Anda di halaman 1dari 15

Inkonsistensi Norma Hukum Spektrum Frekuensi Radio

Ibnu Mas’ud1, Yalid


Fakultas Hukum Universitas Lancang Kuning
Jalan Yos Sudarso Km 8, Rumbai, Kota Pekanbaru, Indonesia

ABSTRAK

Tujuan penelitian ini: Pertama, untuk menjelaskan pengaturan dan


penggunaan spektrum frekuensi radio menurut UU Telekomunikasi
dan UU Penyiaran. Kedua, untuk menjelaskan inkonsistensi norma
hukum dalam peraturan spektrum frekuensi radio menurut UU
Telekomunikasi dan UU Penyiaran. Penelitian ini dilakukan dengan
metode penelitian hukum normatif dengan pendekatan sinkronisasi
hukum dalam hal ini sinkronisasi horizontal dan vertikal. Hasil
penelitian ini dapat dijelaskan pengaturan dan penggunaan spektrum
frekuensi radio menurut UU Telekomunikasi dan UU Penyiaran
secara horizontal tidak selaras atau inkonsisten, sedangkan secara
vertikal berdasarkan norma Pasal 33 ayat (3) UUD Tahun 1945 tidak
sinkron dengan norma Pasal 33 ayat (4) UU Telekomunikasi.

Kata Kunci: Inkonsistensi, Norma Hukum, Frekuensi Radio

ABSTRACT

The purpose of this study: First, to explain the regulation and use of
the radio frequency spectrum according to the Telecommunications
Law and Broadcasting Law. Second, to explain the inconsistency of
legal norms in radio frequency spectrum regulations according to the
Telecommunications Law and Broadcasting Law. This research was
conducted with normative legal research methods with a legal
synchronization approach in this case horizontal and vertical
synchronization. The results of this study can be explained the
arrangement and use of the radio frequency spectrum according to
the Telecommunications Law and Broadcasting Law horizontally are
inconsistent or inconsistent, whereas vertically based on the norms
of Article 33 paragraph (3) of the 1945 Constitution are out of sync
with the norms of Article 33 paragraph (4) of the Telecommunications
Law .

Keywords: Inconsistencies, Legal Norms, Radio Frequency

1Penulis Korespondensi, E-mail: ibmasud6730@gmail.com

1
Pendahuluan
Perkembangan Teknologi Informasi dan Komunikasi (TIK) yang sangat
pesat dua dekade terakhir ini, telah menyebabkan transformasi aktivitas
kehidupan manusia terutama dalam memenuhi kebutuhannya untuk
memperoleh informasi dan melakukan komunikasi dengan menggunakan
berbagai sarana dan media, termasuk menggunakan media spektrum frekuensi
radio mengalami peningkatan yang sangat signifikan.
Spektrum Frekuensi Radio (SFR) merupakan media transmisi nirkabel
yang digunakan untuk menyalurkan informasi dari perangkat pemancar
(transmitter) ke perangkat penerima (receiver). SFR tergolong sebagai sumber
daya alam terbatas (limited natural resources) yang tersedia sama di setiap
Negara, dalam hal pengelolaannya memberikan dampak bernilai strategis dan
ekonomis bagi kesejahteraan masyarakat Negara tersebut.
Penggunaan SFR perlu dilakukan koordinasi pengaturan untuk mencegah
terjadinya interferency (gangguan). Oleh karena itu, penggunaan spektrum
frekuensi radio harus dikelola dalam rangka pendayagunaan dan
pemanfaatannya dilakukan secara benar, efektif, dan efisien sehingga tidak
terbengkalai jika tidak digunakan dengan baik.2
Penggunaan SFR di Indonesia antara lain untuk keperluan
penyelenggaraan jaringan telekomunikasi, penyelenggaraan telekomunikasi
khusus, penyelenggaraan penyiaraan, navigasi dan keselamatan, amatir radio
dan Komunikasi Radio Antar Penduduk (KRAP), serta sistem peringatan dini
bencana alam. Oleh karenanya diperlukan perlindungan, pengaturan dan tata
kelola terhadap hal-hal yang menyebabkan terjadinya penyalahgunaan
penggunaan spektrum frekuensi radio dalam bentuk apapun.
Kehidupan modern saat ini, SFR digunakan hampir disemua aspek
kehidupan meliputi telekomunikasi, media penyiaran, internet, pendidikan,
transportasi, pertahanan keamanan, pemerintahan, kesehatan, pertanian,
industri, perbankan, pariwisata, dan sebagainya.3 Pengaturan dan penggunaan
SFR harus sesuai dengan peruntukannya serta tidak saling menganggu
mengingat sifat spektrum frekuensi radio dapat merambat ke segala arah tanpa
mengenal batas wilayah Negara.
Sebagai sumber daya alam terbatas, spektrum frekuensi radio harus
dikelola secara efektif dan efisien, melalui: (a) perencanaan penggunaan
spektrum frekuensi radio yang bersifat dinamis dan adaptif terhadap kebutuhan
masyarakat dan perkembangan teknologi; (b) pengelolaan spektrum frekuensi
radio secara sistematis dan didukung sistem informasi spektrum frekuensi radio
yang akurat dan terkini; (c) pengawasan dan pengendalian penggunaan SFR
yang konsisten dan efektif; (d) regulasi yang bersifat antisipatif dan memberikan
kepastian hukum; (e) kelembagaan pengelolaan SFR yang kuat, didukung
dengan sumber daya manusia yang professional.4
SFR menjadi salah satu sarana atau media sistem telekomunikasi dan
penyiaran yang keberadaannya terbatas. Ini berarti bahwa suatu frekuensi yang
telah diberikan kepada perseorangan atau badan usaha tertentu, maka sumber
2Denny Setiawan, Alokasi Frekuensi, Kebijakan dan Perencanaan Spektrum Indonesia,

(Jakarta: Departemen Komunikasi dan Informatika Direktorat Jenderal Pos dan Telekomunikasi,
2010), hlm.1.
3Ibid.
4Ibid.

