Perifer
Editor:
Co Editor:
Tjokorda G. A. Senapathi, dr. SpAnKAR
Prakata:
Prof. Darto Satoto, dr. SpAn-KAR
PT Indeks, Jakarta
2013
Prakata
Koordinator editorial: Tjokorda G. A. Senapathi, dr. SpAnKAR
Penata letak: Danish Art 77
Pemodifikasi desain sampul: Marcella Virginia
Penulis
Buku ini saya persembahkan untuk:
Serta
Tjokorda GB Mahadewa
Om Swastyastu,
Pertama-tama marilah kita bersama memanjatkan puji syukur
kehadapan Ida Sang Hyang Widi Wasa/Tuhan Yang Maha Esa atas
terbitnya buku ini, yang merupakan kumpulan makalah, tentang
cedera saraf tepi dilihat dari aspek klinis dan penatalaksanaannya.
Sebagai Rektor Universitas Udayana (UNUD), saya bangga atas
apa yang telah dikerjakan oleh staf Satuan Medik Fungsional (SMF)
Bedah Saraf, Anestesi, Saraf dan Rehabilitasi Medis Fakultas
Kedokteran (FK) UNUD/Rumah Sakit Umum Pusat (RSUP) Sanglah-
Denpasar. Buku ini merupakan bukti bahwa dokter Universitas
Udayana bisa memberikan sumbangsihnya untuk khasanah ilmu
kedokteran.
Pada prinsipnya saya menyambut baik diterbitkannya buku ini,
karena semua hal tersebut sangat penting diketahui oleh mahasiswa,
paramedis, dokter umum maupun dokter residen, yang bertugas di
Puskesmas maupun Rumah Sakit Daerah. Mudah-mudahan apa
yang didapatkan dari buku ini dapat menambah pengetahuan para
pembaca dan dapat bermanfaat dalam tugas sehari-hari di tempat
tugas masing- masing.
Om Shanti Shanti Shanti Om
xi
1. Pendahuluan .............................................................................................
Aida Tantri, dr.SpAn-KAR
Abdul Hafid Bajamal
Konsultan Anestesi Regional Departemen Anestesiologi dan Intensive
Care FKUI/RSCM 2. Epidemiologi Cedera Saraf Tepi ............................................................
MZ Arifin
Pryambodho,dr.SpAn-KAR
3. Anatomi dan fisiologi saraf tepi ............................................................
Konsultan Anestesi Regional Departemen Anestesiologi dan Intensive DPG Purwa Samatra
Care FKUI/RSCM
4. Patofisiologi Cedera saraf tepi ...............................................................
Nyoman Golden
Tjokorda Gde Agung Senapathi, dr. SpAn-KAR
Konsultan Anestesi Regional SMF/Bagian Anestesiologi-Terapi Intensif 5. Diagnosis Cedera saraf tepi ...................................................................
dan Penanganan Nyeri FK UNUD/RSUP Sanglah-Bali AA Raka Sudewi
6. Tatalaksana Cedera saraf tepi.................................................................
Tjokorda Dalem Kurniawan, dr. SpRM Kahdar Wiriadisastra
Kepala SMF Rehabilitasi Medik FK UNUD/RSUP Sanglah-Bali
7. Cervical Root Syndrome..........................................................................
Tjokorda GB Mahadewa
xv
xix
S araf tepi terdiri dari saraf kranial dan spinal yang menghubungkan
otak dan medula spinalis ke jaringan tepi. Medula spinalis terdiri dari
31 pasang saraf spinal yang mengandung campuran serabut-se- rabut
sensorik dan motorik. Dalam saraf tepi, serabut disusun dalam berkas
terpisah yang dikenal dengan fascikel. Kurang dari setengah saraf
dilapisi oleh lapisan myelin. Serabut-serabut yang tak bermyelin
berjalan sepanjang permukaan sel-sel Schwann. Tiap sel Schwann dike-
lilingi jaringan serabut-serabut kolagen retikular, yaitu endoneurium.
Cedera saraf tepi biasanya sebagai akibat dari kecelakaan kendara-
an bermotor, laserasi oleh benda tajam, penetrasi trauma, trauma pe-
regangan dan penekanan dan fraktur, dan luka tembak. Cedera saraf
terjadi pada laki-laki muda dan sebagian besar kelompok umur pro-
duktif. Cedera saraf yang berhubungan dengan trauma menjadi ber-
kurang setelah umur tujuh puluhan. Cedera saraf sebagian besar ter-
jadi pada ekstremitas atas dan sebagian besar mengenai saraf ulnar,
radial, dan digital. Pada negara berkembang kecelakaan kendaraan
bermotor adalah penyebab tersering cedera saraf tepi, cedera saraf yang
disebabkan oleh injeksi intramuscular yang kurang aman juga masih
sering terjadi (Eser dkk, 2009).
Kerusakan saraf akibat trauma tergantung pada jenis, letak ser-
ta besarnya cedera pada saraf yang bersangkutan. Terdapat beberapa
faktor yang menyebabkan timbulnya cedera saraf tepi, namun tiga
pe- nyebab paling sering yang menimbulkan cedera adalah luka
terbuka, traksi, patah tulang serta cedera sendi. Lebih jarang lagi
adalah ke- rusakan yang disebabkan oleh jepitan atau tekanan pada
saraf kare- na pemasangan bidai atau bebat yang terlalu kencang,
torniket, atau
sebanyak 51% berupa cedera saraf soliter dan saraf aksilari terdapat
pada 42% pasien. Cedera saraf tepi biasanya akibat kecelakaan
kendaraan bermotor. Sebagian besar faktor etiologi adalah trauma Anatomi dan Fisiologi
Bab 3 Sistem Saraf T
musculoskeletal dan penyebab tersering trauma skeletal adalah DPG Purwa Samatra
kecelakaan kendaraan bermotor. Cedera saraf kemungkinan
berhubungan dengan trauma langsung dan peregangan. Penyebab
tersering kedua cedera saraf tepi adalah laserasi oleh benda tajam.
Trauma penetrasi oleh benda tajam atau tumpul biasanya menyebabkan
transeksi atau leserasi saraf dan rekonstruksi dini diindikasikan untuk
cedera saraf tepi oleh benda tajam. Pada beberapa studi 11,2%
penyebab adalah iatrogenik. Setengah dari cedera saraf sciatika
berhubungan dengan injeksi intragluteal atau antroplasti pinggul.
Pada negara berkembang, cedera saraf yang disebabkan oleh injeksi
intramuskular yang kurang aman masih sering terjadi (Eser dkk, 2009).
Mekanisme cedera saraf yang berhubungan dengan injeksi me-
liputi trauma jarum langsung, iskemia saraf, konstruksi melingkar dari istem persarafan terdiri dari neuron dan neuroglia yang tersusun
jaringan parut, dan cedera serabut saraf langsung oleh agen
neurotoksik. Selama prosedur injeksi, faktor-faktor penting meliputi
titik tempat masuknya jarum, ukuran jarum, dan sudut tempat
S membentuk sistem saraf pusat dan sistem saraf tepi. Susunan saraf
pusat terdiri dari otak dan medula spinalis sedangkan sistem saraf
tepi merupakan sistem saraf di luar sistem saraf pusat yang
masuknya jarum. Luka tembak menyebabkan cedera saraf tepi sebesar membawa pesan dari dan menuju sistem saraf pusat untuk
83,3% cedera pada studi di Pakistan dan 7,4% pada studi di Kanada dan menjalankan otot dan organ tubuh. Tidak seperti sistem saraf pusat,
sebesar 9,3% pada studi di Turki. Pada negara berkembang, kecelakaan sistem saraf tepi tidak dilindungi
kendaraan ber- motor adalah penyebab tersering. Kecelakaan ini tulang, sehingga rentan terhadap trauma (Snell,2006).
sebagian besar me- Sistem saraf tepi terbagi menjadi sistem saraf somatik dan
nyebabkan cedera Pleksus brakhialis dan Pleksus lumbalis. Faktor lain sistem saraf otonomik. Saraf-saraf tersebut mengandung serabut
meliputi tarikan dan tekanan pada Pleksus brakhialis dan luka tembak saraf aferen dan eferen. Pada umumnya serabut eferen terlibat dalam
pada cedera Pleksus lumbalis. Luka tembak adalah faktor penyebab lain fungsi motorik, seperti kontraksi otot atau sekresi kelenjar
dari cedera Pleksus brakhialis. Selain karena trauma, cedera saraf te- sedangkan serabut aferen biasanya menghantarkan rangsang
pi juga dapat disebabkan oleh infeksi (difteri, TBC, lepra), keracunan sensorik dari kulit, selaput lendir dan struktur yang lebih dalam
(kemoterapeutik, antibiotik, logam berat, gas CO), dan gangguan me-
(Groot ,1997).
tabolik (diabetes militus, leukemia) (Eser dkk, 2009; Robinson, 2005).
Stimulasi diterima oleh reseptor sistem saraf tepi yang selanjut-
nya akan dihantarkan oleh sistem saraf sensoris dalam bentuk impuls
listrik ke sistem saraf pusat. Pada sistem saraf pusat impuls diolah
dan diinterpretasi untuk kemudian jawaban atau respons diteruskan
kembali melalui sistem saraf tepi menuju efektor yang berfungsi
sebagai pencetus jawaban akhir. Sistem saraf yang membawa
jawaban atau respons adalah sistem saraf motorik. Jawaban yang
terjadi dapat berupa jawaban yang dipengaruhi oleh kemauan
(volunter) dan jawaban yang tidak dipengaruhi oleh kemauan
(involunter). Jawaban volunter melibatkan sistem saraf somatik
sedangkan yang involunter melibatkan sistem saraf otonom. Efektor
dari sistem saraf somatik adalah otot rangka sedangkan untuk
sistem saraf otonom, efektornya adalah otot polos, otot jantung dan
kelenjar sebasea (Ganong,2003).
