Pendidikan Karakter PDF
Pendidikan Karakter PDF
Building
Nation Character
Through Education
Chairman Editor:
Ersis Warmansyah Abbas
Members:
Fatchul Mu’in
Melly Agustina Permatasari
Sirajuddin Kamal
Syaharuddin
Sampul Dalam
iii
PROCEEDING
International Seminar on Character Education
Building Nation Character Through Education
Diterbitkan oleh:
FKIP_Unlam Press
ISBN: 978-602-96546-1-5
Sampul Dalam
iv
PROCEEDING
International Seminar on Character Education
Building
Nation Character
Through Education
Chairman Editor:
Ersis Warmansyah Abbas
Members:
Fatchul Mu’in
Melly Agustina Permatasari
Sirajuddin Kamal
Syaharuddin
Sampul Dalam
v
Sanksi Pelanggaran Pasal 72:
Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2002
tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1997
tentang Hak Cipta
1. Barang siapa dengan sengaja dan tanpa hak mengumumkan atau memperbanyak suatu ciptaan atau
memberi izin untuk itu, dipidana dengan pidana penjara masing-masing paling singkat 1 (satu bulan dan/
atau dengan paling sedikit Rp1.000.000.00 (satu juta rupiah) atau pidana penjara paling lama 7 (tujuh)
tahun dan/atau denda paling banyak Rp.5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah).
2. Barang siapa dengan sengaja menyiarkan, memamerkan, mengedarkan, atau menjual kepada umum suatu
ciptaan atau barang hasil pelanggaran Hak Cipta sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), dipidana dengan
pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan/atau dengan paling banyak Rp500.000.000,00 (lima ratus
juta rupiah).
Sampul Dalam
vi
PENGANTAR
Pertama dan utama sekali, puji dan syukur dipanjatkan kepada Allah SWT atas segala
rahmat dan hidayahNya sehingga, Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan (FKIP) Universitas
Lambung Mangkurat Banjarmasin, berhasil dan sukses menyelenggarakan Seminar
Internasional Pendidikan Karakter dengan tema “Membangun Karakter Bangsa Melalui
Pendidikan Karakter.” Tanpa rahmat dan hidayah Allah SWT manalah mungkin seminar
dimaksud terlaksana.
Seminar Internasional Pendidikan Karakter tersebut dilaksanakan, Sabtu 24 Mei 2014
dengan Pemakalah Utama Eran Williams, Ph.D (RELO USA), Christine Pheeney, MA (AVID
Australia), dan Prof. Dr. Jumadi, M.Pd. (Universitas Lambung Mangkurat Banjarmasin) dengan
50 lebih pemakalah pada pararel session dengan lima pilahan, yaitu: Pendidikan Karakter dan
Pendidikan Bahasa, Pendidikan Karakter dan Pendidikan IPA, Pendidikan Karakter dan
Pendidikan IPS, Pendidikan Karakter dan Pendidikan Olahraga, dan Pendidikan Karakter
Perspektif Ilmu Pendidikan. Pada acara pembukaan, Jumat, 23 Mei 2014, seminar dibuka oleh
Drs. Rudy Resnawan, Wakil Gubernur Kalimantan Selatan dan kemudian dengan paparan
Pembicara Kunci, Prof. Furqon, Ph.D., Kepala Badan Penelitian dan Pengembangan
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia.
Panitia seminar meminta Pemerintah Provinsi Kalimantan Selatan (Pemprov Kalsel)
dan Pemerintah Republik Indonesia (Kemendikbud) dengan maksud dapat memberikan picuan
bagi peserta seminar yang datang, baik dari Kalimantan Selatan dan daerah-daerah lain di
Indonesia, maupun mancanegara, dalam kerangka “melihat” permasalahan Pendidikan Karakter
dalam persepektif lokal, nasional, dan global. Lebih khusus, dalam menjawab kondisi obyektif
saat ini, dimana adanya fenomena berbagai perilaku anak bangsa yang menjauh dari nilai-nilai
luhur lokal, nasional, maupun universal dengan “perilaku menyimpang.” Pendidikan Karakter
diintroduksi sebagai satu dari sekian jawaban yang menjanjikan. Hal tersebut dimaksudkan,
dalam pembangun karakter (character building) sejatinya kita, terutama dalam konteks pendidikan
Indonesia, membangun karakter nasional (national and character building) dalam persepktif,
pembangunan pendidikan yang valid adalah yang berlandaskan nilai-nilai budaya lokal dan
nasional sehingga peserta didik tidak tercerabut dari akar budayanya.
Kalaulah ada hal paling disayangkan, pada pengantar prosiding ini, panitia tidak
mungkin menggambarkan kegairahan seminar dengan 600 peserta menyimak serius Makalah
Sambutan, Makalah Kunci, Makalah Utama, dan 50 Makalah Pilahan yang dibalut diskusi
menarik dan mendalam dengan argumentasi akademik, yang kalau disimpulkan dalam satu
kalimat: Pendidikan karakter hendaklah menjadi ruh Pendidikan nasional.
Pengantar
VII
Tentu saja, seminar hebat ini terselenggara atas atensi dan kontribusi, baik dari
pimpinan Kemendikbud, Pemprov Kalsel, Universitas Lambung Mangkurat Banjarmasin, dan
terutama FKIP Unlam Banjarmasin sehingga panitia dapat menunaikan tugas dengan baik.
Bahwa berbagai kekurangan terikut padanya sudah jelas dengan sendirinya. Untuk itu kami
mohon maaf kepada segala pihak atas segala kekurangan panitia.
Akhirulkalam, mohon maaf lahir batin.
Pengantar
VIII
DAFTAR ISI
PENGANTAR ......................................................................................................... vii
DAFTAR ISI ........................................................................................................... ix
Daftar Isi
ix
Cerminan Karakter Anak melalui Bahasa
Emma Rosana Febriyanti .......................................................... 87
Cross Cultural Perspective and Character Education in
The Television Commercial Breaks
Elvina Arapah .................................................................................... 97
Pembentukan Karakter Anak Sekolah Dasar melalui
Penggunaan Bahasa Indonesia yang Santun
Muslimin.............................................................................................. 113
Pre-Service English Teachers Perspectives on Character
Education: Commitmens and Constrains
Mutiara Bilqis .......................................................................... 121
Pembinaan Kesantunan Berbahasa (politeness) dalam
Pembelajaran Bahasa Inggris melalui Strategi Pembelajaran
Student Wheels di Sekolah Menengah Pertama (SMP)
Nanik Mariani Effendie .............................................................. 129
Character Education Implementation Performed by
The Student of Teaching PracticeI Course
at IAIN Antasari Banjarmasin
Raida Asfihana .................................................................................... 137
Pendidikan Karakter melalui Tradisi Lisan Balamut
Sainul Hermawan .................................................................................. 149
Memanfaatkan Peribahasa Banjar sebagai Sarana
Pembentukan Karakter
Tajuddin Noor Ganie ............................................................................. 163
Peer Feedback to Enhance Students Confidence
and Writing Performance, and Alleviate Students Anxiety
Titik Rahayu & Sunoko Setyawan ................................................ 173
English Presentation as a Character Education Program
in Building The Students Courage
Wan Yuliyanti ......................................................................................... 187
Daftar Isi
x
Building of Sceintific Attitude in The Childhood through
The Science Leaning
Arif Sholahuddin .................................................................................... 219
Membangun Pemahaman dan Karakter Diri Calon Guru
Maya Istyadji ........................................................................................ 231
The Honest Character in Statistic Learning
Muhammad Royani ............................................................................. 237
Strategy of Science Leaning Based on Character Education
Muhammad Zaini ................................................................................ 247
Profil Karakter Tenaga Kesehatan dalam Implementasi
Universal Precaution untuk Pencegahan HIV/AIDS
Nana Noviana ........................................................................................ 255
Perilaku Berkarakter melalui Pembelajaran Matriks
pada Perkuliahan Entomologi
St. Wahidah Arsyad dan Aulia Ajizah ..................................................... 267
Daftar Isi
xi
Darmawijaya dan Jainul Yusup ......................................................... 347
Nilai Karakter pada Materi Geomorfologi
Deasy Arisanty ................................................................................... 357
Biografi Profetik Guru Sekumpul: Transformasi Nilai-Nilai
Budaya Banjar dalam Pendidikan karakter
Ersis Warmansyah Abbas ................................................................. 363
Peran Sekolah dalam Membina Peserta Didik Menjadi Warga
Negara Berkarakter Demokrasi
Fatimah ............................................................................................ 381
Kemampuan Berpikir Kritis dalam Pedagogi Sejarah sebagai
Upaya Membangun Karakter Peserta Didik
Heri Susanto ......................................................................................... 393
Museum sebagai Wahana Pendidikan Karakter di Kalimantan
Selatan
Herry Porda Nugroho Putro ................................................................ 407
Pengelolaan Kelas dengan Manajemen Diri yang Berkarakter
Pancasila
I Gusti Ketut Arya Sunu ........................................................................ 412
Pendidikan Karakter Berbasis Naskah Lontaraq Solusi terhadap
Problema Remaja
Irwan Abbas ......................................................................................... 433
Nilai Tradisi Budaya Katoba Berfungsi sebagai Dasar Pendidikan
Karakter Generasi Muda Masyarakat Etnik Muna
La Ode Monto Bauto ................................................................... 447
Peningkatan Karakter Melalui Metode Contextual Teaching
and Leaning pada Mata Kuliah Sejarah Pergerakan Nasional
Indonesia di Prodi Pendidikan Sejarah
Liza Husnita dan Kaksim ...................................................................... 469
Sejarah, Pendidikan Sejarah, dan Pendidikan Karakter
Dialog yang Tidak Pernah Dituntaskan
M.Z. Arifin Anis ................................................................................. 477
Membangun Karakter melalui Kemandirian Belajar Akuntansi
Mahasiswa Program Studi Pendidikan Ekonomi FKIP Unlam
Banjarmasin
Melly Agustina Permatasari .............................................................. 489
Taman Kota dan Pembentukan Karakter Generasi Muda
Muhaimin ................................................................................. 499
Daftar Isi
xii
Implementasi Blue Economy dalam Pengembangan SDM
Berkarakter Menuju Indonesia sebagai Negara Maritim
Muhammad Rahmattullah ............................................................... 505
Pendidikan IPS Berwawasan Multikultural sebagai Upaya
Membangun Karakter Bangsa
Rasimin ...................................................................................... 523
Pendidikan Budi Pekerti Ki Hadjar Dewanta dan Pendidikan
Pendidikan Karakter Thomas Lickona dalam Konteks
Kurikulum 2013
Rizali Hadi ......................................................................................... 527
Dari Wasaka Menuju Taluba: Konseptualisasi Nilai-Nilai Luhur
Suku Bangsa Banjar sebagai Sosok Karakter Harapan
Urang Banua Perspekif Etnopedagogi
Sarbaini ..................................................................................... 537
Implementasi Nilai Kewirausahaan di Sekolah Dasar Negeri Sungai
Besar 7 Banjarbaru
Sri Setiti ............................................................................................. 543
Integrasi Nilai-Nilai Kearifan Lokal Etnik Betawi sebagai
Impelementasi Pendidikan Berkarakter di Sekolah Dasar
Suswandari ........................................................................................ 551
Nilai-Nilai Sejarah Lokal (Banjar) dalam Pembelajaran IPS
(Studi pada Sejarah Lokal Kalimantan Selatan Periode Perang
Banjar 1859-1906)
Syaharuddin ...................................................................................... 563
Membentuk Karakter Siswa melalui Pembelajaran IPS-Sejarah
Zusmelia dan Zulfa ............................................................................ 581
Daftar Isi
xiii
Acep Supriadi .................................................................................... 611
Asesmen Portofolio dalam Pelajaran Berbasis Karakter
di sekolah Dasar
Darmiyati ......................................................................................... 623
Pendidikan Karakter Berbasis Akhlak Mulia melalui
Pengamalan terhadap Al-Qur’an
Fahmi ................................................................................................ 633
Insan Qur’ani sebagai Tujuan Konseling Perdekatan Qur’an
Karyono Ibnu Ahmad ....................................................................... 641
Optimalisasi Pelaksanaan Pendidikan Karakter di Sekolah
M. Saleh ...................................................................................... 649
Membangun Karakter Bangsa melalui Pendidikan
Wahyu .............................................................................................. 659
Daftar Isi
xiv
BAB I
MAKALAH SAMBUTAN DAN
MAKALAH UTAMA
Kalau kita menyimak sejarah praksis pendidikan di tanah air, kita segera dapat
menyimpulkan bahwa hingga tiga dasawarsa sejak Republik ini berdiri, generasi pendahulu
kita menyadari betapa pentingnya pendidikan karakter untuk para generasi penerus, misalnya
lihat dengan adanya mata pelajaran Budi Pekerti di sekolah. Mata pelajaran itu merupakan ruh
dari upaya pembentukan karakter siswa. Namun, dalam perkembangan mata pelajaran tersebut
keberadaannya terpinggirkan, sebab dianggap substansinya sudah ada pada mata pelajaran
Agama dan PPKn.
Dengan demikian, berarti ada suatu generasi yang dihasilkan oleh proses pendidikan
yang menganggap pendidikan karakter hanya sebagai sampingan. Padahal, generasi tersebut
hidup pada zaman globalisasi yang didukung oleh perkembangan teknologi informasi yang
begitu pesat. Implikasinya, tentu saja berdampak terhadap kehidupan, baik sebagai pribadi
maupun sebagai warga bangsa. Dampak tersebut antara lain akan mengaburkan sekat-sekat
daerah dan perbedaan sosio-kultural. Kalau tidak diantisipasi dengan baik, tentu bisa menggerus
identitas kebangsaan dan terjadinya berbagai degradasi moral. Di samping itu, bisa terjadi
munculnya persaingan bebas dari berbagai aktivitas yang muaranya pada keuntungan dari sisi
ekonomi.
Bila dicermati, ada kelompok masyarakat yang “tergila-gila” dengan konser artis-artis
Korea, tetapi merasa turun gengsinya jika menonton pergelaran mamanda, wayang gung, atau
madihin. Anak-anak kita sudah tidak kenal lagi cerita Warik wan Kukura, tetapi nanap dengan
Doraemon. Dari wujud degradasi moral, jangan-jangan apa yang disebut sebagai “dosa sosial”
oleh Mohandes K. Gandhi, telah terjadi. Menurut Gandhi ada tujuh dosa sosial, antara lain
politik tanpa prinsip, kekayaan tanpa kerja keras, perniagaan tanpa moralitas, kesenangan
tanpa nurani, pendidikan tanpa karakter, sains tanpa humanitas, dan kepribadian tanpa
pengorbanan (Latif, 2009).
Rudy Resnawan 3
Dengan demikian, tidak terelakkan lagi, revitalisasi pendidikan karakter di banua
dilakukan. Revitalisasi tersebut perlu dilakukan secara holistik sehingga pelaksanaannya perlu
didukung oleh berbagai pihak yang terkait.
Rudy Resnawan
4
Peran tersebut sebenarnya merupakan manifestasi dari tanggung jawab sekolah
sebagai lembaga yang bertugas menyiapkan siswa agar tumbuh menjadi generasi yang
berkarakter positif sehingga mampu menghadapi tantangan hidupnya secara kritis dan
kreatif. Berbagai peran tersebut menjadi berat lagi bila tidak didukung oleh peran
masyarakat. Sebagai lembaga pendidikan ketiga setelah keluarga dan sekolah, masyarakat
mempunyai peran penting dalam membangun karakter.
Peran utama masyarakat sebagai peneguh karakter positif. Masyarakat sebagai
kumpulan individu mempunyai pranata sosial tertentu. Berbagai pranata sosial yang
berkembang, mempunyai andil di dalam membangun karakter anak. Masyarakat di banua,
sangat menjunjung tinggi nilai kebersamaan, gotong royong, saling membantu. Jika ada
orang yang tidak mau membantu orang lain (pelit), mereka disindir dengan ungkapan
kada manitis banyu di ganggaman; kalau ada orang berperilaku semaunya, dia disindir
dengan ungkapan kada balampu. Di samping itu, masyarakat banua juga mempunyai
berbagai bentuk sanksi sosial yang bisa diberikan kepada seseorang yang melanggar
berbagai norma yang berlaku di masyarakat. Sekarang yang menjadi pertanyaan, berbagai
instrumen peneguh karakter positif itu apakah masih tumbuh di masyarakat banua? Itu
pertanyaan besar yang harus dijawab dalam rangka mengintensifkan peran masyarakat
sebagai peneguh karakter positif.
Peran berikutnya yang harus diemban masyarakat adalah sebagai pemantik (triger)
karakter positif. Sebagaimana dimaklumi bahwa berbagai gaya hidup, kebiasaan, perilaku di
masyarakat terus berkembang. Perkembangan ke arah positif akan bisa menjadi pemantik
munculnya karakter positif pada anak, demikian juga sebaliknya. Masyarakat yang
mempertontonkan perilaku korup, semakin sulit membangun karakter jujur pada anak-anak
kita; masyarakat yang menunjukkan perilaku memelihara hutan, sungai, gunung, dan kekayaan
alam yang dikandungnya dapat memantik karakter cinta lingkungan pada anak-anak kita;
masyarakat yang taat beragama dapat memantik karakter religius anak-anak kita.
Peran keluarga, sekolah, dan masyarakat dalam pembentukan karakter perlu
didukung oleh peran pemerintah. Minimal ada dua peran pemerintah, yakni menyusun
regulasi dan menegakkan regulasi tersebut dalam rangka mendukung terbentuknya
karakter positif anak. Misalnya, Perda Pengelolaan Limbah bisa mendukung pembentukan
karakter cinta lingkungan; Perda Infak dan Sedakah atau Perda Pajak Hotel dan Restoran
dapat mendukung terbentuknya karakter peduli sosial; Perda Iklim Usaha dapat mendukung
terbentuknya karakter kerja keras dan jujur; Perda Perlindungan Kekayaan Budaya dapat
mendukung terbentuknya karakter cinta tanah air atau menghargai prestasi.
Dalam realisasinya, peran di atas perlu dilanjutkan dengan peran menegakkan
regulasi dalam mendukung terbentuknya karakter. Dalam konteks ini, pemerintah provinsi
atau pun pemerintah kabupaten/kota perlu memberikan sanksi terhadap pelanggar
berbagai perda yang dibuat. Namun, kelemahan utama dalam hal ini adalah piawai
menyusun regulasi, tetapi lemah ketika menegakkannya. Dalam perkembangan ke depan,
berbagai kelemahan itu perlu dihilangkan sehingga berbagai regulasi itu bisa berfungsi
efektif dalam mendukung pembentukan karakter positif pada generasi penerus.
Rudy Resnawan 5
HARAPAN
Melakukan revitalisasi pendidikan karakter bukan persoalan sederhana. Banyak faktor
yang turut menentukan berhasil-tidaknya upaya tersebut. Oleh karena itu, upayanya perlu
dirancang secara holistik, yang secara simultan layak mengintensifkan peran keluarga, sekolah,
masyarakat, dan pemerintah. Kalau perlu dibuat gerakan bersama sehingga nuansanya tidak
tenggelam oleh “hiruk-pikuk” tawaran nilai-nilai baru yang tidak sesuai dengan karakter positif
yang akan kita bangun.
Dengan demikian, dengan diadakannya “Seminar Internasional Pendidikan Karakter”
ini, semoga urun rembug, tukar pendapat, diskusi konstruktif dan kontributif dalam upaya
mendayagunakan dan memanfaatgunakan Pendidikan Karakter menjadi fokus kegiatan ilmiah
yang diikuti peserta yang datang dari, bukan saja Kalimantan Selatan (Banua), tetapi juga dari
berbagai daerah Indonesia, dan mancanegara.
Selamat berseminar dalam upaya mendayung nation and character building.
Rudy Resnawan
Wakil Gubernur Kalimantan Selatan
Rudy Resnawan
6
Power Point Keynote Speaker
MENYIAPKAN GENERASI EMAS INDONESIA
YANG BERKARAKTER MELALUI KURIKULUM 2013
Furqon
Kepala Badan Penelitian dan Pengembangan
Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia
Furqon
7
Furqon
8
3 modal utama pertumbuhan ekonomi
1. Sumberdaya alam
Geothermal (largest reserve)
Coal (no.2 in the world)
Tin, Nickel (no. 2 and 4 in the world)
Palm oil, Rubber, Cacao (no.1, 2, 2 in the world)
Marine resources (largest teritory, mega biodiversity)
Others
2. Pengalaman
P ov e rt y lev e l U ne m p loy m en t
18 1 6 .6
16 1 5 .4
1 4 .2 1 1 ,5 -
14 1 3 ,3 1 2 ,5
12
10 9 .1 8 .4 7 .9 7 .4
8 7
6
4
2
0
20 07 20 08 20 09 20 10 20 11
3. Sumberdaya manusia...
3,500
3 ,0 0 0
3,000
2 ,5 9 0
2,500
1 ,9 4 7
2,000
1,500
1,000
500
0
20 07 20 08 20 09 20 10 *
Furqon
9
Populasi Sejumlah Negara
• Jepan : 127,950,000
• China : 1,339,724,852
• South Korea : 48,988,833
• Taiwan : 23,200,000
• India : 1,210,193,422
• Hong Kong 7,097,600
• Thailand 67,041,000
• Indonesia 237,556,363
• Malaysia 27,565,821
• Singapore 5,076,700
• Filipina 94,013,200
• Pakistan 177,173,000
Sumber: Bahan Tim Ahli Paradigma Pendidikan BSN
Furqon
10
Sumberdaya Manusia
Indonesia
10000
Malaysia
Philippines
8000 Thailand
Viet Nam
6000
4000
2000
0
1970-74 1975-79 1980-84 1985-89 1990-94 1995-99 2000-04
Furqon
11
Komposisi Tenaga Kerja Kita
4.60%
Universitas 3.20%
1.80% 2010
2.70% 2006
Diploma I,II,III 2.20%
1.60% 200
7.80% 1
SMK 6.20%
5.50%
14.60%
SMA 12.70%
10.30%
18.90%
SMP 20.20%
17.70%
51.50%
SD atau tidak tamat SD 55.50%
63.00%
Furqon
12
Tujuan Pendidikan Nasional
(Pasal 3 UU No 20 Sisdiknas Tahun 2003)
Berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan
bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif,
mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab.
Tujuan Pendidikan
Intelligence plus character – that is the goal of true education
(Martin Luther King, Jr.)
Karakter (China)
• Kreatif
• Hemat (saving)
• Kerja keras (24-7)
• Disiplin
Furqon
13
Sepuluh Karakter
• Respect
• Responsibility
• Honesty
• Empathy
• Fairness
• Initiative
• Courage
• Perseverance
• Optimism
• Integrity
Mengembangkan Karakter
• Karakter manusia dibentuk melalui suatu proses pendidikan (dalam arti luas) yang
panjang dan kompleks.
• Pendidikan karakter adalah pendidikan semesta (keluarga, sekolah, dan masyarakat:
tempat bermain dan bekerja, pasar, pertokoan, jalan, transportasi, media masa, dll)
School of Character
masyarakat
Sekolah
/PT
Keluarga
kandungan
Furqon
14
School of Character
• Di dalam kandungan (gizi, kondisi ibu, du’a)
• Keluarga (asupan: gizi & halal, pola asuh, kebiasaan, hubungan antara anggota).
“Parents are the principal architects of a fairer society.” (Lexmond & Reeves, 2009)
• Lingkungan Pendidikan (kondisi fisik, kepemimpinan, school culture, disiplin, kepedulian)
• Lingkungan masyarakat (kebijakan, peraturan-perundangan, ormas, politik, ekonomi,
dunia usaha dan industri, media masa, dll)
Doktrin Pedagogik
• You can not teach what you want
• You can not teach what you know
• You can only teach what you are
Furqon
15
Pengembangan Lingkungan Sekolah
• Lingkungan fisik yang bersih dan teratur
• Pembelajaran dg pendekatan saintifik dan berbasis aktivitas
• Penilaian yang objektif, fair, dan balikan yang segera dan membantu
• Budaya sekolah yang kondusif (respect, religius, high expectation, kerja keras, disiplin,
santun, cermat, dll)
• Layanan prima (tepat waktu, menyenangkan, helpful, dll)
• Keteladanan (pimpinan dan guru)
PT
Pengetahuan
SMA/K
Keterampilan
SMP
SD Sikap
Furqon
16
Perubahan Pola Pikir
No Pola Pikir
1 Guru dan Buku Teks bukan satu-satunya sumber belajar
2 Kelas bukan satu-satunya tempat belajar
3 Belajar dengan beraktivitas
4 Pembelajaran Pengetahuan Keterampilan Sikap
Direct Indirect
5 Mengajak siswa mencari tahu, bukan diberi tahu
6 Membuat siswa suka bertanya, bukan guru yang sering
bertanya
7 Menekankan kolaborasi melalui pengerjaan projek
8 Pentingnya proses : prosedural
9 Mendahulukan pemahaman Bahasa Indonesia
10 Siswa memiliki kekhasan masing-masing: normal, pengayaan,
remedial
11 Penekanan pada higher order thinking & mampu berasumsi
(realistis)
12 Pentingnya data (terkait pengamatan dll)
Penguatan Proses
Furqon
17
Pembelajaran Mendorong Siswa Aktif dan Kreatif
Elemen Perubahan
Elemen Deskripsi
SD SMP SMA SMK
Kompetensi • Mencakup kompetensi sikap, pengetahuan, dan keterampilan secara
Lulusan berimbang
Materi (ISI) • Adanya keseimbangan antara materi untuk mendukung kemampuan
sikap, keterampilan, dan pengetahuan
• Semua konten mendukung ketiga kompetensi diatas secara berimbang
Pendekatan Kompetensi dikembangkan melalui:
(ISI) • Tematik •Mata pelajaran •Mata pelajaran •Kompetensi
Integratif dalam IPA dan IPS wajib, keterampilan
semua mata masing- peminatan, lintas yang sesuai
pelajaran masingnya minat, dan dengan standar
adalah terpadu pendalaman industri
minat
• Standar Proses yang semula terfokus pada Eksplorasi, Elaborasi, dan
Konfirmasi dilengkapi dengan Mengamati, Menanya, Mengolah, Menalar,
Menyajikan, dan Mencipta.
Proses • Belajar tidak hanya terjadi di ruang kelas, tetapi juga di lingkungan
pembelajaran sekolah dan masyarakat
• Guru bukan satu-satunya sumber belajar.
• Sikap tidak hanya diajarkan secara verbal, tetapi melalui contoh dan
teladan
Furqon
18
Perbedaan Esensial Kurikulum SMP
KTSP 2006 Kurikulum 2013
Mata pelajaran tertentu Tiap mata pelajaran mendukung semua
mendukung kompetensi kompetensi [sikap, keterampilan, pengetahuan]
tertentu
Mata pelajaran dirancang Mata pelajaran dirancang terkait satu dengan
berdiri sendiri dan memiliki yang lain dan memiliki kompetensi dasar yang
kompetensi dasar sendiri diikat oleh kompetensi inti tiap kelas
Bahasa Indonesia sebagai Bahasa Indonesia sebagai alat komunikasi dan
pengetahuan carrier of knowledge
Tiap mata pelajaran diajarkan Semua mata pelajaran diajarkan dengan
dengan pendekatan yang pendekatan yang sama, yaitu pendekatan saintifik
berbeda melalui mengamati, menanya, mencoba,
menalar,....
Kurangnya penekanan pada Semua mata pelajaran menekankan pentingnya
kemampuan prosedural prosedur rinci dalam penyelesaian masalah
TIK adalah mata pelajaran TIK merupakan sarana pembelajaran,
sendiri dipergunakan sebagai media pembelajaran mata
pelajaran lain
Furqon
19
Konsep Umum Buku Kurikulum 2013
• Terdiri dari Buku Siswa dan Buku Guru
• Buku siswa ditulis berbasis aktivitas
• Buku Guru mencakup: ringkasan buku siswa, metode
pembelajaran, metode penilaian, materi pengayaan, materi
remedial, interaksi dengan orang tua
• Mengacu pada kompetensi inti yang telah dirumuskan untuk kelas
(dan kompetensi generik untuk kelompok peminatan dimana buku
tersebut ditulis)
• Menjelaskan pengetahuan sebagai input kepada siswa untuk
menghasilkan output berupa keterampilan siswa dan bermuara
pada pembentukan sikap siswa sebagai outcome pembelajaran
• Menggunakan pendekatan saintifik melalui mengamati, menanya,
mencoba, menalar, dan menyaji, termasuk pengumpulan dan
pengolahan data hasil pengamatan/percobaan
• Menekankan pentingnya data dalam melakukan analisis dan
evaluasi
Furqon
20
Strategi Pembelajaran Dalam Buku Ajar
Pembelajaran langsung dan proses pembelajaran tidak langsung:
• Proses pembelajaran langsung: peserta didik mengembangkan pengetahuan,
kemampuan berpikir, dan keterampilan melalui interaksi langsung dengan sumber
belajar yang dirancang dalam silabus dan RPP berupa kegiatan-kegiatan
pembelajaran
• Pembelajaran tidak langsung: proses pendidikan yang terjadi selama proses
pembelajaran langsung tetapi tidak dirancang dalam kegiatan khusus
• Pembelajaran langsung berkenaan dengan pembelajaran yang menyangkut KD
yang dikembangkan dari KI-3 dan KI-4. Keduanya dikembangkan secara bersamaan
dalam suatu proses pembelajaran dan menjadi wahana untuk mengembangkan
KD pada KI-1 dan KI-2
• Pembelajaran tidak langsung berkenaan dengan pembelajaran yang menyangkut
KD yang dikembangkan dari KI-1 dan KI-2
Furqon
21
Strategi Pembelajaran Dalam Buku Ajar
Furqon
22
KONFERENSI INTERNASIONAL PENDIDIKAN KARAKTER
(INTERNATIONAL CONFERENCE ON CHARACTER EDUCATION)
COOPERATIVE SPIRIT – HIDUP BERGOTONG-ROYONG!
Christine Pheeney
Australian Volunteer for International Development (AVID)
OVERVIEW
In a globalised world we face many challenges and changes. However good character
which brings about cooperation needs to be valued, developed and pursued in order to live
together in harmony and sustainably. This is recognised formally by Indonesia’s education
system vision statement: Terselenggaranya Layanan Prima Pendidikan dan Kebudayaan
Nasional untuk Membentuk Insan Indonesia yang Cerdas dan Berkarakter Kuat.
This paper was written to discuss and respond to the conference theme of: ‘Membangun
Karakter Bangsa Melalui Pendidikan’ and conference goals of - demonstrating and discussing
models and strategies for positive character development.In this paper and during my talk I will
discuss and demonstrate a character education model, which integrates the Indonesian value
of ‘Bhinneka Tunggal Ika’ into the existing wisdom of the 2013 Indonesian Curriculum with the
goal of a ‘Cooperative Spirit’. As this is an international conference, discussion that forms the
foundation for the ‘Cooperative Spirit’ model initiates from international studies, and then
considers Indonesian activities. UNESCO resources are frequently cited, as they are considered
applicable and useful due to their collaborative origins. Tables and Figures included are in
Indonesian language as they are drawn directly from sources or developed to assist with ease
for general Indonesian public understanding and hopefully implementation. The ‘Cooperative
Spirit’ model presented is currently developing from and in my life learnings, experiences and
collaborations. This includes teaching in Australia and immersion in Indonesian communities
within educational roles over the last 10 years. I speak/write with a heart that has deep love for
both my native country and Indonesia, my adopted home, for this season and a head/mind that
has benefitted from analytical, creative and community learning and research in both contexts.
I. BACKGROUND
Comments within the ToR (Terms of Reference) for this conference state that ‘Pendidikan
yang ada saat ini belum sesuai dengan karater bangsa’ ((Our) Education (activities) currently is not
yet appropriate to national character). Indeed many challenges and opportunities, including the
influence of industrialisation, increased use of digital technology and rapid globalisation, bring about
change in social structures. Education systems are often lacking in attempts to respond and meet
Christine Pheeney 23
changing social needs and perceived needs. Recognising that economic and technological
advancement being faster than social and cultural development, The Asia Pacific Network for
International Education and Values Education (APNIEVE) members in 1998 produced this reflection:
“Education, which has a fundamental role to play in personal and social development,
has been used to create a more skilled work force, but often at the cost of the
development of the whole person. The long-term goals of human values and moral
principles tend to become less important when they have to compete with more
immediate economic considerations” (p.ii).
Regardless of challenges, opportunities must be seized to achieve and advance national
values. This necessitates a coming back to the values themselves, and using the values as the
basis of developing the national education character framework.
Indonesian national values have been encapsulated/summarised as ‘Bhinneka
Tunggal Ika’. Krishna (2010) states the literal meaning of ‘Bhinneka Tunggal Ika” as: “Appearing
as many, essentially one’. He asserts that “this implies: 1. We celebrate diversity and 2. The
focus is on underlying unity”. Subsequently, a focus of both diversity and unity is needed.
Diversity and Unity values will be discussed below, each recognised as important
within Education discussion. However, curriculum and pedagogy activities do not yet integrate
the foci of celebrating diversity, with the underlying focus on unity. Accordingly the discussion
will continue with a demonstration of the ‘Cooperative Spirit’ model. By integrating the celebration
of diversity with the underlying character of unity, the model has the potential to foster positive
identity development and facilitate innovation in problem solving within real life contexts, while
strengthening communities. It is considered that doing so would enable holistic Education that
is appropriate to the national Indonesian character.
Christine Pheeney
24
Further importance of cultural heritages is explained - “The importance of intangible
cultural heritage is not the cultural manifestation itself but rather the wealth of knowledge and skills
that is transmitted through it from one generation to the next.” (UNESCO, 2005-2012).
Continued activities to safeguard and document numerous other intangible heritages is
needed, along with a framework that facilitates inclusivity of heritages as well as integration for
continued learning/passing on and understanding. While UNESCO gradually continues this work
globally, they also propose that member countries prioritise national education focus to facilitate
community valuing of cultural heritages (UNESCO, 2002), which will bring about safeguarding,
community benefit and sustainability.
Alongside the importance attributed to safeguarding cultural heritages for community
benefit, Morrison discusses the necessity of cultural heritages for the development cultural identity
in individuals. Morrison (2012, p.85) states that ‘cultural identity development provides a framework
for positive change, in that it involves examination of one’s own cultural “roots” in order to gain the
self awareness that can enrich and clarify an individual’s sense of identity. She explains that ‘This
clarified identity can serve as an anchor in a multicultural world’ and empower social action.
In the Indonesian educational context, education law established new curriculum
frameworks, from a standardised national competency-based curriculum in 1994 - stipulating
standardised content, schedules, texts and assessment – to a school-based curriculum in 2006.
This new framework gave freedom to teachers to plan in accordance with the learning environment,
student conditions and the school’s location and community (Sari, Fitriana, & Susilowati, 2010).
Firman and Tola, in 2008, asserted that this shift conveyed the spirit of educational decentralisation
and that it was accompanied by reforms that changed education practices at the school level.
These practices recognise diverse cultures by incorporating regional language and cultural studies
lessons, and work towards partnership through school-based management, a school-level
curriculum and school-based teacher professional development.
The Indonesian National Education Department has recently produced the 2013
Kurikulum (Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, 2012). This curriculum reiterates and
revisits previous Education Law Number 20, from 2003, and directives from 2004 and 2010
mandating schools to implement competency-based curriculum, integrated to their context. In
introducing the new curriculum to the public in ‘Bahan Uji Publik’, problems of the 2006 curriculum
were overviewed as not adequately engaging local content. The document outlines that curriculum
planning at primary schools will develop learning that is thematic and integrated and appropriate
to local needs (Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, 2012).
Indonesia is one of the world’s most culturally diverse countries. Added to the numerous
cultures living in their traditional areas, the population is increasingly mobile, bringing students
of multiple cultures together in the classrooms, creating complexities and opportunities in
facilitating celebration of diversity. To date, teacher professional development activities are
inadequate in bringing about effective widespread implementation. The author’s research in
Aceh, Indonesia, identifies and documents teachers requesting more support and resources to
adequately facilitate local content learning activities and learning that is appropriate to the local
needs of globalised classrooms (Pheeney, 2013).
Christine Pheeney 25
III. FOCUS ON UNITY
Advocacy for education developing unity and peace culture has also been a high priority
for UNESCO. APNIEVE members from nine Asia-Pacific countries met in July 1996 to reflect on
and share their views as to what ‘learning to live together’ means and what values are required to
achieve it particularly in the Asia-Pacific context. These were their summaries:
Learning to live together in peace and harmony is a dynamic, holistic and lifelong
process through which mutual respect, understanding, caring and sharing, compassion, social
responsibility, solidarity, acceptance and tolerance of diversity among individuals and groups
(ethnic, social, cultural, religious, national and regional) are internalized and practised together
to solve problems and to work towards a just and free, peaceful and democratic society.
This process begins with the development of inner peace in the minds and hearts of
individuals engaged in the search for truth, knowledge and understanding of each other’s
cultures and the appreciation of shared common values to achieve a better future.
Learning to live together in peace and harmony requires that quality of relationships at
all levels is committed to peace, human rights, democracy and social justice in an ecologically
sustainable environment. (p.4)
Focus on unity or peace education has consequently been recognised within numerous
Education Policy and Curriculum documents in Asia Pacific region.
In the case of Indonesia, not much work has been done in developing a culture of
peace, despite the vision of Indonesia’s national Education highlighting the notions of peace
education (Kartadinata, 2013). Maftuh (2005), Ilfiandra (2009) and Kartadinata (2013)’s studies
record that some preliminary attempts have been made to promote peaceful and harmonious
life skills though conflict resolution, guidance services, pedagogical guidance and a counselling
model. These studies recommend a systematic and thorough effort to build the peace mindset
by means of formal education.
Christine Pheeney
26
Key Concepts/Understandings/Elements, The model develops from the premise that
all people were created by God with the ability to choose to live in cooperation, thus the name
of the model being ‘Cooperative Spirit’. Concurrently, the proposed model integrates underlying
unity and celebration of diversity as ‘ethnopedagogy’ (as the ‘how to teach inter-cultural living’) within
the Indonesian 2013 Curriculum.
To work towards a ‘Cooperative Spirit’, consideration of the following two definitions of
cooperation assists in understanding that the concept of cooperation, the understanding of
cooperation, the learning of cooperation and practical life experiences which perpetuate and pass
on this character, emerge in intensity when fully embraced as individuals within communities and as
communities with other communities:
Cooperation: to work or act with another or other persons willingly and agreeably; to work or
act together or jointly for a common purpose or benefit. (Dictionary.com, 2011, para.2).
Cooperation is working together for the good of all. It is the willingness to stand side by
side and use the different gifts each of us has to offer. We seek common goals in service of a
unified vision. We blend our abilities to create something none of us could achieve alone.
Conflict and contention drain us. Cooperation can fuel our dreams. With cooperation, we can
help one another to share the load. We willingly do tasks that others ask of us. We look for ways
to be helpful and ask for help when we need it. We do not isolate or harbor our loneliness.
Together we accomplish greater things. (Popov, n.d., virtues reflection card)
Both definitions use the same fundamental key words/ideals of: ‘working together’,
‘willing’, ‘common goals/purpose’. The first definition is likely similar to what many would
describe when asked impromptu. The second definition provides further explanation, potentials
and context challenges. It also gives practical handles of actions/outcomes that can be realised
if potentials face the context challenges.
From these understandings of cooperation it is possible to celebrate daily and within
lifestyle cultural expressions/heritages and draw upon cultural wisdoms for meaning making,
identity formation, inter and intra personal and cultural relationships and problem solving. To
illustrate the interconnectedness and variety of cultural expressions and cooperative values,
a framework has been developed:
Christine Pheeney 27
Contoh
Kerangka
Christine Pheeney
28
- Education activities need to focus on the development of the human person as
both an individual and as a member of society, with cultural identity and the
choice and ability for a ‘Cooperative Spirit’.
- (Caution is recommended in considering inclusion of character values that contribute
to cooperation. The character values included in the model have been specifically
selected because they foster unity and cooperation. The author does not consider
‘tolerance’ should be included – while tolerance may be proposed by some,
‘celebration of diversity’ and ‘tolerance of diversity’ are extremely different, and will
manifest in society with dramatic and obviously different long term social outcomes.)
Looking at the ‘Cooperative Spirit’ framework and the thematic overview of the 2013
Indonesian Curriculum (in the table below) simultaneously, many common themes are found.
Table 1:
List of Themes for Primary School in the Indonesian 2013 Curriculum - Daftar Tema Setiap
Kelas Kurikulum 2013 (2013, page 132-133)
1. Diri Sendiri 1.Hidup Rukun 1.Sayangi Hewan 1.Indahnya 1. Bermain degan 1.Selamatkan
dan Tumbuhan Kebersamaan Benda-benda makhluk hidup
di Sekitar di sekitar
4. Keluargaku 4.Aku dan 4.Ringan Sama 4.Berbagai 4. Sehat itu Penting 4.Globalisasi
Sekolahku Dijinjing Pekerjaan
Berat Sama
Dipikul
5. Pengalamanku 5.Hidup Bersih 5.Mari Kita Bermain 5.Menghargai 5. Bangga Sebagai 5.Wirausaha
dan Sehat dan Berolahraga Jasa Pahlawan Bangsa Indonesia
9.Menjaga 9.Makanan
Kelestarian Sehat dan Bergizi
Lingkungan
Christine Pheeney 29
In examination of currently available resources to support ‘Kurikulum 2013’ many
starting points for ethnopedagogy are present. For example in the Year 1 workbook below ONE
cultural game is explained. Students are asked how they felt after playing this traditional game/
play.
Figure 2 and 3: Excerpts from Peristiwa Alam – Buku Siswa SD/MI Kelas 1–Kurikulum 2013
Christine Pheeney
30
- Recognise and support teacher peer mentoring as professional activity
- Development of authentic assessment related to ‘Celebrating diversity and underlying
unity’
- Incorporating and engaging teachers and education stakeholders from the
international education community to enable an exponential embrace of the
potential of social media in intercultural education, while making available provisions
to adequately develop cultural literacies of ethnically diverse local communities.
VI. CONCLUSION
In conclusion, further development and research into practical logistics are required
in order to negotiate the increasing complexities of globalisation in education and to ensure a
people-centred focus for teachers and students that benefits from the treasure of a ‘Cooperative
Spirit’ and ensures education that is appropriate to national culture.
REFERENCES
cooperate. (n.d.). Dictionary.com Unabridged. Retrieved September 09, 2011, from
Dictionary.com website: http://dictionary.reference.com/browse/cooperate.
Firman, H. & Tola, B. (2008). The Future of Schooling in Indonesia. Journal of International
Cooperation in Education, 11(1), 71-84. Retrieved from http://home.hiroshima-u.ac.jp/
cice/11-1Firman_Tola.pdf.
Ilfiandra. (2009). A Model of Conflict Resolution Counselling on the Basis of Comprehensive
Guidance for the Development of Students’ Peaceful and Harmonious Life Skills in
Potential Conflict Areas. Research Report. Bandung: UPI Research Centre.
Kartadinata, S. (2013). A Model of Pedagogical Guidance and Counselling Services for the
Development of Peace Mindset. Research Report. Bandung: UPI Research Centre.
Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan. (2012). Kurikulum 2013, Bahan Uji Publik
(Curriculum 2013, Public Test Materials). Retrieved from http://www.slideshare.net/
wdarminto/bahan-uji-publik-kurikulum-2013-15556710
Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan. (2013). Peraturan Menteri Pendidikan Dan
Kebudayaan Nomor 67 Tahun 2013 (Tentang Kerangka Dasar dan Struktur Kurikulum
Sekolah Dasar/Madrasah Ibtidaiyah. Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan.
Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan. (2013) Peristiwa Alam – Buku Siswa SD/MI Kelas I,
Jakarta, Hak Cipta: Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan.
Krishna, A., Jan 29, 2010. Little Bit More on Bhinneka Tunggal Ika. Retrieved from: http://
www.peacenext.org/group/oneearthoneskyonehumankind/forum/topics/little-bit-more-
on-bhinneka.
Christine Pheeney 31
Morrison, G. (2012) Rediscovering “Roots”: The Immersion Stage of Cultural Identity
Development, The International Journal of Environmental, Cultural, Economic and
Social Sustainability, Volume 3, Issue 1, pp.85-92.The Sustainability Collection.
Retrieved from http://ijs.cgpublisher.com/product/pub.41/prod.259
Maftuh, B. (2005). The implementation of conflict resolution learning model in High School
Civics Education. UPI School of Postgraduate Studies.
Pheeney, C., (2013). The Potential of Social Media to Support Teachers in Aceh, Indonesia, in
Professional Learning to Effectively Implement Local Content Initiatives, School of
Education and Professional Studies, Masters Thesis.
Popov, L., (n.d.). Virtues Reflection Cards. Virtues Project. Retrieved from http://
www.virtuesproject.com/uscart/browse.html.
Sari, D., Fitriana, J. & Susilowati, E. (2010). Kajian Kurikulum Fisika Sekolah Sejarah Kurikulum
Pendidikan Indonesia (Physics Curriculum Studies, The History of Education and
School Curriculum in Indonesia), Jurusan Pendidikan Fisika Fakultas Matematika
dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Negeri, Yogyakarta, Indonesia. Retrieved
from http://www.scribd.com/doc/47763444/sejarah-kurikulum-pendidikan-indonesia.
UNESCO Asia and Pacific Regional Bureau for Education. (2002). Learning to be: A holistic and
integrated approach to values education for human development: Core values and the
valuing process for developing innovative practices for values education toward
international understanding and a culture of peace. Bangkok: UNESCO Asia and Pacific
Regional Bureau for Education. Retrieved from http://unesdoc.unesco.org/images/
0012/001279/127914e.pdf.
UNESCO Asia and Pacific Regional Bureau for Education. (1998) Learning to live together in
peace and harmony; values education for peace, human rights, democracy and
sustainable development for the Asia-Pacific Region: a UNESCO-APNIEVE sourcebook
for teacher education and tertiary level education. Bangkok: UNESCO Asia and Pacific
Regional Bureau for Education.
UNESCO. (2005-2012). What is Intangible Cultural Heritage? Retrieved from: http://
www.unesco.org/culture/ich/index.php?lg=en&pg=00002.
Christine Pheeney
32
SHAPING CHARACTER IN THE ENGLISH CLASSROOM
Eran Williams
Regional English Language Office (RELO) U.S. Embassy, Jakarta.
Eran Williams
33
helping them; taking care of them. Citizenship: working well as a member of a group or team;
being loyal to the group Fairness: treating all people the same; giving everyone a fair chance.
Leadership: encouraging a group of which one is a valued member to accomplish.
Forgiveness: forgiving those who’ve done wrong; accepting people’s shortcomings. Modesty:
letting one’s victories speak for themselves; not seeking the spotlights. Prudence/Discretion:
being careful about one’s choices; not taking undue risks. Appreciation of beauty: noticing
and appreciating all kinds of beauty and excellence. Spirituality: having beliefs about the
higher purpose and meaning of the universe
Eran Williams
34
Why Do We Want To Shape Character ?
• Individual success
It may be the case that character is a more important factor in academic and
workplace success than intelligence or skills delivered by schools.
• National success
Perhaps problems in society (corruption, war, lack of leadership…) are blamed
upon character problems that nations hope schools can solve.
Eran Williams
35
How To Teach Character ?
• Observe
Create opportunities for students to investigate character: dialog in the classroom;
examination of character through history, art, language.
• Practice
Model good character: Focus on the positive when interacting with students; respect
students; give students responsibility; do your job well.
• Do
Student councils, student newspapers Service learning: give students opportunity
to give
Service Learning ?
According to the National and Community Service Trust Act of 1993,
servicelearning:
• Is a method whereby students learn and develop through active participation in
thoughtfully organized service that is conducted in and meets the needs of
communities
• Is coordinated with an elementary school, secondary school, institution of higher
education, or community service program and the community
• Helps foster civic responsibility
• Is integrated into and enhances the academic curriculum of the students, or the
education components of the community service program in which the participants
are enrolled
• Provides structured time for students or participants to reflect on the service
experience
Eran Williams
36
MENGEMBANGKAN KARAKTER SISWA
DENGAN MENGGUNAKAN SASTRA DAERAH
Jumadi
Universitas Lambung Mangkurat
ABSTRAK
Gejala terjadinya degradasi moral tampaknya telah merambah ke semua situs kehidupan kita.
Untuk itu, dunia pendidikan layak melakukan upaya mengembangkan dan memperkokoh
karakter siswa agar mereka tumbuh menjadi generasi penerus yang sanggup menghadapi
masa depannya secara kritis dan kreatif. Banyak hal yang bisa dilakukan, salah satu di antaranya
adalah dengan memanfaatkan sastra daerah. Khazanah sastra daerah berupa pantun, legenda,
fabel, mite, peribahasa, pepatah, dan berbagai bentuk tradisi lisan kaya unsur yang dapat
digunakan untuk mengembangkan karakter siswa.
I. PENDAHULUAN
Dalam suatu seminar ada seorang profesor dengan semangat tinggi berusaha meyakinkan
peserta agar sekolah tidak memberikan bacaan sastra yang mengangkat tema-tema yang membuat
para siswa menjadi cengeng. Di sekolah perlu diberikan bacaan sastra yang membuat mereka
memiliki etos kerja yang tinggi. Mendengar paparan itu, Prof. Dr. Umar Kayam, seorang sosiolog dan
sekaligus sastrawan besar negeri ini, berucap lirih, “Lho, memangnya hidup ini hanya untuk bekerja,
kita kan perlu juga menangis, sedih, terenyuh, dan tertawa.”
Pada kesempatan ini saya tidak ingin mengomentari pendapat mana yang benar dari
pendapat kedua profesor tersebut. Yang bisa saya ambil gagasan dasarnya adalah kedua
profesor tersebut sepakat bahwa sastra bisa memberi pengaruh kepada pembacanya. Kalau
kita membuka-buka literatur, sebenarnya gagasan ini bukanlah gagasan baru. Sekian abad
yang lalu, seorang pujangga besar bernama Horace telah membuat tesis bahwa sastra itu
menyenangkan dan bermanfaat (dulce et utile). Hingga sekarang belum ada sastrawan, kritikus,
dan budayawan yang menolak tesis tersebut. Penulis juga sepakat jika sastra dianggap
menyenangkan karena sastra menyajikan sesuatu dengan bahasa dan piranti-piranti sastra
secara indah. Sementara itu, sastra juga bermanfaat karena sastra menyajikan hal-hal yang
dapat digunakan untuk berbagai tujuan mulia, yang salah satu di antaranya untuk
mengembangkan karakter siswa. Schiller (dalam Darmaningtyas, 2004:81) menyatakan bahwa
sastra bisa menjadi semacam permainan yang menyeimbangkan segenap kemampuan mental
manusia berhubung adanya kelebihan energi yang harus disalurkan. Dengan kesastraan,
Jumadi
37
seseorang diasah kreativitas, perasaan, kepekaan dan sensitivitas kemanusiaannya sehingga
terhindar dari tindakan-tindakan yang destruktif, sempit, kerdil, dan picik.
Terkait dengan hal di atas makalah ini menyajikan topik bagaimana memanfaatkan
sastra daerah untuk mengembangkan karakter siswa. Di tengah-tengah bangsa yang perlu
segera menata diri karena sebagian masyarakatnya mengalami degradasi moral, serta dalam
rangka menyongsong implementasi kurikulum baru yang sangat menekankan pada pendidikan
karakter, tampaknya topik ini perlu disajikan. Untuk itu, secara bertutur-turut makalah ini
menyajikan (a) perlunya mengembangkan karakter positif siswa, (b) mengapa sastra daerah,
dan (c) karakter apa yang bisa dikembangkan melalui sastra daerah.
II. PEMBAHASAN
2.1 Perlunya Mengembangkan Karakter Positif Siswa
Di media massa kita banyak disuguhi tayangan yang mengindikasikan terjadinya
kemerosotan moral. Peristiwa tawuran antarpelajar/antarsuporter/antarkampung/antarsuku
seolah menjadi hal yang lumrah; koruptor sudah banyak yang dihukum, tetapi jumlah koruptor
baru justru terus bertambah; remaja dengan sadisnya menghabisi ayah/ibu kandungnya gara-
gara sakit hati; untuk melampiaskan libido seksualnya, seorang ayah tega menghamili anak
kandungnya; seorang hakim konstitusi justru mengkhianati hukum demi rupiah; seorang ustad
seharusnya menjadi hamba Allah yang menabur kebaikan, tetapi justru bertindak sebagai
dukun yang merampok harta dan kehormatan pasiennya. Berbagai contoh tersebut
mengindikasikan bahwa degradasi moral telah terjadi pada semua situs kehidupan kita.
Dengan adanya berbagai peristiwa itu, kita yang bergerak dalam dunia pendidikan
perlu melakukan instrospeksi dan bertanya mungkinkah kegagalan dunia pendidikan menjadi
salah satu penyebab terjadinya degradasi moral tersebut? Pertanyaan semacam itu tentunya
sah-sah saja disampaikan mengingat dunia pendidikan merupakan “kawah candradimuka”
yang bertugas membangun intelektual, moral, dan keterampilan siswa sebagai calon warga
atau pun pemimpin-pemimpin bangsa. Terkait dengan ini, penulis setuju dengan Wibowo
(2013:1) yang menyatakan bahwa idealnya pendidikan merupakan sarana humanisasi bagi
siswa. Pendidikan memberikan ruang bagi pengajaran etika moral dan segenap aturan luhur
yang membimbing siswa mencapai humanisasi. Melalui proses pendidikan, siswa menjadi
terbimbing, tercerahkan, sementara tabir ketidaktahuannya terbuka lebar-lebar sehingga mereka
mampu mengikis bahkan meniadakan aspek-aspek yang mendorong ke arah dehumanisasi.
Uraian di atas mengisyaratkan bahwa kita perlu menegakkan moralitas dengan
mengembangkan karakter positif siswa. Namun, yang menjadi pertanyaan, apa sesungguhnya
karakter itu dan karakter apa saja yang perlu kita kembangkan. Banyak pakar yang mencoba
memberikan pengertian karakter. Menurut bapak pendidikan karakter Amerika Serikat, Lickona
(1991:51), karakter adalah a reliable inner disposition to respond situation in good away. Dari
pengertian ini tampak bahwa karakter merupakan pembawaan yang agung yang digunakan
untuk merespons situasi dengan cara yang baik.
Jumadi
38
Sebagai pembawaan yang agung, karakter tidak begitu saja dimiliki oleh seseorang.
Karakter terbentuk dari proses internalisasi terhadap unsur-unsur moral. Menurut Lickona
(1991:53-62) karakter dibangun oleh sejumlah moral. Paling tidak ada tiga unsur pembangun
karakter yang baik, yaitu pengetahuan tentang moral (moral knowing), perasaan tentang moral
(moral feeling), dan perbuatan yang bermoral (moral action).
Dalam realisasinya, ketiga unsur moral yang baik tersebut memiliki subunsur yang
tidak dapat dipisahkan dengan subunsur yang lain. Di samping itu, pemisahan ketiga unsur
karakter tersebut mengisyaratkan terjadinya tahapan proses internalisasi nilai moral itu sebelum
benar-benar menjadi amalan dalam kehidupan sehari-hari. Pada awalnya siswa perlu memiliki
pengetahuan tentang moral (moral knowing) dengan berbagai unsurnya, mulai dari kesadaran
moral (moral awareness) hingga pengetahuan diri (self-knowledge). Pengetahuan moral tersebut
akan memberikan pemahaman tentang karakteristik masing-masing moral. Pengetahuan
tentang moral tersebut merupakan prasyarat bagi terbentuknya perasaan moral (moral feeling)
dengan berbagai unsurnya, mulai dari kepemilikan hati nurani (conscience) hingga kerendahan
hati (humility) pada diri siswa. Pada ujung semua itu, setelah terjadi proses pemahaman dan
perasaan moral, akan terjadi tindakan moral (moral action) dalam kehidupan nyata. Ada tiga
unsur penopang terjadinya tindakan moral, yakni adanya kemampuan (competence) untuk
melaksanakan, adanya keinginan (will) untuk melaksanakan, dan adanya tindakan nyata yang
terus-menerus sehingga nilai moral menjadi kebiasaan (habit) dalam kehidupan sehari-hari.
Dalam perspektif yang sedikit berbeda, Borba (2001:6-7), membagi tujuh kecerdasan
moral dalam membangun karakter siswa. Kebaikan esensial dari ketujuh kecerdasan moral
yang perlu dikembangkan adalah empati (empaty), hati nurani (conscience), kontrol diri (self-
control), rasa hormat (respect), kebaikan hati (kindness), toleran (tolerant), dan kejujuran (fairness).
Empati merupakan inti perasaan moral dalam melibatkan siswa untuk memahami apa
yang dirasakan orang lain. Semua itu merupakan kebaikan yang menjadikan siswa lebih sensitif
terhadap keperluan dan perasaan orang lain. Hati nurani adalah sebuah suara dari dalam diri
siswa yang amat kuat yang membantunya membedakan antara yang salah dengan yang benar.
Kebaikan ini mempertahankan siswa menolak kekuatan yang menentang kebaikan dan
memungkinkannya berbuat kebaikan dalam berbagai wujud godaan. Kontrol diri membantu
siswa melatih kembali dorongan-dorongan dan pikiran sebelum dia melakukan tindakan yang
memungkinkan membuat pilihan yang kurang hati-hati yang berpotensi mendatangkan bahaya.
Rasa hormat memberikan harapan kepada siswa untuk memperlakukan siswa yang lain dengan
perhatian sebab dia menghargainya sebagai manfaat. Kebaikan hati membantu siswa
menunjukkan perhatiannya tentang kesejahteraan dan berbagi rasa sejahtera itu kepada orang
lain. Dengan mengembangkan kebaikan ini, siswa akan menjadi kurang mementingkan diri
sendiri dan lebih simpatik, dan dia akan lebih memahami bahwa memperlakukan orang lain
secara baik merupakan perbuatan yang mudah untuk dilakukan. Toleran membantu siswa untuk
menghargai kualitas siswa yang lain, selalu terbuka terhadap keyakinan dan perspektif yang baru,
dan menghormati yang lain tanpa memperhatikan suku, jenis kelamin, penampilan, budaya,
keyakinan, kemampuan, dan orientasi seksual. Kejujuran membimbing siswa untuk
memperlakukan orang lain dengan baik budi, tidak berat sebelah, dan dengan cara yang tepat
Jumadi
39
sehingga dia akan lebih mungkin menjalankan hukum, saling memberi/menerima, dan
mendengarkan secara terbuka untuk semua sisi sebelum mengambil keputusan.
Unsur-unsur moral sebagaimana dipaparkan di atas jika dipakai sebagai pedoman
dalam bertindak akan membangun karakter seseorang. Dalam proses pendidikan, karakter
mana yang perlu ditanamkan kepada diri siswa? Terkait dengan hal ini, para pakar juga
mempunyai pandangan yang beragam. Keragaman itu karena perbedaan orientasi dan sudut
pandang sehingga dalam implementasinya bisa saja saling melengkapi. Megawangi (dalam
Sauri, 2013:285) menyebutkan 9 pilar karakter yang perlu diinternalisasikan kepada siswa,
yaitu (a) cinta kepada Tuhan dan kebenaran, (b) bertanggung jawab dan disiplin, (c) amanah,
(d) hormat dan santun, (e) kasih sayang, peduli, dan kerja sama, (f) percaya diri, kreatif, dan
pantang menyerah, (g) keadilan dan kepemimpinan, (h) baik dan rendah hati, dan (i) toleran
dan cinta damai. Sementara itu, Hasan dkk. (2010:8) menyebutkan 18 karakter yang perlu
diinternalisasikan, yaitu (a) religius, (b) jujur, (c) toleransi, (d) disiplin, (e) kerja keras, (f) kreatif,
(g) mandiri, (h) demokratis, (i) rasa ingin tahu, (j) semangat kebangsaan, (k) cinta tanah air, (l)
menghargai prestasi, (m) bersahabat/komunikatif, (n) cinta damai, (o) gemar membaca, (p)
peduli lingkungan, (q) peduli sosial, dan (r) tanggung jawab.
2.2 Mengapa Sastra Daerah
Pertanyaan mendasar pada bagian ini adalah mungkinkah sastra daerah dapat
difungsikan untuk membangun karakter siswa? Jawabannya sangat mungkin sebab dilihat
dari substansi yang akan disampaikan kepada siswa, sastra daerah mengandung unsur-unsur
karakter secara melimpah. Boulton (dalam Aminuddin, 1984:9) menyatakan bahwa cipta sastra
selain menyajikan nilai-nilai keindahan serta paparan peristiwa yang mampu memberikan
kepuasan batin pembacanya, juga mengandung pandangan yang berhubungan dengan
renungan atau kontemplasi batin, baik berhubungan dengan masalah keagamaan, filsafat,
politik, maupun berbagai macam problema yang berhubungan dengan kompleksitas kehidupan
ini. Oleh karena itu, tidak berlebihan jika seorang kritikus Rusia abad ke-19, Lenin (dalam
Hartoko, 1984:25) menyatakan bahwa sastra harus berperan sebagai soko guru, harus
menjalankan fungsi didaktik. Sastra hendaknya tidak hanya membuka mata bagi kekurangan-
kekurangan di masyarakat, tetapi juga menunjukkan jalan ke luar.
Indonesia mempunyai khazanah sastra yang luar biasa kayanya, baik ditinjau dari
aspek kuantitas maupun kualitas. Ditinjau dari aspek kuantitas, masing-masing suku di
Indonesia, yang tersebar dari Sabang sampai Merauke, mempunyai kekayaan sastra sehingga
sudah bisa diperkirakan betapa melimpahnya khazanah sastra di Indonesia. Dalam konteks
kualitas sastra daerah, misalnya, Teeuw (1992) menyatakan bahwa dalam sastra daerah di
Indonesia terungkap kreativitas sastra yang luar biasa. Dalam hasil sastra itu manusia Indonesia
berusaha untuk mewujudkan hakikat dirinya sedemikian rupa sehingga sampai sekarang pun,
untuk manusia modern, ciptaan tersebut tetap mempunyai nilai dan fungsi — asal dia bersedia
berusaha merebut maknanya bagi dia sebagai manusia modern.
Kita sebagai manusia Indonesia modern, pewaris sah khazanah sastra daerah itu,
cenderung tidak peduli kalau tidak mau dikatakan memarjinalkan khazanah sastra itu dari
Jumadi
40
kehidupan kita. Kita terlalu bertumpu kepada indikator efektivitas dan efesiensi dalam mengukur
manfaat sesuatu sehingga bersastra dianggap pekerjaan yang sia-sia. Akibatnya, kita amat
piawai merencanakan dan menghitung proyek, tetapi sering “gagap” ketika
mempertanggungjawabkannya; kita piawai membicarakan multikultural, tetapi tidak mampu
mencegah perang antarsuku; kita secara lantang mewacanakan solidaritas, tetapi menjadi
penonton ketika saudara-saudara kita tertimpa bencana.
Sadar atau tidak, sebenarnya kita telah ramai-ramai mencampakkan instrumen
humanisme yang bernama sastra daerah dari kehidupan kita. Padahal, sastra itu mempunyai
fungsi amat penting. Jika dikaitkan dengan konteks pendidikan, paling tidak sastra dapat
difungsikan untuk: (a) melatih keterampilan menyimak, berbicara, membaca, dan menulis; (b)
menambah pengetahuan tentang pengalaman hidup, agama, kebudayaan; (c) membantu
pengembangan pribadi; (d) membantu pembentukan watak; (e) memberi kenyamanan,
keamanan, dan kepuasan; (f) memuaskan dimensi kehidupan dengan pengalaman-
pengalaman baru (lihat Norton, 1987; Moody, 1989).
Ada berbagai bentuk sastra daerah yang dapat kita manfaatkan untuk membangun
karakter siswa, di antaranya mite, legenda, fabel, pantun, peribahasa, pepatah, berbagai tradisi
lisan seperti lamut, mamanda, atau yang lain. Karena keterbatasan ruang untuk penyajian,
dalam paparan berikut dicontohkan hanya beberapa unsur khazanah sastra daerah Banjar
yang dapat digunakan membangun karakter siswa.
2.3 Karakter Apa yang Bisa Dikembangkan Melalui Sastra Daerah
Penulis yakin bahwa semua karakter positif sebagaimana dipaparkan pada butir 2.2
di atas dapat dibangun melalui khazanah sastra daerah. Misalnya, kita dapat memanfaatkan
sastra daerah untuk membangun karakter religius. Karakter religius banyak dijumpai dalam
sastra daerah Banjar, baik dalam bentuk cerita, pantun, peribahasa, atau yang lain. Berikut ini
contoh pantun (orang Banjar menyebutnya dindang) yang dipakai oleh orang Banjar ketika
menidurkan anak.
Guring-guring anakku guring
Kuguringakan dalam ayunan
Allah ya Allah malikul rahman
Kurniakan ya Allah kuatakan iman
Barakat syafaat rasul akhir zaman
Tarangakan hati anakku mambaca Al-Quran
(Marfuah, 2013:171).
Masyarakat Banjar pada masa lampau dan masih ada juga sebagian pada masa
sekarang, ketika menidurkan anak, mereka melantunkan dindang. Biasanya dindang yang
dilantunkan berisi doa, harapan, atau nasihat bagi si anak. Dindang di atas diucapkan ibu
ketika menidurkan anak dalam ayunan. Secara tekstual dindang tersebut berisi harapan atau
doa kepada si anak agar kelak menjadi orang yang dikuatkan iman dan diterangkan hati
ketika membaca Alquran. Dengan demikian, melalui dindang ibu tersebut membangun
Jumadi
41
karakter religius pada anaknya. Dia berharap buah hatinya tumbuh menjadi manusia yang kuat
iman dan diterangkan hatinya membaca Alquran sehingga bisa menggunakannya sebagai
pedoman hidup.
Di samping karakter religius, dindang juga bisa dipakai untuk mengembangkan karakter
peduli sosial atau kasih sayang. Mari kita perhatikan teks berikut ini.
Laaa ilaaahailllah
Muhammadur Rasulullah
Anakku guring disuruh guring
Matanya kalat bawa bapajam
Anakku pintar parajakian
Rajin baamal wan pambarian
Anakku pintar urang beriman
Matanya kalat disuruh guring
(Marfuah, 2013:50).
Dalam teks tersebut tampak bahwa ibu sedang mengembangkan karakter peduli
sosial atau kasih sayang pada anaknya. Setiap orang tua pasti mengharapkan anaknya hidup
berkecukupan sehingga dia mendoakan agar anaknya mudah mendapatkan rizki (parajekian).
Namun, doa itu dilanjutkan dengan nasihat agar setelah berkecukupan jangan lupa beramal
dan jadi orang yang suka memberi (pambarian). Jika nasihat itu bisa tertanam dan berhasil
membangun karakter, tentu saja anaknya akan tumbuh menjadi manusia yang peduli sosial,
kasih sayang, atau dermawan. Dia tidak akan bermewah-mewah sementara orang di
sekelilingnya masih serba kekurangan.
Selain dindang, masyarakat Banjar juga memiliki banyak ungkapan yang sarat dengan
nilai-nilai untuk mengembangkan karakter. Ungkapan ampun saurang disintak, ampun urang
dikair adalah ungkapan untuk memberi label orang yang curang, mau menang sendiri.
Ungkapan ini cocok digunakan untuk menyindir agar siswa memiliki karakter jujur. Sementara
itu, membangun karakter bekerja keras, tidak mudah patah semangat, orang Banjar
mempunyai ungkapan haram manyarah, waja sampai ka puting dan kada ingat burit kapala;
dan ungkapan mailung larut cocok digunakan untuk menyindir agar siswa memiliki karakter
percaya diri.
Khazanah legenda Banjar juga penuh dengan unsur-unsur yang dapat digunakan
untuk mengembangkan karakter siswa. Masyarakat Banjar mempunyai khazanah legenda
sangat melimpah, baik menyangkut legenda alam gaib, legenda perseorangan, maupun
legenda tempat. Legenda Datu Insat, misalnya, termasuk legenda agama yang dapat digunakan
mengembangkan karakter menghargai prestasi atau kemampuan orang lain.
Legenda ini menceriterakan perjalanan seseorang dalam mencari guru yang tepat.
Datu Jawa atau Datu Mastanian pergi ke Kalimantan untuk mencari guru yang tepat. Dia
bermaksud berguru kepada Datu Insat. Namun, sebelumnya Datu Insat dicoba dahulu tingkat
ilmunya. Dia berjanji akan mengakui Datu Insat sebagai guru jika kalah bertanding ilmu. Jika
sebaliknya, Datu Insat harus ikut ke Jawa.
Jumadi
42
Tema yang ada dalam legenda ini adalah memilih seorang guru haruslah selektif,
tidak sembarangan. Guru yang kita pilih harus memenuhi persyaratan tertentu, baik itu
persyaratan keagamaan, budi pekerti, ilmu, maupun keterampilan. Dalam legenda ini, seorang
guru ditentukan dari tingkat dan jenis ilmu yang dimilikinya persyaratan tingkat ilmu dapat
dilihat pada penggalan teks yang berikut.
“Assalamu’alaikum,” kata tamu yang baru datang.
“Wa’alaikum salam,” jawab Datu Insat. “Datang dari negeri manakah Anda?”
“Saya datang dari Jawa.”
“Apa sebab kapak beliung dan pisau melakukan pengrusakan di tempatku ini?”
kata Datu pula.
“Karena dia lapar,” jawab Datu tamunya tadi.
“Kalau begitu tidak apa. Saudara silakan masuk!”
“Tidak, saya tidak mau masuk sekarang,” jawab Datu Jawa. “Saya bermaksud
hendak mengaji.”
“Kalau begitu lebih baik kita bicara di dalam rumah.”
“Tidak, lebih baik mengadu kesaktian sekarang. Saya ingin mengetahui sampai di
mana tingginya kesaktianmu sebelum saya mengangkat sebagai guru.”
(LDI, hal. 27-28)
Dari kutipan di atas tampak bahwa Datu Jawa menghargai prestasi, penguasaan, dan
ketinggian ilmu. Dia akan menjadikan guru seseorang yang mempunyai prestasi dan
penguasaan ilmu yang melebihi dirinya. Secara keseluruhan, legenda ini cocok digunakan
untuk mengembangkan karakter menghargai prestasi.
Untuk mengembangkan karakter demokratis kita bisa menggunakan legenda Datu
Muhammad Tahir. Pada mulanya, Datu Muhammad Tahir berangkat menunaikan ibadah haji.
Ketika perahu yang ditumpanginya sampai di Laut Merah, tiba-tiba kapal itu berhenti, tak dapat
bergerak. Padahal, angin bertiup kencang dan perahu tidak rusak. Hal itu membuat orang
panik.
Berdasarkan firasat seorang ulama, salah seorang penumpang kapal itu, berhentinya
perahu itu karena diganggu oleh makhluk halus yang minta tebusan salah satu dari penumpang.
Berdasarkan hasil undian, penumpang yang dikorbankan adalah Datu Haji Muhammad Tahir.
Oleh karena itu, hasil suatu keputusan bersama, dia menerimanya. Kutipan berikut menunjukkan
hal itu.
Setelah diambil kata sepakat, dilaksanakan undian. Mereka memutuskan lebih baik
seorang yang jadi korban daripada seluruh penumpang mati kelaparan.
Undian pertama jatuh pada haji Muhammad Tahir. Penumpang kembali ribut karena
banyak yang kenal akan kealimannya. Mengapa seorang tuan guru yang harus mewakili seluruh
penumpang? Atas persetujuan, undian diulang. Hingga pada ulangan yang ketiga, ternyata
Datu Muhammad Tahir yang terpilih.
“Apa boleh buat,” kata beliau. Saya rela menjadi wakil dari seluruh penumpang.”
Jumadi
43
Setelah salat dua rakaat, beliau menceburkan diri ke laut. Pada saat itu kapal bergerak
dan maju ke arah tujuan semula.
Dari kutipan di atas tampak bahwa Datu Muhammad Tahir adalah tokoh yang
demokratis. Walaupun seorang datu, dia taat kepada suatu keputusan yang dibuat bersama.
Dia tidak membangkang, memprotes, atau pun menggunakan otoritasnya sebagai seorang
datu untuk memveto keputusan bersama. Perilaku ini merepresentasikan karakter demokratis.
Beberapa legenda datu yang dicontohkan di atas hanya sebagian dari sekian banyak
legenda keagamaan dalam sastra Banjar. Masih banyak legenda sejenis yang dapat digunakan
untuk mengembangkan karakter siswa. Misalnya, legenda Pangeran Suriansyah Membangun
Masjid dapat digunakan untuk membangun karakter gotong royong atau kerja sama; legenda
Datu Sanggul Berkawan dengan Syekh Muhammad Arsyad dapat digunakan untuk membangun
karakter persahabatan.
Selain legenda keagamaan, sastra Banjar juga memiliki legenda tempat, dan legenda
alam gaib. Khazanah legenda itu juga banyak mengandung unsur yang dapat digunakan untuk
mengembangkan karakter. Sementara itu, cerita binatang yang disebut fabel juga banyak
terdapat dalam sastra daerah Banjar. Misalnya, fabel yang berjudul Warik wan Kukura dapat
digunakan mengembangkan karakter jujur; fabel yang berjudul Pilanduk wan Buaya dapat
digunakan untuk mengembangkan karakter kreatif; dan masih banyak lagi fabel yang bisa
digunakan mengembangkan karakter siswa.
III. SIMPULAN
Pada dasarnya pendidikan adalah proses membekali siswa untuk bisa menghadapi
masa depannya secara kritis dan kreatif. Dalam rangka itu, proses pengembangan karakter
positif pada diri siswa merupakan suatu keniscayaan. Dengan adanya karakter positif yang
melekat pada dirinya, siswa akan mampu mengatasi berbagai persoalan kehidupannya yang
penuh dengan tantangan dan persaingan.
Banyak sarana yang dapat digunakan untuk mengembangkan karakter siswa, salah
satu di antaranya adalah sastra daerah. Sebagai warisan budaya luhur, sastra daerah penuh
dengan “mutiara” kebaikan yang dapat digunakan untuk pengembangan karakter positif siswa.
Nenek moyang kita telah mewariskan instrumen kehidupan berupa pantun, legenda, mite, fabel,
peribahasa, dan berbagai bentuk tradisi lisan yang melimpah. Namun, sayang kita cenderung
menyia-nyiakan dan membiarkannya menuju kepunahan. Kita lebih tertarik dengan hegemoni
media sosial yang mengusung budaya populer. Padahal, kalau tidak hati-hati memanfaatkannya,
berbagai media sosial itu bisa membuat kita tercerabut dari akar budaya kita.
Jumadi
44
DAFTAR PUSTAKA
Aminuddin. 1984. Pengantar Memahami Unsur-unsur dalam Karya Sastra. Malang: IKIP Malang.
Beach, Richard W. dan Marshall, James D. 1991. Teaching Literature in the Secondary Scholl.
San Deigo: Harcourt Brace Jovanovich, Publishers.
Borba, Michele. 2001. Building Moral Intelligence. Sanfrancisco: Josssey-Bass.
Effendi, Rustam dkk., 1994. Ungkapan dan Peribahasa Banjar. Banjarmasin: Proyek
Penelitian Bahasa dan Sastra Indonesia dan Daerah Kalimantan Selatan.
Hasan, Said Hamid, dkk. 2010. “Pendidikan Budaya dan Karakter Bangsa.” Bahan Pelatihan
Penggunaan Metodologi Pembelajaran Berdasarkan Nilai-nilai Budaya untuk
Membentuk Daya Saing dan Karakter Bangsa. Jakarta: Puskur Balitang Kemdiknas.
Hartoko, Dick. Pengantar Ilmu Sastra. Jakarta: Gramedia.
Ismail, Abdurahman. 1978. Cerita Rakyat Daerah Kalimantan Selatan. Banjarmasin: Proyek
Penelitian dan Pencatatan Kebudayaan Daerah.
Komalasari, Kokom. 2013. “Pendidikan Karakter di Persekolahan Kita. Dalam Dasim
Budimansyah, dan Kokom Komalasari (Eds). Pendidikan Karakter: Nilai Inti bagi
Upaya Pembinaan Kepribadian Bangsa. Bandung: Widya Aksara Press.
Lickona, Thomas. 1991. Educating for Character. New York: Bantam Books.
Marfuah. 2013. Dindang Sastra Lisan Banjar Hulu. (Tesis tidak diterbitkan). Banjarmasin:
Program Pascasarjana, Universitas Lambung Mangkurat.
Moody, H. L. B. 1989. The Teaching of Literature. London: Longman Group Ltd.
Norton, Donna E. 1987. Through the Eyes of Child: And Introduction to Children’s Literature.
Colombus: Merril Publishing Company.
Sauri, Sofyan. 2013. “Strategi dan Implementasi Pendidikan Karakter Bangsa. Dalam Dasim
Budimansyah dan Kokom Komalasari (Eds). Pendidikan Karakter: Nilai Inti bagi Upaya
Pembinaan Kepribadian Bangsa. Bandung: Widya Aksara Press.
Teeuw, A. 1982. Khazanah Sastra Indonesia. Jakarta: PN Balai Pustaka.
Wibowo, Agus. 2013. Pendidikan Karakter Berbasis Sastra. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Smith, Carrol B. 2002. Developing Character Through Literature. Bloomington: ERIC
Clearinghouse on Reading.
Jumadi
45
Jumadi
46
BAB II
PENDIDIKAN KARAKTER
DAN PENDIDIKAN BAHASA
ABSTRACT
The study has involved school principal, school committee, parents, and fifth grade students. The
main issue of the study is how to develop the caring character through the teaching of child story
reading in elementary school? It is further elaborated into the following research questions: (1) what
are school vision, missions, and work program to develop the caring or aware character by teaching
the child story reading?: (2) Has the teaching of child story reading been directed to enhance the
ability to respond child story scripts to develop the caring character?: (3) How is integration of four
language skills, listening, speaking, reading, and writing, could develop the caring character?: (4)
can the active involvement of student in selecting the story books develop and enhance the caring
character during reading?: and (5) Can the intensive teaching-student interaction during story book
reading with conference model develop the caring character? To answer those question, data in use
are connected with (1) the statement of school vision, missions, and work program to develop the
caring or aware character throught instructional activities; (2) the teaching of child story reading
directed to enhance the ability to respond child story scripts to develop the caring character; (3) the
integration of four language skill, listening, speaking, reading, and writing, in story reading instruction
to develop the caring character; (4) the active involvement of students in selecting the story books to
develop and enhance the caring character; and (5) the intensive teacher-student interaction during
story book reading with conference model that can develop the caring character. The data were
collected throught observation, interview, and documentary analysis. Data analysis was conducted
by applying a model developed by Miles and Huberman (1984) in the stages of data collection,
reduction, display, and conclusion. Data analysis revealed the following findings: (1) Vision and
Missions of Elementary School Antasan Besar 7 Banjarmasin have been elaborated into school
policies and contributed to the development of student character, including the caring character
when applied in the instructional activities; (2) Student have been able to recognize and identify
character values, caring charactering in particular, after reading book titles and book cover images
illustrating the caring character; (3) Students have been able to better recognize and rewrite the sorts
of explicit caring behaviors into their reading journal during conference session; (4) The development
of character values, caring character in particular, have greatly been influenced by student learning
activities and habits in school environment, such as putting rubbish in proper place, keeping school
clean and neat, helping friends in trouble, and respecting teacher, administrative staff, fellow students,
and other people; (5) Conference model of Indonesian language teaching adopted to teach child
story reading in three procedures, pre-reading, reading, post-reading, has contributed to the
development of student caring character.
Akhmad, HB
49
I. PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Masalah
Hakikat pendidikan terletak pada upaya sadar untuk mengubah seseorang peserta
didik dari suatu kondisi tertentu kepada kondisi yang lebih baik. Sebagai sebuah upaya,
pendidikan merupakan usaha sadar akan tugas dan tanggung jawab hidupnya untuk selalu
dinamis dan mengubah dirinya atau orang lain ke arah yang lebih baik. Pendidikan bukanlah
suatu tindakan yang bersifat netral, akan tetapi selalu berkaitan dan berisi nilai-nilai, baik nilai
yang bersumber dari agama maupun budaya. Pendidikan di Indonesia mengarahkan tujuannya
sesuai dengan nilai-nilai bangsa Indonesia yang berbudi luhur dan religius yang digambarkan
dalam tujuan pendidikan nasional berikut:
Pendidikan nasional berdasarkan Pancasila bertujuan untuk berkembangnya potensi
peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha
Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang
demokratis serta bertanggung jawab (Undang-Undang Nomor 20 tahun 2003 tentang Sistem
Pendidikan Nasional Bab II Pasal 3 Ayat [3]).
Dari tujuan pendidikan tersebut, tergambar bahwa pendidikan merupakan suatu usaha
yang sadar dan sistematis dalam mengembangkan potensi peserta didik, dan karakter adalah
watak, tabiat, akhlak, atau kepribadian seseorang yang terbentuk dari hasil internalisasi berbagai
kebajikan (virtues) yang diyakini dan digunakan sebagai landasan untuk cara pandang, berpikir,
bersikap dan bertindak. Kebajikan yang hendak diinternalisasikan terdiri atas sejumlah nilai,
moral, dan norma, seperti jujur, berani bertindak, dapat dipercaya, dan peduli kepada orang
lain. Nilai-nilai, moral dan norma tersebut diharapkan dapat menjadi karakter yang melekat
sebagai pengembangan jati diri bangsa yang unggul.
Ada hubungan yang sangat erat antara kehidupan masyarakat dan pendidikan karakter
individu. Oleh karena itu, pendidikan karakter harus kita mulai dari diri sendiri dan berkembang
seterusnya kekeluarga, lingkungan, masyarakat yang lebih luas, dan bangsa secara nasional.
Masing-masing komponen di atas harus mengambil inisiatif dan proaktif mengambil bagian
dalam membangun budaya berkarakter. Keluarga, sekolah dan masyarakat yang berkarakter
sehat akan sangat ditentukan oleh kesungguhan kita untuk berkomitmen pada pendidikan karakter.
Di sekolah, proses pengembangan nilai-nilai yang menjadi landasan dari karakter
tersebut menghendaki suatu proses yang berkelanjutan (never ending process), dilakukan
melalui berbagai mata pelajaran yang ada dalam kurikulum (kewarganegaraan, sejarah,
geografi, ekonomi, sosiologi, antropologi, Bahasa Indonesia, IPS, IPA, matematika, agama,
pendidikan jasmani dan olahraga, seni serta keterampilan). Dalam mengembangkan pendidikan
karakter bangsa kesadaran akan siapa dirinya dan bangsanya adalah bagian yang teramat
penting. Sartono Kartodirdjo secara tegas menyatakan bahwa kesadaran tersebut hanya dapat
terbangun dengan baik melalui pendidikan sejarah karena sejarah dapat memberikan
pencerahan dan penjelasan mengenai siapa dirinya dan bangsanya di masa lalu yang
menghasilkan dirinya dan bangsanya di masa kini. Selain itu, dalam pendidikan karakter bangsa
harus terbangun pula kesadaran, pengetahuan, wawasan dan nilai berkenaan dengan
Akhmad, HB
50
lingkungan dimana dirinya dan bangsanya hidup (geografi), nilai yang hidup di masyarakat
(antropologi), sistem sosial yang berlaku dan sedang berkembang (sosiologi), sistem
ketatanegaraan, pemerintahan, dan politik (ketatanegaraan/politik/ kewarganegaraan), bahasa
Indonesia dengan cara berpikirnya, kehidupan perekonomian, ilmu, teknologi, dan seni. Artinya,
perlu ada upaya terobosan terhadap kurikulum berupa pengembangan nilai-nilai yang menjadi
dasar bagi pendidikan budaya dan karakter bangsa. Dengan terobosan kurikulum yang demikian
maka nilai dan karakter yang dikembangkan pada diri peserta didik akan sangat kokoh dan
memiliki dampak nyata dalam kehidupan dirinya, masyarakat, bangsa dan bahkan umat manusia.
Dari kondisi yang ada, nampak jelas bahwa usaha-usaha untuk meningkatkan
pengetahuan dan keterampilan oleh guru sekolah dasar dalam hal ini secara spesifik Bahasa
Indonesia tidak boleh berhenti. Jika tidak dilakukan, maka imbas langsungnya adalah: siswa
tidak mendapatkan pengetahuan dan keterampilan yang seharusnya menjadi kompetensinya
karena terbatasnya penguasaan strategi pembelajaran yang mampu mengembangkan karakter
siswa oleh guru; siswa jadi tidak fokus dalam belajar, acuh-tak acuh, kehilangan kepedulian
dan sebagainya karena guru tidak mampu melakukan pengelolaan kelas.
Oleh karena itu, peranan pengajaran bahasa Indonesia, khususnya pengajaran
membaca di SD, menjadi sangat penting. Peran tersebut menurut Joni (1990: 10) semakin
penting bila dikaitkan dengan tuntutan pemilikan kemahirwacanaan dalam abad informasi.
Pengajaran bahasa Indonesia di SD yang bertumpu pada kemampuan dasar membaca dan
menulis juga perlu diarahkan pada tercapainya kemahirwacanaan.
Kemahirwacanaan dalam konteks ini sejalan dengan konsep kemahirwacanaan yang
dikemukakan oleh Wells (dalam Joni, 1990: 10), yakni kemahirwacanaan modus kritis dan
imajinatif. Kemahirwacanaan tersebut dapat pula diacukan pada literacy tingkat mahir dan
tingkat lanjut setelah tingkat permulaan, tingkat dasar dan tingkat menengah. Literacy tingkat
mahir ditandai oleh kemampuan memahami, meringkas, dan menjelaskan informasi dalam
teks, sedangkan literacy tingkat lanjut ditandai oleh kemampuan mensintesiskan dan
kemampuan belajar dari teks bacaan (Hasanah, 1998: 14).
Kemahirwacanaan yang mengacu pada keterampilan membaca bertujuan
meningkatkan kemampuan membaca dan memanfaatkannya dalam kehidupan sehari-hari
termasuk dalam menumbuhkembangkan karakter siswa, terutama karakter peduli. Kemampuan
menyerap isi cerita terkait dengan target pemilikan keterampilan membaca cerita. Oleh karena
itu, perlu dikembangkan pembelajaran membaca yang bertumpu pada modus pemikiran kritis
dan kreatif (kemahirwacanaan) (Joni, 1990: 11). Kemahirwacanaan perlu ditargetkan pada
siswa SD karena sesuai dengan taraf perkembangan sosial-emosional anak-anak usia SD.
Anak-anak usia SD menurut Greenspan (Dworetzky, 1990: 167), sudah memiliki potensi kreasi
emosional sejak usia tiga tahun dan berkembang ke kreasi imajinatif pada usia empat tahun.
Potensi berpikir kritis anak dapat dilihat pada usia 11-12 tahun (kelas 5 SD) saat anak
berada pada tahap operasi formal awal yang ditandai dengan kemampuan menempatkan hal-
hal yang konkret ke dalam gagasan abstrak. Potensi tersebut dapat dikembangkan melalui
kegiatan membaca cerita anak. Melalui membaca cerita anak memperoleh stimulus yang
Akhmad, HB
51
dapat mengaktifkan daya kritis mereka karena cerita anak berisikan unsur-unsur yang
merangsang kemampuan anak untuk merespons isi bacaan sesuai dengan kemampuannya.
Pencapaian tujuan pembelajaran membaca yang dikaitkan dengan kemahirwacanaan
modus kritis imajinatif dalam pembelajaran membaca dapat diarahkan pada aktivitas membaca
cerita anak. Pilihan cerita anak sebagai salah satu jenis sastra anak dapat diangkat sebagai
bahan pembelajaran membaca yang didasarkan pada (i) kesesuaian cerita anak dengan taraf
berpikir siswa kelas 5 SD yang sudah dalam taraf operasi konkret akhir/taraf operasi formal awal,
(ii) kekayaan imajinasi fiksional yang terdapat di dalam cerita anak, dan (iii) daya tarik teks cerita
anak yang memungkinkan untuk direspons secara kritis-imajinatif oleh siswa. Pilihan tersebut
sejalan dengan hasil penelitian Van Klinken (Purwo, 1991: 23) yang menunjukkan temuan bahwa
bahan bacaan yang disukai siswa SD adalah buku cerita atau bahan bacaan cerita.
KTSP yang berorientasi pada whole language disyaratkan pembelajaran membaca
yang terpadu dengan pembelajaran menyimak, berbicara, dan menulis. Oleh karena itu,
pembelajaran membaca cerita anak dapat dipadukan dengan pembelajaran ketiga
kemampuan tersebut. Perlunya pemaduan tersebut telah dibuktikan dengan sejumlah temuan
penelitian yang dilakukan oleh para ahli. Berbagai hasil penelitian tentang keterkaitan membaca
cerita anak dengan ketiga kemampuan berbahasa selain membaca dirangkum oleh Huck
(1987: 111).
Dalam kurun waktu beberapa tahun terakhir, skor prestasi membaca di Indonesia
mencapai angka 407 untuk siswa secara keseluruhan, skor 417 untuk siswa perempuan, dan
skor 398 untuk siswa pria (Hayat, 2010: 73). Artinya, Indonesia termasuk negara yang prestasi
membacanya berada di bawah rerata negara peserta PIRLS 2006 secara keseluruhan, yaitu
masing-masing 500, 510, dan 493. Tercatat 4 negara yang mencapai skor tertinggi, yaitu Rusia
(565), Hongkong (564), Kanada (560), dan Singapura (559). Sementara posisi Indonesia sendiri
berada pada posisi kelima dari urutan terbawah, atau sedikit lebih tinggi dari pada Qatar (356),
Quait (333), Maroko (326), dan Afrika Utara (304). Satu hal yang tidak membedakan antara
Indonesia dengan kecendrungan yang terjadi pada PIRLS 2006 adalah prestasi membaca
siswa perempuan lebih tinggi dari siswa pria, dan lebih tinggi juga dari pada prestasi membaca
siswa secara keseluruhan.
Salah satu model pembelajaran yang dapat memadukan pembelajaran membaca
dengan tiga kemampuan berbahasa yang lain adalah model konferensi yang ditawarkan oleh
Hornsby dkk. (1986). Model konferensi memiliki beberapa kelebihan dalam memadukan
pembelajaran membaca dengan pembelajaran menyimak, berbicara dan menulis. Aktivitas
menyimak dan berbicara dilakukan pada saat berlangsungnya aktivitas pemfokusan minat dan
perhatian siswa terhadap teks cerita anak, dan pada saat berkonferensi, serta pada aktivitas
berbagi pengalaman membaca. Aktivitas menulis dilakukan pada saat siswa membaca teks
dan menuliskan hasil pemahaman terhadap isi teks serta mencatat respon mereka terhadap
isi teks.
Dengan strategi pembelajaran membaca model konferensi, kemampuan siswa tidak
hanya diorientasikan pada pengembangan kemampuan memahami isi teks tetapi juga
Akhmad, HB
52
diorientasikan pada pengembangan kemampuan merespon isi teks. Kesempatan merespon,
diberikan baik pada saat membaca maupun pada saat konferensi antara guru dan siswa.
Dengan merespon, siswa memperoleh kesempatan berinteraksi dan bertransaksi dengan
teks sebagai inti kegiatan membaca. Kemampuan itu, lewat buku-buku cerita yang memuat
nilai-nilai karakter terutama karakter peduli, siswa menjadi memahami dan mencoba
mengaplikasikan karakter peduli dalam interaksinya dalam pembelajaran di kelas.
Sejalan dengan hal itu, Galda (1993: 21) menyatakan bahwa membaca dalam konsep
transaksional adalah kegiatan transaksi dengan teks untuk membentuk makna. Pembaca
membawa makna ke dalam teks untuk membentuk makna dari teks. Definisi di atas didasarkan
pada keyakinan bahwa pada saat membaca, berlangsung intersaksi resiprokal antara pembaca
dan teks. Membaca merupakan proses dinamis antara pembaca yang terlibat secara aktif
dengan teks untuk membentuk makna. Hasil akhirnya boleh jadi berupa informasi, pengetahuan,
dan kesenangan, sebagaimana yang direkonstruksikan dan dihayati, serta ditentukan oleh
pembaca. Dengan demikian, begitu berinteraksi dengan teks, pembaca membangun makna
sesuai dengan responsinya atas sistem tanda dalam teks. Responsi itu diarahkan oleh latar
pengalaman yang unik yang berperan membentuk makna individual ketika mereka terlibat
dengan teks. Lewat pemahaman makna teks inilah nilai karakter peduli mampu menjadi latar
pengalaman unik siswa.
Oleh karena itu, diperlukan model pembelajaran membaca yang dapat mewujudkan
aktivitas membaca dalam fenomena interaksi-dinamis yang sekaligus berfungsi
mengoptimalkan pembelajaran membaca cerita anak di SD yang berimplikasi pada
berkembangnya karakter peduli siswa. Salah satu alternatif model pembelajaran yang bisa
memenuhi harapan tersebut adalah pembelajaran membaca cerita anak dengan model
konferensi. Untuk mewujudkan model pembelajaran yang dimaksud perlu dilakukan penelitian
terhadap strategi pembelajaran membaca cerita anak di SD.
Secara teoretis pembelajaran membaca cerita anak dengan model konferensi di SD
dapat dimulai dari kelas-kelas awal. Tetapi penerapan model konferensi belum dilaksanakan
di SD Negeri Antasan Besar 7, maka penelitian ini diarahkan dengan memulainya dari kelas
tinggi. Semula dipilih kelas 6 tetapi karena siswa kelas 6 dipersiapkan untuk mengikuti UAS,
maka pilihan jatuh pada kelas 5. Berdasarkan pembelajaran membaca cerita anak di atas
maka pengembangan karater peduli bisa diintegrasikan melalui pembelajaran membaca
tersebut. Dalam teori pendidikan usaha sadar seorang guru untuk mengembangkan karakter
peduli melalui proses belajar mengajar yang mengembangkan nilai-nilai.
1.2 Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang penelitian yang dikemukakan di atas, maka dikemukakan
permasalahan utama pada penelitian ini yaitu: bagaimanakah pengembangan pembinaan
karakter peduli melalui pembelajaran membaca cerita anak? Berdasarkan hasil pengamatan
pada kegiatan belajar mengajar dan wawancara dengan guru dan siswa, maka dirumuskan
pertanyaan penelitian sebagai berikut:
Akhmad, HB
53
1. Bagaimana Rumusan Visi dan Misi serta Program Kerja SD Negeri Antasan Besar
7 Banjarmasin dalam mengembangkan Karakter Peduli melalui pembelajaran di
sekolah?
2. Bagaimana aktivitas pembelajaran membaca cerita anak diarahkan pada
kemampuan merespons teks cerita anak untuk membina karakter peduli?
3. Bagaimana perpaduan empat aspek keterampilan berbahasa, menyimak, berbicara,
membaca, menulis dalam pembelajaran membaca cerita anak dapat membina
karakter peduli?
4. Bagaimana melibatkan siswa secara aktif dalam pemilihan bahan bacaan anak
untuk mengembangkan dan membina karakter peduli?
5. Bagaimana terjalinnya interaksi yang intensif antara guru-siswa pada pembelajaran
membaca anak dalam model konferensi dapat membina karakter anak?
Akhmad, HB
54
berprilaku tidak jujur, kejam dan rakus maka orang tersebut memanifestasikan karakter jelek.
Sebaliknya apabila seseorang berprilaku jujur dan suka menolong maka orang tersebut
memanifestasikan karakter mulia. Kedua, istilah karakter erat kaitannya dengan “personality”.
Seseorang disebut “orang yang berkarakter” (a person of character).
2.3 Pembelajaran Membaca Sastra
Allen (1985:39) mengatakan bahwa salah satu tujuan terpenting pendidikan di SD adalah
menjamin anak untuk menjadi percaya diri, berkompetensi, dan mampu membaca beragam
teks. Rasa percaya diri dapat terwujud jika guru-siswa melakukan aktivitas berikut: Guru
menunjukkan rasa percaya terhadap kemampuan siswa sehingga siswa senang belajar
membaca. Guru juga mengetahui tahap perkembangan setiap siswa sehingga siswa selalu ada
pada tingkat yang realistik dalam belajar membaca. Selain itu guru memberi informasi kepada
siswa tentang bagaimana cara mengembangkan diri dengan cara yang positif sehingga siswa
merasa bahwa mereka akan berhasil dalam belajar. Guru juga mendorong siswa untuk aktif dan
mandiri dalam mengembangkan strategi belajar, sedangkan siswa akan belajar secara aktif dan
mandiri jika bahan bacaan cukup tersedia dan relevan dengan budaya dan pengalaman siswa.
Sastra menurut Lukens (2003: 9) menawarkan dua hal utama, yaitu kesenangan dan
pemahaman. Sastra hadir kepada pembaca sebagai hiburan yang menyenangkan. Gambaran
kehidupan yang ada dalam satra dapat memberikan pemahaman kepada pembaca tentang
berbagai persoalan hidup. Melalui sastra, anak dapat memperoleh, mempelajari dan
menanggapi persoalan hidup dan kehidupan. Melalui sastra pula, anak mendapatkan
pengalaman cara mengatasi berbagai persoalan yang ada.
2.4 Teori Perkembangan Siswa SD
Perkembangan kognitif siswa kelas 5 SD dapat diamati secara lebih terinci pada
tahap-tahap perkembangan kognitif yang dijabarkan oleh Piaget (1951: 123) yang meliputi
periode sensori motor, praoperasional, operasi konkrit, dan operasi formal. Berikut ini uraian
setiap tahap yang dimaksud.
1.Periode sensorimotor (Usia 0-2 tahun):
a. aktivitas refleks,
b. penyediaan sendiri,
c. koordinasi dan penggapaian,
d. perilaku terarah,
e. eksperimentasi, dan
f. pemecahan masalah
2. Periode Praoperasional (Usia 2-7 Tahun).
Perbedaan utama di antara periode sensorimotor dan praoperasional adalah
tingkat perkembangan dan penggunaan citra internal dan simbol-simbol.
Perkembangan pikiran sebagaimana yang tersajikan dengan kemampuan
permanen objek juga menjadi ciri periode ini.
Akhmad, HB
55
Periode ini disebut praoperasional karena anak belum mencapai operasi
logis. Periode ini meliputi tahap prakonseptual dan tahap intuitif. Tahap
prakonseptual ditandai dengan kemampuan menyimbolkan lingkungan dan
menginteranalisasi objek dan peristiwa. Konsep yang dibangun anak
masih belum matang (prakonsep). Tahap intuitif ditandai dengan keyakinan
anak yang secara umum didasarkan pada “rasa” benar, bukan pada pikiran
logis atau rasional.
3. Periode Operasi Konkrit (Usia 7-11 Tahun)
Periode operasi konkrit ditandai dengan kemampuan menggunakan kaidah-
kaidah logika untuk memecahkan masalah. Selama periode ini proses berpikir
anak menjadi lebih kompeten, lebih fleksibel, dan lebih mampu dalam
memahami dan menerapkan bentuk-bentuk ukuran, kebalikan, urutan
kemampuan, urutan klasifikasi, dan penggunaan angka.
4. Periode Operasi Formal (Usia 11 Tahun +)
Periode operasi formal ditandai dengan kemampuan menempatkan hal-hal
yang kongkrit ke dalam gagasan-gagasan abstrak atau yang bersifat hipotetik.
Anak mampu memahami konsep keadilan, kepribadian, dan kebenaran.
Akhmad, HB
56
Selain itu, sastra memiliki keunikan yang mampu memikat anak sebagaimana
dikatakan oleh Galda (1993) bahwa sastra berisi beragam struktur yang berguna untuk
mengisahkan cerita, mengekspresikan emosi, poetik, dan menyajikan informasi. Contoh
beragam sastra bermutu akan memahamkan anak terhadap teks-teks baru melalui skema
organisasional. Mereka akan memiliki keyakinan yang baik tentang struktur teks yang membantu
anak memahami teks dan mengorganisasikan tulisan secara efektif.
Berdasarkan data observasi diperoleh temuan tentang gambaran pengetahuan dan
pemahaman pada siklus I, II dan III dari setiap siswa yang diteliti tentang nilai-nilai yang terkandung
di dalam judul dan ilustrasi gambar sampul buku cerita terkait karakter peduli. Siswa yang pada
siklus I dan II memiliki pengetahuan dan pemahaman yang telah mulai berkembang tentang apa
itu nilai dan bagaimana seharusnya menunjukkan sikap peduli, setelah mereka melihat dan
mengamati judul dan ilustrasi gambar sampul buku cerita dan menanggapinya dalam kegiatan
model konfrensi pada siklus III menunjukkan penguasaan pengetahuan dan pemahaman yang
dibuktikan dengan sudah bisa menunjukkan bentuk-bentuk sikap karakter peduli yang tersirat
dalam teks cerita ketika diminta menyebutkannya oleh guru. Dari temuan tersebut tergambar
adanya penguasaan perubahan pengetahuan siswa tentang perilaku yang menunjukkan karakter
peduli yang tersirat dalam judul dan ilustrasi gambar sampul buku cerita.
Hasil belajar pada tahap pramembaca adalah berkembangnya skemata siswa terhadap
membaca cerita anak dan berkembangnya minat membaca cerita anak. Berkembangnya
skemata siswa terhadap buku yang ditandai dengan membuat prediksi, menceritakan gambar,
menyebutkan judul dan pengarangnya yang secara konstan sangat tinggi pada semua siswa
yang diteliti menunjukkan bahwa kegiatan pendahuluan yang dilakukan secara tepat dapat
mengembangkan skemata siswa terhadap buku yang sudah dimiliki siswa. Skemata siswa
tentang buku tidak akan berkembang jika guru tidak aktif menggali skemata siswa dan
memotivasi siswa untuk membaca buku agar skemata siswa berkembang. Temuan tersebut
membuktikan bahwa peran guru sebagai pembangkit minat atau motivasi (motivator)
sebagaimana yang dikatakan oleh Gagne (1977) sangat penting. Minat atau motivasi siswa
akan menurun jika guru tidak berupaya membangkitkan atau menguatkannya. Dalam studi
pendahuluan, ternyata terlihat beberapa orang siswa ditanya tentang pengalaman membaca
buku, mereka menyatakan suka pada cerita, tetapi jarang membaca buku cerita.
Berkembangnya skemata siswa terhadap buku yang tidak diimbangi dengan
berkembangnya minat baca buku semua siswa yang diteliti, dan dapat dipahami karena semua
jenis hasil belajar tersebut berlainan, walaupun saling berhubungan. Skemata dapat tumbuh dan
berkembang dalam jangka pendek. Begitu kegiatan membaca selesai, skemata siswa berkembang.
Adapun berkembangnya minat baca buku merupakan hasil belajar yang memerlukan
proses panjang. Kegemaran membaca siswa (minat baca) dapat tumbuh dan berkembang
jika ditopang oleh pajangan bacaan-bacaan yang merangsang minat anak untuk membacanya.
Penyediaan bacaan-bacaan yan sesuai dengan usia dan kemampuan siswa baik yang diberikan
oleh guru maupun oleh orang tua turut berpengaruh terhadap tumbuh dan berkembangnya
minat baca. Dalam kaitan ini terbukti bahwa peran guru sebagai penyedia kemudahan atau
fasilitator berpengaruh efektif dalam perkembangan minat baca siswa.
Akhmad, HB
57
Pengaruh tersebut tampak pada siswa terteliti kelompok tinggi, Yuli dan Sulaiman.
Kedua siswa tersebut memiliki tingkat minat baca yang berbeda. Yuli sangat gemar membaca,
sedangkan Sulaiman hanya membaca jika ditugasi guru. Sulaiman memiliki tingkat baca yang
cukup. Menurut keterangan Sulaiman dia tidak terlalu suka membaca, sekalipun dia cukup
dalam satu hari membaca untuk menyelesaikan satu buku, tetapi Sulaiman memerlukan waktu
dua hari untuk membaca. Dia membaca hanya ditugasi oleh guru.
Menurut guru kelasnya, Yuli memang gemar membaca. Kegemaran tersebut
tampaknya dipengaruhi oleh tersedianya bahan bacaan bagi Yuli di rumah. Berdasarkan hasil
wawancara dengan Yuli, diperoleh informasi bahwa sejak usia taman kanak-kanak (TK), orang
tua Yuli sudah berlangganan majalah Bobo, Anak Saleh, Ananda, Donald Bebek selain koran.
Setelah di kelas V SD, orang tua Yuli tetap berlangganan 5 majalah yaitu “Bobo, Anak Saleh,
Ananda, Donal Bebek” dan koran Banjarmasin post.
Demikan pula halnya dengan Benny, siswa terteliti kelompok sedang. Benny memiliki
tingkat kegemaran yang tinggi. Kegemaran membaca yang dimiliki benny tampaknya terbentuk
karena ditunjang faktor tersedianya bacaan di rumah. Orang tua Benny berlangganan koran.
Tingginya minat baca pada ketiga siswa tersebut, sedangkan minat baca tiga siswa yang
lain rendah, membuktikan bahwa perbedaan dalam memberikan perancah (skaffolding) oleh orang
tua dirumah berpengaruh terhadap perkembangan minat baca siswa. Pemberian perancah oleh
orang tua yang berupa penyediaan buku-buku bacaan (buku-buku cerita anak) secara terus menerus
dapat menumbuhkan dan mengembangkan minat baca siswa terhadap buku bacaan.
Kegiatan memilih dan meminjam buku yang berlainan yang dilakukan siswa secara
individu dimungkinkan karena tersedianya buku dalam jumlah yang cukup. Usaha guru
menyiapkan sejumlah buku di kelas memudahkan siswa dalam memilih buku yang sesuai
dengan keinginan mereka. Pemberian kesempatan memilih sendiri bacaan oleh siswa sejalan
dengan karakteristik pandangan “whole language” yang tersirat dalam pendekatan terpadu
sebagaimana yang disarankan dalam KTSP, yakni anak-anak mempunyai pilihan dalam
menyeleksi materi dan aktivitas.
Pemberian kesempatan memilih buku bacaan menyebabkan siswa senang
melakukan kegiatan membaca. Akan tetapi, untuk menyelesaikan membaca satu buku
diperlukan waktu yang panjang. Oleh karena itu, guru memberi kesempatan bagi siswa untuk
membawa pulang buku yang belum selesai membaca. Kegiatan membaca di rumah dapat
terlaksana jika siswa terbiasa membaca, sedangkan bagi siswa yang tidak terbiasa membaca,
kegiatan tersebut sulit terlaksana. Untuk mengatasi hal tersebut, guru memperpanjang waktu
membaca di kelas dengan pertemuan-pertemuan berikutnya.
3.2 Perpaduan Empat Aspek Keterampilan Berbahasa, Menyimak, Berbicara, Membaca,
Menulis dalam Pembelajaran Membaca Cerita Anak Dapat Membina Karakter Peduli
Temuan Pembinaan Karakter Peduli melalui strategi pembelajaran membaca cerita
anak dengan model konferensi pada tahap membaca yang dapat mengembangkan
kemampuan siswa dalam memahami karakter peduli melalui membaca cerita anak ditandai
dengn aktivitas-aktivitas guru (1) memberi kesempatan pada siswa untuk membaca buku dalam
Akhmad, HB
58
hati, (2) berpartisipasi dalam membaca buku, (3) memantau kegiatan membaca siswa, dan
(4) mengingatkan siswa untuk menyiapkan dan mengisi jurnal membaca.
Kegiatan membaca buku secara individual yang cukup efektif oleh siswa
dimungkinkan, karena guru memainkan perannya sebagai fasilitator, partisipasi, dan memantau
kegiatan belajar siswa. Selain itu guru memberi kebebasan memilih buku. Dalam kaitan ini,
guru mengembangkan lingkungan belajar yang dapat mendorong dan mengarahkan siswa
untuk belajar sendiri dapat terwujudkan dalam pembelajaran pembinaan karakter peduli melalui
membaca cerita anak.
Hasil pembelajaran membaca cerita anak dengan model konferensi pada tahap
membaca adalah berkembangnya kemampuan siswa dalam memahami isi buku yang ditandai
dengan menceritakan isi, mengidentifikasi tokoh utama, menggambarkan karakter tokoh,
memaparkan peristiwa penting, dan menceritakan latar. Kualifikasi tingkat kemampuan
memahami isi buku pada ketiga kelompok terteliti cukup tinggi. Tingkat kemampuan yang
dicapai pada kemampuan memahami isi buku sama dengan tingkat kemampuan merespon
isi buku (fokus dalam pascamembaca) pada setiap siswa. Jika kualifikasi kemampuan seorang
siswa dalam memahami tinggi, maka kemampuan siswa tersebut dalam merespon juga tinggi.
Temuan tersebut dapat dipahami dengan melihat keterkaitan antara kemampuan
memahami dan kemampuan merespon. Misalnya, dalam memahami karakter tokoh utama,
siswa berusaha mengidentifikasi siapa yang tergolong tokoh utama berikut karakter tokoh yang
dimaksud. Hasil identifikasi tersebut direspon oleh siswa secara subjektif. Respon siswa yang
berisi pernyataan rasa suka atau tidak suka terhadap tokoh tertentu perlu didukung oleh hasil
indentifikasi pada proses memahami. Dengan demikian kedua kemampuan tersebut dapat
dikembangkan secara bersamaan.
Dengan berkembangnya kemampuan memahami, berkembang pula kecerdasan
intelektual, sedangkan dengan berkembangnya kemampuan merespon, berkembang pula
kecerdasan emosional siswa. Jika kedua kecerdasan tersebut dikembangkan bersama-sama
akan membuat siswa memiliki keterampilan yang komprehensif dalam memecahkan masalah,
serta mengembangkan karakter peduli dalam kehidupan sehari-hari. Dimungkinkan mereka
akan lebih intelektual, mereka juga cerdas dalam mengatur diri. Misalnya, mereka menjadi
lebih tekun dan tidak mudah berputus asa serta peduli sesama dibandingkan siswa yang
hanya memiliki kecerdasan intelektual. Jadi, temuan penelitian di atas sejalan dengan pendapat
Elias (1989) yang mengklasifikasikan teori pendidikan karakter yang berkembang menjadi
tiga, yakni: pendekatan kognitif, pendekatan afektif, dan pendekatan perilaku.
Namun, temuan lain yang dapat dikaitkan dengan kemampuan memahami adalah
minat baca. Temuan menunjukkan bahwa kemampuan memahami isi buku yang tinggi belum
tentu memiliki minat baca yang tinggi pula. Temuan tersebut membuktikan kebenaran temuan
Martin (Hasanah, 1986) yang menujukkan bahwa kemampuan membaca pemahaman tidak
berkolerasi langsung dengan minat baca.
Akhmad, HB
59
3.3 Pelibatan Siswa Secara Aktif dalam Pemilihan Bahan Bacaan Anak Dapat
Mengembangkan dan Membina Karakter Peduli
Temuan Pembinaan Karakter Peduli melalui strategi pembelajaran membaca cerita
anak dengan model konferensi pada tahap pascamembaca yang dapat mengembangkan
kemampuan siswa dalam merespon buku dan daya sosialisasi siswa ditandai dengan aktivitas-
aktivitas guru: (1) menyiapkan jadwal konferensi dan buku catatan konferensi, (2) memanggil
siswa untuk berkonferensi sesuai jadwal secara fleksibel, (3) melayani berkonferensi dengan
berdiskusi dan bertanya jawab tentang respon siswa terhadap isi cerita, gambar dan tokoh
serta karakter tokoh dalam buku, (4) memberi kesempatan kepada siswa untuk membaca
keras buku yang disukainya, merencanakan kegiatan membaca lanjutan, (5) mencatat hasil
konferensi, kelebihan dan kelemahan siswa, serta asesmen umum yang berhubungan dengan
karakter peduli.
Kegiatan menjadwalkan siswa yang akan berkonferensi tidak menutup kemungkinan
bagi guru untuk melayani siswa yang ingin berkonferensi di luar jadwal. Penjadwalan siswa
untuk berkonferensi bertujuan agar guru secara teratur mengadakan kontak dengan siswa
untuk membantu siswa melalui pengarahan terhadap siswa selanjutnya, maka kontak guru-
siswa akan lebih sering dilakukan. Sehingga pemantauan terhadap prilaku karakter peduli
bagi siswa terteliti, serta siswa pada umumnya didapat dipantau secara berkesinambungan.
Hasil pembelajaran membaca cerita anak dengan model konferensi pada tahap
pascamembaca adalah berkembangnya kemampuan siswa merespon buku yang ditandai
dengan menyatakan kesan dan sikap serta empati terhadap tokoh utama, menghubungkan isi
buku dengan pengalaman diri, dan pembinaan karakter peduli, dapat diterapkan melalui
pernyataan kesannya terhadap ilustrasi cerita. Selain itu berkembang pula daya sosialisasi
yang ditandai dengan siswa datang ke konferensi membawa jurnal membaca, aktif berbicara
dalam konferensi, asyik menyimak orang lain berbicara, dan dapat menjawab pertanyaan
dalam konferensi.
Kualifikasi daya sosialisasi pada siswa yang diteliti rata-rata sangat tinggi. Hal tersebut
menunjukkan, bahwa pada dasarnya siswa senang bersosialisasi sejak usia 3 tahun mereka
sudah dapat berinteraksi secara emosional dengan orang lain. Potensi tersebut dapat
berkembang jika lingkungan memungkinkan terjadinya proses sosialisasi yang intensif. Peran
guru di sini sebagai pencipta lingkungan (fasilitator) yang kondusif, motivator, dan konseler
sehingga memungkinkan berlangsungnya proses sosialisasi melalui kegiatan berkonferensi
secara individual antara guru dan siswa berpengaruh positif terhadap perkembangan karakter
peduli serta daya sosialisasi siswa.
Pemanduan kegiatan membaca dengan berbicara dalam konferensi menyebabkan
siswa lebih memahami bahwa kegiatan membaca buku yang mereka lakukan bermakna.
Mereka beranggapan bahwa hasil membaca akan didiskusikan dan didengar atau
dikomunikasikan dengan orang lain. Dengan demikian, akan mendorong siswa untuk
meningkatkan kemampuan membacanya. Jika dikaitkan dengan fungsi bahasa sebagai alat
komunikasi, khususnya fungsi instrumental dan fungsi representasional, maka siswa akan
Akhmad, HB
60
menyadari bahwa kemampuan membaca penting untuk dimiliki. Dalam fungsinya sebagai
instrumen, kegiatan membaca dapat digunakan untuk memperoleh sesuatu dari buku,
sedangkan dalam fungsinya sebagai alat representasi. Hasil kegiatan membaca dapat
digunakan untuk mengkomunikasikan informasi yang diperoleh dari buku cerita mengenai
pembinaan pengembangan karakter peduli dalam kehidupan siswa.
3.4 Interaksi Intensif Antara Guru-Siswa pada Pembelajaran Membaca Anak
melalui Model Konferensi Dapat Membina Karakter Anak
Siswa kelas V SD yang diteliti memiliki karakteristik yang memungkinkan diterapkannya
model konferensi, yakni memiliki skemata tentang buku cerita anak, senang dengan buku
cerita, dan memiliki potensi daya sosialisasi dalam pengembangan karakter peduli. Selain itu,
SD yang diteliti juga memiliki kemudahan yang mendukung penerapan pembelajaran membaca
cerita anak dengan model tersebut. Kemudahan yang dimaksud adalah tersedianya buku
dalam jumlah yang cukup banyak di perpustakaan sekolah, dan dukungan yang diberikan
Kepala Sekolah dalam pemanfaatan buku di perpustakaan.
Penerapan model konferensi dalam pembelajaran membaca cerita anak sejalan
dengan Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan. Model konferensi yang berfokus pada
pengembangan karakter peduli kemampuan merespon isi buku berkaitan dengan tujuan
pembelajaran membaca cerita anak di kelas V, yakni mampu menyerap isi cerita serta dapat
memberikan tanggapan. Model tersebut juga merupakan perwujudan dari penggunaan sumber
belajar yang berupa buku-buku di perpustakaan.
Bila dihubungkan dengan pandangan “whole language” yang tersirat dalam KTSP,
model konferensi dapat memadukan pembelajaran membaca dengan pembelajaran
menyimak, berbicara, dan menulis. Dengan demikian rambu-rambu yang mengisyaratkan
digunakan pada pendekatan terpadu dalam pembelajaran bahasa dapat diwujudkan.
Strategi pembelajaran membaca cerita anak dengan model konferensi
memungkinkan siswa mengikuti kegiatan pembelajaran membaca sesuai dengan kondisi
belajar yang dinyatakan oleh Cambourne (Hasanah, 1994:24). Dalam model konferensi, siswa
dikondisikan untuk “terbenam” atau “tercelup” dalam kegiatan membaca cerita anak,
menunjukkan kemampuan membaca, berharap bahwa kegiatan membaca yang dilakukannya
berguna, untuk mengembangkan karakter peduli, dan bertanggung jawab dengan kegiatan
membaca buku secara individual, berkesempatan menggunakan hasil membaca,
memperkirakan perkembangan kemampuan membacanya, dan mendapat respon langsung
terhadap kegiatan dan kemampuan membacanya.
Temuan model tersebut dapat ditransfer ke kelas lain (kelas 4 dan 6) di SD terteliti dan
di SD lain. Transfer ke kelas 4 dimungkinkan dengan syarat siswa kelas 4 sudah lancar
membaca, sedangkan transfer ke SD lain dimungkinkan jika karakteristik siswa sama dengan
siswa di kelas 5 SD terteliti. Selain itu, disyaratkan pula SD tersebut memiliki sarana pendukung
berupa tersedianya buku bacaan dalam jumlah yang cukup banyak dan Kepala Sekolah SD
tersebut juga mendukung pemanfaatan buku yang ada diperpustakan dibawa ke kelas untuk
kepentingan pembelajaran.
Akhmad, HB
61
IV. SIMPULAN
Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilaksanakan di SD Negeri Antasan Besar 7
Banjarmasin diperoleh kesimpulan sebagai berikut:
1. Dalam rangka memberikan gambaran yang lebih operasional tentang arah
pengembangan kelembagaan Visi dan Misi yang sudah ditetapkan maka melalui
studi yang dilakukan diketahui serangkaian tujuan yang dikemukakan pada saat
wawancara dengan Kepala Sekolah, Guru, Komite Sekolah dan siswa sebagai
berikut: (1) menjabarkan visi dan misi Sekolah, (2) mengembangkan potensi yang
dimiliki sekolah, (3) menyusun strategi yang tepat untuk merealisasikan visi dan
misi sekolah, (4) menetapkan tahapan pelaksanaan kegiatan dari setiap strategi,
(5) menghimpun dukungan dan kontribusi dari pihak terkait, serta mengembangkan
nilai-nilai karakter dan meningkatkan pendayagunaan potensi sumber daya manusia
melalui program yang nyata baik jangka pendek maupun jangka panjang.
2. Pengembangan karakter peduli melalui strategi pembelajaran membaca cerita
anak dengan model konferensi pada tahap pramembaca yang dapat
mengembangkan skemata dan minat baca siswa, ditandai aktivitas guru: (1)
menyiapkan sejumlah buku, (2) mengajukan pertanyaan pengarahan untuk
membangkitkan pengetahuan dan pengalaman serta pengembangan karakter
peduli, (3) memberi model-model pertanyaan untuk memahami dan merespon
buku serta mengembangkan karakter peduli yang ada dalam buku cerita tersebut.
Siswa yang pada siklus I dan II memiliki pengetahuan dan pemahaman yang telah
mulai berkembang tentang apa itu nilai dan bagaimana seharusnya menunjukkan
sikap peduli, setelah mereka melihat dan mengamati judul dan ilustrasi gambar
sampul buku cerita dan menanggapinya dalam kegiatan model konferensi pada
siklus III menunjukkan penguasaan pengetahuan dan pemahaman yang dibuktikan
dengan sudah bisa menunjukkan bentuk-bentuk sikap karakter peduli yang tersirat
dalam teks cerita ketika diminta menyebutkannya oleh guru. Dari temuan tersebut
tergambar adanya penguasaan perubahan pengetahuan siswa tentang perilaku
yang menunjukkan karakter peduli yang tersirat dalam judul dan ilustrasi gambar
sampul buku cerita.
3. Strategi pembelajaran membaca cerita anak dengan model konferensi pada tahap
membaca yang dapat mengembangkan kemampuan siswa dalam memahami
buku cerita anak ditandai peran guru sebagai fasilitator, pemantau, dan partisipasi
dalam kegiatan belajar dengan melakukan aktivitas (1) memberi kesempatan
kepada siswa untuk membaca buku dalam hati, (2) berpartisipasi dalam membaca,
(3) memantau kegiatan membaca siswa, dan (4) mengingatkan siswa untuk
menyiapkan dan mengisi jurnal membaca. Hasil belajar pada tahap membaca
adalah berkembangnya kemampuan siswa dalam memahami isi buku yang ditandai
dengan menceritakan isi mengidentifikasi tokoh utama, menggambarkan watak
tokoh, memaparkan peristiwa penting, dan menceritakan latar. Kualifikasi tingkat
Akhmad, HB
62
kemampuan memahami isi buku pada ketiga kelompok terteliti cukup tinggi.
Kemudian, berdasarkan data observasi diperoleh temuan tentang gambaran
pengetahuan dan pemahaman dari setiap siswa yang diteliti tentang nilai-nilai
yang tersurat di dalam buku cerita terkait karakter peduli. Setiap sampel siswa yang
sebelum dilaksanakan proses pembelajaran pada tahap membaca belum mampu
mengidentifikasi dan menuliskan kembali tentang apa itu nilai dan bagaimana
seharusnya menunjukkan sikap peduli, setelah mereka membaca buku cerita dan
menanggapinya dalam kegiatan model konferensi mulai menunjukkan peningkatan
kemampuan mengidentifikasi dan menuliskan kembali bentuk-bentuk sikap
karakter peduli yang tersurat dalam teks cerita ketika diminta menuliskannya dalam
jurnal membaca oleh guru. Dari temuan tersebut tergambar adanya penguasaan
kemampuan mengidentifikasi dan menuliskan kembali bentuk-bentuk sikap
karakter peduli yang tersurat buku cerita.
4. Strategi pembelajaran membaca cerita anak model konferensi pada tahap
pascamembaca yang dapat mengembangkan kemampuan siswa dalam merespon
buku cerita anak dan daya sosialisasi siswa ditandai peran guru sebagai motivator
yaitu (1) menyiapkan jadwal konferensi dan buku catatan konferensi, (2) memanggil
siswa untuk berkonferensi sesuai jadwal secara fleksibel, (3) melayani siswa yang
berkonferensi dengan berdiskusi dan bertanya jawab tentang respons siswa
terhadap isi cerita, gambar dan tokoh dalam buku, (4) memberi kesempatan kepada
siswa untuk membaca keras buku yang disukainya dan merencanakan kegiatan
membaca lanjutan guru, (5) menunjukkan perhatian terhadap siswa yang
berkonferensi dengan mengamati, menunjukkan reaksi positif, memotivasi siswa,
dan (6) mencatat hasil konferensi, kelebihan dan kelemahan siswa, serta asesmen
umum. Dalam konteks pencapaian nilai-nilai karakter peduli, siswa telah
menunjukkan keterampilan dan kemampuan tentang penerapan nilai-nilai karakter
peduli dalam aktivitas partisipasi dan sosialisasi siswa baik pada saat pembelajaran
di kelas maupun di lingkungan sekolah secara lebih luas dengan baik. Ini ditunjukkan
dari: (1) siswa melaksanakan kegiatan konferensi dengan penuh antusias, (2) siswa
semakin terbuka bersosialisasi dengan sesama teman dan guru secara individual,
(3) Siswa yang siap berkonferensi menunjukkan aktivitas berbicara dan menjawab
pertanyaan-pertanyaan dengan baik. Selain itu, pada perilaku siswa dalam aktivitas
yang lebih luas, misalnya pada setiap kegiatan kebersihan semua siswa aktif untuk
turun langsung melaksanakannya dengan penuh kerelaaan dan semangat, bahkan
dihari-hari biasa perilaku peduli lingkungan itu terus terjaga, apalagi dengan adanya
semboyan dan gerakan “LISA” yang berarti “lihat sampah, ambil” yang merupakan
salah satu program sekolah. Di samping itu, rasa kepedulian siswa secara sosial
juga tinggi, terbukti dari pengamatan bahwa siswa diantaranya terlibat aktif dalam
program sekolah untuk membantu sesama yang dikenal dengan nama “Bumbung
Amal” dimana setiap siswa secara sukarela menyisihkan uang sakunya untuk
didermakan setiap hari Jum’at untuk kepentingan membantu sesama rekan siswa
Akhmad, HB
63
yang memerlukan atau tertimpa kemalangan. Di sini, terlihat jelas siswa semakin
menunjukkan sikap-sikap yang mencerminkan perilaku yang berkarakter, terutama
karakter peduli.
5. Hasil belajar pada tahap pascamembaca adalah berkembangnya kemampuan
siswa merespon buku yang ditandai dengan menyatakan kesan dan sikap serta
empati terhadap tokoh utama, menghubungkan isi buku dengan pengalaman diri,
dan menyatakan kesannya terhadap ilustrasi yang ditandai dengan siswa datang
ke konferensi membawa jurnal membaca, aktif berbicara dalam konferensi, aktif
menyimak orang lain berbicara, dan dapat menjawab pertanyaan dalam konferensi.
Kualifikasi kemampuan merespon dan daya sosialisasi pada siswa terteliti rata-
rata tinggi. Strategi pembelajaran membaca cerita anak yang dapat digunakan
sebagai model pembelajaran di kelas SD terteliti meliputi ketiga tahap tersebut
yakni tahap: (a) pramembaca: aktivitas pendahuluan, (b) membaca: membaca
individual, dan (c) pascamembaca: berkonferensi serta (d) dapat mengembangkan
karakter peduli dalam tingkah laku dan perbuatan, terutama siswa terteliti.
DAFTAR PUSTAKA
Abidin, D.Z. (2008). Al-Qur’an For Life Excelence: Tips-tips Cemerlang dari Al-Qur’an. Jakarta.
PT Mizan Publika.
Agustian AG. (2009). Bangkit dengan 7 Budi Utama. Jakarta. PT Arga Publishing.
Al-Hasyimi, A.M. (2006). Kepribadian Seorang Muslim. Riyadh: International Islamic Publishing
House (IIPH).
Alwasilah, A.C. 2008. Pokoknya Kualitatif. Jakarta: Pustaka Jaya.
Alwasilah Chaedar A. 2010. Pokoknya Action Research, Bandung: Kiblat.
Allen. D. Joan. 1985. Reading on. Melbourne: The Education Departement of Victoria.
Aminuddin. 1995. Pemahaman dan Penikmatan Bacaan Sastra Bagi Anak Usia Sekolah Dasar.
Malang: IKIP Malang.
Amirin Tatang M. Menyusun Rencana Penelitian. PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta.
Amril,M. 2005. Etika dan Pendidikan.Yogyakarta. Aditya Media, dan Pekanbaru: LSFK2P.
Bertens, K. 1994. Etika. Jakarta: Gramedia Pustaka Umum.
Borba, M. 2001. Building Moral Intelligence (The Seven Essensial Virtues That Teach Kids to Do
the Right Thing. Alih bahasa Lina Jusuf. 2008. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.
Budimansyah, D. 2010. Penguatan Pendidikan Kewarganegaraan Untuk Membangun Karakter
Bangsa. Bandung: Widya Aksara Press.
Dean B.L. 2000. Islam, Demorcraey And Social Studies Education; A Quest for Possibilities. A
thesis submitted to the Faculty of Graduate Studies and Research In partial fulfilment
of the requirement for the degree of Doctor of Philosophy Alberta of University
Denzen.N.K.1998. Handbook of Qualitative Research. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Akhmad, HB
64
Denzin, N.K. & Lincoln, Y.S. 1997. Handbook of Qualitative Research. Penerjemah Dariyatno
dkk. 2009. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Departemen Pendidikan Nasional. 2006. Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan.
Jakarta: Depdiknas.
Departemen Pendidikan Nasional. 2007. Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Republik
Indonesia No.41 Tahun 2007 tentang Standar Proses untuk Satuan Pendidikan
Dasar dan Menengah. Tersedia: http://www.bnsp-indonesia.org/ standar-
proses.php.
Departemen Pendidikan Nasional .2008. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta. Jakarta
Press.
Djahiri, Kosasih. 1996. Menelusuri Dunia Afektif untuk Moral dan Pendidikan Nilai Moral.
Bandung: LPPMP.
Dworetzky, John P. 1990. Introduction to Child Development. St. Paul: West Publishing Company.
Echols, John M. Dan Hasan Shadily. 1995. Kamus Inggris Indonesia. Gramedia, Jakarta.
Elias, J.J. 1989. Moral Education: Secular and religious. Florida: Robert E. Krieger Publishing
Co., Inc.
Ellis, Arthur. 1989. Elemertary Language Arts. New Jersey: Prentice Hall.
Elmubarok, Z. 2007. Membumikan Pendidikan Nilai. Bandung. Alfabeta.
Enoch Jusuf. 1992. Dasar-dasar Perencanaan Pendidikan. Bumi Aksara, Jakarta.
Gaffar, F. 2004. Membangun Pendidikan Nasional untuk Meningkatkan Kualitas Masyarakat
Bangsa Indonesia, Bandung: UPI Press
Galda, Lee dkk. 1993. Language, Literacy and Child. Florida. Harcourt Brace Jovanovich College
Publisher.
Gagne, R.M. 1977. The Condition of Learning. Holt, Rinehart and Winston, New York.
Hakam, A.K. 2000. Pendidikan Nilai. Bandung. MKDU Press.
Hasan dkk. 2010. Pengembangan Pendidikan Budaya dan Karakter Bangsa (Bahan Pelatihan
Penguatan Metodologi Pembelajaran Berdasarkan Nilai-nilai Budaya untuk Membentuk
Daya Saing Bangsa dan Karakter Bangsa). Jakarta. BPPPK Kemendiknas.
Hasanah. 1998. Strategi Pembelajaran Membaca Prosa Fiksi dengan Model Konferensi, PBSI
IKIP Malang.
Hayat. B., dkk. 2010. Benchmark Internasional. Mutu Pendidikan. Jakarta. PT. Bumi Aksara.
Holdawai, Don. 1980. Independence in Reading. Sidney: Ashton Scholastic.
Hornsby, David., dkk. 1986. Read on: A Conference Approach to Reading. Sidney: Horwitz
Grahame Books Pty. Ltd.
Huck, Charlotte. 1987. Children Literature in The Elementary School. Chicago: Rand McNally.
Hunt, Peter. 1995. Criticism, Theory and Childern’s. Cambridge, Massachusetts: Blackwell.
Akhmad, HB
65
Hurlock, B.E. 1998. Child Development (Perkembangan Anak). Alih Bahasa Tjandrasa dan
Zarkasih. Jakarta: Erlangga.
Kemendiknas. 2010. Bahan Pelatihan Penguatan Metode Pembelajaran Berdasarkan Nilai-
Nilai Budaya untuk Membentuk Daya Saing dan Karakter Bangsa. Puskur.
Izutsu, T. 1993. Konsep-Konsep Etika Religius dalam Qur’an (Ethico-Religious Concepts in the
Qur’an). Terjemahan Agus Fahri Husein. Yogyakarta: Tiara Wacana Yogya.
Joni, T. Raka. 1990. Pembentukan Nilai-Nilai Moral. Tantangan Bagi Pendidikan Dasar
Menyongsong Abad Informasi. Makalah disajikan dalam Seminar Nasional Pengajaran
Bahasa dan Sastra Indonesia IKIP Malang, Malang, 5 – 6 November 1990.
Kementerian Pendidikan Nasional. 2010. Bahan Pelatihan Penguatan Metodologi
Pembelajaran Berdasarkan Nilai-Nilai Budaya Untuk Membentuk Daya Saing Dan
Karakter Bangsa, Pusat Kurikulum. Jakarta.
Lickona, T. 1991. Educating for Character, New York: Bantam Books.
Lukens, Rebecca J. 2003. A Critical Handbook of Children’s Literature. New York: Longman.
Maleong Lexy J. 1988. Metodologi Penelitian Kualitatif. PT. Remaja Rosdakarya: Bandung.
Megawangi, Ratna. 2004. Pendidikan Karakter Solusi yang Tepat untuk Membangun Bangsa,
Jakarat: BPMIGAS.
Mulyana, R. 2004. Mengartikulasikan Pendidikan Nilai. Bandung: Alfabeta.
Musaba, Zulkifli. 2005. KTSP: Terampil Menulis dalam Bahasa Indonesia yang Benar. Penerbit
Sarjana Indonesia.
Norton, Donna E. dan Sandra Norton. 1994. Language Arts Activities for Children. New York:
MacMillan Publishing Company, Inc.
Nurgiantoro, Burhan. 2009. Teori Pengkajian Fiksi Gajah Mada Universiti Press Yogjakarta
Nurgiantoro, Burhan. 2010. Sastra Anak Pengantar Pemahaman Dunia Anak. Yogyakarta: Gajah
Mada Universiti Press.
Purwanto, N. 1995. Ilmu Pendidikan Teori dan Praktis. Bandung. PT Remaja Rosdakarya.
Purwo, Bambang Kaswanti. 1991. Pengajaran Bahasa Indonesia di Sekolah Dasar. Makalah
disajikan dalam Konfrensi Nasional ke Enam Masyarakat Linguistik Indonsia,
Semarang, 7 – 13 Juli.
Akhmad, HB
66
PENDIDIKAN KARAKTER DALAM PEMBELAJARAN BAHASA:
MEMBANGUN KARAKTER SISWA MELALUI DRAMA
Ali Harun dan Armin Fani
Universitas Negeri Malang
ABSTRAK
Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional dalam pasal 3
menyatakan bahwa “Pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan
membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan
kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia
yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu,
cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab.”
Dalam pasal tersebut terlihat jelas komitmen pemerintah tentang perlu adanya pendidikan
karakter pada semua lembaga pendidikan, namun pendidikan karakter itu sendiri harus
diajarkan secara terintegrasi dengan mata pelajaran yang telah ada. Sebagai contoh
pendidikan karakter harus diajarkan secara implisit dalam pengajaran bahasa. Pengintegrasian
pendidikan karakter dalam pembelajaran bahasa khususnya bahasa Inggris adalah
mengintegrasikan nilai-nilai karakter ke dalam kompetensi kebahasaan yang meliputi ranah
kognitif, afektif, dan psikomotorik. Kompetensi kebahasaan yang dicapai dari proses
pembelajaran bahasa Inggris adalah meliputi listening ‘keterampilan menyimak’, speaking
‘keterampilan bicara’, reading ‘keterampilan membaca’, dan writing ‘keterampilan menulis’.
Khusus untuk pengajaran speaking skill, ada banyak cara atau strategi untuk mengintegrasikan
pendidikan karakter kedalam pengajaran kompetensi tersebut diantaranya adalah debate,
role-play, drama, dan lain-lain. Paper ini bertujuan untuk menginformasikan bagaimana cara
membentuk karakter siswa melalui drama dan bagaimana cara penerapannya di kelas.
Berdasarkan penelitian dari Philips (1999) dan McCaslin (2000) menyatakan bahwa drama
bisa meningkatkan minat siswa, kepercayaan diri, tanggung jawab, kedisiplinan dan mengajak
siswa untuk berfikir kreatif.
Kata Kunci: pendidikan karakter, pembelajaran bahasa, integrasi, drama
I. PENDAHULUAN
Jika kita bercermin dengan peristiwa dan fenomena yang terjadi di masyarakat
sekarang ini banyak hal-hal yang memprihatinkan telah terjadi. Seperti halnya tawuran antar
II. PEMBAHASAN
Pendidikan karakter sudah menjadi bahan atau subjek investigasi filosofis dan fisikologi
sejak Aristoteles, tiga teori dari pendidikan karakter adalah an ethics of fear, and ethics of
shame, and an ethics of wisdom (Kraut, 2001). Pengertian pendidikan karakter menurut Pusat
Bahasa Depdiknas adalah bawaan hati, jiwa, kepribadian, budi pekerti, perilaku, personalitas,
sifat, tabiat, temperamen, watak.
Badan Penelitian dan Pengembangan, Pusat Kurikulum Kementerian Pendidikan
Nasional (2011: 10) telah merumuskan materi pendidikan karakter yang mencakup aspek-
aspek sebagai berikut:
DAFTAR PUSTAKA
Goodman, V. 1993. Simply Read: Helping Others Learn to Read. Canada: Reading Wings Inc.
Kraut, R. 2001. Aristotle’s ethics. In E. Zalta (Ed.), Stanford Encyclopedia of Philosophy. Stanford,
CA: The Metaphysics Research Lab, Stanford University. Retrieved April 2004, from
http://plato.stanford.edu/entries/aristotle-ethics/
Mardapi, D. 2011. Penilain Pendidikan Karakter. Dalam D. Zuchdi, Pendidikan Karakter dalam
Presfektif Teori dan Praktik . Yogyakarta: UNY Press.
Mulyasa, E. 2004. Implementasi Kurikulum 2004: Panduan Pembelajaran KBK. Bandung:
Remaja Rosdakarya.
Pranowo, D. J. 2013. Implementasi Pendidikan Karakter Kepedulian dan Kerja Sama pada
Mata Kuliah Keterampilan Berbicara Bahasa Prancis dengan Metode Bermain Peran.
Jurnal Pendidikan Karakter (III), 218-229.
Sumaryadi. 2011. Seni Drama dan Pendidikan Karakter. Seminar Nasional Jurusan Pendidikan
Sendratrasik Se-Indonesia. Yogyakarta: FBS UNY.
Suyanto. 2009. Urgensi Pendidikan Karakter. Jakarta: Direktorat Jenderal Manajemen
Pendidikan Dasar dan Menengah.
Triyono, S. 2012. Pengintegrasian Pendidikan Karakter dalam Pembelajaran Bahasa Jerman.
Jurnal Pendidikan Karakter (II), 269-279.
ABSTRAK
Sastra lisan adalah sastra yang hidup dan berkembang di daerah Gorontalo yang hampir-
hampir tidak tersentuh oleh para pendidik di sekolah. Justru dalam sastra lisan tersebut begitu
banyak hal yang dapat diambil manfaatnya terutama bagi generasi muda pada umumnya dan
peserta didik pada khususnya. Sastra lisan di Gorontalo sesuai dengan hasil penelitian, terdapat
lima belas ragam. Kelima belas ragam tersebut, antara lain: paantungi (semacam lohidu,
dendang rakyat yang diucapkan dalam bahasa Melayu), lohidu (dendang rakyat dalam bahasa
Gorontalo), paa’iya lo hungo lopoli (berbalas pantun), piilu (dongeng), tahuli (sejenis puisi
yang diucapkan oleh seorang raja yang sedang memerintah kepada raja yang lain yang baru
memangku jabatan), tahuda (nasihat kepada raja yang baru dinobatkan, tuja’i (puisi adat),
leningo (kata-kata arif atau petuah yang diucapkan oleh orang tua yang pandai dan bijaksana).
Sastra lisan ini masih dipertahankan hidupnya oleh masyarakat Gorontalo karena memiliki
fungsi dan nilai yang berhubungan dengan hidup dan kehidupan masyarakatnya. Nilai-nilai
tersebut dapat disebutkan antara lain: nilai moral, nilai sosial, nilai didik, nilai religius. Semua
nilai ini merupakan sarana dalam pembentukan karakter bagi peserta didik melalui
pembelajaran bahasa di sekolah. Menurut hemat penulis, masalah ini belum banyak yang
mengangkat ke permukaan untuk diperbincangkan. Tidak terlepas dari masalah yang
dikemukakan di atas, maka tujuan penulisan makalah ini setidaknya dapat mengungkap
bagaimana peran sastra lisan tersebut dapat memberi pencerahan terhadap tumbuhnya
karakter seseorang setelah membaca dan mempelajari sastra tersebut.
Kata-kata kunci: karakter, sastra lisan, pembelajaran bahasa Indonesia
I. PENDAHULUAN
Indonesia yang terdiri atas beribu pulau dengan berbagai ragam bahasa, agama,
suku, dan budaya memiliki banyak ragam sastra lisan. Sastra lisan itu sendiri pada hakikatnya
telah dikenal oleh suatu komunitas masyarakat tertentu jauh sebelum mereka mengenal
aksara atau tulisan. Dalam perkembangannya, setiap daerah memiliki sastra lisan dengan
bentuknya masing-masing yang penyebarannya dilakukan dengan cara lisan atau dari mulut
ke mulut.
Asna Ntelu
73
Oleh karena itu, sastra lisan biasanya merupakan produk budaya yang berisi antara
lain berupa: puisi rakyat, cerita rakyat, tarian rakyat, nyanyian rakyat. Bentuk-bentuk sastra lisan
ini terdapat di berbagai daerah antara lain: Jawa, Aceh, Batak, Bali, Gorontalo yang diungkapkan
dengan bahasa daerah masing-masing. Sastra lisan di Indonesia mempunyai cakupan yang
luas dan banyak, lebih kurang sama banyaknya dengan bahasa daerah. Teeuw (1982:9-10)
mengemukakan bahwa kekayaan sastra lisan dari berbagai suku bangsa perlu direkam dan
diselamatkan dalam bentuk tulisan, karena ternyata baik secara kuantitas maupun kualitas
sastra lisan itu luar biasa kayanya dan aneka ragamnya.
Di Gorontalo khususnya, bentuk-bentuk sastra lisan tersebut banyak baik dalam bentuk
puisi maupun prosa. Sastra lisan dalam bentuk puisi menurut hasil penelitian Kasim dkk (1990:
x) terdapat 15 ragam puisi. Beberapa bentuk sastra lisan tersebut, masih tumbuh dan hidup di
tengah masyarakat, walaupun sudah banyak pula terancam punah. Kepunahan itu akan terjadi
jika masyarakatnya tidak menggunakannya lagi dalam kehidupan sosialnya.
Oleh karena itu, menurut hemat penulis bentuk-bentuk sastra lisan yang terdapat di
berbagai daerah perlu dijaga kelestariannya. Upaya pelestarian ini sangat penting dilakukan,
karena (a) sastra lisan tersebut sebagian besar hanya tersimpan pada orang-orang tertentu, (b)
sastra lisan itu sendiri memiliki fungsi dan nilai-nilai kemanusiaan yang dapat diteladani oleh
masyarakat terutama para siswa dalam kehidupan sosialnya, (c) melestarikan sastra lisan
daerah berarti melestarikan bahasa dan budaya daerah.
Salah satu bentuk upaya pelestarian yang dapat dilakukan adalah dengan menggali nilai-
nilai luhur yang terdapat dalam sastra lisan tersebut dan mengimplementasikannya melalui proses
pembelajaran (bahasa Indonesia). Dalam penerapannya, sastra lisan dapat digunakan sebagai
media dan sumber bahan dalam pembelajaran. Apalagi dalam penerapan Kurikulum 2013, proses
pembelajarannya berbasis teks. Teks antara lain dapat diambil dari cerita-cerita rakyat.
Asna Ntelu
74
baik dari baate ‘pemangku adat’, budayawan, masyarakat (tukang cerita), Kepala kelurahan,
(b) mentranskripsi/menyalin kembali isi dari bentuk-bentuk sastra lisan yang diperoleh, (c)
menerjemahkannya ke dalam bahasa Indonesia, (d) menggunakannya sebagai sumber dalam
pembelajaran bahasa Indonesia.
Hal tersebut di atas penting sekali memperoleh perhatian terutama dari kalangan
guru karena sastra lisan merupakan salah satu bentuk karya sastra yang memiliki nilai-nilai
kemanusiaan yang sangat potensial dapat membangun karakter siswa. Pentingnya sastra
lisan mendapat perhatian karena (a) minat dan perhatian generasi muda (siswa) saat ini terhadap
budaya daerahnya makin berkurang, (b) generasi muda terutama para siswa sulit memahami
cerita atau naskah yang berbahasa daerah.
Bentuk-bentuk sastra lisan tersebut di atas, terdapat pula pada daerah-daerah yang lain.
Namun, perlu diingat bahwa sastra lisan yang dimiliki oleh daerah yang satu dengan daerah yang
lain pasti berbeda bergantung pada budaya masyarakat itu sendiri. Jangankan untuk daerah yang
berbeda, sastra lisan yang terdapat dalam satu daerah pun untuk satu cerita sangat mungkin
memiliki berbagai versi. Misalnya di Gorontalo, terdapat satu cerita rakyat yakni “Lahilote” tetapi
versinya banyak. Versi pertama mengatakan bahwa tugas berat yang diberikan oleh ayah bidadari
hanya ada dua hal yakni (a) Lahilote disuruh menjemur padi di atas tanah. Kalau tiba hujan, padi
itu harus dikumpul kembali sebutir-sebutir. Tugas kedua, Lahilote disuruh menebang pohon
raksasa dengan kapak yang tumpul. Akan tetapi versi kedua mengatakan bahwa di samping dua
tugas berat tersebut, masih ada tugas berat lain yang dipersyaratkan oleh ayah bidadari yakni: (a)
menumbuk atau mengupas padi agar menjadi beras tetapi tidak boleh ada yang patah-patah, (b)
mengambil air dengan keranjang dari sumur atau dari sungai, (c) menggali sumur dengan
linggis atau sekop, (d) mencabut pohon yang besar dan tidak boleh ada cabang yang patah, (e)
membawa pohon yang telah ditebang ke rumah bidadari tetapi tidak boleh ada daun, cabang,
dan rantingnya yang jatuh dan patah, (f) menentukan kamar tidur bidadari di antara tujuh kamar
yang sama bentuknya. Contoh ini menunjukkan bahwa setiap daerah memiliki sastra lisan dengan
bentuk atau ragamnya yang berbeda-beda.