2
daya alam tersebut tidak dapat diberikan kepada pihak lain, bila ini terjadi,
maka akan terjadi penggusuran. Oleh karena itu kebijaksanaan pengaturan
penggunaan spektrum frekuensi menjadi sangat penting. Mengingat hal
tersebut, maka pengaturan penggunaan SFR harus efisien dan rasional.
Permasalahan yang menjadi kajian dalam penelitian ini berkaitan dengan
produk peraturan perundang-undangan yang tidak konsisten dengan
pendekatan sinkronisasi terhadap dua industri yang saling memiliki keterkaitan
dalam pengaturan penggunaan spektrum frekuensi radio yang melatar
belakangi Undang-Undang Nomor 36 Tahun 1999 tentang Telekomunikasi
(selanjutnya disebut UU Telekomunikasi) dan Undang-Undang Nomor 32
Tahun 2002 tentang Penyiaran (selanjutnya disebut UU Penyiaran).
UU Telekomunikasi dan UU Penyiaran yang sekarang ada secara norma
hukum mengandung perbedaan mendasar atau inkonsisten. Di dalam UU
Telekomunikasi dinyatakan bahwa penyelenggara telekomunikasi terdiri dari
tiga institusi, yaitu 1. Penyelenggara jaringan telekomunikasi. 2. Penyelenggara
jasa telekomunikasi dan 3. Penyelenggara telekomunikasi khusus. Negara
dalam hal ini membiarkan penyelenggara jaringan dan/atau jasa telekomunikasi
dapat dikuasai oleh warga Negara asing atau badan usaha asing. Regulasi ini
secara jelas membiarkan penyelenggara jaringan yang memiliki izin SFR dapat
mengontrol, mengendalikan, dan menyelenggarakan sistem telekomunikasi.
Menyoal kepemilikan asing pada industri telekomunikasi, dapat dipelajari
kasus yang menimpa PT Indosat, pada awalnya adalah BUMN yang
menjalankan telekomunikasi internasional (dikenal dengan SLI 001) kemudian
menjual 40% sahamnya kepada Singapore Technologies Telemedia (ST
Telemedia / STT), selanjutnya STT menjual 40% saham Indosat kepada Qatar
Telecom QSC (QTel). Operasi pembelian yang sangat rapi ini dilakukan Qtel
dan STT pada 6 Juni 2008. Pasar sama sekali tidak mengendus akan ada
penjualan besar-besaran ini. Terlebih beberapa kali STT menegaskan tidak
akan menjual Indosat meski sudah divonis KPPU melakukan monopoli dengan
memiliki Indosat dan Telkomsel. Qtel mengumumkan telah membeli 40,8%
saham Indosat melalui akuisisi Asia Mobile Holdings Pte. Ltd (AMH).5
Sektor industri penyiaran secara jelas dan tegas menyatakan bahwa asing
tidak boleh memiliki, mengendalikan dan menguasai lembaga penyiaran. Dalam
hal, UU Telekomunikasi Indonesia terlalu liberal, sementara UU Penyiaran yang
diharapkan lebih berpihak kepada kepentingan nasional dan kepentingan publik
belum dapat dijalankan dan ditegakkan secara baik dan maksimal.
Situasi ini bertentangan dengan prinsip demokrasi telekomunikasi, karena
telekomunikasi menggunakan frekuensi milik publik sebagai medium
transmisinya, tetapi dalam kenyataannya industri telekomunikasi banyak
diserahkan kepada pihak swasta, dan bahkan asing. Hal lain yang tidak
demokratis dalam UU Telekomunikasi adalah soal perizinan terutama dalam
penggunaan spektrum frekuensi radio.
Mengingat pentingnya nilai strategis dari sumber daya alam terbatas ini
bagi kepentingan nasional, yaitu untuk meningkatkan efisiensi dan produktivitas
serta dapat meningkatkan kualitas hidup dan kesejahteraan masyarakat suatu
bangsa, maka diperlukan peraturan yang mampu untuk mengakomodir

5 https://finance.detik.com/bursa-dan-valas/d-952177/stt-jual-seluruh-saham-di-indosat-ke-
qatar-telecom diakses tanggal 4 April 2019 pukul 09:19 Wib.

3
kebutuhan khususnya tata kelola penggunaan SFR serta memberikan
kemanfaatan hukum, keadilan hukum, dan kepastian hukum sebagai sarana
telekomunikasi, penyiaran dan informatika. Sebab, penggunaannya, SFR perlu
dilakukan koordinasi untuk mencegah terjadinya masalah interferensi
(gangguan) serta penyalahgunaan izin.
Penelitian ini menggunakan pendekatan sinkronisasi hukum terhadap UU
Telekomunikasi dan UU Penyiaran yang mengandung dualisme peraturan yang
mengatur penggunaan spektrum frekuensi radio di Indonesia, yang memilki
peran strategis dalam penyelenggaraan telekomunikasi dan penyelenggaraan
penyiaran, serta memiliki nilai ekonomis yang sangat tinggi dalam ranah publik.
Pasal 5 UU No.12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-
undangan menjelaskan bahwa dalam membentuk peraturan perundang-
undangan harus dilakukan berdasarkan asas pembentukan peraturan
perundang-undangan yang baik, yang meliputi: kejelasan tujuan; kelembagaan
atau pejabat pembentuk yang tepat; kesesuaian antara jenis, hierarki, dan
materi muatan; dapat dilaksanakan; kedayagunaan dan kehasilgunaan;
kejelasan rumusan; dan keterbukaan.
Inkonsistensi norma hukum yang terdapat di dalam UU Telekomunikasi
dan UU Penyiaran yang ditulis ini belum pernah diteliti sebelumnya. Meskipun
ada, tetapi substansinya berbeda dengan penelitian ini, seperti Asril Sitompul
pernah meneliti tentang masalah hukum dalam penggunaan spektrum frekuensi
radio di Indonesia. Hasil penelitiannya menjelaskan perlu dilakukan perubahan
terhadap peraturan-peraturan pelaksanaan UU Telekomunikasi agar dalam
peraturan-peraturan pelaksanaan yang ada terutama tentang pengelolaan
spektrum frekuensi radio lebih mengutamakan ide untuk kesejahteraan
masyarakat sebagaimana yang dicantumkan dalam tujuan telekomunikasi dan
untuk mencegah agar dalam pengelolaan spektrum frekuensi radio tidak terjadi
penguasaan oleh segelintir pengusaha yang mempunyai modal besar, dan
untuk mendorong efesiensi dalam penggunaan spektrum frekuensi radio
diperlukan perubahan dalam konsep pengaturan sektor telekomunikasi
khususnya yang berkaitan dengan pengalokasian spektrum frekuensi radio dan
penggunaan spektrum frekuensi radio baik dengan konsep LSA atau MVNO. 6
Denis Pravita Sari pernah meneliti dengan judul Implementasi Pasal 33
Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran Terkait dengan
Modulasi Frekuensi Radio yang Tidak Memiliki Izin Spektrum Frekuensi (Studi
di Dinas Komunikasi dan Informasi Kabupaten Madiun). Penelitiannya
menyimpulkan implementasi UU Nomor 32 Tahun 2002 dilakukan dengan
metode pengawasan terhadap frekuensi siaran setiap radio, serta didapatkan
bahwa keengganan bagi radio swasta untuk mendapatkan izin terletak pada
alasan birokratis dan administratif.7
Dimyati Hartono pernah menulis makalah berjudul Beberapa Aspek
Hukum Penggunaan Frekuensi dalam Penyelenggaraan Telekomunikasi di
Indonesia. Dalam tulisnya menyimpulkan bahwa masih terjadi kesenjangan

