
berderap lari masuk ke Hutan, dan ada juga yang melihat
DomDaniel berubah menjadi ular, lalu menggelincir ke balik
batu. Tapi tidak ada yang melihat kejadian sebenarnya yang
dilihat oleh Alther.

~121~
"Alther Mella turun dari Piramida itu dengan mata
terpejam supaya tidak usah melihat ketinggian yang
memusingkan di bawahnya. Dia hanya membuka matanya
ketika merangkak ke atap kecil, memasuki Perpustakaan
yang aman di dalam Piramida emas. Kemudian dengan
perasaan takut dilihatnya apa yang telah terjadi. Jubah Murid
Penyihir dari wol hijau polos yang dikenakannya telah
berubah menjadi jubah sutra ungu tebal. Sabuk kulit
sederhana yang dipakai untuk mengikat tuniknya menjadi
luar biasa berat; kini sabuk itu terbuat dari emas, dengan
ukiran dan huruf-huruf rune dan jimat yang rumit dari
platinum, yang melindungi dan memberi kekuatan pada
Penyihir LuarBiasa. Dengan terheran-heran disadarinya
bahwa dirinya sudah berubah menjadi Penyihir LuarBiasa.
"Alther memandangi Jimat yang dipeganginya
dengan tangan gemetar. Jimat itu berbentuk batu bulat
berwarna biru laut lapis lazuli berhiaskan garis emas dengan
ukiran naga yang memesona. Batu itu tergeletak berat di
telapak tangannya, diikat dengan seutas tali emas yang
disimpul membentuk gulungan. Dari gulungan itu
menggantung rantai perak yang putus sewaktu Alther
merenggut Jimat itu dari rantai peraknya.
"Setelah berpikir sejenak, Alther membungkuk dan
melepas tali kulit dari salah satu sepatu botnya.
Digantungkannya Jimat itu di tali sepatu, dan seperti yang
dilakukan semua Penyihir LuarBiasa sebelum dirinya, dia
mengalungkan Jimat itu di lehernya. Lalu, dengan rambut
http://facebook.com/indonesiapustaka

cokelat panjang dan lemas masih berantakan akibat


perkelahian tadi, wajahnya pucat dan cemas, mata hijaunya
terbelalak keheranan, Alther menempuh perjalanan panjang
menuruni Menara untuk menghadapi kerumunan orang yang
bergumam-gumam dan menunggunya.
"Sewaktu Alther terhuyung-huyung keluar dari

~122~
pintu-pintu perak besar dan kokoh yang menjaga jalan
masuk ke Menara Penyihir, dia disambut kerumunan orang
yang terperangah. Namun tak ada lagi yang perlu diucapkan,
karena tak bisa dibantah lagi kehadiran Penyihir Luar-Biasa
yang baru ini. Di tengah beberapa gumaman pelan,
kerumunan itu pun bubar, namun ada satu suara yang
berseru,.
'Dengan cara itu kau mendapatkannya, dengan cara
itu pula kau akan kehilangannya4'
"Alther mendesah. Dia tahu itu benar.
"Sementara Alther melangkah seorang diri ke dalam
Menara, untuk mulai menghancurkan Kuasa Jahat
DomDaniel. Di dalam sebuah ruangan kecil tidak terlalu jauh
dari sana, lahirlah seorang bayi laki-laki dalam keluarga
seorang Penyihir miskin.
"Dia putra ketujuh mereka, dan namanya Silas Heap.
Keadaan sunyi senyap di sekitar api unggun selagi
Alther perlahan-lahan kembali ke bentuk aslinya. Silas
bergidik. Dia belum pernah mendengar cerita itu dikisahkan
seperti itu.
"Mengagumkan, Alther," bisiknya parau. "Aku tidak
pernah tahu. Ba-bagaimana Ibu Penyihir tahu begitu
banyak?"
"Dia menyaksikan dari tengah kerumunan itu," sahut
Alther. "Dia datang menemuiku setelahnya, untuk memberi
selamat karena aku sudah menjadi Penyihir LuarBiasa, dan
aku menceritakan semua yang kualami. Kalau kau ingin
http://facebook.com/indonesiapustaka

kebenaran diketahui, ceritakan saja pada Ibu Penyihir. Dia


akan menceritakannya pada orang-orang lain. Mereka
percaya atau tidak, itu urusan lain."
Jenna berpikir keras. "Tapi, Paman Alther, kenapa
kau mengejar DomDaniel?"
"Ah, pertanyaan bagus. Aku tidak menceritakan pada

~123~
Ibu Penyihir tentang hal itu. Ada hal-hal Gelap yang tidak
boleh dibicarakan begitu saja. Tapi kalian harus tahu, jadi
aku akan menceritakannya. Begini, pagi itu, seperti setiap
pagi, aku sedang membersihkan Perpustakaan Piramida.
Salah satu tugas Murid adalah menjaga agar Perpustakaan
tetap rapi, dan aku mengerjakan tugasku dengan sungguh-
sungguh, meskipun tugas itu dilakukan demi Guru yang
sangat tidak menyenangkan. Kembali ke inti ceritanya, pagi
itu aku menemukan Jampi aneh dalam tulisan tangan
DomDaniel yang diselipkan di salah satu buku. Aku pernah
melihat satu tergeletak sembarangan, dan waktu itu aku
belum mampu membacanya, tapi saat kupelajari yang satu
itu, sebuah gagasan terbetik di benakku. Kuperiksa Jampi itu
dengan kaca pembesar, dan ternyata dugaanku benar: Jampi
itu ditulis terbalik, untuk membacanya harus menggunakan
cermin. Sejak saat itu, perasaanku mulai tidak enak, karena
aku tahu itu pasti Jampi Pembalikan, menggunakan Magyk
dari sisi Gelap-atau sisi Lain, aku lebih suka menyebutnya
begitu, karena Magyk Gelap tidak selalu digunakan oleh sisi
Lain. Pokoknya, aku harus tahu yang sebenarnya tentang
DomDaniel dan apa yang dilakukannya, maka kuputuskan
untuk mengambil risiko dengan membaca Jampi itu. Aku
baru mulai membacanya ketika sesuatu yang mengerikan
terjadi." "Apa itu?" bisik Jenna.
"Ada Hantu Muncul di belakangku. Well, setidaknya
aku bisa melihatnya di kaca pembesar, tapi ketika aku
berbalik, tidak ada apa-apa. Tapi aku bisa merasakannya.
http://facebook.com/indonesiapustaka

Bisa kurasakan tangannya menyentuh bahuku, lalu... aku bisa


mendengarnya. Aku mendengar suara hampanya berbicara
padaku. Mengatakan kalau waktuku telah tiba. Bahwa dia
datang untuk menjemputku sesuai rencana."
Alther bergidik mengingat kejadian itu, lalu
mengangkat tangannya memegang bahu kirinya, seperti yang

~124~
dilakukan Hantu itu. Masih ngilu karena dingin, seperti yang
terjadi sejak pagi itu.
Semua orang ikut bergidik dan mendekat
mengelilingi api unggun.
"Kukatakan pada Hantu itu kalau aku belum siap.
Belum siap. Aku tahu cukup banyak tentang sisi Lain, dan
aku tahu kita tidak boleh menolak mereka. Namun mereka
bersedia menunggu. Waktu tidak ada artinya bagi mereka.
Mereka tak punya pekerjaan selain menunggu. Hantu itu
mengatakan akan kembali menjemputku keesokan harinya
dan sebaiknya aku bersiap-siap, lalu dia menghilang. Setelah
dia pergi, kupaksa diriku membaca kata-kata Terbalik itu,
dan kuketahui bahwa DomDaniel telah menawarkan diriku
sebagai bagian dari kesepakatan dengan sisi Lain itu, dan aku
akan dijemput pada saat aku membaca Jampi itu. Karena itu
aku yakin sekali DomDaniel menggunakan Magyk
Pembalikan-pantulan cermin dari Magyk, jenis sihir yang
mengorbankan orang lain-dan aku sudah masuk
perangkapnya."
Api unggun di pantai mulai meredup, dan semua
orang berkerumun mengelilinginya, duduk merapat dalam
cahaya api yang semakin memudar sementara Alther
melanjutkan ceritanya.
"Tiba-tiba DomDaniel masuk dan melihatku
membaca Jampi itu. Dia melihat aku masih berada di sana-
aku belum Dibawa. Tahu bahwa rencananya sudah
terbongkar, dia melarikan diri. Dia berlari cepat-cepat
http://facebook.com/indonesiapustaka

menaiki anak tangga Perpustakaan bak seekor laba-laba,


melesat sepanjang bagian atas rak dan menyelinap masuk ke
pintu jebak yang menuju ke luar Piramida. Dia
menertawaiku dan menantangku untuk mengejarnya.
DomDaniel tahu aku takut ketinggian. Tapi aku tidak punya
pilihan selain mengejarnya. Maka aku mengejarnya."

~125~
Semua terdiam. Tak satu pun dari mereka, tidak juga
Marcia, pernah mendengar cerita lengkap tentang Hantu itu
sebelumnya.
Jenna memecah kesunyian. "Mengerikan." Dia
bergidik. "Lalu, apakah si Hantu kembali lagi untuk
menjemputmu, Paman Alther?"
"Tidak, Putri. Dengan sedikit bantuan, aku
merancang Formula Anti-Sihir. Setelah itu dia tak berdaya."
Alther duduk berpikir selama beberapa saat, kemudian
berkata, "Aku hanya ingin kalian semua tahu bahwa aku
tidak bangga dengan apa yang telah kulakukan di puncak
Menara Penyihir-walaupun aku memang tidak mendorong
jatuh DomDaniel. Kalian tahu, sangat tidak pada tempatnya
bagi seorang Murid untuk menggantikan Guru-nya dengan
cara yang tidak benar."
"Tapi Paman Alther terpaksa melakukannya, kan?"
tanya Jenna.
"Ya, memang," sahut Alther pelan. "Dan kita harus
melakukannya lagi."
"Kita akan melakukannya malam ini," seru Marcia.
"Aku akan kembali ke sana dan mendorong manusia keji itu
dari Menara. Dia akan segera tahu, dia tidak boleh main-main
dengan Penyihir LuarBiasa." Marcia bangkit dengan tekad
membaja, lalu merapatkan jubah ungunya, siap pergi.
Alther melompat dan memegang tangan Marcia
dengan tangan hantunya. "Jangan. Jangan, Marcia."
"Tapi, Alther...," protes Marcia.
http://facebook.com/indonesiapustaka

"Marcia, di sana tidak ada lagi Penyihir yang tersisa,


yang bisa melindungimu di Menara, dan kudengar kau
memberikan JimatPelindung milikmu kepada Sally Mullin.
Kumohon kau jangan kembali ke sana. Terlalu berbahaya.
Kau harus membawa sang Putri ke tempat aman dulu. Dan
tetap melindunginya. Aku yang akan kembali ke Kastil dan

~126~
berusaha semampuku."
Marcia duduk terenyak di atas pasir basah. Dia tahu
Alther benar. Bara api terakhir berpencar sewaktu butir-
butir salju besar dan basah mulai berjatuhan, dan kegelapan
pun menyelimuti mereka. Alther menaruh kail hantunya di
pasir, dan mengapung di atas Parit Deppen. Dia melayangkan
pandang ke seluruh penjuru tanah rawa yang membentang
sampai jauh. Tanah paya-paya itu merupakan pemandangan
penuh kedamaian di bawah sinar bulan, tanah basah yang
luas berselimut salju, dengan pulau-pulau kecil di sana-sini
sejauh mata memandang.
"Kano," kata Alther, melayang turun. "Ketika aku
masih kecil, itulah cara penduduk tanah paya bepergian. Dan
itu juga yang bakal kalian butuhkan."
"Kau bisa melakukannya, Silas," ujar Marcia muram.
"Aku sudah terlalu lelah berurusan dengan kapal."
Silas berdiri. "Kalau begitu, ayo, Nicko," katanya.
"Kita pergi dan Mengubah Muriel menjadi beberapa kano."
Muriel masih mengapung dengan sabar di Selokan
Dalam, tepat di kelokannya, tidak terlihat dari sungai. Nicko
sedih melihat kapal mereka yang setia pergi, tapi dia juga
tahu Peraturan-Peraturan Magyk, oleh karenanya dia sangat
paham bahwa dalam naungan mantra, benda tak bisa
diciptakan atau dihancurkan. Muriel tidak akan benar-benar
hilang, melainkan dibentuk ulang menjadi kano-kano kecil,
begitulah harapan Nicko.
"Bolehkah aku memakai kano yang cepat, yah?"
http://facebook.com/indonesiapustaka

tanya Nicko waktu Silas memandangi Muriel dan


memikirkan mantra yang sesuai.
"Aku tidak tahu yang 'cepat', Nicko. Aku sudah
cukup senang kalau kanonya bisa mengapung. Sekarang,
biarkan aku berpikir. Kurasa satu kano untuk satu orang
bagus juga. Ini dia. Berubah Menjadi Lima! Oh, ya ampun."

~127~
Lima Muriel yang sangat kecil bergerak-gerak di
depan mereka.
"Ayah," keluh Nicko, "Ayah tidak melakukannya
dengan benar."
"Tunggu sebentar, Nicko. Aku sedang berpikir. Itu
dia-Perbarui Jadi Kano!"
"Ayah!"
Satu kano raksasa terjepit di antara tepian Parit.
"Aduh, mesti berpikir yang logis supaya mantranya
benar," gumam Silas pada dirinya sendiri.
"Mengapa tidak minta lima kano saja, Yah?" saran
Nicko.
"Ide bagus, Nicko. Kau berbakat menjadi Penyihir.
Kupilih Lima Kano untuk Digunakan!"
Mantra itu mendesis dulu sebelum benar-benar
bekerja, dan yang didapat Silas hanyalah dua kano berikut
tumpukan menyedihkan kayu berwarna Muriel dan tali.
"Cuma dua, Yah?" tanya Nicko, kecewa karena tidak
mendapatkan kanonya sendiri.
"Harus bisa hanya dengan dua kano," sahut Silas.
"Benda menjadi rapuh kalau diubah lebih dari tiga kali."
Tapi sebenarnya Silas sudah cukup gembira dia
ternyata bisa menghasilkan dua kano.
Tak lama kemudian Jenna, Nicko, dan Bocah 412
duduk di kano yang dinamai Nicko sebagai kano Muriel Satu,
sedangkan Silas dan Marcia berdesakan di Muriel Dua. Silas
bersikeras duduk di depan karena, "Aku tahu jalannya,
http://facebook.com/indonesiapustaka

Marcia. Masuk akal."


Marcia mendengus curiga, tapi sudah terlalu lelah
untuk ribut-ribut.
"Ayo, Maxie," perintah Silas pada anjing serigala itu.
"Naik dan duduk bersama Nicko."
Tapi Maxie punya ide lain. Tujuan hidup Maxie

~128~
adalah berada di dekat tuannya, dan itulah yang
dilakukannya. Maxie melompat ke atas pangkuan Silas, dan
kano bergoyang ke kanan-kiri.
"Tidak bisakah kau mengatur binatang itu?" tuntut
Marcia, yang cemas mendapati dirinya lagi-lagi berada begitu
dekat dengan air.
"Tentu saja bisa. Dia akan melakukan apa yang
kuperintahkan, benar kan, Maxie?"
Nicko menggumam tidak jelas.
"Duduk di belakang sana, Maxie," perintah Silas
dengan tegas pada anjing serigala itu. Maxie tampak kecewa,
tapi dia melompat ke belakang kano, melewati Marcia, dan
menempatkan diri di belakangnya.
"Dia tidak boleh duduk di belakangku," ujar Marcia.
"Tapi dia juga tidak bisa duduk di sebelahku. Aku
harus berkonsentrasi melihat arah yang akan kita lewati,"
kata Silas kepadanya.
"Dan sudah waktunya pula kalian pergi," kata Alther,
melayang-layang cemas. "Sebelum salju benar-benar turun.
Aku sangat berharap bisa ikut dengan kalian."
Alther mengapung naik dan memandangi mereka
berangkat, mendayung melewati Parit Deppen, yang saat ini
perlahan mulai terisi lagi karena air sudah pasang kembali
dan membawa mereka memasuki Rawa-Rawa Marram. Kano
yang ditumpangi Jenna, Nicko, dan Bocah 412 berada di
depan, dengan kano Silas, Marcia, dan Maxie mengikuti di
belakangnya.
http://facebook.com/indonesiapustaka

Maxie duduk tegak di belakang Marcia dan


mengembuskan napas anjingnya ke tengkuk Marcia. Anjing
itu mengendus-endus aroma tanah rawa yang baru dan
lembap, serta mendengarkan suara-suara berbagai macam
binatang yang berhamburan minggir untuk menghindari
kano. Sesekali Maxie terlalu bersemangat dan air liurnya

~129~
menetes gembira ke kepala Marcia.
Tak lama kemudian, Jenna sampai ke kanal sempit
yang memanjang di Parit. Jenna berhenti.
"Kita lewat sini, Yah?" teriaknya ke belakang pada
Silas.
Silas tampak kebingungan. Dia sama sekali tidak
ingat bagian ini. Tepat ketika dia sedang berpikir untuk
menjawab ya atau tidak, pikirannya disela oleh pekikan
melengking Jenna.
Tangan berlumuran lumpur cokelat dengan jari-jari
berselaput serta cakar hitam lebar menggapai keluar dari air
dan berpegangan pada ujung kanonya.
http://facebook.com/indonesiapustaka

~130~
16. BOGGART
Tangan berlumuran lumpur cokelat itu meraba-raba
sepanjang bagian samping kano, bergerak ke arah Jenna.
Kemudian tangan itu mencengkeram dayung yang
dipegangnya.
Jenna memuntir dayung itu dan bermaksud memukul
benda cokelat berlumut itu-dengan keras-sewaktu terdengar
suara berkata, "Oi. Gak perlu begitu."
Sesosok makhluk seperti anjing laut berbulu cokelat
licin muncul dari permukaan air. Sepasang mata seperti
kancing hitam memandangi Jenna, yang masih memegangi
dayungnya yang terangkat.
"Harap turunkan benda itu. Nanti ada yang terluka.
Jadi, dari tadi ke mana saja?" makhluk itu menggerutu
dengan suara berat berdeguk, aksennya kental, khas
penghuni tanah paya. "Aku sudah nunggu berjam-jam. Dingin
banget di sini. Apa kalian suka? Terjebak di dalam parit.
Menungguuu terus."
Jenna hanya bisa memekik pelan sebagai jawaban;
suaranya seperti tidak berfungsi.
"Ada apa, Jen?" tanya Nicko, yang duduk di belakang
Bocah 412, untuk memastikan bocah itu tidak bertindak
bodoh, sehingga tidak bisa melihat makhluk itu.
"In-ini..." Jenna menunjuk makhluk itu yang
kelihatannya tersinggung.
"Apa maksudmu ini?" tanyanya. "Maksudmu aku?
http://facebook.com/indonesiapustaka

Maksudmu Boggart?"
"Boggart? Bukan. Bukan begitu maksudku," gumam
Jenna.
"Kau bilang begitu. Boggart. Itu aku. Aku Boggart.
Boggart, si Boggart. Nama bagus, kan?"
"Indah sekali," sahut Jenna sopan.

~131~
"Ada apa?" tanya Silas, menyusul mereka. "Hentikan,
Maxie. Aku bilang, hentikan!"
Maxie melihat Boggart dan menggonggong tidak
keruan. Boggart memandang Maxie sekilas dan menghilang
kembali ke dalam air. Sejak Perburuan Boggart yang kejam
bertahun-tahun lalu, di mana nenek moyang Maxie turut
ambil bagian di dalamnya, Boggart Rawa-Rawa Marram
menjadi binatang langka. Dengan ingatan yang panjang.
Boggart muncul lagi dari jarak yang aman. "Kalian
tidak bakal ngajak itu, kan?" tanyanya, sambil melihat
dengan tatapan sebal ke arah Maxie. "Wanita itu gak bilang
bakal ada itu."
"Apakah aku mendengar suara Boggart?" tanya Silas.
"Yeah," sahut Boggart. "Boggart milik Zelda?" "Yeah,"
sahut Boggart.
"Apakah Zelda mengutusmu untuk mencari kami?"
"Yeah," sahut Boggart.
"Bagus," ujar Silas yang merasa sangat lega. "Kalau
begitu, kami akan mengikutimu."
"Yeah," sahut Boggart, lalu berenang mengarungi
Parit Deppen dan berbelok ke tikungan berikutnya.
Tikungan berikutnya jauh lebih sempit ketimbang
Parit Deppen dan berkelok-kelok seperti ular, jauh
memasuki rawa-rawa berselimut salju yang diterangi sinar
bulan.
Salju turun dengan mantap, suasana sekitar tenang
dan hening, yang terdengar hanya suara Boggart berdeguk
http://facebook.com/indonesiapustaka

dan berkecipak ketika berenang di depan kano, sesekali


menyembulkan kepalanya dari permukaan air yang hitam
seraya berseru, "Kalian masih ikut, kan?"

"Memangnya dia pikir kita bisa berbuat apa lagi,"
kata Jenna pada Nicko saat mendayung kano di sepanjang

~132~
selokan yang semakin sempit. "Seperti ada tempat tujuan lain
saja."
Tapi Boggart menjalankan tugasnya dengan serius
dan terus saja mengajukan pertanyaan yang sama, sampai
mereka tiba di sebuah kolam paya-paya dengan beberapa
kanal yang dipenuhi tetumbuhan.
"Baiknya tunggu yang lain," ujar Boggart. "Nanti
mereka tersesat."
Jenna menengok ke belakang untuk melihat sampai
di mana Marcia dan Silas berada. Saat ini mereka jauh
ketinggalan di belakang, karena hanya Silas yang
mendayung. Marcia sudah menyerah dan kedua tangannya
memegangi puncak kepalanya erat-erat. Di belakangnya,
moncong panjang anjing serigala Abyssinia itu dengan
angkuh mengamati pemandangan di depannya, sesekali
tetesan air liurnya jatuh memanjang berkilauan. Tepat di atas
kepala Marcia.
Selagi Silas mendorong kano masuk ke kolam dan
dengan letih meletakkan dayungnya, Marcia berseru, "Aku
tidak mau duduk di depan binatang itu lagi. Air liur anjing itu
membasahi rambutku. Menjijikkan. Aku mau keluar. Lebih
baik aku jalan kaki saja."
"Sebaiknya jangan, Yang Mulia," terdengar suara
Boggart dari permukaan air di samping Marcia. Boggart
menatap Marcia, matanya yang hitam berkedip di sela bulu
cokelatnya, kagum dengan sabuk Penyihir LuarBiasa milik
Marcia yang berkilauan ditimpa sinar bulan. Walau binatang
http://facebook.com/indonesiapustaka

rawa, Boggart menyukai benda-benda berkilau dan terang.


Dan dia belum pernah melihat benda semengilap dan
secemerlang sabuk emas dan platinum milik Marcia.
"Jangan berjalan kaki di daerah ini, Yang Mulia,"
tutur Boggart penuh hormat. "Nanti Anda bakal mulai
mengikuti Api Rawa, yang menggiring Anda menuju Lumpur

~133~
Isap sebelum Anda menyadarinya. Sudah banyak yang
mengikuti Api Rawa dan tidak ada yang pernah kembali."
Suara geraman menggemuruh terdengar dari
kerongkongan Maxie. Bulu tengkuknya berdiri, dan tiba-tiba,
mengikuti naluri lama anjing serigala yang tak dapat
ditahannya lagi, Maxie melompat masuk ke air, mengejar
Boggart.
"Maxie! Maxie! Oh, dasar anjing bodoh," teriak Silas.
Air kolam itu teramat sangat dingin. Maxie menyalak
dan dengan panik mengayuhkan keempat kakinya berbalik
ke kano Silas dan Marcia.
Marcia mendorongnya agar tidak mendekat.
"Anjing itu tidak boleh kembali ke sini lagi," serunya.
"Marcia, dia bisa mati kedinginan," protes Silas. "Aku
tidak peduli."
"Ke sini, Maxie. Ayo kemari," kata Nicko.
Ditangkapnya syal leher Maxie dan dengan bantuan Jenna
ditariknya anjing itu ke kano mereka. Kano oleng ke kanan
dan kiri, tapi Bocah 412 yang tidak ingin tercebur ke air
seperti Maxie, menyeimbangkannya dengan memegang erat-
erat akar pohon.
Sesaat Maxie berdiri gemetaran, lalu melakukan apa
yang dilakukan anjing basah mana pun: mengibas-ngibaskan
bulunya.
"Maxie!" teriak Nicko dan Jenna.
Bocah 412 diam saja. Dia sama sekali tidak suka
anjing. Semua anjing yang pernah dikenalnya hanyalah
http://facebook.com/indonesiapustaka

Anjing-Anjing Pengawal Wali yang menyeramkan. Meskipun


Maxie sama sekali tidak kelihatan seperti anjing-anjing itu,
dia tetap menduga Maxie bisa menggigit kapan saja. Maka,
sewaktu Maxie menemukan tempat yang nyaman, lalu
merebahkan kepalanya di pangkuan Bocah 412, dan tidur,
itu semakin menambah kejadian buruk dalam hari paling

~134~
buruk bagi si Bocah 412. Tapi Maxie senang. Jaket kulit
domba Bocah 412 terasa hangat dan nyaman, dan anjing
serigala itu menghabiskan sisa perjalanan tersebut dengan
bermimpi sedang berada di rumah, meringkuk di depan
perapian bersama semua anggota keluarga Heap.
Tapi Boggart sudah menghilang.
"Boggart? Kau ada di mana, Mr. Boggart?" Jenna
memanggil-manggil dengan sikap sopan.
Tak ada jawaban. Hanya kesunyian yang
menyelubungi rawa-rawa ketika selimut salju menutupi
rawa dan tanah paya, membungkam semua bunyi berdeguk
serta membuat semua binatang berlumpur kembali pada
keheningan lumpur.
"Sekarang kita kehilangan Boggart yang baik hati itu,
gara-gara anjing bodohmu," ujar Marcia kesal. "Aku tidak
mengerti mengapa kau membawanya."
Silas menghela napas. Dia tak pernah membayangkan
harus berbagi kano bersama Marcia Overstrand. Tapi
kalaupun hal itu pernah terlintas di benaknya, kemungkinan
saat dia sedang tidak waras, kejadiannya akan persis seperti
inilah kejadiannya.
Silas mengamati kaki langit, dengan harapan bisa
melihat Pondok Penjaga tempat Bibi Zelda tinggal. Pondok
itu berdiri di atas Pulau Draggen, salah satu dari banyak
pulau di tanah paya, yang benar-benar menjadi pulau hanya
ketika tanah paya banjir. Tapi yang terlihat oleh Silas
hanyalah dataran yang membentang di hadapannya ke
http://facebook.com/indonesiapustaka

semua arah. Yang lebih buruk lagi, bisa dilihatnya kabut


rawa mulai naik dan mengapung di atas air. Silas tahu kalau
kabut datang, mereka tidak akan bisa melihat Pondok
Penjaga, betapa pun dekatnya posisi mereka ke tempat itu.
Lalu dia ingat bahwa pondok itu Disihir, yang berarti
memang tak seorang pun bisa melihatnya.

~135~
Kalau mereka memang membutuhkan Boggart,
sekaranglah waktunya.
"Aku melihat cahaya!" kata Jenna, tiba-tiba. "Itu pasti
Bibi Zelda yang sedang mencari kita. Lihat, di sebelah sana!
Semua mata mengikuti arah jari telunjuk Jenna.
Secercah cahaya berkelap-kelip berlompatan di atas
rawa-rawa, seolah meloncat dari rumput ke rumput lainnya.
"Dia menghampiri kita," kata Jenna, gembira.
"Tidak," kata Nicko. "Lihat, dia menjauh." "Mungkin kita
harus berjalan dan menemuinya," ujar Silas.
Marcia tidak yakin. "Bagaimana kalian bisa yakin
kalau itu Zelda?" tanyanya. "Itu bisa siapa saja. Apa saja."
Semua terdiam memikirkan ada sesuatu yang
membawa cahaya menghampiri mereka, sampai Silas
berkata, "Itu memang Zelda. Lihat, aku bisa melihatnya."
"Tidak, kau tidak bisa melihatnya," kata Marcia. "Itu
Api Rawa, seperti dikatakan Boggart yang amat pandai tadi."
"Marcia, aku mengenali Zelda kalau melihatnya, dan
sekarang aku bisa melihatnya. Dia membawa lampu, dia
berjalan sampai sejauh ini untuk mencari kita, dan kita hanya
duduk menunggu di sini. Aku mau pergi menemuinya."
"Ada yang bilang orang bodoh melihat apa yang ingin
mereka lihat di Api Rawa," tukas Marcia tajam, "dan kau baru
saja membuktikan kebenaran pepatah itu, Silas."
Silas berusaha keluar dari kano, dan Marcia
mencengkeram jubahnya.
"Duduk!" perintah Marcia, seolah bicara pada Maxie.
http://facebook.com/indonesiapustaka

Tapi Silas menarik jubahnya, setengah bermimpi,


terpesona oleh kerlap-kerlip cahaya dan bayangan Bibi Zelda
yang timbul tenggelam di tengah kabut yang semakin naik.
Kadang kelihatannya wanita itu begitu dekat, hampir
menemukan mereka semua dan membawa mereka menuju
perapian hangat dan ranjang empuk, kadang dengan sedih

~136~
menghilang dan mengundang mereka untuk mengikutinya.
Tapi Silas tidak sanggup lagi melepaskan pandangannya dari
cahaya itu. Dia keluar dari kano dan jatuh-bangun berjalan
menuju pijar cahaya itu.
"Ayah!" teriak Jenna. "Kami boleh ikut?"
"Tidak, kalian tidak boleh ikut," sahut Marcia tegas.
"Dan aku harus membawa si tua bodoh itu kembali."
Marcia baru saja menarik napas untuk merapal
Mantra Bumerang ketika Silas tersandung, lalu jatuh di atas
tanah rawa. Saat tersungkur, Silas merasa rawa di bawahnya
mulai bergerak, bagai ada makhluk hidup sedang berputar-
putar di kedalaman lumpur. Dan ketika berusaha bangkit,
Silas mendapati dirinya tak sanggup melakukannya, seolah
tubuhnya lengket di tanah. Di tengah ketertegunan akibat
pengaruh Api Rawa, Silas bingung mengapa dirinya tidak bisa
bergerak. Dicobanya mengangkat kepala untuk melihat apa
yang terjadi, tapi dia tak mampu. Saat itulah dia menyadari
kebenaran mengerikan itu: sesuatu sedang menarik-narik
rambutnya.
Silas mengangkat kedua tangannya ke kepala, dan
dengan ngeri bisa dirasakannya jari-jemari kurus kecil di
rambutnya, memutar dan menjambak rambut keriting
panjangnya yang berantakan, serta menarik, menarik keras
dirinya masuk ke rawa. Dengan putus asa Silas berjuang
untuk melepaskan diri, tapi semakin keras usahanya,
semakin keras pula jari-jemari itu menjambak rambutnya.
Perlahan namun pasti jari-jemari itu menarik Silas sampai
http://facebook.com/indonesiapustaka

lumpur menutupi matanya dan dalam waktu singkat, sangat


singkat, bakal sampai ke hidungnya.
Marcia bisa melihat apa yang tengah terjadi, namun
tahu benar bahwa sebaiknya dia tidak langsung lari
menolong Silas.
"Ayah!" pekik Jenna, sambil keluar dari kano. "Aku

~137~
akan menolongmu, Ayah!"
"Jangan!" kata Marcia padanya. "Jangan. Seperti
itulah cara Api Rawa menjebak mangsanya. Rawa itu akan
menarikmu sampai tenggelam juga."
"Tapi... tapi kita tidak bisa duduk diam saja
menonton Ayah tenggelam," teriak Jenna.
Tiba-tiba suatu sosok pendek gemuk keluar dari
dalam air, merayap ke tepian dan, sambil melompat sigap
dari rumpun rerumputan satu ke rumpun lain, berlari ke
arah Silas.
"Sedang apa di Lumpur Isap, Sir?" tanya Boggart,
kesal.
"Whaaa?" gumam Silas yang telinganya hampir
penuh kemasukan lumpur, dan hanya bisa mendengar
pekikan dan erangan makhluk-makhluk rawa di bawahnya.
Jari-jemari kurus tadi terus saja menarik dan memelintir, dan
Silas mulai merasakan sakitnya gigi setajam pisau cukur
menggigiti kepalanya. Silas meronta-ronta sekuat tenaga,
namun setiap gerakannya malah menarik tubuhnya semakin
dalam masuk Lumpur, dan menimbulkan gelombang pekikan
melengking lainnya.
Jenna dan Nicko menyaksikan Silas perlahan-lahan
tenggelam masuk ke dalam Lumpur. Mengapa Boggart tidak
bertindak? Tiba-tiba Jenna merasa tak tahan lagi, lalu bangkit
lagi dari kanonya, dan Nicko berjalan mengikutinya. Bocah
412-yang pernah mendengar tentang Api Rawa dari satu-
satunya anak yang selamat antara satu peleton Anggota
http://facebook.com/indonesiapustaka

Laskar Pemuda yang pernah tersesat di Lumpur Isap


bertahun-tahun yang lalu-mencengkeram tangan Jenna,
berusaha menarik pakaiannya dari belakang agar kembali ke
kano. Dengan marah Marcia mendorong bocah itu pergi.
Gerakan yang tiba-tiba itu menarik perhatian
Boggart. "Tetap diam di situ, Miss," katanya tegas. Bocah 412

~138~
menarik lagi dengan keras jaket kulit domba milik Jenna, dan
gadis itu terduduk berdebam kembali di kano. Maxie
merintih.
Mata hitam berkilau Boggart menyiratkan
kecemasan. Dia tahu benar, milik siapa jari-jemari yang
memelintir dan memutar itu, dan tahu bahayanya.
"Brownies terkutuk!" ujar Boggart. "Dasar binatang
kecil kejam. Rasakan ini, Napas Boggart, dasar binatang-
binatang jahat." Boggart bersandar pada Silas, menarik napas
dalam-dalam, dan mengembuskannya ke arah jari-jari yang
menarik-narik itu. Dari dalam rawa Silas mendengar kerit-
kerit gigi seperti suara orang menggarukkan kuku di papan
tulis, kemudian jari-jari yang mencengkeram tadi terlepas
dari rambutnya. Rawa bergerak sewaktu dirasakannya
binatang-binatang di bawah lumpur itu bergerak menjauh.
Silas sudah bebas.
Boggart membantunya duduk, lalu menyeka lumpur
dari matanya.
"Kan sudah kubilang, Api Rawa bisa menuntunmu ke
Lumpur Isap. Dan ternyata benar, kan?" omel Boggart.
Silas diam saja. Tubuhnya terasa lemas terkena bau
tajam Napas Boggart yang masih tersisa di rambutnya.
"Sekarang sudah tidak apa-apa, tuan," kata Boggart
padanya. "Tapi tadi itu nyaris saja. Aku berani bilang begitu.
Belum pernah aku menyemburkan lagi napasku pada
Brownies sejak mereka mengacak-acak pondok. Ah, Napas
Boggart itu indah sekali. Mungkin ada orang yang tidak
http://facebook.com/indonesiapustaka

terlalu suka, tapi aku selalu bilang pada mereka, 'Kau bakal
berpikir sebaliknya kalau kau tertangkap Brownies Lumpur
Isap."
"Oh. Ah. Lumayan. Terima kasih, Boggart. Terima
kasih banyak," gumam Silas yang masih pusing.
Dengan hati-hati Boggart menuntunnya kembali ke

~139~
kano.
"Sebaiknya Anda duduk di depan, Yang Mulia," kata
Boggart pada Marcia. "Dia sedang tidak bisa mengemudi
benda ini."
Marcia membantu Boggart menaikkan Silas ke atas
kano, kemudian Boggart masuk lagi ke air.
"Aku akan membawa kalian pada Miss Zelda, tapi
tolong jauhkan binatang itu dariku," ujar Boggart sambil
memandang Maxie. "Lolongannya membuat badanku merah-
merah karena gatal. Sekarang badanku jadi bengkak semua.
Coba saja pegang." Boggart menawarkan perut gendut
bulatnya pada Marcia agar bisa merabanya.
"Kau baik sekali, tapi tidak, terima kasih, jangan
sekarang," sahut Marcia pelan.
"Lain kali, kalau begitu."
"Tentu saja."
"Kalau begitu, baiklah." Boggart berenang menuju
kanal kecil yang sebelumnya tidak terlihat.
"Sekarang, kalian caret kuti aku, ya?" tanyanya,
bukan untuk yang terakhir kali.
http://facebook.com/indonesiapustaka

~140~
17. ALTHER SEORANG DIRI
Sementara Boggart dan kedua kano bergerak
menyusuri jalur rawa yang panjang dan rumit, Alther
mengikuti rute yang pernah dilewati kapal tuanya, Moly,
kembali ke Kastil.
Alther terbang dengan cara yang disukainya, rendah
dan sangat cepat, dan tidak lama kemudian dia sudah
menyusul kapal peluru itu. Sungguh pemandangan yang
menyedihkan. Sepuluh pendayung tengah mendayung
dengan letihnya sementara kapal itu merayap pelan kembali
di sungai. Si Pemburu duduk di depan kemudi, meringkuk,
gemetaran, dan diam-diam merenungkan nasibnya.
Sementara di bagian belakang, si Murid, yang membuat si
Pemburu kesal, tengah resah gelisah, sesekali menendang-
nendang sisi kapal karena bosan, dan berusaha agar kakinya
yang mati rasa bisa pulih kembali.
Alther terbang tak terlihat di atas kapal itu, sebab dia
hanya bisa Terlihat oleh orang-orang yang dipilihnya. Di
atasnya langit cerah digelayuti awan-awan salju tebal, dan
bulan sudah tidak kelihatan, sehingga tepian-tepian sungai
yang cerah berselimut salju tenggelam dalam kegelapan.
Sewaktu Alther semakin mendekati Kastil, keping-keping
salju besar mulai turun perlahan dari langit, dan sewaktu dia
hampir sampai di tikungan terakhir sungai yang akan
membawanya menuju Karang Gagak, tiba-tiba salju turun
deras.
http://facebook.com/indonesiapustaka

Alther memperlambat laju terbangnya, karena


bahkan hantu pun kesulitan untuk bisa melihat di tengah
badai salju, dan dengan berhati-hati dia terbang menuju
Kastil. Segera saja, di balik dinding putih salju, Alther bisa
melihat kobaran bara api merah sisa-sisa Kedai Teh dan Bir
Sally Mullin yang hangus terbakar. Salju mendesis dan

~141~
meletik-letik saat menimpa jembatan ponton yang hangus.
Ketika Alther melayang tanpa arah selama beberapa saat di
atas puing-puing kedai itu, dia berharap di suatu tempat di
sungai yang dingin, si Pemburu tengah menikmati badai salju
itu.
Alther terbang naik menuju tempat pembuangan
sampah, melewati pintu tikus yang sudah rusak dan tidak
terpakai lagi, lalu memanjat dinding terjal Kastil. Dia terkejut
melihat betapa damai dan tenangnya Kastil saat itu. Dia
mengira segala peristiwa menghebohkan malam itu akan
terasa efeknya di Kastil ini, tapi saat itu sudah lewat tengah
malam dan hamparan salju menyelimuti pelataran depan
serta bangunan-bangunan tua dari batu yang sepi itu. Alther
menyusup di sekitar Istana dan bergerak menuju jalan besar
yang dikenal sebagai Jalan Penyihir, yang menuju Menara
Penyihir. Dia mulai gugup. Apa yang akan ditemukannya?
Melayang di luar Menara, dia segera menemukan
jendela lengkung kecil di puncaknya yang sedari tadi
dicarinya. Alther menembus jendela itu, dan menemukan
dirinya berdiri di luar pintu depan milik Marcia, atau
setidaknya pintu itu masih milik Marcia beberapa jam
sebelumnya. Alther menarik napas ala hantu, dan
menenangkan diri. Kemudian dengan hati-hati dia
Membuyarkan diri secukupnya, agar bisa melewati papan-
papan kokoh warna ungu dan engsel-engsel tebal perak
pintu itu, dan dengan cekatan MenataUlang dirinya setelah
berhasil masuk. Sempurna. Dia sudah kembali ke kamar
http://facebook.com/indonesiapustaka

Marcia.
Begitu pula dengan Penyihir Kegelapan, sang Necro-
mancer, DomDaniel.
DomDaniel tertidur di sofa Marcia. Berbaring
telentang dengan jubah hitam menutupi tubuhnya dan topi
silindris pendek hitam ditarik hingga menutupi matanya,

~142~
sementara kepalanya bersandar pada bantal Bocah 412.
Mulut DomDaniel menganga lebar dan dia mendengkur keras
sekali. Bukanlah pemandangan yang enak dilihat.
Alther memandangi DomDaniel, merasa aneh melihat
lagi mantan Guru-nya di tempat mereka pernah
menghabiskan waktu bertahun-tahun bersama. Alther tidak
mengenang masa-masa itu dengan kegembiraan, walaupun
dia telah mempelajari segala sesuatu tentang Magyk, bahkan
melebihi yang ingin diketahuinya. Dulu DomDaniel adalah
Penyihir LuarBiasa yang arogan dan tidak menyenangkan,
sama sekali tidak tertarik pada Kastil dan orang-orang di
sana yang membutuhkan bantuannya. Dia hanya memuaskan
hasratnya memiliki kekuatan luar biasa dan menjadi muda
abadi. Atau lebih tepatnya mempertahankan usia paruh baya
abadi, berhubung DomDaniel menghabiskan waktu cukup
lama untuk mewujudkan keinginannya itu.
Sekilas, DomDaniel yang berbaring mendengkur,
kelihatannya masih tetap sama seperti yang diingat Alther
bertahun-tahun yang lalu, tapi saat Alther mencermati lebih
dekat, dilihatnya bahwa Dom Daniel tidak sepenuhnya tidak
berubah. Tampak semburat kelabu di kulit sang
Necromancer, yang menunjukkan tahun-tahun yang
dilewatinya di bawah tanah bertemankan Hantu dan
Bayangan. Aura Sisi Lain masih melekat pada dirinya dan
memenuhi ruangan dengan bau jamur dan tanah basah. Saat
Alther mengamati, segaris air liur menetes keluar dari sudut
bibir DomDaniel dan jatuh ke dagunya, terus sampai ke atas
http://facebook.com/indonesiapustaka

jubah hitamnya.
Diiringi dengkuran DomDaniel, Alther mengamati
ruangan yang sama sekali tidak berubah itu, seolah Marcia
bisa masuk kapan saja, duduk, lalu menceritakan
kegiatannya hari itu, seperti yang selalu dilakukannya. Tapi
kemudian Alther melihat tanda bekas hangus tempat

~143~
KilatHalilintar menghantam si Pembunuh Bayaran. Sisa
bekas lubang hangus berbentuk sosok si Pembunuh Bayaran
kelihatan di karpet sutra Marcia yang sangat berharga.
Jadi, peristiwa itu benar-benar terjadi, pikir Alther.
Hantu itu melayang naik menuju pintu penutup
saluran pembuangan sampah yang masih menganga lebar,
lalu mengintip ke dalam kegelapan gulita di baliknya. Alther
bergidik dan memikirkan perjalanan mengerikan yang harus
mereka lalui. Kemudian, karena Alther ingin melakukan
sesuatu, sekecil apa pun, dia melangkah melewati perbatasan
antara alam arwah dan alam manusia. Dia Menyebabkan
sesuatu terjadi.
Dibantingnya pintu penutup tadi.
Brak!
DomDaniel terbangun kaget. Langsung terduduk dan
melihat ke sekelilingnya, sesaat mengingat-ingat di mana
dirinya berada. Segera saja, dengan menghela sedikit napas
lega, dia teringat. Dirinya sudah kembali ke tempat asalnya.
Kembali berada di kamar-kamar Penyihir LuarBiasa.
Kembali berada di puncak Menara. Kembali dengan gegap
gempita. DomDaniel melihat sekelilingnya, menantikan
kedatangan Murid-nya, yang mestinya sudah kembali
berjam-jam yang lalu, membawa kabar tentang kematian si
Putri dan wanita mengerikan itu, Marcia Overstrand, serta
dua anggota keluarga Heap yang terlibat dalam masalah ini.
Semakin sedikit jumlah mereka, semakin baik, pikir
DomDaniel. Udara malam yang dingin menggigit
http://facebook.com/indonesiapustaka

membuatnya gemetaran, dan dia menceklikkan jemarinya


dengan tidak sabar ke arah perapian di rangka besi. Apinya
membesar lagi, dan pouf!
Alther meniupnya sampai padam. Lalu
diembuskannya asap dari cerobong hingga DomDaniel
terbatuk-batuk.

~144~
Sang Necromancer tua itu boleh saja berada di sini,
pikir Alther geram, dan aku tidak bisa berbuat apa-apa, tapi
dia tidak akan bisa menikmatinya. Tidak akan, selama aku
bisa mencegahnya.
Si Murid kembali pada waktu subuh, setelah
DomDaniel naik ke kamar namun tidak bisa tidur nyenyak,
karena seprai dan selimutnya seperti ingin sekali
mencekiknya. Wajah bocah itu pucat karena kelelahan dan
kedinginan, salju melekat di jubah hijaunya dan tubuhnya
gemetaran ketika Pengawal yang menemaninya masuk
cepat-cepat keluar, meninggalkannya sendirian menghadap
Guru-nya.
DomDaniel sedang dalam keadaan marah ketika
pintu membiarkan si Murid masuk.
"Kuharap," kata DomDaniel pada bocah yang
gemetaran itu, "kau membawa kabar yang menarik."
Alther melayang ke dekat bocah yang nyaris tidak
sanggup bicara karena kelelahan itu. Alther kasihan pada
anak itu-bukan salahnya kalau dia menjadi Murid
DomDaniel. Alther meniup api yang kemudian menyala lagi.
Bocah itu melihat bara api melompat di rangka bakar
perapian, dan dia bergerak menghampiri kehangatan
tersebut.
"Mau ke mana?" suara DomDaniel bergemuruh.
"Aku... aku kedinginan, Sir."
"Kau tidak boleh mendekati perapian itu sebelum
kau menceritakan apa yang terjadi. Apakah mereka sudah
http://facebook.com/indonesiapustaka

disingkirkan?"
Bocah itu kelihatan bingung. "Aku... aku sudah bilang
padanya bahwa itu Proyeksi," gumamnya. "Apa maksudmu?
Apanya yang Proyeksi?" "Kapal mereka."
"Baiklah, kurasa kau berhasil mengatasinya. Cukup
mudah. Tapi apakah mereka sudah disingkirkan? Sudah

~145~
mati? Sudah atau belum?" Suara DomDaniel meninggi karena
jengkel. Dia sudah bisa menebak jawabannya, tapi ingin
mendengarnya sendiri.
"Belum," bisik bocah itu, tampak sangat ketakutan,
jubahnya yang basah kuyup meneteskan air ke lantai
sewaktu salju yang melekat di jubah itu mulai mencair akibat
hawa panas dari api yang dinyalakan Alther tadi.
DomDaniel melayangkan tatapan menyeramkan
kepada bocah itu.
"Kau selalu saja mengecewakan. Aku mengarungi
bahaya tanpa akhir untuk menyelamatkanmu dari aib
sebuah keluarga. Kuberi kau pendidikan yang hanya bisa
menjadi impian bagi anak-anak lain. Lalu apa yang
kaulakukan? Bertingkah seperti orang bodohi Aku tidak
mengerti. Bocah sepertimu semestinya bisa dengan mudah
menemukan gerombolan perusuh itu. Tapi kau justru
kembali dengan membawa cerita konyol tentang Proyeksi
dan... meneteskan air sampai menggenangi lantai!"
DomDaniel memutuskan bahwa berhubung dirinya
sudah bangun, maka tidak ada alasan mengapa Wali Utama
tidak bangun juga. Sementara mengenai si Pemburu,
DomDaniel tak sabar lagi menanti apa yang bakal dikatakan
orang itu untuk membela diri. DomDaniel melangkah ke luar,
membanting pintu di belakangnya, lalu menuruni anak-anak
tangga perak yang tidak berfungsi, langkahnya berdentang-
dentang melewati lantai-lantai gelap tak berujung yang
kosong dan bergema karena ditinggalkan semua Penyihir
http://facebook.com/indonesiapustaka

Biasa sore tadi.


Menara Penyihir terasa dingin dan suram dengan
ketiadaan Magyk. Angin dingin menderu saat berembus
kencang melewati cerobong asap besar, dan pintu-pintu
terbanting penuh penderitaan di dalam ruang-ruang kosong.
Dalam perjalanannya menuruni tangga, sambil merasa

~146~
pusing karena tangga spiral itu seolah tak ada habisnya,
DomDaniel memerhatikan semua perubahan ini dengan
puas. Mulai saat ini, beginilah keadaan Menara. Tempat
untuk Magyk Gelap yang serius. Tak satu pun Penyihir Biasa
yang menjengkelkan itu akan berjingkrakan dan berkeliaran
dengan mantra-mantra kecil mereka yang menyedihkan.
Tidak ada lagi dupa bodoh dan suara melengking penuh
kegembiraan memenuhi udara, dan yang pasti tidak ada lagi
warna-warni dan cahaya yang tak berguna. Magyk miliknya
akan digunakan untuk hal-hal yang lebih hebat. Tapi
mungkin dia akan memperbaiki tangga ini.
Akhirnya DomDaniel muncul di aula yang gelap dan
sunyi. Pintu-pintu perak menuju Menara terbuka
menyedihkan. Salju sudah bertiup masuk dan menyelimuti
lantai yang diam tak bergerak, yang kini hanya berupa batu
abu-abu kusam. DomDaniel bergerak cepat melewati pintu-
pintu tadi dan melangkah melintasi pelataran depan.
Selagi DomDaniel menjejakkan kakinya dengan gusar
di hamparan salju dan berjalan dari Jalan Penyihir menuju
Istana, dia mulai menyesal kenapa tadi dia tidak mengganti
dulu jubah dan sandal tidurnya sebelum ke luar. Dia tiba di
Gerbang Istana dalam keadaan agak basah dan tidak
berwibawa, dan satu-satunya Penjaga Istana tidak
memperbolehkannya masuk.
DomDaniel menghantam Penjaga itu dengan
KilatHalilintar, lalu melangkah masuk. Segera setelahnya
Wali Utama dibangunkan dari ranjangnya, yang kedua kali
http://facebook.com/indonesiapustaka

dalam dua hari berturut-turut.


Kembali di Menara, si Murid terhuyung-huyung ke
sofa dan tidur kedinginan dan tidak bahagia. Alther merasa
iba padanya dan membiarkan api tetap menyala. Sementara
anak itu tertidur, hantu itu mengambil kesempatan untuk
Menyebabkan beberapa perubahan lagi. Dilonggarkannya

~147~
kanopi yang berat di atas tempat tidur, sehingga hanya
tertahan oleh sehelai benang. Dicabutnya hingga lepas semua
sumbu lilin. Ditambahkannya warna hijau suram ke tangki-
tangki air dan ditaruhnya sekeluarga besar kecoak yang
agresif di dapur. Juga ditaruhnya seekor tikus yang mudah
marah di bawah lantai papan, dan tak lupa dia melonggarkan
semua sambungan kursi-kursi yang paling nyaman. Setelah
itu-pikiran ini terlintas belakangan-diubahnya topi hitam
silindris kaku milik DomDaniel, yang tergeletak di atas
ranjang, menjadi sedikit lebih besar.
Saat matahari terbit, Alther meninggalkan si Murid
yang masih tidur, dan dia berjalan menuju Hutan, mengikuti
jalan setapak yang pernah dilaluinya bersama Silas ketika
mengunjungi Sarah dan Galen bertahun-tahun yang lalu.
http://facebook.com/indonesiapustaka

~148~
18. PONDOK PENJAGA
Kesunyianlah yang membangunkan Jenna di dalam
Pondok Penjaga keesokan harinya. Setelah sepuluh tahun
terbang un setiap hari mendengar suara hiruk-pikuk di
Rumah Besar, belum lagi suara berisik dan kegaduhan enam
anak laki-laki keluarga Heap, kesunyian ini justru terasa
memekakkan telinga. Jenna membuka mata, dan sesaat
mengira dirinya masih bermimpi. Dia ada di mana? Mengapa
dia tidak berada di rumah, di dalam lemarinya? Mengapa
cuma ada Jo-Jo dan Nicko di sini? Di mana kakak-kakaknya
yang lain? Lalu dia ingat.
Jenna bangun, lalu duduk pelan-pelan supaya tidak
membangunkan kedua anak laki-laki yang berbaring di
sampingnya, di dekat bara api yang masih menyala di
perapian di bawah tangga, di dalam pondokan Bibi Zelda.
Dirapatkannya selimutnya, sebab meski perapian menyala,
udara di dalam pondok terasa dingin dan lembap. Kemudian
dengan ragu-ragu dia mengangkat tangan, memegang
kepalanya.
Jadi, memang benar. Mahkota berbentuk lingkaran
emas itu masih bertengger di kepalanya. Dia masih seorang
Putri. Ternyata bukan hanya karena hari ulang tahunnya.
Sepanjang hari kemarin, Jenna merasakan perasaan
tidak nyata yang selalu menghinggapinya setiap berulang
tahun. Perasaan bahwa hari itu seolah bagian dari dunia lain,
masa yang berbeda, dan apa pun yang terjadi pada hari ulang
http://facebook.com/indonesiapustaka

tahunnya tidaklah nyata. Dan perasaan itulah yang


membantu Jenna mengatasi berbagai kejadian luar biasa
pada hari ulang tahunnya yang kesepuluh, perasaan bahwa,
apa pun yang terjadi, semuanya bakal kembali seperti biasa
keesokan harinya, dan oleh karenanya tidak menjadi
masalah.

~149~
Tapi ternyata tidak. Semuanya memang benar-benar
terjadi.
Jenna memeluk tubuhnya sendiri agar tidak
kedinginan dan mempertimbangkan masalah ini. Dia seorang
Putri.
Jenna dan sahabatnya, Bo, sering kali membicarakan
kemungkinan bahwa mereka adalah kakak-beradik Putri
yang telah lama hilang, terpisah saat dilahirkan, yang oleh
nasib telah dipertemukan sebagai teman sebangku di Kelas 6
Sekolah Tingkat Tiga Sisi Timur. Jenna hampir saja
memercayainya; entah bagaimana, rasanya pas sekali.
Walaupun, ketika bermain ke rumah Bo, Jenna baru
menyadari tak mungkin Bo adalah anak keluarga lain. Bo
mirip sekali dengan ibunya, pikir Jenna, dengan rambut
merah terang dan banyak bintik-bintik di wajahnya, Bo
pastilah anak perempuannya. Tapi Bo pernah membantah
hal ini dengan nada tajam ketika Jenna mengatakannya, jadi
Jenna tidak pernah membicarakannya lagi.
Meski demikian, hal itu tidak membuat Jenna
berhenti bertanya-tanya, mengapa dirinya sama sekali tidak
mirip dengan ibu kandungnya. Juga dengan ayahnya. Dan
kakak-kakaknya. Mengapa hanya dirinya yang mempunyai
rambut hitam? Mengapa matanya tidak hijau? Jenna setengah
mati berharap bola matanya berubah menjadi hijau. Bahkan
sampai kemarin pun dia masih berharap.
Sudah lama Jenna rindu mendengar Sarah berkata
padanya, selagi memerhatikan dirinya bermain dengan
http://facebook.com/indonesiapustaka

kakak-kakaknya, "Kau tahu, Ibu sungguh merasa matamu


mulai berubah warna. Ibu yakin melihat ada sedikit warna
hijau di bola matamu hari ini." Kemudian: "Kau cepat sekali
besar. Matamu sudah hampir sehijau mata ayahmu."
Tapi sewaktu Jenna meminta diberitahu tentang
matanya, dan mengapa warnanya belum hijau seperti kakak-

~150~
kakaknya, Sarah hanya berkata, "Tapi kau putri kami, Jenna.
Kau istimewa. Kau punya mata yang indah."
Namun kata-kata itu tidak membuat Jenna percaya.
Dia tahu anak perempuan juga bisa punya mata hijau
Penyihir. Lihat saja Miranda Bott yang tinggal di ujung
koridor, yang kakeknya membuka toko jubah bekas
Penyihir. Mata Miranda hijau, padahal hanya kakeknya yang
menjadi Penyihir. Lalu mengapa dirinya tidak bisa bermata
hijau juga?
Jenna merasa kesal memikirkan Sarah. Berpikir
kapan bisa bertemu lagi dengannya. Bahkan berpikir apakah
Sarah masih mau menjadi ibunya, karena sekarang segalanya
sudah berubah.
Jenna menggeleng-geleng dan berkata pada dirinya
sendiri agar jangan punya pikiran bodoh seperti itu. Dia
berdiri, sambil tetap merapatkan selimutnya, dan melangkah
berhati-hati di antara dua anak laki-laki yang sedang
tertidur. Dia berhenti sebentar untuk melihat Bocah 412, dan
heran mengapa tadi dia mengira bocah itu adalah Jo-jo. Tadi
itu pasti salah lihat karena pengaruh cahaya, katanya
memutuskan dalam hati.
Bagian dalam pondok masih gelap, hanya ada cahaya
redup perapian, tapi Jenna sudah mulai terbiasa dengan
keadaan remang-remang itu. Dia mulai berjalan-jalan,
menyeret selimutnya di lantai, dan perlahan-lahan dia bisa
melihat keadaan sekelillingnya.
Pondok itu tidak besar. Ada satu kamar di lantai
http://facebook.com/indonesiapustaka

bawah; di ujung ruangan terdapat sebuah perapian terbuka


yang sangat besar, dengan tumpukan kayu bakar yang masih
menyisakan bara api. Nicko dan Bocah 412 tertidur di atas
karpet di depan perapian, masing-masing terbungkus hangat
dengan selimut tebal kain perca milik Bibi Zelda. Di tengah
ruangan terdapat seundakan anak tangga sempit dengan

~151~
lemari di bawahnya, dengan tulisan RAMUAN LABIL DAN
RACUN ISTIMEWA dari huruf emas mengilap di pintu yang
tertutup rapat. Jenna mengintai anak-anak tangga sempit
yang mengarah ke sebuah kamar besar gelap tempat Bibi
Zelda, Marcia, dan Silas masih tidur. Dan tentu saja, Maxie,
yang dengkuran dan dengusannya kedengaran sayup-sayup
oleh Jenna. Ataukah itu dengkuran Silas dan dengusan Maxie?
Sewaktu tidur, tuan dan anjingnya kedengaran sangat mirip.
Di lantai bawah, langit-langitnya rendah dan
menampakkan balok-balok yang ditebang kasar, yang
merupakan bahan dasar pondok itu. Berbagai macam benda
menggantung dari balok-balok itu: dayung perahu, topi,
karung berisi kulit kerang, sekop, cangkul, karung kentang,
sepatu, pita, sapu, berikat-ikat ilalang, mata kayu willow, dan
tentu saja ratusan macam tanaman obat yang ditanam
sendiri oleh Bibi Zelda atau dibeli dari Pasar Magyk, yang
diadakan setahun sekali di Pelabuhan. Sebagai Penyihir
Putih, Bibi Zelda menggunakan tanaman obat untuk jimat
dan ramuan, selain sebagai obat, dan kau akan beruntung
kalau bisa memberitahu Bibi Zelda tentang tanaman obat
yang belum diketahuinya.
Jenna melayangkan pandang ke sekelilingnya,
menyukai perasaan menjadi satu-satunya orang yang sudah
bangun, bebas berjalan-jalan tanpa gangguan. Sewaktu
berjalan-jalan, Jenna berpikir betapa anehnya berada di
dalam sebuah pondok dengan empat sisi dindingnya yang
tidak menempel dengan dinding rumah orang lain. Rasanya
http://facebook.com/indonesiapustaka

sangat berbeda dengan hiruk-pikuk di Rumah Besar, tapi dia


sudah merasa betah di sini. Jenna melanjutkan
penjelajahannya, melihat kursi-kursi tua tapi nyaman, meja
mengilap yang tidak kelihatan bisa ambruk setiap saat, dan
yang paling menarik, lantai batu yang baru disapu, tidak ada
apa-apa di atasnya, kosong. Tidak ada benda apa pun di

~152~
atasnya kecuali karpet butut dan, di dekat pintu, sepasang
sepatu bot Bibi Zelda.
Jenna mengintip ke dapur kecil, dengan bak cuci
piring besar, beberapa panci dan penggorengan yang bersih
serta meja kecil, tapi udara terlalu dingin untuk terus
berkeliaran sampai ke sana. Kemudian Jenna berjalan terus
sampai ke ujung ruangan, tempat rak-rak botol dan stoples
ramuan dijejerkan di dinding, mengingatkannya pada
rumahnya. Ada beberapa yang dikenali dan diingatnya
pernah digunakan Sarah. Campuran Katak, Adonan Ajaib, dan
Rebusan Dasar, semua itu nama yang tidak asing bagi Jenna.
Lalu, sama seperti di rumah, di sekeliling meja kecil yang
penuh dengan tumpukan pulpen, kertas, dan buku catatan,
terdapat tumpukan buku Magyk yang tingginya hampir
menyentuh langit-langit. Begitu banyak bukunya sampai
hampir menutupi seluruh dinding, tapi tidak seperti di
rumah, buku-buku itu tidak menutupi lantai.
Cahaya matahari pagi mulai merayap di jendela yang
tertutup salju, dan Jenna memutuskan untuk melongok ke
luar. Dia berjingkat ke arah pintu kayu besar dan dengan
perlahan menarik gerendelnya yang besar dan diminyaki.
Kemudian dengan hati-hati ditariknya pintu hingga terbuka,
seraya berharap pintunya tidak berkeriat-keriut. Ternyata
memang tidak berbunyi, karena Bibi Zelda, layaknya semua
penyihir, sangat perhatian pada pintu. Pintu yang berkeriat-
keriut di rumah seorang Penyihir Putih merupakan pertanda
buruk, pertanda Magyk yang salah tempat dan mantra yang
http://facebook.com/indonesiapustaka

tidak dirapalkan dengan benar.


Jenna menyelinap pelan ke luar dan duduk di tangga
masuk dengan selimut dirapatkan di tubuhnya, napasnya
yang hangat berubah menjadi embusan uap putih di tengah
dinginnya udara. Kabut rawa tampak tebal dan rendah.
Kabut itu menyelimuti permukaan tanah dan bergulung di

~153~
atas permukaan air, dan di sekitar jembatan kayu kecil yang
menghubungkan kanal lebar ke rawa di seberangnya. Air
menyentuh pinggiran kanal, yang dikenal dengan sebutan
Mott, dan membentang di sekeliling pulau Bibi Zelda seperti
parit lebar dan dalam. Warna air begitu hitam dan datar,
hingga kelihatan seperti kulit tipis yang terentang di atas
permukaannya, namun selagi Jenna memandanginya, terlihat
olehnya air merayap ke pinggir tepian dan bergerak ke atas
pulau. Selama bertahun-tahun Jenna menyaksikan arus
pasang-surut datang dan pergi, dan dia tahu arus pagi itu
adalah arus pasang musim semi setelah bulan purnama pada
malam sebelumnya, dan dia juga tahu tak lama kemudian
arusnya bakal surut lagi, seperti arus sungai di luar jendela
kecil di rumahnya, sampai serendah ketinggian asalnya,
meninggalkan lumpur dan pasir tempat burung-burung air
mencelupkan paruh mereka yang panjang dan bengkok.
Cakram putih pucat matahari musim dingin perlahan
naik melalui lapisan tebal kabut, dan di sekeliling Jenna
kesunyian mulai beralih menjadi suara hiruk-pikuk binatang
di pagi hari. Suara riuh ayam berkotek membuat Jenna
terlonjak kaget dan menengok ke arah asal suara itu. Dengan
heran Jenna bisa melihat sebentuk perahu nelayan muncul
dari balik kabut.
Bagi Jenna, yang sudah melihat hal-hal baru dan aneh
selama dua puluh empat jam terakhir-hal-hal yang tidak
pernah terbayangkan olehnya-sebuah perahu nelayan
dengan awak ayam-ayam tidaklah terlalu mengejutkan lagi.
http://facebook.com/indonesiapustaka

Dia duduk saja di tangga pintu dan menunggu perahu itu


lewat. Setelah beberapa menit, perahu itu kelihatannya tidak
bergerak, dan Jenna bertanya-tanya apakah perahu itu
terdampar. Beberapa menit kemudian, saat kabut sudah
menipis, disadarinya benda apa itu sebenarnya: perahu
nelayan itu ternyata sebuah kandang ayam. Lusinan ayam

~154~
betina melangkah hati-hati menuruni tangga kapal, sibuk
memulai tugas sehari-hari. Mematuk dan mengais, mengais
dan mematuk.
Segala sesuatu, pikir Jenna, tidak selalu seperti
kelihatannya.
Lengkingan sayup-sayup nyanyian burung mulai
terdengar, dan beberapa kali kecipak pelan terdengar dari
air, sepertinya berasal dari-harap Jenna-binatang-binatang
kecil. Terlintas dalam benaknya, mungkin saja itu suara ular
air atau belut, tapi dia memutuskan untuk tidak
memikirkannya. Jenna bersandar lagi ke tiang pintu dan
menghirup udara rawa yang segar dan sedikit asin.
Sempurna. Tenang dan damai.
"Baa!" kata Nicko. "Kena kau, Jen!"
"Nicko," protes Jenna. "Kau berisik sekali, sih. Husss."
Nicko mengambil tempat di atas tangga pintu di
sebelah Jenna, dan menyambar ujung selimut Jenna untuk
menyelimuti dirinya sendiri.
"Tolong, tegur Jenna.
"Apa?"
"Tolong, Jenna, bolehkah aku berbagi selimut
denganmu? Ya, boleh, Nicko. Oh, terima kasih banyak, Jenna,
kau baik sekali. Sama-sama, Nicko."
"Baiklah, kalau begitu, sama-sama juga." Nicko
menyeringai. "Dan kurasa aku harus menekuk lutut tanda
hormat padamu, karena sekarang kau adalah Nona Yang
Mulia dan Berkuasa."
http://facebook.com/indonesiapustaka

"Anak laki-laki tidak menekuk lutut," Jenna tertawa.


"Kau harus membungkuk."
Nicko melompat bangun dan, seraya mengangkat
topi imajiner dengan sapuan tangannya, dia membungkuk
berlebihan. Jenna bertepuk tangan.
"Bagus sekali. Kau bisa melakukannya setiap pagi."

~155~
Jenna tertawa lagi.
"Terima kasih, Yang Mulia," sahut Nicko dengan
sungguh-sungguh, sambil memakai lagi topi imajinernya.
"Aku ingin tahu di mana si Boggart?" tanya Jenna
dengan agak mengantuk.
Nicko menguap. "Mungkin di dasar kolam lumpur di
suatu tempat. Kurasa dia tidak tidur di ranjang."
"Dia pasti benci itu, betul kan? Terlalu kering dan
bersih.
"Baiklah," sahut Nicko, "Aku mau tidur lagi. Aku
perlu tidur lebih dari dua jam. Kau sih mungkin tidak
membutuhkannya." Nicko melepaskan diri dari selimut
Jenna dan masuk ke selimutnya sendiri yang tergeletak
menumpuk di dekat perapian. Jenna sadar ternyata dia juga
merasa lelah. Kelopak matanya mulai berat, menandakan
tidurnya belum cukup, dan tubuhnya mulai kedinginan.
Jenna berdiri, merapatkan selimutnya, menyelinap masuk
kembali ke pondok remang-remang dan dengan hati-hati
menutup pintu di belakangnya.

http://facebook.com/indonesiapustaka

~156~
19. BIBI ZELDA
"Selamat pagi, semuanya!" seru Bibi Zelda ceria pada
tumpukan selimut tebal dan para penghuninya di dekat
perapian. Bocah 412 terbangun panik, mengira dia mesti
melompat turun dari ranjang Laskar Pemuda, lalu berbaris di
luar dalam waktu tiga puluh detik untuk diabsen. Dengan
tatapan tak mengerti, dipandanginya Bibi Zelda yang sama
sekali tidak mirip, Komandan Kadet berkepala plontos yang
senang sekali mengguyurkan seember air dingin pada siapa
saja yang tidak segera melompat bangun dari ranjang.
Terakhir kali hal itu terjadi pada Bocah 412, dia harus tidur
di ranjang dingin dan basah selama berhari-hari sebelum
ranjangnya kering sendiri. Bocah 412 melompat bangun
dengan mimik ketakutan, tapi ketegangannya agak
berkurang sewaktu melihat Bibi Zelda tidak membawa
seember air dingin. Tepatnya, wanita itu membawa nampan
sarat dengan beberapa mug berisi susu panas dan tumpukan
tinggi roti panggang mentega panas.
"Baiklah, anak muda," kata Bibi Zelda, "tidak perlu
buru-buru. Hangatkan saja dirimu kembali ke balik selimut,
dan minum ini mumpung masih panas." Ditawarkannya
secangkir susu dan potongan terbesar roti panggang pada
Bocah 412 yang kelihatannya perlu dibuat lebih gemuk,
pikirnya.
Bocah 412 duduk lagi, merapatkan selimutnya, dan
dengan sedikit ragu-ragu minum susu panas, lalu makan roti
http://facebook.com/indonesiapustaka

panggang menteganya. Di sela-sela tegukan susu dan mulut


penuh roti panggang, dia melayangkan pandang ke sekeliling,
mata abu-abu gelapnya membelalak cemas.
Bibi Zelda mengambil tempat di sebuah kursi tua di
samping perapian, dan melemparkan beberapa batang kayu
ke bara api. Tak lama kemudian, api berkobar dan Bibi Zelda

~157~
duduk dengan perasaan senang, seraya menghangatkan
tangannya di dekat api. Bocah 412 menatap Bibi Zelda setiap
kali dikiranya wanita itu tidak melihatnya. Tentu saja Bibi
Zelda melihatnya, tapi dia sudah terbiasa merawat binatang-
binatang yang terluka dan ketakutan, dan dilihatnya Bocah
412 tidak ada bedanya dengan berbagai binatang rawa yang
sering dirawatnya sampai sembuh. Bahkan bocah itu
mengingatkan dirinya pada seekor kelinci kecil yang sangat
ketakutan, yang pernah diselamatkannya dari cengkeraman
Lynx Rawa belum lama berselang. Lynx memancing si kelinci
selama berjam-jam, menggigit kupingnya dan melempar-
lemparkannya, menikmati rasa takut si kelinci sebelum pada
akhirnya memutuskan untuk mematahkan lehernya. Ketika,
dengan lemparan penuh semangat, Lynx mengempaskan
binatang malang ketakutan itu ke jalan yang dilalui Bibi
Zelda, wanita itu menyambar si kelinci dan langsung pulang
ke rumah, meninggalkan Lynx yang mondar-mandir
kebingungan selama berjam-jam mencari mangsanya yang
hilang.
Kelinci itu menghabiskan waktu berhari-hari duduk
di dekat perapian sambil menatap Bibi Zelda dengan tatapan
yang sama dengan Bocah 412 saat ini. Bibi Zelda merenung
sambil menyibukkan diri mengorek perapian, berhati-hati
agar tidak membuat takut Bocah 412; kelinci itu sudah pulih,
dan dia yakin Bocah 412 juga bisa pulih.
Pandangan mencuri-curi si Bocah 412 terpaku pada
rambut kelabu kribo, pipi bersemu merah, senyum
http://facebook.com/indonesiapustaka

menenangkan, dan mata biru cerah penyihir milik Bibi Zelda.


Bocah itu harus melirik beberapa kali untuk bisa
memerhatikan baju terusan kain perca Bibi Zelda yang
longgar, yang menyulitkannya untuk bisa tahu bagaimana
sebenarnya bentuk tubuh wanita itu, terutama ketika duduk.
Kesan yang didapat Bocah 412 adalah Bibi Zelda seperti telah

~158~
memasuki sebuah tenda kain perca besar lalu
menyembulkan kepala dari bagian atasnya, untuk melihat
apa yang sedang terjadi di sekelilingnya. Sesaat senyum tipis
tersungging di sudut bibir Bocah 412 ketika
membayangkannya.
Bibi Zelda memerhatikan senyum tipis itu dan
merasa gembira. Selama ini dia belum pernah melihat anak
yang begitu kurus kering dan kelihatan ketakutan. Dia
merasa sedih memikirkan apa yang telah membuat Bocah
412 menjadi seperti itu. Dia pernah mendengar kasak-kusuk
tentang Laskar Pemuda dalam kunjungannya sesekali ke
Pelabuhan, tapi tidak terlalu percaya semua cerita
mengerikan yang pernah didengarnya. Tentunya tidak ada
orang yang tega memperlakukan anak-anak dengan cara
begitu kejam, bukan? Namun kini Bibi Zelda mulai bertanya-
tanya, apakah cerita-cerita itu memang benar adanya,
melebihi yang disadarinya.
Bibi Zelda tersenyum pada Bocah 412; lalu dengan
erangan santai dia bangkit dari kursi dan menyibukkan diri
untuk mengambil susu panas lagi.
Sementara Bibi Zelda pergi, Nicko dan Jenna bangun.
Bocah 412 menatap mereka dan sedikit menjauh, sebab
masih membekas di benaknya bagaimana kuncian tangan
Jenna malam sebelumnya. Tapi Jenna hanya tersenyum
mengantuk kepadanya, lalu berkata, "Kau tidur nyenyak?"
Bocah 412 mengangguk dan menatap mug susunya
yang sudah tinggal setengah.
http://facebook.com/indonesiapustaka

Nicko duduk tegak, menggumamkan halo ke arah


Jenna dan Bocah 412, lalu mengambil sepotong roti
panggang dan terkejut merasakan betapa lapar perutnya.
Bibi Zelda kembali ke dekat perapian dengan membawa
seteko susu panas.
"Nicko!" Bibi Zelda tersenyum. "Wah, kau sedikit

~159~
berubah sejak terakhir kali aku melihatmu, itu sudah pasti.
Waktu itu kau masih bayi. Masa-masa ketika aku suka
mengunjungi ayah dan ibu kalian di Rumah Besar. Masa-
masa bahagia."
Bibi Zelda menghela napas dan menyodorkan susu
panas kepada Nicko.
"Dan Jenna kita!"-Bibi Zelda tersenyum lebar
kepadanya-"aku sudah lama ingin menemuimu, tapi
keadaannya menjadi sangat sulit setelah... yah, setelah
beberapa waktu. Tapi Silas sudah menebus waktu yang
hilang itu dan menceritakan padaku segalanya tentang
dirimu."
Jenna tersenyum sedikit malu-malu, gembira karena
Bibi Zelda menyebut kata "kita". Diambilnya mug susu panas
yang disodorkan Bibi Zelda, lalu duduk setengah mengantuk
sambil memandangi perapian.
Sejenak terasa kesunyian yang menyenangkan,
hanya dipecahkan oleh suara Silas dan Maxie yang masih
mendengkur di lantai atas, dan suara roti panggang dikunyah
di lantai bawah. Jenna, yang sedang bersandar di dinding
dekat perapian, mengira mendengar suara mengeong pelan
dari dalam dinding, tapi karena itu tentunya mustahil,
diputuskannya bahwa suara itu berasal dari luar dan dia
mengabaikannya. Tapi suara mengeong itu terus saja
kedengaran. Malah makin lama makin keras dan, pikir Jenna,
kedengaran makin kesal. Ditempelkannya telinganya ke
dinding, dan dia mendengar jelas suara kucing yang sedang
http://facebook.com/indonesiapustaka

marah.
"Ada kucing di dalam dinding...," ujar Jenna.
"Teruskan saja," sahut Nicko. "Aku belum tahu yang
satu itu."
"Ini bukan lelucon. Memang ada kucing di dalam
dinding. Aku bisa mendengarnya." Bibi Zelda melompat

~160~
bangkit.
"Ya ampun. Aku benar-benar melupakan Bert! Jenna
sayang, bisakah kau membukakan pintu untuk Bert?" Jenna
tampak bingung.
Bibi Zelda menunjuk ke pintu kayu kecil yang
dipasang di bagian bawah dinding di samping Jenna. Jenna
menyentakkan pintu kecil itu. Pintu terempas terbuka, dan
seekor bebek tertatih-tatih keluar dengan marah.
"Maaf, Bert sayang," Bibi Zelda meminta maaf. "Kau
sudah menunggu lama sekali, ya?"
Bert terhuyung-huyung ke atas tumpukan selimut
dan duduk di dekat perapian. Bebek itu kesal. Dia sengaja
memunggungi Bibi Zelda dan menegakkan bulunya. Bibi
Zelda membungkuk, lalu mengelusnya.
"Kuperkenalkan kalian pada kucingku, Bert," kata
Bibi Zelda.
Tiga pasang mata kebingungan memandangi Bibi
Zelda. Nicko yang sedang menghirup susunya jadi tersedak.
Bocah 412 kelihatan kecewa. Dia baru saja mulai menyukai
Bibi Zelda, dan ternyata wanita itu sama gilanya dengan
mereka.
"Tapi Bert itu bebek," sahut Jenna. Pikirnya, mesti
ada orang yang mengatakannya, dan sebaiknya katakan saja
terus terang sebelum mereka semua terjebak dalam
permainan ayo-umpamakan-si bebek-adalah-kucing-hanya-
untuk-menyenangkan-hati-Bibi Zelda.
"Ah, benar. Tentu saja dia memang bebek untuk saat
http://facebook.com/indonesiapustaka

ini. Bahkan sudah cukup lama juga dia menjadi bebek, betul
kan, Bert?"
Bert menjawab dengan mengeong pelan. "Kalian
tahu, bebek bisa terbang dan berenang, itu sangatlah
menguntungkan di rawa. Dan aku belum pernah bertemu
kucing yang senang kalau kakinya kebasahan, tidak

~161~
terkecuali Bert. Jadi, dia memutuskan untuk menjadi bebek
dan menikmati air. Dan kau memang menikmatinya, betul
kan, Bert?"
Tidak ada jawaban. Layaknya kucing sungguhan,
Bert sudah tertidur di dekat perapian.
Jenna mengelus bulu bebek itu sebentar, ingin tahu
apakah bulunya terasa seperti bulu kucing, tapi ternyata
bulunya halus dan lembut dan sungguh-sungguh terasa
seperti bulu bebek.
"Halo, Bert," bisik Jenna.
Nicko dan Bocah 412 diam saja. Tak satu pun dari
mereka mau mulai bicara dengan seekor bebek.
"Bert yang malang," ujar Bibi Zelda. "Dia sering kali
ketinggalan di luar. Tapi sejak Brownies Lumpur Isap
berhasil masuk ke terowongan kucing, aku berusaha agar
pintu kucing tetap terlindungi dengan MantraPengunci.
Kalian tidak tahu betapa mengejutkannya turun ke bawah
pagi itu dan menemukan tempat itu penuh sesak dengan
binatang kecil kejam itu, saking banyaknya sampai nyaris
seperti lautan lumpur, berkeliaran di dinding dan mencukil
apa saja dengan jari-jemari kurus dan panjang mereka, lalu
memandangiku dengan mata merah kecil itu. Mereka
melahap apa saja dan mengacak-acak yang tidak bisa
dimakan. Kemudian, tentu saja, begitu melihatku mereka
mulai menjerit-jerit dengan nada melengking." Bibi Zelda
bergidik. "Membuat gigiku terasa ngilu selama berminggu-
minggu. Kalau bukan karena Boggart, aku tidak tahu apa
http://facebook.com/indonesiapustaka

yang harus kulakukan. Butuh waktu berminggu-minggu


membersihkan lumpur di buku-buku, belum lagi meramu
ulang semua ramuanku. Omong-omong tentang lumpur, ada
yang mau mandi di sumber air panas?"
Tak lama kemudian, Jenna dan Nicko merasa jauh
lebih bersih setelah Bibi Zelda menunjukkan pada mereka

~162~
letak sumber air panas yang bergelembung-gelembung
sampai ke gubuk mandi kecil di pekarangan belakang. Bocah
412 menolak berurusan dengan kedua hal itu, dan tetap
meringkuk di dekat perapian, topi merahnya dijejalkan
sampai ke telinga dan jaket kulit domba masih melekat di
tubuhnya. Bocah 412 merasa hawa dingin sisa kemarin
masih menusuk hingga ke tulangnya, dan dia merasa dirinya
tidak akan pernah merasa hangat lagi. Bibi Zelda
membiarkannya duduk di dekat perapian selama beberapa
saat, tapi ketika Jenna dan Nicko memutuskan untuk keluar
menjelajahi pulau, dihalaunya Bocah 412 keluar bersama
mereka.
"Ini, bawa ini," kata Bibi Zelda, menyodorkan lentera
pada Nicko. Nicko memandang Bibi Zelda dengan tatapan
penuh tanya. Untuk apa membawa lentera pada tengah hari
seperti ini?
"Haar," sahut Bibi Zelda.
"Ha?" tanya Nicko.
"Haar. Karena haar-lah, kabut garam rawa bergulung
dari laut," Bibi Zelda menjelaskan. "Lihat, hari ini kita
dikelilingi oleh haar." Dia melambaikan tangan dalam sapuan
lebar. "Pada hari yang cerah, kalian bisa melihat
Pelabuhan dari tempat ini. Haar sedang melayang
rendah sekarang, dan kita berada cukup tinggi di atasnya,
tapi kalau haar naik, maka kita pun akan tertutupi. Saat
itulah kalian memerlukan lentera."
Maka Nicko mengambil lentera dan, dikelilingi haar
http://facebook.com/indonesiapustaka

yang melayang bak selimut putih bergelombang di atas


rawa-rawa di bawahnya, mereka berangkat untuk
menjelajahi pulau sementara Bibi Zelda, Silas, dan Marcia
duduk di dalam, berbincang-bincang dengan sepenuh hati di
dekat perapian.
Jenna berjalan di depan, diikuti Nicko tak jauh di

~163~
belakangnya, sementara Bocah 412 tertinggal di belakang,
sesekali gemetaran dan berharap bisa kembali ke dekat
perapian. Salju sudah meleleh dalam iklim rawa yang lebih
hangat, lebih lembap, dan tanah yang becek. Jenna
mengambil jalan yang membawa mereka sampai ke tepian
Mott. Gelombang sudah surut dan airnya sudah tidak ada
lagi, menyisakan lumpur rawa, penuh dengan ratusan jejak
kaki burung dan beberapa jejak zigzag ular air.
Pulau Draggen sendiri panjangnya sekitar
seperempat mil, dan kelihatannya seolah ada orang yang
membelah sebutir telur raksasa hijau menjadi dua, lalu
mencemplungkannya ke permukaan rawa. Jalan setapak
membentang di sekelilingnya di sepanjang tepian Mott, dan
Jenna menyusuri jalan itu, menghirup udara asin yang
berembus dari haar. Jenna suka dengan haar yang
mengelilingi mereka. Membuatnya merasa aman, pada
akhirnya-tidak ada yang bisa menemukannya sekarang.
Selain kapal yang dihuni ayam-ayam, yang dilihat
Jenna dan Nicko sebelumnya tadi pagi, mereka menemukan
kambing betina terikat di tengah-tengah rumput tinggi.
Mereka juga menemukan sekoloni kelinci yang tinggal di
liang bawah tanah di tepian yang dipagari oleh Bibi Zelda,
agar kelincinya tidak keluar dari bidang tanah yang ditanami
kol saat musim dingin.
Jalan setapak yang tidak mulus membawa mereka
melewati liang-liang, melewati banyak sekali kol, dan
berkelok ke endapan kubangan lumpur dan rumput hijau
http://facebook.com/indonesiapustaka

terang yang mencurigakan.


