Anda di halaman 1dari 17

Pemicu 1

Seorang pria berusia 21 tahun datang ke IGD RS dengan keluhan nyeri perut yang dirasakan
sejak 3 jam yang lalu. Nyeri awalnya dirasakan pada sekitar daerah pusar, kemudian
berpindah ke daerah perut kanan bawah, semakin lama semakin parah. Pasien merasa mual
dan terdapat muntah 1 kali, isi makanan, tidak ada darah maupun lendir. Badan terasa agak
hangat. Pada pemeriksaan fisik didapatkan TD 120/80 mmHg, nadi 92x/menit, frekuensi
napas 18x/menit, suhu 37.8°C. Terdapat nyeri tekan dan nyeri lepas pada titik McBurney.
Pasien didiagnosis apendisitis akut.

Daftar Pertanyaan:

A. Jelaskan jenis dan patofisiologi nyeri secara umum (akut vs kronik; nosiseptif,
inflamatorik, neuropatik, psikogenik; somatik vs viseral)
B. Jelaskan patofisiologi nyeri alih (referred pain)
C. Jelaskan patofisiologi nyeri alih pada kasus apendisitis akut
1. Jelaskan jenis dan patofisiologi nyeri secara umum (akut vs kronik; nosiseptif,
inflamatorik, neuropatik, psikogenik, somatik vs viseral).
Jawaban:
Jenis nyeri1
a. Nyeri akut, yaitu nyeri yang timbul segera setelah rangsangan dan hilang setelah
penyembuhan.
b. Nyeri kronik, yaitu nyeri yang menetap selama lebih dari 3 bulan walaupun proses
penyembuhan sudah selesai.
c. Nyeri nosiseptif adalah nyeri yang timbul sebagai akibat perangsangan pada nosiseptor
(serabut a-delta dan serabut c) oleh rangsangan mekanik, termal, atau kemikal.
d. Nyeri inflamatorik
e. Nyeri neuropatik, timbul oleh suatu kelainan di sepanjang suatu jalur saraf. Suatu
kelainan akan mengganggu sinyal saraf, kemudian akan diartikan secara salah oleh otak.
Nyeri neuropatik bisa menyebabkan sakit dalam atau rasa terbakar dan rasa lainnya
(misal hipersensitivitas terhadap sentuhan), infeksi (misalnya Herpes zoster) bisa
menyebabkan peradangan sehingga terjadi neuralgia post-herpetic (rasa terbakar yang
menahun).
f. Nyeri psikogenik adalah nyeri akibat berbagai faktor psikologis. Gangguan ini lebih
mengarah pada gangguan psikologis dari pada gangguan organ. Pasien yang menderita
memang benar-benar mengalaminya. Nyeri ini umumnya terjadi ketika efek-efek
psikogenik seperti cemas dan takut timbul pada pasien.
g. Nyeri somatik adalah nyeri yang timbul pada organ non viseral, misal nyeri pasca
bedah, nyeri metastatik, nyeri tulang, nyeri artritik.
h. Nyeri viseral adalah nyeri yang berasal dari organ viseral, biasanya akibat distensi organ
yang berongga, misalnya usus, kandung empedu, pankreas, jantung. Nyeri viseral
seringkali diikuti referred pain dan sensasi otonom, seperti mual dan muntah.

Patofisiologi nyeri secara umum2

Nyeri adalah pengalaman sensorik dan emosional yang tidak menyenangkan akibat
kerusakan jaringan, baik aktual maupun potensial atau yang digambarkan dalam bentuk
kerusakan tersebut. Nyeri adalah suatu pengalaman sensorik yang multidimensional.

Rangsangan nyeri diterima oleh nosiseptor di kulit dan viscera yang dipicu oleh
rangsangan yang tidak berbahaya dengan intensitas tinggi (peregangan suhu), serta oleh lesi
jaringan. Sel yang nekrotik akan melepaskan K+ dan protein intrasel. Peningkatan
konsentrasi K+ ekstrasel akan mendepolarisasi nosiseptor, sedangkan protein pada
keadaan tertentu, organisme yang menginfiltrasi dapat mengakibatkan inflamasi.
Akibatnya, mediator penyebab nyeri akan dilepaskan. Leukotrien, prostaglandin E 2, dan
histamin akan mensensitisasi nosiseptor sehingga rangsangan, baik yang kurang berbahaya
meupun yang berada di bawah ambang bahaya dapat menyebabkan nyeri (hiperalgesia atau
allodinia).

