Anda di halaman 1dari 14

BAB I

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Pneumonia hingga saat ini masih tercatat sebagai masalah kesehatan utama
pada anak di Negara berkembang. Diperkirakan hampir 1/5 kematian anak
diseluruh dunia, lebih kurang 2 juta anak balita, meninggal setiap tahun akibat
pneumonia, sebagian besar terjadi di Afrika dan Asia Tenggara. Menurut survey
kesehatan nasional (SKN) 2001, 27,6% kematian bayi dan 22,8% kematian balita
di Indonesia disebabkan oleh penyakit pernapasan, terutama pneumonia1.

Menurut WHO tahun 2005 proporsi kematian balita dan bayi karena
pneumonia di dunia adalah sebesar 19% dan 26%. Pneumonia masih merupakan
masalah kesehatan masyarakat di Indonesia terutama pada balita².

Menurut hasil Riskesdas 2007, Penumonia merupakan pembunuh nomor


dua pada balita (15,2%) setelah diare (17,2%). Diperkirakan lebih dari 4 juta
kematian setiap tahun di negara berkembang disebabkan oleh infeksi respiratori
akut. Penelitian yang dilakukan RISKESDAS pada tahun 2013, Indonesia
mempunyai pravelensi pneumonia sebesar 4,5%. Tahun 2013 jumlah balita di
Kota Medan adalah sebanyak 244.730 balita. Penderita pneumonia di Kota Medan
yang ditemukan dan ditangani ada sebanyak 4.269 balita (17,3%)3.

Dinegara Berkembang, Pneumonia pada anak terutama disebabkan oleh


bakteri. Bakteri yang sering menyebabkan pneumonia adalah streptococcus
pneumonia, Haemophillus Influenzae, dan Staphylococcus Aureus. Faktor resiko
yang menyebabkan tingginya angka mortalitas pneumonia pada anak balita di
negara berkembang adalah berat badan lahir rendah (BBLR), tidak mendapat
imunisasi, tidak mendapat ASI yang adekuat, malnutrisi, defisiensi Vitamin A,
tingginya prevenlens kolonisasi bakteri patogen di nasofaring, dan tingginya
pajanan terhadap polusi udara (polusi industri atau asap rokok)1.

1
Imunisasi memberikan dampak yang sangat besar dalam menurunkan
insidens pneumonia yang disebabkan oleh pertusis, difteri, campak, Haemophillus
Influenza dan S. Pneumonia4.

2
BAB II

TINJAUAN KEPUSTAKAAN

2.1 Definisi Bronkopneumonia

Bronkopneumonia disebut juga pneumonia lobularis adalah peradangan


pada paru yang terfokus pada area bronkiolus dan memicu produksi eksudat
mukopurulen yang dapat mengakibatkan obstruksi saluran respiratori dan
menyebabkan konsolidasi yang merata ke lobulus yang berdekatan4.

2.2 Etiologi1
Usia Etiologi Yang Sering Etiologi Yang Jarang
Lahir 20 Hari Bakteri Bakteri
- E. Coli - Bakteri Anaerob
- Streptococcus Group B - Streptococcus Group
- Listeria D
Monocytogenes - Haemophillus
Pneumoniae
- Ureaplasma
Urealyticum
Virus
- Virus Sitomegalo
- Virus Herpes
Simpleks
3 Minggu – 3 Bulan Bakteri Bakteri
- Chlamydia - Bordetella pertussis
Trachomatis - Haemophillus
- Streptococcus Influenza Tipe B
Pneumoniae - Moraxella Catharalis
Virus - Staphylococcus
- Virus Adeno Aureus
- Virus Influenza - Ureaplasma
- Virus Parainfluenza Urealyticum