"Menurutmu, mungkin ada beberapa Brownies di
dalam sana?" bisik Jenna pada Nicko, agak mundur sedikit.
Beberapa gelembung air mengapung di permukaan
lumpur, dan terdengar suara keras mengisap seperti ada
orang sedang berusaha menarik keluar sepatu bot dari dalam

~164~
lumpur. Jenna terlonjak kaget sewaktu lumpurnya
bergelembung dan bergerak naik.
"Tidak ada kalau ada aku di sana, tidak akan ada."
Wajah lebar cokelat Boggart menyembul ke permukaan. Dia
berkedip-kedip untuk menghilangkan lumpur dari mata
bundar hitamnya, dan memandang mereka dengan tatapan
buram.
"Pagi," sapanya pelan.
"Selamat pagi, Mr. Boggart," kata Jenna.
"Panggil Boggart saja sudah cukup."
"Apakah kau tinggal di sini? Kuharap kami tidak
mengganggumu?" tanya Jenna sopan.
"Yah, sebenarnya kalian memang menggangguku.
Tahu tidak, aku tidur kalau siang." Boggart berkedip lagi dan
mulai tenggelam kembali ke dalam lumpur. "Tapi kalian kan
tidak tahu itu. Hanya saja jangan menyebut si Brownies lagi.
Kata itu bikin aku terbangun, tahu. Mendengar namanya saja
bikin aku langsung terjaga."
"Maaf," ujar Jenna. "Kami akan pergi dan
membiarkanmu beristirahat."
"Yeah," sahut Boggart setuju, dan kembali
menghilang ke dalam lumpur.
Jenna, Nicko, dan Bocah 412 berjingkat-jingkat
kembali ke jalan setapak.
"Dia kesal, ya: tanya Jenna.
"Tidak," sahut Nicko. "Kukira dia memang selalu
begitu. Dia baik."
http://facebook.com/indonesiapustaka

"Kuharap begitu," ujar Jenna.


Mereka terus berjalan berkeliling pulau, sampai
mereka tiba di ujung tumpul "telur" hijau. Bagian ini terdiri
atas gundukan tanah besar berumput yang tertutup semak-
semak kecil bundar dan berduri. Mereka berjalan tanpa arah
menyeberangi gundukan tanah itu dan berhenti sebentar,

~165~
menyaksikan haar berputar-putar di bawah mereka.
Jenna dan Nicko diam saja, takut membangunkan
Boggart lagi, tapi selagi mereka berdiri di puncak gundukan
tanah, Jenna berkata, "Kau tidak merasakan gerakan aneh di
bawah kakimu?"
"Sepatu botku memang kurang nyaman," sahut
Nicko, "mumpung kau mengatakannya. Kurasa sepatuku
masih basah."
"Bukan. Maksudku tanah di bawah kakimu. Rasanya
seperti... hmm..."
"Berongga," sambung Nicko.
"Benar, itu dia. Rongga." Jenna mengentakkan
kakinya keras-keras ke tanah. Tanahnya cukup padat, tapi
ada sesuatu yang membuatnya terasa berbeda.
"Pasti karena liang-liang kelinci itu," ujar Nicko.
Mereka menyusuri gundukan tanah, lalu menuju
kolam dengan kandang bebek di sebelahnya. Beberapa bebek
melihat mereka dan mulai berjalan megal-megol
menghampiri, dengan harapan mendapat sepotong roti.
"Hei, ke mana perginya dia?" tiba-tiba Jenna berkata,
sambil celingak-celinguk mencari Bocah 412.
"Mungkin sudah kembali ke pondok," sahut Nicko.
"Kurasa dia tidak terlalu suka jalan-jalan dengan kita."
"Sepertinya memang begitu-tapi bukankah kita yang
seharusnya menjaga dia? Maksudku, bisa saja dia terjatuh
masuk ke dalam liang Boggart, atau ke selokan, atau ada
Brownies menangkapnya."
http://facebook.com/indonesiapustaka

"Huss. Kau bisa membangunkan Boggart lagi."


"Yah, bisa saja ada Brownies menangkapnya. Kita
harus berusaha mencarinya."
"Kukira," sahut Nicko bimbang, "Bibi Zelda bakal
marah kalau kita sampai kehilangan dia." "Aku juga bakal
marah," kata Jenna. "Kau tidak suka padanya, kan?" tanya

~166~
Nicko. "Apalagi setelah bocah sialan itu nyaris membuat
nyawa kita melayang?"
"Dia tidak bermaksud begitu," sahut Jenna. "Sekarang
aku mengerti. Dia sama takutnya seperti kita. Coba saja
kaupikir, barangkali seumur hidupnya dihabiskan di Laskar
Pemuda dan tidak pernah punya ayah atau ibu. Tidak seperti
kita. Maksudku kau," Jenna meralat kata-katanya sendiri.
"Kau punya ayah dan ibu. Tetap punya. Dasar
bodoh," sahut Nicko. "Baiklah, kita pergi mencari anak itu
kalau kau menginginkan begitu."
Jenna melihat ke sekelilingnya, berpikir harus mulai
dari mana, dan menyadari bahwa pondok sudah tak terlihat
lagi. Bahkan dia tak bisa lagi melihat segalanya kecuali Nicko,
itu pun hanya karena lentera yang dipegangnya
memancarkan sinar redup merah.
Haar sudah membubung tinggi.
http://facebook.com/indonesiapustaka

~167~
20. BOCAH 412
Bocah 412 terjatuh ke dalam lubang. Dia tidak
bermaksud begitu, dan sungguh mati dia tidak tahu
bagaimana kejadiannya, tapi di sanalah dirinya berada, di
dasar lubang.
Tepat sebelum terjatuh ke dasar lubang, Bocah 412
telah memutuskan bahwa dia sudah muak membuntuti si
Putri dan bocah Penyihir itu ke sana kemari. Sepertinya
mereka juga tidak ingin dia ikut, dan dia kedinginan dan
bosan. Maka diputuskannya untuk menyelinap dan kembali
ke pondok, serta berharap bisa berduaan dengan Bibi Zelda
sebentar saja.
Lalu terjadilah haar.
Pelatihan di Laskar Pemuda mempersiapkan dirinya
untuk hal semacam ini. Kerap kali, di tengah malam
berkabut, peletonnya dibawa ke Hutan dan ditinggal di sana,
lalu disuruh mencari jalan pulang sendiri. Tentu tidak
semuanya berhasil kembali. Selalu ada anak malang yang
berjumpa dengan wolverine lapar, atau terjebak dalam
perangkap Penyihir Wendron, tapi Bocah 412 beruntung,
dan dia tahu dia harus tenang dan bergerak cepat menembus
kabut malam. Maka dari itu, seperti haar yang tak
memperdengarkan suara, Bocah 412 mulai berjalan ke arah
pondok. Di satu titik, sebenarnya dia melewati Nicko dan
Jenna begitu dekat sampai mereka bisa mengulurkan tangan
dan menyentuhnya, tapi Bocah 412 menjauhi tanpa suara,
http://facebook.com/indonesiapustaka

menikmati kebebasannya dan perasaan merdeka.


Setelah beberapa saat, Bocah 412 tiba di bukit
berumput luas di ujung pulau. Ini membuatnya bingung,
karena dia yakin tadi sudah melewatinya, dan saat ini
seharusnya dia sudah hampir sampai ke pondok. Barangkali
bukit rumput ini beda dari yang dilaluinya tadi? Mungkin ada

~168~
satu bukit lagi di ujung satunya? Bocah 412 mulai mengira-
ngira apakah dirinya tersesat. Terpikir pula olehnya,
mungkin saja dia hanya berjalan berkeliling-keliling pulau itu
dan tidak pernah sampai ke pondok. Karena disibukkan
dengan pikirannya, Bocah 412 terpeleset dan terjatuh
dengan kepala lebih dulu ke semak-semak kecil berduri. Dan
saat itulah kejadiannya. Mula-mula semak-semak itu berada
di sana, dan tahu-tahu Bocah 412 menabrak menembus
semak itu, dan terjatuh dalam kegelapan.
Teriakan kagetnya lenyap ditelan udara lembap
berkabut tebal haar, dan dia mendarat telentang dengan
bunyi gedebuk berat. Merasa pusing, Bocah 412 berbaring
diam selama beberapa saat, mengira-ngira apakah ada
tulangnya yang patah. Tidak ada, pikirnya sambil duduk
pelan-pelan, rasanya tidak ada bagian yang terasa sakit. Dia
beruntung. Dia mendarat di atas sesuatu yang terasa seperti
pasir, sehingga mengurangi rasa sakitnya saat terjatuh.
Bocah 412 berdiri dan seketika kepalanya membentur
karang rendah di atasnya. Itu baru sakit.
Sambil memegangi ubun-ubunnya dengan satu
tangan, Bocah 412 meregangkan tangan satunya dan
mencoba meraba-raba lubang tempatnya terjatuh, tapi batu
karang tadi melandai licin ke atas dan tidak memberi
petunjuk apa pun untuknya, tidak ada pegangan atau pijakan
kaki. Tidak ada apa-apa selain batu karang selicin sutra dan
sedingin es.
Keadaannya gelap gulita. Tidak ada secercah pun
http://facebook.com/indonesiapustaka

cahaya dari atas sana, dan seberapa pun lamanya Bocah 412
memandang ke dalam kegelapan, berharap matanya bisa
terbiasa, ternyata tidak berhasil juga. Seolah matanya
menjadi buta.
Bocah 412 menjatuhkan diri ke pasir dan mulai
meraba-raba permukaan pasir di sekelilingnya. Terlintas ide

~169~
gila bahwa mungkin dia bisa keluar dengan menggali pasir,
tapi sewaktu jarinya menggaruk-garuk pasir itu, tak lama
kemudian terpegang olehnya lantai batu yang licin, begitu
licin dan dingin hingga Bocah 412 mengira itu lantai pualam.
Dia pernah melihat pualam beberapa kali ketika berdiri
menjaga Istana, tapi tak terbayang olehnya bagaimana bisa
ada pualam di Rawa-Rawa Marram, di tengah tempat tak
dikenal ini.
Bocah 412 duduk di lantai berpasir itu dan dengan
gelisah meraba-raba pasir dengan tangannya, berusaha
memikirkan apa yang harus dilakukannya. Ketika dia sedang
bertanya-tanya apakah mungkin keberuntungannya sudah
habis, tangannya menyenggol sesuatu yang terbuat dari
logam. Awalnya semangat Bocah 412 bangkit lagi-barangkali
inilah yang sedari tadi dicarinya, kunci tersembunyi atau
pegangan pintu rahasia-namun sewaktu jemarinya
menggenggam benda logam itu, semangatnya langsung
padam. Ternyata yang ditemukannya cuma sebentuk cincin.
Bocah 412 mengangkat cincin itu, menimangnya dalam
telapak tangannya, dan memandanginya, meski dalam
keadaan gelap gulita tidak terlihat apa-apa.
"Andai saja ada cahaya," gumam Bocah 412 pada
dirinya sendiri, berusaha melihat cincin itu dan
membelalakkan matanya selebar mungkin, seakan dengan
begitu dia bisa melihat. Cincin itu tergolek di telapak
tangannya, dan setelah ratusan tahun teronggok sendirian di
tempat gelap dan dingin di bawah tanah, perlahan cincin itu
http://facebook.com/indonesiapustaka

menghangat di atas tangan manusia yang memegangnya


untuk pertama kali sejak cincin itu hilang lama berselang.
Saat Bocah 412 duduk sambil memegangi cincin itu,
ketegangannya mulai berkurang. Disadarinya ternyata
dirinya tidak takut gelap, ternyata dia merasa cukup aman,
bahkan lebih aman daripada yang pernah dirasakannya

~170~
selama bertahun-tahun. Dia berada amat jauh dari para
penyiksanya di Laskar Pemuda, dan dia tahu mereka tidak
akan pernah bisa menemukannya di sini. Bocah 412
tersenyum, lalu bersandar di dinding. Dia pasti bisa
menemukan jalan keluarnya, pasti bisa.
Bocah 412 memutuskan untuk mencoba apakah
cincin itu pas di jarinya. Cincin itu terlalu besar untuk jari-
jari kurusnya, maka dimasukkannya kejari telunjuk
kanannya, jari paling besar yang dimilikinya. Bocah 412
memutar-mutar cincin itu, menikmati perasaan hangat,
bahkan panas, yang dipancarkan cincin itu. Tak lama
kemudian Bocah 412 menyadari ada sensasi aneh. Cincin itu,
yang terasa seolah-olah menjadi hidup, mengencang di jari
telunjuknya; dan sekarang ukurannya pas sempurna. Bukan
cuma itu, cincin itu mengeluarkan cahaya redup keemasan.
Bocah 412 memandangi cincin itu dengan gembira,
mengamati temuannya itu untuk pertama kali. Cincin itu
tidak seperti cincin-cincin yang pernah dilihatnya. Melingkar
di jarinya dalam rupa seekor naga emas, dengan mulut
menggigit ekor. Sepasang matanya yang berwarna hijau
zamrud berkilat ke arahnya, dan Bocah 412 merasakan
perasaan yang paling aneh, seolah naga itu benar-benar
menatapnya. Dengan kegirangan dia berdiri, menjulurkan
tangan kanannya ke depan dengan cincin miliknya, cincin
naga miliknya, yang kini bersinar seperti lentera.
Bocah 412 melihat sekeliling dengan bantuan cahaya
terang cincin itu. Disadarinya ternyata dia berada di ujung
http://facebook.com/indonesiapustaka

sebuah terowongan. Di depannya, menurun lebih curam lagi


ke bawah tanah, terdapat jalan setapak bertepian tinggi
terbuat dari batu karang. Sambil mengangkat tangan tinggi-
tinggi, Bocah 412 mendongak ke kegelapan tempat tadi
dirinya terjatuh, tapi tidak terlihat ada jalan untuk bisa
memanjat ke atas. Dengan enggan memutuskan bahwa satu-

~171~
satunya cara yang bisa dilakukannya adalah mengikuti
terowongan itu, serta berharap terowongan itu
membawanya ke jalan keluar lain.
Maka, seraya mengacungkan tangan yang
mengenakan cincin itu, Bocah 412 mulai berjalan. Lantai
berpasir terowongan itu mengarah pada permukaan landai
yang terus menurun. Terowongan itu meliuk dan berbelok
ke sana kemari, membawanya ke jalan-jalan buntu dan
kadang membawanya berputar-putar, sampai Bocah 412
kehilangan arah dan hampir pusing karena kebingungan.
Seolah orang yang membuat terowongan itu sengaja
membuatnya kebingungan. Dan berhasil.
Dan itulah, pikir Bocah 412, sebabnya dia terjatuh
dari anak-anak tangga.
Di dasar anak tangga, Bocah 412 mengambil napas.
Aku baik-baik saja, katanya dalam hati. Dia tidak terjatuh
jauh. Tapi ada sesuatu yang hilang-cincinnya hilang. Untuk
pertama kalinya sejak berada di terowongan itu, Bocah 412
merasa ketakutan. Cincin itu tidak hanya memberi cahaya;
tapi juga menemaninya. Dan saat dia gemetar kedinginan,
Bocah 412 menyadari bahwa cincin itu juga membuatnya
merasa hangat. Dia mencari-cari di sekitarnya, matanya
membuka lebar dalam kegelapan gulita, putus asa mencari-
cari sinar redup keemasan tadi.
Tapi yang terlihat hanyalah kegelapan. Tidak
kelihatan sama sekali. Bocah 412 merasa kesepian. Sama
kesepian seperti ketika sahabatnya, Bocah 409, jatuh ke laut
http://facebook.com/indonesiapustaka

pada malam penggerebekan dan mereka dilarang berhenti


untuk menolongnya. Bocah 412 memegangi kepalanya.
Rasanya dia ingin menyerah saja.
Kemudian didengarnya nyanyian itu. Suara lembut,
pelan, dan indah sayup-sayup memanggilnya agar
menghampiri. Dengan merangkak, karena tidak ingin

~172~
terjatuh lagi dari anak tangga seperti yang barusan terjadi.
Bocah 412 bergerak mendekati suara itu, meraba-raba lantai
pualam dingin seperti yang tadi dilakukannya. Dengan
mantap dia merangkak ke arah tersebut, dan nyanyian itu
kedengaran lebih lembut dan tidak terlalu mendesak lagi,
lalu anehnya suara itu kedengaran semakin sayup-sayup, dan
Bocah 412 menyadari tangannya sudah berada di atas cincin
tadi. Dia menemukannya. Atau lebih tepatnya, cincin itu yang
menemukan dia. Menyeringai gembira, Bocah 412
menyelipkan cincin naga itu kembali ke jarinya, dan
kegelapan di sekelilingnya menghilang.
Setelah itu keadaannya menjadi mudah. Cincin itu
memandu Bocah 412 di sepanjang terowongan, yang kini
terbuka lebar dan lurus, dan sekarang tampak dinding
pualam putih dihiasi ratusan lukisan sederhana berwarna
biru terang, kuning, dan merah. Tapi Bocah 412 tidak terlalu
memerhatikan lukisan-lukisan itu. Saat ini yang
diinginkannya hanyalah mencari jalan keluar. Maka dia terus
berjalan, sampai menemukan apa yang diharap-
harapkannya, anak-anak tangga yang akhirnya mengarah ke
atas. Dengan perasaan lega Bocah 412 menaiki tangga dan
menemukan dirinya berjalan menaiki landaian curam
berpasir yang kemudian mengarah ke jalan buntu.
Akhirnya, diterangi cahaya cincin itu, Bocah 412
melihat jalan keluarnya. Sebuah tangga tua yang tersandar di
dinding, dan di atasnya terdapat pintu angkat dari kayu.
Bocah 412 menaiki tangga itu, menggapai, dan mendorong
http://facebook.com/indonesiapustaka

pintu itu. Dia lega karena pintu itu bergerak. Didorongnya


lebih keras lagi, pintu itu terbuka dan Bocah 412 mengintip
ke luar. Keadaan masih gelap, tapi udara yang berganti
mengisyaratkan bahwa dia sudah berada di atas permukaan
tanah, dan selagi menunggu, berusaha memahami situasi,
dilihatnya segaris cahaya di lantai itu. Bocah 412 menghela

~173~
napas lega. Dia tahu di mana dirinya berada. Dia berada di
lemari Ramuan Labil dan Racun Istimewa milik Bibi Zelda.
Diam-diam Bocah 412 mengangkat tubuhnya naik lewat
pintu itu, menutupnya, dan menaruh karpet yang menutupi
pintu itu. Kemudian dengan hati-hati dia membuka pintu
lemari dan mengintip ke luar, untuk melihat apakah ada
orang di dekat lemari itu.
Di dapur, Bibi Zelda sedang membuat ramuan baru.
Sewaktu Bocah 412 merangkak keluar dari pintu, Bibi Zelda
mendongak, tapi kelihatan sibuk dengan pekerjaannya, dan
tidak berkata apa-apa. Bocah 412 menyelinap dan berjalan
menuju perapian. Tiba-tiba Bocah 412 merasa sangat lelah.
Dilepasnya cincin naga itu dan dimasukkannya ke saku di
dalam topi merahnya, lalu dia berbaring di samping Bert, di
atas karpet depan perapian, dan tertidur.
Dia sudah tertidur lelap, sehingga tidak mendengar
Marcia datang dan Memerintahkan tumpukan tertinggi dan
paling goyah buku Magyk milik Bibi Zelda agar mengangkat
sendiri. Tentunya Bocah 412 juga tidak mendengar desiran
pelan sebuah buku besar dan sangat kuno, Mengurai
Kegelapan, yang keluar dari dasar tumpukan yang
bergoyang-goyang itu, dan terbang ke kursi yang paling
nyaman di dekat perapian. Juga tidak mendengar gemeresik
halaman-halaman buku yang dengan patuhnya terbuka dan
menemukan halaman yang ingin dilihat Marcia.
Bocah 412 bahkan tidak mendengar Marcia memekik
karena, sewaktu berjalan menghampiri kursi, penyihir itu
http://facebook.com/indonesiapustaka

nyaris menginjak tubuhnya, lalu melangkah mundur dan


malah menginjak Bert. Namun, dalam tidurnya yang lelap,
Bocah 412 mengalami mimpi aneh tentang sekawanan bebek
dan kucing marah yang mengejarnya keluar dari sebuah
terowongan, lalu membawanya terbang ke angkasa serta
mengajarinya terbang.

~174~
Jauh di dalam mimpinya, Bocah 412 tersenyum. Dia
sudah bebas.
http://facebook.com/indonesiapustaka

~175~
21. RATTUS RATTUS
"Kok kau bisa kembali begitu cepat?" tanya Jenna
pada Bocah 412.
Makan waktu sepanjang sore bagi Nicko dan Jenna
untuk menemukan jalan pulang melewati haar kembali ke
pondokan. Selama tersesat, Nicko menghabiskan waktu
dengan memilih-milih mana yang merupakan sepuluh kapal
terbaiknya, kemudian karena makin lama makin lapar, dia
membayangkan makan malam favoritnya. Sedangkan Jenna
menghabiskan sebagian besar waktunya mengkhawatirkan
apa yang terjadi dengan Bocah 412 dan memutuskan akan
bersikap lebih manis kepada anak itu sejak saat ini. Itu kalau
Bocah 412 tidak keburu terjatuh ke dalam Mott dan
tenggelam.
Maka ketika Jenna akhirnya berhasil sampai ke
pondok, kedinginan dan basah, dengan haar masih menempel
di baju, dia melihat Bocah 412 duduk dengan gembira di sofa
di sebelah Bibi Zelda, Jenna tidak sekesal Nicko. Nicko cuma
menggerutu dan pergi berendam di sumber air panas. Jenna
membiarkan Bibi Zelda menggosok rambutnya supaya
kering, lalu duduk di sebelah Bocah 412 dan mengajukan
pertanyaan, "Kok kau bisa kembali begitu cepat?"
Bocah 412 menatapnya dengan takut-takut, tapi
tidak menjawab. Jenna mencoba lagi.
"Aku takut kau terjatuh ke Mott."
Bocah 412 kelihatan sedikit terkejut dengan kata-
http://facebook.com/indonesiapustaka

kata Jenna. Dia tidak mengira sang Putri begitu peduli


apakah dirinya terjatuh ke dalam Mott, atau lebih tepatnya
terjatuh ke dalam lubang.
"Aku senang kau sudah pulang dengan selamat," kata
Jenna, pantang menyerah. "Nicko dan aku butuh waktu lama
sekali untuk bisa pulang. Kami terus saja tersesat."

~176~
Bocah 412 tersenyum. Dia hampir saja ingin
menceritakan pada Jenna tentang apa yang telah terjadi pada
dirinya dan memperlihatkan cincin itu, tapi dia sudah belajar
untuk bersikap hati-hati, setelah bertahun-tahun terbiasa
menyimpan rahasia. Satu-satunya orang yang pernah
diajaknya berbagi rahasia adalah Bocah 409. Walaupun ada
sesuatu yang menyenangkan dalam diri Jenna, yang
mengingatkannya pada Bocah 409, Jenna adalah seorang
Putri, dan lebih buruk lagi, seorang anak perempuan. Maka
Bocah 412 tidak berkata apa-apa.
Jenna melihat senyumnya dan merasa gembira. Dia
baru saja akan mencoba mengajukan pertanyaan lain ketika,
dengan suara yang membuat botol-botol ramuan bergetar,
Bibi Zelda berteriak, "Tikus Pembawa Pesan!"
Marcia, yang mengambil alih meja milik Bibi Zelda di
ujung ruangan, cepat-cepat bangkit dan menyambar tangan
Jenna lalu menyeretnya dari sofa.
"Hei!" protes Jenna. Marcia tidak mengindahkannya.
Dia langsung berjalan ke lantai atas, sambil menarik Jenna di
belakangnya. Separuh jalan naik tangga, mereka bertabrakan
dengan Silas dan Maxie yang menghambur turun untuk
melihat Tikus Pembawa Pesan.
"Anjing itu seharusnya tidak boleh ke lantai atas,"
bentak Marcia selagi berusaha mendesak melewati Maxie
tanpa harus terkena air liur anjing itu di jubahnya.
Maxie meneteskan air liur dengan penuh semangat ke
tangan Marcia dan berlari mengejar Silas, salah satu cakar
http://facebook.com/indonesiapustaka

besarnya menginjak kaki Marcia. Maxie tidak mau repot-


repot menyingkir memberi jalan pada Marcia atau
memerhatikan apa yang dikatakan penyihir itu, karena
menurut cara pandangnya sebagai anjing, Silas adalah
Pimpinan Tertinggi dan Marcia berada di urutan paling
bawah.

~177~
Untunglah tuan yang dipuja-puja Maxie itu telah
lewat, jadi Marcia mendesak maju melewati anjing itu, lalu
melangkah ke lantai atas, menyeret Jenna di belakangnya,
menyingkir dari Tikus Pembawa Pesan.
"Me-mengapa kaulakukan itu?" tanya Jenna,
berusaha mengatur napas ketika sudah sampai di loteng.
"Tikus Pembawa Pesan," kata Marcia, sedikit
terengah-engah. "Kita tidak tahu tikus jenis apa dia. Mungkin
bukan Tikus Carter Pembawa Pesan Rahasia."
"Tikus apa?" tanya Jenna, kebingungan.
"Well," bisik Marcia, sambil duduk di atas ranjang
sempit Bibi Zelda, yang ditutupi beraneka ragam selimut kain
perca, hasil karya selagi melalui malam-malam panjang
sendirian di dekat perapian. Marcia menepuk-nepuk bagian
ranjang di sebelahnya, dan Jenna duduk juga.
"Kau tahu tentang Tikus Pembawa Pesan?" tanya
Marcia dengan suara pelan.
"Kurasa ya," sahut Jenna tidak yakin, "tapi kami tidak
punya tikus seperti itu di rumah. Sama sekali belum pernah.
Kukira hanya orang yang sangat penting yang bisa
mempunyai Tikus Pembawa Pesan."
"Tidak," sahut Marcia, "siapa saja bisa memiliki atau
mengirimkannya."
"Mungkin Ibu yang kirim," kata Jenna dengan suara
penuh harap.
"Mungkin," sahut Marcia, "dan mungkin juga bukan.
Kita harus tahu dulu, apakah itu memang Tikus Sangat
http://facebook.com/indonesiapustaka

Rahasia sebelum bisa memercayainya. Tikus Sangat Rahasia


senantiasa berkata jujur dan menyimpan semua rahasia
sampai kapan pun. Tikus ini juga teramat sangat mahal."
Jenna berpikir dengan sedih, kalau begitu pasti bukan
Sarah yang mengirim tikus itu.
"Jadi, kita harus menunggu dan memerhatikan," kata

~178~
Marcia. "Sementara itu, kau dan aku menunggu di atas sini,
untuk berjaga-jaga kalau itu tikus mata-mata yang datang
untuk melihat apakah Penyihir LuarBiasa bersembunyi
bersama sang Putri."
Jenna mengangguk pelan. Kata itu lagi. Putri. Kata itu
masih saja mengejutkannya. Dia masih belum terlalu percaya
bahwa dia benar-benar seorang Putri. Namun dia duduk
diam di samping Marcia, sambil melayangkan pandang ke
seluruh penjuru loteng.
Anehnya ruangan itu terasa lega dan penuh udara
segar. Langit-langitnya melandai, ada serangkaian jendela
kecil yang menghadap ke rawa yang tertutup salju. Balok-
balok besar dan kokoh menopang atapnya. Di bawah balok-
balok itu menggantung berbagai macam benda yang terlihat
seperti tenda-tenda besar kain perca, sampai Jenna sadar
bahwa semua itu pasti baju-baju terusan milik Bibi Zelda.
Ada tiga ranjang di kamar itu. Jenna menebak dari seprai kain
perca di situ bahwa yang mereka duduki ini adalah ranjang
Bibi Zelda. Sedangkan ranjang yang terselip di bilik kecil di
samping tangga, dan penuh dengan bulu anjing, kemungkinan
besar punya Silas. Di ujung sana ada ranjang besar yang
dibuat menyatu dengan dinding. Mengingatkan Jenna pada
ranjang kotak miliknya di rumah, dan hatinya pedih ketika
melihat ranjang itu, karena dia jadi merindukan rumahnya.
Jenna menduga ranjang itu milik Marcia, karena di samping
ranjang itu ada buku, Cara Menghancurkan Kuasa Jahat,
sebuah pena batu akik yang indah, dan setumpuk kertas kulit
http://facebook.com/indonesiapustaka

kualitas terbaik yang penuh lambang dan simbol Magyk.


Marcia mengikuti arah pandangan Jenna. "Ayo, kau
bisa mencoba penaku. Kau pasti menyukainya. Pena itu bisa
menulis dengan warna apa pun yang kauminta-kalau suasana
hatinya sedang baik."
Sementara Jenna berada di lantai atas, mencoba pena

~179~
milik Marcia yang bertingkah nakal dengan memaksa
menulis setiap selang satu huruf dengan warna hijau
menyilaukan, Silas ada di lantai bawah, berusaha menahan
Maxie yang terlalu bersemangat saat melihat ada Tikus
Pembawa Pesan.
"Nicko," kata Silas yang kewalahan, kepada putranya
yang baru saja datang dalam keadaan lembap dari sumber air
panas. "Pegangi Maxie dulu, dan jauhkan dia dari tikus itu,
tolong ya!" Nicko dan Maxie melompat ke sofa, dan dengan
kecepatan yang sama, Bocah 412 melesat pergi.
"Jadi, sekarang di mana tikus itu?" tanya Silas. Seekor
tikus cokelat besar duduk di luar jendela, mengetuk-ngetuk
kaca. Ketika Bibi Zelda membukakan jendela, tikus itu
melompat masuk dan melihat ke sekelilingnya dengan kedua
matanya yang cerdas dan cemerlang.
"Mencicitlah, Tikus," kata Silas dengan Magyk.
Tikus itu menatapnya tidak sabar. "Bicaralah, Tikus!"
Tikus itu melipat kedua lengannya dan menunggu.
Menatap Silas dengan pandangan mencemooh.
"Um... maaf. Sudah lama sekali sejak terakhir kali
menerima Tikus Pembawa Pesan," Silas memberikan alasan.
"Oh, ini dia... Bicaralah, Rattus Rattus."
"Benar, ho," si tikus menarik napas lega. "Akhirnya
ingat juga." Dia tegakkan badan, lalu berkata, "Pertama-tama
aku harus bertanya. Apakah di sini ada orang bernama Silas
Heap?" Si tikus langsung menatap lurus ke arah Silas.
"Ya, aku," sahut Silas.
http://facebook.com/indonesiapustaka

"Sudah kuduga," ujar si tikus. "Cocok dengan


penggambarannya." Tikus itu berdehem sedikit dengan gaya
orang penting, berdiri tegak, dan menaruh kedua kaki depan
di punggung.
"Aku ke sini hendak menyampaikan pesan untuk
Silas Heap. Pesan dikirim hari ini pukul delapan tepat tadi

~180~
pagi dari seorang Sarah Heap yang menetap di rumah Galen.
"Pesan dimulai:
Halo, Silas cintaku. Dan Jenna putri kecilku, dan
Nicko bidadari mungilku.
Aku mengirim tikus ini kepada Zelda dengan harapan
dia menemukan kalian selamat dan sehat-sehat saja. Sally
menceritakan pada kami bahwa si Pemburu mengejar kalian,
dan aku tidak bisa tidur semalaman memikirkannya. Pria itu
reputasinya buruk sekali. Aku bingung sekali keesokan
paginya dan yakin kalian semua sudah tertangkap (meski
Galen bilang kalian semua selamat), tapi Alther datang
menjenguk kami begitu hari terang, dan menyampaikan
kabar baik tentang bagaimana kalian berhasil lolos. Alther
mengatakan terakhir kali bertemu kalian pada saat kalian
berangkat menuju Rawa-Rawa Marram. Dia berharap bisa
pergi bersama kalian.
Silas, sesuatu telah terjadi. Simon menghilang dalam
perjalanan kami kemari. Kami berada di jalan setapak di tepi
sungai, yang mengarah ke wilayah hutan Galen, ketika
kusadari ternyata Simon sudah menghilang. Aku benar-benar
tidak tahu apa yang mungkin terjadi padanya. Kami tidak
bertemu satu Pengawal pun, dan tidak ada yang melihat atau
mendengarnya pergi. Silas, aku takut sekali dia terjatuh ke
dalam salah satu jebakan yang dipasang oleh para penyihir
jahat itu. Kami akan pergi mencarinya hari ini.
Para Pengawal membakar habis kedai milik Sally,
dan dia hanya berhasil melarikan diri. Dia tidak yakin
http://facebook.com/indonesiapustaka

bagaimana bisa melakukannya, tapi dia sampai ke sini


dengan selamat tadi pagi dan memintaku menyampaikan
pada Marcia bahwa dia sangat berterima kasih atas
JimatPelindung yang diberikan untuknya. Bahkan kami
semua berterima kasih. Marcia sangat murah hati.
Silas, tolong kirim si tikus kembali dan kabari aku

~181~
bagaimana keadaan kalian.
Kami semua rindu dan sayang pada kalian.
Dari Sarah yang mencintaimu
"Pesan selesai."
Kelelahan, si tikus jatuh merosot di kusen jendela.
"Aku bisa menenggak habis secangkir teh," katanya.
Silas merasa sangat gelisah.
"Aku harus pulang," katanya, "dan mencari Simon.
Kita tidak tahu apa yang mungkin terjadi, kan?"
Bibi Zelda mencoba menenangkannya.
Dibawakannya dua mug berisi teh manis panas. Satu mug
diberikan kepada si tikus, satunya lagi kepada Silas. Tikus itu
menenggak habis minumannya dalam satu tegukan,
sementara Silas duduk dengan wajah muram, menimang-
nimang mugnya.
"Simon anak yang tangguh, Yah," ujar Nicko. "Dia
akan baik-baik saja. Aku menduga dia hanya tersesat. Dia
pasti sudah kembali bersama Ibu saat ini."
Silas tidak bisa diyakinkan.
Bibi Zelda memutuskan bahwa satu-satunya
tindakan bijaksana yang bisa dilakukan adalah makan
malam. Makan malam buatan Bibi Zelda biasanya bisa
mengalihkan pikiran orang dari masalah. Dia juru masak
yang ramah dan suka mengundang orang sebanyak mungkin
ke meja makannya. Meskipun tamu-tamunya selalu
menikmati obrolan dengannya, makanan yang
dihidangkannya merupakan tantangan yang lebih
http://facebook.com/indonesiapustaka

mengasyikkan. Sering kali digambarkan dengan kata


"menarik," seperti yang tertuang dalam kalimat, "Roti dan
kol panggang itu sangatlah... menarik, Zelda." atau, "Wah, aku
harus bilang bahwa selai stroberi itu sungguh... saus yang
menarik untuk belut iris."
Silas ditugaskan menata meja untuk mengalihkan

~182~
pikirannya, dan si Tikus Pembawa Pesan diundang ikut
makan malam.
Bibi Zelda menyajikan kaserol kodok dan kelinci
dengan kepala lobak yang direbus dua kali, diikuti dengan
ceri dan lobak. Bocah 412 melahapnya dengan sangat
antusias, karena makanan di sini jauh lebih baik
dibandingkan makanan di Laskar Pemuda; dia bahkan
menambah porsinya menjadi dua, lalu tiga porsi, membuat
Bibi Zelda sangat gembira. Tidak ada orang yang pernah
meminta tambah porsi kedua kepadanya, apalagi porsi
ketiga.
Nicko senang melihat Bocah 412 makan begitu
banyak, karena itu berarti Bibi Zelda tidak memerhatikan
potongan-potongan daging kodok yang dipinggirkannya, lalu
disembunyikan di bawah pisaunya. Atau kalaupun
melihatnya, Bibi Zelda rupanya tidak terlalu kesal. Nicko
juga berhasil memberikan telinga kelinci utuh yang dia
temukan di piringnya kepada Maxie; dia lega dan Maxie
kegirangan.
Marcia berseru dari atas, meminta maaf bahwa
dirinya dan Jenna tidak bisa ikut makan malam karena
kehadiran Tikus Pembawa Pesan. Silas menganggap alasan
itu sangat tidak meyakinkan, dan dia curiga Marcia diam-
diam merapal mantra untuk membuat makanan.
Meski-atau mungkin karena-Marcia tidak hadir,
makan malam jadi terasa menyenangkan. Tikus Pembawa
Pesan teman makan yang baik. Silas tidak membatalkan
http://facebook.com/indonesiapustaka

perintah Bicaralah, Rattus Rattus, maka si tikus yang banyak


bicara itu membicarakan topik apa saja yang mampir di
benaknya, yang berkisar dari masalah tikus-tikus muda saat
ini, sampai ke skandal saus tikus di kantin Pengawal yang
membuat berang seluruh komunitas tikus, belum lagi para
Pengawal.

~183~
Saat makanan sudah hampir habis, Bibi Zelda
menanyakan apakah Silas bakal mengirim si Tikus Pembawa
Pesan kembali pada Sarah malam itu juga.
Tikus itu tampak khawatir. Walaupun si tikus
bertubuh besar dan bisa "menjaga diriku sendiri," seperti
senang dikatakannya pada semua orang, Rawa-Rawa
Marram di malam hari bukanlah tempat favoritnya. Jari
pengisap milik Nixie Air bisa menamatkan riwayat hidup
seekor tikus, dan Brownies atau Boggart bukanlah pilihan
pertama si tikus untuk dijadikan kawan. Brownies bisa
menyeret seekor tikus ke Lumpur Isap hanya untuk
bersenang-senang, dan Boggart yang lapar bakal dengan
senang hati memasak tikus rebus untuk anak-anaknya, yang
menurut pendapat Tikus Pembawa Pesan merupakan hama
yang rakus.
(Boggart tentu saja tidak ikut dalam jamuan makan
malam bersama mereka. Tidak pernah. Boggart lebih suka
makan roti isi kol rebus yang dibuatkan Bibi Zelda untuknya.
Boggart sendiri sudah lama tidak makan tikus. Lagi pula dia
tidak terlalu suka rasanya, dan tulang-tulang kecil tikus suka
tersangkut di giginya.)
"Sedari tadi aku berpikir," ujar Silas pelan, "mungkin
sebaiknya si tikus dikirim kembali besok pagi saja. Dia sudah
menempuh perjalanan jauh, dan harus beristirahat dulu."
Tikus kelihatan gembira.
"Benar, Sir. Sangat bijaksana," ujarnya. "Banyak
pesan yang hilang karena pembawa pesannya kurang
http://facebook.com/indonesiapustaka

beristirahat. Dan makan malam lezat. Dan kalau boleh


kukatakan makan malam yang luar biasa... menarik, Madam."
Dia menunduk ke arah Bibi Zelda.
"Sama-sama," Bibi Zelda tersenyum.
"Apakah itu Tikus Sangat Rahasia?" tanya botol
merica dengan suara Marcia. Semua orang terlonjak kaget.

~184~
"Kau kan bisa memberi sedikit peringatan kalau mau
mulai memperdengarkan suaramu di mana-mana," keluh
Silas. "Aku hampir saja mengisap lobakku."
"Jadi, benar tidak?" desak si botol merica.
"Apa benar yang ditanyakannya?" tanya Silas pada si
tikus, yang tengah memandangi botol merica dan sesaat
tampak tak bisa berkata-kata. "Kau Tikus Sangat Rahasia
atau bukan?"
"Ya," sahut si tikus, tidak yakin harus menjawab pada
Silas atau si botol merica. Lalu dia berpaling ke arah botol
merica. "Aku benar-benar Tikus Sangat Rahasia, Nona Botol
Merica. Aku Tikus Carter Sangat Rahasia Jarak Jauh. Siap
melayani Anda."
"Bagus. Aku segera turun."
Marcia menuruni dua anak tangga sekaligus dan
berjalan melintasi ruangan dengan buku di tangan. Jubah
sutranya menyapu lantai dan membuat setumpuk botol
ramuan beterbangan. Jenna mengikuti cepat-cepat, tak sabar
ingin melihat sendiri Tikus Pembawa Pesan.
"Sempit sekali sih, di sini," keluh Marcia, dengan
kesal mengibaskan Paduan Cemerlang multiwarna milik Bibi
Zelda dari jubahnya. "Aku benar-benar takjub bagaimana
kau bisa mengaturnya, Zelda."
"Sepertinya aku berhasil mengaturnya dengan cukup
baik sebelum kau datang," gumam Bibi Zelda pelan, selagi
Marcia duduk di kursi dekat Tikus Pembawa Pesan. Wajah si
tikus tampak pucat di balik bulu cokelatnya. Tidak pernah
http://facebook.com/indonesiapustaka

terlintas satu kali pun dalam benaknya bahwa dia bisa


bertemu dengan Penyihir LuarBiasa. Dia membungkuk
rendah, terlalu rendah malah, dan kehilangan keseimbangan
hingga terjatuh ke sisa-sisa ceri dan sayur lobak.
"Aku mau kau kembali bersama si tikus, Silas,"
Marcia membuat pengumuman.

~185~
"Apa?" ujar Silas. "Sekarang?"
"Aku tidak diperbolehkan membawa penumpang,
Yang Mulia," tutur si tikus pada Marcia dengan ragu-ragu.
"Bahkan, Paduka Yang Mulia, dan aku sungguh mengatakan
ini dengan segala hormat..."
"JanganBicara, Rattus Rattus," bentak Marcia.
Tikus Pembawa Pesan membuka dan menutup
mulutnya untuk mengucapkan beberapa kata, sampai
disadarinya tak ada kata-kata yang keluar. Kemudian dia
duduk, dengan enggan menjilati ceri dan sayur lobak dari
telapak kakinya, lalu menunggu. Si tikus tidak punya pilihan
lagi selain menunggu, karena Tikus Pembawa Pesan hanya
boleh pergi setelah ada jawaban atau penolakan untuk
menjawab. Dan sejauh ini Tikus Pembawa Pesan belum
memiliki salah satu dari keduanya, maka layaknya
profesional sejati, dia duduk dengan sabar dan hati sedih
memikirkan kata-kata istrinya tadi pagi, ketika mengatakan
hendak melaksanakan tugas untuk seorang Penyihir.
"Stanley," kata istrinya, Dawnie, seraya menggoyang-
goyangkan jari ke arahnya, "kalau aku jadi kau, aku tidak
mau berurusan dengan Penyihir. Ingat suami Eli, yang
akhirnya disihir oleh Penyihir gendut pendek itu di puncak
Menara dan terjebak di dalam panci panas? Dia tidak kembali
selama dua minggu, kemudian pulang dengan kondisi parah.
Jangan pergi, Stanley. Kumohon."
Tapi Stanley diam-diam merasa tersanjung karena
Biro Tikus telah memintanya untuk melakukan pekerjaan
http://facebook.com/indonesiapustaka

lapangan, khususnya untuk Penyihir, dan dia gembira


mendapatkan pergantian suasana dari pekerjaan lamanya.
Dia menghabiskan minggu lalu menyampaikan pesan antara
dua kakak beradik perempuan yang sedang bertengkar.
Pesan-pesannya menjadi semakin singkat dan jelas-jelas
semakin kasar, sampai-sampai kemarin kerjanya hanyalah

~186~
berlarian bolak-balik di antara mereka berdua tanpa pesan,
karena masing-masing berkeinginan untuk disampaikan
pada saudaranya bahwa mereka tidak ingin saling bicara lagi.
Stanley merasa teramat sangat lega ketika ibu mereka, yang
ketakutan dengan besarnya tagihan yang diterimanya dari
Biro Tikus, akhirnya membatalkan tugas itu.
Oleh karenanya, Stanley dengan sangat gembira
mengatakan pada istrinya bahwa kalau dibutuhkan, dia
harus pergi. "Lagi pula," katanya pada istrinya, "aku ini salah
satu dari sedikit Tikus Sangat Rahasia Jarak Jauh di Kastil."
"Dan salah satu yang paling bodoh," sahut istrinya
ketus.
Maka demikianlah, Stanley duduk di atas meja, di
antara sisa-sisa makan malam teraneh yang pernah
disantapnya, dan mendengarkan Penyihir LuarBiasa yang
ternyata amat penggerutu itu mengatakan apa yang harus
dilakukan oleh Si Penyihir Biasa. Marcia membanting
bukunya di atas meja, membuat piring-piring bergetar.
"Aku sudah melihat-lihat buku Cara Menghancurkan
Kuasa Jahat milik Zelda. Andai aku punya salinannya di
Menara Penyihir. Buku itu tak ternilai harganya," tutur
Marcia sambil mengetuk-ngetuk buku itu. Buku itu salah
paham dengan apa yang dilakukan Marcia. Tiba-tiba buku itu
meninggalkan meja dan terbang kembali ke tempatnya di
tumpukan buku milik Bibi Zelda, membuat Marcia amat
kesal.
"Silas," kata Marcia, "aku ingin kau pergi ambil
http://facebook.com/indonesiapustaka

JimatPelindung milikku dari Sally. Kita membutuhkannya di


sini.
"Baiklah," sahut Silas.
"Kau harus pergi, Silas," ujar Marcia. "Keselamatan
kita tergantung pada jimat itu. Tanpa jimat itu, kekuatanku
ternyata tidak sekuat yang kuperkirakan."

~187~
"Ya, ya. Baiklah, Marcia," sahut Silas tidak sabar,
karena sedang sibuk memikirkan Simon.
"Bahkan sebagai Penyihir LuarBiasa, aku
memerintah-kanmu untuk pergi," desak Marcia.
"Iya! Marcia, tadi sudah kubilang iya. Aku akan pergi.
Lagi pula aku memang harus pergi," sahut Silas, gusar.
"Simon hilang. Aku akan pergi mencarinya."
"Bagus," ujar Marcia, tidak terlalu memerhatikan,
seperti biasanya, apa yang dikatakan Silas, "Sekarang, mana
tikus itu?"
Si tikus, masih tidak bisa bicara, mengangkat
cakarnya.
"Pesanmu adalah kembalikan, Penyihir ini kepada si
pengirim. Mengerti?"
Stanley mengangguk tidak yakin. Dia ingin
mengatakan pada si Penyihir LuarBiasa bahwa hal ini
bertentangan dengan peraturan Biro Tikus. Mereka tidak
berurusan dengan paket, manusia, atau apa pun. Dia
menghela napas. Ternyata kata-kata istrinya benar sekali.
"Kau harus membawa Penyihir ini dengan selamat
dan semestinya, dengan cara yang benar, kembali ke alamat
asal. Mengerti?"
Stanley mengangguk tidak senang. Cara yang benar?
Dia menduga itu artinya Silas tidak bisa diajak berenang
lewat jalur sungai. Atau menumpang di bagasi penjaja
dagangan yang lewat. "Bagus."
Silas menyelamatkan si tikus.
http://facebook.com/indonesiapustaka

"Aku tidak perlu dibungkus seperti bingkisan, terima


kasih, Marcia," katanya. "Aku akan naik kano, dan tikus itu
bisa ikut denganku dan menunjukkan jalan."
"Baiklah, kalau begitu," sahut Marcia, "tapi aku mau
memastikan perintahnya. Bicaralah, Rattus Rattus."
"Ya," sahut si tikus lemah. "Perintah sudah

~188~
dipastikan."
Silas dan Tikus Pembawa Pesan pergi pagi-pagi
keesokan harinya, tepat setelah matahari terbit, membawa
kano Muriel Satu.
Jenna, Nicko, dan Maxie harus bangun pagi-pagi
untuk mengucapkan selamat jalan pada Silas dan menitipkan
pesan mereka untuk Sarah dan kakak-kakak mereka. Udara
terasa dingin membeku, dan embusan napas mereka
mengeluarkan asap putih. Silas merapatkan jubah wol biru
tebal miliknya dan mengenakan tudungnya, sementara Tikus
Pembawa Pesan berdiri sedikit gemetaran di sampingnya,
tapi bukan melulu karena dinginnya udara.
Si tikus bisa mendengar suara napas tersumbat Maxie
yang menakutkan, dekat di belakangnya, selagi Nicko
mengencangkan pegangannya di kain leher anjing itu, dan
seolah itu belum cukup, dia masih harus melihat Boggart.
"Ah, Boggart," Bibi Zelda tersenyum. "Terima kasih
banyak, Boggart sayang, kau masih berjaga-jaga. Ini ada
sedikit roti isi untuk memulihkan tenagamu. Aku akan
menaruhnya di kano. Ada juga untuk kau dan si tikus, Silas."
"Oh. Baiklah, terima kasih, Zelda. Tepatnya roti isi
apa itu?"
"Kol rebus paling lezat."
"Ah. Baiklah, kau sungguh... baik hati." Silas senang
karena sudah lebih dulu menyelundupkan sedikit roti dan
keju di lengan bajunya.
Boggart mengapung sambil menggerutu di Mott, dan
http://facebook.com/indonesiapustaka

pemberian roti isi kol tadi tidak terlalu meredakan


kekesalannya. Dia tidak suka keluar saat matahari bersinar,
bahkan di tengah musim dingin. Menyakitkan buat mata
Boggart-nya yang lemah, dan sinar matahari bisa membakar
telinganya kalau dia tidak berhati-hati.
Tikus Pembawa Pesan duduk kesal di pinggiran

~189~
Mott, terperangkap di antara napas anjing di belakangnya
dan napas Boggart di depannya.
"Baiklah," kata Silas pada si tikus. "Naiklah. Kurasa
kau ingin duduk di depan. Maxie selalu begitu."
"Aku bukan anjing," dengus Stanley, "dan aku tidak
mau melakukan perjalanan dengan Boggart."
"Ini Boggart yang aman," kata Bibi Zelda padanya.
"Tidak pernah ada Boggart yang aman," gerutu
Stanley. Tapi ketika sekilas dia melihat Marcia keluar dari
pondokan untuk mengantar Silas pergi, dia tidak bicara lagi,
melainkan melompat dengan sigap ke kano dan bersembunyi
di bawah tempat duduk.
"Hati-hati, Ayah," kata Jenna pada Silas, sambil
memeluknya erat-erat.
Nicko juga memeluk Silas. "Temukan Simon, Yah.
Dan jangan lupa tetaplah berada di pingggiran sungai kalau
arus pasang melawan arah kano Ayah. Arus selalu mengalir
lebih cepat di tengah."
"Aku tidak akan lupa," Silas tersenyum. "Kalian
berdua harus saling menjaga. Maxie juga."
"Dah, Ayah!"
Maxie merintih dan menyalak ketika dilihatnya,
dengan cemas, bahwa Silas benar-benar meninggalkan
dirinya.
"Selamat tinggal!" Silas melambaikan tangan sambil
mengemudikan kanonya mengarungi Mott, diiringi
pertanyaan Boggart yang tak asing lagi:
http://facebook.com/indonesiapustaka

"Kalian mengikuti?"
Jenna dan Nicko memandangi kano bergerak
perlahan di sepanjang parit yang berkelok-kelok, dan keluar
menuju bentangan luas Rawa-Rawa Marram, sampai tudung
biru Silas tidak terlihat lagi.
"Kuharap Ayah baik-baik saja," kata Jenna pelan.

~190~
"Ayah kurang pandai menemukan tempat."
"Tikus Pembawa Pesan bakal memastikan Ayah
sampai ke sana," sahut Nicko. "Tikus itu tahu, sebab kalau
tidak, dia harus menjelaskannya pada Marcia."
Jauh di tengah Rawa-Rawa Marram, Tikus Pembawa
Pesan duduk di kano, mengamati paket pertama yang harus
dikirimkannya. Diputuskannya untuk tidak mengemukakan
masalah ini kepada Dawnie, atau tikus-tikus lain di Biro
Tikus; semua ini, pikirnya sambil menghela napas, teramat
sangat menentang peraturan.
Namun setelah beberapa saat, sewaktu Silas
membawa kano perlahan-lahan dan sedikit meliuk-liuk tidak
teratur melewati kanal-kanal rawa yang berkelok-kelok,
Stanley mulai merasa bahwa perjalanan naik kano ini cukup
menyenangkan. Lagi pula dia mendapat tumpangan menuju
tempat tujuannya. Dan dia hanya duduk, seraya menuturkan
beberapa cerita dan menikmati naik kano sementara Silas
yang bekerja.
Jadi, hanya itulah yang dilakukan si Tikus Pembawa
Pesan, sewaktu Silas mengucapkan selamat tinggal pada
Boggart di ujung Parit Deppen dan mulai mendayung di
sungai, menuju Hutan.
http://facebook.com/indonesiapustaka

~191~
22. MAGYK
Malam itu angin timur bertiup melintasi rawa-rawa.
Bibi Zelda menutup kerai-kerai kayu di jendela dan
menaruh MantraPengunci pada pintu menuju terowongan
kucing, setelah lebih dulu memastikan Bert aman di dalam.
Kemudian dia berjalan keliling pondok, menyalakan lampu
dan menaruh lilin antibadai di jendela untuk menjauhkan
angin. Bibi Zelda tidak sabar menantikan saat-saat tenang
untuk dihabiskan di depan mejanya, memperbarui daftar
ramuannya.
Tapi Marcia sudah lebih dulu sampai ke sana. Dia
sedang membolak-balik buku-buku Magyk kecil dan sibuk
mencatat. Sesekali mencoba mantra dengan cepat, untuk
melihat apakah mantranya masih bekerja atau tidak, lalu
terdengar letupan pelan dan asap berbau aneh. Bibi Zelda
juga merasa tidak senang melihat apa yang telah dilakukan
Marcia pada mejanya. Marcia memberi meja itu kaki bebek
supaya tidak oleng lagi, dan sepasang tangan untuk
membantu mengatur kertas-kertas kerjanya.
"Kalau kau sudah selesai, Marcia, aku ingin
mendapatkan mejaku kembali," ujar Bibi Zelda kesal.
"Silakan saja, Zelda," sahut Marcia dengan ceria.
Diambilnya sebuah buku kecil persegi dan dibawanya ke
sebelah perapian, meninggalkan meja yang berantakan. Bibi
Zelda menyapu isi meja ke lantai tanpa sempat
menangkapnya, lalu duduk sambil menghela napas lega.
http://facebook.com/indonesiapustaka

Marcia bergabung dengan Jenna, Nicko, dan Bocah


412 di dekat perapian. Dia duduk di samping mereka, lalu
membuka bukunya, yang bisa dilihat Jenna berjudul:
Mantra Keselamatan dan Jimat Penolak Bala
Untuk Pemula dan Mereka yang Agak Bodoh
Dikompilasi dan Dijamin oleh Liga Penjamin

~192~
Penyihir
"Agak bodoh?" tanya Jenna. "Agak kasar, ya?"
"Tidak usah hiraukan itu," sahut Marcia. "Istilah itu
sudah ketinggalan zaman. Tapi yang kuno-kuno justru sering
kali yang paling baik. Bagus dan sederhana, sebelum semua
Penyihir berusaha memakai nama mereka sendiri untuk
mantra hanya dengan mengotak-atiknya sedikit, yang justru
menimbulkan masalah. Aku pernah menemukan satu mantra
yang kelihatannya seperti Mantra Memanggil yang gampang.
Edisi terbaru dengan banyak Jimat baru yang tidak terpakai
lagi, yang kurasa mestinya sudah membuatku waspada.
Ketika kurapalkan untuk Memanggil sepatu kulit milikku,
mantra itu juga ternyata Memanggil ular piton. Bukan hal
yang ingin kaulihat pagi-pagi, kan."
Marcia sibuk membolak-balik buku itu.
"Ada versi mudah mantra Buat Dirimu Tak Terlihat
di sini. aku menemukannya kemarin... Ah, ya, ini dia."
Jenna melongok dari atas bahu Marcia di halaman
menguning yang dibuka Marcia. Layaknya semua buku
Magyk, di setiap halamannya terdapat mantra atau jampi-
jampi yang berbeda, dan di dalam buku-buku yang lebih
lama, semua ini ditulis dengan tulisan tangan yang sangat
rapi, dengan berbagai macam tinta berwarna aneh. Di bawah
setiap mantra, halamannya dilipat membentuk kantong
tempat menaruh Jimat. Jimat mengandung pengaruh Magyk
dari mantra itu sendiri. Bentuknya sering kali berupa kertas
perkamen, meski bisa berbentuk apa saja. Marcia pernah
http://facebook.com/indonesiapustaka

melihat Jimat yang ditulis di atas sobekan kain sutra, kayu,


kulit kerang, bahkan roti panggang, meski yang satu ini tidak
bekerja sebagaimana mestinya, karena ujungnya sudah
digigiti tikus.
Beginilah cara kerja sebuah buku Magyk: Penyihir
pertama yang menciptakan mantranya menuliskan kata-kata

~193~
dan instruksinya di atas benda apa pun yang sedang mereka
pegang. Paling baik langsung menuliskannya, karena
Penyihir terkenal sebagai makhluk pelupa. Dan juga Magyk
akan pudar kalau tidak cepat-cepat ditangkap. Jadi,
kemungkinan bila si Penyihir sedang menyantap makan
paginya ketika dia teringat satu mantra, mungkin saja
mereka menggunakan sepotong (lebih baik tidak diolesi
mentega) roti panggang. Maka roti inilah Jimat-nya. Jumlah
Jimat-nya tergantung pada berapa kali si Penyihir
menuliskan mantranya. Atau berapa banyak potongan roti
panggang yang dibuat untuk makan pagi.
Sewaktu seorang Penyihir sudah mengumpulkan
cukup banyak mantra, biasanya dia menjilidnya menjadi satu
buku untuk penyimpanan yang aman; namun banyak buku
Magyk yang merupakan kumpulan buku-buku yang lebih
lama yang sudah berantakan, dan digabung ulang dalam
berbagai bentuk. Satu buku Magyk lengkap dengan semua
Jimat-nya masih utuh di dalam kantong merupakan buku
langka. Jauh lebih lazim menemukan buku yang boleh
dibilang kosong dan hanya berisi satu atau dua Jimat yang
kurang populer.
Sebagian Penyihir hanya membuat satu atau dua
Jimat untuk mantra yang lebih rumit, dan ini sangat sulit
ditemukan, meski kebanyakan Jimat bisa ditemukan di
Perpustakaan Piramida di Menara Penyihir. Marcia
merindukan perpustakaannya melebihi semua hal yang ada
di Menara, tapi dia terkejut juga dan sangat gembira dengan
http://facebook.com/indonesiapustaka

koleksi buku Magyk milik Bibi Zelda.


"Ini dia," kata Marcia, sambil mengulurkan buku itu
pada Jenna. "Bagaimana kalau kau mengeluarkan satu
Jimat?"
Jenna mengambil buku kecil yang ternyata sangat
berat itu. Halaman yang terbuka kelihatan kotor dan

~194~
kertasnya lecek karena sering dibuka, ditulis dengan tinta
buram berwarna ungu dan tulisan besar dan rapi yang
mudah dibaca.
Kata-katanya berbunyi sebagai berikut:
Buat Dirimu Tak Terlihat Mantra Berharga dan
Terhormat untuk semua Orang yang berkeinginan (untuk
Alasan yang hanya Berkenaan dengan keselamatan mereka
Sendiri atau Orang Lain) tak Dilihat oleh siapa pun yang ingin
Mencelakakan mereka
Jenna membaca kata-kata itu dengan takut-takut,
tidak ingin memikirkan siapa kira-kira orang yang ingin
mencelakakannya, kemudian dia meraba-raba ke dalam
kantong kertas tebal tempat Jimat disimpan. Benda di dalam
kantong tersebut terasa seperti bulir-bulir halus dan rata.
Jari-jemari Jenna mencengkeram salah satu bulir dan
menarik keluar sepotong kecil kayu eboni mengilap
berbentuk oval.
"Bagus sekali," ujar Marcia memuji. "Hitam sekelam
malam. Cocok sekali. Bisakah kau melihat kata-kata di atas
Jimat-nya?
Jenna mengucek-ucek matanya, berusaha membaca
tulisan di permukaan potongan kayu eboni itu. Kata-katanya
kecil sekali, ditulis dalam tulisan tangan kuno dengan tinta
emas yang sudah pudar. Marcia merogoh sebuah kaca
pembesar rata berukuran besar dari sabuknya, dibukanya
tekukannya, lalu diberikannya pada Jenna.
"Coba pakai ini untuk membantumu," ujarnya.
http://facebook.com/indonesiapustaka

Perlahan Jenna memegangi kaca pembesar itu di atas


tulisan berwarna emas, dan begitu terbaca, dibacanya
dengan lantang:
Biarkan diriku Memudar di Udara
Biarkan semua yang menentangku tidak tahu di
mana aku Berada Biarkan mereka yang Mencariku

~195~
melewati diriku
Jangan biarkan Celaka dari Mata mereka
menggapaiku.
"Bagus dan sederhana," ujar Marcia. "Tidak terlalu
sulit dihafalkan pada saat diperlukan. Beberapa mantra
semuanya bagus dan baik, tapi saat kita mencoba
mengingatnya dalam keadaan genting, ternyata tidak terlalu
mudah. Sekarang kau harus Menera mantranya."
"Me... apa?" tanya Jenna.
"Pegang Jimat-nya erat-erat dan ucapkan kata-kata
dalam mantranya saat kau memeganginya. Kau harus
mengingat kata-katanya dengan tepat. Dan sewaktu
mengucapkan kata-katanya, kau harus membayangkan
mantra itu benar-benar terjadi-itu bagian yang teramat
penting."
Ternyata itu tidak semudah yang dikira Jenna,
terutama karena Nicko dan Bocah 412 memandangi dirinya.
Ketika sudah hafal kata-katanya dengan benar, dia lupa
membayangkan Memudar di Udara, dan ketika terlalu
memikirkan tentang Memudar di Udara, dia lupa kata-
katanya.
"Coba sekali lagi," Marcia menyemangatinya setelah
merasa jengkel karena Jenna bisa menghafal semuanya
dengan benar, kecuali satu kata kecil. "Semua orang mengira
mantra itu gampang, tapi sebenarnya tidak. Tapi kau sudah
hampir bisa."
Jenna menarik napas dalam-dalam. "Berhentilah
http://facebook.com/indonesiapustaka

memandangiku," katanya pada Nicko dan Bocah 412.


Mereka menyeringai dan segera mengalihkan
pandangan pada Bert sebagai gantinya. Bert bergerak-gerak
tidak nyaman dalam tidurnya. Bert selalu tahu kalau ada
orang sedang memandanginya.
Maka Nicko dan Bocah 412 tidak melihat Jenna Raib

~196~
untuk pertama kalinya.
Marcia bertepuk tangan. "Kau berhasil!" katanya.
"Benarkah? Aku berhasil?" suara Jenna terdengar
melayang di udara.
"Hei, Jen, kau ada di mana?" tanya Nicko, tertawa.
Marcia melihat penunjuk waktu miliknya. "Sekarang
jangan lupa, pertama kali kalian merapalkan mantra tidak
akan bertahan lama. Kau akan MunculKembali dalam waktu
satu menit atau lebih. Setelah itu mestinya bisa bertahan
selama apa pun yang kauinginkan."
Bocah 412 memerhatikan sosok Jenna yang samar-
samar mulai Mewujud perlahan-lahan dari bayang-bayang
yang berkedip-kedip tertimpa sinar lilin Bibi Zelda. Bocah
412 menyaksikan dengan ternganga. Dia ingin
melakukannya.
"Nicko," kata Marcia, "giliranmu."
Bocah 412 menjadi kesal sendiri. Kenapa dia sampai
mengira Marcia bakal memintanya? Sudah jelas Marcia tidak
akan memintanya. Dia tidak termasuk golongan mereka. Dia
hanyalah Tumbal Laskar Pemuda.
"Aku punya mantra Menghilang milikku sendiri,
terima kasih," sahut Nicko. "Tidak ingin tertukar dengan
yang satu ini."
Nicko memiliki pendekatan praktis terhadap Magyk.
Dia tidak berniat menjadi Penyihir, meskipun berasal dari
keluarga Magykal dan pernah diajari Magyk Dasar. Nicko
tidak melihat perlunya belajar lebih dari satu dari tiap jenis
http://facebook.com/indonesiapustaka

mantra. Mengapa mesti menyumbat otakmu dengan segala


macam tetek-bengek itu? Dia menganggap dirinya sudah
hafal semua mantra yang kemungkinan dibutuhkannya. Dia
lebih suka memanfaatkan sisa ruang di otaknya untuk hal-
hal yang berguna, misalnya mempelajari waktu arus pasang
dan tali-temali kapal.

~197~
"Baiklah, kalau begitu," sahut Marcia, yang sadar
lebih baik tidak memaksa Nicko melakukan hal yang tidak
disukainya, "tapi ingatlah, hanya mereka yang menggunakan
mantra Tak Terlihat yang sama akan bisa saling melihat.
Kalau mantramu tidak sama, Nicko, maka kau tidak bisa
terlihat oleh orang yang punya mantra berbeda, meskipun
mereka juga menggunakan mantra Tak Terlihat. Mengerti?"
Nicko mengangguk bimbang. Tidak mengerti
mengapa semua itu penting adanya.
"Kalau begitu, sekarang"-Marcia berpaling kepada
Bocah 412-"giliranmu."
Wajah Bocah 412 bersemu merah muda. Dia
tertunduk memandangi sepatunya. Ternyata Marcia
memintanya. Bocah 412 sangat ingin mencoba mantra itu,
namun dia benci cara semua orang memandang dirinya, dan
yakin dirinya akan kelihatan bodoh jika mencobanya.
"Kau benar-benar harus mencobanya," tutur Marcia.
"Aku ingin kalian semua bisa melakukannya."
Bocah 412 mendongak, terkejut. Apakah maksud
Marcia dirinya sama penting dengan kedua anak itu? Dua
anak yang memang sudah sepantasnya belajar sihir?
Terdengar suara Bibi Zelda dari ujung ruangan.
"Tentu saja dia harus mencobanya."
Bocah 412 berdiri dengan kikuk. Marcia merogoh
satu Jimat lagi dari buku itu untuk diberikan kepadanya.
"Sekarang kau Terakan mantranya," kata Marcia padanya.
Bocah 412 memegang Jimat itu. Jenna dan Nicko
http://facebook.com/indonesiapustaka

menatapnya, penasaran ingin melihat apakah dia mau


melakukannya, karena ini gilirannya.
"Ucapkan kata-katanya," ajak Marcia dengan lembut.
Bocah 412 diam saja, tapi kata-kata dalam mantra itu
berdengung di benaknya dan memenuhi kepalanya dengan
sensasi dengungan aneh. Di bawah topi tudung merahnya,

~198~
rambut pendeknya yang kaku berdiri. Bisa dirasakannya
Magyk menggelenyar ke seluruh tangannya.
"Dia menghilang!" Jenna tercekat.
Nicko bersiul pelan, kagum. "Dia tidak berlama-lama,
ya?"
Bocah 412 merasa kesal. Tidak perlu mengejeknya.
Dan mengapa Marcia memandangnya dengan tatapan aneh?
Apakah dia melakukan kesalahan?
"Kembali sekarang," kata Marcia dengan amat pelan.
Nada suara Marcia membuat Bocah 412 sedikit ketakutan.
Apa yang terjadi?
Kemudian sebuah ide mengagumkan melintas di
benak Bocah 412. Pelan-pelan dilewatinya Bert, lalu dia
menyelinap melewati Jenna tanpa menyentuhnya, dan
berjalan mondar-mandir di tengah-tengah ruangan. Tidak
ada yang bisa melihat ke mana dia pergi. Mereka semua
masih memandangi tempat dia tadi berdiri.
Debar-debar mengasyikkan menerpa Bocah 412. Dia
bisa melakukannya. Dia bisa melakukan Magyk. Dia bisa
Memudar di Udara! Tidak ada yang bisa melihatnya. Dia
bebas!
Bocah 412 melompat penuh semangat. Tidak ada
yang melihat. Diacungkannya tangannya tinggi-tinggi dan
dilambaikannya di atas kepala mereka. Tidak ada yang
melihat. Ditaruhnya kedua ibu jari di telinganya dan
digoyang-goyangkannya jemarinya. Tidak ada yang melihat.
Kemudian, tanpa bersuara, dia melangkah untuk meniup lilin
http://facebook.com/indonesiapustaka

antibadai, kakinya tersangkut ujung karpet, lalu terjatuh.


"Ternyata kau di situ," ujar Marcia gusar.
Dan di situlah dia berada, duduk di lantai sambil
mengelus-elus lututnya yang memar, dan perlahan Muncul di
depan orang-orang yang terkesan akan kemampuannya.
"Kau pintar," kata Jenna. "Kok kau bisa

~199~
melakukannya dengan sangat gampang?"
Bocah 412 menggeleng. Dia tidak tahu bagaimana dia
bisa melakukannya. Terjadi begitu saja. Tapi rasanya asyik
sekali.
Perasaan aneh meliputi hati Marcia. Bocah 412
mengira Marcia bakal senang melihat kemampuannya, tapi
yang terjadi malah sebaliknya.
"Seharusnya kau tidak Menera mantra begitu cepat.
Bisa berbahaya. Bisa-bisa kau tidak kembali dengan benar."
Yang tidak dikatakan Marcia pada Bocah 412 adalah
dia belum pernah melihat seorang pemula menguasai mantra
begitu cepat. Kejadian ini membuatnya gelisah. Dan dia
merasa lebih gelisah lagi ketika Bocah 412 mengembalikan
Jimat-nya dan terasa ada desiran Magyk, seperti getaran
pelan listrik statis, melompat dari tangan bocah itu.
"Tidak," sahut Marcia, mengembalikannya lagi pada
Bocah 412, "kausimpan saja Jimat ini. Jenna juga. Bagi
pemula, yang paling baik adalah menyimpan Jimat untuk
mantra yang ingin digunakan."
Bocah 412 memasukkan Jimat itu ke dalam saku
celana panjangnya. Dia bingung. Kepalanya masih pusing
oleh perasaan bergelora dari Magyk tadi, dan dia tahu tadi
dia melakukan mantra itu dengan sempurna. Lalu mengapa
Marcia kesal? Kesalahan apa yang dilakukannya?
Mungkin Laskar Pemuda memang benar. Mungkin
Penyihir LuarBiasa memang gila-lagu apa ya, yang biasa
mereka lantunkan setiap pagi di Laskar Pemuda sebelum
http://facebook.com/indonesiapustaka

pergi menjaga Menara Penyihir dan mematai-matai para


Penyihir yang datang dan pergi, terutama Penyihir
LuarBiasa?
Gila bagaikan ikan tinta,
Kejam bagaikan seekor TIKUS,
Taruh dia di piring kue pai,

~200~
Umpankan dia pada KUCING!
Tapi syair itu tidak lagi membuat Bocah 412 tertawa,
dan sepertinya sama sekali tidak ada hubungannya dengan
Marcia. Bahkan semakin lama memikirkan tentang Laskar
Pemuda, Bocah 412 semakin menyadari kebenarannya.
Laskar Pemuda -lah yang gila.
Marcia adalah Magyk.
http://facebook.com/indonesiapustaka

~201~
23. SAYAP-SAYAP
Malam itu angin timur berembus makin kencang
hingga berubah menjadi badai. Menggetarkan kerai-kerai,
menggoyangkan pintu-pintu, dan membuat seluruh pondok
tidak tenang.
Sesekali embusan angin menderu kencang di sekitar
pondok, meniupkan asap kembali ke dalam cerobong dan
membuat ketiga penghuni yang berada di selimut dekat
perapian tersedak dan gemetaran.
Di lantai atas, Maxie menolak meninggalkan ranjang
tuannya dan mendengkur keras sekali, membuat Marcia dan
Bibi Zelda sangat kesal karena mereka sama-sama tidak bisa
tidur.
Bibi Zelda bangun pelan-pelan dan mengintip ke luar
jendela, seperti yang selalu dilakukannya pada malam-
malam terjadi badai, sejak adik laki-lakinya Theo, Ahli Alih-
Rupa, seperti kakaknya, Benjamin Heap, memutuskan sudah
cukup baginya menjalani hidupnya di bawah awan. Theo
ingin membubung tinggi menembus awan, menuju cahaya
mentari untuk selamanya. Pada suatu hari di musim dingin,
Theo mengucapkan selamat tinggal dan saat matahari terbit
keesokan harinya, Zelda duduk di pinggir Mott dan
menyaksikan adiknya Beralih Rupa untuk terakhir kali
menjadi Bentuk yang dipilihnya, burung petrel badai.
Terakhir kali Bibi Zelda melihat Theo adalah dalam bentuk
burung yang sangat kuat itu, terbang melintasi Rawa-Rawa
http://facebook.com/indonesiapustaka

Marram, menuju laut. Selagi memerhatikan burung itu pergi


menjauh, Zelda sadar dirinya takkan bisa bertemu lagi
dengan adiknya itu, karena burung petrel badai
menghabiskan hidup mereka dengan terbang melintasi
lautan dan jarang kembali ke darat, kecuali bila terbawa
badai. Bibi Zelda menghela napas dan berjingkat kembali ke

~202~
ranjang.
Marcia menutupi kepalanya dengan bantal, supaya
tidak mendengar dengkuran anjing itu dan deru angin yang
menusuk telinga kala menerjang pondok yang tegak
menghalangi jalannya, berusaha merusak apa pun yang
dilewatinya. Tapi bukan hanya suara itu yang membuat
Marcia tetap terjaga. Ada satu hal lagi yang menyibukkan
benaknya. Sesuatu yang dilihatnya tadi sore, yang telah
memberikan harapan baginya di masa depan. Masa depan di
Kastil, bebas dari Magyk Gelap. Marcia berbaring terjaga,
merencanakan tindakan selanjutnya.
Di lantai bawah, Bocah 412 sama sekali tidak bisa
tidur. Sejak melakukan mantra tadi, dia merasa aneh, seperti
ada sekawanan lebah sedang berdengung di dalam
kepalanya. Dibayangkannya sebagian kecil Magyk yang
tersisa dari mantranya, kepalanya terasa pusing. Dia ingin
tahu mengapa Jenna, yang saat ini sudah tidur nyenyak, tidak
terjaga. Mengapa kepala gadis itu tidak berdengung juga?
Dipakainya cincin naga dan cahaya keemasan menerangi
ruangan itu, menimbulkan sebuah gagasan di kepala Bocah
412. Pasti gara-gara cincin itu. Itu sebabnya kepalanya
berdengung, dan itu juga sebabnya dia bisa melakukan
mantra itu dengan begitu mudah. Ternyata dia menemukan
cincin Magyk.
Bocah 412 mulai memikirkan apa yang terjadi tadi,
setelah dia melakukan mantra itu. Tadi dia duduk bersama
Jenna, melihat-lihat buku mantra sampai Marcia melihatnya
http://facebook.com/indonesiapustaka

dan memaksa mereka menyingkirkan buku itu, sambil


mengatakan bahwa dia tidak mau mereka main-main lagi.
Kemudian, malamnya, ketika tidak ada orang, Marcia
memojokkan dirinya dan mengatakan ingin bicara
dengannya besok pagi. Berdua saja. Menurut pemikiran
Bocah 412, itu berarti dia bakal mendapat masalah.

~203~
Bocah 412 merasa tidak senang. Dia tidak bisa
berpikir jernih, maka diputuskannya untuk membuat daftar.
Daftar Laskar Pemuda. Sebelumnya cara ini selalu ampuh.
Fakta Pertama: Tidak ada panggilan bangun pagi:
BAIK.
Fakta Kedua: Banyak makanan yang lebih enak:
BAIK.
Fakta Ketiga: Bibi Zelda baik: BAIK.
Fakta Keempat: Si Putri baik hati: BAIK.
Fakta Kelima: Memiliki cincin Magyk: BAIK.
Fakta Keenam: Penyihir LuarBiasa kesal: BURUK
Bocah 412 terkejut. Belum pernah sekali pun bagian
yang BAIK jumlahnya mengalahkan bagian yang BURUK.
Tapi, entah mengapa, itu justru membuat bagian BURUK
yang hanya ada satu terasa lebih buruk lagi. Karena untuk
pertama kalinya Bocah 412 merasa ada yang mesti
dipertaruhkan. Pada akhirnya dia tertidur, tapi tidak
nyenyak, dan bangun pagi-pagi ketika matahari baru terbit.
Keesokan paginya angin timur sudah berhenti, dan
suasana penuh harap meliputi seisi pondok.
Bibi Zelda keluar saat matahari terbit, untuk
memeriksa apakah ada burung petrel badai yang terdampar
bersama angin tadi malam. Ternyata tidak ada, seperti sudah
diduganya, meski dia selalu berharap kebalikannya.
Marcia sedang menunggu Silas kembali membawa
JimatPelindung miliknya.
Jenna dan Nicko sedang menunggu pesan dari Silas.
http://facebook.com/indonesiapustaka

Maxie sedang menunggu makan paginya. Bocah 412


sedang menantikan masalah. "Kau tidak mau makan bubur
kental?" tanya Bibi Zelda pada Bocah 412 saat makan pagi.
"Kemarin kau makan dua porsi, tapi hari ini kau hampir tidak
menyentuhnya."
Bocah 412 menggeleng.

~204~
Bibi Zelda tampak cemas. "Kau kelihatan tidak
sehat," ujarnya. "Kau baik-baik saja?"
Bocah 412 mengangguk, meski sebenarnya tidak
begitu.
Selesai makan pagi, sementara Bocah 412 dengan
hati-hati melipat selimutnya serapi dia biasa melipat
selimutnya di Laskar Pemuda setiap pagi, Jenna menanyakan
apakah Bocah 412 mau ikut naik Muriel Dua bersamanya
dan Nicko untuk menunggu Tikus Pembawa Pesan kembali.
Bocah 412 menggeleng. Jenna tidak heran. Dia tahu Bocah
412 tidak menyukai kapal.
"Kalau begitu, sampai jumpa nanti," seru Jenna ceria
saat berlari ke luar, mengejar Nicko ke kano.
Bocah 412 mengamati Nicko mengemudikan kano
keluar di sepanjang Mott dan masuk ke rawa-rawa. Tanah
rawa tampak suram dan dingin pagi itu, seolah angin timur
tadi malam telah menyapunya menjadi lembap dan dingin.
Dia senang tinggal di pondokan, di dekat perapian yang
hangat.
"Ah, di situ kau rupanya," kata Marcia di
belakangnya. Bocah 412 terlonjak kaget. "Aku ingin bicara
denganmu."
Hati Bocah 412 tiba-tiba menciut. Mati aku, pikirnya.
Penyihir ini bakal mengusirku. Kembali ke Laskar Pemuda.
Seharusnya dia menyadari, suasana menyenangkan ini tak
mungkin bertahan lama.
Marcia memerhatikan si Bocah 412 tiba-tiba menjadi
http://facebook.com/indonesiapustaka

pucat.
"Kau baik-baik saja?" tanyanya. "Apa karena makan
pai kaki babi tadi malam? Aku sendiri lumayan kesulitan
mencernanya. Tidur pun tidak terlalu nyenyak, terutama
dengan adanya angin timur yang menyeramkan itu. Dan
omong-omong tentang angin, aku tidak mengerti mengapa

~205~
anjing yang menjijikkan itu tidak bisa tidur di tempat lain."
Bocah 412 tersenyum. Dia sendiri merasa senang
Maxie tidur di lantai atas.
"Kupikir mungkin kau mau mengajakku melihat-lihat
pulau ini," lanjut Marcia. "Kurasa kau sudah tahu banyak
tempat di sekitar sini."
Bocah 412 menatap Marcia dengan panik. Apa yang
dicurigainya? Apakah Marcia tahu dia telah menemukan
terowongan itu?
"Jangan pasang muka cemas begitu." Marcia
tersenyum. "Ayo, bagaimana kalau kautunjukkan padaku
liang Boggart? Aku belum pernah melihat tempat tinggal
Boggart."
Dengan perasaan menyesal karena harus
meninggalkan kehangatan pondok, Bocah 412 berangkat
bersama Marcia menuju liang Boggart.
Berdua mereka kelihatan seperti pasangan aneh:
Bocah 412, mantan Tumbal Laskar Pemuda, bertubuh kecil,
kurus, dengan jaket kulit domba yang menggembung serta
celana pelaut longgar yang digulung, tampak mencolok
dengan topi merah cerah, yang sampai sejauh ini tetap tak
mau dilepaskannya, demi Bibi Zelda sekalipun. Menjulang di
atasnya, Marcia Overstrand, Penyihir LuarBiasa, berjalan di
sampingnya dengan langkah-langkah cepat, sehingga Bocah
412 sesekali harus bergegas agar tetap bisa mengikuti
langkah Marcia. Sabuk emas dan platinum Marcia berkilauan
diterpa sinar matahari musim dingin yang lemah, dan jubah
http://facebook.com/indonesiapustaka

tebalnya yang terbuat dari sutra dan bulu berkibar-kibar


dalam alunan warna ungu tua.
Tak lama kemudian mereka tiba di liang Boggart.
"Apakah itu tempatnya?" tanya Marcia, agak terkejut
bahwa ada makhluk bisa hidup di tempat dingin dan
berlumpur seperti itu.