Ada empat unsur komunikasi yang harus hadir dalam penyajian sastra lisan (Sudardi,
2002:2). Keempat unsur tersebut ialah: (a) artist (artis/ seniman) adalah orang yang menyajikan
sastra lisan baik tunggal maupun berkelompok yang penyajiannya dapat dilengkapi dengan
gerakan, iringan; (b) story identik dengan cerita/pesan yang disampaikan. Sumbernya dapat
berupa cerita turun-menurun atau cerita yang berkembang di masyarakat, cerita karangan,
dan sebagainya; (c) performance (wujud nyata sastra lisan) berupa pertunjukan. Pencerita
dapat mengubah volume suara, peragaan dengan tangannya, mengubah nada suara, membuat
perumpamaan; (d) audience adalah penonton atau pendengar yang harus ada atau dipenuhi
sehingga tersajikannya sastra lisan.
Membangun karakter sedini mungkin bagi siswa berarti membangun jati diri bangsa
dimasa sekarang dan masa yang akan datang. Oleh sebab itu, menjadi tanggung jawab semua
pihak baik (pemerintah, guru, masyarakat, orang tua) untuk membina para siswa sebagai
generasi penerus bangsa. Pada zaman dahulu, para orang tua tidak ketinggalan menceritakan
dongeng kepada anaknya ketika menjelang tidur. Akan tetapi, pada zaman modern ini kebiasaan
Asna Ntelu
75
tersebut telah tergantikan dengan teknologi canggih (televisi, radio, tape recorder) dan lain-
lain. Pada hal melalui cerita dongeng, anak-anak memperoleh berbagai pesan moral yang
diyakini dapat menyentuh batin anak dan dapat mengembangkan potensi moral anak. Hal ini
secara tidak langsung dapat membangun karakter positif pada anak.
Baedhowi (dalam Anas Ahmadi) mengungkapkan bahwa pendidikan karakter secara
universal, antara lain (1) kedamaian (peace), (2) menghargai (respect), (3) kerja sama
(cooperation), (4) kebebasan (freedom), (5) kebahagiaan (happines), (6) jujur (honesty), (7)
kerendahan hati (huminity), (8) kasih sayang (love), (9) tanggung jawab (responsibility), dan
(10) kesederhanaan (simplicity), (11) toleransi (tolerance), dan (12) persatuan (unity) (http://
www.adjisaka.com yang diakses tanggal 15 Mei 2014). Pendidikan karakter ini banyak dijumpai
pula pada bentuk-bentuk sastra lisan Gorontalo. Jenis karakter dimaksud antara lain dapat
diuraikan berikut ini.
a. Lohidu (nyanyian rakyat)
Pendidikan karakter dapat dilihat pada salah satu bentuk sastra lisan “Lohidu” (nyanyian
rakyat). Lohidu adalah salah satu ragam puisi Gorontalo yang berbentuk nyanyian (Kasim
dkk.1990:199).
Contoh:
Lulutamu boli lulutamu (hapuskan dan hapuskanlah)
Woli maama ito o dusa (kepada ibu kita berdosa)
Wonu diila oluluta (bila tidak terhapus)
Odelowanto ode huta (akan terbawa ke liang kubur)
Bait ini merepresentasikan bahwa setiap anak manusia mengakui mempunyai dosa
terutama kepada orang tua (ibu). Oleh sebab itu, patutlah bagi setiap orang secara rendah hati
untuk memohon maaf atas segala dosa pada orang tua. Setiap orang haruslah senantiasa
mengabdi kepada orang tua terutama ibu, karena ibu yang mengandung, melahirkan, dan
membesarkan kita. Pendidikan karakter yang muncul dalam sastra lisan “lohidu” ini adalah
“rendah hati” bahwa setiap manusia dengan segala kerendahan hati mengakui mempunyai
dosa kepada orang tua. Untuk itu, kita harus banyak memohon maaf dan mengabdi terutama
kepada ibu agar segala dosa bisa terhapus. Jika kita tidak memohon maaf, maka dosa tidak
akan terhapus sampai terbawa mati. Dalan ajaran setiap agama selalu dianjurkan agar kita
wajib memohon maaf dan mengabdi kepada kedua orang tua terutama ibu. Pengabdian seorang
anak terhadap ibunya akan membawa keselamatan dunia dan akhirat bagi anak itu sendiri.
Fenomena yang ada sekarang ini, di antara para siswa sadar atau tidak sadar suka membentak
orang tua, suka berbohong, jika keinginannya tidak terpenuhi.
b. Palebohu
Pendidikan karakter “rendah hati” ini dapat dilihat pula pada bentuk sastra lisan yang
lain yakni “palebohu”. Menurut Daulima (2007:44) bahwa “palebohu” adalah puisi yang
diucapkan oleh pemangku adat atau wakil kerabat keluarga kepada kedua pengantin yang
ada di pelaminan.
Asna Ntelu
76
Diila potitiwanggango (jangan berlagak sombong)
Diila tumuhu tumango (tidak beroleh sahabat)
Wonu motiti wanggango (kalau berlagak sombong)
Tangoliyo moatango (tidak memperoleh kebaikan)
Hungoliyo motontango (tidak memperoleh rezeki)
Batangaliyo mohuwango (diri kita hidup sia-sia)
Bait ini merepresentasikan bahwa setiap anak manusia janganlah bersifat sombong.
Berlagak sombong di atas dunia adalah sifat yang tidak terpuji. Semua orang pasti tidak suka
pada orang yang memiliki sifat sombong. Orang yang memiliki sifat sombong akan jauh dari
sahabat, jauh dari kebaikan, dan jauh dari rezeki dan pada akhirnya hanya akan membuat
hidupnya akan sia-sia. Pendidikan karakter yang terdapat dalam sastra lisan “palebohu” ini
adalah bersifatlah rendah hati. Dengan rendah hati, kita dapat melakukan komunikasi dan
interaksi dengan siapa saja yang ada di lingkungan kita.
c. Paantungi ’pantun’
Pendidikan karakter dapat dilihat pada sastra lisan paantungi “pantun” (nyanyian
rakyat). Paantungi adalah nyanyian atau dendang rakyat yang disampaikan dengan
menggunakan bahasa Melayu atau campuran bahasa Melayu dengan bahasa Gorontalo.
Paantungi dilihat dari isinya terdiri atas: paantungi nasihat, sindiran, hiburan, dan percintaan
(Kasim dkk .1990:199).
Potalimai loyangi (belikan loyang)
Delowamai odiya (bawakan ke sini)
Eelayimu ti Pak Nani (ingatlah pak Nani)
Lopo’aamani duniya (yang mengamankan dunia)
Pendidikan karakter yang terdapat dalam paantungi ini adalah anjuran untuk senantiasa
mengingat jasa orang. Dalam penggalan paantungi ini, Pak Nani Wartabone dikenal sebagai
tokoh patriotik 23 Januari 1942 yang secara gigih telah berjuang merebut dan menyelamatkan
daerah Gorontalo dari penjajahan Belanda. Pendidikan karakter dalam paantungi ini memiliki
filosofi yang mendalam bahwa hendaknya kita selalu menghargai, mengingat, dan menghormati
jasa-jasa orang lain.
d. Lahilote ’cerita rakyat’
Dalam penggalan cerita Lahilote (cerita rakyat) Gorontalo di bawah ini terdapat empat
pendidikan karakter bagi siswa yakni: tanggung jawab, kasih sayang, usaha kerja keras, dan
tabah menghadapi ujian. Lahilote adalah jenis cerita rakyat jenis piilu yang mengisahkan tujuh
bidadari yang turun dari kayangan, dan salah satu di antara tujuh bidadari tersebut dipersunting
oleh Lahilote. Pencerita piilu disebut ta momiiluwa ’pencerita dongeng’. Pendidikan karakter
yang terdapat dalam cerita Lahilote ini dapat dilihat pada penggalan cerita berikut ini.Wuh...
ludah istriku ini, apa yang akan terjadi? Aku harus segera pulang. ... mana ibu anak-anaku/apa
yang terjadi pada si Boyilode itu bu? ... Lahilote keluar rumah. Dengan segala daya dan upaya ia
Asna Ntelu
77
mencari istrinya. Di suatu tempat ia bertemu dengan seorang kakek. Kakek itu bertanya, “Kemana
kau Lahilote?” Aku mencari istriku entah pergi kemana. Lahilote tidak mendapat jawaban. Tidak
berapa lama ia berjalan bertemu dengan rotan mala. Wuh, saya sedang menyusul istriku yang
telah pulang ke kayangan. Wah... jangan engkau susahkan hal itu Lahilote. Akan kutolong engkau,
kata rotan. Lahilote pun ditolong oleh rotan mala. Naiklah Lahilote ke atas rotan mala, lalu ia
dilentingkan oleh rotan itu ke kayangan. Sampailah Lahilote ke pintu langit. Di sana didapatinya
ada tujuh orang bidadari yang sama wajahnya, sehingga ia sulit untuk mengenali istrinya. Untunglah
ada kunang-kunang yang datang membantunya. Kata kunang-kunang: “Perhatikan aku”. Kalau
aku hinggap di konde salah seorang bidadari itu, maka itulah istrimu. Akhirnya Lahilote menemukan
istrinya. Lahilote memeluk bidadari (istrinya) itu.
Sebelum mereka menjadi satu kembali, Lahilote masih harus melakukan beberapa tugas
yang diberikan oleh ayah bidadari sebagai syarat. Tugas pertama, Lahilote disuruh menjemur
padi di atas tanah. Kalau tiba hujan, padi itu harus dikumpul kembali sebiji-sebiji. Tiba-tiba datang
semut membantunya. Tugas kedua, Lahilote disuruh menebang pohon raksasa dengan kapak
yang tumpul. Setiap kali Lahilote menebang pohon tersebut, kapak itu hanya melenting karena
tumpul. Manangislah Lahilote. Tiba-tiba beterbanglah burung-burung pelatuk ke pohon itu. Burung-
burung tersebut mematuk pohon itu, sehingga akhirnya pohon itu tumbang.
Setelah tugas berat itu selesai dilakukan, Lahilote sudah boleh hidup bersama istrinya.
Ia tinggal di kayangan berbahagia dengan istrinya. Suatu ketika, Lahilote minta dicarikan kutu
di kepalanya. Tiba-tiba terlihat oleh isrinya ada seutas rambut putih. Istrinya berkata: “Yih...
segeralah kau pulang, kami di sini tidak akan ada yang berambut putih”. Lahilote berkata
“Bagaimana caranya aku pulang? Kemana jalan yang harus kutempuh? Bidadari mencabut
rambutnya seutas demi seutas, lalu diikatkan pada ujungnya. Lahilote memegang ujung yang
diturunkan ke bumi. Ia memesankan: “Kalau aku sudah sampai ke bumi akan aku goyang
rambut ini. Segeralah engkau putuskan rambut ini”. Barulah separuh perjalanannya, tiba-tiba
datang angin kencang menerpanya sehingga rambut itu bergoyang keras. Akhirnya bidadari
segera memutuskan rambut itu, dan jatuhlah Lahilote. Terhempaslah ia ke bumi, kakinya yang
satu berada di desa Pohe dan yang satunya di Boalemo.
Dalam penggalan cerita di atas, Lahilote menunjukkan sosok yang memiliki tanggung
jawab, kasih sayang, usaha kerja keras, dan tabah menghadapi segala ujian yang diberikan
oleh ayah bidadari (istrinya). Apapun yang ditugaskan oleh ayah bidadari, ia lakukan dengan
segala daya dan setulus hati asalkan ia dapat bertemu kembali dengan istrinya.
e. Tuja’i pemakaman
Pendidikan karakter yang dapat diteladani oleh para siswa dalam tuja’i pemakaman
ini adalah “kebersamaan, persatuan, dan kekeluargaan”.
(1) Amiatia mongotiyombunto eeya (kami para kakenda tuanku)
(2) Maa yiloduudulamai (telah tiba rombongan adat)
(2) Maa yilodulohupamai (telah bermusyawarah)
(3 )Wolo mongowutatonto (dan saudara-saudara Anda)
Asna Ntelu
78
(4) Wolo mongotiyamanto (dan para ayahanda)
(5) Teeto teeya, teeya teeto (di sana di sini, di sini di sana)
Tuja;i pemakaman di atas mengandung nilai sosial karena berhubungan erat dengan
eksistensi hubungan manusia secara horisontal dengan manusia yang lain dalam menjalankan
aktivitas dan interaksi sosial dalam kehidupan kemasyarakatan (lihat Masinambow, 1997:100).
Ranjabar (2006:63) mengemukakan bahwa manusia demi kelangsungan hidupnya harus
mengadakan kerja sama dengan sesama manusia. Pengertian kemasyarakatan pada
hakikatnya merupakan pergaulan hidup manusia dalam kehidupan bermasyarakat yang
mengandung nilai-nilai kebersamaan, senasib sepenanggungan, solidaritas, gotong royong
yang merupakan unsur pemersatu kelompok sosial. Ranjabar (2006:158) mengemukakan
bahwa pangkal dari pranata gotong royong itu adalah konsep bahwa: (a) dalam alam masyarakat
ini, orang tidak hidup sendiri, karena itu (b) orang harus selalu memelihara hubungan baik
dengan sesamanya, dan (c) sedapat mungkin berusaha tidak menonjolkan diri.
Pendidikan karakter yang terdapat pada penggalan tuja’i tersebut adalah kebersamaan,
persatuan, dan kekeluargaan, hal ini ditandai pula dengan penggunaan kata amiyatia
mongotiyombunto, ‘kami para kakenda’, maa yiloduudulamai ‘telah tiba (rombongan adat)’,
maa yilodulohupamai ‘telah bermusyawarah‘, mongowutatonto’ saudara-saudara Anda’,
mongotiyamanto ‘para ayahanda’, teeto teeya, teeya teeto ‘di sana di sini, di sini di sana’.
Frasa maa yiloduudulamai dan maa yilodulohupamai mengandung unsur
kebersamaan dan persatuan yang dilaksanakan secara kekeluargaan yang merupakan
representasi dari masyarakat Gorontalo sebagai komunitas yang memiliki nilai solidaritas yang
tinggi. Ranjabar (2006:63) mengemukakan bahwa agama memiliki hubungan yang erat sekali
dengan nilai solidaritas, yang memuncak pada hari-hari dan kejadian-kejadian yang penting
dalam kehidupan suku, desa atau keluarga, seperti perkawinan, kematian dan sebagainya.
Dalam budaya Gorontalo hal ini dikenal dengan dulohupa ‘musyawarah’ dan huyula
(kerja sama, gotong royong, bantu membantu). Dulohupa dan huyula dapat dilihat baik dalam
kegiatan di lingkungan keluarga, di lingkungan masyarakat bahkan di lingkungan sesama
pembesar negeri pun dalam memecahkan persoalan selalu dimusyawarahkan secara
kekeluargaan. Selain itu, dalam melaksanakan suatu kegiatan sosial selalu bekerja sama
sehingga hubungan komunikasi dan interaksi menjadi baik, rukun, dan damai.
Demikian pula frasa mongowutatonto’ saudara-saudara Anda’, mongotiyamanto ‘para
ayahanda’, teeto teeya, teeya teeto ‘di sana di sini, di sini di sana ’mengandung pendidikan
karakter “kebersamaan dan persatuan” yang dilaksanakan secara kekeluargaan yang
merupakan representasi dari masyarakat Gorontalo sebagai komunitas yang memiliki
kehidupan solidaritas yang tinggi.
Asna Ntelu
79
III. SIMPULAN
Bertolak dari uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa dalam sastra lisan banyak
sekali pendidikan karakter yang dapat diteladani oleh para siswa untuk menghadapi dunia
yang semakin canggih dengan berbagai teknologi modern ini. Upaya pembentukan karakter
siswa itu antara lain dapat dilakukan melalui proses pembelajaran bahasa Indonesia.
Membangun karakter sedini mungkin bagi siswa berarti membangun jati diri bangsa di masa
sekarang maupun di masa yang akan datang.
DAFTAR PUSTAKA
Daulima, Farha. 2007. Mengenal Sastra Lisan Daerah Gorontalo. Gorontalo: Mbu’i Bungale.
Hutomo, S.S. 1986. “ Perkembangan Cerita Rakyat Sampai saat ini dan Usaha-usaha untuk
Menumbuhkannya”. Jurnal Media Pendidikan dan Ilmu Pengetahuan.
Kasim, M.M, Husain Yunus, Kartin Hasan, Kisman Soleman, Sayama Malabar.1990. Puisi
Sastra Lisan Daerah Gorontalo (Hasil penelitian). Proyek Penelitian Bahasa dan Sastra
Indonesia dan Daerah Sulawesi Utara.
Masinambow, E.K.M (ed). 1997. Koentjaraningrat dan Antropologi Di Indonesia. Jakarta:Yayasan
Obor Indonesia.
Ranjabar, Jacobus. 2006. Sistem Sosial Budaya Indonesia: Suatu Pengantar. Bogor: Ghalia
Indonesia.
Sudardi, Bani. 2002. Dasar-dasar Teoretis Pengkajian Sastra Lisan. Surakarta: FS-UNS
Teeuw. 1982. Khasanah Sastra Indonesia. Jakarta: PT. Gramedia.
Tuloli, Nani, Syarifuddin A, Dakia N. Djou, Asna Ntelu. 1999. Nilai Budaya Cerita Rakyat Lahilote
(Tinjauan Struktural Semiotik). Proyek Penelitian Bahasa dan Sastra Indonesia dan
Daerah Sulawesi Utara.
Asna Ntelu
80
METAFORA DALAM BAHASA GORONTALO SEBAGAI SALAH SATU
BASIS PEMBENTUK KARAKTER
Dakia N. Djou
Universitas Negeri Gorontalo
ABSTRAK
Masyarakat Gorontalo adalah masyarakat yang terkenal sebagai masyarakat yang santun
dalam bertutur dengan siapa saja. Kesantunan itu terlihat pada cara bertutur, baik dalam interaksi
sehari-hari maupun pada acara-acara peminangan. Khusus untuk acara peminangan, bahasa
yang dipakai sebagai media interaksi adalah bahasa Gorontalo. Wujud bahasa yang dipakai
pada acara peminangan jauh berbeda dengan bahasa sehari-hari. Bahasanya penuh dengan
bentuk ungkapan dan kiasan yang terungkap dalam bentuk metafora. Metafora dalam makalah
ini sangat menarik untuk dibicarakan, karena metafora yang digunakan oleh para pemangku
adat pada acara peminangan bukan saja memperindah dan memperhalus penyampaian pesan,
tetapi lebih daripada itu metafora dapat membentuk karakter seseorang karena di dalamnya
mengandung pesan-pesan budaya yang dapat diambil sebagai bahan pengetahuan, sekaligus
dapat dijadikan sebagai pedoman hidup pada masa yang akan datang. Bagaimana wujud dan
parameter metafora tersebut dapat membentuk karakter seseorang? Masalah inilah yang ingin
diungkap melalui makalah ini. Di sini para audiens yang hadir pada acara peminangan itu
dapat mengambil hikmah atas pesan budaya tersebut melalui pemberian makna. Pemaknaan
terhadap sebuah metafora itu senantiasa dikaitkan dengan reaksi audiens ketika mendengar
ungkapan kiasan itu dituturkan oleh pemangku adat dari kedua bekah pihak. Lebih daripada
itu, masalah yang tidak kalah pentingnya untuk dikaji dalam makalah ini adalah bagaimana
karakter seseorang dapat terbentuk melalui pengungkapan metafora oleh para pemangku
adat di Gorontalo.
Kata-kata kunci: metafora, bahasa Gorontalo, basis, pembentukan karakter.
I. PENDAHULUAN
Budaya tuturan lisan suatu masyarakat tidak hanya terbatas pada fungsinya sebagai
penyampai pesan kepada mitra bicara. Tetapi lebih daripada itu, terdapat tuturan-tuturan
tertentu yang dikondisikan oleh penutur untuk maksud dan tujuan tertentu pula. Tuturan
dimaksud, antara lain seperti yang terdapat pada acara peminangan. Acara peminangan di
Gorontalo adalah sebuah acara yang disakralkan oleh sanak saudara, bahasa tuturnya banyak
menyimpan pesan yang dapat dipedomani dalam hidup dan kehidupan bermasyarakat. Hal ini
merupakan bagian dari kebudayaan masyarakat Gorontalo yang perlu dipertahankan.
Pemertahanan ini diperlukan guna pelestarian pola-pola tingkah laku yang tercermin dalam
tuturan tersebut. Tuloli (2004:1) menyatakan bahwa kebudayaan suatu masyarakat dapat
Dakia N. Djou
81
mencerminkan berbagai aspek kehidupan masyarakat itu, yang tampak pada pola-pola tindakan
(action) dan kelakuan (behavior).
Masyarakat Gorontalo adalah suatu masyarakat etnis yang masih mempertahankan
kebudayaannya, walaupun di sana-sini telah terjadi perubahan akibat perkembangan pola
pikir masyarakatnya, atau pengaruh budaya lain. Di Gorontalo terdapat beberapa kegiatan
kebudayaan yang masih bertahan sampai saat ini, salah satu di antaranya adalah acara
pernikahan yang prosesinya masih tetap dilaksanakan secara adat-istiadat setempat, terutama
pada acara peminangan, yang di dalamnya terdapat dialog budaya. Dalam dialog itu ada hal
yang menarik dan perlu untuk dikaji, yakni ungkapan-ungkapan yang bersifat metaforis. Di sini
para pelaku dialog dalam hal ini pemangku adat yang menjadi juru bicara pada peminangan
itu secara leluasa menggunakan kata-kata yang mengundang para audiens untuk
menafsirkannya secara mendalam, karena akibat metaforis tadi.
Metafora dalam pengertian ini adalah gaya melukiskan suatu benda dengan
membandingkan langsung pada benda lain yang mempunyai sifat yang sama dengan benda
itu. Dalam pengertian lain bahwa metafora adalah bahasa kiasan yang motifnya tidak diberikan
secara eksplisit sehingga kita harus menyimpulkan sendiri makna perumpamaan itu
(Luxemburg, dalam Tuloli, 1990:213). Menurut Becker (dalam Pradopo, 1987:66), metafora
melihat sesuatu dengan perantaraan benda yang lain. Jadi, juru bicara yang menjadi utusan
dari kedua belah pihak pada acara peminangan tidak lepas dari belenggu pengungkapan
seperti itu.
Berbagai pesan yang terdapat dalam tuturan lisan sampai saat ini belum banyak yang
mengangkat ke permukaan untuk dibicarakan pada pertemuan ilmiah seperti ini. Pesan itu berupa:
pesan budaya, pesan moral, pesan pendidikan, pesan religius, dan sebagainya. Justru dalam
pesan-pesan tersebut banyak hal yang dapat kita ambil sebagai pedoman hidup sehari-hari.
Dakia N. Djou
82
budaya bersendikan syarak, syarak bersendikan kitabullah. Falsafah ini yang menjadi pegangan
dalam membentuk karakter seseorang. Oleh sebab itu, pada setiap pelaksanaan adat di
Gorontalo, misalnya penobatan salah seorang pemimpin negeri, terdapat pesan budaya yang
disampaikan oleh para Baate (pemangku adat) yang harus dipegang teguh oleh pejabat yang
dinobatkan tersebut seperti berikut ini.
Huta, huta lo ito Eeya ‘Tanah tanah milik Tuan’
Taluhu, taluhu lo ito Eeya ‘Air air milik Tuan’
Tul,u tulu lo ito Eeya ‘Api api milik Tuan’
Dupoto, dupoto lo ito Eeya ‘Angin angin Tuan’
Tau, tau lo ito Eeya ‘Orang, orang milik Tuan’
Bo diila polulia to hilawo Eeyanggu ‘Tetapi jangan jadikan pemuas nafsu
Tuanku
Persyaratan amanah di atas mengandung dua pengakuan (Tuloli dkk, 2004:48) seperti
berikut:
1. Pengakuan dari para pemangku adat yang mewakili rakyat, bahwa segala yang ada
di wilayah adat ini diperuntukkan bagi pemimpin untuk diolah, diberdayakan, dan
dikembangkan.
2. Pengakuan yang diharapkan dari Eeyanggu ‘Tuanku’ (pejabat) agar ada komitmen
dan integrasi dari berbuat memberdayakan potensi dalam wilayah adat itu untuk
kepentingan rakyat dan bukan untuk kepentingan diri sendiri. Kalau dua pengakuan
ini dipertahankan oleh pemimpin, maka tentu saja tidak terjadi penyelewengan, berupa
korupsi, kolusi, dan nepotisme dalam kepemimpinan.
Apa yang dicontohkan di atas baru merupakan salah satu aspek pembentuk karakter
anak bangsa. Sibarani (2012:123) mengilustrsikan bahawa setiap bangsa atau suku bangsa
memiliki sumber yang berbeda dalam pembentukan karakter generasi bangsanya. Dikatakan
bahwa dalam pembangunan karakter bangsa, kearifan lokal menjadi sumber penting yang harus
dimiliki oleh generasi penerus bangsa. Selanjutnya pada halaman yang sama Sibarani mengatakan
bahwa karakter adalah sikap dan cara berpikir, berperilaku, dan berinteraksi sebagai ciri khas
seorang individu dalam hidup, bertindak, dan bekerja sama, baik dalam lingkup keluarga,
masyarakat maupun bangsa. Dalam pengertian lain disebutkan bahwa karakter adalah keseluruhan
nilai, pemikiran perkataan, dan perilaku atau perbuatan yang telah membentuk diri seseorang.
Karakter itu menjadi bagian identitas diri seseorang sehingga karakter dapat disebut jatidiri atau
kepribadian yang baik seseorang yang telah terbentuk dalam proses kehidupan melalui sejumlah
nilai etis yang dimilikinya, berupa pola pikir, sikap, dan perilakunya.
Istilah karakter sebenarnya bersifat “netral”, mungkin negatif, tapi mungkin juga positif;
mungkin jelek, tapi mungkin juga baik. Karakter yang dimaksud di sini adalah karakter yang
baik sehingga kalau kita menyebutkan pembangunan atau pendidikan karakter, itu berarti
pembangunan atau pendidikan karakter yang baik atau positif. Sejalan dengan pengertian
tersebut, berkarakter berarti berkarakter yang baik, berkepribadian yang baik, berprilaku positif
Dakia N. Djou
83
atau berjiwa membangun. Individu yang berkarakter baik adalah individu yang bisa membuat
dan siap mempertanggungjawabkan setiap akibat dari keputusan yang dia buat itu.
Berikut ini diuraikan beberapa jenis karakter yang terbentuk melalui perumpamaan budaya
yang dilakukan oleh para pemangku adat melalui kegiatan upacara kebudayaan Gorontalo.
1. Karakter Tidak Boleh Berlagak Sombong
Diila potitiwanggango ‘Jangan berlagak sombong’
Diila tumuhu tumango ‘Tidak beroleh sahabat’
Wonu motitiwanggango ‘Kalau berlagak sombong’
Tangolio mo’atango ‘Tidak memperoleh kebaikan’
Hungolio motontango ‘tidak memperoleh rezeki’
Batangalio mohuango ‘diri kita akan hidup si-sia’
Potitihutu humopoto ‘Berbuatlah seperti kencur’
Moonu lo’o-lo’opo ‘Harum semerbak’
Luntuwa lo wolipopo ‘Memperoleh kebaikan’
U mopio dumo’oto ‘Yang baik akan menetap’
Ungkapan ini sering dipesan oleh para leluhur kita di Gorontalo yang ditujukan kepada
audiens sasaran sesuai dengan jenis upacara adat yang dilaksanakan pada saat itu. Tentu saja
secara langsung audiens umum yang sempat hadir pada upacara adat tersebut pasti mendengar
nasihat semacam itu, sehingga dengan demikian, karakternya pun turut terbentuk karenanya.
Metafora, atau yang menjadi ibarat pada ungkapan di atas adalah sejenis tumbuhan.
Dalam ungkapan ini setiap orang dianjurkan berbuat atau mengambil sifat yang ada pada
tanaman kencur, yang selalu hidup merendah, dan tidak pernah tumbuh mencapai ketinggian
seperti pepohonan lainnya. Cara hidupnya tanaman kencur ibarat sedatar dengan tanah, tetapi
mengandung harum yang semerbak. Dalam hal ini ketika kencur itu digunakan harumnya
pasti menyebar ke mana-mana, sehingga siapa saja yang sempat mencium harum baunya
pasti menyukainya. Betapa tidak, jika seseorang berada ditengah-tengah masyarakat, kemudian
ia mampu membuat masyarakat itu menjadi tentram, ia menjadi panutan masyarakat setempat
karena selalu menonjolkan sifat rendah diri. Karakter inilah yang menjadi idaman kita semua.
2. Karakter Menghargai Waktu
Pada setiap aktivitas, masalah waktu tidak boleh hanya dibiarkan berlalu begitu saja.
Waktu harus dihargai keberadaannya. Pada acara dialog peminangan di Gorontalo, terdapat
ungkapan perumpamaan yang mengacu kepada pemanfaatan waktu secara efektif dan efisien.
Oleh sebab itu, muncul ungkapan seperti berikut ini.
wonu dipo:luwo, ‘kalau belum ada’ (yang ditunggu)
wonu delo buku tuladu ‘ibarat buku tulis’
de ma pohima toqu buqa-buqadu, ‘akan ditunggu dalam keadaan terbuka’
wonu delo ngadi kitabi ‘kalau mengaji kitab’
de ma pohima toqu ngadi-ngadi, ‘nanti ditunggu pada waktu mengaji’
wau woluwo ta mai to dalalo ‘dan ada yang masih dalam perjalanan’
Dakia N. Djou
84
timongolio penu didu maqo tomatangalo ‘mereka biar tidak ditunggu lagi’
bolo loqia debo ma moali ma tumulalo ‘pembicaraan sudah dapat dimulai’
insya Allah me:dungga mai ‘insya Allah setelah tiba’
de ma pohunggulialo ‘nanti akan diceritakan’
karena ito boti modaha ‘karena kita menjaga’
didi bolo ma peletaqalo. ‘hujan akan turun’
Ungkapan di atas mengisyaratkan bahwa apabila keluarga yang diundang belum hadir
atau terlambat datang, acara sudah boleh dimulai sambil menunggu tamu undangan lainnya,
agar kita tidak kemalaman di rumah orang. Jadi karakter yang muncul akibat ungkapan ini adalah
karakter tahu memanfaatkan waktu secara tepat dan efisien. Atau dengan kata lain ungkapan ini
berisi amanat bahwa tamu undangan yang datang terlambat, maka segala keputusan sebagai
hasil musyawarah pada saat itu nanti akan disampaikan kepada yang bersangkutan.
3. Karakter Menghormati Lawan Bicara
Ito olanto wolo mongowutatonto ‘Anda dengan Saudara anda’
hi huloqa hi duqota ‘duduk secara teratur’
odelo lale pilopota ‘seperti janur yang dipangkas
di:la hi labo-labota ‘tidak berlebih-lebih’ (sama rata)
wonu dequ hiapomota ‘kalau dihitung’
kaum bapak wopatota, ‘kaum bapak empat orang’
Ungkapan budaya ini berisi anjuran kepada kita agar dalam bertutur kata hendaknya
mengedepankan kesantunan berbahasa.
4. Karakter Menjaga Kehormatan Diri
hulawanto ngopata ‘emas sepotong’
wahu to bubalata ‘tersimpan di tempat tidur’
bilalu lo paramata ‘terbungkus dengan permata’
laqitio dunggilata ‘cahayanya mengkilat’
putungo bunga kanari ‘kuncup bunga kenari’
tua-tua to huwali ‘terisi di dalam kamar’
unti-unti to lamari ‘terkunci di lemari’
wonulio kaka-kakali ‘harumnya masih asli’
Yang dimaksud dengan hulawa ngopata, putungo bunga kanari dalam ungkapan ini
adalah sang gadis yang menjadi idaman sang lelaki yang dianggap masih suci-bersih, belum
ada orang lain yang menyentuh. Kata ngopata ‘hanya satu-satunya’. Maksudnya tidak ada
duanya. Jadi memperkuat makna, bahwa gadis itu tidak ada tolok bandingannya dari segi
kecantikan dan kesuciannya. Kecenderungan juru bicara menggunakan metafora dalam
acara peminangan dimaksudkan untuk memberi kesan yang indah bagi para pendengar yang
hadir pada saat itu. Di samping itu, juru bicara lebih memperindah dan memperhalus
pengungkapan maksud dan tujuan hati dari pihak keluarga.
Dakia N. Djou
85
5. Karakter Mempererat Tali Persaudaraan
Diila potiti’uda’a ‘ Jangan membanggakan diri’
Mo’oputu u ngaala’a ‘Memutuskan hubungan kekeluargaan’
Bo u ngaala’alo ‘Hanya keluargalah’
Ogaambangia hamaalo ‘Yang mudah dimintai pertolongan’
Mopodutu wau mohantalo ‘Mengadakan segala sesuatu yang dibutuhkan
III. PENUTUP
Belum seluruhnya aspek pembentuk karakter dalam tradisi budaya Gorontalo diungkap
melalui makalah ini. Masih banyak yang perlu di angkat dan dibicarakan dalam forum ilmiah
seperti ini, antara lain: lohidu (nyanyian rakyat), paa’iya lo hungo lopoli (berbalas pantun),
lohidu (nyanyian rakyat). Yang diangkat dalam makalah ini baru salah satu ragam budaya
Gorontalo, yakni palebohu (nasihat) yang berlaku pada acara pernikahan. Itu pun baru terbatas
pada penggunaan metafora. Palebohu untuk penobatan, palebohu pemberian gelar adat,
palebohu pembaeatan, palebohu gunting rambut, belum diangkat dalam makalah ini.
DAFTAR PUSTAKA
Pradopo, Rachmat Djoko. 1987. Pengkajian Puisi. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press
Tuloli, Nani. 1990. Tanggomo Salah Satu Sastra Lisan Gorontalo. Depdikbud Jakarta (Seri
ILDEP): Intermasa.
Tuloli, Nani dan Nurdin Dama. 2004. Pranata dan Fungsinya dalam Masyarakat: Hasil
Penelitian. BALITBANG PEDALDA Provinsi Gorontalo.
Sibarani, Robert. 2012. Kearifan Lokal: Hakikat, Peran, dan Metode Tradisi Lisan. Jakarta Selatan:
Asosiasi Tradisi Lisan.
Dakia N. Djou
86
CERMINAN KARAKTER ANAK MELALUI BAHASA
Emma Rosana Febriyanti
Universitas Lambung Mangkurat
ABSTRAK
Bahasa merupakan salah satu sarana berkomunikasi antara satu dengan lainnya. Melalui
bahasa, kita dapat mengungkapkan apa yang kita rasakan, dan oleh karena itu, cerminan
karakter dari seseorang dapat terlihat dari bahasa yang digunakannya. Keluarga sebagai pilar
pendidikan pertama memegang peranan penting dalam tumbuh kembangnya karakter yang
baik dari seorang anak. Dikatakan bahwa seorang anak yang berasal dari keluarga baik-baik
maka akan tumbuh menjadi seorang yang baik pula dikemudian harinya, sedangkan anak
yang berasal dari keluarga “tidak baik” maka akan sebaliknya. Hal ini mungkin tidak benar
adanya. Tulisan ini hanya membahas tentang pentingnya peranan keluarga terutama orangtua
dalam pembangunan dan pembentukan nilai-nilai karakter anak semenjak dini melalui bahasa
yang digunakan sehari-hari, serta memuat rangkuman dari berbagai sumber tentang bagaimana
cara membangun komunikasi dengan anak agar tercipta kedekatan hubungan. Diharapkan
nantinya hasil tulisan ini akan menambah pengetahuan bagi para orangtua dan pendidik pada
umumnya tentang bagaimana penggunaan bahasa oleh orangtua dapat mempengaruhi
tumbuh kembang karakter seorang anak.
Kata Kunci: karakter, keluarga, bahasa, pendidikan, lingkungan
I. PENDAHULUAN
Petikan kata-kata diatas menunjukkan bahwa jika anak dibesarkan dengan cara yang
tidak baik, maka anak akan belajar dan tumbuh dengan cara yang sama. Sebaliknya, jika anak
dibesarkan dengan cara yang benar, maka ia akan belajar dan tumbuh menjadi anak yang
seperti impian semua orangtua. Dari kutipan itu pula terdapat banyak karakter baik yang kita
ingin tanamkan dalam diri anak-anak kita. Sekarang pertanyaannya adalah, bagaimana caranya
menanamkan karakter positif kedalam diri anak agar nantinya dia menjadi orang yang
berkarakter? Jawaban atas pertanyaan ini barangkali sulit akan tetapi bukan hal yang tidak
mungkin untuk bisa dilakukan. Perkembangan karakter pada setiap individu dipengaruhi oleh
faktor bawaan (nature) dan faktor lingkungan (nurture).
Tahun-tahun awal kehidupan seorang anak merupakan waktu yang sangat berharga
yang tidak boleh terlewatkan oleh setiap orangtua karena pada masa itulah seorang anak
mulai belajar, berkembang, dan tumbuh secara fisik, mental dan psikososialnya. Pada masa
ini orangtua menjadi teman terdekatnya, teman bermain dan bercerita, serta contoh terbaiknya.
V. PENUTUP
Ada pepatah mengatakan “buah jatuh tidak jauh dari pohonnya”, buah diibaratkan
anak dan pohon diibaratkan sebagai orang tuanya. Hal ini menjelaskan bahwa tingkah laku
dan perbuatan anak tidak lain adalah pencerminan dari orang tuanya.
Benar adanya perkataan seorang ulama bijak asal kota Banjarmasin, bahwa cirat (teko)
yang isinya kopi maka apabila dituang akan mengeluarkan kopi juga, tidak mungkin mengeluarkan
susu atau teh. Ini mencerminkan bahwasanya kepribadian dan karakter seseorang berasal dari
hati nurani, yang mana terbentuk dari ilmu dan hikmah yang didapatnya, yang pada akhirnya
tercermin pada tutur kata dan tutur bahasa yang keluar dari lisan pribadi tersebut.
DAFTAR PUSTAKA
Bohlin, Karen. E. 2005. Teaching Character Education through Literature: Awakening the Moral
Imagination in Secondary Classrooms. Oxon: Routledge Falmer.
Eliasa, Eva Imania. n.d. Pentingnya Kedekatan Orang Tua dalam Internal Working Model untuk
Pembentukan Karakter Anak (Kajian Berdasarkan Teori Kelekatan dari John Bowlby).
dalam Karakter sebagai Saripati Tumbuh Kembang Anak Usia Dini. Yogyakarta: Inti
Media Yogyakarta. Diakses dari http://staff.uny.ac.id/sites/default/files/132318571/
Microsoft Word-PENTINGNYA KELEKATAN ORANG TUA DALAM INTERNAL
WORKING MODEL UNTUK PEMBENTUKAN KARAKTER ANAK.pdf tanggal 26 April
2014.
ABSTRACT
As individuals who are involved in the English education, the students of English Department
should be consciously aware that they acquire the English culture as they learn and acquire the
language. This might bring to some extents that there are a lot of similarities and differences
regarding the cross cultural understanding. Many exposures might help in introducing and
reinforcing these concepts of cross culture view. The inputs are presented through books,
classroom lessons, movies, daily interactions and many other media that can facilitate the
students’ acquisition of the English cultures which are acceptable in Indonesia societies. Besides
those possible media, some of the television commercial breaks nowadays contains moral
message which can be analyzed in the cultural perspective. The adequate and appropriate
values of the cross cultural understandings in the television commercial breaks might be treated
as a form of character education since the role of television is already undoubtedly effective in
‘influencing’ the audience. This paper tries to discuss some character building points which
can be reflected in a few television commercial breaks and be understood as containing cross
cultural perspectives between English and Indonesian. The result might be considered as a
reference for the makers of commercial breaks that their work of art could be contributive for
building the character of the people. As for educators, especially English teachers, there should
be an endless effort in finding and creating any possible ways to help building the good character
of their students.
Keywords: commercial break, culture, character
I. INTRODUCTION
Educators have been trying to find ways in improving the morality and attitude of the
students. Character education has been booming in these recent years as one of the possible
solution dealing with the degradation of moral values in the communities. Character education,
in What is Character Education, might be defined as development of virtue of good human
qualities that are affirmed by cultures and religion around the world, meet the ethical criteria
and developed in schools where the virtues are modeled, expected, studied, reflected upon,
upheld, celebrated, and continually practiced in daily life.
Elvina Arapah
97
Foreign language learners should be sensitized to cultural diversity that they might
encounter through the language they learn. As individuals who are involved in the English education,
the students of English Department should be consciously aware that they acquire the English
culture as they learn and acquire the language. Whether they mean it or not, their new or foreign
language(s) might influence their first language or mother tongue. According to Tomasouw
(1986:1.11), a culture and the language used by it are inseparable. Most of the cultural attitudes
when a native speaker has built into him are reflected in his speech patterns. The native speaker
also brings with him to his language a background of knowledge that is culturally based.
In addition, the native cultural perspectives might also be altered by absorbing the
‘new’ culture. According to NiŸegorodcew (2011:9), the relationship between English as a
Lingua Franca (ELF) and culture can be seen from two perspectives. First, it is the
impoverishment of the national culture by the global language. The second one is the enrichment
of culture by ELF by encompassing diverse cultures and making them available to one another.
However, this might bring to the discussions of some extents that there are a lot of similarities
and differences regarding the cross cultural understanding.
Many exposures might help in introducing and reinforcing these concepts of cross culture
view. The inputs are presented through books, classroom lessons, movies, daily interactions and
many other media that can facilitate the students’ acquisition of the English cultures which are
acceptable in Indonesia societies. Besides those possible media, some of the television
commercial breaks nowadays contains moral message which can be analyzed in the cultural
perspective. The adequate and appropriate values of the cross cultural understandings in the
television commercial breaks might be treated as a form of character education since the role of
television is already undoubtedly effective in ‘influencing’ the audience.
This paper tries to discuss some character building points which can be reflected in a
few television commercial breaks and be understood as containing cross cultural perspectives
between American and Indonesian. As English is widely spoken in the United States, the cross
cultural discussion on the character is about to compare and contrast between Indonesian and
American. The study is conducted by exploring some possible commercial breaks that contain
or reflect the moral values that might be seen as characters taught or educated to the students.
The characters are the linked with the intercultural perspectives between American and
Indonesian in terms of the cultural similarities and differences. There are sixteen commercial
breaks which are steamed and downloaded from YouTube for the sake of this descriptive study.
II. DISCUSSION
Among several commercial breaks investigated, there are some values related to the
character education that can be explored. Some of the American characters which are
compared to the Indonesian ones are mostly taken from 101 Characteristics of Americans /
American Culture (retrieved from https://www.press.umich.edu/pdf/9780472033041-
101AmerCult.pdf). In fact, some characteristics of value are shared together by both cultures
regarding a few principal similarities and differences.
Ervina Arapah
98
2.1 Beliefs
The United States of America is known with the term of ‘a bowl of fruit salad’ which means
that the multicultural American people come in many colors, religion, origin and so forth. The
differences that exist actually enrich the cultures of the America. One thing that the American
people still strongly hold is their beliefs. Due to the various background, there are several religions
or beliefs in the United States, although most of the people are Christians. Islam, Hinduism,
Buddhism, Jewish and other beliefs with their own percentages also exist in the United States.
Similarly, in Indonesia, the people also hold on to their beliefs. The most followers of
Islam can be clearly seen dominating all over the country. Nevertheless, in some parts of
Indonesia, Christianity, Hinduism, Buddhism, and other beliefs are also present in this country.
The commercial break of Kuku Bima, an energy drink, was set in Kalimantan. It uses the
combination of local languages, Dayekese and Banjarese as shown in the transcript below:
Table 1. The Transcript of Kuku Bima Kalimantan Commercial Break
Lagu : Haa…mambesei ayu mambesei. Sukup simpan. Dinu Song : It’s raining there and
malauk manjala. mambesei akan danau mambesei. thick clod here. Whose
Indung-indung kepala lindung. hujan di udik di sini girl is wearing the veil?
mendung. Anak siapa pakai kerudung, Mata melirik The eyes glance, but
kaki kesandung. Laa haula wala kuwata. Mata melihat the legs stump. No
seperti buta. Tiada daya tiada upaya, melainkan Tuhan power no effort, but the
yang maha Esa. Mambese akan danau mambesei. Almighty God. It looks
Indung-indung kepala lindung. hujan di udik di sini like blind eyes although
mendung. Anak siapa pakai kerudung, Mata melirik it isn’t.
kaki kesandung. Laa haula wala kuwata. Mata melihat
seperti buta. Tiada daya tiada upaya, melainkan Tuhan
yang maha Esa. Laa haula wala kuwata. Mata melihat
seperti buta. Tiada daya tiada upaya, melainkan Tuhan
yang maha Esa. Kuku Bima Energi. Roso!
The background sound expresses the beliefs of the local people to the Almighty God.
The commercial break stresses on how the Almighty God always helps in every person’s life, in
his / her effort and action. All in all, in term of belief, most American and Indonesian share faith
that is they believe in the Almighty God, regardless whatever the religions are.
2.2 Freedom of Choice
The language content in the Window 8 commercial break is very interesting. It uses
many metaphors to express the comparisons made on what and how the I want to be at once. This
shows that English is very rich with figurative words or expressions by using as . as ... (See Table 2)
Table 2. The Transcript of Window 8 Commercial Break
Song: As warm as the sun, as silly as fun. As cool as a tree, as scary as the sea. As hot
as fire, cold as ice. Sweet as sugar and everything nice. As old as time, as
straight as a line. As royal as a queen, as buzzed as a bee. Stealth as a tiger,
smooth as a glide. Pure as a melody, pure as I wanna be. All I wanna be, all I
wanna be, oh. All I wanna be is everything, everything at once.
Elvina Arapah
99
Moreover, the message behind the words in the commercial break is that everybody
should have the freedom of choice in deciding what s/he wants to do for her/his life. However,
this point of view might be different between Indonesian and American because in Indonesia
such a freedom of choice is still limited by the environment in terms of tradition and the bravery
to take a decision that might be not in the same way with the regular customs. On the other
hand, Americans can easily take decisions about their lives because their cultures form them to
be brave to face differences when taking a choice.
2.3 Creativity
In Indonesian culture, being able to innovate and create something might be a rare
thing to be exposed at the early stage of education or even the higher one. As it can be seen that
the students at kindergarten, elementary, junior and senior high schools are subjected to be
uniformed in the sense that they go to school in the same school uniform, they take similar
subjects or courses at schools, they might always be expected to follow what their teachers say
and so forth. These circumstances does not secure the students to be able to maximally
develop their creativity since they are patterned to have the same things together. Meanwhile in
the US, the conditions that happen are the opposite of what might occur above. The system of
education is set to cater differences and stimulate the students to work independently and
activate equally their right and left brain. The students do not wear any uniform to schools and
they are ‘free’ to choose what subject that they want to explore more. This independence, in the
end, might result in students’ creativity.
Since making someone creative is neither easy nor very difficult, stimulus that might
come from the environment should be reinforced. The two commercial breaks from Procald
Gold are examples how actually a person brings the nature of creativity in himself or herself.
They show how to small kids utilize the things around them to create something which is so-
called fun for them. This might reflect that facilitating one with a lot of possible media is also
crucial, plus the strategy to stimulate one’s creativity. (See Table 3 and Table 4)
Table 3. The Transcript of TVC Procald Gold: Multiplaying Commercial Break
Narator : Procald Gold kini dengan formula Narator : Procald Gold is now with
baru yang disempurnakan. perfected formula.
Anak kecil : Hap hap (diiring music marching Anak kecil : Hap hap (marched herself with
band). Hmmm.. aha! (Membuka music). Hmmm.. aha! (Opening a
kaca lemari dan jalan ditempat mirror wardrobe and jalan
seolah-olah bersama ditempat seolah-olah bersama
barisannnya.) barisannnya.)
Narator : Procald Gold dengan New Wyeth Narator : Procald Gold with New Wyeth
Biofactor. Bantu wujudkan akal Biofactor help her with brilliant
pintarnya. ideas.
Anak kecil : Aha! Anak kecil : Aha!
Ervina Arapah
100
Table 4. The Transcript of S26 Procald Gold
The two commercial breaks, TVC Procald Gold Multiplaying and S26 Procald Gold,
display the creativity of the kids. Both are broadcasted by television channels in Indonesia.
These two commercial breaks really teach that kids can be innovative, regardless whether the
scenarios are made up. The makers might have considered the psychological possibility of
kids when the commercial breaks’ ideas were chosen. So, something like what it is shown in
both commercial breaks are probable because each person –kids, teenagers, adults or elderly–
can bring creative ideas as long as the conditions are ‘secure.’ In other words, the culture or the
situation around should really trigger them to be creative people.
2.4 Hard work
Indonesia and the United State are different in terms of natural resources. Indonesia is very rich
with lots of assets given by the nature. This might form a view that the people are spoiled by the
resources where they live in any parts of Indonesia. The tendency is that there are people who
are lazy enough to explore themselves into hardworking attitude. Even the commercial break of
Kuku Bima which displays the beauty of Nusa Tenggara Timur, stresses on how Indonesia is so
much fertile that the people can always take the advantage of the nature.
Table 5.The Transcipt of Kuku Bima NTT: Kolam susu Commercial Break
Lagu : Bukan lautan tapi kolam susu. Bukan Song : It’s not a sea but a pool of milk. It’s
lautan tapi kolam susu. Kail dan jala not a sea but a pool of milk. Hooks
cukup menghidupimu. Tiada badai and nets are enough for your life.
tiada topan kau temui. Ikan dan No hurricane no storms that you
udang menghampiri dirimu. Bukan encountered. Fish and shrimp are
lautan tapi kolam susu. Kail dan jala over to you. It’s not a sea but a pool
cukup menghidupimu. Tiada badai of milk. Hooks and nets are enough
tiada topan kau temui. Ikan dan for your life. No hurricane no storms
udang menghampiri dirimu. Orang that you encountered. Fish and
bilang tanah kita tanah surga. shrimp are over to you. People say
Tongkat kayu dan batu jadi tanaman. we are the land of paradise. Sticks
Orang bilang tanah kita tanah surga. and stones can turn into plant.
Tongkat kayu dan batu jadi tanaman. People say we are the land of
2x paradise. Sticks and stones can
All : Kuku Bima! Roso! turn into plant. 2x
Elvina Arapah
101
The people of the United State, on the contrary, are conditioned to do more to achieve what
they would like to have. As it is known that the multicultural United States consist of immigrant people,
native Indian, Hispanics, middle eastern people and other races which try their fortune to make a
living in the US. This condition really require them to have a hard work for their lives because the
nature is not enough to spoil them. They have to make extra effort to achieve what they want.
However, nature does not always help and ease the Indonesian people. For those who
live in a remote areas of Indonesia, they really have to struggle for life. It is shown in the commercial
break of Gudang Garam: the Bridge to Future. It teaches us on how everybody should work hard to
achieve his / her goal. The nature does not all the time support the people in Indonesia. In other
words, they must also work hard to live their lives, is it is reflected in the commercial break.
Table 6. The Transcript of Gudang Garam: Jembatan Masa Depan Commercial Break
Lagu : (Tulisan: terinspirasi dari kisah nyata. Song : (Posts: inspired by a true story. A
Sebuah perjuangan menggapai cita-cita) struggle to reach goals)
Anak-anak laki-laki: (menyeberangi ke sungai Boys: (crossing the river by swimming,
dengan berenang membawa pakaian bringing their school clothes on top
sekolah mereka di atas kepala agar tidak of the head so as not to wet
basah) Boy 1: Dad says if I want to be a smart
Anak 1: Kata Bapak kalo aku mau jadi orang person, must be able to swim. If I
pintar, harus bisa berenang. Soalnya cannot swim, I cannot get into
kalau nggak bisa berenang, aku nggak school. Nevertheless, I should be
bisa sampai di sekolah. Tapi walau up at school, continue to learn
bagaimanapun, aku harus sampai together with my teacher and
disekolah, terus belajar sama Bu Guru friends. Teacher says the school's
dan teman-teman. Bu Guru bilang future bridges. if only there is a
sekolah itu jembatan masa depan. Coba bridge to school, I can get a faster
ke sekolah ada jembatan juga, aku bisa future.
sampai masa depan lebih cepat.
2.5 Independence
The commercial break of 3 Indie+ really reflects the modern life that might be thought
by the kids about their future life. They imagine on what they are going to do when they have
grown up. From the illustration of the future life in the commercial break, it seems that they are
longing to freedom on what they intend to do without being interfered by others.
Ervina Arapah
102
Table 6. The Transcript of 3 Indie+ Commercial Break
Anak 1 : Kalo aku dah gede, aku mau jadi Kid 1 : If I have grown up, I want to be an
x-mode. x-mode.
Anak 2 : Mau jadi bos. Kid 2 : I wanna be the boss.
Anak 3 : Hari-hari ngomong bahasa Kid 3 : Everyday talking in English.
Inggris. Kid 4 : Every Friday coming home from
Anak 4 : Tiap Jumat pulang kantor, office, hanging out with x-mode
nongkrong bareng sesama x- talking about big project to look
mode ngomongin proyek besar successful.
biar keliatan sukses. Kid 5 : Speaking with manly voice in order
Anak 5 : Suara agak digedein biar to be heard by the girl at the next
kedengaran cewek di meja table.
sebelah. Kid 6 : On weekend, having breakfast in a
Anak 6 : Kalo weekend sarapan di kafe café and getting busy with the
sambil sibuk laptopan pesen kopi laptop, ordering a cup of coffee
secangkir harga 40 ribuan priced Rp.40.000,-, drinking it
minumnya pelan pelan biar tahan slowly to make it last until afternoon
sampai siang demi wifi gratis. to enjoy the free wifi.
Anak 7 : Kalo tanggal tua pagi siang malam Kid 7 : At the end of each month, instant
makannya mi instan. noodle is served for breakfast,
Anak 8 : Kalo mau nelpon bisanya Cuma lunch and dinner.
miscall. Kid 8 : Calling means miscalling.
Anak 9 : Jadi orang gede menyenangkan Kid 9 : Becoming adults is fun, but difficult
tapi susah dijalanin to live
Narator : Pakai dulu baya kapan kamu suka Narrator : Use it and pay it anytime you like
indie+ layanan prabayar indie+. Pre-paid services for post-
kenyamanan pasca bayar paid services.
Elvina Arapah
103
Table 7. The Transcript of Lifebuoy: 5 Resep Dokter Kecil Commercial Break
Narator: Ayo teman jaga kesehatan, 5 resep Narrator: Dear friends. Let’s be health
dokter kecil lifebuoy, supaya bersih conscious. Here are five small lifebuoy
dari kuman, simak baik baik 1, prescription, to get clean from germs,
lifebuoy saat mandi, 2, 3, 4, cuci 1. lifebuoy bath, 2. 3. 4. washing your
tangan setiap sebelum makan pagi hands before eating breakfast every
siang malam 5, setelah buang air day and night 5, after using bathroom
kecil dan besar ingat 5 resep dokter and remember these five great recipes
kecil lifebuoy terbukti secara klinis of lifebuoy small physician have been
Indonesia ayo lebih sehat tidak clinically proven healthier. It is for
takuut. healthy and brave Indonesia.
The cross cultural perspectives of cleanliness are meant as the different habit of the
American and Indonesian people. Bathing might be considered enough for American to have it
once in a day. It happens in winter when the temperature is sometimes below 0° and people does
not sweat at all. Even in summer when the heat falls at its highest degree, sweating might not really
be a problem because it is not humid there and does not cause people sweating a lot. Unlike in the
United Stated, people in Indonesia really need bathing because of the high humidity level. The
tendency to sweat a lot happens in Indonesia because it is wet summer, not the dry one.
Related to hand-washing, all American restaurants provide the washbasin for the
customers to wash their hand, and they also prepare the hand soap. Nowadays, food courts in
Indonesia already provide their customer with those things too. It means that the habits already
turn into the good one. Restrooms in the US also provide those hand washing facilities. However
in Indonesia, only at good and big restaurant, such services are given. If people eat at small food
courts, some do have, but other don’t. This cleanliness issue reflects the cross cultural views on
keeping their hygiene or sanitation.
2.7 Extreme Informality
Discussing about formality and informality, Americans are extremely informal and call
most people by their first name or nickname. In Indonesia, this is possible regarding some
aspects like the relationship between the speakers, age, situation, and so forth. In the US,
students can always call their teacher by his or her name while in Indonesia, the term of address
is required. The kinship of Indonesian people shows that addressing someone with Bapak or
Ibu, Mas or Mbak, Adek, Nak, etc., is necessary to be polite. It is also normal for an American
teacher to sit on the desk where as in Indonesia it is considered impolite.
The commercial break of Kartu As is set in an Indonesian classroom where the student,
Arif, politely addresses his teacher by Ibu or Ma’am. In a setting like this as in Table 8, a student
is required to always respect the teacher and one form of showing respect is by addressing him
or her with Bapak (Sir) or Ibu (Ma’am). The teacher may always be able to address the student
by name directly without any terms of address. The use of any terms for addressing the students
in both American and Indonesian context might create distance between teacher and students
or enhance the level of formality.
Ervina Arapah
104
Table 8. The Transcipt of Kartu As Commercial Break
Elvina Arapah
105
On the contrary with what happens in Indonesia, American people is very discipline
about queuing. They always wait for their turn. Moreover, the standing distance always exist
between the persons. Americans don’t push or stand too close to anyone in line. They maintain
the distance of half meter when standing in line. It will be a great shame if someone cuts the line.
It seems like that person breaks the unwritten rules about manner. If only Indonesian is able to
think that being discipline in queues really reflect the character of an individual and the culture
of a nation, the problem of stealing other’s properties like corruption might not happen because
everybody is aware of each person’s right.
2.9 Dancing
The United States is famous for its dances such as Hula-Hula (Hawaii). The adopted
dances such as Salsa and Flamingos are also popular all over America. Similarly, Indonesia is
also rich with many traditional dances like Kecak dance, Saman, dance, etc. This cultural
tradition might apply differently between two countries. In the US, dances serves as part of a
party, yet in Indonesia it is carried out in a performance or ceremony. Therefore, there is always
meaning behind the dances. Since the dance is performed together, the sense of togetherness
is emotionally attached. The commercial break of Kuku Bima Energy set in Papua displays how
dance becomes part of togetherness within then community. Although the message of the
commercial break originally explores the beauty of Papua land, some scenes of it involves
people dancing together.
Table 10. The Transcipt of Kuku Bima Energy: Papua Commercial Break
Lagu: Papua, bumi yang penuh berkah. Inamgo mikim ye. pia sore, paisa sore ye ye.
Papua penuh potensi. Sajojo Sajojo. Yumanampo misa papa. Samuna muna
muna keke. Samuna muna muna keke. Kuserai, kusaserai rai rai rai rai. Inamgo
mikim ye. pia sore, paisa sore ye ye. Sajojo Sajojo. Yumanampo misa papa.
Samuna muna muna keke. Samuna muna muna keke. Kuserai, kusaserai rai rai
rai rai. Inamgo mikim ye. Pia sore, paisa sore ye ye. Inamgo mikim ye. Pia sore,
paisa sore ye ye. Indahnya negeriku. Indahnya Indonesia kebanggaanku. Kuku
Bima Energi Roso!
2.10 Responsibility
Indonesia and American parents teach responsibility in quite similar ways. Americans
speak to their children as adults and teach them how to be responsible for their actions. Some
Indonesian parents give examples on what to do and explicitly ask their children to imitate them.
Ervina Arapah
106
Table 11. The Transcript of Pepsodent: Ayah Adi& Dika versi Gantian Dong! Commercial
Ayah : Kamu ngga sikat gigi, kenapa sih Dad: You don’t brush your teeth. Why should
Ayah harus kasih tau kamu untuk have I always reminded you about
sikat gigi tiap malam? Sekarang brushing teeth every night? Now, let’s
gantian ah, nggak mau sikat gigi ah exchange roles. I don’t want to brush
Dika : Ayah kan tadi abis makan ayam tuh. my teeth.
Kalo nggak sikat gigi nanti Dika: Dad, you ate chicken. If you don’t
ayamnya nginap di situ, (menirukan brush your teeth, the chicken will stay
suara ayam berkokok). there. (imitating the sound of chicken
Ayah : Gimana? crowing).
Dika : Tekan Odolnya Dad: How to brush the teeth?
Ayah : Sikat giginya Dika: Press the toothbrush?
Dika : Muter muter, anak pinter. Dad: Brush the teeth.
Dika: Brush and brush. Good boy.
Ibu : Taraaa! Waktunya es krim, mau pesan Mom : Taraaa! Ice cream time, what
apa nona nona? flavor would you like to order?
Anak 1 : Kelapa Girl 1 : Coconut essence
Anak 2 : Blueberry. Girl 2 : Blueberry.
Anak 3 : Mangga, Girl 3 : Mango,
Ayah : Ayah mau semua. Dad : I want all.
Narator : Baru Walls three in one dengan Narrator : It’s new Walls three in one with
perpaduan unik dari tiga rasa buah yang the mixture of three fruit essence
lezat, mangga, kelapa dan blueberry mango, coconut, and blueberry
Anak-anak: Yeay Girls : Yeay
Ayah : Uhmm Dad : Uhmm
Ibu : Ada pesanan lainnya Mom : Any other order?
Ayah + anak-anak: Besok lagi donk Dad + Girls: Give us again tomorrow
Narator : Serunya mengakhiri hari dengan Wall’s 3 Narrator : It’s fun to end the day with Wall’s
in 1 3 in 1
Elvina Arapah
107
What might become the concern of parents is that the culture of eating together at the
dining table or family meal time starts to become diminished. The excuse of being busy from
each member of the family is not appropriate as the reason of making the family time meal
disappear from the scene of every house.
2.12 Asking ‘why?’
Thinking critically is a part of learning and exposed during schools. At home, American
parents always encourage their children to question and always ask “Why?” This might be
different with the treatment of Indonesian parents. The exposure to critical thinking is sometimes
becoming the ignored part of education at home. Therefore, both American and Indonesian
people are in the same boat about the teaching and acquisition of good character that must be
accustomed at schools, at home, and the children’s nearest environment.
The scene from the commercial break of Frisian Versi Ini Teh Susu shows how the little
girl thinks critically by questioning why the boy mentioned teh for a glass of milk. She keeps
enquiring why the boy said “Ini teh susu.” even though it is only milk, not even a combination of
tea and milk. (See Table 13) Although in the end it is the girl’s misunderstanding because she
doesn’t know that in Sundanese teh is an insertion in an expression uttered, the scene teaches
the importance of critical thinking.
Table 13. The Transcript of Frisian Versi Ini Teh Susu Commercial Break
Anak laki-laki : Ini teh buat saya bu? Boy : Is this milk for me, Mom?
Ibu 1 : He eh. Mom 1 : Yes.
Anak perempuan : Bu bu, susu kok dibilang Girl : Mom, why he said milk as tea? That
teh? Itu susu kan? is milk, right?
Anak laki-laki : Iya, ini teh susu Boy : Yes, this is teh milk.
Anak perempuan : Mana teh nya? Girl : Where is the tea?
Anak laki-laki : Yee, ini teh susu. Boy : Yee, this is teh milk
this Ibu 2 : Oalah ga mudeng ini Bu. Mom 2 : Oalah she doesn’t understand,
Ibu 1 : Lucu nya. Neng geulis mau? Ma’am.
Anak perempuan : Mau tapi nggak pake teh Mom 1 : It’s so cute. Do you want some?
Narator : Selalu tersenyum dari Girl : Yes, but without the tea.
generasi ke generasi Narrator: Keep smiling from generation to
generation.
Ervina Arapah
108
Kid 1 : My First
Kid 2 : My last
Kid 3 : My Everything
Kid 4 : And the answer to …
Kid 5 : All my dream
Kid 6 : You're my sun, my moon
Kid 7 : My guiding star
Kid 8 : My kind of wonderful,
Kid 9 : That's what you are
Kid 10 : My everything.
Anak Kecil : Aku menolong kucing kucing ini. Girl : I help these kittens.
Ibunya : Terus baju kotormu gimana? Mom : How about your dirty clothes?
Narator : Rinso anti noda dengan Kristal x Narrator : Rinso Anti Noda with Blue Crystal x
biru mencuci sendiri can wash and clear up the stubborn
menghilangkan noda membandel stains like mud and blood by
seperti lumpur dan darah dengan rubbing it once using Rinso Anti
sekali kucek. Rinso anti noda Noda.
The little girl in this Rinso commercial break is taking a risk of dealing with her mother’s
anger because she make her clothes dirty in helping the homeless kittens. Nevertheless, the
mother should not scold her because of her loving and caring action by saving those poor
kittens. The little girl’s action is a good behavior and she deserves a compliment although she
makes her clothes stained. What has been taught by this commercial break is that being loving
and caring is not limited to human being only, it is also rewarding to help all creatures on the
earth in terms of feeling the self-satisfaction.
The next commercial break is another example of how loving and caring is even felt
and done by young kids. The boy in the Oreo commercial break is putting his attention to Afika,
his friend, by bringing her a sweater that can warm her in the cold weather. He also brings food
Elvina Arapah
109
to be eaten together. If this thing really happens in real life, there might be no dispute or students’
brawl or there might be not any violence happened among the people. Life might have been
filled with affection that will bring human life into peace.
Table 16. The Transcript of Oreo Rasa Orange Commercial Break
A loving and caring attention might have been missing among the people nowadays. A
family sometimes does not know who live next to them or the neighbor. Parents cannot spend
some time together with their children just because they have to work early in the morning and
return home at night. This lack of attention might also form community which ignores and
abandon each other. Starting to give a loving and caring treatment to everybody and everything
is probably a way to build a good character.
III. CONCLUSION
The result might be considered as a reference for the makers of commercial breaks
that their work of art could be contributive for building the character of the people. As for educators,
especially English teachers, there should be an endless effort in finding and creating any
possible ways to help building the good character of their students. Teacher always has the
main role in selecting and utilizing the materials that has cultural content.
REFERENCES
NiŸegorodcew, Anna. 2011. Understanding Culture Through a Lingua Franca in Aspects of
Culture in Second Language Acquisition and Foreign Language Learning. Eds. Janusz
Arabski and Adam Wojtaszek. London: Springer.
Tomasouw, Pauline, Dra. 1986. Buku Materi Pokok Cross Cultural Understanding. Jakarta:
Penerbit Karunika, Universitas Terbuka.
______ 101 Characteristics of Americans/American Culture retrieved from https:
www.press.umich. edu/ pdf/9780472033041-101AmerCult.pdf on May 14th 2014.
Ervina Arapah
110
______ Iklan Vidoran Smart Versi Antrian retrieved from http://www.youtube.com/
watch?v=mloOCENemAk on May 15th 2014.
______ Iklan Gudang Garam: jembatan masa depan retrieved from http://www.youtube.com/
watch?v=QIKfd8ujeKU on May 15th 2014.
______ Iklan rinso: anti noda versi kucing retrieved from http://www.youtube.com/
watch?v=7nWPJ6zOdIc on May 15th 2014.
______ Iklan lifebuoy: 5 resep dokter kecil retrieved from http://www.youtube.com
watch?v=bTtHzwlFUL4 on May 15th 2014.
______ Iklan pepsodent: Ayah Adi& Dika versi Gantian Dong! retrieved from http://
www.youtube.com/watch?v=6fvr4O8pzhs on May 15th 2014.
______ Iklan Frisian (versi ini the susu) retrieved from http://www.youtube.com/
watch?v=E_Ceh8To6mQ on May 15th 2014.
______ Iklan oreo rasa orange retrieved from http://www.youtube.com/watch?v=T8gYiZ7qeIo
on May 15th 2014.
______ Iklan Bebelac 3 sing along retrieved from http://www.youtube.com/watch?v=BKDr-
qRG6XQ on May 15th 2014.
______ Iklan s26 procald gold retrieved from http://www.youtube.com/watch?v=Bw8fB6ccIyM
on May 15th 2014.
______ Iklan tvc procald gold multiplaying retrieved from http://www.youtube.com
watch?v=OpwlJHgXQL8 on May 15th 2014.
______ Iklan Koleksi Iklan Iklan Wall’s 3 In 1 Fruity Delight retrieved from http://www.youtube.com/
watch?v=CDfvSFeIPg8 on May 15th 2014.
______ Iklan window 8 retrieved from http://www.youtube.com/watch?v=qUZMXfwDQ-0 on
May 15th 2014.
______ Iklan 3 indie+ retrieved from http://www.youtube.com/watch?v=klwyQBjgPWw on May
15th 2014.
______ Iklan kuku bima energy papua retrieved from http://www.youtube.com/watch?v= Cb0
QnnA-hNs on May 15th 2014.
______ klan kuku bima NTT, Kolam susu retrieved from http://www.youtube.com/
watch?v=j1Z7Mh6rZkA on May 15th 2014.
______ Iklan kuku bima Kalimantan retrieved from http://www.youtube.com/
watch?v=U77w0XYP7oo on May 15th 2014.
Elvina Arapah
111
Ervina Arapah
112
PEMBENTUKAN KARAKTER ANAK SEKOLAH DASAR MELALUI
PENGGUNAAN BAHASA INDONESIA YANG SANTUN
Muslimin
Universitas Negeri Gorontalo
ABSTRAK
Sekolah dasar merupakan jenjang pendidikan untuk usia anak antara 6-13 tahun yang memiliki
karakteristik selalu ingin tahu terhadap sesuatu, baik yang belum atau sudah pernah dilihat,
dirasakan atau dialami. Biasanya siswa sekolah dasar membutuhkan guru sebagai pembimbing
yang dapat dijadikan idolanya. Pada umumnya siswa SD mengidolakan gurunya yang
merupakan guru kelas. Guru kelas di SD memegang semua mata pelajaran, kecuali agama
dan olah raga. Setiap hari guru selalu berkomunikasi dengan siswa sebagai peserta didiknya
dengan menggunakan bahasa. Bahasa sebagai alat komunikasi dan pengantar dalam
melaksanakan pembelajaran di kelas, memegang peranan penting untuk membentuk karakter
siswa. Guru menjadi teladan bagi siswanya dalam melakukan segala sesuatu yang berkaitan
dengan pembelajaran melalui bahasa yang digunakannya (bahasa yang santun). Di era modern
ini, tidak dapat dipungkiri bahwa terjadinya masalah di kalangan masyarakat karena disebabkan
oleh kesalahpahaman dalam berkomunikasi/berbahasa atau penggunaan bahasa yang tidak
santun. Terkadang hal ini tidak disadari bahwa kita sering menghujat, memaki, memfitnah,
memprovokasi, mengejek atau melecehkan orang lain. Hal ini merupakan salah satu bentuk
prilaku kurang baik yang dapat menjerumuskan kita dan orang lain pada hal-hal yang negatif.
Pada dasarnya bahasa adalah perwujudan budaya bangsa Indonesia yang digunakan
masyarakat termasuk guru dalam berkomunikasi baik secara lisan maupun tulisan dengan
tujuan menyampaikan maksud atau tujuan kepada lawan bicara. Oleh karena itu, pembentukan
karakter siswa dapat dipadukan dengan penggunaan bahasa yang santun sebab antara karakter
dan budaya (termasuk bahasa di dalamnya) saling berkaitan dan saling mempengaruhi,
mengingat keduanya dapat dikaitkan melalui pembelajaran. Kesantunan berbahasa seorang
guru merupakan cermin kualitas kepribadian/teladan bagi siswanya sehingga berpotensi untuk
dikembangkan menjadi pembentuk karakter anak atau siswa.
Kata Kunci: karakter, anak, bahasa Indonesia
I. PENDAHULUAN
Anak usia di bawah 10 tahun sesungguhnya belum mempunyai fondasi yang kuat
dalam menjalani hidup, cara berpikir, dan tingkah laku. Jadi semua hal yang dilihat, didengar,
dan dirasakan selama masa pertumbuhan akan diserap melalui pikiran dan dijadikan sebagai
dasar atau modal bersikap dan bertingkah laku dalam hidupnya. Oleh karena itu, menjadi
Muslimin
113
tugas dan tanggung jawab orang tua untuk memilah, memilih, dan menentukan input yang
akan dimasukkan untuk membentuk karakter anak pada hal-hal yang baik/positif sehingga
tumbuh menjadi generasi masa depan yang membanggakan.
Di era globalisasi saat ini, perkembangan teknologi yang begitu cepat membuat
manusia dengan mudah mendapatkan informasi apa saja tanpa melalui proses filterisasi,
sehingga banyak informasi yang seharusnya tidak perlu diketahui, namun dapat diakses secara
bebas dan terbuka. Teknologi dan informasi sebenarnya tidak perlu disalahkan, yang salah
justru orangnya yang memanfaatkan teknologi tersebut. Beberapa fakta menunjukkan bahwa
negara kita tercinta Indonesia mengalami krisis multidimensi, terutama permasalahan yang
terkait dengan penyimpangan moral, seperti: seks bebas, tawuran pelajar, kebut-kebutan di
jalan, pengguna narkoba, minuman keras, perjudian, kasus korupsi, perampokan, bom bunuh
diri teroris, kasus video porno, dan prilaku sodomi pada anak-anak.
Nampak jelas bahwa begitu banyak permasalahan yang dialami negeri ini. Tentu kita
semua merasa sangat prihatin melihat kondisi ini, dan yang paling memprihatinkan adalah
adanya kasus pelecehan seksual pada anak-anak usia dini yang notabenenya adalah sebagai
calon generasi penerus dan pemimpin bangsa Indonesia di masa mendatang. Menurut
Warsono (2010) kondisi seperti ini tentu saja sangat memprihatinkan bagi kita semua. Di
tengah kondisi bangsa yang sedang terpuruk secara ekonomi, moralitas generasi muda kita
juga terpuruk. Keterpurukan moralitas generasi muda tentu saja sangat mengkawatirkan kita
semua, sebab merekalah yang akan menjadi pemimpin bangsa di masa mendatang. Kita
tidak bisa membayangkan seandainya di masa mendatang negara ini dipimpin oleh orang-
orang yang tidak bermoral, mungkin negara ini akan semakin kacau.
Oleh karena itu, salah satu solusi mengatasi permasalahan terkait dengan
pembentukan karakter anak adalah melalui pendidikan baik formal maupun nonformal.
Penguatan karakter anak melalui pendidikan diharapkan mampu melahirkan masyarakat yang
terdidik berakhlak mulia dan mampu meningkatkan kesadaran masyarakat untuk hidup secara
harmonis, toleran dalam kemajemukan, berwawasan kebangsaan yang demokrasi serta
berwawasan global. Hal ini relevan dengan tujuan pendidikan nasional sebagaimana tercantum
dalam UU Nomor 20 tahun 2003 tentang sistem Pendidikan Nasional pasal 3: Pendidikan
nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban
bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk
berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa
kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan
menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab.
Dari tujuan pendidikan nasional tersebut mempunyai makna bahwa potensi yang
perlu dikembangkan dari diri siswa bukan hanya aspek kognitif saja namun aspek afektif dan
aspek psikomotorik. Dengan kata lain pendidikan nasional juga bertujuan untuk membentuk
karakter siswa.
Berdasarkan uraian di atas, maka langkah strategis pembentukan karakter siswa sesuai
UU Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sisdiknas dapat dilakukan melalui penggunaan bahasa
yang santun sebab antara karakter dan budaya (termasuk bahasa di dalamnya) saling berkaitan
Muslimin
114
dan saling mempengaruhi, mengingat keduanya dapat dikaitkan melalui pembelajaran.
Kesantunan berbahasa seorang guru merupakan cermin kualitas kepribadian/teladan bagi
siswanya sehingga berpotensi untuk dikembangkan menjadi pembentuk karakter anak atau
siswa.
II. METODE PENELITIAN
Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah studi kasus. Menurut Bogdan
dan Bikien (1982) studi kasus merupakan pengujian secara rinci terhadap satu latar atau satu
orang subjek atau satu tempat penyimpanan dokumen atau satu peristiwa tertentu. Creswell
(1998) menjelaskan bahwa suatu penelitian dapat disebut sebagai penelitian studi kasus apabila
proses penelitiannya dilakukan secara mendalam dan menyeluruh tehadap kasus yang diteliti.
Berdasarkan pendapat tersebut, studi kasus yang digunakan adalah studi kasus
observasi dengan teknik pengumpulan datanya melalui observasi peran serta atau pelibatan
(participant observation), sedangkan fokus studinya pada suatu organisasi tertentu. Bagian-
bagian organisasi yang menjadi fokus studinya antara lain: (a) suatu tempat di dalam sekolah,
(b) satu kelompok siswa, (c) kegiatan sekolah.
Dengan mengacu pada pendapat di atas, studi kasus yang dilakukan adalah pada
siswa Kelas 1c, Sekolah Dasar Negeri No. 30 Kota Selatan, Kota Gorontalo. Penulis melakukan
pengamatan pada interaksi siswa saat berada di sekolah pada bulan April 2014. Langkah-
langkah pengumpulan dan analisis data meliputi: (a) pemilihan kasus, (b) pengumpulan data,
(c) analisis data, (d) perbaikan, dan (e) penulisan laporan.
III. PEMBAHASAN
Terjadinya masalah di kalangan masyarakat karena disebabkan oleh kasalahpahaman
dalam berkomunikasi/berbahasa atau penggunaan bahasa yang tidak santun. Terkadang hal
ini tidak disadari bahwa kita sering menghujat, memaki, memfitnah, memprovokasi, mengejek
atau melecehkan orang lain. Hal ini merupakan salah satu bentuk prilaku kurang baik yang
dapat menjerumuskan kita dan orang lain pada hal-hal yang negatif. Pada dasarnya bahasa
adalah perwujudan budaya bangsa Indonesia yang digunakan masyarakat termasuk guru dalam
berkomunikasi baik secara lisan maupun tulisan dengan tujuan menyampaikan maksud atau
tujuan kepada lawan bicara.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa pembentukan karakter anak sebenarnya dapat
dilakukan dengan mudah dan sederhana. Salah cara yang dapat dilakukan oleh orang tua
atau guru melalui penggunaan bahasa komunikasi positif dan efektif. Untuk itu, dari hasil
penelitian tersebut ada beberapa hal yang dapat dilakukan untuk mewujudkan upaya
pembentukan karakter anak bangsa agar menjadi generasi cemerlang dan generasi emas
yang unggul dan berbudi luhur sesuai dengan cita-cita dan harapan bangsa kedepan.
Muslimin
115
3.1 Strategi Membentuk Karakter Anak Sekolah Dasar
Strategi pembentukan karakter pada siswa SD dapat melalui beberapa cara antara
lain: (1) keteladanan, (2) penanaman disiplin, (3) pembiasaan, (4) menciptakan suasana
konduksif, (5) integrasi dan internalisasi (Furqon, 2011:4).
Untuk itu, ada beberapa poin yang dapat digunakan untuk membentuk karakter anak
agar menjadi anak yang baik, berkarakter, dan memiliki sikap sopan santun, sebagai berikut:
1. Dimulai sejak kecil. Anak harus diajarkan tentang sopan santun sedini mungkin.
Dari saat anak kita sudah dapat berbicara, ajarkan mereka tentang kata: “Terima
kasih” atau “Maaf”. Semakin dini kita memperkenalkan sopan santun kepada anak,
maka akan semakin baik pola dan tingkah laku anak untuk bersikap sopan kepada
siapa saja, sehingga tidak akan menjadi sebuah keterpaksaan.
2. Sebaiknya diajarkan sikap menghormati. Sopan santun perlu dimulai dari
orangtua memperlakukan anak sejak lahir. Tumbuhkan sikap sopan santun dimulai
dari rasa hormat kepada orang lain dan rasa hormat dimulai dari sikap terhadap
orang lain dan termasuk anak-anak teman sebayanya.
3. Tumbuhkan sikap keteladanan. Ketika anak berusia 2 tahun hingga 4 tahun
mereka kerap mengulang apa yang mereka dengar. Biarkan anak-anak kerap
mendengar kata-kata yang baik seperti “mohon maaf”, “minta tolong”, “terima kasih”,
“terima kasih kembali”, dan “permisi”. Walaupun kata-kata tersebut ditujukan pada
orang lain, anak-anak dapat belajar dari apa yang mereka dengar dan lihat dari
orang dewasa. Biarkan anak menangkap kesan dan situasi dari pembicaraan yang
sopan.
4. Biasanya anak berbicara dengan menyebut nama. Biasakan memanggil nama
anak ketika berinteraksi dengan mereka, sehingga mereka akan belajar sopan
santun dan mereka merasa dekat, misal, “Papa..! Noval boleh minta tolong....”, atau
anak yang berbicara: “Ibu, boleh Noval minta izin.....”.
5. Luangkan waktu untuk memberi perhatian pada anak. Ajaklah anak-anak
sesekali dalam kegiatan orang dewasa, terutama jika tak ada anak-anak lain ikut
serta. Ketika anak hanya berada di antara orang dewasa, mereka akan kerap
membuat masalah sebagai upaya mencari perhatian Anda. Bahkan anak yang
selama ini berperilaku baik sekalipun. Cobalah memperkenalkan dan menyertakan
kehadiran sang anak, ini akan mengajarkan keterampilan sosial pada anak.
Tetaplah terkoneksi dan pertimbangkan situasi anak yang dapat memperlihatkan
perilaku kurang menyenangkan. Selama aktivitas Anda bersama orang dewasa
lain, upayakan tetap dekat dengan anak paling kecil Anda. Jangan lupa tetap lakukan
kontak mata dan berbicara padanya. Bantulah anak merasa menjadi bagian dari
aktivitas sehingga dapat mengusir kebosanan dan keinginan membuat masalah.
6. Jangan melakukan tindakan paksaan saat mengajari sopan santun. Bahasa
adalah kemampuan yang sebaiknya mengalir, bukan dipaksakan. Boleh saja
sesekali Anda meminta anak mengatakan “minta tolong” atau “terima kasih”. Selalu
Muslimin
116
mengulang meminta anak mengatakan “kata ajaib” sebagai syarat memberikan
sesuatu, akan membuat anak merasa bosan dengan kata-kata sopan sebelum
mereka memahaminya. Jika Anda ingin meminta anak mengatakan “minta tolong”,
sebaiknya sekedar katakan saja dengan cara yang baik. Dan pastikan mereka
mendengar kalimat yang Anda utarakan. Kebiasaan ini akan lebih cepat ditangkap
jika Anda memberikan permintaan dengan kalimat-kalimat yang enak didengar
sembari senyum di wajah orangtua.
7. Koreksi secara sopan. Ketika anak membuat sebuah kebodohan atau kesalahan,
jaga intonasi dan suara tetap terkontrol. Tetap upayakan kontak mata dan letakkan
tangan di bahunya sembari menasihati. Gestur ini merefleksikan jika orangtua
mengoreksi anak karena kepeduliannya. Dan, bukan karena marah. Kesopanan
yang diperlihatkan pada anak akan menunjukkan betapa berharganya anak di
mata orangtua. Dan, orangtua ingin anak belajar dari kesalahannya serta selalu
mendengarkan nasihat orangtua. Kelak, anak juga akan menjadi orang dewasa
yang dapat menghormati dan menghargai orang lain.
8. Berikan contoh pada anak. Anak-anak belajar melalui apa yang mereka lihat.
Karena itu, tunjukkan anak Anda bagaimana cara bersikap yang baik. Anda juga
harus melakukan apa yang Anda suruh mereka lakukan, hal ini akan menjadi contoh
baik untuk anak Anda tiru nantinya.
9. Jangan biarkan ketika anak tidak berbuat sopan. Beberapa tata krama dan
sopan santun mau tak mau harus dilakukan oleh anak Anda. Seperti jangan
menggigit orang lain atau berteriak di tempat umum. Jangan biarkan anak berpikir
hal-hal tersebut boleh dilakukan. Ajarkan kepadanya bahwa hal-hal seperti berterima
kasih, kesopanan, menunggu giliran serta menyapa orang lain adalah hal yang
harus dilakukan. Berilah pengertian bahwa hak dan kewajiban saling berhubungan.
Jika ia ingin mendapatkan hak, maka ia harus melaksanakan kewajibannya.
3.2. Faktor-Faktor Penyebab Hilangnya Budaya Satun pada Anak Didik
terhadap Gurunya
Merosotnya budaya sopan santun peserta didik terhadap guru, orang tua atau orang
lain dipengaruhi banyak faktor, baik dari siswa sebagai faktor internal dan faktor eksternal
seperti guru, perkembangan teknologi informasi dan komunikasi atau ICT, pengaruh
moderenisasi kultur, pergaulan bebas, dan penyalahgunaan obat-obat terlarang juga mengambil
peranan dalam proses hilangnya sopan santun peserta didik terhadap guru atau orang tua/
orang lain.
Guru sebagai salah satu faktor eksternal di atas, ternyata memiliki pengaruh yang
sangat menonjol terhadap lunturnya budaya sopan santun peserta didik. Hal ini disebabkan
oleh beberapa alasan sebagai berikut:
1. Penampilan guru. Hal ini sangat penting karena peserta didik akan menilai rapi
atau tidaknya cara berpakaian guru, harum atau bau aroma tubuh guru tersebut,
panjang atau pendek rambut guru (khusus guru laki-laki).
Muslimin
117
2. Telat atau jarang masuk, dengan beban 24 jam pelajaran dan banyaknya adminitrasi
yang harus dibuat oleh seorang guru ditambah lagi ada side job untuk menambah
penghasilan. Akan berdampak pada performa guru tersebut sehingga sering telat
dan tidak masuk.
3. Pilih kasih, sifat ini yang sering tidak disadari oleh guru dan sering membanding-
bandingkan peserta didik yang satu dengan peserta didik yang lain.
4. PR dan tugas sering tidak dikoreksi, dengan mengoreksi dan memberikan nilai
merupakan reward bagi peserta didik sebagai bentuk penghargaan guru terhadap
hasil kerja keras peserta didik tersebut.
5. Berkata kasar, perkataan yang kasar akan membuat pandangan negatif peserta
didik terhadap guru.
3.3 Bahasa sebagai Wadah Pembentukan Karakter Anak
Bahasa sebagai alat komunikasi, merupakan saluran perumusan maksud pembicara
kepada pendengar atau penulis kepada pembaca untuk melahirkan perasaan dan
memungkinkan kedua belah pihak untuk menciptakan kerja sama satu sama lain.
Bahasa adalah jantung kebudayaan, karena itu merawat bahasa Indonesia merupakan
sebuah keharusan bangsa Indonesia. Jika tidak, kebudayaan akan lemah dan tak punya arah
yang jelas, sehingga menyebabkan kerapuhan pada mental anak. Disadari bahwa bahasa
Indonesia amat kaya dengan berbagai ungkapan dan petuah luhur yang tetap aktual serta
relevan dengan kondisi keindonesiaan. Bahasa Indonesia dapat berfungsi sebagai penunjang
perkembangan bahasa dan sastra Indonesia atau alat untuk menyampaikan gagasan yang
mendukung pembangunan Indonesia atau pengungkap pikiran, sikap, dan nilai-nilai yang
berada dalam bingkai keindonesiaan.
Dalam pengembangan pendidikan budaya (termasuk bahasa di dalamnya) dan
karakter bangsa yang digagas oleh Kemendikbud, terdapat 18 nilai yang patut dikembangkan
dan direalisasikan dalam kehidupan peserta didik di sekolah maupun di rumah atau lingkungan
masyarakat. Kedelapanbelas nilai dimaksud meliputi: religius, jujur, toleransi, disiplin, kerja
keras, kreatif, mandiri, demokratis, rasa ingin tahu, semangat kebangsaan, cinta tanah air,
menghargai prestasi, bersahabat/komunikatif, cinta damai, gemar membaca, peduli lingkungan,
peduli sosial, dan tanggung jawab.
Dengan mengacu pada nilai-nilai yang harus dicapai tersebut, maka tepat kiranya jika
pendidikan karakter bangsa saat ini menjadi suatu prioritas untuk membangun karakter bangsa
agar bisa menjadi negara yang kuat dan mandiri.
Sudah saatnya, bahasa Indonesia harus mampu mengembangkan peran sebagai
media membangun karakter bangsa demi meningkatkan martabat bangsa Indonesia dalam
pergaulan lintas bangsa di dunia yang semakin mengglobal. Dalam konteks pembangunan
karakter bangsa, posisi generasi muda sangat strategis karena mereka yang akan mengemban
estafet kepemimpinan bangsa pada masa kini dan masa depan.
Muslimin
118
IV. SIMPULAN
Setelah mencermati berbagai hal terkait dengan pembentukan karakter anak sekoah
dasar yang telah diuraikan di atas, maka ada beberapa poin penting yang dapat dijadikan
kesimpulan pada tulisan sederhana ini, yaitu:
1. Anak usia di bawah 10 tahun sesungguhnya belum mempunyai fondasi yang kuat
dalam menjalani hidup, cara berpikir, dan tingkah laku. Jadi semua hal yang dilihat,
didengar, dan dirasakan selama masa pertumbuhan akan diserap melalui pikirian
dan dijadikan sebagai dasar atau modal bersikap dan bertingkah laku dalam
hidupnya.
2. Pembentukan karakter anak melalui pendidikan baik formal maupun nonformal
merupakan langkah strategis agar melahirkan masyarakat yang terdidik berakhlak
mulia dan mampu meningkatkan kesadaran masyarakat untuk hidup secara
harmonis, toleran dalam kemajemukan, berwawasan kebangsaan yang demokrasi
serta berwawasan global.
3. Strategi pembentukan karakter pada siswa SD dapat melalui beberapa cara, antara
lain: (1) keteladanan, (2) penanaman disiplin, (3) pembiasaan, (4) menciptakan
suasana konduksif, (5) integrasi dan internalisasi.
4. Merosotnya budaya sopan santun peserta didik terhadap guru, orang tua atau orang
lain dipengaruhi banyak faktor, baik dari siswa sebagai faktor internal dan faktor
eksternal seperti guru, perkembangan teknologi informasi dan komunikasi atau
ICT, pengaruh moderenisasi kultur, pergaulan bebas, dan penyalahgunaan obat-
obat terlarang juga mengambil peranan dalam proses hilangnya sopan santun
peserta didik terhadap guru atau orang tua/orang lain.
5. Sudah saatnya, bahasa Indonesia harus mampu mengembangkan peran sebagai
media membangun karakter bangsa demi meningkatkan martabat bangsa
Indonesia dalam pergaulan lintas bangsa di dunia yang semakin mengglobal.
DAFTAR PUSTAKA
Bogdan dan Bikien. 1982. Qualitative Research For An Introduction The Teory And Method.
London.
Creswell, J. W. 1998. Qualitative inquiry and research design : choosing among five tradition.
London: Sage Publication.
Furqon Hidayatullah, M. 2011. Mengantar Calon Pendidik Berkarakter Dimasa Depan. Surakarta:
UNS Press.
UU No 20 tahun 2003 tetang Sistem Pendidikan Nasional. Jakarta: Dekdikbud.
Warsono. 2010. Model Pendidikan Karakter Melalui Pendidikan Kewarganegaraan,
Proceedings of The 4th International Conference on Teacher Education; Join
Conference UPI & UPSI Bandung, Indonesia, 8-10 November 2010.
Muslimin
119
Muslimin
120
PRE-SERVICE ENGLISH TEACHERS’ PERSPECTIVES ON CHARACTER EDUCATION:
COMMITMENTS AND CONSTRAINTS
Mutiara Bilqis
Universitas Negeri Malang
ABSTRACT
Concerning that education is misinterpreted as a medium to shape learners’ cognitive
advancement without truly paying attention to their affective development, inserting character
education in the recent curriculum is indeed a very big leap that the government has taken.
Character education provides a long-term solution to the depleting moral issue and deep
understanding on its application, ergo a long way to go. To prepare student teachers in promoting
character education in the future, a pre-service teacher of graduate study is expected to
understand the wisdom underlying character education itself without ignoring the details which
are written on the paper. In short, the graduate pre-service teachers’ perception on character
education will be influential. Thus, this project aims to find out the perspective of the graduate
pre-service English teachers in fostering character education. This research is an ethnographic
research. The data were collected through observation and interviews administered to 14
graduate students majoring in English. Afterwards, the data were analysed using ethnographic
account to provide descriptions on the pre-service teachers’ perspective and insight regarding
character education. The findings of the research are expected to provide insights for the
lecturers of education faculties about the facts happening inside and beyond the class.
Keywords: character education, pre-service teachers’ perspective
I. INTRODUCTION
1.1 Background
Education in Indonesia today faces enormous challenges in educating all of the young
people in its charge. Education bears the responsibility to educate people. ‘Educate’ means to
give intellectual, moral, and social instruction. Thus, ideally, education should embrace those
three aspects in every bit of its practice. Nevertheless, the education trend in Indonesia seems
to take a wrong turn. Rather than sharing these three aspects equally, the education in Indonesia
seems to proceed further in the intellectual side, leaving the other two aspects behind, abandoned.
Moral and social values, which originally should be blended in learning, are neglected. Ergo
education is blamed for moral value depletion, corruption, crimes, drug abuse, and other deviant
behaviours.
To find solution to that, you might want to refer to Martin Luther King Jr.’s speech at
Morehouse College in 1948. He mentioned, “We must remember that intelligence is not enough.
Intelligence plus character—that is the goal of true education.” Education should not solely be
Mutiara Bilqis
121
defined by how well knowledge is transferred to and absorbed by every individual’s mind.
Character plays an even more important role. It leads individuals to carefully and wisely make
use of all knowledge they have gathered to be useful not only for himself but also for others, to
make the world a better place to live in. Indeed, character is what decides how one sees himself
as one true being, places himself in the community, treasures his surroundings, values his
country, and appreciates the world. Generations with that kind of strong and noble characters
are worth to dream for.
Character refers to a much broader assemblage of attitudes, behaviours, motivations,
and skills (Battistich, 2011). It is more than simply forestalling complicity in any socially undesirable
behaviours. Character includes attitudes such as the desire to do one’s best and being concerned
about the welfare of others; intellectual capacities such as critical thinking and moral reasoning;
behaviours such as being honest and responsible, and standing up for moral principles in the
face of injustice; interpersonal and emotional skills that enable us to interact effectively with
others in a variety of circumstances; and the commitment to contribute to one’s community and
society. Stated simply, character is the realization of one’s positive development as a person—
intellectually, socially, emotionally, and ethically. To be a person of good character is to be the
best person that one can be. To have a generation with such people as the members of the
community requires character education.
What we need to understand about character education is that it does not solely cultivate
mind, it also nurtures hearts (Character Education Partnership, 2014: 151-152). Character
education is a nationalised undertaking to create schools that foster ethical, responsible and
caring young generation through emphasis on universal values that we all share. Character
education is a purposeful endeavour that includes all stakeholders in a school community to
instil in their students important core ethical values such as caring, honesty, fairness, responsibility
and respect for self and others. Although it may seem promising, character education is not a
“short cut” to the moral depletion in our country. Character education provides long-standing
answers to address moral, ethical and academic issues in our society. Besides, character
education also helps students to develop important human qualities such as self-discipline,
compassion, respect, and courage, and more importantly to understand why it is important to
live by them (Character Education Partnership, 2010: 1-2).
Indonesian government has taken the right move by infusing character education in its
latest curriculum, the 2013 Curriculum. Albeit the curriculum gains many criticism (Arsjad,
2013), it gives a strong emphasis on what character should be reinforced. It emphasizes the
instillation of 18 characters every student must have: religious, honest, tolerant, disciplined,
hard-working, creative, independent, democratic, curious, nationalistic, caring for his homeland,
appreciating others, amiable, promoting peace, fond of reading, caring for the environment,
caring for the society, and responsible (Supeksa, 2012).
Teachers are expected to instil in their students those characters through the teaching
learning process on a daily basis. Character infusing is not something we can do in a day time.
It needs patience and commitments to make it work. More importantly, it also requires a deep
Mutiara Bilqis
122
understanding of how character education should be put in practice and blended in the learning
process. Ergo, teachers needs to be knowledgeable and aware of this issue.
As seen from the 14 learning principles in the 2013 curriculum (Latief, 2013), the
demands for teachers to be proactive are emphasized. Teachers have to think of a way to
change the perspective from students being given the knowledge into students looking for
knowledge. They also need to alter their standpoint from teacher as the sole source of learning
into learning from various sources. Teachers have to set a condition where learning is not only
a process limited throughout the school ground. They have to set a viewpoint that learning can
take place anywhere. The responsibility does not stop at that point, teachers have to develop
and balance students’ hard-skills and soft-skills. Plus, the hardest of all is that teachers have to
be exemplary figures with all good quality preserved inside.
All those requirements apply to English teachers as well. Given such a big responsibility,
the English teachers should equip themselves with knowledge of how to infuse character in
language learning and put it into practise, especially when English is a foreign language in
Indonesia. Seen from a certain angle, English teachers benefit from the fact that English is a
foreign language. Teaching a language means teaching a culture. Being an English teacher
means teaching the culture of the countries where English is put into use. While teaching the
foreign culture, English teachers can also imply the characters students can learn from that
culture, like being disciplined, independent, and nationalistic. English teachers can also raise
the students’ awareness of and love for their homeland by comparing qualities other countries
might not have, such as being religious or by revealing great inventors from and beautiful places
in Indonesia.
Student teachers, educated as teachers to be, also share the same burden. They
need to prepare themselves to engage in the character education itself. To effectively implement
the character education well, a deep understanding is definite. The graduate pre-service
teachers, since graduating from a graduate program, are mostly expected to teach the student
teachers. To provide knowledge about the character education, the graduate pre-service English
teacher also bear the same burden.
The problem is whether the pre-service English teachers have conceived that they are
actually bearing such a huge load on their shoulders. Without a deep understanding of character
education and its implementation, it will be hard for the character education itself to take effect.
Ergo, a deep rooted conception of the implementation of character education is a definite
demand for all graduate pre-service English teachers. Nevertheless, what is more important
besides the conception is the pre-service English teachers’ perception concerning character
education as it decides how willing teachers will be in the implementation.
1.2 Research Questions
As the aforementioned background, this paper sought to answer two research questions:
1. What perspective do the pre-service English teachers have towards character
education?
2. How well are they committed to the character education?
Mutiara Bilqis
123
1.3 Research Objectives
The objective of this research is to investigate how English teachers view character
education and its implementation in English teaching. Furthermore, this research is also meant
to seek explanation in how well the pre-service English teachers commit themselves to instigate
the character education during the teaching and learning process.
1.4. Research significance
The findings of this research are expected to give insights to lecturers of education
faculties about the facts happening to the pre-service English teachers especially when they
need to educate the student teacher regarding how to induce character education in their
teaching and learning process.
II. METHODOLOGY
2.1 Research Designs
The design used in this research is qualitative design, precisely the ethnographic one
(Cohen, Manion, and Marrison, 2007: 167-169). The reason for picking up this design is to
describe the phenomenon of the pre-service English teachers’ perspective towards character
education in English instruction. This design is preferred to provide explanation on how the
phenomenon happens and what underlies the occurrence. To get a better picture of the event,
I use participant observation approach as I am part of the class member (Ritchie and Lewis,
2003: 35).
2.2 Research Subjects
The research subjects were 14 pre-service English teachers studying in a graduate
program in a university in East Java. All of them are in their second semester and had currently
taken Issues in English Language Instruction and English Syllabus and Classroom Instructional
Planning courses. Character education was chosen as a topic to discuss in Issues in English
Language Instruction course. Meanwhile, the lesson planning that concerns character education
was discussed in English Syllabus and Classroom Instructional Planning course.
2.3 Research Procedures
The observation was done during the two courses mentioned above for approximately 5
months to gather information about how the English teachers implemented character education
in their teaching learning process. Afterwards, a semi-structured interview was held. Due to the
distance and the limited time, the interview was done through Google and Facebook chat room.
2.4 Research Instruments
The instruments used in the research were observation notes and interview guideline.
The observation was done for the 5 months during the second semester. The observation
covers the research subjects’ behaviours during the class discussion. The interviews were
semi-structured interviews which were done through Google and Facebook chat room.
2.5 Data Analysis
The data analysis used ethnographic accounts in which I described the perspective
and insight of the pre-service teachers towards character education. The data from the
observation were combined with the data I got from the interview.
Mutiara Bilqis
124
2.6 Results and Discussion
Finding #1 General Concept of Character Education
When asked about their understanding of character education, all research subjects have their
own way in eliciting their conception. Some of them can explain precisely while some others
beat around the bush. Nonetheless, they perceive similarly concerning the issue. Albeit using
various kinds of terms and expression, the conceptions can be rounded up and summed up as
“character building induced in the learning process to ‘produce’ good-quality students both in
cognitive and in affective sides”. This means that none of the research subjects possess deviant
conception on character education. They all share similar thought about character education.
Finding #2 Deeper Knowledge of Character Education
When asked about whether the 2013 Curriculum is worth to take over the School
Based Curriculum, the pre-service teachers all agree. Some of them mention:
“Making character education explicit is important since it can increase students’ and
teachers’ awareness regarding the importance of character education itself.”
“The current curriculum is “richer” than any previously implemented curricula since
they merely take issue with academic matter.”
All of them are so positive that the 2013 Curriculum can provide answer to the
demoralization that our country is suffering from, or initiate the move, at least. They agree and
understand that character education will take a very long process before it show its effectiveness.
Yet, they said that it would be worth the wait.
Nonetheless, when the question about whether the government make the right move
by changing the curriculum is posed, only 7 agreed. The other 3 pre-service teachers disagreed
while the other 4 were indecisive. The positive side mentioned:
“Yes, I do. If not now, then when? 2030 is the time when the youth age of population is
big. If the students today, are not well prepared, they will become burden for the government later
on and now.” The negative side argu that the legitimation was done in a state of rush. Whereas,
the implication and the conception are still blurred. They mentioned that the procedures of the
implementation are unclear, and the assessment is confusing. The indecisive side prefer taking
the grey zone by not stating their agreement or disagreement:
“It depends on how we perceive it. If it is for the future plan, I think it’s right. From other
points of view in terms of implementation, I think the government should take it slowly.”
Here, we can see that these pre-service teachers show sufficient comprehension of
the philosophy underlying the legitimation of character education, the 2013 Curriculum. They
also exhibit keen observation about the issue. However, when it comes to the question about the
body of the curriculum, the pre-service teachers seem unenlightened. Out of 14 pre-service
teachers, only two give insightful answers. From these behaviours we may notice that the pre-
service teachers keep up to date about the pros and cons pertaining to character education.
However, when I try further digging up their knowledge about what is “written” in the curriculum,
they do not seem well-informed.
Mutiara Bilqis
125
This fact corresponds to their action during the class discussion. When the discussion
linger around the philosophy, the potentials, or the constraints of character education, it heats
up. Hitherto, when it comes to lesson plan making or assessment, they get quite confused.
Albeit showing a disheartening manner towards the practical issues, they flaunt their
adeptness in giving criticisms. When probed into whether the 2013 Curriculum possesses any
constraints, 10 said yes; 2 others said no, and the last two are indecisive. The pre-service
teachers who said yes complain that the 2013 Curriculum propose scientific approach which
is quite a mismatch to language learning. The other two constraints are mentioned earlier:
lesson planning and assessment. They argue that it is hard for them to decide the indicators
from the core competences that they thought is hard to make peace with. Apparently, others
mention the constraints after going through some self-observation. They say because what is
introduced to the teachers through workshops and others are the nitty-gritty which sounds too
complicated, teachers become demotivated and pessimistic towards character education.
Another constraint mentioned is that teachers had to be exemplary figures for their students.
They have to constrain themselves from any deviant manners, ergo one more burden.
Finding #3 Perspective on the Potential
The 14 pre-service English teachers in this research find no excuse that character
education is the solution to the moral degradation. They reckon that characters and education
are inseparable. They deem that education is no longer about merely transferring knowledge.
Its initial purpose is to strengthen good attitudes, instead.
When questioned about the potential of inducing character education in English
learning, 13 says that there is always potential for that. As language is not like any science-
subjects, it eases teachers in inserting the character education. Even some of the 18 characters
like being creative, appreciating, and communicative fit the nature of English learning. The pre-
service teachers also mention that learning a language means learning a culture. Learning
English means learning western cultures. Thus, teachers have the opportunity to compare the
cultures and values eastern and western through language learning and take the good side
from each and be proud of our own cultures.
Finding #4 Perspective on the Possibility in Practice
Nine pre-service English teachers perceive the implementation of character education
as possible but hard to do. Three mention that it is easy because character education, albeit not
explicitly mentioned, has already been implemented by some teachers. It will also be easy as
long as teachers spend more time preparing the materials that can elicit students working
together and encourage students in engaging with the characters. The rests say that it depends
on teachers’ motivation and who/what is in the students’ environment.
Notwithstanding the hardness of the implementation they have acknowledged, the
pre-service English teachers propose some activities they think will work in enhancing character
education. Four propose to insert character education through local value materials. They
contend that by continuously inserting values to the reading materials, students will
subconsciously perceive the moral values as their own. The others prefer employing project-
based and cooperative learning in which students learn to live together, and learn how to
Mutiara Bilqis
126
appreciate their peers, be amiable and promoting peace when facing a conflict in their group.
One of the pre-service teachers goes with inserting religious values every time. Meanwhile,
another chooses to be a role model for the students.
Even though most of them are not teaching in secondary schools or in formal institutions,
these pre-service teachers are committed to character education in their English class. They
mention that they give emphasis on the characters they are mostly concerned with like being
punctual, avoiding cheating, paying attention, discussing politeness issue, providing motivation
sessions, and promoting inquiry-based learning.
REFERENCES
Arsjad, S. 2013. Kritik Perubahan Kurikulum 2013. Retrieved from http://
edukasi.kompasiana.com/2013/02/19/kritik-perubahan-kurikulum-2013-530103.html
on May 18th, 2014.
Battistich, V. 2011. Character Education, Prevention, and Positive Youth Development. Retrieved
from http://www.character.org/wp-content/uploads/2011/12/White_Paper_Battistich.pdf
on April 30th, 2014.
Character Education Partnership. 2014. Character Education. Washington DC: Character
Education Partnership.
Character Education Partnership. 2014. 11 Principles of Effective Character Education.
Washington DC: Character Education Partnership.
Cohen, L., Marion, L., and Morrison, K. 2007. Research Methods in Education. New York:
Routledge.
Latief, H. 2013. 14 Prinsip Pembelajaran Kurikulum 2013. Retrieved from http://
www.slideshare.net/kyuuu/savedfiles?s_title=14-prinsip-pembelajaran-kurikulum-
2013&user_login=hilmanlatief on May 18th, 2014.
Ritchie, J., and Lewis, J. 2003. Qualitative research practice: A guide for social science students
and researcher. London: Sage Publications.
Mutiara Bilqis
127
Supeksa, K. 2012. 18 Kinds of Character in Education. Retrieved from http://
supeksa.wordpress.com/2012/07/30/18-kinds-of-character-in-education-18-jenis-
karakter-dalam-pendidikan/ on May 18th, 2014
Mutiara Bilqis
128
PEMBINAAN KESANTUNAN BERBAHASA (POLITENESS) DALAM
PEMBELAJARAN BAHASA INGGRIS MELALUI STRATEGI
PEMBELAJARAN STUDENT WHEELS
DI SEKOLAH MENENGAH PERTAMA (SMP)
Nanik Mariani Effendie
Universitas Lambung Mangkurat
ABSTRACT
English learning is presented at Junior High School (SMP) is more stressed on knowledge of
the four standards of competence or the four language skills, such as, Listening, Speaking,
Reading, and Writing, without considering the ethical values contained in that four language
skills. It means that the teaching and learning English, especially in speaking skills, should be
taught not only in the cognitive skills, but also in the affective skills as well. The education
regarding how language-speaking politely, considering the value of tolerance, sympathy, and
empathy. So the cognitive and affective skills must be balanced. For example, implementing
politeness in the process of teaching English speaking skills. Teaching and learning speaking
skills means the activity of teacher in giving knowledge and student’s activity in improving the
knowledge of making use of word in an ordinary voice. Students should try to avoid confusion in
the message due to faulty pronunciation, grammar or vocabulary and to observe the social and
cultural rules that apply in each communication situation (NCLRC: 2004). Politeness, courtesy,
or etiquette is a procedure, custom, or custom prevailing in the society. Politeness is the rules of
conduct established and agreed upon jointly by a particular community so that politeness as
well as be concluded by the prerequisite of social behavior. Therefore, this politeness is usually
called “manners”. To cultivate politeness in English speaking class, the English teachers at
Junior High Schools (SMP) can use the teaching strategy. Student wheels is one of the strategy
can be used. Student Wheels is adopted from Hadfield (in Sulistiyowati, 2009: 72-73) to get the
students more active in speaking class and accustomed in using polite language.
By using Student wheels strategy, all students can get their roles in speaking because they have
to interact each other by standing in two circles formed as wheels. In this strategy, all students
use the expressions of English speaking thought by the teacher and they can accustom by
themselves in implementing politeness in the classroom.
Keywords: Politeness, student wheels, English speaking class.
II. PEMBAHASAN
2.1 Pengertian Kesantunan (Politeness)
Kesantunan (politiness), kesopansantunan, atau etiket adalah tatacara, adat, atau
kebiasaan yang berlaku dalam masyarakat. Kesantunan merupakan aturan perilaku yang
ditetapkan dan disepakati bersama oleh suatu masyarakat tertentu sehingga kesantunan
sekaligus menjadi prasyarat yang disepakati oleh perilaku sosial. Oleh karena itu, kesantunan
ini biasa disebut “tatakrama” (Muslich, 2006).
Berdasarkan pengertian tersebut, kesantunan dapat dilihat dari berbagai segi dalam
pergaulan sehari-hari. Kesantunan memperlihatkan sikap yang mengandung nilai sopan santun
atau etiket dalam pergaulan sehari-hari. Ketika orang dikatakan santun, maka dalam diri
seseorang itu tergambar nilai sopan santun atau nilai etiket yang berlaku secara baik di
masyarakat tempat seseorang itu mengambil bagian sebagai anggotanya.
Kesantunan berbahasa (bertutur) ini tercermin dalam tatacara berkomunikasi lewat
tanda verbal atau tatacara berbahasa. Ketika berkomunikasi, kita tunduk pada norma-norma
budaya, tidak hanya sekedar menyampaikan ide yang kita pikirkan. Tatacara berbahasa harus
sesuai dengan unsur-unsur budaya yang ada dalam masyarakat tempat hidup dan
dipergunakannya suatu bahasa dalam berkomunikasi. Apabila tatacara berbahasa seseorang
tidak sesuai dengan norma-norma budaya, maka ia akan mendapatkan nilai negatif, misalnya
Offeringcondolences Respondingcondolences
DAFTAR PUSTAKA
Brown, Penelope dan Stephen C. Levinson. 1994. Politeness Some Universals in Language
Usage. Cambridge University Press.
Hadfield, Jill dan Charles Hadfield. 1999. Simple Speaking Activity. New York: Oxford University
Press.
Halliwell, Susan. 1994. Teaching English in The Primary Classroom. London and New York:
Longman.
Leech, N., Geoffrey. 1983. Principles of Pragmatics. London and New York: Longman Group
Ltd.
Lickona, Thomas. 1991. Educating for Character, How Our Schools can Teach Respect and
Responsibility. Bantam Books, New York.
Megawangi, Ratna. 2004. Pendidikan Karakter, Solusi yang Tepat untuk Membangun Bangsa.
Jakarta: BP. Migas.
Muslich, M. 2006. Kesantunan Berbahasa. Suatu Kajian Sosiolinguistik. Disertasi. Malang:
UM Press.
Sulistiyowati, Ari. 2009. “Peningkatan Kemampuan Speaking melalui Pembelajaran yang
Menyenangkan dengan Model Student Wheels pada Kelas VIIC SMP Negeri 2 Mirit
Tahun Pelajaran 2007/2008”. Kebumen Jawa Tengah: Jurnal Widyatama, Volume 6
Nomor 1, halaman 69 – 77, Maret 2009.
ABSTRACT
The issue of character education has become part of the discussions among teachers and
educational practitioners in recent years. This is the reason why the newest curriculum in
Indonesia, 2013 Curriculum, demands the integration of character or traits in developing the
syllabus as well as writing the lesson plan. Prior to conducting the teaching and learning
process, the teachers need to write the lesson plan to make an efficient and effective teaching
and learning process. The students majored in English Department of State Institute of Islamic
Studies IAIN Antasari Banjarmasin are managed to take teaching practice as their compulsory
course. This course provides them with the experience of conducting a real teaching and
learning activity starts from developing syllabus, writing lesson plans up to conducting a micro
teaching activities. This research is focused on describing the implementation of character
education in the lesson plans written by the students in a micro teaching activities and the
techniques or strategies that they used in developing material so that it is character-based. The
data collected through observation in the micro teaching class and in-depth interview to the
research subjects.The result shows that the students mostly used discussion and small group
presentation techniques. The traits that is reflected on their lesson plans are honesty and
trutworthiness, respect, and responsibility. It is expected that the result of this research may
increase teacher awareness of different possibilities in designing lesson materials which
integrate character education.
Key words: character education implementation, lesson plan, Teaching Practice I.
I. INTRODUCTION
The discourse about character education was formally brought up in National
Education Day in 2010. Since then, the government through Ministry of National Education has
conducted a series of seminars regarding the intention of including character education in the
national curriculum. The implementation is planned to be conducted gradually starting the
year 2011 in primary and secondary schools throughout provinces along with the implementation
of 2013 curriculum.
IV. FINDINGS
The main data obtained from this study are dealing with the students’ techniques or
strategies in developing material and the traits that is embedded in their lesson plan
implementation. Based on the in-depth interview technique applied to the research subjects, it
is shown that the common traits usually applied by them is honesty, respect, and responsibility.
They usually asked the students in doing self-performance and working in a small group. In
their lesson plan, they gave a wide interest on having the students do group discussion and
prepare a small group presentation. On the interview, they said that this teaching techniques
were assumed to be able to boost the students’ responsibility on the task they were assigned.
They mentioned that by asking the students to work in small group, it will be easier to the
teachers to monitor their honesty, truthworthiness, and friendly/ communicative traits. The
research subjects also indicated that asking students to do presentation would be able to
improve their creativity as well as independent traits.
Talking about the techniques used in teaching language skills to the students, they
focused on specific activities suggested in the curriculum to teach particular character/ trait
Dealing with the teaching material, the researcher observed that the PPL 1 students tended
to develop their own teaching material which met the needs of the learners. They combined the local
substance to the English material. For example, there was a lesson plan of one research subject
talking about celebration. He put the text entitled “Baayun Mulud” which was closed to Banjarese
culture. In the interview, he mentioned that he chose this text, instead of the text available on published
textbooks, simply because he thought that this reading text would be understood by his students
easily. He also felt easy to integrate religious and respect traits through this text.
The researcher observed that the character being taught is apparent on the lesson plan
designed by the research subjects. They clearly mentioned the traits they want to explore to their
students and tried to make a relation with the teaching objectives suggested in the curriculum or
developed syllabus. In lesson plan implementation, it was quite successful in general which was
indicated by the students’ significant achivement in lesson exercise which achieved the minimum
score in rubric. They (the peers) also indicated a cheerful and curious teaching and learning
atmosphere of English as well as explore the characters taught by the teacher.
Recommendation
Since this research is conducted in a very small testing group, that is a Teaching
Practice 1 course, it is strongly suggested to do further research at school using real English
teachers and students as the research subject. It might show different result because the
research subject are practiced-students who have never been taught in a real classroom
setting. Another consideration is that the participants acted as the students in this Teaching
Practice course are sixth semester students who are in intermediate level of English. It will show
different result for the students in Junior or Senior high school level. Nevertheless, since this
research is aimed to find out the techniques in integrating character education in lesson plans
as well as its implementation, we may say that the objectives has been achieved as intended.
ABSTRAK
Tradisi lisan balamut merupakan tradisi menuturkan dan menyimak cerita Lamut dan kawan-
kawannya, sebagai panglima di Negeri Palinggam Cahaya. Cerita ini dituturkan oleh tukang
cerita yang disebut palamutan. Ia menuturkan cerita dengan iringan rebana yang disebut tarbang
Lamut. Ada dua kelompok masyarakat yang sering melakukan tradisi ini yaitu sebagain orang
Banjar dan Cina Banjar. Dalam penelitian ini, balamut tidak hanya dilihat sebagai sebuah cerita
yang oleh penelitian sebelumnya disebut sastra lisan, tetapi sebagai tradisi lisan yang tidak
melepaskan transkrip cerita dalam konteks penuturannya yang melibatkan penutur dan
penonton. Makalah ini ingin menunjukkan bagaimana ketiga bagian tersebut menjadi sistem
tradisi untuk menanamkan nilai-nilai yang sekarang popular disebut nilai-nilai pendidikan
karakter. Analisis didasarkan pada hasil observasi pertunjukan balamut M. Jamhar Akbar di
Rumah Dinas Wakil Bupati Tanah Bumbu pada 21 Juli 2011 dan interpretasi atas transkripsi
cerita Lamut yang mengisahkan pengembaraan Bujang Busur. Nilai-nilai karakter bangsa
tampat dari perilaku palamutan, penonton, dan perilaku tokoh dalam cerita yang dituturkan dan
disimak. Meskipun demikian, balamut tetaplah sebuah kesenian yang merepresentasikan
kehidupan sehingga ia tidak sepenuhnya berisi nilai-nilai kebaikan. Sifat adaptif tradisi ini
memungkinkannya untuk dilatihkan di sekolah-sekolah untuk melatih kecakapan komunikasi
primer: menyimak dan berbicara. Jika memang mungkin, maka nilai-nilai buruk itu perlu
disesuaikan dengan pendidikan karakter yang relatif lebih utuh.
Kata kunci: tradisi lisan balamut, pendidikan karakter, orang Banjar
I. PENDAHULUAN
Pendidikan karakter menjadi topik yang hangat sejak 2010. Dengan diterapkannya Kurikulum
2013 di beberapa sekolah, pemerintah semakin yakin bahwa fokus pendidikan kita di masa depan
harus mengedepankan pembinaan moral peserta didik. Kabar terbaru mengenai kebijakan pemerintah
dalam bidang pembangunan karakter bangsa adalah telah dilakukannya Program Perintisan
Implementasi Pendidikan Karakter, Kewirausahaan, dan Ekonomi Kreatif dengan pendekatan belajar
aktif yang dilakukan untuk mencapai RPJMN tahun 2010-2014 dan meningkatkan kualitas pendidikan
nasional yang mendukung penciptaan kreativitas dan kewirausahaan pada anak didik sedini mungkin
Sainul Hermawan
149
dan penerapan metodologi pendidikan yang tidak lagi berupa pengajaran demi kelulusan, namun
pendidikan menyeluruh yang memperhatikan kemampuan sosial. Sejak tahun 2010, Pusat Kurikulum
dan Perbukuan telah melakukan program satuan pendidikan rintisan implementasi pendidikan karakter,
kewirausahaan, ekonomi kreatif, dengan pendekatan belajar aktif untuk membangun daya saing dan
karakter bangsa di beberapa Kabupaten/Kota di seluruh provinsi di Indonesia yang meliputi PAUD, SD,
SMP, SMA, dan SMK. Pada tahun 2010 penerapan program sekolah rintisan kurikulum dan pendidikan
karakter dilakukan di 16 daerah. Kemudian pada tahun 2011 bertambah 17 daerah dan pada tahun
2012 ditambahkan sebanyak 11 daerah, sehingga total daerah yang dijadikan sekolah rintisan sebanyak
44 daerah di Indonesia.1 Satuan Pendidikan di Kalimantan Selatan yang menjadi sekolah rintisan
semuanya ada Kab. Banjar, yaitu TK Pembina Banjar, SDN Indra Sari Martapura, SD Negeri Cindai Alus
2 Martapura, SMP Negeri 4 Martapura, SMA Negeri 1 Martapura, SMK Negeri 1 Martapura, SMPLB
Fajar Harapan, PKBM Melati Raya Karang Intan.
Pada 21 Juli 2011 palamutan M. Jamhar Akbar diperkenalkan di SMA Negeri 1
Martapura. Saat itu waktunya sangat singkat sehingga tidak sempat mendiskusikan hubungan
pertunjukan perkenalan itu dengan pendidikan karakter. Oleh karena itu makalah ini ditulis
untuk menjelajahi nilai-nilai pendidikan karakter yang ada dalam tradisi balamut.
Di luar sekolah masyarakat Banjar komunitas balamut telah lama menempa nilai-nilai
karakter yang bagi mereka bukanlah barang baru yang ajaib. Makalah ini ingin menunjukan
bagaimana tradisi balamut mempraktikkan dan menanamkan nilai-nilai religius, jujur, toleransi,
disiplin, kerja keras, kreatif, mandiri, demokratis, rasa ingin tahu, semangat kebangsaan, cinta
tanah air, menghargai prestasi, bersahabat/komunikatif, cinta damai, peduli lingkungan, dan
tanggung jawab.
Sainul Hermawan
150
Santak atau pengencang kulit rebana tersebut dianggap punya kekuatan penyembuhan setelah
pertunjukan balamut selesai. Santak itulah yang dicelupkan ke air yang akan dijadikan air
minum, air masak, dan air mandi untuk si sakit.
Jamhar adalah salah satu palamutan yang masih ada di antara sekitar lima palamutan,
yang tersebar di Banjarmasin, Kabupaten Banjar, dan Kabupaten Hulu Sungai Selatan. Karena
perbedaan geografis, riwayat pewarisan, dan gaya individual, versi balamut sangat beragam.
Namun beberapa palamutan mengakui bahwa versi balamut Jamhar adalah versi yang paling
tua dan lebih mendekati bentuk asal-muasalnya.
Foto: Jamhar balamut di hadapan guru TK-SMA di Kabupaten Tanah Bumbu (24/7/2011)
Sainul Hermawan
151
IV. Sinopsis Cerita
Berikut ini adalah ringkasan cerita episode pengembaraan Bujang Busur. Cerita dimulai
dengan memperkenalkan garis besar keturunan keluarga negara Palinggam sampai kisah
perpisahan antara Lamut dan Bujang Maluala yang kehilangan Dandam Amas Saliau Kaca
yang diculik oleh Bangbang Teja Geni atau Begawan Aliyudin yang dihidupkan kembali oleh
Batara Narada. Bujang Maluala tidak pulang ke Palinggam. Ia masuk hutan, naik gunung,
berkelana mencari Dandam Amas. Sampailah ia di hutang Padang Rila Maringsing, singgah
di bawah sebuah mahligai yang dihuni oleh Putri Buangan.
Putri Buangan itu Raden Galuh Ambar Sekar, yang dibuang oleh kerajaan yang
menghajatkan anak laki-laki sebagai pengganti tahtanya. Ia dibuang oleh para panglima
kerajaan supaya ia tidak dibunuh karena penasihat spiritual kerajaan, putri itu akan
mendatangkan celaka bagi kerajaan jika tidak dibunuh. Untuk beberapa lama, Bujang Maluala
menikah dengan Putri Buangan. Saat istrinya hamil, ia berterus terang bahwa ia sedang mencari
Dandam Amas Saliau Kaca, ia minta izin pergi dan berpesan jika anaknya lahir agar diberi
nama Bujang Laut.
Dalam perjalanan, Bujang Maluwala menemukan mahligai lain di Sungai Telaga
Biru Padang Kemulan. Mahligai itu juga dihuni putri yang dibuang juga oleh kerajaan. Nama
putri itu adalah Ambar Biduri. Ia sepupu Ambar Sekar. Bujang Maluwala menikah lagi dengan
Ambar Biduri. Ambar Biduri memiliki kesaktian yang diwariskan oleh ramanya, yaitu bisa membuat
air bicara dan burung bercerita. Dalam keadaan antara bangun dan tidur, Bujang Maluwala
mendengarkan obrolan mereka yang mengisahkan tentang perjalanan hidup keluarga Palinggam
sampai membocorkan siapa yang telah mencuri Dandam Amas Saliau Kaca.
Bujang Maluwala kembali meninggalkan Ambar Biduri yang juga sedang hamil, Ia
meminjam gajah terbang milik Ambar Biduri untuk terbang ke Bendong Malimunan karena ia tak
bisa terbang. Bujang Maluwala berjanji akan kembali menjemputnya setelah mendapatkan Saliau
Kaca. Bangbang Teja Geni dengan mudah mengalahkannya. Semua bantuan dari Palinggam juga
tak ada gunanya, sampai Lamut bersama kedua putranya Simbar Laut, Simbar Sulangan datang
membantu mereka. Kedua putranya hanya diminta membebaskan keluarga Palinggam yang di
penjara, Lamut menghadapi Teja Geni. Teja Geni mati.
Bujang Maluwala membawa tiga istri dan tiga anak dari setiap istrinya. Ambar Sari
melahirkan Bujang Laut, Ambar Biduri melahirkan Bujang Sakti, dan Saliau Kaca melahirkan Bujang
Busur. Ketiga pasang istri-anak itu dibawa pulang ke Banua Palinggam. Bujang Maluwala diangkat
menjadi raja Palinggam, menggantikan Kasan Mandi. Melihat ketiga anaknya sudah besar dan
bermalas-malasan di kerajaan, Bujang Maluawala menyuruh mereka mencari ilmu, agar bertapa
di Gunung Cemara Bugam.
Sampai di gunung itu, Aji Narada menyuruh mereka pulang dan berguru kepada Lamut.
Lamut bersedia dengan syarat mereka masuk Islam. Mereka bersedia. Tanpa kerumitan. Lamut
mengislamkan ketiganya dan memberikan pelajaran pertama tentang memahami makna dua
kalimah syahadat.
Sainul Hermawan
152
Sejak peristiwa penculikan Saliau Kaca, Bujang Maluwala tak terlalu percaya kepada
Lamut. Dia tak yakin kalau ketiga putranya diajari ilmu oleh Lamut. Bujang Maluwala menyuruh
ketiganya kembali ke Gunung Cemara Bugam. Artinya, perintah itu melawan kehendak Dewa. Saat
mereka berangkat menuju gunung itu, Dewa murka dan menurunkan angin topan. Ketiganya
semburat dan terpisah satu dengan yang lain. Kemudian diceritakan Bujang Busur berjalan
masuk hutan dan setelah kelelahan tertidur di bawah pohon waringin sungsang, pohon yang
daunnya hanya empat lembar. Pohon itu berada di hutan banua Hewan. Raja di Banua Hewan
adalah Maharaja Caramin Alam. Ia punya dua anak, satu lelaki (Raden Kancing Jaya) dan satu
perempuan (Raden Galuh Kain Kasmiran).
Suatu malam Kain Kasmiran bermimpi kawin dengan Bujang Busur. Lamut berulah,
melukis wajah Bujang Busur di telapak tangan Kain Kasmiran. Kain Kasmiran tergila-gila dan
mau bunuh diri jika impiannya tak tercapai. Dia menyuruh dayangnya untuk mencarinya. Nama
dayangnya, dayang Nurlela. Dayang menghempas cincin cinderamusakti untuk memanggil
tujuh rajawali, meminta pertolongan mencari Bujang Busur.
Mereka menemukan Bujang Busur di waringin sungsang tadi. Melihat rajawali yang
hendak mematuknya, Bujung Busur melawan dengan panah sapu alam. Anak panah itu
disambar oleh rajawali dan dibawa terbang. Karena itu senjata kerajaan yang ia sayangi,
Bujang Busur mengejar, mengikuti arah terbang rajawali sambil tengadah. Karena tengadah
sambil berlari, ia terantuk mahligai Kain Kasmiran dan ditangkap oleh dayang. Begitu ketemu,
kain Kasmiran menceritakan mimpi dan keinginannya dan Bujang Busur tak menolak. Mereka
lalu baturai pantun, pantun yang menggambarkan berahi mereka dan berlanjut pada adegan
ranjang yang vulgar. Kakak Kain Kasmiran, Raden Kancing Jaya tak suka dengan kehadiran
Bujang Busur di mahligai adiknya. Kancing Jaya menantangnya berkelahi. Perkelahian terjadi
tapi Bujang Busur tak melawan karena sayang dengan Kain Kasmiran. Bujang Busur minta
perlindungan rama Kain Kasmiran dan ramanya menikahkan Bujang Busur dan Kain Kasmiran.
Sampai Kain Kasmiran hamil enam bulan, perkawinannya dengan Bujang Busur belum
diresmikan dengan pesta. Kancing Jaya tetap tidak suka dengan kehadiran Bujang Busur.
Kancing Jaya bersiasat untuk membunuh Bujang Busur. Ia bujuk ramanya untuk merayakan
perkawainan adiknya dengan pesta. Kancing Jaya menyuruh orang memasukkan racun dalam
makanan (tape) yang akan disuguhkan ke Bujang Busur. Bujung Busur tewas keracunan. Kain
Kasmiran tahu bahwa itu ulah kakaknya. Kain Kasmiran ingat wasiatnya saat masih hidup agar
kelak jika anaknya lahir laki-laki dinamai Ambung Sakti. Jenazah Bujang Busur dibuang ke
hutan.
Lalu cerita beralih pada Bujang Laut dan Bujang sakti yang mencari Bujang Busur.
Atas petunjuk burung putih, mereka mendapatkan mayat Bujang Busur. Melihat kakaknya mati,
Bujang Sakti menangis. Tetes air matanya masuk ke mulut Bujang Busur. Bujang Busur hidup
lagi dan menceritakan apa yang terjadi. Mendegar cerita Bujang Busur, mereka mengajak
Bujang Busur untuk balas dendam, tetapi Bujang Busur menahannya karena Banua Hewan itu
kerajaan yang sangat kecil. Kemudian mereka memutuskan untuk berpisah, berjalan sendiri
menuju tujuan masing-masing. Bujang Busur tersesat sampai ke Banua Pituria.
Sainul Hermawan
153
Banua ini dilanda musibah, diserang gagak surawijaya pematuk mata. Hampir semua
penduduk banua ini tewas dengan ciri yang sama, tanpa biji mata. Ada satu putri yang dijumpai
oleh Bujang Busur, yaitu Hidaran Bulan. Hidaran Bulan lebih cantik dari Kain Kasmiran. Bujang
Busur bertanya apa yang menjadi penyebab kematian massal itu. Setelah tahu, Bujang Busur
menantang burung itu. Dia menabuh gong di tengah paseban. Burung itu datang menyerang.
Dengan panah marimbun tulang, Bujang Busur mengalahkan gagak itu dengan mudah.
Perutnya belah dua dan berisi banyak mata. Bujang Busur mencari mata rajanya, Maharaja
Kertawijaya, dan dengan tapung tawar, raja dibangkitkan kembali. Karena itu Bujang Busur
dikawinkan dengan Hidaran Bulan.
Kabar kehebatan Bujang Busur mengalahkan burung gagak Surawijaya terdengar
sampai ke negara Belanda yang dipimpin oleh Nyonya Parlente dan didampingi kakak lelakinya,
Sinyo Hedler. Sinyo Hedler ingin menjajal kehebatan Bujang Busur. Untuk itu ia terbang menuju
Banua Pituria. Mereka bertarung seperti pertarungan antara Kasan Mandi dan Begawan Aliyudin.
Saat Sinyo Hedler melempar Bujang Busur terlalu keras sampai terlempar dan masuk ke
mahligai Nyonya Parlente di Banua Belanda.
Nyonya Parlente jatuh cinta pada Bujang Busur. Kesempatan itu dimanfaatkannya
untuk membongkar rahasia kesaktian Sinyo Hedler. Kata Nyonya Parlente, saudaranya itu sulit
ditaklukkan karena nyawanya disimpan dalam botol dan botol itu disimpan di mulut naga di
dalam laut. Untuk mematikan Sinyo Hedler, harus membunuh naga itu terlebih dahulu.
Bujang Busur tidak membunuh naga itu. Ia minta Nyonya Parlente mengambilkannya.
Karena cinta, Nyonya Parlente melakukannya dan memohon kepada Bujang Busur agar jangan
membunuh kakaknya tersebut. Bujung Busur berjanji hanya untuk menggertak saja. Setelah
menaklukkan Sinyo Hedler, Bujang Busur kawin dengan Nyonya Parlente di Belanda dan
menurunkan satu putra, Bujang Jaya.
Ketiga istri dan anak Bujang Busur dibawa ke Palinggam. Kain Kasmiran beranak
Ambung Sakti, Hidaran Bulan beranak Suriang Pati, dan Nyonya Parlente beranak Bujang
Jaya. Sampai di sini cerita berakhir. Bujang Sakti dan Bujang Laut belum diceritakan. Setelah
Bujang Busur, M. Jamhar menceritakan Kisah Bujang Jaya.
Sainul Hermawan
154
Nilai disiplin ditunjukkan oleh palamutan untuk selalu datang lebih awal ke tempat
pengundang, memulai dan mengakhiri pertunjukan tepat waktu sesuai kesepakatan, menjaga
keteraturan jeda segmen cerita jika pertunjukannya panjang (sekitar 6-7 jam). Kedisiplinan
juga terkait dengan nilai religiusitas, yaitu jika pertunjukan balamut di malam hari, pertunjukannya
dimulai setelah waktu salat Isya dan berhenti sebelum waktu salat Subuh. Jika pertunjukan
pada siang hari, palamutan harus berhenti pada waktu-waktu salat Dhuhur dan Ashar.
Di samping itu, nilai disiplin juga berhubungan dengan kepedulian lingkungan.
Palamutan dengan jeli mempertimbangkan siapa penontonnya dan memutuskan apa yang
perlu diceritakan, disyairkan, dan dipantunkan atau tidak. Kasus pertunjukan balamut di Batulicin
tahun 2011 menunjukkan, palamutan menahan ekspresi yang menyenangkan selera humor
laki-laki ketika masih ada penonton perempuan. Namun ketika semua penontonnya telah
homogen laki-laki, pantun-pantun bernuansa pornografis muncul. Tampak ada kesadaran etis
palamutan untuk melakukan self-censorship terhadap isi pertunjukan yang bisa mengganggu
kenyamanan penonton.
Nilai-nilai kerja keras terpancar dari kesungguhannya dalam menuturkan cerita tanpa
menunjukkan sikap lelah meskipun ia harus menjalaninya selama berjam-jam. Nilai ini terkait
dengan tanggung jawab. Dengan penuh tanggung jawab ia bekerja keras menjaga tradisinya,
untuk mengolah kreativitas. Nilai kreatif yang menjadi panduan pertunjukannya berhubungan
dengan sikapnya yang berdasar pada nilai komunikatif, toleransi, dan peduli lingkungan. Oleh
karena itu, setiap pertunjukan balamut selalu menjadi versi pertunjukan baru dalam pengertian
bahwa pertunjukan tersebut memuat unsur-unsur pengembangan dari kerangka cerita dasar
karena mempertimbangkan nilai-nilai terkait tersebut. Secara kreatif, palamutan
mengomunikasikan nasihat secara tidak langsung dan menggunakan beragam medium yang
menyenangkan seperti syair atau pantun. Kreativitas menjadi landasan palamutan untuk
melakukan toleransi pada beragam pengalaman yang berbeda. Kreativitas inilah yang membuat
seni tradisi lisan ini bertahan sekitra 4 abad jika dirunut pada tradisi balamut keluarga
Jamhar.
Sainul Hermawan
155
Momentum pertunjukan selalu menjadi ruang pengalaman baru. Penonton
memberikan reaksi yang ikut mengembangkan pola dasar cerita. Interaksi antara penonton
dan palamutan berlangsung tertib. Hanya pada saat-saat tertentu penonton bereaksi dalam
bentuk memberikan komentar singkat atau hanya ungkapan seru atau tertawa.
Sainul Hermawan
156
[00:05:33.20] Syair: satu pang tali, dua dadaian/ katiga pang tungkat, ampat ukuran/
kalima pang jarum, anam kulindan/ tujuh kumpas, dalapan paduman/ kasambilan
teuri pulitik/ numur sapuluh dengan aturan.
[00:05:54.02] Rebana:
[00:05:58.04] Syair: balamut ini dangan aturan/ di mana tadi awal pamulaan/ ini
maknanya kupacahakan/ satu tali tadi dua dadaian, katiga takzim-takzim yang
ditantukan/ malam ini balalamutan/ kisah bahari kubawaakan.
[00:06:25.18] Rebana
Nilai religius tampak pada menit ke-3:41. Seperti lazimnya syair, balamut dimulai
dengan menyebut nama Allah. Pada menit ke-4:49, nilai kepedulian sosial dan komunikasi
diungkapkan. Palamutan terlebih dahulu meminta maaf kepada semua penonton agar cerita
yang akan dituturkan dipandang sebagai cerita, persamaan nama dan peristiwa dalam cerita
dengan kenyataan diharap disikapi hanya sebagai kebetulan. Dalam prinsipnya, pertunjukan
balamut harus berusaha menghindarkan diri dari unsur menyakiti perasaan penontonnya. Nilai
relijius, komunikasi, dan kepedulian sosial tampaknya menjadi beberapa bagian dari apa yang
pada menit ke-5:58 disebut sebagai hukum atau aturan balamut. Dengan demikian, penegakan
aturan menjadi indikasi penting tentang adanya nilai disiplin dalam tradisi ini. Secara tersurat
dalam tuturan pertunjukan ini juga dijelaskan tentang disiplin berpantun. Dalam tradisi balamut
pantun asmara atau rayuan dilarang dipantun sembarangan. Pantun itu hanya dimungkinkan
pada bagian kisah tentang pertemuan dua tokoh yang sedang kasmaran. Penjelasan itu ada
pada menit ke-114.
[01:54:49.29] Narasi: Lama kalamaan Bujang Busur dalam mahligai. Lalu Bujang Busur
bapantun. Nah bapantun Bujang Busur nih. Nah hanyar ada pantun ulun. Lah kanapa
maka hanyar aja. Apabila palamutan, ampun maaf ulun nah. Ulun tadi 58 tahun jadi
palamutan. Apabila ada palamutan antara laki-laki lawan bini-bini balum ada partamuan,
ada pantun, itu Lamut itu kurang ajar ngarannya, kurang ajar. Ulun dipadahi kuitan, kada
bulih nyawa. Kacuali kena laki-laki lawan bini-bini, nang kaini nah, badapat, tadapat,
antara laki-laki, antara Kain Kasmiranlawan Bujang Busur. Bulih bapantun. Kalu kada
badapat kita dianggap urang mamantuni babinian nang di hadapan. Ini Lamut kurang
ajar jar arwah kuitan ni.[01:55:47.10]
Nilai pendidikan karakter dalam cerita Lamut juga tampak dalam bentuk tindakan
tokoh dan perkataan tokoh. Lamut selalu diletakkan sebagai tokoh cerdik dan pandai selain
sakti tanpa tanding. Dalam cuplikan cerita ini, tampak Lamut menasihati kawannya sesama
panglima kerajaan Palinggam, Labay.
[01:13:24.23] di mana kasalahan unda? Ujar Lamut di salam tadi bungul ai. Urang
itu mambari salam lawan nyawa tu assalamualaikum urang tuha. Itu tandanya urang
mahurmati nyawa. Han, urang mahurmati nyawa, urang kada wani lawan nyawa.
“O… jar Labay mintu kah. Naa apa jar Lamut, makanya nyawa ini mangaji Bai ai,
mangaji. Dipadahakan sudah ngalih Labay nih ngalih jar Lamut. Mulai lagi halus
artinya ditatambai panyakitnya ninih, mantri sudahnya, doktor mintu jua tatap nang
Sainul Hermawan
157
kaya itu jua panyakitnya. Kada sing warasan. Naik babaya jar Lamut akhlak dan
martabat tu ngarannya. Ujar Labay napa akhlak martabat nitu ha? unda handak
tau? jar Labay. Naa bagus jar Lamut mun nyawa handak tahu. Akhlak lawan martabat.
Akhlak itu adat, Adat. Martabat pang jar Labay? Martabat itu bungulai jar Lamut
kalakuan. Uuuhhh ujar Labay mintu kah. Haa adab itu napa tadi, naa akhlak tadih
adab, adab itu ilmu. Apalagi, ilmu tu iman bungulai jar Labay. Uma jar Lamut, unda
lah nang bungul. Naa ini jar, ujar Anglung bujur ja Bai ai. Akhlak dan martabat.
Akhlak itu adat. Istiadat urang bahari. Ilmu gugurnya. Adapun martabat itu kalakuan.
Apabila akhlaknya kada baik tantu kalakuannya kada baik jua. Na ini nya. Pabilanya
akhlaknya baik kalakuannya baik. Dimapa kabaikannya? Umpama ujar Lamut ujar
Anglung, Anglung mahalusi pulang. Ada urang lalu atau nyawa handak lalu ada
urang tuha, nyawa mambari salam, assalamualaikum kai umpat lalu ulun lah. Nah
itu ujar Anglung dinamakan akhlak dan martabat. Nah tu. Lalu ujar urang nini uma
anak siapa tadi ja halusnya baassalamualaikum, umpat lalu ulun kai lah ujar,
bagusnya lah anak siapa, bagus banar pimpinannnya nitu. Nah itu du’a ujar Anglung,
bangsatai. Naah ujar Anglung. Kada hi ih jar Labay aja, akhlak itu apa? Martabat itu
apa? Uuu jar Lamut akhlak itu bangsatai ilmu, ilmu itu iman. Apa jar Labay iman? Iman
itu ampat. Ampat apa jar Labay iman? “Tauhid, yakin, percaya, iman. Tauhid yakin,
percaya, iman. Itu anak ai akhlak tadi. Martabat kalakuan. Apabila urang kada baiman
urang kada bailmu anak ai, apabila urang kada bailmu urang kada baiman. Nyawa
tahu handaklah urang kada baiman? Handaklah tahu urang kada bailmu? “Apa jar
Labay? “Tu binatang. Diumpamakan binatang inya kada bailmu inya kada baiman,
artinya apabila iman ilmu, ilmu iman, apabila iman ada akal, ada pikir, sampurna
pamikirannya. Lamun inya urang kada baiman kada baakal, sarupa atau diumpamakan
jar Lamut saparti binatang. Binatang tu inya kada baiman, inya kada bailmu, kada
bapangatahuan. Apa gawiannya? Tahu makan, tahu guring, tahu makan, tahu guring,
tahu babini. Nah itu binatang. Maka jar Lamut, apabila urang kada baiman kada bailmu,
kada tahu supan, kada tahu dimalu he eh. Ni jar Lamut ampun maaf kada manyambat
di sini kada. Ini kesah. Lalu jar Lamut apabila urang kada baiman kada bailmu kada
tahu supan kada tahu malu, ya sama seperti binatang tadi. Bapacaran di tangah urang
banyak, bazina tangah urang banyak. Nah itu binatang sifatnya. “Uuu jar Labay itulah.
“Naa makanya itu ujar Lamut. “Jadi urang tadi assalamualaikum urang tuha, urang itu
bailmu, urang itu manuhaakan nyawa, mamparcayai nyawa, urang kada wani lawan
nyawa. [01:18:03.19]
Dalam cuplikan ini, Lamut sebagai sumber kebaikan dan kebijaksanaan menasihati
Labay yang telah dinilai salah karena bersikap kasar kepada orang lain. Lamut mengingatkan
pentingnya integritas moral yang dirumuskan dalam tiga konsep: iman, akhlak, dan ilmu. Ketiga
hal inilah yang menurut Lamut membedakan antara manusia dan hewan. Tanpa ketiganya orang
akan kehilangan rasa malu, mudah berdusta, hilang kepedulian sosial dan tanggung jawab.
Indikator paling sederhana dari penerapan nilai komunikasi, dalam pengertian memahami makna
ungkapan seseorang dan menyikapinya dengan tepat agar terhindar dari konflik. Nasihat seperti
Sainul Hermawan
158
ini tidak selalu muncul dalam pertunjukan balamut. Inilah aspek kontekstual dari pertunjukan itu.
Keprihatinan Jamhar melihat rusaknya alam Tanah Bumbu yang ia lewati berkontribusi pada
munculnya ungkapan ini. Demikianlah cara balamut memainkan polisemi tuturan. Meskipun
Jamhar mengatakan bahwa ia tidak sedang menasihati penonton, tetapi itu nasihat Lamut kepada
Labay, Jamhar membuka kemungkinan terbukanya kesadaran diri audiensnya. Karena pentingnya
ilmu, keturunan Palinggam menjadikannya sebagai syarat mencapai kesempurnaan hidup yang
harus dimiliki oleh setiap generasi penerusnya. Keturunan raja-raja Palinggam harus menjadikan
ilmu sebagai landasan untuk bisa menjalani hidup dengan kerja keras.
[01:05:03.24] Tacarita Bujang Busur lama-lama ganal. Naa umurnya dua puluh tahun
sudah Bujang Busur nanginih. Jadi nang kaka tadi dua puluh tiga dua puluh lima.
Ngaran batiga badinsanak, Bujang Laut, Bujang Sakti, Bujang Busur. Lama-lama tinggal
di banua Palinggam. Kasan Mandi maangkat urang manjadi raja. Siapa nang diangkat
jadi raja? Anaknya yaitu Bujang Maluwala. Nah Maluwala pulang mamarintah di banua
Palinggam karna raja buhul artinya Kasan Mandi sudah tuha lalu anak disuruh pulang.
Bujang Maluwala pulang mangganti manjadi raja di banua Palinggam. Maliat anak
pina ganalan, supan Bujang Maluwala. Artinya supannya tarhadap urang kampung
banua Palinggam. Supannya anak nang tiga nini bagaul ka masyarakat kada bisa,
tagur sapa sapamanderan artinya senyum kadada jua. Imbah makan guring, imbah
makan guring. Itu aja gaweannya nang batiga ninih. Ayangilah… “putraku,” ujar Bujang
Maluwala, manyambat Bujang Laut, Bujang Sakti, Bujang Busur. Ayu putraku kemari.
