Anda di halaman 1dari 49

LEMBAR PENGESAHAN

Referat dengan judul:

“Penatalaksanaan TB Paru”

Diajukan untuk memenuhi salah satu syarat menyelesaikan Kepaniteraan Klinik Ilmu
Penyakit Dalam RSAL dr. Mintohardjo periode 13 Januari 2014 – 22 Maret 2014

Disusun oleh:

Teresa Shinta Prameswari

030.09.252

Telah diterima dan disetujui oleh dr. Atika Sari, Sp.P selaku dokter pembimbing Ilmu
Penyakit Paru Sub bagian Ilmu Penyakit Dalam RSAL dr. Mintohardjo pada tanggal

Februari 2014

Jakarta, Februari 2014

Mengetahui

dr. Atika Sari, Sp.P

1
KATA PENGANTAR

Puji syukur saya panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa, karena atas berkat dan
rahmat-Nyalah saya dapat menyelesaikan referat yang berjudul “Penatalaksanaan TB Paru” tepat
pada waktunya.

Referat ini dibuat sebagai salah satu syarat pemenuhan tugas dalam menjalankan
Kepaniteraan Klinik Ilmu Penyakit Dalam di RSAL dr. Mintohardjo Tidak lupa saya
mengucapkan terimakasih kepada dr. Atika Sari, Sp.P selaku dokter pembimbing dan konsulen
Penyakit Paru di RSAL dr. Mintohardjo yang telah membimbing saya dalam penyusunan referat
ini. Selain itu ucapan terimakasih juga saya sampaikan kepada teman-teman dan perawat, serta
pihak-pihak lain yang tidak dapat saya sebutkan satu per satu yang ikut membantu dalam
penyusunan referat ini.

Tidak ada gading yang tak retak, begitu juga dengan referat ini. Penulis menyadari jika
referat ini masih banyak kekurangan dan tidak sempurna. Oleh karena itu saya memohon maaf
apabila ada kesalahan dalam penyajiannya dan penulis mengharapkan kritik serta saran demi
perbaikan referat ini. Akhir kata saya mengharapkan semoga referat ini dapat bermanfaat bagi
para pembaca.

Jakarta, Januari 2014

Penulis

Teresa Shinta P

2
DAFTAR ISI

Halaman Judul

Lembar Pengesahan ..................................................................................................1

Kata Pengantar ......................................................................................................... 2

Daftar Isi ....................................................................................................................3

Bab I Pendahuluan .................................................................................................... 4

Bab II Tinjauan Pustaka / Pembahasan

Anatomi Paru .............................................................................................................6

Tuberkulosis ............................................................................................................. ..9

Pengobatan Tuberkulosis…………………………………………………………….25

DOTS………………………………………………………………………………..43

Bab III Kesimpulan ................................................................................................ 47

Daftar Pustaka ........................................................................................................ 48

3
BAB I

PENDAHULUAN

Tuberkulosis (TB) merupakan masalah kesehatan masyarakat yang penting di dunia ini.
Tuberkulosis umumnya menyerang paru-paru namun juga dapat menyerang organ lainnya.
Bakteri ini berbentuk batang dan bersifat tahan asam, sehingga dikenal dengan Basil Tahan
Asam (BTA). Penyakit ini dapat menyerang pada semua orang, baik anak-anak maunpun orang
dewasa. Penyakit ini sangat mudah ditularkan pada orang lain, bakteri Microbacterium
tuberculosis masuk ke dalam tubuh manusia melalui udara pernapasan kedalam paru, kemudian
bakteri tersebut dapat menyebar dari paru-paru ke bagian tubuh lain melalui peredaran darah,
sistem saluran limfe, saluran napas (bronkus) atau menyerang langsung ke bagian tubuh lainnya.1

TB Paru merupakan bentuk yang paling sering dijumpai yaitu sekitar 80% dari semua
penderita. TB yang menyerang jaringan paru ini merupakan satu-satunya bentuk dari TB yang
dapat menular. TB merupakan salah satu masalah kesehatan penting di Indonesia. Selain itu,
Indonesia menduduki peringkat ke-3 negara dengan jumlah penderita TB terbanyak di dunia
setelah India dan China. Jumlah pasien TB di Indonesia adalah sekitar 5,8 % dari total jumlah
pasien TB dunia.2

Di Indonesia, diperkirakan setiap tahun terdapat 528.000 kasus TB baru dengan kematian
sekitar 91.000 orang. Angka prevalensi TB di Indonesia pada tahun 2009 adalah 100 per 100.000
penduduk dan TB terjadi pada lebih dari 70% usia produktif. Laporan WHO tentang angka
kejadian TBC evaluasi selama 3 tahun dari 2008, 2009, 2010 menunjukkan bahwa kejadian TBC
Indonesia mencapai 189 per 100.000 penduduk. Secara global, angka kejadian kasus kejadian
TBC 128 per 100.000 penduduk. Data ini menunjukkan bahwa kasus TBC berada di sekitar
kita.2

Daya penularan dari seorang penderita TB ditentukan oleh banyaknya kuman yang terdapat
dalam paru penderita. Persebaran dari kuman-kuman tersebut dalam udara serta yang
dikeluarkan bersama dahak berupa droplet dan berada diudara disekitar penderita TB. Untuk
membatasi terjadinya penyakit TB paru pemerintah mengupayakan strategi untuk
menanggulanginya seperti dengan mencanangkan program DOTS (Directly Observed Treatment

4
Short-course) yang mana fokus utama dari program ini adalah penemuan dan penyembuhan
pasien, dengan prioritas diberikan kepada pasien TB tipe menular.1

5
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Anatomi Paru

1. Trakhea

Trakhea merupakan perpanjangan dari laring pada ketinggian tulang vertebrae torakal ke-7
yang bercabang menjadi dua bronchus. Ujung cabang trakhea disebut carina. Trakhea bersifat
sangat fleksibel, berotot, dan memiliki panjang ± 12 cm dengan cincin kartilago berbentuk C.
Pada cincin tersebut terdapat epitel bersilis tegak yang banyak mengandung sel goblet yang
mensekresikan lendir (mucus).3

2. Bronkhus dan Bronkhiolus

Cabang bronkhus kanan lebih pendek, lebih lebar, dan cenderung lebih vertical daripada yang
kiri. Hal tersebut menyebabkan benda asing lebih mudah masuk ke dalam cabang sebelah kanan
daripada cabang bronkhus sebelah kiri.3

Segmen dan subsegmen bronkhus bercabang lagi dan berbentuk seperti ranting masuk ke
setiap paru-paru. Bronkhus di susun oleh jaringan kartilago sedangkan bronkhiolus, yang
berakhir di alveoli, tidak mengandung kartilago.3

Tidak adanya kartilago menyebabkan bronkhiolus mampu menangkap udara, namun juga dapat
mengalami kolaps. Agar tidak kolaps, alveoli dilengkapi dengan porus atau lubang kecil yang
terletak antar alveoli ‘kohn pores’ yang berfungsi untuk mencegah kolaps alveoli.3

Saluran pernapasan mulai dari trakhea sampai bronkhus terminalis tidak mengalami pertukaran
gas dan merupakan area yang dinamakan Anatomical Dead Space. Banyaknya udara yang berada
dalam area tersebut adalah sebesar 150 mL. Awal dari proses pertukaran gas terjadi di
bronkhiolus respiratorius.3

6
3. Alveoli

Alveoli merupakan kantung udara yang berukuran sangat kecil, dan merupakan akhir dari
bronkhiolus respiratorius sehingga memungkinkan terjadinya pertukaran oksigen dan
karbondioksida. Fungsi utama dari unit alveolus adalah pertukaran oksigen dan karbondioksida
di antara kapiler pulmoner dan alveoli.3

4. Paru-paru

Paru-paru terletak pada rongga dada, berbentuk kerucut yang ujungnya berada di atas tulang
iga pertama dan dasrnya berada pada diafragma. Paru-paru kanan mempunyai tiga lobus
(superior, medial, inferior) sedangkan paru-paru kiri mempunyai dua lobus (superior dan
inferior). Paru-paru kanan dan kiri dipisahkan oleh ruang yang disebut mediastinum.

Paru-paru manusia terbungkus oleh dua selaput, yaitu pleura dalam (pleura visceralis) dan
pleura luar (pleura parietalis). Pleura dalam langsung menyelimuti paru-paru, sedangkan pleura
luar bersebelahan dengan tulang rusuk. Antara kedua pleura tersebut terdapat rongga tulang
rusuk. Antara kedua pleura tersebut terdapat rongga yang berisi cairan pleura yang berfungsi
sebagai pelumas paru-paru.3

Gambar 14

7
Paru-paru merupakan sebuah organ tubuh yang sebagian besar terdiri dari gelembung
(gelembung hawa, alveoli, atau alveolus). Pada gelembung inilah terjadi pertukaran udara di
dalam darah, O2 masuk ke dalam darah dan CO2 dikeluarkan dari darah. Gelembung alveoli ini
terdiri dari sel-sel epitel dan endotel. Jika dibentangkan luas permukaannya ± 90m2. Banyaknya
gelembung paru-paru ini kurang lebih 700juta buah. Ukurannya bervariasi, tergantung lokasi
anatomisnya, semakin negatif tekanan intrapleura di apeks, ukuran alveolus akan semakin besar.
Ada dua tipe sel epitel alveolus. Tipe I berukuran besar, datar dan berbentuk skuamosa,
bertanggung jawab untuk pertukaran udara. Sedangkan tipe II, yaitu pneumosit granular, tidak
ikut serta dalam pertukaran udara. Sel-sel tipe II inilah yang memproduksi surfaktan, yang
melapisi alveolus dan mencegah kolapnya alveolus.4

2.2. Proses pernafasan pada paru-paru

Proses pernapasan pada manusia dimulai dari hidung. Udara yang diisap pada waktu menarik
nafas (inspirasi) biasanya masuk melalui lubang hidung (nares) kiri dan kanan selain melalui
mulut. Pada saat masuk, udara disaring oleh bulu hidung yang terdapat di bagian dalam lubang
hidung.4

Pada waktu menarik napas, otot diafragma berkontraksi. Semula kedudukan diafragma
melengkung keatas sekarang menjadi lurus sehingga rongga dada menjadi mengembang. Hal ini
disebut pernapasan perut. Bersamaan dengan kontraksi otot diafragma, otot-otot tulang rusuk
juga berkontraksi sehingga rongga dada mengembang. Hal ini disebut pernapasan dada.4