~206~
Bocah 412 mengangguk, merasa bangga bisa
menunjukkan sesuatu yang belum diketahui Marcia.
"Wah, wah," ujar Marcia. "Kau belajar sesuatu setiap
harinya. Dan kemarin," tuturnya, seraya menatap mata
Bocah 412 sebelum bocah itu sempat memalingkan
wajahnya. "Kemarin aku juga mempelajari sesuatu. Sesuatu
yang sangat penting."
Bocah 412 menggeser-geser kakinya dengan gelisah,
lalu memalingkan wajah. Dia tidak suka mendengarnya.
"Aku baru tahu," tutur Marcia dengan suara pelan,
"bahwa kau punya bakat alami Magyk. Kau melakukan
mantra itu dengan begitu mudah, seolah kau sudah bertahun-
tahun belajar Magyk. Tapi kau belum pernah dekat-dekat
dengan mantra seumur hidupmu, benar kan?"
Bocah 412 menggeleng dan menunduk memandangi
kakinya. Dia masih merasa seolah-olah sudah berbuat salah.
"Benar," ujar Marcia. "Kupikir juga begitu. Kurasa
kau bergabung dengan Laskar Pemuda sejak kau berumur,
kira-kira... dua tahun setengah? Biasanya mereka mengambil
anak-anak seumuran itu."
Bocah 412 sama sekali tidak tahu sudah berapa lama
dirinya berada di Laskar Pemuda. Dia sama sekali tidak ingat
hal lain dalam hidupnya, jadi rasanya Marcia benar. Dia
mengangguk lagi.
"Baiklah, kita semua tahu kau tidak bakal pernah bisa
menemukan energi Magyk di Laskar Pemuda. Namun entah
bagaimana kau memiliki energi Magyk dalam dirimu sendiri.
http://facebook.com/indonesiapustaka

Cukup membuatku terkejut sewaktu kau mengembalikan


Jimat itu tadi malam."
Marcia mengambil sebuah benda kecil dan berkilau
dari kantong di sabuknya dan menaruhnya di tangan Bocah
412. Bocah 412 menunduk dan melihat sepasang sayap
perak kecil ditaruh di telapak tangannya yang kotor. Sayap-

~207~
sayap itu berkilau ditimpa sinar matahari, dan kelihatan
seolah-olah bisa terbang kapan saja. Bocah 412
memandanginya lebih dekat lagi, lalu melihat huruf-huruf
yang sangat kecil tertera di masing-masing sayap, dalam tinta
emas yang indah. Bocah 412 tahu apa artinya. Dia sedang
memegang sebuah Jimat, namun kali ini bukan sekadar
sepotong kayu-melainkan perhiasan yang indah.
"Beberapa Jimat untuk Magyk yang lebih tinggi bisa
sangat indah," kata Marcia. "Tidak semuanya berbentuk roti
panggang lembek. Aku ingat ketika Alther pertama kali
memperlihatkan jimat ini kepadaku. Kurasa ini salah satu
Jimat paling sederhana dan indah yang pernah kulihat. Dan
aku masih beranggapan begitu."
Bocah 412 memandangi sayap-sayap itu. Di satu
sayap perak tertulis TERBANG BEBAS, dan di sayap satunya
lagi tertulis BERSAMAKU.
Terbang Bebas Bersamaku, kata Bocah 412 dalam
hati; dia sangat suka dengan bunyi kata-kata itu di dalam
benaknya. Kemudian...
Dia tak bisa menahannya.
Dia tidak tahu persis bagaimana dia melakukannya.
Dia sekadar mengucapkan kata-kata itu dalam hati,
membayangkan mimpinya untuk terbang dan...
"Aku tahu kau akan melakukannya!" seru Marcia
gembira. "Aku tahu itu!"
Bocah 412 bertanya-tanya, apa yang dimaksud
Marcia. Sampai disadarinya bahwa dirinya sama tinggi
http://facebook.com/indonesiapustaka

dengan Marcia. Atau bahkan lebih tinggi-malah kini


tubuhnya melayang di atas Marcia. Bocah 412 melihat ke
bawah dengan terkejut, mengira Marcia akan menyuruhnya
berhenti seperti yang dilakukannya tadi malam,
menyuruhnya agar tidak main-main lagi dan turun detik ini
juga, tapi dia lega ketika melihat Marcia justru tersenyum

~208~
lebar dan mata hijaunya berkilat-kilat gembira.
"Mengagumkan!" Marcia menudungi matanya dari
silau sinar matahari, seraya menyipitkan mata untuk melihat
Bocah 412 melayang di atas liang Boggart. "Ini Magyk tingkat
tinggi. Ini keahlian yang butuh waktu bertahun-tahun untuk
dipelajari. Aku benar-benar tidak percaya."
Mungkin seharusnya Marcia tidak mengucapkan itu,
sebab si Bocah 412 juga tidak memercayainya. Tidak terlalu.
Terdengar bunyi kecipak keras ketika Bocah 412
mendarat di tengah liang Boggart.
"Oh! Tidak bisakah Boggart yang malang beristirahat
dengan tenang?" sepasang bola mata hitam kecil berkedip-
kedip kesal dari dalam lumpur.
"Aaah..." Bocah 412 tercekat, berjuang kembali ke
permukaan dan memegangi Boggart.
"Kemarin seharian aku tidak tidur," keluh Boggart
sambil menyeret bocah yang megap-megap itu menuju
tepian liang lumpur. "Berenang mengarungi sungai, matahari
mengenai mataku, tikus menggerutu di telingaku"-Boggart
mendorong Bocah 412 naik ke tepian di samping liang
lumpur-"padahal aku hanya ingin bisa tidur sebentar
keesokan harinya. Tidak mau menerima tamu. Cuma ingin
tidur. Ngerti? Kau baik-baik, Nak?"
Bocah 412 mengangguk, masih megap-megap.
Marcia berlutut dan menyeka wajah Bocah 412
dengan saputangan sutra halus miliknya. Boggart yang rabun
jauh tampak sangat terkejut.
http://facebook.com/indonesiapustaka

"Oh, selamat pagi, Yang Mulia," kata Boggart penuh


hormat. "Tidak lihat Anda ada di sana."
"Selamat pagi, Boggart. Aku minta maaf telah
mengganggumu. Terima kasih banyak atas bantuanmu. Kami
akan pergi sekarang, agar kau bisa istirahat."
"Tidak masalah. Dengan senang hati."

~209~
Kemudian Boggart menenggelamkan diri ke dasar
lumpur, meninggalkan tak lebih dari beberapa gelembung di
permukaan.
Marcia dan Bocah 412 perlahan-lahan berjalan
kembali ke pondok. Marcia memutuskan untuk mengabaikan
keadaan Bocah 412 yang berlumuran lumpur dari ujung
kepala sampai ujung kaki. Ada sesuatu yang ingin
ditanyakannya. Marcia telah mengambil keputusan dan tidak
ingin menunggu.
"Aku ingin tahu," ujarnya, "apakah kau mau
mempertimbangkan untuk menjadi Murid-ku?"
Bocah 412 menghentikan langkahnya dan melongo
memandang Marcia, bagian putih bola matanya tampak
berkilat dari wajahnya yang berlumuran lumpur. Tadi dia
bilang apa?
"Kau bisa menjadi murid pertamaku. Aku belum
pernah menemukan orang yang sesuai."
Bocah 412 hanya bisa memandangi Marcia dengan
tatapan tak percaya.
"Maksudku," kata Marcia, berusaha menjelaskan,
"aku belum pernah menemukan orang dengan percikan
Magyk sampai sekarang ini, dan kau memilikinya. Aku tidak
tahu mengapa kau bisa memilikinya atau bagaimana kau
mendapatkannya, tapi kau memang memilikinya. Dengan
kekuatanmu dan kekuatanku, kupikir kita bisa menghalau
Gelap, sisi Lain itu. Mungkin untuk selamanya. Bagaimana
menurutmu? Maukah kau menjadi Murid-ku?"
http://facebook.com/indonesiapustaka

Bocah 412 terkejut. Bagaimana mungkin dia bisa


membantu Marcia, sang Penyihir LuarBiasa? Marcia pasti
salah paham. Bocah 412 merasa tidak mempunyai kekuatan-
cincin naga itulah yang punya kekuatan Magyk, bukan
dirinya. Meski ingin sekali berkata ya, tapi Bocah 412 tidak
sanggup mengucapkannya.

~210~
Bocah 412 menggeleng.
"Tidak?" Marcia kedengaran kaget. "Maksudmu tidak
mau?
Bocah 412 mengangguk pelan.
"Tidak..." Kali ini Marcia tidak sanggup berkata-kata.
Tak terpikir olehnya bahwa Bocah 412 bakal menolaknya.
Tidak pernah ada orang yang menolak menjadi Murid
Penyihir LuarBiasa. Selain si bodoh Silas, tentu saja.
"Kau sadar apa yang kaukatakan?"
Bocah 412 tidak menjawab. Merasa dirinya hina.
Lagi-lagi dia melakukan kesalahan.
"Aku memintamu mempertimbangkannya lagi," tutur
Marcia dengan suara lebih lembut. Dia memerhatikan betapa
ketakutannya Bocah 412. "Ini keputusan yang penting untuk
kita berdua-dan untuk Kastil juga, Kuharap kau mau
mengubah keputusanmu."
Bocah 412 tidak mengerti bagaimana dia bisa
mengubah keputusannya. Diulurkannya Jimat tadi untuk
dikembalikan pada Marcia. Jimat itu bersinar cemerlang di
tengah telapak tangan Bocah 412 yang berlepotan lumpur.
Kali ini giliran Marcia yang menggeleng.
"Ini tanda bukti penawaranku kepadamu, dan
tawaranku masih berlaku. Alther memberikannya padaku
saat memintaku menjadi Murid-nya. Tentu saja aku langsung
mengiyakannya, tapi aku bisa mengerti kalau ini berbeda
untukmu. Kau butuh waktu untuk memikirkannya. Aku ingin
kau menyimpan Jimat itu sambil mempertimbangkan
http://facebook.com/indonesiapustaka

tawaranku."
Marcia memutuskan untuk mengganti topik
pembicaraan. "Sekarang," katanya buru-buru, "sampai di
mana kehebatanmu menangkap serangga?"
Bocah 412 sangat hebat menangkap serangga. Dia
punya banyak sekali serangga selama bertahun-tahun. Stag,

~211~
si kumbang rusa jantan; Milly, si kaki seribu; dan
Ernie, lipan kesayangannya, tapi dia juga memelihara
laba-laba hitam rumahan dengan kaki berbulu, yang diberi
nama Joe-Kaki-Tujuh. Joe-Kaki-Tujuh tinggal di lubang di
dinding atas ranjangnya. Itu sampai Bocah 412 mencurigai
Joe memakan Ernie, dan kemungkinan seluruh anggota
keluarga Ernie juga. Setelah itu Joe digusur ke kolong ranjang
Komandan Perwira, yang takut pada laba-laba.
Marcia senang sekali dengan jumlah serangga yang
berhasil mereka peroleh. Lima puluh tujuh jenis serangga
sudah cukup, dan itu sudah maksimal yang bisa dibawa
Bocah 412.
"Kita keluarkan Pot Pengawet begitu sampai di
pondok, dan semua serangga ini kita taruh di dalamnya,"
kata Marcia.
Bocah 412 menelan ludah. Jadi, itu sebabnya mereka
ada di sini: selai serangga.
Ketika mengikuti Marcia kembali ke pondok, Bocah
412 berharap perasaan menggelitik yang merayapi
tangannya bukanlah sesuatu yang berkaki banyak.
http://facebook.com/indonesiapustaka

~212~
24. SERDADU SERANGGA
Bau busuk rebusan tikus dan ikan busuk yang sangat
menyengat merebak keluar dari pondok saat Jenna dan
Nicko mendayung Muriel Dua kembali melewati Mott
setelah menghabiskan hari yang panjang di rawa-rawa, dan
sama sekali tidak ada tanda-tanda dari Tikus Pembawa
Pesan.
"Menurutmu tikus itu sampai duluan dan sedang
direbus Bibi Zelda untuk makan malam, tidak?" Nicko
tertawa saat mereka mengikat kano sambil berpikir-pikir
apakah tindakan bijksana kalau mereka memberanikan diri
masuk.
"Oh, jangan begitu, Nicko. Aku suka pada Tikus
Pembawa Pesan. Kuharap Ayah mengirimnya kembali
secepatnya."
Sambil membekap mulut dan hidung sekuat-kuatnya,
Jenna dan Nicko berjalan memasuki pondok. Dengan ragu-
ragu bercampur takut, Jenna mendorong pintu hingga
terbuka.
"Iiihhh!"
Di dalam baunya malah semakin menyengat. Selain
aroma rebusan tikus dan ikan busuk yang menyengat, masih
ditambah bau tajam kotoran kucing yang sudah lama.
"Masuklah, manis. Kami baru mulai memasak,"
terdengar suara Bibi Zelda dari dapur; Jenna baru menyadari,
dari sanalah bau busuk itu berasal.
http://facebook.com/indonesiapustaka

Kalau itu untuk makan malam, pikir Nicko, lebih baik


dia makan kaus kakinya sendiri.
"Kalian datang tepat pada waktunya," kata Bibi Zelda
ceria.
"Oh, bagus," sahut Nicko, mengira-ngira apakah Bibi
Zelda masih punya indra penciuman atau daya

~213~
penciumannya sudah mati akibat bertahun-tahun merebus
kol.
Jenna dan Nicko menghampiri dapur dengan enggan,
mengira-ngira makan malam seperti apa yang aromanya
begitu busuk.
Yang membuat mereka kaget sekaligus lega, ternyata
itu bukan makan malam. Dan bahkan bukan Bibi Zelda yang
memasak. Tapi Bocah 412.
Bocah 412 kelihatan sangat aneh. Dia memakai
setelan rajutan warna-warni yang kebesaran, terdiri atas
baju hangat kain perca kebesaran dan celana pendek rajut
yang sangat lemas. Tapi topi merahnya masih melekat erat di
kepalanya dan mengering perlahan dalam hawa panas dapur,
sementara sisa pakaiannya mengering ada di dekat panasnya
api.
Akhirnya Bibi Zelda memenangkan pertarungan
menyuruh mandi, itu pun karena si Bocah 412 merasa sangat
tidak nyaman sewaktu kembali dalam keadaan berlepotan
lumpur lengket dari liang Boggart, sehingga boleh dikatakan
bocah itu cukup senang membersihkan diri di gubuk
pemandian. Tapi dia tetap tidak mau melepaskan topi
merahnya. Bibi Zelda kalah untuk yang satu ini. Tetap saja,
dia senang akhirnya bisa membersihkan baju Bocah 412, dan
menurutnya bocah itu kelihatan sangat manis memakai
setelan rajutan lama milik Silas, yang pernah dipakai Silas
ketika masih kecil. Bocah 412 merasa dirinya terlihat sangat
bodoh, dan dia tidak mau melihat Jenna saat gadis itu masuk.
http://facebook.com/indonesiapustaka

Bocah 412 berkonsentrasi penuh mengaduk cairan


kental lengket berbau busuk itu, masih belum yakin
sepenuhnya bahwa Bibi Zelda tidak sedang membuat selai
serangga, apalagi Bibi Zelda duduk di depan meja dapur
dengan setumpuk botol selai kosong di hadapannya. Dia
sibuk membuka tutup botol, lalu memberikan botolnya

~214~
kepada Marcia yang duduk di seberang meja dan
mengeluarkan Jimat-jimat dari sebuah buku mantra yang
sangat tebal berjudul:
Pengawet Serdadu Serangga 500 Jimat
Tiap Serangga Dijamin Identik dan 100 persen
Efektif
Ideal untuk Penyihir Masa Kini yang Mengutamakan
Keselamatan
"Kemari, duduk sini," kata Bibi Zelda, menyediakan
tempat di depan meja untuk mereka. "Kami sedang membuat
Pot Pengawet. Marcia sedang membereskan Jimat, dan
kalian bisa membereskan serangganya kalau mau."
Jenna dan Nicko duduk di depan meja, bernapas
hanya lewat mulut. Bau itu berasal dari panci berisi cairan
kental hijau terang berbau busuk yang sedang diaduk pelan
oleh Bocah 412 dengan konsentrasi penuh dan hati-hati.
"Ini dia. Ini serangga-serangganya." Bibi Zelda
mendorong sebuah mangkuk besar ke arah Jenna dan Nicko.
Jenna mengintai ke dalamnya. Mangkuk itu berisi serangga
melata dan merayap dari berbagai ukuran dan bentuk.
"Iih." Jenna bergidik; dia sama sekali tidak suka
binatang melata. Nicko juga tidak terlalu senang. Sejak Edd
dan Erik menjatuhkan seekor kaki seribu di lehernya ketika
masih kecil, Nicko menghindari makhluk apa pun yang
berlarian cepat atau merayap.
Tapi Bibi Zelda tidak memerhatikannya. "Omong
kosong, mereka cuma binatang mungil berkaki banyak. Dan
http://facebook.com/indonesiapustaka

mereka jauh lebih takut pada kalian dibandingkan kalian


pada mereka. Sekarang, pertama-tama Marcia akan
mengedarkan Jimat. Masing-masing dari kita memegangi
Jimat supaya serangganya Menera kita dan mengenali kita
saat dilepaskan, kemudian dia akan menaruh Jimatnya ke
dalam stoples. Kalian berdua bisa menambahkan seekor

~215~
serangga dan memberikannya pada, eh, Bocah 412.
Dia akan menambahkan Pengawet ke dalam stoples,
lalu aku akan mengencangkan tutupnya rapat-rapat. Dengan
begitu, pekerjaan ini bisa diselesaikan dengan cepat."
Dan itulah yang mereka lakukan, hanya saja akhirnya
Jenna memilih mengencangkan tutup stoples, setelah
serangga pertama merayap di lengannya dan baru berhasil
dihalau setelah Jenna melonjak-lonjak dan menjerit kencang.
Lega rasanya sewaktu sampai pada stoples terakhir.
Bibi Zelda membuka tutup stoples, lalu memberikannya pada
Marcia, yang membalik halaman buku mantra untuk
mengeluarkan Jimat berbentuk perisai kecil. Diedarkannya
Jimat itu hingga semua orang berkesempatan untuk
memegangnya selama beberapa saat, kemudian
dijatuhkannya ke dalam stoples selai, lalu stoples itu
diberikan kepada Nicko. Nicko tidak menyukai tugas ini. Di
dasar mangkuk bersembunyi serangga terakhir, seekor kaki
seribu merah besar, sama seperti yang pernah jatuh di
lehernya bertahun-tahun yang lalu. Binatang itu berlari
ketakutan berputar-putar mengelilingi mangkuk, mencari
tempat bersembunyi. Kalau saja binatang itu tidak terlalu
membuat Nicko bergidik, mungkin dia bakal merasa kasihan
padanya, tapi yang ada di benak Nicko hanyalah dia harus
mengangkatnya. Marcia sedang menunggu dengan Jimat
yang sudah berada di dalam stoples. Bocah 412 sudah siap
dengan secedok penuh cairan lengket Pengawet yang
terakhir, dan semua orang menunggu.
http://facebook.com/indonesiapustaka

Nicko menarik napas dalam-dalam, memejamkan


mata dan memasukkan tangannya ke dalam mangkuk. Kaki
seribu itu melihatnya dan berlari ke arah berlawanan. Nicko
meraba-raba ke sekeliling mangkuk, tapi kaki seribu itu
terlalu gesit baginya. Binatang itu berlarian ke sana kemari,
sampai menemukan tempat berlindung, yaitu lengan baju

~216~
Nicko yang menggantung, dan berlari ke arah sana.
"Kau berhasil menangkapnya!" ujar Marcia.
"Binatang itu masuk ke lengan bajumu. Cepat, masukkan ke
stoples." Tanpa berani melihat, dengan panik Nicko
mengibas-ngibaskan lengan bajunya di atas stoples dan
menghantamnya sampai terguling. Jimat melayang ke atas
meja, jatuh ke lantai, lalu Menghilang.
"Ya ampun," kata Marcia. "Ini agak tidak stabil."
Dirogohnya Jimat lain dan cepat-cepat dijatuhkannya ke
dalam stoples, lupa untuk Menera-nya.
"Lekas, lakukan," kata Marcia kesal. "Pengawet itu
cepat menguap. Ayolah."
Marcia mengulurkan tangannya dan dengan tangkas
menyentil kaki seribu itu dari lengan baju Nicko, langsung ke
dalam stoples. Binatang itu langsung ditutupi dengan
Pengawet lengket hijau oleh Bocah 412. Jenna
mengencangkan tutup stoplesnya rapat-rapat, menekan
stoples itu keras-keras di atas meja, dan semua orang
menyaksikan Pot Pengawet terakhir berubah.
Kaki seribu itu terbaring di dalam Pot Pengawet
dalam keadaan kaget. Tadinya binatang itu sedang tidur di
balik batu favoritnya ketika Sesuatu yang Besar dengan Topi
Merah memungut batu itu dan mengangkatnya tinggi-tinggi
ke Udara. Tapi itu belum apa-apa. Si kaki seribu, yang
merupakan binatang penyendiri, dilempar ke dalam
setumpukan serangga berisik, kotor, dan kasar tidak tahu
aturan yang mengimpit serta mendorongnya, bahkan
http://facebook.com/indonesiapustaka

berusaha menggigit kaki-kakinya. Kaki seribu itu tidak suka


ada binatang lain mengganggu kakinya. Binatang itu punya
banyak kaki, dan setiap kakinya harus tetap dalam keadaan
baik supaya bisa berfungsi; kalau tidak, gawat akibatnya bagi
si kaki seribu. Satu kaki saja tidak berfungsi dengan baik,
habislah dia-seekor serangga bisa berlari berputar-putar tak

~217~
ada hentinya. Maka si kaki seribu bergerak ke arah dasar
tumpukan serangga hina itu dan ngambek di situ, sampai dia
tiba-tiba menyadari bahwa semua serangga lain sudah tidak
ada dan tidak ada tempat untuk bersembunyi. Semua kaki
seribu tahu kalau tidak ada tempat untuk bersembunyi
berarti kiamat, dan sekarang si kaki seribu tahu bahwa itu
benar adanya karena di sinilah dia berada kini, mengapung di
cairan lengket hijau pekat, dan sesuatu yang mengerikan
sedang terjadi pada dirinya. Binatang itu mulai kehilangan
kakinya satu demi satu.
Bukan hanya itu, tapi kini tubuh panjang dan
rampingnya mulai berangsur-angsur menjadi pendek dan
gemuk, dan kini si kaki seribu berbentuk seperti sebuah
segitiga gempal dengan kepala lancip. Di punggungnya
mencuat sepasang sayap hijau berlapis baja, dan bagian
depan tubuhnya tertutup sisik hijau tebal. Dan seolah
keadaannya masih belum cukup buruk, kini si kaki seribu
hanya punya empat kaki. Empat kaki hijau gemuk. Itu pun
kalau masih bisa disebut kaki. Keempat kaki itu tidak
kelihatan seperti kaki baginya. Dua kaki di bagian atas dan
dua kaki di bagian bawah tubuhnya. Dua kaki atasnya lebih
pendek daripada kaki bawahnya. Kaki-kaki itu memiliki lima
benda tajam di masing-masing ujung-nya, yang tidak bisa
digerakkan, dan salah satu kaki atasnya memegang tongkat
logam tajam kecil. Kedua kaki bawahnya memiliki bagian
yang datar dan hijau di ujungnya, dan masing-masing
memiliki lima bagian hijau runcing lagi di atasnya. Benar-
http://facebook.com/indonesiapustaka

benar bencana. Bagaimana bisa ada makhluk hidup dengan


empat kaki gemuk yang lancip di ujungnya? Binatang jenis
apa itu?
Binatang jenis itu, meski si kaki seribu tidak
mengetahuinya, disebut Serdadu Serangga.
Si mantan kaki seribu, yang kini sudah menjadi

~218~
Serdadu Serangga yang sempurna, tergeletak tergantung-
gantung di dalam Pengawet hijau pekat. Serangga itu
bergerak pelan, seakan sedang mencoba bentuk barunya.
Raut mukanya tampak kebingungan sewaktu menatap ke
luar, memandang dunia lewat kedua mata hijaunya,
menunggu saat akan dibebaskan.
"Serdadu Serangga yang sempurna," ujar Marcia
bangga, sambil mengacungkan stoples selai ke arah cahaya
dan mengagumi binatang yang tadinya seekor kaki seribu.
"Ini serdadu terbaik yang pernah kita buat. Pekerjaan bagus,
teman-teman."
Tak lama kemudian, lima puluh stoples selai
dijejerkan di sepanjang kusen jendela, menjaga pondok.
Stoples-stoples itu merupakan pemandangan mengerikan,
penghuninya yang berwarna hijau melayang-layang di dalam
cairan lengket hijau, melewatkan waktu dengan tidur sampai
seseorang membuka tutup stoples selai mereka, lalu
membebaskan mereka. Ketika Jenna bertanya pada Marcia
apa yang terjadi kalau tutup stoplesnya dibuka, Marcia
mengatakan padanya bahwa Serdadu Serangga akan keluar
dan membelamu sampai titik darah penghabisan, atau
sampai kau berhasil menangkapnya dan mengembalikannya
ke dalam stoples, yang biasanya tidak terjadi. Serdadu
Serangga yang sudah dibebaskan tidak bakal mau masuk ke
dalam stoplesnya lagi.
Sementara Bibi Zelda dan Marcia membereskan pot-
pot dan panci tadi, Jenna duduk di dekat pintu,
http://facebook.com/indonesiapustaka

mendengarkan kesibukan di dalam dapur. Saat hari


menjelang senja, Marcia mengamati lima puluh tujuh
kubangan cahaya hijau yang memantulkan sinarnya ke lantai
batu pucat, dan melihat di dalam setiap stoples satu
bayangan kecil yang sedang bergerak pelan dan menunggu
saatnya dibebaskan.

~219~
25. PENYIHIR WENDRON
Saat tengah malam, semua orang di dalam pondok
sudah tidur, kecuali Marcia. Angin timur bertiup lagi, kali ini
membawa salju. Di sepanjang kusen jendela, Pot-Pot
Pengawet berdentingan sedih saat binatang-binatang di
dalamnya bergerak-gerak, terganggu badai salju yang tengah
bertiup di luar.
Marcia sedang duduk di depan meja Bibi Zelda,
dengan sebatang lilin kecil berkelap-kelip agar tidak
membangunkan orang-orang yang tidur di dekat perapian.
Marcia terhanyut dalam bukunya, Cara Menghancurkan
Kuasa Jahat.
Di luar, mengapung tepat di bawah permukaan Mott
agar tidak terkena terpaan salju, si Boggart menjalankan
tugas jaga tengah malam sendirian.
Nun jauh di dalam Hutan, Silas juga siap siaga berjaga
malam di tengah hujan salju yang cukup deras hingga
menyulitkan perjalanannya melewati ranting-ranting
meranggas pepohonan. Silas berdiri gemetar kedinginan di
bawah pohon elm tinggi dan kokoh, menanti kedatangan
Morwenna Mould.
Morwenna Mould dan Silas sudah lama saling
mengenal. Dulu, sewaktu Silas masih seorang Pelajar Muda,
dia diutus Alther pergi malam-malam ke tengah Hutan ketika
didengarnya salak menyeramkan segerombolan wolverine.
Silas tahu apa artinya itu: mereka telah menemukan mangsa
http://facebook.com/indonesiapustaka

untuk malam ini, dan tengah mengepungnya makin rapat dan


makin rapat untuk memangsanya. Silas merasa kasihan pada
binatang itu. Dia tahu betul betapa menakutkan dikelilingi
lingkaran mata kuning berkilat wolverine. Dia pernah
mengalaminya, dan tidak pernah melupakannya, tapi sebagai
Penyihir, dia beruntung. Waktu itu dia merapalkan mantra

~220~
Membekukan, lalu bergegas pergi.
Akan tetapi, pada malam itu, Silas mendengar suara
lamat-lamat di kepalanya. Tolong aku....
Alther mengajarinya memerhatikan hal-hal semacam
itu, maka Silas mengikuti ke arah mana suara itu
menuntunnya, dan ternyata dia dibawa ke bagian luar
lingkaran wolverine. Sedangkan di dalam lingkarannya
berdiri seorang penyihir wanita yang masih muda,
Membeku.
Awalnya Silas mengira penyihir itu hanya mematung
karena ketakutan. Wanita itu berdiri di tengah-tengah
lingkaran, matanya terbelalak ketakutan, rambutnya kusut
masai sehabis berlari di Hutan untuk meloloskan diri dari
kawanan wolverine, dan jubah hitamnya yang berat
menutup rapat tubuhnya.
Baru beberapa waktu kemudian Silas menyadari
bahwa, dalam keadaan panik, penyihir muda itu malah
Membekukan dirinya sendiri, bukannya membekukan
kawanan wolverine. Jadilah dirinya makan malam paling
mudah bagi kawanan itu, sejak terakhir kali mereka
mendapat mangsa mudah pada malam Laskar Pemuda
melakukan latihan Berani-atau-Mati. Di depan mata Silas,
serigala-serigala itu mulai mendekat untuk menghabisi
mangsa mereka. Perlahan dan sengaja mengulur waktu,
sambil membayangkan menikmati mangsa yang lezat,
mereka mengurung si penyihir muda dalam lingkaran yang
semakin rapat. Silas menunggu sampai bisa melihat semua
http://facebook.com/indonesiapustaka

kawanan serigala, kemudian cepat-cepat Membekukan


seluruh anggota kawanan. Karena tidak yakin bagaimana
cara Mematahkan mantra penyihir muda itu, Silas
mengangkat tubuh wanita itu, yang untungnya adalah salah
satu Penyihir Wendron bertubuh kecil dan ringan, lalu
menggendongnya untuk menyelamatkannya. Kemudian Silas

~221~
menungguinya sepanjang malam sampai mantra
Membekunya hilang.
Morwenna Mould tidak pernah melupakan
pertolongan Silas. Sejak saat itu, kapan saja Silas bertualang
ke Hutan, dia tahu bahwa Para Penyihir Wendron berada di
pihaknya. Dia juga tahu Morwenna Mould siap menolong jika
dia membutuhkannya. Silas cukup menunggu di samping
pohon penyihir itu saat tengah malam. Dan itulah yang kini
dilakukannya, setelah sekian tahun lamanya.
"Wah, wah, ini dia Penyihir pemberani
kesayanganku. Silas Heap, apa yang membawamu datang
kemari malam ini dari semua malam, pada Malam
Pertengahan Musim Dingin kami?" Suara pelan itu, yang
diucapkan dengan aksen lembut Hutan yang seperti
gemeresik dedaunan di pepohonan, terdengar dari dalam
kegelapan.
"Morwenna, kaukah itu?" tanya Silas, agak gugup,
seraya melompat berdiri dan melihat ke sekelilingnya.
"Tentu saja," sahut Morwenna yang muncul dari
kegelapan malam dan dikelilingi derasnya hujan salju. Jubah
bulu hitamnya penuh dengan salju, begitu pula rambut
panjang hitamnya yang diikat dengan ikat kepala kulit
tradisional hijau Penyihir Wendron. Matanya yang biru
terang berkilat dalam kegelapan, seperti mata semua
Penyihir; sepasang mata itu sedari tadi mengamati Silas
berdiri di bawah pohon elm cukup lama, sebelum Morwenna
memutuskan sudah aman untuk memperlihatkan diri.
http://facebook.com/indonesiapustaka

"Halo, Morwenna," sapa Silas, mendadak merasa


malu. "Kau sama sekali tidak berubah." Sebenarnya
Morwenna cukup banyak berubah. Tubuhnya sudah jauh
lebih besar sejak terakhir kali Silas bertemu dengannya. Silas
pasti tidak sanggup lagi mengangkat tubuhnya dan
menggendongnya keluar dari lingkaran kawanan serigala

~222~
yang meneteskan air liur.
"Kau pun begitu, Silas Heap. Kulihat rambut
jeramimu yang acak-acakan masih ada, dan mata hijau tua
yang indah itu. Apa yang bisa kubantu? Aku menunggu lama
sekali untuk membalas kebaikanmu. Penyihir Wendron
tidak pernah lupa."
Silas merasa sangat gugup. Dia tidak yakin apa
sebabnya, tapi jelas ada kaitannya dengan sosok Morwenna
yang berdiri begitu dekat dengannya. Silas berharap telah
melakukan hal yang benar dengan menemui Morwenna.
"Aku, eh... kau ingat putra sulungku Simon?"
"Well, Silas, aku ingat kau punya bayi laki-laki
bernama Simon. Kau menceritakan semua tentang dirinya
padaku ketika aku Melumer. Saat itu kuingat dia sedang
bermasalah dengan giginya. Dan kau tidak bisa tidur.
Bagaimana kabar giginya sekarang?"
"Gigi? Oh, baik, sejauh yang kutahu. Sekarang usianya
delapan belas tahun, Morwenna. Dan dua malam yang lalu
dia menghilang di Hutan."
"Ah, itu tidak bagus. Ada Hal-Hal dari luar di Hutan
saat ini. Hal-Hal yang keluar dari Kastil. Hal-hal yang belum
pernah kami lihat. Tidak baik bagi seorang anak berada di
antara mereka. Begitu pula halnya dengan Penyihir, Silas
Heap." Morwenna meletakkan tangannya di lengan Silas.
Silas terlonjak.
Morwenna memelankan suaranya hingga
kedengaran berbisik. "Kami para Penyihir sangat peka, Silas."
http://facebook.com/indonesiapustaka

Silas hanya berhasil mengeluarkan pekikan pelan


sebagai jawabannya. Morwenna benar-benar kuat. Silas lupa
betapa Morwenna sudah tumbuh menjadi Penyihir Wendron
dewasa yang PenuhKekuatan.
"Kami tahu Kuasa Jahat mengerikan telah
menyelubungi Kastil. Bahkan masuk ke dalam Menara

~223~
Penyihir.
Kekuatan itulah yang mungkin telah Menangkap
putra-mu.
"Tadinya aku berharap kau melihatnya," ujar Silas
sedih.
"Tidak," sahut Morwenna. "Tapi aku akan
mencarinya. Aku akan menemukannya, aku akan
mengembalikannya padamu dengan selamat, jangan takut."
"Terima kasih, Morwenna," ujar Silas dengan penuh
terima kasih.
"Tidak masalah, Silas, dibandingkan apa yang sudah
kaulakukan untukku. Aku sangat bersyukur bisa berada di
sini untuk menolongmu. Jika aku bisa melakukannya."
"Jika... jika ada kabar, kau bisa menemukan kami di
rumah pohon Galen. Untuk sementara aku tinggal di sana
bersama Sarah dan anak-anak."
"Kau punya anak laki-laki lain?"
"Eh, ya. Ada lima anak lagi. Kami punya tujuh anak,
tapi..."
"Tujuh. Suatu anugerah. Putra ketujuh dari putra
ketujuh. Sungguh Magykal."
"Dia sudah meninggal."
"Ah. Maafkan aku, Silas. Sungguh menyedihkan. Bagi
kami semua. Andai dia masih ada." "Ya."
"Aku akan meninggalkanmu sekarang, Silas. Rumah
pohon dan semua yang ada di dalamnya berada dalam
perlindungan kami, sepenuhnya, dengan adanya Kuasa Jahat
http://facebook.com/indonesiapustaka

yang melanggar batas. Dan besok, semua yang ada di rumah


pohon kami undang untuk menghadiri Jamuan Pertengahan
Musim Dingin."
Silas terharu.
"Terima kasih, Morwenna. Kau baik sekali."
"Sampai jumpa, Silas. Semoga kau diberkati dan

~224~
semoga kau menikmati Acara Jamuan besok." Setelah itu si
Penyihir Wendron menghilang kembali dalam kegelapan
Hutan, meninggalkan Silas berdiri seorang diri di bawah
pohon elm yang tinggi.
"Selamat tinggal, Morwenna," Silas berbisik ke dalam
kegelapan dan berjalan bergegas melintasi salju, kembali ke
rumah pohon tempat Sarah dan Galen menunggu untuk
mendengar apa yang telah terjadi.
Keesokan harinya, setelah sampai di rumah pohon,
Silas memutuskan bahwa Morwenna memang benar. Simon
pasti Ditangkap di Kastil. Firasatnya mengatakan Simon
berada di sana.
Sarah tidak yakin.
"Aku tidak mengerti mengapa kau sangat percaya
pada penyihir itu, Silas. Lagi pula, sepertinya dia juga tidak
tahu pasti. Bagaimana kalau Simon masih ada di dalam Hutan
dan kau yang akhirnya malah Ditangkap. Lalu bagaimana?"
Tapi Silas tidak terpengaruh. Dia Mengubah jubahnya
menjadi tunik bertudung abu-abu pendek yang biasa dipakai
pekerja, mengucapkan selamat tinggal pada Sarah dan anak-
anak, lalu merosot turun dari rumah pohon. Aroma masakan
Jamuan Pertengahan Musim Dingin Penyihir Wendron
nyaris membujuknya untuk tetap tinggal, namun dengan
tegas dia berangkat mencari Simon.
"Silas!" panggil Sally ketika Silas sudah menjejakkan
kakinya ke tanah Hutan. "Tangkap!"
Sally melemparkan JimatPelindung yang diberikan
http://facebook.com/indonesiapustaka

Marcia kepadanya.
Silas menangkapnya. "Terima kasih, Sally."
Sarah mengamati Silas memakai tudung sampai
menutupi matanya, lalu berangkat menembus Hutan, menuju
Kastil, kata-katanya sebelum pergi diucapkannya tanpa
menengok ke belakang, "Jangan khawatir. Aku akan segera

~225~
kembali. Bersama Simon."
Tapi Sarah khawatir.
Sedangkan Silas tidak.
http://facebook.com/indonesiapustaka

~226~
26. JAMUAN PERTENGAHAN MUSIM DINGIN
"Tidak, terima kasih, Galen. Aku tidak mau pergi ke
Jamuan Pertengahan Musim Dingin para penyihir itu. Kami
para Penyihir tidak merayakannya," tutur Sarah pada Galen
setelah Silas pergi pagi itu.
"Baiklah, aku saja yang pergi," sahut Galen, "dan
kukira sebaiknya kita semua datang. Kau tidak bisa menolak
undangan Penyihir Wendron begitu saja, Sarah. Suatu
kehormatan diminta untuk datang. Aku malah heran,
bagaimana Silas berhasil mendapatkan undangan untuk kita
semua."
Jawaban Sarah hanyalah "Humph."
Tapi ketika senja semakin larut dan aroma lezat
wolverine panggang menyeruak sampai ke Hutan dan
melayang naik ke rumah pohon, anak-anak mulai gelisah.
Galen hanya makan sayuran, akar-akaran, dan kacang-
kacangan, sama persis seperti kelinci-kelinci peliharaan
mereka di rumah, begitulah komentar Erik dengan suara
lantang, setelah pertama kali bersantap bersama Galen.
Salju turun semakin deras di sela-sela pepohonan
begitu Galen membuka pintu jebak rumah pohon. Dengan
menggunakan sistem katrol pintar yang dirakit sendiri,
diturunkannya tangga kayu panjang sampai menyentuh
hamparan salju yang kini sudah menyelimuti permukaan
tanah. Rumah pohon itu sendiri dibangun di atas serangkaian
panggung, melintasi tiga pohon ek tua, dan sudah menjadi
http://facebook.com/indonesiapustaka

bagian dari pohon-pohon ek itu sejak ketiga pohon tersebut


mencapai tinggi maksimumnya, beratus-ratus tahun yang
lalu. Beraneka ragam pondok sudah pernah didirikan di atas
panggung itu selama bertahun-tahun. Tertutup rapat oleh
tanaman rambat dan bercampur-baur menjadi satu dengan
pepohonan, hingga tidak kelihatan dari permukaan tanah

~227~
Hutan.
Sam, Edd dan Erik, serta Jo-jo berbagi pondok tamu
di puncak pohon yang di tengah, dan mereka mempunyai tali
sendiri yang menjuntai sampai ke Hutan. Sementara mereka
bertengkar untuk menentukan siapa yang pertama akan
menuruni tali itu, Galen, Sarah, dan Sally mengambil jalan
keluar yang lebih tenang lewat tangga utama.
Galen sudah berpakaian rapi untuk pergi ke Jamuan
Pertengahan Musim Dingin. Dia pernah diminta datang satu
kali bertahun-tahun yang lalu, setelah menyembuhkan anak
seorang penyihir, dan dia tahu acara itu sangat penting. Galen
adalah wanita bertubuh kecil, sedikit lekang dimakan cuaca
setelah bertahun-tahun hidup di Hutan. Rambut merah
kusutnya dipotong pendek, mata cokelatnya ceria, dan
biasanya dia memakai tunik pendek hijau sederhana, legging,
dan jubah. Tapi hari ini dia memakai gaun Jamuan
Pertengahan Musim Dingin miliknya.
"Ya ampun, Galen, kau repot-repot sekali
berdandan," komentar Sarah, sedikit kurang suka. "Aku
belum pernah melihat gaun itu. Cukup... lumayan bagus juga."
Galen tidak sering keluar, tapi saat keluar, dia benar-
benar memerhatikan pakaiannya. Gaunnya kelihatan seperti
terbuat dari ratusan daun berwarna-warni dengan sabuk
hijau mengilap.
"Oh, terima kasih," sahut Galen, "aku sendiri yang
membuatnya."
"Sudah kukira," kata Sarah.
http://facebook.com/indonesiapustaka

Sally Mullin mendorong tangga kembali ke pintu


jebak, dan rombongan kecil itu berangkat melintasi Hutan,
mengikuti aroma lezat wolverine panggang.
Galen membimbing mereka melewati jalan setapak
Hutan yang tertutup salju tebal yang baru turun, serta bekas
jejak kaki binatang berbagai bentuk dan ukuran yang malang

~228~
melintang. Setelah susah payah melewati jalan setapak, parit,
dan alur yang menyesatkan, mereka sampai ke tempat yang
dulunya merupakan lubang galian untuk atap Kastil. Di
tempat inilah sekarang Pertemuan Penyihir Wendron
dilangsungkan.
Tiga puluh sembilan penyihir, semua memakai jubah
merah Jamuan Pertengahan Musim Dingin, berkumpul
mengelilingi api unggun yang berkobar di tengah lubang
galian. Di permukaan tanah terhampar tumbuhan hijau yang
baru dipotong, bertaburkan salju yang jatuh perlahan di
sekitarnya, banyak yang meleleh dan bergemeletak karena
panasnya api. Sudah tercium aroma tajam makanan pedas
semerbak di udara: menerbitkan air liur, wolverine sedang
dipanggang, kelinci direbus di panci besar yang bergolak, dan
tupai dibakar di oven bawah tanah. Sebuah meja panjang
dipenuhi tumpukan segala macam permen dan makanan
pedas. Semua makanan ini merupakan hasil barter Para
Penyihir dengan Para Pedagang dari Utara, dan mereka
menyimpannya khusus untuk acara ini, hari terpenting
dalam satu tahun. Anak-anak lelaki Sarah terbelalak kagum.
Seumur hidup mereka belum pernah melihat begitu banyak
makanan di satu tempat. Bahkan Sarah harus mengakui pada
dirinya sendiri bahwa pemandangan itu memang
mengesankan.
Morwenna Mould melihat mereka menunggu
kebingungan di dekat pintu masuk lubang galian.
Diangkatnya jubah bulu merahnya, lalu dia berjalan
http://facebook.com/indonesiapustaka

menghampiri untuk menyambut mereka.


"Selamat datang, kalian semua. Mari bergabung
bersama kami."
Para penyihir yang berkumpul menepi memberi
jalan pada Morwenna, sang Ibu Penyihir yang mengawal
tamu-tamunya yang terkagum-kagum menuju tempat

~229~
terbaik di dekat api unggun.
"Aku senang sekali akhirnya bisa berjumpa
denganmu, Sarah." Morwenna tersenyum. "Aku merasa
seperti sudah mengenalmu. Silas bercerita banyak tentang
dirimu pada malam dia menyelamatkan aku."
"Benarkah?" tanya Sarah.
"Oh, ya. Dia bercerita tentang kau dan si bayi
sepanjang malam." "Sungguh?"
Morwenna merangkul bahu Sarah. "Kami semua
sedang mencari putramu. Aku yakin semuanya akan
berakhir baik. Begitu pula tiga lainnya yang berada jauh
darimu saat ini. Ketiganya juga akan baik-baik saja di sana."
"Tiga lainnya?" tanya Sarah.
"Ketiga anakmu yang lain."
Sarah cepat-cepat menghitung. Kadang dia bahkan
tidak ingat berapa banyak jumlah mereka.
"Dua," sahutnya, "dua anakku yang lain."
Jamuan Pertengahan Musim Dingin berlangsung
sampai larut malam, dan setelah minum Bir Buatan Penyihir
cukup banyak, Sarah benar-benar melupakan rasa
khawatirnya tentang Simon dan Silas. Sialnya, kekhawatiran
itu kembali diingatnya keesokan harinya, diiringi sakit
kepala yang parah.
Hari Jamuan Pertengahan Musim Dingin Silas secara
keseluruhan lebih tenang.
Silas mengambil jalur tepi sungai menyusuri bagian
luar Hutan, kemudian memutari dinding-dinding Kastil, dan
http://facebook.com/indonesiapustaka

mengikuti terpaan salju dingin, Silas menuju Gerbang Utara.


Dia ingin sampai ke daerah yang dikenalnya sebelum
memutuskan harus berbuat apa. Silas menarik tudung abu-
abunya hingga menutupi mata hijau Penyihir-nya, menarik
napas dalam-dalam, lalu menyeberangi jembatan tarik yang
tertutup salju, menuju Gerbang Utara.

~230~
Gringe sedang bertugas di pos gerbang, dan dia
sedang sangat marah. Banyak masalah terjadi dalam keluarga
Gringe akhir-akhir ini, dan sepanjang pagi Gringe
memikirkan masalah rumah tangganya.
"Oi, kau," gerutu Gringe, mengentakkan kakinya di
salju yang dingin, "cepat jalan. Kau terlambat untuk
pembersihan jalan wajib."
Silas bergegas.
"Nanti dulu!" geram Gringe. "Kau harus bayar satu
groat."
Silas merogoh-rogoh sakunya dan mengeluarkan
satu groat, lengket dengan sedikit sisa ceri dan sayur lobak
buatan Bibi Zelda yang disumpalkan ke sakunya supaya
tidak perlu dimakannya. Gringe mengambil uang satu groat
itu, lalu mengendusnya curiga, kemudian digosok-
gosokkannya di rompinya, lalu disimpannya. Mrs. Gringe
kebagian tugas yang "menyenangkan" setiap malam, yaitu
mencuci uang yang lengket.
"Eeh, apa aku pernah mengenalmu?" seru Gringe
pada Silas yang bergegas lewat.
Silas menggeleng.
"Pesta dansa Morris?"
Silas menggeleng lagi serta terus berjalan. "Pelajaran
meniup seruling?"
"Tidak!" Silas menyelinap ke balik bayang-bayang,
lalu menghilang di lorong.
"Aku kenal dia, kok," gumam Gringe pada dirinya
http://facebook.com/indonesiapustaka

sendiri. "Dan dia juga bukan pekerja. Tidak dengan mata


hijau terang seperti ulat bulu di ember batu bara." Gringe
berpikir selama beberapa saat. "Itu Silas 'eap! Dia berani
sekali datang ke sini. Akan segera kukeluarkan dia."
Tidak butuh waktu lama bagi Gringe untuk
menemukan Pengawal yang lewat, dan segera saja Wali

~231~
Utama diberitahu tentang kembalinya Silas ke Kastil. Namun
meski sudah berusaha keras, dia tidak bisa menemukan Silas.
JimatPelindung milik Marcia melakukan tugasnya dengan
baik.
Sementara itu Silas sudah berlari cepat-cepat masuk
ke Rumah Besar, bersyukur bisa lolos dari kejaran Gringe
dan hujan salju. Dia tahu mesti ke mana; tidak yakin apa
sebabnya, tapi dia ingin melihat rumah lamanya sekali lagi.
Silas menyelinap ke balik koridor gelap yang sudah tidak
asing lagi. Dia senang dengan penyamarannya, karena tidak
ada orang yang memerhatikan pekerja kelas rendahan, tapi
baru sekarang Silas menyadari betapa mereka sangat tidak
dihormati. Tidak ada orang yang minggir untuk memberinya
jalan. Orang-orang mendorongnya supaya minggir,
membiarkan pintu-pintu dibanting di depan wajahnya, dan
dua kali dengan kasar dia disuruh membersihkan jalan.
Mungkin, pikir Silas, menjadi Penyihir Biasa tidaklah terlalu
buruk.
Pintu menuju ruangan keluarga Eleap terbuka lebar
menyedihkan. Sepertinya pintu itu tidak mengenali Silas saat
dia berjingkat masuk ke dalam ruangan tempat dirinya
pernah menghabiskan sebagian besar dari dua puluh lima
tahun hidupnya. Silas duduk di bangku favoritnya dan
mengamati ruangan itu dengan sedih, tenggelam dalam
pikirannya. Aneh, ruangan itu sekarang kelihatan kecil,
karena kosong tidak ada anak-anak, suara, dan Sarah yang
mengurus berbagai urusan sehari-hari. Ruangan itu juga
http://facebook.com/indonesiapustaka

kelihatan sangat kotor memalukan, bahkan untuk Silas, yang


tidak pernah keberatan ada sedikit kotoran di sana-sini.
"Hidup mereka menyedihkan, kan? Penyihir-
penyihir menjijikkan. Tidak pernah ada waktu untuk diri
mereka sendiri," tutur sebuah suara parau. Silas celingak-
celinguk, lalu melihat seorang pria bertubuh besar dan tegap

~232~
berdiri di tengah pintu. Di belakangnya Silas bisa melihat
gerobak kayu besar di koridor.
"Tak kusangka mereka bakal mengirim orang untuk
membantu. Untungnya mereka mengirim orang. Bakal butuh
waktu seharian kalau aku sendiri yang mengerjakannya.
Baiklah, gerobaknya ada di luar. Semuanya dibuang ke
tempat pembuangan sampah. Buku-buku Magyk harus
dibakar. Mengerti?"
"Apa?"
"Ya ampun. Mereka mengirimkan pembantu yang
tolol kemari. Sampah. Gerobak. Pembuangan Sampah. Itu
tidak sulit, kan? Sekarang berikan tumpukan kayu yang kau
duduki itu dan ayo cepat kerjakan."
Silas bangkit dari bangkunya, seperti sedang
bermimpi, dan memberikannya kepada tukang bersih-bersih
itu, yang mengambil lalu melemparnya ke gerobak. Kursi itu
hancur berkeping-keping di dasar gerobak. Tak lama
kemudian, serpihan kursi sudah berada di dasar setumpuk
besar barang yang sudah bertahun-tahun dikumpulkan
keluarga Heap, dan gerobak itu begitu penuh hingga hampir
meluap.
"Baiklah, kalau begitu," ujar si tukang bersih-bersih.
"Aku akan membawanya ke pembuangan sampah sebelum
tempat itu tutup, sementara kau menaruh buku-buku Magyk
itu di luar. Petugas pemadam kebakaran akan mengambilnya
besok, pada jadwal patroli keliling mereka."
Diberikannya sapu besar kepada Silas. "Kau di sini
http://facebook.com/indonesiapustaka

saja, menyapu bersih semua bulu anjing yang menjijikkan itu


dan apalah lagi lainnya. Lalu kau boleh pulang. Kelihatannya
kau sudah capek. Gak biasa kerja keras, ya!" Si tukang bersih-
bersih itu tergelak serta menepuk keras-keras punggung
Silas, dengan maksud bersikap ramah. Silas terbatuk dan
tersenyum dengan wajah pucat.

~233~
"Jangan lupa buku-buku Magyk itu, ya" adalah kata-
kata perpisahan pria itu seraya mendorong gerobaknya
menuju koridor, untuk dibawa ke Tempat Pembuangan
Sampah Iepi Sungai.
Masih kebingungan Silas menyapu debu selama dua
puluh lima tahun, bulu anjing, dan semua kotoran menjadi
tumpukan rapi. Kemudian dia memandangi buku-buku
Magyk miliknya dengan penuh penyesalan.
"Aku bisa bantu kalau kau mau," terdengar suara
Alther di sebelahnya. Hantu itu merangkul bahu Silas.
"Oh. Halo, Alther," sapa Silas sedih. "Hari yang berat."
"Ya, memang bukan hari yang baik. Aku turut sedih,
Silas."
"Semuanya... sudah hilang," gumam Silas, "dan
sekarang buku-bukunya juga. Padahal kami punya buku-
buku yang bagus. Banyak Jimat langka...semuanya sirna
dalam kobaran api."
"Tidak juga," sahut Alther. "Semua buku itu muat bila
ditaruh di kamarmu di loteng. Aku akan membantumu
dengan Mantra Memindahkan kalau kau mau."
Wajah Silas berubah sedikit cerah.
"Ingatkan saja bagaimana caranya, Alther, setelah itu
aku bisa melakukannya sendiri. Aku yakin aku bisa."
Mantra Memindahkan dari Silas berhasil. Buku-buku
itu berjejer rapi, pintu tingkap terbuka, dan satu demi satu
buku-buku beterbangan melewatinya, lalu menumpuk di
bekas kamar Silas dan Sarah. Satu atau dua buku yang
http://facebook.com/indonesiapustaka

melawan, terbang ke arah pintu dan sudah setengah jalan


menuju koridor sebelum Silas berhasil Memanggil kembali,
tapi di akhir mantra semua buku Magyk sudah aman di
dalam loteng, lalu Silas bahkan Menyamarkan tingkapnya.
Tidak bakal ada orang yang mengira bahwa ada tingkap di
sana.

~234~
Maka kemudian Silas melangkah keluar dari ruangan
kosong dan bergema itu untuk terakhir kali, lalu mengambil
jalan ke arah Koridor 223. Alther melayang di sampingnya.
"Mari duduk bersama kami sebentar saja," Alther
menawarkan, "di Lubang Dalam Dinding." "Di mana?"
"Aku baru-baru ini saja menemukannya. Salah satu
Tetua menunjukkannya padaku. Sebuah kedai tua di dalam
dinding Kastil. Tapi ditembok beberapa tahun yang lalu oleh
salah satu Ratu yang menentang peredaran bir. Sepertinya
siapa pun yang dulunya pernah masuk ke dalam Kastil-dan
siapa yang tidak pernah?-hantunya bisa masuk, jadi di sana
penuh sesak. Di sana suasananya nyaman sekali-mungkin
bisa menghiburmu."
"Rasanya aku tidak terlalu berminat ke sana, tapi...
terima kasih, Alther. Bukankah itu dinding tempat mereka
menembok si biarawati?"
"Oh, dia orang yang menyenangkan, Suster
Bernadette. Suka sekali minum segelas besar bir. Dia pusat
kemeriahan pesta. Kira-kira begitulah. Omong-omong, aku
punya kabar tentang Simon, dan kurasa kau harus
mendengarnya."
"Simon! Dia baik-baik saja? Di mana dia?" tanya Silas.
"Dia ada di sini, Silas. Di dalam Kastil. Ikutlah ke
Lubang Dalam Dinding. Ada seseorang yang perlu kauajak
bicara."
Kedai Lubang Dalam Dinding itu penuh dengan
dengung percakapan.
http://facebook.com/indonesiapustaka

Alther membimbing Silas ke tumpukan tinggi


beragam batu yang disandarkan di dinding Kastil tepat dari
arah Gerbang Utara. Alther menunjukkan pada Silas sebuah
celah kecil di dinding, tersembunyi di balik tumpukan
reruntuhan, dan Silas kesulitan melewati celah sempit itu.
Setelah berhasil melewatinya, dia mendapati dirinya berada

~235~
di dunia lain.
Lubang Dalam Dinding merupakan kedai tua yang
dibangun di dalam dinding Kastil yang lebar. Ketika Marcia
mengambil jalan pintas ke Sisi Utara beberapa hari yang lalu,
sebagian perjalanan membawanya ke atas atap kedai itu, tapi
Marcia tidak menyadari ada sekumpulan hantu berbincang-
bincang selama melewati tahun-tahun yang panjang, tepat di
bawah telapak kakinya.
Butuh waktu beberapa menit bagi mata Silas untuk
menyesuaikan diri dari terangnya salju ke kilau temaram
lampu yang berkelap-kelip di sepanjang dinding. Namun
begitu kedua matanya bisa menyesuaikan diri, dilihatnya
sekumpulan hantu yang sangat mengesankan. Mereka
berkumpul mengelilingi meja-meja panjang, berdiri dalam
kelompok-kelompok kecil di samping perapian hantu, atau
hanya duduk termenung sendirian di sudut yang tenang. Ada
sekelompok besar Penyihir LuarBiasa, mengenakan jubah
dan mantel ungu dalam berbagai model penuh gaya, dari
berbagai masa. Ada juga ksatria bersenjata lengkap, Ratu-
Ratu muda dalam gaun sutra mewah, dan Ratu-Ratu yang
lebih tua dalam busana hitam, semuanya menikmati acara
kumpul-kumpul ini.
Alther membimbing Silas melewati kerumunan itu.
Silas berusaha sebaik-baiknya agar tidak menembus satu pun
dari mereka, tapi satu atau dua kali dia merasakan angin
dingin saat menembus salah satu hantu. Tidak ada yang
keberatan-ada yang mengangguk ramah ke arahnya, dan
http://facebook.com/indonesiapustaka

yang lainnya terlalu sibuk dengan percakapan, sehingga


tidak memerhatikannya-dan Silas mendapat kesan bahwa
siapa pun teman Alther akan disambut baik di Lubang Dalam
Dinding.
Hantu tuan tanah pemilik kedai sudah lama tidak lagi
melayang-layang di dekat tong-tong bir, karena semua hantu

~236~
masih memegangi gelas bir yang diberikan kepada mereka
ketika mereka pertama kali datang kemari, dan beberapa
gelas itu isinya tidak habis-habis selama ratusan tahun.
Alther menyapa si tuan tanah dengan ceria; si tuan tanah
sedang terlibat percakapan serius dengan tiga Penyihir
LuarBiasa dan seorang pengelana tua yang bertahun-tahun
silam jatuh tertidur di bawah salah satu meja dan tidak
pernah bangun lagi. Kemudian Alther menuntun Silas ke
sebuah sudut tenang tempat sesosok tubuh gempal
berpakaian biarawati tengah duduk menanti mereka.
"Kuperkenalkan kepadamu Suster Bernadette," kata
Alther. "Suster Bernadette, ini Silas Heap-orang yang
kuceritakan padamu. Dia ayah anak itu."
Meski Suster Benadette tersenyum ceria, Silas
merasakan firasat tidak enak.
Suster berwajah bulat itu mengarahkan kedua
matanya yang berbinar-binar kepada Silas, dan berkata
dengan suara lembut mendayu-dayu, "Dia anak yang hebat,
putramu itu, benar kan? Dia tahu apa yang diinginkannya,
dan tidak takut untuk mendapatkannya."
"Kurasa memang begitu. Yang pasti, dia ingin menjadi
Penyihir, aku tahu itu. Dia ingin bisa Magang, tapi tentu saja
dengan keadaan seperti sekarang ini..."
"Ah, memang bukan waktu yang tepat untuk menjadi
Penyihir muda dan penuh harapan," si suster setuju, "tapi
bukan itu sebabnya dia kembali ke Kastil."
"Jadi, dia memang sudah kembali. Oh, sungguh
http://facebook.com/indonesiapustaka

melegakan. Kukira dia ditangkap. Atau... atau dibunuh."


Alther merangkul bahu Silas. "Sayangnya, Silas, dia
ditangkap kemarin. Suster Bernadette ada di sana. Dia akan
menceritakannya padamu."
Silas memegangi kepalanya dengan kedua tangan,
lalu mengerang.

~237~
"Bagaimana?" tanyanya. "Apa yang terjadi?"
"Nah, begini," kata si suster, "sepertinya Simon si
pemuda itu punya kekasih."
"Benarkah?"
"Ya, benar. Lucy Gringe namanya." "Bukan putri
Gringe si Penjaga Gerbang itu, kan? Oh, tidak."
"Aku yakin dia gadis yang baik, Silas," bantah Suster
Bernadette.
"Yah, kuharap dia sama sekali tidak seperti ayahnya,
hanya itu yang bisa kukatakan. Lucy Gringe. Ya ampun."
"Baiklah, nah, Silas, tampaknya Simon memaksakan
dirinya kembali ke Kastil untuk alasan yang mendesak.
Dia dan Lucy diam-diam berjanji temu di kapel.
Untuk menikah. Romantis sekali." Si suster tersenyum
dengan wajah berkhayal.
"Menikah? Yang benar saja. Aku jadi berkerabat
dengan si Gringe yang mengerikan itu." Silas jadi lebih pucat
dibandingkan sebagian penghuni kedai lainnya.
"Tidak, Silas, kau tidak berkerabat dengannya," kata
Suster Bernadette tidak setuju. "Karena, malangnya, Simon
dan Lucy sebenarnya tidak jadi menikah."
"Malangnya?"
"Keburu ketahuan oleh Gringe, yang lalu diam-diam
memberitahu Pengawal Wali. Dia juga tidak ingin putrinya
menikahi anggota keluarga Heap, seperti kau tidak ingin
Simon menikahi anggota keluarga Gringe. Pengawal
menyerbu kapel, mengirim pulang si gadis yang putus asa,
http://facebook.com/indonesiapustaka

lalu membawa Simon." Si suster menarik napas. "Kejam,


kejam sekali."
"Ke mana mereka membawanya?" tanya Silas pelan.
"Begini, Silas," kata Suster Bernadette dengan suara
lembut, "aku sendiri berada di dalam kapel, menghadiri
pernikahan itu, aku suka sekali pernikahan. Dan si Pengawal

~238~
yang menangkap Simon berjalan menembusku, jadi aku tahu
apa yang sedang dipikirkannya saat itu. Dia berpikir untuk
membawa putramu ke Gedung-Pengadilan. Kepada Wali
Utama, tepatnya. Aku sedih sekali harus menceritakan ini
kepadamu, Silas." Si suster menaruh tangan hantunya di
tangan Silas. Sentuhannya hangat, sekaligus agak
menenangkan Silas.
Inilah kabar yang sudah ditakuti Silas sejak lama.
Simon berada di tangan Wali Utama-bagaimana dia bisa
menyampaikan kabar buruk ini kepada Sarah? Silas
menghabiskan sisa hari itu menunggu di Lubang Dalam
Dinding, sementara Alther mengirim hantu sebanyak
mungkin ke Gedung-Pengadilan, untuk mencari Simon dan
mencari tahu apa yang terjadi dengannya.
Tak satu pun dari mereka berhasil. Simon seolah
lenyap.
http://facebook.com/indonesiapustaka

~239~
27. PERJALANAN STANLEY
Pada Hari Jamuan Pertengahan Musim Dingin,
Stanley dibangunkan oleh istrinya. Dia mendapatkan pesan
penting dari Biro Tikus.
"Heran, kenapa sih mereka tidak membiarkanmu
libur sehari ini saja," keluh istrinya. "Bagimu selalu saja kerja,
kerja, kerja terus, Stanley. Kita butuh liburan."
"Dawnie sayang," sahut Stanley sabar. "Kalau aku
tidak bekerja, kita tidak bisa berlibur. Begitulah
kenyataannya. Apakah mereka mengatakan ada perlu apa
denganku?"
"Aku tidak tanya." Dawnie mengangkat bahu seraya
menggerutu. "Kuharap tidak berurusan dengan Penyihir-
Penyihir sialan itu lagi."
"Mereka tidak apa-apa, kok. Bahkan Penyihir Luar-
Bias... ups."
"Oh, jadi kau pergi ke sana?"
"Tidak."
"Pasti kau ke sana. Kau tidak bisa menyembunyikan
apa pun dariku, meski kau berstatus Sangat Rahasia. Dengar
ya, kuberikan satu saran untukmu, Stanley."
"Hanya satu?"
"Jangan terlibat dengan Penyihir, Stanley. Mereka
pembawa masalah. Percayalah kepadaku, aku tahu. Saran
yang terakhir, wanita bernama Marcia itu, kau tahu apa yang
dilakukannya? Dia menculik putri satu-satunya sebuah
http://facebook.com/indonesiapustaka

keluarga Penyihir miskin, lalu melarikan diri bersamanya.


Tidak ada yang tahu apa sebabnya. Dan sekarang, anggota
keluarga yang lainnya-siapa ya namanya? Oh, itu dia, Heap-
nah, mereka kebingungan setengah mati mencarinya. Satu-
satunya yang positif dari kejadian itu adalah kita jadi
mempunyai Penyihir LuarBiasa yang baru dan

~240~
menyenangkan, tapi Tuhan tahu, banyak sekali kekacauan
yang mesti dibereskannya akibat ulah pendahulunya, jadi
kita belum bisa bertemu dengannya selama beberapa waktu.
Dan menyedihkan sekali, bukan, nasib yang menimpa tikus-
tikus malang yang kehilangan tempat tinggal itu?"
"Tikus-tikus malang yang kehilangan tempat tinggal
apa?" tanya Stanley gelisah, sudah gatal ingin pergi ke Biro
Tikus, ingin tahu tugas berikutnya.
"Semua tikus dari Kedai Teh dan Bir Sally Mullin. Kau
tahu malam ketika kita mendapatkan Penyihir Luar-Biasa?
Nah, Sally Mullin meninggalkan sebagian kue jawawut
mengerikan itu di dalam oven terlalu lama, sehingga
kedainya habis terbakar. Ada tiga puluh keluarga tikus yang
tak punya tempat tinggal sekarang. Kejadian mengerikan
dalam cuaca seperti ini."
"Ya, mengerikan. Baiklah, aku berangkat sekarang,
Sayang. Sampai jumpa saat aku pulang nanti." Stanley
bergegas berangkat ke Biro Tikus.
Biro Tikus berada di puncak Gerbang Timur Menara
Pengintai. Stanley mengambil jalan pintas, berlari menyusuri
bagian atas dinding Kastil, di atas Kedai Lubang Dalam
Dinding yang keberadaannya tidak diketahui oleh Stanley
sekalipun. Tikus itu dengan cepat sampai di Menara
Pengintai, kemudian berlari-lari masuk ke pipa pembuangan
yang membentang di sepanjang dinding. Tak lama kemudian
dia muncul di atas, melompat ke sandaran jembatan, dan
mengetuk pintu sebuah gubuk kecil dengan papan nama
http://facebook.com/indonesiapustaka

bertuliskan:
BIRO TIKUS RESMI
SELAIN TIKUS PEMBAWA PESAN DILARANG
MASUK KANTOR PELAYANAN PELANGGAN DI LANTAI
DASAR OLEH TEMPAT SAMPAH
"Masuk!" seru suara yang tidak dikenal Stanley.

~241~
Stanley berjingkat masuk. Dia sama sekali tidak suka
mendengar suara itu.
Stanley juga tidak terlalu suka melihat tampang si
pemilik suara itu. Seekor tikus hitam besar tak dikenal yang
duduk di belakang meja pesan. Ekor merah muda
panjangnya melingkar di atas meja dan mengibas-ngibas
tidak sabaran sementara Stanley memerhatikan bos barunya.
"Kau tikus Sangat Rahasia yang kupanggil?" gertak si
tikus hitam.
"Ya, benar," sahut Stanley, agak kurang yakin.
"Ya, benar, Sir, begitu mestinya kau menjawab,"
perintah si tikus hitam.
"Oh," sahut Stanley, tercengang.
"Oh, Sir," ralat si tikus hitam. "Baiklah, Tikus 101..."
"Tikus 101?"
"Tikus 101, Sir. Aku menuntut ada rasa hormat di
sini, Tikus 101, dan itu pasti kudapatkan. Kita mulai dengan
angka-angka. Setiap Tikus Pembawa Pesan hanya dikenal
dengan angka. Di tempat asalku, tikus yang dinomori adalah
tikus yang efisien."
"Anda berasal dari mana?" Stanley mengambil risiko
bertanya.
"Sir. Tidak usah banyak tanya," gertak si tikus hitam.
"Sekarang, aku punya tugas untukmu, 101." Si tikus hitam
mengambil sepotong kertas dari keranjang yang dikereknya
dari Kantor Pelayanan Pelanggan di bawah. Kertas itu adalah
perintah pesan, dan Stanley memerhatikan bahwa pesan itu
http://facebook.com/indonesiapustaka

ditulis pada selembar kertas berkepala surat dari Istana Wali.


Dan ditandatangani oleh Wali Utama.
Tapi untuk satu alasan yang tak dapat dipahami
Stanley, pesan sebenarnya yang harus dia kirim bukanlah
dari Wali Utama, tapi dari Silas Heap. Dan pesan itu harus
dikirim kepada Marcia Overstrand.

~242~
"Oh, ya ampun," kata Stanley, semangatnya langsung
terbang. Perjalanan melintasi Rawa-Rawa Marram lagi,
menghindari Ular Piton Rawa bukanlah sesuatu yang
diharapkannya.
"Oh, ya ampun, Sir," ralat si tikus hitam. "Kau tidak
berhak menolak tugas ini," gertaknya. "Dan satu hal lagi,
Tikus 101. Status Sangat Rahasia ditarik."
"Apa? Anda tidak bisa melakukannya!"
"Sir. Anda tidak bisa melakukannya, Sir. Bisa saja.
Bahkan, sudah dilakukan." Senyum puas melintas di misai si
tikus hitam.
"Tapi aku sudah menjalani semua ujianku, dan
tinggal melakukan tugas yang Lebih Rahasia lagi. Dan aku
bisa menjadi top..."
"Dan aku bisa menjadi top, Sir. Sayang sekali. Status
Sangat Rahasia dicabut. Selesai. Pergilah."
Tapi... tapi...," Stanley tergagap. "Sekarang enyahlah,"
bentak si tikus hitam, ekornya mengibas-ngibas penuh
kemarahan. Stanley pergi.
Di lantai bawah, Stanley memberikan surat kerjanya
di Kantor Pelayanan Pelanggan seperti biasa. Tikus Biro
memeriksa dengan teliti lembar pesan itu dan menekan-
nekan cakar gemuknya di atas nama Marcia.
"Sudah tahu kan, dia bisa ditemukan di mana?"
tanyanya penuh selidik.
"Tentu saja," sahut Stanley.
"Bagus. Itu yang ingin kami dengar," sahut si tikus.
http://facebook.com/indonesiapustaka

"Aneh," gumam Stanley pada dirinya sendiri. Dia


tidak terlalu suka dengan staf baru di Biro Tikus, dan
bertanya-tanya apa yang terjadi dengan tikus-tikus tua
menyenangkan yang dulu menjalankan kantor itu.
Stanley menempuh perjalanan panjang dan
berbahaya menuju Hari Jamuan Pertengahan Musim Dingin.

~243~
Pertama dia harus menumpang sebuah kapal
tongkang kecil yang membawa kayu ke Pelabuhan. Malang
bagi Stanley, kapten kapal tongkang itu percaya dia harus
membuat kucing kapal tetap kurus dan kejam, dan kucing itu
memang kejam. Stanley menghabiskan perjalanan itu dengan
mati-matian berusaha menghindari si kucing yang luar biasa
besar, berwarna oranye, dengan taring kuning besar dan
napas sangat bau. Keberuntungannya habis tepat sebelum
sampai ke Parit Deppen, ketika dirinya dipojokkan oleh
kucing itu dan seorang pelaut tinggi tegap yang mengacung-
acungkan papan besar, dan Stanley terpaksa keluar lebih
awal dari kapal tongkang itu.
Air sungai sangat dingin, dan ombak bergulung cepat,
menyapu Stanley ke arah muara saat dia berjuang agar
kepalanya tetap berada di permukaan air, berpacu dengan
ombak. Akhirnya Stanley berhasil mencapai tepian dermaga
setelah sampai di Pelabuhan.
Stanley tergeletak di anak tangga paling bawah
dermaga, kelihatan tak lebih dari bulu basah yang lemas. Dia
sudah terlalu kelelahan untuk pergi lebih jauh lagi. Suara-
suara melayang lewat di atasnya, di dinding dermaga.
"Ooh, Ma, lihat! Ada tikus mati di anak tangga itu.
Bolehkah aku membawanya pulang, lalu merebusnya untuk
mengambil tulang tengkoraknya?"
"Tidak, Petunia, kau tidak boleh membawanya
pulang."
"Tapi aku belum punya tengkorak tikus, Ma."
http://facebook.com/indonesiapustaka

"Dan kau tidak akan memilikinya. Ayo."


Stanley berpikir dalam hati, kalau si Petunia itu
membawanya pulang, dia tidak keberatan berendam di panci
penuh air mendidih. Setidaknya itu bisa sedikit
menghangatkan tubuhnya.
Ketika pada akhirnya Stanley bisa menyeret kakinya,

~244~
lalu memaksa diri menaiki anak-anak tangga dermaga, dia
sadar dia harus menghangatkan tubuh dan menemukan
makanan sebelum bisa melanjutkan perjalanannya. Maka dia
mengikuti penciumannya yang membawanya menuju toko
roti, lalu menyelinap masuk dan berbaring menggigil di
samping oven-oven, membiarkan kehangatan merambati
tubuhnya. Terdengar teriakan istri si tukang roti dan dia
didorong-dorong dengan keras memakai sapu, hingga
akhirnya dia terpaksa keluar, tapi dia sudah sempat
memakan sebagian besar donat selai dan membolongi
sedikitnya tiga potong roti dan kue tart susu.
Merasa jauh lebih segar, Stanley mulai mencari-cari
tumpangan ke Rawa-Rawa Marram. Tidak mudah. Meski
kebanyakan orang di Pelabuhan tidak merayakan Hari
Jamuan Pertengahan Musim Dingin, banyak penduduk yang
memanfaatkan kesempatan hari itu untuk makan siang besar
dan tidur hampir sepanjang siang. Nyaris sudah tidak ada
orang lagi di Pelabuhan. Angin utara yang dingin dan
membawa butir-butir salju membuat orang tidak mau keluar
bila tidak ada keperluan, dan Stanley mulai mengira-ngira
apakah dirinya bakal bisa menemukan orang yang cukup
bodoh mau pergi ke Rawa-Rawa.
Kemudian dia menemukan Jack si Sinting dengan
gerobak keledainya.
Jack si Sinting tinggal di gubuk di tepi Rawa-Rawa
Marram. Dia mencari nafkah dengan memotong alang-alang
untuk melapisi atap rumah-rumah di Pelabuhan. Dia baru
http://facebook.com/indonesiapustaka

saja mengantarkan kiriman terakhir hari itu dan sedang


dalam perjalanan pulang ketika dilihatnya Stanley
berkeliaran di dekat tempat sampah, menggigil kedinginan
terkena tiupan angin. Semangat Jack si Sinting bangkit. Dia
sangat menyukai tikus dan menanti-nanti kapan seseorang
akan mengiriminya pesan dengan Tikus Pembawa Pesan,

~245~
tapi sebenarnya bukan pesannya yang diinginkan Jack si
Sinting-tapi tikusnya.
Jack si Sinting menghentikan gerobak keledainya di
dekat tempat sampah.
"Ehh, Tikus, butuh tumpangan? Gerobakku yang
bagus dan hangat ini akan menuju tepi Rawa-Rawa."
Stanley merasa mendengar sesuatu. Kau hanya
berkhayal, Stanley, katanya dalam hati dengan tegas.
Hentikan itu.
Jack si Sinting mengintai ke bawah gerobak dan
memamerkan senyum-gigi-ompong terbaiknya pada tikus
itu.
"Nah, jangan malu-malu. Naiklah."
Sesaat Stanley bimbang sebelum melompat naik.
"Mari duduk di sampingku, Tikus." Jack si Sinting
terkikik. "Eh, pakailah selimut ini untuk menghangatkan
tubuhmu. Bisa menghangatkan bulumu dari musim dingin
yang menggigit ini, itu pasti."
Jack si Sinting membungkus Stanley dengan selimut
yang sangat bau keledai, lalu menghela gerobaknya. Keledai
itu menegakkan telinga, lalu melangkah menembus terpaan
butir-butir salju, mengambil rute yang dikenalnya dengan
baik dari jalan tambak menuju gubuk yang ditinggalinya
bersama Jack si Sinting. Begitu mereka sampai, Stanley
merasa hangat lagi dan sangat berterima kasih pada Jack.
"Eh, akhirnya kita sampai juga di rumah," kata Jack
ceria seraya melepaskan tali kekang si keledai, lalu
http://facebook.com/indonesiapustaka

menuntun binatang itu ke dalam gubuk. Stanley tetap tinggal


di gerobak, enggan meninggalkan kehangatan selimut itu,
tapi tahu dia harus meninggalkannya.
"Kau boleh masuk dan tinggal sebentar," Jack si
Sinting menawarkan. "Aku suka kalau ada tikus di tempat ini.
Membuat suasana lebih ceria. Ada teman. Tahu maksudku,

~246~
kan?"
Stanley dengan sangat menyesal menggelengkan
kepala. Dia punya pesan yang harus dikirim, dan dia
profesional sejati, meski status Sangat Rahasia-nya telah
dicabut.
"Ah, baiklah, kurasa kau salah satu dari mereka."
Pada kalimat ini Jack si Sinting memelankan suaranya dan
menoleh ke kanan-kiri, seolah ingin memastikan tak ada
yang mendengar. "Kurasa kau salah satu Tikus Pembawa
Pesan. Memang banyak orang tidak memercayainya,
tapi aku percaya. Senang bisa berkenalan denganmu." Jack si
Sinting berlutut dan mengulurkan tangannya untuk berjabat
tangan. Stanley tidak sanggup menolak tawaran Jack si
Sinting, lalu mengulurkan cakarnya sebagai balasan. Jack si
Sinting menyambutnya.
"Kau memang tikus itu, kan? Tikus Pembawa Pesan?"
bisiknya.
Stanley mengangguk. Tahu-tahu Jack si Sinting
mencengkeram cakarnya keras sekali dan melempar selimut
keledai itu ke arahnya, membungkusnya rapat hingga dia
sama sekali tak bisa mencoba melawan, dan membawanya
ke dalam gubuk.
Terdengar suara dentangan keras, dan Stanley
dijatuhkan ke dalam kandang yang telah disiapkan. Pintunya
tertutup rapat dan digembok. Jack si Sinting cekikikan,
menyimpan kunci di dalam sakunya, lalu duduk, mengawasi
tangkapannya dengan gembira.
http://facebook.com/indonesiapustaka

Stanley mengguncang-guncang jeruji kandang itu


dengan sangat marah. Lebih marah pada dirinya sendiri
ketimbang pada Jack si Sinting. Bagaimana dia bisa begitu
bodoh? Bagaimana dia bisa melupakan pelatihan yang
pernah didapatkannya: Seekor Tikus Pembawa Pesan selalu
menempuh perjalanan tanpa terdeteksi. Seekor Tikus

~247~
Pembawa Pesan tidak boleh memperkenalkan diri kepada
orang asing.
"Ah, Tikus, kita akan menghabiskan waktu yang
menyenangkan bersama-sama," kata Jack si Sinting. "Hanya
kau dan aku, Tikus. Kita pergi memotong ilalang bersama,
dan kalau kau bersikap baik, kita pergi menonton sirkus saat
rombongannya datang ke kota, dan melihat badut. Aku suka
sekali badut, Tikus. Kita akan menjalani kehidupan yang
menyenangkan bersama-sama. Ya, benar. Oh, ya." Dia
tertawa cekikikan lalu mengambil dua apel layu dari karung
yang digantung di langit-langit. Diberikannya satu kepada
keledainya, lalu dia membuka pisau lipatnya dan dengan
hati-hati membelah apel satunya, memberikan potongan
yang lebih besar untuk Stanley, yang menolak
menyentuhnya.
"Nanti kau pasti mau makan juga, Tikus," kata Jack si
Sinting dengan mulut penuh, menyemburkan kunyahan apel
ke arah Stanley. "Tidak ada makanan lain untukmu sampai
hujan salju berhenti. Dan itu pasti lama. Angin berubah arah
ke utara-Musim Dingin Dahsyat sudah dimulai. Selalu terjadi
kira-kira pada waktu Hari Jamuan Pertengahan Musim
Dingin. Sepasti telur adalah telur dan tikus adalah tikus."
Jack si Sinting menertawai leluconnya sendiri,
kemudian membungkus tubuhnya dengan selimut bau
keledai yang tadi berhasil menaklukkan Stanley, lalu
tertidur.
Stanley menendang-nendang jeruji kandangnya, dan
http://facebook.com/indonesiapustaka

mengira-ngira harus seberapa kurus tubuhnya untuk bisa


meloloskan diri lewat batang-batang jeruji itu.
Stanley menghela napas. Sangat kurus adalah
jawabannya.

