Referat Rinosinusitis

Anda mungkin juga menyukai

Anda di halaman 1dari 29

REFERAT

RHINORRHEA

Disusun oleh :
Septi Dian Yustiani 1810221042

Pembimbing:
dr. Deasi Anggraini, Sp.THT-KL

KEPANITERAAN KLINIK DEPARTEMEN


ILMU KESEHATAN THT-KL
RUMAH SAKIT UMUM PERSAHABATAN
FAKULTAS KEDOKTERAN UPN “VETERAN” JAKARTA
PERIODE 24 DESEMBER 2018 – 26 JANUARI 2019
LEMBAR PENGESAHAN

REFERAT

RHINORRHEA

Disusun dan diajukan untuk memenuhi persyaratan tugas


Kepaniteraan Klinik Departemen Ilmu Kesehatan THT–KL
Rumah Sakit Umum Pusat Persahabatan

Oleh :
Septi Dian Yustiani 1810221042

Jakarta, Januari 2019


Telah dibimbing dan disahkan oleh,

Pembimbing,

(dr. Deasi Anggraini, Sp.THT-KL)


KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT karena atas rahmat dan
karunia-Nya lah penulis dapat menyelesaikan referat yang berjudul “Rhinorrhea”
ini. Adapun referat ini disusun untuk memenuhi salah satu syarat Kepaniteraan
Klinik Bagian Ilmu Kesehatan THT-KL.
Penyusunan laporan ini terselesaikan atas bantuan dari banyak pihak yang
turut membantu terselesaikannya laporan ini. Untuk itu, dalam kesempatan ini
penulis ingin menyampaikan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada dr. Deasi
Anggraini, Sp.THT-KL selaku pembimbing dan seluruh teman kepaniteraan
klinik Ilmu Kesehatan THT-KL atas kerjasamanya selama penyusunan laporan
ini.
Penulis mengharapkan saran dan kritik yang membangun dari pembaca
guna perbaikan yang lebih baik. Semoga laporan ini dapat bermanfaat baik bagi
penulis sendiri, pembaca maupun bagi semua pihak-pihak yang berkepentingan.

Jakarta, Januari 2019

Penulis
BAB I
PENDAHULUAN

Hidung merupakan salah satu indera manusia yang berfungsi sebagai organ
pernapasan serta organ penghidu. Di samping itu hidung juga berfungsi sebagai
proteksi jalan napas, humidifikasi dan mengeluarkan secret yang berasal dari
sinus paranasal dan duktus nasolakrimal.
Keluhan penyakit atau kelainan yang terdapat pada hidung adalah rinorrhea,
sumbatan hidung, bersin, rasa nyeri di muka dan kepala, perdarahan dari hidung
serta gangguan penghidu .
Rinorrhea merupakan suatu gejala yang ditimbulkan dari penyakit tertentu
yang dapat terjadi pada satu maupun kedua rongga hidung dengan konsistensi cair
atau kental dan berwarna jernih, kehijauan atau bercampur darah. Penyakit yang
memiliki gejala berupa rinorrhea atau keluarnya cairan dari dalam hidung, yaitu
akibat peradangan, adanya massa, trauma dan lainnya.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

II. 1 Anatomi Hidung


Hidung terdiri atas hidung luar dan hidung dalam. Hidung luar menonjol pada garis
tengah diantara pipi dengan bibir atas, struktur hidung luar dapat dibedakan atas tiga
bagian yaitu:
1. Paling atas kubah tulang yang tak dapat digerakkan
2. Di bawahnya terdapat kubah kartilago yang sedikit dapat digerakkan
3. Paling bawah adalah lobolus hidung yang mudah digerakkan.
Bagian puncak hidung biasanya disebut apeks. Agak keatas dan belakang
dari apeks disebut batang hidung (dorsum nasi), yang berlanjut sampai kepangkal
hidung dan menyatu dengan dahi. Kolumela membranosa mulai dari apeks, yaitu
diposterior bagian tengah pinggir dan terletak sebelah distal dari kartilago septum.
Titik pertemuan kolumela dengan bibir atas dikenal sebagai dasar hidung. Disini
bagian bibir atas membentuk cekungan dangkal memanjang dari atas kebawah
yang disebut filtrum, sebelah latero-superior dibatasi oleh ala nasi dan sebelah
inferior oleh dasar hidung.

Gambar 1. Anatomi Hidung Luar

Hidung luar dibentuk oleh kerangka tulang dan tulang rawan yang dilapisi oleh
kulit, jaringan ikat dan beberapa otot kecil yang berfungsi untuk melebarkan atau
menyempitkan lubang hidung. Bagian hidung dalam terdiri atas struktur yang
membentang dari os internum disebelah anterior hingga koana di posterior, yang
memisahkan rongga hidung dari nasofaring. Rongga hidung atau kavum nasi berbentuk
terowongan dari depan kebelakang, dipisahkan oleh septum nasi dibagian tengahnya
menjadi kavum nasi kanan dan kiri. Pintu atau lubang masuk kavum nasi bagian depan
disebut nares anterior dan lubang belakang disebut nares posterior (koana) yang
menghubungkan kavum nasi dengan nasofaring.
Bagian dari kavum nasi yang letaknya sesuai ala nasi, tepat dibelakang nares
anterior, disebut dengan vestibulum. Vestibulum ini dilapisi oleh kulit yang banyak
kelenjar sebasea dan rambut-rambut panjang yang disebut dengan vibrise.

