Anda di halaman 1dari 66

LEGAL ETIK DALAM KEPERAWATAN

Oleh :

Kelompok 3
Ns. Muhammad Rizal, S.Kep (2312201010019)
Ns. Cut Desi Irmayanti, S.Kep (2312201010024)
Ns. Nur Shalihah, S.Kep (2312201010018)

PROGRAM STUDI MAGISTER KEPERAWATAN


FAKULTAS KEPERAWATAN
UNIVERSITAS SYIAH KUALA
2023
KATA PENGANTAR

Puji syukur kami panjatkan kepada Allah SWT. karena atas rahmat dan hidayah-Nya
kami telah menyelesaikan penulisan tugas kelompok tentang “Legal Etik Keperawatan”.
Penulisan ini sudah kami susun dengan semaksimal mungkin dan mendapat bantuan dari
berbagai pihak sehingga dapat memperlancar penulisan ini.
Untuk itu kami menyampaikan terimakasih kepada semua pihak baik pembimbing
maupun kelompok yang telah kompak dalam proses penyusunan penulisan ini.
Terlepas dari segala hal tersebut, kami sadar sepenuhnya bahwa masih ada kekurangan
baik dari susunan kalimat maupun tata bahasanya. Oleh karenanya kami dengan lapang dada
menerima segala saran dan kritik dari pembaca guna untuk memperbaiki dan
menyempurnakan penulisan ini.
Akhir kata kami berharap semoga penulisan ini dapat memberikan manfaat dan
literatur untuk pembaca.

Banda Aceh, 01 Oktober 2023

Penyusun

i
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR .......................................................................................................... i
DAFTAR ISI ........................................................................................................................ ii
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang .......................................................................................................... 1
B. Tujuan ....................................................................................................................... 4
BAB II STUDI KEPUSTAKAAN
A. Sistem Informasi Kesehatan ...................................................................................... 5
B. Kejadian Luar Biasa (KLB) dan Wabah.................................................................. 10
C. Pendanaan Kesehatan ............................................................................................. .25
D. Ketentuan Pidana Terkait ........................................................................................ 30
E. Tenaga Kesehatan dan Praktik Kesehatan ............................................................... 52
BAB III PENUTUP
A. Kesimpulan ............................................................................................................ 58
B. Saran....................................................................................................................... 59
DAFTAR PUSTAKA

ii
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Kesehatan merupakan isu utama yang harus di monitor oleh masing- masing
negara. Tanpa adanya masyarakat yang hidup sehat di suatu negara maka negara
tersebut tidaklah menjadi suatu negara yang maju dan berkembang. Defines Kesehatan
(healthcare) dari World Health Oganization (WHO) merupakan proses diagnosis,
pengobatan dan pencegahan terhadap penyakit dan gangguan fisik serat mental
lainnya.
Berdasarkan Undang- undang Nomor 36 Tahun 2009 dan Undang- undang
Nomor 17 Tahun 2023 tentang Kesehatan. Kesehatan merupakan keadaan sehat baik
secara fisik, mental, spiritual maupun sosial yang memungkinkan setiap orang untuk
hidup produktif secara sosial dan ekonomis.
Berdasarkan Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1984 mengenal wabah Penyakit
Menular. Wabah didefinisikan sebagai kejadian terjangkitnta suatu penyakit menular
dalam masyarakat yang jumlahnya meningkat secara nyata melebihi dari pada eadaan
lazim dalam waktu dan daerah tertentu serta dapat menimbulkan malapetaka.
Sedangkan Kejadian Luar Biasa (KLB) adalah timbulnya atau meningkatnya kejadian
kesakitan atau kematian yang bermakna secara epidemiologis pada suatu daerah dalam
kurun waktu tertentu dan merupakan keadaan yang dapat menjurus pada terjadinya
wabah.
Banyak negara yang masih kesulitan dalam mengelola program Kesehatan yang
mereka miliki. Masalah tersebut terjadi karena kompleksitas sistem Kesehatan secara
nasional dimana sektor Kesehatan banyak melibatkan penyedia layanan Kesehatan
baik dari sektor publik dan swasta.banyak pemangku kepentingan yang terlibat dalam
sektor Kesehatan menyebabkan adanya simetri informasi antar pemangku kepentingan
sehingga berdampak negative pada pengambilan keputusan. Akibatnya dari masalah
tersebut dapat melemahnya sistem Kesehatan, menyia-nyiakan sumber daya dan
mengurangi ketahanan negara terhadap keadaan darurat Kesehatan, yang mengarah
pada cakupan yang di kompromikan dan akses ke layanan Kesehatan yang penting.
(Wuri Handayani & Hakiem Afrizal, 2020).
1
2

Berdasarkan Undang- undang Nomor 17 Tahun 2023 tentang Kesehatan pasal


345 bahwa dalam rangka melakukan Upaya Kesehatan yang efektif dan efisien
diselenggarakan Sistem Informasi Kesehatan, sistem ini diselenggarakan oleh
Pemerintah Pusat, Pemerintah Daerah, Fasilitas Pelayanan Kesehatan dan masyarakat,
baik perseorangan maupun berkelompok dan penyelenggaraan ini wajib
mengintergrasikan Sistem Informasi Kesehatan.
Disamping itu, karena disetiap negara selalu ditemukan peranan pemerintah,
maka pada sektor Kesehatan perlu adanya perhitungan jumlah dana yang beredar di
sektor pemerintah. Biaya Kesehatan ialah besarnya dana yang harus di sediakan untuk
menyelenggarakan dan atau memanfaatkan berbagai upaya Kesehatan yang diperlukan
oleh perorangan, keluarga, kelompok dan masyarakat. Total biaya Kesehatan dari
sektor pemerintah tidak dihitung dari besarnya dana yang dikeluarkan oleh para
pemakai jasa, dankarena itu merupakan pendapatan (income) pemerintah, melainkan
dari besarnya dana yang dikeluarkan oleh pemerintah (expenses) untuk
menyelenggarakan pelayanan Kesehatan.
Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan dan Undang-
Undang Nomor 17 Tahun 2023 tentang Kesehatan memiliki ketentuan pidana terkait
berbagai aspek kesehatan, termasuk aborsi, program pemberian ASI, perdagangan
darah manusia, perdagangan organ atau jaringan tubuh, serta Undang-Undang Nomor
18 Tahun 2014 tentang Kesehatan Jiwa terkait ketentuan pidana terhadap perlindungan
pada penderita gangguan jiwa. Undang-Undang ini menjadi landasan utama bagi
kebijakan kesehatan di Indonesia. Salah satu aspek yang diatur adalah mengenai aborsi
yang harus dilakukan dengan memperhatikan etika medis dan norma hukum yang
berlaku. Aborsi yang dilakukan di luar ketentuan yang diatur dapat dikenakan sanksi
pidana.
Undang-Undang kesehatan yang mengatur terkait program pemberian ASI
bahwa ASI penting untuk kesehatan bayi dan ibu. ASI (Air Susu Ibu) memiliki peran
penting dalam memberikan nutrisi yang baik untuk bayi. Undang-Undang Kesehatan
memberikan ketentuan dan dukungan terhadap program pemberian ASI untuk
memastikan kesehatan dan pertumbuhan optimal bayi. Menghalangi program
pemberian ASI dapat dikenai sanksi sesuai ketentuan yang diatur.
3

Dalam Undang-Undang kesehatan disebutkan larangan terkait perdagangan


darah manusia adalah upaya untuk mencegah eksploitasi dan memastikan pasokan
darah yang aman untuk transfusi. Undang-Undang Kesehatan mengatur tentang
pengelolaan dan pemanfaatan darah secara etis dan sesuai dengan standar kesehatan.
Disebutkan juga dalam Undang-Undang kesehatan mengenai transplantasi organ dan
jaringan tubuh untuk mencegah perdagangan ilegal dan memastikan transparansi serta
keadilan dalam sistem transplantasi. Adapun dalam Undang-Undang kesehatan
mengatur ketentuan hukum dan kesehatan mengenai bedah plastik dan rekonstruksi
untuk tujuan mengubah identitas dengan memperhatikan aspek etika, medis, dan
keamanan pasien.
Undang-Undang Kesehatan jiwa dan Undang-Undang Kesehatan ini mengatur
terkait pemberian perlindungan hukum bagi penderita gangguan jiwa yang mengalami
pemasungan, penelantaran, dan kekerasan dengan sanksi pidana yang berlaku bagi
pelanggarnya. Undang-Undang ini memberikan pedoman untuk memastikan hak-hak
dan perawatan yang layak bagi penderita gangguan jiwa.
Melalui ketentuan-ketentuan ini, pemerintah berupaya untuk memastikan
bahwa praktik-praktik yang dapat membahayakan kesehatan masyarakat, baik fisik
maupun mental, diatasi dan dihindari. Penerapan hukum ini diharapkan dapat
memberikan panduan yang jelas, tercipta kesadaran, kepatuhan terhadap hukum dan
norma-norma kesehatan yang berlaku serta mendorong kesadaran akan pentingnya
melindungi dan meningkatkan kesehatan seluruh lapisan masyarakat.
Undang-undang Dasar 1945 mengamanatkan bahwa negara wajib melindungi
segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia. Salah satu bentuk
perlindungan yaitu perlindungan terhadap kesehatan setiap warga negara. Setiap warga
negara berhak memperoleh pelayanan kesehatan. Pemberian pelayanan bagi
masyarakat dilakukan oleh tenaga kesehatan. Tenaga kesehatan yang dimaksud harus
memadai secara kuantitas, kualitas, aman dan terjangkau bagi seluruh rakyat Indonesia.
Salah satu kelompok dari tenaga kesehatan yaitu tenaga keperawatan.
Pelayanan keperawatan merupakan pelayanan profesional, bagian integral dari
pelayanan kesehatan yang didasarkan ilmu dan keperawatan pada individu, kelompok
atau masyarakat dalam keadaan sehat maupun sakit. Perawat adalah suatu profesi
4

keperawatan. Profesi keperawatan tentu harus memenuhi kaidah dari kode etik profesi.
Kode etik profesi merupakan suatu pernyataan yang menyeluruh berupa tugas dan
layanan profesi yang memnuhi anggota dalam praktik profesinya, baik itu dengan
pasien, keluarga, komunitas serta dengan dirinya sendiri. Berbeda halnya dengan kode
etik keperawatan yang memiliki arti daftar perilaku atau bentuk prinsip/pedoman etik
bagi perilaku profesi keperawatan secara profesional.
Profesi keperawatan yang melakukan pelanggaran terhadap kode etik
keperawatan dapat dikenai sanksi hukum, tidak sekedar sanksi moral, sanksi
adminittatif, maupun sanksi yang diberikan institusi. Untuk menghindari pelanggaran
kode etik keperawatan, maka perawat harus menerapkan prinsip/asas kode etik
keperawatan dengan cara memenuhi aspek legal etik keperawatan yang diatur dalam
KepMenkes 148/2010 dan UU Kes 36/2009 guna terbentuknya perilaku, karakter atau
watak perawat dalam menjalankan pekerjaan profesinya ( Yusuf, 2018).
Aspek etik keperawatan menjadi salah satu pondasi yang sangta penting bagi
perawat dalam membangun hubungan baik dengan semua pihak selama melakukan
pelayanan keperawatan. Masalah etik keperawatan sebagian besar terjadi pada
pelaksanaan pelayanan keperawatan. Rasa ketidakpuasan yang kerap timbul pada
pasien adalah pasien merasa kebutuhannya tidak terpenuhi dan merasa tidak
diperhatikan oleh perawat dalam pelayanan kesehatan (Setiani, 2018).
B. Tujuan
1. Mengetahui definisi, tujuan, keuntungan dan kekurangan serta aspek etik legal
keperawatan tentang Sistem informasi Kesehatan menurut Undang-Undang Nomor
36 Tahun 2009 dengan Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2023 tentang Kesehatan
2. Mengetahui definisi, tujuan, keuntungan dan kekurangan serta aspek etik legal
keperawatan tentang Kejadian Luar biasa (KLB) dan Wabah menurut Undang-
Undang Nomor 36 Tahun 2009 dengan Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2023
tentang Kesehatan
3. Mengetahui definisi, tujuan, keuntungan dan kekurangan serta aspek etik legal
keperawatan tentang Sistem Pendanaan Kesehatan menurut Undang-Undang Nomor
36 Tahun 2009 dengan Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2023 tentang Kesehatan
BAB II
TINJAUAN TEORITIS
A. Sistem Informasi Kesehatan
a. Pengertian
Sistem Informasi Kesehatan (SIK) adalah seperangkat tatanan yang meliputi
data, informasi, indikator, prosedur, perangkat, teknologi dan sumber daya
manusia yang saling berkaitan dan dikelola secara terpadu yang menyediakan
dukungan informasi bagi proses pengambilan keputusan, perencanaan program
Kesehatan, monitoring pelaksanaan dan evaluasi disetiap jenjang administrasi
kesehatan (Nyamtema, 2010 dalam (Lestari, Jati & Widodo, 2016).(Hidayat, 2019)
Menurut World Health Organization (WHO) dalam (Gavinov & Soemantri,
2016), sistem informasi Kesehatan (SIK) adalah salah satu dari 6 building block
atau merupakan komponen utama dalam suatu sistem Kesehatan di suatu negara.
Keenam komponen (building block) sistem Kesehatan tersebut adalah :
1. Service delivery (pelaksanaan pelayanan Kesehatan)
2. Medical product, vaccine dan technologies (produk medis, vaksin dan
teknologi Kesehatan)
3. Health worksface (tenaga medis)
4. Health sistem financing (sistem pembiayaan Kesehatan)
5. Health information sistem (sitem informasi Kesehatan)
6. Leadership and governance (kepemimpinan dan pemerintah)
Sedangkan di dalam tatanan Sitem Kesehatan Nasional, SIK merupakan
bagian dari subsistem ke 6 yaitu pada subsistem manajemeen, informasi dan
regulasi Kesehatan. Sistem informasi Kesehatan adalah sutu pengelolaan informasi
di seluruh tingkat pemerintahan secara sistematis, dalam rangka penyelenggaraan
pelayanan Kesehatan kepada masyarakat. Sistem informasi Kesehatan yang efektif
memberikan dukungan dukungan informasi bagi proses pengambilan keputusan di
semua jenjang, bahkan puskesmas atau Rumah Sakit kecil sekalipun.Saat ini
Departemen Kesehatan telah membangun sistem informasi Kesehatan di mulai
dari kabupaten hingga ke pusat (Hakam, 2016) dalam (Hidayat, 2020).

