Anda di halaman 1dari 25

KESENJANGAN SOSIAL MASYARAKAT MISKIN TERHADAP

AKSESIBILITAS PELAYANAN KESEHATAN SEBAGAI BENTUK


INKONSISTENSI SILA KELIMA PANCASILA

MAKALAH PENDIDIKAN KEWARGANEGARAAN

Dosen Pengampu : Arif, S.Sos., M.AP.

oleh:
Fahma Sri Mahrifa
NIM 192310101045
Fakultas Keperawatan
Kelas 10

UNIVERSITAS JEMBER
2020
KATA PENGANTAR

Puji syukur saya ucapkan atas kehadirat Allah SWT yang telah
melimpahkan rahmat serta hidayah-Nya sehingga saya dapat menyelesaikan
makalah yang berjudul “Kesenjangan Sosial Masyarakat Miskin Terhadap
Aksesibilitas Pelayanan Kesehatan Sebagai Bentuk Inkonsistensi Sila Kelima
Pancasila” ini dengan baik.
Makalah ini disusun guna memenuhi penilaian Ujian Akhir Semester Mata
Kuliah Umum Pendidikan Kewarganegaraan. Adapun makalah ini membahas
tentang salah satu ketidaksesuaian sila kelima pancasila dalam bidang kesehatan.
Referensi dalam penyusunan makalah ini berasal dari hasil pencarian materi yang
bersumber dari buku maupun jurnal terkait.
Saya berterima kasih semua pihak yang terlibat dalam membantu
penyelesaian makalah ini. Semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi para
pembaca. Saya menyadari makalah ini masih banyak sekali kekurangan. Oleh
karena itu, dengan kerendahan hati saya mengharap kritik dan saran yang
membangun guna menjadikan makalah ini lebih baik lagi.

Jember, 20 Juni 2020

Penulis

ii
DAFTAR ISI

Halaman
HALAMAN JUDUL ............................................................................... i
KATA PENGANTAR ............................................................................. ii
DAFTAR ISI ........................................................................................... iii

BAB 1. PENDAHULUAN ..................................................................... 1


1.1 Latar Belakang ..................................................................... 1
1.2 Rumusan Masalah ................................................................ 4
1.3 Tujuan .................................................................................. 4
BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA ............................................................. 6
2.1 Pancasila .............................................................................. 6
2.2 Nilai-Nilai Pancasila ............................................................ 7
2.3 Layanan Kesehatan yang Berkeadilan ................................. 11
2.4 Aksesibilitas Masyarakat Miskin terhadap Pelayanan
Kesehatan ............................................................................ 13
2.5 Kesenjangan Sosial Masyarakat Miskin dalam Pelayanan
Kesehatan ............................................................................ 15
2.6 Upaya Pemerintah dalam Kesenjangan Sosial Pelayanan
Kesehatan ........................................................................... 16
BAB 3. PEMBAHASAN ......................................................................... 19
BAB 4. KESIMPULAN DAN REKOMENDASI ................................. 21
4.1 Kesimpulan .......................................................................... 21
4.2 Rekomendasi ........................................................................ 21

DAFTAR PUSTAKA .............................................................................. 22

iii
BAB 1. PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Kesehatan merupakan kebutuhan individu yang penting dan mendesak.
Kesehatan merupakan hak asasi manusia dan unsur kesejahteraan masyarakat
yang harus diwujudkan sebagaimana yang tercantum dalam Undang-Undang
Dasar 1945. Kesehatan bukan hanya dipandang sebagai instrument yang
fungsional bagi kehidupan individu, melainkan sebagai hak setiap individu yang
harus didapatkan melalui pelayanan kesehatan.
Paradigma sehat sebagai sebuah konsep pemikiran tidak hanya dapat dicapai
dalam pengejawantahannya oleh tenaga kesehatan atau kedokteran saja.
Paradigma sehat merupakan konsep pemikiran yang dalam pengejawantahannya
diperlukan banyak disiplin keilmuan, ahli ilmu-ilmu sosial, ilmu pengetahuan
budaya, ilmu-ilmu teknik, ilmu gizi, ilmu-ilmu perilaku, ilmuilmu agama, dan
tidak kalah penting, yaitu pengambil keputusan politik pembangunan negara dan
wilayah / daerah (Haryanto dan Suranto, 2012).
Pada dasarnya setiap manusia membutuhkan pelayanan, bahkan dapat
dikatakan bahwa pelayanan tidak dapat dipisahkan dengan kehidupan manusia.
Pelayanan merupakan suatu kegiatan atau urutan kegiatan yang terjadi
dalam interaksi langsung antar seseorang dengan orang lain atau mesin secara
fisik, dan menyediakan kepuasan pelanggan (Lukman, 2000 dalam Haryanto dan
Suranto, 2012). Pelayanan sebagai proses pemenuhan kebutuhan
melalui aktivitas orang lain secara langsung.
Pembangunan kesehatan merupakan upaya untuk memenuhi salah satu hak
dasar rakyat, yaitu hak untuk memperoleh pelayanan kesehatan sesuai dengan
Undang Undang Dasar 1945 Pasal 28 H ayat (1) dan Undang-undang Nomor 23
Tahun 1992 tentang Kesehatan (Haryanto dan Suranto, 2012).
Pelayanan kesehatan menurut Departemen Kesehatan Republik Indonesia
Tahun 2009 (Depkes RI) yang tertuang dalam Undang-Undang Kesehatan tentang
kesehatan ialah setiap upaya yang diselenggarakan sendiri atau secara
bersamasama dalam suatu organisasi untuk memelihara dan meningkatkan

