Anda di halaman 1dari 23

COVER

ETIK DAN LEGAL DALAM KEPERAWATAN MEDIKAL BEDAH


“IMPLIKASI KASUS TUSKEGEE DI ERA 21”

Disusun Untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah


Keperawatan Medikal Bedah Lanjut I

DISUSUN OLEH :
Fransiska Kurniati Natul 1906458451
Ifyar Adhita Yahya 1906458464
Isna Amalia Mutiara Dewi 1906458496
Nila Indrayati 1906458546
Sang Made Firsto Mogi Wisesa Gumilang 1906458621
Santi Manurung 1906458640
Sitti Shoimatul Azizah 1906458672
Sri Endah Hadayani 1906458691
Zifrianita 1906458754

PROGRAM MAGISTER ILMU KEPERAWATAN


FAKULTAS ILMU KEPERAWATAN
UNIVERSITAS INDONESIA
2020
KATA PENGANTAR
Puji syukur kami panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa yang telah
memberikan berkat dan rahmat-Nya sehingga kami dapat menyelesaikan makalah ini
dengan judul Etik dan Legal dalam Keperawatan Medikal Bedah “Implikasi
Tuskegee Di Era 21”. Makalah ini merupakan tugas kelompok yang dibuat untuk
memenuhi penugasan Mata Kuliah Keperawatan Medikal Bedah Lanjut I. Makalah
ini berisi konsep dasar Etik, Implikasi Kasus Tuskegee di Era 21 serta kasus-kasus
yang bersinggung dengan Etik yang terjadi saat ini
Kami menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari sempurna, oleh karena
itu kritik dan saran dari semua pihak yang bersifat membangun selalu kami harapkan
demi kesempurnaan makalah ini. Akhir kata, kami berharap Tuhan Yang Maha Esa
berkenan membalas segala kebaikan semua pihak yang telah membantu. Semoga
makalah ini bermanfaat bagi pengembangan ilmu keperawatan.

Depok, September 2020

Penulis
DAFTAR ISI

COVER........................................................................................................................i
KATA PENGANTAR................................................................................................ii
DAFTAR ISI..............................................................................................................iii
BAB 1 PENDAHULUAN...........................................................................................1
1.1 Latar Belakang...............................................................................................1
1.2 Tujuan Penulisan...........................................................................................3
1.3 Manfaat Penulisan.........................................................................................3
BAB II TINJAUAN PUSTAKA................................................................................4
2.1 Etik.................................................................................................................4
2.2 Nilai dan Moral............................................................................................10
BAB III IMPLIKASI KASUS TUSKEGEE DI ERA 21......................................13
BAB IV PEMBAHASAN.........................................................................................16
BAB V PENUTUP....................................................................................................19
5.1 Kesimpulan..................................................................................................19
5.2 Saran............................................................................................................19
DAFTAR PUSTAKA
BAB 1
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Banyak sumbangan bermakna dari ilmu kesehatan yang telah
memungkinkan umat manusia meningkatkan derajat kesehatan dan
kesejahteraannya. Sebelum ilmu kedokteran modern lahir pada akhir abad ke-
19, orang sakit diobati dengan menggunakan obat atau cara pengobatan yang
menurut pengalaman dianggap paling aman dan berkhasiat. Pemilihan obat atau
cara pengobatan yang paling aman dan berkhasiat dilakukan dengan mencoba-
coba saja (trial and error). Pengetahuan tentang obat dan cara pengobatan
tersebut mulai berubah pada jaman perkembangan ilmu kedokteran selanjutnya.
Penggunaan metode ilmiah dan desain percobaan yang lebih canggih, ilmu
kedokteran dapat berkembang dengan cepat. Namun metode ilmiah tersebut
belum diikuti kesadaran tentang etik penelitian kesehatan yang benar. Sekitar 60
tahun yang lalu, pemahaman, kesadaran masyarakat ilmiah kesehatan, dan
pengetahuan tentang etik penelitian kesehatan masih sangat terbatas sehingga
perlindungan relawan yang menjadi subyek penelitian tidak mendapat perhatian
dari sisi etik penelitian kesehatan. Pada waktu itu sebagai subyek penelitian
sering digunakan penderita penyakit jiwa, anak yatim piatu, narapidana,
tunawisma, mahasiswa, polisi, tentara, atau kelompok rentan yang lain yang
tidak punya suara. Subyek penelitian dikerahkan dengan sedikit-banyak
ancaman, paksaan, janji dan kemudahan, atau bayaran. Tidak diragukan bahwa
para dokter atau peneliti kesehatan lainnya melakukan penelitian mempunyai
itikad baik, tetapi dengan pemahaman etik penelitian kesehatan sekarang, yang
dilakukan para dokter saat itu tidak dapat dipertanggung-jawabkan secara etik
penelitian kesehatan.
Setelah studi Tuskeege pada tahun 1972 terbongkar oleh wartawati Jean
Heller, pada tahun 1976 Departemen Kesehatan, Pendidikan dan Kesejahteraan
Amerika Serikat melahirkan The Belmont Report yang merekomendasikan tiga
prinsip etik umum penelitian kesehatan yang menggunakan relawan manusia
sebagai subyek penelitian. Secara universal, ketiga prinsip tersebut telah
disepakati dan diakui sebagai prinsip etik umum penelitian kesehatan yang
memiliki kekuatan moral, sehingga suatu penelitian dapat dipertanggung-
jawabkan baik menurut pandangan etik maupun hukum. Ketiga prinsip etik
dasar tersebut adalah respect of persons (prinsip menghormati harkat martabat
manusia), prinsip berbuat baik (beneficence) dan tidak merugikan (non-
maleficence), dan prinsip keadilan (justice).
Perawat sebagai tenaga profesional menjalankan praktek keperawatan
dengan menggunakan ilmu dan teori yang dapat dipertanggungjawabkan. Body
of knowledge yang dimiliki oleh keperawatan menjadi acuan untuk pelaksanaan
terhadap individu, keluarga dan masyarakat pada umumnya. Bentuk pelaksanaan
itu dapat tergambar dari tindakan keperawatan dengan tujuan untuk peningkatan
dan memelihara kesehatan. Tindakan keperawatan terstandar yang berbasis etik
dan legal sangat penting dalam melindungi masyarakat dalam pelayanan
kesehatan (Praptianingsih, 2006).
Dalam pemberian pelayanan praktik keperawatan, perawat tidak terlepas
dari interaksi dengan penerima jasa pelayanan yang kadang kala menimbulkan
konflik. Untuk itu, standar profesi keperawatan dibutuhkan agar terhindar dari
malpraktik, kelalaian atau bentuk pelanggaran praktik keperawatan. Konflik
yang terjadi ini diakibatkan karena kurang pahamnya perlindungan hukum dan
mengabaian hak dan kewajiban dari perawat dan pasien. Sebagaimana
kewenangan perawat yang telah diatur pada Keputusan Menteri Kesehatan No.
36 Tahun 2009 dan Undang-Undang Keperawatan No. 38 Tahun 2014.
Kelalaian dan malpraktek yang dilaporkan terkait keperawatan
meningkat akhir-akhir ini. Apalagi masyarakat sudah semakin berpengatahuan
dan mudah mengakses teknologi serta mulai terbukanya pikiran masyarakat
terhadap pelayananan yang aman dan nyaman. Pada tahun 2010-2015 ada
sekitar 485 kasus malpraktek keperawatan yang terjadi di Indonesia. Dari 485
kasus tersebut, 357 kasus terjadi akibat pelanggaran hukum administrative
(malpraktik administrative), 82 kasus akibat perawat tidak memberikan
prestasinya sebagaimana yang disepakati (malpraktik sipil), 46 kasus akibat
tindakan medik tanpa persetujuan dokter yang dilakukan dengan tidak hati-hati
sehngga menyebabkan luka dan kecacatan kepada pasien yang digolongkan
dalam malpraktik criminal dalam unsur kelalaian (PPNI, 2016). Dari sejarah
perkembangan etik penelitian di dunia, kelompok tertarik untuk membahas
terkait dengan implikasi dari kasus Studi Tuskegee di era 21 dan membahas
beberapa kasus yang terjadi di masa sekarang yang tidak sesuai dengan prinsip-
prinsip legal etik penelitian.