Gambar 2. Anatomi Hidung Dalam

Tiap kavum nasi mempunyai 4 buah dinding yaitu dinding medial, lateral, inferior
dan superior. Dinding medial hidung ialah septum nasi. Septum nasi ini dibentuk oleh
tulang dan tulang rawan, dinding lateral terdapat konka superior, konka media dan konka
inferior. Yang terbesar dan letaknya paling bawah ialah konka inferior, kemudian yang
lebih kecil adalah konka media, yang lebih kecil lagi konka superior, sedangkan yang
terkecil ialah konka suprema dan konka suprema biasanya rudimenter. Konka inferior
merupakan tulang tersendiri yang melekat pada os maksila dan labirin etmoid, sedangkan
konka media, superior dan suprema merupakan bagian dari labirin etmoid. Celah antara
konka inferior dengan dasar hidung dinamakan meatus inferior, berikutnya celah antara
konka media dan inferior disebut meatus media dan sebelah atas konka media disebut
meatus superior.
Meatus medius merupakan salah satu celah yang penting dan merupakan celah
yang lebih luas dibandingkan dengan meatus superior. Disini terdapat muara dari sinus
maksilla, sinus frontal dan bahagian anterior sinus etmoid. Dibalik bagian anterior konka
media yang letaknya menggantung, pada dinding lateral terdapat celah yang berbentuk
bulat sabit yang dikenal sebagai infundibulum. Ada suatu muara atau fisura yang
berbentuk bulan sabit menghubungkan meatus medius dengan infundibulum yang
dinamakan hiatus semilunaris. Dinding inferior dan medial infundibulum membentuk
tonjolan yang berbentuk seperti laci dan dikenal sebagai prosesus unsinatus.
Di bagian atap dan lateral dari rongga hidung terdapat sinus yang terdiri atas sinus
maksilla, etmoid, frontalis dan sphenoid. Sinus maksilla merupakan sinus paranasal
terbesar diantara lainnya, yang berbentuk pyramid iregular dengan dasarnya menghadap
ke fossa nasalis dan puncaknya kearah apek prosesus zigomatikus os maksilla.

Gambar 3. Sinus Paranasal

Vaskularisasi hidung
Secara garis besar perdarahan hidung berasal dari 3 sumber utama yaitu:
1. Arteri Etmoidalis anterior
2. Arteri Etmoidalis posterior cabang dari arteri oftalmika
3. Arteri Sfenopalatina, cabang terminal arteri maksilaris interna yang
berasal dari arteri karotis eksterna.
Bagian atas rongga hidung mendapat pendarahan dari a. etmoid anterior dan
posterior yang merupakan cabang dari a. oftalmika dari a. karotis interna. Bagian bawah
rongga hidung mendapat pendarahan dari cabang a. maksilaris interna, diantaranya ialah
ujung a. palatina mayor dan a. sfenopalatina yang keluar dari foramen sfenopalatina
bersama n. sfenopalatina dan memasuki rongga hidung di belakang ujung posterior konka
media. Bagian depan hidung mendapat pendarahan dari cabang-cabang a. fasialis.

Gambar 4. Vaskularisasi Hidung

Pada bagian depan septum terdapat anastomosis dari cabang-cabang arteri


sfenopalatina, arteri etmoid anterior, arteri labialis superior dan arteri palatina mayor,
yang disebut pleksus kieesselbach (little’s area). Pleksus Kiesselbach letaknya
superfisialis dan mudah cedera oleh truma, sehingga sering menjadi sumber epistaksis.
Vena-vena hidung mempunyai nama yang sama dan berjalan berdampingan
dengan arterinya. Vena divestibulum dan struktur luar hidung bermuara ke vena
oftalmika yang berhubungan dengan sinus kavernesus.

Inervasi hidung
Bagian depan dan atas rongga hidung mendapat persarafan sensoris dari nervus
etmoidalis anterior, yang merupakan cabang dari nervus nasosiliaris, yang berasal dari
nervus oftalmikus. Saraf sensoris untuk hidung terutama berasal dari cabang oftalmikus
dan cabang maksilaris nervus trigeminus. Rongga hidung lainnya, sebagian besar
mendapat persarafan dari n. maksila melalui ganglion sfenopalatina.
Ganglion sfenopalatina, selain memberi persarafan sensoris, juga memberikan
persarafan vasomotor atau otonom untuk mukosa hidung. Ganglion ini menerima serabut
serabut sensoris dari nervus maksila, serabut parasimpatis dari n. petrosus superfisialis
mayor dan serabut saraf simpatis dari n. petrosus profundus. Ganglion sfenopalatinum
terletak dibelakang dan sedikit diatas ujung posterior konkha media.
Fungsi penghidu berasal dari nervus Olfaktorius. Saraf ini turun melalui lamina
kribosa dari permukaan bawah bulbus olfaktorius dan kemudian berakhir pada sel-sel
reseptor penghidu pada mukosa olfaktorius di daerah sepertiga atas hidung.

Gambar 5. Inervasi Hidung

II.2. Fisiologi Hidung


1. Respirasi
Udara inspirasi masuk hidung menuju sistem respirasi melalu nares anterior,
lalu naik ke atas setinggi konka media dan kemudian turun ke bawah ke arah
nasofaring. Aliran udara di hidung ini berbentuk lengkungan atau arkus. Udara
yang dihirup akan mengalami humidifikasi oleh palut lendir. Pada cuaca yang
panas, udara hampir jenuh oleh uap air sehingga terjadi sedikit penguapan udara
inspirasi oleh palut lendir, sedangkan pada cuaca dingin akan terjadi sebaliknya.
Suhu udara yang melalui hidung diatur sehingga berkisar 370c. Fungsi
pengaturan suhu ini dimungkinkan oleh banyaknya pembuluh darah di bawah
epitel dan adanya permukaan konka dan septum yang luas.
Partikel debu, virus, bakteri dan jamur yang terhirup bersama udara akan
disaring di hidung oleh:
1. Rambut (vibrissae)
2. Silia
3. Palut lendir
Debu dan bakteri akan melekat pada palut lendir dan partikel-partikel yang
lebih besar akan dikeluarkan dengan refleks bersin.