1
kesehatan, mencegah dan menyembuhkan penyakit serta memulihkan kesehatan,
perorangan, keluarga, kelompok ataupun masyarakat (Mertisanfara, 2018).
Pelayanan kesehatan dalam Undang-undang Nomor 36 tahun 2009 tentang
kesehatan mencakup pelayanan promotif, preventif, kuratif dan rehabilitatif yang
diusahakan oleh pemerintah pusat, pemerintah daerah dan/atau masyarakat. Hak
atas pelayanan kesehatan dijamin oleh UUD 1945 Pasal 28 H ayat 1 yang
menyebutkan bahwa “ setiap penduduk berhak atas pelayanan kesehatan”
(Widianto, 2013).
Kualitas pelayanan rumah sakit termasuk Puskesmas, dapat diketahui dari
penampilan profesional personil rumah sakit/Puskesmas, efisiensi dan efektivitas
pelayanan serta kepuasan pasien. Kepuasan pasien ditentukan oleh keseluruhan
pelayanan: pelayanan dokter, perawat, makanan, obat-obatan, sarana dan
peralatan, fasilitas dan lingkungan fisik rumah sakit serta pelayanan administrasi
(Haryanto dan Suranto, 2012).
Pelayanan kesehatan yang berkualitas merupakan pelayanan yang mengacu
pada preferensi, ekspektasi, dan juga kebutuhan pasien. Pandangan pasien
mengenai apa yang penting bagi mereka tentang pelayanan kesehatan merupakan
aspek yang penting dalam pelayanan kesehatan. Ekspektasi pasien
merupakan harapan pasien atas pelayanan kesehatan yang diterimanya. Dengan
mengukur ekspektasi pasien, pelayanan yang diberikan dapat memenuhi harapan
pasien. Oleh karena itu, perlu dilakukan suatu eksplorasi mengenai ekspektasi
pasien pelayanan kesehatan yang berkualitas (Hadiyati et al, 2017).
Peningkatan derajat kesehatan masyarakat sangat penting dalam rangka
meningkatkan produktivitas masyarakat. Dalam peningkatan pelayanan kesehatan
dasar masih terdapat permasalahan, seperti pelayanan kesehatan kepada
masyarakat miskin masih sangat rendah, masyarakat miskin seringkali mengalami
keluhan seperti pelayanan medis, pelayanan obat-obatan, pelayanan administrasi
dan pembuatan surat rujukan yang belum memuaskan (Mertisanfara, 2018).
Masyarakat memiliki hak untuk mendapatkan akses pelayanan kesehatan
yang berkualitas, aman, dan juga terjangkau. Pemerintah telah
berupaya untuk meningkatkan akses pelayanan kesehatan terutama bagi

2
masyarakat dengan ekonomi rendah dengan mengadakan program Jaminan
Kesehatan Nasional yang sudah diselenggarakan sejak Januari 2014. Akibat
peningkatan akses pelayanan kesehatan ini terjadi peningkatan kunjungan pasien
di fasilitas kesehatan, termasuk di rumah sakit. Hal ini menyebabkan pelayanan
kurang optimal yang ditunjukkan dengan ketidakpuasan pasien di
era Jaminan Kesehatan Nasional. Padahal, pelayanan kesehatan yang diberikan
pada masyarakat penerima bantuan Jaminan Kesehatan Nasional dituntut untuk
tetap berkualitas (Hadiyati et al, 2017).
Berdasarkan Peraturan Menteri Kesehatan RI Nomor 71 Tahun 2013
tentang Pelayanan Kesehatan pada Jaminan Kesehatan Nasional, adapun proses
pelayanan kesehatan dan kualitas pelayanan berkaitan dengan ketersediaan sarana
kesehatan yang terdiri dari pelayanan kesehatan dasar (puskesmas, balai
pengobatan), pelayanan rujukan (rumah sakit), ketersediaan tenaga kesehatan,
peralatan dan obat-obatan (Mertisanfara, 2018).
Masyarakat miskin cenderung memiliki derajat kesehatan yang rendah,
penyebab utama dari rendahnya derajat kesehatan masyarakat miskin selain
ketidakcukupan pangan adalah keterbatasan akses terhadap layanan kesehatan
dasar, rendahnya mutu layanan kesehatan dasar, kurangnya pemahaman terhadap
perilaku hidup sehat, dan kurangnya layanan kesehatan reproduksi (Mertisanfara,
2018).
Masalah aksesibilitas penduduk miskin terhadap pelayanan kesehatan
menjadi persoalan serius yang belum terselesaikan. Aksesibilitas yang dimaksud
mencakup akses fasilitas kesehatan, akses biaya kesehatan dan akses informasi
terkait kesehatan. Karakteristik masyarakat miskin dalam mengakses pelayanan
kesehatan menurut bukan hanya diukur dari besaran penghasilan saja, melainkan
juga diukur dari jarak tempuh ke pelayanan kesehatan, akses informasi terkait
kesehatan, tingkat pendidikan dan rutinitas (jam kerja) yang padat (Widianto,
2013).
Sering kali pemberian pelayanan oleh instansi terkait kurang memberikan
yang terbaik bagi masyarakat. Pengguna layanan kesehatan khususnya peserta
BPJS termasuk masyarakat miskin banyak yang mengeluhkan ketapatan dan

3
kecepatan waktu pelayanan, kedatangan dokter yang sering terlambat, tingkat
cepat tanggapnya aparat, kejelasan informasi, rendahnya tingkat kesopanan dan
keramahan, kurangnya tingkat perhatian dan keadilan, dan fasilitas yang tidak
terawat dengan baik (Mertisanfara, 2018).
Salah satu contoh yaitu kualitas pelayanan kesehatan di Bandar Lampung.
Pelayanan kesehatan kepada penduduk miskin masih sangat rendah, dari 59.183
jumlah keluarga miskin yang memiliki kartu sehat hanya 27.530 Kartu Keluarga
(KK). Berarti masih terdapat 30% keluarga miskin yang belum terjangkau
Jamkesmas, sedangkan yang mendapatkan pelayanan kesehatan hanya 38.783 KK
serta ibu hamil yang mendapatkan pelayanan anternal care dari 8.720 ibu hamil
keluarga miskin hanya 3.327 ibu hamil yang mendapatkan pelayanan. Dalam
konteks ini terlihat bahwa persoalan dasar kesehatan masih merupakan masalah
serius (Mertisanfara, 2018).

1.2 Rumusan Masalah


Berdasarkan permasalahan tersebut, maka rumusan masalah yang dapat
diambil antara lain :
1.2.1 Bagaimana nilai-nilai yang terkadung dalam Pancasila?
1.2.2 Bagaimana layanan kesehatan yang berkeadilan?
1.2.3 Bagaimana aksesibilitas masyrakarat miskin terhadap pelayanan
kesehatan?
1.2.4 Bagaimana kesenjangan sosial masyarakat miskin dalam pelayanan
kesehatan?
1.2.5 Bagaimana upaya pemerintah dalam kesenjangan sosial pelayanan
kesehatan?