1.2 Tujuan Penulisan


1.2.1 Tujuan Umum
Mampu mengetahui dan menganalisis Etik dan Legal dalam kasus
Keperawatan Medikal Bedah.
1.2.2 Tujuan Khusus
1. Mampu memahami Etik secara umum dan dalam keperawatan
2. Mampu menganalisis implikasi kasus Studi Tuskegee di Era 21.
3. Mampu menganalisis hak dan kewajiban perawat dan pasien pada
kasus Keperawatan Medikal Bedah.

1.3 Manfaat Penulisan


Penulisan makalah ini diharapkan dapat dijadikan referensi dalam
memahami dan menganalisa etik dan legal dalam kasus keperawatan medikal
bedah yang dapat terjadi dalam pelayanan keperawatan.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Etik
2.1.1 Pengertian Pengertian Etik
Etika umumnya didefinisikan sebagai studi filosofis tentang
tindakan benar dan tindakan salah, juga yang dikenal sebagai “moralitas
(Lachman, 2005). Etika berkaitan dengan bagaimana seseorang harus
bertindak dan bagaimana mereka melakukan hubungan dengan orang lain
(Potter and Perry ,1997). Etika dipandang sebagai bagian dari dunia yang
berkaitan dengan pengambilan keputusan dalam suatu tindakan serta
dalam menghadapi kesulitan atau peluang. Etika merupakan studi tentang
bagaimana keputusan dan tindakan dapat memindahkan kehidupan
manusia dari kondisi kesempurnaan yang lebih rendah ke keadaan
kesempurnaan yang lebih besar (well-being and flourishing), atau
bagaimana keputusan dapat menyebabkan kehidupan manusia beralih dari
keadaan kesempurnaan yang lebih besar ke tingkat kesempurnaan yang
lebih rendah (kehilangan dan stagnasi) (Husted, 2014).
Etik itu sendiri berasal dari kata Yunani kuno ethos dalam bentuk
tunggal yang mempunyai banyak arti yakni tempat tinggal yang biasa,
padang rumput, kandang, kebiasaan, adat, akhlak, watak, perasaan, sikap,
cara berpikir. Dalam bentuk jamak (ta etha) artinya adat kebiasaan. Arti
kata etika (ta etha) menjadi latar belakang terbentuknya istilah etika yang
oleh filsuf Yunani besar Aristoteles (384-322 SM) sudah dipakai untuk
menunjukkan filsafat moral (Bertens, 2013). Sistem etika yang rasional
adalah ilmu yang hidup dengan baik. Bioetika merupakan etika yang
berkaitan dengan profesi perawatan kesehatan. Bioetika menempatkan
penekanan khusus pada situasi-situasi di mana satu orang sangat rentan,
tujuan yang ingin dicapai bersifat kurcial, dan dilema yang harus
diselesaikan sangat rumit (Husted & husted 2008 dalam Husted, 2014).
Sehingga etika itu sendiri adalah suatu standar sistem untuk memotivasi,
menentukan, dan membenarkan tindakan yang diambil dalam mengejar
tujuan penting dan mendasar. Ketika suatu sistem etika dikembangkan
sepenuhnya, ia menyediakan kerangka kerja untuk apa yang sesuai dengan
motivasi manusia dan tindakan yang berorientasi nilai dan bagaimana ini
berhubungan dengan kondisi manusia (Smith, 2011).
Menurut Bertens (2013) etika adalah:
1. Nilai-nilai (sistem nilai) dan norma-norma moral yang menjadi
pegangan atau acuan bagi seseorang atau suatu kelompok dalam
mengatur tingkah lakunya. Misalnya etika Yunani, etika agama
Budha. Jadi etika Yunani yang berarti sebuah sistem nilai yang
berlaku di Yunani dimana sistem nilai yang berlaku tiap individu
maupun kelompok.
2. Kumpulan asas atau nilai moral (yang dimaksud adalah kode etik),
misalnya kode etik keperawatan.
3. Ilmu tentang yang baik buruk, filsafat moral.
Berdasarkan penjelasan diatas dapat disimpulkan bahwa etika
adalah sutu nilai dan norma moral yang menjadi acuan atau pegangan bagi
setiap individu, kelompok maupun masyarakat dalam mengatur tingkah
laku baik atau buruk sikap dan perilakunya.
2.1.2 Prinsip-Prinsip Etik
Secara umum, pertimbangan prinsip-prinsip etika memberikan
dasar yang kuat dalam pengambilan suatu keputusan dan interaksi
interpersonal. Prinsip etis, membantu dalam memikirkan masalah-masalah
moral yang sulit dalam mempertahankan setiap keputusan. Prinsip etik
menawarkan dasar yang kuat untuk penilaian moral yang dapat digunakan
dalam menyelesaikan dilema etik dan memberikan pembenaran terhadap
suatu tindakan. Hal tersebut digunakan untuk menentukan peran seseorang
berdasarkan sifat hubungan dan untuk memberikan sebuah panduan dalam
situasi yang berbasis moral dan/ atau dilemma (Husted, 2014).
Prinsip etik secara umum adalah sebagai berikut:
1. Autonomy : Prinsip otonomi didasarkan pada keyakinan bahwa
seorang individu memiliki kemampuan untuk berpikir, untuk terlibat
