Rancangan Peraturan
Pemerintah tentang
Pelayanan Darah
Kata Pengantar..................................................................................................................... i
Problem Overiew ................................................................................................................. 1
Pertanyaan .......................................................................................................................... 1
Naskah Akademik................................................................................................................ 2
BAB I PENDAHULUAN .................................................................................................. 2
1. 1 Latar Belakang..................................................................................................... 2
1.2 Tujuan................................................................................................................... 3
BAB II PELAYANAN DARAH ......................................................................................... 5
BAB III LANDASAN HUKUM.......................................................................................... 6
3.1 Landasan Konstitusional....................................................................................... 6
3.2 Peraturan Perundang-Undangan Terkait .............................................................. 6
BAB IV MATERI MUATAN PELAYANAN DARAH ....................................................... 8
4.1. Ketentuan Umum ................................................................................................. 8
4.2. Rumusan Pengertian ........................................................................................... 8
4.3. Tanggung Jawab ........................................................................................... 9
4.4 Pengorganisasian .......................................................................................... 9
4.5. Pengamanan Darah........................................................................................ 10
4.6. Sarana Dan Tenaga........................................................................................ 10
4.7. Pembiayaan .................................................................................................... 10
4.8. Perizinan...................................................................................................... 10
4.9. Akreditasi ..................................................................................................... 11
4.10. Penelitian Dan Pengembangan ....................................................................... 11
4.11. Pengawasan .................................................................................................... 11
4.12. Ketentuan Peralihan......................................................................................... 11
4.13. Ketentuan Penutup.................................................................................. 11
Pertanyaan ........................................................................................................................ 12
Rancangan Peraturan Pemerintah RI Tentang Pelayanan Darah ..................................... 13
PENUTUP ......................................................................................................................... 33
Kesimpulan ................................................................................................................... 33
Saran............................................................................................................................. 33
Case Studi: Rancangan Peraturan Pemerintah tentang Pelayanan Darah
Kata Pengantar
Dalam rangka meningkatkan mutu pendidikan dan memudahkan proses belajar mengajar
di Universitas Indonesia, khususnya untuk Topik Kebijakan Kesehatan, penulis membuat Seri Studi
Kasus tentang Pembuatan Kebijakan Kesehatan. Studi kasus ini dikembangkan dari kegiatan
belajar mengajar berbagai Mata Ajaran di tingkat Pascasarjana dan Sarjana tentang Kebijakan
Kesehatan yang diselenggarakan oleh Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia.
Sebagai penanggung jawab Mata ajaran tentang Pembuatan Kebijakan Kesehatan di lingkungan
FKM UI, penulis merasa perlu untuk menyusun Studi Kasus ini agar dapat merangsang kreativitas
dan memberikan perspektif yang komprehensif dan luas sambil mengasah daya nalar yang kritis
dari setiap mahasiswa dalam mempelajari berbagai aspek dalam pembuatan kebijakan publik di
sektor kesehatan.
Seluruh topik dan format, serta sebagian isi yang ada pada Seri Studi Kasus ini penulis
susun sebagai penugasan pada mahasiswa untuk selanjutnya dielaborasi menjadi sebuah
makalah ilmiah. Hasil dari penyusunan makalah ilmiah ini penulis sempurnakan menjadi Studi
Kasus untuk dimanfaatkan dalam pembelajaran topik Pembuatan Kebijakan Kesehatan terutama di
lingkungan Universitas Indonesia. Adanya kelengkapan struktur Studi Kasus yang meliputi: Naskah
Akademik & Draft Pasal Peraturan Perundangan yang diusulkan. Naskah Akademik memuat
substansi: Pendahuluan, Tinjauan Masalah, Landasan Hukum, Materi Muatan, Penutup, Daftar
Pustaka. Struktur ini diharapkan dapat membantu mahasiswa menyusun sebuah kebijakan
berdasarkan masalah kesehatan masyarakat (Public Health problem-based) yang dilengkapi
dengan sintesis & analisis, dikemas berdasarkan teori dan perspektif ilmiah dalam sebuah Naskah
Akademik, dan kemudian diuraikan dalam konstruksi sebuah Draft Peraturan Perundangan.
Kepustakaan utama yang digunakan dalam penyusunan Studi Kasus ini adalah Sistem
Kesehatan, Wiku Adisasmito (2007), Making Health Policy, Kent Buse, et al (2006), The Health
Care Policy Process, Carol Barker (1996), Health Policy, An Introduction to Process and Power,
Gill Walt (1994), dan UU No 10/2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundangan. Dengan
demikian diharapkan studi kasus ini dapat memberikan materi komplit yang diperlukan dalam
penyelenggaraan proses belajar mengajar.
Penulis ucapkan terima kasih kepada Sdr Nurmuhammad, mahasiswa Program
Pascasarjana Ilmu Kesehatan Masyarakat, FKM UI Angkatan 2006/2007 yang telah membantu
menyusun makalah yang kemudian makalah tersebut dimodivikasi oleh penulis sebagai studi
kasus. Mohon maaf apabila ada kekurangan / kesalahan dalam penyusunan materi Studi Kasus
ini. Kritik dan saran akan membantu penulis dalam upaya meningkatkan kualitas Studi Kasus ini.
Semoga kita semua selalu mendapatkan ridlo Illahi dalam menuntut ilmu agar bermanfaat. Amin.
Problem Overiew
Pemakaian darah sebagai salah satu obat yang belum ada gantinya semakin
meningkat, sedangkan sumber darah itu masih tetap manusia sendiri hal
mana menimbulkan kepincangan antara pengadaan darah dan kebutuhan
darah yang dapat menimbulkan terjadinya jual beli darah yang tidak sesuai
dengan falsafah bangsa dan tidak sesuai pula dengan resolusi yang diambil
Kongres Internasional Palang Merah ke XXII di Teheran pada tahun 1973
maupun World Health Assembly ke XXVIII tahun 1974.
