Disusun Oleh
NPM : 2402023003
UNIVERISTAS YARSI
NOVEMBER 2023
DAFTAR ISI
Daftar Isi.................................................................................................................................................I
Daftar Lampiran...................................................................................................................................II
BAB I PENDAHULUAN.......................................................................................................................1
I.1 Latar Belakang..................................................................................................................1
I.2 Tujuan Penulisan..............................................................................................................3
I.3 Manfaat Penulisan............................................................................................................3
BAB II TINJAUAN PUSTAKA...........................................................................................................4
II.1 Pengertian Pembiayaan Kesehatan.................................................................................4
II.2 Model Sistem Pembiayaan...............................................................................................5
II.3 Asuransi Kesehatan..........................................................................................................7
II.4 Etika dan Hak Privasi dalam Electronic Medical Record..........................................10
II.5 Tanggung Jawab Hukum Dalam Pembiayaan Kesehatan..........................................11
II.6 Efektivitas Implementasi Peraturan Perundang-Undangan......................................12
BAB III ANALISIS YURIDIS DAN ETIKA KESEHATAN..........................................................15
III.1 Analisis Yuridis Berdasarkan Hukum Pidana.............................................................15
III.2 Analisis Yuridis Berdasarkan Hukum Perdata...........................................................18
III.3 Analisis Yuridis Berdasarkan Hukum Kesehatan.......................................................22
III.4 Analisis Yuridis Berdasarkan Hukum Kesehatan Sesuai Syariah.............................24
BAB IV KESIMPULAN DAN SARAN.............................................................................................28
BAB V DAFTAR PUSTAKA..............................................................................................................30
Kesehatan termasuk salah satu hal dasar yang dibutuhkan manusia. Sering disebutkan
bahwa “kesehatan bukan hal segala-galanya, namun tanpa kesehatan segala-galanya tidak
ada makna”. Berdasarkan konstitusi World Health Organization (WHO) menyatakan bahwa
kesehatan merupakan hak asasi manusia. Hak atas kesehatan merupakan bagian dari hak dasar
setiap individu, dan menjadi kebutuhan dasar setiap individu yang tidak dapat berkurang dalam
kondisi apapun. Dengan seperti itu, penting bagi kita untuk memperhatikan dengan cermat
1
mengenai bentuk nyata dari hak atas standar kesehatan tertinggi yang dapat dijangkau . Hak
untuk hidup yang cukup dan sejahtera terhadap diri sendiri serta keluarganya ialah hak asasi
manusia yang diterima secara luas oleh semua negara. Hal ini terdapat di dalam Undang-
2
Undang (UU) Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan .
Pembangunan kesehatan pada hakekatnya adalah upaya yang dilaksanakan oleh semua
komponen bangsa Indonesia yang bertujuan meningkatkan kesadaran, kemauan dan kemampuan
hidup sehat bagi setiap orang agar terwujud derajat kesehatan masyarakat yang setinggi- tingginya,
sebagai investasi bagi pembangunan sumber daya manusia yang produktif secara sosial dan
ekonomis. Sasaran pembangunan kesehatan yang akan dicapai pada tahun 2025 yaitu
meningkatnya derajat kesehatan masyarakat yang ditunjukkan oleh meningkatnya umur harapan
hidup, menurunnya angka kematian ibu, menurunnya angka kematian bayi, dan menurunnya
prevalensi undernutrisi pada balita. Hal ini sejalan dengan misi kesatu Presiden yaitu meningkatkan
kualitas manusia Indonesia. Pencapaian sasaran pembangunan kesehatan tersebut bukan semata-
mata tugas pemerintah tetapi merupakan tugas bersama seluruh komponen bangsa 3.
1
Limbong RJ, Farikhati N, et al. Kajian Pemenuhan Hak Atas Kesehatan Bagi Kelompok Rentan di Indonesia, Jakarta:
Komisi Nasional Hak Asasi Manusia RI; 2019. 2. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 36 Tahun 2009 tentang
Masing – masing individu memiliki risiko untuk terjadinya sakit dan perlu biaya yang
lumayan besar untuk berobat. Terlebih lagi, jika penyakit yang dideritanya merupakan penyakit
4
yang tergolong berat, sehingga semakin besar biaya yang dibutuhkan .
Terdapat enam pola pembiayaan kesehatan yang diterapkan, yaitu pembiayaan dari
pemerintah secara langsung (direct government financing), pembiayaan dari asuransi kesehatan
(health insurance), pembiayaan dari masyarakat (community financing), pembiayaan dari saku
pasien (out of pocket), pembiayaan dari organisasi pemerintahan dan kerjasama dari luar
(governmental organization and external cooperation), pembiayaan dari sektor swasta (private
5
sector financing) . Di Indonesia dikembangkan mekanisme asuransi kesehatan sosial yaitu melalui
Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) yang bersifat wajib dengan tujuan memberikan perlindungan
finansial dari biaya kesehatan khususnya biaya katastropik dengan harapan pengeluaran kesehatan
6
dari saku pribadi akan lebih rendah . Hal tersebut terbukti dengan data tren pembiayaan program
JKN dari tahun 2014 - 2018 dimana pengeluaran mandiri masyarakat turun cukup signifikan
7
sebesar 10% .
Adapun masalah pokok yang sering terjadi yaitu Bagaimana Analisis Problematika Sistem
Pembiayaan Kesehatan di Era JKN. Penelitian ini tergolong kedalam Penelitian hukum normatif
menggunakan studi kasus normatif berupa produk perilaku hukum. Hasil penelitian dan
pembahasan dapat diuraikan bahwa Pembiayaan kesehatan di era JKN sangat tergantung komitmen
khususnya pembiayaan pembiayaan yang bersumber dari pemerintah. Sistem pembiayaan
kesehatan di daerah perlu dikembangkan agar isu pokok dalam pembiayaan kesehatan daerah, yaitu
mobilisasi, alokasi dan efisiensi pembiayaan dapat terselenggara dengan baik sehingga menjamin
pemerataan, mutu dan keseimbangan pembangunan kesehatan daerah. Tersedianya data
pembiayaan kesehatan menjadi sangat penting dengan adanya kebijakan desentralisasi atau
otonomi daerah dalam pelayanan kesehatan sehingga diperlukan penentuan kebijakan dan strategi
pembiayaan program kesehatan di daerah.
Proses pelayanan kesehatan tidak bisa dipisahkan dengan pembiayaan kesehatan. Biaya
kesehatan ialah besarnya dana yang harus disediakan untuk menyelenggarakan dan atau memanfaatkan
berbagai upaya kesehatan yang diperlukan oleh perorangan, keluarga, kelompok dan masyarakat 9.
Berdasarkan pengertian ini, maka biaya kesehatan dapat ditinjau dari dua sudut yaitu berdasarkan:
1. Penyedia Pelayanan Kesehatan (Health Provider), adalah besarnya dana yang harus disediakan
untuk dapat menyelenggarakan upaya kesehatan, maka dilihat pengertian ini bahwa biaya
kesehatan dari sudut penyedia pelayanan adalah persoalan utama pemerintah dan ataupun pihak
swasta, yakni pihak-pihak yang akan menyelenggarakan upaya kesehatan. Besarnya dana bagi
penyedia pelayanan kesehatan lebih menunjuk kepada seluruh biaya investasi (investment cost)
serta seluruh biaya operasional (operational cost).
2. Pemakai Jasa Pelayanan (Health consumer), adalah besarnya dana yang harus disediakan untuk
dapat memanfaatkan jasa pelayanan. Dalam hal ini biaya kesehatan menjadi persoalan utama
para pemakai jasa pelayanan, namun dalam batas-batas tertentu pemerintah juga turut serta,
yakni dalam rangka terjaminnya pemenuhan kebutuhan pelayanan kesehatan bagi masyarakat yang
membutuhkannya. Besarnya dana bagi pemakai jasa pelayanan lebih menunjuk pada jumlah
uang yang harus dikeluarkan (out of pocket) untuk dapat memanfaatkan suatu upaya
kesehatan9.
