Oleh :
Kelompok 3
Ns. Muhammad Rizal, S.Kep (2312201010019)
Ns. Cut Desi Irmayanti, S.Kep (2312201010024)
Ns. Nur Shalihah, S.Kep (2312201010018)
Puji syukur kami panjatkan kepada Allah SWT. karena atas rahmat dan hidayah-Nya
kami telah menyelesaikan penulisan tugas kelompok tentang “Legal Etik Keperawatan”.
Penulisan ini sudah kami susun dengan semaksimal mungkin dan mendapat bantuan dari
berbagai pihak sehingga dapat memperlancar penulisan ini.
Untuk itu kami menyampaikan terimakasih kepada semua pihak baik pembimbing
maupun kelompok yang telah kompak dalam proses penyusunan penulisan ini.
Terlepas dari segala hal tersebut, kami sadar sepenuhnya bahwa masih ada kekurangan
baik dari susunan kalimat maupun tata bahasanya. Oleh karenanya kami dengan lapang dada
menerima segala saran dan kritik dari pembaca guna untuk memperbaiki dan
menyempurnakan penulisan ini.
Akhir kata kami berharap semoga penulisan ini dapat memberikan manfaat dan
literatur untuk pembaca.
Penyusun
i
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR .......................................................................................................... i
DAFTAR ISI ........................................................................................................................ ii
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang .......................................................................................................... 1
B. Tujuan ....................................................................................................................... 4
BAB II STUDI KEPUSTAKAAN
A. Sistem Informasi Kesehatan ...................................................................................... 5
B. Kejadian Luar Biasa (KLB) dan Wabah.................................................................. 10
C. Pendanaan Kesehatan ............................................................................................. .25
D. Ketentuan Pidana Terkait ........................................................................................ 30
E. Tenaga Kesehatan dan Praktik Kesehatan ............................................................... 52
BAB III PENUTUP
A. Kesimpulan ............................................................................................................ 58
B. Saran....................................................................................................................... 59
DAFTAR PUSTAKA
ii
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Kesehatan merupakan isu utama yang harus di monitor oleh masing- masing
negara. Tanpa adanya masyarakat yang hidup sehat di suatu negara maka negara
tersebut tidaklah menjadi suatu negara yang maju dan berkembang. Defines Kesehatan
(healthcare) dari World Health Oganization (WHO) merupakan proses diagnosis,
pengobatan dan pencegahan terhadap penyakit dan gangguan fisik serat mental
lainnya.
Berdasarkan Undang- undang Nomor 36 Tahun 2009 dan Undang- undang
Nomor 17 Tahun 2023 tentang Kesehatan. Kesehatan merupakan keadaan sehat baik
secara fisik, mental, spiritual maupun sosial yang memungkinkan setiap orang untuk
hidup produktif secara sosial dan ekonomis.
Berdasarkan Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1984 mengenal wabah Penyakit
Menular. Wabah didefinisikan sebagai kejadian terjangkitnta suatu penyakit menular
dalam masyarakat yang jumlahnya meningkat secara nyata melebihi dari pada eadaan
lazim dalam waktu dan daerah tertentu serta dapat menimbulkan malapetaka.
Sedangkan Kejadian Luar Biasa (KLB) adalah timbulnya atau meningkatnya kejadian
kesakitan atau kematian yang bermakna secara epidemiologis pada suatu daerah dalam
kurun waktu tertentu dan merupakan keadaan yang dapat menjurus pada terjadinya
wabah.
Banyak negara yang masih kesulitan dalam mengelola program Kesehatan yang
mereka miliki. Masalah tersebut terjadi karena kompleksitas sistem Kesehatan secara
nasional dimana sektor Kesehatan banyak melibatkan penyedia layanan Kesehatan
baik dari sektor publik dan swasta.banyak pemangku kepentingan yang terlibat dalam
sektor Kesehatan menyebabkan adanya simetri informasi antar pemangku kepentingan
sehingga berdampak negative pada pengambilan keputusan. Akibatnya dari masalah
tersebut dapat melemahnya sistem Kesehatan, menyia-nyiakan sumber daya dan
mengurangi ketahanan negara terhadap keadaan darurat Kesehatan, yang mengarah
pada cakupan yang di kompromikan dan akses ke layanan Kesehatan yang penting.
(Wuri Handayani & Hakiem Afrizal, 2020).
1
2
keperawatan. Profesi keperawatan tentu harus memenuhi kaidah dari kode etik profesi.
Kode etik profesi merupakan suatu pernyataan yang menyeluruh berupa tugas dan
layanan profesi yang memnuhi anggota dalam praktik profesinya, baik itu dengan
pasien, keluarga, komunitas serta dengan dirinya sendiri. Berbeda halnya dengan kode
etik keperawatan yang memiliki arti daftar perilaku atau bentuk prinsip/pedoman etik
bagi perilaku profesi keperawatan secara profesional.
Profesi keperawatan yang melakukan pelanggaran terhadap kode etik
keperawatan dapat dikenai sanksi hukum, tidak sekedar sanksi moral, sanksi
adminittatif, maupun sanksi yang diberikan institusi. Untuk menghindari pelanggaran
kode etik keperawatan, maka perawat harus menerapkan prinsip/asas kode etik
keperawatan dengan cara memenuhi aspek legal etik keperawatan yang diatur dalam
KepMenkes 148/2010 dan UU Kes 36/2009 guna terbentuknya perilaku, karakter atau
watak perawat dalam menjalankan pekerjaan profesinya ( Yusuf, 2018).
Aspek etik keperawatan menjadi salah satu pondasi yang sangta penting bagi
perawat dalam membangun hubungan baik dengan semua pihak selama melakukan
pelayanan keperawatan. Masalah etik keperawatan sebagian besar terjadi pada
pelaksanaan pelayanan keperawatan. Rasa ketidakpuasan yang kerap timbul pada
pasien adalah pasien merasa kebutuhannya tidak terpenuhi dan merasa tidak
diperhatikan oleh perawat dalam pelayanan kesehatan (Setiani, 2018).
B. Tujuan
1. Mengetahui definisi, tujuan, keuntungan dan kekurangan serta aspek etik legal
keperawatan tentang Sistem informasi Kesehatan menurut Undang-Undang Nomor
36 Tahun 2009 dengan Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2023 tentang Kesehatan
2. Mengetahui definisi, tujuan, keuntungan dan kekurangan serta aspek etik legal
keperawatan tentang Kejadian Luar biasa (KLB) dan Wabah menurut Undang-
Undang Nomor 36 Tahun 2009 dengan Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2023
tentang Kesehatan
3. Mengetahui definisi, tujuan, keuntungan dan kekurangan serta aspek etik legal
keperawatan tentang Sistem Pendanaan Kesehatan menurut Undang-Undang Nomor
36 Tahun 2009 dengan Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2023 tentang Kesehatan
BAB II
TINJAUAN TEORITIS
A. Sistem Informasi Kesehatan
a. Pengertian
Sistem Informasi Kesehatan (SIK) adalah seperangkat tatanan yang meliputi
data, informasi, indikator, prosedur, perangkat, teknologi dan sumber daya
manusia yang saling berkaitan dan dikelola secara terpadu yang menyediakan
dukungan informasi bagi proses pengambilan keputusan, perencanaan program
Kesehatan, monitoring pelaksanaan dan evaluasi disetiap jenjang administrasi
kesehatan (Nyamtema, 2010 dalam (Lestari, Jati & Widodo, 2016).(Hidayat, 2019)
Menurut World Health Organization (WHO) dalam (Gavinov & Soemantri,
2016), sistem informasi Kesehatan (SIK) adalah salah satu dari 6 building block
atau merupakan komponen utama dalam suatu sistem Kesehatan di suatu negara.
