Anda di halaman 1dari 54

KONSEP DASAR PENYAKIT DAN

ASUHAN KEPERAWATAN PADA PASIEN NEONATAL:


ASFIKSIA

MAKALAH

Oleh

Kelompok 2 / Kelas C

PROGRAM STUDI SARJANA KEPERAWATAN


FAKULTAS KEPERAWATAN
UNIVERSITAS JEMBER
2019
KONSEP DASAR PENYAKIT DAN
ASUHAN KEPERAWATAN PADA PASIEN NEONATAL:
ASFIKSIA

MAKALAH
disusun guna memenuhi tugas kelompok Mata Kuliah Keperawatan Anak
Dosen Pengampu: Ns. Peni Perdani Juliningrum, M. Kep.
NIP: 19870719 201504 2 002

Oleh

Kelompok 2 / Kelas C

Devita Nandasari NIM 172310101125


Viola Alvionita NIM 172310101146

PROGRAM STUDI SARJANA KEPERAWATAN


FAKULTAS KEPERAWATAN
UNIVERSITAS JEMBER
2019

ii
KATA PENGANTAR

Puji dan syukur kami panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa atas segala
limpahan rahmat, hidayah, dan inayah-Nya. Sehingga kami dapat menyelesaikan
tugas makalah kelompok mata kuliah Keperawatan Anak dengan baik.
Makalah ini telah kami susun dengan maksimal dan mendapatkan bantuan
dari berbagai pihak sehingga dapat memperlancar pembuatan makalah ini. Untuk
itu kami menyampaikan banyak terima kasih kepada semua pihak yang telah
berkontribusi dengan memberikan sumbangan baik materi maupun pikirannya
dalam pembuatan makalah ini.
Karena keterbatasan pengetahuan maupun pengalaman kami, kami
menyadari sepenuhnya bahwa masih ada kekurangan baik dari segi susunan
kalimat maupun tata bahasanya. Oleh karena itu kami sangat mengharapkan saran
dan kritik yang membangun dari pembaca supaya kami dapat memperbaiki bentuk
maupun menambah isi makalah agar menjadi lebih baik lagi.
Harapan kami semoga makalah ini dapat menambah pengetahuan dan
pengalaman bagi para pembaca. Serta dapat memberikan manfaat maupun
inspirasi terhadap pembaca.

Jember, 16 September 2019

Penyusun

iii
DAFTAR ISI

Halaman

HALAMAN SAMPUL ....................................................................................... i


HALAMAN JUDUL ......................................................................................... ii
KATA PENGANTAR ......................................................................................iii
DAFTAR ISI ..................................................................................................... iv
DAFTAR TABEL ............................................................................................ vi
DAFTAR GAMBAR ....................................................................................... vii
BAB 1. PENDAHULUAN ................................................................................ 1
1.1 Latar Belakang .......................................................................... 1
1.2 Tujuan ........................................................................................ 2
1.2.1 Tujuan Umum .................................................................... 2
1.2.2 Tujuan Khusus ................................................................... 2
1.3 Manfaat ...................................................................................... 2
1.3.1 Untuk Mahasiswa ............................................................... 2
1.3.2 Untuk Pembaca .................................................................. 3
BAB 2. STUDI LITERATUR .......................................................................... 4
2.1 Definisi Asfiksia ......................................................................... 4
2.2 Klasifikasi Asfiksia .................................................................... 4
2.3 Etiologi Asfiksia ......................................................................... 5
2.4 Patofisiologi Asfiksia ................................................................. 6
2.5 Faktor Resiko Asfiksia .............................................................. 7
2.6 Manisfestasi Klinis Asfiksia ...................................................... 9
2.7 Penatalaksanaan Asfiksia ....................................................... 10
BAB 3. ASUHAN KEPERAWATAN............................................................ 18
3.1 Kasus Asfiksia .......................................................................... 18
3.2 Pengkajian ................................................................................ 18
3.3 Diagnosa (NANDA) ................................................................. 21
3.4 Intervensi (NOC, NIC) ............................................................ 23

iv
BAB 4. PATHWAY ......................................................................................... 27
BAB 5. PENUTUP........................................................................................... 28
5.1 Simpulan ................................................................................... 28
5.2 Rekomendasi Isu Menarik ...................................................... 29
DAFTAR PUSTAKA ...................................................................................... 31
Lampiran

v
DAFTAR TABEL

Halaman
2.1 APGAR Score............................................................................................ 5
3.1 Analisa Data dan Masalah ....................................................................... 21
3.2 Intervensi (NOC, NIC) ............................................................................ 23

vi
DAFTAR GAMBAR

Halaman

2.1 Algoritma Resusitasi Neonatal ................................................................ 10


4.1 Pathways Asfiksia Neonatorum .............................................................. 27

vii
BAB 1. PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Kehamilan, persalinan dan menyusui anak merupakan proses alamiah
bagi kehidupan seorang ibu dalam usia produktif. Bila terjadi gangguan
dalam proses ini, baik itu gangguan fisiologis maupun psikologis dapat
menimbulkan efek yang buruk tidak hanya terhadap kesehatan ibu sendiri,
tetapi membahayakan bagi bayi yang dikandungnya, bahkan tidak jarang
menyebabkan kematian ibu (Prasetyawati, 2012).
Berdasarkan penelitian World Health Organization (WHO), di seluruh
dunia terdapat kematian ibu sebesar 500.000 jiwa per tahun dan kematian
bayi khususnya neonatus sebesar 10.000.000 jiwa pertahun. Kematian bayi
tersebut terjadi terutama di negara berkembang sebesar 99% (Manuaba,
2010).
Menurut laporan WHO dari 8 juta kematian bayi di dunia 48% adalah
kematian neonatal. Dari seluruh kematian neonatal, sekitar 60% merupakan
kematian bayi umur <7 hari yang disebabkan oleh gangguan perinatal yang
salah satunya adalah asfiksia. Di negara berkembang, 3% dari semua bayi
baru lahir (3,6 juta) mengalami asfiksia sedang atau berat. Dari jumlah
tersebut, sekitar 840.000 meninggal dan hampir dengan jumlah yang sama
mengalami akibat lebih lanjut (epilepsi, retardasi mental) serta kecacatan
pada manusia (Kantiandagho dan Kusmiyati, 2015).
Di Indonesia, dari seluruh kematian bayi sebanyak 57% meninggal
pada usia <1 bulan. Setiap 6 menit terdapat 1 bayi baru lahir (BBL) yang
meninggal. Penyebab kematian BBL di Indonesia adalah Bayi Berat Lahir
Rendah (BBLR) (29%), asfiksia (27%), trauma lahir, tetanus neonatorum,
infeksi lain dan kelainan kongenital (Depkes, 2008).
Berdasarkan latar belakang di atas yang menyebutkan bahwa cukup
tingginya angka kematian neonatal yang disebabkan oleh asfiksia. Hal
tersebut menggambarkan bahwa asfiksia harus mendapatkan perhatian dan
2

penanganan yang baik. Sehubungan hal tersebut maka penulis tertarik untuk
membuat makalah dengan judul “Konsep Dasar Penyakit dan Asuhan
Keperawatan pada Pasien Neonatal: Asfiksia”. Penulis berharap makalah
ini dapat bermanfaat bagi para pembaca.

1.2 Tujuan
Berdasarkan latar belakang, penulis mempunyai beberapa tujuan,
yaitu:
1.2.1 Tujuan Umum
Tujuan umum penyusunan makalah ini adalah untuk membahas
tentang konsep dasar penyakit dan asuhan keperawatan pada pasien
neonatal: asfiksia.

1.2.2 Tujuan Khusus


Tujuan khusus penyusunan makalah ini adalah untuk:
1) Membahas tentang definisi asfiksia.
2) Membahas tentang klasifikasi asfiksia.
3) Membahas tentang etiologi asfiksia.
4) Membahas tentang patofisiologi asfiksia.
5) Membahas tentang faktor resiko asfiksia.
6) Membahas tentang manisfestasi klinis asfiksia.
7) Membahas tentang penatalaksanaan asfiksia.
8) Membahas tentang asuhan keperawatan pada pasien neonatal:
asfiksia.