Pembiayaan kesehatan yang kuat, stabil dan berkesinambungan memegang peranan yang
amat vital untuk penyelenggaraan pelayanan kesehatan dalam rangka mencapai berbagai tujuan
penting dari pembangunan kesehatan di suatu negara diantaranya adalah pemerataan pelayanan
kesehatan dan akses (equitable access to health care) dan pelayanan yang berkualitas (assured quality). Oleh
karena itu reformasi kebijakan kesehatan di suatu negara seyogyanya memberikan fokus penting kepada
kebijakan pembiayaan kesehatan untuk menjamin terselenggaranya kecukupan (ad- equacy), pemerataan
(equity), efisiensi (efficiency) dan efektifitas (effectiveness) dari pembiayaan kesehatan itu sendiri10.
9
Azwar, Azrul. Pengantar Administrasi Kesehatan, Edisi Ketiga, Binarupa Aksara, 1996. 10 Depkes
RI, 2004, Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 40 Tahun 2004 Tentang Sistem Jaminan
Sosial Nasional, Kementrian Kesehatan Republik Indonesia, Jakarta.
Pelayanan kesehatan memiliki beberapa ciri yang tidak memungkinkan setiap individu untuk
menanggung pembiayaan pelayanan kesehatan pada saat diperlukan:
1) Kebutuhan pelayanan kesehatan muncul secara sporadik dan tidak dapat diprediksikan,
sehingga tidak mudah untuk memastikan bahwa setiap individu mempunyai cukup uang
ketika memerlukan pelayanan kesehatan.
2) Biaya pelayanan kesehatan pada kondisi tertentu juga sangat mahal, misalnya pelayanan di
rumah sakit maupun pelayanan kesehatan canggih (operasi dan tindakan khusus lain),
kondisi emergensi dan keadaan sakit jangka panjang yang tidak akan mampu ditanggung
pembiayaannya oleh masyarakat umum.
3) Orang miskin tidak saja lebih sulit menjangkau pelayanan kesehatan, tetapi juga lebih
membutuhkan pelayanan kesehatan karena rentan terjangkit berbagai permasalahan kesehatan
karena buruknya kondisi gizi, perumahan.
4) Apabila individu menderita sakit dapat mempengaruhi kemampuan untuk berfungsi
termasuk bekerja, sehingga mengurangi kemampuan membiayai10.
10
Depkes RI, 2004, Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 40 Tahun 2004 Tentang Sistem
Jaminan Sosial Nasional, Kementrian Kesehatan Republik Indonesia, Jakarta.
di negara miskin dan berkembang hal ini sering terjadi. Orang miskin harus membayar biaya
pelayanan kesehatan yang tidak terjangkau oleh penghasilan mereka dan juga memperoleh
pelayanan kesehatan di bawah standar.
4) Fundamental importance of health, kesehatan merupakan kebutuhan dasar dimana individu
tidak dapat menikmati kehidupan tanpa status kesehatan yang baik
Implementasi strategi pembiayaan kesehatan di suatu negara diarahkan kepada beberapa hal
pokok yakni; kesinambungan pembiayaan program kesehatan prioritas, reduksi pembiayaan
kesehatan secara tunai perorangan (out of pocket funding), menghilangkan hambatan biaya untuk
mendapatkan pelayanan kesehatan, pemerataan dalam akses pelayanan, peningkatan efisiensi dan
efektifitas alokasi sumber daya (resources) serta kualitas pelayanan yang memadai dan dapat diterima
pengguna jasa. Sumber dana biaya kesehatan berbeda pada beberapa negara, namun secara garis
besar berasal dari:
1. Anggaran pemerintah.
2. Anggaran masyarakat.
3. Bantuan biaya dari dalam dan luar negeri.
4. Gabungan anggaran pemerintah dan masyarakat.
Tingginya biaya kesehatan disebabkan oleh beberapa hal, beberapa yang terpenting
diantaranya sebagai berikut:
1. Tingkat inflasi
Apabila terjadi kenaikan harga di masyarakat, maka secara otomatis biaya investasi dan juga
biaya operasional pelayanan kesehatan akan meningkat pula, yang tentu saja akan dibebankan
kepada pengguna jasa.
Biaya kesehatan banyak macamnya, karena kesemuanya tergantung dari jenis dan kompleksitas
pelayanan kesehatan yang diselenggarakan dan atau yang dimanfaatkan. Hanya saja disesuaikan
dengan pembagian pelayanan kesehatan, maka biaya kesehatan tersebut dapat dibedakan atas dua
macam yaitu:
1) Biaya pelayanan kedokteran
Biaya yang dimaksudkan adalah yang dibutuhkan untuk menyelenggarakan dan atau memanfaatkan
pelayanan kedokteran, yakni yang tujuan utamanya untuk mengobati penyakit serta memulihkan
kesehatan penderita.
Sama halnya dengan biaya kesehatan secara keseluruhan, maka masing-masing biaya kesehatan ini
dapat pula ditinjau dari dua sudut yaitu dari sudut penyelenggara kesehatan (health provider) dan
dari sudut pemakai jasa pelayanan (health consumer).
Pertanyaan yang mengemuka ialah model kebijakan kesehatan seperti apa yang layak diterapkan
di Indonesia, sistem pembiayaan yang bagaimana yang cocok dengan kehidupan masyarakat kita.
Terdapat beberapa model sistem pembiayaan pelayanan kesehatan yang dijalankan oleh beberapa
negara, berdasarkan sumber pembiayaannya:
mutu dan efisiensi namun dapat mengarah pada penggunaan terapi yang berlebihan.
2. User payments
Dalam model ini, pasien membayar secara langsung biaya pelayanan kesehatan baik pelayanan
kesehatan pemerintah maupun swasta. Perbedaannya dengan model informal adalah besaran
dan mekanisme pembayaran, juga kelompok yang menjadi pengecualian telah diatur secara formal
oleh pemerintah dan provider. Bentuk yang paling kompleks adalah besaran biaya yang bebeda
setiap kunjungan sesuai dengan jasa pelayanan kesehatan yang diberikan (biasanya terjadi untuk
fasilitas pelayanan kesehatan swasta). Namun model yang umum digunakan adalah ’flat rate’, dimana
besaran biaya per-episode sakit bersifat tetap.
3. Saving based
Model ini mempunyai karakteristik ‘risk spreding’ pada individu namun tidak terjadi risk pooling antar
individu. Artinya biaya kesehatan langsung, akan ditanggung oleh individu sesuai dengan tingkat
penggunaannya, namun individu tersebut mendapatkan bantuan dalam mengelola pengumpulan
dana (saving) dan penggunaannya bilamana membutuhkan pelayanan kesehatan. Biasanya model
ini hanya mampu mencakup pelayanan kesehatan primer dan akut, bukan pelayanan kesehatan
yang bersifat kronis dan kompleks yang biasanya tidak bisa ditanggung oleh setiap individu
meskipun dengan mekanisme saving. Sehingga model ini tidak dapat dijadikan model tunggal
pada suatu negara, harus didukung model lain yang menanggung biaya kesehatan lain dan pada
kelompok yang lebih luas.
4. Informal
Ciri utama model ini adalah bahwa pembayaran yang dilakukan oleh individu pada provider
kesehatan formal misalnya dokter, bidan tetapi juga pada provider kesehatan lain misalnya:
mantri, dan pengobatan tradisional; tidak dilakukan secara formal atau tidak diatur besaran, jenis
dan mekanisme pembayarannya. Besaran biaya biasanya timbul dari kesepakatan atau banyak
diatur oleh provider dan juga dapat berupa pembayaran dengan barang. Model ini biasanya muncul
pada negara berkembang dimana belum mempunyai sistem pelayanan kesehatan dan
pembiayaan yang mampu mencakup semua golongan masyarakat dan jenis pelayanan.
sesuai yang diperhitungkan akan ditanggung dari dana yang telah dikumpulkan bersama.