Lesi jaringan juga mengaktifkan pembekuan darah sehingga melepaskan


bradikinin dan serotonin. Jika terdapat penyumbatan pembuluh darah akan terjadi
iskemia dan penimbunan K+ dan H+ekstrasel yang akan semakin mengaktifkan
nosiseptor yang telah tersensitasi. Mediator histamin, bradikinin, dan prostaglandin E2
memiliki efek vasodilator dan meingkatkan pemeabilitas vaskular. Hal ini
menyebabkan edema lokal, peningkatan tekanan jaringan, dan perangsangan
nosiseptor. Perangsangan nosiseptor melepaskan susbtansi peptide P (SP) dan peptide yang
berhubungan dengan gel kalsitonin (CGRP) yang meningkatkan respon inflamasi dan
menyebabkan vasodilatasi serta meningkatkan permeabilitas vaskular.

Vasokonstriksi (karena serotonin) yang diikuti oleh vasodilatasi, mungkin juga


berperan dalam serangan migren (sakit kepala hebat yang berulang, sering kali unilateral dan
berhubungan dengan disfungsi neurologis, paling tidak sebagian disebabkan oleh gangguan
vasomotor serebral.

Gambar 1. Patofisiologi nyeri perifer (Silbernagl& Lang, 2000)3


Patofisiologi Nyeri Secara Umum1

Rangsangan nyeri diterima oleh nociceptors pada kulit bisa intesitas tinggi maupun
rendah seperti perennggangan dan suhu serta oleh lesi jaringan. Sel yang mengalami nekrotik
akan merilis K + dan protein intraseluler . Peningkatan kadar K + ekstraseluler akan
menyebabkan depolarisasi nociceptor, sedangkan protein pada beberapa keadaan akan
menginfiltrasi mikroorganisme sehingga menyebabkan peradangan / inflamasi. Akibatnya,
mediator nyeri dilepaskan seperti leukotrien, prostaglandin E2, dan histamin yang akan
merangasng nosiseptor sehingga rangsangan berbahaya dan tidak berbahaya dapat
menyebabkan nyeri (hiperalgesia atau allodynia). Selain itu lesi juga mengaktifkan faktor
pembekuan darah sehingga bradikinin dan serotonin akan terstimulasi dan merangsang
nosiseptor. Jika terjadi oklusi pembuluh darah maka akan terjadi iskemia yang akan
menyebabkan akumulasi K + ekstraseluler dan H + yang selanjutnya mengaktifkan
nosiseptor. Histamin, bradikinin, dan prostaglandin E2 memiliki efek vasodilator dan
meningkatkan permeabilitas pembuluh darah. Hal ini menyebabkan edema lokal, tekanan
jaringan meningkat dan juga terjadi Perangsangan nosisepto. Bila nosiseptor terangsang maka
mereka melepaskan substansi peptida P (SP) dan kalsitonin gen terkait peptida (CGRP), yang
akan merangsang proses inflamasi dan juga menghasilkan vasodilatasi dan meningkatkan
permeabilitas pembuluh darah. Vasokonstriksi (oleh serotonin), diikuti oleh vasodilatasi,
mungkin juga bertanggung jawab untuk serangan migrain . Peransangan nosiseptor inilah
yang menyebabkan nyeri

Nyeri Inflamatorik

Neutrofil biasanya merupakan responden pertama dari respon inflamasi diikuti oleh
pelepasan mediator kimia lainnya seperti sel mast, makrofag, granulosit yang akan
melepaskan mediator-mediator kimia yang semakin menyebabkan sensasi nyeri tumpul. Ada
pergeseran progresif sel mononuklear di lokasi peradangan juga. Nyeri inflamasi
menyebabkan peningkatan input aferen ke dalam DH sumsum tulang belakang dan mengarah
pada pengembangan sensitisasi sentral. Selama proses inflamasi, mediator inflamasi kimia ini
diproduksi dari jaringan nekrotik, dan berinteraksi untuk mengaktifkan nosiseptor di dalam
area yang meradang.1
Referred pain

