Anda di halaman 1dari 119

PNPK MANAJEMEN NYERI

PERDATIN

NYERI AKUT PASCA BEDAH


NYERI AKUT NON-BEDAH
NYERI KANKER
NYERI KRONIK

 NYERI RADIKULAR LUMBOSACRAL


(ICD 10. Lumbar Radikulopati M 54.16, Spinal Stenosis M. 48.06)
 NYERI PADA SENDI FACET THORACO-LUMBAL (ICD 10. M. 47.8)
 NYERI PADA SACROILIAC JOINT (ICD 10. M 53.3)
 NYERI PADA FACET CERVICAL (ICD 10. Cervical Facet Syndrome M 47.812)
 NYERI RADICULAR CERVICAL (ICD 10. M 54.12)
 SHOULDER PAIN (ICD 10. Arthtritis Pain of Shoulder M 19.9, Acromioclavicular Joint Pain M
25.519, Subdeltoid Bursitis M 75.50, Adhesive Capsulitis M 75.00, Subacrominal Impingement
Syndrome M 25.519, Supraspinatus Syndrome M 79.7)
 OSTEOARTHRITIS (ICD-10. Polyosteoarthritis M. 15, OA Hip M. 16, OA Knee M. 17, OA MCP
M. 18, other OA M. 19)
 NEURALGIA POSTHERPETIK (ICD 10. B 02.23)
 COMPLEX REGIONAL PAIN SYNDROME (ICD 10. M 89.0)
 NYERI PHANTOM (PHANTOM PAIN) (ICD 10. M 54.6)
 COMPLEX REGIONAL PAIN SYNDROME (ICD 10. M 89.0)
 Atypical Facial Pain/Persistent Idiopatic Facial Pain(ICD 10. G50.1)
 CERVICOGENIC HEADACHE(ICD 10. Other headache syndrome G44.89)
 TRIGEMINAL NEURALGIA(ICD 10 : M48.0 )

1
NYERI AKUT PASCA BEDAH

Pengertian
Nyeri pasca bedah adalah nyeri pada pasien yang telah mengalami pembedahan. Nyeri dapat terjadi
segera atau beberapa jam sampai beberapa hari setelah pembedahan.

Patogenesa
Nyeri pasca bedah merupakan prototipe nyeri nosiseptif yang diakibatkan oleh adanya kerusakan
jaringan dan proses inflamasi yang terjadi akibat pembedahan. Segera setelah adanya rangsangan
nosiseptor maka dimulailah proses perjalanan nyeri dari proses transduksi yang mengubah rangsangan
menjadi impuls listrik yang akan dihantarkan melalui serabut saraf yang dikenal dengan proses
transmisi dan selanjutnya terjadi proses modulasi pada neuron kornu dorsalis dan bagian susunan saraf
pusat lainnya yang melibatkan analgesic endogen yang kemudian dipersepsikan sebagai suatu nyeri.

Proses sensitisasi perifer dan sensitisasi sentral akan terjadi pada nyeri pasca bedah bila tidak
dilakukan penanganan nyeri secara preventif analgesia yang dimulai dari fase pre-operasi, intra operasi
dan pasca pembedahan. Pemberian analgesik dapat diberikan dengan berbagai macam metode mulai
dari pemberian analgetik intravena, analgetik neuraksial dan blok saraf tepi.

Proses transduksi dapat dihambat dengan pemberian analgesia NSAID dan Parasetamol; proses
modulasi banyak diperkuat dengan pemberian opioid terutama untuk pembedahan dengan
kemungkinan nyeri sedang sampai berat. Tindakan analgesia dengan menghambat proses transmisi
nyeri menjadi hal yang paling penting karena dapat mengurangi nyeri pasca bedah secara bermakna
dan meningkatkan kepuasan pasien.

Pemeriksaan Fisis
Penilaian intensitas nyeri pasca bedah dilaksanakan dengan menggunakan penilaian Numerical Rating
scale ( NRS ) atau dengan Visual Analogue Score ( VAS ).
Penilaian tanda vital lainnya untuk melihat dampak fisiologis bila nyeri tidak ditangani dengan adekuat
seperti terjadinya peningkatan tekanan darah, denyut nadi dan frekuensi nafas.

Tata Laksana
Dilaksanakan dengan metode multimodal analgesia yaitu memberikan obat-obatan dan atau tindakan
analgesik yang bekerja pada proses perjalan nyeri yang berbeda, mulai dari proses transduksi,
transmisi dan modulasi sesuai dengan jenis dan intensitas nyeri yang didapatkan.

Proses transduksi dapat dihambat dengan pemberian analgesia NSAID dan Parasetamol, proses
modulasi banyak diperkuat dengan pemberian opioid terutama untuk nyeri sedang sampai berat.
Tindakan analgesia dengan menghambat proses transmisi nyeri seperti blok saraf menjadi hal yang
paling penting karena dapat mengurangi nyeri secara bermakna dan meningkatkan kepuasan pasien.

- Analgetik secara intravena dengan konsep multimodal analgesia : Parasetamol, NSAIDs dan Opioid
serta adjuvant analgesik lainnya.
- Epidural Analgesia intermitten atau kontinyu untuk pembedahan thorax, abdomen, pelvis dan
ektremitas bawah.
- Blok saraf tepi kontinyu untuk pembedahan ekstremitas atas dan bawah.
- Analgetik secara Patient Controlled Analgesia menggunakan Opioid untuk pasien yang
kontraindikasi epidural analgesia.

2
Rekomendasi Pengelolaan Nyeri Pascabedah
Penilaian Pasien Prabedah

Pembedahan rutin Pasien dengan risiko co-morbid endokrin,


Analgesia sistemik kardiopulmonal, ginjal dan hati
Prabedah  COX2 selektif inhibitor Pertimbangkan penggunaan analgesia
 Gabepatin epidural sebagai anestesi tambahan
 Dexamethasone
Analgesia regional
 Anestesi lokal dengan waktu kerja
panjang infiltrasi luka untuk nyeri pada
luka

Teknik Anestesia Teknik anesthesia


 Anestesia umum  Anestesia Regional
Analgesia Sistemik  Anestesi Neuroaksial
 NSAID konvensional
Intrabedah o Epidural/spinal anastesia
 COX2 selektif inhibitor
 Opioid kuat kerja singkat sebagai  Kombinasi epidural/anestesia umum
bagian teknik anestesia
Anestesia regional
 LA kerja panjang infiltrasi luka untuk
nyeri luka
 LA intraperitoneal
 Kombinasi LA infiltrasi luka/LA
intraperitoneal
Anestesia Neuroaksial
 Epidural/spinal anastesia

Analgesia sistemik Analgesia epidural kontinyu/intermitten


 Konvensional NSAID/COX2 selektif  Kombinasi anestesi local dan opioid
Pascabedah inhibitor Analgesia regional kontinyu/intermitten
 Paracetamol Analgesia sistemik
 Paracetamol
 Opioid
Analgesia Regional  Konvensional NSAID/COX2 selektif
Analgesia neuroaksial inhibitor
 Epidural/spinal analgesia  Opioid
 Adjuvant analgesia: Corticosteroid,
NMDA antagonist, Alfa 2 agonist,
gabapentinoid dll.
Pemindahan dini (<24 jam)

Tingkat Evidence
- Epidural analgesia memberikan analgesia pasca operasi yang lebih baik dibandingkan dengan
parenteral opioid (termasuk PCA) (Level I [Cochrane review]).
- PCA opioid intravena memberikan analgesia yang jauh lebih baik daripada pemberian opioid secara
parenteral (Level I [Cochrane review]).
- Blok saraf perifer memberikan analgesia pasca operasi yang lebih baik dibanding parenteral opioid
dan menurunkan efek samping penggunaan opioid seperti mual, muntah pruritus dan sedasi (Level
I).
- Parasetamol merupakan analgesik efektif untuk nyeri akut; efek samping sama dibandingkan
dengan plasebo (Level I [Cochrane review]).
- NSAID non-selektif efektif dalam pengobatan nyeri akut pasca operasi (Level I [Cochrane review]).
- Coxib efektif dalam pengobatan nyeri akut pasca operasi (Level I [Cochrane review]).
- Parasetamol dikombinasikan dengan tramadol lebih efektif dibandingkan dengan penggunaan
sendiri dan menunjukkan efek berdasarkan dosis (Level I).

3
Kepustakaan
- Perhimpunan Dokter Spesialis Anestesiologi san Reanimasi Indonesia. Panduan tatalaksana nyeri
perioperatif. Tatalaksana Nyeri pada Prosedur Bedah Khusus. 2009;6:249-253.
- Acute Pain Management : Scientific Evidence, Australian and New Zealand College Anesthetists
and Faculty of Pain Medicine, Edisi 3. 2010.
- Macintyre P.E, Schug S.A, More complex patient, Acute Pain Management : A Practical Guide,
Edisi 4, Elsevier, 2015.

4
NYERI AKUT NON-BEDAH

Pengertian
Nyeri akut non-bedah adalah nyeri akut pada pasien yang bukan merupakan akibat pembedahan. Nyeri
dapat terjadi dengan intensitas ringan sampai berat akibat keadaan patologi selain pembedahan seperti
akibat trauma, luka bakar dan kondisi penyakit tertentu lainnya.

Patogenesa
Nyeri akut non-bedah dapat berupa nyeri nosiseptif, neuropatik maupun kombinasi dari keduanya.
Rangsangan pada nosispetor akibat kerusakan pada trauma mekanik, kimiawi dan termal akan
menghasilkan nyeri nosiseptif. Nyeri nosiseptif dapat berupa nyeri visceral maupun nyeri somatic
tergantung dari organ yang menjadi sumber terjadinya nyeri. Nyeri neuropatik banyak terjadi akibat
adanya kerusakan dari struktur saraf baik perifer maupun sentral.

Proses sensitisasi perifer dan sensitisasi sentral akan terjadi akan terjadi pada nyeri akut non-bedah
akibat besarnya input dari perifer yang akan diteruskan ke susunan saraf pusat bila tidak ditangani
dengan cepat dan tepat sehingga dapat berkembang menjadi nyeri kronik.

Pemeriksaan Fisis
Penilaian intensitas nyeri pasca bedah dilaksanakan dengan menggunakan penilaian Numerical Rating
scale (NRS) atau dengan Visual Analogue Score (VAS).
Penilaian kualitas dan jenis nyeri sangat penting untuk membedakan nyeri nosiseptif visceral atau
somatick, atau nyeri neuropatik.
Penilaian tanda vital lainnya untuk melihat dampak fisiologis bila nyeri tidak ditangani dengan adekuat
seperti terjadinya peningkatan tekanan darah, denyut nadi dan frekuensi nafas.

Tata Laksana
Dilaksanakan dengan metode multimodal analgesia yaitu memberikan obat-obatan dan atau tindakan
analgesik yang bekerja pada proses perjalan nyeri yang berbeda, mulai dari proses transduksi,
transmisi dan modulasi sesuai dengan jenis dan intensitas nyeri yang didapatkan.
Proses transduksi dapat dihambat dengan pemberian analgesia NSAID dan Parasetamol, proses
modulasi banyak diperkuat dengan pemberian opioid terutama untuk nyeri sedang sampai berat.
Tindakan analgesia dengan menghambat proses transmisi nyeri seperti blok saraf menjadi hal yang
paling penting karena dapat mengurangi nyeri secara bermakna dan meningkatkan kepuasan pasien.

Tingkat Evidence
- Opioid, terutama dengan PCA, efektif pada luka bakar termasuk pada nyeri akibat prosedur
tatalakasana luka bakar (Level II).
- Gabapentin mengurangi nyeri dan konsumsi opioid pada nyeri luka bakar akut (Level III).
- PCA ketamine dan midazolam meberikan analgesia yang baik dan sedasi pada pasien luka bakar
pada saaat pergantian perban (Level IV).
- Pemberian analgesia tidak menunggu penegakan diagnosa pada nyeri akut abdomen (Level I
[Cochrane Review]).
- Non-selective NSAIDs, opioids dan metamizole (dipyrone) intravena memberikan analgesia yang
efektif pada kolik ginjal (Level I [Cochrane Review]) dan mnegurangi kebutuhan opioid (Level I
[Cochrane Review]).
- Tidak ada perbedaan efektifitas antara Pethidine dan Morfin pada kolik ginjal (Level II).
- Non-selective NSAIDs intravena sama efektifnya dengan opioid parenteral pada nyeri kolik biliar
(Level II).
- Morphine merupakan analgesia utama dan efektif pada nyeri akut kardiak (Level II).
- Nitroglycerine merupakan analgesia utama dan efektif pada nyeri akut iskemia dada (Level IV).
5
Kepustakaan
- Acute Pain Management : Scientific Evidence, Australian and New Zealand College Anesthetists
and Faculty of Pain Medicine, Edisi 3. 2010.
- Macintyre P.E, Schug S.A, More complex patient, Acute Pain Management : A Practical Guide,
Edisi 4, Elsevier, 2015.

6
NYERI KANKER

Pengertian
Nyeri kanker adalah nyeri pada pasien kanker akibat perkembangan tumornya dan terapi yang
diberikan.

Patogenesa
Nyeri kanker dapat berupa nyeri nosiseptive akibat adanya inflamasi, kerusakan jaringan dan
pelepasan mediator-mediator yang merangsang nosiseptor baik oleh tumornya maupun akibat tindakan
seperti pembedahan, radioterapi dan kemoterapi.
Nyeri neuropatik dapat juga terjadi akibat adanya kompressi pada saraf, kerusakan pada saraf akibat
infiltrasi tumor dan penyebab nyeri neuropatik lainnya.

Anamnesa
Nyeri kanker dikeluhkan oleh penderita kanker sehubungan dengan adanya perkembangan tumor
sesuai dengan organ yang terkena. Nyeri kanker dirasakan terus menerus dan biasanya memberat pada
malam hari serta memberat pada keadaan-keadaan tertentu akibat pergerakan maupun dosis obat yang
kurang (nyeri breakthrough).

Pemeriksaan fisis
- Penilaian intensitas nyeri dengan menggunakan skor VAS (Visual Analog Score) maupun NRS
(Numerical Rating Scale).
- Penilaian gejala lain yang menyertai nyeri seperti adanya mual muntah pada tumor abdomen dan
lainnya.

Pemeriksaan Penunjang
Sesuai dengan organ yang mengalami keganasan dan terutama untuk melihat adanya kompresi saraf
dan peningkatan tekanan pada sturktu organ. Pemeriksaan lain untuk melihat tingkat stadium
perkembangan penyakit.

Tata Laksana
Pendekatan Farmakologi
Menggunakan prinsip Stepladder WHO : nyeri ringan (NRS 1-3) dengan analgesik non-opioid dan
adjuvant; nyeri sedang (NRS 4-6) dengan non-opioid dan opioid serta adjuvant; dan nyeri berat (NRS
> 7) dengan non-opioid dan Opioid kuat serta adjuvant.

Pendekatan Tindakan Intervension


- Blok saraf simpatetik dan neurolisis sesuai persarafan organ :
 Blok plexus coeliac.
 Blok nervus splachnicus.
 Blok plexus hypogastricus.
 Blok ganglion impar.
- Blok saraf neuraksial : epidural dan intratekal analgesia.

Tingkat Evidence
- Opioid diberikan secara individual dan dititrasi untuk mendapatkan analgesia maksimal dengan efek
samping minimal (Level II).
- Analgesik yang diberikan harus senantiasa disesuaikan perubahan intensitas nyeri (Level III).
Blok neurolitik plexus coeliac 2A+
Blok neurolitik nervus sphlanchnic 2B+

7
Blok neurolitik plexus hypogastric 2C+
Kepustakaan
- Kris C. Visser, Kees B, Michel W, et al. Evidence-based interventional pain medicine. Pain in
patients with Cancer. 2012;23:173-188.
- Christo PJ, Mazloomdoost D. Interventional pain treatments for cancer pain. Ann N Y Acad Sci.
2008;1138:229-328.
- Mercadante S, Intravaia G, Villari P, Ferrera P, Riina S, David F, et al. Intrathecal treatment in
cancer patients unresponsive to in mutiple trials of systemic opioids. Clin J Pain.
2005;1:CD005178.
- Acute Pain Management : Scientific Evidence, Australian and New Zealand College Anesthetists
and Faculty of Pain Medicine, Edisi 3. 2010.

8
NYERI RADICULAR CERVICAL
(ICD 10. M 54.12)

Pengertian
Nyeri yang menjalar dari regio leher ke daerah ekstremitas atas, yang dirasakan seperti rasa tersengat
listrik, yang disebabkan karena iritasi atau kerusakan saraf spinal cervical.

Patogenesis
Aktifitas ektopik pada serabut afferent nosisepsi di serabut saraf spinalis atau pada akar saraf serabut
spinalis cervical, atau mekanisme neuropatik lainnya.

Anamnesis
Nyeri radicular yang ditandai dengan nyeri pada leher yang menjalar ke bahu, lengan atas, kadang-
kadang sampai ke tangan. Penyebaran mengikuti pola dermatom persyarafan, seperti dermatom C4
melibatkan leher dan daerah suprascapular; dermatom C5 meliputi penyebaran ke daerah lengan atas;
pada dermatom C6-C7 penyebaran meliputi daerah leher, bahu, lengan dan tangan. Penyebaran terjadi
pada struktur yang dipersarafi akar saraf seperti otot, ligamen, sendi, dan kulit.

Pemeriksaan fisis
- Tes sensasi, kekuatan motorik, dan refleks tendon.
- Tes Spesifik : Neck Compression Test ( Spurling Test).
Shoulder abduction Test.
Axial Manual traction Test.

Pemeriksaan Penunjang
- CT scan : Untuk melihat struktur dari tulang pada vertebral cervical.
- MRI : Untuk melihat lesi pada jaringan lunak, penonjolan diskus intervertebralis,penekanan
dan iritasi nerve root, penyempitan foramen intervertebralis, dan jaringan sekitarnya.
- Diagnostik selective nerve root block, untuk mengetahui segmen cervical penyebab utama sumber
nyeri.

Diagnosis Banding
Nyeri pada sendi facet cervical, sendi bahu, Infeksi, penyakit vaskular, tumor.

Tata Laksana
- Penanganan konservatif :
 NSAID : golongan oxicam, golongan asam propionat, antranilat bila tidak ada
kontra indikasi.
 COX2 Inhibitor : celecoxib, valdecoxib.
 Obat Neuropatik : carbamazepin, gabapentin, pregabalin.
 Terapi Rehabilitasi.
- Tindakan Intervensi :
- Epidural Corticosteroid : Teknik Interlaminer atau transforaminal dengan penuntun fluoroskopi.
- Radiofrekuensi ablasi pada Dorsal Root Ganglia, thermal dan pulsed rediofrekuency.
- Pembedahan : Pada nyeri yang refrakter dengan terapi sebelumnya, atau pada nyeri
radikulopatik (nyeri radikular yang disertai dengan kelemahan
motorik) akibat penekanan pada spinal cord (myelomalacia).
- Spinal Cord Stimulation.

9
Tingkat Evidence
Interlaminar corticosteroid administration 2B+
Transforaminal corticosteroid administration 2B-
Radiofrequency treatment adjacent to the dorsal root ganglion (DRG) 2B+
Pulsed radiofrequency treatment adjacent to the DRG 1B+
Spinal cord stimulation 0

Kepustakaan
- Jan VZ, Marc H, Jacob P, Arno L, Nagy M, Marteen van K. Evidence-Based interventional pain
medicine. Cervical Radicular Pain. 2012;4:18-29.
- Rathmell JP, Aprill C, Bogduk N. Cervical transforaminal injection of steroids. Anesthesiology.
2014;100:1595-1600.
- Abdi S, Datta S, Trescot AM, et al.Epidural steroids in the management of chronic spinal pain : a
systematic review. Pain Phsysician. 2007;10:185-212.
- Abbasi A, Malhotra G, Malanga G, Elovic EP, Kahn S. Complications of interlaminar cervical
epidural steroid injections : a review of the literature. Spine. 2007;32:2144-2151.

10
NYERI PADA FACET CERVICAL
(ICD 10. Cervical Facet Syndrome M 47.812)

Pengertian
Nyeri pada daerah belakang kepala hingga area segmen thoracal pertama. Nyeri dirasakan kadang
menjalar disekitar leher, kepala, bahu, hingga lengan atas, namun kadang hanya dirasakan pada leher
dan tidak menjalar.

Patogenesis
Penyebab nyeri masih tidak jelas, tetapi berhubungan intensitas pekerjaan yang cukup tinggi yang
melibatkan sendi facet pada leher. Adanya proses degeneratif dan penyempitan pada diskus
intervertebralis cervical menyebabkan beban yang cukup berat pada sendi facet.

Anamnesis
Nyeri di sekitar leher, bersifat unilateral, biasanya menjalar tetapi tidak melewati bahu, nyeri memberat
apabila gerakan rotasi dan retrofleksi.

Pemeriksaan fisis
- Tes neurologis meliputi refleks, sensoris dan fungsi motorik.
- Pemeriksaan pada pergerakan leher baik pasif maupun aktif meliputi : Fleksi dan ekstensi, lateral
fleksi, rotasi, rotasi dengan fleksi maksimal, rotasi dengan ekstensi.
- Nyeri tekan pada sendi facet.

Pemeriksaan Penunjang
- Foto Polos regio cervical untuk melihat proses degenerative.
- CT scan : Untuk melihat struktur dari tulang pada vertebral cervical.
- MRI : Untuk melihat lesi pada jaringan lunak, penonjolan diskus intervertebralis, penekanan
dan iritasi nerve root, penyempitan foramen intervertebralis, dan jaringan sekitarnya
terutama adanya hipertropi maupun efusi pada sensi facet.
- Diagnostic Block pada intraarticular sendi facet atau serabut saraf ramus medialis sendi facet,
dimana bila 50 persen nyeri berkurang menandakan bahwa sumber nyerinya adalah dari sendi facet.

Diagnosis Banding
Nyeri radicular cervical, sendi bahu, infeksi, penyakit vaskular, tumor.

Tata Laksana
- Konservatif :
 NSAID : golongan oxicam, golongan asam propionat, antranilat bila tidak ada kontra
indikasi.
 COX2 Inhibitor : celecoxib, valdecoxib.
 Terapi Rehabilitasi Medik , Terapi mobilisasi.
- Interventional :
 Intraarticular steroid injection.
 Percutanues infiltration of ramus medialis nervus medial branc.
 Percutaneus facet denervasi dengan radiofrekuensi ablasi.

11
Tingkat Evidence
Intra-articular injections 0
Therapeutic (repetitive) cervical ramus medialis (medial branch) 2B+
of the cervical ramus dorsalis block (local anesthetic with or without
corticosteroid)
Radiofrequency treatment of the ramus madialis (medial branch) 2C+
of the cervical ramus dorsalis

Kepustakaan
- Marteen van E, Jacob P, Arno L et al. Evidence-Based interventional pain medicine. Cervical Facet
Pain. 2012;5:31-38.
- Guzman J, Hurwitz EL, Carroll LJ, et al. A new conceptual model of neck pain: linking onset,
course, and care : the bone and joint decade 2000-2010 task force on neck pain and its associated
disorders. Spine. 2008;33:S14-S32.
- Bogduk N, McGuirk B. Management of Acute and Chronic Neck Pain. Pain Research and Clinical
Management. Philadelphia, PA : Elviser;2006.
- Manchikanti L, Boswell MV, Singh V, et al. Comprehensive evidence-based guidelines for
interventional techniques in management of chronic spinal pain. Pain Physician. 2009;12:699-802.

12
NYERI RADIKULAR LUMBOSACRAL
(ICD 10. Lumbar Radikulopati M 54.16, Spinal Stenosis M. 48.06)

Pengertian
Nyeri yang menjalar dari daerah pinggang ke arah bawah sesuai dengan persyarafan dermatom lumbal
dan sakrum, yang dapat disertai dengan adanya penurunan fungsi motorik.

Patogenesis
Aktifitas ektopik pada serabut afferent nosisepsi pada serabut saraf spinalis atau pada akar saraf
serabut spinalis, atau mekanisme neuropatik lainnya. Aktifitas ektopik ini disebabkan karena adanya
iritasi serabut saraf yang biasanya disebabkan karena adanya penonjolan diskus.

Anamnesa
Nyeri radicular pada pinggang, yang terasa tajam, tumpul, terbakar, atau seperti dipukul yang
disebabkan karena adanya penonjolan diskus yang memberat apabila perubahan posisi seperti duduk,
batuk, atau latihan yang melibatkan diskus dari regio loumbal, dan berkurang apabila berjalan, atau
berbaring.

Pemeriksaan fisis:
- Pemeriksaan Motorik.
- Pemeriksaan Sensorik.
- Pemeriksaan Reflek Fisiologis.
- Pemeriksaan Reflek Patologis.
- Pemeriksaan Tonus otot.
- Pemeriksaan Autonomic Nervous System.
- Pemeriksaan khusus : Lasegue’s test, Cram test, Crossed straight leg raising test, FABER (Flexion
Abduction External-Rotation) test.

Pemeriksaan Penunjang
- Foto Polos regio lumbal untuk melihat proses degeneratif.
- CT scan : Untuk melihat struktur dari tulang pada vertebral lumbal.
- MRI : Untuk melihat lesi pada jaringan lunak, penonjolan diskus intervertebralis, penekanan dan
iritasi nerve root, penyempitan foramen intervertebralis, dan jaringan sekitarnya.
- Diagnostik selective nerve root block, untuk mengetahui segmen penyebab utama sumber nyeri.

Diagnosa banding
Cauda Equina syndrom, Fraktur Kompresi pada regio lumbal, nyeri yang menjalar tetapi tidak bersifat
dermatomal (pielonefritis, kolesistitis, endometriosis, appendisitis).

Tata Laksana
- Konservatif :
 NSAID : golongan oxicam, golongan asam propionat, antranilat, bila tidak ada kontra
indikasi.
 COX2 Inhibitor : celecoxib, valdecoxib.
 Obat Neuropatik : carbamazepin, gabapentin, pregabalin.
 Terapi Rehabilitasi.
- Terapi Intervensi
 Epidural Corticosteroid : Teknik Interlaminer atau transforaminal dengan penuntun fluoroskopi.
 Radiofrekuensi ablasi pada dorsal root ganglia dengan pulse maupun thermal radifrequency.
 Adhesiolisis pada kasus spinal stenosis dan nyeri pasca bedah spine (FBSS).
13
 Pembedahan : Pada nyeri yang refrakter dengan terapi sebelumnya, atau pada nyeri
radikulopatik akibat penekanan pada spinal cord (myelomalacia) yang
menyebabkan gangguan motorik dan otonomik.
 Spinal Cord Stimulation.

Tingkat Evidence
Interlaminar corticosteroid administration 2B±
Transforaminal corticosteroid administration in “contained herniation” 2B+
Transforaminal corticosteroid administration in “extruded harniation” 2B-
Radiofrequency lesioning at the level of the spinal ganglion (DRG) 2A-
Pulsed radiofrequency treatment at the level of the spinal ganglion 2C+
Spinal cord stimulation (FBSS only) 2A+
Adhesiolysis-epiduroscopy 2B±

Kepustakaan
- Koen VB, Jianguo C, Jacob P, et al. Evidence-Based interventional pain medicine. Lumbosacral
Radicular Pain. 2012;11:71-82.
- Tarulli AW, Raynor EM. Lumbosacral radiculopathy. Neurol Clin. 2007;25:387-405.
- Koes BW, van Tulder MW, Peul WC. Diagnosis and treatment of sciatica. BMJ. 2007;334:1313-
1317.
- Hagen KB, Jamtvedt G, Hilde G, Winnem MF. The update Cochrane review of bed rest for low
back pain and sciatica. Spine. 2005;30:542-546.

14
NYERI PADA SENDI FACET THORACO-LUMBAL
(ICD 10. M. 47.8)

Pengertian
Nyeri pada pinggang yang dirasakan tidak menjalar, dan nyeri ini dirasakan memberat pada gerakan
fleksi dan berkurang pada posisi duduk.

Patogenesis
Disebabkan karena adanya proses inflamasi pada sendi facet, proses inflamasi ini disebabkan karena
proses yang berulang ulang pada penggunaan sendi facet berlebih. Proses inflamasi ini menyebabkan
penyempitan dari kanalis spinalis dari posterior foramen sehingga mengiritasi akar saraf spinalis.

Anamnesa
Nyeri pada sekitar pinggang bawah untuk daerah lumbal dan daerah punggung atas, biasanya tidak
menjalar, kecuali disertai dengan penonjolan diskus, lebih sering bersifat unilateral, nyeri dirasakan
memberat pada gerakan ekstensi dan rotasi, dan berkurang pada posisi duduk. Dapat ditemukan nyeri
aksial pada perubahan posisi dari baring ke duduk atau duduk ke berdiri.

Pemeriksaan Fisis
Pemeriksaan palpasi : nyeri tekan pada daerah paravertebral.
Pemeriksaan meliputi gerakan gerakan dari sendi facet lumbal, menggunakan Revel Criteria, yaitu :
- Nyeri tidak memberat pada saat batuk.
- Nyeri tidak memberat pada saat meluruskan badan dari fleksi.
- Nyeri tidak memberat pada saat hiperekstensi.
- Nyeri membaik pada saat posisi berbaring.

Pemeriksaan Penunjang
- Foto Polos regio thoraco-lumbal untuk melihat proses degenerative.
- CT scan : Untuk melihat struktur dari tulang pada vertebral thoraco-lumbal.
- MRI : Untuk melihat lesi pada jaringan lunak, penonjolan diskus intervertebralis, penekanan
dan iritasi nerve root, penyempitan foramen intervertebralis, dan jaringan sekitarnya
terutama adanya hipertropi dan efusi pada sendi facet.
- Diagnostic Block pada intraarticular sendi facet atau serabut saraf ramus medialis nervus medial
branch yang mempersarafi sendi facet, dimana bila 50 persen nyeri berkurang menandakan bahwa
sumber nyerinya adalah dari sendi facet.

Diagnosa banding
- Nyeri Facet Lumbal : Radikular lumbal, Nyeri diskogenic regio lumbal, sacroiliac joint patologic, nyeri
myofascial.
- Nyeri Facet Thoracal : Patologi intraabdominal, patologi intra thoracic (aneurisme, cancer) dan herniasi
distohoracic.

Tata Laksana
Konservatif :
- NSAID : golongan oxicam, golongan asam propionat, antranilat, bila tidak ada kontra
indikasi.
- COX2 Inhibitor : celecoxib, valdecoxib.
- Obat Neuropatik : carbamazepin, gabapentin, pregabalin.
- Terapi Rehabilitasi.
- Interventional :

15
 Intra-articular steroid injection.
 Percutaneus infiltration of ramus medialis.
 Percutaneus facet denervasi dengan pulse maupun thermal radiofrequency.

Tingkat Evidence
Intra-articular injections 2B±
Radiofrequency treatment of the rami mediales 1B+
(medial branches) and L5 primary rami dorsales
Radiofrequency treatment of the ramus medials (medial
branch) of the thoracic ramidorsales 2C+

Kepustakaan
- Marteen van K, Pascal V, Steven P Cohen, et al. Evidence-Based interventional pain medicine. Pain
Orginating from the Lumbar Facet Joints. 2012;12:87-92.
- Manchikanti L, Manchikanti KN, Cash KA, Singh V, Giordano J. Age-related prevalence of facet-
joint involvement in chronic neck and low back pain. Pain Physician. 2008:11:67-75.
- Cohen SP, Argoff CE, Carragee EJ. Management of low back pain. BMJ. 2008;337:a2718.
- Van Zundert J, Vanelderen P, Kessels A. Re:Chou R, Atlas SJ, Stanos SP, et al. Nonsurgical
interventional therapies for low back pain : a review of the evidence for an American Pain Society
clinical practice guideline. Spine. (Phila Pa 1976) 2009;34:1087-1093. Spine (Phila Pa 1976)
2010;35:841; author reply 841-8.

16
NYERI PADA SACROILIAC JOINT
(ICD 10. M 53.3)

Pengertian
Nyeri pada daerah sacroiliac joint, nyeri disebabkan karena penekanan pada daerah sacroiliac, atau
karena gerakan yang berlebihan yang melibatkan sacroiliac joint, yang hilang dengan penyuntikan
anestesi lokal pada sacroiliac joint.

Patogenesa
Adanya proses intraarticular seperti infeksi, arthritis, malignancy. Proses ekstraarticular meliputi
Fraktur, trauma pada ligament, nyeri miofasial.

Anamnesa
Nyeri pada daerah gluteus yang menjalar ke ekstremitas bawah hingga ke jari jari kaki.

Pemeriksaan fisis
- Compression test.
- Distraction test.
- Patrick Sign.

Pemeriksaan Penunjang
- CT scan merupakan pilihan utama pada nyeri sacroiliac untuk melihat kelainan pada sendi
sacroiliac.
- Diagnostic Block pada intraarticular sendi sacroiliac, dimana bila 50 persen nyeri berkurang
menandakan bahwa sumber nyerinya adalah dari sendi sacroiliac.

Diagnosa banding
Lumbal nerve root compression, nyeri pada hip, Piriformis syndrom, nyeri miofasial, Nyeri yang
menjalar tetapi tidak bersifat dermatomal (pielonefritis, kolesistitis, endometriosis, appendicitis).

Tata Laksana
- Konservatif :
 NSAID : golongan oxicam, golongan asam propionat, antranilat, bila tidak ada kontra
indikasi.
 COX2 Inhibitor : celecoxib, valdecoxib.
 Obat Neuropatik : carbamazepin, gabapentin,pregabalin.
 Terapi Rehabilitasi.
- Interventional :
 Intraarticular steroid injection.
 Radiofrequency Ablasi pada rami dorsalis dan lateralis.