Keenam komponen (building block) sistem Kesehatan tersebut adalah :
1. Service delivery (pelaksanaan pelayanan Kesehatan)
2. Medical product, vaccine dan technologies (produk medis, vaksin dan
teknologi Kesehatan)
3. Health worksface (tenaga medis)
4. Health sistem financing (sistem pembiayaan Kesehatan)
5. Health information sistem (sitem informasi Kesehatan)
6. Leadership and governance (kepemimpinan dan pemerintah)
Sedangkan di dalam tatanan Sitem Kesehatan Nasional, SIK merupakan
bagian dari subsistem ke 6 yaitu pada subsistem manajemeen, informasi dan
regulasi Kesehatan. Sistem informasi Kesehatan adalah sutu pengelolaan informasi
di seluruh tingkat pemerintahan secara sistematis, dalam rangka penyelenggaraan
pelayanan Kesehatan kepada masyarakat. Sistem informasi Kesehatan yang efektif
memberikan dukungan dukungan informasi bagi proses pengambilan keputusan di
semua jenjang, bahkan puskesmas atau Rumah Sakit kecil sekalipun.Saat ini
Departemen Kesehatan telah membangun sistem informasi Kesehatan di mulai
dari kabupaten hingga ke pusat (Hakam, 2016) dalam (Hidayat, 2020).
5
6
b. Tujuan
Tujuan dari dikembangkannya sistem informasi Kesehatan adalah sebagai
berikut :
1. Sistem informasi Kesehatan (SIK) merupakan subsistem dari sistem Kesehatan
Nasional (SKN) yang berperan dalam memberikan inforasi untuk pengambilan
keputusan di setiap jenjang administrative Kesehatan baik di tingkat pusat,
provinsi, kabupaten/ kota atau bahkan pada tingkat pelaksana teknis seperti
Rumah Sakit ataupun Puskesmas.
2. Dalam bidang Kesehatan telah banyak dikembangkan bentuk- bentuk Sistem
Informasi Kesehatan (SIK) dengan tujuan agar dapat mentrasformasi data yang
tersedia melalui sistem pencatatan rutin maupun non rutin menjadi sebuah
informasi.
3. Adapun tujuan tama dari Sistem Informasi Kesehtan adalah sebagai berikut :
Meningkatkan manajemen pelayanan Kesehatan
Mengetahui tingkat status Kesehatan masyarakat
Sebagai dasar evidence based bagi sistem Kesehatan
Sebagai dasar dalam proses pengambilan keputusan dalam manajemen
kesehatan
c. Keuntungan dan kekurangan
1. Keuntungan/ manfaat dari Sistem Informasi Kesehatan
World Health Organisation (WHO) bahwa investasi sistem informasi Kesehatan
mempunyai beberapa manfaat antara lain:
1) Membantu mengambil keputusan untuk mendeteksi dan mengendalikan
masalah Kesehatan, memantau perkembangan dan meningkatkannya.
2) Perdayakan individu dan komunitas dengan cepat dan mudah dipahami,
seta melakukan berbagai perbaikan kualitas peayanan Kesehatan.
Adapun teuntungan atau manfaat adanya sistem informasi Kesehatan
dalam fasilitas Kesehatan diantaranya:
1) Memudahkan setiap pasien untuk melakukan pengobatan dan
mendapatkan pelayan Kesehatan.
7
Data yang harus dicatat dan dilaporkan di unit- unit operasional sangat
banyak, sehingga beban para petugas menjadi berat.
Proses pengolahan data menjadi lama, sehingga hasil pengolahan data
menjadi lama, meyebabkan hasilnya menjadi tidak tepat waktu Ketika
disajikan dan di umpan balikkan
d. Aspek etik dan legal dalam keperawatan
Undang-Undang Kesehatan Nomor 17 Tahun 2023 Tentang Kesehatan
menerangkan bahwa Sistem Informasi Kesehatan adalah sistem yang
mengintegrasikan berbagai tahapan pemrosesan, pelaporan dan penggunaan
informasi yang diperlukan untuk meningkatkan efektifitas dan efisiensi
penyelenggaraan Kesehatan serta mengarahkan Tindakan atau keputusan yang
berguna dalam mendukung pembangunan Kesehatan.
8
Pasal 347
1) Penyelenggara Sistem Informasi Kesehatan wajib memastikan keandalan Sistem
Informasi Kesehatan yang meliputi:
a. Ketersediaan;
b. Keamanan;
c. Pemeliharaan;
d. Integrasi;
2) Keandalan Sistem Informasi Kesehatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dilaksanakan dengan cara:
10
Pasal 152
1) Pemerintah, pemerintah daerah dan masyarakat bertanggung jawab melaukukan
upaya pencegahan, pengendalian dan pemberantasan penyakit menular serta akibat
yang ditimbulkannya.
13
Pasal 153
1) Pemerintah menjamin ketersediaan bahan imunisasi yang aman, bermutu, efektif,
terjangkau dan merata bagi masyarakat untuk upaya pengendalian penyakit
menular melalui imunisasi.
Pasal 154
1) Pemerintah secara berkala menetapkan dan mengumumkan jenis dan persebaran
penyakit yang berpotensi menular dan/ atau menyebar dalam waktu yang singkat,
serta menyebutkan daerah yang dapat menjalin sumber penularan.
2) Pemerintah dapat melakukan surveilans terhadap penyakit menular sebagaimana
dimaksud pada ayat (1).
3) Dalam melaksanakan surveilans sebagaimana yang dimaksud pada ayat (2)
Pemerintah dapat melakukan Kerjasama dengan masyarakat dan negara lain.
14
Pasal 155
1) Pemerintah secara berkala menetapkan dan mengumumkan jenis penyakit dan
persebaran penyakit yang berpotensi menular dan/ atau menyebar dalam waktu
yang singkat, serta menyebutkan daerah yang dapat menjadi sumber penularan.
2) Pemerintah daerah dapat melakukan surveilans terhadap penyakit menular
sebgaimnan dimaksud pada ayat (1)
3) Dalam melaksanakan surveilans sebgaiman dimaksud pada ayat (2), pemerintah
daerah dapat melakukan kerja sama dengan masyarakat.
4) Pemerintah daerah menetapkan jenis penyakit yang memerlukan karantina, tempat
karantina dan lama karantina.
5) Pemerintah daerah dalam menetapkan dan mengumumkan jenis dan persebaran
penyakit yang berpotensi menular dan/ atau menyebar dalam waktu singkat dan
pelaksanaan surveilans serta menetapkan jenis penyakit yang memerlukan
karantina, tempat karantina dan lama karantina berpedoman pada ketentuan
sebagaimana yang dimaksud pada ayat (1)
Pasal 156
1) Dalam melaksanakan upaya pencegahan, pengendalian dan pemberantasan
penyakit menular sebagaimana di maksud dalam pasal 154 ayat (1), pemerintah
dapat menyatakan wilayah dalam keadaan wabah, letusan atau kejadian luar biasa
(KLB).
2) Penentuan wilayah dalam keadaan wabah, letusan atau kejadian luar biasa (KLB)
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus dilakukan berdasarkan hasil penelitian
yang diakui keakuratannya.
3) Pemerinta, pemerintah daerah dan masyarakat melakukan upaya penanggulangan
keadaan wabah, letusan atau kejadian luar biasa sebagaimana dimaksud apada ayat
(2).
15
4) Penetuan wilayah dalam keadaan wabah, letusan atau kejadian luar biasa dan
upaya penanggulangan sebagaimana dimkasud pada ayat (1) dan ayat (3).
Dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Pasal 157
1) Pencegahan penularan penyakit menular wajib dilakukan oleh masyarakat
termasuk penderita penyakit menular melalui perilaku hidup bersih dan sehat.
2) Dalam pelaksanaan penanggulangan penyakit menular, tenaga Kesehatan yang
berwenang dapat memeriksa tempat- tempat yang dicurigai berkembangnya vector
dan sumber penyakit lain.
3) Ketentuan lebih lanjut mengenai penyakit menular sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) diatur dengan Peraturan Menteri.
Pasal 353
1) Bupati/ wali kota, gubernur, atau Menteri harus menetapkan KLB jika pada suatu
daerah tertentu terdapat penyakit atau masalah Kesehatan yang memenuhi kriteria
KLB.
2) Kriteria KLB sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terdiri atas:
a. Timbulnya suatu penyakit atau masalah Kesehatan yang sebelumnya tidak ada
atau tidak dikenal;
b. Peningkatan kejadian secara terus-menerus selama 3 (tiga) kurun waktu dalam
jam, hari, atau mingggu berturut- turut;
c. Peningkatan kejadian kesakitan 2 (dua) kali atau lebih jika dibandingkan
dengan periode sebelumnya;
d. Rata-rata jumlah kejadian kesakitan perbulan selama 1 (satu) tahun
menunjukkan kenaikan 2 (dua) kali atau lebih;
e. Angka kematian akibat penyakit atau masalah Kesehatan dalam 1 (satu) kurun
waktu tertentu menunjukkan kenaikan 50% (lima puluh persen) atau lebih;
f. Angka proporsi penyakit penderita baru pada satu periode menunjukkan
kenaikan 2 (dua) kali atau lebih jika dibandingkan dengan satu periode
sebelumnya dalam kurun waktu yang sama; dan/ atau
g. Kriteria lain yang ditetapkan oleh Menteri.
3) Bupati/ wali kota, gubernur, atau Menteri harus mencabut penetapan KLB jika
daerah tidak lagi memenuhi kriteria KLB.
4) Ketentuan lebih lanjut mengenai kriteria KLB, penetapan dan pencabutan KLB
diatur dengan Peraturan Pemerintah.
Pasal 354
1) Bupati/ wali kota, gubernur, atau Menteri yang menetapkan KLB wajib segera
melaksanakan kegiatan penanggulangan KLB.
2) Kegiatan penanggulangan KLB sebagai dimaksud pada ayat (1) meliputi:
a. Penyelidikan epidemiologis;
b. Pelaksanaan surveilans;
c. Pengendalian faktor resiko;
17
Pasal 355
Ketentuan lebuh lanjut mengenai kegiatan kewaspadaan KLB, penanggulangan
KLB dan pasca KLB diatur dengan Peraturan Pemerintah.
b. Wabah
Pasal 356
Untuk melindungi masyarakat dari wabah, Pemerintah Pusat dan Pemerintah
Daerah melaksanakan kegiatan Kewaspadaan Wabah, penanggulangan Wabah dan
pasca Wabah.
Penetapan Jenis Penyakit yang Berpotensi Menimbulkan Wabah:
Pasal 357
1) Dalam rangka Kewaspadaan Wabah ditetapkan jenis penyakit yang berpotensi
menimbulkan Wabah.
2) Jenis penyakit yang berpotensi menimbulkan Wabah sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) dikategorikan dalam:
a. Penyakit menular endemis tertentu;
b. Penyakit menular baru; dan/atau
c. Penyakit menular lama yang muncul kembali.
3) Jenis penyakit yang berpotensi menimbulkan wabah sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) ditetapkan berdasarkan kriteria:
a. Penyakit yang disebabkan oleh agen biologi;
b. Penyakit yang dapat menular dari manusia ke manusia dan/ atau dari hewan ke
manusia;
18
Pasal 360
1) Dalam rangka pengamatan penyakit dan/ atau faktor risiko penyakit yang
berpotensi menimbulkan Wabah dilakukan pengawasan terhadap alat angkut,
orang, barang, dan/ atau lingkungan.
2) Pengawasan terhadap alat angkut sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan
terhadap kapal, pesawat udara, dan kendaraan darat yang melayani angkutan sipil,
baik pada saat kedatangan maupun keberangkatan.
3) Selain terhadap kapal, pesawat udara, dan kendaraan darat yang melayani
angkutan sipil sebagaimana dimaksud pada ayat (2), pengawasan juga dilakukan
terhadap kapal, pesawat udara, dan kendaraan darat nonsipil untuk kebutuhan
transportasi perang, pejabat negara, dan/ atau tamu negara yang pelaksanaannya
berkoordinasi dengan kementerian/ lembaga terkait.
4) Dalam hal ditemukan penyakit dan/ atau faktor risiko penyakit yang berpotensi
menimbulkan Wabah di Pintu Masuk atau Pelabuhan dan bandar udara yang
melayani lalu lintas domestik, segera dilakukan tidakan penanggulangan.
5) Tindakan penanggulangan sebagaimana dimaksud pada ayat (4) dapat berupa:
a. Skrining, rujukan, isolasi atau karantina, pemberian kekebalan, pemberian
profilaksis, disinfeksi, dan/ atau dekontaminasi terhadap orang sesuai dengan
indikasi;
b. Desinfeksi, dekontaminasi, disinfeksi, dan/atau deratisasi terhadap alat angkut
dan barang; dan/ atau
c. Tindakan penanggulangan lainnya.
6) Tindakan penanggulangan sebagaimana dimaksud pada ayat (5) dilakukan sesuai
dengan jenis agen dan cara penyebarannya.
7) Dalam hal terdapat orang yang tidak bersedia dilakukan Tindakan
penanggulangan sebagaimana dimaksud pada ayat (6), kementerian yang
menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang Kesehatan berwenang
merekomendasikan kepada maskapai penerbangan, agen pelayaran, atau agen
kendaraan darat untuk menunda keberangkatan atau mengeluarkan rekomendasi
kepada pejabat imigrasi untuk dilakukan penolakan.
20
Pasal 361
1) Dalam hal kementerian yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang
Kesehatan mendapatkan informasi mengenai terjadinya peningkatan penularan
penyakit dan/ atau faktor risiko penyakit yang berpotensi menimbulkan Wabah di
negara lain, kementerian yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang
Kesehatan harus meningkatkan kewaspadaan dan melakukan Langkah yang
diperlukan dalam rangka cegah tangkal penyakit di Pintu Masuk.
2) Dalam hal Wabah telah menyebar di berbagai negara, Mnteri mengeluarkan
peraturan tata laksana pengawasan dan/ atau Tindakan penanggulangan terhadap
alat angkut yang dating dari atau ke luar negeri sesuai dengan karakteristik
penyebab/ agen penyakit dan cara penularannya, termasuk kemungkinan
pembatasan mobilitas orang dan barang di Pintu Masuk.
3) Dalam rangka cegah tangkai penyakit di Pintu Masuk sebagaimana dimaksud
apada ayat (1), Menteri dapat merekomendasikan penutupan Pintu Masuk kepada
Presiden.
Pasal 362
Setiap kapal, pesawat udara, dan kendaraan darat yang:
a. Datang dari atau berangkat ke luar negeri; atau
b. Datang dari Daerah Terjangkit, berada dalam pengawasan kementerian yang
menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang Kesehatan.
Pasal 363
1) Setiap nahkoda, kapten penerbang, atau pengemudi pada saat kedatangan atau
melewati pos lintas batas negara wajib menginformasikan apabila terdapat orang
21
sakit dan/ atau meninggal yang diduga kuat diakibatkan oleh penyakit dan/ atau
faktor risiko penyakit yang berpotensi menimbulkan Wabah kepada Petugas
Karantina Kesehatan.