1.3 Tujuan
Adapun tujuan dari penyusunan makalah ini antara lain :
1.3.1 Mengetahui nilai-nilai yang terkadung dalam Pancasila.
1.3.2 Mengetahui layanan kesehatan yang berkeadilan.
1.3.3 Mengetahui aksesibilitas masyrakarat miskin terhadap pelayanan
kesehatan.

4
1.3.4 Mengetahui kesenjangan sosial masyarakat miskin dalam pelayanan
kesehatan.
1.3.5 Mengetahui upaya pemerintah dalam kesenjangan sosial pelayanan
kesehatan.

5
BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Pancasila
Pancasila sebagai dasar negara, ideologi, pandangan dan falsafah hidup
yang harus dipedomani bangsa indonesia dalam proses penyelenggaraan
kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara dalam mewujudkan cita-cita
proklamasi kemerdekaan. Nilai-nilai luhur yang terkandung di dalamnya
merupakan nilai-nilai luhur yang digali dari budaya bangsa dan memiliki nilai
dasar yang diakui secara universal dan tidak akan berubah oleh perjalanan waktu.
Cita-cita bangsa Indonesia yang berdasarkan Pancasila sebagaimana
dimaksud dalam alinea ke empat Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945, yaitu melindungi segenap bangsa Indonesia dan
seluruh tumpah darah Indonesia, memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan
kehidupan bangsa, dan ikut serta melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan
kemerdekaan, perdamaian abadi, dan keadilan sosial senantiasa diwujudkan dalam
kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara (Windhatria, 2012).
Kedudukan tersebut secara rinci dapat dinyatakan sebagai berikut
(Sulisworo et al, 2012) :
a. Pancasila merupakan sumber dari segala sumber hukum (sumber tertib hukum)
di Indonesia. Pancasila merupakan asas kerohkanian tertib hukum yang dalam
Pembukaan UUD1945 dijelmakan lebih lanjut ke dalam empat pokok pikiran.
b. Pancasila meliputi suasana kebatinan (geistlichenhintergrund) dari UUD1945.
c. Pancasila mewujudkan cita-cita hukum bagi hukum dasar Negara, baik hukum
tertulis maupun tidak tertulis.
d. Pancasila mengandung norma yang mewajibkan pemerintah dan lainlain
penyelenggara Negara (termasuk para penyelenggara partai dan golongan
fungsional) untuk memelihara budi pekerti (moral) kemanusiaan yang luhur
dan memegang teguh cita-cita moral rakyat yang luhur. Hal ini sesuai dengan
Pokok Pikiran ke empat Pembukaan UUD1945.

6
2.2 Nilai-Nilai Pancasila
Nilai-nilai Pancasila haruslah diketahui, dipahami, dan diimpelmentasikan
oleh bangsa Indonesia dalam kehidupan sehari-hari untuk dapat mewujudkan
mewujudkan cita-cita proklamasi kemerdekaan. Nilai-nilai luhur yang terkandung
di dalamnya merupakan nilai-nilai luhur yang digali dari budaya bangsa dan
memiliki nilai dasar yang diakui secara universal dan tidak akan berubah oleh
perjalanan waktu.
2.6.1 Sila Pertama : Ketuhanan Yang Maha Esa

Sumber : Wikipedia, 2010


Sila Ketuhanan Yang Maha Esa merupakan “roh” sekaligus dasar dari
keempat sila lainnya. Ketuhanan Yang Maha Esa bermakna bahwa Bangsa
Indonesia adalah Negara yang monotheisme percaya terhadap Tuhan yang satu
bukan sebaliknya. Dengan kata lain, negara Indonesia berlandaskan agama
(Octavian, 2018).
Pancasila dengan sila pertamanya, adalah sebuah falsafah yang sesuai dan
bersahabat dengan agama. Oleh karenanya, sudah seharusnya sebagai Insan yang
beriman dan bertakwa kepada Allah dengan mendirikan perintahnya guna
meningkatkan kesalehan kita. Kita sebagai bangsa Indonesia sudah sepatutnya
menyadari realitas kemajemukan Indonesia sebagai sebuah berkah dari Allah,
yang perlu dikembangkan dan dilestarikan. Keberagaman semestinya tidak
bersifat hierarkis, melainkan egaliter, dan oleh karena itu berimplikasi pada nilai
etis toleransi. Sebagai umat beragama yang beriman dan bertakwa kepada Allah,
sudah semestinya kita menanamkan nilai-nilai kebenaran, kebaikan, kejujuran,
dan kemuliaan dalam diri, sehingga meningkatkan moral bangsa (Octavian, 2018).

7
2.6.2 Sila Kedua : Kemanusiaan Yang Adil dan Beradab

Sumber : Wikipedia, 2010


Nilai yang terkandung dari sila kedua pancasila adalah nilai kemanusiaan.
Kemanusiaan yang dimaksud adalah manusia yang adil dan beradab, menjunjung
tinggi nilai-nilai keadilan dan martabat manusia sebagai makhluk Tuhan, yang
diwujudkan dalam semangat saling menghargai, toleran, yang dalam perilaku
sehari-hari didasarkan pada nilai-nilai moral yang tinggi, serta untuk kepentingan
bersama.
Dengan mengimplementasikan sila kedua ini diharapkan bahwa
permaslahan yang dialami bangsa saat ini seperti tidak adanya toleransi, konflik
antar golongan, pengangguran, kemiskinan, mafia kasus, korupsi, diskriminasi
dan kesenjangan sosial, tindakan kekerasan, baik secara vertikal maupun
horizontal, dapat teratasi (Octavian, 2018).
2.6.3 Sila Ketiga : Persatuan Indonesia

Sumber : Wikipedia, 2010


Indonesia adalah Negara yang kaya akan keberagaman suku, agama, bahasa,
budaya, dan ras. Namun dengan terbentuknya NKRI, dimulailah komitmen
bersama untuk terus membentengi keberagaman itu untuk mewujudkan Indonesia
yang maju, adil, dan sejahtera. Itulah makna yang terkandung dari sila persatuan