dalam pemikiran logis, dan untuk memutuskan suatu tindakan. Setiap
orang dewasa yang kompeten memiliki kekuatan untuk membuat
keputusan dan pilihannya sendiri dan agar keputusan atau pilihan itu
dihormati (Tingle, 2013). Otonomi adalah keunikan individu,
termasuk pemahaman bahwa seseorang memiliki keinginan untuk
mempertahankan keinginan dirinya sendiri (Husted, 2014)
2. Veracity: Perinsip kebenaran berkaitan dengan kemampuan seseorang
untuk mengatakan yang sebenarnya. Informasi harus disajikan secara
akurat, kompherensif, dan obyektif untuk memfasilitasi pemahaman
dan penerimaan materi yang diberikan. (Tingle, 2013).
3. Freedom: hak individu untuk mengambil tindakan untuk dirinya
sendiri dan mewujudkan tujuannya sendiri (Husted, 2014)
4. Objectivity: kapasitas individu untuk pemehaman yang benar dan
objektif dari dunianya Husted, 2014)
5. Beneficience: keinginan individu untuk mencapai yang baik dan untuk
menghindari bahaya Husted, 2014)
6. Fidelity : komitmen individu untuk mencapai dan mempertahankan
apa yang dia hargai (Husted, 2014)
Prinsip etik keperawatan, meliputi (Pedoman Perilaku sebagai Penjabaran
Kode Etik, 2017) :
1. Respect to others
Respect to others diartikan sebagai perilaku perawat yang
menghormati atau menghargai klien dan keluarganya. Contohnya, saat
perawat memulai melakukan asuhan keperawatan harus didahului
dengan mengenalkan diri pada pasien dan diakhiri dengan berpamitan
setelah melakukan asuhan keperawatan.
2. Compassion
Compassion secara sederhana dapat diartikan sebagai rasa iba atau
empati pada penderitaan klien.
3. Advocacy
Advocacy dapat diartikan melindungi klien agar selama dilakukan
asuhan keperawatan, intervensi yang diberikan bebas dari ancaman
atau bahaya. Hal ini dapat dilakukan apabila perawat memberikan
asuhan keperawatan sesuai dengan kompetensi yang dimilikinya.
4. Intimacy
Intimacy diartikan sebagai suatu keakraban atau kedekatan perawat
dengan klien. Dalam asuhan keperawatan secara profesional,
hubungan antara perawat dan klien sangat dekat, sehingga sering
digambarkan sebagai ibu dekat dengan anaknya.
Selain empat prinsip etik diatas ada unsur lain yang menjadi
pertimbangan, yaitu beneficience, non-maleficence dan justice yang
disampaikan oleh Hipocrates (400-300 SM). Kemudian Beauchamp &
Childress (1969) menambahkan autonomy yang banyak terkait dengan
informed consent. Beneficience adalah merupakan suatu kegiatan yang
membawa kebaikan untuk klien atau lebih dikenal dengan doing good.
Sedangkan non-maleficence adalah kegiatan yang tidak mencelakakan
klien dan dikenal dengan do no harm. Prinsip terakhir dari Hipocrates
adalah justice yaitu kewajiban untuk bersikap adil terhadap semua orang
tidak memandang ras, jenis kelamin, status perkawinan, diagnosa medis,
tingkat sosial, tingkat ekonomi, dan agama (keadilan distributif) dalam
memberikan pelayanan kesehatan. Kemudian Beauchamp & Childress
(1969) melengkapinya dengan autonomy atau patient rights yang banyak
digunakan dalam proses informed consent
Prinsip etik keperawatan lainnya yaitu :
1. Veracity
Veracity mempunyai pengertian agar perawat menjelaskan dengan
lengkap dan akurat agar pasien memperoleh suatu pemahaman
terhadap masalah yang dideritanya terkait dengan asuhan
keperawatan.
2. Privacy
Privacy dimaksudkan bahwa selain diri pasien, tidak boleh ada yang
mengakses informasi tentang diri pasien. Privacy merupakan wujud
perlindungan yang diberikan oleh perawat pada pasien yang dimulai
saat pasien masih sadar sampai pasien tidak sadar atau meninggal.
3. Confidentiality
Prinsip ini hampir sama dengan prinsip privacy, dimana bertujuan
agar penjelasan yang diberikan secara jujur hanya boleh diberikan
kepada pasien dan tidak boleh diberikan kepada orang lain.
4. Fidelity
Fidelity diartikan sebagai semua informasi dalam bentuk interaksi
perawat dan pasien dapat dipercaya kebenarannya.
2.1.3 Etika Penelitian
Etika penelitian merupakan prinsip moral yang harus diterapkan
dalam penelitian. Etika penelitian bertujuan untuk melindungi hak dari
responden untuk menjamin kerahasiaan identitas serta menjamin
kemungkinan ancaman yang terjadi pada responden (Polit & Beck, 2012).
Etika penelitian meliputi:
1. Self Determination
Menghargai hak dari setiap respondennya karena responden
berhak untuk menentukan nasib sendiri. Oleh sebab itu responden
atau informan dapat memutuskan secara sukarela dan tanpa paksaan