2) Penyampaian informasi oleh nakhoda, kapten penerbang, atau pengemudi
sebagaimana yang dimaksud pada ayat (1) dilakukan dengan menyerahkan
dokumen deklarasi Kesehatan untuk kapal, pesawat udara dan kendaraan darat
pada saat kedatangan kepada Petugas Karantina Kesehatan.
3) Nakhoda, kapten penerbang atau pengemudi sebagimana yang dimksud ayat (1)
dilarang menurunkan atau menaiikan orang dan/ atau barang sebelum mendapat
surat persetujuan dari kementerian yang menyelenggarakan urusan pemerintahan
di bidang Kesehatan.
Pasal 364
1) Terhadap alat angkut yang terdapat orang sakit dan/ atau meninggal yang diduga
kuat diakibatkan oleh penyakit dan/ atau faktor risiko penyakit yang berpotensi
menimbulkan Wabah, Petugas Karantina Kesehatan berwenang melakukan
pemeriksaan dan Tindakan penanggulangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal
360 ayat (5).
2) Ketentuan mengenai kegiatan pemeriksaan dan Tindakan penanggulangan
terhadap kendaraan darat di pos lintas batas negara diatur melalui perjanjian
antara kedua negara.
Pasal 365
Ketentuan lebih lanjut mengenai pengawasan terhadap kapal, pesawat udara, dan
kendaraan darat diatur dengan Peraturan Pemerintah.
Pasal 366
1) Setiap alat angkut, orang dan/ atau barang yang:
a. Datang dari atau berangkat ke luar negeri: atau
b. Datang dari atau berangkat ke daerah/ negara endemis atau terjangkit,
22
Pasal 367
Ketentuan mengenai tata cara pengajuan, penerbitan dan pembatalan Dokumen
Karantina Kesehatan diatur dengan Peraturan Pemerintah.
Daerah Wabah
Pasal 368
1) Menteri menetapkan atau mencabut penetapan daerah tertentu sebagai Daerah
Terjangkit Wabah.
2) Untuk menetapkan daerah tertentu sebagai Daerah Terjangkit Wabah sebagimana
dimaksud pada ayat (1), Menteri mempertimbangkan aspek:
a. Etiologi penyakit;
b. Situasi kasus dan kematian;
c. Kapasitas Pelayanan Kesehatan; dan/ atau
d. Kondisi masyarakat.
3) Ketentuan lebih lanjut mengenai penetapan dan pencabulan penetapan Daerah
Terjangkit Wabah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) diatur
dengan Peraturan Pemerintah.
Pasal 369
Dalam hal Wabah berdampak mengancam dan berpotensi mengganggu
kehidupan dan penghidupan masyarakat yang menyebabkan jumlah korban,
kerugian ekonomi, cakupan luas wilayah yang terkena Wabah, dampak sosial
ekonomi yang ditimbulkan dan kerusakan lingkungan, Menteri mengusulkan
penetapan Wabah sebagai bencana nasional nonlama kepada Presiden.
23
Pasal 370
Dalam hal ini terjadi situasi Wabah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 369,
presiden menetapkan Wabah sebagai bencana nasional nonalam sesuai dengan
ketentuan peraturan perundangan- undangan.
Penanggulangan Wabah
Pasal 371
Penanggulangan Wabah dilaksanakan segera setelah penetapan Daerah
Terjangkit Wabah dengan memperhatikan asas kemanusian, sosial, budaya,
ekonomi dan lingkungan.
Pasal 372
Penanggulangan Wabah dilakukan melalui kegiatan:
a. Investigasi penyakit
b. Penguatan surveilans
c. Penanganan penderita;
d. Pengendalian faktor resiko;
e. Penanggulangan terhadap populasi berisiko;
f. Komunikasi risiko; dan/ atau
g. Tindakan penanggulangan lainnya.
Pasal 373
1) Investigasi penyakit sebagaimana dimaksud dalam Pasal 372 huruf a dilakukan
untuk mendapatkan informasi tentang etiologi penyakit, sumber penyakit dan
cara penularan atau penyebaran penyakit Wabah.
2) Informasi mengenai etiologi penyakit, sumber penyakit dan cara penularan atau
penyebaran penyakit Wabah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) digunakan
sebagai pertimbangan dalam menentukan Tindakan penanggulangan.
24
Pasal 374
1) Penguatan surveilans sebagimana dimaksud dalam Pasal 372 huruf b dilakukan
untuk penemuan kasus dan identifikasi mendalam tentang karakterisitik dari
etiologi/en penyakit dan faktor risikonya dengan berbasisi labilatotium dan/ atau
penelitian ilmiah.
2) Surveilans yang dimaksud pada ayat (1) dilakukan kegiatan pengamatan yang
sistematis dan terus- menerus tentang kejadian penyakit dan kondisi yang
mempengaruhi terjadinya penyakit dan kondisi yang mempengaruhi terjadinya
peningkatan dan penularan penyakit untuk memperoleh dan memberikan
informasi guna mengarahkan Tindakan penanggulangan penyakit secara efektif
dan efisien.
Pasal 375
1) Penanggulangan penderita sebagaimana dimaksud dalam Pasal 372 huruf c
dilakukan upaya tata laksana penderita sesuai dengan kebutuhan medis.
2) Penanganan penderita sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi:
a. Isolasi
b. Karantina; dan/ atau
c. Pengobatan dan perawatan
3) Isolasi sebagaimana yang dimaksud pada ayat (2) huruf a dilaksanakan pada
Fasilitas Pelayanan Kesehatan atau tempat lain yang memungkinkan penderita
mendapatkan akses Pelayanan Kesehatan untuk mempertahankan kehidupannya.
4) Karantina sebagimana dimaksud pada ayat (2) huruf b dapat dilaksanakan di
rumah, Rumah Sakit, tempat kerja, asal angkut, hotel, wisma, asrama dan tempat
atau wilayah lainnya dengan mempertimbangkan aspek epidemiologi.
5) Karantina sebagimana dimaksud pada ayat (2) huruf b dapat dilakukan terhadap
orang, barang, dan lata angkut.
6) Pengobatan dan perawatan sebagimana dimaksud pada ayat (2) huruf c
dilaksanakan pada Fasilitas Pelayanan Kesehatan sesuai dengan standar dan
ketentuan peraturan perundang- undangan.
25
Pasal 376
1) Pengendalian faktor risiko sebagaimana dimaksud dalam Pasal 372 huruf d
dilakukan untuk memutus rantai penularan penyakit dari faktor risiko yang
dilaksanakan sesuai dengan ketentuan dan perkembangan teknologi serta
karakteristik dari faktor risiko tersebut, termasuk kemungkinan pemusnahan
faktor risiko dimaksud.
2) Pengendalian faktor risiko sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi:
a. Penyehatan, pengamatan dan pengendalian yang ditujukan untuk memperbaiki
faktor risiko lingkungan dan/ atau memusnahkan agen biologi penyebab
penyakit;
b. Pencegahan dan pengendalian infeksi; dan/ atau
c. Penanganan jenazah
C. Pendanaan Kesehatan
1. Pengertian
Biaya Kesehatan/ Pendanaan Kesehatan adalah besarnya dana yang harus
disediakan untuk menyelenggarakan dan atau memnfaatkan berbagai upaya
Kesehatan yang diperlukan oleh perorangan, keluargam kelompok dan masyarakat
(Azrul Azwar:1996). Menurut Helda (2011) Sistem pembiayaan Kesehatan
didefinisikan sebagai suatu sistem yang mengatur tentang besarnya alokasi dana
yang harus disediakan untuk menyelenggarakan dan atau memanfaatkan berbagai
upaya Kesehatan yang diperlukan oleh perorangan, keluarga, kelompok atau
masyarakat (Konsep Sistem Pembiayaan, 2022)
2. Tujuan
Tujuan pembiayaan atau Pendanaan Kesehatan adalah untuk membuat
dana yang tersedia, serta untuk mengatur hak insentif keuangan untuk penyedia,
26
termanfaatkan secara adil guna dan berdaya guna untuk meningkatkan derajat
Kesehatan masyarakat setinggi-tingginya.