8
Indonesia. Sesuai dengan konstitusi tujuan negara ialah berkewajiban memberikan
perlindungan kepada segenap tumpah darah Indonesia dan seluruh isinya dengan
semangat persatuan tersebut. Perlakuan yang sama pada seluruh warga
dimananapun berada haruslah dilakukan oleh pemerintah tanpa memandang latar
belakang suku, ras, budaya, maupun agamanya (Octavian, 2018).
Warga negara dalam semangat kebersamaan seharusnya melakukan
tindakan yang tetap menunjukkan sikap dan perbuatan yang NKRI untuk
kebahagiaan dan kemajuan bersama. Semangat persatuan inilah yang harus terus
dijaga agar NKRI tetap eksis, dan dapat menjadi kuat karena terbangun dari
jalinan keberagaman yang harmonis (Octavian, 2018).
2.6.4 Sila Keempat : Kerakyatan yang Dipimpin oleh Hikmat Kebijaksanaan
dalam Permusyawaratan/Perwakilan

Sumber : Wikipedia, 2010


Konstitusi mengamanatkan untuk mewujudkan negara yang demokratis,
yang mana kedaulatan diserahkan sepenuhnya kepada rakyat. Nilai yang
terkandung Sila keempat pancasila adalah pedoman berdemokrasi Indonesia.
Namun bagaimana cara mengimplementasikan demokrasi Indonesia masih dalam
tahap pencarian identitas. Sejak merdeka, Indonesia telah melalui be-berapa
tahapan demokrasi, yaitu demokrasi masa revolusi, demokrasi parlementer,
demokrasi terpimpin, demokrasi era orde baru dan demokrasi era reformasi
(Octavian, 2018).
Bagaimana dasar demokrasi khas Indonesia, dikemukakan oleh Soekarno di
depan sidang BPUPKI 1 Juni 1945. Soekarno berpidato, “… Dasar itu ialah dasar
mufakat, dasar perwakilan, dasar permusyawaratan. Negara Indonesia bukan satu
negara untuk satu orang, bukan negara untuk satu golongan, walaupun golongan

9
kaya. Tetapi kita mendirikan negara, “satu untuk semua, satu buat semua, semua
buat satu. Saya yakin bahwa syarat yang mutlak untuk kuatnya negara Indonesia
ialah per-musyawaratan perwakilan” (Amin Arjoso ed. 2002, hal 25 dalam
Oetama, dkk). Dengan kata lain demokrasi Indonesia adalah musyawarah
mufakat. Namun, dalam kenyataannya, pelaksanaan praktik politik di Indonesia
belum mengutamakan permusyawaratan untuk mufakat. Sebaliknya, tren baru
yang berkembang pada saat ini mengarah pada demokrasi transaksional. Uang
menjadi kekuatan dalam menguasai politik, kelompok yang memiliki uang yang
berlimpah yang akan menguasai dan memenangkan perpolitikan. Inilah yang pada
akhirnya dikhawatirkan akan memberikan negara kepada kendali suatu kelompok
tertentu. Kondisi ini akan diperparah apabila demokrasi ekonomi, dan sosial tidak
dilakukan, dan pemimpin yang visioner tidak dimiliki. Oleh karena itu, penting
untuk mengkaji ulang gagasan demokrasi sesungguhnya sesuai dengan amanat
sila ke empat pancasila (Octavian, 2018).
2.6.5 Sila Kelima: Keadilan Sosial Bagi Seluruh Rakyat Indonesia

Sumber : Wikipedia, 2010


Sila keadilan sosial mengandung makna bahwa setiap warganegara
diperlakukan sama tanpa adanya perbedaan suku, ras, agama, bahasa, kaya dan
miskin, maupun jabatan. Semua warganegara harus diperlakukan adil oleh negara.
Perwujudan dari sila keadilan sosial ini dapat berupa penegakan mukum dengan
asas keadilan bukan keuangan dan jabatan, tidak ada tekanan baik fisik maupun
mental terhadap rakyat, mendapatkan kehidupan yang sejahterah atau terbebas
dari kemiskinan, dan kebodohan, serta dari tekanan pihak asing. Pemerintah
berpihak kepada rakyat yang harus dibela, bukan kepada golongan tertentu yang
mempunyai kepentingan. Itulah prinsip keadilan yang terkandung dalam sila ke-

10
lima. Namun sesungguhnya prinsip keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia
menjadi anak tangga pertama yang harus dipijak dalam kehidupan berbangsa dan
bernegara (Octavian, 2018).
Keadilan dalam konteks aturan, kebijakan, tindakan, dan perlakuan yang
adil terhadap rakyatnya dapat membuat masyarakat leluasa bermusyawarah dan
bermufakat mencari solusi persoalan. Tegaknya keadilan membuat bangsa akan
lebih mudah dalam menyatukan kekuatan untuk dapat mewujudkan
kemakmurannya yang bermartabat. Keadilan juga akan mempertebal rasa
kemanusiaan dan saling mencintai sesama ciptaan Tuhan. Akhirnya keadilan
dapat membuat setiap orang tenang beribadah tanpa harus merasa terancam oleh
kelompok lain yang berbeda keyakinan (Octavian, 2018).
Keadilan sosial merupakan keadilan yang berlaku dalam masyarakat di
berbagai bidang kehidupan termasuk kesehatan. Keadilan sosial menjamin setiap
warga negara diperlakukan dengan adil dalam bidang hukum, ekonomi, budaya,
sosial, kedudukan masyarakat serta kesehatan. Nilai vital dalam sila kelima adalah
mewujudkan kemajuan yang merata dan berkeadilan sosial, dalam makna untuk
menjunjung tinggi harkat dan martabat manusia. Sila kelima ini mengandung
perbuatan-perbuatan yang luhur yang mencerminkan sikap dan suasana
kekeluargaan dan gotong-royong (Prasetyowati, 2016).