WHO Global Database on Blood Safety melaporkan bahwa 20% populasi
dunia berada di negara maju dan sebanyak 80% telah memakai darah donor
yang aman, sedangkan 80% populasi dunia yang berada di negara
berkembang hanya 20% memakai darah donor yang aman.
Pertanyaan
1. Apa yang melatarbelakangi pembuatan naskah akademik tersebut ?
2. Apa yang menjadi tujuan pembuatan naskah akademik tersebut?
3. Apa landasan konstitusional dan landasan hukum lainnya yang
mendasarinya?
Naskah Akademik
BAB I PENDAHULUAN
1. 1 Latar Belakang
Transfusi darah telah diselenggarakan oleh Palang Merah Indonesia (PMI) sejak
tahun 1950 dalam rangka membantu rumah sakit militer dan sipil setelah diserahkan oleh
tentara Belanda dan Pemerintah sipilnya. Sebelumnya transfusi darah diselenggarakan
oleh NERKAI (Nederlandse Rode Kruis Afdeling Indonesie = Palang Merah Belanda
Bagian Indonesia) yang dimulai pada tahun 1945.
Sebagai usaha rutin pekerjaan tersebut diteruskan oleh Palang Merah Indonesia
dan pada mulanya tidak menemukan hambatan. Setelah Reglement op den Dienst der
Volksgezondheid yang berasal dari Pemerintah Kolonial Belanda diganti dengan Undang-
undang tentang Kesehatan dikeluarkan, namun ketentuan khusus mengenai usaha
transfusi darah belum diatur, maka perlu usaha tranfusi darah tersebut diatur secara
tersendiri dengan suatu Peraturan Pemerintah.
Pada hakekatnya upaya transfusi darah merupakan bagian penting dari tugas
Pemerintah di bidang pelayanan kesehatan rakyat dan juga merupakan suatu bentuk
pertolongan sesama umat manusia. Disamping aspek pelayanan kesehatan, terkait pula
aspek sosial, organisasi, interdependensi Nasional dan Internasional yang luas, baik
dalam rangka kerjasama antar Pemerintah maupun antar Perhimpunan-perhimpunan
Palang Merah Nasional.
Pemakaian darah sebagai salah satu obat yang belum ada gantinya semakin
meningkat, sedangkan sumber darah itu masih tetap manusia sendiri hal mana
menimbulkan kepincangan antara pengadaan darah dan kebutuhan darah yang dapat
menimbulkan terjadinya jual beli darah yang tidak sesuai dengan falsafah bangsa dan
tidak sesuai pula dengan resolusi yang diambil Kongres Internasional Palang Merah ke
XXII di Teheran pada tahun 1973 maupun World Health Assembly ke XXVIII tahun 1974.
Sehubungan hal tersebut di atas maka ditetapkan Peraturan Pemerintah Nomor 18 Tahun
1980 yang mengatur pengadaan dan penyumbangan darah, pengolahan dan pemindahan
darahnya sendiri dalam arti yang luas dan mengingat faktor-faktor kesukarelaan donor,
larangan untuk memperdagangkan darah dan pengawasan tentang pelaksanaannya.
Peraturan Pemerintah tersebut telah ditindaklanjuti dengan Peraturan Menteri Kesehatan
Nomor 478/Menkes/Per/X/1990 tentang Upaya Kesehatan Tranfusi Darah. Namun
Peraturan Pemerintah tersebut saat ini sudah harus disesuaikan dengan perkembangan
ilmu kedokteran dan teknologi di bidang kesehatan.
Sebagai penjabaran dari visi Departemen Kesehatan yaitu masyarakat yang
mendiri untuk hidup sehat, maka tujuan yang ingin dicapai adalah terselenggaranya
pembangunan kesehatan secara berhasilguna dan berdayaguna dalam rangka mencapai
derajat kesehatan masyarakat yang setinggi-tingginya.
Dalam Undang-undang Nomor 23 tahun 1992 tentang Kesehatan diatur dalam
pasal 35 bahwa transfusi darah hanya dapat dilakukan oleh tenaga kesehatan yang
mempunyai keahlian dan kewenangan untuk itu serta harus dipenuhi ketentuan syarat dan
tata cara transfusi darah sesuai dengan ketentuan yang ditetapkan. Transfusi darah bila
digunakan dengan benar dapat menyelamatkan jiwa pasien dan meningkatkan derajat
kesehatan. Indikasi tepat transfusi darah dan komponen darah adalah untuk mengatasi
kondisi yang menyebabkan morbiditas dan mortalitas bermakna yang tidak dapat diatasi
dengan cara lain.
WHO telah mengembangkan strategi untuk transfusi darah yang aman dan
meminimalkan resiko transfusi. Strategi tersebut terdiri dari pelayanan transfusi darah yang
terkoordinasi secara nasional, pengumpulan darah hanya dari donor sukarela dari populasi
resiko rendah, pelaksanaan skrining terhadap semua donor dari penyebab infeksi antara
lain HIV/AIDS, virus hepatitis, sifilis dan lainnya, serta pelayanan laboratorium yang baik
disemua aspek termasuk golongan darah, uji kompatibilitas, persiapan komponen,
penyimpanan dan transportasi darah/komponen darah, mengurangi transfusi darah yang
tidak perlu dengan penentuan indikasi transfusi darah dan komponen darah yang tepat,
dan indikasi cara alternatif transfusi.
Pada tahun 1988, WHO mengeluarkan rekomendasi Developing a National Policy
and Guidelines on the Clinical Use of Blood. Rekomendasi ini membantu negara anggota
dalam mengembangkan dan implementasi kebijakan nasional dan pedoman serta
menjamin kerjasama aktif diantara pelayanan transfusi darah dan klinisi dalam mengelola
pasien yang memerlukan transfusi.