5
6

b. Tujuan
Tujuan dari dikembangkannya sistem informasi Kesehatan adalah sebagai
berikut :
1. Sistem informasi Kesehatan (SIK) merupakan subsistem dari sistem Kesehatan
Nasional (SKN) yang berperan dalam memberikan inforasi untuk pengambilan
keputusan di setiap jenjang administrative Kesehatan baik di tingkat pusat,
provinsi, kabupaten/ kota atau bahkan pada tingkat pelaksana teknis seperti
Rumah Sakit ataupun Puskesmas.
2. Dalam bidang Kesehatan telah banyak dikembangkan bentuk- bentuk Sistem
Informasi Kesehatan (SIK) dengan tujuan agar dapat mentrasformasi data yang
tersedia melalui sistem pencatatan rutin maupun non rutin menjadi sebuah
informasi.
3. Adapun tujuan tama dari Sistem Informasi Kesehtan adalah sebagai berikut :
 Meningkatkan manajemen pelayanan Kesehatan
 Mengetahui tingkat status Kesehatan masyarakat
 Sebagai dasar evidence based bagi sistem Kesehatan
 Sebagai dasar dalam proses pengambilan keputusan dalam manajemen
kesehatan
c. Keuntungan dan kekurangan
1. Keuntungan/ manfaat dari Sistem Informasi Kesehatan
World Health Organisation (WHO) bahwa investasi sistem informasi Kesehatan
mempunyai beberapa manfaat antara lain:
1) Membantu mengambil keputusan untuk mendeteksi dan mengendalikan
masalah Kesehatan, memantau perkembangan dan meningkatkannya.
2) Perdayakan individu dan komunitas dengan cepat dan mudah dipahami,
seta melakukan berbagai perbaikan kualitas peayanan Kesehatan.
Adapun teuntungan atau manfaat adanya sistem informasi Kesehatan
dalam fasilitas Kesehatan diantaranya:
1) Memudahkan setiap pasien untuk melakukan pengobatan dan
mendapatkan pelayan Kesehatan.
7

2) Memudahkan fasilitas Kesehatan untuk mendaftar setiap pasien yang


berobat.
3) Semua kegiatan di fasilitas Kesehatan terkontrol dengan baik (bekerja
secara terstruktur)
2. Kekurangan
Saat ini Sistem Informasi Kesehatan (SIK) masih terhambat serta
belum mampu menyediakan data dan informasi yang akurat, sehingga SIK
masih belum menjadi alat pengelolaan pembangunan Kesehatan yang
efektif. Hal ini disebabkan karena beberapa kondisi berikut ini:
 Pengumpulan informasi yang tidak relevan
 Kualitas data yang buruk
 Duplikasi data
 Kurangnya umpak balik
 Penggunaan informasi yang kurang optimal

Menurut Bambang dkk (1991) dalam (Hidayat, 2019) bahwa


terdapat beberapa masalah pada sistem informasi Kesehatan di Indonesia
di antaranya:

 Data yang harus dicatat dan dilaporkan di unit- unit operasional sangat
banyak, sehingga beban para petugas menjadi berat.
 Proses pengolahan data menjadi lama, sehingga hasil pengolahan data
menjadi lama, meyebabkan hasilnya menjadi tidak tepat waktu Ketika
disajikan dan di umpan balikkan
d. Aspek etik dan legal dalam keperawatan
Undang-Undang Kesehatan Nomor 17 Tahun 2023 Tentang Kesehatan
menerangkan bahwa Sistem Informasi Kesehatan adalah sistem yang
mengintegrasikan berbagai tahapan pemrosesan, pelaporan dan penggunaan
informasi yang diperlukan untuk meningkatkan efektifitas dan efisiensi
penyelenggaraan Kesehatan serta mengarahkan Tindakan atau keputusan yang
berguna dalam mendukung pembangunan Kesehatan.
8

Perbandingan Sistem Informasi Kesehatan menurut Undang- undang Nomor 36


Tahun 2009 tentang Kesehatan dengan Undang-undang Nomor 17 tahun 2023 tentang
Kesehatan:

Undang-Undang Kesehatan Nomor 36 Tahun 2009 BAB XIV Tentang


Informasi Kesehatan
Pasal 168
1) Untuk menyelenggaraan upaya Kesehatan yang efektif dan efisien diperlukan
informasi Kesehatan
2) Informasi Kesehatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan melalui
sistem informasi dan melalui lintas sektor.
3) Ketentuan lebih lanjut mengenai sistem informasi sebagaimana dimaksud pada
ayat (2) diatur dengan Peraturan Pemerintah
Pasal 169
Pemerintah memberikan kemudahan kepada masyarakat untuk memperoleh akses
terhadap informasi Kesehatan dalam upaya meningkatkan derjat Kesehatan
masyarakat.
Undang-Undang Kesehatan No 17 Tahun 2023 BAB XI Tentang Sistem
Informasi Kesehatan
Pasal 345
1) Dalam rangka melakukan Upaya Kesehatan yang efektif dan efisien
diselenggarakan Sitem Informasi Kesehatan.
2) Sistem Informasi Kesehatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diselenggarakan
oleh:
a. Pemerintah Pusat;
b. Pemerintah Daerah;
c. Fasilitas Pelayanan Kesehatan; dan
d. Masyarakat, baik perseorangan maupun kelompok.
3) Penyelenggara sebagaimana yang dimaksud pada ayat (2) wajib mengintegrasikan
Sistem Informasi Kesehatan dengan Sistem Informasi Kesehatan Nasional.
9

4) Kementrian yang menyelenggarakan urusan pemerintahan dibidang Kesehatan


dapat memberikan dukungan kepada penyelenggara sebagaimana dimaksud pada
ayat (2) dalam pengelolaan Sistem Informasi Kesehatan.
Tata Kelola Sistem Informasi Kesehatan
Pasal 346
1) Penyelenggara Sistem Informasi Kesehatan Melaksanakan tata Kelola Sistem
Informasi Kesehatan yang mendukung pelayanan di bidang Kesehatan.
2) Tata Kelola Sistem Informasi Kesehatan sebagaimana yang dimaksud apada ayat
(1) merupakan rangkaian kegiatan untuk menjamin mutu dan keandalan sistem.
3) Tata Kelola Sistem Informasi Kesehatan sebagaimana yang dimaksud pada ayat
(2) dilaksanakan sesuai dengan arsitektur Sistem Informasi Kesehatan.
4) Arsitektur Sistem Informasi Kesehatan sebagaimana dimaksud pada ayat (3)
disusun sesuai dengan pedoman yang ditetapkan oleh Menteri.
5) Selain untuk kepentingan mendukung pelayanan di bidang Kesehatan sebagimana
dimaksud pada ayat (1), penyelenggaraan Sistem Informasi Kesehatan juga
ditujukan untuk pengembangan sitem Informasi di bidang bioteknologi Kesehatan.
6) Penyelenggara Sistem Informasi Kesehatan wajib melakukan pemrosesan data dan
informasi Kesehatan di wilayah Indonesia.
7) Penyelenggara Sistem Informasi Kesehatan dapat melakukan pemrosesan data dan
Informasi Kesehatan diluar wilayah Indonesia yang pelaksanaannya sesuai dengan
keyentuan peraturan perundang-undangan.

Pasal 347
1) Penyelenggara Sistem Informasi Kesehatan wajib memastikan keandalan Sistem
Informasi Kesehatan yang meliputi:
a. Ketersediaan;
b. Keamanan;
c. Pemeliharaan;
d. Integrasi;
2) Keandalan Sistem Informasi Kesehatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dilaksanakan dengan cara:
10

a. Menguji kelaiakan sistem;


b. Menjaga kerahasian data;
c. Menentukan kebijakan hak akses data;
d. Memiliki sertifikasi keandalan sistem; dan
e. Melakukan audit secara berkala.
B. Kejadian Luar Biasa (KLB) dan Wabah
1. Pengertian Kejadian Luar Biasa dan Wabah
Kejadian luar biasa ygang selanjutnya disingkat dengan KLB adalah timbulnya
atau meningkatnya kejadian kesakitan dan/ atau kematian yang bermakna secara
epidemiologi pada suatu daerah dalam kurun waktu tertentu dan merupakan keadaan
yang dapat menjurus pada terjadinya wabah.(Peraturan Menteri Kesehatan
Republik Indonesia Nomor 82 Tahun 2014, 2014)
Wabah atau penyakit menular yang selanjutnya disebut Wabah adalah kejadian
terjangkitnya suatu penyakit menular dalam masyarakat yang jumlah penderitanya
meningkat secara nyata melebihi dari keadaan lazim pada waktu dan daerah tertentu
serta dapat menimbulkan malapetaka.
2. Tujuan
a. Bahwa negara menjamin hak setiap warga negara untuk mewujudkan kehidupan
yang baik, sehat serta sejahtera lahir dan batin demi tercapainya tujuan nasional
dalam melindungi segenap bangsa Indonesia.
b. Untuk meningkatkan derajat Kesehatan yang setinggi- tingginya berdasarkan
prinsip kesejahteraan, pemerataan, nondiskriminatif, partisipatif dan
berkelanjutan dalam rangka pembangunan sumber daya manusia yang berkualitas
dan produktif, mengurangi kesenjangan, meningkatkan ketahanan Kesehatan,
menjamin kehidupan yang sehat serta memajukan kesejahteraan seluruh warga
negara dan daya saing bangsa bagi pencapaian tujuan pembangunan nasional.
c. Permasalahan dan gangguan Kesehatan pada masyarakat akan menurunkan
produtivitas dan akan menimbulkan kerugian bagi negara sehingga diperlukan
transformasi kesehatab untuk tercapainya peningkatan derajat Kesehatan
masyarakat.
11

d. Pebangunan Kesehatan masyarakat yang semakin tinggi dan terbuka akan


mencipatkan kemandirian dan mendorong perkembangan industri Kesehatan
nasional pada tingkat regional dan global serta mendorong peningkatan
pelayanan Kesehatan yang aman, bermutu dan terjangkau bagi masyarakat untuk
meningkatkan kualitas hidup masyarakat.
3. Keuntungan dan Kekurangan
a. Keuntungan
1) Setiap orang berhak atas Kesehatan
2) Setiap ornag mem[unyai hak yang sama dalam memperoleh akses atas
sumber daya di bidang Kesehatan.
3) Setiap orang mempunyai hak dalam memperoleh pelayanan Kesehatan yang
aman, bermutu dan terjangkau.
4) Setiap orang berhak secara mandiri dan bertanggung jawab menentukan
sendiri pelayanan Kesehatan yang diperlukan untuk dirinya.
5) Setiap orang berhak mendapatkan lingkungan yang sehat bagi pencapaian
derakat Kesehatan.
6) Setiap orang berhak mendapatkan informasi dan edukasi tentang Kesehatan
yang seimbang dan bertanggung jawab
7) Setiap ornag berhak memperoleh informasi tentang data Kesehatan dirinya
termasuk Tindakan dan pengobatan yang telah maupun yang akan di
terimanya dari tenaga Kesehatan.
b. Kekurangan
Dalam penyelenggaraan pembangunan nasional telah ditetapkan bahwa
sistem Kesehatan nasional adalah pengelolaan Kesehatan yang diselengarakan
oleh semua komponen bangas Indonesia secara terpadu dan saling mendukung
guna menjamin tercapainya derajat Kesehatan masyarakat setinggi- tingginya,
namun asing ada tantangan yang perlu dihadapi untuk mencapai tujuan
pembangunan Kesehatan seperti yang diharapkan.(Rachmat, 2019)
Tantangan sistem Kesehatan Nasionla terutama meliputi:
1) Mutu, pemerataan dan keterjangkauan upaya Kesehatan belum optimal
2) Manajeman, informasi dan regulasi Kesehatan masih kurang kuat
12

3) Pemerataan dan mutu sumber daya manusia Kesehatan belum sepenuhnya


menunjang penyelenggaraan pembangunan Kesehatan.
4) Penggalian pembiayaan masih terbatas dan pengalokasian serta
pembelanjjan pembiayaan Kesehatan masih kurang memadai.
5) Pengembangan pembangunan Kesehatan tampak masih kurang dilaksanakan
dengan seksama.
4. Aspek Etik dan Legal dalam Keperawatan
Undang-undang Kesehatan Nomor 36 Tahun 2009 dan Undang-undang
Kesehatan Nomor 17 Tahun 2023 bahwa Kesehatan adalah keadaan sehat, baik
secara fisik, mental, spiritual maupun sosial yang memungkinkan setiap orang untuk
hidup produktif secara sosial dan ekonomis. Dan Kesehatan merupakan hak asasi
manusia dan salah satu unsur kesejateraan yang harus diwujudkan sesuai dengan
cita- cita bangsa Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Pancasila dan Undang-
Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. (Undang- Undang
Kesehatan Nomor 36, 2009) dan (Undang- Undang Kesehatan Nomor 17, 2023)
Undang- undang nomor 36 Tahun 2009 dan Undang-Undang Kesehatan
Nomor 17 Tahun 2023 tentang Kesehatan menerangkan bahwa upaya Kesehatan
adalah segala bentuk kegiatan dan/ atau serangkaian kegiatan yang dilakukan secara
terpadu dan berkesinambungan untuk memelihara dan meningkatkan derajat
Kesehatan masyarakat dalam bentuk promotif, preventif, kuratif rhabilitatif dan/
atau paliatif oleh Pemerintah Pusat, Pemerintah Daerah dan/ atau masyarakat.
Perbandingan Kejadian Luar Biasa (KLB) atau Wabah menurut Undang-
undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan dengan Undang-undang Nomor
17 tahun 2023 tentang Kesehatan :

Undang-Undang Kesehatan Nomor 36 Tahun 2009 BAB X Tentang


Penyakit Menular

Pasal 152
1) Pemerintah, pemerintah daerah dan masyarakat bertanggung jawab melaukukan
upaya pencegahan, pengendalian dan pemberantasan penyakit menular serta akibat
yang ditimbulkannya.
13

2) Upaya pencegahan, pengendalian dan pemberantasan penyakit menular


sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan untuk melindungi masyarakat dari
tertularnya penyakit, menurunnya jumlah yang sakit, cacat dan atau meninggal
dunia, serta untuk mengurangi dampak sosial dan ekonomi akibat penyakit
menular.
3) Upaya pencegahan, pengendalian dan penanganan penyakit menular sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) dilakukan melalui kegiatan promotive, preventif, kuratif
dan rehabilitative bagi individu dan masyarakat.
4) Pengendalian sumber penyakit menular sebagaimana yang dimaksud ayat (3)
dilakukan terhadap lingkungan san/ atau orang dan sumber penularan lainnya.
5) Upaya yang dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan dengan harus berbasis wilayah.
6) Pelaksanaan upaya yang sebagaimana dimaksud pada ayat (1), pemerintah dapat
melakukan kerja sama dengan negara lain.
7) Upaya pencegahan, pengendalian dan pemberantasan penyakit menular
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan berdasarkan ketentuan
peraturan perundang-undangan.

Pasal 153
1) Pemerintah menjamin ketersediaan bahan imunisasi yang aman, bermutu, efektif,
terjangkau dan merata bagi masyarakat untuk upaya pengendalian penyakit
menular melalui imunisasi.

Pasal 154
1) Pemerintah secara berkala menetapkan dan mengumumkan jenis dan persebaran
penyakit yang berpotensi menular dan/ atau menyebar dalam waktu yang singkat,
serta menyebutkan daerah yang dapat menjalin sumber penularan.
2) Pemerintah dapat melakukan surveilans terhadap penyakit menular sebagaimana
dimaksud pada ayat (1).
3) Dalam melaksanakan surveilans sebagaimana yang dimaksud pada ayat (2)
Pemerintah dapat melakukan Kerjasama dengan masyarakat dan negara lain.
14

4) Pemerintah menetapkan jenis penyakit yang memerlukan karantina, tempat


karantina dan lama karantina.

Pasal 155
1) Pemerintah secara berkala menetapkan dan mengumumkan jenis penyakit dan
persebaran penyakit yang berpotensi menular dan/ atau menyebar dalam waktu
yang singkat, serta menyebutkan daerah yang dapat menjadi sumber penularan.
2) Pemerintah daerah dapat melakukan surveilans terhadap penyakit menular
sebgaimnan dimaksud pada ayat (1)
3) Dalam melaksanakan surveilans sebgaiman dimaksud pada ayat (2), pemerintah
daerah dapat melakukan kerja sama dengan masyarakat.
4) Pemerintah daerah menetapkan jenis penyakit yang memerlukan karantina, tempat
karantina dan lama karantina.
5) Pemerintah daerah dalam menetapkan dan mengumumkan jenis dan persebaran
penyakit yang berpotensi menular dan/ atau menyebar dalam waktu singkat dan
pelaksanaan surveilans serta menetapkan jenis penyakit yang memerlukan
karantina, tempat karantina dan lama karantina berpedoman pada ketentuan
sebagaimana yang dimaksud pada ayat (1)

Pasal 156
1) Dalam melaksanakan upaya pencegahan, pengendalian dan pemberantasan
penyakit menular sebagaimana di maksud dalam pasal 154 ayat (1), pemerintah
dapat menyatakan wilayah dalam keadaan wabah, letusan atau kejadian luar biasa
(KLB).
2) Penentuan wilayah dalam keadaan wabah, letusan atau kejadian luar biasa (KLB)
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus dilakukan berdasarkan hasil penelitian
yang diakui keakuratannya.
3) Pemerinta, pemerintah daerah dan masyarakat melakukan upaya penanggulangan
keadaan wabah, letusan atau kejadian luar biasa sebagaimana dimaksud apada ayat
(2).
15

4) Penetuan wilayah dalam keadaan wabah, letusan atau kejadian luar biasa dan
upaya penanggulangan sebagaimana dimkasud pada ayat (1) dan ayat (3).
Dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

Pasal 157
1) Pencegahan penularan penyakit menular wajib dilakukan oleh masyarakat
termasuk penderita penyakit menular melalui perilaku hidup bersih dan sehat.
2) Dalam pelaksanaan penanggulangan penyakit menular, tenaga Kesehatan yang
berwenang dapat memeriksa tempat- tempat yang dicurigai berkembangnya vector
dan sumber penyakit lain.
3) Ketentuan lebih lanjut mengenai penyakit menular sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) diatur dengan Peraturan Menteri.