Akibat mengembangnya rongga dada, maka tekanan dalam rongga dada menjadi berkurang,
sehingga udara dari luar masuk melalui hidung selanjutnya melalui saluran pernapasan akhirnya
udara masuk ke dalam paru-paru, sehingga paru-paru mengembang.4

Setelah melewati rongga hidung, udara masuk ke kerongkongan bagian atas (naro-pharinx) lalu
kebawah untuk selanjutnya masuk tenggorokan (laring).3

Setelah melalui tenggorokan, udara masuk ke batang tenggorok atau trachea, dari sana
diteruskan ke saluran yang bernama bronchus atau bronkus. Saluran bronkus ini terdiri dari
beberapa tingkat percabangan dan akhirnya berhubungan di alveolus di paru-paru. Jika Oksigen
sudah sampai pada bronkus, maka oksigen siap untuk masuk ke dalam saluran paru-paru.3

8
Oksigen akan berdifusi lewat pembuluh darah berupa kapiler-kapiler arteri dengan cara difusi.
Kapiler-kapiler ini terdapat pada alveolus yang merupakan cabang dari Bronkiolus. Pada
alveolus ini akan terjadi pertukaran gas oksigen dengan karbondioksida.3

Udara yang diserap melalui alveolus akan masuk ke dalam kapiler yang selanjutnya dialirkan
ke vena pulmonalis atau pembuluh balik paru-paru. Oksigen diikat oleh hemoglobin dalam sel-
sel darah merah (eritrosit). Dari sana darah akan dialirkan ke serambi kiri jantung, lalu diedarkan
ke seluruh sel-sel tubuh yang nantinya akan digunakan oleh mitokondoria alam respirasi tingkat
seluler untuk menghasilkan energi berupa ATP (Adenosin Triposphat).3

Selanjutnya udara yang mengandung gas karbon dioksida akan dikeluarkan melalui hidung
kembali. Karbondioksida akan dibawa oleh kapiler vena untuk dibawa ke alveolus dan akan
dikeluarkan di alveolus melalui proses respirasi. Pengeluaran napas disebabkan karena
melemasnya otot diafragma dan otot-otot rusuk dan juga dibantu dengan berkontraksinya otot
perut. Diafragma menjadi melengkung ke atas, tulang-tulang rusuk turun ke bawah dan bergerak
ke arah dalam, akibatnya rongga dada mengecil sehingga tekanan dalam rongga dada naik.
Dengan naiknya tekanan dalam rongga dada, maka udara dari dalam paru-paru keluar melewati
saluran pernapasan.3

Definisi Tuberkulosis

Tuberculosis paru-paru (TB Paru) merupakan penyakit infeksi kronis atau menahun yang
menyerang parenkim paru-paru yang disebabkan oleh Mycobacterium tuberculosis. Penyakit ini
juga dapat menyebar ke bagian tubuh lain seperti meningen, ginjal, tulang dan nodus limfe.5

2.3 Etiologi, Epidemiologi dan Faktor Risiko

1. Etiologi

Mycobacterium tuberculosis merupakan jenis kuman berbentuk batang berukuran panjang 1- 4


mm dengan tebal 0,3 – 0,6 mm. Sebagian besar komponen M. tuberculosis adalah berupa lemak
(lipid) sehingga kuman mampu tahan terhadap asam serta sangat tahan terhadap zat kimia dan
faktor fisik.6

9
Mikroorganisme ini adalah bersifat aerob yakni menyukai daerah yang banyak oksigen. Oleh
karena itu, M. tuberculosis senang tinggal di daerah apeks paru-paru yang kandungan oksigennya
tinggi. Daerah tersebut menjadi tempat yang kondusif untuk penyakit tuberkulosis.6

2. Epidemiologi

Setiap tahunnya sekitar 4 juta penderita baru tuberkulosis paru menular di dunia, ditambah lagi
dengan penderita yang tidak menular. Artinya setiap tahun di dunia ini akan ada sekitar 8 juta
penderita tuberkulosis paru, dan akan ada sekitar 3 juta orang meninggal oleh karena penyakit
ini. Ditahun 1990 tercatat ada lebih dari 45 juta kematian di dunia karena berbagai sebab, dimana
3 juta diantaranya (7%) terjadi karena kasus tuberkulosis. Selain itu 25% dari seluruh kematian
yang sebenarnya dapat dicegah terjadi akibat tuberkulosis. Tahun 1990 dikawasan Asia Tenggara
telah muncul 3.1 juta penderita baru tuberkulosis dan terjadi lebih dari satu juta kematian akibat
penyakit ini. Pada tahun 2005 di Asia Tenggara ada lebih dari 8,8 juta penderita baru
tuberkulosis dan lebih dari 1,6 juta kematian.7

3. Faktor Risiko

Mereka yang paling berisiko terpajan dengan basil adalah mereka yang tinggal berdekatan
dengan orang yang terinfeksi aktif. Kelompok ini antara lain tunawisma yang tinggal di tempat
penampungan yang terdapat kasus tuberkulosis, serta anggota keluarga pasien.5

Tenaga kesehatan yang merawat pasien tuberkulosis, dan mereka yang menggunakan fasilitas
klinik perawatan atau rumah sakit yang juga digunakan oleh penderita tuberkulosis juga berisiko
terpajan dan terjangkit penyakit TB. Di antara mereka yang terpajan basil, individu yang sistem
imunnya tidak adekuat, seperti mereka yang kekurangan gizi, individu lanjut usia atau bayi dan
anak-anak, individu yang mendapat obat imunosupresan, dan mereka yang mengidap virus
imunodiferensiasi manusia (HIV) kemungkinan besar akan terinfeksi. 5

10
2.4. Patofisiologi

Gambar 28

1. Infeksi primer.

Pertama kali seseorang terinfeksi oleh tuberkulosis disebut sebagai “infeksi primer” dan
biasanya terdapat pada apeks paru atau dekat pleura lobus bawah. Infeksi primer mungkin hanya
berukuran mikroskopis, dan karenanya tidak tampak pada foto rontgen. Tempat infeksi primer
dapat mengalami proses degenerasi nekrotik (perkejuan) tetapi bisa saja tidak, yang
menyebabkan pembentukan rongga yang terisi oleh masa basil tuberkel seperti keju adalah sel-
sel darah putih yang mati, dan jaringan paru nekrotik. Pada waktunya, material ini mencair dan
dapat mengalir ke dalam percabangan trakheo bronkhial dan dibatukkan. Rongga yang terisi
udara tetap ada dan mungkin terdeteksi ketika dilakukan rontgen dada.6

Sebagian besar tuberkel primer menyembuh dalam periode bulanan dengan membentuk
jaringan parut, dan pada akhirnya terbentuk lesi pengapuran yang juga dikenal sebagai tuberkel
ghon. Lesi ini dapat mengandung basil hidup yang dapat aktif kembali meski telah bertahun-
tahun, dan menyebabkan infeksi sekunder. 6,8

11
Infeksi TB primer menyebabkan tubuh mengalami reaksi alergi terhadap basil tuberkel dan
proteinnya. Respon imun seluler ini tampak dalam bentuk sensitisasi sel-sel T dan terdeteksi oleh
reaksi positif pada tes kulit tuberkulin. Perkembangan sensitivitas tuberkulin ini terjadi pada
semua sel-sel tubuh 2-6 minggu setelah infeksi primer. Dan akan dipertahankan selama basil
hidup berada dalam tubuh. Imunitas didapat ini biasanya menghambat pertumbuhan basil lebih
lanjut dan terjadinya infeksi aktif.6,8

Faktor yang tampaknya mempunyai peran dalam perkembangan TB menjadi penyakit aktif
termasuk: 6

a. usia lanjut

b. imunosupresi

c. infeksi HIV

d. malnutrisi

e. alkoholisme dan penyalahgunaan obat

f. adanya keadaan penyakit lain

g. predispose genetic

2. Infeksi sekunder.

Selain penyakit primer yang progresif, infeksi ulang juga mengarah pada bentuk klinis TB
aktif. Tempat primer infeksi yang mengandung basil TB dapat tetap laten selama bertahun-tahun
dan kemudian teraktifkan kembali jika daya tahan pasien menurun. Penting untuk mengkaji
kembali secara periodik pasien yang telah mengalami infeksi TB untuk mengetahui adanya
kekambuhan.6,7

2.5 Manifestasi Klinis

Manifestasi klinis yang umum termasuk keletihan, penurunan berat badan, letargi, anoreksia,
dan demam ringan yang biasanya terjadi pada siang hari. Berkeringat malam dan ansietas.

12
Dispnea, batuk purulen produktif disertai nyeri dada, dan hemoptsis adalah juga temuan yang
umum.7

2.6. Klasifikasi

A. TUBERKULOSIS PARU

Tuberkulosis paru adalah tuberkulosis yang menyerang jaringan paru, tidak termasuk pleura
(selaput paru)5

1.Berdasar hasil pemeriksaan dahak (BTA) TB paru dibagi dalam :

a. Tuberkulosis Paru BTA (+)

• Sekurang-kurangnya 2 dari 3 spesimen dahak menunjukkan hasil BTA positif.

• Hasil pemeriksaan satu spesimen dahak menunjukkan BTA positif dan kelainan radiologik
menunjukkan gambaran tuberkulosis aktif.

• Hasil pemeriksaan satu spesimen dahak menunjukkan BTA positif dan biakan positif.

b.Tuberkulosis Paru BTA (-)

• Hasil pemeriksaan dahak 3 kali menunjukkan BTA negatif, gambaran klinik dan kelainan

radiologik menunjukkan tuberkulosis aktif serta tidak respons dengan pemberian antibiotik

spektrum luas

•Hasil pemeriksaan dahak 3 kali menunjukkan BTA negatif dan biakan M.tuberculosis positif

• Jika belum ada hasil pemeriksaan dahak, tulis BTA belum diperiksa.