1.3 Manfaat
1.3.1 Untuk Mahasiswa
Meningkatkan wawasan penulis tentang konsep dasar penyakit
dan asuhan keperawatan pada pasien neonatal: asfiksia.
3

1.3.2 Untuk Pembaca


Pembaca dapat mengetahui konsep dasar penyakit dan asuhan
keperawatan pada pasien neonatal: asfiksia.
BAB 2. STUDI LITERATUR

2.1 Definisi Asfiksia


Menurut Fanny (2015), asfiksia adalah keadaan yang ditandai dengan
hipoksemia (penurunan PaCO2), hiperkarbia (peningkatan PaCO2), dan
asidosis (penurunan pH 7). Asfiksia neonatorum adalah keadaan yang
merupakan kelanjutan dari kegawatan janin atau fetal distress intrauterin
yang disebabkan oleh banyak hal. Menurut Syaiful dan Khudzaifah (2016),
asfiksia neonatorum adalah suatu keadaan bayi baru lahir yang mengalami
kegagalan bernafas secara spontan dan teratur segera setelah lahir.
Sedangkan menurut Rahmawati dan Ningsih (2016), asfiksia neonatorum
adalah keadaan bayi baru lahir yang tidak dapat bernafas spontan dan teratur
dalam 1 menit setelah lahir.
Asfiksia biasanya terjadi pada bayi yang dilahirkan dari ibu dengan
kelahiran kurang bulan dan kelahiran lewat waktu. Secara umum banyak
faktor yang dapat menimbulkan kejadian asfiksia pada bayi baru lahir, baik
itu faktor dari ibu (seperti primi tua, riwayat obstetrik jelek, grande
multipara, masa gestasi, anemia dan penyakit ibu, ketuban pecah dini, partus
lama, panggul sempit, infeksi intrauterine), maupun faktor dari janin (yaitu
gawat janin, kehamilan ganda, letak sungsang, letak lintang, berat lahir, dan
faktor dari plasenta) (Rahmawati dan Ningsih, 2016).

2.2 Klasifikasi Asfiksia


Menurut Atika dan Jaya (2016), klasifikasi asfiksia dapat ditentukan
dengan APGAR Score yang dapat dilihat pada Tabel 2.1.
5

Tabel 2.1 APGAR Score

Dari tabel di atas dapat ditentukan tingkat atau derajat asfiksia yang
dialami bayi, apakah ringan, sedang atau berat. Klasifikasi klinik nilai
APGAR adalah sebagai berikut:
1) Bayi Normal atau Tidak Asfiksia: Skor APGAR 8-10
Bayi normal tidak memerlukan resusitasi dan pemberian oksigen
secara terkendali.
2) Asfiksia Ringan: Skor APGAR 5-7.
Bayi dianggap sehat dan tidak memerlukan tindakan istimewa, serta
tidak memerlukan pemberian oksigen dan tindakan resusitasi.
3) Asfiksia Sedang: Skor APGAR 3-4
Pada Pemeriksaan fisik akan terlihat frekuensi jantung lebih dari 100
kali/menit, tonus otot kurang baik atau baik, sianosis, refleks
iritabilitas tidak ada dan memerlukan tindakan resusitasi serta
pemberian oksigen sampai bayi dapat bernafas normal.
4) Asfiksia Berat: Skor APGAR 0-3
Memerlukan resusitasi segera secara aktif dan pemberian oksigen
terkendali, karena selalu disertai asidosis, maka perlu diberikan
natrikus dikalbonas 7,5% dengan dosis 2,4 ml/kg berat badan, dan
cairan glukosa 40% 1-2 ml/kg berat badan, diberikan lewat vena
umbilikus. Pada pemeriksaan fisik ditemukan frekuensi jantung
kurang dari 100 kali/menit, tonus otot buruk, sianosis berat, dan
kadang-kadang pucat, refleks iritabilitas tidak ada.
6

2.3 Etiologi Asfiksia


Menurut Maryuni dan Puspita (2013), penyebab asfiksia antara lain:
1) Asfiksia dalam kehamilan:
a) Penyakit infeksi akut;
b) Penyakit infeksi kronik;
c) Keracunan oleh obat-obat bius;
d) Uremia dan toksemia gravidarum;
e) Anemia berat;
f) Cacat bawaan; dan
g) Trauma.
2) Asfiksia dalam persalinan:
a) Kekurangan O2:
(1) Partus lama (rigid serviks dan atonia / insersi uteri);
(2) Ruptur uteri yang memberat, kontraksi uterus terus-
menerus mengganggu sirkulasi darah ke plasenta;
(3) Tekanan terlalu kuat dari kepala anak pada plasenta;
(4) Prolaps fenikuli tali pusat akan tertekan antara kepala dan
panggul;
(5) Pemberian obat bius terlalu banyak dan tidak tepat pada
waktunya;
(6) Perdarahan banyak: plasenta previa dan solusio plasenta;
dan
(7) Kalau plasenta sudah tua: postmaturitas (serotinus,
disfungsi uteri).
b) Paralisis pusat pernafasan:
(1) Trauma dari luar seperti tindakan forceps, dan
(2) Trauma dari dalam seperti akibat obat bius.

2.4 Patofisiologi Asfiksia


Pada proses kelahiran selalu menimbulkan asfiksia ringan yang
bersifat sementara, proses ini perlu untuk merangsang kemoreseptor pusat
7

pernafasan primary gasping yang kemudian berlanjut pernafasan teratur.


Sifat asfiksia ini tidak berpengaruh buruk karena reaksi adaptasi bayi dapat
mengatasinya. Kegagalan pernafasan mengakibatkan berkurangnya oksigen
dan meningkatkan 11 karbondioksida diikuti oleh asidosis respiratorik,
apabila proses ini berlanjut maka metabolisme sel akan berlangsung yang
berupa glikolisis glikogen sehingga sumber utama glikogen pada jantung
dan hati akan berkurang dan akan menyebabkan asidosis metabolik
(Purnama dan Purwanti, 2014).
Asfiksia terjadi karena gangguan pertukaran gas dan pengangkutan
oksigen dari ibu ke janin, sehingga terdapat gangguan dalam persediaan
karbondioksida dan dalam menghilangkan karbondioksida. Kadar oksigen
tidak cukup dalam darah disebut hipoksia dan karbondioksida tertimbun
dalam darah disebut hiperapnea. Hal ini dapat menyebabkan asidosis tipe
respiratorik atau campuran dengan asidosis metabolik karena mengalami
metabolisme yang anaerob serta juga dapat terjadi hipoglikemia (Hubner
dkk., 2010).
Resiko yang sering terjadi pada asfiksia meliputi perdarahan otak,
anuragia dan onoksia, hyperbilirubinemia, kejang, sampai koma.
Komplikasi tersebut akan mengakibatkan gangguan pertumbuhan bahkan
kematian pada bayi (Aisyah dan Indahwati, 2010).

2.5 Faktor Resiko Asfiksia


Menurut Dwienda (2014), faktor-faktor yang menyebabkan terjadinya
asfiksia pada bayi baru lahir yaitu.
1) Gangguan pada lilitan tali pusat
Gerakan janin dalam rahim yang aktif pada tali pusat yang
panjang memungkinkan terjadinya lilitan tali pusat pada leher sangat
berbahaya, apalagi bila lilitan terjadi beberapa kali di mana dapat
diperkirakan dengan makin masuknya kepala janin ke dasar panggul
maka makin erat pula lilitan pada leher janin yang mengakibatkan
makin terganggunya aliran darah ibu ke janin.
8

2) Ketuban bercampur dengan mekonium


Jika janin mengalami kekurangan O2 dan CO2 bertambah akan
menimbulkan rangsangan pada nervus vagus sehingga denyut jantung
janin menjadi lambat. Jika terus berlanjut maka rangsangan dari
nervus simpatikus akan timbul di mana denyut jantung janin menjadi
lebih cepat yang akhirnya janin akan mengadakan pernafasan
intrauterine sehingga mekonium banyak dikeluarkan dalam air
ketuban pada paru-paru. Hal ini menyebabkan denyut jantung bayi
menurun dan tidak menunjukan pernafasan secara spontan.
3) Faktor umur kehamilan
Persalinan preterm merupakan persalinan dengan masa gestasi
kurang dari 259 hari atau kurang dari 37 minggu. Kesulitan utama
dalam persalinan preterm adalah perawatan bayinya. Semakin muda
usia kehamilan maka semakin besar morbiditas dan mortalitasnya.
Persalinan preterm akan menghasilkan bayi premature dengan kondisi
paru yang belum siap dan sebagai organ pertukaran gas yang efektif,
hal ini merupakan faktor dapat terjadinya asfiksia.
4) Pengaruh tindakan ketika proses persalinan
Persalinan dengan tindakan yaitu penggunaan alat pada tindakan
vakum ekstraksi dan adanya penggunaan obat bius dalam tindakan
seksio sesarea. Hal ini dapat menimbulkan pengurangan cairan paru
dan penekanan pada thoraks sehingga mengalami paru-paru basah
yang lebih persisten. Sehingga mengakibatkan takipnea sementara
pada bayi baru lahir. Persalinan dengan tindakan mempunyai resiko
5,471 kali lebih besar terhadap kejadian asfiksia neonatorum
dibandingkan dengan persalinan normal.
5) Faktor ibu
a) Gangguan his: tetania uteri-hipertoni
b) Turunnya tekanan darah secara mendadak: perdarahan pada
plasenta previa dan salutio plasenta, sehingga menyebabkan
gangguan pertukaran gas antara oksigen dan zat asam arang.
9

Setelah itu, menurunnya tekanan secara mendadak lalu bayi


akan mengalami sulit dalam bernafas.
c) Hipertensi: hipertensi dalam kehamilan berarti wanita telah
menderita hipertensi sebelum hamil yang biasa disebut juga
dengan preeklamsia tidak murni. Prognosis bagi janin kurang
baik karena adanya insufisiensi plasenta.
d) Gangguan pertukaran nutrisi/O2: solution plasenta
e) Melahirkan di umur kehamilan masih muda: semakin muda
umur kehamilan fungsi organ tubuh semakin kurang sempurna,
prognosis juga semakin buruk karena masih belum sempurna
seperti sistem pernafasan.