Undang-Undang Kesehatan Nomor 17 Tahun 2023 BAB XII Tentang


Kejadian Luar Biasa dan Wabah
a. Kejadian Luar Biasa (KLB)
Pasal 352
1) Untuk melindungi masyarakat dari KLB, Pemerintah Daerah dan Pemerintah Pusat
bertanggung jawab melaksanakan kegiatan kewaspadaan KLB, penanggulangan
KLB dan pasca KLB.
2) Kegiatan kewaspadaan KLB, penanggulangan KLB, dan pasca KLB sebagaimana
yang dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan secara terkoordinasi, komprehensif dan
berkesinambungan di wilayah, Pintu Masuk dan Pelabuhan atau bandar udara yang
melayani lalu lintas domestik.
3) Dalam pelaksanaan kegiatan kewaspadaan KLB, Penangggulangan KLB , dan
paska KLB sebagaimana yang dimaksud pada ayat (1) melibatkan unsur Tenaga
Medis, Tenaga Kesehatan, akademisi apakar, Tentara Nasional Indonesia, lintas
sektor, dan/ atau tokoh masyarakat/ agama.
16

Pasal 353
1) Bupati/ wali kota, gubernur, atau Menteri harus menetapkan KLB jika pada suatu
daerah tertentu terdapat penyakit atau masalah Kesehatan yang memenuhi kriteria
KLB.
2) Kriteria KLB sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terdiri atas:
a. Timbulnya suatu penyakit atau masalah Kesehatan yang sebelumnya tidak ada
atau tidak dikenal;
b. Peningkatan kejadian secara terus-menerus selama 3 (tiga) kurun waktu dalam
jam, hari, atau mingggu berturut- turut;
c. Peningkatan kejadian kesakitan 2 (dua) kali atau lebih jika dibandingkan
dengan periode sebelumnya;
d. Rata-rata jumlah kejadian kesakitan perbulan selama 1 (satu) tahun
menunjukkan kenaikan 2 (dua) kali atau lebih;
e. Angka kematian akibat penyakit atau masalah Kesehatan dalam 1 (satu) kurun
waktu tertentu menunjukkan kenaikan 50% (lima puluh persen) atau lebih;
f. Angka proporsi penyakit penderita baru pada satu periode menunjukkan
kenaikan 2 (dua) kali atau lebih jika dibandingkan dengan satu periode
sebelumnya dalam kurun waktu yang sama; dan/ atau
g. Kriteria lain yang ditetapkan oleh Menteri.
3) Bupati/ wali kota, gubernur, atau Menteri harus mencabut penetapan KLB jika
daerah tidak lagi memenuhi kriteria KLB.
4) Ketentuan lebih lanjut mengenai kriteria KLB, penetapan dan pencabutan KLB
diatur dengan Peraturan Pemerintah.

Pasal 354
1) Bupati/ wali kota, gubernur, atau Menteri yang menetapkan KLB wajib segera
melaksanakan kegiatan penanggulangan KLB.
2) Kegiatan penanggulangan KLB sebagai dimaksud pada ayat (1) meliputi:
a. Penyelidikan epidemiologis;
b. Pelaksanaan surveilans;
c. Pengendalian faktor resiko;
17

d. Pemusnahan penyebab KLB;


e. Pencegahan dan pengebalan;
f. Promosi Kesehatan;
g. Komunikasi resiko;
h. Penatalaksanaan kasus;
i. Penanganan jenazah akibat KLB; dan
j. Upaya penanggulanagan lainnya yang diperlukan sesuai dengan

Pasal 355
Ketentuan lebuh lanjut mengenai kegiatan kewaspadaan KLB, penanggulangan
KLB dan pasca KLB diatur dengan Peraturan Pemerintah.

b. Wabah
Pasal 356
Untuk melindungi masyarakat dari wabah, Pemerintah Pusat dan Pemerintah
Daerah melaksanakan kegiatan Kewaspadaan Wabah, penanggulangan Wabah dan
pasca Wabah.
Penetapan Jenis Penyakit yang Berpotensi Menimbulkan Wabah:
Pasal 357
1) Dalam rangka Kewaspadaan Wabah ditetapkan jenis penyakit yang berpotensi
menimbulkan Wabah.
2) Jenis penyakit yang berpotensi menimbulkan Wabah sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) dikategorikan dalam:
a. Penyakit menular endemis tertentu;
b. Penyakit menular baru; dan/atau
c. Penyakit menular lama yang muncul kembali.
3) Jenis penyakit yang berpotensi menimbulkan wabah sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) ditetapkan berdasarkan kriteria:
a. Penyakit yang disebabkan oleh agen biologi;
b. Penyakit yang dapat menular dari manusia ke manusia dan/ atau dari hewan ke
manusia;
18

c. Penyakit yang berpotensi menimbulkan sakit yang parah, kedisabilitasan, dan/


atau kematian; dan
d. Penyakit yang berpotensi meningkat dan menyebar secara cepat.
4) Jenis penyakit yang berpotensi menimbulkan Wabah sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) ditetapkan oleh Menteri.
5) Menteri dapat menetapkan perubahan jenis penyakit yang berpotensi menimbulkan
Wabah sebgaimana dimaksud pada ayat (4) dengan mempertimbangkan
perkembangan epidemiologis penyakit, sosial budaya, keamanan, ekonomi serta
ilmu pengetahuan dan teknologi.

Kewaspadaan Wabah di Wilayah:


Pasal 358
1) Dalam rangka Kewaspadaan Wabah di wilayah, Pemerintah Daerah kabupaten/
kota dan Pemerintah Daerah provinsi harus melaksanakan kegiatan:
a. Pengamatan terhadap terjadinya jenis penyakit yang berpotensi menimbulkan
Wabah dan pemetaan faktor resiko terjadinya Wabah;
b. Penanganan terhadap kasus penyakit yang berpotensi menimbulkan Wabah
dan faktor risikonya;
c. Penetapan Daerah Terjangkit KLB dan penanggulangan KLB; dan
d. Kesiapsiagaan sumber daya apabila sewaktu- waktu terjadi Wabah
2) Kegiatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan secara komprehensif
dan berkesinambungan.
Kewaspadaan Wabah di Pintu Masuk:
Pasal 359
Dalam rangka Kewaspadaan Wabah di Pintu Masuk dan perlintasan antar daerah,
Pemerintah Pusat melaksanakan kegiatan pengamatan pentakit dan/ atau faktor
risiko penyakit yang berpotensi menimbulkan Wabah, baik di Pintu Masuk
maupun Pelabuhan atau bandar udara yang melayani lalu lintas domestik.
19

Pasal 360
1) Dalam rangka pengamatan penyakit dan/ atau faktor risiko penyakit yang
berpotensi menimbulkan Wabah dilakukan pengawasan terhadap alat angkut,
orang, barang, dan/ atau lingkungan.
2) Pengawasan terhadap alat angkut sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan
terhadap kapal, pesawat udara, dan kendaraan darat yang melayani angkutan sipil,
baik pada saat kedatangan maupun keberangkatan.
3) Selain terhadap kapal, pesawat udara, dan kendaraan darat yang melayani
angkutan sipil sebagaimana dimaksud pada ayat (2), pengawasan juga dilakukan
terhadap kapal, pesawat udara, dan kendaraan darat nonsipil untuk kebutuhan
transportasi perang, pejabat negara, dan/ atau tamu negara yang pelaksanaannya
berkoordinasi dengan kementerian/ lembaga terkait.
4) Dalam hal ditemukan penyakit dan/ atau faktor risiko penyakit yang berpotensi
menimbulkan Wabah di Pintu Masuk atau Pelabuhan dan bandar udara yang
melayani lalu lintas domestik, segera dilakukan tidakan penanggulangan.
5) Tindakan penanggulangan sebagaimana dimaksud pada ayat (4) dapat berupa:
a. Skrining, rujukan, isolasi atau karantina, pemberian kekebalan, pemberian
profilaksis, disinfeksi, dan/ atau dekontaminasi terhadap orang sesuai dengan
indikasi;
b. Desinfeksi, dekontaminasi, disinfeksi, dan/atau deratisasi terhadap alat angkut
dan barang; dan/ atau
c. Tindakan penanggulangan lainnya.
6) Tindakan penanggulangan sebagaimana dimaksud pada ayat (5) dilakukan sesuai
dengan jenis agen dan cara penyebarannya.
7) Dalam hal terdapat orang yang tidak bersedia dilakukan Tindakan
penanggulangan sebagaimana dimaksud pada ayat (6), kementerian yang
menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang Kesehatan berwenang
merekomendasikan kepada maskapai penerbangan, agen pelayaran, atau agen
kendaraan darat untuk menunda keberangkatan atau mengeluarkan rekomendasi
kepada pejabat imigrasi untuk dilakukan penolakan.
20

8) Kementerian yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang Kesehatan


dalam melaksanakan kegiatan penanggulangan sebagaimana dimaksud pada ayat
(5) dapat melibatkan lintas sektor dan Pemerintah Daerah.
9) Ketentuan lebih lanjut mengenai Tindakan penanggulangan sebagaimana
dimaksud pada ayat (4) diatur dengan Peraturan Pemerintah.

Pasal 361
1) Dalam hal kementerian yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang
Kesehatan mendapatkan informasi mengenai terjadinya peningkatan penularan
penyakit dan/ atau faktor risiko penyakit yang berpotensi menimbulkan Wabah di
negara lain, kementerian yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang
Kesehatan harus meningkatkan kewaspadaan dan melakukan Langkah yang
diperlukan dalam rangka cegah tangkal penyakit di Pintu Masuk.
2) Dalam hal Wabah telah menyebar di berbagai negara, Mnteri mengeluarkan
peraturan tata laksana pengawasan dan/ atau Tindakan penanggulangan terhadap
alat angkut yang dating dari atau ke luar negeri sesuai dengan karakteristik
penyebab/ agen penyakit dan cara penularannya, termasuk kemungkinan
pembatasan mobilitas orang dan barang di Pintu Masuk.
3) Dalam rangka cegah tangkai penyakit di Pintu Masuk sebagaimana dimaksud
apada ayat (1), Menteri dapat merekomendasikan penutupan Pintu Masuk kepada
Presiden.

Pasal 362
Setiap kapal, pesawat udara, dan kendaraan darat yang:
a. Datang dari atau berangkat ke luar negeri; atau
b. Datang dari Daerah Terjangkit, berada dalam pengawasan kementerian yang
menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang Kesehatan.

Pasal 363
1) Setiap nahkoda, kapten penerbang, atau pengemudi pada saat kedatangan atau
melewati pos lintas batas negara wajib menginformasikan apabila terdapat orang
21

sakit dan/ atau meninggal yang diduga kuat diakibatkan oleh penyakit dan/ atau
faktor risiko penyakit yang berpotensi menimbulkan Wabah kepada Petugas
Karantina Kesehatan.
2) Penyampaian informasi oleh nakhoda, kapten penerbang, atau pengemudi
sebagaimana yang dimaksud pada ayat (1) dilakukan dengan menyerahkan
dokumen deklarasi Kesehatan untuk kapal, pesawat udara dan kendaraan darat
pada saat kedatangan kepada Petugas Karantina Kesehatan.
3) Nakhoda, kapten penerbang atau pengemudi sebagimana yang dimksud ayat (1)
dilarang menurunkan atau menaiikan orang dan/ atau barang sebelum mendapat
surat persetujuan dari kementerian yang menyelenggarakan urusan pemerintahan
di bidang Kesehatan.

Pasal 364
1) Terhadap alat angkut yang terdapat orang sakit dan/ atau meninggal yang diduga
kuat diakibatkan oleh penyakit dan/ atau faktor risiko penyakit yang berpotensi
menimbulkan Wabah, Petugas Karantina Kesehatan berwenang melakukan
pemeriksaan dan Tindakan penanggulangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal
360 ayat (5).
2) Ketentuan mengenai kegiatan pemeriksaan dan Tindakan penanggulangan
terhadap kendaraan darat di pos lintas batas negara diatur melalui perjanjian
antara kedua negara.

Pasal 365
Ketentuan lebih lanjut mengenai pengawasan terhadap kapal, pesawat udara, dan
kendaraan darat diatur dengan Peraturan Pemerintah.

Pasal 366
1) Setiap alat angkut, orang dan/ atau barang yang:
a. Datang dari atau berangkat ke luar negeri: atau
b. Datang dari atau berangkat ke daerah/ negara endemis atau terjangkit,
22

2) Dokumen Karantina Kesehatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)


dimaksudkan sebagai alat pengawasan dan pencegahan masuk dan/ atau faktor
risiko penyakit yang berpotensi menimbulkan Wabah.

Pasal 367
Ketentuan mengenai tata cara pengajuan, penerbitan dan pembatalan Dokumen
Karantina Kesehatan diatur dengan Peraturan Pemerintah.

Daerah Wabah
Pasal 368
1) Menteri menetapkan atau mencabut penetapan daerah tertentu sebagai Daerah
Terjangkit Wabah.
2) Untuk menetapkan daerah tertentu sebagai Daerah Terjangkit Wabah sebagimana
dimaksud pada ayat (1), Menteri mempertimbangkan aspek:
a. Etiologi penyakit;
b. Situasi kasus dan kematian;
c. Kapasitas Pelayanan Kesehatan; dan/ atau
d. Kondisi masyarakat.
3) Ketentuan lebih lanjut mengenai penetapan dan pencabulan penetapan Daerah
Terjangkit Wabah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) diatur
dengan Peraturan Pemerintah.

Pasal 369
Dalam hal Wabah berdampak mengancam dan berpotensi mengganggu
kehidupan dan penghidupan masyarakat yang menyebabkan jumlah korban,
kerugian ekonomi, cakupan luas wilayah yang terkena Wabah, dampak sosial
ekonomi yang ditimbulkan dan kerusakan lingkungan, Menteri mengusulkan
penetapan Wabah sebagai bencana nasional nonlama kepada Presiden.
23

Pasal 370
Dalam hal ini terjadi situasi Wabah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 369,
presiden menetapkan Wabah sebagai bencana nasional nonalam sesuai dengan
ketentuan peraturan perundangan- undangan.

Penanggulangan Wabah
Pasal 371
Penanggulangan Wabah dilaksanakan segera setelah penetapan Daerah
Terjangkit Wabah dengan memperhatikan asas kemanusian, sosial, budaya,
ekonomi dan lingkungan.

Pasal 372
Penanggulangan Wabah dilakukan melalui kegiatan:
a. Investigasi penyakit
b. Penguatan surveilans
c. Penanganan penderita;
d. Pengendalian faktor resiko;
e. Penanggulangan terhadap populasi berisiko;
f. Komunikasi risiko; dan/ atau
g. Tindakan penanggulangan lainnya.

Pasal 373
1) Investigasi penyakit sebagaimana dimaksud dalam Pasal 372 huruf a dilakukan
untuk mendapatkan informasi tentang etiologi penyakit, sumber penyakit dan
cara penularan atau penyebaran penyakit Wabah.
2) Informasi mengenai etiologi penyakit, sumber penyakit dan cara penularan atau
penyebaran penyakit Wabah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) digunakan
sebagai pertimbangan dalam menentukan Tindakan penanggulangan.
24

Pasal 374
1) Penguatan surveilans sebagimana dimaksud dalam Pasal 372 huruf b dilakukan
untuk penemuan kasus dan identifikasi mendalam tentang karakterisitik dari
etiologi/en penyakit dan faktor risikonya dengan berbasisi labilatotium dan/ atau
penelitian ilmiah.
2) Surveilans yang dimaksud pada ayat (1) dilakukan kegiatan pengamatan yang
sistematis dan terus- menerus tentang kejadian penyakit dan kondisi yang
mempengaruhi terjadinya penyakit dan kondisi yang mempengaruhi terjadinya
peningkatan dan penularan penyakit untuk memperoleh dan memberikan
informasi guna mengarahkan Tindakan penanggulangan penyakit secara efektif
dan efisien.