Dalam penyelenggaraan upaya transfusi darah, Departemen Kesehatan
mempunyai peranan sebagai berikut :
1.2 Tujuan
Darah adalah materi biologis yang diproduksi oleh tubuh manusia dalam jumlah
yang terbatas dan belum dapat disintesis di luar tubuh. Pengadaannya hanyalah dari
donasi secara sukarela yang dilakukan para donor darah. Di luar tubuh manusia, darah
merupakan materi biologis yang labil. Untuk mempertahankan viabilitasnya diperlukan
nutrien dan antikoagulan serta persyaratan suhu tertentu.
Disamping itu melalui darah transfusi dapat ditularkan beberapa penyakit yang
disebut dengan istilah Infeksi Menular Lewat Transfusi Darah (IMLTD). Penyakit yang
banyak ditemui adalah HIV/AIDS, Hepatitis C, Hepatitis B, Sifilis disamping Malaria dan
Jamur.
Oleh sebab itu penyelenggaraan pelayanan darah melibatkan banyak sektor dan
harus dilakukan sebaik mungkin. Secara keseluruhan hal ini merupakan tanggung jawab
Pemerintah untuk melindungi masyarakat dari segala resiko penyelenggaraan yang tidak
bertanggung jawab.
Untuk mendapatkan darah yang siap ditranfusikan diperlukan upaya-upaya, mulai
dari penggalangan masyarakat agar rela menyumbangkan sebagian darahnya (recruitment
donor), masyarakat yang mau menyumbangkan darahnya ini masih perlu disaring lagi
(seleksi donor) untuk menghindari resiko bagi penyumbang darah maupun penerima.
Darah yang didapat dari para donor sukarela (collecting blood), hatus dilakukan
pengamanan dengan melakukan seleksi melalui pemeriksaan skreening darah terhadap
penyakit IMLTD, meski hasil skreening non aktif, belum berarti darah terjamin bebas,
karena pada window period belum bisa terdeteksi. Pemeriksaan skreening darah transfusi
ini dilakukan di Unit Transfusi Darah (UTD). Darah yang telah dinyatakan aman untuk
transfusi disimpan dan didistribusikan kepada sarana pelayanan kesehatan (Bank Darah
RS) sebagai stok persiapan penggunaan setiap saat.
Seluruh kegiatan harus dilakukan oleh petugas yang memiliki kompetensi dan
mengikuti standar operasional prosedur dengan ketat dalam manajemen yang tersistem,
lengkap dengan pencatatan dan pelaporan. Pencatatan dan pelaporan merupakan bagian
yang penting untuk kepentingan penelusuran kembali dan perbaikan kualitas.
UTDRS merupakan bagian dari manajemen RS, maka seluruh kegiatan mulai dari
penggalangan donor, penyediaan darah aman sampai pada tindakan medis pemberian
darah transfusi adalah tanggung jawab RS tersebut.
Agar stok darah dan kualitas pelayanan terjamin maka BDRS harus membuat
kesepakatan tertulis dengan UTD pemasok darah transfusi yang aman serta ikut aktif
dalam jejaring pelayanan darah setempat.
Kebutuhan darah transfusi akan selalu ada pada sarana-sarana pelayanan
kesehatan terutama RS, sehingga perlu kepastian bahwa RS tersebut mampu
menyediakan darah transfusi yang aman. Sepanjang kepastian pemenuhan prediksi
kebutuhan dapat dipenuhi oleh UTD diluar RS, maka yang terbaik adalah RS hanya
memiliki Bank Darah Rumah Sakit (BDRS), namun bila hal tersebut tidak dapat dipenuhi
maka RS mempunyai kewajiban untuk mengupayakan sendiri ketersediaan darah
transfusi yang aman dengan mengambil darah dari vena donor (afftap), melakukan
pengamanan darah, pengolahan (bila perlu) serta penyimpanan sebagai stock. Seluruh
kegiatan tersebut harus sesuai standar.
b. Pasal 34 berbunyi :
(1) Fakir miskin dan anak terlantar dipelihara oleh Negara.
(2) Negara mengembangkan sistem jaminan sosial bagi seluruh rakyat dan
memberdayakan masyarakat yang lemah dan tidak mampu sesuai dengan martabat
kemanusiaan
(3) Negara bertanggung jawab atas penyediaan fasilitas pelayanan
kesehatan dan fasilitas pelayanan umum yang layak.
(4) Ketentuan lebih lanjut mengenai pelaksanaan pasal ini diatur dengan
Undang-undang.
Pasal 33
(1) Dalam penyembuhan penyakit dan pemulihan kesehatan dapat dilakukan
transplantasi organ dan atau jaringan tubuh, transfusi darah, implan obat dan atau
alat kesehatan, serta bedah plastik dan rekonstruksi.
(2) Transplantasi organ dan atau jaringan tubuh serta transfusi darah sebagaimana
dimaksud dalam ayat (1) dilakukan hanya untuk tujuan kemanusiaan dan dilarang untuk
tujuan komersial.
Pasal 35
(1) Transfusi darah hanya dapat dilakukan oleh tenaga kesehatan yang
mempunyai keahlian dan kewenangan untuk itu.
(2) Ketentuan mengenai syarat dan tata cara transfusi darah sebagaimana
dimaksud dalam ayat (1) ditetapkan dengan dengan Peraturan Pemerintah.
Peraturan Pemerintah ini perlu diubah dengan perkembangan yang ada pada saat
ini dan disesuaikan dengan Undang-undang Kesehatan dan Iptek transfusi darah antara
lain meliputi :
Pengamanan darah dari proses pengerahan, pengambilan darah, pengolahan
darah, penyimpanan darah dan pendistribusian darah.
Sarana pelayanan transfusi darah.
Perizinan sarana pelayanan transfusi darah.
Tenaga transfusi darah.
Pengiriman dan penerimaan darah dari dan ke Indonesia.
