Anda di halaman 1dari 39

LOG BOOK

QBL 7

Asuhan Keperawatan Pada Pasien Perioperative Di Kamar Bedah

Dosen pengampu : Ns. Fiora Ladestiva, M.Kep. Sp.Kep. MB

Disusun oleh :

Kelas Keperawatan medikal bedah III Tutor F

UNIVERSITAS PEMBANGUNAN NASIONAL “ VETERAN JAKARTA

FAKULTAS ILMU-ILMU KESEHATAN

PRODI S1 KEPERAWATAN

2019
1. PRA OPERATIF

A. Informed Consent

Informed consent adalah dokumen berkekuatan hukum yang


menyatakan bahwa klien telah diberi tahu dan memahami semua aspek dari
prosedur invasif. Izin tertulis yang dibuat secara sadar dan sukarela dari pasien
diperlukan sebelum pembedahan dilakukan. Izin tertulis seperti itu melindungi
pasien terhadap pembedahan yang lalai dan melindungi ahli bedah terhadap
tuntutan dari suatu lembaga hukum. Demi kepentingan semua pihak yang
terkait, perlu mengikuti prinsip medikolegal yang baik. Tanggung jawab
perawat adalah untuk memastikan bahwa informed consent telah didapat
secara sukarela dari pasien oleh dokter.

Sebelum pasien menandatangani formulir consent, ahli bedah harus


memberikan penjelasan yang jelas dan sederhana tentang apa yang akan
diperlukan dalam pembedahan. Ahli bedah juga harus menginformasikan
pasien mengenai alternatif-alternatif yang ada,kemungkinan risiko,
komplikasi, perubahan bentuk tubuh, menimbulkan kecacatan,
ketidakmampuan, dan pengangkatan bagian tubuh, juga tentang apa yang
diperkirakan terjadi pada periode pascaoperatif awal dan lanjut.

Persetujuan tindak medik diperlukan ketika:

 Prosedur tindakan adalah invasif, seperti insisi bedah, biopsi, sitoskopi,


dan parasentesis.
 Menggunakan anestesi
 Prosedur non-bedah yang dilakukan dimana risikonya pada pasien lebih
dari sekedar risiko ringan, seperti arteriogram
 Prosedur yang dilakukan mencangkup terapi radiasi atau kobalt.

Pasien secara pribadi menandatangani consent jika dia telah mencapai


usia legal dan mampu secara mental. Bila pasien dibawah umur, atau tidak
sadar atau tidak kompeten, izin harus didapat dari anggota keluarga yang
bertanggung jawab atau wali yang sah. Individu di bawah umur dengan
kondisi khusus (menikah atau yang dapat menghidupi dirinya sendiri) dapat
menandatangani izin tersebut.

Pada kasus-kasus kedaruratan, penting bagi ahli bedah untuk


mengambil tindakan yang bersifat penyalamatan berupa informed consent dari
pasien. Namun demikian, setiap usaha harus dilakukan untuk menghubungi
pihak keluarga pasien. Pada situasi ini komunikasi dapat dilakukan melalui
telepon, telegram, fax, atau media elektronik lainnya. Jika tidak ada keluarga
tau orang lain yang sah secara hokum, salah seorang akan ditunjuk oleh
pengadilan.

Jika pasien ragu-ragu dan tidak sempat mencari pengobatan alternatif,


opini orang kedua dapat diterima. Tidak ada pasien yang boleh dipaksa untuk
menandatangani izin operasi. Penolakan terhadap prosedur pembedahan
adalah hak hukum dan hak istimewa setiap orang. Tetapi informasi tersebut
perlu didokumentasikan dan disampaikan ke ahli bedah sehingga pengaturan
lain dapat dibuat.

Proses consent ini dapat dilengkapi dengan memberikan materi


audiovisual untuk melengkapi diskusi, dengan memastikan bahwa kata-kata
formulir consent dapat dipahami, dan dengan menggunakan strategi dan
sumber-sumber lain sesuai dengan kebutuhan pasien.

Formulir consent yang ditandatangani diletakkan ditempat yang mudah


dilihat pada kardeks pasien dan menyertai pasien keruang operasi.
Kriteria untuk informed consent yang absah :

KOMPONEN KETERANGAN
Persetujuan Persetujuan yang absah harus diberikan dengan bebas, tanpa
diberikan tertekan.
dengan
konsumen

Subjek tidak Definisi legal, individu yang tidak otonom dan tidak dapat
kompeten memberikan atau menyimpan persetujuan.
Subjek yang di- Formulir consent harus tertulis, di dalam Undang-Undang yang
informed berikut;
 Penjelasan tentang prosedur dan risikonya
 Deskripsi tentang manfaatnya dan alternatif
 Suatu pemberian jawaban atas pertanyaan mengenai
prosedur
 Instruksi yang memungkinkan pasien untuk menarik
persetujuan.
 Penyataan yang menginformasikan pasien apakah
protokol berbeda dengan prosedur yang lazim
Subjek mampu Identitas harus tertulis dan diberikan dalam bahasa yang dapat
memahami dipengaruhi pasien. Pertanyaan harus dijawab untuk
memfasilitasi pemahaman jika materinya membingungkan.
Perilaku perawat dalam pemberian informed consent

1. Peran sebagai Advocate

 Melindungi pasien terhadap tindakan malpraktik dokter


 Membantu pasien dan keluarga dalam menginterpretasi berbagai informasi
dari pemberi layanan atau informasi lain khususnya dalam pengambilan
persetujuan atas tindakan yang diberikan terhadap pasien
 Mempertahankan dan melindungi hak-hak pasien yang meliputi hak oleh
pelayanan sebaik-baiknya, hak atas informasi tentang penyakitnya, hak
untuk menentukan nasibnya sendiri dan hak untuk menerima ganti rugi
akibat kelalaian.

2. Peran sebagai Counsellor

Peran perawat sebagai counsellor adalah mengatasi tekanan psikologis


dengan mencari penyebab kecemasannya, memberikan keyakinan dalam
mengurangi kecemasan pasien. Konseling adalah proses membantu pasien untuk
menyadari dan mengatasi tekanan psikologis atau masalah sosial, untuk
membangun hubungan interpersonal yang baik, dan untuk meningkatkan
perkembangan seseorang dimana didalamnya diberikan dukungan emosional dan
intelektual. Hal ini sejalan dengan apa yang dilakukan perawat melalui perannya
sebagai counsellor sebagaimana yang terungkap diatas. Pendapat lain mengatakan
bahwa peran perawat sebagai counsellor adalah menggali respon pasien dan
mengklarifikasi informasi yang pasien belum mengerti serta memberikan motivasi
dalam mengambil keputusan.

3. Peran sebagai consultant

Perawat memperhatikan hak pasien dalam menentukan alternatif baginya


dalam memilih tindakan yang tepat dan terbaik serta memposisikan dirinya
sebagai tempat berkonsultasi untuk memecahkan suatu permasalahan. Perawat
berperan sebagai tempat konsultasi bagi pasien terhadap masalah yang dialami
atau mendiskusikan tindakan keperawatan yang tepat untuk diberikan.

B. Persiapan Psikologi

Terkadang pasien dan keluarga yang akan menghadapi operasi emosinya


tidak stabil. Hal ini disebabkan karena:

1. Takut akan perasaan sakit dan takut akan hasil dari operasi tersebut
2. Keadaan status ekonomi dari keluarga
Maka Penyuluhan merupakan fungsi terpenting dari perawat pada fase pra
bedah dan dapat mengurangi cemas pada pasien. Berikut ini hal-hal penyuluhan
yang dapat di berikan kepada pasien pra bedah :

a. penjelasan tentang peristiwa


Informasi yang didapatkan oleh pasien dan keluarganya sebelum operasi
1) pemeriksaan pemeriksaan sebelum operasi
2) hal-hal rutin yang dilakukan sebelum operasi
3) alat-alat khusus yang harus diperlukan
4) Pengiriman ke ruangan bedah
5) Ruangan pemulihan
6) kemungkinan pengobatan-pengobatan setelah operasi
a) Perlu peningkatan mobilitas sedini mungkin
b) Perlu kebebasan saluran nafas
c) Antisipasi pengobatan
 Bernafas Dalam dan latihan batuk
 latihan kaki
 Mobilisasi
 Membantu kenyamanan dan memberikan kenyamanan

C. Persiapan Fisiologi

1. Diet (puasa) : Pada operasi dengan anaesthesi umum, 8 jam menjelang


operasi pasien tidak diperbolehkan makan, 4 jam sebelum operasi pasien
tidak diperbolehkan minum. Pada operasai dengan anaesthesi lokal /spinal
anaesthesi makanan ringan diperbolehkan. Tujuannya supaya tidak
aspirasi pada saat pembedahan, mengotori meja operasi dan mengganggu
jalannya operasi.
2. Persiapan Perut : Pemberian leuknol/lavement sebelum operasi dilakukan
pada bedah saluran pencernaan atau pelvis
daerah periferal. Tujuannya mencegah cidera kolon, mencegah konstipasi
dan mencegah infeksi.
3. Persiapan Kulit : Daerah yang akan dioperasi harus bebas dari rambut
4. Hasil Pemeriksaan : hasil laboratorium, foto roentgen, ECG,USG dan lain-
lain.
5. Persetujuan Operasi / Informed Consent Izin tertulis dari pasien /keluarga
harus tersedia.
2. INTRA OPERATIF

A. Penerapan Teknik Sterilisasi

Teknik Aseptik dan Antiseptik Kamar Operasi

Teknik aseptik kamar operasi adalah tindakan yang dilakukan


untuk mencegah terjadinya kontaminasi oleh mikroorganisme pada
jaringan atau bahan-bahan dengan cara menghambat atau menghancurkan
tumbuhnya organisme dalam jaringan.