Besaran premi dan jenis pelayanan yang ditanggung serta mekanime pembayaran ditentukan
oleh organisasi pengelola dana asuransi.
Dalam kamus atau perbendaharaan kata bangsa Indo- nesia, tidak dikenal kata asuransi, yang
dikenal adalah istilah “jaminan” atau “tanggungan”. Dalam konteks asuransi kesehatan,
pengertian asuransi adalah memastikan seseorang yang menderita sakit akan mendapatkan
pelayanan yang dibutuhkannya tanpa harus mempertimbangkan keadaan ekonominya. Ada
pihak yang menjamin atau menanggung biaya pengobatan atau perawatannya. Pihak yang
menjamin ini dalam bahasa Inggris disebut insurer atau dalam UU Asuransi disebut asuradur.
Asuransi merupakan jawaban atas sifat ketidak-pastian (uncertain) dari kejadian sakit dan
kebutuhan pelayanan kesehatan. Untuk memastikan bahwa kebutuhan pelayanan kesehatan dapat
dibiayai secara memadai, maka seseorang atau kelompok kecil orang melakukan transfer risiko
kepada pihak lain yang disebut insurer/asuradur, ataupun badan penyelenggara jaminan.
(Thabrany H, 2001).
Menurut pasal 246 Kitab Undang-Undang Hukum Dagang (KUHD), asuransi mempunyai
pengertian sebagai berikut: Asuransi atau pertanggungan adalah suatu persetujuan dimana
penanggung kerugian diri kepada tertanggung, dengan mendapat premi untuk mengganti
kerugian karena kehilangan kerugian atau tidak diperolehnya suatu keuntungan yang diharapkan,
yang dapat diderita karena peristiwa yang tidak diketahui lebih dahulu. (Andreas, 2009).
Dalam dunia asuransi ada 6 (enam) macam prinsip dasar yang harus dipenuhi, yaitu:
1) Insurable interest
Hak untuk mengasuransikan, yang timbul dari suatu hubungan keuangan, antara tertanggung
dengan yang diasuransikan dan diakui secara hukum.
2) Utmost good faith
Suatu tindakan untuk mengungkapkan secara akurat dan lengkap, semua fakta yang material
(material fact) mengenai sesuatu yang akan diasuransikan baik diminta maupun tidak. Artinya
adalah: penanggung harus dengan jujur menerangkan dengan jelas segala sesuatu tentang
luasnya syarat atau kondisi dari asuransi dan tertanggung juga harus memberikan keterangan
yang jelas dan benar atas obyek atau kepentingan yang dipertanggungkan.
3) Proximate cause
Suatu penyebab aktif, efisien yang menimbulkan rantaian kejadian yang menimbulkan suatu
akibat tanpa adanya intervensi suatu yang mulai dan secara aktif dari sumber yang baru dan
independen.
4) Indemnity
Suatu mekanisme dimana penanggung menyediakan kompensasi finansial dalam upayanya
menempatkan tertanggung dalam posisi keuangan yang ia miliki sesaat sebelum terjadinya
kerugian (KUHD pasal 252, 253 dan dipertegas dalam pasal 278).
5) Subrogation
Pengalihan hak tuntut dari tertanggung kepada penanggung setelah klaim dibayar.
6) Contribution
Adalah hak penanggung untuk mengajak penanggung lainnya yang sama-sama menanggung,
tetapi tidak harus sama kewajibannya terhadap tertanggung untuk ikut memberikan
indemnity.
Sehingga beberapa skema asuransi diatur sedemikian rupa untuk mengurangi terjadinya moral
hazard, misalnya dengan mengatur batasan paket pelayanan, mengatur besaran kontribusi sesuai
dengan tingkat resiko tertanggung. Sistem ini dapat dibedakan menjadi asuransi yang bersifat umum
yaitu mencakup semua golongan dan asuransi yang bersifat khusus untuk kelompok masyarakat
tertentu. Sifat asuransi dapat dijelaskan sebagai berikut:
General taxation
General taxation merupakan model dimana sumber pembiayaan diambil dari pajak
pendapatan secara proporsional dari seluruh populasi yang kemudian dialokasikan untuk
berbagai sektor (tidak terbatas pelayanan kesehatan). Alokasi pada sektor kesehatan biasanya berupa
budget pada fasilitas kesehatan dan gaji staf kesehatan. Meskipun mempunyai cakupan yang luas,
keberhasilan sistem ini tergantung pada tingkat pendapatan masyarakat dan angkatan kerja,
besaran alokasi pada pelayanan kesehatan dan sistem penarikan pajak. Rendahnya pendapatan
masyarakat (ekonomi negara) akan menurunkan nilai pajak, alokasi biaya pada pelayanan kesehatan
sehingga mendorong rendahnya cakupan dan mutu pelayanan sehingga pada akhirnya biaya
pelayanan kesehatan akan kembali ditanggung langsung oleh individu.
langsung bagi pelayanan kesehatan sehingga lebih bersifat transparan dan dapat mendorong
kesadaran pembayaran pajak karena kejelasan penggunaan.
Dibandingkan dengan sistem umum, asuransi selektif mempunyai perbedaan dalam hal kontribusi
dan tanggungan hanya ditujukan pada suatu kelompok tertentu dengan paket pelayanan yang telah
ditetapkan.
1. Social insurance
Social insurance mempunyai karakteristik khusus yang membedakan dengan private insurance,
yaitu:
3. Private Insurance
Perbedaan utama private insurance dan social insurance adalah tidak adanya risk pooling dan bersifat
voluntary. Disamping itu private insurance juga memperhitungkan resiko kesakitan individu dengan
besaran premium dan cakupan pelayanan asuransi yang diberikan. Artinya individu yang lebih
beresiko sakit misalnya kelompok rentan (bayi, ibu hami, lansia), orang dengan perilaku tertentu
misalnya perokok, dan orang dengan pekerjaan yang beresiko akan dikenakan premi yang lebih
tinggi dibandingkan kelompok yang dengan resiko rendah. Model ini tentunya mempunyai mekanisme
lebih rumit mengingat harus memperhitungkan tingkat resiko tertanggung.
Model private insurance mungkin bersifat profit yaitu mencari keuntungan untuk pengelolaan dan
pemilik, atau menggunakan keuntungan untuk mengurangi besaran premi tertanggung. Bentuk private
4. Funding/Donation
Seluruh sistem pembiayaan yang telah diuraikan diatas menganut keterkaitan antara pengguna
jasa pelayanan kesehatan atau tertanggung dan penggunaan jasa pelayanan kesehatan. Model
funding tidak ditujukan langsung pada kelompok individu tetapi lebih pada program kesehatan
misalnya bantuan alat kesehatan, pelatihan atau perbaikan fasilitas pelayanan kesehatan.
Permasalahan yang sering muncul adalah ketidaksesuaian program funding dengan kebutuhan
atau kesalahan pengelolaan oleh negara. Disamping itu sumber dana dari funding tentu saja
tidak dapat diandalkan keberlangsungannya. Berdasarkan pengelolaan manajemennya,
sistem pembiayaan menggambarkan hubungan antara pasien sebagai konsumen dan atau
sumber biaya, provider/penyelenggara atau pemberi pelayanan kesehatan (dokter, perawat atau
institusi seperti rumah sakit), pemerintah sebagai pengatur, pengelola pelayanan kesehatan
dan sumber biaya.
Asuransi kesehatan yang paling mutakhir adalah man- aged care, dimana sistem pembiayaan
dikelola secara terintegrasi dengan sistem pelayanan. Asuransi kesehatan dengan model managed
care ini mulai dikembangkan di Amerika. Hal ini timbul oleh karena sistem pembiayaan
kesehatan yang lama, inflasi biaya kesehatan terus meningkat jauh diatas inflasi rata-rata,
sehingga digali model lain untuk mengatasi peningkatan biaya kesehatan. Managed care pada
dasarnya sudah mulai diterapkan pada tahun 1983 yaitu oleh kaisar Permanente Medical Care
Program, tetapi secara meluas mulai diterapkan pada tahun 1973, yaitu dengan diberlakukannya
HMO Act, pada periode pemerintahan Noxon. (Juanita, 2002).