Tingkat Evidence
Therapeutic intra-articular injections with corticosteroids 1B+
And local anesthetic
Radiofrequency (RF) treatment of rami dorsales and laterals 2C+
Pulsed RF treatment of rami dorsales and rami laterales 2C+
Cooled RF treatment of rami laterales 2B+

17
Kepustakaan
- Pascal V, Karolina S, Steven P. Cohen, et al. Evidence-Based interventional pain medicine.
Sacroiliac Joint Pain. 2012;13:96-101.
- Cohen SP. Sacroiliac joint pain : a comprehensive review of anatomy, diagnosis, and treatment.
Anesth Analg. 2005;101:1440-1453.
- Burnham RS, Yasui Y. An alternate method of radiofrequency neurotomy of the sacroiliac joint : a
pilot study if the effect on pain, function, and satisfaction. Reg Anesth Pain Med. 2007:32:12-19.
- Ferrante FM, King LF, Rochë EA, et al. Radiofrequency sacroiliac joint denervation for sacroiliac
syndrome. Reg Anesth Pain Med. 2003;28:113-119.

18
OSTEOARTHRITIS
(ICD-10. Polyosteoarthritis M. 15, OA Hip M. 16, OA Knee M. 17, OA MCP M.
18, other OA M. 19)

Pengertian
Penyakit degeneratif tulang rawan sendi dan tulang yang bersifat kronik, berjalan progresif lambat, dan
ditandai oleh adanya deteriorasi dan abrasi dari rawan sendi dan adanya pembentukan tulang baru pada
permukaan persendian yang dapat disertai dengan peradangan.

Patogenesis
Etiologi tidak jelas, primer atau sekunder karena penyakit lain dan dapat bersifat multi faktor. Ditandai
dengan penyempitan ruang sendi karena kerusakan tulang rawan sendi dan remodeling tulang
subkondral. Biasanya disertai perubahan reaktif pada tepi sendi dan tulang subkondral.

Anamnesis
Sendi yang sering terkena osteoarthritis adalah lutut, panggul, kaki, pergelangan kaki, Distal and
Proximal Interphalangeal Joint pada tangan, sendi akromio-clavicula.
Nyeri sendi bila bergerak atau menanggung beban dan berkurang bila beristirahat. Dapat terjadi
kekakuan sendi pada pagi hari setelah sendi tersebut tidak digerakkan beberapa lama. Perubahan khas
juga terlihat pada tulang belakang yang mengalami nyeri, kaku, dan keterbatasan pergerakan.

Pemeriksaan fisis
- Krepitasi, nyeri sendi saat pergerakan atau di akhir gerakan, deformitas sendi, nyeri tekan sendi dan
periartikular, penonjolan tulang, pembengkakan jaringan lunak, instabilitas sendi.
- Tes spesifik : Patellofemoral grind tes.

Pemeriksaan Penunjang
- Laboratorium : Tidak ada pemeriksaan khusus. Laju endap darah mungkin akan sedikit
meningkat apabila ada sinovitis yang luas.
- Foto polos sendi : Untuk melihat penyempitan ruang sendi, peningkatan densitas tulang di sekitar
sendi, formasi osteofit, kista degenerative dan sklerosis subkondral.
- MRI : Lebih sensitive untuk melihat hilangnya kartilago, formasi kista subkondral dan
osteofit dan kerusakan jaringan termasuk meniscus dan ligamen.

Diagnosis Banding
Arthritis rheumatoid, artropati inflamasi, gout, nyeri alih, infeksi, fraktur, keganasan.

Tata Laksana
- Penanganan konservatif :
 Non farmakologi : kurangi beban, terapi fisik dengan latihan mengerakkan sendi, memperkuat
otot-otot sendi, alat bantu, terapi panas, terapi dingin, TENS dan akupuntur.
 Farmakologi : NSAID oral/topical (asetaminofen, ibuprofen, ketoprofen, indometasin,
diklofenak, piroksikam), COX-2 inhibitor, tramadol, opioid kerja panjang.
- Tindakan intervensi :
 Injeksi steroid intra-artikuler.
 Terapi viscous suplemen : derivate hyaluronan.
 Pembedahan : total knee replacement.

Kepustakaan
- Daniel JM, Russell C, DeMicco DO, Edwin LC. Osteoarthritis & Rheumatoid Arthritis. 2006.

19
- Blackwell B. Osteoathritis in decision making in pain management, Ramamurti, Alan Manau,
Rogers editor. 2nd Ed. 2005.

20
SHOULDER PAIN

(ICD 10. Arthtritis Pain of Shoulder M 19.9, Acromioclavicular Joint Pain M


25.519, Subdeltoid Bursitis M 75.50, Adhesive Capsulitis M 75.00,
Subacrominal Impingement Syndrome M 25.519, Supraspinatus Syndrome M
79.7)

Pengertian
Nyeri pada atau di sekitar sendi bahu.

Patogenesis
Multifaktor : inflamasi (penggunaan berlebihan, penyakit degeneratif, autoimun), gerakan berlebihan,
keterbatasan gerakan, kelemahan/ketidakseimbangan otot.

Anamnesis
Nyeri dan keterbatasan pergerakan sendi bahu, dengan atau tanpa riwayat trauma, kesulitan
mengenakan pakaian, kesulitan melakukan aktivitas sehari-hari, gangguan tidur akibat gangguan nyeri
pada sendi yang terkena.

Pemeriksaan fisis
- Tes spesifik : simple shoulder test, impingment test, cross arm abduction, rotasi eksterna rotator
cuff.

Passive Active Passive Passive


External abduction abductionin horizontal
Affections rotation in neutral pos.arm external rotation arm abduction
Osteoarthritis/Arthritis of the glenohumeral joint +++ +++ +++ +
Capsulitis of the glenohumeral joint +++ +++ +++ +
Rotator cuff syndrome ++ +++ +++ +
Osteoarthritis/Arthritis of the acromioclavicular joint - +++ +++ +++
Degenerative disorders of the subacrominal space - +++ - -
(e.g. calcium deposits)

+, degree limited; -, normal; Pos., position.

Pemeriksaan Penunjang
Laboratorium : tidak spesifik.
Foto polos : Untuk menyingkirkan artritis, kalsifikasi, tumor, trauma.
CT scan : Untuk mendapatkan gambar sendi bahu yang lebih optimal.
MRI : Untuk kondisi keluhan nyeri bahu yang lama dan melihat adanya kerusakan struktur.

Diagnosis Banding
Nyeri alih dari leher, thoracic outlet syndrome, artritis rheumatoid, gout, bursitis, tenosynovitis,
sindrom skalenus anterior.

Tata Laksana :
- Penanganan konservatif :
 Terapi fisik : gerak aktif dan pasif sendi bahu.
 Analgesik : NSAID, Opioid dan Adjuvant analgesia.
- Tindakan intervensi :
 Injeksi steroid pada sendi glenohumeral.

21
 Injeksi steroid local pada bursitis acromial, syndrome impingement.
 Blok Saraf suprascapularis termasuk didalamnya radiofrekuensi ablasi.
 Epidural cervical continyu.
 Trigger point injection.
 Blok ganglion stellate.

Tingkat Evidence
Injeksi kortikosteroid 2 B±
Epidural cervical konitnyu untuk frozen shoulder 2 C+
Pulse RF ablasi nerve suprascapularis 2 C+

Kepustakaan
- Huygen F, Patijn J, Rohof O, Lataster A, Mekhail N, Kleef MV, Zundert JV. Painful Shoulder
Complaints in Evidence Based Interventional Pain Medicine. 2012.
- Decision making in pain management, Ramamurti, Alan Manau, Rogers editor. 2nd Ed. 2005.

22
NEURALGIA POSTHERPETIK
(ICD 10. B 02.23)

Pengertian
Nyeri menetap yang timbul disepanjang saraf setelah 3 – 6 bulan penyembuhan ruam Herpes Zoster.

Patogenesis
Zoster akut menyebabkan inflamasi kulit dan denervasi parsial pada distribusi dermatom berupa
inflamasi, nekrosis, dan fibrosis pada akar ganglia dorsalis. Perubahan inflamasi dapat berlangsung
beberapa bulan, menyebabkan demielinisasi, degenerasi Walerian, dan fibrosis. Kehilangan saraf
aferen bermielin dan plastisitas neuron kornu dorsalis menyebabkan hilangnya inhibisi dan aktivitas
aferen primer tidak bermielin meningkat. Aktivitas spontan terjadi pada akson-akson tersebut,
sensitivitas meningkat terhadap stimulus mekanik, agonis alfa adrenergik dan aktivitas eferen simpatis.

Anamnesis
Nyeri pada kulit mengikuti dermatom tertentu. Nyeri terasa tajam, menusuk, berdenyut, terbakar, mati
rasa, kesemutan atau gatal. Daerah jaringan parut setelah ruam sembuh biasanya allodinia,
hiperalgesia, hipestesia dan sering anestesia. Nyeri dapat terjadi spontan dan diperparah oleh kontak
dengan kulit. Gejala dipicu oleh aktivitas fisik, perubahan suhu, atau emosional.

Pemeriksaan fisis
- Tes sensasi : raba, sentuh, pinprick.

Pemeriksaan Penunjang
Laboratorium : Deteksi antigen virus Varicella Zoster dengan imunofluoresensi atau polymerase chain
reaction (PCR).
Radiologi : Tidak spesifik.

Diagnosis Banding
Cluster headache, lesi saraf perifer, neurodermatitis, infeksi.

Tata Laksana :
- Penanganan konservatif :
 Non farmakologik : akupunktur, TENS.
 Farmakologi : antidepresan trisiklik, antikonvulsi (gabalin, pregabalin), opioid, obat-obat
topical anestesi local dan capsaicin, kortikosteroid, ketamin.
- Tindakan intervensi :
 Blok saraf sesuai dermatomal, contoh: block saraf intercostal.
 Injeksi steroid epidural dan paravertebral.
 Injeksi intratekal.
 Blok saraf simpatik, contoh : block ganglion stellate.
 Stimulasi medulla spinalis.

Tingkat Evidence
Interventional pain treatment of acute herpes zoster
Epidural injections 2B+
Sympathetic nerve block 2 C+
Prevention of PHN
One-time epidural injection 2 B-
Repeated paravertebral injections 2 C+

23
Sympathetic nerve block 2 C+
Treatment of PHN
Epidural injection 0
Sympathetic nerve block 2 C+
Intrathecal injection ?
Spinal cord stimulation 2 C+

Kepustakaan
- Albert JM, Wallace M, Mekhael N, Kleef MV. Herpes Zoster and Post-Herpetic Neuralgia, 137 in
in Evidence Based Interventional Pain Medicine. 2012.
- Decision making in pain management, Ramamurti, Alan Manau, Rogers editor. 2nd Ed. 2005.
- Schenk M, Urnauer H, Schug SA, Jaehnichen G, Harper SJ. Neuropathic Pain in Pocket Guide Pain
Management. 2008.

24
NYERI PHANTOM (PHANTOM PAIN)
(ICD 10. M 54.6)

Pengertian
Nyeri yang terjadi pada bagian tubuh yang telah hilang, meliputi ekstremitas, payudara, hidung,
genitalia, dan bagian tubuh lain.

Patogenesis
Setelah amputasi, saraf-saraf yang mengalami trauma membentuk neuroma. Neuroma menunjukkan
aktivitas abnormal yang menyebabkan perubahan fungsi kanal ion. Perubahan aktivitas neuroma dan
ganglia spinalis dalam jangka waktu lama menyebabkan adaptasi sentral pada neuron proyeksi di
kornu dorsalis. Terjadi perubahan aktivitas neuron spontan dan perubahan transkripsi RNA. Akibatnya
aktivitas metabolik di medulla spinalis meningkat dan menyebabkan terjadinya sensitisasi sentral.
Perubahan neuroplastik juga terjadi pada thalamus, subkortikal, dan kortikal.
Perubahan pada fungsi dan struktur dari korteks somatic sensori primer setelah amputasi yang disertai
dengan perubahan reorganisasi sensorik dan motorik.

Anamnesis
Nyeri intermitten, dirasakan seperti terbakar, sakit, kram, dihancurkan, terputar, tertusuk-tusuk. Pada
banyak kasus nyeri nyeri dirasakan pada bagian distal dari ekstrimitas yang telah hilang dan dapat
terjadi setelah 14 hari pasca amputasi. Terdapat hubungan antara intensitas nyeri pada daerah amputasi
dan penyebab amputasi dengan terjadinya nyeri phantom.

Pemeriksaan fisis
Pengukuran ambang taktil statis dan ambang suhu.

Pemeriksaan Penunjang
Laboratorium : Tidak spesifik.
Radiologi : Tidak spesifik.

Diagnosis Banding
Stump pain, phantom limb sensation.

Tata Laksana :
- Non farmakologi :
 Strategi psikologis, mirror box, terapi lingkungan, biofeedback, terapi relaksasi, hipnosis,
konseling.
 Terapi fisik : mendinginkan stump, penggunaan prostesis dini, stimulasi ultrasonik dan getaran,
 Akupunktur, TENS, perkusi stump, terapi panas, dingin, dan pijat.
- Farmakologi : antidepresan trisiklik, antiepilepsi, agonis opioid, CCB, antagonis NMDA, kalsitonin
- Tindakan intervensi :
 Epidural analgesia perioperative sebagai preventif.
 Blok saraf perifer.
 Blok simpatis.
 Trigger point dan stump injection.
 Spinal cord stimulation.
 Operasi : deep brain stimulation.

25
Tingkat Evidence :
- Ketamine, NMDA-receptor antagonist memberikan analgesia yang baik dalam jangka waktu
pendek (Level II).
- Oral controlled-release (CR) morphine dan infuse Morfin intravena mengurangi nyeri phantom limb
(Level II).
- Gabapentin efektif dalam mengurangi nyeri phantom limb (Level II).
- V lidocaine signifikan menurunkan nyeri stump pain tetapi tidak berefek pada phantom pain (Level
II).
- Amitriptyline and tramadol memberikan analgesia yang baik pada phantom limb dan stump.
- Injeksi lokal anesthesia pada daerah miofasial yang nyeri pada kontralateral ekstremitas dapat
mengurangi phantom limb pain and sensations (2009 Level II).

Pulsed radiofrequency treatment of the stump neuroma 0


Pulsed radiofrequency treatment adjacent to the ganglion spinale (DRG) 0
Spinal cord stimulation 0

Kepustakaan
- Wolf A, Vanduynhoven E, Kleef MV, Huygen F, Pope JE, Mekhael N. Phantom Pain, 160. in
Evidence Based Interventional Pain Medicine. 2012.
- Decision making in pain management, Ramamurti, Alan Manau, Rogers editor. 2nd Ed. 2005.

26
COMPLEX REGIONAL PAIN SYNDROME
(ICD 10. M 89.0)

Pengertian
Nyeri neuropatik menetap dengan gambaran otonom bermakna, biasanya pada ekstremitas dengan
perubahan pada bagian tubuh yang dipengaruhi dengan kondisi dan intensitas nyeri lokal yang
melebihi kondisi klinik yang diperkirakan. Sering terjadi setelah trauma, pembedahan, atau kejadian
vaskuler seperti stroke.
CRPS tipe I : dikenal sebagai Reflex Sympathetic Dystrophy (RSD).
CRPS tipe II : dikenal sebagai Causalgia yang menyerupai CRPS tipe I, namun disertai dengan
adanya lesi saraf dan deficit neurologis.

Patogenesis
Trauma saraf menyebabkan pelepasan glutamat spinal. Pelepasan glutamat menyebabkan peningkatan
aktivitas spontan aferen primer, kehilangan neuron inhibisi, aktivasi gen dini, serta fosforilasi kanal
dan reseptor. Bila perubahan berlangsung lama, hal ini dapat menyebabkan perubahan fungsi menetap.

Anamnesis
Biasanya didahului oleh trauma atau pembedahan. Area yang terkena lebih luas dari trauma asal.
Gejala yang dilaporkan adalah kommbinasi dari nyeri yang berkelanjutan, disfungsi sensorik, disfungsi
vasomotor dan sudomotor.
Stadium I (fase akut) : nyeri seperti terbakar, hipersensitivitas, allodinia, edema, rubor, suhu
meningkat, pergerakan terbatas.
Stadium II (fase distropi) : nyeri menetap, indurasi edema, suhu menurun, perubahan tropis (rambut,
kuku, kulit), osteoporosis.
Stadium III (fase atropi) : nyeri bergerak ke arah proksimal, kontraktur fleksi, penebalan fasia,
keterbatasan gerak terus berlanjut, ulserasi kulit, iskemia, infeksi.

Pemeriksaan fisis
Disfungsi sensorik pada kulit : hiperalgesia, allodinia mekanik, hipoalgesia dan hipoestesia. Perubahan
suhu dan warna kulit yang asimetris disertai dengan edema dan hiper
atau hipohidrosis tergantung stadium CRPS.
Gejala bervariasi sesuai dengan perjalanan waktu dan gejala lainnya timbul lebih berat bila ekstrimitas
yang terkena digerakkan/digunakan.

Pemeriksaan Penunjang
Laboratorium : Tidak spesifik.
Radiografi : Untuk melihat hilangnya densitas (atrofi Sudek) atau kehilangan densitas trabekula.
MRI : Untuk melihat edema otot atau jaringan lunak, atrofi otot, atau bertambahnya jaringan
lunak.
Scan tulang : Untuk melihat aliran darah dan jaringan.
Pengukuran aliran darah : Doppler, probe suhu, termografi .

Diagnosis Banding
Proses neuropatik (neuropati diabetik, saraf terjepit, penyakit Raynaud, akrosianosis), selulitis,
tromboangitis obliterans, penyakit Paget.

Tata Laksana :
- Penanganan konservatif.
 Konseling, biofeedback.
27
 Terapi fisik, memberikan desensitisasi, meningkatkan kemampuan fungsi dan pergerakan,
TENS.
 Medikasi : antiinflamasi, antidepresan, selective serotonin reuptake inhibitor, gabapentin,
lamotrigin, vasodilator (nifedipin, fenoksienzamin), beta bloker, klonidin,
pentoksifilin, anestetik lokal topical.
- Tindakan intervensi.
 Blok saraf simpatis : blok ganglion stellate, blok plexus brachialis, lumbal sympathetic block
termasuk didalamnya radiofrequency ablasi.
 Injeksi epidural analgesia.
 Blok regional intravena.
 Dorsal Column Stimulation.
 Operasi simpatektomi.
 Stimulasi medulla spinalis.

Tingkat Evidence
Ganglion stellatum (stellate ganglion) block 2 B+
Lumbar sympathetic block 2 B+
Plexus branchialis block 2 C+
Epidural Infusion analgesia 2 C+
Spinal cord stimulation 2 B+
Peripheral nerve stimulation 2 C+

Kepustakaan
- Eijs F, Hicks MS, Zundert JV, et al. Complex Regional Pain Syndrome in Evidence Based
Interventional Pain Medicine. 2012.
- Romanoff ME. Complex Regional Pain Syndrome, in decision making in pain management,
Ramamurti, Alan Manau, Rogers editor. 2nd Ed. 2005.
- Schenk M, Urnauer H, Schug SA, Jaehnichen G, Harper SJ. Neuropathic Pain in Pocket Guide Pain
Management. 2008.

28
Lampiran
Summary of Evidence Scores and Implications for Recommendation
Score Description Implication
1 A+ Effectiveness demonstrated in various RCTs of good quality. The
benefits clearly outweigh risk and burdens Positive recommendation
1 B+ One RCT or more RTCs with methodological weakness,
demonstrate effectiveness. The benefits clearly outweigh risk and
burdens

2 B+ One or more RCTs with methodological weakness, demonstrate


effectiveness. Benefits closely balanced with the risk and burdens

2 B ± Multiple RCTs, with methodological weakness, yield


contradictory results better or worse than the control treatment.
Benefits closely balanced with risk and burdens, or uncertainty in
the estimates of benefits, risk and burdens Considered

2 C+ Effectiveness only demonstrated in observational studies. Given


that there is no conclusive evidence of the effect, benefits closely
balanced with the risk and burdens

Levels of evidence (NHMRC, 1999)


Level I : Evidence obtained from a systematic review of all relevant randomized controlled trials.
Level II : Evidence obtained from at least one properly designed randomised controlled trial.
Level III-1 : Evidence obtained from well-designed pseudo-randomised controlled trials (alternate
allocation or some other method).
Level III-2 : Evidence obtained from comparative studies with current controls and allocation not
randomised (cohort studies), case-cintrolled studies or interruoted time series with a
grup.
Level III-3 : Evidence obtained from comparative studies with historical control, two or more single-
arm studies, or interruptes time series without a parallel control group.
Level IV : Evidence obtained from case series, either post-test or pre-test and post-test.

29
ATYPICAL FACIAL PAIN/ PERSISTENT IDIOPATIC FACIAL PAIN
(ICD 10. G50.1)

Pengertian
Nyeri wajah persisten yang tidak memiliki ciri klasik dari suatu neuralgia kranial dan tanpa penyebab
yang jelas.

Patogenesis
Penyebab nyeri masih belum jelas diketahui.

Anamnesis dan diagnosa


Nyeri wajah yang umumnya dimulai pada area lipatan nasolabial atau dagu dan menyebar ke rahang
atas atau rahang bawah, atau ke sebagian besar leher. Nyeri bersifat kronik, harian dan umumnya
berlangsung sepanjang hari. Awalnya nyeri sering terlokalisir hanya pada satu sisi wajah namun
kemudian dapat terjadi pada kedua sisi. Nyeri umumnya bersifat dalam dan tidak terbatas oleh batasan
anatomi.

Pemeriksaan fisis
- Tes neurologis dan pemeriksaan fisik umumnya tidak didapatkan kelainan.
- Tes tambahan : pemeriksaan oral/maksilofacial.

Pemeriksaan Penunjang
- MRI : Untuk melihat menyingkirkan kemungkinan penyebab lain.

Diagnosis Banding
- Cervicogenic headache.
- Glaukoma akut.
- Sinusitis.
- Kelainan pada rahang, gigi dan temporomadibular joint.
- Neuralgia trigeminal.
- Migrane.

Tata Laksana
- Konservatif : Penggunaan medikamentosa tricyclic antidepressants (amitriptilin, venlafaxine,
fluoxetine)dan antiepileptics (carbamazepine, gabapentin, dan pregabalin) dapat
dipertimbangkan.
- Intervensional.
 PRF terapi pada ganglion sphenopalatinum.

Tingkat Evidence
I PRF terapi pada ganglion sphenopalatinum 2C+

Kepustakaan
- Gayford JJ. The aetiology of atypical facial pain and its relation to prognosis and treatment. Br J Oral
Surg. 1970 ; 7 : 202 – 207.
- IHC IHSCS. International Classification of headache disorders, 2nd ed. Cephalalgia. 2004 ; 24 : 1 –
160.
- Madland G, Feinmann C. Chronic facial pain : a multidisciplinary problem. J Neurol Neurosurg
Psychiatry. 2001 ; 71 : 716 – 719.
- Kavuk I, Yavuz A, Cetindere U, et al. Epidemiology of chronic daily headache. Eur J Med Res.
2003 ; 8 : 236 – 240.
- Sardella A, Demarosi F, Barbieri C, et al. An up-to-date view on persistent idiopathic facial pain.
Minerva Stomatol. 2009 ; 58: 289 – 299.
- Lang E, Kaltenhauser M, Seidler S, et al. Persistent idiopathic facial pain exists independent of
somatosensory input from the painful region : findings from quantitative sensory functions and
somatotopy of the primary somatosensory cortex. Pain. 2005 ; 118 : 80 – 91.
30
- Capobianco DJ. Facial pain as a symptom of non-metastatic lung cancer. Headache. 1995 ; 35 : 581
– 585.
- Sarlani E, Schwartz AH, Greenspan JD, et al. Facial pain as first manifestation of lung cancer : a
case of lung cancer-related cluster headache and a review of the literature. J Orofac Pain. 2003 ; 17:
262 – 267.
- Agostoni E, Frigerio R, Santoro P. Atypical facial pain : clinical considerations and differential
diagnosis. Neurol Sci. 2005 ; 26 ( suppl 2 ): s71 – s74.
- Ratner EJ, Person P, Kleinman DJ, et al. Jawbone cavities and trigeminal and atypical facial
neuralgias. Oral Surg Oral Med Oral Pathol. 1979 ; 48 : 3 – 20.
- Kleef Mv G WEv, Narouze S, et al. 1. Trigeminal neuralgia. Pain Pract. 2009 ; 9 : 252 – 259.
- Sommer C. Patientenkarrieren, gesichtsschmerz und neuralgien. Schmerz. 2004 ; 18 : 385 – 391.
- Sharav Y, Singer E, Schmidt E, et al. The analgesic effect of amitriptyline on chronic facial pain.
Pain. 1987 ; 31 : 199 – 209.
- List T, Axelsson S, Leijon G. Pharmacologic interventions in the treatment of temporomandibular
disorders, atypical facial pain, and burning mouth syndrome. A qualitative systematic review. J
Orofac Pain. 2003 ; 17 : 301 – 310.
- Pettengill CA, Reisner-Keller L. The use of tricyclic antidepressants for the control of chronic
orofacial pain. Cranio. 1997 ; 15 : 53 – 56.
- Forssell H, Tasmuth T, Tenovuo O, et al. Venlafaxine in the treatment of atypical facial pain : a
randomized controlled trial. J Orofac Pain. 2004 ; 18 : 131 – 137.
- Harrison S, Glover L, Maslin L, Feinmann C, Pearce S, Harris M. A comparison of antidepressant
medication alone and in conjunction with cognitive behavioural therapy for chronic idiopathic facial
pain. In : Jensen G, Turner JA, Weisenfel-Hallin Z, eds. Proceedings of the 8th World Congress on
Pain : Progress in Pain Research and Management, Vol. 8. Seattle, WA : IASP Press; 1997 : 663 –
672.
- Bayer E, Racz GB, Miles D, et al. Sphenopalatine ganglion pulsed radiofrequency treatment in 30
patients suffering from chronic face and head pain. Pain Pract. 2005 ; 5 : 223 – 227.
- Evans RW, Agostoni E. Persistent idiopathic facial pain. Headache. 2006 ; 46 : 1298 – 1300.
- Broggi G, Franzini A, Leone M, et al. Update on neurosurgical treatment of chronic trigeminal
autonomic cephalalgias and atypical facial pain with deep brain stimulation of posterior
hypothalamus : results and comments. Neurol Sci. 2007 ; 28 ( Suppl 2 ): S138 – S145.
- Konen A. Unexpected effects due to radiofrequency thermocoagulation of the sphenopalatine
ganglion : 2 case reports. Pain Dig. 2000 ; 10 : 30 – 33.
- van Kleef M, Lataster A, Narouze S, Mekhail N, Geurts JW, van Zundert J. 2. Cluster headache
Pain Pract. 2009 ; 9 : 435 – 442.

31
CERVICOGENIC HEADACHE
(ICD 10. Other headache syndrome G44.89)

Pengertian
 Nyeri kepala sebagian/hemi cranial yang disebabkan oleh kelainan yang berasal dari leher baik
sendi, jaringan lunak, syaraf, tulang, struktur pembuluh darah atau keadaan patoligis lainnya.
 Nyeri kepala sekunder yang sebabnya berasal dari luar kepala yaitu leher.

Patogenesis
Patogenesis tergantung pada efek yang muncul karena berbagai faktor pemicu nyeri, misalnya
intervertebral disfunction, mediator sitokin dan nitrit oksida. Hal ini memicu reseptor nyeri setempat di
leher dan menjalar ipsilateral menuju oculo-fronto-termporal.
Selain menuju area kepala ipsilateral sering juga menyebabkan penjalaran ke bahu dan lengan atas.

Anamnesis
Nyeri berasal dari sekitar leher, bersifat unilateral, biasanya menjalar ke area ocipito-fonto-temporal
bahkan ke wajah.

Pemeriksaan fisis
- Tes neurologis meliputi refleks, sensoris dan fungsi motorik.
- Pemeriksaan pada pergerakan leher baik pasif maupun aktif meliputi : Fleksi dan ekstensi, lateral
fleksi, rotasi, rotasi dengan fleksi maksimal, rotasi dengan ekstensi.
- Provokasi Nyeri pada leher akan menjalar ke daerah kepala.

Pemeriksaan Penunjang
- Foto Polos regio cervical untuk melihat proses degenerative.
- CT scan : Untuk melihat struktur dari tulang pada vertebral cervical.
- MRI : Untuk melihat lesi pada jaringan lunak, penonjolan diskus intervertebralis, penekanan
dan iritasi nerve root, penyempitan foramen intervertebralis, dan jaringan sekitarnya
terutama adanya hipertropi maupun efusi pada sensi facet.
- Diagnostic Block pada intraarticular sendi facet atau serabut saraf ramus medialis sendi facet,
dimana bila 50 persen nyeri berkurang menandakan bahwa sumber nyerinya adalah dari sendi facet.

Diagnosis Banding
Nyeri radicular cervical, nyeri facet cervical, sendi bahu, Infeksi, penyakit vaskular, tumor.

Tata Laksana
- Konservatif :
 NSAID : golongan oxicam, golongan asam propionat, antranilat.
 Bila tidak ada kontra indikasi.
 COX2 Inhibitor : celecoxib, valdecoxib.
 Terapi Rehabilitasi Medik , Terapi mobilisasi.
- Interventional :
 Tergantung pada kelainan dasar penyebab.
 Intervensi dengan injeksi lokal anestesi dan steroid.
 Ablasi Syaraf.

Tingkat Evidence
Intra-articular injections 0
Therapeutic (repetitive) cervical ramus medialis (medial branch) 2B+
32
of the cervical ramus dorsalis block (local anesthetic with or without
corticosteroid)
Radiofrequency treatment of the ramus madialis (medial branch) 2C+
of the cervical ramus dorsalis

Kepustakaan
- Marteen van E, Jacob P, Arno L et al. Evidence-Based interventional pain medicine. Cervical Facet
Pain. 2012;5:31-38.
- Guzman J, Hurwitz EL, Carroll LJ, et al. A new conceptual model of neck pain : linking onset,
course, and care: the bone and joint decade 2000-2010 task force on neck pain and its associated
disorders. Spine. 2008;33:S14-S32.
- Bogduk N, McGuirk B. Management of Acute and Chronic Neck Pain. Pain Research and Clinical
Management. Philadelphia, PA: Elviser;2006.
- Manchikanti L, Boswell MV, Singh V, et al. Comprehensive evidence-based guidelines for
interventional techniques in management of chronic spinal pain. Pain Physician. 2009;12:699-802.

33
CLUSTER HEADACHE
ICD 10 G44.0

Pengertian
Cluster headache merupakan nyeri kepala unilateral area orbital, supraorbital dan atau temporal yang
jika tidak diterapi berlangsung antara 15-180 menit dan nyeri disertai dengan paling tidak satu dari
beberapa gejala otonomik ipsilateral dengan frekuensi serangan mulai dari sekali tiap 2 hari hingga 8
kali sehari.

Patogenesa
Patogenesis cluster headache tidak diketahui namun diketahui bahwa nyeri kepala ini merupakan nyeri
kepala neurovascular primer.

Diagnosa Klinis
Nyeri kepala terutama di daerah orbital, supraorbital dan atau daerah temporal. Durasi nyeri antara
150-180 menit. Serangan disertai dengan gejala otonom unilateral ipsilaterall, antara lain lakrimasi,
siliar injection, rhinorrhea atau kongesti nasal, keringat daerah fasial, miosis dan atau ptosis, edema
kelopak mata atau daerah orofasial (termasuk gingiva dan palatum), facial flushing atau pucat,
bengkak sekitar mata atau daerah orofasial, dan kadang ditemukan cold spot di daerah supraorbital.
Selain itu, bisa juga ditemukan gejala otonom umum seperti bradikardi, vertigo dan ataksia, sinkop,
hipertensi dan peningkatan produksi produksi asam lambung.

Internagtional classification of headache disorder (ICHD 2) mengelompokkan cluster headache


menjadi 2 kategori : episodik dan kronik.

Pada cluster headache episodic, setidaknya 2 periode cluster berlangsung selama 7 hingga 365 hari dan
dipisahkan oleh periode remisi lebih dari 1 bulan. Sedangkan cluster headache kronik, serangan
mereda setelah lebih dari 1 tahun tanpa periode remisi atau dengan masa remisi kurang dari 1 bulan.

Pemeriksaan Fisik
Penilaian intensitas nyeri cluster headache dilaksanakan dengan menggunakan penilaian Numerical
Rating scale (NRS) atau dengan Visual Analogue Score (VAS). 

Penilaian kualitas dan jenis nyeri serta frekuensi dan peruodisitas dan durasi serangan sangat penting
untuk membedakan nyeri cluster headache dengan nyeri kepala lainnya.

Pemeriksaan neurologis biasanya tidak menunjukkan adanya defisit.

Penatalaksanaan
Penatalaksaan konservatif terdiri dari :
- Terapi simptomatik/abortif untuk menghilangkan gejala dan mempersingkat durasi serangan :
inhalasi oksigen 100% 7L/menit dengan facial mask, sublingual ergotamin dan injeksi sumatriptan. 
- Terapi preventif/profilaksis untuk mencegah serangan dan mengurangi jumlah serangan :
verapamil.

Penatalaksanaan intervensi :
Terapi radiofrequensi ganglion pterigopalatinum (LOE 2C+) dan stimulasi nervus oksipitalis (LOE
2C+).

34
Kepustakaan
- Kleef MV, Lataster A, Narouze S, Mekhail N, Geurts JW, Zundert JV. Cluster Headache, 8 -10 in
Evidence Based Interventional Pain Medicine. 2012.
- Waldman SD, Cluster Headche , 11-13 in Atlas of common pain syndromes. 2012.
- Urban GJ, Diamond S, Cluster Headache, 436-452 in Pain Management. 2011.