3
1,2,3 Virus
- Respiratory Synctial - Virus Sitomegalo
Virus
4 Bulan – 5 Tahun Bakteri Bakteri
- Chlamydia - Haemophillus
Pneumoniae Influenza Tipe B
- Mycoplasma - Moraxella Catharalis
Pneumoniae - Neisseria Meningitidis
- Sreptococcus - Staphylococcus
Pneumoniae Aureus
Virus
Virus - Virus Varicella Zoster
- Virus Adeno
- Virus Influenza
- Virus Parainfluenza
- Virus Rino
- Respiratory Synctial
Virus
5 Tahun - Remaja Bakteri Bakteri
- Chlamydia - Haemophillus
Pneumoniae Influenza
- Mycoplasma - Legionella Sp
Pneumoniae - Staphylococcus
- Streptococcus Aureus
Pneumoniae Virus
- Virus Adeno
- Virus Epstein Barr
- Virus Influenza
- Virus Parainfluenza
- Virus Rino
- Respyratory Syncytial
Virus
- Virus Varicella Zoster

4
2.3 Patogenesis

Umumnya Mikroorganisme penyebab terhisap ke paru paru bagian perifer


melalui saluran respiratori. Mula mula terjadi edema akibat reaksi jaringan yang
mempermudah proliferasi dan penyebaran kuman ke jaringan sekitarnya. Bagian
paru yang terkena mengalami konsolidasi, yaitu terjadi serbukan sel PMN, fibrin,
eritrosit, cairan edema, dan ditemukannya kuman di alveoli. Stadium ini disebut
stadium hepatisasi merah. Selanjutnya, deposisi fibrin semakin bertambah,
terdapat fibrin dan leukosit PMN di kelabu. Selanjutnya, jumlah makrofag
meningkat di alveoli, sel akan mengalami degenerasi, fibrin menipis, kuman dan
debris menghilang, stadium ini disebut stadium resolusi. Sistem bronkopulmoner
jaringan paru yang tidak terkena akan tetap normal1.

Stadium I/Hiperemia (4 – 12 jam pertama/kongesti)

Pada stadium I, disebut hyperemia karena mengacu pada respon


peradangan permulaan yang berlangsung pada daerah baru yang terinfeksi. Hal ini
ditandai dengan peningkatan aliran darah dan permeabilitas kapiler di tempat
infeksi. Hiperemia ini terjadi akibat pelepasan mediator-mediator peradangan dari
sel-sel mast setelah pengaktifan sel imun dan cedera jaringan. Mediator-mediator
tersebut mencakup histamin dan prostaglandin. Degranulasi sel mast juga
mengaktifkan jalur komplemen. Komplemen bekerja sama dengan histamin dan
prostaglandin untuk melemaskan otot polos vaskuler paru dan peningkatan
permeabilitas kapiler paru. Hal ini mengakibatkan perpindahan eksudat plasma ke
dalam ruang interstisium sehingga terjadi pembengkakan dan edema antar kapiler
dan alveolus. Penimbunan cairan di antara kapiler dan alveolus meningkatkan
jarak yang harus ditempuh oleh oksigen dan karbondioksida maka perpindahan
gas ini dalam darah paling berpengaruh dan sering mengakibatkan penurunan
saturasi oksigen hemoglobin5.

5
Stadium II/Hepatisasi Merah (48 jam berikutnya)

Pada stadium II, disebut hepatisasi merah karena terjadi sewaktu alveolus
terisi oleh sel darah merah, eksudat dan fibrin yang dihasilkan oleh penjamu (host)
sebagai bagian dari reaksi peradangan. Lobus yang terkena menjadi padat oleh
karena adanya penumpukan leukosit, eritrosit dan cairan sehingga warna paru
menjadi merah dan pada perabaan seperti hepar, pada stadium ini udara alveoli
tidak ada atau sangat minimal sehingga anak akan bertambah sesak, stadium ini
berlangsung sangat singkat, yaitu selama 48 jam5.

Stadium III/Hepatisasi Kelabu (3 – 8 hari)


Pada stadium III/hepatisasi kelabu yang terjadi sewaktu sel-sel darah putih
mengkolonisasi daerah paru yang terinfeksi. Pada saat ini endapan fibrin
terakumulasi di seluruh daerah yang cedera dan terjadi fagositosis sisa-sisa sel.
Pada stadium ini eritrosit di alveoli mulai di reabsorbsi, lobus masih tetap padat
karena berisi fibrin dan leukosit, warna merah menjadi pucat kelabu dan kapiler
darah tidak lagi mengalami kongesti5.