untuk ikut berpartisipasi dalam penelitian. Responden memiliki hak
untuk ikut atau tidak ikut menjadi penelitian, berhak untuk
mengundurkan diri, serta responden berhak mengajukan pertanyaan
kepada peneliti jika ada hal yang kurang dipahami.
2. Privacy
Setiap informasi yang telah didapat dan dikumpulkan oleh
peneliti dijamin kerahasiaannya oleh peneliti. Setiap informasi yang
disampaikan oleh responden yang sudah dikumpulkan, disimpan
peneliti pada file pribadi, dan hanya kelompok data tertentu yang
dilaporkan pada hasil penelitian. Data yang mencantumkan informasi
mengenai responden digunakan oleh peneliti dan disimpan oleh
peneliti sebagai data jika akan dilakukan penelitian lanjutan.
3. Anonymity dan Confidentality
Merupakan upaya yang dilakukan peneliti untuk menjaga
kerahasiaan repsonden. Responden penelitian menggunakan nama
initial. Peneliti memberikan jaminan kerahasiaan hasil penelitian baik
informasi maupun masalah-masalah lainnya
4. Fair Treatment
Peneliti memperlakukan responden secara adil dan pantas.
Responden penelitian diperlakukan secara adil sebelum, sesudah dan
selama penelitian, termasuk tidak melakukan diskriminasi terhadap
individu. Peneliti memberikan hak yang sama pada responden baik
menolak berpartisipasi menjadi responden penelitian atau mereka
menarik diri dari kesepakatan. Sebelum menjadi responden penelitian,
setiap responden penelitian terlebih dahulu mendapat penjelasan yang
sama terkait prosedur, tujuan dan manfaat penelitian
5. Inform Consent
Informed consent merupakan persetujuan antara responden
atau informan dan peneliti dengan memberikan lembar persetujuan
yang diberikan kepada responden. Informed consent diberikan pada
responden yang bersedia menjadi responden penelitian. Surat
persetujuan ini bertujuan untuk menjelaskan tujuan dari penelitian,
prosedur penelitian, dan waktu penelitian. Lembar persetujuan ini
digunakan untuk menghormati hak responden dalam memilih
berpartisipasi atau menolak berpartisipasi dalam penelitian. Setelah
responden bersedia untuk diteliti, responden diminta menandatangani
lembar persetujuan yang diberikan peneliti. Jika responden menolak,
peneliti tidak akan memaksa responden karena peneliti menghormati
hak responden tersebut.
Selain hal-hal diatas, Yeti (2017) menyebutkan bahwa penelitian
dilakukan dengan memperhatikan etika dalam penelitian. Prinsip etik
peneltian tersebut terdiri dari: beneficiance, respect for human dignity,
dan justice.
1. Beneficiance: yaitu upaya peneliti untuk meminimalkan kerugian dan
memaksimalkan manfaat penelitian untuk partisipan. Prinsip
beneficeny memiliki dua dimensi yaitu the right to freedom from
harm and discomfort dan the right to protection from exploitation.
a. The right to freedom from harm and discomfort, peneliti
berkewajiban untuk mencegah atau meminimalkan terjadinya
dampak penelitian yang merugikan partisipan (nonmaleficence).
Responden yang menolak tidak diikutsertakan dalam penelitian.
b. The right to protection from exploitation, penelitian ini berprinsip
untuk kebaikan responden. Selama penelitian respoden dilindungi
dari eksploitasi secara fisik, emosional, social, dan financial yang
terkait dengan penelitian.
2. Respect for human dignity, prinsip ini terbagi menjadi dua dimensi
yaitu; the right to self determination dan the right to full disclosure.
a. The right to self determination, adalah responden dihargai dan
dihormati sebagai manusia yang seutuhnya. Resonden berhak
memutuskan berpartisipasi dalam penelitian atau tidak tanpa
adanya paksaan. Responden yang bersedia terlibat dalam
penelitian telah menandatangani surat persetujuan penelitian.
Responden berhak mengundurkan diri dari penelitian jika merasa
tidak nyaman tanpa dikenakan sanksi.
b. The right to full disclosure, peneliti memberikan informasi
tentang tehnik penelitian meliputi tujuan, prosedur, manfaat, dan
kemungkinan resiko pada responden. Responden berhak untuk
bertanya pada peneliti terkait penelian.
3. Justice, prinsip ini terdiri dari the right to fair treatment dan the right
to privacy.
a. The right to fair treatment, peneliti memberikan informasi dan
intervensi penelitian yang sama terhadap responden tanpa
membedakan latar belakang agama, budaya, gaya hidup, dan
status ekonomi.
b. The right to privacy, peneliti menjaga privasi responden selama
penelitian berlangsung (Yetti, 2017).