2. Berdasarkan Tipe Penderita

Tipe penderita ditentukan berdasarkan riwayat pengobatan sebelumnya. Ada beberapa tipe
penderita yaitu :5

a. Kasus baru

13
Adalah penderita yang belum pernah mendapat pengobatan dengan OAT atau sudah pernah
menelan OAT kurang dari satu bulan (30 dosis harian).

b. Kasus kambuh (relaps)

Adalah penderita tuberkulosis yang sebelumnya pernah mendapat pengobatan tuberkulosis dan
telah dinyatakan sembuh atau pengobatan lengkap, kemudian kembali lagi berobat dengan hasil
pemeriksaan dahak BTA positif atau biakan positif. Bila hanya menunjukkan perubahan pada
gambaran radiologik sehingga dicurigai lesi aktif kembali, harus dipikirkan beberapa
kemungkinan :5,6

• Infeksi sekunder

• Infeksi jamur

• TB paru kambuh

c. Kasus pindahan (Transfer In)

Adalah penderita yang sedang mendapatkan pengobatan di suatu kabupaten dan kemudian
pindah berobat ke kabupaten lain. Penderita pindahan tersebut harus membawa surat
rujukan/pindah.5,6

d. Kasus lalai berobat

Adalah penderita yang sudah berobat paling kurang 1 bulan, dan berhenti 2 minggu atau lebih,
kemudian datang kembali berobat. Umumnya penderita tersebut kembali dengan hasil
pemeriksaan dahak BTA positif.5,6

e. Kasus Gagal

• Adalah penderita BTA positif yang masih tetap positif atau kembali menjadi positif pada
akhir bulan ke-5 (satu bulan sebelum akhir pengobatan)5,6

• Adalah penderita dengan hasil BTA negative, gambaran radiologik positif, menjadi BTA
positif pada akhir bulan ke-2 pengobatan, dan atau gambaran radiologik ulang hasilnya
perburukan5,6

14
f. Kasus kronik

Adalah penderita dengan hasil pemeriksaan dahak BTA masih positif setelah selesai
pengobatan ulang kategori 2 dengan pengawasan yang baik5,6

g. Kasus bekas TB

• Hasil pemeriksaan dahak mikroskopik (biakan jika ada fasilitas) negatif dan gambaran
radiologik paru menunjukkan lesi TB inaktif, terlebih gambaran radiologik serial menunjukkan
gambaran yang menetap. Riwayat pengobatan OAT yang adekuat akan lebih mendukung.5,6

• Pada kasus dengan gambaran radiologik meragukan lesi TB aktif, namun setelah mendapat
pengobatan OAT selama 2 bulan ternyata tidak ada perubahan gambaran radiologik.5,6

B. TUBERKULOSIS EKSTRA PARU

Batasan: Tuberkulosis yang menyerang organ tubuh lain selain paru, misalnya pleura, selaput
otak, selaput jantung (pericardium), kelenjar limfe, tulang, persendian, kulit, usus, ginjal, saluran
kencing, alat kelamin, dll. Diagnosis sebaiknya didasarkan atas: kultur spesimen positif, atau
histologi, atau bukti klinis kuat konsisten dengan TB ekstraparu aktif, yang selanjutnya
dipertimbangkan oleh klinis untuk diberikan obat antituberkulosis siklus penuh.9

TB di luar paru dibagi berdasarkan pada tingkat keparahan penyakit, yaitu :

1.TB di luar paru ringan

Misalnya :

TB kelenjar limfe, pleuritis eksudativa unilateral, tulang (kecuali tulang belakang), sendi dan
kelenjar adrenal.9

2. TB diluar paru berat

Misalnya :

meningitis, millier, perikarditis, peritonitis, pleuritis eksudativa bilateral, TB tulang belakang,


TB usus, TB saluran kencing dan alat kelamin.9

15
Catatan :

Yang dimaksud dengan TB paru adalah TB pada parenkim paru. Sebab itu TB pada pleura atau
TB pada kelenjar hilus tanpa ada kelainan radiologik paru, dianggap sebagai penderita TB di luar
paru. Bila seorang penderita TB paru juga mempunyai TB diluar paru, maka untuk kepentingan
pencatatan penderita tersebut harus dicatat sebagai penderita TB paru. 9

2.7. Diagnosis

A. GAMBARAN KLINIK

Diagnosis tuberkulosis dapat ditegakkan berdasarkan gejala klinis, pemeriksaan fisik,


pemeriksaan bakteriologi, radiologi dan pemeriksaan penunjang lainnya. 5

 Gejala klinik

Gejala klinis tuberkulosis dapat dibagi menjadi 2 golongan, yaitu gejala lokal dan gejala
sistemik, bila organ yang terkena adalah paru maka gejala lokal ialah gejala respiratori (gejala
lokal sesuai organ yang terlibat)5

1. Gejala respiratorik

- batuk > 2 minggu

- batuk darah

- sesak napas

- nyeri dada

Gejala respiratori ini sangat bervariasi, dari mulai tidak ada gejala sampai gejala yang cukup
berat tergantung dari luas lesi. Kadang pasien terdiagnosis pada saat medical check up. Bila
bronkus belum terlibat dalam proses penyakit, maka pasien mungkin tidak ada gejala batuk.
Batuk yang pertama terjadi karena iritasi bronkus, dan selanjutnya batuk diperlukan untuk
membuang dahak ke luar. 5

2. Gejala sistemik

16
- Demam, malaise, keringat malam, anoreksia dan berat badan menurun5

3. Gejala tuberkulosis ekstraparu

Gejala tuberkulosis ekstraparu tergantung dari organ yang terlibat, misalnya pada limfadenitis
tuberkulosis akan terjadi pembesaran yang lambat dan tidak nyeri dari kelenjar getah bening,
pada meningitis tuberkulosis akan terlihat gejala meningitis, sementara pada pleuritis
tuberkulosis terdapat gejala sesak napas dan kadang nyeri dada pada sisi yang rongga pleuranya
terdapat cairan.5

 Pemeriksaan Jasmani

Pada pemeriksaan jasmani kelainan yang akan dijumpai tergantung dari organ yang terlibat.

Pada tuberkulosis paru, kelainan yang didapat tergantung luas kelainan struktur paru. Pada
permulaan perkembangan penyakit umumnya tidak (atau sulit sekali) menemukan kelainan.
Kelainan paru pada umumnya terletak di daerah lobus superior terutama daerah apeks dan
segmen posterior (S1 dan S2) , serta daerah apeks lobus inferior (S6). Pada pemeriksaan jasmani
dapat ditemukan antara lain suara napas bronkial, amforik, suara napas melemah, ronki basah,
tanda-tanda penarikan paru, diafragma dan mediastinum.5

Pada pleuritis tuberkulosis, kelainan pemeriksaan fisis tergantung dari banyaknya cairan di
rongga pleura. Pada perkusi ditemukan pekak, pada auskultasi suara napas yang melemah sampai
tidak terdengar pada sisi yang terdapat cairan.5

Pada limfadenitis tuberkulosis, terlihat pembesaran kelenjar getah bening, tersering di daerah
leher (pikirkan kemungkinan metastasis tumor), kadang-kadang di daerah ketiak. 5

Pemeriksaan Bakteriologik

a. Bahan pemeriksaan

Pemeriksaan bakteriologi untuk menemukan kuman tuberkulosis mempunyai arti yang sangat
penting dalam menegakkan diagnosis. Bahan untuk pemeriksaan bakteriologi ini dapat berasal
dari dahak, cairan pleura, liquor cerebrospinal, bilasan bronkus, bilasan lambung, kurasan

17
bronkoalveolar (bronchoalveolar lavage/BAL), urin, faeces dan jaringan biopsi (termasuk biopsi
jarum halus/BJH)10

b. Cara pengumpulan dan pengiriman bahan

Cara pengambilan dahak 3 kali (SPS) :

- Sewaktu / spot (dahak sewaktu saat kunjungan)

- Pagi ( keesokan harinya )

- Sewaktu / spot ( pada saat mengantarkan dahak pagi) atau setiap pagi 3 hari berturut-turut.

Bahan pemeriksaan/spesimen yang berbentuk cairan dikumpulkan/ditampung dalam pot yang


bermulut lebar, berpenampang 6 cm atau lebih dengan tutup berulir, tidak mudah pecah dan tidak
bocor. Apabila ada fasilitas, spesimen tersebut dapat dibuat sediaan apus pada gelas objek
(difiksasi) sebelum dikirim ke laboratorium.10

Bahan pemeriksaan hasil BJH, dapat dibuat sediaan apus kering di gelas objek, atau untuk
kepentingan biakan dan uji resistensi dapat ditambahkan NaCl 0,9% 3-5 ml sebelum dikirim ke
laboratorium.10

Spesimen dahak yang ada dalam pot (jika pada gelas objek dimasukkan ke dalam kotak
sediaan) yang akan dikirim ke laboratorium, harus dipastikan telah tertulis identitas pasien yang
sesuai dengan formulir permohonan pemeriksaan laboratorium.10

Bila lokasi fasilitas laboratorium berada jauh dari klinik/tempat pelayanan pasien, spesimen
dahak dapat dikirim dengan kertas saring melalui jasa pos.10

c. Cara pemeriksaan dahak dan bahan lain.

Pemeriksaan bakteriologi dari spesimen dahak dan bahan lain (cairan pleura, liquor
cerebrospinal, bilasan bronkus, bilasan lambung, kurasan bronkoalveolar /BAL, urin, faeces dan
jaringan biopsi, termasuk BJH) dapat dilakukan dengan cara10

- Mikroskopik

- Biakan

18
 Pemeriksaan mikroskopik:

Mikroskopik biasa : pewarnaan Ziehl-Nielsen

Mikroskopik fluoresens: pewarnaan auramin-rhodamin (khususnya untuk screening)

lnterpretasi hasil pemeriksaan dahak dari 3 kali pemeriksaan ialah bila : 3 kali positif atau 2
kali positif, 1 kali negatif BTA positif

Interpretasi pemeriksaan mikroskopis dibaca dengan skala IUATLD (rekomendasi WHO).