35
TRIGEMINAL NEURALGIA
(ICD 10 : M48.0)

Pengertian
Trigeminal neuralgia atau disebut juga "tic douloureux" didefinisikan sebagai nyeri hebat yang tiba-
tiba, satu sisi, rasanya seperti ditikam, kejadiannya singkat dan berulang yang mengenai satu atau lebih
dari cabang saraf trigeminal.

Trigeminal neuralgia biasanya idiopathic (classic trigeminal neuralgia), meskipun ada juga yang
disebabkan oleh penyakit yang mendasarinya seperti tumor padacerebellopontine angle atau multiple
scleroses (secondary trigeminal neuralgia).

Patogenesis
Mekanisme pasti terjadinya trigeminal neuralgia masih belum diketahui, akan tetapi ada beberapa teori
yang banyak dipakai saat ini, antara lain :

- Mekanisme perifer : trigeminal neuralgia dipengaruhi oleh dystrophy yang progesif pada cabang
saraf trigeminal yang dapat disebabkan oleh penekanan (neurovascular compression, penyempitan
bone canal atau lainnya).
- Mekanisme central : seringkali dipicu karena terjadinya mekanisme perifer yang berlangsung lama
sehingga menyebabkan pengiriman impuls afferent yang terus menerus dan pada akhirnya
terbentuk fokusiritasi (stable pathologic paroxysmal type) pada sistim saraf pusat.

Anamnesis
Serangan trigeminal neuralgia dapat berlangsung mendadak dalam beberapa detik sampai 2 menitan,
unilateral (97%), paling sering pada cabang saraf trigeminuske 2 dan. Nyeri dirasa cukup berat, seperti
nyeri saat kena setrum listrik, kena pukulan jab, atau ada kawat di sepanjang wajahnya.
Ada beberapa pertanyaan yang harus digali saat anamnesis, antara lain :
- Lokalisasi nyeri, untuk menentukan cabang nervustr igeminus yang terkena.
- Menentukan waktu dimulainya neuralgia Trigeminaldan mekanisme pemicunya.
- Menentukan interval bebas nyeri.
- Menentukan lama, efek samping, dosis, dan respons terhadap pengobatan.
- Menanyakan adanya tanda-tanda kelainan autonomic unilateral.

Pemeriksaanfisis
Pada pemeriksaan neurologi jarang ditemukan kelainan pada pasien dengan idiopatik trigeminal
neuralgia, tetapi semua saraf cranialis harus diperiksa khususnya pada pasien yang mengalami kelainan
neurologi yang sering kali disebut secondary trigemnal neuralgia.

PemeriksaanPenunjang
Pemeriksaan penunjang diagnostic seperti CT–scan kepala atau MRI dilakukan untuk mencari etiologi
primer di daerah posterior atau sudut serebelo-pontin.

Laboratorium : Tidak spesifik.

Diagnosis Banding
1. Post herpetic neuralgia.
2. Cluster headache.
3. Glossopharingeal neuralgia.
4. Temporomandibular disorder (conten's sindrome).
5. Sinusitis.
36
6. Migrain.
7. Giant cell arteritis.
8. Atypical facial pain.

Tata Laksana :
- Penanganan konservatif.
 Konseling, biofeedback .
 Fisioterapi.
 Medikasi : karbamazepin, phenitoin, klonazepam, asam valproat dan baclofen.
- Tindakan intervensi.
 Surgical microvascular decompression (MVD).
 Stereotactic radiation therapy, Gamma knife.
 Percutaneous balloon microcompression.
 Percutaneous glycerol rhizolysis.
 Percutaneous radiofrequency (RF) treatment of the gasserian ganglion.
 Gasserian ganglion stimulation/neuromodulation (experimental).

Tingkat Evidence
1. Percutaneous radiofrequency reatment of the gasserian ganglion 2B+
2. Pulsed radiofrequency treatment of gasserian ganglion 2B-

Kepustakaan
- Maarten van Kleef, Sam Narouseet. al, Evidence Baced Medicine Trigeminal Neuralgia, Pain
practice, Volume 9, issue 4, 2009 252-259.
- Samer Narouse, Interventional Management of Head and Face Pain, Springer, 2014.
- Gintautas Sabalys, Gintaras et al, Aetiology and Pathogenesis of Trigeminal Neuralgia :
Comprehensive Review, Journal of oral and maxillofacial research, 2012, 0ct-Des; 3(4):e2.

37
STANDAR PROSEDUR OPERASIONAL (SPO)

1. MEMINDAHKAN PASIEN DARI TEMPAT TIDUR KE BRANKARD DAN SEBALIKNYA


2. PROSEDUR TINDAKAN ABLASI SARAF SIMPATIS
3. PROSEDUR TINDAKAN ABLASI MEDIAL BRANCH LUMBAL
4. PROSEDUR TINDAKAN ABLASI RAMI COMMUNICANS LUMBAL
5. PROSEDUR TINDAKAN BLOK SARAF SAKRALIS
6. PROSEDUR TINDAKAN BLOK EPIDURAL CAUDAL
7. PROSEDUR TINDAKAN BLOK FACET LUMBAL
8. PROSEDUR TINDAKAN INJEKSI SACRO ILIAC JOINT
9. PROSEDUR TINDAKAN BLOK SELECTIVE NERVE ROOT LUMBAL
10. PROSEDUR TINDAKAN BLOK SARAF SIMPATIS LUMBAL
11. PROSEDUR TINDAKAN NEUROLISIS PLEKSUS HIPOGASTRIKA
12. NEUROLISIS SIMPATETIK GANGLION COELIAC
13. NEUROLISIS SIMPATETIK GANGLION HYPOGASTRIC
14. NEUROLISIS SIMPATETIK GANGLION STELLATUM
15. NEUROLISIS SIMPATETIK GANGLION STELLATUM
16. PEMASANGAN CATETER PADA LAKI-LAKI
17. PULSED RADIO FREQUENCY PADA DORSAL ROOT GANGLION CERVICAL
18. PROSEDUR TINDAKAN PULSED RADIOFREKUENSI DRG
19. PULSED RADIO FREQUENCY PADA DORSAL ROOT GANGLION THORACOLUMBAL
20. PULSED RADIO FREQUENCY PADA DORSAL ROOT GANGLION THORACOLUMBAL
21. PROSEDUR TINDAKAN BLOK RAMI COMMUNICANS LUMBAL
22. RADIOFREQUENCY MEDIAN BRANCH BLOCK CERVICAL

38
1. MEMINDAHKAN PASIEN DARI TEMPAT TIDUR KE BRANKARD DAN
SEBALIKNYA
No. Dokumen No. Revisi Halaman
STANDAR Tanggal Terbit Ditetapkan Direktur,
PROSEDUR
OPERASIONAL

Mencakup mobilisasi pasien dari tempat tidur ke brankard dan sebaliknya, dilakukan
Pengertian terhadap pasien yang mengalami ketegangan aktifitas gerak.

Tujuan Dilakukan terhadap pasien sesuai dengan kebutuhan.


Dilakukan pada pasien :
1. Bedrest yang tidak bisa duduk/jalan.
Kebijakan 2. Untuk mengganti alat linen yang kotor.

1. Persiapan Alat :
a. Brankard.
b. Selimut.
c. Bantal.
d. Linen.
2. Persiapan Pasien :
a. Lakukan tindakan dengan 5 S (senyum, salam, sapa, sopan dan santun).
b. Lakukan perkenalan diri dan identifikasi pasien.
c. Jelaskan tujuan tindakan yang akan dilakukan.
d. Jelaskan prosedur pelaksanaan.
3. Pelaksanaan :
a. Lakukan cuci tangan.
Prosedur b. Bantal dan brankard disiapkan di dekat tempat tidur.
c. Pasien berbaring di tempat tidur dipindahkan ke brankard dengan satu komando.
d. pasien di brankard dipindahkan ke tempat tidur dengan satu komando.
e. Perhatikan KU pasien.
f. Setelah dipindahkan pasien dirapikan kembali.
g. Cuci tangan.

Unit Terkait 1. Ruang Pemulihan


2. Instalasi Rawat Inap
3. Instalasi Gawat Darurat
4. Instalasi Rawat Jalan

2. PROSEDUR TINDAKAN ABLASI SARAF SIMPATIS LUMBAL

No. Dokumen No. Revisi Halaman

39
STANDAR Tanggal Terbit Ditetapkan Direktur,
PROSEDUR
OPERASIONAL

Block pada system simpatis lumbal sangat berguna pada banyak kondisi
PENGERTIAN dimana pemotongan jaras simpatis yang berlebih menguntungkan pada
pasien seperti gangguan vascular atau dalam kondisi nyeri kronis sumber
utama nyeri berasal dari system saraf simpatis.
Mengurangi nyeri yang disebabkan oleh, antra lain :
1. Kondisi sangat nyeri dari :
a. Complex regional pain syndrome tipe I dan II pada ekstremitas
bawah.
b. Nyeri kanker termasuk kanker pelvis dan ekstremitas bawah.
c. Herpes zoster yang melibatkan ekstremitas bawah.
d. Nyeri paska amputasi.
e. Nyeri phantom limb.
f. Phlegmasia alba dolens.
g. Erythromelalgia.
h. Nyeri diskogenik dengan radiasi pseudosciatica.
TUJUAN i. Neuropati diabetes.
j. Nyeri yang dimediasi oleh simpatis dari berbagai sumber nyeri.
2. Gangguan vascular perifer :
a. Atheriosclerotic vascular disesase.
b. Reynaud’s phenomena and disease.
c. Burger’s disease.
d. Lower limb embolism.
e. Periode perioperative pada pembedahan vascular dan orthopedic.
f. Frostbite.
3. Lain-lain :
a. Hyperhidrosis.
b. Prognosis dari SCS.

Permenkes RI No. 519/MENKES/PER/III/2011 tentang pedoman


KEBIJAKAN penyelenggaraan pelayanan anestesiologi dan terapi intensif di rumah
sakit.
1. Mulai dengan C-arm pada posisi AP dengan tabung X-ray berada
dibawah pasien.
2. Pertahankan area yang optimal antara pasien dengan image
intensifier.
3. Gunakan mode brightness dan collimator otomatis jika tersedia.
4. Identifikasi sisi samping dan level vertebral body dan ganglia yang
akan diblok.
PROSEDUR 5. Ambil gambar AP dengan prosesus spinosus tepat di tengah.
Luruskan end plate dari target vertebral body tilt craniocaudal. Untuk
lumbar bagian atas, gerakkan image intensifier kearah caudal, dan
untuk lumbar bawah, gerakkan kearah cranial.
6. Putar image intensifier oblique ke sisi ipsilateral hingga ujung
prosesus transversus hampir tidak tampak di belakang sisi lateral dari
vertebral body.

40
2. PROSEDUR TINDAKAN ABLASI SARAF SIMPATIS LUMBAL

No. Dokumen No. Revisi Halaman


STANDAR Tanggal Terbit Ditetapkan Direktur,
PROSEDUR
OPERASIONAL

7. Titik masuknya jarum pada bagian medial dari sisi lateral vertebral
body.
8. Untuk L2, L3 dan L4, jarum diarahkan ke 1/3 bawah, 1/3 atas dan
1/3 tengah dari vertebral body. Biasanya L3 dipilih untuk mengetahui
persebaran kontras melewati ganglia simpatis L2-L4.
9. Injeksikan lignocaine 1% pada titik masuknya jarum dan tunggu
selama 1 menit
10. Jarum quincke 22G, 12 cm diinsersikan ke arah medial dari sisi
lateral vertebral body
11. Ketika ujung jarum mengenai bagian medial dari sisi lateral vertebral
body, putar jarum sedikit ke lateral dan menggeser vertebral body
12. Putar C arm ke view lateral dan tusukkan makin jauh ke anterior
sehingga menyentuh permukaan lateral dari vertebral body.
13. Posisi akhir dari jarum adalah batas anterolateral vertebral body,
anterior dari otot psoas yang bisa dirasakan saat memasukkan jarum
lebih dalam.
14. Konfirmasi posisi jarum pada view AP, oblique dan lateral.
15. Aspirasi negative, injeksikan iohexol 2 mL. kontras akan menyebar
ke anteriolateral border vertebra L2-L4 pada posisi segaris.
16. Jarum RF ukuran 22 G, 15 cm, 10 mm diinsersikan pada batas
anteriolateral dari vertebral body seperti pada tindakan diagnostik
diatas.
PROSEDUR 17. Stimulasi sensori dikerjakan dengan frekuensi 50 HZ dan 0,6 V dan
kadang-kadang menghasilkan paresthesia atau nyeri sepanjang lokasi
asal nyeri
18. Kemudian stimulasi motor dilakukan dengan frekuensi 2 HZ dengan
2 V dan jangan menghasilkan kontraksi motoric apapun.
19. Injeksikan 1 mL lignocaine 1% dan tunggu 2 menit ketika posisi
jarum sudah dikonfirmasi.
20. RF konvensional dikerjakan dengan suhu 60 derajat pada tiap level
selama 60-90 detik hingga 3 siklus dengan merotasi ujung jarum.
21. Injeksikan depotmedrol dan cabut jarum.
22. Pasang plester steril.

Prosedur Neurolisis
1. Alkohol 50-100% atau phenol 6-10% bisa digunakan.
2. Sebelum injeksi alcohol, injeksilan 2 mL lignocaine 1% dan tunggu
selama 2 menit.
3. Phenol mempunyai fungsi anestesi lokal dan tidak perlu infiltrasi
anestesi lokal.
4. Injeksikan 5-10 mL phenol atau alcohol dan flush jarum dengan
saline atau udara.
5. Cabut jarum dan pasang plester steril.
6. Pindahkan ke ruang paska tindakan.

1. Ruang Pemulihan
Unit Terkait 2. Instalasi Rawat Inap
3. Instalasi Gawat Darurat
4. Instalasi Rawat Jalan

41
3. PROSEDUR TINDAKAN ABLASI MEDIAL BRANCH LUMBAL
No. Dokumen No. Revisi Halaman
STANDAR Tanggal Terbit Ditetapkan Direktur,
PROSEDUR
OPERASIONAL

PENGERTIAN Tindakan intervensi nyeri dengan cara melakukan ablasi saraf medial
branch yang mempersarafi sendi facet daerah lumbal..
Mengurangi nyeri yang disebabkan oleh, antara lain :
1. Arthropathy sendi facet.
2. Low back pain yang kronis tanpa radikulopati dengan etiologi yang
tidak jelas.
TUJUAN 3. Sebagai upaya mencari sumber nyeri pada kasus failed back surgery
syndrome.
4. Sebagai upaya mencari sumber nyeri pada kasus nyeri referral facet
tanpa etiologi lokal yang jelas.

Permenkes RI No. 519/MENKES/PER/III/2011 tentang pedoman


KEBIJAKAN penyelenggaraan pelayanan anestesiologi dan terapi intensif di rumah
sakit
1. Mulai C-arm pada posisi AP dengan tabung X-ray berada dibawah
pasien.
2. Pertahankan area yang optimal antara pasien dengan image
intensifier.
3. Gunakan mode brightness dan collimator otomatis jika tersedia.
4. Identifikasi sisi samping dan level facet yang akan diblok.
5. Ambil gambar AP dengan prosesus spinosus tepat di tengah.
Luruskan end plate dari target vertebral body dengan tilt ke
craniocaudal. Untuk lumbar facet bagian atas, gerakkan image
intensifier kearah caudal, dan untuk lumbar facet bawah, gerakkan
kearah cranial.
6. Putar Carm oblique ipsilateral sekitar 20-30 derajat hingga garis
sendi facet terbuka dan bisa diidentifikasi bagian scottie dog.
7. Tilt ipsilateral oblique dari image intensifier hingga sendi facet
terletak midline pada vertebral end plate.
8. Bagian scottie dog teridentifikasi. Bagian telinga dibentuk oleh
PROSEDUR procesus articular superior, kepala oleh pedikel, kaki depan oleh
processus articular inferior dan leher oleh pars interartikularis, tubuh
oleh lamina.
9. Titik masuknya jarum diarahkan ke telinga dari scottie dog.
10. Pada kasus sendi L5-S1, pedikel tidak ada pada S1 dan rutinnya blok
medial branch diarahkan ke mata dari scottie dog yang tidak tampak
pada scarum, diganti ke arah lekukan (groove) pada sambungan
processus articular superior dengan ala sacrum.
11. Infiltrasi kulit dengan lignocaine 1% dengan jarum 26G hypodermic
dan tunggu selama 1 menit.
12. Jarum no 22G, 88 atau 100 mm diinsersikan ke arah target.
13. Ketika target tercapai, konfirmasi dengan menggerakkan C arm ke
sudut yang berbeda untuk konfirmasi posisi jarum atau dengan
injeksi kontras 0,25 ml iohexol setelah aspirasi negatif.
14. Pindahkan Carm ke posisi lateral untuk menyingkirkan kemungkinan
jarum masuk ke transforamina.

42
3. PROSEDUR TINDAKAN ABLASI MEDIAL BRANCH LUMBAL

No. Dokumen No. Revisi Halaman


STANDAR Tanggal Terbit Ditetapkan Direktur,
PROSEDUR
OPERASIONAL

15. Kemudian arahkan C arm ke posisi AP untuk konfirmasi posisi jarum


pada sambungan processus articular superior dengan processus
transversus.
16. Konfirmasi posisi jarum pada view AP, oblique dan lateral.
PROSEDUR 17. Ketika posisi needle sudah dikonfirmasi kemudian injeksikan 0,5 mL
lignocaine 1% atau bupivacaine 0,25%.
18. Tarik jarum dan tutup dengan plester steril.

43
4. PROSEDUR TINDAKAN ABLASI RAMI COMMUNICANS
LUMBAL
No. Dokumen No. Revisi Halaman
STANDAR Tanggal Terbit Ditetapkan Direktur,
PROSEDUR
OPERASIONAL

Tindakan intervensi nyeri dengan melakukan neurolisi/ablasi dengan cara


PENGERTIAN
mematikan saraf rami communicans di daerah lumbal.
Mengurangi nyeri yang disebabkan oleh, antra lain :
1. Nyeri diskogenik.
2. Fraktur vertebrae.
TUJUAN 3. Low back pain tanpa radikulopati dengan etiologi yang tidak jelas
4. Sebagai upaya mencari pusat penghasil nyeri pada kasus failed back
surgery syndrome.
Permenkes RI No. 519/MENKES/PER/III/2011 tentang pedoman
KEBIJAKAN penyelenggaraan pelayanan anestesiologi dan terapi intensif di rumah
sakit
1. Mulai dengan C-arm pada posisi AP dengan tabung X-ray berada
dibawah pasien.
2. Pertahankan area yang optimal antara pasien dengan image
intensifier.
3. Gunakan mode brightness dan collimator otomatis jika tersedia.
4. Identifikasi sisi samping dan level vertebral body yang akan diblok.
5. Ambil gambar AP dengan prosesus spinosus tepat di tengah.
6. Luruskan end plate dari target vertebral body dengan memutar image
intensifier ke cranial atau ke kaudal. Untuk lumbar bagian atas,
gerakkan image intensifier kearah caudal, dan untuk lumbar bawah,
gerakkan kearah cranial.
7. Putar image intensifier oblique ke sisi ipsilateral sekitar hingga
bagian anterolateral dari vertebral body tampak.
8. Titik masuknya jarum di bawah prosesus transversus dan medial
terhadap batas lateral dari vertebral body yang mengarah ke bagian
tengah dari vertebral body.
9. Jika prosesus transversus sudah tampak pada bagian tengah dari
vertebral body, tilt kea rah craniocaudal untuk menggerakkan
PROSEDUR prosesus transversus ke sepertiga atas vertebral body.
10. Injeksikan lignocaine 1% pada titik masuknya jarum dan tunggu
selama 1 menit.
11. Jarum quincke 22G, 15 cm diinsersikan pada view akhir dari
prosesus transversus menuju bagian tengah vertebral body.
12. Ujung jarum diarahkan menuju bagian medial dari sisi lateral
vertebral body. Jarum menyentuh vertebral body. Kemudian putar
jarum ke lateral dan coba menggeser (slip off) vertebral body
13. Putar Carm ke posisi lateral dan tusukkan makin jauh ke bagian
tengah vertebral body.
14. Konfirmasi posisi jarum pada view AP, oblique dan lateral.
15. Aspirasi negative, injeksikan kontras 0,5 mL. kontras akan menyebar
ke anterior dari garis facet dan parallel terhadap jarum
16. Setelah memastikan posisi jarum tidak masuk intravascular atau
intraspinal, injeksikan 1 mL lignocaine 1% atau bupivacaine 0,25%
17. Jarum RF ukuran 20G, 10 cm, 10 mm diinsersikan seperti pada
prosedur diagnostik.

44
4. PROSEDUR TINDAKAN ABLASI RAMI COMMUNICANS
LUMBAL

No. Dokumen No. Revisi Halaman


STANDAR Tanggal Terbit Ditetapkan Direktur,
PROSEDUR
OPERASIONAL

18. Konfirmasi posisi jarum pada posisi lateral, oblique dan AP.
19. Stimulasi sensori dikerjakan dengan frekuensi 50 HZ dan 0,6 V dan
akan menghasilkan paresthesia atau nyeri sepanjang lokasi asal nyeri.
20. Kemudian stimulasi motor dilakukan dengan frekuensi 2 HZ dengan
2 V dan jangan menghasilkan kontraksi apapun. Jika kontraksi
dihasilkan pada tungkai itu berarti ujung jarum dekat dengan saraf
somatic dan jarum harus diarahkan ke anterior.
PROSEDUR 21. Injeksikan 1 mL lignocaine 1% dan tunggu 1 menit ketika posisi
jarum sudah dikonfirmasi.
22. RF konvensional dikerjakan dengan suhu 60 derajat selama 60 detik
hingga 3 siklus.
23. Ketika satu siklus selesai, injeksikan depot steroid dan cabut jarum.
24. Pasang plester steril.
25. Pindah ke ruang paska prosedur.

1. Ruang Pemulihan
2. Instalasi Rawat Inap
Unit Terkait 3. Instalasi Gawat Darurat
4. Instalasi Rawat Jalan

45
5. PROSEDUR TINDAKAN BLOK SARAF SAKRALIS
No. Dokumen No. Revisi Halaman
STANDAR Tanggal Terbit Ditetapkan Direktur,
PROSEDUR
OPERASIONAL

PENGERTIAN Tindakan intervensi nyeri dengan mengeblok saraf sakralis yang keluar
dari foramen sakralis .
Mengurangi nyeri yang disebabkan oleh, antara lain :
1. SI Joint arthropathy.
2. Nyeri punggung kronis tanpa radiculopathy dengan etiologi yang
TUJUAN tidak diketahui.
3. Nyeri operasi pada bagian belakang.
4. Extraartikular pain dalam kasus kapsuler dan regangan ligamen atau
robekan.
Permenkes RI No. 519/MENKES/PER/III/2011 tentang pedoman
KEBIJAKAN penyelenggaraan pelayanan anestesiologi dan terapi intensif di rumah
sakit.
1. Mulai dengan C arm posisi AP.
2. Ambil dan cari image AP foramen sacralis.
3. Foramen yang terlihat pada foto AP bisa jadi Foramen S2.
4. Level Foramen dapat di identifikasi oleh jarak dari posterosuperior
iliac spine.
5. Arahkan Image ke tilt arah cephalac, dan bila deperlukan tilt arah
oblique sehingga anterior dan posterior dari foramen S1 terlihat
terbuka.
6. Foramen yang lain dapat terlihat terbuka saat dilakukan tilt ke
cephalocaudal dan harus dikonfirmasi dari jarak posteriosuperior
iliac spine.
7. Marker penusukan jarum di lateral sisi garis median foramen.
8. Infiltrasi Lignicaine 1% dan tunggu kurang lebih satu menit.
9. Jarum Quincke no 22G, 88mm masuk dari lateral sisi garis median
foramen sampe menyentuh batas medial dari foramen sacralis dan
masuk sampai di dalam foramen sacral.
10. Tarik sedikit apabila jarum sampai menusuk nervus sacral.
11. Putar C arm ke lateral dan masukkan jarum terus ke anterior foramen
PROSEDUR kearah cephalomedial sampai tip nya di anterior sacral plate. Jangan
memasukan jarum lebih dalam dari bagian anterior foramen untuk
mencegah kerusakan pada viscera.
12. Pastikan jarum pada posisi AP, oblique dan posisi lateral.
13. Setelah dipastikan masuk, injeksikan 0,5cc kontras setelah dilakukan
aspirasi untuk evaluasi posisi dan distribusi di nerve root.
14. Setelah memastikan tidak masuk ke intravaskuler, subarachnoid dan
intraneural, masukkan 1-1,5cc lidocaine 1% atau 0,25% bupivacaine
untuk keperluan diagnostik.
15. Jarum RF ukuran 20G, 10 cm, 10 mm diinsersikan seperti pada
prosedur diagnostik.
16. Stimulasi sensori dikerjakan dengan frekuensi 50 HZ dan 0,5 V dan
akan menghasilkan paresthesia atau nyeri sepanjang lokasi asal nyeri.
Kemudian stimulasi motor dilakukan dengan frekuensi 2 HZ dengan
voltase diberikan sejumlah 2x dari voltase yang digunakan pada
sensoris. Misalkan kita berikan voltase 0,5 V pada sensoris, maka
diberikan 1 V untuk stimulasi motorik dan harusnya tidak sampai
menghasilkan kontraksi motorik. Hal ini disebut disosiasi motor
sensorik.
46
5. PROSEDUR TINDAKAN BLOK SARAF SAKRALIS

No. Dokumen No. Revisi Halaman


STANDAR Tanggal Terbit Ditetapkan Direktur,
PROSEDUR
OPERASIONAL

17. Pulse RF konvensional dikerjakan dengan suhu 42 derajat selama


120 detik hingga 3 siklus.
PROSEDUR 18. Injeksikan depot steroid dan cabut jarum.
19. Pasang plester steril.
20. Pindah ke ruang paska prosedur.
1. Ruang Pemulihan
2. Instalasi Rawat Inap
Unit Terkait
3. Instalasi Gawat Darurat
4. Instalasi Rawat Jalan

47
6. PROSEDUR TINDAKAN BLOK EPIDURAL CAUDAL

No. Dokumen No. Revisi Halaman


STANDAR Tanggal Terbit DitetapkanDirektur,
PROSEDUR
OPERASIONAL

Tindakan intervensi nyeri dengan memasukan obat melalui hiatus


PENGERTIAN
sakralis yang berguna untuk menanggulangi nyeri punggung bawah.
Mengurangi nyeri yang disebabkan oleh, antara lain :
1. Diskus herniasi dengan atau tanpa radikulopati dibawah segmen L4.
2. Diskogenik pain di bawah segmen L4.
3. Radikulopati di bawah segmen L4.
TUJUAN 4. Coccydinia.
5. Spondylolisthesis dibawah segmen L4.
6. Spinal canal stenosis.
7. Failed back surgery sindrome.
8. Epidurolisis.
Permenkes RI No. 519/MENKES/PER/III/2011 tentang pedoman
KEBIJAKAN penyelenggaraan pelayanan anestesiologi dan terapi intensif di rumah
sakit.
1. Start dengan C arm posisi AP.
2. Tandai midline dari sacral hiatus.
3. Kemudian C arm diposisikan lateral setelah sacral hiatus telah
teridentifikasi.
4. Tempat tusukan hanya beberapa sentimeter dari sacral hiatus sampai
jarum membentur bagian inferior dari sacral hiatus kurang lebih 30-
45 derajat.
5. Infiltrasi Lignocaine 1% dan tunggu kurang lebih satu menit.
6. Jarum Epidural 20G dimasukkan sampai membentur permukaan
inferior dari vertebra S5 persis di bawah hiatus sacralis dan sudut
insersi diturunkan sampai masuk menembus membran
sacrocoxygeal.
7. Jarum menembus sampai kurang lebih 2 cm di dalam.
PROSEDUR 8. Sekarang C arm kembali ke posisi AP dan jarum masih menancap
sampai Vertebrae S3.
9. Injeksikan 5cc kontras setelah dipastikan hasil aspirasi negatif,
didapatkan gambaran “ christmass tree appearance”
10. Setelah jarum dipastikan tidak di intravascular, subdural dan
subarachnoid, untuk diagnostik di injeksikan lidocaine 1% 10cc
11. Untuk terapi, diberikan injeksi steroid 40 mg
12. Pada kasus fibrolisis epidural, 1500 IU hyaluronidase dan 10%
hipertonic saline dengan dosis maksimum 30cc.
13. Cabut jarum dan tutup luka secara steril.
14. Observasi kurang lebih 10 menit untuk evaluasi hipotensi didalam
ruang tindakan. Bila hemodinamik stabil pasien dapat di pindah ke
RR.
1. Ruang Pemulihan
2. Instalasi Rawat Inap
Unit Terkait 3. Instalasi Gawat Darurat
4. Instalasi Rawat Jalan

48
7. PROSEDUR TINDAKAN BLOK FACET LUMBAL

No. Dokumen No. Revisi Halaman


STANDAR Tanggal Terbit Ditetapkan Direktur,
PROSEDUR
OPERASIONAL

PENGERTIAN Tindakan intervensi nyeri dengan cara memasukan obat di dalam sendi
facet daerah lumbal.
Mengurangi nyeri yang disebabkan oleh, antara lain :
1. Arthropathy sendi facet.
2. Low back pain yang kronis tanpa radikulopati dengan etiologi yang
tidak jelas.
TUJUAN 3. Sebagai upaya mencari sumber nyeri pada kasus failed back surgery
syndrome.
4. Sebagai upaya mencari sumber nyeri pada kasus nyeri referral facet
tanpa etiologi lokal yang jelas.

Permenkes RI No. 519/MENKES/PER/III/2011 tentang pedoman


KEBIJAKAN penyelenggaraan pelayanan anestesiologi dan terapi intensif di rumah
sakit.
1. Mulai C-arm pada posisi AP dengan tabung X-ray berada dibawah
pasien.
2. Pertahankan area yang optimal antara pasien dengan image
intensifier.
3. Gunakan mode brightness dan collimator otomatis jika tersedia.
4. Identifikasi sisi samping dan level facet yang akan diblok.
5. Ambil gambar AP dengan prosesus spinosus tepat di tengah.
Luruskan end plate dari target vertebral body dengan tilt ke
craniocaudal. Untuk lumbar facet bagian atas, gerakkan image
intensifier kearah caudal, dan untuk lumbar facet bawah, gerakkan
kearah cranial.
6. Putar Carm oblique ipsilateral sekitar 20-30 derajat hingga garis
sendi facet terbuka dan bisa diidentifikasi bagian scottie dog.
7. Titik masuknya jarum pada bagian medial dari 1/3 inferior articular
process. Infiltrasi dengan lignocaine 1% dengan jarum 26G
hypodermic dan tunggu selama 1 menit.
PROSEDUR 8. Jarum no 22G, 88 atau 100 mm diinsersikan ke arah target dan
diperbolehkan menyentuh bagian inferior dari pilar articular dan
kemudian digeser ke arah sendi. Masuknya jarum ke dalam sendi
terasa seperti pop/letusan.
9. Posisi bisa dikonfirmasi dengan menggerakkan C arm ke sudut
yang berbeda untuk konfirmasi posisi jarum atau dengan injeksi
kontras 0,25 ml.
10. Pindahkan Carm ke posisi lateral untuk menyingkirkan
kemungkinan jarum masuk ke transforamina. Kemudian gambar
AP diambil untuk mengkonfirmasi ujung jarum.
11. Konfirmasi posisi jarum pada view AP, oblique dan lateral.
12. Ketika posisi needle sudah dikonfirmasi kemudian injeksikan 1-1,5
mL lignocaine 1% atau bupivacaine 0,25% untuk tujuan diagnostik.
13. Injeksikan 40 mg depot steroid untuk tujuan terapi.
14. Tarik jarum dan tutup dengan plester steril.