Pasal 375
1) Penanggulangan penderita sebagaimana dimaksud dalam Pasal 372 huruf c
dilakukan upaya tata laksana penderita sesuai dengan kebutuhan medis.
2) Penanganan penderita sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi:
a. Isolasi
b. Karantina; dan/ atau
c. Pengobatan dan perawatan
3) Isolasi sebagaimana yang dimaksud pada ayat (2) huruf a dilaksanakan pada
Fasilitas Pelayanan Kesehatan atau tempat lain yang memungkinkan penderita
mendapatkan akses Pelayanan Kesehatan untuk mempertahankan kehidupannya.
4) Karantina sebagimana dimaksud pada ayat (2) huruf b dapat dilaksanakan di
rumah, Rumah Sakit, tempat kerja, asal angkut, hotel, wisma, asrama dan tempat
atau wilayah lainnya dengan mempertimbangkan aspek epidemiologi.
5) Karantina sebagimana dimaksud pada ayat (2) huruf b dapat dilakukan terhadap
orang, barang, dan lata angkut.
6) Pengobatan dan perawatan sebagimana dimaksud pada ayat (2) huruf c
dilaksanakan pada Fasilitas Pelayanan Kesehatan sesuai dengan standar dan
ketentuan peraturan perundang- undangan.
25

7) Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah Bersama dengan masyarakat


bertanggung jawab memfasilitasi pelaksanaan isolasi atau karantina.
8) Dalam hal penderita yang dimaksud pada ayat (2) memenuhi kriteis untuk
dilakukan Tindakan isolasi atau karantina, wajib dilakukan isolasi atau karantina
guna mengurangi terjadinya penyebaran penyakit Wabah.

Pasal 376
1) Pengendalian faktor risiko sebagaimana dimaksud dalam Pasal 372 huruf d
dilakukan untuk memutus rantai penularan penyakit dari faktor risiko yang
dilaksanakan sesuai dengan ketentuan dan perkembangan teknologi serta
karakteristik dari faktor risiko tersebut, termasuk kemungkinan pemusnahan
faktor risiko dimaksud.
2) Pengendalian faktor risiko sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi:
a. Penyehatan, pengamatan dan pengendalian yang ditujukan untuk memperbaiki
faktor risiko lingkungan dan/ atau memusnahkan agen biologi penyebab
penyakit;
b. Pencegahan dan pengendalian infeksi; dan/ atau
c. Penanganan jenazah
C. Pendanaan Kesehatan
1. Pengertian
Biaya Kesehatan/ Pendanaan Kesehatan adalah besarnya dana yang harus
disediakan untuk menyelenggarakan dan atau memnfaatkan berbagai upaya
Kesehatan yang diperlukan oleh perorangan, keluargam kelompok dan masyarakat
(Azrul Azwar:1996). Menurut Helda (2011) Sistem pembiayaan Kesehatan
didefinisikan sebagai suatu sistem yang mengatur tentang besarnya alokasi dana
yang harus disediakan untuk menyelenggarakan dan atau memanfaatkan berbagai
upaya Kesehatan yang diperlukan oleh perorangan, keluarga, kelompok atau
masyarakat (Konsep Sistem Pembiayaan, 2022)
2. Tujuan
Tujuan pembiayaan atau Pendanaan Kesehatan adalah untuk membuat
dana yang tersedia, serta untuk mengatur hak insentif keuangan untuk penyedia,
26

untuk memastikan bahwa semua individu memiliki akses ke kesehatan masyarakat


yang efektif dan perawatan Kesehatan pribadi (WHO, 2008).
Menurut UU No.36 tahun 2009 pembiayaan Kesehatan bertujuan untuk
penyediaan pembiayaan Kesehatan yang berkesinambungan dengan jumlah yang
mencukupi, teralokasi secara adil dan dimanfaatkan secara berhasil guna dan
berdaya guna untuk menjamin terselenggaranya pembangunan Kesehatan agar
meningkatkan derajat Kesehatan masyarakat setingi- tingginya.(Wulandari et al.,
2020).
3. Keuntungan/ Kekurangan
a. Keuntungan
Pembiayaan Kesehatan yang kuat, stabil dan berkesinambungan
memegang peranan yang amat vital untuk penyelenggaraan Kesehatan dalam
rangka mencapai berbagai tujuan penting dari pembangunan Kesehatan di suatu
negara diantaranya adalah pemerataan pelayanan Kesehatan dan akses dan
pelayanan Kesehatan yang berkualitas.
Perencanaan dan pengaturan pembiayaan Kesehatan yang memadai
(health care financing) akan menolong pemerintah disuatu negara untuk dapat
memobilisasi sumber- sumber pembiayaan Kesehatan, mengalokasikannya
secara rasional serta menggunakannya secara efisien dan efektif. Kebijakan
pembiayaan Kesehatan yang mengutamakan pemerataan serta berpihak kepada
masyarakat miskin (equitable and pro poor health policy) akan mendorong
tercapainya akses yang universal. Pada aspek yang lebih luas diyakini bahwa
pembiayaan Kesehatan mempunyai kontribusi pada perkembangan sosial dan
ekonomi (Wahyuni Sari, 2022)
b. Kekurangan
1. Kekurangan dana
Dana yang disediakan untuk pelayanan Kesehatan tidak memadai, karena
pengalokasian anggaran pelayanan Kesehatan masih kurang diprioritaskan.
2. Tingkat inflasi
27

Biaya Kesehatan sangat dipengaruhi oleh tingkat inflasi. Karena pabila


terjadi kenaikan harga dimasyarakat, maka akan mempengaruhi biaya
operasional pelayanan Kesehatan masyarakat akan meningkat.
3. Kemajuan Teknologi
Karena kemajuan ilmu teknologi terhadap pelayanan Kesehatan maka
meningkatkan biaya Kesehatan untuk menggunakan berbagai peralatan
modern dan canggih.
4. Pengelolaan dana yang kurang baik
Para pengelola belum dapat mengelola dana dengan baik. Penyebaran dan
pemanfatan dana belum begitu sempurna.
5. Pemanfaatan dana yang kurang tepat
Pemanfaatan dana yang tidak tepat juga merupakan salah satu masalah
yang dihadapi dalam pembiayaan Kesehatan. Banyak negara yang biaya
pelayanan kedokterannya lebih tinggi daripada pelayanan Kesehatan
masyarakat. Padahal semua pihat telah mengetahui bahwa pelayanan
kedokteran dipandang kurang efektif daripada pelayanan Kesehatan
masyarakat.
4. Aspek Legal Etik dalam Keperawatan
Undang-undang Kesehatan Nomor 36 Tahun 2009 dan Undang-undang
Kesehatan Nomor 17 Tahun 2023 bahwa Kesehatan adalah pendanaan Kesehatan
bertujuan untuk mendanai pembangunan Kesehatan secara berkesinambungan
dengan jumlah mencukupi, teralokasi secara adil dan termanfaatkan secara adil
guna dan berdaya guna untuk meningkatkan derajat Kesehatan masyarakat
setinggi-tingginya.
Perbandingan Pendanaan Kesehatan menurut Undang- undang Nomor
36 Tahun 2009 tentang Kesehatan dengan Undang-undang Nomor 17 tahun 2023
tentang Kesehatan:
Pendanaan Kesehatan menurut Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 :
Pasal 170
1) Pembiayaan Kesehatan bertujuan untuk mendanai pembangunan Kesehatan
secara berkesinambungan dengan jumlah mencukupi, teralokasi secara adil dan
28

termanfaatkan secara adil guna dan berdaya guna untuk meningkatkan derajat
Kesehatan masyarakat setinggi-tingginya.
2) Unsur- unsur pembiayan Kesehatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terdiri
atas sumber pembiayaan, alokasi dan pemanfaatan.
3) Sumber pembiayaan Kesehatan berasal dari Pemerintah, pemerintah daerah,
masyarakat, swasta dan sumber lain.

Pasal 171

1) Besar anggaran Kesehatan Pemerintah dialokasikan minimal sebesar 5% (lima


persen) dari anggaran pendapatan dan belanja negara di luar gaji.
2) Besar anggaran Kesehatan pemerintah daerah provinsi Kabupaten/ kota
dialokasikan minimal 10% (sepuluh persen) dari anggaran pendapatan dan
belanja daerah di luar gaji.
3) Besar anggaran Kesehatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan (2)
diprioitaskan untuk kepentingan pelayanan public yang besarannya sekurang-
kurangnya 2/3 (dua pertiga) dari anggaran Kesehatan dalam anggaran
pendapatan dan belanja negara dan anggaran pendapatan dan belanja daerah.

Pasal 172

1) Alokasi pembiayaan Kesehatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 171 ayat


(3) ditujukan untuk pelayanan Kesehatan di bidang pelayanan public, terutama
bagi penduduk miskin, kelompok lanjut usia dan anak terlantar.
2) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara alokasi pembiayaan kesehtan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Pemerintah.

Pasal 173

1) Alokasi pembiayaan Kesehatan yang bersumber dari swasta sebagaimana


dimaksud dalam Pasal 170 ayat (3) dimobilisasi melalui sistem jaminan sosial
nasional dan/ atau auransi keseatan komersial.
29

2) Ketentuan mengenai cara penyelenggaraan sistem jaminan sosial nasional dan/


atau asuransi Kesehatan komersial sebgaimana dimaksud pada ayat (1)
dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang- undangan.
Pendanaan Kesehatan menurut Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2023:
Pasal 401
1) Pendanaan Kesehatan bertujuan untuk mendanai pembangunan Kesehatan secara
berkesinambungan dengan jumlah yang mencukupi, teralokasi secara adil, dan
termanfaatkan secara berhasil guna dan berdaya guna untuk menciptkan derajat
Kesehatan setinggi- tingginya.
2) Unsur pendanaan Kesehatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terdiri atas sumber
pendanaan, alokasi dan pemanfaatan.
3) Sumber pendanaan Kesehatan berasal dari Pmemerintah Pusat, Pemerintah Daerah
dan sumberr lain yang sah sesuai dengan ketentuan peraturan perundang- undangan.

Pasal 402
1) Pemerintah Pusat melakukan pemantauan pendanaan Kesehartan secara nasional dan
regional untuk memastikan tercapainya tujuan pendanaan Kesehatan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 401 ayat (1).
2) Untuk mendukung pemantauan pendanaan Kesehatan sebagaimana dimaksud pada
ayat (1), Pemerintah Pusat mengembangkan sistem informasi pendanaan Kesehatan
yang terintegrasi dengan Sistem Informasi Kesehatan Nasional.
3) Sistem Infomasi pendanaan Kesehatan sebagaimana dimaksud pada ayat (2)
merupakan seperangkat tatanan yang terintegrasi meliputi data, informasi, indicator
dan capaian kinerja pendanaan Kesehatan yang dikelola secara terpadu untuk
mengarahkan Tindakan atau keputusan dalam pembangunan Kesehatan.
4) Setiap Fasilitas Pelayanan Kesehatan, instansi Pemerintah Pusat dan Pemerintah
Daerah, badan yang menyelenggarakan program jaminan sosial di bidang Kesehatan,
badan yang menyelenggarakan program jaminan sosial dibidang ketenagakerjaan,
badan usaha milik negara, Lembaga swasta dan mitra pembangunan yang
menjalankan fungsi Kesehatan melaporkan realisaasi belanja Kesehatan dan hasil
30

capaian setiap tahun sesuai dengan ketentuan peraturan perundang- undangan melalui
sistem informasi pendanaan Kesehatan.
5) Ketentuan lebih lanjut mengenai pengembangan dan pelaksanaaan sistem informasi
pendanaan Kesehatan diatur dengan Peraturan Pemerintah.

D. Ketentuan Pidana Terkait


1. Aborsi
a. Pengertian
Aborsi adalah keluarnya janin, membran janin, dan plasenta sebelum
waktunya dari rahim (E. Dewi, 2017). Istilah aborsi berasal dari Bahasa Latin abortus
yang artinya kelahiran sebelum waktunya. Sinonim dengan itu dikenal dengan istilah
kelahiran prematur atau miskraam dalam Bahasa Belanda yang artinya keguguran.
Dalam pengertian medis, abortus (aborsi) adalah gugur kandungan atau keguguran.
Menurut World Health Organization (WHO) abortus adalah berakhirnya suatu
kehamilan sebelum janin dapat hidup di luar rahim ibunya (Martha & Sulaksana,
2019).
Keguguran adalah berakhirnya kehamilan (karena akibat tertentu) sebelum
buah kehamilan dapat bertahan hidup di luar rahim/kehamilan yang tidak diinginkan
atau diinginkan. (Hibata & Abas, 2021). Menurut Wignyosastro dalam Pranata et al.
(2020) Aborsi adalah penghentian kehamilan pada usia nama janin tidak dapat hidup
di luar kandungan, yaitu pada usia kurang dari 20 minggu dan berat kurang dari 500
gram.
b. Jenis aborsi
Menurut Martha & Sulaksana (2019) Aborsi terbagi menjadi dua jenis, yaitu
abortus spontaneous dan abortus provocatus
1) Abortus spontaneous yaitu abortus yang terjadi dengan sendirinya, bukan
perbuatan manusia. aborsi ini terjadi secara alami tanpa upaya eksternal (dari luar)
untuk mengakhiri kehamilan.
2) Abortus provocatus yaitu abortus yang disengaja, terjadi karena adanya perbuatan
manusia yang berusaha menggugurkan kandungan yang tidak diinginkannya,
meliputi:
31

a) Abortus provocatus medicinalis/therapeuticus


Aborsi yang dilakukan berdasarkan alasan/pertimbangan medis.
Contohnya adalah aborsi karena adanya indikasi kedaruratan medis yang
dideteksi sejak usia dini kehamilan, baik yang mengancam nyawa ibu dan/atau
janin, yang menderita penyakit genetik berat dan/atau cacat bawaan, maupun
yang tidak dapat diperbaiki sehingga akan menyulitkan bayi tersebut hidup di
luar kandungan.
b) Abortus provocatus criminalis
Aborsi yang dilakukan dengan sengaja agar kandungan lahir sebelum
tiba waktunya dengan melanggar berbagai ketentuan hukum yang berlaku.
Contohnya aborsi karena kehamilan akibat perkosaan, kehamilan akibat
hubungan kelamin di luar ikatan perkawinan, alasan sosio ekonomis, anak
sudah banyak, belum mampu mempunyai anak, dan lain-lain.
c. Tujuan/manfaat
Tujuan dilakukannya aborsi karena alasan satu-satunya jalan yang harus
dilakukan tenaga medis untuk menyelamatkan nyawa seorang ibu yang mengalami
permasalahan kesehatan atau komplikasi yang serius pada saat kehamilan. Dan pada
kehamilan akibat perkosaan akan memperparah kondisi mental korban yang
sebelumnya telah mengalami trauma berat akibat peristiwa perkosaan tersebut.
Trauma mental yang berat akan berdampak buruk bagi perkembangan janin yang
dikandung korban. Oleh karena itu, sebagian besar korban perkosaan mengalami
reaksi penolakan terhadap kehamilannya dan menginginkan untuk melakukan aborsi
(Peraturan Pemerintah RI, 2014).
d. Keuntungan dan kekurangan
1) Keuntungan
Aborsi dilakukan secara legal oleh dokter sesuai dengan standar profesi,
standar pelayanan, standar prosedur operasional medis, dan diselenggarakan di
fasilitas pelayanan kesehatan yang ditetapkan oleh Menteri Kesehatan. Abortus
yang sedemikian itu merupakan aborsi aman (safe abortion). Adanya kemajuan
teknologi di bidang kesehatan telah membawa perubahan dalam praktek pelayanan
aborsi dan memperkokoh teori aborsi aman. Dengan ditemukannya metode atau
32