Teori referred pain yaitu konvergensi-proyeksi. Menurut teori ini, dua tipe aferen yang
masuk ke segmen spinal (satu dari kulit dan satu dari otot dalam atau visera) berkonvergensi
ke sel-sel proyeksi sensorik yang sama (misalnya sel proyeksi spinotalamikus). Karena
tidak ada cara untuk mengenai sumber asupan sebenarnya, otak secara salah
memproyeksikan sensasi nyeri ke daerah somatik (dermatom).

Adapun saraf yang menerima input konvergen dari berbagai jaringan adalah serabut saraf
nosiseptif di dorsal horn dan neuron batang otak oleh karena itu otak tidak dapat
mengidentifikasi dengan benar input yang sebenarnya.referred painmengikuti distribusi dari
sklerotom (otot, fasia, dan tulang) lebih sering daripada yang mengikuti dermatom.

2. Patofisiologi Nyeri Alih

Nyeri alih didefenisikan sebagai nyeri yang berasal dari salah satu bagian tubuh yang
dirasakan ditempat yang lain. Nyeri alih berkaitan dengan adanya nyeri viscera yang dialihkan
sebagai nyeri somatic Umumnya bila dialihkan kepermukaan tubuh, nyeri viscera hanya
terbatas pada segmen dermatom .tempat organ viscera tersebut berasal pada masa mudigah,
dan tidak harus pada tempat organ tersebut berasal dari dewasa.
Sebagian besar viscera hanya dipersyarafi oleh saraf otonom, sehingga nyeri visceral
dihantarkan melalui saraf otonom aferen. Nyeri viscera sering kali dialihkan kedaerah kulit(
dermatom) yang dipersyarafi oleh segmen medulla spinalis yang sama, hal ini karena nyeri
visceral bersifat difus dan sulit ditentukan lokasinya, sebaliknya nyeri somatic bersifat kuat
dan dapat ditentukan lokasinya.

Gambar1.Tempat-tempatnyerialihumum yang berasaldari organ viscera

Sumber: Price SA, Wilson LM. Patofisiologi: konsepklinis proses-proses penyakit. Ed. 6.
Vol.2. Jakarta: EGC, 2005.hal.1077.1

Mekanisme terjadinya nyeri alih, tidak sepenuhnya diketahui tetapi diduga berhubungan
dengan beberapa teori berikut:

Salah satu teorinya yaitu serabut saraf yang berasal dari viscera dan dermatom naik di dalam
susunan saraf pusat sepanjang jaras umum secara bersamaan sehingga kortex serebri tidak
mampu membedakan dari mana nyeri tersebut berasal.

Ada juga teori lain yang menyatakan bahwa dalam keadaan normal, viscera tidak dapat
menimbulkan stimulus nyeri, Sedangkan daerah kulit secara berulang menerima stimulus
yang merusak. Oleh karena kedua serabut aferen masuk ke medulla spinalis melalui segmen
yang sama, maka otak menginterpretasikan informasi tersebut sebagai stimulus yang datang
dari kulit dibandingkan dengan yang datang dari viscera.

Gambar 2.Teorikonvergensi-proyeksipadanyerialih

Sumber: Price SA, Wilson LM. Patofisiologi: konsepklinis proses-proses penyakit. Ed. 6.
Vol.2. Jakarta: EGC, 2005.hal.1077.1

Saat ini, mekanisme yang paling luas diterima untuk menjelaskan tentang nyeri alih yaitu
teori konvergensi-proyeksi yang mana menyebutkan bahwa dua tipe aferen yang masuk
kesegmen spinal ( satu dari kulit dan satu dari struktur otot dalam viscera)
berkonvergensi ke sel-sel proyeksi sensorik yang sama. Namun karena tidak memiliki
sumber pengenalan yang tepat, medulla spinalis salah memproyeksikan sensesi nyeri
kedaerah somatic.