49
7. PROSEDUR TINDAKAN BLOK FACET LUMBAL

No. Dokumen No. Revisi Halaman


STANDAR Tanggal Terbit Ditetapkan Direktur,
PROSEDUR
OPERASIONAL

1. Ruang Pemulihan
Unit Terkait 2. Instalasi Rawat Inap
3. Instalasi Gawat Darurat
4. Instalasi Rawat Jalan

50
8. PROSEDUR TINDAKAN INJEKSI SACRO ILIAC JOINT

No. Dokumen No. Revisi Halaman


STANDAR Tanggal Terbit Ditetapkan Direktur,
PROSEDUR
OPERASIONAL

PENGERTIAN Tindakan intervensi nyeri dengan menginjeksikan obat didalam sendi


sacro iliac joint.
Mengurangi nyeri yang disebabkan oleh, antara lain :
1. SI Joint arthropathy.
2. Nyeri punggung kronis tanpa radiculopathy dengan etiologi yang tidak
TUJUAN diketahui.
3. Nyeri operasi pada bagian belakang.
4. Extraartikular pain dalam kasus kapsuler dan regangan ligamen atau
robekan.
Permenkes RI No. 519/MENKES/PER/III/2011 tentang pedoman
KEBIJAKAN penyelenggaraan pelayanan anestesiologi dan terapi intensif di rumah
sakit.
1. Mulai dengan C arm posisi AP.
2. Posisikan secara optimal antara pasien, operator, dan radiografer.
3. Gunakan modus brightness otomatis dan colimator jika tersedia di
panel kontrol.
4. Ambil gambar AP untuk menemukan SI joint.
5. SI joint tampak memiliki tiga untuk empat baris sendi. Dua baris
sejajar dengan permukaan sendi anterior dan dua garis lainnya sesuai
dengan permukaan sendi bagian posterior.
6. Geser C arm ke arah cranial sehingga endplate dari L5 vertebra
terlihat samapi bawah.
7. Geser C arm mengarah oblique ke contralateralnya sampai bagian
inferior dari permukaan sendi terbuka, sehingga anterior dan
posterior garis sendi terlihat dalam satu bagian.
8. Entry point ditargetkan bagian inferior dari sendi
9. Infiltrasi dengan 1% lignocaine kulit dan tunggu selama 1 menit.
10. Jarum Quincke 22 G, 88-100 mm, ditusukkan 10 derajat mengarah
PROSEDUR ke target injeksi .
11. Jarum arahkan ke batas medial tulang, dengan bevel menghadap ke
medial sampai membentur tulang, kemudian bevel diputar ke arah
lateral dan jarum akan masuk ke joint space nya dan sampai terasa
seperti “pop”.
12. Putar C arm di sudut yang berbeda untuk mengkonfirmasi
intraartikular atau dilakukan penyuntikkan 0,5-1mL kontras setelah
dilakukan aspirasi untuk mengkonfirmasi posisi jarum di mana
kontras akan menyebar di sepanjang permukaan sendi.
13. Konfirmasi posisi jarum dengan foto AP, oblique dan lateral.
14. Injeksi 3-5mL lignocaine 1% atau 0,25% bupivacaine disuntikkan
untuk diagnostik.
15. Injeksi 3-5mL dari 1% lignocaine dan 40 mg methylprednisolone
untuk terapeutik.
16. Dressing steril.
17. Pindah RR.
1. Ruang Pemulihan
Unit Terkait 2. Instalasi Rawat Inap
3. Instalasi Gawat Darurat
4. Instalasi Rawat Jalan
51
9. PROSEDUR TINDAKAN BLOK SELECTIVE NERVE ROOT
LUMBAL
No. Dokumen No. Revisi Halaman
STANDAR Tanggal Terbit Ditetapkan Direktur,
PROSEDUR
OPERASIONAL

PENGERTIAN Lumbar Selective Nerve Root Block adalah injeksi/blok spesifik untuk
mendiagnosa dan terapi lumbar radikulopati.
Mengurangi nyeri yang disebabkan oleh, antra lain :
1. Lumbar radikulopati
2. Penonjolan diskus vertebrae dengan atau tanpa radikulopati
TUJUAN 3. Nyeri diskogenik
4. Stenosis kanal spinalis lumbar
5. Failed back surgery syndrome

Permenkes RI No. 519/MENKES/PER/III/2011 tentang pedoman


KEBIJAKAN penyelenggaraan pelayanan anestesiologi dan terapi intensif di rumah
sakit
1. Mulai C-arm pada posisi AP dengan tabung X-ray berada dibawah
pasien.
2. Pertahankan area optimal antara pasien dengan image intensifier.
3. Gunakan mode brightness dan collimator otomatis jika tersedia.
4. Identifikasi sisi samping dan level nerve root yang akan diblok.
5. Ambil gambar AP dengan prosesus spinosus pada posisi midline.
Luruskan endplate dari target vertebral body dengan tilt
craniocaudal. Untuk lumbar vertebrae atas, gerakkan image
intensifier kearah caudal, dan untuk lumbar vertebrae bawah
gerakkan kearah cranial.
6. Target masuknya jarum pada posisi pukul 06.00 dari pedicle.
7. Infiltrasi kulit dengan lignocaine 1% dan tunggu 1 menit.
8. Jarum quincke no 22G diinsersikan sehingga menyentuh tulang
diatas posisi pukul 06.00 dari pedicle.
9. Kemudian ujung jarum di arahkan ke bawah pedicle dengan sedikit
PROSEDUR memutar jarum.
10. Pindahkan Carm ke posisi lateral. Penempatan ideal pada postero-
superior quadran dari foramen.
11. Konfirmasi posisi jarum pada view AP, oblique dan lateral.
12. Aspirasi, jika aspirasi negative, injeksikan 0,5 mL kontras dan
sebaran kontras akan menandai hanya pada nerve root.
13. Setelah memastikan jarum tidak berada pada intravascular, maupun
intraneural, injeksikan lignocaine 1% atau bupivacaine 0,25% untuk
prosedur diagnostik.
14. Injeksikan 40 mg depot steroid untuk terapi.
15. Jika setelah dilakukan blok diagnostik dengan agen anestesi lokal
yang berbeda bisa menurunkan 80% atau lebih penurunan skala
nyeri, tetapi nyeri tidak berubah setelah pemberian steroid maka
direncanakan untuk tindakan radiofrekuensi ablasi pada dorsal root
ganglion (DRG) untuk lumbar radikulopati.

1. Ruang Pemulihan
Unit Terkait 2. Instalasi Rawat Inap
3. Instalasi Gawat Darurat

52
4. Instalasi Rawat Jalan

10. PROSEDUR TINDAKAN BLOK SARAF SIMPATIS LUMBAL

No. Dokumen No. Revisi Halaman


STANDAR Tanggal Terbit Ditetapkan Direktur,
PROSEDUR
OPERASIONAL

Blok pada system simpatis lumbar sangat berguna pada banyak kondisi
PENGERTIAN dimana pemotongan jaras simpatis yang berlebih menguntungkan pada
pasien seperti gangguan vascular atau dalam kondisi nyeri kronis sumber
utama nyeri berasal dari system saraf simpatis.
Mengurangi nyeri yang disebabkan oleh, antara lain :
1. Kondisi sangat nyeri dari :
a. Complex regional pain syndrome tipe I dan II pada ekstremitas
bawah.
b. Nyeri kanker termasuk kanker pelvis dan ekstremitas bawah.
c. Herpes zoster yang melibatkan ekstremitas bawah.
d. Nyeri paska amputasi.
e. Nyeri phantom limb.
f. Phlegmasia alba dolens.
g. Erythromelalgia.
h. Nyeri diskogenik dengan radiasi pseudosciatica.
TUJUAN i. Neuropati diabetes.
j. Nyeri yang dimediasi oleh simpatis dari berbagai sumber nyeri.
2. Gangguan vascular perifer :
a. Atheriosclerotic vascular disesase.
b. Reynaud’s phenomena and disease.
c. Burger’s disease.
d. Lower limb embolism.
e. Periode perioperative pada pembedahan vascular dan orthopedic.
f. Frostbite.
3. Lain-lain :
a. Hyperhidrosis.
b. Prognosis dari SCS.

Permenkes RI No. 519/MENKES/PER/III/2011 tentang pedoman


KEBIJAKAN penyelenggaraan pelayanan anestesiologi dan terapi intensif di rumah
sakit.
1. Mulai dengan C-arm pada posisi AP dengan tabung X-ray berada
PROSEDUR
dibawah pasien.
2. Pertahankan area yang optimal antara pasien dengan image
intensifier.
3. Gunakan mode brightness dan collimator otomatis jika tersedia.
4. Identifikasi sisi samping dan level vertebral body dan ganglia yang
akan diblok.
5. Ambil gambar AP dengan prosesus spinosus tepat di tengah.
Luruskan endplate dari target vertebral body tilt craniocaudal. Untuk
lumbar bagian atas, gerakkan image intensifier kearah caudal, dan
untuk lumbar bawah, gerakkan kearah cranial.
6. Putar image intensifier oblique ke sisi ipsilateral hingga ujung
prosesus transversus hampir tidak tampak di belakang sisi lateral dari
vertebral body.
7. Titik masuknya jarum pada bagian medial dari sisi lateral vertebral
body.

53
8. Untuk L2, L3 dan L4, jarum diarahkan ke 1/3 bawah, 1/3 atas dan
1/3 tengah dari vertebral body. Biasanya L3 dipilih untuk mengetahui

10. PROSEDUR TINDAKAN BLOK SARAF SIMPATIS LUMBAL

STANDAR No. Dokumen No. Revisi Halaman


PROSEDUR
Tanggal Terbit Ditetapkan Direktur,
OPERASIONAL

persebaran kontras melewati ganglia simpatis L2 – L4.


9. Injeksikan lignocaine 1% pada titik masuknya jarum dan tunggu
selama 1 menit.
10. Jarum quincke 22G, 12 cm diinsersikan ke arah medial dari sisi
lateral vertebral body.
11. Ketika ujung jarum mengenai bagian medial dari sisi lateral vertebral
body, putar jarum sedikit ke lateral dan menggeser vertebral body.
12. Putar C arm ke view lateral dan tusukkan makin jauh ke anterior
sehingga menyentuh permukaan lateral dari vertebral body.
13. Posisi akhir dari jarum adalah batas anterolateral vertebral body,
anterior dari otot psoas yang bisa dirasakan saat memasukkan jarum
lebih dalam.
14. Konfirmasi posisi jarum pada view AP, oblique dan lateral.
15. Aspirasi negative, injeksikan iohexol 2 mL. kontras akan menyebar
ke anteriolateral border vertebra L2-L4 pada posisi segaris.
16. Setelah memastikan posisi jarum tidak masuk intradiskus atau
intraspinal, injeksikan 8 mL lignocaine 1% atau bupivacaine 0,25%
PROSEDUR untuk tujuan diagnostik.
17. Blok simpatis berhasil jika,
a. Peningkatan suhu lebih dari 2 derajat.
b. Vasodilatasi.
c. Penurunan edema.
d. Tes objektif :
 Reflek simpatogalvanik
 Test ninhydrin
 Test cobalt blue
 Test starch iodide
18. 40 mg depomedrol ditambahkan untuk tujuan terapi.

Nb : Jika control ganda blok diagnostik dengan anestesi lokal yang


berbeda bisa menurunkan 80% atau lebih penurunan skala nyeri
maka direncanakan untuk tindakan neurolisis atau radiofrekuensi
ablasi.

1. Ruang Pemulihan
2. Instalasi Rawat Inap
Unit Terkait
3. Instalasi Gawat Darurat
4. Instalasi Rawat Jalan

54
11. PROSEDUR TINDAKAN NEUROLISIS PLEKSUS
HIPOGASTRIKA
No. Dokumen No. Revisi Halaman
STANDAR Tanggal Terbit Ditetapkan Direktur,
PROSEDUR
OPERASIONAL

Tindakan intervensi nyeri dengan melakukan neurolisis pleksus


PENGERTIAN hipogastrika untuk mengatasi nyeri yang timbul pada daerah pelvis dan
yang dihantarkan oleh sistem saraf simpatis.
Mengurangi nyeri yang disebabkan oleh, antara lain :
1. Penyakit ginekologis seperti endometriosis, adhesi, Pelvic inflamasi
TUJUAN dissesase.
2. Penyakit non ginekologis antara lain sistitits, iritabel bowel sindrome.
3. Nyeri kanker dari pelvis bagian viscera.
Permenkes RI No. 519/MENKES/PER/III/2011 tentang pedoman
KEBIJAKAN penyelenggaraan pelayanan anestesiologi dan terapi intensif di rumah
sakit.

55
1. Start dengan C arm posisi AP.
2. Ambil gambar AP dengan prosesus spinosus di posisi midline dan
identifikasi Vertebrae L5.
3. Kemudian intensifier digeser ke kranial sampai lower endplate L5
terlihat kotak.
4. Setelah terlihat kotak, geser image intensifier ke sisi oblique
ipsylateral hingga batas lateral dari L5 terlihat. Hati-hati jangan
sampai tulang iliac lebih terlihat medial, sehingga susah untuk
menempatkan jarum.
5. Kemudian titik masuk jarum ditandai pada bagian medial dari batas
lateral sepertiga bawah Vertebrae L5.
6. Injeksi lignocaine 1% untuk infiltrasi kulit. Tunggu satu menit untuk
onset.
7. Gunakan jarum Quincke 22G, insersikan hingga mengenai tulang
disebelah medial dari batas postero lateral vertebrae L5.
8. Masukkan pelan-pelan jarum dari sisi lateral vertebrae L5.
9. Kemudian rotasikan C arm ke view lateral. Pada view lateral ini
jarum dimasukkan lebih dalam ke arah anterior dari batas
PROSEDUR anterolateral L5 tetapi tetap kontak dengan permukaan lateral tulang
L5.
10. C arm diarahkan ke posisi AP dan ambil gambar AP. Ujung jarum
harus pada level pedicle.
11. Selalu konfirmasi posisi jarum pada posisi AP, Oblique dan lateral.
12. Setelah aspirasi negatif, 3 cc kontras di injeksikan. Kontras akan
menyebar pada batas anterolateral L5-S1. dengan garis posterior
yang samar-samar yang akan tampak pada view lateral.
13. Jarum yang lain ditempatkan pada posisi berlawanan dengan cara
yang sama.
14. Setelah memastikan tidak masuk ke intravascular, intra spinal dan
intra discal injeksikan lignocaine 1% 5-10 cc atau bupivacaine 0,25%
5-10 cc pada tiap jarum untuk tujuan diagnostik.
15. Jarum RF lurus atau bengkok ukuran 22G, 15 cm, 10mm active tip
diletakkan pada posisi yang sama dengan cara diatas.
16. Konfirmasi posisi jarum dengan kontras dan tiga posisi image yang
berbeda (AP,Oblique dan lateral).
17. Stimulasi sensori dikerjakan dengan frekuensi 50 HZ dan 0,6 V dan
11. PROSEDUR TINDAKAN NEUROLISIS PLEKSUS
HIPOGASTRIKA
No. Dokumen No. Revisi Halaman

56
STANDAR Tanggal Terbit Ditetapkan Direktur,
PROSEDUR
OPERASIONAL

harus menghasilkan paresthesia atau nyeri sepanjang lokasi asal


nyeri.
18. Kemudian stimulasi motor dilakukan dengan frekuensi 2 HZ dengan
2 V dan tidak boleh menghasilkan kontraksi otot. Jika ada kontraksi
keluar, maka jarum dekat dengan saraf somatik, dan harus direposisi.
19. Konvensional radiofrekuensi dikerjakan selama 60 detik dengan 70
derajat selama tiga siklus dengan sedikit merotasi jarum.
20. Hati-hati saat menggerakkan jarum ke arah lateral karena didapatkan
ureter di bagian lateral.
21. Injeksikan depot steroid dan pindahkan jarum RF.
22. Pasang plester steril.
23. Pindah ke ruang paska prosedur.

Prosedur Neurolisis
1. Alkohol 50-100% atau phenol 6-10% bisa digunakan.
2. Sebelum injeksi alcohol, injeksilan 2 mL lignocaine 1% dan tunggu
PROSEDUR selama 2 menit.
3. Phenol mempunyai fungsi anestesi lokal dan tidak perlu infiltrasi
anestesi lokal.
4. Injeksikan 5-10 mL phenol atau alcohol dan flush jarum dengan saline
atau udara.
5. Cabut jarum dan pasang plester steril.
6. Pindahkan ke ruang paska tindakan.
Transdiscal Approach
1. Teknik ini mempunyai keuntungan denga menggunakan 1 jarum
dibandingkan teknik lateral dengan menggunakan 2 jarum.
2. Teknik ini digunakan dengan cara yang sama seperti teknik discografi
dan jarum pada akhirnya ditempatkan pada sisi anterior discus L5 dan
S1.
3. Setelah kontras diberikan dan konfirmasi image, injeksikan agen lokal
anestesi atau agen neurolitik sebanyak 10-15cc. Observasi selama 10
menit diruang tindakan untuk evaluasi hipotensi.
1. Ruang Pemulihan
2. Instalasi Rawat Inap
Unit Terkait
3. Instalasi Gawat Darurat
4. Instalasi Rawat Jalan

12. NEUROLISIS SIMPATETIK GANGLION COELIAC


No. Dokumen No. Revisi Halaman

57
STANDAR Tanggal Terbit Ditetapkan Direktur,
PROSEDUR
OPERASIONAL

Pengertian Neurolosis simpatetik pada ganglion celiac.

Tujuan Untuk mempersiapkan pasien dalam rangka kelancaran prosedur


neurolisis simpatetik ganglion celiac.
Permenkes RI No. 519/MENKES/PER/III/2011 tentang pedoman
Kebijakan penyelenggaraan pelayanan anestesiologi dan terapi intensif di rumah
sakit.
1. Menyiapkan pasien.
a. Berikan penjelasan dengan prinsip 5S (Senyum, Salam, Sapa,
Sopan, Santun) terhadap prosedur penatalaksanaan neurolisis
simpatetik ganglion stellatum.
b. Pastikan pasien telah menandatangani persetujuan tindakan di
format “informed consent”.
c. Ganti baju pasien dengan baju pemeriksaan.
2. Menyiapkan alat dan memulai tindakan.
a. Cuci tangan 6 langkah dan pakailah APD.
b. Siapkan jarum panjang 22 G 15cm, jarum 25 G untuk infiltrasi
lokal, generator radio frekwensi, alkohol 96%, lidokain 1%, dan
cairan kontras.
c. Pasang monitor SpO2 dan tekanan darah pada pasien.
d. Pasien dalam posisi prone dengan bantal di bawah perut.
3. Konfirmasi C-Arm untuk posisi target Th12 – L1 – L2.
Prosedur 4. Disinfeksi area tindakan dengan povidon iodine dan alkohol.
5. Infiltrasi lokal dengan lidokain 1%.
6. Insersi jarum 15 cm, titik masuk jarum adalah jarak 6 sampai 8 cm dari
garis tengah L2. Inj. 1% lidocaine sekitar 10 cc intradermal.
7. Jarum 15 cm 20G ujung jarum diarahkan satu sisidengan sudut 45
derajat terhadap garis tengah dan cephalad untuk menuju L1.
Kemudian jarum kedua di sisi kontra lateral juga dimasukkan dengan
cara yang sama seperti sebelumnya. Posisi ujung jarum di median
antara Th12 – L1, di depan Aorta, harus dikonfirmasi antero-posterior
dan lateral dengan C-Arm serta kontras.
8. Injeksi lidocain 1 % untuk test block.
9. Nyeri berkurang, Neurolisis dengan alcohol 96%.
10.Tindakan selesai.
11. Rawat luka dan tutup dengan plester.

1. Ruang Pemulihan
2. Instalasi Rawat Inap
Unit Terkait 3. Instalasi Gawat Darurat
4. Instalasi Rawat Jalan

13. NEUROLISIS SIMPATETIK GANGLION HYPOGASTRIC


No. Dokumen No. Revisi Halaman

58
STANDAR Tanggal Terbit Ditetapkan Direktur,
PROSEDUR
OPERASIONAL

Pengertian Neurolisis simpatetik pada ganglion hypogastric.


Untuk mempersiapkan pasien dalam rangka kelancaran prosedur neurolisis simpatetik
Tujuan
ganglion Hypogastric.

Kebijakan Permenkes RI No. 519/MENKES/PER/III/2011 tentang pedoman penyelenggaraan


pelayanan anestesiologi dan terapi intensif di rumah sakit.

1. Menyiapkan pasien.
a. Berikan penjelasan dengan prinsip 5S (Senyum, Salam, Sapa,
Sopan, Santun) terhadap prosedur penatalaksanaan neurolisis
simpatetik ganglion hypogastric.
b. Pastikan pasien telah menandatangani persetujuan tindakan di
format “informed consent”.
c. Ganti baju pasien dengan baju pemeriksaan.
2. Menyiapkan alat dan memulai tindakan.
a. Cuci tangan 6 langkah dan pakailah APD.
b. Siapkan jarum panjang 22 G 15 cm, jarum 25 G untuk infiltrasi
lokal.
c. Siapkan alkohol 96%, lidokain 1%, dan cairan kontras.
d. Pasang monitor SpO2 dan tekanan darah pada pasien.
e. Posisi pasien prone.
3. Identifikasi prosesus spinosus L4-L5-S1 sebagai penanda. Menarik
garis L4-L5 ruang intervertebralis ke lateral. Titik tusuk jarum berada
empat jari atau 6 sampai 8 cm dari garis tengah L4.
4. Disinfeksi area tindakan.
5. Inj. 1% lidocaine sekitar 10 cc intradermal dan jauh ke berbagai
lapisan di arah jarum.
6. Arah jarum sekitar 45 derajat medial ke arah caudal untuk
Prosedur menghindari prosesus transversus L5 dan ala sakrum. Dalam
fluoroskopik lateralis tampilan konfirmasi ujung jarum harus di
anterior persimpangan L5-S1 vertabrae. Konfirmasi posisi
posterioanterior, ujung jarum harus tidak lebih dari l cm dari outline
vertebrae L5-S1.
7. Setelah konfirmasi ulang aspirasi negatif. Suntikkan kontras untuk
mengkonfirmasi penyebarannya. Konfirmasi penyebaran zat warna
dalam tampilan posterioanterior kontras akan mengelilingi secara
vertikal dari vertebrae. Dalam pandangan lateral kontras akan
menyebar di sepanjang perbatasan anterior spine.
8. Dalam kasus neurolysis, Injeksi alkohol 96% dalam 5 sampai 10 cc
pada setiap sisi disuntikkan. Pembilasan jarum dengan 1 sampai 2 cc
dengan normal saline akan memudahkan injeksi agen neurolytic
(alkohol).
9. Sebelum menarik jarum masukkan stylet ke dalamnya, untuk
memungkinkan agen neurolytic jatuh pada area yang diinginkan.
10. Menyuntikkan Inj. Lidocaine 1% ke jalur jarum ketika menarik
jarum. Ini akan membantu untuk mengurangi nyeri karena jarum
setelah prosedur.
11. Menyuntikkan Inj. Lidocaine 1% ke jalur jarum ketika menarik
jarum. Ini akan membantu untuk mengurangi nyeri karena jarum
setelah prosedur.

13. NEUROLISIS SIMPATETIK GANGLION HYPOGASTRIC

No. Dokumen No. Revisi Halaman

59
STANDAR Tanggal Terbit Ditetapkan Direktur,
PROSEDUR
OPERASIONAL

12. Tindakan selesai.


Prosedur 13. Tutup dengan plester.
14. Tanda-tanda vital pasien harus diamati dalam ruang pemulihan
selama 1 sampai 2 jam.
1. Ruang Pemulihan
Unit Terkait 2. Instalasi Rawat Inap
3. Instalasi Gawat Darurat
4. Instalasi Rawat Jalan

60
14. NEUROLISIS SIMPATETIK GANGLION STELLATUM

No. Dokumen No. Revisi Halaman


STANDAR Tanggal Terbit Ditetapkan Direktur,
PROSEDUR
OPERASIONAL

Pengertian Neurolisis simpatetik pada ganglion impar.

Untuk mempersiapkan pasien dalam rangka kelancaran prosedur neurolisis simpatetik


Tujuan ganglion impar.

Permenkes RI No. 519/MENKES/PER/III/2011 tentang pedoman penyelenggaraan


pelayanan anestesiologi dan terapi intensif di rumah sakit.
Kebijakan

1. Menyiapkan pasien.
a. Berikan penjelasan dengan prinsip 5S (Senyum, Salam, Sapa,
Sopan, Santun) terhadap prosedur penatalaksanaan neurolisis
simpatetik ganglion impar.
b. Pastikan pasien telah menandatangani persetujuan tindakan di
format “informed consent”.
c. Ganti baju pasien dengan baju pemeriksaan.
2. Menyiapkan alat dan memulai tindakan.
a. Cuci tangan 6 langkah dan pakailah APD.
b. Siapkan jarum panjang 22 G 10 cm, jarum 25 G untuk infiltrasi
lokal.
Prosedur c. Siapkan alkohol 96%, lidokain 1%, dan cairan kontras.
d. Pasang monitor SpO2 dan tekanan darah pada pasien.
3. Posisi pasien supine.
4. Jarum yang tipis (no 23 G) 10 cm di insersi pada posisi antara
junction sacrococcygeal dengan tip berada di border anterior sacrum,
konfirmasi dengan kontras, guiding menggunakan fluoroscopy dan C-
arm.
5. Obat anestesi local dimasukkan.
6. Neurolytic agent alcohol 96% dimasukkan
7. Tindakan selesai
8. Tempat insersi di tutup dengan plester
1. Ruang Pemulihan
2. Instalasi Rawat Inap
Unit Terkait 3. Instalasi Gawat Darurat
4. Instalasi Rawat Jalan

61
15. NEUROLISIS SIMPATETIK GANGLION STELLATUM
No. Dokumen No. Revisi Halaman
STANDAR Tanggal Terbit Ditetapkan Direktur,
PROSEDUR
OPERASIONAL

Pengertian Neurolisis simpatetik pada ganglion stellatum.


Untuk mempersiapkan pasien dalam rangka kelancaran prosedur neurolisis simpatetik
Tujuan
ganglion stellatum.
Permenkes RI No. 519/MENKES/PER/III/2011 tentang pedoman penyelenggaraan
Kebijakan pelayanan anestesiologi dan terapi intensif di rumah sakit

1. Menyiapkan pasien.
a. Berikan penjelasan dengan prinsip 5S (Senyum, Salam, Sapa,
Sopan, Santun) terhadap prosedur penatalaksanaan neurolisis
simpatetik ganglion stellatum.
b. Pastikan pasien telah menandatangani persetujuan tindakan di
format “informed consent”.
c. Ganti baju pasien dengan baju pemeriksaan.
2. Menyiapkan alat dan memulai tindakan.
a. Cuci tangan 6 langkah dan pakailah APD.
b. Siapkan jarum panjang 22 G 5 cm, jarum 25 G untuk infiltrasi
lokal.
c. Siapkan generator radio frequency, lidokain 1%, dan cairan
Prosedur
kontras.
d. Pasang monitor SpO2 dan tekanan darah pada pasien.
e. Posisi pasien supine.
3. Konfirmasi C-arm untuk posisi target C6-C7.
4. Disinfeksi area tindakan dengan povidon iodine dan alkohol.
5. Infiltrasi lokal dengan lidokain 1%.
6. Insersi jarum 22 G menuju processus transversus C6.
7. Konfirmasi dengan C-arm dan bahan kontras.
8. Injeksi lidokain 1% untuk test block.
9. Nyeri berkurang, neurolisis dengan radio frequency.
10. Tindakan selesai.
11. Rawat luka dan tutup dengan plester.

1. Ruang Pemulihan
2. Instalasi Rawat Inap
Unit Terkait
3. Instalasi Gawat Darurat
4. Instalasi Rawat Jalan

62
16. SPO PEMASANGAN CATETER PADA LAKI-LAKI
No. Dokumen No. Revisi Halaman
01 1/1
Tanggal terbit Ditetapkan Direktur,
Prosedur Tetap

KOMITE
KEPERAWATAN

Melakukan tindakan mengeluarkan urine dari vesika urinaria melalui


Pengertian
selang cateter.
1. Memastikan pelaksanaan tindakan pemasangan kateter valid dan
mampu telusur.
2. Untuk diagnostik (mengambil sample untuk kultur urine, mengukur
residu urine, memasukkan bahan kontras, pemeriksaan urodinamik,
Tujuan menilai produksi urine durante dan post operasi).
3. Untuk terapi (mengeluarkan urine dari buli-buli pada keadaan
obstruksi intravesika, disfungsi buli, sebagai splint post reconstruksi
uretra).
4. Untuk tindakan CIC (Clean Intermitten Catheterization).
5. Untuk memasukkan obat-obatan intavesika.
Dilakukan oleh perawat/bidan pada pasien laki-laki yang memerlukan
Kebijakan
pemasangan cateter.
1. Persiapan Alat :
a. Bahan dan alat cuci tangan.
b. Sarung tangan steril.
c. Kateter steril sesuai ukuran/kebutuhan.
d. Urobag/kantung penampung urine.
e. Duk steril.
f. Minyak pelumas/jelly.
g. Larutan pembersih antiseptic/NaCl 0,9%/kapas sublimat/kapas
savlon.
h. Spuit.
i. Bethadine.
j. Aquadest.
k. Perlak.
l. Pinset anatomis.
m. Bengkok.
n. Sampiran.
Prosedur 2. Persiapan pasien :
a. Lakukan tindakan dengan 5 S.
b. Identifikasi pasien.
c. Perkenalkan diri pada pasien/keluarga.
d. Jelaskan tujuan dan prosedur tindakan pada pasien/keluarga.
e. Buat inform consen dengan pasien/keluarga dan tanyakan kesiapan
pasien.
f. Atur posisi pasien (dorsal recumbent).
3. Persiapan Lingkungan :
a. Jaga privasi pasien dengan memasang sketsel/sampiran.
b. Ciptakan lingkungan yang hangat, nyaman dan aman.
4. Pelaksanaan :
a. Cuci tangan dengan sabun terlebih dahulu pada air kran mengalir.
b. Tempatkan alat-alat di dekat pasien.
c. Pasang perlak dan pengalas.
d. Atur posisi pasien dorsal recumbent dan melepaskan pakaian
bawah.

63
16. SPO PEMASANGAN CATETER PADA LAKI-LAKI
No. Dokumen No. Revisi Halaman
01 1/1
Tanggal terbit Ditetapkan Direktur,
Prosedur Tetap

KOMITE
KEPERAWATAN
e. Pakai hand schoen .
f. Lakukan disinfeksi pada kulit genitalia.
g. Tutup sekitar genitalia dengan doek steril.
h. Olesi Kateter yang telah tersedia dengan jelly secukupnya.
i. Masukkan kateter kedalam orifisium uretra eksterna pelan-pelan
sambil pasien dianjurkan menarik nafas panjang.
j. Masukkan kateter sampai percabangan kateter .
k. Tampung urine dalam bengkok.
l. Kembangkan balon kateter dengan aquadest sesuai ukuran kateter.
m. Lepas duk .
n. Jika kateter menetap hubungkan dengan urine bag.
o. Lakukan fiksasi kearah paha bagian proksimal atau di daerah
Prosedur
inguinal.
p. Atur letak urobag lebih rendah dari uretra.
5. Mengevaluasi dan Mendokumentasi Perkembangan Pasien.
a. Evaluasi hasil tindakan dan respon pasien.
b. Sampaikan bahwa tindakan telah selesai dilakukan dan pesankan
apa yang boleh dan tidak boleh dilakukan pasien.
6. Merapikan pasien dan Membersihkan Alat.
a. Rapikan pasien dengan posisi yang nyaman.
b. Bereskan alat-alat yang tidak digunakan.
c. Cuci tangan setelah tindakan.
7. Melakukan dokumentasi.

Unit Terkait Instalasi Rawat Inap


Referensi

64
17. PULSED RADIO FREQUENCY PADA DORSAL ROOT
GANGLION CERVICAL
No. Dokumen No. Revisi Halaman
STANDAR Tanggal Terbit Ditetapkan Direktur,
PROSEDUR
OPERASIONAL

Pulsed radio frequency adalah prosedur invasif minimal, di mana medan


listrik dari frekuensi radio diterapkan intermiten pada saraf yang
bertanggung jawab untuk transmisi sinyal rasa nyeri ke otak. Hal ini
Pengertian
diterapkan dalam interval pendek untuk menjaga suhu yang rendah di
sekitar saraf. Hal ini tidak merusak saraf tapi memodulasi saraf yang
memberikan rasa nyeri.
Untuk mempersiapkan pasien dalam rangka kelancaran prosedur pulsed
Tujuan
radio frequency pada dorsal root ganglion cervical.
Permenkes RI No. 519/MENKES/PER/III/2011 tentang pedoman
Kebijakan penyelenggaraan pelayanan anestesiologi dan terapi intensif di rumah
sakit.
1. Menyiapkan pasien
a. Berikan penjelasan dengan prinsip 5S (Senyum, Salam, Sapa,
Sopan, Santun) terhadap prosedur penatalaksanaan neurolisis
simpatetik ganglion stellatum.
b. Pastikan pasien telah menandatangani persetujuan tindakan di
format “informed consent”.
c. Ganti baju pasien dengan baju pemeriksaan.
2. Menyiapkan alat dan memulai tindakan.
a. Cuci tangan 6 langkah dan pakailah APD.
b. Siapkan jarum RF/PRF.
c. Siapkan generator radiofrequency.
d. Lidokain 2%, dan cairan kontras.
e. Pasang monitor SpO2 dan tekanan darah pada pasien.
3. Posisikan pasien supine pada meja fluoroscopy.
Prosedur 4. Disinfeksi area tindakan.
5. Identifikasi menggunakan C-arm untuk mendapatkan lateral view.
6. Infiltrasi local dengan Lidokain 2%
7. Dibawah bimbingan fluoroscopy jarum RF 22G, 51mm maju ke
posisi target intervertebra foramina, posisi jarum kemudian diperiksa
menggunakan C-arm.
8. Aspirasi jarum untuk menyingkirkan lokasi intravascular.
9. Setelah terkonfirmasi bahwa jarum berada di posisi yang benar
lakukan stimulasi sensoris dan motoris.
10. Injeksi 2cc lidocain 1%.
11. Kemudian, lakukan pulsed radiofrequency pulsed : pulse pada 45V 1
silklus 6 menit, 2hz 20milisecond.
12. Tindakan selesai.
13. Tutup tempat insersi dengan plester.

Unit Terkait 1. Ruang Pemulihan


2. Instalasi Rawat Inap
3. Instalasi Gawat Darurat
4. Instalasi Rawat Jalan

65
18. PROSEDUR TINDAKAN PULSED RADIOFREKUENSI DRG
LUMBAL
No. Dokumen No. Revisi Halaman
STANDAR Tanggal Terbit Ditetapkan Direktur,
PROSEDUR
OPERASIONAL

PENGERTIAN Lumbar Selective Nerve Root Block adalah injeksi/blok spesifik untuk
mendiagnosa dan terapi lumbar radikulopati.
Mengurangi nyeri yang disebabkan oleh, antara lain :
1. Lumbar radikulopati.
2. Penonjolan diskus vertebrae dengan atau tanpa radikulopati.
TUJUAN 3. Nyeri diskogenik.
4. Stenosis kanal spinalis lumbar.
5. Failed back surgery syndrome.

