Anda di halaman 1dari 7

Diskusi

Dilaporkan satu kasus Steven Johnson Syndrome (SJS) pada perempuan


berumur 37 tahun. Diagnosis dibuat berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik dan
pemeriksaan penunjang lainnya. Steven-Johnson Syndrome (SJS) merupakan reaksi
hipersensitivitas yang diperantarai kompleks imun yang merupakan bentuk yang
berat dari eritema multiformis, dengan klasifikasi tergantung pada luas permukaan
tubuh yang terlibat, SJS jika kurang dari 10%, SJS overlap TEN jika 10-30% dan
TEN jika lebih dari 30%.1 SJS umumnya melibatkan kulit dan membran mukosa.
SJS merupakan penyakit sistemik serius yang sangat potensial menjadi penyakit
yang sangat berat dan bahkan menjadi sebuah kematian.8 Pada anamnesis,
didapatkan adanya riwayat mengkonsumsi obat sebelum muncul gejala awal
prodormal yang mendahului manifestasi kulit. Hal ini kemudian diikuti dengan
gejala berupa bercak kemerahan pada sebagian besar tubuh, yang semakin
bertambah luas, disertai dengan mata bersekret, bibir berkeropeng merah
kehitaman.
Lebih dari 100 jenis obat telah dikaitkan dengan SJS/TEN. Obat-obat
yang paling sering menyebabkan SJS adalah anti konvulsan, antibiotik golongan
sulfonamid, allopurinol, dan OAINS.1 Rijal A, dkk. (India, 2009) pada
penelitiannya menemukan penyebab SJS/TEN terbanyak adalah fenitoin (33%),
karbamazepin (20,6%), sulfonamid (20,6%), amoxicillin (12,5%), ibuprofen
(8,33%), dan siprofloksacin (4,16%).

Gambar 1. Obat-obatan yang berisiko menyebabkan SJS dan TEN1

24
Pada kasus ini, obat diduga sebagai penyebab SJS. Untuk meminimalkan
obat tersangka, digunakan skala the Naranjo Adverse Drug Reaction Probability.
Skala ini mengklasifikasikan probabilitas obat tersangka berdasarkan beberapa
pertanyaan yang meliputi beberapa faktor, diantaranya hubungan pemberian obat
dengan kejadian alergi, kemungkinan penyebab lain, level obat, dose-response
relationship, dan riwayat pasien dengan obat tersebut sebelumnya.10

Tabel 1. Skala the Naranjo Adverse Drug Reaction Probability10


Ya Tidak Tidak Skor
tahu
1. Apakah terdapat laporan mengenai alergi +1 0 0
terhadap obat ini sebelumnya?
2. Apakah reaksi alergi muncul setelah konsumsi +2 -1 0
obat?
3. Apakah reaksi alergi meningkat saat obat +1 0 0
dihentikan atau saat antagonis spesifik obat
tersebut diberikan?
4. Apakah reaksi alergi muncul setelah obat +2 -1 0
diberikan kembali?
5. Apakah ada kemungkinan penyebab lain -1 +2 0
(selain obat) yang dapat menimbulkan reaksi
alergi?
6. Apakah reaksi kembali muncul saat diberikan -1 +1 0
placebo?
7. Apakah pada darah (atau cairan tubuh +1 0 0
lainnya) ditemukan konsentrasi toksik?
8. Apakah reaksi lebih berat jika dosis dinaikkan +1 0 0
atau lebih ringan jika diturunkan?
9. Apakah pasien memiliki reaksi serupa pada +1 0 0
obat yang sama atau mirip pada pemberian
sebelumnya?
10. Apakah reaksi alergi telah dikonfirmasi +1 0 0
dengan bukti yang objektif?