2.2 Nilai dan Moral


2.2.1 Pengertian Nilai
Nilai merupakan salah satu dari sekumpulan keyakinan dan sikap
pribadi tentang kebenaran, keindahan, dan nilai pikiran, objek, atau
perilaku apapun. Nilai berorientasi pada tindakan dan memberi arah serta
memberi arti hidup seseorang. Nilai adalah titik awal moralitas dan etika.
(Carvalho, 2011). Ketiga konsep nilai, moral dan etika ini dapat dilihat
berinteraksi dan berhubungan satu sama lain. Moral dan etika setiap orang
berkembang selama seumur hidup dan berawal dari berbagai hal yang
dihargai.
Gambar 2.1 Hubungan Nilai, Moral dan Etik (Carvalho, 2011)
2.2.2 Pengertian Moral
Menurut Thompson et al tahun 2006 dalam Carvalho (2011), moral
berasal dari bahasa latin, yaitu mores yang bermakna kebiasaan dan
mempunyai makna baik atau buruk praktik perilaku manusia. Mores
mengandung makna sikap, kewajiban, akhlak, budi pekerti dan semangat.
Definisi moralitas itu mengacu pada domain nilai-nilai pribadi dan aturan
prilaku yang mengatur interaksi social.
Moralitas dan etika berurusan dengan bagaimana hubungan
manusia tentang bagaimana manusia memperlakukan orang lain atau
individu dalam meningkatkan kesejahteraan, pertumbuhan, kreativitas dan
makna bersama saat mereka berjuang untuk kebaikan atas keburukan dan
kebenaran atas kesalahan (Thiroux dan Krasemaann 2007 dalam Carvalho,
2011)
2.2.3 Nilai dan Moral dalam Keperawatan
Penalaran moral yang baik harus mengarahkan perawat saat
memberikan pelayanan kepada pasien. Secara umum, penalaran
menggunakan proses pemikiran yang abstrak untuk memecahkan masalah
dan menyusun rencana (Butts, 2006). Aristotle dalam Broadie (2002)
mengungkapkan bahwa penalaran moral dalam praktek keperawatan
disebut dengan kebijaksanaan. Kebijaksanaan berfokus kepada pencapaian
yang baik, dengan cara mengetahui bagaimana harus bertindak dalam
situasi tertentu, melakukan pertimbangan yang mendalam, dan mempunyai
watak yang konsisten dan karakter yang bagus. Sehingga, praktek
keperawatan yang berdasarkan pertimbangan moral adalah praktek
keperawatan yang mendasarkan pertimbangan bijaksana dalam mengambil
keputusan, terlebih keputusan etik. Hal ini menandakan bahwa aspek
moral berpengaruh kepada etika profesi keperawatan. Perbedaan moral
pada setiap individu menuntut perbedaan ‘kebijaksanaan penilaian moral’
oleh perawat dalam memberikan pelayanan yang beretika dan
professional.
BAB III
IMPLIKASI KASUS TUSKEGEE DI ERA 21