Permenkes RI No. 519/MENKES/PER/III/2011 tentang pedoman


KEBIJAKAN penyelenggaraan pelayanan anestesiologi dan terapi intensif di rumah
sakit.
PROSEDUR 1. Mulai C-arm pada posisi AP dengan tabung X-ray berada dibawah
pasien.
2. Pertahankan area optimal antara pasien dengan image intensifier.
3. Gunakan mode brightness dan collimator otomatis jika tersedia.
4. Identifikasi sisi samping dan level nerve root yang akan diblok.
5. Ambil gambar AP dengan prosesus spinosus pada posisi midline.
Luruskan endplate dari target vertebral body dengan tilt
craniocaudal. Untuk lumbar vertebrae atas, gerakkan image
intensifier kearah caudal, dan untuk lumbar vertebrae bawah
gerakkan kearah cranial.
6. Target masuknya jarum pada posisi pukul 06.00 dari pedicle.
7. Infiltrasi kulit dengan lignocaine 1% dan tunggu 1 menit.
8. Jarum quincke no 22G diinsersikan sehingga menyentuh tulang
diatas posisi pukul 06.00 dari pedicle.
9. Kemudian ujung jarum di arahkan ke bawah pedicle dengan sedikit
memutar jarum.
10. Pindahkan Carm ke posisi lateral. Penempatan ideal pada postero-
superior quadran dari foramen.
11. Konfirmasi posisi jarum pada view AP, oblique dan lateral.
12. Aspirasi, jika aspirasi negative, injeksikan 0,5 mL kontras dan
sebaran kontras akan menandai hanya pada nerve root.
13. Setelah memastikan jarum tidak berada pada intravascular, maupun
intraneural, injeksikan lignocaine 1% atau bupivacaine 0,25% untuk
prosedur diagnostik.
14. Jarum RF lurus atau bengkok ukuran 22G, 10 cm, 2mm active tip
diletakkan pada posisi yang sama dengan cara diatas.
15. Stimulasi sensorik dikerjakan dengan frekuensi 50 HZ dan 0,5 V dan
harus menghasilkan paresthesia atau nyeri sepanjang lokasi asal
nyeri.
16. Kemudian stimulasi motorik dikerjakan dengan frekuensi 2 HZ
dengan voltage 2 kali sebelumnya dan akan menghasilkan kontraksi
otot. Hal ini disebut dengan sensory motor dis association.
17. Pulse radiofrekuensi DRG dikerjakan selama 120 detik dengan suhu
40 derajat selama tiga siklus.
18. Injeksikan depot steroid dan pindahkan jarum RF.
19. Pasang plester steril.

66
20. Pindah ke ruang paska prosedur.

18. PROSEDUR TINDAKAN PULSED RADIOFREKUENSI DRG


LUMBAL
No. Dokumen No. Revisi Halaman
STANDAR Tanggal Terbit Ditetapkan Direktur,
PROSEDUR
OPERASIONAL

1. Ruang Pemulihan
Unit Terkait 2. Instalasi Rawat Inap
3. Instalasi Gawat Darurat
4. Instalasi Rawat Jalan

1.

67
19. PULSED RADIO FREQUENCY PADA DORSAL ROOT
GANGLION THORACOLUMBAL
No. Dokumen No. Revisi Halaman
STANDAR Tanggal Terbit Ditetapkan Direktur,
PROSEDUR
OPERASIONAL

Pulsed radio frequency adalah prosedur invasif minimal, di mana medan listrik dari
frekuensi radioditerapkan intermiten pada saraf yang bertanggung jawab untuktransmisi
Pengertian sinyal rasa nyeri ke otak. Hal ini diterapkan dalam interval pendek untuk menjaga suhu
yang rendah di sekitar saraf. Hal ini tidak merusak saraf tapi memodulasi saraf yang
memberikan rasa nyeri.
Tujuan Untuk mempersiapkan pasien dalam rangka kelancaran prosedur pulsed radio frequency
dorsal root ganglion thoracolumbal.
Kebijakan Permenkes RI No. 519/MENKES/PER/III/2011 tentang pedoman penyelenggaraan
pelayanan anestesiologi dan terapi intensif di rumah sakit.
1. Menyiapkan pasien.
a. Berikan penjelasan dengan prinsip 5S (Senyum, Salam, Sapa,
Sopan, Santun) terhadap prosedur penatalaksanaan neurolisis
simpatetik ganglion stellatum.
b. Pastikan pasien telah menandatangani persetujuan tindakan di
format “informed consent”.
c. Ganti baju pasien dengan baju pemeriksaan.
2. Menyiapkan alat dan memulai tindakan.
a. Cuci tangan 6 langkah dan pakailah APD.
b. Siapkan jarum RF/PRF.
c. Siapkan generator radiofrequency .
d. Lidokain 1 %, dan cairan kontras.
e. Pasang monitor SpO2 dan tekanan darah pada pasien.
Prosedur
3. Posisikan pasien pronasi pada meja fluoroscopy.
4. Disinfeksi area tindakan.
5. Identifikasi menggunakan C-arm untuk mendapatkan lateral view.
6. Infiltrasi local dengan Lidokain 1%.
7. Dibawah bimbingan fluoroscopy jarum RF 22G, 100,1 mm maju ke
posisi target trans foramina, posisi jarum kemudian diperiksa
menggunakan C-arm.
8. Aspirasi jarum untuk menyingkirkan lokasi intravascular.
9. Setelah terkonfirmasi bahwa jarum berada di posisi yang benar
lakukan stimulasi sensoris dan motoris.
10. Injeksi 2cc lidocain 1%.
11. Kemudian, lakukan pulsed radiofrequency pulsed RF : pulse pada
45V 1 silklus 6 menit, 2hz 20milisecond.
12. Tindakan selesai.
13. Tutup tempat insersi dengan plester.
1. Ruang Pemulihan
2. Instalasi Rawat Inap
Unit Terkait 3. Instalasi Gawat Darurat
4. Instalasi Rawat Jalan

20. PULSED RADIO FREQUENCY PADA DORSAL ROOT


GANGLION THORACOLUMBAL
No. Dokumen No. Revisi Halaman
68
STANDAR Tanggal Terbit Ditetapkan Direktur,
PROSEDUR
OPERASIONAL

Pulsed radio frequency adalah prosedur invasif minimal, di mana medan listrik dari
frekuensi radioditerapkan intermiten pada saraf yang bertanggung jawab untuktransmisi
Pengertian sinyal rasa nyeri ke otak. Hal ini diterapkan dalam interval pendek untuk menjaga suhu
yang rendah di sekitar saraf. Hal ini tidak merusak saraf tapi memodulasi saraf yang
memberikan rasa nyeri.
Tujuan Untuk mempersiapkan pasien dalam rangka kelancaran prosedur pulsed radio frequency
dorsal root ganglion thoracolumbal.
Kebijakan Permenkes RI No. 519/MENKES/PER/III/2011 tentang pedoman penyelenggaraan
pelayanan anestesiologi dan terapi intensif di rumah sakit.
1. Menyiapkan pasien.
a. Berikan penjelasan dengan prinsip 5S (Senyum, Salam, Sapa,
Sopan, Santun) terhadap prosedur penatalaksanaan neurolisis
simpatetik ganglion stellatum.
b. Pastikan pasien telah menandatangani persetujuan tindakan di
format “informed consent”.
c. Ganti baju pasien dengan baju pemeriksaan.
2. Menyiapkan alat dan memulai tindakan.
a. Cuci tangan 6 langkah dan pakailah APD.
b. Siapkan jarum RF/PRF.
c. Siapkan generator radiofrequency.
d. Lidokain 1 %, dan cairan kontras.
e. 2.5 Pasang monitor SpO2 dan tekanan darah pada pasien
3. Posisikan pasien pronasi pada meja fluoroscopy.
Prosedur
4. Disinfeksi area tindakan.
5. Identifikasi menggunakan C-arm untuk mendapatkan lateral view.
6. Infiltrasi local dengan Lidokain 1%.
7. Dibawah bimbingan fluoroscopy jarum RF 22G, 100,1 mm maju ke
posisi target trans foramina, posisi jarum kemudian diperiksa
menggunakan C-arm.
8. Aspirasi jarum untuk menyingkirkan lokasi intravascular.
9. Setelah terkonfirmasi bahwa jarum berada di posisi yang benar
lakukan stimulasi sensoris dan motoris.
10. Injeksi 2cc lidocain 1%.
11. Kemudian, lakukan pulsed radiofrequency pulsed RF : pulse pada
45V 1 silklus 6 menit, 2hz 20milisecond.
12. Tindakan selesai.
13. Tutup tempat insersi dengan plester.
1. Ruang Pemulihan
2. Instalasi Rawat Inap
Unit Terkait 3. Instalasi Gawat Darurat
4. Instalasi Rawat Jalan

21. PROSEDUR TINDAKAN BLOK RAMI COMMUNICANS


LUMBAL
No. Dokumen No. Revisi Halaman

69
STANDAR Tanggal Terbit Ditetapkan Direktur,
PROSEDUR
OPERASIONAL

PENGERTIAN Tindakan diagnostik dengan cara melakukan injeksi anastesi lokal untuk
mengeblok rami communicans daerah lumbal.
Mengurangi nyeri yang disebabkan oleh, antara lain :
1. Nyeri diskogenik.
2. Fraktur vertebrae.
TUJUAN 3. Low back pain tanpa radikulopati dengan etiologi yang tidak jelas.
4. Sebagai upaya mencari pusat penghasil nyeri pada kasus failed back
surgery syndrome.

Permenkes RI No. 519/MENKES/PER/III/2011 tentang pedoman


KEBIJAKAN penyelenggaraan pelayanan anestesiologi dan terapi intensif di rumah
sakit.
1. Mulai dengan C-arm pada posisi AP dengan tabung X-ray berada
dibawah pasien.
2. Pertahankan area yang optimal antara pasien dengan image
intensifier.
3. Gunakan mode brightness dan collimator otomatis jika tersedia.
4. Identifikasi sisi samping dan level vertebral body yang akan diblok.
5. Ambil gambar AP dengan prosesus spinosus tepat di tengah.
6. Luruskan endplate dari target vertebral body dengan memutar image
intensifier ke cranial atau ke kaudal. Untuk lumbar bagian atas,
gerakkan image intensifier kearah caudal, dan untuk lumbar bawah,
gerakkan kearah cranial.
7. Putar image intensifier oblique ke sisi ipsilateral sekitar hingga
bagian anterolateral dari vertebral body tampak.
8. Titik masuknya jarum di bawah prosesus transversus dan medial
terhadap batas lateral dari vertebral body yang mengarah ke bagian
tengah dari vertebral body.
9. Jika prosesus transversus sudah tampak pada bagian tengah dari
vertebral body, tilt kearah craniocaudal untuk menggerakkan
prosesus transversus ke sepertiga atas vertebral body.
PROSEDUR 10. Injeksikan lignocaine 1% pada titik masuknya jarum dan tunggu
selama 1 menit.
11. Jarum quincke 22G, 15 cm diinsersikan pada view akhir dari
prosesus transversus menuju bagian tengah vertebral body.
12. Ujung jarum diarahkan menuju bagian medial dari sisi lateral
vertebral body. Jarum menyentuh vertebral body. Kemudian putar
jarum ke lateral dan coba menggeser (slip off) vertebral body.
13. Putar Carm ke posisi lateral dan tusukkan makin jauh ke bagian
tengah vertebral body.
14. Konfirmasi posisi jarum pada view AP, oblique dan lateral.
15. Aspirasi negative, injeksikan kontras 0,5 mL. kontras akan menyebar
ke anterior dari garis facet dan parallel terhadap jarum.
16. Setelah memastikan posisi jarum tidak masuk intravascular atau
intraspinal, injeksikan 2 mL lignocaine 1% atau bupivacaine 0,25%.
17. Tarik jarum dan tutup dengan plester steril.
18. Monitor selama 10 menit untuk mengantisipasi kejadian hipotensi
selama di ruang tindakan dan pindahkan ke ruang paska tindakan
untuk observasi selama 2 jam.
19. Ketika 2 blok dianostik positif, lanjutkan ke prosedur terapeutik.

21. PROSEDUR TINDAKAN BLOK RAMI COMMUNICANS


LUMBAL
No. Dokumen No. Revisi Halaman

70
STANDAR Tanggal Terbit Ditetapkan Direktur,
PROSEDUR
OPERASIONAL

20. Depot steroid seperti methylprednisolone bisa diberikan untuk


meredakan nyeri sementara sekitar 3 minggu hinggga 3 bulan.
21. Jika control ganda blok diagnostik dengan anestesi lokal yang
berbeda bisa menurunkan 80% atau lebih penurunan skala nyeri
maka direncanakan untuk tindakan radiofrekuensi ablasi pada rami
komunikan.

1. Ruang Pemulihan
2. Instalasi Rawat Inap
Unit Terkait
3. Instalasi Gawat Darurat
4. Instalasi Rawat Jalan

71
22. RADIOFREQUENCY MEDIAN BRANCH BLOCK CERVICAL

No. Dokumen No. Revisi Halaman


STANDAR Tanggal Terbit Ditetapkan tanggal
PROSEDUR
OPERASIONAL
Pengertian Modulasi dengan radiofrequency pada median branch block cervical.

Tujuan Untuk mempersiapkan pasien dalam rangka kelancaran prosedur radiofrequency pada
median branch block cervical.
Kebijakan Permenkes RI No. 519/MENKES/PER/III/2011 tentang pedoman penyelenggaraan
pelayanan anestesiologi dan terapi intensif di rumah sakit.
1. Menyiapkan pasien.
a. Berikan penjelasan dengan prinsip 5S (Senyum, Salam, Sapa,
Sopan, Santun) terhadap prosedur penatalaksanaan radiofrequency
pada median branch block cervical.
b. Pastikan pasien telah menandatangani persetujuan tindakan di
format “informed consent”.
c. Ganti baju pasien dengan baju pemeriksaan.
2. Menyiapkan alat dan memulai tindakan.
a. Cuci tangan 6 langkah dan pakailah APD.
b. Siapkan jarum panjang RF, jarum 25 G untuk infiltrasi lokal.
c. Siapkan generator Radiofrequency, lidokain 1%, dan cairan
kontras.
d. Pasang monitor SpO2 dan tekanan darah pada pasien.
Prosedur 3. Posisikan pasien pada posisi supine pada meja fluoroscopy.
4. Disinfeksi area tindakan.
5. Identifikasi AP position dengan C-arm sesuai target facet joint
cervical.
6. Di bawah bimbingan fluoroscopic jarum RF maju ke posisi target.
Posisi jarum kemudian diperiksa di posisi lateral untuk memastikan
bahwa jarum tidak terlalu jauh ke dalam foramen saraf.
7. Pada titik ini direkomendasikan menyuntikkan volume kecil
radiokontras untuk mengkonfirmasi bahwa tidak ada penyerapan
pada pembuluh darah.
8. Setelah terkonfirmasi bahwa jarum berada di posisi yang benar,
lakukan Radiofrequency.
9. Tindakan selesai.
10. Tutup tempat pungsi dengan plester.

1. Ruang Pemulihan
Unit Terkait 2. Instalasi Rawat Inap
3. Instalasi Gawat Darurat
4. Instalasi Rawat Jalan

Lampiran. Prosedur Penatalaksanaan Nyeri

Lampiran
72
Lumbar Selective Nerve Root Block

Lumbar Selective Nerve Root Block adalah injeksi/blok spesifik untuk mendiagnosa dan terapi lumbar
radikulopati.

Indikasinya meliputi :
1. Lumbar radikulopati.
2. Penonjolan diskus vertebrae dengan atau tanpa radikulopati.
3. Nyeri diskogenik.
4. Stenosis kanal spinalis lumbar.
5. Failed back surgery syndrome.

Kontraindikasi meliputi :
Terdapat suatu kondisi yang pasti bahwa prosedur ini harus dihindari atau disebut dengan
kontraindikasi absolut. Dan ada beberapa hal yang harus ditimbang lagi antara keuntungan dan
kerugiannya dimana jika keuntungannya lebih banyak maka prosedur ini bisa dilakukan dengan
perhatian khusus. Atau disebut juga dengan kontraindikasi relative.
A. Kontraindikasi absolut :
 Infeksi lokal atau sistemik.
 Koagulopati dan pasien dengan terapi antikoagulan tanpa adanya rekomendasi yang adekuat
untuk periode bebas obat.
 Tidak ada persetujuan.
B. Kontraindikasi relative meliputi :
 Kehamilan.
 Pasien tidak bisa berbaring.
 Pasien tidak kooperatif.
 Pasien dengan disfungsi kognitif yang berat.
 Alergi terhadap obat yang akan digunakan.
 Parameter vital yang tidak stabil.
 Riwayat pembedahan sebelumnya.
 Variasi anatomis.

Prosedur :
Prosedur yang akan dilakukan pada tindakan blok ini yakni prosedur diagnostik dengan injeksi lokal
atau prosedur terapi dengan steroid atau ablasi radiofrekuensi pada dorsal root ganglion.

Persiapan yang dilakukan meliputi :


1. Singkirkan semua tanda bahaya : infeksi, tumor, fraktur, dan defisit neurologis yang signifikan.
2. Informed consent (sangat penting).
3. Pasien harus dijelaskan mengenai prosedur yang akan dikerjakan, meliputi:
a. Mengapa prosedur ini dilakukan.
b. Bagaimana melakukannya.
c. Apa yang diharapkan dari prosedur ini.
d. Efek samping dan komplikasi yang bisa terjadi.
e. Rencana tatalaksana selanjutnya tergantung dari hasil yang didapat.
f. Metode alternative lainnya yang tersedia.
g. Biaya yang dibutuhkan untuk prosedur ini.
4. Nilai status general dan kardiorespirasi pasien dengan konsultasi dan investigasi yang tepat
sebelum prosedur dilakukan.
5. Pemeriksaan dasar seperti profil koagulasi dan gula darah harus dilakukan.

73
6. Lakukan pemeriksaan foto rontgen lumbar untuk menyingkirkan kesulitan anatomis yang akan
dihadapi saat prosedur dilakukan.
7. Pastikan administrasi keuangan sebelum pasien MRS.
8. Sarankan untuk puasa sebelum prosedur dilakukan.
9. Sarankan untuk datang bersama keluarga/ada orang yang menemani pada hari prosedur dilakukan.

Persiapan pre-prosedural :
1. Konfirmasi identitas, diagnosis, consent, dan kejelasan prosedur.
2. Cek hasil lab dan studi radiologis yang dibutuhkan sebelum prosedur.
3. Infus intravena dengan surflo 20G telah terpasang pada lengan non-dominan.
4. Berikan antibiotika propilaktik sesuai protap.
5. Pasien bisa disedasi dengan midazolam atau propofol dosis titrasi atau terkadang bisa diberikan
opioid sehingga pasien bisa nyaman saat tindakan. Analgesik lebih baik dihindari saat prosedur
diagnostik.

Peralatan yang diperlukan saat tindakan :


1. C-arm dengan peralatan perlindungan dari radiasi.
2. Meja operasi yang sesuai dengan C-arm.
3. Locator metal.
4. Kasa steril.
5. Sarung tangan steril sesuai ukuran.
6. Betadine atau chlorhexidine untuk sterilisasi kulit.
7. Kain draping sterile.
8. Jarum no.26, 1,5 inci untuk infiltrasi kulit.
9. Spuit 2 cc untuk injeksi anestesi lokal.
10. Spuit 5 cc untuk injeksi kontras.
11. Spuit 10 cc untuk injeksi selective nerve root.
12. Lidocaine 1% untuk infiltrasi kulit.
13. Larutan kontras seperti iohexol atau iopomidol.
14. Lignocaine 1% atau bupivacaine 0,25% untuk injeksi diagnostik.
15. Methylprednisolone atau triamcinolone 40 mg/ml vial.
16. Jarum quincke 22G, 88 mm.
17. Selang ekstensi volume rendah.
18. Plester perekat.

Jika direncanakan RF, maka disiapkan :


1. Mesin RF dengan thermocouple yang tepat.
2. Jarum RF yang lurus atau bengkok ukuran 22G, 10 cm.
3. Gaun steril.

Posisi dan monitoring


Ketika semua sudah siap, maka pasien diposisikan :
1. Siapkan pasien pada posisi prone.
2. Siapkan bantal dengan ukuran yang sesuai dibawah abdomen untuk mengkoreksi lordosis.
3. Buat pasien nyaman dengan posis kepala dan lengan rileks dan kedua lengan disamping kepala.
4. Pasang monitor standart sebagaimana direkomendasikan oleh American society of anesthesiologist
(ASA).
5. Persiapkan area kulit dengan betadine atau chlorhexidine dan draping steril.
Tahapan prosedur
1. Mulai C-arm pada posisi AP dengan tabung X-ray berada dibawah pasien.
2. Pertahankan area optimal antara pasien dengan image intensifier.
74
3. Gunakan mode brightness dan collimator otomatis jika tersedia.
4. Identifikasi sisi samping dan level nerve root yang akan diblok.
5. Ambil gambar AP dengan prosesus spinosus pada posisi midline. Luruskan endplate dari target
vertebral body dengan tilt craniocaudal. Untuk lumbar vertebrae atas, gerakkan image intensifier
kearah caudal, dan untuk lumbar vertebrae bawah gerakkan kearah cranial.
6. Target masuknya jarum pada posisi pukul 06.00 dari pedicle.
7. Infiltrasi kulit dengan lignocaine 1% dan tunggu 1 menit.
8. Jarum quincke no 22G diinsersikan sehingga menyentuh tulang diatas posisi pukul 06.00 dari
pedicle.
9. Kemudian ujung jarum di arahkan ke bawah pedicle dengan sedikit memutar jarum.
10. Pindahkan Carm ke posisi lateral. Penempatan ideal pada postero-superior quadran dari foramen.
11. Konfirmasi posisi jarum pada view AP, oblique dan lateral.
12. Aspirasi, jika aspirasi negative, injeksikan 0,5 mL kontras dan sebaran kontras akan menandai
hanya pada nerve root.
13. Setelah memastikan jarum tidak berada pada intravascular, maupun intraneural, injeksikan
lignocaine 1% atau bupivacaine 0,25% untuk prosedur diagnostik.
14. Injeksikan 40 mg depot steroid untuk terapi.
15. Jika setelah dilakukan blok diagnostik dengan agen anestesi lokal yang berbeda bisa menurunkan
80% atau lebih penurunan skala nyeri, tetapi nyeri tidak berubah setelah pemberian steroid maka
direncanakan untuk tindakan radiofrekuensi ablasi pada dorsal root ganglion (DRG) untuk lumbar
radikulopati.

Pulsed radiofrekuensi ablasi untuk DRG :


1. Jarum RF lurus atau bengkok ukuran 22G, 10 cm, 2 mm active tip diletakkan pada posisi yang
sama dengan cara diatas.
2. Stimulasi sensorik dikerjakan dengan frekuensi 50 HZ dan 0,5 V dan harus menghasilkan
paresthesia atau nyeri sepanjang lokasi asal nyeri.
3. Kemudian stimulasi motorik dikerjakan dengan frekuensi 2 HZ dengan voltage 2 kali sebelumnya
dan akan menghasilkan kontraksi otot. Hal ini disebut dengan sensory motor dis association.
4. Pulse radiofrekuensi DRG dikerjakan selama 120 detik dengan suhu 40 derajat selama tiga siklus.
5. Injeksikan depot steroid dan pindahkan jarum RF.
6. Pindah ke ruang paska prosedur.

Protokol paska prosedur :


Pasien harus dimonitor di ruang paska tindakan selama minimal 2 jam.
1. Monitor tanda vital setiap 10 menit selama 30 menit pertama dan setiap 30 menit selama 1,5 jam
berikutnya.
2. Monitor untuk onset awal dari kelemahan otot.
3. Periksa adanya perdarahan baru.
4. Cek control fungsi kandung kemih dan usus.
5. Ketika pasien sudah bebas sedasi dan dokter merasa bahwa pasien bisa menjaga diri, pasien bisa
pindah.

Efek samping dan komplikasi


Komplikasi meliputi :
1. Perdarahan.
2. Cedera saraf.
3. Injeksi masuk ke ruang intravascular, subdural, subarachnoid atau intraosseus.
4. Infeksi.
5. Neuritis.
6. Reaksi alergi.
75
7. Cedera jaringan lunak.
Ketika semua efek samping dan komplikasi disingkirkan, pasien bisa dipulangkan.

Nasehat saat pulang :


1. Nasehati pasien untuk membuat catatan nyeri.
2. Resepkan antibiotika dan analgesik sesuai protap.
3. Pada kasus dimana steroid digunakan, informasikan ke pasien bahwa terdapat kemungkinan nyeri
akan meningkat dalam 24-48 jam dan biasanya menurun setelah 48 jam.
4. Informasikan ke pasien bahwa tindakan RF membutuhkan waktu sekitar 3 minggu untuk
mempunyai efek menguntungkan.
5. Instruksikan kepada pasien bahwa tempat injeksi akan nyeri, kemudian adviskan untuk
memberikan kompres dengan es selama 2 hari.
6. Nasehatkan kepada pasien untuk tidak berkendara dan melakukan pekerjaan terlatih selama 24
jam.
7. Nasehatkan untuk tidak melakukan aktivitas berat selama 2 minggu.
8. Berikan nomor kontak untuk tindakan emergensi.

Lumbar Facet block

76
Nyeri facet pada regio lumbal merupakan merupakan penyebab paling sering dari low back pain pada
lansia. Fungsi lumbar sebagai pembatas pergerakan dan sebagai sendi penyangga tubuh, menyebabkan
bagian ini sebagai sumber utama nyeri.

Indikasi blok facet lumbal :


1. Arthropathy sendi facet
2. Low back pain yang kronis tanpa radikulopati dengan etiologi yang tidak jelas.
3. Sebagai upaya mencari sumber nyeri pada kasus failed back surgery syndrome.
4. Sebagai upaya mencari sumber nyeri pada kasus nyeri referral facet tanpa etiologi lokal yang jelas.

Kontraindikasi :
Terdapat suatu kondisi yang pasti bahwa prosedur ini harus dihindari atau disebut dengan
kontraindikasi absolut. Dan ada beberapa hal yang harus ditimbang lagi antara keuntungan dan
kerugiannya dimana jika keuntungannya lebih banyak maka prosedur ini bisa dilakukan dengan
perhatian khusus. Atau disebut juga dengan kontraindikasi relative.
A. Kontraindikasi absolut :
 Infeksi lokal atau sistemik.
 Koagulopati dan pasien dengan terapi antikoagulan tanpa adanya rekomendasi yang adekuat
untuk periode bebas obat.
 Tidak ada persetujuan.
B. Kontraindikasi relative meliputi :
 Kehamilan.
 Pasien tidak bisa berbaring.
 Pasien tidak kooperatif.
 Pasien dengan disfungsi kognitif yang berat.
 Alergi terhadap obat yang akan digunakan.
 Parameter vital yang tidak stabil.
 Riwayat pembedahan sebelumnya.
 Variasi anatomis.

Prosedur :
Pada kasus blok untuk sendi facet, ada 2 jenis prosedur yakni 1) prosedur diagnostik berupa injeksi
intraartikular dan blok medial branch dengan anestesi lokal, 2) prosedur terapi berupa injeksi steroid
intrartikular dan ablasi radiofrekuensi (RF) konvensional terhadap medial branch.
Prosedur diagnostik dengan blok pada medial branch mempunyai nilai prognostic lebih dalam
membantu kita untuk menjelaskan kepada pasien, apakah perlu dilakukan ablasi RF pada medial
branch, yang merupakan satu-satunya terapi yang tervalidasi untuk arhtropati sendi facet saat ini.

Persiapan yang dilakukan meliputi :


1. Singkirkan semua tanda bahaya : infeksi, tumor, fraktur, dan defisit neurologis yang signifikan.
2. Informed consent (sangat penting).
3. Pasien harus dijelaskan mengenai prosedur yang akan dikerjakan, meliputi:
a. Mengapa prosedur ini dilakukan.
b. Bagaimana melakukannya.
c. Apa yang diharapkan dari prosedur ini.
d. Efek samping dan komplikasi yang bisa terjadi.
e. Rencana tatalaksana selanjutnya tergantung dari hasil yang didapat.
f. Metode alternative lainnya yang tersedia.
g. Biaya yang dibutuhkan untuk prosedur ini.

77
4. Nilai status general dan kardiorespirasi pasien dengan konsultasi dan investigasi yang tepat
sebelum prosedur dilakukan.
5. Pemeriksaan dasar seperti profil koagulasi dan gula darah harus dilakukan.
6. Lakukan pemeriksaan foto rontgen lumbar untuk menyingkirkan kesulitan anatomis yang akan
dihadapi saat prosedur dilakukan.
7. Pada pasien dengan pacemaker dan alat implantasi dan direncanakan untuk prosedur ablasi RF,
advis tehnik harus diperoleh dari dokter yang bertanggung jawab atau perusahaan yang membuat.
8. Pastikan administrasi keuangan sebelum pasien MRS.
9. Sarankan untuk puasa sebelum prosedur dilakukan.
10. Sarankan untuk datang bersama keluarga/ada orang yang menemani pada hari prosedur dilakukan.

Persiapan pre-prosedural :
1. Konfirmasi identitas, diagnosis, consent, dan kejelasan prosedur.
2. Cek hasil lab dan studi radiologis yang dibutuhkan sebelum prosedur.
3. Infus intravena dengan surflo 20G telah terpasang pada lengan non-dominan.
4. Berikan antibiotika propilaktik sesuai protap.
5. Pasien bisa disedasi dengan midazolam atau propofol dosis titrasi atau terkadang bisa diberikan
opioid sehingga pasien bisa nyaman saat tindakan. Analgesik lebih baik dihindari saat prosedur
diagnostik.

Peralatan yang diperlukan saat tindakan :


1. C-arm dengan peralatan perlindungan dari radiasi.
2. Meja operasi yang sesuai dengan C-arm.
3. Locator metal.
4. Kasa steril.
5. Sarung tangan steril sesuai ukuran.
6. Betadine atau chlorhexidine untuk sterilisasi kulit.
7. Kain draping sterile.
8. Jarum no.26, 1,5 inci untuk infiltrasi kulit.
9. Spuit 2 cc untuk injeksi anestesi lokal.
10. Spuit 5 cc untuk injeksi kontras.
11. Spuit 5 cc untuk injeksi anestesi lokal dan steroid.
12. Spuit 10 cc untuk injeksi selective nerve root.
13. Lidocaine 1% untuk infiltrasi kulit.
14. Cairan kontras seperti iohexol atau iopomidol.
15. Lignocaine 1% atau bupivacaine 0,25% untuk injeksi diagnostik.
16. Depo steroid seperti Methylprednisolone atau triamcinolone.
17. Jarum quincke 22G, 88 atau 100 mm, dengan ujung bengkok 10 derajat berlawanan dengan bevel.
18. Selang ekstensi volume rendah.
19. Plester perekat.

Jika direncanakan RF, maka disiapkan :


1. Mesin RF dengan thermocouple yang sesuai.
2. Jarum RF yang lurus atau bengkok ukuran 20G, 10 cm, 5 mm.
3. Gaun steril.

Posisi dan monitoring


Ketika semua sudah siap, maka pasien diposisikan :
1. Siapkan pasien pada posisi prone.
2. Siapkan bantal dengan ukuran yang sesuai dibawah abdomen untuk mengkoreksi lordosis.
3. Buat pasien nyaman, dengan posisi kepala dan lengan rileks dan kedua lengan disamping kepala.
78
4. Pasang monitor standart sebagaimana direkomendasikan oleh American society of
anesthesiologist.
5. Palpasi titik nyeri dan konfirmasi hubungannya terhadap sendi facet dengan alat fluoroskopi.
6. Persiapkan area kulit dengan betadine atau chlorhexidine dan draping steril.

Tahapan prosedur injeksi intraartikular


1. Mulai C-arm pada posisi AP dengan tabung X-ray berada dibawah pasien.
2. Pertahankan area yang optimal antara pasien dengan image intensifier.
3. Gunakan mode brightness dan collimator otomatis jika tersedia.
4. Identifikasi sisi samping dan level facet yang akan diblok.
5. Ambil gambar AP dengan prosesus spinosus tepat di tengah. Luruskan endplate dari target
vertebral body dengan tilt ke craniocaudal. Untuk lumbar facet bagian atas, gerakkan image
intensifier kearah caudal, dan untuk lumbar facet bawah, gerakkan kearah cranial.
6. Putar Carm oblique ipsilateral sekitar 20-30 derajat hingga garis sendi facet terbuka dan bisa
diidentifikasi bagian scottie dog.
7. Titik masuknya jarum pada bagian medial dari 1/3 inferior articular process. Infiltrasi dengan
lignocaine 1% dengan jarum 26G hypodermic dan tunggu selama 1 menit.
8. Jarum no 22G, 88 atau 100 mm diinsersikan ke arah target dan diperbolehkan menyentuh bagian
inferior dari pilar articular dan kemudian digeser ke arah sendi. Masuknya jarum ke dalam sendi
terasa seperti pop/letusan.
9. Posisi bisa dikonfirmasi dengan menggerakkan C arm ke sudut yang berbeda untuk konfirmasi
posisi jarum atau dengan injeksi kontras 0,25 ml.
10. Pindahkan Carm ke posisi lateral untuk menyingkirkan kemungkinan jarum masuk ke
transforamina. Kemudian gambar AP diambil untuk mengkonfirmasi ujung jarum.
11. Konfirmasi posisi jarum pada view AP, oblique dan lateral.
12. Ketika posisi needle sudah dikonfirmasi kemudian injeksikan 1-1,5 mL lignocaine 1% atau
bupivacaine 0,25% untuk tujuan diagnostik.
13. Injeksikan 40 mg depot steroid untuk tujuan terapi.
14. Tarik jarum dan tutup dengan plester steril.