6 Saraf Anatomi dan Fisiologi Sistem Saraf 7
Perifer Tepi
III.1 ANATOMI SISTEM SARAF TEPI Neuron memiliki kemampuan metabolisme yang sangat tinggi,
tetapi tidak dapat menyimpan zat-zat makanan dan oksigen. Oleh
Struktur serabut saraf tepi karena itu neuron perlu didukung oleh neuroglia yang menyuplai zat
Neuron merupakan unit fungsional dasar susunan saraf. Neuron ter- makanan dan oksigen untuk kelangsungan hidupnya. Sel-sel pendukung
diri dari badan sel saraf dan prosesus-prosesusnya. Badan sel saraf yang sangat penting antara lain adalah sel satelit dan sel Schwann. Sel
merupakan pusat metabolisme dari suatu neuron. Badan sel mengan- Schwann pada susunan saraf tepi bersifat seperti oligodendroglia pada
dung nukleus dan sitoplasma. Nukleus terletak di sentral, berben- SSP. Sebagian besar akson pada susunan saraf tepi dilapisi myelin
tuk bulat dan besar. Di dalam sitoplasma terdapat retikulum endo- dan membentuk segmen-segmen seperti di SSP. Tiap sel Schwann
plasma serta mengandung organel seperti substansi Nissl, apparatus hanya melapisi satu segmen, berbeda dengan oligondendroglia yang
Golgi, mitokondria, mikrofilamen, mikrotubulus dan lisosom. Mem- mengembangkan beberapa “tangan” ke tiap segmen. Sel Schwann juga
bran plasma dan selubung sel membentuk membran semipermeabel berbeda dari oligodendria dalam hal pembentukan sel baru. Bila ter-
yang memungkinkan difusi ion-ion tertentu melalui membran ini dan jadi kerusakan pada saraf tepi, sel Scwhann membentuk serangkaian
menghambat ion-ion lainnya. Processus sel neuron terbagi menjadi silinder yang berperan sebagai penunjuk arah pertumbuhan akson
dendrit-dendrit dan sebuah akson. Neuron mempunyai banyak den- (Kahle,2000).
drit yang menghantarkan impuls saraf ke arah badan sel saraf. Akson Jenis-jenis neuron diklasifikasi berdasarkan morfologi neuron
merupakan processus badan sel yang paling panjang menghantarkan yang ditentukan oleh jumlah, panjang, dan bentuk percabangan
impuls dari segmen awal ke terminal sinaps. Segmen awal badan sel neuritnya antara lain neuron unipolar, neuron bipolar dan neuron
merupakan elevasi badan sel berbentuk kerucut yang tidak mengan- multipolar. Pada sistem saraf tepi neuron sensorik berbentuk
dung granula Nissl dan disebut akson hillock (Snell, 2006). unipolar dan neuron motorik berbentuk multipolar (Sukardi, 1985).
NEURON
Dendrites Nucleus
(receivers)
Axon
(the conducting fiber) Axon
Myelin Sheath (insulating fatty layer that speeds transmision) Axon terminals
Layers of myelin
Axon
Schwann cell
Gambar 3.4. Serabut saraf bermielin yang memperlihatkan nodus Ranvier (Sumber dari
http:// www.mcatzone.com/glosslet.php?letter=n&pagenum=2).
Bipolar (Interneuron)Unipolar (Sensory Neuron)
Multipolar (Motoneuron)Piramidal Cell
impuls yang datang dari otot, sendi, fascia dan jaringan lain
Skeletal muscle of back
mencapai tingkat kesadaran, kebanyakan melayani kontrol otomatis
Dorsal Root Ganglion aktivitas motorik yang diperlukan untuk berjalan dan berdiri
Sensory receptors of back
Dorsal Horns Dorsal Root (Duus,1996).
Sensory neuron Spinal Nerve MIXED Ke arah tepi dari saraf, serat aferen yang berasal dari satu
Dorsal Ramus MIXED radiks dorsalis bergabung dan mensuplai daerah segmen tertentu
Ventral Ramus MIXED
dari ku- lit disebut dermatom. Jumlah dermatom adalah sebanyak
radiks seg- mental. Karena dermatom berhubungan dengan berbagai
Sensory receptors of limbs and trunk segmen ra- diks medula spinalis maka mempunyai nilai diagnostik
Ventral Root
Ventral horn motor neurons yang besar dalam menentukan tingkat ketinggian dari kerusakan
medula spinalis (Duus,1996).
Ventral Horns
Serat yang membentuk saraf tepi berasal dari berbagai radiks.
Aki- batnya, hilangnya sensorik yang disebabkan oleh kerusakan
Gambar 3.5. Segmen radiks spinalis (Sumber dari http://www.med.umich.edu/lrc/coursepages/ saraf tepi memperlihatkan pola yang sangat berbeda dengan yang
m1/anatomy2010/html/modules/spinal_cord_module/spinalcord_12.html). disebabkan oleh kerusakan radiks spinalis. Tumpang tindih daerah
sensorik dari saraf yang berdekatan agak terbatas dibandingkan
dengan tumpang tindih daerah sensorik radikular. Keadaan ini
puls menuju SSP (serabut aferen). Badan sel serabut saraf ini terletak sangat mempermudah deteksi adanya gangguan sensorik
dalam pembesaran radiks posterior yang disebut ganglion spinalis. Ra- (Duus,1996).
diks anterior bergabung dengan radiks posterior tepat di distal gang-
lion spinalis, dan keduanya membentuk saraf tepi spinalis. Jadi setiap
segmen tubuh mempunyai pasangan saraf spinalisnya masing-masing
(Snell,2007).
Dalam perjalanannya, saraf tepi bercabang dan bergabung de-
ngan saraf tepi di dekatnya sehingga membentuk jaringan saraf yang
disebut pleksus nervosus. Pleksus memungkinkan redistribusi serabut
saraf di dalam saraf tepi yang berbeda. Pembentukan pleksus-pleksus ini
menyebabkan serat-serat dari setiap pasang radiks bercabang menjadi
saraf-saraf tepi yang berbeda, artinya setiap saraf tepi dibuat dari serat
beberapa radiks segmental yang berdekatan (Duus,1996).
Jika saraf tepi rusak, daerah hipestesia umumnya lebih besar da- mempunyai tingkat kepekaan di antara keduanya. Kecepatan hantar- an
ripada daerah hipalgesia. Yang mungkin sulit adalah membedakan saraf yang normal 50-60 m/d pada nervus ulnaris dan nervus media- nus
gangguan sensorik yang disebabkan oleh cedera radikular C8 dari dan 45-55 m/d pada nervus peronealis komunis. Kecepatan han- taran
gangguan sensorik yang disebabkan oleh kerusakan saraf ulnaris, dan saraf dapat melambat secara mencolok akibat penurunan suhu, kompresi
gangguan sensorik cedera radikular L5-S1 dengan gangguan senso- dan kondisi yang lain. Kecepatannya mungkin berkurang 2 m/d setiap
rik yang disebabkan oleh kerusakan saraf peronealis, karena daerah penurunan suhu 1 derajat celcius. Kecepatan hantaran paling cepat terjadi
yang terlibat hampir sama. Setiap saraf sensorik tepi memiliki daerah pada serabut bermielin (sampai 50 kali lebih cepat daripada serabut yang
yang pasti untuk inervasinya memungkinkan untuk mengidentifikasi tidak bermielin) (Groot,1997).
kerusakan saraf melalui pemeriksaan yang cermat (Duus,1996).
Serabut saraf dibedakan menjadi 3 jenis berdasarkan diameter-
nya, kecepatan hantarannya, dan ciri-ciri fisiologisnya. Serabut A ada- Susunan saraf tepi motorik
lah serabut yang besar dan bermielin dengan hantaran yang cepat dan Susunan saraf tepi motorik dimulai dari motor neuron di kornu an-
menghantarkan berbagai impuls motorik atau sensorik. Serabut ini terior medula spinalis. Neuron-neuron yang menyalurkan impuls mo-
paling peka terhadap gangguan akibat tekanan mekanik atau keku- torik dari medula spinalis ke sel otot skeletal dinamakan lower motor
rangan oksigen. Serabut B lebih kecil daripada serabut A dan bermielin, neuron. LMN dengan aksonnya dinamakan final common pathway im-
serabut ini menghantarkan dengan lambat dan berfungsi otonom. puls motorik. LMN dibedakan menjadi alfa motorneuron (berukuran
Serabut C adalah serabut yang paling kecil dan tidak bermielin, serabut besar dan menjulurkan aksonnya yang tebal ke serabut otot ekstrafu-
ini menghantarkan impuls paling lambat dan menghantarkan rasa sal) dan gamma motorneuron (berukuran kecil, aksonnya halus dan
nyeri dan berfungsi otonom (Snell,2007). mensarafi otot intrafusal). Tiap motorneuron menjulurkan hanya satu
Serabut yang berdiameter besar paling mudah dirangsang akson yang ujungnya bercabang-cabang sehingga setiap akson dapat
dengan rangsangan listrik. Saraf itu sendiri paling peka terhadap berhubungan dengan sejumlah serabut otot. Penghambatan gerakan
perangsang- an dan otot paling kurang peka, sedangkan dilakukan oleh interneuron (sel Renshaw). Akson menghubungi sel
sambungan mioneural serabut otot melalui sinaps. Bagian otot yang bersinap itu dikenal se-
bagai motor end plate, yang merupakan penghubung antar neuron
dan otot. Setiap serabut otot memiliki satu motor end plate. Ujung-
Tabel 3.1. Klasifikasi serabut saraf (Sumber dari Snell,2007).
ujung terminal dari akson mengandung mitokondria dan gelembung-ge-
Tipe serabut Kec.hantar Diameter Fungsi Mielin lembung sinaptik yang mengandung asetilkolin. Pelepasan asetilkolin
(m/dt) (µm) melalui membran presinaptik terjadi saat potensial aksi tiba di mem-
Serabut tipe A bran tersebut. Terlepasnya asetilkolin mengakibatkan depolarisasi pada
membran postsinaptik. Interaksi antara asetilkolin dengan reseptornya
Alfa 70-120 12-20 Motorik,otot rangka Ya
menghasilkan perubahan pada konduktans di membran postsinaptik,
Beta 40-70 5-12 Sensoris, raba, tekan, Ya yang mempermudah permeabilitas bagi ion natrium dan kalium. Ion-
getar ion mengalir melalui kanal yang dibuka oleh interaksi reseptor
Gamma 10-15 3-6 Muscle spindle Ya asetilkolin mengakibatkan depolarisasi setempat pada motor end
Delta 6-30 2-5 Nyeri (tajam, lokal), Ya
plate, sehingga melepaskan potensial aksi yang membuat serabut
suhu, raba otot berkontraksi. Aksi asetilkolin pada membran postsinaptik ber-
langsung sangat cepat. Penghentian aksi dilakukan oleh enzim asetil-
Serabut tipe B 3-15 <3 Otonom praganglion Ya
kolinesterase yang membelah molekul menjadi 2 bagian kolin dan ase-
Serabut tipe C 0,5-2,0 0,4-1,2 Nyeri (difus, Tidak tat (Mardjono,2006).
dalam), suhu,
otonom post-
ganglion
bulan agar akson mencapai organ akhir yang sesuai, tergantung pada kan saraf lebih cepat daripada yang berdiameter lebih kecil. Serabut
tempat cedera. Kecepatan pertumbuhan diperkirakan sekitar 2-4 mm motorik besar (serabut alfa) dapat mencapai kecepatan 70-120 meter
per hari. Filamen akson yang membesar dalam tabung endoneurial per detik. Pada serabut saraf yang bermielin, selubung mielin berfungsi
hanya mencapai sekitar 80% dari diameter awalnya. Akibatnya sebagai insulator. Akibatnya serabut saraf bermielin hanya dapat di-
kecepatan konduksi saraf tidak sebesar kecepatan konduksi semula stimulasi pada nodus ranvier tempat akson terbuka dan potensial aksi
(Sukardi,1985). melompat dari satu nodus ke nodus berikutnya (saltatory conduction).