2.6 Manisfestasi Klinis Asfiksia


Menurut Rahmaharyanti (2014), tanda dan gejala asfiksia dapat
muncul mulai dari saat kehamilan hingga kelahiran bayi, berupa:
1) Pada Kehamilan
Denyut jantung janin lebih cepat dari 160 kali per menit atau
kurang dari 100 kali per menit, halus dan ireguler serta adanya
pengeluaran mekonium.
a) Jika DJJ normal dan ada mekonium: janin mulai asfiksia.
b) Jika DJJ 160 kali per menit ke atas dan ada mekonium: janin
sedang asfiksia.
c) Jika DJJ 100 kali per menit ke bawah dan ada mekonium: janin
dalam gawat.
2) Pada bayi setelah lahir
a) Bayi pucat dan kebiru-biruan;
b) Usaha bernafas minimal atau tidak ada;
c) Hipoksia;
d) Asidosis metabolik atau respiratori;
e) Perubahan fungsi jantung;
f) Kegagalan sistem multiorgan; dan
10

g) Jika sudah mengalami perdarahan di otak maka ada gejala


neurologik, kejang, nistagmus (gerakan ritmik tanpa kontrol
pada mata yang terdiri dari tremor kecil yang cepat ke satu arah
dan yang lebih besar, lebih lambat, berulang-ulang ke arah yang
berlawanan) dan menangis kurang baik/tidak baik.

2.6 Penatalaksanaan Asfiksia


Menurut Prambudi (2013), untuk menentukan butuh resusitasi atau
tidak, semua bayi perlu penilaian awal dan harus dipastikan bahwa setiap
langkah dilakukan dengan benar dan efektif sebelum ke langkah berikutnya.
Secara garis besar pelaksanaan resusitasi mengikuti algoritma resusitasi
neonatal yang dapat dilihat pada Gambar 2.1.

Gambar 2.1 Algoritma Resusitasi Neonatal


11

Menurut Prambudi (2013), pada pemeriksaan atau penilaian awal


dilakukan dengan menjawab 3 pertanyaan sebagai berikut:
1) Apakah bayi cukup bulan?
2) Apakah bayi bernapas atau menangis?
3) Apakah tonus otot bayi baik atau kuat?
Bila semua jawaban “ya” maka bayi dapat langsung dimasukkan dalam
prosedur perawatan rutin dan tidak dipisahkan dari ibunya. Bayi
dikeringkan, diletakkan di dada ibunya dan diselimuti dengan kain linen
kering untuk menjaga suhu. Bila terdapat jawaban “tidak” dari salah satu
pertanyaan di atas maka bayi memerlukan satu atau beberapa tindakan
resusitasi.
Berikut ini langkah-langkah resusitasi bayi secara berurutan
(Brillianningtyas, 2014):
1) Langkah awal dalam stabilisasi
Menurut Prambudi (2013), langkah awal dalam stabilisasi
menggunakan metode HAIKAP sebagai berikut:
a) Hangatkan tubuh bayi (memberikan kehangatan)
Bayi diletakkan di bawah alat pemancar panas (radiant
warmer) dalam keadaan telanjang agar panas dapat mencapai
tubuh bayi dan memudahkan eksplorasi seluruh tubuh. Bayi
dengan BBLR memiliki kecenderungan tinggi menjadi
hipotermi dan harus mendapat perlakuan khusus. Beberapa
kepustakaan merekomendasikan pemberian teknik
penghangatan tambahan seperti penggunaan plastik pembungkus
dan meletakkan bayi di bawah pemancar panas pada bayi kurang
bulan dan BBLR. Alat lain yang bisa digunakan adalah alas
penghangat.
b) Atur posisi bayi (memposisikan bayi dengan sedikit
menengadahkan kepalanya)
Bayi diletakkan telentang dengan leher sedikit tengadah
dalam posisi menghidu agar posisi faring, laring dan trakea
12

dalam satu garis lurus yang akan mempermudah masuknya


udara. Posisi ini adalah posisi terbaik untuk melakukan ventilasi
dengan balon dan sungkup dan/atau untuk pemasangan pipa
endotrakeal.
c) Isap lender (membersihkan jalan napas sesuai keperluan)
Aspirasi mekoneum saat proses persalinan dapat
menyebabkan pneumonia aspirasi. Salah satu pendekatan
obstetrik yang digunakan untuk mencegah aspirasi adalah
dengan melakukan penghisapan mekoneum sebelum lahirnya
bahu (intrapartum suctioning), namun bukti penelitian dari
beberapa senter menunjukkan bahwa cara ini tidak menunjukkan
efek yang bermakna dalam mencegah aspirasi mekonium.
Cara yang tepat untuk membersihkan jalan napas adalah
bergantung pada keaktifan bayi dan ada/tidaknya mekonium.
Bila terdapat mekonium dalam cairan amnion dan bayi tidak
bugar (bayi mengalami depresi pernapasan, tonus otot kurang
dan frekuensi jantung kurang dari 100x/menit) segera dilakukan
penghisapan trakea sebelum timbul pernapasan untuk mencegah
sindrom aspirasi mekonium. Penghisapan trakea meliputi
langkah-langkah pemasangan laringoskop dan selang
endotrakeal ke dalam trakea, kemudian dengan kateter
penghisap dilakukan pembersihan daerah mulut, faring dan
trakea sampai glotis.
Bila terdapat mekonium dalam cairan amnion namun bayi
tampak bugar, pembersihan sekret dari jalan napas dilakukan
seperti pada bayi tanpa mekonium.
d) Keringkan dan atur posisi bayi untuk merangsang pernapasan
Meletakkan bayi pada posisi yang benar, menghisap
sekret, dan mengeringkan bayi akan memberi rangsang yang
cukup pada bayi untuk memulai pernapasan. Bila setelah posisi
yang benar, penghisapan sekret dan pengeringan, bayi belum
13

bernapas adekuat, maka perangsangan taktil dapat dilakukan


dengan menepuk atau menyentil telapak kaki, atau dengan
menggosok punggung, tubuh atau ekstremitas bayi.
Bayi yang berada dalam apnea primer akan bereaksi pada
hampir semua rangsangan, sementara bayi yang berada dalam
apnea sekunder, rangsangan apapun tidak akan menimbulkan
reaksi pernapasan. Karenanya cukup satu atau dua tepukan pada
telapak kaki atau gosokan pada punggung. Jangan membuang
waktu yang berharga dengan terus-menerus memberikan
rangsangan taktil.
e) Penilaian
Dari penilaian ini dapat diketahui nilai APGAR skor menit
pertama. Dari nilai APGAR yang bagus dapat dilakukan
tindakan berikutnya yakni tindakan IMD (inisiasi menyusu
dini). Apabila kondisi bayi buruk IMD tidak harus segera
dilakukan. Oleh karenanya hal ini juga dapat menjadi faktor
ikterus neonatorum karena pemberian ASI yang tidak adekuat
dapat menyebabkan terganggunya pemecahan bilirubin saat
pengeluaran feses dan urin (Anggelia dkk., 2018).
Keputusan untuk melanjutkan dari satu kategori ke
kategori berikutnya ditentukan dengan penilaian 3 tanda vital
secara simultan (pernapasan, frekuensi jantung dan warna kulit).
Waktu untuk setiap langkah adalah sekitar 30 detik, lalu nilai
kembali, dan putuskan untuk melanjutkan ke langkah
berikutnya.
2) Ventilasi Tekanan Positif (VTP)
Menurut Saifuddin (2009), langkah berikutnya setelah
melakukan metode HAIKAP, dapat dilakukan Ventilasi Tekanan
Positif dengan langkah sebagai berikut:
 Pastikan bayi diletakkan dalam posisi yang benar.
14

