Anda di halaman 1dari 3

Pernyataan Sikap

RUU KESEHATAN OMNIBUS LAW AKAN MERUGIKAN RAKYAT


Pembentukan Peraturan Perundang-undangan dalam mendukung tercapainya arah dan tujuan pembangunan
kesehatan nasional harus dilaksanakan secara terencana, terpadu, dan berkelanjutan untuk mewujudkan kepastian
hukum dan kedaulatan rakyat sebagaimana diamanatkan Undang- Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun
1945. Menyikapi perkembangan yang terjadi dalam penyusunan Rancangan Undang-Undangan (RUU) Kesehatan
(Omnibus law) yang merupakan inisiatif Badan Legislatif (Baleg) DPR RI, mengacu pada Draft RUU Kesehatan
(Omnibus law) tertanggal 12 Januari 2023, kami dari organisasi profesi kesehatan, serta organisasi kemasyarakatan
yang mengadvokasi hak konstitusi rakyat dan konsumen kesehatan, kami menyikapi beberapa hal sebagai berikut :

1. RUU Kesehatan (Omnibus law) versi terakhir yang menurut pendapat kami memuat beberapa hal yang
bertentangan dengan nilai-nilai kemanusiaan secara universal dan juga nilai-nilai yang terkandung dalam
PANCASILA, serta hak-hak publik, antara lain:
a. Hilang “Norma Agama” yang sebelumnya tercantum di dalam Undang-Undang No.36 tahun 2009 tentang
Kesehatan, seperti pada asas pembangunan kesehatan, kesehatan reproduksi, dan terkait aborsi.
b. Pengaturan mengenai transplantasi organ yang menurut pendapat kami sangat bertentangan dengan prinsip
otonomi dalam norma etika kedokteran/kesehatan.
c. Pengaturan mengenai zat adiktif yang memasukkan pengaturan terkait narkotika dan psikotropika sama
dengan pengaturan hasil tembakau dan minuman beralkohol sehingga berpotensi penyalahgunaan lebih
besar di tengah-tengah masyarakat.
d. Pengaturan mengenai data dan informasi kesehatan rakyat termasuk di dalamnya terkait informasi genetik
yang dapat ditransfer ke luar wilayah Indonesia. Hal ini akan berpotensi menjadi ancaman jika mengacu
kepada prinsip perlindungan data pribadi dan ketahanan kesehatan nasional.
e. Intervensi medis dipengaruhi oleh pembiayaan kesehatan bukan didasarkan pada standar pelayanan yang
diejaawantahkan dalam standar prosedur operasional, standar pelayanan dan standar profesi.
f. Longgarnya persyaratan tenaga medis dan tenaga kesehatan WNA/WNI lulusan luar negeri tanpa
mempertimbangkan evaluasi kompetensi dan kewajiban mampu berbahasa indonesia yang berpotensi
mengancam perlindungan/keselamatan pasien. Masuknya tenaga medis dan tenaga kesehatan WNA tanpa
kendali akan berpotensi mengancam hak-hak masyarakat dan juga hak-hak tenaga medis/tenaga kesehatan.

2. Konsil Kedokteran Indonesia/Konsil Tenaga Kesehatan merupakan suatu badan yang independen yang akan
menjalankan fungsi regulator, yang terkait dengan peningkatan kemampuan dokter/dokter gigi dan tenaga
kesehatan dalam pelaksanaan praktik kedokteran. Disamping itu, peran dari berbagai organisasi profesi, asosiasi
institusi pendidikan yang ada saat ini juga perlu diberdayakan dalam rangka peningkatan mutu pelayanan
kesehatan yang diberikan oleh dokter atau dokter gigi. Pengaturan mengenai Konsil tidak sejalan dengan
pertimbangan Mahkamah Konstitusi sebagaimana tercantum dalam putusan No.82/PUU-XII/2015
halaman 219 disebutkan “Menimbang bahwa berbagai upaya hukum telah dilakukan oleh negara
dalam memberikan perlindungan menyeluruh kepada masyarakat sebagai penerima pelayanan
kesehatan….Perangkat hukum yang mengatur penyelenggaraan praktik kedokteran dan kedokteran
gigi dirasakan selama ini belum memadai karena masih didominasi oleh kebutuhan formal dan
kepentingan pemerintah, sedangkan porsi profesi masih sangat kurang. Oleh karenanya untuk
menjembatani kepentingan kedua belah pihak (profesi kedokteran dengan pemerintah) serta untuk
melakuakn penilaian terhadap kemampuan objektif dokter dan dokter gigi dalam memberikan
pelayanan kepada masyarakat dibentuk Konsil Kedokteran Indonesia…”. Di halaman 220 putusan
MH tersebut juga memuat pertimbangan “Selaku pengawas eksternal independen maka Konsil
Kedokteran Indonesia harus bebas dan merdeka dari pengaruh pihak manapun termasuk
kekuasaan negara, kecuali dalam hal terjadi pelanggaran. Hal ini jelas sebagai konsekuensi logis
dari sebuah institusi yang emngawasi tindakan dan perbuatan medik yang juga independen”.
Mencermati pertimbangan putusan MK ini, maka kedudukan Konsil Tenaga Medis dan Konsil Tenaga
Kesehatan seharusnya dibawah Kepala Negara dalam hal ini Presiden bukan dibawah Menteri.
3. Bahwa tidak konsistennya penggunaan mekanisme omnibus di RUU ini, ada sebagian undang-undang
dinyatakan tetap berlaku (undang-undang SJSN dan undang-undang BPJS), namun sebagian undang-undang
dicabut dan dinyatakan tidak berlaku (UU Praktik Kedokteran, UU Rumah Sakit, UU Tenaga Kesehatan, UU
Keperawatan, UU Kebidanan). Sedangkan masih banyak pengaturan di dalam undang-undang yang dicabut
namun tidak dimuat di dalam RUU ini, sehingga tidak seyogyanya dilakukan pencabutan terhadap undang-
undang yang telah berlaku. Pencabutan beberapa UU yang mengatur Profesi akan berpotensi menghilangkan
pengaturan esensial untuk masing–masing profesi, hal ini bukannya memperkuat tetapi berpotensi
mendegradasi keberadaan profesi (tenaga medis maupun tenaga kesehatan lainnya) dalam sistem kesehatan di
Indonsia.