Pada hakekatnya, managed care adalah suatu konsep yang masih terus berkembang,
sehingga belum ada suatu definisi yang satu dan universal tentang managed care. Namun demikian
secara umum dapat didefinisikan bahwa managed care adalah suatu sistem dimana pelayanan
kesehatan terlaksana secara terintegrasi dengan sistem pembiayaan kesehatan, yang mempunyai 5
(lima) elemen sebagai berikut:
Melihat karakteristik tersebut diatas, maka biaya yang timbul akibat gangguan kesehatan
(penyakit) merupakan obyek yang layak diasuransikan untuk meringankan beban yang ditanggung
oleh penderita serta meningkatkan akses pelayanan kesehatan yang merupakan kebutuhan
hidup masyarakat. WHO didalam The World Health Report 2000- Health System: Inproving
Pervormance juga merekomendasikan untuk mengembangkan sistem pembayaran secara ”pre
payment”, baik dalam bentuk asuransi, tax, maupun social security. Sistem kesehatan haruslah
dirancang sedemikian rupa, sehingga bersifat terintegrasi antara sistem pelayanan dan sistem
pembiayaan, mutu terjamin (quality assurance) dengan biaya terkendali (cost containment).
Indonesia dengan kondisi yang sangat turbulensi dalam berbagai hal pada saat ini, serta dengan
keterbatasan resources
yang ada, maka sistem managed care merupakan pilihan yang tepat dalam mengatasi masalah
pembiayaan kesehatan. Managed care dianggap tepat untuk kondisi di Indonesia, kemungkinan
karena sistem pembiayaan managed care dikelola secara terintegrasi dengan sistem pembiayaan,
dengan managed care berarti badan pengelola dana (perusahaan asuransi) tidak hanya berperan
sebagai juru bayar, sebagaimana berlaku pada asuransi tradisional, tapi ikut berperan dalam
dua hal penting, yaitu pengawasan mutu pelayanan (quality control) dan pengendalian biaya (cost
con- tainment). Salah satu elemen managed care adalah bahwa pelayanan diberikan oleh provider
tertentu, yaitu yang memenuhi kriteria yang ditetapkan meliputi aspek administrasi, fasilitas
sarana, prasarana, prosedur dan proses kerja atau dengan istilah lain meliputi proses bisnis, proses
produksi, sarana, produk dan pelayanan. Dengan cara ini, maka pengelola dana (asuransi) ikut
mengendalikan mutu pelayanan yang diberikan kepada pesertanya.
Ayat (1):“Setiap orang berhak hidup sejahtera lahir dan batin, bertempat tinggal, dan mendapatkan
lingkungan hidup yang baik dan sehat serta berhak memperoleh pelayanan kesehatan”Ayat (2):
Ayat (3):“Setiap orang berhak atas jaminan sosial yang memungkinkan pengembangan dirinya
secara utuh sebagai manusia yang bermartabat”
Setiap orang mempunyai hak yang sama dalam memperoleh jaminan kesehatan dari
negara. Setiap orang dengan status sosial yang berbeda-beda berhak untuk memperoleh jaminan
kesehatan yang memadai. Peningkatan kesehatan harus terus menerus diupayakan agar bisa
memenuhi standar hidup sehat jasmaniah sehingga setiap orang dapat hidup produktif baik itu
kehidupan sosial maupun ekonomi. Dari bunyi Pasal 34 ayat 2 UUD 1945 mengandung makna
bahwa pemerintah atau negara berkewajiban membuat sebuah program yang dapat digunakan
untuk membantu masyarakat miskin untuk berobat, memperoleh pengahasilan dan pekerjaan yang
2
layak.
Jaminan Sosial (untuk selanjutnya disingkat BPJS) Kesehatan membantu masyarakat yang tidak
mampu untuk berobat dengan gratis, Kartu Indonesia Sehat, Kartu Indonesia pintar. Berbanding
dengan negara lain bahwa Negara harus mejamin kesejahteraan masyarakat.
Jaminan Sosial Nasional ini adalah salah satu bentuk perlindungan sosial untuk menjamin seluruh
Warga Negara Indonesia Untuk menyelenggaraan sistem jaminan sosial maka dibentuklah BPJS
tersebut.
Berbagai bentuk penipuan serupa akan dapat mewarnai dalam penyalahgunaan BPJS
kesehatan, yang dapat dilakukan oleh individu ataupun kelompok maupun oleh pemberi
pelayanan kesehatan maupun rumah sakit sebagai penerima rujukan. Pengaturan Permenkes
No. 16 tahun 2019 cukup baik sebagai regulasi yang mengawali pengaturan untuk mencegah
penipuan dalam penyalahgunaan BPJS. Sanksi administratif itu berjalan sesuai harapan karena
regulasi kita saat ini di bidang kesehatan tidak ketat, terutama terkait pengawasan. Tapi sanksi
administratif itu harus ditegakan sebagaimana aturan. Selain itu penerapan sanksi administratif
harus sinergis dengan pidana. Ketentuan Pasal 378 KUHP bisa juga dikenakan kepada pelaku
penipuan atau kecurangan (fraud) sifatnya karena karena ketentuan itu sesungguhnya hanya
ditujukan untuk penipuan yang sifatnya umum, tidak khusus menyasar fraud.
Fasilitas Pelayanan kesehatan dibagi 3 yaitu pelayanan kesehatan primer (ditingkat pusat),
pelayanan kesehatan rujukan sekunder (ditingkat Provinsi) dan pelayanan kesehatan rujukan tersier
(ditingkat Kabupaten/Kota). Kepemilikan fasilitas kesehatan terbagi atas pemerintah dan swasta.
Pasal 56 ayat (1) UU No. 23 Tahun 1992 tentang Kesehatan, Bab. III tentang Sarana Kesehatan
menetapkan:
“Sarana kesehatan meliputi Balai Pengobatan, pusat kesehatan masyarakat, rumah sakit umum,
rumah sakit Khusus, praktik dokter, praktik dokter gigi, praktik dokter spesialis, praktik dokter gigi
Rumah Bersalin (RB) berdasarkan PerMenkes 920/1986 tidak termasuk ke dalam kategori rumah
sakit karena tidak memberikan pelayanan kesehatan bersifat patologis, dan dikategorikan ke dalam
pelayanan medik dasar sebagaimana di Puskesmas atau Balai Pengobatan. Pengobatan tradisional
juga tidak termasuk dalam sistem pelayanan kesehatan di Departemen Kesehatan Indonesia,
menurut Pasal 47 UU No. 23 Tahun 1992 tentang Kesehatan “Pengobatan tradisional merupakan
salah satu upaya pengobatan dan atau perawatan cara lain di luar ilmu kedokteran dan atau ilmu
keperawatan”. Namun demikian hal ini masih menjadi pro-kontra di beberapa kalangan, karena
pemerintah mengeluarkan izin resmi beberapa praktIk pengobatan tradisional.
Asosiasi fasilitas kesehatan adalah organisasi masyarakat dibentuk secara sukarela atas dasar
kesamaan kegiatan, profesi, fungsi, atau keagamaan untuk berperan serta pada pembangunan
kesehatan. Beberapa asosiasi dibentuk atas dasar kesamaan wilayah, kepemilikan (seperti
ARSADA/asosiasi rumah sakit daerah) atau berdasarkan misi organisasi
Untuk mendukung formulasi Peraturan Presiden tersebut agar menjadi sebuah peraturan
pelaksanaan yang sinkron dengan para pemangku kepentingan dan didukung oleh publik, maka
dipandang perlu untuk memetakan pendapat dan pandangan perkumpulan (asosiasi) fasilitas
pelayanan kesehatan terhadap pasal 24 UU SJSN. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui
persepsi dan peran perkumpulan (asosiasi) yang mewakili fasilitas pelayanan kesehatan terhadap
Mekanisme kontrak antara BPJS dan asosiasi fasilitas pelayanan kesehatan dalam pasal 24 ayat (1)
UU SJSN masih perlu penjelasan. Berikut pemahaman asosiasi tentang pasal tersebut: 1)
Penyelenggaraan pelayanan kesehatan perorangan dengan mekanisme jaminan kesehatan sosial
melibatkan BPJS, dan asosiasi fasilitas kesehatan.