Mekanisme ini lebih cepat daripada mekanisme konduksi pada saraf
yang tidak bermielin (Ganong,2003).
III.2 FISIOLOGI SARAF TEPI
Neurotransmiter yang digunakan untuk melanjutkan impuls ke
Transmisi Sinaptik otot skletal adalah asetilkolin. Asetilkolin dibentuk dalam mitokondria
Neuron menghasilkan dan menghantarkan potensial aksi ke neuron lain dari persenyawaan kolin dan asetil-koA, dengan bantuan asetil kolin
melalui sinaps. Bentuk yang paling umum adalah sinaps yang terjadi transferase. Asetil kolin disimpan dalam vesikel sinaptik pada ujung-
antara akson sebuah neuron dengan dendrit atau badan sel neuron ujung saraf. Bila suatu impuls sampai pada membran presinaptik maka
kedua. Ketika akson mendekati sinaps, maka dapat terjadi pelebaran permeabilitas dari membran tersebut akan bertambah untuk Ca ++. In-
terminal (bouton terminal) atau perluasan serial yang membentuk fluks dari Ca++ ini menyebabkan terlepasnya asetilkolin di dalam celah
hubungan sinaps. Transmisi impuls pada sebagian besar sinaps me- sinaptik. Dalam waktu singkat asetilkolin itu dapat sampai pada mem-
libatkan pelepasan dari neurotransmiter (Groot,1997). bran postsinaptik dan diterima oleh reseptor tertentu. Tertangkapnya
Pada keadaan istirahat dan tidak dirangsang, sebuah serabut asetilkolin oleh membran postsinap itu menyebabkan permeabilitas
saraf berada terpolarisasi dengan perbedaan potensial sekitar -80 Mv dari membran itu bertambah untuk ion Na dan K. Meningkatnya ion Na
dengan bagian dalam lebih negatif daripada bagian luar. Potensial di dalam otot akan menimbulkan depolarisasi yang kemudian meluas
membran istirahat ini disebabkan oleh difusi ion natrium dan kalium keseluruh otot dan terjadilah kontraksi otot. Asetilkolin kemudian
melalui kanal pada membran plasma dan dipertahankan oleh pom- diuraikan oleh asetilkolinesterase menjadi kolin dan asetat, sehingga
pa Natrium-Kalium (Na-K) dengan melibatkan transpor aktif yang membran post sinaptik itu menjadi sensitif kembali terhadap rangsang
yang berikutnya. Selain neurotransmiter utama, dari membran pra-
membutuhkan Adenosine Tri Phospate (ATP) (Snell,2006).
sinaps ke celah sinaps juga dikeluarkan zat-zat yang mampu me-
Sebuah potensial aksi dimulai oleh sebuah stimulus yang adekuat
modulasi dan memodifikasi aktivitas neuron postsinaps dan disebut
pada permukaan neuron pada segmen inisial akson yang merupakan
neuromodulator, seperti: asetilkolin (muskarinik), serotonin, histamin,
bagian akson yang paling peka. Stimulus mengubah permeabilitas
neuropeptida, dan adenosin. Fungsi neuromodulator ini menguatkan,
membran terhadap ion Na sehingga ion Na masuk ke akson dengan
memperpanjang, menghambat atau membatasi efek neurotransmiter
cepat. Ion-ion positif diluar aksolema berkurang dengan cepat hingga
utama di membran postsinaps (Ngoerah,1991; Ganong,2003).
mencapai nol disebut dengan depolarisasi. Potensial istirahat -80 mV
dengan bagian luar membran lebih positif daripada bagian dalam, Inhibisi presinaptik dan postsinaptik biasanya disebabkan oleh
potensial aksi sekitar +40 mV dengan bagian luar membran lebih adanya perangsangan pada sistem tertentu yang bersinap konvergen
negatif daripada bagian dalam. Potensial aksi saat ini bergerak pada suatu neuron post sinaptik (inhibisi aferen). Neuron-neuron ju-
sepanjang se- rabut saraf, ion Na yang masuk kedalam akson berkurang ga dapat menghambat dirinya sendiri dalam bentuk umpan balik ne-
dan permea- bilitas aksolema terhadap ion K meningkat. Sekarang ion gatif (inhibisi umpan balik negatif). Setiap neuron motorik spinal
K berdifusi keluar akson dengan cepat sehingga potensial membran biasanya memberikan satu cabang kolateral yang bersinap dengan
istirahat kem- bali seperti semula ion Na keluar akson dan ion K in- terneuron inhibisi yang bersinap di badan sel neuron spinal itu
kedalam akson. Permukaan luar aksolema kembali lebih positif dan neuron motorik spinal lain. Neuron inhibisi itu dinamakan sel
daripada permukaan dalamnya (Hackett,1992). Renshaw, sesuai nama penemunya. Neurotransmiter yang
Kecepatan konduksi serabut saraf sebanding dengan daerah pe- digunakan dalam
nampang melintang akson, serabut saraf yang lebih tebal menghantar- sinaps sel Renshaw dengan sel motoneuron adalah Gamma Amino
Butiric Acid (GABA). GABA ini dibentuk di dalam mitokondria dari sel
Renshaw dan disimpan dalam vesikel sinaptik pada ujung-ujung akson sarafan yang utuh diregangkan maka akan timbul kontraksi yang di-
sel itu. Bila ada impuls yang sampai pada ujung akson, maka GABA sebut refleks regang. Rangsangannya adalah regangan pada otot dan
dilepas dicelah sinap dan menyebrang ke membran postsinap. GABA responsnya berupa kontraksi otot yang diregangkan. Reseptornya
menambah permeabilitas dari membran postsinaptik, tapi hanya bagi adalah kumparan otot (muscle spindle). Impuls yang timbul akibat
ion kalium dan tidak bagi ion natrium. Kadar kalium dalam sel otot peregangan dihantarkan ke SSP melalui serat saraf sensorik cepat yang
akan menurun sehingga potensial membran dari otot itu akan me- langsung bersinap dengan neuron motorik otot yang teregang (Ganong,
ningkat (hiperpolarisasi). Impuls yang berasal dari neuron motorik 2003).
menggiatkan interneuron inhibisi untuk melepaskan mediator inhibisi, Beberapa persarafan segmental menimbulkan refleks otot seder-
yang memperlambat atau menghentikan pelepasan impuls dari neuron hana yaitu: refleks tendon biceps brakhii C5-6 (fleksi sendi siku),
motorik. Inhibisi presinaptik yang disebabkan oleh adanya jalur de- refleks tendon triceps C7-8 (ekstensi sendi siku), refleks abdominalis
senden yang berakhir di jalur aferen kornu dorsalis mungkin berperan super- fisial atas (T6-7), tengah (T8-9), bawah (T10-12), refleks tendon
dalam pengaturan gerbang pada transmisi nyeri (Ganong,2003). patella (KPR) L2,3,4 (ekstensi sendi lutut), refleks tendon achilles
Setiap serabut saraf bermielin alfa besar yang masuk ke otot (APR) S1-2 (plantar fleksi) (Duus,1996).
rangka bercabang-cabang dan selanjutnya berakhir pada sambungan Serat otot ekstrafusal berada dalam panjang yang tetap selama
neuromuskular atau motor end plate. Impuls saraf (potensial aksi) istirahat. Bila otot teregang, demikian juga gelendong otot, maka ujung
mencapai membran prasinaps motor end plate, membuka kanal-kanal saraf anulospiral segera bereaksi terhadap peregangan dengan me-
voltage gate calcium (Ca) yang memungkinkan ion Ca masuk kedalam ngirimkan potensial aksi ke motoneuron besar dalam medulla spinalis
akson. Keadaan ini menstimulasi penggabungan beberapa vesikel si- melalui serat aferen Ia konduksi cepat dan serat eferen tebal alfa1 yang
naptik yang menyebabkan pelepasan asetilkolin ke celah sinap. Jika konduksinya juga cepat ke otot ekstrafusal. Begitu otot berkontraksi,
saraf tepi campuran terganggu, hanya otot yang dipersarafi oleh sa- maka panjang asalnya akan kembali. Setiap regangan otot akan sege-
raf ini yang mengalami paralisis, dan paralisis akan berhubungan de- ra mencetuskan mekanisme ini. Dengan dikirimnya impuls ke moto-
ngan gangguan sensorik yang disebabkan oleh interupsi serat aferen.
Paralisisnya bersifat flaksid. Otot tidak hanya paralisis, tapi juga hipo-
tonik dan arefleks, karena interupsi dari refleks regangan monosinap-
dorsal root
tik. Atrofi dari otot yang paralisis dimulai setelah beberapa minggu, cerebro-spinal ruid
menggambarkan bahwa sel kornu anterior mempunyai pengaruh pada
Spinal Nerve
serat otot, yang merupakan dasar dalam mempertahankan fungsi otot
normal. Dengan menggunakan Electromyography (EMG) untuk me- ventral root relay neuron
nilai kerusakan, memungkinkan untuk menentukan apakah kornu an-
terior, radiks anterior, pleksus atau saraf tepi yang terlibat (Snell, 2006). Sensory (afferent) neuron
motor (efferent)spinal cord
patella (knee cap)
Lengkung Refleks neuron
muscle
femur
Refleks Monosinaptik (Refleks Regang)
Refleks adalah suatu respons involunter terhadap suatu stimu- ligament
neuron kornu anterior, perangsangan ini segera menyebabkan kon- yang tangkas diangkat (fleksi) dan berat badan dipindahkan ke tung-
traksi singkat. Arkus refleks melibatkan tidak lebih dari 1 atau 2 seg- kai lain. Perpindahan segera akan menyebabkan jatuh bila otot-otot
men medulla spinalis, sehingga merupakan nilai diagnostik yang nyata tubuh, bahu, leher dan lengan tidak segera mengkompensasi ke-
dalam menentukan lokasi cedera (Duus, 1996). tidakseimbangan dan memastikan posisi tegak dari tubuh. Peristiwa
ini membutuhkan sirkuit yang agak rumit di medula spinalis yang
Refleks Polisinaptik: Refleks Fleksor (Withdrawal Reflex) berhubungan dengan daerah di pusat otak dan serebelum. Seluruh
urutan ini terjadi dalam waktu 1 detik, dan tidak terjadi sampai terasa
Jalur refleks polisinaps bercabang secara kompleks dan jumlah adanya nyeri. Bagian impuls dari otot, tendon, sendi dan jaringan
sinaps di tiap cabang bermacam-macam. Refleks fleksor merupakan yang lebih dalam, menuju serebelum melalui traktus spinoserebelaris
refleks polisinaps khas yang terjadi sebagai jawaban terhadap rangsang (Duus,1996).
nosiseptif dan biasanya nyeri di kulit, jaringan subkutan serta otot. Suatu refleks yang dibangkitkan pada satu sisi tubuh akan me-
Respons yang timbul berupa kontraksi otot fleksor dan inhibisi otot nyebabkan reaksi yang berlawanan pada ekstremitas sisi kontrala- teral.
ekstensor, sehingga bagian yang terkena melakukan fleksi dan tertarik Refleks ekstensor silang menunjukkan stimulasi aferen pada lengkung
dari rangsang tersebut. Respons ekstensor menyilang (crossed extensor refleks, menyebabkan fleksi pada ekstremitas ipsilateral dan ekstensi
response) merupakan bagian dari refleks fleksor. Refleks ekstensor pada ekstremitas sisi kontralateral (Duus,1996).
silang menunjukkan stimulasi aferen pada lengkung refleks
menyebabkan fleksi pada ekstremitas ipsilateral dan ekstensi pada
ekstremitas sisi kontralateral (Ganong, 2003).