2. Penghidu
Hidung berfungsi sebagai indra penghidu dan pengecap dengan adanya
mukosa olfaktorius pada atap rongga hidung, konka superior dan sepertiga bagian
atas septum. Partikel bau dapat mencapai daerah ini dengan cara difusi dengan
palut lendir atau bila menarik napas dengan kuat.
Fungsi hidung untuk membantu indra pengecapan adalah untuk
membedakan rasa manis yang berasal dari berbagai macam bahan seperti. Juga
untuk membedakan rasa asam.
3. Fonetik
Resonansi oleh hidung penting untuk kualitas suara ketika berbicara dan
bernyanyi. Sumbatan hidung akan menyebabkan resonansi berkurang atau hilang,
sehingga terdengar sengau (rinolalia). Hidung membantu proses pembentukan
kata-kata. Kata dibentuk oleh lidah, bibir, dan palatum mole. Pada pembentukan
konsonan nasal (m, n, ng) rongga mulut tertutup dan hidung terbuka, palatum
mole turun untuk aliran udara statik dan mekanik untuk meringankan beban
kepala, proteksi terhadap trauma, dan pelindung panas.

4. Refleks nasal
Mukosa hidung merupakan reseptor refleks yang berhubungan dengan
saluran cerna, sistem kardiovaskuler dan pernapasan. Iritasi mukosa hidung akan
menyebabkan refleks bersin dan napas berhenti. Rangsang bau tertentu akan
menyebabkan sekresi kelenjar liur, lambung dan pankreas.

II.3. Mukosa Hidung


Rongga hidung dilapisi oleh mukosa yang secara histologik dan fungsional dibagi
atas mukosa pernapasan (respiratori) dan mukosa penghidu (olfaktorius). Mukosa
pernapasan terdapat pada sebagian besar rongga hidung dan permukannya dilapisi oleh
epitel torak berlapis semu yang bersilia (cilliated pseudostratified collumner ephitelium)
dan diantaranya terdapat sel-sel goblet.
Mukosa penghidu terdapat pada atap rongga hidung, konka superior, dan sepertiga
atas septum. Mukosa dilapisi oleh epitel torak berlapis semu tidak bersilia. Epitelnya
dibentuk oleh tiga macam sel, yaitu sel penunjang, sel basal dan selreseptor penghidu.
Daerah mukosa penghidu berwarna coklat kekuningan. Pada bagian yang lebih terkena
aliran udara mukosanya lebih tebal dan kadang-kadang terjadi metaplasia, menjadi sel
epitel skuamosa.
Dalam keadaan normal, mukosa respiratori berwarna merah muda dan selalu basah
karena diliputi oleh palut lendir (mucous blanket) pada permukaannya. Di bawah epitel
terdapat tunika propria yang mengandung pembuluh darah, kelenjar mukosa dan jaringan
limfoid.

Gambar 6. Histologi hidung

Pembuluh darah pada mukosa hidung mempunyai susunan yang khas. Arteriol
terletak pada bagian yang lebih dalam dari tunika propria dan tersusun secara paralel dan
longitudinal. Arteriol ini memberikan perdarahan pda anyaman kapiler periglanduler dan
subepitel. Pembuluh eferen dari anyaman kapiler ini membuka ke rongga sinusoid vena
yang besar dan dindingnya dilapisi oleh aringan elastik dan otot polos. Pada bagian
ujungnya, sinusoid memiliki otot sfingter. Selanjutnya sinusoid akan mengalirkan
darahnya ke pleksus vena yang lebih dalam lalu ke venula. Dengan susunan demikian
mukosa hidung menyerupai jaringan kavernosa yang erektil, yang mudah mengembang
dan mengerut. Vasodilatasi dan vasokonstriksi pembuluh darah ini dipengaruhi oleh saraf
otonom.

II.4. Sistem Transpor Mukosilier


Sistem transpor mukosilier merupakan sistem pertahanan aktif rongga hidung
terhadap virus, bakteri, jamur atau partikel berbahaya lain yang terhirup bersamau udara.
Efektivitas sistem transpor mukosilier dipengaruhi oleh kualitas silia dan palut lendir.
Palut lendir dihasilkan oleh sel-sel goblet pada epitel dan kelenar seromusinosa
submukosa.
Bagian bawah dari palut lendir terdiri dari cairan serosa sedangkan bagian dari
permukaannya terdiri dari mukus yang lebih elastik dan banyak mengandung protein
plasma seperti albumin, IgG, IgM dan faktor komplemen. Sedangkan cairan serosa
mengandung laktoferin, lisozim, inhibitor lekoprotease dan IgA sekretorik.
Glikoprotein yang dihasilkan oleh sel mukus penting untuk pertahanan lokal yang
bersifat antimikrobial. IgA berfungsi untuk mengeluarkan mikroorganisme dari jaringan
dengan mengikat antigen tersebut pada lumen saluran napas, sedagkan IgG beraksi dalam
mukosa dengan memicu reaksi inflamasi jika terpajan dengan antigen bakteri.
Pada sinus maksila, sistem transport mukosilier menggerakkan sekret sepanang
dinding anterior, medial, posterior dan lateral serta atap rongga sinus membentuk
gambaran halo atau bintang yang mengarah ke ostium alamiah. Setingi ostium, sekret
akan lebih kental tetapi drainasenya lebih cepat untuk mencegah tekanan negatif dan
berkembangnya infeksi. Kerusakan mukosa yang ringan tidak akan menghentikan atau
mengubah transport dan sekret akan melewati mukosa yang yang rusak tersebut. Jika
sekret lebih kental, sekret akan terhenti pada mukosa yang mengalami defek.
Gerakan sistem mukosilier pada sinus frontal mengikuti gerakan spiral. Sekret akan
berjalan menuju septum interfrontal, kemudian ke atap, dinding lateral dan bagian
inferior dari dinding anterior dan posterior menuju resesus frontal. Gerakan spiral menuju
ke ostiumnya terjadi pada sinus sfenoid, sedangkan pada sinus etmoid terjadi gerakan
rektilinear jika ostiumnya terletak di dasar sinus atau gerakan spiral jika ostium terdapat
pada salah satu dindingnya.
Terdapat dua rute besar transport mukosilier pada dinding lateral:
1. Merupakan gabungan sekresi sinus frontal, maksila dan etmoid anterior.
Sekretnya bergabung di dekat infundibulum etmoid selanjutnya berjalan
menuju tepi prosesus unsinatus, dan sepanjangn dinding medial konka inferior
menuju nasofaring melewati bagian anterior orifisium tuba eustachius.
Transport aktif berlanjut ke batas epitel bersilia dan skuamosa di nasofaring,
selanjutnya jatuh ke bawah dibantu dengan gaya gravitasi dan proses menelan.
2. Merupakan gabungan sekresi sinus etmoid posterior dan sfenoid yang bertemu
di resesus sfenoetmoid dan menuju nasofaring pada bagian postero-superior
orifisium tuba eustachius.
Sekret yang berasal dari meatus superior dan septum akan bergabung dengan sekret
rute pertama, yaitu di inferior dari tuba eustachius. Sekret dari septum akan
berjalan vertikal ke arah bawah terlebih dahulu kemudian ke belakang dan menyatu
di bagian inferior tuba eustachius.