Keduanya wajib untuk tunduk pada ketentuan ikatan keduanya dari suatu perjanjian dan
persetujuan tertulis (kontrak perdata); 2) Kesepakatan yang harus dicapai adalah besaran harga
pelayanan yang akan dibayarkan kepada fasilitas kesehatan yang berlaku di suatu wilayah; 3) BPJS
harus bersepakat dengan asosiasi fasilitas kesehatan wilayah atas harga pelayanan kesehatan di
wilayahnya, namun tidak ada batasan dan penjelasan lebih lanjut mengenai wilayah yang dimaksud
oleh pembentuk UU SJSN; 4) Tidak ada penjelasan lebih lanjut mengenai asosiasi fasilitas
kesehatan, maka terbuka peluang mengikutsertakan berbagai bentuk keanggotaan kedalam fasilitas
kesehatan; 5) Negosiasi hanya menyertakan dua pihak, dan belum ada ketentuan yang mengatur
keterlibatan pihak lain (misal: Pemerintah atau DJSN). Hal tersebut diperlukan bila tidak tercapai
kesepakatan antar pihak yang bernegosiasi.
Beberapa masalah yang teridentifikasi: 1) Regulasi kontrak perdata. Untuk melakukan kontrak
perdata dengan BPJS, asosiasi fasilitas kesehatan harus berbentuk ”Perkumpulan Berbadan
Hukum”. Saat ini sedikit sekali asosiasi fasilitas kesehatan yang memenuhi ketentuan itu.
Selanjutnya organisasi profesi (IDI & PDGI) adalah organisasi kemasyarakatan yang ditetapkan
oleh UU Praktik Kedokteran (UU No. 24 tahun 2004) dan bukan perkumpulan perdata berbadan
hukum, jadi tidak dapat melakukan kontrak dengan pihak ketiga. Hambatan bagi asosiasi yang
beranggotakan UPTD untuk meningkatkan status perkumpulan ke tingkat perkumpulan perdata
berbadan hukum, karena dibatasi ketentuan UU No. 32/2004 tentang Pemerintahan Daerah.
Asosiasi fasilitas kesehatan perlu mencermati dan memenuhi ketentuan KUH Perdata bila
berkeinginan terlibat dalam kontrak dengan BPJS. 2) Wilayah tempat bernegosiasi. Pengertian
“wilayah” menerangkan kedudukan asosiasi yang dapat bertindak mewakili fasilitas kesehatan,
perlu mendapat penjelasan rinci. UU SJSN tidak menjelaskan lebih lanjut apakah batasan wilayah
mengacu pada wilayah administratif pemerintahan (provinsi, kabupaten/kota, kecamatan, desa)
atau wilayah kerja BPJS. Mengingat asosiasi fasilitas masih terpusat di ibukota negara dan kota-
kota besar di Indonesia, serta masih banyak fasilitas pelayanan kesehatan di daerah yang tidak
fasilitas kesehatan dalam asosiasi. Representasi fasilitas kesehatan dalam asosiasi masih perlu
ditelaah lebih lanjut dan ditetapkan dengan tegas. Masalah utama yang mungkin akan
menimbulkan kendala adalah keanggotaan majemuk sebuah fasilitas kesehatan/asosiasi dalam
berbagai perkumpulan atau asosiasi karena berpotensi menimbulkan benturan kepentingan.
Masalah lainnya yang harus segera dipecahkan adalah fasilitas kesehatan yang belum memiliki
asosiasi seperti Puskesmas, dan keterbatasan peraturan dalam merepresentasikan fasilitas kesehatan
oleh suatu asosiasi independen, seperti yang dihadapi oleh RSUD, RS TNI/POLRI. Perlu dicermati
perlunya membangun asosiasi fasilitas kesehatan yang homogen bagi setiap tingkatan fasilitas
kesehatan, misalnya asosiasi; rumah sakit, klinik, klinik dokter keluarga, dokter, dokter gigi, dan
lain-lain; 4) Muatan dan objek negosiasi. Asosiasi tidak setuju untuk merepresentasikan fasilitas
kesehatan dalam negosiasi besaran harga yang akan dibayarkan BPJS ke fasilitas kesehatan. BPJS
disarankan untuk bernegosiasi langsung dengan fasilitas kesehatan, untuk menyepakati harga
pelayanan. Asosiasi lebih tertarik mengatur bersama BPJS muatan kontrak perdata yang memuat
ketentuan umum pemberian pelayanan kesehatan di fasilitas kesehatan. 5) Kepercayaan dan
harapan terhadap UU SJSN. Tingkat pengaruh, keterlibatan dan sikap asosiasi terhadap SJSN
masih sangat minimal. Ditemui 9 alasan yang melandasi keraguan asosiasi terhadap keefektifan
program jaminan kesehatan nasional UU SJSN, yaitu: (a) Pemahaman asuransi sosial yang masih
keliru, terutama dalam membedakan penyelenggaraan program jaminan kesehatan sosial
(mekanisme subsidi silang antarpeserta), dengan ketentuan penyelenggaraan fungsi sosial RS yaitu
ketentuan memberikan pelayanan kepada masyarakat miskin di RS (mekanisme subsidi silang antar
pengguna jasa di fasilitas kesehatan). (b) Ketiadaan perturan pelaksanaan yang rinci dan tegas
mengatur penyelenggaraan PJKN UU SJSN, serta mengatur peran para pemangku kepentingan. (c)
Pengalaman yang kurang menyenangkan selama menyelenggarakan program Askeskin. (d)
Persepsi yang kurang baik atas performa PT ASKES Indonesia dan PT JAMSOSTEK sebelum
diberlakukannya UU SJSN. (e) Kekhawatiran atas intervensi pemerintah termasuk elit politik di
tingkat pusat dan daerah terhadap program SJSN. (f) Adanya
konflik kepentingan pada asosiasi yang juga mewakili Bapel JPKM yang diperkuat oleh
pemahaman adanya dukungan peraturan (PP No. 38 Tahun 2007) atas penyelenggaraan program
jaminan sosial di daerah. (g) Rendahnya keyakinan terhadap hal baru dan ketidakyakinan atas
penyelenggaraan program berskala luas. (h) Ketidakyakinan akan adanya transparansi dalam
penyelenggaraan program. 6) Peran Pemerintah.Pasal 24 UU SJSN tidak mengatur peran
pemerintah dalam proses pembuatan kontrak perdata antara asosiasi dan BPJS. Asosiasi
2. Merujuk pada ketentuan KUH Pedata, subjek hukum yang bertindak selaku pembuatan kontrak
tersebut harus dimaknai sebagai badan hukum bukan orang pribadi. Pasal 1653 KUH
Perdata menetapkan 3 macam perkumpulan berbadan hukum, yaitu: perkumpulan yang
diadakan oleh kekuatan hukum, yang diakui oleh kekuatan hukum, dan yang
diperkenankan atau untuk suatu maksud tertentu yang tidak berlawanan dengan undang-
undang atau kesusilaan. Sehingga asosiasi fasilitas kesehatan yang tidak memenuhi
ketentuan di atas, tidak dapat digolongkan sebagai perkumpulan berbadan hukum, serta
tidak dapat melakukan per-ikatan badan dengan pihak ketiga.