 Agar VTP efektif, kecepatan memompa (kecepatan ventilasi)


dan tekanan ventilasi harus sesuai.
 Kecepatan ventilasi sebaiknya 40 - 60 kali/menit.
 Tekanan ventilasi yang dibutuhkan sebagai berikut: nafas
pertama setelah lahir, membutuhkan: 30 - 40 cm H2O. Setelah
nafas pertama, membutuhkan: 15 - 20 cm H2O. Bayi dengan
kondisi atau penyakit paru-paru yang berakibat turunnya
compliance, membutuhkan: 20 - 40 cm H2O. Tekanan ventilasi
hanya dapat diatur apabila digunakan balon yang mempunyai
pengukuran tekanan.
 Observasi gerak dada bayi: adanya gerakan dada bayi turun naik
merupakan bukti bahwa sungkup terpasang dengan baik dan
paru-paru mengembang. Bayi seperti menarik nafas dangkal.
Apabila dada bergerak maksimum, bayi seperti menarik nafas
panjang, menunjukkan paru-paru terlalu mengembang, yang
berarti tekanan diberikan terlalu tinggi. Hal ini dapat
menyebabkan pneumothoraks.
 Observasi gerak perut bayi: gerak perut tidak dapat dipakai
sebagai pedoman ventilasi yang efektif. Gerak parut mungkin
disebabkan masuknya udara ke dalam lambung.
 Penilaian suara nafas bilateral: suara nafas didengar dengan
menggunakan stetoskop. Adanya suara nafas di kedua paru-paru
merupakan indikasi bahwa bayi mendapat ventilasi yang benar.
 Observasi pengembangan dada bayi: apabila dada terlalu
berkembang, kurangi tekanan dengan mengurangi meremas
balon. Apabila dada kurang berkembang, mungkin disebabkan
oleh salah satu penyebab berikut: perlekatan sungkup kurang
sempurna, arus udara terhambat, dan tidak cukup tekanan.
15

Apabila dengan tahapan di atas dada bayi masih tetap kurang


berkembang sebaiknya dilakukan intubasi endotrakea dan ventilasi
pipa-balon.
3) Kompresi dada
Menurut Prambudi (2013), teknik kompresi dada ada 2 cara,
yaitu:
a) Teknik ibu jari (lebih dipilih)
 Kedua ibu jari menekan sternum, ibu jari tangan
melingkari dada dan menopang punggung.
 Lebih baik dalam megontrol kedalaman dan tekanan
konsisten.
 Lebih unggul dalam menaikan puncak sistolik dan tekanan
perfusi coroner
b) Teknik dua jari
 Ujung jari tengah dan telunjuk/jari manis dari 1 tangan
menekan sternum, tangan lainnya menopang punggung.
 Tidak tergantung.
 Lebih mudah untuk pemberian obat.

Untuk kedalaman penekanan adalah ±1/3 diameter


anteroposterior dada dan lama penekanan lebih pendek dari lama
pelepasan curah jantung maksimum. Koordinasi VTP dan kompresi
dada 1 siklus: 3 kompresi + 1 ventilasi (3 : 1) dalam 2 detik.
Frekuensi: 90 kompresi + 30 ventilasi dalam 1 menit (berarti 120
kegiatan per menit). Untuk memastikan frekuensi kompresi dada dan
ventilasi yang tepat, pelaku kompresi mengucapkan “satu – dua – tiga
- pompa-…”.
4) Intubasi Endotrakeal
Menurut Prambudi (2013), cara intubasi endotrakeal adalah
sebagai berikut:
16

a) Langkah 1: Persiapan memasukkan laringoskopi


 Stabilkan kepala bayi dalam posisi sedikit tengadah
 Berikan O2 aliran bebas selama prosedur
b) Langkah 2: Memasukkan laringoskopi
 Daun laringoskopi di sebelah kanan lidah
 Geser lidah ke sebelah kiri mulut
 Masukkan daun sampai batas pangkal lidah
c) Langkah 3: Angkat daun laringoskop
 Angkat sedikit daun laringoskop
 Angkat seluruh daun, jangan hanya ujungnya
 Lihat daerah faring
 Jangan mengungkit daun
d) Langkah 4: Melihat tanda anatomis
 Cari tanda pita suara, seperti garis vertical pada kedua sisi
glottis (huruf “V” terbalik)
 Tekan krikoid agar glotis terlihat
 Bila perlu, hisap lender untuk membantu visualisasi
e) Langkah 5: Memasukkan pipa
 Masukkan pipa dari sebelah kanan mulut bayi dengan
lengkung pipa pada arah horizontal
 Jika pita suara tertutup, tunggu sampai terbuka
 Memasukkan pipa sampai garis pedoman pita suara berada
di batas pita suara
 Batas waktu tindakan 20 detik, jika 20 detik pita suara
belum terbuka, hentikan dan berikan VTP
f) Langkah 6: mencabut laringoskop
 Pegang pipa dengan kuat sambil menahan kea rah langit-
langit mulut bayi, cabut laringoskop dengan hati-hati.
 Bila memakai stilet, tahan pipa saat mencabut stilet.
17

5) Farmakologi
Menurut Prambudi (2013), obat-obatan dan cairan yang dapat
digunakan untuk menangani asfiksia pada bayi adalah sebagai berikut:
a) Epinefrin
 Larutan = 1 : 10.000
 Cara = IV (pertimbangkan melalui ET bila jalur IV sedang
disiapkan)
 Dosis : 0,1 – 0,3 mL/kgBB IV
 Persiapan = larutan 1 : 10.000 dalam semprit 1 mL
(semprit lebih besar diperlukan untuk pemberian melalui
pipa ET. Dosis melalui pipa ET 0,3-1,0 mL/kg)
 Kecepatan = secepat mungkin
 Jangan memberikan dosis lebih tinggi secara IV.
b) Bikarbonat Natrium 4,2%
c) Dekstron 10%
d) Nalokson
BAB 3. ASUHAN KEPERAWATAN

3.1 Kasus Asfiksia


Seorang bayi lahir pada tanggal 10 September 2019 secara spontan
dengan vakum ekstraksi di RSD dr. Soebandi Jember ditolong oleh bidan,
jenis kelami laki-laki, BBL 2725 gram, panjang badan 52 cm, lingkar dada
31 cm, lingkar kepala 35 cm, anus +, kaput +, ketuban jernih, AS 4-5,
sianosis, UK 37 minggu, tidak langsung menangis spontan dengan FP
70x/menit, suhu 35,8 C, nadi 160x/menit. Pasien langsung dirawat di ruang
perinatologi tanpa mendapat IMD. Setelah kelahiran, dilakukan mentode
HAIKAP, pasien sesak, terdapat cuping hidung, Score down 3 mendapat
terapi O2 masker 5 lpm. Merintih dapat didengar oleh stetoskop, reflek hisap
dan menelan lemah, tapi pusat terpotong berwarna kekuningan, mengkilat
dan tidak berbau dengan panjang sekitar 4 cm.

3.2 Pengkajian
1) Anamnesa
a) Identifikasi Klien
Nama : By. X
Usia kandungan : 37 minggu
Tanggal MRS : 10 September 2019
Keluhan Utama : Bayi dengan asfiksia memiliki frekuensi
jantung 70 kali/menit, tonus otot lemah,
pasien sesak, terdapat cuping hidung, dan
sianosis/pucat.
b) Riwayat Penyakit Sekarang:
Bayi lahir secara spontan dengan vakum, berat badan bayi 2725
gram, di usia kehamilan 37 minggu, panjang badan 52 cm,
lingkar dada 31 cm, lingkar kepala 35 cm, anus +, kaput +,
ketuban jernih, AS 4-5, sianosis, UK 37 minggu, tidak langsung
19

menangis spontan dengan FP 70x/menit, suhu 35,8 C, nadi


160x/menit. Pasien langsung dirawat di ruang perinatologi tanpa
mendapat IMD. Pasien sesak, terdapat cuping hidung, Score
down 3 mendapat terapi O2 masker 5 lpm. Merintih dapat
didengar oleh stetoskop, reflek hisap dan menelan lemah, tapi
pusat terpotong berwarna kekuningan, mengkilat dan tidak
berbau dengan panjang sekitar 4 cm.
c) Riwayat Penyakit Dahulu: -
2) Pemeriksaan Fisik
a) Kondisi bayi setelah dilahirkan, meliputi :
BB lahir : 2725 gram
PB lahir : 52 cm
Apgar score : 4-5 (normal : 7-10)
TTV :
- Suhu: 35.8oC
- RR: 70x/menit
- N: 160 x/menit
b) Bayi saat ini ditempatkan di ruang perinatologi
3) Head to Toe
a) Kepala
Sutura bayi tampak terlihat lebar, rambut tumbuh jarang,
moulding, fontanel anterior besar.
b) Wajah
Wajah terlihat simetris, terlihat sianosis.
c) Mata
Jumlah mata lengkap, posisi simetris, tak terdapat strabismus,
tidak ada sekret pada kelopak mata.
d) Hidung
Napas cuping hidung.
20

e) Mulut
Palatum tersambung sempurna, simetris, tidak ada bercak putih
pada gusi, ukuran lidah normal reflek rooting tidak ada, reflek
hisap lemah.
f) Telinga
Jumlah telinga lengkap
g) Leher
Panjang leher pendek, taka ada lipatan kulit berlebih, tak ada
pembengkakan vena jugularis
h) Tangan
Lengan sama panjang, dapat bergerak bebas, jumlah jari 5,
telapak tangan terbuka
i) Dada
Frekuensi napas 70x/menit, retraksi dada berat, terdengar suara
merintih (nilai score down 3).
j) Abdomen
Tali pusat terpotong berwarna kekuningan, mengkilat dan tidak
berbau dengan panjang sekitar 4 cm
k) Genitalia
Anus dan rectum
l) Tungkai
Panjang tungkai simetris, kurang dapat bergerak bebas, jumlah
jari masing-masing 5
m) Spinal
Tidak ada pembengkakan, cekungan, atau tumbuhnya rambut
pada spina
4) Sistem Tubuh
a) Sistem Pernapasan
Bayi mengalami sesak napas ditandai dengan RR 70kali/menit.
Adanya sianosis pada bayi,terdapat cuping hidung.
21

b) Sistem pencernaan
Reflek isap dan menelan lemah.
5) Terapi
- Prosedur HAIKAP setelah bayi lahir agar bayi menangis
- terapi O2 masker 5 lpm
- Pasien langsung dirawat di ruang perinatologi tanpa mendapat
IMD