II. 5 Rhinorrhea
Berasal dari kombinasi bahasa Yunani ‘rhinos’ yang berarti hidung dan
‘rrhea’ yang berarti cairan. Rinorrhea dapat didefinisikan sebagai keluarnya
cairan dari hidung atau sering disebut pilek. Sering muncul dari alergi atau
penyakit tertentu dan menjadi gejala umum dalam demam atau common cold.
Cairan yang keluar dapat berwarna jernih, hijau ataupun coklat.

II.5.1 Etiologi
Rhinorrhea adalah suatu kondisi yang tidak bisa dihubungkan hanya dengan satu
penyebab tapi berbagai penyebab.
a. Alergi
Dipicu oleh alergen atau suatu benda asing yang masuk ke dalam hidung
melalui udara dan debu.
b. Infeksi
Infeksi virus maupun bakteri dapat memicu rhinorrhea. Agen tersebut
yang bertanggung jawab dalam ISPA.
c. Bahan Iritan
Bahan iritan seperti penghilang cat kuku, cat, sampah, asap dan debu.
d. Makanan pedas
Makanan yang pedas atau kaya akan rasa pedas di dalamnya terdapat
sebuah senyawa kimia capsaicin atau sejenisnya dapat menyebabkan
inflamasi jaringan hidung yang menyebabkan keluarnya cairan mukosa
yang cair.
e. Cedera kepala
Cedera yang mengenai kepala atau otak juga dapat menyebabkan
Rinnorhea. Sebagai contohnya pada fraktur basis cranii yang menjadi
alasan utama penyebab cerebrospinal rhinorrhea.

II.5.2 Patofisiologi
Secara histologis, mukosa hidung dilapisi dengan epitel kolumnar yang bersilia dan
mengandung sel goblet serta kelenjar serosa dan mukosa. Apabila terjadi peradangan,
akan terjadi hipersekresi dan kerja silia terganggu. Pada fraktur basis cranii akan terjadi
bocornya cairan serebrospinal yang akan mengalir ke hidung

II.5.3 Diagnosis
Dalam diagnosis penyakit dengan gejala rinore dilakukan anamnesa, pemeriksaan
fisik serta penunjang agar tatalaksana dapat dilakukan secara adekuat.
Gejala pilek adalah awal atau sumber indikasi dari suatu penyakit. Sekret hidung
dari satu atau kedua rongga hidung, konsistensinya sekret, encer, bening seperti air,
kental, nanah atau bercampur darah. Sekret ini keluar hanya pada pagi hari atau pada
waktu-waktu tertentu saja karena sangat penting untuk menentukan diagnosa dan
penatalaksanaannya.
Sekret hidung yang disebabkan karena infeksi hidung biasanya jernih hingga
purulen. Sekret yang jernih seperti air dan banyak jumlahnya khas untuk alergi hidung.
Bila sekret berwarna kuning kehijauan biasanya berasal dari sinusitis dan hidung dan bila
bercampur darah hanya satu sisi patut dicurigai adanya suatu massa atau tumor hidung.
Sekret dari hidung yang turun ke tenggorok disebut dengan post nasal drip yang
kemungkinan berasal dari sinus paranasal.
Anamnesa yang baik perlu menanyakan onset, progresifitas, karakteristik cairan,
faktor yang memperbaiki dan memperburuk, riwayat trauma, tanda peradangan, riwayat
alergi, pekerjaan, serta riwayat pengobatan.
Pemeriksaan fisik dari rhinorrhea terdiri dari pemeriksaan bagian wajah dan hidung
terutama di daerah sinus maksilaris dan frontalis. Sifat dan warna mukosa hidung juga
dinilai. Periksa hidung, cek aliran udara dari kedua rongga hidung. Evaluasi ukuran,
warna dan kondisi dari mukosa hidung. Apabila mukosa berwarna merah atau berwarna
pucat, biru atau abu-abu maka periksa juga area di bawah masing-masing turbinate.
Pemeriksaan penunjang seperti smear eosinophil dan prick test yang tepat serta
stain Gram dan kultur bakteri dan jamur, dan foto rongent dari sinus pada kasus yang
dicurigai rhinosinusitis dapat membantu diagnosis pada kasus rhinorrhea yang menetap.