Blok medial branch :


1. Tahapannya sama dengan injeksi intrartikular hingga vertebra terbuka.
2. Tilt ipsilateral oblique dari image intensifier hingga sendi facet terletak midline pada vertebral
endplate.
3. Bagian scottie dog teridentifikasi. Bagian telinga dibentuk oleh procesus articular superior, kepala
oleh pedikel, kaki depan oleh processus articular inferior dan leher oleh pars interartikularis, tubuh
oleh lamina.
4. Titik masuknya jarum diarahkan ke telinga dari scottie dog.
5. Pada kasus sendi L5-S1, pedikel tidak ada pada S1 dan rutinnya blok medial branch diarahkan ke
mata dari scottie dog yang tidak tampak pada scarum, diganti ke arah lekukan (groove) pada
sambungan processus articular superior dengan ala sacrum.
6. Infiltrasi kulit dengan lignocaine 1% dengan jarum 26G hypodermic dan tunggu selama 1 menit
7. Jarum no 22G, 88 atau 100 mm diinsersikan ke arah target.
8. Ketika target tercapai, konfirmasi dengan menggerakkan C arm ke sudut yang berbeda untuk
konfirmasi posisi jarum atau dengan injeksi kontras 0,25 ml iohexol setelah aspirasi negatif.
9. Pindahkan Carm ke posisi lateral untuk menyingkirkan kemungkinan jarum masuk ke
transforamina.
10. Kemudian arahkan C arm ke posisi AP untuk konfirmasi posisi jarum pada sambungan processus
articular superior dengan processus transversus.
11. Konfirmasi posisi jarum pada view AP, oblique dan lateral.

79
12. Ketika posisi needle sudah dikonfirmasi kemudian injeksikan 0,5 mL lignocaine 1% atau
bupivacaine 0,25%.
13. Tarik jarum dan tutup dengan plester steril.

Jika kontrol ganda diagnostik blok facet dengan blok medial branch atau medial branch kombinasi
dengan blok intrartikular dengan lokal anestesi yang berbeda bisa menurunkan 80% atau lebih
penurunan skala nyeri, direncanakan untuk tindakan radiofrekuensi ablasi pada medial branch.

Prosedur RF konvensional :
1. Pada kasus ablasi RF, tidak perlu end on view jarum. Biasanya dicoba untuk menempatkan jarum
parallel terhadap saraf medial. Masuknya jarum satu segmen dibawah dan lateral terhadap titik
target.
2. Jarum RF lurus atau bengkok ukuran 22G, 10 cm, 2 mm.
3. Awalnya jarum diarahkan ke prosesus transversus dan ketika mengenai prosesus transversus,
jarum digeser perlahan ke arah superior articular process (SAP) dan akhirnya jarum ditempatkan
pada sambungan SAP dengan prosesus transversus.
4. Ketika sudah ditempatkan pada targetnya, image lateral diambil untuk menyingkirkan
kemungkinan masuk ke intraforamina. Ujung jarum harus terletak pada bagian middle lateral dari
leher SAP dengan demarkasi tulang antara ujung jarum dengan foramen intervertebral. Gambar
AP diambil untuk konfirmasi posisi jarum pada sambungan SAP dan prosesus transversus.
5. Setelah aspirasi negative, injeksikan 0,25 mL kontras.
6. Stimulasi sensori dikerjakan dengan frekuensi 50 HZ dan 0,6 V dan akan menghasilkan
paresthesia atau nyeri sepanjang lokasi asal nyeri.
7. Kemudian stimulasi motor dilakukan dengan frekuensi 2 HZ dengan 2 V dan akan menghasilkan
kontraksi otot multifidus dan bukan lower limb. Jika kontraksi dihasilkan pada tungkai itu berarti
jarum terlalu dekat dengan segmental nerve dan jarum harus direposisi.
8. Injeksikan 1 mL lignocaine 1% dan tunggu 2 menit ketika posisi jarum sudah dikonfirmasi.
9. RF konvensional dikerjakan dengan suhu 80 derajat selama 90 detik hingga 3 siklus dengan
merotasi arah jarum.
10. Ketika satu siklus selesai, injeksikan 10 mg depomedrol sebelum mencabut jarum.
11. Pasang plester steril.
12. Pindah ke ruang paska prosedur.

Protocol paska prosedur :


Pasien harus dimonitor di ruang paska tindakan selama minimal 2 jam.
1. Monitor tanda vital setiap 10 menit selama 30 menit pertama dan setiap 30 menit selama 1,5 jam
berikutnya.
2. Monitor untuk onset awal dari kelemahan otot.
3. Periksa adanya perdarahan baru.
4. Cek control fungsi kandung kemih dan usus.
5. Ketika pasien sudah bebas sedasi dan dokter merasa bahwa pasien bisa menjaga diri, pasien bisa
pindah.

Efek samping dan komplikasi


Efek samping terjadi pada blok sendi multiple, menyebabkan hilangnya proprioseptif dari punggung
menyebabkan ataxia.
Komplikasi meliputi :
1. Perdarahan.
2. Cedera saraf.
3. Injeksi ke transforamina menyebabkan penyebaran obat ke epidural sehingga mengganggu nilai
diagnostik.

80
4. Infeksi.
5. Reaksi alergi.
6. Cedera jaringan lunak.
7. Neuritis.
Ketika semua efek samping dan komplikasi disingkirkan, pasien bisa dipulangkan.

Nasihat saat pulang :


1. Nasehati pasien untuk membuat catatan nyeri.
2. Resepkan antibiotika dan analgesik sesuai protap.
3. Pada penggunaan steroid, informasikan ke pasien bahwa terdapat kemungkinan nyeri akan
meningkat dalam 24-48 jam dan biasanya menurun setelah 48 jam.
4. Informasikan ke pasien bahwa tindakan RF membutuhkan waktu sekitar 3 minggu untuk
mendapatkan efek menguntungkan.
5. Instruksikan kepada pasien bahwa tempat injeksi akan sangat nyeri, kemudian adviskan untuk
memberikan kompres dengan es selama 2 hari kemudian kompres hangat hingga pasien merasa
baik.
6. Nasehatkan kepada pasien untuk tidak berkendara dan melakukan pekerjaan terlatih selama 24
jam.
7. Nasehatkan untuk tidak melakukan aktivitas berat selama 2 minggu.
8. Berikan nomor kontak untuk tindakan emergensi.

81
Lumbar Rami Communicans Block

Kerusakan diskus internal merupakan penyebab low back pain paling sering pada usia muda. Banyak
pilihan terapi yang telah dicoba tetapi hanya blok lumbar rami communican yang terbukti secara
ilmiah sejauh ini.

Indikasi :
1. Nyeri diskogenik.
2. Fraktur vertebrae.
3. Low back pain tanpa radikulopati dengan etiologi yang tidak jelas.
4. Sebagai upaya mencari pusat penghasil nyeri pada kasus failed back surgery syndrome.

Kontraindikasi :
Terdapat suatu kondisi yang pasti bahwa prosedur ini harus dihindari atau disebut dengan
kontraindikasi absolut. Dan ada beberapa hal yang harus ditimbang lagi antara keuntungan dan
kerugiannya dimana jika keuntungannya lebih banyak maka prosedur ini bisa dilakukan dengan
perhatian khusus. Atau disebut juga dengan kontraindikasi relative.
A. Kontraindikasi absolut :
 Infeksi lokal atau sistemik.
 Koagulopati dan pasien dengan terapi antikoagulan tanpa adanya rekomendasi yang adekuat
untuk periode bebas obat.
 Tidak ada persetujuan.
B. Kontraindikasi relative meliputi :
 Kehamilan.
 Pasien tidak bisa berbaring.
 Pasien tidak kooperatif.
 Pasien dengan disfungsi kognitif yang berat.
 Alergi terhadap obat yang akan digunakan.
 Parameter vital yang tidak stabil.
 Riwayat pembedahan sebelumnya.
 Variasi anatomis.

Prosedur :
Pada kasus blok rami komunikan, terdapat dua prosedur yang dikerjakan. 1) blok diagnostik dengan
anestesi lokal atau 2) prosedur terapi dengan injeksi steroid dan ablasi radiofrekuensi (RF).

Persiapan yang dilakukan meliputi :


1. Singkirkan semua tanda bahaya : infeksi, trauma, tumor, dan defisit neurologis yang signifikan.
2. Informed consent (sangat penting).
3. Pasien harus dijelaskan mengenai prosedur yang akan dikerjakan, meliputi:
a. Mengapa prosedur ini dilakukan?
b. Bagaimana melakukannya?
c. Apa yang diharapkan dari prosedur ini?
d. Efek samping dan komplikasi yang bisa terjadi.
e. Rencana tatalaksana selanjutnya tergantung dari hasil yang didapat.
f. Metode alternative lainnya yang tersedia.
g. Biaya yang dibutuhkan untuk prosedur ini.
4. Nilai status general dan kardiorespirasi pasien dengan konsultasi dan investigasi yang tepat
sebelum prosedur dilakukan.
5. Pemeriksaan dasar seperti profil koagulasi dan gula darah harus dilakukan.

82
6. Lakukan pemeriksaan foto rontgen lumbar untuk menyingkirkan kesulitan anatomis yang akan
dihadapi saat prosedur dilakukan.
7. Pada pasien dengan pacemaker dan alat implantasi dan direncanakan untuk prosedur ablasi RF,
advis tehnik harus diperoleh dari dokter yang bertanggung jawab atau perusahaan yang membuat.
8. Pastikan administrasi keuangan sebelum pasien MRS.
9. Sarankan untuk puasa sebelum prosedur dilakukan.
10. Sarankan untuk datang bersama keluarga/ada orang yang menemani pada hari prosedur dilakukan.

Persiapan pre-prosedural :
1. Konfirmasi identitas, diagnosis, consent, dan kejelasan prosedur.
2. Cek hasil lab dan studi radiologis yang dibutuhkan sebelum prosedur.
3. Infus intravena dengan surflo 20G telah terpasang pada lengan non-dominan.
4. Berikan antibiotika propilaktik sesuai protap.
5. Berikan preload kristaloid seperti RL sebanyak 500 mL.
6. Pasien bisa disedasi dengan midazolam atau propofol dosis titrasi atau terkadang bisa diberikan
opioid sehingga pasien bisa nyaman saat tindakan. Analgesik lebih baik dihindari saat prosedur
diagnostik.

Peralatan yang diperlukan saat tindakan :


1. C-arm dengan peralatan perlindungan dari radiasi.
2. Meja operasi yang sesuai dengan C-arm.
3. Locator metal.
4. Kasa steril.
5. Sarung tangan steril sesuai ukuran.
6. Betadine atau chlorhexidine untuk sterilisasi kulit.
7. Kain draping sterile.
8. Jarum no.26, 1,5 inci untuk infiltrasi kulit.
9. Spuit 2 cc untuk injeksi anestesi lokal.
10. Spuit 5 cc untuk injeksi kontras.
11. Spuit 10 cc untuk blok rami komunikan.
12. Lidocaine 1% untuk infiltrasi kulit.
13. Cairan kontras seperti iohexol atau iopomidol.
14. Lignocaine 1% atau bupivacaine 0,25% untuk prosedur diagnostik.
15. Depot steroid seperti Methylprednisolone atau triamcinolone.
16. Jarum quincke 22G, 88 atau 100 mm, dengan ujung bengkok 10 derajat berlawanan dengan bevel.
17. Selang ekstensi volume rendah.
18. Plester perekat.

Jika direncanakan RF, maka disiapkan :


1. Mesin RF dengan thermocouple yang sesuai.
2. Jarum RF yang lurus atau bengkok ukuran 20G, 10 cm, 10 mm ujung aktif.
3. Gaun steril.

Posisi dan monitoring


Ketika semua sudah siap, maka pasien diposisikan :
1. Siapkan pasien pada posisi prone.
2. Siapkan bantal dengan ukuran yang sesuai dibawah abdomen untuk mengkoreksi lordosis.
3. Buat pasien nyaman, dengan posisi kepala dan lengan rileks dan kedua lengan disamping kepala.
4. Pasang monitor standart sebagaimana direkomendasikan oleh American society of
anesthesiologist.
5. Persiapkan area kulit dengan betadine atau chlorhexidine dan draping steril.
83
Tahapan prosedur :
1. Mulai dengan C-arm pada posisi AP dengan tabung X-ray berada dibawah pasien.
2. Pertahankan area yang optimal antara pasien dengan image intensifier.
3. Gunakan mode brightness dan collimator otomatis jika tersedia.
4. Identifikasi sisi samping dan level vertebral body yang akan diblok.
5. Ambil gambar AP dengan prosesus spinosus tepat di tengah.
6. Luruskan endplate dari target vertebral body dengan memutar image intensifier ke cranial atau ke
caudal. Untuk lumbar bagian atas, gerakkan image intensifier kearah caudal, dan untuk lumbar
bawah, gerakkan kearah cranial.
7. Putar image intensifier oblique ke sisi ipsilateral sekitar hingga bagian anterolateral dari vertebral
body tampak.
8. Titik masuknya jarum di bawah prosesus transversus dan medial terhadap batas lateral dari
vertebral body yang mengarah ke bagian tengah dari vertebral body.
9. Jika prosesus transversus sudah tampak pada bagian tengah dari vertebral body, tilt kearah
craniocaudal untuk menggerakkan prosesus transversus ke sepertiga atas vertebral body.
10. Injeksikan lignocaine 1% pada titik masuknya jarum dan tunggu selama 1 menit.
11. Jarum quincke 22G, 15 cm diinsersikan pada view akhir dari prosesus transversus menuju bagian
tengah vertebral body.
12. Ujung jarum diarahkan menuju bagian medial dari sisi lateral vertebral body. Jarum menyentuh
vertebral body. Kemudian putar jarum ke lateral dan coba menggeser (slip off) vertebral body.
13. Putar Carm ke posisi lateral dan tusukkan makin jauh ke bagian tengah vertebral body.
14. Konfirmasi posisi jarum pada view AP, oblique dan lateral.
15. Aspirasi negative, injeksikan kontras 0,5 mL. Kontras akan menyebar ke anterior dari garis facet
dan parallel terhadap jarum.
16. Setelah memastikan posisi jarum tidak masuk intravascular atau intraspinal, injeksikan 2 mL
lignocaine 1% atau bupivacaine 0,25%.
17. Tarik jarum dan tutup dengan plester steril.
18. Monitor selama 10 menit untuk mengantisipasi kejadian hipotensi selama di ruang tindakan dan
pindahkan ke ruang paska tindakan untuk observasi selama 2 jam.
19. Ketika 2 blok dianostik positif, lanjutkan ke prosedur terapeutik.
20. Depot steroid seperti methylprednisolone bisa diberikan untuk meredakan nyeri sementara sekitar
3 minggu hinggga 3 bulan.

Jika control ganda blok diagnostik dengan anestesi lokal yang berbeda bisa menurunkan 80% atau
lebih penurunan skala nyeri maka direncanakan untuk tindakan radiofrekuensi ablasi pada rami
komunikan.

Prosedur RF konvensional :
1. Jarum RF ukuran 20G, 10 cm, 10 mm diinsersikan seperti pada prosedur diagnostik.
2. Konfirmasi posisi jarum pada posisi lateral, oblique dan AP.
3. Stimulasi sensori dikerjakan dengan frekuensi 50 HZ dan 0,6 V dan akan menghasilkan
paresthesia atau nyeri sepanjang lokasi asal nyeri.
4. Kemudian stimulasi motor dilakukan dengan frekuensi 2 HZ dengan 2 V dan jangan menghasilkan
kontraksi apapun. Jika kontraksi dihasilkan pada tungkai itu berarti ujung jarum dekat dengan
saraf somatic dan jarum harus diarahkan ke anterior.
5. Injeksikan 1 mL lignocaine 1% dan tunggu 1 menit ketika posisi jarum sudah dikonfirmasi.
6. RF konvensional dikerjakan dengan suhu 60 derajat selama 60 detik hingga 3 siklus.
7. Ketika satu siklus selesai, injeksikan depot steroid dan cabut jarum.
8. Pasang plester steril.
9. Pindah ke ruang paska prosedur.

84
Protocol paska tindakan :
Pasien harus dimonitor di ruang paska tindakan selama minimal 2 jam.
1. Monitor tanda vital setiap 10 menit selama 30 menit pertama dan setiap 30 menit selama 1,5 jam
berikutnya.
2. Monitor untuk onset awal dari kelemahan otot.
3. Periksa adanya perdarahan baru.
4. Cek control fungsi kandung kemih dan usus.
5. Ketika pasien sudah bebas sedasi dan dokter merasa bahwa pasien bisa menjaga diri, pasien bisa
pindah.

Efek samping meliputi :


1. Hipotensi.
2. Gangguan kemih dan pergerakan usus yang bersifat hilang timbul.
3. Disfungsi seksual yang bersifat hilang timbul.

Komplikasi meliputi :
1. Perdarahan.
2. Cedera saraf.
3. Injeksi intraspinal.
4. Injeksi intradiskus.
5. Injeksi intravaskular.
6. Infeksi.
7. Neuritis.
8. Reaksi alergi.
9. Cedera jaringan lunak.
Ketika semua efek samping dan komplikasi disingkirkan, pasien bisa dipulangkan.

Nasihat saat pulang :


1. Nasehati pasien untuk membuat catatan nyeri.
2. Resepkan antibiotika dan analgesik sesuai protap.
3. Pada penggunaan steroid, informasikan ke pasien bahwa terdapat kemungkinan nyeri akan
meningkat dalam 24-48 jam dan biasanya menurun setelah 48 jam.
4. Informasikan ke pasien bahwa tindakan RF membutuhkan waktu sekitar 3 minggu untuk
mendapatkan efek menguntungkan.
5. Instruksikan kepada pasien bahwa tempat injeksi akan sangat nyeri, kemudian adviskan untuk
memberikan kompres dengan es selama 2 hari kemudian kompres hangat hingga pasien merasa
baik.
6. Nasehatkan kepada pasien untuk tidak berkendara dan melakukan pekerjaan terlatih selama 24 jam.
7. Nasehatkan untuk tidak melakukan aktivitas berat selama 2 minggu.
8. Berikan nomor kontak untuk tindakan emergensi.

85
Lumbar Sympathetic Nerve Block

Block pada system simpatis lumbar sangat berguna pada banyak kondisi dimana pemotongan jaras
simpatis yang berlebih menguntungkan pada pasien seperti gangguan vascular atau dalam kondisi
nyeri kronis sumber utama nyeri berasal dari system saraf simpatis.
Indikasi blok system simpatis lumbar meliputi :
1. Kondisi sangat nyeri dari :
a. Complex regional pain syndrome tipe I dan II pada ekstremitas bawah.
b. Nyeri kanker termasukk kanker pelvis dan ekstremitas bawah.
c. Herpes zoster yang melibatkan ekstremitas bawah.
d. Nyeri paska amputasi.
e. Nyeri phantom limb.
f. Phlegmasia alba dolens.
g. Erythromelalgia.
h. Nyeri diskogenik dengan radiasi pseudosciatica.
i. Neuropati diabetes.
j. Nyeri yang dimediasi oleh simpatis dari berbagai sumber nyeri.
2. Gangguan vascular perifer.
a. Atheriosclerotic vascular disesase.
b. Reynaud’s phenomena and disease.
c. Burger’s disease.
d. Lower limb embolism.
e. Periode perioperative pada pembedahan vascular dan orthopedic.
f. Frostbite.
3. Lain-lain :
a. Hyperhidrosis.
b. Prognosis dari SCS.

Kontraindikasi :
Terdapat suatu kondisi yang pasti bahwa prosedur ini harus dihindari atau disebut dengan
kontraindikasi absolut. Dan ada beberapa hal yang harus ditimbang lagi antara keuntungan dan
kerugiannya dimana jika keuntungannya lebih banyak maka prosedur ini bisa dilakukan dengan
perhatian khusus. Atau disebut juga dengan kontraindikasi relative.
A. Kontraindikasi absolut :
 Infeksi lokal atau sistemik.
 Koagulopati dan pasien dengan terapi antikoagulan tanpa adanya rekomendasi yang adekuat
untuk periode bebas obat.
 Tidak ada persetujuan.
B. Kontraindikasi relative meliputi :
 Kehamilan.
 Pasien tidak bisa berbaring.
 Pasien tidak kooperatif.
 Pasien dengan disfungsi kognitif yang berat.
 Alergi terhadap obat yang akan digunakan.
 Parameter vital yang tidak stabil.
 Riwayat pembedahan sebelumnya.
 Variasi anatomis.
 Riwayat gagal block symphatetik sebelumnya.

86
Prosedur :
Pada kasus blok simpatis lumbar, terdapat dua prosedur yang dikerjakan. 1) prosedur diagnostik yakni
blok simpatis lumbar dengan anestesi lokal atau 2) prosedur terapi dengan injeksi steroid dan ablasi
radiofrekuensi (RF) konvensional atau neurolisis dengan alcohol atau phenol.

Persiapan yang dilakukan meliputi :


1. Singkirkan semua red flag : infeksi, tumor, fraktur dan defisit neurologis yang signifikan.
2. Informed consent (sangat penting).
3. Pasien harus dijelaskan mengenai prosedur yang akan dikerjakan, meliputi:
a. Mengapa prosedur ini dilakukan.
b. Bagaimana melakukannya.
c. Apa yang diharapkan dari prosedur ini.
d. Efek samping dan komplikasi yang bisa terjadi.
e. Rencana tatalaksana selanjutnya tergantung dari hasil yang didapat.
f. Metode alternative lainnya yang tersedia.
g. Biaya yang dibutuhkan untuk prosedur ini.
4. Nilai status general dan kardiorespirasi pasien dengan konsultasi dan investigasi yang tepat
sebelum prosedur dilakukan.
5. Pemeriksaan dasar seperti profil koagulasi dan gula darah harus dilakukan.
6. Lakukan pemeriksaan foto rontgen lumbar untuk menyingkirkan kesulitan anatomis yang akan
dihadapi saat prosedur dilakukan.
7. Pada pasien dengan pacemaker dan alat implantasi dan direncanakan untuk prosedur ablasi RF,
advis tehnik harus diperoleh dari dokter yang bertanggung jawab atau perusahaan yang membuat.
8. Pastikan administrasi keuangan sebelum pasien MRS.
9. Sarankan untuk puasa sebelum prosedur dilakukan.
10. Sarankan untuk datang bersama keluarga/ada orang yang menemani pada hari prosedur dilakukan.

Persiapan pre-prosedural :
1. Konfirmasi identitas, diagnosis, consent, dan kejelasan prosedur.
2. Cek hasil lab dan studi radiologis yang dibutuhkan sebelum prosedur.
3. Infus intravena dengan surflo 20G telah terpasang pada lengan non-dominan.
4. Berikan antibiotika propilaktik sesuai protap.
5. Pasien bisa disedasi dengan midazolam atau propofol dosis titrasi atau terkadang bisa diberikan
opioid sehingga pasien bisa nyaman saat tindakan. Analgesik lebih baik dihindari saat prosedur
diagnostik.

Peralatan yang diperlukan saat tindakan :


1. C-arm dengan peralatan perlindungan dari radiasi.
2. Meja operasi yang sesuai dengan C-arm.
3. Locator metal.
4. Kasa steril.
5. Sarung tangan steril sesuai ukuran.
6. Betadine atau chlorhexidine untuk sterilisasi kulit.
7. Kain draping sterile.
8. Jarum no.26, 1,5 inci untuk infiltrasi kulit.
9. Spuit 2 cc untuk injeksi anestesi lokal.
10. Spuit 5 cc untuk injeksi kontras.
11. Spuit 10 cc untuk blok simpatis lumbar.
12. Lidocaine 1% untuk infiltrasi kulit.
13. Cairan kontras seperti iohexol atau iopomidol.
14. Lignocaine 1% atau bupivacaine 0,25% untuk prosedur diagnostik.
87
15. Depot steroid seperti Methylprednisolone atau triamcinolone.
16. Jarum quincke 22G, 12-15 cm, dengan ujung bengkok 10 derajat berlawanan dengan bevel.
17. Selang ekstensi volume rendah.
18. Plester perekat.

Jika direncanakan RF, maka disiapkan :


1. Mesin RF dengan thermocouple yang sesuai.
2. Jarum RF yang lurus atau bengkok ukuran 20/22G, 15 cm, 10 mm ujung aktif.
3. Gaun steril.

Jika direncanakan neurolisis


1. Alcohol 50-100%.
2. Phenol 6-10%.

Posisi dan monitoring


Ketika semua sudah siap, maka pasien diposisikan :
1. Siapkan pasien pada posisi prone.
2. Siapkan bantal dengan ukuran yang sesuai dibawah abdomen untuk mengkoreksi lordosis.
3. Buat pasien nyaman, dengan posisi kepala dan lengan rileks dan kedua lengan disamping kepala.
4. Pasang monitor standart sebagaimana direkomendasikan oleh American society of
anesthesiologist.
5. Persiapkan area kulit dengan betadine atau chlorhexidine dan draping steril.

Tahapan prosedur, blok diagnostik :


1. Mulai dengan C-arm pada posisi AP dengan tabung X-ray berada dibawah pasien.
2. Pertahankan area yang optimal antara pasien dengan image intensifier.
3. Gunakan mode brightness dan collimator otomatis jika tersedia.
4. Identifikasi sisi samping dan level vertebral body dan ganglia yang akan diblok.
5. Ambil gambar AP dengan prosesus spinosus tepat di tengah. Luruskan endplate dari target
vertebral body tilt craniocaudal. Untuk lumbar bagian atas, gerakkan image intensifier kearah
caudal, dan untuk lumbar bawah, gerakkan kearah cranial.
6. Putar image intensifier oblique ke sisi ipsilateral hingga ujung prosesus transversus hampir tidak
tampak di belakang sisi lateral dari vertebral body.
7. Titik masuknya jarum pada bagian medial dari sisi lateral vertebral body.
8. Untuk L2, L3 dan L4, jarum diarahkan ke 1/3 bawah, 1/3 atas dan 1/3 tengah dari vertebral body.
Biasanya L3 dipilih untuk mengetahui persebaran kontras melewati ganglia simpatis L2 – L4.
9. Injeksikan lignocaine 1% pada titik masuknya jarum dan tunggu selama 1 menit.
10. Jarum quincke 22G, 12 cm diinsersikan ke arah medial dari sisi lateral vertebral body.
11. Ketika ujung jarum mengenai bagian medial dari sisi lateral vertebral body, putar jarum sedikit ke
lateral dan menggeser vertebral body.
12. Putar C arm ke view lateral dan tusukkan makin jauh ke anterior sehingga menyentuh permukaan
lateral dari vertebral body.
13. Posisi akhir dari jarum adalah batas anterolateral vertebral body, anterior dari otot psoas yang bisa
dirasakan saat memasukkan jarum lebih dalam.
14. Konfirmasi posisi jarum pada view AP, oblique dan lateral.
15. Aspirasi negative, injeksikan iohexol 2 mL. kontras akan menyebar ke anteriolateral border
vertebra L2-L4 pada posisi segaris.
16. Setelah memastikan posisi jarum tidak masuk intradiskus atau intraspinal, injeksikan 8 mL
lignocaine 1% atau bupivacaine 0,25% untuk tujuan diagnostik.
17. Blok simpatis berhasil, jika :
a. Peningkatan suhu lebih dari 2 derajat.
88
b. Vasodilatasi.
c. Penurunan edema.
d. Tes objektif :
 Reflek simpatogalvanik.
 Test ninhydrin.
 Test cobalt blue.
 Test starch iodide.
18. 40 mg depomedrol ditambahkan untuk tujuan terapi.

Jika control ganda blok diagnostik dengan anestesi lokal yang berbeda bisa menurunkan 80% atau
lebih penurunan skala nyeri maka direncanakan untuk tindakan neurolisis atau radiofrekuensi ablasi.

Prosedur RF konvensional :
1. Jarum RF ukuran 22 G, 15 cm, 10 mm diinsersikan pada batas anteriolateral dari vertebral body
seperti pada tindakan diagnostik diatas.
2. Stimulasi sensori dikerjakan dengan frekuensi 50 HZ dan 0,6 V dan kadang-kadang menghasilkan
paresthesia atau nyeri sepanjang lokasi asal nyeri.
3. Kemudian stimulasi motor dilakukan dengan frekuensi 2 HZ dengan 2 V dan jangan menghasilkan
kontraksi motoric apapun.
4. Injeksikan 1 mL lignocaine 1% dan tunggu 2 menit ketika posisi jarum sudah dikonfirmasi.
5. RF konvensional dikerjakan dengan suhu 60 derajat pada tiap level selama 60-90 detik hingga 3
siklus dengan merotasi ujung jarum.
6. Injeksikan depotmedrol dan cabut jarum.
7. Pasang plester steril.

Prosedur Neurolisis
1. Alkohol 50-100% atau phenol 6-10% bisa digunakan.
2. Sebelum injeksi alcohol, injeksilan 2 mL lignocaine 1% dan tunggu selama 2 menit.
3. Phenol mempunyai fungsi anestesi lokal dan tidak perlu infiltrasi anestesi lokal.
4. Injeksikan 5-10 mL phenol atau alcohol dan flush jarum dengan saline atau udara.
5. Cabut jarum dan pasang plester steril.
6. Pindahkan ke ruang paska tindakan.

Protocol paska tindakan :


Pasien harus dimonitor di ruang paska tindakan selama minimal 2 jam.
1. Monitor tanda vital setiap 10 menit selama 30 menit pertama dan setiap 30 menit selama 1,5 jam
berikutnya.
2. Monitor untuk onset awal dari kelemahan otot.
3. Periksa adanya perdarahan baru.
4. Cek control fungsi kandung kemih dan usus.
5. Ketika pasien sudah bebas sedasi dan dokter merasa bahwa pasien bisa menjaga diri, pasien bisa
pindah.

Efek samping meliputi :


1. Hipotensi.
2. Gangguan kemih dan pergerakan usus yang bersifat hilang timbul.
3. Disfungsi seksual yang bersifat hilang timbul.

Komplikasi meliputi :
1. Perdarahan.
2. Robekan pada vena cava inferior.
89
3. Hematoma retroperitoneal.
4. Cedera saraf.
5. Puncture epidural atau subdural.
6. Injeksi intraosseus.
7. Injeksi intradiskus.
8. Penetrasi ke ginjal atau ureter.
9. Transient hematuria, kolik renal atau dysuria.
10. Impotensi dan ejakulasi retrograde.
11. Reaksi toksik obat yang diinjeksikan.
12. Infeksi.
13. Neuritis.
14. Reaksi alergi.
15. Cedera jaringan lunak.

Ketika semua efek samping dan komplikasi disingkirkan, pasien bisa dipulangkan.

Nasihat saat pulang :


1. Nasehati pasien untuk membuat catatan nyeri.
2. Resepkan antibiotika dan analgesik sesuai protap.
3. Pada penggunaan steroid, informasikan ke pasien bahwa terdapat kemungkinan nyeri akan
meningkat dalam 24-48 jam dan biasanya menurun setelah 48 jam.
4. Informasikan ke pasien bahwa tindakan RF membutuhkan waktu sekitar 3 minggu untuk
mendapatkan efek menguntungkan.
5. Informasikan ke pasien bahwa tindakan neurolisis membutuhkan waktu sekitar 1 minggu untuk
mendapatkan efek menguntungkan.
6. Instruksikan kepada pasien bahwa tempat injeksi akan sangat nyeri, kemudian adviskan untuk
memberikan kompres dengan es selama 2 hari kemudian kompres hangat hingga pasien merasa
baik.
7. Nasehatkan kepada pasien untuk tidak berkendara dan melakukan pekerjaan terlatih selama 24
jam.
8. Nasehatkan untuk tidak melakukan aktivitas berat selama 2 minggu.
9. Berikan nomor kontak untuk tindakan emergens.

90
Injeksi Sacro Iliac Joint

Sacroiliac joint adalah penyebab terbanyak ketiga pada nyeri punggung bagian bawah. Hal ini sering
terjadi pada pasien dengan spondyloarthropathy.

Anatomi:
Sacroiliac joint adalah sendi aksial terbesar dalam tubuh, terbentuk antara sakrum dan tulang iliac pada
kedua sisi. Sinovial joint dengan luas permukaan artikular dari 17,5 cm2 dan berbentuk seperti daun
auricular, pada laki-laki berbentuk C dan perempuan berbentuk L. Joint line memanjang dari S1-S3
dan kadang-kadang sampai S4. Permukaan sacral joint dilapisi oleh tulang rawan hialin dimana iliac
joint surface nya dilapisi oleh tulang rawan fibrosa. Dua pertiga bagian atas pada orang dewasa
menjadi jaringan fibrotik. Sacroiliac joint saat pubertas menyatu dan fix tidak dapat digerakkan di usia
60 tahun.
Pada wanita SI joint adalah masih dapat termobilisasi sampai menopause dan menjadi lebih fleksibel
saat kehamilan. SI joint berfungsi sebagai shock absorber dan sebagai peredam gaya yang besar dari
tubuh bagian atas ke bawah tubuh bagian bawah maupun sebaliknya. SI joint diperkuat oleh ligamen
yang kuat seperti anterior sacroiliac ligamen, interosea sacroiliac ligamen, posterior sacroiliac ligamen,
ligamen sacrotuberous, dan ligamen sacrospinous sebagai penunjang fungsi tersebut.
Bagian posterior SI joint di inervasi oleh cabang lateral dari L4-S3 ramus posterior dan anterior joint
nya diinervasi oleh Ramus L2-S2. Hal ini menyebabkan susahnya memblok semua saraf karena
mempunyai bagian yang kompleks.

Indikasi:
1. SI Joint arthropathy.
2. Nyeri punggung kronis tanpa radiculopathy dengan etiologi yang tidak diketahui.
3. Nyeri operasi pada bagian belakang.
4. Extraartikular pain dalam kasus kapsuler dan regangan ligamen atau robekan.