Inggih ujar Bujang Laut. Ujar Bujang Busur apa gerang sampean? Nah kemari nak ai
ikam nak batatiga. “Inggih pun apa kabar dan berita jang sinuhun. Memanggil pun
abdi dalang Bujang Laut, Bujang Sakti noleh Bujang Busur. Tuh liat tuh. “Naa ujar
artinya ujar Bujang Jaya nak ai ikam sudah ganal, sudah besar sudah. Umpama ayam
sudah betaji sadang saungan, dan diumpamakan kucing sudah bisa basasimban,
naa ikam kada malu lah lawan anak Kampung Bumi Putra urang di Banua Palinggam
lawan rakyat Palinggam. Pertama ikam anakku, anak raja jar urang. Liati jar rang anak
raja nyamannya makan guring aja, he eh. Bagawi kahada. Artinya turun bakakawalan,
tagur sapa pun kahada jua. Mantang-mantang anak raja. Na aku jar Bujang Maluwala
malu. Naa sekarang ujar Bujang Maluwala nang kaini, ikam kusuruh mambangun
tapa, ikam batapa anak ai. “Inggih, apa gerang tujuan batapa?” ujar Bujang Busur?
Ujar Bujang Maluwala, ikam mancari ilmu. Batapa itu mancari ilmu anak ai. “Inggih
ilmu apa kaulanun? “Nah itu nak ai ujar urang bahari mancari ilmu nang sampurna,
ilmu dunia akhirat. Artinya ilmu itu artinya untuk ikam, pakai ikam, supaya ikam tahu itu
ilmu menjadi kasampurnaan dunia akhirat lawan ikam putraku.” “Inggih, jadi di mana
gerangan ulun memuja brata memuja semidi atau betapa?” “Nah nang kaini aja ujar
Bujang Maluwala. Ini perintahku, ikam tuju di Gunung Cemara Bugam. Naa apabila
betapa mencari ilmu di Gunung Cemara Bugam, jaman dahulu kala ujar Bujang
Maluwala, urang mahabarakan, apabila betapa di Gunung Cemara Bugam jangan
setahun, sabulan, satangah bulan satangah hari, sajam, samenit ikam duduk di Gunung
Cemara Bugam, sudah diwarisi ilmu laduni oleh Sangiang Sukma Suara.[01:08:39.04]
Sainul Hermawan
159
Bujang Maluwala mendorong anaknya untuk bekerja atau mencari ilmu. Anak raja harus mandiri,
tidak boleh bergantung pada orang tua. Kerja keras dan ilmu adalah dua nilai penting. Orang
harus malu jika tidak memiliki dua hal penting itu: bekerja atau mencari ilmu. Kerja dan ilmu
itulah yang menjadikan manusia bermartabat.
Meskipun demikian, balamut Jamhar tetap berusaha merepresentasikan nilai yang relatif.
Misalnya, perilaku raja-raja Palinggam yang beristri empat, umpatan dalam peperangan atau
persahabatan. Dalam kisah Bujang Busur ditemukan kata-kata umpatan atau pisuhan bungul
(4 kali),2 bangsat (14 kali), dan binatang (14 kali). Sebagai ekspresi keakraban, kata pisuhan
bungul bisa bernilai komunikatif tetapi dalam konteks peperangan, bisa baik bagi kelompok
usia tertentu tetapi kurang baik bagi usia anak-anak.
VII. SIMPULAN
Tradisi lisan balamut menunjukkan terintegrasinya nilai-nilai pendidikan karakter dalam
tiga ranah: penutur, penonton, dan cerita. Di dalam penuturan cerita, nilai pendidikan karakter
tidak berdiri sendiri tetapi saling berhubungan. Di tengah masyarakatnya yang sedang dilanda
krisis budaya, seni ini bisa diandalkan sebagai sarana terapi sosial, terutama untuk menguatkan
kecakapan komunikasi: berbicara dan menyimak. Tidak adanya perguruan tinggi di Kalimantan
Selatan untuk menggali struktur dasar seni tradisi ini dan mengembangkannya sebagai model
pembelajaran turut berperan membiarkan seni tradisi ini menunggu kepunahannya. Sebagai
seni tradisi yang adaptif, balamut bisa dimodifikasi dengan tetap memprtimbangkan formula-
formula dasarnya, seperti keberadaan tokoh Lamut dan Negeri Palinggam. Misalnya, belum
ada upaya mengembangkan cerita Lamut versi anak. Tokoh-tokoh Lamut seperti kehilangan
masa kanak-kanaknya. Banyaknya kata-kata kasar seperti bangsat dan bungul membuat cerita
ini tidak baik diperkenalkan untuk pendidikan usia anak-anak. Di sinilah pentingnya upaya
mengadaptasi cerita balamut untuk pendengar anak-anak. Potensinya terletak pada unsur
fantasinya. Namun yang paling penting bahwa memperkenalkan seni tradisi di dalam sekolah
tidak boleh hanya terjebak pada aspek-aspek praktik berkesenian tetapi harus lebih dalam
memahami nilai-nilai pendidikan karakter yang ada di balik unsur-unsur kesenian. Tanpa itu,
maka pembelajaran seni tradisi apapun akan terjebak dalam aspek hiburan semata.
DAFTAR PUSTAKA
Bakhtiar Sanderta dan M. Thaha, 2000. Pantun, Madihin, Lamut. Banjarmasin; Dinas Pendidikan
dan Kebudayaan dan Dewan Kesenian Kalimantan Selatan.
Denzin, Norman K. and Lincoln, Yvonna S (eds.). 1994. Hanbook of Qualitative Research.
California: Sage Publications, Inc.
Ideham, M. Suriansyah, dkk. 2005. Urang Banjar dan Kebudayaannya. Cetakan Pertama.
Banjarmasin: Badan Penelitian dan Pengembangan Daerah Provinsi Kalimantan
Selatan.
Sainul Hermawan
160
Jarkasi, Djantera Kawi, dan Zainuddin Hanafi. 1997. Struktur Sastra Lisan Lamut. Jakarta:
Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, Departemen Pendidikan dan
Kebudayaan.
Kompas.com. “Pemerintah Canangkan Pendidikan Karakter” http://nasional.kompas.com/read/
2011/07/13/04580874/Pemerintah.Canangkan.Pendidikan.Karakter (diakses 1/5/
2014).
Mukhlis Maman. 2011. Lamut. Banjarbaru: Scripta Cendekia.
Nelly Rosita. 1989. “Lamut (Salah Satu Bentuk dari Sastra Lisan Banjar)”. Seminar Hasil
Penelitian dalam Rangka Program Pernaskahan I Kerjasama Indonesia-Belanda di
Fakultas Sastra Universitas Indonesia, Jakarta, 27-29 Juni 1989.
Ong, Walter J. 1982. Orality and Literacy. London and New York: Routledge.
Sabhan dan Suwarno Muriyat. 2011. Lamut dan Karungut: Seni Pertunjukan Tradisi Lisan
Kalimantan. Banjarbaru: Scripta Cendekia.
Silverman, David. 1993. Interpreting Qualitative Data: Methods for Analysing Talk, Text and
Interaction. London: Sage Publications.
Sjamsiar Seman. 1960. Bidang Sastera Bandjar. Manuskrip belum diterbitkan. Banjarmasin.
Syamsiar Seman. 2002. Kesenian Tradisional Banjar Lamut, Madihin, dan Pantun. Banjarmasin:
Lembaga Pengkajian dan Pelestarian Budaya Banjar Kalimantan Selatan.Sunarti dkk.
1978. Sastra Lisan Banjar. Jakarta: Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa,
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.
Sweeney, Amin. 1987. A Full Hearing: Orality and Literacy in the Malay World. London: University
of California Press.
Syarifuddin R. dkk. 2008. Kearifan Lokal Masyarakat Banjar yang Terefleksikan ke dalam Sastra
Lisan dan Teater Tutur Lamut. Banjarmasin: Dinas Kebudayaan dan Pariwisata,
Pemerintah Provinsi Kalimantan Selatan.
Sainul Hermawan
161
Sainul Hermawan
162
MEMANFAATKAN PERIBAHASA BANJAR SEBAGAI SARANA
PEMBENTUKAN KARAKTER
Tajuddin Noor Ganie
STKIP Banjarmasin
ABSTRAK
Konsep pendidikan karakter menurut Azeet (2011:12) sesungguhnya sudah ada sejak tahun
2003, dalam hal ini sudah dituangkan dalam Undang-undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang
Sistem Pendidikan Nasional (UU 20/2003 tentang SPN). Pendidikan karakter kepada anak
didik di sekolah atau kepada para mahasiswa di perguruan tinggi dilakukan melalui bahan ajar
atau bahan kuliah yang diresmikan dalam kurikulum. Kualitas pribadi yang akan dibentuk
melalui sistem pendidikan nasional adalah anak bangsa dengan kualitas pribadi sebagai
berikut. (1) beriman dan bertaqwa kepada Tuhan yang Maha Esa, (2) berakhlak mulia, (3)
sehat, (4) berilmu, (5) cakap, (6) kreatif, (7) mandiri, (8) demokratis, dan (9) bertanggung jawab.
Kekayaan budaya lokal etnis Banjar yang dapat dijadikan sebagai bahan ajar atau bahan
kuliah dalam konteks pembentukan karakter adalah peribahasa Banjar. Dalam hal ini peribahasa
Banjar yang dapat membentuk karakter anak bangsa dengan kualitas pribadi sebagaimana
yang dipaparkan di atas. Melalui peribahasa Banjar sebagai media komunikasinya, generasi
tua etnis Banjar dapat menyampaikan semua ajaran, informasi, nasihat, dan semua kearifan
lokal lainnya kepada generasi penerusnya, sehingga kearifan lokal dalam bentuk ungkapan
tradisional berbahasa Banjar ini tetap lestari dari generasi ke generasi. Selain itu, peribahasa
Banjar juga menampilkan gagasan, hayatan, ingatan, pandangan, pikiran dan renungan mereka
sebagai suku bangsa. Bahkan, peribahasa Banjar juga dapat dipandang sebagai wacana,
sekaligus juga inskripsi, yang merepresentasikan proses dialektika yang berkembang dalam
konteks konstruksi realitas budaya etnis Banjar. Berdasarkan karakteristik fungsinya, setidak-
tidaknya ada 4 fungsi peribahasa Banjar, yakni: (1) media pendidikan, pedoman tingkah laku,
dan pengatur aspek-aspek kehidupan bermasyarakat, (2) sumber hukum, pengesah pranata
sosial, pengawas dan pengukuh norma-norma sosial, (3) sistem proyeksi, lambang identitas
budaya, dan sumber informasi budaya, dan (4) sarana untuk bergurau, berolok-olok, mencela,
menghina, dan sebagai sarana retorika untuk mematahkan kata-kata lawan bicara (alat
pertahanan diri). Pendidikan karakter yang dapat ditanamkan secara tersurat dan tersirat melalui
peribahasa Banjar meliputi 4 katagori, yakni: (1) pendidikan karakter yang berkaitan dengan
Tuhan Yang Maha Esa, (2) pendidikan karakter yang berkaitan dengan diri sendiri, (3) pendidikan
karakter yang berkaitan dengan sesama manusia, dan (4) pendidikan karakter yang berkaitan
dengan lingkungan.
II. PERIBAHASA BANJAR SALAH SATU BAHAN AJAR ATAU BAHAN KULIAH PENDIDIKAN
KARAKTER ANAK BANGSA
Pendidikan karakter kepada anak didik di sekolah atau kepada para mahasiswa di
perguruan tinggi dilakukan melalui bahan ajar atau bahan kuliah yang diresmikan dalam
kurikulum. Salah satu bahan ajar atau bahan kuliah dimaksud adalah muatan lokal budaya
Banjar. Kekayaan budaya local etnis Banjar yang dapat dijadikan sebagai bahan ajar atau
bahan kuliah dalam konteks pembentukan karakter adalah peribahasa Banjar.
Merujuk kepada UU 20/2003 tentang SPN, maka kualitas pribadi yang akan dibentuk
melalui sistem pendidikan nasional adalah anak bangsa dengan kualitas pribadi sebagai
berikut.
1. Beriman dan bertaqwa kepada Tuhan yang Maha Esa
2. Berakhlak mulia
3. Sehat
4. Berilmu
5. Cakap
6. Kreatif
7. Mandiri
8. Demokratis, dan
9. Bertanggung jawab
Ini berarti peribahasa Banjar yang dapat dijadikan sebagai sarana pembentukan
karakter anak bangsa adalah peribahasa Banjar yang dapat membentuk karakter anak bangsa
dengan kualitas pribadi sebagaimana yang dipaparkan di atas.
Peribahasa Banjar ialah kalimat pendek dalam bahasa Banjar yang pola susunan
kata-katanya sudah tetap, bersifat formulatik (merujuk pada suatu formula bentuk tertentu), dan
sudah dikenal luas sebagai ungkapan tradisional yang menyatakan maksudnya secara samar-
DAFTAR PUSTAKA
Danandjaja, James. 1994. Folklor Indonesia. ilmu gosip, dongeng dan lain lain. Jakarta : Penerbit
Grafiti Pers. Cetakan I.
Effendi, Rustam; Hapip, Abdul Jebbar; dan Durasid, Durdje. 1994. Ungkapan dan Peribahasa
Banjar. Penerbit Proyek Penelitian Bahasa dan Sastra Indonesia dan Daerah
Kalimantan Selatan. Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa Departemen
Pendidikan dan Kebudayaan. Cetakan I
Hapip, Abdul Jebbar. 2001. Kamus Banjar Indonesia. Banjarmasin: Grafika Wangi Kalimantan.
Cetakan Ulang Edisi III.
Makkie, Ahmad dan Seman, Syamsiar. 1996. Peribahasa dan Ungkapan Tradisional Bahasa
Banjar. Jilid I A-J. Banjarmasin : Penerbit Dewan Kesenian Daerah Kalimantan Selatan.
Cetakan I.
Makkie, Ahmad dan Seman, Syamsiar. 1998. Peribahasa dan Ungkapan Tradisional Bahasa
Banjar. Jilid I K-W. Banjarmasin : Penerbit Dewan Kesenian Daerah Kalimantan
Selatan. Cetakan I.
Maswan dkk, Syukrani. 1984. Ungkapan Tradisional Sebagai Sumber Informasi Kebudayaan
Daerah Kalimantan Selatan. Jakarta : Proyek Inventarisasi dan Dokumentasi
Kebudayaan Daerah. Cetakan I.
Saleh, M. Idwar. 1984. Sejarah Daerah Kalimantan Selatan. Banjarmasin : Proyek Penelitian
dan Pencatatan Kebudayaan Daerah. Kanwil Depdikbud Kalsel. Cetakan I.
Sudikan, Setya Yuwana. 2001. Metode Penelitian Sastra Lisan. Surabaya : Citra Wacana. Cetakan
I.
ABSTRACT
The benefits of peer feedback technique for students’ writing achievement have been highly
acknowledged. It has been proven that peer feedback can significantly enhance students’
confidence, increase students’ motivation, and alleviate students’ anxiety in English writing.
The students of SMAN 2 Klaten class X C in 2012 academic year, based on the reconnaissance
study, conducted in 2012, had high level of anxiety and low level of confidence in English
writing, which affected their overall writing performance. They often experienced some problems
related to the content and organization of a text. Moreover, they felt mortified to ask for comments
or suggestions from either their teacher or their peers. This study was conducted to examine
how peer feedback teaching technique improved the confidence and English writing
performance of the students of SMAN 2 Klaten class X C in academic year of 2012. The
qualitative and quantitative data collected from observation checklist, interview guidelines, and
writing performance tasks seemed to suggest that peer feedback activity successfully enhanced
students’ confidence and motivation in English writing and alleviate students’ anxiety, which
then resulted in the improvement of their writing performance.
Keywords: Peer Feedback, confidence and motivation, students’ writing performance
A. INTRODUCTION
1.1 Background of the research
Teaching English as a foreign language is continuously researched and developed to
find the best way for successful learning. The objective is to improve students’ English
competence dealing with the English language skills (listening, speaking, reading, and writing),
and the English language components (vocabulary, structure or grammar, and pronunciation).
English writing, one of the English language skills, is very urgent for senior high school
students to master. Based on 2013 curriculum, it is mentioned that one of the purposes of
teaching-learning of English in senior high schools is to develop the communicative competency
in both the oral and written forms to gain the level of informational literacy. Therefore, expressing
minds through writing is a must for the students. Moreover, most senior high school graduates
are likely to continue their study to the university level, in which academic writing skill will play an
important role in the success of their study. Being university students, they will eventually be
The chart shows that the mean score of each aspect is 3.03 for content, 3.78 for
organization, 3.26 for vocabulary, 2.6 for language use, and 2.82 for mechanics. Because the
mean scores of language use and mechanics were under 3.00, therefore Cycle 2 was conducted
to improve those aspects.
In Cycle 2, the application of peer feedback increased students’ confidence in revising
their draft as well as students’ motivation in class participation. Moreover, the improvement was
in grammatical features. It can be seen on the following data.
R : “Peer feedback tadi membantu nggak?”
(“Did peer feedback help you?”)
Ss : “Membantu. Karena tau kesalahan grammarnya.”
(“Yes, because I knew about my grammatical mistakes.”)
R : “Trus kemampuan writing kamu ada peningkatan nggak?”
(“Then, does your writing skill improve?”)
Ss : “Ya bisa dibilang iya.”
(“Yes, of course.”)
R :”Di bagian apa?”
(“In which part?”)
Ss : “Grammarnya lumayan meningkat mbak, terus mechanics-nya juga.”
(“The grammatical features improve, and the mechanics, too.”)
However, they still had difficulties in text organization. The indication of the problem
was from the mean score of organization. In the previous meeting, the mean score of organization
was 3.77, but in the next meeting, the organization decreased in 3.16. Besides, another indication
can be seen from the following data.
R : “Kesulitannya apa saja?”
(“What’s your difficulty”)
Ss : “Cukup banyak. Di bagian organization, Miss.”
(“Quite a lot, especially in organization, Miss.”)
Furthermore, the complete mean scores of Cycle 2 can be seen in the following chart.
In Cycle 3, the findings show improvements on students’ writing skills in the aspects of
ideas generation, grammatical features mastery, and paragraph organization. From the sample
of students’ writing (Figure 5), it can be seen that students only had few errors on their writing
related to grammatical features. They could write the identification and also the description of
the object in three paragraphs.
Furthermore, the result of the students’ writing score is presented in the Figure 6. The
chart shows that the mean score of each aspect is 3.47 for content, 3.77 for organization, 3.86
for vocabulary, 2.97 for language use, and 3.39 for mechanics. As the result of the better
improvements of students in writing skills, the researcher decided to stop the cycle.
Figure 5 A sample of students’ writing
As the final reflection, the researcher concluded that using peer feedback in teaching
writing was an effective activity to improve students’ writing skills. Thus, the researcher decided
to stop the cycle since the result of the last cycle had shown a good improvement of students’
writing skills. It can be seen from the qualitative data and the quantitative data which are elaborated
below.
1. Qualitative Data
Qualitative data sources used by the researcher were observation in the form of field
notes, interview transcripts, and sample of students’ work. Those data sources gave the
significant results of this research.
Based on the observation and interviews in the reconnaissance step, the students
were not confident to write because they did not master vocabulary, ideas generation, and
grammatical features well. To solve the students’ problem, the teacher and the researcher
made a strategic plan. The plan was by applying activities using peer feedback and also
applying free writing by which they could experience the writing process in the classroom
including planning, drafting, editing, and a final draft. Eventually, after the actions, students were
confident to write.
Furthermore, before the actions were given, the students had difficulties in writing.
Their difficulties were in generating ideas, organizing sentences, vocabulary, grammatical
features, and mechanics. To solve the problems, the researcher and the English teacher made
a strategic plan by using peer feedback. After the actions, they got significant improvements in
those aspects. The improvements of students’ writing skills are supported by the quantitative
data.
2. Quantitative Data
The quantitative data were acquired from the gain score of the five aspects which are content,
organization, vocabulary, language use, and mechanics. The five aspects are converted into
six ranges that are “excellent”, “very good”, “good”, “fair”, “poor”, and “very poor”. The conversion
is presented on the table below.
F req u en c y
No C las s In terv al C ateg o riz atio n
C y c le 1 C y c le 2 C y c le 3
1 17.5 – 19.9 e xce lle nt 5 7 23
2 15.0 – 17.4 ve ry good 21 26 12
3 12.5 – 14.9 good 10 3 0
4 10.0 – 12.4 fa ir 0 0 0
5 7.5 – 9.9 poor 0 0 0
6 5.0 – 7.4 ve ry poor 0 0 0
From the conversion table above, it can be interpreted that in Cycle 1, few students are
in the “excellent” categorization and some students are in the “good” categorization. Then,
most students are in the “very good” categorization. In Cycle 2, the frequency of categorization is
almost the same as that of Cycle 1 in which the number of students in the “excellent” categorization
increases to be seven, and in the “very good” categorization increases to be 26. Moreover, the
number of students in the “good” categorization decreases to be three. However, in Cycle 3, the
frequency shows significant improvements. There is no student in the “good” categorization.
Most of them are in the “excellent” categorization. There are only twelve students in the “good”
categorization.
III.CONCLUSION
Peer feedback plays a significant role in improving students’ writing in the aspects of
developing ideas, grammatical features, and organization. Besides, it also increases students’
confidence and motivation and alleviates students’ anxiety. Therefore, teachers, in writing
process, should employ peer feedback activity to improve students’ writing performance. In
order to succeed the role of peer feedback, teachers should monitor and control the throughout
activities intensively.
REFERENCES
Brown, H. D. 2001. Teaching by Principles: An interactive Approach to Language Pedagogy,
Second Edition. San Francisco: San Francisco University.
Dulay, H., Burt, M., and Krashen, S. 1982. Language Two. Oxford: Oxford University Press.
Ferris, R. D. (2003). Response to Student Writing: Implications for Second Language Students.
London: Lawrence Erlbaum Associates, Inc.
Graham, S. & Perin, D. 2007. Writing Next: Effective Strategies to Improve Writing of Adolescents
in Middle and High Schools: A Report to Carnegie Corporation of New York. Washington
DC: Alliance for Excellent Education.
ABSTRACT
Kompetensi Ekstra Course is a course which composed the students to have additional
competence in English based on the demand of the stakeholders. The objective of this study
was to develop the instructional materials for Kompetensi Ekstra Course, particularly presentation
in English for the students of National Tanah Laut Higher Vocational Education Institute (Politeknik
Negeri Tanah Laut), Indonesia as a vocational college based on the character education to
build the students’ courage. In this study, the Kompetensi Ekstra Course was still lack of
instructional materials, particularly in presentation. The instruments used in this study consisted
of observation, questionnaire, and guided interview which were distributed to the students,
lecturer, team-teaching as the expert of validation, and the stakeholders as the users of the
graduation students of Politeknik Negeri Tanah Laut. The result of the need analysis showed
that the students were in the need of instructional materials which consisted of Pronunciation,
PowerPoint, and the use of Technical Support relevant to this study and the students’ level of
English proficiency.
Keywords: Kompetensi Ekstra Course, Presentation, Character Education Program, Courage
I. INTRODUCTION
1.1 Background of The Study
Indonesia is one of the countries that apply character education in the curriculum for
all level of education, included university level, such as National State Politechnics of Tanah
Laut (Politeknik Negeri Tanah Laut).
Politeknik Negeri Tanah Laut, has been formed since 2009, is a vocational education
and the only higher educational institute in the district which has many stakeholders of the
industries and companies. These stakeholders require graduates that capable and courageous
in communication, particularly in English as communication skills.
The communication skills, particularly in English presentation, are important for the
students of Politeknik Negeri Tanah Laut. Related to this condition, Politeknik Negeri Tanah Laut
creates a specific course named Kompetensi Ektra, which consists all of the materials about
presentation, particularly in English. One of the main purposes of teaching English is to enable
Wan Yuliyanti
187
students to communicate in English. In other words, one of the fundamental objectives of teaching
English, especially in university level, is to develop the student’s courage of communication skills
through instructional materials which are compiled as a textbook. Whether the materials of
presentation consist of English pronunciation, apply PowerPoint while presentation, or using the
LCD Projector and wireless presenter/laser pointer in creating presentations. This is the reason,
which makes the lecturers of Kompetensi Ektra course should develop instructional materials as
a textbook for the students. Certainly, in developing the instructional materials the lecturers also
should imply the character education in learning process that suitable for the students.
The students who have courage to communicate, particularly in English, generally
have good communication skills. Somehow, they are in connection with the developing of
instructional materials and the way how the instructors deliver the knowledge itself.
The first thing that should be considered in developing the instructional materials is
the material selection. A significant feature of effective material is providing alternatives for
teachers and learners in term of learners-tasks, learning styles, presentation techniques, and
expected outcomes [4]. Instructional materials are created for students that contain a set of
learning resources which are arranged systematically and represent a whole of competences
that should be mastered in the learning process [3]. Materials should teach students to learn,
that they should be resource books for ideas and activities for instruction/learning, and that they
should give teachers rationales for what they do based on what they need [6].
The students’ needs can be found out by asking them the questions about themselves
and the language as the need of analysis or also called need assessment. Once identified, the
needs can be stated in term of goals and objectives which, in turn, can serve as the bases for
developing tests, materials, teaching activity and evaluation strategies. The purpose is to fill the
“gap” of what a language program “lacks” [1].
How to Build the Students’ Courage Based on Their Character?
According to explanation above and as the US Department of Education [9] made a list
of characteristics to be a responsible citizen: Compassion, Honesty and fairness, Good judgment,
Respect for others, Self-respect, Courage, Responsibility, Citizenship and patriotism, the lecturers
should imply all or one of the into their learning process. In this study, the writer selects courage
as the character education, although for a presentation in English needs more good character,
such as confidence, responsibility, respect, discipline, etc. Through courage, makes it easier
for the students creating and presenting their presentation in English and of course, they will be
more responsible, discipline, respect in doing their activities.
Character education is a learning process consists of the way how the teachers teach
the students about good traits that enable students and adults get along smoothly in their
community to understand, care about and act on core ethical values such as respect, justice,
civic virtue and citizenship and responsibility for self and others.
According to Remick (2013), Children are not born with manners just as they are not
born knowing what is right or wrong. It is the responsibility of influential people in their lives to
Wan Yuliyanti
188
teach them how to be respectful and responsible citizens that are can work with others, be
trusted, are fair and are kind [7].
One of the expectations, that the students should be mastered in building their good
character is their courage itself. When students have their courage, it will make them easier
creating and presenting any positive things in their collage activities. And one of them is creating
and presenting a presentation, even if it is in group, as Remick said “Allow opportunities for
students to work as a team” [7] or individually.
Furthermore, Sudrajat (2010) concluded character education as “the deliberate
use of all dimensions of school life to foster optimal character development” [8] and Good
character education is simply good education. It helps solve behavioral problems and improve
academic achievement [2].
As the collage members, the students need to be encouraged to be more courageous
in any ways, particularly in creating and presenting a presentation. In this case, the instructors
should concern on the students’ courage character and how to build their courage character to
be better than before.
1.2 Problem of the Study
From the general observation before the study is conducted, it is figured out the existing
instructional materials of English Presentation Practice for the students of Politeknik Negeri Tanah
Laut, still need to be developed, which is expected to fulfill the students’ needs and interest,
motivate, help, increase students’ competence and courage in presentation, particularly in English.
Based on the background of the study that has just mentioned previously, this study will
try to answer the problem as follows: How to develop the instructional materials based on the
character education and build the students’ courage in presentation, particularly in English?
1.3 Objective of the Study
Concerning to the problem stated above, the objective of this study is to develop the
instructional materials based on the character education and build the students’ courage in
presentation, particularly in English.
1.4 Significance of the Study
The result of the study can give some benefits as follows:
a. Theoretical Significance
The result of this study can give authentic information about how the writer develops
the instructional materials based on the character education and build the students’
courage in presentation, particularly in English for the students of Politeknik Negeri
Tanah Laut.
b. Practical Significance
1) The result of the study can be used as a reference for the English lecturer of
Politeknik Negeri Tanah Laut, who is going to teach Kompetensi Ekstra Course,
particularly presentation in English and build the students’ courage of character
education.
Wan Yuliyanti
189
2) The result of this study can be used as one of source of information for the
students of English Education Study Program who learnt about English materials
development of presentation in English and build the students’ courage of
character education, particularly for vocational college.
3) The result of this study can be used as a source of information for the stakeholders
who would hire the alumni of Politeknik Negeri Tanah Laut.
Wan Yuliyanti
190
2.2 Procedures
Concerning to the purpose of this study, education research and development (R&D)
was considered as the appropriate design to be applied. Regarding some varieties of models in
developing materials using the R&D approach, the models were basically are the same in goal,
but different in the procedures, depending on such factors as educational system, condition of
lecturers and students, learning situation, etc. There are some stages of procedures in
developing English instructional material [5] as seen on following figure:
Explanation:
• Needs assessment is conducted in order to obtain information about the target
situation hat was the students. In language program, the needs are the language
related [1].
• The theories about material development and relevant previous study is explores as
the basis for the development.
• The theories that have been studied in the previous stage and the information that
have been gathered would be used as the basis in developing materials.
• Expert validation was a process of evaluating and revision of the developed material.
It needs a person who is considered as an expert in the material development
Wan Yuliyanti
191
would give the evidence whether the developed materials has fulfill the required
criteria that have been set for the purpose of this study or not.
• The revision is done when the data was collected during the expert validation
indicates that the materials that was developed did not fulfill the criteria that was
reflected in the purpose of the study and the data that was collected from the try-out
of the revised materials still indicate difficulties or problem that could be experienced
by the students in their effort achieve the teaching learning objectives that was
stated in each unit of the materials.
• The try-out mainly intended to gather information of the applicability of the materials,
in terms of the level of difficulty, usefulness, effectiveness, and attractiveness of the
material. Thus, this called empirical validation.
• Revision is done on the result of validation and try-out. With such revision, the
instructional material is expected to become more appropriate and applicable for
the students.
• After going through several revisions and adjustments, the development of the
instructional materials in this study results in the final product.
Wan Yuliyanti
192
Based on the data above, the writers create a textbook for the students of Tanah Laut
Higher Vocational Education Institute (Politeknik Negeri Tanah Laut), Indonesia as guidance in
creating a presentation, particularly in English Presentation. Furthermore, the students should
do the try-out in creating a presentation and they are scored. The results of try-out are scored as
following table:
IV. CLOSING
4.1 Discussion
The purposes of the development of instructional material for the second year students
of Politeknik Negeri Tanah Laut are: (i) to provide activities as a character education that make
the students more courage, confidence and creative in presenting their presentations; (ii) to
build the students’ good character, particularly in courage; (iii) to provide the students with the
topics and tasks that enable them to develop more knowledge, competence and skills in English
presentation; and (iv) to give the students instructional materials which are needed for their
future, particularly after college in order to be hired by the companies which are located in
Tanah Laut regency, South Kalimantan.
As the first positive point of validation identified by the expert, the physical appearance
of the instructional materials was informative, attractive and invites the excitement of the students
to increase their courage. The second point of validation was related to the organization of the
material which organized attractively. The third positive point identified by the expert dealt with
the instructional objectives which were clear, stated clearly and also ordered appropriately.
Connect to the next positive point, which was the topics, which were inline with the students’
needs and interest. Besides, the topics had been relevant to the students’ subject content,
compiled of various kinds of quite up to date based on the character education.
Wan Yuliyanti
193
Dealt with the tasks points, the tasks were appropriate to the given context, communicative,
easier and can be done by the students and then encourage involvement of the students
individually and as a team. On instructions point, the expert of validation identified that the
instructions were clear, appropriate and can be understood by the students. The next point
dealt with coverage of materials which was relevant, appropriate to the students’ needs and
interests, and also represent the aspect of presentation practice skills and able to increase the
students’ courage. Related to content of materials, the content had been clear, appropriate,
logically ordered and relates directly to the objective of the instruction.
While the first negative point of the draft identified by the expert was connected to the
content of materials could hardly understood by the students. The second negative point of the
draft dealt with language identified by the expert was about the language. Some language
aspects on the draft were considered did not match to the students’ level and could hardly
understand by the students. In addition to the previous points, the expert and the team-teaching
as expert of validation also gave some notes and suggestion on the revision of the first draft. As
suggested by the expert, the students should be given more tasks or assignments in pronunciation
and should create more English presentation practice, individually or in a team. Thus, it is better
to make adaptation and addition on the tasks or assignments in order to increase the students’
good character, particularly the courage.
4.2 Conclusion
1. The material was developed based on the needs, interest, motivation and it is
considered to be appropriate and applicable for students of National Tanah Laut
Higher Vocational Education Institute (Politeknik Negeri Tanah Laut), Indonesia in
order to build their good character, particularly the courage.
2. The more the students have opportunity creating presentations and present them,
the more they are encouraged to build their courage as their good character.
4.3 Suggestion
1. Instructional materials of presentation in English should be developed by paying
attention on the result of the assessment of the students’ needs and combined with
the institutional goals and character education to build the students’ courage.
2. It is necessary for the lecturers to be creative in implementing the developed material
in the teaching and learning process through character education to build the
students’ courage.
3. The lecturers should be able to facilitate the students with the atmosphere that
encourage the students to be active in their learning, especially by giving more
practice in pronunciation, more attractive and creative in using PowerPoint and
more flexible in using the LCD Projector and wireless presenter/laser pointer in
creating presentations.
4. For further development of materials, it is also advisable to use it not only in
Kompetensi Ekstra Course but also on another course, particularly in Politeknik
Negeri Tanah Laut.
Wan Yuliyanti
194
5.The companies, who are as the stakeholders should give details criteria and specific
standard to the college about what kinds of presentation that their companies
generally needed in creating and presenting a presentation.
REFERENCES
Alharby, Majid. 2008. ESP Target Situation Needs Analysis: the ENGLISH Language Commu-
nicative needs as Perceived by Health Professionals in the Riyadh Area. A Disserta-
tion: The University of Georgia.
Character Education Partnership (CEP). 2011. What is Character Education? http://
www.character.org/key-topics/what-is-character-education/ (Accessed on 14th May
2014).
Departemen Pendidikan Nasional. 2008. Panduan Pengembangan Bahan Ajar Sekolah
Menengah Atas. Jakarta.
Dubin, Fraida., and Olshtain, Elite. 1986. Course Design. Developing Programs and Materials
for Language Learning. Cambridge: Cambridge University Press.
Hutchinson & Waters. 1991. English for Specific Purposes. A Learning-centered Approach.
New York: Cambridge University Press.
Kitao, Kenji and Kitao. 1997. Selecting and Developing Teaching/Learning Materials the
Internet TESL Journal, vol. IV. No. 4.
Remick, Diana. 2013. Character Education. http://blog.reallygoodstuff.com/character-
education/ (Accessed on 14th May 2014).
Sudrajat, Akhmad. 2010. Apa Pendidikan Karakter itu? http://akhmadsudrajat.wordpress.com/
2010/09/15/konsep-pendidikan-karakter/ (Accessed on 14th May 2014).
US Department of Education. List of Characteristics. http://talkingtreebooks.com/
list_of_characteristics.html (Accessed on 14th May 2014).
Wan Yuliyanti
195
Wan Yuliyanti
196
BAB III
PENDIDIKAN KARAKTER
DAN PENDIDIKAN IPA
ABSTRACT
Taxonomy is a branch of biology that deals with the theory and practice of grouping of living
organisms. It covers different activities, namely the classification (formation of hierarchical
groups), naming of the groups, and identification (placing of individual organisms into existing
groups), with the underlying theories and philosophy. Taxonomy is not only the oldest branch of
biology, but also is the first science naturally learnt by human being in early childhood. Processes
in taxonomy employ objective and subjective thinking, inductive and deductive reasoning,
decision making based on data and speculation, that are carried out either in the laboratory or
in the field. There are values inherent in the taxonomic processes and, consequently, are
potentially endorsable to students through mimicking the works of practicing taxonomists. The
characters are, among others, those related to science, e.g. honesty and precision; moral, e.g.
tolerance and opennes; art and esthetic, e.g. creativity and innovation; and religion, e.g. faith
and gratitude to God. The main prerequisites of an effective taxonomy education are capable
teachers mastering principles of taxonomy as well as biology sylabus focusing more on mastery
of the principles rather than the products of taxonomy.
Keywords: taxonomy, classification, identification, character education
I. INTRODUCTION
On the 14th of January 2010 the Government of Indonesia through the Ministry of
National Education declared the National Movement of Cultural and Character Education. Ever
since, 18 values for cultural and character education have been identified (Hasan et al., 2010).
The instillment of the values are to be carried out by integrating into every course in the curriculum.
Therefore, the distribution of the values in various courses and years has also been released
(Hasan et al., 2010).
In Indonesia science is given as a single integrative subject in primary and secondary
schools (Year 1-9). Therefore, the study of living organisms is taught as a part of science course.
Only later, at senior highschools (Year 10-12) biology is given as a separate subject, beside
physics and chemistry. Then distribution of values in courses and years is given accordingly, under
the heading of science (for Year 1-9) and each of biology, physics, and chemistry (Year 9-12).
Abdul Gafur
199
Regarding the study of living organisms, either as a part of science or as a separate
course biology, one main component taught at schools is the survey of main groups and kinds
of plants, animals, and microbes. The subject is covered by a separate dicipline named biological
taxonomy, or taxonomy for short. As a branch of biology, taxonomy shows characteristics derived
from the characteristics of biology. Additionally, there are also unique characteristics of taxonomy,
which are are reflective of activities and processes involved in taxonomy: classification,
nomenclature, and identification. Inherent in the processes are values that can be instilled on
students as parts of character education through taxonomy.
The present paper attempts to elaborate what taxonomists do in classification,
nomenclature, and identification, and what values involved in each process. It is not meant to be
an exhaustive account of taxonomy. The focus is on the taxonomic processes that can be
carried out or simulated during the teaching-learning process, either in the classroom, laboratory,
or in the field at levels ranging from highschool to early undergraduate. In relation to the type of
taxonomy, emphasis is placed on alpha and beta taxonomy, while gamma taxonomy is only
slightly touched without further elaboration. Therefore, phylogenetics is purposefully passed
up. Details on controversial issues, such as the competing schools of taxonomy, is deliberately
avoided. In the end, with this approach, this paper does not only address the question of what
values can be contributed by taxonomy for character education, but also why.
II. CLASSIFICATION
Taxonomy is classically defined as the theoretical study of classification, including its
bases, principles, procedures, and rules (Simpson, 1961). A more straightforward definition is
that taxonomy is the theory and practice of classifying organisms (Mayr & Ashlock, 1991). So,
taxonomy is basically about the activity or process of classification and the theory underlying the
process. In biological taxonomy the things to be classified are organisms, either extant or
extinct.
Classification in general is the grouping of objects into classes owing to their shared possession
of attributes (Mayr & Ashlock, 1991). So, any ordering of objects into groups are called classification. In
biological taxonomy, biological classification is widely accepted as the grouping and ranking of organisms
based on similarities and/or differences (Simpson, 1961).
Mayr & Ashlock (1991) summarized general rules of classification as follows: (1) items
to be classified are brought together into classes made as homogeneous as possible; (2) an
individual item is included in a class whose members share the greatest number of attributes
with it; (3) if an item is too different to be included in any of the established classes, a new
separate class is assigned for it; and (4) classes of the same level are assembled into higher
level classes forming a hierarchy of nested sets. Correspondingly, regarding biological
classification, taxonomists work in four steps (Mayr, 1969): (1) sorting individuals into phena,
and phena into populations; (2) assigning populations to species; (3) grouping species into
higher taxa; and (4) ranking taxa in a hierarchy of categories.
Abdul Gafur
200
Stuessy (2006) offered five principles of biological classification as follows:
1. Life originated during the past 3.6 billion years;
2. due to evolutionary processes, life forms show natural patterns of relationship to one
another;
3. based on features of organisms, the patterns of relationship are determined, that are
assumed to reflect the evolutionary processes;
4. the patterns of relationship are used to make hierarchical classification; and
5. names are given to the classified groups.
As implementation of these principles, four human activities can be identified:
observations of various life forms, descriptions of the organismic features, ordering of organisms
based on the descriptions, and interpretation of the classification (Stuessy, 2009). From the
above descriptions of classification it is clear that classification is based on inductive reasoning.
As an inductive process, classification always starts with observations or inspections
on a sample of unclassified objects in order to find a pattern of similarities and/or differences
among them. Depending on the nature of the objects, the important features of the objects may
or may not be easily recognizable. Therefore, in doing observations one need to have keen sight
in finding a pattern among the unclassified objects. It is not uncommon that one has to design
or create a method or device to help him carrying out the observations, and this requires
innovation and creativity.
With the wide acceptance of the theory that evolution has occurred, taxonomists agree
that the basis for biological classification must be genealogical relationship among organisms,
that members of a group are similar in the sense that they share a common descent. However,
due to the nature of biological entities, classifications in the same form, with the same purposes,
and based on the same criteria or principles are not unique or uniform (Gilmour, 1951). The
same data and interpretation may lead to equally good classification that nevertheless differ
from person to person and from time to time (Simpson, 1961). In fact, there can not be one ideal
and absolute scheme of classification for any particular set of objects (Gilmour, 1951). Therefore,
“freedom of taxonomic thought and action” is highly regarded in taxonomy.
Taxonomy introduces two fascinating aspects of nature at once: its diversity and
uniqueness of its components on one hand; and the patterned diversity, revealing all sorts of
regularities, on the other hand. Although religion is not the domain of taxonomy, studying and
practicing classification open up opportunities for improving religiousity by raising awareness
of the two aspects of life, how and why they exist. By providing a vivid picture of the existing
organic diversity, taxonomy allow a greater appreciation on the value of biodiversity and, in turn,
the necessity of its conservation (McNeely, 2002). Moreover, since classification is an organized
information, studying and practicing classification allows greater comprehension on the value
of maintained systems and regulations.
Abdul Gafur
201
III. NOMENCLATURE
Classifications serves as the basis of generalizations and as an index to information
storage and retrieval systems (Mayr, 1981). The second function of classification necessitates
that each groups established in classification must be given a name.
Nomenclature is the application of distinctive names to each of the groups recognized in
classification. There are separate rules of nomenclature in zoology (Ride et al., 1999), in botany
(McNeill et al., 2012), and in microbiology (Lapage et al., 1992). Despite differences in various details,
all include the following elements: the binominal system (naming of species by two words treated as
Latin); a law of priority (the first validly published and validly binominal name for a given taxon is the
correct one); uniqueness (recognition that a valid binomen can apply to only one taxon); that if
taxonomic opinion about the status of a taxon is changed, the valid name can change also; and that
the exact sense in which a name is used be determined by reference to a type.
The separation of rules of nomenclature for animals, plants, and bacteria indicates
that no universal agreement currently exists regarding nomenclatural system. In fact, there will
never be a “perfect nomenclature” in biology, as a static, unidimensional system of taxa and
nomina will never be able to capture or represent the complexity of evolutionary phenomena
(Dubois, 2011). However, in case of nomenclatural problems, cases can be submitted to the
corresponding judicial body, e.g. International Commission on Zoological Nomenclature for
animals, for a decision that will be followed by a vast majority of practicing taxonomists worldwide.
Like many other sciences, taxonomy is basically a combination of a science and an art. However,
nomenclature is completely an art, not science (Dubois, 2011) because it is only a human
contrivance and corresponds with nothing in nature even though it is applied to scientific
interpretation of things existing in nature (Simpson, 1961). The author of a newly described
taxon can freely choose any two words to make a name for his taxon.
IV. IDENTIFICATION
A process closely related to, but fundametally different from classification is identification.
While classification orders a diversity of items into groups based on inductive reasoning,
identification is a deductive process of placing an unidentified object in one of these groups.
Needless to say, identification can not be made unless there is already classification of like objects
with which an unidentified object can be compared (Pankhurst, 1978). Because the groups
formed by classification are always given names, in biology, identification usually means finding
the names for a specimen of organism, and the specimen is usually assigned to a species.
Identification normally starts with descriptions of a given sets of groups (taxa) in hand.
The descriptions may be assembled into an identification scheme. The identification scheme
may be a dichotomic or polytomic key, which consists of a set of descriptions of the features of
each group covered and its subordinates. Whether or not the descriptions are organized into a
key, in carrying out identification, one is required to have a good understanding of all descriptions
of features of the groups and to carefully determine whether or not the investigated specimen fits
the descriptions character by character. When a specimen fits the descriptions of one existing
Abdul Gafur
202
group, it is decided that it belongs to the group, then it is concluded that the specimen has been
identified and its name has been found.
Unlike classification which deals with and evaluates a multitide of features (characters),
even ideally all of them, identification deals with only a few features (ideally one) (Mayr, 1969) that
can be observed with ease (Pankhurst, 1978). Therefore, although identification is a deductive
process, designing an identification scheme is, like classification, based on inductive reasoning.
Furthermore, in biology, identification keys and descriptions of taxa are always based only on
samples of the groups. Because biological samples may not cover the whole range of variation of
the group, there possibly be individual specimen that is not perfectly fit the description and the
identification key. Therefore, in performing identification, one also has to judiciously evaluate the
descriptions and the identification key. When the investigated specimen does not fit the descriptions
of groups or the key, either the specimen does not belong to any of the existing groups or else the
classification, the descriptions, or the identification key have to be revised.
Abdul Gafur
203
With the change in emphasis from description and survey to process, allowing instillment of
values and virtuous character, in addition to trainings in methods, the teaching of taxonomy becomes
taxonomy education. This requires a careful development of appropriate teaching plans, supported
by a proper curriculum. Further, this necessitates biology teachers with not only excellent pedagogical
skills, but also a good comprehension of principles of taxonomy. The change in emphasis and
requisites, in turn, must be reflected in the curriculum of biology teacher training.
The shift in emphasis does not mean that teaching of surveys and descriptions is not
needed anymore. In fact, a survey-based teaching allows appreciation of the high complexity
and diversity in life and, at the same time, allows recognition of the patterned and hierarchical
resemblances among the seemingly totally different organisms. This can be easily related to
religiousity which is also important in character education.
Abdul Gafur
204
Interpret relationship Honest, objective Based on data
Tolerant
Hard working, diligent
Creative
Independent
Love of reading
Assemble groups of Tolerant
various ranks Hard working, diligent
Creative
Independent
Democratic In making decision on grouping
Select names for groups Tolerant
Creative In finding new good names
Independent
Democratic In making decision on name
Respect to achievements From principle of priority in name publication
Love of reading
Make identification key Tolerant There may be different opinion on steps of key
Creative In finding best order of steps
Independent
Respect to achievements From principle of priority in publication
Responsible To make a good working key
Identify specimen Thorough, careful** In examining specimen
Critical thinking** In evaluating descriptions/key
Responsible To identify correctly
Freedom of taxonomic Tolerant
thought and action Democratic
Respect to achievements Respect what others have done
Love of peace
Love of reading See what others have done
Responsible
High complexity of nature Religious
Curious
Love of reading Reading descriptions and surveys of groups of
organisms
Care of environment
Responsible
Hirarchical/patterned Religious
Resemblances Curious
Love of reading Reading descriptions and surveys of groups of
organisms
Care of environment
Responsible
**
Abdul Gafur
205
*
Only processes or activities that can be carried out or simulated at schools and early
Tableundergraduate listedand
1. List of values herevirtuous characters in taxonomy potentially endorsable
** Not mentioned in 18 characters
throughlisttaxonomy
by Ministry education
of National Education (Hasan et al.,
2010)
VI. CONCLUSIONS
In Indonesian schools the study of biodiversity is always a major part of science and biology
courses. However, emphasis is always placed on descriptions and surveys of major, and some
minor, groups of organisms instead of the process of classification, nomenclature, and identification.
On the other hand, the three processes of taxonomy have inherent values and virtuous characters
that are potentially transmittable to students by simulation.
Therefore, a shift in emphasis is proposed in this paper. Emphasis should now be placed
on the process, instead of the product, of taxonomy. The shift will allow a greater contribution of
taxonomy in particular, and biology in general, to character education. However, this requires capable
science and biology teachers and demands support from appropriate school and teacher training
curricula.
REFERENCES
Dubois. (2011). The International Code of Zoological Nomenclature Must be Drastically Improved
before It Is Too Late. Bionomina 2: 1-104.
Gilmour GSL. (1951). The Development of Taxonomic Theory since 1851. Nature 168: 400-
402.
Hasan SH, Wahab AA, Mulyana Y, Hamka M, Kurniawan, Anas Z, Nurlaili L, Listiyanti M, Jarwadi,
Chatarina M, Waluyo H, Wirantho SA, Paresti S & Ismail AB. (2010). Pengembangan
Pendidikan Budaya dan Karakter Bangsa: Bahan Pelatihan Penguatan Metodologi
Pembelajaran Berdasarkan Nilai-Nilai Budaya untuk Membentuk Daya Saing dan
Karakter Bangsa. Kementerian Pendidikan Nasional, Badan Penelitian dan
Pengembangan, Pusat Kurikulum, Jakarta.
Lapage SP, Sneath PHA, Lessel EF, Skerman VBD, Seeliger HPR & Clark WA, Eds. 1992.
International Code of Nomenclature of Bacteria. Bacteriological Code, 1990 Revision.
ASM Press, Washington DC.
Mayr E. (1969). Principles of Systematic Zoology. Tata McGraw-Hill Publishing Co., New Delhi.
Mayr E. (1981). Biological Classification: Toward a Synthesis of Opposing Methodologies.
Science 214: 510-516.
Mayr E & Ashlock PD. (1991). Principles of Systematic Zoology.Second ed. McGraw-Hill, Inc.,
New York.
Abdul Gafur
206
McNeely JA. (2002). The Role of Taxonomy in Conserving Biodiversity. Journal for Nature
Conservation 10: 145-153.
McNeill J, Barrie FR, Buck WR, Demoulin V, Greuter W, Hawksworth DL, Herendeen PS, Knapp
S, Marhold K, Prado J, Prud’homme Van Reine WF, Smith GF, Wiersema JH & Turland
NJ, Eds. 2012. International Code of Nomenclature for algae, fungi, and plants
(Melbourne Code). Regnum Vegetabile 154. Koeltz Scientific Books.
Pankhurst RJ. (1978). Biological Identification: The Principles and Practice of Identification
Methods in Biology. University Park Press, Baltimore.
Ride WDL, Cogger HG, Dupuis C, Kraus O, Minelli A, Thompson FC & Tubbs PK, Eds. 1999.
International Code of Zoological Nomenclature. Fourth edition., London.
Simpson GG. (1961). Principles of Animal Taxonomy. Oxford & IBH Publishing Co., Calcutta.
Stuessy TF. (2006). Principles and Practice of Plant Taxonomy. Taxonomy and Plant
Conservation. E. Leadlay and S. Jury (Ed.). Cambridge University Press, Cambridge.
Stuessy TF. (2009). Paradigms in Biological Classification (1707-2007): Has Anything Really
Changed? Taxon 58 (1): 68-76.
Abdul Gafur
207
Abdul Gafur
208
PEMBELAJARAN BERBASIS KARAKTER
MELALUI PERMASALAHAN BIOLOGI
Aminuddin Prahatamaputra
Universitas Lambung Mangkurat
ABSTRACT
Character education is a cultivation system behavior values (characters) to the school community
which includes knowledge, awareness or volition, and actions to implement the values of both
the One and Only God, ourselves, others, the environment, or nationality to become man perfect
man (Pemerintah RI, 2010). According Kemendikbud (2012) in the Directorate General of
Secondary Education Strategic Plan 2010-2014 policies to address the problems faced by
middle-class learners concerning the characters, one of which is to instill character education
that integrates the charge of religion, morality, national pride, hygiene care, care for the
environment, and order matter in education. In the biology of learning, learners are encouraged
to learn through active engagement with the skills, concepts, and principles. Teachers
encourage students to gain experience by doing activities that enable them to discover concepts
and principles for themselves. Therefore, the biology should be studied in a way that allows
students to be able to implement the ability to be characterized in the resolution of real problems
encountered in everyday life. Application of biological material in the formation of character,
among others, can be done through the characters in relation to the Almighty God, the character
in relation to ourselves, in conjunction with other characters, the character in relation to the
environment, and character associated with nationality.
Keywords: learning, biology problem, and character.
I. PENDAHULUAN
Pada tahun-tahun terakhir masih banyak kasus pada anak dengan berbagai perilaku
yang menunjukkan kualitas karakter yang rendah seperti kebohongan, licik, egois, dan
melakukan kekerasan kepada teman yang lemah atau yang sekarang familiar dengan istilah
bullying (Zuriah, 2011). Anak-anak tumbuh dan berkembang dalam kehidupan yang diwarnai
oleh pelanggaran terhadap hak orang lain, kekerasan, pemaksaan, ketidakpedulian, kerancuan
antara benar dan salah, baik dan tidak baik, perilaku yang boleh dan tidak boleh dilakukan.
Rendahnya kualitas karakter anak akan membahayakan masa depan anak terutama dalam
era modernisasi sekarang ini, berkenaan dengan kecerdasan kecanggihan teknologi
(Budiningsih, 2008). Akhir-akhir ini, perilaku tidak etis yang dilakukan oleh anak-anak sudah
mengarah pada pornografi dan pornoaksi (Majid dan Andayani, 2011).
Aminuddin Prahatamaputra
209
Sementara itu, dalam arah dan kebijakan serta prioritas pendidikan karakter telah
diterbitkan Permendiknas Nomor 23 Tahun 2006 tentang Standar Kompetensi Lulusan (SKL).
Jika dicermati secara mendalam, sesungguhnya hampir pada setiap rumusan SKL tersebut
secara implisit maupun eksplisit, baik pada SKL SD/MI, SMP/MTs, SMA/MA dan SMK, memuat
substansi karakter atau moral.
Karakter adalah nilai-nilai yang melandasi perilaku manusia berdasarkan norma agama,
kebudayaan, hukum/konstitusi, adat istiadat, dan estetika. Sedangkan pendidikan karakter adalah
upaya yang terencana untuk menjadikan peserta didik mengenal, peduli dan menginternalisasi
nilai-nilai sehingga peserta didik berperilaku sebagai insan kamil. Maka pendidikan karakter
merupakan suatu sistem penanaman nilai-nilai perilaku (karakter) kepada warga sekolah yang
meliputi pengetahuan, kesadaran atau kemauan, dan tindakan untuk melaksanakan nilai-nilai,
baik terhadap Tuhan Yang Maha Esa, diri sendiri, sesama, lingkungan, maupun kebangsaan
sehingga menjadi manusia insan kamil (Pemerintah RI, 2010).
Dalam Renstra Ditjen Dikmen 2010-2014 (Kemendikbud, 2012) kebijakan untuk
menanggulangi berbagai masalah yang dihadapi peserta didik kelas menengah yang
menyangkut karakter, salah satunya adalah menanamkan pendidikan karakter yang
mengintegrasikan muatan agama, budi pekerti, kebanggaan warga negara, peduli kebersihan,
peduli lingkungan, dan peduli ketertiban dalam penyelenggaraan pendidikan. Juga dilakukan
penilaian prestasi keteladanan peserta didik yang mempertimbangkan aspek akhlak mulia
dan karakter berbangsa dan bernegara.
Di dalam pembelajaran biologi, peserta didik didorong untuk belajar melalui keterlibatan
aktif dengan keterampilan-keterampilan, konsep-konsep, dan prinsip-prinsip. Guru mendorong
peserta didik untuk mendapatkan pengalaman dengan melakukan kegiatan yang memungkinkan
mereka menemukan konsep dan prinsip-prinsip untuk diri mereka sendiri. Oleh karena itu, biologi
sebaiknya dipelajari dengan cara-cara sedemikian rupa sehingga memungkinkan bagi siswa
untuk dapat menerapkan kemampuannya secara berkarakter dalam penyelesaian masalah-
masalah nyata yang dijumpai dalam kehidupannya sehari-hari. Namun pada kenyataannya, masih
banyak kasus-kasus yang mengindikasikan rendahnya karakter siswa di negara ini.
Aminuddin Prahatamaputra
211
didik di Indonesia hanya mampu mencapai level menengah, sementara hampir 40% peserta
didik Taiwan mampu mencapai level tinggi dan lanjut (advanced). Dengan keyakinan bahwa
manusia diciptakan sama, interpretasi yang dapat disimpulkan dari hasil studi ini, hanya satu,
yaitu yang kita ajarkan berbeda dengan tuntutan zaman (Kemendikbud, 2013a).
Berdasarkan hal di atas, maka dalam proses belajar mengajar biologi hendaknya
guru/pengajar harus bisa membawa peserta didik untuk lebih mengenal tentang segala sifat
dan karakteristik makhluk hidup sebagai ciptaan Tuhan. Dengan demikian kita akan dapat
membangun jati diri kita sebagai guru untuk menerapkan pendidikan biologi berbasis karakter.
Namun bagaimana caranya pendidikan IPA-Biologi dapat diaplikasikan untuk membentuk
karakter siswa?
Pada Kurikulum 2013 mata pelajaran IPA kompetensi inti pertama tertulis “menghayati
dan mengamalkan ajaran agama yang dianutnya”. Pernyataan itu menunjukkan bahwa
pembelajaran IPA-Biologi, harus digunakan sebagai alat untuk menjamin pertumbuhan
keimanan dan ketaqwaan siswa pada Tuhan Yang Maha Esa. Kemudian pada Buku Guru IPA
Kelas VII SMP/MTs (Kemendikbud, 2013) menyatakan: “Sikap (KD pada KI I dan KI II)
dikembangkan melalui pembiasaan dalam pembelajaran IPA dan keteladanan. Sikap-sikap
seperti kejujuran, ketekunan, kemauan untuk bekerja sama, dan lain-lain dikembangkan melalui
pembelajaran IPA. Keteladanan ini merupakan perilaku, sikap guru, tenaga kependidikan, dan
peserta didik dalam memberikan contoh melalui tindakan-tindakan yang baik sehingga
diharapkan menjadi panutan bagi peserta didik lain.”
3. Pilar Masyarakat
Aminuddin Prahatamaputra
213
IV. PERMASALAHAN BIOLOGI DALAM PEMBENTUKAN KARAKTER
1. Karakter dalam hubungannya dengan Tuhan Yang Maha Kuasa.
Karakter tidak dapat dibentuk dengan cara mudah dan murah. Dengan mengalami
ujian dan penderitaan jiwa karakter dikuatkan, visi dijernihkan, dan sukses diraih. Suatu ketika
seorang anak laki-laki sedang memperhatikan sebuah kepompong, eh ternyata di dalamnya
ada kupu-kupu yang sedang berjuang untuk melepaskan diri dari dalam kepompong.
Kelihatannya begitu sulitnya, kemudian si anak laki-laki tersebut merasa kasihan pada kupu-
kupu itu dan berpikir cara untuk membantu si kupu-kupu agar bisa keluar dengan mudah.
Akhirnya si anak laki-laki tadi menemukan ide dan segera mengambil gunting dan membantu
memotong kepompong agar kupu-kupu bisa segera keluar dari sana. Alangkah senang dan
leganya si anak laki laki tersebut.Tetapi apa yang terjadi? Si kupu-kupu memang bisa keluar
dari sana. Tetapi kupu-kupu tersebut tidak dapat terbang, hanya dapat merayap. Apa sebabnya?
Ternyata bagi seekor kupu-kupu yang sedang berjuang dari kepompongnya tersebut,
di mana pada saat dia mengerahkan seluruh tenaganya, ada suatu cairan di dalam tubuhnya
yang mengalir dengan kuat ke seluruh tubuhnya yang membuat sayapnya bisa mengembang
sehingga ia dapat terbang, tetapi karena tidak ada lagi perjuangan tersebut maka sayapnya
tidak dapat mengembang sehingga jadilah ia seekor kupu-kupu yang hanya dapat merayap.
Begitu pula pohon pisang yang sedang berbuah misalnya, yang tadinya buahnya
berwarna hijau dan rasanya pahit tetapi lama kelamaan berwarna kuning dan rasanya berubah
menjadi manis. Padahal jika tanah itu digali, tidak ada zat pewarna dan tidak ada gula. Begitu
pun dengan buah mangga, durian, dan sebagainya yang aromanya sangat harum. Jika kita
belah pohonnya, kita tidak akan pernah menemukan buah dan zat pewangi di dalam batangnya.
Bagaimana dengan diri manusia? Rambut bisa bertambah panjang tetapi rambut alis
tidak. Kuku bisa bertambah panjang tetapi gigi manusia tidak bisa, padahal zatnya sama. Dan
tinggi badan manusia terbatas, seandainya tidak dibatasi oleh Allah SWT, maka setiap tahun
orang-orang akan sibuk mengubah pintu rumahnya. Bagaimana dengan lubang hidung dan
telinga kita, seandainya tidak dipelihara oleh Allah SWT, maka organisme kecil akan masuk ke
dalamnya. Begitu pun hewan ternak yang dikonsumsi oleh manusia seperti sapi, kambing atau
ayam. Setiap hari dipotong tidak bisa punah bahkan bertambah banyak jumlahnya. Namun
hewan yang tidak dibutuhkan oleh manusia seperti tikus dan anjing sepertinya tidak bertambah
banyak padahal populasinya berkembang lebih cepat dan lebih banyak.
Rasulullah SAW ketika dikejar oleh kaum kafir Qoraisy, beliau bersembunyi di dalam
gua, kemudian mulut gua itu ditutup oleh sarang laba-laba, seekor makhluk yang lemah. Allah
Swt., bisa saja mengutus malaikat-Nya untuk melindungi Nabi SAW tetapi Allah SWT ingin
menampakkan kepada kita bahwa makhluk yang tak kuasa sedikit pun juga dapat menjadi
asbab keselamatan. Begitu juga Raja Namrudz yang dibinasakan hanya dengan seekor nyamuk.
Memahami contoh di atas akan membangkitkan kesadaran pada diri kita bahwa apa yang
ditetapkan oleh Tuhan Yang Maha Esa adalah yang terbaik bagi kita. Maka amat benarlah
firman Allah:
Aminuddin Prahatamaputra
215
a. Pembelajaran IPA-Biologi di SMP dan MTs dilakukan secara terpadu, baik secara
connected, integrated maupun bentuk-bentuk keterpaduan yang lain.
b. Pembelajaran biologi, fisika, dan kimia di SMA dan MA selalu dikaitkan dengan
masalah lingkungan. Contoh: Dalam pembelajaran topik asam-basa perlu dikaitkan
dengan masalah hujan asam beserta dampaknya bagi lingkungan.
c. Ditambahkan topik-topik pencemaran lahan, perairan, dan udara pada pembelajaran
IPA-Biologi di SMP dan MTs serta pada pembelajaran kimia atau biologi di SMA
dan MA.
5. Karakter berkaitan dengan kebangsaan, antara lain:
Nasionalis dan menghargai keberagaman. Karakter nasionalis perlu dikembangkan
paling tidak berkaitan dengan adanya fakta bahwa banyak mahasiswa Indonesia yang kuliah di
luar negeri, khususnya yang mendapat beasiswa dari pemerintah RI, setelah lulus tidak mau
kembali ke Indonesia karena mereka mendapatkan pekerjaan yang lebih memenuhi dari segi
finansial dan pengembangan karir di luar negeri.
Karakter nasionalis dapat dikembangkan apabila pada siswa tertanam kesadaran
bahwa nilai hidup tidak boleh didasarkan pada finansial semata tetapi pada manfaat yang
dapat diberikan pada lingkungan yang ada. Hidup adalah berarti apabila kita dapat memberikan
banyak manfaat bagi negara kita, khususnya bagi lingkungan di sekitar kita.
Menghargai keberagaman merupakan karakter yang wajib dikembangkan mengingat
negara kita terdiri dari warga negara dengan bermacam-macam suku, bahasa, dan agama
yang berbeda. Karakter ini dapat dikembangkan dengan berbagai cara, misalnya menghormati
agama, adat-istiadat, dan budaya yang dimiliki oleh warga negara yang lain.
Menyikapi tentang aplikasi pendidikan karakter dalam pembelajaran biologi,
dibutuhkan suatu kemampuan guru yang sungguh-sungguh dalam melaksanakannya. Sikap
jujur, tekun, mau bekerja sama, dan lain-lain apabila dikembangkan melalui pembelajaran
IPA-Biologi tentu akan membentuk pula jatidiri guru biologi sehingga dapat menjadi teladan
bagi para siswanya.
Cara-cara berikut ini merupakan solusi yang dapat dilakukan oleh guru-guru biologi
dalam menyiapkan kegiatan pembelajaran untuk mengembangkan karakter siswa.
a. Banyak belajar baik materi pelajaran sesuai dengan bidang ilmunya maupun ilmu
agama.
b. Banyak belajar tentang pendekatan pembelajaran yang efektif untuk
mengembangkan karakter siswa serta mau menerapkan pendekatan pembelajaran
tersebut dalam kegiatan pembelajaran.
c. Mengerjakan semua perintah Tuhan dan menjauhi semua larangan Tuhan.
d Dapat menjadi teladan bagi siswanya.
e. Selalu melakukan yang terbaik dan tidak terpengaruh oleh contoh-contoh praktik
karakter buruk yang ada di sekitar kita.
VI. SIMPULAN
Menanamkan perilaku berkarakter kepada peserta didik perlu lebih ditingkatkan di
masa sekarang. Dalam proses belajar mengajar biologi hendaknya pengajar harus bisa
membawa peserta didik untuk lebih mengenalkan karakter dalam hubungannya dengan Tuhan
YME, diri sendiri, sesama, lingkungan, dan kebangsaan melalui pilar keluarga, sekolah, dan
masyarakat. Terutama dikembangkan melalui pembiasaan dan penyelesaian masalah dalam
pembelajaran biologi dan keteladanan.
DAFTAR PUSTAKA
Budiningsih, C. A. 2008. Pembelajaran Moral. Berpijak pada Karakteristik Siswa dan Budayanya.
Jakarta: PT. Rineka Cipta.
Depdiknas. 2006. Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Republik Indonesia Nomor 23 Tahun
2006 tentang Standar Kompetensi Lulusan. Jakarta: Badan Standar Nasional
Pendidikan, Departemen Pendidikan Nasional.
Effendy, 2011. “Aplikasi Pembelajaran IPA dalam Pembentukan Karakter Siswa.” PPt Seminar
Nasional Prodi Pendidikan Sains Unesa 11 Januari 2011.
Kemendikbud. 2012. Renstra Ditjen Dikmen 2010-2014.
Kemendikbud. 2013. Materi Pelatihan Guru Implementasi Kurikulum 2013. SMA/MA dan
SMK/MAK.
Majid, A. dan Andayani, D. 2011. Pendidikan Karakter Perpspektif Islam. Bandung: PT. Remaja
Rosdakarya.
Pemerintah RI. 2010. Kebijakan Nasional – Pembangunan Karakter Bangsa Tahun 2010-2025.
Samani, M. dan Hariyanto. 2012. Konsep dan Model Pendidikan Karakter. Bandung: PT. Remaja
Rosdakarya.
Zaini, Muhamad. 2011. “Presepsi Masyarakat Banjarmasin terhadap Ujian Nasional”. Laporan
Penelitian. Balitbangda Propinsi Kalsel.
Zuriah, N. 2011. Pendidikan Moral & Budi Pekerti dalam Perspektif Perubahan. Menggagas
Platform Pendidikan Budi Pekerti secara Konstektual dan Futuristik. Jakarta: PT. Bumi
Aksara.
Aminuddin Prahatamaputra
217
218 Aminuddin Prahatamaputra
BUILDING OF SCIENTIFIC ATTITUDE IN THE CHILDHOOD
THROUGH THE SCIENCE LEARNING
Arif Sholahuddin
Universitas Lambung Mangkurat
ABSTACT
Students need to be equipped with three scientific competencies comprising products,
processes and attitudes for futher learning and future live. Building of the scientific attitude can
be embedded effectively since the childhood through the science learning with a scientific
approach. The scientific attitude can raise from the nature of science as well as strategy
applied in science learning process. Learning strategy which involves a scientific approach
should be applied gradually from direct instruction, guided inquiry, to free inquiry appropriate to
cognitive development of students; and used integrated approach (integrated science at junior
high school or thematic at elementary school). Some scientific attitudes that can be build
through science learning as commitment, creativity, curiosity, diligent, fairness, flexibility,
imagination, innovation, integrity, openness, persistent, reflection, sensitivity, skepticism, and
thoughfullness.
Key words: scientific products, scientific processes and scientific attitudes, science
I. INTRODUCTION
Concerning to moral decadence symptoms such as difficulty finding the honesty in
many aspects around us like a national exam cheating, elections, corruption and others, became
stronger. Similarly, sense of responsibility, mutual respect, mutual care between individuals or
communities is almost cut off from our daily life. The behavior of student brawls and problem
resolution through violence have been occured in many regions of Indonesia.
That facts have been encouraged many parties to strengthen character education,
especially through formal education. Actually, the National Education Regulation and the National
Curriculum has explicitly declared the importance of character education, but it’s implementation
in education and learning process at various education levels have not been implemented
optimally yet. Character education through subjects such as Religious Education and Pancasila
Moral Education have taught since the student in elementary school. Nevertheless, they were
taught only as a knowledge, consequently good habits or ethical and moral rules can not build
the character. Lickona (2012) state that the virtues would form a character if they involve the
three dimensions including moral knowing, moral feeling such as self-perception, empathy,
love kindness, self-control and moral action.
Arif Sholahuddin
219
Actually, character education can be implemented directly as a separate subjects, or
indirectly integrated in every subject including Science. However, almost all subjects at various
levels of the education unit have not been able to explore the potency of this character educational
caused by the demands of knowledge mastery. So, it has been proven to reduce the meaning of
education. In addition, teachers’ limited competence in mastering the appropriate learning
strategies to achieve the learning objectives in various domains (cognitive, affective, and
psychomotor) also caused the lack of the character education.
As a discipline, natural science has three inegrated dimensions namely dimensions
of products, processes and scientific attitude (Carin, 1993). Dimension of product includes
information, ideas, concepts, facts, laws that was known as content knowledge. Dimensions of
science process skills is the skills used in science activities. When we teach students about the
science process skills, it means that we teach them the skills that will be used in their lives.
Dimensions of attitude and disposition of science, such as curiosity, imaginative, enthusiastic to
asking-questions and problem solving. Another scientific attitude is appreciated methods and
values of science, such as seek answers of questions using various evidences, realizes the
importance of examining data and understand that the rightness of theory or scientific knowledge
is temporary until the new theory was found. Social skills such as willingness to cooperate,
respect to others opinions, are classified as attitude dimension too. So science has three
learning objectives comprising cognitive (product and poses), affective (scientific attitude,
character behavior and social skills) and psychomotoric (measurement of data, designing
experiments).
According to science characteristics, learning science should provide opportunities
to students for developing all the aspects of learning simultaneously, especially building of
character. Learning strategies should be designed so that students not only understand the
science knowledge, but also have a variety of skills such as science process skills to solve
problems, critical thinking and creative skills as well as a variety of characters such as honest,
disciplined, responsible, respect for others as a result of learning science.
Based on the scientific literacy test conducted by PISA (the Program for International
Student Assessment) in 2009, showed that the scientific literacy of Indonesia students of 15
years old in the ranks of 60 from 65 OECD countries (Organisation for Economic Co-operation
and Development) and partners (OECD, 2010). Even, in 2012 (OECD, 2013) showed downgrade
to 64, with scores below the mean score of OECD scientific literacy. It can be an indicator of the
quality of science teaching in Indonesia, which still needs improvement.
Science literacy of the young to be a barometer for predicting the readiness of young
people to be involved in the development of society and participate in determining public policy
issues where science and technology affect their lives. Science literacy skills as related to the
scientific knowledge of individuals, and use that knowledge to identify questions, acquire new
knowledge, explain scientific phenomena and draw evidence based conclusions about science-
related issues; their understanding to the science characteristics as a form of human knowledge
and inquiry; their awareness of how science and technology shape the material, intellectual
SCIENTIFIC ATTITUDES
INVESTIGATION OF SCIENTIFIC
AND PROCESS;
PHENOMENA IN PRODUCTS
Attitudes: intense curiousity,
NATURE; objects, facts: concepts,
humility, skepticism,
events, relationships, generalizations,
determination, open-
etc. principles, theories,
mindedness, etc.
Processes: identifying laws.
problems, observing,
hypothesizing, analyzing,
inferring, extrapolating,
synthesizing, evaluating, etc.
Arif Sholahuddin
221
Science learning should emphasize three important and interrelated learning goals
for all students studying science: learning about the nature of science and the work that scientists
do; learning to do science (i.e., developing the abilities to design and conduct scientific
investigations); and understanding scientific concepts and principles. Since all three of these
aspects of science learning can be facilitated by engaging students in inquiry learning, so
inquiry to be both science content and an exemplary method of teaching and learning science
(Trout et al. in Bret, 2008). Consequently, assessment of learning outcomes in science learning
not only meassuring the students understanding to content knowledge, but also affective
comptences and psychomotoric skills by using comprehension tests and authentic assessment
for assessing performance, presentation and discussion, investigation projects, and portfolios.
For promoting the goals, learning science must use approaches or strategies that fully
involve students in learning processes. It’s means that the student must learn to build their
knowledge (as facts, information generalization, concepts, principles, or rules and how to use
them, problem-solving skills and learning strategies) in his own mind. In this case, learning is
also as a process of assimilating and connecting experience or materials that have been
studied with the understanding constructed by student (Slavin, 2009; Suparno, 1997).
Constructivism learning theory emphasizes the active role of student. Students constantly
checking new information relevant to the old rules and will revise them if it does not suitable to
the new situation. The knowledge obtained by students as a result of active construction process
continuously through composing and arranging experiences, associate to their cognitive
structures then the cognitive structure is gradually modified and developed. In this process
teacher acts as a facilitator who helps students to discover the knowledges (facts, concepts, or
principles) not to give lectures or controlling all classroom activities.
Many learning strategies can be applied in order to fully engage students in the learning
process through the implementation of science and scientific attitude. For instant are inquiry,
discovery and problem-based learning strategy. These strategies are characterized by a problem-
based, emphasizing cognitive skills and knowledge; using small group discussions, active
learning, self-learning, and student-centered learning, teacher as facilitator, focusing skills
development learning outcomes, and lifelong learning (Hmelo-Silver and Barrow, 2006; Carin,
1993, and Llewellyn, 2005).
The cognitive abilities which is achieved by student through rote learning is only
effective in the short term as for routine tasks or taking a particular test, but they are not effective
to achieve in-depth understanding of concepts, long-term of retention and problem solving. In
other words, students may have the knowledge but not accessible (inert knowledge) for futher
learning or problem solving. Students need to interact with the ideas or real problems in order
to be sensitive to a task or a problem. Students must contruct their understanding through
dialogue and thinking processes internally or through interactions with others to achieve a deep
understanding to the text-based activities or problems solving (Jones, et al. 1997). This learning
activities is very rarely applied in our schools, especially at the elementary school level.
Arif Sholahuddin
223
No Process skills Scientific Attitudes To Be Trained
Basic process skills
1 Observing commitment, creativity, curiosity, diligent, fairness, flexibility,
integrity, openness, persistent, reflection, sensitivity,
skepticism, innovation and thoughfullness.
2 Classifying commitment, creativity, curiosity, diligent, fairness, innovation
and thoughfullness.
3 Meassuring commitment, creativity, curiosity, diligent, fairness
4 Relating object with time dan creativity, curiosity, diligent, fairness, and thoughfullness.
space
5 Predicting creativity, curiosity, diligent, fairness, flexibility, imagination,
innovation, integrity, openness, persistent, reflection, sensitivity,
skepticism, and thoughfullness.
6 Communicating commitment, creativity, curiosity, diligent, fairness, flexibility,
imagination, innovation, integrity, openness, persistent,
reflection, sensitivity, skepticism, and thoughfullness.
7 Inferring diligent, fairness, flexibility, imagination, innovation, integrity,
openness, persistent, reflection and thoughfullness.
Advance process skills
8 Conducting experiment commitment, creativity, curiosity, diligent, fairness, flexibility,
Identifying variables imagination, innovation, integrity, openness, persistent,
Formulating operational reflection, sensitivity, skepticism, and thoughfullness.
deffinition of variable
Collecting data
Communicating data
Interpreting data
Drawing conclusion
Arif Sholahuddin
225
such as problem solving, process skills, decision making consciously, and creative ideas. (5)
Recursivness. The theme is said to have properties recursivness if it is encountered both in
school and in daily life. The theme give opportunities to the student for transfering skills and
concepts to the new situations.
Some factors should be paid attention in designing the thema are (1) the substance of
the material to be mixed into should be raised fron key concepts contained in the related
developmental aspects (2) between a key concept has associated meanings and functions in
a certain context (event, issue, problem or theme) as well as their original meaning (3) learning
activities should be designed in an integrated learning which includes child development aspects
as moral and religious values, language, physical and motor skills, and art (Indrawati, 2009).
Example of the webb theme ilustrated in Figur 2.
Science Mathematics
- The relationship
between - Collecting and
characteristics processing data
of living things - Fractional INDICATOR
to their arithmetic
environmrnt operations
CHANGES:
THEME
positive and
negative Changes
- Provideing
information and Natural
oral responses phenomena in
- Understanding Indonesia and the
text through surrounding
intensive and
brief reading
Arif Sholahuddin
227
confirm what the instructor has previously presented in the lecture. This method of laboratory
instruction does not provide students with opportunities to engage in the key inquiry activities of
proposing, evaluating, and communicating explanations for the science phenomena they
investigate in the laboratory. It also does little to deepen students’ understanding of the phenomena
under study.
Generally, elementary students were not accustomed yet to using basic skills of
inquiry process. Therefore, scientific approach should be implemented gradually according
to the stage of students’ cognitive development, started from direct instruction, guided
inquiry and fonely free inquiry.
The application of inquiry learning strategies for children at an early age require
many adaptations (Sholahuddin et al., 2012). At this stage children can form the concepts,
see the relationships and solve the problems as far as involving objects and situations
already known (Cakir, 2008; Slavin, 2009; Suyono and Hariyanto, 2011). Thus the problem
to be studied shoud be a contextual, and funny issues appropriate to their cognitive
development as well as providing more scaffolding activity.
Prividing the scaffolding properly along the learning process will support the
construction process of knowledge that will be used in a relevant context. Scaffolding aims
to make the learning can be followed by students because they reach their zone of proximal
development. Scaffolding realize in variety of kinds like training, structuring tasks, simplifying
tasks and giving cues but does not provide the final answer of the tasks. Scaffolding also
serves to direct the students’ attention to the important learning goal. Thus scaffolding not
only helps the students how to do the work, but also why the task must be done in a certain
way and whether learning has achieved its objectives.
IV. CONCLUSION
Based on the above discussion it can be concluded that (1) Building of the scientific
attitude can be embedded effectively since the childhood through the science learning with a
scientific approach. (2) The scientific attitude can raise from the nature of science as well as
strategy applied in science learning process. Learning strategy which involves a scientific
approach should be applied gradually from direct instruction, guided inquiry, to free inquiry
appropriate to cognitive development of students; and used integrated approach (integrated
science at junior high school or thematic at elementary school). (3) Some scientific attitudes
that can be build through science learning as commitment, creativity, curiosity, diligent, fairness,
flexibility, imagination, innovation, integrity, openness, persistent, reflection, sensitivity, skepticism,
and thoughfullness.
Arif Sholahuddin
229
Slavin, R. I. 2009. Education Psycology. 9th edition. New Jersey: Pearson
Suparno, P. 1997. Filsafat Kontruktivisme dalam Pendidikan. Yogyakarta: Kanisius.
Suyono dan Hariyanto. 2011. Belajar dan Pembelajaran: Teori dan Konsep dasar. Bandung: P.T
Remaja Rosda Karya.
ABSTRAK
Pendidikan karakter adalah praktek yang berkembang di dunia pendidikan dan telah dipelajari
secara luas mulai tingkat sekolah dasar dan menengah. Makalah ini mengkaji bagaimana
calon guru memahami karakter dirinya sendiri sebagai calon pendidik karakter. Apa yang telah
ditunjukkan adalah kurangnya pelatihan calon guru tentang strategi spesifik pendidikan karakter.
Strategi questioning ditujukan kepada calon guru ketika membangun rencana pelajaran; strategi
perencanaan kolaboratif; strategi refleksi dalam praktek mengajar merupakan strategi yang
dapat diterapkan. Melalui strategi-strategi tersebut keterintegrasian pendidikan karakter ke
dalam kurikulum pendidikan guru dapat menstimulasi dan membangun karakter diri sebagai
calon pendidik karakter.
I. PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Pendidikan karakter bukanlah hal baru. Pendidikan karakter setua pendidikan itu sendiri,
turun melalui sejarah, pendidikan telah memiliki tujuan besar yakni untuk membantu kaum
muda menjadi cerdas dan menjadi baik. Ki Hajar Dewantara telah lama mendengungkan
pendidikan karakter, budaya dan moral guna membangun fisik, mental, dan spiritual yang
handal dan tangguh. Sekolah mengambil bagian dari pembentukan karakter individu (siswa)
selain lingkungan keluarga dan lingkungan sosial. Sekolah mengambil tanggung jawab untuk
membantu siswa memperoleh kompas moral. Sekolah harus memberikan “petunjuk” yang
akan membantu mengembangkan pekerjaan, keterampilan hidup, keterampilan inti untuk
sukses perjalanan seumur hidup siswa dan partisipasi dalam masyarakat. Bimbingan yang
akan membantu siswa mengembangkan moral etika, disiplin diri, dan harga diri. Tingkat
program pendidikan karakter tergantung pada frekuensi dari instruksi kelas dan komitmen
program untuk guru (Bowman & Potts, 2001).
Lingkungan sekolah, kini, telah menjadi tumpuan dalam peningkatan mutu pendidikan
karakter, budaya dan moral. Peran guru menjadi sangat esensial dalam perspektif
pengembangan pendidikan karakter, budaya, dan moral bagi semua peserta didik. Pernyataan
ini mengundang perhatian dan memunculkan pertanyaan bagaimana mempersiapkan para
mahasiswa calon guru sebagai calon pendidik karakter? Narvaes dan Lapsley (2008)
Maya Istyadji
231
menyatakan bahwa cara terbaik untuk mempersiapkan guru dalam pendidikan karakter adalah
memasukkan strategi pendidikan karakter dalam berbagai kegiatan perkuliahan sebelum calon
guru mengajar di ruang kelas sendiri. Calon guru tidak hanya perlu memiliki pengetahuan
dalam konten pendidikan karakter dan memiliki keterampilan pelaksanaan yang kuat, tetapi
harus memahami pentingnya pemodelan karakter yang baik bagi siswanya.
Penelitian telah menemukan bahwa program pendidikan guru lebih menekankan
pada metode pengajaran akademik dan keterampilan serta teori pengajaran dari pada
pendidikan karakter (Cummings., et al, 2001; Cummings., et al, 2003). Pelaksanaan perkuliahan
dalam mempersiapkan calon guru menunjukkan bahwa ada kesenjangan antara gagasan
menerapkan pendidikan karakter dalam program pendidikan dan apa yang sebenarnya telah
dilakukan atau kurangnya implementasi. Sebagian besar dosen atau pendidik calon guru
berpikir bahwa pendidikan karakter tidak hanya diperlukan tetapi juga diantisipasi dalam strategi
pendidikan karakter ke dalam diri calon guru (Revell dan Arthur, 2007). Tampaknya penting
untuk memiliki “praktek terbaik” yang diajarkan dalam program pendidikan guru. Namun,
kurangnya deskripsi dan praktek yang mendokumentasikan pendekatan yang efektif untuk
mengintegrasikan pendidikan karakter ke dalam program menjadikan perkembangan yang
landai dalam mempersiapkan pendidik karakter.
1.2 Rumusan Masalah
Makalah ini merumuskan masalah sebagai berikut: Bagaimanakah mempersiapkan
calon guru yang memahami karakter dirinya sendiri sebagai calon pendidik karakter?
1. 3 Tujuan Makalah:
Mengarahkan pemikiran pendidik calon guru untuk bagaimana calon guru memahami
kemampuan, membangun pengetahuan dan keterampilan berkaitan dengan pendidikan
karakter.
II. PEMBAHASAN
2.1 Pendidikan Karakter di Program Pendidikan Guru
Pembangunan karakter berada di jantung pelatihan calon guru. Salah satu unsur
yang paling umum diantara pendekatan untuk pendidikan karakter adalah peran penting guru.
Banyak usulan yang memanggil peran guru untuk melayani sebagai model peran positif,
menangkap peluang untuk merefleksikan masalah moral dalam konteks kurikulum,
menciptakan iklim moral kelas, dan memberikan siswa dengan kesempatan di luar kelas
untuk berlatih karakter baik melalui program tutor teman sebaya, sanggar seni, dan kelompok
belajar (DeRoche dan Williams, 2001).
Goodlad., et al, (1990) menemukan bahwa tidak ada program dasar yang diperlukan
untuk prospektif guru yang membahas dimensi moral dari pengajaran. Berkowitz (1998)
menyatakan bahwa hambatan untuk pelatihan guru dalam pendidikan karakter, seperti
perbedaan pendapat tentang makna pendidikan karakter, persepsi ruang terbatas di kurikulum
pendidikan guru untuk pelatihan karakter, dan kurangnya keahlian pendidikan karakter di
Maya Istyadji
232
lembaga pelatihan guru, telah mengakibatkan lemahnya dalam persiapan guru. Program
pendidikan guru mendukung gagasan instruksi dalam metode pendidikan moral, tetapi program
tidak langsung mengajarkan metode ini secara signifikan.
Metodologi spesifik yang efektif mengajarkan tentang pendidikan karakter dalam
pendidikan pre-service tidak diketahui. Strategi pengajaran yang efektif diidentifikasi untuk
mata pelajaran seperti matematika, sains, membaca, dll dan instruksi ini dapat dinilai jelas.
Namun, strategi pendidikan moral dan karakter kurang dikembangkan. Ada deskripsi terbatas
praktek yang menjanjikan dan terbatas didokumentasikan pendekatan yang efektif untuk
mengintegrasikan pendidikan karakter menjadi pendidikan guru (Munson, 2000). Milson (2002)
menyatakan ada berbagai kesiapan untuk mengajar pendidikan karakter. Melalui risetnya Milson
(2002) menyarankan kepada pendidik calon guru untuk melaksanakan tugasnya dengan
memberikan kesempatan untuk membaca dan diskusi yang membantu calon guru berpikir
tentang tantangan dan metode untuk menjangkau siswa yang kurang memiliki karakter yang
baik.
Munson (2000) membahas aspek kurikulum yang berbeda yang harus dipelajari dalam
program pendidikan karakter calon guru. Munson menyatakan pentingnya untuk mempelajari
sejarah pendidikan moral dan perubahan yang terus terjadi. Munson juga mementingkan bagi
pendidik calon guru untuk mengetahui filsafat pendidikan moral dan teori-teori perkembangan
dari Kohlberg dan Piaget. Munson (2000) mengidentifikasi topik untuk program pendidikan
karakter: (1) Menentukan satu sistem nilai; (2) Pengujian nilai; (3) Membuat pilihan yang
bijaksana; (4) Beratnya hak terhadap tanggung jawab; (5) Tekankan rasa hormat dan tanggung
jawab; (6) Mengalami layanan pembelajaran; (7) Belajar untuk mempraktekkan toleransi; (8)
Tenun pendidikan karakter ke dalam kurikulum; dan (9) Berurusan dengan pertemuan kelas/
resolusi konflik.
Milson (2002) menguraikan tugas untuk pendidik calon guru. Tugas tersebut adalah
untuk “membantu calon guru berpikir tentang tantangan dan mengeksplorasi metode
pembelajaran yang menjangkau para peserta didik yang kurang baik karakternya dan terlepas
dari karakter yang kurang baik”. Dengan mengatakan ini, penting untuk dicatat bahwa pendidik
karakter lebih mahir ketika memiliki persiapan yang diperlukan untuk menjadi pendidik karakter
tersebut.
2.2 Mengembangkan Pemahaman Calon Guru sebagai Pendidik Karakter
Calon guru perlu memiliki kesempatan dalam program pendidikannya untuk
memahami, mempersiapkan dan bahkan kegiatan yang berhubungan dengan isu-isu tentang
pendidikan karakter. Isu-isu tersebut termasuk populasi siswa yang lebih beragam dan
memahami aspek sosiologis dari para siswa yang akan membantunya berhasil di sekolah.
Beberapa karakteristik sosiologis adalah: erosi sistem keluarga, pelecehan anak, kemungkinan
berkurangnya pengaruh agama, masalah kekerasan di media, materialisme, dan kemiskinan
dan tunawisma (Lovat & Clement, 2008). Oleh karena itu, memfasilitasi pemahaman sebagai
pendidik karakter, kurikulum (perkuliahan) harus mencakup topik mendasar dalam diri calon
guru. Munson (2000) memberikan daftar karakter diri yang meliputi (1) membangun sistem
Maya Istyadji
233
nilai pribadi; (2) menjelaskan nilai layak; (3) membuat pilihan yang bijak; (4) menilai tanggung
jawab terhadap hak-hak; (5) mengalami layanan pembelajaran; (6) memastikan bagaimana
cara mempraktekkan toleransi; (7) berfokus pada tanggung jawab dan menghormati; (8)
penyelesaian konflik; dan (9) mengintegrasikan kurikulum pendidikan karakter ke dalam
kurikulum yang sudah ada sebelumnya.
Pengejawantahan karakter diri ke dalam kemampuan pedagogi calon guru dapat
berfokus pada topik pelajaran, pengelolaan kelas dan lingkungan belajar. Ketiganya
menyediakan komponen kunci untuk memerangi karakteristik sosiologis siswa. Pada tataran
perencanaan pelajaran, strategi questioning dapat digunakan oleh pendidik calon guru dengan
mengajukan pertanyaan, misalnya:
1. Bagaimanakah karakteristik sosiologis yang dihadapi siswa dalam lingkungan
masyarakatnya?
2. Apakah perencanaan pelajaran yang telah dipersiapkan mampu menciptakan
lingkungan belajar yang mengarah pada produktivitas, keberhasilan akademis,
dan pembelajaran?
3. Apakah perencanaan pelajaran dalam satu program semester menyediakan
kesempatan bagi siswa untuk mengembangkan diri dan membantu siswa untuk
mengontrol kehidupannya sendiri dan menghindari kontrol yang berlebihan oleh
orang lain?
Pertanyaan-pertanyaan ini akan menstimulasi konstruksi karakter diri sebagai calon
pendidik karakter. Calon guru membuat pilihan-pilihan tentang strategi-belajar-aktif untuk
memerangi karakter buruk maupun membangun karakter baik bagi siswanya.
Pada tataran praktek, pendidik calon guru menerapkan struktur khusus sehingga calon
guru memiliki kolaborasi perencanaan, waktu penilaian, refleksi, serta mengembangkan budaya
dimana nilai-nilai berbasis pengambilan keputusan didorong di antara semua peserta didik
dewasa. Calon guru berkesempatan untuk menilai kelemahan dan kekuatan kemampuan
pedagoginya, merevisi rencana pelajaran beserta instrumen/perangkat pembelajarannya.
Program latihan pembuatan kit pendidikan karakter yang mendukung koneksi antara
kegiatan siswa di kelas dengan kegiatan siswa di rumah perlu dikembangkan. Program
mencakup sumber daya orang tua dan pendidik yang mencontohkan pengembangan karakter
positif. Kegiatan dalam program ini meliputi kegiatan diskusi untuk menjadi sukses di sekolah,
membuat keputusan yang bertanggung jawab, peduli orang lain, kontribusi kepada masyarakat,
mengembangkan kecakapan personal dan sosial, menerima berbagai perspektif, menetapkan
dan mencapai tujuan, dan mengembangkan satu set nilai-nilai.
III. SIMPULAN
Pendiri dan pemimpin bangsa kita telah sangat jelas tentang perlunya demokrasi
untuk menyertakan warga aktif yang menghargai kebebasan pribadi, harga diri dan martabat.
Layanan pendidikan publik terus maju untuk tujuan tersebut. Berada di layanan untuk dimensi
Maya Istyadji
234
mempersiapkan calon guru--salah satu menyoroti kebutuhan akan pendidik karakter-- adalah
sebuah kunci.
Pendidikan karakter adalah teori dan praktek, bagian penting untuk menyeimbangkan
paparan dan keterampilan untuk kebutuhan sukses di masa depan. Pemikiran pengambilan
keputusan yang menyediakan kesempatan bagi peserta didik dewasa (calon guru) untuk
memahami dirinya sebagai calon pendidik karakter diwakili respon yang terintegrasi dalam
kurikulum program pendidikan guru. Praktek pendidik calon guru harus mencakup ukuran
disengaja membangun karakter diri calon guru dalam proses belajar mengajar.
Para calon guru akan bekerja dan bersaing dalam dunia yang terus berubah. Calon
guru perlu pemahaman dasar mengenai karakter, nilai-nilai dirinya dan untuk disalurkan serta
menjadi kontributor kunci bagi kemanusiaan. Fakultas keguruan adalah organisasi yang
signifikan dan diperlukan untuk mempersiapkan calon pendidik karakter. Ini adalah tanggung
jawab dari setiap profesional pendidik calon guru untuk melihat tahun fakultas sebagai waktu
yang optimal secara konsisten berbicara tentang, dan menciptakan pengalaman untuk,
kemampuan masing-masing calon guru untuk menginternalisasi karakter pribadi.
DAFTAR PUSTAKA
Berkowitz, M. W. 1998. Obstacles to Teacher Training in Character Education. Action in Teacher
Education, 20 (4), 1-10.
Bowman, M., & Potts, A. 2001. Master of Arts Action Research Project, Saint Xavier University
and Skylight Professional Development, The Building Blocks of Character Education:
Respect, Responsibility, Citizenship. (ERIC Document Reproduction Service No.
ED453112).
Cummings, R., Dyas, L., Maddux, C.D. & Kochman, A. 2001. Principled moral reasoning and
behavior of pre-service teacher education students, American Education Research
Journal, 38(1), 143-158.
Cummings, R., Wiest, L., Lamitina, D. & Maddux, C. 2003. Teacher Education Curricula and
Moral Reasoning, Academic Exchange Quarterly, 7(1), 163-168.
DeRoche, E. F. & Williams, M. M. 2001. (2nd ed.) Educating Hearts and Minds: A Comprehensive
Character Education Framework. Thousand Oaks, CA: Corwin Press.
Goodlad, J. I. 1990. The Occupation o f Teaching in Schools. In J. I. Goodlad, R. Soder, & K. A.
Sirotnik (Eds.). The Moral Dimensions o f Teaching. San Francisco: Jossey-Bass.
Lovat, T. & Clement, N. 2008. Quality teaching and values education: Coalescing for effective
learning. Journal of Moral Education, 37 (1), 116.
Milson, A. J., & Mehlig, L. M. 2002. Elementary School Teachers’ Sense of Efficacy for
Character Education. Journal o f Educational Research. 96(1), 47-53.
Maya Istyadji
235
Munson, B. R. 2000, February 26-29). A paper presented at the annual meeting of the American
Association o f Colleges o f Teacher Education, Character Education: The Missing
Ingredient o f Pre-service Teacher Education Programs. Chicago, IL. (ERIC Document
Reproduction Service No. ED440069).
Narvaez, D. & Lapsley, D.K. 2008. Teaching moral character: Two Strategies for Teacher
Education. The Teacher Educator, 43 (2), 156-72.
Revell, L. & Arthur, J. 2007. Character Education in Schools and The Education of Teachers.
Journal of Moral Education, 36(1), 79-92.
Maya Istyadji
236
THE HONEST CHARACTER IN STATISTIC LEARNING
Muhammad Royani
STKIP PGRI Banjarmasin
ABSTRACT
Philosophically, values education goal is to humanize humans, develop human resources and
created human being. Educational value must appear in every process of learning, including
learning of mathematics that is not only covering mastery of math-oriented course. Brameld
(1975) said that as the education of power that emphasizes the importance of education for the
development of value systems so that learners able to think, act. Conversely, when the focus of
mathematics learning material substance, then the learning process in favor of knowledge of
power. Learning of mathematics as it has the potential to bear the arrogance of science and
widened the gap between the intellectual and moral. Mathematics teachers should be held to
consider the characteristics of students who learn mathematics and the mathematics itself.
Learning math has been less attention to the both characteristics, and more inclined to the
same learning patterns, which describe in brief, give examples, exercises, and giving a
homework assignment. Ideally, the learning of statistic should develop the cognitive, affective
and psychomotor as an essential component. Development of values and ethics in mathematics
inappropriate if only positioned as a crucial component or the hidden curriculum (hidden
curriculum). Values, morals and ethics should be explicit translated and enriched in every topic
of learning. Through such learning, the balance between the ownership of knowledge,
technological competence, moral individual and an appreciation of social values and culture
can be improved. Conclusion: (1) currently Learning statistics is academic, but its has honest
value as it builds the honest character personality; (2) ideally statistic learning have to develop
cognitive, affective, and psycomotoric domains as essential components; (3) developing values,
moral, and ethic on statitistic learning unexactly whether crucial component, because values,
moral, and ethic expose and enrich to each learning.
Keyword: Honest Character, Statistic, Learning
I. PENDAHULUAN
Pembelajaran yang dilaksanakan oleh guru tentunya dalam kerangka suatu proses
pendidikan membentuk manusia yang diharapkan, yaitu “berkembangnya potensi peserta didik
agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak
mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis
serta bertanggung jawab.” Pembelajaran matematika di sekolah sangat kental dengan tujuan
kognitif yang menjadi target pembelajaran, hal ini terlihat dari formulasi tujuan dan evaluasi
yang dirancang oleh guru dalam RPP. Akibatnya suasana pembelajaran terarah pada aktivitas
pencapaian tujuan kognitif semata yang disebut instructional effect, tanpa memperhatikan
Muhammad Royani
237
tujuan afektif dan psikomotor yang disebut nurturent effect. Artinya pembelajaran matematika
selama ini hanya mampu pada mengembangkan potensi peserta didik agar menjadi manusia
yang berilmu saja. Pembelajaran idealnya mempunyai dampak terhadap pembentukan
kepribadian seseorang, apapun pelajarannya dan apapun bahan ajarnya. Melihat fakta di
sekolah ternyata pembelajaran yang berlangsung jauh dari harapan akan terbentuknya peserta
didik yang berkarakter. Yang ada adalah terciptanya peserta didik yang memberi peluang pada
kepemilikan kecerdasan intelektual.
Pembelajaran matematika memunculkan dua pertanyaan yang harus dijawab
oleh guru, yaitu materi matematika apa yang akan diajarkan dan bagaimana
mengajarkannya. Pertanyaan tersebut mengarahkan pada penentuan tujuan dan strategi
pembelajaran. Selama ini tujuan pembelajaran matematika pada umumnya termasuk
pembelajaran statistik mengacu pada sisi kognitif saja, belum menyentuh sisi afektif yang
menjadi fokus pendidikan nilai dan kurang memperhatikan dampak pemilihan strategi
terhadap pendidikan nilai yang masih merupakan hidden curriculum.
Menurut Alisah & Dharmawan (2007:3) bahwa salah satu sebab utama kesulitan
memahami matematika ialah karena sifatnya yang abstrak. Hal ini sangat kontras dengan
alam pikiran kebanyakan dari kita yang terbiasa berpikir tentang objek-objek yang kongkret.
Bahasa matematika adalah bahasa yang abstrak, bahasa yang dipenuhi dengan begitu
banyak pelambang. Karena sifatnya yang abstrak inilah, seringkali kebanyakan orang awam
mengira bahwa matematika itu tak ada hubungannya dengan dunia nyata yang kongkret.
Orang menyangka bahwa matematika itu berhubungan dengan dunia lain, dunia yang
sama sekali berbeda sifatnya dengan dunia kita yang nyata ini. Operasi perhitungan
matematika tertentu, seperti penjumlahan, pengurangan, perkalian, dan pembagian
memang berguna dalam kehidupan kita sehari-hari. Namun makna nilai dibalik simbolik
bahasa matematika hampir tidak terkuak dalam proses belajar matematika di sekolah.
Materi statistik sebagai bagian dari matematika juga dipahami seperti bagian-bagian lain
dari matematika, yaitu sebatas pengetahuan tanpa keterkaitan dengan pembentukan sikap
dan keterampilan dalam mencari, membaca, mengolah dan menyajikan data statistik.
Padahal dibalik proses mencari data, mengolah data, menyajikan data, membaca data
memiliki banyak makna nilai-nilai dari kehidupan manusia. Namun tidak terungkapkan
nilai-nilai kemanusiaan tersebut dalam proses pembelajaran, sehingga selalu bersifat
hidden.
Muhammad Royani
238
baik (habit), sehingga sifat anak sudah terukir sejak kecil. Tuhan menurunkan petunjuk melalui
para Nabi dan Rasul-Nya untuk manusia agar senantiasa berperilaku sesuai dengan yang
diinginkan Tuhan sebagai wakil Tuhan di muka bumi.
Berbagai pendapat dari banyak pakar pendidikan anak, dapat disimpulkan bahwa
terbentuknya karakter (kepribadian) manusia ditentukan oleh dua faktor, yaitu nature (alami
atau fitrah) dan nurture (sosialisasi dan pendidikan). Agama mengajarkan bahwa setiap manusia
mempunyai kecenderungan (fitrah) untuk mencintai kebaikan. Namun fitrah ini bersifat potensial,
atau belum termanifestasi ketika anak dilahirkan. Conficius (filsuf Cina abad V SM) menyatakan
bahwa walaupun manusia mempunyai fitrah kebaikan, namun tanpa diikuti dengan instruksi
(pendidikan dan sosialisasi), maka manusia dapat berubah menjadi binatang, bahkan lebih
buruk lagi (Brooks dkk dalam Megawangi, 2004:25).
Di dalam sebuah hadist Qudsi digambarkan bahwa manusia dilahirkan dalam keadaan
fitrah (suci), seperti yang diriwayatkan oleh Muslim, telah berfirman Allah SWT: “Sesungguhnya
aku telah menciptakan hamba-hamba-Ku dalam keadaan lurus, suci, dan bersih. Kemudian
datanglah setan-setan yang menggelincirkan mereka dan menyesatkan dari kebenaran agama
mereka. Dan setan-setan pun telah mengharamkan segala sesuatu bagi mereka apa-apa
yang telah aku halalkan”.
Fitrah manusia menurut perspektif agama adalah cenderung kepada kebaikan ini,
masih mengakui adanya pengaruh lingkungan yang dapat mengganggu proses tumbuhnya
fitrah. Hal ini memberikan pembenaran perlunya faktor nurture atau lingkungan budaya,
pendidikan, dan nilai-nilai yang perlu disosialisasikan kepada anak-anak. Oleh karena itu Tuhan
menurunkan para Nabi/Rasul atau orang-orang bijak untuk mendidik dan mengingatkan kembali
akan perlunya menjalankan prinsip-prinsip kebajikan agar manusia dapat memelihara fitrahnya
(Megawangi, 2004:26). Nilai-nilai dasar budaya (akal-pikiran) dan kebudayaan (Perilaku, nilai,
norma) diletakkan melalui proses sosialisasi, enkulturasi, dan internalisasi (Koentjaraningrat,
1990:227).
Muhammad Royani
239
(2002:22) mengatakan bahwa melalui pendidikan sangat diharapkan terbinanya “tata kehidupan
yang penuh kesadaran, kesabaran, dan kejujuran”. Dengan kata lain dapat dikatakan bahwa
kejujuran merupakan kata kunci dalam menata kehidupan, karena jujur merupakan gambaran
manusia dalam berpikir, bersikap dan berperilaku dalam menjalani kehidupan dalam tatanan
sosial dan budaya yang terus mengalami perubahan menuju kearah yang lebih baik untuk
mendekati kesempurnaan dengan panduan agama.
Pendidikan adalah suatu usaha sadar dan sistematis dalam mengembangkan potensi
peserta didik. Sedangkan karakter adalah watak, tabiat, akhlak, atau kepribadian seseorang
yang terbentuk dari hasil internalisasi berbagai kebajikan (virtues) yang diyakini dan digunakan
sebagai landasan untuk cara pandang, berpikir, bersikap dan bertindak. Kebajikan terdiri atas
sejumlah nilai, moral, dan norma, seperti jujur, berani bertindak, dapat dipercaya, dan hormat
kepada orang lain. Menurut Lickona (1992) bahwa pendidikan karakter menekankan kepada
tiga kelompok karakter yang baik, yaitu moral knowing, moral feeling, moral action.
Sujono (1988:19-20) menyatakan bahwa dengan belajar matematika maka karakter
atau watak seseorang dapat dibina atau dikembangkan. Ini terjadi karena belajar matematika
dapat mengembangkan daya konsentrasi, meningkatkan kemampuan mengeluarkan pendapat
dengan singkat dan tepat, berpikir rasional, dan mengambil keputusan secara tepat. Unsur-
unsur kedisiplinan yang terdapat di dalam matematika ternyata merupakan sarana yang baik
untuk membina dan mengembangkan karakter. Kebenaran dan kejujuran dua hal yang
mendasar dalam matematika. Kejujuran dapat ditumbuhkan dengan membiasakan siswa
memeriksa kembali hasil kerjanya. Jika dari hasil pemeriksaan kembali ternyata hasilnya salah,
maka dengan tulus hati dan kejujuran siswa yakin bahwa ia berbuat salah. Kejujuran juga
ditanamkan melalui pelajaran matematika. Dalam pelajaran ini siswa dibiasakan menyebutkan
sifat, rumus, teorema yang digunakan. Ini berarti bahwa dalam diri siswa ditanamkan kebiasaan
untuk mengetahui dan menghargai bantuan orang lain. Matematika adalah bidang studi penuh
kebenaran dan kepastian. Bila seseorang mencintai maka ia mencintai kebenaran. Siswa
yang mempelajari matematika dengan sadar atau tidak ia mempraktekkan kebenaran.
Kebenaran dalam berpikir, bertutur kata, menulis dan bertindak merupakan kebaikan yang
diperoleh secara tidak langsung dari belajar matematika. Cinta akan kebenaran dan kejujuran,
dua nilai terpuji ini ditanamkan dalam jiwa siswa melalui pelajaran matematika.
Menurut Soedjadi (2000:66-67) bahwa pembelajaran matematika tidak hanya
mengandung nilai edukasi yang bersifat mencerdaskan siswa tetapi juga nilai edukasi yang
membantu membentuk pribadi siswa. Memang untuk dapat mengetahui apakah nilai edukasi
pembentuk pribadi siswa telah tercapai tidaklah mudah, lebih-lebih dalam waktu yang singkat.
Untuk itu diperlukan upaya terencana, kontinu dan pengamatan yang cukup lama. Selama ini
nilai-nilai yang terkandung dalam pembelajaran matematika diharapkan akan tercapai dengan
sendirinya. Melalui pembelajaran matematika diharapkan dengan sendirinya para siswa akan
cermat dalam melakukan pekerjaan, akan kritis dan konsisten dalam bersikap, akan jujur dan
lain sebagainya yang disebut pembelajaran by-chance. Akan tetapi sekarang kita lebih
memerlukan perencanaan pembelajaran matematika yang secara sengaja memasukkan
pembelajaran nilai-nilai tersebut yang disebut pembelajaran by-design. Dalam pembelajaran
Muhammad Royani
240
ini perlu dilengkapi dengan tujuan domain afektif maupun psikomotor yang memerlukan
instrumen pengukurnya.
Secara ideal, pembelajaran matematika semestinya mengembangkan kognisi, afeksi
dan psikomotor sebagai komponen esensial. Dalam pemahaman seperti itu, maka
pengembangan nilai dan etika dalam pembelajaran matematika tidak tepat lagi jika hanya
diposisikan sebagai komponen krusial atau kurikulum tersembunyi (hidden curriculum). Nilai,
moral dan etika harus secara eksplisit dijabarkan dan diperkaya dalam setiap topik
pembelajaran. Melalui pembelajaran seperti itu, keseimbangan antara kepemilikan
pengetahuan, kompetensi teknologi, moral individu dan apresiasi terhadap nilai-nilai sosial
dan budaya dapat ditingkatkan.
Pembelajaran matematika perlu juga diarahkan pada pencapaian tujuan pendidikan
yang berdiversifikasi. Beberapa tujuan yang harus dicapai dalam pendidikan matematika adalah
membangkitkan peserta didik agar memiliki dorongan untuk tahu dan paham, memiliki
kemampuan mengumpulkan data, menemukan makna, berpikir logis, memilih alternatif pilihan
beserta akibatnya, memahami manusia pada posisi manusiawi, dan menghargai perbedaan
pendapat.
Pembelajaran matematika yang disertai oleh pengembangan nilai, moral, dan etika
diyakini akan mampu menumbuhkan potensi peserta didik melebihi apa yang dicapai dalam
pembelajaran konvensional. Unesco (1993) mencatat bahwa pembelajaran matematika yang
dilakukan secara terpadu dengan kebutuhan pendidikan nilai akan mampu merubah makna
belajar dan meningkatkan kemampuan peserta didik dalam menghargai kontribusi iptek,
mengembangkan minat mereka dalam belajar, dan memiliki sikap ilmiah yang jelas. Karena
itu, materi pembelajaran yang dikembangkan harus sampai pada materi-materi esensial yang
terkandung di dalamnya. Materi esensial adalah pokok-pokok bahasan tentang matematika
yang di dalamnya terkandung nilai, moral, dan etika yang harus dimiliki oleh peserta didik dan
dianggap krusial andai kata hal tersebut tidak disampaikan dalam proses pembelajaran.
Pembelajaran matematika seperti telah dikemukakan di atas selain dapat memperluas
cakrawala berpikir peserta didik tentang matematika, juga dapat mengembangkan kesadaran tentang
nilai-nilai yang secara esensial yang terdapat didalamnya. Dengan cara demikian, maka penyelidikan
tentang substansi materi matematika tidak ditempatkan sebagai akhir proses pembelajaran. Cara
seperti itu sesuai apa yang dikatakan Brameld (1975) sebagai education of power yang menekankan
pentingnya pendidikan untuk pengembangan sistem nilai agar peserta didik mampu berpikir, bersikap,
dan bertindak lebih matang. Sebaliknya ketika pembelajaran matematika mengutamakan substansi
materi dengan tidak terlalu berurusan pada kesadaran nilai, maka proses pembelajaran berpihak
pada knowledge as power. Pembelajaran matematika seperti itu berpotensi untuk melahirkan arogansi
keilmuan dan memperlebar celah antara intelektual dan moral.
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (2008), jujur artinya lurus, hati tidak
berbohong, tidak curang, tulus, dan ikhlas. Sedangkan Al-Syahrastani (dalam Shubhi, 2001:
129) mendefenisikan jujur adalah mewartakan tentang suatu hal sesuai dengan faktanya,
sementara dusta adalah mengabarkan tentang suatu hal yang berbeda dengan faktanya. Jujur
dalam pandangan umum menurut Kesuma dkk (2011: 16) dimaknai adanya kesamaan antara
Muhammad Royani
241
realitas (kenyataan) dengan ucapan, dengan kata lain apa adanya. Jujur termasuk traits (sifat/
karakter) yang disenangi dari sudut pandang teori kepribadian. Traits merupakan dimensi
kepribadian yang berhubungan dengan respon yang bersifat relatif konsisten dan berfungsi
untuk mengintegrasikan kebiasaan, sikap dan keterampilan kepada pola-pola berpikir, merasa,
dan bertindak (Yusuf dan Nurihsan, 2008: 10).
Menurut Izutsu (1993:116) bahwa berbicara benar (jujur) dianggap sebagai kebajikan
yang utama diantara orang-orang Arab padang pasir pada masa Jahiliyah, ini juga berlaku bagi
semua bangsa. Kebajikan ini merupakan bentuk kebajikan yang dimiliki manusia yang paling
umum, dengan demikian tidak menimbulkan permasalahan yang sangat penting. Namun
demikian dalam Qur’an, kebajikan itu sangat istimewa, dan permasalahan ini akan dapat
dipahami apabila kita mendekati masalah ini dari sisi negatifnya, yakni dosa tentang
kebohongan. Kebenaran pada dasarnya merupakan hubungan sidq dan haqq, haqq
menggambarkan sisi objektif dari kebenaran, dan bahasa dapat menjadi “benar” hanya apabila
sesuai dengannya. Kebenaran sebagai persoalan subjektif, merupakan penggunaan bahasa
sedemikian rupa sehingga sesuai dengan haqq, realitas. Masalah bicara benar menyangkut
hubungan religius antara Tuhan dan manusia. Haqq dilawankan dengan batil yang artinya
segala sesuatu yang pada hakikatnya kebohongan atau kesia-siaan.
Menurut Kesuma dkk (2011:16) bahwa Jujur sebagai sebuah nilai merupakan
keputusan seseorang untuk mengungkapkan (dalam bentuk perasaan, kata-kata dan atau
perbuatan) bahwa realitas yang ada tidak dimanipulasi dengan cara berbohong atau menipu
orang lain untuk keuntungan dirinya. Dalam konteks pembangunan karakter di sekolah, kejujuran
menjadi amat penting untuk menjadi karakter anak-anak Indonesia saat ini. Karakter ini dapat
dilihat secara langsung dalam kehidupan di kelas, semisal ketika anak melaksanakan ujian.
Perbuatan mencontek merupakan perbuatan yang mencerminkan anak tidak berbuat jujur
kepada diri, teman, orang tua, dan gurunya. Agustian (2009: 2-3) menyatakan hasil penelitian
membuktikan bahwa ketika seseorang berbohong terjadi perubahan fisiologis pada tubuhnya.
Beberapa perubahan tersebut adalah pola pernapasan, tekanan darah, detak jantung yang
meningkat, perubahan elektrolit pada kulit yang menunjukkan adanya keringat atau tidak, serta
perubahan nada suara. Oleh karena itu “jadikanlah kebenaran sebagai tempat kembalimu,
kejujuran sebagai tempat keberangkatanmu”
Kejujuran menurut Berten (2007:142-145) merupakan suatu nilai moral, tapi kejujuran
itu sendiri kosong, bila tidak diterapkan pada nilai lain, seperti nilai ekonomis karena nilai moral
tidak terpisah dari nilai-nilai yang lain. Suseno (1987: 142-143) mengatakan bahwa dasar
setiap usaha untuk menjadi orang kuat secara moral adalah kejujuran. Tanpa kejujuran
keutamaan-keutamaan moral lainnya kehilangan nilai mereka. Bersikap jujur terhadap orang
lain berarti terbuka dan wajar (fair). Terbuka tidak dimaksudkan bahwa segala pertanyaan
orang lain harus kita jawab dengan selengkapnya. Wajar berarti memperlakukan orang lain
menurut standar-standar yang dipergunakan orang lain terhadap diri kita sendiri sesuai dengan
suara hati atau keyakinannya. Menurut Hartshorne and May (dalam Gagne, 1983:45-46) bahwa
“a child who has a strong attitude of honesty may steal a penny when she thinks no one will
notice”. Seorang anak yang kuat sikap kejujurannya mungkin saja mencuri satu sen ketika ia
Muhammad Royani
242
berpikir tak seorangpun yang memperhatikannya. Kejujuran menurut Sumaatmadja (2002:7)
merupakan keberanian menempatkan nilai-nilai akhlak dalam menyatakan dan menentukan
berani di tempat yang benar, serta kesalahan seperti apa adanya sebagai pelanggaran atas
kebenaran. Kejujuran dalam lingkup kehidupan pribadi sampai pada tatanan sosial, berarti
jujur terhadap diri sendiri, terhadap keluarga, terhadap masyarakat yang puncaknya terhadap
Al-Khalik Maha Kuasa.
Muhammad Royani
243
oleh Phenix (1964: 8) yaitu symbolic, emperics, esthetics, synoethics, ethics, and synoptic.
Menurut Sumaatmadja (2002:109-110) Makna simbolik meliputi bahasa, matematika, termasuk
juga isyarat-isyarat, upacara-upacara, tanda-tanda kebesaran, dan sebangsanya. Makna
simbolik ini sangat berarti dalam kehidupan bermasyakat-berbudaya manusia. Makna empirik
mencakup ilmu kealaman, hayati, kemanusiaan. Makna emperik ini mengembangkan
kemampuan teoretik, konseptual, analitik, generalisasi berdasarkan fakta-fakta dan kenyataan
yang dapat diamati. Makna estitik meliputi berbagai seni seperti musik, karya seni, kesenian,
sastra dan sebangsanya. Kedalam kawasan makna estetik ini, termasuk hal-hal yang berkenaan
dengan keindahan dan kehalusan, keunikan menurut persepsi subyektif berjiwa seni. Makna
sinoetik berkenaan dengan perasaan, kesan, penghayatan, dan kesadaran yang mendalam.
Kedalam makna ini termasuk empati, simpati, dan sebangsanya. Makna etik berkenaan dengan
aspek-aspek moral, akhlak, perilaku yang luhur, tanggungjawab dan sebangsanya. Makna
sinoptik berkenaan dengan pengertian-pengertian yang terpadu dan mendalam seperti agama,
filsafat, sejarah, dan hal-hal yang bernuansa spiritual.
Materi statistik jelas sekali memiliki keenam makna seperti yang dikemukakan Phenix,
yaitu semua data statistik menggunakan simbolik angka maupun gambar dalam
merepresentasikan kebenaran atau kejujuran karena statistik adalah bagian dari matematika
yang merupakan bahasa simbol yang memiliki makna sesuai dengan konteks objek
pengamatan. Misalnya tiga puluh lima orang siswa sedang belajar matematika di kelas. Tiga
puluh lima disimbolkan dengan bilangan 35, bukan yang lain karena 35 disini simbol kejujuran
dari fakta yang ada. Makna emperik pada data statistik merupakan yang utama karena data
yang diungkapkan harus fakta agar deskripsi maupun penarikan kesimpulan tidak salah, kalau
faktanya 35 maka harus ditulis 35. Penyajian data-data statistik juga menggunakan tabel,
diagram grafik, dan gambar yang memiliki kesan seni keindahan dalam mendeskripsikan
tentang objek pengamatan atau memiliki makna estitik. Data yang digali atau diperoleh adalah
fenomena yang terjadi dilapangan terkait dengan konteks kehidupan, artinya data-data
menggambarkan atau memiliki makna kondisi objek pengamatan tentang berbagai hal seperti
perasaan, kesan, penghayatan. Misalnya, ada 300 pendaftar siswa baru di SDN Mawar 7
Banjarmasin pada tahun 2011 padahal daya tampung hanya 70 siswa. Bilangan 300 memberi
kesan bahwa animo atau keinginan (perasaan) masyarakat terhadap sekolah tersebut sangat
tinggi. Artinya data statistik tersebut memiliki makna sinoetik. Data statistik memiliki makna etik,
yakni data tersebut mengatakan apa adanya sesuai dengan keadaan objeknya, dengan kata
lain data statistik memiliki makna jujur sebagai etika moral, akhlak, dan perilaku yang luhur.
Data tidak pernah berbohong, hanya manusianya yang mungkin berbohong. Makna sinoptik
dari data statistik memiliki pengertian atau makna yang mendalam yang berbicara tentang
kebenaran fakta secara jujur, tunduk pada aturan yang maha kuasa.
Dengan demikian idealnya pembelajaran statistik dapat membangun karakter jujur
pada pribadi peserta didik sebagai suatu kepribadian yang melekat pada dirinya sebagai nurturent
effect, di samping memahami teori statistik sebagai instructional effect. Kenyataannya
berdasarkan hasil observasi terhadap lima orang guru yang sedang mengajar matematika di
lima sekolah dasar kota Banjarmasin, belum ada guru yang mencoba mengintegrasikan karakter
Muhammad Royani
244
atau nilai-nilai kehidupan seperti kejujuran dalam pembelajaran. Dua dari guru tersebut pada
saat observasi sedang mengajar statistik, namun belum mengintegrasikan pendidikan karakter
ke dalam pembelajaran, walaupun keduanya sudah mencantumkan karakter yang diharapkan
ke dalam Rencana Persiapan Pembelajaran (RPP). Dari hasil wawancara terhadap kedua
guru tersebut, ternyata keduanya sudah menerima sosialisasi tentang integrasi pendidikan
karakter ke dalam pembelajaran. Akan tetapi guru hanya menekankan pada pemahaman
materi statistik semata pada saat pembelajaran berlangsung, tanpa memperhatikan karakter
yang diharapkan. Pada saat penulis observasi di salah satu kelas matematika, guru mengadakan
simulasi pemilihan presiden, semua siswa diminta memilih satu dari tiga calon presiden. Pada
saat itu, ada 36 siswa sebagai pemilih, namun pada rekapitulasi yang ditampilkan totalnya 39
pemilih. Tetapi tidak ada siswa atau guru yang protes terhadap ketidakcocokkan data pemilih
tersebut. Padahal momen tersebut sangat tepat untuk validasi data atau membuat penyataan
bahwa kita harus jujur dalam mengemukakan fakta, guru seharusnya berkomentar terhadap
ketidakbenaran data yang diungkapkan. Ternyata guru tidak memanfaatkan momen penting
tersebut.
V. SIMPULAN
Berdasarkan uraian yang telah dikemukakan, dapat dikemukakan kesimpulan sebagai
berikut:
1. Statistik diajarkan selama ini hanya sebatas ilmu, padahal statistik memiliki makna
nilai kejujuran sebagai pembentuk pribadi dengan karakter jujur.
2. Secara ideal pembelajaran statistik semestinya mengembangkan kognisi, afeksi,
dan psikomotor sebagai komponen esensial.
3. Pengembangan nilai, moral dan etika dalam pembelajaran statistik tidak tepat lagi
jika hanya diposisikan sebagai komponen krusial, karena nilai, moral dan etika harus
secara eksplisit dijabarkan dan diperkaya dalam setiap pembelajaran.
DAFTAR PUSTAKA
Al-Hasyimi, M.A. 2006. Kepribadian Seorang Muslim. Riyadh: IIPH.
Alisah,E. & Dharmawan, P.E. 2007. Filsafat Dunia Matematika. Pengantar untuk Memahami
Konsep-konsep Matematika. Jakarta. Prestasi Pustaka.
Amril,M. 2005. Etika dan Pendidikan.Yogyakarta. Aditya Media, dan Pekanbaru:LSFK2P.
Bertens, K. 1994. Etika. Jakarta: Gramedia Pustaka Umum.
Departemen Pendidikan Nasional. 2006. Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan. Jakarta:
Depdiknas.
Departemen Pendidikan Nasional. 2007. Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Republik
Indonesia No.41 Tahun 2007 tentang Standar Proses untuk Satuan.
Pendidikan Dasar dan Menengah. Tersedia: http://www.bnsp-indonesia.org/ standar-proses.php.
Djahiri, Kosasih. 1996. Menelusuri Dunia Afektif untuk Moral dan Pendidikan Nilai Moral.
Bandung:LPPMP.
Eck, Marcel. 1970. Lies & Truth. New York: Macmillan.
Elias, J.J. 1989. Moral Education: Secular and religious. Florida: Robert E. Krieger
Publishing Co., Inc.
Muhammad Royani
245
Elmubarok, Z. 2007. Membumikan Pendidikan Nilai. Bandung: Alfabeta.
Furqon. 1999. Statistika Terapan untuk Penelitian. Bandung: Alfabeta.
Hudojo, H. 1988. Mengajar Belajar Matematika. Jakarta: Dirjen Dikti Depdibud.
Joyce, Bruce & Weil, Marsha. 1980. Models of Teaching. New Jersey: John Wiley.
Koentjaraningrat. 1990. Pengantar Ilmu Antropologi. Jakarta: Rineka Cipta.
Lickona, T. 1992. Educating for Character. New York: Bantam Books
Mason, J dkk. 1985. Thinking Mathematically. England: Pearson Education.
Megawangi. 2004. Pendidikan Karakter. Jakarta: BPMIGAS.
Muhsetyo, Gatot dkk. (2008). Pembelajaran Matematika SD. Jakarta: Universitas Terbuka.
Phenix. 1964. Realms of Meaning. New York: Mc Graw-Hill
Soedjadi, R. 2000. Kiat Pendidikan Matematika di Indonesia (Konstatasi Keadaan Masa Kini
Menuju Harapan Masa Depan). Jakarta. Dirjen Dikti Depdiknas.
Sugiyono. 2009. Statistika untuk Penelitian. Bandung: Alfabeta.
Sujono. 1988. Pengajaran Matematika untuk Sekolah Menengah. Jakarta: Ditjen Dikti.
Sumaatmadja, N. 200). Pendidikan Pemanusiaan Manusia Manusiawi. Bandung: CV Alfabeta.
Sumanto, dkk. 2008. Gemar Matematika 6: untuk Kelas VI SD/MI. Jakarta: Pusat.
Muhammad Royani
246
STRATEGY OF SCIENCE LEARNING BASED ON CHARACTER
EDUCATION
Muhammad Zaini
Universitas Lambung Mangkurat
ABSTRACT
This paper is entitled “Learning Strategy of Math and Science Education Based on Character
Education”. The paper provides reinforcement that science contains values that are relevant to
character education. This reinforcement is done by assessing the values that contained in the
science material. Thus, the essence of science learning is the bridge to infuse character
education to students. Therefore, empowering science learning should begin by exploring all
the values that contained in the science material.
Keywords: values, character, science learning.
I. PENDAHULUAN
Eksistensi suatu bangsa sangat ditentukan oleh karakter yang dimiliki. Hanya bangsa
yang memiliki karakter kuat yang mampu menjadikan dirinya sebagai bangsa yang bermartabat
dan disegani oleh bangsa-bangsa lain (Kemendiknas, 2010). Oleh karena itu, menjadi bangsa
yang berkarakter adalah keinginan kita semua.
Keinginan menjadi bangsa yang berkarakter sesungguhnya sudah lama tertanam pada
bangsa Indonesia. Para pendiri negara menuangkan keinginan itu dalam Pembukaan UUD 1945
alinea ke-2 dengan pernyataan yang tegas, ... mengantarkan rakyat Indonesia ke depan pintu
gerbang kemerdekaan negara Indonesia yang merdeka, bersatu, berdaulat, adil dan makmur. Para
pendiri negara menyadari bahwa hanya dengan menjadi bangsa yang merdeka, bersatu, berdaulat,
adil dan makmurlah bangsa Indonesia menjadi bermartabat dan dihormati bangsa-bangsa lain.
Bangsa kita ingin pula memiliki peradaban yang unggul dan mulia. Peradaban demikian
dapat kita capai apabila masyarakat kita juga merupakan masyarakat yang baik (good society).
Masyarakat idaman seperti ini dapat kita wujudkan manakala manusia-manusia Indonesia
merupakan manusia yang berakhlak baik, manusia yang bermoral, dan beretika baik, serta manusia
yang bertutur dan berperilaku baik pula. Pink (2005) mengemukakan kilas balik peradaban dunia
menjadi 4 masa yakni 1) masa agrikultur, 2) masa industrial (pekerja pabrik), 3) masa informasi
(pekerja pengetahuan), dan 4) masa konseptual (empati dan kreasi). Jika kita flash back pada drama
kehidupan selama 150 tahun ini, maka dapat dibagi menjadi tiga era/abad.
Muhammad Zaini
248
membentuk daya saing dan karakter bangsa. Hal ini sejalan dengan desain makro pendidikan
karakter dari Kemendiknas seperti gambar 1, sedangkan dalam konteks mikro seperti gambar
2. Ketika pembelajaran di kelas, membangun karakter para siswa telah difasilitasi melalui
perangkat RPP. Pengembangan karakter siswa merupakan bagian penting dalam proses
pendidikan, khususnya di tingkat sekolah dalam membangun karakter bangsa. Untuk itu integrasi
pendidikan karakter dalam pendidikan persekolah perlu lebih dieksplisitkan lebih jauh dalam
pembelajaran setiap mata pelajaran. Hal ini sudah dilaksanakan di dalam Kurikulum 2013
seperti telah dijelaskan di atas.
Agama, Pancasila,
UUD 1945,
PROSES PEMBUDAYAAN DAN PEMBERDAYAAN
UU No. 20/2003 ttg
Sisdiknas INTERVENSI
MASYA-
Teori SATUAN KELUARGA RAKAT
Nilai-nilai Perilaku
Pendidikan,
Psikologi, Luhur PENDIDIKAN Berkarakter
Nilai, Sosial
Budaya
PERANGKAT PENDUKUNG
Kebijakan, Pedoman, Sumber Daya,
Lingkungan, Sarana dan Prasarana,
Kebersamaan, Komitmen pemangku
kepentingan.
13
Muhammad Zaini
250
IV. BAGAIMANA MENILAI KARAKTER?
Menilai perilaku berkarakter dan perilaku keterampilan sosial dilakukan melalui proses
pembelajaran tertuang dalam RPP. Perilaku berkarakter dan perilaku keterampilan sosial
termasuk ranah sikap, selain ranah pengetahuan dan psikomotor. Menilai perilaku berkarakter
maupun keterampilan sosial bukan menilai ya atau tidak, akan tetapi berapa kadar yang muncul
dalam pembelajaran. Oleh karena itu diperlukan rubrik untuk menilainya. Salah satu rubrik
untuk menilai perilaku berkarakter dimuat dalam sebuah buku Young Person’s Character
Education Handbook (JIST, 2006). Misalnya karakter bertanggung jawab dipandu 6 buah
indikator yakni:
1. Mengakui saat kamu membuat kesalahan.
2. Jangan menyalahkan orang lain jika perbuatanmu menyebabkan masalah.
3. Jika kamu berkata untuk melakukan sesuatu, maka lakukanlah. Jika kamu tidak bisa
melakukannya karena alasan tertentu maka bertanggungjawablah akan hal itu.
4. Jika kamu mempertanggungjawabkan keuangan, bersikaplah secara jujur
bagaimana kamu akan membelanjakannya.
5. Jika kamu bertanggungjawab terhadap tindakan orang/makhluk lain misalnya
hewan, maka bertanggungjawablah terhadap akibatnya.
6. Jika tidak ada aturan ataupun hukum yang membuatmu tetap bertanggung jawab,
putuskanlah apa yang menurutmu seharusnya dilakukan berdasarkan hati nurani.
Apabila keenam indikator ini dijumpai dalam diri siswa ketika proses pembelajaran
berlangsung, ia diberi skor amat baik, bilamana kurang satu diberi skor memuaskan dan
seterusnya. Ada pertanyaan mendasar bagaimana teknik mengamati siswa di kelas? Bagi guru
kelas tentu lebih mudah dibanding guru bidang studi, yang memangku beberapa kelas. Guru
kesulitan mengenali siswa dengan jumlah besar, meminta pengamat masuk ke dalam kelas juga
tidak mudah, karena sama-sama melaksanakan tugas sebagai guru. Di sini mengindikasikan
penilaian perilaku berkarakter dan keterampilan sosial masih memunculkan nuansa subjetivitas.
Sebagai pendidik tentu diharapkan melakukan penilaian perilaku berkarakter terhadap
siswa. Di mana penilaian ini tertuang ketika membuat perangkat RPP. Bagi guru (pendidik)
gunakan refleksi diri untuk menilai karakter yang kita miliki. Baik pada akhir semester maupun
akhir tahun pelajaran. Hasil refleksi dapat diserahkan kepada pimpinan sekolah untuk dinilai,
sehingga diharapkan ada keselarasan antara penilaian guru dan penilaian kepala sekolah. Ini
dilakukan sebagai pertanggungjawaban kita dalam menyandang gelar sebagai seorang profesi.
Muhammad Zaini
252
akan siap langsung tumbuh di lumpur itu. Tampaknya tumbuhan bakau ini menyiapkan generasi
mudanya secara matang atau siap pakai terjun di lingkungan hidupnya. Model pertumbuhan
dan perkembangan tumbuhan bakau tersebut memberi pelajaran kepada manusia tentang
program pendidikan yang lulusannya siap pakai di masyarakat.
Setiap orang pada dasarnya seorang pemimpin, karena setidaknya memimpin dirinya
sendiri. Tetapi ada pula orang yang memiliki kemampuan memimpin orang lain atau
sekelompok orang, bahkan memimpin bangsanya dan negaranya. Hanya saja tipe
kepemimpinan orang ini ada yang mudah menerima masukan dari orang yang dipimpinnya
(pemimpin demokrasi), dan ada pula tipe kepemimpinan yang tidak mudah menerima masukan
atau digantikan oleh orang lain (pemimpin autokrasi). Tipe kepemimpinan tersebut ditunjukkan
oleh model-model pertumbuhan suatu tumbuhan seperti gambar 4. Ada model percabangan
batang monopodial dan ada pula model percabangan batang simpodial.
Gambar 4. Model Pertumbuhan Batang Monopodial dan Simpodial.
Apabila kita perhatikan fungsi bagian-bagian tumbuhan, antara akar, batang,dan daun
dalam proses pengangkutan air dan zat hara yang larut di dalamnya terdapat saling gotong
royong seperti ditujukan pada gambar 5.
VI. SIMPULAN
Dimensi pendidikan karakter berdasarkan uraian di atas sudah selayaknya
diintegrasikan ke dalam materi pelajaran dari jenjang pendidikan usia dini hingga perguruan.
Dengan mengambil contoh pembelajaran sains banyak elemen-elemen pendidikan karakter
yang dapat dibelajarkan kepada para siswa.
DAFTAR PUSTAKA
Character Education Partnershiphttp (2010) ttp://www.character.org/index.cfm). Diakses 2 Mei 2014.
Desain Induk Pendidikan Karakter Kementerian Pendidikan Nasional. m l . s c r i b d . c o m / . . . /
Desain-Induk-Pendidikan-Karakter-Diakses 2Mei 2014
Hermana, Firman. 2010. SDM Berkarakter http://ekonomi-kreatif.blogspot.com/ 2009/02/tahun-
indonesia-kreatif-sdm-berkarakter.html.
Instruksi Presiden Republik Indonesia (Inpres) No. 1 Tahun 2010 tentang P e r c e p a t a n
Pelaksanaan Prioritas Pembangunan Nasional.
JIST, 2006. Young Person’s Character Education Handbook. Otis Avenue: JIST
Publishing, Inc.
Kementerian Pendidikan Nasional Badan Penelitian dan Pengembangan Pusat Kurikulum
Jakarta. 2010. Visi Kementerian Pendidikan Nasional.
Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia Nomor 65 Tahun 20 13
tentang Standar Proses Pendidikan Dasar dan Menengah.
Pink, D. H. 2005. A Whole New Mind . Penguin Group. USA.
Sabarnurohman. 2012. Internalisasi Scientific Attitude: Upaya Implementasi Pendidikan Karakter
pada Pembelajaran Sains. Makalah disampaikan pada seminar Pendidikan Karakter
di Fakultas Saintek UIN Sunan Kalijaga, 26 Mei 2012.sabarnurohman.com/1314/
1314. Diakses 19 November 2013.
Yudianto, Suroso Adi. 2011. Dimensi Pendidikan Karakter/Nilai dalam Model Sains-Biologi untuk
Pembelajaran Manusia sebagai Upaya Mengatasi Krisis Nilai dan Moral Bangsa.
Pidato Pengukuhan sebagai Guru Besar dalam Bidang Ilmu Pendidikan Sosio Biologi
pada Fakultas Pendidikan Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas
Pendidikan Indonesia, 16 November 2011. Diakses tanggal 19 Nopember 2011.
Muhammad Zaini
254
PROFIL KARAKTER TENAGA KESEHATAN DALAM IMPLEMENTASI
UNIVERSAL PRECAUTION UNTUK PENCEGAHAN HIV/AIDS
Nana Noviana
Balitbangda Provinsi Kalimanatan Selatan
ABSTRAK
Fenomena peningkatan dan penyebaran kasus HIV/AIDS di Kalimantan Selatan ini menjadi
perhatian dalam upaya pencegahan dan penanganannya. Upaya pencegahan juga diarahkan
pada perubahan karakter dari tenaga kesehatan, diantaranya adalah perubahan persepsi dari
tenaga kesehatan dalam pelaksanaan Universal Precaution untuk pencegahan HIV/AIDS.
Penelitian ini dimaksudkan untuk menganalisa karakter persepsi perawat dalam pelaksanaan
Universal Precaution untuk pencegahan HIV/AIDS di ruang rawat inap RSU.Dr.H.M.Ansari Saleh
Banjarmasin tahun 2012 dengan pendekatan crossectional. Instrumen penelitian menggunakan
kuesioner. Sampel bivariat yang diperoleh dianalisis menggunakan uji statistic chi square dan
multivariate dengan menggunakan uji regresi logistik. Hasil menunjukkan sebagian besar
responden mempunyai tindakan Universal Precaution yang kurang baik, karakter persepsi
perawat terhadap kerentanan, keparahan, hambatan dan manfaat yang dirasa dalam
melaksanakan Universal Precaution untuk pencegahan HIV/AIDS dapat mempengaruhi tindakan
perawat tersebut dalam melaksanakan Universal precaution.Diperlukan upaya untuk
meningkatkan pelaksanaan Precaution Universal karena keyakinan yang rendah dari perawat
untuk pelaksanaan Kewaspadaan Universal dan perlu adanya punish dan reward dalam
pelaksanaan Precaution Universal, serta perlu disosialisasikan kembali tentang standar
Universal precaution agar tenaga kesehatan memiliki karakter yang sesuai dengan standar
pelaksanaan Universal Precaution sehingga dapat mencegah penyebaran HIV/AIDS.
I. PENDAHULUAN
Di Indonesia perkembangan kasus HIV /AIDS memperlihatkan peningkatan yang
semakin pesat dengan akselerasi yang semakin mengkhawatirkan (Hacker M,2001).
Peningkatan prevalensi HIV/AIDS meningkatkan risiko tenaga kesehatan yang bekerja di fasilitas
kesehatan akan terpapar oleh infeksi yang secara potensial dapat membahayakan jiwanya.
Pemerintah dan masyarakat perlu melaksanakan upaya untuk memelihara dan meningkatkan
derajat kesehatan masyarakat yang setinggi-tingginya secara optimal sesuai amanat dari
Undang-undang Kesehatan No 36 tahun 2009 (Kementrian Kesehatan RI, 2011). Di dalam
tujuan MDGs (Millenium Development Goals) pada poin ke 6 juga telah menyebutkan untuk
memerangi HIV/AIDS dengan target mengendalikan penyebaran HIV/AIDS dan mulai
menurunkan kasus baru pada 2015. Serta diamanatkan dalam Peraturan Presiden No.75
Nana Noviana
255
tahun 2006 bahwa perlunya peningkatan upaya penanggulangan HIV/AIDS (Aquired
Immunodeficiency Syndrome ) di seluruh Indonesia. Respons harus ditujukan untuk mengurangi
semaksimal mungkin peningkatan kasus baru dan kematian (Depkes RI, 2011). Tingginya
angka penyebaran infeksi HIV/AIDS memerlukan suatu tindakan universal precaution untuk
mencegah penyebaran infeksi. Sehingga tercapai tujuan pembangunan yaitu terwujudnya
derajat kesehatan yang optimal (Kementrian Kesehatan RI, 2011).
Tabel 1.1 Jumlah Kasus Baru HIV/AIDS dan Kematian di Indonesia
Nana Noviana
256
Tabel 1.2 Jumlah Kasus Baru HIV/AIDS dan Kematian di Kalimantan Selatan
Nana Noviana
257
melaksanakan maupun yang tidak melaksanakan Universal Precaution. Meski belum ada
data yang menyebutkan penularan HIV/AIDS pada paramedis, namun peningkatan resiko
paramedis yang tidak dibarengi dengan penerapan penatalaksanaan universal precaution
maka ada kemungkinan terpajan darah atau cairan tubuh pasien saat melakukan tindakan
(Depkes RI, 2010) . Dalam hal ini peran perawat sangatlah penting karena melakukan kontak
langsung dengan pasien dalam memberikan pelayanan (Andrew G, 2010).
Dari data tersebut diatas didapatkan bahwa kejadian HIV/AIDS terutama dikota
Banjarmasin yang merupakan ibukota provinsi Kalimantan Selatan telah mengalami
peningkatan, selain itu karena kota Banjarmasin merupakan ibukota provinsi dan merupakan
pusat perdagangan yang besar serta merupakan tempat transit maka akan memberikan
kontribusi terhadap peningkatan kejadian HIV/AIDS. Pada dasarnya perawat yang bekerja di
RSU.Dr.H.M.Ansari Saleh yang berada di kota Banjarmasin dimana merupakan rumah sakit
rujukan ODHA, kemungkinan besar terpajan darah atau cairan tubuh pasien ODHA saat
melakukan tindakan tidak perlu tertular HIV/AIDS apabila para perawat melakukan tindakan
Universal Precaution terhadap semua pasien (Yayasan Spiritia, 2009).
Tujuan dari kajian ini adalah untuk menganalisa faktor yang berpengaruh terhadap
tindakan perawat dalam pelaksanaan Universal Precaution untuk pencegahan HIV/AIDS di
RSU.Dr.H.M.Ansari Saleh Banjarmasin. Penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi
dan pertimbangan serta arah dalam membuat kebijakan untuk meningkatkan kepatuhan
paramedis perawatan terhadap standar pelayanan dan kewaspadaan universal sebagai upaya
pencegahan HIV/AIDS.
Nana Noviana
258
kerja seorang paramedis perawat diharapkan dengan semakin lama dia bekerja akan semakin
baik dalam melaksanakan tindakan Universal Precaution. Gambaran karakteristik responden
dapat dilihat pada tabel 1 berikut .
Tabel 1. Karakteristik Responden ( n=107)
Nana Noviana
260
Tabel 5. Hasil Analisis Multivariat yang Berpengaruh terhadap Tindakan perawat
dalam Pelaksanaan Universal Precaution untuk Pencegahan HIV/AIDS di Ruang Rawat Inap
RSU.Dr.H.M.Ansari Saleh Banjarmasin tahun 2012.
Step
2a Keparahan(1) 1.745.527 10.971 1 .001 5.728 2.039 16.091
Manfaat(1) 1.446.512 7.962 1 .005 4.246 1.555 11.591
Hambatan(1) 1.040.529 3.871 1 .049 2.830 1.004 7.979
Constant - .814 1.569 1 .210 .361
1.020
a. Variable(s) entered on step 1: Kerentanan,
Keparahan,
Manfaat, Hambatan.
Sumber: Data primer diolah,2012
Berdasarkan hasil analisis yang dilakukan dapat disimpulkan ada empat variabel
independent yang diduga yang secara signifikan berpengaruh yaitu persepsi keparahan yang
dirasa, persepsi manfaat yang dirasa, persepsi hambatan yang dirasa serta pengetahuan tentang
Universal Precaution. Selanjutnya dapat disimpulkan bahwa variabel persepsi keparahan yang
dirasa mempunyai pengaruh yang paling signifikan terhadap tindakan perawat dalam
pelaksanaan Universal Precaution untuk pencegahan HIV/AIDS.
3.1 Tindakan Perawat dalam Pelaksanaan Universal Precaution untuk
Pencegahan HIV/AIDS.
Dari hasil penelitian menunjukan bahwa responden termasuk dalam kategori tindakan
yang kurang baik terhadap pelaksanaan Universal Precaution yaitu 82,2% responden
berpersepsi meskipun mereka mempunyai luka basah tetap melakukan perawatan, 62,6%
responden berpersepsi resusitasi dapat dilakukan secara langsung tanpa menggunakan
resuscitation bag, 58,9% responden berpersepsi alat bekas pakai direndam dg klorin selama
20 menit seharusnya hanya 10 menit ,51,4% responden berpersepsi untuk menjamah darah
atau cairan tubuh pasien dapat dilakukan tanpa menggunakan sarung tangan, 51,4% responden
tanpa menggunakan masker saat melakukan perawatan untuk mencegah pajanan mukosa
dan mulut, 51,4% responden tidak mencuci tangan dengan sabun setelah melakukan
perawatan.
Meskipun responden yang memberikan jawaban kurang baik terhadap tindakan harus
tetap mendapat perhatian seperti membersihkan alat bekas pakai dengan menggunakan sarung
tangan biasa sangat berbahaya apabila terjadi kebocoran sehingga dapat menyebabkan
penularan penyakit, apalagi saat melakukan perawatan atau kontak dengan pasien hanya
Nana Noviana
261
menggunakan satu sarung tangan untuk lebih dari satu pasien sangat memudahkan untuk
menularkan penyakit seperti HIV/AIDS baik kepada pasien maupun petugas kesehatan, dan
setelah kontak dengan pasien tidak melakukan cuci tangan dengan benar seperti tidak
menggunakan sabun tidak membuat kuman mati hal itu dapat menularkan penyakit.
Jika dilihat dari hasil analisa bivariat dari penelitian ini, ada 5 variabel yang berhubungan
dengan tindakan perawat dalam pelaksanaan Universal Precaution untuk pencegahan HIV/
AIDS yaitu : Pengetahuan, persepsi kerentanan yang dirasa, persepsi keparahan yang dirasa,
persepsi manfaat yang dirasa dan persepsi hambatan yang dirasa. Dari teori HBM disebutkan
bahwa isyarat untuk bertindak (cues to action) sebagai keyakinan terhadap informasi dari luar
atau nasehat dari orang lain, pengalaman orang lain yang mengalami hal yang sama, berita
dari media dan sebagainya. Hal ini menguatkan keputusan untuk bertindak untuk menggerakkan
seseorang dari keinginan untuk membuat perubahan kesehatan. Sedangkan persepsi
kerentanan, persepsi keparahan, persepsi manfaat dan persepsi hambatan saling
mempengaruhi. Pada penilaian tentang ancaman yang dirasakan berdasarkan pada
kerentanan yang dirasakan dan keparahan yang diterima, asumsinya bahwa bila ancaman
yang dirasakan tersebut meningkat maka perilaku pencegahan juga meningkat. Manfaat yang
dirasakan menunjukkan keyakinan individu untuk berprilaku sedangkan hambatan yang
dirasakan mungkin bertindak sebagai penghambat untuk menjalankan prilaku yang
direkomendasikan dalam hal ini Universal Precaution. Tindakan pencegahan ini juga
dipengaruhi oleh demografi, sosiopsikologi dan pengetahuannya.