Demikian juga perlu dikaji berbagai peraturan pelaksanaan upaya transfusi darah yang
meliputi :
Permenkes Nomor : 478/Menkes/Per/X/1990 tentang Upaya Kesehatan di Bidang
Transfusi Darah.
Kepmenkes Nomor : 622/Menkes/SK/VII/1992 tentang Kewajiban Pemeriksaan
HIV pada Darah Donor.
Keputusan Direktur Jenderal Pelayanan Medik Nomor 1147/Yanmed/RSKS/1991
tentang Petunjuk Pelaksanaan Permenkes Nomor : 478/Menkes/Per/X/1990
tentang Upaya Kesehatan di Bidang Transfusi Darah.
4.4 Pengorganisasian
a. UTD PMI adalah unit milik PMI yang melaksankan tugas sebagai UTD
yaitu mengumpulkan darah dari para donor, melakukan pengamanan
terhadap darah donor agar aman bagi pasien penerima transfusi darah
(tidak tertular penyakit IMLTD).
b. URD Rumah Sakit (UTDRS) merupakan salah satu bidang di RS yang
bertanggung jawab atas pelaksanaan tugas pengumpulan darah dari
donor, pengamanan darah, pengolahan darah menjadi komponen,
melakukan penyimpanan, uji silang serasi, distribusi ke ruang perawatan
serta pencatatan dan pelaporan.
c. Bank darah RS (BDRS) merupakan suatu unit pelayanan di RS yang
menerima dan menyimpan darah dari UTD untuk kepentingan pemenuhan
kebutuhan pelayanan RS.
Pengamanan darah dimulai dari pengerahan donor darah sukarela yang berasal
dari masyarakat yang sehat dengan pola hidup yang tidak beresiko untuk mendapatkan
darah donor dengan resiko rendah. Hal ini dilakukan dengan mengingat adanya window
period atau waktu tenggang dari masuknya virus ke dalam darah manusia sampai
terdeteksi melalui test uji saring. Dengan adanya waktu tenggang ini, meskipun hasil test
uji saring tidak terdeteksi, kemungkinan darah tercemar tercemar virus masih ada.
Pengerahan donor dapat dilakukan oleh seluruh stakeholder.
Petugas UTD melakukan seleksi terhadap calon donor yang dikerahkan untuk
mendapatkan donor yang sehat dengan resiko rendah. Selanjutnya petugas UTD
melakukan pengambilan darah dari vena donor lalu dikumpulkan dalam kantong darah dan
sebagian (10 – 15 cc) dikumpulkan dalam tabung khusus untuk sampel. Pada kantong
darah dilakukan labeling yang sesuai denganlabel di tabung sampel. Proses pengambilan
darah dari donor harus memenuhi standar tertentu untuk menghindari resiko bagi donor
maupun pasien yang akan menerima darah. Pelaksanaan proses ini harus mengikuti
Standard Operating Prosedur (SOP) dan standar kantong darah yang menjamin
terhindarnya darah dari infeksi virus, kuman, atau jamur.
Darah yang diterima dari donor disimpan dalam blood refrigerator dengan suhu 2-
6 C. Pendistribusian darah juga harus dilakukan dengan Standard Operating Prosedur
0
(SOP) yang berlaku dan tetap dijaga dalam suhu 2-6 0C. Pemberian darah atau komponen
darah kepada pasien berdasarkan indikasi yang rasional dan tindakan medis, transfusi
darah dilakukan mengikuti Standard Operating Prosedur (SOP) tertentu.
Seluruh proses dilaksanakan oleh petugas yang memiliki kompetensi dan
berwenang untuk itu.
4.7. Pembiayaan
Pembiayaan dalam pengadaan darah yang aman sejak dari rekruitmen donor sampai
kepada tindakan medis transfusi darah berasal dari subsidi pemerintah dan masyarakat.
4.8. Perizinan
Perizinan yang diperlukan terhadap UTD dikeluarkan oleh Departemen Kesehatan melalui
Dinas Kesehatan Provinsi.
4.9. Akreditasi
Akreditasi perlu dilakukan oleh Departemen Kesehatan terhadap UTD yang telah
beroperasional.
4.11. Pengawasan
Materi yang diatur biasanya menyangkut pencabutan materi suatu peraturan pemerintah
dan pemberlakuan peraturan pemerintah yang baru.
Pertanyaan
1. Bentuk rancangan kebijakan apa yang perlu dibuat dalam konteks tersebut di
atas?
2. Bagaimana Kerangka Pembuatan Peraturan Perundang-undangan yang
diperlukan ?
3. Materi muatan apa saja yang diatur?
4. Apakah format yang sudah sesuai dengan aturan sistematika penyusunan
peraturan perundangan?
5. Apakah rancangan kebijakan sudah aspiratif sesuai dengan masalah yang ada?
6. Apakah ada korelasi antara naskah akademik dengan rancangan kebijakan yang
dibuat?
RANCANGAN
PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA
NOMOR………….TAHUN…………
TENTANG
PELAYANAN DARAH
bahwa mengatur tentang transfusi darah adalah Peraturan Pemerintah Nomor 18 Tahun
1980 sudah tidak sesuai lagi dengan perkembangan ilmu kedokteran dan teknologi
kedokteran;
Peraturan Pemerintah Nomor 72 Tahun 1998 tentang Pengamanan Sediaan Farmasi dan
Alat Kesehatan (Lembaran Negara Tahun 1998 Nomor 138, Tambahan Lembaran Negara
Nomor 3781);
MEMUTUSKAN
Menetapkan : PERATURAN PEMERINTAH TENTANG PELAYANAN DARAH
BAB I
KETENTUAN UMUM
Pasal 1
BAB II
TANGGUNG JAWAB
Pasal 2
BAB III
PELAYANAN DARAH
Bagian Kesatu
Umum
Pasal 4
Pelayanan darah merupakan bagian dari pelayanan kesehatan yang terintegrasi dengan
sistem kesehatan.