~248~
28. MUSIM SALJU DAHSYAT
Sisa-sisa Jamuan Pertengahan Musim Dingin yang
berupa kol rebus, kepala belut yang dimasak dengan sedikit
air, dan bawang pedas tergeletak di atas meja selagi Bibi
Zelda mencoba membujuk api yang mendesis di Pondok
Penjaga agar kembali menyala. Bagian dalam jendela-jendela
licin berlapis es, dan suhu di dalam pondok turun drastis, tapi
Bibi Zelda tetap saja tidak bisa menyalakan api. Bert menelan
rasa gengsinya dan merapatkan tubuh pada Maxie supaya
tetap hangat. Yang lainnya duduk terbungkus selimut,
menatap api yang tengah berusaha menyala.
"Bagaimana kalau aku mencoba menyalakan
perapian itu, Zelda?" tanya Marcia kesal. "Aku tidak mengerti
mengapa kami harus duduk kedinginan di sini, padahal aku
bisa melakukan ini." Marcia menjentikkan jarinya dan api
berkobar di kerangka bakar.
"Kau tahu aku tidak setuju dengan cara-cara yang
Merekayasa unsur-unsur alam, Marcia," sahut Bibi Zelda
tegas. "Kalian para Penyihir tidak punya rasa hormat
terhadap Alam."
"Memang tidak, kalau Alam mengubah kakiku
menjadi balok es," gerutu Marcia.
"Nah, kalau kau memakai sepatu bot yang
sepantasnya seperti kepunyaanku, ketimbang mondar-
mandir kian kemari dengan benda ungu terbuat dari ular itu,
maka kakimu akan baik-baik saja," Bibi Zelda mengomentari.
http://facebook.com/indonesiapustaka

Marcia tidak menghiraukannya. Dia duduk


menghangatkan kedua kakinya yang terbungkus sepatu ungu
dari kulit ular dekat nyala api di perapian, dan memerhatikan
dengan puas bahwa Bibi Zelda tidak berusaha
mengembalikan api itu ke keadaan semula yang hanya
setengah hidup.

~249~
Di luar pondok, Angin Utara meraung penuh
kesedihan. Butir-butir salju dari hari sebelumnya semakin
menebal, dan kini angin membawa pula badai salju dahsyat
disertai angin kencang yang berputar-putar melintasi Rawa-
Rawa Marram, lalu mulai menyelimuti permukaan tanah
dengan onggokan salju tebal. Ketika malam semakin larut
dan api buatan Marcia akhirnya mulai menghangatkan
mereka semua, suara angin pun teredam onggokan salju yang
menumpuk semakin tinggi di luar. Segera saja suasana di
dalam pondok dipenuhi keheningan yang lembut serta
seputih salju. Api berkobar ceria di kerangka bakar, satu per
satu mereka semua mengikuti contoh Maxie, lalu tertidur.
Setelah berhasil mengubur pondok sampai ke atap
dengan salju, Musim Salju Dahsyat melanjutkan
perjalanannya. Terus bergerak di atas permukaan rawa,
menutupi air rawa yang payau dengan lapisan tebal putih,
membuat binatang-binatang rawa menggali liang jauh ke
kedalaman lumpur yang paling dalam, di mana hawa dingin
tak bisa masuk. Musim Salju Dahsyat menyapu sungai dan
menyebar ke permukaan tanah di kedua sisi sungai,
mengubur kandang sapi dan pondok-pondok serta sesekali
mengubur domba.
Pada tengah malam, Musim Salju Dahsyat itu tiba di
Kastil, tempat semuanya sudah dipersiapkan.
Selama satu bulan sebelum Musim Salju Dahsyat tiba,
para penghuni Kastil menimbun persediaan makanan.
Mereka menanggung risiko dengan pergi ke Hutan dan
http://facebook.com/indonesiapustaka

membawa pulang kayu sebanyak-banyaknya, lalu


menghabiskan banyak waktu untuk merajut dan menenun
selimut. Inilah waktunya dalam setahun para Pedagang dari
Utara datang, membawa persediaan kain-kain wol tebal,
bulu binatang kutub tebal, dan ikan asin, tidak lupa makanan
pedas yang sangat disukai para Penyihir Wendron. Para

~250~
Pedagang dari Utara memiliki naluri luar biasa tajam dalam
memperkirakan datangnya Musim Salju Dahsyat; mereka
datang tepat satu bulan sebelum terjadinya Musim Salju
Dahsyat tersebut, dan pergi tepat sebelum Musim itu dimulai.
Lima Pedagang yang pernah duduk di dalam kedai Sally
Mullin pada malam terjadinya kebakaran adalah para
pedagang yang terakhir pergi, sehingga tak satu pun
penghuni Kastil terkejut dengan kedatangan Musim Salju
Dahsyat itu. Malah menurut perkiraan umum, justru Musim
Salju Dahsyat itu datang agak terlambat, meski yang
sebenarnya terjadi adalah para Pedagang dari Utara yang
terakhir itu pergi sedikit lebih awal dari yang diperkirakan,
disebabkan oleh keadaan-keadaan yang tak terduga.
Silas, seperti biasa, lupa tentang bakal datangnya
Musim Salju Dahsyat ini, dan menemukan dirinya terdampar
di Kedai Lubang Dalam Dinding setelah tumpukan salju yang
terbawa angin menggunung di depan pintu masuk. Karena
tak punya tempat tujuan lain, dia tetap di sana dan
memutuskan untuk menikmati apa yang ada di kedai itu,
sementara Alther dan beberapa Tetua meneruskan usaha
mereka mencari Simon.
Tikus hitam di dalam Biro Tikus, yang sedang
menunggu Stanley kembali, menemukan dirinya terdampar
di atap Menara Pengintai Gerbang Timur berlapis es. Pipa
saluran air penuh dengan air dari pipa yang meledak lalu
membeku, menghalangi jalan keluarnya. Tikus-tikus di
Kantor Pelayanan Pelanggan di bawah meninggalkannya,
http://facebook.com/indonesiapustaka

lalu pulang.
Wali Utama juga sedang menanti Stanley kembali.
Dia bukan hanya menginginkan informasi dari tikus itu-di
mana tepatnya Marcia berada-tapi juga dengan cemas
menanti-nanti hasil pesan yang harus dikirimkan tikus itu.
Tapi tidak terjadi apa-apa. Sejak hari tikus itu diutus, satu

~251~
peleton Wali Utama bersenjata lengkap ditempatkan di
Gerbang Istana, mengentak-entakkan kaki mereka yang
kedinginan sambil menatap badai salju yang disertai angin
kencang, menunggu Penyihir LuarBiasa Muncul. Tapi Marcia
tidak juga kembali.
Musim Salju Dahsyat datang. Wali Utama, yang
menghabiskan waktu dengan membual kepada DomDaniel
tentang ide cemerlangnya untuk melucuti status Sangat
Rahasia dari Tikus Pembawa Pesan itu serta mengirimkan
pesan palsu kepada Marcia, kini sebisa mungkin menghindari
Majikan-nya itu. Dihabiskannya waktu selama mungkin di
dalam Kamar Kecil Wanita. Wali Utama bukan orang yang
percaya takhayul, tapi dia juga bukan orang bodoh, dan dia
tidak luput memerhatikan bahwa rencana apa pun yang
dibicarakannya selama berada di Kamar Kecil Wanita
biasanya berhasil, meski dia sendiri tidak tahu sebabnya. Dia
juga menikmati nyamannya kompor kecil di dalam kamar
kecil itu, tapi yang paling digemarinya adalah kesempatan
untuk mengintai. Wali Utama suka sekali mengintai. Sewaktu
masih kecil, dia termasuk salah satu bocah yang selalu
mencuri dengar percakapan orang lain di sudut ruangan, dan
sebagai hasilnya dia jadi tahu rahasia orang, dan tidak takut
untuk memanfaatkan apa yang diketahuinya itu demi
kepentingannya sendiri. Kebiasaan ini jugalah yang
menguntungkan dirinya pada saat kenaikan pangkatnya dari
Pengawal Wali, dan memainkan andil besar dalam
penunjukan dirinya sebagai Wali Utama.
http://facebook.com/indonesiapustaka

Maka dari itu, selama Musim Salju Dahsyat, Wali


Utama melubangi dinding kamar kecil, menyalakan kompor,
dan mengintai dengan gembira, bersembunyi di balik pintu
yang kelihatan polos tak bersalah dengan tulisan berwarna
emas pudar, dan menguping perbincangan orang-orang yang
lewat. Sungguh suatu kesenangan tersendiri melihat wajah

~252~
mereka yang memucat begitu dia melompat keluar, lalu
mengkonfrontasi mereka dengan kata-kata hinaan yang baru
saja mereka lontarkan tentang dirinya. Bahkan lebih
menyenangkan lagi memanggil Pengawal, lalu menggiring
mereka langsung menuju sel bawah tanah, terutama kalau
mereka sedikit memohon-mohon minta maaf. Wali Utama
suka kalau ada orang yang memohon-mohon. Sampai sejauh
ini sudah dua puluh enam orang yang ditahan dan
dijebloskan ke sel bawah tanah karena melontarkan
komentar kasar tentang dirinya, namun tidak pernah terpikir
olehnya sekali pun, mengapa belum pernah ada orang yang
memberikan komentar positif tentang dirinya.
Tapi tugas paling menarik yang menyibukkan Wali
Utama adalah Simon Heap. Simon dibawa langsung dari
kapel menuju Kamar Kecil Wanita, lalu dirantai ke sebuah
pipa. Sebagai kakak angkat Jenna, Wali Utama
memperhitungkan pemuda itu tahu ke mana perginya gadis
itu, dan tak sabar menanti kesempatan membujuk Simon
Heap untuk memberitahukannya.
Begitu Musim Salju Dahsyat mulai datang dan baik
Tikus Pembawa Pesan maupun Marcia tidak juga kembali ke
Kastil, Simon merana di Kamar Kecil Wanita, tak hentinya
ditanyai tentang keberadaan Jenna. Awalnya pemuda itu
terlalu takut untuk buka mulut, namun Wali Utama sangat
cerdik, dan lambat laun Simon mulai memercayainya. Kapan
saja ada waktu luang, pria bertubuh kecil itu masuk ke
kamar kecil tersebut, lalu berceloteh pada Simon tentang
http://facebook.com/indonesiapustaka

harinya yang menjemukan, dan Simon mendengarkan


dengan sopan, terlalu takut untuk bicara. Setelah beberapa
kali, Simon memberanikan diri memberi sedikit komentar,
dan Wali Utama tampak gembira melihat ada reaksi dari
pemuda itu, dan mulai membawakannya makanan dan
minuman tambahan. Maka setelah itu Simon mulai sedikit

~253~
santai, dan tidak lama kemudian dia sudah membukakan isi
hatinya, tentang keinginannya menjadi Penyihir LuarBiasa
yang berikutnya, dan kekecewaannya dengan cara Marcia
melarikan diri. Dia sendiri tidak bakal melakukan hal itu,
demikian tuturnya pada Wali Utama.
Wali Utama mendengarkan dengan sikap sependapat.
Akhirnya ada juga anggota keluarga Heap yang berakal sehat.
Dan ketika ditawarkannya kepada Simon kemungkinan
untuk menjalani Masa Magang dengan Penyihir LuarBiasa
yang baru-"sebab ternyata, dan aku tahu ini akan menjadi
rahasia antara kau dan aku, Simon, murid yang sekarang ini
terbukti sangat tidak memuaskan, meski kami berharap
banyak darinya,"-Simon Heap mulai melihat masa depan
baru untuk dirinya. Masa depan dengan kemungkinan
dirinya bakal dihormati dan mampu menggunakan bakat
Magykal dalam dirinya, dan tidak diperlakukan hanya
sebagai "salah satu anggota keluarga Heap yang malang."
Maka, malam itu juga, setelah Wali Utama duduk menemani
di sampingnya dan menawarkan minuman panas, Simon
Heap mengatakan apa yang ingin diketahui sang Wali Utama-
bahwa Marcia dan Jenna pergi ke pondok Bibi Zelda di
Rawa-Rawa Marram.
"Lalu di mana persisnya tempat itu, Nak?" tanya Wali
Utama dengan senyum tajam tersungging di bibirnya.
Simon terpaksa mengakui bahwa dia tidak tahu di
mana persisnya tempat itu.
Dengan gusar Wali Utama menghambur ke luar dan
http://facebook.com/indonesiapustaka

pergi menemui si Pemburu, yang diam saja mendengarkan


Wali Utama menggembar-gemborkan betapa seluruh
anggota keluarga Heap memang bodoh, terutama Simon
Heap.
"Maksudku, Gerald..." (Itulah nama si Pemburu.
Sebenarnya hal itu ingin dirahasiakannya, dan yang

~254~
membuatnya kesal, Wali Utama selalu menyebutkan nama
"Gerald" itu pada setiap kesempatan.) "...Maksudku," kata
Wali Utama dengan marah, seraya berjalan hilir-mudik di
kamar si Pemburu yang berperabot sangat sedikit di dalam
barak, sambil menggerak-gerakkan tangannya dengan
dramatis ke udara, "bagaimana mungkin ada orang yang
tidak tahu di mana persisnya bibinya tinggal? Bagaimana dia
bisa mengunjungi bibinya itu, Gerald, kalau dia tidak tahu di
mana persisnya sang bibi tinggal?"
Wali Utama sendiri selalu merasa wajib mengunjungi
bibi-bibinya, yang sebagian besar justru berharap keponakan
mereka itu tidak tahu di mana persisnya mereka tinggal.
Tapi Simon sudah memberikan cukup informasi
untuk si Pemburu. Segera setelah Wali Utama pergi, si
Pemburu mulai mengeluarkan peta lengkap dan bagan
Rawa-Rawa Marram, dan tak lama kemudian dia telah bisa
memperkirakan letak pondok Bibi Zelda. Sekali lagi dia siap
melakukan Pengejaran.
Maka setelah itu, dengan bimbang bercampur takut,
si Pemburu pergi menemui DomDaniel.
DomDaniel sedang mengendap-endap di puncak
Menara Penyihir, melewati Musim Salju Dahsyat dengan
membongkar buku-buku Necromancy lama yang disimpan
Alther di dalam lemari terkunci dan Memanggil asisten
perpustakaannya, dua Magog pendek dan luar biasa kejam.
DomDaniel menemukan kedua Magog itu setelah melompat
dari Menara. Normalnya mereka hidup jauh di bawah tanah,
http://facebook.com/indonesiapustaka

karena itulah mereka mirip sekali dengan cacing raksasa


buta, dengan tambahan lengan-lengan panjang tanpa tulang.
Mereka tidak berkaki, tapi bergerak di permukaan tanah
dengan meninggalkan jejak berlendir seperti gerakan ulat
bulu, dan kalau mau mereka bisa bergerak luar biasa cepat.
Magog tidak punya rambut, berwarna putih kekuningan, dan

~255~
kelihatan tidak punya mata. Padahal sebenarnya mereka
mempunyai satu mata kecil yang juga berwarna putih
kekuningan; mata itu terletak tepat di atas dua bagian wajah
mereka, yang berupa dua lubang berkilauan tempat hidung
dan belahan mulut seharusnya berada. Lendir yang mereka
keluarkan amatlah lengket dan baunya sangat busuk, meski
DomDaniel sendiri merasa bau itu lumayan menyenangkan.
Setiap Magog rata-rata tingginya sekitar satu meter
dua puluh dua kalau ditegakkan lurus; walau belum pernah
ada yang mencoba melakukan hal itu. Banyak cara lain yang
lebih baik untuk mengisi harimu, misalnya menggaruk papan
tulis dengan kukumu, atau makan seember kecebong. Tapi
tidak ada yang berani menyentuh Magog, kecuali tidak
sengaja. Lendir mereka begitu menjijikkan, sehingga hanya
mengingat baunya saja sudah cukup untuk membuat banyak
orang langsung muntah. Magog menetas di bawah tanah dari
larva yang ditinggalkan dalam binatang-binatang
berhibernasi yang tidak mencurigakan, seperti landak atau
tikus kecil. Mereka menghindari kura-kura, karena sulit bagi
Magog kecil untuk keluar dari tempurung kura-kura. Begitu
cahaya pertama matahari musim semi menghangatkan bumi,
larva itu menyeruak ke luar, memakan apa yang tersisa dari
binatang tadi, kemudian membuat liang lebih dalam lagi di
bawah tanah, sampai ke bilik Magog. DomDaniel memiliki
ratusan bilik Magog di sekitar persembunyiannya di
Badlands, dan tidak pernah kekurangan persediaan. Mereka
bisa menjadi Penjaga yang hebat; gigitannya dengan cepat
http://facebook.com/indonesiapustaka

bisa meracuni darah korbannya, dan membuat kebanyakan


orang meregang nyawa dalam beberapa jam saja; dan
cakaran Magog bisa menimbulkan infeksi yang tidak pernah
bisa disembuhkan. Namun kekurangan terbesar mereka
adalah tampang mereka; kepala bulat seperti bola lampu
putih kekuningan, yang kelihatannya buta, dan rahang kecil

~256~
yang tak pernah berhenti bergerak, dengan deretan gigi
runcing kuning mengerikan yang membuat orang menjauh.
Kedua Magog itu datang tepat sebelum Musim Salju
Dahsyat dimulai. Mereka membuat si Murid ketakutan
setengah mati, dan ini memberikan kesenangan tersendiri
bagi DomDaniel, serta alasan untuk meninggalkan bocah itu
menggigil ketakutan di lantai di atas tangga, selagi mencoba,
sekali lagi, mempelajari Tabel Perkalian Tiga Belas.
Magog-Magog itu juga agak mengejutkan si Pemburu.
Begitu dia sampai di puncak tangga spiral dan melangkah
melewati si Murid yang berada di lantai atas tangga, sambil
sengaja tidak mengacuhkan bocah itu, si Pemburu terpeleset
lendir Magog hingga terbawa ke dalam apartemen
DomDaniel. Dia berhasil mendapatkan keseimbangan
tubuhnya lagi tepat pada waktunya, tapi dia sempat
mendengar suara tawa tertahan dari si Murid.
Tak lama kemudian, si Murid bisa tertawa lebih geli
lagi, karena kali ini DomDaniel berteriak. Didengarkannya
dengan gembira suara marah Guru-nya, yang kedengaran
sangat jelas menembus pintu ungu tebal itu.
"Tidak, tidak, Tidakl" teriak DomDaniel. "Kau pasti
mengira aku sudah benar-benar gila membiarkanmu pergi
lagi dalam Perburuan sendirian. Kau ini benarbenar orang
bodoh yang kikuk, dan kalau ada orang lain yang bisa
kuperintahkan untuk melaksanakan tugas ini, percayalah,
aku bakal melakukannya. Kau harus tunggu sampai aku
perintahkan pergi. Lalu kau harus pergi di bawah
http://facebook.com/indonesiapustaka

pengawasanku. Jangan menyela kata-kataku! Tidak! Aku


tidak akan mendengarkannya. Sekarang enyahlah-atau kau
ingin salah satu Magog-ku membantumu?"
Si Murid mengamati ketika pintu ungu itu melayang
terbuka dan si Pemburu bergegas keluar, meluncur di atas
lendir tadi dan berdetak-detak menuruni tangga tangga

~257~
secepat mungkin. Setelah itu si Murid hampir-hampir
berhasil mempelajari Tabel Perkalian Tiga Belas. Yah,
setidaknya dia sudah sampai tiga belas kali tujuh, itu sudah
usaha terbaiknya.
Alther, yang sedari tadi sibuk mencampur aduk
pasangan kaus-kaus kaki DomDaniel, mendengar semuanya.
Ditiupnya perapian sampai mati, lalu dia mengikuti si
Pemburu keluar dari Menara, dan sengaja dia Menyebabkan
seonggok salju jatuh dari Monumen Lengkung Besar, tepat
ketika si Pemburu berjalan di bawahnya. Baru berjam-jam
kemudian ada orang yang mau repot-repot menggali si
Pemburu yang terkubur, tapi kejadian itu tidak terlalu
menghibur Alther. Sepertinya keadaan semakin buruk saja.
Jauh di kedalaman Hutan yang dingin membeku, para
Penyihir Wendron mulai memasang perangkap, dengan
harapan bisa menangkap satu atau dua wolverine yang
lengah, untuk persediaan makanan di masa-masa sulit nanti.
Kemudian mereka beristirahat di dalam gua musim dingin
bersama, mereka meringkuk di balik selimut-selimut bulu,
saling bertukar cerita sementara api dibiarkan menyala siang
dan malam.
Para penghuni rumah pohon berkumpul mengelilingi
tungku kayu bakar di dalam gubuk besar, dan dengan
mantap menghabiskan persediaan kacang dan buah beri
milik Galen. Sally Mullin meringkuk di balik selimut tebal
bulu wolverine, dan diam-diam meratapi kedai miliknya
sambil menghibur diri dengan menghabiskan segunung besar
http://facebook.com/indonesiapustaka

kacang kenari. Sarah dan Galen menjaga agar tungku terus


menyala, sambil mengobrol tentang tanaman obat dan
ramuan selama hari-hari yang panjang dan dingin.
Keempat anak laki-laki keluarga Heap membuat
kemah salju di atas permukaan tanah Hutan, agak jauh dari
rumah pohon, dan menjalani hidup di alam liar. Mereka

~258~
memasang perangkap untuk menangkap tupai, lalu
memanggangnya serta binatang apa saja yang bisa mereka
temukan; Galen tak senang dengan kegiatan mereka, tapi dia
diam saja. Setidaknya kegiatan itu menyibukkan anak-anak
dan mereka tak perlu berada di dalam rumah pohon. Hal
tersebut juga menghemat persediaan makanan musim dingin
miliknya, yang dengan cepat habis dicamil Sally Mullin. Sarah
mengunjungi anak-anaknya setiap hari, dan meski awalnya
dia khawatir karena mereka berada di alam terbuka di Hutan
tanpa dirinya, tapi kemudian dia terkesan dengan rangkaian
igloo yang mereka buat; selain itu, dia memerhatikan bahwa
beberapa Penyihir Wendron yang lebih muda mulai sering
mampir dengan membawa sedikit makanan dan minuman.
Tak lama kemudian, Sarah jarang menemukan anak-anaknya
tanpa setidaknya ditemani dua atau tiga penyihir muda yang
membantu mereka memasak, atau hanya duduk-duduk
mengelilingi api unggun sambil tertawa dan menceritakan
lelucon. Sarah terkejut bahwa hidup mandiri itu telah sangat
mengubah anak-anaknya-tiba-tiba saja mereka semua
kelihatan sangat dewasa, termasuk si bungsu Jo-Jo yang baru
berumur tiga belas tahun. Setelah beberapa waktu, Sarah
mulai merasa agak seperti pengganggu di kemah mereka, tapi
dia bersikeras mengunjungi mereka setiap hari, sebagian
alasannya untuk mengawasi mereka, dan sebagian lagi
karena dia lama-kelamaan jadi sangat suka makan tupai
panggang.
http://facebook.com/indonesiapustaka

~259~
29. ULAR PITON DAN TIKUS
Pagi setelah Musim Salju Dahsyat dimulai, Nicko
membuka pintu depan pondok dan menemukan tembok
salju tebal di hadapannya. Maka diambilnya sekop batu bara
Bibi Zelda dan dia mulai menggali terowongan sepanjang
hampir dua meter menembus lapisan salju, memberi jalan
masuk bagi matahari musim dingin yang cerah. Jenna dan
Bocah 412 keluar lewat terowongan itu, mengerjap-
ngerjapkan mata karena silau terkena sinar matahari.
"Sinarnya terang sekali," kata Jenna. Dia menudungi
mata, menghindari pantulan sinar matahari di salju yang
menyilaukan dan menyakitkan mata dengan pantulan kilau
esnya. Musim Salju Dahsyat telah mengubah pondok menjadi
igloo raksasa. Tanah rawa-rawa yang mengelilinginya telah
menjadi lanskap es yang luas, keseluruhan garis bentuknya
berubah akibat embusan angin yang membawa butir-butir
salju serta bayang-bayang panjang yang terbentuk oleh sinar
matahari musim dingin yang rendah. Maxie melengkapi
gambaran itu dengan melompat keluar dan bergulingan di
atas salju, hingga menyerupai beruang kutub yang
kegirangan.
Jenna dan Bocah 412 membantu Nicko menggali
jalan setapak menuju Mott yang membeku, kemudian
mereka mengambil persediaan sapu milik Bibi Zelda yang
banyak itu, lalu mulai menyapu salju dari es, supaya mereka
bisa berseluncur di sekitar Mott. Jenna sudah mulai duluan,
http://facebook.com/indonesiapustaka

sementara kedua bocah lelaki itu bermain lempar-lemparan


bola salju. Bocah 412 ternyata jago melempar, dan akibatnya
Nicko jadi kelihatan mirip Maxie.
Esnya kira-kira sudah setebal lima belas senti,
permukaannya halus dan licin seperti kaca. Sejumlah besar
gelembung sangat kecil tertahan di air yang beku, sehingga

~260~
esnya kelihatan agak berkabut, tapi masih cukup jelas untuk
melihat rumput yang terperangkap di dalamnya, serta
melihat apa yang ada di bawahnya. Dan apa yang ada di
bawah kaki Jenna sewaktu dia menyapu petak bersalju
pertama adalah sepasang mata kuning yang tidak berkedip,
milik seekor ular raksasa yang menatap lurus ke arahnya.
"Argh!" teriak Jenna.
caret Apa itu, Jen?" tanya Nicko.
"Mata. Mata ular. Ada ular raksasa di bawah es."
Bocah 412 dan Nicko datang menghampiri. "Wow. Besar
sekali," ujar Nicko.
Jenna berlutut dan menyingkirkan salju lebih banyak
lagi.
"Lihat," katanya, "itu ekornya. Tepat di samping
kepalanya. Ular ini pasti membentang sepanjang Mott."
"Tidak mungkin," Nicko tidak sependapat. "Pasti "
"Kurasa ada lebih dari satu ular."
"Baiklah, hanya ada satu cara untuk mengetahuinya."
Jenna mengambil sapu dan mulai menyapu. "Ayo, kerjakan,"
katanya pada kedua lelaki itu. Nicko dan Bocah 412 dengan
enggan mengambil sapu mereka, lalu mulai bekerja.
Di penghujung siang mereka menemukan ternyata
memang hanya ada seekor ular.
"Ular ini pasti satu mil panjangnya," ujar Jenna ketika
akhirnya mereka kembali ke tempat tadi mereka mulai
menyapu. Ular Piton Rawa itu menatap mereka dengan
tatapan galak dari balik es. Ular itu tidak suka dipandangi,
http://facebook.com/indonesiapustaka

terutama oleh makanan. Meski lebih suka kambing dan lynx,


ular itu menganggap makhluk apa pun yang berkaki sebagai
makanan, dan sesekali dia memangsa pengelana yang
kebetulan lewat, kalau ada yang ceroboh dan terjatuh ke
dalam parit, dan terlalu banyak mencipak-cipakkan air. Tapi
biasanya ular itu menghindari makhluk berkaki dua;

~261~
menurutnya, pembungkus tubuh mereka yang berlapis-lapis
itu terlalu sulit dicerna, dan dia paling tidak menyukai sepatu
bot.
Musim Salju Dahsyat mulai lagi. Bibi Zelda menunggu
dengan tenang, seperti yang dilakukannya setiap tahun.
Kepada Marcia yang tidak sabar dikatakannya bahwa
bagaimanapun tak mungkin Silas akan kembali pada saat-
saat begini dengan membawa JimatPelindung miliknya.
Rawa-Rawa Marram benar-benar terisolasi. Marcia harus
menunggu Salju Mencair seperti juga orang lainnya.
Namun belum ada tanda-tanda bakal terjadinya Salju
Mencair. Setiap malam angin utara masih membawa raungan
badai salju dan menambah tingginya timbunan salju.
Suhu udara merosot drastis dan Boggart yang nyaris
beku kedinginan terpaksa keluar dari liang lumpurnya. Dia
mengungsi ke gubuk sumber air panas, dan di sana dia
terkantuk-kantuk senang dalam kehangatan uap air panas.
Ular Piton Rawa tergeletak terperangkap di dalam
Mott. Bertahan hidup dengan memakan ikan atau belut
lengah yang menghampirinya, seraya memimpikan
datangnya hari dia bisa bebas menelan kambing sebanyak
yang sanggup ditelannya.
Nicko dan Jenna pergi berseluncur. Awalnya mereka
senang berputar-putar di Mott yang membeku dan
mengganggu si Ular Piton Rawa, tapi setelah beberapa saat
mereka mulai memberanikan diri memasuki lanskap rawa
yang putih. Mereka menghabiskan waktu berjam-jam
http://facebook.com/indonesiapustaka

berlomba melewati parit-parit yang membeku,


mendengarkan gemeretak es di bawah kaki mereka, dan
terkadang mendengar lolongan angin yang memilukan, yang
mengancam membawa salju lebih banyak lagi. Jenna
memerhatikan bahwa semua suara binatang rawa tidak
kedengaran lagi. Tidak terdengar lagi gemeresik sibuk tikus-

~262~
tikus besar rawa dan kecipak-kecipak pelan ular-ular air.
Brownies Lumpur Isap membeku dengan aman, jauh di
kedalaman bawah tanah, dan pekikan mereka tidak
kedengaran sedikit pun.
Minggu-minggu yang panjang dan tenang berlalu di
Pondok Penjaga, dan salju masih terus bertiup dari utara.
Sementara Jenna dan Nicko menghabiskan waktu berjam-
jam berseluncur di luar, serta merosot dari es di sekitar Mott,
Bocah 412 tetap berada di dalam pondok. Dia masih juga
kedinginan jika berada di luar terlalu lama. Seolah ada
sebagian kecil dirinya yang belum cukup hangat sejak saat
dia terkubur di tumpukan salju di luar Menara Penyihir.
Terkadang Jenna duduk menemaninya di sebelah perapian.
Jenna menyukai Bocah 412, meski dia sendiri tidak tahu
sebabnya, apalagi bocah itu tidak pernah berbicara
kepadanya. Tapi Jenna tidak menjadi kesal karenanya, sebab
dia tahu anak itu tidak pernah mengucapkan sepatah kata
pun pada siapa pun sejak kedatangannya di pondok. Topik
utama perbincangan Jenna dengannya adalah Petroc
Trelawney, yang mulai disukai Bocah 412.
Kadang-kadang pada sore hari Jenna duduk di sofa, di
sebelah Bocah 412, sementara bocah itu memerhatikan
Jenna mengeluarkan batu peliharaannya dari saku. Jenna
sering kali duduk di dekat perapian bersama Petroc, karena
batu peliharaannya itu mengingatkannya pada Silas. Cukup
dengan memegang batu itu bisa membuat Jenna yakin bahwa
Silas bakal kembali dengan selamat.
http://facebook.com/indonesiapustaka

"Ini, kau pegang Petroc," kata Jenna, sambil menaruh


batu kerikil abu-abu dan halus itu ke telapak tangan Bocah
412 yang kotor.
Petroc Trelawney menyukai Bocah 412. Petroc
menyukainya karena bocah itu biasanya agak lengket dan
berbau makanan. Petroc Trelawney suka mengeluarkan

~263~
keeempat kakinya yang gemuk pendek, membuka matanya,
lalu menjilati tangan Bocah 412. Mmm, pikirnya, lumayan
juga. Dia bisa merasakan belut, dan benarkah ada sisa-sisa
bau kol? Petroc Trelawney menyukai belut dan suka
menjilat lagi telapak tangan Bocah 412. Lidahnya kering dan
sedikit berparut, seperti lidah kucing yang sangat kecil, dan
Bocah 412 tertawa dibuatnya. Rasanya geli.
"Dia suka padamu," Jenna tersenyum. "Dia tidak
pernah menjilat tanganku."
Pada hari-hari lain Bocah 412 suka duduk di dekat
perapian, membaca koleksi buku milik Bibi Zelda,
membenamkan diri dalam dunia yang sama sekali baru
baginya. Sebelum datang ke Pondok Penjaga, Bocah 412
sama sekali belum pernah membaca buku. Dia diajari
membaca di Laskar Pemuda, tapi hanya diperbolehkan
membaca daftar panjang Musuh, Perintah Hari Ini, dan
Rencana Pertempuran. Namun kini Bibi Zelda terus
menyediakan koleksi menarik berupa gabungan cerita
petualangan dan buku-buku Magyk, yang diserap Bocah 412
seperti spons. Pada salah satu hari inilah, hampir enam
minggu setelah Musim Salju Dahsyat dimulai, sewaktu Jenna
dan Nicko memutuskan untuk mencari tahu apakah mereka
bisa berseluncur sampai ke Pelabuhan, Bocah 412
menyadari sesuatu.
Dia sudah tahu bahwa setiap pagi, untuk alasan
tertentu, Bibi Zelda menyalakan dua lentera, lalu menghilang
ke balik lemari ramuan di bawah anak tangga. Mulanya
http://facebook.com/indonesiapustaka

Bocah 412 tidak memikirkannya. Lagi pula, keadaan di


lemari ramuan itu gelap dan Bibi Zelda punya banyak
ramuan yang harus diurus. Dia tahu bahwa ramuan-ramuan
yang harus disimpan dalam kegelapan adalah ramuan-
ramuan yang paling tidak stabil dan membutuhkan perhatian
khusus; kemarin Bibi Zelda baru saja menghabiskan waktu

~264~
lama menyaring Penawar Racun Amazon berlumpur yang
telah menggumpal dalam hawa dingin. Tapi pagi ini Bocah
412 memerhatikan betapa sunyinya keadaan di dalam lemari
ramuan, dan dia tahu Bibi Zelda bukanlah orang yang tenang.
Setiap kali Bibi Zelda melewati Pot-Pot Pengawet, mereka
bergetar dan melompat, dan kalau Bibi Zelda berada di
dapur, panci-panci dan penggorengan berdentang dan
berdebam; maka dari itu, bagaimana wanita itu bisa begitu
tenang tak bersuara di dalam lemari ramuan yang sempit?
pikir Bocah 412. Dan mengapa dia memerlukan dua lentera?
Bocah 412 menaruh bukunya, lalu berjingkat-jingkat
ke arah pintu lemari ramuan. Lemari itu begitu sunyi senyap,
hingga terasa aneh, mengingat di lemari itu ada Bibi Zelda
yang begitu dekat dengan ratusan botol kecil yang
berdentingan. Dengan ragu-ragu Bocah 412 mengetuk
pintunya. Tidak ada jawaban. Dia mendengarkan lagi. Sunyi
senyap. Bocah 412 tahu dia seharusnya kembali membaca
bukunya, tapi entah mengapa buku Ilmu Mukjizat dan Ilmu
Sihir: Kenapa Mesti Repot? tidaklah semenarik rasa ingin
tahu apa yang sedang dilakukan Bibi Zelda. Maka Bocah 412
mendorong pintu itu sampai terbuka, lalu mengintip ke
dalamnya.
Lemari ramuan itu kosong.
Sesaat Bocah 412 agak takut kalau-kalau itu hanya
lelucon, dan Bibi Zelda bakal melompat keluar
mengagetkannya, namun segera disadarinya bahwa wanita
itu memang tidak ada di sana. Dan kemudian dia melihat apa
http://facebook.com/indonesiapustaka

sebabnya. Tingkap terbuka, dan bau lembap berlumut dari


terowongan yang diingat dengan baik oleh Bocah 412
menyeruak ke hidungnya. Bocah 412 berdiri ragu-ragu di
pintu, tidak yakin harus melakukan apa. Terlintas di
benaknya bahwa Bibi Zelda mungkin terjatuh ke dalam
tingkap dan perlu bantuan, tapi disadarinya kalau wanita itu

~265~
memang terjatuh, dia pasti akan tersangkut, karena tubuh
Bibi Zelda sepertinya jauh lebih lebar ketimbang tingkap itu.
Selagi dia berpikir-pikir bagaimana Bibi Zelda bisa
memaksa dirinya turun melewati tingkap, Bocah 412 melihat
kelap-kelip cahaya redup lentera bersinar melalui ruang
terbuka di lantai. Kemudian terdengar olehnya langkah kaki
berat sepatu bot Bibi Zelda, dan napasnya yang berat
terengah-engah selagi berusaha menelusuri jalan menanjak
menuju tangga kayu yang curam. Begitu Bibi Zelda mulai
menaiki tangga, Bocah 412 menutup tingkap itu tanpa suara,
lalu berlari balik ke tempat duduknya di dekat perapian.
Kira-kira beberapa menit kemudian barulah Bibi
Zelda yang kehabisan napas melongokkan kepalanya dari
lemari ramuan dengan wajah sedikit curiga, dan melihat
Bocah 412 membaca Ilmu Mukjizat dan Ilmu Sihir: Kenapa
Mesti Repot? dengan penuh perhatian.
Sebelum Bibi Zelda sempat menghilang kembali ke
balik lemari ramuan, pintu depan menghambur terbuka.
Nicko muncul, diikuti Jenna. Kedua anak itu melempar
sepatu-sepatu luncur mereka, lalu mengacungkan sesuatu
yang kelihatannya seperti seekor tikus mati.
"Lihat apa yang kami temukan," kata Jenna.
Bocah 412 mengernyit. Dia tidak suka tikus. Dia
sudah pernah hidup bersama banyak tikus, terlalu banyak
malah, dan dia tidak menikmati berada bersama mereka.
"Taruh di luar," kata Bibi Zelda. "Membawa binatang
mati masuk ke rumah bisa membawa sial, kecuali kau mau
http://facebook.com/indonesiapustaka

memakannya. Dan aku tidak suka makan itu."


"Dia belum mati, Bibi Zelda," kata Jenna. "Lihat."
Diulurkannya gumpalan bulu cokelat itu untuk diperiksa
Bibi Zelda. Bibi Zelda menyodoknya dengan waspada.
"Kami menemukannya di luar gubuk tua itu," tutur
Jenna. "Bibi tahu kan, yang mana, tidak jauh dari Pelabuhan

~266~
di ujung rawa. Ada laki-laki yang tinggal di sana, dengan
seekor keledai. Dan ada banyak tikus mati di dalam kandang.
Kami melihat-lihat lewat jendelanya-ngeri deh. Lalu dia
terbangun dan melihat kami, maka aku dan Nicko berlari
menghampiri, dan kami melihat tikus ini. Kurasa dia baru
saja melarikan diri. Jadi, aku mengangkatnya dan kutaruh di
dalam jaketku, lalu kami lari menyelamatkannya. Maksudku,
berseluncur untuk menyelamatkannya. Dan laki-laki tua itu
keluar dan memarahi kami karena mengambil tikusnya. Tapi
dia tidak bisa menangkap kami, ya kan, Nicko?"
"Benar," sahut Nicko, yang tidak banyak bicara.
"Lagi pula, kukira ini adalah Tikus Pembawa Pesan
yang membawa pesan dari Ayah," tutur Jenna.
"Tidak mungkin," sahut Bibi Zelda. "Tikus Pembawa
Pesan itu gemuk."
Tikus di tangan Jenna mencicit pelan sebagai tanda
protes.
"Dan yang ini," kata Bibi Zelda, sambil menyodok
tulang rusuk tikus itu, "kurus seperti tongkat. Baiklah, kurasa
sebaiknya kaubawa masuk, tikus apa pun dia."
Dan begitulah cara Stanley akhirnya sampai ke
tempat tujuannya, hampir enam minggu setelah diutus Biro
Tikus. Layaknya semua Tikus Pembawa Pesan yang baik, dia
harus menjunjung tinggi semboyan Biro Tikus: Tidak ada
yang bisa menghentikan Tikus Pembawa Pesan.
Namun Stanley tidak cukup kuat untuk
menyampaikan pesan yang dibawanya. Dia terbaring lemah
http://facebook.com/indonesiapustaka

di atas bantal sofa di depan perapian, sementara Jenna


memberinya makan sup belut. Tikus itu sejak dulu tidak
menyukai belut, terutama yang jenis di-sup, tapi setelah
enam minggu berada di dalam kandang, hanya minum air dan
sama sekali tidak makan apa-apa, sup belut pun jadi terasa
sangat lezat. Berbaring di atas bantal sofa di depan perapian,

~267~
dan bukannya menggigil di dasar kandang kotor bahkan
terasa lebih menyenangkan lagi. Meski Bert suka menyelinap
dan mencatolnya sesekali kalau tidak ada yang melihat.
Marcia memberi perintah Bicara, Rattus Rattus
setelah Jenna memaksanya, tapi Stanley tidak mengucapkan
sepatah kata pun selagi dia terbaring lemah di atas bantalan
sofa.
"Aku masih tidak yakin bahwa itu Tikus Pembawa
Pesan," kata Marcia beberapa hari setelah Stanley datang dan
tikus itu masih saja belum bicara. "Tikus Pembawa Pesan
yang dulu itu mencerocos terus tanpa ada habisnya, kalau
aku tidak salah ingat. Dan sebagian besar yang
dibicarakannya pun hanya omong kosong."
Stanley melayangkan wajah masamnya kepada
Marcia, tapi Marcia tidak memedulikannya.
"Ini memang tikus itu, Marcia," Jenna
meyakinkannya. "Aku pernah memelihara banyak tikus, dan
aku bisa dengan mudah mengenali mereka. Tikus yang satu
ini pasti si Tikus Pembawa Pesan yang pernah kita temui
sebelumnya."
Maka mereka semua menunggu dengan tegang
sampai Stanley cukup pulih untuk bisa Bicara dan
menyampaikan pesan dari Silas yang sudah teramat sangat
dinanti-nanti. Keadaannya sangat mencemaskan. Tikus itu
kemudian terserang demam dan meracau, bergumam tidak
jelas selama berjam-jam tanpa henti dan hampir membuat
Marcia sinting. Bibi Zelda membuat seduhan kulit pohon
http://facebook.com/indonesiapustaka

willow dalam jumlah banyak, yang disuapkan Jenna dengan


penuh kesabaran pada tikus itu dengan sebuah pipet kecil.
Setelah satu minggu yang panjang dan menyebalkan, demam
si tikus akhirnya mereda.
Pada suatu penghujung siang, sewaktu Bibi Zelda
mengunci diri di dalam lemari ramuan (dia memutuskan

~268~
untuk mengunci pintu setelah Bocah 412 mengintip ke
dalam, waktu itu) dan Marcia tengah mencoba mantra
matematika di meja Bibi Zelda, Stanley berdeham, lalu duduk
tegak. Maxie menyalak dan Bert mendesis terkejut, tapi si
Tikus Pembawa Pesan tidak mengacuhkan mereka.
Dia punya pesan yang harus disampaikan.
http://facebook.com/indonesiapustaka

~269~
30. PESAN UNTUK MARCIA
Segara saja Stanley dikerumuni oleh pemirsa yang
harap-harap cemas. Dia berjalan terpincang-pincang dari
bantalan sofa, lalu berdiri tegak, dan mengambil napas
dalam-dalam. Kemudian dia berkata dengan suara gemetar,
"Pertama-tama, aku harus bertanya. Apakah di sini ada orang
yang bernama Marcia Overstrand?"
"Kau sudah tahu ada orangnya," sahut Marcia tidak
sabaran.
"Aku tetap harus bertanya, Yang Mulia. Bagian dari
prosedur," sahut si Tikus Pembawa Pesan. Dia melanjutkan,
"Aku datang ke sini untuk menyampaikan pesan kepada
Marcia Overstrand, mantan Penyihir LuarBiasa..."
"Apa?" Marcia tercekat. "Mantan? Apa yang
dimaksud tikus bodoh itu, mantan Penyihir LuarBiasa?"
"Tenang, Marcia," kata Bibi Zelda. "Tunggu dan
dengarkan apa yang akan dikatakannya."
Stanley melanjutkan, "Pesan ini dikirim tepat pada
pukul tujuh pagi..." Stanley berhenti untuk mengingat-ingat,
berapa hari tepatnya sejak pesan itu dikirimkan. Sebagai
tikus profesional, Stanley telah mencatat waktu selama
dikurung di dalam kandang dengan menggaruk satu garis
setiap harinya di salah satu jeruji kandang. Dia tahu dia
sudah menghabiskan selama tiga puluh sembilan hari
bersama Jack si Sinting, tapi dia tidak tahu berapa hari telah
dilewatkannya di depan perapian Pondok Penjaga dalam
http://facebook.com/indonesiapustaka

keadaan mengigau karena demam tinggi, "...eh... sudah lama


sekali, olehproxy, dari seorang Silas Heap yang menetap di
Kastil..."
"Apa artinya proxy?" tanya Nicko.
Stanley mengentakkan kaki dengan tidak sabar. Dia
tidak suka diinterupsi, terutama ketika pesannya sudah

~270~
begitu lama hingga dia khawatir tidak akan bisa
mengingatnya. Stanley terbatuk-batuk tidak sabar.
"Pesan dimulai:
Marcia yang terhormat,
Kuharap kau baik-baik saja. Aku baik-baik saja dan
berada di Kastil. Aku akan merasa berterima kasih bila kau
mau menemuiku di luar Istana sesegera mungkin. Ada
perkembangan baru. Aku akan berada di Gerbang Istana saat
tengah malam, setiap malam, sampai kau datang. Tak sabar
menanti untuk berjumpa denganmu,
Salam hangat,
Silas Heap
Pesan selesai.
Stanley duduk bersandar di atas bantalan sofa, lalu
mengembuskan napas lega. Di antara semua Tikus Pembawa
Pesan, barangkali dia telah menghabiskan waktu terlama
untuk menyampaikan sebuah pesan, tapi dia telah
menyelesaikan tugasnya. Dibiarkannya senyum tipis
tersungging di mulutnya, meski dia masih bertugas.
Sesaat keadaan sunyi senyap, dan kemudian Marcia
meledak. "Dasar, memang dasari Dia sama sekali tidak
berusaha kembali kemari sebelum Musim Salju Dahsyat ini,
lalu, ketika akhirnya dia bisa mengirim pesan, dia sama sekali
tidak menyebut-nyebut tentang JimatPelindung milikku. Aku
menyerah. Seharusnya aku sendiri yang pergi."
"Tapi bagaimana dengan Simon?" tanya Jenna cemas.
"Dan mengapa Ayah tidak mengirimkan pesan untuk
http://facebook.com/indonesiapustaka

kita?"
"Lagi pula isi pesan itu tidak kedengaran seperti
Ayah," gerutu Nicko.
"Memang benar," Marcia setuju. "Pesan itu
bahasanya terlalu sopan."
"Yah, kurasa itu dikirimkan oleh proxy," sahut Bibi

~271~
Zelda tidak yakin.
"Apa maksudnya prory?" tanya Nicko lagi.
"Artinya pengganti. Orang lain yang mengirim
pesannya ke Biro Tikus. Silas pasti tidak bisa ke sana. Dan itu
tidak mengherankan. Aku ingin tahu, siapa si proxy-nya?
Stanley bungkam, walau dia tahu benar bahwa
proxy-nya adalah Wali Utama. Meski tidak lagi berstatus
sebagai Tikus Sangat Rahasia, dia masih terikat dengan kode
etik Biro Tikus. Dan itu berarti semua percakapan di dalam
Biro Tikus Sangatlah Rahasia. Tapi Tikus Pembawa Pesan itu
merasa kikuk. Para Penyihir ini sudah menolongnya,
merawat dan mungkin menyelamatkan hidupnya. Stanley
bergerak-gerak gelisah dan menatap ke lantai. Ada sesuatu
yang terjadi, pikirnya, dan dia tidak ingin menjadi bagian dari
sesuatu itu. Keseluruhan pesan ini benar-benar mimpi buruk
dari awal sampai akhir.
Marcia berjalan ke meja dan menutup buku dengan
membantingnya.
"Berani-beraninya Silas mengabaikan masalah
sepenting JimatPelindung milikku?" ujarnya marah. "Apa dia
tidak tahu bahwa tugas utama Penyihir Biasa adalah
melayani Penyihir LuarBiasa? Aku tidak akan membiarkan
dia meremehkan diriku lagi. Akan kucari dia, dan kumaki-
maki dia."
"Marcia, apakah itu tindakan yang bijaksana?" tanya
Bibi Zelda pelan.
"Aku masih Penyihir LuarBiasa, dan aku tidak sudi
http://facebook.com/indonesiapustaka

disingkirkan," Marcia mengeluarkan maklumat.


"Baiklah, kusarankan kau beristirahat saja dulu,"
sahut Bibi Zelda yang berkepala dingin. "Keadaan senantiasa
kelihatan lebih baik di pagi hari."
Agak larut malam itu, Bocah 412 berbaring di bawah
kerlap-kerlip cahaya dari perapian, mendengarkan dengusan

~272~
Nicko dan napas Jenna yang teratur. Dia terbangun oleh
dengkuran keras Maxie yang bergema sampai ke langit-
langit. Seharusnya Maxie tidur di lantai bawah, tapi anjing itu
tetap saja menyelinap ke lantai atas untuk tidur di ranjang
Silas, tidak bakal ada yang mencegahnya. Sebenarnya ketika
Maxie mulai mendengkur di lantai bawah, Bocah 412 sering
kali mendorong anjing itu dan membantunya naik ke lantai
atas. Tapi malam itu Bocah 412 sadar bahwa dia mendengar
sesuatu selain dengkuran anjing yang menderita sinus itu.
Keriat-keriut lantai papan di atas kepalanya...
langkah-langkah kaki mengendap-endap di tangga... derit
anak tangga kedua dari bawah... Siapa itu? Apa itu? Bocah
412 teringat kembali semua cerita hantu yang pernah
diceritakan padanya saat dia mendengar desir pelan jubah
melintasi lantai batu, dan tahulah dia bahwa siapa pun itu,
atau apa pun itu, telah memasuki kamar yang sama.
Perlahan, sangat perlahan, Bocah 412 duduk tegak,
jantungnya berdetak kencang, dan dia menatap terbelalak ke
dalam kegelapan. Sesosok tubuh gelap bergerak diam-diam
menuju buku yang ditinggalkan Marcia di atas meja. Sosok
itu mengangkat buku tersebut, lalu memasukkannya ke balik
jubahnya, kemudian dia melihat putih bola mata Bocah 412
memandanginya dari dalam kegelapan.
"Ini aku," bisik Marcia. Marcia memberi isyarat pada
Bocah 412 untuk menghampirinya. Bocah itu menyelinap
keluar dari selimut, lalu melintasi lantai batu untuk melihat
apa yang diinginkan Marcia.
http://facebook.com/indonesiapustaka

"Bagaimana ada orang yang bisa tidur sekamar


dengan binatang itu? Aku benar-benar tidak bisa mengerti,"
bisik Marcia kesal. Bocah 412 tersenyum malu-malu. Dia
tidak mengatakan bahwa tadi dialah yang mendorong Maxie
naik ke lantai atas.
"Aku akan Kembali malam ini," ujar Marcia. "Aku

~273~
akan menggunakan Menit-Menit Tengah Malam, hanya untuk
memastikan segalanya berjalan dengan baik. Kau harus ingat
itu, menit-menit di salah satu sisi mana pun tengah malam
adalah waktu yang paling tepat untuk Bepergian dengan
aman. Terutama kalau ada orang di seberang sana yang ingin
menyakiti dirimu. Dan aku curiga memang ada. Aku akan
sampai ke Gerbang Istana dan menyeret keluar si Silas Heap
itu. Nah, sekarang jam berapa?"
Marcia mengeluarkan penunjuk waktunya.
"Dua menit menjelang tengah malam. Aku akan
segera kembali. Barangkali kau bisa memberitahu Zelda."
Marcia menatap Bocah 412 dan ingat bahwa bocah itu tidak
pernah berkata apapun sejak memberitahukan peringkat dan
nomornya di Menara Penyihir. "Oh, baiklah, tidak masalah
kalau kau tidak memberitahunya. Dia bisa menduga aku
pergi ke mana."
Bocah 412 tiba-tiba teringat sesuatu yang penting.
Dia meraba-raba ke dalam saku baju hangatnya, lalu
mengeluarkan Jimat pemberian Marcia saat memintanya
menjadi Murid-nya. Dipegangnya sepasang sayap perak
mungil itu di telapak tangannya, dan dipandanginya dengan
sedikit menyesal. Sepasang sayap itu memantulkan kilau
keperakan dan keemasan dalam kilauan Magyk yang mulai
mengelilingi Marcia. Bocah 412 mengulurkan Jimat itu
kepada Marcia-menurut pendapatnya, tidak seharusnya dia
tetap menyimpan benda itu, berhubung dia tak mungkin
menjadi Murid Marcia-namun Marcia menggeleng, lalu
http://facebook.com/indonesiapustaka

berlutut di sampingnya.
"Tidak," bisiknya. "Aku masih berharap kau berubah
pikiran dan memutuskan untuk menjadi Murid-ku. Pikirkan
baik-baik selama aku pergi. Sekarang, sudah satu menit
menjelang tengah malam. Mundurlah."
Udara di sekitar Marcia berubah menjadi dingin, dan

~274~
getaran kuat Magyk menyapu dirinya, lalu memenuhi udara
dengan muatan listrik. Bocah 412 mundur kembali ke
perapian, agak takut sekaligus terpesona. Marcia
memejamkan mata, lalu mulai menggumamkan sesuatu yang
panjang dan rumit dalam bahasa yang belum pernah
didengar Bocah 412. Saat memerhatikan, tampak olehnya
kabut Magyk yang sama itu, kabut yang pertama kali
dilihatnya sewaktu dia duduk di Muriel di Parit Deppen.
Sekonyong-konyong Marcia menyelubungi dirinya dengan
jubah, hingga tertutup dari ujung rambut sampai ujung kaki,
dan pada saat itu warna ungu kabut Magyk dan ungu jubah
Marcia bercampur menjadi satu. Terdengar desisan kencang,
seperti tetesan air menimpa besi panas, lalu Marcia
menghilang, hanya meninggalkan bayangan samar yang
bertahan selama beberapa saat.
Di Gerbang Istana, dua puluh menit menjelang tengah
malam, satu peleton Pengawal sedang bertugas, seperti
biasanya setiap malam selama lima puluh malam yang dingin
menusuk tulang. Pengawal-Pengawal itu kedinginan dan
sudah bersiap-siap melewatkan satu lagi malam yang
panjang dan membosankan, tanpa melakukan apa-apa selain
mengentak-entakkan kaki dan berusaha menyenangkan hati
Wali Utama, yang punya gagasan aneh bahwa Penyihir
LuarBiasa akan muncul tepat di tempat ini. Muncul begitu
saja. Tentu saja wanita itu tidak pernah muncul, dan mereka
pun tidak berharap dia datang. Tapi tetap saja, setiap malam
Wali Utama memerintahkan mereka keluar untuk menunggu
http://facebook.com/indonesiapustaka

sehingga ibu jari kaki mereka membeku menjadi balok es.


Maka ketika sesosok bayangan samar berwarna ungu
mulai muncul di tengah mereka, tak satu pun Pengawal
benar-benar percaya apa yang sedang terjadi.
"Itu dia," bisik salah satu dari mereka, setengah
ketakutan dengan Magyk yang mendadak bergulung-gulung

~275~
di udara dan mengirimkan muatan listrik ke helm logam
hitam mereka. Para Pengawal itu menghunus pedang dan
memandangi bayangan berkabut itu membentuk dirinya
menjadi sesosok tubuh jangkung terbungkus jubah ungu
seorang Penyihir LuarBiasa.
Marcia Overstrand sudah Muncul tepat di tengah-
tengah perangkap Wali Utama. Marcia terkejut, dan tanpa
JimatPelindung miliknya serta perlindungan Menit-Menit
TengahMalam-karena Marcia terlambat dua puluh menit-dia
tak mampu mencegah Kapten Pengawal merampas Jimat
Akhu dari lehernya.
Sepuluh menit kemudian, Marcia terbaring di dasar
Sel Bawah Tanah Nomor Satu, yang merupakan cerobong
asap gelap dan dalam yang terkubur di dalam pondasi Kastil.
Marcia terbaring terkesima, terjebak di tengah-tengah
Pusaran Bayang-Bayang dan Nuansa yang telah disiapkan
oleh DomDaniel, khusus untuknya. Malam itu adalah malam
terburuk dalam hidup Marcia. Tergeletak tak berdaya di
kubangan air berbau busuk, bersandar di atas tumpukan
tulang-belulang para penghuni sebelumnya, tersiksa oleh
rintihan dan jeritan Bayang-Bayang dan Nuansa yang
bergulung-gulung di sekitarnya dan mengisap kekuatan
Magyk dari dalam dirinya. Barulah keesokan harinya-ketika,
untungnya, ada hantu Tua yang tersesat dan kebetulan lewat
menembus dinding Sel Bawah Tanah Nomor Satu-ada orang
lain, selain DomDaniel dan Wali Utama, yang tahu
keberadaan Marcia.
http://facebook.com/indonesiapustaka

Hantu Tua itu membawa Alther kepada Marcia, tapi


tidak ada yang bisa dilakukan Alther kecuali duduk di
samping Marcia serta menyemangatinya agar terus berjuang
untuk hidup. Alther harus mengerahkan seluruh
kemampuannya untuk membujuk, karena Marcia sudah
sangat putus asa. Dalam kemarahannya kepada Silas, Marcia

~276~
tahu dia telah menihilkan semua yang telah diperjuangkan
Alther ketika menyingkirkan DomDaniel. Karena sekali lagi
DomDaniel berhasil mengalungkan Jimat Akhu di leher
gemuknya, dan dialah, bukan Marcia Overstrand, kini yang
menjadi Penyihir LuarBiasa sesungguhnya.
http://facebook.com/indonesiapustaka

~277~
31. KEMBALINYA SI TIKUS
Bibi Zelda tidak memiliki penunjuk waktu ataupun
jam. Penunjuk waktu tidak pernah bekerja dengan baik di
Pondok Penjaga; terlalu banyak Gangguan di bawah tanah.
Sayangnya, Bibi Zelda tidak pernah repot-repot
memberitahukan hal ini kepada Marcia, karena Bibi Zelda
sendiri tidak terlalu peduli tentang urusan jam setiap
harinya. Kalau Bibi Zelda ingin tahu jam berapa saat itu, dia
cukup melihat jam matahari dan berharap matahari sudah
keluar, tapi dia justru lebih memerhatikan perubahan fase-
fase bulan.
Pada hari Tikus Pembawa Pesan diselamatkan, Bibi
Zelda mengajak Jenna berjalan-jalan keliling pulau setelah
hari gelap. Salju masih tetap tebal dan lapisan es di atasnya
begitu kering sehingga Jenna bisa berlari-lari kecil melintasi
permukaannya, meski Bibi Zelda dengan sepatu bot besarnya
langsung melesak ke dalam. Mereka sudah berjalan sampai
ke ujung pulau, jauh dari cahaya pondok, dan Bibi Zelda
menunjuk ke langit malam yang pekat, yang bertabur
ratusan ribu cahaya kemilau bintang, lebih banyak bintang
daripada yang pernah dilihat Jenna.
"Malam ini," tutur Bibi Zelda, "adalah Malam Bulan
Baru."
Jenna menggigil. Bukan karena kedinginan, tapi
karena perasaan aneh yang menghinggapi dirinya, berada di
luar, di tengah-tengah bentangan luas bintang-bintang serta
http://facebook.com/indonesiapustaka

kegelapan.
"Malam ini, betapapun kau mencoba, kau tidak akan
bisa melihat bulan," tutur Bibi Zelda. "Tak seorang pun di
muka bumi bisa melihat bulan malam ini. Malam ini bukan
malam yang baik untuk berkeliaran seorang diri di rawa, dan
bila binatang dan hantu rawa tidak terkurung membeku di

~278~
bawah tanah, kita bakal menggunakan MantraPengunci di
pondok sekarang ini. Tapi kupikir kau akan senang melihat
bintang-bintang tanpa cahaya bulan. Ibumu dulu suka sekali
melihat bintang-bintang."
Jenna menelan ludah. "Ibuku? Maksud Bibi, ibuku
sewaktu aku dilahirkan?"
"Ya," sahut Bibi Zelda. "Maksudku Sang Ratu. Beliau
suka sekali bintang. Kupikir kau juga bakal menyukainya.
"Memang," desah Jenna. "Aku suka sekali menghitung
bintang dari jendela rumahku kalau aku tidak bisa tidur.
Tapi... bagaimana Bibi bisa mengenal ibuku?"
"Dulu aku sering menemuinya setiap tahun," tutur
Bibi Zelda. "Sampai beliau... well, sampai keadaan berubah.
Dan ibunya, nenekmu tersayang, aku juga menemuinya
setiap tahun."
Ibu, nenek... Jenna mulai menyadari bahwa dirinya
memiliki anggota keluarga yang sama sekali tidak
dikenalnya. Tapi Bibi Zelda mengenal mereka.
"Bibi Zelda," tanya Jenna perlahan, akhirnya
memberanikan diri mengajukan pertanyaan yang sudah
mengganggunya sejak dia tahu siapa dirinya sebenarnya.
"Hmm?" Bibi Zelda sedang memandang ke seluruh
penjuru rawa.
Bagaimana dengan ayahku?"
"Ayahmu? Ah, dia berasal Negeri Jauh. Dia sudah
pergi sebelum kau dilahirkan." "Dia pergi?"
"Dia punya sebuah kapal. Dia pergi untuk mengambil
http://facebook.com/indonesiapustaka

sesuatu atau apalah," tutur Bibi Zelda lirih. "Dia tiba kembali
di Pelabuhan tepat setelah kau dilahirkan, dengan kapal
penuh benda berharga untukmu dan ibumu, begitulah yang
kudengar. Namun ketika dia diberitahu tentang kabar buruk
itu, dia segera berlayar lagi pada gelombang pasang
berikutnya."

~279~
"Siapa... siapa namanya?" tanya Jenna.
"Tidak tahu," sahut Bibi Zelda yang, seperti
kebanyakan orang, tidak terlalu memerhatikan identitas
pasangan Sang Ratu. Pewarisan Takhta diturunkan dari ibu
kepada putrinya, sementara para pria dalam keluarga
dibiarkan menjalani hidup sesuka hati mereka.
Ada sesuatu dalam nada suara Bibi Zelda yang
menarik perhatian Jenna, maka dipalingkannya wajahnya
dari bintang-bintang untuk menatap wanita itu. Dan Jenna
terkesiap. Selama ini dia tidak pernah benar-benar
memerhatikan mata Bibi Zelda, namun kini mata biru tajam
Penyihir Putih itu menyorot tajam menembus gelapnya
malam, berkilat-kilat dalam kegelapan dan memandangi
rawa-rawa dengan penuh perhatian.
"Nah," kata Bibi Zelda dengan tiba-tiba, "sudah
waktunya masuk,
"Tapi..."
"Akan kuceritakan lebih banyak pada musim panas.
Pada saat itulah mereka biasanya datang, pada Hari
Pertengahan Musim Panas. Aku akan mengajakmu ke sana
juga."
"Ke mana?" tanya Jenna. "Mengajakku ke mana?"
"Ayolah," kata Bibi Zelda. "Aku tidak suka bayangan
di sebelah sana itu..."
Bibi Zelda meraih tangan Jenna, lalu berlari
bersamanya melintasi salju. Di rawa-rawa, seekor Lynx
Rawa yang sangat kelaparan berhenti membuntuti, lalu
http://facebook.com/indonesiapustaka

berbalik arah. Binatang itu sudah terlalu lemah untuk


mengejar; kalau ini terjadi beberapa hari sebelumnya, Lynx
itu akan bisa makan enak dan bertahan melewati musim
dingin. Tapi kini Lynx itu hanya bisa menyelinap kembali ke
dalam liang saljunya, dan dengan lemas mengunyah-ngunyah
tikus beku terakhirnya.

~280~
Setelah Bulan Baru, sepotong tipis bulan muncul di
langit. Setiap malam potongannya semakin membesar. Langit
sudah cerah sekarang, karena hujan salju sudah berhenti, dan
setiap malam Jenna memandangi bulan dari jendela,
sementara Serdadu-Serdadu Serangga bergerak-gerak bagai
bermimpi di dalam Pot-Pot Pengawet, menantikan saat-saat
kebebasan mereka.
"Perhatikan terus," kata Bibi Zelda padanya. "Bulan
yang semakin membesar akan menarik banyak hal dari
dalam tanah. Dan pondok ini akan menarik orang-orang yang
ingin datang kemari. Daya tarikannya paling kuat saat bulan
purnama, yaitu ketika kalian datang."
Namun ketika bulan sudah mencapai seperempat
penuh, Marcia pergi.
"Kenapa Marcia justru pergi?" tanya Jenna pada Bibi
Zelda pagi itu, ketika mereka mendapati Marcia sudah tidak
ada. "Kupikir segala sesuatu akan kembali saat bulan
bertambah besar, bukannya pergi."
Bibi Zelda kelihatan agak kesal dengan pertanyaan
Jenna. Dia kesal pada Marcia yang pergi begitu mendadak,
dan juga tidak suka ada orang yang mengacaukan teori-
teorinya tentang bulan.
"Terkadang," tutur Bibi Zelda dengan misterius,
"segala sesuatunya harus pergi dulu agar bisa kembali." Lalu
dengan kesal dia beranjak ke lemari ramuannya dan
mengunci pintu rapat-rapat di belakangnya.
Nicko menunjukkan wajah simpati pada Jenna dan
http://facebook.com/indonesiapustaka

melambaikan sepatu seluncur ke arahnya.


"Ayo balapan ke Rawa Besar." Nicko menyeringai.
"Yang terakhir sampai jadi tikus mati." Jenna
tertawa.
Stanley terbangun kaget mendengar kata "tikus
mati", dan membuka matanya tepat pada saat Nicko dan

~281~
Jenna meraih sepatu seluncur mereka, kemudian menghilang
untuk melewatkan hari itu.
Pada saat bulan purnama tiba dan Marcia masih
belum kembali, semua orang merasa sangat cemas.
"Sudah kubilang pada Marcia untuk memikirkannya
dulu," tutur Bibi Zelda, "tapi, oh, tidak, dia tidak bisa
menahan kemarahan terhadap Silas, dan dia bangun lalu
pergi begitu saja pada tengah malam. Sejak saat itu tidak ada
kabar lagi darinya. Sungguh amat disayangkan. Aku bisa
memahami kalau Silas belum kembali, dengan adanya Musim
Salju Dahsyat ini, tapi tidak Marcia."
"Barangkali dia kembali malam ini," Jenna
memberanikan diri berkata, "kan sekarang sudah bulan
purnama."
"Mungkin saja," sahut Bibi Zelda, "atau mungkin juga
tidak."
Marcia, tentu saja, tidak kembali malam itu. Malam
itu dihabiskannya seperti sepuluh malam terakhir, di tengah-
tengah Pusaran Bayang-Bayang dan Nuansa, terbaring lemah
di tengah kubangan air kotor di dasar Sel Bawah Tanah
Nomor Satu. Alther Mella duduk di sebelahnya,
menggunakan segenap kekuatan Magyk-nya sebagai hantu
untuk menolong Marcia agar tetap bertahan hidup. Jarang
ada orang yang bisa bertahan hidup kalau sudah jatuh ke
dalam Sel Bawah Tanah Nomor Satu. Kalaupun berhasil
selamat, mereka tidak akan bertahan lama, melainkan
langsung tenggelam ke bawah air kotor, bergabung dengan
http://facebook.com/indonesiapustaka

tulang-tulang yang tergeletak tepat di bawah permukaannya.


Tanpa Alther, tak diragukan lagi, nasib yang sama lambat
laun bakal menimpa Marcia.
Malam itu, pada malam bulan purnama, saat matahari
tenggelam dan bulan terbit di langit, Jenna dan Bibi Zelda
menyelimuti diri mereka dengan beberapa lapis selimut dan

~282~
terus mengarahkan mata ke jendela, menanti Marcia. Tak
lama kemudian Jenna tertidur, tapi Bibi Zelda terus berjaga
sepanjang malam, sampai terbitnya matahari dan
tenggelamnya bulan purnama mengakhiri harapan sekecil
apa pun di dalam dirinya tentang kembalinya Marcia.
Keesokan harinya, Tikus Pembawa Pesan
memutuskan dirinya sudah cukup kuat untuk pergi. Ada
batasnya seberapa banyak sup belut yang bisa dicerna oleh
perut seekor tikus sekalipun, dan Stanley merasa sudah
benar-benar tidak tahan lagi.
Namun Stanley baru bisa pergi kalau dia
diperintahkan membawa pesan lain, atau dibebaskan tanpa
membawa pesan. Maka pagi itu dia berdeham sopan, lalu
berkata, "Permisi, semuanya." Semua orang melihat ke arah
si tikus. Ketika sedang dalam masa pemulihan, tikus itu tak
banyak bicara, dan mereka tidak terbiasa mendengarnya
bicara.
"Sudah waktunya aku kembali ke Biro Tikus. Aku
sudah melewati batas tugasku. Tapi aku harus menanyakan,
Apakah kalian akan menyuruhku menyampaikan pesan?"
"Ayah!" seru Jenna. "Bawakan pesan untuk Ayah!"
"Lalu siapa itu Ayah?" tanya si tikus. "Dan di mana
dia bisa ditemukan?"
"Kami tidak tahu," sahut Bibi Zelda gusar. "Tidak ada
pesan, terima kasih, Tikus Pembawa Pesan. Kau boleh pergi."
Stanley membungkuk hormat, merasa amat sangat
lega.
http://facebook.com/indonesiapustaka

"Terima kasih, Madam," katanya. "Dan, ahem, terima


kasih atas kebaikan Anda. Kalian semua. Aku sangat
berterima kasih."
Mereka semua memandangi si tikus berlari di atas
salju, meninggalkan jejak-jejak kaki kecil dan ekor di
belakangnya.

~283~
"Andai tadi kita mengirimkan pesan," Jenna berkata
dengan sedih.
"Sebaiknya tidak," sahut Bibi Zelda. "Ada yang tidak
beres dengan tikus itu. Sesuatu yang berbeda dibandingkan
terakhir kali."
"Yah, dia memang jauh lebih kurus," kata Nicko.
"Hmm," gumam Bibi Zelda. "Ada yang tidak beres.
Aku bisa merasakannya."
Perjalanan Stanley kembali ke Kastil lancar dan
menyenangkan. Sesampainya dia di Biro Tikus, barulah
mulai terjadi masalah. Stanley berlari tergesa-gesa di saluran
pembuangan yang baru mencair, lalu mengetuk pintu Biro
Tikus.
"Masuk!" bentak si tikus hitam, yang baru saja
kembali bertugas setelah diselamatkan lama kemudian dari
Biro Tikus yang membeku.
Stanley masuk pelan-pelan, sadar sepenuhnya bahwa
dia harus menjelaskan banyak hal.
"Kau!" suara tikus hitam itu menggelegar. "Akhirnya.
Berani-beraninya kau mempermainkan aku. Kau tahu sudah
berapa lama kau pergi?"
"Eh... dua bulan," gumam Stanley. Dia tahu benar
sudah berapa lama dia pergi, dan mulai mengira-ngira apa
yang bakal dikatakan Dawnie tentang masalah itu.
"Eh... dua bulan, Sir!" teriak si tikus hitam sambil
mengetuk-ngetukkan ekornya ke atas meja dengan marah.
"Apa kau sadar bahwa kau sudah membuatku tampak
http://facebook.com/indonesiapustaka

sedemikian bodoh?"
Stanley diam saja, sambil berpikir setidaknya ada
juga hal positif yang dihasilkan oleh perjalanannya yang
mengerikan itu.
"Kau bakal mendapatkan ganjarannya," teriak si
tikus hitam. "Aku sendiri akan memastikan kau tidak bakal

~284~
mendapatkan tugas lain selama aku berkuasa di sini."
"Tapi..."
"Tapi, Siri" jerit si tikus hitam. "Tadi kan sudah
kubilang! Panggil aku Siri"
Stanley diam saja. Ada banyak sebutan yang terlintas
dalam benaknya untuk memanggil si tikus itu, tapi "Sir"
bukanlah salah satunya. Tiba-tiba Stanley menyadari ada
sesuatu di belakangnya. Dia berbalik dan melihat sepasang
tikus berotot paling besar yang pernah dilihatnya. Mereka
berdiri dengan tampang menakutkan di ambang pintu Biro
Tikus, menghalangi cahaya dan juga peluang Stanley untuk
bisa melarikan diri, dan Stanley mendadak merasa sangat
ingin melarikan diri.
Si tikus hitam justru kelihatan senang melihat
mereka.
"Ah, bagus. Kalian sudah datang. Bawa dia pergi."
"Ke mana?" cicit Stanley. "Kalian mau bawa aku ke
mana?"
"Kalian... mau... bawa... aku... ke mana, Sir?" ujar si
tikus hitam dengan gigi bergemeletukan. "Ke pengganti yang
mengirim pesan ini. Dia ingin tahu di mana tepatnya kau
menemukan si penerima pesan. Dan berhubung kau tidak
lagi berstatus Sangat Rahasia, tentu saja kau harus
mengatakan padanya."
"Bawa dia ke Wali Utama."
http://facebook.com/indonesiapustaka

~285~
32. SALJU MENCAIR
Sehari setelah kepergian Tikus Pembawa Pesan, Salju
Mencair pun dimulailah. Mula-mula di Rawa-Rawa Marram,
yang selalu sedikit lebih hangat dibandingkan tempat lain di
mana pun, dan kemudian menyebar sampai ke sungai,
melewati Hutan, lalu memasuki Kastil. Para penghuni Kastil
sangat lega, berhubung mereka sudah kehabisan persediaan
makanan gara-gara Pasukan Wali telah menjarah banyak
sekali gudang-gudang persediaan musim dingin, demi
keperluan DomDaniel yang sangat sering menyelenggarakan
perjamuan.
Mencairnya Salju juga melegakan bagi seekor Tikus
Pembawa Pesan yang sedang menggigil sedih di dalam
perangkap tikus di bawah lantai Kamar Kecil Wanita. Stanley
ditinggalkan di sana karena menolak mengungkapkan letak
pondok Bibi Zelda. Dia tidak tahu bahwa si Pemburu sudah
berhasil menebak letak pondok itu dari cerita Simon Heap
kepada Wali Utama; Stanley juga tidak tahu bahwa tak
seorang pun di tempat itu berniat membebaskan dirinya,
meski Stanley, yang telah cukup berpengalaman, sudah bisa
menduga hal ini. Maka sang Tikus Pembawa Pesan mencoba
bertahan sebisa mungkin: dia makan apa pun yang bisa
ditangkapnya, terutama laba-laba dan kecoak; dia menjilati
tetes-tetes air dari salju yang mencair di saluran
pembuangan; dan mau tak mau dia jadi terkenang-kenang
Jack si Sinting dan dia pun nyaris merasa beruntung.
http://facebook.com/indonesiapustaka

Sementara itu, Dawnie sudah melepaskan harapan akan


kepulangan Stanley, dan dia pun pergi untuk tinggal bersama
kakaknya.
Rawa-rawa Marram kini terendam air dari salju yang
mencair dengan cepat. Tak lama kemudian kehijauan
rerumputan mulai tampak, tanah menjadi lengket dan basah.

~286~
Es di dalam Mott dan parit adalah yang terakhir mencair, tapi
begitu Ular Piton Rawa merasakan suhu mulai naik, binatang
itu mulai bergerak-gerak, mengibas-ngibaskan ekornya
dengan tidak sabar serta meregangkan ratusan tulang
rusuknya yang kaku. Semua orang di pondok menahan napas
menunggu si ular raksasa membebaskan diri. Mereka tidak
yakin seberapa lapar, atau seberapa kesalnya ular itu. Untuk
memastikan agar Maxie tetap berada di dalam, Nicko
mengikat anjing serigala itu ke kaki meja dengan seutas tali
besar. Nicko cukup yakin bahwa anjing serigala yang segar
akan menempati urutan teratas di daftar menu si Ular Piton
Rawa begitu dia terbebas dari penjara esnya.
Kejadiannya berlangsung pada sore hari ketiga Salju
Mencair. Tiba-tiba kedengaran suara krak keras dan es di
atas kepala Ular Piton Rawa itu hancur berkeping-keping
dan berhamburan di udara. Ular itu menegakkan tubuh, dan
Jenna, satu-satunya orang yang masih berada di sekitar situ,
berlindung di belakang perahu ayam. Ular Piton Rawa itu
melayangkan pandang ke arahnya, tapi tidak senang
membayangkan mesti mengunyah hingga ke sepatu bot
Jenna yang tebal, maka ular itu bergerak dengan agak
kesulitan dan perlahan-lahan mengitari Mott, sampai
menemukan jalan keluar. Pada saat itulah terjadi
malapetaka: badan ular raksasa itu ternyata kaku. Binatang
itu terperangkap dalam lingkaran. Dia mencoba meliuk ke
arah berlawanan, tapi tidak berhasil juga; yang bisa
dilakukannya hanyalah berenang mengitari Mott. Setiap kali
http://facebook.com/indonesiapustaka

dia berusaha berbelok ke parit yang mengarah ke rawa, otot-


ototnya tak mau bergerak.
Selama berhari-hari ular itu terpaksa berbaring di
dalam Mott, mencaploki ikan-ikan dan melotot gusar pada
siapa pun yang mendekat. Tapi tak ada yang berani
mendekat setelah ular itu mengibaskan lidahnya yang

~287~
panjang dan bercabang kepada Bocah 412, hingga bocah itu
terlempar. Akhirnya, di suatu pagi matahari musim semi
yang terbit awal rupanya cukup menghangatkan si ular
sehingga ketegangan otot-ototnya berkurang. Berkeriat-
keriut bak pintu gerbang berkarat, ular itu berenang susah
payah untuk mencari beberapa ekor kambing, lalu perlahan-
lahan selama beberapa hari berikutnya ular itu hampir
berhasil meluruskan badannya. Tapi tidak sepenuhnya lurus.
Sampai penghujung hari-harinya, Ular Piton Rawa itu
cenderung berenang ke arah kanan.
Sewaktu Salju Mencair itu mencapai Kastil,
DomDaniel membawa kedua Magognya ke hulu, menuju
Sungai Suram di mana saat tengah malam buta, ketiga
makhluk itu menyeberangi papan sempit berjamur untuk
naik ke kapal Gelap milik DomDaniel, kapal Vengeance.
Mereka menunggu di sana selama beberapa hari, sampai arus
pasang naik yang dibutuhkan DomDaniel bisa mengeluarkan
kapalnya dari sungai kecil itu.
Pada pagi hari saat Salju Mencair, Wali Utama
mengadakan pertemuan dengan Dewan Wali, tanpa
menyadari bahwa kemarin dia lupa mengunci pintu yang
menuju Kamar Kecil Wanita. Simon sudah tidak dirantai lagi
ke pipa, karena Wali Utama sudah mulai menganggapnya
lebih sebagai teman ketimbang sandera, dan Simon duduk
dan menunggu dengan sabar kunjungan paginya seperti
biasa. Simon suka mendengarkan gosip tentang berbagai
permintaan DomDaniel yang tidak masuk akal, juga ledakan-
http://facebook.com/indonesiapustaka

ledakan amarahnya, dan merasa kecewa ketika Wali Utama


tidak kembali pada waktu yang biasanya. Simon tidak tahu
bahwa Wali Utama, yang belakangan sudah mulai bosan
dengan kehadiran Simon Heap, tengah bergembira ria
merencanakan apa yang disebut DomDaniel sebagai "Operasi
Kompos Heap", yang termasuk di dalamnya tidak hanya

~288~
rencana menyingkirkan Jenna, tapi juga seluruh anggota
keluarga Heap, termasuk Simon.
Setelah beberapa lama, lebih karena merasa bosan
dibandingkan keinginan untuk melarikan diri, Simon
mencoba membuka pintu. Dia terheran-heran karena
ternyata pintu itu bisa dibuka, dan dia mendapati dirinya
menatap koridor yang kosong. Simon melompat masuk
kembali ke dalam kamar kecil, lalu membanting pintu
dengan panik. Apa yang harus dilakukannya? Apakah
sebaiknya dia melarikan diri? Apakah dia ingin melarikan
diri?
Simon bersandar ke pintu dan memikirkannya
masak-masak. Satu-satunya alasan untuk tetap tinggal adalah
tawaran tidak jelas dari Wali Utama untuk menjadi Murid
DomDaniel. Namun tawaran itu tidak disebut-sebut lagi. Dan
Simon Heap sudah belajar banyak hal dari Wali Utama
sepanjang enam minggu yang dihabiskannya di dalam Kamar
Kecil Wanita. Hal yang paling utama adalah tidak
memercayai apa pun yang dikatakan oleh Wali Utama.
Berikutnya adalah mengurus si Nomor Satu. Dan sejak saat
ini, si Nomor Satu dalam hidup Simon, tentu saja, adalah
Simon Heap sendiri.
Simon membuka pintu lagi. Masih tidak ada orang di
koridor. Dia mengambil keputusan, lalu melangkah keluar
dari kamar kecil.
Silas sedang menyusuri Jalan Penyihir dengan wajah
muram, seraya mendongak memandangi jendela-jendela
http://facebook.com/indonesiapustaka

kumuh di atas toko-toko dan kantor-kantor yang berderet di


sepanjang Jalan itu. Dia bertanya-tanya apakah mungkin
Simon ditawan di suatu tempat di dalam relung-relung gelap
di baliknya. Satu peleton Pengawal berbaris lewat, dan Silas
mundur dengan cepat ke ambang pintu, sambil memegangi
JimatPelindung milik Marcia, berharap benda itu masih

~289~
berfungsi. "Psst," desis Alther.
"Apa?" Silas terlonjak kaget. Akhir-akhir ini dia
jarang berjumpa Alther, karena hantu itu menghabiskan
sebagian besar waktunya bersama Marcia di Sel Bawah
Tanah Nomor Satu.
"Bagaimana keadaan Marcia hari ini?" bisik Silas.
"Makin parah," sahut Alther muram.
"Kurasa kita benar-benar harus memberitahu Zelda,"
ujar Silas.
Dengarkan aku, Silas, dan jangan dekat-dekat Biro
Tikus itu. Tempat itu sudah diambil alih oleh tikus-tikus
DomDaniel dari Badlands. Segerombolan tikus centeng yang
keji. Sudahlah, jangan khawatir, aku akan mencari jalan
keluarnya," tutur Alther. "Pasti ada cara untuk
mengeluarkan Marcia dari sana."
Silas kelihatan patah semangat. Dia merindukan
Marcia melebihi yang bersedia diakuinya.
"Bergembiralah, Silas," kata Alther. "Ada seseorang
menunggumu di kedai. Kutemukan dia mondar-mandir di
sekitar Gedung Pengadilan dalam perjalananku kembali dari
tempat Marcia. Aku menyelundupkannya keluar lewat
terowongan. Sebaiknya kau cepat-cepat ke sana sebelum dia
berubah pikiran dan melarikan diri lagi. Anak itu memang
banyak akal, Simon-mu itu."
"Simon!" senyum lebar membuncah di wajah Silas.
"Alther, mengapa kau tidak bilang dari tadi? Apakah dia baik-
baik saja?"
http://facebook.com/indonesiapustaka

"Kelihatannya dia baik-baik saja," sahut Alther


singkat.
Simon sudah hampir dua minggu kembali bersama
keluarganya ketika, sehari sebelum bulan purnama, Bibi
Zelda berdiri di ambang pintu pondok untuk Mendengarkan
sesuatu nun jauh di sana.