2.3 Layanan Kesehatan yang Berkeadilan


Sudah sejak lama kita dengar, banyak masyarakat disekitar kita yang
membanding-bandingkan rumah sakit luar negeri dengan yang ada di dalam
negeri, terutama yang dikelola oleh pemerintah. Yang dibandingkan itu bukan
sekedar fasilitas, pelayanannya juga. Yaitu cara tenaga kesehatan memberikan
pelayanan kesehatan, sikap tenaga kesehatan dalam menghadapi klien
(masyarakat yang menerima layanan kesehatan). Karena ketika kita berbicara
tentang “pelayanan”, tentu saja bukan sekedar ketersediaan fasilitas yang lengkap,
tetapi lebih kepada proses pemberikan layanan tersebut.
Jika kita lihat kembali pada sumpah profesi beberapa bidang kesehatan di
Indonesia, “yang katanya” dalam menjalankan tugas profesi atas dasar

11
kemanusiaan, tidak akan membeda-bedakan si kaya atau si miskin, pangkat,
kedudukan, golongan, bangsa dan agama. Tentu saja sekarang ini sumpah profesi
tersebut sudah sangat jauh panggang dari api.
Mestinya, sebagai insan kesehatan, tenaga profesi perawat, dokter, bidan
dan profesi di bidang kesehatan lainnya, terutama yang kesehariannya
berhubungan langsung dengan Pejabat Pemimpin Negeri (Presiden, Menteri,
Gubernur, Bupati/Walikota), mampu menjelaskan tugas dan tanggungjawab
profesi-nya dengan benar. Tugas dan tanggungjawab yang sesuai dengan sumpah
profesinya. Sehingga regulasi hukum dan aturan yang dikeluarkan oleh
pemerintah, sesuai dengan standar profesi tenaga kesehatan yang ada di Indonesia.
Agar tenaga kesehatan di Indonesia dapat memberi layanan kesehatan yang
profesional, dan klien yang mendapatkan pelayanan kesehatan tidak merasakan
adanya diskriminasi.
Masyarakat yang menerima layanan kesehatan tentu akan lebih bangga,
andai saja pelayanan kesehatan di Negara kita tidak lagi membedakan golongan
dan kelas-kelas seperti yang terjadi sekarang ini. Andai saja pelayanan kesehatan
bisa disamaratakan, uang rakyat yang digunakan untuk menyediakan fasilitas VIP
dan VVIP di instansi pelayanan kesehatan yang dikelola oleh pemerintah itu
digunakan untuk melengkapi dan meningkatkan kualitas SDM dan fasilitas yang
dibutuhkan. Tentu hal itu akan berdampak lebih positif bagi perkembangan
pelayanan kesehatan di Negara kita. Bukankah Sila Ke-5 Pancasila yang
merupakan asas Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) adalah “keadilan
sosial bagi seluruh rakyat Indonesia”. Lalu mengapa penyelenggaraan layanan
kesehatan di Negara kita ini tidak sejalan dengan hal tersebut, kenapa ya?
Dengan mindset hedonis, tentu saja konsep seperti yang kami sampaikan ini
akan sangat sulit untuk diterima, butuh keberanian seorang pemimpin untuk
melakukan perubahan, demi masyarakat banyak, bukan sekedar demi pencitraan
dan isu kampanye pemilihan calon pemimpin negeri. Masyarakat sudah muak
dengan kepalsuan yang berlangsung sekarang ini. Harusnya, pemimpin di negeri
ini mengerti itu. Rakyat butuh bukti nyata!

12
Apapun alasannya, pemberian layanan kesehatan yang membedakan kelas
di instansi pelayanan kesehatan yang dinaungi langsung oleh Pemerintah, dan
menggunakan uang rakyat dalam pembangunan dan pengelolaannya, adalah hal
yang tidak layak, dan harus segera dihentikan. Karena tidak sejalan dengan
Pancasila.

2.4 Aksesibilitas Masyarakat Miskin Terhadap Pelayanan Kesehatan


Kesehatan merupakan hak asasi manusia dan unsur kesejahteraan
masyarakat yang harus diwujudkan sebagaimana yang tercantum dalam Undang-
Undang Dasar 1945. Oleh karena itu negara dan pemerintah bertanggungjawab
untuk memenuhi kebutuhan dasar setiap warga negara, salah satunya dengan
memberikan dan menjamin warga negara memperoleh pelayanan kesehatan yang
layak, sesuai dengan fokus utama pemerintah dalam memperbaiki tingkat
kesejahteraan masyarakat yang tercantum didalam Undang-Undang Dasar Pasal 3
ayat 3 yang berbunyi “Negara bertanggungjawab atas penyediaan fasilitas
pelayanan kesehatan dan fasilitas pelayanan umum yang layak (Mertisanfara,
2018).
Kesehatan bukan hanya dipandang sebagai instrument yang fungsional bagi
kehidupan individu, melainkan sebagai hak setiap individu yang harus didapatkan
melalui pelayanan kesehatan. Pelayanan kesehatan dalam Undang-undang Nomor
36 tahun 2009 tentang kesehatan mencakup pelayanan promotif, preventif, kuratif
dan rehabilitatif yang diusahakan oleh pemerintah pusat, pemerintah daerah
dan/atau masyarakat. Hak atas pelayanan kesehatan dijamin oleh UUD 1945 Pasal
28 H ayat 1 yang menyebutkan bahwa “ setiap penduduk berhak atas pelayanan
kesehatan” (Widianto, 2013).
Pelayanan kesehatan menurut Departemen Kesehatan Republik Indonesia
Tahun 2009 (Depkes RI) yang tertuang dalam Undang-Undang Kesehatan tentang
kesehatan ialah setiap upaya yang diselenggarakan sendiri atau secara
bersamasama dalam suatu organisasi untuk memelihara dan meningkatkan
kesehatan, mencegah dan menyembuhkan penyakit serta memulihkan kesehatan,
perorangan, keluarga, kelompok ataupun masyarakat. Pelayanan kesehatan