Berjalan di atas batu yang tajam dan runcing akan menyebab- ��
kan rasa sakit yang segera menimbulkan gerakan terprogram. Kaki
�
interneurons
Efferent fiber
Afferent fiber Efferent fiber
Key:
+ Excitatory synapse Right armLeft arm (site of
– Inhibitory synapse (site of stimulus)reciprocal activation)
Copyright ©2004 Pearson Education, Inc., publishing as Benjamin Cummings
25
Endoneurium
Axon Myelin
Gambar 4.2. Neuropraksia(Sumber dari www.fotosearch.com). Gambar 4.3. Aksonotmesis (Sumber dari www.fotosearch.com).
luasnya cedera endoneurial, penyembuhan fungsi kemingkinan Pada degenerasi Wallerian, perubahan histologikal meliputi frag-
terjadi. Sunderland membagi neurotmesis Seddon menjadi cedera mentasi fisikal dari akson dan myelin, di mana proses ini terjadi dalam
tingkat keempat dan kelima. Pada cedera tingkat keempat, seluruh beberapa jam setelah cedera. Secara ultrastruktur, neurotubulus dan
bagian dari saraf mengalami disrupsi kecuali epineurium. neurofilamen akan menjadi kacau dan bentuk akson menjadi tidak
Penyembuhannya tidak mungkin tanpa operasi. Cedera tingkat rata, dimana ini disebabkan oleh pembengkakan varicose. Dalam 48
kelima meliputi semua bagian saraf secara lengkap (Robinson, 2005; sampai 96 jam setelah cedera, kontinuitas akson menghilan dan kon-
Osbourne, 2007; Burnett dan Zager, 2004). duksi dari rangsangan tidak dimungkinkan terjadi dalam waktu lama.
Disintegrasi myelin sedikit terlambat di bawah akson namun masih
baik pada 36 sampai 48 jam. Sel-sel Schwann mempunyai peranan da-
Respon Jaringan Saraf Terhadap Cedera
lam degenerasi Wallerian. Secara dini sel ini akan aktif dalam 24 jam
Sebelum regenerasi serabut-serabut saraf terjadi, beberapa proses setelah cedera, menunjukkan pembesaran nuclear dan sitoplasma
de- generasi harus terjadi, di antaranya direct prelude menuju dan juga peningkatan mitosis. Se-sel ini membelah secara cepat untuk
regenerasi. Keberhasilan dari regenarasi sangat tergantung pada membentuk sel anak dediferensiasi yang meng-up-regulasi ekspresi
beratnya cedera awal dan perubahan degenerasi yang terjadi gen untuk memperbanyak molekul agar dapat membantu degenerasi
selanjutnya. Perubahan patologikal yang terjadi ringan atau tidak dan proses perbaikan. Peran awal sel Schwann adalah membantu me-
ada pada cedera tingkat pertama dimana mekanismenya yaitu hanya mindahkan akson yang mengalami degenerasi dan debris myelin dan
blokade konduksi, dan tidak ada degenerasi atau regenerasi yang kemudian membawanya ke makrofag. Makrofag bermigrasi menuju
nyata. Pada cedera tingkat kedua (aksonotmesis) terjadi sedikit bagian yang mengalami trauma, terutama melalui jalur hematopoietik,
perbahan histologikal pada atau bagian proksimal tempat cedera. melintas melalui dinding kapiler-kepiler, dimana menjadi permeabel
Pada bagian distal dari tempat cedera terjadi proses yang dimediai pada zona cedera. Sel-sel Schwann dan makrofag bekerja bersama-
kalsium yang dikenal dengan degerasi Wallerian (atau anterograd) sama untuk memfagosit dan membersihkan tempat cedera dalam proses
(Osbourne, 2007) yang membutuhkan waktu 1 minggu sampai beberpa bulan (Osbourne,
2007; Burnett dan Zager, 2004).
Sel-sel mast endoneural juga sangat berperan penting dalam pro-
ses ini, berproliferasi secara nyata dalam 2 minggu pertama setelah ce-
dera. Sel ini melepaskan histamine dan serotonin, dimana meningkat-
kan permeabilitas kapiler dan memfasilitasi migrasi makrofag. Selama
stadium awal, tubulus endoneurial membengkak sebagai respons ter-
hadap trauma, namun setelah 2 minggu pertama diameternya akan
mengecil. Dalam 5 sampai 8 minggu, proses degeratif biasanya sudah
lengkap, dan sisa serabut saraf terdiri dari sel-sel Schwann dalam la-
pisan endoneurial. Pada cedera tingkat ketiga, terjadi reaksi lokal yang
diinduksi trauma yang lebih bermakna. Cedera intravascikular meli-
puti retraksi dari ujung-ujung serabut saraf karena endoneurium yang
elastis. Trauma vaskular local akan menyebabkan pendarahan dan
edema, yang akan menyebabkan respons peradangan yang berat. Pro-
liferasi fibroblas, dan dense fibrous scar menyebabkan pembengkakan
fusiform dari segmen yang cedera. Jaringan parut interfascikular juga
terjadi (Osbourne, 2007; Burnett dan Zager, 2004).
1. Segmen distal cedera asli, perluasan pembentukan jaringan parut, dan perlambatan
Bagian distal dari segmen yang cedera, degenerasi Wallerian sa- sebelum akson mencapai tempat cedera. Seperti pada cedera tingkat
ngat mirip dengan yang terjadi pada cedera tingkat kedua. Satu per- ketiga, tubulus endoneural tidak ditempati selama periode yang
bedaan penting adalah dimana cedera intrafascikular mengganggu panjang yang akan berlanjut menjadi berkerut dan fibrosis secara
progresif, dan akan secara komplet mengalami obliterasi oleh
regenerasiaksonal dan oleh karena itu tubulus endoneurial tetap tidak
adanya serabut-serabut kolagen (Osbourne, 2007; Burnett dan
mendapatkan inervasi dalam periode yang lama. Saat tidak menda-
Zager, 2004).
patkan inervasi, tubulus endoneural mulai mengkerut dalam proses
yang mencapai maksimum kira-kira 3 sampai 4 bulan setelah cedera.
Lapisan endoneurial secara progresif menebal secara sekunder tar- 2. Segmen proksimal dan tubuh sel
hadap penumpukan kolagen sepanjang permukaan terluar dari mem-
Perubahan tubuh sel neuronal dan dalam serabut-serabut saraf
brane basal sel Schwann. Jika tubulus endoneurial tidak mendapatkan
proksimal terhadap tempat cedera tergantung pada beratnya cedera
regenerasi akson, fibrosis progresif menyebabkan terjadinya obliterasi
dan dekatnya segmen cedera dengan tubuh sel. Sel-sel Schwann
pada tubulus. Susunan proses-proses sel Schwann menunjukkan me-
mengalami degradasi sepanjang segmen proksimal dekat area
ngempisnya tubulus endoneurial yang terlihat secara mikroskopis pada
cedera, dan akson- akson serta myelin diameternya mengecil.
progresi degenerasi Wallerian pada cedera yang lebih bermakna.
Degradasi proksimal ini dapat minimal (terentang dari tempat cedera
Kolum- kolum sel Schwann yang dikenal dengan band of Bungner dan sampai kembali ke nodus Ranvier berikutnya) atau dapat meluas ke
menjadi pedoman penting untuk tunas akson selama inervasi kembali. semua jalur dan kembali ke tubuh sel. Jika tubuh sel secara aktual
Band menyediakan ilustrasi awal peranan kedua dari sel-sel Schwann mengalami degenerasi, di- mana dapat terjadi pada trauma yang
setelah cedera saraf, yaitu yang berperan neurosuportif untuk beat, segmen proksimal akan mengalami degenerasi Wallerian dan
pertumbuhan kembali akson (Osbourne, 2007; Burnett dan Zager, akan difagosit. Setelah terjadi ce- dera bermakna, segmen proksimal
2004). akson diameternya akan mengecil, khususnya jika koneksi
Pada cedera tingkat keempat dan kelima adalah reaksi lokal fungsional terhadap organ yang sesuai tidak ditemukan.
terhadap trauma berat. Tubulus endoneurial, dan juga fascikuli meng- Kemampuan konduksi saraf akan mengalami penurun- an. Seperti
alami disrupsi. Epineurium juga mengalami cedera dan fibroblas epi- proses regenerasi, diameter akson membesar, namun tidak akan
neurial reaktif juga terdapat pada ujung potongan saraf dalam 24 jam. mencapai seperti saat belum terjadi cedera. Saling ketergantungan
Ini diikuti oleh proliferasi sel-sel Schwann dan fibroblas perineurial dan definitif terjadi antara tubuh sel dan akson pada istilah
epineurial. Puncak proliferasi selular dalam 1 minggu dan berlanjut se- penyembuhan: tubuh sel tidak akan sembuh secara penuh tanpa
lama periode yang panjang. Seperti cedera ringan, permeabilitas kapiler terjadi koneksi fungsi tepi, dan diameter akhir akson tergantung
mengalami peningkatan, kemungkinan sebagai akibat dari degranulasi pada luasnya penyembuhan tubuh sel (Burnett dan Zager, 2004).
sel mast, dan edema serta infiltrasi makrofag yang mengikuti. Besarnya Tubuh sel saraf sendiri bereaksi terhadap cedera aksonal. 6 jam
respons ini berhubungan dengan beratnya trauma saraf dan jaringan setelah cedera, nukleus bermigrasi ke tepi dari sel dan granula-
sekelilingnya (Burnett dan Zager, 2004). granula Nissle, endoplasmic reticulum kasar, pecah dan berpencar.