II.5.4 Klasifikasi dan Penatalaksanaan


Rhinorrhea dapat diklasifikasikan berdasarkan penyebabnya.

a. Infeksi
Tabel 1. Klasifikasi Rhinitis akibat infeksi bakteri
Bakteri
Pembeda Rhinitis Rhinitis Rhinoskleroma Rhinitis
Rhinitis Sifilis
Difteri Tuberkulosa Artrofi
Etiologi Corynebacter- M. Treponema Klebsiella Klebsiella
ium dphteriae Tuberculosis Palidum rhinoscleromatis ozaena. Kuman
spesifik lainnya
antara lain
Stafilokokkus,
Streptokokus,
Pseudomonas
dan Kokobasil
 Tahap  Bau napas
kataral/atrofi  Ingus kental
Gejala: ingus berwarna
 Bercak pada purulen, berbau hijau
mukosa dan krusta  Krusta hijau
 Demam, (gumma/  Tahap  Gangguan
toksikemia,  Hidung ulkus) granuloma-tosa penghidu
limfadeniti tersumbat  Sekret Gejala: seperti  Sakit kepala
Gejala
s, pralisis  Sekret mukopurule polip,  Hidung
 Ingus mukopuru- n berbau + deformitas tersumbat
bercampur len krusta, puncak hidung,  Rongga
darah perforasi epistaksis hidung
septum/  Tahap lapang
hidung sklerotik/sika-  Konka
pelana triks inferior dan
Gejala:penyem- media bisa
pitan saluran hipertrofi
nafas atau atrofi
 Pseudo- BTA (+)  Secret Histopatologi Pemeriksaan
membran mukopuru- dengan gambaran histopatologi
putih yang len berbau sel Mikulic tampak
mudah dan krusta metaplasia
berdarah  Perforasi epitel torak
 Krusta septum / bersilia
coklat pada hidung menajdi epitel
Pemeik-
nares pelana kubik atau
saan
anterior dan gepeng
rongga berlapis, silia
hidung menjadi lebih
tipis, kelenjar-
kelenjar
bergenereasi
atau atrofi.
 ADS  Obat  Penisilin  Antibiotik  pemberian
 Penisilin tuberkulosis  Obat cuci jangka antibiotik
local dan  Pencuci hidung panjang spektrum
Penata-
IM hidung  Operasi untuk luas
laksa-
pengangkatan  obat cuci
naan
sikatriks hidung
 operatif
 FESS
Tabel 2. Klasifikasi Rhinitis akibat infeksi virus dan parasit
Virus Parasit
Pembeda
Rhinitis Simpleks Rhinitis Jamur
Myxovirus, virus
Aspergillus, Candida, Histoplasma,
Etiologi Coxsackie dan virus
Fussarium dan Mucor
ECHO
 Hidung kering, panas  non-invasif
dan gatal  menyerupai rinolit (gumpalan jamur)
 Bersing berulang dengan inflamasi mukosa yang lebih
 Hidung tersumbat berat
 Ingus encer → kental  tidak terjadi destruksi kartilago dan
bila infeksi sekunder tulang
oleh bakteri  invasif
Gejala
 Demam  ditemukan-nya hifa jamur di lamina
 Nyeri kepala propria
 perforasi septum atau hidung pelana
 sekret mukopuru-len
 ulkus / perforasi pada septum dan
disertai dengan jaringan nekrotik
berwarna kehitaman (Black Eschar)
 Secret mukopu-rulen
 Ulkus
Pemeik-saan Demam
 Perforasi septum disertai nekrotik
kehitam-an (black eschar)
 Istirahat,  pembedahan
 obat simtomatis  debridement
Penatalaksanaan  antibiotik jika  amfoterisin B
terinfeksi skunder
bakteri

Rhinorrhea yang disebabkan karena infeksi selain rhinitis yakni rhinosinusitis.


Berikut adalah penjelasan mengenai rhinosinusitis.

1) Definisi Rhinosinusitis
Rhinosinusitis pada dewasa dapat diartikan inflamasi hidung dan sinus paranasal yang
digolongkan menjadi dua gejala atau lebih gejala, salah satu harus terpenuhi seperti
hidung tersumbat/obstruksi/kongesti atau keluarnya cairan nasal baik anterior atau post
nasal drip:

2) Klasifikasi Rhinosinusitis
Klasifikasi rhinosinusitis secara klinis dapat dibedakan menjadi akut dan kronis
a. Rhinosinusitis akut (RSA), jika memenuhi kriteria sebagai berikut:
 Gejala berlangsung <12 minggu
 Terdapat minimal dua gejala berikut:
 Hidung tersumbat
 Keluar sekret pada hidung
 Adanya nyeri tekan pada wajah
 Menurunnya fungsi penghidu
Penyebab rhinosinusitis akut dibedakan menjadi virus dan bakteri.
a. Rhinosinusitis viral akut (common cold), umumnya durasi < 10 hari.
b. Rhinosinusitis post viral akut apabila gejala menetap lebih dari 10
hari.
c. Rhinosinusiti bakteri, secara klinis dapat ditegakkan apabila
ditemukan minimal tiga gejala atau lebih tanda berikut:
- Ingus purulen (umumnya unilateral)
- Nyeri berat lokal (biasanya unilateral)
- Demam >380
- Peningkatan laju endap darah (LED) atau C-reactive protein
(CRP)
- Adanya perburukan gejala setelah 5 hari
b. Rhinosinusitis Kronik. Disebut rhinosinusitis kronik jika memenuhi
kriteria berikut:
 Gejala >12 minggu
 Terdapat minimal dua gejala berikut:
 Hidung tersumbat
 Keluar sekret pada hidung
 Adanya nyeri tekan pada wajah
 Menurunnya fungsi penghidu
3) Tatalaksana
Penatalaksanaan dilakukan tergantung penyebabnya. Pada
rinosinusitis viral dapat dilakukan dengan menghilangkan gejala dari
hidung tersumbat dan rinore yang diderita, sedangkan untuk rinosinusitis
yang disebabkan oleh infeksi bakteri dapat dilakukan penatalaksanaan
dengan pemberian antibiotik untuk mengeradikasi infeksi, mencegah
komplikasi dan mencegah penyakit agar tidak menjadi kronis.
Adapun algoritme pendekatan yang disarankan dalam melakukan tatalaksana
dari rinosinusitis dapat dijelaskan pada gambar 7.