4. Bahwa kedudukan Organisasi Profesi telah diatur hanya satu untuk masing-masing profesi dimana hal ini
sejalan dengan putusan MK No.82/PUU-XII/2015, namun penggunaan redaksi “jenis” dan “kelompok” yang
menimbulkan potensi pengakuan organisasi profesi kepada sub-organisasi di organisasi profesi yang telah eksis
dan berperan dalam pembangunan kesehatan. Hal ini menyebabkan disintegrasi organisasi yang telah bertahun-
tahun solid dalam memberikan sumbangsih bagi bangsa dan negara. Selain itu, kedudukan kolegium yang
selama ini menjadi bagian dari organisasi profesi telah memperkuat peran organisasi profesi dalam pendidikan
dan pelayanan secara terintegrasi. Memisahkan kolegium dari organisasi profesi akan membuat birokrasi baru
dalam pengembangan profesi kesehatan.

5. Pelibatan organisasi profesi kesehatan dan organisasi kemasyarakatan lainnya seharusnya mengedepankan
prinsip partisipasi yang bermakna (meaningful participation) berupa: (1) hak masyarakat untuk didengarkan
pendapatnya, (2) hak masyarakat untuk dipertimbangkan pendapatnya, dan (3) hak masyarakat untuk
mendapatkan penjelasan atau jawaban atas pendapat yang diberikan. Hal ini disebutkan dalam Putusan MK No.
91/PUU-XVIII/2020 (hal. 393). Justru penyusunan RUU ini terkesan terburu-buru dan tanpa adanya penjelasan
mengenai dasar-dasar filosofis, sosiologis, dan yuridis dari setiap kalimat dalam RUU.

Atas pertimbangan 5 poin di atas, maka kami menyatakan sikap untuk Menolak RUU Kesehatan (Omnibus law) dan
mendesak RUU ini dikeluarkan dari Prolegnas DPR RI. Namun apabila RUU ini tetap dilanjutkan untuk disahkan,
kami mempertanyakan komitmen dan integritas DPR RI sebagai perwakilan rakyat dan juga Pemerintah dalam
menjalankan amanah konstitusi negara, dan kami akan melakukan aksi penolakan lebih masif melibatkan
komponen organisasi profesi kesehatan lain dan organisasi kemasyarakatan demi memperjuangkan kepentingan
masyarakat yang membutuhkan pelayanan Kesehatan yang berkeadilan, non diskriminatif dan beretika.

Pernyataan sikap ini disampaikan semata-mata mengedepankan kepentingan bangsa dan negara.

Jakarta, 16 Januari 2023


Yang bertanda tangan

Ketua Umum PB IDI Ketua Umum PB PDGI

Dr. Moh. Adib Khumaidi,Sp.OT Drg. Usman Sumantri,Msc

Ketua Umum PP IBI


Ketua Umum DPP IAI

Apt. Noffendri,S.Si Emi Nurjasmi

Ketua Umum, DPP PPNI Ketua Pengurus Harian YLKI

Dr. Harif Fadhillah,S.Kep,SH,M.Kep,MH Tulus Abadi

Ketua Umum MKI

Mohammad Joni,SH,MH
.

Anda mungkin juga menyukai