Pada cedera tingkat keempat dan kelima, ujung-ujung saraf men- Proses ini disebut sebagai kromatolisis. Secara simultan, respons
jadi masa yang membengkak dari sel-sel Schwann, kapiler-kapiler, fi- proliferasi cepat dari sel glial granul-granul Nissl, endoplasmic
broblas, makrofag, dan serabut kolagen yang tidak terorganisir. Re- reticulum kasar, pecah dan berpencar. Proses ini disebut sebagai
generasi akson mencapai ujung proksimal yang membengkak dan kromatolisis. Secara simultan, respons proliferasi cepat dari sel glial
membuat barier yang hebat untuk pertumbuhan selanjutnya. Beberapa perineuronal, sebagian besar kemungkinan mendapatkan tanda pada
akson membentuk lingkaran dalan jaringan parut atau membelok ke beberapa keadaan oleh proses kromatolisis. Proses sel glial meluas
belakang sepanjang segmen proksimal atau keluar menuju jaringan ke neuron yang terkena dan mengalami interupsi koneksi sinaptik,
sekitar. Beberapa akson yang mengalami regenerasi dapat mencapai yang memungkinkan ter- jadinya isolasi saraf pada fase
ujung distal, hasilnya tergantung dari banyak faktor, meliputi beratnya penyembuhan. Kemampun hidup sel tidak dapat dipastikan setelah
cedera saraf. Insiden apoptosis yang berhubungan dengan kematian
sel pada radiks dorsalis saraf ganglion
pada aksonotmesis sebesar 20-50%. Kematian terjadi lebih sering adalah perubahan yang terlihat pada tubuh sel yang merupakan tan-
jika aksonotmesis terjadi secara prksimal dan pada cedera yang da pembalikan kromatolisis. Nukleus kembali ke pusat sel dan nuk-
meliputi saraf cranial dan sensori. Saraf sentral memiliki kapasitas leoprotein mengalami organisir kembali menjadi granul-granul Nissl
untuk ber- generasi kembali dalam lingkungan tepi, dan saraf tepi yang kompak. Setelah cedera, beberapa fungsi metabolik subselular
kehilangan kemampuannya saat berada dalam lingkungan sentral mengalami perubahan selama kromatolisis. Demikian juga sintesis
(Burnett dan Zager, 2004). Ribo nucleic acid (RNA) mengalami peningkatan dan sintesis
neurotransmit- ter menurun. Kromatolisis menunjukkan pergeseran
pada fungsi sel dari transmisi sinaptik menuju perbaikan selular.
Regenerasi Saraf
Metabolisme tubuh telah deprogram sehingga sel mampu
Pada kasus yang berat regenerasi saraf dimulai hanya setelah de- menghasilkan sejumlah besar protein dan lipid yang diperlukan
generasi Wallerian, namun pada cedera ringan proses regenerasi dan untuk pertumbuhan kembali akso- nal selama fase regenerasi.
perbaikan dimulai secara dini. Untuk cedera tingkat pertama dan ke- Aksoplasma digunakan untuk regenerasi ujung akson, yang
dua (neurapraksia dan aksonotmesis), biasanya dilakukan pemulihan diperoleh dari segmen proksimal akson dan tubuh sel. Komponen
fungsi. Ini terjadi secara awal melalui pembalikan blokade konduksi cepat dan lambat dari aksoplasma mengangkut suplai material dari
atau secara lambat melalui regenerasi aksonal. Penyembuhan fungsi- tubuh sel menuju tempat regenerasi aksonal. Tingkat peningkatan
onal terjadi secara komplet pada tipe cedera tingkat lebih ringan. Per- sintesis protein dan lipid pada tubuh sel memengaruhi percepatan
ubahan morfologikal dan fisiologikal secara penuh reversibel. Pada dan diameter akhir dari akson yang beregenerasi. Kapasi- tas saraf
kasus cedera yang lebih berat, dimana tubulus endoneurial disrupsi, tepi manusia untuk mengawali respons regeneratif menetap selama
regenerasi akson tidak dalam waktu lama terjadi, dapat membelok sekurang-kurangnya 12 bulan setelah cedera, dan respons kuat dapat
menuju jaringan sekitar atau menuju tubulus andoneurial yang kurang ditimbulkan bahkan setelah cedera berulang (Osbourne, 2007;
tepat, jadi gagal untuk menginervasi kembali organ akhirnya yang Burnett dan Zager, 2004).
sesuai (Osbourne, 2007; Burnett dan Zager, 2004). Panjang segmen antara ujung akson yang beregenerasi dan
Penyembuhan fungsional setelah cedera saraf meliputi beberapa tem- pat cedera tergantung pada beratnya cedera dan akibat
step, tiap step dapat melambat atau mengganggu proses regeneratif. degradasi re- trograd. Tanda pertama dari pertumbuhan kembali
Pada kasus yang termasuk salah satu tingkat cedera, ini digunakan akson pada seg- men ini kemungkinan terlihat dalam 24 jam setelah
secara awal untuk mengkategorikan step-step regeneratif ini secara cedera, atau dapat mengalami perlambatan selama beberapa minggu
anatomik pada tingkat secara kasar. Rangkaian regenerasi dapat dibagi pada cedera berat. Tingkat pertumbuhan kembali aksonal ditentukan
menjadi zona-zona anatomik: oleh perubahan da- lam tubuh sel, aktivitas dari pertumbuhan
kerucut khusus pada ujung tiap tunas akson, dan resistensi dari
1. Tubuh sel saraf jaringan yang cedera antara tubuh sel dan organ akhir. Kemungkinan
2. Segmen antara tubuh sel dan tempat cedera multiplikasi tunas akson dalam tiap lapisan endoneurial, meskipun
3. Tempat cedera sendiri pada cedera yang lebih ringan, yang tidak meliputi destruksi lapisan
4. Segmen distal antara tempat cedera dan organ akhir itu sendiri. Waktu proses degeratif dan regeneratif harus tumpang
5. Akhir organ sendiri. tindih antara beberapa segmen. Sebagai contoh, pada cedera yang
lebih ringan dimana tidak ada perlambatan yang bermakna pada
Regenerasi yang terlambat atau regenerasi yang tidak berhasil regenerasi di daerah tempat cedera, pertumbuhan kerucut pada ujung
kemungkinan sebagai akibat perubahan patologikal yang akson harus bertemu dengan debris degenerasi Wallerian pada
mengganggu proses perbaikan pada satu atau lebih zona ini segmen distal. Debris ini tidak menggang regerasi, kemungkinan
(Osbourne, 2007; Burnett dan Zager, 2004). karena pertumbuhan kerucut mensekresi protease yang dapat
Fase regenerasi dan perbaikan setelah cedera saraf dapat ber- membantu material yang terlarut memblok jalurnya (Osbourne,
akhir sampai beberapa bulan. Tanda yang paling awal dari fase ini 2007; Burnett dan Zager, 2004).
Pada cedera sangat proksimal dimana dipertimbangkan terjadi
perlambatan sebelum ujung akson mencapai segmen distal, tubulus
otot. Meskipun dengan jumlah yang cukup, kesalahan inervasi kembali 3. Teknik-teknik untuk pengukuran regenerasi berbede-beda (se-
yang menyilang dapat mnghasilkan fungsi suboptimal: otot “cepat” bagai contoh, tanda Tinel dibandingkan dengan penyembuhan
yang asli kemungkinan mendapatkan inervasi kembali dari akson yang fungsional).
sebelumnya menginervasi otot “lambat”, dan akibatnya kemungkinan
bentuk campuran dengan kontraksi yang tidak efisien (Osbourne, 2007;
Burnett dan Zager, 2004). Tingkat regenerasi dapat tergantung pada beratnya cedera saraf,
Pada kasus-kasus dimana penyembuhan motorik bermakna ter- durasi tidak mendapatkan inervasi, dan kondisi dari jaringan tepi. Re-
jadi, hasil fungsional kemungkinan diganggu oleh deficit sensori yang generasi setelah perbaikan operasi saraf lebih lambat daripada rege-
mengikuti, khususnya proprioseptif. Reseptor sensori yang tidak men- nerasi yang tidak terkomplikasi, sebagian besar kemungkinan sebagai
dapatkan inervasi tetap hidup dan dapat membuat penyembuhan akibat dari beratnya cedera yang terjadi. Penuaan juga menyebab- kan
fungsional setelah satu tahun dan kemungkinan setelah beberapa ta- perlambatan tingkat pertumbuhan kembali aksonal (Burnett dan Zager,
hun. Pada cedera tingkat pertama dan kedua dan kedua, kembalinya 2004).
sensasi terjadi secara komplet, meskipun setelah 6 sampai 12 bulan Regenerasi aksonal tidak sama dengan pengembalian fungsi.
tidak mendapatkan inervasi. Ini disebabkan oleh inervasi yang baik Pro- ses maturasi mendahului pengembalian fungsi. Perubahan
oleh akson aslinya terhadap reseptor sensori (Burnett dan Zager, 2004). morfologi dari maturasi yang mengawali sepanjang akson yang
Setelah cedera berat dan perbaikan saraf, penyembuhan sensori berregenerasi terjadi secara lambat daripada pertumbuhan akson dan
tidak terjadi secara komplet. Hal ini dihubungkan dengan kombinasi berlanjut selama periode proteksi. Myelinisasi kembali berkembang
faktor, meliputi kegagalan akson sensori untuk mencapai kulit, pe- pada keadaan yang sama dengn perkembangan serabut-serabut saraf,
nyilangan inervasi kembali (akson biasanya dari satu tipe reseptor meliputi pelurusan sel-sel Schwann dan pelingkaran akson untuk
membuat hubungan dengan tipe reseptor lain), dan kemungkinan de- membentuk lapisan multilamela. Proses ini dimulai dalam 2 minggu
generasi reseptor sensori. Inervasi kembali sensori menunjukkan se- dari onset regenerasi aksonal dan menyebabkan akson yang
bagai modal spesifik, namun ini lebih jarang daripada inervasi bermyelin sangat mirip dengan aslinya kecuali terjadinya
kembali motorik, dimana ini berarti penyilangan inervasi kembali pemendekan antarnodus. Diameter akson meningkat secara progresif
sensori lebih sering terjadi. Terjadi kematian reseptor-reseptor sampai dimensi normal dicapai, namun pelebarannya tergantung
sensori berkapsul yang tidak mendapatkan inervasi, seperti pada terjadinya koneksi fungsional antara ujung akson dan organ
korpuskel Pacini, korpuskel Meissnerr, dimana secara cepat akhir yang sesuai (Burnett dan Zager, 2004).
mengadaptasi reseptor-reseptor yang memediai sentuhan cahaya dan
vibrasi, dan juga sel-sel Merkel, dimana secara lambat mengadaptasi
Faktor Faktor Neurotropik
reseptor-reseptor yang memediai sentuh- an konstan dan tekanan.