3. Nyeri Alih Pada Apendisitis Akut

Nyeri alih apendikular umumnya dijumpai pada tahap awal apendisitis akut. Pada tahap awal
nyeri apendisitis ditimbulkan oleh peregangan lumen atau spasm eotot-ototnya. Serat nyeri
aferen visceral masuk ke medulla spinalis setinggi segmen toraks 10 (T10), setelah naik
melalui pleksus mesenterikus superior dan saraf splanikus minoris. Saat peradangan berlanjut
struktur yang berdekatan dengan serosa akan meradang dan memicu serat nyeri somatic yang
dipersarafi oleh nervus interkostalis X menginervasi struktur peritoneum. Kemudian nyeri
dapat berpindah ke kuadran kanan bawah abdomen, tempat apendiks yang meradang
mengiritsi peritoneum parietalis yang dipersarafi oleh n. torasikus XII dan nervus spinal LI
(T12-LI).

Sumber: Price SA, Wilson LM. Patofisiologi: konsepklinis proses-proses penyakit. Ed. 6.
Vol.2. Jakarta: EGC, 2005.hal.1077
APPENDISITIS
a. Definisi
Apendisitis adalah peradangan atau inflamasi pada apendiks vermiformis. Inflamasi akan
berkembang menjadi abses, ileus, peritonitis, atau kematian jika tidak diobati.1

b. Epidemiologi
Apendisitis akut terjadi pada sekitar 90-100 pasien per 100.000 penduduk per tahun di
Negara maju. Insiden puncak biasanya terjadi pada decade kedua atau ketiga kehidupan,
dan penyakit ini kurang umum pada kedua usia ekstrem. Perbedaan geografis dilaporkan,
dengan risiko seumur hidup untuk radang usus buntu 16% di Korea Selatan, 9% di AS,
dan 1,8% di Afrika. Di Indonesia, sebesar 596.132 orang dengan presentase 3,36%
dilaporkan menderita apendisitis pada tahun 2009, dan meningkat menjadi 621.435
dengan presentase 3,53% di tahun 2010.1,2

c. Etiologi
Penyebab obstruksi lumen apendiks paling sering adalah oleh batu feses. Faktor lain
yang dapat menyebabkan obstruksi lumen apendiks antara lain hyperplasia jaringan
limfoid, tumor, benda asing dan sumbatan oleh cacing. Studi epidemiologi lainnya
menyebutkan bahwa ada peranan dari kebiasaan mengonsumsi makanan rendah serat yang
mempengaruhi terjadinya konstipasi, sehingga terjadi apendisitis.1
Teori terbaru focus pada factor genetik, pengaruh lingkungan, dan infeksi. Meskipun
tidak ada gen pasti yang telah diidentifikasi, risiko radang usus buntu kira-kira tiga kali
lebih tinggi pada anggota keluarga dengan riwayat keluarga positif untuk radang usus
buntu daripada pada mereka yang tidak memiliki riwayat keluarga, dan sebuah studi
tentang anak kembar menunjukkan bahwa efek genetic mencapai sekitar 30% dari variasi
risiko untuk mengembangkan apendisitis. Faktor-faktor lingkungan juga dapat berperan,
karena penelitian melaporkan presentasi musiman yang dominan selama musim panas,
yang secara statistic dikaitkan dengan peningkatan jumlah ozon di permukaan tanah, yang
digunakan sebagai penanda polusi udara.3

↑ Tekanan PenyumbatanPembuluhdarahk
Intraluminal & ecil&statislimfatik
intramural
Obstruksi lumen