3.3 Diagnosa (NANDA)

Tabel 3.1 Analisa Data dan Masalah

No. Analisa Data Etiologi Masalah

1. DS: Asfikisa Gangguan


- Pertukaran Gas
Paru-paru terisi cairan (00030)
DO:
- Pasien sesak, Gangguan metabolisme dan Definisi:
- Terdapat cuping perubahan asam basa Kelebihan atau
hidung defisit oksigenisasi
- mendapat terapi 02 Asidosis respiratorik dan/atau eliminasi
masker 5 lpm karbondioksida
pada membran
Gangguan perfusi ventilasi
alveolar-kapiler.

Gangguan Pertukaran Gas


2. DS: Asfikisa Ketidakefektifan
- pola napas (00032)
Pernapasan cepat
DO: Definisi:
- Pasien tampak sesak Takipnea Inspirasi dan/atau
22

- Pola napas tidak ekspirasi yang


normal Pola napas tidak normal tidak memberi
- Takipnea ventilasi adekuat.
- RR = 70 x/menit Ketidakefektifan Pola Napas
- mendapat terapi 02
masker 5 lpm
3. DS: Asfiksia Hipotermia
- (00006)
Kekurangan O2
DO: Definisi:
- sianosis Suplai O2 dalam darah menurun Suhu inti tubuh di
o
- suhu 35,8 C bawah kisaran
- hipoksia Bayi tampak pucat normal diurnal
karena kegagalan
termogulasi.
Akral dingin

Sianosis

Hipotermia
4. DS: Asfiksia Resiko Aspirasi
- (00039)
Kekurangan O2
DO: Definisi:
- reflek hisap dan Kurang O2 pada otak, otot, dan Rentan mengalami
menelan lemah organ lain masuknya sekresi
- tidak mendapat gastrointestinal,
IMD Tonus otot lemah sekresi orofaring,
benda cair atau
padat ke dalam
Reflek hisap dan menelan
saluran
lemah
23

trakeobronkial,
Resiko Aspirasi yang dapat
mengganggu
kesehatan.

Berikut adalah prioritas diagnosa keperawatan pada bayi asfiksia


menurut NANDA (2018):
1) Gangguan pertukaran gas berhubungan dengan ketidakseimbangan
ventilasi perfusi ditandai dengan pola nafas tidak normal dan nafas
cuping hidung.
2) Ketidakefektifan pola napas berhubungan dengan hiperventilasi
ditandai dengan pola napas tidak normal, takipnea, sesak nafas, dan
RR = 70 x/menit.
3) Hipotermia berhubungan dengan peningkatan kebutuhan oksigen
ditandai dengan bayi tampak pucat, sianosis, dan hipoksia.
4) Resiko aspirasi berhubungan dengan gangguan menelan ditandai
dengan reflek hisap dan menelan lemah.

3.4 Intervensi (NOC, NIC)

Tabel 3.2 Intervensi

No. Diagnosa Tujuan dan


Intervensi Rasional
Keperawatan Kriteria Hasil
1.
Gan Gangguan Setelah Manajemen Jalan
pertukaran gas dilakukan Nafas (3140):
berhubungan dengan tindakan 1) Posisikan pasien 1) Untuk
ketidakseimbangan keperawatan 1 x untuk memaksimalkan
ventilasi perfusi 24 jam, memaksimalkan ventilasi klien.
ditandai dengan pola diharapkan ventilasi.
nafas tidak normal gangguan
dan nafas cuping pertukaran gas
hidung. dapat teratasi 2) Gunakan teknik 2) Untuk
24

dengan kriteria menyenangkan mempermudah


hasil: untuk memotivasi klien dalam
1) Mendemonst bernafas dalam meningkatkan
rasikan pada anak-anak bersihan jalan
peningkatan (misal: nafas.
ventilasi dan meniupgelembung,
oksigenasi meniup kincir,
yang peluit, harmonica,
adekuat. dan balon).
2) Memelihara
kebersihan 3) Monitor status 3) Untuk
paru-paru pernafasan dan memantau lebih
dan bebas oksigenasi jauh frekuensi
dari tanda- sebagaimana pernafasan
tanda distress mestinya. klien.
pernafasan).
3) Tanda-tanda 4) Mulai ventilasi 4) Untuk
vital di tekanan positif mempertahanka
rentang pada saat apnea n dan
normal. atau bayi sulit memaksimalkan
bernafas. keefektifan
bersihan jalan
nafas klien.
2. Ketidakefektifan Setelah Manajemen Jalan
pola napas dilakukan Nafas ( 3140):
berhubungan dengan tindakan 1) Monitor kecepatan, 1) Untuk
hiperventilasi keperawatan 1 x irama, kedalaman mengetahui
ditandai dengan pola 24 jam, dan kesulitan irama,
napas tidak normal, diharapkan pola bernafas. kedalaman dan
takipnea dan sesak nafas menjadi kesulitan
nafas. lebih efektif bernafas klien.
dengan kriteria
hasil: 2) Posisikan untuk 2) Untuk
1) Kepatenan meringankan sesak mengurangi
jalan nafas nafas. keadaan sesak
dipertahanka napas klien.
n pada skala
2 (cukup 3) Pertahankan 3) Untuk tetap
berat) pertahanan jalan menjaga jalan
ditingkatkan nafas. napas klien.
ke skala 4
(ringan). 4) Ajarkan teknik 4) Untuk
2) Frekuensi pernapasan dengan membantu klien
pernafasan mengerucutkan dalam
dipertahanka bibir dengan tepat. mempertahanka
n pada skala n jalan napas
25

2 (cukup dan pola nafas


berat) menjadi lebih
ditingkatkan efektif.
ke skala 4
(ringan).
3. Hipotermi Setelah Pengaturan Suhu
berhubungan dilakukan (3900):
denganpenundaan tindakan 1) Monitor warna dan 1) Untuk
menyusu ASI keperawatan 3 x suhu kulit. mengetahui
ditandai dengan bayi 24 jam, perubahan
tampak pucat, dasar diharapkan warna dan suhu
kuku sianosia, dan hipotermi kulit klien.
hipoksia. teratasi dengan
kriteria hasil: 2) Jaga suhu tubuh 2) Untuk menjaga
1) Hipotermi yang adekuat dari kehangatan
dipertahanka bayi baru lahir klien dan
n pada skala (misalnya, terhindar dari
2 (banyak keringkan bayi suhu yang
terganggu) setelah lahir dingin.
ditingkatkan ,membedong bayi
ke skala 4 dalam selimut).
(sedikit
terganggu). 3) Letakkan bayi baru 3) Untuk
2) Napas tidak lahir dengan mempertahanka
teratur kontak kulit ke n klien tetep
dipertahanka kulit dengan orang hangat dan kulit
n pada skala tua, dengan tepat. berubah
2 (banyak menjadi merah
terganggu) muda tidak
ditingkatkan kebiruan.
ke skala 4
(sedikit 4) Tingkatkan asupan 4) Untuk
terganggu). cairan dan nutrisi meningkatkan
3) Perubahan yang adekuat. berat badan
warna kulit klien sehingga
dipertahanka tidak merasakan
n pada skala hipotermi.
2 (cukup
berat) 5) Hindari dari 5) Untuk tetap
ditingkatkan paparan dan aliran menjaga
pada skala 5 udara yang tidak kehangatan
(tidakada). perlu, terlalu klien sehingga
panas, atau terlalu suhuu tubuh
dingin. klien menjadi
lebih hangat.
26