Tujuan penerapan tehnik aseptik di kamar operasi:

1) Mencegah penyebaran bakteri dalam kamar operasi


2) Membunuh kuman-kuman atau mikroorganisme
3) Mencegah timbulnya infeksi luka operasi

Untuk memepertahankan sterilitas kamar operasi harus diperhatikan aspek yang


meliputi:

A. Lingkungan

1. Lingkungan kamar operasi harus selalu dalam keadaan bersih dan siap
pakai

2. Alas kaki petugas harus dibedakan untuk ruang operasi, kamar kecil dan
kegiatan di luar kamar operasi

3. Pintu kamar operasi harus selalu dalam keadaan tertutup serta batasi lalu
lintas keluar masuknya petugas

4. Membuat jadwal-jadwal pembersihan rutin kamar bedah dilaksanakan


dengan disiplin dan cermat

5. Lakukan uji bakteriologi secara rutin, minimal 3 bulan sekali terhadap


alat-alat, air, dan debu. Sedangkan untuk pegawai dilakukan uji
kesehatan secara periodik minimal 6 bulan sekali.
6. Air yang dipakai harus memenuhi syarat (bebas kuman dan pertikel)

7. Pengontrolan debu. Untuk mencegah debu berterbangan dan udara luar


tidakmasuk ke dalam operasi maka:

a) Tidak boleh meletakkan alat operasi tepat di depan lubang


pembuangan udara

b) Memasang filter pada sistem ventilasi untuk membatasi masuknya


debu

c) Membersihkan alat dan ruangan secara teratur setiap hari

B. Petugas
Semua petugas yang masuk kamar operasi harus mematuhi hal-hal sebagai
berikut:
1. Dalam penerapan tehnik aseptik hanya tim bedah steril yang boleh
berada di daerah steril

2. Menaati batasan tegas tiga area di kamar operasi

3. Harus memakai baju khusus, topi dan masker

4. Ahli anestesi dan perawat sirkuler tidak boleh melintas di depan tim
bedah yang sudah memakai baju steril

5. Tim bedah steril harus melakukan prosedur pemakaian topi,


masker, cuci tangan, pemakaian jas steril dan topi dengan cara yang
tepat.

Hal-hal yang perlu diperhatikan untuk menjamin sterilitas:

1. Kuku petugas harus pendek

2. Harus membatasi gerakan tubuh agar bagian yang steril tidak menyentuh
bagian atau alat yang tidak steril Harus menjaga jarak yang aman dari alat
yang non steril (minimal 30cm)
3. Memperhatikan sterilitas bagian depan dan punggung badan sebatas
pinggang ke atas

4. Harus selalu menghadap ke area steril

5. Posisi tangan paling rendah sebatas pinggang dengan cara melipatkan


kedua tangan di depan dada

6. Semua petugas terutama yang berada di area steril berbicara seperlunya

7. Mencuci tangan sesuai dengan prosedur

8. Mempertahankan sterilitas tangan dengan cara posisi tangan berada di atas


dada

9. Sebelum memakai jas steril agar memeriksa keutuhan jas

10. Sarung tangan dikenakan setelah memakai jas steril

11. Sarung tangan yang dikenakan harus sesuai dengan ukuran tangan

12. Pada saat dan selama memakai sarung tangan, tidak boleh menyentuh
benda tidak steril

13. Sebelum bekerja periksa ada atau tidak kebocoran sarung tangan

14. Mempertahankan sterilitas daerah depan dan punggung badan

15. Jika bersisipan jalan, posisi badan harus saling membelakangi

16. Harus menjaga jarak yang aman dari alat non steril

17. Petugas lain tidak boleh melintas di depan tim bedah yang sudah memakai
baju steril

18. Setiap pergantian operasi, harus ganti jas operasi dan sarung tangan

19. Petugas bicara seperlunya khususnya pada pasien dengan pembisuan


regional (lumbal anesthesi)
B. Peraturan Dasar Asepsis Bedah

Umum

 Permukaan atau benda steril dapat bersentuhan dengan permukaan atau


benda lain yang steril dan tetap steril; kontak dengan benda tidak steril
pada beberapa titik membuat area steril terkontaminasi.
 Jika terdapat keraguan tentang sterilitas pada perlengkapan atau area,
maka dianggap tidak steril atau terkontaminasi.
 Apapun yang steril untuk satu pasien (terbuka di baki steril atau meja
dengan perlengkapan steril) dapat digunakan hanya pada pasien ini.
Perlengkapan steril yang tidak dipakai harus dibuang atau disterilkan
kembali jika akan digunakan kembali.

Personel

 Personel yang scrub tetap dalam area prosedur bedah, jika personel scrub
meninggalkan ruang operasi, status sterilnya hilang. Untuk kembali
kepada pembedahan, orang ini harus mengikuti lagi prosedur scrub,
pemakaian gown dan sarung tangan.
 Hanya sebagian kecil dari tubuh individu scrub dianggap steril: dari bagian
depan pinggang sampai daerah bahu, lengan bawah dan sarung tangan.
Untuk itu, tangan yang mengenakan sarung tangan harus berada di depan
antara bahu dan garis pinggang.
 Pada beberapa ruang operasi, suatu pelindung khusus yang menutupi gaun
dipakai, yang memperluas area steril.
 Perawat instrumentasi dan semua personel yang tidak scrub tetap berada
pada jarak aman untuk menghindari kontaminasi di area steril.

Penutup/Draping

 Selama menutup meja atau pasien, penutup steril dipegang dengan baik di
atas permukaan yang akan ditutup dan diposisikan dari depan ke belakang.
 Hanya bagian atas dari pasien atau meja yang ditutupi dianggap steril;
penutup yang menggantung melewati pinggir meja adalah tidak steril.
 Penutup steril tetap dijaga dalam posisinya dengan menggunakan penjepit
atau perekat agar tidak berubah selama prosedur bedah.
 Robekan atau bolongan akan memberikan akses ke permukaan yang tidak
steril di bawahnya, menjadikan area ini tidak steril. Penutup yang
demikian harus diganti.

Pelayanan Peralatan Steril

 Pak peralatan dibungkus atau dikemas sedemikian rupa sehingga mudah


untuk dibuka tanpa risiko mengkontaminasi isinya.
 Peralatan steril, termasuk larutan, disorongkan ke bidang steril atau
diberikan ke orang yang berscrub sedemikian rupa sehingga kesterilan
benda atau cairan tetap terjaga.
 Tepian pembungkus yang membungkus peralatan steril atau bagian bibir
botol terluar yang mengandung larutan tidak dianggap steril.
 Lengan tidak steril perawatan instrumentasi tidak boleh menjulur di atas
area steril. Artikel steril akan dijatuhkan ke atas bidang steril, dengan jarak
yang wajar dari pinggir area steril.

Larutan

 Larutan steril dituangkan dari tempat yang cukup tinggi untuk mencegah
sentuhan tidak disengaja pada basin atau mangkuk wadah steril, tetapi
tidak terlalu tinggi sehingga menyebabkan cipratan. (Bila permukaan steril
menjadi basah, maka dianggap terkontaminasi).