6Asril Sitompul, Masalah Hukum dalam Penggunaan Spektrum Frekuensi Radio di

Indonesia, Jurnal Hukum dan Peradilan, Volume 2, Nomor 3, November 2013, hlm. 425.
7Denis Pravita Sari, Implementasi Pasal 33 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2002
Tentang Penyiaran Terkait dengan Modulasi Frekuensi Radio yang Tidak Memiliki Izin
Spektrum Frekuensi (Studi di Dinas Komunikasi dan Informasi Kabupaten Madiun), Artikel
Ilmiah, Universitas Brawijaya Fakultas Hukum Malang, 2014, hlm. 2.

4
antara kebijakan dan dasar pengaturan, karena a. Diterapkannya kebijakan
yang memihak kepentingan kelompok; b. Inkonsistensi dalam pelaksanaan
undang-undang. Kuatnya posisi “incumbent operator” dalam mempengaruhi
proses perumusan kebijakan dan pemformulasian aturan pelaksanaan; c.
Penerapan sistem tender yang tidak transparan. Menurut Dimyati Hartono
lembaga-lembaga yang ada saat ini belum maksimal menampung aspirasi
pengguna frekuensi secara umum. Hal ini didasari oleh kurangnya aturan
pelaksanaan yang dapat mengurangi praktik penyalahgunaan frekuensi radio
dan tidak berperannya regulator, dalam hal ini BRTI karena terbatasnya
wewenang baik dari aspek dasar hukum pembentukannya, struktur
organisasinya maupun kemandiriannya secara finansial.8
Kurniawan Hendratno dan Umar Ma’ruf, pernah meneliti terkait
penegakan tindak pidana telekomunikasi.9 Suyanto Sidik, meneliti tentang
dampak Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik. Penelitian-
penelitian terdahulu itu jauh berbeda dengan substansi dalam penelitian ini.10
Dengan demikian, memperhatikan penelitian-penelitian terdahulu tersebut jelas
berbeda dengan penelitian ini. Fokus penelitian ini inkonsistensi norma hukum
dalam peraturan spektrum frekuensi radio menurut UU Telekomunikasi dan UU
Penyiaran. Oleh karena itu, penelitian ini mempunyai keunikan tersendiri dan
merupakan suatu kebaruan (novelty) atau original. Sejalan dengan keunikan
tersebut maka permasalahan penelitian ini, yaitu Pertama, bagaimanakah
peraturan penggunaan spektrum frekuensi radio menurut Undang-Undang No.
36 Tahun 1999 tentang Telekomunikasi dan Undang-Undang No. 32 Tahun
2002 tentang Penyiaran? Kedua, bagaimanakah inkonsistensi norma hukum
peraturan penggunaan spektrum frekuensi radio menurut Undang-Undang No.
36 Tahun 1999 tentang Telekomunikasi dan Undang-Undang No. 32 Tahun
2002 tentang Penyiaran? Berdasarkan permasalahan tersebut maka hasil yang
diharapkan atau tujuan penelitian dalam artikel ini: Pertama, untuk menjelaskan
peraturan penggunaan spektrum frekuensi radio menurut Undang-Undang No.
36 Tahun 1999 tentang Telekomunikasi dan Undang-Undang No. 32 Tahun
2002 tentang Penyiaran? Kedua, untuk menjelaskan inkonsistensi norma
hukum peraturan penggunaan spektrum frekuensi radio menurut Undang-
Undang No. 36 Tahun 1999 tentang Telekomunikasi dan Undang-Undang No.
32 Tahun 2002 tentang Penyiaran.

Metode Penelitian
Jenis penelitian ini metode penelitian hukum normatif dengan pendekatan
sinkronisasi. Penelitian yang diteliti adalah sampai sejauh mana hukum positif

8Dimyati Hartono, Beberapa Aspek Hukum Penggunaan Frekuensi Dalam


Penyelenggaraan Telekomunikasi di Indonesia, Makalah yang disampaikan pada Lokakarya
Frekuensi Nasional : Pembinaan Frekuensi Radio untuk Menunjang Pembangunan, Jakarta 30
Juli 1993, hlm. 89.
9Kurniawan Hendratno dan Umar Ma’ruf, Penegakan Hukum Terhadap Tindak Pidana

Telekomunikasi di Wilayah Hukum Kepolisian Daerah Jawa Tengah, Jurnal Hukum Khaira
Ummah, Volume 12, Nomor 2, Juni 2017, hlm. 257.
10Suyanto Sidik, Dampak Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE)

Terhadap Perubahan Hukum dan Sosial dalam Masyarakat, Jurnal Ilmiah Widya, Volume 1,
Nomor 1, Mei-Juni 2013, hlm. 1.

5
tertulis yang ada sinkron atau serasi satu sama lainnya secara horizontal, yaitu
antara UU Telekomunikasi dengan UU Penyiaran.
Sumber data penelitian ini bersumber dari data sekunder. Data sekunder
tersebut dapat dibedakan menjadi 3 (tiga), yaitu bahan hukum primer, bahan
hukum sekunder dan bahan hukum tertier. Bahan hukum primer, yaitu bahan
hukum yang mempunyai otoritas (autoratif). Terdiri dari peraturan perundang-
undangan, misalnya UUD Tahun 1945, UU No. 36 Tahun 1999 tentang
Telekomunikasi dan UU No. 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran. Bahan hukum
sekunder, terutama dari buku teks dan pandangan-pandangan klasik para
sarjana yang mempunyai kualifikasi yang tinggi. Di samping buku teks, bahan
hukum sekunder dapat berupa tulisan-tulisan tentang hukum dalam bentuk
jurnal hukum. Bahan hukum tertier, yaitu bahan hukum yang dipergunakan
untuk memberi petunjuk atau penjelasan terhadap bahan hukum primer dan
sekunder.
Teknik pengumpulan data, menggunakan metode kajian kepustakaan
atau studi dokumenter. Analisis data secara kualitatif, yakni menguraikan
secara deskriptif data yang diperoleh. Dalam menarik kesimpulan
menggunakan metode berpikir deduktif, ialah cara berpikir yang menarik suatu
kesimpulan dari suatu pernyataan atau dalil yang bersifat umum menjadi suatu
yang bersifat khusus.