3.2 Persepsi Responden tentang Kerentanan yang Dirasa dalam Pelaksanaan
Universal Precaution untuk Pencegahan HIV/AIDS
Hasil penelitian menunjukkan bahwa responden yang melakukan tindakan Universal
Precaution kurang baik lebih banyak (58,0%) pada yang berpersepsi kerentanan yang rendah
dibandingkan yang berpersepsi kerentanan yang dirasa tinggi (35,1%). Berdasarkan hasil uji
statistik Chi Square diperoleh ñ value = 0,029 ( < 0,05 ). Hasil ini menunjukkan bahwa secara
statistik ada hubungan antara kerentanan yang dirasa tentang Universal Precaution dengan
Tindakan Perawat dalam pelaksanaan Universal Precaution untuk pencegahan HIV/AIDS.
Hasil penelitian menunjukan bahwa responden mempunyai persepsi kerentanan yang buruk
terhadap pelaksanaan Universal Precaution yaitu responden berpersepsi tidak akan terkena
HIV/AIDS walaupun tidak menggunakan sarung tangan yang sesuai (68,2%). Responden
berpersepsi tidak akan terkena HIV/AIDS walaupun tidak merawat pasien odha (67,3%).
3. 3 Persepsi Responden tentang Keparahan yang Dirasa dalam Pelaksanaan
Universal Precaution untuk Pencegahan HIV/AIDS
Hasil penelitian menunjukkan bahwa responden yang melakukan tindakan Universal
Precaution kurang baik lebih banyak (63,6%) pada yang berpersepsi keparahan rendah
dibanding dengan yang berpersepsi keparahan tinggi (33,3%). Responden yang melakukan
tindakan baik dan memiliki persepsi keparahan yang tinggi (72,4%) lebih tinggi dari responden
yang melakukan tindakan baik dan memiliki persepsi keparahan yang rendah (27,6%).
Berdasarkan hasil uji statistik Chi Square diperoleh ñ value = 0,004 (< 0,05). Hasil ini menunjukkan
Nana Noviana
262
bahwa secara statistik ada hubungan antara persepsi keparahan yang dirasa tentang Universal
Precaution dengan Tindakan Perawat dalam pelaksanaan Universal Precaution untuk
pencegahan HIV/AIDS. Hasil penelitian menunjukan bahwa responden mempunyai persepsi
keparahan yang buruk terhadap pelaksanaan Universal Precaution yaitu responden berpersepsi
HIV/AIDS adalah penyakit yang bisa disembuhkan (53,3%) , responden berpersepsi bahwa
HIV/AIDS tidak dapat ditularkan melalui percikan darah (30,8%).
3.4 Isyarat untuk Berprilaku/ Cues to Action dalam Pelaksanaan Universal
Precaution untuk Pencegahan HIV/AIDS
Hasil penelitian menunjukkan bahwa responden yang melakukan tindakan Universal
Precaution kurang baik lebih banyak (55,8%) pada yang cues to action rendah dibanding yang
cues to action tinggi (39,1%). Berdasarkan hasil uji statistic Chi Square diperoleh ñ value =
0,132 (> 0,05). Hasil ini menunjukkan bahwa secara statistic tidak ada hubungan antara
pendorong untuk berprilaku/ cues to action yang dirasa tentang Universal Precaution dengan
Tindakan Perawat dalam pelaksanaan Universal Precaution untuk pencegahan HIV/AIDS.
Jika dilihat dari variabel cues to action menunjukkan bahwa responden mempunyai persepsi
petunjuk untuk berprilaku/ cues to action yang masih buruk terhadap pelaksanaan Universal
Precaution yaitu, responden berpersepsi tidak mungkin tertular HIV/AIDS meskipun terluka saat
melakukan penjahitan luka pada pasien (55,2%), responden berpersepsi tidak mungkin tertular
HIV/AIDS hanya karena membersihkan alat medis tanpa menggunakan sarung tangan (47,7%)
, responden berpersepsi tidak perlu melakukan pencegahan agar tidak tertular HIV/AIDS bila
terluka saat melakukan pencucian alat (26,2%).
3.5 Persepsi Responden terhadap Manfaat yang Dirasa dalam Pelaksanaan
Universal Precaution untuk Pencegahan HIV/AIDS
Hasil penelitian menunjukkan bahwa responden yang melakukan tindakan Universal
Precaution kurang baik lebih banyak (66,0%) pada yang berpersepsi manfaat rendah dibanding
yang berpersepsi manfaat tinggi (25,9%). Berdasarkan hasil uji statistik Chi Square diperoleh ñ
value = 0,000 ( < 0,05 ). Hasil ini menunjukkan bahwa secara statistik ada hubungan antara
persepsi manfaat yang dirasa tentang Universal Precaution dengan Tindakan Perawat dalam
pelaksanaan Universal Precaution untuk pencegahan HIV/AIDS.
3.6 Persepsi Responden terhadap Hambatan yang dirasa dalam Pelaksanaan
Universal Precaution untuk Pencegahan HIV/AIDS di Ruang Rawat Inap
RSU.Dr.H.M.Ansari Saleh Banjarmasin.
Hasil penelitian menunjukkan responden yang melakukan tindakan Universal
Precaution kurang baik lebih banyak (66,7%) pada yang berpersepsi hambatan rendah dibanding
yang berpersepsi hambatan tinggi (32,3%). Berdasarkan hasil uji statistik Chi Square diperoleh
ñ value = 0,001 ( < 0,05 ). Hasil ini menunjukkan bahwa secara statistik ada hubungan antara
persepsi hambatan yang dirasa tentang Universal Precaution dengan Tindakan Perawat dalam
pelaksanaan Universal Precaution untuk pencegahan HIV/AIDS. Jika dilihat dari variabel dalam
penelitian menunjukan bahwa responden mempunyai persepsi hambatan yang buruk terhadap
pelaksanaan Universal Precaution yaitu responden berpersepsi bahwa peralatan yang telah
Nana Noviana
263
dipakai direndam selama 20 menit di larutan desinfektan yang seharusnya hanya 10 menit
(95,3%).
3.7 Analisis Multivariat Faktor yang Berpengaruh terhadap Tindakan Perawat
dalam Pelaksanaan Universal Precaution untuk Pencegahan HIV/AIDS di
Ruang Rawat Inap RSU dr. H. M. Ansari Saleh Banjarmasin
Dari hasil uji multivariat dapat diketahui bahwa Perawat yang mempunyai persepsi
keparahan yang dirasa tinggi berpeluang melaksanakan tindakan Universal Precaution 5,728
kali (95% CI : 2,039 – 16,091) dibandingkan perawat yang mempunyai persepsi keparahan
yang dirasa rendah. Perawat yang mempunyai persepsi manfaat yang dirasa tinggi berpeluang
melaksanakan tindakan Universal Precaution 4,246 kali (95% CI : 1,555 – 11,591) dibandingkan
perawat yang mempunyai persepsi keparahan yang dirasa rendah. Perawat yang mempunyai
persepsi hambatan yang dirasa rendah berpeluang melaksanakan tindakan Universal
Precaution 2,830 kali (95% CI : 1,004 – 7,979) dibandingkan perawat yang mempunyai persepsi
hambatan yang dirasa tinggi. Selanjutnya dapat disimpulkan bahwa variabel persepsi keparahan
yang dirasa mempunyai pengaruh yang paling signifikan terhadap tindakan perawat dalam
pelaksanaan Universal Precaution untuk pencegahan HIV/AIDS. Hal ini tentunya bila semua
faktor dapat diterapkan dengan baik dapat memaksimalkan tindakan Universal Precaution
untuk pencegahan HIV/AIDS di RSU dr. H.M. Ansari Saleh Banjarmasin. Oleh karena itu perlu
dilakukan berbagai upaya kegiatan dalam pelaksanaan Universal Precaution untuk pencegahan
HIV/AIDS sehingga dapat memaksimalkan tindakan Universal Precaution yang dapat
memberikan perlindungan yang baik bagi perawat dalam melaksanakan tugas dan fungsinya
agar terhindar dari HIV/AIDS.
Nana Noviana
264
1. Kepada pemegang kebijakan di RSU.Dr.H.M.Ansari Saleh Banjarmasin diharapkan
dapat memberikan funish dan rewards dalam pelaksanaan Universal Precaution,
hal ini sehubungan dengan rendahnya persepsi responden terhadap keyakinan
dalam melakukan tindakan Universal Precaution merupakan ancaman dalam
pelaksanaan Universal Precaution yang dapat merugikan kesehatannya.
2. Kepada instansi pendidikan bidang kesehatan hendaknya lebih menguatkan
karakter peserta didiknya untuk menjadi tenaga kesehatan dalam upaya
mengimplementasikan Universal Precaution untuk pencegahan HIV/AIDS.
3. Sehubungan masih terdapatnya anggapan yang keliru tentang manfaat dalam
melaksanakan Universal Precaution untuk pencegahan HIV/AIDS serta tindakan
perawat yang masih kurang baik dalam melaksanakan Universal Precaution maka
perlu mengupayakan penyegaran informasi melalui cara mensosialisasikan kembali
tentang Universal Precaution dengan cara meletakkan protokol Universal Precaution
ditempat yang mudah dilihat perawat.
4. Rendahnya persepsi perawat yang menganggap sulit dalam melaksanakan protokol
Universal Precaution untuk pencegahan HIV/AIDS setiap melakukan perawatan
pada semua pasien sehingga perlu meningkatkan motivasi dari partner kerja untuk
selalu melaksanakan Universal Precaution.
DAFTAR PUSTAKA
Dahlan.S.2009. Statistik untuk Kedokteran dan Kesehatan. Jakarta:Salemba Medika.
Departemen Kesehatan RI.2010. Pedoman Pelaksanaan Kewaspadaan Universal di Pelayanan
Kesehatan. In: DepKes RI, editor. Jakarta.
Direktorat Pengawasan Kesehatan Kerja.2005. Pelayanan Kesehatan dan HIV/AIDS. In: ILO/
WHO Pb, editor. Jakarta.
Dinas Kesehatan Provinsi Kalimantan Selatan.2012. Laporan HIV/AIDS Kal-Sel. Banjarmasin
[cited 2012].
Efstathiou.G PE, Rafttopoulos V, Merkouris A.2011. Factors influencing nurses compliance with
standart precautions in order to avoid occupational to microorganisms: A focus group
study. BMC Nursing.
Katowa P.Mukwato CMN, M.Maimbolwa.2009. Compliance with infection prevention guidelines
by health care workers at ronald ross general hospital mufulira district Medical Journal
of Zambia;35. KPA Kalimantan Selatan.2011. Laporan KPA.
Menteri Kesehatan RI.2002. Keputusan Menteri Kesehatan no.200.
Naveed Z Janjua1, Mahreen Razaq1†, Subhash Chandir3†, Shafquat Rozi1 and Bushra
Mahmood4.2007. Poor knowledge – predictor of non adherence to universal
precautions for blood borne pathogens at first level care facilities in Pakistan. Research
article.
Nana Noviana
265
Nejad w, greenwood.2005. Comparison Health Belief Models and Theory Planned Behaviour.
Predicted of Dieting and Fasting Behaviour.
Ogden J.1996. Health Psychology. Jakarta.
Perreault.C CJ.1999. Universal Precaution and educational training for child care providers,
Colorado Departement Of Public Health & Environtment.
Riesch.T.A.2002.The Health Belief Model and Safer Sex; Implication For Women’s Health,
Brock Univercity.
Rosenstock IM.1997. Historical origins of the Health Belief Model.In: Becker MH (ed). The
Health Belief Model and Personal Behavior. Thorofare, NJ: Charlec B Slack.
RSU.DR.H.M.Ansari Saleh Banjarmasin.2010. Laporan Tahunan. In: Kesehatan, editor.
Banjarmasin.
Samny S.2009. Universal Precaution. Journal of clinical research best practice;5 no 7.
Yayasan Spiritia.2009. Sejarah pengendalian infeksi di rumah sakit. Jakarta; Available from:
http://spiritia.or.id/cst/dok/ku1.pdf.
Nana Noviana
266
PERILAKU BERKARAKTER MELALUI PEMBELAJARAN MATRIKS
PADA PERKULIAHAN ENTOMOLOGI
St. Wahidah Arsyad dan Aulia Ajizah
Universitas Lambung Mangkurat
ABSTRAK
Pada pembelajaran mata kuliah Entomologi mahasiswa dituntut agar memahami 26 ordo
serangga yang tertera dalam SAP perkuliahan. Sementara itu mata kuliah ini hanya berbobot 2
sks, dengan lama pembelajaran 100 menit per minggu, sehingga ini kurang memadai dengan
banyaknya materi yang harus diselesaikan. Oleh karena itu pengajar berusaha mencari cara
agar pembelajaran lebih efektif. Telah dilakukan penelitian yang bertujuan untuk meningkatkan
hasil dan proses belajar mahasiswa peserta mata kuliah Entomologi tahun 2014 melalui
pembelajaran Matriks. Pembelajaran dengan strategi matriks menekankan pada ketelitian
dalam mempelajari bahan ajar dan kerja keras mencari sumber informasi terkait dengan
materi ajar, dan menuangkannya ke dalam bentuk matriks. Penelitian ini menggunakan metode
deskriptif; mahasiswa ditugaskan membuat matriks masing-masing ordo serangga. Data yang
disajikan berupa hasil belajar dan proses belajar mahasiswa. Hasil belajar diperoleh melalui
hasil tes kognitif. Adapun hasil belajar proses dikumpulkan melalui aktifitas mahasiswa pada
saat mempelajari bahan ajar, menggaris-bawahi, membuat matriks, dan berdiskusi. Dalam
proses pembelajaran melibatkan beberapa perilaku berkarakter masing-masing mahasiswa;
antara lain kerja keras, disiplin, kerjasama, kreatifitas, dan percaya diri, dan rasa ingin tahu.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa hasil tes kognitif menjadi lebih baik pada akhir
pembelajaran dengan ketuntasan 100%. Kerja keras yang ditunjukkan rata-rata 65%;
kedisiplinan umumnya mencapai 100%. Kerjasama antar mahasiswa dalam kelompok maupun
antar kelompok sudah mencapai 90%. Kreatifitas dalam membuat matriks rata-rata mencapai
60%. Kepercayaan diri tampak pada saat kelompok melakukan presentasi di depan kelas rata-
rata mencapai 60%. Keingintahuan mencapai 70%.
Kata kunci: Pembelajaran Matriks, hasil belajar kognitif, hasil belajar proses, perilaku berkarakter,
kerja keras, disiplin, kerjasama, kreatifitas, percaya diri
I. PENDAHULUAN
Mata kuliah Entomologi pada Program Studi Pendidikan Biologi merupakan mata
kuliah pilihan dengan 2 sks, disajikan pada semester IV. Meskipun mata kuliah pilihan, namun
selama ini peminatnya selalu banyak, berkisar antara 60-100 orang. Kompetensi yang harus
dicapai oleh mahasiswa adalah memahami morfologi, anatomi, fisiologi, klasifikasi
serangga, dan hubungannya dengan manusia. Buku acuan yang dipakai adalah Entomologi
IV. SIMPULAN
Penelitian ini telah berhasil melatihkan perilaku berkarakter seperti disiplin,kerja keras,
kreatifitas, mandiri/ percaya diri, kerjasama dan rasa ingin tahu, serta berhasil mendorong hasil
belajar mahasiswa menjadi lebih baik, melalui implementasi pembelajaran matriks pada
matakuliah Entomologi. Namun beberapa kendala masih dijumpai pada pembelajaran tersebut,
seperti kekurangsiapan dan kekurangpahaman kelompok yang berpresentasi, keterbatasan
sarana dan prasarana penunjang pembelajaran.
DAFTAR PUSTAKA
Amir, M. Taufiq. 2010. Inovasi Pendidikan Melalui Problem Beased Learning: Bagaimana
Pendidikan Memberdayakan Pembelajaran di Era Pengetahuan. Jakarta: Kencana
Perdana Media Group.
Arikunto, Suharsimi. 2011. Penelitian Tindakan Untuk Kepala Sekolah dan Pengawas. Yogyakarta:
Adiyta Media.
Arsyad, St. Wahidah. 2007. Keefektifan Penggunaan Media Leaflet dengan Pola M2E (Mapping,
Matriks, Elaboration) dalam Mengatasi Kesalahan Konsep Biologi dan Meningkatkan
Retensi Siswa SMP 24 Banjarmasin.
Barkley, Elizabert E., K. Patricia Cross, Claire Howell Major. 2012. Collabotative Learning
Techniques: Teknik-Teknik Pembelajaran. Bandung: Nusa Media.
Hamalik, Oemar. 2013. Prose Belajar Mengajar. Jakarta: Bumi Aksara.
Hunafa, Inayah T, 2014. “Meningkatkan Akitivitas dan Hasil Belajar Siswa kelas XI IPA 2 SMA
PGRI 6 Banjarmasin pada Konsep Struktur dan Fungsi Jaringan Tumbuhan melalui
Strategi Mapping dan Elaboration tahun pelajaran 2013/2014”. Skripsi, FKIP Unlam
Banjarmasin, tidak dipublikasikan.
Nur, Mohamad. 2011. Strategi-Strategi Belajar. Surabaya: UNESA.
Mulyasa, H. E. 2011. Praktik Penelitian Tindakan Kelas Menciptakan Perbaikan
Berkesinambungan. Bandung: PT Remaja Rosdakarya.
Mundilarto. 2014. Membangun Karakter melalui Pembelajaran Sains. FMIPA Universitas Negeri
Yogyakarta.
ABSTRAK
Cooperative learning merupakan pembelajaran yang beraksentuasi pada arti penting proses
sosial asosiatif untuk mencapai tujuan belajar yang diharapkan. Cooperative learning sebagai
model pembelajaran berpengaruh terhadap aspek psiko-sosial siswa. Domain psiko-sosial
adalah kesadaran saling ketergantungan secara positif atau interdependensi sosial. Dalam
kondisi saling ketergantungan terjadi interaksi promotif dan group processing. Interaksi promotif
dan pemerosesan kelompok mendorong siswa melakukan regulasi diri, penilaian diri dan
antarteman sejawat. Kedua penilaian menumbuhkan motivasi siswa. Derajat motivasi siswa
berdampak pada efikasi diri atau keyakinan diri siswa mampu memecahkan masalah.
Kata kunci: Pembelajaran Kooperatif, Efikasi Diri
I. PENDAHULUAN
Huberman (Sa’ud, 2008: 4) mengemukakan “innovation is… the creative selection,
organization and utilization of human and material resources in new and unique ways which will
result in the attainment of a higher level of achievement for the defined goals and objectives”.
Inovasi adalah pilihan kreatif, pengorganisasian dan pemanfaatan sumber daya manusia, serta
materi dengan cara-cara baru dan unik untuk mencapai keberhasilan lebih tinggi berdasarkan
tujuan yang ditetapkan. Beberapa atribut penting inovasi adalah:
1. Pilihan kreatif.
2. Pengorganisasian dan pemanfaatan sumber daya manusia serta materi dengan
cara-cara baru dan unik.
3. Menghasilkan pencapaian keberhasilan pada tingkat yang lebih tinggi untuk tujuan
yang ditetapkan.
Pilihan kreatif pada pembelajaran IPS muncul dari kondisi pembelajaran IPS saat ini.
Berbagai kritik ditujukan kepada pembelajaran IPS. Dengan pendekatan ekspositori
pembelajaran IPS didominasi hafalan dengan banyak menekankan chalk and talk.
Pembelajaran IPS menekankan memorisasi dan mengabaikan kemampuan intelektual yang
lebih tinggi. Pada kajian Masalah Pendekatan Ekspositori dan Inkuiri dalam Mewujudkan Tujuan
Ilmu-Ilmu Sosial di Sekolah Menengah Atas, Somantri (2001: 39) mengemukakan ... Pendekatan
Agus Suprijono
281
ekspositori sangat menguasai keseluruhan proses belajar mengajar. Tingkat pengetahuan
sebagian besar siswa berada dalam kelompok peringkat 1 (fakta) dan peringkat 2 (konsep)
tidak memungkinkan siswa belajar aktif suatu pengalaman yang sangat diperlukan untuk
membiasakan dalam proses berpikir, bersikap dan bertindak sebagai anggota masyarakat
yang baik.
Realitas pembelajaran IPS di sekolah menunjukkan bahwa pengembangan
kompetensi pengetahuan adalah hal utama. Sementara kompetensi sikap dan keterampilan
belum mendapatkan perhatian yang optimum. Seharusnya pembelajaran IPS tidak hanya
bertujuan mengembangkan kompetensi pengetahuan, namun pembelajaran IPS juga
bertanggung-jawab pada pengembangan sikap dan keterampilan sebab tujuan pembelajaran
IPS adalah: (1) mengenal konsep-konsep yang berkaitan dengan kehidupan masyarakat dan
lingkungannya; (2) memiliki kemampuan dasar untuk berpikir logis dan kritis, rasa ingin tahu,
inkuiri, memecahkan masalah, dan keterampilan dalam kehidupan sosial; (3) memiliki
komitmen dan kesadaran terhadap nilai-nilai sosial dan kemanusiaan; (4) memiliki kemampuan
berkomunikasi, bekerjasama dan berkompetisi dalam masyarakat yang majemuk, di tingkat
lokal, nasional, dan global (Depdiknas, 2006).
Pilihan kreatif inovasi pembelajaran IPS adalah pengembangan keterampilan sosial.
Pilihan ini merupakan gagasan untuk keluar dari pemahaman sempit tentang intelegensi.
Banyak orang cukup lama percaya jika seseorang mempunyai IQ tinggi maka orang tersebut
akan sukses hidupnya. Pengukuran IQ sejak lama menjadi salah satu ukuran terpenting untuk
menentukan kemungkinan sukses seseorang. Kenyataannya kini bisa dilihat orang ber-IQ
tinggi belum tentu sukses dan hidup bahagia. IQ hanya menyumbang 20 % kesuksesan hidup,
selebihnya faktor lain. Tradisi pemikiran intelegensi yang berkembang selama ini berdampak
pada pembelajaran IPS. Matapelajaran IPS dibelajarkan layaknya matapelajaran IPA yakni
pembelajaran berfokus pada pengembangan matematis-logis.
Menurut Gardner (Suparno, 2004: 17) intelegensi adalah “kemampuan untuk
memecahkan persoalan, menghasilkan produk dalam suatu setting (latar) bermacam-macam,
dan situasi nyata. Termasuk dalam intelegensi itu adalah intelegensi intrapersonal dan
intelegensi interpersonal”. Intelegensi intrapersonal adalah kemampuan yang berkaitan dengan
pengetahuan akan diri sendiri dan kemampuan untuk bertindak secara adaptif berdasarkan
pengenalan diri. Intelegensi interpersonal adalah kemampuan untuk mengerti dan menjadi
peka terhadap perasaan, intensi, motivasi, watak, temperamen orang lain.
Termasuk dalam kemampuan intrapersonal adalah efikasi diri (self-efficacy). Tergolong
kemampuan interpersonal adalah keterampilan sosial. Kedua kemampuan itu berkaitan dengan
aspek kehidupan siswa secara emotif, psikis, dan sosial. Jika mata pelajaran IPS hanya
dibelajarkan dengan pendekatan ekspositori, maka kecakapan intrapersonal dan interpersonal
siswa tidak dapat berkembang optimum. Pembelajaran kooperatif sebagai pembelajaran sosial
yang menekankan belajar melalui proses interaksi sosial dan interdepensi sosial serta
melibatkan regulasi diri dan kognitif menjadi pilihan kreatif untuk memecahkan masalah
tersebut.
Agus Suprijono
282
Pembelajaran kooperatif merupakan pembelajaran berpusat pada siswa. Siswa adalah
subjek pembelajaran. Melalui pembelajaran kooperatif siswa terlibat secara aktif, dinamis,
dan mengkonstruksi pengetahuan dari tugas-tugas inkuiri yang diberikan kepada kelompok-
kelompok. Proses-proses sosial, regulasi kognitif, dan diri yang dialami siswa dalam
kelompoknya merupakan pengembangan efikasi diri dan keterampilan sosial.
Pembelajaran kooperatif berbeda dengan pembelajaran ekspositori. Pencapaian
keberhasilan belajar IPS dengan ekspositori cenderung kepada penguasaan fakta dan konsep
yang diukur melalui teknik tes. Bentuk tes yang umum digunakan adalah pilihan ganda dan
uraian. Tidak demikian halnya dengan pembelajaran kooperatif. Hasil belajar yang dicapainya
meliputi pengembangan akademis, sosial, dan psikologis oleh sebab itu penilaiannya meliputi
aspek belajar yang lebih luas dibandingkan dengan penilaian pembelajaran ekspositori.
Penilaian pembelajaran kooperatif dilakukan dengan teknik tes dan non tes. Teknik tes
mengukur pencapaian academic standard dan teknik non tes digunakan mengukur pencapaian
performance standard. Teknik non tes yang dikembangkan berupa penilaian kinerja, penilaian
kooperatif, dan penilaian efikasi diri. Dengan berbagai aspek belajar yang dikembangkan serta
keberagaman penilaian maka pembelajaran kooperatif dapat menghasilkan pencapaian
keberhasilan belajar lebih tinggi yakni tidak hanya pencapaian kecakapan pengetahuan dan
intelektual, tetapi keterampilan sosial dan kecakapan efikasi diri juga. Permasalahannya,
bagaimana rasionalitas pembelajaran kooperatif pada proses belajar mengajar IPS bisa untuk
mengembangkan efikasi diri siswa? Tujuannya adalah menemukan proposisi sebagai landasan
berpikir mengimplementasikan pembelajaran kooperatif pada mata pelajaran IPS. Manfaatnya
adalah mendapatkan pijakan rasional mengimplementasikan pembelajaran kooperatif.
II. PEMBAHASAN
2.1 Pembelajaran Kooperatif
Pembelajaran kooperatif merupakan bentuk learning community. Pijakan akademik
pembelajaran ini adalah pemikiran Vygotsky. Menurut Vygotsky (Suparno, 1997: 45) belajar adalah
perkembangan pengertian yang dibangun melalui hubungan dialektik antara individu dan
masyarakat. ”Pembelajaran berbasis sosial ini ada yang menyebutnya sebagai pembelajaran
kolaboratif. Panitz (Sagala, 2003: 34) membedakan antara pembelajaran kooperatif dan kolaboratif:
“Pembelajaran kolaboratif didefinisikan sebagai falsafah mengenai tanggung jawab pribadi dan
sikap menghormati sesama. Pembelajaran kooperatif adalah konsep yang lebih luas meliputi
semua jenis kerja kelompok termasuk bentuk-bentuk yang lebih dipimpin oleh guru atau diarahkan
oleh guru. Secara umum pembelajaran kooperatif dianggap lebih diarahkan oleh guru, dimana
guru menetapkan tugas dan pertanyaan-pertanyaan serta menyediakan bahan-bahan dan
informasi yang dirancang untuk membantu peserta didik menyelesaikan masalah yang dimaksud.”
Pandangan dikotomi tersebut di atas dianggap sebagai pernyataan berlebihan. Sebab,
praktiknya antara pembelajaran kolaboratif dan kooperatif adalah dua hal yang kontinum. Kata
“kooperatif” memiliki makna lebih luas yaitu menggambarkan keseluruhan proses sosial dalam
belajar dan mencakup pula pengertian kolaboratif.
Agus Suprijono
283
Cooperative learning atau pembelajaran kooperatif menurut Slavin (1985) adalah
“…as a structured, systematic instructional technique in which small groups work together to
achieve a common goal. Johnson, Johnson, dan Holubec (1990) berpendapat pembelajaran
kooperatif dikembangkan untuk “…to teach specific content, ensure active cognitive processing
of information during a lecture, and provide long-term support for academic progress”.
Pembelajaran kooperatif merupakan strategi pembelajaran membantu siswa
berinteraksi dengan orang lain secara bersama-sama. Tujuannya adalah agar siswa mencapai
tujuan pembelajaran, menghasilkan produk, dan mengembangkannya dalam berbagai situasi.
Sebagaimana pembelajaran kooperatif yang didefinisikan oleh Kagan (1989) “…an excellent
definition of cooperative learning by looking at general structures which can be applied to any
situation, …on the creation, analysis and systematic application of structures, or content-free
ways of organizing social interaction in the classroom.”
Terdapat lima unsur dasar pada pembelajaran kooperatif. Kelima unsur itu menurut
Johnson, Johnson, dan Smith (1991: 22) adalah “Positive Interdepende, Face-to-Face
Interaction, Individual Accountability, Social Skills, Group Processing”. Unsur pertama
pembelajaran kooperatif adalah saling ketergantungan positif. Unsur ini menunjukkan bahwa
dalam pembelajaran kooperatif ada dua pertanggungjawaban kelompok. Pertama, mempelajari
bahan yang ditugaskan kepada kelompok. Kedua, menjamin semua anggota kelompok secara
individu mempelajari bahan yang ditugaskan tersebut. Unsur kedua pembelajaran kooperatif
adalah tanggung jawab individual. Pertanggungjawaban ini muncul jika dilakukan pengukuran
terhadap keberhasilan kelompok. Unsur ketiga pembelajaran kooperatif adalah interaksi
promotif. Unsur ini penting karena dapat menghasilkan saling ketergantungan positif. Ciri-ciri
interaksi promotif menurut Suderajat (2004: 115) sebagai berikut: (1) Saling membantu secara
efektif dan efisien; (2) Saling memberi informasi dan sarana yang diperlukan; (3) Memproses
informasi bersama secara lebih efektif dan efisien; (4) Saling mengingatkan; (5) Saling
membantu dalam merumuskan dan mengembangkan argumentasi serta meningkatkan
kemampuan wawasan terhadap masalah yang dihadapi; (5) Saling percaya; (6) Saling
memotivasi untuk memperoleh keberhasilan bersama.
Unsur keempat pembelajaran kooperatif adalah keterampilan sosial. Untuk
mengkoordinasikan kegiatan siswa dalam pencapaian tujuan siswa harus saling mengenal dan
mempercayai; mampu berkomunikasi secara akurat dan tidak ambisius; saling menerima dan
saling mendukung; mampu menyelesaikan konflik secara konstruktif. Unsur kelima pembelajaran
kooperatif adalah pemrosesan kelompok. Pemerosesan mengandung arti menilai.
Tulisan David W. Johnson, Roger T. Johnson and Karl A. Smith berjudul Cooperative
Learning Return to College yang dipublikasikan dalam majalah Change (July-August 1998)
menyatakan bahwa pembelajaran kooperatif berakar secara akademik pada “(1) Social
interdependence theory; (2) Cognitive-developmental theory; (3) The behavioral learning theory.”
Teori interdependensi sosial mengasumsikan bahwa upaya kooperatif didasarkan pada motivasi
intrinsik yang dihasilkan oleh faktor-faktor interpersonal dan aspirasi bersama untuk mencapai
tujuan yang signifikan. Teori interdependensi sosial berfokus pada konsep-konsep relasional
yang berhubungan dengan apa yang terjadi antara individu-individu sedangkan perspektif
Agus Suprijono
284
perkembangan kognitif-berfokus pada apa yang terjadi dalam satu orang (misalnya,
ketidakseimbangan kognitif, reorganisasi). Teori belajar perilaku mengasumsikan bahwa usaha
kooperatif yang didukung oleh motivasi ekstrinsik untuk mencapai manfaat.
Belajar menurut Surya (2004: 7) adalah proses yang dilakukan oleh individu untuk
mendapatkan perubahan perilaku sebagai hasil pengalamannya berinteraksi dengan
lingkungan. Siswa mempelajari IPS berarti siswa terlibat dalam dinamika pemikiran, emotif,
dan intuitif mengenai lingkungan, orang lain, dan diri sendiri. Pembelajaran IPS
mengembangkan efikasi diri siswa.
2.2 Efikasi Diri
Efikasi diri mendorong seseorang memahami secara mendalam atas situasi yang
dapat menerangkan tentang mengapa seseorang ada yang mengalami kegagalan dan atau
yang berhasil. Dari pengalaman itu, seseorang akan mampu mengungkapkan efikasi diri.
Efikasi diri merupakan panduan untuk tindakan yang telah dikonstruksikan dalam perjalanan
pengalaman interaksi sepanjang hidup individu. Efikasi diri yang berasal dari pengalaman
akan digunakan untuk memprediksi perilaku orang lain dan memandu perilakunya sendiri.
Crick & Dodge (Kurniawan, 2004 : 6) menjelaskan efikasi diri sebagai berikut:
“Efikasi diri adalah representasi mental individu atas realitas, terbentuk oleh
pengalaman-pengalaman masa lalu dan masa kini, dan disimpan dalam memori
jangka panjang. Skema-skema spesifik, keyakinan-keyakinan, ekspektasi-ekspektasi
yang terintregrasi dalam sistem keyakinan akan mempengaruhi intrepretasi individu
terhadap situasi spesifik. Proses intrepretasi individu terhadap situasi spesifik ini pada
gilirannya diprediksi akan mempengaruhi perilaku seseorang.”
Menurut Ratna (2008) “efikasi diri merupakan cara pandang seseorang terhadap
kualitas dirinya sendiri, baik atau buruk, dan keyakinan diri tersebut dapat dibangun sesuai
karakteristik seseorang dan bersifat khusus”. Cara pandang individu dalam usaha memunculkan
keyakinan dalam diri dapat dipengaruhi oleh kepercayaan yang ada pada diri individu. Keyakinan
itu merupakan sebuah media tunggal yang memungkinkan bangkitnya kekuatan dari sumber
energi tanpa batas di dalam diri, dan mengendalikannya untuk dimanfaatkan demi kebaikan
manusia itu sendiri.
Efikasi diri merupakan himpunan kepercayaan atau bagaimana kita melihat diri kita
sendiri. Efikasi diri dipengaruhi oleh motivasi, sikap, dan tingkah laku seseorang. Menurut
Wicaksono (2008) efikasi diri adalah “sebuah unsur yang bisa mengubah getaran pemikiran
biasa; dari pikiran yang terbatas, menjadi suatu bentuk padanan yang masuk ke dalam koridor
spiritual; dan merupakan dasar dari semua “mukjizat”, serta misteri yang tidak bisa dianalisis
dengan cara-cara ilmu pengetahuan”.
Spears dan Jordon (Ferdyawati, 2007: 7) berpendapat efikasi diri adalah “keyakinan
seseorang bahwa dirinya akan mampu melaksanakan tingkah laku yang dibutuhkan dalam
suatu tugas. Pikiran individu terhadap efikasi diri menentukan seberapa besar usaha yang
akan dicurahkan dan seberapa lama individu akan tetap bertahan dalam menghadapi hambatan
atau pengalaman yang tidak menyenangkan.” Schunck (2006: 12) berpendapat bahwa “efikasi
Agus Suprijono
285
diri adalah penilaian mengenai sebaik apa individu dapat mengorganisasikan dan melakukan
serangkaian tingkah laku yang diperlukan dalam situasi yang abigius, tidak terduga dan
mengandung tekanan. Efikasi diri dapat didefinisikan sebagai kepercayaan diri yang dimiliki
seseorang agar dapat mengorganisasikan dan melakukan tindakan untuk mengatasi masalah
dan menyikapi perubahan dengan baik.
Berangkat dari berbagai definisi efikasi diri maka seseorang dengan efikasi diri dapat
mengarahkan tindakan-tindakan bukan hanya kepada orang lain tetapi juga dengan lingkungan
yang lebih luas. Efikasi diri memiliki fungsi adaptif yang memungkinkan individu memenuhi
persyaratan-persyaratan sosiokultural dan tuntutan kognitif. Efikasi diri memungkinkan individu
dapat mengorganisasikan dunianya dalam cara-cara yang konsisten secara psikologis,
melakukan prediksi, menemukan kesamaan, dan menghubungkan pengalaman-pengalaman
baru dengan pengalaman-pengalaman masa lalu, bahkan memunculkan kekuatan pikiran
yang dapat dibawa hingga kedalam alam bawah sadarnya. Efikasi diri diyakini dapat
mempengaruhi manusia untuk merasa, berpikir, dan memotivasi dirinya sendiri untuk bertindak.
Seseorang yang memiliki efikasi diri dapat menyelesaikan masalah dan merasa tertantang
untuk menyelesaikan masalah tersebut, mereka juga selalu berusaha untuk meraih kesuksesan
dan berkomitmen untuk mewujudkannya. Efikasi diri mempengaruhi tingkat ketahanan
seseorang terhadap tugas, pilihan terhadap tugasnya, dan peniruan perilaku.
2.3 Keterkaitan antara Pembelajaran Kooperatif dan Efikasi Diri
Cooperative learning merupakan pembelajaran yang beraksentuasi pada arti penting
proses sosial asosiatif dalam belajar untuk mencapai tujuan belajar yang diharapkan.
Cooperative learning merupakan proses belajar dalam kelompok-kelompok kecil yang
bekerjasama sebagai satu tim untuk memecahkan masalah. Unsur-unsur penting dalam
cooperative learning adalah (1) anggota kelompok harus merasakan sebagai bagian yang
tidak terpisah dari anggota yang lain; (2) anggota kelompok menyadari bahwa mereka memiliki
satu tujuan yang sama; (3) anggota kelompok menyadari bahwa masalah yang dihadapi adalah
masalah mereka bersama yang harus dipecahkan; (4) keberhasilan maupun kegagalan
merupakan hasil yang harus diterima sebagai hasil kerja tim bukan individual; (5) semua
anggota kolompok harus berbicara satu sama lain dan terlibat dalam diskusi untuk memecahkan
masalah.
Cooperative learning menekankan arti penting interaksi sosial dalam suatu kelompok
untuk mengkonstruksi suatu pengetahuan. Cooperative learning dapat meningkatkan
pemahaman siswa tentang isi materi IPS, memahami konsep-konsep serta mendorong siswa
aktif, partisipatif, dan konstruktif terlibat dalam proses pembelajaran. Melalui cooperative learning
siswa memperoleh kesempatan memunculkan pertanyaan, mendiskusikan tugas-tugas mereka
dan menyatakan opini mereka. Cooperative learning dapat mengintegrasikan berbagai gagasan
dan saling menguji berbagai konsep.
Cooperative learning adalah strategi pembelajaran untuk mengembangkan
keterampilan interpersonal sebagai keterampilan yang dibutuhkan siswa untuk berkomunikasi,
berpartisipasi, dan berefleksi di lingkungannya. Cooperative learning dirancang untuk
Agus Suprijono
286
melibatkan interaksi kelas sehingga dapat membantu siswa memperoleh keterampilan yang
dibutuhkan serta mampu menerapkan isi pengetahuan yang dipelajari dalam kehidupannya.
Pembelajaran kooperatif sebagai pembelajaran yang terjadi dalam lingkungan sosial
beraksentuasi pada interaksi sosial. Pembelajaran kooperatif menuntut kerjasama dan
interdependensi siswa dalam struktur tugas, struktur tujuan, dan struktur reward-nya. Dalam
perspektif sosiologis menurut (Soekanto, 2009: 57) berlangsungnya interdependensi sosial
didasarkan pada pelbagai faktor antara lain faktor imitasi, sugesti, identifikasi dan simpati.
Faktor imitasi mempunyai peranan penting yaitu imitasi dapat mendorong seseorang
mematuhi kaidah-kaidah dan nilai-nilai yang berlaku. Faktor sugesti berlangsung apabila
seseorang memberi pandangan sikap yang berasal dari dirinya yang kemungkinan diterima
oleh pihak lain. Proses ini sebenarnya hampir sama dengan imitasi, tetapi titik tolaknya berbeda.
Berlangsungnya sugesti terjadi karena pihak yang menerima dilanda oleh emosi, yang
menghambat daya berpikirnya secara rasional. Faktor identifikasi merupakan kecenderungan
dalam diri seseorang untuk menjadi sama dengan pihak lain. Identifikasi sifatnya lebih mendalam
daripada imitasi karena kepribadian seseorang dapat terbentuk atas dasar proses ini. Proses
identifikasi dapat terjadi dengan sendirinya maupun dengan disengaja karena seringkali
seseorang memerlukan tipe-tipe ideal tertentu di dalam proses kehidupannya. Walaupun dapat
berlangsung dengan sendirinya proses identifikasi berlangsung dalam suatu keadaan dimana
seseorang yang beridentifikasi benar-benar mengenal pihak lain sehingga pandangan sikap
maupun kaidah-kadiah yang berlaku pada pihak lain tadi dapat melembaga bahkan menjiwainya.
Berlangsungnya identifkasi mengakibatkan terjadinya pengaruh yang lebih mendalam daripada
proses imitasi dan sugesti walaupun ada kemungkinan bahwa pada mulanya proses identifkasi
diawali oleh imitasi dan atau sugesti. Faktor simpati sebenarnya merupakan proses dimana
seseorang tertarik pada pihak lain. Dalam proses ini perasaan memegang peranan yang sangat
penting walaupun dorongan utama pada simpati adalah keinginan untuk memahami pihak
lain dan bekerjasama dengannya.
Pembelajaran adalah proses yang dilakukan oleh individu untuk memperoleh suatu
perubahan perilaku yang baru secara keseluruhan sebagai hasil dari pengalaman individu itu
sendiri dalam interaksi dengan lingkungannya (Surya, 2004: 7). Ketika peserta didik terlibat
dalam pembelajaran kooperatif maka perubahan perilaku dalam sistem Bandura adalah
perubahan ekspektasi efikasi atau efikasi diri. Dengan kata lain, hasil pembelajaran yang terjadi
dalam lingkungan sosial (pembelajaran kooperatif) merupakan perubahan efikasi diri.
Efikasi diri adalah pertimbangan subyektif individu terhadap kemampuannya untuk
menyusun tindakan yang dibutuhkan dalam rangka menyelesaikan tugas-tugas khusus yang
dihadapi. Efikasi diri merupakan keyakinan individu bahwa ia mampu melakukan tindakan
spesifik yang diperlukan untuk menghasilkan outcome yang diinginkan dalam suatu situasi.
Efikasi diri merefleksikan keyakinan individu bahwa tindakan yang dilakukannya dapat
diselesaikan dengan baik.
Efikasi diri sebagai hasil belajar dari lingkungan sosial merupakan hasil dari proses
saling mempengaruhi antara pribadi, lingkungan, dan tingkah laku. Efikasi diri merupakan
Agus Suprijono
287
determinis resiprokal antara determinan kognitif, behavioral, dan lingkungan. Pribadi atau orang
menentukan/mempengaruhi tingkah lakunya dengan mengontrol kekuatan lingkungan, tetapi
orang juga dikontrol oleh kekuatan lingkungan itu. Konsep Bandura menempatkan manusia
sebagai pribadi yang dapat mengatur diri sendiri, mempengaruhi tingkah laku dengan cara
mengatur lingkungan, menciptakan dukungan kognitif, mengadakan konsekuensi bagi tingkah
lakunya sendiri. Dengan kata lain efikasi diri bukan terjadi secara mekanis. Efikasi diri bukan
suatu respons secara mekanis terhadap stimulus sebagaimana pandangan kaum behavioristik
melainkan dinamika proses kognitif dalam individu yang memegang peranan penting dalam
pembelajaran.
Dalam pembelajaran kooperatif yang dicirikan interdependensi sosial setiap individu
melakukan regulasi diri. Faktor-faktor internal dalam regulasi diri antara lain adalah observasi
diri. Observasi ini dilakukan berdasarkan faktor kualitas penampilan, kuantitas penampilan,
orisinalitas tingkah laku diri, dan seterusnya. Orang harus memonitor performansinya, walaupun
tidak sempurna karena orang cenderung memilih beberapa aspek dari tingkah lakunya dan
mengabaikan tingkah laku lainnya. Apa yang diobservasi seseorang tergantung kepada minat
dan konsep dirinya.
Selain melakukan observasi diri dalam pembelajaran kooperatif setiap individu
melakukan proses penilaian atau mengadili tingkah laku. Ini merupakan faktor internal kedua
dalam regulasi diri. Proses penilaian melihat kesesuaian tingkah laku dengan standar pribadi,
membandingkan tingkah laku dengan norma standar atau dengan tingkah laku orang lain,
menilai berdasarkan pentingnya suatu aktivitas dan memberi atribusi performansi.
Standar pribadi bersumber dari pengalaman mengamati orang-orang dalam satu
kelompok sebagai modelnya dan menginterpretasi balikan atau penguatan dari performansi
diri. Berdasarkan sumber model dan performansi yang mendapat penguatan, proses kognitif
menyusun ukuran-ukuran atau norma yang sifatnya sangat pribadi, karena ukuran itu tidak
selalu sinkron dengan kenyataan. Standar pribadi ini jumlahnya terbatas. Sebagian besar aktivitas
harus dinilai dengan membandingkannya dengan ukuran eksternal, bisa berupa norma standar,
perbandingan sosial, perbandingan dengan orang lain atau perbandingan kolektif. Orang juga
menilai suatu aktivitas berdasarkan arti penting dari aktivitas bagi dirinya. Akhirnya, orang juga
menilai seberapa besar dirinya menjadi penyebab dari suatu performansi, apakah kepada diri
sendiri dapat dikenai atribusi atau penyebab tercapainya performansi, yang baik atau sebaliknya
justru dikenai atribusi terjadinya kegagalan dan performansi yang buruk.
Berdasarkan pengamatan diri dan judgment-nya orang mengevaluasi diri sendiri positif
atau negatif dan kemudian menghadiahi atau menghukum diri sendiri. Dengan kata lain orang
melakukan self response. Bisa terjadi tidak muncul reaksi afektif karena fungsi kognitif membuat
keseimbangan yang mempengaruhi evaluasi positif atau negatif menjadi kurang bermakna
secara individual.
Selain faktor-faktor internal dalam regulasi diri tersebut di atas ada juga faktor-faktor
eksternal yang mempengaruhi regulasi diri. Faktor eksternal mempengaruhi regulasi diri
dengan dua cara yaitu faktor eksternal memberi standar untuk mengevaluasi tingkah laku.
Agus Suprijono
288
Faktor lingkungan berinteraksi dengan pengaruh-pengaruh pribadi, membentuk standar evaluasi
diri seseorang. Melalui guru dan anggota kelompok individu-individu belajar baik buruk, tingkah
laku yang dikehendaki dan tidak dikehendaki. Melalui pengalaman berinteraksi dengan
lingkungan yang lebih luas individu-individu kemudian mengembangkan standar yang dapat
dipakai untuk menilai prestasi diri.
Cara kedua faktor eksternal mempengaruhi regulasi diri dalam bentuk penguatan.
Hadiah intrinsik tidak selalu memberi kepuasan, orang membutuhkan insentif yang berasal
dari lingkungan eksternal. Standar tingkah laku dan penguatan biasanya bekerjasama; ketika
orang dapat mencapai standar tingkah laku tertentu, perlu penguatan agar tingkah laku
semacam itu menjadi pilihan untuk dilakukan lagi.
Secara singkat tabel di bawah ini menyajikan proses regulasi diri yang dipaparkan
tersebut di atas.
Tabel 1
Hubungan Lingkungan Sosial dan Regulasi Diri
F ak t o r E k s te rn a l F a k to r In t e rn al
S e lf-O b s erv a tio n J u d g m en ta l Se lf-R e sp o n s e
P ro c es s
St a n d a r D im en si St an d a r p rib ad i: R e a ks i e va lu a si
lin g ku n g a n s o sia l P erf o rm a n s i: -su m be r m od e l d iri:
(k elo m p o k , -ku alitas -sum b er p e n gu a t -po sitif
ko m u n ita s , -ke se rin g an P edom an -n e g atif
m a sy a rak a t) -d am p ak p e rfo rm a n s i: D a m p ak te rh a d a p
-Pe n gu a tan -pe n yim pa n ga n -n o rm a s ta n da r se lf:
-e tika -pe rba n din g a n so sia l -D ih a diah i
-p e rb an d in ga n -D ih u ku m
p e rso n al T an p a re s p o n s e lf
M en g h a rg a i
ak tiv ita s :
-s a n g a t d ih o rm at i
-n et ral
-d iren d a hka n
A trib u s i
p e rf o rm a n s i:
-L ok us p riba d i
-Lo ku s ek ste rna l
-
Menurut Slavin (1985) dan Kagan (1989) pembelajaran kooperatif bukan sekedar
bekerja bersama-sama, “cooperative learning is more than “working together”. It has been
described as “structuring positive interdependence. Sistem pembelajaran kooperatif merupakan
sistem pembelajaran yang memberi kesempatan kepada siswa untuk bekerjasama dengan
sesamanya dalam tugas-tugas yang terstruktur. Pembelajaran kooperatif dikenal dengan
pembelajaran secara berkelompok. Tetapi belajar kooperatif lebih dari sekedar belajar kelompok
atau kerja kelompok biasa karena dalam belajar kooperatif ada struktur dorongan atau tugas
yang bersifat kooperatif sehingga memungkinkan terjadinya interaksi secara terbuka dan
Agus Suprijono
289
hubungan yang bersifat interdepedensi efektif di antara anggota kelompok (Sugandi, 2002:
14). Hubungan kerja seperti itu memungkinkan timbulnya persepsi yang positif tentang apa
yang dapat dilakukan siswa untuk mencapai keberhasilan belajar berdasarkan kemampuan
dirinya secara individu dan andil dari anggota kelompok lain selama belajar bersama dalam
kelompok. Hubungan kerja seperti ini memberikan ruang bagi siswa saling menilai
kemampuannya masing-masing.
Pembagian tugas terstruktur yang harus dipikul oleh individu dan dukungan sosial
untuk menyelesaikan tugas tersebut dalam pembelajaran kooperatif merupakan hal terpenting
bagi pengembangan efikasi diri. Beban tugas mendorong individu untuk melakukan penilaian
diri atas kemampuannya menyelesaikan tugas dan melakukan proses judgment dengan
mengadakan perbandingan kemampuan yang dimiliki dirinya dengan kemampuan orang lain
(anggota kelompok lainnya). Hal ini merupakan pengembangan aspek dari efikasi diri yang
disebut sebagai magnitude.
Aspek magnitude berkaitan dengan kesulitan tugas. Apabila tugas-tugas yang
dibebankan pada individu disusun menurut tingkat kesulitannya, maka perbedaan efikasi diri
secara individual mungkin terbatas pada tugas-tugas yang sederhana, menengah atau tinggi.
Individu akan melakukan tindakan yang dirasakan mampu untuk dilaksanakannya dan akan
melakukan tindakan terhadap tugas-tugas yang diperkirakan di luar batas kemampuan yang
dimilikinya. Individu dengan efikasi diri rendah dalam mengerjakan tugas tertentu akan
cenderung menghindari tugas tertentu. Individu yang merasa sulit untuk memotivasi diri akan
mengurangi usahanya atau menyerah pada permulaan rintangan. Individu juga mempunyai
aspirasi dan komitmen lemah untuk tujuan hidup yang akan dipilih. Dalam memandang situasi
individu cenderung lebih memperhatikan kekurangannya, tugas yang berat dan akibat yang
tidak baik atau kegagalan.
Pembelajaran kooperatif menyediakan pembagian tugas dan tanggung jawab pada
semua siswa, menciptakan saling ketergantungan, dan mendorong kerjasama melalui
ketergantungan pada dialog. Tugas dan tanggung jawab yang dipikul oleh setiap individu
dalam kelompok dan terkait dengan sifat tugas yang berinterdependensi menuntut individu
dapat memenuhi dan menyesuaikan diri dengan berbagai tuntutan yang ada di lingkungan
sosial (kelompok). Ketidakmampuan untuk memenuhi harapan dan tuntutan di dalam kelompok
dapat mengakibatkan kecemasan. Hal ini karena ketidakseimbangan tuntutan kerja dengan
sumber daya atau kemampuan yang dimiliki individu untuk memenuhinya.
Sebagai upaya mengatasi kecemasan itu maka individu harus memiliki karakter
kepribadian yang sekiranya mampu dijadikan sebagai salah satu faktor mengatasi kecemasan
tersebut. Berkaitan dengan hal tersebut seseorang harus memiliki keyakinan bahwa dirinya
akan mampu melaksanakan tingkah laku yang dibutuhkan dalam suatu tugas. Keyakinan
tersebut menentukan seberapa besar usaha yang akan dicurahkan dan seberapa lama individu
akan tetap bertahan dalam menghadapi hambatan atau pengalaman yang tidak menyenangkan.
Apabila kesulitan dialami oleh individu-individu yang meragukan kemampuannya, maka usaha-
Agus Suprijono
290
usaha untuk mengatasinya akan mengendur atau bahkan dihentikan. Keyakinan itu yang
dikatakan sebagai efikasi diri.
Efikasi diri merupakan keyakinan seseorang bahwa dirinya akan mampu
melaksanakan tingkah laku yang dibutuhkan dalam suatu tugas. Efikasi diri merupakan prediktor
tingkah laku sebagai determinis resiprokal antara lingkungan, tingkah laku dan pribadi. Efikasi
diri merupakan variabel yang penting yang kalau digabung dengan tujuan-tujuan spesifik dan
pemahaman mengenai prestasi, akan menjadi penentu tingkah laku mendatang yang penting.
Setiap individu mempunyai efikasi yang berbeda-beda tergantung kepada (1) kemampuan
yang dituntut oleh situasi yang berbeda itu; (2) kehadiran orang lain, khususnya saingan dalam
situasi itu; (3) keadaan fisiologis dan emosional, kelelahan, kecemasan, apatis, murung.
Efikasi yang tinggi atau rendah, dikombinasikan dengan lingkungan yang responsif
atau tidak responsif akan menghasilkan empat kemungkinan prediksi tingkah laku. Keempat
tingkah laku sebagai hasil keterkaitan antara antara efikasi diri dan lingkungan digambarkan
pada tabel di bawah ini.
Tabel 2
Prediksi Tingkah Laku Hasil Keterkaitan antara Efikasi Diri dan Lingkungan
Agus Suprijono
291
Persuasi sosial sebagai dukungan sosial dalam efikasi diri merupakan informasi verbal
atau non-verbal, saran, bantuan yang nyata atau tingkah-laku yang diberikan oleh orang-orang
yang akrab dengan subjek di dalam lingkungan sosialnya atau yang berupa kehadiran dan hal-
hal yang dapat memberikan keuntungan emosional atau berpengaruh pada tingkah-laku
penerimanya. Orang yang merasa memperoleh dukungan sosial, secara emosional merasa
lega karena diperhatikan, mendapat saran atau kesan yang menyenangkan pada dirinya.
Dukungan sosial yang dirasakan individu dapat memprediksi efektivitas perilaku pemecahan
masalah serta penyesuaian terhadap situasi baru. Individu yang merasakan dukungan dari
kelompok akan melakukan penyesuaian-penyesuaian terhadap proses perubahan yang terjadi
dan melakukan langkah-langkah untuk menjaga performanya. Dukungan sosial dapat
menimbulkan penyesuaian yang baik dalam perkembangan kepribadian individu. Dukungan
sosial memberikan perasaan berguna pada individu karena individu merasa dirinya dicintai dan
diterima. Dukungan yang diterima akan memiliki arti bila dukungan itu bermanfaat dan sesuai
dengan situasi yang ada. Dukungan yang diberikan oleh anggota kelompok diharapkan membantu
individu mengatasi permasalahan yang dialami terkait tugas yang menjadi tanggung-jawabnya
secara individual sekaligus sosial. Dukungan dari anggota kelompok dirasakan oleh individu
dapat memperkuat komitmen secara afektif dan performansi melalui proses timbal balik. Dukungan
sosial dari orang lain (anggota kelompok) menjadi sangat berharga dan akan menambah
ketentraman individu. Dukungan sosial sangat diperlukan selama individu sendiri masih mampu
memahami makna dukungan sosial tersebut sebagai penyokong atau penopang kehidupannya.
Dukungan sosial diharapkan mampu menunjang seseorang melalui tindakan yang
bersifat membantu dengan melibatkan emosi, pemberian informasi, bantuan materi dan penilaian
positif pada individu atas usaha yang telah dilakukannya. Dukungan yang dirasakan individu dari
kelompok dapat digunakan sebagai sumber kebutuhan sosio-emosional dan keyakinan bagi
individu untuk mengatasi ketegangan atau kecemasan yang ditimbulkan karena perubahan situasi
di dalam kelompok. Dukungan sosial inilah yang diharapkan membantu individu agar tidak
mengalami kecemasan terhadap kemungkinan dalam menyelesaikan tugas-tugas secara
kooperatif.
Pembelajaran kooperatif sebagai strategi pembelajaran untuk meningkatkan efikasi diri
dapat memberi dukungan kepada individu-individu anggota kelompok berupa pengalaman
vikarius. Anggota kelompok merupakan model sosial. Efikasi diri akan meningkat ketika mengamati
keberhasilan orang lain (model sosial), sebaliknya efikasi akan menurun jika mengamati orang
yang kemampuannya kira-kira sama dengan dirinya ternyata gagal. Terkait dengan persoalan ini
maka agar pembelajaran kooperatif mempunyai dukungan terhadap pengembangan efikasi diri
lewat pengalaman vikarius maka pembentukan kelompok sebaiknya tidak homogen melainkan
heterogen. Heterogenitas yang dikembangkan dalam pembelajaran kooperatif sebaiknya sangat
bervariasi tidak hanya mendasarkan pada heterogenitas prestasi tetapi juga gaya pembelajar.
Mary E Lehman dalam artikelnya berjudul “Influence of Learning Style Heterogeneity on
Cooperative Learning” yang dipublikasikan pada NACTA Journal. Twin Falls: Dec
2007. Vol. 51, Edisi 4 mengatakan melalui” keragaman gaya pembelajar dalam kelompok
tugas-tugas dapat terdistribusikan secara efektif”.
Agus Suprijono
292
Gaya pembelajar (learning styles of student) sangat berpengaruh terhadap bagaimana
pembelajar mendekati tugas-tugas yang harus dipelajarinya. Keberagaman gaya pembelajar
dapat menghasilkan performa belajar dan kepuasan belajar yang lebih tinggi. Di sisi lain
keberagaman gaya pembelajar dalam suatu kelompok dapat menghasilkan kesepakatan
bagaimana menentukan pendekatan dalam rangka penyelesaian tugas. Pembelajaran
kooperatif yang beraksentuasi pada heterogenitas gaya pembelajar dalam kelompok
memberikan efek psikis pada masing-masing gaya pembelajar. Siswa merasa terpuaskan
dengan pekerjaan yang sesuai dengan gaya belajarnya dan terpuaskan secara keseluruhan
dengan gaya belajar yang tidak dimilikinya. Tentu saja mengamati orang lain melakukan sesuatu
tidak mesti berakibat belajar karena belajar melalui observasi memerlukan beberapa faktor
atau prakondisi. Ada empat proses yang penting agar belajar melalui observasi dapat terjadi
yakni (1) perhatian; (2) representasi; (3) peniruan; (4) motivasi dan penguatan.
Sebelum meniru orang lain, perhatian harus dicurahkan kepada orang tersebut.
Perhatian ini dipengaruhi oleh asosiasi pengamat dengan modelnya, sifatnya yang atraktif dan
arti penting tingkah laku yang diamati bagi si pengamat. Tingkah laku yang akan ditiru harus
disimbolisasikan dalam ingatan baik dalam bentuk verbal maupun dalam bentuk gambaran
atau imajinasi.
Representasi verbal memungkinkan orang mengevaluasi secara verbal tingkah laku
yang diamati dan menentukan mana yang dibuang dan mana yang akan dicoba dilakukan.
Representasi imajinasi memungkinkan dapat dilakukankannya latihan simbolik dalam pikiran
tanpa benar-benar melakukannya secara fisik. Sesudah mengamati dengan penuh perhatian
dan memasukkannya ke dalam ingatan, orang lalu bertingkahlaku.
Mengubah dari gambaran pikiran menjadi tingkahlaku menimbulkan kebutuhan
evaluasi. Berkaitan dengan kebenaran, hasil belajar melalui observasi terhadap lingkungan
sosial tidak dinilai berdasarkan kemiripan respons dengan tingkah laku yang ditiru, tetapi lebih
pada tujuan belajar dan efikasi dari si pembelajar. Belajar melalui pengamatan menjadi efektif
kalau si pembelajar memiliki motivasi yang tinggi untuk dapat melakukan tingkahlaku modelnya.
Observasi mungkin memudahkan orang untuk menguasai tingkah laku tertentu, tetapi kalau
motivasi untuk itu tidak ada, tidak bakal terjadi proses belajar. Imitasi lebih kuat terjadi pada
tingkah laku model yang diganjar daripada tingkah laku yang dihukum. Imitasi tetap terjadi
walaupun model tidak diganjar, sepanjang pengamat melihat model mendapat ciri-ciri positif
yang menjadi tanda dari gaya hidup yang berhasil sehingga diyakini model umumnya akan
diganjar.
Ringkasnya, hubungan antara pembelajaran kooperatif dan efikasi diri dapat
digambarkan sebagai berikut:
Agus Suprijono
293
Bagan 1
INTERDEPENDENSI SOSIAL
-Tugas terstruktur
PEMBELAJARAN EFIKASI DIRI:
KOOPERATIF: Keyakinan diri memiliki
Saling ketergantungan kemampuan melakukan
positif. tindakan yang
Tanggung jawab diharapkan
perseorangan.
Tatap muka.
Komunikasi antar
anggota.
. Evaluasi proses
kelompok
III. PENUTUP
Hubungan antara pembelajaran kooperatif dan pengembangan efikasi diri dapat
disimpulkan sebagai berikut:
1. Efikasi diri dapat dikembangkan melalui pembelajaran kooperatif.
2. Unsur terpenting pembelajaran kooperatif adalah interdepensi sosial.
3. Interdependensi sosial pada pembelajaran IPS dapat diciptakan melalui pemberian
tugas kelompok kepada siswa.
4. Tugas kelompok bersifat mengikat anggota kelompok. Keterikatan menunjukkan
rasa saling ketergantungan secara positif dan tanggung jawab individual.
5. Saling ketergantungan secara positif dan tanggung jawab individual melahirkan
regulasi diri, penilaian diri dan teman sejawat di antara angggota kelompok (group
processing).
6. Group processing memotivasi individu-individu anggota kelompok.
7. Motivasi berpengaruh terhadap efikasi diri.
Agus Suprijono
294
DAFTAR PUSTAKA
David W. Johnson, Roger T. Johnson and Karl A. Smith. Cooperative learning returns to
college”, Change 30.n4 (July-August 1998): p.p26.
Depdiknas. 2006. Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan, Jakarta: Depdiknas RI.
Ferdyawati, D. 2007. “Hubungan antara Efikasi Diri dan Efektivitas Kepemimpinan Dengan
Toleransi Terhadap Stres pada Guru SD di Donorejo Pacitan”. Skripsi, Universitas
Muhammdiyah Surakarta, tidak diterbitkan.
Johnson, D. W., R. T. Johnson, and E. Holubec. 1990. Circles of learning: Cooperation in the
classroom (revised edition). Edina, MN: Interaction Book Company.
Johnson, D. W., R. T. Johnson, and K. A. Smith. 1991. Cooperative learning: Increasing college
faculty instructional productivity. ASHE-ERIC Higher Education Report No. 4.
Washington, DC: George Washington University, School of Education and Human
Development
Kagan, S. 1989. Cooperative learning. San Juan Capistrano, CA: Resources for Teachers.
Kurniawan, I.H. 2004. “Hubungan Antara Keyakinan Orang Tua Atas Manajemen Konflik antar
Saudara, Jenis Kelamin Orang Tua dan Status Sosial, Ekonomi Orang Tua dan
Strategi Manajemen Konflik dalam Interaksi antar Saudara Kandung”. Tesis,
Universitas Gadjah MadaYogyakarta, tidak diterbitkan.
Ratna. 2008. Rasa Harga Diri dan Keyakinan Diri. http://ratnaz.multiply.com/journal/item/36,
diakses 1 Mei 2014.
Sa’ud, Saefudin Udin. 2008. Inovasi Pendidikan, Bandung: Alphabeta
Sagala, Syaiful, 2003, Konsep dan Makna Pembelajaran, Bandung: Alfabeta
Schunk, DH. 1986. Effect of Foundation Feed Back on Children Pecieved Self Efficacy
and Achievement, Jurnal Education Psychology Vol 74.
Slavin, R. E. 1985. An introduction to cooperative learning research. In Learning to
cooperate, cooperating to learn, edited by R. Slavin, S. Sharan, S. Kagan, R. Lazarowitz,
C. Webb, and R. Schmuck. New York: Plenum.
Soekanto, Soerjono. 2009. Sosiologi Suatu Pengantar, Jakarta: Rajawali Press.
Somantri, Nukman Muhammad, 2001, Menggagas Pembaharuan Pendidikan IPS, Bandung:
Remaja Rosdakarya.
Suderajadjat, Hari. 2004. Implementasi Kurikulum Berbasis Kompetensi, Bandung: Cipta Cekas
Grafika.
Sugandi, A.I. 2002. Pembelajaran Pemecahan Masalah Matematika Melalui Model Belajar
Kooperatif Tipe Jigsaw. (Studi Eksperimen terhadap Siswa Kelas Satu SMU Negeri di
Tasikmalaya). Tesis PPS UPI: Tidak diterbitkan.
Suparno Paul. 2004. Teori Intelegensi Ganda dan Aplikasinya di Sekolah, Yogyakarta: Kanisius.
Suparno, Paul. 1997. Filsafat Konstruktivisme Dalam Pendidikan. Yogyakarta: Kanisius.
Surya, Mohamad. 2004. Psikologi Pembelajaran dan Pengajaran, Bandung: Pustaka Bani
Quraisy.
Wicaksono. 2008. Pentingnya Sebuah Keyakinan Diri. http://aryowicaksonobp.blogspot.com/
2007/12, diakses 1 Mei 2014.
Agus Suprijono
295
Agus Suprijono
296
PENGARUH PENDIDIKAN DI LINGKUNGAN KELUARGA DAN NILAI
PANCASILA PADA MATA PELAJARAN PENDIDIKAN
KEWARGANEGARAAN TERHADAP PEMBENTUKAN KARAKTER BANGSA
Ana Andriani
STT KH. EZ Muttaqien Purwakarta
ABSTRACT
This paper is intended to investigate the influence of education in the family environment and
the influence of Pancasila values in Civics Education to build of national character. This research
was conducted to examine the extent to which the role of education in the family and the
Pancasila as part of the subject matter Civics Education, and the ideology of the nation is able
to shape the character of the nation’s students. Pancasila values of citizenship education on the
subject is expected to be a guideline in everyday life not only in the classroom but also outside
the classroom. For guidance in the life of society, nation, and state, Pancasila is able to shape
the character of the nation’s students.
Keywords: Family, Pancasila, Civics, Character Nation.
I. PENDAHULUAN
Pendidikan adalah untuk menuntun segala kekuatan kodrat yang ada pada anak-
anak itu, agar mereka sebagai manusia dan sebagai anggota masyarakat dapatlah mencapai
keselamatan dan kebahagiaan yang setinggi-tingginya. Keluarga sebagai lingkungan terkecil
dari masyarakat luas memiliki peran dalam pendidikan anak. Keluarga merupakan lingkungan
pembentukan dan pendidikan karakter pertama dan utama yang harus diberdayakan.
Sebagaimana disarankan Philips, keluarga hendaklah kembali menjadi school of love, sekolah
untuk kasih sayang (Philips, 2000) atau tempat belajar yang penuh cinta sejati dan kasih sayang
(keluarga yang sakinah, mawaddah, dan warrahmah). Sedangkan pendidikan karakter melalui
sekolah, tidak semata mata pembelajaran pengetahuan, tetapi lebih dari itu, yaitu penanaman
moral, nilai-nilai etika, estetika, budi pekerti yang luhur dan lain sebagainya.
Krisis multidimensional yang dihadapi Indonesia begitu besar, namun ironisnya anak
bangsa yang memiliki akses pada kekuasaan sebagai politisi, seperti tidak memiliki rasa
kepedulian (sense of crisis) terhadap permasalahan yang ada, akan tetapi dendam atas
kesempatan yang belum diraih sebelumnya, sehingga mengulang kisah lama, dan jika itu
yang terjadi, maka bangsa ini akan semakin terperosok ke dalam lubang yang semakin dalam.
Ana Andriani
297
Ada banyak kasus terjadi di lapangan terkait dengan degradasi moral, Kompas (3
Agustus 2010: 27) “Pengadilan Negeri Bogor memvonis 18 anggota DPRD Kota Bogor. Para
terdakwa tidak melaksanakan kewajibannya sesuai dengan pasal 26 PP No I/2001 Tentang
Pedoman Tata Tertib DPRD dan Pasal 26 PP No 105/2000 tentang Pengelolaan Keuangan
Dewan”. Sedangkan Kompas (15 November 2010: 1), menyoroti perilaku seorang oknum
petugas pajak yang melakukan penyalahgunaan pajak, dan sudah dilakukan penahanan
terhadapnya namun masih sempat dapat berlibur ke Bali dengan bantuan oknum-oknum pejabat
hukum lainnya. Masalah narkoba merupakan masalah yang tidak kunjung selesai, dimana
“Bisnis narkoba diatur dari Bui” (Kompas, 18 November 2010: 27) dapat dijadikan contoh
konkrit bahwa peredarannya masih terus berlangsung walau harus dalam penjara.
Peran pendidikan sangat diperlukan untuk mempertahankan nilai-nilai luhur agar tetap
menjadi landasan bagi masyarakat dalam hidup bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Melalui
proses pendidikan, manusia diharapkan akan tumbuh dan berkembang menjadi dewasa secara
spirituil, memiliki kepribadian yang luhur, bertakwa pada Tuhan Yang Maha Esa, dan mampu
menjadi warga negara yang bertanggung jawab. Semua ini merupakan harapan dan tujuan bagi
semua manusia, terutama orang tua, masyarakat, bangsa dan negara. Upaya pendidikan
mewujudkan manusia Indonesia seutuhnya, yang memiliki rasa dan semangat kebangsaan,
merupakan proses pendidikan nilai, yaitu pendidikan nilai kebangsaan yang menjadi pemahaman,
sikap, dan penghayatan warga negara Indonesia terhadap bangsa dan negaranya.
Fenomena pendidikan saat ini belum sesuai harapan, masih banyak terjadi perilaku
yang kontradiktif di lapangan. Hal ini menjadi indikasi bahwa tujuan pendidikan belum sepenuhnya
tercapai. Kehadiran masyarakat modern merupakan keniscayaan, namun tetap harus dibarengi
oleh nilai-nilai yang terkandung di masyarakat. Seperti dikatakan Djahiri, (2004), “Kita tidak berharap
kehadiran manusia/ masyarakat & kehidupan yang modern namun kufur dan dolim terhadap diri
sendiri, Nilai-Moral-Norma luhur serta warisan budaya (culture heritage) Indonesia.”
Dilihat dari segi kebutuhan, siswa SMA, selaku generasi muda membutuhkan
pendidikan nilai Pancasila dalam kaitannya dengan pembentukkan karakter bangsa,
sebagaimana diamanatkan dalam konstitusi dan peraturan perundangan yang ada. Hal ini
terkait erat dengan kedudukan strategis generasi muda. Rasa kebangsaan atau nasionalisme
harus ditumbuhkan, dalam diri siswa selaku generasi muda, terkait dengan peranannya di
masa yang akan datang, sehingga mampu memberi kontribusi bagi bangsa dan negara, dengan
potensi yang dimiliki, sehingga mampu membawa nama besar bangsa di dalam percaturan
Internasional.
Pada kenyataannya kehidupan masyarakat mengalami perubahan-perubahan.
Perubahan-perubahan yang terjadi dalam masyarakat tidak selalu ke arah kemajuan. Kemajuan
yang diperoleh dalam satu bidang akan menyebabkan kemunduran bagi bidang lainnya. Hal
tersebut merupakan sesuatu yang wajar dan yang perlu dipikirkan adalah minimalisasi
kemunduran tersebut. William Oghburn menyatakan bahwa perubahan sosial meliputi hal-hal
yang berkaitan dengan material dan immaterial. Perubahan sosial adalah proses di mana
terjadinya perubahan struktur dan fungsi suatu sistem sosial (Hanafi, 1981 : 16).
Ana Andriani
298
Ada beberapa faktor yang mempengaruhi perubahan sosial dan perubahan
kebudayaan. Faktor-faktor tersebut meliputi: Penduduk (kelahiran dan kematian), Penemuan-
penemuan baru (inovasi), Pengaruh kebudayaan lain (Soekanto, 1992 : 352). Dalam proses
perubahan sosial, jika ada salah satu yang berubah maka yang lain akan mengalami perubahan
juga. Berdirinya atau ditetapkannya organisasi kampus yang baru, mempengaruhi struktur
sosial universitas karena didefinisikannya seperangkat fungsi baru. Jika seseorang mulai
berfungsi dalam status tersebut, hal tersebut akan mempengaruhi fungsi universitas secara
keseluruhan.Contohnya, status guru sekolah menghendaki perilaku-perilaku tertentu bagi
seseorang yang menduduki posisi tersebut. Ada kemungkinan seseorang menyimpang dari
seperangkat tingkah laku yang diharapkan dan sudah terpola, tetapi statusnya berubah. Fungsi
sosial dan struktur sosial berhubungan sangat erat dan saling mempengaruhi satu sama lain.
Gambar 1.1 Kerangka Pemikiran
Ana Andriani
299
Pendidikan menurut Sanusi (1998: 267) adalah: “Proses mendidik atau membelajarkan
peserta didik yang diasumsikan mempunyai beberapa fungsi seperti antara lain mampu
menumbuhkan atau mentransformasikan nilai-nilai positif sambil memberdayakan serta
mengembangkan potensi-potensi kepribadian peserta didik.Keluarga merupakan lingkungan
terkecil dalam masyarakat”. Keluarga inti terdiri dari ayah, ibu dan anak. Semiawan dalam
bukunya Pendidikan Keluarga di Era global (2002), berpendapat bahwa:
Bila kehidupan keluarga disesuaikan kepada tuntutan masa depan, yang mengandung
kondisi persyaratan untuk mampu membawa perubahan pada masyarakat kita, dalam upaya
memperbaiki kondisi kehidupan sebagaimana menjadi tuntutan zaman, maka seyogyanya
ada wawasan untuk memiliki cita-cita sasaran-sasaran jangka panjang dan jangka pendek
untuk dicapai.
Hal ini dapat dimaknai bahwa keluarga berperan besar dalam membentuk anak agar
mampu menghadapi berbagai tantangan zaman yang semakin kompleks demi meningkatkan
kehidupan diri dan keluarganya, dengan syarat-syarat tertentu, maka dari itu perlu peningkatan
wawasan dan pengetahuan serta memiliki impian dan target yang akan dicapai suatu hari nanti.
Pendidikan di lingkungan keluarga merupakan hal yang mutlak diperlukan. Pemberian
teladan, pembiasaan serta pengajaran yang diberikan merupakan alat-alat pendidikan yang
harus dipersiapkan untuk perbaikan tingkat kehidupan itu. Seperti yang dikatakan oleh Ki Hadjar
Dewantara (1962: 107) menyusun alat-alat pendidikan, berupa: 1) pemberian contoh (teladan);
2) pembiasaan; 3) pengajaran; 4) perintah, paksaan, dan hukuman; 5) laku (zelf-beheersching,
self-discipline), dan 6) pengalaman lahir dan batin (nglakoni, ngrasa, beleaving).
Di dalam keluarga dapat dimulai dalam memberikan pemahaman nilai-nilai, baik-buruk,
benar-salah, dosa-hahal-haram, dan lain sebagainya, sehingga anak dapat memahami dan
memaknai nilai-nilai tersebut, dan mampu mewujudkannya dalam kehidupan sehari-hari dalam
berbagai aspek kehidupan. Dari pernyataan di atas, diharapkan pembelajaran selaras dengan
kehidupan berbangsa, sehingga siswa memiliki rasa kecintaan kepada tanah air dan bangsa,
serta tumbuh kepedulian secara lahir dan batin.
Tindakan pendidikan harus dilakukan dengan penuh keinsyafan, serta ditujukan ke arah
keselamatan dan kebahagiaan manusia. Maka setiap tindakan pendidikan senantiasa didasarkan
pada prinsip momong, among, dan ngemong, dimana pendidik diperbolehkan mencampuri
kehidupan anak, manakala dia berada di jalan yang salah, agar dapat tumbuh menurut kodratnya.
Bila anak melakukan tindakan yang salah, maka hukuman yang diberikan bertujuan untuk
menyadarkan kembali agar ia bertindak sesuai dengan acuan moral.
1.2 Pendidikan Kewarganegaraan
Mata pelajaran PKn mencakup dimensi pengetahuan (knowledge), keterampilan (skill),
dan nilai (values). Ide pokok mata pelajaran PKn adalah ingin membentuk warga negara yang
ideal yaitu warga negara yang memiliki keimanan dan ketakwaan kepada Tuhan Yang Maha
Esa, pengetahuan dan keterampilan, dan nilai-nilai sesuai dengan konsep dan prinsip
Kewarganegaraan. Pada gilirannya, warga negara yang baik tersebut diharapkan dapat
membantu terwujudnya masyarakat demokratis konstitusional.
Ana Andriani
300
Karakter bangsa mengandung makna: sifat kejiwaan, atau tabiat yang dimiliki oleh
kesatuan orang-orang yang bersamaan asal keturunan, adat, bahasa, dan sejarahnya, serta
pemerintahan sendiri, yakni berupa nilai-nilai luhur yang merupakan warisan nenek moyang
yang menjadi pedoman dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara.
Secara konseptual PKn memusatkan perhatian pada program pendidikan disiplin
ilmu politik, sebagai substansi induknya. Secara kurikuler PKn berorientasi kepada pengadaan
dan peningkatan kemampuan profesionalisme guru PKn. Sebagaimana lazimnya suatu sistem
keilmuan, PKn menurut Winataputra (2006: 5) seyogyanya dilihat dari dimensi-dimensi: “(1)
nomenklatuur atau terminologi yang digunakan, (2) Visi, misi, dan strategi akademik, (3) ontologi,
(4) epistimologi, dan (5) aksiologi”. Maka dalam kerangka berpikir seperti ini paradigma PKn
akan dibahas dari berbagai pemikiran teoritis dan praktisis PKn.
Menurut Winataputra (2006: 5), “Ada tiga terminologi yang banyak digunakan yakni
civics, civic education, dan citizenship education”. Adapun sejarah pembentukkan Civics
Education, yakni berawal dari Civics yang mengambil bagian dari Ilmu Politik, yaitu demokrasi
politik. Bahwasanya Civics sudah menjadi ilmu yang tersendiri, sudah diakui oleh para sarjana,
misalnya, Creshore meyebutkan Civics dengan “ the science of citizenship”. Karena konsep
tentang Civic Education di Indonesia tidak dapat dilepaskan dari perkembangan civics atau
Ilmu Kewarganegaraan di Amerika, sebagai negara asal civics dan civics education.
Secara paradigmatik, citizenship education memiliki visi sosio–pedagogis
mendidik warga negara yang demokratis dalam konteks yang lebih luas, yang mencakup
konteks pendidikan formal dan pendidikan non–formal, seperti yang secara konsisten
diterapkan di UK. Dalam konteks proses reformasi menuju Indonesia baru dengan konsepsi
“masyarakat madani” sebagai tatanan ideal sosio-kulturalnya, maka PKn mengemban
misi sosio-pedagogis, sosio-kultural, dan substantif akademik.
Dengan memperhatikan visi dan misi mata pelajaran PKn, yaitu membentuk warga
negara yang baik, maka selain mencakup dimensi pengetahuan, karakteristik mata pelajaran
PKn, ditandai dengan pemberian penekanan pada dimensi sikap dan keterampilan civics.
Seorang warga negara perlu memahami dan menguasai pengetahuan yang lengkap tentang
konsep dan prinsip-prinsip politik, hukum, dan moral civics. Kemudian warga negara diharapkan
memiliki sikap atau karakter sebagai warga negara yang baik, dengan memiliki keterampilan
dalam bentuk keterampilan berpartisipasi dalam kehidupan berbangsa, bernegara, serta
menentukan posisi diri, serta kecakapan hidup (life skill).
1.3 Tinjauan Filsafat Nilai Pancasila
Nilai Pancasila, dimaknai sebagai letak dari pesan, semangat, yang dijiwai oleh kelima
sila/ azas dalam Pancasila. Melalui nilai Pancasila, sebagai warisan budaya (culture heritage),
maka karakter bangsa Indonesia sungguh berbeda dengan bangsa lain. Posisi nilai Pancasila
menempatkannya dalam letak, tempat strategis, yang harus diaplikasikan dalam kehidupan
sehari-hari, dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara, oleh seluruh
masyarakat Indonesia tanpa kecuali.
Ana Andriani
301
Suatu bangsa membutuhkan ideologi sebagai perangkat prinsip pengarahan (guiding
principles), yang dijadikan dasar serta memberikan arah dan tujuan untuk dicapai dalam
melangsungkan dan mengembangkan hidup dan kehidupan nasional suatu bangsa dan negara.
Seperti yang dikatakan Wijaya (1986: 35) bahwa: “Suatu bangsa memerlukan landasan falsafah
bagi kelangsungan hidupnya sekaligus berfungsi sebagai dasar dan cita-cita atau tujuan nasional
yang hendak dicapai”.
Nilai Pancasila dimaknai sebagai pesan, semangat yang dijiwai oleh Pancasila. Nilai
Pancasila mempunyai karakter tersendiri yang berbeda dengan lainnya. Menurut Engkoswara
(2004: 38), “Nilai Pancasila ini dapat menjadi kebudayaan Pancasila, yaitu kebudayaan yang
dilandasi nilai-nilai luhur Pancasila dalam berbagai segi kehidupan”.
Nilai Pancasila harus dibina, dikembangkan/ ditingkatkan di tengah kehidupan yang
merupakan dampak sains secara global. Apabila terdapat kemandulan dan tumpulnya isi serta
potensi afektif yang diiringi peningkatan intelektual ilmiah rasional, akan mampu melahirkan
emosi NMNr (Nilai-Moral-Norma) dan dehumanisasi, seperti dikatakan Djahiri (1996: 55),
“…pada titik tertentu manusia demikian akan menjadi arogan, pongah, amat mengandalkan
dan mengagungkan otak dan kemampuannya dan bahkan bukan mustahil akan menyembah
hasil ciptaannya sendiri.”
1.4 Pembentukkan Karakter Bangsa
Pengertian kebangsaan (nasionalisme) menurut Gellner adalah suatu prinsip politik
yang beranggapan bahwa unit nasional dan politik seharusnya seimbang. Tepatnya Gellner
lebih menekankan nasionalisme dalam aspek politik. Yudohusodo dalam buku Semangat
Baru Nasionalisme (1996: 12-13), mengatakan tentang rasa kebangsaan, paham kebangsaan,
semangat kebangsaan dan wawasan kebangsaan.
Manifestasi wawasan kebangsaan ini, memenuhi seloka-seloka rumongso melu
handarbeni (sense of belonging), rumongso melu hangrungkebi (sense of participation), dan mulat
sariro hangroso wani (sense of responsibility). Pada kenyataannya nasionalisme memainkan tiga
fungsi yaitu: mengikat semua kelas, menyatukan mentalitas, dan membangun serta memperkokoh
pengaruh terhadap kebijakan yang ada. Nasionalisme ada dan dibutuhkan oleh setiap negara.
Namun setiap negara memiliki kekhasan dalam nasionalisme yang dikembangkan.
Membina bangsa dalam upaya serta memperjuangkan cita-cita bangsa yang bersatu,
harus digalakkan. Hal ini untuk mengantisipasi konflik yang kemungkinan terjadi di masyarakat.
Pencegahan munculnya konflik etnis, bukan semata merupakan tanggung jawab pemerintah
yaitu dengan mengeluarkan kebijakan-kebijakan pembangunan yang bersifat holistik dan
integratif, melainkan membutuhkan peran serta tanggung jawab dari seluruh lapisan masyarakat.
Karakter, menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (1988: 389), mempunyai makna,
sifat-sifat kejiwaan, akhlak atau budi pekerti yang membedakan seseorang dengan yang
lain; tabiat; watak. Sedangkan bangsa menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, (1988: 76),
mempunyai makna “Kesatuan orang- orang yang bersamaan asal keturunan, adat, bahasa
dan sejarahnya, serta pemerintahan sendiri.” Secara kodrati, manusia sebagai makhluk Tuhan,
memiliki fungsi sebagai makhluk individu dan makhluk sosial. Dengan identitas sebagai makhluk
Ana Andriani
302
sosial, manusia dihadapkan pada berbagai masalah. Kenyataan ini menimbulkan perlunya
wadah yang terejawantah dalam berbagai bentuk asosiasi.Pembentukkan karakter bangsa
melalui penanaman nilai Pancasila terhadap siswa merupakan suatu keharusan. Salah satu
mata pelajaran yang memuat pendidikan nilai adalah mata pelajaran PKn.
Bagaimana cara mengimplementasikan pendidikan karakter? Menurut Lickona dkk
(2007) terdapat 11 prinsip agar pendidikan karakter dapat berjalan efektif: (1) kembangkan
nilai-nilai etika inti dan nilai-nilai kinerja pendukungnya sebagai fondasi karakter yang baik, (2)
definisikan ‘karakter’ secara komprehensif yang mencakup pikiran, perasaan, dan perilaku, (3)
gunakan pendekatan yang komprehensif, disengaja, dan proaktif dalam pengembangan
karakter, (4)ciptakan komunitas sekolah yang penuh perhatian, (5) beri siswa kesempatan
untuk melakukan tindakan moral, (6)buat kurikulum akademik yang bermakna dan menantang
yang menghormati semua peserta didik, mengembangkan karakter, dan membantu siswa
untuk berhasil, (7) usahakan mendorong motivasi diri siswa, (8) libatkan staf sekolah sebagai
komunitas pembelajaran dan moral yang berbagi tanggung jawab dalam pendidikan karakter
dan upaya untuk mematuhi nilai-nilai inti yang sama yang membimbing pendidikan siswa, (9)
tumbuhkan kebersamaan dalam kepemimpinan moral dan dukungan jangka panjang bagi
inisiatif pendidikan karakter, (10) libatkan keluarga dan anggota masyarakat sebagai mitra
dalam upaya pembangunan karakter, (11) evaluasi karakter sekolah, fungsi staf sekolah sebagai
pendidik karakter, dan sejauh mana siswa memanifestasikan karakter yang baik.
Ana Andriani
303
aspek kepribadian warga negara yang perlu dikembangkan adalah keimanan dan
ketakwaan kepada Tuhan Yang Maha Esa/kecerdasan ruhiyah, kecerdasan emosional
sebagai warga negara (a.l. kepekaan sosial, cinta tanah air, tertib, memiliki integritas,
partisipatif), keberadaban/akhlak mulia, kepercayaan diri, komitmen terhadap
kehidupan berdemokrasi (a.l. sadar akan kewajiban dan hak, menjunjung tinggi
hukum, menjunjung tinggi hak asasi manusia, dan terbuka) dan tanggung jawab
sebagai warga negara (socio-civic responsibility).
Maka PKn merupakan mata pelajaran yang memfokuskan pada pembentukkan diri
yang beragam dari segi agama, sosio-kultural, bahasa, usia, dan suku bangsa untuk menjadi
warga negara Indonesia yang cerdas, terampil, dan berkarakter yang diamanatkan oleh Pancasila
dan UUD 1945, serta mengemban misi nasional untuk mencerdaskan kehidupan bangsa.
Pancasila diposisikan sebagai ideologi negara dan sebagai filosofi negara, selain itu
nilai Pancasila juga dapat dioperasionalkan. Sikap warga negara yang baik mesti berbasis
pada konstitusi dan konstitusi tersebut harus dijabarkan sesuai aplikasi dan tidak perlu dijabarkan
dari Pancasila. Konstitusi tersebut materinya diambil dari konstitusi yang diturunkan kepada
perundangan yang berlaku dinegara ini. Materi PKn yaitu filsafat dan ideologi yang ada di SMA,
yang berisi mengenai kajian historis Pancasila. Pancasila sebagai ideologi tidak perlu
mengembangkan nilai Pancasila secara eksplisit. Nilai-nilai itu antara lain: ideologi, filosofi,
kenegaraan, nilai kebangsaan, nilai perjuangan.
Materi yang berbasis value (nilai), topiknya merupakan turunan yang dikembangkan
dalam PKn itu. Sedang Hak Asasi Manusia (HAM) dalam PKn diturunkan dalam basis nilai.
2.2 PKn di Masa Orde Baru
Di masa Orde Baru, Pendidikan Pancasila sudah ada, namun bersifat indoktrinatif.
Pelaksanaan P4 (Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila) sebagai salah satu
perwujudan dari pendidikan Pancasila pada waktu itu sebetulnya sudah cukup bagus, akan
tetapi metodologinya yang kurang tepat. Dalam pelaksanaan Demokrasi Pancasila dimasa
lalu, pada kenyataannya presiden lebih berkuasa atas semua pemerintahan. Semua
dilaksanakan atas kekuasaan presiden. Semenjak adanya demokrasi tersebut, golongan
masyarakat terbagi-bagi, ada anak emas, dan anak tiri sebagai pendukung. Namun jika
pendukung tersebut terlalu kritis maka akan ada Recalling.
Dianggap tidak tepat, maka P4 akhirnya pada tahun 1999 tidak diberlakukan lagi dan
dihapus saat negara dipimpin oleh Presiden Bacharudin Jusuf Habibie lewat sidang istimewa
MPR (Majelis Permusyawaratan Rakyat), termasuk diantaranya adalah penghapusan BP 7
(Badan Penasehat Presiden tentang Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila).
Demokrasi Pancasila yang dianggap tidak sehat, serta UUD 1945 yang dianggap
terlalu banyak memberikan kekuasaan pada presiden, menjadikan reformasi dilaksanakan
bukan hanya untuk menyingkirkan presiden dari kepemimpinan negara, akan tapi ingin adanya
berbagai perubahan. Salah satunya adalah perubahan UUD 1945. Maka UUD’45 tersebut
diamandemen menjadi amandemen UUD ’45 yang telah dilakukan selama empat kali.
Ana Andriani
304
Sejarah PKn pada masa Orde Baru, lebih diarahkan pada kepentingan negara. PKn
juga diarahkan pada koridor negara kesatuan secara kuat tanpa memikirkan unsur yang
berhubungan dengan keberagaman. Keperibadian bangsa semestinya dapat terwujud melalui
pelatihan dan pembentukan perilaku serta reposisi dengan meletakkan segala sesuatunya
ketempat yang benar.
2.3 PKn di Masa Reformasi
Saat ini bangsa Indonesia sedang dilanda krisis multidimensional disegenap aspek
kehidupan masyarakat dan bangsa, bahkan menurut beberapa pakar dan pemuka masyarakat,
krisis yang sangat serius adalah krisis moral, dimana masyarakat dan bangsa Indonesia sedang
mengalami demoralisasi.
Keadaan di atas sebenarnya dapat dihindari andaikan setiap anggota masyarakat,
terutama para penyelenggara pemerintahan beserta para elit politik, mampu melaksanakan
gerakan reformasi ini secara konsekuen, untuk mewujudkan masa depan bangsa Indonesia
agar bergerak ke arah yang lebih baik.
Pancasila yang diamanatkan dalam pembukaan UUD 1945, tidak saja mengandung
nilai budaya bangsa, melainkan juga sebagai sumber hukum dasar nasional, dan merupakan
perwujudan cita-cita luhur disegala aspek kehidupan bangsa. Maka nilai-nilai Pancasila harus
dijabarkan menjadi norma moral, norma pembangunan, norma hukum, dan etika kehidupan.
Dalam konteks proses reformasi menuju Indonesia baru dengan konsepsi
“masyarakat madani” sebagai tatanan ideal sosio-kulturalnya, maka PKn mengemban misi
sosio-pedagogis, sosio-kultural, dan substantif akademik. Selanjutnya Winataputra (2006: 9)
menjelaskan tentang misi tersebut sebagai berikut:
1. Misi sosio-pedagogis adalah mengembangkan potensi individu sebagai insan
Tuhan Yang Maha Esa dan makhluk sosial menjadi warga negara Indonesia yang
cerdas, demokratis, taat hukum, beradab, dan religius.
2. Misi sosio-kultural adalah memfasilitasi perwujudan cita-cita, sistem kepercayaan/
nilai, konsep. Prinsip, dan praksis demokrasi dalam konteks pembangunan
masyarakat madani Indonesia melalui pengembangan partisipasi warga negara
secara cerdas dan bertanggungjawab melalui berbagai kegiatan sosio-kultural
secara kreatif yang bermuara pada tumbuh dan kembangnya komitmen moral dan
sosial kewarganegaraan.
3. Misi substantif-akademik adalah mengembangkan struktur atau tubuh pengetahuan
atau spektrum konstelatif PKn, termasuk di dalamnya konsep, prinsip, dan
generalisasi mengenai dan yang berkenaan dengan civic virtue atau kebajikan
Kewarganegaraan dan civic culture atau budaya kewarganegaraan melalui kegiatan
penelitian dan pengembangan.
Secara konseptual-paradigmatik citizenship education, saat ini mengembangkan
strategi dasar learning democracy, in democracy, and for democracy (CIVITAS International:
1998; QCA: 1999; APCEC: 2000; Winataputra: 9). Selanjutnya strategi dasar ini oleh QCA (1999)
Ana Andriani
305
dikonsepsikan sebagai suatu kontinum education about citizenship-education through
citizenship-education for citizenship yang secara kualitatif bergerak dari titik minimal health
education (PSHE) di sekolah dasar UK, Life Orientation di Afrika Selatan dan Social Studies di
negara lainnya (Winataputra: 2006: 10-11). PKn dipandang sebagai mata pelajaran yang
mempunyai peranan penting dalam membentuk warga negara yang baik sesuai dengan falsafah
bangsa dan konstitusi negara Republik Indonesia.
Dengan memperhatikan visi dan misi mata pelajaran PKn, yaitu membentuk warga
negara yang baik, maka selain mencakup dimensi pengetahuan, karakteristik mata pelajaran
PKn, ditandai dengan pemberian penekanan pada dimensi sikap dan keterampilan civics.
Seorang warga negara perlu memahami dan menguasai pengetahuan yang lengkap tentang
konsep dan prinsip-prinsip politik, hukum, dan moral civics. Kemudian warga negara diharapkan
memiliki sikap atau karakter sebagai warga negara yang baik, dengan memiliki keterampilan
dalam bentuk keterampilan berpartisipasi dalam kehidupan berbangsa, bernegara, serta
menentukan posisi diri, serta kecakapan hidup (life skill).
Warga negara yang memahami dan menguasai pengetahuan kewarganegaraan (civics
knowledge) dan keterampilan Kewarganegaraan (civics skills), akan menjadi warga negara yang
kompeten. Warga negara yang memahami dan menguasai pengetahuan kewarganegaraan
(civics knowledge)) serta nilai-nilai Kewarganegaraan (civics values) akan menjadi seorang warga
negara yang memiliki rasa percaya diri, sedangkan warga negara yang telah memahami dan
menguasai keterampilan Kewarganegaraan (civics skill) serta nilai-nilai Kewarganegaraan (civics
values) akan menjadi warga negara yang memiliki komitmen kuat.
Warga negara yang memahami dan menguasai pengetahuan Kewarganegaraan (civics
knowledge), memahami dan menguasai keterampilan Kewarganegaraan (civics skills), serta
memahami dan menguasai nilai-nilai Kewarganegaraan (civics values) akan menjadi seorang
warga negara yang berpengetahuan, terampil, dan berkepribadian.
Kontribusi nilai Pancasila dalam memperkaya materi dalam pembentukan karakter
bangsa, terdapat dalam pokok pikiran sebagai fakta di lapangan. Adanya kontribusi nilai
Pancasila untuk meningkatkan rasa kebangsaan, dapat dilihat dari Kurikulum KBK (Kurikulum
Berbasis Kompetensi) 2004 dan standar isi PKn. Namun fenomena terkikisnya rasa kebangsaan
saat ini salah satu faktornya adalah nilai Pancasila sudah mulai dikurangi, tapi faktor lain
banyak sekali, seperti: otonomi daerah yang membuat setiap daerah merasa daerahnya lebih
hebat dari daerah lainnya, bahkan fenomena pejabat daerah harus dari daerah asal membuat
bangsa ini menjadi terkotak-kotak.
Dapat dikatakan jiwa bangsa Indonesia telah tercakup dalam sila ke-satu sampai sila
ke-lima Pancasila. PKn harus mengacu pada nilai Pancasila, maka nilai Pancasila
mendominasi pada mata pelajaran PKn, juga diarahkan pada warga negara yang memiliki
kebangsaan yang lebih besar dan cinta terhadap tanah airnya.
Fungsi PKn, selain menanamkan nilai luhur bangsa juga sebagai pendidikan politik,
seperti yang dikatakan Affandi (2001: 7), bahwa: “…Ilmu Kewarganegaraan-nya merupakan
aplikasi dari ilmu politik yang diperuntukkan di dunia persekolahan”. Maka PKn merupakan
Ana Andriani
306
pengajaran yang membina peserta didik agar melek politik, maka PKn dikenal memiliki fungsi
sebagai pendidikan nilai-moral dan sebagai pendidikan politik.
Dalam pernyataan Djahiri (1998: 3), dapat diketahui secara jelas bahwa fungsi PKn
sebagai pendidikan politik adalah sebagai berikut:
...membina peserta didik menjadi warga negara Indonesia yang baik yang melek politik serta
hukum, yakni warga negara yang memiliki kesadaran berbangsa dan bernegara, sadar akan
hak dan kewajiban diri-sesama-pemerintah dan negara, memahami, dan berkeinginan kuat
dan mampu membina serta menegakkan berbagai norma/hukum yang berlaku dalam
kehidupannya serta bertekad mewujudkan cita-cita bangsa dan bernegara.
Pernyataan ini menyebutkan bahwa pada dasarnya PKn sebagai pendidikan politik,
mengupayakan agar siswa menjadi warga negara yang melek politik serta hukum, sehingga
siswa sadar akan peranannya sebagai warga negara untuk kehidupan yang akan datang, serta
mampu menegakkan norma/ hukum yang berlaku di lingkungan masyarakatnya, guna
kelangsungan hidupnya.
2.4 Karakter Bangsa Indonesia
Sumber karakter adalah belief system yang telah terpatri dalam sanubari bangsa, dan
tantangan dari luar yang datang, sehingga akan membetuk sikap dan perilaku yang akan
mengantar bangsa mencapai kehidupan yang sukses. Bagi bangsa Indonesia belief system
adalah Pancasila yang di dalamnya mengandung konsep, prinsip, dan nilai yang merupakan
faktor endogen bangsa Indonesia dalam membetuk karakternya.Selain itu, kita harus secara
kontekstual belajar Pancasila dan mempelajari karakter yang bagus. Personifikasi bangsa
terdapat pada konstitusi. Pembelajaran berbasis Pancasila dan UUD 1945 adalah salah satu
wujud nyata untuk pembentukan karakter bangsa Indonesia.
Karakter, menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (1988: 389), mempunyai makna,
sifat-sifat kejiwaan, akhlak atau budi pekerti yang membedakan seseorang dengan yang
lain; tabiat; watak. Sedangkan bangsa menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, (1988: 76),
mempunyai makna “Kesatuan orang- orang yang bersamaan asal keturunan, adat, bahasa
dan sejarahnya, serta pemerintahan sendiri”. Secara kodrati, manusia sebagai makhluk Tuhan,
memiliki fungsi sebagai makhluk individu dan makhluk sosial. Dengan identitas sebagai makhluk
sosial, manusia dihadapkan pada berbagai masalah. Kenyataan ini menimbulkan perlunya
wadah yang terejawantah dalam berbagai bentuk asosiasi.
Budiyanto (2003: 1) mengatakan “dalam arti sosiologis, bangsa termasuk kelompok
paguyuban yang secara kodrati ditakdirkan untuk hidup bersama dan senasib sepenanggungan
di dalam suatu negara”. Dalam sebuah negara, rakyat harus tunduk dan patuh pada kekuasaan
negara. Berdasarkan hubungannya dengan daerah tertentu di dalam suatu negara, rakyat
dapat dibedakan menjadi penduduk dan bukan penduduk. Sedangkan berdasarkan
hubungannya dengan pemerintah negaranya, rakyat dapat dibedakan menjadi warga negara
dan bukan warga negara. Rakyat dalam jumlah besar merupakan kumpulan masyarakat yang
membentuk negara disebut bangsa.
Ana Andriani
307
Pembentukkan karakter bangsa melalui penanaman nilai Pancasila terhadap
siswa merupakan suatu keharusan. Salah satu mata pelajaran yang memuat pendidikan
nilai adalah mata pelajaran PKn. Sebagai salah satu mata pelajaran yang memuat
pendidikan nilai, PKn digunakan “sebagai wahana untuk mengembangkan dan
melestarikan nilai luhur dan moral yang berakar pada budaya bangsa Indonesia,
diharapkan dapat diwujudkan dalam bentuk perilaku dalam kehidupan sehari-hari
peserta didik, baik sebagai individu maupun sebagai anggota masyarakat dan makhluk
ciptaan Tuhan Yang Maha Esa” (Depdikbud 1994: 2).
Menurut Ernest Renan (dalam Budiyanto 2003: 2), bangsa terbentuk karena
adanya keinginan untuk hidup bersama (hasrat untuk bersatu) dengan perasaan
kesetiakawanan yang agung. Sedangkan menurut Ratzel, bangsa terbentuk karena
adanya hasrat bersatu. Hasrat itu timbul karena adanya rasa kesatuan antar manusia
dan tempat tinggalnya.
Hertz dalam bukunya Nationality in history and Politics (dalam Budiyanto, 2003:
5) mengemukakan bahwa ada empat unsur yang berpengaruh dalam terbentuknya suatu
negara, yaitu:
a. Keinginan untuk mencapai kesatuan nasional yang terdiri atas kesatuan
sosial, ekonomi, politik, agama, kebudayaan, komunikasi, dan solidaritas.
b.Keinginan untuk mencapai kemerdekaan dan kebebasan nasional
sepenuhnya, yaitu bebas dari dominasi dan campur tangan bangsa asing
terhadap urusan dalam negerinya.
c. Keinginan akan kemandirian, keunggulan, individualitas, keaslian, atau
kekhasan, contoh: menjunjung tinggi bahasa nasional yang mandiri.
d. Keinginan untuk menonjol (unggul) diantara bangsa-bangsa dalam mengejar
kehormatan, pengaruh dan prestise.
Dengan melihat pada unsur pembentukkan negara, maka terdapat karakter
bangsa yang unik. Di sini terkandung makna: sifat kejiwaan, atau tabiat yang dimiliki
oleh bangsa. Khususnya dengan bangsa Indonesia, terkandung sifat kejiwaan atau tabiat
yakni berupa nilai-nilai luhur yang merupakan warisan nenek moyang yang menjadi
pedoman dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara, sehingga bangsa
Indonesia mempunyai ciri yang khas yang berbeda dengan bangsa lainnya.
Fenomena globalisasi disamping memberi dampak positif, juga berdampak
negatif, yakni menimbulkan ancaman terhadap integritas bangsa, karena globalisasi
adalah dominasi dan intervensi dalam bentuk baru. Hegemoni kebudayaan akan terjadi,
karena kebudayaan asing akan masuk untuk menggantikan kebudayaan asli, sehingga
menimbulkan ancaman kebudayaan, yang pada akhirnya akan berdampak pada
kehidupan politik, serta terhadap kelangsungan hidup berbangsa dan bernegara.
Dampak negatif globalisasi yang paling dikhawatirkan adalah terkikisnya nilai-
nilai luhur bangsa yang menjadi pedoman dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa
Ana Andriani
308
dan bernegara, yang akhirnya digantikan dengan nilai-nilai baru yang bertentangan
dengan budaya bangsa. Salah satunya adalah karakter bangsa, yang mempunyai sifat-
sifat yang khas yang berbeda dengan bangsa lainnya.
Pendidikan dalam era globalisasi ini hendaknya tidak terkesan lapuk dan kaku,
serta tidak ketinggalan oleh dinamika perubahan, seperti yang diungkap oleh Al Muchtar
(2001: 57) bahwa:
Pendidikan ketinggalan oleh derap perubahan yang sangat cepat terlebih dalam
era globalisasi dewasa ini. Pendidikan dihadapkan pada tantangan yang sangat
terbuka sebetulnya untuk melakukan berbagai inovasi. Namun dilain pihak
pendidikan pada negara berkembang, seperti di negara kita, masih dihadapkan
kepada terbatasnya dana pendidikan.
Pihak yang dianggap rentan terhadap masuknya budaya asing ini adalah kaum muda,
khususnya siswa, dimana di usia yang masih mencari identitas diri, mereka akan menjadi
“mangsa empuk” globalisasi, seandainya mereka tidak dibentengi oleh iman serta kesadaran
dan komitmen terhadap budaya Indonesia.
Di era globalisasi, semua perkembangan pada prinsipnya akan dapat menembus,
mengabaikan, atau memperkecil makna batas-batas negara dan perbedaan antar negara,
mengembangkan kebersamaan dan tatanan baru yang lebih luas. Maka pelaksanaan
pendidikan dalam rangka pembentukkan karakter bangsa melalui pembinaan wawasan
kebangsaan, merupakan prioritas sasaran. Moeljarto (dalam Poespowardojo, 1994: 159),
mengemukakan adanya empat sasaran prioritas pendidikan wawasan kebangsaan, yaitu: “aktor
intelektual, media massa, keluarga, dan aparat pemerintahan. Keluarga menjadi salah satu
prioritas karena fungsi penting yang dimilikinya”. Termasuk sekolah sebagai substansi keluarga,
mempunyai peranan penting dalam pembentukan karakter bangsa.
Tantangan wawasan kebangsaan Indonesia sebagai akibat globalisasi juga tumbuh
suburnya sifat materialisme dan individualisme yang sangat membahayakan persatuan –
kesatuan serta kepribadian bangsa. Seperti diungkapkan oleh Suwito (dalam Suprayogi, 1997:
47), yang menyatakan: “…sikap individualisme dan materialisme kini makin menonjol. Bahkan,
pola hidup konsumtif kian merebak, serta semangat kebangsaan makin tipis, serta kadar
keimanan dan ketakwaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa semakin luntur”.
Begitu dahsyatnya pengaruh globalisasi yang melanda bangsa, hingga banyak
kalangan yang khawatir dengan tantangan ini sehingga harus disikapi dengan arif dan bijaksana.
Berkaitan dengan upaya bangsa Indonesia memelihara kelangsungan kehidupan bangsanya,
guna tetap mempunyai karakter bangsa Indoensia yang khas, dengan bersumber dari nilai-
nilai luhur bangsa yang termaktub dalam nilai Pancasila. Pegangan yang sangat diperlukan
bagi bangsa dalam kehidupan bangsanya agar tetap lestari tidak lain adalah cara pandang
yang sama, yang dilingkupi oleh rasa kebangsaannya, paham kebangsaannya, dan semangat
kebangsaannya dalam mewujudkan cita-cita nasionalnya.
Memperkokoh rasa kebangsaan, itulah kunci kesuksesan yang harus ditanamkan
pada anak bangsa, melalui pendidikan. Jika tidak, maka pembangunan tidak akan pernah
berhasil, dan kita akan tetap larut dalam putaran masalah, serta menjadi pecundang.
Ana Andriani
309
Kemenangan bukanlah berarti mengalahkan orang lain, namun kekalahan kita adalah
mengabaikan kemampuan dan kelebihan anugrah yang telah diberikan Allah SWT. kepada
kita. Memasuki era persaingan global dan keterbukaan dunia, kini dan esok, tak ada satu
bangsa-pun yang ingin ketinggalan atau kembali dibodohi oleh kekuatan baru. Republik
Indonesia dengan semangat kebangsaannya sejak Proklamasi 1945, setidaknya telah
menorehkan tujuan substansial hidup berbangsa dan bernegara sebagai upaya menjunjung
tinggi harkat dan martabat manusia.
III. SIMPULAN
Keluarga memiliki peranan penting dalam pendidikan anak/siswa dikarenakan di
sanalah madrasah (sekolah) pertama anak dalam mengenal lingkungan terkecilnya. Ayah
dan ibu adalah tauladan pertama yang akan ditiru oleh anak, baik dan buruk anak bergantung
pada pendidikan yang diberikan orang tuanya. Penanaman nilai-nilai kehidupan dimulai di
dalam keluarga, baik-buruk, benar-salah, orang tua yang memperkenalkan pertama kali.
Maka peran orang tua tidak dapat digantikan oleh siapapun. Seperti diungkap Al-Ghazali:
anak dilahirkan dengan membawa fitrah yang seimbang dan sehat. Kedua orang tua-nya lah
yang memberikan agama kepada mereka. Demikian pula anak dapat terpengaruh oleh
sifat-sifat yang buruk, dan ia mempelajarinya di lingkungan tempat tinggalnya.
Sekolah merupakan salah satu lingkungan anak setelah keluarga. Dimana sekolah
merupakan lembaga pendidikan formal yang secara sistematis melakukan program bimbingan,
pengajaran, dan latihan dalam rangka membantu siswa agar mampu mengembangkan
potensinya, baik yang menyangkut aspek moral-spiritual, intelektual, emosional, maupun sosial.
Peran pendidikan di sekolah harus memberi tempat terhadap permasalahan-permasalahan
ini, sebagaimana dikatakan Havighurst (1961: 5), “sekolah mempunyai peranan atau tanggung
jawab penting dalam membantu para siswa mencapai tugas perkembangannya”. Hal ini
berbeda dengan peran pendidikan di keluarga dan pendidikan di masyarakat. Perbedaan itu
terletak pada cara (mean). Adanya perbedaan ini dapat dipahami, mengingat struktur sosial
sekolah lebih komprehensif dibandingkan dengan struktur sosial dalam keluarga.
Mengenai peranan sekolah dalam mengembangkan kepribadian anak, Hurlock (dalam
Yusuf, 2005: 54), mengemukakan bahwa “sekolah merupakan faktor penentu bagi
perkembangan kepribadian anak (siswa), baik dalam cara berfikir, bersikap, maupun
berperilaku. Sekolah berperan sebagai substansi keluarga, dan guru substansi orang tua”. Ada
beberapa alasan, dimana sekolah memainkan peranan penting bagi perkembangan
kepribadian anak, diantaranya: a) para siswa harus hadir di sekolah; b) sekolah memberikan
pengaruh kepada anak secara dini, seiring dengan perkembangan konsep diri-nya; c) anak-
anak banyak menghabiskan waktu di sekolah daripada di tempat lain di luar rumah; d) sekolah
memberikan kesempatan kepada anak untuk meraih sukses; dan e) sekolah memberi
kesempatan pertama kepada anak untuk menilai dirinya, dan kemampuannya secara realistik.
Pancasila harus diajarkan secara keseluruhan, maka harus disusun program PKn
pertahun, dari tahun ke-satu, dua, dan seterusnya, agar terjadi kesinambungan dan keterlanjutan.
Ana Andriani
310
Dalam Pancasila sebagian boleh mengajarkan nilai kategorikal/esensial seperti Ketuhanan,
kemanusiaan, kesatuan, kerakyatan dan keadilan. Namun diharapkan kita lebih kreatif dengan
menggabungkan nilai kategorikal/esensial itu dengan nilai sehari-hari/instrumental seperti
hukum, politik, pengadilan, ekonomi, bisnis, olah raga, kesehatan, kesenian, HAM (Hak Asasi
Manusia) dan sebagainya.
Sehubungan dengan itu, maka pembentukan karakter bangsa perlu diupayakan
dalam masa ini. Agar pemahaman siswa sebagai generasi muda, tentang pentingnya
memahami nilai Pancasila, terutama pada mata pelajaran PKn dalam pembentukkan
karakter bangsa dapat lebih dini dikuasai. Sejalan dengan hal itu, Mahendra (1996:
223) mengatakan bahwa “Untuk dapat memainkan peranannya dalam upaya
demokratisasi dengan efektif, kita memerlukan generasi muda yang memiliki integritas
pribadi, mandiri, teguh kesetiaannya kepada Pancasila dan UUD 1945, berwawasan
kebangsaan, mempunyai kemampuan profesional yang tinggi dan dukungan serta
mampu memandang jauh ke depan”.
Kepeloporan generasi muda dalam pembentukkan karakter bangsa, harus diupayakan,
agar keberadaan bangsa dengan karakter yang unik tetap lestari. Mengenai kemampuan untuk
menjaring minat siswa, diharapkan seluruh peran masyarakat dan pemerintah untuk membantu
terlaksananya pendidikan ke arah yang lebih maju. Dalam membentuk sikap dan perilaku
dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara, dapat diwujudkan dalam waktu
dekat sehingga siswa mampu menjadi warga negara baik dan bertanggung jawab. Karakter
bangsa yang diharapkan adalah yang sesuai dengan nilai-nilai Pancasila.
Pembentukkan karakter bangsa melalui penanaman nilai Pancasila terhadap siswa
merupakan suatu keharusan. Dimulai dengan pembiasaan, maka kunci terpenting ada dalam
pendidikan. Keluarga sebagai unsur pertama yang dapat menjadi pondasi kuat bagi
pembentukkan karakter bangsa, dilanjutkan dengan sekolah sebagai institusi resmi pendidikan
yang mempunyai kontribusi besar dalam pembentukkan karakter bangsa, khususnya pelajaran
PKn dengan muatan nilai Pancasila sebagai dasar negara. Selain itu seluruh komponen sekolah
dari mulai pimpinan sampai penjaga sekolah harus memberikan teladan kepada siswa melalui
pembiasaan dalam kehidupan sehari-hari, agar senantiasa bersikap dan berperilaku sesuai
dengan nilai Pancasila.
DAFTAR PUSTAKA
Affandi, I. 1996. Kepeloporan Organisasi Kemasyarakatan Pemuda dalam Pendidikan
Politik, Disertasi Doktor pada PPS IKIP Bandung: tidak diterbitkan.
Al Muchtar, S. 2001. Pendidikan dan Masalah Sosial Budaya. Bandung: Gelar Pustaka Mandiri.
Djahiri, A. K. 2004). Esensi Pendidikan Nilai Moral di Era Globalisasi. Makalah pada Seminar
Pendidikan Umum UPI, Bandung.
————, A. K. 1992. Menelusuri Dunia Afektif-Nilai Moral dan Pendidikan Nilai Moral
Laboratorium Pengajaran PMP IKIP Bandung.
Ana Andriani
311
————, A. K. 1998. Beberapa Pemikiran ke Arah Revitalisasi Program Pengajaran PPKn-IPS
dan Tata Negara pada Persekolahan, Bandung: Laboratorium PPKN IKIP.
Engkoswara. 2004). Iman Ilmu Amaliah Indah: Upaya Mencegah Kerusuhan, Korupsi dan
Disintegrasi Bangsa serta Bekal Manusia Hidup di Dunia dan Akhirat. Bandung: Yayasan
Amal Keluarga.
Havighurst. 1961. Human Development & Education. New York: David Mckay Co.
Sanusi, A. 1998 Pendidikan Alternatif. Bandung: Grafindo Media Pratama.
Sukarto. 1994. Peningkatan Kualitas Pengamalan Wawasan Kebangsaan dalam PJP Kedua
(Himpunan Makalah Saresehan Nasional). Jakarta: Departemen Penbitmassmed DPP
Golkar.
Suyatno. 2001. Strategi Pendidikan Nasional, Jakarta: Uhamka Press Undang-Undang Dasar 1945.
Winataputra, U. S. 2001. “Jatidiri Pendidikan Kewarganegaraan sebagai Wahana Sistemik
Pendidikan Demokrasi (Suatu Kajian Konseptual dalam Konteks Pendidikan IPS)”
Disertasi, PPS UPI Bandung: tidak diterbitkan.
—————----------. 2006. “PKn (Pendidikan Kewarganegaraan) sebagai Pendidikan Disiplin
Ilmu: Tantangan Epistimologis, dan Implikasi Pedagogis”. Makalah, UPI Bandung.
Yodohusodo, S. 1996. Semangat Baru Nasionalisme Indonesia. Jakarta: Yayasan Pembangunan
Bangsa.
Ana Andriani
312
PENDIDIKAN MULTIKULTUR SEBAGAI PENDEKATAN ALTERNATIF
DALAM PEMBELAJARAN IPS
Anwar Senen
Universitas Negeri Yogyakarta
ABSTRAK
Indonesia adalah negara yang terdiri dari beraneka ragam budaya, ras, suku bangsa, agama,
bahasa, yang mendiami ribuan pulau yang bertebaran di wilayah nusantara. Sudah tepat di
dalam berbangsa dan bernegara Indonesia bersemboyan “Bhineka Tunggal Ika” berdasar
pada Pancasila. Kenyataan yang terjadi, untuk keberlangsungan hidup bangsa Indonesia yang
harmonis dan demokratis sampai saat sekarang ini kadang masih terjadi konflik yang
mengkhawatirkan di masyarakat dengan latar belakang suku, budaya, agama, golongan, dan
lain-lain. Pendidikan IPS memiliki peran penting ikut membangun kesadaran kepada siswa
(generasi muda) untuk dapat saling menghargai dan toleran agar bisa hidup berdampingan
secara harmonis di masyarakat dengan berbagai perbedaan yang ada dalam wadah NKRI
dengan dasar Pancasila.
Kata kunci: Pendidikan multikultur, Pembelajaran IPS
I. PENDAHULUAN
Bhinneka Tunggal Ika adalah semboyan dari Negara Indonesia dalam berbangsa dan
bernegara yang berarti berbeda-beda tapi tetap satu jua. Hal ini sudah jelas menandakan
bahwa Indonesia merupakan negara yang memiliki keragaman budaya, suku bangsa, agama,
bahasa, dan sebagainya. Kelompok suku dan budaya seperti Aceh, Batak, Minangkabau, Dayak,
Sunda, Jawa, Bugis, Papua dan lain-lain adalah contoh dari keragaman tersebut. Oleh sebab
itu pula, Negara Indonesia disebut sebagai negara multikultural.
Keragaman ini memang diakui telah memunculkan beberapa persoalan, misalnya
perkelahian antar suku, separatisme, dan hilangnya rasa kemanusiaan untuk menghormati
hak-hak orang lain. Untuk memecahkan masalah tersebut, maka dibutuhkan suatu solusi,
salah satunya adalah model pendidikan multikultur.
Pendidikan multikultur pada intinya adalah pendidikan yang memberikan penekanan
terhadap proses penanaman cara hidup yang saling menghormati, tulus, dan toleran terhadap
keanekaragaman budaya yang hidup di tengah-tengah masyarakat dengan tingkat pluralitas
yang tinggi. Dengan model pendidikan ini, diharapkan masyarakat Indonesia mampu menerima,
Anwar Senen
313
mentolerir, dan menghargai keragaman yang ada. Dalam pendidikan multikultur, seorang
pendidik diharapkan tidak saja profesional dalam bidang akademik, tetapi juga harus mampu
menanamkan nilai-nilai inti dari pendidikan multikultur itu yakni demokrasi, humanisme, dan
pluralisme. Pendidikan multikultur diharapkan mampu menjawab tantangan zaman di masa
globalisasi ini. Pendidikan merupakan salah satu tolak ukur dan standar mengenai seberapa
jauh suatu negara mampu bersaing di dunia internasional. Semakin baik mutu pendidikan
suatu negara, maka negara itu semakin siap dalam menghadapi persaingan global (Rohman,
2013: On Line).
Pada era reformasi sekarang ini, bangsa Indonesia ada kecenderungan mengalami
disintegrasi. Krisis moneter, ekonomi, dan politik yang bermula pada awal 1998, selanjutnya
mengakibatkan terjadinya krisis sosio-kultural di dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.
Gejala merosotnya penghargaan dan kepatuhan terhadap hukum, etika, moral, dan kesantunan
sosial sungguh tampak nyata dalam kehidupan berbangsa bernegara sekarang ini. Banyaknya
kasus hukum dengan latar belakang ekonomi, kriminal, politik, etnis, agama, dan lain-lain
telah membuktikan betapa orang atau kelompok sosial sudah mendahulukan kepentingan
pribadi atau kelompoknya dan tidak menghargai lagi kepentingan orang lain atau kelompok
lain dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.
Multikulturalisme sebagai paham yang menekankan pada kesederajatan dan
kesetaraan budaya-budaya lokal serta menerima atau mengakui eksistensi budaya yang lain.
Hal ini penting kita pahami bersama untuk dapat diterapkan dalam kehidupan bermasyarakat
yang multikultur seperti Negara kita Indonesia. Jika tidak dipahami maka dalam masyarakat
kita yang multikultur kemungkinan besar akan selalu terjadi konflik sosial akibat tidak saling
pengertian dan tidak saling menghargai terhadap realitas perbedaan yang ada di masyarakat.
Anwar Senen
314
multikulturalisme. Untuk mewujudkannya diperlukan penghayatan yang utuh dan pengalaman
yang tulus serta dukungan prasarana sosial budaya (Madjid, dalam Republika 10 Agustus
1999). Menurut Winataputra (2008) perlu dikembangkan budaya kewarganegaraan Indonesia
yang multikultural, yang berintikan “civic virtue” atau kebajikan atau akhlak kewarganegaraan.
Kabajikan itu sepenuhnya harus terpancar dari nilai-nilai Pancasila yang secara substantif
mencakup keterlibatan aktif warga negara, hubungan kesejajaran/egaliter, saling percaya dan
toleran, kehidupan yang kooperatif, solidaritas, dan semangat kemasyarakatan multikultural.
Semua unsur akhlak kewarganegaraan itu diyakini akan saling memupuk dengan kehidupan
“civic community” atau “civil society” atau masyarakat madani untuk Indonesia yang berdasarkan
Pancasila.
Menyadari kondisi kehidupan masyarakat dan bangsa Indonesia yang pluralistik ini,
maka asas kerakyatan, hikmat kebijaksanaan, permusyawaratan, dan perwakilan menjadi dasar
utama kehidupan bersama. Prinsip-prinsip kehidupan berdemokrasi yang cerdas dan bijaksana,
yang satu tidak mendominasi yang lain, hidup toleran dan tenggang rasa, saling menghormati,
menghormati norma-norma hukum yang berlaku, menempatkan kepentingan bangsa dan
negara di atas kepentingan pribadi dan golongan, selalu bekerja sama secara harmonis,
pengambilan keputusan dilakukan dengan musyawarah dan mufakat, dan pemimpin
mengutamakan kepentingan rakyat adalah nilai-nilai karakter yang harus dimiliki generasi
muda. Dalam hal ini, pembelajaran IPS sangat tepat disajikan dalam bentuk pendekatan
multikultural guna memberikan apresiasi khususnya kemajemukan budaya, yang aplikasinya
guru perlu berwawasan demokratis dalam memahami para siswanya.
Pendidikan di Indonesia tampaknya masih merupakan pendidikan yang berorientasi
dan bertujuan mentransfer model ilmu pengetahuan barat yang sudah maju yang cenderung
rasionalistik-empirik-materialistik. Implikasinya, pendidikan di Indonesia tanpa jiwa, tanpa roh,
tanpa karakter serta nilai-nilai ideologis, moral, dan spiritual cenderung terabaikan (Sukadi,
2012: 82). Guru IPS harus bisa memberikan teladan bagaimana harus memanfaatkan modal
fisik, modal sosial, modal budaya, kekuatan moral, dan modal spiritual untuk mencapai tujuan
bersama yang lebih besar mencerdaskan kehidupan bangsa seperti yang diteladankan para
pendiri bangsa dalam merebut kemerdekaan untuk membangun bangsa dan negara Indonesia.
Menurut Swasono (2012: 5-6) terkait dengan tugas pendidikan guna “mencerdaskan
kehidupan bangsa”, memiliki konsepsi dan makna budaya dan bukan konsepsi biologis-
genetika semata. Dalam konsepsi seperti ini mencerdaskan kehidupan bangsa bukanlah hanya
bermakna mencerdaskan otak intelektual bangsa. Di sini bukan hanya mengatasi kebodohan
sosial, tetapi juga harus melawan keterbelakangan sosial. Dengan mencerdaskan kehidupan
bangsa berarti kita berupaya meningkatkan kualitas: ketakwaan, literasi sains, literasi sosial,
seni dan budaya, keberadaban, kesadaran sejarah, geografi dan spasial, ideologi, persatuan,
kebersamaan dan gotong royong (kerakyatan), solidaritas, penguasaan iptek, kedaulatan,
kemandirian, martabat, kesetaraan, modernisasi, keberanian dan kejujuran, serta humanisme.
Dari konsepsi tersebut jelaslah bahwa mencerdaskan kehidupan bangsa sebenarnya
tidak bisa dilepaskan dari konsep nation and character building, yaitu membangun karakter
Anwar Senen
315
dan peradaban kehidupan bangsa. Mambangun karakter kehidupan berbangsa jelas terkait
dengan nilai-nilai Pancasila sebagai jiwa dan kepribadian bangsa. Untuk ini pendidikan haruslah
mampu memberdayakan dan membudayakan generasi muda agar selalu berpikir, memiliki
orientasi nilai dan sikap, serta berperilaku sesuai dengan nilai-nilai Pancasila yang bisa dinamis
sepanjang masa. Sedangkan membangun peradaban kehidupan berbangsa adalah
mengaktualisasikan kepribadian bersama tersebut menjadi aktivitas sosial budaya yang akan
mewarnai keunggulan dan kemajuan kehidupan berbangsa di tengah-tengah globalisasi ini.
Anwar Senen
316
Banks (1993: 3) menjelaskan bahwa pendidikan multikultural sebagai pendidikan untuk
masyarakat yang penuh dengan perbedaan (people of colour). Sementara, Mahfud (2011: 12)
mengatakan, pendidikan multikultural ingin mengeksplorasi perbedaan sebagai keniscayaan,
kemudian memberi apresiasi perbedaan itu dengan semangat egaliter dan toleran.
Menurut Banks (1993: 245) esensi pendidikan multikultural adalah perubahan sosial
dalam pendidikan. Perubahan ini mengacu pada pola pikir yang lebih mendalam dan kritis,
imajinatif dan komitmen terhadap masa depan termasuk kesejahteraan umat manusia serta
aspek-aspek lain yang mengarah pada keadilan dan demokrasi. Selain itu, ide esensial dari
pendekatan multikultural dalam pendidikan adalah penghargaan dan penilaian yang tinggi
terhadap kebudayaan serta individu-individu pendukungnya.
Wiriaatmadja (2002: 225) berpendapat bahwa tujuan utama pendidikan multikultural
adalah mempersiapkan anak didik dengan sejumlah pengetahuan, sikap, dan keterampilan
yang diperlukan dalam lingkungan budaya etnik mereka, budaya nasional dan antar budaya
etnik lainnya. Dengan pendidikan multikultural, masyarakat dapat memahami kehidupan yang
serba kompleks seperti era sekarang. Menurut Parekh, (2002: 268) gagasan tentang dialogical
consensus termasuk dialog antar-budaya (intercultural dialogue) dapat diwujudkan bila
didukung pendidikan multikultural yang memberikan pemahaman kepada masyarakat luas
tentang makna kehidupan yang sesungguhnya.
Pendidikan multikultural tidak berarti sebatas “berbicara kemajemukan” belaka.
Pendidikan multikultural lebih tepat diarahkan sebagai advokasi untuk menciptakan masyarakat
yang toleran dan bebas toleransi sehingga tidak akan terjadi adanya diskriminasi di masyarakat
dan agar dapat menghindarkan adanya superioritas kelompok tertentu pada kelompok lainnya.
Dalam konteks ini, pendidikan multikultural merupakan pendekatan progresif untuk melakukan
transformasi pendidikan dan budaya masyarakat secara menyeluruh, juga untuk memperbaiki
kekurangan dan kegagalan dalam praksis pendidikan yang bersifat diskriminatif. Hal ini sesuai
dengan prinsip penyelenggaraan pendidikan yang termaktub dalam UU Sisdiknas tahun 2003
pasal 4 ayat 1, bahwa pendidikan nasional diselenggarakan secara demokratis dan berkeadilan
serta tidak diskriminatif dengan menjunjung tinggi hak asasi manusia (HAM), nilai keagamaan,
nilai kultural, dan kemajemukan bangsa. Pendidikan multikultural hendaknya dapat memfasilitasi
proses belajar mengajar yang menghargai keragaman dan perbedaan, toleran, dan sikap
yang terbuka (inklusif).
Anwar Senen
317
tinggi. Melalui pendidikan multikultur yang terintegrasi secara holistik dalam mata pelajaran,
disinyalir dapat meningkatkan pemahaman dan pelatihan keterampilan hidup dalam
keberagaman kepada peserta didik, sehingga pada saatnya nanti mereka mampu menjalankan
kehidupan bermasyarakat yang multikultur dalam wadah negara kesatuan..
Pendidikan IPS memungkinkan dapat membangun kesadaran multikultur, karena
lingkup pembelajaran IPS dalam aspek budaya para siswa dimungkinkan untuk diperkenalkan
berbagai macam etnik yang ada di Indonesia. Guru dalam hal ini dapat menyampaikan
pembelajaran dengan pendekatan multikultur yaitu menyajikan materi dengan cara
mengembangkan kesadaran untuk saling menghargai dan menghormati adanya aneka ragam
perbedaan suku-budaya, agama, bahasa, dan laian-lain.
Terkait dengan hal di atas, bila kita merefleksi dan memprediksi tantangan kehidupan
global dan pentingnya menjaga stabilitas serta integritas bangsa, maka ada sejumlah strategi
pendidikan yang harus dikembangkan seperti: peningkatan pendidikan moral dan budi pekerti,
penanaman pemahaman dan kesadaran (literasi) terhadap keberagaman kultur kebangsaan,
perbaikan kualitas proses dan produk pembelajaran, penyiapan perangkat instruksional yang
mendukung peningkatan mutu pendidikan, dan lain-lain yang mendukung bagi tercapainya
pembelajaran yang bersifat multikultur. Menurut Lasmawan (2010: On Line) pengembangan
model pendidikan multikultur harus diorientasikan pada: (1) penanaman pemahaman dan
kesadaran akan keberagaman dalam kesatuan, (2) pengintegrasian domain multikultur secara
holistik kedalam beberapa mata pelajaran, (3) pengembangan konsep dan generalisasi pokok
pendidikan multikultur, (4) model pengorganisasian materi pendidikan multikultur, dan (5)
pengembangan model penilaian kompetensi multikultur.
Filosofi pendidikan yang tercantum dalam Kurikulum 2013 mengatakan, bahwa
pendidikan berbasis pada nilai-nilai luhur, nilai akademik, kebutuhan peserta didik, dan
masyarakat berorientasi pada pengembangan kompetensi. Dijelaskan pula, bahwa
pembelajaran pada wujudnya adalah berbentuk transformasi nilai. Oleh sebab itu, harus
menunjukkan adanya perubahan proses pembelajaran yaitu dari siswa diberi tahu menjadi
siswa mencari tahu dan proses penilaian yaitu dari berfokus pada pengetahuan melalui penilaian
out put menjadi berbasis kemampuan melalui penilaian proses dan out put. Pada bidang ilmu
sosial, termasuk dalam hal ini pembelajaran IPS standar kompetensi lulusan pada ranah
afektif diharapkan agar peserta didik memiliki sikap toleransi, gotong royong, kerjasama, dan
musyawarah (Kurikulum 2013: On Line).
Hakekat IPS menurut Hasan (2000; 1) adalah studi integratif tentang kehidupan manusia
dalam berbagai dimensi ruang dan waktu dengan aktifitasnya. Pendidikan IPS merupakan
mata pelajaran yang disusun secara sistematis, komprehensip, dan terpadu dalam proses
pembelajaran menuju kedewasaan dan keberhasilan dalam kehidupan di masyarakat. Tujuan
pembelajaran IPS adalah: (1) mengembangkan pengetahuan dasar kesosiologian,
kegeografian, keekonomian, kesejarahan, dan kewarganegaraan; (2) mengembangkan
kemampuan berpikir kritis, keterampilan inkuiri, pemecahan masalah dan keterampilan sosial;
(3) membangun komitmen dan kesadaran terhadap nilai-nilai kemanusiaan, dan (4) memiliki
Anwar Senen
318
kemampuan berkomunikasi, berkompetisi dan bekerja sama dalam masyarakat yang majemuk,
baik dalam skala lokal, nasional, maupun internasional (Hasan, 1996: Maryani, 2011: 60).
Dalam menyampaikan pembelajaran IPS dengan berpijak pada pendidikan multikultur
guru perlu menggunakan pendekatan demokratis. Pada konteks ini, pendidik diharapkan
memiliki kompetensi multikultural. Elashmawi dan Haris (1994: 6-7) mengatakan ada enam
kompetensi multikultural pendidik, yaitu: (1) memiliki nilai dan hubungan sosial yang luas; (2)
terbuka dan fleksibel dalam mengelola keragaman peserta didik; (3) siap menerima perbedaan
disiplin ilmu, latar belakang, ras, dan gender; (4) memfasilitasi pendatang baru dan peserta
didik yang minoritas; (5) mau berkolaborasi dan koalisi dengan pihak manapun; dan (6)
berorientasi pada program dan masa depan.
Pada dasarnya belajar merupakan suatu proses, suatu kegiatan, dan bukan suatu
hasil atau tujuan. Belajar bukan hanya mengingat, menghafalkan materi, yang lebih penting
adalah mengalami, perubahan tingkah laku seseorang. Belajar adalah modifikasi atau
memperteguh kelakuan melalui pengalaman (learning is defined as the modification or
strengthening of behavior through experiencing). Berarti, jika seseorang melakukan belajar
tetapi tidak berubah tingkah lakunya, maka pada dasarnya orang itu gagal dalam proses
belajarnya (Hamalik, 2003: 27).
Beberapa hal yang penting untuk diketahui dalam proses pembelajaran, antara lain:
(1) Situasi belajar harus bertujuan dan tujuan-tujuan itu diterima baik oleh masyarakat; (2)
Tujuan dan maksud belajar timbul dari kehidupan anak sendiri; (3) Di dalam mencapai tujuan
itu, siswa senantiasa akan menemui rintangan, dan situasi-situasi yang tidak menyenangkan;
(4) Hasil belajar yang utama ialah pola tingkah laku yang bulat; (5) Proses belajar terutama
mengerjakan hal-hal yang sebenarnya; (6) Kegiatan-kegiatan dan hasil-hasil belajar
dipersatukan dan dihubungkan dengan tujuan dalam situasi belajar; (7) Siswa memberikan
reaksi secara keseluruhan; (8) Siswa mereaksi sesuatu aspek dari lingkungan yang bermakna
baginya; (9) Siswa diarahkan dan dibantu oleh orang-orang yang berada dalam lingkungan itu;
dan (10) Siswa dibawa/diarahkan ketujuan-tujuan lain, baik yang berhubungan maupun tidak
berhubungan dengan tujuan utama dalam situasi belajar (Hamalik, 2003: 28-29).
Nasruddin (On Line) menjelaskan bahwa rasional tentang pentingnya pembelajaran/
pendidikan multikultural, karena strategi pendidikan ini dipandang memiliki keutamaan-
keutamaan, terutama dalam: (1) Memberikan terobosan baru pembelajaran yang mampu
meningkatkan empati dan mengurangi prasangka siswa atau mahasiswa sehingga tercipta
manusia (warga negara) antarbudaya yang mampu menyelesaikan konflik dengan tanpa
kekerasan (nonviolent); (2) Menerapkan pendekatan dan strategi pembelajaran yang potensial
dalam mengedepankan proses interaksi sosial dan memiliki kandungan afeksi yang kuat; (3).
Model pembelajaran multikultural membantu guru dalam mengelola proses pembelajaran
menjadi lebih efisien dan efektif, terutama memberikan kemampuan peserta didik dalam
membangun kolaboratif dan memiliki komitmen nilai yang tinggi dalam kehidupan masyarakat
yang serba majemuk; (4). Memberikan kontribusi bagi bangsa Indonesia dalam penyelesaian
dan mengelola konflik yang bernuansa SARA yang timbul di masyarakat dengan cara
Anwar Senen
319
meningkatkan empati dan mengurangi prasangka. Melalui pembelajaran berbasis multikultural,
sikap dan mindset (pemikiran) siswa akan lebih terbuka untuk memahami dan menghargai
keberagaman. Hal ini penting sebab dapat menghapuskan diskriminasi.
V. SIMPULAN
Pendidikan multikultur sangat diperlukan untuk membangun kesadaran saling
menghormati, toleran dan tulus hidup berdampingan dalam masyarakat yang memiliki
perbedaan ras, agama, suku bangsa, budaya, bahasa, golongan, dan lain-lain seperti Indonesia.
Melalui pendidikan multikultur, diharapkan generasi muda Indonesia semakin dewasa dalam
memaknai aneka perbedaan yang ada di masyarakat sehingga mampu meredam potensi
konflik sosial yang sering terjadi setelah diberlakukannya kebijakan otonomi daerah selama
ini. Dalam hal ini, pendidikan IPS memiliki potensi yang cukup untuk berperan secara optimal
ikut membangun kesadaran saling menghormati dan toleran agar generasi muda dapat hidup
berdampingan secara harmonis dalam wadah NKRI. Para guru IPS perlu didayagunakan
untuk secara kreatif, inovatif, dan demokratis dapat menyajikan pembelajaran dengan
pendekatan pendidikan multikultur secara optimal.
DAFTAR PUSTAKA
Banks, J.A. 1993. Multicultural Education: Issues and Perspectives. Needham Height,
Massachusetts: Allyn and Bacon.
Banks, J.A. 1993. Multicultural Education: Its Effects on Studies Racial and Gender Role Attitude
In Handbook of Research on Social Teaching and Learning. New York: MacMillan.
Elashmawi, farid & Haris, Philip R. 1994. Multicultural Management: New Skill for Global Success.
Malaysia: S. Abdul Majeed & Co.
Hamalik, Oemar. 2003. Kurikulum dan Pembelajaran. Jakarta: Bumi Aksara.
Hasan, Hamid S. 1996. Pendidikan Ilmu-Ilmu Sosial Buku I. Bandung: Jurusan Sejarah FIPS
IKIP Bandung.
Hasan, Hamid S. 2000. “Multikulturalisme untuk Penyempurnaan Kurikulum Nasional”, Jurnal
Pendidikan dan Kebudayaaan.
Kurikulum 2013. http://www.scribd.com/doc/120652530/Kurikulum-2013 diakses 25/4/2014
Lasmawan. 2010. Pendidikan Multikultur dalam IPS. http://lasmawan.blogspot.com/2010/10/
pendidikan-multikultur-dalam-ips.html diakses 12/6/2013
Madjid N. 1999. “Masyarakat Madani dan Investasi Demokrasi”, Republika: 10 Agustus 1999.
Mahfud, Choirul. 2011. Pendidikan Multikultural. Yogyakarta: Pustaka Pelajar Offset.
Maryani, Enok. 2011. Pengembangan Program Pembelajaran IPS untuk Peningkatan
Keterampilan Sosial. Bandung: Alfabeta.
Anwar Senen
320
Nasruddin, Imam. Menggagas Pendidikan Multikultural (Opsi Legal Pendidikan Berbasis
Kearifan Lokal) http://sumsel.kemenag.go.id/file/dokumen menggagaspendidikan
multikultural.pdf di akses 12/6/2013
Parekh, Bikhu. 2002. Rethinking Multiculturalism: Cultural Diversity and Political Theory.
Cambridge: Harvard University Press.
Rohman, M. Mujibur. 2013. Pendidikan Multikultural Dan Problemnya Di Indonesia. http://sosio-
history.blogspot.com/2013/01/pendidikan-multikultural-dan-problemnya.html diakses
12/6/2013.
Sukadi. 2012. “Sosok Ideal Pendidik Untuk Menyiapkan Manusia Indonesia Berkarakter Unggul
Generasi 2045”. Makalah Utama KONAPSI VII 2012, diselenggarakan oleh UNY
Yogyakarta, 31 Oktober-3 November 2012.
Swasono, Sri Edi. 2012. “Revitalisasi Pendidikan IPS dalam Pembangunan Karakter Bangsa”.
Makalah. Disajikan pada Seminar Pembangunan Karakter Bangsa oleh HISPISI di
UNY Yogyakarta, 15 Januari 2012.
UU RI No. 20 th. 2003 Tentang Sistem Pendidikan Nasional. Jakarta: Cemerlang, 2003.
Winataputra, Udin S. 2008. “Multikulturalisme-Bhinneka Tunggal Ika dalam Perspektif
Pendidikan Kewarganegaraan sebagai Wahana Pembangunan Karakter Bangsa
Indonesia”, Makalah diskusi dalam Dialog Multikultural untuk Membina Kerukunan
Antarumat Beragama yang diselenggarakan oleh Program Studi Pendidikan
Kewarganegaraan, Sekolah Pascasarjana UPI dan Kedeputian Bidang Pendidikan,
Agama, dan Aparatur Negara, Kementerian Kordinator Bidang Kesejahteraan Rakyat,
Republik Indonesia, tanggal 12 Agustus 2008, di Auditorium JICA FMIPA UPI, Bandung.
Wiriaatmadja, Rochiati. 2002. Pendidikan Sejarah di Indonesia: Perspektif Lokal, Nasional,
dan Global. Bandung: Historika Utama Press.
Anwar Senen
321
Anwar Senen
322
INTEGRASI PENDIDIKAN KARAKTER DALAM PENDIDIKAN IPS
DI PERGURUAN TINGGI
Baseran Nor
Universitas Lambung Mangkurat
ABSTRAK
Pendidikan karakter diterapkan dalam dunia pendidikan guna menciptakan generasi muda
yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa dan bertujuan untuk menjadi
manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat,
berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung
jawab. Nilai pendidikan karakter yang harus dikembangkan di perguruan tinggi mencakup (1)
religius; (2) jujur; (3) toleransi; (4) disiplin; (5) kerja keras; (6) kreatif; (7) mandiri; (8) demokratis;
(9) rasa ingin tahu; (10) semangat kebangsaan; (11) cinta tanah air; (12) menghargai prestasi;
(13) bersahabat/komunikatif; (14) cinta damai; (15) gemar membaca; (16) peduli lingkungan;
(17) peduli sosial; dan (18) tanggung jawab. Pengintegrasian pendidikan karakter dalam
pembelajaran IPS di perguruan tinggi dapat dilakukan melalui (1) perencanaan pembelajaran,
meliputi (a) silabus, (b) Satuan Acara Perkuliahan (SAP), dan (c) bahan ajar; (2) pelaksanaan
pembelajaran, meliputi (a) kegiatan pendahuluan, (b) kegiatan inti, dan (c) penutup; (3) penilaian
pembelajaran.
Kata kunci: Pendidikan Karakter, IPS, dan Perguruan Tinggi
I. PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Masalah
Tujuan Pendidikan Nasional menurut Undang-Undang Nomor 20 tahun 2003 tentang
Sistem Pendidikan Nasional, Pasal 3 adalah mengembangkan potensi peserta didik agar
menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia,
sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta
bertanggung jawab. Dalam konteks ini, tujuan pendidikan merupakan seperangkat hasil
pendidikan yang dicapai oleh peserta didik setelah diselenggarakannya kegiatan pendidikan.
Tersirat dalam tujuan pendidikan nasional tersebut bahwa melalui pendidikan hendak
diwujudkan kecerdasan spiritual, emosional, sosial, intelektual maupun kecerdasan kinestetika.
Pendidikan nasional mempunyai tujuan mulia terhadap individu peserta didik, yakni
membangun pribadi yang memiliki ilmu pengetahuan, meningkatkan kemampuan teknis,
mengembangkan kepribadian yang kokoh dan membentuk karakter yang kuat. Tujuan
Baseran Nor
322
II. PEMBAHASAN
2.1 Pengertian Pendidikan Karakter
Menurut Dani Setiawan (2010) dalam Agus Wibowo dan Sigit Purnama (2013: 33-34)
istilah karakter berasal dari kata dalam bahasa Latin, yaitu “kharakter”, “kharassein” dan “kharax”,
yang bermakna “tools for marking,” “to engrave” dan “pointed stake”. Kata ini mulai digunakan
dalam bahasa Prancis sebagai “caractere” pada abad ke-IV. Ketika masuk ke dalam bahasa
Inggris, katanya berubah menjadi “character” dan dirubah menjadi karakter dalam bahasa
Indonesia.
Menurut American Dictionary of the English Language (2001) dalam Agus Wibowo
dan Sigit Purnama (2013: 34) karakter merupakan istilah yang menunjuk kepada aplikasi nilai-
nilai kebaikan dalam bentuk tindakan atau tingkah laku. Sedangkan menurut Suyanto (2010),
karakter adalah cara berpikir dan berperilaku yang menjadi ciri khas tiap individu untuk hidup
dan bekerja sama, baik dalam lingkup keluarga, masyarakat, bangsa dan Negara. Berdasarkan
beberapa pengertian karakter menurut para ahli, maka dapat ditarik kesimpulan yang dimaksud
dengan karakter adalah cara berpikir atau berperilaku yang merupakan aplikasi dari nilai-nilai
kebaikan seseorang di lingkungannya.
Pendidikan merupakan upaya untuk mengembangkan ranah kognitif, afektif, dan
psikomotorik. Muara ranah kognitif adalah tumbuh dan berkembangnya kecerdasan dan
kemampuan intelektual akademik, ranah afektif bermuara pada terbentuknya karakter
kepribadian, dan ranah psikomotorik akan bermuara pada keterampilan vokasional dan perilaku.
Menurut Undang-Undang No. 20 Tahun 2003 tentang Sisdiknas menyebutkan bahwa
pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses
pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki
kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta
keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan negara. Berdasarkan pengertian
tersebut di atas terdapat tiga hal yang menjadi unsur dalam pendidikan yaitu:
1. Usaha sadar dan terencana.
Pendidikan sebagai usaha sadar dan terencana menunjukkan bahwa pendidikan
adalah sebuah proses yang disengaja dan dipikirkan secara matang. Oleh karena itu, di setiap
level manapun kegiatan pendidikan harus direncanakan terlebih dahulu, baik di tingkat nasional,
provinsi, kabupaten dan kota, maupun sekolah.
2. Mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik aktif
mengembangkan potensi dirinya. Pendidikan yang dikehendaki adalah pendidikan yang dapat
mewujudkan suasana belajar yang kondusif dan mendukung proses pembelajaran yang
menitikberatkan kepada keaktifan peserta didik untuk mengembangkan potensi diri yang dimiliki.
Artinya pendidikan tidak menuntut keberadaan pendidik sebagai satu-satunya sumber informasi
(teacher center) namun lebih berpusat kepada peserta didik (student center).
3. Memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan,
akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan negara.
Baseran Nor
324
menanamkan, mengembangkan dan menerapkan karakter-karakter luhur kepada peserta didik
dalam segala aspek kehidupan.
Baseran Nor
326
4. Peserta didik mampu menaruh perhatian terhadap isu-isu dan masalah-masalah
sosial, serta mampu membuat analisis yang kritis, selanjutnya mampu mengambil
tindakan yang tepat.
5. Peserta didik mampu mengembangkan berbagai potensi sehingga mampu
membangun diri sendiri agar survive yang kemudian bertanggung jawab
membangun masyarakat.
Pendidikan karakter sejalan dengan tujuan pendidikan IPS yaitu membina mahasiswa
menjadi warga negara yang baik, yang memiliki pengetahuan, keterampilan dan kepedulian
sosial yang berguna bagi dirinya sendiri serta bagi masyarakat dan bagi negara. Untuk
merealisasikan tujuan tersebut, proses perkuliahan tidak hanya terbatas pada aspek-aspek
pengetahuan (kognitif) dan keterampilan (psikomotor) saja, melainkan juga meliputi aspek
akhlak (afektif) serta bertanggung jawab sesuai yang terkandung dalam nilai-nilai Pancasila.
Pendidikan karakter di perguruan tinggi perlu melibatkan berbagai komponen terkait
yang didukung oleh proses pendidikan itu sendiri, yaitu kurikulum, proses pembelajaran dan
penilaian, kualitas hubungan warga kampus, pengelolaan perkuliahan, pengelolaan berbagai
kegiatan mahasiswa, pemberdayaan sarana dan prasarana, serta etos kerja seluruh warga
kampus. Pendidikan karakter di perguruan tinggi juga sangat terkait dengan manajemen atau
pengelolaan perguruan tinggi seperti bagaimana pendidikan karakter direncanakan,
dilaksanakan, dan dikendalikan dalam kegiatan-kegiatan pendidikan di perguruan tinggi.
Pengelolaan tersebut antara lain meliputi, nilai-nilai yang perlu ditanamkan, muatan kurikulum,
pembelajaran, penilaian, pendidik, dan tenaga kependidikan, dan komponen terkait lainnya.
Integrasi atau pengintegrasian adalah usaha sadar dan terencana (terprogram) dosen,
dengan tujuan memadukan pendidikan karakter ke dalam semua mata perkuliahan, dalam
proses pembelajaran sehingga terjadi internalisasi dan personalisasi (mempribadi) nilai-nilai
karakter bangsa untuk diketahui, dipahami, dihayati dan dilaksanakan (in action) secara tetap
(konsisten). Pengembangan karakter bangsa diintegrasikan dalam setiap standar kompetensi
dan kompetensi dasar. Nilai-nilai tersebut tercantum dalam silabus dan Satuan Acara
Perkuliahan (SAP). Pengintegrasian dilaksanakan mulai tahap perencanaan, pelaksanaan,
dan penilaian pembelajaran pada semua mata pelajaran. Menurut Supinah (2011) dalam Siti
Fatimah (2013: 369-373) cara pengintegrasian pendidikan karakter dalam pembelajaran adalah
sebagai berikut:
1. Perencanaan Pembelajaran
Perencanaan pembelajaran meliputi silabus, SAP, dan bahan ajar yang dirancang
agar muatan maupun kegiatan pembelajarannya memfasilitasi atau berwawasan pendidikan
karakter bangsa dengan mengadaptasi silabus, SAP, dan bahan ajar yang telah dibuat dengan
menambahkan kegiatan pelajaran yang bersifat memfasilitasi dikembangkannya nilai-nilai,
disadarinya pentingnya nilai-nilai, dan diinternalisasinya nilai-nilai karakter bangsa.
a. Silabus
Silabus membuat standar kompetensi, kompetensi dasar, materi pembelajaran,
kegiatan pembelajaran, indikator pencapaian, penilaian, alokasi waktu, dan sumber belajar.
Baseran Nor
328
bahan ajar, menyampaikan butir karakter yang hendak dikembangkan selain yang terkait dengan
standar kompetensi atau kompetensi dasar.
b. Kegiatan Inti
Kegiatan pembelajaran dilakukan secara interaktif, inspiratif, menyenangkan,
menantang, memotivasi mahasiswa untuk berpartisipasi aktif serta memberikan ruang yang
cukup bagi prakarsa, kreativitas dan kemandirian sesuai dengan bakat, minat, dan
perkembangan fisik serta psikologis. Contoh nilai yang ditanamkan dari proses pembelajaran
yang potensial dapat membantu mahasiswa menginternalisasi nilai-nilai karakter (a) melibatkan
mahasiswa mencari informasi yang luas dan dalam tentang topik yang akan dipelajari (mandiri,
berpikir, logis, kreatif, kerjasama), (b) melibatkan mahasiswa secara aktif dalam kegiatan
pembelajaran (rasa percaya diri, mandiri), (c) membiasakan mahasiswa membaca dan menulis
yang beragam melalui tugas (cinta ilmu, kreatif, logis), (d) memberi kesempatan untuk berpikir,
menganalisis, menyelesaikan masalah dan bertindak tanpa rasa takut (kreatif, percaya diri,
kritis), (e) memberikan umpan balik positif dan penguatan dalam bentuk lisan dan tulisan
terhadap keberhasilan mahasiswa (percaya diri, saling menghargai, santun, kritis, logis), (f)
memfasilitasi mahasiswa melakukan refleksi untuk memperoleh pengalaman belajar yang
bermakna (memahami kelebihan dan kekurangan diri sendiri).
c. Penutup
Penutup merupakan kegiatan untuk mengakhiri aktivitas pembelajaran dalam bentuk
rangkuman, penilaian (jujur, mengetahui kelebihan dan kekurangan), umpan balik (saling
menghargai, percaya diri, santun, kritis, logis), dan tindak lanjut (disiplin, berprestasi, tanggung
jawab, mandiri, kerja keras), menyampaikan rencana pembelajaran pada pertemuan berikutnya
(rasa ingin tahu, tanggung jawab).
3. Penilaian Pembelajaran
Penilaian hasil belajar adalah kegiatan ditujukan untuk mengetahui tercapai tidaknya
tujuan pembelajaran dari proses pembelajaran yang telah dilakukan. Teknik dan instrumen
yang dipilih dan dilaksanakan tidak hanya mengukur pencapaian kognitif tetapi juga
perkembangan kepribadian mahasiswa. Penilaian pencapaian pendidikan nilai karakter bangsa
didasarkan pada indikator nilai kejujuran. Penilaian dilakukan secara terus menerus.
Pembentukan karakter yang sesuai dengan budaya bangsa tidak hanya dilakukan
melalui serangkaian kegiatan belajar mengajar di kelas. Pembiasaan-pembiasaan dalam
kehidupan perlu dimulai dari lingkup terkecil, yaitu mulai dari keluarga sampai masyarakat.
Nilai-nilai tersebut tentunya perlu ditumbuhkembangkan yang pada akhirnya dapat membentuk
pribadi karakter peserta didik yang selanjutnya merupakan pencerminan hidup suatu bangsa
yang besar.
Menurut Zamroni (2011) dalam Agus Wibowo dan Sigit Purnama (2013: 144-145) ada
tujuh strategi pendidikan karakter yang dapat dilaksanakan dalam pendidikan tinggi, yaitu:
1. Tujuan, sasaran dan target yang dicapai harus jelas dan konkret
V. PENUTUP
5.1 Simpulan
Pendidikan karakter sangat penting diterapkan demi mengembalikan karakter generasi
muda bangsa Indonesia yang sudah mulai luntur. Dengan dilaksanakannya pendidikan karakter
di perguruan tinggi, diharapkan dapat menjadi solusi atas masalah-masalah sosial yang terjadi
di masyarakat. Individu yang berkarakter baik atau unggul adalah seseorang yang berusaha
melakukan hal-hal yang baik terhadap Tuhan Yang Maha Esa, dirinya, sesama lingkungan,
bangsa dan negara serta dunia internasional.
Perguruan tinggi mengemban tanggung jawab dan kewajiban yang besar dalam hal
kegiatan melahirkan sumber daya intelektual, yang diharapkan nantinya bisa memberikan
kontribusi bagi peningkatan kualitas Sumber Daya Manusia (SDM) bangsa Indonesia. Lulusan
perguruan tinggi diharapkan mampu menjalankan fungsinya sebagai agen pembaharuan
dalam masyarakat. Selain itu juga lulusan perguruan tinggi dapat membawa pencerahan dan
memberikan pengaruh positif bagi peningkatan taraf hidup dan kesejahteraan masyarakat.
Pendidikan karakter di perguruan tinggi hendaknya menjadi tanggung jawab semua
dosen. Dengan demikian tidak ada alasan bahwa kewajiban membentuk karakter lulusan
hanya dibebankan kepada dosen mata kuliah tertentu atau program studi tertentu pula. Setiap
Baseran Nor
330
dosen memiliki kewajiban tidak hanya membentuk kompetensi di bidang penguasaan akademik
maupun teknik, tetapi juga menyangkut kepribadian, sikap dan internalisasi nilai-nilai karakter.
5.2 Saran
1. Hendaknya mahasiswa membiasakan kehidupan berkarakter di lingkungan kampus
seperti mengikuti kegiatan mahasiswa seperti pramuka, olahraga, karya tulis,
kesenian dan lainnya.
2 .Dosen hendaknya menjadi teladan bagi penerapan pendidikan karakter di kampus,
memahami betul dan bisa menerapkan kurikulum tersembunyi yang harus ada di
setiap perkuliahan yang diampunya. Kebiasaan menggunakan model-model
pembelajaran yang mendukung terbinanya karakter yang baik di setiap
perkuliahannya.
DAFTAR PUSTAKA
Agus Wibowo dan Sigit Purnama. 2013. Pendidikan Karakter di Perguruan Tinggi. Yogyakarta:
Pustaka Pelajar.
Baseran Nor. 2013. Pengaruh Multimedia, Gaya Belajar dan Motivasi Belajar Terhadap
Peningkatan Prestasi Belajar Mikro Ekonomi Mahasiswa Pendidikan Ekonomi FKIP
UNLAM 2012/2013. Tesis. Universitas Negeri Sebelas Maret Surakarta.
Daryanto. 2011. Pendidikan Karakter Menurut Ki Hadjar Dewantara. Kurikulum dan Teknologi
Pendidikan FIP UNY. http://staff.uny.ac.id/sites/default/files/131656343/
PENDIDIKAN%20KARAKTER%20MENURUT%20KI%20HAJAR%20DEWANTORO.pdf.
Diunduh tanggal 17 Mei 2014.
Deni Damayanti. 2014. Panduan Implementasi Pendidikan Karakter di Sekolah. Yogyakarta:
Araska.
Siti Fatimah. 2013. “Pengintegrasian Pendidikan Budaya dan Karakter Bangsa dalam
Pembelajaran Ekonomi”. Jurnal Forum Sosial. Vol. VI Nomor 02 September 2013.
ABSTRACT
Kampung Dukuh is one that still has strong custom rules. Rules of the customs of Kampung
Dukuh much have been influenced by Islamic values which have become customary norms.
Islamic religious values that underlie the customary norms, have been working to organize and
set up the Islamic community as a harmonious social and natural environment, It is a form of
local genius. This local genius is inseparable from the role of customs as Kuncen. The process
of implementing of Islamic values involves kuncen as head of customs and other indigenous
leaders to maintain the existence and credibility in maintaining religious customs and rules that
have been set by their ancestors. Kuncen as the head of Customs is the leading guard in
keeping the custom of making a kuncen to be suriteladan for people in her everyday life. The
learning process of Islamic values in society of Kampung Dukuh is done early in a family
environment through the example indigenous people as well as parents, that is by conditioning,
solializing, and teaching various aspects, such as the simple life, maintenance of community,
environment and livelihoods, which reflect life in Islamic tradition. The learning process of
religious values is connected through the activities of ta’lim which that leader are routinely held
at the place and time specified. This learning activity is carried out by Customs as kuncen
assisted by other indigenous people.
Keywords: Religious education in the indigenous people of kampung Dukuh
I. PENDAHULUAN
Pengetahuan masyarakat adat memiliki keunggulan yang telah teruji ketangguhannya
secara lokalit, keberadaannya dipelihara dan dipertahankan oleh komunitasnya. Hal tersebut
sering disebut local genius yang mempunyai pengertian, pengetahuan dan kemampuan
masyarakat dalam mengatasi tantangan hidup dan memiliki kebenaran sehingga dipertahankan
dan diwariskan kepada generasi berikutnya. Kearifan lokal (local genius) merupakan kecerdasan
manusia yang dimiliki oleh kelompok etnis tertentu yang diperoleh melalui pengalaman
VI. SIMPULAN
Warga masyarakat Kampung Dukuh merupakan masyarakat yang taat menjalankan
aturan-aturan agama yang telah menjadi ketentuan adat yang berfungsi mengatur dan menata
masyarakat agar dapat hidup harmonis lingkungan alamnya maupun lingkungan sosialnya,
hal tersebut sebagai bentuk local genius. Dalam wujudnya kearifan ini tidak terlepas dari
keberadaan kuncen sebagai pimpinan adat.
Proses pewarisan nilai-nilai agama melibatkan kuncen sebagai pimpinan adat, para
lawang, sesepuh maupun habib untuk menjaga eksistensi dan kredibilitasnya dalam menjaga
aturan adat yang telah ditetapkan oleh leluhur. Kuncen sebagai kepala adat merupakan garda
DAFTAR PUSTAKA
Bintaro, R. 1979. Metode Analisa Geografi. Jakarta: LP3ES.
Campbel, Tom. 1994. Tujuh Teori Sosial. Skesta Penilaian dan Perbandingan. Jakarta: Gramedia.
Chadwick, Bruce. 1988. Social Science Research Method. (terjemahan) Bandung: Sumur.
Garna, Judistira K. 1999. Metode Pendekatan Kualitatif. Bandung: Primaco Akademika.
————————. 1996. Ilmu-Ilmu Sosial Dasar Konsep-konsep Posisi. Bandung: Program
Pascasarjana UNPAD.
————————. 1993. Tradisi Tranformasi Modernisasi dan Tantangan Masa Depan di
Nusantara. Bandung: Program Pascasarjana UNPAD.
————————. 1992. Teori-Teori Perubahan Sosial. Bandung: Program Pascasarjana UNPAD.
Kamus Umum Bahasa Sunda. 1992.
Kartodirdjo, Sartono. 1984. Pemimpin dalam Dimensi Sosial. Jakarta: LP3ES.
Koentjaraningrat. 1987. Metode-Metode Penelitian Masyarakat. Jakarta: Gramedia.
Maleong, Lexy. 1998. Metode Penelitian Kualitatif. Bandung: Remaja Rosdakarya.
Mulyana, Dedi. 2001. Metode Penelitian Kualitatif (Paradigma Baru Ilmu Komunikasi dan Ilmu
Sosial lainnya. Bandung: Rosdakarya.
Paul, Doyle Johnson. 1986. Teori Sosiologi: Klasik dan Modern. Diterjemahkan oleh Robert
M.Z Lawang. Jakarta: Gramedia.
Rahyono, 2009. Kearifan Budaya dalam Kata. Jakarta: Wedatama Widyasastra.
Rusidi. 1992. Dasar-Dasar Penelitian dalam Rangka Pengembangan Ilmu. Bandung: Program
Pascasarjana UNPAD.
Sasastrosupeno, Suprihadi. 1984. Manusia Alam dan Lingkungan. Jakarta: Departemen
Pendidikan dan Kebudayaan.
Sear, O David. 1985. Psikologi Sosial. Jakarta: Erlangga.
Soekanto, Soemardjono. 1988. Teori-teori Sosial tentang Perubahan Sosial. Jakarta: Galia
Indonesia. Beny Wijarnako & Yulia Tri Samiha
346
NILAI-NILAI KETELADANAN
SULTAN BABULLAH DALAM BERJUANG MENGUSIR PORTUGIS
DI KAWASAN MALUKU UTARA
Darmawijaya dan Jainul Yusup
Universitas Khairun
ABSTRAK
Sultan Babullah adalah putra Sultan Khairun yang berhasil mengusir bangsa Portugis dari
kawasan Moloku Kie Raha. Bangsa Portugis terusir dari kawasan Moloku Kie Raha karena
mereka telah membunuh Sultan Khairun secara licik pada tanggal 28 Pebruari 1570 di Benteng
Gamlamo Ternate. Tulisan ini bertujuan untuk mengungkapkan nilai-nilai keteladanan yang
dimiliki oleh Sultan Babullah dalam berjuang mengusir bangsa Portugis dari kawasan Maluku
Utara. Dengan menggunakan metode sejarah ditemukan fakta-fakta tentang nilai-nilai
keteladanan Sultan Babullah dalam berjuang mengusir bangsa Portugis dari kawasan Maluku
Utara. Dalam berjuang mengusir bangsa Portugis dari kawasan Maluku Utara, Sultan Babullah
mampu berpegang pada prinsip-prinsip kemanusiaan, tanpa mengedepankan prinsip-prinsip
balas dendam dan api permusuhan sehingga cara berjuang Sultan Babullah ini menjadi layak
untuk diteladani dalam membina kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.
I. PENDAHULUAN
Sebelum Portugis datang, Ternate merupakan sebuah Kesultanan Islam yang hidup
dari hasil perdagangan rempah-rempah. Pada awalnya, Ternate merupakan kerajaan tradisional
yang disebut dengan Kolano. Kolano Ternate yang pertama kali menerima seruan Islam adalah
Kolano Marhum, yang memerintah pada tahun 1465-1486. Kolano Marhum masuk Islam setelah
mendapat seruan dakwah dari pedagang asal Minangkabau yang juga murid Sunan Giri, yaitu
Datu Maulana Husein, yang datang di Ternate pada tahun 1465.3
Murid Sunan Giri ini adalah seorang muballigh besar pada masanya. Ia memiliki
pengetahuan Islam yang luas dan dalam, ahli dalam membaca ayat-ayat Al Quran dan mahir
dalam membuat kaligrafi Arab. Pada waktu senggang, terutama di malam hari, ia membaca Al
Quran dengan suara yang merdu sehingga menjadi daya tarik bagi penduduk setempat. Ia
juga lihai dalam membuat kaligrafi di atas potongan-potongan papan. Keahliannya dalam hal
agama, membaca ayat-ayat Al Quran dan keindahan dari kaligrafinya menjadi sarana
penyebaran syiar-syiar Islam di kawasan Ternate dan sekitarnya.4
V. SIMPULAN
Demikian kisah yang merupakan serpihan fakta sejarah akan kearifan Sultan Babullah,
seorang pemimpin yang layak untuk ditiru dan diteladani dalam menyelesaikan sebuah konflik.
Selaku penguasa Islam, Sultan Babullah telah mampu memperlihatkan karakter yang sangat
arif terhadapnya musuh-musuhnya. Sultan Babullah tidak membenci orang Portugis, tetapi
yang dibenci oleh Sultan Babullah adalah jiwa-jiwa kolonial yang bersarang dalam dada-dada
orang Portugis. Kearifan Sultan Babullah telah membuatnya mampu berpegang pada nilai-
nilai kemanusiaan dalam menyikapi perilaku-perilaku kolonial yang dimainkan oleh orang
Portugis di Ternate. Hal itu bisa dilihat pada sikapnya untuk menahan diri dari sikap haus darah
atas orang-orang Portugis yang dikepungnya selama lima tahun di dalam Benteng Gamlamo.
Sultan Babullah berusaha sabar menunggu kesadaran dari pihak Portugis sebelum ia
mengambil tindakan tegas. Setelah orang-orang Portugis menyerah, maka Sultan Babullah
pun mampu memperlakukan mereka dengan cara-cara yang lebih manusiawi. Karakter
kemanusiaan Sultan Babullah bisa dilihat lagi ketika ia mampu memberikan pelayanan yang
baik pada tiga kapal Portugis datang pada 1575, karena tiga kapal itu datang dengan tujuan
DAFTAR PUSTAKA
Darmawijaya. 2010. Kesultanan Islam Nusantara. Jakarta: Pustaka Al Kautsar.
Darmawijaya dan Jainul Yusup. 2013. Sultan-Sultan Legendaris Dalam Sejarah Maluku Utara,
Ternate: Laporan Penelitian LPPM Unkhair.
Harun Nasution, dkk. 2002. Eksiklopedi Islam Indonesia. Jakarta: Djambatan.
Komaruddin Hidayat, dkk. 2006. Menjadi Indonesia: 13 Abad Eksistensi Islam di Bumi Nusantara.
Bandung: Mizan.
M. Adnan Amal. 2007. Kepulauan Rempah-Rempah Perjalanan Sejarah Maluku Utara 1250-
1950. Makassar: Gora Pustaka.
M. Adnan Amal. 2009. Tahun-Tahun yang Menentukan; Babullah Datu Syah Menamatkan
Kehadiran Portugis di Maluku. Makassar.
Mundzirin dkk. 2006. Sejarah Peradaban Islam di Indonesia. Yogyakarta: Pinus.
Rusli Andi Atjo. 2008. Peninggalan Sejarah di Pulau Ternate. Jakarta: Cikoro Trirasuandar.
Footnotes:
1
Darmawijaya, Pengajar Universitas Khairun Ternate
2
Jainul Yusup, Pengajar Universitas Khairun Ternate
3
Mundzirin dkk., Sejarah Peradaban Islam di Indonesia, (Yogyakarta: Pinus, 2006), hlm. 105.
Komaruddin Hidayat dkk, Menjadi Indonesia: 13 Abad Eksistensi Islam di Bumi Nusantara,
(Bandung: Mizan, 2006), hlm. 345.
4
M. Adnan Amal, Kepulauan Rempah-Rempah Perjalanan Sejarah Maluku Utara 1250-
1950, (Makassar: Gora Pustaka, 2007), hlm. 65. Harun Nasution dkk, Eksiklopedi Islam
Indonesia, (Jakarta: Djambatan, 2002), hlm. 700.
5
Ibid.
15 Ibid., hlm. 20. M. Adnan Amal, Kepulauan Rempah-Rempah, Op. Cit., hlm. 85.
Darmawijaya, Op. Cit., hlm. 129. Rusli Andi Atjo, Op. Cit., hlm. 24. Harun Nasution, dkk., Op.
Cit., hlm. 141-142, Mundzirin dkk, Op. Cit., hlm. 108. Komaruddin Hidayat dkk, Op. Cit.,
hlm. 355.
16
M. Adnan Amal, Tahun-Tahun..., Op. Cit., hlm. 21. M. Adnan Amal, Kepulauan Rempah-
Rempah, Op. Cit., hlm. 85.
ABSTRAK
Geomorfologi merupakan salah satu disiplin ilmu dalam geografi dan menjadi matakuliah
wajib untuk mahasiswa geografi. Geomorfologi juga merupakan salah satu mata kuliah wajib
pada Program Studi Pendidikan Geografi FKIP UNLAM. Geomorfologi mempelajari bentuk
lahan dan proses yang bekerja pada bentuklahan tersebut. Bentuklahan merupakan konfigurasi
permukaan bumi yang dibentuk oleh tenaga endogen (tenaga dari dalam bumi) dan eksogen
(tenaga yang bekerja dipermukaan bumi). Bentuklahan di muka bumi terdiri atas bentuklahan
asal proses fluvial, marin, denudasional, solusional, struktural, vulkanik, eolin, dan organik.
Pemberian materi geomorfologi bukan hanya menciptakan mahasiswa yang tinggi
pengetahuannya mengenai proses dan hasil proses pada bentuklahan tetapi terkandung juga
nilai karakter didalamnya. Nilai karakter yang tercantum dalam materi geomorfologi antara lain
memahami ciptaan Tuhan bahwa alam diciptakan sedemikian rupa dengan proses yang
bekerja pada bentuklahan sangat dinamik dan kompleks; dan menghargai, menjaga, dan
melestarikan permukaan bumi sehingga proses yang terjadi pada bentuklahan yang sifatnya
merugikan seperti longsor, banjir, kekeringan dan sebagainya dapat terkendali.
Kata kunci: nilai karakter, geomorfologi, bentuklahan
I. PENDAHULUAN
Geomorfologi merupakan ilmu yang mempelajari bentuklahan dan proses yang bekerja
pada bentuklahan tersebut. Geomorfologi mempelajari dinamika bentuklahan. Dinamika
bentuklahan dapat terjadi karena tenaga endogen atau yang berasal dari dalam bumi dan
tenaga eksogen yang berasal dari permukaan bumi. Manusia merupakan salah satu komponen
penting dalam tenaga eksogen yang turut mempercepat perubahan penggunaan lahan, seperti
penggundulan hutan yang mempercepat proses erosi dan sedimentasi serta memicu terjadinya
banjir, pemotongan bukit untuk dibuat jalan atau lahan pertanian yang memicu terjadinya erosi
dan longsor, dan sebagainya.
Geomorfologi merupakan salah satu mata kuliah wajib yang diajarkan di Program Studi
Pendidikan Geografi. Materi geomorfologi yang diberikan di Program Studi pendidikan Geografi
diharapkan bukan hanya memberikan pemahaman kepada mahasiswa mengenai proses yang
bekerja pada bentuklahan tetapi juga mengandung nilai karakter didalamnya. Sesuai dengan
tujuan pendidikan karakter di perguruan tinggi yaitu meningkatkan mutu penyelenggaraan dan
Deasy Arisanty
357
hasil pendidikan yang mengarah pada pencapaian pembentukan karakter dan akhlak mulia
peserta didik secara utuh, terpadu, seimbang, sesuai dengan standar kompetensi lulusan.
Mahasiswa mampu menggunakan pengetahuannya dan juga dapat berintegrasi dengan
karakter yang baik yang dapat diterapkan dalam kehidupan mereka (Hasanah, 2013).
Mahasiswa mendapatkan materi geomorfologi tetapi diharapkan juga mampu menerapkan
ilmu tersebut dalam kehidupan sehari-hari.
Geomorfologi sebagai suatu ilmu juga banyak memberikan pemahaman mengenai
permasalahan lingkungan yang terjadi sekarang ini seperti banjir, tanah longsor,erosi,
sedimentasi dan sebagainya. Mahasiswa diberikan pemahaman mengenai proses yang
memicu terjadinya permasalahan lingkungan tersebut. Pemahaman mengenai proses tersebut
tidaklah cukup, perlu juga menerapkan nilai karakter didalamnya sehingga mahasiswa juga
dapat menjaga lingkungan hidupnya dalam kehidupan sehari-hari.
Deasy Arisanty
358
kemudian dapat menimbulkan studi kekhususan. Objek formal adalah sudut pandang atau
cara memandang dan cara berfikir terhadap suatu gejala dimuka bumi, baik yang sifatnya fisik maupun
yang sosial, yaitu sudut pandang dari organisasi keruangan atau spatial setting (Bintarto, 1983).
2.2 Geomorfologi
Geomorfologi adalah ilmu yang mendeskripsikan bentuklahan dan proses-proses yang
mempengaruhi pembentukannya serta menyelidiki hubungan timbal balik antara bentuklahan serta
proses-proses tersebut dalam susunan keruangan (Van Zuidam dan Cancelado, 1979). Geomorfologi
adalah ilmu pengetahuan yang mempelajari dan interpretasi bentuklahan dan khususnya pada
penyebab yang membentuk bentuklahan dan mengubah bentuklahan (Panizza, 1996). Geomorfologi
merupakan ilmu pengetahuan empiris, yang didasarkan pada observasi dan pengalaman, penelitian
yang bersifat eksperimen pada berbagai proses dan bentuk dari bentuklahan (Panizza, 1996).
Kajian dalam geomorfologi adalah bentuklahan. Bentuklahan adalah kenampakan
medan yang dibentuk oleh proses-proses alami yang mempunyai karakteristik fisikal dan visual
dimanapun bentuklahan itu dijumpai (Way, dalam Van Zuidam dan Cancelado, 1979). Survei
geomorfologi adalah analisis, klasifikasi, dan pemetaan bentuklahan yang berpedoman pada
morfologi, genesis, kronologi, dan litologi (Van Zuidam dan Cancelado, 1979). Ada 4 aspek
yang penting dalam survei bentuklahan, sebagai tujuan umum dalam pemetaan geomorfologi
yaitu morfologi, morfogenesa, morfokronologi, dan morfoaransemen (Van Zuidam, 1983).
a. Morfologi
Morfologi terdiri dari morfografi dan morfometri. Morfografi merupakan aspek deskriptif
dari geomorfologi dalam suatu area, misalnya dataran, perbukitan, pegunungan dan dataran tinggi.
Morfometri merupakan aspek kuantitatif dari suatu area, misalnya kemiringan lereng, ketinggian.
b. Morfogenesa
Morfogenesa merupakan asal dan perkembangan dari bentuklahan dan proses yang
membentuk dan bekerja pada bentuklahan tersebut. Morfogenesa dapat berupa morfostruktur
aktif, morfostruktur pasif dan morfodinamik. Morfostruktur pasif merupakan litologi terdiri dari
tipe batuan dan struktur dari batuan yang mengalami proses denudasi, misalnya mesas, cuestas,
hogbacks, dan domes. Morfostruktur aktif merupakan proses endogen yang dinamik misalnya
volkanik, lipatan, dan patahan tektonik. Hasil dari tenaga endogen adalah gunungapi, perbukitan
antiklinal dan gawir sesar. Morfodinamik merupakan proses eksogen yang dinamis oleh tenaga
angin, air, es, dan gerakan massa, misalnya gumuk pasir, teras sungai, beting gisik, moraines,
dan lahan rusak.
c. Morfokronologi
Morfokronologi merupakan umur relatif dan absolut dari variasi bentuk lahan dan prosesnya,
contohnya adalah villafranchian untuk glacial berumur tua dan monasterian untuk teras marin yang
lebih muda.
d. Morfoaransemen
Morfoaransemen merupakan spasial aransemen dan hubungan antara variasi bentuk
lahan dan prosesnya.
Deasy Arisanty
359
2.3 Pendidikan Karakter
Pendidikan karakter mempunyai tujuan, yaitu : (1) mengembangkan potensi peserta
didik agar menjadi manusia berhati baik, berpikiran baik, dan berprilaku baik; (2) membangun
bangsa yang berkarakter Pancasila; (3) mengembangkan potensi warga negara agar memiliki
sikap percaya diri, bangga pada bangsa dan negaranya serta mencintai umat manusia. Pendidikan
karakter berfungsi (1) membangun kehidupan kebangsaan yang multikultural; (2) membangun
peradaban bangsa yang cerdas, berbudaya luhur, dan mampu berkontribusi terhadap
pengembangan kehidupan ummat manusia; mengembangkan potensi dasar agar berhati baik,
berpikiran baik, dan berperilaku baik serta keteladanan baik; (3) membangun sikap warga negara
yang cinta damai, kreatif, mandiri, dan mampu hidup berdampingan dengan bangsa lain dalam
suatu harmoni. Pendidikan karakter dilakukan melalui berbagai media yaitu keluarga, satuan
pendidikan, masyarakat, pemerintah, dunia usaha, dan media massa (Kemendiknas, 2011). Proses
pendidikan karakter didasarkan pada totalitas psikologis yang mencakup seluruh potensi individu
manusia (kognitif, afektif, psikomotorik) dan fungsi totalitas sosiokultural pada konteks interaksi
dalam keluarga, satuan pendidikan serta masyarakat (Kemendiknas, 2011).
Pendidikan karakter mempunyai nilai yang lebih tinggi daripada pendidikan moral
karena pada pendidikan karakter menanamkan kebiasaan tentang mana yang benar dan
mana yang salah. Pendidikan karakter terkait dengan kebiasaan (habit) yang terus menerus
dipraktikkan (Kemendiknas, 2010). Nilai pendidikan karakter pada lingkup universitas perlu
dikembangkan kedalam kurikulum dan silabus yang sudah ada. Pendidikan karakter yang
berlaku di universitas merupakan penguatan dan pemantapan dari pendidikan karakter yang
diperoleh di SMA sederajat (Kemendiknas, 2010).
Terdapat 18 nilai karakter yang bersumber dari agama, pancasila, budaya, dan tujuan
pendidikan nasional, yaitu (1) Religius, (2) Jujur, (3) Toleransi, (4) Disiplin, (5) Kerja keras, (6)
Kreatif, (7) Mandiri, (8) Demokratis, (9) Rasa Ingin Tahu, (10) Semangat Kebangsaan, (11)
Cinta Tanah Air, (12) Menghargai Prestasi, (13) Bersahabat/Komunikatif, (14) Cinta Damai,
(15) Gemar Membaca, (16) Peduli Lingkungan, (17) Peduli Sosial, (18) Tanggung Jawab
(Pusat Kurikulum. Pengembangan dan Pendidikan Budaya dan Karakter Bangsa: Pedoman
Sekolah. 2009:9-10 dalam Kemendiknas, 2011).
IV. SIMPULAN
Geomorfologi merupakan ilmu yang mempelajari proses yang bekerja pada bentuk
lahan. Permasalahan lingkungan yang terjadi pada bentuk lahan banyak disebabkan oleh
perubahan pada permukaan bumi yang dilakukan oleh manusia. Materi geomorfologi
seharusnya disampaikan kepada mahasiswa bukan hanya menambah pengetahuan
mahasiswa saja tetapi mahasiswa mendapatkan nilai karakter didalamnya agar mahasiswa
dapat lebih menghargai lingkungan hidup mereka.
DAFTAR PUSTAKA
Bintarto. 1981. “Suatu Tinjauan Filsafat Geografi”. Seminar Peningkatan Relevansi Metode
Pendidikan Geografi. Fakultas Geografi. Universitas Gadjah Mada. Yogyakarta.
Bintarto. 1983. Ruang Lingkup dan Konsep Geografi Sebagai Satu Disiplin Keilmuan. Lokakarya
Pengembangan di Sekolah dalam Pengajaran di Sekolah. Departemen Pendidikan
dan Kebudayaan. Institut Keguruan dan Ilmu Pendidikan. Yogyakarta.
Deasy Arisanty
361
Bintarto. 1988. Geografi, Ilmu dan Aplikasinya: Sebuah Informasi. Majalah Geografi Indonesia.
Th. 1, No 2.,September 1988. Hal 63-68.
Hasanah.2013. Implementasi Nilai-Nilai Karakter Inti di Perguruan Tinggi. Jurnal Pendidikan
Karakter tahun III, Nomor 2, Juni 2013.
Kemendiknas. 2010. Desain Induk Pendidikan Karakter Kementerian Pendidikan Nasional,
Jakarta.
Kemendiknas.2011. Panduan Pelaksanaan Pendidikan Karakter, Jakarta.
Panizza,M. 1996. Enviromental Geomorphology. Dipartimento di science della Terra, Universita
degli Studi Modena. Italy.
Sutikno.2008. Geografi dan Kompetensinya dalam Kajian Geografi Fisik. Materi Sarasehan
Keilmuan Geografi. Fakultas Geografi. Universitas Gadjah Mada. Yogyakarta.
Van Zuidam, R.A. dan F.I. Cancelado. 1979. Terrain Analysis And Classification Using Aerial
Photograph. International Institute for Aerial Survey and Earth Science. The
Netherlands.
Van Zuidam, R.A. 1983. Guide to Geomorphologic Aerial Photographic Interpretation and
Mapping. International Institute for Aerial Survey and Earth Science. The Netherlands.
Deasy Arisanty
362
BIOGRAFI PROPETIK GURU SEKUMPUL
(Transformasi Nilai-Nilai Budaya Banjar Dalam Pendidikan Karakter)
Ersis Warmansyah Abbas
Universitas Lambung Mangkurat
ABSTRACT
At present time, a number of complaints on moral problems such as corruption, collusion, and nepotism,
conflict, drug abuse, fights between villages, terorisme action up to security forces fighting their power to each
other. The good news, in the context of South Kalimantan, it is only in the form of ripples. Society and culture of
Banjar have grown and evolved with the values of Islam as their basic principle where the role of the clergy is
very great. K.H. Muhammad Zaini Abdul Ghani (1942-2005), popularly called Guru Sekumpul, where his
congregation did not only come from the regions of South Kalimantan, but also from various regions of
Indonesia, even from abroad, raises the question: What, why and how prophetic education of Guru Sekumpul
so as to transform the cultural values of Banjaresse Culture? The purpose of this study is to describe: 1.
Prophetic Biography of Guru Sekumpul, 2. transformation of cultural values through religious speech at Sekumpul,
3. Transformation of Banjarese cultural values through the teachings and methods of Guru Sekumpul, 4.
Transformation of Banjarese cultural values through prophetic education of Guru Sekumpul. Using qualitative
research methods supported by Biography and History methods, it can be concluded that, the development of
society and culture of Banjar has been constructed based on local or traditional values) and then based on the
Islamic spirit of Indonesian nationalism . As the person who was born and grown in a Banjarese society and
culture, Guru Sekumpul had been educated in a family -based life of the Prophet Muhammad; in which it had
built characters and attitudes: siddiq, amanah, tabligh, and fathanah that had made children obedient, respectful,
disciplined, patient, and sincere and as ghirah, himah, mujahadah, and unyielding learners strengthened by
halaqa, rihlah, siyahah, khalwat, and suluk as attitudes or personality to internalize the Prophet Muhammad’s
characters in implementing: siddiq, amanah, tabligh, and fathanah performed purification of the soul and
sincere, and made his preaching istiqamah. As the muslem who had learned and internalized the teachings
of Islam by seriously using the Prophet ‘s life as the guidance, Guru Sekumpul conducted proselytizing based
on shahadat in building knowledge and morals on three powerful pillars : tauhid, fiqih and tasawuf. Therefore,
the congregation of Dakwah Sekumpul have been motivated and conditioned in order to continually strengthen
their faith, increase their piety, and to implement the Prophet Muhammad’s charaters. In this relation, every Muslem
have to continually be aware of mistakes, and conduct a repent, and improve themselves in terms of cleaning up the
heart in order to live a sincere life, and through which they build Muslem brotherhood. In practice of preaching, Guru
Sekumpul conducted his da’wah in combination of bil –lisan, bil-hal, and bit - tadwin in the appropriate blend of
knowledge, words, and actions, kaji (review) and gawi (do). This method is ordained as Methodof Guru Sekumpul.
The method of Guru Sekumpul is the Prophetic Character Education Method in character education.
Keywords: biography, prophetic education, cultural transformation, and Methods of GuruSekumpul.
III. SIMPULAN
Dalam pendidikan karakter, materi pembelajaran masyarakat dan kebudayaan Banjar
belum memadai sehingga peserta didik tidak dibekali pengetahuan memadai tentang masyarakat
dan kebudayaan Banjar yang berakibat peserta didik belum cakap dalam kehidupan sosialnya,
bahkan cenderung tercerabut dari akar budayanya. Untuk memaksimalkan pencapaian pendidikan
karakter, pendidikan karakter hendaklah bermuatan nilai-nilai budaya Banjar yang memiliki daya
dukung dalam pencapaian tujuan pendidikan karakter, dan konstruktif dan kontributif. Masyarakat
dan kebudayaan Banjar powerful sebagai sumber pendidikan karakter sehingga peserta didik
cakap berkehidupan dalam kehidupan sosialnya sebagai anggota masyarakat (lokal), warga
negara Indonesia (nasional), dan bagian masyarakat dunia (global).
Kesimpulan penelitian ini diformulasikan sebagai berikut:
Pertama, kehidupan Guru Sekumpul adalah keteladanan dari pendidikan keluarga
dengan mengamalkan perintah Allah SWT, iqra’, iqra’, iqra’ dan menginternalisasikan sifat
Rasulullah (siddiq, amanah, tabligh dan fathanah) sebagai aplikasi transformasi nilai-nilai
budaya yang membentuk sikap patuh, hormat, disiplin, sabar dan ikhlas yang menimbulkan
ghirah, himmah, mujahadah dan pantang menyerah dimatangkan dengan halaqah, rihlah,
siyahah, khalwat dan suluk sehingga sesuai antara pengetahuan, perkataan, dan perbuatan,
dan menjadikan Guru Sekumpul sebagai pembelajar seumur hidup dalam paduan belajar
dan ‘pensucian jiwa’, menyatukan kaji dan gawi yang membuahkan keikhlasan dalam kehidupan
sehingga istiqamah berdakwah, lillaahi ta’ala.
Kedua, proses transformasi nilai-nilai melalui pengajian Sekumpul berdasarkan
pemahaman syahadat dalam membangun akhlak Islamis berdasarkan tauhid, fikih, dan tasawuf
untuk memperkokoh keimanan, meningkatkan ketakwaan dengan meneladani Rasulullah
dalam penyadaran diri, bertobat, dan memperbaiki diri untuk pembersihan kalbu dalam
DAFTAR PUSTAKA
Abbas, E. W. 2000. Banjarbaru. Banjarbaru: Lembaga Pengkajian Kebudayaan dan Pembangunan
Kalimantan Selatan.
Abbas, E. W. 2000. Sejarah Perjuangan Rakyat Kabupaten Banjar Dalam Revolusi Fisik 1945-1949.
Banjarbaru: Lembaga Pengkajian Kebudayaan dan Pembangunan Kalimantan Selatan.
Abbas, E. W., dan Bambang S. 2005. Syekh Muhammad Arsyad Al-Banjary. Banjarmasin: Universitas
Lambung Mangkurat.
Anonim. t.th. Al’Allamah Syekh Muhammad Zaini Sekumpul Martapura, Martapura:Percetakan Putra
Sahara. Comp.
Anonim. 2010. Pembangunan Karakter Bangsa Tahun 2010-2025 (Desain Induk). Jakarta: Pemerintah
RI.
Aqib, Z., dan Sujak. 2011. Panduan dan Aplikasi Pendidikan Karakter. Bandung: Yrama Widya.
Bogdan, R. C. N. and Sari K. B. 1982. Qualitative Research for Education; Introduction to Theory and
Methods. Boston: Allyn and Bacon.
Bungin. 2007. Penelitian Kualitatif Komunikasi, Ekonomi, Kebijakan Publik, dan Ilmu Sosial lainnya,
Jakarta: Kencana Prenada Media Group.
Creswell, J. W. 1998. Qualitative Inquiry and Research Design, Choosing Among Five Traditions. Thousand
Oaks: Sage Publications.
Daud, A. 1997. Islam dan Masyarakat Banjar Deskripsi dan Analisa Kebudayaan Banjar. Jakarta: PT.
Raja Grafindo Persada.
Daudi, A. 1996. Muhammad Arsyad Al-Banjari. Martapura: Sekretariat Madrasah Sullamul ‘Ulum.
Departemen Pendidikan Nasional Indonesia. 2008. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta: Gramedia.
Denzin, N. K. and Yvonna S. L. 2009. Handbook of Qualitative Research, Terjemahan Dariyanto dkk.,
Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
ABSTRAK
Terwujudnya pribadi warga negara demokratis tidak bisa lepas dari pendidikan, karena di
ranah pendidikanlah manusia ditumbuhkembangkan dan dibina potensinya agar menjadi
manusia sebagaimana diharapkan oleh tujuan pendidikan. Namun demikian hendaknya diingat
bahwa pribadi peserta didik yang dikehendaki tergantung juga dengan corak pendidikan yang
diyakini dan dilaksanakan. Pribadi warga negara demokratis tentunya akan mewujud melalui
pendidikan demokratis yang diselenggarakan oleh sekolah demokratis. Jadi dapat dikemukakan
bahwa pendidikan demokratis sebenarnya tidak hanya terbatas pada praktik-praktik dan
instrumen-instrumen pendidikan tetapi juga meliputi proses, yang menjadi alat penentu dan
alat kontrol terhadap “spirit” serta suasana yang terjadi dalam pendidikan demokratis. Pendidikan
demokratis eksistensinya ditentukan oleh sekolah yang menjadi wahana dari pendidikan itu
berlangsung. Jika sekolah yang menjadi wahana pendidikan selaras dengan pendidikan
demokratis, maka proses, praktik dan instrumen demokratis akan berjalan sejajar
menumbuhkembangkan dan membina pribadi warga negara demokratis. Kalau tidak, maka
apa yang diharapkan dalam tujuan pendidikan nasional, yakni salah satunya adalah karakter
warga negara demokratis akan mengalami kendala dalam merealisirnya, atau tidak sesuai
seperti yang diharapkan. Karena itu, implementasi dari sekolah “demokratis” akan membawa
implikasi-implikasi terhadap peran-peran dan perilaku para pengelola dan para guru di
dalamnya. Selain itu dalam sekolah demokratis para peserta didik akan bersama-sama dalam
menentukan lingkungan, proses dan muatan belajar mereka sendiri.
I. PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Masalah
Lahirnya pendidikan karakter berbasis nilai akhir-akhir ini di Indonesia sendiri dibidani
oleh kegagalan pola pendidikan modern yang tidak membawa kedamaian dan perbaikan
terhadap peradaban manusia. Hegemoni peradaban Barat yang didominasi oleh pandangan
hidup saintifik (scientific world view) selain mengakibatkan dampak positif (di bidang sain dan
teknologi), juga mengakibatkan dampak negatif terhadap manusia. Dampak negatif tersebut
Fatimah
381
menjalar juga terhadap bidang ilmiah dengan hebat, khususnya dalam bidang epistemologi.
Hal itu berawal dari para pemikir raksasa yang mencoba mengubah peradaban manusia.
Salah satunya, Rene Descartes (1650 M) sebagai icon Barat, yang menyandang gelar “bapak
filsafat modern” dengan prinsip “Aku berfikir, maka Aku ada” (cogito ergo sum), berhasil
menggiring peradaban manusia sebagai ‘pemuja’ rasio.
Pendidikan era modern tersebut, yang lebih menitikberatkan pada pendidikan bebas
nilai (value free) telah memporak-porandakan nilai-nilai luhur kemanusiaan. Perubahan masyarakat
akibat perkembangan IPTEK membawa dampak yang besar pada budaya, nilai dan agama
(Susanto, 1998). Derasnya gelombang globalisasi mengakibatkan terjadinya pergeseran nilai
dan terjadinya degradasi moral pada peserta didik. Keluarga dan sekolah akhir-akhir ini kebanyakan
tidak dapat berperan sepenuhnya dalam pembinaan moral, sehingga pembinaan moral saat ini
(di lembaga formal nonformal, dan informal) merupakan sesuatu yang tidak bisa ditawar-tawar
lagi. Jika pun pendidikan dikatakan sudah tidak bebas nilai, dan sudah menganut nilai tertentu,
maka nilai yang menjadi orientasi utama dalam pendidikan adalah nilai ekonomis dan
pragmatisme, karena diarahkan pada ajang pemenuhan tuntutan pasar semata, karena hal itu
sebenarnya merupakan tuntutan kalangan kapitalis yang sarat dengan nilai pragmatisme dan
ekonomis sehingga dalam dunia pendidikan dan masyarakat terjadi:
1. Pergeseran sistem pendidikan Indonesia yang cenderung berorientasi pada
pemenuhan kepentingan kalangan kapitalis, mengejar target indikator dengan
standar keberhasilan pendidikan hanya menggunakan ukuran-ukuran formal yang
bertumpu pada nilai akademik (UAN), rating sekolah dan fasilitas fisik berbasis
teknologi (SBI, SSN). Semua tenaga dan waktu yang dimiliki sekolah dialokasikan
hanya untuk memacu kemampuan kognitif siswa. Akibatnya fungsi-fungsi normatif
pendidikan sebagai arena pembelajaran dan penyadaran siswa sebagai sosok
pribadi manusia cenderung terabaikan. Sekolah sebagai institusi yang semestinya
menanamkan nilai-nilai moral seperti kepatuhan, rasa toleransi, kebersamaan dan
musyawarah kian memudar, berganti menjadi ajang kompetisi individualistis, bahkan
menunjukkan ketidakpatuhan pada norma-norma yang menjadi akar pendidikan,
yaitu nilai-nilai agama dan budaya.
2. Perubahan sosial di masyarakat telah terjadi pergeseran nilai atau orientasi, serta format
relasi, bahkan ditenggarai anomi. Hal ini tampak pada merasuknya teknologi yang
mendorong masyarakat cenderung berpikir instan dan pragmatis, secara struktural
telah mempengaruhi pola interaksi seseorang, termasuk peserta didik. Visualisasi media
sebagai pentas realitas dan ekspresi identitas, terjerembab sebagai instrumen
pengganda kultur kekerasan dan kebebasan untuk melanggar norma-norma luhur,
yakni nilai-nilai agama dan budaya. Media yang terlalu banyak menampilkan tayangan-
tayangan menjadi inspirasi dan tuntunan bagi remaja untuk mendapatkan citranya
sebagai yang “tak terkalahkan”dan “boleh melanggar” norma apa saja.
Sekarang ini sudah menggejala di kalangan anak muda, bahkan orang tua yang
menunjukkan bahwa mereka mengabaikan nilai-nilai moral, bahkan tidak mematuhi tata krama
pergaulan, yang sangat diperlukan dalam suatu masyarakat yang beradab. Dalam era reformasi
Fatimah
382
sekarang ini seolah-olah orang bebas berbuat apa saja sesuai dengan kehendaknya. Misalnya,
perkelahian massal, penjarahan, pemerkosaan, pembajakan kendaraan umum, penghujatan,
perusakan tempat ibadah, lembaga pendidikan, kantor-kantor pemerintahan dan sebagainya,
yang menimbulkan keresahan pada masyarakat. Permasalahan karakter tidak lagi semata
hanya tanggung jawab yang dibebankan kepada keluarga, tetapi sekarang sudah menjadi
tanggung jawab juga bagi sekolah untuk menjadi tempat kondusif bagi pembinaan dan
pengembangan karakter generasi muda.
Sekolah harus kembali kepada fungsi utamanya (Dardjidarmodihardjo, 1981:19) yakni
fungsi psikologis dan fungsi sosial, membimbing perkembangan kondisi sosiologis dan
membantu mempersiapkan peserta didik sebagai anggota masyarakat sekaligus menjadi
pribadi mandiri. Sekolah mempersiapkan manusia, dalam arti mengembangkan kualitas pribadi,
termasuk penanaman nilai-nilai dan norma-norma (Kay, 1975: 204-205), dan berorientasi pada
norma-norma tertentu (Breckrenridge, 1966: 146).
1.2 Perumusan Masalah
Berdasarkan uraian di atas, maka masalahnya dirumuskan adalah:”Bagaimanakah
sekolah melakukan pembinaan karakter terhadap peserta didiknya, sehingga menjadi warga
negara yang demokratis. Rumusan masalah tersebut di atas dirinci sebagai berikut:
1. Apakah karakter dan pendidikan karakter itu?
2. Apa yang dimaksud dengan warga negara demokratis?
3. Bagaimanakah sekolah melakukan pembinaan karakter warga negara yang
demokratis?
II. PEMBAHASAN
2.1 Karakter dan Pendidikan Karakter
Istilah karakter (character) atau dalam bahasa Indonesia diterjemahkan dengan watak,
adalah sifat-sifat hakiki seseorang atau suatu kelompok atau bangsa yang sangat menonjol
sehingga dapat dikenali dalam berbagai situasi atau merupakan trade mark atau ciri khas
orang tersebut (Tilaar, 2008). Karakter adalah perangkat individual dari karakteristik psikologis
yang mempengaruhi kemampuan dan kecenderungan seseorang untuk berfungsi secara moral.
Karakter adalah terdiri dari karakteristik-karakteristik yang mengarahkan seseorang untuk
melakukan sesuatu yang benar atau tidak melakukan sesuatu yang benar (Berkowitz, 2002). Lickona
(Martadi, 2010) merujuk pada konsep good character yang dikemukakan oleh Aristoteles “... the life
of right conduct-right conduct in relation to other persons and in relation to one self (karakter dapat
dimaknai sebagai kehidupan berperilaku baik/penuh kebajikan, yakni berperilaku baik terhadap
pihak lain (Tuhan YME, manusia, dan alam semesta) dan terhadap diri sendiri). Karakter (Berkowitz,
2002) memerlukan kapasitas untuk berpikir mengenai benar dan salah, pengalaman emosi-emosi
moral ( bersalah, empati, keharuan/kasihan), terlibat dalam perilaku-perilaku moral (berbagi bersama,
menyumbang untuk amal, menceritakan kebenaran), yakin terhadap kebaikan-kebaikan moral
(memperlihatkan kecenderungan menetap untuk bertindak dengan jujur, altruisme (mementingkan
orang lain), tanggung jawab, dan karakteristik-karakteristik yang mendukung fungsi moral. Hanya
Fatimah
383
Howard Gardner yang mendefinisikan kembali kecerdasan sebagai karakteristik-karakteristik
psikologis yang kompleks dalam teorinya tentang kecerdasan majemuk.
Pendidikan karakter mengandung dua makna. Dalam pengertian yang luas, pendidikan
karakter mengacu pada hampir semua hal yang mungkin sekolah coba lakukan untuk
memberikan hal-hal di luar kegiatan akademik, khususnya ketika tujuannya untuk membantu
anak-anak bertumbuh-kembang menjadi orang yang baik. Dalam pengertian yang sempit
merupakan gaya tertentu dari pelatihan moral yang mencerminkan nilai-nilai tertentu seperti
asumsi-asumsi khusus tentang sifat dan bagaimana anak-anak belajar.
Pengertian pendidikan karakter dapat diamati dari beberapa definisi berikut :
a. Proses pemberian tuntunan peserta/anak didik agar menjadi manusia seutuhnya
yang berkarakter dalam dimensi hati, rasa, pikir, karsa, raga dan karya. Peserta
didik diharapkan memiliki karakter yang baik meliputi kejujuran, tanggung jawab,
cerdas, bersih dan sehat, peduli, dan kreatif. Karakter tersebut diharapkan menjadi
kepribadian utuh yang mencerminkan keselarasan dan keharmonisan dari olah
HATI, PIKIR, RAGA, serta RASA dan KARSA.
b. Sebagai pendidikan nilai, pendidikan budi pekerti, pendidikan moral, pendidikan
watak, yang bertujuan mengembangkan kemampuan peserta didik untuk
memberikan keputusan baik-buruk, memelihara apa yang baik, dan mewujudkan
kebaikan itu dalam kehidupan sehari-hari dengan sepenuh hati.
2.2 Warga Negara Demokratis
a. Demokrasi dan Warga Negara Demokratis
Menurut Hamrick (2008. http://findarticles.com/p/articles), demokrasi adalah “lebih
dari sekedar bentuk pemerintahan”, demokrasi utamanya adalah sebagai cara bergaul dalam
kehidupan. Dalam demokrasi, para individu melakukan beberapa perhitungan untuk
menentukan dirinya dalam suatu masyarakat yang mungkin akan membatasi, atau barangkali
mempertinggi kondisi yang baik bagi individu melalui kondisi yang baik masyarakat. Demokrasi
adalah mengatur diri sendiri. Dengan kondisi demikian, dalam demokrasi dikehendaki otonomi
warga negara untuk mengatur dirinya sendiri sebagai cara bergaul dalam kehidupan. Namun
demikian konotasi untuk mengatur diri (self-manage) tidaklah berorientasi pada kebebasan
semata, tetapi harus memperhitungkan diri (self-account) terhadap dirinya, orang lain dan
masyarakat. Secara implisit hal demikian menghendaki adanya nilai, moral, dan norma yang
mengatur standar-standar pengaturan (self-kontrol) dan perhitungan diri (self account) sehingga
dalam kehidupan demokrasi berjalan sesuai dengan harapan.
b. Konseptual Warga Negara Demokratis
Secara umum Winataputra (2006:18) mengemukakan bahwa warga negara
demokratis memiliki ciri kualitatif yang merujuk pada tuntutan normatif atau tuntutan yang
diturunkan dari ketentuan perundang-undangan serta ketentuan normatif lainnya yang bersifat
Fatimah
384
sosial-kultur yang koheren dengan tuntutan norma yang berlaku. Kriteria warga negara
demokratis di sini berbasis ciri kualitatif normatif sesuai ketentuan juridis dan koheren dengan
tuntutan norma sosial-kultur yang berlaku.
c. Karakteristik Warga Negara Demokratis
Tidak ada definisi yang dibuat untuk menyusun daftar atribut-atribut yang diharapkan
dari sosok para warga negara demokratis dan mendukung bentuk-bentuk beragam dari
demokrasi yang mungkin menekankan kebajikan-kebajikan yang berbeda juga. Meskipun
demikian literatur dari pendidikan kewarganegaraan mengidentifikasi sejumlah karakteristik-
karakteristik personal warga negara demokratis (Green,2004:108), seperti perasaan
bertanggungjawab, peduli terhadap keadilan, kapasitas untuk penilaian kritis, hormat terhadap
pemikiran, hormat terhadap kebenaran, menerima terhadap keragaman, kerja-sama, keadilan,
kebebasan, persamaan, peduli untuk kesejahteraan terhadap orang lain dan resolusi damai
terhadap konflik, empati, kata-hati, kontrol-diri, respek, kebaikan, toleransi, dan kewajaran.
Lickona (1991:45) mengemukakan karakteristik personal warga negara demokratis,
sebagai contoh, sebagian besar orang Amerika sepakat bahwa “honesty, fairness, tolerance,
prudence, self-discipline, helpfulness, compassion, co-operation, courage and a host of
democratic values” (kejujuran, kewajaran, toleransi, kebijaksanaan, disiplin-diri, dermawan,
pengasih, kerjasama, keteguhan hati dan banyak lagi dari nilai-nilai demokratis) adalah inti
dari kehidupan moral dalam demokrasi.
Karakteristik-karakteristik personal warga negara demokratis yang dikemukakan dalam
beberapa literatur secara jelas mengacu tidak hanya pada karakteristik-karakteristik moral,
tetapi juga pada karakteristik kognitif. Warga negara demokratis yang ideal (Green, 2004: 108),
adalah seseorang yang memiliki nilai-nilai moral dari demokrasi dan nilai-nilai moral itu berakar
pada kebajikan-kebajikan, bersama dengan kebajikan-kebajikan kognitif yang memungkinkan
pertimbangan secara rasional dan tindakan yang betul-betul dipertimbangkan. Sehingga
diusulkan bahwa peserta didik sebaiknya dididik untuk mengenal penindasan dan ketidakadilan
dan pentingnya membantu berpikir kritis, dan kreatif. Hal ini merupakan wujud pemeliharaan
terhadap kebajikan-kebajikan demokratis pada anak-anak dan orang muda.
Pribadi warga negara demokratis beserta karakteristik personalnya yang akan terwujud
jika peserta didik ditumbuh-kembangkan, ditingkatkan dan dibina dalam kegiatan pendidikan
demokratis dan di sekolah demokratis. Karena melalui sosialisasi, internalisasi dan personalisasi
karakter nilai-nilai dan kebajikan warga negara demokratis, yang dilaksanakan dengan praktek-
praktek pendidikan demokratis di sekolah demokratis, pribadi warga negara demokratis yang
diharapkan dapat direalisir.
2.3 Sekolah dan Pembinaan Karakter Warga Negara Demokratis
a. Sekolah sebagai Sumber Karakter
Sumber-sumber dari pembentuk karakter adalah keluarga ( khususnya para orang
tua) adalah secara khusus dianggap memberikan pengaruh yang utama terhadap pembentukan
karakter anak. Selain itu sekolah, teman-teman sebaya, masyarakat (termasuk media), religi,
dan biologi merupakan para kontributor. Sekolah-sekolah dapat mempengaruhi konsep diri
Fatimah
385
anak (termasuk harga diri), keterampilan-keterampilan sosial (khususnya keterampilan-
keterampilan sosial teman-teman sebaya), nilai-nilai, kematangan penalaran moral, perilaku
dan kecenderungan-kecendrungan prososial, pengetahuan tentang moralitas, nilai-nilai, dan
lain-lain.
Dilihat dari kacamata moral, maka lingkungan terdiri atas nilai moral, norma, prinsip
dan perilaku (Kay, 1975: 196). Lingkungan sekolah, termasuk lingkungan kelas tidaklah berada
dalam keadaan kosong nilai, tetapi sarat dengan muatan nilai-moral dan norma. Lingkungan
sekolah yang sarat dengan muatan nilai-moral-norma berpengaruh pada situasi sekolah dan
membentuk suasana nilai-moral-norma iklim sekolah atau iklim sekolah. Jadi sekolah dalam
bentuk lingkungan mengandung muatan nilai-moral-norma karena merupakan tempat
bertemunya nilai-moral-norma kehidupan yang lahir secara pribadi dan ditampilkan dalam
bentuk pikiran, ucapan, tindakan perorangan, yang muncul secara spontan dalam berbagai
kekhasan pribadi setiap orang (Mulyana, 2004: 29).
Situasi pendidikan di lingkungan sekolah yang suasananya dihayati oleh guru dan
peserta didik dan mereka merasakan terlibat di dalamnya sebut iklim sekolah. Iklim sekolah
(Gallay dan Pong, 2004: 2-3) adalah bagian dari lingkungan sekolah yang dihubungkan dengan
dimensi-dimensi moral, sikap, afeksi dan sistem keyakinan dari sekolah yang mempengaruhi
perkembangan kognitif, sosial dan psikologis moral anak-anak. melalui interaksi sosial di dalam
dan di luar kelas. Iklim adalah mengandung semacam muatan, nuansa dan warna kehidupan,
sehingga memberikan atau menciptakan kondisi bagi lahirnya tingkah laku moral tertentu
pada mereka yang ada di dalamnya (Soelaeman, 1985 : 157; 1994: 48). Untuk itu untuk
kepentingan pendidikan maupun pembinaan karakter warga negara demokratis bagi peserta
didik, maka situasi pendidikan, khususnya iklim sekolah perlu dilakukan penataan.
Menurut Soelaeman (1994: 51) dalam upaya penataan situasi pendidikan, maka dalam
penataannya hendaknya bersifat padu menjadi satu kesatuan dan tak dapat dipilah-pilah. Mungkin
hanya prioritasnya saja yang membedakan tekanan pada penataannya, kepada salah satu momen
atau dimensi dari situasi atau iklim sekolah. Dalam menata situasi pendidikan termasuk iklim
sekolah yang dapat menumbuhkan, membina dan mengembangkan karakter warga negara
demokratis bagi peserta didik, maka dalam penataannya memperhatikan tiga momen, yaitu:
momen fisik, momen psikologi dan momen sosiokultural (Soelaeman, 1985: 157).
Penataan suasana momen fisik meliputi penataan lingkungan ruang atau fisik
menyangkut keadaan fisik sekolah, antara lain bangunan, kelas, ruang guru, ruang kepala
sekolah, halaman, kantin, dan kantor. Suasana lingkungan fisik dapat menyajikan suasana dan
iklim yang diharapkan benar-benar dihayati oleh guru dan peserta didik dalam pembinaan dan
pengembangan warga negara demokratis.
Penataan momen psikologi adalah penataan hal-hal yang berhubungan dengan
suasana psikologis yang dapat menunjang pada tumbuhnya situasi dan sikap demokratis ,
antara lain keteladanan, keterbukaan, keramahtamahan, suasana hangat, egalitarian dari
pimpinan sekolah dan guru. Penataan suasana psikologis juga melibatkan penataan emosional
dan suasana kejiwaan yang memberikan nuansa tertentu pada suasana psikologis di
lingkungan sekolah.
Fatimah
386
Penataan sosiokultural adalah berkaitan dengan penataan suasana pola hubungan antara
guru dengan peserta didik, di antara sesama peserta didik, peserta didik dengan staf sekolah, dan
cara bergaul di dalam dan di luar kelas. Karenanya pola hubungan, cara bergaul di lingkungan
sekolah memberikan suasana untuk lahirnya karakter demokratis yang diinginkan sekolah.
b. Sekolah dan Pendidikan Karakter Warga Negara Demokratis
Terwujudnya pribadi warga negara demokratis tidak bisa lepas dari pendidikan, karena
di ranah pendidikanlah manusia ditumbuhkembangkan dan dibina potensinya agar mewujud
menjadi manusia sebagaimana diharapkan oleh tujuan pendidikan. Namun demikian
hendaknya diingat bahwa pribadi peserta didik yang dikehendaki tergantung juga dengan
corak pendidikan yang diyakini dan dilaksanakan. Pribadi warga negara demokratis tentunya
akan mewujud melalui pendidikan demokratis yang diselenggarakan oleh sekolah demokratis.
Jadi dapat dikemukakan pendidikan demokratis sebenarnya tidak hanya pada terbatas pada
praktek-praktek dan instrumen-instrumen pendidikan tetapi juga meliputi proses, dan proses
menjadi alat penentu dan alat kontrol terhadap “spirit” serta suasana yang terjadi dalam
pendidikan demokratis. Pendidikan demokratis eksistensinya ditentukan oleh sekolah yang
menjadi wahana dari pendidikan itu berlangsung. Jika sekolah yang menjadi wahana pendidikan
selaras dengan pendidikan demokratis, maka proses, praktek dan instrumen demokratis akan
berjalan sejajar menumbuhkembangkan dan membina pribadi warga negara demokratis.
Kalau tidak, maka apa yang diharapkan dalam tujuan pendidikan nasional, yakni salah satunya
adalah karakter warga negara demokratis akan mengalami kendala dalam merealisirnya, atau
tidak sesuai seperti yang diharapkan.
Menurut Dworkin, Saha dan Hill (2003:109) sekolah “demokratis” adalah bersumber
pada tulisan-tulisan Dewey. Sekolah adalah mikrokosmos dari tipe masyarakat yang diharapkan.
Jadi untuk mencapai masyarakat demokratis, termasuk warga negara demokratis, adalah
melalui sekolah demokratis. Karena itu, implementasi dari sekolah “demokratis” akan membawa
implikasi-implikasi terhadap peran-peran dan perilaku para pengelola dan para guru di
dalamnya. Selain itu dalam sekolah demokratis para peserta didik akan bersama-sama dalam
menentukan lingkungan, proses dan muatan belajar mereka sendiri. Dengan demikian sekolah
adalah mikrokosmos dari tipe masyarakat yang diharapkan, maka untuk mencapai masyarakat
demokratis, termasuk warga negara demokratis, adalah melalui sekolah demokratis. Karena
itu, implementasi dari sekolah “demokratis” diharapkan berpengaruh pada proses-proses,
praktek-praktek dan instrumen-instrumen yang bersuasana demokratis dalam belajar, mengajar,
dan pengelolaan antara para peserta didik, guru dan pegawai menuju kepada terwujudnya
warga negara yang demokratis.
c. Prinsip-prinsip dan Praktek Pendidikan Karakter Demokratis di Sekolah
Dalam pelaksanaan pendidikan karakter demokratis, terutama pembinaan dan
pengembangan warga negara demokratis beberapa prinsip hendaknya dapat menjadi
perhatian bagi warga sekolah, yakni :
Pendidikan karakter demokratis berbasis nilai demokratis adalah bagian penting dari
seluruh lini pendidikan di sekolah-sekolah. Ia bukan menjadi pendidikan bebas nilai atau
Fatimah
387
netral nilai. Sekolah-sekolah harus melengkapi pendidikan karakter demokratis berbasis nilai
demokratis yang diberikan di rumah, khususnya ketika rumah-rumah kondisi pendidikan karakter
demokratis tidak utuh.
Membangun karakter demokratis adalah berakar pada tegaknya nilai-nilai demokratis.
Tanpa pendidikan karakter demokratis, hanya mengetahui apa yang benar adalah tidak
menjamin bahwa kita akan melakukannya dan menggabungkan beberapa nilai dalam
kehidupan. Penting untuk mengembangkan karakter demokratis adalah dua kecakapan yaitu
disiplin-diri dan empati. Disiplin-diri adalah diwajibkan, karena tanpa itu para individu tidak
dapat mengontrol gerak-gerak hati mereka dan akan tumbuh menjadi tidak beradab, tidak
beretika, dan tidak berguna. Kontrol-kontrol eksternal dibutuhkan untuk menumbuhkan, tetapi
jika diperkuat melampaui hal itu, ia merusak penanaman disiplin-diri. Empati adalah kapasitas
untuk merasakan perasaan orang lain, adalah juga penting. Ia adalah landasan dari banyak
nilai-nilai, dan tanpanya orang yang mempunyai disiplin-diri mungkin melakukan diri mereka
sendiri untuk tujuan-tujuan yang jahat.
d. Praktek Empiris Memajukan Perkembangan Karakter Demokratis
Soloman, Watson, dan Battistich (2001) menghimpun review yang luas dari studi-studi
penelitian spesifik tentang program-program dan praktek-praktek khusus dalam melaksanakan
pendidikan karakter. Mereka menyimpulkan terdapat beberapa praktek yang memiliki dukungan
empiris yang kuat dalam memajukan perkembangan karakter, yaitu; memajukan otonomi peserta
didik melalui partisipasi, diskusi, dan kolaborasi; melatih dan membantu keterampilan-
keterampilan sosial; perilaku pelayanan sosial; dan atmosfer (suasana) moral.
Untuk pelaksanaan pendidikan karakter yang efektif, termasuk pembinaan dan
pengembangan karakter warga negara demokratis, maka terdapat tujuh peraturan yang
hendaknya dipertimbangkan dalam pelaksanaannya di sekolah, yaitu :
1) Bagaimana sekolah memperlakukan anak. Ketika sekolah-sekolah fokus pada
nasihat (pengumuman-pengumuman, poster-poster, ceramah-ceramah pada pertemuan-
pertemuan khusus) atau didaktik-didaktik (kurikulum) sebagaimana secara khusus sekolah
mengatur apa yang dilakukan, sekolah telah kehilangan kualitas. Untuk melakukan pendidikan
karakter yang efektif di sekolah, juga harus fokus pada bagaimana sekolah (khususnya hal-hal
yang sebagian besar signifikan terhadap anak, tetapi tidak hanya itu) memperlakukan anak.
Apa yang dialami anak dalam penggunaan hari-harinya di sekolah? Apakah anak diperlakukan
secara penuh kebaikan dan dengan hormat, atau digertak atau diabaikan? Apakah anak merasa
sekolah dan kelas sebagai tempat pengasuhan, tempat-tempat yang mendukung atau
mengandung racun secara psikologis dan fisik? Hubungan-hubungan adalah penting untuk
perkembangan karakter, jadi pendidikan karakter harus fokus pada kualitas hubungan-hubungan
di sekolah. Hal ini termasuk hubungan-hubungan guru dengan anak dan anak dengan anak-
anak. Hubungan-hubungan itu butuh untuk menjadi kebaikan (pengasuhan, mendukung), asli
(jujur, terbuka), penuh penghargaan (memadukan, menghargai suara-suara siswa), dan
konsisten (dapat diperkirakan, stabil).
Fatimah
388
2) Bagaimana orang-orang lain memperlakukan orang lain dalam kehadiran
anak. “The Students Are Watching”. Anak-anak memantau dan banyak menyimpan dari apa
yang mereka amati terhadap para guru dalam kegiatan di sekolah, dan mencerminkan secara
beragam perilaku keluarga di kelas. Dalam kasus-kasus perilaku yang diamati dan refleksi
perilaku keluarga oleh siswa sering suatu teladan-teladan orang dewasa tidak mencapai apa
yang diharapkan secara moral ideal. Para siswa sungguh-sungguh memperhatikan. Apa yang
buruk juga mereka tiru. Jika ingin tahu apakah bentuk moralitas guru di sekolah, perhatikan
saja para siswa yang bermain di sekolah. Keteladanan, seperti mementingkan orang lain dan
empati mengarahkan kepada perilaku itu kepada anak-anak. Keteladanan dari perilaku-perilaku
yang tidak diharapkan seperti kekerasan dan ketidakjujuran serupa mengarah pada
meningkatnya perilaku-perilaku itu. Tidak ada artinya mengharapkan anak-anak memberikan
respek dan bertanggung jawab. Jika banyak para pendidik menyatakan bahwa mereka bukan
para pendidik karakter dan sering bahwa mereka tidak melakukan hal itu. Jika telah bekerja
sebagai pendidik, dengan atau di sekeliling anak-anak, kita tidak dapat tidak telah menjadi pendidik
karakter. Perilaku kita akan mempengaruhi perkembangan karakter anak, baik atau buruk.
3) Sekolah-sekolah mengharapkan karakter yang baik untuk semua warga
sekolah. Sekolah menuntut karakter yang baik dan dapat dicapai, dan menjadi pendukung
yang memberikan kesempatan bagi para siswa dan para warga sekolah untuk memenuhi
harapan-harapan itu. Harapan-harapan itu dapat datang dari beragam sumber, tetapi secara
ideal mereka datang dari sepenuhnya komunitas sekolah dan stakeholder.
Nasehat-nasehat bukan cara-cara utama untuk mempengaruhi perkembangan karakter.
Namun tempat yang mendukung karakter positif memenuhi dua fungsi. Pertama, memperkuat
apa yang anak-anak pelajari dan berkembang dari memperhatikan dan perlakuan secara positif
oleh orang-orang lain. Kedua, menjernihkan pesan-pesan yang sering tidak jelas dari perilaku.
Perilaku pengasuhan moral orang tua yang sangat kuat disebut kerja-kerja prabawa (induction)
yang begitu luas, sebab ia memerlukan penjelasan-penjelasan dari perilaku orang tua yang
mengevaluasi (memuji, menghukum untuk kebaikan). Kita butuh tidak hanya mempraktekkan
apa yang kita menasihati, tetapi juga butuh penjelasan agar nasihat juga kita kerjakan.
Anak-anak juga butuh kesempatan-kesempatan untuk mempraktekkan karakter yang
baik. Mereka butuh sekolah-sekolah yang mendukung otonomi siswa dan mempengaruhinya.
Mereka butuh kesempatan untuk membangun keterampilan-keterampilan seperti
menempatkan pandangan, berpikir kritis, dan memecahkan konflik, memerlukan untuk
keberadaan seseorang untuk karakter. Mereka juga butuh kesempatan-kesempatan untuk
melakukan hal yang baik. Sekolah-sekolah secara meningkat mendorong aktivitas-aktivitas
pelayanan dalam berbagai bentuk. Media teman sebaya, pengaturan diri siswa secara
organisasi (student self-governance), dan aktivitas-aktivitas dermawan adalah contoh-contoh
dari peluang-peluang itu.
Untuk memelihara perkembangan dari kapasitas-kapasitas berpikir moral, para siswa
butuh kesempatan-kesempatan untuk pertimbangan yang sehat tentang sesuatu, membahas,
dan memikirkan isu-isu moral. Termasuk kesempatan-kesempatan untuk menerima
pandangan-pandangan orang lain, khususnya ketika pandangan-pandangan itu berbeda
Fatimah
389
dengan dirinya. Hal ini dapat dilakukan dengan kurikulum, seperti dalam pelajaran-pelajaran
dan metode-metode yang memajukan diskusi teman sebaya siswa tentang isu-isu moral yang
ditambahkan dalam IPS dan Bahasa, atau studi-studi kasus dalam IPA. Dapat juga dilakukan
dalam kelas-kelas dan program-program yang berdiri sendiri dengan fokus pada isu-isu tentang
karakter dan moral. Kuncinya adalah membuat bentuk atmosfer, sehingga siswa melibatkan
teman-teman sebaya mereka untuk mendiskusikan isu-isu itu dan mereka secara sosial aman
untuk melakukannya secara jujur dan terus terang. Para pendidik sering dikehendaki membantu
dalam menghasilkan atmosfer itu, tetapi adalah esensial untuk sekolah-sekolah untuk
memajukan secara efektif perkembangan karakter dari para peserta didik.
Akhirnya, lebih baik jika para orang tua dilibatkan secara aktif dan positif dalam upaya-
upaya pendidikan karakter sekolah. Para orang tua akan selalu merupakan pengaruh utama
dari perkembangan karakter anak-anak. Pendidikan karakter adalah lebih efektif ketika sekolah-
sekolah dan para orang tua bekerja dalam persaudaraan dan kebersamaan.
Fatimah
390
sosialisasi, internalisasi dan personalisasi karakter nilai-nilai dan kebajikan warga
negara demokratis, yang dilaksanakan dengan praktik-praktik pendidikan
demokratis di sekolah demokratis, pribadi warga negara demokratis yang
diharapkan dapat direalisasikan.
3. Sekolah adalah salah satu sumber dan kontributor pembentuk karakter demokratis
peserta didik, karena lingkungan sekolah merupakan lingkungan yang sarat
dengan nilai-moral-norma yang berperan menumbuh-kembangkan karakter
demoraktis guru dan khususnya peserta didik, melalui penataan suasana fisik,
psikologi, dan sosial kultural melalui penerapan prinsip, praktek dan interaksi
sosial yang terjadi dalam lingkungan sekolah, sehingga mengarah kepada
pembinaan warga negara demokratis.
3.2 Saran-saran
1. Perlu penelitian kontribusi peran pengawas, kepala sekolah dan guru dalam
pengintegrasian nilai pendidikan karakter dalam mata pelajaran PKn di sekolah.
2. Perlu sosialisasi nilai-nilai pendidikan karakter ke sekolah-sekolah Dasar, dan
Menengah.
DAFTAR PUSTAKA
Barr, Jason.J. 2007. A Nationwide Studi How Democracy is Implemented in Schools.
Journal of Education and Human Development. ISSN 1934-7200. Volume 1, Issue
2.2007. (Online). Tersedia: www.scientificjournal.org.pdf. Diakses 18 Mei 2014.
Dayton, John. 1994. Democratic Value Inculcation in Public Schools: The Roe of the Constitution
and the Courts. Paper presenter at the Annual Meeting of the American Educational
Research Asosociation. New Orleana, LA, April 4-8, 1994. (Online). Tersedia:
www.eric.gov. Diakses 20 Mei 2014.
Dworkin, Anthony Gari,. Saha, Lawrence J,. Hill, Antwanette. 2003. Teacher Burnout and Perception
of a Democratic School Enviroment. International Education Journal Vol. 4 .2. 2003.
(Online). Tersedia: http://iej.cjb/. Diakses 20 Mei 2014.
Gallay, Les and Pong, Suet-ling. 2004. School Climate and Student Intervention Strategies. (Online).
Tersedia: www.pop.psy.edu. Diakses 7 Mei 2014.
Hamrick, Florence A. 2008. “Democratic Citizenship and Student Activism”, Journal of College
Student Development. Oct. 27, 2008. (Online). Tersedia: http://findarticles.com/p/articles/
mi_qa3752/is_199809/ai_n8809841. Diakses 14Mei 2014.
Kay, William.(1975). Moral Education; A Sociological Study of the Influence of Society,
Home and School. London: George Allen and Unwin.
Mulyana, Rohmat. 2004. Mengartikulasikan Pendidikan Nilai. Bandung: Alfabeta.
Soelaeman, M.I. (1985). “Suatu Upaya Pendekatan terhadap Situasi Kehidupan dan Pendidikan
dalam Keluarga dan Sekolah”. Disertasi, FPS IKIP Bandung.
Fatimah
391
______. 1994. Pendidikan dalam Keluarga. Bandung: Alfabeta.
Fatimah
392
KEMAMPUAN BERPIKIR KRITIS DALAM PEDAGOGI SEJARAH
SEBAGAI UPAYA MEMBANGUN KARAKTER PESERTA DIDIK
Heri Susanto
Universitas Lambung Mangkurat
ABSTRAK
Pembelajaran sejarah merupakan pembelajaran nilai yang berbasis pada human activity di
masa lalu. Diantara berbagai tujuan pembelajaran sejarah, satu diantaranya adalah terbentuknya
kebiasaan berfikir kritis peserta didik terhadap proses kehidupan dalam lingkup berbangsa
dan bernegara. Kemampuan berfikir kritis pada akhirnya akan bermuara pada terbentuknya
karakter peserta didik. Untuk mencapai hal tersebut diperlukan adanya strategi pedagogi sejarah
yang tepat. Sebagai upaya mengembangkan pedagogi sejarah yang berorientasi pada
pendidikan karakter, perlu kiranya terlebih dahulu dilakukan identifikasi terhadap berbagai
permasalahan yang terjadi dalam pembelajaran sejarah. Beberapa permasalahan terkait
pedagogi sejarah sebagai upaya pendidikan karakter antara lain, masalah orientasi
pembelajaran, strategi pembelajaran, termasuk di dalamnya kecenderungan perilaku belajar
dalam pembelajaran sejarah. Pedagogi sejarah selayaknya lebih diarahkan pada upaya
pendidikan karakter melalui pengembangan aspek berfikir kritis. Untuk membentuk kebiasaan
berfikir kritis maka diperlukan setidaknya dua langkah penting. Pertama, materi sejarah yang
disajikan adalah materi yang berorientasi pada nilai sehingga peserta didik dapat
menjadikannya sebagai panduan dalam bersikap, sebagai bahan analisis untuk berfikir cerdas
dan sebagai dasar tindakan dalam kehidupan sehari-hari. Kedua, dalam mengajarkan materi
sejarah diperlukan strategi yang mengedepankan empat atribut berfikir kritis sebagai proses,
yaitu; adanya proses analisis terhadap berbagai fakta, konsep atau peristiwa, perhatian terhadap
gejala-gejala dalam peristiwa sejarah, kesadaran sejarah dan pada akhirnya peserta didik
mampu merumuskan independent judgement terhadap tema yang mereka pelajari.
Kata kunci: berfikir kritis, pedagogi sejarah, karakter
I. PENDAHULUAN
Meteri pembelajaran sejarah mencakup berbagai aspek dalam kehidupan manusia.
Aspek-aspek tersebut antara lain aspek politik, sosial dan ekonomi. Tujuan pembelajaran
sejarah diantaranya adalah pembelajaran kehidupan yang mendewasakan, pembelajaran
yang mampu membimbing peserta didik untuk berfikir visioner dengan mengembangkan cara
berfikir kritis. Penjelasan sejarah mampu menjadi ukuran bertindak dalam kehidupan, seperti
dijelaskan oleh Dilthey; life only takes on a measure of transparency in the light of historical
reason (Sartono Kartodirdjo, 1959:60). Berbagai perubahan dan keberlanjutan yang disajikan
Heri Susanto
393
dalam penjelasan sejarah akan memberikan gambaran tentang kehidupan dan menunjukkan
nilai-nilai penting yang selayaknya menjadi ukuran dalam bertindak.
Selain itu mempelajari sejarah juga sangat relevan untuk mengembangkan cara berfikir
kritis peserta didik, mempelajari berbagai fakta kehidupan akan mengarahkan peserta didik
untuk memiliki wawasan yang luas. Dengan wawasan yang luas ini peserta didik akan mampu
melihat permasalahan dari berbagai aspek kehidupan. Sintesa dari kecenderungan ini adalah
terbentuknya cara berfikir kritis dikalangan peserta didik. Cara berfikir ini menjadi sangat penting
untuk dikembangkan, karena cara berfikir kritis merupakan aspek karakter. Dengan demikian
mendorong peserta didik untuk berfikir kritis berarti berupaya membentuk karakter peserta didik.
Untuk mencapai tujuan tersebut strategi pembelajaran yang digunakan hendaklah
tidak mematikan kreatifitas dan memaksa peserta didik hanya untuk menghafal fakta dalam
buku teks. Sejarah sudah saatnya diajarkan dengan cara yang berbeda, kebekuan pembelajaran
yang terjadi seringkali dikarenakan rendahnya kreatifitas dalam pembelajaran sejarah. Sebagai
akibatnya kejenuhan seringkali menjadi faktor utama yang dihadapi pengajar dalam
mengajarkan sejarah dan peserta didik dalam belajar sejarah.
Diperlukan strategi khusus agar tujuan pembelajaran sejarah dapat tercapai dan
pembelajaran yang dilakukan menjadi lebih membentuk karakter peserta didik. Pemilihan
strategi dalam pembelajaran sejarah ini harus disesuaikan dengan cakupan materi dan tujuan/
dampak instruksional yang diinginkan dari pembelajaran sejarah. Strategi pembelajaran erat
kaitannya dengan memilih model pembelajaran yang sesuai. Materi sejarah sangat banyak
menyajikan peristiwa kontroversial yang sangat menarik untuk ditinjau secara kritis. Materi ini
dapat dikembangkan untuk mengembangkan cara berfikir kritis peserta didik.
II. PEMBAHASAN
2.1 Masalah Pembelajaran Sejarah
Pembelajaran sejarah sering diidentikkan dengan pembelajaran yang bersifat hapalan,
tekstual dan terbatas pada aspek kognitif tingkat rendah. Anggapan ini bukan tanpa alasan,
pada kenyataannya pembelajaran yang dilakukan memang cenderung pada ketiga hal tersebut.
Dalam proses tersebut, peran guru sejarah menjadi sangat penting dalam mengarahkan peserta
didik untuk memahami sejarah dan mengambil nilai-nilai positif dari peristiwa sejarah. Peran
guru yang strategis ini dapat dilihat dari bagaimana seorang guru mampu menjadi peletak
dasar pemahaman terhadap berbagai ide dan gagasan dalam berbagai bidang ilmu. Lebih
jauh lagi guru merupakan ujung tombak pembentuk generasi penerus bangsa dimasa yang
akan datang, dalam perspektif ini guru mempunyai peran langsung dalam menentukan
keberlanjutan suatu bangsa di masa akan datang melalui pembelajaran yang disampaikan.
Peran tersebut menunjukkan bahwa guru mempunyai posisi strategis untuk ikut
menetukan arah perjalanan suatu bangsa. Bagi guru sejarah tugas terberat adalah bagaimana
memberikan penyadaran terhadap siswa tentang pentingnya perjuangan, persatuan, dan
nasionalisme. Kenyataan di lapangan seringkali menempatkan pelajaran sejarah sebagai
pelajaran yang kurang penting, sehingga kedudukan guru sejarahpun seringkali dianggap
Heri Susanto
394
tidak terlalu penting. Hal ini terlihat misalnya dalam banyak kasus, mata pelajaran sejarah
diajarkan oleh guru yang tidak mempunyai latar belakang pendidikan sejarah, sehingga sudah
barang tentu tidak memiliki kompetensi yang memadai untuk menanamkan nilai-nilai tersebut
di atas.
Masalah lainnya adalah masih terdapat guru sejarah yang mempunyai latar belakang
pendidikan sejarah juga tidak memahami pentingnya pembelajaran sejarah berbasis nilai.
Taufik Abdullah memberi penilaian bahwa pembelajaran sejarah saat ini masih bersifat chronicle
(Magdalia, 2007). Sejarah seringkali dipandang hanya sebuah cerita yang kering dari makna,
tidak terkecuali materi sejarah yang sebenarnya potensial untuk menanamkan sikap kritis bagi
peserta didik.
Sebagian pembelajaran sejarah yang disampaikan guru belum merupakan
pembelajaran inspiratif yang mampu menumbuhkan inspirasi siswa dalam memaknai setiap
materi pembelajaran yang dilakukan. Keadaan tersebut menyebabkan pembelajaran sejarah
yang dilakukan belum menjadi media dalam mengembangkan cara berfikir kritis. Secara
substantif mengembangkan cara berfikir kritis merupakan sasaran utama dalam pembelajaran
sejarah, meskipun dalam kenyataannya belum semua pembelajaran sejarah diarahkan pada
substansi tersebut. Kecenderungan ini dapat dilihat, misalnya bagaimana desain pembelajaran
yang dibuat lebih banyak menonjolkan sisi kognitif, sehingga tuntutan untuk menjejalkan materi
sebanyak-banyaknya pada peserta didik masih menjadi target utama. Pembelajaran dianggap
tuntas apabila siswa telah menerima semua materi ajar tanpa melihat apakah siswa memahami
nilai dan makna dari setiap peristiwa yang mereka pelajari. Kecenderungan tersebut dapat
dgiambakran
dalam
bagan
berikut:
Heri Susanto
395
Kelemahan dalam pembelajaran sejarah inilah yang menyebabkan pelajaran sejarah
belum berfungsi sebagaimana mestinya yaitu mengembangkan cara berfikir kritis yang
bermuara pada terbentuknya karakter peserta didik yang direfleksikan oleh kesadaran akan
pentingnya persatuan, perjuangan, patriotisme dan nasionalisme dalam kehidupan berbangsa
dan bernegara. Untuk mencapai tujuan tersebut maka pembelajaran yang dilakukan harus
memperhatikan keseimbangan antara kedua fungsi memori, sehingga aktivitas belajar tidak
terbatas pada aspek kognitif tingkat rendah, tetapi juga afektif, psikomotor dan kognitif pada
tingkat yang lebih tinggi. Kemampuan ini menurut Barry Gordon (2003) dapat terlihat pada
bagan dibawah ini:
Heri Susanto
396
Berdasarkan pengertian seperti tersebut di atas maka yang dimaksud dengan pedagogi
adalah ilmu tentang pendidikan anak yang ruang lingkupnya terbatas pada interaksi edukatif
antara pendidik dengan siswa. Sedangkan kompetensi pedagogi adalah sejumlah kemampuan
guru yang berkaitan dengan ilmu dan seni mengajar siswa.
Untuk memahami pedagogi sejarah, terlebih dahulu perlu diperhatikan karakteristik
pembelajaran sejarah. Setiap disiplin ilmu memiliki karakteristiknya sendiri, begitu juga pedagogi
sejarah. Dengan demikian dalam pembelajaran pun memiliki karakteristik yang berbeda.
Karakteristik pembelajaran sejarah adalah:
a. Pembelajaran sejarah mengajarkan tentang kesinambungan dan perubahan
Menurut Wineburg (2006:17-18), ‘berpikir sejarah mengharuskan kita mempertemukan
dua pandangan yang saling bertentangan; pertama, cara berpikir yang kita gunakan sekarang ini
adalah warisan yang tidak dapat disingkirkan, dan, kedua jika kita tidak berusaha menyingkirkan
warisan itu mau tidak mau kita harus menggunakan “presentisme”, yaitu melihat masa lalu dengan
kacamata masa kini’. Dengan demikian kita harus memahami bahwa ada kesinambungan masa
lalu yang membentuk masa kini, dan adanya perubahan unsur-unsur, nilai dan tatanan masyarakat
sebagai bentuk dari reinterpretasi terhadap perubahan zaman.
Setiap perubahan terjadi dalam waktu. Hidup manusia senantiasa dikuasai oleh
waktu. Keberadaan manusia di dunia senantiasa memiliki saat awal dan saat akhir. Dalam
jangka waktu antara awal dan akhir keberadaannya itulah manusia mengarungi masa hidupnya
dengan menyejarah (Daliman, 2012: 41). Dalam proses menyejarah itulah terjadi proses
dialektika antara perubahan dan keberlanjutan. Selanjutnya Daliman (2012) juga menjelaskan
bahwa, ‘konsep perubahan merupakan konsep yang paradoksal’. Perubahan pada dasarnya
memadukan pengertian mengenai suatu perbedaan dan sesuatu yang tetap sama.
Mempertemukan keduanya akan mampu membangkitkan kesadaran akan waktu, dan
menghadirkannya dalam pembelajaran sejarah akan dapat menjadi refleksi bagi tindakan kita
di masa yang akan datang.
b. Pembelajaran sejarah mengajarkan tentang jiwa zaman
Mempelajari sejarah secara tidak langsung berarti berusaha memahami bagaimana
pola dan tindakan manusia sesuai dengan cara pandang dan tata nilai bermasyarakat manusia
pada masa lalu. Dengan demikian mempelajari sejarah berarti juga mempelajari bagaimana
semangat, ide dan semangat jiwa manusia pada masanya.
c. Pembelajaran sejarah bersifat kronologis
Materi sejarah tidak lepas dari periodesasi dan kronologi, periodesasi diciptakan sesuai
kronologi peristiwa. Pembelajaran kronologis ini mengajarkan siswa untuk berfikir sistematis,
runut dan memahami hukum kausalitas.
Menurut Kochhar (2008), pembelajaran kronologi adalah salah satu tujuan yang
penting dalam pembelajaran sejarah karena urutan peristiwa menjadi kunci pokok dalam
memahami masa lampau dan masa sekarang. Sejarah sebagai mata pelajaran yang diajarkan
di sekolah membantu siswa dalam perkembangan konsep yang matang tentang waktu dan
kronologi.
Heri Susanto
397
d. Pembelajaran sejarah pada hakekatnya adalah mengajarkan tentang
bagaimana perilaku manusia
Menurut Renier (1997:205), ahli sejarah menyampaikan suatu ceritera mengenai
kolektivitas manusia yang menembus pengalaman-pengalaman aktif dan pasif, dan
menyampaikan pula suatu ceritera mengenai individu-individu yang hidup dalam masyarakat
mempengaruhi dan dipengaruhi oleh masyarakat.
Sejarah bercerita tentang manusia, tentang masyarakat pada suatu bangsa. Gerak
sejarah ditentukan oleh bagaimana manusia memberikan respon terhadap tantangan hidup
yang dia alami dalam bentuk perilaku. Memahami dan menghayati perilaku manusia ini akan
membuat kita mampu mengambil nilai-nilai positif dan menerapkannya dalam kehidupan kita.
e. Kulminasi dari pembelajaran sejarah adalah memberikan pemahaman akan
hukum-hukum sejarah
Menurut Renier (1997) hukum-hukum tersebut adalah; (a) hukum keadaan yang
terulang, (b) proses kehidupan adalah wajar (bagaimanapun bentuknya), (c) hukum perubahan,
(d) waktu yang ditetapkan (takdir sejarah), (e) kelompok/kelas sosial dan revolusi, (f) adanya
manusia luar biasa dalam sejarah.
Karekteristik tersebut berarti bahwa pedagogi sejarah harus sesuai dengan sasaran
pembelajaran sejarah dan karakteristik serta perkembangan peserta didik. Ketiga komponen
tersebut harus menjadi pertimbangan bagi pengajar sejarah.
3.2 Pendidikan Karakter dalam Pembelajaran Sejarah
Pendidikan sebagaimana kita pahami merupakan proses internalisasi gagasan, nilai,
dan seperangkat pengetahuan dari satu generasi ke generasi berikutnya. Dengan demikian
pendidikan pada dasarnya adalah proses pembudayaan. Melalui pendidikan terjadi proses
penanaman nilai yang akan menentukan bentuk dan tatanan masyarakat pada masa yang
akan datang. Dalam pengertian teoritis secara sederhana dan umum, pendidikan bermakna
sebagai usaha untuk menumbuhkan dan mengembangkan potensi-potensi bawaan, baik
jasmani maupun rohani, sesuai dengan nilai-nilai yang ada dalam masyarakat dan kebudayaan
(Choirul Mahfud, 2011: 32).
Terkait karakter, setiap proses pendidikan adalah pendidikan karakter. Pendidikan
karakter terjadi dengan lebih alamiah ketika dilaksanakan secara natural dan informal. Oleh
karena itu, tidak perlu ada mata pelajaran khusus tentang pendidikan karakter. Demikian juga,
tidak perlu ada usaha-usaha terprogram untuk mengembangkan pendidikan karakter yang
nantinya malah terjatuh pada formalisme, atau lebih parah lagi jatuh pada indoktrinasi (Doni
Koesoema, 2012: 9).
Pandangan tersebut memberikan petunjuk bahwa pendidikan karakter dapat terjadi
di dalam maupun di luar kelas. Pendidikan karakter di dalam kelas sudah tentu melibatkan
guru sebagai tokoh sentral pembelajaran. Dalam hal ini kemampuan guru untuk merancang
pembelajaran dan manajemen materi pembelajaran menjadi sangat penting. Meskipun
pendidikan karakter selayaknya bebas dari proses indoktrinasi, akan tetapi kemampuan guru
Heri Susanto
398
dalam merancang materi pembelajaran akan sangat menentukan apakah siswa akan memiliki
karakter yang diinginkan sebagai hasil proses pendidikan.
Thomas Lickona (2006) menyebutkan ada tiga hal penting dalam pendidikan karakter,
yaitu; unsur pengetahuan tentang yang baik (knowing the good), tindakan yang baik (doing the
good), dan unsur motivasi internal dalam melakukan yang baik (loving the good). Jika ingin
disimbolkan secara otomatis, ketiga hal tersebut ingin mengatakan sebagai berikut. Pertama,
pendidikan karakter mesti mengembangkan otak manusia sebagai salah satu cara untuk
mengolah informasi, memahami, dan memaknai realitas di dalam diri dan di luar dirinya.
Kedua, pendidikan karakter mesti memaksimalkan fungsi tangan dan kaki sebagai sebuah
tindakan bermakna. Ketiga, pendidikan karakter mesti menumbuhkan rasa indah, nyaman,
mantap dalam hati karena ia tahu bahwa apa yang dilakukannya itu bermakna dan membuatnya
bahagia (Doni Koesoema, 2012: 157). Dengan demikian domain pendidikan karakter menurut
Lickona menyangkut otak, tangan dan hati.
Pendidikan sebagai proses pembudayaan terus mengalami perkembangan, baik dari
segi sistem, pola, materi maupun strategi pedagogik pembelajaran. Dalam perkembangan tersebut
seringkali terdapat banyak pengaruh dari berbagai tren yang berkembang di masyarakat, bangsa
dan Negara. Dalam konteks ini pendidikan adalah proses pembudayaan yang sangat dinamis
dan selalu menyesuaikan diri dengan jiwa zamannya.
Fenomena pendidikan yang berkembang selalu mendapat banyak pengaruh.Sejarah
dalam ilmu pendidikan adalah serangkaian peristiwa yang perlu dipahami, bahwa upaya
mendidik masyarakat adalah suatu peristiwa sejarah yang penting. Sejarah masyarakat adalah
sejarah kemanusiaan yang panjang, yang terjadi atas prakarsa manusia untuk memperbaiki
kualitas kehidupan mereka. Teori-teori sejarah akan menggambarkan banyak sekali fenomena
pendidikan yang telah terjadi di masa lampau, lembaga-lembaga pendidikan yang ada dan
berusaha mencari titik acuan guna memperbaiki perilaku di masa depan bagi peradaban
manusia (Agus Salim, 2007: 18).
Jika kita amati dari perjalanan sejarah pendidikan bangsa-bangsa di dunia sebenarnya
kita dapat mengetahui bahwa kebijakan dan praksis pendidikan yang dilakukan selalu berperan
besar dalam membentuk karakter bangsa tersebut. Kita dapat mengetahui bagaimana pola
pendidikan yang diterapkan pada masyarakat Sparta telah membentuk karakter militer dalam
diri pemudanya dan mengantarkan Negara Kota tersebut menjadi sangat ditakuti. Kita juga
dapat mengetahui bagaimana pola pendidikan yang diterapkan di Athena dapat membentuk
para filsuf dan ilmuan terkemuka sehingga Negara Kota tersebut menjadi sangat disegani.
Sehingga tidak berlebihan kiranya apabila Mc Clelan mengemukakan bahwa pendidikan dapat
membawa kemajuan peradaban dengan lebih cepat.
Pergulatan pokok yang dihadapi oleh setiap kebudayaan tentang eksistensinya adalah
berperang melawan risiko untuk dilupakan, hilang dalam sejarah, dan tidak diingat lagi. Cara
paling tradisional untuk memberantas serangan atas ‘lupa’ ini adalah dengan bercerita. Melalui
cerita, masyarakat meneruskan cita-cita, idealisme, nilai-nilai, adat istiadat, perilaku, tata cara,
dan lain lain, yang menjadi kekayaan budaya suatu masyarakat kepada generasi yang lebih
muda (Doni Koesoema, 2010: 10-11).
Heri Susanto
399
Dimanakah pendidikan sejarah berperan? Pendidikan sejarah berusaha menjadi
jembatan antara masa lalu yang tak mungkin diamati secara langsung dengan masa kini yang
melingkupi kehidupan manusia, sehingga dengan demikian serangan ‘lupa’ tersebut dapat
diminimalisir. Mempelajari sejarah berarti menghidupkan kembali nilai-nilai tersebut, dan
dengan menghidupkan nilai tersebut juga berarti membentuk karakter bangsa.
Dengan mempelajari sejarah didapat suatu konstruksi berpikir yang realities-empirik,
sesuai dengan fenomena sejarah yang ada. Dengan memahami sejarah setidaknya akan
mendorong menjadi pribadi yang terbuka (open-minded person) dan memiliki hati yang bersih
dari berbagai prasangka dan penghakiman dini (early judgment) (Agus Salim, 2007: 18).
Pendidikan sejarah yang baik akan sangat menentukan apakah masyarakat yang akan datang
memiliki karakter yang lebih baik dari masyarakat yang ada sekarang dan di masa lalu, ataukah
sebaliknya. Dengan demikian terdapat hubungan yang sangat kuat antara pendidikan karakter
dengan pendidikan sejarah.
Pendidikan sebagai sebuah sistem membutuhkan langkah operasional untuk mencapai
tujuan, dalam hal ini karakter bangsa. Langkah operasional dalam hal ini adalah praksis
pendidikan dan lebih spesifik lagi pembelajaran. Pembelajaran menjadi jantung pendidikan,
keberhasilan pembelajaran sangat menentukan kualitas pendidikan, dan proses pembelajaran
yang dilakukan akan menentukan apakah peserta didik memperoleh nilai dan makna dari
rangkaian proses pendidikan yang dialami.
Sartono Kartodirdjo (1988) berpendapat; bahwa dalam rangka pembangunan bangsa,
pengajaran sejarah tidak semata-mata berfungsi untuk memberikan pengetahuan sejarah sebagai
kumpulan informasi fakta sejarah tetapi juga bertujuan menyadarkan anak didik atau
membangkitkan kesadaran sejarahnya. Untuk mencapai tujuan tersebut maka sejarah yang
diajarkan haruslah sejarah yang mengedepankan nilai-nilai kehidupan, bukan sejarah hafalan
yang hanya menyuguhkan nama, tempat, angka tahun dan peristiwa. Kendatipun unsur-unsur
tersebut tidak dapat ditinggalkan dari pembelajaran sejarah, akan tetapi bukan berarti pembelajaran
yang dilakukan hanya memfokuskan pada hal-hal tersebut, yang akan menjadikan pembelajaran
sejarah menjadi kering dari makna dan tidak memberikan penyadaran terhadap individu
pembelajar.
Lebih luas lagi Hamid Hasan (2011: 3) dalam tinjauannya menjelaskan:
Pertama, pendidikan sejarah merupakan materi pendidikan yang teramat penting untuk
memberikan materi pendidikan yang mendasar bagi siswa secara mendalam dan berdasarkan
pengalaman nyata bangsa dimasa lalu untuk membangun kesadaran dan pemahaman tentang
diri dan bangsanya.
Kedua, materi pendidikan sejarah merupakan materi pendidikan yang khas dalam
membangun kemampuan berpikir logis, kritis, analitis, dan kreatif karena berkenaan dengan
sesuatu yang sudah pasti dalam kehidupan bangsa dimasa lampau dan selalu berkenaan
dengan perilaku manusia yang dikendalikan oleh cara berpikir logis, kritis, analitis dan kreatif
yang sesuai dengan tantangan kehidupan yang dihadapi pada masanya.
Ketiga, pendidikan sejarah menyajikan materi dan contoh keteladanan, kepemimpinan,
Heri Susanto
400
kepeloporan, sikap dan tindakan manusia dalam kelompoknya yang menyebabkan terjadinya
perubahan-perubahan dalam kehidupan manusia tersebut. Keempat, kehidupan manusia
selalu terkait dengan masa lampau karena walau pun hasil tundakan dalam menjawab tantangan
bersifat final tetapi hasil dari tindakan tersebut selalu memiliki pengaruh yang tidak berhenti hanya
untuk masanya tetapi berpengaruh terhadap masyarakat tadi dalam menjalankan kehidupan
barunya, dan oleh karenanya peristiwa sejarah menjadi “bank of examples” untuk digunakan dan
disesuaikan sebagai tindakan dalam menghadapi tantangan kehidupan masa kini.
Terkait dengan hal tersebut, I Gde Widja (1989), mengungkapkan bahwa bertolak dari
pikiran tiga dimensi sejarah maka proses pendidikan, khususnya pengajaran sejarah, ibarat
mengajak peserta didik menengok ke belakang dengan tujuan melihat ke depan. Makna yang
tertuang dari pendapat ahli tersebut adalah dengan mempelajari nilai-nilai kehidupan
masyarakat di masa lampau, diharapkan peserta didik mencari atau mengadakan seleksi
terhadap nilai-nilai itu, mana yang relevan atau dapat dikembangkan dalam menghadapi
tantangan zaman yang kompleks di masa kini maupun yang akan datang. Proses mencari atau
proses seleksi jelas menekankan pada pendekatan proses, serta menuntut untuk lebih
diciptakan aktivitas fisik-mental dan kreativitas siswa dalam belajar sejarah (I Gde Widja dalam
Ahmad Turmuzi, 2011).
Pembelajaran sejarah yang baik akan membentuk pemahaman sejarah. Pemahaman
sejarah merupakan kecenderungan berfikir yang merefleksikan nilai-nilai positif dari peristiwa
sejarah dalam kehidupan sehari-hari, sehingga kita menjadi lebih bijak dalam melihat dan
memberikan respon terhadap berbagai masalah kehidupan. Pemahaman sejarah memberi
petunjuk kepada kita untuk melihat serangkaian peristiwa masa lalu sebagai sistem tindakan
masa lalu sesuai dengan jiwa jamannya, akan tetapi memiliki sekumpulan nilai edukatif
terhadap kehidupan sekarang dan akan datang.
Sehubungan dengan pendidikan karakter maka pembelajaran sejarah harus diarahkan
untuk memahami dan menghayati nilai-nilai karakter yang tercermin dalam setiap cerita sejarah.
Bukankah “membentuk watak” seperti yang telah dipaparkan dalam berbagai fakta historis di
atas merupakan karakter yang terbentuk di dalam dinamika sejarah bangsa Indonesia (Susanto
Zuhdi, 2010: 409). Dengan demikian pada dasarnya perjalanan sejarah itu sendiri adalah
perjalanan membentuk karakter bangsa, sehingga pendidikan yang dilakukan haruslah
memperhatikan nilai-nilai karakter dalam sejarah bangsa.
Menurut Hamid Hasan (2012: 89-90) materi pendidikan sejarah sangat potensial
bahkan esensial untuk mengembangkan pendidikan karakter bangsa. Untuk itu materi
pendidikan sejarah harus berubah dari materi yang kaya fakta tapi kering nilai menjadi materi
yang mencakup materi yang dapat menjelaskan kenyataan kehidupan masa kini, arah
perubahan yang sedang terjadi, tradisi, nilai, moral, semangat perjuangan yang hidup di
masyarakat ketika suatu peristiwa sejarah terjadi dan masih diwariskan hingga masa kini.
Inovasi pembelajaran sejarah sangat diperlukan untuk menjadikan mata pelajaran
sejarah sebagai media yang efektif dalam membentuk karakter peserta didik. Inovasi harus
Heri Susanto
401
dilakukan secara menyeluruh dan terpadu, dimulai dari perencanaan, strategi pembelajaran,
dan evaluasi pembelajaran. Inovasi tersebut dapat dijelaskan sebagai berikut:
a. Pada tahap perencanaan, pengorganisasian materi harus lebih ditekankan untuk
penanaman nilai-nilai karakter sesuai dengan Kompetensi Inti dan Kompetensi Dasar.
Pemilahan materi ini akan menentukan seberapa banyak peserta didik memperoleh
informasi. Sesuai dengan semangat Kurikulum 2013, guru mempunyai kebebasan
untuk mengatur materi ajar yang diperlukan sepanjang tidak bertentangan dengan
standar kurikulum. Dengan demikian guru dapat memodifikasi materi dengan
memasukkan unsur-unsur lokal dan nasional dalam sejarah yang mempunyai nilai
karakter. Guru sebaiknya mengurangi keterpakuan pada buku pelajaran yang dijual di
pasaran. Seringkali buku yang dijual luas di pasaran hanya menyajikan informasi faktual
yang kering nilai.
b. Dalam strategi pembelajaran, sesuai dengan semangat Kurikulum 2013 yang dijiwai
oleh filsafat konstruktivisme, maka pembelajaran sebaiknya lebih diarahkan untuk
rekonstruksi nilai-nilai karakter melalui cerita sejarah. Dalam kegiatan pembelajaran
fokus utama kegiatan pembelajaran bukanlah ekspositori oleh guru akan tetapi
sebisa mungkin lebih ditekankan untuk inquiri. Peserta didik harus diarahkan untuk
menemukan nilai-nilai karakter, dan selanjutnya mengaplikasikannya dalam konteks
kekinian.
c. Evaluasi pembelajaran sejarah menurut Aman (2012: 132-133) menekankan pada
penilaian proses dan hasil belajar siswa. Hasil pembelajaran mencakup kecakapan
akademik, kesadaran sejarah, dan nasionalisme. Dengan demikian evaluasi tidak
hanya mencakup aspek kognitif, akan tetapi juga afektif.
Cara tersebut diharapkan menjadikan pembelajaran sejarah dapat lebih memberikan
makna dan kesan bagi peserta didik. Dengan demikian pembelajaran yang dilakukan dapat
berperan optimal sebagai upaya penyadaran terhadap jatidiri bangsa dan pada akhirnya
membentuk karakter peserta didik.
3.3 Aspek Berfikir Kritis dalam Pedagogi Sejarah
Gunawan (2003:177-178) menyatakan bahwa keterampilan berpikir kritis adalah
kemampuan untuk berpikir pada level yang kompleks dan menggunakan proses analisis dan
evaluasi. Berpikir kritis melibatkan keahlian berpikir induktif seperti mengenali hubungan,
manganalisis masalah yang bersifat terbuka, menentukan sebab dan akibat, membuat
kesimpulan dan memperhitungkan data yang relevan. Sedang keahlian berpikir deduktif
melibatkan kemampuan memecahkan masalah yang bersifat spasial, logis silogisme dan
membedakan fakta dan opini. Keahlian berpikir kritis lainnya adalah kemampuan mendeteksi
bias, melakukan evaluasi, membandingkan dan mempertentangkan.
Robert Harris seperti dikutip Hamid Hasan (2012: 130) mengemukakan bahwa berfikir
kritis adalah “a habit of cautious evaluation, an analytic mindset aimed at discovering componen
parts of ideas and philosophies, eager to weigh the merits of arguments and reason in order to
become a good judge of them”. Pernyataan tersebut menggambarkan bahwa berfikir kritis
Heri Susanto
402
adalah suatu kebiasaan. Sebagai suatu kebiasaan maka proses pendidikan melalui kegiatan
pembelajaran memegang peranan penting untuk membiasakan peserta didik.
Menurut Ruland (2003:1-3) berpikir kritis harus selalu mengacu dan berdasar kepada
suatu standar yang disebut universal intelektual standar. Universal intelektual standar adalah
standardisasi yang harus diaplikasikan dalam berpikir yang digunakan untuk mengecek kualitas
pemikiran dalam merumuskan permasalahan, isu-isu, atau situasi-situasi tertentu. Universal
intelektual standar meliputi: kejelasan (clarity), keakuratan, ketelitian, kesaksamaan (accuracy),
ketepatan (precision), relevansi, keterkaitan (relevance), kedalaman (depth).
Terkait hal tersebut menurut Santrock (2010: 155-156), terdapat dikotomi gaya belajar
dan berfikir yang paling banyak dikemukakan, yaitu gaya impulsif/reflektif dan mendalam/dangkal.
Gaya impulsif membawa kecenderungan peserta didik untuk merespon cepat dan impulsif,
sedangkan gaya reflektif memungkinkan peserta didik untuk merenungkan akurasi dari suatu
jawaban. Riset membuktikan bahwa murid yang impulsif cenderung lebih banyak melakukan
kesalahan ketimbang yang reflektif. Jika berfikir kritis diartikan sebagai kecenderungan berfikir
dengan mempertimbangkan berbagai variabel dalam mengambil keputusan, maka berfikir
kritis pada dasarnya adalah gaya berfikir reflektif.
Sehubungan dengan kemampuan berfikir, menurut Barry Gordon (2003) terdapat “two
basic kinds of memory”, keduanya adalah; ordinary memory dan intelligent memory. Ordinary
memory merupakan kemampuan berfikir yang bersifat episodic, terbatas pada ingatan jangka
pendek. Sedangkan intelligent memory merupakan memori prosedural yang bersifat jangka
panjang. Dalam konteks pembelajaran, pembelajaran yang dilakukan dengan berbasis pada
pengembangan intelligent memory pada akhirnya akan melahirkan kemampuan berfikir kritis.
Berfikir kritis adalah suatu konsep. Setiap konsep memiliki atribut dan satu konsep
dibedakan dari konsep lainnya berdasarkan atribut yang dimiliki dan struktur atribut tersebut.
Menurut Harris kemampuan berfikir kritis memiliki empat atribut. Seseorang baru dapat dikatakan
memiliki kemampuan berfikir kritis apabila menguasai atau memiliki kemampuan keempat
atribut tersebut. Keempatnya adalah analisis, perhatian (attention), kesadaran (awareness),
dan pemberian pertimbangan yang independen (Hamid Hasan, 2012: 131).
Berfikir kritis merupakan komponen karakter. Berpikir kritis adalah sintesa dari
pengetahuan moral. Menurut Lickona (2012: 85-86), pengetahuan moral terdiri dari kesadaran
moral, nilai moral, perspektif, pemikiran moral, pengambilan keputusan dan pengetahuan
perspektif. Dengan konsep tersebut berarti pembelajaran yang dilakukan seharusnya tidak
hanya menyangkut aspek kognitif praktis, akan tetapi lebih diarahkan pada pencarian nilai
(value) dan arti (meaning).
Pembelajaran sejarah sebagai pembelajaran yang berbasis pada “human activity”
sudah sewajarnya diarahkan untuk memahami bagaimana proses kehidupan melalui proses
pencarian nilai (value) dan arti (meaning) dari setiap peristiwa. Dengan demikian pembelajaran
sejarah akan membawa pengaruh bagi ketiga aspek belajar secara maksimal, yaitu; panduan
bersikap (afektif), berfikir cerdas (kognitif), dan dasar tindakan (psikomotor). Hubung-kait
berbagai konsep tersebut dalam pembelajaran sejarah dapat dilihat pada bagan berikut:
Heri Susanto
403
Bagan tersebut menggambarkan bahwa untuk membentuk kebiasaan berfikir kritis
maka diperlukan setidaknya dua langkah penting. Pertama, materi sejarah yang disajikan adalah
materi yang berorientasi pada nilai sehingga peserta didik dapat menjadikannya sebagai
panduan dalam bersikap, sebagai bahan analisis untuk berfikir cerdas dan sebagai dasar
tindakan dalam kehidupan sehari-hari. Kedua, dalam mengajarkan materi sejarah diperlukan
strategi yang mengedepankan empat atribut berfikir kritis sebagai proses, yaitu adanya proses
analisis terhadap berbagai fakta, konsep atau peristiwa, perhatian terhadap gejala-gejala dalam
peristiwa sejarah, kesadaran sejarah dan pada akhirnya peserta didik mampu merumuskan
independent judgement terhadap tema yang mereka pelajari.
Tahapan tersebut mengharuskan guru untuk membuat desain pembelajaran sejarah
yang bukan hanya mengedepankan aspek kognitif, akan tetapi juga afektif dan psikomotor.
Sementara siswa dalam proses pembelajaran diajak untuk melakukan aktivitas belajar yang
melibatkan kemampuan memori jangka panjang melalui proses mempertanyakan, menalar,
mencoba membuat asosiasi dan menyampaikan independent judgement.
III. SIMPULAN
Sebagai sebuah proses pendidikan, pembelajaran sejarah pada hakekatnya adalah
upaya dalam membentuk karakter peserta didik. Untuk memaksimalkan hal tersebut
pembelajaran sejarah sudah sewajarnya tidak hanya diarahkan untuk mengembangkah aspek
kognitif siswa akan tetapi lebih penting lagi juga pengembangan aspek afektif dan psikomotor.
Upaya tersebut akan berhasil apabila dalam proses pembelajaran guru dapat mengembangkan
aktivitas belajar yang membawa siswa pada kebiasaan berfikir kritis.
Kejelian dalam proses merencanakan atau membuat desain pembelajaran,
pelaksanaan pembelajaran dan evaluasi sebagai sarana refleksi pembelajaran mutlak
Heri Susanto
404
diperlukan. Rangkaian kegiatan tersebut sewajarnya dilakukan dengan memperhatikan struktur
dan konsep pedagoggi sejarah, sehingga tujuan akhir pembelajaran sejarah dapat tercapai.
DAFTAR PUSTAKA
Agus Salim. 2007. Indonesia Belajarlah! Membangun Pendidikan Indonesia. Yogyakarta: Tiara
Wacana.
Ahmad Sudrajat. 2012. 4 Kompetensi Guru. dalam http://ahmad_sudrajat.guru-indonesia.net/
artikel_detail-18438.html (diakses pada 12 April 2013).
Ahmad Turmuzi. 2011. Peranan Pembelajaran Sejarah dalam Pembangunan Bangsa.dalam
http://komunitaspendidikan.com/index.php/forum/peranan-pembelajaran-sejarah-
dalam-pembangunan-bangsa/146 (diakses pada Kamis, 21 Juni 2011).
Aman. 2011. Model Evaluasi Pembelajaran Sejarah. Yogyakarta: Ombak.
Choirul Mahfud. 2011. Pendidikan Multikultural. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Daliman. 2012. Manusia dan Sejarah. Yogyakarta: Ombak.
Doni Koesoema. 2010. Pendidikan Karakter: Strategi Mendidik Anak di Zaman Global. Jakarta:
Grasindo.
Gordon, Berry. 2003. Intelligent Memory: A Prescription for Improving Your Memory. New York:
Penguin Books.
Gunawan, Adi W. 2003. Genius Learning Strategy Petunjuk Praktis untuk Menerapkan Accelarated
Learning. Jakarta. Gramedia Pustaka Utama.
Hamid Hasan. 2011. “Pendidikan Sejarah: Orientasi dan Strategi Pedagogis”. Makalah pada.
Konferensi Nasional Sejarah IX. Jakarta: 5-7 Juli 2011.
Hamid Hasan. 2012. Pendidikan Sejarah Indonesia, Isu dalam Ide dan Pembelajaran. Bandung:
Rizqi Press.
I Gde Widja. 1989. Dasar-Dasar Pengembangan Strategi Serta Metode Pengajaran Sejarah.
Jakarta: Debdikbud.
Kochar, S.K. 2008. Pembelajaran Sejarah. Jakarta: Grasindo.
Lickona, Thomas. 2012. Mendidik Untuk Membentuk Karakter: Bagaimana Sekolah Dapat
Memberikan Pendidikan tentang Sikap Hormat dan Bertanggung Jawab/penerjemah,
Juma Abdu Wamaungo; editor, Uyu Wahyudin dan Suryani. Jakarta: Bumi Aksara.
Magdalia Alfian. 2007. “Pendidikan Sejarah dan Permasalahan yang Dihadapi”. Makalah
disampaikan dalam Seminar Nasional Ikatan Himpunan Mahasiswa Sejarah Se-
Indonesia (IKAHIMSI). Universitas Negeri Semarang, Semarang, 16 April 2007.
Renier, G.J. 1997. Metode dan Manfaat Ilmu Sejarah. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Ruland, Judith P. 2003. Critical Thinking Standards University of Central Florida. Faculty Centre.
Santrock, John W. 2010. Psikologi Pendidikan. Jakarta: Kencana Prenada Media Group.
Heri Susanto
405
Sartono Kartodirdjo. 1959. The Philosophy of History in Our Time. New York: Anchor Book
Company.
________________. 1988. Fungsi Pengajaran Sejarah dalam Pembangunan Nasional. Artikel
dalam Harian Kompas, 26 September 1988.
Susanto Zuhdi. 2010. “Identitas Bangsa, Sejarah, dan Pendidikan Sejarah di Indonesia”. dalam
Endang Sri Hardiati dan Rr. Triwulan (Peny.). Pentas Ilmu di Ranah Budaya, Sembilan
Windu Prof. Dr. Edi Sedyawati. Denpasar: Pustaka Larasan.
Wineburg, Sam. 2006. Berpikir Historis: Memetakan Masa Depan, Mengajarkan Masa Lalu.
Jakarta: Yayasan Obor.
Heri Susanto
406
MUSEUM SEBAGAI WAHANA PENDIDIKAN KARAKTER
DI KALIMANTAN SELATAN
Herry Porda Nugroho Putro
Universitas Lambung Mangkurat
ABSTRAK
Museum banyak kita jumpai diberbagai daerah, bahkan di berbagai negara. Koleksi yang
dimiliki museum beraneka ragam, sesuai dengan fungsi museum. Pada dasarnya museum
sebagai tempat menyimpan memori suatu masyakat atau bangsa, sehingga merupakan tempat
belajar dan pengingat jati diri serta identitas bangsa. Kalimantan Selatan memiliki dua museum
ternama, yaitu: Museum Lambung Mangkurat dan Museum Waja Sampai Kaputing. Museum
Lambung Mangkurat menyimpan koleksi dan gambaran perjalanan semua aspek kehidupan
masyarakat bangsa, Museum Waja Sampai Kaputing menyimpan koleksi dan gambaran
perjuangan masyarakat Kalimantan Selatan pada waktu mempertahankan kemerdekaan. Dua
museum tersebut selama ini telah menjadi pusat studi, dan selalu dikunjungi oleh para pelajar
dan mahasiswa. Berpijak pada hakekat museum dan dan koleksi dua museum tersebut, maka
Museum Lambung Mangkurat dan Museum Waja Sampai Kaputing memiliki peran penting
dalam pendidikan karakter khususnya karakter bangsa.
Kata kunci: museum, Kalimantan Selatan, karakter
II. PEMBAHASAN
2.1 Hakekat dan Fungsi Museum
Hampir kebanyakan orang sering mendengar kata museum, ironisnya sering dikaitkan
dengan tempat menyimpan benda-benda lama dan tidak bermanfaat. Sering kita mendengar
metafora terhadap benda yang lama dengan kata-kata “dimuseumkan saja”. Metafora dan
pemahaman keliru ini berakibat pada persepsi keliru juga terhadap peran fundamental museum.
Koleksi yang dikumpulkan, dirawat dan dipamerkan bertujuan untuk kepentingan studi
atau pendidikan dan rekreasi. Dinamika dari museum terlihat dari tugas pokok museum, yaitu:
mengumpulkan, menyimpan, memelihara dan merawat serta memamerkan. Aktivitas ini
diharapkan dapat mengkomunikasikan dengan masyarakat dan lingkungannya. Jelas bahwa
museum bukan tempat yang statis, koleksi di dalamnya dapat memberikan gambaran tentang
ide-ide dan sistem nilai berkaitan dengan suatu masyarakat. Fungsi museum dijelaskan oleh
Candrasasmita (Seraya, 1983: 76): pusat dokumentasi dan ilmiah, pusat penyaluran ilmu untuk
umum, pusat kenikmatan kesenian, pusat perkenalan kebudayaan antara daerah dan bangsa,
obyek wisata, media pembinaan pendidikan kesenian dan ilmu pengetahuan, suaka alam
suaka budaya, sebagai cermin alam dan kebudayaan, dan media untuk bertakwa dan bersyukur
kepada Tuhan Yang Maha Esa.
Koleksi yang dikumpulkan sebagai pembuktian manusia dan lingkungannya, dapat
ditemukan dalam ragam museum berdasarkan koleksinya: museum geologi, museum zoologi,
III. SIMPULAN
Pendidikan karakter dapat dilakukan melalui studi di museum, karena museum dalam
hal ini Museum Lambung Mangkurat dan Museum Waja Sampai Kaputing di Kalimantan
Selatan menyimpan memori dan gambaran perjuangan masyarakat dalam berbagai aktivitas
sejak jaman prasejarah hingga kini.
Pemanfaatan museum sebagai media pendidikan karakter, dapat dilakukan melalui
pendekatan sainstifik. Siswa diajak menyelesaikan masalah masyarakat dan bangsanya melalui
model discovery learning, problem based learning, project learning, dan Inquiry learning. Koleksi
di museum dapat dijadikan tema permasalahan tentang perjuangan bangsa, dan dapat menjadi
sumber nyata perjalanan bangsa dari waktu ke waktu.
Museum Lambung Mangkurat dan Museum Waja Sampai Kaputing di Kalimantan
Selatan dapat digunakan sebagai pembelajaran sainstifik, siswa dapat diajak menggali
permasalahan yang ada di masyarakat dan dapat menemukan jati diri bangsa melalui benda-
benda koleksi museum.
Museum Lambung Mangkurat dan Museum Waja Sampai Kaputing telah melangkah
dan mengisi kehidupan masyarakat Kalimantan Selatan. Koleksi-koleksi di dalamnya
menyimpan kekayaan budaya dan iptek yang terus bertambah setiap tahunnya. Penataan
kembali agar lebih menarik dan terkesan menyenangkan perlu mendapat dukungan semua
pihak, karena keberadaan museum yang sudah begitu lama telah menjadi milik masyarakat,
demikian pula keberadaan museum sebagai pusat studi, budaya, dan wisata telah dirasakan
manfaatnya.
Penataan yang sistemik dan holistik sangat diperlukan, seperti ruangan, taman,
halaman, dan unsur pelaksana. Taman dan halaman yang nyaman akan dapat menarik
DAFTAR PUSTAKA
Cary, J. L. 2013. Strengthening the Social Studies for the 21st Century. Paper.International Seminar
on Strengthening Social Studies for the Twenty First Century. November 14, 2013.
Bandung: Organized By Social Studies Program School of Post-Graduate Studies
Indonesia University of Education.
Edi Sedyawati. 2008. KeIndonesian dam Budaya. Jakarta: Wedatama Wdya Sastra.
Kennedy, P. (1995). Menyiapkan Diri Menghadapi Abad ke- 21. Jakarta: Yayasan Obor.
Micklethwait, J. 2000. A Future Perfect. New York: Crown Publisher.
Muhsinatun, S. M. 2013. Pengembangan Pendidikan Budaya dan Karakter Bangsa. Makalah.
Seminar Nasional Pendidikan IPS. 11 September 2013. Banjarmasin: Program Studi
Magister Pendidikan IPS Pascasarjana UNLAM.
Seraya, M. 1983. Langkah-Langkah Museum Bali dalam Rangka Memupuk Apresiasi dan
Membina Cinta Budaya, Generasi Muda. Denpasar.
Stopsky, F., Lee, S. S., Tamashiro, S. (1994). Social Study in a Global Society. New York: Delmar
Publisher Inc.
Sunal, C. S., Haas, M. E. 2005. Social Studies for the Elementary and Middle Class. Boston:
Pearson.
Trilling, B., & Fadel, C. 2009. 21 ST Century Skills: Learning For Life in Our Times. San Fransisco:
John Willeys & Sons.
Waterworth, P. 2013. Enchancing Multicultural Competencies through Social Studies. Paper.
International Seminar on Strengthening Social Studies for The Twenty First Century.
November 14, 2013. Bandung: Organized By Social Studies Program School of Post-
Graduate Studies Indonesia University of Education.
Woyach, R. B., Benny, R. C. 1989. Approach to World Studies: A Handbook for Curriculum
Planners. London: Allyn and Bacon.
ABSTRAK
Manajemen diri menjadi hal yang sangat penting karena manajemen diri yang baik dapat
.
meningkatkan pengelolaan kelas yang efisien dan efektif. Para pendidik akan mampu mengelola
kelas mereka jika mereka mampu mengelola diri mereka. Pengertian pembelajaran dalam
Sisdiknas pasal 1 angka 20 diartikan sebagai proses interaksi peserta didik dengan pendidik
dan sumber belajar pada suatu lingkungan belajar. Pengertian tersebut mengandung
komponen pendidik dan peserta didik sehingga dapat dikatakan pembelajaran adalah interaksi
belajar mengajar dalam suasana interaktif yang terarah pada tujuan pembelajaran yang telah
ditentukan yang dilakukan oleh pendidik kepada peserta didik. Disinilah diperlukan seorang
pendidik sebagai desainer pendidikan yang mampu mengelola kelasnya dengan karakter
yang kuat yang berdasarkan nilai–nilai Pancasila sehingga bisa diteladani oleh anak didiknya.
Dalam konteks itu para pendidik haruslah merupakan orang–orang yang memiliki
keseimbangan dan karakter yang baik di dalam kehidupan pribadinya maupun di dunia kerjanya.
Dengan kemampuan mengelola aspek-aspek yang terdapat dalam manajemen diri, seperti
visi dalam hidup dan pekerjaannya, pendekatan dalam bekerjanya, tujuan bekerjanya, emosi,
waktu dan motivasinya, maka diharapkan pendidik mampu meningkatkan efektivitas dalam
mengelola kelasnya, sehingga akan melahirkan insan–insan Indonesia yang memiliki
kecerdasan komprehensif yang meliputi kecerdasan spiritual, kecerdasan emosional dan sosial,
kecerdasan intelektual, kecerdasan kinestetik serta kompetitif untuk mampu bersaing dalam
persaingan global.
Kata Kunci : Pengelolaan kelas, Manajemen diri, Karakter Pancasila
I. PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Manajemen diri (self-management) merupakan istilah yang sangat populer saat ini
karena memang diperlukan bagi mereka yang berada di lingkungan profesional maupun dalam
kegiatan sosial kemasyarakatan yang salah satunya adalah manajemen diri bagi pendidik atau
guru dalam mengelola kelasnya. Menurut Gede Prama (2012), “manajemen diri merupakan
pengendalian diri terhadap pikiran, ucapan dan perbuatan yang dilakukan, sehingga mendorong
pada penghindaran diri terhadap hal-hal yang tidak baik dan peningkatan perbuatan yang baik
dan benar.” Sedangkan Udo Yamin Efendi Majdi (2012) mendefinisikan “manajemen diri sebagai
II. PEMBAHASAN
Dalam naskah akademik pendidikan karakter di Perguruan Tinggi yang dikeluarkan
oleh Kementrian Pendidikan Nasional Tahun 2011 dinyatakan bahwa arah pembangunan
Nasional adalah terwujudnya masyarakat Indonesia yang beriman dan bertakwa serta berakhlak
mulia, bermoral, beretika, berbudaya, dan beradab yang dijabarkan menjadi dua sub-arah
sebagai berikut: (1) Terwujudnya karakter bangsa yang tangguh, kompetitif, berakhlak mulia,
dan bermoral berdasarkan falsafah Pancasila yang dicirikan dengan watak dan perilaku manusia
dan masyarakat Indonesia yang beriman dan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berbudi
luhur, bertoleran, bergotong royong, berjiwa patriotik, berkembang dinamis, dan berorientasi
iptek serta menjunjung tinggi keberagaman dalam makna Bhinneka Tunggal Ika; (2) Makin
mantapnya peradaban dan budaya bangsa yang tercermin dalam meningkatnya harkat dan
martabat manusia Indonesia; dan menguatnya jati diri, kepribadian dan peradaban bangsa.
Menurut Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional No.20 tahun 2003, pasal 1
angka 1 pendidikan diartikan sebagai “usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana
belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi
dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian,
kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa
dan Negara. Sedangkan dalam pasal 1 angka 20 pembelajaran diartikan sebagai “proses
interaksi peserta didik dengan pendidik dan sumber belajar pada suatu lingkungan belajar”.
Dalam konteks pengertian tersebut pembelajaran mengandung 4 (empat) komponen,
yaitu peserta didik, pendidik, sumber dan lingkungan pembelajaran. Atau dapat dikatakan secara
ABSTRAK
Tulisan ini berangkat dari kegelisahan penulis melihat maraknya berbagai perilaku yang
ditampakkan oleh generasi muda khususnya pada remaja dan pemuda Bugis Makassar yang
sudah semakin jauh dari akar dan nilai-nilai kulturalnya yang bersumber dari berbagai kearifan
yang pernah ditampilkan oleh para leluhurnya. Berbagai tindakan penyimpangan sosial, sebagai
imbas negatif dari era globalisasi dan modernisasi, tampak di depan mata pada generasi
muda di seluruh tanah air, termasuk di tanah Bugis Makassar. Kondisi ini diduga diantaranya
diakibatkan oleh kegagalan dunia pendidikan yang saat ini kurang memperhatikan pendidikan
karakter bangsa, khususnya yang berbasis kearifan lokal. Melihat kondisi tersebut, sudah saatnya
pendidikan karakter pada keluarga dan penanaman nilai-nilai budi pekerti di dunia persekolahan
mendapatkan perhatian yang serius. Salah satu bentuk upaya perbaikan tersebut adalah kembali
menggali nilai-nilai kearifan budaya masyarakat Bugis Makassar yang terdapat dalam lontaraq.
Kata Kunci: Pendidikan Karakter, Lontaraq, Problema Remaja.
I. PENDAHULUAN
Istilah Globalisasi digunakan untuk menggambarkan situasi hilangnya berbagai
penghalang dari pergerakan barang dan jasa antarnegara di dunia atau disebut juga sebagai
liberalisasi ekonomi. Globalisasi tidak hanya mengundang masuknya barang dan jasa, tetapi
juga alih teknologi, pola konsumsi, budaya, nilai-nilai dan pendidikan. Hal itu akan memberikan
berbagai implikasi dalam berbagai aspek (Handayani, 2008: 155-156). Menurut Buchori (1995:
143)
“… dalam era globalisasi ini kehidupan umat manusia ditandai oleh saling
ketergantungan antara bangsa yang satu dengan bangsa yang lain. Dan saling
ketergantungan ini makin lama makin besar dan makin terasa dalam kehidupan sehari-
hari. Di samping itu persaingan antarbangsa menjadi makin lama makin ketat. Dan
daerah persaingan pun makin lama makin luas…Salah satu konsekuensi dari kenyataan
ini ialah bahwa kita harus mengenal masyarakat dunia dengan cukup baik, kalau kita
tidak ingin ditinggalkan serta dirugikan oleh bangsa-bangsa lain …”
Irwan Abbas
433
Tidak diragukan lagi bahwa dinamika globalisasi memberikan manfaat bagi banyak
orang, meningkatkan kesejahteraan, dan menimbulkan peluang-peluang baru. Akan tetapi,
globalisasi juga mempunyai konsekuensi merugikan bagi yang lainnya (Surya, 2004: 98).
Perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi yang begitu cepat pada era globalisasi
mengakibatkan interaksi budaya akan berjalan dengan semakin intensif dan terbuka, sehingga
berdampak pada terjadinya perubahan budaya yang amat fundamental. Globalisasi budaya
akan menyebabkan terjadinya perubahan pola dan gaya hidup, bahkan nilai-nilai dan tatanan
kehidupan manusia di dunia, termasuk di Indonesia (Syarief, 1997: 257). Gelombang globalisasi
telah menghapuskan batas-batas ruang ditopang oleh teknologi informasi yang menghancurkan
batas-batas waktu, telah mengubah tata pergaulan umat manusia (Tilaar, 2002: 87). Huntington
(1996) dalam The Clash of Civilizations and the Remaking of World Order meramalkan hilangnya
negara-negara dan akan munculnya kelompok-kelompok budaya yang besar.
Dalam proses globalisasi tidak selalu dapat dicapai suatu perolehan yang adil bagi
semua pihak, karena akan ada pihak yang lebih diuntungkan dan sebaliknya, ada pihak yang
lebih dirugikan. Sebagai suatu unit yang terkait dalam proses transfer nilai-nilai budaya dan
pengetahuan, maka bidang pendidikan di berbagai belahan dunia juga mengalami perubahan
yang sangat mendasar. Banyak kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi yang bisa dinikmati
umat manusia, namun sebaliknya, kemajuan tersebut juga beriringan dengan kesengsaraan
banyak anak manusia. Sebagai suatu kekuatan dominan, globalisasi telah membentuk
lingkungan budaya dan peradaban, baik secara positif maupun negatif. Dibalik berbagai
pendapat yang masih pro dan kontra berkaitan dengan peran globalisasi, fenomena tersebut
telah membawa berbagai dampak besar dalam dunia pendidikan, termasuk di Indonesia
(Handayani, 2008: 156).
Sebagai contoh, kehadiran internet merupakan produk ilmu pengetahuan dan teknologi
yang tak dapat terelakkan berkat kemajuan jaman, memberikan informasi tanpa batas dan
dapat diakses oleh siapa saja. Apalagi bagi anak muda internet sudah menjadi sahabat mereka
keseharian. Sebenarnya, jika digunakan secara semestinya tentu akan memperoleh manfaat
yang positif. Akan tetapi fakta di lapangan banyak pelajar yang menggunakan tidak semestinya,
seperti untuk mengakses pornografi (baca: membuka situs-situs porno). Dengan mudah mereka
dapat mengaksesnya, bukan hanya melalui warnet saja, melainkan juga dengan menggunakan
telepon seluler. Hal yang lain, yakni hilangnya rasa sosial terhadap masyarakat menjadi tidak
ada karena mereka lebih memilih sibuk dengan menggunakan handphone, i-pad, notebook,
dan sarana teknologi lainnya.
Arus modernisasi telah banyak memberi perubahan dalam kehidupan masyarakat.
Hal yang menyedihkan, perubahan yang terjadi justru cenderung mengarah pada krisis moral
dan akhlak. Penyakit krisis moral tengah menjalar dan menjangkiti bangsa ini. Sementara itu,
merebaknya sikap hidup pragmatik, melembaganya budaya kekerasan, disadari atau tidak,
telah ikut melemahkan karakter anak-anak bangsa sehingga nilai-nilai luhur baku dan kearifan
sikap hidup menjadi mandul. Anak-anak sekarang ini, mudah sekali melontarkan bahasa oral
dan bahasa tubuh yang cenderung tereduksi oleh gaya ungkap yang kasar dan vulgar. Nilai-
nilai etika telah terkikis oleh gaya hidup instan dan pragmatik (Noor, 2011: 42-43).
Irwan Abbas
434
“Bangsa Indonesia telah gagal dalam proses pendidikan pada lima hal, yaitu: (1)
gagal mengajarkan sejarah sehingga masyarakat tidak lagi menghargai jasa-jasa para
pahlawan; (2) gagal mengajarkan bahasa sehingga muncul sarkasme (kekerasan bahasa) di
mana-mana. Orang Jawa, Orang Sunda, tidak lagi bisa membaca dan menulis tulisan asli
nenek moyangnya dan sebagainya; (3) gagal mengajarkan filsafat sehingga banyak orang
tidak bijaksana dalam mengambil keputusan; (4) gagal mengajarkan matematika sehingga
pikiran masyarakat condong kepada mistis dan takhayul; (5) gagal mengajarkan moral sehingga
banyak sekali kejahatan, anarkisme, terorisme di Indonesia” (Fitri, 2012: 14).
Dewasa ini, problem remaja, terutama pelajar dan mahasiswa, sangat mudah
meluapkan emosi dan gampang terprovokasi yang tidak terkendali sehingga berujung pada
tawuran antarpelajar atau tawuran antarmahasiswa seperti yang seringkali diberitakan di
berbagai media cetak dan layar kaca televisi. Frekuensi tawuran atau perkelahian pelajar dari
tahun ke tahun terus meningkat (Rifa’i, 2011: 190).
Tawuran antarpelajar sering terjadi dan seakan menjadi problem pendidikan Indonesia
yang sulit untuk dicari jalan keluarnya. Fakta berbicara bahwa tawuran antarpelajar dan
mahasiswa yang terjadi di Indonesia tidak hanya terjadi di Jakarta atau Makassar saja. Bahkan
beberapa kota besar lainnya, seperti Surabaya, Medan, dan kota-kota yang lain juga kerap
terjadi. Kasus ini seakan menjadi rutinitas yang bermuatan dendam yang tiada ujung pangkalnya.
Sungguh sebuah problema yang harus segera dicarikan solusinya. Kompas.com (11 November
2012) menyebutkan:
Data dari tahun 1992 tercatat 157 kasus perkelahian pelajar. Tahun 1994 meningkat
menjadi 183 kasus dengan menewaskan 10 pelajar, tahun 1995 terdapat 194 kasus dengan
korban meninggal 13 pelajar dan dua anggota masyarakat lain. Tahun 1998 ada 230 kasus
yang menewaskan 15 pelajar serta dua anggota Polri, dan tahun berikutnya korban meningkat
dengan 37 korban tewas. Pada 2010, setidaknya terjadi 128 kasus tawuran antarpelajar. Pada
2011, terdapat 330 kasus tawuran yang menewaskan 82 pelajar. Kemudian pada Januari-Juni
2012, telah terjadi 139 tawuran yang menewaskan 12 pelajar.
Di Makassar, hampir setiap tahunnya terjadi tawuran antarpelajar, begitu juga
antarmahasiswa baik yang terjadi antara perguruan tinggi lain, maupun satu perguruan tinggi
tetapi beda fakultas dan beda jurusan. Adalah suatu kondisi realitas yang mencerminkan begitu
buram dan rapuhnya pendidikan di kota ini.
Berbagai kebiasaan dan perilaku buruk yang disebutkan di atas, awalnya hanya
dilakukan oleh orang per orang saja, namun lama kelamaan dilakukan oleh banyak orang dan
dengan area yang semakin meluas di negeri ini, dan sebagian orang menganggapnya sebuah
hal yang wajar saja. Akhirnya kebiasaan buruk itu dianggap sebagai budaya. Kalau penyakit ini
dibiarkan, maka kebiasaan buruk tersebut akan mengkristal dan menjadi pseudo karakter
bangsa (Azis, 2011: 60-61).
Melihat berbagai fenomena yang dipaparkan di atas adalah suatu hal yang bertolak
belakang dengan rekam jejak yang pernah ada pada masyarakat Bugis Makassar di masa
lampau.
Irwan Abbas
435
... (Dahulu), jika para orang tua yang hendak melepas anaknya merantau berpegang
teguh pada dua uala sappo (dua yang dijadikan pagar), yaitu unganna panasae lempu (tunas
nangka yang disebut lempu), dan belona kanukue pacci (hiasan pewarna kuku yang disebut
pacci. Kata lempuq adalah metafora untuk hidup lurus dan jujur, pacci adalah metafora untuk
hidup bersih. Dalam kehidupan masyarakat Bugis (Makassar) kejujuran dan hidup bersih adalah
pagar yang harus selalu dibangun untuk mengelilingi dirinya, di mana pun ia hidup dan mencari
nafkah (Samani & Hariyanto, 2012: 77-78).
Kutipan di atas menunjukkan penanaman nilai yang ditanamkan oleh para orang tua
Bugis Makassar di masa lalu kepada seorang anak yang akan merantau ke negeri seberang.
Timbul pertanyaan, diantaranya mengapa kondisi karakter generasi Bugis Makassar di masa
kini berbeda/mengalami pergeseran nilai?, Adakah nilai-nilai pendidikan karakter yang terdapat
dalam naskah lontaraq? Jawaban pertanyaan di atas akan diuraikan dalam pembahasan
berikut.
II. PEMBAHASAN
2.1 Kondisi Realitas Anak Bangsa
Buah pendidikan diharapkan lahirnya anak bangsa yang tak hanya cerdas, tetapi juga
berakhlak mulia. Adalah suatu fakta, kondisi real yang ada di lapangan masih ditemukannya
beberapa lembaga pendidikan yang hanya berpacu untuk meningkatkan nilai kecerdasan
otak, namun mengabaikan kecerdasan hati, jiwa, dan perilaku, pendidikan tampaknya
mengalami kepincangan dalam mencapai tujuannya yang hakiki (Aunillah, 2011: 13).
Dalam kehidupan sehari-hari banyak terdengar ungkapan tentang orang-orang yang
dikategorikan pintar dengan penampilan perilaku yang cerdas, tetapi perilakunya yang pintar
itu justru menyalahi kaidah-kaidah karakter itu sendiri; atau penampilannya berkarakter tetapi
tampak kurang cerdas. Seringkali terdengar ungkapan: pintar, tetapi beringas; pintar, tetapi
kurang bijak; pintar, tetapi pecundang, pintar tetapi korupsi; pintar, tetapi nyontek, pintar, tetapi
menganiaya, dan lain-lain (Prayitno & Manullang, 2011: 5).
Didapatkan seorang di bangku sekolah ternyata tidak berdampak terhadap perubahan
perilaku. Bahkan yang terlihat adalah begitu banyaknya manusia Indonesia yang tidak konsisten,
lain yang dibicarakan, lain pula tindakannya. Ada yang berpandangan bahwa kondisi demikian
diduga berawal dari apa yang dihasilkan oleh dunia pendidikan (Zubaedi, 2011: 2).
Mengukur keberhasilan peserta didik memang tidak bisa dilakukan hanya dengan
mengandalkan perolehan nilai pelajaran yang diujikan. Meskipun hal itu juga penting sebagai
salah satu barometer dalam melihat keberhasilan peserta didik, akan tetapi yang tidak boleh
dilupakan adalah realisasi dari prestasi nilai-nilai pelajaran yang diperoleh yang terwujud dalam
perilaku sehari-hari (Aunillah, 2011: 158).
Di tengah-tengah pusaran globalisasi, pendidikan harus dikelola secara strategis. Hal
ini dilakukan untuk mempersiapkan anak-anak bangsa menjadi manusia yang berkualitas
dengan kepribadian yang benar-benar cocok dengan dinamika di era modern. Selama ini
pendidikan nasional kita sangat sentralistis. Orientasinya sangat nasional, dan ini dibayar mahal
Irwan Abbas
436
dengan terabaikannya potensi-potensi lokal (Alwasilah, 2008: 116). Tidak dapat dipungkiri
bahwa diantara permasalahan bangsa saat ini, adalah bergesernya nilai-nilai etika dalam
kehidupan berbangsa dan bernegara.
