oleh:
Fahma Sri Mahrifa
NIM 192310101045
Fakultas Keperawatan
Kelas 10
UNIVERSITAS JEMBER
2020
KATA PENGANTAR
Puji syukur saya ucapkan atas kehadirat Allah SWT yang telah
melimpahkan rahmat serta hidayah-Nya sehingga saya dapat menyelesaikan
makalah yang berjudul “Kesenjangan Sosial Masyarakat Miskin Terhadap
Aksesibilitas Pelayanan Kesehatan Sebagai Bentuk Inkonsistensi Sila Kelima
Pancasila” ini dengan baik.
Makalah ini disusun guna memenuhi penilaian Ujian Akhir Semester Mata
Kuliah Umum Pendidikan Kewarganegaraan. Adapun makalah ini membahas
tentang salah satu ketidaksesuaian sila kelima pancasila dalam bidang kesehatan.
Referensi dalam penyusunan makalah ini berasal dari hasil pencarian materi yang
bersumber dari buku maupun jurnal terkait.
Saya berterima kasih semua pihak yang terlibat dalam membantu
penyelesaian makalah ini. Semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi para
pembaca. Saya menyadari makalah ini masih banyak sekali kekurangan. Oleh
karena itu, dengan kerendahan hati saya mengharap kritik dan saran yang
membangun guna menjadikan makalah ini lebih baik lagi.
Penulis
ii
DAFTAR ISI
Halaman
HALAMAN JUDUL ............................................................................... i
KATA PENGANTAR ............................................................................. ii
DAFTAR ISI ........................................................................................... iii
iii
BAB 1. PENDAHULUAN
1
kesehatan, mencegah dan menyembuhkan penyakit serta memulihkan kesehatan,
perorangan, keluarga, kelompok ataupun masyarakat (Mertisanfara, 2018).
Pelayanan kesehatan dalam Undang-undang Nomor 36 tahun 2009 tentang
kesehatan mencakup pelayanan promotif, preventif, kuratif dan rehabilitatif yang
diusahakan oleh pemerintah pusat, pemerintah daerah dan/atau masyarakat. Hak
atas pelayanan kesehatan dijamin oleh UUD 1945 Pasal 28 H ayat 1 yang
menyebutkan bahwa “ setiap penduduk berhak atas pelayanan kesehatan”
(Widianto, 2013).
Kualitas pelayanan rumah sakit termasuk Puskesmas, dapat diketahui dari
penampilan profesional personil rumah sakit/Puskesmas, efisiensi dan efektivitas
pelayanan serta kepuasan pasien. Kepuasan pasien ditentukan oleh keseluruhan
pelayanan: pelayanan dokter, perawat, makanan, obat-obatan, sarana dan
peralatan, fasilitas dan lingkungan fisik rumah sakit serta pelayanan administrasi
(Haryanto dan Suranto, 2012).
Pelayanan kesehatan yang berkualitas merupakan pelayanan yang mengacu
pada preferensi, ekspektasi, dan juga kebutuhan pasien. Pandangan pasien
mengenai apa yang penting bagi mereka tentang pelayanan kesehatan merupakan
aspek yang penting dalam pelayanan kesehatan. Ekspektasi pasien
merupakan harapan pasien atas pelayanan kesehatan yang diterimanya. Dengan
mengukur ekspektasi pasien, pelayanan yang diberikan dapat memenuhi harapan
pasien. Oleh karena itu, perlu dilakukan suatu eksplorasi mengenai ekspektasi
pasien pelayanan kesehatan yang berkualitas (Hadiyati et al, 2017).
Peningkatan derajat kesehatan masyarakat sangat penting dalam rangka
meningkatkan produktivitas masyarakat. Dalam peningkatan pelayanan kesehatan
dasar masih terdapat permasalahan, seperti pelayanan kesehatan kepada
masyarakat miskin masih sangat rendah, masyarakat miskin seringkali mengalami
keluhan seperti pelayanan medis, pelayanan obat-obatan, pelayanan administrasi
dan pembuatan surat rujukan yang belum memuaskan (Mertisanfara, 2018).
