Anda di halaman 1dari 10

Laporan Hasil Observasi

Uji Formil Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2023 Tentang Kesehatan


(UU Kesehatan)
Disusun Sebagai Tugas Ujian Akhir Semester Mata Kuliah
Hukum Acara Mahkamah Konstitusi
Dosen Pengampu:

Dr. Wahiduddin Adams, SH. MA


Muhammad Ishar Helmi, S.Sy., SH. M.H.

Oleh:
Nauval Dian Ichramsyah 11210480000129
Mufit Indra Rekta 11210480000095
Muhammad Sidiq Alfatoni 11210453000060

PROGRAM STUDI HUKUM TATA NEGARA


FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI
SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA

1445 H/2023 M
Kata Pengantar

Puji syukur kehadirat Allah SWT karena rahmat dan hidayah-Nya, kami dapat
menyelesaikan tugas makalah ini dengan judul “Laporan Jasil Observasi Uji Formil
Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2023 Tentang Kesehatan (UU Kesehatan)” dengan
tepat waktu. Tak lupa shalawat serta salam kita haturkan kepada Nabi Muhammad
SAW yang telah membawa kita ke jalan yang penuh dengan hal baik.
Kami sebagai penulis makalah ini berterima kasih kepada Bapak Dr.
Wahiduddin Adams, SH. MA dan Bapak Muhammad Ishar Helmi, S.Sy., SH. M.H.
selaku dosen pengampu mata kuliah Hukum Acara Mahkamah Konstitusi yang telah
memberikan tugas ini kepada kami dan yang telah memberikan arahan serta bimbingan
dalam penyusunan makalah ini.
Adapun tujuan dari pembuatan makalah ini adalah untuk memenuhi tugas mata
kuliah Hukum Acara Mahkamah Konstitusi Selain itu, makalah ini juga bertujuan agar
menambah wawasan mengenai judul yang kami bawakan, baik bagi pembaca maupun
bagi penulis.
Kami selaku penyusun sadar akan ketidaksempurnaan dan kekurangan dalam
makalah ini. Oleh karena itu, kami sebagai penulis dengan kerendahan hati berharap
atas kritik dan saran yang membangun guna mengembangkan pengetahuan kita
bersama dan meningkatkan kualitas penyusunan makalah kedepannya dapat menjadi
lebih baik lagi.

Jakarta, 30 November 2023

Penulis

2
Daftar Isi

Kata Pengantar .................................................................................................................. 2


Daftar Isi ............................................................................................................................ 3
BAB I .................................................................................................................................. 4
PENDAHULUAN............................................................................................................... 4
A. Latar Belakang ....................................................................................................... 4
B. Permasalahan ......................................................................................................... 5
BAB II ................................................................................................................................ 7
PEMBAHASAN ................................................................................................................. 7
DOKUMENTASI ............................................................................................................... 8
BAB III ............................................................................................................................. 10
PENUTUP ........................................................................................................................ 10

3
BAB I

PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Lima organisasi profesi kesehatan, yakni Ikatan Dokter Indonesia (IDI),
Persatuan Dokter Gigi Indonesia (PDGI), Persatuan Perawat Nasional Indonesia
(PPNI), Ikatan Bidan Indonesia (IBI), dan Ikatan Apoteker Indonesia (IAI), secara
resmi menyampaikan permohonan uji materi terhadap Undang-Undang (UU)
Nomor 17 Tahun 2023 tentang Kesehatan kepada Mahkamah Konstitusi (MK).
Muhammad Joni, Penasihat Hukum bagi para pemohon, menyebutkan beberapa
alasan di balik pengajuan uji formil terhadap peraturan tersebut.

Pertama, prosesnya dianggap tidak mematuhi ketentuan Pasal 22D ayat (2)
UUD 1945, karena tidak melibatkan pihak-pihak dari DPR, Presiden, dan DPD RI,
sebagaimana yang diwajibkan oleh prosedur. Kedua, terdapat ketidakpenuhan
terhadap unsur "meaningful participation" atau partisipasi yang bermakna. Joni
menjelaskan bahwa hal ini tidak hanya sebatas istilah, melainkan juga hasil dari
keputusan MK tentang pentingnya partisipasi, keterlibatan, dan kontribusi
bermakna dari masyarakat yang terdampak dan pihak yang berkepentingan. Selain
itu, berdasarkan Pasal 28 ayat (1) UUD 1945, terdapat hak untuk didengar, hak
untuk dipertimbangkan, dan hak untuk dijelaskan yang dianggap belum terpenuhi.