Gambar 7. Algoritme pendekatan dalam tatalaksana rinosinusitis akut5

Menurut The European Position Paper on Rhinosinusitis and


Nasal Polyps (EPOS) 2012 merekomendasikan pemberian antibiotik harus
diberikan pada pasien dengan gejala yang berat seperti discharge yang
bewarna, nyeri local (VAS >7), demam (>380C), peningkatan laju endap
darah (LED) atau C-reactive protein (CRP) serta gejala yang timbul lebih
berat dari gejala sebelumnya.5 Adapun pengobatan antibiotik seperti
golongan cephalosporin (cefpodoxime, cefuroxime, cefdinir, ceftriaxone)
dan amoxicillin/clavulanate potassium dapat direkomendasikan sebagai
pengobatan inisial.6 Pasien dilakukan rujuk jika ditemukan beberapa
kondisi sebagai berikut periorbital edema,eritema, globe dysplaced,
penglihatan ganda, oftalmoplegia, pengurangan lapangan penglihatan,
nyeri kepala yang hebat unilateral atau bilateral, bengkak pada bagian
frontal, tanda-tanda meningitis dan tanda-tanda neurologis lainnya.
b. Allergen
Tabel 3. Sinusitis yang menyebabkan rhinorrhea yang diakibatkan allergen
Sinusitis
Pembeda Akut Sub Akut Kronik
Waktu 0 – 4 minggu 4minggu – 3 bulan > 3 bulan
Patologi Penyumbatan Sama dengan Silia rusak →
kompleks sinusitis akut Perubahan mukosa
osteomeatal oleh hidung → ireversibel,
infeksi, obstruksi kerusakan silia
mekanis, alergi

mukosa reversibel
Anamnesa  hidung Sama dengan  Sekret di hidung
tersumbat sinusitis akut tapi  Post nasal drip
 nyeri daerah tanda radang akutnya  Rasa tidak nyaman,
sinus mereda gatal di tenggorok
 nyeri alih →  Pendengaran
 maksila: terganggu
kelopak mata,  Nyeri kepala
gigi, dahi,  Gangguan di mata
depan telinga  Batuk
 etmoid: pangkal  Gejala saluran cerna
hidung, bola akibat mukopus
mata, pelipis tertelan
 frontal: dahi,
kepala
 sfenoid:
verteks,
oksipital,
belakang bola
mata, mastoid
 demam, lesu
 Ingus kental,
berbau
Pemeriksaan  bengkak daerah Sama dengan Tidak seberat sinusitis
muka/pipi/kelop sinusitis akut tapi akut
ak mata tanda radang akutnya  bengkak wajah (-)
 mukosa konka mereda  sekret kental purulen
edema  post nasal drip
 hiperemis
 post nasal drip
 transluminasi
(+)
 air fluid level
Terapi  Antibiotik 1. Antibiotik 1. Antibiotik
 Dekongestan spektrum luas 2. Dekongestan lokal
lokal tetes 2. Dekongestan lokal 3. Analgetik
hidung tetes hidung 4. Diatermi
 Analgetik 3. Analgetik 5. Pungsi dan irigasi
4. Antihistamin sinus
5. Mukolitik 6. Operasi radikal
6. diatermi CWL, BSEF
7. Pungsi irigasi

Selain sinusitis yang dapat sebabkan rhinorrhea yakni rhinitis alergi.

a) Definisi Rhinitis Alergi


Penyakit inflamasi yang disebabkan oleh reaksi alergi pada pasien atopi
yang sebelumnya sudah tersensitasi dengan alergen yang sama serta
dilepaskannya mediator kimia ketika terjadi paparan ulang dengan alergen
tersebut.
Menurut ARIA
Secara klinis hipersensifitas hidung dengan gejala diperantai oleh imun
(tersering IgE) inflanasi setelah pajanan dari membrane mukosa hidung
dengan pajanan. Gejala dari rhinitis adalah bersin-bersin, rinore, rasa gatal
dan tersumbat dan postnasal drip yang muncul secara spontan atau pada
pengobatan. Dapat juga disertai konjungtivitis alergi.
b) Klasifikasi
1) Durasi
 Intermiten: gejala muncul kurang dari 4 hari dalam seminggu
kurang dari 4 minggu.
 Presisten: gejala muncul > 4 hari dalam seminggu lebih dari 4
minggu.
2) Keparahan
 Ringan
Tidak ditemukan gangguan tidur, gangguan aktivitas harian,
bersantai, olahraga, bekerja, belajar dan hal lain yang mengganggu
 Sedang-Berat
Terdapat satu atau lebih gangguan diatas
c) Mekanisme
Mekanisme terjadinya pilek atau rinore adalah sebagai berikut:
1) Allergen yang masuk tubuh melalui saluran pernafasan, kulit, saluran
pencernaan dan lain-lain akan ditangkap oleh makrofag yang bekerja
sebagai antigen presenting cells (APC).
2) Setelah alergen diproses dalam sel APC, kemudian oleh sel tersebut,
alergen dipresentasikan ke sel Th. Sel APC melalui penglepasan
interleukin I (II-1) mengaktifkan sel Th. Melalui penglepasan
Interleukin 2 (II-2) oleh sel Th yang diaktifkan, kepada sel B diberikan
signal untuk berproliferasi menjadi sel plasma dan membentuk IgE.
3) IgE yang terbentuk akan segera diikat oleh mastosit yang ada dalam
jaringan dan basofil yang ada dalam sirkulasi. Hal ini dimungkinkan
oleh karena kedua sel tersebut pada permukaannya memiliki reseptor
untuk IgE. Sel eosinofil, makrofag dan trombosit juga memiliki
reseptor untuk IgE tetapi dengan afinitas yang lemah.
4) Bila orang yang sudah rentan itu terpapar kedua kali atau lebih dengan
alergen yang sama, alergen yang masuk tubuh akan diikat oleh IgE
yang sudah ada pada permukaan mastofit dan basofil. Ikatan tersebut
akan menimbulkan influk Ca++ ke dalam sel dan terjadi perubahan
dalam sel yang menurunkan kadar cAMP.
5) Kadar cAMP yang menurun itu akan menimbulkan degranulasi sel.
Dalam proses degranulasi sel ini yang pertama kali dikeluarkan adalah
mediator yang sudah terkandung dalam granul-granul (preformed) di
dalam sitoplasma yang mempunyai sifat biologik, yaitu histamin,
Eosinophil Chemotactic Factor-A (ECF-A), Neutrophil Chemotactic
Factor (NCF), trypase dan kinin. Efek yang segera terlihat oleh
mediator tersebut ialah obstruksi oleh histamin.
6) Histamin menyebabkan Vasodilatasi, penurunan tekanan kapiler &
permeabilitas, sekresi mucus
7) Sekresi mukus yang berlebih itulah yang menghasilkan pilek atau
rinore.
d) Diagnosis
Anamnesa:
 Bersin berulang (terutama pagi hari)
 Kontak dengan debu
 Rinore encer dan banyak
 Hidung tersumbat
 Hhidung dan mata gatal (dapat disertai lakrimasi)
Pemeriksaan Fisik:
 Rinoskopi anterior
 Mukosa edema
 Basah
 Berwarna pucat
 Sekret encer yang banyak
 Persisten : mukosa inferior tampak hipertrofi
 Allergic Shinner
 Allergic Salute
 Allergic Crease
 Mulut sering terbuka dengan lengkung langit-langit tinggi: gangguang
pertumbuhan gigi geligi
 Dinding posterior faring tampak granuler dan edema
 Dinding lateral faring menebal
 Geographic Tongue
Pemeriksaan Penunjang:
 Eosinofil meningkat
 Serum IgE meningkat (tes RAST atau ELISA)
 Sitologi: Eosinofil banyak (alergi inhalan), basofil > 5 sel/lap (alergi
makanan), sel PMN (infeksi bakteri)
Uji Kulit: SET untuk alergi inhalan, IPDFT untuk alergi makanan.
e) Terapi