4. Resiko aspirasi Setelah Pencegahan Aspirasi


berhubungan dengan dilakukantindak (3200):
gangguan menelan an keperawatan 1) Monitor tingkat 1) Untuk
ditandai dengan 1 x 24 jam, kesadaran, reflek mengetahui
reflek hisap dan diharapkan batuk dan kemampuan
menelan lemah. pasien tidak kemampuan menelan bayi.
mengalami menelan.
aspirasi dengan
kriteria hasil: 2) Pertahankan 2) Untuk
1) Klien dapat (kepatenan ) jalan menghindari
bernafas nafas. bayi terjadi
dengan aspirasi.
mudah, tidak
irama, 3) Lakukan suction 3) Untuk
frekuensi jika diperlukan. membersihkan
pernafasan jalan nafas agar
normal. tidak ada cairan.
2) Pasien
mampu 4) Monitor status 4) Untuk
menelan, pernafasan. memantau
mengunyah status
tanpa terjadi pernafasan
aspirasi, dan pasien.
mampumelak
ukan oral 5) Monitor kebutuhan 5) Untuk
hygiene. perawatan terhadap mengetahui
3) Jalan nafas saluran cerna. kebutuhan
paten, mudah nutrisi pasien.
bernafas,
tidak merasa
tercekik dan
tidak ada
suara nafas 2)
abnormal.
BAB 4. PATHWAY

Faktor plasenta Faktor proses persalinan


Aliran darah berkurang
Solusio plasenta - Operasi caesar
- Persalinan dibantu alat
Transport O2 dan nutrisi tidak cukup

Pembuangan CO2 terganggu


Ketidakefektifan Pola
Napas
Metabolisme anaerob

Timbunan asam laktat dan piruvat Pola napas tidak normal

Asidosis Takipnea

Paru-paru terisi cairan ASFIKSIA Pernapasan cepat

Gangguan Kekurangan O2 Kurang O2 pada otak, otot, dan organ lain


metabolisme dan
perubahan asam basa Suplai O2 dalam darah menurun Tonus otot lemah

Asidosis respiratorik Bayi tampak pucat Reflek hisap dan menelan lemah

Gangguan perfusi ventilasi


Akral dingin Resiko Aspirasi

Gangguan Pertukaran
Sianosis
Gas

Hipotermia

Gambar 4.1 Pathway Asfiksia


BAB 5. PENUTUP

5.1 Simpulan
Berdasarkan pembahasan yang telah dibahas, dapat diperoleh
kesimpulan sebagai berikut:
1) Asfiksia neonatorum adalah suatu keadaan bayi baru lahir yang
mengalami kegagalan bernafas secara spontan dan teratur segera
setelah lahir.
2) Klasifikasi asfiksia dapat ditentukan dengan menggunakan APGAR
Score dan terdiri dari bayi normal atau tidak asfiksia, asfiksia ringan,
asfiksia sedang, dan asfiksia berat.
3) Asfiksia dapat disebabkan karena adanya oenyakit infeksi akut,
penyakit infeksi kronik, keracunan oleh obat-obat bius, uremia dan
toksemia gravidarum, anemia berat, cacat bawaan, trauma,
kekurangan O2, dan aralisis pusat pernafasan.
4) Asfiksia terjadi karena gangguan pertukaran gas dan pengangkutan
oksigen dari ibu ke janin, sehingga terdapat gangguan dalam
persediaan karbondioksida dan dalam menghilangkan karbondioksida.
Kadar oksigen tidak cukup dalam darah disebut hipoksia dan
karbondioksida tertimbun dalam darah disebut hiperapnea. Hal ini
dapat menyebabkan asidosis tipe respiratorik atau campuran dengan
asidosis metabolik karena mengalami metabolisme yang anaerob serta
juga dapat terjadi hipoglikemia.
5) Faktor-faktor yang menyebabkan terjadinya asfiksia pada bayi baru
lahir yaitu gangguan pada lilitan tali pusat, ketuban bercampur dengan
mekonium, faktor umur kehamilan, pengaruh tindakan ketika proses
persalinan, dan faktor ibu sendiri berupa gangguan his, turunnya
tekanan darah secara mendadak, hipertensi, gangguan pertukaran
nutrisi/O2, dan melahirkan di umur kehamilan masih muda.
29

6) Tanda dan gejala asfiksia pada kehamilan, antara lain jika DJJ normal
dan ada mekonium: janin mulai asfiksia, jika DJJ 160 kali per menit
ke atas dan ada mekonium: janin sedang asfiksia, dan jika DJJ 100
kali per menit ke bawah dan ada mekonium: janin dalam gawat.
7) Tanda dan gejala asfiksia pada bayi setelah lahir, antara lain bayi
pucat dan kebiru-biruan, usaha bernafas minimal atau tidak ada,
hipoksia, asidosis metabolik atau respiratori, perubahan fungsi
jantung, kegagalan sistem multiorgan, kalau sudah mengalami
perdarahan di otak maka ada gejala neurologik, kejang, nistagmus dan
menangis kurang baik/tidak baik.
8) Penatalaksanaan bayi asfiksia menggunakan metode resusitasi dengan
langkah-langkah resusitasi bayi secara berurutan berupa: langkah awal
dalam stabilisasi menggunakan metode HAIKAP, Ventilasi Tekanan
Positif (VTP), kompresi dada dengan teknik ibu jari (lebih dipilih) dan
teknik dua jari, intubasi endotrakeal, dan farmakologi berupa obat dan
cairan.

5.2 Rekomendasi Isu Menarik

“Program Stabilisasi Neonatus dalam S.T.A.B.L.E”

Penyebab kematian bayi di Kota Parepare Sulawesi Selatan tahun


2014 disebabkan oleh asfiksia 31%. Kematian bayi dengan asfiksia terjadi
pada usia ≤ 48 jam setelah kelahiran, 46 % terjadi di Puskesmas dan 54 %
terjadi setelah sampai di tempat rujukan. Hal tersebut dapat disebabkan
karena program stabilisasi pada bayi asfiksia belum optimal. Penurunan
AKB akibat asfiksia membutuhkan pertolongan persalinan tenaga kesehatan
yang memiliki kemampuan dan keterampilan dalam menangani bayi asfiksia
dengan tepat di tingkat pelayanan kesehatan dasar, selama proses rujukan
serta saat bayi tiba di sarana rujukan.
30

Resusitasi dan Stabilisasi Neonatus yang bertujuan untuk membuat


bayi baru lahir stabil dalam waktu selambat –lambatnya1jam setelahlahir.
Program stabilisasi adalah sebuah program yang pertama kali
diperkenalkandi AmerikaSerikat danCanada pada bulanMei 1996 oleh
Kristine A. Karlsen dan diperkenalkandi Indonesia padatahun 2010.
Program stabilisasi adalah program pendidikan neonatal pertama yang
fokus secara eksklusif pada perawatan stabilisasi pasca-resuscitation/pre-
transport bayi baru lahir yang sakit. Program ini merupakan sebuah
perangkat yang bersifat seragam, sederhana, suatu proses asuhan yang
sesuai standar dengan menggunakan pendekatan kerjasama tim yang
komprehensif sehingga dapat meningkatkan stabilisasi bayi baru lahir secara
menyeluruh, meningkatkan prevalensi keselamatan bayi. Parameter
penilaian stabilisasi adalah: gula darah, suhu, pernapasan, tekanan darah,
pemeriksaan laboratorium serta dukungan emosional pada
orangtuadankeluarga klien.
Program stabilisasi ini di desain untuk meningkatkan informasi
tentang stabilisasi neonatal pada ibu / bayi di semua tingkat pelayanan
kesehatan mulai dari Puskesmas, unit pelayanan kesehatan bayi ke ruang
emergensi dan lebih kompleks sampai di tingkat rumah sakit dengan
fasilitas yang memadai.Program stabilisasi bertujuan memastikan kondisi
bayi dalam keadaan baik selama proses rujukan guna mencegah
meningkatnya angka kematian, kesakitan dan timbulnya jejas (sequele)
akibat asfiksiabayi barulahir.
Stabilisasi yang direkomendasikan oleh American Akademic
Pediatrics yaitu stabilisasi neonatus dalam S.T.A.B.L.E terdiri dari: sugar
and safe care (S), temperature (T), airway (A), blood pressure (B), lab study
(L) dan emotional support (E). Singkatan S.T.A.B.L.E tersebut akan
memudahkan petugas kesehatan mengingat aspek penting dalam proses
stabilisasi.
DAFTAR PUSTAKA

Aisyah, S. dan Indahwati. Asuhan Kebidanan Komprehensif pada By “A” dengan


Asfiksia Berat Hari Ke 3 di RSUD Dr. Soegiri Lamongan Tahun 2010.
Jurnal Midpro. 2(2): 12-15.

Anggelia, T. M., L. Sasmito, dan Y. Purwaningrum. 2018. Risiko Kejadian


Ikterus Neonatorum pada Neonatus dengan Riwayat Asfiksia Bayi Baru
Lahir di RSD Dr. Soebandi Jember pada Tahun 2017. Jurnal Keperawatan
Terapan. 4(2): 154-164.

Atika, V. dan P. Jaya. 2016. Asuhan Kebidanan pada Neonatus, Bayi, Balita dan
Anak Pra Sekolah. Jakarta: Trans Info Media.