3. UU SJSN melibatkan 3 pihak dalam membangun kontrak pemberian pelayanan kepada peserta
PJKN yaitu: BPJS, fasilitas kesehatan dan asosiasi fasilitas kesehatan. Namun UU SJSN
tidak mengatur lebih lanjut ketentuan yang akan diikat oleh masing-masing pihak, dan
hanya ada satu ketentuan yaitu besaran pembayaran yang harus disepakati oleh BPJS dan
asosiasi fasilitas kesehatan. Sangat diharapkan ketentuan yang
lebih rinci dapat diatur dalam Peraturan Presiden tentang PJKN (PerPres PJKN).
4. PerPres PJKN harus dapat mengoperasionalkan ketentuan wilayah dalam pembuatan kontrak
antara BPJS dengan asosiasi fasilitas kesehatan.
5. Mencermati ketentuan Pasal 23 ayat (1) dan Pasal 24 UU SJSN perikatan antara BPJS dengan
asosiasi fasilitas kesehatan dan fasilitas kesehatan, dapat dilaksanakan sebagai berikut:
1) BPJS – Asosiasi Fasilitas Kesehatan. Isi batang tubuh kontrak antara keduanya hendaknya
dibatasi 3 hal di bawah ini tanpa menutup perikatan langsung antara BPJS dengan Fasilitas
Kesehatan.
pelayanan dan fasilitas pelayanan, ditetapkan dalam bentuk rentang harga dari terendah hingga
tertinggi untuk masing-masing wilayah, dan dapat pula ditetapkan dengan point yang
mencerminkan sumber daya yang ada di dalamnya.
UU SJSN tidak dengan jelas dan tegas menetapkan peran Pemerintah dalam penyelenggaraan
pelayanan jaminan kesehatan. Ada 4 area yang tetap menjadi tanggung jawab pemerintah sebagai
regulator adalah: 1) lisensi dan akreditasi, 2) penegakan standar pelayanan kesehatan nasional,
Dalam UU SJSN penyelenggaraan pelayanan kesehatan akan berbasis kontrak yang mengarah
pada pembayaran pelayanan sesuai kinerja (performance based payment model) melalui BPJS di
fasilitas kesehatan yang terikat kerja sama dengannya (active purchasing for healthcare). Perlu
serangkaian persiapan oleh masing-masing aktor terkait.
Hukum kesehatan adalah semua peraturan hukum yang berkaitan langsung pada pemberian
kesehatan dan penerapannya pada hukum perdata, hukum administrasi, dan hukum pidana.
Hukum kesehatan adalah semua ketentuan hukum yang berhubungan langsung dengan
pemeliharaan/pelayanan kesehatan dan penerapannya. Hal ini menyangkut hak dan kewajiban
baik dari perorangan dan segenap lapisan masyarakat sebagai penerima pelaksana kesehatan
maupun dari pihak penyelenggara dalam segala aspeknya, organisasi, sarana, pedoman standar
pelayanan medik, ilmu pengetahuan kesehatan, dan hakim serta sumber-sumber lainnya
Etika kesehatan masyarakat adalah suatu tatanan moral berdasarkan system nilai yang berlaku
secara universal dalam eksistensi mencegah perkembangan resiko pada individu, kelompok dan
masyarakat yang mengakibatkan penderitaan sakit dan kecacatan, serta meningkatkan
keberdayaan masyarakat untuk hidup sehat dan sejahtera.
Filosofi moral etika kesehatan dijelaskan dalam Prinsip Dasar Etika Kesehatan sebagai berikut:
A. Autonomy ( otonomi )
Prinsip “Autonomy” (self-determination) yaitu prinsip yang menghormati
hak-hak pasien, terutama hak otonomi pasien (the rights to self determination) dan merupakan
kekuatan yang dimiliki pasien untuk memutuskan suatu prosedur medis. Prinsip moral inilah yang
kemudian melahirkan konsep Informed consent. Prinsip otonomi didasarkan pada keyakinan bahwa
individu mampu berpikir secara logis dan membuat keputusan sendiri, memilih dan memiliki
berbagai keputusan atau pilihan yang harus dihargai oleh orang lain. Prinsip otonomi merupakan
bentuk respek terhadap seseorang, atau dipandang sebagai persetujuan tidak memaksa dan
bertindak secara rasional. Otonomi merupakan kebebasan individu yang menuntut pembedaan diri.
tindakan yang bertujuan untuk kebaikan pasien atau penyediaan keuntungan dan menyeimbangkan
keuntungan tersebut dengan risiko dan biaya. Dalam Beneficence tidak hanya dikenal perbuatan
untuk kebaikan saja, melainkan juga perbuatan yang sisi baiknya (manfaat) lebih besar daripada
sisi buruknya. Beneficience berarti, hanya melakukan sesuatu yang baik. Kebaikan, memerlukan
pencegahan dari kesalahan, penghapusan kesalahan atau kejahatan dan peningkatan kebaikan oleh
diri dan orang lain. Terkadang, dalam situasi
1. D. Confidentiality ( kerahasiaan)
Institusi kesehatan akan menjaga kerahasiaan informasi yang bisa merugikan
seseorang atau masyarakat. Aturan dalam prinsip kerahasiaan adalah informasi tentang
pasien harus dijaga. Segala sesuatu yang terdapat dalam dokumen catatan kesehatan pasien
hanya boleh dibaca dalam rangka pengobatan pasien. Tidak ada seorangpun dapat
memperoleh informasi tersebut kecuali jika diijinkan oleh pasien dengan bukti persetujuan.
Diskusi tentang pasien diluar area pelayanan, menyampaikan pada teman atau keluarga
tentang pasien dengan tenaga kesehatan lain harus dihindari.
terhadap orang lain. Tenaga Kesehatan setia pada komitmen dan menepati janji serta menyimpan
rahasia pasien. Ketaatan, kesetiaan, adalah kewajiban seseorang untuk mempertahankan komitmen
yang dibuatnya. Kesetiaan, menggambarkan kepatuhan tenaga kesehatan terhadap kode etik yang
menyatakan bahwa tanggung jawab dasar dari tenaga kesehatan adalah untuk meningkatkan
kesehatan, mencegah penyakit, memulihkan kesehatan dan meminimalkan penderitaan.
G. Justice (Keadilan)
Yaitu prinsip moral yang mementingkan fairness dan keadilan dalam
dibutuhkan untuk tercapai yang sama rata dan adil terhadap orang lain yang menjunjung
prinsip-prinsip moral, legal dan kemanusiaan.
pemberi pelayanan kesehatan untuk menyampaikan kebenaran pada setiap pasien dan
untuk meyakinkan bahwa pasien sangat mengerti. Prinsip veracity berhubungan dengan
kemampuan seseorang untuk mengatakan kebenaran. Informasi harus ada agar menjadi
akurat, komprensensif, dan objektif untuk memfasilitasi pemahaman dan penerimaan
materi yang ada, dan mengatakan yang sebenarnya kepada klien tentang segala sesuatu
yang berhubungan dengan keadaan dirinya selama menjalani perawatan. Walaupun
demikian, terdapat beberapa pendapat yang mengatakan adanya batasan untuk kejujuran
seperti jika kebenaran akan kesalahan prognosis klien untuk pemulihan atau adanya
hubungan paternalistik bahwa ”doctors knows best” sebab individu memiliki otonomi,
mereka memiliki hak untuk mendapatkan informasi penuh tentang kondisinya. Kebenaran
merupakan dasar dalam membangun hubungan saling percaya.
Di dalam Islam jaminan sosial negara terhadap masyarakat juga sudah diatur secara jelas. Yang
menjadi perbedaan adalah pada mekanisme dan tata cara pelaksanaannya. Pada saat
penerapannya pun MUI pernah mengeluarkan haramnya BPJS Kesejatan yang dikelola oleh
BPJS tersebut, sehingga menimbulkan perdebatan di masyarakat.
Penerapan Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2011 tentang BPJS serentak berlaku di seluruh
wilayah Indonesia baik BPJS Kesehatan maupun BPJS Ketenagakerjaan. Pada saat penerapannya,
Majelis Ulama Indonesia mengeluarkan Fatwa tentang haramnya BPJS Kesehatan. Meskipun
masih terdapat perdebatan mengenai fatwa tersebut, hal ini mengindikasikan bahwa adanya
permasalahan yang terdapat dalam pengelolaan BPJS Kesehatan.