Pembahasan

Peraturan Penggunaan Spektrum Frekuensi Radio Menurut Undang-


Undang No. 36 Tahun 1999 tentang Telekomunikasi dan Undang-Undang
No. 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran
Produk perundangan yang mengatur penggunaan spektrum frekuensi
radio pada industri telekomunikasi berdasarkan Pasal 33 ayat (4) UU No. 36
Tahun 1999 tentang Telekomunikasi diatur dalam Peraturan Pemerintah.
Peraturan Pemerintah (PP) yang lahir setelah UU No. 36 Tahun 1999, yakni
PP No. 53 Tahun 2000 tentang Penggunaan Spektrum Frekuensi Radio dan
Orbit Satelit. Di dalam Pasal 2 PP No. 53 Tahun 2000 menjelaskan bahwa
pembinaan penggunaan spektrum frekuensi radio dan orbit satelit dilakukan
oleh Menteri.
Peraturan selanjutnya dalam penggunaan spektrum frekuensi untuk
penyelenggaraan jaringan telekomunikasi dan/atau penyelenggaraan jasa
telekomunikasi diatur dalam PP No. 52 Tahun 2000 tentang Penyelenggaraan
Telekomunikasi yang menjelaskan mengenai rencana dasar teknis diatur dalam
keputusan Menteri. Amanat PP tersebut ditindaklanjuti dengan diterbitkan
Peraturan Menteri Komunikasi dan Informatika (Permen Kominfo) No.
30/PER/M.KOMINFO/09/2008 tentang Penyelenggaraan Jaringan
Telekomunikasi sebagaimana telah diubah terakhir dengan Permen Kominfo
No. 01 Tahun 2010 tentang Penyelenggaraan Jaringan Telekomunikasi.
Kebijakan penyelenggaraan pada industri telekomunikasi dan industri
penyiaran dikelola oleh Direktorat Jenderal Pemberdayaan Pos dan Informatika
(Ditjen PPI). Secara historis, Ditjen PPI bersama dengan Direktorat Jenderal
Sumber Daya Perangkat Pos dan Informatika (Ditjen SDPPI) merupakan
pecahan dari Direktorat Jenderal Pos dan Telekomunikasi (Postel) berdasarkan

6
penetapan struktur baru Kementerian kominfo berdasarkan Peraturan Menteri
Kominfo No.17 Tahun 2010 (SDPPI, 2015).
Kompleksitas dalam mengelola sektor telekomunikasi dan penyiaran, baik
secara administrasi maupun teknis, pemerintah telah melahirkan beberapa
produk hukum peraturan perundangan yang diharapkan dapat mengakomodir
kebutuhan akan telekomunikasi dan penyiaran di Indonesia, juga untuk
menyesuaikan dengan dinamika teknologi yang terus berkembang. Dalam hal
pengaturan dan penggunaa spektrum frekuensi radio pada industri
telekomunikasi dan industri penyiaran, dijelaskan sebagai berikut.

1. Peraturan Penggunaan spektrum frekuensi radio menurut Undang-


Undang No. 36 Tahun 1999 tentang Telekomunikasi
UU Telekomunikasi lahir diakhir pemerintahan Orde Baru dan awal dari
Orde Reformasi, pada tahun 1999. Pada awalnya, Indonesia menggunakan UU
No. 3 Tahun 1989 tentang Telekomunikasi, dengan seiring waktu dianggap
belum memberikan kontribusi tata kelola pada sektor telekomunikasi yang
komprehensif terhadap perkembangan jaman, teknologi, dan iklim investasi di
sektor telekomunikasi, oleh sebab itu lahir UU No. 36 Tahun 1999 tentang
Telekomunikasi untuk menggantikan UU Telekomunikasi sebelumnya.
Ketentuan Pasal 33 ayat (1) UU No. 36 Tahun 1999 tentang
Telekomunikasi dan Pasal 17 ayat (1) PP No. 53 Tahun 2000 tentang
Penggunaan Spektrum Frekuensi Radio dan Orbit Satelit, menjelaskan bahwa
setiap penggunaan spektrum frekuensi radio wajib mendapat izin dari Menteri
Komunikasi dan Informatika yang pengelolaannya dilakukan oleh Direktur
Jenderal Sumber Daya dan Perangkat Pos dan Informatika.11
Secara normatif berdasarkan Pasal 1 ayat (2) UU No. 12 Tahun 2011
tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan, peraturan perundang-
undangan adalah peraturan tertulis yang memuat norma hukum yang mengikat
secara umum dan dibentuk atau ditetapkan oleh lembaga negara atau pejabat
yang berwenang melalui prosedur yang ditetapkan dalam peraturan perundang-
undangan.
Penyelenggaraan telekomunikasi meliputi, penyelenggaraan jaringan
telekomunikasi, penyelenggaraan jasa telekomunikasi, dan penyelenggaraan
telekomunikasi khusus. Dalam penyelenggaraan telekomunikasi, diperhatikan
hal-hal sebagai berikut. (a) melindungi kepentingan dan keamanan Negara; (b)
mengantisipasi perkembangan teknologi dan tuntutan global; (c) dilakukan
secara professional dan dapat dipertanggungjawabkan; (d) peran serta
masyarakat.
Memperhatikan UU Telekomunikasi secara jelas tidak membatasi
kepemilikan penyelenggaraan jaringan telekomunikasi dan/atau
penyelenggaraan jasa telekomunikasi oleh warga Negara asing di Indonesia.
Pasal 8 ayat (1) sangat jelas menyatakan bahwa penyelenggaraan jaringan
telekomunikasi dan/atau penyelenggaraan jasa telekomunikasi sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 7 ayat (1) huruf a dan huruf b dapat dilakukan oleh
badan hukum yang didirikan untuk maksud tersebut berdasarkan peraturan
perundang-undangan yang berlaku, yaitu a. Badan Usaha Milik Negara

11https://www.postel.go.id/artikel-ketentuan-penggunaan-spektrum-frekuensi-radio-7-2160

diakses tanggal 23 April 2019 pukul 11:25 Wib.