Skala IUATLD (International Union Against Tuberculosis and Lung Disease) :

- Tidak ditemukan BTA dalam 100 lapang pandang, disebut negatif

- Ditemukan 1-9 BTA dalam 100 lapang pandang, ditulis jumlah kuman yang ditemukan

- Ditemukan 10-99 BTA dalam 100 lapang pandang disebut + (1+)

- Ditemukan 1-10 BTA dalam 1 lapang pandang, disebut ++ (2+)

- Ditemukan >10 BTA dalam 1 lapang pandang, disebut +++ (3+)

 Pemeriksaan biakan kuman:

Pemeriksaan biakan M.tuberculosis dengan metode konvensional ialah dengan cara :10

- Egg base media: Lowenstein-Jensen (dianjurkan), Ogawa, Kudoh

- Agar base media : Middle brook

Melakukan biakan dimaksudkan untuk mendapatkan diagnosis pasti, dan dapat mendeteksi
Mycobacterium tuberculosis dan juga Mycobacterium other than tuberculosis (MOTT). Untuk
mendeteksi MOTT dapat digunakan beberapa cara, baik dengan melihat cepatnya pertumbuhan,
menggunakan uji nikotinamid, uji niasin maupun pencampuran dengan cyanogen bromide serta
melihat pigmen yang timbul10

 Pemeriksaan Radiologik

19
Pemeriksaan standar ialah foto toraks PA. Pemeriksaan lain atas indikasi: foto lateral, top-
lordotik, oblik, CT-Scan. Pada pemeriksaan foto toraks, tuberkulosis dapat memberi gambaran
bermacam--macam bentuk (multiform). Gambaran radiologi yang dicurigai sebagai lesi TB aktif
: - Bayangan berawan / nodular di segmen apikal dan posterior lobus atas paru dan segmen
superior lobus bawah6

- Kaviti, terutama lebih dari satu, dikelilingi oleh bayangan opak berawan atau nodular

- Bayangan bercak milier

- Efusi pleura unilateral (umumnya) atau bilateral (jarang)

Gambaran radiologik yang dicurigai lesi TB inaktif

- Fibrotik

- Kalsifikasi

- Schwarte atau penebalan pleura

Luluh paru (destroyed Lung ) :

Gambaran radiologi yang menunjukkan kerusakan jaringan paru yang berat, biasanya secara
klinis disebut luluh paru. Gambaran radiologi luluh paru terdiri dari atelektasis, multikaviti dan
fibrosis parenkim paru. Sulit untuk menilai aktiviti lesi atau penyakit hanya berdasarkan
gambaran radiologi tersebut.6

 Luas lesi yang tampak pada foto toraks untuk kepentingan pengobatan dapat dinyatakan
sebagai berikut (terutama pada kasus BTA negatif) :6
1. Lesi minimal, bila proses mengenai sebagian dari satu atau dua paru dengan luas tidak
lebih dari sela iga 2 depan (volume paru yang terletak di atas chondrostemal junction dari
iga kedua depan dan prosesus spinosus dari vertebra torakalis 4 atau korpus vertebra
torakalis 5), serta tidak dijumpai kaviti
2. Lesi luas
Bila proses lebih luas dari lesi minimal.

Pemeriksaan khusus

20
Salah satu masalah dalam mendiagnosis pasti tuberkulosis adalah lamanya waktu yang
dibutuhkan untuk pembiakan kuman tuberkulosis secara konvensional. Dalam perkembangan
kini ada beberapa teknik yang lebih baru yang dapat mengidentifikasi kuman tuberkulosis secara
lebih cepat.5,6

1. Pemeriksaan BACTEC

Dasar teknik pemeriksaan biakan dengan BACTEC ini adalah metode radiometrik. M.
tuberculosis memetabolisme asam lemak yang kemudian menghasilkan CO2 yang akan dideteksi
growth indexnya oleh mesin ini. Sistem ini dapat menjadi salah satu alternatif pemeriksaan
biakan secara cepat untuk membantu menegakkan diagnosis dan melakukan uji kepekaan 5,6

Bentuk lain teknik ini adalah dengan menggunakan Mycobacteria Growth Indicator Tube
(MGIT).5,6

2. Polymerase chain reaction (PCR):

Pemeriksaan PCR adalah teknologi canggih yang dapat mendeteksi DNA, termasuk DNA
M.tuberculosis. Salah satu masalah dalam pelaksanaan teknik ini adalah kemungkinan
kontaminasi. Cara pemeriksaan ini telah cukup banyak dipakai, kendati masih memerlukan
ketelitian dalam pelaksanaannya.5,6

Hasil pemeriksaan PCR dapat membantu untuk menegakkan diagnosis sepanjang pemeriksaan
tersebut dikerjakan dengan cara yang benar dan sesuai standar internasional.5,6

Apabila hasil pemeriksaan PCR positif sedangkan data lain tidak ada yang menunjang ke arah
diagnosis TB, maka hasil tersebut tidak dapat dipakai sebagai pegangan untuk diagnosis TB5,6

Pada pemeriksaan deteksi M. Tuberkulosis tersebut diatas, bahan / spesimen pemeriksaan


dapat berasal dari paru maupun ekstraparu sesuai dengan organ yang terlibat.5,6

3. Pemeriksaan serologi, dengan berbagai metoda :

a. Enzym linked immunosorbent assay (ELISA)

21
Teknik ini merupakan salah satu uji serologi yang dapat mendeteksi respons humoral berupa
proses antigen-antibodi yang terjadi. Beberapa masalah dalam teknik ini antara lain adalah
kemungkinan antibodi menetap dalam waktu yang cukup lama.10

b. ICT

Uji Immunochromatographic tuberculosis (ICT tuberculosis) adalah uji serologi untuk


mendeteksi antibodi M.tuberculosis dalam serum. Uji ICT merupakan uji diagnostik TB yang
menggunakan 5 antigen spesifik yang berasal dari membran sitoplasma M.tuberculosis. Ke 5
antigen tersebut diendapkan dalam bentuk 4 garis melintang pada membran
immunokromatografik (2 antigen diantaranya digabung dalam 1 garis) disamping garis kontrol.
Serum yang akan diperiksa sebanyak 30 ml diteteskan ke bantalan warna biru, kemudian serum
akan berdifusi melewati garis antigen. Apabila serum mengandung antibodi IgG terhadap
M.tuberculosis, maka antibodi akan berikatan dengan antigen dan membentuk garis warna merah
muda. Uji dinyatakan positif bila setelah 15 menit terbentuk garis kontrol dan minimal satu dari
empat garis antigen pada membran.10

c. Mycodot

Uji ini mendeteksi antibodi antimikobakterial di dalam tubuh manusia. Uji ini menggunakan
antigen lipoarabinomannan (LAM) yang direkatkan pada suatu alat yang berbentuk sisir plastik.
Sisir plastik ini kemudian dicelupkan ke dalam serum pasien, dan bila di dalam serum tersebut
terdapat antibodi spesifik anti LAM dalam jumlah yang memadai sesuai dengan aktiviti
penyakit, maka akan timbul perubahan warna pada sisir dan dapat dideteksi dengan mudah.10

c. Uji peroksidase anti peroksidase (PAP)

Uji ini merupakan salah satu jenis uji yang mendeteksi reaksi serologi yang terjadi. Dalam
menginterpretasi hasil pemeriksaan serologi yang diperoleh, para klinisi harus hati hati karena
banyak variabel yang mempengaruhi kadar antibodi yang terdeteksi.10
e. Uji serologi yang baru / IgG TB

Uji IgG adalah salah satu pemeriksaan serologi dengan cara mendeteksi antibodi IgG dengan
antigen spesifik untuk Mycobacterium tuberculosis. Uji IgG berdasarkan antigen mikobakterial
rekombinan seperti 38 kDa dan 16 kDa dan kombinasi lainnya akan menberikan tingkat

22
sensitiviti dan spesifisiti yang dapat diterima untuk diagnosis. Di luar negeri, metode
imunodiagnosis ini lebih sering digunakan untuk mendiagnosis TB ekstraparu, tetapi tidak cukup
baik untuk diagnosis TB pada anak.10

Saat ini pemeriksaan serologi belum dapat dipakai sebagai pegangan untuk diagnosis.10

Pemeriksaan Penunjang lain

1. Analisis Cairan Pleura

Pemeriksaan analisis cairan pleura dan uji Rivalta cairan pleura perlu dilakukan pada pasien
efusi pleura untuk membantu menegakkan diagnosis. Interpretasi hasil analisis yang mendukung
diagnosis tuberkulosis adalah uji Rivalta positif dan kesan cairan eksudat, serta pada analisis
cairan pleura terdapat sel limfosit dominan dan glukosa rendah.5,6

2. Pemeriksaan histopatologi jaringan

Pemeriksaan histopatologi dilakukan untuk membantu menegakkan diagnosis TB.


Pemeriksaan yang dilakukan ialah pemeriksaan histopatologi. Bahan jaringan dapat diperoleh
melalui biopsi atau otopsi, yaitu : 5,6

· Biopsi aspirasi dengan jarum halus (BJH) kelenjar getah bening (KGB)

· Biopsi pleura (melalui torakoskopi atau dengan jarum abram, Cope dan Veen Silverman)

· Biopsi jaringan paru (trans bronchial lung biopsy/TBLB) dengan bronkoskopi, trans thoracal
needle aspiration/TTNA, biopsi paru terbuka).

· Otopsi

Pada pemeriksaan biopsi sebaiknya diambil 2 sediaan, satu sediaan dimasukkan ke dalam
larutan salin dan dikirim ke laboratorium mikrobiologi untuk dikultur serta sediaan yang kedua
difiksasi untuk pemeriksaan histologi. 5,6

3. Pemeriksaan darah

Hasil pemeriksaan darah rutin kurang menunjukkan indikator yang spesifik untuk
tuberkulosis. Laju endap darah (LED) jam pertama dan kedua dapat digunakan sebagai indikator

23
penyembuhan pasien. LED sering meningkat pada proses aktif, tetapi laju endap darah yang
normal tidak menyingkirkan tuberkulosis. Limfositpun kurang spesifik.5,6

4. Uji tuberkulin

Uji tuberkulin yang positif menunjukkan ada infeksi tuberkulosis. Di Indonesia dengan
prevalens tuberkulosis yang tinggi, uji tuberkulin sebagai alat bantu diagnostik penyakit kurang
berarti pada orang dewasa. Uji ini akan mempunyai makna bila didapatkan konversi, bula atau
apabila kepositivan dari uji yang didapat besar sekali. Pada malnutrisi dan infeksi HIV uji
tuberkulin dapat memberikan hasil negatif. 5,6

Gambar 3. Skema alur diagnosis TB paru pada orang dewasa

2.8. Pengobatan Tuberkulosis


24
Pengobatan tuberkulosis terbagi menjadi 2 fase yaitu fase intensif (2-3 bulan) dan fase
lanjutan 4 atau 7 bulan. Paduan obat yang digunakan terdiri dari paduan obat utama dan
tambahan.11