2) Unsur- unsur pembiayan Kesehatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terdiri
atas sumber pembiayaan, alokasi dan pemanfaatan.
3) Sumber pembiayaan Kesehatan berasal dari Pemerintah, pemerintah daerah,
masyarakat, swasta dan sumber lain.
Pasal 171
Pasal 172
Pasal 173
Pasal 402
1) Pemerintah Pusat melakukan pemantauan pendanaan Kesehartan secara nasional dan
regional untuk memastikan tercapainya tujuan pendanaan Kesehatan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 401 ayat (1).
2) Untuk mendukung pemantauan pendanaan Kesehatan sebagaimana dimaksud pada
ayat (1), Pemerintah Pusat mengembangkan sistem informasi pendanaan Kesehatan
yang terintegrasi dengan Sistem Informasi Kesehatan Nasional.
3) Sistem Infomasi pendanaan Kesehatan sebagaimana dimaksud pada ayat (2)
merupakan seperangkat tatanan yang terintegrasi meliputi data, informasi, indicator
dan capaian kinerja pendanaan Kesehatan yang dikelola secara terpadu untuk
mengarahkan Tindakan atau keputusan dalam pembangunan Kesehatan.
4) Setiap Fasilitas Pelayanan Kesehatan, instansi Pemerintah Pusat dan Pemerintah
Daerah, badan yang menyelenggarakan program jaminan sosial di bidang Kesehatan,
badan yang menyelenggarakan program jaminan sosial dibidang ketenagakerjaan,
badan usaha milik negara, Lembaga swasta dan mitra pembangunan yang
menjalankan fungsi Kesehatan melaporkan realisaasi belanja Kesehatan dan hasil
30
capaian setiap tahun sesuai dengan ketentuan peraturan perundang- undangan melalui
sistem informasi pendanaan Kesehatan.
5) Ketentuan lebih lanjut mengenai pengembangan dan pelaksanaaan sistem informasi
pendanaan Kesehatan diatur dengan Peraturan Pemerintah.
teknik aborsi aman, maka pelayanan aborsi dapat dilakukan dengan mudah oleh
tenaga kesehatan yang berkompeten. Dengan pemanfaatan teknologi modern,
risiko aborsi mengecil, dan dari segi kesehatan lebih kecil risikonya daripada
melahirkan secara normal (Martha & Sulaksana, 2019).
Pada saat ini aborsi sudah dapat dilakukan dengan cara menggunakan
kemajuan teknologi kedokteran yang sangat sederhana dan aman, dalam arti
tingkat kegagalannya sangat kecil. Bahkan aborsi yang dilakukan oleh tenaga
profesional dan terlatih di tempat yang memenuhi standar serta pada usia awal
kehamilan kurang dari 12 minggu, tingkat keamanannya jauh lebih besar
dibandingkan bila perempuan tersebut harus melanjutkan kehamilannya sampai
persalinan. Batasan kehamilan sampai usia kurang dari 12 minggu, penghentian
kehamilan dapat dilakukan dengan metode aspirasi vakum (Vacuum aspiration).
Metode MVA ini selain murah dan mudah dilakukan, efektivitasnya juga cukup
tinggi, yaitu bisa mencapai 99% (Pranata et al., 2020).
2) Kekurangan
Menurut Hibata & Abas (2021) wanita yang melakukan aborsi berisiko
terhadap kesehatan dan keselamatan secara fisik dan gangguan psikologis. Risiko
kesehatan dan keselamatan fisik yang akan dihadapi seorang wanita pada saat
melakukan aborsi dan setelah melakukan aborsi adalah:
a) Kematian mendadak karena pendarahan hebat.
b) Kematian mendadak karena pembiusan yang gagal.
c) Kematian secara lambat akibat infeksi serius disekitar kandungan.
d) Kerusakan leher rahim (Cervical Lacerations) yang akan menyebabkan cacat
pada anak berikutnya.
Jika melakukan aborsi pada petugas yang tidak memiliki kompetensi untuk
memberi pertolongan secara aman, misalnya ke bidan atau dukun aborsi akan
berisiko mengalami komplikasi kesehatan, bahkan kematian (Pranata et al., 2020).
Menurut Martha & Sulaksana (2019) Aborsi yang dilakukan secara sembarangan
(aborsi tidak aman/aborsi ilegal) sangat membahayakan kesehatan dan
keselamatan ibu hamil bahkan sampai dapat berakibat kematian. Pendarahan yang
terus-menerus, serta infeksi yang terjadi setelah tindakan aborsi merupakan
33
penyebab utama kematian ibu hamil karena akibat dilakukan aborsi yang tidak
aman. Selain itu, akan berdampak pada kondisi psikologis dan mental seseorang
dengan adanya perasaan bersalah yang menghantui mereka. Perasaan berdosa dan
ketakutan merupakan tanda gangguan psikologis. Beberapa akibat yang dapat
timbul akibat aborsi tidak aman/ aborsi ilegal, yaitu:
a) Pendarahan sampai menimbulkan shock dan gangguan neurologis/syaraf di
kemudian hari, akibat lanjut pendarahan yang terus-menerus adalah risiko
kematian yang tinggi.
b) Infeksi alat reproduksi yang dilakukan secara tidak steril. Hal ini di kemudian
hari dapat menyebabkan risiko kemandulan.
c) Risiko terjadinya ruptur uterus (robek rahim) besar dan penipisan dinding rahim
akibat kuretasi. Akibatnya dapat juga kemandulan karena rahim yang robek
harus diangkat seluruhnya.
d) Terjadinya fistula genital traumatic, yaitu timbulnya suatu saluran yang secara
normal seharusnya tidak ada, yaitu saluran antara genital dan saluran kencing
atau saluran pencernaan.
e. Aspek etik dan legal dalam keperawatan
Mengenai tindakan aborsi ini, Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang
Kesehatan dan Undang-undang Nomor 17 Tahun 2023 tentang Kesehatan pada
prinsipnya sejalan dengan ketentuan peraturan pidana yang ada, yaitu melarang setiap
orang untuk melakukan aborsi. Peraturan Pemerintah Nomor 61 Tahun 2014 tentang
Kesehatan Reproduksi yang menjelaskan bahwa aborsi tidak diperbolehkan begitu
saja dilakukan. Peraturan Pemerintah ini mengatur aborsi yang dapat dilakukan
karena indikasi kedaruratan medis dan korban pemerkosaan yang mengakibatkan
trauma psikologi. Namun, dalam tataran bahwa negara harus melindungi warganya
dalam hal ini perempuan yang melakukan aborsi berdasarkan indikasi kedaruratan
medis dan akibat perkosaan, serta melindungi tenaga medis yang melakukannya,
Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan dan Undang-undang
Nomor 17 Tahun 2023 tentang Kesehatan membuka pengecualian untuk aborsi
berdasarkan indikasi kedaruratan medis dan kehamilan akibat perkosaan.
34
2009 2023
tidak aman, dan tidak bertanggung jawab dimaksud dalam Pasal 60 tidak
serta bertentangan dengan norma agama dipidana.
dan ketentuan peraturan perundang-
undangan
Pasal 194
Setiap orang yang dengan sengaja
melakukan aborsi tidak sesuai dengan
ketentuan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 75 ayat (2) dipidana dengan pidana
penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun dan
denda paling banyak Rp1.000.000.000,00
(satu miliar rupiah).