Masyarakat memiliki hak untuk mendapatkan akses pelayanan kesehatan
yang berkualitas, aman, dan juga terjangkau. Pemerintah telah
berupaya untuk meningkatkan akses pelayanan kesehatan terutama bagi
2
masyarakat dengan ekonomi rendah dengan mengadakan program Jaminan
Kesehatan Nasional yang sudah diselenggarakan sejak Januari 2014. Akibat
peningkatan akses pelayanan kesehatan ini terjadi peningkatan kunjungan pasien
di fasilitas kesehatan, termasuk di rumah sakit. Hal ini menyebabkan pelayanan
kurang optimal yang ditunjukkan dengan ketidakpuasan pasien di
era Jaminan Kesehatan Nasional. Padahal, pelayanan kesehatan yang diberikan
pada masyarakat penerima bantuan Jaminan Kesehatan Nasional dituntut untuk
tetap berkualitas (Hadiyati et al, 2017).
Berdasarkan Peraturan Menteri Kesehatan RI Nomor 71 Tahun 2013
tentang Pelayanan Kesehatan pada Jaminan Kesehatan Nasional, adapun proses
pelayanan kesehatan dan kualitas pelayanan berkaitan dengan ketersediaan sarana
kesehatan yang terdiri dari pelayanan kesehatan dasar (puskesmas, balai
pengobatan), pelayanan rujukan (rumah sakit), ketersediaan tenaga kesehatan,
peralatan dan obat-obatan (Mertisanfara, 2018).
Masyarakat miskin cenderung memiliki derajat kesehatan yang rendah,
penyebab utama dari rendahnya derajat kesehatan masyarakat miskin selain
ketidakcukupan pangan adalah keterbatasan akses terhadap layanan kesehatan
dasar, rendahnya mutu layanan kesehatan dasar, kurangnya pemahaman terhadap
perilaku hidup sehat, dan kurangnya layanan kesehatan reproduksi (Mertisanfara,
2018).
Masalah aksesibilitas penduduk miskin terhadap pelayanan kesehatan
menjadi persoalan serius yang belum terselesaikan. Aksesibilitas yang dimaksud
mencakup akses fasilitas kesehatan, akses biaya kesehatan dan akses informasi
terkait kesehatan. Karakteristik masyarakat miskin dalam mengakses pelayanan
kesehatan menurut bukan hanya diukur dari besaran penghasilan saja, melainkan
juga diukur dari jarak tempuh ke pelayanan kesehatan, akses informasi terkait
kesehatan, tingkat pendidikan dan rutinitas (jam kerja) yang padat (Widianto,
2013).
Sering kali pemberian pelayanan oleh instansi terkait kurang memberikan
yang terbaik bagi masyarakat. Pengguna layanan kesehatan khususnya peserta
BPJS termasuk masyarakat miskin banyak yang mengeluhkan ketapatan dan
3
kecepatan waktu pelayanan, kedatangan dokter yang sering terlambat, tingkat
cepat tanggapnya aparat, kejelasan informasi, rendahnya tingkat kesopanan dan
keramahan, kurangnya tingkat perhatian dan keadilan, dan fasilitas yang tidak
terawat dengan baik (Mertisanfara, 2018).
Salah satu contoh yaitu kualitas pelayanan kesehatan di Bandar Lampung.
Pelayanan kesehatan kepada penduduk miskin masih sangat rendah, dari 59.183
jumlah keluarga miskin yang memiliki kartu sehat hanya 27.530 Kartu Keluarga
(KK). Berarti masih terdapat 30% keluarga miskin yang belum terjangkau
Jamkesmas, sedangkan yang mendapatkan pelayanan kesehatan hanya 38.783 KK
serta ibu hamil yang mendapatkan pelayanan anternal care dari 8.720 ibu hamil
keluarga miskin hanya 3.327 ibu hamil yang mendapatkan pelayanan. Dalam
konteks ini terlihat bahwa persoalan dasar kesehatan masih merupakan masalah
serius (Mertisanfara, 2018).