Brillianningtyas, L. 2014. Hubungan Kehamilan Lewat Waktu dan Bayi Prematur


dengan Kejadian Asfiksia Neonatorum di Ruang Kebidanan RSUD Dr.
Arief Dadi Tjokrodipo Bandar Lampung Periode Juni 2012 – Mei 2013.
Skripsi. Bandar Lampung: Fakultas Kedokteran Universitas Lampung.

Budiman, A. 2017. Terapi Oksigen. Lantera Indonesia: Peduli Kritis Profesional.

Bulechek, G. M., H. K. Butcher, J. M. Dochterman dan C. M. Wargner. 2016.


Nursing Interventions Classification (NIC). Sixth Edition. New York:
Elsevier Inc. Terjemahan oleh Nurjannah, I. dan R. D. Tumanggor. 2016.
Nursing Interventions Classification (NIC) Edisi Bahasa Indonesia.
Singapura: Elsevier Singapore Pte Ltd.

Departemen Kesehatan Republik Indonesia.2008. Buku Acuan Persalinan


Normal. Jakarta: Depkes RI.

Dwienda, O. 2014. Buku Ajar Asuhan Kebidanan Neonatus, Bayi / Balita dan
Anak Prasekolah untuk Para Bidan. Yogyakarta: Deepublish.

Fanny, F. 2015. Sectio Caesarea sebagai Faktor Risiko Kejadian Asfiksia


Neonatorum. Majority. 4(8): 57-62.
32

Harima, M., M. I. Kartasurya, dan S. Fatimah.2016. Analisis Pelaksanaan


Program Stabilisasi Bayi Asfiksia Oleh Bidan di Puskesmas Kota Parepare.
Jurnal Manajemen Kesehatan Indonesia. 4(3): 196-205.

Herdman, T. H. dan S. Kamitsuru. 2018. NANDA International Nursing


Diagnoses: Definitions & Classifications 2018-2020. Tenth Edition.
Hoboken: John Wiley & Sons Inc. Terjemahan oleh Keliat, B. A., H. S.
Mediani, dan T. Tahli. 2015. NANDA-I Diagnosis Keperawatan: Definisi
dan Klasifikasi 2018-2020. Jakarta: EGC.

Hubner, M, C. Reisenauer, dan H. Abele. Welchen Stellenwert Hat Die Primare


Sectio Caesarea. Geburtsh Frauenheilk. 70:911–913.

Kantiandagho, N. dan Kusmiyati. 2015. Faktor Faktor yang Berhubungan dengan


Kejadian Asfiksia Neonatorum. Jurnal Ilmiah Bidan. 3(2): 28-38.

Manuaba, I. B. G. 2010. Ilmu Kebidanan, Penyakit Kandungan dan Keluarga


Berencana untuk Pendidikan Bidan. Jakarta: EGC.

Maryuni, A. dan E. Puspita.2013. Asuhan Kegawatdaruratan Maternal dan


Neonatal. Jakarta: Trans Info Media.

Maya, I. P. G. N. I. dan I. G. A. G. U. Hartawan, 2017. Terapi Oksigen (O2).


Denpasar: Fakultas Kedokteran Universitas Udayana.

Moorhead, S., M. Johnson, M. L. Maas dan E. Swanson. 2016. Nursing Outcomes


Classifications (NOC). Fifth Edition. New York: Elsevier Inc. Terjemahan
oleh Nurjannah, I. dan R. D. Tumanggor. 2016. Nursing Outcomes
Classification (NOC): Pengukuran Outcomes Kesehatan Edisi Bahasa
Indonesia. Singapura: Elsevier Singapore Pte Ltd.

Prambudi, R. 2013. Neonatologi Praktis. Cetakan Pertama. Bandar Lampung:


Anugrah Utama Raharja.

Prasetyawati. 2012. Kesehatan Ibu dan Anak.Jakarta: Nuha Medika.


33

Purnama, D. A. M. dan S. Purwanti. 2014. The Differences of Funicullus


Umbilicalis Blood Ph inAsphyxia and Not Asphyxia Baby at Margono
Soekardjo Hospital Purwokerto in 2014.
http://ejournal.stikesmukla.ac.id/index.php/involusi/article/download/152/14
9. [Diakses pada 16 September 2019 pukul 20:28 WIB].

Rahmaharyanti, R. 2014. Asfiksia Neonatorum. Laporan Pendahuluan.


Purwokerto: Fakultas Kedokteran dan Ilmu-Ilmu Kesehatan Universitas
Jenderal Soedirman.

Rahmawati, L. dan M. P. Ningsih. 2016.Faktor-Faktor yang Berhubungan dengan


Kejadian Asfiksia pada Bayi Baru Lahir di Ruang Medical Record RSUD
Pariaman. Bidan Prada: Jurnal Ilmiah Kebidanan. 7(1): 29-40.

Saifuddin, A. B. 2009. Buku Acuan Nasional Pelayanan Kesehatan Maternal dan


Neonatal. Cetakan Kelima. Jakarta: Bina Pustaka Sarwono Prawiroharjo.

Syaiful, Y. dan U. Khudzaifah. 2016. Faktor yang Berhubungan dengan Kejadian


Asfiksia Neonatorum di RS Muhammadiyah Gresik. Journals of Ners
Community. 7(1): 55-60.
34

Lampiran 1: Satuan Acara Penyuluhan

ORIENTASI PEMBERIAN TERAPI OKSIGEN PADA BAYI


DENGAN ASFIKSIA

SATUAN ACARA PENYULUHAN

Oleh

Kelompok 2 / Kelas C

PROGRAM SARJANA ILMU KEPERAWATAN


FAKULTAS KEPERAWATAN
UNIVERSITAS JEMBER
2019
35

ORIENTASI PEMBERIAN TERAPI OKSIGEN PADA BAYI


DENGAN ASFIKSIA

SATUAN ACARA PENYULUHAN

Oleh

Kelompok 2 / Kelas C

Devita Nandasari NIM 172310101125


Viola Alvionita NIM 172310101146

PROGRAM SARJANA ILMU KEPERAWATAN


FAKULTAS KEPERAWATAN
UNIVERSITAS JEMBER
2019
36

SATUAN ACARA PENYULUHAN (SAP)


ORIENTASI PEMBERIAN TERAPI OKSIGEN PADA BAYI

Topik : Orientasi Pemberian Terapi Oksigen pada Bayi


Sub Topik : Pengertian terapi oksigen, tujuan dan manfaat terapi oksigen,
akibat jika tidak diberikan terapi oksigen, alat-alat terapi oksigen.
Sasaran : Ibu hamil di Desa Sumbersari Jember
Tempat : Rumah Sakit Jember Klinik, Jember
Hari / Tanggal : Sabtu, 5 Oktober 2019
Waktu : 15 menit
Penyuluh : Devita Nandasari
Viola Alvionita

I. Analisa Data
A. Kebutuhan Peserta Didik
Berdasarkan survei yang telah dilakukan di Desa Sumbersari
Kota Jember, masyarakat di desa sekitaran Sumbersari diketahui
bahwa terdapat beberapa kelahiran dengan asfiksia. Kebanyakan ibu
hamil mengeluhkan cemas, panik dan takut ketika bayinya mengalami
asfiksia dan diberikan oksigen. Sebagian besar warga Desa
Sumbersari Kota Jember bersekolah maksimal lulusan pendidikan
Sekolah Pertama sehingga pengetahuan akan terapi oksigen. Dari
permasalahan yang terterah, dapat disimpulkan untuk meningkatkan
pengetahuan dan mengurangi kecemasan ibu hamil Desa Sumbersari
Kota Jember kita dapat mengadakan penyuluhan kesehatan tentang
orientasi pemberian terapi oksigen pada bayi.
37

B. Karakteristik Peserta Didik


Ibu Hamil Desa Sumbersari Kota Jember dengan rata-rata
tingkat pendidikan tingkat Sekolah Menengah Pertama (SMP).

II. Tujuan Instruksional Umum


Setelah dilakukan penyuluhan kesehatan, diharapkan orang tua yang
berada di Desa Sumbersari Kota Jember memahami terapi oksigen yang
diberikan pada bayi sehingga menurunkan kecemasan dan kepanikan ketika
bayinya diberikan terapi oksigen.

III. Tujuan Instruksional Khusus


Setelah mengikuti penyuluhan kesehatan selama 1 x 15 menit,
diharapkan orang tua di Desa Sumbersari mampu:
a) Mereka dapat mengerti pengertian terapi oksigen.
b) Mereka dapat mengerti tujuan dan manfaat pemberian terapi oksigen
pada bayi.
c) Mereka dapat mengetahui akibat jika tidak segera diberikan terapi
oksigen.
d) Mereka dapat mengetahui alat-alat yang digunakan untuk pemberian
terapi oksigen.