"Alasan ketiga adalah bahwa UU Nomor 17 Tahun 2023 ini tidak mengandung
fitur formil putusan Mahkamah Konstitusi (MK). Dengan kata lain, putusan MK
dianggap sebagai unsur formil yang sah dalam proses pembentukan undang-
undang, termasuk Undang-Undang Kesehatan," ungkapnya. Joni juga menyoroti
adanya hambatan dalam proses pembahasan dan pembentukan UU ini. "Poin
tersebut kami tunjukkan dengan bukti surat edaran kepada Aparatur Sipil Negara
(ASN) di bidang kesehatan untuk tidak terlibat dalam diskusi mengenai Rancangan
Undang-Undang (RUU) kesehatan, dan hal ini harus disampaikan secara resmi,"
ujarnya. Selanjutnya, alasan kelima adalah bahwa proses pembentukan Undang-

4
Undang (UU) Kesehatan ini dianggap harus memenuhi format dan strukturnya.
Pihak tersebut akan menjelaskan hal ini lebih rinci dalam waktu yang akan datang.
"Yang tak kalah pentingnya adalah langkah yang kontrast. Meskipun UU belum
disahkan, indikasi bahwa proses pembentukan peraturan turunannya sudah dimulai
sesuai dengan fakta-fakta yang kami sampaikan," ungkapnya.

Joni menyatakan bahwa gugatan ini merupakan tanggung jawabnya sebagai


bagian dari masyarakat untuk mendukung kepatuhan terhadap keputusan-
keputusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang seharusnya menjadi pertimbangan
dalam UU Kesehatan. "Kami berharap agar proses ini berlangsung cepat, karena
ini adalah pengujian formal, sehingga dalam waktu tertentu keputusan harus
diambil, dan harus ada kepastian hukum mengenai konstitusionalitas pembentukan
UU ini. Kami menantikan keputusan MK nantinya," tandasnya.

B. Permasalahan
1. Prosesnya dianggap tidak mematuhi ketentuan Pasal 22D ayat (2) UUD
1945, karena tidak melibatkan pihak-pihak dari DPR, Presiden, dan DPD
RI, sebagaimana yang diwajibkan oleh prosedur
2. Terdapat ketidakpenuhan terhadap unsur "meaningful participation" atau
partisipasi yang bermakna
3. UU Nomor 17 Tahun 2023 ini tidak mengandung fitur formil putusan
Mahkamah Konstitusi (MK). Dengan kata lain, putusan MK dianggap
sebagai unsur formil yang sah dalam proses pembentukan undang-undang,
termasuk Undang-Undang Kesehatan,
4. Hambatan dalam proses perbincangan dan perumusan Undang-Undang ini
diungkapkan melalui surat edaran yang disampaikan kepada Aparatur Sipil
Negara (ASN) di sektor kesehatan, dengan pesan agar mereka tidak terlibat
dalam pembahasan Rancangan Undang-Undang (RUU) kesehatan. Pesan
tersebut diharapkan disampaikan secara resmi

5
5. Proses pembentukan Undang-Undang (UU) Kesehatan ini dianggap harus
memenuhi format dan strukturnya. Pihak tersebut akan menjelaskan hal ini
lebih rinci dalam waktu yang akan datang

6
BAB II

PEMBAHASAN

Sidang lanjutan uji formil terhadap Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2023


tentang Kesehatan digelar kembali oleh Mahkamah Konstitusi (MK) pada hari Selasa
(21/11/2023). Permohonan Perkara Nomor 130/PUU-XXI/2023 diajukan oleh lima
organisasi profesi medis dan kesehatan yang tergabung dalam Sekretariat Bersama
(Sekber) Organisasi Profesi Kesehatan.

Pada sidang ketiga ini, agenda utamanya adalah mendengarkan keterangan dari
DPR dan Presiden/Pemerintah. Sayangnya, DPR tidak hadir dalam persidangan.
Sementara perwakilan Presiden/Pemerintah yang hadir melaporkan bahwa mereka
belum siap memberikan keterangan.

Sebagai penambahan informasi, Sekretariat Bersama (Sekber) Organisasi


Profesi Kesehatan, yang terdiri dari lima organisasi profesi medis dan kesehatan, telah
mengajukan pengujian formil terhadap Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2023 tentang
Kesehatan (UU Kesehatan) ke Mahkamah Konstitusi (MK).

Organisasi profesi medis dan kesehatan yang dimaksud mencakup Pengurus


Besar Ikatan Dokter Indonesia (PB IDI) sebagai Pemohon I, Pengurus Besar Persatuan
Dokter Gigi Indonesia (PB PDGI) sebagai Pemohon II, Dewan Pengurus Pusat
Persatuan Perawat Nasional Indonesia (DPP PPNI) sebagai Pemohon III, Pengurus
Pusat Ikatan Bidan Indonesia (PP IBI) sebagai Pemohon IV, dan Pengurus Pusat Ikatan
Apoteker Indonesia (PP IAI) sebagai Pemohon V.