C. Manajemen Instrumen

Definisi
Fase intraoperatif adalah suatu masa di mana pasien sudah berada di meja
pembedahan sampai ke ruang pulih sadar. Asuhan keperawatan intraoperatif
merupakan salah satu fase asuhan yang dilewati pasien bedah dan diarahkan pada
peningkatan keefektifan hasil pembedahan. Di dalam fase intraoperatif, ada yang
harus diperhatikan yaitu manajemen intrumen.
Menurut KBBI, manajemen/ma·na·je·men/ /manajemén/ n adalah
penggunaan sumber daya secara efektif untuk mencapai sasaran; Sedangkan, arti
kata Instrumen menurut KBBI instrumen [in·stru·men] adalah alat yang dipakai
untuk me-ngerjakan sesuatu (seperti alat yang dipakai oleh pekerja teknik, alat-
alat kedokteran, optik, dan kimia); perkakas. Jadi, manajemen Instrumen adalah
penggunaan alat yang dipakai untuk mengerjakan sesuatu guna mencapai suatu
tujuan/sasaran
Tim pembedahan kamar operasi terdiri dari ahli bedah, asisten ahli bedah,
perawat instrumen atau scrub nurse, perawat sirkuler dan ahli anastesi atau
perawat anastesi (Muttaqin dan Sari, 2009). Setiap anggota tim mempunyai
tanggung jawab atau tugas masing-masing dalam setiap operasi. Untuk perawat
instrumen atau scrub nurse mempunyai uraian tugas atau tanggung jawab sebelum
pembedahan, selama pembedahan dan setelah pembedahan. Perawat instrumen
bertanggung jawab dalam menejemen sirkulasi dan suplai alat-alat instrumen,
mengatur alat-alat yang akan dan telah digunakan serta menjaga kelengkapannya,
mempertahankan integritas lapangan steril dan berbagai tanggung jawab lainnya
dalam sebuah tindakan operasi.