teknik aborsi aman, maka pelayanan aborsi dapat dilakukan dengan mudah oleh
tenaga kesehatan yang berkompeten. Dengan pemanfaatan teknologi modern,
risiko aborsi mengecil, dan dari segi kesehatan lebih kecil risikonya daripada
melahirkan secara normal (Martha & Sulaksana, 2019).
Pada saat ini aborsi sudah dapat dilakukan dengan cara menggunakan
kemajuan teknologi kedokteran yang sangat sederhana dan aman, dalam arti
tingkat kegagalannya sangat kecil. Bahkan aborsi yang dilakukan oleh tenaga
profesional dan terlatih di tempat yang memenuhi standar serta pada usia awal
kehamilan kurang dari 12 minggu, tingkat keamanannya jauh lebih besar
dibandingkan bila perempuan tersebut harus melanjutkan kehamilannya sampai
persalinan. Batasan kehamilan sampai usia kurang dari 12 minggu, penghentian
kehamilan dapat dilakukan dengan metode aspirasi vakum (Vacuum aspiration).
Metode MVA ini selain murah dan mudah dilakukan, efektivitasnya juga cukup
tinggi, yaitu bisa mencapai 99% (Pranata et al., 2020).
2) Kekurangan
Menurut Hibata & Abas (2021) wanita yang melakukan aborsi berisiko
terhadap kesehatan dan keselamatan secara fisik dan gangguan psikologis. Risiko
kesehatan dan keselamatan fisik yang akan dihadapi seorang wanita pada saat
melakukan aborsi dan setelah melakukan aborsi adalah:
a) Kematian mendadak karena pendarahan hebat.
b) Kematian mendadak karena pembiusan yang gagal.
c) Kematian secara lambat akibat infeksi serius disekitar kandungan.
d) Kerusakan leher rahim (Cervical Lacerations) yang akan menyebabkan cacat
pada anak berikutnya.
Jika melakukan aborsi pada petugas yang tidak memiliki kompetensi untuk
memberi pertolongan secara aman, misalnya ke bidan atau dukun aborsi akan
berisiko mengalami komplikasi kesehatan, bahkan kematian (Pranata et al., 2020).
Menurut Martha & Sulaksana (2019) Aborsi yang dilakukan secara sembarangan
(aborsi tidak aman/aborsi ilegal) sangat membahayakan kesehatan dan
keselamatan ibu hamil bahkan sampai dapat berakibat kematian. Pendarahan yang
terus-menerus, serta infeksi yang terjadi setelah tindakan aborsi merupakan
33

penyebab utama kematian ibu hamil karena akibat dilakukan aborsi yang tidak
aman. Selain itu, akan berdampak pada kondisi psikologis dan mental seseorang
dengan adanya perasaan bersalah yang menghantui mereka. Perasaan berdosa dan
ketakutan merupakan tanda gangguan psikologis. Beberapa akibat yang dapat
timbul akibat aborsi tidak aman/ aborsi ilegal, yaitu:
a) Pendarahan sampai menimbulkan shock dan gangguan neurologis/syaraf di
kemudian hari, akibat lanjut pendarahan yang terus-menerus adalah risiko
kematian yang tinggi.
b) Infeksi alat reproduksi yang dilakukan secara tidak steril. Hal ini di kemudian
hari dapat menyebabkan risiko kemandulan.
c) Risiko terjadinya ruptur uterus (robek rahim) besar dan penipisan dinding rahim
akibat kuretasi. Akibatnya dapat juga kemandulan karena rahim yang robek
harus diangkat seluruhnya.
d) Terjadinya fistula genital traumatic, yaitu timbulnya suatu saluran yang secara
normal seharusnya tidak ada, yaitu saluran antara genital dan saluran kencing
atau saluran pencernaan.
e. Aspek etik dan legal dalam keperawatan
Mengenai tindakan aborsi ini, Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang
Kesehatan dan Undang-undang Nomor 17 Tahun 2023 tentang Kesehatan pada
prinsipnya sejalan dengan ketentuan peraturan pidana yang ada, yaitu melarang setiap
orang untuk melakukan aborsi. Peraturan Pemerintah Nomor 61 Tahun 2014 tentang
Kesehatan Reproduksi yang menjelaskan bahwa aborsi tidak diperbolehkan begitu
saja dilakukan. Peraturan Pemerintah ini mengatur aborsi yang dapat dilakukan
karena indikasi kedaruratan medis dan korban pemerkosaan yang mengakibatkan
trauma psikologi. Namun, dalam tataran bahwa negara harus melindungi warganya
dalam hal ini perempuan yang melakukan aborsi berdasarkan indikasi kedaruratan
medis dan akibat perkosaan, serta melindungi tenaga medis yang melakukannya,
Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan dan Undang-undang
Nomor 17 Tahun 2023 tentang Kesehatan membuka pengecualian untuk aborsi
berdasarkan indikasi kedaruratan medis dan kehamilan akibat perkosaan.
34

Perbandingan ketentuan pidana terkait aborsi menurut Undang-Undang


Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan dengan Undang-Undang terbaru hasil
pengesahan dari rancangan Undang-Undang (RUU) Omnibus Law Nomor 17 Tahun
2023 tentang Kesehatan :
Aborsi

2009 2023

Pasal 75 Pasal 427


1) Setiap orang dilarang melakukan aborsi. 1) Setiap perempuan yang melakukan
2) Larangan sebagaimana dimaksud pada aborsi tidak sesuai dengan kriteria
ayat (1) dapat dikecualikan berdasarkan: yang dikecualikan sebagaimana
a. Indikasi kedaruratan medis yang dimaksud dalam pasal 60 dipidana
dideteksi sejak usia dini kehamilan, dengan pidana penjara paling lama 4
baik yang mengancam nyawa ibu (empat) tahun.
dan/atau janin, yang menderita
penyakit genetik berat dan/atau cacat
Pasal 428
bawaan, maupun yang tidak dapat
1) setiap orang yang melakukan aborsi
diperbaiki sehingga menyulitkan
tidak sesuai dengan ketentuan
bayi tersebut hidup di luar
sebagaimana dimaksud dalam Pasal
kandungan.
60 terhadap seorang perempuan:
b. kehamilan akibat perkosaan yang
a. Dengan persetujuan perempuan
dapat menyebabkan trauma
tersebut dipidana dengan pidana
psikologis bagi korban perkosaan.
penjara paling lama 5 (lima) tahun.
3) Tindakan sebagaimana dimaksud pada
b. Tanpa persetujuan perempuan
ayat (2) hanya dapat dilakukan setelah
tersebut dipidana dengan pidana
melalui konseling dan/atau penasehatan
penjara paling lama 12 (dua belas)
pra tindakan dan diakhiri dengan
tahun.
konseling pasca tindakan yang
2) Jika perbuatan sebagaimana dimaksud
dilakukan oleh konselor yang kompeten
pada ayat (1) huruf a mengakibatkan
dan berwenang.
kematian perempuan tersebut dipidana
35

4) Ketentuan lebih lanjut mengenai dengan pidana penjara paling lama 8


indikasi kedaruratan medis dan (delapan) tahun.
perkosaan, sebagaimana dimaksud pada 3) Jika perbuatan sebagaimana dimaksud
ayat (2) dan ayat (3) diatur dengan pada ayat (1) huruf b mengakibatkan
Peraturan Pemerintah. kematian perempuan tersebut dipidana
dengan pidana penjara paling lama 15
(lima belas) tahun.
Pasal 76
Aborsi sebagaimana dimaksud dalam Pasal
75 hanya dapat dilakukan: Pasal 429
a. Sebelum kehamilan berumur 6 (enam) 1) Tenaga Medis atau Tenaga Kesehatan
minggu dihitung dari hari pertama haid yang melakukan tindak pidana
terakhir, kecuali dalam hal kedaruratan sebagaimana dimaksud dalam Pasal
medis. 428 pidananya dapat ditambah l/3
b. Oleh tenaga kesehatan yang memiliki (satu per tiga).
keterampilan dan kewenangan yang 2) Tenaga Medis atau Tenaga Kesehatan
memiliki sertifikat yang ditetapkan oleh yang melakukan tindak pidana
menteri. sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
c. Dengan persetujuan ibu hamil yang dapat dijatuhi pidana tambahan
bersangkutan. berupa pencabuturn hak tertentu yaitu:
d. Dengan izin suami, kecuali korban a. Hak memegang jabatan publik
perkosaan. pada umumnya atau jabatan
e. Penyedia layanan kesehatan yang tertentu.
memenuhi syarat yang ditetapkan oleh b. Hak menjalankan profesi tertentu.
Menteri. 3) Tenaga Medis atau Tenaga Kesehatan
yang melakukan aborsi karena
Pasal 77 indikasi kedaruratan medis atau
Pemerintah wajib melindungi dan terhadap korban tindak pidana
mencegah perempuan dari aborsi perkosaan atau tindak pidana
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 75 kekerasan seksual lain yang
ayat (2) dan ayat (3) yang tidak bermutu, menyebabkan kehamilan sebagaimana
36

tidak aman, dan tidak bertanggung jawab dimaksud dalam Pasal 60 tidak
serta bertentangan dengan norma agama dipidana.
dan ketentuan peraturan perundang-
undangan

Pasal 194
Setiap orang yang dengan sengaja
melakukan aborsi tidak sesuai dengan
ketentuan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 75 ayat (2) dipidana dengan pidana
penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun dan
denda paling banyak Rp1.000.000.000,00
(satu miliar rupiah).
Sumber: (Undang-Undang RI, 2009, 2023)

2. Menghalangi Program Pemberian ASI


a. Pengertian
Air susu ibu (ASI) merupakan makanan paling sempurna dengan kandungan gizi
yang sesuai untuk tubuh dan protein pengikat B12 Asam amino essensial sangat
penting untuk meningkatkan jumlah sel otak bayi yang berkaitan dengan kecerdasan
bayi. Pemberian ASI eksklusif berpengaruh pada kualitas kesehatan bayi, Semakin
sedikit jumlah bayi yang mendapat ASI eksklusif, maka kualitas kesehatan bayi dan
balita akan semakin buruk. Hal itu dikarenakan pemberian makanan pendamping ASI
yang tidak benar dapat menyebabkan gangguan pencernaan yang berakibat gangguan
pertumbuhan dan meningkatkan Angka Kematian Bayi (AKB) (Kemenkes RI, 2018) .
b. Tujuan/manfaat
1) Tujuan
Menurut Peraturan Pemerintah RI (2012) tujuan pemberian ASI Eksklusi pada
bayi adalah:
37

a) Menjamin pemenuhan hak bayi untuk mendapatkan ASI Eksklusif sejak


dilahirkan sampai dengan berusia 6 (enam) bulan dengan memperhatikan
pertumbuhan dan perkembangannya.
b) Memberikan perlindungan kepada ibu dalam memberikan ASI Eksklusif
kepada Bayinya.
c) Meningkatkan peran dan dukungan keluarga, masyarakat, pemerintah daerah
terhadap pemberian ASI Eksklusif.
Menurut Peraturan Bupati Sleman (2015) tujuan pemberian ASI Eksklusi pada
bayi untuk:
a) Menjamin bayi untuk mendapatkan haknya
b) Menjamin ibu untuk memberikan ASI kepada bayinya
c) Terselenggaranya IMD dan Pemberian ASI Eksklusif di fasilitas pelayanan
kesehatan
d) Memberikan informasi dan edukasi IMD maupun ASI Eksklusif
e) Menyediakan ruang laktasi di tempat pelayanan Kesehatan, tempattempat
umum dan instansi pemerintah pusat/provinsi/daerah maupun swasta
2) Manfaat
Manfaat ASI yaitu bayi mendapatkan kekebalan tubuh serta perlindungan
dan kehangatan melalui kontak kulit dengan ibunya, mengurangi perdarahan serta
konservasi zat besi, protein dan zat lainnya, dan ASI Ekslusif dapat menurunkan
angka kejadian alergi, terganggunya pernapasan, diare dan obesitas pada anak
(Riskani dalam Salamah & Prasetya, 2019)
Menurut Peraturan Bupati Sleman (2015) manfaat ASI pada bayi yaitu:
a) Pada saat IMD bayi menelan bakteri yang bersifat baik dari kulit ibu yang akan
membentuk koloni di kulit dan usus bayi sebagai perlindungan diri
b) Kontak kulit dengan kulit membuat ibu dan bayi lebih tenang
c) Memberikan nutrisi yang ideal bagi bayi
d) Meningkatkan daya tahan tubuh bayi
e) Meningkatkan kecerdasan bayi
c. Keuntungan dan kekurangan
1) Keuntungan
38

Menyusui menurunkan risiko infeksi akut seperti diare, pnemonia, infeksi


telinga, haemophilus influenza, meningitis dan infeksi saluran kemih. Menyusui
juga melindungi Bayi dari penyakit kronis masa depan seperti diabetes tipe 1.
Mengurangi ibu dari risiko perdarahan pasca melahirkan, kanker payudara, pra
menopause dan kanker ovarium (Peraturan Pemerintah RI, 2012)
Menyusui dapat mengurangi ibu terhadap perdarahan setelah melahirkan,
mempercepat pemulihan kesehatan ibu, menunda kehamilan, mengurangi risiko
terkena kanker payudara (Kemenkes RI, 2019).
2) Kekurangan
Bila bayi tidak diberi ASI eksklusif memiliki dampak yang tidak baik bagi
bayi. Adapun dampak memiliki risiko kematian karena diare 3,94 kali lebih besar
dibandingkan bayi yang mendapat ASI eksklusif (Kemenkes, 2010). Pemberian
susu formula pada bayi dapat meningkatkan risiko infeksi saluran kemih, saluran
nafas dan telinga. Bayi juga mengalami diare, sakit perut (kolik), alergi makanan,
asma, diabetes dan penyakit saluran pencernaan kronis (Hapsari dalam Salamah &
Prasetya, 2019).
Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan oleh Siregar, dkk (2020)
Risiko Kejadian Diare Akibat Tidak Diberikan ASI Eksklusif menunjukkan bahwa
bayi memiliki risiko kejadian diare sebesar 2,6 kali apabila tidak diberikan ASI
eksklusif (Siregar et al., 2020).
d. Aspek etik dan legal dalam keperawatan
Setiap ibu yang melahirkan diwajibkan memberikan air susu ibu secara
eksklusif terhadap bayi yang dilahirkan. Namun pemberian air susu ibu eksklusif
dapat tidak dilakukan apabila terjadi hal-hal yang diatur dalam Pasal 7 Peraturan
Pemerintah No 33 Tahun 2012 Tentang Pemberian Air Susu Ibu Eksklusif yaitu
indikasi medis, ibu tidak ada dan ibu terpisah dari bayinya, serta tidakan yang dapat
dilakukan yaitu memberikan susu formula bayi (N. K. R. K. Dewi, 2018). Peranan
tenaga kesehatan di fasilitas kesehatan ternyata sangat penting dalam mendukung
pemberian ASI Eksklusif secara optimal. Peranan tenaga kesehatan ini erat kaitannya
dengan keberadaan fasilitas kesehatan yang mempunya kebijakan mendukung
menyusui (Carolin, 2019).
39

Namun adanya Peraturan Pemerintah No 33 Tahun 2012 tentang Pemberian


Air Susu Ibu Eksklusif merupakan suatu dasar larangan untuk setiap tenaga medis,
penyelenggara fasilitas pelayanan kesehatan, dan produsen atau distributor susu
formula bayi dan atau produk bayi lainya dalam memberikan susu formula bayi dan
atau produk bayi lainnya yang dapat menghambat program pemberian Asi Susu Ibu
Eksklusif.
Mengenai sanksi pidana terhadap orang yang melakukan ke sengajaan
menghalangi pemberian air susu ibu eksklusif, dimana penerapan sanksi pidana
terhadap tenaga kesehatan dan penyelenggaraan fasilitas pelayanan kesehatan yang
menghambat program pemberian air susu ibu secara eksklusif tidak diatur dalam
Peraturan Pemerintah No 33 Tahun 2012 Tentang Pemberian Air Susu Ibu Eksklusif
karena dalam peraturan tersebut hanya mengatur mengenai sanksi administratif
terhadap tenaga kesehatan dan penyelenggaraan fasilitas pelayanan kesehatan yang
menghambat program pemberian air susu ibu secara eksklusif.
Perbandingan ketentuan pidana terkait menghalangi program pemberian ASI
menurut Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan dengan Undang-
Undang terbaru hasil pengesahan dari rancangan Undang-Undang (RUU) Omnibus
Law Nomor 17 Tahun 2023 tentang Kesehatan :
Menghalangi Program Pemberian ASI

2009 2023

Pasal 200 Pasal 430

Setiap orang yang sengaja Setiap Orang yang menghalangi


dengan
menghalangi program pemberian air susu program pemberian air susu ibu
ibu eksklusif sebagaimana dimaksud eksklusif sebagaimana dimaksud dalam
dalam Pasal 128 ayat (2) dipidana penjara Pasal 42 dipidana dengan pidana
paling lama 1 (satu) tahun dan denda penjara paling lama 1 (satu) tahun atau
paling banyak Rp100.000.000,00 (seratus pidana denda paling banyak

juta rupiah). Rp50.000.000,00 (lima puluh juta

Pasal 201 rupiah).