1.3 Tujuan
Adapun tujuan dari penyusunan makalah ini antara lain :
1.3.1 Mengetahui nilai-nilai yang terkadung dalam Pancasila.
1.3.2 Mengetahui layanan kesehatan yang berkeadilan.
1.3.3 Mengetahui aksesibilitas masyrakarat miskin terhadap pelayanan
kesehatan.
4
1.3.4 Mengetahui kesenjangan sosial masyarakat miskin dalam pelayanan
kesehatan.
1.3.5 Mengetahui upaya pemerintah dalam kesenjangan sosial pelayanan
kesehatan.
5
BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Pancasila
Pancasila sebagai dasar negara, ideologi, pandangan dan falsafah hidup
yang harus dipedomani bangsa indonesia dalam proses penyelenggaraan
kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara dalam mewujudkan cita-cita
proklamasi kemerdekaan. Nilai-nilai luhur yang terkandung di dalamnya
merupakan nilai-nilai luhur yang digali dari budaya bangsa dan memiliki nilai
dasar yang diakui secara universal dan tidak akan berubah oleh perjalanan waktu.
Cita-cita bangsa Indonesia yang berdasarkan Pancasila sebagaimana
dimaksud dalam alinea ke empat Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945, yaitu melindungi segenap bangsa Indonesia dan
seluruh tumpah darah Indonesia, memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan
kehidupan bangsa, dan ikut serta melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan
kemerdekaan, perdamaian abadi, dan keadilan sosial senantiasa diwujudkan dalam
kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara (Windhatria, 2012).
Kedudukan tersebut secara rinci dapat dinyatakan sebagai berikut
(Sulisworo et al, 2012) :
a. Pancasila merupakan sumber dari segala sumber hukum (sumber tertib hukum)
di Indonesia. Pancasila merupakan asas kerohkanian tertib hukum yang dalam
Pembukaan UUD1945 dijelmakan lebih lanjut ke dalam empat pokok pikiran.
b. Pancasila meliputi suasana kebatinan (geistlichenhintergrund) dari UUD1945.
c. Pancasila mewujudkan cita-cita hukum bagi hukum dasar Negara, baik hukum
tertulis maupun tidak tertulis.
d. Pancasila mengandung norma yang mewajibkan pemerintah dan lainlain
penyelenggara Negara (termasuk para penyelenggara partai dan golongan
fungsional) untuk memelihara budi pekerti (moral) kemanusiaan yang luhur
dan memegang teguh cita-cita moral rakyat yang luhur. Hal ini sesuai dengan
Pokok Pikiran ke empat Pembukaan UUD1945.
6
2.2 Nilai-Nilai Pancasila
Nilai-nilai Pancasila haruslah diketahui, dipahami, dan diimpelmentasikan
oleh bangsa Indonesia dalam kehidupan sehari-hari untuk dapat mewujudkan
mewujudkan cita-cita proklamasi kemerdekaan. Nilai-nilai luhur yang terkandung
di dalamnya merupakan nilai-nilai luhur yang digali dari budaya bangsa dan
memiliki nilai dasar yang diakui secara universal dan tidak akan berubah oleh
perjalanan waktu.
2.6.1 Sila Pertama : Ketuhanan Yang Maha Esa
7
2.6.2 Sila Kedua : Kemanusiaan Yang Adil dan Beradab
8
Indonesia. Sesuai dengan konstitusi tujuan negara ialah berkewajiban memberikan
perlindungan kepada segenap tumpah darah Indonesia dan seluruh isinya dengan
semangat persatuan tersebut. Perlakuan yang sama pada seluruh warga
dimananapun berada haruslah dilakukan oleh pemerintah tanpa memandang latar
belakang suku, ras, budaya, maupun agamanya (Octavian, 2018).
Warga negara dalam semangat kebersamaan seharusnya melakukan
tindakan yang tetap menunjukkan sikap dan perbuatan yang NKRI untuk
kebahagiaan dan kemajuan bersama. Semangat persatuan inilah yang harus terus
dijaga agar NKRI tetap eksis, dan dapat menjadi kuat karena terbangun dari
jalinan keberagaman yang harmonis (Octavian, 2018).