25
Kemungkinan obat penyebab alergi diklasifikasikan berdasarkan jumlah
skor dengan kategori: pasti (skor > 9), probable (skor 5-8), possible (1-4), dan
meragukan/doubtful (skor 0). Pada pasien ini, obat yang diduga menyebabkan SJS
adalah fenitoin (skor 3).
Untuk memastikan obat tersangka pada pasien ini, direncanakan
pemeriksaan patch test obat. Prinsip kerja dan metode yang digunakan sama dengan
pada dermatitis kontak, tetapi pada kasus-kasus alergi obat seperti FDE atau SSJ-
NET, daerah-daerah lipatan/fleksural dan daerah dengan minimal lesi sering
menghasilkan hasil negatif, sementara daerah tempat lesi sebelumnya menunjukkan
hasil lebih positif, sehingga sebaiknya dipilih sebagai lokasi patch test obat. Bentuk
obat murni harus digunakan untuk patch test bila memungkinkan dalam konsentrasi
1-10% di dalam petrolatum, air atau alkohol. European Network on Drug Allergy
merekomendasikan patch testobat dilakukan antara 3 minggu dan 3 bulan dan
menurut European Society of Contact Dermatitis pengujian terbaik adalah pada 6
minggu sampai 6 bulan setelah resolusi lengkap dari tanda-tanda dan gejala klinis.
Akan tetapi, tidak semua reaksi alergi obat akan menghasilkan hasil drug patch test
yang positif, sehingga pemeriksaan ini tidak dapat dilakukan untuk semua jenis
reaksi obat. Sebuah laporan menunjukkan bahwa drug patch test sangat berguna
pada kasus-kasus pustulosis eksantematosa akut (AGEP, ≥50%), tipe
makulopapular (50-60%), anticonvulsan hypersensitivity syndrome (70%), drug,
rash, eosinophilia, and systemic symptoms (DRESS, ≥72%), dan SJS-TEN (sampai
100%), antibiotik betalaktam (ampisilin, amoksisilin) (39-54%), NSAIDs induced
FDE (40-87%), dermatitis kontak dan dermatitis kontak sistemik, dan dermatitis
fototoksik (≥87%).12
Skor prognosis (SCORTEN) disusun untuk nekrolisis epidermal dan
kegunaannya telah dikonfirmasi oleh beberapa peneliti.1 Semakin tinggi SCORTEN
semakin besar kemungkinan mortalitasnya.

26
Gambar 2. SCORTEN1

Pada kasus ini pasien berumur 37 tahun, nadi 90 x/menit, tidak ada
keganasan, permukaan tubuh yang terkena <10%, serum urea level 16,43 mmol/L,
serum bicarbonate level 21,5 mmol/L, serum glucose level 3,5 mmol/L. Maka dapat
disimpulkan bahwa SCORTEN pada pasien ini adalah 2.
Adapun prinsip – prinsip utama perawatan suportif adalah menghentikan
pemberian obat penyebab, manajemen cairan dan elektrolit, dukungan nutrisi,
perawatan luka, perawatan mata, manajemen suhu, kontrol nyeri dan pemantauan
pengobatan infeksi.5
1. Penghentian Obat Penyebab
Diagnosis dini dengan pengenalan dini dan penghentian segera dari segala
obat-obatan yang diduga menjadi penyebab sangat menentukan hasil akhir.
Morbiditas dan mortalitas meningkat jika obat-obatan yang menjadi
penyebab terlambat dihentikan.4
2. Menjaga Keseimbangan Cairan, Termoregulasi dan Nutrisi
SJS/TEN dihubungkan dengan hilangnya cairan yang signifikan
dikarenakan erosi, yang menyebabkan hipovolemia dan
ketidakseimbangan elektrolit. Penggantian ulang cairan harus dimulai
secepat mungkin dan disesuaikan setiap harinya. Aliran vena perifer lebih
disukai jika dimungkinkan, karena bagian tempat masuk aliran sentral
sering melibatkan pelepasan epidermis dan mudah terinfeksi. Hal lain yang

27
perlu dijaga adalah temperatur lingkungan, sebaiknya dinaikkan hingga
28˚C hingga 30˚C - 32°C untuk mencegah pengeluaran kalori yang
berlebihan karena kehilangan epidermis. Penggunaan pelembab udara saat
tidur meningkatan rasa nyaman pasien.1,5 Pasien SJS dan TEN mengalami
status katabolik yang tinggi sehingga memerlukan tambahan nutrisi.
Kebutuhan energi dan protein berhubungan dengan luas area tubuh
yang terlibat. Terapi enteral lebih diutamakan daripada parenteral karena
dapat ditoleransi dengan lebih baik dan dapat memberikan pemasukan
kalori lebih banyak. Sedangkan terapi parenteral membutuhkan akses vena
sentral dan meningkatkan resiko sepsis. Dapat juga digunakan nasogastric
tube apabila terdapat lesi mukosa mulut.1
3. Antibiotik
Pasien diberikan antibiotik apabila terdapat tanda-tanda klinis infeksi.
Tanda- tanda tersebut antara lain perubahan status mental, mengigil,
hipotermia, menurunnya pengeluaran urin dan penurunan kondisi klinis.
Penyebab utama dari sepsis pada pasien SJS/TEN adalah Staphylococus
aureus dan Pseudomonas aeruginosa.5,9
4. Perawatan Luka
Pembersihan luka (debridement) nekrosis epidermis yang ekstensif dan
agresif tidak direkomendasikan pada kasus NE karena nekrosis permukaan
bukanlah halangan untuk reepitelisasi, dan justru dapat mempercepat
proliferasi sel-sel stem berkenaan dengan sitokin peradangan.1 Pengobatan
topikal diberikan untuk mengurangi kehilangan cairan, elektrolit, dan
mencegah terjadinya infeksi. Kulit dibersihkan dengan antiseptik yang
ringan dan solusio antibiotik seperti sabun povidone iodine, chlorhexidine,
silver nitrate untuk mengurangi pertumbuhan bakteri.1,5
5. Perawatan Mata dan Mulut
Komplikasi oftalmik adalah satu dari permasalahan tersering terhadap
SJS/TEN. Sekitar 80% pasien mengalami komplikasi okular akut yang sama
pada SJS maupun TEN dengan keterlibatan sebesar 25%. Gejala sisa kronis
terjadi pada sekitar 35% pasien, biasanya disebabkan oleh skar konjungtiva.
Permasalahan residual pada mata yang paling sering dilaporkan adalah