~290~
"Anak-anak, anak-anak, jangan sekarang," katanya
pada Nicko dan Bocah 412 yang sedang bertarung dengan
gagang sapu cadangan. "Aku perlu konsentrasi."
Nicko dan Bocah 412 menghentikan pertarungan
sementara Bibi Zelda diam tak bergerak, tatapan matanya
tertuju jauh ke depan.
"Ada yang datang," katanya setelah beberapa lama.
"Aku akan mengutus Boggart."
"Akhirnya!" kata Jenna. "Aku penasaran, apakah itu
Ayah atau Marcia. Mungkin Simon bersama mereka? Atau
Ibu? Atau semuanyal"
Maxie melonjak, lalu melompat ke arah Jenna,
ekornya berkibas-kibas kegirangan. Terkadang Maxie
sepertinya benar-benar mengerti apa yang dikatakan Jenna.
Kecuali kalau Jenna berkata, "Waktunya mandi, Maxie!" atau
"Biskuitnya sudah habis, Maxie!"
"Tenang, Maxie," kata Bibi Zelda, sambil mengelus
kuping anjing serigala yang halus itu. "Masalahnya, rasanya
bukan seperti orang yang kukenal."
"Oh," kata Jenna, "tapi siapa lagi yang tahu kita ada di
sini?"
"Aku tidak tahu," sahut Bibi Zelda. "Tapi siapa pun
itu, mereka berada di rawa-rawa saat ini. Baru saja tiba. Aku
bisa merasakannya. Pergi berbaring, Maxie. Anjing baik.
Sekarang, di mana Boggart itu?"
Bibi Zelda bersiul nyaring. Sosok pendek gemuk Bog
gart merangkak keluar dari Mott dan berjalan megol-megol
http://facebook.com/indonesiapustaka

di jalur menuju pondok.


"Jangan keras-keras," keluhnya, sambil mengelus
kuping bulat kecilnya. "Kupingku mau pecah rasanya." Dia
mengangguk ke arah Jenna. "Met sore, Miss."
"Halo, Boggart," Jenna tersenyum. Boggart selalu
membuatnya tersenyum.

~291~
"Boggart," kata Bibi Zelda, "ada orang datang lewat
rawa-rawa. Barangkali lebih dari satu orang. Aku tidak
yakin. Bisakah kau memeriksa dan mencari tahu siapa
orangnya?"
"Tidak masalah. Bisa dilakukan dengan sekali
berenang. Tidak akan lama," sahut Boggart. Jenna
memandanginya megal-megol menuju Mott, lalu menghilang
masuk ke air dengan kecipak pelan.
"Sambil menunggu Boggart, kita harus menyiapkan
Pot-Pot Pengawet," tutur Bibi Zelda. "Untuk berjaga-jaga-"
"Tapi Ayah bilang Bibi sudah Memantrai pondok ini
setelah serangan Brownies," kata Jenna. "Bukankah itu
artinya kita aman?"
"Hanya dari Brownies," sahut Bibi Zelda, "bahkan itu
pun sudah mulai luntur sekarang. Lagi pula, siapa pun yang
datang lewat rawa itu rasanya jauh lebih besar ketimbang
Brownies."
Bibi Zelda pergi mencari buku mantra Pengawet
Serdadu Serangga.
Jenna memandangi Pot-Pot Pengawet yang masih
berderet rapi di sepanjang bingkai jendela. Di dalam cairan
lengket hijau itu para Serdadu Serangga sedang menanti.
Sebagian besar dari mereka tertidur, tapi beberapa sudah
mulai bergerak-gerak pelan, seolah tahu mereka mungkin
diperlukan. Untuk siapa? pikir Jenna. Atau untuk apa?
"Ini dia," kata Bibi Zelda saat muncul membawa buku
mantra dan mengempaskannya ke atas meja. Dibukanya
http://facebook.com/indonesiapustaka

halaman pertama buku itu, lalu dia mengeluarkan sebuah


palu perak kecil, yang diberikannya kepada Jenna.
"Nah, ini Penggerak-nya," kata Bibi Zelda kepadanya.
"Kau tinggal berjalan dan mengetuk tiap Pot dengan benda
ini, maka mereka akan Siap."
Jenna menyambut palu perak itu dan berjalan

~292~
menyusuri deretan Pot, sambil mengetuk setiap tutupnya.
Begitu satu Pot diketuk, penghuninya terbangun dan
langsung siap sedia. Tak lama kemudian, satu pasukan terdiri
atas lima puluh enam Serdadu Serangga sudah menanti untuk
dibebaskan. Jenna sampai ke Pot terakhir, yang berisi si
mantan kaki seribu. Diketuknya tutupnya dengan palu perak
itu. Tutupnya melesat terbang hingga membuat Jenna
terkejut, dan si Serdadu Serangga melesat keluar dalam
siraman cairan lengket berwarna hijau. Lalu mendarat di
tangan Jenna.
Jenna menjerit.
Serdadu Serangga itu memasang kuda-kuda di lengan
bawah Jenna, pedang terhunus. Jenna berdiri mematung di
tempatnya, menunggu si serangga berbalik lalu
menyerangnya, lupa bahwa satu-satunya misi si serangga
adalah melindungi Pembebas-nya dari musuh.
Sisik hijau berlapis baja si Serdadu bergerak-gerak
luwes ke sana kemari ketika dia mengamati ruangan itu.
Tangan kanannya yang gemuk memegang pedang setajam
pisau cukur yang berkilauan dalam cahaya lilin. Kedua
kakinya yang pendek kokoh bergerak-gerak gelisah ketika
serangga itu bertumpu dari satu kakinya yang besar ke kaki
satunya lagi sementara dia mengira-ngira musuh-musuh
potensialnya.
Namun ternyata musuh-musuh potensial itu
hanyalah gerombolan yang mengecewakan.
Sebuah tenda kain perca besar dengan dua bola mata
http://facebook.com/indonesiapustaka

biru terang memerhatikan hal itu.


"Taruh saja tanganmu di atas serangga itu," bisik
tenda itu pada sang Pembebas. "Dia akan meringkuk seperti
bola. Lalu kita akan coba mengembalikannya ke dalam Pot."
Sang Pembebas menatap pedang kecil tajam yang
tengah diayunkan si serangga, kemudian ragu-ragu.

~293~
"Kalau boleh, biar aku saja yang melakukannya," kata
si tenda, lalu bergerak menghampiri si serangga. Serangga itu
terbang membalikkan badan dengan sikap mengancam, dan
tenda itu berhenti, mengira-ngira ada apa kiranya. Bukankah
mereka sudah Menera semua serangganya? Seharusnya
serangga itu tahu bahwa mereka bukanlah musuh. Namun
serangga yang satu ini rupanya tidak tahu. Serangga itu tetap
saja memasang kuda-kuda di atas lengan Jenna, masih terus
mencari-cari.
Sekarang dia melihat apa yang sedang dicarinya. Dua
prajurit muda membawa gagang tombak, siap menyerang.
Dan salah satunya memakai topi merah. Dari kehidupan
sebelumnya yang jauh dan samar-samar, si Serdadu Serangga
mengingat topi merah itu. Benda itu pernah menyakitinya. Si
serangga tidak tahu persis bagaimana kejadiannya, tapi tidak
ada bedanya baginya.
Si serangga sudah melihat musuhnya.
Dengan lengkingan mengerikan, serangga itu
melompat dari lengan Jenna, mengepakkan sayap-sayap
tebalnya, lalu melesat ke udara dengan bunyi gemerincing
logam. Serangga itu mengarah tepat ke Bocah 412 bak peluru
kendali kecil, pedangnya diacungkan tinggi-tinggi di atas
kepalanya. Dengan pekikan melengking, mulutnya yang
terbuka lebar memamerkan sederetan gigi hijau tajam.
"Pukul dia," teriak Bibi Zelda. "Cepat, hantam
kepalanya!"
Bocah 412 menghantamkan gagang sapunya ke
http://facebook.com/indonesiapustaka

serangga yang sedang bergerak maju itu, tapi meleset. Nicko


membidikkan satu pukulan, tapi pada detik terakhir
serangga itu tiba-tiba berbelok, memekik, dan mengayunkan
pedangnya kepada Bocah 412. Bocah 412 memandang tak
percaya ke arah serangga itu, sadar bahwa dia takut dengan
pedang tajam serangga itu.

~294~
"Tetap diam, jangan bergerak!" bisik Bibi Zelda
dengan suara parau. "Apa pun yang kaulakukan, jangan
bergerak."
Bocah 412 terpaku ketakutan sewaktu si serangga
mendarat di atas bahunya, lalu bergerak maju ke arah
lehernya, menaikkan pedangnya bak sebilah belati.
Jenna melompat ke depan.
"Jangan!" teriaknya. Si serangga berpaling ke arah
sang Pembebas. Binatang itu tidak mengerti apa yang
dikatakan Jenna, tapi begitu gadis itu menangkupkan tangan
menangkapnya, serangga itu menyarungkan pedang, lalu
menekuk badan dengan patuh menjadi seperti bola. Bocah
412 jatuh terduduk di lantai.
Bibi Zelda sudah siap dengan Pot kosongnya, dan
Jenna berusaha memasukkan si Serdadu Serangga yang
sudah bergulung ke dalamnya. Serangga itu tidak mau
masuk. Pertama, satu lengannya direntangkan ke luar,
kemudian lengan lainnya. Jenna melipat kedua lengan
serangga itu, tapi sekarang satu kakinya yang hijau dan besar
itu ditendangkan keluar dari dalam stoples. Jenna
mendorong dan menekannya, tapi Serdadu Serangga itu
meronta-ronta dan melawan sekuat tenaga agar tidak
dimasukkan kembali ke dalam Pot.
Jenna takut serangga itu bakal mendadak berubah
jahat dan menggunakan pedangnya, namun seberapa pun
kerasnya serangga itu berusaha untuk tetap berada di luar
Pot, dia tidak pernah sekali pun menghunus pedangnya. Yang
http://facebook.com/indonesiapustaka

paling penting baginya adalah keselamatan sang Pembebas-


nya. Dan bagaimana sang Pembebas bisa aman kalau
pelindungnya dikembalikan ke dalam Pot?
"Kau terpaksa harus membiarkannya berada di luar,"
Bibi Zelda menghela napas. "Setahuku belum pernah ada
orang yang berhasil mengembalikan Serdadu Serangga ke

~295~
dalam Pot. Kadang menurutku mereka itu lebih banyak
menyusahkan daripada melindungi. Tapi Marcia tetap saja
memaksa. Seperti biasanya."
"Tapi bagaimana dengan Bocah 412?" tanya Jenna.
"Kalau serangga itu dibiarkan berada di luar, apa dia tidak
akan terus berusaha menyerang?"
"Sekarang tidak lagi, berhubung kau sudah
mengambil serangga itu dari Bocah 412. Seharusnya tidak
apa-apa.
Bocah 412 kelihatan tidak percaya. Dia tidak suka
dengan kata "seharusnya" itu. "Sudah pasti", itulah yang
ingin didengarnya.
Si Serdadu Serangga bertengger di bahu Jenna.
Selama beberapa menit dia memandangi setiap orang dengan
tatapan penuh curiga, tapi tiap kali serangga itu bergerak,
Jenna memeganginya, dan tak lama kemudian serangga itu
pun tenang.
Sampai sesuatu menggaruk-garuk pintu.
Semuanya diam terpaku.
Di luar pintu, sesuatu tengah menggaruk-garukkan
cakarnya di pintu. Kreeet... kreet... kreet. Maxie merintih.
Si Serdadu Serangga berdiri tegak, lalu menghunus
pedangnya. Kali ini Jenna tidak menahannya. Serangga itu
melayang di atas bahunya, siap melompat.
"Coba lihat sana, apakah itu teman kita, Bert," kata
Bibi Zelda dengan tenang. Bebek itu berjalan terseok-seok
menuju pintu, memiringkan kepalanya dan mendengarkan,
http://facebook.com/indonesiapustaka

lalu mengeluarkan suara mengeong pendek.


"Itu teman kita," ujar Bibi Zelda. "Pasti Boggart. Tapi
tidak tahu kenapa dia menggaruk-garuk seperti itu."
Bibi Zelda membuka pintu, lalu berteriak, "Boggart!
Oh, Boggart!"
Boggart tergeletak berlumuran darah di ambang

~296~
pintu.
Bibi Zelda berlutut di samping Boggart, dan
semuanya datang berkerumun. "Boggart, Boggart, Sayang.
Apa yang terjadi?"
Boggart tidak menjawab. Matanya terpejam, seluruh
bulunya kusam dan lengket oleh darah. Akhirnya dia
tersungkur jatuh setelah menggunakan sisa-sisa tenaganya
untuk bisa sampai ke pondok.
"Oh, Boggart... buka matamu, Boggart..." jerit Bibi
Zelda. Tidak ada jawaban. "Bantu aku mengangkatnya, siapa
saja. Cepat."
Nicko melompat maju, lalu menolong Bibi Zelda
mendudukkan Boggart, tapi Boggart adalah binatang yang
licin sekaligus berat, maka bantuan semua orang dibutuhkan
untuk bisa menggotongnya masuk. Mereka menggotong
Boggart ke dapur, berusaha tidak memerhatikan jejak darah
yang menetes-netes ke lantai selagi mereka berjalan, lalu
membaringkannya di atas meja dapur.
Bibi Zelda menaruh satu tangannya di atas dada
Boggart.
"Dia masih bernapas," ujarnya, "tapi pelan sekali. Dan
jantungnya menggelepar seperti burung. Denyutnya lemah
sekali." Bibi Zelda menahan tangis, lalu menggelengkan
kepala dan langsung mengambil tindakan.
"Jenna, ajak dia bicara sementara aku mengambil
kotak Physik. Terus ajak dia bicara, agar dia tahu kita ada di
sini. Jangan sampai dia pingsan. Nicko, ambilkan air panas.
http://facebook.com/indonesiapustaka

Bocah 412 pergi membantu Bibi Zelda mengambil


kotak Physik, sementara Jenna memegangi cakar Boggart
yang berlumpur sambil berbicara padanya dengan suara
pelan, berharap suaranya kedengaran lebih tenang daripada
perasaannya.
"Boggart, tidak apa-apa, Boggart. Kau akan segera

~297~
sembuh. Kau pasti sembuh. Kaudengar aku, Boggart?
Boggart? Remas tanganku kalau kau mendengarku."
Gerakan yang sangat lemah terasa dari jari-jemari
berselaput Boggart di tangan Jenna.
"Nah, begitu, Boggart. Kami masih di sini. Kau akan
baik-baik saja. Kau pasti sembuh..."
Bibi Zelda dan Bocah 412 kembali dengan membawa
sebuah kotak kayu besar, yang mereka letakkan di lantai.
Nicko menaruh sebaskom air panas di atas meja.
"Baiklah," kata Bibi Zelda. "Terima kasih, semuanya.
Sekarang aku ingin kalian semua meninggalkan aku dan
Boggart. Pergilah dan temani Bert dan Maxie."
Tapi mereka tidak rela meninggalkan Boggart.
"Ayo sana," desak Bibi Zelda.
Dengan berat hati Jenna melepaskan cakar Boggart
yang terkulai, lalu mengikuti Nicko dan Bocah 412 keluar
dari dapur. Pintu dapur ditutup rapat-rapat di belakang
mereka.
Jenna, Nicko, dan Bocah 412 duduk sedih di lantai di
dekat perapian. Nicko merangkul Maxie. Jenna dan Bocah
412 cuma bisa memandangi perapian, tenggelam dalam
pikiran masing-masing.
Bocah 412 memikirkan cincin Magyk miliknya. Kalau
kuberikan cincin itu pada Bibi Zelda, pikirnya, mungkin itu
bisa menyembuhkan Boggart. Tapi kalau dia memberikan
cincin itu, Bibi Zelda pasti ingin tahu di mana dia
menemukannya. Dan firasat Bocah 412 mengatakan kalau
http://facebook.com/indonesiapustaka

Bibi Zelda tahu di mana dia menemukan cincin itu, wanita itu
pasti marah. Amat sangat marah. Barangkali malah akan
mengusirnya. Lagi pula, itu cincin curian, bukan? Dia telah
mencuri cincin itu. Cincin itu bukan miliknya. Tapi cincin itu
mungkin bisa menyelamatkan Boggart....
Semakin Bocah 412 memikirkannya, semakin dia

~298~
yakin apa yang harus dilakukannya. Dia harus membiarkan
Bibi Zelda memiliki cincin naga itu.
"Bibi Zelda bilang tidak mau diganggu," kata Jenna
sewaktu Bocah 412 bangkit lalu berjalan menuju pintu dapur
yang tertutup.
Bocah 412 tidak mengindahkannya.
"Jangan," bentak Jenna. Gadis itu melompat berdiri
untuk menghentikan, tapi tepat pada saat itu pintu dapur
terbuka.
Bibi Zelda keluar. Wajahnya pucat dan sedih, dan
celemeknya berlumuran darah. "Boggart ditembak,"
katanya.
http://facebook.com/indonesiapustaka

~299~
33. MENGINTAI DAN MENUNGGU
Pelurunya tergeletak di atas meja dapur. Sebongkah
bola timah kecil dengan sejumput bulu Boggart masih
melekat di permukaannya, tergeletak menakutkan di tengah
meja Bibi Zelda yang baru digosok.
Boggart terbaring diam di sebuah baskom mandi di
lantai, tapi sosoknya kelihatan terlalu kecil, kurus, dan
bersih, tidak seperti Boggart yang mereka kenal dan sayangi.
Selembar perban lebar terbuat dari sobekan kain dibalutkan
di bagian perutnya, tapi kain putih itu belum apa-apa sudah
penuh dengan noda merah yang menyebar.
Kedua mata Boggart berkedip-kedip pelan sewaktu
Jenna, Nicko, dan Bocah 412 masuk pelan-pelan ke dapur.
"Dia harus dibasuh dengan air hangat sesering
mungkin," tutur Bibi Zelda. "Kita tidak boleh
membiarkannya kering. Tapi jangan sampai luka tembaknya
basah. Dan dia harus terus dibersihkan. Tidak boleh terkena
lumpur selama tiga hari. Aku sudah menempelkan sedikit
daun yarrow di balik perbannya, dan aku baru saja merebus
teh kulit kayu willow. Teh itu bisa menghilangkan rasa
sakitnya."
"Tapi apa dia bisa sembuh?" tanya Jenna.
"Ya, dia akan baik-baik saja." Bibi Zelda memaksakan
diri tersenyum tipis dan tegang sewaktu mengaduk rebusan
teh kulit kayu willow di panci tembaga besar.
"Tapi pelurunya. Maksudku, siapa yang
http://facebook.com/indonesiapustaka

melakukannya?" perhatian Jenna terarah pada bola timah


hitam itu, penyusup tak diundang dan berbahaya yang
menimbulkan terlalu banyak pertanyaan mengerikan.
"Aku tidak tahu," sahut Bibi Zelda dengan suara
pelan. "Aku sudah menanyakannya pada Boggart, tapi dia
masih terlalu lemah dan tidak bisa bicara. Menurutku kita

~300~
harus berjaga-jaga malam ini."
Maka sementara Bibi Zelda merawat Boggart, Jenna,
Nicko, dan Bocah 412 pergi ke luar sambil membawa Pot-
Pot Pengawet.
Begitu mereka sudah berada di udara malam yang
dingin, Bocah 412 langsung bertindak sesuai pelatihan yang
dulu didapatnya di Laskar Pemuda. Dia mencari-cari tempat
di sekitar situ yang memungkinkan mereka melihat semua
yang datang mendekati pulau, tapi sekaligus tempat yang
bisa mereka gunakan untuk bersembunyi. Segera saja dia
menemukan apa yang dicarinya. Kapal ayam.
Pilihan yang bagus. Pada malam hari, ayam-ayam
dikurung dengan aman di dalam ruangan palka, sehingga
geladaknya kosong. Bocah 412 memanjat naik, lalu
meringkuk di belakang rumah kemudi yang sudah bobrok,
kemudian memberi isyarat pada Jenna dan Nicko untuk
bergabung dengannya. Mereka memanjat ke kapal ayam itu
dan mengulurkan Pot-Pot Pengawet kepada Bocah 412.
Kemudian mereka bergabung dengannya di dalam rumah
kemudi.
Malam itu berawan, dan bulan sering kali
tersembunyi di balik awan, tapi sesekali muncul dan
memancarkan sinar putih terang di atas rawa-rawa,
memberikan jarak pandang yang baik bermil-mil jauhnya.
Bocah 412 melayangkan pandangan mata ahlinya ke seluruh
penjuru lanskap itu, memeriksa apakah ada gerakan dan
tanda-tanda yang bisa memberi petunjuk adanya gangguan,
http://facebook.com/indonesiapustaka

seperti yang diajarkan Wakil Pemburu, Catchpole. Bocah


412 masih bergidik ngeri kalau mengingat Catchpole. Pria
bertubuh sangat jangkung, yang menjadi salah satu alasan
mengapa dia tidak pernah bisa menjadi sang Pemburu-tubuh
yang tinggi terlalu mencolok. Juga banyak alasan lain, seperti
sifat mudah marahnya yang tidak bisa diduga, kebiasaannya

~301~
membunyikan buku-buku jarinya kalau dia sedang tegang,
yang sering kali membuatnya ketahuan persis saat dia sudah
mendekati mangsanya; dan ketidaksukaannya untuk mandi,
yang juga menyelamatkan semua buruannya yang
berpenciuman tajam-asalkan angin berembus ke arah yang
benar. Namun alasan utama Catchpole tidak pernah berhasil
menjadi Pemburu adalah fakta sederhana bahwa tidak ada
orang yang suka kepadanya.
Bocah 412 belajar banyak darinya, setelah terbiasa
dengan sifatnya yang mudah marah, baunya, dan bunyi klik-
klik jarinya. Dan salah satu pelajaran yang diingat Bocah 412
adalah intai dan tunggu. Itulah yang dikatakan Catchpole
berulang kali, hingga melekat di kepala Bocah 412 seperti
irama yang menyebalkan. Intai dan tunggu, intai dan tunggu,
intai dan tunggu, Nak.
Teorinya adalah bila si pengintai menunggu cukup
lama, maka mangsa akan muncul dengan sendirinya. Bisa
saja hanya berupa gerakan pelan di dahan kecil, gemeresik
daun yang terinjak, atau binatang kecil atau burung yang
tiba-tiba terganggu, tapi tanda-tandanya pasti kelihatan. Si
pengintai tinggal menunggunya. Kemudian, tentu saja,
mengenalinya sewaktu tanda-tanda itu tampak. Itu bagian
yang tersulit, dan bagian yang tidak terlalu dikuasai Bocah
412 dengan baik. Tapi kali ini, pikirnya, kali ini tanpa napas
busuk Catchpole yang menjijikkan di tengkuknya, dia bisa
melakukannya. Dia yakin bisa melakukannya.
Udara terasa dingin di dalam rumah kemudi, tapi ada
http://facebook.com/indonesiapustaka

setumpukan karung bekas di sana, maka mereka


membungkus tubuh dengan karung-karung itu, lalu
mengambil posisi untuk menunggu. Dan mengintai. Dan
menunggu.
Walau rawa-rawa masih tenang dan sepi, awan di
langit bergerak cepat melewati bulan, satu kali

~302~
menyamarkannya dan menenggelamkan seluruh permukaan
rawa dalam kesuraman, selanjutnya bergulung menjauh dan
membiarkan sinar bulan menyirami tanah rawa. Pada salah
satu kesempatan itulah, ketika sinar bulan tiba-tiba
menerangi jaringan parit pembuangan saling silang
yangmenutupi Rawa-Rawa Marram, Bocah 412 melihat
sesuatu. Atau mengira dia melihat sesuatu. Penuh semangat,
digenggamnya tangan Nicko, lalu menunjuk ke arah yang
dikiranya tempat dia melihat sesuatu, tapi tet at pada saat itu
awan kembali menutupi bulan. Maka mereka pun kembali
meringkuk di rumah kemudi, menunggu. Dan mengintai dan
menunggu lagi.
Rasanya lama sekali menunggu awan tipis bergerak
melewati bulan, dan selama mereka menunggu, Jenna tahu
bahwa dia sangat tidak ingin melihat ada seseorang, atau
sesuatu, berjalan melintasi rawa. Jenna berharap si
penembak Boggart tiba-tiba ingat ternyata dia meninggalkan
ketel mendidih di kompor, dan memutuskan untuk pulang
dan mematikannya sebelum rumahnya terbakar habis. Tapi
Jenna tahu bahwa orang-orang itu tidak pulang, karena tiba-
tiba bulan muncul dari balik awan, dan Bocah 412 lagi-lagi
menunjuk sesuatu.
Mulanya Jenna tidak bisa melihat apa-apa.
Permukaan tanah rawa yang datar itu membentang di
bawahnya saat dia mengintai lewat rumah kemudi tua,
seperti nelayan yang mencari tanda-tanda sekawanan ikan.
Kemudian dia melihatnya. Perlahan tapi pasti, sebuah
http://facebook.com/indonesiapustaka

bayangan hitam panjang tengah berjalan melewati salah satu


parit pembuangan di kejauhan.
"Sebuah kano...," bisik Nicko.
Semangat Jenna bangkit. "Apakah itu Ayah?"
"Bukan," bisik Nicko, "ada dua orang. Mungkin juga
tiga, aku tidak yakin."

~303~
"Aku akan pergi memberitahu Bibi Zelda," kata
Jenna. Dia berdiri dan hendak pergi, tapi Bocah 412
memegang lengan Jenna untuk menahannya.
"Apa?" bisik Jenna.
Bocah 412 menggeleng dan menaruh telunjuknya di
bibir.
"Kurasa dia mengira kau mungkin akan membuat
kegaduhan sehingga kita ketahuan," bisik Nicko. "Suara
bergema lebih jauh melintasi rawa pada malam hari."
"Yah, kenapa dia tidak bilang saja sendiri," sahut
Jenna gugup.
Maka Jenna tetap tinggal di rumah kemudi dan
memandangi kano tadi bergerak semakin mendekat, selalu
tepat memilih jalur melewati labirin parit yang menyesatkan,
melewati semua pulau lain dan menuju tepat ke arah pulau
mereka. Sementara kano itu semakin mendekat, Jenna
menyadari bahwa sosok-sosok di dalam kano itu serasa telah
sangat dikenalnya. Sosok yang lebih besar di bagian depan
kano tampak penuh konsentrasi, bak seekor harimau yang
sedang mengintai mangsa. Sesaat Jenna merasa kasihan pada
si mangsa sampai, dengan tersentak, dia menyadari siapa
mangsanya. Mangsa itu adalah dirinya.
Sosok itu adalah si Pemburu, dan dia datang untuk
menangkap Jenna.
http://facebook.com/indonesiapustaka

~304~
34. SERANGAN
Sewaktu kano itu makin mendekat, para pengintai di
kapal ayam bisa melihat si Pemburu dan rombongannya
dengan jelas. Si Pemburu duduk di bagian depan kano sambil
mengayuh cepat, dan di belakanganya duduk si Murid. Dan di
belakang si Murid ada... Sesuatu. Sesuatu itu berjongkok di
atas kano, melayangkan pandangannya ke seluruh penjuru
rawa dan sesekali menangkap serangga atau kelelawar yang
lewat. Si Murid tampak ketakutan pada Sesuatu itu, tapi si
Pemburu sepertinya tidak memerhatikannya. Ada hal-hal
yang lebih penting untuk dipikirkannya.
Jenna bergidik ketakutan ketika melihat Sesuatu itu.
Makhluk itu hampir-hampir lebih menakutkan baginya
ketimbang si Pemburu. Setidaknya si Pemburu adalah
manusia, kendati sangat berbahaya. Tapi makhluk apakah itu
yang sedang berjongkok di bagian belakang kano? Untuk
menenangkan diri, Jenna mengangkat Serdadu Serangga dari
bahunya, tempat serangga itu sedari tadi bertengger diam,
lalu memegangnya dengan hati-hati di telapak tangannya,
Jenna menunjuk ke arah kano yang mendekat dan trio
penumpangnya yang menakutkan.
"Musuh," bisiknya. Si Serdadu Serangga mengerti. Dia
mengikuti arah yang ditunjuk telunjuk Jenna yang gemetar,
lalu mengunci tatapan mata hijau tajamnya, yang bisa
melihat dengan sempurna dalam gelap, ke arah ketiga sosok
di atas kano.
http://facebook.com/indonesiapustaka

Serdadu Serangga itu merasa senang.


Dia menemukan musuhnya.
Dia punya pedang.
Tak lama lagi pedang itu bakal menemui musuhnya.
Hidup ini sederhana bagi seekor Serdadu Serangga.
Kedua anak laki-laki itu mengeluarkan Serdadu-

~305~
Serdadu Serangga lainnya. Satu per satu mereka membuka
tutup Pot-Pot Pengawet. Begitu masing-masing tutupnya
dibuka, seekor Serdadu Serangga melompat ke luar dalam
siraman cairan lengket hijau, dengan pedang terhunus. Pada
setiap serangga, Nicko dan Bocah 412 menunjuk ke arah
kano yang semakin cepat menghampiri. Tak lama kemudian,
lima puluh enam Serdadu Serangga sudah berbaris,
merunduk seperti gulungan pegas di pinggiran atas kapal
ayam. Serangga yang kelima puluh tujuh tetap bertengger di
atas bahu Jenna, luar biasa setia kepada sang Pembebas-nya.
Dan sekarang mereka yang berada di kapal ayam
hanya perlu menunggu. Dan mengintai. Dan itulah yang
mereka lakukan, dengan jantung berdebar kencang. Mereka
memandangi si Pemburu dan si Murid berubah dari sosok
bayangan samar-samar menjadi sosok-sosok menakutkan
yang pernah mereka lihat beberapa bulan sebelumnya di
mulut Parit Deppen.
Tapi Sesuatu itu masih tetap berupa bayangan.
Kano itu sudah sampai ke parit sempit yang bakal
mengarahkannya melewati belokan masuk ke dalam Mott.
Ketiga pengintai itu menahan napas selama mereka
menunggu kano itu sampai ke belokan. Barangkali, pikir
Jenna, sambil mencengkeram jerami, barangkali MantraSihir
berfungsi lebih baik dari yang dikira Bibi Zelda, dan si
Pemburu tidak bisa melihat pondok.
Kano itu berbelok memasuki Mott. Si Pemburu bisa
melihat pondok dengan jelas.
http://facebook.com/indonesiapustaka

Di dalam benaknya si Pemburu melatih tiga langkah


Rencana:
LANGKAH PERTAMA: Mengamankan sang Ratu
Kecil. Menyanderanya lalu menempatkannya di kano, di
bawah pengawasan Magog yang menemaninya. Tembak
hanya jika diperlukan. Kalau tidak, kembali ke DomDaniel,

~306~
yang ingin "menyelesaikan tugas ini sendiri" kali ini.
LANGKAH KEDUA: Tembak si kutu pengganggu,
yaitu wanita penyihir dan bocah Penyihir. Beserta anjingnya.
LANGKAH KETIGA: sedikit urusan pribadi. Tangkap
tawanan pelarian dari Laskar Pemuda. Kembali ke Laskar
Pemuda. Mengambil imbalannya.
Puas dengan rencananya, si Pemburu mendayung
tanpa suara di sepanjang Mott, menuju tempat merapat.
Bocah 412 melihatnya semakin mendekat dan dia
memberi isyarat kepada Jenna dan Nicko untuk tetap diam.
Dia tahu gerakan sekecil apa pun bisa membuat mereka
ketahuan. Dalam benak Bocah 412, mereka sudah bergerak
dari Mengintai dan Menunggu ke Menyerang. Dan dalam
Menyerang, Bocah 412 ingat Catchpole mengatakan padanya
seraya mengembuskan napas ke tengkuknya, Ketenangan
Adalah Segalanya.
Sampai pada Waktunya Bertindak.
Kelima puluh enam Serdadu Serangga, berbaris di
sepanjang pinggiran atas kapal, sangat memahami apa yang
sedang dilakukan Bocah 412. Seporsi besar Jimat yang
digunakan untuk menciptakan mereka sebenarnya diambil
dari petunjuk pelatihan Laskar Pemuda. Bocah 412 dan para
Serdadu Serangga bertindak sebagai satu kesatuan.
Si Pemburu, si Murid, dan si Magog tidak tahu bahwa
tak lama lagi mereka bakal menjadi bagian dari Waktunya
Bertindak. Si Pemburu telah mengikatkan tali kano di tempat
merapat, dan sibuk berusaha mengeluarkan si Murid dari
http://facebook.com/indonesiapustaka

kano tanpa mengeluarkan suara dan tanpa membuat bocah


itu jatuh ke dalam air. Biasanya si Pemburu tidak bakal
peduli sedikit pun kalau si Murid terjatuh ke air. Dia bahkan
ingin sekali dengan licik mendorong bocah itu, kalau saja si
Murid tidak bakal menimbulkan suara kecipak keras dan tak
diragukan lagi bakal memekik sekeras-kerasnya sebagai

~307~
akibatnya. Maka, seraya berjanji pada diri sendiri bahwa dia
bakal mendorong bocah menyebalkan itu ke air dingin
berikutnya yang tersedia saat mendapat kesempatan, si
Pemburu diam-diam menenangkan diri, lalu menarik si
Murid ke atas tempat merapat.
Si Magog menyelinap ke bawah kano, menarik
tudung hitamnya sampai menutupi mata cacing-butanya,
yang bermasalah dengan sinar terang bulan, dan tetap diam.
Apa yang terjadi di pulau bukanlah urusannya. Dia ikut serta
untuk menjaga sang Putri dan bertindak sebagai penjaga
guna melindungi dari binatang-binatang rawa selama
perjalanan yang panjang. Dia sudah melaksanakan tugasnya
dengan sangat baik, terlepas dari satu insiden menyebalkan
yang sebenarnya adalah kesalahan si Murid. Tapi tidak ada
Hantu Rawa atau Brownies yang berani mendekati kano,
berkat si Magog yang bertengger di atasnya, dan lendir yang
dikeluarkan Magog itu telah memenuhi lambung kano,
sehingga semua sulur pengisap Nixies Air tergelincir lepas
dan terbakar menyakitkan dalam prosesnya.
Sejauh ini si pemburu merasa puas dengan
Perburuannya. Dia memamerkan senyumnya yang biasa,
yang tidak pernah sampai ke matanya. Akhirnya mereka tiba
juga di sini, di tempat persembunyian sang Penyihir Putih,
setelah mendayung setengah mati melintasi rawa-rawa dan
mengalami perjumpaan yang menjengkelkan dengan
binatang rawa tolol itu, yang selalu saja mengganggu
perjalanan mereka. Senyum si Pemburu memudar ketika
http://facebook.com/indonesiapustaka

teringat perjumpaan mereka dengan Boggart. Dia tak suka


menghambur-hamburkan peluru. Kita tak pernah tahu,
kapan sebutir peluru ekstra akan dibutuhkan. Ditimang-
timangnya pistolnya di tangan, dan dengan sangat perlahan,
sengaja berlama-lama, diisikannya sebutir peluru perak ke
dalam pistol itu.

~308~
Jenna melihat pistol perak itu berkilap dalam cahaya
bulan. Dia juga melihat kelima puluh enam Serdadu Serangga
yang berjajar rapi, siap beraksi, dan Jenna memutuskan
bahwa Serdadu Serangga-nya harus tetap di sisinya. Untuk
berjaga-jaga. Maka dia menangkupkan tangannya pada
serangga itu, untuk menenangkannya. Serangga itu dengan
patuh menyarungkan pedang dan bergulung menjadi bola,
lalu Jenna memasukkannya ke saku. Kalau si Pemburu
membawa pistol, maka Jenna membawa Serdadu Serangga
sebagai senjatanya.
Dengan diikuti si Murid yang mengiringi langkah kaki
si Pemburu, seperti telah diperintahkan, kedua orang itu
melangkah tanpa suara di jalan setapak yang mengarah dari
tempat kapal merapat menuju pondok, melewati kapal ayam.
Tiba di kapal ayam, si Pemburu berhenti melangkah.
Telinganya menangkap suara. Detak jantung manusia. Tiga
detak jantung manusia yang berpacu sangat cepat. Dia
mengangkat pistolnya.
Aaaeeeiiigh!!
Suara jeritan lima puluh enam Serdadu Serangga
sungguh seram terdengar di telinga. Membuat tiga tulang
sangat kecil di dalam telinga bergeser dari tempatnya dan
menciptakan perasaan panik tak terhingga. Mereka yang
tahu tentang Serdadu Serangga akan melakukan satu-
satunya cara untuk mengatasi kepanikan itu: menyumpal
kuping dengan jemari dan berharap kepanikan itu jadi
terkendali. Dan itulah yang dilakukan si Pemburu; dia berdiri
http://facebook.com/indonesiapustaka

tak bergerak, menyumpalkan jemarinya dalam-dalam ke


kedua telinganya, dan kalaupun sebersit perasaan panik
sempat melandanya, perasaan itu hanya bertahan sejenak
saja.
Si Murid tentu saja tidak tahu apa-apa tentang
Serdadu Serangga. Maka dia bereaksi seperti orang pada

~309~
umumnya kalau dihadapkan pada segerombolan makhluk
hijau kecil yang terbang mendekat sambil mengayun-
ayunkan pedang setajam pisau dan menjerit dengan suara
melengking nyaring hingga telinga orang yang mendengar
serasa akan pecah. Dia lari. Lebih cepat daripada kapan pun
dia pernah lari, si Murid terbirit-birit menuju Mott, berharap
bisa naik ke dalam kano dan mendayung pergi mencari
aman.
Si Pemburu tahu, kalau harus memilih, seekor
Serdadu Serangga akan selalu memilih mengejar musuh yang
bergerak dan tidak memedulikan yang diam di tempat. Dan
memang itulah yang terjadi. Si Pemburu merasa sangat puas
ketika kelima puluh enam Serdadu Serangga itu memutuskan
bahwa musuh mereka adalah si Murid, dan mereka pun
mengejarnya ke Mott, sambil mengeluarkan jeritan
melengking. Di Mott, si anak lelaki yang ketakutan
menceburkan diri ke dalam air sedingin es untuk meloloskan
diri dari gerombolan serangga hijau yang bergemerincing itu.
Para Serdadu Serangga yang gagah berani itu ikut
terjun ke dalam Mott, mengejar si Murid. Begitulah mereka
selalu, mengejar musuh sampai titik darah penghabisan, tapi
sialnya justru merekalah yang lebih dulu "habis". Begitu
menghantam air, masing-masing serangga tenggelam seperti
batu, sisik mereka yang berlapis baja hijau berat menyeret
mereka sampai ke dasar Mott yang berlumpur lengket. Si
Murid, yang sangat terkejut dan megap-megap kedinginan,
memaksa dirinya berenang ke tepian dan tergeletak
http://facebook.com/indonesiapustaka

gemetaran di bawah semak-semak, terlalu takut untuk


bergerak.
Si Magog menonton seluruh peristiwa itu tanpa
minat sedikit pun. Kemudian, setelah keributan itu berakhir,
dia mulai mengeruk kedalaman lumpur dengan kedua
lengannya yang panjang dan memunguti serangga-serangga

~310~
yang tenggelam itu satu demi satu. Dia duduk dengan senang
di kano, mengisap serangga-serangga itu sampai kering, lalu
melumatnya sampai menjadi pasta hijau lembut dengan
taring-taring kuning tajamnya-sisik berlapis baja, pedang,
semuanya-sebelum melahap mereka perlahan-lahan.
Si Pemburu tersenyum dan mendongak ke arah
rumah kemu di di kapal ayam. Dia tidak mengira
perburuannya bakal semudah ini. Ketiga bocah itu bagaikan
sasaran empuk yang menunggunya.
"Kalian yang turun, atau aku yang naik lalu
menangkap kalian?" tanyanya dengan nada dingin.
Lari," desis Nicko pada Jenna. Kau bagaimana:
"Aku akan baik-baik saja. Kaulah yang diburunya.
Pergilah. Sekarang.
Nicko mengeraskan suaranya dan bicara kepada si
Pemburu. "Tolong jangan tembak. Aku yang akan turun."
"Bukan hanya kau, Nak. Kalian semua turun. Gadis itu
dulu."
Nicko mendorong Jenna supaya pergi. "Pergi!"
desisnya.
Jenna sepertinya tak sanggup bergerak, tak rela
meninggalkan rasa aman yang didapatkannya di kapal ayam.
Bocah 412 memerhatikan ketakutan di wajah gadis itu. Dia
sendiri sudah sering merasa seperti itu sewaktu berada di
Laskar Pemuda, dan dia tahu jika dia tidak menyambar
tangan Jenna kuat-kuat, seperti yang pernah dilakukan
Bocah 409 untuk menyelamatkan dirinya dari wolverine
http://facebook.com/indonesiapustaka

Hutan, maka Jenna tidak bakal sanggup bergerak. Dan kalau


bukan dirinya yang menyambar Jenna, maka si Pemburu
yang bakal melakukannya. Cepat-cepat Bocah 412
mendorong Jenna keluar dari rumah kemudi, menggenggam
tangannya erat-erat, lalu melompat bersamanya ke ujung
kapal ayam itu, jauh dari tempat si Pemburu berada. Begitu

~311~
mereka mendarat di atas onggokan kotoran ayam
bercampur jerami, mereka mendengar sumpah serapah si
Pemburu.
"Lari!" desis Nicko, sambil melongok ke bawah dari
atas geladak.
Bocah 412 menarik Jenna supaya berdiri, tapi gadis
itu tetap tidak mau pergi.
"Kita tidak bisa meninggalkan Nicko," ujarnya sambil
terengah.
"Aku akan baik-baik saja, Jen. Pergilah!" teriak Nicko,
tidak ingat lagi akan keberadaan si Pemburu dan pistolnya.
Si Pemburu tergoda juga untuk menembak bocah
Penyihir itu, tapi tujuan utamanya adalah sang Ratu Kecil,
bukan Penyihir sialan itu. Maka selagi Jenna dan Bocah 412
bangkit dari onggokan kotoran, memanjat kawat ayam, lalu
melarikan diri, si Pemburu melompat mengejar mereka,
seolah hidup-matinya juga bergantung pada hal itu.
Bocah 412 tidak melepaskan genggamannya pada
tangan Jenna selagi berlari mendahului si Pemburu,
mengitari bagian belakang pondok, lalu masuk ke semak-
semak buah milik Bibi Zelda. Kelebihannya dibandingkan si
Pemburu adalah Bocah 412 sudah mengenal seluk beluk
pulau itu, tapi itu bukan masalah bagi si Pemburu. Melacak
jejak mangsa merupakan keahliannya, apalagi mangsa yang
masih muda dan ketakutan. Mudah saja. Lagi pula, mereka
bisa lari ke mana lagi? Tinggal menunggu waktu saja sebelum
dia bisa menangkap mereka.
http://facebook.com/indonesiapustaka

Bocah 412 dan Jenna menunduk dan menyusuri jalan


berliku-liku melewati semak-semak, meninggalkan si
Pemburu yang susah payah melewati tanaman berduri.
Namun tak lama kemudian Jenna dan Bocah 412 sampai di
ujung semak buah dan dengan enggan muncul ke lahan
berumput terbuka yang menuju ke kolam bebek. Pada saat

~312~
itu bulan keluar dari balik awan, dan si Pemburu melihat lagi
sosok mangsanya dengan latar belakang rawa-rawa.
Bocah 412 berlari, menarik Jenna bersamanya, tapi si
Pemburu lambat laun berhasil menyusul mereka dan tidak
tampak kelelahan, tidak seperti Jenna, yang merasa tidak
sanggup mengayunkan kaki lagi. Mereka melewati kolam
bebek dan berpacu menuju bukit kecil berumput di ujung
pulau. Di belakang mereka, dari jarak amat sangat dekat,
kedengaran langkah kaki si Pemburu, bergema ketika dia
pun sampai ke bukit kecil dan berlari melintasi tanah yang
berlubang-lubang.
Bocah 412 berlari zigzag di sela-sela semak-semak
kecil yang bertebaran, sambil menarik Jenna di belakangnya,
sadar bahwa si Pemburu sudah cukup dekat untuk bisa
meraih dan menangkap Jenna.
Kemudian tiba-tiba si Pemburu benar-benar sudah
cukup dekat. Dia menjatuhkan diri ke depan dan berusaha
meraih kaki Jenna.
"Jenna!" teriak Bocah 412, ditariknya gadis itu dari
jangkauan tangan si Pemburu, lalu melompat bersamanya ke
semak-semak.
Jenna jatuh ke semak, menimpa Bocah 412, lalu
mendapati semak-semaknya ternyata tidak ada lagi di situ,
dan dia terjatuh dengan kepala lebih dulu ke dalam ruang
yang gelap, dingin, serta tak berujung.
Jenna mendarat keras di atas lantai berpasir. Sesaat
kemudian terdengar bunyi berdebam, dan Bocah 412
http://facebook.com/indonesiapustaka

tergeletak telentang dalam kegelapan di sampingnya.


Jenna duduk, kepalanya terasa pusing dan
berdenyut-denyut. Diusap-usapnya bagian belakang
kepalanya yang terbentur tanah. 2Sesuatu yang sangat aneh
telah terjadi. Dicobanya mengingat-ingat, kejadian apa itu.
Bukan cara mereka melarikan diri dari si Pemburu, bukan

~313~
juga saat mereka jatuh sampai ke bawah tanah, tapi sesuatu
yang bahkan lebih aneh lagi. Digeleng-gelengkannya
kepalanya, berusaha menjernihkan otaknya yang serasa
berkabut. Lalu dia ingat. Itu dia.
Bocah 412 tadi bicara.
http://facebook.com/indonesiapustaka

~314~
35. JATUH KE BAWAH TANAH
"Kau bisa bicara," kata Jenna, sambil mengusap-usap
benjol di kepalanya.
"Tentu saja aku bisa bicara," sahut Bocah 412.
"Kalau begitu, mengapa kau tidak pernah bicara
sebelumnya? Kau tidak pernah bicara sepatah kata pun.
Kecuali menyebutkan namamu. Maksudku angka."
"Memang hanya itu yang boleh kami katakan kalau
kami tertangkap. Pangkat dan nomor. Tidak ada lagi. Maka
itulah yang kulakukan."
"Kau tidak ditangkap. Kau diselamatkan," Jenna
menegaskan.
"Aku tahu," sahut Bocah 412. "Baiklah, aku baru tahu
itu sekarang. Saat itu aku belum tahu."
Jenna merasa sangat aneh bahwa dia akhirnya
bercakap-cakap dengan Bocah 412, setelah sekian lama ini.
Lebih aneh lagi, percakapan ini terjadi di dasar lubang yang
gelap gulita.
"Andai kita punya penerangan," tutur Jenna. "Aku
terus-terusan membayangkan si Pemburu bakal mengendap-
endap mendekati kita." Dia bergidik ketakutan.
Bocah 412 merogoh ke dalam topinya, mengeluarkan
cincinnya, lalu memakainya di telunjuk tangan kanannya.
Cincin itu pas sekali di jarinya. Ditangkupkan tangan satunya
pada cincin naga itu, menghangatkan dan membuat cincin itu
mau mengeluarkan cahaya keemasannya. Cincin itu bereaksi,
http://facebook.com/indonesiapustaka

lalu cahaya lembut menyebar dari kedua tangan Bocah 412


hingga dia bisa melihat dengan jelas Jenna yang sedang
menatapnya dalam kegelapan. Bocah 412 merasa sangat
bahagia. Cincin itu bersinar terang sekali, dan tak lama
kemudian menimbulkan lingkaran cahaya hangat di
sekeliling mereka saat mereka duduk di lantai berpasir

~315~
terowongan.
"Luar biasa," kata Jenna. "Di mana kau
menemukanya?
Di bawah sini," sahut Bocah 412.
"Apa? Kau baru saja menemukannya? Barusan ini?"
"Bukan. Aku sudah menemukannya sebelum ini."
"Sebelum ini?"
"Sebelum ini-ingat saat kita tersesat di tengah haar?"
Jenna mengangguk.
"Nah, aku terjatuh sampai ke bawah sini. Dan tadinya
kukira aku bakal terjebak di sini untuk selamanya. Sampai
aku menemukan cincin ini. Ini Magyk. Menerangi dan
menunjukkan padaku jalan keluar dari sini."
Oh, begitu rupanya, pikir Jenna. Sekarang dia baru
mengerti, mengapa Bocah 412 waktu itu sudah duduk
menunggu dengan bangga, ketika Jenna dan Nicko akhirnya
berhasil menemukan jalan pulang, kedinginan dan basah
kuyup setelah berjam-jam berjalan tak tentu arah mencari-
carinya. Jenna sudah tahu Bocah 412 menyimpan semacam
rahasia. Jadi, selama ini dia membawa-bawa cincin itu dan
tidak pernah memperlihatkannya pada siapapun. Ternyata
Bocah 412 lebih pintar daripada kelihatannya.
"Cincin yang indah," kata Jenna, sambil memandangi
naga emas yang melingkar di jari Bocah 412. "Boleh aku
pegang?"
Dengan agak berat hati, Bocah 412 melepas cincin
itu, lalu memberikannya kepada Jenna. Jenna menimang-
http://facebook.com/indonesiapustaka

nimang cincin itu dengan hati-hati di kedua tangannya,


namun cahaya cincin itu mulai pudar dan kegelapan kembali
menyelimuti mereka. Tak lama kemudian, cahaya dari cincin
itu benar-benar padam.
"Kau menjatuhkannya, ya?" tanya Bocah 412 dengan
nada menuduh.

~316~
"Tidak," sahut Jenna, "aku masih memegangnya. Tapi
cincin ini tidak mau menyala kalau aku yang pegang."
"Cincin itu bisa menyala kok. Itu kan cincin Magyk,"
sahut Bocah 412. "Sini, kembalikan. Kuperlihatkan padamu."
Diambilnya cincin itu dan seketika terowongan itu dipenuhi
cahaya. "Lihat, gampang kan."
"Gampang bagimu," sahut Jenna, "tapi tidak bagiku."
"Aku tidak mengerti apa sebabnya," sahut Bocah 412
kebingungan.
Tapi Jenna mengerti apa sebabnya. Dia sudah
melihatnya berulang kali, berhubung dia dibesarkan di
lingkungan keluarga Penyihir. Dan meski Jenna sadar betul
bahwa tidak ada kekuatan Magyk dalam dirinya, tapi dia
tahu siapa yang memiliki kekuatan Magyk.
"Bukan cincinnya yang punya Magyk. Tapi kau,"
katanya pada Bocah 412.
"Aku tidak punya Magyk," sahut Bocah 412.
Suaranya kedengaran sangat yakin, hingga Jenna tidak
membantahnya.
"Baiklah, apa pun dirimu, sebaiknya tetap pegang
cincin itu," ujar Jenna. "Lantas, bagaimana kita bisa keluar?"
Bocah 412 memakai cincin naga itu dan berjalan
menyusuri terowongan, membimbing Jenna dengan yakin
melewati putaran dan belokan yang sebelumnya sangat
membingungkannya, hingga akhirnya mereka sampai di
puncak anak tangga.
"Hati-hati," katanya. "Waktu itu aku terjatuh di sini
http://facebook.com/indonesiapustaka

dan hampir kehilangan cincin ini."


Di anak tangga paling bawah Jenna berhenti. Ada
sesuatu yang membuat bulu kuduknya meremang.
"Aku sudah pernah ke sini," bisiknya.
"Kapan?" tanya Bocah 412, merasa sedikit cemas.
Tempat ini miliknya.

~317~
"Dalam mimpi-mimpiku," gumam Jenna. "Aku
mengenal tempat ini. Dulu aku pernah memimpikannya saat
musim panas, sewaktu aku masih berada di rumah. Tapi
tempatnya lebih besar daripada ini..."
"Ayolah," kata Bocah 412 dengan tegas.
"Aku ingin tahu apakah tempat ini memang lebih
besar, siapa tahu ada gema." Jenna mengeraskan suaranya
saat bicara.
Ada gema ada gema ada gema ada gema ada gema ada
gema... kedengaran di sekeliling mereka.
"Huss," bisik Bocah 412. "Dia bisa mendengar kita.
Lewat bawah tanah. Mereka melatihnya untuk mendengar
seperti anjing."
"Siapa?"
"Pemburu."
Jenna terdiam. Lupa tentang si Pemburu, dan
sekarang ini dia sedang tidak ingin mengingatnya.
"Ada banyak lukisan di dinding-dindingnya," bisik
Jenna pada Bocah 412, "dan aku tahu aku pernah
memimpikannya. Lukisan-lukisan itu kelihatan sudah tua
sekali. Sepertinya menggambarkan suatu cerita."
Sebelumnya Bocah 412 tidak terlalu memerhatikan
lukisan-lukisan itu, namun kini diacungkannya cincin itu ke
dinding-dinding pualam licin yang membentuk bagian ini
dalam terowongan. Terlihat olehnya bentuk-bentuk
sederhana, hampir primitif, berwarna biru tua, merah, dan
kuning, memperlihatkan bentuk-bentuk yang kelihatan
http://facebook.com/indonesiapustaka

seperti naga, kapal yang sedang dibuat, kemudian mercu suar


dan kapal karam.
Jenna menunjuk lebih banyak lagi gambar-gambar di
dinding. "Dan ini kelihatannya seperti rencana bangunan
untuk menara atau semacamnya."
"Itu Menara Penyihir," sahut Bocah 412. "Lihat

~318~
Piramida yang ada di puncaknya."
"Aku tidak tahu Menara Penyihir usianya sudah
setua itu," kata Jenna, seraya menyentuh cat lukisan dengan
jari-jemarinya. Dia berpikir, mungkin dia orang pertama
yang melihat lukisan-lukisan itu selama beribu-ribu tahun.
"Menara Penyihir memang sudah sangat tua," ujar
Bocah 412. "Tidak ada yang tahu kapan menara itu dibangun.
"Bagaimana kau bisa tahu?" tanya Jenna, terkejut
karena Bocah 412 bicara dengan begitu yakin.
Bocah 412 menarik napas dalam-dalam, lalu berkata
dengan nada seperti melantunkan lagu, "Menara Penyihir
adalah Menara Kuno. Banyak sumber daya berharga yang
dihamburkan oleh Penyihir LuarBiasa untuk
mempertahankan Menara agar tetap kelihatan mewah,
padahal sumber-sumber daya itu seharusnya bisa digunakan
untuk menyembuhkan mereka yang sakit, atau membuat
Kastil menjadi tempat hunian yang lebih aman bagi semua
orang. Lihat kan, aku masih bisa mengingatnya. Dulu kami
suka menghafalkan hal-hal semacam itu setiap minggu, pada
pelajaran Kenali Musuhmu."
"Iih, menyebalkan," Jenna bersimpati. "Hei, aku yakin
Bibi Zelda pasti tertarik dengan semua yang ada di bawah
sini," bisiknya selagi mengikuti Bocah 412 berjalan di
sepanjang terowongan.
"Dia sudah mengetahuinya," sahut Bocah 412, yang
teringat bahwa Bibi Zelda suka menghilang di balik lemari
ramuan. "Dan menurutku dia sudah tahu bahwa aku
http://facebook.com/indonesiapustaka

mengetahuinya."
"Mengapa? Apakah dia mengatakannya?" tanya
Jenna, penasaran mengapa dia tidak mengetahui semua ini.
"Tidak," sahut Bocah 412. "Tapi dia memandangku
dengan tatapan aneh."
"Dia memang suka memandang semua orang dengan

~319~
tatapan aneh," sahut Jenna. "Itu bukan berarti dia mengira
mereka semua pernah menemukan terowongan rahasia
semacam ini."
Mereka berjalan agak lebih jauh lagi. Barisan lukisan
itu baru saja berakhir dan mereka sampai di anak tangga
curam yang mengarah ke atas. Perhatian Jenna tertarik pada
sebutir batu kecil yang teronggok di anak tangga paling
bawah. Diambilnya batu itu, lalu diperlihatkannya kepada
Bocah 412.
"Hei, lihat ini. Bagus, ya?"
Batu yang dipegang Jenna itu batu hijau besar
berbentuk telur. Batu itu licin dan halus, seolah seseorang
baru saja menggosoknya, dan batu itu bersinar redup
ditimpa cahaya cincin. Warna hijaunya bergradasi, seperti
sayap capung, dan batu itu tergeletak dengan keseimbangan
sempurna di kedua tangan Jenna yang tertangkup.
"Halus sekali," kata Bocah 412, sambil mengelusnya
lembut.
"Ini, kauambil saja," kata Jenna tanpa berpikir
panjang. "Batu ini bisa menjadi batu peliharaanmu. Seperti
Petroc Trelawney, hanya saja lebih besar. Kita bisa meminta
Ayah memantrainya saat kita kembali ke Kastil."
Bocah 412 mengambil batu hijau itu. Dia tidak tahu
harus berkata apa. Belum pernah ada orang yang
memberinya hadiah. Dimasukkannya batu itu ke dalam saku
rahasianya, di bagian dalam jaket kulit dombanya. Lalu dia
teringat apa yang pernah dikatakan Bibi Zelda kepadanya
http://facebook.com/indonesiapustaka

sewaktu dia membawakan tanaman herbal dari kebun.


"Terima kasih," kata Bocah 412.
Cara Bocah 412 mengucapkan itu mengingatkan
Jenna pada Nicko.
Nicko.
Nicko dan si Pemburu.

~320~
"Kita harus kembali," kata Jenna cemas. Bocah 412
mengangguk. Dia tahu mereka harus pergi dan menghadapi
apa pun yang menanti mereka di luar. Padahal baru saja dia
menikmati perasaan aman ini selama beberapa saat.
Namun dia sadar perasaan itu tidak bisa bertahan
lama.
http://facebook.com/indonesiapustaka

~321~
36. MEMBEKU
Tingkap terangkat perlahan-lahan beberapa senti,
dan bocah 412 mengintip ke luar. Hawa dingin menerpanya.
Pintu ke lemari ramuan terbuka lebar, dan dia melihat tepat
ke tumit sepatu bot berlumpur si Pemburu.
Tampak sosok si Pemburu berdiri membelakangi
lemari ramuan, hanya beberapa meter jauhnya, jubah
hijaunya disibakkan di bahu dan pistol peraknya tergenggam
di tangan, siap ditembakkan. Tubuhnya menghadap ke pintu
dapur, dengan posisi seolah siap menerjang.

Bocah 412 menunggu untuk melihat apa yang akan
dilakukan si Pemburu, tapi orang itu tidak melakukan apa-
apa. Dia sedang menunggu, pikir Bocah 412, mungkin
menunggu Bibi Zelda keluar dari dapur.
Seraya dalam hati meminta Bibi Zelda agar tidak
keluar dari dapur, Bocah 412 turun, lalu mengulurkan
tangannya untuk mengambil Serdadu Serangga milik Jenna.
Jenna berdiri dengan cemas di tangga di bawahnya.
Jenna tahu keadaannya tidak bagus, kalau melihat betapa
tegang dan diamnya sikap Bocah 412. Ketika tangan Bocah
412 terulur ke bawah, Jenna mengambil Serdadu Serangga
yang meringkuk dari sakunya, lalu mengulurkannya pada
Bocah 412, seperti yang sudah mereka rencanakan, dan
dalam hati dia memberikan ucapan selamat berjuang pada
serangga itu. Jenna mulai menyukai si Serdadu Serangga dan
http://facebook.com/indonesiapustaka

merasa sedih melepasnya pergi.


Dengan hati-hati Bocah 412 mengambil serangga itu,
lalu perlahan-lahan mendorongnya lewat pintu jebak yang
terbuka. Diletakkannya "bola" berlapis baja hijau itu di
lantai, sambil memastikan tangannya masih tetap memegangi
serangga itu dan membidikkannya tepat ke arah si Pemburu.

~322~
Tepat ke arah si Pemburu.
Kemudian dilepaskannya serangga itu. Serangga itu
langsung berdiri tegak, mengunci tatapan mata hijaunya
yang tajam menusuk ke arah si Pemburu, lalu menghunus
pedangnya dengan suara berdesir pelan. Bocah 412 menahan
napas mendengar suara itu, dan berharap si Pemburu tidak
mendengarnya. Pria tegap berjubah hijau itu tidak bergerak.
Bocah 412 perlahan mengembuskan napas dan, dengan
menjentikkan jari, dilepaskannya serangga itu terbang ke
udara, menuju sasarannya, dengan pekikan nyaring.
Si Pemburu tidak bergerak.
Dia tidak berpaling atau bergerak sedikit pun ketika
serangga itu mendarat di bahunya dan mengangkat
pedangnya untuk menyerang. Bocah 412 terkesan. Dia tahu
si Pemburu memang tangguh, tapi tindakannya kali ini
sungguh sangat nekat.
Kemudian Bibi Zelda muncul.
"Minggir!" teriak Bocah 412. "Si Pemburu!"
Bibi Zelda terlonjak. Bukan karena si Pemburu, tapi
karena dia belum pernah mendengar Bocah 412 bicara, maka
dia tidak tahu siapa yang barusan bicara. Atau dari mana
asalnya suara tak dikenal itu.
Kemudian Bocah 412 terperangah ketika Bibi Zelda
merenggut Serdadu Serangga dari badan si Pemburu, lalu
menepuknya agar serangga itu meringkuk kembali menjadi
bola.
Dan tetap saja si Pemburu tidak bergerak.
http://facebook.com/indonesiapustaka

Dengan gesit Bibi Zelda memasukkan serangga itu ke


dalam saku kain percanya yang banyak jumlahnya, lalu
menengok ke kiri-kanan, penasaran dari mana asalnya suara
tak dikenal tadi. Lalu dilihatnya Bocah 412 mengintip dari
pintu jebak yang sedikit terbuka.
"Apakah tadi itu kau?" tanyanya tercekat. "Syukurlah

~323~
kau tidak apa-apa. Di mana Jenna?"
"Di sini," sahut Bocah 412, agak takut untuk bicara,
kalau-kalau si Pemburu mendengarnya. Tapi si Pemburu
tidak menunjukkan tanda-tanda telah mendengarnya sedikit
pun, dan Bibi Zelda memperlakukannya seolah dia hanyalah
sepotong perabot aneh sementara Bibi Zelda mondar-mandir
di sekitar sosoknya yang diam mematung itu, mengangkat
pintu jebak, dan membantu Bocah 412 dan Jenna keluar.
"Sungguh pemandangan yang indah, kalian berdua
selamat," ujarnya gembira. "Aku khawatir sekali."
"Tapi... bagaimana dengan dia." Bocah 412 menunjuk
ke arah si Pemburu.
"Membeku," sahut Bibi Zelda dengan air muka puas.
"Membeku seperti patung dan akan tetap begitu. Sampai aku
memutuskan nasibnya nanti."
"Di mana Nicko? Dia baik-baik saja?" tanya Jenna
sewaktu memanjat naik.
"Dia baik-baik saja. Dia sedang mengejar si Murid,"
sahut Bibi Zelda.
Begitu Bibi Zelda selesai bicara, pintu depan
terbanting terbuka dan si Murid yang basah kuyup didorong
masuk, diikuti oleh Nicko yang sama basah kuyupnya.
"Brengsek," Nicko meludah sambil membanting
pintu. Dilepaskannya bocah itu, lalu berjalan menghampiri
perapian yang menyala untuk mengeringkan diri.
Air menetes-netes ke lantai dari tubuh si Murid yang
basah kuyup dan tampak tidak senang; matanya terarah
http://facebook.com/indonesiapustaka

pada si Pemburu, untuk minta pertolongan. Dan dia semakin


tidak senang ketika melihat apa yang telah terjadi. Si
Pemburu berdiri Membeku dalam gerakan menerjang
memegang pistolnya, menatap ruangan itu dengan tatapan
hampa. Si Murid menelan ludah-seorang wanita bertubuh
besar dengan baju kain perca yang seperti tenda sedang

~324~
berjalan menghampiri ke arahnya, dan dia tahu sekali siapa
wanita itu dari Kartu Bergambar Musuh yang pernah
dipelajarinya sebelum pergi bersama si Pemburu.
Wanita itu adalah Penyihir Putih Gila, Zelda Zanuba
Heap.
Belum lagi si bocah Penyihir, Nickolas Benjamin
Heap, dan 412, desertir sialan yang melarikan diri. Mereka
semua ada di sini, tepat seperti telah diceritakan kepadanya.
Tapi di mana sasaran mereka yang sesungguhnya? Di mana
sang Ratu Kecil?
Si Murid menengok ke kiri-kanan, dan melihat
bayangan Jenna di belakang Bocah 412. Dilihatnya mahkota
bulat emas Jenna yang berkilauan di atas rambutnya yang
hitam panjang dan mata ungunya, sama persis dengan
gambar di Kartu Musuh (digambar dengan sangat baik oleh
Linda Lane, si mata-mata). Sang Ratu Kecil sedikit lebih tinggi
dari yang diperkirakannya, tapi tak salah lagi, itu memang
dia.
Senyum licik tersungging di bibir si Murid saat dia
mengira-ngira, apakah dia bisa menangkap Jenna seorang
diri. Guru-nya pasti akan sangat senang. Tentunya sang Guru
akan melupakan semua kegagalannya yang dulu dan
berhenti mengancam akan mengirimnya kembali ke Laskar
Pemuda sebagai Tumbal. Terutama kalau dia berhasil,
sementara si Pemburu sudah gagal.
Dia akan melakukannya.
Dengan tiba-tiba dan mengejutkan, si Murid, meski
http://facebook.com/indonesiapustaka

terhalang oleh jubahnya yang basah kuyup, merangsek maju


dan menyerang Jenna. Bocah itu ternyata lumayan kuat
untuk anak seukuran dirinya. Dia melingkarkan satu
lengannya yang kurus tapi kuat di leher Jenna, nyaris
membuat gadis itu tercekik. Kemudian dia mulai menyeret
Jenna ke arah pintu.

~325~
Ketika Bibi Zelda hendak bergerak ke arahnya, bocah
itu menjentikkan pisau sakunya, lalu menekannya keras-
keras di leher Jenna.
"Kalau ada yang coba-coba menghalangiku, maka dia
mati," gertaknya, sambil mendorong Jenna keluar lewat
pintu yang terbuka, terus menuju kano dan Magog yang
sedang menunggu. Si Magog sama sekali tidak mengacuhkan
kejadian tersebut. Makhluk itu sedang asyik melumat
Serdadu Serangga kelima belas yang tadi tenggelam, dan
tugasnya belum dimulai sampai tawanannya berada di dalam
kano.
Jenna sudah hampir sampai ke kano.
Tapi Nicko tidak rela membiarkan adiknya dibawa
pergi tanpa perlawanan. Dia bergerak cepat mengejar si
Murid, lalu menerjangnya. Si Murid jatuh menimpa Jenna,
dan terdengar teriakan. Darah mengucur dari bawah tubuh
Jenna.
Nicko menarik paksa si Murid untuk
menyingkirkannya.
"Jen, Jen!" Nicko terengah. "Kau terluka?"
Jenna melonjak bangun dan terpaku menatap darah
di jalan setapak itu.
"Ku... kurasa tidak1' ujarnya terbata-bata. "Kurasa
dia yang terluka. Kukira dia terluka."
"Biar dia tahu rasa," sahut Nicko, ditendangnya pisau
tadi hingga jauh dari jangkauan si Murid.
Nicko dan Jenna menarik si Murid supaya berdiri.
http://facebook.com/indonesiapustaka

Lengan bocah itu terluka sedikit kena pisau, tapi selain itu
sepertinya dia tidak apa-apa. Namun wajahnya pucat pasi. Si
Murid ketakutan melihat darah, apalagi darahnya sendiri,
tapi bahkan lebih takut lagi memikirkan apa yang mungkin
akan dilakukan para Penyihir itu terhadap dirinya. Selagi
diseret masuk kembali ke pondok, si Murid mencoba

~326~
melepaskan diri untuk terakhir kali. Dia meronta-ronta dari
cengkeraman tangan Jenna dan menendang tulang kering
Nicko sekeras-kerasnya.
Maka terjadilah perkelahian. Si Murid mendaratkan
tinju keras ke perut Nicko dan baru akan menendangnya lagi
ketika Nicko memelintir tangannya di punggung hingga dia
kesakitan.
"Coba saja melepaskan diri kalau bisa," ujar Nicko
padanya. "Jangan kira kau bisa menculik adikku dan bebas
pergi begitu saja. Brengsek."
"Dia tidak bakal bisa melepaskan diri," cemooh
Jenna. "Dia terlalu bodoh."
Si Murid benci dibilang bodoh. Hanya dengan kata
itulah Guru-nya memanggilnya. Anak bodoh. Dasar otak
udang bodoh. Anak bodoh juga bebal. Dia benci itu.
"Aku tidak bodoh." Dia terkesiap begitu Nicko
mengencangkan pelintiran tangannya. "Aku bisa melakukan
apa saja yang kuinginkan. Aku bisa saja menembaknya kalau
aku mau. Aku sudah menembak sesuatu malam ini. Jadi, aku
tidak bodoh."
Begitu ucapan tersebut terlontar dari mulutnya, si
Murid langsung menyesalinya. Empat pasang mata
menatapnya penuh curiga.
"Apa maksudmu sebenarnya?" tanya Bibi Zelda
pelan. "Kau menembak sesuatu?"
Si Murid memutuskan untuk menghadapi situasi itu
dengan percaya diri.
http://facebook.com/indonesiapustaka

"Bukan urusanmu. Aku bisa menembak apa yang ku-


suka. Dan kalau aku ingin menembak bola bulu gendut yang
menghalangiku sewaktu melaksanakan tugas, maka aku
bakal melakukannya."
Semua orang mendadak terdiam karena terkejut.
Nicko memecah kesunyian itu.

~327~
"Boggart. Dia menembak Boggart. Brengsek."
"Auww!" teriak si Murid.
"Tolong, Nicko, jangan pakai kekerasan," kata Bibi
Zelda. "Apa pun yang telah dilakukannya, dia cuma anak-
anak."
"Aku bukan cuma anak-anak," sahut si Murid dengan
angkuh. "Aku Murid DomDaniel, Penyihir Agung dan
Necromancer. Aku putra ketujuh dari putra ketujuh."
"Apa?" tanya Bibi Zelda. "Barusan kau bilang apa?"
"Aku Murid DomDaniel, Penyihir..."
"Bukan itu. Kami tahu itu. Aku bisa melihat bintang-
bintang hitam di sabukmu dengan jelas, terima kasih."
"Kubilang," si Murid bicara dengan bangga, gembira
karena akhirnya ada orang yang menganggap serius
perkataannya, "aku ini putra ketujuh dari putra ketujuh. Aku
memiliki Magyk." Walaupun belum terlalu kelihatan, pikir si
Murid. Tapi pasti akan terlihat.
"Aku tidak percaya padamu," sahut Bibi Zelda terus
terang. "Aku belum pernah melihat orang yang sama sekali
tidak cocok menjadi putra ketujuh dari putra ketujuh
seumur hidupku."
"Tapi akulah orangnya," si Murid bersikeras sambil
bersungut-sungut. "Aku Septimus Heap."
http://facebook.com/indonesiapustaka

~328~
37. MELIHAT BOLA KRISTAL
"Dia bohong," ujar Nicko marah, sambil berjalan
mondar-mandir sementara tubuh si Murid pelan-pelan
mengering di dekat perapian.
Jubah hijau wol si Murid menebarkan bau apak yang
tidak sedap, yang dikenali Bibi Zelda sebagai akibat dari
mantra-mantra yang gagal serta Magyk Gelap yang basi.
Dibukanya beberapa stoples Tabir Penangkal Bau, dan tak
lama kemudian tercium aroma pai meringue lemon.
"Dia bilang begitu hanya untuk membuat kita kesal,"
ujar Nicko gusar. "Nama bocah brengsek itu bukanlah
Septimus Heap."
Jenna merangkul Nicko. Bocah 412 berharap dirinya
memahami apa yang sedang terjadi.
"Siapa itu Septimus Heap?" tanyanya.
"Adik kami," sahut Nicko.
Bocah 412 malah kelihatan semakin bingung.
"Dia meninggal sewaktu masih bayi," tutur Jenna.
"Kalau dia masih hidup, dia bakal memiliki kekuatan Magyk
yang luar biasa. Ayah kami adalah putra ketujuh," tutur
Jenna padanya, "tapi itu tidak serta merta menjadikanmu
lebih Magykal."
"Pada Silas memang tidak," gumam Bibi Zelda.
"Ketika Ayah menikah dengan Ibu, mereka memiliki
enam putra, yaitu Simon, Sam, Edd dan Erik, Jo-jo, dan Nicko.
Kemudian lahir Septimus. Maka dia putra ketujuh dari putra
http://facebook.com/indonesiapustaka

ketujuh. Tapi dia meninggal. Tepat setelah dia dilahirkan,"


tutur Jenna. Dia teringat semua yang diceritakan Sarah
kepadanya pada suatu malam musim panas, sewaktu dia
ditidurkan di dalam ranjang kardusnya. "Aku selalu mengira
dia saudara kembarku. Tapi ternyata bukan..."
"Oh," sahut Bocah 412, memikirkan betapa rumitnya

~329~
keadaan jika memiliki keluarga.
"Jadi, sudah jelas dia bukanlah saudara kandung
kami," sahut Nicko, "Dan meskipun benar, aku tidak mau
kalau dia orangnya. Dia bukanlah adikku."
"Baiklah," kata Bibi Zelda, "hanya ada satu cara
untuk meluruskan masalah ini. Kita bisa menguji apakah dia
mengatakan yang sebenarnya, meski aku sendiri sangat
meragukannya. Walau aku juga senantiasa penasaran
tentang Septimus... Entah bagaimana, sepertinya ada yang
tidak beres." Wanita itu membuka pintu dan memeriksa
keadaan bulan.
"Bulan setengah bagiannya lebih terang," ujarnya.
"Hampir purnama. Bukan waktu yang buruk untuk melihat
bola kristal."
"Apa?" tanya Jenna, Nicko, dan Bocah 412 serempak.
"Akan kuperlihatkan pada kalian," sahutnya. "Ikut
aku."
Mereka sama sekali tak menyangka akan dibawa ke
kolam, tapi di situlah mereka berada, menatap pantulan
cahaya bulan di atas permukaan air hitam dan tenang, persis
seperti yang diperintahkan Bibi Zelda.
Si Murid terimpit rapat di antara Nicko dan Bocah
412, untuk berjaga-jaga kalau dia mencoba melarikan diri
lagi. Bocah 412 gembira karena akhirnya Nicko percaya
padanya. Belum lama berselang, Nicko-lah yang berusaha
menghalangi dirinya melarikan diri. Tapi kini di sinilah dia
berada, menyaksikan jenis Magyk yang pernah
http://facebook.com/indonesiapustaka

diperingatkan padanya di Laskar Pemuda: bulan purnama


dan seorang Penyihir Putih, mata birunya yang tajam
menatap sinar bulan, melambaikan kedua lengannya di udara
dan bicara tentang bayi yang sudah mati. Satu hal yang sulit
dipercaya oleh Bocah 412 bukanlah bahwa ini benar-benar
terjadi, melainkan kenyataan bahwa kini ia cukup terbiasa

~330~
dengan hal semacam ini. Bukan hanya itu, namun
disadarinya bahwa orang-orang yang mengelilingi kolam
bebek bersamanya ini-Jenna, Nicko, dan Bibi Zelda-lebih
berarti baginya, melebihi siapa pun yang pernah dikenalnya
seumur hidupnya. Tentu saja, selain Bocah 409.
Kecuali, pikir Bocah 412, tidak termasuk si Murid. Si
Murid mengingatkannya pada sebagian besar orang yang
pernah menyiksa dirinya dalam kehidupan sebelumnya.
Kehidupan sebelumnya. Bocah 412 memutuskan, bahwa
kehidupannya yang itu sudah berlalu. Apa pun yang terjadi,
dia tidak akan mau kembali lagi ke Laskar Pemuda. Tidak
akan pernah.
Bibi Zelda berbicara dengan suara pelan. "Sekarang
aku akan meminta bulan menunjukkan Septimus Lleap pada
kita."
Bocah 412 bergidik, lalu mulai menatap permukaan
gelap air kolam. Di tengahnya pantulan sinar bulan tampak
sempurna, begitu jelas hingga permukaan laut dan
pegunungan di bulan kelihatan jauh lebih jelas daripada yang
pernah dilihatnya.
Bibi Zelda mendongak menatap bulan, lalu berkata,
"Wahai, Bulan, Wahai, Bulan, tunjukkan pada kami, bila kau
berkenan, putra ketujuh dari Silas Heap dan Sarah.
Tunjukkan di mana dia berada saat ini. Tunjukkan timus
Heap." Semua orang menahan napas dan menatap penuh
harap ke permukaan air kolam. Jenna merasa takut. Septimus
sudah meninggal. Apa yang bakal mereka lihat? Seonggok
http://facebook.com/indonesiapustaka

tulang-belulang? Sebuah makam kecil?


Keadaan menjadi sunyi senyap. Bayangan bulan
mulai membesar, sampai sebuah lingkaran putih yang sangat
besar, nyaris bulat sempurna, memenuhi kolam bebek.
Mulanya bayang-bayang samar mulai muncul di dalam
lingkaran. Perlahan-lahan bayang-bayang itu menjadi

~331~
semakin jelas bentuknya, sampai mereka melihat... bayangan
mereka sendiri.
"Lihat, kan," ujar si Murid. "Kalian meminta untuk
melihatku, dan di situlah aku berada. Aku kan sudah bilang
pada kalian."
"Itu tidak berarti apa-apa," sahut Nicko gusar. "Itu
cuma bayangan kita."
"Mungkin ya. Mungkin juga tidak," ujar Bibi Zelda
sambil berpikir.
"Bisakah kita melihat apa yang terjadi pada Septimus
sewaktu dia dilahirkan?" Tanya Jenna. "Dengan begitu, baru
kita tahu apakah dia masih hidup, betul tidak?"
"Ya, bisa. Aku akan memintanya. Tapi jauh lebih sulit
untuk melihat kejadian dari masa lalu." Bibi Zelda menarik
napas dalam-dalam, lalu berkata, "Wahai, Bulan. Wahai,
Bulan, tunjukkan pada kami, bila kau berkenan, hari pertama
dalam hidup Septimus Heap."

Si Murid mendengus dan terbatuk-batuk.
"Tolong, jangan berisik," kata Bibi Zelda.
Perlahan-lahan bayangan mereka menghilang dari
permukaan air dan digantikan dengan pemandangan yang
sangat jelas, tajam, dan cemerlang dalam gelapnya tengah
malam.
Pemandangan itu menunjukkan suatu tempat yang
sangat dikenal oleh Jenna dan Nicko: rumah mereka di Kastil.
Bak sebuah tablo di hadapan mereka, tampak sosok-sosok di
http://facebook.com/indonesiapustaka

dalam ruangan yang diam tak bergerak, dibekukan oleh


waktu. Sarah berbaring sambil memeluk bayi yang baru
lahir, dengan Silas di sampingnya. Jenna tercekat. Dia tidak
menyadari betapa selama ini dia sangat merindukan
rumahnya. Jenna melirik ke arah Nicko, yang raut wajahnya
penuh konsentrasi dan dikenali Jenna sebagai ekspresi Nicko

~332~
kalau sedang berusaha untuk tidak kelihatan sedih.
Tiba-tiba semua orang tertegun. Sosok-sosok itu
mulai bergerak. Tanpa suara dan sangat halus, seperti foto
yang bergerak, mereka mulai memainkan sebuah adegan di
hadapan penonton yang terpesona-terpesona, kecuali satu
orang.
"Kamera Obscura milik Guru-ku seratus kali lebih
baik ketimbang kolam bebek tua ini," ujar si Murid dengan
nada menghina.
"Diam," desis Nicko marah.
Si Murid mengembuskan napas keras-keras, lalu
bergerak-gerak gelisah. Semua ini benar-benar omong
kosong, pikirnya. Tidak ada hubungannya dengan diriku.
Ternyata si Murid salah. Peristiwa-peristiwa yang
tengah disaksikannya telah mengubah hidupnya.
Adegan-adegan itu mulai bergulir di hadapan mereka
Rumah keluarga Heap tampak agak berbeda. Segala
sesuatunya lebih baru dan lebih bersih. Sarah Heap juga jauh
lebih muda; wajahnya lebih segar dan tidak ada kesedihan
dalam sorot matanya. Bahkan dia kelihatan sangat bahagia,
memeluk bayinya yang baru lahir, Septimus. Silas juga lebih
muda, rambutnya tidak terlalu berantakan dan di wajahnya
belum terlalu banyak gurat-gurat kekhawatiran. Tampak
enam anak laki-laki bermain bersama dengan damai.
Jenna tersenyum sayu, menyadari bahwa bocah
paling kecil berambut tebal dan kusut yang susah diatur itu
pasti Nicko. Dia tampak sangat lucu, pikirnya, melompat-
http://facebook.com/indonesiapustaka

lompat, kegirangan ingin melihat adik bayinya.