2.6.4 Sila Keempat : Kerakyatan yang Dipimpin oleh Hikmat Kebijaksanaan
dalam Permusyawaratan/Perwakilan
9
kaya. Tetapi kita mendirikan negara, “satu untuk semua, satu buat semua, semua
buat satu. Saya yakin bahwa syarat yang mutlak untuk kuatnya negara Indonesia
ialah per-musyawaratan perwakilan” (Amin Arjoso ed. 2002, hal 25 dalam
Oetama, dkk). Dengan kata lain demokrasi Indonesia adalah musyawarah
mufakat. Namun, dalam kenyataannya, pelaksanaan praktik politik di Indonesia
belum mengutamakan permusyawaratan untuk mufakat. Sebaliknya, tren baru
yang berkembang pada saat ini mengarah pada demokrasi transaksional. Uang
menjadi kekuatan dalam menguasai politik, kelompok yang memiliki uang yang
berlimpah yang akan menguasai dan memenangkan perpolitikan. Inilah yang pada
akhirnya dikhawatirkan akan memberikan negara kepada kendali suatu kelompok
tertentu. Kondisi ini akan diperparah apabila demokrasi ekonomi, dan sosial tidak
dilakukan, dan pemimpin yang visioner tidak dimiliki. Oleh karena itu, penting
untuk mengkaji ulang gagasan demokrasi sesungguhnya sesuai dengan amanat
sila ke empat pancasila (Octavian, 2018).
2.6.5 Sila Kelima: Keadilan Sosial Bagi Seluruh Rakyat Indonesia
10
lima. Namun sesungguhnya prinsip keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia
menjadi anak tangga pertama yang harus dipijak dalam kehidupan berbangsa dan
bernegara (Octavian, 2018).
Keadilan dalam konteks aturan, kebijakan, tindakan, dan perlakuan yang
adil terhadap rakyatnya dapat membuat masyarakat leluasa bermusyawarah dan
bermufakat mencari solusi persoalan. Tegaknya keadilan membuat bangsa akan
lebih mudah dalam menyatukan kekuatan untuk dapat mewujudkan
kemakmurannya yang bermartabat. Keadilan juga akan mempertebal rasa
kemanusiaan dan saling mencintai sesama ciptaan Tuhan. Akhirnya keadilan
dapat membuat setiap orang tenang beribadah tanpa harus merasa terancam oleh
kelompok lain yang berbeda keyakinan (Octavian, 2018).
Keadilan sosial merupakan keadilan yang berlaku dalam masyarakat di
berbagai bidang kehidupan termasuk kesehatan. Keadilan sosial menjamin setiap
warga negara diperlakukan dengan adil dalam bidang hukum, ekonomi, budaya,
sosial, kedudukan masyarakat serta kesehatan. Nilai vital dalam sila kelima adalah
mewujudkan kemajuan yang merata dan berkeadilan sosial, dalam makna untuk
menjunjung tinggi harkat dan martabat manusia. Sila kelima ini mengandung
perbuatan-perbuatan yang luhur yang mencerminkan sikap dan suasana
kekeluargaan dan gotong-royong (Prasetyowati, 2016).
11
kemanusiaan, tidak akan membeda-bedakan si kaya atau si miskin, pangkat,
kedudukan, golongan, bangsa dan agama. Tentu saja sekarang ini sumpah profesi
tersebut sudah sangat jauh panggang dari api.
Mestinya, sebagai insan kesehatan, tenaga profesi perawat, dokter, bidan
dan profesi di bidang kesehatan lainnya, terutama yang kesehariannya
berhubungan langsung dengan Pejabat Pemimpin Negeri (Presiden, Menteri,
Gubernur, Bupati/Walikota), mampu menjelaskan tugas dan tanggungjawab
profesi-nya dengan benar. Tugas dan tanggungjawab yang sesuai dengan sumpah
profesinya. Sehingga regulasi hukum dan aturan yang dikeluarkan oleh
pemerintah, sesuai dengan standar profesi tenaga kesehatan yang ada di Indonesia.