“Pembangunan nasional dalam segala bidang yang telah dilaksanakan selama ini
memang mengalami berbagai kemajuan. Namun di tengah-tengah kemajuan tersebut terdapat
dampak negatif, yaitu terjadinya pergeseran terhadap nilai-nilai etika dalam kehidupan
berbangsa dan bernegara. Pergeseran sistem nilai ini sangat tampak dalam kehidupan
masyarakat dewasa ini, seperti penghargaan terhadap nilai budaya dan bahasa, nilai solidaritas
sosial, musyawarah mufakat, kekeluargaan, sopan santun, kejujuran, rasa malu, dan cinta
tanah air dirasakan semakin memudar” (Desain Induk Pembangunan Karakter Bangsa Tahun
2010-2025, 2010).
Keterpurukan bangsa saat ini bukan semata-mata disebabkan oleh faktor eksternal
seperti pengaruh ekonomi global, politik, dan hukum, tetapi faktor yang cukup dominan adalah
faktor internal, yakni manusia Indonesia sendiri kurang memperhatikan masalah pembangunan
karakter. Sementara pembangunan karakter harus dilakukan secara berkesinambungan
(character building is a never ending process) (Idjo, 2007: 105). Selain itu juga disebabkan oleh
termarjinalkannya institusi lokal dan tergerusnya nilai dan norma yang selama ini dijunjung
tinggi (Idjo, 2007: 109).
Kemajuan bangsa Jepang, Korea Selatan, Inggris, dan Vietnam tidak disebabkan
oleh kekayaan tetapi karena dorongan semangat dan karakter bangsanya untuk menjadi bangsa
yang maju dan jaya. Hilangnya jatidiri bangsa, jika dibiarkan menyebabkan rusaknya karakter
bangsa yang bukan mustahil menyebabkan sirnanya bangsa Indonesia. Karena itu, setiap
elemen bangsa harus kembali menemukan jatidirinya, membangun jatidirinya untuk kembali
membangun karakternya dan secara bottom up membangun karakter keluarga, lingkungan,
dan bermuara pada karakter bangsa (Idjo, 2007: 105-106).
Mencermati pemaparan di atas, maka dibutuhkan suatu pembangunan berbasis
budaya yang bertumpu pada penempatan manusia sebagai tujuan dan pelaku utama
pembangunan serta menempatkan nilai, norma, dan kearifan lokal sebagai pilar utama (Idjo,
2007: 106). Tentunya pembangunan yang dimaksud di sini adalah pada bidang pendidikan.
Membangun pendidikan seringkali gagal karena visi terlampau melangit, melupakan potensi-
potensi lokal, atau karena tidak terkomunikasikan dengan baik (Alwasilah, 2008: 116).
Selama ini, menurut Tilaar (2004: 191-192), di dalam proses pendidikan nasional
cenderung memisahkan praksis pendidikan dari nilai-nilai kebudayaan. Proses pemiskinan
kebudayaan terjadi karena pendekatan reduksionisme telah terjadi di dalam proses pendidikan
nasional dewasa ini. Belum lagi apabila berbicara mengenai kebhinnekaan budaya Indonesia
yang mengandung nilai-nilai yang sarat akan nilai-nilai moral, etis, estetika, dan nilai-nilai
lainnya. Kebudayaan lokal (tradisional) mulai dilupakan dan kebudayaan nasional tersingkirkan,
maka yang tersisa hanyalah nilai-nilai budaya yang dapat dikomersialkan.
Masyarakat dan bangsa Indonesia di dalam kenyataannya merupakan masyarakat
yang bhinneka (atau dengan kata lain masyarakat multikultural). Nilai-nilai budaya yang konkret
Irwan Abbas
437
adalah nilai-nilai yang terdapat dalam kebudayaan lokal (tradisional). Oleh sebab itu, pengakuan
terhadap kebudayaan lokal berarti pengakuan terhadap nilai-nilai yang mendasari tingkah laku
dan tindakan manusia Indonesia (Tilaar, 2004: 214).
Pendidikan merupakan proses yang berlangsung dalam suatu budaya tertentu. Banyak
nilai budaya dan orientasinya yang bisa menghambat dan sebaliknya, bisa mendorong
pendidikan. Juga banyak pula nilai-nilai budaya yang dapat dimanfaatkan secara sadar dalam
proses pendidikan (Zamroni, 2000: 88). Pendidikan yang tetap memperhatikan nilai-nilai kearifan
lokal (tradisional), akan diharapkan mampu membawa anak bangsa ini untuk senantiasa tetap
berdiri di atas kaki sendiri.
2.2 Naskah Kuno sebagai Sumber Rujukan Pendidikan Karakter
Naskah menurut Manyambeang (1989: 19), semua bahan tulisan yang berisi berbagai
sumbangan pikiran dan perasaan; atau segala peristiwa yang terjadi di sekitar manusia sebagai
hasil budaya bangsa masa lampau. Adapun yang dimaksud naskah lama atau kuno adalah
sebuah karya tulisan produk masa lampau. Naskah kuno merupakan peninggalan tertulis nenek
moyang yang ditulis pada kertas, rotan, lontar, dan kulit kayu (Hafid & Hadrawi, 1998: 43).
Secara umum di Indonesia, naskah ditemukan di berbagai daerah, menggunakan
berbagai bahasa dan aksara, berasal dari berbagai masa, dan mengandung berbagai embaran
(informasi). Tulisan-tulisan pada daun lontar pada umumnya menggunakan tulisan daerah/lokal
atau Arab. Tulisan ini berasal sejak abad ke-8 hingga akhir abad ke-19 Masehi (Ayatrohaedi,
2005: 194). Naskah kuno merupakan salah satu sumber informasi kebudayaan daerah masa
lampau yang sangat penting. Jika ditinjau dari segi lahir atau wujudnya dapat dilihat, dan diraba.
Naskah kuno adalah benda yang berupa hasil karangan dalam bentuk tulisan tangan maupun
ketikan (Munawar & Noegraha, 1996: 7).
Menurut Massoweang, dkk. (2010: 11), naskah-naskah kuno merupakan dokumen yang
pada hakikatnya adalah suatu sistem simbol yang berisi pikiran, perasaan, informasi, fakta,
pengetahuan, dan lambang realitas historis dari suatu bangsa yang melahirkan naskah-naskah
tersebut. Dari perspektif keberadaannya, naskah kuno itu merupakan penggambaran atau rekaman
dari perjalanan suatu bangsa atau suatu etnis dalam kurun waktu tertentu, dan sekaligus
penggambaran tingkat peradabannya. Dari perspektif kandungan isinya, naskah-naskah kuno
merupakan wujud refleksi dari realitas kehidupan nyata masyarakat pada zamannya.
Menurut Gani (1986: 23), naskah lama/kuno sebagai hasil rekaman kebudayaan
masyarakat lama berisi hampir seluruh bidang dan kegiatan yang pernah ada dalam kehidupan
masyarakat lama, olehnya itu tidaklah mengherankan jika naskah lama itu berisi berbagai masalah
dan sumber ilmu pengetahuan.Tidak banyak suku bangsa Indonesia yang memiliki tradisi tulis
dan aksara yang dituangkan ke dalam sebuah naskah seperti yang dimiliki suku Bugis Makassar.
Mereka beruntung memiliki tradisi tulis yang dikenal dengan istilah lontaraq (PaEni, dkk., 2003: v).
Naskah lontaraq sebagaimana naskah kuno lainnya memiliki kandungan isi yang sangat
beragam diantaranya adalah sebagai berikut (Gani, 1990: 8): lontaraq yang berisi mengenai adat
istiadat; sejarah dan silsilah; politik dan ketatanegaraan; pemerintahan; hukum dan undang-
undang; pendidikan; pertanian; jenis-jenis penyakit; obat-obatan; perbintangan/ilmu falak; catatan
Irwan Abbas
438
harian; berbagai teknik; ajaran kepercayaan. Demikian juga terdapat lontaraq yang berisi mengenai
kebahagiaan berumah tangga; petuah, nasihat, wasiat, dan sebagainya.
2.3 Pendidikan Karakter dalam Naskah Lontaraq
Ketika terjadi fenomena kemerosotan moral, maka pendidikan adalah kambing
hitamnya. Sebagian orang kemudian melirik kembali pentingnya pendidikan karakter. Hal ini
sangat menggembirakan. Setidaknya mulai ada kesadaran bahwa pendidikan karakter
merupakan hal yang penting. Pendidikan dalam rangka pendidikan karakter bertugas
menumbuhkan dan membina karakter bangsa. Kongkretnya, pendidikan harus mampu
menanamkan nilai-nilai luhur yang dijunjung tinggi oleh bangsa yang bersangkutan (Ruhuddin,
2010: 156).
Naskah lontaraq yang merupakan warisan budaya manusia Bugis Makassar merekam
dengan baik berbagai ajaran leluhur manusia Bugis Makassar yang sarat dengan ajaran yang
mengandung nilai-nilai karakter. Kandungan lontaraq kaya akan nilai-nilai budaya dan norma-
norma sosial, juga mengandung nilai-nilai etika dan moral termasuk di dalamnya nilai-nilai
agama, kepemimpinan dan etos kerja dari masyarakat pendukungnya (Saleh, 1999: 2). Untuk
lebih detilnya, berikut akan dipaparkan nilai-nilai karakter dalam lontaraq.
Lontaraq 1:
Têllui puangênna decengnge ri linoe: Pisangkaiengngi alena maggauq majaq;
pisangkaengngi alena makkêda ada majaq; pisangkaienngi nawa-nawanna mannawa-nawa
majaq (Gani, 1990: 52)
Ada tiga sebab sehingga kebaikan dunia dapat diperoleh: Mencegah dirinya berbuat
jahat; mencegah dirinya berbicara buruk; mencegah dirinya berpikir buruk.
Penjelasan:
Kebahagiaan hidup di dunia dapat diperoleh dengan cara: selalu berupaya
mengendalikan diri dari perbuatan yang dapat merugikan orang lain, menahan diri dari
mengatakan hal-hal yang tidak baik dan “berbau dusta”, serta senantiasa mengontrol diri dari
pikiran-pikiran negatif.
Lontaraq 2:
Nakanatong Matinroa ri Kananna: “Antu gauq bawanga siagang jekkonga nigaukang,
punna ta kacinikang ri kalenta anjoreng pi seng ri anatta. Napunna ta kacinikanga ri anatta,
anjoreng pi seng ri cucunta. Taena sikali-kali allaq takodia apana tau maqgauq bawanga
(Matthes, 1985: 108).
Berkata pula Matinroa ri Kananna: “Perbuatan jahat dan kecurangan yang kita lakukan
pasti ada balasannya. Kalau bukan kita yang merasakannya pasti anak cucu kita, demikian
seterusnya.”
Penjelasan:
Seorang yang gemar melakukan perbuatan tidak terpuji suatu saat akan mendapatkan
getahnya dan akan berdampak pada dirinya sendiri. Agar hal tersebut tidak terjadi maka
seyogianya setiap seseorang dapat menjaga dirinya dari perilaku tercela tersebut. Jika hal itu
Irwan Abbas
439
dapat dilakukan maka akan terjaga dan terpelihara diri sampai anak keturunannya (baca: anak
cucunya).
Lontaraq 3:
Taroi têllêng linoe ,têllaing pêsonaku ri massagalae (Machmud, tt: 55).Walau pun
dunia tenggelam, tak akan berubah keyakinanku kepada Tuhan.
Penjelasan:
Sikap konsisten (istiqomah) adalah sikap yang hendaknya tertanam pada setiap pribadi.
Orang yang istiqomah, tidak akan mudah dipengaruhi oleh orang lain karena memiliki prinsip
hidup sendiri. Hidupnya tidak mudah diombang ambingkan oleh keadaan yang terjadi di
sekelilingnya.
Lontaraq 4:
Ajaq nasalaio tongêng sibawa nyamêkkininnawa; têppasilaingengngi seajinna rilalêng
nakamasêang, nassaparêng deceng tênnaelorêng majaq. Metauq-i ri Dewata seuwae (Sikki,
1998: 56).
Jangan pernah ditinggalkan oleh kebaikan dan kesenangan, tidak membeda-bedakan
sanak keluarganya dalam membagi kasih. Senatiasa mencari kebaikan tanpa menghendaki
keburukannya, dan takut kepada Dewata (Allah Ta’ala).
Penjelasan:
Ajakan untuk bersikap adil dalam membagi kasih sayang terhadap semua anggota
keluarga. Gemar melakukan kebaikan dan hendaknya didasari dengan niat yang tulus/ikhlas,
semata-mata mencari ridho serta mengharap rahmat dari Yang Maha Kuasa.
Lontaraq 5:
Naiya tanranna acilakangnge duampungêng: Ajaq muempuruiwi tau maupêq-e, ajaq
to muêcawa-cawai êloq dêwata. Apaq iya narêkko muempuru toi to maupêq-e langiq muempurui.
Rêkko mucawa-cawai eloq dewata, dçwataê mucawa-cawai (Sikki, 1998, 57).
Adapun tanda-tanda orang celaka ada dua: Jangan dengki kepada orang mujur, jangan
pula mengolok-olok ciptaan Tuhan. Cemburu terhadap orang yang mujur berarti engkau
cemburu kepada langit. Kalau mengolok-olok ciptaan Tuhan berarti engkau mengolok-olok
Tuhan.
Penjelasan:
Untuk merasakan kebahagiaan hidup, dibutuhkan sikap legowo (lapang dada), senang
melihat orang lain mendapat kebaikan, menghindari sifat iri hati/hasad terhadap sesama, dan
tidak mencari keburukan orang lain, serta tidak menjelek-jelekkan ciptaan-Nya. Pada hakikatnya
jika memandang buruk ciptaan Allah berarti menghina dan meremehkan yang menciptakannya.
Lontaraq 6:
Kapanrakanna tau toaya ammelaq-melaka sambayang.
Kapanrakanna tau loloa ammelaq-melaka adaq.
Naia kapanrakanna bainea ampelakai siriqna.
Irwan Abbas
440
Naia kapanrakanna pakkereka ampelakai saqbaraka.
Naia kapanrakanna tupanritaya ampelakai amalaka.
Naia kapanrakanna tumaqgauka ampelakai lambusuka (Matthes, 1985: 114).
Alangkah celakanya orang yang sudah tua lalu menyia-nyiakan sembahyang. Alangkah
celakanya orang yang masih muda kemudian meninggalkan adat istiadat.
Alangkah celakanya perempuan yang tidak mempunyai rasa malu.
Kebinasaan bagi orang miskin apabila telah hilang kesabarannya.
Kebinasaan bagi ulama apabila ia membuang-buang amalnya.
Kebinasaan seorang raja apabila telah meninggalkan kejujurannya.
Penjelasan:
Pesan ini mengingatkan bahwa seseorang akan mengalami kehidupan yang sia-sia
dan tidak mendapat kebahagiaan: jika sudah memasuki usia tua tetapi masih gemar
meninggalkan salat, anak muda yang meremehkan dan tidak memperhatikan adat istiadat
yang berlaku di masyarakat sekelilingnya, perempuan yang tidak memiliki rasa malu (siriq).
Orang miskin yang tidak bersabar dengan kondisinya, seorang alim ulama yang tidak
mengamalkan ilmu yang dimilikinya.
Di akhir pesan lontaraq di atas juga menegaskan bahwa seorang raja/pemimpin yang
tidak jujur akan menyebabkan binasa kepemimpinannya atau dengan kata lain runtuh
kekuasaannya. Seorang pemimpin yang tidak jujur tentu tidak akan langgeng kekuasaannya
karena rakyat atau orang banyak yang dipimpinnya tidak lagi memberikan dukungan dan
kepercayaan atas kepemimpinannya. Jadi kejujuran adalah sifat mutlak dan utama yang harus
dimiliki oleh seorang pemimpin.
Lontaraq 7:
Sabbinna lempuq-e limai: Narekko salai nangauwi asalanna; narekko rionroi sala
naddampêngêngngi tau ripasalanna; narekko risanrekiwi deq napabelleang; Narekko
rirênnuangngi deq napacekoang; Narekko majjanciwi narupaiwi jancinna (Mattalitti, 1986: 89).
Bukti dari kejujuran ada lima: jika bersalah maka ia mengakui kesalahannya; Kalau
ditempati bersalah ia memaafkan orang yang bersalah; jika dijadikan sandaran maka ia tidak
mengecewakan; jika dipercaya maka ia tidak khianat; jika berjanji maka ia menepati janji.
Penjelasan:
Dikatakan seseorang memiliki sifat kejujuran, jika orang tersebut berani mengakui
kekeliruannya, mudah memaafkan orang lain, jika diberikan amanah kepadanya, ia tidak
mengkhianatinya, dan tidak membuat orang yang memberikan kepercayaan kepadanya
menjadi kecewa, serta senantiasa berupaya memenuhi setiap janji yang pernah diikrarkannya.
Lontaraq 8:
Irwan Abbas
441
Makkêdai tau matowae, narêkko memmanaqno, palêmpuri sênnaq-i alêmu, apaq iatu
riasêngnge gauq majaq namanaq-i tau rimunrimmu narekko majaq kia gauqmu,
mupaccappurênni pappangajaq anaqmu, naia mua sa napogauq gauq majaq-e pura makkuni
tu naelorêngnge Allah Taala ri anaqmu (Gani, 1990: 39).
Orang-orang tua berkata: “Jika engkau telah beranak-pinak, tingkatkanlah kejujuranmu,
sebab perbuatan jahat itu akan diwarisi oleh anak cucumu bilamana engkau berperilaku
jahat. Sempurnakanlah nasihatmu kepada anak-anakmu. Namun, bila ia masih juga berbuat
jahat, itulah takdir yang sudah ditentukan oleh Allah untuk anak-anakmu.”
Penjelasan:
Orang tua adalah teladan bagi anak-keturunannya, maka hendaklah ia dapat
memberikan panutan yang baik kepada generasinya. Diantara sifat yang harus ditanamkan
adalah sifat kejujuran. Jika setiap orang tua dapat menghiasi diri mereka dengan sifat-sifat
yang utama, maka tentunya akan memberikan keteladanan kepada anak-anaknya. Begitu juga
sebaliknya. Hendaknya setiap orang tua tidak pernah jenuh dalam mendidik dan mengarahkan
anak-anaknya.
Lontaraq 9:
êppaq paramata mattappaq ri taue: lêmpuq; ada tongêng sibawa tikkêq; siriq-e sibawa
gêttêng; akkalêng sibawa nyamêng (Mattalitti, 1986: 52).
Empat permata bercahaya pada manusia: kejujuran; berkata benar serta waspada;
rasa malu (siriq) dan keteguhan; akal dan baik hati.
Penjelasan:
Di antara sifat utama yang sebaiknya dimiliki oleh seseorang adalah kejujuran, memiliki
sifat malu (siriq), mampu menggunakan akalnya dengan baik (sebelum melakukan suatu
tindakan hendaknya dipikirkan dan ditimbang dengan seksama maslahat dan mudharat-nya),
serta senang berbuat kebaikan pada orang lain. Sebaik-baik orang adalah yang bermanfaat
kepada orang lain.
Lontaraq 10:
Nakana Karaenta Tumenanga ri Bonto Biraeng panngajarinna ri anakna: “Teako
maqballe-ballei ka punna maqballe-balle assengi sallang na taniaqja kamma kanannu iaka
tulusuq ta nipatappaq-muko” (Matthes, 1985: 109).
Karaenta Tumenanga di Bonto Biraeng berwasiat kepada anaknya. “Janganlah kamu
berdusta sebab nanti pada suatu saat engkau mengatakan sesuatu yang benar, namun engkau
tidak dipercaya lagi karena sudah sering berkata demikian.”
Penjelasan:
Nasihat Karaeng Tumenanga Bonto Biraeng untuk menjaga lisan dengan tidak
berkata-kata kecuali yang benar adalah modal utama yang harus dimiliki seseorang. Berkata
benar atau lebih baik diam jika yang akan disampaikan suatu hal yang tidak betul dan tidak
bermanfaat (kontra produktif). Seseorang dihargai, dihormati dan disegani serta mendapat
Irwan Abbas
442
kepercayaan dari orang lain tentunya karena sifat-sifat utama yang dimilikinya, diantara sifat
utama tersebut adalah kejujuran.
Lontaraq 11:
Makkêdai tau matoaê: “Narêkko êngka muelorêng napogauq taue, rapangngi lopi.
Maeloq po tonangiwi mupatonangiangngi taue. Iana ro riasêng malêmpuq makkuaê” (Enre,
1985: 10).
Berkata orang dahulu: “Sekiranya ada sesuatu yang engkau kehendaki dilakukan
oleh orang lain, ibaratkan hal itu sebagai perahu. Jika engkau sendiri bersedia menumpanginya
barulah engkau menyuruh orang lain menumpanginya, yang demikian itulah yang disebut
jujur.”
Penjelasan:
Hendaknya kejujuran itu dimulai dari diri sendiri. Jika sifat jujur telah tertanam pada
diri seseorang, maka tidak sulit untuk mengajak dan mendidik orang lain agar juga bersikap
demikian. Intinya, mewariskan sifat kejujuran kepada orang lain sebaiknya dimulai dari diri
sendiri adalah sikap yang terpuji.
Lontaraq 12:
Naiya ponna lêmpuq-e têllu mpuwangêngngi. Seuwana, iyapa napoadai kadopi molai;
maduwanna, iyapa napogauq-i kadopi luruwi, ri munripi taue; matêlluna, tênnaenreki
waramparang ripaloloq, tênnassakkarêngngi ada-ada maddiolona (Sikki, 1998: 23).
Yang menjadi pangkal kejujuran ada tiga macam: (1) nanti diucapkan bilamana ia
sanggup melaksanakannya; (2) Dia akan melakukan bila mampu menanggung risikonya, rasa
takut itu belakangan; (3) tidak menerima barang sogokan, tidak menyangkal terhadap kata-
kata yang pernah diucapkan.
Penjelasan:
Seseorang dikatakan memiliki sifat kejujuran, jika apa yang diucapkannya dapat
dibuktikannya dalam perilakunya sehari-hari, selain itu ia juga mampu
mempertanggungjawabkan setiap apa yang dikatakannya, dan konsisten terhadap prinsipnya/
tidak mudah dipengaruhi oleh orang lain.
Apa yang dipaparkan di atas adalah sebagian kecil dari wasiat-wasiat atau pesan-
pesan yang pernah disampaikan oleh leluhur Bugis Makassar yang sangat kaya dengan nilai-
nilai pendidikan karakter yang terdapat dalam naskah kuno lontaraq. Nilai-nilai tersebut jika
ditanamkan melalui pendidikan pada seorang anak akan menjadi tameng/pelindung yang
dapat dijadikan perisai bagi generasi muda Bugis Makassar dari berbagai dampak negatif
modernisasi.
Irwan Abbas
443
III. SIMPULAN
Jika ditelusuri kandungan dalam naskah lontaraq maka akan didapatkan berbagai
nilai karakter utama yang merupakan warisan budaya yang berisi wasiat para leluhur Bugis
Makassar. Jika nilai-nilai karakter utama yang terdapat dalam naskah lontaraq dapat tertanam
dengan baik pada generasi muda Bugis Makassar maka tentu kondisi realitas yang ada akan
berbeda kondisinya dengan seperti yang terjadi pada saat ini. Sayangnya pendidikan karakter
berbasis budaya yang sarat dengan nilai-nilai luhur yang terdapat dalam lontaraq, saat ini
menjadi pemandangan langkah atau dengan kata lain tidak dijumpai lagi di tengah-tengah
masyarakat karena tidak diajarkan, baik di lingkungan sekolah, rumah, dan komunitas Bugis
Makassar modern.
Adalah suatu fakta yang menarik dicermati diaspora yang dilakukan oleh manusia
Bugis Makassar sejak dahulu, mereka mampu beradaptasi dan dapat “hidup” di tengah
komunitas masyarakat suku lain yang berbeda kulturnya dengan baik dan tidak sedikit yang
mencapai kesuksesan di perantauan. Boleh jadi disebabkan oleh penanaman nilai karakter
yang senantiasa diajarkan dan diwariskan oleh para leluhur manusia Bugis Makassar.
Jika hal itu betul adanya, mengapa tidak? untuk kembali ditanamkan nilai-nilai karakter
utama yang terekam dan tersimpan dengan baik pada naskah lontaraq yang merupakan warisan
budaya leluhur manusia Bugis Makassar. Merupakan suatu tantangan kepada para pendidik
baik guru, orang tua, maupun tokoh masyarakat untuk kembali menggali nilai-nilai luhur yang
terdapat dalam naskah lontaraq untuk diajarkan ke dalam ruang-ruang kelas persekolahan,
begitu juga dalam lingkungan keluarga serta masyarakat. Berbagai nilai pendidikan karakter
yang terdapat dalam naskah lontaraq masih sangat relevan untuk ditanamkan dan diajarkan
kembali pada generasi muda Bugis Makassar sebagai solusi terhadap berbagai problema
remaja yang terjadi di masa kini khususnya di kota Makassar.
DAFTAR PUSTAKA
Abidin. A. Z. 1999. Capita Selecta Kebudayaan Sulawesi Selatan. Ujung Pandang: Hasanuddin
University Press.
Alwasilah, A. C. 2008. Pokoknya BHMN Ayat-Ayat Pendidikan Tinggi. Bandung: Lubuk Agung.
Aunillah, N I. 2011. Panduan Menerapkan Pendidikan Karakter di Sekolah. Yogyakarta: Laksana.
Ayatrohaedi. 2005. “Naskah dan Sejarah.” Dalam Ekadjati, E. S. Polemik Naskah Pangeran
Wangsakerta. Jakarta: PT. Dunia Pustaka Jaya.
Aziz, H. A. 2011. Pendidikan Karakter Berpusat pada Hati Akhlak Mulia Pondasi Membangun
Karakter Bangsa. Jakarta: Al Mawardi Prima.
Buchori, M. 1995. Transformasi Pendidikan. Jakarta: IKIP Muhammadiyah – Jakarta Press.
Ekadjati, E. S. 2005. Polemik Naskah Pangeran Wangsakerta. Jakarta: PT. Dunia Pustaka Jaya.
Enre, F. A., dkk. 1985. Pappasenna To Maccae ri Luwuq sibawa Kajao Laliqdong ri Bone. Ujung
Pandang: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Proyek Penelitian dan Pengkajian
Kebudayaan Sulawesi Selatan LaGaligo.
Irwan Abbas
444
Fitri, A. Z. 2012. Pendidikan Karakter Berbasis Nilai dan Etika di Sekolah. Yogyakarta: Ar Ruzz
Media.
Gani, A. 1986. “Usaha Pelestarian dan Pengolahan Naskah Lama.” Dalam Bingkisan Budaya
Sulawesi Selatan No. II. Ujung Pandang: Yayasan Kebudayaan Sulawesi Selatan.
Gani, A., dkk. (1990). Wasiat-Wasiat dalam Lontarak Bugis. Jakarta: Departemen Pendidikan
dan Kebudayaan.
Hafid, M. Y., & Hadrawi, M. 1998. “Naskah Kuno Bugis dan Makassar.” Dalam Laporan Penelitian
Sejarah dan Nilai Tradisional Sul Sel. Ujung Pandang: Depdikbud Dirjen Kebudayaan
BKSNT.
Handayani, T. 2008. Dinamika Pendidikan dalam Konteks Globalisasi dan Desentralisasi dalam
Tjiptoherijanto, Prijono dan Laila Nagib, Pengembangan Sumber Daya Manusia di
antara Peluang dan Tantangan. Jakarta: LIPI.
Idjo, A. K. 2007. “Revitalisasi Nilai Budaya Kesultanan/Kerajaan Gowa-Tallo: Menemukan
Kembali Jatidiri untuk Memperkuat Kepastian Bangsa.” Dalam Istiasih, dkk. Gelar
Budaya Komunitas Adat di Makassar. Jakarta: Dirjen Nilai Budaya dan Film
Depdikbudpar.
Istiasih, dkk. 2007. Gelar Budaya Komunitas Adat di Makassar. Jakarta: Dirjen Nilai Budaya dan
Film Depdikbudpar.
Machmud, A. H. (tt). Silasa Kumpulan Petuah Bugis-Makassar. Ujung Pandang: Bhakti Centra
Baru.
Manyambeang, K. 1996. Lontaraq Riwayaqna Tuanta Salamaka ri Gowa: Suatu Analisis
Linguistik Filologis. Disertasi Doktor pada PPs Unhas Ujung Pandang: Tidak
diterbitkan.
Massoweang, A. K., dkk. (2010). Pemetaan dan Inventarisasi Naskah Klasik. Jakarta: GP Press.
Mattalitti, M. A. 1986. Pappaseng To Riolota Wasiat Orang Dahulu. Jakarta: Departemen
Pendidikan dan Kebudayaan Proyek Penerbitan Buku Sastra Indonesia dan Daerah.
Matthes, B. F. 1985. Beberapa Etika dalam Sastra Makassar. Jakarta: Departemen Pendidikan
dan Kebudayaan Proyek Penerbitan Buku Sastra dan Daerah.
Munawar, T., & Noegraha, N. 1996. Khasanah Naskah Nusantara Simposium Tradisi Tulis
Indonesia. Jakarta: Yayasan Lontar – Perpustakaan Nasional RI – Fakultas Sastra
Universitas Indonesia.
Noor, R. M. 2011. Pendidikan Karakter Berbasis Sastra Solusi Pendidikan Moral Yang Efektif.
Yogyakarta: Ar Ruzz Media.
Paeni, M., dkk. 2003. Katalog Induk Naskah-Naskah Nusantara Sulawesi Selatan. Jakarta:
ANRI kerjasama The Ford Foundation – Unhas – Gadjah Mada University Press.
Prayitno & Manullang, B. 2011. Pendidikan Karakter dalam Pembangunan Bangsa. Jakarta: PT.
Grasindo.
Rifa’i, M. 2011. Sosiologi Pendidikan Struktur dan Interaksi Sosial di dalam Institusi Pendidikan.
Yogyakarta: Ar Ruzz Media.
Ruhuddin. 2010. “Pendidikan Karakter Merupakan Suatu Kebutuhan” dalam Prosoding Seminar
Aktualisasi Pendidikan Karakter Bangsa. Bandung: Widya Aksara Press kerjasama
dengan UPI.
Irwan Abbas
445
Saifuddin, A. F., & Karim, M. 2008. Refleksi Karakter Bangsa. Jakarta: Kementerian Negara
Pemuda dan Olahraga RI & Ikatan Alumni UI – Forum Kajian Antropologi Indonesia.
Saleh, N. 1999. Ungkapan Tradisional Suku Bugis tentang Agama, Kepemimpinan, dan Etos
Kerja di Daerah Kabupaten Bone. Ujung Pandang: Depdikbud Ditjen Kebudayaaan
BKSNT.
Samani, M., & Hariyanto. 2012. Konsep dan Model Pendidikan Karakter. Bandung: PT. Remaja
Rosdakarya.
Sikki, M. dkk. 1998. Nilai dan Manfaat Pappaseng dalam Sastra Bugis. Jakarta: Pusat Pembinaan
dan Pengembangan Bahasa Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.
Sikki, M., dkk. 1991. Nilai-Nilai Budaya dalam Susastra Daerah Sulawesi Selatan. Jakarta:
Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa Departemen Pendidikan dan
Kebudayaan.
Surya, M. 2004. Bunga Rampai Guru dan Pendidikan. Jakarta : Balai Pustaka.
Syarief, H. 1997. Peningkatan Kualitas Sumberdaya Manusia Menyongsong Era Globalisasi:
Membangun Sistem Pendidikan yang Berbudaya, dalam Rahardjo, Keluar dari Kemelut
Pendidikan Nasional. Jakarta: Intermasa.
Tilaar, H. A. R. 2002. Pendidikan, Kebudayaan, dan Masyarakat Madani Indonesia Strategi
Reformasi Pendidikan Nasional. Bandung: CV. Remaja Rosdakarya.
Tilaar, H. A. R. 2004. Paradigma Baru Pendidikan Nasional. Jakarta: Rineka Cipta.
Tilaar, H. A. R. dkk, 2008. “Karakter Bangsa dalam Perpektif Pedagogik Kontemporer.” Dalam
Saifuddin, A. F., & Karim, M. Refleksi Karakter Bangsa. Jakarta: Kementerian Negara
Pemuda dan Olahraga RI & Ikatan Alumni UI – Forum Kajian Antropologi Indonesia.
Tjiptoherijanto, P. dan Nagib, L. 2008. Pengembangan Sumber Daya Manusia di antara Peluang
dan Tantangan. Jakarta : LIPI.
Zamroni. 2000. Paradigma Pendidikan Masa Depan. Yogyakarta: Bigraf Publishing.
Zubaedi. 2011. Desain Pendidikan Karakter Konsepsi dan Aplikasinya dalam Lembaga
Pendidikan. Jakarta: Kencana Prenada Media Group.
Irwan Abbas
446
NILAI TRADISI BUDAYA KATOBA BERFUNGSI SEBAGAI DASAR
PENDIDIKAN KARAKTER GENERASI MUDA MASYARAKAT ETNIK MUNA
La Ode Monto Bauto
Universitas Haluoleo
ABSTRACT
This study focuses on the study of various phenomena that occur in the younger generation of
ethnic communities in Southeast Sulawesi, Muna where appropriate real-shows the patterns of
behavior and their actions have been far aberrant and contrary to the values of the culture of his
ancestors. This research aims to search and study the socio-cultural values and religion in a
cultural tradition as the Foundation of character education katoba. This study used ethnographic
methods and approaches of phenomenology. Data collection using the study library/study papers
and study of documentation. The analysis of data used in the analysis are the structural functional
domains, and the symbolic interaction. The study is concluded that in the tradition of cultural
values are katoba social culture and religion as the basis for character education is still relevant
to be taught and passed on, it is still very functional and instrumental in setting up, managing
and overseeing the actions and behavior patterns of ethnic community life Muna.
Keywords: Function Values of The Culture of The Young Generation of Character-Katoba.
I. PENDAHULUAN
Fenomena globalisasi selain membawa pengaruh positif, juga tidak sedikit membawa
pengaruh negatif yang ditandai dengan tergerus atau tergradasinya nilai-nilai kearifan lokal,
termasuk nilai-nilai tradisi budaya katoba. Selain itu, juga disebabkan oleh pengaruh yang
datang dari para pemukim atau para pendatang baru, dimana mereka mempertahankan nilai
yang dibawa dan dianutnya tanpa mau memperkaya diri dengan nilai lokal di tempat mereka
hidup sekarang. Mereka menganggap bahwa tempat yang didiaminya sekarang bukanlah
tanah tumpah darahnya, tetapi hanya sebagai tempat menumpang hidup. Akibatnya, mereka
tidak perduli dengan kondisi sekitar yang dipentingkan hanyalah diri dan kelompoknya. Padahal
leluhur kita telah mewariskan sebuah nilai yang universal, yaitu “…di mana bumi dipijak, maka
di situ langit dijunjung”. Ungkapan tersebut sangatlah sederhana, tetapi mengandung makna
yang sangat prinsip dan mendalam dimana orang yang “bubuara” di tanah orang harus mampu
menghormati dan menghargai serta menjadikan nilai tradisional setempat sebagai pedoman
hidupnya. Jika berhasil mengimplementasikan pepatah tersebut pastilah dia akan memperoleh
suatu keberhasilan dalam mencapai tujuan merantau di negeri orang (Naisbitt (1995: 133).
II. PEMBAHASAN
Tradisi budaya katoba mengandung nilai-nilai kearifan lokal yang berperan dan
berfungsi sangat urgen bagi kehidupan masyarakat etnik Muna. Adapun peran dan fungsi
kearifan lokal budaya katoba adalah: (1) untuk konservasi dan pelestarian sumber daya alam,
(2) pengembangan sumber daya manusia, (3) pengembangan kebudayaan dan ilmu
pengetahuan, (4) sebagai sumber petuah/kepercayaan/sastra dan pantangan, (5) sebagai
sarana membentuk dan membangun integrasi komunal, (6) sebagai landasaan etika dan
moral, dan (7) fungsi politik (Sartini, 2006 : 62). Namun demikian, dalam mengelola nilai-nilai
tradisi lokal perlu daya kreativitas yang tinggi, sehingga nilai-nilai tersebut dapat diaplikasikan
secara efektif dalam dunia pendidikan khususnya dan masyarakat umumnya. Dalam perspektif
ini perlu adanya rekonstruksi dan transformasi nilai-nilai budaya lokal untuk menjaga agar
globalisasi tidak merusak nilai-nilai budaya lokal sebagai identitas kepribadian bangsa. Dengan
demikian, perlu adanya pemikiran yang cerdas, kritis, kreatif, dan inovatif dalam proses
pengaplikasiannya, sehingga proses transformasi nilai tersebut tidak menghilangkan dan
melemahkan budaya lokal sebagai bagian dari kekayaan dan kebanggaan masyarakat dan
bangsa (Wuryandari, 2010: 82). Dalam upaya mengapresiasi nilai budaya, globalisasi dapat
dimanfaatkan sebagai salah satu sumber rujukan. Dengan adanya globalisasi, maka masyarakat
dapat mengembangkan atau mengadopsi pola berpikir yang baik seperti etos kerja yang tinggi,
disiplin serta pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi dari bangsa lain yang sudah
maju untuk meningkatkan kemajuan bangsa yang pada akhirnya dapat memajukan suatu
bangsa (Wuryandani, 2010 : 65).
Sehubungan dengan hal tersebut di atas, maka tradisi budaya katoba yang ada pada
masyarakat etnik Muna Sulawesi Tenggara dapat disandingkan dengan nilai-nilai positif yang
dibawa oleh arus globalisasi. Nilai-nilai kearifan lokal tersebut bukanlah nilai usang yang harus
dimatikan, tetapi dapat bersinergi dengan nilai-nilai universal dan nilai-nilai modern yang dibawa
globalisasi. Pembangunan budaya yang berkarakter pada penguatan jati diri manusia
mempunyai karakter dan sifat interdepensi atau memiliki keterkaitan lintas sektoral, spasial,
struktural multidimensi, interdisipliner, dan bertumpu pada masyarakat sebagai kekuatan dasar
III. SIMPULAN
Tradisi budaya katoba sebagai salah satu potensi kearifan lokal budaya masyarakat
etnik Muna memiliki beberapa nilai sosial budaya dan religi yang berhubungan dengan fungsi
pendidikan, fungsi sosial budaya, dan fungsi religi serta maknanya. Sehubungan dengan analisis
fungsi, penulis menemukan beberapa fungsi yang bermanfaat bagi generasi muda masyarakat
etnik Muna. Fungsi-fungsi tersebut apabila diapresiasikan dan direfleksikan dalam kehidupan
sehari-hari sangat bermanfaat bagi harmonisasi kehidupan bermasyarakat. Adapun fungsi-
fungsi tersebut meliputi fungsi sosial budaya dan fungsi religi.
Tradisi budaya katoba berperan dan berfungsi sebagai sumber dan dasar pembentukan
karakter atau kepribadian anak-anak masyarakat etnik Muna. Selain itu, juga tradisi budaya
katoba berfungsi sebagai kontrol sosial. Untuk menjaga agar fungsinya tetap eksis, maka bentuk
tradisi serta nilai-nilai yang terkandung di dalamnya perlu diintegrasikan dan terinternalisasi
dalam konteks kehidupan masyarakat etnik Muna.
Untuk memantapkan posisi atau kedudukan tradisi budaya katoba dalam masyarakat
etnik Muna sebagai dasar pendidikan pembentukan karakter generasi muda, maka dilakukan
pengkajian terhadap nilai-nilai dan makna yang dikandungnya. Penelusuran makna merujuk
pada makna harfiah dan berdasarkan makna simbol, yakni makna yang berhubungan dengan
konteks atau tema budaya, sehingga hasilnya diharapkan dapat berfungsi secara maksimal
dalam kehidupan masyarakat etnik Muna. Melalui langkah-langkah kajian tersebut dapat
disimpulkan bahwa ungkapan dalam tradisi budaya katoba sebagai sebuah tradisi lisan memiliki
unsur-unsur etika, sosial, moral, dan religius sebagai basis atau dasar pendidikan karakter
yang berfungsi dan bermanfaat bagi kehidupan masyarakat, dimana masing-masing unsur
memiliki keterkaitan antara satu sama lain yang membentuk kepribadian manusia seutuhnya.
ABSTRAK
Contextual Teaching And Learning (CTL) adalah salah satu bentuk model pembelajaran yang
akan diterapkan pada mata kuliah Sejarah Pergerakan Nasional Indonesia. Penelitian ini
dilakukan untuk melihat peningkatan pemahaman karakter Melalui metode contextual teaching
and learning pada mata kuliah Sejarah Pergerakan Nasional Indonesia di Prodi Pendidikan
Sejarah STKIP PGRI Sumatera Barat. Peningkatan karakter melalui metode contextual teaching
and learning dalam mata kuliah Sejarah Pergerakan Nasional Indonesia ini dilakukan dengan
metode penelitian tindakan kelas. Prosedur penelitian ini dilakukan dengan dua siklus. Hasil
penelitian ini menunjukkan bahwa pemahaman mahasiswa dilihat dari kemampuan bertanya,
menjawab pertanyaan, dan menyimpulkan topik yang dibahas melalui metode contextual
teaching and learning pada mata kuliah Sejarah Pergerakan Nasional Indonesia di prodi
Pendidikan Sejarah STKIP PGRI Sumatera Barat, meningkat cukup tinggi. Namun pada
kemampuan mengemukakan pendapat peningkatannya berada pada kategori sedang. Temuan
penelitian ini adalah dengan menggunakan CTL pada mata kuliah Sejarah Pergerakan Nasional
Indonesia dengan selalu menghubungkan kebudayaan yang ada di Indonesia pada masa
sekarang sehingga mahasiswa dapat meningkatkan pemahaman tentang karakter sehingga
nasionalisme mahasiswa menjadi meningkat dengan kondisi yang terkini yang terjadi di
Indonesia sekarang. Penerapan model pembelajaran CTL dapat menjadikan mahasiswa
berproses belajar mandiri sehingga secara tidak langsung mahasiswa menyadari betapa
pentingnya. Pembelajaran ini dapat menumbuhkan pemahaman pada karakter sebagai bagian
dari peningkatan nasionalisme dapat lebih menghargai para pahlawan, sehingga mahasiswa
memahami makna dan arti nasionalisme nasional.
Keyword: peningkatan karakter dan contextual teaching and learning, nasionalisme
I. LATAR BELAKANG
Mahasiswa sejarah sebagai calon guru dituntut memiliki kompetensi sebagai pendidik.
Mahasiswa difasilitasi kurikulum pendidikan yang dapat membantunya mencapai kompetensi
di atas secara umum. Kompetensi sosial, mahasiswa dibekali dengan beberapa mata kuliah
yang salah satunya adalah mata kuliah Sejarah Pergerakan Nasional Indonesia.
II. PERMASALAHAN
Berdasarkan latar belakang masalah di atas, maka masalah dalam penelitian ini di
identifikasi sebagai berikut:
1. Mahasiswa Sejarah belum maksimal memanfaatkan kesempatan untuk melatih
pemahaman dalam proses pembelajaran sejarah Pergerakan Nasional Indonesia.
2. Mahasiswa masih takut untuk bertanya dalam proses pembelajaran sejarah
Pergerakan Nasional Indonesia ini dengan melihat kondisi karakter mahasiswa
seperti sekarang.
3. Mahasiswa mempelajari sejarah Pergerakan Nasional Indonesia hanya sebagai
bagian dari mata kuliah saja tanpa mampu memahami kebudayaan sekarang
secara kontekstual.
4. Mahasiswa melihat sejarah Pergerakan Nasional Indonesia hanya sebagai mata
kuliah yang dihafal tanpa dapat memahami nilai-nilai karakter dalam materi
Pergerakan Nasional Indonesia.
V. METODE PENELITIAN
a. Waktu dan Tempat Penelitian
Penelitian ini dilaksanakan di STKIP PGRI Sumatera Barat Prodi Sejarah pada semester
ganjil tahun akademik 2013-2014. Pelaksanaan penelitian ini dilakukan sendiri sebagai dosen
mata kuliah Sejarah Pendidikan di STKIP tersebut.
b. Populasi dan Sampel Penelitian
Populasi penelitian ini adalah mahasiswa Program Studi Sejarah STKIP PGRI
Sumatera Barat di empat sesi mulai dari kelas A, B, C dan D berjumlah 143 orang yang terdiri
dari 103 orang perempuan 40 laki-laki dengan kemampuan heterogen. Sedangkan sampel
penelitian ini adalah mahasiswa Program Studi Sejarah STKIP PGRI Sumatera Barat Angkatan
2012 sesi A berjumlah 36 orang.
c. Prosedur Penelitian
Penelitian ini merupakan Penelitian Tindakan Kelas (PTK). PTK adalah penelitian
tindakan (Action Research) yang dilakukan dengan tujuan memperbaiki kualitas proses dan
hasil belajar peserta didik. PTK dilakukan untuk memperbaiki kualitas proses dan hasil belajar
mahasiswa program studi Sejarah STKIP PGRI Sumatera Barat Angkatan 2012 sesi A pada
mata kuliah Sejarah Kebudayaan.
Prosedur penelitian yang dilakukan terbagi pada siklus kegiatan mengacu pada model
yang diadopsi dari Hopkins (1993:48), siklus ini terdiri dari empat kegiatan pokok: perencanaan,
tindakan pelaksanaan, observasi dan refleksi. Empat kegiatan ini berlangsung secara simultan
yang urutannya dapat mengalami modifikasi.
VII. PEMBAHASAN
Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa kemampuan mahasiswa dilihat dari
pemahaman tentang karakter, menjawab pertanyaan dan menyimpulkan topik yang dibahas
melalui model CTL pada mata kuliah Sejarah Pergerakan Nasional Indonesia di Program
Studi Sejarah STKIP PGRI Sumatera Barat, meningkat cukup tinggi. Pada kemampuan
mengemukakan pendapat tetap terjadi peningkatan, namun peningkatannya berada pada
kategori rendah.
Pada siklus I, mahasiswa dikondisikan dalam kelompok diskusi terlebih dahulu
kemudian diminta untuk mendiskusikan topik yang menjadi tanggung jawab kelompok masing-
masing anggota kelompok. Kondisi ini membuat anggota kelompok inti menuntut anggota
kelompok inti yang lainnya untuk mampu menginformasikan topik yang menjadi tanggung
jawabnya sehingga mahasiswa akan bertanggung jawab dengan sub topik masing-masing.
VIII. SIMPULAN
PTK tentang peningkatan pemahaman budaya daerah melalui metode CTL pada
mata kuliah Sejarah Pergerakan Nasional Indonesia di Program Studi Sejarah STKIP PGRI
Sumatera Barat, menghasilkan kesimpulan sebagai berikut:
1. Kemampuan peningkatan pemahaman karakter mahasiswa dilihat dari kemampuan
bertanya melalui metode CTL pada mata kuliah Sejarah Kebudayaan di Program
Studi Sejarah STKIP PGRI Sumatera Barat, meningkat cukup tinggi.
2. Kemampuan peningkatan pemahaman karakter mahasiswa dilihat dari kemampuan
menjawab pertanyaan melalui model CTL pada mata kuliah Sejarah Kebudayaan
di Program Studi Sejarah STKIP PGRI Sumatera Barat, meningkat cukup tinggi.
3. Kemampuan peningkatan pemahaman karakter mahasiswa mampu menyimpulkan
topik yang dibahas melalui model CTL pada mata kuliah Sejarah Pergerakan
Nasional Indonesia di Program Studi Sejarah STKIP PGRI Sumatera Barat, kategori
sedang meningkat.
4. Kemampuan peningkatan pemahaman karakter mahasiswa dilihat dari kemampuan
menyimpulkan topik yang dibahas melalui model CTL pada mata kuliah Sejarah
Pergerakan Nasional Indonesia di Program Studi Sejarah STKIP PGRI Sumatera
Barat, meningkat cukup tinggi.
I. PENDAHULUAN
“Jangan menangis Indonesia, Janganlah bersedih Indonesia. Kami berdiri menjagamu
Pertiwi.” Syair di atas merupakan kutipan lagu karya Harry Roesly yang juga merupakan cucu
dari pujangga Marah Roesly. Lagu “Jangan Menangis Indonesia” sering dinyanyikan oleh
mahasiswa Bandung pada pertengahan tahun 70-an dan masa pergumulan menuju era
reformasi pada akhir tahun 90an. Syair lagu ini memang bukan karya sejarah, tetapi apabila
dicermati, syair lagu merupakan refleksi sosial berdasarkan realitas yang ditangkap oleh batinnya
Harry Roesly, dan tentunya dapat dijadikan informasi sejarah. Dasar dari pandangan ini bermuara
dari pendapat R.G Collingwood (1985: Xiii) Peristiwa sejarah merupakan sesuatu yang diketahui
oleh sejarawan, tidak pada peristiwanya, melainkan melaluinya untuk mengetahui pikiran yang
terkandung di dalamnya”. Merujuk pada pandangan Coolingwood, maka syair lagu memberikan
informasi kegelisahan rakyat Indonesia yang akhirnya memunculkan peristiwa gerakan
mahasiswa ’78 dan 20 tahun kemudian berlanjut pada tragedi Trisakti, ketika para mahasiswa
berhasil memaksa mundur rezim Orde Baru yang kemudian menghasilkan era reformasi.
Tulisan ini bukan membahas Harry Roesly, melainkan akan membahas tentang karakter
bangsa yang membuat negara kita hampir menangis, bersedih, walaupun masih ada
keoptimisan untuk menjaganya. Menjaga dalam konteks ini adalah melakukan dialog terus
menerus sebagai tesis adalah sejarah sedangkan antithesisnya adalah pendidikan sejarah
lantas sintesisnya adalah karakter bangsa. Karakter bangsa adalah nama lain dari kepribadian
bangsa.
Persoalannya muncul kenapa kepribadian bangsa yang seharusnya menjadi identitas
sebuah bangsa membuat Indonesia menjadi “menangis”. Padahal karakter bangsa dibangun
oleh sejarah. Bahkan sejarah Indonesia juga mencatat betapa pentingnya membangun karakter
bangsa yang dilakukan oleh dua orang presiden Indonesia. Katakan saja, ketika era Soekarno
menjadi presiden, keduanya mengedepankan pembangunan politik dengan jargonnya
“kepribadian bangsa”, sedangkan era Soeharto dengan pembangunan ekonomi Orde Barunya,
jargon yang ditonjolkannya adalah “ jatidiri bangsa“ ( Zuhdi, 2008: 78). Jika dicermati kepribadian
dan jatidiri punya arti yang sama, pembedanya hanya orientasi bernegaranya, Soekarno lebih
mengutamakan pembangunan nonfisik, sedangkan Soeharto prioritas utamanya adalah
KEPUSTAKAAN
Abbas, Ersis Warmansyah (eds.). 2013. Mewacanakan Pendidikan Ilmu Pengetahuan Sosial.
Bandung: Wahana Jaya Abadi.
Abdullah, Taufik.2001, Nasionalisme & Sejarah. Bandung: Satya Historika.
Adam, Asvi Warman. 2007. Seabad Kontroversi Sejarah. Yogyakarta: Ombak.
Cabin, Philippe & Jean Franqois Dortier (ed.). 2009. Sosiologi Sejarah dan Berbagai
Pemikirannya. Yogyakarta: Kreasi Wacana.
Collingwood.R.G, 1985. Idea Sejarah. Kuala Lumpur: Percetakan Dewan Bahasa dan Pustaka.
Crain, William. 2007. Teori Perkembangan Konsep dan Aplikasinya. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Giddens, Anthony. 1986. Kapitalisme dan Teori Sosial Modern.,. Penerjemah: Soeheba
Kramadibrata. Jakarta: UI-Press.
Giddens, Anthony. 2000. The Third Way. Jalan Ketiga Pembaharuan Demokrasi Sosial. Jakarta:
Gremedia.
Hasan, Hamid. 2012. Pendidikan Sejarah Indonesia Isu dalam Ide dan Pembelajaran. Bandung:
Rizqi.
Kartodirdjo, Sartono. 1982. Pemikiran dan Perkembangan Historiografi Indonesia Suatu
Alternatif. Jakarta: Gramedia.
ABSTRAK
Pendidikan karakter merupakan pembentukan diri manusia secara utuh yang dilakukan oleh
pendidik terhadap peserta didiknya, pembentukan diri tersebut akan menjadi tabiat atau
kebiasaan yang tertanam pada diri seseorang. Dalam hal ini dosen menanamkan karakter
baik kepada setiap mahasiswa. Kemandirian mahasiswa dalam belajar Akuntansi merupakan
hal yang sangat penting, dimana mahasiswa dalam belajar tidak tergantung pada orang lain,
memiliki kepercayaan diri, berperilaku disiplin, memiliki rasa tanggung jawab, berperilaku
berdasarkan inisiatif sendiri, dan mampu melakukan kontrol diri. Karakter dapat ditanamkan
salah satunya melalui kemandirian belajar. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui
gambaran kemandirian belajar Akuntansi mahasiswa Program Studi Pendidikan Ekonomi FKIP
UNLAM Banjarmasin dan cara membangun karakter melalui kemandirian belajar Akuntansi
mahasiswa program studi Pendidikan Ekonomi FKIP UNLAM Banjarmasin. Desain penelitian
ini adalah deskriptif kuantitatif. Teknik pengumpulan data menggunakan angket. Populasi dalam
penelitian ini adalah seluruh mahasiswa Program Studi Pendidikan Ekonomi FKIP Unlam
Banjarmasin. Teknik penarikan sampel menggunakan purposive sampling yaitu mahasiswa
Program Studi Pendidikan Ekonomi angkatan 2013 yang mengikuti perkuliahan Pengantar
Akuntansi I sebanyak 78 orang. Hasil penelitian menunjukkan kemandirian belajar Akuntansi
mahasiswa Pendidikan Ekonomi yaitu tidak tergantung pada orang lain, memiliki kepercayaan
diri, berperilaku disiplin, memiliki rasa tanggung jawab, berperilaku berdasarkan inisiatif sendiri,
dan mampu melakukan kontrol diri; secara keseluruhan hasilnya adalah baik. Melalui
kemandirian belajar Akuntansi dapat terbangun karakter percaya diri, disiplin, tanggung jawab,
dan mandiri.
Kata kunci: karakter, kemandirian belajar Akuntansi
I. PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Pendidikan dapat diartikan sebagai sebuah kegiatan yang dilakukan dengan sengaja dan
terencana yang dilaksanakan oleh orang dewasa yang memiliki ilmu dan keterampilan kepada anak
didik, demi terciptanya manusia sempurna yang berkarakter atau manusia yang insan kamil (Wibowo,
2012: 18).
Berikut ini presentase kemandirian belajar Akuntansi per indikator yang dapat dilihat
pada gambar berikut:
100 87.38
66.83 69 .96 68.33
80 61.45 1
46.41 2
60
3
40 4
5
20
6
0
1 2 3 4 5 6
Berdasarkan tabel dan gambar di atas dapat diketahui bahwa indikator kemandirian
belajar Akuntansi yang memiliki persentase sangat tinggi yaitu ketidaktergantungan terhadap
orang lain sebesar 87,38%. Hal ini menunjukkan bahwa mahasiswa Pendidikan Ekonomi
sangat baik dalam belajar karena tidak tergantung pada orang lain. Kemandirian belajar tersebut
tentu harus dipertahankan. Kemudian inidikator kemandirian belajar Akuntansi yang memiliki
persentase tinggi yaitu memiliki kepercayaan diri (61,45%), memiliki rasa tanggung jawab
(66,83%), berperilaku berdasarkan inisiatif sendiri (69,96%), dan mampu melakukan kontrol
diri (68,33%). Hal ini menunjukkan bahwa mahasiswa Pendidikan Ekonomi sudah baik dalam
memiliki kepercayaan diri, memiliki rasa tanggung jawab, berperilaku berdasarkan inisiatif
sendiri, dan mampu melakukan kontrol diri. Kemandirian belajar tersebut tentu harus
dipertahankan dan lebih ditingkatkan lagi. Sedangkan indikator kemandirian belajar akuntansi
ABSTRAK
Konsep diri anak muda Surabaya dalam memandang taman sudah berubah dan sangat
mempengaruhi pola perilaku dan paradigma mereka dalam memandang eksistensi diri, taman,
dan kotanya secara keseluruhan. Perubahan positif inilah yang kita harapkan bersama dengan
partisipasi aktif anak muda secara nyata dalam menjaga dan melestarikan, tidak hanya taman
kotanya tetapi lingkungan hidup secara keseluruhan. Menjadikan taman sebagai pilihan utama
mereka beraktivitas di luar mal, akan memberikan dampak positif bagi mentalitas anak muda
secara keseluruhan. Banyak perilaku dan karakter positif yang dapat dibentuk dan ditumbuhkan
dari taman kota kepada anak muda.
Kata Kunci: taman kota, karakter, anak muda
I. PENDAHULUAN
Hasil survei Deteksi Jawa Pos (22-26/2/2014) tentang tempat nongkrong favorit anak
muda Surabaya selain mal adalah taman kota (29,1%) merupakan sesuatu yang mengejutkan.
Hanya Surabaya yang menjadikan taman kotanya sebagai tempat alternatif bagi anak mudanya,
dibandingkan dengan kota lain seperti Jakarta, Bandung, Yogyakarta, dan Denpasar yang
menganggap kafe, resto, dan pantai sebagai tempat yang paling nge-hype. Surabaya juga
merupakan kota yang anak mudanya tidak mall minded (36,3%) (Jawa Pos, 26/2), sebagaimana
anak muda Jakarta (52,2%), Bandung (40,4%), dan Yogyakarta (40,4%) yang menganggap mal
sebagai bagian dari gaya hidup utama mereka.
Perubahan perilaku dan gaya hidup anak muda Surabaya dari sudut pandang psikologi,
pendidikan, dan sosial sangat menarik dikaji, ditengah perilaku hedonis anak muda yang
menjadikan tempat hiburan seperti: café, resto, dan tongkrongan anak gaul lainnya sebagaimana
tempat favorit rekan-rekan mereka di Jakarta, Bandung, dan Yogyakarta. Konsep diri anak
muda Surabaya dalam memandang taman sudah berubah dan sangat mempengaruhi pola
perilaku dan paradigma mereka dalam memandang eksistensi diri, taman, dan kotanya secara
keseluruhan. Perubahan positif inilah yang kita harapkan bersama dengan partisipasi aktif
anak muda secara nyata dalam menjaga dan melestarikan, tidak hanya taman kotanya tetapi
lingkungan hidup secara keseluruhan.
Muhaimin
499
II. TAMAN KOTA DAN KONTRIBUSI DALAM PEMBENTUKAN KARAKTER ANAK MUDA SURABAYA
Taman kota dipandang secara komprehensif meliputi dimensi fisik, sosial, budaya,
ekonomi, dan institusi kota dengan ekosistem yang melingkupi serta mendukung kehidupan
warga kota. Taman kota juga terkait dengan pemenuhan hak warga akan ruang publik yang
sangat menentukan kualitas hidup di perkotaan, karena mempengaruhi secara psikologis
terhadap warganya.
Revitalisasi dan penataan taman di berbagai sudut kota Surabaya, tidak hanya
dilakukan sebagai pendekatan dalam proses perencanaan kota yang diterapkan untuk menata
kembali suatu kawasan di dalam kota dengan tujuan untuk memperindah dan mempercantik
kota, tetapi juga mendapatkan nilai tambah yang lebih memadai dari kawasan kota tersebut
sesuai dengan potensi ekonomi, sosial, dan budaya yang dimiliki.
Taman kota Surabaya, berkontribusi positif dalam membentuk karakter dan konsep diri
anak muda Surabaya sekarang ini. Fenomena taman kota yang banyak dipenuhi anak muda
dengan berbagai aktivitas seperti: membaca, ngobrol, nongkrong, berolahraga, bermain musik,
dan interaksi sosial lainnya marak dijumpai di Surabaya. Hal-hal inilah yang dapat membentuk
karakter positif anak muda Surabaya. Dari konsep inilah pendidikan karakter tidak hanya dibentuk
dalam konteks pendidikan formal, tetapi juga melalui taman kota dan komunitas masyarakatnya.
Dengan konsep dalam memandang taman yang demikian, fonemena “sick city, sick
people, sick world”, akan dapat ditekan. Fenomena tersebut muncul di kota-kota besar telah
menjadi sumber ketegangan, konflik, dan stres, dan sebagai sumber penyakit yang diakibatkan
berbagai problem fisik dan psikologis masyarakat perkotaan, termasuk kalangan remajanya.
Tidak heran jika, fenomena kenakalan remaja seperti: genk motor, narkoba, tawuran anak
muda, di Surabaya relatif tidak semarak seperti di kota-kota besar lainnya, seperti: Jakarta,
Yogyakarta, dan Bandung. Mereka punya konsep diri yang positif tentang taman, sehingga
dapat mereduksi perilaku-perilaku negatif yang menjadi penyakit anak muda.
Beberapa karakter dominan dari taman kota Surabaya dalam yang menumbuhkan
dan membentuk karakter anak muda Surabaya adalah sebagai berikut:
2.1 Karakter Peduli Lingkungan
Hal yang paling menonjol dalam kontribusi taman kota dalam pembentukan karakter
anak muda adalah kepedulian terhadap lingkungan hidup. Kepedulian lingkungan di Indonesia
merupakan salah satu nilai yang dikembangkan dalam pendidikan budaya dan karakter bangsa.
Kepedulian lingkungan dideskripsikan oleh sikap dan tindakan yang selalu berupaya mencegah
kerusakan pada lingkungan alam di sekitarnya, dan mengembangkan upaya-upaya untuk
memperbaiki kerusakan alam yang sudah terjadi (Hasan, 2010:10).
Untuk itulah anak muda Surabaya melalui taman kotanya dikembangkan nilai-nilai moral
yang dapat membentuk karakter peduli lingkungan yang pada akhirnya membentuk kompetensi
ekologis siswa. Usaha untuk membentuk dan menumbuhkan kepedulian terhadap lingkungan
hidup dapat dibentuk melalui pendidikan formal dan informal dalam konteks masyarakat, yang
salah satunya adalah dengan media taman kota dan segenap komponennya yang bisa dijadikan
media dan sumber pembelajaran yang berkenaan dengan lingkungan hidup.
Muhaimin
500
Lickona (1992:53) dalam bukunya Educating for Character mengacu pada pemikiran
filosofi Michael Novak yang berpendapat bahwa watak seseorang dibentuk melalui tiga aspek
yaitu, pengetahuan moral (moral knowing), sikap moral (moral feeling), dan prilaku moral (moral
action). Dengan demikian, hasil pembentukan sikap karakter anak pun dapat dilihat dari tiga
aspek, yaitu konsep moral, sikap moral, dan perilaku moral. Taman bisa diimplementasikan
dalam berbagai pembentukan karakter dalam konsep Lickona dalam bentuk pengetahuan,
sikap, dan moral tentang lingkungan hidup. Bagaimana anak muda mengenal taman dan
fungsinya, mengenal berbagai jenis tanaman dan segala instrumen pendukungnya, bagaimana
taman dapat membentuk sikap dan pandangan yang positif terhadap anak muda, dan kemudian
membentuk perilaku yang selaras dengan pelestarian taman kota tersebut.
Mencintai lingkungan perlu ditanamkan sejak usia muda. Kebiasaan kita adalah
menggunakan berbagai sumber daya alam, tanpa berpikir bagaimana melestarikannya. Hal
ini dilakukan terutama akibat eksploitasi lingkungan oleh berbagai pihak yang membentuk
mainstream siswa dalam berperilaku terhadap lingkungan. Proses imitasi inilah yang juga
menyebabkan krisis moral ekologis bagi generasi muda khususnya pelajar. Proses
pengembangan nilai-nilai yang menjadi landasan dari karakter itu menghendaki suatu proses
yang berkelanjutan, dilakukan melalui berbagai hal yang mendukung pembentukan karakter
ekologis, termasuk melalui keberadaan taman kota.
Taman kota dapat membentuk siswa dengan memiliki kepedulian serta perhatian
tentang saling keterkaitan antara ekonomi, sosial, politik, dan ekologi di wilayahnya, memberikan
kesempatan kepada setiap orang untuk mengembangkan pengetahuan, nilai, sikap, komitmen,
dan kemampuan yang dibutuhkan untuk melindungi dan memperbaiki lingkungan dan
menciptakan pola perilaku yang baru pada individu, kelompok, dan masyarakat sebagai suatu
keseluruhan terhadap lingkungan (Gyallay, 2001: 409).
Taman kota sebagai suatu lambang komunitas bersama dapat membentuk
pembiasaan (habit formation) bersama masyarakat kotanya. Membentuk sikap, perilaku, dan
partisipasi yang berwawasan lingkungan memerlukan pembiasaan. Pembiasaan itu antara
lain: menanam pohon, menjaga kebersihan lingkungan, tidak membuang sampah
sembarangan, tidak merusak lingkungan, memanfaatkan alam secara seimbang, penghijauan
lingkungan dan sebagainya. Budaya-budaya yang dikembangkan dengan pembiasaan dapat
membentuk mentalitas ekologis anak muda ke arah yang lebih baik.
2.2 Karakter Peduli Sosial
Taman kota Surabaya didefinisikan oleh anak muda Surabaya tidak hanya sebatas
ruang publik, tetapi juga tempat mereka beraktivitas dan berinteraksi dengan teman dan
berbagai lapisan sosial lainnya. Kondisi ini memberikan kenyamanan bagi anak muda Surabaya
baik secara fisik dan psikologis. Bagi anak muda, taman kota yang tersebar di berbagai sudut
Surabaya, merupakan tempat bagi mereka beraktivitas dan mengekspresikan secara bebas
berbagai hal dalam kehidupannya.
Karakter peduli sosial dapat dibentuk melalui taman kota, yang dijadikan tempat
berkumpul dan beraktivitas dalam segala lapisan masyarakat Surabaya. Anak muda dapat
Muhaimin
501
belajar berinteraksi dengan berbagai lapisan masyarakat melalui taman kota.Keterampilan
sosial juga dibangun dengan menjadikan taman kota sebagai tempat nongkrong anak muda.
Satu sama lain dapat membangun kepedulian, meningkatkan solidaritas sosial, dan tindakan
yang saling membantu dalam banyak hal. Peduli sosial ini dapat dibangun dengan sikap dan
tindakan yang selalu ingin memberi bantuan pada orang lain dan masyarakat yang
membutuhkan (Hasan, 2010:9).
Dengan menjadikan taman sebagai tempat nongkrong favorit dapat membangun
kecerdasan sosial anak muda Surabaya. Mereka juga mengenal berbagai struktur masyarakat
kota yang sangat heterogen dari berbagai sudut pandang. Tua dan muda berkumpul melahirkan
interaksi yang positif. Taman kota di Surabaya yang merupakan tempat berkumpul
masyarakatnya pada dasarnya merupakan pengejawantahan budaya, dengan beraneka ragam
karakter, sifat, kekhasan, keunikan, kepribadian. Hal ini merupakan melting pot pluralisme
dalam konteks yang sesungguhnya meliputi berbagai aspek seperti: sosial, budaya, ekonomi,
pendidikan, dan sebagainya. Dari sinilah mereka melihat realitas kotanya yang menumbuh
sinergi untuk bersama-sama mewujudkan kualitas kota yang lebih baik.
Taman dapat melatih dan menumbuhkan berbagai keterampilan dan kecerdasan
sosial anak muda seperti: menghargai perbedaan, memupuk tanggungjawab sebagai warga
kota, kepedulian, memupuk simpati dan empati, kemampuan berkomunikasi, bekerja sama
dengan orang lain, membentuk jaringan, membentuk moral ekologis, dan sebagainya. Taman
kota berimplikasi dengan meningkatnya mobilitas dan interaksi anak muda di Surabaya. Penataan
tata ruang taman yang efektif, sarana prasarana yang memadai, apalagi dilengkapi dengan
fasilitas wifi di berbagai taman kota Surabaya, dapat meningkatkan mobilitas dan intensitas
anak muda untuk pergi ke taman dengan berbagai tujuan yang positif.
2.3 Karakter Tanggungjawab
Memelihara dan melestarikan taman bukanlah hanya sekedar masalah sosial, tetapi
juga masalah ekonomi, budaya, politik, estetika, dan lain sebagainya. Jauh lebih dari itu, masalah
memelihara dan melestarikan taman merupakan masalah moral, sehingga menuntut suatu
pertanggungjawaban moral. Kalau disebut sebagai masalah moral berarti mengandung suatu
kewajiban dasar dan mengikat bagi warganya, untuk memperlakukan taman, memelihara dan
melestarikan taman secara baik dan penuh tanggung jawab.
Karakter tanggungjawab mencerminkan sikap dan perilaku seseorang untuk
melaksanakan tugas dan kewajibannya, yang seharusnya dia lakukan, terhadap diri sendiri,
masyarakat, dan lingkungannya. Dari taman kota inilah menuntut anak muda Surabaya untuk
ikut bertanggungjawab menjaga dan melestarikannya. Disiplin dalam merawat, seperti: tidak
membuang sampah sembarangan, tidak merusak taman, merawat, berkontribusi terhadap
kelestarian taman, dan sebagainya.
Tanggungjawab dalam bentuk partisipasi masyarakat khususnya anak muda dalam
pemanfaatan dan pendayagunaan taman kota dengan pengendalian berbagai hal yang
merusak, merasa memiliki dan bertanggung jawab dalam menjaga kualitas ruang yang nyaman
dan serasi serta berguna untuk kelanjutan pembangunan (Ibrahim, 2004:4).
Muhaimin
502
Karakter adalah watak, tabiat, akhlak, atau kepribadian seseorang yang terbentuk dari
hasil internalisasi berbagai kebajikan (virtues) yang diyakini dan digunakan sebagai landasan
untuk cara pandang, berpikir, bersikap, dan bertindak. Kebajikan terdiri atas sejumlah nilai,
moral, dan norma, seperti jujur, berani bertindak, dapat dipercaya, dan hormat kepada orang
lain. Interaksi seseorang dengan orang lain menumbuhkan karakter masyarakat dan karakter
bangsa. Oleh karena itu, pengembangan karakter bangsa hanya dapat dilakukan melalui
pengembangan karakter individu seseorang. Akan tetapi, karena manusia hidup dalam
lingkungan sosial dan budaya tertentu, maka pengembangan karakter individu seseorang hanya
dapat dilakukan dalam lingkungan sosial dan budaya yang bersangkutan. Artinya,
pengembangan budaya dan karakter bangsa hanya dapat dilakukan dalam suatu proses
pendidikan yang tidak melepaskan peserta didik dari lingkungan sosial, budaya masyarakat,
dan budaya bangsa (Hasan, 2010: 3-4).
IV. PENUTUP
Menjadikan taman sebagai pilihan utama mereka beraktivitas di luar mal, akan
memberikan dampak positif bagi mentalitas anak muda secara keseluruhan. Taman kota
membangun konsep diri yang positif. Mereka menjadi lebih tahu apa dan bagaimana hal itu
berwujud positif dan negatif. Perilaku mereka lebih terkontrol, karena mereka berada di ruang
publik. Berperilaku di ruang publik berbeda dengan berperilaku di café dan resto atau tempat
nongkrong anak muda lainnya. Pengendalian diri mereka lebih tersistematis karena dilandasi
oleh etika dan nilai-nilai masyarakat sebagai “pengawas” mereka di ruang publik. Banyak perilaku
dan karakter positif yang dapat dibentuk dan ditumbuhkan dari taman kota kepada anak muda.
DAFTAR PUSTAKA
Dirjen Penataan Ruang Depkimpraswil, Menata Ulang Kebijakan Penataan Ruang Kawasan
Perkotaan dalam Rangka Mewujudkan Good Urban Governance, Makalah pada
Seminar tentang Kebijakan Pengelolaan Pembangunan Perkotaan dalam Rangka
Perwujudan Good Urban Governance, Pusat Pengkajian Kebijakan Teknologi
Pembangunan Wilayah, BPPT, Jakarta, 16 Oktober 2002.
Deteksi Jawa Pos. Survey Tempat Nongkrong Anak Muda di Kota Besar. 22-26/Pebruari/2014.
Koesoema, Doni. 2010. Pendidikan Karakter: Strategi Mendidik Anak di Zaman Global. Jakarta:
Grasindo.
Gyallay, Peter. 2001. Environment: PAP-ETAP Reference Guide Book, Chapter 13. (http//
www.un.org.kh/fae/pdfs/ section4/chapterxxx3/33 .pdf).
Hasan, S. H, dkk. 2010. Pengembangan dan Pendidikan Budaya Karakter Bangsa. Jakarta:
Badan Penelitian dan Pengembangan Pusat Kurikulum Kemendiknas.
Ibrahim, Syahrul. 2004. Paradigma Baru Peran serta Masyarakat dalam Penataan Ruang.
Available from http://www.bktrn.org.
Lickona, T.1992. Educating for character: How our schools can teach respect and
responsibility. New York: Bantam Books.
Keraf, Sony. 2002. Etika Lingkungan. Jakarta: Penerbit Buku Kompas.
Muslich, M. 2011. Pendidikan Karakter: Menjawab Tantangan Krisis Multidimensional.
Jakarta: Bumi Aksara.
Suyanto. 2009. Urgensi Pendidikan Karakter. Diunduh dari: http://www.mandikdasmen.
depdiknas.go.id/web/pages/urgensi.html., pada tanggal 26 juni 2011.
Muhaimin
504
IMPLEMENTASI BLUE ECONOMY DALAM PENGEMBANGAN SDM
BERKARAKTER MENUJU INDONESIA SEBAGAI NEGARA MARITIM
Muhammad Rahmatullah
Universitas Lambung Mangkurat
ABSTRAK
Pengembangan Indonesia menuju negara maritim yang tangguh memiliki prospek yang sangat
besar untuk segera diwujudkan. Besarnya potensi kelautan yang dimiliki Indonesia saat ini
menjadi modal penting dalam perwujudan cita-cita tersebut. Tantangan yang muncul adalah
perlunya penyiapan SDM yang mampu mengelola berbagai potensi kelautan yang ada. Konsep
Blue Economy merupakan salah satu langkah strategis yang mengarahkan pada
pengembangan SDM yang berkualitas dan berkarakter untuk kebutuhan pencapaian tujuan
Indonesia menjadi negara maritim. Konsep ini dapat diwujudkan melalui jalur pendidikan
khususnya di perguruan tinggi dengan fokus pada implementasi melalui jalur Tri Dharma
perguruan tinggi.
Kata Kunci: Blue Economy, Negara Maritim, SDM Berkarakter, Tri Dharma Perguruan Tinggi
I. PENDAHULUAN
Sebagai salah satu bentuk pengembangan dari konsepsi ketahanan nasional, gagasan
pengembangan Indonesia sebagai Negara Maritim menjadi hal yang cukup penting untuk
digaungkan kembali di negara ini. Pengembangan konsepsi negara maritim Indonesia sejalan
dengan upaya peningkatan kemampuan bangsa kita menjadi bangsa yang modern dan mandiri
dalam teknologi kelautan dan kedirgantaraan bagi kesejahteraan bangsa dan negara dengan
tetap berlandaskan Pancasila dan UUD 1945 serta Wawasan Nusantara dan Ketahanan
Nasional sebagai landasan konsepsionalnya.
Pengembangan negara maritim sendiri dapat dilihat dari konteks kekuatan laut yang
tangguh (sea power), dimana parameternya mengarah pada tiga elemen operasional yaitu
unsur kekuatan militer (fighting instruments), penggerak roda perekonomian di laut (merchant
shipping) dan pangkalan atau pelabuhan (bases) (http://pusjianmar-seskoal.tnial.mil.id).
Mengarah pada konsep ini, tidak bisa disangkal bahwa Indonesia berpotensi besar untuk
segera berkembang menjadi negara maritim yang tangguh. Hal ini didasarkan pada sejumlah
fakta yang cukup mencengangkan. Sebagaimana dikutip dari Renstra KKP 2010-2014,
Indonesia adalah negara kepulauan terbesar di dunia karena memiliki luas laut dan jumlah
pulau yang besar. Panjang pantai Indonesia mencapai 104.000 km (Bakosurtanal, 2006) dengan
Muhammad Rahmatullah
505
luas wilayah laut berdasarkan UNCLOS 1982 mencapai 284.210,9 km2 laut teritorial, 2.981.211
km2 ZEEI, dan 279.322 km2 laut 12 mil. Potensi tersebut menempatkan Indonesia sebagai
negara yang dikaruniai sumber daya kelautan yang besar termasuk kekayaan keanekaragaman
hayati dan non hayati kelautan terbesar.
Dari potensi sumber daya kelautan yang besar tersebut, terdapat potensi
pengembangan untuk (a) perikanan tangkap di laut sebesar 6,5 juta ton dan di perairan umum
seluas 54 juta hektar dengan potensi produksi 0,9 juta ton/tahun, (b) budidaya laut seluas 8,3
juta ha terdiri dari budidaya ikan (20%), budidaya kekerangan (10%), budidaya rumput laut
(60%) dan lainnya (10%), (c) potensi budidaya air payau (tambak) seluas 1,3 juta ha, (d) budidaya
air tawar terdiri dari kolam seluas 526,40 ribu ha, perairan umum (danau, waduk, sungai dan
rawa) seluas 158,2 ribu ha, sawah untuk mina padi seluas 1,55 juta ha, serta (e) bioteknologi
kelautan untuk pengembangan industri bioteknologi kelautan seperti industri bahan baku untuk
makanan, industri bahan pakan alami, benih ikan dan udang, industri bahan pangan serta non
pangan yang memiliki nilai ekonomi tinggi seperti untuk industri kesehatan dan kosmetika
(farmasetika laut). Potensi ekonomi sumber daya kelautan dan perikanan yang berada di bawah
lingkup tugas KKP dan dapat dimanfaatkan untuk mendorong pemulihan ekonomi yang
diperkirakan sebesar US$ 82 miliar per tahun (KKP 2012).
Widyasari (2013) menjelaskan bahwa berdasarkan data Badan Penelitian dan
Pengembangan Kementerian Kelautan dan Perikanan (Balitbang KKP) 2013, estimasi nilai
ekonomi kelautan dari bidang-bidang maritim utama adalah: Perikanan, termasuk perikanan
tangkap, budidaya, dan pengolahan US$47 miliar/tahun; pariwisata bahari mencapai US$29
miliar/tahun, tersebar di 241 kabupaten/kota. Selanjutnya, energi terbaharukan US$80 miliar/
thn, antara lain terdiri dari energi arus laut, pasang surut, gelombang, biofuel alga, panas laut,
dll. Biofarmasetika laut US$330 miliar/tahun, didukung oleh tingginya kelimpahan dan
keanekaragaman hayati laut Indonesia untuk pengembangan industri bioteknologi bahan
pangan, obat-obatan, kosmetika, bioremediasi, dll. Transportasi laut US$90 miliar/tahun,
didukung oleh potensi jaringan transportasi laut nasional dan internasional, posisi strategis
Indonesia dan ALKI. Minyak bumi dan gas offshore US$68 miliar. Sebanyak 70 persen dari
produksi minyak dan gas bumi berasal dari pesisir, dimana 40 dari 60 cekungan potensial
mengandung migas terdapat di lepas pantai, 14 di pesisir dan hanya 6 di daratan. Kemudian,
seabed mineral mencapai US$256 miliar/tahun; industri dan jasa maritim mencapai US$72
miliar/tahun; dan garam industri mencapai US$28 miliar/tahun.
II. PEMBAHASAN
Besarnya potensi yang dimiliki Indonesia untuk memfokuskan pembangunan pada
sektor kelautan telah membawa angin segar dengan mulai diterapkannya konsep blue economy
sebagai langkah strategis di dalam percepatan industrialisasi kelautan dan perikanan mulai
tahun 2013. Blue Economy telah diusulkan sebagai Rencana Pembangunan Jangka Menengah
(RPJM) sektor kelautan dan perikanan 2013-2025. Ada lima poin penting yang telah disepakati
di dalam pengembangan blue economy di Indonesia. Pertama, pemerintah akan
Muhammad Rahmatullah
506
mengindentifikasi peluang-peluang investasi di sektor kelautan dan perikanan yang dapat
dikembangankan berbasis blue economy. Kedua, pengembangan usaha dan investasi berbasis
model blue economy. Ketiga, pengembangan sumber daya manusia di bidang kelautan dan
perikanan. Keempat, pengembangan dokumentasi dan materi Blue Economy untuk publik.
Terakhir upaya untuk mempromosikan penyelenggaraan dan partisipasi bersama di dalam
pertemuan internasional (http://www.kkp.go.id).
Terkait dengan pengembangan Sumber Daya Manusia (SDM) di bidang kelautan dan
perikanan, ternyata hal ini masih menjadi salah satu permasalahan mendasar yang dialami di
Indonesia. Indonesia masih berkutat pada beragam permasalahan di bidang pendidikan dari
jenjang dasar hingga pendidikan tinggi. Beberapa fakta yang terjadi antara lain rendahnya kualitas
lulusan perguruan tinggi di Indonesia untuk bisa berdaya guna di dunia nyata. Berdasarkan data
dari Organization for Economic Co-operation Development (OECD), Indonesia akan menjadi
negara dengan jumlah sarjana terbanyak kelima di dunia pada tahun 2020 mendatang. Data
tersebut merupakan proyeksi dari upaya Indonesia untuk meningkatkan jumlah lulusan perguruan
tinggi setiap tahunnya. Di sisi lain, penyerapan lulusan sarjana di Indonesia tergolong lambat.
Berdasarkan data dari Badan Pusat Statistik, jumlah pengangguran sarjana pada Februari 2013
mencapai 360 ribu orang, atau 5,04% dari total pengangguran yang mencapai 7,17 juta orang
(http://www.unpad.ac.id). Hal ini tentunya perlu mendapat perhatian serius karena SDM merupakan
salah satu faktor sentral dalam pengembangan perekonomian suatu negara.
Fenomena yang menarik bahwa jumlah penduduk usia produktif 15-40 tahun yang
sangat besar di Indonesia berdampak pada kebutuhan sekolah, lapangan kerja, ketersediaan
pangan, sandang dan berbagai kebutuhan pokok lainnya. Seluruh penduduk usia produktif
tersebut akan membutuhkan layanan pendidikan yang adil, merata, dan bermutu untuk
meningkatkan ilmu pengetahuan dan keterampilannya. Modal pendidikan menjadi penting
dalam meningkatkan kualitas sumber daya manusia (Anonim, 2012). Betapa strategisnya peran
usia produktif terlihat pada perkembangan komposisi tenaga kerja saat ini dan proyeksinya di
masa depan, sebagaimana terlihat pada gambar berikut:
Gambar 1 Perkembangan Komposisi Tenaga Kerja Indonesia.
Muhammad Rahmatullah
507
Dari penduduk yang bekerja pada 2001 hampir 100 juta, lebih dari 60 persen
berpendidikan Sekolah Dasar (SD) atau tidak tamat SD. Bahkan, hampir sepuluh tahun
kemudian pada 2010 tenaga kerja Indonesia masih didominasi mereka yang berpendidikan
SD. Namun, komposisi tenaga kerja Indonesia pada 2025 akan berubah dan lebih didominasi
oleh lulusan Sekolah Menengah Atas (SMA) dan Sekolah Menengah Kejuruan (SMK) sebanyak
50 persen. Diproyeksikan pada tahun 2025, lebih dari seratus juta penduduk yang bekerja dan
memiliki pendidikan lebih baik (hanya 25 persen tenaga kerja yang berpendidikan SD dan
Sekolah Menengah Pertama) akan menjadi solusi bagi usaha untuk mengentaskan kemiskinan
yang masih banyak di Indonesia. Tenaga kerja yang berpendidikan menengah ini juga dapat
menjadi solusi bagi pengangguran yang justru banyak terjadi di Pulau Jawa. Dominasi pekerja
yang berlatar belakang pendidikan menengah (SMA dan SMK) tidak terelakkan mengingat
sebagian besar lulusan pendidikan menengah masuk dunia kerja dan sebagian kecil
melanjutkan pendidikan ke perguruan tinggi. Selain keterbatasan biaya, keterbatasan daya
tampung perguruan tinggi menjadi kendala bagi lulusan pendidikan menengah untuk meraih
mimpi menjadi sarjana.
Dalam Renstra Ditjen Dikmen 2013 disebutkan bahwa terkait upaya mendukung
pembangunan ekonomi, pendidikan yang relevan dan berkualitas tinggi memainkan peran
penting untuk meningkatkan daya saing regional. Hal ini menuntut pendidikan agar mampu
melengkapi lulusannya untuk memiliki keterampilan teknis (hard skill), dan kemampuan untuk
berpikir analitis, berkomunikasi, serta bekerjasama dalam tim yang dirangkum sebagai
keterampilan lunak (soft skill). Pendidikan memiliki korelasi tinggi terhadap pertumbuhan
ekonomi suatu negara. Negara dengan industri yang maju dan ekonominya berkembang karena
ditunjang tingkat pendidikan tinggi masyarakatnya. Peran pendidikan dalam pertumbuhan
ekonomi akan terlihat ketika penambahan tenaga kerja memiliki produktifitas tinggi. Tenaga
kerja produktif hasil pendidikan yang baik akan melahirkan peningkatan keluaran atau output.
Bahkan, pengaruh pendidikan terhadap pertumbuhan ekonomi juga muncul secara tidak
langsung. Pendidikan memiliki efek pengali terhadap pertumbuhan ekonomi yang besar.
Gambar 2. Peran Pendidikan dalam Pertumbuhan Ekonomi
Muhammad Rahmatullah
508
2.1 Tantangan Pendidikan Ekonomi dalam Penyiapan SDM Berkualitas ke Arah
Pengembangan Blue Economy di Indonesia
Dalam Nattasya (2012) dijelaskan bahwa pencetus istilah Blue Economy, Gunter
Paulli menilai bahwa Blue Economy yang digulirkan oleh dunia kelautan dan perikanan
merupakan aspek yang terpisah dari green economy. Conathan dan Kroh (2012) menjelaskan
bahwa Blue Economy merupakan konsep yang mengarah pada “great financial benefit from
these natural resources without compromising their beauty, health, or vitality”. Meskipun tujuannya
sama, untuk lingkungan, penerapan Blue Economy sendiri bertujuan untuk menciptakan industri
kelautan dan perikanan meningkat dari segi pendapatan dan kontribusi bagi negara namun
juga tetap memperhatikan bagaimana keberlanjutan sumberdaya alam kelautan dan perikanan.
Menteri Kelautan dan Perikanan RI, Sharif C Sutardjo mengutarakan bahwa Blue
Economy bukan sekedar penerapan Green Economy di laut, namun ada aspek penting lainnya
yakni seperti aspek alam dan manusia itu sendiri. Jadi, industri kelautan dan perikanan ke
depannya harus memperhatikan keramahan pada lingkungan dan bagaimana manusia
“kelautan dan perikanan sendiri” dalam hal ini nelayan maupun pelaku usaha bisa meningkat
dengan sejahtera. “Blue Economy juga tidak membutuhkan biaya tambahan seperti yang selama
ini terjadi dalam Green Economy. Industri membutuhkan biaya tambahan lagi untuk bisa
memproduksi produk yang “green”. Sedangkan dalam Blue Economy sendiri tidak sekedar
memotong biaya, tetapi bagaimana kita meningkatkan lebih banyak pendapatan dan nilai,”
tuturnya. Jadi intinya, Blue Economy sendiri adalah bagaimana mulai mengubah habit
(kebiasaan) industrial untuk lebih memperhatikan lingkungan baik SDA maupun SDM (Nattasya,
2012).
Lebih lanjut dalam Nattasya (2012) diuraikan bahwa kata kunci dalam pelaksanaan
blue economy adalah kepedulian sosial (sosial inclusiveness), efesiensi sumber daya alam,
dan sistem produksi tanpa menyisakan limbah. Sehingga konsep ini bisa menawarkan platform
yang luas dari ide-ide inovatif yang telah diimplementasikan di dunia dan dapat menginspirasi
kaum muda dan mendorong kemauan untuk, berwirausaha disetiap sektor bisnis kelautan dan
perikanan melalui pemanfaatan sumber daya yang tersedia secara berkelanjutan. Aspek inovasi
teknologi menjadi penting peranannya dalam perubahan ini. Dengan adanya konsepsi ini,
Indonesia harus merubah dan mengganti setiap industri kelautan dan perikanannya
menjadi zero waste (nol limbah) dan itu tentu saja membutuhkan inovasi teknologi kelautan
dan perikanan yang maju. Sehingga blue economy yang dikembangkan sebagai subjek
pendidikan dan pelatihan akan membuat generasi muda yang akan mengisi pembangunan
kelautan dan perikanan di masa depan mampu mengembangkan inovasi dan kreativitas serta
teknologi yang ramah lingkungan.
Sektor pendidikan sangat sentral tidak hanya dalam konteks membangun sumber daya
manusia berkualitas, tetapi sekaligus ikut serta dalam di pembangunan inclusive development.
Kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi merupakan hal yang penting bagi kemajuan bangsa,
sehingga pengembangan dan pengkayaan ilmu pengetahuan perlu mengadopsi cara pandang
baru yakni education for sustainable development within blue economy. Perguruan tinggi sebagai
center of excellence memiliki kepakaran dalam dunia riset dan pengembangan teknologi.
Muhammad Rahmatullah
509
Dunia riset dan teknologi harus dekat dengan dunia usaha. Kolaborasi dan integrasi antara
dunia pendidikan atau riset, pemerintah dan swasta berperan penting dan strategis di dalam
implementasi blue economy. “Penelitian, riset dan inovasi dapat membantu pemerintah dalam
memberikan alternatif penyelesaian yang riil untuk mengoptimalkan sumber daya kelautan dan
perikanan dengan mengolah sisa hasil perikanan dari satu produk menjadi bahan baku bagi produk
lain sehingga mampu menghasilkan lebih banyak produk turunan. Didalam penerapan konsep
blue economy membutuhkan dukungan pengetahuan dan teknologi (cutting-edge innovations),
yang tidak hanya mampu memanfaatkan sumber daya alam secara berkelanjutan, tetapi lebih
konkrit, inovasi dalam sistem produksi bersih tanpa limbah. “Berbagai tantangan dan masalahnya
yang sedemikian kompleks masih membayangi pengembangan blue economy, sehingga
diperlukan sebuah usaha dan pemikiran yang menyeluruh. Ide-ide baru dan inovasi baru justru
banyak dan timbul dari hasil pemikiran dari kalangan akademis (Syarif dalam Nattasya, 2012).
Mengacu pada Renstra Dikti 2010-2014, salah satu tujuan yang ingin dicapai adalah
ketersediaan pendidikan tinggi Indonesia yang bermutu dan relevan. Dalam kaitannya dengan
hal ini, ada beberapa poin penting yang dapat dilakukan sekaligus menjadi tantangan bagi
Pendidikan Ekonomi terkait dengan pengembangan Blue Economy di Indonesia yakni:
a. Mendorong Proses Pendidikan dan Pembelajaran yang Kondusif untuk
Menghasilkan Lulusan yang Cerdas, Terampil, dan Berkarakter
Proses pendidikan direncanakan senantiasa untuk memenuhi kompetensi secara
menyeluruh dan seimbang, ilmu, keterampilan dan soft skills. Untuk menghasilkan lulusan
yang cerdas, terampil dan berkarakter diperlukan upaya menyeluruh (holistic) dari berbagai
pihak dan melibatkan seluruh jenjang pendidikan. Perlu dikembangkan inovasi pembelajaran
yang memungkinkan dikembangkannya atribut lulusan dimaksud khususnya untuk Pendidikan
Ekonomi. Inovasi dimaksud meliputi baik dalam kaitan dengan muatan kurikulum maupun di
luar kurikulum yang secara keseluruhan menciptakan suasana akademik yang kondusif untuk
terbentuknya lulusan yang unggul dan kompetitif.
b. Meningkatkan Kewirausahaan Lulusan
Lulusan Pendidikan Ekonomi juga diharapkan mampu menggerakkan perekonomian
serta meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Tingginya persentase sarjana yang menganggur
harus diatasi antara lain dengan meningkatkan kemampuan lulusan perguruan tinggi khususnya
Program Studi Pendidikan Ekonomi untuk menciptakan lapangan kerja melalui peningkatan
kreativitas, daya juang, dan kewirausahaan.
c. Pengembangan Penelitian dan Pengabdian yang Relevan dengan Tuntutan
Dunia Riil
Pendidikan Ekonomi harus berperan dalam melakukan riset dan berbagai pengabdian
yang mengarah pada pengembangan Blue Economy di Indonesia. Salah satu upaya riil adalah
dengan kembali menegaskan arah Pendidikan Ekonomi dengan mengacu pada KKNI yang
telah dicanangkan Pemerintah sebagai bagian dari upaya peningkatan mutu dan relevansi
Pendidikan Tinggi di Indonesia. Bagan dari pengembangan KKNI sebagai acuan terlihat pada
gambar berikut:
Muhammad Rahmatullah
510
Gambar 2 Struktur Kerja KKNI pada Jenjang Perguruan TinggiGambar
III. SIMPULAN
Melalui pengembangan berbagai aspek terkait Tri Dharma Perguruan Tinggi
khususnya di Pendidikan Ekonomi dengan mengacu pada KKNI, diharapkan mampu menjadi
salah satu penjawab bagi penyediaan SDM yang handal dalam rangka penguatan pilar
pelaksanaan Blue Economy di Indonesia. Ketika penguatan pada sektor ini bisa dilaksanakan,
pada kelanjutannya akan mendorong terlaksananya Blue Economy secara optimal yang pada
akhirnya mampu mewujudkan cita-cita bangsa untuk mengembalikan kembali kekuatan laut
(sea power) di Indonesia sebagai aplikasi riil pengembangan kembali Indonesia sebagai Negara
Maritim yang disegani di mata dunia.
DAFTAR PUSTAKA
Anonim. 2013. Masih Lambat, Penyerapan Lulusan Sarjana di Indonesia. Diunduh darihttp://
www.unpad.ac.id/2013/09/masih-lambat-penyerapan-lulusan-sarjana-di-indonesia/
pada 2 Desember 2013.
Anonim. 2012. Rencana Strategis Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi 2010-2014. Dirjen
Dikti Kemdikbud: Jakarta.
Anonim. 2012. Rencana Strategis Kementerian Kelautan dan Perikanan Tahun 2010-2014.
Kementerian Kelautan dan Perikanan: Jakarta.
Anonim. 2012. Revisi Rencana Strategis Direktorat Jenderal Pendidikan Menengah (Renstra
Ditjen Dikmen) 2010- 2014. Dirjen Dikmen Kemdikbud: Jakarta.
Muhammad Rahmatullah
511
Anonim. 2012. Tahun 2013 Blue Economy Mulai Diterapkan. Diunduh dari http://www.kkp.go.id/
index.php/arsip/c/8377/TAHUN-2013-BLUE-ECONOMY-MULAI-DITERAPKAN/ pada
2 Desember 2013.
Anonim. 2011. Kerangka Kualifikasi Nasional Indonesia, Indonesian Qualification Framework.
Direktorat Belmawa Dirjen Dikti Kemdikbud: Jakarta. Diunduh dari http://www.dikti.go.id/
files/atur/KKNI/Penyusunan-LO-Prodi.pdf pada 29 November 2013.
Conathan, Michael and Kroh, Kiley. 2012. The Foundations of a Blue Economy CAP Launches
New Project Promoting Sustainable Ocean Industries. Center for American Progress:
USA.
Nattasya, Gesha. 2012. Blue Economy Bukan Sekedar Green Economy di Laut. Diunduh dari
http://regional.kompasiana.com/2012/12/12/blue-economy-bukan-sekedar-green-
economy-di-laut-510382.html pada 29 November 2013.
Pusjianmar, tanpa tahun. Konsep Negara Maritim dan Ketahanan Nasional. Diunduh dari http:/
/pusjianmar-seskoal.tnial.mil.id/Portals/0/Konsep%20Negara%20Maritim
%20Dan%20Ketahanan%20Nasional..pdf pada 29 November 2013.
Widyasari. 2013. Potensi Maritim Indonesia Besar. Diunduh dari http://www.jurnas.com/news/
110647/Potensi_Maritim_Indonesia_Besar/1/Ekonomi/Ekonomi pada 2 Desember
2013.
Muhammad Rahmatullah
512
PENDIDIKAN IPS BERWAWASAN MULTIKULTUR:
SEBAGAI UPAYA MEMBANGUN KARAKTER BANGSA
Rasimin
STAIN Salatiga
ABSTRAK
Artikel ini lebih dalam mengupas tentang makna pendidikan IPS yang berwawasan multikultur
dalam membentuk karakter bangsa. Ilmu pengetahuan sosial merupakan kehidupan sosial
manusia di masyarakat. Aspek kehidupan sosial apapun yang dipelajari, baik yang berhubungan
dengan sosial, ekonomi, budaya, kejiwaan, sejarah, geografi, dan politik, semuanya bersumber
dari masyarakat. Oleh sebab itu masyarakat bisa dikatakan sebagai laboratorium demokrasi
bagi pembelajaran ilmu pengetahuan sosial. Beragam kehidupan sosial yang kita pelajari,
tidak akan lepas dari kehidupan masyarakat atau bersumber dari mayarakat. Secara sederhana
dapat dikatakan bahwa fungsi ilmu pengetahuan sosial sebagai pendidikan adalah membina
siswa menjadi warga negara yang baik yang memiliki pengetahuan keterampilan dan kepedulian
sosial yang berguna bagi dirinya sendiri serta bagi masyarakat dan negara. Pendidikan sebagai
sarana untuk membina dan meningkatkan jati diri bangsa untuk mengembangkan seseorang
sehingga sanggup mengembangkan potensi yang berasal dari fitrah insani, dari Allah SWT.
Pembinaan jati diri akan mendorong seseorang memiliki karakter yang tangguh yang tercermin
pada sikap dan perilakunya.
Kata Kunci: Pendidikan IPS, Multikultural dan Karakter Bangsa.
I. PENDAHULUAN
Dalam pembahasan yang lebih jauh bahwa secara praktis disadari atau tidak, ilmu
pengetahuan sosial merupakan sesuatu yang tidak asing bagi setiap orang. Dalam
perkembangan hidup manusia sejak lahir sampai dewasa tidak terlepas dari kehidupan
bermasyarakat. Proses kehidupan manusia selalu berhubungan dengan sesama manusia
dan mahkluk hidup lainnya. Hal ini disebabkan karena manusia pada hakekatnya sebagai
makluk sosial. Sejak kanak-kanak, pada prinsipnya mereka telah melakukan hubungan dengan
orang lain, misalnya dengan ibu maupun anggota keluarga yang lain. Oleh sebab itu dapat
dikatakan bahwa ilmu pengetahuan sosial merupakan pengalaman hidup manusia yang
dialaminya sejak lahir. Hubungan manusia sejak lahir yang merupakan hubungan sosial itu
telah terjadi sejak dalam keluarga, walaupun hubungan tersebut terjadi secara sepihak. Tanpa
adanya hubungan sosial seorang bayi sulit mengalami perkembangan menjadi manusia
Rasimin
513
dewasa secara sempurna.
Berkaitan dengan pertumbuhan jasmani dan ruhani sejalan dengan bertambahnya
umur manusia, pengenalan dan pengalaman manusia terhadap kehidupan masyarakat yang
ada disekitarnya juga semakin berkembang dan meluas. Pengenalan dan pengalaman
manusia diluar dirinya tidak hanya terbatas pada orang-orang yang ada dalam keluarga saja,
tetapi juga meliputi orang-orang yang berada dilingkungannya, seperti teman sepermainan,
tetangga, warga masyarakat, dan seterusnya. Pengenalan dan pengalaman manusia dengan
lingkungannya itulah dinamakan hubungan sosial, yang dialaminya secara berangsur-angsur,
semakin mendalam dan meluas. Berawal dari pengenalan dan pengalaman hidup, hubungan
sosial akan menumbuhkan pengetahuan tentang seluk-beluk hidup bermasyarakat. Dari
sinilah kebutuhan hidup tertentu, sifat-sifat manusia, tempat yang pernah dikunjungi, hal-hal
yang baik maupun buruk, hal-hal yang salah maupun yang benar, yang semuanya terdapat
dalam kehidupan bermasyarakat akan dapat ditentukan oleh manusia selaku makluk sosial.
Pengetahuan yang telah melekat dalam diri seseorang, maupun yang melekat pada diri kita
masing-masing dalam pengenalan dan pengalaman hidup di masyarakat itulah yang kita
kenal dengan sebutan ilmu pengetahuan sosial.
Hadirnya kita sebagai umat manusia yang diikuti adanya hubungan, pergaulan,
pemenuhan kebutuhan, dan sebagainya yang ada dalam lingkungan hidup bermasyarakat,
telah membentuk ilmu pengetahuan sosial pada diri setiap individu. Sehingga dapat dikatakan
bahwa apa yang kita alami dalam kehidupan masyarakat, baik yang dilakukan secara sadar
maupun tidak sadar, akan membentuk ilmu pengetahuan yang secara konseptual disebut
dengan istilah ilmu pengetahuan sosial.
Walaupun secara prinsip ilmu pengetahuan sosial telah dialami manusia sejak lahir,
namun seringkali kita baru menyadari bahwa ilmu pengetahuan sosial tersebut baru dapat
diketahui dan dipahami secara jelas setelah secara formal menuntut ilmu di bangku sekolah
atau melalui belajar secara mandiri. Secara praktis dapat dikatakan bahwa pengetahuan
yang melekat pada diri seseorang maupun orang lain dapat terangkum dalam ilmu
pengetahuan sosial. Ini mengandung pengertian bahwa segala peristiwa yang dialami manusia
di masyarakat telah membentuk ilmu pengetahuan yang lebih kita kenal dengan sebutan ilmu
pengetahuan sosial. Secara umum dapat dikatakan bahwa kehidupan sosial manusia di
masyarakat dapat berakibat secara majemuk, yang meliputi berbagai aspek kehidupan,
misalnya hubungan sosial, ekonomi, sosial, budaya, politik, psikologi, sejarah, dan geografi
serta berbagai aspek lain yang berhubungan dengan kehidupan manusia dalam masyarakat.
Karena manusia dalam kehidupan sosialnya beraspek majemuk, berarti kehidupan sosial
terdiri dari berbagai segi yang berkaitan satu dengan yang lain. Oleh sebab itu secara rasional,
empiris, dan sistematis dapat menjadi bukti bahwa manusia bersifat multi aspek, sehingga
manusia dalam kehidupan sosial merupakan hubungan aspek-aspek ekonomi berupa
sandang, papan, dan pangan.
Beragamnya masyarakat Indonesia yang tinggal di wilayah pulau-pulau yang tersebar
berjauhan menunjukan kemajemukan masyarakat indonesia. Indonesia merupakan negara
kepulauan yang masyarakat mendiami setiap pulau dan memiliki ciri khas yang berbeda-
Rasimin
514
beda. Banyaknya etnis suku bangsa di Indonesia karena itu merupakan hal wajar. Menerima
kenyataan perbedaan inilah yang perlu dipahami bersama. Karena itu, usaha memerlakukan
dan membentuk keseragaman bukanlah hal yang dapat dibenarkan. Meski demikian, semua
perbedaan haruslah diikat oleh kesatuan sebagai bangsa yang satu bangsa Indonesia.
Semangat Bhineka Tunggal Ika yang sering dimaknai sebagai berbeda-beda tetapai tetap satu
juga sesungguhnya memberi ruang semua perbedaan itu. Kesadaran untuk satu sebagai
bangsa Indonesia tetap menjadi muara segala perbedaan tersebut. Konsep ini haruslah menjadi
dasar pijak pendidikan nasional. Pendidikan nasional dikembangkan dengan prinsip
menghargai dan memberi ruang perbedaan-perbedaan di masing-masing daerah dan lembaga
pendidikan. Meski demikian, segala perbedaan budaya lembaga pendidikan haruslah diikat
oleh pembentukan pola pikir, tindakan, dan karakter yang mencerminkan manusia Indonesia.
Kondisi tersebut di atas dilengkapi pula dengan sistem pemerintahan yang kurang
memperhatikan pembangunan kemanusiaan para era terdahulu, kebijakan Negara Indonesia
didominasi oleh kepentingan ekonomi dan stabilitas nasional. Sektor pendidikan politik dan
pembinaan bangsa kurang mendapat perhatian. Pada saat itu, masyarakat takut berbeda
pandangan, sebab kemerdekaan mengeluarkan pendapat tidak mendapat tempat; kebebasan
berpikir ikut terpasung’ pembinaan kehidupan dalam keragaman nyaris berada pada titik nadir.
Tiba-tiba sejak dengan adanya Otonomi Daerah “semangat kedaerahan” menjadi mengemuka
daripada “semangat untuk bersatu”. Ikatan berdampingan antaretnis dan agama
dikesampingkan, hanya untuk melepas akumulasi kecemburuan sosial. Perbedaan suku,
agama, RAS, dan antargolongan (SARA) sebagai kondisi nyata yang diwarisi turun temurun,
yang merupakan unsur-unsur kekayaan yang mewarnai khasanah budaya bangsa, menjadi
momok yang menakutkan, sekaligus ancaman potensial bagi eksistensi bangsa dan menipisnya
rasa nasionalisme.
Karakter bangsa Indonesia diyakini memang betul-betul ada, karena itu banyak yang
berkata terjadi kemerosotan karakter bangsa. Kalau memang benar sudah ada, kenapa para
pembicara mulai dari guru sekolah dasar sampai menteri berkata tentang pembentukan karakter
bangsa? Jika memang benar sedang atau masih perlu dibentuk berarti dalam realitasnya
karakter bangsa tidak pernah ada atau belum terbentuk. Jika memang benar sudah terbentuk,
apa wujudnya, dari nilai-nilai apa dia dibentuk, apakah Pancasila ataukah nilai agama-agama.
Jika dari nilai Pancasila, kapan dia dibentuk, siapa yang membentuk, dimana dibentuk, dan
bagaimana mereka membentuk. Jika sumbernya dari nilai agama-agama, lalu agama mana
yang dominan, kapan dan oleh siapa nilai agama-agama digunakan untuk membentuk karakter
bangsa. Apa wujud karakter bangsa yang terbentuk oleh nilai agama-agama, tentu tidak cukup
hanya berkata latah: “Kita bangsa Indonesia menjunjung tinggi nilai-nilai ketimuran”.
Baik Pancasila maupun agama-agama, keduanya mewariskan sejarah yang kelam,
sehingga tak masuk akal jika dikatakan telah menjadi pembentuk karakter bangsa. Pancasila
dalam realitasnya dianggap belum sempurna, sehingga sejak awal kemerdekaan sampai
sekarang eksistensinya selalu dirongrong oleh kelompok Islam politik garis keras untuk
digantikan dengan Syariat Islam. Demikian pula agama-agama, tak satu pun ada yang mau
mengalah, agama-agama langit menganggap lebih tinggi dan lebih mulia daripada agama-
Rasimin
515
agama bumi. Sesama agama langit bahkan berperang untuk memperebutkan pengaruh
hegemoni dunia. Agama-agama bumi hanya menjadi penonton dan sekaligus objek rebutan
karena dianggap memuja setan.
Jika Pancasila dan agama-agama tidak pernah membentuk karakter bangsa, jangan-
jangan memang benar karakter bangsa Indonesia belum terbentuk. Tampaknya memang
benar demikian adanya. Jika tak percaya, cobalah berdiri di sebuah trafiic light dalam keadaan
listrik mati. Lalu lihat apa yang terjadi? Apakah bangsa yang berkarakter adiluhung namanya
jika lalu lintas berubah bagai hutan belantara. Kendaraan bermesin lari kencang tak menoleh
kiri kanan, hanya berhenti sesaat manakala terjadi tabrakan, dan setelah upacara seremonial
(berkelahi atau berdamai dengan polisi), kondisi hiruk pikuk kembali seperti semula. Atau
kalau kurang puas, coba berdiri di garis zebra cross, sampai kaki kesemutan pun tak akan ada
pengendara yang mau berhenti dan mempersilahan Anda lewat. Bisa jadi Anda bahkan jadi
korban tabrak lari.
Rasimin
516
lmu pengetahuan sosial yang memiliki fungsi membina siswa menjadi warga negara
yang baik dan memiliki pengetahuan, keterampilan dan kepedulian sosial, handaknya harus
disesuaikan dengan tata nilai moral yang berlaku di masyarakat. Islam menghendaki tata nilai
-moral masyarakat lebih teratur dan harmonis dengan menghargai keadilan.
Pendidikan ilmu pengetahuan sosial berfungsi untuk mewariskan nilai-moral dalam
masyarakat agar dapat menjunjung tinggi kemuliaan harkat dan derajat manusia. Suatu
masyarakat yang melanggar aturan agama dan hak-hak asasi manusia akan menanggung
akibat yang telah diperbuatnya. Inilah yang menjadi tugas utama guru ilmu pengetahuan sosial
di tengah masyarakat. Oleh sebab itu, mengajar ilmu pengetahuan sosial dengan ikhlas juga
dapat dikatakan sebagai dakwah Islamiyah, karena di dalamnya terkandung cara-cara
menyampaikan nilai moral agama Islam. Dalam pembelajaran ilmu pengetahuan sosial, nilai
moral siswa sebagai peserta didik dapat dilihat dalam perilaku kesehariannya. Siswa berbuat
jujur dan menghargai sesama temannya, yang dibarengi dengan pemahaman. Kesadaran
terhadap hal itu dapat menanamkan nilai moral dalam dirinya.
Perilaku bangsa merupakan soft skill, yaitu seperangkat kemampuan yang
mempengaruhi individu dalam berinteraksi dengan orang lain. Soft skill perlu dipelajari dan
dilatihkan yang dalam proses sosiologi disebut proses sosialisasi, sehingga menjadi bagian
dari kepribadian bangsa. Karakter dan jatidiri bangsa sangat penting disosialisasikan pada
peserta didik sejak dini untuk membentuk perilaku bangsa. Ada sebuah ungkapan “jumlah
anak-anak hanya dua puluh lima persen dari total penduduk suatu bangsa, tetapi mereka telah
dapat menentukan seratus persen masa depan bangsa.” Hal itu bermakna bahwa maju
mundurnya suatu bangsa sangat bergantung pada kualitas generasi muda sebagai penerus
kelangsungan bangsa. Dengan demikan adalah hal yang sangat penting merintis implementasi
pendidikan multikultural di sekolah dalam membangun perilaku bangsa agar pada masa yang
akan datang generasi penerus memiliki perilaku yang mampu dan cerdas dalam menyikapi
kemajemukan yang mereka dapatkan dalam kehidupan negara Indonesia yang multikultural.
Nieto (2000: 140) mengungkapkan penting untuk menguji bagaimana budaya dapat
mempengaruhi belajar dan prestasi di sekolah. Karena setiap individu dibesarkan dalam
lingkungan budayanya masing-masing, yang mungkin saja membuat mereka berbeda dalam
cara berpikir, minat, tingkah laku, bahasa, maupun kemampuan akademik. Perbedaan-
perbedaan ini bila tidak dikelola dengan baik dapat menjadi hambatan psikologis maupun
sosiologis pada warga sekolah dan tidak jarang dapat menimbulkan konflik dan praktek
diskriminasi di sekolah, baik oleh pengurus sekolah, guru maupun para siswa. Warga sekolah
dapat saja berpandangan sempit ataupun luas dalam menghadapi perbedaan, hal ini banyak
bergantung dari iklim dan kultur sekolah yang ada dalam menyikapi keragaman.
Dalam konteks kehidupan yang multikultural, pemahaman yang berdimensi
multikultural harus dihadirkan untuk memperluas wacana pemikiran manusia yang selama ini
masih mempertahankan “egoisme” kebudayaan, agama, kelompok. Memelihara pluralitas
kebudayaan atau keragaman budaya merupakan interaksi sosial dan politik antara orang-orang
yang berbeda cara hidup dan berpikirnya dalam suatu masyarakat. Secara ideal, pluralisme
Rasimin
517
kebudayaan atau multikulturalisme berarti penolakan terhadap kefanatikan, purbasangka,
rasisme, tribalisme, dan menerima secara inklusif keanekaragaman yang ada.
Sikap saling menerima, menghargai nilai, budaya, keyakinan yang berbeda tidak
otomatis akan berkembang sendiri. Apalagi karena dalam diri seseorang ada kecenderungan
untuk mengharapkan orang lain menjadi seperti dirinya (Ruslan Ibrahim, 2008: 117). Sikap
saling menerima dan menghargai akan cepat berkembang bila dilatihkan dan dididikkan pada
generasi muda (siswa) dalam sistem pendidikan. Melalui pendidikan, sikap penghargaan
terhadap perbedaan direncanakan dengan baik, generasi muda dilatih dan disadarkan akan
pentingnya penghargaan pada orang lain dan budaya lain, bahkan dilatihkan dalam hidup,
sehingga sewaktu mereka dewasa sudah punya sikap dan perilaku itu. Oleh sebab itu, sangat
penting nilai-nilai dan pendidikan multikultural mewarnai proses belajar di kelas.
Hal terpenting yang perlu dicatat dalam pendidikan multikultural adalah seorang guru
tidak hanya dituntut menguasai dan mampu secara profesional mengajar mata pelajaran atau
mata kuliah yang diajarkan. Lebih dari itu, seorang pendidik juga harus mampu menanamkan
nilai-nilai dari pendidikan multikultural seperti demokrasi, humanisme, keadilan gender,
kemampuan berbeda pendapat, dan pluralisme budaya. Dasar psikologi pendidikan multikultural
menekankan pada perkembangan pemahaman diri yang lebih besar, konsep diri yang lebih
positif dan kebanggaan pada identitas pribadi. Siswa merasa baik tentang dirinya karena terbuka
dan reseptif (menerima) dalam berinteraksi dengan orang lain dan menghormati budaya dan
identitasnya. Bennet (1990) berpendapat ada hubungan timbal balik antara konsep diri, prestasi
akademik, identitas individu, etnis, dan budaya.
Adapun Howard (1993) berpendapat bahwa pendidikan multikultural memberi
kompetensi multikultural. Pada masa awal kehidupan siswa, waktu banyak dilalui di daerah
etnis dan kulturnya masing-masing. Kesalahan dalam mentransformasi nilai, aspirasi, etiket
dari budaya tertentu, sering berdampak pada primordialisme kesukuan, agama, dan golongan
yang berlebihan. Melalui pendidikan multikultural sejak dini diharapkan anak mampu menerima
dan memahami perbedaan budaya yang berdampak pada perbedaan usage, folkways, mores,
dan costums. Dengan pendidikan multikultural peserta didik mampu menerima perbedaan,
kritik, dan memiliki rasa empati, toleransi pada sesama tanpa memandang golongan, status
sosial, agama, dan kemampuan akademik (Farida Hanum, 2005). Hal senada juga ditekankan
oleh Musa Asya’rie (2004) bahwa pendidikan multikultural bermakna sebagai proses pendidikan
cara hidup menghormati, tulus, toleran terhadap keragaman budaya.
Rasimin
518
pilkada dibeberapa daerah). Akan tetapi, bersamaan dengan terjadinya kerusuhan di berbagai
daerah di nusantara, tingkat migrasi ke daerah yang relatif aman menjadi semakin tinggi,
sehingga sangat beralasan bila fenomena ini perlu diantisipasi secara positif. Pada titik inilah
diperlukan strategi pemberdayaan masyarakat dalam dinamika multikultural.
Satu alasan yang sering dikemukakan sehubungan dengan ketiadaan konflik horizontal
yang diakibatkan oleh multibudaya adalah kadar toleransi yang tinggi yang dianut oleh
masyarakat. Di samping itu, adanya ikatan adat yang begitu kuat, sehingga konflik horisontal
bisa diantisipasi sedini mungkin. Bila ditelusuri lebih jauh jawaban ini, maka akan didapatkan
jawaban tentang mengapa kadar toleransi orang dalam etnis tertentu begitu kuat?
Spiritualitas yang dianut masyarakat etnis tertentu mengakomodasikan perbedaan
dan berbarengan dengan itu menciptakan visi kesejahteraan umat manusia secara bersama.
Akar pandangan ini terdapat dalam semangat toleransi yang tinggi secara implisit dalam perilaku
beragama, terutama tentang hubungan manusia dengan Tuhan. Radhakrishnan dalam buku
Indian Philosophy menyebutkan bahwa terdapat keselarasan yang seimbang antara Tuhan
dan manusia dan manusia adalah ciptaan Tuhan. Dunia seluruhnya tercipta karena
pengorbanan Tuhan. Di dalam uraian itu seluruh dunia digambarkan sebagai ada yang tunggal
dengan keleluasaan dan keagungan tak terbandingkan, dihidupkan oleh satu roh dan segala
bentuk kehidupan terangkul dalam substansinya. Dengan nada dasar yang sama Harold Coward
mengajukan postulat yang bersifat historik dan metafisik dalam menujukkan fenomena pluralisme.
Paham spiritualitas merupakan perkembangan lebih lanjut dari perkembangan multi
budaya di Indonesia. Spiritualitas mengalami integrasi di saat masuknya kebudayaan lain sejak
zaman Majapahit. Pada periode inilah bisa dikatakan mengalami peralihan dari masyarakat
monokultur menjadi multikultur. Artinya integrasi yang menjadikan multibudaya adalah terjadinya
integrasi yang berada pada wilayah paling dasar dalam diri manusia yaitu spiritualitas.
Fenomena multikultural di Indonesia telah cukup memberikan gambaran bahwa untuk
merumuskan sebuah pola tindakan dan pendidikan multikultural. Perlu kesadaran untuk
memandang dan memperlakukan orang lain seperti layaknya memperlakukan diri sendiri.
Malahan dalam paham Advaita Vedanta (monisme) diterangkan bahwa manusia secara esensial
sama, bukan secara fenomena sama. Artinya, Advaita Vedanta sangat menyadari akan adanya
perbedaan dan pluralisme. Karena itu perlu adanya kemauan bersama sebagai bagian dari
komunitas multikultural untuk mengaktualisasikannya dalam bentuk praksis dan tindakan nyata.
Jika masyarakat telah memiliki kemauan, kesadaran, dan kesungguhan untuk hidup bersama
sebagai bagian dari komunitas multikultural, maka haruslah kita berpikir bahwa dengan
komunitas multikultural kita akan menggapai pembaharuan.
Rasimin
519
coexistence) dalam perbedaan kultur yang ada, baik secara individual maupun secara kelompok
dalam sebuah masyarakat. Masyarakat multikultural yang demokratis di Indonesia yang sehat tidak
bisa dibangun secara taken for granted atau trial and error, sebaliknya harus diupayakan secara
sistematis, programatis, integrated dan berkesinambungan. Salah satu strategi dan wadahnya adalah
melalui pendidikan kewarganegaraan. Pendidikan Kewarganegaraan yang dimaksudkan di sini
adalah Pendidikan Kewarganegaraan dalam arti luas (citizenship education) yang memiliki perspektif
kewarganegaraan dunia abad ke-21 yang terkenal dengan sebutan kewarganegaraan multidimensi
yang salah satu cirinya memiliki karakteristik multikultural (Cogan, 1998:116).
Menurut Winataputra (2008: 30), Indonesia dikonsepsikan dan dibangun sebagai
multicultural nation-state dalam konteks negara kebangsaan Indonesia modern, bukan sebagai
monocultural nation state. Hal itu dapat dicermati dari dinamika praksis kehidupan bernegara Indonesia
sejak Proklamasi Kemerdekaan Indonesia 17 Agustus 1945 sampai saat ini dengan mengacu pada
konstitusi yang pernah dan sedang berlaku, yakni UUD 1945, Konstitusi RIS 1949, dan UUDS
1950, serta praksis kehidupan bernegara dan pada setiap jamannya itu.
Lebih lanjut menurut Winataputra (2008:31) pendidikan ilmu pengetahuan sosial untuk
Indonesia, secara filosofik dan substantif-pedagogis andragogis, merupakan pendidikan untuk
memfasilitasi perkembangan pribadi peserta didik agar menjadi warga negara Indonesia yang
religius, berkeadaban, berjiwa persatuan Indonesia, demokratis dan bertanggung jawab, dan
berkeadilan, serta mampu hidup secara harmonis dalam konteks multikulturalisme-Bhinneka
Tunggal Ika. Dalam konteks yang demikian, Pendidikan IPS memiliki peranan yang sangat
penting dalam upaya mengembangkan masyarakat multikultural.
Namun demikian kenyataan praksis di lapangan Pendidikan IPS yang merupakan ujung
tombak dan bagian dari proses membangun cara hidup multikultural untuk memperkuat wawasan
kebangsaan dan penghargaan akan keragaman justru belum menggembirakan, mulai kehilangan
dimensi multikulturalnya, bahkan kehilangan aktualisasinya karena terjebak pada penguasaan
pengetahuan (knowledge) belaka dengan membiarkan aspek afeksi (attitude) pendidikannya.
Pembelajaran IPS umumnya dilakukan secara parsial dan tidak mengakomodir nilai-nilai
multikulturalisme dan kearifan lokal masyarakat setempat. Padahal seharusnya IPS sebagai wahana
pendidikan multikultural dapat mengembangkannya secara lebih sistematis dan komprehensif.
Sementara itu, kearifan lokal merupakan bagian dari konstruksi budaya. Haba, (2007: 330)
mengatakan bahwa kearifan lokal mengacu pada berbagai kekayaan budaya yang tumbuh
dan berkembang dalam sebuah masyarakat yang dikenal, dipercayai dan diakui sebagai
elemen-elemen penting yang mampu mempertebal kohesi sosial diantara warga masyarakat.
Berdasarkan inventarisasi Haba (2007: 334-335) setidaknya ada enam signifikansi
serta fungsi kearifan lokal jika hendak dimanfaatkan sebagai salah satu bentuk pendekatan
dalam menyelesaikan sebuah konflik. Pertama, sebagai penanda identitas sebuah komunitas.
Kedua, elemen perekat (aspek kohesif) lintas warga, lintas agama dan kepercayaan. Ketiga,
kearifan lokal tidak bersifat memaksa atau dari atas (top down), tetapi sebuah unsur kultural
yang ada dan hidup dalam masyarakat. Karena itu, daya ikatnya lebih mengena dan bertahan.
Keempat, kearifan lokal memberikan warna kebersamaan bagi sebuah komunitas. Kelima,
Rasimin
520
local wisdom akan mengubah pola pikir, dan hubungan timbal balik individu dan kelompok,
dengan meletakkannya di atas commond ground/kebudayaan yang dimiliki. Keenam, kearifan
lokal dapat berfungsi mendorong terbangunnya kebersamaan, apresiasi sekaligus sebuah
mekanisme bersama untuk menepis berbagai kemungkinan yang meredusir, bahkan merusak,
solidaritas komunal, yang dipercayai berasal dan tumbuh di atas kesadaran bersama, dari
sebuah komunitas terintegrasi.
Keenam fungsi kearifan lokal yang diuraikan di atas, menegaskan pentingnya
pendekatan yang berbasis pada nilai-nilai atau kearifan lokal (local wisdom), dimana sumber-
sumber budaya menjadi penanda identitas bagi kelangsungan hidup sebuah kelompok maupun
aliran kepercayaan. Konflik multikultural yang menyertainya pun juga akan mampu dikelola
secara arif dan tidak selalu melibatkan politik kekuasaan sebagaimana yang selama ini
dipraktikkan melalui hubungan agama dan negara di Indonesia. Menurut Abdullah (2003: 8)
dalam konteks ini perlu adanya transformasi ruang dari pendekatan “dari luar” (global) ke
pendekatan “dari dalam” (lokal) dimana dinamika konflik antara agama dan kepercayaan
serupa, dengan menyadarkan pada nilai-nilai lokal (local values).
Motto Bhineka Tunggal Ika sebenarnya mengakomodasi atas keragaman dalam
masyarakat bangsa Indonesia dalam suku, ras, bahasa, adat istiadat, dan agama. Ironisnnya
keragaman dalam kesatuan budaya bangsa dalam perjalanan kemerdekaan negara dan bangsa
lebih ditekankan pada aspek kesamaan untuk membentuk solidaritas bangsa. Implikasinya,
budaya lokal yang kaya dengan perbedaan banyak mengalami erosi atau pengikisan baik
secara kuantitas maupun kualitas terutama penggunaan bahasa daerah mengalami
kemunduran maupun kehilangan daya gunanya secara pragmatik (Wiriaatmadja, 2002: 221).
Pengembangan nilai-nilai budaya lokal dan primordial seperti stereotipe, etnosentrisme
dan sebagainya, memang dapat menimbulkan perpecahan yang berbahaya. Tetapi konsep
primordialisme itu sendiri memerlukan kajian yang lebih proporsional. Adanya ikatan “lokal-tradisional”,
sering dirasakan sebagai suatu realitas sosial-kultural itu diperlukan sebagai pengisi identitas diri
dan kelompoknya yang terasa hampa, memerlukan keakraban karena lebih bersifat naturalistik dan
bukan rekayasa. Apalagi akibat proses globalisasi, kita sering terasa “sepi” dan memerlukan ikatan
komunitas lama yang akrab (Abdullah, 1999: 19).
Setiap komunitas (etnis, agama, daerah) pasti memiliki nilai-nilai luhur tertentu yang
dipandang baik serta dijadikan aturan dan norma sosial. Nilai-nilai ini selanjutnya mengikat masyarakat
dalam sebuah komunitas dan menjamin mereka untuk hidup dengan damai, harmonis, bersahabat,
saling menghargai dan menghormati, saling membantu satu sama lain. Kenyataan ini mesti disadari
sebagai salah satu kekuatan alamiah yang tumbuh dari dan untuk masyarakat itu sendiri. Karenanya,
kekuatan ini sangat baik dan penting untuk diperkuat kembali posisinya dalam rangka mewujudkan
kedamaian dalam hubungan sosial, di samping penegakan hukum positif dan manajemen
penyelenggaraan pemerintahan nasional.
Mengingat begitu penting dan strategisnya nilai kearifan lokal dalam pembangunan
bangsa, maka sangat wajar apabila dalam pendidikan IPS sebagai wahana pendidikan
multikultural difokuskan pada penggalian nilai-nilai kearifan lokal yang hidup di dalam
masyarakat dan budaya Indonesia yang ber-Bhinneka Tunggal Ika.
Rasimin
521
Dilihat dari segi Pendidikan IPS, tantangan tersebut belum dapat dijawab dengan
kurikulum yang ada. Modus dan isi pembelajaran pendidikan IPS selama ini menunjukkan
fenomena yang kurang menghargai dan mengeksplorasi nilai-nilai multikultural berbasis
kearifan lokal yang merupakan esensi kultur demokrasi di ruang-ruang kuliah dan di masyarakat
secara sinergis. Modus Pendidikan IPS selama ini kecenderungannya hanya terjadi di kelas,
sedangkan di masyarakat cenderung bertentangan atau bersifat paradoks. Isi Pendidikan IPS
juga hanya bersifat hafalan saja, kurang mengeksplor aspek afektif dan psikomotorik. Padahal
Pendidikan IPS sebagai bagian dari pendidikan nilai dan pendidikan karakter bangsa isinya
bukan untuk dihapalkan tetapi untuk dipahami dan dilaksanakan.
Dalam pembinaan moral dan karakter bangsa sangat terkait erat dengan peningkatan
kualitas pembangunan pendidikan dan peningkatan kesejahteraan masyarakat. Dalam kaitan
dengan penyelenggaraan pendidikan, maka pemerintah telah bertekad untuk menjadikan
pendidikan menjadi landasan utama dalam pembinaan dan penumbuhkembangkan karakter
positif bangsa. Untuk itu maka pemerintah telah menetapkan bahwa pembangunan pendidikan
harus diarahkan pada tiga hal pokok, yaitu: Pertama, pendidikan sebagai sarana untuk membina
dan meningkatkan jatidiri bangsa untuk mengembangkan seseorang sehingga sanggup
mengembangkan potensi yang berasal dari fitrah insani, dari Allah SWT. Pembinaan jatidiri
akan mendorong seseorang memiliki karakter yang tangguh yang tercermin pada sikap dan
perilakunya. Tanpa adanya jatidiri, suatu bangsa akan mudah terombang-ambing dan
kehilangan arah dari terpaan tantangan globalisasi yang bergerak cepat dewasa ini. Kedua,
pendidikan sebagai media utama untuk menumbuhkembangkan kembali karakter bangsa
Indonesia, yang selama ini dikenal sebagai bangsa yang ramah tamah, bergotong-royong,
tangguh, dan santun. Sehingga apabila karakter ini dapat kita bangun kembali, kita perkuat,
maka Insya Allah, kita akan mampu menghadapi setiap krisis dan tantangan masa depan.
Ketiga, pendidikan sebagai tempat pembentukan wawasan kebangsaan, yaitu perubahan
pola pikir warga bangsa yang semula berorientasi pada kesukuan menjadi pola pikir
kebangsaan yang utuh. Melalui wawasan kebangsaan dapat dibangun masyarakat yang
saling mencintai, saling menghormati, saling mempercayai, dan bahkan saling melengkapi
satu sama lain, dalam menyelesaikan berbagai masalah pembangunan. Merujuk apa yang
dikemukakan Parekh (1997), multikulturalisme meliputi tiga hal. Pertama, multikulturalisme
berkenaan dengan budaya; kedua, merujuk pada keragaman yang ada; dan ketiga, berkenaan
dengan tindakan spesifik pada respon terhadap keragaman tersebut. Akhiran “isme”
menandakan suatu doktrin normatif yang diharapkan bekerja pada setiap orang dalam konteks
masyarakat dengan beragam budaya. Proses dan cara bagaimana multikulturalisme sebagai
doktrin normatif menjadi ada dan implementasi gagasan-gagasan multikultural yang telah
dilakukan melalui kebijakan-kebijakan politis, dalam hal ini kebijakan-kebijakan pendidikan.
Lingkungan pendidikan adalah sebuah sistem yang terdiri dari banyak faktor dan
variabel utama, seperti kultur sekolah, kebijakan sekolah, politik, serta formalisasi kurikulum
dan bidang studi. Bila dalam hal tersebut terjadi perubahan maka hendaklah perubahan itu
fokusnya untuk menciptakan dan memelihara lingkungan sekolah dalam kondisi multikultural
yang efektif. Setiap anak seyogianya harus beradaptasi diri dengan lingkungan sekolah yang
Rasimin
522
multikultural. Tujuan utama dari pendidikan multikultural adalah mengubah pendekatan
pelajaran dan pembelajaran ke arah memberi peluang yang sama pada setiap anak. Jadi tidak
ada yang dikorbankan demi persatuan. Untuk itu, kelompok-kelompok harus damai, saling
memahami, mengakhiri perbedaan tetapi tetap menekankan pada tujuan umum untuk
mencapai persatuan. Siswa ditanamkan pemikiran lateral, keanekaragaman, dan keunikan itu
dihargai. Ini berarti harus ada perubahan sikap, perilaku, dan nilai-nilai khususnya civitas
akademika sekolah. Ketika siswa berada diantara sesamanya yang berlatar belakang berbeda
mereka harus belajar satu sama lain, berinteraksi dan berkomunikasi, sehingga dapat menerima
perbedaan di antara mereka sebagai sesuatu yang memperkaya mereka. Banks (dalam Sutarno,
2007), menyatakan bahwa pendidikan multikultural adalah ide, gerakan pembaharuan
pendidikan dan proses pendidikan yang tujuan utamanya untuk mengubah struktur lembaga
pendidikan supaya siswa baik pria maupun wanita, siswa berkebutuhan khusus, dan siswa
yang merupakan anggota kelompok ras, etnis, dan kultur yang bermacam-macam itu akan
memiliki kesempatan yang sama untuk mencapai prestasi akademik di sekolah.
Perbedaan-perbedaan pada diri anak didik yang harus diakui dalam pendidikan
multikultural, antara lain mencakup penduduk minoritas etnis dan ras, kelompok pemeluk
agama, perbedaan agama, perbedaan jenis kelamin, kondisi ekonomi, daerah/asal-usul,
ketidakmampuan fisik dan mental, kelompok umur, dan lain-lain (Baker, 1994: 11).
Melalui pendidikan multikultural ini anak didik diberi kesempatan dan pilihan
untuk mendukung dan memperhatikan satu atau beberapa budaya, misalnya sistem nilai,
gaya hidup, atau bahasa. Pendidikan multikultural paling tidak menyangkut tiga hal, yaitu: (1)
ide dan kesadaran akan nilai penting keragaman budaya, (2) gerakan pembaharuan pendidikan,
dan (3) proses.
a) Kesadaran Nilai Penting Keragaman Budaya
Kiranya perlu peningkatan kesadaran bahwa semua siswa memiliki karakteristik
khusus karena usia, agama, gender, kelas sosial, etnis, ras, atau karakteristik budaya tertentu
yang melekat pada diri masing-masing. Pendidikan multikultural berkaitan dengan ide bahwa
semua siswa tanpa memandang karakteristik budayanya itu seharusnya memiliki kesempatan
yang sama untuk belajar di sekolah. Perbedaan yang ada itu merupakan keniscayaan atau
kepastian adanya namun perbedaan itu harus diterima secara wajar dan bukan untuk
membedakan. Artinya, perbedaan itu perlu diterima sebagai suatu kewajaran dan perlu sikap
toleransi agar masing-masing dapat hidup berdampingan secara damai tanpa melihat unsur
yang berbeda itu membeda-bedakan.
b) Gerakan Pembaharuan Pendidikan
Ide penting yang lain dalam pendidikan multikultural adalah sebagian siswa karena
karakateristiknya, ternyata ada yang memiliki kesempatan yang lebih baik untuk belajar di
sekolah favorit tertentu, sedang siswa dengan karakteristik budaya yang berbeda tidak memiliki
kesempatan itu.
Beberapa karakteristik institusional dari sekolah secara sistematis menolak kelompok
untuk mendapat pendidikan yang sama, walaupun itu dilakukan secara halus, dalam arti
Rasimin
523
dibungkus dalam bentuk aturan yang hanya bisa dipenuhi oleh segolongan tertentu dan tidak
bida dipenuhi oleh golongan yang lain. Ada kesenjangan ketika muncul fenomena sekolah
favorit yang didomimasi oleh golongan orang kaya karena ada kebijakan lembaga yang
mengharuskan untuk membayar uang pangkal yang mahal untuk bisa masuk dalam kelompok
sekolah favorit itu.
Pendidikan multikultural bisa muncul berbentuk bidang studi, program dan praktik yang
direncanakan lembaga pendidikan untuk merespon tuntutan, kebutuhan, dan aspirasi berbagai
kelompok. Sebagaimana ditunjukkan oleh Grant dan Seleeten (dalam Sutarno, 2007), pendidikan
multikultural bukan sekedar merupakan praktik aktual atau bidang studi atau program pendidikan
semata, namun mencakup seluruh aspek-aspek pendidikan.
c) Proses Pendidikan
Pendidikan multikultural yang juga merupakan proses pendidikan yang tujuannya tidak
akan pernah terealisasikan secara penuh. Pendidikan multikultural adalah proses menjadi,
proses yang berlangsung terus-menerus dan bukan sebagai sesuatu yang langsung tercapai.
Tujuan pendidikan multikultural adalah untuk memperbaiki prestasi secara untuk bukan sekadar
meningkatkan skor.
Persamaan pendidikan, seperti halnya kebebasan dan keadilan, merupakan ide yang
harus dicapai melalui perjuangan keras. Perbedaan ras, gender, dan diskriminasi terhadap
orang yang berkebutuhan akan tetap ada, sekalipun telah ada upaya keras untuk menghilangkan
masalah ini. Jika prasangka dan diskriminasi dikurangi pada suatu kelompok, biasanya keduanya
terarah pada kelompok lain atau mengambil bentuk yang lain. Karena tujuan pendidikan
seharusnya bekerja secara kontinyu meningkatkan persamaan pendidikan untuk semua siswa.
Pemikiran-pemikiran tentang pendidikan multikultural, saat ini telah mengalami
perubahan jika dibandingkan konsep awal yang muncul pada tahun 1960-an. Beberapa di
antaranya membahas pendidikan multikultural sebagai suatu perubahan kurikulum, mungkin
dengan menambah materi dan perspektif baru. Yang lain berbicara tentang isu iklim kelas dan
gaya mengajar yang dipergunakan kelompok tertentu. Yang lain berfokus pada isu sistem dan
kelembagaan seperti jurusan, tes baku, atau ketidakcocokan pendanaan antara golongan
tertentu yang mendapat jatah lebih, sementara yang lain kurang mendapat perhatian. Sekalipun
banyak perbedaan konsep pendidikan multikultural, ada sejumlah ide yang dimiliki bersama
dari semua pemikiran dan merupakan dasar bagi pemahaman pendidikan multikultural, yaitu
sebagai berikut. (1) Penyiapan pelajar untuk berpartisipasi penuh dalam masyarakat antar-budaya.
(2) Persiapan pengajar agar memudahkan belajar bagi siswa secara efektif, tanpa
memperhatikan perbedaan atau persamaan budaya dengan dirinya. (3) Partisipasi sekolah
dalam menghilangkan kekurangpedulian dalam segala bentuknya. Pertama-tama dengan
menghilangkan kekurangpedulian di sekolahnya sendiri, kemudian menghasilkan lulusan yang
sadar dan aktif secara sosial dan kritis.
Rasimin
524
V. SIMPULAN
Ruang lingkup ilmu pengetahuan sosial adalah kehidupan sosial manusia di
masyarakat. Oleh karena itu, masyarakat inilah yang menjadi sumber utama dalam
pembelajaran ilmu pengetahuan sosial. Aspek kehidupan sosial apapun yang kita pelajari,
baik yang berhubungan dengan sosial, ekonomi, budaya, kejiwaan, sejarah, geografi, dan
politik, semuanya bersumber dari masyarakat. Oleh sebab itu masyarakat bisa dikatakan
sebagai laboratorium demokrasi bagi pembelajaran ilmu pengetahuan sosial. Beragam
kehidupan sosial yang kita pelajari, tidak akan lepas dari kehidupan masyarakat atau bersumber
dari mayarakat. Dengan demikian, materi ilmu pengetahuan sosial yang dapat dipelajari dan
menjadi sumber pembelajaran, tidak hanya sebatas pada kehidupan nyata sesaat di masyarakat,
melainkan juga cerita-cerita, novel, kisah-kisah tokoh terkenal juga dapat dijadikan sebagai
sumber belajar. Secara sederhana bahan bacaan berupa buku, surat kabar, majalah dan
makalah dapat dijadikan sebagai sumber materi pembelajaran ilmu pengetahuan sosial.
Sumber materi ilmu pengetahuan sosial dan sumber pembelajaran ilmu pengetahuan
sosial yang berharga serta memiliki nilai praktis dalam membina kepribadian bagi siswa.
Berita dan pemberitaan, baik yang berkaitan dengan kehidupan sosial setempat (lokal) maupun
pada tingkat daerah (regional), merupakan bahan pengetahuan yang juga dapat dipelajari
dalam ilmu pengetahuan sosial. Surat kabar, radio dan TV, merupakan sumber berita serta
pemberian yang sekaligus juga sebagai sumber materi dan sumber pemberitaan ilmu
pengetahuan sosial. Peristiwa kehidupan sosial ditempat lain yang tidak dapat secara langsung
kita saksikan dan amati, melalui sumber tadi, dapat kita ketahui, bahkan lebih jauh dari itu,
dapat pula kita analisis sebagai sumber materi ilmu pengetahuan sosial.
Di Indonesia pendidikan multikultural relatif masih belum dikenal sebagian besar
guru-guru (Farida Hanum dan Setya Raharja, 2006). Oleh sebab itu, sosialisasi tentang
pendidikan multikultural penting untuk terus dilakukan baik yang berbentuk seminar, penataan,
workshop, curah pendapat maupun penyediaan buku-buku penunjang. Masyarakat Indonesia
yang sangat beragam, sangat tepat dikelola dengan pendekatan nilai-nilai multikultural agar
interaksi dan integrasi dapat berjalan dengan damai, sehingga dapat menumbuhkan sikap
kebersamaan, toleransi, humanis, dan demokratis sesuai dengan cita-cita negara Pancasila.
DAFTAR PUSTAKA
Abdullah, H.M. Amin. 2003. Agama dan Pluralitas Budaya Lokal, Surakarta: Muhammadiyah
University Press.
Bennet, C. 1995. Comprehensive Multicultural Education: Theory and Practice. Boston: Allyn
and Bacon.
Baker G.C. 1994. Planning dan Organizing for Multicultural Instruction. (2nd). California:
Addison-Elsey Publishing Company.
Bhiku Parekh. 1996. The Concept of Multicultural Education in Sohen Modgil, et.al.(ed)
Multicultural Education the Intermitable Debate. London: The Falmer Press.
Rasimin
525
Farida Hanum. 2005. Fenomena Pendidikan Multikural pada Mahasiswa Aktivis UNY. Laporan
Penelitian. Lemlit UNY.
Hasyim Djalal. 2007. Jati Diri Bangsa dalam Ancaman Globalisasi, Pokok-Pokok Pikiran Guru
Besar Indonesia. Surabaya: Airlangga University Press.
Habba, John. 2007. Analisis SWOT Revitalisasi Kearifan Lokal dalam Resolusi Konflik dalam
Ammirachman, Alpha. Revitatalisasi Kearifan Lokal Studi Resolusi Konflik di
Kalimantan Barat, Maluku dan Poso, Jakarta: ICIP.
Haviland, William A. 1998. Antropologi 2. Terj. Jakarta: AirlanggaBanks, James A. 1993. An
Introduction to Multicultural Education. Boston: Allyn and Bacon.
Ross, Mac Howard. 1993. the Culture of Conflict: Interpretation and Interest in Comparative
Perspective. Connecticut: Yale University Press.
Ruslan Ibrahim. 2008. “Pendidikan Multikultural: Upaya Meminimalisir Konflik Dalam Era
Pluralitas Agama”. Jurnal Pendidikan Islam El-Carbawi, No. 1 vol. 1.
Sutarno. 2007. Pendidikan Multikultural. Jakarta: Ditjen Dikti.
Setya Raharja. 2006. “Pengembangan Model dan Modul Pendidikan Multikultural di SD”.
(Sebagai suplemen Mata Pelajaran IPS). Laporan Penelitian Hibah Bersaing. Lemlit
UNY.
Sumaatmadja, Nursid. 2008. Konsep Dasar IPS. Jakarta: Universitas Terbuka.
Somantri, Muhammad Numan. 2001. Menggagas Pembaharuan Pendidikan IPS. Bandung:
Rosda Karya.
Multikultural di SD. (Sebagai suplemen Mata Pelajaran IPS). Laporan Penelitian Hibah Bersaing
Tahun Kedua. Lemlit UNY.
Nietu, S. 2000. Affirming Disversity: The Sociopolitical Context of Multicultural Education. New
York: Addison Wesley Longman, Inc.
Winataputra. U.S. 2008. Multikulturalisme-Bhinneka Tunggal Ika dalam perspektif Pendidikan
Kewarganegaraan sebagai Wahana Pembangunan Karakter Bangsa Indonesia dalam
Dialog Multikultural. Bandung: Sekolah Pascasarjana UPI.
Wiriaatmadja, Rochiati 2002. Pendidikan Sejarah di Indonesia: Perspektif Lokal, Nasional, dan
Global, Bandung: Historia Utama Press.
Rasimin
526
PENDIDIKAN BUDI PEKERTI KI HADJAR DEWANTARA
DAN PENDIDIKAN KARAKTER THOMAS LICKONA
DALAM KONTEKS KURIKULUM 2013
Rizali Hadi
Universitas Lambung Mangkurat
ABSTRAK
Banyak yang mempertanyakan apakah budipekerti yang dicanangkan oleh Ki Hadjar Dewantara,
sama atau berbeda dengan karakter yang ditulis oleh Lickona. Apa yang menjadi sumbangan
keduanya dalam Kurikulum 2013. Dari kajian literatur ternyata bahwa keduanya adalah sama. Ki
Hadjar Dewantara mendefinisikan budipekerti sebagai upaya memberi tenaga (pekerti) kepada
budi (fikiran, perasaan dan kemauan), agar budi tidak sebatas angan-angan saja, agar nampak
konkret menjadi kenyataan. Ki Hadjar Dewantara banyak terpengaruh pada teori convergensi,
memandang anak sebagai selembar kertas yang telah ditulis penuh, namun tulisannya masih
suram. Tugas pendidik untuk menebalkan tulisan yang bernilai baik agar dapat mudah dibaca.
Membiarkan tulisan yang bernilai negatif tetap samar dalam keadaan semula. Ki Hadjar Dewantara
pemikirannya lebih mengarah kepada theosofi, padahal dalam perkembangannya arah
pendidikan lebih dekat kepada religius. Kenyataannya sekolah-sekolah yang pendidikan
karakternya berbasis agama lebih diterima oleh masyarakat, misalnya sekolah-sekolah
Muhammadiyah. Buku “babon” tentang karakter sekarang umumnya bersumber dari Thomas
Lickona, yang memilah karakter menjadi moral knowing, moral feeling dan moral action. Pemikiran
Lickona hampir seluruhnya berbasis sains, terutama psikologi pendidikan. Jauh sebelum kita
mengenal pendapat Lickona tersebut, Ki Hadjar Dewantara telah mengenalkan Tri Nga, yaitu
Ngerti, Ngerasa dan Ngelakoni, dan beberapa istilah lain yang kental untuk masyarakat Jawa.
Sekarang ini Kurikulum 2013 yang memuat pendidikan karakter berbasis agama (religius) dan
sikap sosial (attitude) seperti yang termuat dalam Kompetensi Inti (KI-1 dan KI-2). KI-1 adalah
kompetensi Inti tentang Sikap Religius, dan KI-2 adalah kompetensi tentang sikap sosial.
Diperlukan pemikiran bijak untuk menerima perubahan kurikulum untuk kemajuan.