Berdasarkan latar belakang tersebut diatas, maka adapun rumusan masalah yang akan dibahas
dalam artikel ini adalah bagaimana jaminan sosial dalam islam dan bagaimana jaminan sosial di
Indonesia dilihat dari prinsip syariah.
Jaminan Sosial juga disinggung di Dalam Al-Quran meskipun tidak secara eksplisit disebutkan
kata jaminan sosialnya, hal ini dapat dilihat dalam ayat sebagai berikut:
“Dan berikanah kepada mereka sebagian dari harta Allah yang dikaruniakan Nya
“Berimanlah kamu kepada Allah dan RasulNya dan nafkahkanlah sebagian dari
hartamu yang Allah telah menjadikan kamu menguasainya”. (Q.S Al-Hadid: 7) Ayat-ayat Al
Quran diatas menjelaskan bahwa seluruh kesejahteraan dan harta itu adalah milik Allah dan
manusia menguasainya atas kepercayaanNya. Islam mengatur bahwa jaminan atau perlindungan
kesejahteraan pada dasarnya adalah tanggung jawab setiap orang.
Menurut MUI, jika diperhatikan program termasuk modus transaksional yang dilakukan oleh BPJS
– khususnya BPJS Kesehatan - dari perspektif ekonomi Islam dan fiqh mu’amalah, dengan
merujuk pada Fatwa Dewan Syari’ah Nasional-Majelis Ulama Indonesia (DSN-MUI) dan beberapa
literatur, nampaknya bahwa secara umum program BPJS Kesehatan belum mencerminkan konsep
ideal jaminan sosial dalam Islam, terlebih lagi jika dilihat dari hubungan hukum atau akad antar
para pihak.
Dalam hal terjadi keterlambatan pembayaran Iuran untuk Pekerja Penerima Upah, maka dikenakan
Pemerintah telah menerbitkan UU No. 40 Tahun 2004 dan UU No. 24 Tahun 2011 guna menjamin
dan memperhatikan kesehatan sebagai hak dasar setiap orang. Namun, UU tersebut dinilai tidak
sesuai dengan prinsip syariah oleh MUI. Hal tersebut dikarenakan dalam operasinya, BPJS
mengandung unsur gharar, maisir, dan riba.
Program yang dipermasalahkan adalah jaminan kesehatan mandiri dari BPJS dan jaminan
keseharan Non PBI (Peserta Bantuan Iuran) yang diperuntukkan bagi PNS/TNI/POLRI, lembaga,
dan perusahaan. Terdapat tiga unsur pelanggaran, yaitu:
6. Gharar (ketidakjelasan) bagi peserta dalam menerima hasil dan bagi penyelenggara dalam
menerima keuntungan.
8. Riba fadhl (kelebihan antara yang diterima dan yang dibayarkan). Termasuk denda karena
keterlambatan.
Dalam Fatwa DSN–MUI No. 21/DSN-MUI/X/2001 dijelaskan bahwa dalam akad, sekurang-
kurangnya harus disebutkan:
3) Jenis akad tijarah dan/atau akad tabarru‟ serta syarat-syarat yang disepakati,
sesuai dengan jenis asuransi yang diakadkan.Berdasarkan hal tersebut di atas, jelas bahwa dalam
jaminan kesehatan ini (BPJS) mengandung ketidakjelasan (gharar) yang terletak pada tidak
kesehatan) kepada masyarakat yang belum tentu akan sakit atau tidak (gharar).
9. Praktek Sanksi Peserta BPJS Menurut Hukum Ekonomi Syariah Sebagaimana dicantumkan
dalam peraturan BPJS Nomor 1 tahun 2014 pasal 35 ayat 4 menyebutkan bahwa
“keterlambatan pembayaran iuran jaminan kesehatan yang di maksud pada ayat (1) oleh
pemberi kerja penyelenggara negara, di kenakan denda administrative sebesar 2% perbulan
dari total iuaran yang tertunggak, paling banyak untuk waktu 3 bulan, yang di bayarkan
bersamaan dengan total iuran tertunggak oleh pemberi kerja”. Seseorang yang berhutang
dan terlambat dalam pembayarannya tidak boleh dibebani dengan membayar denda karena
ini termasuk riba yang diharamkan kecuali jika ia mampu dan tidak ada itikad baik untuk
membayar maka menurut sebagian ulama boleh dikenakan denda yang diperuntukkan
sebagai dana sosial yang sama sekali tidak boleh diambil manfaatnya oleh yang
menghutangi. Bisa dilihat di dlam fatwa MUI DSN no 17 / DSN-MUI- IX th 2000 (Fatwa
tentang sanksi atas nasabah yang mampu tapi menunda nunda pembayaran). Denda
tersebut termasuk syarat, syarat bersanksi yaitu syarat denda atas keteledoran, sebagian
ulama membolehkan sanksi atas keteledoran tetapi tidak membolehkan denda di dalam
hutang piutang. Dalam BPJS tidak termasuk kategori denda karena hutang piutang.
Apabila karena hutang piutang maka denda ini masuk kedalam Riba Jahiliyah.
10. Praktek Investasi dana Peserta BPJS Menurut Hukum Ekonomi Syariah Yang juga
menjadi perhatian ialah riba di dalam pelaksanaan investasi oleh BPJS di sebutkan dalam
Undang-undang BPJS Pasal 11 Butir menyebutkan bahwa “Menempatkan Dana Jaminan
Sosial investasi jangka pendek dan jangka panjang dengan mempertimbangkan aspek
likuiditas, solvabilitas, kehati – hatian, keamanan dana, dan hasil yang memadai.” Pasal 13
Butir b menyatakan “Mengembagkan asset Dana Jaminan Sosial dan Aset BPJS untuk
sebesar – besarnya kepentingan peserta”. Hal ini tertuang dalam UU BPJS Nomor 24 tahun
2011 pasal 11 dan Undang-Undang SJSN Nomor 40 Tahun 2004 pasal 1 ayat 7 serta
Peraturan BPJS Nomor 1 tahun 2014 pasal 33, ini juga disebutkan Undang- Undang
Nomor 24 tahun 2014 bahwa jaminan sosial disimpan dalam bank pemerintah yang
ditunjuk. Pelayanan yang diterima oleh peserta BPJS adalah hasil dari investasi ribawi.
. Akad yang dapat digunakan pada BPJS adalah akad tabarru’ pada asuransi syariah, dimana akad
ini telah difatwakan oleh Dewan Syariah Nasional MUI. Fatwa No.53 tahun 2006
mengenai akad tabarru’ pada asuransi syariah ini telah menjelaskan penggunaan akad
tabarru untuk asuransi bersama antar peserta;
. Denda Peserta BPJS atas keterlambatan pembayaran bisa tetap dipungut dengan syarat bahwa
memang ada itikad tidak baik dari peserta untuk melakukan pembayaran tepat waktu.
Denda yang diperoleh pun tidak boleh diambil sebagai keuntungan untuk penyelenggara
BPJS tetapi digunakan untuk kepentingan umum dan sosial lainnya.
. UU No. 24 Tahun 2011 Pasal 11, Pasal 13, Pasal 41, dan Pasal 43. Menurut Pasal 11 Butir b
“Menempatkan Dana Jaminan Sosial investasi jangka pendek dan jangka panjang dengan
mempertimbangkan aspek likuiditas, solvabilitas, kehati – hatian, keamanan dana, dan
hasil yang memadai.”. Dalam hal ini penempatan dana tidak di lakukan pada bank syariah,
namun pada bank konvensional. Menurut ekonomi syariah bank konvensional di nyatakan
haram karena ada riba di dalamnya maka secara
ekonomi syariah investasi pada bank konvensional, bursa efek Indonesia dan reksadana non syariah
tidak di benarkan, haram hukumnya karena ada riba di dalamnya, maka hendaknya di dalam
peraturan pemerintah investasi ini di lakukan di bank syariah, walaupun pendapat tentang
keharamannya belum sepenuhnya disepakati oleh semua ulama.