A. OBAT ANTI TUBERKULOSIS (OAT)


Obat yang dipakai:
1. Jenis obat utama (lini 1) yang digunakan adalah:
 Rifampisin
 INH
 Pirazinamid
 Streptomisin
 Etambutol
2. Kombinasi dosis tetap (Fixed dose combination)
Kombinasi dosis tetap ini terdiri dari :
Empat obat antituberkulosis dalam satu tablet, yaitu rifampisin 150 mg, isoniazid 75 mg,
pirazinamid 400 mg dan etambutol 275 mg dan Tiga obat antituberkulosis dalam satu tablet,
yaitu rifampisin 150 mg, isoniazid 75 mg dan pirazinamid 400 mg
3. Jenis obat tambahan lainnya (lini 2)
 Kanamisin
 Kuinolon
 Obat lain masih dalam penelitian ; makrolid, amoksilin + asam klavulanat
 Derivat rifampisin dan INH
Dosis OAT
 Rifampisin . 10 mg/ kg BB, maksimal 600mg 2-3X/ minggu
atau BB > 60 kg : 600 mg
BB 40-60 kg : 450 mg
BB < 40 kg : 300 mg
Dosis intermiten 600 mg / kali
 INH 5 mg/kg BB, maksimal 300mg, 10 mg/kg BB 3 X seminggu, 15 mg/kg BB 2 X
semingggu atau 300 mg/hari untuk dewasa. lntermiten : 600 mg / kali
 Pirazinamid : fase intensif

25
25 mg/kg BB, 35 mg/kg BB 3 X semingggu, 50 mg /kg BB 2 X seminggu atau :
BB > 60 kg : 1500 mg
BB 40-60 kg : 1 000 mg
BB < 40 kg : 750 mg
 Etambutol : fase intensif 20mg /kg BB, fase lanjutan 15 mg /kg BB, 30mg/kg BB 3X
seminggu, 45 mg/kg BB 2 X seminggu atau :
BB >60kg : 1500 mg
BB 40 -60 kg : 1000 mg
BB < 40 kg : 750 mg
Dosis intermiten 40 mg/ kgBB/ kali
 Streptomisin:15mg/kgBB atau BB >60kg : 1000mg
BB 40 - 60 kg : 750 mg
BB < 40 kg : sesuai BB
 Kombinasi dosis tetap :
Rekomendasi WHO 1999 untuk kombinasi dosis tetap, penderita hanya minum obat 3-4 tablet
sehari selama fase intensif, sedangkan fase lanjutan dapat menggunakan kombinasi dosis 2 obat
antituberkulosis seperti yang selama ini telah digunakan sesuai dengan pedoman pengobatan.
Pada kasus yang mendapat obat kombinasi dosis tetap tersebut, bila mengalami efek samping
serius harus dirujuk ke rumah sakit / fasilitas yang mampu menanganinya.11
 Efek Samping OAT :
Sebagian besar penderita TB dapat menyelesaikan pengobatan tanpa efek samping. Namun
sebagian kecil dapat mengalami efek samping, oleh karena itu pemantauan kemungkinan
terjadinya efek samping sangat penting dilakukan selama pengobatan. Efek samping yang terjadi
dapat ringan atau berat, bila efek samping ringan dan dapat diatasi dengan obat simtomatik maka
pemberian OAT dapat dilanjutkan. 11
1. Isoniazid (INH)
Efek samping ringan dapat berupa tanda-tanda keracunan pada syaraf tepi, kesemutan, rasa
terbakar di kaki dan nyeri otot. Efek ini dapat dikurangi dengan pemberian piridoksin dengan
dosis 100 mg perhari atau dengan vitamin B kompleks. Pada keadaan tersebut pengobatan dapat
diteruskan. Kelainan lain ialah menyerupai defisiensi piridoksin (syndrom pellagra). Efek
samping berat dapat berupa hepatitis yang dapat timbul pada kurang lebih 0,5% penderita. Bila

26
terjadi hepatitis imbas obat atau ikterik, hentikan OAT dan pengobatan sesuai dengan pedoman
TB pada keadaan khusus 11
2. Rifampisin
Efek samping ringan yang dapat terjadi dan hanya memerlukan pengobatan simtomatik ialah :
Sindrom flu berupa demam, menggigil dan nyeri tulang Sindrom perut berupa sakit perut, mual,
tidak nafsu makan, muntah kadang-kadang diare. Sindrom kulit seperti gatal-gatal kemerahan.
Efek samping yang berat tapi jarang terjadi ialah : Hepatitis imbas obat atau ikterik, bila terjadi
hal tersebut OAT harus distop dulu dan penatalaksanaan sesuai pedoman TB pada keadaan
khusus. Purpura, anemia hemolitik yang akut, syok dan gagal ginjal. Bila salah satu dari gejala
ini terjadi, rifampisin harus segera dihentikan dan jangan diberikan lagi walaupun gejalanya telah
menghilang.11
Sindrom respirasi yang ditandai dengan sesak napas Rifampisin dapat menyebabkan warna
merah pada air seni, keringat, air mata, air liur. Warna merah tersebut terjadi karena proses
metabolisme obat dan tidak berbahaya. Hal ini harus diberitahukan kepada penderita agar
dimengerti dan tidak perlu khawatir. 11
3. Pirazinamid
Efek samping utama ialah hepatitis imbas obat (penatalaksanaan sesuai pedoman TB pada
keadaan khusus). Nyeri sendi juga dapat terjadi (beri aspirin) dan kadang-kadang dapat
menyebabkan serangan arthritis Gout, hal ini kemungkinan disebabkan berkurangnya ekskresi
dan penimbunan asam urat. Kadang-kadang terjadi reaksi demam, mual, kemerahan dan reaksi
kulit yang lain. 11
4. Etambutol
Etambutol dapat menyebabkan gangguan penglihatan berupa berkurangnya ketajaman, buta
warna untuk warna merah dan hijau. Meskipun demikian keracunan okuler tersebut tergantung
pada dosis yang dipakai, jarang sekali terjadi bila dosisnya 15-25 mg/kg BB perhari atau 30
mg/kg BB yang diberikan 3 kali seminggu. Gangguan penglihatan akan kembali normal dalam
beberapa minggu setelah obat dihentikan. Sebaiknya etambutol tidak diberikan pada anak karena
risiko kerusakan okuler sulit untuk dideteksi 11

5. Streptomisin

27
Efek samping utama adalah kerusakan syaraf kedelapan yang berkaitan dengan keseimbangan
dan pendengaran. Risiko efek samping tersebut akan meningkat seiring dengan peningkatan
dosis yang digunakan dan umur penderita. 11
PANDUAN OBAT ANTI TUBERKULOSIS11

Pengobatan tuberkulosis dibagi menjadi :

 TB paru (kasus baru), BTA positif atau pada foto toraks: lesi luas

Paduan obat yang dianjurkan : 2 RHZE / 4 RH atau 2 RHZE/ 6HE atau


2 RHZE / 4R3H3

Paduan ini dianjurkan untuk

a. TB paru BTA (+), kasus baru

b. TB paru BTA (-), dengan gambaran radiologi lesi luas (termasuk luluh paru)

Bila ada fasilitas biakan dan uji resistensi, pengobatan disesuaikan dengan hasil uji
resistensi

 TB Paru (kasus baru), BTA negatif, pada foto toraks: lesi minimal

Paduan obat yang dianjurkan : 2 RHZE / 4 RH atau 6 RHE atau 2 RHZE/ 4R3H3

 TB paru kasus kambuh

Sebelum ada hasil uji resistensi dapat diberikan 2 RHZES / 1 RHZE. Fase lanjutan sesuai
dengan hasil uji resistensi. Bila tidak terdapat hasil uji resistensi dapat diberikan obat RHE
selama 5 bulan.

 TB Paru kasus gagal pengobatan

Sebelum ada hasil uji resistensi seharusnya diberikan obat lini 2 (contoh paduan: 3-6 bulan
kanamisin, ofloksasin, etionamid, sikloserin dilanjutkan 15-18 bulan ofloksasin, etionamid,
sikloserin). Dalam keadaan tidak memungkinkan pada fase awal dapat diberikan 2 RHZES / 1
RHZE. Fase lanjutan sesuai dengan hasil uji resistensi. Bila tidak terdapat hasil uji resistensi
dapat diberikan obat RHE selama 5 bulan.11

28
- Dapat pula dipertimbangkan tindakan bedah untuk mendapatkan hasil yang optimal

- Sebaiknya kasus gagal pengobatan dirujuk ke dokter spesialis paru

 TB Paru kasus putus berobat

Pasien TB paru kasus lalai berobat, akan dimulai pengobatan kembali sesuai dengan kriteria
sebagai berikut :11

a. Berobat > 4 bulan

1) BTA saat ini negatif

Klinis dan radiologi tidak aktif atau ada perbaikan maka pengobatan OAT dihentikan. Bila
gambaran radiologi aktif, lakukan analisis lebih lanjut untuk memastikan diagnosis TB dengan
mempertimbangkan juga kemungkinan penyakit paru lain. Bila terbukti TB maka pengobatan
dimulai dari awal dengan paduan obat yang lebih kuat dan jangka waktu pengobatan yang lebih
lama.11

2) BTA saat ini positif

Pengobatan dimulai dari awal dengan paduan obat yang lebih kuat dan jangka waktu
pengobatan yang lebih lama11

b. Berobat < 4 bulan

1) Bila BTA positif, pengobatan dimulai dari awal dengan paduan obat yang lebih kuat
dan jangka waktu pengobatan yang lebih lama

2) Bila BTA negatif, gambaran foto toraks positif TB aktif pengobatan diteruskan

Jika memungkinkan seharusnya diperiksa uji resistensi terhadap OAT.

· TB Paru kasus kronik

- Pengobatan TB paru kasus kronik, jika belum ada hasil uji resistensi, berikan RHZES.
Jika telah ada hasil uji resistensi, sesuaikan dengan hasil uji resistensi

29
(minimal terdapat 4 macam OAT yang masih sensitif) ditambah dengan obat lini 2 seperti
kuinolon, betalaktam, makrolid dll. Pengobatan minimal 18 bulan.

- Jika tidak mampu dapat diberikan INH seumur hidup

- Pertimbangkan pembedahan untuk meningkatkan kemungkinan penyembuhan

- Kasus TB paru kronik perlu dirujuk ke dokter spesialis paru

B. PENGOBATAN SUPORTIF / SIMPTOMATIK

Pada pengobatan pasien TB perlu diperhatikan keadaan klinisnya. Bila keadaan klinis
baik dan tidak ada indikasi rawat, pasien dapat dibeikan rawat jalan. Selain OAT kadang perlu
pengobatan tambahan atau suportif/simptomatis untuk meningkatkan daya tahan tubuh atau
mengatasi gejala/keluhan.11

1. Pasien rawat jalan

a. Makan makanan yang bergizi, bila dianggap perlu dapat diberikan vitamin tambahan
(pada prinsipnya tidak ada larangan makanan untuk pasien tuberkulosis, kecuali untuk penyakit
komorbidnya)

b. Bila demam dapat diberikan obat penurun panas/demam

c. Bila perlu dapat diberikan obat untuk mengatasi gejala batuk, sesak napas atau keluhan
lain.