13
tersebut diselenggarakan dengan berdasarkan kepada Sistem Kesehatan Nasional
(SKN) yaitu suatu tatanan yang menghimpun berbagai upaya bangsa Indonesia
secara terpadu dan saling mendukung guna menjamin derajat kesehatan yang
setinggitingginya. Berdasarkan Peraturan Menteri Kesehatan RI Nomor 71 Tahun
2013 tentang Pelayanan Kesehatan pada Jaminan Kesehatan Nasional, adapun
proses pelayanan kesehatan dan kualitas pelayanan berkaitan dengan ketersediaan
sarana kesehatan yang terdiri dari pelayanan kesehatan dasar (puskesmas, balai
pengobatan), pelayanan rujukan (rumah sakit), ketersediaan tenaga kesehatan,
peralatan dan obat-obatan.
Masalah aksesibilitas penduduk miskin terhadap pelayanan kesehatan
menjadi persoalan serius yang belum terselesaikan. Aksesibilitas yang dimaksud
mencakup akses fasilitas kesehatan, akses biaya kesehatan dan akses informasi
terkait kesehatan. Karakteristik masyarakat miskin dalam mengakses pelayanan
kesehatan menurut bukan hanya diukur dari besaran penghasilan saja, melainkan
juga diukur dari jarak tempuh ke pelayanan kesehatan, akses informasi terkait
kesehatan, tingkat pendidikan dan rutinitas (jam kerja) yang padat (Widianto,
2013).
Akses masyarakat miskin terhadap pelayanan kesehatan masih sering
terkendala oleh faktor internal dan eksternal masyarakat (Widianto, 2013).
Faktor internal meliputi :
1. Kurangnya kesadaran warga miskin untuk berperilaku hidup sehat.
2. Kurangnya minat warga miskin untuk berobat ke puskesmas.
3. Kurangnya pemahaman tentang manfaat kartu askeskin.
4. Kurangnya partisipasi warga miskin dalam kegiatan
pelayanan kesehatan.
Sedangkan kendala-kendala eksternal (berasal dari penyedia layanan
kesehatan : provider) yaitu:
1. Kurangnya jumlah tenaga kesehatan
2. Kurangnya kualitas tenaga kesehatan
3. Kurangnya mutu pelayanan kesehatan

14
4. Penempatan tenaga kesehatan yang tidak sesuai dengan situasi di
lapangan
5. Kurangnya sistem informasi kesehatan
6. Terbatasnya alokasi anggaran kesehatan
7. Terbatasnya fasilitas penunjang layanan kesehatan. Semua faktor
tersebut mempengaruhi akses pelayanan kesehatan yang diterima
warga miskin.
Meskipun akses pada pelayanan kesehatan terbuka, namun masih sering
terjadi diskriminasi pada masyarakat miskin. Diskriminasi pelayanan kesehatan
dapat muncul karena perbedaan sikap dalam pemberian pelayanan yang
dipengaruhi status pengguna layanan. Status sosial-ekonomi pengguna layanan
kesehatan turut menentukan kualitas pelayanan kesehatan yang diterima dari
health provider. Penghasilan pasien atau pengguna menjadi salah satu faktor yang
berpengaruh terhadap kualitas pelayanan kesehatan yang diterima. Kebutuhan
(needs) para pasien dan keinginan (want) para health provider pada pelayanan
kesehatanakan disesuaikan dengan uang yang tersedia (Widianto, 2013).

2.5 Kesenjangan Sosial Masyarakat Miskin dalam Pelayanan Kesehatan


Masalah kemiskinan sampai saat ini masih menjadi masalah penting. Secara
kuantitas jumlah penduduk miskin bertambah, dan ini menyebabkan
permasalahan biaya yang harus ditanggung oleh pemerintah. Tahun 2014
pemerintah harus memberikan uang premium jaminan kesehatan sebanyak 86,4
juta orang miskin dan mendekati miskin. Data BPS menunjukkan bahwa ternyata
selama tahun 2013 telah terjadi kenaikan indeks kedalaman kemiskinan dari
1,75% menjadi 1,89% dan indeks keparahan kemiskinan dari 0,43% menjadi
0,48%. Hal ini berarti tingkat kemiskinan penduduk Indonesia semakin parah,
sebab semakin menjauhi garis kemiskinan, dan ketimpangan pengeluaran
penduduk antara yang miskin dan yang tidak miskin pun semakin melebar
(Prasetyowati, 2016).
Kesehatan dan kemiskinan adalah dua hal yang sangat berkaitan satu sama
lain. Walaupun keduanya tidak berhubungan namun sekarang dapat dikaji

15
keterkaitan antara keduanya. Dalam suatu masyarakat tentunya dapat dibedakan
mana yang merupakan tergolong sebagai masyarakat kaya, menengah, dan
miskin. Adanya penggolongan tersebut juga berimbas dalam masalah aspek
kehidupannya, termasuk didalamnya yaitu aspek kesehatan. Masyarakat miskin
cenderung memiliki derajat kesehatan yang rendah, penyebab utama dari
rendahnya derajat kesehatan masyarakat miskin selain ketidakcukupan pangan
adalah keterbatasan akses terhadap layanan kesehatan dasar, rendahnya mutu
layanan kesehatan dasar, kurangnya pemahaman terhadap perilaku hidup sehat,
dan kurangnya layanan kesehatan reproduksi (Mertisanfara, 2018).
Faktor-faktor lain seperti kemampuan finansial, ketersediaan peralatan
kesehatan, kecukupan tenaga medis maupun paramedis, informasi tentang kondisi
kesehatan, serta jaringan bisnis di sektor kesehatan memiliki pengaruh yang
signifikan terhadap kesenjangan pelayanan kesehatan (Mertisanfara, 2018).
Beberapa data kesenjangan bidang kesehatan dapat dilihat pada hasil
Riskesdas 2013. Proporsi bayi lahir pendek, terendah di Provinsi Bali (9,6%) dan
tertinggi di Provinsi NTT (28,7%) atau tiga kali lipat dibandingkan yang terendah.
Kesenjangan yang cukup memprihatinkan terlihat pada bentuk partisipasi
masyarakat di bidang kesehatan, antara lain adalah keteraturan penimbangan
balita (penimbangan balita >4 kali ditimbang dalam 6 bulan terakhir). Keteraturan
penimbangan balita terendah di Provinsi Sumatera Utara (hanya 12,5%) dan
tertinggi 6 kali lipat di Provinsi DI Yogyakarta (79,0%). Ini menunjukkan
kesenjangan aktivitas Posyandu antar provinsi yang lebar. Dibandingkan tahun
2007, kesenjangan ini lebih lebar, ini berarti selain aktivitas Posyandu makin
menurun, variasi antar provinsi juga semakin lebar (Prasetyowati, 2016).

2.6 Upaya Pemerintah dalam Kesenjangan Sosial Pelayanan Kesehatan


Pemerintah mempunyai tanggung jawab dan peranan penting untuk
penyelenggaran pelayanan kesehatan masyarakat maupun perorangan, sehingga
masyarakat Indonesia bisa mendapatkan pelayanan kesehatan yang sesuai dengan
kebutuhannya sehingga kesejahteraan masyarakat dapat terjamin.