Sumber: (Undang-Undang RI, 2009, 2023)
2009 2023
b. Tujuan/manfaat
1) Tujuan
Transfusi darah bertujuan menggantikan darah yang hilang akibat perdarahan, luka
bakar, mengatasi shock dan mempertahankan daya tahan tubuh terhadap infeksi.
Adapun tujuan dilakukannya transfusi darah adalah sebagai berikut :
a) Untuk meningkatkan volume sirkulasi darah setelah pembedahan, trauma, atau
perdarahan.
b) Untuk meningkatkan jumlah sel darah merah dan untuk mempertahankan kadar
hemoglobin pada klien yang menderita anemia berat.
c) Untuk memberikan komponen seluler yang terpilih sebagai terapi pengganti
(misalnya faktor-faktor pembekuan plasma untuk membantu mengontrol
perdarahan pada klien penderita hemofilia).
2) Manfaat
Transfusi darah juga memberikan banyak manfaat, diantaranya yaitu dapat
meningkatkan produksi sel darah merah, dapat menjaga kesehatan jantung bagi
pendonor karena dengan mendonorkan darah kadar zat besi dalam tubuh akan
lebih stabil, dan dapat memperbaiki kondisi klinis pasien pasca transfusi darah.
c. Keuntungan dan kekurangan
1) Keuntungan
Pemberian transfusi darah diberikan dokter sesuai dengan indikasi
medis. Beberapa dampak keuntungan transfusi darah, yaitu (Artikel Kesehatan,
2020) :
a) Meningkatkan kadar Hb (Hemoglobin) pada keadaan anemia.
b) Mengganti darah yang hilang karena perdarahan misalnya perdarahan saat
melahirkan.
c) Mengganti kehilangan plasma darah misalnya pada luka bakar.
d) Mencegah dan mengatasi perdarahan karena kekurangan/kelainan komponen
darah misalnya pada penderita thalasemia.
42
2) Kekurangan
Transfusi darah jika dilakukan dengan baik sesuai prosedur jarang mengalami
komplikasi. Namun ada beberapa risiko reaksi terkait pemberian transfusi darah
yang perlu kita perhatikan yaitu (Artikel Kesehatan, 2020) :
a) Demam, menggigil
b) Alergi, Gatal, kemerahan di kulit
c) Infeksi
d) Kelebihan cairan
e) Kelebihan zat besi
f) Sesak nafas
g) Sakit kepala
h) Cemas, gelisah
i) Syok
j) Nyeri dada, nyeri punggung
k) Penyakit graft versus host
l) Reaksi transfusi lambat : antara 24 jam sampai 2 minggu setelah transfuse
Apabila terjadi salah satu dari reaksi transfusi tersebut maka transfusi akan
dihentikan dan dokter akan melakukan penanganan serta pemeriksaan lebih lanjut.
d. Aspek etik dan legal dalam keperawatan
Berdasarkan Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan dan Undang-
Undang Nomor 17 Tahun 2023 tentang Kesehatan bahwa setiap orang yang dengan
sengaja memperjualbelikan darah dengan dalih apapun akan terkena sanksi pidana.
Perbandingan ketentuan sanksi pidana terkait memperjualbelikan darah manusia
Memperjualbelikan Darah Manusia
2009 2023
Pasal 195
Setiap orang yang dengan sengaja
memperjualbelikan darah dengan dalih
apapun sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 90 Ayat (3) dipidana dengan pidana
penjara paling lama 5 (lima) tahun dan
denda paling banyak Rp500.000.000,00
(lima ratus juta rupiah).
Sumber: (Undang-Undang RI, 2009, 2023)
c) Peningkatan risiko infeksi akibat konsumsi obat yang harus dikonsumsi setelah
transplantasi
d) Gagal organ
d. Aspek etik dan legal dalam keperawatan
Transplantasi organ tubuh manusia memang sudah diliindungi oleh beberapa
peraturan perundang-undangan yaitu Undang-undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang
Kesehatan dan Undang-undang Nomor 17 Tahun 2023 tentang Kesehatan serta dalam
Peraturan Pemerintah Nomor 53 Tahun 2021 tentang transplantasi organ dan jaringan
tubuh menyebutkan bahwa transplantasi organ hanya dilakukan dengan tujuan
kemanusiaan, dan organ/jaringan tubuh dilarang untuk diperjualbelikan.
Memperjualbelikan organ tubuh manusia dalam peraturan yang ada dapat
melanggar hukum dengan cara mengambil dan/atau memberikan dengan sengaja
organ tubuh manusia atau jaringan manusia yang dilakukan atas kehendak sendiri
ataupun adanya paksanaan untuk tujuan memperoleh keuntungan. Jual/beli organ
tubuh manusia dan/atau jaringan manusia masuk dalam konteks perdagangan orang
karena dalam perdagangan orang menjelaskan adanya tujuan eksploitasi yang
merupakan suatu tindakan yang bertujuan untuk memperoleh keuntungan yang salah
satunya adalah dengan mengambil mentransplantasi organ tubuh dan/atau jaringan
manusia.
Terkait eksploitasi sudah diatur dalam Undang-undang Nomor 21 Tahun 2007
tentang Tindak Pidana Perdagangan Orang bahwa tindak pidana perdagangan
transplantasi organ dan/atau jaringan tubuh manusia terdapat pasal yang mengatur
tentang larangan perdagangan atau pemanfaatan organ dan/atau jaringan yang
dikomersilkan dan dengan paksaan yang termasuk ke dalam tindakan eksploitasi pada
Pasal 1 ayat 7. Mengenai sanksi pidana terhadap orang yang melakukan Jual/beli
organ tubuh manusia dan/atau jaringan manusia tidak diatur dalam Undang-undang
Nomor 21 Tahun 2007 tentang Tindak Pidana Perdagangan Orang dan Peraturan
Pemerintah Nomor 53 Tahun 2021 tentang Transplantasi Organ dan Jaringan Tubuh.
Perbandingan ketentuan sanksi pidana terkait memperjualbelikan transplantasi
organ atau jaringan tubuh menurut Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang
46
2009 2023
bertujuan untuk memperbaiki fungsi tubuh yang memiliki kelainan atau bagian tubuh
tertentu serta penampilan tubuh yang diakibatkan oleh faktor cacat atau pengangkatan
tumor. Sedangkan bedah plastik estetik bertujuan untuk memperbaiki bagian tubuh
yang kurang harmonis atau sempurna sesuai dengan keinginan pasien yang merasa
kurang puas dengan bentuk fisiknya, seperti salah satu organ atau jaringan tubuh yang
tidak optimal. Bedah plastik estetik ini sangat kental dengan unsur memperbaiki atau
memberikan kecantikan pada diri pasien (Meonadjat dalam Azwar et al., 2023)
b. Tujuan/manfaat
1) Tujuan
Tujuan bedah plastik dan rekonstruksi untuk penyembuhan penyakit,
pemulihan kesehatan, hingga untuk kecantikan seseorang (Azwar et al., 2023).