Kontraindikasi
Ada kondisi tertentu di mana prosedur harus dianggap sebagai kontraindikasi absolut. Dan ada kondisi
tertentu di mana manfaat harus dipertimbangkan terhadap risiko, dan ketika manfaat prosedur tersebut
lebih dari resiko yang dihadapi, maka prosedur dapat dilakukan.
A. Kontraindikasi absolut termasuk
 Infeksi lokal atau sistemik.
 Koagulopati dan pasien dengan terapi antikoagulan tanpa adanya rekomendasi yang adekuat
untuk periode bebas obat.
 Pasien menolak.

B. Kontraindikasi relatif termasuk


 Kehamilan.
 Pasien tidak bisa dalam posisi prone.
 Pasien tidak kooperatif.
 disfungsi kognitif berat.
 Alergi terhadap obat yang digunakan untuk prosedur.
 Hemodinamik tidak stabil.
 Riwayat operasi bagian belakang sebelumnya.
 variasi anatomi.

91
Prosedur:
Dapat digunakan sebagai sarana diagnostik dengan agen anestesi lokal maupun terapi dengan steroid
intra artikular dilakukan pada Sacroiliac joint blok, pada intraartikular atau posterior rami dari L5 dan
cabang lateral rami posterior dari S1-S3.

Persiapan:
Setelah diagnosis klinis dibuat dan direncanakan untuk prosedur ini, maka pasien siap untuk prosedur:
1. Evaluasi daerah lokasi adakah infeksi, tumor, fraktur dan defisit neurologis yang signifikan.
2. Informed dan persetujuan tertulis.
3. Pasien harus dijelaskan mengenai prosedur yang akan dikerjakan, meliputi:
A. Mengapa dilakukan?
B. Bagaimana itu dilakukan?
C. Apa yang diharapkan dari prosedur?
D. Komplikasi dan efek samping.
E. Rencana lebih lanjut dari tindakan dan tergantung pada hasil.
F. Alternatif tindakan jika tersedia.
G. Biaya prosedur.
4. Nilai status general pasien dan evaluasi status kardiorespirasi dengan Anamnesa dan pemeriksaan
fisik yang tepat sebelum melakukan prosedur.
5. Pemeriksaan mendasar sebelum tindakan termasuk pemeriksaan gula darah dan profil koagulasi.
6. Persiapan radiologis yaitu foto pelvis apabila terdapat anatomi yang bermasalah.
7. Perjelas masalah pembiayaan pasien.
8. Puasakan pasien sebelum tindakan.
9. Pasien harus membawa anggota keluarga saat hari dilakukan tindakan.

Pre prosedural protokol


1. Pastikan identitas pasien, diagnosis dan informed concern.
2. Evaluasi kelengkapan data laboratorium dan radiologi.
3. Pasang IV line.
4. Kalau perlu berikan antibiotik profilaksis.
5. Pasien dapat diberikan midazolam atau propofol secara titrasi untuk sedasi bahkan diberi opioid
agar pasien dapat nyaman saat dilakukan tindakan.

Peralatan yang diperlukan saat tindakan :


1. C Arm.
2. Meja operasi yang kompatibel dengan C Arm.
3. Marker besi.
4. Alat-alat steril.
5. Handscoon.
6. Betadine/chlorhexidine.
7. Needle 26G.
8. Spuit 3cc untuk infiltrasi lokal anestesi.
9. Spuit 5cc untuk injeksi bahan kontras.
10. Lidokain 1-2% untuk infiltrasi kulit.
11. Cairan kontras (lopamiro atau sejenisnya).
12. Lidocaine 1% atau bupivacaine 0,25% untuk keperluan diagnostik.
13. Steroid (triamcynolone 40mg/cc atau metylprednisolone).
14. Needle 22G, 88/100 mm.
15. Extention tube kecil.
16. Perekat/plester.

92
Posisi dan monitoring:
1. Tempatkan pasien dalam posisi prone.
2. Ganjal bantal yang ukurannya sesuai di bawah iliac crest untuk mengangkat posisi lumbal.
3. Posisikan kepala dan kaki pasien dengan anyaman, serta posisikan kedua lengan di sisi kepala.
4. Pasang monitor standard yang direkomendasikan.
5. Desinfeksi dengan betadine/chlorhexidine dan lakukan draping steril.

Langkah Prosedur:
Injeksi intraartikular:
1. Start dengan C arm posisi AP.
2. Posisikan secara optimal antara pasien, operator, dan radiografer.
3. Gunakan modus brightness otomatis dan colimator jika tersedia di panel kontrol.
4. Ambil gambar AP untuk menemukan SI joint.
5. SI joint tampak memiliki tiga untuk empat baris sendi. dua baris sejajar dengan permukaan sendi
anterior dan dua garis lainnya sesuai dengan permukaan sendi bagian posterior.
6. Geser C arm ke arah cranial sehingga endplate dari L5 vertebra terlihat samapi bawah.
7. Geser C arm mengarah oblique ke contralateralnya sampai bagian inferior dari permukaan sendi
terbuka, sehingga anterior dan posterior garis sendi terlihat dalam satu bagian.
8. Entry point ditargetkan bagian inferior dari sendi.
9. Infiltrasi dengan 1% lignocaine kulit dan tunggu selama 1 menit.
10. jarum Quincke 22 G, 88-100 mm, ditusukan 10 derajat mengarah ke target injeksi.
11. Jarum arahkan ke batas medial tulang, dengan bevel menghadap ke medial sampai membentur
tulang, kemudian bevel diputar ke arah lateral dan jarum akan masuk ke joint space nya dan
sampai terasa seperti “pop”.
12. Putar C arm di sudut yang berbeda untuk mengkonfirmasi intraartikular atau dilakukan
penyuntikkan 0,5-1 mL kontras setelah dilakukan aspirasi untuk mengkonfirmasi posisi jarum di
mana kontras akan menyebar di sepanjang permukaan sendi.
13. konfirmasi posisi jarum dengan foto AP, oblique dan lateral.
14. injeksi 3-5 mL lignocaine 1% atau 0,25% bupivacaine disuntikkan untuk diagnostik.
15. injeksi 3-5 ml dari 1% lignocaine dan 40 mg methylprednisolone untuk terapeutik.
16. Dressing steril.
17. Pindah RR.

Monitoring di ruang pulih sadar


a. Evaluasi tanda-tanda vital setiap 10 menit untuk 30 menit pertama dan setiap 30 menit selama 1,5
jam berikutnya.
b. Evaluasi tanda-tanda kelemahan otot.
c. Evaluasi adakah tanda perdarahan.
d. Evaluasi daerah bladder dan bowel.
e. Pasien dapat dipulangkan bila sudah lepas sedasi.

Efek samping dan komplikasi


Komplikasi meliputi :
1. Perdarahan.
2. Cedera saraf.
3. Injeksi masuk ke ruang intravascular, subdural, subarachnoid atau intraosseus.
4. Infeksi.
5. Neuritis.
6. Reaksi alergi.
7. Cedera jaringan lunak.
8. Ketika semua efek samping dan komplikasi disingkirkan, pasien bisa dipulangkan.
93
Nasehat saat pulang :
1. Nasehati pasien untuk membuat catatan nyeri.
2. Resepkan antibiotika dan analgesik sesuai protap.
3. Pada kasus dimana steroid digunakan, informasikan ke pasien bahwa terdapat kemungkinan nyeri
akan meningkat dalam 24-48 jam dan biasanya menurun setelah 48 jam.
4. Informasikan ke pasien bahwa tindakan RF membutuhkan waktu sekitar 3 minggu untuk
mempunyai efek menguntungkan.
5. Instruksikan kepada pasien bahwa tempat injeksi akan nyeri, kemuidan adviskan untuk
memberikan kompres dengan es selama 2 hari.
6. Nasehatkan kepada pasien untuk tidak berkendara dan melakukan pekerjaan terlatih selama 24
jam.
7. Nasehatkan untuk tidak melakukan aktivitas berat selama 2 minggu.
8. Berikan nomor kontak untuk tindakan emergensi.

94
Blok Epidural Kaudal

Injeksi Epidural kaudal paling sering dilakukan oleh dokter untuk menanggulangi rasa nyeri punggung
bagian bawah.

Indikasi blok epidural caudal meliputi:


1. Diskus herniasi dengan atau tanpa radikulopati dibawah segmen L4.
2. Diskogenik pain di bawah segmen L4.
3. Radikulopati di bawah segmen L4.
4. Coccydinia.
5. Spondylolisthesis dibawah segmen L4.
6. Spinal canal stenosis.
7. Failed back surgery sindrome.
8. Epidurolisis.

Kontraindikasi :
Terdapat suatu kondisi yang pasti bahwa prosedur ini harus dihindari atau disebut dengan
kontraindikasi absolut. Dan ada beberapa hal yang harus ditimbang lagi antara keuntungan dan
kerugiannya dimana jika keuntungannya lebih banyak maka prosedur ini bisa dilakukan dengan
perhatian khusus. Atau disebut juga dengan kontraindikasi relative.

Kontraindikasi absolut :
1. Infeksi lokal atau sistemik.
2. Koagulopati dan pasien dengan terapi antikoagulan tanpa adanya rekomendasi yang adekuat untuk
periode bebas obat.
3. Tidak ada persetujuan.

Kontraindikasi relative meliputi :


1. Kehamilan.
2. Pasien tidak bisa berbaring.
3. Pasien tidak kooperatif.
4. Pasien dengan disfungsi kognitif yang berat.
5. Alergi terhadap obat yang akan digunakan.
6. Parameter vital yang tidak stabil.
7. Riwayat pembedahan sebelumnya.
8. Variasi anatomis.

Prosedur :
Pada kasus blok epidural caudal, prosedur diagnostik dengan injeksi lokal anestesi atau prosedur terapi
dengan steroid atau dengan hipertonik saline dengan hyaluronidase.

Persiapan yang dilakukan meliputi :


1. Singkirkan semua red flag : infeksi, tumor, fraktur, dan defisit neurologis yang signifikan.
2. Informed consent (sangat penting).
3. Pasien harus dijelaskan mengenai prosedur yang akan dikerjakan, meliputi:
a. Mengapa prosedur ini dilakukan.
b. Bagaimana melakukannya.
c. Apa yang diharapkan dari prosedur ini.
d. Efek samping dan komplikasi yang bisa terjadi.
e. Rencana tatalaksana selanjutnya tergantung dari hasil yang didapat.
f. Metode alternative lainnya yang tersedia.
95
g. Biaya yang dibutuhkan untuk prosedur ini.
h. Nilai status general dan kardiorespirasi pasien dengan konsultasi dan investigasi yang tepat
sebelum prosedur dilakukan.
i. Pemeriksaan dasar seperti profil koagulasi dan gula darah harus dilakukan.
j. Lakukan pemeriksaan foto rontgen lumbar untuk menyingkirkan kesulitan anatomis yang
akan dihadapi saat prosedur dilakukan.
k. Pastikan administrasi keuangan sebelum pasien MRS.
l. Sarankan untuk puasa sebelum prosedur dilakukan.
m. Sarankan untuk datang bersama keluarga/ ada orang yang menemani pada hari prosedur
dilakukan.

Persiapan pre-prosedural :
1. Konfirmasi identitas, diagnosis, consent, dan kejelasan prosedur.
2. Cek hasil lab dan studi radiologis yang dibutuhkan sebelum prosedur.
3. Infus intravena dengan surflo 20 G telah terpasang pada lengan non-dominan.
4. Berikan antibiotika propilaktik sesuai protap.
5. Pasien bisa disedasi dengan midazolam atau propofol dosis titrasi atau terkadang bisa diberikan
opioid sehingga pasien bisa nyaman saat tindakan. Analgesik lebih baik dihindari saat prosedur
diagnostik.

Peralatan yang diperlukan saat tindakan :


1. C-arm dengan peralatan perlindungan dari radiasi.
2. Meja operasi yang sesuai dengan C-arm.
3. Locator metal.
4. Kasa steril.
5. Sarung tangan steril sesuai ukuran.
6. Betadine atau chlorhexidine untuk sterilisasi kulit.
7. Kain draping sterile.
8. Jarum no.26, 1,5 inci untuk infiltrasi kulit.
9. Spuit 2 cc untuk injeksi anestesi lokal.
10. Spuit 5 cc untuk injeksi kontras.
11. Spuit 5 cc untuk injeksi anestesi lokal dan steroid.
12. Spuit 10 cc untuk injeksi selective nerve root.
13. Lidocaine 1% untuk infiltrasi kulit.
14. Cairan kontras seperti iohexol atau iopomidol.
15. Lignocaine 1% untuk injeksi diagnostik.
16. Depo steroid seperti Methylprednisolone atau triamcinolone 40 mg/cc.
17. Jarum quincke 20G, 80mm, jarum touhy atau jarum RX coude.
18. Selang ekstensi volume rendah.
19. Plester perekat.

Posisi dan monitoring


Ketika semua sudah siap, maka pasien diposisikan :
1. Siapkan pasien pada posisi prone.
2. Siapkan bantal dengan ukuran yang sesuai dibawah abdomen untuk mengkoreksi lordosis.
3. Buat pasien nyaman, dengan posisi kepala dan lengan rileks dan kedua lengan disamping kepala.
4. Pasang monitor standart sebagaimana direkomendasikan oleh American society of
anesthesiologist.
5. Persiapkan area kulit dengan betadine atau chlorhexidine dan draping steril.

96
Langkah Prosedur:
1. Start dengan C arm posisi AP.
2. Tandai midline dari sacral hiatus.
3. Kemudian C arm diposisikan lateral setelah sacral hiatus telah teridentifikasi.
4. Tempat tusukan hanya beberapa sentimeter dari sacral hiatus sampai jarum membentur bagian
inferior dari sacral hiatus kurang lebih 30-45 derajat.
5. Infiltrasi Lignicaine 1% dan tunggu kurang lebih satu menit.
6. Jarum Epidural 20G dimasukkan sampai membentur permukaan inferior dari vertebra S5 persis di
bawah hiatus sacralis dan sudut insersi diturunkan sampai masuk menembus membran
sacrocoxygeal.
7. Jarum menembus sampai kurang lebih 2 cm di dalam.
8. Sekarang C arm kembali ke posisi AP dan jarum masih menancap sampai Vertebrae S3.
9. Injeksikan 5cc kontras setelah dipastikan hasil aspirasi negatif, didapatkan gambaran “ christmass
tree appearance”.
10. Setelah jarum dipastikan tidak di intravascular, subdural dan subarachnoid, untuk diagnostik di
injeksikan lidocaine 1% 10cc.
11. Untuk terapi, diberikan injeksi steroid 40 mg.
12. Pada kasus fibrolisis epidural, 1500 IU hyaluronidase dan 10% hipertonic saline dengan dosis
maksimum 30cc.
13. Cabut jarum dan tutup luka secara steril.
14. Observasi kurang lebih 10 menit untuk evaluasi hipotensi didalam ruang tindakan. bila
hemodinamik stabil pasien dapat di pindah ke RR.

Monitoring di ruang pulih sadar


1. Evaluasi tanda-tanda vital setiap 10 menit untuk 30 menit pertama dan setiap 30 menit selama 1,5
jam berikutnya.
2. Evaluasi tanda-tanda kelemahan otot.
3. Evaluasi adakah tanda perdarahan.
4. Evaluasi daerah bladder dan bowel.
5. Pasien dapat dipulangkan bila sudah lepas sedasi.

Efek samping dan komplikasi


Komplikasi meliputi :
1. Perdarahan.
2. Hipotensi.
3. Cedera saraf.
4. Injeksi masuk ke ruang intravascular, subdural, subarachnoid atau intraosseus.
5. Infeksi.
6. Reaksi alergi.
7. Cedera jaringan lunak.
Ketika semua efek samping dan komplikasi disingkirkan, pasien bisa dipulangkan.

Pesan saat pulang :


1. Nasehati pasien untuk membuat catatan nyeri.
2. Resepkan antibiotika dan analgesik sesuai protap.
3. Pada kasus dimana steroid digunakan, informasikan ke pasien bahwa terdapat kemungkinan nyeri
akan meningkat dalam 24-48 jam dan biasanya menurun setelah 48 jam.
4. Informasikan ke pasien bahwa tindakan RF membutuhkan waktu sekitar 3 minggu untuk
mempunyai efek menguntungkan.
5. Instruksikan kepada pasien bahwa tempat injeksi akan nyeri, kemuidan adviskan untuk
memberikan kompres dengan es selama 2 hari.
97
6. Nasehatkan kepada pasien untuk tidak berkendara dan melakukan pekerjaan terlatih selama 24
jam.
7. Nasehatkan untuk tidak melakukan aktivitas berat selama 2 minggu.
8. Berikan nomor kontak untuk tindakan emergensi.

98
Blok Sacral Nerve Root

Indikasi :
1. SI Joint arthropathy.
2. Nyeri punggung kronis tanpa radiculopathy dengan etiologi yang tidak diketahui.
3. Nyeri operasi pada bagian belakang.
4. Extraartikular pain dalam kasus kapsuler dan regangan ligamen atau robekan.

Kontraindikasi
Ada kondisi tertentu di mana prosedur harus dianggap sebagai kontraindikasi absolut. Dan ada kondisi
tertentu di mana manfaat harus dipertimbangkan terhadap risiko, dan ketika manfaat prosedur tersebut
lebih dari resiko yang dihadapi, maka prosedur dapat dilakukan.
A. Kontraindikasi absolut termasuk
1. Infeksi lokal atau sistemik.
2. Koagulopati dan pasien dengan terapi antikoagulan tanpa adanya rekomendasi yang adekuat
untuk periode bebas obat.
3. Pasien menolak.
B. Kontraindikasi relatif termasuk
1. Kehamilan.
2. Pasien tidak bisa dalam posisi prone.
3. Pasien tidak kooperatif.
3. Disfungsi kognitif berat.
4. Alergi terhadap obat yang digunakan untuk prosedur.
5. Hemodinamik tidak stabil.
6. Riwayat operasi bagian belakang sebelumnya.
7. Variasi anatomi.

Prosedur :
Dapat digunakan sebagai sarana diagnostik dengan agen anestesi lokal maupun terapi dengan steroid
atau dengan ablasi radio frekuensi di sacral nerve root bagian dorsal root ganglion.

Persiapan :
Setelah diagnosis klinis dibuat dan direncanakan untuk prosedur ini, maka pasien siap untuk prosedur:
1. Evaluasi daerah lokasi adakah infeksi, tumor, fraktur dan defisit neurologis yang signifikan.
2. Informed dan persetujuan tertulis.
3. Pasien harus dijelaskan mengenai prosedur yang akan dikerjakan, meliputi:
A. Mengapa dilakukan?
B. Bagaimana itu dilakukan?
C. Apa yang diharapkan dari prosedur?
D. Komplikasi dan efek samping.
E. Rencana lebih lanjut dari tindakan dan tergantung pada hasil.
F. Alternatif tindakan jika tersedia.
G. Biaya prosedur.
4. Nilai status general pasien dan evaluasi status kardiorespirasi dengan Anamnesa dan pemeriksaan
fisik yang tepat sebelum melakukan prosedur.
5. Pemeriksaan mendasar sebelum tindakan termasuk pemeriksaan gula darah dan profil koagulasi.
6. Persiapan radiologis yaitu foto pelvis apabila terdapat anatomi yang bermasalah.
7. Perjelas masalah pembiayaan pasien.
8. Puasakan pasien sebelum tindakan.
9. Pasien harus membawa anggota keluarga saat hari dilakukan tindakan.

99
Pre prosedural protokol
1. Pastikan identitas pasien, diagnosis dan informed concern.
2. Evaluasi kelengkapan data laboratorium dan radiologi.
3. Pasang IV line.
4. Kalau perlu berikan antibiotik profilaksis.
5. Pasien dapat diberikan midazolam atau propofol secara titrasi untuk sedasi bahkan diberi opioid
agar pasien dapat nyaman saat dilakukan tindakan.

Peralatan yang diperlukan saat tindakan :


1. C Arm.
2. Meja operasi yang kompatibel dengan C Arm.
3. Marker besi.
4. Alat-alat steril.
5. Handscoon.
6. Betadine/chlorhexidine.
7. Needle 26G.
8. Spuit 3 cc untuk lokal anestesi.
9. Spuit 5 cc untuk injeksi bahan kontras.
10. Spuit 10 cc untuk injeksi sacral nerve root.
11. Lidokain 1-2% untuk infiltrasi kulit.
12. Cairan kontras (lopamiro atau sejenisnya).
13. Lidocaine 1% atau bupivacaine 0,25% untuk keperluan diagnostik.
14. Steroid (triamcynolone 40mg/cc atau metylprednisolone).
15. Needle 22G, 88/100 mm, jarum quincke dengan sudut bevel 10 derajat.
16. Extention tube kecil.
17. Perekat/plester.

Bila menggunakan RF:


1. Mesin RF dengan thermocouple yang cocok.
2. Jarum RF no 22G, 10 cm, 2 mm active.
3. Gaun Steril.

Posisi dan monitoring:


1. Tempatkan pasien dalam posisi prone.
2. Ganjal bantal yang ukurannya sesuai di bawah iliac crest untuk mengangkat posisi lumbal.
3. Posisikan kepala dan kaki pasien dengan anyaman, serta posisikan kedua lengan di sisi kepala.
4. Pasang monitor standard yang direkomendasikan.
5. Desinfeksi dengan betadine/chlorhexidine dan lakukan draping steril.

Langkah Prosedur:
1. Start dengan C arm posisi AP.
2. Ambil dan cari image AP foramen sacralis.
3. Foramen yang terlihat pada foto AP bisa jadi Foramen S2.
4. Level Foramen dapat di identifikasi oleh jarak dari posterosuperior iliac spine.
5. Arahkan Image ke tilt arah cephalac, dan bila deperlukan tilt arah oblique sehingga anterior dan
posterior dari foramen S1 terlihat terbuka.
6. Foramen yang lain dapat terlihat terbuka saat dilakukan tilt ke cephalocaudal dan harus
dikonfirmasi dari jarak posteriosuperior iliac spine.
7. Mareker penusukan jarum di lateral sisi garis median foramen.
8. Infiltrasi Lignicaine 1% dan tunggu kurang lebih satu menit.

100
9. Jarum Quincke no 22G, 88 mm masuk dari lateral sisi garis median foramen sampe menyentuh
batas medial dari foramen sacralis dan masuk sampai di dalam foramen sacral.
10. Tarik sedikit apabila jarum sampai menusuk nervus sacral.
11. Putar C arm ke lateral dan masukkan jarum terus ke anterior foramen kearah cephalomedial
sampai tip nya di anterior sacral plate. Jangan memasukan jarum lebih dalam dari bagian anterior
foramen untuk mencegah kerusakan pada viscera.
12. Pastikan jarum pada posisi AP, oblique dan posisi lateral.
13. Setelah dipastikan masuk, injeksikan 0,5 cc kontras setelah dilakukan aspirasi untuk evaluasi
posisi dan distribusi di nerve root.
14. Setelah memastikan tidak masuk ke intravaskuler, subarachnoid dan intraneural, masukkan 1-1,5
cc lidocaine 1% atau 0,25% bupivacaine untuk keperluan diagnostik.
15. Steroid depot 40 mg dapat diberikan untuk prosedur terapuetik.
16. Cabut jarum dan lakukan tutup luka secara steril.

Ablasi dengan Pulse radiofrekuensi Dorsal Root Ganglion


1. Jarum RF ukuran 20G, 10 cm, 10 mm diinsersikan seperti pada prosedur diagnostik.
2. Stimulasi sensori dikerjakan dengan frekuensi 50 HZ dan 0,5 V dan akan menghasilkan
paresthesia atau nyeri sepanjang lokasi asal nyeri.
3. Kemudian stimulasi motor dilakukan dengan frekuensi 2 HZ dengan voltase diberikan sejumlah
2x dari voltase yang digunakan pada sensoris. Misalkan kita berikan voltase 0,5 V pada sensoris,
maka diberikan 1 V untuk stimulasi motorik dan harusnya tidak sampai menghasilkan kontraksi
motorik. Hal ini disebut disosiasi motor sensorik.
4. Pulse RF konvensional dikerjakan dengan suhu 42 derajat selama 120 detik hingga 3 siklus.
5. Injeksikan depot steroid dan cabut jarum.
6. Pasang plester steril.
7. Pindah ke ruang paska prosedur.

Protocol paska tindakan :


Pasien harus dimonitor di ruang paska tindakan selama minimal 2 jam.
1. Monitor tanda vital setiap 10 menit selama 30 menit pertama dan setiap 30 menit selama 1,5 jam
berikutnya.
2. Monitor untuk onset awal dari kelemahan otot.
3. Periksa adanya perdarahan baru.
4. Cek control fungsi kandung kemih dan usus.
5. Ketika pasien sudah bebas sedasi dan dokter merasa bahwa pasien bisa menjaga diri, pasien bisa
pindah.

Komplikasi meliputi :
1. Perdarahan.
2. Cedera saraf.
3. Injeksi intraspinal.
4. Injeksi intra osesus.
5. Injeksi intravaskular.
6. Infeksi.
7. Neuritis.
8. Reaksi alergi.
9. Cedera jaringan lunak.

Ketika semua efek samping dan komplikasi disingkirkan, pasien bisa dipulangkan.

101
Nasihat saat pulang :
1. Nasehati pasien untuk membuat catatan nyeri.
2. Resepkan antibiotika dan analgesik sesuai protap.
3. Pada penggunaan steroid, informasikan ke pasien bahwa terdapat kemungkinan nyeri akan
meningkat dalam 24-48 jam dan biasanya menurun setelah 48 jam.
4. Informasikan ke pasien bahwa tindakan RF membutuhkan waktu sekitar 3 minggu untuk
mendapatkan efek menguntungkan.
5. Instruksikan kepada pasien bahwa tempat injeksi akan sangat nyeri, kemudian adviskan untuk
memberikan kompres dengan es selama 2 hari kemudian kompres hangat hingga pasien merasa
baik.
6. Nasehatkan kepada pasien untuk tidak berkendara dan melakukan pekerjaan terlatih selama 24
jam.
7. Nasehatkan untuk tidak melakukan aktivitas berat selama 2 minggu.
8. Berikan nomor kontak untuk tindakan emergensi.

102
Blok Pleksus Hipogastric

Blok pleksus hipogastric sangat berguna pada kondisi nyeri yang timbul pada daerah pelvis dan yang
termediasi oleh sistem saraf simpatis.

Indikasi:
Blok Pleksus hipogastric di indikasikan untuk nyeri yang timbul dari organ viscera pada pelvis, antara
lain:
1. Penyakit ginekologis seperti endometriosis, adhesi, Pelvic inflamasi dissesase.
2. Penyakit non ginekologis antara lain sistitits, iritabel bowel sindrome.
3. Nyeri kanker dari pelvis bagian viscera.

Kontraindikasi
Ada kondisi tertentu di mana prosedur harus dianggap sebagai kontraindikasi absolut. Dan ada kondisi
tertentu di mana manfaat harus dipertimbangkan terhadap risiko, dan ketika manfaat prosedur tersebut
lebih dari resiko yang dihadapi, maka prosedur dapat dilakukan.
A. Kontraindikasi absolut termasuk
1. Infeksi lokal atau sistemik.
2. Koagulopati dan pasien dengan terapi antikoagulan tanpa adanya rekomendasi yang adekuat
untuk periode bebas obat.
3. Pasien menolak.
B. Kontraindikasi relatif termasuk
1. Kehamilan.
2. Pasien tidak bisa dalam posisi prone.
3. Pasien tidak kooperatif.
3. Disfungsi kognitif berat.
4. Alergi terhadap obat yang digunakan untuk prosedur .
5. Hemodinamik tidak stabil.
6. Riwayat operasi bagian belakang sebelumnya .
7. Variasi anatomi.

Prosedur:
Pada blok pleksus hipogastrik superior, dapat digunakan sebagai sarana diagnostik dengan agen
anestesi lokal maupun terapi dengan steroid atau dengan ablasi radio frekuensi atau neurolisis dengan
alkohol atau phenol.

Persiapan:
Setelah diagnosis klinis dibuat dan direncanakan untuk prosedur ini, maka pasien siap untuk prosedur:
1. Evaluasi daerah lokasi adakah infeksi, tumor, fraktur dan defisit neurologis yang signifikan.
2. Informed dan persetujuan tertulis.
3. Pasien harus dijelaskan mengenai prosedur yang akan dikerjakan, meliputi:
A. Mengapa dilakukan?
B. Bagaimana itu dilakukan?
C. Apa yang diharapkan dari prosedur?
D. Komplikasi dam efek samping.
E. Rencana lebih lanjut dari tindakan dan tergantung pada hasil.
F. Alternatif tindakan jika tersedia.
G. Biaya prosedur.
4. Nilai status general pasien dan evaluasi status kardiorespirasi dengan Anamnesa dan pemeriksaan
fisik yang tepat sebelum melakukan prosedur.

103
5. Pemeriksaan mendasar sebelum tindakan termasuk pemeriksaan gula darah dan profil koagulasi.
6. Persiapan radiologis yaitu foto pelvis apabila terdapat anatomi yang bermasalah.
7. Perjelas masalah pembiayaan pasien.
8. Puasakan pasien sebelum tindakan.
9. Pasien harus membawa anggota keluarga saat hari dilakukan tindakan.

Pre prosedural protokol


1. Pastikan identitas pasien, diagnosis dan informed concern.
2. Evaluasi kelengkapan data laboratorium dan radiologi.
3. Pasang IV line.
4. Kalau perlu berikan antibiotik profilaksis.
5. Pasien dapat diberikan midazolam atau propofol secara titrasi untuk sedasi bahkan diberi opioid
agar pasien dapat nyaman saat dilakukan tindakan.

Peralatan yang diperlukan saat tindakan :


1. C Arm.
2. Meja operasi yang kompatibel dengan C Arm.
3. Marker besi.
4. Alat-alat steril (Spinal set).
5. Handscoon.
6. Betadine/chlorhexidine.
7. Needle 26G 1,5 inchi untuk infiltrasi kulit.
8. Spuit 3 cc untuk lokal anestesi.
9. Spuit 5 cc untuk injeksi bahan kontras.
10. Spuit 10 cc untuk injeksi sacral nerve root.
11. Lidokain 1-2% untuk infiltrasi kulit.
12. Cairan kontras (lopamiro atau sejenisnya).
13. Lidocaine 1% atau bupivacaine 0,25% untuk keperluan diagnostik.
14. Steroid (triamcynolone 40 mg/cc atau metylprednisolone).
15. Needle 22G, 120/150 mm, jarum quincke dengan sudut bevel 10 derajat.
16. Extention tube kecil.
17. Perekat/plester.

Bila menggunakan RF:


1. Mesin RF dengan thermocouple yang cocok.
2. Jarum RF no 20G, 15 cm, 10 mm active.
3. Gaun Steril.

Bila dilakukan neurolisis


1. 50-100% alkohol.
2. 6-10% fenol.

Posisi dan monitoring:


1. Tempatkan pasien dalam posisi prone.
2. Ganjal bantal yang ukurannya sesuai di bawah iliac crest untuk mengangkat posisi lumbal.
3. Posisikan kepala dan kaki pasien dengan anyaman, serta posisikan kedua lengan di sisi kepala.
4. Pasang monitor standard yang direkomendasikan.
5. Desinfeksi dengan betadine/chlorhexidine dan lakukan draping steril.

Langkah Prosedur:
1. Start dengan C arm posisi AP
104
2. Ambil gambar AP dengan prosesus spinosus di posisi midliine dan identifikasi Vertebrae L5.
3. Kemudian intensifier digeser ke kranial sampai lower end plate L5 terlihat kotak.
4. Setelah terlihat kotak, geser image intensifier ke sisi oblique ipsylateral hingga batas lateral dari
L5 terlihat. Hati-hati jangan sampai tulang iliac lebih terlihat medial, sehingga susah untuk
menempatkan jarum.
5. Kemudian titik masuk jarum ditandai pada bagian medial dari batas lateral sepertiga bawah
Vertebrae L5.
6. Injeksi lignocaine 1% untuk infiltrasi kulit, tunggu satu menit untuk onset.
7. Gunakan jarum Quincke 22G, insersikan hingga mengenai tulang disebelah medial dari batas
postero lateral vertebrae L5.
8. Masukkan pelan-pelan jarum dari sisi lateral vertebrae L5.
9. Semudian rotasikan C arm ke view lateral. pada view lateral ini jarum dimasukkan lebih dalam ke
arah anterior dari batas anterolateral L5 tetapi tetap kontak dengan permukaan lateral tulang L5.
10. C arm diarahkan ke posisi AP dan ambil gambar AP. Ujung jarum harus pada level pedicle.
11. Selalu konfirmasi posisi jarum pada posisi AP, Oblique dan lateral
12. Setelah aspirasi negatif, 3 cc kontras di injeksikan. Kontras akan menyebar pada batas
anterolateral L5-S1. dengan garis posterior yang samar-samar yang akan tampak pada view lateral.
13. Jarum yang lain ditempatkan pada posisi berlawanan dengan cara yang sama.
14. Stelah memastikan tidak masuk ke intravascular, intra spinal dan intra discal injeksikan lignocaine
1% 5-10 cc atau bupivacaine 0,25% 5-10 cc pada tiap jarum untuk tujuan diagnostik.
15. Depo steroid 40 mg diberikan untuk tujuan terapi.
16. Jika setelah dilakukan blok diagnostik dengan agen anestesi lokal yang berbeda bisa menurunkan
80% atau lebih penurunan skala nyeri, maka direncanakan untuk tindakan radiofrekuensi ablasi
atau neurolisis dengan alkohol atau phenol.