16
Untuk mengatasi kesenjangan masalah kesehatan, pemerintah Indonesia
memberlakukan kebijakan-kebijakan untuk mengentaskan masalah kesehatan.
Pemberlakuan Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN) untuk menuju Jaminan
Kesehatan Nasional ditargetkan pada tahun 2019 semua penduduk Indonesia telah
tercakup dalam Jaminan Kesehatan Nasional. Dengan adanya BPJS Kesehatan
masyarakat dapat memeriksakan kesehatan dan pengobatan kepada pelayanan
kesehatan tanpa harus takut membayar fasilitas kesehatan yang mahal, sehingga
setiap orang mendapatkan perlakuan sama pada pelayanan kesehatan
(Prasetyowati, 2016).
Peserta BPJS terdiri dari PBI dan non PBI, PBI merupakan penerima
bantuan iuran dari pemerintah dengan kategori orang fakir miskin dan orang tidak
mampu. Pada kelompok ini tidak perlu membayar premi setiap bulannya,
sedangkan non PBI merupakan peserta yang tidak tergolong dalam fakir miskin
dan orang tidak mampu, secara finansial peserta non PBI ini kelompok ekonomi
menengah keatas yang mampu membayar premi setiap bulan sesuai kelas
perawatan yang didaftarkan. Peserta PBI maupun non PBI mendapatkan
perlakuan yang sama dalam pelayanan kesehatan, yang membedakan hanya kelas
perawatan saja. Diberlakukannya JKN ini jelas menuntut dilakukannya
peningkatan akses dan mutu pelayanan kesehatan, baik pada fasilitas kesehatan
tingkat pertama maupun fasilitas kesehatan tingkat lanjutan, serta perbaikan
sistem rujukan pelayanan kesehatan (Prasetyowati, 2016).
Selain itu pemerintah juga memberlakukan Undang-Undang Tentang Desa.
Pada bulan Januari 2014 telah disahkan UU Nomor 6 tahun 2014 tentang Desa.
Sejak ditetapkan terdapat 77.548 desa mendapatkan dana desa setiap tahunnya
dengan besaran Rp 1 Miliar. Dana tersebut dapat digunakan untuk mendanai
kegiatan pembangunan desa, pemberdayaan, pemerintahan desa dan
kemasyarakatan. Dana desa sangat besar untuk mendanai pemberdayaan
masyarakat dalam bidang kesehatan, dengan adanya pemberdayaan masyarakat
dan pendanaan yang cukup harapannya dapat mengurangi masalah kesehatan
dengan membentuk Upaya Kesehatan Bersumberdaya Masyarakat (UKBM).
Dengan adanya UKBM akan lebih banyak usaha promotif dan preventif yang ada

17
di masyarakat, sehingga peranan UKBM dapat membantu dalam mengatasi
masalah kesehatan (Prasetyowati, 2016).
Dengan banyaknya program jaminan kesehatan diharapkan meningkatkan
aksesibilitas masyarakat miskin pada pelayanan kesehatan. Langkah pemerintah
tersebut memang sudah seharusnya dilakukan sebagai wujud
tanggung jawab negara terhadap rakyatnya. Namun, Pemerintah terkesan
mendominasi program pembangunan kesehatan dan kurang memperhatikan
variasi dan potensi lokal masyarakat untuk membangun pelayanan kesehatan yang
baik, tepat sasaran dan merata (Widianto, 2013).

18
BAB 3. PEMBAHASAN

Kesehatan merupakan kebutuhan dasar manusia, dimana apabila kebutuhan


ini tidak terpenuhi tentu akan memengaruhi kebutuhan dasar yang lainnya. Untuk
itu, setiap orang membutuhkan pelayanan kesehatan yang baik dan berkualitas.
Peningkatan derajat kesehatan masyarakat sangat penting dalam rangka
meningkatkan produktivitas masyarakat. Hak atas pelayanan kesehatan telah
dijamin oleh UUD 1945 Pasal 28 H ayat 1 yang menyatakan bahwa “setiap
penduduk berhak atas pelayanan kesehatan”.
Masyarakat miskin cenderung memiliki derajat kesehatan yang rendah.
Rendahnya derajat kesehatan masyarakat miskin selain disebabkan karena
ketidakcukupan ekonomi alam memenuhi nutrisi yang sehat, kurangnya
pemahaman mengenai perilaku hiudp sehat, juga disebabkan karena keterbatasan
akses terhadap layanan kesehatan dasar, dan rendahnya mutu layanan kesehatan.
Hingga kini, masih banyak masyarakat yang mengeluhkan pelayanan kesehatan,
terutama masyarakat miskin ataupun masyarakat yang menerima jaminan
kesehatan.
Menurut Departemen Kesehatan Republik Indonesia Tahun 2009 (Depkes
RI) dalam Undang-Undang Kesehatan tentang kesehatan, pelayanan kesehatan
ialah setiap upaya yang diselenggarakan sendiri atau secara bersamasama dalam
suatu organisasi untuk memelihara dan meningkatkan kesehatan, mencegah dan
menyembuhkan penyakit serta memulihkan kesehatan, perorangan, keluarga,
kelompok ataupun masyarakat.
Masyarakat miskin cenderung mendapatkan pelayanan kesehatan yang
berbeda atau tidak adil. Tidak hanya terkait ketersediaan fasilitas namun juga
seringkali mengalami keluhan seperti sikap tenaga medis yang tidak menunjukkan
sikap yang ramah dalam memberikan pelayanan kepada masyarakat, pelayanan
obat-obatan, pelayanan administrasi dan pembuatan surat rujukan yang belum
memuaskan, atau pasien tidak segera ditangani dengan berbagai alasan yang
diberikan. Bahkan banyak terjadi kasus dimana pasien meninggal karena tidak
segera mendapatkan penanganan.