Gambar 8. Algoritma Penatalaksanaan Rhinitis Alergi9

c. Non Infeksi dan Non Allergen


Tabel 4. Penyebab Rhinorrhea selain infeksi dan allergen

Pembeda Rhinitis Rhinitis Rhinitis Korpus


Vasomotor Medikamentosa Hipertrofi Alineum7
Definisi Keadaan Idiopatik Kelainan hidung Perubahan Benda asing dari
yang didiagnosa berupa gangguan mukosa hidungg luar atau dalam
tanpa adanya respon normal pada konka tubuh yang
infeksi, alergi, vasomotor yang inferior yang dalam keadaan
eosinofilia, diakibatkan mengalami normal tidak ada
perubahan pemakaian hipertrofi karena pada tubuh
hormonal, dan vasokonstriktor infeksi primer
pajanan obat. topikal jangka lama atau sekunder
dan berlebihan
menyebabkan
sumbatan hidung
menetap.
Penyebab Etiologi dan Penggunaan obat Infeksi Benda eksogen:
patofisiologi belum vasokonstriktor Berulang di benda padat,
diketahui dengan topikal jangka lama hidung/sinus cair, gas, larva
pasti namun ada dan berlebihan Lanjutan rinitis lalat, lintah dan
hipotesis: alergi/vaso- cacing, manic-
1. Neurogenik motor manik, baterai,
2. Neuropepti logam, kancing
da baju
3. Nitrit
Oksida Benda
4. Trauma endogen: secret,
darahm nanah,
krusta,
membrane
difteri

Diagnosis Anamnesa: Anamnesa: Anamnesa:


 Hidung  Hidung  Sumbatan
tersumbat, tersumbat hidung
bergantian terus  Sekret
kanan dan kiri menerus dan banyak
 Rinore berair (mukopurule
mukoid/serosa Pemeriksaan: n)
 Gejala  Konka  Nyeri kepala
memburuk pagi hipertrofi/ed Pemeriksaan:
hari waktu ema  Konka
bangun tidur  Sekret hipertrofi,
 Bersin hidung permukaan
 Pencetus: berlebihan berbenjol-
rangsangan non  Pemberian benjol
spesifik (asap, tampon karena
bau menyengat, adrenalin, mukosa
makanan pedas, edema konka hipertrofi
udara dingin) tidak
berkurang
Pemeriksaan:
 Mukosa hidung
edema
 Konka
berwarna
merah
gelap/merah tua
 Permukaan
konka
licin/hipertrofi
 Rongga hidung
terdapat sekret
mukoid
sedikit/serosa
banyak