Terisi mucus
&menjadibengkak

Dindingapendiksiskemikdanne
krotik

Appendisitis
d. Patofisiologi4
1. Fransisca C, Gotra IM, Mahastuti NM. KARAKTERISTIK PASIEN DENGAN GAMBARAN
HISTOPATOLOGI APENDISITIS. J Med UDAYANA. 2019;8(7).
2. Souza ND, Nugent K. Appendicitis. Clin Evid (Online). 2014;(May).
3. Bhangu A, Søreide K, Saverio S Di, Assarsson JH, Drake FT. Acute appendicitis : modern
understanding of pathogenesis , diagnosis , and management. 2015;6736(April 2017).
4. Jones MW, Lopez RA, Deppen. JG. Appendicitis. StatPearls [Internet]. 2019; Available from:
https://www.ncbi.nlm.nih.gov/books/NBK493193/

1. Faktor risiko
Teori-teori yang dominan adalah adanya obstruksi lumen apendiks yang menyebabkan
tekanan intra-lumen meningkat dan menyebabkan iskemia pada dinding apendiks.
Adanya bakteri yang melewati lumen apendiks yang terganggu menyababkan peradangan
transmural.
Hiperplasia limfoid dimukosa/submukosa dianggap menjadu etiologi obstruksi lumen
apendiks, hiperplasia ini dapat timbul karena infeksi (bakteri, virus, jamur, parasit).
Penyebab obstruksi lain yang lebih jarang adalah parasit, pita fibrosa, benda ading,
karsinoma karsinoid atau caecal.Penelitian epidemiologi menunjukan peran kebiasaan
makan makanan rendah serat mempengaruhi terjadinya konstipasi yang mengakibatkan
timbulnya apendisitis. Konstipasi akan menaikan tekanan intrasekal, yang berakibat
timbulnya sumbatan fungsional apendiks dan meningkatnya pertumbuhan kuman flora
kolon biasa.
Sumber:
D'Souza, Nigel., Nugent, Karen. Appendicitis. BMJ Clin Evid. 2014; 2014: 0408.
Arifuddin,Adhar. Faktor Risiko Kejadian Apendisitis Di Bagian Rawat InapRumah Sakit
Umum Anutapura Palu. Jurnal Preventif, Volume 8 Nomor 1, April 2017 : 1-
58
2. Tanda Gejala
Nyeri peiumbilikus dan muntah karena rangsanga peritoneum viseral. Dalam 2-12 jam
nyeri perut akan berpindah ke kuadran kanan bawah yang menetap dan diperberat dengan
batuk atau berjalan. Nyeri progresif dengan satu titik yang nyeri maksimal. Gejala lain :
malaise, demam tak terlalu tinggi, konstipasi, diare, mual dan muntah.
Sumber :
Tanto, chris. Kapita Selekta Kedokteran. Edisi IV. Jilid I. Media Aesculapius FK UI.
Jakarta;
2014.
3. Diagnosis
a) Anamnesis :
Nyeri abdomen akut, nyeri perut kuadran kanan bawah yang progresif.
b) Pemeriksaan Fisik :
 McBurney : nyeri tekan pada jarak 1,5-2 inci antara umbilikus dengan soina
iliaka anterior(SIAS) bisa juga dikatakan satu pertiga distal antara umbilikus dan
SIAS.
 Rovsing's sign : nyeri kuadran kanan bawah oleh palpasi kuadran kiri bawah
pada abdomen.
 Dunphy's sign : peningkatan nyeri saat batuk
 psoas's sign : nyeri pada rotasi eksternal atau ekstensi pasif pinggul kanan
(pertanda apendistis retrosekal)
 Obturator's sign : nyeri pada rotasi internal
c) Pemeriksaan Penunjang:
 Laboratorium : Kenaikan leukosit dengan atau tanpa left shift atau bandemia,
terdapat ketones di urine dan CRP dapat meningkat.
 Imaging : CT scan mempunyai akurasi 95% untuk mendiagnosis appendicitis.
Sumber :
Jones, Mark W. ., Lopez, Richard A. ., Deppen, Jeffrey G. Appendicitis. 2019.
diakses
melalui :https://www.ncbi.nlm.nih.gov/books/NBK493193/
4. Klasifikasi
Sumber:
Gomes, Carlos Augusto, dkk. Acute appendicitis: proposal of a new comprehensive
grading
system based on clinical, imaging and laparoscopic findings. World J Emerg Surg.
2015; 10: 60.