Pelayanan darah bersifat sosial dan tidak dipergunakan untuk mencari keuntungan.
Jenis pelayanan darah terdiri dari pelayanan transfusi darah, apheresis, fraksionasi plasma
dan pelayanan stemcell darah.
Pasal 5
Pengiriman atau penerimaan darah dan atau komponennya dari dan ke Indonesia hanya
dapat dilakukan dengan izin Menteri.
Izin sebagaimana dimaksud ayat (1) diberikan atas permintaan tertulis disertai penjelasan
yang menyangkut antara lain :
Jenis dan jumlah darah.
Tujuan pengiriman dan penerimaan.
Negara tujuan atau negara asal.
Tata cara pelaksanaan sebagaimana dimaksud ayat (1) dan ayat (2) ditetapkan oleh
Menteri.
Bagian Kedua
Organisasi Pelayanan Darah
Pasal 6
BAB IV
PELAYANAN TRANSFUSI DARAH
Bagian Kesatu
Umum
Pasal 7
Pelayanan transfusi darah meliputi rangkaian kegiatan pengerahan dan pelestarian donor,
pengambilan, pengamanan, pengolahan, penyimpanan, pendistribusian, pemeriksaan uji
silang serasi dan tindakan medis pemberian darah kepada resipien.
Bagian Kedua
Pengerahan dan Pelestarian Donor
Pasal 8
Menteri mengatur pengerahan dan pelestarian donor darah serta membina dan
mengawasi kelompok donor darah sukarela.
Dalam rangka pelestarian donor darah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) menteri
dapat menunjuk instansi atau organisasi lain.
Pasal 9
Bagian Ketiga
Pengamanan
Pasal 10
Bagian Keempat
Pengambilan Darah
Pasal 11
Pasal 12
Petugas wajib memberikan informasi terlebih dahulu kepada donor mengenai resiko
pengambilan darah.
Donor harus memberikan informasi yang benar perihal kesehatan dan perilaku hidupnya.
Donor wajib diperiksa kesehatannya terlebih dahulu oleh dokter yang berkompeten dan
berwenang.
Darah hanya dapat diambil dari donor sukarela sehat dan berperilaku sehat serta
memenuhi kriteria seleksi dan mendapat persetujuan tertulis dari donor dan dilakukan
sesuai dengan standar pengambilan darah.
Ketentuan lebih lanjut sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), ayat (3), dan ayat
(4) ditetapkan dengan peraturan Menteri.
Bagian Kelima
Pengolahan Darah
Pasal 13
Pengolahan darah harus dilaksanakan sesuai dengan standar, meliputi uji saring terhadap
infeksi penyakit menular lewat transfusi darah, pengolahan komponen darah, pengolahan
produk plasma dan menjamin pengamanan kerahasiaan hasil pemeriksaan darah.
Pengolahan darah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan untuk menyiapkan
darah yang aman dan siap pakai untuk transfusi atau pengolahan lain menjadi komponen-
komponen darah, sesuai dengan kebutuhan pelayanan darah.
Dalam hal terdapat hasil pengolahan darah yang tidak memenuhi syarat sesuai dengan
standar harus dilakukan pemusnahan sesuai persyaratan kesehatan lingkungan.
Penggunaan metode uji saring terhadap infeksi penyakit menular perlu dievaluasi secara
berkala sesuai dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi uji saring.
Ketentuan lebih lanjut sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), ayat (2), ayat (3) dan ayat
(4) ditetapkan dengan Peraturan Menteri.
Bagian Keenam
Penyimpanan Darah
Pasal 14
Penyimpanan darah harus memenuhi persyaratan teknis penyimpanan yang meliputi suhu,
tempat, lama penyimpanan dan persyaratan lain untuk memelihara mutu darah.
Ketentuan lebih lanjut mengenai standar penyimpanan darah ditetapkan dengan Peraturan
Menteri.
Bagian Ketujuh
Pendistribusian Darah
Pasal 15
Untuk menjamin keamanan dan kelancaran pelayanan darah maka pendistribusian harus
dilakukan secara tertutup.
Pendistribusian darah harus sesuai standar dan memperhatikan pemerataan pelayanan
sesuai dengan kebutuhan.
Ketentuan lebih lanjut sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan ayat (2) ditetapkan
dengan Peraturan Menteri.
Bagian Kedelapan
Pemberian Darah
Pasal 16
Pemberian darah aman hanya dilaksanakan untuk mengatasi kondisi yang dapat
menyebabkan kesakitan atau kematian yang tidak dapat dicegah atau diatasi secara
tindakan medis.
Untuk keamanan pasien harus dilakukan uji saring serasi antara darah donor dengan
darah resipien sesuai dengan standar sebelum tindakan medis transfusi darah.
Pemberian darah hanya dapat dilaksanakan di fasilitas pelayanan kesehatan dan harus
dilakukan pemantauan sesuai standar.
Ketentuan lebih lanjut sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), ayat (2) dan ayat (3)
ditetapkan dengan Peraturan Menteri.
Bagian Kesembilan
Fasilitas Pelayanan Transfusi Darah
Pasal 17
Penanggung jawab unit transfusi darah adalah dokter yang kompeten dan berwenang
dalam bidang transfusi darah.
Penanggung jawab tindakan medis pemberian darah kepada resipien adalah dokter yang
kompeten dan berwenang dalam bidangnya yang mengacu kepada Pedoman
Penggunaan Darah Rasional yang ditetapkan oleh Menteri.
Pelaksanaan penyediaan darah aman oleh UTD harus dilakukan oleh tenaga teknisi
transfusi darah dan tenaga kesehatan lainnya yang berwenang.
Untuk memenuhi kebutuhan tenaga teknisi transfusi darah, pemerintah harus
menyediakan tenaga transfusi darah sesuai dengan kebutuhan pelayanan transfusi darah.