Agar tenaga kesehatan di Indonesia dapat memberi layanan kesehatan yang
profesional, dan klien yang mendapatkan pelayanan kesehatan tidak merasakan
adanya diskriminasi.
Masyarakat yang menerima layanan kesehatan tentu akan lebih bangga,
andai saja pelayanan kesehatan di Negara kita tidak lagi membedakan golongan
dan kelas-kelas seperti yang terjadi sekarang ini. Andai saja pelayanan kesehatan
bisa disamaratakan, uang rakyat yang digunakan untuk menyediakan fasilitas VIP
dan VVIP di instansi pelayanan kesehatan yang dikelola oleh pemerintah itu
digunakan untuk melengkapi dan meningkatkan kualitas SDM dan fasilitas yang
dibutuhkan. Tentu hal itu akan berdampak lebih positif bagi perkembangan
pelayanan kesehatan di Negara kita. Bukankah Sila Ke-5 Pancasila yang
merupakan asas Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) adalah “keadilan
sosial bagi seluruh rakyat Indonesia”. Lalu mengapa penyelenggaraan layanan
kesehatan di Negara kita ini tidak sejalan dengan hal tersebut, kenapa ya?
Dengan mindset hedonis, tentu saja konsep seperti yang kami sampaikan ini
akan sangat sulit untuk diterima, butuh keberanian seorang pemimpin untuk
melakukan perubahan, demi masyarakat banyak, bukan sekedar demi pencitraan
dan isu kampanye pemilihan calon pemimpin negeri. Masyarakat sudah muak
dengan kepalsuan yang berlangsung sekarang ini. Harusnya, pemimpin di negeri
ini mengerti itu. Rakyat butuh bukti nyata!
12
Apapun alasannya, pemberian layanan kesehatan yang membedakan kelas
di instansi pelayanan kesehatan yang dinaungi langsung oleh Pemerintah, dan
menggunakan uang rakyat dalam pembangunan dan pengelolaannya, adalah hal
yang tidak layak, dan harus segera dihentikan. Karena tidak sejalan dengan
Pancasila.
13
tersebut diselenggarakan dengan berdasarkan kepada Sistem Kesehatan Nasional
(SKN) yaitu suatu tatanan yang menghimpun berbagai upaya bangsa Indonesia
secara terpadu dan saling mendukung guna menjamin derajat kesehatan yang
setinggitingginya. Berdasarkan Peraturan Menteri Kesehatan RI Nomor 71 Tahun
2013 tentang Pelayanan Kesehatan pada Jaminan Kesehatan Nasional, adapun
proses pelayanan kesehatan dan kualitas pelayanan berkaitan dengan ketersediaan
sarana kesehatan yang terdiri dari pelayanan kesehatan dasar (puskesmas, balai
pengobatan), pelayanan rujukan (rumah sakit), ketersediaan tenaga kesehatan,
peralatan dan obat-obatan.
Masalah aksesibilitas penduduk miskin terhadap pelayanan kesehatan
menjadi persoalan serius yang belum terselesaikan. Aksesibilitas yang dimaksud
mencakup akses fasilitas kesehatan, akses biaya kesehatan dan akses informasi
terkait kesehatan. Karakteristik masyarakat miskin dalam mengakses pelayanan
kesehatan menurut bukan hanya diukur dari besaran penghasilan saja, melainkan
juga diukur dari jarak tempuh ke pelayanan kesehatan, akses informasi terkait
kesehatan, tingkat pendidikan dan rutinitas (jam kerja) yang padat (Widianto,
2013).
Akses masyarakat miskin terhadap pelayanan kesehatan masih sering
terkendala oleh faktor internal dan eksternal masyarakat (Widianto, 2013).
Faktor internal meliputi :
1. Kurangnya kesadaran warga miskin untuk berperilaku hidup sehat.
2. Kurangnya minat warga miskin untuk berobat ke puskesmas.
3. Kurangnya pemahaman tentang manfaat kartu askeskin.
4. Kurangnya partisipasi warga miskin dalam kegiatan
pelayanan kesehatan.