Dipercaya bahwa pengkhususan reseptor- reseptor tetap ada pada Tedapat kaskade cell-signaling molecule dan faktor tropik yang mirip
keadaan atrofi selama periode yang panjang, menunggu kedatangan dengan respons peradangan. Faktor-faktor neurotropik seperti Neural
akhiran saraf yang sesuai. Sensasi proteksi, dimana penyembuhan Growth Factor (NGF), brain-derived neurotrophic factor, faktor siliari
beberapa tahun setelah tidak mendapatkan inervasi, dimediai oleh neu- rotropik, dan lainnya yang penting dalam proses perbaikan saraf.
reseptor-reseptor sensori. Tingkat regenerasi aksonal cenderung Fak- tor pertumbuhan saraf merupakan molekul neurotropik pertama
konstan. Laporan tingkat regenerasi bervariasi dari 0,5 sampai 9 mm yang teridentifikasi dan tetap sebagai karakteristik terbaik. Ini meliputi
per hari. Keragaman ini disebabkan oleh beberapa faktor: ke- mampuan hidup dan pemeliharaan sel saraf dalam keadaan
1. Tingkat pertumbuhan akson menurun dengan peningkatan normal dan menjadi komponen penting dari proses perbaikan saraf.
jerak dari tubuh sel menuju ujung akson. Faktor- faktor seperti NGF secara kuat dilepaskan dari target organ
saraf tepi dan diangkut menuju tubuh sel saraf melalui pengankutan
2. Pengukuran regenerasi akson dibuat dalam jenis yang ber-
beda setelah metode-metode yang berbeda dari cedera saraf. aksonal retrograd. Ini kemungkinan bahwa penurunan NGF dan faktor
topik lainnya mencapai tubuh sel disebabkan oleh disrupsi aksonal yang
terjadi secara dini setelah cedera saraf memerlukan signal molecular
DIAGNOSIS CEDERA
Cedera
Bab 5 SARAF TEPI Peningkatan NGF dan NGF messenger
RNA
AA Raka Sudewi
Sel Schwann
Rangsangan pertumbuhan
enyembuhan sering terhambat oleh hilangnya kemampuan fung-
Gambar 4.6. Skema faktor neurotropik (Sumber dari Burnett dan Zager, 2004). P sional secara menetap dan oleh nyeri neurotropik. Nyeri
neurotro-
pik biasanya terjadi hanya setelah cedera dan menetap selama bebe-
rapa minggu atau bahkan tahun, dan sangat tidak menyenangkan dan
untuk memacu proses perbaikan. Segera setelah cedera, jumlah NGF resisten terhadap sebagian besar strategi terapiutik, sehingga menu-
dan NGF messenger RNA sangat meningkat, sejalan dengan perannya runkan kualitas hidup. Mekanisme yang menyebabkan terjadinya
sebagai faktor neurotropik. Meskipun invasi makrofag merangsang nyeri neuropatik kurang dimengerti namun kemungkinan oleh
produksi NGF malalui pelepasan interleukin-1β, dimana mengesankan mekanisme sentral dan tepi. Gejala-gejala pertama dapat disebabkan
bahwa makrofag berperan pada pagositosis dan regenerasi. Sel-sel oleh reaksi peradangan lokal yang dapat mengiritasi saraf. Transeksi
Schwann menghasilkan faktor-faktor neurotropik meliputi NGF pada saraf memacu kaskade beberapa selular dan humoral. Makrofag dan
tempat cedera (Burnett dan Zager, 2004). sel-sel mast menginvasi tempat cedera dan menghasilkan sitokin dan
Faktor-faktor neurotropik, seperti molekul signaling lainnya, ber- faktor-faktor yang memacu pembentukan jaringan ikat parut.
ikatan dengan reseptor-reseptor inase tirosin spesifik dan mentransmi- Beberapa dari sitokin ini dan faktor lainnya seperti histamine atau
si signal yang mengatur aktivitas gen. konsentrasi reseptor faktor per- serotonin bertanggung jawab terhadap produksi nyeri.
tumbuhan saraf pada sel-sel Schwann membentuk band of Bungner Bagaimanapun reaksi peradangan ha- nya berakhir dalam beberapa
yang meningkat setelah cedera. NGF yang berikatan dengan reseptor- minggu, namun nyeri neurotropik ber- sifat kronis, kemungkinan
reseptor ini pada sel-sel Schwann terjadi untuk pertumbuhan kembali disebabkan oleh aktivitas ektopik serabut- serabut C yang
tunas akson. NGF ini diambil oleh akson kemudian diangkut secara tersensititasi, permintaan ektra nosiseptor, dan aktivitas abnormal
retrograd dari kerucut yang tumbuh menuju tubuh sel, menyediakan spontan pada tunas-tunas saraf yang beregenerasi. Baru-baru ini
rangsangan berkelanjutan untuk pertumbuhan dan juga panduan untuk difokuskan perhatian tarhadap neuroma dan mikroneuroma yang
akson yang tumbuh (Burnett dan Zager, 2004). berkembang pada tempat cedera yang kemungkinan sebagai penye-
bab nyeri neuropatik (Robinson, 2005).
�� Nyeri neuroma merupakan gejala sisa yang paling sering pada
41
LO saraf Perifer-Juli.indd 40-41 4/3/2013 12:09:54 AM
42 Saraf Diagnosis Cedera Saraf 43
Perifer Tepi
sembuh meski dengan operasi mikro. Neuroma merupakan berlangsung beberapa minggu setelah perbaikan elektrofisiologis
penebalan berbentuk pentolan yang terbentuk oleh tidak tepatnya yang ditunjukkan oleh kontraksi otot yang kuat pada stimulasi saraf
dan tidak rata- nya serabut-serabut saraf yang beregenerasi. peroneal: (1) tepat di belakang kepala fibula, atau (2) tepat di dalam
Diagnosis cedera saraf tepi ditegakkan berdasarkan anamnesis, hamstring lateral, di mana batang saraf mudah dipalpasi.
pemeriksaan fisik serta pemeriksa- an penunjang (Kowalik dkk,
2006) 2. Tanda Tinel
Bila parestesi dihasilkan oleh perkusi saraf distal dari cedera, ini
Anamnesis menunjukkan beberapa akson sensori utuh dari titik perkusi me-
lalui cedera ke egati saraf pusat. Bila respons selanjutnya berge-
Pada anamnesis dapat diketahui dengan pasti lokasi dan saraf yang rak ke distal dengan berjalannya waktu, terutama bila berkaitan
terkena cedera, bisa didapatkan macam dan jenis kelainan patologik, dengan berkurangnya parestesi sebagai respons atau ketukan pa-
sedangkan dengan pemeriksaan neurologik akan menentukan lokasi da daerah cedera, membuktikan regenerasi serabut saraf terus
kerusakanya. Riwayat trauma baik yang lama ataupun baru harus di- ber- langsung melewati egativ distal terjadi (tanda Tinel positif).
telusuri dengan teliti karena penting sekali mengetahui dengan pasti Tan- da Tinel positif hanya menunjukkan regenerasi serabut
penyebab kerusakan. Dari pemeriksaan neurologik lengkap, halus dan tidak menunjukkan apa pun tentang kuantitas dan
gangguan motorik, sensorik, dan refleks harus dianalisis dan kualitas yang sebenarnya dari serabut yang baru. Di sisi lain,
dikaitkan sehing- ga dapat ditentukan berat dan luasnya kerusakan. interupsi saraf to- tal ditunjukkan oleh tiadanya respons sensori
Gejala klinis dari cedera pada saraf tepi tergantung dari saraf yang distal (tanda Tinel egative) setelah waktu yang memadai telah
terkena. Cedera pada saraf motorik menyebabkan hilangnya fungsi berlalu untuk terjadinya regenerasi serabut halus (4-6 minggu).
otot, sedangkan cedera pada saraf sensoris menyebabkan hilangnya Tanda Tinel negatif lebih bernilai dalam penilaian klinis
sensasi dari distribusi sensori saraf yang terkena dan atau dibanding tanda Tinel positif.
neuromatous atau nyeri kausalgia (Sjamsuhidajat dan Dong, 2004).
3. Berkeringat
Kembalinya keringat didaerah otonom menunjukkan regenerasi
Pemeriksaan fisik serabut simpatis bermakna. Pemulihan ini mungkin mendahului
Permeriksaan fisik untuk cedera saraf tepi meliputi pemeriksaan pada pe- mulihan motori atau sensoris dalam beberapa minggu atau
semua otot yang dipersarafi oleh saraf tepi. bulan, karena serabut otonom pulih dengan cepat. Pemulihan
berkeringat tidak selalu berarti akan diikuti fungsi motorik atau
1. Pemeriksaan motor sensoris.
Penekanan atas pemeriksaan motor secara klinis untuk cedera sa-
raf spesifik adalah tahap terpenting dalam mengelola semua ce- 4. Pemulihan sensoris
dera saraf, adalah pemeriksaan teliti anggota, dengan perhatian Pemulihan sensori sejati adalah tanda yang berguna, terutama
besar pada semua fungsi motor dan sensori. Pemeriksaan harus bila terjadi didaerah otonom di mana tumpang tindih saraf
menentukan apakah kehilangan distal sisi cedera lengkap atau ti- berdekatan minimal. Daerah otonom saraf median adalah
dak. Pemeriksaan motor cukup sebagai bukti regenerasi bila pe- permukaan volar dan dorsal telunjuk dan permukaan volar
mulihan jelas. Pengamatan klinis fungsi motor volunter dapat jempol. Saraf radial ti- dak mempunyai daerah otonom yang
juga ditentukan dengan respons motor terhadap stimulasi. tegas. Bila terjadi kehilangan sensoris pada distribusi ini,
Stimulasi saraf terutama berguna dalam pengenalan awal adanya biasanya mengenai sejumput daerah anatomis tertentu. Daerah
pemulihan peroneal memadai dan mencegah perlunya operasi. otonom saraf ulnar adalah permukaan palmar 11 falang distal
Pasien dengan cedera saraf peroneal tidak mampu memulai aksi kelingking. Daerah otonom saraf tibial ada- lah tumit dan
volunter pada otot peroneal dan tibial anterior (eversi dan sebagian telapak kaki, sedang saraf peroneal adalah tengah dorsal
dorsofleksi kaki). Ini kaki. Sayangnya pemulihan sensoris, bahkan pada daerah
otonom, tidak pasti diikuti pemulihan motorik.
(Rengachary dan Wilkin, 1994; 2000)
LO saraf Perifer-Juli.indd 42-43 4/3/2013 12:09:54 AM
44 Saraf Diagnosis Cedera Saraf 45
Perifer Tepi
Pemeriksaan penunjang
Pemeriksaan radiologis, meliputi:
2. Mielografi
Menjadi bagian penting dalam mengelola pasien dengan cedera
regang Pleksus Brakhialis berat. Biasanya tidak diindikasikan untuk
cedera pleksus di tingkat infraklavikuler atau aksiler (kebanyakan
luka tembak pada pleksus), kecuali ada bukti radiologis kerusakan
tulang belakang servikal atau trayeknya supraklavikuler medial.
Mielografi modern dengan kontras larut air bisa menampilkan akar-
akar pada ruang subarakhnoid, dan membandingkan sisi terkena
dan sisi sehat menentukan daerah disrupsi akar. Mielografi tetap
berguna membantu perencanaan pada cedera pleksus (Edward,
2000).
Gambar 5.2. MR Myelogram
mengalami regenerasi mencapai otot dan ter- jadi beberapa (B) Sensory Nerve Action Potential (SNAP)
(A) Electromyography (EMG)
rekonstruksi hubungan akson-motor end plate. EMG menjadi
penting karena dapat membuktikan regenerasi beberapa minggu
atau bulan sebelum fungsi motor volunter tampak. Juga melacak Gambar 5.3. Ilustrasi EMG dan SNAP (Sumber dari Rengachary dan Wilkin, 2000).
adanya sisa unit motor yang berarti cedera parsial segera setelah
cedera (Edward, 2000).