7
(BUMN), b. Badan Usaha Milik Daerah (BUMD), c. badan usaha swasta, atau
d. koperasi.
Perlu ditegaskan, bahwa bila sebuah badan hukum memperoleh izin
penyelenggaraan telekomunikasi maka ia berhak mempergunakan spektrum
frekuensi radio yang telah diberikan oleh regulator (pemerintah) yang dibagi
dalam kanal atau saluran kanal frekuensi radio untuk masa waktu tertentu.
Hanya badan hukum itu yang boleh mempergunakan frekuensi untuk saluran
telekomunikasi yang dimilikinya. Tidak boleh diganggu dan diintervensi pihak
lain karena melanggar hukum. Itu artinya, badan hukum tersebut menguasai
secara penuh frekuensi tersebut untuk masa tertentu. Dengan demikian,
melihat persoalan industri telekomunikasi saat ini, seharusnya dengan
mengutamakan amanat peraturan perundang-undangan di bidang
telekomunikasi. Pasal 3 UU Telekomunikasi sangat jelas menyebutkan bahwa:
“Telekomunikasi diselenggarakan dengan tujuan untuk mendukung persatuan
dan kesatuan bangsa, meningkatkan kesejahteraan dan kemakmuran rakyat
secara adil dan merata, mendukung kehidupan ekonomi dan kegiatan
pemerintahan, serta meningkatkan hubungan antar bangsa”.
Norma hukum dalam peraturan perundangan menjadi pijakan
penerapannya, hal ini selaras dengan pendapat Jimmly Asshidiqie, yang
menyatakan bahwa “norma atau kaidah merupakan pelembagaan nilai-nilai
baik dan buruk dalam bentuk tata aturan yang berisi kebolehan, anjuran atau
perintah. Baik anjuran maupun perintah dapat berisi kaidah yang bersifat positif
atau negatif,...”.12

2. Peraturan penggunaan spektrum frekuensi radio menurut Undang-


Undang No. 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran
Spektrum frekuensi radio yang peruntukkan untuk penyelenggaraan
penyiaran dipetakan menjadi bagian kecil yang disebut dengan pita frekuensi,
selanjutnya dari pita frekuensi tersebut ditentukan kanal-kanal frekuensi
berdasarkan izin yang diajukan oleh lembaga penyelenggara penyiaran kepada
Menteri melalui Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) berdasarkan amanat Pasal
33 ayat (4) huruf d UU No. 32. Tahun 2002.
Berbeda dengan semangat dalam UU Penyiaran sebelumnya, yaitu UU
No. 24 Tahun 1997 Pasal 7 yang menjelaskan bahwa "Penyiaran dikuasai oleh
Negara yang pembinaan dan pengendaliannya dilakukan oleh pemerintah", hal
ini menunjukkan bahwa penyiaran pada masa itu merupakan bagian dari
instrumen kekuasaan yang digunakan untuk semata-mata bagi kepentingan
Pemerintah.
Produk perundangan tentang penyiaran lainnya yang mengatur
penyelenggaraan penyiaran telah diterbitkan oleh Pemerintah dalam bentuk PP
yang disesuaikan dengan lembaga penyelenggaraan penyiarannya, yaitu (a)
Penyelenggaraan Penyiaran Lembaga Penyiaran Publik; (b) Penyelenggaraan
Penyiaran Lembaga Penyiaran Swasta; (c) Penyelenggaraan Penyiaran
Lembaga Penyiaran Komunitas; (d) Penyelenggaraan Penyiaran Lembaga
Penyiaran Berlangganan.
Ketentuan yang diatur dalam Pasal 3 PP No. 50 Tahun 2005 tentang
Penyelenggaraan Penyiaran Lembaga Penyiaran Swasta menjelaskan bahwa

12Jimmly Asshidiqie, Perihal Undang-Undang, (Jakarta: Rajawali Pers, 2011), hlm. 21.

8
Lembaga Penyiaran Swasta harus memenuhi persyaratan, antara lain: (a)
didirikan oleh warga Negara Indonesia; (b) didirikan dengan bentuk badan
hukum Indonesia berupa perseroan terbatas; (c) bidang usahanya hanya
menyelenggarakan jasa penyiaran radio atau televisi.
Konsideran UU No. 32 Tahun 2002 huruf b menegaskan bahwa spektrum
frekuensi radio merupakan sumber daya alam terbatas dan merupakan
kekayaan nasional yang harus dijaga dan dilindungi oleh Negara dan
dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat sesuai dengan cita-
cita Proklamasi 17 Agustus 1945. Muatan nasionalisme dalam UU Penyiaran
juga mendefinisikan bahwa penyiaran diselenggarakan berdasarkan Pancasila
dan Undang-Undang Dasar Tahun 1945 dengan asas manfaat, adil, dan
merata, kepastian hukum, keamanan, keberagaman, kemitraan, etika,
kemandirian, kebebasan, dan bertanggung jawab. Asas tersebut merupakan
suatu landas pikir bagi pencapaian tujuan penyelenggaraan penyiaran itu
sendiri, yaitu untuk memperkukuh integrasi nasional, terbinanya watak dan jati
diri bangsa yang beriman, bertaqwa, mencerdaskan kehidupan bangsa,
memajukan kesejahteraan umum, dalam membangun masyarakat yang
mandiri, demokratis, adil dan sejahtera, serta menumbuhkan industri penyiaran
Indonesia.
Penyelenggaraan penyiaran didasarkan pada jaminan dari Negara pada
kegiatan penyiaran itu sendiri, yaitu untuk menyelenggarakan penyiaran bagi
sebesar-besar kemakmuran masyarakat. Untuk mewujudkan hal ini, maka
publik harus memiliki akses yang memadai untuk dapat terlibat, memanfaatkan,
mendapatkan perlindungan, serta mendapatkan keuntungan dari kegiatan
penyiaran. Cara-cara untuk mewujudkan jaminan tersebut yang kemudian
disebut dengan prinsip keterbukaan akses partisipasi, perlindungan, dan kontrol
publik.
Guna mencapai keberhasilan dari prinsip ini, maka dibutuhkan juga prinsip
lain yang secara melekat (embedded) menyokongnya, yaitu prinsip diversity of
ownership (keberagaman kepemilikan) dan diversity of content (keberagaman
isi) dari lembaga penyiaran. Dengan kedua prinsip diversity ini diharapkan
Negara dapat melakukan penjaminan terhadap publik melalui penciptaan iklim
kompetisi antar lembaga penyiaran agar bersaing secara sehat dalam
menyediakan pelayanan informasi yang terbaik kepada masyarakat.
Penggunaan spektrum frekuensi radio untuk keperluan penyiaran selain
diatur dalam UU No.32 Tahun 2002 dan PP tentang penyelenggaraan
penyiaran lembaga penyiaran, juga mengacu pada definisi Broadcasting
Services di Peraturan Radio (Radio Regulation) ITU, Broadcasting services
menurut ITU-R, didefinisikan sebagai “a radiocommunication service in which
the transmissions are intended for direct reception by the general public. This
service may include sound transmissions, television transmissions or other type
of transmissions”. Definisi itu bila diterjemahkan menjadi: suatu servis
komunikasi radio di mana transmisinya ditujukan untuk penerimaan langsung
oleh masyarakat umum. Servis ini dapat mencakup transmisi suara, transmisi
televisi atau jenis transmisi lainnya.
Secara eksplisit UU Penyiaran jelas mengatur mengenai peran warga
Negara asing dalam penyelenggaraan penyiaran, baik dalam hal membatasi
keberadaan tenaga kerja maupun kepemilikan dan modal asing di Indonesia,
sebagaimana diatur dalam Pasal 16, 17, dan Pasal 30. Pasal 16 ayat (2)