Silas mengangkat Nicko, lalu menggendongnya agar
bisa melihat adiknya yang baru lahir. Nicko mengulurkan
tangannya yang gemuk dan pendek lalu membelai pipi adik
bayinya dengan lembut. Silas mengatakan sesuatu
kepadanya, lalu menurunkannya dan dia berjalan tertatih-

~333~
tatih untuk bermain bersama kakak-kakaknya.
Kini Silas mencium Sarah dan si bayi, mengucapkan
selamat tinggal. Dia berhenti dan mengatakan sesuatu
kepada Simon, putra sulungnya, kemudian pergi.
Gambar-gambarnya memudar, waktu berlalu.
Kini rumah keluarga Heap diterangi cahaya lilin.
Sarah sedang menyusui bayinya, dan Simon dengan tenang
membacakan dongeng untuk adik-adiknya. Sebuah sosok
besar berjubah biru tua, Ibu Bidan, masuk tergesa-gesa ke
dalam adegan itu. Dia mengambil bayi tadi dari Sarah, lalu
membaringkannya di dalam kotak kayu yang merupakan
tempat tidur si bayi. Dengan membelakangi Sarah,
dikeluarkannya botol kecil berisi cairan hitam dari sakunya,
lalu dia mencelupkan jari ke dalamnya. Kemudian, sambil
menengok ke kiri-kanan dengan raut wajah bersalah, si
Bidan mengoleskan jarinya yang menghitam ke bibir si bayi.
Septimus langsung lemas.
Ibu Bidan membalikkan badan menghadap Sarah,
sambil mengulurkan bayi yang terkulai lemas itu kepadanya.
Sarah kelimpungan. Ditempelkannya mulutnya ke mulut si
bayi, berusaha memberikan napas buatan, namun Septimus
tetap saja lemas seperti kain lap. Tak lama kemudian Sarah
juga terkena pengaruh obat tadi. Dengan mata berkunang-
kunang, dia jatuh pingsan di atas bantalnya.
Disaksikan oleh enam anak laki-laki yang ketakutan
setengah mati, Ibu Bidan mengambil segulung besar perban
dari sakunya dan mulai membungkus Septimus, mulai dari
http://facebook.com/indonesiapustaka

kakinya, dan dengan sigap membungkus sampai ke atas,


sampai ke kepalanya, lalu wanita itu berhenti sebentar dan
memeriksa napas si bayi. Merasa puas, dia meneruskan
membungkus, hanya hidung si bayi dibiarkan terbuka,
sehingga bayi itu tampak seperti mumi Mesir mungil.
Sekonyong-konyong Ibu Bidan berjalan ke pintu

~334~
dengan menggendong Septimus. Sarah memaksakan diri
untuk tersadar dari tidur akibat pengaruh obat tadi, tepat
pada waktu dia melihat si Bidan membanting pintu hingga
terbuka, dan menabrak Silas yang terkejut; tampak jubah
Silas rapat membungkus tubuhnya. Si Bidan mendorongnya
minggir dan berlari menghambur menuju koridor.
Koridor Rumah Besar diterangi obor-obor yang
menyala terang, yang membentuk bayang-bayang samar
pada sosok gelap si Ibu Bidan selagi dia berlari cepat-cepat,
dengan memeluk Septimus erat-erat. Setelah beberapa
waktu, wanita itu keluar ke malam bersalju dan
memperlambat langkahnya, sambil melihat ke kiri-kanan
dengan cemas. Dengan membungkuk melindungi si bayi,
wanita itu berjalan terburu-buru di sepanjang jalan sempit
yang sepi, sebelum akhirnya sampai di lapangan terbuka''.
Bocah 412 tertegun. Itu Lapangan Parade Laskar
Pemuda.
Sosok hitam besar tadi jalan melintasi lapangan
parade yang bersalju, berlari bak seekor kumbang hitam di
atas taplak meja makan. Penjaga di pintu barak memberi
salam kepada Ibu Bidan dan membiarkan wanita itu masuk.
Di dalam barak yang suram itu Ibu Bidan
melambatkan langkah. Dia berjalan hati-hati menuruni anak
tangga curam, menuju ruang bawah tanah yang lembap dan
penuh dengan deretan ranjang bayi yang kosong. Ruangan
itu tak lama lagi bakal menjadi kamar anak-anak Laskar
Pemuda, tempat semua anak laki-laki yatim-piatu dan anak
http://facebook.com/indonesiapustaka

yang tidak diinginkan besar di Kastil. (Anak perempuan akan


ditempatkan di Aula Pelatihan Pelayanan Rumah Tangga.)
Sudah ada empat penghuni yang malang. Mereka adalah
putra kembar tiga dari seorang Pengawal yang cukup punya
nyali mengejek janggut Wali Utama. Sedangkan yang
keempat adalah bayi laki-laki Ibu Bidan, berumur enam

~335~
bulan dan dirawat di ruang anak-anak saat dia bekerja. Si
perawat bayi, wanita tua yang selalu batuk tanpa henti,
duduk melorot di kursi, tidur dan terbangun di sela-sela
batuknya. Ibu Bidan cepat-cepat menaruh Septimus di
ranjang bayi yang kosong, lalu melepaskan perbannya.
Septimus menguap dan membuka kepalan kedua tangan
mungilnya.
Dia masih hidup.
Jenna, Nicko, Bocah 412, dan Bibi Zelda melongo
memandang adegan di hadapan mereka di kolam, menyadari
bahwa apa yang dikatakan si Murid tampaknya benar. Bocah
412 merasa mulas. Dia benci sekali melihat barak Laskar
Pemuda lagi.
Dalam keremangan kamar anak-anak Laskar
Pemuda, Ibu Bidan duduk dengan letih. Pandangannya tak
lepas dari pintu, seolah sedang menanti seseorang datang.
Tidak ada orang yang muncul.
Satu atau dua menit kemudian wanita itu bangkit
dari kursi, lalu menghampiri ranjang bayi tempat bayinya
sendiri sedang menangis, dan diangkatnya bayi itu. Tepat
pada saat itu pintu terbanting terbuka. Ibu Bidan
membalikkan badan, wajahnya pucat pasi, ketakutan.
Seorang wanita jangkung berbaju hitam berdiri di
ambang pintu. Di atas jubah hitamnya yang licin dan rapi dia
memakai celemek putih kaku perawat, tapi di pinggangnya
melingkar sabuk berwarna merah darah berhiaskan tiga
bintang hitam DomDaniel.
http://facebook.com/indonesiapustaka

Dia datang untuk mengambil Septimus Heap.


Si Murid sama sekali tidak menyukai apa yang sedang
disaksikannya. Tidak ingin melihat dari keluarga miskin
macam apa dirinya telah diselamatkan-mereka sama sekali
tidak berarti baginya. Dia juga tidak ingin melihat apa yang
telah terjadi pada dirinya sewaktu masih bayi. Apa gunanya

~336~
bagi dirinya saat ini? Dan dia sudah muak berdiri di luar,
kedinginan bersama musuh.
Dengan marah si Murid menendang bebek yang
sedang duduk di sebelah kakinya, lalu menyepaknya
kuatkuat hingga unggas itu terlempar ke air. Bert mendarat
berkecipak di tengah kolam, dan gambar-gambar tadi hancur
berantakan menjadi ratusan kepingan cahaya yang menari-
nari.
Mantranya sudah hilang.
Si Murid melarikan diri. Menuju Mott, melewati jalan
setapak, berlari secepat mungkin menuju kano kecil hitam.
Dia tidak bisa pergi jauh. Bert, yang tidak terima ditendang
sampai masuk ke kolam, mengejarnya. Si Murid mendengar
kepakan kuat sayap bebek itu, hanya sesaat sebelum paruh
bebek itu mematuk tengkuknya dan menarik jubahnya
hingga dia nyaris tercekik. Bebek itu menggigit tudungnya,
lalu menariknya ke arah Nicko.
"Ya, ampun," kata Bibi Zelda, suaranya kedengaran
khawatir.
"Tidak usah mengkhawatirkan dia," kata Nicko
gusar, begitu berhasil menyusul si Murid dan memeganginya.
"Aku bukannya mengkhawatirkan dia," ujar Bibi
Zelda. "Aku cuma berharap paruh Bert tidak terluka."
http://facebook.com/indonesiapustaka

~337~
38. MENCAIR
Si Murid duduk meringkuk di sudut dekat perapian,
dengan Bert yang masih menggantung pada salah satu lengan
bajunya yang lembap menjuntai. Jenna telah mengunci
semua pintu dan Nicko mengunci semua jendela. Bocah 412
disuruh mengawasi si Murid sementara mereka memeriksa
keadaan Boggart.
Boggart terbaring di dasar bak mandi kaleng, seperti
setumpukan bulu coklat lembap, kontras dengan kain warna
putih yang ditaruh Bibi Zelda sebagai alas tidurnya.
Boggart membuka setengah matanya dan menatap
orang-orang yang menjenguknya dengan pandangan buram
dan tidak fokus.
"Halo, Boggart. Sudah merasa baikan?" tanya Jenna
Boggart menjawab. Bibi Zelda mencelupkan spons ke
seember air hangat, lalu membasuhnya dengan lembut.
"Boggart harus tetap lembap," tuturnya. "Boggart
yang kering akan merasa tidak nyaman."
"Kelihatannya dia tidak membaik, ya?" bisik Jenna
pada Nicko sewaktu mereka berjingkat pelan keluar dari
dapur bersama Bibi Zelda.
Si Pemburu, yang masih mematung di luar pintu
dapur, memandang dengan tatapan jahatnya begitu Jenna
muncul. Mata biru pucatnya yang tajam terpaku pada gadis
itu dan mengikutinya saat Jenna melintasi ruangan. Namun
anggota tubuhnya yang lain tetap saja tidak bergerak, seperti
http://facebook.com/indonesiapustaka

patung.
Jenna merasakan tatapan itu, lalu mendongak.
Perasaan ngeri yang dingin merambati tubuhnya. "Dia
sedang memandangiku," katanya. "Matanya mengikutiku."
"Ya ampun," seru Bibi Zelda. "Dia mulai Mencair.
Sebaiknya aku mengurusnya sebelum menimbulkan lebih

~338~
banyak masalah."
Bibi Zelda menarik pistol perak dari tangan si
Pemburu yang Membeku. Mata si Pemburu berkilat marah
sewaktu wanita itu dengan ahli membuka pistol, lalu
mengeluarkan bola perak kecil dari dalam rongganya.
"Ini untukmu," kata Bibi Zelda seraya memberikan
peluru perak itu kepada Jenna. "Benda ini sudah mencarimu
selama sepuluh tahun, dan kini pencariannya sudah berakhir.
Sekarang kau aman."
Jenna tersenyum tidak yakin dan memutar-mutar
bola perak padat itu di telapak tangannya dengan perasaaan
muak; mau tak mau dia mengagumi kesempurnaan peluru
itu. Nyaris sempurna. Diangkatnya peluru itu, lalu
menyipitkan mata untuk melihat tukik kecil pada bola itu.
Dia terkejut menemukan dua huruf terukir di bola perak itu:
P.B.
"Apa artinya P.B.?" tanya Jenna pada Bibi Zelda.
"Lihat, ada di peluru ini."
Sesaat Bibi Zelda tidak menjawab. Dia tahu singkatan
apa kedua huruf itu, tapi tidak yakin apakah harus
mengatakannya pada Jenna.
"P.B.," gumam Jenna, sambil memikirkannya.
"P4B...."
"Putri Bayi," kata Bibi Zelda. "Peluru yang diberi
nama. Peluru yang diberi nama selalu menemukan
sasarannya. Tak peduli bagaimana caranya atau kapan
waktunya, tapi peluru itu pasti menemukan sasarannya.
http://facebook.com/indonesiapustaka

Seperti peluru dengan namamu yang telah menemukan


dirimu. Tapi bukan dengan cara yang semestinya."
"Oh," sahut Jenna pelan. "Jadi peluru yang satu lagi,
peluru untuk ibuku, apakah tertera..."
"Ya, benar. Pada peluru itu tertera huruf R."
"Ah. Bolehkah aku memiliki pistolnya juga?" tanya

~339~
Jenna.
Bibi Zelda tampak terkejut. "Baiklah, kurasa bisa,"
sahutnya. "Kalau kau memang menginginkannya."
Jenna mengambil pistol itu dan memegangnya
dengan meniru cara si Pemburu dan si Pembunuh Bayaran
yang pernah dilihatnya; pistol itu terasa berat di tangannya,
dan perasaan berkuasa yang aneh menghinggapi dirinya.
"Terima kasih," katanya pada Bibi Zelda, sambil
mengembalikan pistol pada wanita itu. "Bisakah Bibi
menyimpannya untukku. Untuk sementara ini saja?"
Bola mata si Pemburu mengikuti Bibi Zelda yang
berjalan membawa pistol itu menuju lemari Ramuan Labil
dan Racun Istimewa, lalu menguncinya. Kedua bola matanya
lagi-lagi mengikuti gerakan wanita itu ketika Bibi Zelda
menghampirinya lalu memeriksa telinganya. Si Pemburu
kelihatan marah besar. Alisnya mengernyit dan matanya
berkilat marah, tapi tidak ada anggota badannya yang
bergerak.
"Bagus," kata Bibi Zelda, "telinganya masih
Membeku. Dia belum bisa mendengar apa yang kita
bicarakan. Kita harus memutuskan apa yang akan kita
lakukan terhadapnya sebelum dia MenCair."
"Tidak bisakah Bibi MembekukanUlang?" tanya
Jenna.
Bibi Zelda menggeleng. "Tidak," sahutnya penuh
penyesalan. "Kau tidak boleh MembekukanUlang orang
begitu mereka mulai MenCair. Berbahaya bagi mereka.
http://facebook.com/indonesiapustaka

Mereka bisa menderita LukaBakarPembeku. Atau menjadi


basah kuyup luar biasa. Bukan pemandangan yang enak
dilihat. Tapi tetap saja, si Pemburu ini orang berbahaya dan
tidak akan menghentikan Perburuannya begitu saja. Tidak
akan pernah. Dan biar bagaimanapun kita harus
menghentikan dia memburu kita."

~340~
Jenna sedang berpikir.
"Kita harus membuatnya melupakan semuanya,"
ujarnya. "Bahkan siapa dirinya." Jenna terkikik. "Kita bisa
membuatnya mengira dirinya seorang pawang singa atau
apalah."
"Lalu dia bakal bergabung dengan sirkus dan
mengetahui dirinya bukanlah pawang singa, tepat setelah dia
menaruh kepalanya ke dalam mulut singa," Nicko menutup
ceritanya.
"Kita tidak boleh menggunakan Magyk untuk
membahayakan hidup," Bibi Zelda mengingatkan mereka.
"Kalau begitu, dia bisa jadi badut," kata Jenna.
"Tampangnya cukup menakutkan."
"Baiklah, aku dengar ada rombongan sirkus yang
bakal menggelar pertunjukan di Pelabuhan dalam beberapa
hari ini. Aku yakin dia bisa mendapatkan pekerjaan," Bibi
Zelda tersenyum. "Kabarnya, mereka mempekerjakan siapa
saja.
Bibi Zelda mengambil buku tua dan lusuh berjudul
Memori Magyk.
"Kau pandai melakukan ini," katanya seraya
memberikan buku itu pada Bocah 412. "Bisakah kau
menemukan Jimat yang tepat untukku? Kurasa namanya
Dayalngat Gelandangan."
Bocah 412 membolak-balik halaman buku tua
berbau apak itu. Buku itu salah satu buku yang sebagian
besar Jimatnya sudah hilang, tapi begitu sampai di halaman
http://facebook.com/indonesiapustaka

terakhir, Bocah 412 menemukan apa yang sedari tadi


dicarinya: sebuah saputangan bersimpul kecil, dengan
torehan tulisan hitam di sepanjang kelimannya.
"Bagus," kata Bibi Zelda. "Mungkin kau bisa
menolong merapalkan mantranya untuk kami?"
"Aku?" tanya Bocah 412, terkejut.

~341~
"Jika kau tidak keberatan," sahut Bibi Zelda.
"Penglihatanku tidak bagus dalam cahaya remang-remang
seperti ini." Bibi Zelda mengulurkan tangan, lalu memeriksa
telinga si Pemburu. Kedua telinga itu terasa hangat. Si
Pemburu menatapnya dan menyipitkan mata dengan tatapan
dinginnya seperti biasa. Tidak ada yang memerhatikannya.
"Dia bisa mendengar sekarang," kata Bibi Zelda.
"Lebih baik cepat-cepat kaurapalkan mantranya sebelum dia
bisa bicara juga."
Dengan hati-hati Bocah 412 membaca perintah
mantra itu. Kemudian dipegangnya saputangan bersimpul itu
dan katanya,
Apa pun Riwayat hidupmu 'kan hilang saat kau
melihatku.
Bocah 412 melambaikan saputangan itu di depan
mata
Pemburu yang marah; kemudian menguraikan
simpulnya.
Setelah itu, mata si Pemburu menjadi kosong.
Tatapannya tidak lagi mengancam, melainkan kebingungan
dan mungkin sedikit ketakutan.
"Bagus," kata Bibi Zelda. "Mantra itu sepertinya
bekerja dengan baik. Bisakah kau menyelesaikan bagian
selanjutnya sekarang?"
Bocah 412 berkata dengan suara pelan,
Maka dengarkanlah Cara hidupmu yang baru,
Kini Ingatlah Hari-Hari-mu yang baru,
http://facebook.com/indonesiapustaka

Bibi Zelda berdiri di hadapan si Pemburu dan bicara


dengan tegas kepadanya. "Ini," katanya, "adalah kisah
hidupmu. Kau dilahirkan di sebuah pondok di Pelabuhan."
"Kau anak yang menjengkelkan," kata Jenna
kepadanya. "Dan kau berjerawat."
"Tidak ada orang yang menyukaimu," tambah Nicko.

~342~
Si Pemburu mulai kelihatan sangat sedih. "Kecuali
anjingmu," kata Jenna, yang mulai merasa sedikit iba
kepadanya.
"Anjingmu sudah mati," kata Nicko.
Si Pemburu kelihatan putus asa.
"Nicko," protes Jenna. "Jangan kejam begitu."
"Aku? Bagaimana dengan dia?"
Maka kehidupan tragis si Pemburu dibeberkan di
hadapannya. Hidupnya penuh dengan peristiwa-peristiwa
kebetulan yang sial, kesalahan bodoh dan kejadian-kejadian
luar biasa memalukan yang membuat telinganya yang mulai
MenCair memerah mendengar kenangan itu. Akhirnya kisah
sedih itu diakhiri dengan Masa Magangnya yang
menyedihkan pada seorang badut pemarah yang dikenal
dengan sebutan Napas Anjing oleh semua orang yang pernah
bekerja padanya.
Si Murid menyaksikan kejadian itu dengan perasaan
senang bercampur takut. Si Pemburu telah menyiksa dirinya
begitu lama, dan si Murid senang melihat akhirnya ada orang
yang menghukumnya. Tapi dia juga tidak tahan mengira-
ngira apa yang bakal mereka lakukan kepadanya.
Begitu kisah sedih masa lalu si Pemburu usai, Bocah
412 mengikatkan lagi simpul saputangan itu, lalu berkata,
Kehidupan lamamu telah berlalu, Masa Lalu yang
baru kini menantimu.
Dengan susah payah mereka menggotong tubuh si
Pemburu ke luar, seperti papan besar yang kaku, lalu
http://facebook.com/indonesiapustaka

menaruhnya di samping Mott, agar dia bisa selesai MenCair


di luar. Si Magog sama sekali tidak memerhatikannya, karena
baru saja menyendok Serdadu Serangga yang ketiga puluh
delapan dari lumpur dan sibuk memikirkan apakah hendak
mengupas sayap serangga yang satu ini sebelum melumatnya
atau tidak.

~343~
"Dia bisa menjadi kurcaci penghias tamanku,"
komentar Bibi Zelda dengan tak senang mengenai hiasan
tamannya yang baru dan, mudah-mudahan, hanya untuk
sementara. "Tapi pekerjaan ini telah dilaksanakan dengan
baik. Sekarang yang harus kita bereskan tinggal si Murid."
"Septimus...," kata Jenna menerawang. "Aku tidak
percaya. Apa yang akan dikatakan Ayah dan Ibu? Dia itu
jahat sekali."
"Yah, kurasa dibesarkan bersama DomDaniel tidak
membuatnya menjadi anak yang baik," sahut Bibi Zelda.
"Bocah 412 dibesarkan di Laskar Pemuda, tapi dia
anak yang baik," tegas Jenna. "Dia tidak akan pernah
menembak Boggart."
"Aku tahu," sahut Bibi Zelda setuju. "Tapi mungkin si
Murid, eh, Septimus, akan berubah seiring dengan
berjalannya waktu."
"Mungkin," sahut Jenna tidak yakin.
Beberapa saat kemudian, pada jam-jam subuh, ketika
Bocah 412 dengan hati-hati menyelipkan batu hijau
pemberian Jenna ke balik selimutnya, untuk
menghangatkannya dan sekaligus agar dekat dengan dirinya-
dan tepat ketika mereka akhirnya bersiap-siap pergi tidur-
terdengar suara pintu diketuk dengan ragu-ragu.
Jenna terduduk ketakutan. Siapa itu? Disenggolnya
Nicko dan Bocah 412 supaya bangun. Lalu dia merayap ke
arah jendela dan pelan-pelan menarik salah satu kerai.
Nicko dan Bocah 412 berdiri di dekat pintu,
http://facebook.com/indonesiapustaka

bersenjatakan sebatang sapu dan lampu yang berat.


Si Murid duduk di sudut gelapnya di samping
perapian, menyunggingkan senyum bangga. DomDaniel telah
mengirim tim pemyelamat untuknya.
Ternyata bukan tim penyelamat yang datang, tapi
wajah Jenna pucat pasi ketika melihat siapa yang datang.

~344~
"Si Pemburu," bisiknya.
"Dia tidak boleh masuk," kata Nicko. "Tidak boleh."
Tapi si Pemburu mengetuk pintu lagi, lebih keras.
"Pergi!" pekik Jenna kepadanya.
Bibi Zelda muncul dari tempatnya merawat Boggart.
"Kita lihat apa yang diinginkannya," katanya, "lalu
kita bisa membuatnya pergi."
Maka, meski bertentangan dengan nalurinya, Jenna
membukakan pintu bagi si Pemburu.
Jenna hampir tidak mengenalinya. Walau masih
mengenakan seragam Pemburu, dia tidak lagi kelihatan
seperti Pemburu. Si Pemburu merapatkan jubah hijau
tebalnya seperti seorang pengemis memakai selimut, dan
berdiri di ambang pintu dengan tatapan meminta maaf dan
sedikit membungkuk.
"Maaf kalau aku merepotkan kalian yang baik hati
pada waktu selarut ini," gumamnya. "Tapi aku khawatir aku
sudah tersesat. Bisakah kalian memberitahukan jalan menuju
Pelabuhan?"
"Ke arah sana," sahut Jenna kasar, sambil menunjuk
ke seberang rawa.
Si Pemburu kelihatan bingung. "Aku tidak terlalu
pandai melihat arah jalan, Miss. Di mana tepatnya tempat
itu?"
"Ikuti saja bulan," kata Bibi Zelda kepadanya. "Bulan
akan membimbingmu."
Si Pemburu membungkuk hormat.
http://facebook.com/indonesiapustaka

"Terima kasih banyak, Madam. Bisakah aku


merepotkan kalian sedikit dengan menanyakan, apakah
kemungkinan ada sirkus yang sedang melakukan
pertunjukan di kota? Aku berharap bisa mendapatkan
pekerjaan di sana sebagai badut."
Jenna menahan tawa gelinya.

~345~
"Ya, memang ada sirkus yang sedang mengadakan
pertunjukan di sana," tutur Bibi Zelda kepadanya. "Eh, kau
bisa tunggu sebentar?" Bibi Zelda menghilang masuk ke
dapur, dan keluar lagi dengan membawa tas kecil berisi
sedikit roti dan keju.
"Ambil ini," katanya, "dan semoga berhasil dengan
kehidupan barumu."
Si Pemburu membungkuk hormat lagi.
"Wah, terima kasih sebanyak-banyaknya, Madam,"
katanya, lalu berjalan menuju Mott, melewati Magog yang
tertidur dan kano hitam tipisnya tanpa mengenalinya sedikit
pun, dan dia melangkah melewati jembatan.
Empat sosok berdiri tanpa bicara di ambang pintu,
menyaksikan si Pemburu berjalan seorang diri dengan sikap
tidak pasti menyeberangi Rawa-Rawa Marram, menuju
kehidupan baru di
SIRKUS DAN KEBUN BINATANG KELILING
FISHHEAD AND DURDLE
HINGGA segumpal awan menutupi bulan, dan rawa-
rawa sekali lagi tenggelam dalam kegelapan.
http://facebook.com/indonesiapustaka

~346~
39. JANJI TEMU
Lebih larut malam itu juga si Murid melarikan diri
lewat terowongan kucing.
Bert, yang masih memiliki semua naluri kucing, suka
pergi berjalan-jalan pada malam hari, dan Bibi Zelda
biasanya memasang MantraPengunci satu arah di pintu.
Mantra ini membuat Bert bisa keluar, tapi tidak ada yang bisa
masuk. Bahkan Bert sekalipun. Bibi Zelda sangat berhati-hati
dengan Brownies dan Hantu Rawa yang berkeliaran.
Maka, sewaktu semua orang sudah tidur dan Bert
keluar malam itu, si Murid memutuskan untuk mengikuti
bebek itu. Terowongan itu kecil sekali, tapi si Murid, yang
bertubuh kurus dan bisa menggeliat seperti ular, merayapi
terowongan sempit itu. Saat dia melakukannya, Magyk Gelap
yang menempel di jubahnya MenguraiMantra terowongan
kucing itu. Segera saja wajahnya yang kebingungan muncul
dari terowongan ke udara malam yang dingin.
Bert menyambut dengan patukan tajam di
hidungnya, tapi si Murid pantang mundur. Dia jauh lebih
takut terjebak di dalam terowongan kucing, dengan kaki
masih berada di dalam rumah dan kepala sudah berada di
luar, ketimbang kepada Bert. Dia merasa tidak bakal ada
orang yang bergegas menariknya keluar kalau dirinya benar-
benar terjebak. Maka diabaikannya saja bebek yang marah
itu, dan dengan susah payah dia menggeliat membebaskan
diri.
http://facebook.com/indonesiapustaka

Si Murid langsung berjalan menuju tempat kapal


merapat, dengan Bert mengejar cukup dekat di belakangnya,
berusaha menangkap kerah bajunya lagi, tapi kali ini si Murid
sudah siap menghadapinya. Dengan marah dipukulnya bebek
itu sekuat tenaga, hingga bebek itu terempas ke tanah dan
sayapnya terluka.

~347~
Si Magog berbaring lurus di kano, tidur sambil
mencerna lima puluh enam Serdadu Serangga. Si Murid
melangkahinya dengan hati-hati. Dia lega karena makhluk itu
tidak bergerak-mencerna adalah kegiatan yang sangat
penting bagi Magog. Bau lendir Magog hampir mencekik
kerongkongan si Murid, namun diambilnya dayung yang
berlumuran lendir dan segera dikayuhnya kano itu melewati
Mott, menuju terusan-terusan yang berliku-liku, yang saling
silang bagai labirin yang menyesatkan di Rawa-Rawa
Marram dan bakal membawanya ke Parit Deppen.
Sewaktu meninggalkan pondok dan mengarungi
rawa-rawa luas diterangi sinar bulan, si Murid mulai agak
gelisah. Dengan Magog yang tertidur, si Murid merasa amat
sangat tidak terlindungi dan teringat semua cerita
menyeramkan yang pernah didengarnya tentang rawa-rawa
di waktu malam. Dia berusaha mendayung kanonya sepelan
mungkin, takut mengganggu sesuatu yang mungkin tidak
ingin diganggu. Atau, lebih buruk lagi, sesuatu yang mungkin
menunggu untuk diganggu. Di sekelilingnya dia bisa
mendengar suara-suara rawa di malam hari. Telinganya
menangkap suara pekikan teredam sekawanan Brownies di
bawah tanah yang sedang menarik Kucing Rawa yang lengah
ke dalam Lumpur Isap. Kemudian terdengar suara
menggaruk dan kaki diangkat dari lumpur ketika dua Nixie
Air besar berusaha menjepitkan kaki-kaki pengisap mereka
di bagian bawah kano dan menggerogotinya, tapi tak lama
kemudian kaki mereka terlepas berkat sisa-sisa lendir
http://facebook.com/indonesiapustaka

Magog.
Beberapa saat setelah Nixie Air terlepas, muncul
Pengerang Rawa. Meski hanya berupa segumpal kecil kabut
putih, makhluk itu mengeluarkan bau lembap yang
mengingatkan si Murid pada liang di persembunyian
DomDaniel. Pengerang Rawa duduk di belakang si Murid dan

~348~
mulai melantunkan nyanyian sumbang paling merana dan
menyebalkan yang pernah didengar si Murid. Iramanya
berputar berulang-ulang di dalam kepalanya- Weerrghh-
derr-waaaah-duuuuuuuuu... Weerrghh-derr-waaaah-
duuuuuuuuu... Weerrghh-derr-waaaah-duuuuuuuuu..." --
hingga si Murid merasa akan gila.
Dicobanya memukul Pengerang Rawa itu dengan
dayung, namun pukulannya menembus gumpalan kabut
yang mengerang-ngerang itu, membuat kano bergoyang-
goyang dan nyaris membuat si Murid terjatuh ke air yang
hitam. Namun irama mengerikan itu terus saja kedengaran,
agak bernada mengejek karena sekarang si Pengerang tahu
dia sudah mendapatkan perhatian si Murid: Weerrghh-derr-
waaaah-duuuuuuuuu... Weerrghh-derr-waaaah-
duuuuuuuuu. uuuuuuuuuuuuuuuuuuuuuuuuuuuu..."
"Hentikan!" jerit si Murid, tidak tahan lagi mendengar
suara itu. Disumpalkannya jemari ke telinga, dan mulai
menyanyi dengan suara cukup keras untuk mengalahkan
nyanyian mengerikan itu.
"Aku tidak mendengar, aku tidak mendengar, aku
tidak mendengar," si Murid bernyanyi sampai kehabisan
napas, sementara si Pengerang yang menang dengan riang
gembira bergulung-gulung mengelilingi kano, senang dengan
hasil kerjanya malam itu. Biasanya butuh waktu lebih lama
bagi Pengerang Rawa untuk menciutkan nyali seorang
Manusia Muda, tapi malam ini malam keberuntungannya.
Misi sudah selesai, Pengerang Rawa meratakan diri menjadi
http://facebook.com/indonesiapustaka

helaian kabut tipis, lalu melayang pergi menghabiskan sisa


malam itu dengan bergelantungan gembira di atas rawa
kesukaannya.
Si Murid terus saja mendayung, tidak peduli lagi
dengan makhluk-makhluk yang muncul selanjutnya, Hantu
Rawa, Serangga Bogle, dan pertunjukan menarik dari Api

~349~
Rawa yang menari-nari di dekat kanonya selama berjam-
jam. Saat itu si Murid sudah tidak keberatan lagi dengan apa
pun yang dilakukan makhluk-makhluk itu, asalkan mereka
tidak bernyanyi.
Begitu matahari terbit jauh di seberang Rawa-Rawa
Marram, si Murid sadar dirinya sudah benar-benar tersesat.
Berada di tengah-tengah rawa luas tanpa bentuk, yang
semuanya kelihatan sama. Dia mendayung maju dengan
cemas, tidak tahu apa yang harus dilakukan, dan sudah
tengah hari ketika dia sampai di sebuah hamparan air yang
luas dan lurus, yang tampak seolah mengarah ke suatu
tempat, bukannya mengarah ke rawa basah yang makin lama
makin sempit. Kelelahan, si Murid berbelok ke permukaan
Parit Deppen yang lebih tinggi, lalu perlahan-lahan mengarah
ke sungai. Saat menemukan Ular Piton Rawa raksasa yang
mengintai di dasar Parit dan berusaha meluruskan tubuhnya,
si Murid nyaris tak peduli lagi. Dia sudah terlalu lelah untuk
memedulikannya. Dan dia juga sudah membulatkan tekad.
Dia punya janji temu dengan DomDaniel, dan kali ini dia
tidak akan mengacaukannya. Tak lama lagi si Ratu Kecil akan
menyesal. Mereka semua bakalan menyesal. Terutama si
bebek.
Pagi itu, di belakang pondok, tak seorang pun
percaya bahwa si Murid berhasil melarikan diri lewat
terowongan sempit.
"Tadinya kukira kepalanya terlalu besar untuk bisa
masuk ke sana," ujar Jenna kesal.
http://facebook.com/indonesiapustaka

Nicko terus mencarinya ke seluruh penjuru pulau,


tapi tak lama kemudian kembali lagi. "Kano si Pemburu
sudah tidak ada," katanya, "dan kano itu cepat sekali. Saat ini
dia pasti sudah jauh."
"Kita harus menghentikannya," kata Bocah 412, yang
tahu benar betapa berbahayanya bocah seperti si Murid,

~350~
"sebelum dia memberitahukan keberadaan kita pada orang
lain, yang pasti bakal dia lakukan secepatnya."
Maka dari itu, Jenna, Nicko, dan Bocah 412
mengambil Muriel Dua, lalu berangkat mengejar si Murid.
Sewaktu matahari musim semi yang berwarna pucat terbit di
atas Rawa-Rawa Marram, muncul bayang-bayang panjang di
atas rawa dan lumpur yang dalam. Muriel Dua berjalan
lambat dan tenang, teramat sangat lambat bagi Nicko, yang
tahu betapa cepatnya kano si Pemburu bisa menempuh jarak
yang sama. Nicko membuka mata lebar-lebar, mengawasi
setiap tanda keberadaan kano hitam tipis itu, setengah
berharap melihatnya terbalik di Lumpur Isap Brownies atau
mengapung kosong di parit, tapi dia kecewa karena tidak
melihat apa pun selain sebuah kayu gelondongan hitam
panjang yang sesaat membangkitkan harapannya.
Mereka berhenti sebentar untuk makan keju susu
kambing dan roti isi sarden di samping rawa paya Pengerang
Rawa. Tapi mereka tidak diganggu, karena para Pengerang
sudah lama pergi, menguap terkena hangatnya sinar
matahari yang baru terbit.
Saat itu siang belum beranjak senja dan hujan rintik-
rintik turun ketika, akhirnya, mereka mendayung memasuki
Parit Deppen. Ular Piton Rawa tidur tergeletak di lumpur,
setengah terendam air keruh akibat bekas gelombang pasang
baru-baru ini. Ular itu tidak mengacuhkan Muriel Dua,
sehingga para awaknya merasa lega; dia cuma berbaring
menanti arus ikan-ikan segar yang dibawa gelombang
http://facebook.com/indonesiapustaka

pasang. Air masih surut, dan kano itu mengapung tenang di


bawah pinggiran curam yang meninggi di kedua sisinya.
Setelah mereka mengitari belokan paling akhir Parit Deppen,
Jenna, Nicko, dan Bocah 412 melihat apa yang tengah
menunggu mereka.
Kapal Vengeance.

~351~
40. PERTEMUAN
Keadaan menjadi sunyi senyap di kano Muriel Dua.
Hanya berjarak satu kali dayungan pendek, kapal
Vengeance mengapung diam setelah membuang sauh di
tengah hujan rintik-rintik menjelang senja, tenang dan
mantap di tengah terusan air sungai yang dalam. Kapal hitam
besar itu sangat mencolok: bagian depannya menjulang
tinggi bak sisi karang yang curam, dan dengan layar
hitamnya yang compang-camping tergulung, kedua tiang
kapalnya yang tinggi menjulang seperti tulang hitam, kontras
dengan langit yang mendung. Kesunyian yang meresahkan
menyelubungi kapal itu dalam cahaya keabuan-abuan. Tidak
ada burung camar yang berani terbang mendekat dan
mengharapkan sisa-sisa makanan. Kapal-kapal kecil yang
melihat kapal itu, bergegas menjauh diam-diam ke
permukaan air dangkal di pinggiran sungai, lebih mengambil
risiko terdampar daripada berada dekat-dekat kapal
Vengeance yang terkenal mengerikan itu. Awan hitam tebal
terbentuk di atas tiang, menimbulkan bayangan gelap yang
menudungi seluruh bagian kapal, dan dari kemudi sehelai
bendera merah darah dengan sebaris tiga bintang hitam
berkibar menakutkan.
Nicko tidak perlu melihat bendera itu untuk bisa
tahu siapa pemilik kapal tersebut. Tidak pernah ada kapal
lain yang dicat dengan hitam pekat seperti yang digunakan
DomDaniel, dan tidak ada kapal lain yang bisa diselubungi
http://facebook.com/indonesiapustaka

atmosfir penuh dendam. Nicko memberi isyarat kepada


Jenna dan Bocah 412 untuk mendayung mundur, dan sesaat
kemudian Muriel Dua tersembunyi dengan aman di balik
tikungan terakhir Parit Deppen.
"Apa itu?" bisik Jenna.
"Kapal Vengeance," bisik Nicko. "Kapal milik

~352~
DomDaniel. Kurasa kapal itu sedang menunggu si Murid.
Aku berani bertaruh, ke sanalah bocah brengsek itu
pergi. Berikan teropongnya kepadaku, Jen."
Nicko menempelkan teropong di depan matanya dan
melihat apa yang memang ditakutkannya. Di bawah bayang-
bayang gelap dari bagian depan kapal yang hitam terlihat
kano si Pemburu. Kano itu terapung naik-turun di air, kosong
dan kelihatan kerdil di samping kapal Vengeance yang sangat
besar, diikatkan ke bagian bawah tangga tali panjang yang
mengarah ke geladak kapal.
Si Murid memenuhi janji temunya.
"Terlambat," kata Nicko. "Dia sudah berada di sana.
Oh, iihh, apa itu? Oh, menjijikkan. Sesuatu itu baru saja
menyelinap keluar dari dalam kano. Lendirnya banyak
sekali. Tapi dia bisa menaiki tangga tali. Makhluk itu seperti
kera yang sangat mengerikan," Nicko bergidik.
"Kau bisa melihat si Murid?" bisik Jenna.
Nicko mengarahkan teleskop itu sampai ke atas
tangga tali. Dia mengangguk. Benar saja, si Murid sudah
hampir sampai ke atas, tapi berhenti dan memandang
ketakutan ke bawah, pada Sesuatu yang tengah memanjat
dengan cepat itu. Hanya dalam hitungan detik, Magog sudah
menyusul si Murid dan menginjaknya, meninggalkan jejak
lendir kuning terang di sepanjang bagian belakang jubahnya.
Si Murid terhuyung-huyung selama beberapa saat dan
pegangannya di tangga hampir terlepas, tapi dia berusaha
sekuat tenaga menaiki beberapa anak tangga terakhir, lalu
http://facebook.com/indonesiapustaka

jatuh tergeletak di atas geladak, dan dia berbaring tanpa ada


yang memerhatikan selama beberapa waktu.
Rasakan, pikir Nicko.
Mereka memutuskan untuk melihat lebih dekat kapal
Vengeance dengan berjalan kaki. Mereka mengikatkan
Muriel Dua di sebongkah batu dan berjalan ke pantai tempat

~353~
mereka pernah berpiknik pada tengah malam saat melarikan
diri dari Kastil. Begitu mereka berbelok, Jenna terkejut.
Seseorang sudah berada di sana. Jenna langsung berhenti dan
merunduk ke balik sebatang pohon tua. Bocah 412 dan
Nicko menabraknya.
"Ada apa?" bisik Nicko.
"Ada seseorang di pantai," bisik Jenna. "Mungkin
seseorang dari kapal itu. Berjaga-jaga."
Nicko mengintip dari balik batang pohon itu.
"Itu bukan orang dari kapal." Dia tersenyum.
"Bagaimana kau bisa tahu?" tanya Jenna. "Mungkin
saja."
"Karena itu Alther."
Alther Mella duduk di pantai, memandang hujan
rintik-rintik dengan tatapan merana. Dia sudah berhari-hari
berada di sana, berharap ada orang yang datang dari Pondok
Penjaga. Dia harus segera bicara dengan mereka. "Alther?"
bisik Jenna.
"Putri!" wajah Alther yang semula tampak cemas
berubah ceria. Dia melayang menghampiri Jenna dan
merangkulnya dengan pelukan hangat. "Wah, kurasa kau
sudah bertambah besar sejak terakhir kali aku melihatmu."
Jenna menaruh jarinya di depan bibir. "Husss,
mereka bisa mendengar kita, Alther," katanya.
Alther tampak terkejut. Tidak terbiasa melihat Jenna
memberinya perintah.
"Mereka tidak bisa mendengarku." Dia tertawa geli.
http://facebook.com/indonesiapustaka

"Tidak bisa, kecuali aku menginginkannya. Dan mereka juga


tidak bisa mendengarmu-aku sudah memasang Tabir
Penangkal Teriakan. Mereka tidak akan bisa mendengar apa-
apa."
"Oh, Alther," ujar Jenna. "Senang sekali rasanya
bertemu denganmu. Bukan begitu, Nicko?"

~354~
Nicko hanya menyeringai lebar. "Senang sekali,"
ujarnya.
Alther memandang Bocah 412 dengan tatapan penuh
tanda tanya. "Yang satu ini juga sudah tumbuh besar
rupanya." Dia tersenyum. "Bocah-bocah Laskar Pemuda itu
selalu saja kurus kering. Senang rasanya melihatmu agak
lebih gemuk."
Wajah Bocah 412 bersemu merah.
"Sekarang dia baik, Paman Alther," tutur Jenna pada
hantu itu.
"Kukira sedari dulu dia memang baik, Putri," kata
Alther. "Tapi di Laskar Pemuda tidak boleh menjadi anak
baik. Itu dilarang."
Dia tersenyum pada Bocah 412.
Bocah 412 membalas dengan tersenyum malu-malu.
Mereka duduk di pantai yang berhujan rintik-rintik,
di luar jarak pandang kapal Vengeance.
"Bagaimana kabar Ayah dan Ibu?" tanya Nicko.
"Dan Simon?" tanya Jenna. "Bagaimana dengan
Simon?"
"Ah, Simon," ujar Alther. "Simon sengaja melarikan
diri dari Sarah sewaktu berada di Hutan. Tampaknya dia dan
Lucy Gringe telah merencanakan untuk menikah diam-
diam."
"Apa?" kata Nicko. "Simon menikah?"
"Tidak. Gringe berhasil mengetahuinya, lalu
menjualnya ke Pengawal Wali."
http://facebook.com/indonesiapustaka

"Oh, tidak!" Jenna dan Nicko tercekat.


"Oh, kalian jangan mengkhawatirkan Simon," kata
Alther, yang anehnya tidak menunjukkan simpati.
"Bagaimana dia bisa menghabiskan waktu di bawah
pengawasan Wali Utama dan keluar seperti baru saja
berlibur, aku tidak tahu. Walau aku juga curiga."

~355~
"Maksudmu bagaimana, Paman Alther?" tanya Jenna.
"Oh, mungkin itu bukan apa-apa, Putri," sepertinya
Alther tidak ingin bicara lebih banyak tentang Simon.
Ada sesuatu yang ingin ditanyakan Bocah 412, tapi
dia merasa aneh bicara kepada hantu. Tapi dia harus
menanyakannya, maka dikumpulkannya seluruh
keberaniannya, lalu katanya, "Eh, maafkan aku, tapi apa yang
terjadi dengan Marcia? Apakah dia baik-baik saja?"
Alther menghela napas. "Tidak," sahutnya.
"Tidak?" tiga suara bertanya serempak.
"Dia dijebak," dahi Alther berkerut. "Dijebak oleh
Wali Utama dan Biro Tikus. Wali Utama menempatkan tikus-
tikus miliknya di sana. Atau lebih tepatnya tikus-tikus
DomDaniel. Dan mereka itu gerombolan jahat.
Dulu mereka menjalankan jaringan mata-mata di
tempat tinggal DomDaniel di Badlands. Reputasi mereka
sangat mengerikan. Masuk bersamaan dengan wabah tikus
ratusan tahun yang lalu. Tidak baik."
"Maksudmu Tikus Pembawa Pesan kami adalah
salah satu anggota mereka?" tanya Jenna, seraya memikirkan
bagaimana dirinya sudah mulai menyukai tikus itu.
"Bukan, bukan. Dia disingkirkan oleh gerombolan
kelas berat Biro Tikus. Dia menghilang. Tikus yang malang.
Aku tidak yakin dia masih hidup," tutur Alther.
"Oh. Mengerikan sekali," kata Jenna.
"Dan pesan untuk Marcia juga bukan dari Silas," ujar
Alther.
http://facebook.com/indonesiapustaka

"Aku sudah mengira begitu," Nicko menimpali.


"Pesan itu dari Wali Utama," kata Alther. "Maka
ketika Marcia muncul di Gerbang Istana untuk bertemu Silas,
para Pengawal Wali sudah menunggunya. Sebenarnya itu
bukan masalah bagi Marcia kalau saja Menit TengahMalam-
nya berfungsi dengan baik, tapi penunjuk waktu miliknya

~356~
dua puluh menit lebih lambat. Dan dia telah memberikan
JimatPelindung miliknya pada orang lain. Urusannya jadi
runyam. DomDaniel merampas Jimat-nya, jadi aku khawatir
sekarang DomDaniel sudah menjadi... Penyihir LuarBiasa."
Jenna dan Nicko tak sanggup berkata-kata.
Kejadiannya lebih buruk daripada yang mereka takutkan.
"Maafkan aku," Bocah 412 memberanikan diri,
sekaligus merasa sedih. Itu salahnya. Kalau saja dia mau
menjadi Murid Marcia, tentunya dia bisa menolong Marcia.
Dan semua ini tidak akan pernah terjadi. "Marcia masih...
hidup, kan?
Alther menatap Bocah 412. Bola matanya yang hijau
pucat menunjukkan ekspresi ramah ketika, dengan
menggunakan kebiasaannya yang agak meresahkan untuk
membaca pikiran orang lain, dia berkata, "Tidak ada yang
bisa kaulakukan, Nak. Mereka pasti akan menangkapmu juga.
Marcia berada di Sel Bawah Tanah Nomor Satu, tapi
sekarang..."
Dengan putus asa Bocah 412 memegangi kepalanya
dengan dua tangan. Dia tahu semua tentang Sel Bawah Tanah
Nomor Satu.
Alther merangkul Bocah 412 dengan tangan
hantunya. "Sudah, sudah, jangan panik," katanya. "Aku
menghabiskan sebagian besar waktuku untuk menemaninya
dan dia baik-baik saja. Kurasa dia cukup bisa bertahan.
Mengingat situasinya. Beberapa hari yang lalu aku baru saja
memeriksa berbagai macam... proyek kecil yang kujalankan
http://facebook.com/indonesiapustaka

di kamar DomDaniel di Menara.


Saat aku kembali ke sel bawah tanah, Marcia sudah
tidak ada. Aku sudah berusaha mencari ke mana-mana.
Bahkan aku mengerahkan beberapa hantu Tetua untuk ikut
mencari. Kau tahu kan, hantu-hantu yang sudah sangat tua.
Tapi mereka itu sangat mudah tersesat dan gampang

~357~
bingung. Kebanyakan dari mereka sudah tidak terlalu ingat
tempat-tempat di Kastil-mereka menabrak dinding atau
tangga rumah, lalu tidak bisa maju lagi. Mereka tidak berhasil
melakukannya. Kemarin saja, aku sendiri yang harus
mengeluarkan salah satu dari mereka dari timbunan sampah
dapur. Ternyata tempat itu dulunya ruang makan Penyihir.
Kira-kira lima ratus tahun yang lalu. Terus terang saja, para
Tetua itu, meski mereka baik hati, tapi lebih menyusahkan
ketimbang membantu." Alther mendesah. "Meski aku
penasaran apakah mungkin..."
"Mungkin apa?" tanya Jenna.
"Mungkin Marcia berada di kapal Vengeance.
Sayangnya aku tidak bisa naik ke kapal keji itu untuk
mencari tahu."
Alther kesal pada dirinya sendiri. Kini dia akan
menganjurkan Penyihir LuarBiasa mana pun untuk
bepergian ke berbagai tempat sebanyak mungkin, mumpung
masih hidup, agar nanti sebagai hantu mereka tidak
mengalami hambatan seperti yang dialaminya. Namun sudah
terlambat bagi Alther untuk mengubah apa yang pernah
dilakukannya semasa masih hidup; saat ini dia harus
memanfaatkan sebaik-baiknya apa yang dimilikinya.
Setidaknya, sewaktu pertama kali diangkat sebagai
Murid, DomDaniel pernah bersikeras mengajak Alther pergi
mengadakan perjalanan panjang dan tidak menyenangkan,
menjelajahi sel-sel bawah tanah yang paling dalam. Kala itu
Alther tidak pernah bermimpi bahwa suatu hari nanti dia
http://facebook.com/indonesiapustaka

bakal merasa senang pernah melakukannya, tapi kalau saja


waktu itu dia menerima undangan pesta peluncuran di atas
kapal Vengeance... Alther ingat ketika, sebagai salah satu
Murid muda dengan potensi menjanjikan, dia diundang ke
pesta di atas kapal DomDaniel. Alther menolak undangan itu
karena saat itu bertepatan dengan hari ulang tahun Alice

~358~
Nettle. Wanita tidak diperbolehkan naik ke kapal, dan
tentunya Alther tidak berniat membiarkan Alice sendirian
saja pada hari ulang tahunnya. Di pesta itu, para Murid yang
berpotensi telah membuat kerusuhan dan menimbulkan
banyak kerusakan pada kapal itu, sehingga terbanglah
kesempatan bagi mereka untuk bekerja pada Penyihir
LuarBiasa, meski hanya sebagai tenaga pembersih. Tak lama
setelah kejadian itu, Alther ditawari menjadi Murid Penyihir
LuarBiasa. Alther tidak pernah mendapat kesempatan
mengunjungi kapal itu lagi. Setelah pesta yang menimbulkan
bencana itu, DomDaniel membawa kapal itu ke Sungai Suram
untuk diperbaiki. Sungai Suram adalah pelabuhan
menyeramkan yang penuh dengan kapal tak terpakai dan
terbengkalai. Sang Necromancer pasti sangat menyukai
tempat itu, sampai-sampai dia meninggalkan kapalnya di
sana dan mengunjunginya setiap tahun selama liburan
musim panas.
Mereka bertiga duduk di pantai yang lembap. Dengan
sedih mereka makan keju susu kambing lembap dan roti isi
sarden yang terakhir, dan minum endapan dari botol berisi
sari akar bit dan wortel yang dicampur dengan sedikit
anggur.
"Terkadang ada saat-saat aku sangat merindukan
perasaan kekenyangan hingga tak sanggup makan lagi...,"
ujar Alther sambil termenung,
"Tapi saat ini bukan salah satunya?" Jenna
menyelesaikan kalimatnya.
http://facebook.com/indonesiapustaka

"Tepat sekali, Putri."


Jenna mengeluarkan Petroc Trelawney dari sakunya,
lalu menawarinya campuran sarden gepeng yang lengket dan
keju susu kambing. Petroc membuka matanya dan menatap
makanan yang ditawarkan. Batu peliharaan itu terkejut. Ini
jenis makanan yang biasa diperolehnya dari Bocah 412;

~359~
Jenna selalu memberinya biskuit. Tapi dilahapnya juga
makanan itu, kecuali sepotong keju susu kambing yang
menempel di kepalanya dan kemudian menempel di bagian
dalam saku Jenna.
Setelah mereka selesai mengunyah roti isi basah yang
terakhir, Alther bicara dengan serius, "Sekarang, kembali ke
urusan kita."
Tiga wajah cemas memandang hantu itu.
"Dengarkan. Kalian harus cepat kembali ke Pondok
Penjaga. Aku ingin kalian meminta Bibi Zelda membawa
kalian semua ke Pelabuhan, besok pagi-pagi sekali. Alice-saat
ini Kepala Petugas Pabean di sana-akan mencarikan kapal
untuk kalian. Kalian harus pergi ke Negeri Jauh sementara
aku mencoba menyelesaikan masalah di sini."
"Tapi...," Jenna, Nicko, dan Bocah 412 tercekat.
Alther tidak mengindahkan protes mereka.
"Aku akan menemui kalian semua di Kedai Jangkar
Biru di Dermaga besok pagi. Kalian harus berada di sana.
Ayah dan ibu kalian juga akan ikut, bersama Simon. Mereka
sedang dalam perjalanan di sungai, memakai kapal lamaku,
Molly. Aku khawatir Sam, Erik, dan Edd serta Jo-jo menolak
meninggalkan Hutan-mereka sudah berubah menjadi agak
liar, tapi Morwenna akan mengawasi mereka."
Keadaan menjadi sunyi menyedihkan. Tidak ada
yang suka mendengar berita dari Alther.
"Itu namanya melarikan diri," tutur Jenna pelan.
"Kami ingin tetap di sini. Dan melawan."
http://facebook.com/indonesiapustaka

"Aku tahu kau bakal bilang begitu," Alther menghela


napas. "Itu juga yang bakal dikatakan ibumu. Tapi kalian
harus pergi sekarang."
Nicko berdiri.
"Baiklah," katanya dengan berat hati. "Kami akan
menemuimu besok di Pelabuhan."

~360~
"Bagus," kata Alther. "Sekarang, berhati-hatilah dan
sampai jumpa besok." Alther melayang naik dan
memandangi ketiganya melangkah lesu dan amat sedih
kembali ke Muriel Dua. Alther terus memandangi mereka
sampai dia yakin mereka telah bergerak cukup cepat
menyusuri Parit Deppen, kemudian dia melesat di atas
sungai, terbang rendah dan cepat, untuk segera bergabung
dengan Molly. Tak lama kemudian sosoknya hanya berupa
bintik hitam di kejauhan.
Pada saat itu pula Muriel Dua berputar balik dan
mengarah kembali tepat menuju kapal Vengeance.

http://facebook.com/indonesiapustaka

~361~
41. KAPAL VEGEANCE
Di Muriel Dua berlangsung perbincangan seru.
"Aku benar-benar tidak yakin dengan gagasan ini.
Marcia mungkin saja tidak berada di kapal Vengeance."
"Aku yakin dia pasti di sana."
"Kita harus menemukannya. Aku yakin bisa
menyelamatkannya."
"Dengar ya, mentang-mentang kau pernah masuk
Laskar Pemuda, bukan berarti kau bisa menyerbu kapal dan
menyelamatkan orang."
"Artinya kau bisa mencobanya."
"Dia benar, Nicko."
"Kita tidak akan berhasil. Mereka pasti melihat kita
datang. Setiap kapal punya pengawas yang berjaga."
"Tapi kita kan bisa merapalkan mantra itu, mantra
yang... apa ya namanya?"
"Buat Dirimu Tak Terlihat. Mudah. Lalu kita dayung
kano kita menuju kapal itu, dan aku memanjat tangga tali,
dan kemudian..."
"Eit, stop sampai di situ. Itu berbahaya."
"Marcia menyelamatkan aku saat aku berada dalam
bahaya."
Dan aku.
Baiklah. Kalian menang.
Begitu Muriel Dua mengitari kelokan terakhir Parit
Deppen, Bocah 412 merogoh saku di dalam topi merahnya
http://facebook.com/indonesiapustaka

dan mengeluarkan cincin naga. "Cincin apa itu?" tanya Nicko.


"Um, ini Magyk. Aku menemukannya. Di bawah
tanah."
"Agak mirip dengan naga yang ada di Jimat," kata
Nicko.
"Ya," kata Bocah 412, "kupikir juga begitu." Dia

~362~
memasukkan cincin itu ke jari dan merasakan cincin itu
mulai hangat. "Kalau begitu, bisa kulafalkan mantranya
sekarang?" tanyanya.
Jenna dan Nicko mengangguk dan Bocah 412 mulai
melantunkan:
Biarkan diriku Memudar di Udara
Biarkan semua yang menentangku tidak tahu di
mana aku Berada
Biarkan mereka yang Mencariku melewati aku
begitu saja
Jangan biarkan Celaka dari Mata mereka
menggapaiku.
Bocah 412 perlahan menghilang dalam rintik-rintik
hujan, membuat dayung kano menggantung-gantung
menyeramkan di udara. Jenna mengambil napas dalam-
dalam, lalu mencoba melafalkan mantra untuk dirinya
sendiri.
"Kau masih terlihat, Jen," kata Nicko. "Coba lagi."
Ketiga kalinya baru berhasil. Dayung kano milik
Jenna melayang di udara, tepat di sebelah dayung Bocah 412.
"Giliranmu, Nicko," kata suara Jenna.
"Tunggu sebentar," kata Nicko. "Aku belum pernah
melafalkan mantra yang satu ini."
"Baiklah, kalau begitu lafalkan mantramu sendiri,"
kata Jenna. "Tidak masalah, selama mantranya bisa bekerja.
"Baiklah, eh, aku tidak tahu apakah mantra ini bisa
dipakai. Dan mantra ini sama sekali tidak bisa untuk 'Celaka
http://facebook.com/indonesiapustaka

jangan menggapaiku'."
"Nicko!" protes Tenna.
"Baiklah, baiklah. Aku akan mencobanya."
"Tidak terlihat, tidak terdengar... em... aku tidak ingat
lagi sisanya."
"Cobalah 'Tidak terlihat, tidak terdengar, tak satu

~363~
pun bisikan, tak satu pun kata," Bocah 412 menyarankan
entah dari mana.
"Oh, ya. Itu dia. Trims."
Mantra itu berfungsi. Perlahan-lahan Nicko
menghilang.
"Kau baik-baik saja, Nicko?" tanya Jenna. "Aku tidak
bisa melihatmu." Tidak ada jawaban. "Nicko?"
Dayung Nicko bergoyang-goyang kencang naik-
turun.
"Kita tidak bisa melihatnya dan dia tidak bisa melihat
kita, karena mantra Tidak Terlihat miliknya berbeda dengan
mantra kita," ujar Bocah 412 agak sedikit tidak senang, "dan
kita juga tidak bakal bisa mendengarnya, karena itu mantra
yang tidak kedengaran. Dan mantra itu tidak bisa
melindunginya."
"Kalau begitu, tidak begitu bagus," kata Jenna.
"Benar," sahut Bocah 412. "Tapi aku punya ide.
Mestinya bisa berhasil:
Di antara mantra-mantra dalam kekuatan kami, Beri
kami satu Waktu dalam Harmoni.
"Itu dia!" seru Jenna, sewaktu sosok Nicko yang
samar-samar Muncul. "Nicko, kau bisa melihat kami?"
tanyanya.
Nicko menyeringai dan memberi isyarat dengan
kedua ibu jarinya.
"Wow, kau hebat," kata Jenna pada Bocah 412.
Cuaca semakin berkabut ketika Nicko, menggunakan
http://facebook.com/indonesiapustaka

bagian tanpa suara mantra itu, mendayung kano menjauh


dari Parit Deppen, menuju perairan sungai yang terbuka. Air
sungai tenang dan berat, berbintik-bintik oleh titik-titik air
hujan. Nicko mendayung sepelan mungkin agar tidak
menimbulkan suara, untuk berjaga-jaga agar tidak menarik
sepasang mata dari sarang gagak kalau melihat riak-riak air

~364~
yang aneh di permukaan air.
Nicko bergerak perlahan namun pasti, dan tak lama
kemudian bagian hitam curam kapal Vengeance muncul di
hadapan mereka di tengah hujan berkabut, dan Muriel Dua
yang Tidak Terlihat sampai ke bagian bawah tangga tali.
Mereka memutuskan Nicko tetap tinggal di kano, sementara
Jenna dan Bocah 412 berusaha mencari tahu apakah Marcia
ditawan di kapal itu, dan kalau memungkinkan,
membebaskannya. Kalau mereka butuh bantuan, Nicko
sudah siap. Jenna berharap mereka tidak membutuhkan
bantuannya. Nicko memegangi kano supaya tidak bergerak,
sementara Jenna naik lebih dulu, disusul oleh Bocah 412
yang memanjat dengan tidak yakin ke tangga itu, dan
memulai panjatan yang lama dan berbahaya menuju kapal
Vengeance.
Nicko memandangi mereka dengan perasaan gelisah.
Dia tahu mantra Tidak Terlihat bisa meninggalkan bayang-
bayang dan berbagai gangguan aneh di udara, dan
Necromancer seperti DomDaniel bisa dengan mudah melihat
mereka. Tapi Nicko hanya mampu berdoa dalam hati agar
mereka berhasil. Dia sudah memutuskan, kalau mereka tidak
kembali pada saat gelombang pasang sudah setengah naik di
Parit Deppen, maka dia akan mencari mereka, tak peduli
apakah mantranya bisa melindungi dirinya atau tidak.
Untuk merintang-rintang waktu, Nicko memanjat ke
kano si Pemburu. Sekalian saja aku memanfaatkan waktu
sebaik-baiknya saat menunggu, pikir Nicko, dan duduk di
http://facebook.com/indonesiapustaka

kapal yang bagus. Walaupun kapal itu agak berlendir. Dan


juga bau. Tapi dia pernah mencium bau yang lebih busuk di
beberapa kapal nelayan yang pernah dibantunya.
Tangga tali itu panjang sekali dan tidak gampang
menaikinya.
Tangga itu terus saja membentur sisi-sisi hitam pekat

~365~
kapal, dan Jenna takut orang-orang yang berada di kapal
mendengar, tapi keadaan di atas sunyi senyap. Begitu sunyi
hingga Jenna mulai bertanya-tanya apakah kapal itu kapal
hantu.
Begitu mereka sampai di atas, Bocah 412 membuat
kesalahan dengan melihat ke bawah. Dia merasa pusing.
Kepalanya jadi berkunang-kunang berada di tempat tinggi,
dan genggamannya di tangga tali nyaris terlepas sewaktu
tangannya mendadak terasa dingin. Permukaan air kelihatan
amat jauh hingga membuat kepalanya pening. Kano si
Pemburu kelihatan kecil sekali, dan sesaat dia merasa
melihat ada seseorang duduk di dalamnya. Bocah 412
menggeleng-gelengkan kepala. Jangan lihat ke bawah,
katanya tegas pada diri sendiri. Jangan lihat ke bawah.
Jenna tidak takut ketinggian. Dengan mudah dia
memanjat naik ke kapal Vengeance, lalu menarik Bocah 412
naik ke celah antara tangga dan geladak. Bocah 412
memusatkan kedua matanya pada sepatu bot Jenna selagi
menggeliat naik ke atas geladak, lalu berdiri gemetaran.
Jenna dan Bocah 412 melihat-lihat ke sekeliling.
Kapal Vengeance adalah tempat yang menyeramkan.
Awan tebal yang bergelayut di atas kepala menimbulkan
bayang-bayang gelap di seluruh bagian kapal, dan satu-
satunya suara yang bisa mereka dengar hanyalah keriat-
keriut berirama kapal itu saat bergoyang pelan terkena
gelombang pasang yang baru saja datang. Jenna dan Bocah
412 melangkah tak bersuara di sepanjang geladak, melewati
http://facebook.com/indonesiapustaka

tali-tali yang digulung rapi, barisan teratur tong-tong


berlapis ter, dan sesekali meriam yang moncongnya
mengarah penuh ancaman ke Rawa-Rawa Marram. Selain
kegelapan yang membuat tertekan dan sedikit jejak bekas
lendir kuning di atas geladak, kapal itu tidak menunjukkan
tanda-tanda siapa pemiliknya. Meski demikian, begitu

~366~
mereka sampai ke haluan kapal, kehadiran Kuasa Jahat
terasa begitu mencekam hingga hampir membuat Bocah 412
terjatuh. Jenna meneruskan langkah, tidak menyadari apa
pun, dan Bocah 412 mengikutinya, tidak ingin
meninggalkannya sendirian.
Kuasa Jahat itu muncul dari singgasana yang
menakjubkan, didirikan di dekat tiang layar utama,
menghadap ke laut. Ukurannya yang masif membuat
singgasana itu kelihatan begitu aneh dan tidak pada
tempatnya di atas geladak kapal. Singgasana itu terbuat dari
kayu eboni, dengan ukir-ukiran rumit dan dihiasi daun
merah tua emas-dan di situ duduklah DomDaniel, sang
Necromancer sendiri. Duduk tegak, matanya terpejam, mulut
sedikit terbuka dan dari kerongkongannya terdengar suara
berdeguk sementara dia menarik napas di bawah hujan
gerimis. DomDaniel sedang tidur siang. Di bawah
singgasananya, bak seekor anjing yang setia, sesosok
Makhluk terbaring dalam kubangan lendir kuning.
Tiba-tiba Bocah 412 mencengkeram tangan Jenna
keras-keras hingga gadis itu hampir saja berteriak. Bocah
412 menunjuk ke pinggang DomDaniel. Jenna memandang ke
bawah, lalu memandang Bocah 412 dengan putus asa. Jadi,
memang benar rupanya. Semula
Jenna sulit memercayai semua yang diceritakan
Alther pada mereka, tapi di sini, kebenaran terpampang jelas
di depan matanya. Di pinggang DomDaniel, hampir tertutup
jubah hitamnya, melingkar sabuk Penyihir LuarBiasa. Sabuk
http://facebook.com/indonesiapustaka

Penyihir LuarBiasa milik Marcia.


Jenna dan Bocah 412 menatap DomDaniel dengan
perasaan jijik bercampur kagum. Jari-jemari sang
Necromancer menggenggam sandaran tangan kayu eboni
singgasana itu; kuku-kukunya yang kuning tebal melingkar
di bagian ujung singgasana itu dan menjepitnya bak sepasang

~367~
cakar. Wajahnya masih memancarkan sinar pucat keabu-
abuan akibat bertahun-tahun menghabiskan waktu di
BawahTanah, sebelum pindah ke sarangnya di Badlands.
Wajah itu tidak istimewa, dipandang dari berbagai sisi-
mungkin matanya agak terlalu cekung, dan bentuk bibirnya
agak terlalu kejam, sehingga wajah itu tak bisa dibilang
menyenangkan-tapi kesan Gelap yang terpancar dari wajah
itulah yang membuat Jenna dan Bocah 412 bergidik ngeri
saat mereka memandangnya.
Di kepalanya DomDaniel mengenakan topi hitam
bundar yang bentuknya seperti pipa asap pendek; entah
kenapa, topi itu selalu agak kebesaran baginya, seberapa
sering pun dia meminta dibuatkan yang baru agar lebih pas.
Hal ini membuat DomDaniel cemas, melebihi yang mau
diakuinya, dan dia menjadi yakin bawah sejak
kepulangannya ke Menara Penyihir, kepalanya mulai
menciut. Sementara sang Necromancer tertidur, topi itu
merosot dan kini bertengger di atas telinganya yang pucat.
Topi hitam itu adalah topi Penyihir model lama, yang tidak
pernah lagi dipakai oleh Penyihir. Tak ada Penyihir yang
mau memakainya karena topi itu selalu dikaitkan dengan
Pengadilan Penyihir agung beratus-ratus tahun yang lalu.
Di atas singgasana, sebuah kanopi merah tua terbuat
dari sutra, dihiasi tiga bintang hitam, bergelayut berat
ditimpa gerimis, sesekali meneteskan air ke atas topi dan
mengisi lekukan di bagian atasnya hingga menjadi kubangan
kecil.
http://facebook.com/indonesiapustaka

Bocah 412 menggandeng tangan Jenna. Dia teringat


pamflet kecil yang sudah dimakan ngengat, milik Marcia,
yang pernah dibacanya pada suatu sore bersalju, judulnya
Efek Hypnotik Gelap, dan bisa dirasakannya Jenna sedang
terkena pengaruh Efek tersebut. Bocah 412 menariknya
menjauh dari sosok yang sedang tidur itu, menuju pintu

~368~
geladak kapal yang terbuka.
"Marcia ada di sini," bisiknya pada Jenna. "Aku bisa
merasakan Kehadiran-nya."
Begitu mereka sampai ke pintu geladak itu, terdengar
langkah kaki berlarian di sepanjang geladak di bawah, dan
kemudian dengan cepat menaiki tangga. Jenna dan Bocah
412 melompat mundur, dan seorang pelaut memegang obor
panjang tidak menyala berlari ke atas geladak. Pelaut itu
bertubuh kecil, berotot, mengenakan seragam Wali biasa;
tidak seperti Pengawal Wali, kepalanya tidak botak, tapi
melainkan berambut panjang yang dijalin menjadi kepang
tipis menjuntai sampai ke punggungnya. Dia memakai celana
longgar sepanjang bawah lutut, dan atasan bergaris hitam
dan putih lebar. Pelaut itu mengeluarkan sebuah kotak berisi
batu api, membuat percikan, lalu menyalakan obornya. Obor
itu menyala berkobar, dan kobaran api jingga menerangi
senja kelabu yang berhujan gerimis, menimbulkan bayang-
bayang yang menari-nari di atas geladak. Pelaut itu berjalan
ke depan dengan obor menyala, lalu menaruhnya di
pegangan haluan kapal. DomDaniel membuka matanya.
Tidur siangnya sudah selesai.
Pelaut itu mondar-mandir dengan gugup di samping
singgasana, menunggu perintah sang Necromancer.
"Mereka sudah kembali?" kedengaran suara rendah
dan berat yang membuat bulu kuduk Bocah 412 berdiri.
Si pelaut membungkuk hormat, menghindari tatapan
sang Necromancer.
http://facebook.com/indonesiapustaka

"Bocah itu sudah kembali, tuanku. Dan pelayan


Anda."
"Cuma mereka berdua?"
"Benar, tuanku. Tapi..."
"Tapi apa?"
"Bocah itu mengatakan dia menangkap sang Putri,

~369~
tuanku."
"Ratu Kecil. Wah, wah. Keajaiban tidak pernah
berhenti. Bawa mereka kemari. Sekarang!"
"Baik, tuanku." Pelaut itu membungkuk hormat.
"Dan... bawa naik tawanannya. Dia bakal tertarik
bertemu dengan anak asuhnya itu."
"Apanya, tuanku?"
"Ratu Kecil, bedebah. Bawa mereka semua kemari.
Sekarang!"
Si pelaut menghilang lewat lubang palka, dan segera
saja Jenna dan Bocah 412 bisa merasakan gerakan di bawah
kaki mereka. Jauh di bagian dalam kapal, keadaan hiruk-
pikuk. Para pelaut bergulingan turun dari tempat tidur
gantung mereka dan bergerak menuju geladak bawah untuk
melaksanakan perintah DomDaniel.
DomDaniel turun dari singgasana, merasa sedikit
kaku setelah tertidur di bawah gerimis yang dingin; dia
mengerjap-ngerjapkan mata sewaktu tetesan air dari atas
topinya menetes mengenai mata. Merasa kesal, ditendangnya
si Magog supaya bangun. Makhluk itu merayap keluar dari
bawah singgasana, lalu mengikuti
DomDaniel menyusuri geladak; di situ sang
Necromancer berdiri, dengan tangan terlipat, ekspresi penuh
antisipasi di wajahnya, menunggu orang-orang yang
dipanggilnya.
Tak lama kemudian kedengaran langkah kaki berat
di bawah, dan beberapa saat kemudian enam anak buah
http://facebook.com/indonesiapustaka

kapal muncul, lalu mengambil posisi sebagai penjaga di


seputar DomDaniel. Mereka diikuti oleh sosok ragu si Murid.
Wajah bocah itu kelihatan pucat, dan Jenna bisa melihat
tangannya gemetar. DomDaniel nyaris tidak meliriknya
sedikit pun. Tatapannya terpaku pada pintu palka yang
terbuka, menanti tangkapan besarnya, sang Putri, muncul.

~370~
Tapi tidak ada yang keluar.
Waktu sepertinya berjalan lambat. Para anak buah
kapal berdiri gelisah, tidak tahu pasti apa sebenarnya yang
sedang mereka tunggu, dan si Murid mulai merasakan urat
saraf di bawah mata kirinya berkedut-kedut. Sesekali dia
melirik Guru-nya, lalu cepat-cepat memalingkan wajah,
seolah takut ditatap DomDaniel. Setelah waktu yang terasa
begitu lama, DomDaniel bertanya, "Nah, di mana dia, bocah?"
"Si-siapa, Sir?" tanya si Murid tergagap, meski tahu
benar siapa yang dimaksud oleh sang Necromancer.
"Sang Ratu Kecil, dasar otak udang. Kaukira siapa?
Ibumu yang bodoh?" "Bu... bukan, Sir."
Lebih banyak langkah kaki kedengaran di bagian
bawah.
"Ah," gumam Dom Daniel. "Akhirnya."
Tapi ternyata Marcia yang didorong keluar dari pintu
ke geladak bawah, dengan dikawal Magog yang memegangi
tangannya erat-erat dengan cakar kuningnya yang panjang.
Marcia mencoba mengibaskannya, tapi Makhluk itu lengket
seperti lem dan membuat Marcia berlumuran lendir kuning.
Marcia memandangnya dengan raut muka jijik, dan
mempertahankan ekspresi yang sama di wajahnya begitu dia
berbalik dan beradu pandang dengan tatapan DomDaniel
yang penuh kemenangan. Meski sudah satu bulan dikurung
dalam kegelapan dan kekuatan Magyk-nya sudah dilucuti,
sosok Marcia masih tetap mengesankan. Rambut hitamnya
yang kusut dan berantakan menampilkan kesan marah;
http://facebook.com/indonesiapustaka

jubahnya yang ternoda garam menampilkan wibawa yang


sederhana, dan sepatu kulit ular pitonnya, seperti biasa, tak
bernoda. Jenna bisa melihat bahwa kehadiran Marcia
membuat DomDaniel agak ciut.
"Ah, Miss Overstrand. Baik sekali kau mau singgah,"
gumamnya.

~371~
Marcia tidak menjawab.
"Baiklah, Miss Overstrand, inilah alasanku
membiarkanmu hidup. Aku ingin kau melihat... finale kecil
ini. Kami punya sedikit kabar menarik untukmu, benar
begitu, Septimus?" si Murid mengangguk tidak yakin.
"Muridku yang terpercaya mengunjungi beberapa
kawan-mu, Miss Overstrand. Di sebuah pondok mungil yang
manis di sekitar tempat itu." DomDaniel melambaikan
tangannya yang bertatahkan cincin ke arah Rawa-Rawa
Marram.
Ada yang berubah dalam ekspresi wajah Marcia.
"Ah, rupanya kau tahu siapa yang kumaksud, Miss
Overstrand. Aku sudah mengira bahwa kau tahu. Nah, Murid-
ku ini telah melaporkan keberhasilan misinya."
Si Murid berusaha mengatakan sesuatu, tapi diberi
isyarat untuk menutup mulut oleh Gurunya.
"Bahkan aku pun belum dengar laporan lengkapnya.
Aku yakin kau ingin jadi orang pertama yang mendengar
kabar baik ini. Maka kini Septimus akan menceritakan
semuanya kepada kita. Bukan begitu, Nak?"
Si Murid berdiri dengan berat hati. Dia kelihatan
sangat gugup. Dengan suara melengking, dia mulai bicara
terbata-bata, "Aku... em..."
"Bicaralah, Nak. Tidak ada gunanya kalau kami tidak
bisa mendengar sepatah kata pun yang kauucapkan, benar
kan?" ujar DomDaniel kepadanya.
"Aku... eh, aku sudah menemukan sang Putri. Ratu
http://facebook.com/indonesiapustaka

Kecil."
Terasa keresahan di antara orang-orang yang tengah
menyaksikan. Jenna mendapat kesan bahwa kabar ini tak
sepenuhnya disambut baik oleh anak buah kapal, dan dia
teringat cerita Bibi Zelda bahwa DomDaniel tidak akan
pernah bisa merebut hati para pelaut.

~372~
"Teruskan, Nak," DomDaniel menyela tak sabaran.
"Aku-si Pemburu dan aku-kami menyergap pondok
itu dan, em, juga si Penyihir Putih, Zelda Zanuba Heap, dan
bocah Penyihir Nickolas Benjamin Heap, dan pelarian Laskar
Pemuda, Tumbal Bocah 412. Dan aku sudah menangkap sang
Putri-Ratu Kecil."
Si Murid berhenti. Sorot matanya kelihatan panik.
Apa yang harus dikatakannya? Bagaimana dia bisa
menjelaskan bahwa sang Putri tidak ada dan si Pemburu
sudah raib?
"Kau sudah menangkap Ratu Kecil?" tanya
DomDaniel curiga.
Benar, bir. oudan. lapi... lapi apa:
"Tapi. Begini, Sir, setelah si Pemburu ditundukkan
oleh si Penyihir Putih dan ditinggalkan menjadi badut..."
"Badut? Kau mau mempermainkan aku, ya? Kalau
begitu maksudmu, kusarankan jangan kaulakukan."
"Tidak, Sir. Aku sama sekali tidak bermaksud
mempermainkan Anda, Sir." Si Murid memang sama sekali
tidak bermaksud mempermainkan Guru-nya, apalagi pada
saat begini. "Setelah si Pemburu pergi, Sir, aku berhasil
menangkap Ratu Kecil dengan tanganku sendiri, dan aku
hampir saja berhasil, tapi..."
"Hampir? Kau hampir berhasil?"
"Ya, Sir. Nyaris saja. Aku diserang dengan sebilah
pisau oleh bocah Penyihir gila, Nickolas Heap. Dia sangat
berbahaya, Sir. Dan si Ratu Kecil melarikan diri."
http://facebook.com/indonesiapustaka

"Melarikan diri?!" raung DomDaniel, berdiri


menjulang di dekat si Murid. "Kau kembali dan berani
menyebut misimu berhasil? Keberhasilan macam apa?
Pertama kauhilang Pemburu sialan itu sudah berubah
menjadi badut, lalu kauhilang kau dihalangi oleh Penyihir
Putih bedebah itu dan bocah-bocah yang menyebalkan. Dan

~373~
sekarang kauhilang si Ratu Kecil berhasil melarikan diri.
Tujuan utama misi ini, tujuan utamanya, adalah menangkap
gadis yang mendadak jadi Ratu Kecil itu. Jadi, bagian mana
tepatnya yang kau sebut berhasil?"
"Yah, kita tahu di mana dia sekarang," gumam si
Murid.
"Kita tahu di mana sebelumnya dia berada, bocah.
Itulah sebabnya kau pergi ke sana."
DomDaniel mendongak menatap langit. Ada apa
dengan si Murid berotak udang ini? Tentunya putra ketujuh
dari putra ketujuh memiliki sedikit Magyk dalam dirinya
sekarang ini? Tentunya dia cukup kuat untuk mengalahkan
gerombolan rakyat jelata yang terdiri atas Penyihir tak
berdaya yang terjebak di tempat yang jauh dari mana-mana?
Amarah mulai menggelegak dalam diri DomDaniel.
"Kenapa?" jeritnya. "Kenapa aku dikelilingi oleh
orang-orang bodoh?" Dengan amarah berkobar, DomDaniel
melihat ekspresi wajah Marcia yang muak bercampur lega
dengan kabar yang baru saja didengarnya.
"Bawa pergi tawanan itu!" teriaknya. "Kurung dia,
lalu buang kuncinya. Tamat sudah riwayatnya."
"Belum tamat," sahut Marcia pelan, dengan sengaja
berbalik membelakangi DomDaniel.
Tiba-tiba, yang membuat Jenna ketakutan, Bocah
412 keluar dari balik tong, lalu bergerak tanpa suara ke arah
Marcia. Dengan hati-hati dia menyelinap di sela si Makhluk
dan para anak buah kapal yang sedang mendorong-dorong
http://facebook.com/indonesiapustaka

Marcia dengan kasar untuk kembali ke geladak bawah.


Ekspresi meremehkan dalam sorot mata Marcia berubah
menjadi terkejut, kemudian dengan cepat berubah lagi
menjadi tatapan hampa yang disengaja, dan Bocah 412 tahu
bahwa Marcia telah melihat dirinya. Cepat-cepat dia
melepaskan cincin naga dari jarinya, lalu menekankannya ke

~374~
telapak tangan Marcia. Tatapan mata hijau Marcia bertemu
pandang dengan matanya sewaktu, tanpa terlihat oleh para
penjaga, Marcia menyembunyikan cincin itu ke dalam saku
tuniknya. Bocah 412 tidak berlama-lama. Dia segera
berbalik, tapi karena tergesa-gesa ingin kembali ke dekat
Jenna, dia menabrak seorang awak kapal.
"Berhenti!" teriak orang itu. "Siapa di sana?" Semua
orang di geladak diam mematung. Kecuali Bocah 412, yang
melesat dan menangkap tangan Jenna. Sudah waktunya
pergi.
"Penyelundup!" teriak DomDaniel. "Aku bisa melihat
bayangannya! Tangkap mereka!!"
Dengan panik para awak kapal Vengeance celingak-
celinguk. Mereka tidak melihat apa-apa. Apakah Majikan
mereka sudah gila? Mereka sudah cukup lama
mengharapkannya.
Dalam kebingungan itu, Jenna dan Bocah 412
berhasil kembali ke tangga tali dan turun ke kano lebih cepat
dari yang mereka perkirakan. Nicko melihat mereka datang.
Mereka kembali tepat pada waktunya-mantra Tidak
Terlihat mulai memudar.
Di atas mereka, keributan di kapal mulai merajalela
begitu obor-obor dinyalakan dan semua tempat
persembunyian digeledah. Seseorang memotong tali tangga
dan, begitu Muriel Dua dan kano si Pemburu bergerak
menjauh memasuki kabut, terdengar kecipak air, lalu kano
itu menghilang ke air hitam gelombang pasang yang mulai
http://facebook.com/indonesiapustaka

naik.