Sedangkan kendala-kendala eksternal (berasal dari penyedia layanan
kesehatan : provider) yaitu:
1. Kurangnya jumlah tenaga kesehatan
2. Kurangnya kualitas tenaga kesehatan
3. Kurangnya mutu pelayanan kesehatan
14
4. Penempatan tenaga kesehatan yang tidak sesuai dengan situasi di
lapangan
5. Kurangnya sistem informasi kesehatan
6. Terbatasnya alokasi anggaran kesehatan
7. Terbatasnya fasilitas penunjang layanan kesehatan. Semua faktor
tersebut mempengaruhi akses pelayanan kesehatan yang diterima
warga miskin.
Meskipun akses pada pelayanan kesehatan terbuka, namun masih sering
terjadi diskriminasi pada masyarakat miskin. Diskriminasi pelayanan kesehatan
dapat muncul karena perbedaan sikap dalam pemberian pelayanan yang
dipengaruhi status pengguna layanan. Status sosial-ekonomi pengguna layanan
kesehatan turut menentukan kualitas pelayanan kesehatan yang diterima dari
health provider. Penghasilan pasien atau pengguna menjadi salah satu faktor yang
berpengaruh terhadap kualitas pelayanan kesehatan yang diterima. Kebutuhan
(needs) para pasien dan keinginan (want) para health provider pada pelayanan
kesehatanakan disesuaikan dengan uang yang tersedia (Widianto, 2013).
15
keterkaitan antara keduanya. Dalam suatu masyarakat tentunya dapat dibedakan
mana yang merupakan tergolong sebagai masyarakat kaya, menengah, dan
miskin. Adanya penggolongan tersebut juga berimbas dalam masalah aspek
kehidupannya, termasuk didalamnya yaitu aspek kesehatan. Masyarakat miskin
cenderung memiliki derajat kesehatan yang rendah, penyebab utama dari
rendahnya derajat kesehatan masyarakat miskin selain ketidakcukupan pangan
adalah keterbatasan akses terhadap layanan kesehatan dasar, rendahnya mutu
layanan kesehatan dasar, kurangnya pemahaman terhadap perilaku hidup sehat,
dan kurangnya layanan kesehatan reproduksi (Mertisanfara, 2018).
Faktor-faktor lain seperti kemampuan finansial, ketersediaan peralatan
kesehatan, kecukupan tenaga medis maupun paramedis, informasi tentang kondisi
kesehatan, serta jaringan bisnis di sektor kesehatan memiliki pengaruh yang
signifikan terhadap kesenjangan pelayanan kesehatan (Mertisanfara, 2018).
Beberapa data kesenjangan bidang kesehatan dapat dilihat pada hasil
Riskesdas 2013. Proporsi bayi lahir pendek, terendah di Provinsi Bali (9,6%) dan
tertinggi di Provinsi NTT (28,7%) atau tiga kali lipat dibandingkan yang terendah.
Kesenjangan yang cukup memprihatinkan terlihat pada bentuk partisipasi
masyarakat di bidang kesehatan, antara lain adalah keteraturan penimbangan
balita (penimbangan balita >4 kali ditimbang dalam 6 bulan terakhir). Keteraturan
penimbangan balita terendah di Provinsi Sumatera Utara (hanya 12,5%) dan
tertinggi 6 kali lipat di Provinsi DI Yogyakarta (79,0%). Ini menunjukkan
kesenjangan aktivitas Posyandu antar provinsi yang lebar. Dibandingkan tahun
2007, kesenjangan ini lebih lebar, ini berarti selain aktivitas Posyandu makin
menurun, variasi antar provinsi juga semakin lebar (Prasetyowati, 2016).
16
Untuk mengatasi kesenjangan masalah kesehatan, pemerintah Indonesia
memberlakukan kebijakan-kebijakan untuk mengentaskan masalah kesehatan.
Pemberlakuan Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN) untuk menuju Jaminan
Kesehatan Nasional ditargetkan pada tahun 2019 semua penduduk Indonesia telah
tercakup dalam Jaminan Kesehatan Nasional. Dengan adanya BPJS Kesehatan
masyarakat dapat memeriksakan kesehatan dan pengobatan kepada pelayanan
kesehatan tanpa harus takut membayar fasilitas kesehatan yang mahal, sehingga
setiap orang mendapatkan perlakuan sama pada pelayanan kesehatan
(Prasetyowati, 2016).