3. Somatosensory-Evoked Potential (SSEP)
EMG terutama membantu menentukan tingkat cedera cedera
Pleksus Brakhialis hingga bisa menyeleksi pasien untuk Pemeriksaan SSEP digunakan menilai tingkat cedera apakah pre-
dioperasi beserta jenis operasi yang akan dilakukan. Denervasi ganglionik atau post ganglionik, pada cedera Pleksus Brakhialis. Ia
otot paraspinal mengarahkan pada cedera proksimal pada satu bernilai terbatas pada bulan-bulan pertama cedera. Pemeriksaan
atau lebih akar dan karenanya merupakan temuan negatif. somatosensori berguna pada saat operasi atas cedera brakhial ka-
Kerusakan proksimal pada tiga akar terbawah dapat berakibat rena regangan atau kontusi. Bila cedera postganglionik, stimu-
denervasi paraspinal ekstensif lasi akar proksimal dari tingkat cedera membangkitkan potensial
dimana akar C5 dan bahkan C6 mungkin cedera lebih ke lateral dan somatosensori di atas tulang belakang servikal (SSP) dan mem-
karenanya dapat diperbaiki. Elektromiografer memiliki kesulitan bangkitkan (evoked cotical respon/ECR) respons kortikal di atas
membedakan tingkat spinal di dalam otot paraspinal karena sangat kra-
tumpang tindih.
(Rengachary dan Wilkin, 1994; 2000)
DRG
2. Potensial Aksi Saraf Sensori (SNAP)
Stimulating electrode
Pemeriksaan SNAP membantu menilai tingkat regangan pada ce- SSP
dera Pleksus Brakhialis. Cedera tingkat akar yang terbatas didaerah
preganglion dan tidak meluas ke daerah post ganglion berakibat
hilangnya sensori distal lengkap dan tetap mempertahankan kon-
duksi sensori distal. Yang terakhir ini bertahan karena kerusakan se-
rabut sensori distal ganglion akar saraf tidak berdegenerasi. Stimu-
ECR
lasi telunjuk (bahkan jempol) yang anestetik dapat menimbulkan
SNAP pada distribusi saraf median bila baik akar C6 atau C7, atau
C6 dan C7, rusak pada tingkat preganglionik. Ini menjadikannya (C) Somatosensory Evoked Potentials (SSEP)
sulit untuk menentukan pada pemeriksaan SNAP apakah cedera akar
C6 terjadi preganglionik. Keadaan ini kurang jelas pada akar C5
karena tidak ada stimulasi noninvasif spesifik atau daerah Gambar 5.4. Ilustrasi SSEP (Sumber dari Rengachary dan Wilkin, 2000).
pencatatan un- tuk hantaran ini (Edward, 2000).
kan kelemahan aduksi policis dan dikompensasikan dengan berhubungan dengan posisi siku yang khas, misalkan pasien tidur
fleksor dengan posisi terlentang dengan posisi siku fleksi atau ketika me-
policis longus (Froment’s sign).
megang koran. Pada kasus yang lanjut akan tampak kelemahan
4. Cedera Nervus Medianus dalam memegang, ‘slight clawing’, hilangnya otot intrinsik, dan
menurunan sensibilitas pada daerah nervus ulnaris. Froment’s
Cedera yang sering terjadi di dekat pergelangan tangan atau pada
lengan bawah. Cedera yang ringan disebabkan oleh pemotongan sign dan kelemahan abduksi digiti minimi sering tampak. Tes
di depan pergelangan tangan atau dislokasi carpal. Pasien tidak Tinel’s Percussion, nyeri tekan pada saraf di belakang epikondial
bisa abduksi dari ibu jari dan kehilangan sensasi pada radial dan media- lis, reproduksi gejala dengan fleksi dari siku, kelemahan
setengah dari jari. Sedangkan cedera yang lebih berat disebabkan flekors carpi ulnaris dan fleksor digitorium profunda ke jari
oleh fraktur pada lengan bawah atau dislokasi siku, namun kelingking, diperkirakan akibat kompresi pada siku. Diagnosis
tikam- an dan luka tembakan dapat membahayakan saraf pada dikonfirmasikan dengan tes konduksi saraf (Solomon dkk, 2003).
berbagai tingkat. Tandanya sama seperti pada cedera ringan
7. Thoracic Outlet Syndrome
namun terdapat tambahan berupa flexi panjang ke ibu jari, jari
Gejala neurologis dan vaskular serta tanda pada lengan atas di-
telunjuk, jari tengah, pergelangan radial serta otot pronasi lengan
sebabkan oleh kompresi pada trunkus bawah dari Pleksus
bawah mengalami paralisis. Khas terdapat ’tanda pointing’ yaitu
Brakhialis (C8-T1) dan pembuluh darah subklavian antara klavikula
tangan memegang jari ulnaris dan jari telunjuk lurus (Solomon
dan kos- ta pertama. Kelainan ini merupakan kelainan kongenital
dkk, 2003).
dan ja- rang terjadi sebelum umur 30 tahun. Hal ini dikarenakan
5. Carpal Tunnel Syndrome dengan peningkatan umur, shouder sag, akan menyebabkan traksi
lebih be- sar pada kumpulan saraf dan pembuluh darah; sehingga
Sindrom ini biasanya terjadi pada usia menopause, atritis rema-
jatuhnya bahu akan meyebabkan sindrom dan gejala berhubungan
toid, kehamilan dan myxoedema. Adanya nyeri dan parastesia pada
dengan postur tubuh. Pada pasien wanita usia tiga puluhan biasanya
nervus median di tangan. Setiap malam penderita terbangun karena
nyeri dan parastesia dari bahu, bagian dalan ulnar dan lengan hingga
rasa terbakar pada tangan, kesemutan dan mati rasa. Mengantung-
dua jari medial dirasakan, nyeri tersebut terasa lebih berat pada ma-
kan tangan pada sisi atas tempat tidur dirasakan dapat mengurangi lam hari dan diperparah dengan pemberian beban pada bahu. Tan-
keluhan. Pada tingkat yang lebih tinggi mungkin terdapat kekaku- da dan gejala vaskuler jarang ditemukan, berupa sianosis, coldness,
an dan kelemahan, terutama pada tugas yang memerlukan mani- dan hipersekresi keringat pada jari tangan. Gejala berupa fenomena
pulasi seperti mengikat kancing. Delapan kali lebih banyak terjadi Raynaund‘s. Pada Adson’s test leher pasien ekstensi dan mengarah
pada perempuan daripada laki-laki, dengan usia berkisar 40 sampai ke sisi yang terkena, pasien disuruh bernapas dalam, sehingga ter-
50 tahun. Gejala sensoris sering disebabkan oleh pukulan di atas jadi kompresi ruang interskalin yang menyebabkan parastesia dan
nervus medialis (Tinel’s sign) atau dengan memegang pergelangan obliterasi pulsasi radialis. Tes Wright lengan mengalami abduksi
tangan yang difleksikan dalam satu atau dua menit (Phalen’s test). dan rotasi eksternal. Kemudian bisa juga dilakukan tes Root’s
Pada kasus yang lanjut terdapat hilangnya otot thenar, kelemahan dimana pasien diminta mengangkat lengannya tinggi di atas kepala,
abduksi ibu jari dan hilangnya sensorik pada daerah nervus media- dan membuka dan menutup jari-jari tangan dengan cepat,
lis. Pada tes elektrodiagnostik menunjukkan pergerakan lambat menyebab- kan kram pada sisi yang terkena. Pada pemeriksaan
dari konduksi saraf melewati pergelangan tangan, dan merupakan rontgen leher tampak adanya abnormalitas sepanjang C-7. Tes
gejala tidak khas. Gejala radikuler dari spondilosis cervikal mung- elektrodiagnostik berfungsi untuk megeksklusi cedera saraf tepi
kin meragukan diagnosis dan bersamaan dengan Carpal Tunner seperti kompresi pada nervus medialis atau ulnaris (Solomon dkk,
Syndrome (Solomon dkk, 2003). 2003).
Konservatif
�� Biasanya dilakukan pada cedera yang terjadi akibat hilangnya fungsi
� pada saraf tepi, atau yang dikenal dengan neuropraksia. Terapi awal
biasa- nya untuk melindungi sendi, termasuk sekeliling ligamen dan
tendon dari stresor lebih jauh. Splint, sling atau keduanya digunakan
pada kasus ini. Sebagai contoh, pada cedera nervus radialis dengan
hilangnya ekstensi pada pergelangan tangan dan jari, lemah pada
pergelangan tangan. Splint pada pergelangan tangan dapat
dipergunakan untuk menyokong lengan dalam posisi netral dan
menempatkan tangan pada posisi yang lebih fungsional. Pada pasien
dengan cedera Pleksus Brakhialis, terutama ketika segmen C5-6
terkena, tekanan lebih lanjut pada sendi glenohumeral dapat
menyebabkan sendi tersebut mengalami subluksasi tanpa sokongan dari
otot rotator. Sling berguna untuk merelaksasikan sendi tersebut,
mencegah dislokasi bahu dan mengurangi nyeri. Hor-
53
mon eritropoitin telah berhasil digunakan untuk meningkatkan dan bersih sebelum reparasi primer dilakukan. Bila dijumpai saraf
fungsi setelah Cedera. Terapi fisik dimulai pada tahap awal setelah yang
cedera nervus untuk menjaga ‘ROM’ pada sendi yang terkena dan transeksi, faktor berikut menunjuang reparasi primer:
untuk mem- pertahankan kekuatan otot pada otot yang terkena
(Osbourne, 2007; Robinson, 2005). 1. Puntung saraf mudah ditentukan tempatnya dan hubungan-
nya dengan jaringan sisi cedera lain biasanya utuh.
2. Puntung saraf mengalami retraksi minimal.
Pembedahan
3. Tindakan operasi tunggal adalah definitif dan mungkin me-
Dalam mengelola pasien dengan cedera saraf tepi perlu mengetahui rupakan satu-satunya operasi yang diperlukan untuk
mekanisme cedera, respons patologis, dan kapasitas regenerasi yang memper- baiki cedera jaringan lunak dan saraf.
akan terjadi. Terdapar beberapa faktor yang menentukan apakah
(Osbourne, 2007; Brandon dkk, 2008; Rochkind, 2009).
cedera saraf akan dioperasi atau tidak, yaitu:
1. mekanisme cedera,
2. beratnya kehilangan neurologis,
Reparasi sekunder
3. adanya nyeri yang hebat. Biasanya terjadi dalam beberapa minggu atau bulan, diindikasikan ka-
rena adanya:
Pada kasus yang lebih berat dari aksonotmesis diperlukan
- Fraktur tertutup namun tidak tampak adanya perbaikan.
operasi. Untuk pemeriksaan yang tepat dari tingkat cedera
- Diagnosis awal keliru sehingga pasien datang pada fease lambat
kemungkinan me- merlukan eksplorasi di bawah pengaruh anastesi.
- Repair primer yang gagal.