~375~
42. BADAI
Tangkap merekat Aku ingin mereka ditangkapi"
Teriakan marah DomDaniel menggema menembus kabut.
Jenna dan Bocah 412 mendayung Muriel Dua sekuat
tenaga menuju Parit Deppen, dan Nicko yang tidak ingin
berpisah dengan kano si Pemburu, mengikuti mereka.
Satu teriakan lagi dari DomDaniel menarik perhatian
mereka: "Kerahkan para perenang. Sekarang!"
Suara-suara dari kapal Vengeance mereda sementara
hanya dua pelaut di kapal yang bisa berenang dikejar dan
ditangkap.
Terdengar suara ceburan keras ketika keduanya
dilempar masuk ke air untuk mengejar.
Para awak kano tidak mengindahkan napas
terengah-engah dari air dan terus mendayung
menyelamatkan diri ke Rawa-Rawa Marram. Jauh di
belakang mereka, kedua perenang, yang nyaris tidak
sadarkan diri karena masuk ke air secara mendadak,
berenang berputar-putar karena kaget, sadar bahwa yang
dikatakan para pelaut tua memang benar adanya: sungguh
sial pelaut yang bisa berenang.
Di atas geladak kapal Vengeance, DomDaniel mundur
ke singgasananya. Para awak kapal menyingkir ketakutan
setelah dipaksa melemparkan dua rekan mereka ke air, dan
DomDaniel menguasai geladak kapal seorang diri. Hawa
dingin mengelilinginya begitu dia duduk di singgasana, lalu
http://facebook.com/indonesiapustaka

tenggelam dalam Magyk Gelap, meraung-raung dan


melantunkan Jampi Pembalikan yang panjang dan rumit.
DomDaniel sedang Memanggil gelombang pasang.
Gelombang pasang datang mematuhinya. Gelombang
itu bergulung-gulung dari laut dan menghambur masuk,
tumpah-ruah dan bergolak melewati Pelabuhan, mengalir

~376~
deras ke sungai, menyeret lumba-lumba dan ubur-ubur,
kura-kura dan anjing laut sewaktu semua binatang itu
tersapu bersama arus yang begitu kuat dan tak terelakkan.
Permukaan air naik. Makin lama makin tinggi sementara
kedua kano tadi berjuang perlahan-lahan mengarungi air
sungai yang semakin meninggi. Begitu kedua kano tadi
sampai di mulut Parit Deppen, semakin sulit mengendalikan
keduanya di tengah gulungan gelombang pasang yang
semakin cepat mengisi Parit.
"Terlalu sulit," teriak Jenna di tengah deburan air,
berjuang sekuat tenaga mendayung melawan pusaran air
ketika Muriel Dua terempas naik-turun di tengah pusaran air.
Arus gelombang pasang menyeret kedua kano tadi,
membawanya ke Parit dengan kecepatan tinggi yang sangat
berbahaya, bergulung dan berputar tak berdaya di tengah
desakan arus kencang. Saat mereka terempas tak berdaya
seperti puing-puing kapal dan muatannya yang mengapung
di laut, Nicko bisa melihat bahwa permukaan air sudah
meluap sampai ke puncak Parit. Dia belum pernah melihat
hal semacam itu.
"Ada yang tidak beres," teriaknya pada Jenna.
"Seharusnya tidak seperti ini!"
"Ini perbuatan DomDaniel!" teriak Bocah 412, sambil
melambaikan dayungnya ke arah DomDaniel dan seketika
menyesali tindakannya, sebab Muriel Dua menjadi miring
tajam dan membuatnya mual. "Dengar!"
Sewaktu kapal Vengeance mulai menjulang naik di
http://facebook.com/indonesiapustaka

atas permukaan air dan menarik keras rantai jangkarnya,


DomDaniel sudah mengubah Perintah-nya dan berteriak di
tengah deburan ombak. "Tiup! Tiup! Tiup!" teriaknya. "Tiup!
Tiup! Tiup!"
Angin bergulung dan melakukan apa yang
Diperintahkan. Angin itu datang cepat dengan meraung

~377~
keras, meniup permukaan air menjadi gelombang-gelombang
dan mengempaskan kedua kano tadi keras-keras ke kanan
dan ke kiri. Angin itu mengembuskan kabut dan, bertengger
tinggi di atas permukaan air di puncak Parit Deppen Jenna,
Nicko, dan Bocah 412 kini bisa melihat kapal Vengeance
dengan jelas.
Kapal Vengeance juga bisa melihat mereka.
Di haluan kapal, DomDaniel mengambil teropongnya
dan mencari-cari sampai melihat apa yang dicarinya.
Dua kano.
Dan selagi dia mengamati para awaknya, hal yang
paling ditakutinya terjadi. Tidak salah lagi, rambut hitam
panjang dan mahkota bulat emas kecil yang dipakai gadis di
depan kano hijau aneh itu. Itu sang Ratu Kecil. Si Ratu Kecil
tadi berada di atas kapalnya. Gadis itu berlarian ke sana
kemari, di depan matanya, dan dia telah membiarkan gadis
itu melarikan diri.
Anehnya sikap DomDaniel menjadi tenang ketika dia
mengumpulkan tenaga dan Memanggil Badai paling kencang
yang bisa dikerahkannya.
Magyk Gelap mengubah raungan angin menjadi
pekikan yang memekakkan telinga. Awan-awan hitam badai
datang menyapu dan menumpuk tinggi di atas luasnya Rawa-
Rawa Marram yang gelap. Di penghujung senja, cahaya
matahari semakin redup, dan gelombang dingin dan gelap
mulai menyerang kedua kano tadi.
"Airnya mulai masuk ke kano. Aku basah kuyup,"
http://facebook.com/indonesiapustaka

teriak Jenna seraya berjuang mengendalikan Muriel Dua,


sementara Bocah 412 dengan panik mengeluarkan air dari
kano. Nicko mendapat kesulitan di kano si Pemburu-
gelombang baru saja menerjangnya dan kano itu sekarang
terendam. Satu gelombang lagi seperti itu, pikir Nicko, maka
dirinya bakal berada di dasar Parit Deppen.

~378~
Kemudian tiba-tiba Parit Deppen lenyap.
Dengan deburan keras gelombang, tepian Parit
Deppen hancur berantakan. Gelombang yang sangat besar
bergulung menghantam lubang dan berdebur keras ke Rawa-
Rawa Marram, menyeret semua penghuni laut: lumba-lumba,
kura-kura, ubur-ubur, anjing laut, kedua perenang... dan
kedua kano.
Kano yang ditumpangi Nicko bergerak jauh lebih
cepat dari yang pernah dibayangkannya. Terasa menakutkan
sekaligus mendebarkan. Tapi kano si Pemburu mengapung di
puncak gelombang dengan ringan dan mudahnya, seolah
sudah lama menanti-nanti momen ini.
Jenna dan Bocah 412 tidak segembira Nicko dengan
terjadinya perubahan ini. Muriel Dua merupakan kano tua,
dan tidak sanggup mengikuti cara berlayar seperti ini.
Mereka berdua harus berjuang keras menahan kano itu agar
tidak terbalik dihantam gelombang besar.
Begitu air mulai menyebar ke rawa, gelombangnya
mulai kehilangan sebagian kekuatannya, lalu Jenna dan
Bocah 412 berhasil mengendalikan Muriel Dua dengan lebih
mudah. Nicko dengan tangkas menggerakkan kano si
Pemburu di sepanjang gelombang, menghampiri mereka,
dengan lihai berputar dan berbelok.
"Tadi itu gelombangnya keren sekali!" teriaknya di
tengah deburan air.
"Kau gila!" teriak Jenna, masih tetap berjuang dengan
dayungnya untuk mencegah agar Muriel Dua tidak terbalik.
http://facebook.com/indonesiapustaka

Kini gelombang besar itu melemah dengan cepat,


melambatkan deburannya dan kehilangan sebagian besar
kekuatannya begitu pusaran air mulai masuk ke rawa-rawa
yang luas terbentang, mengisi parit-parit, rawa paya, lumpur
dan rawa endapan lumpur dengan air asin bening dan dingin.
Tak lama kemudian, gelombang itu lenyap, dan Jenna, Nicko,

~379~
dan Bocah 412 terapung di laut terbuka yang membentang
sejauh mata memandang, berhiaskan pulau-pulau kecil yang
bertebaran di sana-sini.
Sewaktu mereka mendayung kano ke arah yang,
mereka harap, benar, kegelapan yang menakutkan mulai
datang begitu awan badai bergulung-gulung jauh di atas
mereka. Suhu udara menukik tajam, dan udara terasa
bermuatan listrik. Tak lama kemudian guntur bergemuruh di
langit dan butir-butir besar air hujan mulai turun. Jenna
melihat ke arah kumpulan air dingin keabu-abuan di depan
mereka, dan berpikir bagaimana mereka bisa menemukan
jalan pulang.
Di kejauhan, di salah satu pulau terjauh, Bocah 412
melihat cahaya berkelap-kelip. Bibi Zelda sedang
menyalakan lilin badai dan menaruhnya di jendela.
Kedua kano itu bergerak lebih cepat lagi dan menuju
rumah begitu guntur bergemuruh dan sambaran kilat tanpa
suara mulai menerangi langit.
Pintu pondok Bibi Zelda terbuka. Dia sedang
menunggu mereka.
Mereka mengikatkan kano ke besi untuk
membersihkan sepatu bot di pintu depan, lalu berjalan
masuk ke pondok yang anehnya sunyi senyap. Bibi Zelda
berada di dapur bersama Boggart.
"Kami pulang!" teriak Jenna. Bibi Zelda keluar dari
dapur, menutup pintu di belakangnya dengan pelan.
"Kalian menemukannya?" tanyanya.
http://facebook.com/indonesiapustaka

"Menemukan siapa?" tanya Jenna.


"Si Murid itu. Septimus."
"Oh, dia." Begitu banyak peristiwa yang terjadi sejak
mereka berangkat tadi pagi, hingga Jenna lupa apa alasan
pertama mereka pergi.
"Kalian pulang tepat pada waktunya. Hari sudah

~380~
gelap," ujar Bibi Zelda, tergesa-gesa menutup pintu. Ya,
memang...
"Aargh!" jerit Bibi Zelda begitu sampai di pintu dan
melihat air meluap sampai ke tangga pintu, belum lagi dua
kano yang terangguk-angguk naik-turun di luar.
"Banjir. Binatang-binatang itu! Mereka bisa
tenggelam."
"Mereka baik-baik saja," Jenna meyakinkannya.
"Semua ayam sudah berada di bagian atas kapal ayam-kami
sudah menghitungnya. Dan kambingnya sudah naik ke atas
atap." "Atap?"
"Ya, tadi dia sedang memakan atap ilalang ketika
kami melihatnya." "Oh. Oh, baiklah."
"Bebek-bebek juga baik-baik saja dan kelinci... hmm,
rasanya aku melihat mereka mengapung ke sana kemari."
"Mengapung ke sana kemari?" teriak Bibi Zelda.
"Kelinci tidak bisa mengapung."
"Tapi kelinci-kelinci ini bisa. Tadi aku melewati
beberapa ekor, mereka berbaring telentang seperti sedang
berjemur."
"Berjemur?" pekik Bibi Zelda. "Malam hari?"
"Bibi Zelda," kata Jenna tegas, "lupakan kelinci-
kelinci itu. Bakal ada badai."
Bibi Zelda berhenti mengoceh dan mengamati ketiga
sosok basah di hadapannya.
"Maafkan aku," katanya. "Kenapa aku jadi melantur?
Masuklah dan keringkan badan kalian di depan perapian."
http://facebook.com/indonesiapustaka

Sementara Jenna, Nicko dan Bocah 412 berdiri meng-


hangatkan diri di depan perapian, Bibi Zelda mengintip ke
luar, ke gelapnya malam. Kemudian dengan pelan ditutupnya
pintu pondok.
"Ada Kuasa Jahat di luar sana," bisiknya. "Seharusnya
aku tahu, tapi keadaan Boggart semakin memburuk, buruk

~381~
sekali... dan memikirkan kalian tadi keluar menantang Kuasa
Jahat itu... hanya kalian bertiga." Bibi Zelda bergidik.
Jenna mulai menjelaskan, "Itu DomDaniel," katanya.
"Dia..."
Dia apa?
"Menyeramkan," kata Jenna. "Kami melihatnya. Di
atas kapalnya."
"Kalian apa?" tanya Bibi Zelda dengan ternganga,
tidak berani memercayai apa yang sedang didengarnya,
"Kalian melihat DomDaniel? Di kapal? Di mana?"
"Di dekat Parit Deppen. Kami menaikinya, lalu..."
"Menaiki apa?"
"Tangga. Kami berhasil naik ke kapalnya..."
"Kalian... kalian tadi berada di atas kapal Vengeance?"
Bibi Zelda sulit memahami apa yang sedang didengarnya.
Jenna memerhatikan wajah bibinya mendadak pucat pasi,
dan tangannya sedikit gemetar.
"Itu kapal busuk," kata Nicko. "Baunya busuk.
Rasanya pun busuk
"Kau tadi juga naik ke kapal itu?"
"Tidak," sahut Nicko, yang kini menyesal kenapa dia
tidak ikut naik juga ke kapal itu. "Aku mau saja naik, tapi
mantra Tidak Terlihat milikku tidak cukup bagus, jadi aku
tidak ikut. Aku menjaga kano-kano."
Bibi Zelda butuh waktu beberapa detik untuk
memahami semua ini. Ditatapnya Bocah 412.
"Jadi, kau dan Jenna tadi berada di kapal Gelap itu...
http://facebook.com/indonesiapustaka

berdua saja... di tengah-tengah semua Magyk Gelap itu.


Mengapa?"
"Oh, baiklah, kami bertemu Alther...," Jenna berusaha
menjelaskan. "Alther?"
"Dan dia mengatakan bahwa Marcia..." "Marcia? Apa
hubungannya Marcia dengan semua ini?"

~382~
"Dia ditangkap oleh DomDaniel," tutur Bocah 412.
"Alther menduga Marcia berada di kapal itu. Dan dia memang
berada di sana. Kami melihatnya."
"Oh, ya ampun. Keadaannya semakin buruk saja."
Bibi Zelda mengempaskan diri ke atas kursi di dekat
perapian. "Hantu tua yang suka ikut campur itu seharusnya
lebih tahu," hardik Bibi Zelda. "Menyuruh tiga orang anak ke
kapal Gelap. Apa sih yang ada di kepalanya?"
"Dia tidak menyuruh kami, sungguh dia tidak
menyuruh kami," kata Bocah 412. "Dia malah melarang
kami, tapi kami harus mencoba menyelamatkan Marcia. Tapi
kami tidak berhasil melakukannya..."
"Marcia ditangkap," bisik Bibi Zelda. "Ini buruk
sekali." Dikorek-koreknya perapian dengan tongkat
pengorek, dan sedikit bara api beterbangan.
Gemuruh guntur yang panjang dan keras kedengaran
di langit, tepat di atas pondok, menggetarkan pondasi
bangunannya. Embusan angin kencang menemukan jalan
masuk melalui jendela, memadamkan lilin badai dan hanya
meninggalkan nyala api yang berkelap-kelip di perapian.
Sesaat kemudian, tiba-tiba hujan es lebat berdenting-denting
menimpa jendela dan jatuh ke cerobong asap, memadamkan
api dengan desisan marah.
Pondok menjadi gelap.
"Lenteranya!" seru Bibi Zelda; dia bangkit dan
berjalan dalam kegelapan, menuju lemari lentera.
Maxie merintih dan Bert menyembunyikan kepala di
http://facebook.com/indonesiapustaka

bawah sayapnya yang tidak terluka.


"Ya ampun, sekarang di mana kuncinya?" gerutu Bibi
Zelda, seraya merogoh-rogoh sakunya tapi tidak
menemukan apa-apa. "Ya ampun, ya ampun, ya ampun."
Krak!
Kilatan petir berkederap terang lewat jendela,

~383~
menerangi pemandangan di luar, dan menyambar perairan
yang sangat dekat dengan pondok.
"Meleset," ujar Bibi Zelda dengan wajah muram,
"nyaris saja."
Maxie menyalak dan membenamkan kepalanya di
bawah karpet.
Nicko memandang ke luar jendela. Dalam kilatan
cahaya menyilaukan yang hanya berlangsung sesaat, dia
melihat sesuatu yang tidak ingin dilihatnya lagi.
"Dia datang," katanya pelan. "Aku melihat kapalnya.
Di kejauhan. Berlayar di atas rawa-rawa. Dia sudah
mendekat kemari."
Semua berebutan menghampiri jendela. Mulanya
yang kelihatan hanyalah kegelapan badai yang semakin
mendekat. Namun saat sambaran kilat menerangi awan,
memperlihatkan kepada mereka pemandangan yang sekilas
tadi dilihat Nicko.
Berlatar belakang langit yang terang oleh keredap
sinar kilat, masih jauh di sana, kapal Gelap yang sangat besar
itu melaju membelah gelombang dan menuju ke arah
pondok.
Kapal Vengeance sudah datang.

http://facebook.com/indonesiapustaka

~384~
43. KAPAL NAGA
Bibi Zelda panik.
"Di mana kuncinya? Aku tidak menemukannya! Oh,
ternyata di sini."
Dengan tangan gemetar dikeluarkannya kunci itu
dari salah satu saku kain percanya, lalu dibukanya pintu
lemari lentera. Dikeluarkannya satu lentera dan
diberikannya kepada Bocah 412.
"Kau tahu tempatnya, kan?" tanya Bibi Zelda.
"Tingkap di lemari ramuan?" Bocah 412 mengangguk.
"Pergilah ke terowongan. Kalian akan aman di sana.
Tidak ada yang bisa menemukan kalian di sana. Aku akan
membuat tingkapnya Menghilang."
"Tapi kenapa Bibi tidak ikut?" tanya Jenna pada Bibi
Zelda.
"Tidak," jawab Bibi Zelda pelan. "Kondisi Boggart
sangat parah. Aku takut dia tidak bisa bertahan kalau
kubawa. Jangan cemaskan aku. Bukan aku yang mereka
inginkan. Oh, lihat, bawa ini Jenna. Kau bisa sekalian
membawanya." Bibi Zelda mengambil Serdadu Serangga
milik Jenna dari saku yang lain, lalu memberikan serdadu
yang menggulung diri itu kepadanya. Jenna menjejalkan
serangga itu ke dalam saku jaketnya.
"Sekarang, pergilah!"
Bocah 412 ragu-ragu, dan lagi-lagi gelegar halilintar
membelah udara.
http://facebook.com/indonesiapustaka

"Pergi!" pekik Bibi Zelda, melambaikan kedua


lengannya seperti gerakan kincir angin yang menggila.
"Pergil"
Bocah 412 membuka tingkap di lemari ramuan dan
mengangkat lentera tinggi-tinggi, tangannya agak gemetaran,
sementara Jenna bergegas menuruni tangga. Nicko masih

~385~
belum beranjak, memikirkan ke mana Maxie pergi. Dia tahu
betapa takutnya anjing serigala itu pada badai yang disertai
kilat dan petir, dan Nicko ingin membawanya serta.
"Maxie," panggil Nicko. "Maxie boy!" Dari bawah
karpet terdengar rintihan pelan anjing serigala itu.
Bocah 412 sudah setengah jalan menuruni tangga.
"Ayo," katanya pada Nicko. Nicko sibuk bergulat
dengan anjing serigala yang membandel itu, yang menolak
keluar dari tempat yang dianggapnya paling aman di dunia.
Di bawah karpet perapian.
"Cepatlah," kata Bocah 412 tidak sabar, kepalanya
melongok naik dari bawah tingkap. Kenapa Nicko begitu
memerhatikan anjing bau itu, Bocah 412 sama sekali tidak
mengerti.
Nicko berhasil menangkap syal bintik-bintik yang
melingkar di leher Maxie. Ditariknya anjing yang ketakutan
itu keluar dari bawah karpet dan diseretnya di lantai. Cakar
Maxie mengeluarkan bunyi menggaruk yang mengerikan di
lantai batu pipih, dan sewaktu Nicko mendorongnya masuk
ke lemari ramuan yang gelap, anjing itu merintih dengan
suara mengibakan hati. Maxie tahu pasti dirinya sangat nakal,
sehingga diperlakukan seperti ini. Dia memikirkan apa yang
telah dilakukannya. Dan mengapa dia tidak lebih
menikmatinya saat melakukannya.
Dalam kekacauan bulu dan air liurnya, Maxie jatuh
ke tingkap dan mendarat di atas Bocah 412. Lentera di
tangan Bocah 412 tersentak lepas, padam, dan jatuh
http://facebook.com/indonesiapustaka

berguling-guling ke anak tangga bawah yang curam.


"Aduuuh, coba lihat apa yang sudah kaulakukan,"
kata Bocah 412 pada anjing itu dengan kesal, begitu Nicko
melompat bergabung dengannya di anak tangga kayu paling
bawah.
"Apa?" tanya Nicko. "Apa yang sudah aku lakukan?"

~386~
"Bukan kau. Dia. Menghilangkan lenteranya."
"Oh, nanti juga ketemu. Tidak usah cemas terus. Kita
sudah aman sekarang." Nicko menarik Maxie berdiri, dan
anjing itu berlarian menuruni landaian berpasir, cakarnya
menggaruk-garuk batu di bawahnya, menarik-narik Nicko.
Mereka berdua terpeleset dan meluncur di landaian yang
curam, baru berhenti tumpang tindih di anak tangga paling
bawah.
"Ow!" seru Nicko. "Rasanya aku sudah menemukan
lenteranya."
"Bagus," kata Bocah 412 dengan bersungut-sungut.
Diambilnya lentera itu, yang menyala lagi dan menerangi
permukaan licin dinding pualam terowongan.
"Lukisan-lukisan itu lagi," kata Jenna. "Sangat
menakjubkan, bukan?"
"Kok bisa, semua sudah pernah kemari kecuali aku?"
keluh Nicko. "Tidak ada yang bertanya apakah aku mau
melihat lukisan-lukisan itu. Hei, ada gambar kapal di lukisan
yang satu ini, lihat."
"Kami tahu," kata Bocah 412 singkat saja. Ditaruhnya
lentera dan dia duduk di tanah. Dia merasa lelah dan
berharap Nicko tidak ribut. Tapi Nicko bersemangat sekali
dengan terowongan itu.
"Menakjubkan sekali di bawah sini," katanya, sambil
memandangi huruf hieroglif yang tertera di sepanjang
dinding, sejauh yang mereka lihat dalam cahaya temaram
lentera.
http://facebook.com/indonesiapustaka

"Aku tahu," sahut Jenna. "Lihat, aku suka sekali


dengan yang ini. Benda berbentuk lingkaran dengan naga di
dalamnya." Jari-jemarinya meraba gambar kecil berwarna
biru dan emas yang tertoreh di dinding pualam. Tiba-tiba
dirasakannya tanah mulai bergetar. Bocah 412 melompat
bangkit.

~387~
"Apa itu?" katanya seraya menelan ludah.
Gemuruh panjang dan berat menimbulkan getaran
gempa terasa sampai ke kaki mereka, dan suaranya
membahana di udara.
"Dindingnya bergerak," Jenna terperangah. "Dinding
terowongan bergerak."
Salah satu sisi dinding tersibak, dengan berat
bergulung ke belakang, menyisakan ruang yang terbuka
lebar di hadapan mereka. Bocah 412 mengangkat tinggi-
tinggi lenteranya. Cahayanya membesar menjadi sinar putih
terang dan memperlihatkan sebuah kuil Romawi yang sangat
besar di bawah tanah, terbentang di hadapan mereka.
Mereka sangat terkejut melihat pemandangan ini. Di bawah
kaki mereka terdapat lantai mosaik yang rumit, dan pilar
pualam bulat menjulang tinggi ke kegelapan. Tapi bukan
hanya itu.
"Oh."
"Wow."
"Fiuh." Nicko bersiul. Maxie duduk dan
mengembuskan napas anjingnya yang beruap dalam
dinginnya udara.
Di tengah kuil, berlandaskan lantai mosaik, tampak
kapal terindah yang pernah ada.
Kapal Naga emas milik Hotep-Ra.
Kepala naga besar berwarna hijau dan emas
membusung di haluan, lehernya meliuk anggun bak angsa
raksasa. Badan naga itu berbentuk kapal lebar terbuka,
http://facebook.com/indonesiapustaka

dengan lambung kapal terbuat dari kayu emas. Terlipat rapi


di sepanjang bagian luar lambung kapal terdapat sepasang
sayap naga; lipatan-lipatannya yang hijau kemilau dan
bergradasi itu berkilauan sewaktu sisik-sisik hijaunya yang
sangat banyak jumlahnya menangkap cahaya lentera. Dan di
buritan Kapal Naga ekor hijaunya melengkung ke atas,

~388~
menembus gelapnya kuil. Ujungnya yang berduri dan
berwarna emas nyaris tersembunyi dalam kegelapan.
"Bagaimana itu bisa berada di sini?" Nicko berbisik.
"Kapalnya karam," sahut Bocah 412.
Jenna dan Nicko memandang Bocah 412 dengan
terkejut. "Bagaimana kau bisa tahu?" tanya mereka berdua.
"Aku pernah membaca tentang kapal ini dalam buku
Seratus Kisah Ganjil dan Aneh bagi Anak Lelaki yang merasa
Bosan. Bibi Zelda meminjamkannya kepadaku. Tapi tadinya
kukira itu cuma legenda. Aku tidak mengira bahwa Kapal
Naga itu benar-benar nyata. Atau kalau ternyata kapal itu
ada di sini."
"Jadi, kapal apa itu?" tanya Jenna, terpesona dengan
kapal itu dan merasa aneh karena sepertinya dia sudah
pernah melihatnya di suatu tempat.
"Itu Kapal Naga milik Hotep-Ra. Menurut legendanya,
Hotep-Ra adalah Penyihir yang membangun Menara
Penyihir."
"Memang dia," kata Jenna. "Marcia bilang padaku."
"Oh. Nah, begitulah ceritanya. Konon, menurut cerita
itu, Hotep-Ra adalah Penyihir di Negeri Nun Jauh dan
memiliki seekor naga. Tapi sesuatu terjadi dan dia harus
cepat-cepat pergi. Maka sang naga menawarkan diri untuk
menjadi kapalnya, dan membawanya dengan selamat ke
negeri yang baru."
"Jadi, kapal itu adalah-atau dulunya-seekor naga
sungguhan?" bisik Jenna, takut kalau kapal itu bisa
http://facebook.com/indonesiapustaka

mendengarnya.
"Kurasa begitu," kata Bocah 412.
"Setengah kapal, setengah naga," gumam Nicko.
"Aneh. Tapi mengapa kapal itu berada di sini?"
"Kapal itu menabrak bebatuan di dekat mercu suar
Pelabuhan," tutur Bocah 412. "Hotep-Ra menyeretnya

~389~
sampai ke rawa-rawa dan menariknya keluar dari air, lalu
dimasukkan ke sebuah kuil Romawi yang ditemukannya di
sebuah pulau keramat. Dia mulai membangunnya kembali,
tapi tidak menemukan tukang yang mahir di Pelabuhan. Kala
itu Pelabuhan masih belum berkembang."
"Sekarang juga masih belum," gerutu Nicko, "dan
mereka juga masih belum ahli membuat kapal. Kalau
menginginkan tukang pembuat kapal yang ahli, pergilah ke
hulu Kastil. Semua orang tahu itu."
"Nah, itu juga yang mereka katakan pada Hotep-Ra,"
ujar Bocah 412. "Tapi ketika pria berpakaian aneh itu
muncul di Kastil, mengaku sebagai Penyihir, mereka semua
menertawakannya dan tidak memercayai cerita tentang
Kapal Naga hebat miliknya. Hingga suatu hari putri sang Ratu
jatuh sakit, dan Hotep-Ra menyelamatkan hidupnya. Ratu
sangat berterima kasih padanya, hingga mau membantunya
membangun Menara Penyihir. Pada suatu musim panas,
Hotep-Ra mengajak sang Ratu dan putrinya ke Rawa-Rawa
Marram untuk melihat Kapal Naga. Dan mereka langsung
jatuh cinta pada kapal itu. Setelah itu Hotep-Ra mendapatkan
tukang pembuat kapal sebanyak yang diinginkannya untuk
mengerjakan kapalnya, dan karena sang Ratu menyayangi
kapal itu, dan juga menyukai Hotep-Ra, beliau suka mengajak
putrinya keluar setiap musim panas hanya untuk melihat
keadaan mereka berdua. Menurut cerita, sang Ratu masih
melakukannya. Oh, eh... baiklah, sudah tidak lagi, tentunya."
Tidak ada yang bicara.
http://facebook.com/indonesiapustaka

"Maaf. Aku tidak bermaksud bicara begitu," gumam


Bocah 412.
"Tidak apa-apa," kata Jenna agak terlalu ceria. Nicko
menghampiri kapal itu dan dengan mahir menyapukan
tangannya di atas kayu keemasan lambung kapal yang
berkilauan.

~390~
"Perbaikan yang cukup bagus," ujarnya. "Orang-
orang yang memperbaikinya memang ahli. Sayang sekali
tidak ada yang membawanya berlayar sejak saat itu. Kapal
ini indah sekali."
Nicko mulai menaiki tangga kayu tua yang
menyangga lambung kapal.
"Lho, kalian berdua jangan cuma berdiri saja di sana.
Kemari dan lihat-lihat!"
Bagian dalam kapal itu tidak sama seperti kapal lain.
Dicat warna biru lapis lazuli gelap dengan ratusan huruf
hieroglif tertera di sepanjang geladaknya, dari tinta emas.
"Itu kotak tua yang ada di kamar Marcia di Menara,"
kata Bocah 412 sewaktu berjalan sepanjang dermaga, jari-
jemarinya menelusuri kayu mengilap itu, "tulisan di kotak itu
sama."
"Benarkah?" kata Jenna ragu-ragu.
"Aku melihatnya sewaktu si Pembunuh Bayaran
masuk. Sampai sekarang pun aku masih bisa melihatnya di
dalam benakku," tutur Bocah 412 yang sering kali merasa
terganggu oleh ingatan fotografisnya tentang kejadian-
kejadian buruk.
Mereka menyusuri dermaga Kapal Naga, melewati
gulungan tali hijau, paku dan belenggu emas, balok-balok
perak dan tambang untuk menaikkan layar, dan huruf
hieroglif yang tak ada habisnya. Mereka melewati sebuah
kabin kecil dengan pintu biru tua yang tertutup rapat dan
menampilkan lambang naga yang sama di sebuah bentuk
http://facebook.com/indonesiapustaka

bulat telur yang diratakan, yang pernah mereka lihat di pintu


di terowongan. Namun tak satu pun dari mereka merasa
punya cukup keberanian untuk membuka pintu-pintu itu
dan melihat apa yang ada di bawahnya. Mereka lewat dengan
berjingkat-jingkat, dan akhirnya sampai ke buritan kapal.
Ekor sang naga.

~391~
Ekor yang sangat besar itu melengkung tinggi di atas
mereka, menghilang di kegelapan dan membuat mereka
semua merasa sangat kecil dan agak rapuh. Kapal Naga itu
tinggal mengayunkan ekornya ke arah mereka, dengan
begitu-pikir Bocah 412 seraya bergidik ketakutan-tamatlah
riwayat mereka.
Maxie berjalan dengan patuhnya di belakang Nicko,
ekornya terkulai di antara kedua kaki belakangnya. Anjing
itu masih merasa dirinya sudah membuat satu kesalahan
fatal, dan berada di atas Kapal Naga tidak membuatnya
merasa lebih baik.
Nicko berada di buritan kapal, melihat-lihat tangkai
kemudi dengan mata seorang ahli. Tangkai kemudi itu bagus
sekali menurut pendapatnya. Tangkai itu anggun, berukiran
halus dan terbuat dari kayu mahoni, dibuat oleh tangan yang
ahli, sehingga pas sekali dalam genggaman, seakan-akan
sudah sejak dulu mengenal orang yang memegangnya.
Nicko memutuskan untuk menunjukkan pada Bocah
412 cara mengemudikannya.
"Lihat, kau pegang seperti ini," tuturnya, sambil
mengambil alih tangkai kemudi, "lalu dorong ke kanan kalau
kau ingin kapalnya belok ke kiri, dan tarik ke kiri kalau kau
ingin kapalnya belok ke kanan. Gampang, kan."
"Kedengarannya tidak terlalu gampang," ujar Bocah
412 ragu. "Buatku kedengarannya membingungkan."
"Lihat ya, seperti ini." Nicko mendorong tangkai
kemudi ke kanan. Tangkai itu bergerak pelan, memutar
http://facebook.com/indonesiapustaka

kemudi besar di buritan kapal ke arah berlawanan.


Bocah 412 melongok ke samping kapal.
"Oh, jadi begitu cara kerjanya," ujarnya. "Sekarang
aku mengerti."
"Kau coba saja," kata Nicko. "Lebih terasa gampang
kalau kau memegangnya sendiri." Bocah 412 memegang

~392~
tangkai kemudi itu dengan tangan kanannya dan berdiri di
sampingnya, seperti yang ditunjukkan Nicko.
Ekor naga itu tersentak.
Bocah 412 terlonjak kaget. "Apa itu?"
"Bukan apa-apa," sahut Nicko. "Lihat, dorong saja
jauh-jauh, seperti ini..."
Sementara Nicko melakukan hal yang paling
disukainya, yakni memberitahukan cara kerja kapal, Jenna
berkeliaran sampai ke haluan untuk melihat kepala emas
naga yang indah. Dipandanginya kepala itu dan dia berpikir
mengapa mata naga itu terpejam. Jika aku punya kapal
seindah ini, pikir Jenna, akan kupasang dua zamrud sebagai
matanya. Naga itu sangat pantas mendapatkannya.
Kemudian, mengikuti dorongan hati, Jenna merangkulkan
kedua lengannya di leher naga yang berwarna hijau dan licin,
serta merebahkan kepala di atasnya. Leher itu terasa lembut,
dan yang mengejutkan, terasa hangat.
Ketika terkena sentuhan Jenna, naga itu bergetar,
seperti mengenali. Berbagai kenangan lama kembali
membanjiri si Kapal Naga...
Hari-hari panjang selama pemulihan setelah
kecelakaan berat yang menimpanya. Hotep-Ra membawa
Ratu muda yang cantik dari Kastil untuk mengunjunginya
pada Perayaan Pertengahan Musim Panas. Hari berganti
bulan, bulan berganti tahun, Kapal Naga itu tergeletak di
lantai kuil dan perlahan, sangat perlahan, diperbaiki oleh
para tukang kapal Hotep-Ra. Dan setiap Perayaan
http://facebook.com/indonesiapustaka

Pertengahan Musim Panas, sang Ratu, yang kini ditemani


bayi perempuannya, mengunjungi Kapal Naga. Tahun-tahun
berlalu, namun para tukang kapal belum bisa menyelesaikan
pekerjaan mereka. Bulan-bulan sepi tak berkesudahan ketika
para tukang kapal menghilang dan meninggalkannya
sendirian. Dan kemudian Hotep-Ra menjadi semakin tua dan

~393~
ringkih, dan ketika akhirnya kapal itu selesai diperbaiki
kembali dengan kejayaannya dulu, Hotep-Ra sudah terlalu
sakit-sakitan untuk bisa melihatnya. Penyihir itu
memerintahkan kuil tersebut dikubur untuk melindungi
kapal itu, sampai tiba saatnya kapal itu dibutuhkan lagi, dan
kapal itu pun ditenggelamkan dalam kegelapan.
Namun sang Ratu tidak melupakan apa yang pernah
dikatakan Hotep-Ra kepadanya-bahwa dia harus
mengunjungi Kapal Naga setiap Perayaan Pertengahan
Musim Panas. Maka setiap musim panas sang ratu datang ke
pulau itu. Diperintahkannya membangun sebuah pondok
sederhana untuk dirinya dan para dayang, dan setiap
Perayaan Pertengahan Musim Panas dia menyalakan lentera,
membawanya ke kuil dan mengunjungi kapal yang sangat
dicintainya itu. Seiring dengan tahun-tahun yang berlalu,
setiap penerus Ratu selalu mengunjungi Kapal Naga, tanpa
mengetahui apa sebabnya; mereka melakukannya karena ibu
mereka melakukannya, begitu pula dengan ratu-ratu
sebelumnya, dan karena setiap Ratu yang baru pun mulai
menyayangi kapal naga itu. Sang naga pun menyayangi setiap
Ratu, dan walaupun setiap Ratu masing-masing berbeda,
mereka semua memiliki sentuhan lembut tersendiri yang
terasa sama, seperti sentuhan Ratu yang satu ini.
Maka berabad-abad berlalu. Kunjungan pertengahan
musim dingin Ratu menjadi suatu tradisi rahasia, disaksikan
oleh Penyihir Putih turun-temurun yang tinggal di pondok,
menyimpan rahasia Kapal Naga dan menyalakan lentera
http://facebook.com/indonesiapustaka

untuk menolong sang naga melewati hari-harinya. Sang naga


sudah tertidur selama berabad-abad, di bawah pulau,
berharap suatu hari nanti akan dibebaskan, dan menanti
setiap Perayaan Pertengahan Musim Panas yang magis itu,
ketika sang Ratu sendiri membawa lenteranya dan
melakukan kunjungan kehormatannya.

~394~
Sampai pada suatu Perayaan Pertengahan Musim
Panas sepuluh tahun yang lalu, ketika Ratu tidak datang,
Sang naga tersiksa oleh rasa cemas, tapi tidak ada yang bisa
dilakukannya. Bibi Zelda menyiapkan pondok untuk
kedatangan sang Ratu, kalau-kalau dia datang. Bibi Zelda
terus menyemangatinya dengan mengunjunginya setiap hari
dengan lentera yang baru dinyalakan setiap harinya.
Namun yang sebenarnya dinantikan oleh sang naga
adalah saat ketika sang Ratu merangkul lagi lehernya. Dan
dia baru saja melakukannya.
Naga itu membuka mata dengan terkejut. Jenna
tercekat. Aku pasti sedang bermimpi, pikirnya. Mata naga itu
ternyata hijau, persis seperti yang dibayangkannya, tapi
kedua mata itu tidak terbuat dari batu zamrud. Kedua bola
mata itu hidup, mata naga sungguhan yang bisa melihat.
Jenna melepaskan leher naga itu, lalu melangkah mundur.
Mata naga itu mengikuti gerakannya, memandangi lama sang
Ratu yang baru. Ratu ini masih muda, pikir si naga, tapi tidak
mengurangi ke-Ratuannya. Naga itu menundukkan kepala
penuh hormat.
Dari buritan kapal, Bocah 412 melihat si naga
menundukkan kepala, dan dia yakin dia tidak sedang
berkhayal. Juga tidak sedang membayangkan hal lainnya.
Suara air mengalir.
"Lihat!" teriak Nicko.
Sebuah celah sempit hitam muncul di dinding antara
dua pilar pualam yang menyangga atap. Sedikit percikan air
http://facebook.com/indonesiapustaka

mulai mengalir deras lewat celah itu, seperti sebuah gerbang


penahan air yang merekah terbuka. Saat mereka
menyaksikan itu, percikan air tadi semakin deras, dengan
celah yang semakin terbuka lebar. Tak lama kemudian lantai
mosaik tersapu air, dan air yang mengalir masuk itu berubah
menjadi arus deras.

~395~
Dengan raungan bergemuruh, tepian permukaan
tanah tersapu, dan dinding di antara kedua pilar tadi runtuh.
Sungai bercampur lumpur dan air menyapu masuk ke bawah
tanah, berputar-putar di sekeliling Kapal Naga, mengangkat
dan menggoyangkan kapal itu ke kanan-kiri, sampai tiba-tiba
kapal itu mengapung dengan bebasnya.
"Kapal ini mengapung!" teriak Nicko gembira.
Jenna memandang dari haluan ke air berlumpur yang
bergulung di bawah mereka, dan menyaksikan tangga kayu
kecil yang tersambar banjir, lalu tersapu. Jauh di atasnya,
Jenna menyadari suatu gerakan: perlahan dan menyakitkan,
dengan leher kaku setelah bertahun-tahun menunggu, sang
naga menengok untuk melihat siapa, yang akhirnya, berada
di kemudi kapal. Naga itu memandang dengan mata hijau
gelapnya ke arah Majikan-nya yang baru, yang ternyata
sesosok tubuh kecil bertopi merah. Bocah itu sama sekali
tidak mirip dengan Majikan-nya yang terakhir, Hotep-Ra.
Majikannya yang lama adalah pria jangkung berkulit gelap
yang sabuk emas dan platinumnya berkilauan diterpa sinar
matahari yang menerangi gelombang, dan yang jubah
ungunya berkibar ditiup angin saat mereka melaju bersama
mengarungi samudra. Tapi naga itu mengenali hal terpenting
dari semuanya: tangan yang sekali lagi memegang tangkai
kemudinya memiliki Magyk.
Sudah waktunya mengarungi samudra.
Naga itu mengangkat kepalanya, dan sepasang sayap
raksasanya yang seperti kulit, yang sebelumnya terlipat di
http://facebook.com/indonesiapustaka

sepanjang sisi kapal, mulai meregang. Di hadapannya, untuk


pertama kali selama ratusan tahun, naga itu bisa melihat
perairan terbuka.
Maxie menggeram, bulu di lehernya mulai berdiri
tegak.
Kapal itu mulai bergerak.

~396~
"Apa yang kaulakukan?" teriak Jenna pada Bocah
412.
Bocah 412 menggeleng. Dia tidak melakukan apa-
apa. Kapal-nya bergerak sendiri.
"Lepaskan!" teriak Jenna kepadanya di tengah
gemuruh suara badai di luar. "Lepaskan tangkai kemudinya.
Kau yang menggerakkannya. Lepaskan!"
Tapi Bocah 412 tidak bisa melepaskan tangannya.
Sesuatu menahan tangannya kencang-kencang di tangkai
kemudi, menuntun Kapal Naga yang mulai bergerak di antara
dua pilar pualam, membawa awak kapalnya yang baru:
Jenna, Nicko, Bocah 412, dan Maxie.
Selagi ekor berduri sang naga mengibas dan
menyingkirkan tembok-tembok kuil yang mengurungnya,
suara berkeretak keras mulai kedengaran di kedua sisi kapal.
Sang naga mengangkat sayap-sayapnya, merentangkan dan
melebarkannya bak tangan berselaput raksasa yang
meregangkan jari-jemarinya yang kurus panjang. Para awak
Kapal Naga menengadah memandang langit malam, takjub
melihat sayap-sayap raksasa yang menjulang tinggi di atas
kapal, bak dua layar hijau raksasa.
Kepala naga itu terangkat naik, menjulang ke
gelapnya malam, dan cuping hidungnya mekar, menghirup
aroma yang telah bertahun-tahun diimpikannya. Aroma laut.
Akhirnya sang naga terbebas.
http://facebook.com/indonesiapustaka

~397~
44. MENUJU LAUT
"Kemudikan kapalnya menuju gelombang!" teriak
Nicko begitu gelombang menerpa sisi kapal dan menerjang
mereka, membuat mereka basah kuyup dengan air sedingin
es. Tapi Bocah 412 berusaha sekuat tenaga menggerakkan
tangkai kemudi melawan arah angin dan arus. Badai
berkecamuk di telinganya, dan hujan yang menyiram
wajahnya juga tidak menolongnya. Nicko mengempaskan
diri ke tangkai kemudi, dan bersama-sama mereka
mengerahkan seluruh tenaga, mendorong tangkai kemudi
keras-keras. Sang naga mengepakkan sayap-sayapnya untuk
menangkap angin, dan kapal itu perlahan berputar untuk
menghadapi gelombang yang mendekat.
Di atas haluan, Jenna yang basah kuyup terguyur
hujan berpegangan erat di leher naga itu. Kapal itu terempas
naik-turun saat menerjang gelombang yang menghantamnya
tak berdaya ke kiri-kanan.
Sang naga mengangkat kepalanya, menghirup badai
dan menikmati setiap detiknya. Ini baru awal perjalanan, dan
badai pada awal perjalanan senantiasa menjadi pertanda
baik. Tapi ke mana sang Majikan baru menginginkan dirinya
dibawa? Naga itu memalingkan leher hijau panjangnya dan
melihat Majikan barunya di kemudi, berjuang dengan
kawannya, topi merahnya basah kuyup tersiram hujan.
Kau ingin aku pergi ke mana? Demikianlah tatapan
mata hijau sang naga bertanya.
http://facebook.com/indonesiapustaka

Bocah 412 mengerti arti tatapan itu.


"Marcia?" teriaknya dengan suara sekeras-kerasnya
pada Jenna dan Nicko.
Mereka mengangguk. Kali ini mereka harus
melakukannya.
"Marcia!" teriak Bocah 412 pada sang naga.

~398~
Sang naga berkedip tak mengerti. Di mana itu
Marcia?
Dia belum pernah mendengar negeri itu. Jauhkah dari
sini? Sang Ratu pasti tahu.
Tiba-tiba naga itu menyurukkan kepala dan
mengangkat Jenna dengan cara yang menyenangkan, seperti
sering dilakukannya pada begitu banyak Putri selama
berabad-abad. Tapi di tengah deru angin efeknya lebih
menakutkan ketimbang menyenangkan. Jenna mendapati
dirinya terangkat di udara, di atas gulungan ombak, dan
sesaat kemudian, basah kuyup tersiram air laut. Jenna sadar
sudah bertengger di atas kepala emas naga itu, duduk tepat di
belakang telinganya dan berpegangan erat-erat pada telinga
itu, seolah hidupnya bergantung pada pegangannya.
Di mana itu Marcia, Yang Mulia? Apakah
perjalanannya jauh? Jenna mendengar si naga bertanya
penuh harap, sudah tak sabar menantikan bulan-bulan
menyenangkan berlayar di samudra bersama para awak
barunya, mencari negeri Marcia.
Jenna mengambil risiko melepaskan satu telinga
emas si naga yang ternyata teramat halus itu, lalu menunjuk
ke kapal Vengeance, yang dengan cepat datang mendekat.
"Marcia berada di sana. Dia Penyihir LuarBiasa kami.
Dan dia menjadi tawanan di kapal itu. Kami
menginginkannya kembali."
Suara si naga terdengar lagi olehnya, sedikit kecewa
karena tidak jadi bepergian lebih jauh lagi. Apa pun yang
http://facebook.com/indonesiapustaka

Anda inginkan, Yang Mulia, pasti dilaksanakan.


Jauh di dalam lambung kapal Vengeance, Marcia
Overstrand duduk mendengarkan Badai mengamuk di
atasnya. Di jari kelingking tangan kanannya, satu-satunya
jari yang muat, dipakainya cincin yang diberikan Bocah 412
kepadanya. Marcia duduk dalam kegelapan, memutar otak

~399~
memikirkan semua kemungkinan cara-cara Bocah 412
menemukan Cincin Naga Hotep-Ra yang sudah lama hilang.
Tak satu pun cara yang terpikir olehnya masuk akal.
Bagaimanapun cara bocah itu menemukan-nya, cincin itu
telah melakukan satu hal menyenangkan yang dulu
dilakukannya juga pada Hotep-Ra. Cincin itu telah
menghilangkan mabuk lautnya. Dan Marcia tahu cincin itu
juga perlahan-lahan mengembalikan kekuatan Magyk-nya.
Sedikit demi sedikit Marcia bisa merasakan kekuatan Magyk
kembali ke dalam dirinya, dan ketika itu terjadi, Bayang-
Bayang yang menghantui dan mengikutinya dari Sel Bawah
Tanah Nomor Satu mulai menying kir. Efek dari Pusaran Air
menyeramkan buatan DomDaniel mulai menghilang. Marcia
mengambil risiko tersenyum tipis. Itu pertama kalinya dia
tersenyum selama empat minggu yang panjang.
Di samping Marcia, ketiga penjaganya yang mabuk
laut berbaring terpuruk dengan rintihan menyedihkan,
menyesali kenapa mereka tidak pernah belajar berenang.
Kalau mereka bisa berenang, setidaknya sekarang ini mereka
sudah dilempar juga ke laut.
Jauh di atas Marcia, dalam kekuatan dahsyat Badai
yang telah diciptakannya, DomDaniel duduk tegak di
singgasana kayu eboninya, sementara Murid-nya yang
merana gemetaran di sampingnya. Bocah itu seharusnya
membantu sang Guru menyiapkan Sambaran kilat
pamungkasnya, tapi dia juga mabuk laut, sehingga yang bisa
dilakukannya hanyalah memandang dengan tatapan kosong,
http://facebook.com/indonesiapustaka

dan sesekali mengeluarkan suara mengerang.


"Diamlah!" hardik DomDaniel, berusaha
berkonsentrasi mengumpulkan kekuatan arus listrik untuk
menghasilkan Sambaran terkuat yang pernah dibuatnya. Tak
lama lagi, pikir DomDaniel penuh kemenangan, bukan hanya
pondok kecil menyebalkan milik penyihir yang suka ikut

~400~
campur itu bakal musnah, tapi juga seluruh pulau, menguap
dalam sambaran kilat yang menyilaukan mata. DomDaniel
mengelus-elus Jimat Penyihir LuarBiasa, yang kini telah
kembali ke tempat seharusnya. Jimat itu kembali melingkar
di lehernya, bukannya leher Penyihir wanita kurus kering.
DomDaniel tertawa. Ternyata mudah sekali.
"Ada kapal, Tuanku," sebuah suara pelan berseru dari
tiang pengintai yang tinggi. "Ada kapal!"
DomDaniel menyumpah-nyumpah.
"Jangan mengganggu!" pekiknya dengan suara
menyaingi lolongan angin, dan Menyebabkan si pelaut
terjatuh sambil memekik nyaring ke air yang bergelora.
Tapi konsentrasi DomDaniel sudah buyar. Dan saat
dia mencoba mengendalikan lagi unsur-unsur untuk
Sambaran pamungkasnya, sesuatu menarik perhatiannya.
Seberkas kilau kecil keemasan muncul dari
kegelapan, menuju kapalnya. DomDaniel menggapai
teropong dan menaruhnya di depan mata, nyaris tak percaya
dengan penglihatannya.
Mustahil, katanya dalam hati, sungguh mustahil.
Kapal Naga Hotep-Ra itu tak mungkin nyata. Kapal itu tak
lebih dari legenda. DomDaniel berkedip-kedip
menyingkirkan tetesan air hujan dari matanya, lalu melihat
lagi. Kapal celaka itu bergerak cepat ke arahnya. Kilauan
hijau mata naga menembus kegelapan dan bertemu pandang
dengan tatapan matanya melalui teropong. Sang
Necromancer bergidik ketakutan. Ini, dia memutuskan, pasti
http://facebook.com/indonesiapustaka

perbuatan Marcia Overstrand. Proyeksi dari otaknya yang


terserang demam sementara dia merancang rencana jahat
untuk melawan DomDaniel, tepat di dalam kapalnya sendiri.
Apakah perempuan itu tidak kapok?
DomDaniel berpaling ke arah kedua Magog.
"Habisi tawanan itu," bentaknya. "Sekarang!"

~401~
Kedua Magog mengembangkan cakar kuning mereka
yang kotor, membuka dan menutupnya, dan sejalur tipis
tetesan lendir kuning muncul di atas kepala mereka yang
seperti cacing buta, seperti biasanya kalau mereka sedang
bersemangat. Mereka mendesiskan satu pertanyaan kepada
Majikan mereka.
"Dengan cara apa pun yang kalian suka," jawab
DomDaniel. "Aku tidak peduli. Lakukan apa saja yang kalian
mau, tapi pokoknya laksanakan. Cepat!"
Kedua makhluk mengerikan itu merayap pergi,
meninggalkan jejak lendir di belakang mereka, dan
menghilang di geladak bawah. Mereka gembira bisa keluar
dari badai, dan tak sabar mengantisipasi kesenangan yang
telah menunggu.
DomDaniel menyingkirkan teropongnya. Dia tidak
membutuhkannya lagi, karena Kapal Naga itu sudah cukup
dekat untuk bisa jelas terlihat. Kakinya mengetuk-ngetuk
tidak sabar, menantikan pemandangan yang disangkanya
Proyeksi ciptaan Marcia itu menghilang. Tapi ternyata kapal
itu tidak menghilang, dan DomDaniel menjadi sangat cemas.
Kapal Naga itu malah semakin mendekat, dan kelihatannya
tatapan mata si Naga terpaku ke arahnya dengan sorot amat
kejam.
Dengan gugup sang Necromancer mulai mondar-
mandir di geladak, tidak sadar dengan hujan badai yang tiba-
tiba seperti tumpah dari langit, dan tidak mendengar
ributnya kelepak koyakan layar-layar yang tersisa. Hanya
http://facebook.com/indonesiapustaka

ada satu suara yang ingin didengar DomDaniel, yaitu jeritan


terakhir Marcia Overstrand jauh di geladak bawah.
Dia mendengarkan dengan saksama. Kalau ada satu
hal yang dinikmati DomDaniel, maka hal itu adalah
mendengar jeritan terakhir seorang manusia. Manusia mana
saja tidak masalah, tapi jeritan terakhir mantan Penyihir

~402~
LuarBiasa pasti sangat enak didengar. Dia menggosok-gosok
kedua telapak tangannya, memejamkan mata, lalu
menunggu.
Jauh di dalam kapal Vengeance, Cincin Naga milik
Hotep-Ra berpendar terang di jari kelingking Marcia, dan
kemampuan Magyk Marcia sudah cukup pulih hingga dia
bisa melepaskan diri dari rantai pengikatnya. Dia melarikan
diri dari para penjaga yang pingsan dan menaiki tangga
keluar dari kamar tahanan. Ketika baru hendak menaiki anak
tangga berikutnya, dia hampir terpeleset karena menginjak
semacam lendir berwarna kuning. Dari kegelapan muncul
kedua Magog, bergerak tepat ke arahnya, berdesis
kegirangan. Mereka memojokkan Marcia di satu sudut,
sambil terus menggertakkan taring tajam kuning ke arah
Marcia. Dengan suara "klap" keras, mereka mengeluarkan
cakar dan bergerak maju, mendesak Marcia dengan riang
gembira, lidah ular mereka menjulur keluar-masuk.
Sekarang, pikir Marcia, waktunya untuk mengetahui
apakah kemampuan Magyk-nya sudah benar-benar pulih.
"Mengental dan Mengering. Mengeras!" gumam
Marcia, seraya mengarahkan jari yang memakai Cincin Naga
ke arah kedua Magog.
Bak dua siput terkena garam, kedua Magog tiba-tiba
roboh dan mundur dengan mendesis. Lalu kedengaran suara
berderak keras ketika lendir mereka mengeras dan
mengering menjadi kerak kuning tebal. Dalam beberapa saat,
yang tersisa dari kedua Magog hanyalah dua gumpalan kisut
http://facebook.com/indonesiapustaka

berwarna hitam dan kuning, tergeletak di dekat kaki Marcia,


menempel lengket di geladak. Marcia melangkahinya dengan
tatapan mencemooh, berhati-hati agar sepatunya tidak
menginjak gumpalan itu, lalu melanjutkan perjalanannya
sampai ke geladak atas.
Marcia menginginkan Jimat-nya, dan dia harus

~403~
mendapatkannya.
Di atas geladak, DomDaniel sudah habis
kesabarannya dengan kedua Magog. Dia mencaci maki
dirinya sendiri karena mengira kedua Magog bisa
menyingkirkan Marcia dengan cepat. Seharusnya dia sudah
menyadarinya. Magog suka mengulur waktu dengan
mangsanya, padahal DomDaniel tak punya banyak waktu.
Dilihatnya Proyeksi celaka Kapal Naga buatan Marcia
muncul kian mendekati, dan keberadaan kapal itu
mempengaruhi Magyk-nya.
Maka kemudian, sewaktu Marcia baru hendak
menaiki tangga ke geladak atas, didengarnya teriakan keras
dari atas, "Seratus crown!" jerit DomDaniel. "Tidak, seribu
crown. Seribu crown buat orang yang bisa menyingkirkan
Marcia Overstrand! Sekarang!"
Di atasnya Marcia mendengar serbuan tiba-tiba kaki-
kaki telanjang ketika para pelaut di atas geladak berlari
menuju geladak bawah dan tangga tempatnya berdiri. Marcia
melompat dari tangga dan bersembunyi sebisa mungkin di
kegelapan, saat seluruh awak kapal saling mendorong dan
berdesakan turun, berusaha menjadi orang yang pertama
menangkap tawanan dan mendapatkan hadiahnya. Dari balik
kegelapan Marcia menyaksikan mereka semua berlarian,
menendang, berkelahi, dan saling dorong untuk
menyingkirkan yang lainnya. Kemudian, ketika kericuhan itu
berpindah ke geladak-geladak yang lebih bawah, Marcia
merapatkan jubahnya yang lembap, lalu menaiki tangga ke
http://facebook.com/indonesiapustaka

geladak atas.
Angin dingin membuatnya susah bernapas, tapi
setelah kelembapan busuk di penjara kapal, angin badai yang
segar terasa begitu nikmat. Marcia cepat-cepat bersembunyi
di belakang tong dan menunggu, mempertimbangkan
tindakan selanjutnya.

~404~
Marcia mengamati DomDaniel lekat-lekat.
DomDaniel kelihatan sakit, dan Marcia senang. Wajahnya
yang biasanya tampak abu-abu kini kelihatan agak
bersemburat warna hijau cerah, dan bola matanya yang
hitam membelalak melihat sesuatu di belakang Marcia.
Marcia berbalik untuk melihat apa yang bisa membuat Dom-
Daniel berubah menjadi begitu hijau.
Ternyata Kapal Naga Hotep-Ra.
Jauh di atas kapal Vengeance, dengan mata hijau
bersinar yang menerangi wajah pucat pasi DomDaniel, Kapal
Naga itu terbang di tengah deru angin dan hujan lebat. Sayap-
sayapnya yang besar mengepak pelan dan kuat melawan
badai, mengangkut kapal emas berisi ketiga penumpangnya
yang ketakutan ke dalam gelapnya malammembawa mereka
terbang menuju Marcia Overstrand, yang tidak percaya
dengan apa yang dilihatnya.
Ketiga orang yang berada di Kapal Naga pun tidak
percaya. Ketika sang Naga mulai mengepakkan sayap
melawan angin dan perlahan terangkat naik dari permukaan
air, Nicko ketakutan setengah mati; sebab Nicko yakin betul,
kapal tidak bisa terbang. Tidak pernah bisa.
"Hentikan!" teriak Nicko di telinga Bocah 412 di
tengah suara kepakan sayap besar si Naga, yang perlahan
menyapu melewati mereka, mengembuskan angin berbau
kulit ke wajah mereka. Tapi Bocah 412 merasa senang sekali.
Dia memegang tangkai kemudi erat-erat, mempercayai Kapal
Naga itu untuk melakukan keahliannya.
http://facebook.com/indonesiapustaka

"Hentikan apa?" Bocah 412 balas berteriak, sambil


menatap kedua sayap naga, matanya bersinar dan wajahnya
menyeringai lebar.
"Kau yang melakukannya!" teriak Nicko. "Aku tahu
itu. Kaulah yang membuatnya terbang. Hentikan. Hentikan
sekarang juga! Naga itu sudah lepas kendali!"

~405~
Bocah 412 menggeleng. Ini tidak ada hubungannya
dengan dirinya. Kapal Naga itu terbang sendiri. Dia telah
memutuskan untuk terbang.
Jenna memegangi telinga si naga begitu erat sampai
jarijarinya putih. Jauh di bawah sana dia melihat gelombang
menghantam kapal Vengeance. Dan ketika Kapal Naga
menukik ke arah geladak kapal Gelap itu, Jenna juga bisa
melihat wajah menyeramkan DomDaniel yang kehijauan
mendongak menatapnya. Jenna cepat-cepat memalingkan
wajahnya dari sang Necromancer-tatapannya yang penuh
dendam membuat Jenna merinding sampai ke tulang
sumsum dan memberinya perasaan putus asa yang
mengerikan. Jenna menggelengkan kepala untuk
menyingkirkan perasaan Gelap itu, tapi satu keraguan tetap
tinggal di benaknya. Bagaimana mereka bisa menemukan
Marcia? Jenna melihat sekilas ke arah Bocah 412. Dia sudah
melepaskan tangkai kemudi dan sedang melihat ke bawah
Kapal Naga, ke arah kapal Vengeance. Kemudian, saat Kapal
Naga itu menukik dan bayangannya jatuh menimpa sang
Necromancer di bawah sana, mendadak Jenna sadar apa
yang sedang dilakukan Bocah 412. Dia sedang bersiap-siap
melompat dari kapal. Bocah 412 menguatkan diri untuk
melompat ke atas kapal Vengeance dan menolong Marcia.
"Jangan!" teriak Jenna. "Jangan melompat! Aku bisa
melihat Marcia!"
Marcia berdiri. Dia masih menatap Kapal Naga
dengan tatapan tak percaya. Bukankah kapal itu cuma
http://facebook.com/indonesiapustaka

legenda?
Namun saat sang naga menukik ke arah Marcia, mata
naganya menyorotkan warna hijau cemerlang dan cuping
hidungnya mengeluarkan semburan hebat api jingga, Marcia
bisa merasakan panas baranya dan tahulah dia bahwa kapal
itu memang nyata.

~406~
Kobaran api menjilat jubah DomDaniel yang basah
kuyup. Bau tengik kain wol yang terbakar menyeruak ke
udara. Terbakar api, DomDaniel jatuh telentang, dan sesaat
terlintas harapan tipis di benak sang Necromancer-mungkin
semua ini hanyalah mimpi buruk yang menakutkan. Karena
di atas kepala sang naga bisa dilihatnya sesuatu yang sangat
mustahil: sang Ratu Kecil duduk di sana.
Jenna memberanikan diri melepaskan salah satu
telinga sang naga, lalu memasukkan tangannya ke saku.
DomDaniel masih terus memandanginya, dan Jenna ingin
orang itu berhenti memandanginya-bahkan, dia akan
membuat DomDaniel berhenti melakukannya. Tangan Jenna
gemetar saat menarik Serdadu Serangga keluar dari saku dan
mengacungkannya tinggi-tinggi. Tiba-tiba dari tangannya
terbanglah binatang yang dikira DomDaniel seekor tawon
hijau besar. DomDaniel benci tawon. Dia terhuyung-huyung
ketika serangga itu terbang ke arahnya dengan pekikan
melengking, lalu mendarat di atas bahunya, dan serangga itu
menyengat lehernya. Dengan keras.
DomDaniel menjerit, dan si Serdadu Serangga
menikamnya lagi. DomDaniel menepuk serangga itu, dan
serangga itu menggulung diri, karena kebingungan, lalu
mental ke atas geladak, berguling ke arah sudut gelap.
DomDaniel roboh ke atas geladak.
Marcia melihat kesempatan bagi dirinya, dan
langsung memanfaatkannya. Di bawah cahaya api yang
keluar dari cuping hidung sang naga, Marcia menguatkan diri
http://facebook.com/indonesiapustaka

untuk menyentuh sang Necromancer yang tak berdaya.


Dengan jari-jemari gemetaran Marcia mencari-cari di lipatan
leher yang seperti siput itu dan menemukan apa yang
dicarinya. Tali sepatu Alther. Merasa sangat mual, tapi justru
tekadnya semakin kuat, Marcia menarik ujung tali sepatu itu,
berharap ikatannya terlepas. Tapi ternyata tidak lepas.

~407~
DomDaniel mengeluarkan suara tercekik, dan tangannya
melesat ke lehernya.
"Kau mencekikku," katanya dengan napas terengah,
dan dia juga mencengkeram tali sepatu itu.
Tali sepatu Alther telah melakukan tugasnya dengan
baik selama bertahun-tahun, tapi tidak sanggup menahan
tarikan dua Penyihir kuat yang memperebutkannya. Maka
tali sepatu itu melakukan apa yang sering kali dilakukan tali
sepatu. Tali itu putus.
Jimat terjatuh ke atas geladak, dan Marcia
menyambarnya. Dengan putus asa DomDaniel menyergap
tali itu, tapi Marcia sudah lebih dulu mengikat tali sepatu itu
di lehernya. Begitu talinya diikat, sabuk Penyihir LuarBiasa
Muncul di pinggangnya, jubahnya yang tersiram air hujan
berkilauan oleh Magyk. Marcia berdiri tegak. Diamatinya
pemandangan itu dengan senyum penuh kemenangan-dia
telah memperolah kembali posisi yang menjadi haknya di
dunia. Dia adalah, sekali lagi, sang Penyihir LuarBiasa.
Dengan gusar DomDaniel berdiri terhuyung, sambil
berteriak, "Pengawal, pengawal!" Tidak ada jawaban.
Seluruh awak kapal berada jauh di perut kapal, melakukan
pengejaran yang sia-sia.
Saat Marcia menyiapkan GunturKilat untuk
menghantam DomDaniel yang semakin lama semakin
histeris, suara yang tidak asing kedengaran dari atas, berkata,
"Ayo, Marcia. Bergegaslah. Naik ke atas sini, ikut denganku."
Sang naga menurunkan kepala ke atas geladak, dan
http://facebook.com/indonesiapustaka

kali ini Marcia melakukan seperti yang diperintahkan.

~408~
45. AIR SURUT
Kapal Naga terbang pelan di atas rawa-rawa yang
banjir, meninggalkan kapal Vengeance yang tidak berdaya di
belakang. Begitu badai reda, sang naga menurunkan
sayapnya dan, karena sudah lama tidak berlatih, mendarat di
atas air dengan bunyi berdebam dan suara ceburan dahsyat.
Jenna dan Marcia, yang bergelantungan erat di leher
sang naga, basah kuyup.
Bocah 412 dan Nicko terjatuh akibat pendaratan
keras itu dan terlempar sampai ke ujung dermaga, dan
mereka saling tumpang tindih. Mereka bangkit berdiri dan
Maxie menggoyang-goyangkan badannya untuk
mengeringkan diri. Nicko mengembuskan napas lega. Tidak
ada keraguan lagi di benaknya-kapal memang tidak
diciptakan untuk terbang.
Tak lama kemudian awan mulai bergerak menjauh
ke arah laut, dan bulan muncul menerangi jalan pulang
mereka. Kapal Naga berkilauan hijau dan emas diterpa
cahaya bulan, sayapnya mengepak-ngepak menangkap angin
saat mengantar mereka pulang. Dari jendela kecil yang
berpenerangan, jauh di seberang sungai, Bibi Zelda
menyaksikan pemandangan itu dalam keadaan agak
berantakan karena habis menari-nari kegirangan penuh
kemenangan mengitari dapur sampai menabrak tumpukan
panci.
Kapal Naga merasa enggan kembali ke kuil. Sehabis
http://facebook.com/indonesiapustaka

merasakan kebebasan, dia takut kalau memikirkan bakal


dikurung lagi di bawah tanah. Dia ingin sekali berbalik dan
pergi menuju laut, selagi masih sempat, dan berlayar jauh
keliling dunia bersama sang Ratu muda, majikan barunya,
dan Penyihir LuarBiasa. Tapi Majikan barunya punya
gagasan lain. Mengembalikannya, kembali ke penjaranya

~409~
yang kering dan gelap. Sang naga menghela napas dan
kepalanya terkulai. Jenna dan Marcia hampir saja terjatuh.
"Apa yang terjadi di atas sana?" Tanya Bocah 412.
"Dia sedih," sahut Jenna.
"Tapi sekarang kau sudah bebas Marcia," ujar Bocah
412.
"Bukan Marcia. Tapi sang naga," kata Jenna padanya.
"Bagaimana kau bisa tahu?" Tanya Bocah 412.
"Karena aku memang tahu. Dia bicara padaku. Di dalam
kepalaku."
"Oh, ya?" Nicko tertawa.
"Oh, ya, dan dia bicara padamu juga. Dia sedih karena
ingin pergi ke laut. Dia tidak mau kembali ke kuil. Dia
menyebutnya kembali ke penjara."
Marcia mengerti perasaan si naga.
"Katakan padanya, Jenna," ujar Marcia, "bahwa dia
akan ke laut lagi. Tapi tidak malam ini. Malam ini kita semua
ingin pulang."
Kapal Naga menaikkan kepalanya tinggi-tinggi, dan
kali ini Marcia benar-benar terjatuh. Tergelincir dari leher si
naga dan mendarat dengan suara berdebum di atas geladak.
Tapi Marcia tidak peduli; dia bahkan tidak mengeluh. Dia
hanya mendongak menatap bintang-bintang, sementara
Kapal Naga berlayar tenang melintasi Rawa-Rawa Marram.
Nicko, yang tetap berjaga-jaga, terkejut melihat
sebuah perahu nelayan kecil, yang anehnya tidak kelihatan
asing, di kejauhan. Ternyata itu perahu ayam, hanyut
http://facebook.com/indonesiapustaka

terbawa arus pasang. Ditunjukkannya kepada Bocah 412.


"Lihat, aku pernah melihat perahu itu. Pasti orang dari Kastil
sedang mencari ikan di sini."
Bocah 412 menyeringai. "Mereka memilih malam
yang tidak tepat untuk keluar, kan?"
Sewaktu mereka sampai di pulau, arus pasang

~410~
dengan cepat menyurut dan air yang menutupi rawa menjadi
dangkal. Nicko mengambil tangkai kemudi dan
mengemudikan Kapal Naga ke arus Mott yang terendam,
melewati kuil Romawi. Sungguh pemandangan yang
menakjubkan. Batu-batu pualam kuil itu memancarkan sinar
putih berkilauan saat cahaya bulan menerpa untuk pertama
kalinya sejak Hotep-Ra mengubur Kapal Naga di dalamnya.
Semua tepian sungai dan atap kayu yang dibangunnya sudah
tersapu habis, meninggalkan pilar-pilar di sini berdiri jelas
diterpa cemerlangnya sinar bulan.
Marcia terperangah takjub.
"Aku sama sekali tidak tahu tempat itu berada di
sini," ujarnya. "Sama sekali tidak tahu. Kau pasti mengira
salah satu buku di Perpustakaan Piramida mungkin pernah
menyebutnya. Sedangkan mengenai Kapal Naga itu... yah, aku
selalu mengira kapal itu hanyalah legenda."
"Bibi Zelda tahu," ujar Jenna.
"Bibi Zelda?" tanya Marcia. "Mengapa dia tidak
mengatakannya?"
"Memang tugasnya untuk tidak mengatakannya. Dia
Penjaga pulau ini. Sang Ratu, em, ibuku, dan nenekku, dan
nenek buyutku, dan semua leluhurku, mereka harus
mengunjungi si naga."
"Benarkah?" tanya Marcia, tercengang, "Mengapa?"
"Aku tidak tahu," sahut Jenna.
"Well, mereka tidak pernah menceritakannya
padafeu, atau Alther sekalipun."
http://facebook.com/indonesiapustaka

"Atau DomDaniel," Jenna menegaskan.


"Tidak," sahut Marcia setengah merenung. "Mungkin
ada beberapa hal yang sebaiknya tidak diketahui Penyihir."
Mereka mengikatkan Kapal Naga di dermaga, dan
kapal itu perlahan-lahan menurunkan sayap-sayap
raksasanya, lalu melipatnya dengan rapi di sepanjang

~411~
lambung kapalnya. Diturunkannya kepalanya agar Jenna bisa
turun ke dermaga, lalu naga itu melihat ke sekelilingnya. Ini
mungkin bukan samudra, pikirnya, tapi bentangan luas
Rawa-Rawa Marram dengan kaki langit yang panjang dan
rendah terbentang sejauh mata memandang sudah cukup
baik baginya. Si naga memejamkan mata. Sang Ratu sudah
kembali, dan dia bisa menghirup aroma laut. Dia merasa
gembira.
Jenna duduk dan menggoyang-goyangkan kakinya di
tepi Kapal Naga, memerhatikan pemandangan di depannya.
Pondok tampak tenang dan damai seperti biasanya, walau
mungkin tidak serapi saat mereka meninggalkannya, sebab si
kambing sudah menggerogoti atapnya dan masih terus
melakukannya. Sebagian besar pulau kini sudah tidak berair
lagi, walau masih berlumur campuran lumpur dan rumput
laut. Bibi Zelda pasti marah kalau melihat keadaan tamannya,
pikir Jenna.
Ketika air surut dari dermaga, Marcia dan para awak
kapal keluar dari Kapal Naga dan berjalan menuju pondok,
yang begitu sepi hingga terasa mencurigakan. Pintu depan
sedikit terbuka. Dengan firasat tidak enak, mereka mengintip
ke dalam.
Brownies.
Di mana-mana. Pintu ke terowongan kucing yang
telah diberi HilangMantra sudah terbuka dan tempat itu
penuh dengan Brownies. Sampai ke dinding, di lantai,
menempel di langit-langit, memenuhi lemari ramuan,
http://facebook.com/indonesiapustaka

mengunyah, memamah, mencabik, membuang kotoran saat


mereka menyerbu pondok bak badai belalang. Begitu
melihat manusia, sepuluh ribu Brownies mulai
mengeluarkan suara mendengking yang memekakkan
telinga.
Bibi Zelda keluar dari dapur secepat kilat.

~412~
"Apa?" tanyanya terengah-engah, berusaha
memahami semua yang ada di hadapannya, namun hanya
melihat Marcia yang berantakan sedang berdiri di tengah-
tengah lautan Brownies. Mengapa, pikir Bibi Zelda, Marcia
selalu membuat semuanya begitu sulit? Mengapa dia
membawa segerombolan Brownies bersamanya?
"Brownies jahanam!" jerit Bibi Zelda, sambil
melambaikan lengan dalam gerakan mengusir yang sia-sia.
"Keluar, keluar, keluar!"
"Izinkan aku, Zelda," teriak Marcia. "Aku akan
melafalkan mantra Menyingkir yang cepat untukmu."
"Tidak!" jerit Bibi Zelda. "Aku harus melakukannya
sendiri, kalau tidak mereka tidak akan menghormatiku lagi."
"Baiklah, tapi aku tidak bisa bilang ini sebagai rasa
hormat," gumam Marcia, sambil mengangkat sepatunya dari
lendir lengket dan memeriksa solnya. Pasti ada lubang di
sepatunya. Dia bisa merasakan lendir itu merembes di sela-
sela jemari kakinya.
Mendadak dengkingan berhenti, dan ribuan mata
kecil merah itu serentak memandangi sesuatu yang paling
ditakuti Brownies. Boggart.
Si Boggart.
Dengan bulu bersih dan disisir rapi, kelihatan kurus
kecil dengan sabuk putih perban yang masih diikatkan di
bagian tengah badannya, sosoknya tidak terlalu mirip
dengan Boggart yang dulu. Tapi dia masih tetap memiliki
Napas Boggart. Dan, sambil mengembuskan Napas Boggart,
http://facebook.com/indonesiapustaka

dia berjalan megol-megol melewati Brownies, merasakan


kekuatannya mulai pulih.
Brownies melihatnya datang, dan karena mati-
matian hendak melarikan diri, mereka dengan bodohnya
saling bertumpuk di ujung ruangan paling jauh dari tempat
Boggart berdiri. Semakin lama semakin tinggi tumpukan itu

~413~
sampai semua Brownies Lumpur Isap-kecuali satu, yang
masih kecil dan keluar untuk pertama kalinya-berada di atas
tumpukan yang bergoyang-goyang di ujung meja. Tiba-tiba
Brownies kecil itu melesat keluar dari bawah karpet
perapian. Mata merahnya yang ketakutan berkilat-kilat di
wajahnya yang tajam, dan jari-jemari kurusnya
bergemerincing di lantai batu ketika, disaksikan semua
orang, Brownies itu lari terbirit-birit melintasi ruangan
untuk bergabung dengan tumpukan tadi. Si Brownies
mengempaskan diri ke tumpukan berlumpur itu, lalu
bergabung dengan kerumunan mata merah kecil yang
menatap Boggart.
"Tidak tahu kenapa mereka tidak pergi saja.
Brownies keparat," ujar Boggart. "Tapi tadi badai buruk
sekali. Rasanya mereka tidak mau keluar dari pondok yang
nyaman dan hangat. Kalian lihat kapal besar di luar sana
terperangkap di rawa tenggelam di lumpur? Mereka
beruntung semua Brownies ini ada di dalam sini, bukannya
di luar sana, menyeret kapal itu supaya masuk ke Lumpur
Isap."
Semuanya berpandang-pandangan.
"Ya, mereka beruntung ya?" kata Bibi Zelda, tahu
kapal mana yang dibicarakan Boggart, karena sebelumnya
dia terlalu asyik menyaksikan semua kejadiannya dari
jendela dapur bersama Boggart, hingga tidak menyadari
kalau Brownies menyerbu masuk ke pondok.
"Yeah. Aku pergi sekarang," ujar Boggart. "Tidak
http://facebook.com/indonesiapustaka

tahan lagi badanku bersih begini. Cuma ingin menemukan


sedikit lumpur yang menyenangkan."
"Nah, kau tidak bakal kekurangan lumpur di luar
sana, Boggart," sahut Bibi Zelda.
"Yeah," kata Boggart. "Eh, cuma mau berterima
kasih, Zelda, karena... yah, karena sudah merawatku. Da.

~414~
Mereka semua, Brownies itu bakal pergi saat aku sudah pergi
nanti. Kalau kalian mendapat masalah lagi, teriak saja, ya."
Boggart berjalan megol-megol ke luar pintu, untuk
menghabiskan beberapa jam yang menyenangkan dengan
memilih parit berlumpur untuk melewati malam itu.
Pilihannya sungguh amat banyak.
Begitu Boggart pergi, Brownies merasa gelisah, mata
kecil merah mereka saling bertukar pandang dan melihat ke
pintu yang terbuka. Setelah cukup yakin Boggart sudah
benar-benar pergi, suara sumbang pekikan ramai mulai
kedengaran dan tumpukan tadi mendadak buyar menjadi
semburan lendir pekat berwarna cokelat. Setelah akhirnya
terbebas dari Napas Boggart, gerombolan Brownies bergerak
menuju pintu. Gerombolan itu berhamburan ke pulau,
mengalir melewati jembatan Mott, lalu melintasi Rawa-rawa
Marram. Langsung menuju kapal Vengeance yang kandas.
"Kalian tahu," ujar Bibi Zelda saat menyaksikan
Brownies menghilang dalam bayang-bayang rawa, "aku
nyaris merasa kasihan pada mereka."
"Pada Brownies atau kapal Vengeance?" tanya Jenna.
"Keduanya," sahut Bibi Zelda.
"Well, aku sih tidak merasa begitu," kata Nicko.
"Keduanya pantas mendapatkan itu."
Namun tak seorang pun mau menyaksikan apa yang
terjadi dengan kapal Vengeance malam itu. Dan tidak pula
ada yang mau membicarakannya.
Kemudian, setelah sebisa mungkin mereka
http://facebook.com/indonesiapustaka

membersihkan lendir lengket berwarna cokelat itu di


pondok, Bibi Zelda mengamati kerusakan yang terjadi, dan
bertekad untuk melihat sisi baiknya.
"Sebenarnya tidak terlalu buruk," ujarnya. "Buku-
buku tidak apa-apa-yah, setidaknya begitulah kalau
semuanya sudah kering nanti, dan aku bisa membuat lagi

~415~
semua ramuannya. Lagi pula kebanyakan ramuan itu sudah
hampir lewat tanggal kedaluarsanya. Dan buku-buku yang
penting berada di dalam Penyimpanan. Brownies tidak
memakan semua kursi seperti yang terakhir kali, dan mereka
bahkan tidak buang kotoran di atas meja. Jadi, secara
keseluruhan, kejadiannya bisa saja lebih buruk lagi. Jauh
lebih buruk."
Marcia duduk dan melepaskan sepatu kulit ular piton
ungunya yang rusak. Ditaruhnya sepatu itu di dekat
perapian, sambil mempertimbangkan apakah akan
merapalkan mantra Sepatu JadiBaru atau tidak. Terus terang
saja, Marcia tahu mestinya dia tidak melakukannya.
Magyk tidak diciptakan untuk dimanfaatkan demi
kepentingan pribadinya. Menggunakan Magyk untuk
membersihkan jubahnya masih bisa dibenarkan, sebab
jubahnya merupakan salah satu sarana penting dalam
profesinya sebagai penyihir, tapi dia tentunya tidak bisa
berpura-pura bahwa sepatu lancip kulit ular piton itu
memang diperlukan dalam melakukan Magyk. Maka sepatu
itu dibiarkan beruap di dekat perapian, menguarkan bau
samar ular berjamur yang tidak enak.
"Kau bisa memakai sepatu bot karet milikku," Bibi
Zelda menawarkan. "Jauh lebih praktis untuk berjalan di
sekitar sini."
"Terima kasih, Zelda," kata Marcia sedih. Dia benci
sepatu bot karet.
"Oh, bergembiralah, Marcia," kata Bibi Zelda kesal.
http://facebook.com/indonesiapustaka

"Hal yang lebih buruk terjadi di laut."

~416~
46. SEORANG PENGUNJUNG
Keesokan harinya yang bisa dilihat Jenna dari kapal
Vengeance hanyalah bagian atas tiang tertinggi yang
mencuat keluar dari rawa seperti tiang bendera, tempat sisa-
sisa layar bagian atas berkibaran. Sisa-sisa kapal Vengeance
bukanlah pemandangan yang ingin dilihat Jenna, tapi seperti
semua orang di pondok yang terbangun setelah dirinya, dia
harus melihat dengan matanya sendiri, apa yang terjadi
dengan kapal Gelap itu. Jenna menutup kerai jendela, lalu
membalikkan badan. Ada kapal lain yang lebih ingin
dilihatnya.
Kapal Naga.
Jenna melangkah keluar dari pondok, menyambut
sinar matahari pagi musim semi. Kapal Naga berbaring
anggun di Mott, mengapung tinggi di permukaan air,
lehernya merentang lurus dan kepala emasnya terangkat
tinggi untuk menangkap hangatnya sinar matahari yang baru
menerpanya setelah sekian ratus tahun. Kilauan sisik hijau di
leher dan ekor sang naga dan kilatan emas di lambung
kapalnya membuat Jenna menyipitkan mata menahan
silaunya. Mata sang naga juga setengah terpejam. Awalnya
Jenna mengira naga itu masih tidur, tapi kemudian
disadarinya naga itu juga melindungi matanya dari cerahnya
sinar matahari. Sejak Hotep-Ra meninggalkannya terkubur di
bawah tanah, satu-satunya cahaya yang dilihat Kapal Naga
itu hanyalah cahaya remang-remang dari lentera.
http://facebook.com/indonesiapustaka

Jenna menuruni landaian menuju dermaga. Kapal itu


besar, jauh lebih besar daripada yang diingatnya tadi malam,
dan terjepit di Mott karena saat ini air sudah tidak
membanjiri rawa-rawa. Jenna berharap sang naga tidak
merasa terperangkap. Diulurkannya tangannya sambil
berjingkat untuk memegang leher sang naga.