Manajemen Instrumen
Intervensi Rasional
Kaji ulang identitas pasien Perawat ruang operasi memeriksa kembali identifikasi dan kardeks
pasien; melihat kembali lembar persetujuan tindakan, riwayat
kesehatan, hasil pemeriksaan fisik, dan berbagai hasil
pemeriksaan; memastikan bahwa alat protese dan barang berharga
telah dilepas; dan mermeriksa kembali rencana perawatan
praoperatif yang berkaitan dengan rencana perawtan intraoperatif.
Siapkan obat-obatan Obat-obatan anestesi yang dipersiapkan meliputi obat pelemas otot
pemberian anestesi umum. dan obat anestesi umum. Intubasi endotrakeal dilakukan setelah
pemberian pelemas otot kerja singkat seperti suksinikolin
(Anectine, Burroughs Wellcome) dan mivikurium (Mivicron,
Burroughs Wellcome), atau obat yang bekerja lebih lama misalnya
vekuronium (Norcuron, Organon) atau atrakurium (Tracium,
Burroughs Wellcome). Anestesi umum dapat diinduksi dengan
obat intravena misalnya metoheksital (Brevital sodium, Lilly),
tiopental (Sodium Pentothal, Abbott), atau propofol
(Gruendemann, 2006).
Siapkan alat-alat intubasi Intubasi endotrakeal digunkan untuk menjaga kepatenan jalan
endotrakeal. napas intraoperasi. Penata anestesi memeriksa kondisi lampu pada
laringoskop dan apakah kondisi selang endotrakeal berfungsi
optimal sebelum pemasangan dilakukan. Penata anestesi harus
mempertimbangkan faktor umum dan kondisi penyulit dalam
melakukan intubasi pada pemilihan persiapan sarana intubasi.
Misalnya, pada anak kecil akan digunakan laringoskop dan selang
endotrakeal yang ukurannya sesuai.
Siapkan sarana Pemilihan dan pemeliharaan peralatan anestesi dan
pemantauan dasar. perlengkapannya biasanya menjadi taggung jawab penata anestesi.
Alat dan sarana yang disikan merupakan sarana atau perangkat
pemantauan (monitoring) dasar, meliputi:
· 1. Stetoskop preekordial
· 2. Pengukuran tekanan darah
· 3. Oksimetri pulsasi.
Siapkan obat dan peralatan Selain pemantau, peralatan darurat dasar, obat-obatan, dan
emergensi. protokol pengobatan juga harus tersedia. Defivrilator juga harus
dipastikan berfungsi baik. Peralatan jalan napas meliputi
laringoskop, selang endotrakeal, jalan napas oral, dan napas
faringal. Selain itu, masker dan kantong resussitasi self-inflating
(ambu type)adalah alat yang penting dan harus mudah diakses.
Lakukan pemasangan· Stetoskop prekordial dibiarkan menempel di dada pasien,
stetoskop prekordial, menyalurkan informasi mengenai operasi mekanis jantung dan
manset tekanan darah, adanya bunyi napas secara kontinu. Perubahan yang dapat
monitor dasar, oksimetri dideteksi mencakup bising jantung, aksentuasi bunyi jantung
pada jari, dan pertahankan kedua, dan denyut jantung yang abnormal.
kelancaran kateter IV. · Perawt juga memasang manset tekanan darah. Manset tetap
terpasang pada lengan pasien selama pembedahan berlangsung
sehingga ahli anestesi dapat mengkaji tekana darah pasien.
· Pemasangan oksimetri dalam penilaian saturasi oksigen pada
jari memudahkan perawat anestesi mengobservasi status respirasi
pasien.
· Kelancaran keteter IV dapat menjadi prosedur dasar sebelum
memberikan anestesi secara intravena.
Kaji faktor yang Tindakan penting yang dilakukan dengan mengkaji faktor-faktor
merugikan selama penyulit selama anestesi, seperti adanya riwayat reaksi alerfi pada
pemberian anestesi agen anestesiatau alergi terhadap banyak komponen, riwayat
intraoperatif. penyakit kardiaskuler dan paru, masalah jalan napas, dan faktor
usia lanjut.
· Riwayat alergi Riwayat reaksi alergi pada agen anestesi atau alergi teerhadap
banyka komponen harys diteliti dan diperjelas oleh pasien. Untuk
menentukan kemungkinan timbulnya masalah besar, misalnya
demam yang membahayakan dan asidosis akibat hipertermia
maligna atau paralisis otot berkepanjangan yang dijumpai pada
orang dengan pseudokolinesterase atipikal (Kee, 1996).
Evaluasi fungsi berbagai sistem utama tubuh, terutama sistem
kardiovaskular dan pernapasan, merupakan parameter penting
pada evaluasi pra-anestesi. Pasien yang mengaku alergi terhadap
banyak obat mungkin sangat peka terhadap obat-obat yang
melepaskan histamin, misalnya sebagian pelemas otot, narkotik,
dan barbitturat.
Informasi mengenai riwayat alergi terhadap antibiotik, zat warna
kontras, preparat indium, plester, dan lateks sangat penting.
Riwayat reaksi hebat dan mendadak dari seseorang setelah
terpajan produk atau peraltan medis yang mengandung lateks
harus dilaporkan. Etiologi pasti alerfi lateks tidak diketahui, tetapi
protein larut air dari lateks tampaknya adalah alergen utamanya
(Gruendemann, 2006).
· Riwayat penyakit Riwayat penyakit kardiovaskular dan paru harus mendapat
kardiovaskular dan paru. persetujuan medis dari dokter jantung dan paru sebelum
dijadwalkan menjalani prosedur bedaha elektif. Riwayat infark
miokardium, angina, gagal jantung kongestif, hipertensi, diabetes,
aritmia jantung, penyaktit vaskular perifer, merokok, penyakit
paru obstruktif menahun, atau tandur pintas arteri koroner
mungkin merupakan prediktor untuk morbiditas jantung
pascaoperatif.
· Masalah jalan napas · Masalah jalan napas yang kondisinya kurang optimal tanpa
patologi jalan napas yang jelas, visualisasi glotis kadang-kadang
sulit atau bahkan tidak mungkin dilakukan. Faktor predisposisi
yang dapat menyulitkan intubasi adalah leher yang pendek dan
berotot dengan gigi lengkap, rahang bawah yang mundur disetai
sudut mandibula yang tumpul, menonjolnya gigi seri atas,
penyempitan ruang antara sudut-sudut mandibula disertai palatum
yang melengkung tinggi, serta peningkatan jarak dari gigi seri atas
ke batas posterior ramus mandibula (Rob, 1968). Pengamatan
klinis tambahan adalah apabila jarak antara dagu ke tulang rawan
tiroid kurang dari 3 atau 4 cm (lebar dua jari tangan), maka
visualisasi glotis diperkirakan akan sulit dilakukan (Rosenberg dan
Rosenberg (1983) dikutip Gruendemannn (2006)).
· Selama pemeriksaan praoperatif, pasien dengan riwayat apnea
tidur obstruktif, sindrom kongenital, bedah leher atau wajah,
stridor atau suara serak, nyeri, atau parestesia sewaktu
meggerakkan leher, gigi tanggal atau goyang, atau perangkat gigi,
misalnya kawat gigi mungkin menyulitkan kita saat membebaskan
jalan napas. Catatan anestesi sebelumnya harus dikaji untuk
mencari keterangan mengenai kualitas jalan napas, upaya
laringoskopi, dan keberhasilan intubasi. Saat pemeriksaan fisik,
ahli anestesi atau penata aanestesi harus secara teliti memeriksa
leher, mandibula, dan struktur serta mobilitas mulut. Kesejajaran
tiga sumbu (oral, faring, dan trakea) mempermudaha visualisasi
laring. Kesejajaran sumbu-sumbu tersebut dilakukan dengan fleksi
anterior spina servikalis bawah ditambah ekstensi sendi atlanto-
oksipitalis (Rosenberg dan Rosenberg (1983) dalam
Gruendemannn (2006)).
· Kaji adanya kelainan· Prosedur untuk menilai adanya gangguan pada organ-organ vital
pada prosedur dagnostik. dapat mempersulit jalannya anestesi.
· Prosedur penilaian laboratorium dan dagnostik harus dilakukan
seiring dengan adanya riwayat proses penyakit dan medikasi yang
dikonsumsi. Beberapa institusi menetapkan pemeriksaan prosedur
standar pada pasien usia di atas 40 tahun, meliputi pemeriksaan
hemoglobin, hematokrit, urinalisis, dan EKG.
· EKG Pada populasi pasien rawat inap, EKG praoperatif yang dijalani
oleh kelompok tertentu dapt memberikan informasi yang
menyempunakan perencanaan dan hail akhir keseluruhan pada
pasien pria berusia di atas 40 tahun; wanita berusia di atas 50
tahun; pasien yang menderita penyakit arteri koroner misalnya
hipertensi, diabetes, atau penyakit pembuluh darah perifer; pasien
dengan penyakit yang mungkin berefek pada jantung misalnya
kegaansan, penyakit kolagen vaskular, dan proses infeksi serius.
Kelompok lain yang berisiko tinggi adalah pasien yang mendapat
obat seperti fenotiazin dan antidepresan, mereka yang mengalami
ketidakseimbangan elektrolit, atau menjalani bedah intratoraks,
intraperitoneum, aorta, saraf elektif, atau bedah darurat serius
(Schwartz, 2000).
· Hemoglobin Kadar hemoglobin yang aman bagi pasien direkomendasikan lebih
dari 10 g/dl. Tetapi nilai hemoglobin yang lebih rendah dari 10g/dl
atau anemia biasnya masih bisa ditoleransi pada orang yang sehat
karena berbagai mekanisme kompensasi masih aktif bekerja.
Mekanisme tersebut antara lain peningkatan curah jantung,
penurunan resistensi sistemik, dan peningkatan rasio ekstraksi
oksigen. Namun, keadekuatan mekanisme tersebut dalam
mengatasi stres yang berlebihan saat pembedahan atau pendarahan
mendadak yang banyak, masih dipertanyakan. Pembahasana akan
kurang kontroversial jika pemerian darah dan produk darah selama
pembedahan aman 100%. Penitng diingat bahwa anemia
menyebabkan penurunan cadangan darah dan deplesi mekanisme
kompensasi. Dengan demikian, nilaia hemoglobin praoperatif
yang optimal adalah nilai yang memiliki cadangan cukup untuk
menghadapi stres selama prosedur pembedahan.
· Urine rutin Pemeriksaan urine rutin sperti berat jenis urine berguna untuk
mengetahui status hidrasi pasien. Adanya glukosa dalam urine
jelas mengindikasikan kemungkinan adanya diabetes dan
hipovolemia akibat diuresis osmotik. Proteinuria atau hematuria
mengindikasikan adanya penyakit ginjal yang serius.
· Pemeriksaan radiologi Pemeriksaan radiologi praoperatif diprlukan untuk identifikasi
pasien yang berisiko tinggi atau mendasari penilaian tingkat
keparahan perubhan paru intraoperatif dan pascaoperatif.
Beri dukungan praanestesi Hubungan emosional yang baaik antara penata anestesi dan pasien
akan memegaruhi penerimaan anestesi.
Lakukan pemberian Pemberian anestesi intravena biasanya dilakukan penata anestesi
anestesi secara intravena. dengan sepengetahuan ahliaanestesi. Pemberian suksinikolin
(succinylcholine) secara intravena sebagai obat intravena pertama
bertujuan untuk menghambat saraf dan menyebabkan paralisis pita
suara sementara dan otot pernapasan selama selang endotrakeal
terpasang.
Lakukan pemasangan· Pemasangan selang endotrakeal biasanya dilakukan ahli anestesi
selang endotrakeal, atau penta anestesi dengan diketahui oleh ahli anestesi. Selang
pemasangan oral airway, endotrakeal bertujuan untuk tetap menjaga kepatenan jalan napas,
dan kaji efektivitas jalan sera mencegah kemungkinan terjadinya aspirasi dan komplikasi
napas. pernapasan lainnya akibat depresi pada brokus efek dari anestesi.
· Penata anestesi akan membantu melakukan peenekanan tulang
rawan krikoid (perasat Sellick) untuk menyumbat esofagus pada
saat perasat endotrakeal dilakukan.
· Pemasangan oral airway akan menjaga kepatenan jalur napas
dan memudahkan penata anestesi untuk memonitor kepatenan
jalan napas.
Lakukan pemberian napas Ahli anestesi atau penata anestesi akan memberikan ventilasi
bantuan, pemberian bantuan sampai efek suksinikkolin hilang dan pasien kembali
oksigen, pengisapan, dan bernapas secara spontan. Mulai saat itu, gas atau uap anestesi
pemberian anestesi biasanya diberikan secara inhalasi melalui selang endotrakeal.
inhalasi. Beberapa obat-obatan yang sering digunakan adalah halotan,
supran, dan foran.
Lakukan pemantauan Risiko terbesar dari anestesi umum adalah efek samping obat-
status kardiovaskular dan obatan anestesi, termasuk di antaranya depresi, iritabilitas
respirasi selama kardiovaskular dan depresi pernapasan. Kontrol status
pembedahan. kardiovaskular dan repirasi dapt mendeteksi risiko kegawatan
sedini mungkin.
Lakukan pemberian cairan Dilakukan pada prosedur pembedahan yang berlangsung lama atau
dan transfusi sesuai apabila dilakukan antisipasi terhadap perubahan volume cairan
kondisi dan lamanya yang besar. Pengukuran pengeluaran cairan dan darah secara
pembedahan sera kontrol cermat serta perkiraan darah yang terdapat di dalam spons menjadi
keluaran urine. tugas bersama ahli anestesi dan perawat sirkulasi. Apabila pasien
adalah anak-anak, penata anestesi sirkulasi harus menimbang
spons operasi (1 g setara dengan 1 ml darah) untuk menentukan
pengeluaran darah secara lebih akurat. Karena volume darah anak
lebih sedikit, maka perawat harus mengingatkan ahli anestesi
mengenai darah yang keluar dalm interval tertentu selama
pembedahan.
Lakukan pemberian obat- Pemberian obat-obat pemulih anestesi biasanya dilakukan ahli atau
obat pemulih anestesi penata anestesi dengan diketahui oleh ahli anestesi.
setelah pembedahan
selesai.
Lakukan pembersihan Jalan napas dibersihkan dengan pengisapan, dan setelah refleks
jalan napas setelah laring dan faring pulih maka dilakukan ekstubasi. Penata anestesi
pembedahan selesai tetap berada di kamar operasi dengan ahli anestesi, sampai pasien
dilaksanakan. siap dipindahkan ke ruang pemulihan. Secara umum, peralatan dan
instrumen jangan dipindahkan dari ruangan sampai pasien stabil
dan siap dipindahkan.

Definisi Limbah Medis

Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), limbah adalah (1) sisa
proses produksi; (2) bahan yg tidak mempunyai nilai atau tidak berharga
untuk maksud biasa atau utama dalam pembuatan atau pemakaian; (3) barang
rusak atau cacat dl proses produksi. Limbah dapat juga diartikan sebagai hasil
akhir dari suatu proses pemanfaatan produk atau proses dari suatu kegiatan
yang dilakukan dalam aktivitas manusia.
Limbah medis dapat diartikan sebagai segala sesuatu hasil buangan dari
kegiatan-kegiatan medis, seperti kegiatan rumah sakit dan kegiatan penunjang
lainnya.