Peserta BPJS terdiri dari PBI dan non PBI, PBI merupakan penerima
bantuan iuran dari pemerintah dengan kategori orang fakir miskin dan orang tidak
mampu. Pada kelompok ini tidak perlu membayar premi setiap bulannya,
sedangkan non PBI merupakan peserta yang tidak tergolong dalam fakir miskin
dan orang tidak mampu, secara finansial peserta non PBI ini kelompok ekonomi
menengah keatas yang mampu membayar premi setiap bulan sesuai kelas
perawatan yang didaftarkan. Peserta PBI maupun non PBI mendapatkan
perlakuan yang sama dalam pelayanan kesehatan, yang membedakan hanya kelas
perawatan saja. Diberlakukannya JKN ini jelas menuntut dilakukannya
peningkatan akses dan mutu pelayanan kesehatan, baik pada fasilitas kesehatan
tingkat pertama maupun fasilitas kesehatan tingkat lanjutan, serta perbaikan
sistem rujukan pelayanan kesehatan (Prasetyowati, 2016).
Selain itu pemerintah juga memberlakukan Undang-Undang Tentang Desa.
Pada bulan Januari 2014 telah disahkan UU Nomor 6 tahun 2014 tentang Desa.
Sejak ditetapkan terdapat 77.548 desa mendapatkan dana desa setiap tahunnya
dengan besaran Rp 1 Miliar. Dana tersebut dapat digunakan untuk mendanai
kegiatan pembangunan desa, pemberdayaan, pemerintahan desa dan
kemasyarakatan. Dana desa sangat besar untuk mendanai pemberdayaan
masyarakat dalam bidang kesehatan, dengan adanya pemberdayaan masyarakat
dan pendanaan yang cukup harapannya dapat mengurangi masalah kesehatan
dengan membentuk Upaya Kesehatan Bersumberdaya Masyarakat (UKBM).
Dengan adanya UKBM akan lebih banyak usaha promotif dan preventif yang ada
17
di masyarakat, sehingga peranan UKBM dapat membantu dalam mengatasi
masalah kesehatan (Prasetyowati, 2016).
Dengan banyaknya program jaminan kesehatan diharapkan meningkatkan
aksesibilitas masyarakat miskin pada pelayanan kesehatan. Langkah pemerintah
tersebut memang sudah seharusnya dilakukan sebagai wujud
tanggung jawab negara terhadap rakyatnya. Namun, Pemerintah terkesan
mendominasi program pembangunan kesehatan dan kurang memperhatikan
variasi dan potensi lokal masyarakat untuk membangun pelayanan kesehatan yang
baik, tepat sasaran dan merata (Widianto, 2013).
18
BAB 3. PEMBAHASAN
19
Seperti yang kita ketahui, bahwasanya pada saat sumpah profesi tenaga
medis disumpah untuk menjalankan tugas dan tangguang jawab atas dasar
kemanusiaan, dimana tenaga medis tidak boleh membeda-bedakan masyarakat
atas dasar suku, ras, agama, kedudukan, pangkat, golongan, kaya atau miskin, dan
lain sebagainya. Namun kenyataannya masih banyak masyarakat miskin yang
diperlakukan tidak adil atau diskriminasi. Mestinya sebagai tenaga kesehatan yang
profesional mampu menjalankan tugas dan tanggungjawab sesuai dengan sumpah
profesinya agar dapat memberikan layanan kesehatan yang baik dan tidak adanya
diskriminasi pada masyarakat terutama pada masyarakat miskin.
Layanan kesehatan khususnya pada masyarakat miskin dan masyarakt
penerima jaminan sosial masih mengeluhkan ketapatan dan kecepatan waktu
pelayanan, kedatangan dokter yang sering terlambat, tingkat cepat tanggapnya
aparat, kejelasan informasi, rendahnya tingkat kesopanan dan keramahan,
kurangnya tingkat perhatian dan keadilan, dan fasilitas yang tidak terawat dengan
baik. Berbeda jika paa masyarakat yang mampu membayar biaya pengobatan,
mereka dilayani dengan baik dan cepat.