Penunjang:
 Eosinofil
jumlah sedikit
 Uji Kulit
Negatif
 IgE normal
Terapi 1. Hindari 1. Menghentikan 1. Sesuai Pengangkatan
stimulus pemakaian obat penyebab segera dengan
2. Medikamentosa tetes/semprot 2. Kauterisasi endoskop,
: vasokonstriksi konka dengan pengait
 dekongestan hidung (haak), atau
oral 2. Kortikosteroid cunam Nortman
 obat cuci jangka pendek atau wire loop.
hidung dan dosis
 kauterisasi Tappering off
konka AgNO3 3. Dekongestan oral
25%
 Kortikosteroid
3. Operasi:
 Bedah beku
 elektrokauter
 konkotomi
parsial konka
inferior
II.6 Rhinorrhea akibat cairan serebrospinal
Rinorea Cairan Serebrospinal (RCS) adalahsuatu keadaan adanya hubungan
yang tidaknormal antara ruang subarachnoid denganrongga hidung.
Hal ini disebabkan oleh karena rusaknya semua pertahanan yang
memisahkan antara ruang subarachnoid dengan rongga hidung, yang ditandai
dengan adanya pembukaan pada arachnoid, dura dan tulang, yang merupakan
jalan keluar cairan serebrospinal (CSS) ke rongga hidung
Anamnesis yang lengkap merupakan langkahpertama dalam membuat
diagnosis kebocoran CSS.Gejala utama rinore CSS adalah adanya cairan
beningyang mengalir dari hidung. Pada kasus trauma, lebihkurang 55 % kasus
rinore CSS muncul dalam 48 jamsetelah trauma, menjadi 70% pada akhir
minggupertama ketika edema yang menghambat alirankebocoran CSS
menghilang.
Protein Beta-Trace juga dikenal sebagai prostaglandin D sintase, protein ini
disintesis terutama di sel arachnoid, oligodendrocytes, dan choroids pleksus dalam
SSP. Tes ini telah digunakan untuk mendiagnosa CSF rhinorrhea dalam beberapa
studi, dengan sensitivitas 92% dan spesifisitas 100%. Tes ini tidak spesifik untuk
mengetahui sisi kebocoran.
Hiposmia atau anosmia merupakan keluhantambahan lainnya yang terjadi
pada 60% - 80% kasusrinore CSS sebagai akibat kerusakan saraf olfaktoriakibat
fraktur fossa kribriformis

Terapi
Penatalaksanaan konservatif pada rinore CSSdapat berupa istirahat di
tempat tidur denganmeninggikan kepala 15-30 derajat, sehingga
mengurangijumlah cairan CSS yang keluar. Mencegah timbulnyabatuk, bersin,
nasal blowing dan mengejan. Pencahardiberikan untuk mencegah mengejan.
Disamping itujuga diberikan antitusif dan antiemetik. Apabila tidakterdapat
perbaikan dalam 72 jam, drainase lumbalkontinu berulang dilakukan untuk empat
hariberikutnya untuk mengeluarkan CSS 150 ml/hari
Tindakan operasi pada rinore CSS dapatdibedakan atas pendekatan
intrakranial danekstrakranial, dengan kelebihan dan kekurangannyamasing-

26
masing. Pemilihan pendekatan tergantungpada penyebab kebocoran, lokasi
kebocoran, adanyapeningkatan tekanan intrakranial dan adanyaensefalokel.
Pendekatan intrakranial memerlukan kraniotomi dapat berupa kraniotomi
frontal ataukraniotomi fossa media. Pendekatan ini cenderungdengan morbiditas
dan mortalitas yang lebih tinggiserta perawatan yang lebih lama. Di samping
ituanosmia merupakan komplikasi yang sering padatindakan kraniotomi akibat
cedera terhadap sarafolfaktori yang tidak dapat dihindari. Kelebihanpendekatanini
adalah dapat melakukan penutupandefek pada dura secara rapat dan
penutupankebocoran multipel.
Pendekatan intrakranial selanjutnyadibedakan atas ekstradural dan
intradural. Padapendekatan ekstradural otak terhindar dariregangansaat tindakan,
berbeda dengan pendekatan intradural,meskipun memberikan lapangan pandang
yang lebihbaik, namun tindakan ini menyebabkan otak terpaparsehingga risiko
terjadinya infeksi lebih tinggi. Padakedua tindakan ini dilakukan pengeluaran CSS
melaluidrain lumbal untuk beberapa hari pasca operasisampai diperkirakan edema
otak menghilang.
BAB III
KESIMPULAN

Rhinorrhea merupakan cairan atau sekret yang keluar dari hidung. Sekret
atau cairan yang keluar bias bersifat serosa, mukopurulen, ataupun darah.
Rhinorrhea sendiri bukan merupakan suatu penyakit melainkan gejala dari suatu
penyakit. Oleh karena itu anamnesis, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan
penunjang yang baik penting dilakukan guna membantu menegakkan diagnosa
kelainan yang mendasari rhinorrhea. Terapi yang adekuat juga diperlukan guna
menurunkan angka kekambuhan yang disebabkan oleh penyakit-penyakit yang
mendasari rhinorrhea serta komplikasinya.
DAFTAR PUSTAKA

1. Adams, GL. 1997. BOIES : Buku Ajar Penyakit THT / George L. Adams,
Lawrence R. Boies, Peter H. Higler; alih bahasa, Caroline Wijaya ; editor,
Harjanto Efendi. Ed 6. Jakarta: EGC.
2. Soepardi EA. Et. Al. 2012. Buku ajar ilmu kesehatan telinga hidung
tenggorok kepala dan leher. Ed 7. Jakarta: Balai Penerbit Fakultas
Kedokteran Indonesia.
3. Moore. Anatomi Klinis
4. Tanto, Chris. 2014. Kapita Selekta Kedokteran. Ed 4. Jakarta: Penerbit Media
Aesculapis
5. Fokkens WJ, Lund VJ, Mullol, Bachert C, Alobid I, Baroody F, et al.
European Paper on Rhinosinusitis and Nasal Polyps 2012.
6. Dewey C, Sched MD, Robert M. Acute bacterial rhinosinusitis in adults: part
II.treatment. American Academy Family Physician.Oklahoma.2004
7. Junizaf MH. Benda asing di saluran nafas. Dalam : Buku Ajar Ilmu
Kesehatan Telinga Hidung Tenggorok Kepala dan Leher. Editor: Soepardi
EA, Iskandar N, Bashiruddin J, Restuti RD. Edisi ke-7. Jakarta:Balai Penerbit
FK UI. 2012
8. Brożek JL, Bousquet Jean, Cagnani CEB, et al. Allergic Rhinitis and its Impact
on Asthma (ARIA) 2010 Revision.
9. Kim HY, Kim Kyung-Su. Diagnosis and treatment of allergic rhinitis. J
Korean Med Assoc 2010.

Anda mungkin juga menyukai