40

1) Dalam hal tindak pidana sebagaimana


dimaksud dalam Pasal 190 ayat (1),
Pasal 191, Pasal 192, Pasal 196, Pasal
197, Pasal 198, Pasal 199, dan Pasal
200 dilakukan oleh korporasi, selain
pidana penjara dan denda terhadap
pengurusnya, pidana yang dapat
dijatuhkan terhadap korporasi berupa
pidana denda dengan pemberatan 3
(tiga) kali dari pidana denda
sebagaimana dimaksud dalam Pasal
190 ayat (1), Pasal 191, Pasal 192,
Pasal 196, Pasal 197, Pasal 198, Pasal
199, dan Pasal 200.
2) Selain pidana denda sebagaimana
dimaksud pada ayat (1), korporasi
dapat dijatuhi pidana tambahan berupa:
a) Pencabutan izin usaha
b) Pencabutan status badan hokum
Sumber: (Undang-Undang RI, 2009, 2023)

3. Memperjualbelikan darah manusia


a. Pengertian
Pelayanan transfusi darah merupakan upaya pelayanan kesehatan yang memanfaatkan
darah manusia sebagai bahan dasar dengan tujuan kemanusiaan dan tidak untuk
tujuan komersial. Pelayanan darah sebagai salah satu upaya kesehatan dalam rangka
penyembuhan penyakit dan pemulihan kesehatan sangat membutuhkan ketersediaan
darah atau komponen darah yang cukup, aman, bermanfaat, mudah diakses dan
terjangkau oleh masyarakat (Peraturan Pemerintah RI, 2011).
41

b. Tujuan/manfaat
1) Tujuan
Transfusi darah bertujuan menggantikan darah yang hilang akibat perdarahan, luka
bakar, mengatasi shock dan mempertahankan daya tahan tubuh terhadap infeksi.
Adapun tujuan dilakukannya transfusi darah adalah sebagai berikut :
a) Untuk meningkatkan volume sirkulasi darah setelah pembedahan, trauma, atau
perdarahan.
b) Untuk meningkatkan jumlah sel darah merah dan untuk mempertahankan kadar
hemoglobin pada klien yang menderita anemia berat.
c) Untuk memberikan komponen seluler yang terpilih sebagai terapi pengganti
(misalnya faktor-faktor pembekuan plasma untuk membantu mengontrol
perdarahan pada klien penderita hemofilia).
2) Manfaat
Transfusi darah juga memberikan banyak manfaat, diantaranya yaitu dapat
meningkatkan produksi sel darah merah, dapat menjaga kesehatan jantung bagi
pendonor karena dengan mendonorkan darah kadar zat besi dalam tubuh akan
lebih stabil, dan dapat memperbaiki kondisi klinis pasien pasca transfusi darah.
c. Keuntungan dan kekurangan
1) Keuntungan
Pemberian transfusi darah diberikan dokter sesuai dengan indikasi
medis. Beberapa dampak keuntungan transfusi darah, yaitu (Artikel Kesehatan,
2020) :
a) Meningkatkan kadar Hb (Hemoglobin) pada keadaan anemia.
b) Mengganti darah yang hilang karena perdarahan misalnya perdarahan saat
melahirkan.
c) Mengganti kehilangan plasma darah misalnya pada luka bakar.
d) Mencegah dan mengatasi perdarahan karena kekurangan/kelainan komponen
darah misalnya pada penderita thalasemia.
42

2) Kekurangan
Transfusi darah jika dilakukan dengan baik sesuai prosedur jarang mengalami
komplikasi. Namun ada beberapa risiko reaksi terkait pemberian transfusi darah
yang perlu kita perhatikan yaitu (Artikel Kesehatan, 2020) :
a) Demam, menggigil
b) Alergi, Gatal, kemerahan di kulit
c) Infeksi
d) Kelebihan cairan
e) Kelebihan zat besi
f) Sesak nafas
g) Sakit kepala
h) Cemas, gelisah
i) Syok
j) Nyeri dada, nyeri punggung
k) Penyakit graft versus host
l) Reaksi transfusi lambat : antara 24 jam sampai 2 minggu setelah transfuse
Apabila terjadi salah satu dari reaksi transfusi tersebut maka transfusi akan
dihentikan dan dokter akan melakukan penanganan serta pemeriksaan lebih lanjut.
d. Aspek etik dan legal dalam keperawatan
Berdasarkan Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan dan Undang-
Undang Nomor 17 Tahun 2023 tentang Kesehatan bahwa setiap orang yang dengan
sengaja memperjualbelikan darah dengan dalih apapun akan terkena sanksi pidana.
Perbandingan ketentuan sanksi pidana terkait memperjualbelikan darah manusia
Memperjualbelikan Darah Manusia

2009 2023

Pasal 90 Pasal 431

1) Pemerintah bertanggung jawab atas Setiap orang yang memperjualbelikan


pelaksanaan pelayanan darah yang darah manusia dengan alasan apapun
aman, mudah diakses, dan sesuai sebagaimana dimaksud dalam Pasal 119
43

dengan kebutuhan masyarakat. dipidana dengan pidana penjara paling


2) Pemerintah menjamin pembiayaan lama 3 (tiga) tahun atau pidana denda
dalam penyelenggaraan pelayanan paling banyak Rp200.000.000,00 (dua
darah. ratus juta rupiah).
3) Darah dilarang diperjualbelikan
dengan dalih apapun.

Pasal 195
Setiap orang yang dengan sengaja
memperjualbelikan darah dengan dalih
apapun sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 90 Ayat (3) dipidana dengan pidana
penjara paling lama 5 (lima) tahun dan
denda paling banyak Rp500.000.000,00
(lima ratus juta rupiah).
Sumber: (Undang-Undang RI, 2009, 2023)

4. Memperjualbelikan transplantasi organ atau jaringan tubuh


a. Pengertian
Transplantasi adalah pemindahan organ dan jaringan dari pendonor ke
resipien guna penyembuhan penyakit dan pemulihan kesehatan resipien. Organ
adalah kelompok beberapa jaringan yang bekerja sama untuk melakukan fungsi
tertentu dalam tubuh. Jaringan adalah kumpulan sel yang mempunyai bentuk dan
faal/fungsi yang sama dan tertentu, yang berdasarkan kemampuan regeneratifnya
terdiri atas jaringan yang dapat pulih kembali dan jaringan yang tidak dapat pulih
kembali (Peraturan Pemerintah RI, 2021).
Menurut Jamali (2019) transplantasi ialah pemindahan organ tubuh yang
mempunyai daya hidup yang sehat untuk menggantikan organ tubuh yang tidak sehat
dan tidak berfungsi dengan baik, yang apabila diobati dengan prosedur medis biasa,
harapan penderita untuk bertahan hidupnya tidak ada lagi.
44

Transplantasi terdiri dari transplantasi legal atau resmi (tanpa melanggar


hukum) dan ada transplantasi illegal (adanya unsur melawan hukum). Transplantasi
legal adalah transplantasi di mana donor diperoleh secara sukarela tanpa dipaksa oleh
siapapun, sedangkan transplantasi illegal adalah transplantasi di mana donor menjual
organ kepada penerima atau keluarganya dengan harga tertentu atau adanya
kompensasi (Kristin et al., 2022)
b. Tujuan/manfaat
Transplantasi Organ dan Jaringan tubuh dilakukan hanya untuk tujuan
penyembuhan penyakit dan pemulihan kesehatan resipien. Serta dilarang
diperjualbelikan dengan dalih apapun (Peraturan Pemerintah RI, 2021).
c. Keuntungan dan kekurangan
1) Keuntungan
Sehingga dengan mengganti organ yang rusak dengan organ yang masih sehat,
pasien penerima donor bisa mendapatkan beberapa dampak, seperti (Artikel
penyakit, 2023) :
a) Menghindari prosedur tertentu yang memakan waktu lebih panjang seperti
dialisis atau cuci darah
b) Meningkatkan angka harapan hidup
c) Menjalani hidup dengan lebih sehat dan rasa sakit yang sebelumnya dirasakan
bisa hilang
d) Meningkatkan kualitas hidup
e) Mengurangi risiko terjadinya kecacatan
f) Mengurangi jenis operasi yang harus dilakukan
g) Mengurangi jenis obat yang harus diminum
h) Mengurangi waktu yang harus dihabiskan di rumah sakit
2) Kekurangan
Transplantasi organ juga memiliki beberapa risiko yang mungkin muncul, seperti
(Artikel penyakit, 2023) :
a) Pendarahan akibat pembedahan
b) Penolakan tubuh terhadap organ tubuh yang baru
45

c) Peningkatan risiko infeksi akibat konsumsi obat yang harus dikonsumsi setelah
transplantasi
d) Gagal organ
d. Aspek etik dan legal dalam keperawatan
Transplantasi organ tubuh manusia memang sudah diliindungi oleh beberapa
peraturan perundang-undangan yaitu Undang-undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang
Kesehatan dan Undang-undang Nomor 17 Tahun 2023 tentang Kesehatan serta dalam
Peraturan Pemerintah Nomor 53 Tahun 2021 tentang transplantasi organ dan jaringan
tubuh menyebutkan bahwa transplantasi organ hanya dilakukan dengan tujuan
kemanusiaan, dan organ/jaringan tubuh dilarang untuk diperjualbelikan.
Memperjualbelikan organ tubuh manusia dalam peraturan yang ada dapat
melanggar hukum dengan cara mengambil dan/atau memberikan dengan sengaja
organ tubuh manusia atau jaringan manusia yang dilakukan atas kehendak sendiri
ataupun adanya paksanaan untuk tujuan memperoleh keuntungan. Jual/beli organ
tubuh manusia dan/atau jaringan manusia masuk dalam konteks perdagangan orang
karena dalam perdagangan orang menjelaskan adanya tujuan eksploitasi yang
merupakan suatu tindakan yang bertujuan untuk memperoleh keuntungan yang salah
satunya adalah dengan mengambil mentransplantasi organ tubuh dan/atau jaringan
manusia.
Terkait eksploitasi sudah diatur dalam Undang-undang Nomor 21 Tahun 2007
tentang Tindak Pidana Perdagangan Orang bahwa tindak pidana perdagangan
transplantasi organ dan/atau jaringan tubuh manusia terdapat pasal yang mengatur
tentang larangan perdagangan atau pemanfaatan organ dan/atau jaringan yang
dikomersilkan dan dengan paksaan yang termasuk ke dalam tindakan eksploitasi pada
Pasal 1 ayat 7. Mengenai sanksi pidana terhadap orang yang melakukan Jual/beli
organ tubuh manusia dan/atau jaringan manusia tidak diatur dalam Undang-undang
Nomor 21 Tahun 2007 tentang Tindak Pidana Perdagangan Orang dan Peraturan
Pemerintah Nomor 53 Tahun 2021 tentang Transplantasi Organ dan Jaringan Tubuh.
Perbandingan ketentuan sanksi pidana terkait memperjualbelikan transplantasi
organ atau jaringan tubuh menurut Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang
46

Kesehatan dengan Undang-Undang terbaru hasil pengesahan dari rancangan Undang-


Undang (RUU) Omnibus Law Nomor 17 Tahun 2023 tentang Kesehatan :

Memperjualbelikan Transplantasi Organ Atau Jaringan Tubuh

2009 2023

Pasal 192 Pasal 432


Setiap orang yang dengan sengaja 1) Setiap Orang yang
memperjualbelikan organ atau jaringan mengomersialkan atas pelaksanaan
tubuh dengan dalih apapun sebagaimana transplantasi organ atau jaringan
dimaksud dalam Pasal 64 ayat (3) tubuh sebagaimana dimaksud dalam
dipidana dengan pidana penjara paling Pasal 124 ayat (3) dipidana dengan
lama 10 (sepuluh) tahun dan denda paling pidana penjara paling lama 5 (lima)
banyak Rp1.000.000.000,00 (satu miliar tahun atau pidana denda paling
rupiah). banyak Rp500.000.000,00 (lima
ratus juta rupiah).
2) Setiap Orang yang
memperjualbelikan organ atau
jaringan tubuh dengan alasan
apapun sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 124 ayat (3) dipidana
dengan pidana penjara paling lama
7 (tujuh) tahun atau pidana denda
paling banyak Rp 2.000.000.000,00
(dua miliar rupiah).
Sumber: (Undang-Undang RI, 2009, 2023)

5. Bedah plastik rekonstruksi dan estetika


a. Pengertian
Bedah plastik adalah jenis operasi yang berfokus pada pembentukan kembali
bagian tubuh yang rusak atau cacat untuk mendekati kondisi normal. Bedah plastik
dapat dibedakan menjadi 2 (dua) macam, yaitu bedah plastik rekonstruksi yang
47

bertujuan untuk memperbaiki fungsi tubuh yang memiliki kelainan atau bagian tubuh
tertentu serta penampilan tubuh yang diakibatkan oleh faktor cacat atau pengangkatan
tumor. Sedangkan bedah plastik estetik bertujuan untuk memperbaiki bagian tubuh
yang kurang harmonis atau sempurna sesuai dengan keinginan pasien yang merasa
kurang puas dengan bentuk fisiknya, seperti salah satu organ atau jaringan tubuh yang
tidak optimal. Bedah plastik estetik ini sangat kental dengan unsur memperbaiki atau
memberikan kecantikan pada diri pasien (Meonadjat dalam Azwar et al., 2023)
b. Tujuan/manfaat
1) Tujuan
Tujuan bedah plastik dan rekonstruksi untuk penyembuhan penyakit,
pemulihan kesehatan, hingga untuk kecantikan seseorang (Azwar et al., 2023).
Tujuan dilakukannya bedah plastik dapat dirumuskan sebagai berikut (Pitarini,
2011):
a) Memperbaiki fungsi bagian tubuh sehingga dapat digunakan untuk bekerja
b) Memperoleh efek kosmetis yang sebaik-baiknya dalam batas kemampuan
sebagai manusia biasa
c) Memberikan pengaruh baik terhadap perkembangan dan pembentukan jiwa
pasien sehingga ia dapat terjun ke dalam masyarakat sebagai seorang yang
mampu dan memiliki kehidupan ekonomi pribadi
d) Agar pasien dalam kehidupannya tidak tergantung pada orang lain
2) Manfaat
Manfaat dari operasi plastik yaitu:
a) Dapat menormalkan kembali organ tubuh yang telah rusak (cacat)
b) Dapat memperbaiki dan menyempurnakan bentuk organ tubuh agar kelihatan
lebih bagus
c) Dapat mengurangi beban mental dan terlepas dari bahaya bagi penderita yang
cacat
c. Keuntungan dan kekurangan
1) Keuntungan
a) Memperbaiki tulang atau sel-sel yang kurang sempurna agar dapat berfungsi
seperti sediakala, misalnya bibir sumbing.
48

b) Kelihatan lebih menarik, misalnya operasi plastik pada tulang-tulang muka.