Kata kunci: Budipekerti, karakter. Kurikulum 2013.
I. LATAR BELAKANG
Kita harus menyambut gembira upaya pemerintah yang kembali memperhatikan
pendidikan karakter, sikap, atau attitude sejak dari SD sampai PT. Pendidikan karakter telah
mendapat porsi yang memadai, dengan porsi yang banyak pada waktu di SD dan terus mengecil
atau dikurangi pada waktu di SMP, SMA/SMK dan PT. Dahulu (era Ki Hadjar Dewantara) dalam
rapor murid di SR (Sekolah Rakyat) terdapat satu nilai yaitu “Budipekerti”. Kemudian nilai
Rizali Hadi
527
tentang Budipekerti menghilang dari rapor siswa. Diperdebatkan tentang bagaimana cara
penilaiannya, karena ada yang berpendapat bahwa mengenai hal-hal yang bersifat afektif
(sikap) tidak dapat dinilai atau dituangkan dalam rapor. Masyarakat pendidikan telah menyadari
pendidikan karakter itu diperlukan sebagai penangkal perbuatan negatif.
Sekarang dalam Kurikulum 2013 kembali memasukkan pendidikan karakter serta
terdapat ratio pembelajaran antara sikap, keterampilan dan pengetahuan, pada masing-masing
tingkatan pendidikan (SD, SMP, SMA, PT) yang digambarkan sebagai berikut:
Gambar 1: Ratio Pembelajaran Pengetahuan, Keterampilan dan Sikap
PT
Pengetahuan
SMA/K
Keterampilan
SMP
SD Sikap
Terlihat bahwa pendidikan karakter (attitude) lebih banyak porsinya diberikan pada
waktu di SD, yang berangsur berkurang sampai ke Perguruan Tinggi. Sebaliknya Pengetahuan
(knowledge) dan Keterampilan (skill), sedikit diberikan pada waktu SD dan seterusnya makin
ditambah secara berangsur-angsur pula sampai ke Perguruan Tinggi. Keadaan ini
mengisyaratkan bahwa guru-guru harus memiliki kemampuan dalam menanamkan karakter
kepada siswa melalui mata pelajaran yang diasuhnya.
Pihak yang ikut menanamkan pendidikan karakter di sekolah bukan hanya guru mata
pelajaran. Semua yang ada di sekolah mulai dari Kepala Sekolah dan jajarannya, guru agama,
guru PKn, BP/BK, wali kelas, wali murid, secara bersama-sama. Semua pihak harus
melaksanakan fungsinya masing-masing, agar pendidikan karakter dimaksud dapat berjalan
sebagaimana yang diharapkan.
II. PERMASALAHAN
Selama ini guru-guru telah terpusat perhatiannya untuk mencari cara menyampaikan
materi pelajaran (knowledge dan skill) sesuai dengan tuntutan kurikulum dan silabi mata pelajaran
yang diasuhnya. Oleh sebab itu tidaklah heran kalau yang paling banyak bertanya adalah guru-
guru bersangkutan, tentang: pertama, bagaimana menanamkan nilai melalui mata pelajaran
yang menjadi tanggung jawabnya. Kedua dipertanyakan pula, apakah pendidikan karakter
sekarang ini sama dengan pendidikan budipekerti seperti yang dilakukan oleh Ki Hadjar Dewantara,
Rizali Hadi
528
ataukah mengacu kepada pendidikan karakter yang banyak dikemukakan oleh Thomas Lickona,
yang sangat populer sekarang ini. Ketiga, dipertanyakan pula tentang karakter apa saja yang
diajarkan kepada para siswa sesuai dengan jenjang pendidikannya.
IV. PEMBAHASAN
4.1. Pemikiran Ki Hadjar Dewantara
Ki Hadjar Dewantara, dikenal sebagai Bapak Pendidikan Indonesia yang telah
memperjuangkan pendidikan bagi pribumi melalui Pendidikan Taman Siswa, memperjuangkan
pendidikan bagi penduduk pribumi, kemudian menyusun dasar-dasar pendidikan bagi bangsa
Indonesia yang baru merdeka. Untuk dapat menangkap dan memahami apa itu budipekerti
menurut Ki Hadjar Dewantara, dalam buku kumpulan Karja Ki Hadjar Dewantara (1962:25)
yang ditulis beliau tahun 1936 dan 1937 sebagai berikut:
Jang dinamakan budipekerti atau “watak” jaitu bulatnja djiwa manusia, yang dalam
bahasa asing disebut “karakter” sebagai djiwa jang sudah berazas hukum kebatinan. Orang
yang telah mempunjai ketjerdasan budipekerti senantiasa memikir-mikirkan dan merasa-
rasakan selalu memakai ukuran, timbangan dan dasar-dasar jang pasti dan tetap. Itulah
sebabnja tiap-tiap orang itu dapat kita kenal wataknja dengan pasti; jaitu karena watak atau
budipekerti itu memang bersifat tetap dan pasti buat satu-satunja manusia sehingga dapat
dibedakan orang jang satu daripada jang lain.
Budipekerti, watak atau karakter, itulah bersatunja gerak, fikiran, perasaan dan
kehendak atau kemauan jang lalu menimbulkan tenaga. Ketahuilah bahwa “ budi” itu “fikiran
– perasaan – kemauan” dan “pekerti” itu artinja tenaga. Djadi “budipekerti itu sifatnja djiwa
manusia, mulai angan-angan, hingga terdjelma sebagai tenaga.
Rizali Hadi
529
Senada dengan itu Balitbang Dikbud (1995) menjelaskan bahwa budipekerti secara
konsepsional adalah budi yang dipekertikan (dioperasionalkan, diaktualisasikan atau
dilaksanakan) dalam kehidupan sehari-hari dalam kehidupan pribadi, sekolah, masyarakat,
bangsa dan negara (http://answers.yahoo.com).
Terdapat beberapa hal yang terkandung dalam pemikiran Ki Hadjar Dewantara
tersebut yaitu: (1) budipekerti berazas hukum kebatinan, (2) kecerdasan budipekerti, (3) memikir-
mikirkan dan merasa-rasakan selalu memakai ukuran dan timbangan. Kalau ditelusuri lebih
lanjut yang dimaksudkan kebatinan, tentulah sesuai dengan ukuran kebatinan ketimuran. Pasti
ada perbedaan hukum kebatinan yang dimaksudkan oleh Ki Hadjar Dewantara dengan hukum
kebatinan yang diajarkan oleh penulis-penulis barat, walaupun pemikiran beliau juga
dipengaruhi oleh pemikiran barat juga. Memikir-mikirkan dan merasa-rasakan yang selalu
memakai ukuran dan timbangan, tentulah ukuran dan timbangannya tidak sama antara ukuran
ketimuran dan ukuran orang barat. Suatu contoh, ukuran orang timur dalam menghormati
orang tua di lingkungan keluarga, atau guru di lingkungan sekolah berbeda dengan ukuran
orang barat. Sebagai penghormatan kepada orang tua atau guru dalam suasana budipekerti
ketimuran adalah bersalaman, cium tangan, dan membungkukan badan. Dalam suasana
barat mungkin hanya say hallo saja, sudah dianggap sebagai suatu penghormatan, walalupun
dilakukan sambil berjalan dan berlalu. Dengan contoh tersebut pendidikan budipekerti lebih
mengarah kepada tatakrama dan sopan santun yang disepakati dalam pergaulan antar manusia
dan sudah merupakan bagian dari kehidupan manusia.
Dalam tulisan beliau tersebut dapat ditangkap bahwa yang dimaksudkan dengan
budipekerti itu adalah karakter, yaitu budi pekerti yang bukan hanya ada di alam pikiran atau
angan-angan, melainkan yang sudah bertenaga yang artinya bukan hanya angan-angan lagi,
melainkan yang sudah menjadi sesuatu yang konkrit dan dapat dilaksanakan. Penulis berusaha
untuk memahami dan menggambarkan pemikiran Ki Hajar Dewantara sebagai berikut:
Gambar 2: Gambaran Budipekerti “Ki Hadjar Dewantara”
Rizali Hadi
530
maksud dan tujuan pendidikan dalam garis besarnya. Ki Hadjar Dewantara. Beliau juga
menyinggung tentang teori tabula rasa (empirisme) dan teori nativisme. Sesuai dengan teori
tabularasa Ki Hadjar Dewantara mencontohkan anak sebagai kertas yang belum ditulis. Teori
nativisme atau aliran negatif, anak dianggap sebagai kertas yang telah ditulisi sepenuhnya.
Dalam memperbaiki budipekerti rupanya Ki Hadjar Dewantara dipengaruhi oleh convergentie-
theorie, yaitu menganggap kertas itu sudah ada tulisannya, tetapi masih kabur dan suram,
sehingga perlu menebalkan tulisan yang baiknya agar kelak nampak sebagai budi pekerti.
Tulisan yang mengandung arti jahat hendaknya dibiarkan jangan sampai menjadi tebal.
Kesimpulannya, ada yang bisa dilakukan perbaikan dan ada yang sudah tidak bisa diperbaiki.
Budipekerti yang berhubungan dengan watak manusia dibagi dua bagian. Pertama
dinamakan bagian intelligibel yang dapat berubah karena adanya pendidikan dan keadaan.
Kedua bagian yang biologis yang berhubungan dasar-hidup manusia yang tidak akan berubah
lagi selama hidup.
Intelligibel dapat berubah karena pengaruh, misalnya kelemahan pikiran, kebodohan,
kurang baiknya pemandangan, kurang cepatnya berpikir, dsbnya, pendek kata keadaan pikiran,
serta pula kecakapan untuk menimbang-nimbang atau merasa-rasakan dan kuat lemahnya
kemauan.
Bagian biologis yang tak dapat berubah ialah bagian-bagian jiwa yang mengenai
perasaan yang berjenis-jenis dalam jiwa manusia, misalnya rasa takut, malu, kecewa, egoisme,
rasa-diri, rasa-sosial, rasa-agama, rasa-berani dsbnya. Rasa-rasa yang disebut ini tetap ada di
dalam jiwa manusia, dari anak kecil sampai dewasa. Kalaupun bagian biologis ini berubah,
maka perubahannya itu hanyalah sementara hanya karena tertutup (neutralisecren). Tidak
dapat berubah karena telah menyatu dengan jiwa.
Untuk memberikan pekerti dimaksud, Ki Hadjar Dewantara membuat suatu semboyan
untuk Taman Siswa yaitu: Ing ngarso sung tulada, ing madya mangun karso, tut wuri handayani.
Semboyan Taman Siswa ini kemudian diadopsi menjadi semboyan untuk pendidikan di
Indonesia yang tertulis dalam lambang atau logo Departemen Pendidikan sampai sekarang,
yang sering pula disebut sebagai Trilogi Pendidikan. Selain itu dalam jabaran tentang budipekerti
Ki Hadjar Dewantara juga memperkenalkan apa yang disebutnya Tri-Nga, yaitu Ngerti–Ngerasa
–Nglakoni, yaitu mengerti, merasakan dan melaksanakannya. Untuk menanamkan suatu
pemahaman Ki Hadjar Dewantara (1962:86) pada tahun 1930 menyerukan dalam kongres
Taman Siswa apa yang disebutnya sebagai Neng, Ning dan Nong. Neng berasal dari kata
meneng yang berarti diam, untuk mendapatkan wening yang berarti kesucian, dan dari kesucian
itu akan didapatkan anung yang merupakan kekuatan. Diharapkan dengan adanya kekuatan
ini “kemenangan” atau keberhasilan akan datang dengan sendirinya.
Pemikiran-pemikiran Ki Hadjar Dewantara ini sangat bernilai dan berarti dalam
dunia pendidikan di Indonesia umumnya dan dalam pendidikan budipekerti khususnya,
namun Buya Hamka dan Bung Karno mempunyai pandangan sendiri tentang pemikiran
Taman Siswa. Pemikiran yang diperkenalkan Ki Hadjar Dewantara hampir tidak bersentuhan
dengan agama.
Rizali Hadi
531
Dalam buku “Perkembangan Kebatinan di Indonesia” (1992), Allahyarham Buya Hamka
menyatakan bahwa Taman Siswa adalah gerakan abangan, klenik, dan primbon Jawa, yang
menjalankan ritual salat daim. Dalam kepercayaan kebatinan, salat di sini bukan bermakna
ritual seperti yang dijalankan umat Islam, tetapi salat dalam pengertian kebatinan, yaitu
menjalankan kebaikan terus menerus. Inilah yang dimaksud dengan salat daim. Sedangkan
Bung Karno menyebut apa yang dilakukan oleh Ki Hadjar Dewantara adalah berangkat dari
panggilan mistik.
Dalam ajaran agama budipekerti dan karakter itu tidak lain adalah akhlak. Mengenai
akhlak sudah ada tuntunannya dalam agama sehingga mudah diterima oleh masyarakat yang
religius.
4.2 Pemikiran Thomas Lickona mengenai karakter
Lickona nampaknya tidak mempersoalkan apakah karakter itu bisa berubah atau
tidak seperti yang dikemukakan oleh Ki Hadjar Dewantara, namun Lickona lebih
mengetengahkan bahwa dalam pendidikan karakter itu memiliki tiga domain yang disebutnya
sebagai components of good character yaitu:
1. Moral Knowing, yang terdiri dari: moral awareness, knowing moral values perspektive
taking, moral reasioning, decision-making and self knowlegde. decision-making
and self knowledge.
2. Moral Feeling, yang terdiri dari self esteem, emphaty, loving the god, self control,
humanity.
3. Moral Action, yang terdiri dari: competence, will dan habit.
Lickona (2012:100) menjelaskan bahwa karakter tidak berfungsi dalam ruang hampa,
karakter berfungsi dalam lingkungan sosial. Seringkali lingkungan tersebut menindas perhatian
moral. Kadang-kadang karakter itu bersifat sedemikian rupa, sehingga banyak orang atau
sebagian besar orang merasa bodoh dengan melakukan “hal yang bermoral”
Gambar 3: Komponen Karakter Yang Baik
Rizali Hadi
532
Sebagai ilustrasi diberikan contoh tentang apa yang seharusnya anda lakukan kalau
menemukan dompet di sebuah pasar, apakah mencari pemiliknya atau mengumumkannya,
atau menyerahkannya kepada polisi. Seorang kasir memberikan kembalian yang lebih, apa
yang dilakukan, apakah diam saja, dan menerima uangnya. Mungkin meskipun tahu apa yang
seharusnya dilakukan, bisa jadi karena pengaruh lingkungan anda tidak melakukannya, masa
bodoh dengan karakter. Sikap yang masa bodoh dengan karakter merupakan penghambat
moral knowledge dan moral feeling menjadi moral action. Masa bodoh merupakan penghambat
upaya mengaktualkan kompetensi moral, mewujudkan keinginan, apalagi akan menjadi
kebiasaan.
Dalam rangkaian gambar di atas nampak bahwa tujuan akhir dari pendidikan karakter
adalah menjadikannya sebagai tindakan moral. Namun apabila contoh dalam ilustrasi diatas
masih banyak dilakukan, mungkin karakter hanya sebatas pengetahuan dan perasaan saja.
Dalam moral knowing dimulai dengan kesadaran akan moral, yang biasanya dimulai
dengan suatu pertanyaan”Apa itu benar?” Diperlukan pengetahuan untuk menerjemahkan
nilai-nilai abstrak ke dalam hubungan personal. Kemudian dilanjutkan dengan penentuan
perspektif, yaitu kemampuan mengambil sudut pandang orang lain untuk membayangkan
bagaimana bereaksi dan merasakan masalah yang ada. Kemudian pasti akan terpikirkan
“mengapa kita harus bermoral”. Selanjutnya diperlukan kemampuan memikirkan cara
pengambilan keputusan secara reflektif dengan memilih pendekatan yang dipakai. Semua itu
harus didasari dengan upaya mengevaluasi perilaku diri sendiri, yang berhubungan dengan
kekuatan serta kelemahan karakter individual.
Dalam moral feeling yaitu bisa menilai sendiri tentang perbuatan salah atau perbuatan
benar yang telah dilakukannya. Penilaian ini dimulai dengan merasakan hati nurani, serta bisa
menempatkan harga diri sesuai kepantasan, bukan harga diri yang berlebihan. Diperlukan
perasaan empati, bisa merasakan apa yang dirasakan orang lain terhadap masalah yang
membelitnya, bisa berupa musibah, korban kekerasan. Bagi yang kena musibah atau sebaliknya
mencapai suatu keberhasilan tidak perlu mengekspresikannya secara berlebihan. Diperlukan
kemampuan mengendalikan diri dari sikap arogan, sombong, bangga, atau meremehkan orang.
Dalam moral action ditekankan adanya kemampuan bertindak yang lebih efektif dalam
memecahkan masalah secara adil dan proporsional. Pertimbangan tindakan dihubungkan
dengan keinginan menjadi kebiasaan baik yang sedapat mungkin diulangi terus menerus, dan
bermanfaat terutama bagi diri sendiri.
4.3 Benarkah Ki Hadjar Dewantara Memadukan Pemikiran Karakter Barat
dengan Budaya Jawa
Dari ringkasan pemikiran Lickona tersebut di atas dapat diketahui bahwa uraiannya
lebih luas dari Tri-Nga yang dikemukakan Ki Hadjar Dewantara. Memang dapat dipahami
bahwa menjelaskan sesuatu yang abstrak seperti pikiran, perasaan dan kemauan itu
memerlukan kemampuan kebatinan. Keluasan pemahaman tentang pikiran, perasaan dan
kemauan itu bisa membuat orang berimprovisasi secara bebas. Nampaknya Ki Hadjar
Dewantara dalam hal ini membatasi diri dan tidak ingin membicarakannya lebih banyak. Ki
Rizali Hadi
533
Hadjar Dewantara mempunyai pengetahuan yang luas mengenai pendidikan. Beliau banyak
belajar, berkenalan dengan ahli-ahli pendidikan barat, apalagi semasa beliau diasingkan ke
Belanda. Namun demikian sangat besar keinginannya untuk memadukan pendapat ahli
pendidikan di Eropah dengan pemikiran pendidikan di Indonesia, terutama di Pulau Jawa,
yang dikenal masih kental dengan budaya “kejawen”- nya seperti abangan, primbon, dan klenik.
Pada Conference Philosophy, Education & Humanity Development, di Universiti Malaya,
Kuala Lumpur (5 dan 6 Agustus 2010) yang salah seorang pembicaranya (pembentang) adalah
Prof. Dr. Djohar, MS Rektor Universitas Sarjanawiyata Taman Siswa Yogyakarta, dalam
makalahnya selain memperkenalkan Tut Wuri Handayani, banyak memperkenalkan istilah-
istilah yang biasa dipakai oleh Ki Hadjar Dewantara, misalnya:
1. Tetep, Mantep and Antep (consistent, powerfull and relating to the quality of a person
in addressing all issues.
2. Ngadel, Kandel and Bandel (belief, strong, resistent) that describes the attitude
and the way of people working to solve the problem in reponse all.
3. Neng, Ning, Nung. Neng which depicts a person gaint strength from sobriety.
4. Ngerti, Ngroso, Nglakoni. (cognitive, affective, psycomotorics) which describes how
to respond to all sorts of meaningfull understanding in the life.
5. Nonton, Niteni, Niroke, and Nambahi (recognizing, noticing, imitating, and developing.
Istilah-istilah tersebut mungkin sangat familiar di lingkungan masyarakat Jawa di awal-
awal perkembangan Taman Siswa. Pemikiran atau ajaran Ki Hadjar Dewantara ini menjadi
gerakan pendidikan nasional menjelang kemerdekaan dan pada saat setelah Indonesia
merdeka, apalagi beliau sebagai Menteri Pendidikan Pengetahuan dan Kebudayaan pada
saat itu. Tut Wuri Handayani menjadi “slogan” pada Departemen PPK sampai sekarang walaupun
nama departemennya berganti-ganti. Sejalan dengan perkembangan pendidikan di Indonesia
yang harus mengakomodasi seluruh pemikiran tentang pendidikan untuk bangsa yang sangat
beranekaragam, nampaknya pemikiran Ki Hadjar Dewantara ini memang mudah diterima di
Jawa, tetapi bagi masyarakat lainnya tidak demikian. Ada pilihan lain corak pendidikan yang
juga mudah dan cocok diikuti, misalnya sekolah-sekolah Muhammadiyah, yang dasarnya
keagamaan. Sekarang ini sekolah-sekolah Taman Siswa dengan pemikiran (ajaran) Ki Hadjar
Dewantara yang berbasis abangan, klenik, primbon, nampaknya kalah bersaing dengan
sekolah-sekolah yang berbasis agama (religius). Ada alasan tersendiri yang sulit untuk
diungkapkan kenapa pendidikan budi pekerti di sekolah-sekolah kemudian berangsur-angsur
dilupakan, karena masyarakat umumnya lebih menerima istilah akhlak, beriman, bertaqwa
yang bersifat religius. Karena itulah dapat dipahami mengapa dalam Kurikulum 2013 juga
tidak menyebut istilah budi pekerti, tetapi menyebutnya pendidikan karakter yang kedengarannya
lebih netral.
Rizali Hadi
534
4.4 Pendidikan Karakter dalam Kurikulum 2013
Kurikulum 2013 memiliki Standar Kompetensi Lulusan (SKL) yang pada dasarnya
memiliki (1) kompetensi sikap, (2) kompetensi keterampilan dan (3) kompetensi pengetahuan,
dengan penjelasan sebagai berikut:
Tabel 1: Standar Kompetensi dalam Kurikulum 2013
Rizali Hadi
535
menggabungkan filsafat dan sains, atau filsafat dan agama, atau sains dan agama. Monodik
adalah apabila cara berpikirnya hanya satu, yaitu, agama saja, filsafat saja, atau sains saja.
Dalam menyusun Kurikulum 2013 nampaknya telah mengadopsi cara berpikir tiadik, yaitu
mengombinasikan cara berpikir menurut ajaran agama, filsafat dan sains.
DAFTAR PUSTAKA
Djohar. 2010. Educational Philosophy of Ki Hadjar Dewantara on Adrressing Golbal Education,
Makalah dalam Persidangan Falsafah, Pendidikan & Pembangunan Insaniah,
University Malaya.
Draf Dokumen KTSP dan Kurikulum 2013, http://fokus news.viva.co.id/new/read/371744-
kurikulum pendidikan 2013 (diakses 23-11-2013).
Hamka. 1992. Perkembangan Kebatinan di Indonesia. Jakarta: Bulan Bintang.
Lickona, Thomas. 1981.. Educating For Charakter, How Our Schools Can Teach Respect and
Responsibility terjemahan Juma Abdu Wamaungo (2012)
Madjelis Luhur Persatuan Taman Siswa. 1962. Karja Ki Hadjar Dewantara. Yogyakarta: Taman
Siswa.
Rizali Hadi
536
DARI WASAKA MENUJU TALUBA: KONSEPTUALISASI NILAI-NILAI
LUHUR SUKU BANJAR SEBAGAI SOSOK KARAKTER HARAPAN
‘URANG BANUA’ PERSPEKTIF ETNOPEDAGOGI
Sarbaini
Universitas Lambung Mangkurat
ABSTRAK
Globalisasi telah memaksa kita untuk mematuhi tuntutannya, sehingga kebudayaan di dunia
menjadi seragam, westernisasi, pembaratan, dan bahkan Amerikanisasi, dalam pola berpikir,
berperilaku dan material. Kondisi demikian melahirkan reaksi dari masyarakat dunia, khususnya
dari Indonesia, dalam hal ini dunia pendidikan, muncul kelompok yang menggali pendidikan
dari khasanah literasi pemikir Islam, dan kearifan lokal. Khasanah kearifan lokal dalam
masyarakat Banjar dapat dikaji dalam konteks pendidikan dan karakter (etnopedagogi).
Etnopedagogi dapat dipandang sebagai suatu pesan terkait dengan istilah budaya-karakter
(aspek etno), dan pendidikan keguruan (aspek pedagogi). Etnopedagogi menaruh perhatian
khusus terhadap local genius dan local wisdom dengan mengungkap nilai-nilai budaya lokal
sebagai model awal. Salah satu produk budaya, (peradaban) dari suku Banjar dapat kita temukan
pada pola pikir berupa gagasan atau konsep filosofis sebagai sistem keyakinan atau basis
dalam menempuh kehidupan, etos atau watak, misalnya Waja Sampai Kaputing (Wasaka) dan
Baiman, Bauntung dan Batuah (Taluba). Kedua konsep ini dibahas dalam perspektif pendidikan
dan karakter (etnopedagogi), sebagai kajian awal untuk merekonstruksi pemikiran yang ada di
masyarakat menjadi rumusan konseptual sistematis menjadi konsepsi pendidikan “urang
Banjar”.
Kata Kunci: Kearifan lokal, karakter, etnopedagogi
I. PENDAHULUAN
Dalam kehidupan manusia, tidak bisa lepas dari nilai-nilai. Dimana ada kehidupan
manusia, di situ sarat dengan muatan nilai-nilai. Nilai-nilai dapat dilihat dari perspektif sosiologis,
antropologis, politis dan ekonomis. Pada setiap bangsa, masyarakat, suku dan keluarga ditemui
beragam nilai-moral-norma. Lazim setiap nilai-nilai bersumber pada agama, budaya, hukum,
ilmu, dan metafisis yang bersumber dari bangsa, masyarakat, suku dan keluarga yang
bersangkutan. Karena itu, untuk Indonesia khususnya, dalam kehidupan manusianya, eksistensi
nilai-nilai yang dianut dan diyakini, tidak selalu berpijak pada nilai-nilai melulu hanya pada
rasionalitas, yang mengacu kepada prinsip-prinsip logika, ilmu dan ilmiah. Tetapi pada
masyarakat tertentu, nilai-nilai juga bersumber pada agama, budaya, hukum dan metafisis
masih dominan dianut. Idealnya basis nilai-nilai dalam hidup adalah agama, berikut kebudayaan,
hukum dan ilmu serta metafisis.
Sarbaini
537
Pada suatu bangsa maupun suku, selalu terdapat nilai-nilai luhur yang menjadi acuan
dan harapan demi terbentuknya sosok manusia ideal. Nilai-nilai luhur tersebut dapat digali dalam
budaya suatu suku. Untuk suku Banjar, atau urang Banua di Kalsel sudah mafhum dengan istilah
WASAKA, Waja Sampai Kaputing, yang menjadi motto Pemerintah Provinsi Kalsel dan UNLAM,
namun dalam pemikiran kami, motto WASAKA, sebagai nilai-nilai hanya menggambarkan proses
bekerja dalam mencapai tujuan, pantang menyerah, keras, dalas hangit, atau mengutip perkataan
Pangeran Antarasari, “Haram Manyarah, Waja Sampai Kaputing”. Jika di era Pangeran Antasari,
maka makna WASAKA berarti menuju kemerdekaan sebagai manusia baik secara individu,
kemasyarakatan, kebudayaan dan kenegaraan. Tapi WASAKA dalam konteks pendidikan,
kemasyaratan dan kebudayaan, menuju ke sosok Urang Banua yang bagaimana?
Di dalam kehidupan masyarakat Banjar, terutama di daerah perdesaan yang masih
kental budaya Banjar, pada saat ditanyakan kepada orang tua dari suku Banjar, doa apakah
yang dipanjatkan kepada Allah SWT, oleh orang tua kepada anaknya, maka doa yang
dipanjatkan biasanya adalah “Mudahan anakku menjadi orang yang Baiman, Bauntung dan
Batuah, panjang umur, murah rezeki, hidup beserta iman dan mati beserta iman”. Doa tersebut,
biasanya muncul pada saat seorang ibu, mendoakan kepada anak-anaknya, atau seorang nini
(nenek) kepada cucunya.
Doa dengan ucapan “ Mudahan Baiman, Bauntung dan Batuah” selama ini hanya
terbatas sebagai doa yang meluncur dari hati seorang ibu kepada anaknya, atau nenek
mendoakan kepada cucunya, saat mendendangkan untuk tidur di ayunan, maupun
meninabobokan di tempat tidur. Kosa kata “Baiman, Bauntung dan Batuah” (Taluba, Tiga Ba)
jika digali lebih dalam merupakan salah bentuk dari kearifan lokal dalam pendidikan anak.
Dalam ilmu pendidikan sekarang lebih dikenal dengan etnopedagogi.
Makalah ini mencoba melakukan kajian awal dari perspektif etnopedagogi dan
melakukan konseptualisasi terhadap makna dari WASAKA dan TALUBA sebagai khasanah
kearifan lokal masyarakat, khususnya orang tua suku Banjar dalam mendidik karakter anak
menjadi sosok manusia harapan di masa depan.
II. PEMBAHASAN
2.1 Etnopedagogi
Krisis multidimensi di Indonesia satu dekade terakhir yang memerlukan pemecahan
berbasis bukti (evidence-based) terutama dari disiplin ilmu humaniora, termasuk pendidikan dan
pengajaran, melatarbelakangi muculnya ide Etnopedagogi. Ide tentang etnopedagogi di Indonesia
muncul di kampus UPI melalui pemikiran Alwasilah,et.al (2009) dan Kartadinata (2010). Istilah
etnopedagogi di UPI menurut Suratno (2010) dapat dipandang sebagai suatu pesan terkait dengan
dengan istilah budaya-karakter (aspek etno), dan pendidikan keguruan (aspek pedagogi).
Alwasilah, et.al (2009) mengemukakan dalam konteks budaya secara umum,
etnopedagogi menaruh perhatian khusus terhadap local genius dan local wisdom dengan
mengungkap nilai-nilai budaya Sunda sebagai model awal. Dalam perspektif hakikat
pendidikan, baik Alwasilah et al. (2009) maupun Sunaryo (2010) memandang bahwa pendidikan
Sarbaini
538
tidak terlepas dari aspek sosial dan kultural. Pendidikan bersifat deliberatif dalam arti masyarakat
mentransmisikan dan mengabadikan gagasan kehidupan yang baik yang berasal dari
kepercayaan masyarakat yang fundamental mengenai hakikat dunia, pengetahuan dan tata
nilai (Alwasilah et al., 2009, p16). Oleh karena itu, diperlukan reorientasi landasan ilmiah
mengenai pendidikan yang hirau terhadap nilai-nilai kemanusiaan, sesuatu yang selama ini
luput dari perhatian dikarenakan kurangnya studi tentang landasan budaya pendidikan.
Keutamaan pendidikan hendaknya jangan sampai tereduksi menjadi hal-hal yang superficial,
sebagaimana terjadi kini pada rezim standarisasi, sehingga mengabaikan tujuan luhur dari
pendidikan itu sendiri, yaitu pendidikan yang membudayakan (Suratno, 2010).
Berdasarkan analisis terhadap dimensi budaya dan pendidikan, Alwasilah et al. (2009,
Suratno, 2010) memandang Etnopedagogi sebagai praktik pendidikan berbasis kearifan lokal
dalam berbagai ranah serta menekankan pengetahuan atau kearifan lokal sebagai sumber inovasi
dan keterampilan yang dapat diberdayakan demi kesejahteraan masyarakat, yakni kearifan lokal
tersebut terkait dengan bagaimana pengetahuan dihasilkan, disimpan, diterapkan, dikelola dan
diwariskan. Dalam hal ini, kearifan lokal memiliki ciri (Suratno, 2010); berdasarkan pengalaman;
2) teruji setelah digunakan berabad-abad; 3) dapat diadaptasikan dengan kultur kini; 4) padu
dengan praktik keseharian masyarakat dan lembaga; 5) lazim dilakukan oleh individu maupun
masyarakat; 6) bersifat dinamis; dan 7) sangat terkait dengan sistem kepercayaan.
2.2 WASAKA (Waja Sampai Kaputing)
Waja Sampai Kaputing (Wasaka) adalah Motto dari Universitas Lambung Mangkurat,
bahkan digunakan juga sebagai Motto dari Kalimantan Selatan. Motto ini merupakan semboyan
dan pesan-pesan yang pernah dikemukakan oleh Pangeran Antasari dalam perjuangannya
melawan penjajah. Berikut semboyan dan pesan-pesan yang disampaikan oleh Pangeran Antasari.
Pesan-Pesan Pangeran Antasari
Haram Manyarah Waja Sampai Kaputing
Sarbaini
540
NILAI-NILAI DESKRIPSI
TARGET
1. Religius Sikap dan perilaku yang patuh dalam melaksanakan ajaran agama yang
dianutnya, toleran terhadap pelaksanaan ibadah agama lain, dan hidup rukun
dengan pemeluk agama lain
2. Ikhlas Sikap dan perilaku yang memulai segala pekerjaan dimulai dengan atas nama
Allah, Tuhan Yang Maha Esa, segala rezeki, karunia, rahmat adalah atas ijin
Allah, Tuhan Yang Maha Esa. Kerjakan tugas dan kewajiban, serahkan semua
urusan kepada Allah, Tuhan Yang Maha Esa
3. Kerja Keras Sikap dan perilaku yang menunjukkan upaya sungguh-sungguh dalam
mengatasi berbagai hambatan belajar dan tugas, serta menyelesaikan tugas
dengan sebaik-baiknya sampai ke batas optimal, jika mampu ke batas maksimal
dari target yang telah ditentukan, baik waktu maupun kualitas pekerjaan.
4. Tangguh Sikap dan perilaku yang menunjukkan upaya sungguh-sungguh dalam
mengatasi berbagai hambatan belajar dan tugas serta menyelesaikan tugas
dengan sebaik-baiknya
5. Jujur Sikap dan perilaku yang didasarkan upaya menjadikan dirinya sebagai orang
(Transparan) yang selalu dapat dipercaya dalam perkataan, tindakan, dan pekerjaan
6. Tekun Sikap dan perilaku yang menunjukkan kerajinan, kesungguhan dan terus
menerus dalam belajar dan mengerjakan tugas.
III. SIMPULAN
Waja Sampai Kaputing memberikan fondasi untuk bekerja keras dalam proses mencapai
tujuan yang diharapkan, sementara Baiman, Bauntung dan Batuah merupakan sosok karakter
manusia yang diharapkan. Dengan semangat Waja Sampai Kaputing, kita wujudkan sosok ideal
Urang Banua, yakni Manusia nang Baiman, Bauntung dan Batuah. Konsep WASAKA dan TALUBA
layak menjadi kajian dalam perspektif etnopedagogi, karena menggambarkan etos, konsepsi
dan praktek pendidikan yang telah sekian lama dilakukan oleh masyarakat Banjar yang
mengidamkan sosok manusia yang berbasis iman dan keilmuan yang bersumber pada nilai
agama dan adat budaya Banjar sebagai manifestasi dari kearifan lokal dalam mendidik anak.
DAFTAR PUSTAKA
Alwasilah, A. C., Suryadi, K., Tri Karyono. 2009. Etnopedagogi: Landasan Praktik Pendidikan
dan Pendidikan Guru. Bandung: Kiblat Buku Utama.
Hapip, A. D. 1997. Kamus Bahasa Banjar-Indonesia. Edisi III. Banjarmasin: PT Grafika Wangi
Kalimantan-Banjarmasin.
Kartadinata, S. (2010). Etnopedagogik: Sebuah Resureksi Ilmu Pendidikan (pedagogik).
Makalah disajikan pada 2nd International Seminar 2010 ‘Practice Pedagogic in Globa
Education Perspective’. PGSD UPI, Bandung, 17 May, 2010.
Nawawi, R., dkk. 1984/1985. Tata Kelakuan di Lingkungan Pergaulan Keluarga dan Masyarakat
Daerah Kalimantan Selatan. Jakarta: Proyek Inventarisasi dan Dokumentasi Kebudayaan
Daerah, Direktorat Sejarah dan Nilai Tradisional, Ditjen Kebudayaan Depdikbud.
Sarbaini. 2012. Pendidikan Karakter WASAKA (Waja Sampai Kaputing) UNLAM. Banjarmasin;
UPT MKU (MPK-MBB) UNLAM.
Suratno, T. 2010. Memaknai Etnopedagogi sebagai Landasan Pendidikan Guru di Universitas
Pendidikan Indonesia. Bandung: Proceedings of The 4th International Conference on
Teacher Education; Join Conference UPI & UPSI Bandung, Indonesia, 8-10 November
2010.
Sarbaini
542
IMPLEMENTASI NILAI KEWIRAUSAHAAN
DI SEKOLAH DASAR NEGERI SUNGAI BESAR 7 BANJARBARU
Sri Setiti
Universitas Lambung Mangkurat
ABSTRAK
Pendidikan kewirusahaan di sekolah dimaksudkan agar anak didik mampu menjawab
tantangan-tantangan dan memanfaatkan peluang-peluang yang ada. Dengan menanamkan
nilai-nilai kewirausahaan di Sekolah Dasar diharapkan peserta didik memiliki jiwa wirausaha
sehingga mampu mengubah pola pikir untuk memiliki kebebasan dalam bekerja dan tidak
tergantung pada orang lain. Tujuan penelitian ini adalah untuk menganalisis implementasi
nilai kewirausahaan di Sekolah Dasar dan nilai yang dapat ditanamkan kepada siswa. Melalui
observasi dan wawancara diperoleh hasil bahwa implementasi nilai kewirausahaan melalui
kegiatan ekstrakurikuler, pengembangan diri dan budaya sekolah. Guru masih sulit dalam
menyusun rencana pembelajaran yang memuat nilai yang akan dikembangkan. Nilai yang
dapat ditanamkan seperti kemandirian, tanggung jawab, disiplin, kerja keras, motivasi kuat,
komunikatif, kreatif, kepemimpinan, kerjasama dan rasa ingin tahu. Nilai kejujuran, berani
menanggung resiko dan inovatif belum terlihat. Disarankan program hijau kelasku tidak hanya
terbatas pada siswa secara mandiri memelihara tanaman sendiri tetapi dapat dijual kepada
masyarakat melalui koperasi sekolah. Diperlukan pelatihan yang intensif kepada guru agar
dapat menyusun rencana pembelajaran yang dapat mengembangkan nilai kewirausahaan.
Penelitian lanjutan sangat diperlukan dengan eksperimen untuk menginternalisasi nilai-nilai
kewirausahaan di Sekolah Dasar.
Kata Kunci: Implementasi, Nilai Kewirausahaan, Sekolah Dasar
I. PENDAHULUAN
UU No 20 Tahun 2003 Tentang Sistem Pendidikan Nasional Pasal 3, menyatakan
bahwa pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak
serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdasan kehidupan bangsa
bertujuan untuk mengembangkan potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman
dan bertakwa kepada Tuhan YME, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan
menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab. Berdasarkan undang-undang
tersebut maka guru berkewajiban untuk mengembangkan potensi anak didik antara lain melalui
pembelajaran dan kegiatan di sekolah baik melalui pembelajaran di kelas, kegiatan ekstrakurikuler
maupun kegiatan lainnya.
SriSetiti
543
Kecenderungan yang terjadi ketika seseorang telah lulus sekolah mereka lebih
menginginkan pekerjaan yang mapan, mendapatkan gaji yang jelas meskipun kecil. Mereka
tidak mau mengawali kehidupan setelah lulus dengan memulai suatu usaha. Untuk mencapai
hal tersebut bekal apa yang perlu diberikan kepada peserta didik agar mampu menjadi
wirausaha yang tangguh dan siap bekerja sehingga mampu menghidupi dirinya. Selain hal
tersebut pendidikan kewirausahaan di Indonesia masih kurang memperoleh perhatian yang
cukup memadai, baik oleh dunia pendidikan maupun masyarakat. Banyak pendidik yang kurang
memperhatikan penumbuhan sikap, minat dan perilaku wirausaha peserta didik. Orientasi
mereka, pada umumnya hanya pada menyiapkan tenaga kerja. Untuk itu, perlu dicari
penyelesaiannya, bagaimana pendidikan dapat berperan untuk mengubah manusia menjadi
manusia wirausaha. Untuk mencapai hal tersebut bekal apa yang perlu diberikan kepada
peserta didik agar mampu menjadi wirausaha yang tangguh dan siap bekerja sehingga mampu
menghidupi dirinya. Padahal suatu bangsa akan maju bilamana bangsa tersebut memiliki
jumlah wirausaha minimal 2% dari jumlah penduduk. Untuk mengubah pola pikir siswa maka
pendidikan kewirausahaan sejak dini perlu ditanamkan di Sekolah Dasar.
Pendidikan kewirusahaan diperlukan agar anak didik mampu menjawab tantangan-
tantangan dan memanfaatkan peluang-peluang yang ada dengan memiliki nilai-nilai dalam
kewirausahaan, siap menghadapi tantangan yang akan mereka hadapi. Seseorang yang
memiliki karakter wirausaha selalu tidak puas dengan apa yang telah dicapainya. Wirausaha
adalah orang-orang yang memiliki karakter dan mengaplikasikan hakikat kewirausahaan dalam
hidupnya. Dengan kata lain, wirausaha adalah orang-orang yang memiliki jiwa kreativitas dan
inovatif yang tinggi dalam hidupnya. Kenyataan yang ada, pendidikan kewirausahaan masih
kurang memperoleh perhatian yang memadai. Salah satu cara untuk mengurangi angka
pengangguran adalah perlu dikembangkan semangat entrepreneurship sedini mungkin
(Kemendiknas, 2010: 1-2). Pembelajaran yang mendidik harus dapat membangun hard skill
dan soft skill sebagai keutuhan (Kartadinata: 2009: 3).
Pendidikan kewirausahaan bertujuan untuk membentuk manusia secara utuh sebagai
insan yang memiliki karakter, pemahaman dan keterampilan sebagai wirausaha. Pada dasarnya,
pendidikan kewirausahaan dapat diimplementasikan secara terpadu dengan kegiatan-kegiatan
pendidikan di sekolah. Pelaksanaan pendidikan kewirausahaan dilakukan oleh kepala sekolah,
guru, tenaga kependidikan (konselor), peserta didik secara bersama-sama sebagai suatu
komunitas pendidikan. Pendidikan kewirausahaan diterapkan ke dalam kurikulum dengan
cara mengidentifikasi jenis-jenis kegiatan di sekolah yang dapat merealisasikan pendidikan
kewirausahaan dan direalisasikan peserta didik dalam kehidupan sehari-hari. Dalam hal ini,
program pendidikan kewirausahaan di sekolah dapat diinternalisasikan melalui berbagai aspek
(http://akhmadsudrajat.wordpress.com/2011/06/29/konsep-kewirausahaan-dan-pendidikan-
kewirausahaan).
Untuk pendidikan kewirausahaan di Sekolah Dasar tidak menjadi satu mata pelajaran
tersendiri, melainkan nilai-nilai kewirausahaan diintegrasikan pada mata pelajaran, kegiatan
ekstrakurikuler, pengembangan diri, kultur sekolah maupun muatan lokal. Upaya Pemerintah
untuk menanggulangi masalah ini terutama masalah yang terkait dengan kewirausahaan antara
SriSetiti
544
lain dapat dilakukan dengan cara: (a) menanamkan pendidikan kewirausahaan ke dalam
semua mata pelajaran, bahan ajar, ekstrakurikuler, maupun pengembangan diri, (b)
mengembangkan kurikulum pendidikan yang memberikan muatan pendidikan kewirausahaan
yang mampu meningkatkan pemahaman tentang kewirausahaan, menumbuhkan karakter
dan keterampilan/skill berwirausaha,(c) menumbuhkan budaya berwirausaha di lingkungan
sekolah (Kemendiknas, 2010: 58-64).
Sekolah Dasar Negeri Sungai Besar 7 Banjarbaru merupakan sekolah yang menjadi
pelopor dalam kebersihan, kesehatan gigi dan lingkungan bahkan pernah menjadi Juara I
Unit Kesehatan Sekolah se-kota Banjarbaru sehingga mendapat penghargaan dari Kota
Banjarbaru. Oleh karena itu Sekolah Dasar ini menarik untuk dijadikan obyek penelitian,
karena tanpa kerja keras prestasi sulit didapatkan. Kerja keras merupakan nilai yang paling
dominan dalam kewirausahaan.
SriSetiti
545
2.2 Implementasi Nilai Kewirausahaan Melalui Budaya Sekolah
Sekolah Dasar Negeri Sungai Besar 7 mempunyai budaya yang disepakati bersama
dan dilakukan oleh siswa, guru maupun pegawai sekolah. Budaya sekolah yang disepakati
baik tertulis maupun tidak tertulis adalah sebagai berikut:
a. Komunikasi siswa dengan guru maupun dengan masyarakat.
Siswa dibiasakan memberi salam dan mencium tangan guru ketika mau masuk
kelas. Pembiasaan memberi salam dan mencium tangan dilakukan oleh siswa
setiap ketemu guru, kepala sekolah, pegawai sekolah bahkan setiap ketemu
orang yang lebih dewasa yang masuk di lingkungan kelas. Guru memberi tahu,
memberi contoh kepada siswa bagaimana berkomunikasi dengan orang yang
lebih tua.
b. Pengajian di halaman sekolah pada setiap hari Jum’at pagi dengan membaca
Surat Yasin, salawat nabi bersama yang dipimpin oleh guru agama atau
mengundang ustadz, yang dilanjutkan dengan tausiah. Selanjutnya dilanjutan
dengan tadarus, fiqih sesuai dengan jadwal. Seluruh siswa, guru dan pegawai
sekolah baik yang muslim maupun yang bukan muslim berkumpul bersama di
halaman sekolah. Mereka harus berpartisipasi kegiatan pengajian. Selesai
pengajian dihalaman sekolah dilanjutkan dengan kegiatan amal yang dilakukan
oleh guru, pegawai dan siswa dengan cara memasukkan sumbangan sukarela
ke celengan yang disediakan sekolah. Celengan sekolah dipergunakan untuk
membantu siswa yang terkena musibah, sakit atau untuk membantu masyarakat
sekitar sekolah.
Pada kegiatan pengajian di halaman, siswa secara bergiliran mendapatkan tugas
untuk mempersiapkan karpet dan menggulung kembali setelah selesai kegiatan.
Mereka melakukan secara berkelompok. Membaca solawat juga dilakukan oleh
siswa secara bergiliran.
c. Program hijau kelasku dengan tanaman hias.
Program ini dirancang agar setiap kelas memiliki tanaman hias. Setiap siswa
wajib memelihara satu pot tanaman hias sehingga sebelum masuk kelas siswa
melihat tanaman yang menjadi tanggungjawabnya. Wali kelas memberi contoh
bagaimana merawat tanaman. Tanaman dibawa oleh siswa sendiri dan ditaruh
dalam pot yang telah disediakan oleh sekolah. Tanaman tersebut ditaruh di depan
kelas.
d. Perilaku tertib dan disiplin
Perilaku ini ditunjukkan dengan siswa menaruh sepatu, sepeda dan membuang
sampah pada tempat yang telah disediakan. Duduk tertib dengan membuat
kelompok per kelas, ketika mengikuti pengajian dan mendengarkan ceramah di
halaman sekolah. Tidak boleh saling mendorong ketika berbaris memasuki kelas.
Kepala sekolah, guru selalu mengingatkan untuk disiplin pada setiap pertemuan.
SriSetiti
546
e. Kegiatan Upacara
Upacara bendera dilakukan setiap hari Senin dan diisi dengan arahan oleh kepala
sekolah. Dalam arahan kepala sekolah mengingatkan bagaimana disiplin, kerja
keras, tanggungjawab, mandiri dan pesan moral lainnya yang harus dimiliki
oleh siswa. Setiap siswa yang berprentasi selalu diumumkan pada saat upacara.
f. Slogan yang berisi pesan moral.
Slogan tentang disiplin, tanggung jawab, kerja keras digantung di setiap lorong
sekolah. Misalnya, disiplin adalah harga diri yang paling tinggi, kerja adalah ibadah,
amanah dan kehormatan. Slogan dibuat oleh sekolah dan setiap siswa dapat
melihat dan membaca.
g. Kegiatan rutin lainnya.
Siswa membuat kliping tentang lingkungan, kisah pahlawan, gambar pahlawan
dan topik-topik lainnya yang disesuaikan dengan materi pembelajaran yang masing-
masing kelas membuat dan dilaminating kemudian ditempel di diding kelas bagian
dalam dan luar sehingga kelihatan semarak karena ditata dengan rapi. Setiap
kelas berlomba menyusun kelas agar indah dan tidak membosankan. Kebiasaan
ini dilakukan terus menerus yang dipandu oleh wali kelas, sehingga kelas selalu
bersih, rapi dan formasi duduk selalu berubah. Melakukan kebersihan lingkungan
sekolah secara rutin oleh siswa dan guru. Tugas kebersihan kelas dilakukan secara
bergilir. Siswa diajak guru untuk membantu kebersihan masyarakat sekitar sekolah
dan membantu masyarakat yang terkena musibah.
Dengan kegiatan ini siswa memiliki nilai sikap mandiri, kreatif, orientasi pada tindakan,
kepemimpinan, kerja keras, disiplin, tanggung jawab, kerjasama, komitmen, realistis,
komunikatif dan motivasi untuk berhasil dan peduli sesama.
2.3 Implementasi Nilai Kewirausahaan Melalui Pengembangan Diri
Pengembangan diri dilakukan dengan tujuan agar siswa memiliki rasa percaya diri,
berani melakukan kegiatan yang menantang, menumbuhkan rasa bahwa dirinya berharga.
Sehingga melahirkan konsep diri yang baik karena akan selalu optimis, berani mencoba hal-
hal baru, berani sukses, berani gagal, percaya diri, antusias dan berani memimpin.
Pengembangan diri dilakukan oleh wali kelas kepada siswa dengan mengetahui bakat dan
minat setiap siswa. Kegiatan ini dilakukan dengan bekerjasama dengan orang tua siswa dan
pihak yang terkait dengan bakat siswa. Dana untuk pengembangan diri ini dibantu oleh
Paguyuban Orang Tua Siswa.
Dari kegiatan ini tampak siswa lebih percaya diri, disiplin, bertanggungjawab, kerjasama,
kerja keras, komunikatif dan termotivasi untuk berhasil.
2.4 Implementasi Nilai Kewirausahaan melalui Pembelajaran di Kelas
Guru mengalami kesulitan dalam menyusun Rencana Pembelajaran yang
mencantumkan karakter, meskipun sudah mulai mencantumkan karakter yang dapat
ditanamkan pada anak didik setelah pembelajaran. Meskipun demikian bahan ajar yang sudah
SriSetiti
547
mengintegrasikan nilai kewirausahaan dan guru selalu mengamati karakter siswa secara
individual.
III. PEMBAHASAN
Penanaman nilai kewirausahaan di sekolah menuntut guru maupun kepala sekolah
lebih kreatif. Menurut Knowles (1984: 117), menyatakan guru berperan sebagai konsultan, fasilitator
dan berperan menciptakan iklim yang kondusif, menciptakan mekanisme yang saling
menguntungkan dan mengungkap kebutuhan pembelajar. Guru harus memahami nilai-nilai
moral bagi anak didiknya untuk membentuk karakter agar tercermin dalam akhlak kehidupan
sehari-hari. Hal ini menuntut kreativitas dan pengayaan program pengajaran melalui berbagai
kegiatan yang aplikatif dan tepat sasaran dalam menuntun akhlak sehari-hari peserta didik.
Sekolah Dasar Negeri Sungai Besar 7 Banjarbaru dalam mengimplementasikan nilai-
nilai kwirausahaan menggunakan beberapa cara antara lain:
3.1 Kegiatan Ekstrakurikuler
Kegiatan ekstrakurikuler yang merupakan kegiatan diluar pelajaran digunakan untuk
kegiatan mengembangkan olah raga berupa karate, menyanyi, menari. Kegiatan tersebut untuk
mengembangkan bakat dan potensi siswa. Untuk mengembangkan bakat dan minat tersebut
dibina oleh orang yang profesional sesuai dengan bidangnya maka siswa terpacu untuk
bertanggung jawab akan kegiatan yang dilakukan, disiplin, kerja keras, motivasi kuat untuk
setiap lomba agar menang, komunikasi terjalin antara pelatih/instruktur dengan siswa. Misi
kegiatan ekstrakurikuler adalah: (1). menyelenggarakan kegiatan yang dapat dipilih oleh siswa
sesuai dengan kebutuhan, potensi, bakat dan minat mereka, (2). Menyelenggarakan kegiatan
yang memberi kesempatan kepada siswa mengekpresikan diri secara bebas melalui kegiatan
sendiri atau kelompok (Kemendiknas, 2010: 61). Menurut Suherman (2008: 121), bahwa
kegiatan ektrakurikuler kewirausahaan dapat berperan sebagai kawah candradimuka bagi
business entrepreneur sejati. Kegiatan ini tentunya setelah menyusun studi kelayakan yang
feasible dapat dilaksanakan. Bagi peserta didik yang belum mampu membuat studi kelayakan
dapat bergabung dengan kelompok yang feasibility study-nya dianggap layak. Kegiatan ini
akan membangun learning community.
Dalam kaitannya dengan strategi yang digunakan maka sekolah menggunakan strategi
pemanduan karena dipandu oleh pelatih, pujian dan hadiah bagi pemenang ketika mengikuti
lomba. Menurut Muchlas Samani (2012: 144), strategi ini umum dilakukan oleh negara barat
dalam menanamkan karakter yaitu dengan pemanduan (cheerleading), pujian dan hadiah
(praise and reward)
3.2 Budaya Sekolah
Sekolah melakukan kebiasaan rutin yang dilakukan oleh siswa pada setiap ketemu
guru, pegawai dengan memberi salam dan mencium tangan, baik ketika mau masuk kelas
maupun ketemu di lingkungan sekolah. Pengembangan nilai-nilai kewirausahaan dalam budaya
sekolah mencakup kegiatan yang dilakukan oleh kepala sekolah, guru, tenaga administrasi
SriSetiti
548
ketika berkomunikasi dengan peserta didik dan menggunakan fasilitas sekolah seperti kejujuran,
tanggungjawab, disiplin, komitmen dan budaya berwirausaha di lingkungan sekolah
(Kemendiknas, 2010: 64). Strategi ini merupakan strategi forced formality yang menegakkan
disiplin dan melakukan pembiasaan (habituasi) kepada siswa untuk secara rutin melakukan
kegiatan yang bernilai moral (Muchlas Samani, 2012: 145). Transformasi pendidikan karakter
melalui budaya sekolah lebih efektif dari pada mengubah kurikulum dengan menambah mata
pelajaran. Kegiatan rutin dengan memberikan infak secara sukarela akan melatih siswa untuk
untuk berfikir realistis bahwa diluar dirinya masih banyak orang yang memerlukan bantuan.
Budaya sekolah merupakan suatu pola asumsi-asumsi dasar, nilai-nilai, keyakinan-keyakinan,
dan kebiasaan-kebiasaan yang dipegang bersama oleh seluruh warga sekolah, yang diyakini
dan telah terbukti dapat dipergunakan untuk menghadapi berbagai problem dalam beradaptasi
dengan lingkungan yang baru dan melakukan integrasi internal, sehingga pola nilai dan asumsi
tersebut dapat diajarkan kepada anggota dan generasi baru agar mereka memiliki pandangan
yang tepat bagaimana seharusnya mereka memahami, berpikir, merasakan dan bertindak
menghadapi berbagai situasi dan lingkungan yang ada (Zamroni, 2011: 297 ).
3.3 Pengembangan Diri
Pengembangan diri yang dlakukan oleh SD Negeri Sungai Besar 7 yang disesuaikan
dengan bakat dan minat siswa merupakan cara guru untuk mengembangkan kemampuan
individual siswa. Siswa perlu didorong untuk mengembangkan diri secara positif menyadarkan
siswa akan kelebihan dan kelemahannya. Pengembangan diri dengan mengembangkan
kelebihan yang dimiliki sisws akan meningkatkan rasa percaya diri. Seorang wirausaha perlu
memiliki watak percaya diri yang menurut Geofry Meredith (2004: 40), merupakan salah satu ciri
seorang wirausaha. Dengan percaya diri maka siswa akan mampu bekerja mandiri tidak
tergantung pada orang lain dan memiliki keyakinan untuk dapat berhasil.
Pengembangan diri tersebut kiranya perlu setiap peserta didik mengetahui potensi diri. Potensi
diri ini sebagai langkah awal bagi seorang wirausaha untuk dapat mengenali perilaku, sikap,
sistem nilai yang membentuk kepribadian (Yuyus, 2010: 66). Penilaian diri ini dapat melahirkan
kesadaran untuk berinterospeksi diri, dapat mengukur diri dan upaya memperbaiki diri dan
keinginan untuk berprestasi.
3.4 Pembelajaran di Kelas
Guru selalu mengamati anak didik di kelas tetapi kesulitan dalam merancang
pembelajaran.
IV. PENUTUP
Nilai-nilai kewirausahaan diimplementasikan di Sekolah Dasar Negeri Sungai Besar
7 melalui kegiatan ekstrakurikuler yang mendukung pengembangan bakat dan minat dengan
kegiatan olahraga, pramuka, kesenian, taman, tanaman obat dan melukis. Budaya sekolah
yang mendukung penanaman nilai kewirausahaan meliputi tata tertib sekolah dalam menaruh
barang, komunikasi dengan warga sekolah maupun masyarakat, penghijauan setiap kelas,
SriSetiti
549
slogan, kegiatan yang rutin dilakukan siswa yang mampu menumbuhkan nilai kreatif dan
inovatif. Implementasi nilai melalui pengembangan diri dilakukan dengan bekerjasama dengan
orang tua siswa.
DAFTAR PUSTAKA
Gavin Kalam Utama. Nilai Budaya Untuk Membentuk Daya Saing dan Karakter Bangsa
Pengembangan Pendidikan kewirausahaan. Jakarta.
Geoffrey G., Meredith. 2004. The Practice of Entrepreneurship, International Labour
Organisation. Terjemahan LPPM. PT. Pustaka Binaman Pressindo.
http://akhmadsudrajat.wordpress.com/2011/06/29/konsep-kewirausahaan-dan-pendidikan-
kewirausahaan/Januari, 2014
Kartadinata, Sunaryo. 2010. Isu-Isu Pendidikan Antara Harapan dan Kenyataan,
Bandung: UPI PRESS.
Kneller, G.F. 1971. Introduction to The Philosophy of Education, Second ed. New York: John
Wiley & Sons, Inc.
Lambing,P.,K. 2000. Entrepreneurship. New Yersey: Prentice Hall.
Pusat Kurikulum. 2010. Bahan Pelatihan Penguatan Pembelajaran Berdasarkan Nilai
Suherman. 2008. Desain Pembelajaran Kewirausahaan Pedoman Praktis bagi Dosen, Guru,
Ustads, Instruktur, Pelatih, Fasilitator, Pembimbing, Pembina, Pemateri dan Penceramah
dalam Membangun dan Membentuk Komunikasi Business Entrepreneur Melalui
Implementasi EMANE. Bandung: Alfabeta.
Samani, Muchlas, Hariyanto. 2012. Konsep dan Model Pendidikan Karakter. Bandung.
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2003 Tentang Sistem Pendidikan
Nasional. Bandung: Citra Umbara.
Yuyus, Suryana. 2010. Kewirausahaan Pendekatan Karakteristik Wirausaha Sukses, Jakarta:
Kencana Prenada Media Group.
Zamroni. 2011. Dinamika Peningkatan Mutu. Yogyakarta.
SriSetiti
550
INTEGRASI NILAI–NILAI KEARIFAN LOKAL ETNIK BETAWI SEBAGAI
IMPLEMENTASI PENDIDIKAN BERKARAKTER DI SEKOLAH DASAR
Suswandari
UHAMKA Jakarta
I. PENDAHULUAN
Pendidikan secara umum diketahui sebagai alat untuk perubahan (agent of social
change). Tujuan pendidikan, walaupun sudah digubah dan diubah bahasan intinya bermuara
pada upaya mendidik warga negara yang baik, yaitu warga negara yang mempunyai
pengetahuan, keterampilan dan sikap baik sebagai warga negara (Azmi, 2003). Pendidikan
berkarakter dapat dipahami sebagai pendidikan budi pekerti plus yang melibatkan aspek kognitif,
afektif dan psikomotor secara holistik. Harapan yang ingin diraih dalam konteks pendidikan
karakter ini adalah lahirnya sumber daya manusia dengan kualitas lahir dan batin yang “kuat,
tanggap dan memiliki kemampuan beradaptasi baik dimanapun ia berada.
Pendidikan berkarakter dalam analisis Mudji Sutrisno (2014) dinyatakan dalam
penjabaran etika dan nilai yang selalu mewarnai interaksi sosial yang terbangun. Kawasan
etika mengkaji persoalan pemahaman, kesadaran batin dan “budi” yang pantas dan tidak
pantas dalam relasi antar manusia. Kawasan nilai mengkaji apa yang dipandang dihargai dan
berusaha dihayati sebagai kebenaran, kebaikan, keindahan dan yang suci dalam kehidupan
ini (Mudji Sutrisno, 2014). Namun demikian, hasrat berkuasa dan ambisi manusia sering kali
menjadi penyebab munculnya ketidakharmonisan hidup yang berujung pada konflik dengan
korban sesama manusia. Perubahan demi perubahan terus mengisi dan mewarnai kehidupan
manusia seiring dengan perkembangan zaman.
Era global dan globalisasi menjadi bagian dari proses evolutif dan revolutif yang tengah
dirasakan oleh sebagian besar umat manusia di dunia ini, kecuali negara/ wilayah yang sengaja
mengasingkan diri atau terkendala oleh hambatan geografis tertentu. Di era global saat ini, setiap
manusia tidak mungkin eksis tanpa sentuhan teknologi global yang semakin mempermudah interaksi
sosial dan memperpendek jarak panjang serta membuka sekat yang tertutup karena batas-batas
politik, sosial, ekonomi dan budaya. Percepatan tekhnologi yang ditandai dengan konteks speed,
flexibility, integration and innovation telah melewati batas keinginan manusia (Ashkenas, 2002).
Kondisi ini membawa perubahan pada karakter dan identitas bangsa yang diubah dengan
gaya Barat sebagai gaya hidup baru atas nama modernisasi. Siapapun sepakat dengan arti
modernisasi sebagai perubahan untuk menuju kehidupan yang lebih baik, kehidupan yang lebih
manusiawi dan menjunjung harkat dan martabat manusia. Akan tetapi tidak jarang modernisasi
Suswandari
551
justru membawa komunitas bangsa pada arus modernitas yang membawa kesengsaraan karena
ketidaksiapan sumberdaya manusia. Budaya dan nilai-nilai lokal dengan karakter khasnya, tidak
lagi menjadi acuan dalam penyelesaian persoalan hidup dan kehidupan. Budaya dan nilai-nilai
lokal menjadi bagian dari cerita lama yang tidak lagi mendasari aktivitas kehidupan yang ada.
Sumberdaya manusia berkualitas adalah sumber daya yang mampu beradaptasi dengan
baik pada lingkungannya. Solusi penyiapan sumber daya manusia berkualitas dilakukan dengan
penyelengggaraan pendidikan yang juga berkualitas. Artinya suatu proses pendidikan yang mampu
memprediksi kebutuhan yang akan datang secara baik. Bertolak dari kuatnya pengaruh budaya
global yang disinyalir telah mereduksi karakter dan identitas bangsa, pendidikan karakter berbasis
nilai-nilai kearifan lokal dapat menjadi salah satu alternatif solusi dalam permasalahan ini. Kearifan
lokal dapat dipahami sebagai ungkapan budaya khas suatu komunitas tertentu di wilayah tertentu
yang didalamnya terkandung tata nilai, etika, norma dan aturan untuk menjaga keberlanjutan
hidup. Di Indonesia, ditemukan ribuan nilai kearifan lokal yang selama ini dijadikan sebagai
decision making dalam penyelesaian masalah di masyarakat. Di antara sekian banyak kearifan
lokal yang ada, salah satunya adalah kearifan lokal etnik Betawi di Jakarta.
Makalah ini mencoba untuk mengupas nilai-nilai kearifan lokal etnik Betawi yang
dapat diintegrasikan dalam proses pembelajaran sebagai bagian dari pelaksanaan
pembelajaran berkarakter khususnya di sekolah dasar, khususnya kearifan lokal permainan
tradisional. Pembahasan dimulai dengan mengupas pendidikan berkarakter, etnik Betawi,
kearifan lokal etnik Betawi dan integrasinya dalam pembelajaran di sekolah dasar.
Suswandari
552
zamannya, yaitu era globalisasi dengan segala kecepatan perubahan. Misalnya, ahli ekonomi
kita belum berhasil menata ekonomi dengan baik, ketimpangan kehidupan antara kelompok
the have dengan the have not semakin tajam. Ahli pertanian belum berhasil meningkatkan
produksi pertanian dan belum berhasil bersaing dengan produk pertanian asing, bahkan terjadi
peningkatan produk asing dalam berbagai jenis hasil pertanian yang seharusnya bisa diproduksi
lokal seperci cabe, bawang merah, pisang dan sebagainya. Ironisnya produk asing menjadi
simbol bagi modernitas masyarakat Indonesia saat ini.
Selanjutnya, ahli teknik belum berhasil menghasilkan produk teknik yang baik dan
dapat dijual di pasaran global. Pada tataran ini masih tergambar ketergantungan masyarakat
kita pada impor dengan segala akibat sosialnya. Para ahli Ilmu Sosial bersilang pendapat
dalam merumuskan pemecahan masalah sosial yang semakin rumit. Para politisi selalu
melupakan sejarah bangsanya dan berjuang untuk kelompoknya atas nama bangsa, bertindak
korup dan tidak memberikan contoh baik dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Lembaga
pendidikan belum mampu mendidik karakter bangsa dan belum mampu menjadi agent of
change, kecuali bagi kesejahteraan perorangan. Hilangnya kepedulian sosial dan meningkatnya
egoisme pribadi telah menyebabkan orang tidak peduli pada orang lain. Gambaran kondisi
tersebut di atas, telah membelalakkan kita semua tentang persoalan pendidikan di Indonesia.
Untuk itu, Menteri Pendidikan Nasional dalam suatu forum internasional “The Sixth
E.9 Ministerial Review Meeting” yang berlangsung di Meksiko tanggal 13 sampai dengan 15
Februari 2006 menjelaskan bahwa: “... dalam 25 tahun ke depan sistem pendidikan nasional
Indonesia akan menghasilkan manusia Indonesia yang memiliki kecerdasan menyeluruh
meliputi rohani, intelektual, sosial, emosional, estetika dan kecerdasan kinestik”.
Oleh karenanya, pendidikan merupakan proses yang kompleks dan berjangka panjang.
Proses pendidikan bertujuan mempersiapkan manusia untuk dapat hidup layak di masa depan,
suatu masa yang tidak mesti sama, bahkan cenderung berbeda dengan masa kini. Proses
pendidikan bersifat kompleks dikarenakan interaksi diantara berbagai aspek seperti: guru,
bahan ajar, fasilitas, kondisi siswa, kondisi lingkungan, metode mengajar dan sebagainya yang
tidak selamanya memiliki sifat dan bentuk yang konsisten dan dapat dikendalikan. Pendidikan
berkarakter adalah sistem pendidikan yang di dalamnya diikuti dengan penanaman nilai-nilai
karakter yang mencakup pengetahuan, kesadaran dan tindakan untuk melakukan nilai-nilai
baik dan tidak melalukan nilai-nilai yang tidak baik dalam kehidupan nyata. Menurut David
Elkind & Freddy Sweet Ph.D. (2004) dalam Akhmad Sudrajat, 2010), pendidikan karakter dimaknai
sebagai berikut:
“character education is the deliberate effort to help people understand, care about, and
act upon core ethical values. When we think about the kind of character we want for our
children, it is clear that we want them to be able to judge what is right, care deeply about
what is right, and then do what they believe to be right, even in the face of pressure from
without and temptation from within.”
Adapun tujuan pendidikan berkarakter adalah pembentukan pribadi individu menjadi
manusia baik, sesuai dengan karakter budaya yang melingkupinya. Hakikat pendidikan karakter
Suswandari
553
di Indonesia dapat juga dinyatakan dengan pendidikan nilai yang bersumber dari budaya sendiri.
Oleh karenanya pendidikan nilai/ pendidikan berkarakter ini dimulai dari pendidikan dalam
keluarga dan dalam lingkup yang lebih formal dilakukan di sekolah yang melibatkan seluruh
komponen sekolah.
Karakter baik sering kali disebut dengan karakter mulia, hal ini berarti individu memiliki
pengetahuan tentang potensi dirinya, yang ditandai dengan nilai-nilai seperti reflektif, percaya
diri, rasional, logis, kritis, analitis, kreatif dan inovatif, mandiri, hidup sehat, bertanggung jawab,
cinta ilmu, sabar, berhati-hati, rela berkorban, pemberani, dapat dipercaya, jujur, menepati
janji, adil, rendah hati, malu berbuat salah, pemaaf, berhati lembut, setia, bekerja keras, tekun,
ulet/gigih, teliti, berinisiatif, berpikir positif, disiplin, antisipatif, inisiatif, visioner, bersahaja,
bersemangat, dinamis, hemat/efisien, menghargai waktu, pengabdian/dedikatif, pengendalian
diri, produktif, ramah, cinta keindahan (estetis), sportif, tabah, terbuka, tertib dan sebagainya
(Akhmad Sudrajad, 2010). Setiap individu memiliki kesadaran untuk berbuat yang terbaik dan
juga mampu bertindak sesuai potensi dan kesadarannya tersebut. Pendidikan berkarakter
difokuskan pada upaya bagaimana mengaplikasikan nilai-nilai baik itu dalam bentuk tindakan
atau tingkah laku bagi setiap individu, sehingga individu yang tidak percaya diri, tidak jujur, dan
tidak yang lainnya dari beberapa kriterai nilai baik karakter akan disebut sebagai orang yang
berkarakter tidak baik. Pendidikan di lingkup keluarga dan sekolah memiliki tanggung jawab
bersama dalam proses pembentukan karakter ini.
Keberhasilan pendidikan berkarakter di sekolah dilakukan dengan melibatkan semua
komponen yang ada di sekolah sebagai aktor utama. Untuk pendidikan di tingkat sekolah
dasar guru memegang perang yang sangat penting. Di sisi lain, pendidikan berkarakter di
sekolah perlu didukung oleh kesiapan kurikulum yang ada, proses pembelajaran yang
dilakukan, sistem penilaian yang objektif, pengelolaan mata pelajaran yang kontekstual dan
sarat dengan nilai-nilai budaya sebagai materi, pengelolaan sekolah yang bersih dan demokratis,
pelaksanaan kegiatan ko kurikuler yang berkesetaraan, pemberdayaan sarana dan prasarana
pembelajaran yang berkualitas, etos kerja seluruh komponen sekolah yang harmonis, peserta
didik yang terwadahi aspirasinya dan sebagainya.
Implementasi pendidikan berkarakter di sekolah menuntut adanya sistem tata kelola
sekolah yang terbuka dan mampu menghargai semua pihak dengan memperhatikan asas
keadilan dan budaya saling menghargai penuh dengan harmonisasi yang terus ditegakkan. Di
samping itu, pendidikan berkarakter sebagai bagian dari pendidikan nilai, hendaknya ditopang
dengan pengembangan nilai-nilai kearifan lokal di tempat proses pembelajaran itu
dilaksanakan.
Suswandari
554
sama dan sadar akan kebersamaan dalam suatu bentuk budaya, membentuk jaringan
komunikasi dan interaksi tersendiri, menentukan sendiri ciri kelompoknya dan dapat dibedakan
dari kelompok populasi lain. Sementara itu, Daniel Bell (1975) menjelaskan etnik memiliki
identitas yang lebih menonjol karena mampu memadukan kepentingan dengan satu ikatan
efektif dalam bahasa, makanan, musik, nama, adat kebiasaan, perilaku keseharian, pola
interaksi, konflik dan upaya penyelesaiannya dan sebagainya.
Pendapat tersebut memperkuat deskripsi tentang etnik Betawi yang sesungguhnya.
Mereka merupakan kelompok yang mampu eksis dengan identitas budaya yang khas dan
berbeda dengan komunitas plural lainnya di Jakarta. Etnik Betawi menjadi ikon etnik asli
Jakarta dengan budaya khas yang disebut dengan budaya Betawi dengan kekayaan kearifan
lokal dan nilai-nilainya yang pantas untuk dijaga dan digali dalam upaya pembentukan karakter
di tengah kuatnya pengaruh negatif budaya global.
Secara historis terbentuknya etnik Betawi dari perkawinan campur berbagai kelompok
etnik lain yang sudah terlebih dahulu ada di Batavia4 (Suswandari, 2008), misalnya Ambon,
Arab, Bali, Banda, Bali, Bima, Bugis,Buton, Flores, Jawa, Makasar, Melayu, Sunda, Sumbawa,
Eropa, Cina, India dan sebagainya. Antropolog Univeristas Indonesia, Yasmine Zaki Shahab
(2000) menyatakan bahwa etnik Betawi baru terbentuk antara tahun 1815-1893. Pengakuan
terhadap adanya orang Betawi sebagai sebuah kelompok etnis dan sebagai satuan sosial dan
politik dalam lingkup yang lebih luas baru muncul pada tahun 1923, pada saat Moh Husni
Thamrin tokoh masyarakat Betawi mendirikan Perkoempoelan Kaoem Betawi. Pada tahun
1961, etnik Betawi berjumlah kurang lebih 22,9 persen dari antara 2,9 juta penduduk Jakarta.
Mereka semakin terdesak ke pinggiran, bahkan ramai-ramai digusur dan tergusur ke luar
Jakarta atas nama pembangunan (Suswandari, 2008). Walaupun demikian, ciri kebudayaan
mereka tetap menonjol. Populasi Etnik Betawi saat ini menempati posisi ketiga dalam komposisi
penduduk Jakarta. Lebih jelasnya dapat dilihat pada tabel di bawah ini.
Tabel 2.1.
Populasi Kepala Keluarga Menurut Etnis di DKI Jakarta
Sumber : Diolah dari Sensus Penduduk 2000, BPS Provinsi DKI Jakarta
Suswandari
555
Di kalangan masyarakat Betawi sendiri terdapat pemisahan, yakni Betawi Tengah
(kota) dan Betawi Pinggiran, yang tidak hanya dirujuk pada posisi geografis namun pada kelas
sosial. Betawi Tengah adalah masyarakat Betawi yang tinggal di tengah kota, dekat dengan
pusat-pusat pemerintahan, niaga, pendidikan, hiburan dan akses-akses penting lainnya.
Sedangkan Betawi Pinggiran tinggal di pinggir atau bahkan di luar Jakarta seperti Bogor,
Tangerang, Depok, Bekasi dan sebagainya. Masyarakat Betawi Tengah umumnya sudah maju,
kesadaran akan pendidikan sangat tinggi, pergaulannya luas, bahkan banyak diantaranya yang
menguasai banyak bahasa. Secara ekonomi kelompok ini cukup mapan. Sementara Betawi
Pinggiran lekat dengan negatif profiling (Parsudi Suparlan, 1989) khas Betawi, seperti tidak
berpendidikan, rendah kebudayaan dan sebagainya. Kehidupan khas etnik Betawi dapat
dicermati dalam Sinetron Si Doel Anak Sekolah yang masih ditayangkan salah satu televisi
swasta kita saat ini.
Karakter khas perilaku budaya etnik Betawi dapat dilihat dari tampilan mereka yang
riang gembira, kocak, mereka memiliki jiwa religius yang tinggi khususnya Islam, memiliki jiwa
sosial yang tinggi dan tidak membeda-bedakan, terbuka, jauh dari struktur pengekalasan
masyarakat, menghargai keberagaman dan sangat menghormati budaya yang mereka miliki.
Selain itu, karakter khas kuliner etnik Betawi dapat dicontohkan seperti Soto Betawi, Ketoprak,
Kerak Telur, Pecak Ikan Gabus, Roti Buaya, Dodol Betawi dan sebagainya. Masih banyak
dijumpai berbagai wujud budaya masyarakat etnik Betawi dengan nilai-nilai kearifan yang sangat
baik sebagai tuntunan moral generasi muda.
Suswandari
556
berbagai masalah untuk memenuhi kebutuhan hidup mereka. Dalam konteks kebudayaan,
kearifan lokal memiliki makna positif, diangkat dan dihargai sebagai salah satu acuan nilai dan
norma untuk mengatasi berbagai persoalan yang dialami masyarakat pendukungnya. Kearifan
lokal merupakan modal pembentukan karakter yang akan menjadi jatidiri suatu bangsa. Dalam
rangka menghadapi derasnya arus budaya global perlu ditanamkan nilai-nilai luhur yang terdapat
dalam kearifan lokal sebagai filter transformasi budaya global.
Secara umum, kearifan lokal dapat berupa adat istiadat, institusi, kata-kata bijak,
pepatah, dan pada masyarakat Jawa dapat berupa pari’an, paribasan, bebasan, saloka. Fungsi
kearifan lokal sebagai berikut: 1). Sebagai penanda identitas sebuah komunitas, 2). Sebagai
elemen perekat lintas warga, lintas agama, dan kepercayaan, 3). Tidak bersifat memaksa
tetapi sebuah unsur kultural yang ada dan hidup dalam masyarakat sebagai daya ikat yang
lebih mengena 4). Memberikan warna kebersamaan bagi seluruh komunitas, 5). Menambah
pola pikir dan hubungan timbal balik antara individu dengan kelompok, 6). Sebagai pendorong
terbangunnya kebersamaan.
Nilai-nilai luhur kebudayaan menjadi sumber daya kearifan lokal yang berkaitan dengan
tata nilai, inspirasi, strategi memenuhi kebutuhan hidup, strategi mempertahankan hidup
termasuk didalamnya upaya-upaya untuk memperoleh kesejahteraan dalam hidup yang damai
dan harmoni. Namun demikian, terkait dengan perkembangan global, nilai-nilai luhur dalam
kearifan lokal mulai meredup, memudar dan kehilangan makna. Oleh karena itu diperlukan
upaya dan strategi tersendiri untuk tetap menghidupkan nilai kearifan lokal agar dapat membumi
menjadi rujukan masyarakat pendukungnya dalam memfilter benturan antara budaya lokal
dan tuntutan perubahan global, diantaranya melalui proses pembelajaran di sekolah.
Suswandari
557
karakter semakin memudar karena pengaruh global. Selain itu, kondisi plural dan multikultur di
Jakarta menjadi alasan yang sangat kuat bagaimana nilai-nilai luhur budaya dan kearifan lokal
etnik Betawi dapat dipahami dan menjadi sumber nilai bagi masyarakat yang tinggal di Jakarta.
Harapan besarnya agar setiap individu yang ada di Jakarta menjadi bagian yang juga dapat
memiliki budaya etnik Betawi sebagai bagian dari budaya yang sudah dimiliki sebelumnya.
Terkait dengan upaya integrasi nilai-nilai kearifan lokal etnik Betawi dalam
pembelajaran di sekolah dasar, dalam tulisan ini difokuskan pada nilai kearifan lokal yang ada
pada bentuk-bentuk permainan tradisional etnik Betawi. Mengapa permainan tradisional? hal
ini tidak lain suasana pembelajaran sambil bermain menjadi model yang tepat untuk siswa
sekolah dasar. Pendapat ini ditegaskan oleh Tuti Tarwiyah (2014) yang menyatakan bahwa
bermain tidak bisa lepas dari kehidupan anak, peningkatan kecerdasan dapat dilakukan melalui
permainan. Bermain merupakan kegiatan yang dapat membuat anak belajar how to develop
intellectually and society. Selain itu, dalam Montesori (yang dikutip Tuti Tarwiyah, 2014)
dinyatakan bahwa bermain adalah berbicara mengenai anak tentang how to be human. Terdapat
tiga kelompok permainan tradisional, yaitu: 1) rekreatif untuk mengisi waktu luang, 2) kompetitif
untuk melatih semangat berkompetisi, 3) edukatif yang terdapat unsur pendidikan.
Dalam budaya etnik Betawi terdapat berbagai jenis permainan tradisional dalam tiga
bentuk yang telah disebutkan dan dapat dijadikan sebagai salah satu sumber belajar dalam
rangka menyajikan proses pembelajaran berkarakter berbasis kearifan lokal kreatif dan inovatif.
Permainan tradisinal yang dimaksud adalah bentuk permainan anak-anak yang dikembangkan
secara lisan, berbentuk tradisional dan diwariskan secara turun temurun. Ciri khas permainan
tradisional antara lain berusia tua, tidak diketahui asal usulnya, tidak diketahui siapa penciptanya.
James Dananjaya (1987) menyatakan manfaat permainan tradisional antara lain: melatih
kreativitas, mengembangkan kecerdasan sosial, mengembangkan kecerdasan, emosional,
mendekatkan pada alam, menanamkan pembelajaran nilai, mengembangkan kemampuan
motorik dan meningkatkan kemampuan untuk konsentrasi. Berdasarkan pendapat tersebut
dapat dinyatakan bahwa aktivitas bermain anak tetap menempatkan anak pada kehidupan
sosial yang sesungguhnya. Mereka berinteraksi, saling berkomunikasi yang akan
mengembangkan kemampuan berbahasanya, mereka bertenggang rasa, mereka berkompetisi
secara nyata dan sebagainya. Hal ini sangat berbeda dengan dunia gadget saat ini yang telah
menempatkan individu ramai dalam kesendirian/ kesunyian. Metoda bermain mengasah
keterampilan pengetahuan, sikap dan motorik secara langsung.
Abdul Chaer (2012) menyebutkan jenis-jenis permainan tradisional etnik Betawi seperti
: gelelio, protokan, kuda-kudaan, pletokan, jepretan, sumpitan, gelindingan, gangsing, adu
Suswandari
558
kembang rumput, adu jangkrik, main bunyi-bunyian, main gundu, main karet gelang dan
sebagainya. Sementara itu Ridwan Saidi (2000) membagi permainan berdasar jenis kelamin
dan waktu dimainkannya siang atau malam seperti tabel di bawah ini:
Laki-Laku Siang out door Dampu, tok kadal, galah asin, petak lari, adu dengkul
Malam out door Galah asin, tarti, badomba, jaelangkung
Perempuan Siang in door Main bekel, main karet,ndeng-ndengan, ci-ci puteri,
pong-pong balong, main anak-anakkan, main rumah rumahan,
tepok nyamik, lompat tali, ayunan, tok-tok ubi.
Suswandari
559
diambil salah satu contoh bentuk permainan tradisional yang cocok dengan tema yang diangkat.
Kondisikan suasana pembelajaran terpusat pada siswa dan guru sebagai fasilitator yang sudah
siap dengan perangkat pembelajarannya. Lakukan pembelajaran yang interaktif, aktif, berbasis
tim dan kooperatif dengan pendekatan saintifik. Bila aktivitas pembelajaran model ini dapat
dilakukan dengan baik maka dapat dipastikan bila upaya pengembangan karakter berupa
keterampilan hidup, pemecahan masalah, pemikiran kritis, komunikatif, kesadaran diri,
menghindari stress, membuat keputusan, berfikir kreatif, hubungan interpersonal, kemampuan
vokasional disertai sikap positif dapat menjadi bagian dari proses pembelajaran berkarakter
untuk dapat melahirkan sumber daya yang berkualitas dan mencintai negerinya sendiri.
Pembelajaran berkarakter berbasis kearifan lokal etnik Betawi di sekolah dasar Jakarta seiring
dengan tujuan kurikulum nasional tahun 2013.
V. PENUTUP
Pembelajaran berkarakter menjadi kebutuhan mutlak di tengah gempuran arus budaya
global saat ini. Sebagai negara berkembang kebutuhan akan sumber daya berkualitas dengan
jatidiri kuat dan karakter serta identitas kebangsaan yang hebat menjadi kebutuhan utama
untuk keberlanjutannya. Kekayaan budaya dan nilai-nilai kearifan lokal yang ada sangat sarat
dengan muatan moral, nilai sosial, anjuran, larangan, adalah acuan dalam proses pembinaan,
dan penguatan karakter bangsa. Etnik Betawi dengan keragaman budaya dan nilai kearifan
lokalnya dapat dijadikan inspirasi bagi para guru untuk dapat mengintegrasikannya dalam
proses pembelajaran berkarakter yang menjadi ciri khas proses pembelajaran di ibu kota.
DAFTAR PUSTAKA
Azmi. 2003. “Reposisi Pelajaran Ilmu Sosial di Pendidikan Dasar dan Menengah”. Makalah
Seminar dan Konggres HISPISI ke XI. Palembang: Universitas Sriwijaya.
Ashkenas, Ron.(et.al). 2002. The Boundaryless Organization: Breaking The Chains of
Organizational Structure. San Francisco: Jossey Bass.
Barth, Fredrik. 1988. “Ethnic Groups and Boundaries”. Alih Bahasa: Nining L Susilo. Kelompok
Kelompok Etnik dan Batasannya. Jakarta: Universitas Indonesia Press.
Chaer, Abdul. 2012. Folklor Betawi: Kebudayaan Dan Kehidupan Orang Betawi. Jakarta: Masup.
Habib, Ahmad. 2009. Konflik Antar Etnik di Pedesaan : Pasang Surut Hubungan Cina –Jawa.
Yogyakarta: LKiS.
James, Danandjaja. 1984. Folklore Indonesia. Jakarta : Grafiti Press.
Lickona, Thomas.(2012. “Educating For Character : How Our Schools Can Teach Respect and
Responsibility”. Alih bahasa. Juma Abdu Wamaungo. Mendidik Untuk Membentuk
Karakter; Bagaimana Sekolah Dapat Memberikan Pendidikan Tentang Sikap Hormat
dan Tanggung Jawab. Jakarta: Bumi Aksara.
Magdalia, Alfian. 2013. “Potensi Kearifan Lokal dalam Pembentukan Jatidiri dan Karakter
Bangsa”. Prosiding International Cofference on Indonesian Studies.Yogyakarta:CSIS.
Suswandari
560
Mickletwait, John and Adrian Wooldridge. 2000. The Challenge and Hidden Promise of
Globalization. New York: Crown Publishers, Ramdon House. Inc.
Martorella, Peter H. 1985. Elementary Social Studies. Little Brown Toronto.
Mudji Sutrisno. 2014. “Sesama”. Koran Sindo, Senin 28 April.
Nathan, Glazer and Daniel P Moynihan. 1981. Ethnicity Theory and Experience. Harvard University
Press.
Rochiati Wiriaatmadja. 2003. Pembelajaran IPS pada Tingkat Sekolah Dasar. JPIPS nomor 20
Tahun Xi Januari-Juni.
Suparlan, Parsudi. 1989. Interaksi Antar Etnik di Beberapa Provinsi di Indonesia. Departemen
Pendidikan dan Kebudayaan Direktorat Jendral Kebudayaan.
Suswandari. 2009. Adaptasi dan Emansipasi Kaum Perempuan Betawi dalam Merespon
Perubahan Sosial: Potret Kehidupan Perempuan Kampung Gedong. Jakarta: UHAMKA.
Press.
Suswandari. 2014. Ragam Kearifan Lokal Nusantara Sebagai Sumber Penanaman Nilai Karakter
Bangsa Indonesia. Disampaikan Dalam Seminar Studi Objek Historis Mahasiswa
Prodi Pendidikan Sejarah Universitas Muhammadiyah Prof. Dr. HAMKA di Prodi
Pendidikan Sejarah Universitas Negeri Semarang, tanggal 11- 13 Feberuari 2014.
Sebagian dari makalah ini menjadi bahan ajar untuk BPJJ PGSD tahun 2007.
Suswandari dan Toto Hastiarto. 2014. Modul Inovasi Pembelajaran IPS di Sekolah Dasar.
UHAMKA Press.
Tuti, Tarwiyah (download 2014). Pelestarian Budaya Betawi Permainan Anak Cici Putri dan
Ulubang: Kajian Kandungan Kecerdasan Anak.
Wagiran.2012. Pengembangan Karakter Berbasis Keariifan Lokal Hamemayu Hayuning Bawono.
Jurnal Pendidikan Karakter. Tahun 2 nomor 1 Oktober . UNY.
Yasmin, Zaki Shahab. 1994. The Creation of Ethnic Tradition The Betawi Of Jakarta. Thesis
Submitted for The Degree of Doctor of Philosopy to The University of London.
Footnotes
1
Disampaikan dalam Seminar Internasional di Universitas Lambung Mangkurat Banjarmasin
Kalimantan Selatan, 24 Mei 2014
2
Dalam sessi acara Economic Challengges dengan nara sumber salah satunya pengusaha
Mochtar Riadi dengan Host Suryopratomo tanggal 28 April 2014 , pukul 21.30. WIB
3
Terdapat istilah etnis dan etnik dalam kajian antropologi. Dalam tulisan ini digunakan istilah
etnik Betawi karena mengarah pada suatu kelompok populasi tertentu dengan karakter khas
yang dimilikinya. Istilah etnis mengacu pada orang-orang atau individu yang ada di dalamnya.
4
Batavia, nama sebelum Jakarta. Nama ini digunakan oleh kolonial Belanda pada masa
menduduki wilayah yang sekarang disebut Jakarta. Batavia menjadi pusat kekuasaan Belanda
di wilayah Timur pada masa VOC. Masih banyak peninggalan Belanda di Jakarta yang
sekarang menjadi situs bersejarah masa kolonial. Contoh Kota Tua dan sekitarnya.
Suswandari
561
Suswandari
562
NILAI-NILAI SEJARAH LOKAL (BANJAR) DALAM PEMBELAJARAN IPS
(STUDI PADA SEJARAH LOKAL KALIMANTAN SELATAN PERIODE
PERANG BANJAR, 1859-1906)
Syaharuddin
Universitas Lambung Mangkurat
ABSTRAK
Ketidakmampuan generasi muda bangsa (Indonesia) dalam memahami sejarah perjuangan
bangsanya, khususnya sejarah daerahnya, berdampak terhadap karakter masyarakatnya yang
cenderung destruktif dan mengarah kepada sikap disintegrasi bangsa. Padahal, pembelajaran
sejarah (lokal) di sekolah merupakan salah satu upaya untuk mencapai tujuan pendidikan
nasional, yakni agar siswa dapat mengembangkan rasa tanggung jawab kemasyarakatan dan
kebangsaan. Ada banyak nilai-nilai kelokalan yang dapat ditanamkan melalui pembelajaran
IPS. Nilai-nilai tersebut adalah bagian dari nilai-nilai yang sedang dikembangkan dalam
pendidikan IPS yang disebut soft-skill oriented, seperti karakter kerja keras, pantang menyerah,
pemberani, kemampuan membangun hubungan kerjasama, kemampuan mengembangkan
sikap toleransi dan cinta tanah air. Penggambaran karakter tokoh-tokoh lokal dalam sejarah
lokal Kalimantan Selatan, pada periode Perang Banjar (1859-1906) secara baik tentu memiliki
pengaruh yang cukup besar dalam proses pembentukan nilai-nilai kejuangan. Namun, peraihan
nilai-nilai kejuangan tersebut, dapat tercapai jika internalisasi nilai-nilai sejarah lokal itu dilakukan
melalui pendekatan, model dan strategi yang tepat selama proses belajar mengajar
pembelajaran IPS di sekolah oleh guru, seperti model pembelajaran group investigation, role
play dan inquiry.
Kata Kunci: nilai-nilai sejarah lokal, pembelajaran IPS, model pembelajaran
I. PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Masalah
Karakter masyarakat Indonesia hari ini cenderung bersifat destruktif yang dicirikan
dengan beberapa sikap, seperti terjadinya penurunan hubungan sosial, yang ditandai dengan
munculnya pribadi manusia yang tampil dengan penuh pamrih, suka menghujat, pemarah,
pendendam, individualis, dan tidak toleran terhadap kelompok lain. Bahkan, perilaku jujur
sudah tidak menjadi orientasi hidup yang tandai oleh maraknya korupsi.
Dalam konsep pembelajaran IPS ada banyak nilai-nilai yang dapat ditanamkan melalui
materi sejarah lokal, seperti nilai-nilai karakter kejujuran, kerja keras, pemberani, pantang
Syaharuddin
563
mundur, tidak kenal menyerah, kemampuan membangun kerjasama, sikap menghargai orang
(kelompok) lain (toleransi) dan cinta tanah air. Nilai-nilai tersebut adalah bagian dari nilai-nilai
yang sedang dikembangkan dalam pendidikan IPS yang disebut soft-skill oriented dan sebaliknya
meninggalkan hard-skill oriented (Sudarma, 2007: 23).
Tidak dapat dipungkiri, bahwa sampai hari ini, pembelajaran sejarah (lokal) di sekolah
baru pada lingkup transfer of knowledge, belum menyentuh pada ranah afektif dan bahkan
psikomotorik. Padahal, laiknya pembelajaran sejarah itu harus peka terhadap perkembangan
masyarakatnya dan tidak lepas dari konteks dan situasi nyata lingkungan sosial peserta didik.
Keterangan tersebut mengingatkan kita bahwa sejarah itu juga kontekstual, yakni menjadikan
masa lalu untuk dijadikan pedoman hidup masa kini, bahkan masa akan datang (Mars, 2008),
atau dalam bahasa Kochhar (2008:5) sejarah merupakan dialog antara peristiwa masa lampau
dan perkembangan ke masa depan.
Hasil Musyawarah Kerja Nasional (Mukernas) tentang Pembelajaran Sejarah pada
tanggal 11 s.d. 13 Juli 2006 di Surabaya, terdapat dua dari empat keputusan yang berkaitan
dengan sejarah lokal, yaitu pertama, materi sejarah harus mengembangkan materi sejarah
lokal. Materi sejarah lokal dapat bersumber dari peristiwa-peristiwa lokal yang terjadi di suatu
daerah. Eksplorasi materi sejarah lokal dapat bersumber dari peninggalan-peninggalan sejarah
yang ada di daerah tersebut, penulisannya berdasarkan tema-tema tertentu; Kedua, materi
pembelajaran sejarah harus memiliki misi pembentukan karakter bangsa (nation building).
Hal ini dilakukan dengan tujuan agar materi sejarah mampu membangun jati diri bangsa.
Nilai-nilai yang dikembangkan dari peristiwa sejarah harus dapat tertanam dalam diri siswa
(Mustakim, 2012).
Ada dua hal penting yang perlu digarisbawahi dari uraian di atas yakni, pentingnya
pembelajaran sejarah lokal dan misi sejarah lokal dalam membentuk karakter peserta didik.
Perang Banjar (1859-1906) adalah sebuah peristiwa lokal yang di dalamnya terdapat nilai-nilai
kejuangan (karakter) penting untuk ditransformasikan kepada peserta didik melalui pembelajaran
IPS agar mereka memiliki kemampuan dalam memecahkan berbagai persoalan hidupnya.
Berdasarkan latar belakang masalah tersebut, maka penulis akan mengkaji tentang
sejauhmana nilai-nilai sejarah lokal Banjar seperti karakter kerja keras, pemberani, pantang
menyerah, kemampuan membangun kerjasama, bersikap toleransi, dan cinta tanah air
terimplementasikan melalui pembelajaran IPS di persekolahan.
Syaharuddin
564
lokal yang dimaksud adalah tempat tinggal suatu etnis, yakni etnis Banjar atau urang Banjar
atau masyarakat Banjar. Atau bisa juga suku bangsa yang ada dalam satu daerah, yakni suku
bangsa Banjar di Kalimantan Selatan.
Penulisan sejarah lokal mempunyai makna penting baik untuk kepentingan akademis
maupun pembangunan masyarakat, terutama kepentingan masyarakat dalam mempelajari
pengalaman masa lalu nenek moyangnya. Hal ini sejalan dengan yang diungkapkan Allan J
Ligthman (1978:169 dalam Supardi, 2006: 124):
“... lokal history conducted for their own sake, lokal history conduct to test hypotheses
about broader jurisdictions, usually nation states, and lokal history that focus on
understanding the process by which communi-ties grow and develop. Although
analytically distinct, in actual practise these lines frequently crisscross and run together.”
Pengalaman masa lalu sejarah lokal Banjar memiliki potensi membentuk karakter
kejuangan atau yang saya sebut sebagai nilai-nilai sejarah lokal, seperti nilai karakter kerja
keras, pantang mundur, pemberani, kemampuan membangun kerjasama, membangun sikap
toleransi dan cinta tanah air sebagaimana yang tercermin dari para tokoh-tokoh lokal pada
periode 1859-1906.
Dalam seminar Sejarah Lokal 17-20 September 1984 di Medan, telah dikemukakan
lima tema pokok sebagai acuan penulisan sejarah lokal seperti yang dikutip Kuntowijoyo
(1994:121), yakni: (1) Dinamika masyarakat pedesaan; (2) Pendidikan sebagai faktor dinamisasi
dan interaksi sosial; (3) Interaksi antar suku bangsa dalam masyarakat majemuk; (4) Revolusi
nasional di tingkat lokal; dan (5) Biografi tokoh lokal. Hal yang terakhir ini, adalah bagian tema
utama kajian ini, yaitu kajian biografi tokoh lokal, seperti: Pangeran Hidayatullah, Pangeran
Antasari, Demang Lehman, Temenggung Surapati, Gusti Muhamad Said, Gusti Muhamad
Seman, dan Panglima Wangkang. Penekanan penulisan makalah ini lebih pada kronologis
peristiwa dan tema yang sarat dengan karakter dan peran tokoh-tokoh lokal Banjar.
Pembelajaran sejarah lokal yang berkisah di lingkungan terdekat siswa yang berkaitan
dengan kehidupan sehari-hari, mendorong misi pembelajaran sejarah tersebut mudah dihayati
dan dimiliki oleh siswa karena dapat membawa siswa ke situasi riil. Penanaman kesadaran
sejarah lokal (Banjar) tentu akan lebih mudah diaplikasikan ketika materi itu lebih dekat dengan
lingkungan peserta didik, yakni informasi tentang tokoh-tokoh lokal yang sudah pernah
didengarnya, namun belum dipahami secara baik untuk kemudian diteladani ketokohan dan
nilai-nilai kejuangannya (Supardan, 2009: 18).
2.2 Pendidikan Nilai
Kajian ini mencoba mengkaitkan antara materi sejarah lokal dengan (pendidikan)
nilai. Karena memang sejarah (lokal) itu sarat dengan nilai itu sendiri. Menurut Linda (1995:
28-29 dalam Rachman, 2007: 62) nilai dibagi menjadi dua kelompok, yakni nilai-nilai nurani
(values of being) dan nilai-nilai memberi (values of giving). Nilai-nilai nurani (values of being)
adalah nilai yang ada dalam diri manusia kemudian berkembang menjadi perilaku serta cara
kita memperlakukan orang lain, seperti: kejujuran, keberanian, cinta damai, keandalan diri,
potensi, disiplin, tahu batas, kemurnian, dan kesesuaian. Sedangkan nilai-nilai memberi (values
Syaharuddin
565
of giving) yaitu nilai yang perlu dipraktikkan atau diberikan yang kemudian akan diterima sebanyak
yang diberikan, seperti: setia, dapat dipercaya, hormat, cinta, kasih sayang, peka, tidak egois,
baik hati, ramah, adil, dan murah hati.
Persoalan utama tentang nilai di sini ini adalah bagaimana cara mengajarkannya
agar peserta didik terbiasa berperilaku sesuai dengan nilai-nilai yang telah diuraikan. Maka
tulisan ini adalah sebuah upaya menggali nilai-nilai sejarah lokal yang tercermin pada
keteladanan para tokoh pejuang. Beberapa nilai karakter itu seperti: kemampuan bekerja sama,
perilaku kerja keras, pantang menyerah, pemberani, sikap toleransi dan cinta tanah air. Nilai-
nilai sejarah lokal yang penulis maksud itu dalam makalah ini adalah identik dengan
pembentukan karakter bangsa model Indonesia Heritage Foundation, yakni membangun
karakter kejuangan seperti kerja keras, pantang menyerah, kemampuan membangun hubungan
kerjasama, kemampuan mengembangkan sikap toleransi dan persatuan (Megawati dalam
Hakam, 2007: 39).
Kajian tentang nilai berarti sama dengan membincang sesuatu yang ideal tentang hal
yang merupakan cita-cita, harapan dambaan dan keharusan. Atau, berbicara tentang nilai
berarti membincang tentang das sollen, bukan das sein, yang berarti pula mengkaji bidang
kerokhanian, normatif, dan sebaliknya bukan kognitif, masuk ke ranah dunia ideal bukan riil.
Meskipun demikian kedua hal tersebut tetap saja berkaitan, yakni antara das sollen dan das
sein, antara makna normatif dan kognotif, antara dunia ideal dan riil. Hubungan itu yakni das
sollen itu harus menjelma menjadi das sein, yang ideal harus menjadi real, yang bermakna
normatif harus direalisasikan dalam perbuatan sehari-hari yang merupakan fakta (Kodhi, 1989:
21, dalam Budiyono, 2007: 70).
Penjelasan konsep nilai di atas dalam kaitannya dengan kajian ini maka nilai-nilai
sejarah lokal Banjar yang dapat dikategorikan sebagai sesuatu yang bersifat das sollen, normatif,
ideal tentu tidak berhenti sampai di situ, namun bagaimana nilai-nilai tersebut mampu
direalisasikan dalam sebuah perbuatan sehari-hari yang kemudian disebut fakta.
Hal lain tentang nilai kaitannya dengan perilaku seorang tokoh, maka dapat dijelaskan
bahwa sesungguhnya nilai sangat penting untuk mempelajari perilaku individu dan bahkan
organisasi. Perilaku individu perlu dipelajari dengan alasan bahwa individulah sebagai sumber
nilai pertama kali yang dibawa sejak lahir (Budiyono, 2007: 71). Kajian sejarah lokal, sarat
dengan kajian tokoh. Tokoh yang memiliki karakter yang patut diteladani. Uraian tentang karakter
tokoh-tokoh Perang Banjar (1859-1906) dapat memberikan gambaran tentang peran mereka
dalam menghadapi kolonialisme Belanda adalah sebuah gambaran kepahlawanan yang
didalamnya sarat dengan berbagai sikap yang patut dipahami dan diteladani oleh masyarakat,
khususnya peserta didik. Sikap kepahlawanan atau kejuangan, seperti kepribadian yang kuat
atau integritas kepribadian yang handal mengandung makna bahwa mereka memiliki nilai-
nilai terminal atau instrinsik. Nilai-nilai terminal atau instrinsik yaitu keadaan akhir eksistensi
yang sangat diinginkan selama “hayat” (hidup). Sedangkan nilai instrumental merupakan modus-
modus perilaku yang lebih diinginkan atau cara-cara mencapai nilai terminal tersebut (Robbins,
1996 dalam Budiyono, 2007: 73). Nilai instrumental ialah sebuah nilai yang dapat diukur dan
Syaharuddin
566
diarahkan. Bila nilai ini berkaitan dengan tingkah laku manusia dalam kehidupan sehari-hari
maka hal itu merupakan suatu norma moral (Budiyono, 2007: 72). Pada level nasional, salah
seorang pahlawan yang telah menunjukkan perilaku kepahlawanan sebagai pemimpin yang
berhasil sekaligus memiliki kepribadian yang kuat dan handal adalah Jenderal Sudirman.
Pada tingkat lokal mungkin tepat tergambar melalui ketokohan Sultan Mat Seman
yang berjuang melawan imprealisme Belanda hingga mencapai 46 tahun lamanya (1859-
1905). Dapat dikatakan, hampir seluruh hidupnya digunakan untuk melawan Belanda.
Keterlibatannya dalam menentang Belanda sudah terjadi sejak ia berumur 24 tahun, tepatnya
ketika saat itu pecahnya Perang Banjarmasin 1859. Ia ikut membantu ayahnya, Antasari dalam
melakukan perlawanan terhadap penjajah Belanda. Ketika ayahnya meninggal tahun 1862,
perjuangan Mat Seman dilanjutkan bersama dengan saudaranya Panembahan Muhammad
Said. Perjuangan dengan kakaknya yang kemudian membentuk jaringan “pagustian”
berlangsung selama 13 tahun, yakni sampai kakaknya meninggal pada tahun 1875. Perjuangan
berhenti, sampai tahun 1905. Perjuangan selama 46 tahun, tentu bukanlah waktu yang singkat
untuk sebuah perjuangan. Dalam bahasa yang agak metaforis, maka plot hidup Sultan Muhammad
Seman diisi oleh campuran antara romantis, ironi dan tragedi (Sjamsuddin, 2011: 47).
III. PEMBAHASAN
3.1 Kalimantan Selatan pada Periode Pra Perang Banjar (1859)
Bermula dari intervensi pemerintah Kolonial Belanda terhadap kehidupan sosial politik
Kerajaan Banjar, yang kemudian mengangkat Sultan Tamjidillah menjadi pengganti raja Banjar
yang seharusnya dibebankan ke Pangeran Hidayatullah, maka gerakan sosial pun muncul
yang dipelopori oleh Aling.
Pada tahun 1858, terdengar berita tentang akan adanya sebuah ‘pemberontakan’, oleh
kalangan orang Banjar, khususnya di daerah Kotawaringin, Sampit dan bahkan juga di Sintang
(Kalimantan Barat). Isu ini dikuatkan oleh seorang pejabat Belanda di Tanah Laut (Kalimantan
Selatan) bernama Meijer sebagaimana tertulis dalam laporan memoirnya. Berbeda pula dengan
Residen von Bentheim yang tidak percaya akan isu itu. Ia justru yakin jika isu itu bukan ditujukan
kepada pemerintahan Belanda tapi terhadap Sultan Banjar (Sjamsuddin, 2001: 130).
Pada tanggal 22 Maret 1859, pemerintah Hindia Belanda menerima laporan dari
seorang mandor Jawa, bahwa di Muning telah tampil seorang yang menyebut dirinya “nabi”
yang bernama Aling. Tujuan kehadiran Aling adalah untuk mengembalikan kebesaran
kesultanan Banjarmasin (Sjamsuddin, 2001: 131). Kemunculan tokoh Aling diduga karena
kondisi sosial politik yang yang tidak menentu di Kerajaan Banjar. Yakni konflik berkepanjangan
antara Sultan Tamjidilllah dan Mangkubumi Hidayatullah yang memperebutkan tahta kerajaan.
Aling tidak sendiri, ia pun menggandeng Pangeran Antasari yang sebelumnya sudah lama
tersingkir dari keluarga kerajaan, bahkan ia pun sempat tidak popular bahkan namanya
tenggelam dalam masyarakat Banjar (Abar, 2002: 92).
Kelicikan Sultan Tamjidillah tampak ketika ia memerintahkan Kiai Gangga Suta dan Kiai
Karta Wedana yang waktu itu berkuasa di Muning agar membuat makar dan menghasut agar
Syaharuddin
567
pergolakan itu seakan-akan digerakan oleh Mangkubumi Hidayatullah (Sjamsuddin, 2001: 131).
Keterangan ini dapat dipahami bahwa telah terjadi intrik kerajaan. Sultan Tamjidillah sebagai
penguasa kerajaan yang tidak legitimate melakukan berbagai upaya untuk melanggengkan
kekuasaannya. Ia lakukan itu dengan berbagai cara, termasuk memfitnah Mangkubumi Hidayatullah.
Kondisi inilah yang kemudian membuat gerah masyarakat, dan muncullah gerakan sosial Aling
untuk mempromosikan Pangeran Antasari sebagai orang yang berhak menjadi Sultan Banjar.
Pada tanggal 26 Maret 1859, sesuatu yang cukup mengejutkan, karena berdasarkan
laporan dari administrator tambang batubara Pengaron, Tuan Jansen, bahwa sekitar 4000
orang sedang berkumpul di Muning dan Gunung Pamaton untuk memilih seorang sultan baru,
yakni Antasari. Antasari adalah orang yang pantas menjadi sultan disebabkan ia merupakan
pewaris dinasti kerajaan Banjar. Dalam catatan pemerintah Belanda, nama Antasari diperoleh
dari catatan Residen Van der Ven. Pangeran ini adalah salah seorang yang tercantum dalam
daftar anggota keluarga Sultan Adam yang mendapat apanase kerajaan di Mangkauk, yang
terletak pada perbatasan Banua Ampat (Sjamsuddin, 2001: 139).
Menurut Andersen, ada beberapa karakter Pangeran Antasari yang cukup
mengagumkan. Ia menggambarkan bahwa Antasari adalah bukanlah seorang yang “gila”
jabatan. Karena itu, ia tidak begitu berupaya merebut tahtanya. Ia adalah sosok yang sederhana,
dan berpenghasilan sebesar fl. 300 sampai fl. 400 per tahun. Ia juga tetap berbuat baik dengan
Tamjidillah dan juga dengan ayahnya (Abdul Rahman) serta kakeknya (Sultan Adam)” (van
Hengst, 1857-1860: 104, dalam Sjamsuddin, 2001: 139).
Penggambaran karakter Antasari oleh seorang asing (Belanda) tersebut tentu dapat
dipandang obyektif, mengingat umumnya penjajah lebih selalu memandang negatif para tokoh
pejuang lokal yang kadang ia sebut sebagai “pemberontak”. Beberapa karakter yang ditunjukkan
pada diri Pangeran Antasari yakni, (1) tidak haus akan kekuasaan; (2) patuh pada aturan yang
telah ditetapkan oleh kerajaan Banjar; (3) cermin hidup sederhana; (4) pekerja keras, sebagai
pemasok kayu untuk tambang di Pengaron; (5) menghargai orang lain, walaupun orang itu
membencinya, yakni Tamjidillah.
Diantara upaya Antasari membangun persekutuan dengan Gerakan Sosial Muning
yakni melalui ‘perkawinan politik’ antara keluarga Antasari dan keluarga Aling, yakni Gusti
Muhammad Said dengan Saranti yang diberi gelar Putri Junjung Buih. Hal ini tentu penting
dilakukan untuk menguatkan hubungan kedua belah pihak dalam menghadapi Kolonial
Belanda. Namun, pascapertemuan Antasari dengan Aling, Tamjidillah semakin ‘gerah’, dan
memerintahkan Antasari agar segera menjelaskan hasil pertemuannya dengan Aling. Tamjidillah
bahkan mengancam jika Antasari tidak datang ke Martapura menghadap Tamjidillah, maka
ibu Antasari, istri-istri, dan anak-anaknya yang masih ada di Martapura akan ditahan dan akan
dimasukkan ke dalam penjara (kurungan) serta akan dipertontonkan. Tidak hanya itu, ia juga
akan memenggal kepala Antasari (Sjamsuddin, 2001: 140-141). Hidayatullah sebagai
mangkubumi dan bawahan Tamjidillah tentu kesulitan menjalankan perintah itu. Selain Antasari
masih kerabatnya, secara psikologis ia juga berbeda pendapat tentang beberapa hal dengan
Tamjidillah. Karena itu, ia memerintahkan bawahannya agar perintah itu tidak usah dilaksanakan.
Tentu hal ini menambah keruh hubungan antara Hidayatullah dengan Tamjidillah.
Syaharuddin
568
Menurut Hidayatullah, perintah Tamjidillah terlalu berlebihan. Pertimbangannya adalah
bahwa Antasari masih dianggap seorang yang berasal dari keturunan tinggi dan diperlukan
sebagai seorang tokoh yang disegani dan dihormati. Karena itu, tidak ada satu orang pun di
Martapura berani ‘menyentuhnya’. Namun begitu, keluarga Antasari di Martapura tetap mencari
perlindungan untuk menghindari sikap keras Tamjidillah. Disamping itu, Antasari tetap menjawab
permintaan Tamjidillah, namun ia tak akan datang karena dipaksa, tapi ia akan datang atas
kemauannya sendiri. Adapun pertemuannya dengan Aling, dia katakan hanya pertemuan biasa
(Sjamsuddin, 2001: 141-142).
Keterangan di atas memberikan sebuah gambaran watak seorang Antasari, yakni
seorang yang mempunyai karakter kepemimpinan. Hal ini tampak ketika ia tidak akan
menghadap sultan karena paksaan, namun ia akan menghadap karena kemauannya sendiri.
Sikap seperti ini sangat diperlukan untuk tetap memiliki jatidiri. Sikap itu pun justru membuat
Antasari semakin diakui oleh pengikutnya karena keberaniannya. Sikap berani (karena benar),
berani memperjuangkan haknya, berani melawan kekeliruan penguasa adalah beberapa sikap
Antasari yang patut dikedepankan dalam sejarah sebagai bentuk karakter yang harus ditiru
oleh generasi muda saat ini.
Rencana perkawinan ‘politik’ antara putri Aling dengan putra Antasari semakin dekat,
namun putra Antasari Gusti Muhamad Said meminta satu hal, agar Aling membuktikan janjinya
yakni menyingkirkan Tamjidillah, “mudah untuk dilakukan tapi tolong lebih dahulu ayah saya”,
demikian ucapan Gusti Muhamad Said waktu itu (Sjamsuddin, 2001:142). Pemandangan ini
menunjukkan bahwa Gusti Muhamad Said adalah seorang anak yang berbakti kepada orang
tua dan cinta kepada masyarakat dan tanah airnya (tanah Banjar).
Setelah pertemuan dengan Aling di Tambai Mekkah, Antasari mulai membangun
jaringan sosial dengan cara melakukan silaturahmi dengan para pemimpin yang ada di Banua
Lima, seperti Temengung Jalil di Amuntai; Temenggung Surapati di Tanah Dusun (komunitas
Dayak); Pangeran Kusuma, seorang Sultan Pasir.
Aktivitas Antasari semakin hari semakin memperlihatkan kekuatannya, sebaliknya
Tamjidillah merasakan ancaman semakin dekat. Ia pun memohon kepada Residen untuk
memberikan bantuan militer. Tamjidillah pun memerintahkan agar keraton dibentengi dengan
batang-batang nibum dan diperkuat dengan meriam-meriam. Ia juga memerintahkan seluruh
rakyat di Martapura untuk melindungi keraton dari serangan Antasari yang bersekutu dengan
Aling. Namun, ekspektasi Tamjidilah tidak sesuai dengan kenyataan, karena ia hanya mendapat
dukungan rakyat sekitar 500-600 orang. Ia menuduh jika orang-orang Martapura telah
bersekongkol dengan orang-orang Muning (Sjamsuddin, 2001: 144).
Informasi tersebut dapat dipahami bahwa telah terjadi penurunan kepercayaan kepada
seorang Tamjidillah. Dan, justru berbalik dengan Antasari, mendapat dukungan penuh. Apa
yang dicontohkan Antasari sejak ia disingkirkan dari keraton, sampai kembali membangun
kekuatan baru bersama Aling adalah sebuah gambaran positif bahwa membangun trust tidak
bisa instant, namun melalui proses yang cukup panjang dan memerlukan pengorbanan.
Syaharuddin
569
Akhirnya, Tamjidillah secara diam-diam “melarikan diri” ke Banjarmasin atas saran
Residen dengan meninggalkan istri-istri dan anak-anaknya. Kepergiannya ke Banjarmasin
justru memperkeruh suasana di Martapura. Masyarakat mulai berfikir yang ‘aneh-aneh’.
Misalnya, adanya ramalan bahwa setelah sultan ke-12 sejak Sultan Suriansyah akan ada
penggantian sultan dari dinasti lain. Kebetulan sultan ke-13 itu adalah Sultan Tamjidillah.
Rakyat juga membicarakan tentang kutukan dari Sultan Adam mulai terbukti atas diri Sultan
Tamjidillah yang telah mengusurpasi hak-hak Hidayatullah (Sjamsuddin, 2001: 145).
Sementara itu, pengaruh Panembahan Aling semakin bertambah. Bahkan Tambai
Mekkah, wilayah kekuasaan Aling seakan semacam ziarah tempat suci bagi para simpatisannya,
mulai dari para pekerja intan sampai para perampok. Pengaruh Aling pun sampai ke berbagai
daerah seperti di Tanah Laut dan Sungai Kapuas Murung. Dukungan juga diperoleh dari
Pembakal Ali Akhbar dari Sungkai, Pembakal Bakim dan Pengaron. Kedua orang ini awalnya
mendapat perintah dari Tamjidillah untuk menangkap Aling sekeluarga, namun diurungkan
(Sjamsuddin, 2001: 49). Penggambaran ini menunjukkan bahwa Antasari cukup mendapat
tempat di hati masyarakat Banjar waktu itu. Hal itu pula yang mendorong pembakal Ali Akhbar
dan Pembakal Bakim mengurungkan niatnya melakukan penangkapan terhadap Antasari
dengan keluarganya. Dan sebaliknya, popularitas Tamjidillah semakin menurun.
Pada intinya, gerakan sosial Aling adalah gerakan sosial yang mendukung kelompok
keluarga keraton yang tersingkir dari Kerajaan Banjar, dan gerakan sosial ini walaupun tidak
berhasil sebagaimana gerakan sosial Patih Masih, tetapi gerakan ini terus hidup dan
berpengaruh terhadap perlawanan selanjutnya oleh bubuhan Antasari dan bubuhan Surapati
(Abar, 2002: 96).
3.2 Kalimantan Selatan Pada Periode Perang Banjar (1859-1860)
Terjalinnya hubungan dan kerjasama yang baik antara Antasari dan Surapati adalah
sebuah simbol hilangnya batas-batasnya etnisitas, khususnya Banjar dan Dayak. Fakta ini
perlu dijelaskan kaitannya dengan tujuan dan hakekat pembelajaran IPS, bahwa diantara ciri
warga negara yang baik adalah orang yang dapat menghargai perbedaan, baik itu agama,
suku dan berbagai bentuk perbedaan lainnya.
Peran Hidayatullah selama menghadapi dan menjalani Perang Banjar, cukup sulit
dipahami. Ia kadang melemah kepada Kolonial Belanda, namun kadang tegas. Karena itu,
mungkin tidak berlebihan jika ia penulis sebut sebagai “sang fenomenal”.
Ada tiga alasan mengapa Hidayatullah dikatakan seorang yang sangat fenomenal,
pertama, pada fase pertama perang Banjar, Hidayatullah bersikap ambivalen; kedua,
Hidayatullah memimpin Perang Banjar; dan ketiga, pada fase ketiga ia ‘menyerah’.Pada fase
pertama, Hidayatullah memperlihatkan sikap yang mendua (ambivalen). Satu sisi ia mendukung
perlawanan rakyat Banjar, namun disisi lain ia juga membocorkan berita penyerangan Aling
kepada para pejabat Belanda, seperti: Von Benthem, Andresen dan Neiuwenhuizen. Ia juga
memberikan perlindungan kepada keluarga-keluarga Eropa yang masih hidup, ketika terjadi
pembunuhan atas orang-orang Eropa di Kalangan. Ia juga telah mendahului mencegah Antasari
dan Aminullah untuk menyerang Banjarmasin sebelum bantuan pasukan Belanda tiba dari
Syaharuddin
570
Jawa. Namun, ia kemudian melarikan diri dari Martapura dan bergabung bersama pasukan
Antasari di Hulu Sungai (Benua Lima). Selama bergabung dengan pasukan Antasari di Hulu
Sungai, ia masih tetap berkorespondensi dengan Andresen dan Nieuwwenhuijzen. Menurut
Sjamsudin, Hidayatullah masih berharap akan terjadinya rekonsiliasi, namun justru yang terjadi
sebaliknya, ia justru mendapat ultimatum. Akhirnya, ia pun memutuskan untuk bergabung dengan
rakyatnya dan berada di tengah-tengah pasukan sebagai seorang pemimpin perang
(Sjamsuddin, 2001: -188-189, Abar, 2002: 100).
Fase kedua, pascapemberian ultimatum oleh Residen Neiuwwenhuijzen, maka
Hidayatullah mengambil langkah pasti yakni memimpin perlawanan bersama-sama dengan
Antasari. Walau demikian, posisi Hidayatullah menurut Sjamsuddin (2001: 189) tidak lebih dari
sebuah simbol perjuangan daripada seorang yang aktif dalam pertempuran. Namanya
dipergunakan sebagai sebuah titik tumpu untuk mendapatkan lebih banyak pengikut. Karena
itu, dapat dikatakan bahwa perlawanan dari Antasari, Demang Lehman, Aminullah dan beberapa
tokoh lainnya yang menggerakkan Perang Banjar adalah sebuah perjuangan untuk Hidayatullah,
sebagai orang yang berhak atas kesultanan Banjar yang telah direbut oleh Tamjidillah atas
bantuan Pemerintah Belanda. Karena itu, Hidayatullah menjadi target kedua setelah Antasari,
dengan memasang harga atas kepalanya sebesar fl. 10.000, sebagaimana juga harga yang
sama yang ditujukan kepada Antasari sebelumnya. Sedangkan Demang Lehman dihargai f.
2.000 (Ideham, 2004: 213).
Selama perang gerilya berlangsung, Hidayatullah dan keluarganya selalu berpindah-
pindah. Antara bulan Maret 1860-sampai Desember 1861, ia harus berpindah antara Banua
Lima dan Tanah Laut yang berjarak kira-kira 300 km. Ia juga pernah berada di perbatasan-
perbatasan Kusan, Cantong, Bangkalan, dan Pasir –kerajaan–kerajaan kecil di Pantai Timur
Kalimantan. Beberapa laporan juga diperoleh kalau ia pernah bersama-sama dengan Pangeran
Aminullah, dan Demang Lehman. Penjelasan ini adalah sebuah gambaran ketabahan, keuletan
dan kesabaran seorang Hidayatullah,walau pada akhirnya ia harus menyerah. Dan ini pula
yang mengganjalnya meraih sebagai pahlawan nasional. Fase ketiga adalah fase ‘menyerah’.
Beberapa latar belakang pada fase ini adalah karena Demang Lehman menyerah lebih awal.
Padahal, ia diibaratkan ‘jenderalnya’ Hidayatullah. Hal ini diperparah ketika penyerahan ini
diikuti oleh beberapa pemimpin perlawanan lainnya pada tanggal 2 Oktober 1861. Demang
Lehman adalah seorang pengikut Hidayatullah yang sangat setia. Sebelum perang, ia diangkat
oleh Hidayatullah sebagai Lalawangan (kepala) daerah Sungai Riam Kanan dengan gelar Kiai
Demang. Hidayatullah juga telah menganugerahkan kepadanya sebuah tombak berlilit dan
keris untuk tanda jabatannya itu. Sebelum menyerah, ia telah membuktikan dirinya sebagai
seorang pemimpin perlawanan yang amat berani. Sumber lain juga menjelaskan bahwa berkat
pemberian tombak dan keris dari Hidayatullah, ia tampak sebagai seorang pahlawan yang
perkasa dan kuat. Namun, karena kekurangan bahan makanan yang secara massif, maka
Demang Lehman pun menyerah (Sjamsuddin, 2001: 190-191, Bondan, 1953: 62). Menyerahnya
Demang Lehman merupakan langkah awal untuk mengakhiri Perang Banjar, setidaknya
demikian apa yang ada dipikiran Mayor Verspijk. Sebelum Hidayatullah menyerah, Demang
Lehman sempat menjanjikan kepada Verspijck untuk membujuk Hidayatullah untuk
Syaharuddin
571
berkapitulasi. Tepat pukul 17.00 tanggal 28 Januari 1862 Hidayatullah menyerahkan diri
bersama dengan seluruh pengikutnya di Martapura (Sjamsuddin, 2001: 191).
Tertangkapnya Hidayatullah berdampak terhadap menurunnya semangat
pemberontakan, dan sebaliknya tekanan Belanda semakin kuat. Karena itu, semakin jelas kiranya
bahwa Hidayatullah adalah sebuah simbol perlawanan Perang Banjar (Abar, 2002: 100).
Keterangan ini dapat dimaknai lebih dalam tentang penyerahan Hidayatullah yang
sampai hari ini menjadi kontroversial oleh para sejarawan dan masyarakat Kalimantan Selatan.
Korespondensi yang cukup intens melalui kurir Demang Lehman dengan Hidayatullah cukup
memberi andil mengapa kemudian Hidayatullah menyerah. Keputusan Hidayatullah ‘menyerah’
kepada Belanda, tentu dengan berbagai pertimbangan, termasuk juga ‘pengaruh’ Demang
Lehman melalui koresponden yang ia lakukan. Artinya bahwa, menyerahnya Hidayatullah banyak
faktor yang mendahuluinya, disamping berbagai ancaman dari Belanda untuk dirinya dan
khususnya keluarganya, pengaruh korespondensi Demang Lehman untuk menyerah juga
menjadi bagian penting drama penyerahan diri Hidayatullah. Namun demikian, rasanya terlalu
naif jika hanya karena adanya kata ‘menyerah’ yang disematkan kepada dirinya lalu ia dianggap
(oleh sebagian masyarakat Banjar saat ini) sebagai pengecut dan bukan pahlawan. Karena itu
pula, saya berfikir bahwa ia juga berhak memeroleh predikat sebagai pahlawan nasional
disamping Antasari. Apalagi, ia adalah simbol perlawanan masyarakat Banjar saat itu.
Hidayatullah sang fenomenal dikuatkan oleh keterangan Andresen. Ia memberikan
gambaran karakter tokoh ini, menurutnya pribadi Hidayatullah sejak muda adalah seorang yang
cepat marah, keras kepala, dan suka membangkang. Ia juga seorang yang cepat tersinggung
dan angkuh, ditemani oleh seorang kepercayaannya, ia acapkali tinggal di hutan beberapa hari
apabila ia menganggap ia disalahkan oleh ayahnya atau berselisih pendapat. Namun, pada
waktu tertentu kemudian, ia lebih lunak dan lemah lembut. Ia mempunyai perasaan simpati dan
murah hati kepada orang-orang yang mengabdi kepadanya, ia juga dicintai dan dihormati oleh
mereka yang kebetulan berhubungan dengannya. Ia tidak mengutamakan kekayaan, ia murah
hati kepada bawahannya atau anggota-anggota keluarga raja yang kurang penting, ia acapkali
memberikan apa yang dimilikinya, dan lebih dari sekali ia membayarkan utang-utang orang lain
meskipun untuk itu ia harus mengeluarkan banyak uang (Sjamsuddin, 2001: 110).
Agak berbeda dengan van Ress tentang sosok Hidayatullah, menurutnya, ia adalah
seorang yang taat beragama (godsdienstpligen), pencinta tanah air (vaderlandsliefde) yang
menyala-nyala, dalam hal tanah air Banjar, suka memberi pertolongan, seorang yang berbudi.
Karena akhlak itu, maka ia pun dihormati orang termasuk kakeknya, Sultan Adam (H. G. Mayur,
1979: 10 dalam Subiyakto, 2010: 36-36).
Tanggal 18 Juni 1859, Pengaron, tempat bermulanya Perang Banjar dikuasai kembali
oleh Belanda. Antasari, keluarganya dan tentu juga para pengikutnya mundur ke pedalaman,
yakni ke Banua Lima (Amuntai) dan selanjutnya ke Tanah Dusun. Di Tanah Dusun ia bertemu
dengan kerabatnya, Temenggung Surapati, yang menjadi Kepala Suku utama Dayak Siang-
Murung. Hubungan kekerabatan kedua tokoh ini bersumber dari hubungan perkawinan antara
Antasari dengan Nyai Fatimah. Yang mana Nyai Fatimah memiliki hubungan darah dengan
Surapati. Selain menjalin persekutuan dengan Surapati, Antasari juga menjalin hubungan
Syaharuddin
572
dengan Temenggung Aryapati, kepala suku Dayak Anga di Teweh. Sedangkan di daerah Buntok-
kecil (sekitar 40 km di udik Muara Teweh), Sultan Muhamad Seman menjalin hubungan dengan
Panglima Batur. Ia adalah seorang Dayak yang telah menganut Islam (Ideham, 2004: 276).
Berdasarkan informasi dari Verspijck, Antasari pun memiliki hubungan kekerabatan
dengan Aryapati. Bagaimana hubungan kekerabatan itu, tidak begitu jelas. Yang pasti, kakek
Antasari Pangeran Amir telah membentuk suatu jaringan kekerabatan dengan orang-orang
Dayak ketika melakukan perlawanan terhadap Belanda di Tanah Dusun pada abad ke-18.
Mengetahui bahwa Antasari memiliki hubungan kerabat dan bahkan akan bersekutu dengan
Surapati, Belanda pun ‘memutar’ otak untuk mengatasi hal itu. Jika ini benar-benar terjadi,
maka perang dapat dipastikan akan berkepanjangan, demikian pemikiran Belanda saat itu.
Strategi yang ia lakukan kemudian adalah dengan melakukan perundingan dengan Surapati
melalui Haji Muhammad Taib sebagai penerjemah. Bengert, seorang komandan dan pejabat
sipil Belanda di Marabahan dan Tanah Dusun mencoba mengisolasi Surapati dan juga para
pemimpin Dayak lainnya di Tanah Dusun. Ia begitu yakin dapat melakukan itu, karena ia cukup
kenal dan bahkan berteman dengan Surapati sebelumnya. Dengan modal (sosial) itu, ia pun
yakin jika persekutuan Antasari dan Surapati tidak terjadi (Sjamsuddin, 2001: 199). Rupanya,
modal sosial (social capital) yang dimiliki oleh Bengert tidak cukup untuk memengaruhi Surapati.
Sebaliknya, Surapati memperlihatkan dukungannya terhadap perjuangan Antasari, sebagai
bukti bahwa modal sosial Antasari yang telah dibangun dan dipelihara itu terbukti ampuh.
Pada tanggal 19 November 1859, kapal api Onrust di bawah komando Letnan J.C.H.
Van de Velde membawa Bengert dan Haji Taib berlayar ke Hulu Sungai dengan pengawalan
20 orang serdadu. Tujuannya adalah untuk membujuk Surapati agar tidak bersekutu dengan
Antasari. Namun, dalam perjalanan ini, pihak Belanda belum dapat bertemu dengan Surapati.
Selama perjalanan menuju Hulu Sungai Barito, tidak tampak ketegangan dan suasana rencana
peperangan. Hal itu dapat dilihat dari pemandangan yang disaksikan oleh Belanda di Muara
Sungai Teweh, yakni keadaan masyarakat tenang, bahkan masyarakat menghampiri kapal
seraya menawarkan buah-buahan dan daging segar. Informasi penting yang diperoleh oleh
Van de Velde selama perjalanan itu adalah bahwa Antasari telah membujuk Surapati untuk
mengambil peranan bahkan aktif dalam perlawanan. Akan tetapi, Surapati menolak dan bahkan
memerintahkan untuk menangkap Antasari. Mendengar berita tersebut, Letnan R.L. de Haes
merasa senang. Namun, ia belum puas, ia pun merencanakan akan berupaya menemui lagi
Surapati pada bulan Desember 1859 untuk membujuk Surapati dengan beberapa tawaran.
Tawaran itu adalah adanya sejumlah uang jika berhasil menyerahkan Antasari dan
kedua akan melantik Surapati sebagai Pangeran. Kedua tawaran ini, ternyata sebuah
boomerang., karena tawaran itu tidak masuk akal, malah justru memperkuat semangat Surapati
untuk “menghabisi” Belanda. Kecerobohan itu adalah menjanjikan Surapati sebagai pangeran
kelak. Padahal, tradisi pengangkatan pangeran dalam kesultanan Banjar hanya dapat dilakukan
berdasarkan garis keturunan atau penguasa pribumi. Pada tanggal 14 Desember 1859, kapal
Onrust meninggalkan Banjarmasin menuju Marabahan dengan awak kapal yang terdiri dari
enam orang perwira, 25 orang Eropa, 20 orang serdadu pribumi. Di Marabahan, Onrust singgah
mengambil Bengert dan Haji Taib bersama dengan pelayan-pelayannya Talib dan Takol.
Syaharuddin
573
Setelah sampai di Lontontuor, 19 Desember 1959, proses negoisasi pun berlangsung. Baru
setelah tanggal 23 Desember terdengar kabar jika Surapati dan kepala suku Dayak lainnya
akan datang menemui para pemimpin Belanda di kapal Onrust (Sjamsuddin, 2001: 201).
Pada tanggal 27 Desember 1959, Surapati beserta 15 orang pengikutnya termasuk
mantra-mantrinya, dan dua orang putranya, Temenggung Kornel dan Temenggung Lada, dan
menantunya, Burakhman (Kiai Karsa Muda), dalam sebuah perahu besar (Onrust), menemui
Bangert dan Van de Velde untuk berunding. Sementara yang lain mengikuti dalam perahu-
perahu kecil di belakang. Saat itu, Haji Taib melihat jika ada gelagat kurang baik dari pihak
Surapati. Namun, Bangert dan Van de Velde tidak melihat dan tidak percaya jika akan terjadi
penyerangan. Dan, tiba begitu lama, penyerangan pun terjadi. Kapal Perang Onrust
ditenggelamkan, dan membunuh semua isi kapal (Sjamsuddin, 2001: 202-204).
Syaharuddin
574
Perang di Benteng Wangkang dekat Sungai Bedandan, 27 Desember 1870 dengan
latar belakang:
1. Dendam pribadi Wangkang atas perilaku Belanda yang telah menghukum ayahnya
dengan digantung di Benteng Tatas Banjarmasin;
2. Pembakaran desa, ladang dan rakit secara massif yang dilakukan oleh Belanda
pada tahun 1860 di bagian atas Mengkatip, termasuk milik Wangkang;
3. Adanya ancaman dari Residen Tromp, bahwa jika Wangkang tidak mau datang
(menghadap Residen) dalam waktu lima belas menit, maka serdadu-serdadu
diperintahkan untuk menangkap Wangkang. Respons Wangkang mendengar hal
itu cukup keras, dan menentang balik. Residen tidak terima atas jawaban Wangkang
yang menantang.
Dalam perang tersebut, keluarga Antasari dan Surapati memberikan pengakuan
terhadap Wangkang sebagai pemimpin dari sebuah laskar yang terdiri dari 50 orang dan diberi
gelar sebagai Kiai Mas Demang. Hal tersebut berdasarkan perlawanan dan keterlibatan
Wangkang seperti:
1. Ikut serta mempertahankan Benteng Lahei dari serangan Belanda pada tahun
1860.
3. Ikut menyerang benteng-benteng Belanda di Barabai, Hampukong dan Tabalong.
4. Ikut serta dalam pertempuran Gunung Tongka (8 November 1861).
5. Memimpin laskarnya pada setiap ada operasi atas perintah Antasari atau Surapati.
6. Mempertahankan Benteng Wangkang tanggal 27 Desember 1870, atas penyerangan
Belanda di Simpang Durakhman dekat Sungai Bedandan Marabahan.
7. Pemberontakan di Banjarmasin tanggal 25 November 1870.
Dalam perang tersebut terlibat:
1. Wangkang, putra pemberontak Pembakal Kendet yang dihukum gantung di Benteng
Tatas Banjarmasin, tahun 1825,
2. Temenggung Ajidan (bubuhan Surapati),
3. Temenggung Kornel (bubuhan Surapati),
4. Burakhman (bubuhan Surapati),
5. Syarif Hasyim (utusan Residen),
6. Ronggo (utusan Residen),
7. Residen Tromp,
8. Residen Schultze,
9. Residen Van Ham, dan
10. Suta Ono (Kepala Distrik Timur, Dayak Siong di Paju Apat).
Adapun karakter Wangkang:
Syaharuddin
575
1. Menurut Kielstra: Wangkang seorang yang cerdas, memiliki kamauan yang keras.
Bahkan ia digambarkan seperti manusia setengah dewa yang memiliki kekuatan
yang luar biasa.
2. Menurut Schoemaker: seorang yang licik, khianat, tidak bisa dipercaya dan
pendendam.
3. Menurut Haji Ibrahim (penulis Syair Perang Wangkang): seorang bandit sosial, anti
kolonial.
4. Menurut Helius Sjamsuddin: Pemberontakan Wangkang didalangi oleh keluarga
Antasari dan Surapati, dan Wangkang adalah ujung tombaknya. Dalam hal ini
Wangkang ibarat “kuda troya”, yakni seorang panglima perang yang gagah berani
dan selalu berada paling depan.
Dampak Perang Wangkang: (Pertempuran di Banjarmasin, 25 November 1870:)
1. Terdapat 5 pemberontak yang tewas dari pihak Wangkang.
2. Sebanyak 4 orang dipapah dari pihak Wangkang.
3. Informasi lain dari Tromp adalah 60 orang tewas dari pihak Wangkang, empat
orang serdadu Belanda tewas, dua opsir Eropa dan seorang serdadu luka-luka.
4. Penduduk Banjarmasin panik, karena Wangkang mengancam akan mendatangkan
1000 pengikutnya untuk melakukan penyerangan, namun sebenarnya itu hanya
ancaman dan strategi Wangkang agar Belanda tidak mengejarnya.
Akibat pertempuran tersebut Wangkang tewas dan beberapa pengikutnya melarikan
diri, ada yang menyerah, ada yang ditangkap, sebagian digantung dan sebagian lagi diasingkan.
(Sjamsuddin, 2001: 283-318).
Nilai sejarah lokal Banjar yang dapat dipetik dari peristiwa Perang Wangkang, yakni:
(a) Ketaatan pada pemimpin. Hal ini tampak ketika Panglima Wangkang selalu patuh
menjalankan perintah atasannya, yakni Antasari dan Temenggung; (b) Keberanian. “Kuda Troya”
adalah sebuah kesimpulan Sjamsuddin (2001) yang disematkan kepada Panglima Wangkang.
Hal ini dapat dipahami bahwa ia adalah seorang yang gagah berani, terbukti, hampir semua
pertempuran diikutinya. Ia adalah sebuah gambaran tokoh yang penuh keberanian. Tewasnya
Panglima Wangkang pada pertempuran di Benteng Wangkang dekat Sungai Bedandan,
Marabahan, 27 Desember 1870 adalah sebuah penegas bahwa ia adalah seorang pemimpin
yang sangat berani, bahkan nyawanya pun ia korbankan.
3.4 Nilai-Nilai Sejarah Lokal (Banjar) dalam Pembelajaran IPS
Kajian tentang nilai-nilai sejarah lokal atau dalam kata lain fenomena sejarah dan
juga kearifan lokal menurut sebagian pendapat penting dilakukan dalam rangka menjawab
persoalan kekinian (Margana, 2010: 5). Menurut penulis, persoalan kekinian itu sangatlah
luas, masalah sosial misalnya, mulai dari persoalan tawuran remaja, kriminalitas, kemiskinan,
lingkungan. Begitu pula dengan menurunnya kohesi sosial, yang ditandai dengan munculnya
pribadi manusia yang tampil dengan penuh pamrih, suka menghujat, pemarah, pendendam,
individualis, dan tidak toleran terhadap kelompok lain. Bahkan, isu yang tidak kalah pentingnya
Syaharuddin
576
adalah fenomena korupsi. Semua itu adalah adalah persoalan-persoalan sosial kekinian bangsa
ini yang menjadi bagian utama kajian IPS. Karena itu, bagaimana nilai-nilai sejarah lokal
diajarkan melalui pembelajaran IPS menjadi penting dirumuskan dalam rangka memenuhi
tujuan pembelajaran IPS, khusus kemampuan peserta didik dalam berkomunikasi, bekerjasama
dan berkompetisi dalam masyarakat yang majemuk (Maryani, 2011: 60).
Jika dicermati tujuan pendidikan IPS tersebut, maka kaitannya dengan pembelajaran
nilai-nilai sejarah lokal tentu memiliki hubungan yang signifikan, yakni bagaimana nilai-nilai sejarah
lokal melalui peran para tokoh-tokoh lokal dalam mempertahankan wilayahnya dari penjajahan.
Peran para tokoh, seperti: Hidayatullah, Antasari, Demang Lehman, Tumenggung, Panglima
Wangkang, Panembahan Muhammad Said, dan Sultan Muhammad Seman telah memberikan
nilai-nilai yang patut diteladani, seperti nilai-nilai keberanian, pantang menyerah, kemampuan
berkomunikasi dan kerjasama, menjunjung tinggi sikap toleransi, dan cinta tanah air.
Tentu sikap-sikap ini menjadi penting dimunculkan pada setiap pembelajaran IPS
berlangsung dalam kelas. Kemampuan guru memahami nilai-nilai sejarah lokal, yang kemudian
dilanjutkan dalam bentuk rencana pembelajaran tentu akan berdampak terhadap hasil belajar
peserta didik, yakni pembelajaran yang meaningfull, sarat dengan makna melalui sikap yang
ditunjukkan oleh para tokoh-tokoh pejuang lokal tersebut.
Untuk memperkuat internalisasi nilai-nilai sejarah lokal, maka tidak cukup hanya melalui
pembelajaran dengan menggunakan pendekatan, model dan metode tertentu, akan tetapi,
keteladanan seorang guru, dan orang-orang di lingkungan sekolah (Kepala Sekolah, staf sekolah,
dll), orang tua dan keluarga di rumah serta elite masyarakat dan masyarakat umum di masyarakat
juga ikut berpengaruh terhadap pembentukan sikap peserta didik (Rachman, 2007: 62).
Nilai-nilai sejarah lokal seperti karakter kerjasama, kerja keras, berani, sikap toleransi
dan cinta akan tanah air, yang diperoleh dari sikap yang ditunjukkan oleh para pelaku tokoh
lokal tersebut, dalam menghadapi imprealisme kolonialisme Belanda adalah sesuatu yang
masih bersifat das sollen, normatif, dan ideal. Bagaimana nilai-nilai itu mampu menjadi sebuah
yang das sein, riil, dan mampu teraktualisasikan dalam pengalaman belajar serta kehidupan
peserta didik? Diantara strategi yang dilakukan adalah optimalisasi pendekatan, model, metode
dan strategi dalam pembelajaran IPS.
Paling tidak beberapa karakteristik pendekatan, model dan strategi itu yakni proses
pembelajaran yang diselenggarakan haruslah secara interaktif, inspiratif, menyenangkan,
menantang, memotivasi peserta didik untuk berpartisipasi aktif, serta memberikan ruang yang
cukup bagi prakarsa, kreativitas dan kemandirian sesuai dengan bakat, minat dan
perkembangan fisik serta psikologis peserta didik (PPRI, Nomor 19 Tahun 2005). Beberapa
model yang ditawarkan oleh Joice, dkk. (2009), untuk pembelajaran sosial, dan berpotensi
membentuk karakter, seperti group investigation dan role play. Pakar lain menawarkan inquiry.
Selama proses implementasi inquiry, group investigation dan role play dalam pembelajaran di
kelas, maka potensi pembentukan karakter kerjasama, membangun sikap toleransi, menghargai
orang lain, sikap toleransi, dan kemampuan membangun kepercayaan diri akan semakin baik
(Joyce, dkk., 2009: 302).
Syaharuddin
577
Gambaran tersebut, memberikan penekanan bahwa peran guru dalam penanaman
nilai-nilai cukup penting. Peran guru tidak berhenti hanya pada transfer of knowledge, tapi
seharusnya sampai pada transfer of values (Amin, 1990, dalam Al Muchtar, 1991: 68). Hal ini
diperkuat oleh Matcalf (1971, dalam Al Muchtar, 1991: 68) bahwa analisis nilai (value analysis)
yang merupakan pendekatan dalam pendidikan moral dapat diaplikasikan dalam pendidikan
IPS, bahkan sejalan dan menunjang terhadap pengembangan kemampuan berfikir,
sebagaimana juga ditegaskan oleh Crobelt (1983, dalam Al Muchtar, 1991: 69)”……should be
to develop in individual the ability to make rationally defensible moral judgments”.
Keterangan tersebut memberi penegasan bahwa sejarah lokal (Banjar) yang sarat
dengan nilai-nilai yang dapat dibaca melalui peran para tokoh-tokoh pejuangnya, penting
ditransfer secara baik oleh guru. Indikasi selama ini, guru tidak lebih hanya berfungsi sebagai
transfer of knowledge terhadap peserta didik, hal ini diperparah ketika metode yang digunakan
kurang bervariatif, yakni didominasi oleh metode ceramah dan sumber belajar terbatas pada
buku teks (text book) sehingga terkesan pembelajaran IPS, khususnya pelajaran sejarah adalah
pelajaran yang gampang, mudah dihafal (karena hanya terdiri dari fakta-fakta), bisa diajarkan
oleh siapa saja dan tidak begitu penting bagi bekal peserta didik dalam kehidupannya. Jika
dikaitkan dengan tujuan pendidikan IPS, diantaranya peserta didik memiliki kemampuan
berkomunikasi, bekerjasama dan berkompetisi dalam masyarakat yang majemuk (Maryani,
2011: 60), tentu sangat kontradiktif, karena ternyata permasalahan sosial yang muncul selama
ini, paling tidak selama Orde Baru dan periode pascareformasi yakni ketidakmampuan
masyarakat dalam berkomunikasi sehingga terjadi miskonsepsi, miskomunikasi dan akhirnya
konflik pun menjadi. Ketidakmampuan berkomunikasi berlanjut ketidakmampuan bekerjasama.
Hal ini tentu berdampak terhadap munculnya pribadi-pribadi yang individualistis (egois) yang
kadang tidak dapat menghargai perbedaan. Sementara secara faktual, Indonesia adalah sebuah
negara yang sangat majemuk. Majemuk dari segi suku, bahasa, agama, dan kelompok lainnya.
IV. SIMPULAN
Sejarah lokal memiliki kemampuan memberikan sumbangan berupa kesadaran
sebagai bangsa yang multibudaya, ditunjukkan dengan pengakuan akan kelemahan masing-
masing dengan membangun kesederajatan diantara kebhinekaan. Pada akhirnya, kesadaran
sejarah (lokal) sangat berpotensi dalam membentuk nilai-nilai kejuangan seperti karakter kerja
keras, pantang menyerah, pemberani, mampu menjalin kerjasama, memiliki sikap toleransi
dan cinta tanah air.