Pelaksanaan tindakan medis transfusi darah harus dilakukan oleh tenaga kesehatan yang
kompeten dan berwenang.
Pasal 19
Pendidikan dan latihan untuk tenaga pelaksana transfusi darah diselenggarakan oleh
badan atau institusi yang kompeten dan mendapat persetujuan Menteri.
Bagian Kesepuluh
Jejaring Pelayanan Transfusi Darah
Pasal 20
Untuk menjamin mutu, keamanan, akses, rujukan dan efisiensi pelayanan darah perlu
dibentuk jejaring pelayanan transfusi darah.
Jejaring sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi semua institusi terkait dengan
pelayanan transfusi darah.
Jejaring sebagaimana dimaksud pada ayat (1), terdiri dari jejaring tingkat Nasional,
Propinsi dan Kabupaten/Kota.
Pembentukan jejaring sebagaimana dimaksud pada ayat (1) didukung oleh sistem
informasi yang efektif dan efisien sesuai perkembangan teknologi.
Bimbingan teknis pelayanan transfusi darah.
Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (2), ayat (3) dan ayat (4) ditetapkan oleh
Menteri.
BAB V
PELAYANAN APHERESIS
Pasal 21
Pasal 22
Seleksi donor meliputi tindakan seleksi secara umum bagi donor, pemeriksaan fisik dan
laboratorium, serta riwayat kesehatan donor bebas dari penyakit.
Persetujuan donor adalah persetujuan yang diberikan oleh donor secara tertulis setelah
mendapatkan informasi tentang tindakan medis dan risikonya.
Risiko sebagaimana dimaksud pada ayat (2) adalah risiko tertular penyakit dan gangguan
fungsi organ.
Tindakan medis sebagaimana dimaksud ayat (2) merupakan tindakan pengaliran darah
donor kedalam mesin apheresis dan pengembalian darah setelah komponen tertentu
dipisahkan.
Pasal 23
Tenaga pelaksana pelayanan apheresis dilakukan oleh dokter yang kompeten dan
berwenang.
Pelayanan apheresis hanya dapat dilakukan di rumah sakit sesuai ketentuan yang berlaku.
Sarana, prasarana dan peralatan yang digunakan dalam pelayanan apheresis
berdasarkan standar.
Penyelenggaraan pelayanan apheresis berdasarkan standar dan persyaratan.
Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), ayat (3) dan ayat (4) ditetapkan
oleh Menteri.
BAB VI
PELAYANAN FRAKSIONASI
Pasal 24
Pasal 25
Pasal 26
Pemeriksaan plasma meliputi tindakan seleksi uji saring dengan teknologi tinggi.
Bahan baku produk plasma harus diperoleh dari donor sukarela dan tanpa pamrih serta
dijamin keamanannya.
Pemilahan derivat plasma merupakan penguraian protein plasma menjadi protein–protein
sesuai kebutuhan.
Pengolahan plasma menjadi produk plasma hanya dapat dilakukan di sarana fraksionasi
yang telah memiliki izin oleh Menteri.
Produk plasma dapat diperjualbelikan sesuai aturan yang ditetapkan oleh Menteri.
Pengiriman plasma untuk kepentingan fraksionasi dan proses produksi serta jenis produk
plasma yang dihasilkan harus mendapat persetujuan Menteri.
Pasal 27
Tenaga pelaksana pelayanan fraksionasi oleh dokter atau tenaga ahli yang kompeten dan
berwenang.
Pengumpulan plasma untuk kepentingan pelayanan fraksionasi dilakukan di unit transfusi
darah sesuai standar.
Sarana, prasarana dan peralatan yang digunakan dalam pelayanan fraksionasi plasma
harus sesuai standar.
Penyelenggaraan pelayanan fraksionasi plasma berdasarkan standar dan persyaratan.
Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), ayat (3) dan ayat (4) ditetapkan
oleh Menteri.
BAB VII
PELAYANAN STEMCELL DARAH
Pasal 28
Pelayanan stemcell darah (sel induk darah) meliputi rangkaian kegiatan yang terdiri dari
penyiapan sel induk, penyimpanan, pengolahan dan pemberian sel induk darah kepada
resipien.
Pasal 29
Penyiapan sel induk darah dapat dilakukan dari darah tali pusat, darah tepi dan sum– sum
tulang.
Penyiapan sel induk darah dilakukan atas persetujuan donor.
Penyimpanan, pengolahan dan pemberian sel induk darah sesuai standar.
Pasal 30
Pasal 31
Tenaga pelaksana pelayananan sel induk darah dilakukan oleh dokter yang kompeten dan
berwenang.
Pelayanan sel induk darah hanya dapat dilakukan di Rumah Sakit tertentu sesuai dengan
ketentuan yang berlaku.
Sarana, prasarana dan peralatan yang digunakan dalam pelayanan sel induk darah
berdasarkan standar.
Penyelenggaraan pelayanan sel induk darah berdasarkan standar dan persyaratan.
Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), ayat (3) dan ayat (4) ditetapkan
oleh Menteri.
BAB VIII
TANDA PENGHARGAAN
Pasal 32
BAB IX
PEMBIAYAAN
Pasal 33
Biaya pengganti pengolahan darah diperoleh dari pasien dengan tidak untuk mencari
keuntungan (nirlaba).
Biaya penggantian sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diatas diperhitungkan sesuai
dengan biaya yang diperlukan untuk komponen kegiatan yang meliputi
pendistribusian/penyampaian darah, pembinaan donor, administrasi dan pemakaian
bahan/alat habis pakai.
Biaya penggantian sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) ditetapkan berdasarkan pola
perhitungan yang ditetapkan oleh Menteri.