Jenis-jenis Limbah Medis

Limbah medis identik dengan limbah yang dihasilkan institusi kesehatan seperti
rumah sakit. Padahal, tidak semua limbah yang dihasilkan rumah sakit merupakan
limbah medis. Berikut limbah yang dihasilkan rumah sakit:
 Limbah umum: limbah yang tidak membutuhkan penanganan khusus atau
tidak membahayakan pada kesehatan manusia dan lingkungan misal bahan
pengemas
 Limbah patologis: terdiri dari jaringan-jaringan, organ, bagian tubuh,
plasenta, bangkai binatang, darah dan cairan tubuh
 Limbah radioaktif: dapat berfase padat, cair atau gas yang terkontaminasi
dengan radionuklisida
 Limbah kimiawi: dapat berupa padatan, cairan atau gas misalnya berasal
dari prosedur-prosedur medis. Pertimbangan terhadap limbah ini dapat
ditinjau dari sudut: toksik, korosif, mudah terbakar (flammable), reaktif
(eksplosif, reaktif terhadap air, dan shock sensitive), genotoxic
(carcinogenic, mutagenic, teratogenic dan lain-lain), misalnya obat-obatan
cytotoxic. Limbah kimiawi yang tidak berbahaya adalah seperti gula,
asam- asam animo
 Benda-benda tajam yang biasa digunakan dalam kegiatan rumah sakit:
jarum suntik, syring, gunting, pisau, kaca pecah, gunting kuku dan
sebagainya yang dapat menyebabkan orang tertusuk (luka) dan terjadi
infeksi. Benda-benda ini mungkin terkontaminasi oleh darah, cairan tubuh,
bahan mikrobiologi atau bahan citotoksik
 Limbah farmasi (obat-obatan): obat-obatan dan bahan kimiawi yang
dikembalikan dari ruangan pasien isolasi, atau telah tertumpah,
kadaluwarsa atau terkontaminasi
 Limbah citotoksik: bahan yang terkontaminasi atau mungkin
terkontaminasi dengan obat citotoksik selama peracikan, pengangkutan
atau tindakan terapi citotoksik
 Kontainer di bawah tekanan: seperti yang digunakan untuk peragaan atau
pengajaran, tabung yang mengandung gas dan aerosol yang dapat meledak
bila diinsinerasi atau bila mengalami kerusakan karena kecelakaan,
misalnya tertusuk.
 Limbah berpotensi menularkan penyakit (infectious): mengandung
mikroorganisme patogen yang bila terpapar dengan manusia akan dapat
menimbulkan penyakit. Misalnya jaringan dan stok dari agen-agen infeksi
dari ruang bedah, dari autopsi pasien yang mempunyai penyakit menular ,
dari pasien yang diisolasi, atau materi yang berkontak dengan pasien
(tabung, filter, serbet, jarumsuntik, sarung tangan)

Cara Penanganan Limbah Medis yang Tepat

Penanganan limbah medis memerlukan perhatian khusus, terutama


harus memperhatikan jenis-jenisnya. Masing-masing kelompok limbah medis
tersebut membutuhkan penanganan sendiri-sendiri
Bahkan, mengemas limbah medis pun telah ada aturannya. Misalnya kantong
warna hitam digunakan untuk limbah umum, kantong warna kuning untuk
semua jenis limbah infectious yang harus masuk incinerator,limbah
kimia/farmasi kedalam kantong plastik berwarna coklat, dan warna merah
untuk limbah radio aktif. Peraturan sederhana dalam cara mengemas limbah
medis ini bila dilanggar justru akan berakibat fatal.

Secara umum jenis pengolahan limbah rumah sakit adalah :


a. Limbah umum :Tidak diperlukan pengolahan khusus, dan dapat
disatukan dengan limbah domestic
b. Limbah patologis : Pengolahan yang dilakukan adalah dengan
sterilisasi, insinerasi dilanjutkan dengan landfilling.Kantong yang
digunakan untuk membungkus limbah juga harus diinsinerasi
c. Limbah radioaktif : Limbah radioaktif dari rumah sakit dapat
dikatakan tidak mengandung bahaya yang signifikan bila ditangani
secara baik. Umumnya radioaktifdisimpan untuk menunggu waktu
paruhnya telah habis, untuk kemudian disingkirkan sebagai limbah
non-radioaktif biasa
d. Limbah kimia: Bagi limbah kimia yang tidak berbahaya,
penanganannya adalah identik dengan limbah lainnya yang tidak
termasuk katagori berbahaya.Beberapa kemungkinan daur-ulang
limbah kimiawi berbahaya misalnya dengan redistilasi solven (toluene,
xylene, alcohol), membakar solven organic yang tidak toksik, mendaur
ulang batere, logam-merkuri dari thermometer, elektrostatis larutan-
larutan pemrosesan Insinerator merupakan sarana yang paling sering
digunakan dalam menangani limbah jenis ini.
e. Limbah cytotoxic dan obat-obatan genotoxic atau limbah yang
terkontaminasi harus dipisahkan, dikemas dan diberi tanda serta
dibakar pada incinerator
f. Limbah berpotensi menularkan penyakit (infectious) :Memerlukan
sterilisasi terlebih dahulu atau langsung ditangani pada insinerator ;
autoclave tidak dibutuhkan bila limbah tersebut telah diwadahi dan
ditangani secara baik sebelum diinsinerasi.
g. Benda-benda tajam : Dikemas dalam kemasan yang dapat melindungi
petugas dari bahaya tertusuk, sebelum dibakar dalam incinerator
h. Limbah farmasi :Obat-obatan yang tidak digunakan dikembalikan pada
apotik atau pemasok, sedangkan yang tidak dipakai lagi ditangani
secara khusus misalnya diinsinerasi atau di landfilling

Bahaya Penanganan Limbah Medis yang Tidak Tepat

Limbah medis jika tidak tertangani dengan baik akan berdampak bagi manusia,
mahluk hidup, serta lingkungan di sekitar rumah sakit. Dampak tersebut antara
lain:

1. Pengelolaan limbah medis yang kurang baik akan menyebabkan estetika


lingkungan yang kurang sedap dipandang sehingga mengganggu
kenyamanan masyarakat
2. Pencemaran lingkungan
a. Pencemaran Air

Air yang tercemar menjadi tidak bermanfaat untuk keperluan rumah tangga
(misalnya air minum, memasak, mencuci), industri, pertanian (misalnya: air yang
terlalu asam/basa akan mematikan tanaman/hewan). Air yang telah tercemar oleh
senyawa organik maupun anorganik menjadi media berkembangnya berbagai
penyakit dan penularan langsung melalui air (misalnya Hepatitis A, Cholera,
Thypus Abdominalis, Dysentri, Ascariasis/Cacingan, dan sebagainya). Selain itu,
air tercemar dapat menjadi penyebab penyakit tidak menular, yang muncul
terutama karena air lingkungan telah tercemar oleh senyawa anorganik terutama
unsur logam (misalnya keracunan air raksa/merkuri).

b. Pencemaran Daratan

Pencemaran daratan pada umumnya berasal dari limbah padat yang


dibuang atau dikumpulkan di suatu tempat penampungan. Dampak
pencemaran daratan dapat secara langsung dan tidak langsung bagi
kesehatan lingkungan sekitar. Dampak pencemaran daratan yang secara
langsung dirasakan adalah timbulnya bau busuk karena degradasi limbah
organik oleh mikroorganisme dan timbunan limbah padat dalam jumlah
besar yang akan menimbulkan kesan kumuh dan kotor, yang secara psikis
akan mempengaruhi penduduk di sekitarnya. Dampak tak langsung,
contohnya adalah tempat pembuangan limbah padat baik Tempat
Pembuangan Sementara (TPS) maupun Tempat Pembuangan Akhir (TPA)
akan menjadi pusat perkembangbiakan tikus dan serangga yang merugikan
manusia seperti lalat dan nyamuk. Penyakit-penyakit yang ditimbulkan
dengan perantaraan tikus, lalat dan nyamuk di antaranya adalah pest, kaki
gajah, malaria, demam berdarah dan sebagainya.

c. Pencemaran Udara

Dampak pencemaraan udara berakibat langsung terhadap kesehatan


manusia, hewan, tanaman dan sebagainya. Komponen pencemar udara
dapat berupa Karbon Monoksida (CO) dan Nitrogen Oksida (Nox).
Karbon monoksida apabila terhisap ke dalam paru-paru akan ikut
peredaran darah dan akan menghalangi masuknya oksigen yang
dibutuhkan oleh tubuh. Hal ini dapat terjadi karena gas CO bersifat racun
metabolis, ikut bereaksi secara metabolis dengan darah. Konsentrasi gas
Nitrogen Oksida yang tinggi dapat menyebabkan gangguan pada sistem
syaraf yang mengakibatkan kejangkejang.