11. Jaminan sosial di dalam Islam berlandaskan pada prinsip: 1) Bahwa kesejahteraan dan
harta itu adalah milik Allah. Negara dalam hal ini adalah wakil Allah. Jaminan
kesejahteraan/sosial dilakukan oleh Negara dengan dasar ketaatan pada Allah. 2). Negara
memberikan jaminan sosial kepada seluruh negaranya apabila masyarakat mematuhi aturan
negara. Namun, jaminan di dalam Islam tidak hanya tanggung jawab Negara sebagai wakil
Allah, namun setiap individu memiliki tanggung jawab terhadap masyarakat, karena di
dalam Islam setiap individu adalah pemberi perlindungan dan diberi perlindungan.
BAB IV
KESIMPULAN DAN SARAN
A. Kesimpulan
1. Perlindungan hukum terhadap pasien peserta BPJS Kesehatan yang dilakukan rawat inap
dirumah sakit dari aspek regulasi sudah terlidungi hak – haknya baik sebagai jasa, sebagai pasien
rumah sakit maupun sebagai peserta BPJS Kesehatan. Dalam penerapaannya masuk terdapat
kekurangan yang menimbulkan ketidak puasan pasien terhadap pelayanan dirumah sakit,seperti
kurangnya informasi yang diberikan oleh pihak rumah sakit terhadap peserta BPJS Kesehatan.
Upaya hukum yang telah dilakukan BPJS Kesehatan dalam rangka memenuhi hak dan kewajiban
pasien adalah menempatkan beberapa petugas BPJS Kesehatan dirumah sakit untuk menangani
prosedur keluhan oleh peserta BPJS Kesehatan. Pihak BPJS Kesehatan memasang dashboard
informasi mengenai jumlah kamar yang tersedia agar dipahami upaya lain untuk memenuhi hak
dan kewajiban pasien BPJS Kesehatan adalah denga melakukan upaya mediasi terhdap pihak
15
peserta BPJS Kesehatan dan pihak rumah sakit apabila di perlukan.
B. SARAN
1. Untuk meningkatkan kepuasan peserta, disarankan BPJS Kesehatan dapat mempertahankan dan
meningkatkan kualitas pelayanannya yang diwujudkan dengan lima dimensi kualitas jasa, yaitu:
tangible, reability, responsiveness, assurance serta empathy. Diantaranya ialah menyediakan
fasilitas-fasilitas yang lebih baik bagi lagi untuk kenyamanan peserta serta lebih meningkatkan lagi
pelayanan yang diberikan oleh petugas yang bertugas dalam menangani keluhan yang
disaampaikan peserta BPJS Kesehatan. Sehingga dengan di pertahankan dan di tingkatkan
pelayanan yang di berikan akan meningkatkan pula kepuasan peserta terhadap BPJS Kesehatan.
2. Seharusnya BPJS Ketenagakerjaan sebelum menerapkan sanksi kepada perusahaan yang belum
mengikut sertakan pekerja dalam program jaminan sosial BPJS Ketenagakerjaan terlebih dahulu
melakukan tahap sosialisasi, pembinaan, pengawasan dan pemeriksaan terlebih dahulu.
Kesimpulan
Berbagai bentuk penipuan serupa akan dapat mewarnai dalam penyalahgunaan BPJS kesehatan,
yang dapat dilakukan oleh individu ataupun kelompok maupun oleh pemberi pelayanan kesehatan
maupun rumah sakit sebagai penerima rujukan. Pengaturan Permenkes No. 16 tahun 2019 cukup
baik sebagai regulasi yang mengawali pengaturan untuk mencegah penipuan dalam
penyalahgunaan BPJS. Sanksi administratif itu berjalan sesuai harapan karena regulasi kita saat ini
di bidang kesehatan tidak ketat, terutama terkait pengawasan. Tapi sanksi administratif itu harus
ditegakan sebagaimana aturan. Selain itu penerapan sanksi administratif harus sinergis dengan
BAB V
DAFTAR PUSTAKA
Baqi, Muhammad Fu’ad Abdul. Shahih Bukhari Muslim. Edited by Abu Firly Bassam Taqiy. 1st
ed. Jakarta: Elex MEdia Komputindo, 2017.
Biro Hukum dan Humas Badan Urusan Administrasi Mahkamah Agung-RI. Kitab Hukum Acara
Pidana - Buku Kesatu: Aturan Umum. Vol. 5, 1981.
Eri Sefira, Martha, M.H. Hukum Perdata. Riskesdas 2018. Vol. 3, 2015.
Garudiwati, Baik Dysa. “Changhua Christian Hospital Taiwan 12-13 Mei 2016 ‘ Implementasi
Electronic Medical Record System Yang Berfokus Pada Sasaran Keselamatan Pasien
Berdasarkan International Patient Safety Goals ’ Disusun Oleh : Baik Dysa Garudiwati”
(2016).
Nasih, Metjinger, A Ulwan Mohammad, Kamal Hasan, Alfred Binet, and William H Calvin.
“Integritas Intelektual Menurut Al-Qur ’ An” (2019): 15–28.
Nurfitria, Bunga, Firna Rania, and Nur Wahyu Rahmadiani. “Literature Review: Implementasi
Rekam Medis Elektronik Di Institusi Pelayanan Kesehatan Di Indonesia,” no. October
(2022): 2.
Putra, Anthony Calvin. “Analisis Pertanggungjawaban Rumah Sakit Terkait Potensi Kebocoran
Data Rekam Medis Elektronik Akibat Cyber Crime.” Novum 1 (2022).
Solutions, Kroll Fraud. Healthcare Information and Management Systems Society (Himss)
Analytics Report: Security of Patient Data. Technical report, Kroll Fraud Solutions, 2008.
Subekti, R, and R Tjitrosudibi. Kitab Undang-Undang Hukum Perdata. 38th ed. Arga Printing,
2023.
Suwignjo, Aditya Hans, and . Mufid. “Tinjauan Hukum Pembukaan Rekam Medik Dari Sudut
Pandang Asuransi Kesehatan.” Spektrum Hukum 16, no. 1 (2019): 1.
Virgy, M Arief, Fachrial Kautsar, and Christania Paruntu. “Pentingnya Perbaikan Regulasi Tata
Kelola Data Dan Informasi Kesehatan Untuk Mencapai Tujuan Pembangunan
Berkelanjutan.” World Health 1, no. 2 (n.d.): 3.
Djamhari EA, Aidha CN, Ramdlaningrum H, Kurniawan DW, Fanggidae SJ, Herawati, et
al. Defisit Jaminan Kesehatan Nasional (JKN): Mengapa dan Bagaimana Mengatasinya ?
[Internet]. 1st ed. Jakarta: Perkumpulan PRAKARSA; 2020. 67–68 p. Available from:
https://repository.theprakarsa.org/media/302060-defisit-jaminan-kesehatan- nasional-jkn-m-
4c0ac9c6.pdf
BPJS Kesehatan. INFO BPJS Edisi 104. BPJS Kesehat [Internet]. 2020;6–9. Available
from: https://www.bpjs-kesehatan.go.id/bpjs/arsip/detail/1871
Hidayati FAN, Sari DP. Perencanaan Pembiayaan Kesehatan di Rumah Sakit. Pros Semin
Inf Kesehat Nas [Internet]. 2021;226–33. Available from:
https://ojs.udb.ac.id/index.php/sikenas/article/view/1256
Azwar, Azrul. Pengantar Administrasi Kesehatan, Edisi Ketiga, Binarupa Aksara, 1996
Depkes RI, 2004, Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 40 Tahun 2004 Tentang
Sistem Jaminan Sosial Nasional, Kementrian Kesehatan Republik Indonesia, Jakarta.