c) Menggantikan anggota organ tubuh yang rusak akibat dari suatu penyakit,
misalnya Seperti orang yang pipinya dioperasi karena membusuk, maka untuk
memulihkan bentuk tersebut diambilkan daging dari bagian tubuhnya yang lain.
2) Kekurangan
a) Dapat mengakibatkan pendarahan.
b) Dapat menimbulkan pembengkakan dan rasa nyeri pada bagian yang telah
dioperasi.
c) Orang yang telah melakukan operasi plastik tidak akan pernah merasa puas,
karena selalu ingin untuk melakukan bedah plastik kembali.
d) Operasi plastik tidak bisa bertahan lama, karena setiap orang pasti akan
mengalami proses penuaan.
e) Pada bekas jahitan operasi plastik akan tampak zat keloin (warna hitam).
d. Aspek etik dan legal dalam keperawatan
Bedah plastik dan rekonstruksi yang dilakukan untuk mengubah identitas
seseorang dapat dianggap sebagai tindakan kriminal jika dilakukan tanpa persetujuan
atau bertujuan untuk menghindari hukuman karena dianggap dengan sengaja
menyembunyikan atau mengubah asal-usulnya, menghilangkan jejak masa lalu, atau
menciptakan identitas palsu. Hal ini bisa mengarah pada penipuan, kejahatan, atau
pelanggaran hukum lainnya. Jika melakukan pelanggaran maka akan terkena sanksi
pidana (Azwar et al., 2023).
Perbandingan ketentuan sanksi pidana terkait bedah plastik rekonstruksi dan
estetika menurut Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan dengan
Undang-Undang terbaru hasil pengesahan dari rancangan Undang-Undang (RUU)
Omnibus Law Nomor 17 Tahun 2023 tentang Kesehatan :

Bedah Plastik Rekonstruksi dan Estetika

2009 2023

Pasal 193 Pasal 433


Setiap orang yang dengan sengaja
Setiap Orang yang melakukan bedah
49

melakukan bedah plastik dan rekonstruksi plastik rekonstruksi dan estetika yang
untuk tujuan mengubah identitas bertentangan dengan norma yang
seseorang sebagaimana dimaksud dalam berlaku dalam masyarakat dan
Pasal 69 diancam dengan pidana penjara ditujukan untuk mengubah identitas
paling lama 10 (sepuluh) tahun dan denda seseorang sebagaimana dimaksud
paling banyak Rp1.000.000.000,00 (satu dalam Pasal 137 ayat (2) dipidana
miliar rupiah dengan pidana penjara paling lama 10
(sepuluh) tahun atau pidana denda
paling banyak Rp2.000.000.000,00 (dua
miliar rupiah).

Sumber: (Undang-Undang RI, 2009, 2023)

6. Pemasungan, penelantaran, kekerasan penderita gangguan jiwa


a. Pengertian
Orang Dengan Gangguan Jiwa yang selanjutnya disingkat ODGJ adalah orang
yang mengalami gangguan dalam pikiran, perilaku, dan perasaan yang termanifestasi
dalam bentuk sekumpulan gejala dan/atau perubahan perilaku yang bermakna, serta
dapat menimbulkan penderitaan dan hambatan dalam menjalankan fungsi orang
sebagai manusia (Undang- Undang RI, 2014).
Pemasungan adalah segala bentuk pembatasan gerak ODGJ oleh keluarga atau
masyarakat yang mengakibatkan hilangnya kebebasan ODGJ, termasuk hilangnya
hak atas pelayanan kesehatan untuk membantu pemulihan (Permenkes, 2017).
b. Tujuan/manfaat
Pasung merupakan tindakan yang bertujuan untuk membatasi gerak dan
aktivitas dengan penderita gangguan jiwa, hal ini diharapkan oleh keluarga agar
penderita gangguan jiwa tidak membahayakan dirinya sendiri dan orang lain.
c. Kekurangan
Pemasungan pasien gangguan jiwa tersebut dapat berdampak negatif bagi
tubuh dan psikologi. Dampak fisiknya bisa terjadinya luka-luka ataupun cacat pada
50

anggota tubuh yang dipasung. Dampak psikologisnya adalah pasien mengalami


trauma, membenci keluarganya, merasa ditinggalkan, rendah diri, dan putus asa.
Seiring waktu, gejala depresi dan pikiran untuk bunuh diri akan muncul. Dampak dari
perilaku pemasungan ini adalah korban akan mengalami keterbatasan ruang dan
aktivitas layaknya manusia biasa, otomatis hak-hak yang disebutkan diatas serta hak-
hak lainnya tidak akan diperoleh akibat pemasungan. Perilaku pemasungan juga akan
mengalami keterbatasan ruang untuk beraktivitas, dan akan sulit memperoleh
informasi, pendidikan, atau kesehatan.
d. Aspek etik dan legal dalam keperawatan
Dalam Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2014 tentang Kesehatan Jiwa dan
Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2023 tentang Kesehatan yang menegaskan
larangan untuk tidak dilakukan pemasungan, penelantaran, kekerasan terhadap orang
dengan gangguan jiwa. Orang dengan gangguan jiwa memiliki hak yang sama dengan
orang yang tidak mengalami gangguan jiwa dan berhak mendapatkan pengobatan dan
fasilitas, hak untuk bebas dari pemasungan, penelantaran dan tindakan kekerasan.
Hak tersebut dilindungi oleh negara. Pemasungan, penelantaran, kekerasan pada
penderita gangguan jiwa bukan solusi yang tepat dilakukan karena pelaku dapat
dikenai sanksi pidana.
Mengenai ketentuan sanksi pidana bagi pelaku pemasungan penelantaran dan
kekerasan terhadap penderita gangguan jiwa belum ada penjelasan rinci yang
diberikan pada Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2014 tentang Kesehatan Jiwa.
Namun pada Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2023 tentang Kesehatan menjelaskan
terkait ketentuan sanksi pidana. Perbandingan ketentuan pidana terkait pemasungan,
penelantaran, kekerasan terhadap penderita gangguan jiwa.

Pemasungan, Penelantaran, Kekerasan Penderita Gangguan Jiwa

2014 2023

Pasal 86 Pasal 434


Setiap orang yang dengan sengaja Setiap Orang yang melakukan
melakukan pemasungan, penelantaran, pemasungan, penelantaran, kekerasan,
51

kekerasan dan/atau menyuruh orang lain dan/atau menyuruh orang lain untuk
untuk melakukan pemasungan, melakukan pemasungan, penelantaran,
penelantaran, dan/atau kekerasan terhadap dan/atau kekerasan terhadap penderita
ODMK dan ODGJ atau tindakan lainnya gangguan jiwa atau tindakan lainnya
yang melanggar hak asasi ODMK dan yang melanggar hak asasi penderita
ODGJ, dipidana sesuai dengan ketentuan gangguan jiwa, sebagaimana dimaksud
peraturan perundang-undangan. dalam Pasal 76 ayat (2) dipidana
dengan pidana penjara paling lama 2
(dua) tahun 6 (enam) bulan atau pidana
denda paling banyak Rp10.000.000,00
(sepuluh juta rupiah).

Sumber: (Undang- Undang RI, 2014; Undang-Undang RI, 2023)


52

E. Tenaga Kesehatan dan Praktik Kesehatan


1. Pengertian
Tenaga kesehatan adalah setiap orang yang mengabdikan diri dalam bidang kesehatan
serta memiliki pengetahuan dan keterampilan melalui pendidikan di bidang kesehatan
yang untuk jenis tertentu memerlukan kewenangan untuk melakukan upaya kesehatan.
Salah satu tenaga kesehatan adalah perawat. Perawat sebagai tenaga kesehatan selama 24
jam berada di samping klien dimana dalam pelaksanaan pelayanan keperawatan harus
memberikan asuhan keperawatan dengan baik dan senantiasa menjunjung kode etik
keperawatan serta menerapkan prinsip-prinsip etik keperawatan selama memberikan
pelayanan (UU RI Nomor 36 Tahun 2009). Menurut Undang-Undang Republik Indonesia
Tahun 2014 tentang Keperawatan, perawat didefinisikan sebagai seseorang yang telah
lulus pendidikan tinggi keperawatan, baik di dalam mauoun di luar negeri yang diikuti
oleh pemerintah sesuai dengan ketentuan perundang-undangan yang dimana perawat harus
memiliki kualifikasi pendidikan minimum Diploma Tiga Keperawatan.
Profesi keperawatan mempunyai otonomi dalam kewenangan dan tanggung jawab
dalam tindakan serta adanya kode etik dalam bekerjanya, kemudian berorientasi pada
pelayanan dengan melalui pemberian asuhan keperawatan kepada individu, kelompok atau
masyarakat. Praktik keperawatan merupakan pelayanan yang diselenggarakan oleh perawat
dalam bentuk asuhan keperawatan. Perawat dalam melakukan pelayanan keperawatan
berpedoman pada asuhan keperawatan sesuai dengan standar profesi keperawatan. Standar
profesi keperawatan mengatur batasan kemampuan minimal berupa pengetahuan,
keterampilan dan perilaku profesional yang harus dikuasai dan dimiliki oleh perawat untuk
melakukan praktik keperawatan pada masyarakat secara mandiri yang dibuat oleh
organisasi profesi (Alfianto, dkk., 2023).
Etika keperawatan adalah standar acuan problem solving (mengatasi masalah) yang
dilakukan perawat terhadap pasien yang tidak mengindahkan dedikasi moral dalam
pelaksanaan tugasnya (Amelia, 2013). Etika keperawatan juga merupakan istilah yang
digunakan dalam merefleksikan bagaimana seharusnya perawat berperilaku terhadap orang
lain dalam hal ini adalah pasien. Etika keperawatan menuntun perawat dalam melaksanakan
praktik keperawatan (Nasrullah, 2019).
53

Keperawatan sebagai salah satu profesi tenaga kesehatan yang memberikan pelayanan
kesehatan langsung baik kepada individu, keluarga dan masyarakat. Sebagai salah satu
tenaga profesional, keperawatan menjalankan atau melaksanakan kegiatan praktek
keperawatan dengan menggunakan ilmu pengetahuan dan teori keperawatan yang dapat
dipertanggung jawabkan. Dalam melakukan praktek keperawatan, perawat secara langsung
berhubungan dan berinteraksi dengan penerima jasa pelayanan, dan pada saat berinteraksi
inilah sering timbul beberapa hal yang tidak diinginkan baik disengaja maupun tidak
disengaja yang dapat membuat kerugian pada pasien. Kejadian tersebut merupakan
kejadian malpraktik dalam pelayanan kesehatan yang diberikan oleh tenaga kesehatan
(Alfianto, dkk., 2023).
Malpraktik merupakan suatu tindakan atau praktik yang salah satunya menyimpang
dari ketentuan prosedur yang baku. Dalam bidang kesehatan, malpraktik adalah
penyimpangan penanganan kasus atau masalah kesehatan (termasuk penyakit) oleh petugas
kesehatan yang kemudian menimbulkan dampak buruk bagi penderita atau pasien.
Sedangkan menurut istilah malpraktik berasal dari bahasa Inggris yaitu malpractice. Arti
dari kata mal adalah salah atau tidak semestinya, sedangkan practice adalah proses
penanganan kasus (pasien) dari seseorang profesional yang sesuai dengan prosedur kerja
yang telah ditentukan oleh kelompok profesinya (Notoadmodjo, 2010).
Selanjutnya Pendidikan dianggap sebagai langkah awal manusia untuk memperoleh
pekerjaan atau jabatan mendorong manusia untuk mengambil jalan pintas dalam menempuh
proses pendidikan. Proses pendidikan tidak lagi dipandang menjadi proses pengembangan
diri namun justru dipandang sebagai proses mendapatkan gelar akademik. Hal ini
mendorong penyelewengan-penyelewengan dalam memperoleh gelar akademik tersebut.
Penyelewengan terhadap cara memeroleh gelar akademik tersebut seringkali merupakan
perbuatan yang melawan hukum. Maraknya kasus tindak pidana pemalsuan gelar akademik
yang terjadi di masyarakat meskipun telah ada undang-undang yang mengatur mengenai
sanksi pidana terhadap kejahatan tersebut menimbulkan suatu pertanyaan besar tentang
kebijakan pengaturan terhadap penanggulangan tindak pidana pemalsuan gelar akademik
dalam hukum positif Indonesia. Pengenaan sanksi yang cukup berat tidak serta merta
menciutkan nyali dari seseorang untuk melakukan segala cara demi sebuah pengakuan
54

publik, bahwa seseorang memiliki latar belakang pendidikan yang tinggi, yang ditunjukkan
dengan sebuah gelar.
2. Tujuan/Mamfaat
a. Tujuan
Tujuan dari penulisan ini mahasiswa memahami dan mampu mengaplikasikan dalam
kehidupan sehari hari terkait UUD kesehatan no 17 tahun 2023 Pasal 439, UUD
kesehatan no 17 tahun 2023 Pasal 440 dan UUD kesehatan no 17 tahun 2023 Pasal
411.
b. Mamfaat
Dengan adanya penulisan ini diharapkan dapat menjadi dasar petugas kesehatan
dalam mengembangkan profesi keperawatan di fasilitas kesehatan masing masing.
Dan sebagai bahan referensi dalam melaksanakan tugas dalam pelayanan kesehatan.
3. Keuntungan dan Kekurangan
UUD kesehatan no 17 tahun 2023 Pasal 439, Setiap orang yang bukan tenaga medis
atau tenaga kesehatan melakukan praktik sebagai tenaga medis atau tenaga kesehatan yang
telah memiliki SIP di pidana dengan pidana penjara paling lama 5 tahun atau dengan
denda paling banyak Rp 500.000.000.
Hal yang serupa juga sudah dijelaskan dalam UUD N0 36 tahun 2014 tentang tenaga
kesehatan pada bab XIV (ketentuan pidana) pasal 83 bahwa “Setiap orang yang bukan
Tenaga Kesehatan melakukan praktik seolah-olah sebagai Tenaga Kesehatan yang telah
memiliki izin sebagaimana dimaksud dalam Pasal 64 dipidana dengan pidana penjara
paling lama 5 (lima) tahun”.
Selanjutnya UUD N0 36 tahun 2014 bab XIV tentang ketentuan pidana pasal 86
juga menjelaskan Setiap Tenaga Kesehatan yang menjalankan praktik tanpa memiliki izin
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 46 ayat (1) dipidana dengan pidana denda paling
banyak Rp100.000.000,00 (seratus juta rupiah). Kemudian Setiap Tenaga Kesehatan warga
negara asing yang dengan sengaja memberikan pelayanan kesehatan tanpa memiliki SIP
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 55 ayat (1) dipidana dengan pidana denda paling
banyak Rp100.000.000,00 (seratus juta rupiah).
55