Tujuan dilakukannya bedah plastik dapat dirumuskan sebagai berikut (Pitarini,
2011):
a) Memperbaiki fungsi bagian tubuh sehingga dapat digunakan untuk bekerja
b) Memperoleh efek kosmetis yang sebaik-baiknya dalam batas kemampuan
sebagai manusia biasa
c) Memberikan pengaruh baik terhadap perkembangan dan pembentukan jiwa
pasien sehingga ia dapat terjun ke dalam masyarakat sebagai seorang yang
mampu dan memiliki kehidupan ekonomi pribadi
d) Agar pasien dalam kehidupannya tidak tergantung pada orang lain
2) Manfaat
Manfaat dari operasi plastik yaitu:
a) Dapat menormalkan kembali organ tubuh yang telah rusak (cacat)
b) Dapat memperbaiki dan menyempurnakan bentuk organ tubuh agar kelihatan
lebih bagus
c) Dapat mengurangi beban mental dan terlepas dari bahaya bagi penderita yang
cacat
c. Keuntungan dan kekurangan
1) Keuntungan
a) Memperbaiki tulang atau sel-sel yang kurang sempurna agar dapat berfungsi
seperti sediakala, misalnya bibir sumbing.
48
2009 2023
melakukan bedah plastik dan rekonstruksi plastik rekonstruksi dan estetika yang
untuk tujuan mengubah identitas bertentangan dengan norma yang
seseorang sebagaimana dimaksud dalam berlaku dalam masyarakat dan
Pasal 69 diancam dengan pidana penjara ditujukan untuk mengubah identitas
paling lama 10 (sepuluh) tahun dan denda seseorang sebagaimana dimaksud
paling banyak Rp1.000.000.000,00 (satu dalam Pasal 137 ayat (2) dipidana
miliar rupiah dengan pidana penjara paling lama 10
(sepuluh) tahun atau pidana denda
paling banyak Rp2.000.000.000,00 (dua
miliar rupiah).
2014 2023
kekerasan dan/atau menyuruh orang lain dan/atau menyuruh orang lain untuk
untuk melakukan pemasungan, melakukan pemasungan, penelantaran,
penelantaran, dan/atau kekerasan terhadap dan/atau kekerasan terhadap penderita
ODMK dan ODGJ atau tindakan lainnya gangguan jiwa atau tindakan lainnya
yang melanggar hak asasi ODMK dan yang melanggar hak asasi penderita
ODGJ, dipidana sesuai dengan ketentuan gangguan jiwa, sebagaimana dimaksud
peraturan perundang-undangan. dalam Pasal 76 ayat (2) dipidana
dengan pidana penjara paling lama 2
(dua) tahun 6 (enam) bulan atau pidana
denda paling banyak Rp10.000.000,00
(sepuluh juta rupiah).
Keperawatan sebagai salah satu profesi tenaga kesehatan yang memberikan pelayanan
kesehatan langsung baik kepada individu, keluarga dan masyarakat. Sebagai salah satu
tenaga profesional, keperawatan menjalankan atau melaksanakan kegiatan praktek
keperawatan dengan menggunakan ilmu pengetahuan dan teori keperawatan yang dapat
dipertanggung jawabkan. Dalam melakukan praktek keperawatan, perawat secara langsung
berhubungan dan berinteraksi dengan penerima jasa pelayanan, dan pada saat berinteraksi
inilah sering timbul beberapa hal yang tidak diinginkan baik disengaja maupun tidak
disengaja yang dapat membuat kerugian pada pasien. Kejadian tersebut merupakan
kejadian malpraktik dalam pelayanan kesehatan yang diberikan oleh tenaga kesehatan
(Alfianto, dkk., 2023).
Malpraktik merupakan suatu tindakan atau praktik yang salah satunya menyimpang
dari ketentuan prosedur yang baku. Dalam bidang kesehatan, malpraktik adalah
penyimpangan penanganan kasus atau masalah kesehatan (termasuk penyakit) oleh petugas
kesehatan yang kemudian menimbulkan dampak buruk bagi penderita atau pasien.
Sedangkan menurut istilah malpraktik berasal dari bahasa Inggris yaitu malpractice. Arti
dari kata mal adalah salah atau tidak semestinya, sedangkan practice adalah proses
penanganan kasus (pasien) dari seseorang profesional yang sesuai dengan prosedur kerja
yang telah ditentukan oleh kelompok profesinya (Notoadmodjo, 2010).
Selanjutnya Pendidikan dianggap sebagai langkah awal manusia untuk memperoleh
pekerjaan atau jabatan mendorong manusia untuk mengambil jalan pintas dalam menempuh
proses pendidikan. Proses pendidikan tidak lagi dipandang menjadi proses pengembangan
diri namun justru dipandang sebagai proses mendapatkan gelar akademik. Hal ini
mendorong penyelewengan-penyelewengan dalam memperoleh gelar akademik tersebut.
Penyelewengan terhadap cara memeroleh gelar akademik tersebut seringkali merupakan
perbuatan yang melawan hukum. Maraknya kasus tindak pidana pemalsuan gelar akademik
yang terjadi di masyarakat meskipun telah ada undang-undang yang mengatur mengenai
sanksi pidana terhadap kejahatan tersebut menimbulkan suatu pertanyaan besar tentang
kebijakan pengaturan terhadap penanggulangan tindak pidana pemalsuan gelar akademik
dalam hukum positif Indonesia. Pengenaan sanksi yang cukup berat tidak serta merta
menciutkan nyali dari seseorang untuk melakukan segala cara demi sebuah pengakuan
54
publik, bahwa seseorang memiliki latar belakang pendidikan yang tinggi, yang ditunjukkan
dengan sebuah gelar.
2. Tujuan/Mamfaat
a. Tujuan
Tujuan dari penulisan ini mahasiswa memahami dan mampu mengaplikasikan dalam
kehidupan sehari hari terkait UUD kesehatan no 17 tahun 2023 Pasal 439, UUD
kesehatan no 17 tahun 2023 Pasal 440 dan UUD kesehatan no 17 tahun 2023 Pasal
411.
b. Mamfaat
Dengan adanya penulisan ini diharapkan dapat menjadi dasar petugas kesehatan
dalam mengembangkan profesi keperawatan di fasilitas kesehatan masing masing.
Dan sebagai bahan referensi dalam melaksanakan tugas dalam pelayanan kesehatan.
3. Keuntungan dan Kekurangan
UUD kesehatan no 17 tahun 2023 Pasal 439, Setiap orang yang bukan tenaga medis
atau tenaga kesehatan melakukan praktik sebagai tenaga medis atau tenaga kesehatan yang
telah memiliki SIP di pidana dengan pidana penjara paling lama 5 tahun atau dengan
denda paling banyak Rp 500.000.000.
Hal yang serupa juga sudah dijelaskan dalam UUD N0 36 tahun 2014 tentang tenaga
kesehatan pada bab XIV (ketentuan pidana) pasal 83 bahwa “Setiap orang yang bukan
Tenaga Kesehatan melakukan praktik seolah-olah sebagai Tenaga Kesehatan yang telah
memiliki izin sebagaimana dimaksud dalam Pasal 64 dipidana dengan pidana penjara
paling lama 5 (lima) tahun”.
Selanjutnya UUD N0 36 tahun 2014 bab XIV tentang ketentuan pidana pasal 86
juga menjelaskan Setiap Tenaga Kesehatan yang menjalankan praktik tanpa memiliki izin
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 46 ayat (1) dipidana dengan pidana denda paling
banyak Rp100.000.000,00 (seratus juta rupiah). Kemudian Setiap Tenaga Kesehatan warga
negara asing yang dengan sengaja memberikan pelayanan kesehatan tanpa memiliki SIP
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 55 ayat (1) dipidana dengan pidana denda paling
banyak Rp100.000.000,00 (seratus juta rupiah).
55
lama 5 (lima) tahun atau denda paling banyak Rp 150.000.000,00 (seratus lima puluh juta
rupiah).
Kemudian Setiap orang yang menggunakan alat, metode atau cara lain dalam
memberikan pelayanan kepada masyarakat yang menimbulkan kesan yang bersangkutan
merupakan tenaga medis atau tenaga kesehatan yang telah memiliki STR dan/atau SIP
sebagaimana dimaksud dalam pasal 312 huruf b dipidana dengan pidana penjara paling
lama 5 tahun atau pidana denda paling banyak 500.000.000.