Komplikasi

Komplikasi apendisitis dapat meliputi :

 Infeksi luka operasi


 Abses intraabdomen
 Fistula fekal
 Obstruksi intestinal
 Fistula fekal
 Hernia insisional
 Peritonitis
 Kematian

Sumber : Kowalak, Jennifer P. Buku Ajar Patofisiologi. Jakarta: EGC, 2011

Tatalaksana

Penatalaksanaan apendisitis terdiri dari:


1. Sebelum operasi
a. Pemasangan sonde lambung untuk dekompresi
b. Pemasangan kateter untuk kontrol produksi urin
c. Rehidrasi
d. Antibiotik dengan spektrum luas, dosis tinggi dan diberikan secaraintravena
e. Obat – obatan penurun panas, phenergan sebagai anti mengigil, largaktil untuk
membuka pembuluh – pembuluh darah perifer diberikan setelah rehidrasi
tercapai
f. Bila demam, harus diturunkan sebelum diberi anestesi
2. Operasi Apendiktomi
Apendiks dibuang, jika apendiks mengalami perforata bebas, maka abdomen
dicuci dengan garam fisiologis dan antibiotika. Abses apendiks diobati dengan
antibiotika IV, massa mungkin mengecil, atau abses mungkin memerlukan drainase
dalam jangka waktu beberapa hari. Apendiktomi dilakukan bila abses dilakukan
operasi elektif sesudah 6 minggu sampai 3 bulan.
3. Pasca Operasi
a. Observasi Tanda-tanda vital untuk mengetahui terjadinya perdarahan di dalam,
syok, hipertermia atau gangguan pernafasan.
b. Angkat sonde lambung bila pasien telah sadar sehingga aspirasi cairan
lambung dapat dicegah
c. Baringkan pasien dalam posisi semi fowler
d. Pasien dikatakan baik bila dalam 12 jam tidak terjadi gangguan, selam pasien
dipuasakan e. Bila tindakan operasi lebih besar, misalnya pada perforata,
puasa dilanjutkan sampai fungsi usus kembali normal.
e. Berikan minum mulai 15 ml/jam selama 4 – 5 jam lalu naikkan menjadi 30
ml/jam. Keesokan harinya berikan makanan saring dan hari berikutnya
diberikan makanan lunak
f. Satu hari pascar operasi pasien dianjurkan untuk duduk tegak di tempat tidur
selama 2x30 menit
g. Pada hari kedua pasien dapat berdiri dan duduk di luar kamar
h. Hari ke-7 jahitan dapat diangkat dan pasien diperbolehkan pulang
Apendiktomi harus dilakukan dalam beberapa jam setelah diagnosis
ditegakkan. Jika apendiks telah perforata, terutama dengan peritonitis menyeluruh,
resusitasi cairan yang cukup dan antibiotik spektrum luas mungkin diperlukan
beberapa jam sebelum apendiktomi. 20 Pengisapan nasogastrik harus digunakan jika
ada muntah yang berat atau perut kembung. Antibiotik harus mencakup organisme
yang sering ditemukan (Bacteroides, Escherichia coli, Klebsiella, dan pseudomonas
spesies). Regimen yang sering digunakan secara intravena adalah ampisilin (100
mg/kg/24 jam), gentamisin (5 mg/kg/24 jam), dan klindamisin (40 mg/kg/24 jam),
atau metrobnidazole (Flagyl) (30 mg/kg/24 jam). Apendiktomi dilakukan dengan atau
tanpa drainase cairan peritoneum, dan antibiotik diteruskan sampai 7-10 hari.

Sumber : Yulfanita, A.E., faktor-faktor yang berhubungan dengan lama hari rawat
pasien post appendectomy di rumah sakit umum daerah h.a sulthan dg. Radja
bulukumba. Universitas Islam Negeri Alauddin Makassar. 2014

Prognosis
Keterlambatan diagnosis akan meningkatkan morbiditas dan mortalitas, bila terjadi
komplikasi serangan berulang dapat terjadi bila apendiks tidak diangkat.