Dalam sidang perdana pengujian formal UU Kesehatan Perkara Nomor


130/PUU-XXI/2023 diadakan di Mahkamah Konstitusi pada Kamis (12/10/2023),
Muhammad Joni, yang merupakan kuasa hukum bagi para Pemohon, menyampaikan
bahwa para Pemohon adalah tenaga medis yang secara langsung terkena dampak dan
memiliki kepentingan terhadap prosedur formal pembentukan UU Kesehatan.

7
Hal ini karena, berdasarkan norma terbaru, terdapat perubahan, penghapusan,
dan penggantian muatan, termasuk mengenai kelembagaan konsil, kolegium, dan
majelis kehormatan disiplin yang diubah dan diganti tanpa melibatkan prosedur formal
yang memenuhi prinsip keterlibatan dan partisipasi bermakna.

Joni juga menyoroti Bab XIX Ketentuan Peralihan, khususnya Pasal 451, yang
menjadi norma hukum yang menghapuskan seluruh entitas kolegium sebagai organ
sentral organisasi profesi (bukan organ pemerintah dan bukan "milik" pemerintah). Joni
menekankan bahwa Pasal 451 UU Kesehatan menyatakan, "Pada saat Undang-undang
ini mulai berlaku, Kolegium yang dibentuk oleh setiap organisasi profesi tetap diakui
sampai dengan ditetapkannya Kolegium sebagaimana dirinci dalam Pasal 272 yang
dibentuk berdasarkan Undang-undang ini."

Cacat Formil

Para Pemohon berpendapat bahwa UU Kesehatan mengalami kekurangan


formil dalam alasan permohonan mereka. Ini disebabkan oleh absennya partisipasi
DPD dalam pembahasan RUU Kesehatan, ketiadaan pertimbangan DPD dalam proses
pembuatan UU Kesehatan, dan ketidaksesuaian dengan prosedur pembentukan norma
yang diatur oleh Pasal 22D ayat (2) UUD 1945.

Oleh karena itu, dalam petitum mereka, para Pemohon memohon kepada
Mahkamah untuk menyatakan bahwa UU Kesehatan tidak memenuhi persyaratan
pembentukan undang-undang sesuai dengan UUD Negara RI Tahun 1945 dan tidak
memiliki kekuatan hukum mengikat.

DOKUMENTASI

8
9
BAB III

PENUTUP

Kesimpulan dari latar belakang tersebut adalah bahwa lima organisasi profesi
kesehatan di Indonesia, yaitu IDI, PDGI, PPNI, IBI, dan IAI, telah mengajukan
permohonan uji materi terhadap Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2023 tentang
Kesehatan ke Mahkamah Konstitusi. Ada beberapa alasan yang menjadi dasar
pengajuan uji materi tersebut.

Pertama, proses pembentukan undang-undang dianggap tidak mematuhi


ketentuan Pasal 22D ayat (2) UUD 1945, karena tidak melibatkan pihak-pihak yang
diwajibkan oleh prosedur, seperti DPR, Presiden, dan DPD RI. Kedua, terdapat
ketidakpenuhan terhadap unsur "meaningful participation" atau partisipasi yang
bermakna, yang seharusnya melibatkan masyarakat yang terdampak dan pihak yang
berkepentingan.

Alasan ketiga adalah bahwa UU tersebut dianggap tidak mengandung fitur


formil putusan Mahkamah Konstitusi, yang seharusnya menjadi unsur formil yang sah
dalam proses pembentukan undang-undang. Selanjutnya, terdapat hambatan dalam
proses pembahasan dan pembentukan UU, seperti surat edaran kepada ASN di bidang
kesehatan untuk tidak terlibat dalam diskusi mengenai RUU kesehatan. Alasan kelima
adalah bahwa proses pembentukan UU Kesehatan dianggap harus memenuhi format
dan strukturnya.

Muhammad Joni, Penasihat Hukum bagi para pemohon, menjelaskan bahwa


gugatan ini dilakukan untuk mendukung kepatuhan terhadap keputusan-keputusan
Mahkamah Konstitusi yang seharusnya menjadi pertimbangan dalam pembentukan
UU Kesehatan. Joni berharap agar proses uji materi ini berlangsung cepat, mengingat
ini adalah pengujian formal, dan menantikan keputusan Mahkamah Konstitusi
mengenai konstitusionalitas pembentukan UU tersebut.

10

Anda mungkin juga menyukai