2. Pasien rawat inap

Indikasi rawat inap :

 TB paru disertai keadaan/komplikasi sbb :

- Batuk darah masif

- Keadaan umum buruk

- Pneumotoraks

30
- Empiema

- Efusi pleura masif / bilateral

- Sesak napas berat (bukan karena efusi pleura)

 TB di luar paru yang mengancam jiwa :

- TB paru milier

- Meningitis TB

Pengobatan suportif / simptomatis yang diberikan sesuai dengan keadaan klinis dan indikasi
rawat+11

C. TERAPI PEMBEDAHAN11

lndikasi operasi

1. Indikasi mutlak

a. Semua pasien yang telah mendapat OAT adekuat tetapi dahak tetap positif

b. Pasien batuk darah yang masif tidak dapat diatasi dengan cara konservatif

c. Pasien dengan fistula bronkopleura dan empiema yang tidak dapat diatasi secara
konservatif

2. lndikasi relatif

a. Pasien dengan dahak negatif dengan batuk darah berulang

b. Kerusakan satu paru atau lobus dengan keluhan

c. Sisa kaviti yang menetap.

Tindakan Invasif (Selain Pembedahan)

· Bronkoskopi

· Punksi pleura

31
· Pemasangan WSD (Water Sealed Drainage)

D. EVALUASI PENGOBATAN

Evaluasi pasien meliputi evaluasi klinis, bakteriologi, radiologi, dan efek samping obat,
serta evaluasi keteraturan berobat.11

 Evaluasi klinik

- Pasien dievaluasi setiap 2 minggu pada 1 bulan pertama pengobatan selanjutnya setiap 1
bulan

- Evaluasi : respons pengobatan dan ada tidaknya efek samping obat serta ada tidaknya
komplikasi penyakit

- Evaluasi klinis meliputi keluhan , berat badan, pemeriksaan fisis.

 Evaluasi bakteriologik (0 - 2 - 6 /9 bulan pengobatan)

Tujuan untuk mendeteksi ada tidaknya konversi dahak. Pemeriksaan & evaluasi pemeriksaan
mikroskopik sebelum pengobatan dimulai, setelah 2 bulan pengobatan (setelah fase intensif),
pada akhir pengobatan. Bila ada fasilitas biakan : dilakukan pemeriksaan biakan dan uji
resistensi.11

 Evaluasi radiologik (0 - 2 – 6/9 bulan pengobatan)

Pemeriksaan dan evaluasi foto toraks dilakukan pada:

- Sebelum pengobatan

- Setelah 2 bulan pengobatan (kecuali pada kasus yang juga dipikirkan kemungkinan
keganasan dapat dilakukan 1 bulan pengobatan)

- Pada akhir pengobatan

 Evaluasi efek samping secara klinik

Bila mungkin sebaiknya dari awal diperiksa fungsi hati, fungsi ginjal dan darah lengkap :

32
. Fungsi hati; SGOT,SGPT, bilirubin, fungsi ginjal : ureum, kreatinin, dan gula darah ,
serta asam urat untuk data dasar penyakit penyerta atau efek samping pengobatan.5

. Asam urat diperiksa bila menggunakan pirazinamid

. Pemeriksaan visus dan uji buta warna bila menggunakan etambutol (bila ada keluhan)

. Pasien yang mendapat streptomisin harus diperiksa uji keseimbangan dan audiometri
(bila ada keluhan)

. Pada anak dan dewasa muda umumnya tidak diperlukan pemeriksaan awal tersebut.
Yang paling penting adalah evaluasi klinis kemungkinan terjadi efek samping obat. Bila pada
evaluasi klinis dicurigai terdapat efek samping, maka dilakukan pemeriksaan laboratorium untuk
memastikannya dan penanganan efek samping obat sesuai pedoman

 Evalusi keteraturan berobat

- Yang tidak kalah pentingnya adalah evaluasi keteraturan berobat dan diminum / tidaknya
obat tersebut. Dalam hal ini maka sangat penting penyuluhan atau pendidikan mengenai
penyakit dan keteraturan berobat. Penyuluhan atau pendidikan dapat diberikan kepada pasien,
keluarga dan lingkungannya. Ketidakteraturan berobat akan menyebabkan timbulnya masalah
resistensi.11

2.9. Kriteria Sembuh

- BTA mikroskopis negatif dua kali (pada akhir fase intensif dan akhir pengobatan) dan telah
mendapatkan pengobatan yang adekuat6

- Pada foto toraks, gambaran radiologi serial tetap sama/ perbaikan

- Bila ada fasilitas biakan, maka kriteria ditambah biakan negatif

 Evaluasi pasien yang telah sembuh

Pasien TB yang telah dinyatakan sembuh sebaiknya tetap dievaluasi minimal dalam 2 tahun
pertama setelah sembuh, hal ini dimaksudkan untuk mengetahui kekambuhan. Hal yang
dievaluasi adalah mikroskopis BTA dahak dan foto toraks. Mikroskopis BTA dahak 3,6,12 dan

33
24 bulan (sesuai indikasi/bila ada gejala) setelah dinyatakan sembuh. Evaluasi foto toraks 6, 12,
24 bulan setelah dinyatakan sembuh (bila ada kecurigaan TB kambuh).6

3.0. RESISTEN GANDA (Multi Drug Resistance/ MDR)12

Definisi

Resistensi ganda menunjukkan M.tuberculosis resisten terhadap rifampisin dan INH dengan
atau tanpa OAT lainnya

Secara umum resistensi terhadap obat tuberkulosis dibagi menjadi :

- Resistensi primer ialah apabila pasien sebelumnya tidak pernah mendapat pengobatan TB

- Resistensi inisial ialah apabila kita tidak tahu pasti apakah pasiennya sudah pernah ada
riwayat pengobatan sebelumnya atau tidak

- Resistensi sekunder ialah apabila pasien telah punya riwayat pengobatan sebelumnya.

Laporan pertama tentang reistensi ganda datang dari Amerika Serikat, khususnya pada pasien
TB dan AIDS yang menimbulkan angka kematian 70% –90% dalam waktu hanya 4 sampai 16
minggu. Laporan WHO tentang TB tahun 2004 menyatakan bahwa sampai 50 juta orang telah
terinfeksi oleh kuman tuberkulosis yang resisten terhadap obat anti tuberkulosis. TB paru kronik
sering disebabkan oleh MDR12

Ada beberapa penyebab terjadinya resitensi terhadap obat tuberkulosis, yaitu :

- Pemakaian obat tunggal dalam pengobatan tuberkulosis

- Penggunaan paduan obat yang tidak adekuat, yaitu jenis obatnya yang kurang atau di
lingkungan tersebut telah terdapat resistensi yang tinggi terhadap obat yang digunakan, misalnya
memberikan rifampisin dan INH saja pada daerah dengan resistensi terhadap kedua obat tersebut
sudah cukup tinggi

- Pemberian obat yang tidak teratur, misalnya hanya dimakan dua atau tiga minggu lalu stop,
setelah dua bulan berhenti kemudian berpindah dokter dan mendapat obat kembali selama dua
atau tiga bulan lalu stop lagi, demikian seterusnya

34
- Fenomena “ addition syndrome”, yaitu suatu obat ditambahkan dalam suatu paduan
pengobatan yang tidak berhasil. Bila kegagalan itu terjadi karena kuman TB telah resisten pada
paduan yang pertama, maka “penambahan” (addition) satu macam obat hanya akan menambah
panjang daftar obat yang resisten

- Penggunaan obat kombinasi yang pencampurannya tidak dilakukan secara baik, sehingga
mengganggu bioavailabiliti obat

- Penyediaan obat yang tidak reguler, kadang obat datang ke suatu daerah kadang terhenti
pengirimannya sampai berbulan-bulan

- Pemakaian obat antituberkulosis cukup lama, sehingga menimbulkan kejemuan

- Pengetahuan pasien kurang tentang penyakit TB

- Kasus MDR-TB rujuk ke dokter spesialis paru

 Pengobatan Tuberkulosis Resisten Ganda (MDR)12

Klasifikasi OAT untuk MDR

Kriteria utama berdasarkan data biologikal dibagi menjadi 3 kelompok OAT:

1. Obat dengan aktivitas bakterisid: aminoglikosid, tionamid dan pirazinamid yang bekerja
pada pH asam

2. Obat dengan aktivitas bakterisid rendah: fluorokuinolon

3. Obat dengan akivitas bakteriostatik, etambutol, cycloserin dan PAS

Fluorokuinolon

Fluorokuinolon (moksifloksasin, levofloksasin, ofloksasin dan siprofloksasin) dapat


digunakan untuk kuman TB yang resisten terhadap lini-1.12

Resistensi silang

35
Pada pengobatan MDR TB harus dipertimbangkan resistensi silang dalam memilih jenis
OAT. Tidak efektif memberikan OAT dari golongan yang sama atau paduan OAT yang
berpotensi terjadi resistensi silang.12

- Tionamid dan tiosetason

Etionamid adalah golongan tionamid yang dapat menginduksi terjadinya resistensi silang
dengan proteonamid karena satu golongan. Sering ditemukan resistensi silang antara tionamid
dengan tioasetason, galur yang biasanya resisten dengan tiosetason biasanya masih sensitif
terhadap etionamid dan proteonamid. Galur yang resisten terhadap etionamid dan proteonamid
biasanya juga resisten juga terhadap tioasetason pada lebih dari 70% kasus.12

- Aminoglikosid

Galur yang resisten terhadap streptomisin biasanya sensitif terhadap kanamisin dan amikasin.
Galur yang resisten terhadap kanamisin dapat menyebabkan resisten silang terhadap amikasin.
Galur yang resisten terhadap kanamisin dan amikasin juga menimbulkan resisten terhadap
streptomisin. Galur yang resisten terhadap streptomisin, kanamisin, amikasin biasanya masih
sensitif terhadap kapreomisin.12

. Resisten terhadap streptomisin gunakan kanamisin atau amikasin

. Resisten terhadap kanamisin atau amikasin gunakan kapreomisin

- Fluorokuinolon

Ofloksasin dan siprofloksasin dapat menginduksi terjadinya resistensi silang untuk semua
fluorokuninolon. Itulah sebabnya penggunaan ofloksasin harus hati-hati karena beberapa
kuinolon yang lebih aktif (levofloksasin dan moksifloksasin) dapat menggantikan ofloksasin di
masa datang.12

- Sikloserin dan terizidon

Terdapat resistensi silang antara dua macam obat ini. Tidak terdapat resistensi silang dengan
obat golongan lain.