9
mengemukakan bahwa warga negara asing dilarang menjadi pengurus
Lembaga Penyiaran Swasta, kecuali untuk bidang keuangan dan bidang teknik.
Kemudian, Pasal 17 ayat (1) menyebutkan bahwa Lembaga Penyiaran Swasta
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16 ayat (1) didirikan dengan modal awal
yang seluruhnya dimiliki oleh warga negara Indonesia dan/atau badan hukum
Indonesia. Kemudian, terkait dengan penyertaan modal asing, ayat (2)
menyebutkan Lembaga Penyiaran Swasta dapat melakukan penambahan dan
pengembangan dalam rangka pemenuhan modal yang berasal dari modal
asing, yang jumlahnya tidak lebih dari 20 persen (dua puluh per seratus) dari
seluruh modal dan minimum dimiliki oleh 2 (dua) pemegang saham.
Tidak hanya pembatasan Sumber Daya Manusia (SDM) dan kepemilikan
saham, UU Penyiaran dengan tegas melarang pendirian lembaga penyiaran
asing di Indonesia. Hal ini ditegaskan dalam Pasal 30 ayat (1) bahwa lembaga
penyiaran asing dilarang didirikan di Indonesia. Aturan yang sangat ketat inilah
yang membuat lembaga penyiaran asing sulit masuk ke Indonesia.
Norma hukum yang dimuat UU No. 32 Tahun 2002 menjadi representasi
amanat UUD Tahun 1945 Pasal 33 ayat (3), Menurut Maria Farida, norma
hukum memainkan peranan dalam hubungan kehidupan kenegaraan dan
kemasyarakatan, artinya peraturan perundang-undangan yang berada di bawah
UUD Tahun 1945 harus bersumber dan berada di bawah UUD Tahun 1945,
baik dari aspek prosedurnya maupun dalam hal materi muatannya harus
selaras.13

Inkonsistensi Norma Hukum Peraturan Penggunaan Spektrum Frekuensi


Radio menurut Undang-Undang No.36 Tahun 1999 tentang
Telekomunikasi dan Undang-Undang No. 32 Tahun 2002 tentang
Penyiaran
Beberapa norma hukum yang tidak konsisten antara UU No. 36 Tahun
1999 tentang Telekomunikasi dengan UU No. 32 Tahun 2002 tentang
Penyiaran disajikan pada tabel matrik berikut.

Tabel 1
Matrik Peraturan Penggunaan Spektrum Frekuensi Radio Menurut
UU Telekomunikasi dengan UU Penyiaran
UU No. 36 Tahun 1999 UU No. 32 Tahun 2002
Pasal 33 ayat (4), Pasal 33 ayat (4) huruf d,
Ketentuan penggunaan spektrum Izin alokasi dan penggunaan
frekuensi radio dan orbit satelit yang spektrum frekuensi radio oleh
digunakan dalam penyelenggaraan Pemerintah atas usul KPI.
telekomunikasi diatur dengan
Peraturan Pemerintah.
Sumber: Bahan hukum sekunder, diolah Tahun 2019.

Berdasarkan tabel matrik sinkronisasi di atas dapat diuraikan


penjelasannya sebagai berikut.

13Maria Farida Soeprapto, Ilmu Perundang-Undangan I, (Yogyakarta: Kasinius, 2007), hlm.


21. /

10
(1). Pasal 33 ayat (4) UU No. 36 Tahun 1999 menjelaskan bahwa “… diatur
dengan Peraturan Pemerintah”. Dari frase tersebut, dapat diuraikan:
a. UU No. 36 Tahun 1999 tidak melibatkan lembaga atau badan
independen sebagai representasi rakyat sebagai mitra Pemerintah
dalam pengaturan pada industri telekomunikasi, mengingat pada
industri telekomunikasi menggunakan spektrum frekuensi radio yang
menjadi ranah publik. Berbeda dengan UU Penyiaran yang secara
jelas menyebutkan KPI sebagai representasi rakyat menjadi mitra
Pemerintah dalam mengatur penyelenggaraan penyiaran.
b. Peraturan Pemerintah (PP) yang lahir setelah UU No. 36 Tahun 1999
adalah PP No. 53 Tahun 2000 tentang Penggunaan Spektrum
Frekuensi dan Orbit Satelit, Pasal 2 menjelaskan: “Pembinaan
penggunaan spektrum frekuensi radio dan orbit satelit dilakukan oleh
Menteri”.
c. Norma hukum Pasal 33 ayat (4) UU No. 36 Tahun 1999 dan Pasal 2
PP No. 53 Tahun 2000, mengandung asas yang memiliki pengertian
sama dalam hal ketentuan penggunaan spektrum frekuensi radio yang
tidak menyentuh atau menyebutkan bahwa spektrum frekuensi radio
adalah merupakan ranah publik, maka semakin menegaskan bahwa
norma hukum yang terdapat di dalam UU Telekomunikasi menjadikan
sektor telekomunikasi di Indonesia seolah menjadi wilayah privat,
yang tanpa melibatkan perwakilan dari rakyat sebagai mitra
Pemerintah dalam pengelolaan sumber daya alam terbatas yang
seharusnya untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat.
d. Menurut Sudikno Mertokusumo, norma atau kaidah diartikan sebagai
peraturan hidup yang menentukan bagaimana manusia seharusnya
berperilaku, bersikap di lingkungan masyarakat agar kepentingannya
dan kepentingan orang lain terlindungi, yang dalam arti sempit norma
hukum atau kaidah hukum adalah nilai yang terdapat dalam suatu
peraturan perundangan konkret.14
(2). Berbeda dengan Pasal 33 ayat (4) huruf d UU No. 32 Tahun 2002 yang
menjelaskan bahwa “…penggunaan spektrum frekuensi radio oleh
Pemerintah atas usul Komisi Penyiaran Indonesia (KPI)”. Dari frase
tersebut, dapat diuraikan:
a. Terdapat 2 (dua) otorisator yang diatur dalam UU No. 32 Tahun 2002,
yaitu Pemerintah dan KPI sebagai representasi dari rakyat yang
berdasarkan amanat UU Penyiaran mempunyai kewenangan untuk
mengatur penyelenggaraan penyiaran dan memberikan izin terhadap
penggunaan spektrum frekuensi radio.
b. Konsideran UU No. 32 Tahun 2002 huruf (b):
Huruf (b) “bahwa spektrum frekuensi radio merupakan sumber daya
alam terbatas dan merupakan kekayaan nasional yang harus dijaga
dan dilindungi oleh Negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya
kemakmuran rakyat sesuai dengan cita-cita Proklamasi 17 Agustus
1945”.