Sebagai peneliti yang etis, tidak hanya wajib menghargai kesediaan dan
pengorbanan manusia, tetapi juga menghormati dan melindungi kehidupan,
kesehatan, keleluasaan pribadi (privacy) dan martabat (dignity) subjek penelitian.
Hewan coba juga wajib ditangani secara beradab (humane) dan penderitaannya
dikurangi semaksimal mungkin. Pelaksanaan kewajiban moral (moral obligation)
tersebut adalah inti penelitian kesehatan.
Peristiwa yang menggemparkan dunia dan mempermalukan masyarakat ilmiah
kesehatan adalah pada tahun 1972 terbongkar skandal The Tuskegee Syphilis Study.
Sejak tahun 1930, selama 42 tahun, berlangsung suatu penelitian denan tujuan
mempelajari perjalanan alamiah (natural course) penyakit sifilis.
Pelanggaran etiknya adalah selama penelitian berlangsung Fleming menemukan
obat antibiotik penisilin yan sangat ampuh untuk sifilis, tetapi para peneliti tidak
memberikan penisilin setelah ditemukan, dan penelitian tidak dihentikan. Sebagai
tindak lanjut skandal tersebut, Departemen Kesehatan, Pendidikan dan kesejahteraan
AS membentuk suatu KE yan menyampaikan laporan akhir dikenal dengan The
Belmont’s Report pada tahun 1976.
Dalam laporan Belmont disampaikan 3 prinsip etik yaitu :
1. Menghormati harkat dan martabat manusia (respect for persons)
2. Berbuat baik (beneficence)
3. Keadilan (justice)
Laporan Belmont juga menetapkan bahwa setiap lembaga yang melakukan
penelitian dengan subjek manusia diwajibkan memiliki Komisi Etik Penelitian
(KEPK). KEPK antara lain bertugas menelaah proposal penelitian untuk
memberikan persetuuan etik (ethical approval/ethical clearance). Tanpa persetujuan
etik dari KEPK, penelitian tidak boleh mulai dilakukan. Dengan ketiga prinsip
tersebut dan keberadaan KEPK, KEPK dapat terus berkembang dalam suasana
tenteram.
Perkembangan selanjutnya terjadi pada tahun 1948, saat Majelis Umum PBB
menetapkan Universal Declaration of Human Rights. Untuk memberi kekuatan
hukum dan moral pada deklarasi tersebut, Majelis Umum PBB pada tahun 1966
menetapkan The Internasional Covenant on Civil and Political Rights. Dalam pasal
7 convenant, secara khusus ditegaskan bahwa “No one shall be subjected to torture
or to cruel, in human and degrading treatment or punishment. In particular, no
one shall be subjected without his reconsent to medical or scientific
experimentation”. Pasal 7 tersebut menegaskan perlindungan hak azazi manusia dan
kesejahteraan setiap manusia yang ikut serta sebagai subjek penelitian kesehatan.
Perkembangan fundamental lainnya terjadi pada tahun 1964, pada sidang
General Assembly, World Medical Association (WMA, Ikatan Dokter Sedunia) di
Kota Helsinki ditetapkan The Declaration of Helsinki tentang Ethical Principals for
Medical Research Involving Human Subject. Deklarasi Helsinki adalah dokumen
fundamental internasional tentang etik penelitian kesehatan yang mengikutsertakan
manusia sebagai subjek penelitian. Sejak penetapannya tahun 1964, Deklarasi
Helsinki telah delapan kali diperbarui pada Sidang WMA dengan penambahan
amandemen mengikuti perkembangan ilmu kesehatan, khususnya yang tidak etis.
Deklarasi Helsinki telah dimanfaatkan secara luas untuk perumusan legislasi
internasional, regional dan nasional, dan merupakan pedoman bagi para tenaga
kesehatan untuk melaksanakan penelitian kesehatan pada subjek manusia secara etis.
Rangkaian aturan Deklarasi Helsinki merupakan aturan bagi dokter yang
melakukan penelitian klinis baik yang bersifat terapeutik maupun non-terapeutik.
Para editor journal dihimbau untuk tidak memuat artikel yang menggunakan manusia
sebagai subyek tanpa informed consent kecuali:
1. Bila subyek tidak dapat memberi persetujuan, misalnya bayi, anak atau pasien
yang tidak sadar, maka untuk ini seyogyanya keluarga diminta persetujuannya.
2. Bila penelitian semata-mata menggunakan rekam medis
3. Bila bahan penelitian berupa jaringan yang telah diawetkan dan tidak dapat
dilacak subyeknya. Namun harus diyakini bahwa penelitian tersebut akan
berdampak positif bagi pasien lain atau bagi masyarakat luas.
Deklarasi Helsinki I ini kemudian mengalami beberapa revisi. Revisi pertama
menghasilkan Deklarasi Helsinki II, yang dilakukan pada sidang ke 20 World Health
Assembly di Tokyo pada tahun 1975. Perubahan penting dalam Deklarasi Helsinki II
ini adalah terdapatnya peraturan yang mengharuskan protokol penelitian pada
manusia ditinjau terlebih dahulu oleh suatu panitia untuk pertimbangan, arahan dan
komentar. Juga harus dicantumkan pada protokol bahwa telah dilakukan
pertimbangan etika serta hasil penelitian tidak boleh dipublikasikan apabila tidak
memiliki ethical clearance. Pada sidang ke-53 di Washington tahun 2002
ditambahkan peraturan yang menyebutkan bahwa penelitian yang melibatkan subyek
atau individu yang tidak mampu secara fisik/mental untuk memberikan informed
consent karakteristik utama pada populasi. Kemudian pada sidang ke-55 di Tokyo
tahun 2004 ditambahkan lagi satu peraturan yaitu bahwa hasil penelitian harus
dipublikasikan. Penelitian yang tidak dipublikasikan hasilnya dianggap tidak etis.
Untuk penelitian yang mengikutsertakan subjek penelitian manusia, pedoman
yang lazim dipakai di seluruh dunia adalah Deklarasi Helsinki. Pesan moral yang ada
dalam Deklarasi Helsinki kemudian dibuat petunjuk pelaksanaannya dalam bentuk
good clinical practice, GCP (cara uji Klinis yang baik, CUKB). Dewasa ini GCP
merupakan instrumen yang sangat penting untuk pelaksanaan uji klinis. Penerapan
GCP yang baik akan menghasilkan dua manfaat, yaitu data yang dihasilkan akurat
dan dapat dipercaya dan Keselamatan subjek penelitian terjamin.
BAB IV
PEMBAHASAN KASUS PELANGGARAN ETIK YANG RELEVAN
DENGAN KASUS TUSKEGEE DI ERA 21