Besaran biaya penggantian sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) ditetapkan oleh Kepala
Dinas Kesehatan Propinsi atas usul dari jejaring UTD di wilayah tersebut, yang
berpedoman pada pola perhitungan sebagaimana dimaksud dalam ayat (3) serta dengan
memperhatikan kemampuan masyarakat setempat.
Dalam hal masyarakat setempat dinilai tidak mampu menggantikan besaran biaya tersebut
dalam ayat (4), maka pemerintah daerah mempunyai kewajiban untuk memberikan
subsidi.
BAB X
PERIZINAN
Pasal 34
BAB XI
AKREDITASI PELAYANAN TRANSFUSI DARAH
Pasal 35
Sarana pelayanan transfusi darah wajib diakreditasi untuk meningkatkan mutu pelayanan
transfusi darah.
Akreditasi dilakukan 3 (tiga) tahun sekali oleh Tim Akreditasi yang ditetapkan oleh Menteri.
BAB XII
PEMBINAAN DAN PENGAWASAN
Pasal 36
Pembinaan dan pengawasan pelayanan darah dilakukan oleh Menteri, Kepala Dinas
Kesehatan Propinsi, Kepala Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota, sesuai dengan fungsi dan
tugas masing–masing.
Pembinaan dan pengawasan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diarahkan untuk :
Memberikan perlindungan kepada masyarakat.
Meningkatkan keamanan dan mutu pelayanan darah.
Menjamin ketersediaan darah aman sesuai kebutuhan.
(3). Ketentuan lebih lanjut sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan (2) diatur oleh
Menteri.
BAB XIII
KETENTUAN PERALIHAN
Pasal 37
BAB XIV
KETENTUAN PENUTUP
Pasal 38
Pasal 39
Diundangkan di Jakarta
pada tanggal ………………….
MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA
REPUBLIK INDONESIA,
ANDI MATALATTA
RANCANGAN PENJELASAN
ATAS
PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA
NOMOR………….TAHUN…………
TENTANG
PELAYANAN DARAH
I. UMUM
Pembangunan kesehatan adalah bagian dari pembangunan nasional yang bertujuan
meningkatkan kesadaran, kemauan, dan kemampuan hidup sehat bagi setiap orang agar
terwujud derajat kesehatan yang setinggi-tingginya.
Transfusi darah telah diselenggarakan oleh Palang Merah Indonesia (PMI) sejak tahun
1950, namun merupakan tugas pemerintah untuk menyediakan darah yang aman dalam
jumlah yang cukup untuk memenuhi kebutuhan masyarakat, oleh karena itu Pemerintah
perlu mengatur, membina dan mengawasi sehingga upaya kesehatan transfusi darah
dapat terlaksana dengan baik.
Pelayanan Stemcell Darah (sel induk darah) meliputi rangkaian kegiatan yang terdiri dari
penyiapan, pengolahan, dan pemberian sel induk darah kepada resipien. Pelayanan
Stemcell Darah (sel induk darah) ini memerlukan tenaga dan sarana prasarana yang
memenuhi stándar dan persyaratan yang ditentukan.
Mengingat tindakan medik transfusi darah mengandung resiko maka tidak seluruh fasilitas
pelayanan kesehatan dapat diperbolehkan menyelenggarakan pelayanan tersebut, yang
dapat menyelenggarakan pelayanan tersebut adalah fasilitas pelayanan kesehatan yang
memenuhi persyaratan dan mempunyai kewenangan untuk melaksanakan tindakan medis
pemberian darah.
Salah satu Standar Pelayanan Minimal di Rumah Sakit adalah Pelayanan Transfusi Darah,
pelayanan ini membutuhkan manajemen pelayanan tersendiri. Manajemen pelayanan
darah rumah sakit meliputi pengaturan dan pelaksanaan tentang ketersediaan darah aman
Selanjutnya disamping pelayanan darah, perlu juga ditata berbagai unsur penunjang
dalam rangka mendukung penyelenggaraan darah maupun untuk mendukung
ditegakkannya ketentuan tersebut. Beberapa substansi penting dalam ketentuan ini adalah
pembinaan dan pengawasan, pemberdayaan masyarakat, ketentuan peralihan dan
ketentuan penutup.
Ayat (5)
Cukup jelas
Ayat (6)
Cukup jelas
Ayat (7)
Cukup jelas
Ayat (8)
Cukup jelas
Ayat (9)
Cukup jelas
Ayat (10)
Cukup jelas
Ayat (11)
Cukup jelas
Ayat (12)
Cukup jelas
Ayat (13)
Cukup jelas
Ayat (14)
Cukup jelas
Ayat (15)
Cukup jelas
Ayat (16)
Cukup jelas
Pasal 2
Ayat (1)
Darah yang aman adalah darah dan atau komponennya yang diambil dari donor
dan dinyatakan bebas penyakit IMLTD (HIV, Hepatitis B, Hepatitis C dan Sifilis).
Ayat (2)
Cukup jelas
Ayat (3)
Setiap unit yang melaksanakan pelayanan darah harus mendapatkan izin Menteri
sesuai dengan ketentuan yang berlaku.
Pasal 3
Ayat (1)
Dalam hal pembentukan Badan/Unit dapat berbentuk Unit Pelaksana Teknis dan
atau unit kerja langsung dibawah Departemen Kesehatan.
Ayat (2)
Cukup jelas
Pasal 4
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Cukup jelas
Ayat (3)
Cukup jelas
Pasal 5
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Cukup jelas
Ayat (3)
Cukup jelas
Pasal 6
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Cukup jelas
Ayat (3)
Cukup jelas
Ayat (4)
Cukup jelas
Pasal 7
Pengerahan donor darah adalah upaya mengumpulkan masyarakat calon donor
sukarela yang akan dilestarikan menjadi donor tetap.
Pasal 8
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Cukup jelas
Pasal 9
Cukup jelas
Pasal 10
Ayat (1)
Pengamanan maksudnya adalah pelaksanaan kegiatan sesuai standar prosedur
operasional untuk menghindari resiko.