IV. Materi (Terlampir)


a) Pengertian Terapi Oksigen
b) Tujuan dan Manfaat Pemberian Terapi Oksigen
c) Akibat jika tidak diberikan Terapi Oksigen
d) Alat-alat yang digunakan untuk pemberian Terapi Oksigen

V. Metode
Ceramah dan diskusi
38

VI. Media
Leaflet

VII. Kegiatan Penyuluhan


No Waktu Kegiatan Penyuluhan Kegiatan Peserta
1 Pembukaan  Memberikan salam  Menjawab salam
2 menit  Perkenalan  Mendengarkan
 Menjelaskan TIU dan TIK dan
 Menyebutkan materi yang memperhatikan
akan diberikan
2. Inti a. Menanyakan (review) kepada  Menjawab
10 menit masyarat tentang pentingnya pertanyaan
pemberian terapi oksigen pada penyuluhan
bayi asfiksia.  Mendengarkan
 Menjelaskan materi dan
tentang : memperhatikan
a) Pengertian terapi  Bertanya pada
oksigen penyuluh bila
b) Tujuan dan manfaat masih ada yang
di berikannya terapi belum jelas
oksigen pada bayi
c) Akibat jika tidak
segera diberikan
terapi oksigen
d) Alat-alat yang
digunakan untuk
pemberian terapi
oksigen
3 Penutup  Evaluasi  Menjawab
3 menit  Menyimpulkan pertanyaan
39

 Mengucapkan salam penutup  Memperhatikan


 Menjawab salam

XI. Evaluasi
a) Pengertian terapi oksigen
b) Tujuan dan manfaat pemberian terapi oksigen pada bayi
c) Akibat jika tidak segera diberikan terapi oksigen
d) Alat-alat yang digunakan untuk pemberian terapi oksigen
40

Referensi

Budiman, A. 2017. Terapi Oksigen. Lantera Indonesia: Peduli Kritis Profesional.

Maya, I. P. G. N. I. dan I. G. A. G. U. Hartawan, 2017. Terapi Oksigen (O2).


Denpasar: Fakultas Kedokteran Universitas Udayana.
41

Materi Penyuluhan Orientasi Pemberian Terapi Oksigen Pada Bayi

1) Pengertian Terapi Oksigen


Terapi oksigen (O2) merupakan suatu intervensi medis berupa upaya
pengobatan dengan pemberian oksigen (O2) untuk mencegah atau
memperbaiki hipoksia jaringan dan mempertahankan oksigenasi jaringan
agar tetap adekuat dengan cara meningkatkan masukan oksigen (O2) ke
dalam sistem respirasi, meningkatkan daya angkut oksigen (O2) ke dalam
sirkulasi dan meningkatkan pelepasan atau ekstraksi oksigen (O2) ke
jaringan.
2) Tujuan dan Manfaat Pemberian Terapi Oksigen pada Bayi
a) Meningkatkan kapasitas residu fungsional paru.
b) Memperbaiki stabilitas dinding dada (terutama pada bayi prematur).
c) Membuka alveoli dan mencegah atelaktasis.
d) Mempertahankan agar jalan nafas tetap terbuka.
e) Memperbaiki pola pernafasan.
f) Memperbaiki ventilasi dan perfusi pada saluran pernafasan.
3) Akibat Jika Tidak Segera Diberikan Terapi Oksigen
Apabila bayi tidak segera diberikan terapi oksigen dalam jangka
waktu sebentar maka bayi akan mengalami kekurangan oksigen, atau
disebut dengan asfiksia. Asfiksia adalah kondisi oksigen di dalam darah ibu
terlalu sedikit sebelum atau selama persalinan. Kemudian, terdapat masalah
pada tali pusat saat persalinan. Napas bayi juga tidak terbentuk dengan
benar, atau napas bayi terblokir,sehingga sel-sel darah bayi tidak
mengalirkan oksigen yang cukup.
Namun jika tidak mendapat oksigen dalam waktu lama, ia berisiko
mengalami kerusakan permanen pada organ tubuhnya. Beberapa organ
tubuh yang terkena pengaruh oleh asfiksia di antaranya adalah otak, jantung,
paru-paru, ginjal, dan usus. Bayi prematur yang mengalami asfiksia berisiko
mengalami beberapa gangguan kesehatan, seperti celebral palsy, gangguan
42

tumbuh kembang, gangguan penglihatan, dan beberapa kasus parah dapat


berujung pada kegagalan organ, bahkan kematian.

4) Alat-alat yang digunakan untuk pemberian Terapi Oksigen pada bayi


a) Inkubator
 Dengan flow yang tinggi, dibutuhkan 10 menit untuk
menstabilkan oksigen.
 Pada saat jendela inkubator terbuka, kadar oksigen menurun
sangat cepat.
 Tidak direkomendasikan, hanya pada bayi yang membutuhkan
FiO2 < 35%
b) Head Box
 Flow 5-7 L/menit Flow > 7L/min: ↑ O2, ribut, bayi muntah.
FiO2 dapat berkisar 21%100%. Harus disertai oxygen analyzer
10
 Laju aliran oksigen < 4 L/mnt pada head box kecil & 3 L/mnt
pada head box sedang & besar berhubungan dengan retensi
CO2
 Tidak aman untuk prematur FiO2 tidak diketahui risiko
intoksikasi tinggi
c) Nasal Canula
 Low flow device flow < 2 L/menit
 Tidak perlu humidifikasi
 Sulit menentukan FiO2
 Dapat menciptakan PEEP tergantung ukuran kanul nasal dan
flow
d) Nasal CPAP
Continuous positive airway pressure (CPAP) adalah alat yang
dapat memberikan udara dengan tekanan positif ke dalam saluran
napas pada bayi yang masih dapat bernapas spontan.
Manfaat CPAP :
43

 Membuka jalan napas


 Meningkatkan pengembangan paru
 Meningkatkan volume residual paru
 Mencegah alveolus kolaps
 Menghemat surfaktan endogen
 Mengurangi ventilation perfusion mismatch
 Meningkatkan oksigenasi
 Meningkatkan compliance paru
 Mengurangi resistensi saluran napas
 Mengurangi work of breathing
 Menstabilkan pola napas
44

Lampiran 2: Leaftlet
45

Lampiran 3: Lembar Mahasiswa Aktif Bertanya

Hari/tanggal : Kamis, 26 September 2019


Kelas : C 2017
Dosen Pengampu : Ns. Peni Perdani Juliningrum, M. Kep.
Materi : Asfiksia
Kelompok :2
Anggota Kelompok : 1) Devita Nandasari NIM 172310101125
2) Viola Alvionita NIM 172310101146

No. Nama NIM

1. Rafika Diana Martha 172310101165

2. Siti Fatimatus Zahro 172310101144

3. Diniar Tiara Alviandana 172310101140

4.

5.

6.

7.
46

Lampiran 4: Pertanyaan dan Jawaban

1) Rafika Diana Martha (17-165)


Apakah ada hubungan antara jenis persalinan dengan asfiksia pada bayi?
Ada hubungan persalinan buatan cenderung melahirkan bayi dengan asfiksia
berat dibandingkan persalinan normal. Karena bayi yang lahir dengan caesar
atau persalinan buatan mengandung cairan yang lebih banyak dan udara
yang lebih sedikit di dalam paru 6 jam pertama setelah lahir. Selain itu
kelahiran normal yang dibantu dengan alat seperti vakum dan forceps dapat
memberikan trauma sehingga dapat menyebabkan paralisis pusat
pernapasan.
2) Siti Fatimatus Zahro (17-144)
a) Mengapa prioritas diagnosanya Ketidakefektifan Pola Napas bukan
Ketidakefektifan Bersihan Jalan Napas?
Karena menurut kelompok kami ketidakefektifan jalan nafas lebih
penting agar pasien tidak mengalami sesak nafas. Selain itu, suara
merintih yang dialami bayi bukan akibat dari sputum, melainkan suara
grunting.
b) Kenapa intervensi tidak diberi terapi oksigen?
Di dalam kasus sudah disebutkan bahwa pasien sudah mendapatkan
terapi O2 masker lpm. Jadi, tugas kita sebagai perawat adalah
memonitor terapi maupun pernapasan klien. Terapi tidak dituliskan di
intervensi tujuannya untuk mencegah tindakan double oleh perawat
pelaksana.
3) Diniar Tiara Alviandana (17-140)
a) Kenapa semua kelahiran mengalami asfiksia?
Jadi bayi yang baru lahir dan tidak bernafas langsung diberikan
perawatan HAIKAP tanpa melihat APGAR Score. Pada proses
kelahiran selalu menimbulkan asfiksia ringan yang bersifat sementara,
proses ini diperlukan untuk merangsang kemoreseptor pusat
47

pernapasan (primary gasping) yang kemudian berlanjut pernapasan


teratur.
b) Bagaimana cara menghitung APGAR Score?
APGAR Score dapat dilihat pada tabel, lalu skor dijumlah. Jika nilai
APGAR 0-3 maka bayi asfiksia berat. Jika nilai APGAR 3-4 maka
bayi asfiksia sedang. Jika nilai APGAR 5-7 maka bayi asfiksia ringan.
Jika nilai APGAR 8-10 maka bayi normal atau tidak asfiksia.

Anda mungkin juga menyukai