28
fotosensitivitas kronis dan mata kering. Namun pada beberapa pasien
penyakit okular kronis bermanifestasi sebagai kegagalan permukaan mata,
inflamasi episodik rekuren, skleritis, atau sikatriks konjungtiva progresif
yang menyerupai pemfigoid membran mukosa. Perawatan mata meliputi
pembersihan kelopak mata dan memberi pelumas setiap hari dengan obat
tetes atau salep mata.4,5
Mulut harus dibersihkan beberapa kali dalam sehari untuk menjaga
kebersihan rongga mulut, berulang-ulang kumur-kumur dengan antiseptik.
Tindakan ini hanya direkomendasikan bila penderita tidak mengalami
pharyngealdysphagia. Hindari makanan yang terlalu panas atau dingin,
makanan yang asam dan kasar. Sebaiknya makanan yang halus dan basah
sehingga tidak mengiritasi lesi pada mulut. Kadang-kadang diberikan obat
anti fungal seperti mikostatin, obat kumur-kumur soda bikarbonat,
hydrogen peroksida dengan konsentrasi ringan. Pemberian topikal pada
bibir seperti vaselin, lanolin.5
6. Kortikosteroid Sistemik
Kortikosteroid dapat diberikan dalam 72 jam pertama setelah onset untuk
mencegah penyebaran yang lebih luas, dapat diberikan selama 3-5 hari
diikuti penurunan secara bertahap (tapering off). Dapat digunakan
deksametason secara intravena dengan dosis permulaan 4-6 x 5 mg sehari.
Tapering off hendaknya cepat dilakukan karena pada umumnya penyebab
SJS/TEN adalah eksogen (alergi). Pada SJS/TEN, kortikosteroid berperan
sebagai anti inflamasi, imunosupresif dan anti apoptosis.6,7

Pada kasus ini, pasien ditatalaksana dengan stop obat tersangka, infus
D5%: NaCl 0,9% = 3 : 1, injeksi dexamethasone 4x5 mg, injeksi gentamicin
2x80 mg, injeksi ranitidin 2x150 mg, hidrokortison 2,5% krim 2 kali
sehari pada bercak merah, kompres NaCl 0,9% 3x15 menit pada keropeng
di bibir, kenalog in orabase 3 kali sehari, eyelid hygiene, cendo lyteers eye
drops 1 gtt tiap jam ODS, LFX (Levofloxacin) eye drops 6x1 gtt ODS.

29
Conclusion
• Telah dilaporkan seorang pasien perempuan dengan Steven Johnson
Syndrome.
• Pada kasus ini ditemukan kelainan pada trias SJS yaitu bercak merah pada
kulit disertai mata bersekret dan bibir berkeropeng merah kehitaman.
• Pada pemeriksaan fisik ditemukan suhu tubuh 37,2°C. Pada mata ditemukan
sekret. Pada mukosa mulut dan bibir ditemukan plak eritem, erosi,
ekskoriasi, krusta merah kehitaman. Pada tenggorokan ditemukan faring
hiperemis. Pada genitalia tidak ditemukan erosi di OUE.
• Pada kasus ini, diduga yang menjadi penyebab timbul bercak merah disertai
gelembung yaitu fenitoin, dengan skor Naranjo yaitu 3.
• Untuk memastikan obat tersangka pada pasien ini, direncanakan
pemeriksaan patch test obat tersangka yaitu fenitoin 6 bulan setelah
rawatan.
• Scoring SCORTEN pada pasien ini adalah 2.
• Pasien ditatalaksana dengan stop obat tersangka, infus D5%: NaCl 0,9% =
3 : 1, injeksi dexamethasone 4x5 mg, injeksi gentamicin 2x80 mg, injeksi
ranitidin 2x150 mg, hidrokortison 2,5% krim 2 kali sehari pada bercak
merah, kompres NaCl 0,9% 3x15 menit pada keropeng di bibir, kenalog in
orabase 3 kali sehari, eyelid hygiene, cendo lyteers eye drops 1 gtt tiap jam
ODS, LFX (Levofloxacin) eye drops 6x1 gtt ODS.
• Pasien dirawat selama 7 hari dan pulang dengan perbaikan yang ditandai
dengan makula hiperpigmentasi dan skuama putih kasar.

30

Anda mungkin juga menyukai