Stadium IV/Resolusi (7 – 11 hari)


Pada stadium IV/resolusi yang terjadi sewaktu respon imun dan
peradangan mereda, sisa-sisa sel fibrin dan eksudat lisis dan diabsorpsi oleh
makrofag sehingga jaringan kembali ke strukturnya semula5.

2.4 Manifestasi Klinis

Beberapa faktor yang mempengaruhi gambaran klinis pneumonia pada


anak adalah :1

- Imaturitas anatomic dan imunologik


- Mikroorganisme penyebab yang luas
- Gejala klinis yang kadang kadang tidak khas terutama pada bayi
- Terbatasnya penggunaan prosedur diagnostic invasive
- Faktor pathogenesis

6
Bronkopneumonia biasanya didahului oleh infeksi saluran nafas bagian
atas selama beberapa hari. Suhu dapat naik secara mendadak sampai 39-40ºC dan
mungkin disertai kejang karena demam yang tinggi. Anak sangat gelisah, dispnue,
pernafasan cepat dan dangkal disertai pernafasan cuping hidung dan sianosis di
sekitar hidung dan mulut. Batuk biasanya tidak dijumpai pada awal penyakit, anak
akan mendapat batuk setelah beberapa hari, pada awalnya berupa batuk kering
kemudian menjadi produktif.

Pada pemeriksaan fisik didapatkan, inspeksi : perlu diperhatikan adanya


tachipnue, dispnue, sianosis sekitar hidung dan mulut, pernapasan cuping hidung,
distensi abdomen, retraksi sela iga, batuk semula nonproduktif menjadi produktif,
serta nyeri dada pada waktu menarik napas. Palpasi : suara redup pada sisi yang
sakit, hati mungkin membesar, fremitus raba mungkin meningkat pada sisi yang
sakit, dan nadi mungkin mengalami peningkatan (tachicardia). Perkusi : suara
redup pada sisi yang sakit. Auskultasi, auskultasi sederhana dapat dilakukan
dengan cara mendekatkan telinga ke hidung/mulut bayi. Pada anak yang
bronkopneumonia akan terdengar stridor.

Pada bronkopneumonia, hasil pemeriksaan fisik tergantung pada luasnya


daerah yang terkena. Pada perkusi toraks sering tidak dijumpai adanya kelainan.
Pada auskultasi terdengar ronki basah gelembung halus. Bila sarang
bronkopneumonia menjadi satu (konfluens) pada perkusi terdengar suara yang
meredup dan suara pernafasan pada auskultasi terdengar mengeras.

2.5 Pemeriksaan Penunjang


1. Darah perifer lengkap

Pada pneumonia virus dan mikoplasma umumnya ditemukan leukosit


dalam batas normal atau sedikit meningkat. Akan tetapi pada pneumonia
bakteri didapatkan leukositosis yang berkisar antara 15.000 – 40.000/mm3
dengan predominan PMN. Leukopenia (<5000/mm3)menunjukkan prognosis
yang buruk. Leukositosis hebat (>30.000/mm3) hampir selalu menunjukkan

7
adanya infeksi bakteri, sering ditemukan pada keadaan bacteremia dan risiko
terjadinya komplikasi lebih tinggi1.

2. C-Reactive Protein

C-reactive protein adalah suatu protein fase akut yang disintesis oleh
hepatosit. Sebagai respon infeksi atau inflamasi jaringan, produksi CRP
secara cepat di stimulasi oleh sitokin terutama IL-6, IL-1 dan TNF.

CRP digunakan sebagai alat diagnostic untuk membedakan antara factor


infeksi dan noninfeksi, infeksi virus dan bakteri, atau infeksi bakteri
superficialis dan profunda. Kadar CRP biasanya lebih rendah pada infeksi
virus dan bakteri superficialis daripada infeksi bakteri profunda. Selain itu
juga digunakan untuk evaluasi respon terapi antibiotik1.