Dalam perkembangan globalisasi seperti saat ini informasi resiko pelayanan


medik terhadap pasien sangat penting untuk diketahui oleh pasien dan kelurga,
tentang apa dan bagaimana proses perawatan dan bahkan resiko dari suatu tindakan
apabila dilakukan terhadap pasien. Hak pasien mendapatkan informasi resiko
pelayanan medik pada dasarnya untuk mengetahui yang sejelas-jelasnya tentang
penyakit dan berhak untuk menentukan tindakan yang akan diambil dalam
penyembuhan penyakitnya, serta berhak untuk mendapatkan pelayanan yang layak
bagi kesehatan pasien tersebut. Memperoleh pelayanan kesehatan adalah hak asasi
setiap manusia. Proses untuk ikut menentukan tindakan apa yang akan dilakukan
oleh dokter terhadap pasien tersebut harus dilakukan setelah pasien mendapatkan
cukup informasi, dimana informasi tersebut merupakan suatu kesepakatan antara
dokter dan pasien untuk menjaga terjadinya resiko terhadap tindakan yang akan
diambil oleh dokter dalam melakukan penyembuhan penyakit yang diderita pasien.
Informasi dari dunia Kedokteran merupakan hak asasi pasien karena
berdasarkan informasi itulah pasien dapat mengambil keputusan tentang suatu tindak
medis yang dilakukan terhadap diri pasien. Hak-hak untuk memperoleh informasi
merupakan hak asasi pasien yang paling utama bahkan dalam tindakan khusus
diperlukan Informed Consent (persetujuan tindakan medis). Hubungan antara
informed consent dan tindakan medis yang akan dilakukan oleh dokter dapat
dikatakan bahwa informed consent merupakan komponen utama yang mendukung
adanya tindakan medis yang akan dilakukan kepada pasien. Informent consend, atau
sering disebut sebagai persetujuan tindakan medik, adalah “Suatu dokumen tertulis
yang ditanda-tangani oleh pasien, yang mengizinkan suatu tindakan tertentu
dilakukan pada dirinya yang ditanda tangani oleh pasien setelah diberi penjelasan.
Persetujuan tindakan medik baru mempunyai arti hukum bila ditanda-tangani
sesudah pasien mendapat informasi lengkap mengenai tindakan yang akan
dikerjakan”
Kasus yang relevan dengan kasus Tuskegee yang merupakan pelanggaran
etik dan pelanggaran hak pasien yang terjadi di era 21 saat ini adalah kasus yang
sering terjadi pada perawatan pasien dengan kasus kemungkinan dicurigai pasien
Covid-19 yang belum terkonfirmasi karena masih menunggu hasil swab, dimana
perlakuan yang sudah dilakukan kepada pasien ini sudah dilakukan sama dengan
perlakuan pada pasien yang sudah terkonfirmasi positip Covid-19. Dimana pasien
yang dicurigai pasien Covid-19 ini sudah dirawat di ruang perawatan isolasi dan
disatukan dengan pasien yang sudah terkonfirmasi positip Covid-19 tanpa diberikan
penjelasan yang sejelas-jelasnya kepada pasien maupun keluarga. Hal ini tentunya
akan mempengaruhi psikologis pasien , sehingga banyak kasus gangguan
psikosomatis yang terjadi pada pasien tsb antara lain gangguan lambung, sakit
kepala, kepanikan bahkan resiko bunuh diri. Beban psikologispun ditanggung oleh
anggota keluarga dengan adanya stigmatisasi, merasa dikucilkan oleh warga, bahkan
privacy keluarga pasien Covid-19 terbuka luas di media social tanpa terkendali.
Disini bisa kita lihat ada inform consent yang tidak tepat kepada pasien dan
melanggar apa yang menjadi hak-hak pasien untuk tetap aman dan nyaman pada saat
dirawat di RS. Dari kasus ini juga kita bisa lihat adanya pelanggaran terhadap etika
keperawatan, yaitu :
1. Autonomy (Kemandirian)
Sebagai seorang perawat yang profesional haruslah mampu berpikir logis dan
cepat dalam mengambil keputusan. Selain itu, seorang perawat juga harus
menghormati dan menghargai orang lain khususnya pasien.
2. Beneficence (Berbuat Baik)
Berbuat baik harus dilakukan kepada siapa saja tanpa membeda-bedakan,
khususnya ketika sedang memberikan pelayanan keperawatan kepada pasien.
Perbuatan baik yang dilakukan oleh seorang perawat haruslah berlandaskan
kepada ilmu dan kiat keperawatan.
3. Justice (Keadilan)
Menjunjung tinggi keadilan harus selalu dilakukan oleh para perawat, sebagai
contoh ketika ada pasien baru masuk dan di waktu yang sama ada pasien yang
membutuhkan bantuan segera maka perawat harus segera mempertimbangkan
berbagai faktor sesuai dengan asas keadilan.
4. Non-Maleficence (Tidak Merugikan)
Pada prinsipnya seorang perawat harus selalu melakukan tindakan pelayanan
keperawatan sesuai dengan ilmu keperawatan dan kiat keperawatan yang telah
dimiliki dengan tidak merugikan dan menimbulkan bahaya pada pasien.
5. Veracity (Kejujuran)
Bagaimana pun, kejujuran harus dimiliki oleh semua orang. Pada seorang
perawat kejujuran adalah hal yang wajib diberikan kepada pasien, hal ini karena
pasien mempunyai hak otonomi sehingga ia berhak untuk mengetahui berbagai
informasi yang ia inginkan,walau pada kondisi tertentu hal ini sangat sulit
mengingat banyak hal yang harus dijaga untuk kebaikan pasien namun sebagai
seorang perawat harus pintar dalam memberikan informasi kepada pasien
meskipun itu pahit.
6. Fidelity (Menepati Janji)
Dibutuhkan komitmen yang tinggi dalam menepati janji kepada orang lain
khususnya pasien dan dokter. Hal ini karena tugas dan tanggung jawab seorang
perawat yang menuntutnya untuk dapat meningkatkan kesehatan, mencegah
penyakit, memulihkan kesehatan dan meminimalkan penderitaan pasien.
7. Confidentiality (Kerahasiaan)
Perawat harus benar-benar menjaga kerahasiaan yang dimiliki oleh pasien meski
pun banyak orang mendesak untuk membeberkan informasi mengenai kesehatan
pasien. Seorang perawat harus berani menolak untuk memberikan informasi jika
di luar wilayah pelayanan kesehatan secara tegas.
8. Accountability (Akuntabilitas)
Tanggung jawab seorang perawat amatlah berat, hal ini karena setiap tindakan
yang dilakukan oleh perawat kepada pasien harus sesuai dan tepat tanpa kecuali.
Sebagai contoh ketika perawat memberikan obat dosis kepada pasien, jika hal
tersebut salah sedikit saja dan menimbulkan kerugian pada pasien maka dapat
digugat di pengadilan.
BAB V
PENUTUP