~417~
Selamat pagi, Yang Mulia, suara sang naga
kedengaran olehnya.
"Selamat pagi, Naga," bisik Jenna. "Kuharap kau
merasa nyaman di Mott."
Ada air di bawahku, dan udara terasa berbau garam
dan sinar matahari. Apa lagi yang bisa kuminta? tanya sang
naga.
"Tidak ada. Sama sekali tidak ada," sahut Jenna
mengiyakan. Dia duduk di pangkalan dan menyaksikan
gumpalan kabut pagi menghilang dalam hangatnya sinar
matahari. Lalu dia bersandar dengan gembira di Kapal Naga
dan mendengarkan percikan dan kecipak berbagai binatang
di Mott. Saat ini Jenna sudah terbiasa dengan binatang-
binatang penghuni air. Tidak lagi bergidik ketika melihat
belut yang bergerak di sepanjang Mott dalam perjalanan
panjang mereka menuju Laut Sargasso. Dia tidak terlalu
keberatan dengan kehadiran Nixies Air, walau dia kini tak
lagi mengayuh dengan kaki telanjang ke lumpur. Setelah
salah satu Nixies Air menempelkan diri di jempol kakinya
dan Bibi Zelda harus mengancam dengan garpu panggangan
untuk memaksa makhluk itu melepaskan diri. Jenna bahkan
cukup menyukai Ular Piton Rawa, tapi itu mungkin karena
ular itu tidak kembali sejak Salju Mencair. Dia mengenal
suara dan kecipak yang dibuat setiap binatang, tapi saat
duduk di bawah sinar matahari, sambil melamun
mendengarkan cepuk-cepuk tikus air dan deguk ikan
lumpur, dia mendengar sesuatu yang tidak dikenalnya.
http://facebook.com/indonesiapustaka

Binatang itu, apa pun bentuknya, merintih dan


mengerang dengan suara memilukan. Kemudian terengah-
engah, berkecipak, dan mengerang lagi. Jenna belum psrnah
mendengar suara seperti itu. Kedengarannya binatang itu
berukuran agak besar. Dengan berhati-hati agar tidak
terlihat, Jenna merayap ke belakang ekor besar hijau Kapal

~418~
Naga yang melingkar dan bersandar di atas pangkalan; lalu
dia mengintai untuk melihat binatang apa yang bisa
mengeluarkan suara seberisik itu.
Ternyata si Murid.
Dia terbaring tertelungkup di atas papan berlapis ter
yang kelihatannya berasal dari kapal Vengeance, dan
mengayuh di sepanjang Mott dengan hanya menggunakan
tangannya. Dia tampak kehabisan tenaga. Jubah tebal hijau
lengket di badannya dan beruap oleh hangatnya udara pagi,
rambut hitamnya yang lurus lemas menutupi matanya.
Bocah itu kelihatan nyaris tidak punya tenaga lagi untuk
mengangkat kepala dan melihat arah yang ditujunya.
"Oi!" teriak Jenna. "Enyahlah." Dipungutnya
sebongkah batu untuk dilemparkan ke arah bocah lelaki itu.
"Jangan. Tolong jangan!" ujar bocah itu memohon.
Nicko muncul.
"Ada apa, Jen?" Dia mengikuti arah pandangan Jenna.
"Hei, pergi sana, kau!" teriaknya.
Si Murid tidak mengindahkannya. Dia mengayuh
papan itu ke arah pangkalan, lalu tergeletak di sana,
kehabisan tenaga.
"Kau mau apa?" tanya Jenna.
"Aku... kapalnya... sudah karam. Aku berhasil
menyelamatkan diri."
"Orang jahat selalu mengapung ke permukaan," ujar
Nicko.
"Kami dikerubuti binatang-binatang. Binatang-
http://facebook.com/indonesiapustaka

binatang.... cokelat, berlendir." Bocah itu bergidik ketakutan.


"Mereka menarik kami sampai ke rawa. Aku tidak bisa
bernapas. Semua orang sudah lenyap. Tolonglah aku."
Jenna memandanginya, hatinya bimbang. Dia bangun
pagi-pagi sekali karena bermimpi buruk tentang Brownies
yang menjerit-jerit menyeret dirinya sampai ke rawa. Jenna

~419~
bergidik ketakutan. Dia tidak ingin mengingatnya. Kalau ia
saja tidak tahan hanya mengingat kejadian seperti itu,
seberapa buruk perasaan bocah yang benar-benar
mengalaminya?
Si Murid bisa melihat Jenna bimbang. Dia berusaha
lagi.
"Maaf... aku minta maaf atas perlakuanku pada
binatang peliharaan kalian."
"Boggart bukan binatang," sahut Jenna marah. "Dan
dia juga bukan milik kami. Dia makhluk rawa. Dia bukan
kepunyaan siapa-siapa."
"Oh." Si Murid menyadari bahwa dirinya telah
berbuat kesalahan. Dia kembali ke siasatnya semula.
"Aku minta maaf. Aku... aku hanya... sangat
ketakutan."
Sikap Jenna melunak.
"Kita tidak bisa meninggalkannya tergeletak di papan
itu," katanya pada Nicko.
"Kenapa tidak?" sahut Nicko, "paling-paling hanya
mencemarkan Mott."
"Sebaiknya kita bawa dia ke dalam," kata Jenna.
"Ayo, bantu. aku."
Mereka menolong si Murid berdiri dari papan tadi,
lalu setengah digendong dan setengah dipapah melewati
jalan kecil menuju pondok.
"Wah, lihat apa yang dibawa kucing," adalah
komentar Bibi Zelda ketika Nicko dan Jenna mengempaskan
http://facebook.com/indonesiapustaka

bocah itu ke lantai di depan perapian, hingga membangunkan


Bocah 412 yang masih setengah mengantuk.
Bocah 412 berdiri, lalu menyingkir. Dia tadi melihat
kedipan Magyk Gelap ketika si Murid masuk.
Si Murid duduk dengan wajah pucat dan gemetaran
di samping perapian. Dia kelihatan sakit.

~420~
"Awasi dia baik-baik, Nicko," kata Bibi Zelda. "Aku
akan buatkan minuman panas untuknya."
Bibi Zelda kembali membawa satu mug teh kamomil
dan kol. Wajah si Murid bersungut-sungut, tapi dia meminum
teh itu sampai habis. Setidaknya minuman itu panas.
Setelah dia menghabiskannya, Bibi Zelda berkata
kepadanya, "Kurasa sebaiknya kaukatakan pada kami,
mengapa kau kemari. Atau lebih tepatnya, sebaiknya
kaukatakan pada Madam Marcia. Marcia, kita kedatangan
tamu."
Marcia berada di pintu, baru saja kembali dari jalan-
jalan pagi mengelilingi pulau, sebagian untuk melihat apa
yang terjadi dengan kapal Vengeance, tapi terutama hanya
untuk merasakan udara sejuk musim semi dan bahkan yang
lebih nikmat lagi, merasakan kebebasan. Meski tubuh Marcia
semakin kurus setelah lima minggu di penjara dan masih ada
bayangan hitam di bawah matanya, dia tampak jauh lebih
baik dibandingkan tadi malam. Jubah sutra ungu dan
tuniknya segar dan bersih, berkat Mantra Lima-Menit
SangatBersih yang diharapkannya bisa menyingkirkan sisa-
sisa Magyk Gelap. Magyk Gelap selalu saja lengket, dan
Marcia harus bekerja keras membersihkannya. Sabuknya
berkilau setelah diberi Pemoles Asli dan di lehernya
menggantung Jimat Akhu. Marcia merasa senang. Dia sudah
mendapatkan kekuatan Magyk-nya kembali, sekali lagi dia
adalah Penyihir LuarBiasa, dan dunia berjalan sebagaimana
mestinya.
http://facebook.com/indonesiapustaka

Kecuali masalah dengan sepatu karet ini.


Marcia menendang alas kaki hina itu ke pintu dan
mengintip masuk ke dalam pondok, yang jadi tampak suram
setelah tadi dia berada di bawah sinar matahari musim semi
yang cerah. Di dekat perapian rasanya lebih gelap lagi, dan
baru sejenak kemudian Marcia mengenali siapa persisnya

~421~
yang duduk di situ. Ketika menyadari siapa orang itu,
ekspresi wajahnya menjadi tidak ramah.
"Ah, tikus dari kapal yang karam," hardiknya.
Si Murid diam saja. Dia memandang Marcia dengan
sikap gelisah, bola matanya yang hitam pekat memandang
lekat-lekat Jimat di leher Marcia.
"Jangan ada yang berani menyentuh anak itu,"
Marcia memperingatkan.
Jenna terkejut dengan nada suara Marcia, tapi dia
menyingkir dari si Murid, begitu pula dengan Nicko. Bocah
412 berjalan menghampiri Marcia.
Si Murid ditinggal sendirian di dekat perapian. Dia
membalikkan badan untuk menghadapi lingkaran orang-
orang yang tidak menyukainya. Seharusnya kejadiannya
tidak seperti ini. Mereka seharusnya merasa iba kepadanya.
Sang Ratu saja merasa iba kepadanya. Dia sudah berhasil
mengambil hati sang Ratu. Dan si Penyihir Putih yang gila itu.
Nasibnya tidak beruntung karena ternyata mantan Penyihir
LuarBiasa itu ikut campur. Dia mengerutkan dahi dengan
sikap frustrasi.
Jenna menatap si Murid. Entah mengapa, bocah itu
kelihatan berbeda, tapi Jenna tidak tahu apanya yang
berbeda. Dibayangkannya malam mengerikan yang dialami
bocah itu di kapal. Diseret ke Lumpur Isap oleh ratusan
Brownies yang menjerit-jerit sudah pasti bakal membuat
siapa pun ketakutan seperti bocah itu.
Tapi Marcia tahu mengapa bocah itu kelihatan
http://facebook.com/indonesiapustaka

berbeda. Saat berjalan-jalan pagi di sekitar pulau itu, dia


melihat apa sebabnya, dan pemandangan itu membuatnya
tidak bernafsu lagi untuk makan pagi, meski, sejujurnya,
sarapan pagi buatan Bibi Zelda memang sama sekali tidak
membangkitkan selera.
Maka ketika tiba-tiba si Murid melompat berdiri dan

~422~
berlari ke arah Marcia dengan kedua tangan terjulur, siap
menyambar lehernya, Marcia sudah siap menyambutnya.
Direnggutnya jari-jemari si Murid dari Jimat itu, lalu
dilemparnya si Murid ke luar pintu dengan GunturKilat yang
menggelegar.
Bocah itu terjengkang, tidak sadarkan diri di atas
jalan setapak.
Semua orang mengerumuninya.
Bibi Zelda terkejut. "Marcia," gumamnya. "Kurasa
kau sudah keterlaluan. Dia mungkin anak yang paling tidak
menyenangkan yang pernah kutemui, tapi dia tetap hanya
seorang bocah."
"Tidak juga," adalah jawaban kejam dari Marcia.
"Dan aku belum selesai. Semuanya, tolong mundur."
"Tapi," bisik Jenna, "dia adik kami."
"Kurasa bukan," sahut Marcia dengan tegas.
Bibi Zelda menaruh tangannya di lengan Marcia.
"Marcia. Aku tahu kau marah. Kau memang berhak marah
setelah menjadi tawanan, tapi kau tidak boleh
melampiaskannya pada seorang anak."
"Aku tidak melampiaskannya pada seorang anak,
Zelda. Seharusnya kau lebih tahu. Ini bukanlah anak-anak. Ini
DomDaniel."
"Apa?"
"Lagi pula, Zelda, aku bukanlah Necromancer," kata
Marcia padanya. "Aku tidak akan pernah membunuh.
Yang bisa kulakukan hanyalah mengembalikannya
http://facebook.com/indonesiapustaka

ke tempatnya semula, saat dia melakukan hal mengerikan


ini-untuk memastikan dia tidak mengambil keuntungan dari
apa yang telah dilakukannya."
"Tidak!" teriak DomDaniel yang mengambil wujud si
Murid.
Dia mencaci maki, dan suara aslinya pun muncul.

~423~
DomDaniel berusaha bangkit. Dia tak percaya bahwa
rencana untuk mengambil kembali Jimat itu gagal. Dia sudah
berhasil mengelabui semua orang. Mereka sudah
menolongnya karena rasa iba yang salah alamat, dan mereka
pasti akan merawatnya, sampai dia menemukan waktu yang
tepat untuk mengambil kembali Jimat itu. Dan kemudian...
ah, betapa keadaannya bakal sangat berbeda. Dengan putus
asa dia mencoba untuk terakhir kalinya. Dia berlutut.
"Tolonglah," mohonnya. "Kalian salah paham. Ini
hanya aku. Aku bukanlah..."
"Enyahlah!" perintah Marcia padanya.
"Tidak!" jeritnya.
Tapi Marcia melanjutkannya:
Enyahlah
Kembali ke tempat asalmu,
Ke waktu asalmu,
Bentuk asalmu!
Maka menghilanglah bocah itu, kembali ke kapal
Vengeance, terkubur dalam-dalam di relung gelap lumpur
beserta endapannya.
Bibi Zelda kelihatan marah. Dia masih tidak percaya
bahwa si Murid tadi sebenarnya adalah DomDaniel. "Itu
perbuatan kejam, Marcia," katanya. "Bocah malang."
"Bocah malang apanya," bentak Marcia. "Ada sesuatu
yang harus kaulihat."
http://facebook.com/indonesiapustaka

~424~
47. SI MURID
Mereka berjalan dengan langkah tergesa-gesa, Marcia
berjalan sebisa mungkin di depan mereka dengan memakai
sepatu karet. Bibi Zelda harus berlari-lari kecil agar tidak
ketinggalan. Raut wajahnya tampak gugup saat memahami
kehancuran yang diakibatkan oleh banjir. Lumpur, rumput
laut, dan kotoran di mana-mana. Kelihatannya tidak terlalu
parah di bawah sinar bulan tadi malam, lagi pula dia merasa
sangat lega melihat semuanya benar-benar masih hidup,
sehingga sedikit lumut dan kekacauan tidaklah terlalu
berarti. Tapi di bawah sinar matahari pagi yang
memperlihatkan semuanya dengan jelas, kelihatannya sangat
menyedihkan. Tiba-tiba dia berseru panik.
"Kapal ayamnya hilang! Ayam-ayamku, ayam-ayam
kecilku yang malang!"
"Ada banyak hal yang lebih penting dibandingkan
ayam," seru Marcia, sambil melangkah dengan mantap.
"Kelinci-kelincinya!" ratap Bibi Zelda, tiba-tiba sadar
bahwa liang-liangnya pasti sudah tersapu habis. "Kelinci-
kelinciku yang malang, semuanya mati."
"Oh, diamlah, Zelda!" bentak Marcia kesal.
Bukan untuk pertama kalinya Bibi Zelda menganggap
Marcia terlalu cepat kembali ke Menara Penyihir. Marcia
berjalan di depan, bak peniup seruling ungu yang siap sedia
berbaris melintasi lumpur, memimpin Jenna, Nicko, Bocah
412, dan Bibi Zelda yang terengah-engah ke suatu tempat di
http://facebook.com/indonesiapustaka

samping Mott, tepat di bawah kandang bebek.


Ketika mereka sudah hampir sampai di tujuan,
Marcia berhenti, membalikkan tubuh, dan berkata, "Nah, aku
hanya ingin mengatakan pada kalian, ini bukan
pemandangan yang bagus untuk disaksikan. Bahkan,
barangkali hanya Zelda yang perlu melihatnya. Aku tidak

~425~
ingin memberikan mimpi buruk pada kalian."
"Kami sudah mengalaminya," seru Jenna. "Aku tidak
tahu apa yang bisa lebih buruk daripada mimpi burukku tadi
malam."
Bocah 412 dan Nicko mengangguk setuju. Mereka
berdua tidak bisa tidur nyenyak tadi malam.
"Baiklah, kalau begitu," ujar Marcia. Dia melangkah
dengan hati-hati menginjak lumpur di belakang kandang
bebek, lalu berhenti di dekat Mott. "Inilah yang kutemukan
tadi pagi."
"Eurgh!" Jenna menutupi wajah dengan kedua
tangan.
"Oh, oh, oh," Bibi Zelda terengah.
Bocah 412 dan Nicko terdiam. Mereka merasa mual.
Tiba-tiba Nicko menghilang ke ujung Mott dan muntah.
Tergeletak di rumput berlumpur di samping Mott
adalah sesuatu yang kalau dilihat pertama kali kelihatannya
seperti karung hijau yang kosong. Dilihat untuk kedua kali,
kelihatannya seperti orang-orangan sawah aneh yang tidak
ada isinya. Tapi dilihat untuk ketiga kalinya, yang hanya bisa
dilakukan Jenna dengan mengintip melalui celah jemarinya
yang menutupi mata, jelas sekali apa yang tergeletak di
hadapan mereka.
Tubuh kosong si Murid.
Seperti balon yang kempes, si Murid tergeletak, tanpa
nyawa. Kulitnya yang kosong, masih mengenakan jubah
basah dan bernoda garam, tergeletak di atas lumpur, dibuang
http://facebook.com/indonesiapustaka

seperti kulit pisang.


"Ini," ujar Marcia, "adalah si Murid yang sebenarnya.
Aku menemukannya tadi pagi, saat berjalan-jalan. Itulah
sebabnya aku yakin sekali bahwa si 'Murid' yang kalian
dudukkan di dekat perapian adalah penipu."
"Apa yang terjadi padanya?" bisik Jenna.

~426~
"Dia Diserap Habis. Sihir lama dan amat sangat jahat.
Berasal dari arsip-arsip Rahasia," tutur Marcia dengan sedih.
"Necromancer zaman dulu selalu melakukannya."
"Tak adakah yang bisa kita lakukan untuk menolong
anak itu?" tanya Bibi Zelda.
"Aku takut sudah terlambat," jawab Marcia. "Kini dia
tak lebih dari bayangan. Pada tengah hari nanti, dia akan
menghilang."
Bibi Zelda mendengus. "Dia menjalani hidup yang
sulit, anak malang. Direnggut dari keluarganya dan menjadi
Murid pria jahat itu. Aku tidak tahu apa yang akan dikatakan
Sarah dan Silas saat mereka mendengar tentang hal ini.
Mengerikan sekali. Septimus yang malang."
"Aku tahu," Marcia sependapat. "Tapi tidak ada yang
bisa kita lakukan untuknya sekarang."
"Well, aku akan menemaninya-apa pun yang masih
tersisa dari dirinya-sampai dia menghilang," gumam Bibi
Zelda.
Rombongan yang kini terdiam itu, minus Bibi Zelda,
berjalan kembali ke pondok, masing-masing disibukkan
dengan pikirannya sendiri. Bibi Zelda kembali sebentar, lalu
menghilang ke balik lemari Ramuan Labil dan Racun
Istimewa sebelum kembali ke kandang bebek, orang-orang
menghabiskan sisa pagi itu tanpa suara, membersihkan
lumpur dan membereskan pondok. Bocah 412 lega begitu
melihat batu hijau yang diberikan Jenna kepadanya tidak
disentuh Brownies. Batu itu masih berada di tempat dia
http://facebook.com/indonesiapustaka

menaruhnya, tertutup rapat oleh selimutnya, di sudut hangat


di samping perapian.
Sore harinya, setelah berhasil membujuk kambing
turun dari atap-atau yang masih tersisa dari atap-mereka
memutuskan untuk membawa Maxie berjalan-jalan di rawa.
Begitu mereka pergi, Marcia memanggil Bocah 412, "Bisakah

~427~
kau membantuku melakukan sesuatu, kumohon?"
Bocah 412 memang senang sekali tidak ikut berjalan-
jalan. Meski kini sudah terbiasa dengan Maxie, dia masih
belum benar-benar senang ditemani anjing itu. Dia tidak
pernah bisa memahami, mengapa Maxie bisa tiba-tiba
melompat lalu menjilat wajahnya, dan melihat hidung Maxie
yang hitam berkilau dan mulutnya yang mengeluarkan air
liur selalu membuatnya bergidik. Seberapa pun kerasnya dia
berusaha, dia tetap tidak mengerti apa tujuan mempunyai
anjing. Maka Bocah 412 dengan gembira melepas Jenna dan
Nicko pergi ke rawa, lalu masuk ke dalam untuk menemui
Marcia.
Marcia duduk di dekat meja kecil milik Bibi Zelda.
Bocah 412 memerhatikan bahwa semua pena dan buku
catatan milik Bibi Zelda dibuang ke lantai, kecuali beberapa
yang sedang Diubah dengan sibuknya oleh Marcia menjadi
peralatan tulis yang lebih bagus, untuk dipakainya sendiri.
Dia melakukan ini dengan kesadaran penuh, karena benda-
benda itu memiliki tujuan Magykal yang sudah pasti-
setidaknya Marcia berharap benda-benda itu bakal
memilikinya-bila semuanya berjalan seperti yang
direncanakannya.
"Ah, di situ kau rupanya," kata Marcia dengan nada
sok penting yang selalu membuat Bocah 412 merasa dia
sudah melakukan kesalahan. Marcia melemparkan sebuah
buku tua kotor ke atas meja di depannya.
"Apa warna kesukaanmu?" Tanya Marcia. "Biru?
http://facebook.com/indonesiapustaka

Atau merah? Kukira mungkin merah, kalau melihat kau


belum juga melepaskan topi merah jelek itu sejak kau datang
kemari.
Bocah 412 kaget bukan kepalang. Belum pernah ada
orang yang menanyakan warna kesukaannya. Lagi pula, dia
juga tidak yakin dirinya tahu warna kesukaannya. Kemudian

~428~
diingatnya warna biru yang indah di bagian dalam Kapal
Naga.
"Em, biru. Biru tua atau semacamnya."
"Ah, ya. Aku juga suka itu. Dengan beberapa bintang
emas, bagaimana?"
"Ya. Em, itu bagus."
Marcia melambaikan tangan di atas buku di
depannya dan menggumamkan sesuatu. Terdengar gemerisik
keras kertas ketika semua halamannya membolak-balik
sendiri. Halaman-halaman itu membuang catatan-catatan
dan corat-coret Bibi Zelda, dan juga resep kol rebus, dan
berubah sendiri menjadi kertas baru, halus, dan berwarna
krem, sempurna untuk ditulisi. Kemudian mereka mengikat
sendiri dengan kulit berwarna lapis-lazuli, lengkap dengan
bintang-bintang emas asli dan punggung buku berwarna
ungu yang menunjukkan bahwa buku catatan harian itu
milik Murid Penyihir LuarBiasa. Sebagai sentuhan akhir,
Marcia menambahkan penjepit terbuat dari emas murni dan
sebuah kunci perak kecil.
Dibukanya buku itu untuk memeriksa apakah
mantranya berhasil semuanya. Marcia gembira melihat
halaman pertama dan terakhir buku itu berwarna merah
terang, sama persis dengan warna topi Bocah 412. Pada
halaman pertama tertulis kata-kata: BUKU HARIAN MURID.

"Nah," kata Marcia, sambil menutup buku dengan
tepukan puas dan memutar kunci perak untuk menguncinya.
http://facebook.com/indonesiapustaka

"Buku ini kelihatan bagus, bukan?"


"Ya," sahut Bocah 412, kebingungan. Mengapa
Marcia bertanya kepadanya?
Marcia menatap mata Bocah 412 lekat-lekat.
"Sekarang," katanya, "Aku punya sesuatu yang harus
kukembalikan kepadamu-cincinmu. Terima kasih. Aku akan

~429~
selalu mengingat semua yang pernah kaulakukan untukku."
Marcia mengambil cincin itu dari saku di sabuk dan
menaruhnya dengan hati-hati di atas meja. Hanya melihat
cincin naga emas bergulung di atas meja dengan ekor terjepit
di mulutnya dan mata batu zamrudnya berkilauan sudah
membuat Bocah 412 merasa sangat bahagia. Tapi karena
suatu alasan, dia ragu-ragu untuk mengambilnya. Dia merasa
masih ada hal lain yang ingin dikatakan Marcia. Dan ternyata
benar.
"Di mana kau mendapatkan cincin itu?"
Segera saja Bocah 412 merasa bersalah. Jadi, dia
memang telah berbuat salah. Ternyata selama ini itulah
masalahnya.
"Aku... aku menemukannya."
"Di mana?"
"Aku terjatuh ke dalam terowongan. Kau tahu,
terowongan yang menuju Kapal Naga. Hanya saja saat itu aku
belum tahu. Keadaannya gelap saat itu. Aku tidak bisa
melihat. Lalu kutemukan cincin ini."
"Kau memakai cincin ini?"
"Well, ya."
"Lalu apa yang terjadi?"
"Cincin itu... cincin itu menyala. Jadi, aku bisa melihat
tempat aku berada."
"Dan cincin itu pas dengan jarimu?"
"Tidak. Yah, awalnya tidak. Tapi kemudian pas.
Cincin itu mengecil."
http://facebook.com/indonesiapustaka

"Ah. Kukira cincin itu tidak melantunkan semacam


nyanyian, kan?"
Bocah 412 sedari tadi menatap lekat-lekat kakinya
sampai detik ini. Namun ketika dia mendongak menatap
Marcia, tampak binar-binar senyuman dalam tatapan mata
Penyihir LuarBiasa itu. Apakah Marcia sedang

~430~
mempermainkannya?
"Ya. Saat mengecil, cincin itu memang melantunkan
nyanyian."
Marcia sedang berpikir. Diam tak mengeluarkan
sepatah kata pun, begitu lama hingga Bocah 412 merasa dia
yang harus bicara.
"Apakah kau kesal padaku?"
"Mengapa aku harus kesal padamu?" sahut Marcia.
"Karena aku mengambil cincin itu. Cincin itu milik
sang naga, kan?"
"Bukan, cincin itu milik Tuan sang Naga." Marcia
tersenyum.
Bocah 412 sekarang merasa cemas. Siapa itu Tuan
sang Naga? Apakah nanti dia marah? Apakah tubuhnya
besar? Apa yang bakal dilakukan orang itu sewaktu
mengetahui kalau ia yang mengambil cincinnya?
"Bisakah kau...," tanyanya ragu-ragu, "bisakah kau
mengembalikannya kepada Tuan sang Naga itu? Dan
mengatakan padanya aku minta maaf karena sudah
mengambilnya?" Didorongnya cincin itu ke ujung meja, ke
dekat Marcia.
"Baiklah," ujar Marcia tenang, sambil mengambil
cincin itu. "Aku akan mengembalikannya kepada Tuan sang
Naga."
Bocah 412 menghela napas. Dia sangat menyukai
cincin itu, dan berada di dekatnya saja sudah membuatnya
merasa bahagia, tapi dia tidak terkejut mendengar bahwa
http://facebook.com/indonesiapustaka

cincin itu milik orang lain. Cincin itu terlalu indah untuknya.
Marcia menatap Cincin Naga selama beberapa saat.
Kemudian diulurkannya kepada Bocah 412.
"Ini"-dia tersenyum-"adalah cincinmu."
Bocah 412 menatap marcia dengan tatapan
keheranan.

~431~
"Kaulah Tuan sang Naga," tutur Marcia. "Ini
cincinmu. Oh, ya, dan orang yang mengambilnya bilang
untuk mengatakan padamu bahwa dia minta maaf."
Bocah 412 tidak mampu berkata-kata. Dia
memandangi cincin yang tergeletak di telapak tangannya.
Cincin itu miliknya.
"Kaulah Tuan sang Naga," Marcia mengulangi
perkataannya, "karena cincin itu memilihmu. Cincin itu tidak
bernyanyi kepada sembarang orang. Dan pada jarimulah
cincin itu memilih untuk pas dipakai, bukan di jariku."
"Kenapa?" desah Bocah 412. "Kenapa aku?"
"Kau memiliki kekuatan Magyk yang luar biasa. Aku
pernah mengatakan itu padamu. Mungkin sekarang kau
percaya padaku." Marcia tersenyum.
"Aku... aku kira kekuatan itu berasal dari cincin itu."
"Tidak. Kekuatan itu berasal dari dirimu. Jangan lupa,
Kapal Naga mengenalimu bahkan tanpa cincin itu. Dia tahu.
Ingat, cincin itu terakhir kali dipakai oleh Hotep-Ra, Penyihir
LuarBiasa yang pertama. Cincin itu sudah menunggu sekian
lama untuk menemukan orang seperti dirinya."
"Tapi itu karena cincin itu tersembunyi di
terowongan rahasia selama ratusan tahun."
"Tidak juga," ujar Marcia dengan misterius. "Segala
sesuatu biasanya berjalan dengan sendirinya."
Bocah 412 mulai berpikir bahwa Marcia memang
benar.
"Jadi, jawabannya masih tidak?" "Tidak?" Tanya
http://facebook.com/indonesiapustaka

Bocah 412.
"Untuk menjadi Murid-ku. Seperti yang waktu itu
kukatakan, kalau kau berubah pikiran? Maukah kau menjadi
Murid-ku? Kumohon?"
Bocah 412 merogoh saku baju hangatnya, dan
mengeluarkan Jimat yang diberikan Marcia padanya ketika

~432~
pertama kali memintanya menjadi Murid-nya. Dia
memandangi sepasang sayap perak mungilnya. Sepasang
sayap itu berkilauan begitu terang, dan kata-kata yang
tertera di sayapnya masih tetap, TERBANG BEBAS
BERSAMAKU.
Si MURID 547 Bocah 412 tersenyum.
"Ya," jawabnya. "Aku mau menjadi Murid-mu. Mau
sekali."
http://facebook.com/indonesiapustaka

~433~
48. MAKAN MALAM MURID
Tidak mudah untuk membawa si Murid kembali.
Namun Bibi Zelda berhasil melakukannya. Tetesan Drastis
dan Salep Darurat miliknya bisa bereaksi, tapi tidak lama; tak
lama kemudian si Murid mulai menghilang lagi. Saat itulah
dia memutuskan hanya ada satu cara untuk mengatasinya:
Kekuatan Volt.
Menggunakan Kekuatan Volt agak berisiko, karena
Bibi Zelda sudah memodifikasi ramuan itu dari resep Gelap
yang ditemukannya di loteng ketika dia baru pindah. Dia
sama sekali tidak tahu bagaimana bagian Gelap itu bisa
bekerja, tapi instingnya mengatakan mungkin inilah yang
dibutuhkannya. Sedikit sentuhan Kuasa Jahat. Dengan agak
gemetar, Bibi Zelda membuka tutupnya. Sinar biru-putih
terang melesat keluar dari botol kaca cokelat kecil itu dan
nyaris membutakan matanya. Bibi Zelda menunggu hingga
bintik-bintik akibat silau menghilang dari matanya,
kemudian dengan hati-hati dia menuangkan sedikit jel biru
elektrik itu ke lidah si Murid. Disilangkannya jarinya,
berharap usahanya berhasil-satu hal yang tidak dilakukan
sembarangan oleh Penyihir Putih-lalu dia menahan napas.
Selama satu menit. Tiba-tiba si Murid duduk, menatap
dengan mata terbelalak lebar hingga Bibi Zelda hanya bisa
melihat bagian putih bola matanya, menarik napas dalam-
dalam, lalu berbaring di atas jerami, meringkuk, dan tertidur.
Kekuatan Volt bekerja, tapi Bibi Zelda tahu ada
http://facebook.com/indonesiapustaka

sesuatu yang harus dilakukannya sebelum anak itu benar-


benar pulih. Dia harus Membebaskan si Murid dari
cengkeraman Guru-nya. Maka Bibi Zelda duduk di dekat
kolam bebek, dan saat matahari terbenam dan bulan
purnama berwarna jingga tua baru muncul di kaki langit
Rawa-Rawa Marram yang luas, Bibi Zelda membaca

~434~
permukaan air sebentar. Ada satu atau dua hal yang ingin
diketahuinya.
Malam tiba dan bulan sudah tinggi di langit. Bibi
Zelda berjalan pulang perlahan-lahan, meninggalkan si Murid
yang tertidur lelap. Dia tahu anak itu bakal tertidur selama
berhari-hari sebelum bisa dipindahkan dari kandang bebek.
Bibi Zelda juga tahu anak itu akan tinggal bersamanya untuk
sementara waktu. Sudah waktunya dia mengurus anak lain
yang butuh pertolongan, karena kini Bocah 412 sudah pulih.
Dengan bola mata birunya yang berkilauan dalam
gelap, Bibi Zelda menyusuri jalan setapak sepanjang Mott,
asyik memikirkan citra-citra yang dilihatnya di kolam bebek,
mencoba memahami maknanya. Begitu asyiknya dia
memikirkan hal itu, hingga dia tidak mengangkat kepala
sampai hampir tiba di dermaga di depan pondok. Dia tidak
suka dengan pemandangan di depannya.
Mott itu, pikir Bibi Zelda kesal, berantakan sekali.
Terlalu banyak kapal yang membuat tempat ini porak
poranda. Seolah-olah kano tengik si Pemburu dan Muriel
Dua yang tua dan usang itu belum cukup membuat keadaan
lebih buruk, kini di seberang jembatan diparkir sebuah
perahu nelayan bobrok berisi hantu tua yang sama
bobroknya.
Bibi Zelda berjalan cepat menghampiri hantu itu dan
bicara kepadanya dengan sangat keras dan sangat perlahan,
dalam suara yang selalu dikeluarkannya saat berbicara
dengan hantu. Terutama hantu yang sudah tua. Hantu tua itu
http://facebook.com/indonesiapustaka

ternyata bersikap luar biasa sopan kepada Bibi Zelda,


mengingat wanita itu baru saja membangunkannya dengan
pertanyaan yang sangat kasar.
"Tidak, Madam," sahutnya dengan sopan. "Aku minta
maaf karena mengecewakan Anda. Aku bukanlah salah satu
pelaut tua jahat yang berasal dari kapal jahat itu. Aku, atau

~435~
lebih tepatnya, dulu aku adalah Alther Mella, Penyihir
LuarBiasa. Siap melayani Anda, Madam."
"Benarkah?" tanya Bibi Zelda. "Kau sama sekali tidak
kelihatan seperti yang kubayangkan."
"Aku menganggap itu sebagai pujian," ujar Alther
dengan sopan. "Maafkan sikap kasarku karena tidak turun
dari perahu untuk memberi salam pada Anda, tapi aku harus
tetap berada di perahu tua kesayanganku Molly, atau kalau
tidak aku akan Dikembalikan. Tapi senang bertemu dengan
Anda, Madam. Aku kira Anda adalah Zelda Heap."
"Zelda!" seru Silas dari pondok.
Bibi Zelda menengok ke pondok, bingung. Semua
lentera dan lilin menyala, dan pondok sepertinya penuh
orang.
"Silas?" teriaknya. "Apa yang kaulakukan di sini?"
"Tetaplah di sana," teriaknya. "Jangan masuk. Kami
akan keluar sebentar lagi!" Silas menghilang masuk ke
pondok, dan Bibi Zelda mendengarnya berkata, "Jangan,
Marcia. Aku sudah menyuruhnya untuk tetap berada di luar.
Lagi pula aku yakin Zelda tidak akan bermimpi untuk ikut
campur. Tidak, aku tidak tahu apakah kolnya masih ada atau
tidak. Lagi pula mengapa kau menginginkan sepuluh kol?"
Bibi Zelda berpaling kepada Alther, yang tengah
bersantai dengan nyaman di bagian belakang perahu
nelayan. "Mengapa aku tidak boleh masuk?" tanyanya. "Ada
apa? Bagaimana Silas bisa sampai kemari?"
"Ceritanya panjang, Zelda," sahut si hantu.
http://facebook.com/indonesiapustaka

"Sekalian saja kauceritakan padaku," ujar Bibi Zelda,


"karena kurasa yang lainnya juga tidak mau
menceritakannya padaku. Mereka sepertinya terlalu sibuk
menjarah persediaan kol milikku."
"Baiklah," kata Alther, "suatu hari aku berada di
kamar DomDaniel melakukan sesuatu, eh, urusan, sewaktu si

~436~
Pemburu datang dan mengatakan padanya bahwa dia sudah
tahu di mana kalian semua berada. Aku tahu kalian aman
sementara Musim Salju Dahsyat berlangsung, namun ketika
Salju Mencair, aku sudah mengira kalian bakal mendapat
masalah. Ternyata aku benar. Segera setelah Salju Mencair,
DomDaniel melesat pergi ke Sungai Suram dan menjemput
kapalnya yang menakutkan itu, siap membawa si Pemburu
untuk datang kemari. Aku mengatur agar temanku Alice di
Pelabuhan menyiapkan kapal dan menunggu untuk
membawa kalian semua ke suatu tempat aman. Silas
bersikeras bahwa semua anggota keluarga Heap harus ikut,
maka kutawarkan Molly padanya untuk pergi ke Pelabuhan.
Jannit Maarten menyiapkan Molly di pangkalan kapal, tapi
Silas membawanya ke perairan. Jannit tidak terlalu senang
dengan keadaan Molly saat itu, tapi kami tidak bisa
menunggu saja selama kapal itu diperbaiki. Kami berhenti di
Hutan dan menjemput Sarah; dia marah sekali karena tak
satu pun anak-anak yang mau ikut. Kami berangkat tanpa
mereka, dan kami baik-baik saja sampai timbul masalah
teknis kecil-sebenarnya masalah teknis besar. Silas
menjejakkan kakinya ke dasar perahu sampai tembus.
Sementara kami memperbaikinya, kami disusul oleh kapal
Vengeance. Sebenarnya beruntung kami tidak terlihat. Sarah
marah sekali dengan kejadian itu-dia mengira kami semua
bakal tamat. Dan kemudian, sebagai puncaknya, kami
terjebak di tengah Badai dan terseret sampai ke rawa-rawa.
Bukan salah satu perjalananku yang menyenangkan bersama
http://facebook.com/indonesiapustaka

Molly. Tapi di sinilah kami, dan sementara kami hanya


kerepotan di atas satu perahu, kau sendiri sepertinya
berhasil membereskan semuanya dengan hasil sangat
memuaskan."
"Kecuali lumpur itu," gerutu Bibi Zelda.
"Tentu saja," Alther setuju. "Tapi dari pengalamanku,

~437~
Magyk Gelap memang selalu meninggalkan semacam
kotoran. Bisa lebih buruk lagi."
Bibi Zelda tidak menjawab. Perhatiannya agak
teralihkan oleh keributan yang berasal dari pondok. Tiba-
tiba kedengaran suara benturan keras, diikuti oleh suara-
suara orang berteriak.
"Alther, ada apa itu?" tanya Bibi Zelda. "Aku cuma
pergi beberapa jam saja, dan waktu aku pulang aku
menemukan orang-orang berpesta pora, tapi aku bahkan
tidak boleh masuk ke rumahku sendiri. Menurutku, kali ini
Marcia sudah sangat keterlaluan."
"Itu Makan Malam Murid," ujar Alther. "Untuk bocah
Laskar Pemuda itu. Dia baru saja menjadi Murid Marcia."
"Benarkah? Itu kabar yang sangat bagus," kata Bibi
Zelda, wajahnya mulai ceria. "Bahkan kabar yang sempurna.
Tapi tahukah kau, aku selalu berharap dia memang mau
menjadi Murid Marcia."
"Benarkah?" tanya Alther, mulai bersikap hangat
kepada Bibi Zelda. "Aku juga berharap begitu."
"Tetap saja," Bibi Zelda menghela napas, "Aku lebih
suka acara makan malamnya tidak berisik seperti ini. Aku
punya kacang polong dan belut rebus yang enak untuk
rencana menu makan malam yang tenang."
"Makan Malam Murid harus diadakan malam ini,
Zelda," kata Alther. "Harus diadakan pada hari si Murid
menerima tawaran si Penyihir. Kalau tidak, kontrak antara si
Penyihir dan si Murid tidak berlaku. Dan kau tidak bisa
http://facebook.com/indonesiapustaka

membuat kontrak itu lagi-kau hanya punya satu kali


kesempatan. Tidak ada makan malam, maka tidak ada
kontrak, tidak ada Murid."
"Oh, aku tahu," sahut Bibi Zelda gembira.
"Ketika Marcia masih menjadi Murid-ku," kenang
Alther, "aku ingat kami mengadakan malam yang

~438~
menyenangkan. Semua Penyihir hadir di sana, dan kala itu
jumlahnya juga lebih banyak. Makan malam itu menjadi
bahan pembicaraan kami selama bertahun-tahun
sesudahnya. Kami mengadakannya di Aula Menara Penyihir-
kau pernah ke sana, Zelda?"
Bibi Zelda menggeleng. Menara Penyihir merupakan
tempat yang ingin sekali dikunjunginya, namun ketika Silas
menjadi Murid Alther, dia terlalu sibuk mengambil alih tugas
sebagai Penjaga Kapal Naga dari Penyihir Putih sebelumnya,
Betty Crackle, yang telah membiarkan keadaan menjadi agak
terbengkalai.
"Ah, yah, berharap saja kau bisa melihatnya suatu
hari nanti. Tempat yang sangat indah," ujarnya, mengenang
kemewahan dan Magyk yang mengelilingi mereka semua
waktu itu. Agak sedikit berbeda, pikir Alther, dari pesta
seadanya di samping perahu nelayan.
"Well, aku sangat berharap Marcia bakal pulang
secepatnya," kata Bibi Zelda. "Karena kini kami semua sudah
berhasil menyingkirkan DomDaniel yang jahat itu."
"Kau tahu, dulu aku Murid orang jahat itu," Alther
melanjutkan, "dan yang kudapatkan untuk Makan Malam
Murid-ku hanyalah roti isi keju. Bisa kubilang padamu, Zelda,
penyesalanku memakan roti isi keju itu melebihi hal lain
yang pernah kulakukan seumur hidupku. Makanan itu
membuatku terikat pada orang itu selama bertahun-tahun."
"Sampai kau mendorongnya jatuh dari Menara
Penyihir. Bibi Zelda tergelak.
http://facebook.com/indonesiapustaka

"Aku tidak mendorongnya. Dia melompat," protes


Alther. Sekali lagi.
"Well, baguslah untukmu, apa pun yang terjadi," kata
Bibi Zelda, yang perhatiannya teralihkan oleh celotehan
suara-suara gembira yang berasal dari pintu dan jendela
pondok yang terbuka. Di tengah-tengah keributan itu

~439~
terdengar suara Marcia dengan nada memerintah:
"Jangan, biar Sarah yang mengambil itu, Silas. Kau
pasti akan membuatnya terjatuh."
"Well, kalau begitu taruh saja, kalau memang sepanas
itu."
"Hati-hati dengan sepatuku, ya! Dan ya ampun,
singkirkan anjing itu."
"Bebek sialan. Selalu dekat-dekat kakiku. Uuh,
apakah itu kotoran bebek yang barusan kuinjak?"
Dan akhirnya: "Dan sekarang tolong, aku ingin
Muridku berjalan di depan."
Bocah 412 keluar pintu sambil memegang lentera.
Diikuti oleh Silas dan Simon, yang menggotong meja dan
kursi-kursi, lalu Sarah dan Jenna yang membawa berbagai
peralatan makan, piring, gelas, botol, dan Nicko yang
membawa keranjang berisi tumpukan sepuluh kol. Dia tidak
tahu mengapa dia membawa sekeranjang kol, dan dia juga
tidak akan bertanya. Belum apa-apa dia sudah menginjak
sepatu kulit ular piton baru milik Marcia (sangat mustahil
Marcia mau memakai sepatu karet untuk Makan Malam
Murid-nya), dan berusaha untuk tidak dekat-dekat Marcia.
Marcia mengikuti, pelan-pelan melangkahi lumpur,
membawa Buku Harian Murid warna biru dari kulit yang
Dibuatnya untuk Bocah 412.
Begitu rombongan keluar dari pondok, gumpalan
awan terakhir mulai menghilang dan bulan bertengger tinggi
di langit, menjatuhkan sinar keperakan di atas rombongan
http://facebook.com/indonesiapustaka

itu saat mereka berjalan ke dermaga. Silas dan Simon


menaruh meja di samping perahu Alther, Molly, dan
mengalasinya dengan kain putih lebar, kemudian Marcia
mengarahkan bagaimana semuanya harus ditata. Nicko
harus menaruh keranjang berisi kol di tengah meja, tepat di
tempat yang disuruh Marcia.

~440~
Marcia bertepuk tangan meminta semuanya diam.
"Ini adalah," katanya, "malam yang penting bagi kita
semua, dan aku ingin menyambut Murid-ku."
Semuanya bertepuk tangan dengan sopan.
"Aku bukan orang yang biasa bicara panjang-lebar,"
lanjut Marcia.
"Bukan begitu yang kuingat," bisik Alther pada Bibi
Zelda, yang duduk di sampingnya di perahu, agar Alther tidak
merasa terasing dari pesta. Bibi Zelda menyenggolkan
sikutnya dengan bercanda, sesaat lupa bahwa Alther adalah
hantu, dan tangannya menembus badan Alther, sikunya
menabrak tiang Molly.
"Aww!" pekik Bibi Zelda. "Oh, maaf, Marcia. Silakan
lanjutkan."
"Terima kasih, Zelda, akan kulanjutkan. Aku hanya
ingin menyampaikan bahwa aku sudah menghabiskan waktu
sepuluh tahun mencari Murid, dan meski aku sudah bertemu
dengan banyak Kandidat, belum pernah aku menemukan
yang kucari, sampai saat ini."
Marcia berpaling ke arah Bocah 412, lalu tersenyum.
"Oleh karena itu, terima kasih atas kesediaanmu menjadi
Murid-ku selama tujuh tahun satu hari ke depan. Terima
kasih banyak. Kita berdua akan menghabiskan waktu yang
menyenangkan bersama-sama."
Bocah 412, yang duduk di sebelah Marcia, wajahnya
bersemu merah saat Marcia memberikan Buku Harian Murid
kepadanya. Dipegangnya buku harian itu erat-erat dengan
http://facebook.com/indonesiapustaka

kedua tangannya yang kotor, hingga meninggalkan bekas


telapak tangannya di sampul kulit biru; bekas itu tidak akan
pernah hilang, dan akan selalu mengingatkannya pada malam
yang telah mengubah hidupnya selamanya.
"Nicko," kata Marcia, "tolong bagikan kolnya."
Nicko memandang Marcia, ekspresinya seperti kalau

~441~
dia menatap Maxie yang habis berbuat salah. Tapi Nicko
tidak mengatakan apa-apa. Diambilnya keranjang berisi kol
itu, lalu dia berkeliling meja dan mulai membagikan kolnya.
"Eh, terima kasih Nicko," kata Silas saat mengambil
kol yang diberikan, lalu memegangnya dengan kikuk,
bertanya-tanya apa yang harus dilakukannya dengan kol itu.
"Jangan!" hardik Marcia. "Jangan berikan pada
mereka. Taruh kolnya di atas piring."
Nicko memandang Marcia dengan tatapan untuk
Maxie lagi (kali ini tatapan yang menyiratkan kuharap-kau-
tidak-buang-kotoran-di sana), lalu cepat-cepat menaruh kol
di setiap piring.
Sewaktu semua, termasuk Maxie, sudah
mendapatkan kol, Marcia mengangkat tangan, meminta
semua diam.
"Ini makan malam sesuka-hati. Tiap kol Dipersiapkan
untuk Berubah dengan sendirinya menjadi makanan apa pun
yang ingin kalian makan. Taruh saja tangan kalian di atas kol,
lalu putuskan makanan apa yang kalian inginkan.
Suasana menjadi gaduh ketika semua orang
memutuskan apa yang ingin mereka makan dan Mengubah
kol mereka.
"Sungguh perbuatan kriminal, menyia-nyiakan kol
yang enak," bisik Bibi Zelda pada Alther. "Kalau aku, aku
akan minta kaserol kol saja."
"Karena sekarang kalian semua sudah memutuskan,"
seru Marcia di tengah keriuhan, "ada satu hal lagi yang harus
http://facebook.com/indonesiapustaka

disampaikan."
"Cepatlah, Marcia!" seru Silas. "Pai ikanku sudah
mulai dingin."
Marcia menatap Silas dengan mengernyitkan dahi.
"Sudah menjadi tradisi," lanjut Marcia, "bahwa
sebagai balasan atas waktu selama tujuh tahun satu hari

~442~
dalam hidup si Murid yang ditawarkan kepada Penyihir,
maka si Penyihir juga menawarkan sesuatu kepada si
Murid." Marcia menengok ke Bocah 412, yang duduk hampir
tidak kelihatan di balik sepiring besar belut rebus dan belut
goreng tepung, persis seperti yang selalu dimasak Bibi Zelda.
"Apa yang kauinginkan dariku?" tanya Marcia
padanya. "Minta apa saja yang kauinginkan. Aku akan
berusaha semampuku memberikannya untukmu."
Bocah 412 menatap piringnya. Lalu menatap semua
orang yang mengelilinginya, dan berpikir betapa hidupnya
sudah banyak berubah sejak dia bertemu mereka. Dia
merasa sangat bahagia, hingga sebenarnya tidak ada lagi
yang diinginkannya. Kecuali satu hal. Satu hal yang begitu
penting dan mustahil, hingga dia sendiri hampir-hampir
terlalu takut memikirkannya.
"Apa saja yang kauinginkan," ujar Marcia lembut.
"Apa saja."
Bocah 412 menelan ludah.
"Aku ingin," katanya pelan, "tahu siapa diriku."
http://facebook.com/indonesiapustaka

~443~
49. SEPTIMUS HEAP
Tanpa ada yang memerhatikan, di cerobong asap
Pondok Penjaga, bertengger seekor burung petrel badai.
Burung itu terbawa angin kemarin malam dan menyaksikan
Makan Malam Murid dengan antusias. Dan kini, dengan
perasaan sayang diperhatikannya Bibi Zelda baru akan
melakukan sesuatu yang dianggap burung itu sebagai bakat
istimewa wanita itu.
"Malam yang sempurna untuk melakukannya," kata
Bibi Zelda sewaktu berdiri di jembatan di atas Mott. "Bulan
purnama malam ini sangat indah, dan aku belum pernah
melihat Mott begitu tenang. Jembatannya cukup untuk
semuanya? Geser sedikit, Marcia, dan beri tempat untuk
Simon."
Simon kelihatannya tidak ingin diberi tempat.
"Oh, jangan hiraukan aku," gumamnya. "Mengapa
menghentikan kebiasaan yang sudah lama?"
"Kau bilang apa, Simon?" tanya Silas.
"Tidak apa-apa."
"Biarkan dia, Silas," ujar Sarah. "Belakangan ini dia
mengalami masa-masa sulit."
"Kami semua juga mengalami masa-masa sulit
belakangan ini, Sarah. Tapi kami tidak terus-terusan
mengeluh."
Bibi Zelda mengetuk-ngetuk pegangan jembatan
dengan kesal.
http://facebook.com/indonesiapustaka

"Kalau kalian semua sudah selesai bertengkar, aku


ingin mengingatkan bahwa kita akan mencoba menjawab
satu pertanyaan penting. Setuju, semuanya?"
Silas turun bergabung dengan kerumunan itu.
Bersama Bibi Zelda, Bocah 412, Sarah, Silas, Marcia, Jenna,
Nicko, dan Simon semuanya berdesakan ke jembatan kecil

~444~
yang menghubungkan Mott. Di belakang mereka, Kapal Naga
mengangkat kepalanya tinggi-tinggi dan melengkung di atas
mereka, mata hijaunya menatap lekat-lekat pantulan cahaya
bulan berenang-renang di permukaan Mott yang tenang.
Di depan mereka, didorong sedikit ke belakang agar
pantulan cahaya bulan bisa terlihat, adalah Molly dengan
Alther duduk di bagian buritannya, mengamati kejadian itu
dengan antusias.
Simon memisahkan diri di pinggir jembatan. Dia
tidak mengerti kenapa semua orang mesti ribut-ribut. Siapa
yang peduli dari mana bocah Laskar Pemuda itu berasal?
Terutama bocah Laskar Pemuda yang sudah merampas
mimpinya selama ini. Dia sama sekali tak peduli mengenai
asal-usul Bocah 412. Maka, sewaktu Bibi Zelda mulai
memanggil bulan, Simon dengan sengaja membalikkan
badan.
"Wahai Bulan, Wahai Bulan," ujar Bibi Zelda lembut,
"Tunjukkan pada kami, bila kau berkenan, keluarga Bocah
412 dari Laskar Pemuda."
Sama seperti sebelumnya di kolam bebek, pantulan
sinar bulan mulai membesar, sampai sebuah bulatan putih
besar memenuhi Mott. Awalnya, bayang-bayang samar mulai
muncul di dalam lingkaran; perlahan bayang-bayang itu
semakin jelas, sampai semua orang yang menyaksikan
melihat... pantulan mereka sendiri.
Terdengar gumaman kecewa dari semua orang,
kecuali Marcia, yang memperhatikan sesuatu yang tidak
http://facebook.com/indonesiapustaka

dilihat oleh yang lainnya, dan dari Bocah 412, yang suaranya
sepertinya mendadak tidak berfungsi. Jantungnya berdebar
begitu kencang hingga serasa ingin melompat keluar, dan
kakinya seakan bisa berubah menjadi sup lobak setiap saat.
Dia menyesal telah meminta untuk melihat siapa dirinya
sebenarnya. Sebenarnya dia tidak sepenuhnya ingin tahu.

~445~
Bagaimana kalau keluarganya mengerikan? Bagaimana kalau
mereka adalah Laskar Pemuda, seperti yang diberitahukan
kepadanya selama ini? Bagaimana kalau orangtuanya adalah
DomDaniel? Tepat ketika dia ingin mengatakan pada Bibi
Zelda bahwa dia berubah pikiran, bahwa dia tidak peduli lagi
siapa dirinya sebenarnya, Bibi Zelda angkat bicara.
"Segala sesuatunya," Bibi Zelda mengingatkan semua
orang di jembatan, "tidaklah selalu seperti kelihatannya.
Ingat, bulan selalu memperlihatkan kebenaran pada kita.
Bagaimana kita melihat kebenarannya, tergantung pada kita,
bukan pada bulan."
Dia berpaling kepada Bocah 412, yang berdiri di
sampingnya. "Katakan padaku," pintanya pada Bocah 412,
"apa yang benar-benar ingin kau lihat?"
Jawaban yang diberikan Bocah 412 bukanlah
jawaban yang diharapkannya.
Aku ingin melihat ibuku, bisiknya.
"Wahai Bulan, Wahai Bulan," kata Bibi Zelda lembut,
"perlihatkan pada kami, bila kau berkenan, ibu Bocah 412
dari Laskar Pemuda."
Cakram putih bulan memenuhi Mott. Sekali lagi,
bayang-bayang samar mulai muncul sampai mereka
melihat... pantulan bayangan mereka sendiri, lagi. Terdengar
gerutuan protes, tapi dengan cepat berhenti. Sesuatu yang
berbeda terjadi. Satu demi satu, orang-orang mulai
menghilang dari pantulan itu.
Bocah 412 sendiri menghilang. Kemudian Simon,
http://facebook.com/indonesiapustaka

Jenna, Nicko, dan Silas juga menghilang. Kemudian bayangan


Marcia menghilang, diikuti bayangan Bibi Zelda.
Tiba-tiba Sarah Heap mendapati dirinya menatap
pantulan bayangannya sendiri, menunggu bayangannya
menghilang seperti yang lainnya. Tapi pantulan itu tidak
menghilang. Justru makin lama makin jelas terlihat, sampai

~446~
Sarah Heap berdiri sendirian di tengah cakram putih
rembulan. Semua bisa melihat bahwa bayangan itu bukan
lagi merupakan pantulan. Itulah jawabannya.
Bocah 412 menatap bayangan Sarah, tertegun.
Bagaimana mungkin Sarah Heap adalah ibunya? Bagaimana?
Sarah mendongak dari Mott dan menatap Bocah 412.
"Septimus?" katanya setengah berbisik. Ada sesuatu
yang ingin diperlihatkan Bibi Zelda pada Sarah.
"Wahai Bulan, Wahai Bulan," kata Bibi Zelda,
"perlihatkan pada kami, bila kau berkenan, putra ketujuh
dari Sarah dan Silas Heap. Perlihatkan pada kami Septimus
Heap."
Perlahan bayangan Sarah Heap menghilang dan
digantikan dengan... Bocah 412.
Semua orang terkesiap, bahkan Marcia, yang sudah
bisa menebak siapa sebenarnya Bocah 412 beberapa menit
sebelumnya. Hanya dia yang memperhatikan bayangannya
menghilang dari pantulan bayangan keluarga Bocah 412.
"Septimus?" Sarah berlutut di sebelah Bocah 412 dan
memandanginya dengan tatapan penuh tanda tanya. Mata
Bocah 412 menatap mata Sarah, dan Sarah berkata, "Kau
tahu, aku benar-benar percaya matamu mulai berubah
menjadi hijau, persis seperti mata ayahmu. Dan mataku. Dan
mata kakak-kakakmu."
"Benarkah?" tanya Bocah 412. "Sungguh?"
Sarah mengulurkan tangan dan menyentuh topi
merah Septimus.
http://facebook.com/indonesiapustaka

"Apakah kau keberatan kalau aku melepaskan benda


ini?" tanyanya.
Bocah 412 menggeleng. Itulah gunanya seorang ibu.
Untuk membetulkan topimu.
Dengan lembut Sarah mengangkat topi Bocah 412
untuk pertama kalinya sejak Marcia menjejalkan topi itu ke

~447~
kepalanya di pondok milik Sally Mullin. Jumbaian rambut
keriting berwarna kuning jerami mencuat sewaktu Septimus
menggoyang-goyangkan kepalanya, seperti seekor anjing
menggoyang-goyangkan badan untuk mengeringkan diri dan
seorang anak menggoyang-goyangkan melepaskan
kehidupan lamanya, ketakutan lamanya, dan nama lamanya.
Dia berubah menjadi dirinya yang sebenarnya.
Septimus Heap.
http://facebook.com/indonesiapustaka

~448~
APA YANG DILIHAT BIBI ZELDA DI KOLAM BEBEK
Kita kembali ke kamar bayi Laskar Pemuda.
Di tengah keremangan kamar bayi, Ibu Bidan
menaruh bayi Septimus di sebuah ranjang bayi, lalu duduk
dengan gelisah. Dia terus saja melirik cemas ke pintu, seolah
tengah menanti seseorang datang. Tidak ada yang datang.
Satu atau dua menit kemudian dia bangkit dari
kursinya dan berjalan menuju ranjang bayi, tempat bayinya
sendiri sedang menangis, dan mengangkatnya. Saat itulah
pintu terbanting terbuka, dan si Ibu Bidan membalikkan
badan, wajahnya pucat pasi ketakutan.
Seorang wanita bertubuh jangkung berdiri di ambang
pintu. Di atas jubah hitamnya yang licin, dia memakai
celemek putih perawat, tapi di pinggangnya melingkar sabuk
berwarna merah darah memperlihatkan tiga bintang hitam
DomDaniel.
Dia datang menjemput Septimus Heap.
Perawat itu datang terlambat. Dia tersesat dalam
perjalanannya menuju kamar bayi, dan kini dia gugup dan
ketakutan. DomDaniel tidak mentolerir keterlambatan.
Perawat itu melihat Ibu Bidan menggendong bayi, persis
seperti yang dikatakan kepadanya. Dia tidak tahu si Ibu
Bidan sedang menggendong bayinya sendiri, dan bahwa
Septimus heap masih tertidur di ranjang bayi, dalam bayang-
bayang temaram kamar bayi. Si Perawat berlari menuju Ibu
Bidan dan mengambil bayi itu. Ibu Bidan protes, berusaha
http://facebook.com/indonesiapustaka

merebut bayinya dari si Perawat, namun keputusasaannya


tidak sebanding dengan tekad si Perawat untuk segera
kembali ke perahu bertepatan waktunya dengan datangnya
arus pasang.
Si Perawat yang lebih tinggi dan lebih muda menang.
Dibungkusnya bayi itu dengan kain merah panjang

~449~
berhiaskan tiga bintang hitam dan dia berlari keluar, diikuti
oleh Ibu Bidan yang menjerit-jerit dan kini tahu apa yang
dirasakan oleh Sarah Heap hanya beberapa jam yang lalu. Ibu
Bidan terpaksa berhenti mengejar di pintu barak, sebab si
Perawat memamerkan tiga bintang miliknya dan
memerintahkan agar Ibu Bidan ditangkap oleh penjaga.
Perawat itu menghilang ke dalam gelapnya malam, dengan
penuh kemenangan membawa pergi bayi Ibu Bidan kepada
DomDaniel.
Kembali ke kamar bayi, wanita tua yang seharusnya
menjaga bayi terbangun. Terbatuk dan tersengal-sengal, dia
bangkit dan membuat empat botol susu di malam itu, untuk
bayi-bayi yang dirawatnya. Masing-masing satu botol untuk
bayi kembar tiga-Bocah 409, 410, dan 411-41n satu lagi
untuk anggota baru Laskar Pemuda, Septimus Heap yang
baru berusia sebelas jam, ditakdirkan dikenal selama sepuluh
tahun ke depan sebagai Bocah 412.
Bibi Zelda menghela napas. Ini seperti yang sudah
diduganya. Lalu dimintanya bulan untuk mengikuti anak si
Ibu Bidan. Ada satu hal lagi yang harus diketahuinya.
Si Perawat tiba di perahu tepat pada waktunya.
Sesuatu berdiri di bagian belakang perahu dan mengayuh
perahu itu melintasi sungai dengan menggunakan cara lama
nelayan, hanya dengan satu dayung. Di seberang sungai,
wanita itu bertemu seorang penunggang kuda Gelap,
menunggang seekor kuda hitam besar. Ditariknya si Perawat
dan bayi itu ke belakangnya, lalu berderaplah dia ke dalam
http://facebook.com/indonesiapustaka

gelapnya malam. Mereka berdua menghadapi perjalanan


panjang dan sulit.
Sewaktu tiba di sarang DomDaniel di celah bebatuan
keras dan tua di Badlands, bayi Ibu Bidan menjerit-jerit dan
kepala si Perawat terasa sakit sekali. DomDaniel menunggu
untuk melihat hadiahnya, yang dikiranya adalah Septimus

~450~
Heap, putra ketujuh dari putra ketujuh. Murid yang
diimpikan setiap Penyihir dan Necromancer. Murid yang
bakal memberinya kekuatan untuk mengembalikan dirinya
ke Kastil dan mengambil kembali apa yang menjadi miliknya.
DomDaniel menatap bayi yang menangis itu dengan
perasaan jijik. Tangisan si bayi membuat kepalanya pusing
dan telinganya berdenging. Bayi ini besar sekali untuk
ukuran bayi yang baru lahir, pikir DomDaniel, dan bayi yang
jelek pula. Dia sangat tidak menyukainya. Sang Necromancer
kelihatan kecewa dengan bayi itu lalu menyuruh si Perawat
membawanya pergi.
Si Perawat menaruh bayi itu di ranjang bayi yang
sudah menanti, lalu pergi tidur. Dia juga merasa terlalu lemah
untuk bisa bangun keesokan harinya, dan tidak ada orang
yang mau bersusah-payah memberi makan putra Ibu Bidan
sampai keesokan malamnya. Tidak ada Makan Malam Murid
bagi Murid yang satu ini,
Bibi Zelda duduk di dekat kolam bebek dan
tersenyum. Si Murid sudah terbebas dari sang Guru Jahat.
Septimus Heap masih hidup, dan telah menemukan
keluarganya. Sang Putri selamat. Dia ingat sesuatu yang
sering dikatakan Marcia: segala sesuatu biasanya berjalan
dengan sendirinya. Pada akhirnya.
SETELAH ITU...
Apa yang terjadi pada...
Gringe Si Penjaga Gerbang
Gringe tetap menjadi Penjaga Gerbang Utara selama
http://facebook.com/indonesiapustaka

semua perubahan besar yang terjadi di Kastil. Meski lebih


suka melompat ke dalam tong besar berisi minyak mendidih
ketimbang mengakuinya, Gringe mencintai pekerjaannya,
dan pekerjaan itu memberikan rumah yang aman bagi
keluarganya di rumah jaga, setelah bertahun-tahun mereka
hidup susah di balik dinding Kastil. Hari ketika Marcia

~451~
memberinya uang setengah crown ternyata menjadi hari
yang penting bagi Gringe. Hari itu, untuk pertama kali dan
satu-satunya, Gringe menyimpan sebagian uang pungutan
jembatan-uang setengah crown dari Marcia, lebih tepatnya.
Ada sesuatu pada kepingan perak padat tebal yang tergeletak
hangat dan berat di telapak tangannya itu, yang membuatnya
enggan memasukkannya ke dalam kotak iuran. Maka
dimasukannya uang itu ke dalam sakunya, sambil berkata
dalam hati bahwa dia akan menambahkannya pada
keuntungan yang didapatnya malam itu. Namun Gringe tidak
sanggup memaksa dirinya berpisah dengan kepingan uang
setengah crown itu. Maka uang setengah crown itu berada di
dalam sakunya selama berbulan-bulan, sampai Gringe mulai
menganggap uang itu sebagai miliknya.
Dan uang setengah crown itu bakal terus berada di
situ kalau bukan karena pengumuman yang ditemukan
Gringe dipaku di Jembatan Utara pada suatu pagi yang
dingin, hampir satu tahun kemudian:
MAKLUMAT WAJIB MILITER LASKAR PEMUDA
SEMUA ANAK LAKI-LAKI
BERUSIA SEBELAS SAMPAI ENAM BELAS TAHUN YANG
BELUM MAGANG PADA BIDANG YANG DIAKUI HARUS
MELAPOR KE BARAK LASKAR PEMUDA PADA PUKUL 0600
BESOK
Gringe merasa mual. Putranya, Rupert, baru saja
merayakan ulang tahunnya yang kesebelas kemarin. Mrs.
Gringe histeris ketika melihat pengumuman itu. Gringe juga
http://facebook.com/indonesiapustaka

merasa histeris, tapi ketika melihat wajah Rupert pucat pasi


sewaktu membaca pengumuman itu, diputuskannya untuk
tetap tenang. Dia merogohkan tangan ke sakunya dan
berpikir. Lalu ketika, karena sudah kebiasaan, tangannya
menggenggam uang setengah crown dari Marcia, Gringe tahu
dia sudah mendapatkan jawabannya.

~452~
Segera setelah pangkalan kapal dibuka pagi itu,
mereka memiliki seorang Murid baru: Rupert Gringe, yang
ayahnya baru saja menjamin masa magang selama tujuh
tahun dengan Jannit Maarten, seorang pembuat kapal
penangkap ikan herring, dengan pembayaran uang muka
sebesar setengah crown.
IBU BIDAN
Setelah Ibu Bidan ditangkap, dia dibawa ke Rumah
Sakit Kastil bagi Orang-orang Frustrasi dan Mental
Terganggu karena pikirannya yang kacau dan terobsesi
dengan bayinya yang diculik. Maka keadaannya dianggap
tidak sehat untuk menjadi Bidan lagi. Setelah menghabiskan
waktu beberapa tahun di sana, dia diperbolehkan pergi
karena Rumah Sakit itu sudah terlalu penuh. Orang-orang
yang frustrasi dan menderita gangguan mental meningkat
pesat jumlahnya sejak Wali Utama mengambil alih Kastil, dan
Ibu Bidan sekarang ini dianggap tidak cukup frustrasi
maupun menderita gangguan mental untuk menghuni tempat
itu. Oleh karena itu Agnes Meredith, mantan Ibu Bidan, kini
menjadi pemulung pengangguran; dia mengemasi tas-tasnya
yang banyak jumlahnya, lalu berangkat mencari putranya
yang hilang, Merrin.
PELAYAN MALAM
Pelayan Malam Wali Utama dijebloskan ke sel bawah
tanah setelah menjatuhkan Mahkota hingga membuatnya
semakin penyok. Satu minggu kemudian dia dibebaskan
secara tidak sengaja dan pergi ke dapur Istana, bekerja
http://facebook.com/indonesiapustaka

sebagai pengupas kentang. Pekerjaan tersebut dilakukannya


dengan ahli, dan dengan segera dia naik jabatan menjadi
kepala pengupas kentang. Dia menikmati pekerjaannya.
Tidak ada orang yang keberatan kalau dia menjatuhkan
kentang.
HAKIM ALICE NETTLES

~453~
Alice Nettles pertama kali berjumpa Alther ketika
masih bekerja sebagai pengacara magang di Pengadilan
Kastil. Alther belum menjadi Murid DomDaniel ketika itu,
tapi Alice sudah tahu bahwa Alther orang yang istimewa.
Bahkan setelah Alther menjadi Penyihir LuarBiasa dan
banyak dibicarakan sebagai "murid kejam yang mendorong
Guru-nya dari Menara," Alice tetap saja menemuinya. Dia
tahu Alther tidak sampai hati membunuh makhluk hidup apa
pun, bahkan semut yang menjengkelkan. Tak lama setelah
Alther menjadi Penyihir LuarBiasa, Alice meraih ambisinya
menjadi hakim. Tak lama, karier mereka yang berbeda mulai
membuat Alther dan Alice sibuk, dan mereka tidak bertemu
sesering yang mereka inginkan, sesuatu yang selalu disesali
Alice.
Alice merasa terpukul dua kali lipat ketika, dalam
jangka waktu beberapa hari, para Wali tidak hanya
membunuh sahabat terbaik yang pernah dimilikinya, tapi
juga merenggut kerja kerasnya ketika mereka melarang
wanita hadir di Gedung Pengadilan. Alice meninggalkan
Kastil, lalu pergi untuk tinggal bersama kakaknya di
Pelabuhan. Setelah beberapa waktu, dia berhasil pulih dari
kesedihannya atas kematian Alther, dan sanggup menerima
pekerjaan sebagai penasihat hukum di Gedung Pabean.
Saat itu, usai seharian penuh berhadapan dengan
masalah rumit yang melibatkan unta selundupan dan sirkus
keliling, Alice pergi ke Kedai Jangkar Biru sebelum pulang ke
rumah kakaknya. Di sanalah, dengan sangat gembira,
http://facebook.com/indonesiapustaka

akhirnya dia bertemu hantu Alther Mella.


PEMBUNUH BAYARAN
Si Pembunuh Bayaran kehilangan seluruh ingatannya
setelah dihantam GunturKilat Marcia. Dia juga menderita
luka bakar cukup parah. Sewaktu si Pemburu mengambil
pistol dari si Pembunuh Bayaran, ditinggalkannya wanita itu

~454~
tergeletak di tempat dia menemukannya, tidak sadarkan diri
di atas karpet milik Marcia. DomDaniel memerintahkan agar
wanita itu dilempar ke luar saat salju turun, tapi kemudian
dia ditemukan oleh para penyapu jalanan yang tugas malam,
dan dibawa ke Penginapan Biarawati. Dia akhirnya berhasil
pulih dan tinggal di Penginapan itu, bekerja sebagai pesuruh.
Dia beruntung, ingatannya tidak pernah kembali.
LINDA LANE
Linda Lane diberi identitas baru, lalu pindah ke
kamar-kamar mewah yang menghadap ke sungai, sebagai
hadiah baginya karena menemukan sang Putri. Namun
demikian, beberapa bulan kemudian dia dikenali oleh
keluarga salah satu korbannya yang sebelumnya, dan pada
suatu larut malam, ketika sedang duduk di balkon dengan
segelas anggur kesukaannya yang disediakan oleh Wali
Utama, Linda Lane didorong dan terjatuh ke sungai yang
mengalir deras. Dia tidak pernah ditemukan.

PELAYAN DAPUR TERMUDA


Setelah Pelayan Dapur yang paling muda mulai
bermimpi buruk tentang serigala, tidurnya menjadi semakin
terganggu hingga sering kali dia tertidur saat bekerja. Suatu
hari dia tertidur ketika seharusnya dia memutar tusuk
pemanggang daging, dan semua daging domba
panggangannya terbakar; tindakan sigap kepala pengupas
kentanglah yang menyelamatkannya dari nasib sama dengan
domba yang dipanggangnya. Si Pelayan Dapur yang paling
http://facebook.com/indonesiapustaka

muda itu diturunkan jabatannya menjadi asisten pengupas


kentang, namun tiga minggu kemudian dia melarikan diri
bersama si kepala pengupas kentang untuk memulai hidup
yang lebih baik di Pelabuhan.
LIMA PEDAGANG DARI UTARA
Setelah keluar tergesa-gesa dari Kedai Teh dan Bir

~455~
milik Sally Mullin, kelima Pedagang dari Utara melewatkan
malam itu di kapal mereka, mengemasi barang dagangan dan
bersiap pergi pada arus pasang keesokan paginya. Mereka
pernah terperangkap dalam perubahan pemerintah yang
tidak menyenangkan, dan tidak ingin tinggal lebih lama dan
melihat apa yang terjadi kali ini. Dari pengalaman para
Pedagang, kejadian seperti itu selalu merupakan bisnis kotor.
Ketika berlayar melewati sisa-sisa Kedai Teh dan Bir Sally
Mullin yang mengepulkan asap, mereka tahu perkiraan
mereka benar. Tapi mereka tidak terlalu memikirkan Sally
saat mereka pergi menyusuri sungai, merencanakan
perjalanan ke arah selatan untuk menghindari Musim Salju
Dahsyat dan menyongsong iklim yang lebih hangat di Negeri
Nun Jauh. Para Pedagang dari Utara pernah melihat
semuanya, dan tidak ragu lagi bahwa mereka akan
melihatnya lagi.

BOCAK PENCUCI PIRING


Bocah Pencuci Piring yang dipekerjakan Sally Mullin
yakin Kedai Teh dan Bir terbakar habis karena kesalahannya.
Dia yakin telah meninggalkan handuk pengelap teh yang
dikeringkan terlalu dekat dengan perapian, seperti pernah
dilakukannya. Tapi dia tidak membiarkan masalah ini
mengganggu pikirannya lama-lama. Bocah Pencuci Piring
percaya bahwa setiap rintangan adalah kesempatan yang
tersamar. Maka dibangunnya sebuah kedai kecil beroda, dan
setiap hari dia mendorong kedainya ke barak Pengawal Wali,
http://facebook.com/indonesiapustaka

menjual pai daging dan sosis kepada para Pengawal. Isi pai
dan sosisnya bervariasi dan tergantung pada apa yang bisa
ditemukannya, tapi dia bekerja keras, membuat pai sampai
larut malam, dan berdagang setiap harinya. Jika orang-orang
mulai menyadari kucing dan anjing mereka menghilang
dalam jumlah mengejutkan, tidak ada yang berpikir untuk

~456~
mengaitkannya dengan kemunculan tiba-tiba kedai pai
daging milik si Bocah Pencuci Piring. Dan ketika sederetan
Pengawal Wali berjatuhan karena keracunan makanan, Koki
Kantin baraklah yang disalahkan. Bocah Pencuci Piring
semakin makmur dan tidak pernah, sama sekali tidak pernah,
memakan pai daging dan sosis buatannya sendiri.

RUPERT GRINGE
Rupert Gringe merupakan Murid terbaik yang pernah
dimiliki Jannit Maarten. Jannit membuat kapal penangkap
ikan herring berventilasi sempit, yang bisa menangkap ikan
di perairan dekat pantai dan menjaring sekawanan ikan
herring dengan mengejarnya sampai ke tepian berpasir, tepat
di luar Pelabuhan. Nelayan mana pun yang memiliki kapal
penangkap ikan herring buatan Jannit Maarten pasti bisa
mendapatkan banyak ikan. Segera Rupert Gringe dikenal luas
sebagai pembuat kapal yang hebat. Kalau Rupert Gringe yang
membuat kapalmu, kau beruntung-kapalnya bakal
mengapung tenang di permukaan air dan melaju cepat
bersama angin. Jannit bisa mengenali bakat saat melihatnya,
dan dia segera mempercayai Rupert untuk bekerja sendiri.
Kapal pertama yang dibuat sendiri oleh Rupert adalah
Muriel. Kapal itu dicat hijau tua seperti warna air sungai di
kedalaman, dan diberinya layar merah tua seperti matahari
tenggelam pada akhir musim panas di atas laut.
LUCY GRINGE
Lucy Gringe bertemu Simon di pelajaran dance
http://facebook.com/indonesiapustaka

(dansa) untuk muda-mudi ketika mereka berusia empat


belas tahun. Mrs. Gringe mengirim Lucy ikut kelas itu agar
menjauhkannya dari masalah selama musim panas. (Simon
ikut pelajaran itu karena tidak sengaja. Silas, yang tidak
begitu mahir membaca dan sering kali keliru membaca
huruf-huruf, mengira itu pelajaran Trance-Kera-sukan-dan

~457~
membuat kesalahan dengan mengatakannya pada Sarah pada
suatu malam. Simon menguping, dan setelah berdebat
panjang, Silas mendaftarkannya ikut pelajaran itu.)
Lucy sangat suka pada Simon yang bertekad menjadi
pedansa terbaik dalam pelajaran itu, seperti juga tekad
Simon untuk menjadi yang terbaik dalam segalanya. Lucy
menyukai mata hijau Penyihir-nya dan rambut pirang
keritingnya. Simon sama sekali tidak tahu mengapa tiba-tiba
dia menyukai seorang gadis, tapi entah mengapa dia
mendapati dirinya tidak bisa berhenti memikirkan Lucy.
Simon dan Lucy terus saling bertemu kapan saja mereka
sempat, tapi tetap melakukannya dengan diam-diam. Mereka
tahu keluarga mereka tidak akan menyetujuinya.
Hari ketika Lucy melarikan diri untuk menikah
dengan Simon Heap merupakan hari terbaik sekaligus
terburuk dalam hidupnya. Hari terbaik sampai para
Pengawal menghambur masuk ke Kapel dan membawa
Simon pergi. Setelah itu Lucy tidak peduli apa yang terjadi
pada dirinya. Gringe datang dan membawanya pulang.
Gringe mengunci putrinya di puncak menara rumah jaga
untuk mencegahnya melarikan diri dan memohon agar
putrinya melupakan Simon Heap. Lucy menolak dan tidak
ingin bicara sama sekali pada ayahnya. Gringe sedih sekali.
Dia hanya melakukan apa yang menurutnya terbaik bagi
putrinya.
SERDADU SERANGGA MILIK JENNA
Ketika mantan kaki seribu itu jatuh dari DomDaniel,
http://facebook.com/indonesiapustaka

serangga itu mental dan mendarat di bagian atas sebuah tong.


Tong itu terhanyut ketika kapal Vengeance terseret sampai
ke Lumpur Isap. Tong itu mengapung sampai ke Pelabuhan,
dan terdampar di kota pantai itu. Serdadu Serangga itu
mengeringkan sayap dan terbang ke lapangan terdekat,
tempat sebuah sirkus keliling baru saja tiba.

~458~
Entah apa sebabnya, serangga itu tidak terlalu suka
pada badut yang tidak pernah menyakiti siapa-siapa, dan dia
membuat penonton sangat senang setiap malam, ketika
serangga itu mengejar si badut keliling arena.
PERENANG DAN KAPAL AYAM
Kedua perenang yang dilempar dari kapal Vengeance
beruntung masih hidup. Jake dan Barry Parfitt, yang oleh ibu
mereka dipaksa belajar berenang sebelum menjadi awak
kapal, bukanlah perenang-perenang yang kuat, dan mereka
hanya bisa berusaha menjaga kepala mereka tetap berada di
atas permukaan air sewaktu badai mengamuk. Ketika
mereka mulai kehilangan harapan, Barry melihat sebuah
kapal nelayan yang datang menghampiri. Walau-pun
kelihatannya tidak ada orang di kapal nelayan itu, ternyata
ada tangga kapal aneh yang menggelantung dari dermaga.
Dengan sisa-sisa tenaga, Jake dan Barry menaiki tangga kapal
itu, lalu pingsan di atas geladak, dan mereka mendapati diri
mereka dikelilingi ayam-ayam. Tapi mereka tidak peduli apa
yang mengelilingi mereka, asalkan itu bukan air.
Ketika air Rawa-Rawa Marram akhirnya surut, Jake,
Barry, dan ayam-ayam tadi berhenti di salah satu pulau
rawa. Mereka memutuskan untuk tetap tinggal di sana,
menyingkir dari DomDaniel, dan tak lama kemudian
berkembang sebuah peternakan ayam beberapa mil jauhnya
dari Pulau Draggen.
TIKUS PEMBAWA PESAN
Stanley akhirnya diselamatkan dari penjara di bawah
http://facebook.com/indonesiapustaka

lantai papan Kamar Kecil Wanita oleh salah satu tikus tua
Biro Tikus yang mendengar apa yang terjadi padanya. Dia
menghabiskan beberapa waktu memulihkan diri di sarang
tikus, di puncak menara rumah jaga di Gerbang Timur,
tempat Lucy Gringe memberinya makan biskuit dan
mencurahkan semua masalahnya kepada Stanley. Menurut

~459~
pendapat Stanley, Lucy Gringe beruntung masih sempat
melarikan diri. Kalau ada yang bertanya pada Stanley, dia
akan bilang bahwa Penyihir pada umumnya, dan terutama
Penyihir bernama Heap, hanya bisa membuat masalah. Tapi
tidak pernah ada yang bertanya padanya.

http://facebook.com/indonesiapustaka

~460~
http://facebook.com/indonesiapustaka

~461~

Anda mungkin juga menyukai