3. Uji serologis

Digunakan untuk mendeteksi antigen dan antibody pada infeksi bakteri


tipik mempunyai sensitivitas dan spesifisitas yang rendah. Akan tetapi
diagnosis infeksi streptokokus grup A dikonfirmasi dengan peningkatan titer
antibody seperti anti streptolisin O, streptozim atau antiDnase B. peningkatan
titer juga berarti adanya infeksi terdahulu. Secara umum uji serologis tidak
terlalu bermanfaat untuk infeksi bakteri tipik, tetapi lebih bermanfaat untuk
konfirmasi diagnosis infeksi bakteri atipik1.

4. Pemeriksaan mikrobiologis

Pemeriksaan hanya dilakukan pada pneumonia berat yang dirawat di RS.


Specimen yang diambil berasal dari usap tenggorok, secret nasofaring,
bilasan bronkus, darah, fungsi pleura atau aspirasi pleura1.

5. Rontgen Torak

Foto rontgen torak tidak rutin dilakukan, hanya direkomendasikan pada


pneumonia berat yang dirawat di RS dengan posisi AP. Posisi AP dan lateral

8
hanya dilakukan pada pasien dengan tanda dan gejala klinik distress
pernafasan seperti takipneu, batuk, dan ronki dengan atau tanpa suara nafas
yang lemah1.

Secara umum gambaran torak bronkopneumonia ditandai dengan


gambaran difus merata pada kedua paru, berupa bercak-bercak infiltrate yang
dapat meluas hingga daerah perifer paru disertai dengan peningkatan corakan
peribronkial1.

2.6 Diagnosis

Diagnosis berdasarkan gambaran klinis yang melibatkan system respiratori


dan pemeriksaan fisik serta penunjang. Akibat tingginya angka morbiditas dan
mortalitas, WHO mengembangkan pedoman diagnosis dan tatalaksana yang
sederhana. Tujuannya untuk menyederhanakan kriteria diagnosis berdasarkan
gejala klinis yang dapat langsung dideteksi, menetapkan klasifikasi penyakit dan
menentukan dasar pemakaian antibiotik1.

Klasifikasi berdasarkan pedoman WHO:

Bayi dan anak berusia 2 bulan – 5 tahun

1. Pneumonia berat
- Batuk dan atau kesulitan bernapas ditambah minimal salah satu hal berikut
ini :

Kepala terangguk-angguk, pernafasan cuping hidung, retraksi


dinding dada, foto dada menunjukkan gambaran pneumonia. Selain
itu dapat pula ditemukan napas cepat, suara merintih, pada
auskultasi terdengar ronki, suara pernapasan menurun, pernapasan
bronkial. Dalam keadaan yang sangat berat dapat dijumpai tidak
dapat menyusu, minum/ makan, atau memuntahkan semuanya,
kejang, letargis, sianosis dan distress pernapasan1.

9
- Harus dirawat dan diberikan AB1.

2. Pneumonia Ringan

- Disamping batuk atau kesulitan bernapas, hanya terdapat napas cepat saja.
 >50 X/menit untuk anak usia 2 bulan – 1 tahun
 >40 X/menit untuk anak >1-5 tahun1.
- Tidak perlu dirawat, diberikan AB oral1.

2.7 Diagnosis Banding4


1. Penyakit Herditer
- Kistik Fibrosis
- Penyakit Sel Sabit
2. Gangguan Sistem Imun
- AIDS
- Sindrom Immunodefisiensi Kombinasi Berat
3. Gangguan Leukosit
- Penyakit Granulomatosa Kronik
- Syndrome Job
4. Gangguan Pada Silia
- Syndrome Silia Immotil
- Syndrome Kartagener
5. Kelainan Anatomis
- Emfisema Lobaris
- Refluks Esofageal
- Bronkiektasis
- Sekuestrasi