5.1 Kesimpulan
Pada prinsipnya sebab-sebab orang melakukan kegiatan penelitian selain
untuk memenuhi rasa ingin tahu terhadap sebuah gejala atau peristiwa juga
untuk memecahkan masalah secara ilmiah dan dapat diterima dengan logika
kemanusiaan. Etika merupakan seperangkat prinsip yang harus dipatuhi agar
pelaksanaan suatu kegiatan oleh seseorang atau profesi dapat berjalan secara
benar (the right conduct), atau suatu filosofi yang mendasari prinsip tersebut.
Etika adalah aturan yang dipegang oleh peneliti dalam melakukan riset dan oleh
karenanya para peneliti harus mengetahui dan paham tentang etika ini sebelum
melakukan penelitian.
Aspek isu etik dalam penelitian terdiri dari nilai individu peneliti terkait
kejujuran dan integritas personal, serta tanggung jawab terhadap subyek riset
terkait izin, kerahasiaan, keanoniman, dan kesopanan. Subyek penelitian
kemudian dimaknai bukan hanya sebagai hal yang menunjang keberhasilan
penelitian, melainkan juga sebagai bentuk tanggung jawab sosial dan moral
peneliti.
Kasus Tuskegee menjadi sebuah pembelajaran bagi para peneliti untuk
lebih dapat memperhatikan aspek etik dalam penelitian. Tidak hanya aspek
keselamatan pada peneliti tapi juga keselamatan pada obyek penelitian dan
dampaknya bagi keberlangsungan hidup sekarang dan yang akan datang.

5.2 Saran
Kasus Tuskegee ini dapat dijadikan sebuah pembelajaran bagi semua peneliti
untuk dapat lebih memperhatikan aspek etik dalam sebuah penelitian. Sebuah
penelitian harus dilandaskan dengan hak asasi manusia sehingga semua tujuan
dapat dicapai dengan baik, bukan saja penemuan terbaru tetapi juga
keberlangsungan hidup objek penelitian dan generasi yang akan datang.
DAFTAR PUSTAKA

Bertens, K. (2013). Etika. Yogyakarta: Kanisius.


Broadie (2002). Comparison osales people in multiple vs single level direct
selling. Journal of Management, 22 (2).
Budhiartie, Arrie. (2009). Pertanggungjawaban hukum perawat dalam
penyelenggaraan pelayanan kesehatan di rumah sakit. Online-
Journal.unja.ac.id.
 Butts, Jaeni B, 2006. Ethic in professional nursing practice. Joanett and Abarlett
Publisher.
Carvalho, S., Reeves, M., & Orford, J. (2011). Fundamental aspects of legal, ethical
and professional issues in nursing 2nd edition. ProQuest Ebook
Central https://ebookcentral.proquest.com
Husted, J. H., Husted, G., Scotto, C., & Wolf, K. (2014). Bioethical decision
making in nursing, fifth edition. Retrieved from
https://ebookcentral.proquest.com
Lachman, V. (Ed.). (2005). Applied ethics in nursing. Retrieved from
https://ebookcentral.proquest.com
Polit, D. F., & Beck, C. T. (2012). Nursing Research: Generating and Assessing
Evidence for Nursing Practice. China: Wolters Kluwer Health
Schroeter, K. (2007). Advocacy: the tool of a hero. Journal of Trauma Nursing : The
Official Journal of the Society of Trauma Nurses, 14(1), 5–6.
https://doi.org/10.1097/01.JTN.0000264133.95147.54
Smith, M. (2011). Legal, professional, and ethical dimensions of education in
nursing. Retrieved from https://ebookcentral.proquest.com
Yetti, K., dkk. (2017). Pedoman perilaku sebagai penjabaran kode etik
keperawatan dewan pengurus pusat persatuan perawat nasional indoneisa
(DPP PPNI). Jakarta : DPP PPNI.

Anda mungkin juga menyukai