36
- Hingga saat ini belum ada paduan pengobatan yang distandarisasi untuk pasien MDR-TB.
Pemberian pengobatan pada dasarnya “tailor made”, bergantung dari hasil uji resistensi dengan
menggunakan minimal 4 OAT masih sensitif12

- Obat lini 2 yang dapat digunakan yaitu golongan fluorokuinolon, aminoglikosida,


etionamid, sikloserin, klofazimin, amoksilin+ as.klavulanat12

- Saat ini paduan yang dianjurkan ialah OAT yang masih sensitif minimal 2 –3 OAT lini 1
ditambah dengan obat lini 2, yaitu Siprofloksasin dengan dosis 1000 – 1500 mg atau ofloksasin
600 – 800 mg (obat dapat diberikan single dose atau 2 kali sehari)12

- Pengobatan terhadap tuberkulosis resisten ganda sangat sulit dan memerlukan waktu yang
lama yaitu minimal 18 bulan12

- Hasil pengobatan terhadap TB resisten ganda ini kurang menggembirakan. Pada pasien non-
HIV, konversi hanya didapat pada sekitar 50% kasus, sedangkan response rate didapat pada 65%
kasus dan kesembuhan pada 56% kasus.12

- Pemberian obat antituberkulosis yang benar dan pengawasan yang baik, merupakan salah
satu kunci penting mencegah resisten ganda. Konsep Directly Observed Treatment Short Course
(DOTS) merupakan salah satu upaya penting dalam menjamin keteraturan berobat.12

- Prioritas yang dianjurkan bukan pengobatan MDR, tetapi pencegahan MDR-TB12

3.1. PENGOBATAN TUBERKULOSIS PADA KEADAAN KHUSUS11

A TB MILIER

· Rawat inap

· Paduan obat: 2 RHZE/ 4 RH

· Pada keadaan khusus (sakit berat), tergantung keadaan klinis, radiologi dan evaluasi
pengobatan, maka pengobatan lanjutan dapat diperpanjang

· Pemberian kortikosteroid tidak rutin, hanya diberikan pada keadaan:

1. Tanda / gejala meningitis

37
2. Sesak napas
3. Tanda / gejala toksik
4. Demam tinggi

B. PLEURITIS EKSUDATIVA TB (EFUSI PLEURA TB)11

Paduan obat: 2RHZE/4RH.

- Evakuasi cairan, dikeluarkan seoptimal mungkin, sesuai keadaan pasien dan dapat
diberikan kortikosteroid

- Hati-hati pemberian kortikosteroid pada TB dengan lesi luas dan DM.

- Evakuasi cairan dapat diulang bila diperlukan

C. TB PARU DENGAN DIABETES MELITUS (DM)11

- Paduan OAT pada prinsipnya sama dengan TB tanpa DM, dengan syarat kadar gula darah
terkontrol

- Apabila kadar gula darah tidak terkontrol, maka lama pengobatan dapat dilanjutkan sampai
9 bulan

- Hati-hati dengan penggunaan etambutol, karena efek samping etambutol pada mata;
sedangkan pasien DM sering mengalami komplikasi kelainan pada mata

- Perlu diperhatikan penggunaan rifampisin karena akan mengurangi efektiviti obat oral
antidiabetes (sulfonil urea), sehingga dosisnya perlu ditingkatkan

- Perlu kontrol / pengawasan sesudah pengobatan selesai, untuk mengontrol / mendeteksi


dini bila terjadi kekambuhan

D. TB PARU DENGAN HIV / AIDS11

Pada daerah dengan angka prevalens HIV yang tinggi di populasi dengan kemungkinan
koinfeksi TB-HIV, maka konseling dan pemeriksaan HIV diindikasikan untuk seluruh TB pasien
sebagai bagian dari penatalaksanaan rutin. Pada daerah dengan prevalens HIV yang rendah,
konseling dan pemeriksaan HIV hanya diindikasi pada pasien TB dengan keluhan dan tanda

38
tanda yang diduga berhubungan dengan HIV dan pada pasien TB dengan riwayat risiko tinggi
terpajan HIV.11

Jadi tidak semua pasien TB paru perlu diuji HIV. Hanya pasien TB paru tertentu saja yang
memerlukan uji HIV, misalnya:11

a. Ada riwayat perilaku risiko tinggi tertular HIV

b. Hasil pengobatan OAT tidak memuaskan

c. MDR TB / TB kronik

Pemeriksaan minimal yang perlu dilakukan untuk memastikan diagnosis TB paru adalah
pemeriksaan BTA dahak, foto toraks dan jika memungkinkan dilakukan pemeriksaan CD4.

Pengobatan OAT pada TB-HIV:

- Pada dasarnya pengobatannya sama dengan pengobatan TB tanpa HIV/AIDS.

- Prinsip pengobatan adalah menggunakan kombinasi beberapa jenis obat dalam jumlah
cukup dan dosis serta jangka waktu yang tepat

- Pemberian tiasetazon pada pasien HIV/AIDS sangat berbahaya karena akan menyebabkan
efek toksik berat pada kulit

- Injeksi streptomisin hanya boleh diberikan jika tersedia alat suntik sekali pakai yang steril.

- Desensitisasi obat (INH, rifampisin) tidak boleh dilakukan karena mengakibatkan toksik
yang serius pada hati

- Pada pasien TB dengan HIV/AIDS yang tidak memberi respons terhadap pengobatan, selain
dipikirkan terdapat resistensi terhadap obat juga harus dipikirkan terdapatnya malabsorpsi obat.
Pada pasien HIV/AIDS terdapat korelasi antara imunosupresi yang berat dengan derajat
penyerapan, karenanya dosis standar OAT yang diterima suboptimal sehingga konsentrasi obat
rendah dalam serum.

39
Pertimbangan ART

- Mulai salah satu paduan di bawah ini setelah selesai fase intensif (mulai lebih dini dan bila
penyakit berat)

Interaksi obat TB dengan ARV (Anti Retrovirus)

- Pemakaian obat HIV/AIDS misalnya zidovudin akan meningkatkan kemungkinan


terjadinya efek toksik OAT

- Tidak ada interaksi bermakna antara OAT dengan ARV golongan nukleosida, kecuali
Didanosin (ddI) yang harus diberikan selang 1 jam dengan OAT karena bersifat sebagai buffer
antasida

- Interaksi dengan OAT terutama terjadi dengan ART golongan nonnukleotida dan
inhibitor protease. Rifampisin jangan diberikan bersama dengan nelfinavir karena rifampisin
dapat menurunkan kadar nelfinavir sampai 82%. Rifampisin dapat menurunkan kadar nevirapin
sampai 37%, tetapi sampai saat ini belum ada peningkatan dosis nevirapin yang
direkomendasikan

E. TB PARU PADA KEHAMILAN DAN MENYUSUI11

- Obat antituberkulosis harus tetap diberikan kecuali streptomisin, karena efek


samping streptomisin pada gangguan pendengaran janin

- Pada pasien TB yang menyusui, OAT dan ASI tetap dapat diberikan, walaupun
beberapa OAT dapat masuk ke dalam ASI, akan tetetapi konsentrasinya kecil dan tidak
menyebabkan toksik pada bayi

- Pada perempuan usia produktif yang mendapat pengobatan TB dengan rifampisin,


dianjurkan untuk tidak menggunakan kontrasepsi hormonal, karena dapat terjadi interaksi obat
yang menyebabkan efektiviti obat kontrasepsi hormonal berkurang.

- Tidak ada indikasi pengguguran pada pasien TB dengan kehamilan

40
F. TB PARU PADA GAGAL GINJAL11

- Jangan menggunakan streptomisin, kanamisin dan kapreomisin

- Sebaiknya hindari penggunaan etambutol, karena waktu paruhnya memanjang


dan terjadi akumulasi etambutol. Dalam keadaan sangat diperlukan, etambutol dapat diberikan
dengan pengawasan kreatinin

- Sedapat mungkin dosis disesuaikan dengan faal ginjal (CCT, ureum, kreatinin)

- Rujuk ke ahli Paru

G. TB PARU DENGAN KELAINAN HATI11

- Bila ada kecurigaan penyakit hati, dianjurkan pemeriksaan faal hati sebelum
pengobatan

- Pada kelainan hati, pirazinamid tidak boleh diberikan

- Paduan obat yang dianjurkan (rekomendasi WHO) ialah 2 SHRE/6 RH atau 2


SHE/10 HE

Pada pasien hepatitis akut dan atau klinis ikterik , sebaiknya OAT ditunda sampai hepatitis
akutnya mengalami penyembuhan. Pada keadaan sangat diperlukan dapat diberikan S dan E
maksimal 3 bulan sampai hepatitis menyembuh dan dilanjutkan dengan 6 RH

- Sebaiknya rujuk ke dokter spesialis paru

H. HEPATITIS IMBAS OBAT11

- Adalah kelainan fungsi hati akibat penggunaan obat-obat hepatotoksik (drug


induced hepatitis)

- Penatalaksanaan

. Bila klinis (+) (Ikterik [+], gejala mual, muntah [+]) ® OAT Stop

. Bila gejala (+) dan SGOT, SGPT > 3 kali,: OAT stop

41
. Bila gejala klinis (-), Laboratorium terdapat kelainan:

Bilirubin > 2 OAT Stop

SGOT, SGPT > 5 kali : OAT stop

SGOT, SGPT > 3 kali teruskan pengobatan, dengan pengawasan

Paduan OAT yang dianjurkan :

- Stop OAT yang bersifat hepatotoksik (RHZ)

Setelah itu, monitor klinis dan laboratorium. Bila klinis dan laboratorium kembali normal
(bilirubin, SGOT, SGPT), maka tambahkan H (INH) desensitisasi sampai dengan dosis penuh
(300 mg). Selama itu perhatikan klinis dan periksa laboratorium saat INH dosis penuh , bila
klinis dan laboratorium kembali normal, tambahkan rifampisin, desensitisasi sampai dengan
dosis penuh (sesuai berat badan). Sehingga paduan obat menjadi RHES

- Pirazinamid tidak boleh diberikan lagi

I. TUBERKULOSIS PADA ORGAN LAIN11

Paduan OAT untuk pengobatan tuberkulosis di berbagai organ tubuh sama dengan TB paru
menurut ATS, misalnya pengobatan untuk TB tulang, TB sendi dan TB kelenjar lama
pengobatan OAT dapat diberikan 9 – 12 bulan. Paduan OAT yang diberikan adalah : 2RHZE / 7-
10 RH.