Ayat (2)
Cukup jelas
Pasal 11
Ayat (1)
Keselamatan dimaksud untuk menghindari terjadinya resiko penularan penyakit
dan resiko pengambilan darah.
Ayat (2)
Cukup jelas
Ayat (3)
Cukup jelas
Pasal 12
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Donor harus orang sehat dan mempunyai gaya hidup sehat untuk mencegah
terjadinya penularan penyakit.
Ayat (3)
Cukup jelas
Ayat (4)
Cukup jelas
Ayat (5)
Cukup jelas
Pasal 13
Ayat (1)
Kerahasiaan hasil pemeriksaan darah adalah upaya untuk mengamankan
kerahasiaan donor dan hasil uji saring darahnya.
Ayat (2)
Darah yang aman adalah darah yang berasal dari donor sehat bebas dari penyakit
IMLTD dan cocok dengan darah resipien.
Ayat (3)
Cukup jelas
Ayat (4)
Metode uji saring dimaksud meliputi uji saring rapid, elisa, Nucleic Acid Test (NAT)
dan metode lain yang diakui.
Ayat (5)
Cukup jelas
Pasal 14
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Cukup jelas
Pasal 15
Ayat (1)
Yang dimaksud pendistribusian secara tertutup adalah pendistribusian dari dan ke
fasilitas pelayanan kesehatan yang berkompeten dan berwenang.
Ayat (2)
Cukup jelas
Ayat (3)
Cukup jelas
Pasal 16
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Cukup jelas
Ayat (3)
Cukup jelas
Ayat (4)
Cukup jelas
Pasal 17
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Setiap Rumah Sakit wajib memiliki unit Bank Darah Rumah Sakit.
Ayat (3)
Cukup jelas
Pasal 18
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Cukup jelas
Ayat (3)
Cukup jelas
Ayat (4)
Cukup jelas
Ayat (5)
Tenaga kesehatan dimaksud adalah dokter atau perawat yang mempunyai
kompetensi dan kewenangan.
Pasal 19
Cukup jelas
Pasal 20
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Cukup jelas
Ayat (3)
Cukup jelas
Ayat (4)
Cukup jelas
Ayat (5)
Cukup jelas
Ayat (6)
Cukup jelas
Pasal 21
Cukup jelas
Pasal 22
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Persetujuan donor diberikan oleh yang bersangkutan dan atau
kerabat/keluarganya setelah mendapatkan informasi.
Ayat (3)
Cukup jelas
Ayat (4)
Cukup jelas
Pasal 23
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Cukup jelas
Ayat (3)
Cukup jelas
Ayat (4)
Cukup jelas
Ayat (5)
Cukup jelas
Pasal 24
Derivat plasma adalah protein dan turunannya yang terkandung dalam plasma
darah.
Pasal 25
Cukup jelas
Pasal 26
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Cukup jelas
Ayat (3)
Cukup jelas
Ayat (4)
Cukup jelas
Ayat (5)
Cukup jelas
Ayat (6)
Cukup jelas
Pasal 27
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Cukup jelas
Ayat (3)
Cukup jelas
Ayat (4)
Cukup jelas
Ayat (5)
Cukup jelas
Pasal 28
Cukup jelas
Pasal 29
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Persetujuan donor adalah persetujuan yang diberikan oleh donor atau keluarga
secara tertulis setelah mendapat informasi tentang tindakan medis dan resikonya.
Ayat (3)
Cukup jelas
Pasal 30
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Cukup jelas
Ayat (3)
Cukup jelas
Pasal 31
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Cukup jelas
Ayat (3)
Cukup jelas
Ayat (4)
Cukup jelas
Ayat (5)
Cukup jelas
Pasal 32
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Cukup jelas
Pasal 33
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Pemakaian bahan/alat habis pakai adalah diluar bahan/alat habis pakai untuk
pemeriksaan uji saring IMLTD.
Ayat (3)
Cukup jelas
Ayat (4)
Cukup jelas
Ayat (5)
Cukup jelas
Pasal 34
Ayat (1)
Yang dimaksud UTD dalam hal ini adalah UTD yang dimiliki oleh Dinas Kesehatan
Kabupaten/Kota dan merupakan UTDRS.
Ayat (2)
Cukup jelas
Ayat (3)
Cukup jelas
Ayat (4)
Cukup jelas
Ayat (5)
Cukup jelas
Ayat (6)
Cukup jelas
Ayat (7)
Cukup jelas
Pasal 35
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Cukup jelas
Pasal 36
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Cukup jelas
Ayat (3)
Cukup jelas
Pasal 37
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Cukup jelas
Pasal 38
Cukup jelas
Pasal 39
Cukup jelas
PENUTUP
Kesimpulan
Naskah akademik tentang Pelayanan Darah ini sebagai bahan cikal bakal
terwujudnya Peraturan Pemerintah tentang Pelayanan Darah.
Peraturan Pemerintah tentang Pelayanan Darah sangat penting keberadaannya
bagi masyarakat dalam menyelenggarakan pelayanan darah dan pengguna jasa
pelayanan darah.
Dalam rangka meningkatkan, mengarahkan dan memberi landasan hukum, serta
menata kembali berbagai perangkat hukum yang mengatur pelayanan darah, diperlukan
suatu perangkat peraturan pemerintah yang dapat memberikan kepastian dan
perlindungan hukum terutama bagi masyarakat dalam pelayanan darah.
Dalam melakukan revisi atau membentuk suatu aturan pemerintahan yang
diharapkan dapat memenuhi kebutuhan masyarakat dan sejalan dengan perkembangan
ilmu pengetahuan serta teknologi, maka perlu disusun Naskah Akademik yang menjadi
acuan dalam penyusunan Rancangan Peraturan Pemerintah (RPP) tentang Pelayanan
Darah.
Saran