Ada beberapa kelompok masyarakat yang mempunyai resiko untuk


mendapat gangguan karena buangan rumah sakit.Pertama, pasien yang
datang ke Rumah Sakit untuk memperoleh pertolongan pengobatan dan
perawatan Rumah Sakit.Kelompok ini merupakan kelompok yang paling
rentan. Kedua,karyawan Rumah sakit dalam melaksanakan tugas sehari-
harinya selalu kontak dengan orang sakit yang merupakan sumber agen
penyakit. Ketiga,pengunjung / pengantar orang sakit yang berkunjung ke
rumah sakit,resiko terkena gangguan kesehatan akan semakin besar.
Keempat,masyarakatyang bermukim di sekitar Rumah Sakit, lebih-lebih
lagi bila Rumah sakit membuang hasil buangan Rumah Sakit tidak
sebagaimana mestinya ke lingkungan sekitarnya. Akibatnya adalah mutu
lingkungan menjadi turun kualitasnya, dengan akibat lanjutannya adalah
menurunnya derajat kesehatan masyarakat di lingkungan tersebut dan
menimbulkan kecelakaan kerja.
3. PASCA OPERATIF

A. Periode Pascaoperasi

Periode pascaoperasi dibagi menjadi tiga fase:

 Periode awal setelah anestesi selesai. Klien dimonitor ketat


oleh perawat pascaanestesi.
 Waktu dari pemindahan dari post anesthesia care unit
(PACU) sampai hari pertama atau kedua setelah operasi.
Klien yang mulai sembuh dari efek pembedahan dan mulai
makan dan bergerak.
 Fase pascaoperasi, waktu penyembuhan, yang berlangsung
selama mingguan, bulanan, atau bahkan tahunan setelah
operasi.
1. Perawatan Pascaanestesi

Tujuan dari perawatan pascaanestesi adalah membantu kembalinya


fungsi fisiologis klien setelah prosedur anestesi dengan perawatan yang
aman, ilmiah, dan disesuaikan dengan kebutuhan klien dan keluarganya
pada fase pascaanestesi. Periode pascaanestesi adalah waktu yang kritis
untuk klien. Obsevasi ketat dan terus-menerus merupakan hal yang
penting. Fungsi fisiologis kllien harus diperhatikan sampai efek obat
anestesi berkurang.

Klien diterima di PACU di atas ranjang, atau dipindahkan ke


ranjang lain atau ke kursi. Posisi untuk klien yang mengalami sedasi, tidak
sadar, atau setengah sadar harus posisi yang dapat mempertahankan
patensi jalan napas. Untuk klien dewasa yang tidak sadar, ekstensikan
leher dan dorong rahang ke depan. Untuk klien tanpa alat yang melindungi
jalan napas, posisi sebaiknya adalah posisi lateral sims, karena posisi
berbaring miring membuat lidah jatuh ke depan dan mukus atau muntahan
dapat mengalir keluar dari mulut.
Setelah klien berada pada posisi yang aman dan telah dikatakan
stabil, perawat menerima laporan lisan dan detail tentang operasi dari tim
pembedahan. Perawat PACU memeriksa rekam medis klien bersama
dengan tim anestesi.

a. Catatan anestesi tentang obat intravena dan darah yang didapat


selama pembedahan
b. Komplikasi yang tidak dapat diantisipasi
c. Temuan praoperasi yang penting
d. Adanya selang atau drainase dan jenis penutupan luka
e. Durasi pembedahan
2. Pemeriksaan Segera di PACU

Setelah laporan pemindahan dari ruang operasi, perawat PACU


melakukan pemeriksaan. ABC (Airway, Breathing, Circulation)
merupakan hal penting yang harus dikaji pertama kali.

 Airway: adakah selang atau alat bantu napas


 Breathing: laju pernapasan dan kedalamannya, adakah bunyi
napas di kedua sisi, stidor, mengi, bunyi napas kasar, atau
penurunan bunyi napas
 Circulation: frekuensi nadi dan kekuatannya, tekanan darah,
warna kulit, pemeriksaan pulse oximeter, catatan EKG, status
luka, dan penutup luka. Monitor jantung direkomendasikan
untuk klien pascaoperasi yang mengalami anestesi umum
sehingga disritmia dapat didiagnosis dan terapi dapat dimulai
segera.
 Lainnya: tingkat kesadaran, kekuatan otot, kemampuan
mengikuti perintah, infus intravena, penutup luka, drainase, dll.
a. Diagnosa Keperawatan

Diagnosis keperawatan yang paling sering dijumpai pada


periode ini adalah risiko cedera, hipotermia, risiko aspirasi, nyeri akut,
gangguan proses berpikir. Komplikasi yang paling mungkin terjadi
adalah masalah pernapasan, hipovolemia atau hipervolemia,
perdarahan, atau masalah jantung.

Intervensi keperawatan primer untuk melindungi jalan napas


adalah memosisikan kepala pada klien untuk mencegah obstruksi
pernapasan. Klien yang tidak bisa mengeluarkan mukus atau muntahan
dari tenggorokan membutuhkan penyedotan segera. Alat bantu napas
oral atau nasal mungkin perlu ditempatkan untuk mempertahankan
patensi jalan napas dan mengatur lidah.

Perawat perlu berkonsultasi dengan dokter bedah dan dokter


anestesi dan memasukkan obat yang diresepkan. Intervensi mencakup
pemberian oksigen kontinu, suport jalan napas tekanan positif, dan
penggunaan obat pembalik. Obat pembalik seperti nalokson (Narcan)
diberikan untuk membalikkan depresi pernapasan akibat obat anestesi.

b. Mempertahankan Tekanan Darah Normal

Hipotensi pascaoperasi dapat disebabkan berbagai hal,


termasuk ventilasi yang inadekuat, efek samping obat anestesi atau
medikasi praoperasi, perubahan mendadak posisi tubuh, kehilangan
darah, cairan, nyeri, terkumpulnya darah di bagian periferal tubuh
karena anestesi regional. Ukur TD setiap 5-15 menit untuk mengetahui
variasinya.

Selain hipotensi, ketika klien terlihat akan mengalami syok


intervensinya dengan memberikan oksigen atau meningkatkan laju
pemberiaan, menaikkan tungkai bawah klien di atas tinggi jantung.

Hipertensi bisa saja terjadi. Lansia dengan riwayat hipertensi


mungkin mengalami episode hipertensi akibat stres pembedahan. Jika
tekanan darah naik di atas baseline, perawat PACU harus berkonsultasi
dengan tim anestesi atau bedah dan memberikan obat antihipertensi
sesuai instruksi.

c. Monitor Kembalinya Kesadaran

Perawat PACU memonitor tingkat kesadaan. Orientasi


terhadap orang adalah respons kognitif pertama yang kembali setelah
dianestesi, periksalah dengan memperhatikan apakah klien berespons
ketika dipanggil namanya. Pastikan klien yang memakai alat bantu
dengar sedang memakai alat tersebut dan alat dinyalakan ketika
berusaha berbicara dengannya. Orientasi terhadap tempat adalah
indikasi penting kembalinya fungsi orientasi setelah operasi. Oleh
karena kesadaran berkabut akibat obat anestesi dan analgesia, klien
biasanya tidak memiliki orientasi kepada waktu sampai perawat yang
memberitahunya. Pemeriksaan fungsi kognitif termasuk kemampuan
mengingat hal yang baru saja diberitahukan. Lansia dan klien dengan
gangguan ginjal dan hati memerlukan waktu yang lebih lama untuk
mengembalikan orientasinya.

d. Pemeriksaan Kembalinya Penginderaan dan Gerak

Di PACU, klien dimonitor secara cermat kembalinya


penginderaan seiring dengan efek obat anestesi yang berakhir. Periksa
kembalinya gerakan ekstremitas dengan meminta klien menggerakkan
jari kaki. Namun, kemampuan menggerakkan jari kaki akan kembali
terlambat jika klien mendapatkan anestesi spinal. Pada kasus seperti
itu, pergerakkan jari kaki merupakan tanda penting hilangnya blockade
motoric, tetapi blockade system saraf otonom mungkin masih ada.
Klien yang mengalami blockade anatomic rentan mengalami hipotensi
meski sudah mampu menggerakkan jari kaki dan ekstremitas.
e. Pemeriksaan Normotermia