Pemberian kortikosteroid pada perikarditis TB untuk menurunkan kebutuhan intervensi


operasi dan menurunkan kematian, pada meningitis TB untuk menurunkan gejala sisa
neurologis. Dosis yang dianjurkan ialah 0,5 mg/kgBB/ hari selama 3-6 minggu.

KOMPLIKASI6

Pada pasien tuberkulosis dapat terjadi beberapa komplikasi, baik sebelum pengobatan atau
dalam masa pengobatan maupun setelah selesai pengobatan.

Beberapa komplikasi yang mungkin timbul adalah :

42
- Batuk darah

- Pneumotoraks

- Luluh paru

- Gagal napas

- Gagal jantung

- Efusi pleura

DIRECTLY OBSERVED TREATMENT SHORT COURSE (DOTS)13

Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) menyatakan bahwa kunci keberhasilan program


penanggulangan tuberkulosis adalah dengan menerapkan strategi DOTS, yang juga telah dianut
oleh negara kita. Oleh karena itu pemahaman tentang DOTS merupakan hal yang sangat penting
agar TB dapat ditanggulangi dengan baik.13

DOTS mengandung lima komponen, yaitu :

1.Komitmen pemerintah untuk menjalankan program TB nasional

2.Penemuan kasus TB dengan pemeriksaan BTA mikroskopik

3.Pemberian obat jangka pendek yang diawasi secara langsung, dikenal dengan istilah DOT
(Directly Observed Therapy)

4.Pengadaan OAT secara berkesinambungan

5.Monitoring serta pencatatan dan pelaporan yang (baku/standar) baik

Istilah DOT diartikan sebagai pengawasan langsung menelan obat jangka pendek setiap hari
oleh Pengawas Menelan Obat (PMO)

Pengawasan dilakukan oleh :

1. Penderita berobat jalan

2. Langsung di depan dokter

43
3. Petugas kesehatan

4. Orang lain (kader, tokoh masyarakat dll) Suami/Istri/Keluarga/Orang serumah

Penderita dirawat

Selama perawatan di rumah sakit yang bertindak sebagai PMO adalah petugas RS, selesai
perawatan untuk pengobatan selanjutnya sesuai dengan berobat jalan.13

Tujuan :

• Mencapai angka kesembuhan yang tinggi

• Mencegah putus berobat

• Mengatasi efek samping obat

• Mencegah resistensi

Dalam melaksanakan DOT, sebelum pengobatan pertama kali dimulai harus diingat:

•Tentukan seorang PMO

Berikan penjelasan kepada penderita bahwa harus ada seorang PMO dan PMO tersebut harus
ikut hadir di poliklinik untuk mendapat penjelasan tentang DOT.13

•Persyaratan PMO

PMO bersedia dengan sukarela membantu penderita TB sampai sembuh selama 6 bulan. PMO
dapat berasal dari kader dasawisma, kader PPTI, PKK, atau anggota keluarga yang disegani
penderita13

•Tugas PMO

Bersedia mendapat penjelasan di poliklinik, memberikan pengawasan kepada penderita dalam


hal minum obat, mengingatkan penderita untuk pemeriksaan ulang dahak sesuai jadwal,
memberitahukan / mengantar penderita untuk kontrol bila ada efek samping obat, bersedia antar
jemput OAT jika penderita tidak bisa datang ke RS /poliklinik.13

44
• Petugas PPTI atau Petugas Sosial

Untuk pengaturan/penentuan PMO, dilakukan oleh PKMRS (Penyuluhan Kesehatan


Masyarakat Rumah Sakit), olehPERKESMAS (Perawatan Kesehatan Masyarakat) atau
PHN(Public Health Nurse), paramedis atau petugas sosial13

•Petugas sosial

Ialah volunteer yang mau dan mampu bekerja sukarela, mau dilatih DOT. Penunjukan oleh

RS atau dibantu PPTI, jika mungkin diberi penghargaan atau uang transport. Penyuluhan
tentang TB merupakan hal yang sangat penting, penyuluhan dapat dilakukan secara13 :

•Perorangan/Individu

Penyuluhan terhadap perorangan (penderita maupun keluarga) dapat dilakukan di unit rawat
jalan, di apotik saat mengambil obat, dll

• Kelompok Penyuluhan

kelompok dapat dilakukan terhadap kelompok penderita, kelompok keluarga penderita,


masyarakat pengunjung RS, dll

Cara memberikan penyuluhan

• Sesuaikan dengan program kesehatan yang sudah ada

• Materi yang disampaikan perlu diuji ulang untuk diketahui tingkat penerimaannya sebagai
bahan untuk penatalaksanaan selanjutnya

• Beri kesempatan untuk mengajukan pertanyaan, terutama hal yang belum jelas

• Gunakan bahasa yang sederhana dan kalimat yang mudah dimengerti, kalau perlu dengan
alat peraga (brosur, leaflet dll)

DOTS PLUS

• Merupakan strategi pengobatan dengan menggunakan 5 komponen DOTS

45
• Plus adalah menggunakan obat antituberkulosis lini 2

• DOTS Plus tidak mungkin dilakukan pada daerah yang tidak menggunakan strategi DOTS

• Strategi DOTS Plus merupakan inovasi pada pengobatan MDR-TB

PENCEGAHAN

Pencegahan dapat dilakukan dengan cara :

1. Kemoprofilaksis diberikan kepada penderita HIV atau AIDS. Obat yang digunakan pada
kemoprofilaksis adalah Isoniazid (INH) dengan dosis 5mg / kg BB (tidak lebih dari 300
mg) sehari selama minimal 6 bulan.6
2. Vaksinasi BCG
Dari beberapa penelitian diketahui bahwa vaksinasi BCG yang telah dilakukan pada anak-
anak selama ini hanya memberikan daya protejsi sebagian saja yakni 0-80%. Tetapi BCG
masih dapat dipakai karena dapat mengurangi kemungkinan terhadap tuberculosis berat
dan tuberculosis ekstra paru lainnya. 6

PROGNOSIS

Tuberkulosis merupakan penyakit yang dapat disembuhkan. Apabila Tuberkulosis didiagnosis


dengan tepat serta diberi terapi yang efektif, adekuat, dan sesuai dengan OAT, maka diharapkan
TBC dapat disembuhkan.5

46
BAB III

PENUTUP

Tuberkulosis (TB) adalah suatu penyakit infeksi menular yang disebabkan oleh
Mycobacterium tuberculosis yang ditemukan oleh Robert Koch pertama kali pada tahun 1882.
Laporan TB dunia oleh WHO yang terbaru (2006), masih menempatkan Indonesia sebagai
penyumbang TB terbesar nomor 3 di dunia setelah India dan Cina. Survei Kesehatan Rumah
Tangga (SKRT) tahun 1995, menempatkan TB sebagai penyebab kematian ketiga terbesar
setelah penyakitkardiovaskuler dan penyakit saluran pernafasan, dan merupakan nomor satu
terbesar dalam kelompok penyakit infeksi. Menurut American Thoracic Society dan WHO 1964
diagnosis pasti TB adalah dengan menemukan kuman Mycobacterium tuberculosis dalam
sputum atau jaringan paru. 11

Akibat kurang baiknya penanganan pengobatan penderita TB dan lemahnya implementasi


strategi DOTS. Penderita yang mengidap BTA yang resisten terhadap OAT akan menyebarkan
infeksi TB dengan kuman yang bersifat MDR (Multi-drugs Resistant).11

47
DAFTAR PUSTAKA

1. Amin Z, Bahar S. Tuberkulosis Paru. Sudoyo AW, Setiyohadi B, Alwi I ,Simadibrata


KM, Setiati S. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Jilid II, Edisi IV. Jakarta: Pusat Penerbitan
Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI , 2006: 998-1005, 1045-9.

2. Roebiono PS. Tuberkulosis Merupakan Penyakit Infeksi Yang Masih MerupakanMasalah


Dalam Masyarakat. Accessed February, 2, 2014. Available at
http://library.usu.ac.id/download/fkm/fkm-hiswani

3. Netter FH. Anatomy of the Lung. In: Netter’s Clinical Anatomy 2nd ed. Hansen, John T
editors. Phliladelphia: Elseivier. 2011. 1400-4

4. The Respiratory System. National Heart, Lung, and Blood Institute. Retrieved
February,2,2014. Available at : https://www.nhlbi.nih.gov/health/health-
topics/topics/hlw/system.html

5. Aditama, T.Y. Tuberkulosis Diagnosis, Terapi & Masalahnya. Edisi IV. Jakarta :Ikatan
Dokter Indonesia (IDI), 2002.

6. Fishman AP. Pulmonary Disease and Disorder. 1st edition. New York : McGraw Hill;
1980. 1229-323

7. Aditama TY. Prevalence of Tuberculosis in Indonesia, Singapore, Brunei Darussalam


and Philipines. Tubercle 2009; 72: 225-60

8. Daniel TM, Bates JH, Downes KA. History of Tuberculosis. In : Bloom BR, ed
Tuberculosis : Pathogenesis, Protection, and Control. 1st edition. Washington DC : ASM Press:
2004; 17

9. Iseman, MD. Extrapulmonary Tuberculosis in Adult . In : A Clinician’s Guide to


Tuberculosis. Lippincot Williams and Wilkins, Philadelphia, USA, 2007. 145-197

10. Good RG, Mastro TD. The modern mycobacteriology laboratory. How It Can Help The
Clinician. Clinics in Chest Medicine,2009. 315-22.

48
11. Yusuf A, Tjokonegoro A. Tuberkulosis Paru. Pedoman Penatalaksanaan Diagnostik dan
Terapi. FKUI. Jakarta, 2007. 125-35.

12. Iseman MD. Treatment of Multidrugs Resistant Tuberculosis. N. Eng J Med


2004;329;784-91

13. Prihatini S. D.O.T.S Directly Observed Treatment Shortcourse. Proceeding of the


Integrated TuberculosisSymposium. Faculty of Medicine, University of Indonesia Jakarta, 2005

49

Anda mungkin juga menyukai