Kesenjangan sosial yang terjadi ini jelas saja tidak sesuai dengan sila kelima
Pancasila yang berbunyi “Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia”. Sila
kelima Pancasila mengandung makna bahwa setiap orang mendapat perlakuan
yang sama, tidak dibeda-bedakan atas dasar suku, ras, agama, bahasa, kaya dan
miskin, maupun jabatan. Diperlakukan secara adil dalam segala bidang
kehidupan, termasuk pelayanan kesehatan. Nilai-nilai dalam sila kelima Pancasila
yakni mewujudkan kemajuan yang adil dan merata dalam segala bidang, dimana
harkat dan martabat manusia dijunjung tinggi. Itu artinya, dalam pelayanan
kesehatan, setiap orang tanpa terkecuali haruslah mendapatkan pelayanan yang
sama, adil, dan tidak di diskriminasi.
20
BAB 4. KESIMPULAN DAN REKOMENDASI
4.1 Kesimpulan
Kesenjangan sosial dalam pelayanan kesehatan merupakan salah bentuk
inkonsistensi sila kelima Pancasila. Masyarakat miskin diperlakukan berbeda atau
tidak adil. Padahal tenaga medis disumpah untuk menjalankan tugas dan tanggung
jawab atas dasar kemanusiaan, dimana mereka tidak boleh membeda-bedakan
suku, ras, agama, golongan, kaya miskin, dan lain sebagainya. Namun masih
banyak terjadi kesenjangan sosial dalam masyarakat terkait pelayanan kesehatan.
Pemerintah memberikan bantuan jaminan sosial kepada masyarakat miskin
dengan tujuan agar mereka dapat memperoleh pelayanan kesehatan dengan baik
tanpa harus takut biaya pengobatan yang mahal. Namun kenyataannya masih
banyak penyimpangan yang terjadi di masyarakat. Masyarakat miskin dan
penerima jaminan sosial kerap mendapatkan pelayanan yang mengecewakan, baik
itu dari segi ketersediaan fasilitas ataupun dari segi tenaga medis dalam melayani.
Bahkan banyak terjadi kasus dimana pasien meninggal dunia dikarenakan tidak
segera mendapatkan penanganan dari tenaga kesehatan. Hal ini sangatlah tidak
sesuai dengan nilai keadilan sosial pada sila kelima Pancasila.
4.2 Rekomendasi
Sebagai tenaga kesehatan tidak seharusnya mendiskriminasi masyarakat
miskin dalam memperoleh layanan kesehatan. Sesuai dengan sumpah profesi
dimana tugas dan tanggung jawab tenaga kesehatan tidak boleh membeda-
bedakan dari segi apapun. Sebagai tenaga kesehatan yang profesional haruslah
melayani masyarakat dengan ketulusan sepenuh hati. Memprioritaskan
keselamatan dan kesehatan pasien adalah tanggung jawab seorang tenaga
kesehatan. Seorang tenaga kesehatan haruslah memiliki sikap empati kepada siapa
pun yang membutuhkan pertolongan. Jiwa nasionalisme juga harus dimiliki oleh
semua tenaga kesehatan. Selain itu, pemerintah juga haruslah lebih tegas dalam
menangani kesenjangan ini. Jaminan sosial yang terapkan seharusnya mampu
menciptakan keadilan terutama pada masyarakat miskin dalam memperoleh
layanan kesehatan.
21
DAFTAR PUSTAKA
Hadiyati, I., dkk. 2017. Konsep Kualitas Pelayanan Kesehatan Berdasar Atas
Ekspektasi Peserta Jaminan Kesehatan Nasional. MKB. 49(2): 102-109.
Haryanto, A., dan J. Suranto. 2012. Pelayanan Kesehatan (Studi Rawat Inap Di
Pusat Kesehatan Masyarakat (Puskesmas), Kecamatan Baturetno Kabupaten
Wonogiri). Transformasi. 14(22): 1-10.
22