10
2.8 Penatalaksanaan6
1. Pneumonia ringan
- Anak dirawat jalan
- Beri AB: kotrimoksasol (4 mg TMP/KgBB/kali) 2 kali sehari selama 3
hari atau Amoksisilin (25 mg/KgBB/kali) 2 kali sehari selama 3 hari.
Untuk pasien HIV diberikan selama 5 hari
2. Pneumonia berat
- Anak dirawat di RS
- Beri AB: amoksisilin/ampisilin (25-50mg/Kgbb/kali IV atau IM setiap 6
jam) yang harus dipantau dalam 24 jm selama 72 ja pertama. Bila respon
baik, maka beri selama 5 hari. Selanjutnya terapi dilanjutkan amoksisilin
oral (15mg/kgbb/kali tiga sehari) untuk 5 hari berikutnya
- Bila keadaan klinis memburuk sebelum 48 jam atau terdapat keadaan yang
berat, tambahkan kloramfenikol (25mg/kgbb/kali IM atau IV/ 8 jam)
- Bila pasien dating dengan klinis berat, segera berikan oksigen dan
pengobatan kombinasi ampisilin-kloramfenikol atau ampisilin-gentamisin
- Sebagai alternatif beri seftriakson (80-100mg/kgbb/IM atau IVsekali
sehari)

2.9 Komplikasi1
1. Empiema Toracis
2. Bronkiolitis
3. Gagal jantung
4. Atelektasis
5. Abses paru
6. Pericarditis purulenta
7. Pneumothoraks
8. Infeksi ekstrapulmoner

11
2.10 Prognosis
Pada Umumnya anak akan sembuh dari pneumonia dengan cepat dan
sembuh sempurna. Walaupun kelainan radiologi dapat bertahan 6-8 minggu
sebelum kembali ke kondisi normal. Pada beberapa anak, pneumonia dapat
berlangsung lebih lama dari 1 bulan atau dapat berulang4.

12
BAB III
PENUTUP

3.1 Kesimpulan

Pneumonia hingga saat ini masih tercatat sebagai masalah kesehatan


utama pada anak di Negara berkembang. Diperkirakan hampir 1/5 kematian anak
diseluruh dunia, lebih kurang 2 juta anak balita, meninggal setiap tahun akibat
pneumonia, sebagian besar terjadi di Afrika dan Asia Tenggara. Menurut survey
kesehatan nasional (SKN) 2001, 27,6% kematian bayi dan 22,8% kematian balita
di Indonesia disebabkan oleh penyakit pernapasan, terutama pneumonia.

Bronkopneumonia disebut juga pneumonia lobularis adalah peradangan


pada paru yang terfokus pada area bronkiolus dan memicu produksi eksudat
mukopurulen yang dapat mengakibatkan obstruksi saluran respiratori dan
menyebabkan konsolidasi yang merata ke lobulus yang berdekatan. Pneumonia
dapat berbagai cara ,Virus dan bakteri yang biasanya ditemukan di hidung atau
tenggorokan anak, dapat menginfeksi paru-paru jika terhirup.

13
REFERENSI

1. Nastiti, N. Rahajoe, dkk. 2010. Pneumonia: Buku Ajar Respirologi Anak


Edisi Pertama, pp. 350-364. Jakarta: Badan Penerbit IDAI
2. Kementerian Kesehatan RI. 2010. Pneumonia Balita. Jakarta: Kemenkes
RI
3. Riset Kesehatan Dasar. 2013. Jakarta: Badan Penelitian dan
Pengembangan Kesehatan Kementerian Kesehatan RI
4. Arvin, Behrman Kliengman. 2000. Nelson Ilmu Kesehatan Anak Edisi 15
Volume 3. Jakarta: EGC
5. Putri, Enda Silvia. 2010. Medan. Karakteristik Penderita
Bronkopneumonia pada Balita Rawat Inap di Rumah Sakit Santa
Elisabeth Medan Tahun 2005-2009.
6. World Health Organization. Buku Saku Pelayanan Kesehatan Anak di
Rumah Sakit Edisi Indonesia. WHO, 2009. Hal 86-93

14

Anda mungkin juga menyukai