UUD kesehatan no 17 tahun 2023 Pasal 440


1. Setiap tenaga medis atau tenaga kesehatan yang melakukan kealpaan yang
mengakibatkan pasien luka berat dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 tahun
atau pidana denda dengan paling banyak Rp. 250.000.000.
2. Jika kealpaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mengakibatkan kematian, setiap
tenaga medis atau tenaga kesehatan di pidana dengan pidana penjara paling lama 5
tahun atau pidana denda paling banyak Rp. 500.000.000.
Hal yang serupa juga sudah dijelaskan dalam UUD N0 36 tahun 2014 tentang
tenaga kesehatan pada bab XIV (ketentuan pidana) pasal 84 bahwa.
1. Setiap Tenaga Kesehatan yang melakukan kelalaian berat yang mengakibatkan
Penerima Pelayanan Kesehatan luka berat dipidana dengan pidana penjara paling
lama 3 (tiga) tahun.
2. Jika kelalaian berat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mengakibatkan kematian,
setiap Tenaga Kesehatan dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun.
Kemudian UUD N0 36 tahun 2014 dalam bab XI tentang penyelesaian perselisihan
pasal 78 juga menjelaskan Dalam hal Tenaga Kesehatan diduga melakukan kelalaian
dalam menjalankan profesinya yang menyebabkan kerugian kepada penerima pelayanan
kesehatan, perselisihan yang timbul akibat kelalaian tersebut harus diselesaikan terlebih
dahulu melalui penyelesaian sengketa di luar pengadilan sesuai dengan ketentuan
Peraturan Perundang-undangan.
UUD kesehatan no 17 tahun 2023 Pasal 411, menjelaskan bahwa Setiap orang yang
menggunakan identitas berupa gelar atau bentuk lain yang menimbulkan kesan bagi
masyarakat yang bersangkutan adalah tenaga medis atau tenaga kesehatan yang telah
memiliki STR dan/SIP sebagaimana dimaksud dalam pasal 312 huruf a di pidana dengan
pidana penjara paling lama 5 tahun atau pidana denda paling banyak 500.000.0000.
Hal yang serupa juga dijelaskan dalam UUD NO 29 Tahun 2004 BAB X tentang
ketentuan pidana Pasal 77. Bunyinya Setiap orang yang dengan sengaja menggunakan
identitas berupa gelar atau bentuk lain yang menimbulkan kesan bagi masyarakat seolah
olah yang bersangkutan adalah dokter atau dokter gigi yang telah memiliki surat tanda
registrasi dokter atau surat tanda registrasi dokter gigi dan/atau surat izin praktik,
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 73 ayat (1) dipidana dengan pidana penjara paling
56

lama 5 (lima) tahun atau denda paling banyak Rp 150.000.000,00 (seratus lima puluh juta
rupiah).
Kemudian Setiap orang yang menggunakan alat, metode atau cara lain dalam
memberikan pelayanan kepada masyarakat yang menimbulkan kesan yang bersangkutan
merupakan tenaga medis atau tenaga kesehatan yang telah memiliki STR dan/atau SIP
sebagaimana dimaksud dalam pasal 312 huruf b dipidana dengan pidana penjara paling
lama 5 tahun atau pidana denda paling banyak 500.000.000.
Sedangkan UUD NO 29 Tahun 2004 BAB X tentang ketentuan pidana Pasal 78
juga menjelaskan Setiap orang yang dengan sengaja menggunakan alat, metode atau cara
lain dalam memberikan pelayanan kepada masyarakat yang menimbulkan kesan seolah-
olah yang bersangkutan adalah dokter atau dokter gigi yang telah memiliki surat tanda
registrasi dokter atau surat tanda registrasi dokter gigi atau surat izin praktik sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 73 ayat (2) dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima)
tahun atau denda paling banyak Rp 150.000.000,00 (seratus lima puluh juta rupiah).
UUD NO 29 Tahun 2004 BAB IX, tentang pembinaan dan pengawasan Pasal 73
menjelaskan bahwa:
1. Setiap orang dilarang menggunakan identitas berupa gelar atau bentuk lain yang
menimbulkan kesan bagi masyarakat seolah-olah yang bersangkutan adalah dokter
atau dokter gigi yang telah memiliki surat tanda registrasi dan/atau surat izin praktik.
2. Setiap orang dilarang menggunakan alat, metode atau cara lain dalam memberikan
pelayanan kepada masyarakat yang menimbulkan kesan seolah-olah yang
bersangkutan adalah dokter atau dokter gigi yang telah memiliki surat tanda
registrasi dan/atau surat izin praktik.
Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) tidak berlaku bagi
tenaga kesehatan yang diberi kewenangan oleh peraturan perundang-undangan.
4. Aspek Etik dan Legal dalam Keperawatan
Aspek legal dalam keperawatan mencakup aturan-aturan yang mengatur proses
keperawatan berdasarkan wewenang, tanggung jawab, dan standar profesi di berbagai
tingkat pelayanan, termasuk juga hak dan kewajiban yang diatur dalam undang-undang
keperawatan (Hendrik, 2011). Aspek legal keperawatan meliputi kewenangan berkaitan
dengan izin melaksanakan praktik profesi. Kewenangan memiliki dua aspek, yaitu
57

kewenangan material dan kewenangan formal. Kewenangan material diperoleh sejak


seseorang memiliki kompetensi dan kemudian teregistrasi (registered nurse) yang disebut
Surat Ijin Perawat (SIP). Sedangkan pada kewenangan formalnya adalah izin yang
memberikan kewenangan kepada penerimanya untuk melakukan praktik profesi perawat,
yaitu Surat Ijin Kerja (SIK) bila bekerja didalam suatu institusi dan Surat Ijin Praktik
Perawat (SIPP) bila bekerja secara perorangan atau berkelompok. Aspek legal
keperawatan meliputi:
1. Memberikan kerangka untuk menentukan tindakan keperawatan mana yang sesuai
dengan hukum
2. Membedakan tanggungjawab perawat dengan profesi lain
3. Membantu menetukan batas-batas kewenangan tindakan keperawatan mandiri
4. Membantu mempertahankan standar praktik keperawatan dengan meletakkan posisi
perawat memiliki akuntabilitas dibawah hukum
5. Dalam keadaam darurat yang mengancam jiwa seseorang, perawat berwenang
melakukan pelayanan kesehatan di luar kewenangan yang ditunjukkan untuk
penyelamatan jiwa
6. Perawat yang menjalankan praktik perorangan harus mencantumkan SIPP di ruang
praktiknya
7. Perawat yang memiliki SIPP dapat melakukan asuhan dalam bentuk kunjungan rumah
8. Persyaratan praktik perorangan sekurang-kurangnya memenuhi :
a. Tempat praktik memnuhi syarat
b. Memiliki perlengkapan peralatan dan administrasi termasuk formulir/buku
kunjungan, catatan tindakan dan formulir rujukan
BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan

Informasi Kesehatan merupakan data Kesehatan yang telah diolah atau diproses
menjadi bentuk yang mengandung nilai dan makna yang berguna untuk meningkatkan
pengetahuan dalam mendukung pembangunan Kesehatan. Sementara sistem informasi
Kesehatan adalah seperangkat tatanan yang meliputi data, informasi, indicator dan
prosedur, perangkat teknologi dan sumber daya manusia yang saling berkaitan dan dikelola
secara terpadu untuk mengarhkan Tindakan atau keputusan yang berguna dalam
mendukung pembangunan Kesehatan.
Dasar Hukum pelaksanaan Sistem Informasi Kesehatan di Indonesia adalah :
1) UUD 1945 Pasal 28: setiap orang berhak untuk verkomunikasi dan memperoleh
informasi untuk mengembangkan pribadi dan lingkungan sosialnya, serta berhak
untuk mencari, memperoleh, memiliki, menyimpan, mengolah dan menyampaikan
informasi dengan mengguanakan segala jenis saluran yang tersedia.
2) Undang- undang Republik Indonesia Nomor 36 tahun 2009 tentang Kesehatan
3) Undang- undang Republik Indonesia Nomor 17 Tahun 2023 tentang Kesehatan.
4) Peraturan Pemerintah RI Nomor 46 Tahun 2014 Sistem Informasi Kesehatan.
5) Kepmenkes RI Nomor 511 tahun 2003 tentang Kebikajan Strategi Pengembangan
Sistem Informasi Kesehatan Nasional.
6) Keputusan Menteri Kesehatan Nomor 43 Tahun 2019 tentang Pusat Kesehatan
Masyarakat.
Melalui Sistem Informasi Kesehatan, maka masyarakat dengan cepat dapat
mengetahui terjadinya masalah Kesehatan di Indonesia tingkat Nasional maupun
Internasional seperti Kejadian Luar Biasa (KLB) dan wabah, dan dapat sedini mungkin
melakukan upaya- upaya pencegahan penyebaran penyakit. Karena setiap orang berhak
hidup sehat secara fisik, jiwa dan sosial sengan cara mendapatkan informasi dan
edukasi tentang Kesehatan yang seimbang dan bertanggung jawab.
Aspek etik keperawatan menjadi salah satu pondasi yang sangat penting bagi
perawat dalam membangun hubungan baik dengan semua pihak selama melakukan
58
59

pelayanan keperawatan. Masalah etik keperawatan sebagian besar terjadi pada


pelaksanaan pelayanan keperawatan. Selain itu dalam setiap pelayanan kesehatan
diwajibkan bagi setiap petugas kesehatan mampu mengaplikasikan dalam kehidupan
sehari hari terkait UUD kesehatan no 17 tahun 2023 Pasal 439, UUD kesehatan no 17
tahun 2023 Pasal 440 dan UUD kesehatan no 17 tahun 2023 Pasal 411. Yang mengatur
legalitas petugas kesehatan dalam memberi pelayanan serta tidak melakukan kesalahan
atau tindakan yang bukan dari tugasnya.
Secara keseluruhan Undang-Undang kesehatan serta Undang-Undang
kesehatan jiwa ini mencerminkan komitmen pemerintah Indonesia untuk melindungi
kesehatan dan kesejahteraan masyarakat, serta memastikan standar etika medis dan
keadilan sosial terpenuhi dalam berbagai aspek kesehatan. Upaya ini mencakup
melindungi hak-hak reproduksi, mendukung pemberian ASI, melarang perdagangan
manusia dan organ tubuh, serta menjaga keamanan dan kesehatan jiwa seluruh warga
negara. Dengan adanya undang-undang ini, diharapkan tercipta masyarakat yang lebih
sehat dan terlindungi.
B. Saran

Dengan adanya penulisan ini diharapkan pembaca dapat memahami dengan baik

terkait perubahan UUD kesehatan serta batasan batasan yang harus diperhatikan oleh

petugas kesehatan dalam memberikan pelayanan. Serta mengaplikasikan ditepat kerja

masing masing.
DAFTAR PUSTAKA

Alfianto, dkk. (2023). Etika keperawatan & hukum kesehatan: aspek legal perawat indonesia.

Jawa Timur: Tahta Media Group

Amelia, N. (2013). Prinsip etika keperawatan. Yogyakarta: D-Medika

Artikel Kesehatan. (2020). Transfusi Darah: Manfaat dan Resikonya untuk Pasien. RSUD Dr.

Mohammad Soewandhie. https://rs-soewandhi.surabaya.go.id/transfusi-darah-

manfaat-dan-resikonya-untuk-pasien/#:~:text=Transfusi darah jika dilakukan

dengan,Alergi%2C Gatal%2C kemerahan di kulit

Artikel penyakit. (2023). Mengenal Manfaat dan Risiko Transplantasi Organ serta Tahapan

Prosesnya. SehatQ. https://www.sehatq.com/artikel/fakta-seputar-transplantasi-

organ-termasuk-manfaat-dan-risikonya

Azwar, T. K. D., Prananda, A. T., Nasution, E. S., Siagian, P. R., M. Wau, Hi. S., & Barus, U.

M. (2023). Pertanggungjawaban Hukum Bedah Plastik Estetik yang Merubah Fitur

Wajah Legal. Jurnal Mercatoria, 40–50.

Carolin, B. T. (2019). Faktor-Faktor Yang Berhubungan Dengan Peranan Tenaga Kesehatan

Terhadap Dukungan Pemberian Asi Eksklusif Di Rumah Sakit M Jakarta Selatan.

Jakhkj, 5(1), 9–21.

Dewi, E. (2017). Aborsi: Masalah Keputusan Rohani. 16, 37–58.

Dewi, N. K. R. K. (2018). Tinjauan Yuridis Terhadap Tindakan Menghalangi Pemberian ASI

Eksklusif. Journal Undiknas, 1(1), 22–31.

Hendrik. (2011). Etika & hukum kesehatan. Jakarta: EGC

Herlina, & Wahyuni Sari, R. (2022). Pembiayaan Sektor Kesehatan (1st ed.). PT.Nasya

Expanding Manajement.
Hibata, N., & Abas, G. H. (2021). Implementasi Penegakan Hukum Tindak Pidana Aborsi

Dikalangan Remaja Kota Ternate. JIIP - Jurnal Ilmiah Ilmu Pendidikan, 4(8), 786–

794. https://doi.org/10.54371/jiip.v4i8.345

Hidayat, F. (2019). Konsep Dasar Sistem Informasi Kesehatan (1st ed.). DEEPUBLISH,

Yogyakarta.

Hidayat, F. (2020). Konsep Pengembangan SIstem Informasi Kesehatan (1st ed.).

DEEPUBLISH, Yogyakarta.

Jamali, L. L. (2019). Transplantasi Organ Tubuh Manusia Perspektif Al-Qur’an. Diya Al-

Afkar: Jurnal Studi Al-Quran Dan Al-Hadis, 7(01), 113.

https://doi.org/10.24235/diyaafkar.v7i01.4531

Konsep Sistem Pembiayaan. (2022). Politeknik Kesehatan Kemenkes Yogyakarta, Indonesia.

Kristin, N., Ristanti, E., Mulyono, G. P., & Sabrina, N. (2022). Tinjauan Yuridis Tindak

Pidana Perdagangan Organ Tubuh Manusia untuk Transplantasi. Bhirawa Law

Journal, 3(1), 58–64. https://doi.org/10.26905/blj.v3i1.7984

Martha, A. E., & Sulaksana, S. (2019). Buku Legalisasi Aborsi. UII Press.

Nasrullah, D. (2019). Modul kuliah etika keperawatan untuk D3 keperawatan. Surabaya:

Universitas Muhammadiyah Surabaya

Notoatmodjo, S. (2010). Etika dan hukum kesehatan. Jakarta: Renika Cipta

Peraturan Bupati Sleman. (2015). Peraturan Bupati Sleman Tentang Inisiasi Menyusu Dini

dan Pemberian Air Susu Ibu Eksklusif (Perbup Sleman Nomor 38 Tahun 2015.

Peraturan Pemerintah RI. (2011). Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Tentang

Pelayanan Darah (PP Nomor 7 Tahun 2011).


Peraturan Pemerintah RI. (2012). Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Tentang

Pemberian Air Susu Ibu Eksklusif (PP Nomor 3 Tahun 2012).

Peraturan Pemerintah RI. (2014). Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Tentang

Kesehatan Reproduksi (PP Nomor 61 Tahun 2014).

Peraturan Pemerintah RI. (2021). Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Tentang

Transplantasi Organ dan Jaringan Tubuh (PP Nomor 53 Tahun 2021).

Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 82 Tahun 2014. (2014). Menteri

Kesehatan Republik Indonesia.

Permenkes. (2017). Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Tentang

Penanggulangan Pemasungan Pada Orang Dengan Gangguan Jiwa (Permenkes

Nomor 54 Tahun 2017).

Pranata, B. A. A., Sujana, I. N., & Sudibya, D. G. (2020). Sanksi Pidana Terhadap Tindak

Pidana Aborsi (Studi Kasus Putusan Nomor : 87/Pid.G/2007/Pn.Gir). Jurnal

Analogi Hukum, 2(2), 148–154. https://doi.org/10.22225/ah.2.2.1891.148-154

Rachmat, H. H. (2019). Pembangunan kesehatan dengan menguatkan sistem kesehatan

nasional: Peningkatan akselesari, pemerataan, dan mutu pembangunan kesehatan

(Cetakan pertama). Gadjah Mada University Press.

Salamah, U., & Prasetya, P. H. (2019). Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Kegagalan Ibu

Dalam Pemberian Asi Eksklusif. Jurnal Kebidanan Malahayati, 5(3), 199–204.

https://doi.org/10.33024/jkm.v5i3.1418

Siregar, M. H., Sumatri, A., & Febrianti. (2020). Risiko Kejadian Diare Akibat Tidak

Diberikan ASI Eksklusif Risk of diarrhea without exclusive breastfeeding Prodi

Gizi , Universitas Sultan Ageng Tirtayasa Prodi Kesehatan Masyarakat , UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta Email : mukhlidah.hanunsiregar@untirta. Jurnal Gizi Kerja

Dan Produktivitas, 1(1), 7–15.

Undang- Undang RI. (2014). Undang-Undang Republik Indonesia Tentang Kesehatan Jiwa

(UU Nomor 18 Tahun 2014).

Undang-Undang RI. (2009). Undang-Undang Republik Indonesia Tentang Kesehatan (UU

Nomor 36 Tahun 2009).

Undang-Undang RI. (2023). Undang-Undang Republik Indonesia Tentang Kesehatan (UU

Nomor 17 Tahun 2023).

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 38 Tahun 2014 tentang Keperawatan.

LN.2014/No. 307, TLN No.5612, LL SETNEG: 36 HLM

Wulandari, A., Rahman, F., & Laily, N. (2020). Pembiayaan Dan Penganggaran Kesehatan.

Yogyakarta.

Anda mungkin juga menyukai