Penilaian kandung- an potensial aksi otot dengan electro-diagnosis
juga membantu dalam klasifikasi cedera (meskipun pada awalnya
Kebanyakan cedera tertutup pada saraf diakibatkan regangan atau
gambaran aksonotmesis dan neurotmesis terlihat identik).
kontusi. Saraf tidak terputus dan terdapat berbagai derajat kerusakan
Neurotmesis dapat dengan mudah terdeteksi dengan operasi
intraneural. Ia bisa berupa campuran aksonotmesis, neurotemesis
eksplorasi seperti saraf yang dapat dilihat dapat secara komplet
dan neuropraksia, atau bisa karena neurotemesis lengkap. Jadi
ditranseksi. Pada neurotmesis, operasi dianjur- kan apabila tidak ada
penundaan beberapa bulan diperlukan, karena akan memungkinkan
harapan terjadi penyembuhan secara spontan (Robinson, 2005).
(1) Semua elemen neuropraksia untuk pulih,
(2) Cedera yang menyertai untuk sembuh, dan
Reparasi primer (3) Terpenting, penilaian fisiologis atas cedera di meja operasi.
Reparasi dini (primer) adalah pilihan untuk cedera laserasi sederha-
na serta bersih, seperti diakibatkan oleh kaca dan pisau. Pada cedera Bila regenerasi adekuat terjadi, aktivitas spontan dapat dilacak dengan
sipil, reparasi primer terbaik untuk cedera transeksi tajam saraf siatik tehnik perekaman NAP intrabedah 8-10 minggu pascacedera
dan Pleksus Brakhialis tingkat supraklavikuler dan aksiler; (Osbourne, 2007; Rochkind, 2009; Friedman dkk, 2009).
eksplorasi segera memberikan kesempatan terbaik akan identifikasi
akurat serta reparasi ujung-ujung tanpa diperlukannya tandur. Ini Tabel 6.1 Klasifikasi cedera saraf tepi (Sumber dari Seddon, 1943; Osbourne, 2007).
terutama untuk cedera pleksus tajam di mana terdapat kerusakan
vaskuler yang harus diperbaiki segera. Bila setiap sisi luka
dieksplorasi beberapa minggu kemudian, biasanya akan dihadapi
parut yang parah dengan akibat diseksi dan identifikasi elemen saraf
yang terkena menjadi sulit. Pada saat eksplorasi, pertama harus
dipastikan bahwa transeksinya tajam
Neuropraksia Aksonotmesis Neurotmesis
Tabel 6.1 (lanjutan) dimana dikumpulkan dengan sel-sel Schwann yang dikelilingi oleh
lamina basalis. Banyaknya nerve graft menyebabkan co-morbiditi meli-
Neuropraksia Aksonotmesis Neurotmesis puti pembentukan jaringan parut, kehilangan sensasi, dan kemungkin- an
pembentukan neuroma yang sangat nyeri. Graft yang digunakan biasanya
Konduksi saraf distal Ada Tidak ada Tidak ada dari sural nerve (Osbourne, 2007).
terhadap cedera graft jenis autogenous bisa digunakan untuk me- nyambung suatu celah hingga suatu jarak. Nervus suralis adalah jenis yang sering digunakan, hingga
Suatu nervus
Fibrilasi40
sepanjang pada
cmEMGdan bisa Tidak ada pa- da kedua
digunakan Ada kaki. KarenaAda
diameter saraf tersebut kecil maka perlu diguna- kan beberapa lapis (sering disebut cable graft). Graft yang
digunakan ha- rus panjang agar bisa diletakkan tanpa tekanan, dan harus berada pada daerah dengan vaskularisasi yang baik. Sangat penting setiap fasikulus motorik dan
Penyembuhan Cepat,komplet 1mm per hari, 1mm per hari,
sensorik dihubungkan secara tepat pada graft.bagus
Sedangkan biasanya tidak
Waktu saat operasi perbaikan saraf sangatlah penting untuk vascularized graft hanya digunakan pada situasi tertentu, misal pada
komplet
penyembuhan yang optimal. Pada setiap kasus cedera akut, ahli bedah saat kedua nervus ulnaris dan medianus terkena kerusakan
saraf harus memutuskan apakah primary repair atau early secondary (Vollkasmasn iskemia), suatu pedicle graft digunakan untuk
repair yang menjadi pilihan pengobatan. Waktu dapat dibagi menjadi menyambung celah di median, selain itu juga mungkin digunakan pada
immediate, early (1 bulan), delayed (3-6 bulan), dan late (1-2 tahun Cedera Pleksus brachial (Osbourne, 2007).
atau lebih). Immediate repair dianjurkan saat saraf terpotong. Ujung Delayed reconstruction dianjurkan saat tingkat cedera belum
saraf harus intact jika terjadi cedera mengelilingi saraf, operasi harus dapat diketahui. Sebagai contoh, jika perluasan aksonotmesis tidak
ditunda (delayed) sampai proses peradangan sekitarnya berkurang
diketahui, kemudian akan direkomendasikan untuk menunda
(Osbourne, 2007).
operasi, karena penyembuhan alami lebih baik dibandingkan dengan
Early reconstruction dianjurkan untuk cedera yang disebabkan
oleh trauma tumpul atau robekan terbuka, dimana dapat menyebabkan perbaikan melalui operasi. Bagaimanapun, kualitas dari
destruksi saraf komplet. Tindakan operasi yang dilakukan adalah neu- penyembuhan motorik menurun setelah 6 bulan keterlambatan
rolysis (internal/eksternal), nerve repair yaitu end to end repair perbaikan. Late reconstruction umumnya
(epineural dan fasikuler) dan autologus nerve graft. Nerve graft
biasanya diindikasi- kan karena ujung saraf biasanya berkontraksi
dan /atau jaringan parut ingin direseksi. Autologous nerve graft
memberikan regenerasi akson,
Gambar 6.1. Autologous nerve graft (Sumber dari Osbourne, 2007). Gambar 6.2. Ilustrasi Epineural repair (Sumber dari Osbourne, 2007).
Rehabilitasi
Semenjak terjadinya Cedera, ekstrimitas dijaga dalam posisi
Gambar 6.3. lustrasi Fascicular repair (Sumber dari Osbourne, 2007).
fungsio- nal dan dinamik. Jaringan fibrotik di kencangkan dan di
mobilisasi. Prinsip pergerakan aktif tidak bisa ditinggalkan dan
aktivitas sehari- hari harus bisa dilakukan. Aspek yang paling
hanya digunakan untuk pengontrolan nyeri, seperti reseksi neuroma. penting dari terapi adalah penggunaan splint dinamik yang harus di
Standar operasi baru-baru ini adalah perbaikan epineural dengan fabrikasi untuk setiap pasien dan berubah kapan pun ada indikasi.
jahitan nilon (Osbourne, 2007). Pada ekstrimitas atas, fungsi akan di tingkatkan dengan program
Keberhasilan dari operasi sangat bervariasi dan luas. Penyembuh- reedukasi motorik dan sensibilitas. Reedukasi motorik berfungsi
an sensori terlihat sama pada semua saraf. Bagaimanapun, fungsi moto- untuk mencegah kebiasaan motorik ab- normal yang terdiri dari dua
rik bervariasi berdasarkan saraf individu itu sendiri. Pada sebuah studi, fase, yaitu monitoring visual dari pola aktivitas serta transfer tendon
penyembuhan motorik pada saraf ulnar 71% lebih rendah dibanding- yang awal. Prinsip dari transfer tendon awal adalah menggunakan
kan dengan saraf median. Umur (umur yang lebih muda lebih baik), hanya satu tendon dan menggunakan transfer yang tidak
tempat, cedera saraf, dan keterlambatan mempengaruhi prognosis se- menyebabkan deformitas, terjadi pernyembuhan sa- raf secara
spontan. Reedukasi sensibilitas terdiri dari kesadaran dalam
memegang objek ketika membuka mata kemudian menutup mata.
Tujuan dari reedukasi ini adalah agar hal tersebut dapat
dipergunakan dalam pekerjaan pasien. Reedikasi sensibilitas tidak
akan efektif bila pasien tidak dapat mengenal sensasi vibratori di
atas zona autonomi dari saraf yang terlibat. Tes picking up timed
akan meningkat secara kuantitatif pada pasien dengan palsy median
atau ulna (Osbourne, 2007; Roganovic dan Pavlicevic; 2006).
Prognosis
Pada kerusakan aksonotmesis dan neurotmesis, regenerasi akson
ber- langsung dengan kecepatan 1 cm per bulan sampai 1 mm per
hari, tergantung pada letak kerusakannya. Oleh karena itu biasanya
per- baikan tidak akan terlihat sampai beberapa bulan. Faktor yang
Gambar 6.4. Ilustrasi NerVE graft (Sumber dari Osbourne, 2007).
dapat memperlambat proses penyembuhan adalah terlibatnya saraf
moto-
rik dan sensorik sekaligus, usia lanjut, cedera yang terletak proksimal,
besarnya serabut saraf yang cedera, dan adanya kerusakan jaringan
sekitar (Robinson, 2005; Roganovic dan Pavlicevic; 2006).
CERVICAL ROOT
Bab 7 SYNDROME
Tjokorda GB Mahadewa
���
PENDAHULUAN
Pada daerah leher, banyak terdapat jaringan yang bisa menjadi sumber
terjadinya nyeri. Biasanya rasa nyeri berasal dari jaringan lunak atau
ligamen, akar saraf, faset artikular, kapsul, otot serta duramater. Nyeri
bisa diakibatkan oleh suatu proses degeneratif, infeksi atau inflamasi,
iritasi serta trauma. Selain itu perlu juga diperhatikan timbulnya nye-
ri alih dari organ atau jaringan lain yang merupakan distribusi der-
matomal yang dipersarafi oleh saraf servikal. Beberapa orang bisa
meng- alami nyeri leher yang bisa merambat ke bahu atau bahkan
tangan. Nyeri yang timbul ini sering disebabkan oleh adanya cedera
pada atau dekat dengan akar dari saraf spinal. Nyeri pada leher ini
sering di- sebut dengan cervical root syndrome. Cervical root
syndrome adalah suatu keadaan yang disebabkan oleh iritasi atau
penekanan akar saraf servikal oleh penonjolan diskus invertebralis.
Gejala yang ditimbulkan berupa nyeri leher yang menyebar ke bahu,
lengan atas dan bawah, parasthesia, dan kelemahan atau spasme otot.
Salah satu contoh penyakitnya adalah radikulopati servikal.
Radikulopati berarti radiks posterior dan anterior yang mengalami suatu
proses patologik (Eubanks, 2010; Carette dkk, 2005; Melanga, 2009).
Nyeri pada leher sering menjadi keluhan pasien, selain nyeri
juga dikeluhkan adanya rasa lemah dan lemas dari pasien. Cervical
root syn- drome merupakan kumpulan gejala yang sangat
mengganggu aktivitas pasien, sehingga penanganan yang tepat
sangat diperlukan oleh pa- sien. Penanganan yang dapat diberikan
bisa berupa penanganan non-
61