Radiofrekuensi ablasi konvensional:


1. Jarum RF lurus atau bengkok ukuran 22G, 15 cm, 10 mm active tip diletakkan pada posisi yang
sama dengan cara diatas.
2. Konfirmasi posisi jarum dengan kontras dan tiga posisi image yang berbeda (AP, Oblique dan
lateral).
3. Stimulasi sensori dikerjakan dengan frekuensi 50 HZ dan 0,6 V dan harus menghasilkan
paresthesia atau nyeri sepanjang lokasi asal nyeri.
4. Kemudian stimulasi motor dilakukan dengan frekuensi 2 HZ dengan 2 V dan tidak boleh
menghasilkan kontraksi otot. Jika ada kontraksi keluar, maka jarum dekat dengan saraf somatik,
dan harus direposisi.
5. Konvensional radiofrekuensi dikerjakan selama 60 detik dengan 70 derajat selama tiga siklus
dengan sedikit merotasi jarum.
6. Hati-hati saat menggerakkan jarum ke arah lateral karena didapatkan ureter di bagian lateral.
7. Injeksikan depot steroid dan pindahkan jarum RF.
8. Pasang plester steril.
9. Pindah ke ruang paska prosedur.

Prosedur Neurolisis
1. Alkohol 50-100% atau phenol 6-10% bisa digunakan.
2. Sebelum injeksi alcohol, injeksilan 2 mL lignocaine 1% dan tunggu selama 2 menit
3. Phenol mempunyai fungsi anestesi lokal dan tidak perlu infiltrasi anestesi lokal.
4. Injeksikan 5-10 mL phenol atau alcohol dan flush jarum dengan saline atau udara.
5. Cabut jarum dan pasang plester steril
6. Pindahkan ke ruang paska tindakan

105
Transdiscal approach
1. Teknik ini mempunyai keuntungan denga menggunakan 1 jarum dibandingkan teknik lateral
dengan menggunakan 2 jarum.
2. Teknik ini digunakan dengan cara yang sama seperti teknik discografi dan jarum pada akhirnya
ditempatkan pada sisi anterior discus L5 dan S1.
3. Setelah kontras diberikan dan konfirmasi image, injeksikan agen lokal anestesi atau agen
neurolitik sebanyak 10-15 cc. observasi selama 10 menit diruang tindakan untuk evaluasi
hipotensi.

Protocol paska tindakan :


Pasien harus dimonitor di ruang paska tindakan selama minimal 2 jam.
1. Monitor tanda vital setiap 10 menit selama 30 menit pertama dan setiap 30 menit selama 1,5 jam
berikutnya.
2. Monitor untuk onset awal dari kelemahan otot.
3. Periksa adanya perdarahan baru.
4. Cek control fungsi kandung kemih dan usus.
5. Ketika pasien sudah bebas sedasi dan dokter merasa bahwa pasien bisa menjaga diri, pasien bisa
pindah.

Efek samping meliputi :


1. Hipotensi.
2. Gangguan kemih dan pergerakan usus yang bersifat hilang timbul.
3. Disfungsi seksual yang bersifat hilang timbul.

Komplikasi meliputi :
1. Perdarahan.
2. Robekan pada vena cava inferior.
3. Hematoma retroperitoneal.
4. Cedera saraf.
5. Puncture epidural atau subdural.
6. Injeksi intraosseus.
7. Injeksi intradiskus.
8. Penetrasi ke ginjal atau ureter.
9. Transient hematuria, kolik renal atau dysuria.
10. Impotensi dan ejakulasi retrograde.
11. Reaksi toksik obat yang diinjeksikan.
12. Infeksi.
13. Neuritis.
14. Reaksi alergi.
15. Cedera jaringan lunak.
Ketika semua efek samping dan komplikasi disingkirkan, pasien bisa dipulangkan.

Nasehat saat pulang :


1. Nasehati pasien untuk membuat catatan nyeri.
2. Resepkan antibiotika dan analgesik sesuai protap.
3. Pada penggunaan steroid, informasikan ke pasien bahwa terdapat kemungkinan nyeri akan
meningkat dalam 24-48 jam dan biasanya menurun setelah 48 jam.
4. Informasikan ke pasien bahwa tindakan RF membutuhkan waktu sekitar 3 minggu untuk
mendapatkan efek menguntungkan.
5. Informasikan ke pasien bahwa tindakan neurolisis membutuhkan waktu sekitar 1 minggu untuk
mendapatkan efek menguntungkan.
106
6. Instruksikan kepada pasien bahwa tempat injeksi akan sangat nyeri, kemudian adviskan untuk
memberikan kompres dengan es selama 2 hari kemudian kompres hangat hingga pasien merasa
baik.
7. Nasehatkan kepada pasien untuk tidak berkendara dan melakukan pekerjaan terlatih selama 24
jam.
8. Nasehatkan untuk tidak melakukan aktivitas berat selama 2 minggu.
9. Berikan nomor kontak untuk tindakan emergensi.

107
CLINICAL PATHWAYS DAN SISTEM DRGs CASEMIX

 ATYPICAL FACIAL PAIN


 CERVICAL FACET SYNDROME
 CERVICAL RADICULOPATHY
 CERVICOGENIC HEADACHE
 CLUSTER HEADACHE
 HERNIATED NUCLEUS PULPOSUS
 LUMBAL FACET SYNDROME
 OCCIPITAL NEURALGIA
 SACROILIAC JOINT PAIN
 SACROILIAC JOINT PAIN
 TRIGEMINAL NEURALGIA

108
CLINICAL PATHWAYS DAN SISTEM DRGs CASEMIX
NAMA PENYAKIT : ATYPICAL FACIAL PAIN
Nama Pasien: Umur: Berat Badan: Tinggi Badan: Nomor Rekam Medis:
…………………………………………………… ……………… ……………..kg …………..cm …………………………….
Diagnosis Awal: ATYPICAL FACE PAIN Kode ICD 10 : G50.1 Rencana rawat :
R. Rawat Tgl/Jam masuk: Tgl/Jam keluar: Lama Rwt Kelas: Tarif/hr (Rp): Biaya (Rp)
Aktivitas Pelayanan ……………. ………………. ………………. ……... hari …….. …………. ……………

Hari Rawat 1 Hari Rawat 2 Hari Rawat 3 Hari Rawat 4 Hari Rawat 5 Hari Rawat 6
Hari Sakit: …. Hari Sakit: …. Hari Sakit: …. Hari Sakit: …. Hari Sakit: …. Hari Sakit: ….

 Penyakit Utama Atypical Facial Pain


 Penyakit Penyerta
 Komplikasi

 Pemeriksaan dokter + + + …………..


 Konsultasi + + + …………..
Pemeriksaan Penunjang:
 Hb, Ht, Leukosit, Trombosit + …………..
 Pt/Aptt +
 Ureum/Creatinin +
 MRI +/-
 EMG
Tindakan: …………..
 Radiofrequency Ganglion +
Obat obatan:
 Amytryptiline + + +/- ………………
………………
………………
Nutrisi: …………..

Mobilisasi: …………..

 VAS + + +
 …………………………..
 …………………………..
Pendidikan/Rencana Kontrol Poli Nyeri 1 minggu
Pemulangan:
Varians:
Jumlah Biaya …………..
Perawat (PPJP) Diagnosis Akhir: Kode ICD 10 Jenis Tindakan: Kode ICD 9 – CM
……………………
 Utama ATYPICAL FACIAL PAIN G50.1  Radiofrequency Ganglion Pterygopalatinum
 Penyerta ……………………… ……….. 
Dokter ………………………. ……….. 
Penanggung ……………………… ……….. 
Jawab Pasien
(DPJP):  Komplika ……………………… ………..  ……………………………………… ……………….
............................. si ………………………. ………..  ……………………………………… ……………….
……………………… ………..  ……………………………………… ……………….
Verifikator: ………………………. ………..  ……………………………………… ……………….
…………………… ……………………… ………..  ……………………………………… ……………….

109
CLINICAL PATHWAYS DAN SISTEM DRGs CASEMIX
NAMA PENYAKIT : CERVICAL FACET SYNDROME
Nama Pasien: Umur: Berat Badan: Tinggi Badan: Nomor Rekam Medis:
…………………………………………………… ……………… ……………..kg …………..cm …………………………….
Diagnosis Awal: CERVICAL FACET Kode ICD 10 : M47.8 Rencana rawat :
SYNDROME
R. Rawat Tgl/Jam masuk: Tgl/Jam keluar: Lama Rwt Kelas: Tarif/hr (Rp): Biaya (Rp)
Aktivitas Pelayanan ……………. ………………. ………………. ……... hari …….. …………. ……………

Hari Rawat 1 Hari Rawat 2 Hari Rawat 3 Hari Rawat 4 Hari Rawat 5 Hari Rawat 6
Hari Sakit: …. Hari Sakit: …. Hari Sakit: …. Hari Sakit: …. Hari Sakit: …. Hari Sakit: ….

 Penyakit Utama Cervical Facet Syndrome


 Penyakit Penyerta
 Komplikasi

 Pemeriksaan dokter + + + …………..


 Konsultasi + + + …………..
Pemeriksaan Penunjang:
 Hb, Ht, Leukosit, + …………..
Trombosit +
 Pt/Aptt +
 Ureum/Creatinin +/-
 MRI tulang belakang +
 Foto cervical AP/Lateral
Tindakan: …………..
 Repetitive Medial +/-
Branch Block
 Radiofrequency Medial +
Branch
Obat obatan:
 NSAID + + +/- ……………

……………

……………

Nutrisi: …………..

Mobilisasi: …………..

 VAS + + +
 ………………………
…..
 ………………………
…..
Pendidikan/Rencana Kontrol Poli Nyeri 1 minggu
Pemulangan:
Varians:
Jumlah Biaya …………..
Perawat (PPJP) Diagnosis Akhir: Kode ICD 10 Jenis Tindakan: Kode ICD 9 – CM
……………………
 Utama CERVICAL FACET M47.8  Repetitive Medial Branch Block
SYNDROME
 Penyerta ……………………… ………..  Radiofrequency Medial Branch
Dokter ………………………. ……….. 
Penanggung ……………………… ……….. 
Jawab Pasien
(DPJP):  Komplik ……………………… ………..  ……………………………………… ……………….
............................. asi ………………………. ………..  ……………………………………… ……………….
……………………… ………..  ……………………………………… ……………….
Verifikator: ………………………. ………..  ……………………………………… ……………….
…………………… ……………………… ………..  ……………………………………… ……………….

110
CLINICAL PATHWAYS DAN SISTEM DRGs CASEMIX
NAMA PENYAKIT : CERVICAL RADICULOPATHY
Nama Pasien: Umur: Berat Badan: Tinggi Badan: Nomor Rekam Medis:
…………………………………………………… ……………… ……………..kg …………..cm …………………………….
Diagnosis Awal: CERVICAL Kode ICD 10 : M54.30 Rencana rawat :
RADICULOPATHY
R. Rawat Tgl/Jam masuk: Tgl/Jam keluar: Lama Rwt Kelas: Tarif/hr (Rp): Biaya (Rp)
Aktivitas Pelayanan ……………. ………………. ………………. ……... hari …….. …………. ……………

Hari Rawat 1 Hari Rawat 2 Hari Rawat 3 Hari Rawat 4 Hari Rawat 5 Hari Rawat 6
Hari Sakit: …. Hari Sakit: …. Hari Sakit: …. Hari Sakit: …. Hari Sakit: …. Hari Sakit: ….

 Penyakit Utama Cervical Radiculopathy


 Penyakit Penyerta
 Komplikasi

 Pemeriksaan dokter + + + …………..


 Konsultasi + + + …………..
Pemeriksaan Penunjang:
 Hb, Ht, Leukosit, + …………..
Trombosit +
 Pt/Aptt +
 Ureum/Creatinin +
 MRI +/-
 EMG
Tindakan: …………..
 Transforaminal Epidural +/-
injection
 Pulsed Radiofrequency +/-
Obat obatan:
 NSAID + + +/- ……………
 Carbamazepine +/- +/- +/- …
 Gabapentine +/- +/- +/- ……………
 Pregabalin +/- +/- +/- …
……………

Nutrisi: …………..

Mobilisasi: …………..

 VAS + + +
 ………………………
…..
 ………………………
…..
Pendidikan/Rencana Kontrol Poli Nyeri 1 minggu
Pemulangan:
Varians:
Jumlah Biaya …………..
Perawat (PPJP) Diagnosis Akhir: Kode ICD 10 Jenis Tindakan: Kode ICD 9 – CM
……………………
 Utama CERVICAL M54.30  Transforaminal Epidural Injection
RADICULOPATHY
 Penyerta ……………………… ………..  Pulsed Radiofrequency
Dokter ………………………. ……….. 
Penanggung ……………………… ……….. 
Jawab Pasien
(DPJP):  Komplik ……………………… ………..  ……………………………………… ……………….
............................. asi ………………………. ………..  ……………………………………… ……………….
……………………… ………..  ……………………………………… ……………….
Verifikator: ………………………. ………..  ……………………………………… ……………….
…………………… ……………………… ………..  ……………………………………… ……………….

111
CLINICAL PATHWAYS DAN SISTEM DRGs CASEMIX
NAMA PENYAKIT : CERVICOGENIC HEADACHE
Nama Pasien: Umur: Berat Badan: Tinggi Badan: Nomor Rekam Medis:
…………………………………………………… ……………… ……………..kg …………..cm …………………………….
Diagnosis Awal: CERVICOGENIC HEADACHE Kode ICD 10 : G44.89 Rencana rawat :
R. Rawat Tgl/Jam masuk: Tgl/Jam keluar: Lama Rwt Kelas: Tarif/hr (Rp): Biaya (Rp)
Aktivitas Pelayanan ……………. ………………. ………………. ……... hari …….. …………. ……………

Hari Rawat 1 Hari Rawat 2 Hari Rawat 3 Hari Rawat 4 Hari Rawat 5 Hari Rawat 6
Hari Sakit: …. Hari Sakit: …. Hari Sakit: …. Hari Sakit: …. Hari Sakit: …. Hari Sakit: ….

 Penyakit Utama Cervicogenic Headache


 Penyakit Penyerta
 Komplikasi

 Pemeriksaan dokter + + + …………..


 Konsultasi + + + …………..
Pemeriksaan Penunjang:
 Hb, Ht, Leukosit, + …………..
Trombosit +
 Pt/Aptt +
 Ureum/Creatinin +/-
 MRI tulang belakang +
 Foto cervical AP/Lateral
Tindakan: …………..
 Selective Medial Branch +/- +/-
Block
 Radiofrequency Medial +/- +/-
Branch
 Pulsed Radiofrequency +/- +/-
Ganglion Spinalis
(DRG)
Obat obatan:
 NSAID + + + +/- ……………

……………

……………

Nutrisi: …………..

Mobilisasi: …………..

 VAS + + + +
 ………………………
…..
 ………………………
…..
Pendidikan/Rencana Kontrol Poli Nyeri 1 minggu
Pemulangan:
Varians:
Jumlah Biaya …………..
Perawat (PPJP) Diagnosis Akhir: Kode ICD 10 Jenis Tindakan: Kode ICD 9 – CM
……………………
 Utama CERVICOGENIC G44.89  Selective Medial Branch Block
HEADACHE
 Penyerta ……………………… ………..  Radiofrequency Medial Branch
Dokter ………………………. ………..  Pulsed Radiofrequency Ganglion Spinalis
Penanggung (DRG)
Jawab Pasien ……………………… ……….. 
(DPJP):  Komplik ……………………… ………..  ……………………………………… ……………….
............................. asi ………………………. ………..  ……………………………………… ……………….
……………………… ………..  ……………………………………… ……………….
Verifikator: ………………………. ………..  ……………………………………… ……………….
…………………… ……………………… ………..  ……………………………………… ……………….

112
CLINICAL PATHWAYS DAN SISTEM DRGs CASEMIX
NAMA PENYAKIT : CLUSTER HEADACHE
Nama Pasien: Umur: Berat Badan: Tinggi Badan: Nomor Rekam Medis:
…………………………………………………… ……………… ……………..kg …………..cm …………………………….
Diagnosis Awal: CLUSTER HEADACHE Kode ICD 10 : G43C0 Rencana rawat :
R. Rawat Tgl/Jam masuk: Tgl/Jam keluar: Lama Rwt Kelas: Tarif/hr (Rp): Biaya (Rp)
Aktivitas Pelayanan ……………. ………………. ………………. ……... hari …….. …………. ……………

Hari Rawat 1 Hari Rawat 2 Hari Rawat 3 Hari Rawat 4 Hari Rawat 5 Hari Rawat 6
Hari Sakit: …. Hari Sakit: …. Hari Sakit: …. Hari Sakit: …. Hari Sakit: …. Hari Sakit: ….

 Penyakit Utama Cluster Headache


 Penyakit Penyerta
 Komplikasi

 Pemeriksaan dokter + + + …………..


 Konsultasi + + + …………..
Pemeriksaan Penunjang:
 Hb, Ht, Leukosit, + …………..
Trombosit +
 Pt/Aptt +
 Ureum/Creatinin +/-
 MRI
 EMG
Tindakan: …………..
 Terapi Oksigen +
 Radiofrequency +/-
Ganglion
Obat obatan:
 Ergotamine + + +/- ……………
 Sumatriptan +/- +/- +/- …
 Verapamil +/- +/- +/- ……………
 Deksketoprofen +/- +/- +/- …
 Carbamazepine +/- +/- +/- ……………

Nutrisi: …………..

Mobilisasi: …………..

 VAS + + +
 ………………………
…..
 ………………………
…..
Pendidikan/Rencana Kontrol Poli Nyeri 1 minggu
Pemulangan:
Varians:
Jumlah Biaya …………..
Perawat (PPJP) Diagnosis Akhir: Kode ICD 10 Jenis Tindakan: Kode ICD 9 – CM
……………………
 Utama CLUSTER HEADACHE G43C0  Radiofrequency Ganglion Pterygopalatinum
 Penyerta ……………………… ……….. 
Dokter ………………………. ……….. 
Penanggung ……………………… ……….. 
Jawab Pasien
(DPJP):  Komplik ……………………… ………..  ……………………………………… ……………….
............................. asi ………………………. ………..  ……………………………………… ……………….
……………………… ………..  ……………………………………… ……………….
Verifikator: ………………………. ………..  ……………………………………… ……………….
…………………… ……………………… ………..  ……………………………………… ……………….

113
CLINICAL PATHWAYS DAN SISTEM DRGs CASEMIX
NAMA PENYAKIT : HERNIATED NUCLEUS PULPOSUS
Nama Pasien: Umur: Berat Badan: Tinggi Badan: Nomor Rekam Medis:
…………………………………………………… ……………… ……………..kg …………..cm …………………………….
Diagnosis Awal: HERNIATED NUCLEUS Kode ICD 10 : M51.2 Rencana rawat :
PULPOSUS
R. Rawat Tgl/Jam masuk: Tgl/Jam keluar: Lama Rwt Kelas: Tarif/hr (Rp): Biaya (Rp)
Aktivitas Pelayanan ……………. ………………. ………………. ……... hari …….. …………. ……………

Hari Rawat 1 Hari Rawat 2 Hari Rawat 3 Hari Rawat 4 Hari Rawat 5 Hari Rawat 6
Hari Sakit: …. Hari Sakit: …. Hari Sakit: …. Hari Sakit: …. Hari Sakit: …. Hari Sakit: ….

 Penyakit Utama Herniated Nucleus Pulposus


 Penyakit Penyerta
 Komplikasi

 Pemeriksaan dokter + + + …………..


 Konsultasi + + + …………..
Pemeriksaan Penunjang:
 Hb, Ht, Leukosit, + …………..
Trombosit +
 Pt/Aptt +
 Ureum/Creatinin +
 MRI Tulang Belakang +/-
 EMG
Tindakan: …………..
 Transforaminal +/-
Injection +/-
 Pulse Radiofrequency
Lumbar Ganglion
Spinale (DRG)
Obat obatan:
 NSAID + + +/- ……………
 Amitriptyline +/- +/- +/- …
 Gabapentin/Pregabalin + + +/- ……………

……………

Nutrisi: …………..

Mobilisasi: …………..

 VAS + + +
 ………………………
…..
 ………………………
…..
Pendidikan/Rencana Kontrol Poli Nyeri 1 minggu
Pemulangan:
Varians:
Jumlah Biaya …………..
Perawat (PPJP) Diagnosis Akhir: Kode ICD 10 Jenis Tindakan: Kode ICD 9 – CM
……………………
 Utama Herniated Nucleus M51.2  Transforaminal Injection
Pulposus
 Penyerta ……………………… ………..  Pulse Radiofrequency Lumbar Ganglion
Spinale (DRG)
Dokter ………………………. ……….. 
Penanggung ……………………… ……….. 
Jawab Pasien
(DPJP):  Komplik ……………………… ………..  ……………………………………… ……………….
............................. asi ………………………. ………..  ……………………………………… ……………….
……………………… ………..  ……………………………………… ……………….
Verifikator: ………………………. ………..  ……………………………………… ……………….
…………………… ……………………… ………..  ……………………………………… ……………….

114
CLINICAL PATHWAYS DAN SISTEM DRGs CASEMIX
NAMA PENYAKIT : LUMBAL FACET SYNDROME
Nama Pasien: Umur: Berat Badan: Tinggi Badan: Nomor Rekam Medis:
…………………………………………………… ……………… ……………..kg …………..cm …………………………….
Diagnosis Awal: LUMBAL FACET SYNDROME Kode ICD 10 : M47.8 Rencana rawat :
R. Rawat Tgl/Jam masuk: Tgl/Jam keluar: Lama Rwt Kelas: Tarif/hr (Rp): Biaya (Rp)
Aktivitas Pelayanan ……………. ………………. ………………. ……... hari …….. …………. ……………

Hari Rawat 1 Hari Rawat 2 Hari Rawat 3 Hari Rawat 4 Hari Rawat 5 Hari Rawat 6
Hari Sakit: …. Hari Sakit: …. Hari Sakit: …. Hari Sakit: …. Hari Sakit: …. Hari Sakit: ….

 Penyakit Utama Lumbal Facet Syndrome


 Penyakit Penyerta
 Komplikasi

 Pemeriksaan dokter + + + …………..


 Konsultasi + + + …………..
Pemeriksaan Penunjang:
 Hb, Ht, Leukosit, + …………..
Trombosit +
 Pt/Aptt +
 Ureum/Creatinin +
 MRI tulang belakang +/-
 Foto Lumbal AP/Lateral
Tindakan: …………..
 Radiofrequency Medial +
Branch
Obat obatan:
 NSAID + + +/- ……………
 Amytryptiline + + +/- …
……………

……………

Nutrisi: …………..

Mobilisasi: …………..

 VAS + + +
 ………………………
…..
 ………………………
…..
Pendidikan/Rencana Kontrol Poli Nyeri 1 minggu
Pemulangan:
Varians:
Jumlah Biaya …………..
Perawat (PPJP) Diagnosis Akhir: Kode ICD 10 Jenis Tindakan: Kode ICD 9 – CM
……………………
 Utama Lumbal Facet Syndrome M47.8  Radiofrequency Medial Branch
 Penyerta ……………………… ……….. 
Dokter ………………………. ……….. 
Penanggung ……………………… ……….. 
Jawab Pasien
(DPJP):  Komplik ……………………… ………..  ……………………………………… ……………….
............................. asi ………………………. ………..  ……………………………………… ……………….
……………………… ………..  ……………………………………… ……………….
Verifikator: ………………………. ………..  ……………………………………… ……………….
…………………… ……………………… ………..  ……………………………………… ……………….

115
CLINICAL PATHWAYS DAN SISTEM DRGs CASEMIX
NAMA PENYAKIT : OCCIPITAL NEURALGIA
Nama Pasien: Umur: Berat Badan: Tinggi Badan: Nomor Rekam Medis:
…………………………………………………… ……………… ……………..kg …………..cm …………………………….
Diagnosis Awal: OCCIPITAL NEURALGIA Kode ICD 10 : G52.8 Rencana rawat :
R. Rawat Tgl/Jam masuk: Tgl/Jam keluar: Lama Rwt Kelas: Tarif/hr (Rp): Biaya (Rp)
Aktivitas Pelayanan ……………. ………………. ………………. ……... hari …….. …………. ……………

Hari Rawat 1 Hari Rawat 2 Hari Rawat 3 Hari Rawat 4 Hari Rawat 5 Hari Rawat 6
Hari Sakit: …. Hari Sakit: …. Hari Sakit: …. Hari Sakit: …. Hari Sakit: …. Hari Sakit: ….

 Penyakit Utama Occipital Neuralgia


 Penyakit Penyerta
 Komplikasi

 Pemeriksaan dokter + + + …………..


 Konsultasi + + + …………..
Pemeriksaan Penunjang:
 Hb, Ht, Leukosit, + …………..
Trombosit +
 Pt/Aptt +
 Ureum/Creatinin +
 MRI tulang belakang +/-
 Foto cervical AP/Lateral
Tindakan: …………..
 N. Occipitales Block +/- +/-
 Pulsed Radiofrequency
N.Occipitales +/- +/-
 Pulsed Radiofrequency
Ganglion Spinalis C2 +/- +/-
(DRG)
Obat obatan:
 NSAID + + + +/- ……………
 Carbamazepine +/- +/- +/- +/- …
 Gabapentine +/- +/- +/- +/- ……………
 Pregabalin +/- +/- +/- +/- …
……………

Nutrisi: …………..

Mobilisasi: …………..

 VAS + + + +
 ………………………
…..
 ………………………
…..
Pendidikan/Rencana Kontrol Poli Nyeri 1 minggu
Pemulangan:
Varians:
Jumlah Biaya …………..
Perawat (PPJP) Diagnosis Akhir: Kode ICD 10 Jenis Tindakan: Kode ICD 9 – CM
……………………
 Utama OCCIPITAL G52.8  N. Occipitales Block
NEURALGIA
 Penyerta ……………………… ………..  Pulsed Radiofrequency N. Occipitales
Dokter ………………………. ………..  Pulsed Radiofrequency Ganglion Spinalis
Penanggung C2 (DRG)
Jawab Pasien ……………………… ……….. 
(DPJP):  Komplik ……………………… ………..  ……………………………………… ……………….
............................. asi ………………………. ………..  ……………………………………… ……………….
……………………… ………..  ……………………………………… ……………….
Verifikator: ………………………. ………..  ……………………………………… ……………….
…………………… ……………………… ………..  ……………………………………… ……………….

116
CLINICAL PATHWAYS DAN SISTEM DRGs CASEMIX
NAMA PENYAKIT : SACROILIAC JOINT PAIN
Nama Pasien: Umur: Berat Badan: Tinggi Badan: Nomor Rekam Medis:
…………………………………………………… ……………… ……………..kg …………..cm …………………………….
Diagnosis Awal: SACROILIAC JOINT PAIN Kode ICD 10 : M53.3 Rencana rawat :
R. Rawat Tgl/Jam masuk: Tgl/Jam keluar: Lama Rwt Kelas: Tarif/hr (Rp): Biaya (Rp)
Aktivitas Pelayanan ……………. ………………. ………………. ……... hari …….. …………. ……………

Hari Rawat 1 Hari Rawat 2 Hari Rawat 3 Hari Rawat 4 Hari Rawat 5 Hari Rawat 6
Hari Sakit: …. Hari Sakit: …. Hari Sakit: …. Hari Sakit: …. Hari Sakit: …. Hari Sakit: ….

 Penyakit Utama Sacroiliac Joint Pain


 Penyakit Penyerta
 Komplikasi

 Pemeriksaan dokter + + + …………..


 Konsultasi + + + …………..
Pemeriksaan Penunjang:
 Hb, Ht, Leukosit, + …………..
Trombosit +
 Pt/Aptt +
 Ureum/Creatinin +
 MRI Panggul +/-
 Foto Panggul
Tindakan: …………..
 Intraarticular Injection +
 Radiofrequency L5-S3 +/-
Rami Dorsales/Laterales
Obat obatan:
 NSAID + + +/- ……………
 Amytryptiline + + +/- …
……………

……………

Nutrisi: …………..

Mobilisasi: …………..

 VAS + + +
 ………………………
…..
 ………………………
…..
Pendidikan/Rencana Kontrol Poli Nyeri 1 minggu
Pemulangan:
Varians:
Jumlah Biaya …………..
Perawat (PPJP) Diagnosis Akhir: Kode ICD 10 Jenis Tindakan: Kode ICD 9 – CM
……………………
 Utama Sacroiliac Joint Pain M53.3  Intraarticular Injection
 Penyerta ……………………… ………..  Radiofrequency L5-S3 Rami
Dorsales/Laterales
Dokter ………………………. ……….. 
Penanggung ……………………… ……….. 
Jawab Pasien
(DPJP):  Komplik ……………………… ………..  ……………………………………… ……………….
............................. asi ………………………. ………..  ……………………………………… ……………….
……………………… ………..  ……………………………………… ……………….
Verifikator: ………………………. ………..  ……………………………………… ……………….
…………………… ……………………… ………..  ……………………………………… ……………….

117
CLINICAL PATHWAYS DAN SISTEM DRGs CASEMIX
NAMA PENYAKIT : SPINAL CANAL STENOSIS
Nama Pasien: Umur: Berat Badan: Tinggi Badan: Nomor Rekam Medis:
…………………………………………………… ……………… ……………..kg …………..cm …………………………….
Diagnosis Awal: SPINAL CANAL STENOSIS Kode ICD 10 : M48.0 Rencana rawat :
R. Rawat Tgl/Jam masuk: Tgl/Jam keluar: Lama Rwt Kelas: Tarif/hr (Rp): Biaya (Rp)
Aktivitas Pelayanan ……………. ………………. ………………. ……... hari …….. …………. ……………

Hari Rawat 1 Hari Rawat 2 Hari Rawat 3 Hari Rawat 4 Hari Rawat 5 Hari Rawat 6
Hari Sakit: …. Hari Sakit: …. Hari Sakit: …. Hari Sakit: …. Hari Sakit: …. Hari Sakit: ….

 Penyakit Utama Spinal Canal Stenosis


 Penyakit Penyerta
 Komplikasi

 Pemeriksaan dokter + + + …………..


 Konsultasi + + + …………..
Pemeriksaan Penunjang:
 Hb, Ht, Leukosit, + …………..
Trombosit +
 Pt/Aptt +
 Ureum/Creatinin +
 MRI Panggul +/-
 EMG
Tindakan: …………..
 Epidural Adhesiolisis +

Obat obatan:
 NSAID + + +/- ……………
 Amitriptyline +/- +/- +/- …
 Gabapentin/Pregabalin + + +/- ……………

……………

Nutrisi: …………..

Mobilisasi: …………..

 VAS + + +
 ………………………
…..
 ………………………
…..
Pendidikan/Rencana Kontrol Poli Nyeri 1 minggu
Pemulangan:
Varians:
Jumlah Biaya …………..
Perawat (PPJP) Diagnosis Akhir: Kode ICD 10 Jenis Tindakan: Kode ICD 9 – CM
……………………
 Utama Spinal Canal Stenosis M48.0  Epidural Adhesiolisis
 Penyerta ……………………… ……….. 
Dokter ………………………. ……….. 
Penanggung ……………………… ……….. 
Jawab Pasien
(DPJP):  Komplik ……………………… ………..  ……………………………………… ……………….
............................. asi ………………………. ………..  ……………………………………… ……………….
……………………… ………..  ……………………………………… ……………….
Verifikator: ………………………. ………..  ……………………………………… ……………….
…………………… ……………………… ………..  ……………………………………… ……………….

118
CLINICAL PATHWAYS DAN SISTEM DRGs CASEMIX
NAMA PENYAKIT : TRIGEMINAL NEURALGIA
Nama Pasien: Umur: Berat Badan: Tinggi Badan: Nomor Rekam Medis:
…………………………………………………… ……………… ……………..kg …………..cm …………………………….
Diagnosis Awal: TRIGEMINAL NEURALGIA Kode ICD 10 : M48.0 Rencana rawat :
R. Rawat Tgl/Jam masuk: Tgl/Jam keluar: Lama Rwt Kelas: Tarif/hr (Rp): Biaya (Rp)
Aktivitas Pelayanan ……………. ………………. ………………. ……... hari …….. …………. ……………

Hari Rawat 1 Hari Rawat 2 Hari Rawat 3 Hari Rawat 4 Hari Rawat 5 Hari Rawat 6
Hari Sakit: …. Hari Sakit: …. Hari Sakit: …. Hari Sakit: …. Hari Sakit: …. Hari Sakit: ….

 Penyakit Utama Trigeminal Neuralgia


 Penyakit Penyerta
 Komplikasi

 Pemeriksaan dokter + + + …………..


 Konsultasi + + + …………..
Pemeriksaan Penunjang:
 Hb, Ht, Leukosit, + …………..
Trombosit +
 Pt/Aptt
 GDS +
 MRI tulang belakang
 EMG
Tindakan: …………..
 Radiofrequency +/-
Ganglion
Obat obatan:
 Carbamazepine + + +/- ……………
 Gabapentine +/- +/- +/- …
 Deksketoprofen +/- +/- +/- ……………

……………

Nutrisi: …………..

Mobilisasi: …………..

 VAS + + +
 ………………………
…..
 ………………………
…..
Pendidikan/Rencana
Pemulangan:
Varians:
Jumlah Biaya …………..
Perawat (PPJP) Diagnosis Akhir: Kode ICD 10 Jenis Tindakan: Kode ICD 9 – CM
……………………
 Utama TRIGEMINAL G50.0  Radiofrequency Ganglion Gasseri
NEURALGIA
 Penyerta ……………………… ……….. 
Dokter ………………………. ……….. 
Penanggung ……………………… ……….. 
Jawab Pasien
(DPJP):  Komplik ……………………… ………..  ……………………………………… ……………….
............................. asi ………………………. ………..  ……………………………………… ……………….
……………………… ………..  ……………………………………… ……………….
Verifikator: ………………………. ………..  ……………………………………… ……………….
…………………… ……………………… ………..  ……………………………………… ……………….

119

Anda mungkin juga menyukai