14Sudikno Mertokusumo, Penemuan Hukum (Sebuah Pengantar), (Yogyakarta: Liberty,


2006), hlm. 11.

11
Maria Farida menyatakan bahwa konsideran dalam suatu peraturan
perundang-undangan memuat uraian singkat mengenai pokok-pokok
pikiran yang menjadi latar belakang dan alasan pembuatan peraturan
perundang-undangan tersebut.15 Lebih lanjut menurut Maria pokok
pikiran pada konsideran peraturan perundangan memuat unsur
filosofis, yuridis, sosiologis yang menjadi latar belakang
pembuatannya.16
(3). Beberapa produk peraturan perundangan yang diterbitkan oleh
Pemerintah untuk mengatur tentang penyelenggaraan penyiaran secara
tegas dan jelas melibatkan peran lembaga independen, yaitu KPI sebagai
representasi rakyat dalam mengawal kepemilikan publik yang bermitra
dengan Pemerintah dalam mengatur penyelenggaraan penyiaran,
termasuk mengenai izin penggunaan spektrum frekuensi radio. Hal ini
berbeda dengan UU Telekomunikasi yang tidak melibatkan regulator
independen dalam melakukan pengaturan pada sektor atau industri
telekomunikasi.
Menurut Hans Kelsen dalam Farida17 menjelaskan bahwa dalam sistem
norma hukum di Indonesia, norma-norma hukum yang berlaku berada
dalam sistem yang berlapis-lapis, suatu norma bersumber serta berdasar
pada norma yang lebih tinggi demikian seterusnya sampai pada suatu
norma dasar Negara (staatsfundamentalnorm).
Selanjutnya inkonsistensisi norma hukum yang berkaitan dengan
penyelenggaraan penggunaan spektrum pada industri telekomunikasi dan
penyiaran disajikan pada tabel matrik berikut.

Tabel 2
Matrik Penyelenggaraan Penggunaan Spektrum Frekuensi Radio Menurut
UU Telekomunikasi dengan UU Penyiaran

UU No. 36 UU No. 32
Tahun 1999 Tahun 2002
Pasal 8 Pasal 16
(1). Penyelenggaraan jaringan (1). Lembaga Penyiaran Swasta
telekomunikasi dan/atau sebagaimana dimaksud dalam
penyelenggaraan jasa Pasal 13 ayat (2) huruf b adalah
telekomunikasi sebagaimana lembaga penyiaran yang bersifat
dimaksud dalam Pasal 7 ayat komersial berbentuk badan
(1) huruf a dan huruf b, dapat hukum Indonesia, yang bidang
dilakukan oleh badan hukum usahanya hanya
yang didirikan untuk maksud menyelenggarakan jasa
tersebut berdasarkan penyiaran radio dan televisi.
peraturan prundang-undangan (2). Warga Negara asing dilarang
yang berlaku, yaitu: (a). menjadi pengurus Lembaga

15Maria Farida Indrati Soeprapto, Ilmu Perundang-Undangan: Proses dan Teknik

Pembentukannya, (Yogyakarta: Kanisius, 2007), hlm. 108.


16Ibid.
17Maria Farida Soeprapto, Ilmu Perundang-undangan: Jenis, Fungsi, dan Materi Muatan

(Yogyakarta: Kanisius, 2007), hlm. 21.

12
BUMN; (b) BUMD; (c) badan Penyiaran Swasta, kecuali untuk
usaha swasta; atau (d). bidang keuangan dan bidang
Koperasi teknik
Sumber: Bahan hukum sekunder, diolah Tahun 2019.

Berdasarkan tabel matrik sinkronisasi di atas dapat diuraikan


penjelasannya sebagai berikut.
(1). Undang-Undang No. 36 Tahun 1999 tentang Telekomunikasi
a. Pasal 8 ayat (1) hanya menjelaskan badan hukum yang dapat
menyelenggarakan telekomunikasi tanpa menjelaskan lebih detail
mengenai larangan atau batasan terhadap kepengurusan dan/atau
kepemilikan oleh warga Negara asing atau badan usaha asing dalam
menyelenggarakan telekomunikasi. Kandungan norma hukum di
dalam pasal tersebut pada UU Telekomunikasi memberikan ruang
yang bebas kepada warga Negara asing atau badan usaha asing
untuk menyelenggarakan telekomunikasi di Indonesia.
(2). PP No. 52 Tahun 2000 tentang Penyelenggaraan Telekomunikasi
a. Pasal 4: menjelaskan bahwa penyelenggaraan jaringan
telekomunikasi dan atau penyelenggaraan jasa telekomunikasi
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 huruf a dan huruf b dapat
dilakukan oleh badan hukum yang didirikan untuk maksud tersebut
berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku,
yaitu BUMN, BUMD, Badan Usaha Swasta, Koperasi.
b. Norma hukum yang terkandung di dalam Pasal 8 ayat (1) UU No. 36
Tahun 1999 dan Pasal 4 PP No. 52 Tahun 2000 dalam hal mengatur
penyelenggaraan telekomunikasi memiliki asas yang sama, yaitu tidak
ada larangan atau batasan terhadap warga Negara asing dalam hal
kepengurusan dan/atau kepemilikan badan usaha asing dalam
penyelenggaraan telekomunikasi di Indonesia, maka semakin
menegaskan bahwa sektor telekomunikasi di Indonesia menganut
faham liberal atau kebebasan, baik dalam penyelenggaraannya
maupun dalam hal kepemilikannya. Penegasan ini diperkuat dengan
mengutip kembali pendapat Maria Farida yang menyatakan bahwa
konsideran dalam suatu peraturan perundang-undangan memuat
uraian singkat mengenai pokok-pokok pikiran yang menjadi latar
belakang dan alasan pembuatan peraturan perundang-undangan
tersebut.18
Peraturan berbeda dirumuskan dalam norma peraturan perundang-
undangan yang mengatur pada industri penyiaran, yaitu.
(1). UU No. 32 Tahun 2002 menjelaskan, bahwa:
a. Pasal 16 ayat (1), Lembaga Penyiaran Swasta sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 13 ayat (2) huruf b adalah lembaga penyiaran
yang bersifat komersial berbentuk badan hukum Indonesia, yang
bidang usahanya hanya menyelenggarakan jasa penyiaran radio atau
televisi.