19
Seperti yang kita ketahui, bahwasanya pada saat sumpah profesi tenaga
medis disumpah untuk menjalankan tugas dan tangguang jawab atas dasar
kemanusiaan, dimana tenaga medis tidak boleh membeda-bedakan masyarakat
atas dasar suku, ras, agama, kedudukan, pangkat, golongan, kaya atau miskin, dan
lain sebagainya. Namun kenyataannya masih banyak masyarakat miskin yang
diperlakukan tidak adil atau diskriminasi. Mestinya sebagai tenaga kesehatan yang
profesional mampu menjalankan tugas dan tanggungjawab sesuai dengan sumpah
profesinya agar dapat memberikan layanan kesehatan yang baik dan tidak adanya
diskriminasi pada masyarakat terutama pada masyarakat miskin.
Layanan kesehatan khususnya pada masyarakat miskin dan masyarakt
penerima jaminan sosial masih mengeluhkan ketapatan dan kecepatan waktu
pelayanan, kedatangan dokter yang sering terlambat, tingkat cepat tanggapnya
aparat, kejelasan informasi, rendahnya tingkat kesopanan dan keramahan,
kurangnya tingkat perhatian dan keadilan, dan fasilitas yang tidak terawat dengan
baik. Berbeda jika paa masyarakat yang mampu membayar biaya pengobatan,
mereka dilayani dengan baik dan cepat.
Kesenjangan sosial yang terjadi ini jelas saja tidak sesuai dengan sila kelima
Pancasila yang berbunyi “Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia”. Sila
kelima Pancasila mengandung makna bahwa setiap orang mendapat perlakuan
yang sama, tidak dibeda-bedakan atas dasar suku, ras, agama, bahasa, kaya dan
miskin, maupun jabatan. Diperlakukan secara adil dalam segala bidang
kehidupan, termasuk pelayanan kesehatan. Nilai-nilai dalam sila kelima Pancasila
yakni mewujudkan kemajuan yang adil dan merata dalam segala bidang, dimana
harkat dan martabat manusia dijunjung tinggi. Itu artinya, dalam pelayanan
kesehatan, setiap orang tanpa terkecuali haruslah mendapatkan pelayanan yang
sama, adil, dan tidak di diskriminasi.

20
BAB 4. KESIMPULAN DAN REKOMENDASI

4.1 Kesimpulan
Kesenjangan sosial dalam pelayanan kesehatan merupakan salah bentuk
inkonsistensi sila kelima Pancasila. Masyarakat miskin diperlakukan berbeda atau
tidak adil. Padahal tenaga medis disumpah untuk menjalankan tugas dan tanggung
jawab atas dasar kemanusiaan, dimana mereka tidak boleh membeda-bedakan
suku, ras, agama, golongan, kaya miskin, dan lain sebagainya. Namun masih
banyak terjadi kesenjangan sosial dalam masyarakat terkait pelayanan kesehatan.
Pemerintah memberikan bantuan jaminan sosial kepada masyarakat miskin
dengan tujuan agar mereka dapat memperoleh pelayanan kesehatan dengan baik
tanpa harus takut biaya pengobatan yang mahal. Namun kenyataannya masih
banyak penyimpangan yang terjadi di masyarakat. Masyarakat miskin dan
penerima jaminan sosial kerap mendapatkan pelayanan yang mengecewakan, baik
itu dari segi ketersediaan fasilitas ataupun dari segi tenaga medis dalam melayani.
Bahkan banyak terjadi kasus dimana pasien meninggal dunia dikarenakan tidak
segera mendapatkan penanganan dari tenaga kesehatan. Hal ini sangatlah tidak
sesuai dengan nilai keadilan sosial pada sila kelima Pancasila.

4.2 Rekomendasi
Sebagai tenaga kesehatan tidak seharusnya mendiskriminasi masyarakat
miskin dalam memperoleh layanan kesehatan. Sesuai dengan sumpah profesi
dimana tugas dan tanggung jawab tenaga kesehatan tidak boleh membeda-
bedakan dari segi apapun. Sebagai tenaga kesehatan yang profesional haruslah
melayani masyarakat dengan ketulusan sepenuh hati. Memprioritaskan
keselamatan dan kesehatan pasien adalah tanggung jawab seorang tenaga
kesehatan. Seorang tenaga kesehatan haruslah memiliki sikap empati kepada siapa
pun yang membutuhkan pertolongan. Jiwa nasionalisme juga harus dimiliki oleh
semua tenaga kesehatan. Selain itu, pemerintah juga haruslah lebih tegas dalam
menangani kesenjangan ini. Jaminan sosial yang terapkan seharusnya mampu
menciptakan keadilan terutama pada masyarakat miskin dalam memperoleh
layanan kesehatan.

21
DAFTAR PUSTAKA

Hadiyati, I., dkk. 2017. Konsep Kualitas Pelayanan Kesehatan Berdasar Atas
Ekspektasi Peserta Jaminan Kesehatan Nasional. MKB. 49(2): 102-109.

Haryanto, A., dan J. Suranto. 2012. Pelayanan Kesehatan (Studi Rawat Inap Di
Pusat Kesehatan Masyarakat (Puskesmas), Kecamatan Baturetno Kabupaten
Wonogiri). Transformasi. 14(22): 1-10.

Mertisanfara, Y. 2018. Pelayanan Kesehatan Dasar Bagi Masyarakat Miskin Di


Puskesmas Terakreditasi (Studi Tentang Prosedur Dan Kualitas Pelayanan
Kesehatan Dasar Di Puskesmas Rawat Inap Kedaton). Skripsi. Bandar
Lampung : Fakultas Ilmu Sosial Dan Ilmu Politik Universitas Lampung.

Octavian, W.A. 2018. Urgensi Memahami Dan Mengimplementasikan Nilainilai


Pancasila Dalam Kehidupan Sehari-Hari Sebagai Sebuah Bangsa. Jurnal
Bhinneka Tunggal Ika. 5(2): 123-128.

Prasetyowati, I. 2016. Pancasila dan Isu Kesehatan. Jemebr : Fakultas Kesehatan


Masyarakat Universitas Jember.

Sulisworo, D., T. Wahyuningsih, dan D. B. Arif. 2012. Pancasila. Universitas


Ahmad Dahlan.

Topan, C. 2014. Layanan Kesehatan yang Berkeadilan.


https://www.kompasiana.com/cristopan/54f77ceea33311886d8b4607/layana
n-kesehatan-yang-berkeadilan. [Diakses pada 20 Juni 2020].

Windhatria, I. 2012. Analisis Formulasi Tindakan Awal Dalam Rancangan


Undang-Undang Intelijen Ditinjau Berdasarkan Kitab Undang-Undang
Hukum Acara Pidana (KUHAP). Skripsi. Bandar Lampung : Fakultas
Hukum Universitas Lampung.

22

Anda mungkin juga menyukai