Klien di PACU di monitor suhu dan tanda vital setiap 15 menit


sampai tanda vital stabil, atau lakukan lebih sering bila tidak stabil.
Frekuensi dan lama pengawasan tergantung pada kebijakan di fasilitas
kesehatan. Klien di monitor sampai mereka keluar dari PACU. Hal
tersebut biasanya terjadi selama satu jam. Suhu tubuh minimum klien
haruslah paling tidak 96,80F (360C) sebelum dipindahkan dari PACU.
Kehilangan panas tubuh yang terjadi di ruang operasi dapat berlanjut
di PACU jika klien tidak cukup dihangatkan. Penghangatan tubuh
butuh mempertahankan suhu tubuh tanpa terjadinya panas dan
vasodilatasi yang berlebih. Vasodilatasi dapat menyebabkan
perpindahan cairan dan penurunan tekanan darah. Perawat PACU
harus mewaspadai kondisi hipertermia maligna di PACU dan harus
memeriksa secara berulang.

f. Pemeriksaan Perfusi

Pemeriksaan warna kulit, kehangatan dan turgor memberi


informasi tentang perfusi jaringan. Minta perawat lain untuk
memeriksa kembali warna kulit pada klien dengan kulit gelap atau
coklat agar tidak salah mengkaji. Kulit yang pucat, dingin, sembab
merupakan temuan penting pada syok. Oleh karena tidak mungkin
mengkaji kondisi sistemik dari warna kulit saja, pemeriksaan juga
perlu mencakup adanya syok, periksa tekanan darah, dan perhatikan
bibir dan kuku serta kulit untuk mengkaji adakah pucat atau sianosis.
Pertimbangkan temuan ini dengan saturasi oksigen dan kadar
hemoglobin sebelum mendiagnosis syok.

g. Pemeriksaan tempat pembedahan

Periksa balutan pada insisi bedah sesering mungkin. Jika


terdapat darah, perhatikan warna, jenis dan jumlah darah yang keluar.
Perkuat balutan, tetapi jangan mengganti atau membukanya tanpa
instruksi dokter. Jika terdapat rembesan, tandai batasnya pada balutan
dan catat tanggal dan waktunya. Jika hal tersebut berlanjut, jumlah
penambahan dapat diperkirakan dengan memperhatikan perbandingan
dengan batas rembesan sebelumnya. Kadang terdapat perdarahan,
tetapi tidak terlihat dari balutan. Jika diperkirakan terdapat perdarahan,
cari darah yang merembes di tubuh bagian bawah, di bawah
ekstremitas yang di operasi, atau di bawah punggung.

h. Usahakan Tercapainya Keseimbangan Cairan dan Elektrolit


 Periksa asupan dan produksi caian tiap jam
 Monitor semua cairan parenteral untuk jumlah dan jenis
cairan yang diinfus memadai. Asupan cairan termasuk
cairan intravena, medikasi, produk darah, dukungan nutrisi,
dan infus koloid
 Periksa tempat masuknya infus, apakah ada kemerahan,
radang, atau pembengkakan, karena bias menjadi indikasi
infiltrasi
 Catat obat yang diberikan pada infus, sehingga ketika dosis
obat berikutnya akan diberikan cairan pelarut sudah ada.
Hal ini menjamin tidak ada kesalahan dalam memasukkan
obat atau cairan
 Hindari kelebihan asupan cairan sambal tetap
mempertahankan tekanan darah, denyut jantung, dan
produksi urine
 Jika sepasang kateter, catat produksi urine dan bandingkan
dengan asupan cairan
i. Tangani system drainase
 Selang drainase, seperti selang lambung, kateter urine, atau
drainase luka, harus dimonitor terus-menerus.
 Perawat PACU harus memastikan selang tersebut paten dan
terlipat dan tidak teroklusi
 Catat jumlah dan jenis drainase secara rutin.
 Bandingkan jenis dan jumlah drainase dengan yang
diharapkan dari prosedur bedah
j. Berikan Kenyamanan
 Nyeri adalah akibat dari operasi yang wajar terjadi, tetapi
pemberian analgesia yang tidak adekuat masih menjadi
masalah pascaoperasi yang terjadi.
 Perawat harus mengkaji tingkat nyeri secara cermat dan
rutin
 Ketidaknyamanan karena kandung kemih yang penuh dapat
menyerupai nyeri perut bahkan meski obat antinyeri yang
memadai telah diberikan
 Berikan Pereda nyeri yang memadai dan jangan
overmedikasi
 Jika timbul masalah ketidaknyamanan klien, konsultasikan
dengan tim anestesi atau bedah untuk meminimalisasi nyeri
yang dalam
k. Mempertahankan Keamanan
 Tetap menjadi penjaga klien, dan lindungi klien dari cedera
yang mungkin disebabkan peralatan, medikasi, dan risiko
pascaoperasi
 Pegangan ditepi ranjang harus tetap dinaikkan untuk
mencegah klien jatuh dari ranjang
 Peralatan dari PACU diperiksa apakah berfungsi dengan
baik sebelum klien masuk PACU
 Taruh peralatan di tempat yang aman dan kabel listrik
ditempatkan sedemikian rupa agar tidak membahayakan
klien atau staf.
3. Keluar dari PACU
 Kriteria yang dikaji adalah respirasi, sirkulasi, kesadaran, dan
warna kulit.
 Blia klien dianggap telat dapat dipindahkan dari PACU,
laporan harus diberikan ke unit yang akan menerima klien (via
lisan atau telepon)
 Laporan mencakup kondisi klien dan ringkasan prosedur
operasi dan kejadian yang terjadi selama operasi
 Jika karena alasan tertentu klien harus tinggal lebih lama di
PACU, beri tahu keluarga segera dan jelaskan alasan tersebut
 Klien yang menjalani pembedahan di hari yang sama dengan
masuk dan keluarnya dari rumah sakit tidak boleh dipindahkan
dari PACU sampai mampu minum lewat mulut, dapat berjalan
dengan stabil.
 Nyeri harus dikontrol dengan analgesia oral
 Intruksi biasanya mencakup obat, bagaimana merawat luka,
jumlah dan jenis aktivitas yang diperbolehkan, kapan, dan
bagaimana mencari pertolongan medis bila timbul masalah,
kapan dan di mana rencana control
 Klien seperti ini akan ditelepon oleh perawat sehari setelah
operasi untuk memastikan tidak ada komplikasi atau
pertanyaan lebih lanjut
4. Perawatan setelah operasi

Setelah klien dipindahkan daro PACU ke ruang rawat inap,


pemeriksaan dan intervensi keperawatan hampir sama dengan di PACU.
Komplikasi yang paling sering terjadi dan muncul segera setelah operasi
adalah yang berhubungan dengan anestesi spinal dan yang berpengaruh
pada pernapasan, kardiovaskuler, sistem ginjal, dan keseimbangan cairan
dan elektrolit.
a. Membuat tujuan pascaoperasi

Pada fase ini, rencana perawatan pasca operasi ditambah dan


direvisi. Rencana harus mencakup pengkajian kebutuhan klien dan
tujuannya serta tindakan keperawatan. Diagnosis keperawatan
digunakan untuk mendefinisikan masalah pascaoperasi dan
mengarahkan rencana perawatan. Temuan pada pengkajian praoperasi
sangat penting karena menjadi data pembanding dengan hasil
pengkajian pascaoperasi. Rencana perawatan umum dipersiapkan.
Pemeriksaan dan tindakan keperawatan yang diberikan sering kali
berdasarkan prosedur bedah yang dilakukan dan kondisi praoperasi
klien.

b. Pemeriksaan klien pasca operasi


 Memeriksa status pernapasan

Periksa patensi jalan napas. Amati klien dan kaji


pola napas saat istirahat. Dengarkan bunyinya, bunyi napas
seharusnya pelan. Disebabkan efek obat anestesi umum,
laju dan kedalaman napas biasanya berkurang dan dapat
menyebabkan hipoksia.

Komplikasi utama setelah bedah adalah


menurunnya ekspansi paru, atelektasis (kantong alveoli
kolaps), atau aspirasi dari sekresi yang tidak bisa
dikeluarkan. Pemeriksaan paru meliputi auskultasi disemua
lapang paru serta laju dan ritme napas. Spinometri insentif
yang diperiksa sebelum operasi digunakan untuk
meningkatkan ekspansi paru dan menjaga alveoli tetap
terbuka.

Pada pasien obesitas sering mengalami masalah


potensi jalan napas. Posisikan bagian kepala tempat tidur
sedikit naik untuk mengurangi tekanan pada leher. Gunakan
masker CPAP (continuous positive airway pressure) jika
memang digunakan sebelum pembedahan.