18Maria Farida Indrati Soeprapto, Ilmu Perundang-Undangan…Op.Cit., hlm. 108.

13
b. Pasal 16 ayat (2), Warga Negara asing dilarang menjadi pengurus
Lembaga Penyiaran Swasta, kecuali untuk bidang keuangan dan
bidang teknik.
c. Berdasarkan penjelasan Pasal 16 ayat (1) dan ayat (2) UU No. 32
Tahun 2002 di atas mengandung norma hukum yang sangat jelas
dalam memaksa dan/atau mengatur, hal ini sesuai dengan pendapat
Purnadi Purbacaraka yang menjelaskan bahwa sifat imperatif norma
hukum bisa disebut dengan memaksa (dwingenrecht), sedangkan
norma hukum yang bersifat fakultatif terdapat norma hukum mengatur
(regelendrecht) dan norma hukum menambah (aanvullendrecht), ada
juga norma hukum yang bersifat campuran atau yang sekaligus
memaksa dan mengatur.19

Simpulan
Produk hukum pengaturan penggunaan SFR terhadap industri
telekomunikasi dan penyiaran sudah menyentuh pada ruang lingkup kedua
sektor tersebut, namun terdapat perbedaan mendasar. Norma hukum yang
mengatur penggunaan SFR dalam hal perizinan tidak konsisten, mekanisme
perizinan, pada UU Telekomunikasi langsung ke Menteri, sedangkan pada UU
Penyiaran harus melalui KPI dan/atau KPID bersama pemerintah.
Inkonsistensi norma hukum dalam penyelenggaraan penggunaan
spektrum frekuensi radio menurut UU Telekomunikasi dan UU Penyiaran
sangat jelas. Pertama, pada UU No. 36 Tahun 1999 dan PP No. 52 Tahun
2005, tidak melarang dan/atau membatasi warga negara asing dalam hal
penyelenggaraan telekomunikasi, sedangkan UU No. 32 Tahun 2002 dan PP
No. 50 Tahun 2005, sangat jelas dan tegas dalam menjelaskan pembatasan
warga Negara asing dalam hal penyelenggaraan lembaga penyiaran swasta.
Kedua, perbedaan norma hukum yang mendasar pada kedua produk hukum
tersebut dalam menerjemahkan norma hukum yang lebih tinggi tentang SFR
sebagai sumber daya alam terbatas, norma Pasal 33 ayat (3) UUD Tahun 1945
dengan norma yang terdapat pada Pasal 33 ayat (4) UU No.36 Tahun 1999
belum konsisten, sedangkan norma Pasal 33 ayat (4) huruf d UU No. 32 Tahun
2002 sudah sinkron (konsisten).
Penulis perlu disampaikan saran bahwa Pemerintah bersama DPR dalam
membuat peraturan pada industri telekomunikasi dan penyiaran seharusnya
mengakomodir: Pertama, Spektrum frekuensi radio untuk sebesar-besar
kemakmuran rakyat. Kedua, harus tegas dan jelas mengatur penyelenggaraan
telekomunikasi dan penyiaran terhadap hal yang mendasar seperti, SDM warga
negara asing, kepemilikan oleh warga negara asing dan/atau badan usaha milik
asing. Pemerintah, DPR dan akademisi bersama-sama melakukan riset yang
mendalam yang diperlukan untuk membuat kajian akademik yang komprehensif
dalam rangka membuat Rancangan Undang-Undang (RUU) untuk menyatukan
UU Telekomunikasi dan UU Penyiaran menjadi UU Telematika
(Telekomunikasi, Media dan Informatika) sebagai bentuk penyesuaian terhadap
perkembangan TIK menuju konvergensi yaitu menyatunya Telekomunikasi,
media Penyiaran, dan informatika yang ditunjang dengan teknologi internet.

19Purnadi Purbacaraka dan Soejono Soekanto, Perihal Kaidah Hukum, (Bandung: Alumni,
1982), hlm. 14.

14
Referensi
Asril Sitompul, Masalah Hukum dalam Penggunaan Spektrum Frekuensi Radio
di Indonesia, Jurnal Hukum dan Peradilan, Volume 2, Nomor 3,
November 2013.

Denis Pravita Sari, Implementasi Pasal 33 Undang-Undang Nomor 32 Tahun


2002 Tentang Penyiaran Terkait dengan Modulasi Frekuensi Radio
yang Tidak Memiliki Izin Spektrum Frekuensi (Studi di Dinas
Komunikasi dan Informasi Kabupaten Madiun), Artikel Ilmiah,
Universitas Brawijaya Fakultas Hukum Malang, 2014.

Denny Setiawan, Alokasi Frekuensi, Kebijakan dan Perencanaan Spektrum


Indonesia, (Jakarta: Departemen Komunikasi dan Informatika
Direktorat Jenderal Pos dan Telekomunikasi, 2010).

Dimyati Hartono, Beberapa Aspek Hukum Penggunaan Frekuensi Dalam


Penyelenggaraan Telekomunikasi di Indonesia, Makalah yang
disampaikan pada Lokakarya Frekuensi Nasional : Pembinaan
Frekuensi Radio untuk Menunjang Pembangunan, Jakarta 30 Juli
1993.

Jimmly Asshidiqie, Perihal Undang-Undang, (Jakarta: Rajawali Pers, 2011).

Kurniawan Hendratno dan Umar Ma’ruf, Penegakan Hukum Terhadap Tindak


Pidana Telekomunikasi di Wilayah Hukum Kepolisian Daerah Jawa
Tengah, Jurnal Hukum Khaira Ummah, Volume 12, Nomor 2, Juni
2017.

Maria Farida Soeprapto, Ilmu Perundang-Undangan I, (Yogyakarta: Kasinius,


2007).

----------------------------------, Ilmu Perundang-undangan: Jenis, Fungsi, dan


Materi Muatan (Yogyakarta: Kanisius, 2007).

Maria Farida Indrati Soeprapto, Ilmu Perundang-Undangan: Proses dan Teknik


Pembentukannya, (Yogyakarta: Kanisius, 2007).

Purnadi Purbacaraka dan Soejono Soekanto, Perihal Kaidah Hukum,


(Bandung: Alumni, 1982).

Sudikno Mertokusumo, Penemuan Hukum (Sebuah Pengantar), (Yogyakarta:


Liberty, 2006).

Suyanto Sidik, Dampak Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik


(UU ITE) Terhadap Perubahan Hukum dan Sosial dalam
Masyarakat, Jurnal Ilmiah Widya, Volume 1, Nomor 1, Mei-Juni
2013.

15

Anda mungkin juga menyukai