Sumber : Henry MM, Thompson JN. Acute appedncitis. Ed.3 . Philadelphia:


ELSEVIER,2012

PENCEGAHAN

Pencegahan apendisitis sebgai berikut:

a. Pencegahan Primer

Pencegahan primer bertujuan untuk menghilangkan faktor risiko terhadap kejadian


appendicitis. Upaya pencegahan primer dilakukan secara menyeluruh kepada masyarakat.
Upaya yang dilakukan antara lain:

 Diet tinggi serat


Berbagai penelitian telah melaporkan hubungan antara konsumsi serat dan
insidens timbulnya berbagai macam penyakit. Hasil penelitian membuktikan bahwa
diet tinggi serat mempunyai efek proteksi untuk kejadian penyakit saluran pencernaan.
Serat dalam makanan mempunyai kemampuan mengikat air, selulosa, dan pektin yang
membantu mempercepat sisi-sisa makanan untuk diekskresikan keluar sehingga tidak
terjadi konstipasi yang mengakibatkan penekanan pada dinding kolon.
 Defekasi yang teratur
Makanan adalah faktor utama yang mempengaruhi pengeluaran feces.
Makanan yang mengandung serat penting untuk memperbesar volume feces dan
makan yang teratur mempengaruhi defekasi. Individu yang makan pada waktu yang
sama setiap hari mempunyai suatu keteraturan waktu, respon fisiologi pada
pemasukan makanan dan keteraturan pola aktivitas peristaltik di kolon.
Frekuensi defekasi yang jarang akan mempengaruhi konsistensi feces yang
lebih padat sehingga terjadi konstipasi. Konstipasi menaikkan tekanan intracaecal
sehingga terjadi sumbatan fungsional appendiks dan meningkatnya pertumbuhan flora
normal kolon. Pengerasan feces memungkinkan adanya bagian yang terselip masuk ke
saluran appendiks dan menjadi media kuman/bakteri berkembang biak sebagai infeksi
yang menimbulkan peradangan pada appendiks.
 Minum air putih minimal 8 gelas sehari dan tidak menunda buang air besar juga akan
membantu kelancaran pergerakan saluran cerna secara keseluruhan.
b. Pencegahan Sekunder
Pencegahan sekunder meliputi diagnosa dini dan pengobatan yang tepat untuk
mencegah timbulnya komplikasi.
c. Pencegahan Tersier
Tujuan utama dari pencegahan tersier yaitu mencegah terjadinya komplikasi yang
lebih berat seperti komplikasi intra-abdomen. Komplikasi utama adalah infeksi luka dan
abses intraperitonium. Bila diperkirakan terjadi perforasi maka abdomen dicuci dengan
garam fisiologis atau antibiotik. Pasca appendektomi diperlukan perawatan intensif dan
pemberian antibiotik dengan lama terapi disesuaikan dengan besar infeksi intra-abdomen.

Sumber : WHO Library Cataloguing-in-Publication Data Global Guidelines for the


Prevention of Surgical Site Infection.2016
DAFTAR PUSTAKA

1. Alwi Idrus, Sudoyo A.W, Simadibrata M, Setyohadi B SAF. Buku Ajar Ilmu Penyakit
Dalam. Edisi 6. Jakarta: Interna Publishing; 2015.

2. Bahrudin M. Neurologi Klinis. Edisi 1. Malang: Universitas Muhammadiyah Malang


Press; 2016. 219–220.

3. Bahrudin M. Patofisiologi Nyeri (Pain). Saintika Medika. 2018;13(1):7.

4. Bahrudin, M. Patofisiologi Nyeri. Malang : Fakultas Kedokteran Muhammadiyah


Malang.2017

5. Yam MF, Chun Y, Id L, Tan CS. General Pathways of Pain Sensation and the Major
Neurotransmitters Involved in Pain Regulation. 2018;

6.
https://journals.lww.com/clinicalpain/Fulltext/2001/03000/Referred_Muscle_Pain__Basic_and_Clini
cal_Findings.3.aspx

https://docplayer.info/30512954-Bahan-ajar-iii-referred-pain.html

Anda mungkin juga menyukai