 Memeriksa sirkulasi

Periksa tanda vital,warna kulit, dan suhu sesuai


dengan protokol fasilitas kesehatan. Tanda vital perlu
sering diperiksa (misalnya setiap 30 mnt ). Tenangkan klien
bahwa pola pemeriksaan ini hanyalah protokol rutin dan
bukan berarti ada yang salah dengan klien. Oleh karena
klien tidak bergerak sama sekali selama operasi dan
mungkin mengalami tekanan pada bagian tubuh yang
menghambat sirkulasi, ekstremitas harus diperiksa untuk
melihat adakah kelemahan, hambatan sirkulasi dan baal.
Tonjolan tulang harus diperiksa untuk mengkaji adanya
ulkus dekubitus level 1 dan luka jaringan dalam. Semua
klien daianjurkan untuk segera bergerak dan berjalan
setelah pembedahan untuk mencegah pembentukan
trombus dan emboli yang membahayakan, terutama pada
pembedahan abdominal yang harus segera digerakkan.
Aorta dan arteri femoralis mungkin telah dimanipulasi
selama pembedahan. Namun sebagian besar klien tidak
mau berjalan setelah pembedahan. Latihan tungkai bawah
harus dajarkan sebelum operasi, dan perawat harus
menekankan pentingnya latihan tersebut untuk pencegahan
pembentukan trombus.

 Memeriksa status neurologis

Periksa tingkat kesadaran,orientasi dan efek


perlambatan gerak ari anestesi pada 24 jam pertama. Pada
lansia, defisit kognitif mungkin akan tetap ada selama
berhari-hari bahkan berminggu-minggu stelah operasi.
Bandingkan status mental sekarang dengan sebelum operasi
untuk mengkaji status neurologis nya. Obat-obatan lebih
lambat di buang pada ginja yang sudah menua, dan
hipotermia dan nyeri dapat memengaruhi fungsi kognitif.

Klien dengan obesitas juga mengalami


keterlambatan kembalinya kesadaran. Jumlah obat anastesi
yang lebih besar dibutuhkan klien seperti ini. Pada obesitas,
ekskresi obat anastesi lebih lambat karena meningkatnya
jumlah obat yang tetahan di tubuh. Tidak jarang klien
dengan obesitas sering tertidur. Hal ini disebabkan obat
anastesi yang dilepaskan dari deposit lemak dan biasanya
terjadi dalam 24 jam pertama.

5. Pengawasan pasca operasi


a. Memonitor luka

Periksa balutan dan jumlah serta tipe rembesan yang muncul.


Perhatikan metode perawatan yang dipilih dokter bedah. Sebagian
besar dokter bedah lebih suka melakukan sendiri penggantian balutan
yang pertama. Beberapa dokter bedah lain membiarkan balutan
pertama utuh selama 24-48 jam. Sementara yang lain meminta balutan
diganti bila sudah kotor. Jika luka sudah menutup dan dibiarkan
sembab dengan proses intensi pertama, balutan pada luka cukup
minimal saja, dan klien boleh untuk madi setelah 24 jam. Jika
penyembuhan luka pada intensi kedua atau ketiga, luka biarkan
terbuka supaya sembuh mulai dari fasia sampai kulit, dan perawatan
khusus luka harus dilakukan. Alat yang digunakan adalah pembalut
luka, drainase, kantong ostomi, tergantung ukuran dan lokasi luka dan
rembesan dari luka. Kaji dan catat jumlah rembesan secara rutin untuk
membandingkan dengan pemeriksaan sebelumnya untuk mengarahkan
kemungkinan perubahan rencana perawatan
b. Monitor Akses Intravena
 Awasi asupan dan keluaran cairan.
 Jika tidak ada komplikasi selama pembedahan, klien dapat
minum tanpa adanya mual, dan akses intravena tidak
diperlukan untuk memberikan obat, akses biasanya ditutup
sehingga infus obat IV tetap dapat dilakukan tanpa perlu
memberikan cairan IV.
 Periksa tempat masuknya akses IV, adakah kemerahan,
bengkak, atau nyeri. Jika terdapat masalah, kateter harus
dilepaskan dari pembuluh darah.
c. Monitor Selang Drainase
 Periksa selang drainase (seperti NGT) dan cek instruksi
dokter untuk menentukan apakah selang perlu
disambungkan dengan alat penyedot atau cukup dengan
menggunakan gravitasi.
 Catat jumlah, warna, konsistensi dari drainase.
 Jika klien dipasang NGT low-suction, selang harus tetap
paten.
 Irigasi selang dengan normal salin sesuai instruksi dokter
bedah, beberapa selang tidak dapat diirigasi karena berisiko
melukai jahitan dalam.
 Pastikan selang tersambung dengan alat penyedot, jika
memang diminta demikian.
 NGT yang dipasang dengan tujuan dekompresi dan
pengeluaran sekresi usus tetap dibiarkan sampai peristalsis
usus muncul.
 Pelepasan NGT membutuhkan instruksi dari dokter bedah.
 Kaji rasa lapar, bising usus, dan buang angin sebagai tanda
peristalsis usus muncul. Jika hal itu terjadi, dokter mungkin
akan meminta untuk mengklem NGT dan kemudian baru
melepasnya jika klem tersebut dapat ditoleransi tanpa mual
dan muntah.
c. Monitor Kenyamanan atau Level nyeri
 Medikasi nyeri harus diberikan bila perlu dan sebelum
nyeri menjadi lebih parah.
 Ketika “demand approach” (pengobatan bila diperlukan)
digunakan, merupkan hal yang krusial untuk memberikan
obat pada saat munculnya nyeri.
 Bila nyeri bertambah parah, lebih banyak obat dan mungkin
dapat dipindahkan lagi ke unit pembedahan dengan alat
patient-controlled analgesia (PCA) untuk memberikan obat
antinyeri.
 Catat tanggal dan waktu obat diberikan, jumlah, dan
metode pemberian.
 Catat deskripsi nyeri yang dirasakan klien dan efektivitas
obat yang diberikan untuk mengontrol nyeri.
 Pertimbangkan kapan efek obat muncul sehingga dapat
menentukan kapan melakukan follow up nyeri.
 Medikasi IV dapat mengontrol nyeri 5-10 menit setelah
diberikan.
d. Monitor Mual dan Muntah
 Mual dan muntah dapat dicegah dengan mengurangi
pergerakan, mengontrol nyeri, dan memberikan intervensi
dini dengan untuk antiemetic.
 Beberapa kategori obat untuk mengontrol mual dan muntah
adalah
 (H1) antagonis reseptor antikolinergik dan histamin
tipe 1, yang mengurangi eksitabilitas dan reseptor
labirin.
 Obat antidopminergik, yang menekan CTZ.
 Antispasmodik gastrointestinal, yang menstimulasi
gerak peristaltic.
 Mual dan muntah bisa dikontrol dengan akupuntur.
e. Melepas Jahitan dan Staples
 Jahitan dan staples dapat dilepas sebelum pasien
pulang.
 Ketika melepas jahitan, potong jahitan pada kulit dan
Tarik simpul. Potonglah dekat dengan kulit.
 Untuk melepaskan staples, masukan alat ke bawah
staples dan dorong untuk membengkokkan staples.
 Pelepasan jahitan dan staples dapat membuat klien tidak
nyaman, beberapa klien membutuhkan beberapa nyeri
padaa prosedur ini.
 Tutupi luka dengan balutan steril karena mungkin ada
sedikit darah yang mengalir.
DAFTAR PUSTAKA

Mansjoer,A. dkk (2000).Kapita Selekta Kedokteran.Jakarta: Media


Aesculapius.Kumpulan Artikel Keperawatan

Smeltzer, S.C. & Bare, B.G. (2002). Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah
Jakarta : EGC.
Wahyuningsri, GM. Sindarti, Irawan. 2017.KINERJA PERAWAT INSTRUMEN
DALAM MELAKSANAKAN MANAJEMEN ALAT OPERASI HERNIOTOMI
HERNIORAPHY (HTHR) DI INSTALANSI BEDAH SENTRAL RSUD
KANJURUHAN KEPANJEN (The Performance of Scrub Nurse In Implementing
Hernioraphy Herniotomi Operation Management (HTHR) In Central Surgical
Instalance RSUD Kanjuruhan Kepanuren)

Potter, P.A, Perry, A.G.Buku Ajar Fundamental Keperawatan : Konsep, Proses,


dan Praktik.Edisi 4.Volume 2.Alih Bahasa : Renata
Komalasari,dkk.Jakarta:EGC.2005

Anda mungkin juga menyukai