Sedangkan UUD NO 29 Tahun 2004 BAB X tentang ketentuan pidana Pasal 78
juga menjelaskan Setiap orang yang dengan sengaja menggunakan alat, metode atau cara
lain dalam memberikan pelayanan kepada masyarakat yang menimbulkan kesan seolah-
olah yang bersangkutan adalah dokter atau dokter gigi yang telah memiliki surat tanda
registrasi dokter atau surat tanda registrasi dokter gigi atau surat izin praktik sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 73 ayat (2) dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima)
tahun atau denda paling banyak Rp 150.000.000,00 (seratus lima puluh juta rupiah).
UUD NO 29 Tahun 2004 BAB IX, tentang pembinaan dan pengawasan Pasal 73
menjelaskan bahwa:
1. Setiap orang dilarang menggunakan identitas berupa gelar atau bentuk lain yang
menimbulkan kesan bagi masyarakat seolah-olah yang bersangkutan adalah dokter
atau dokter gigi yang telah memiliki surat tanda registrasi dan/atau surat izin praktik.
2. Setiap orang dilarang menggunakan alat, metode atau cara lain dalam memberikan
pelayanan kepada masyarakat yang menimbulkan kesan seolah-olah yang
bersangkutan adalah dokter atau dokter gigi yang telah memiliki surat tanda
registrasi dan/atau surat izin praktik.
Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) tidak berlaku bagi
tenaga kesehatan yang diberi kewenangan oleh peraturan perundang-undangan.
4. Aspek Etik dan Legal dalam Keperawatan
Aspek legal dalam keperawatan mencakup aturan-aturan yang mengatur proses
keperawatan berdasarkan wewenang, tanggung jawab, dan standar profesi di berbagai
tingkat pelayanan, termasuk juga hak dan kewajiban yang diatur dalam undang-undang
keperawatan (Hendrik, 2011). Aspek legal keperawatan meliputi kewenangan berkaitan
dengan izin melaksanakan praktik profesi. Kewenangan memiliki dua aspek, yaitu
57
PENUTUP
A. Kesimpulan
Informasi Kesehatan merupakan data Kesehatan yang telah diolah atau diproses
menjadi bentuk yang mengandung nilai dan makna yang berguna untuk meningkatkan
pengetahuan dalam mendukung pembangunan Kesehatan. Sementara sistem informasi
Kesehatan adalah seperangkat tatanan yang meliputi data, informasi, indicator dan
prosedur, perangkat teknologi dan sumber daya manusia yang saling berkaitan dan dikelola
secara terpadu untuk mengarhkan Tindakan atau keputusan yang berguna dalam
mendukung pembangunan Kesehatan.
Dasar Hukum pelaksanaan Sistem Informasi Kesehatan di Indonesia adalah :
1) UUD 1945 Pasal 28: setiap orang berhak untuk verkomunikasi dan memperoleh
informasi untuk mengembangkan pribadi dan lingkungan sosialnya, serta berhak
untuk mencari, memperoleh, memiliki, menyimpan, mengolah dan menyampaikan
informasi dengan mengguanakan segala jenis saluran yang tersedia.
2) Undang- undang Republik Indonesia Nomor 36 tahun 2009 tentang Kesehatan
3) Undang- undang Republik Indonesia Nomor 17 Tahun 2023 tentang Kesehatan.
4) Peraturan Pemerintah RI Nomor 46 Tahun 2014 Sistem Informasi Kesehatan.
5) Kepmenkes RI Nomor 511 tahun 2003 tentang Kebikajan Strategi Pengembangan
Sistem Informasi Kesehatan Nasional.
6) Keputusan Menteri Kesehatan Nomor 43 Tahun 2019 tentang Pusat Kesehatan
Masyarakat.
Melalui Sistem Informasi Kesehatan, maka masyarakat dengan cepat dapat
mengetahui terjadinya masalah Kesehatan di Indonesia tingkat Nasional maupun
Internasional seperti Kejadian Luar Biasa (KLB) dan wabah, dan dapat sedini mungkin
melakukan upaya- upaya pencegahan penyebaran penyakit. Karena setiap orang berhak
hidup sehat secara fisik, jiwa dan sosial sengan cara mendapatkan informasi dan
edukasi tentang Kesehatan yang seimbang dan bertanggung jawab.
Aspek etik keperawatan menjadi salah satu pondasi yang sangat penting bagi
perawat dalam membangun hubungan baik dengan semua pihak selama melakukan
58
59
Dengan adanya penulisan ini diharapkan pembaca dapat memahami dengan baik
terkait perubahan UUD kesehatan serta batasan batasan yang harus diperhatikan oleh
masing masing.
DAFTAR PUSTAKA
Alfianto, dkk. (2023). Etika keperawatan & hukum kesehatan: aspek legal perawat indonesia.
Artikel Kesehatan. (2020). Transfusi Darah: Manfaat dan Resikonya untuk Pasien. RSUD Dr.
Artikel penyakit. (2023). Mengenal Manfaat dan Risiko Transplantasi Organ serta Tahapan
organ-termasuk-manfaat-dan-risikonya
Azwar, T. K. D., Prananda, A. T., Nasution, E. S., Siagian, P. R., M. Wau, Hi. S., & Barus, U.
Herlina, & Wahyuni Sari, R. (2022). Pembiayaan Sektor Kesehatan (1st ed.). PT.Nasya
Expanding Manajement.
Hibata, N., & Abas, G. H. (2021). Implementasi Penegakan Hukum Tindak Pidana Aborsi
Dikalangan Remaja Kota Ternate. JIIP - Jurnal Ilmiah Ilmu Pendidikan, 4(8), 786–
794. https://doi.org/10.54371/jiip.v4i8.345
Hidayat, F. (2019). Konsep Dasar Sistem Informasi Kesehatan (1st ed.). DEEPUBLISH,
Yogyakarta.
DEEPUBLISH, Yogyakarta.
Jamali, L. L. (2019). Transplantasi Organ Tubuh Manusia Perspektif Al-Qur’an. Diya Al-
https://doi.org/10.24235/diyaafkar.v7i01.4531
Kristin, N., Ristanti, E., Mulyono, G. P., & Sabrina, N. (2022). Tinjauan Yuridis Tindak
Martha, A. E., & Sulaksana, S. (2019). Buku Legalisasi Aborsi. UII Press.
Peraturan Bupati Sleman. (2015). Peraturan Bupati Sleman Tentang Inisiasi Menyusu Dini
dan Pemberian Air Susu Ibu Eksklusif (Perbup Sleman Nomor 38 Tahun 2015.
Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 82 Tahun 2014. (2014). Menteri
Pranata, B. A. A., Sujana, I. N., & Sudibya, D. G. (2020). Sanksi Pidana Terhadap Tindak
Salamah, U., & Prasetya, P. H. (2019). Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Kegagalan Ibu
https://doi.org/10.33024/jkm.v5i3.1418
Siregar, M. H., Sumatri, A., & Febrianti. (2020). Risiko Kejadian Diare Akibat Tidak
Gizi , Universitas Sultan Ageng Tirtayasa Prodi Kesehatan Masyarakat , UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta Email : mukhlidah.hanunsiregar@untirta. Jurnal Gizi Kerja
Undang- Undang RI. (2014). Undang-Undang Republik Indonesia Tentang Kesehatan Jiwa
Wulandari, A., Rahman, F., & Laily, N. (2020). Pembiayaan Dan Penganggaran Kesehatan.
Yogyakarta.