Penggambaran karakter tokoh-tokoh lokal dalam Sejarah Lokal Kalimantan Selatan
secara baik, seperti: Pangeran Hidayatullah, Pangeran Antasari, Demang Lehman, Temenggung
Surapati, Gusti Muhamad Said, Gusti Muhamad Seman, dan Panglima Wangkang,
sebagaimana telah diuraikan memiliki pengaruh yang cukup besar dalam proses pembentukan
nilai-nilai kejuangan. Peraihan nilai-nilai kejuangan seperti karakter kerjasama, kerja keras,
berani, sikap toleransi dan cinta akan tanah airnya, sebagaimana yang tergambar dari para
tokoh-tokoh lokal Kalimantan Selatan selama periode Perang Banjar (1859-1906) tersebut
Syaharuddin
578
hanya akan terjadi jika internalisasi nilai-nilai sejarah lokal itu dilakukan dengan pendekatan,
model dan strategi yang tepat, seperti group investigation, role play dan inquiry selama proses
belajar mengajar di sekolah oleh guru melalui pembelajaran IPS, serta keteladanan para guru
(dan lingkungan sekolah: Kepala Sekolah, Staf TU, dll.), orang tua (dan keluarga terdekat) dan
lingkungan masyarakat (terutama para elitenya).
DAFTAR PUATAKA
Abar, Husni. 2002. Panembahan Muda Aling Datu Muning: Sebuah Studi Kasus tentang
Kekuasaan dalam Masyarakat Banjar. Tapin: Pemda Tapin Kalimantan Selatan.
Abdullah, Taufik. 2005. Sejarah Lokal di Indonesia. Yogyakarta: Gadjah Mada.
Al Muchtar, Suwarma. 1991. “Pengembangan Kemampuan Berfikir dan Nilai dalam
Pendidikan IPS”. Disertasi, Pascasarjana UPI, tidak diterbitkan.
Bondan, Amir Hasan Kiai. 1953. Suluh Sejarah Kalimantan. Bandjarmasin: Fadjar.
Budiyono, Kabul. 2007. Nilai-nilai Kepribadian dan Kejuangan Bangsa Indonesia. Bandung:
Alfabeta.
Ideham, Suriansyah, dkk. 2004. Sejarah Banjar. Banjarmasin: Balitbangda Provinsi
Kalimantan Selatan.
Ideham, Suriansyah, dkk. 2007. Urang Banjar dan Kebudayaannya. Banjarmasin: Badan
Penelitian dan Pengembangan Daerah Provinsi Kalimantan Selatan dan Pustaka
Banua.
Joyce, dkk. 2009. Models of Teaching. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Kochhar, S.K. 2008.Teaching of History. Jakarta: Grasindo.
Kuntowijoyo. 1994. Metodologi Sejarah. Yogyakarta: Tiara Wacana.
Maman Rachman. 2007. Reposisi, Re-Evaluasi, dan Redefinisi Pendidikan Nilai dalam
Kamal Abdul Hakam. 2007. Bunga Rampai Pendidikan Nilai. Supervisor: Prof. Dr. H.
Endang Sumantri, M.Ed. Bandung: UPI.
Marsh, Colin. 2008. Studies of Society and Environment (SOSE): Exploring The Teaching
Possibilities. Australia: Pearson Education Australia.
Maryani, Enok. 2011. Pengembangan Program Pembelajaran IPS untuk Peningkatan
Keterampilan Sosial. Bandung: Alfabeta.
Mustakim, “Sejarah Lokal dan Ketahanan Daerah” (online), http://www.psb-psma.org/content/
blog/sejarah-lokal-dan-ketahanan-daerah, diakses tanggal 14 Mei 2012.
Megawati, Ratna. 2007. Membangun SDM Indonesia melalui Pendidikan Holistik Berbasis
Karakter, dalam Kamal Abdul Hakam. 2007. Bunga Rampai Pendidikan Nilai.
Supervisor: Prof. Dr. H. Endang Sumantri, M.Ed. Bandung: UPI.
Margana, Sri. 2010. Sejarah Indonesia: Perspektif Lokal dan Global. Yogyakarta: Ombak.
Syaharuddin
579
Peraturan Pemerintah Republik Indonesia (PPRI), Nomor 19 Tahun 2005 tentang Standar
Nasional Pendidikan, pasal 19.
Sjamsuddin, Helius. 2011. “Sultan Muhammad (Mat) Seman: Raja Air Barito (1835-1905)”.
Jurnal Kandil, Edisi 21, tahun VIII, Apriil-Juni 2011.
Subiyakto, Bambang, “Perjuangan Hidayatullah Ditinjau dari Aspek Sejarah”, Jurnal KANDIL,
Edisi 18, Tahun VII, Januari-Februari 2010.
Sudarma, Momon. 2007. “Revitalisasi Ilmu Pengetahuan Sosial Dalam Perspektif Global”,
makalah pada Seminar Nasional UPI – Bandung, diakses tanggal 17 Mei 2012.
Supardan, Dadang. 2009. (online), “Pembelajaran Sejarah Berbasis Pendekatan
Multikultural dan Perspektif Sejarah Lokal, Nasional, Global, dalam Integrasi
Bangsa: Studi Kuasi Eksperimental terhadap Siswa Sekolah Menengah Atas di Kota
Bandung”, http://file.upi.edu/Direktori/FPIPS/JUR._PEND._SEJARAH/
195704081984031.DADANG_SUPARDAN/
ARTIKEL_JURNAL_INTERNASIONAL.pdf, diakses tanggal 18 Mei 2012.
Sjamsuddin, Helius. 2001. Pegustian dan Temenggung: Akar Sosial, Politik, Etnis, dan
Dinasti (Perlawanan di Kalimantan Selatan dan Kalimantan Tengah, 1859-1906).
Jakarta: Balai Pustaka.
Syaharuddin
580
MEMBENTUK KARAKTER SISWA
MELALUI PEMBELAJARAN IPS-SEJARAH
Zusmelia dan Zulfa
STKIP PGRI Sumatera Barat Padang
ABSTRAK
Persoalan karakter pada generasi muda sekarang sudah pada tahap yang memprihatinkan.
Hal ini terbukti seringnya terjadi perkelahian antar pelajar dan kekerasan pada pelajar SLTP
maupun siswa SMA. Untuk itulah pentingnya pendidikan karakter dalam pembelajaran IPS
terutama pada pembelajaran Sejarah. Mata pelajaran Sejarah dapat membangkitkan rasa
cinta pada tanah air dan membangkitkkan karakter pelajar sehingga muncul sifat rela menolong
dan tabah dalam menghadapi berbagai persoalan dalam diri si pelajar. Pendidikan karakter
pelajar dalam mata pelajaran IPS terutama pembelajaran Sejarah sangat penting karena hal
ini dapat mendidik generasi muda lebih cinta pada sesama dan membangkitkan rasa rela
menolong dan selalu sabar dalam menghadapi persoalan yang lagi marak seperti sekarang
ini. Sebenarnya ini merupakan salah satu akibat dari pengaruh globalisasi dan informasi yang
sudah semakin tinggi dan tanpa sekat. Namun yang paling terpenting untuk masa sekarang
adalah membangun karakter generasi muda dengan pembelajaran IPS terutama pada mata
pelajaran Sejarah. Dengan mempelajari Sejarah maka akan terbentuk karakter pelajar menjadi
generasi muda yang lebih demokratis, dan bertanggung jawab, serta warga dunia yang cinta
damai. Dengan demikian diharapkan pembelajaran IPS terutama mata pelajaran sejarah dapat
berkontribusi terhadap pembangunan karakter bangsa Indonesia yang berbudaya dan
berkepribadian sesuai dengan yang digariskan tujuan pendidikan nasional.
Kata kunci : Pembentukan karakter, Pembelajaran Sejarah
I. PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Masalah
Maraknya perkelahian antar pelajar menjadikan persoalan besar dalam dunia
pendidikan di Indonesia. Hal ini dapat dilihat dari berbagai fakta adanya pelajar-pelajar SMA
bahkan SMP yang melakukan tindak kekerasan pada penumpang angkot di Jakarta, dengan
tindakan menyiramkan air keras ke penumpang angkot tersebut (Kompas online).
Persoalan ini membuat bertambah carut marutnya sistem pendidikan di Indonesia
ini. Padahal Indonesia terkenal dengan keramah tamahan dan bahasa sopan santun dengan
kekayaan budaya terkenal di seluruh dunia. Persoalan ini tidak saja terjadi di kota besar Jakarta,
tetapi juga beberapa daerah seperti di wilayah kota kecamatan bahkan kota kecil sekalipun.Ini
II. PEMBAHASAN
2.1 IPS-Sejarah
Tujuan utama Ilmu Pengetahuan Sosial ialah untuk mengembangkan potensi peserta
didik agar peka terhadap masalah sosial yang terjadi di masyarakat, memiliki sikap mental
positif terhadap perbaikan segala ketimpangan yang terjadi, dan terampil mengatasi setiap
masalah yang terjadi sehari-hari baik yang menimpa dirinya sendiri maupun yang menimpa
masyarakat. Sedangkan IPS dalam sejarah dapat membentuk karakter pelajar menumbuhkan
rasa nasionalisme, rasa solidaritas, menumbuhkan sikap demokratasi, dan rasa membela
dan sabar serta tabah dalam menghadapi berbagai tantangan kehidupan masa depan.
Tujuan tersebut dapat dilihat dalam program-program pembelajaran IPS terutama
Sejarah di sekolah harus diorganisasikan secara baik. Dari rumusan tujuan tersebut dapat
dirinci sebagai berikut (Awan Mutakin, 1998):
1. Memiliki kesadaran dan kepedulian terhadap masyarakat atau lingkungannya,
melalui pemahaman terhadap nilai-nilai sejarah dan kebudayaan masyarakat.
2. Mengetahui dan memahami konsep dasar dan mampu menggunakan metode
yang diadaptasi dari ilmu-ilmu sosial yang kemudian dapat digunakan untuk
memecahkan masalah-masalah sosial.
3. Mampu menggunakan model-model dan proses berpikir serta membuat keputusan
untuk menyelesaikan isu dan masalah yang berkembang di masyarakat.
4. Menaruh perhatian terhadap isu-isu dan masalah-masalah sosial, serta mampu
membuat analisis yang kritis, selanjutnya mampu mengambil tindakan yang tepat.
5. Mampu mengembangkan berbagai potensi sehingga mampu membangun diri
sendiri agar survive yang kemudian bertanggung jawab membangun masyarakat
dan pengembangan keterampilan pembuatan keputusan.
6. Memotivasi seseorang untuk bertindak berdasarkan moral.
7. Fasilitator di dalam suatu lingkungan yang terbuka dan tidak bersifat menghakimi.
III. SIMPULAN
Persoalan karakter pada generasi muda sekarang dapat diatasi dengan pendidikan
karakter melalui pembelajaran IPS terutama pada pembelajaran Sejarah. Mata pelajaran
Sejarah dapat membangkitkan rasa cinta pada tanah air dan membangkitkkan karakter pelajar
sehingga muncul sifat rela menolong dan tabah dalam menghadapi berbagai persoalan dalam
diri si pelajar. Pendidikan karakter pelajar dalam mata pelajaran IPS terutama pembelajaran
Sejarah sangat penting karena hal ini dapat mendidik generasi muda lebih cinta pada sesama
dan membangkitkan rasa rela menolong dan selalu sabar dalam menghadapi persoalan yang
lagi marak seperti sekarang ini, yang juga merupakan akibat lain dari globalisasi dan teknologi
informasi.
Pendidikan karakter generasi muda dapat dibangun melalui pembelajaran IPS
terutama pada mata pelajaran Sejarah. Dengan mempelajari Sejarah maka akan terbentuk
DAFTAR PUSTAKA
AI Muchtar, Suwarma. 2001. Epistemologi Pendidikan IImu Pengetahuan Sosial. Bandung:
Gelar Pustaka Mandiri.
——————. 2001. Pendidikan dan Masalah Sosial Budaya. Bandung: Gelar Pustaka Mandiri.
Aziz Wahab, Abdul. 2007. Metode dan Model-Model Mengajar IImu Pengetahuan Sosial (IPS).
Bandung: Alfabeta.
Barr, R. Barth, J.T, Shermis, S.S. 1977. The Nature of The Social Studies. ETC
Publications, California: Palm Springs.
Depdiknas. 2003. Pendekatan Kontekstual (Contextual Teaching and Learning/CTL). Jakarta:
Ditjen Dikdasmen Direktorat Pendidikan Lanjutan Pertama.
Fedyani, Syaifudin & Karim, Mu!yawan. 2008. Refleksi Karakter Bangsa. Jakarta : Kerjasama
Kementrian Pemuda dan Olahraga Republik Indonesia, Ikatan Alumni Universitas
Indonesia & Penerbit Forum Kajian Antropologi Indonesia.
http://www.kemdiknas.go.id/media—publik/pidato-menteri/sambutan-menteri-pendidikan-
nasional-pada-peringatan-hari-pendidikan-nasional-tahun-2010-minggu,-2-mei 2009.aspx
Muktadir, Abdul. 2001. Penerapan Model Pembelajaran Terpadu Pada Mata Pelajaran PPKn
pada Sekolah Dasar Kelas Rendah di SD Negeri 69 Bengkulu.
National Council for the Social Studies (NCSS). 1989. In search of a Scope and Sequence for
Social Studies. Report of the National Council for the Social Studies: Task Force on
Scope and Sequence.
—————1994. Curriculum Standards for Social Studies. Washington: NCSS.
Peraturan Menteri Pendidikan Nasional No. 22 Tahun 2006 tanggal 23 Mei 2006.
Prabowo. 2000. Pembelajaran Terpadu. http://anwarholil.blogspot,com/2008/04/
pengertian-pembelajaran terpadu.html. diakses hari Senin, 28 Juni 2010.
Somantri, Nu’man. 2001. Menggagas Pembaharuan Pendidikan IPS. (Editor Dedi Supriadi
dan Rochmat Mulyana), Bandung: Remaja Rosdakarya.
Sumaatmadja, Nursid. 1984. Metodologi Pengajaran IImu Pengetahuan Sosial (IPS). Bandung:
Alumni.
Tirta, I Made. (2007). “Pembelajaran Terintegrasi”. http://muhlis.files.wordpress.com. diakses
hari Senin, 28 Juni 2010.
Undang-Undang Republik Indonesia No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional.
ABSTRAK
Salah satu unsur yang menentukan dalam meraih keberhasilan atau prestasi adalah disiplin. Kualitas
seseorang dapat dilihat dari kedisiplinannya. Kedisiplinan seseorang dapat terbentuk melalui aktivitas
olahraga yang ditekuni. Hal ini disebabkan oleh situasi kondisi yang memang mengharuskan
seseorang mentaati aturan-aturan yang berlaku dalam sebuah aktivitas jika menginginkan
keberhasilan. Ketidakdisiplinan dapat merusak sebuah sistem yang sudah tertata, dan juga sangat
berpotensi untuk untuk menimbulkan kekacauan. Disiplin mengandung ketaatan atau kepatuhan
terhadap ketentuan dan nilai-nilai berlaku. Disiplin yang ditunjukkan dalam ketaatan memenuhi nilai
yang berlaku seperti kesadaran disiplin diri sendiri atau yang disebut self-discipline karena mengandung
pemahaman atau kesadaran yang erat kaitannya dengan kemampuan dalam mengendalikan diri
atau self-control. Ketangguhan seseorang dapat dilihat dari kedisiplinanya, karena didalam
kedisiplinan mengandung nilai ketaatan dan kepatuhan, tanggung jawab, rasa hormat, nilai komitmen
dan kesetiaan. Nilai-nilai tersebut saling memiliki keterikatan dan harmonisasi menjadi bingkai
kedisiplinan dalam prilaku maupun aktifitas khususnya perilaku dan olahraga. Jadi dapat
dikemukakan bahwa kedisiplinan merupakan nilai pembentuk karakter tangguh yang dapat
ditransformasikan dalam proses pembinaan olahraga prestasi.
I. PENDAHULUAN
Kedisiplinan dapat dikatakan sebagai salah satu faktor utama dalam meraih
keberhasilan dari data hasil penelitian menunjukkan bahwa rata-rata atlet yang memiliki prestasi
memiliki kedisiplinan yang tinggi. Oleh sebab itu, kedisiplinan dapat dijadikan salah satu poin
yang diintegrasikan dalam pelatihan. Bagaimana kedisiplinan tersebut benar-benar diajarkan,
dan disampaikan dampak baik buruknya apabila mengabaikan masalah kedisiplinan.
Penanaman hal tersebut semestinya sejak dini dilakukan. Individu berprilaku disiplin dapat
saja disebabkan oleh karena ingin mendapatkan ganjaran berupa penghargaan, atau berprilaku
disiplin oleh karena takut dengan hukuman, atau justru oleh karena muncul atas kesadaran diri
sendiri. Kesadaran dari diri sendiri inilah yang semestinya dimiliki oleh semua individu, apalagi
jika individu tersebut adalah seorang atlet. Kedisiplinan juga muncul oleh karena kebiasaan
untuk mentaati peraturan. Kedisiplinan mengandung nilai ketaatan, karena disiplin selalu
merujuk pada peraturan.
Herita Warni
591
II. PEMBAHASAN
Nilai-nilai universal yang hadir di bumi bersumber dari agama, budaya, dan juga
ajaran-ajaran dari berbagai tokoh. Nilai menghampiri semua sendi kehidupan dan dimiliki
oleh setiap orang. Seperti yang dikemukakan oleh Lutan (2001) “Nilai merupakan rujukan
prilaku, sesuatu yang dianggap luhur dan menjadi pedoman hidup manusia dalam
kehidupan bermasyarakat.” Dapat disepakati bahwa nilai itu ada dan dimiliki oleh setiap
orang, dan juga merupakan rujukan prilaku, baik disadari atau tidak disadari.
Nilai dapat dikelompokan dengan melihat hubungannya dengan empat olah yaitu
olah hati, olah pikir, olah raga dan olah rasa dan karsa (Samani dan Hariyanto, 2012). Sekaitan
dengan olahraga, kita dapat memilah nilai-nilai yang dapat dikembangkan kemudian dicari
turunannya yang sesuai. Apabila dalam olahraga terkenal dengan nilai inti yaitu sportif dan
fair play, masih memungkinkan dicari nilai-nilai lain yang erat kaitanya dengan olahraga,
dan bahkan dapat dicari turunan-turunan nilai tersebut hingga bukan pada hanya tataran
konsep saja, tetapi benar-benar dapat dipahami dan diimplementasikan pada kehidupan.
Kedisiplinan merupakan nilai yang tidak dapat diabaikan dalam olahraga, sebab
tidak mungkin atlit dapat meraih prestasi tanpa memiliki sikap disiplin. Disiplin dapat
dimaknai sebagai sikap prilaku yang muncul sebagai akibat dari pelatihan atau kebiasaan
mentaati peraturan (Samani dan Hariyanto, 2012), atau juga sebagai “upaya mengendalikan
diri dan sikap mental individu dalam mengembangkan kepatuhan dan ketaatan terhadap
peraturan dan tata tertib berdasarkan dorongan dan kesadaran yang muncul dari dalam
hati”. Hurlock (1980), membagi disiplin dalam tiga hal yang menjadi esensi hidup, yaitu :
“konsistensi, ganjaran, dan hukuman”., seperti yang dikemukakan oleh Crow dan Crow
(1980) sebagai berikut:
“Discipline are the presence of rules, regulations, standars, or conduct the
determiners, and the control of impulsive overt expressions of personal the desire,
interest, or ambition in accordance with appropriate and acceptable societal
standard.”
Kedisiplinan selalu merujuk kepada peraturan atau patokan-patokan yang menjadi
pengontrol tingkah laku agar sesuai dengan patokan-patokan yang berlaku atau diterima di
masyarakat. Kedisiplinan dapat memotivasi orang lain, karena merupakan contoh atau tauladan
sikap yang baik. Disiplin memperlihatkan kualitas seseorang, kedisiplinan akan melahirkan
kedisiplinan yang lain, dan ketidakdisiplinan akan merusak sistem (Sadewo, 2011).
Sikap disiplin ini merupakan salah satu dari tiga nilai pembentuk karakter dasar
yang menjadi inti dalam karakter pokok, disamping dua nilai lainnya yaitu jujur dan tidak
egois (Sudewo, 2011:15). Dengan memiliki karakter dasar yang mencakup disiplin, jujur
dan tidak egois ini orang sudah mampu mengontrol dirinya agar berprilaku baik. Orang
yang tidak disiplin akan mengakibatkan rentetan keterlambatan yang merusak sistem
(Sudewo, 2011). Pemahaman tentang merusak sistem ini rupanya telah secara tidak
langsung telah tertanam pada diri atlet seperti yang telah dikemukakan oleh salah satu
atlet bahwa “bila ada salah satu atlet datang telat, sesuai komitmen awal dengan pelatih,
Herita Warni
593
kesulitan baru bagi mereka. Pada dasarnya, sikap tanggung jawab ditekankan pada
mengutamakan hal-hal yang hari ini dianggap penting sebagai suatu perbaikan di masa
yang akan datang dengan didasari ‘hak-hak’. Jadi dapat dikemukakan bahwa nilai
tanggung jawab merupakan nilai penyokong kedisiplinan. Seorang atlet tidak mungkin
akan disiplin apabila pada dirinya tidak memiliki rasa tanggung jawab. Tanggung jawab
sebagai konsekuensi menyandang predikat sebagai atlet. Oleh karena itu seorang atlet
yang ingin berhasil tidak mungkin tidak memiliki kedisiplinan diri yang tinggi yang
disebabkan rasa tanggung jawab.
Nilai tanggung jawab disamping nilai rasa hormat termasuk pada dua nilai moral
yang utama Lickona (1992). Nilai-nilai ini diperlukan untuk;
a. Pengembangan jiwa yang sehat
b. Kepedulian akan hubungan interpersonal
c. Sebuah masyarakat yang humanis dan demokratis
d. Dunia yang adil dan damai
2.3 Nilai Hormat
Rasa Hormat. Rasa hormat berarti menunjukkan penghargaan kita terhadap harga
diri orang lain ataupun hal lain selain diri kita. Terdapat tiga hal yang menjadi pokok:
penghormatan terhadap diri sendiri, penghormatan terhadap orang lain, dan penghormatan
terhadap semua bentuk kehidupan dan lingkungan yang saling menjaga satu sama lain.
Penghormatan diri mengharuskan kita untuk memperlakukan apa yang ada pada hidup
kita sebagai manusia yang memiliki nilai secara alami. Penghormatan terhadap orang
lain mengharuskan kita untuk memperlakukan semua orang bahkan orang-orang yang
kita benci sebagai manusia yang memiliki nilai tinggi dan memiliki hak yang sama dengan
kita sebagai individu. Hal tersebut merupakan intisari dari Golden Rule (“Perlakukanlah
orang lain sebagaimana engkau memperlakukan dirimu sendiri”).
2.4 Komitmen dan Kesetiaan
Disiplin mengandung nilai komitmen dan kesetiaan. Secara literlak, komitmen
mengandung makna “secara emosional, secara fisik, dan secara intelektual merasa terikat
kepada suatu kewajiban dan atau panggilan jiwa yang kuat untuk melaksanakannya”
(Samani dan Hariyanto, 2012). Orang yang disiplin pasti memiliki komitmen yang tinggi.
Kualitas seseorang bisa dilihat dari kedisiplinan dan komitmennya terhadap sesuatu.
Komitmen juga termasuk salah satu kemampuan pengelolaan kapasitas diri (Sudewo,
2012). Kerelaan orang untuk berbuat sesuatu tidak akan terjadi apa bila seseorang tidak
memiliki rasa keterikatan dan kewajiban sebagai sebuah panggilan jiwa untuk
melakukannya sebagai sebuah komitmen. Jika seorang atlet tidak memiliki komitmen
yang tinggi untuk mencapai keberhasilan tidak akan atlet tersebut berprilaku disiplin untuk
mentaati segala aturan yang berlaku di olahraga yang ditekuni.
Kita lihat kasus Diego Michiels pesepak bola Timnas, adalah sebuah contoh
prilaku yang tidak disiplin. Kedisiplinan yang diharapkan adalah disiplin yang melekat dan
III. SIMPULAN
Sikap kedisiplinan telah melekat pada diri atlet sebagai sebuah kesadaran dan
menjadi bagian dari perilaku sehari-hari. Hal ini muncul disebabkan oleh kebiasaan-
kebiasaan mentaati peraturan, perintah, dan hukuman-hukuman yang berlaku.
Ketangguhan seseorang dapat dilihat dari kedisiplinannya, karena didalam kedisiplinan
mengandung nilai-nilai komitmen, ketaatan, kepatuhan, tanggung jawab, rasa hormat,
dan kesetiaan. Jadi dapat disimpulkan bahwa kedisiplinan juga merupakan nilai
pembentuk karakter tangguh yang dapat ditransformasikan dalam proses pembinaan
olahraga prestasi.
Herita Warni
595
DAFTAR PUSTAKA
Abduljabar, B. 2010. Landasan Ilmiah Pendidikan Intelektual Dalam Pendidikan Jasmani. Cetakan
pertama. Bandung: Rizqi Press.
Allport,G, W. 1961. Pattern and Growth in Personality, New York: Holts, Renehart and Winston.
Anshel. M.H.1990. Sport Psychologi From Theory to Practice. Scotsdale Gorsuch Scarispirck
Character Count Coalisi. 2013. (A Project of The Joaseph Institut of Ethic). Browsing tanggal 19
Januari 2013.
Coakley, J.J. 1986. Sport in Society: Issues and Controversies. St Louis. Times Mirror/ Mosby
Depdiknasi. 2010. Grand Design Pendidikan Karakter Naskah Revisi Millenium: Garuda Jogya.
Djahiri,A.K. 1992. Menelusuri Dunia Afektif. Bandung: Lab PMP IKIP Bandung.
Djahiri,A.K, Ahmad dan Wahab A.Azis. 1996. Dasar dan Konsep Pendidikan Moral. Jakarta:
Depdikbud. Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi. PPTA.
Goleman, D. 1997. Emotional Intelligence. Terjemahan. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.
Gunarsa, S. 1996. Psikologi Olahraga: Teori dan Praktek. Jakarta BPK Gunung Mulya.
Hidayatullah, F. M. 2009. Guru sejati: Membangun Insan Berkarakter Kuat & Cerdas. Surakarta:
Griya Suryo.
Herita, W. 2013. “Transformasi Karakter Tangguh dalam Proses Pembinaan Olahraga Prestasi”.
Disertasi SPs UPI Bandung.
IOC. 2003. Olympic Charter. Published by the International Olympic Committee, Printed in
Switzerland
John, A. (1995). Membangun Karakter Tangguh: Mempersiapkan Generasi Anti Kecurangan.
Surabaya: Portico Publishing.
Lickona, T. (1992). Educating for Character, How Our schools can Teach Respect and
responsibility. New York: Bantam Books.
…… , 2004. Character Matters; How to Help Our Children Develop Good Judgment, Integrity,
and Other Essential Virtues. New York: A Touchstone Book.
Lutan, R. 2003. Olahraga Kebijakan dan Politik; Sebuah Analisis. Proyek Pengembangan &
Keserian Kebijakan Olahraga. Dirjen Olahraga Departemen Pendidikan Nasional.
........, 2001. Olahraga dan Etika Fair Play; Menelusuri Makna Olahraga. Jakarta: Direktorat
Pemberdayaan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi Olahraga Direktorat Jenderal
Olahraga Departemen Pendidikan Nasional.
……., 2000. Memantapkan Ketahanan Nasional: Analisis dari perspektif Kemajemukan Budaya
daerah Indonesia, Jakarta: Kursus Singkat Angkatan (KSA) VIII, Lemhanas 2000.
........, 1991. Manusia dan Olahraga. ITB dan FPOK/IKIP Bandung.
Lutan dan Mutohir. 2001. Olahraga dan Transformasi Nilai dalam Lutan, R.(ed) (2001) Olahraga
dan Etika Fair Play Jakarta: Direktorat Pemberdayaan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi
Olahraga Direktorat Jenderal Olahraga Departemen Pendidikan Nasional.
Herita Warni
597
598 Herita Warni
IMPLEMENTASI PENDIDIKAN KARAKTER
DALAM PENDIDIKAN JASMANI
Rahmadi
Universitas Lambung Mangkurat
ABSTRAK
Successful education is an education that achieves the emotional psychomotor is learning
objectives with the highest level of both cognitive and affective it is meant to relize the educational
objectives of the Indonesian nation devoted to the human nature, and character, as well as
intelligence and quality. The efforts to create students to be the such person have been conducted
including physical education. Based on the survey on the implementation of character education
through physical education the result was not as expected. The low level of implementation of
character building can be seen from the communication that has not been effective and efficient
especially the interactions that occur between teachers and learners in the learning process.
Therefore, it is necessary to improve communication skills is a physical education teacher in
the context of education.
Keywords: affective domain, character education, physical education, effective and efficient
communication.
I. PENDAHULUAN
Pendidikan adalah usaha sadar yang dilakukan untuk memberikan pengalaman bagi
setiap orang yang terlibat dalam kegiatan belajar mengajar. Pengalaman tersebut diberikan
secara umum ke dalam tiga domain yaitu kognitif, afektif, dan psikomotorik. UNESCO dalam
Internasional Charter of Psycologi Education of Sport, dalam Abdulkadir Ateng (1975) menyatakan:
“Pendidikan jasmani adalah suatu proses pendidikan seseorang sebagai individu maupun
sebagai anggota masyarakat yang dilakukan secara sadar dan sistematik melalui berbagai
kegiatan jasmani dalam rangka memperoleh peningkatan kemampuan dan keterampilan
jasmani, pertumbuhan kecerdasan dan pembentukan watak” (Kementerian Pendidikan
Nasional 2011: 42).
Kata pendidikan jasmani diambil dari terjemahan bahasa asing, yakni physical
education. Adapun physical education menurut Barrow dan McGee (1979: 6) bahwa “physical
education may be defined as an education through the physical where many of educational
objectives are achieved by means of big muscle-play activities”. Jadi menurut Barrow dan
McGee pendidikan jasmani itu adalah pendidikan yang proses pembelajarannya lewat aktivitas
Rahmadi
599
fisik dan di dalamnya juga terdapat aspek sosial dan mental yang sama pentingnya dengan
aspek fisik. Menurut Nixon dan Jewett (1980) dalam Vendien dan Nixon (1985: 15) physical
education adalah:
“…the art and science of voluntary, purposeful human movement. It focuses on selective
aspects of the realm of experiences in voluntary, purposeful human movements. The
physical educator basically is interested in all human movements, but because this
(term) is so encompassing, formal studies and program of physical education today
are generally concentrated in movement designated by such terms as sport, dance,
gymnastics, aquatics, and exercise”.
Menurut Nixon dan Jewett, pendidikan jasmani adalah sumbangan dari seni dan ilmu
pengetahuan yang dimaksudkan yaitu gerak manusia. Guru pendidikan jasmani pada dasarnya
tertarik tentang seluruh gerak manusia seperti olahraga, dansa, senam, olahraga di air, dan
latihan. Dengan kata lain, pendidikan terjadi melalui aktivitas kejasmanian yaitu bergerak atau
gerakan. Gerakan yang mengandung pembelajaran adalah gerakan yang direncanakan secara
sistematis dalam upaya mencapai tujuan tertentu. Melalui gerakan dalam pendidikan jasmani
guru dapat mengembangkan tujuan untuk meningkatkan kepercayaan diri, sosialisasi yang
positif, dan pendidikan karakter (Gallahue, 1996: 7).
Menurut Stilwell (1997: 24) pendidikan jasmani dan olahraga merupakan hak asasi
seseorang, kebebasan untuk mengembangkan kejasmanian, mental, moral, dan dijamin dalam
sistem pendidikan serta berbagai aspek kehidupan sosial. Bahkan UNESCO pada konferensi
di Paris pada tanggal 21 November 1978 telah terlebih dahulu melahirkan International Character
of Physical Education and Sport yang salah satu rekomendasinya menyebutkan bahwa
pendidikan jasmani dan olahraga merupakan hak asasi bagi setiap manusia dan menjamin
kesejahteraan bagi pelakunya.
R.M Soeryadi Soeryaningrat (Ki Hadjar Dewantara) berpendapat bahwa Pendidikan
merupakan daya upaya untuk memajukan bertumbuhnya budi pekerti (kekuatan batin, karakter),
pikiran (intellect), dan tubuh peserta didik (Kementerian Pendidikan Nasional 2011: 7). Lebih
ditegaskan lagi oleh Ratna Megawangi (2004: 78) bahwa sebuah pendidikan yang berhasil
adalah yang dapat membentuk manusia-manusia berkarakter yang sangat diperlukan dalam
mewujudkan sebuah negara kebangsaan yang terhormat. Seperti halnya yang diinginkan oleh
Socrates 2400 tahun lalu tentang hakekat tujuan pendidikan, yaitu untuk membuat seseorang
menjadi good and smart. Manusia terdidik seharusnya menjadi orang yang cerdas dan bijak,
yaitu dapat menggunakan ilmunya untuk berbuat kebajikan, dan dapat hidup selaras dengan
lingkungannya. Ki Hadjar Dewantara dalam Haryanto (2010: 6) mengatakan bahwa “Pendidikan
ialah usaha kebudayaan yang bermaksud memberi bimbingan dalam hidup tumbuhnya jiwa
raga anak agar dalam kodrat pribadinya serta pengaruh lingkungannya, mereka memperoleh
kemajuan lahir batin menuju ke arah adab kemanusiaan. Sedang yang dimaksud adab
kemanusiaan adalah tingkatan tertinggi yang dapat dicapai oleh manusia yang berkembang
selama hidupnya yaitu dalam upaya mencapai kepribadian.
Pembentukan watak adalah bagian dari pengembangan afektif mempunyai tujuan
dan berpusat pada individu dan kelompok, termasuk di dalamnya tentang sikap dan nilai sebagai
Rahmadi
600
anggota masyarakat. Dalam bahasa atau istilah yang digunakan sekarang ini adalah
pembentukan karakter. Penanaman nilai-nilai karakter diimplementasikan dalam semua
aktivitas di sekolah. Salah satu aktivitas di sekolah adalah belajar melalui pendidikan jasmani
olahraga dan kesehatan (PJOK). Aktivitas pendidikan jasmani merupakan suatu usaha yang
unik untuk pengembangan karakter, karena pendidikan jasmani adalah suatu proses
pembelajaran yang belajarnya ketika “melakukan”, sehingga karakter setiap peserta didik lewat
perilakunya akan sangat tampak.
Istilah karakter secara harfiah berasal dari bahasa Latin “charakter”, yang antara lain
berarti: watak, tabiat, sifat-sifat kejiwaan, budi pekerti, kepribadian atau akhlak. Sedangkan
secara istilah, karakter diartikan sebagai sifat manusia pada umumnya dimana manusia
mempunyai banyak sifat yang tergantung dari faktor kehidupannya sendiri. Karakter merupakan
nilai-nilai perilaku manusia yang berhubungan dengan Tuhan Yang Maha Esa, diri sendiri,
sesama manusia, lingkungan, dan kebangsaan yang terwujud dalam pikiran, sikap, perasaan,
perkataan, dan perbuatan berdasarkan norma-norma agama, hukum, tata krama, budaya, dan
adat istiadat. Karakter dapat juga diartikan sama dengan akhlak dan budi pekerti, sehingga
karakter bangsa identik dengan akhlak bangsa atau budi pekerti bangsa. Bangsa yang berkarakter
adalah bangsa yang berakhlak dan berbudi pekerti, sebaliknya bangsa yang tidak berkarakter
adalah bangsa yang tidak atau kurang berakhlak atau tidak memiliki standar norma dan perilaku
yang baik.
Menurut Kamus Lengkap Bahasa Indonesia, karakter adalah sifat-sifat kejiwaan, akhlak
atau budi pekerti yang membedakan seseorang dari yang lain, tabiat, watak. Berkarakter
artinya mempunyai watak, mempunyai kepribadian. Dali Gulo dalam karya tulis Krisnawan S.R
(2010:3) menyatakan bahwa karakter adalah kepribadian ditinjau dari titik tolak etis atau moral,
misalnya kejujuran seseorang; biasanya mempunyai kaitan dengan sifat-sifat relatif tetap. M.
Furqon (2009) dalam Krisnawan S.R (2010:3) juga menyatakan bahwa karakter adalah kualitas
atau kekuatan mental atau moral, akhlak atau budi pekerti individu yang merupakan kepribadian
khusus yang membedakan dengan individu lain.
Pendidikan karakter dapat didefinisikan sebagai segala usaha yang dapat dilakukan
untuk mempengaruhi karakter peserta didik. Tetapi untuk mengetahui pengertian yang tepat,
dapat dikemukakan di sini definisi pendidikan karakter yang disampaikan oleh Thomas Lickona.
Menurut Lickona pengertian pendidikan karakter adalah suatu usaha yang disengaja untuk
membantu seseorang sehingga ia dapat memahami, memperhatikan, dan melakukan nilai-
nilai etika yang inti. Wanda Chrisiana (2005: 84) menyebutkan karakter yang menjadi acuan
seperti yang terdapat dalam The Six Pillars of Character yang dikeluarkan oleh Character Counts
Coalition ( a project of The Joseph Institute of Ethics) yaitu:
a. Trustworthiness, bentuk karakter yang membuat seseorang menjadi: berintegritas,
jujur, dan loyal.
b. Fairness, bentuk karakter yang membuat seseorang memiliki pemikiran terbuka
serta tidak suka memanfaatkan orang lain.
Rahmadi
601
c. Caring, bentuk karakter yang membuat seseorang memiliki sikap peduli dan
perhatian terhadap orang lain maupun kondisi sosial lingkungan sekitar.
d. Respect, bentuk karakter yang membuat seseorang selalu menghargai dan
menghormati orang lain.
e. Citizenship, bentuk karakter yang membuat seseorang sadar hukum dan peraturan
serta peduli terhadap lingkungan alam.
f. Responsibility, bentuk karakter yang membuat seseorang bertanggung jawab, disiplin,
dan selalu melakukan sesuatu dengan sebaik mungkin.
II. PERMASALAHAN
Fenomena yang terjadi dalam pendidikan jasmani adalah kurangnya penekanan
dalam mengimplementasikan pendidikan sikap dan perilaku peserta didik (domain afektif:
karakter) dalam pembelajaran, sehingga internalisasi penanaman karakter dan perilaku peserta
didik yang diharapkan dalam pembelajaran pendidikan jasmani olahraga dan kesehatan masih
belum sesuai harapan.
III. PEMBAHASAN
Kita sadar bahwa berkembangnya karakter peserta didik memerlukan dorongan dan
arahan pendidik, sebagai pendidik tentu kita akan terus berupaya menjadi motivator yang baik.
Sebab dengan dorongan dan arahan pendidik maka karakter peserta didik akan terbentuk.
Karakter peserta didik akan tumbuh dan berkembang seiring dengan bertambahnya usia.
Walaupun karakter pada dasarnya adalah bawaan sejak lahir, namun karakter juga dipengaruhi
oleh lingkungan dimana ia tinggal. Salah satunya yaitu sekolah, itulah mengapa sangat penting
ditanamkan pendidikan karakter di sekolah.
Dalam melaksanakan tugasnya guru dituntut untuk melakukan persiapan-persiapan
sebelum mengajar, salah satunya adalah persiapan untuk membuat skenario pembelajaran,
dalam hal ini guru pendidikan jasmani, olahraga dan kesehatan harus memiliki kemampuan
merencanakan, dan mengatur jalannya pembelajaran yang sesuai rencana agar pencapaian
tujuan belajar lebih terarah, terukur, efektif, dan efisien, karena pendidikan jasmani olahraga
dan kesehatan pada dasarnya berpotensi membangun karakter yang baik, namun juga
sebaliknya. Hal ini yang patut diwaspadai oleh pendidik seperti halnya yang dikemukakan oleh
Herita Warni (2013: 2) bahwa olahraga mempunyai potensi untuk membangun karakter baik,
tetapi disisi lain juga banyak sisi negatif yang menjadi kekhawatiran. Nilai kompetitif dalam
olahraga cenderung membuat orang melupakan perilaku baik, dan yang lebih mengkhawatirkan
adalah sisi negatif ini yang lebih muncul kepermukaan sehingga ada pendapat bahwa olahraga
cenderung menciptakan kekerasan.
Kemampuan pengajar dalam merencanakan dan mengelola proses pembelajaran
yang baik dan berkarakter akan menimbulkan dampak positif dalam proses pembelajaran.
Kegiatan belajar-mengajar akan berjalan lancar, peserta didik bersungguh-sungguh dan
termotivasi untuk mengikuti pembelajaran dan tidak kalah pentingnya sedikit demi sedikit karakter
Rahmadi
602
peserta didik akan terbentuk. Untuk mencapai tujuan yang telah dicanangkan dalam rencana
pembelajaran maka semua itu harus disampaikan dengan jelas dan tidak berbelit-belit melalui
komunikasi yang tuntas dan jelas sehingga peserta didik dapat mengerti, memahami, dan
menerapkan dalam keadaan tertentu atau dalam kehidupan sehari-hari.
Beberapa kemungkinan akibat penjelasan guru yaitu:
• Peserta didik mengerti, faham, dan mampu menerapkan dalam kehidupan sehari-
hari, hal ini terjadi bila pengajar mampu menjelaskan dan menyampaikan materi
dengan baik.
• Peserta didik mengerti dan faham namun tidak dapat menerapkan dalam kehidupan
sehari-harinya, hal ini terjadi bila pengajar kurang mampu menjelaskan dan
menyampaikan materi dengan baik.
• Peserta didik tidak mengerti, tidak faham dan tidak dapat menerapkan dalam
kehidupan sehari-hari, hal ini terjadi bila pengajar tidak mampu menjelaskan materi
dengan baik.
• Adapun hal-hal yang ditemukan berdasarkan hasil penelitian Anjas Rubianti (2013:
34-36) dapat dilihat sebagai berikut:
SMPN 13 Ahmad Kerjasama Kerjasama Tidak Indikator afektif (RPP) yang dibuat
Syarif, S.Pd Toleransi Toleransi dilaksanakan guru mengambil sikap kerjasama,
Memecahkan Keberanian (tidak ada toleransi, dan keberanian dari
masalah Tanggung penekanan kompetensi dasar (KTSP), guru juga
Menghargai jawab indikator menambahkan sikap tanggung jawab
teman Tekun afektif) dan tekun yang ingin dicapai dalam
Keberanian Disiplin indikator afektif (RPP). Guru tidak
menekankan sikap afektif yang ingin
dicapai dalam RPP.
SMPN 09 Hadi Kerjasama Kerjasama Percaya diri Indikator afektif yang dibuat dalam
Banjarbaru Saputera Toleransi Toleransi dan bentuk RPP oleh guru sesuai
S.Pd. Percaya diri Percaya diri menghargai dengan kompetensi dasar yang
Keberanian Keberanian lawan. ada di KTSP. Dalam pelaksanaan-
Menghargai Menghargai nya yang ditekankan oleh guru
lawan lawan adalah sikap percaya diri dan
Bersedia Bersedia menghargai lawan.
berbagi tempat berbagi tempat
dan peralatan. dan peralatan.
Rahmadi
603
Suhaimi, Kerjasama Kerjasama Tidak Indikator afektif yang dibuat guru
S.Pd. Toleransi Toleransi dilaksanakan dalam bentuk RPP sesuai dengan
Percaya diri Percaya diri) (Tidak ada kompetensi dasar dalam KTSP,
Keberanian Keberanian penekanan guru menambahkan sikap disiplin
Menghargai Menghargai sikap afektif). tekun, dan ketelitian yang ingin
lawan lawan dicapai dalam indikator afektif RPP.
Bersedia Bersedia Dalm pelaksanaanya guru tidak
berbagi tempat berbagi tempat menekankan indikator afektif yang ingin
dan peralatan. dan peralatan dicapai.
Disiplin
Tekun
Ketelitian.
SMPN 01 Budi Toleransi Kerjasama Tidak Indikator afektif yang dibuat guru dalam
Banjarbaru Rahmat, Percaya diri Toleransi dilaksanakan bentuk RPP sesuai dengan kompetensi
S.Pd Keberanian Percayadiri (tidak ada dasar dalam KTSP, guru menambahkan
Menghargai Keberanian penekanan sikap disiplin, tekun, tanggung jawab
lawab Disiplin sikap afektif) dan ketelitian yang ingin dicapai dalam
Bersedia Tekun indikator afektif RPP. Dalam
berbagi tempat Tanggungjawab pelaksanaanya guru tidak menekankan
dan peralatan. Ketelitian dan melaksanakan afektif yang ingin
dicapai.
Anik Kerjasama Kerjasama Tidak Indikator afektif yang dibuat guru dalam
Lestari, Toleransi Toleransi dilaksanakan bentuk RPP sesuai dengan kompetensi
S.Pd Percaya diri Percaya diri (tidak ada dasar dalam KTSP. Dalam
Keberanian Keberanian penekanan pelaksanaanya Guru tidak
Menghargai lawan Menghargai sikap afektif) menekankandan melaksanakan sikap
Bersedia lawan afektif yang ingin dicapai di RPP.
berbagi tempat Bersedia
dan peralatan. berbagi tempat
dan peralatan.
Berdasarkan data hasil survey tersebut, nilai-nilai afektif dalam rencana pelaksanaan
pembelajaran (RPP) poin indikator afektif yang dibuat guru secara garis besar sama dengan
yang diharapkan oleh kurikulum sebagaimana tertuang dalam Kompetensi Dasar (KD) Kurikulum
Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP). Adapun nilai-nilai yang ingin dicapai yaitu: nilai disiplin,
tekun, ketelitian, semangat, sportifitas, kejujuran, tanggung jawab, kerjasama, toleransi, percaya
diri, keberanian, menghargai lawan/ teman, bersedia berbagi tempat dan peralatan.
Domain afektif atau nilai moral atau yang biasa kita sebut nilai karakter adalah sifat
atau perilaku manusia pada umumnya dimana manusia mempunyai banyak sifat yang
tergantung dari faktor kehidupannya sendiri, baik berhubungan dengan Tuhannya, diri sendiri,
Rahmadi
604
sesama manusia, lingkungan, dan kebangsaan yang terwujud dalam pikiran, perkataan,
perasaan dan perbuatan/ sikap berdasarkan norma-norma agama, hukum, tata karma, budaya,
dan adat istiadat setempat.
Sekolah perlu bersungguh-sungguh dalam mengembangkan karakter yaitu: a. Karena
pendidikan karakter di lingkungan keluarga di rumah seringkali diabaikan oleh orang tua. b.
Sekolah tidak hanya bertujuan membentuk anak yang cerdas tetapi juga baik. c. Kecerdasan
anak hanya bermakna manakala dilandasi dengan kebaikan. d. Karena membentuk karakter
anak didik agar berkarakter tangguh bukan sekedar tugas tambahan bagi guru, melainkan
tanggung jawab yang melekat pada perannya sebagai seorang guru (Saptono 2011: 24).
Pendidikan karakter adalah upaya yang dilakukan dengan sengaja untuk
mengembangkan karakter baik (good character) berlandaskan kebajikan-kebajikan inti (core
virtues) yang secara objektif baik bagi individu maupun masyarakat (Saptono 2011: 23). Adapun
pendidikan karakter atau belajar membangun karakter dapat dilakukan melalui berbagai media
yang mencakup keluarga, satuan pendidikan, dan masyarakat. Begitu penting peran pendidikan
dalam pembentukan karakter.
Nuh (2011) dalam Kementerian Pendidikan Nasional (2011: 15) mengatakan:
Pendidikan karakter mempunyai makna lebih tinggi dari pendidikan moral, karena bukan sekedar
mengajarkan mana yang salah, lebih dari itu pendidikan karakter menanamkan kebiasaan
(habituation) tentang hal baik, sehingga peserta didik menjadi faham (Domain kognitif) nilai
yang baik dan salah, mampu merasakan (Domain afektif) nilai yang baik dan biasa
melakukannya (Domain perilaku). Jadi pendidikan berkarakter terkait erat dengan kebiasaan
(habit) yang terus menerus dipraktikkan atau dilakukan.
Hasil penelitian Anjas Rubianti (2013: 34-36) menunjukkan bahwa guru pendidikan
jasmani olahraga dan kesehatan belum mengimplementasikan dan menginternalisasikan
nilai-nilai afektif dengan baik. Pendidikan jasmani olahraga dan kesehatan adalah suatu mata
pelajaran wajib di setiap jenjang pendidikan. Melalui PJOK ini bukan hanya nilai disiplin saja
yang dapat diinternalisasikan tetapi semua nilai-nilai afektif positif yang dikehendaki oleh agama,
budaya maupun adat istiadat. Pembangunan karakter peserta didik sejak dini sangat penting
karena akan berpengaruh terhadap pribadinya dimasa akan datang sebagaimana yang
diungkapkan oleh Ratna Megawangi (2004: 21) bahwa karakter yang berkualitas perlu dibentuk
dan dibina sejak usia dini, usia ini merupakan masa kritis bagi pembentukan karakter seseorang.
Kegagalan penanaman karakter pada seseorang sejak usia dini akan membentuk pribadi
yang bermasalah dimasa dewasanya kelak.
Kemampuan seorang pendidik dalam merencanakan dan melaksanakan proses
pembelajaran yang baik akan menimbulkan dampak positif dalam proses pembelajaran.
Kegiatan belajar-mengajar akan berjalan dengan lancar, peserta didik bersungguh-sungguh
dan termotivasi untuk mengikuti pembelajaran dan tidak kalah pentingnya sedikit demi sedikit
karakter peserta didik akan terbentuk. Untuk mencapai semua tujuan tersebut tentunya
pelaksanaan pembelajaran harus disampaikan dengan jelas dan tidak berbelit-belit sehingga
peserta didik dapat mengerti, memahami, dan menerapkan dalam keadaan tertentu atau dalam
kehidupan sehari-hari.
Rahmadi
605
Berdasarkan data hasil pengamatan tersebut kebanyakan dari guru tidak secara
langsung menyampaikan poin-poin dari nilai-nilai karakter yang ingin dicapai. Dalam pendidikan
jasmani olahraga dan kesehatan guru cenderung berkomunikasi secara non-verbal seperti
menggunakan tepukan tangan atau bahkan hanya menggunakan peluit. Padahal komunikasi
adalah hal paling mendasar dalam menginternalisasikan nilai-nilai karakter.
IV. SIMPULAN
Implementasi pendidikan karakter untuk menyampaikan nilai-nilai afektif dalam
pendidikan jasmani olahraga dan kesehatan masih belum menggunakan komunikasi yang
jelas dan tuntas sehingga kemungkinan peserta didik mengerti dan faham serta dapat
menerapkan dalam kehidupan sehari-hari masih sangat rendah. Peserta didik memang
mengikuti dan melaksanakan tugas pembelajaran dari guru namun belum tentu semua peserta
didik mengerti dan faham apa yang ingin dicapai dari aktivitas belajar tersebut, karena komunikasi
yang tidak tuntas. Oleh sebab itu seharusnya guru mampu mengaplikasikan hal-hal yang
menjadi tujuan indikator afektif dan pandai berkomunikasi dengan baik sehingga peserta didik
memahami dan mengerti pembelajaran yang dilakukan. Hal ini juga harus dilakukan secara
berulang-ulang agar menimbulkan kebiasaan baik dalam diri peserta didik.
DAFTAR PUSTAKA
Anjas, Rubianti. 2013. Penerapan Pendidikan Berkarakter Lewat Pendidikan Jasmani Olahraga
Dan Kesehatan Di Sekolah Menengah Pertama Negeri Kota Banjarbaru. Banjarbaru:
Program Studi Pendidikan Jasmani Kesehatan dan Rekreasi FKIP Unlam.
Barrow, M Harold and McGee, Rosemary. 1979. A Practical Approach to Measurement in Physical
Education. (Philadelphia: Lea & Febiger, 1979), h.6.
David L. Gallahue, Developmental Physical Education for Today’s Children, 3nd ed (Dubuque,
IA: Brown and Benchmark, 1996), h. 7.
Haryanto. 2010. Pendidikan Karakter menurut Ki Hadjar Dewantara.
Jim, Stilwell, Carl E. Willgose, The Physical Education Curriculum, 5th ed (Illinois : Waveland
Press, 1997), h. 24.
Kementerian Pendidikan Nasioanal. 2011. Pendidikan Karakter pada Pendidikan Jasmani,
Olahraga dan Kesehatan. Jakarta: Direktorat Jenderal Pendidikan Dasar.
Krisnawan SR. 2010. Penerapan Metode Lesson Study dalam Pembentukan Pendidikan yang
Berkarakter. Surakarta: FKIP UNS.
Megawangi, Ratna. 2004. Pendidikan Karakter Solusi Yang Tepat Untuk Membangun Bangsa.
Start Energy (kakap) Ltd: Jakarta.
Rahmadi
606
Warni, Herita. 2013. “Transformasi Karakter Tangguh dalam Proses Pembinaan Olahraga
Prestasi”. Disertasi SPs Program Studi Umum Sekolah Pasca Sarjana Universitas
Pendidikan Indonesia Bandung.
UNESCO Charter of Physical Education and Sport (Paris: General Conference, 21 Nopember
1978), h. 1.
Vendien, C Lynn and Nixon, John E. (1985). Physical Education Teacher Education: Guidelines
for Sport Pedagogy. (Canada: John Wiley & Sons, Inc., 1985), h. 15.
Wanda Chrisiana. 2005. Upaya Penerapan Pendidikan Karakter Bagi Mahapeserta didik (Studi
Kasus di Jurusan Tehnik Industri PK Petra). Surabaya: Jurusan Tehnik Industri Fakultas
Tehnologi Industri UNiversitas Kristen Petra Surabaya.
Rahmadi
607
Rahmadi
608
BAB VI
PENDIDIKAN KARAKTER
PERSPEKTIF ILMU
PENDIDIKAN
ABSTRAK
Percepatan pencapaian keberhasilan pendidikan karakter tidak semata diajarkan di sekolah,
tetapi lebih banyak dibina, dikembangkan, dipelajari/dikaji, diarahkan, dan dicontohkan secara
nyata. Tanggung jawab pembelajaran tidak hanya diberikan kepada guru atau pihak tertentu
saja seperti pihak sekolah, orang tua (keluarga), anggota masyarakat, dan atau profesi-profesi
tertentu. Keberhasilan pendidikan karakter di sekolah pada dasarnya sangat ditunjang oleh
keterkaitan peran tauladan semua komponen masyarakat sekolah secara integratif sebagai
bagian dari lingkup masyarakat umum. Semua komponen sekolah seperti peran kepala sekolah,
guru, staf sekolah, siswa, orang tua dan masyarakat, serta seluruh instansi terkait (stakeholders)
turut andil dalam menunjang percepatan pencapaian keberhasilan itu. Kesadaran untuk
bersinergi yang harmonis antar semua pihak yang bertanggung jawab sangat diperlukan, tidak
ada lagi saling menekan, menumpukkan, menyalahkan, menuding, dan membiarkan satu
sama lain. Tulisan ini membahas tentang pentingnya peran seluruh komponen masyarakat
sekolah dan luar sekolah secara bersamaan. Diharapkan hasil tulisan ini memberikan manfaat
kepada selain guru dan seluruh stakeholders tentang pentingnya peran ketauladanan semua
pihak untuk percepatan pencapaian keberhasilan pendidikan karakter unggul bagi anak.
Kata Kunci: peran, ketauladanan, stakeholders, percepatan, keberhasilan, pendidikan, karakter.
I. PENDAHULUAN
Pendidikan bukan saja merupakan aset berharga yang dimiliki seseorang sebagai
individu, tetapi sebenarnya merupakan modal kekayaan bangsa yang utama. Bangsa ini tidak
akan maju pesat dan gemilang tanpa ditunjang dengan kekayaan individu sebagai sumber
daya manusia yang berkarakter khas bangsanya sendiri sebagai jatidiri. Karakter merupakan
permasalahan muatan inti dalam visi idealisme pendidikan yang mendasar yang semestinya
dijadikan pedoman bagi semua guru di sekolah. Karakter ideal adalah nilai unggul yang dicita-
citakan bangsa ini sudah digambarkan secara eksplisit dan jelas didalam Undang-Undang
Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (sisdiknas), pasal 3 menyebutkan
fungsi pendidikan bahwa: “Mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta
peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan bangsa; berkembangnya
Acep Supriadi
611
potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertaqwa kepada Tuhan Yang
Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara
yang demokratis, serta bertanggung jawab.” Esensi dari harapan ini merupakan mimpi besar
(big dream) yang semestinya menjadi roh semua jenjang pendidikan di sekolah Indonesia,
terutama dalam proses pembelajaran di kelas oleh guru yang bersangkutan. Praktiknya sangat
kompleks dan tidak semudah membalik telapak tangan. Keterlibatan banyak pihak, sifat
keterbukaan, kreatifitas, kemandirian, dan penentuan pendekatan yang tepat sangat dibutuhkan,
terutama dalam upaya percepatan pencapaian keberhasilan pendidikan karakter.
Penggunaan istilah karakter dalam kehidupan sehari-hari manusia banyak digunakan
dalam berbagai konteks. Pada konteks penerbitan surat kabar, karakter berhubungan dengan
huruf dalam kalimat. Konteks bidang seni akting, karakter berhubungan dengan peran pemain.
Dikaitkan dengan konteks kejiwaan manusia (innerself), karakter merupakan bagian yang sangat
penting dari keseluruhan sosok seorang manusia. Karakter itu melekat dan dibawa menyatu
dalam diri setiap manusia kemanapun yang bersangkutan berada. Jika manusia kehilangan
karakter maka orang tersebut akan kehilangan jatidiri kekhasannya, tidak mempunyai
kehormatan, harga diri, dan nilai unggul dan tidak menjadi manusia mulia lagi. Asal muasal
kata karakter diambil dari bahasa Yunani, berarti menandai (to mark) yaitu menandai tingkah
laku seseorang. Istilah dalam bahasa Prancis menjadi caratere, selanjutnya pada abad ke-14
mulai dipakai istilah dalam bahasa Inggris yaitu character. Akhirnya di Indonesia ditulis menjadi
karakter. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (2005) karakter diartikan sebagai sifat-sifat
kejiwaan, akhlak atau budi pekerti yang menjadi ciri khas seseorang.
Karakter menurut Encyclopedia of Pcychology didefinisikan bahwa: “Character as the
habitual mode of bringing into harmony the tasks presented by internal demands and by the
external world, it is necessarily a function of the constant, organized, and integrating part of the
personality which is called ego”. Hernowo (2004) memaknai karakter adalah watak, sifat, atau
hal-hal sangat mendasar yang terdapat pada diri seseorang sebagai tabiat, akhlak, atau budi
pekerti yang dapat membedakan seseorang dengan yang lain dan menjadi ciri khas perilaku
keseharian. Al-Ghazali (2002) mengartikan akhlak merupakan sifat yang tertanam dalam jiwa
yang melahirkan berbagai macam perbuatan dengan mudah tanpa memerlukan pemikiran
dan pertimbangan. Anis Matta (2006) menjelaskan, akhlak adalah nilai yang telah menjadi
sikap mental yang mengakar pada jiwa, lalu tampak dalam bentuk tindakan dan perilaku yang
bersifat tetap, natural, dan refleks. Kata lain, bahwa karakter merupakan sifat bawaan alamiah
seseorang yang pembentukannya sangat dipengaruhi oleh lingkungan dan pengaruh orang-
orang disekitar secara berulang, baik disadari atau tidak sehingga menjadi kebiasaan nyata.
Permasalahan pendidikan karakter di sekolah-sekolah kita nampaknya tidak jelas
bahkan tidak nyambung dengan cita-cita besar bangsa ini. Tujuan pendidikan nasional dengan
misi pembelajaran oleh guru di kelas seolah terputus tidak ada kesesuaian. Pendidikan kita
nampaknya sudah kehilangan jati diri bangsa yang luhur, tidak bermartabat, dan tidak religius
lagi. Fenomena ini dapat dilihat dari maraknya kejadian dekadensi moral di masyarakat seperti
perkelahian/tawuran, pemerkosaan, pembunuhan, saling hujat, fitnah, narkoba, korup, dan
lain-lain perilaku negatif yang pelakunya adalah para pelajar dan mahasiswa bahkan orang
Acep Supriadi
612
dewasa. Permasalahan ini dipertajam lagi dengan kondisi kebingungan mereka menyikapi
suatu pilihan terbaik dan tepat untuk dijadikan panutan hati, baik di sekolah maupun di luar
sekolah yang serba kacau (chaos) saling menuding, menekan, menjatuhkan, dan menyalahkan
satu sama lain. Kenyataan di sekolah, masalah pembentukan karakter seolah menjadi tanggung
jawab guru semata dan selama ini guru satu-satunya sosok yang dipaksakan untuk digugu dan
ditiru. Akhirnya berdampak pada kegagalan dalam percepatan pencapaian keberhasilan
pembentukan karakter itu sendiri, dan pengaruhnya terhadap anak menjadi kelimpungan,
teler, dan frustrasi karena kepanikan dan kehilangan figur yang semestinya banyak dicontoh/
ditauladani oleh mereka.
II. MASALAH
Kenyataan di masyarakat pendidikan karakter di sekolah belum sepenuhnya mengacu
pada karakter yang diharapkan dalam tujuan pendidikan nasional dan guru nampaknya belum
sepenuhnya mampu memahami, memaknai, dan mengimplementasikan cita-cita besar bangsa
ini ke dalam butir-butir pembelajaran di kelas secara nyata, kreatif, mandiri, profesional, dan
bertanggung jawab. Pandangan lain, dinyatakan salah bahwa guru merupakan satu-satunya
orang yang dianggap paling bertanggung jawab terhadap pembentukan karakter anak di sekolah
secara terpisah (sparated). Selama ini guru sudah mengajarkan pendidikan karakter namun
kebanyakan masih seputar tataran teori dan konsep, belum sampai ke ranah metodologi dan
aplikasinya dalam kehidupan. Idealnya dalam setiap proses pembelajaran mencakup aspek
konsep (hakikat), teori (syariat), metode (tarikat), dan aplikasi (makrifat). Kurikulum pendidikan
karakter di sekolah belum disampaikan oleh guru secara komprehensif dan masih menekankan
pada mata pelajaran tertentu seperti PPKn dan agama, sehingga belum bermakna, efektif, dan
menyentuh. Selama ini pendidikan karakter yang diberikan di sekolah menjadi sia-sia belaka
dan tidak bermakna bagi anak.
Semua pihak yang semestinya memerankan diri sebagai pendukung dalam
keberhasilan penyelenggaraan pendidikan karakter ternyata belum sepenuhnya menyadari,
terlibat, dan melibatkan diri secara optimal. Mereka ini seyogianya memiliki tanggung jawab
dan peran yang besar untuk menggerakkan, mengarahkan, membimbing, melindungi,
membina, memotivasi, membantu, dan memberikan ketauladanan dibidang profesinya masing-
masing. Di sekolah, orang yang bertanggung jawab tentang hal ini adalah kepala sekolah
dengan kemampuan manajerial yang mumpuni; di kelas, orang bertanggung jawab adalah
guru yang profesional dan cerdas (smart) termasuk staf administrasi; di rumah, orang yang
bertanggung jawab adalah orang tua dan keluarga yang bijak dan demokratis; dan di mayarakat,
orang yang bertanggung jawab adalah seluruh stakeholders, para tokoh masyarakat, pemuka
agama, pejabat, pengusaha, dan profesi lain.
Masalah pendidikan karakter yang diterapkan di sekolah selama ini masih belum
efektif dan efisien, terbukti masih banyak terdapat kelemahan, kesalahpahaman, dan
kebingungan pandangan para ahli tentang pengimplementasian pendekatan yang baik dan
tepat terutama ditinjau dari sudut pandang pengelolaan pendidikan. Diantara mereka saling
Acep Supriadi
613
melimpahkan maupun melemparkan tanggung jawab bahkan terkesan ingin “cuci tangan”
belaka, terutama pada saat terjadi kegagalan dalam misi pembentukan karakter di sekolah
sebagai lingkup masyarakat kecil. Permasalahan pokok dalam pembahasan ini adalah
“Bagaimana caranya agar pendidikan karakter dapat mewujudkan percepatan pencapaian
karakter unggul pada anak di sekolah dan masyarakat?”
III. PEMBAHASAN
Pada hakikatnya setiap anak adalah baik dan disiplin. Hal ini terbukti dengan peristiwa
anak Indonesia yang berada di luar negeri pada umumnya mereka hidup sangat teratur dan
disiplin. Perbedaan perilaku itu tentu akan berbeda pada saat kita melihat karakter mereka saat
berada di lingkungan asal keseharian yang pertama membentuknya seperti di Indonesia. Akar
permasalahan terletak pada lingkungan sekitar mereka yang membentuknya sudah baik dan
serempak sudah mempunyai pola pikir berkesadaran yang sama, tidak terkecuali semua
kompak mempunyai tanggung jawab secara mandiri. Pada setiap orang dan terutama pada
anak, peniruan itu merupakan awal pembentukan karakter mereka dengan mencontoh. Secara
langsung mereka melihat, memilih, dan menentukan pilihan sesuai dengan selera melalui
simbol-simbol yang dapat mereka tangkap seperti warna yang mencolok, suara keras, dan
perbedaan lain yang tampak secara nyata. Pada masa anak secara teoritis menurut Insyirah
(2011) terutama diusia dini 0-6 tahun adalah fase paling berharga dan kritis bagi anak. Fase ini
disebut sebagai usia emas yang harus mendapatkan pengasuhan, perawatan, dan pendidikan
yang baik, tepat, dan menyeluruh sehingga anak akan lebih berkarakter kritis lagi dan cepat
tumbuh kembangnya.
Bila dipahami Renstra (Rencana Strategis) Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan
Tahun 2010-2014 telah mencanangkan penerapan pendidikan karakter untuk seluruh jenjang
pendidikan di Indonesia mulai tingkat Pendidikan Anak Usia dini (PAUD) sampai dengan
Perguruan Tinggi (PT) dalam sistem pendidikan di Indonesia. Berkaitan dengan pelaksanaan
Renstra pendidikan karakter tersebut maka sangat diperlukan kerja keras semua pihak, terutama
terhadap program-program yang memiliki kontribusi besar terhadap peradaban bangsa harus
benar-benar dioptimalkan sebagai pembentukan karakter (character building) dan pendidikan
karakter (character education). Ketauladanan semua pihak sangat menentukan percepatan
pencapaian karakter unggul anak secara mutlak dan universal.
Fenomena di masyarakat, pendidikan karakter seolah cukup dilimpahkan kepada
gurunya di sekolah dengan segala keterbatasan mereka. Menurut Listyarti (2012)
mengemukakan selama ini para guru sudah mengajarkan pendidikan karakter namun
kebanyakan masih seputar teori dan konsep, belum sampai keranah metodologi dan
implementasi dalam kehidupan nyata. Idealnya dalam setiap proses pembelajaran mencakup
aspek konsep (hakikat), teori (syariat), metode (tarikat), dan aplikasi (makrifat). Jika para guru
sudah mengajarkan kurikulum secara komprehensif seperti itu dalam setiap mata pelajaran
dan pendidikan karakter sudah terimplementasikan didalamnya, maka pendidikan karakter
akan lebih bermakna, efektif, dan menyentuh. Selama ini pendidikan karakter yang diberikan di
Acep Supriadi
614
sekolah-sekolah menjadi sia-sia belaka dan tidak maknawi bagi anak. Guru merasa kewalahan
dan memikul beban tanggung jawab yang berat, secara moral selama ini hanya pada guru
yang bersangkutan.
Muhammad Djakfar (2008) menjelaskan unsur-unsur yang terkandung dalam akhlak,
yaitu: (1) nilai yang telah tertanam dalam jiwa seseorang yang kemudian menjadi bagian dari
kepribadiannya; (2) perbuatan reflektif yang muncul secara otomatis; (3) perbuatan yang muncul
dari dalam diri seseorang tanpa ada tekanan atau paksaan; (4) perbuatan akhlak dilakukan
secara konsisten dan penuh komitmen, dan (5) perbuatan akhlak itu dilakukan secara ikhlas.
Membahas masalah karakter merupakan kajian strategis yang semestinya dipahami oleh guru
dan semua orang sebagai fokus perhatian, selanjutnya hasil dari kajian tersebut diterapkan
dalam proses pembinaan dan pengembangan moral didunia pendidikan terutama di sekolah.
Pemahaman karakter bukan semata berbicara tentang tabiat, akhlak, budi pekerti, dan nilai-
nilai baik semata, tetapi lebih dari permasalahan itu sesungguhnya karakter merupakan sifat
dasar kecerdasan etika yang dimiliki oleh setiap manusia melalui berbagai nilai ketaudanan.
Sifat dasar ini kemudian berkembang semakin pesat manakala seseorang
berkomunikasi, bergaul, dan bermasyarakat dalam hubungan kompleks keseharian dengan
seluruh komunitas di masyarakat tersebut. Secara lebih terkonsentrasi lagi karakter lebih banyak
berhubungan dengan masalah moral dan perilaku nyata yang menampak kepermukaan dimiliki
setiap orang sebagai ciri khas ketauladanan yang membedakan seseorang dengan orang lain
sebagai hasil proses bermasyarakat selama bergaul dengan lingkungannya masing-masing.
Kata lain, karakter akhirnya dapat dijadikan barometer gambaran kualitas moral seseorang di
masyarakat, seperti kualitas cerdas, demokratis, disiplin, sopan santun, religius, terdidik, disiplin,
dan lain-lain. Pembinaan kualitas moral individu dan masyarakat akan berkembang dengan
baik manakala ditunjang oleh tauladan semua pihak secara kompak dan terpadu yang diikuti
dengan nilai disiplin yang tinggi ditunjang dengan adanya kejelasan semua peraturan dan
ketentuan yang berlaku untuk ditaati dan diindahkan. Pengembangan pendidikan karakter
diperlukan prinsip-prinsip dasar yang dapat dijadikan landasan dan pijakan pemikiran dalam
menyelenggarakan pendidikan karakter agar berjalan efektif dan efisien. Prinsip dasar ini
memberikan arah kemana dan bagaimana seharusnya pendidikan karakter dilaksanakan di
sekolah-sekolah terutama untuk pendidikan dasar.
Sebelas prinsip pendidikan karakter ini kemudian oleh Bambang dan Adang (2008)
diurai menjadi 5 prinsip pendidikan karakter yaitu: (1) manusia adalah makhluk yang dipengaruhi
oleh dua aspek, pada dirinya memiliki sumber kebenaran dan dari luar dirinya ada juga dorongan
atau kondisi yang mempengaruhi kesadaran; (2) menganggap bahwa perilaku yang dibimbing
oleh nilai-nilai utama sebagai bukti dari karakter. Pendidikan karakter tidak meyakini adanya
pemisahan antara roh, jiwa, dan badan (perkataan, keyakinan, dan tindakan); (3) pendidikan
karakter mengutamakan munculnya kesadaran pribadi peserta didik untuk secara ikhlas
mengutamakan karakter positif; (4) pendidikan karakter mengarahkan peserta didik untuk
menjadi manusia ulul albab yang dapat diandalkan dari segala aspek, baik aspek intelektual,
afektif, maupun spiritual, dan (5) karakter seseorang ditentukan oleh apa yang dilakukan
berdasarkan pilihannya.
Acep Supriadi
615
Koesoema (2007) menyarankan enam prinsip pendidikan karakter di sekolah yang
dapat dijadikan sebagai pedoman agar mudah dimengerti dan dipahami oleh siswa dan setiap
individu yang bekerja dalam lingkungan pendidikan sekolah. Prinsip-prinsip tersebut adalah:
(1) karakter ditentukan oleh apa yang kamu lakukan, bukan apa yang kamu katakan atau kamu
yakini; (2) setiap keputusan yang diambil menentukan akan menjadi orang macam apa dirimu;
(3) karakter yang baik dilakukan dengan cara-cara yang baik; (4) jangan mengambil perilaku
buruk yang dilakukan oleh orang lain sebagai patokan, pilihlah patokan yang lebih baik dari
mereka; (5) apa yang kamu lakukan memiliki makna dan transformatif; dan (6) imbalan bagi
mereka yang memiliki karakter baik adalah kamu menjadi pribadi yang lebih baik.
Bertolak pada pandangan di atas, dikembangkan dari pendapat Fatah (2010) maka
pengelolaan pendidikan karakter di sekolah akan lebih baik, terarah, efektif, dan efisien dalam
penyelenggaraannya bila berpedoman pada prinsip-prinsip berikut:
Pertama, pendidikan karakter mempromosikan nilai etika yang baik (akhlak ul-karimah)
sebagai model karakter dasar yang akan ditanamkan pada anak melalui ketauladanan,
kepedulian, kejujuran, keadilan, tanggung jawab dan penghargaan terhadap diri dan lain-lain
yang perlu segera diajarkan untuk membentuk karakter anak yang baik.
Kedua, karakter harus didefinisikan secara komprehensif yang mencakup penalaran,
perasaan dan perilaku. Program pendidikan karakter yang efektif mencakup aspek kognitif,
emosional, dan psikomotor yang bertujuan untuk menumbuhkan pengertian, kepedulian, dan
tindakan berdasarkan nilai kebajikan atau akhlakul karimah.
Ketiga, pendidikan karakter yang efektif memerlukan pendekatan proaktif dan
komprehensif yang mempromosikan nilai-nilai inti dalam semua fase kehidupan sekolah.
Program pengembangan pendidikan karakter di sekolah harus didesain dan direncanakan
untuk mempengaruhi karakter siswa dengan langkah-langkah yang operasional, yang
komprehensif yang melibatkan seluruh aspek persekolahan, seperti ketauladanan, kedisiplinan
guru dan pegawai, kebijakan sekolah, kurikulum, metode pengajaran, hubungan dengan orang
tua, dan seterusnya.
Keempat, sekolah harus menjadi komunitas yang peduli pada tumbuhnya kebajikan.
Pengembangan pendidikan karakter, penciptaan lingkungan yang kondusif untuk tumbuhnya
nilai kepedulian dari semua warga sekolah, mulai kepala sekolah, guru, pegawai tata usaha,
dan staf keamanan dan kebersihan harus diciptakan, sehingga terjalin hubungan yang harmonis
diantara komunitas sekolah yang disemangati oleh rasa kepedulian, persaudaraan, dan
ketauladanan yang tinggi.
Kelima, untuk mengembangkan karakter siswa membutuhkan kesempatan untuk
melakukan tindakan moral. Sistem belajar paling baik bagi anak adalah memberikan banyak
kesempatan kepada mereka menerapkan nilai-nilai kebajikan dalam berinteraksi sehari-hari.
Sedapat mungkin mereka dilibatkan dan diikutsertakan dalam kehidupan nyata yang dapat
mengalihkan perhatian dan fokus pada aktivitas ketauladanan positif di sekolah. Pengembangan
pemahaman praktis tentang keadilan, kerjasama, dan rasa hormat merupakan bagian karakter
Acep Supriadi
616
unggul. Pemberian kesempatan yang berulang-ulang untuk melakukan tindakan moral tadi
akan menjadi kebiasaan yang membentuk karakter anak.
Keenam, pendidikan karakter yang efektif memberikan kebermaknaan dan menantang
kurikulum akademis yang menghormati semua pelajar dan membantu mereka berhasil.
Pendidikan karakter dan pembelajaran akademis tidak boleh dipahami sebagai bidang yang
terpisah, melainkan harus dipandang sebagai suatu hubungan yang kuat dan saling
mendukung. Suasana kelas yang terjalin hubungan penuh perhatian dan ketauladanan guru.
Siswa merasa senang dan dihormati oleh para guru dan sesama teman, siswa lebih cenderung
untuk bekerja keras untuk mencapai tujuan yang diharapkan. Setiap suasana dan peristiwa
yang terjadi menciptakan pola interaksi yang melahirkan timbal balik yang bermakna untuk
tumbuhnya kepedulian dan penghargaan terhadap setiap orang, yang memiliki beragam
perbedaan dan disampaikan pembelajaran kooperatif, pendekatan pemecahan masalah,
proyek-proyek berbasis pengalaman, dan sejenisnya merupakan salah satu cara yang paling
otentik untuk menghormati cara mereka belajar.
Ketujuh, pendidikan karakter harus berusaha mengembangkan motivasi intrinsik siswa.
Model pengembangan karakter yang baik adalah mengembangkan komitmen intrinsik siswa
untuk melakukan perilaku yang bermoral berdasarkan nilai-nilai keislaman. Mereka harus
berusaha mengurangi ketergantungan yang bersifat ekstrinsik, seperti motivasi untuk mendapat
imbalan dan takut mendapat hukuman. Pengembangan kurikulum akademik, motivasi intrinsik
semestinya dipelihara dalam setiap cara dan kesempatan. Hal ini dapat dilakukan dengan
membantu siswa dalam menghadapi tantangan dan memahami materi pelajaran, keinginan
untuk bekerjasama dengan siswa lain di sekolah atau komunitas mereka dengan kemasan
situasi yang menyenangkan.
Kedelapan, semua staf sekolah harus menjadi komunitas moral, semua memiliki
tanggung jawab untuk pengembangan pendidikan karakter. Ada tiga hal yang perlu diperhatikan,
yaitu: (1) semua staf sekolah, guru, administrator, konselor, dan pelatih ekstrakurikuler harus
terlibat aktif dalam mempelajari, berdiskusi dan mengambil berbagai upaya untuk
pengembangan pendidikan karakter, (2) nilai-nilai keislaman yang mengatur kehidupan siswa
harus mengatur juga kehidupan semua warga sekolah, dan (3) sekolah memberikan waktu
kepada staf untuk merefleksi tentang masalah-masalah moral melalui rapat staf dan kelompok-
kelompok pendukung yang lebih kecil.
Kesembilan, pendidikan karakter memerlukan kepemimpinan sekolah dan siswa yang
bermoral. Pengembangan pendidikan karakter dibutuhkan pemimpin yang mempunyai moral
yang baik dan bertanggung jawab dalam perencanaan, pelaksanaan, dan evaluasi program.
Siswa dilibatkan dalam peran kepemimpinan diantara mereka dalam pelaksanaan program
seperti pemantau karakter mandiri, evaluator mandiri, dan lain-lain.
Kesepuluh, sekolah melibatkan orang tua dan masyarakat sebagai mitra dalam upaya
pembentukan karakter anak. Orang tua adalah pihak pertama dan paling penting dalam
pendidikan karakter anak-anak mereka. Pihak sekolah berusaha membangun komunikasi
dengan orang tua untuk merumuskan visi, misi, dan tujuan yang menyangkut pengembangan
karakter, dan bagaimana keluarga dapat mendukung program tersebut.
Acep Supriadi
617
Kesebelas, evaluasi pendidikan karakter harus menilai karakter sekolah, fungsi semua
komponen sekolah sebagai pendidik karakter, dan sejauh mana siswa memanifestasikan
karakter yang baik. Pendidikan karakter yang efektif melakukan evaluasi untuk menilai kemajuan
dalam tiga hal yaitu: (1) karakter sekolah; sampai sejauhmana sekolah menjadi komunitas
yang lebih peduli dalam mengimplementasikan pendidikan karakter kepada anak; (2) semua
komponen sekolah sebagai pendidik karakter; sampai sejauhmana memiliki guru, staf, pegawai,
dan administrator memiliki pemahaman tentang apa yang dapat mereka lakukan untuk
mendorong pengembangan karakter; dan (3) karakter siswa, sejauhmana pemahaman,
komitmen, dan tindakan atas nilai-nilai kebaikan.
Keduabelas, tidak saja masalah keterlibatan semua komponen secara menyelurh,
tetapi lebih dari itu di masyarakat memerlukan kekompakan dalam menyikapi ketauladanan
semua permasalahan pendidikan karakter mempunyai kesadaran yang bulat untuk
berkomitmen secara penuh tanggung jawab. Efektivitas pelaksanaan sangat ditunjang oleh
berbagai peraturan hukum dengan sanksi yang jelas, tegas, dan berwibawa para pelaksananya.
Semua pihak berpegang pada peraturan dan ketentuan yang berlaku, tidak ada perlakuan
diskriminatif, dan berjalan tanpa harus diawasi seperti hubungan antara penjajah dengan
orang yang terjajah. Saling jujur/tidak korup, peduli, menghormati, dan menghargai satu sama
lain merupakan modal diri yang utama, semestinya dilakukan dengan tekad yang seksama
oleh setiap pribadi dan individu masing-masing.
Ketigabelas, pendidikan ketauladanan terutama bagi peserta didik di sekolah dasar
sangat efektif dalam upaya mengembangkan dan mengelola pendidikan karakter. Hakikat
pendidikan tauladan sebenarnya adalah pendidikan karakter yang paling ampuh dibinakan di
sekolah terutama untuk pendidikan dasar seperti SD atau pendidikan pra-sekolah seperti
Kelompok Bermain/TK/PAUD bahkan kalau mau jujur sejak di dalam kandungan ibu sudah
dibina. Guru adalah sosok ideal yang dijadikan ikon idola mereka, maka guru berperan sebagai
model pembelajaran langsung dimata peserta didik, semua mereka tiru dan mereka gugu.
Idealnya hampir jangan ada salah sedikit pun saat membelajarkan di depan mereka.
Karakter dasar anak yang perlu dikembangkan sejak usia dini adalah karakter yang
mempunyai nilai permanen dan tahan lama, yang diyakini berlaku bagi manusia secara universal
dan bersifat absolut (bukan bersifat relatif), yang bersumber dari agama-agama di dunia.
Keterkaitan dengan nilai moral absolut ini, Lickona menyebutnya sebagai “the golden role”.
Contoh “the golden role” adalah jujur, adil, mempunyai integritas, cinta sesama, empati, disiplin,
tanggung jawab, peduli, kasih sayang, dan rendah hati. Karakter dasar merupakan sifat fitrah
manusia yang diyakini dapat dibentuk dan dikembangkan melalui metode-metode pendidikan
tertentu, seperti pendidikan karakter. Konteks pengembangan pendidikan karakter,
penyelenggara pendidikan bisa saja merumuskan karakter dasar yang akan dikembangkan
disesuaikan dengan nilai-nilai bangsa atau agama tertentu, sehingga antara rumusan karakter
dasar yang satu dengan yang lain terjadi perbedaan. Hal ini sangat tergantung dari fokus nilai-
nilai yang menjadi prioritasnya dan latar belakang pendidikan, budaya, agama orang yang
memiliki komitmen pengembangan pendidikan karakter. Sehingga, nilai-nilai tersebut tidak
akan bertentangan apalagi melecehkan nilai-nilai yang dikembangkan orang lain.
Acep Supriadi
618
Karakter dasar yang telah dikembangkan oleh Megawangi (2007) melalui Indonesian
Heritage Foundation (IHF) didasarkan pada sembilan karakter dasar yang dijadikan tujuan
pendidikan karakter. Sembilan karakter dasar tersebut adalah: (1) cinta kepada Allah dan semesta
beserta isinya; (2) tanggung jawab, disiplin, dan mandiri; (3) jujur; (4) hormat dan santun; (5)
kasih sayang, peduli dan kerjasama; (6) percaya diri, kreatif, kerja keras, dan pantang menyerah;
(7) keadilan dan kepemimpinan; (8) baik dan rendah hati; dan (9) toleransi, cinta damai dan
persatuan. Living Values: An Education Program (LVEP) yang didukung oleh UNESCO dan
disponsori oleh Spanish Committee dari UNICEF, Planet Society, dan Brahma Kumaris, dengan
bimbingan dari Education Cluster dari UNICEF merumuskan konsep karakter dasar anak yang
harus dikembangkan. Karakter dasar tersebut ada dua belas, yaitu: kedamaian, penghargaan,
cinta, tanggung jawab, kebahagiaan, kerjasama, kejujuran, kerendahan hati, toleransi,
kesederhanaan, kebebasan, dan persatuan. Sedangkan Lickona menyebutkan karakter dasar
yang dikembangkan melalui pendidikan karakter ada sepuluh karakter yang disebut dengan
“Ten Essential Firtues”. Sepuluh kebajikan terpenting tersebut adalah: wisdom, justice, fortitude,
self-control, love, positive attitude, hard work, integrity, gratitude, dan humanity. Dalam konteks
pendidikan Islam, karakter atau akhlak yang ditanamkan kepada anak harus berlandaskan
pada dua dimensi kehidupan manusia yaitu dimensi ke-Tuhanan dan dimensi kemanusiaan.
Kedua dimensi itu dikembangkan untuk menumbuhkan karakter atau akhlak anak agar memiliki
rasa ketakwaan kepada Allah SWT dan rasa kemanusiaan sesama manusia.
Acep Supriadi
619
2. Saran
Pendidikan karakter akan berhasil diterapkan di sekolah, bila semua komponen
pendidikan saling bersinergi dan menyadari peran tauladan dan tanggung jawab dibidangnya
masing-masing.
Bagi peserta didik, mereka dimasa emas ini seyogianya hanya menginginkan sosok-
sosok panutan yang dapat ditauladani dalam hidup keseharian bagi setiap orang di bidangnya
masing-masing dan itu lebih bermakna.
Bagi guru, mereka adalah peran miniatur seseorang yang semestinya digugu dan
ditiru oleh semua peserta didik dan masyarakat. Seyogianya peran guru di kelas merupakan
sesuatu yang melambangkan ikon pencitraan nilai-nilai pendidikan yang semestinya diidolakan
oleh peserta didik sebagai tauladan dalam keseharian.
Bagi sekolah (kepala sekolah), seorang pemimpin yang mumpuni dalam
penyelengaraan pendidikan di sekolah. Seyogianya menunjukkan figur tauladan yang
bertanggung jawab secara manajerial dan mampu menghubungkan semua komponen
masyarakat sekolah secara utuh, memiliki komitmen yang tinggi, terutama dalam upayanya
mempengaruhi, menggerakkan, memberdayakan, dan mengendalikan semua.
Bagi staf sekolah, mereka merupakan bagian penting yang ikut menentukan tujuan
visi-misi sekolah. Upaya melaksanakan tugas adminstratif di sekolah seyogianya dilakukan
secara profesional, cepat, dan jujur. Pelayanan administrasi yang baik, cepat, dan tepat akan
memberikan kenyamanan dan kepuasan bagi peserta didik dan guru-guru.
Bagi orang tua (keluarga), dilihat secara siklus rantai dan tanggung jawab pendidikan
mereka merupakan salah satu bagian penting yang sangat dominan memberikan warna-
warni penanaman nilai-nilai pendidikan karakter kepada peserta didik di rumah (keluarga)
sebagai kelanjutan di sekolah. Seyogianya tingkat intensitas ketauladanan pemanfaatan waktu
orang tua dalam menanamkan nilai-nilai karakter peserta didik di rumah sangat tinggi
kontribusinya dan tidak terbatas ruang dan waktu. Praktik bahasa-bahasa cinta yang
menyejukkan sangat meneladani anak yang bersangkutan.
Bagi pemerintah, seyogianya semua komponen pejabat pemerintahan menunjukkan
dengan perilaku-perilaku jujur dan tidak korup dalam upaya mengemban tugas mulia mereka,
ditunjang dengan berbagai aturan yang mendukung dan jelas ke arah itu, amanah, dan akhlakul
karimah.
Bagi masyarakat (stakeholders), saling menyadari tanggung jawab dan fungsi perannya
masing-masing, bahwa keberadaan mereka bukan sekedar pelengkap tetapi justru penentu
keberhasilan pendidikan karakter bagi peserta didik di sekolah. Seyogianya seluruh komponen
masyarakat mampu memberikan kontribusi yang sangat berarti melalui berbagai contoh praktik
kehidupan dibidang keahlian masing-masing. Tauladan dan contoh-contoh praktik kehidupan
positif dan baik dari para tokoh, pemuka masyarakat, pejabat-pejabat yang bertanggung jawab,
dan lain-lain merupakan kunci keberhasilan pendidikan karakter di sekolah yang selama ini
diidamkan oleh semua masyarakat termasuk masyarakat akademik.
Acep Supriadi
620
DAFTAR PUSTAKA
Al-Ghozali, Imam. 2002. Ihya’Ulum al-Din, Juz III. Beirut: Dar al-Fikr.
Bambang, Q. dan Adang Hambali. 2008. Pendidikan Karakter Berbasis Al-Qur’an. Bandung:
Simbiosa Rekatama Media.
Djakfar, Muhammad. 2008. Etika Bisnis Islami; Tataran Teoritis dan Praktis. Malang: UIN Press.
Fattah, Nanang. 2006. Landasan Manajemen Pendidikan. Bandung: Remaja Rosdakarya.
Hernowo. 2004. Self Digesting: Alat Menjelajahi dan Mengurai Diri. Bandng: Mizan Media
Utama.
Insyirah. 2011. Permainan Tradisional Sebagai Media Sosialisasi Anak PAUD-NI Bagi
Keharmonisan Lingkungan. Jurnal Pendidikan Non Formal dan Informal 6, Edisi: Juni
2011:
Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan RI. 2010. Rencana Strategis (Renstra) Tahun 2010-
2014. Jakarta: Kemdikbud RI.
Koesoema, Doni. 2007. Pendidikan Karakter; Strategi Mendidik Anak di Zaman Global. Jakarta:
PT. Grasindo.
Listyarti, Retno. 2012. Pendidikan Karakter Dalam Metode Aktif, Inovatif, dan Kreatif. Jakarta:
Erlangga Group.
Lickona, Thomas. 2003. The Fourth And Fifth RS, volume 10. Corthland: School of Education.
Lickona, Thomas, et al. 2003. CEP’s Eleven Principles of Effective Character Education.
Washington: Character Education Partnership. Madjid, Nurcholis. 2000. Masyarakat
Religius: Membumikan Nilai-nilai Islam di Dalam Kehidupan Masyarakat. Jakarta:
Paramadina.
Matta. M. Anis. 2006. Membentuk Karakter Cara Islam. Jakarta: Al-I’tishom Cahaya Umat.
Megawangi, Ratna. 2007. Semua Berakar pada Karakter: Isu-isu Permasalahan Bangsa. Jakarta:
FE-UI.
Megawangi, Ratna. 2007. Character Parenting Space: Menjadi Orang Tua Cerdas Untuk
Membangun Karakter Anak. Bandung: Publishing House.
Undang-Undang RI Nomor 20 Tahun 2003 Tentang Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas).
Bandung: Citra Umbara.
Acep Supriadi
621
Acep Supriadi
622
ASESMEN PORTOFOLIO DALAM PEMBELAJARAN BERBASIS
KARAKTER DI SEKOLAH DASAR
Darmiyati
Universitas Lambung Mangkurat
ABSTRAK
Peningkatan mutu pendidikan tidak terlepas dari kemampuan guru dalam mengelola kegiatan
pembelajaran mulai dari merencanakan, melaksanakan dan memberikan penilaian. Karena
kalau ingin meningkatkan kualitas pendidikan harus diawali dengan perbaikan strategi
pembelajaran yang ditunjang dengan penilaian autentik (kelas) yang baik. Asesmen atau
penilaian merupakan kegiatan yang dapat dilaksanakan dalam proses pembelajaran yang
berupa tes dan non tes. Salah satu asesmen yang dapat dilaksanakan di kelas selain tes
adalah asesmen portofolio. Dikarenakan asesmen ini lebih mengutamakan penilaian proses
tidak hanya menilai hasil belajar siswa dalam pelaksanaan kegiatan pembelajaran. Asesmen
portofolio yang merupakan pengumpulan tugas-tugas yang berkaitan dengan dunia nyata agar
melatih keterampilan berpikir secara sungguh-sungguh, dan mendorong kerjasama yang baik
antara guru dengan siswa dan antara siswa dengan siswa. Asesmen ini dilaksanakan terintegrasi
dalam proses pembelajaran, dimana dalam melaksanakan kegiatan pembelajaran guru
hendaknya memasukkan nilai-nilai karakter dalam kegiatan pembelajaran sehingga dapat
mendidik siswa menjadi manusia yang memiliki kecerdasan juga membangun kepribadian
yang berakhlaq mulia untuk mencapai tujuan pendidikan nasional.
Kata Kunci : asesmen, portofolio, karakter
I. PENDAHULUAN
Pendidikan dasar merupakan salah satu faktor penentu utama keberhasilan pendidikan
nasional sehingga pendidikan dasar merupakan peletak dasar untuk memasuki jenjang
pendidikan berikutnya, dan juga merupakan basis yang sangat menentukan dalam pembentukan
sikap, pengetahuan dan keterampilan, serta kepribadian siswa. Atas dasar itulah upaya
meningkatkan mutu pendidikan dasar merupakan salah satu faktor penentu keberhasilan upaya
peningkatan mutu pendidikan nasional.
Peningkatkan mutu pendidikan tidak terlepas dari kualitas dan kemampuan guru dalam
mengelola kegiatan pembelajaran mulai merencanakan, melaksanakan, dan memberikan
penilaian. Karena kalau kita mau meningkatkan kualitas pendidikan berarti harus diawali dengan
perbaikan pembelajaran, perbaikan kegiatan pembelajaran dapat ditunjang dengan penilaian
Darmiyati
623
kelas yang baik. Pendidikan bukan hanya mendidik siswa menjadi manusia yang cerdas tetapi
juga membangun kepribadian yang berakhlak mulia. Pendidikan karakter merupakan salah
satu tujuan yang ingin dicapai dalam pendidikan nasional. Diantara tujuan pendidikan nasional
adalah mengembangkan potensi peserta didik untuk memiliki kecerdasan, kepribadian dan
akhlak mulia (Sisdiknas, 2009: 64).
Guru sebagai tenaga profesional, sebagai pengajar, sebagai pendidik, pembimbing,
sebagai fasilitator dalam kegiatan pembelajaran yang berhadapan langsung dengan siswa
yang mentransper ilmu pengetahuan dan teknologi sekaligus mendidik, memberikan nilai
positif melalui bimbingan, membentuk karakter siswa dengan baik dan membantu dalam
mengembangkan kepribadian baik dalam kegiatan pembelajaran maupun masalah yang ada
dalam kehidupannya. Untuk mencapai semua itu diperlukan adanya kurikulum.
Perubahan dan perkembangan kurikulum pendidikan di Indonesia mengalami
beberapa kali perubahan dari waktu ke waktu yang disebabkan karena kebutuhan masyarakat
yang selalu berkembang dan berubah. Kurikulum pendidikan yang saat ini terus disosialisasikan
adalah Kurikulum 2013 sebagai penyempurnaan dari kurikulum sebelumnya (KTSP 2006).
Perubahan dan perkembangan Kurikulum 2013 ini terdapat adanya kesenjangan
kurikulum dalam komponen penilaian, dimana pada saat ini penilaian lebih menekankan
pada aspek kognitif saja dan kurang bermuatan pada pendidikan karakter, dan tes merupakan
cara penilaian sering digunakan oleh guru, sedangkan penilaian non tes masih belum
terlaksana, khususnya penilaian portofolio. Idealnya penilaian itu harus memuat ketiga aspek
secara proporsional meliputi, kognitif, afektif, dan psikomotor, dimana penilaian tes dan portofolio
itu saling melengkapi.
Berdasarkan hasil pengamatan dan wawancara dengan guru di sekolah dasar yang
melaksanakan kurikulum baik KTSP maupun Kurikulum 2013, mereka menemui kesulitan,
kebingungan, dan malah malas melaksanakan penilaian non tes atau penilaian proses.
Walaupun pemerintah sudah memprogramkan berbagai pelatihan tentang penilaian,
memberikan tunjangan sertifikasi kepada guru-guru. Supaya guru-guru lebih terlihat aktif, kreatif
dan inovatif dalam melaksanakan kegiatan pembelajaran.
Adanya perubahan kurikulum memiliki konsekuensi kepada guru, karena guru
merupakan salah satu penentu keberhasilan dalam kegiatan pembelajaran. Konsekuensi itu
bukan hanya dalam kegiatan pembelajaran namun guru juga dituntut untuk merubah kebiasaan
melaksanakan kegiatan pembelajaran baik pendekatan, strategi, dan metode pembelajaran
serta cara penilaian yang dilaksanakan dari pelajaran yang terpisah-pisah. Kurikulum 2013
mengacu kepada perubahan pendekatan tematik terpadu berdasarkan pendekatan saintifik
melalui pengalaman belajar mengamati, menanya, mencoba, menalar, dan menyajikan.
Pelaksanaan penilaian hasil belajar siswa melalui 5 cara yaitu, (a) penilaian berbasis
kompetensi, (b) pergeseran dari penilaian tes (hasil saja), menuju penilaian otentik (mengukur
semua kompetensi sikap, keterampilan, dan pengetahuan berdasarkan hasil), (c) memperkuat
PAP (Penilaian Acuan Patokan) yaitu pencapaian hasil belajar didasarkan pada posisi skor
Darmiyati
624
yang diperolehnya terhadap skor ideal (maksimal), (d) penilaian tidak hanya pada level KD,
tetapi juga kompetensi inti dan SKL, dan (e) mendorong pemanfaatan portofolio yang dibuat
siswa sebagai instrumen utama penilaian (Kemdikbud, 2013).
Penilaian pembelajaran yang dilaksanakan di sekolah lebih dominan mengutamakan
aspek kognitif dan kurang bermuatan pendidikan karakter, sedangkan aspek sikap dan
keterampilan masih terabaikan. Guru lebih cenderung menggunakan tes sedangkan dalam
menggunakan penilaian lain berupa penilaian non tes. Dengan penilaian ini siswa langsung
dapat dipantau kegiatannya selama proses pembelajaran. Dimana penilaian tes dan
pemanfaatan penilaian portofolio dapat saling melengkapi.
II. PEMBAHASAN
2.1 Hakekat Asesmen Portofolio
Asesmen merupakan suatu alat penilaian yang dapat digunakan oleh guru untuk
membantu siswa mencapai tujuan kurikulum (Wele dan Coxfort,1993: 1). Aiken mengartikan
asesmen merupakan karakteristik seseorang dengan mengakses tingkah laku manusia dan
proses mental dapat dilakukan dengan cara observasi, interview, skala rating, check list, teknik
proyektif dan tes (Aiken, 1997: 454).
Lebih konkret lagi Nitko menyatakan bahwa asesmen merupakan proses pengumpulan
informasi yang dapat digunakan untuk membuat keputusan tentang siswa, kurikulum dan
program serta kebijakan dalam pendidikan, meliputi pengelolaan kelas, penempatan,
pemberian bimbingan dalam meningkatkan kemampuan belajar anak (Nitko, 1996: 4).
Pendapat lain dinyatakan oleh Bonnie memberikan pengertian bahwa asesmen
sebagai proses pengumpulan data, pencatatan dokumen penting dari perkembangan belajar
anak melalui penilaian autentik dengan berbagai pengukuran dalam konteks yang bervariasi
(Bonnie and Ruptic, 1994: 8).
Penilaian autentik sangat tepat dilaksanakan dalam kegiatan pembelajaran berbasis
karakter, menggunakan pendekatan tematik terpadu selain pemberian test dan ini sesuai dengan
tuntutan kurikulum 2013 khususnya di Sekolah Dasar. Mengingat pentingnya penilaian ini
dilaksanakan dalam kegiatan pembelajaran maka Majid menegaskan bahwa penilaian autentik
adalah proses pengumpulan informasi oleh guru tentang perkembangan dan pencapaian
pembelajaran yang dilakukan siswa melalui berbagai teknik yang mampu mengungkapkan,
membuktikan atau menunjukkan secara tepat bahwa tujuan pembelajaran dan kompetensi
telah benar-benar dikuasai dan dicapai (Majid, 2006: 186).
Penilaian autentik diindentikan dengan penilaian di kelas dan sangat erat
hubungannya dengan kegiatan pelaksanaan pembelajaran dimana penilaian dapat
dilaksanakan dengan melihat langsung terhadap apa yang dilaksanakan oleh siswa atau apa
yang dikerjakan oleh siswa. Tahap-tahap pelaksanaan penilaian autentik/ penilaian kelas
menurut (Stiggins & Chappuis, 2012) meliputi, (1) tentukan tujuan penilaian, (2) jabarkan target
Darmiyati
625
capaian dalam kurikulum, (3) rancangan pendekatan pembelajaran dan penilaian yang baik,
dan (4) pilih model mengkomunikasikan hasil yang tepat.
Penilaian autentik atau penilaian kelas sebagai salah satu penilaian yang
dikembangkan pada Kurikulum 2013 selain penilaian tes, penilaian ini dapat dilaksanakan
dalam proses kegiatan pembelajaran dengan berbagai teknik seperti penilaian unjuk kerja,
sikap, tertulis, proyek, portofolio, dan penilaian diri (Poerwanti, 2009: 1.13). Lebih tegas lagi
(Hardeng and Smith 1996: 112) menyatakan portofolio dalam hubungannya dengan penilaian
berbasis kelas merupakan salah satu teknik penilaian yang bersifat open ended, berupa kumpulan
data yang menggambarkan kinerja dan prestasi siswa.
Lebih tegas lagi (Tierney, 1991: 41) menyatakan bahwa portofolio merupakan koleksi
sistematis yang dibuat oleh siswa dan guru untuk menilai kegiatan proses, prestasi yang dapat
dipertanggung jawabkan.
Penilaian portofolio merupakan salah satu penilaian yang dapat digunakan oleh guru
dalam melaksanakan proses pembelajaran di kelas. Portofolio merupakan kumpulan hasil kerja
siswa yang menunjukkan, perkembangan dan kemampuan mereka dalam berbagai mata
pelajaran, meliputi partisipasi, seleksi, kriteria penilaian dan bukti refleksi diri (Paulson, 1991: 60).
Darmiyati
626
penilaian proses dan hasil kinerja dan hasil pembelajaran siswa. Dengan adanya penilaian asesmen
ini dapat memberikan informasi balikan yang bermakna dalam meningkatkan hasil belajar siswa.
2.3 Prinsip Penilaian Portofolio
Prinsip-prinsip penilaian portofolio, yaitu (a) saling percaya, (2) keterbukaan, (3)
kerahasiaan, (4) milik bersama, (5) kepuasan dan kesesuaian, (6) budaya pembelajaran, (7)
refleksi, dan (8) berorientasi pada proses dan hasil (Sanjaya, 366.2008).
Secara sederhana, prinsip penilaian dapat dijelaskan sebagai berikut :
Saling percaya menunjukkan hubungan baik antara guru yang mengevaluasi dengan
siswa yang dievaluasi. Siswa harus memiliki rasa percaya terhadap penilaian yang dilakukan
kepadanya dengan tujuan melihat perkembangan dan pencapaian hasil belajar serta upaya
meningkatkan hasil belajar namun tidak meninggalkan proses belajar siswa.
Keterbukaan yang dimaksud adalah suasana/iklim belajar yang menyenangkan bagi
siswa dan guru sebagai pelaksana evaluasi tidak hanya memberi kritik atau nilai saja, akan
tetapi member pemahaman mengenai kritik dan nilai melalui argumentasi yang sesuai dengan
perkembangan siswa.
Kerahasiaan merupakan prinsip saling menjaga satu sama lain, antara guru dengan
siswa mengenai komentar terhadap hasil kerja siswa. Secara sederhana berupa guru
memberikan komentar kepada siswa dan tidak menginformasikan penilaian tersebut kepada
orang lain. Hal ini bertujuan untuk menjaga agar siswa tidak merasa pesimis karena nilainya
yang tidak baik dan tidak merasa bangga terhadap nilai terbaik yang siswa peroleh.
Milik bersama merupakan tanggungjawab antara siswa dengan guru mengenai
hasil dari portofolio sehingga baik guru maupun siswa harus menjaga hasil penilaian portofolio
secara baik. Karena ada suatu saat nanti hasil penilaian tersebut dapat berguna baik bagi guru
maupun bagi siswa.
Kepuasan dan kesesuaian merupakan suatu kondisi yang seimbang antara hasil
belajar siswa dengan penilaian yang diberikan terhadap hasil kerja siswa yang disesuaikan
dengan capaian kompetensi.
Budaya pembelajaran dapat diciptakan melalui kebiasan dalam belajar antara guru
dengan siswa dalam rangka meningkatkan hasil belajar siswa. Kebiasaan ini dilakukan tidak
hanya melihat hasil belajar siswa, melainkan juga melihat proses belajar siswa. Dalam budaya
pembelajaran, meningkatkan taraf pembelajaran dari taraf rendah menjadi taraf pembelajaran
yang lebih tinggi.
Refleksi secara prinsip pada penilaian portofolio merupakan penilaian yang memberi
kesempatan secara terbuka kepada siswa untuk mengingat kembali proses pembelajaran
yang telah dilakukan dengan tujuan siswa dapat mengetahui capaian perkembangan serta
kemampuan dan kelemahan siswa.
Berorientasi pada proses dan hasil merupakan penilaian portofolio yang pada
dasarnya adalah penilaian yang beracuan pada aspek perkembangan siswa, cara belajar,
motivasi, sikap dan minat sehingga penilaian portofolio tidak hanya pada hasil belajar tetapi
juga pada proses belajar.
Darmiyati
627
2.4 Jenis-Jenis Penilaian Portofolio
Portofolio sebagai kumpulan hasil kerja berupa tugas-tugas yang diberikan kepada
siswa secara individual yang disusun secara sistematis dan teratur dalam kegiatan
pembelajaran yang dilaksanakan dalam rangka melihat kemampuan dan kemajuan
perkembangan siswa baik aspek kognitif, afektif dan psikomotor. Menurut Muslich (2007 : 219)
portofolio dapat dibedakan menjadi tiga jenis, meliputi: portopolio perkembangan, portofolio
pamer dan portofolio komprehensif.
Portofolio perkembangan merupakan portofolio yang berisi koleksi atau kumpulan
hasil karya siswa yang memperlihatkan pertumbuhan dan perkembangan siswa dalam aspek
yang dipilih sesuai dengan materi yang diberikan, misalnya dalam menulis karangan, membuat
laporan praktikum dan lain sebagainya.
Portofolio pamer merupakan portofolio yang berisi kumpulan atau koleksi berupa hasil
karya siswa yang terbaik dalam proses pembelajaran untuk menilai pencapaian kompentensi
siswa. Hasil karya ini berupa karya nyata yang dibuat oleh siswa dan kemudian dipamerkan.
Misalnya dalam membuat kerajinan, melukis, dan lain-lain.
Portofolio komprehensif merupakan portofolio yang berisi kumpulan atau koleksi
seluruh hasil karya siswa yang dikumpulkan dan dipamerkan tanpa memandang hasil karya
yang terbaik atau tidak.
2.5 Langkah-Langkah Penilaian Portofolio
Ada beberapa langkah atau tahapan yang dilakukan dalam melaksanakan penilaian
portofolio, yaitu :
Tahap Persiapan yang difokuskan pada menentukan tujuan dari portofolio. Dengan
tujuan yang sudah ditentukan, maka proses pembelajaran akan fokus dan terarah sehingga guru
akan lebih mudah mengelola kegiatan pembelajaran. Dalam tahapan ini juga guru menentukan
isi dari portofolio yang disesuaikan dengan tujuan dari penilaian portofolio yang sudah ditentukan.
Selanjutnya adalah menentukan format dan kriteria penilaian bagi hasil kerja siswa.
Tahap Pelaksanaan ini guru memberikan contoh hasil kerja siswa yang harus dikerjakan
dan dilaksanakan dalam pembelajaran dengan memasukan pendidikan karakter dalam penilaian
portofolio meliputi cinta kepada Allah dan semesta beserta isinya, bertanggung jawab, disiplin
dan mandiri, percaya diri, keratif, kerja keras dan pantang menyerah, kerjasama, toleransi dan
menghargai karya orang lain. Harapannya dari pendidikan karakter akan lahir bangsa yang
bermartabat dan mampu bersaing, bersanding, serta bertanding dengan bangsa lain di era
globalisasi.
Selanjutnya guru mengumpulkan hasil kerja siswa dan melakukan pengelompokkan
dari hasil kerja siswa berdasarkan tujuan dan isi dari portofolio yang sesuai dengan tujuan dari
mata pelajaran yang sudah ditentukan. Guru tidak hanya mengumpulkan hasil kerja siswa,
melainkan mengontrol dan memantau perkembangan, kemajuan dan hasil belajar siswa serta
melakukan perbaikan terhadap berbagai kekurangan yang ada.
Darmiyati
628
Tahap Evaluasi merupakan tahapan yang sangat penting dimana guru memberikan
penilaian terhadap hasil kerja siswa yang disesuaikan penilaian portofolio meliputi : tujuan
pembelajaran, karakteristik perkembangan siswa, proses pembelajaran dan hasil belajar siswa.
Dengan format dan kriteria penilaian yang telah ditentukan sebelumnya. Dalam penilaian
portofolio kriteria yang ditentukan berdasarkan pada penilaian terhadap proses pembelajaran
dan penilaian terhadap hasil belajar siswa.
Penskalaan aspek yang dinilai sangat erat hubungannya dengan pemberian nilai
terhadap hasil kerja siswa. Dalam penilaian portofolio, penskalaan dilakukan dengan rubrik
yang ditentukan oleh guru berdasarkan tujuan pembelajaran dan disesuaikan keperluan
penilaian.
Tahap Presentasi merupakan tahap akhir yang dilakukan dalam penilaian portofolio.
Pada tahapan ini siswa bersama dengan guru memamerkan atau memperlihatkan hasil kerja
siswa.
2.6 Manfaat Asesmen Portofolio
Portofolio dapat bermanfaat bagi siswa, guru dan orang tua. Manfaat portofolio bagi
siswa antara lain siswa dapat melihat kembali perkembangan kemampuannya dalam proses
pembelajaran dan dapat merefleksi segala sesuatu yang telah siswa laksanakan dan yang
belum dilaksanakan serta kekurangan dan kelebihan hasil karya siswa, dan dapat
merencanakan perbaikan terhadap hasil karya siswa. Penilaian portofolio juga dapat
meningkatkan motivasi belajar siswa dengan melihat hasil karya yang dibuat oleh siswa lainnya
untuk mendapatkan hasil karya yang lebih baik.
Bagi guru, penilaian portofolio dan pelaporan terintegrasi dalam pelaksanaan kegiatan
pembelajaran, dimana guru dapat memberikan contoh tugas yang dapat dilakukan oleh siswa
sesuai dengan indikator yang ditentukan. Penilaian ini juga dapat mengetahui kekuatan dan
kelemahan siswa dalam pembelajaran serta menentukan perbaikan terhadap hasil belajar
siswa sehingga akan terlihat pencapaian kemajuan belajar siswa. Di sisi lain, dalam
pelaksanaan penilaian ini guru hendaknya memberikan komentar dan saran terhadap setiap
hasil kerja siswa
Sedangkan bagi orang tua, penilaian portofolio bermanfaat dalam mengetahui
tingkatan perkembangan dan kemampuan yang telah dicapai siswa dalam kegiatan
pembelajaran melalui hasil kerja siswa. Orang tua dapat terlibat secara aktif dalam mengontrol
dan memantau proses belajar siswa serta memberikan komentar terhadap hasil kerja siswa.
2.7 Keuntungan dan Kelemahan Portofolio
Keuntungan/Keunggulan yang dapat dirasakan dalam menggunakan portofolio
menurut Groundlund (Poerwanti, 2009: 5.32 – 5.33) antara lain sebagai berikut, (1) kemajuan
belajar siswa dapat terlihat dengan jelas, (2) penekanan pada hasil pekerjaan terbaik siswa
memberikan pengaruh positif dalam belajar, (3) membandingkan pekerjaan sekarang dengan
yang lalu memberikan motivasi yang lebih besar dari pada membandingkan dengan milik
orang lain, (4) keterampilan asesmen sendiri dikembangkan mengarah pada seleksi contoh
pekerjaan dan menentukan pilihan terbaik, (5) memberikan kesempatan siswa bekerja sesuai
Darmiyati
629
dengan perbedaan individu, dan (6) dapat menjadi alat komunikasi yang jelas tentang kemajuan
belajar siswa bagi siswa itu sendiri, orang tua dll.
Portofolio sebagai model penilaian yang bersifat integratif dalam proses pembelajaran
dapat mengakses semua kegiatan siswa, secara terus menerus dalam menentukan kualitas
program berbagai kegiatan pembelajaran berupa hasil karya yang dapat dikumpulkan
sehingga akan terlihat perkembangan siswa dalam waktu tertentu. Portofolio ini juga dapat di
pamerkan yang dapat dilihat oleh orang tua sewaktu pertemuan di sekolah dari semua hasil
karya siswa. Dalam melaksanakan penilaian portofolio ada beberapa hal yang perlu diperhatikan
sebagai pedoman dalam menggunakan penilaian portofolio antara lain: Karya siswa, saling
percaya antara guru dan siswa, kerahasiaan bersama antara guru dan siswa, milik bersama,
kepuasan, kesesuaian, penilaian proses dan hasil dan penilaian pembelajaran (Poerwanti,
2009: 534).
Kelemahan Penilaian Portofolio menurut Sanjaya (2011, 370) yaitu : (1) memerlukan
waktu dan kerja keras, (2) memerlukan perubahan cara pandang, (3) memerlukan perubahan
gaya belajar dan (4) memerlukan perubahan sistem pembelajaran. Kelemahan penilaian
portofolio dapat dijabarkan sebagai berikut ini:
1) memerlukan waktu dan kerja keras, dikarenakan guru dituntut untuk memperhatikan
proses belajar siswa secara menyeluruh mulai dari memantau perkembangan
siswa, memotivasi belajar siswa serta memberi penilaian dan berbagai aktivitas
lainnya.
2) memerlukan perubahan cara pandang, kebiasaan guru yang hanya memberikan
pelajaran melalui mencatat, mengingat dan menghafal akan terasa sulit dengan
pembelajaran memalui penilaian portofolio yang menuntut siswa untuk lebih banyak
beraktivitas dalam proses pembelajaran demi tercapainya kompetensi
pembelajaran.
3) memerlukan perubahan gaya belajar, perubahan gaya belajar yang dimaksud adalah
gaya belajar yang awalnya guru sebagai sumber belajar menjadi belajar mandiri,
yang awalnya berbasis teacher center menjadi student center. Perubahan ini terasa
sangat sulit dikarenakan faktor kebiasaan yang biasa dilakukan dalam
pembelajaran.
4) memerlukan perubahan sistem pembelajaran, hal ini berupa perubahan yang
dilakukan pada sistem pembelajaran yang selama ini dilakukan di Indonesia berupa
pembelajaran klasikal, artinya semua siswa dimasukkan ke dalam kelas yang sama,
diberi pelajaran yang sama dan digeneralkan hasil dari pembelajaran tersebut.
Padahal capaian perkembangan siswa berbeda-beda dan hasil belajar siswa pun
tidak selalu sama. Sehingga perubahan sistem ini menjadi sangat sulit.
Darmiyati
630
III. SIMPULAN
Penilaian portofolio dapat diartikan sebagai penilaian yang melihat dari hasil kerja
siswa dan didukung oleh pantauan proses belajar berdasarkan tujuan dan kriteria yang
ditentukan melalui karya nyata yang didokumentasikan secara sistematis. Pada prinsipnya,
penilaian portofolio didasari pada saling percaya, keterbukaan, kerahasiaan, rasa milik
bersama, hubungan kepuasan dan kesesuaian, budaya pembelajaran, refleksi dan orientasi
pada proses dan hasil belajar. Berdasarkan jenisnya, penilaian portofolio dibagi atas tiga jenis,
yaitu portofolio perkembangan, portofolio pamer dan portofolio komprehensif.
Penilaian portofolio ada beberapa tahapan yang seharusnya dilakukan, yakni persiapan,
pelaksanaan, evaluasi atau penilaian dan yang terakhir adalah presentasi. Berbagai tahapan
ini dilakukan berdasarkan tujuan dari pembelajaran yang dilaksanakan.
Keuntungan pelaksanaan penilaian portofolio ini antara lain: (1) kemajuan belajar
siswa dapat terlihat dengan jelas, (2) penekanan pada hasil pekerjaan terbaik siswa
memberikan pengaruh positif dalam belajar,(3) membandingkan pekerjaan sekarang dengan
yang lalu memberikan motivasi yang lebih besar dari pada membandingkan dengan milik
orang lain, (4) keterampilan asesmen sendiri dikembangkan mengarah pada seleksi contoh
pekerjaan dan menentukan pilihan terbaik, (5) memberikan kesempatan siswa bekerja sesuai
dengan perbedaan individu, dan (6) dapat menjadi alat komunikasi yang jelas tentang kemajuan
belajar siswa bagi siswa itu sendiri, orang tua dll.
Namun secara khusus penilaian portofolio erat kaitannya dengan pembentukan
karakter dalam membentuk siswa menjadi manusia yang cerdas dan berakhlak mulia, cinta
kepada Allah dan semesta beserta isinya, bertanggung jawab, disiplin dan mandiri, percaya
diri, kreatif, kerja keras dan pantang menyerah, toleransi dan menghargai karya orang lain.
Dikarenakan dalam penilaian ini tidak hanya terfokus pada penilaian kognitif, melainkan juga
penilaian terhadap afektif dan psikomotor atau penilaian tidak hanya pada hasil belajar siswa
tetapi juga pada proses belajar siswa.
DAFTAR PUSTAKA
Atken, Lewis R. 1997. Psychological Testing and Assesment. London: A Viacom Company.
Bloom, Benjamin S., 1979. Taxonomy of Educational Objectives: Book I Cognitive Domain.
London: Longman INC.
Harding. Jackie & Liz Meldon Smith. 1996. How to Make Observation and Assessments.
London : Hodder & Staoughton.
Hill. Bonnie Campbell & Ruptic, Cynthia A., 1994. Practical Aspects of Authentic Assessment.
USA:. Gordon Chistopher Inc.
Kementerian Pendidikan Nasional dan Kebudayaan. 2013. Pengembangan Kurikulum 2013.
Jakarta: Kemdikbud 2013.
Majid, Abdul. 2006. Perencanaan Pembelajaran. Bandung: PT Remaja Rosdakarya.
Darmiyati
631
Muslich, Masnur. 2007. KTSP Pembelajaran Berbasis Kompetensi dan Kontekstual. Jakarta :
Bumi Aksara.
Nitko Antony J. 1996. Educational Assesmen of Student. New Years: Prentice Hall Inc.
Poerwanti, Endang, dkk. 2009. Asesmen Pembelajaran SD. Direktorat Jenderal Pendidikan
Tinggi Departemen Pendidikan Nasional.
Sanjaya, Wina. 2011. Kurikulum dan Pembelajaran : Teori dan Praktik Pengembangan Kurikulum
Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP). Jakarta: Kencana.
Stiggins, R. J., & Chappuis, J. 2012. An Introduction to Student-Involved Assesment For Learning
(sixth edition). Boston, MA: Pearson.
Tierney, Robert, et. al. 1991. Portofolio Assesssment in the Reading and Writing in the Classroom,.
Gordon.
Darmiyati
632
PENDIDIKAN KARAKTER BERBASIS AKHLAK MULIA MELALUI
PENGAMALAN TERHADAP AL-QUR’AN
Fahmi
Universitas Lambung Mangkurat
ABSTRAK
Kemerosotan suatu bangsa tidak lepas dari sistem yang diterapkan di masyarakatnya, satu
diantaranya, sistem pendidikannya yang berdampak terhadap kehidupan, terutama generasi
mudanya. Pada kondisi obyektif Indonesia, khusus kehidupan remaja, saat ini tengah dibalut
berbagai problematika. Badan Narkoba Nasional (BNN), bahwa pada Februari 2009 terdapat
123.810 pelajar di Indonesia menggunakan narkotika, obat psikotropika, dan zat adiktif lainnya.
Hal tersebut menggambarkan kehancuran moral generasi muda Indonesia. Padahal,
pendidikan karakter dengan berbagai teori yang mendasarinya yang telah lama diterapkan
belum menunjukan hasil yang memuaskan. Untuk itu, tulisan ini berusaha pendidikan karakter
yang dalam pandangan Islam sebagai akhlak yang terbukti memberikan kontribusi significance
dalam menunjang kejayaan Islam.
Kata kunci : Karakter, akhlak mulia, pengamalan Al-Qur’an
I. PENDAHULUAN
Lickona (1991) mengungkapkan bahwa ada sepuluh tanda-tanda jaman yang harus
diwaspadai, karena jika tanda-tanda itu sudah ada, maka itu berarti sebuah bangsa sedang
menuju jurang kehancuran. Tanda-tanda yang dimaksud adalah: (1) meningkatnya kekerasan
di kalangan remaja, (2) penggunaan bahasa dan kata-kata yang memburuk, (3) pengaruh
peer-group yang kuat dalam tindak kekerasan, (4) meningkatnya perilaku merusak diri, seperti
penggunaan narkoba, alkohol, dan seks bebas, (5) semakin kaburnya pedoman moral baik
dan buruk, (6) menurunnya etos kerja, (7) semakin rendahnya rasa hormat kepada orang tua
dan guru, (8) rendahnya rasa tanggung jawab individu dan warga negara, (9) membudayanya
ketidakjujuran, dan (10) adanya rasa saling curiga dan kebencian diantara sesama.
Kesepuluh tanda yang dikemukakan oleh Lickona di atas nampaknya telah terjadi di
negeri kita. Sebagai contoh, menurut Badan Narkoba Nasional (BNN) pada Februari 2009
terdapat 123.810 pelajar di Indonesia menggunakan narkotika, obat psikotropika, dan zat adiktif
lainnya. Ironisnya 12.848 di antaranya siswa sekolah dasar. Demikian pula perilaku seks bebas
juga sudah sedemikian mengkhawatirkan. Mengutip keterangan kepala BKKBN Pusat Sugiri
Syarief Sumarsana menyebutkan, sekitar 30 % remaja kita pernah melakukan hubungan seks
pranikah dan 22,6 % remaja adalah penganut seks bebas (BKKBN: 2010).
Fahmi 633
Sebagai upaya untuk menjawab tantangan zaman di atas maka pada peringatan Hari
Pendidikan Nasional tepatnya tanggal 2 Mei 2010 Presiden Republik Indonesia telah
mencanangkan pentingnya pendidikan karakter. Menurut Menteri Pendidikan dan Kebudyaan
Republik Indonesia, Mohammad Nuh, pendidikan karakter sebagai bagian dari upaya
membangun karakter bangsa, karakter yang dijiwai nilai-nilai luhur bangsa. Mengapa
pendidikan karakter menjadi demikian urgen?
Hal ini tak lepas dari kondisi karakter bangsa Indonesia makin lemah; makin banyak
gejala penyalahgunaan kewenangan, kekuasaan, kecurangan, kebohongan, ketidakjujuran,
ketidakadilan, ketidakpercayaan, mudah ditipu dan diprovokasi, kenakalan remaja, broken
home dan sebagainya.
Dalam konteks regulasi pendidikan karakter adalah amanat dari UU No. 20 Tahun
2003 tentang Sisdiknas. Pada pasal 3 disebutkan: Pendidikan nasional berfungsi
mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang
bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya
potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang
Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara
yang demokratis serta bertanggung jawab.
Pada pasal ini 5 dari 8 potensi peserta didik yang ingin dikembangkan lebih dekat
dengan karakter. Apa yang dimaksud dengan karakter? Menurut Herminarto Sofyan, Pembantu
Rektor III UNY, karakter mempunyai banyak arti, diantaranya, kemampuan untuk mengatasi
secara efektif situasi sulit, tak enak/tidak nyaman, atau berbahaya. Dengan pengertian tersebut
karakter menuntut kecerdasan otak, kepekaan nurani, kepekaan diri dan lingkungan,
kecerdasan merespons, dan kesehatan, kekuatan, dan kebugaran jasmani. Indikator
kecerdasan otak antara lain, berilmu, berfikir logis dan kritis. Kepekaan nurani ditandai dengan
adil, jujur, kasih sayang, empatik, ikhlas, berintegritas, santun, terpercaya, hormat, suka menolong
dan dapat mengendalikan diri. Kepekaan diri dan lingkungan berarti peduli pada diri dan
lingkungannya. Sedangkan kecerdasan merespons ditandai dengan sifat-sifat berani, rajin,
disiplin, inisiatif, waspada dan motivasi. Sedangkan kesehatan, kekuatan dan kebugaran
jasmani diperlukan pola hidup.
II. PERMASALAHAN
Masalah–masalah yang terjadi di atas telah didiskusikan dalam berbagai forum ilmiah,
seminar, pelatihan, namun sampai sekarang masih dalam ranah yang parsial. Sehingga hampir
tidak pernah ada solusi konkret yang mampu menyelesaikan berbagai permasalahan yang
terjadi. Ilmuan, akademisi, dan pendidik seolah terjebak pada ruang lingkup kecil. Mereka
banyak terjebak pada rutinitas akademisnya yang telah ia kaji dan pelajari, sehingga
menyebabkan mereka susah keluar dan tidak bisa memberikan solusi konkret untuk
menyelesaikan berbagai permasalahan yang terus berkembang hingga sekarang.
Banyak pakar yang terjebak tanpa memahami paradigma keilmuan yang khas
kemudian memunculkan sebuah konsep baru yang terus dikembangkan yang menjadi dasar
634 Fahmi
terbentuknya pendidikan karakter. Menurut para pencetus ide ini masalah fundamental negeri
ini adalah masalah moral. Untuk itulah maka perlu dilakukan perbaikan moral. Dalam Rencana
Induk Pengembangan Pendidikan Karakter Bangsa yang dikeluarkan Kementerian Pendidikan
Nasional Republik Indonesia bahkan dikutip hadis Rasulullah SAW: innama bu’itstu li utammima
makaarima al akhlaq (sesungguhnya aku diutus untuk menyempurnakan akhlak) berangkat
dari asumsi inilah maka dicetuskanlah program pendidikan karakter yang sejatinya hal ini
merupakan asumsi yang keliru.
Persoalan moral adalah satu persoalan bangsa, tetapi bukan satu-satunya masalah.
Persoalan bangsa sedemikian komplek dan sistemik. Tetapi, yang menjadi inti dari sumber
masalah adalah sekulerisme yang berasaskan fashlu ad din ‘an al hayah atau pemisahan
agama (din al Islam) dari persoalan kehidupan. Hal ini nampak baik dalam aspek perundang-
undangan maupun dalam hal impelementasinya.
Hal ini dapat dibuktikan antara lain pada UU Sisdiknas No. 20 tahun 2003 Bab VI
tentang jalur, jenjang dan jenis pendidikan bagian kesatu (umum) pasal 15 yang berbunyi:
Jenis pendidikan mencakup pendidikan umum, kejuruan, akademik, profesi, advokasi,
keagamaan, dan khusus. Dari pasal ini tampak jelas adanya dikotomi pendidikan, yaitu pendidikan
agama dan pendidikan umum.Sistem pendidikan dikotomis semacam ini terbukti telah gagal
melahirkan manusia saleh yang berkepribadian Islam sekaligus mampu menjawab tantangan
perkembangan melalui penguasaan sains dan teknologi.
Secara kelembagaan, sekularisasi pendidikan tampak pada pendidikan agama
melalui madrasah, institut agama, dan pesantren yang dikelola oleh Departemen Agama;
sementara pendidikan umum melalui sekolah dasar, sekolah menengah, kejuruan serta
perguruan tinggi umum dikelola oleh Departemen Pendidikan Nasional.Terdapat kesan yang
sangat kuat bahwa pengembangan ilmu-ilmu kehidupan (iptek) dilakukan oleh Depdiknas dan
dipandang sebagai tidak berhubungan dengan agama. Pembentukan karakter siswa yang
merupakan bagian terpenting dari proses pendidikan justru kurang tergarap secara serius.
Agama ditempatkan sekadar sebagai salah satu aspek yang perannya sangat minimal, bukan
menjadi landasan dari seluruh aspek kehidupan.
Hal ini juga tampak pada BAB X pasal 37 UU Sisdiknas tentang ketentuan kurikulum
pendidikan dasar dan menengah yang mewajibkan memuat sepuluh bidang mata pelajaran
dengan pendidikan agama yang tidak proposional dan tidak dijadikan landasan bagi bidang
pelajaran yang lainnya.
Hingga saat ini apa definisi karakter, apa saja yang menjadi aspek karakter dan tolak
ukur karakter masih kabur. Dalam Rencana Induk (grand design) Pengembangan Pendidikan
Karakter Bangsa kementerian Pendidikan RI disebutkan bahwa tiga aspek pembentuk karakter
luhur adalah:
1. Agama, Pancasila, UUD 1945 dan UU Sisdiknas
2. Teori pendidikan, Psikologi, nilai dan sosial budaya
3. Pengalaman terbaik dan praktik nyata
Fahmi 635
Kenyataannya ketiga aspek atau patokan karakter luhur ini sangat bias.Misalnya dalam
UU Sisdiknas menjadi warga negara yang demokratis dimasukan sebagai karakter yang baik.
Padahal kenyataan demokrasi adalah sistem kufur yang mengebiri hak Allah SWT sebagai al
hakim (penetap hukum).
Demikian pula teori psikologi dan pendidikan, maka yang dipakai teori yang mana?
Karena kenyataannya satu teori kadang bertentangan dengan teori yang lain. Hal ini diperparah
dengan landasan epistemologi teori-teori dalam ilmu pendidikan yang rancu. Sebagai contoh
teori klasik Ivan Paplov yang dibangun berdasarkan penelitiannya terhadap anjing. Padahal
fakta anjing dengan manusia tidaklah sama. Sebagian peneliti lain menjadikan kelinci dan
tikus sebagai obyek penelitian, kemudian hasil penelitian tersebut diterapkan pada manusia.
Mengenai nilai sosial dan budaya ini juga sangatlah kabur dan tidak sedikit terjadi
pertentangan antara satu tempat dengan tempat yang lain. Apa arti dari semua ini? Ternyata
berbagai upaya yang telah dilakukan hingga sekarang tidaklah mampu menyelesaikan seluruh
permasalahan yang terjadi. Bahkan fakta yang terjadi malah semakin lama, permasalahan
karakter/akhlak menjadi semakin rumit dan semakin rumit seakan–akan masyarakat telah
berada pada jurang.
III. PEMBAHASAN
Salah satu hal paling penting yang menyebabkan terjadinya berbagai permasalahan
dan kemerosotan karakter diberbagai bidang adalah karena kelemahan pemahaman tentang
Islam yang menyebabkan pencarian solusi akhirnya bukan pada sumber penyelesaian yang
pasti. Akibatnya tujuan yang menjadi dasar dan ingin dicapai hanya sebatas rumusan akan
tetapi tidak ada perealisasian. Sehingga perlu adanya sebuah perubahan mendasar untuk
memajukan martabat dan karakter bangsa ini dengan perubahan pada sistem yang mampu
menciptakan perubahan besar bagi akhlak manusia sesuai dengan tuntunan Al-Qur’an.
Padahal Islam memecahkan problematika hidup manusia secara keseluruhan dan
memfokuskan perhatiannya pada umat manusia secara integral, tidak terbagi-bagi (untuk umat
tertentu). Islam memecahkan problematika manusia dengan metoda yang sama. Peraturan
Islam dibangun atas asas ruhiah, yakni (berdasarkan) akidah. Jadi, aspek kerohanian dijadikan
sebagai asas peradabannya, asas negara dan asas syariat Islam.
Syariat Islam telah merinci sistem peraturannya. Ada peraturan ibadah, mu’amalat
dan uqubat. Akan tetapi syariat Islam tidak menjadikan akhlak atau karakter sebagai bagian
khusus yang terpisah. Meskipun demikian syariat Islam telah mengatur hukum-hukum akhlak
berdasarkan suatu anggapan bahwa akhlak adalah perintah dan larangan Allah SWT, tanpa
melihat lagi apakah akhlak mesti diberi perhatian khusus yang dapat melebihi hukum-hukum
atau ajaran Islam lainnya. Akhlak adalah bagian dari rincian hukum-hukum atau aturan–aturan
dalam Islam. Sehingga Akhlak yang baik atau Akhlak yang mulia dalam Islam adalah perbuatan
yang sesuai dengan perintah dan larangan Allah SWT.
Allah SWT berfirman dalam surat Al-Furqan:
636 Fahmi
“Dan hamba-hamba Tuhan yang Maha Penyayang itu (ialah) orang-orang yang berjalan
di atas bumi dengan rendah hati dan apabila orang-orang jahil menyapa mereka,
mereka mengucapkan kata-kata (yang mengandung) keselamatan. Dan orang yang
melalui malam hari dengan bersujud dan berdiri untuk Tuhan mereka. Dan orang-
orang yang berkata: “Ya Tuhan kami, jauhkan azab Jahannam dari kami, Sesungguhnya
azabnya itu adalah kebinasaan yang kekal” (QS. Al-Furqan [25]: 63-76).
Dalam ayat ini Allah SWT menjelaskan betapa pentingnya akhlak atau karakter dalam
kehidupan sehingga Allah SWT menyatakan orang yang berakhlak mulia adalah hamba-hamba
Allah yang taat dan takut akan siksa Allah SWT.
Dalam sebuah hadist shahih Rasulullah SAW juga bersabda :
“Sesungguhnya aku diutus untuk menyempurnakan akhlak yang mulia” (HR. Al Bazzaar)
Akhlak mempunyai posisi penting sebagai batasan atau standar baik atau tidaknya
kualitas seseorang, kualitas suatu wilayah, karakter bangsa dan negara, dan banyak hal lainnya.
Karena kemajuan tidak berarti hanya baik dan tinggi secara IPTEK, ekonomi, dan sebagainya.
Tapi juga yang terpenting pula adalah dari tatanan sosial kemasyarakatnya. Sebab, untuk apa
ekonomi maju, iftek yang terus berkembang tapi akhlaknya terus mengalami kemerosotan.
Akibatnya akan terjadi banyak tindakan kejahatan, kriminalitas, KKN, penyimpangan–
penyimpangan sosial, tingkat bunuh diri yang tinggi seperti misalnya di Jepang, AS dan Negara–
negara Barat lainnya. Allah SWT berfirman:
“Jikalau sekiranya penduduk negeri-negeri beriman dan bertakwa, pastilah Kami akan
melimpahkan kepada mereka berkah dari langit dan bumi, tetapi mereka mendustakan
(ayat-ayat Kami) itu, maka Kami siksa mereka disebabkan perbuatannya”. (Q.S Al-
A’raf: 96)
Allah juga memberi peringatan kepada manusia yang tidak taat pada aturanNya. Allah
SWT berfirman dalam Al-Qur’an:
“Telah nampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan karena perbuatan tangan
manusia, supaya Allah merasakan kepada mereka sebahagian dari (akibat) perbuatan
mereka, agar mereka kembali (ke jalan yang benar)”.(Q.S Ar-Ruum: 41)
Dalam dua ayat di atas Allah menegaskan kepada manusia jika ingin selamat dan
berkah harus dengan taat pada aturan-Nya, serta ancaman bagi yang melanggarnya. Hal ini
berlaku umum termasuk pada proses penyelenggaraan pendidikan. Kemudian, apa
hubungannya dengan Al-Qur’an, akhlak mulia terhadap karakter bangsa? Ada beberapa hal
yang harus kita pahami.
3.1 Pengamalan Terhadap Al-Qur’an Membentuk Akhlak/Karakter Mulia
Seseorang yang mengamalkan Al-Qur’an akan senantiasa memelihara dirinya dari
berbuat kerusakan, dan Allah akan memberikan petunjuk kepada orang yang mengamalkan
Al-Qur’an. Allah SWT berfirman:
“Dan orang-orang yang mendapat petunjuk, Allah menambahkan petunjuk kepada
mereka dan menganugerahkan kepada mereka ketakwaannya” (QS Muhammad:17).
Fahmi 637
Akhlak mulia adalah produk dari keyakinan dan tercipta disebabkan sistem dan
lingkungan.Orang yang mempunyai keyakinan mendalam pada Al-Qur’an, maka
pengaplikasiannya adalah dalam bentuk ketaatan dan akhlak yang mulia (akhlakul karimah).
Bunda Aisyah r.a pernah ditanya tentang akhlak Rasulullah Saw, maka dia menjawab, “Akhlaknya
(Rosulullah) adalah Al Qur’an” (HR. Abu Dawud dan Muslim).
Dalam hadis tersebut Rasulullah SAW menggambarkan bahwa akhlak adalah aplikasi
dari keimanan, dan keimanan akan terbentuk sempurna tentunya dengan pengamalan terhadap
Al-Qur’an.
3.2 Akhlak Mulia Membentuk Karakter Suatu Bangsa
Aplikasi dari akhlak adalah terbentuknya individu–individu yang baik, jika dalam suatu
wilayah atau bangsa misalnya bangsa Indonesia adanya kesadaran dan kepedulian serta
masyarakatnya yang baik, tentu bangsa Indonesia akan menjadi bangsa yang berkarakter dan
maju serta menjadi panutan. Tatanan masyarakat akan aman tentram, kesejahteraan terpenuhi,
tingkat kriminalitas akan menjadi sangat kecil. Penyalahgunaan wewenang juga akan mampu
diatasi.
Mengapa demikian? Hal ini terjadi karena bangsa Indonesia melakukan perubahan
mendasar pada tatanan sistem dan pengaplikasian akhlak. Sehingga standar perbutan akan
jelas, dan pengawasan akan lebih mudah tentu tanpa mengurangi tingkat kewaspadaan. Hal
ini dikarenakan masyarakatnya bertindak tidak hanya berdasarkan hukum manusia di negri ini,
tapi hukum Allah pada tatanan pengelolaan, dan azab neraka yang Allah janjikan bagi pembuat
kerusakan.
3.3 Bentuk Pendidikan Karakter di Indonesia yang Berbasis Akhlak Mulia
Sejak berabad silam para ahli dan pemikir telah menuangkan ide-ide mereka
bagaimana mendidik manusia agar menjadi manusia yang sebenarnya, yaitu manusia yang
baik. Barat mengembangkan nilai-nilai moral dan karakter yang berasal dari Yunani, sedangkan
Islam mengajarkan manusia berakhlak mulia berdasarkan petunjuk wahyu, Al-Quran dan As-
Sunnah. Akhlak atau karakter Islam terbentuk atas dasar prinsip “ketundukan, kepasrahan, dan
kedamaian” sesuai dengan makna dasar dari kata Islam.
Islam bukan hanya teori, tapi ada contoh. Nabi Muhammad SAW menjadi contoh
(uswah hasanah). Kata ‘Aisyah r.a, akhlak Rasulullah SAW adalah al-Qur’an.
Para pemikir muslim sejak awal telah mengemukakan pentingnya pendidikan karakter.
Ibn Miskawaih (320-421H/932-1030 M), adalah ulama klasik yang mendalami filsafat etika
sehingga dikenal sebagai Bapak Etika Islam. Dalam bukunya yang berjudul Tahdzib al-Akhlaq
Ibn Miskawaih mengemukakan pentingnya dalam diri manusia menanamkan kualitas-kualitas
akhlak dan melaksanakannya dalam tindakan-tindakan utama secara spontan. Menurutnya,
akhlak adalah “keadaan jiwa yang menyebabkan seseorang bertindak tanpa dipikirkan terlebih
dahulu”. Ia menyebutkan adanya dua sifat yang menonjol dalam jiwa manusia, yaitu sifat buruk
dari jiwa yang pengecut, sombong, dan penipu, dan sifat jiwa yang cerdas yaitu adil, pemberani,
638 Fahmi
pemurah, sabar, benar, tawakal, dan kerja keras (Ibn Miskawaih, Tahdzib al-Akhlak, Beirut: Dar
el Kutb al-Taymiyyah, 1405H/1985M).
Inilah yang digambarkan dalam konsep pendidikan karakter sehingga wajar jika
bangsa lain meniru peradaban Islam ini. Bisa dilihat dari istilah karakter yang berasal dari
bahasa Yunani, charassein, yang berarti to engrave atau mengukir. Membentuk karakter
diibaratkan seperti mengukir di atas batu permata atau permukaan besi yang keras. Dari sanalah
kemudian berkembang pengertian karakter yang diartikan sebagai tanda khusus atau pola
perilaku ... an individual’s pattern of behavior … his moral contitution (Karen E. Bohlin, Deborah
Farmer, Kevin Ryan, 2001: 1).
Karena itu, sungguh menjadi kewajaran manakala pada kondisi sekarang pendidikan
karakter yang berbasis akhlak mulia berdasarkan Al-Qur’an sangat diperlukan untuk
menyelesaikan berbagai masalah terutama krisis moral yang terjadi pada bangsa ini. Akan
tetapi sampai sekarang penerapannya sulit. Dikarenakan sifatnya yang parsial, tidak
keseluruhan. Agar penerapannya bisa sesuai dengan yang diharapkan, maka perlu sebuah
sistem mutlak yang menjadi pondasi dasarnya yaitu Islam.
IV. SIMPULAN
Diperlukan usaha yang serius untuk meninjau kembali antara teori pendidikan moral
dan karakter yang ada sekarang dengan penyebab utama masalah itu terjadi. Dengan
memahami posisi akhlak dalam sudut pandang Al-Qur’an dan fungsinya sebagai pembentuk
karakter bangsa yang kuat maka dapat diambil tiga simpulan:
1. Al-Qur’an menjadi landasan hidup sehingga aplikasinya adalah berupa
pembentukan sistem yang baik pada tataran negara dan akhlak yang baik pada
tataran individu.
2. Akhlak mulia menjadi bentuk sikap masyarakat sehingga terwujud lah keharmonisan
dan kekokohan persatuan bangsa dan negara Indonesia.
3. Karakter bangsa sebagai bangsa yang maju akan terbentuk jika pengaplikasian Al-
Qur’an dan akhlak mulia pada setiap lini kehidupan.
DAFTAR PUSTAKA
An Nabahani, Taqiyyuddin. 2006. Peraturan Hidup dalam Islam. Jakarta: Pustaka Thariqul
Izzah.
An Nabahani, Taqiyyuddin. 2008. Pilar–Pilar Pengokoh Nafsiyah Islam. Beriut : Darul Ummah
BPS (2012): Indikator Pendidikan Indonesia. http://bps.go.id/tab_sub/
view.phpkat=1&tabel=1&daftar=1&id_subyek=28¬ab=1.
Cambridge University Press Schwartz. M. J. (2008). Effective Character Education Guidebook
for Future Educators. New York: McGraw-Hill Companies.
Ibnul Qayyim al Jauziyah., Tahzdibu Sunan Abi Dawud wa Idlaahi musykilatihi. II/191).
Fahmi 639
Muhammad Ali ash Shabuni. Tafsir Ayat al Ahkam., I/421; Muhammad Ali as Sais.,Tafsir Ayat
Ahkam hlm. 162; Tafsir at Thabari I/388; Tafsir al Qurthubi I/348
Imam An Nawawi. Sahih Muslim Tafsir Ibnu Katsir.
Tafsir at-Thabari.
http://bkkbn.go.id/Webs/DetailBerita.php?MyID=119Badan Narkotika Nasional (BNN). 123 ribu
lebih pelajar pengguna narkoba. Diakses pada tanggal 8 Juli 2010 dari
http://www.fahmiamhar.com/2013/12/my-jicmi-paper-closing-session.html/ diakses 3 Mei 2014
http://insistnet.com/perlukah-pendidikan-berkarakter/diakses 17 Mei 2014
http://wahyudiibnuyusuf.blogspot.com/2011/04/telaah-kritis-pendidikan-karakter-di.html/ diakses
22 Mei 2014
640 Fahmi
INSAN QUR’ANI SEBAGAI
TUJUAN KONSELING PENDEKATAN QUR’ANI
Karyono Ibnu Ahmad
Universitas Lambung Mangkurat
DAFTAR PUSTAKA
Ahmad, Karyono Ibnu & Setiawan, Muhammad Andri. (2013). Bimbingan dan Konseling
Pendekatan Qur’ani (Alternatif Pendekatan Lapangan): Jilid Kedua Bimbingan.
Bandung: CV. Nurani Pendidikan.
Carkhuff, Robert R. (2008). The Art of Helping. Ninth Edition. Amherst, MA: Possibilities
Publishing, Inc.
Corey, Gerald. (2005). Teori dan Praktek: Konseling dan Psikoterapi. Terjemahan E. Koeswara.
Bandung: Refika Aditama.
Direktorat Jenderal Peningkatan Mutu Pendidikan dan Tenaga Kependidikan. (2007). Rambu-
rambu Penyelenggaraan Bimbingan dan Konseling dalam Jalur Pendidikan Formal.
Jakarta: Kemendikbud.
Egan, Gerard. (2010). The Skilled Helper a Problem-Management and Opportunity-Development
Approach to Helping. Ninth Edition. Belmont, CA: Brooks/Cole.
IKI Divisi ABKIN. (2008) Arah Pemikiran Pengembangan Profesi Konselor. Padang: IKI Divisi
ABKIN.
Kartadinata, Sunaryo. (2011). Menguak Tabir Bimbingan dan Konseling sebagai Upaya
Pedagogis: Kiat Mendidik sebagai Landasan Profesional Tindakan Konselor. Bandung:
UPI Press.
Lemana, Jeanette Murad. (2005). Dasar-dasar Konseling. Jakarta: UI Press.
Prayitno dan Erman Amti. (1999). Dasar-dasar Bimbingan dan Konseling. Jakarta: Rineka Cipta.
Stokes, Anne. (2004). “Settings”, dalam Aldridge, Sally & Rigby, Sally (Eds.). Counselling Skills in
Context. London: The British Association for Counselling and Psychotherapy (BACP).
Suherman & Budiman, Nandang. (2011). Pendidikan dalam Perspektif Bimbingan dan Konseling.
Bandung: UPI Press.
ABSTRAK
Pendidikan karakter harus dilaksanakan pada setiap sekolah karena hal itu merupakan amanah
undang-undang. Dalam pelaksanaannya di sekolah pendidikan karakter tersebut terintegrasi/
terpadu dalam pembelajaran, manajemen sekolah dan kegiatan pembinaan kesiswaan.
Integrasi pendidkan karakter di dalam proses pembelajaran dilaksanakan mulai dari tahap
perencanaan, pelaksanaan dan evaluasi pembelajaran pada semua mata pelajaran. Di
lapangan, banyak guru yang mengalami kesulitan/masalah dalam melaksanakan pendidikan
karakter oleh karena itu perlu pembinaan dari para supervisor (pengawas sekolah dan kepala
sekolah). Supervisi klinis merupakan salah satu teknik supervisi yang bisa dipergunakan dalam
membina guru-guru melaksanakan pembelajaran yang berkarakter, namun dalam prakteknya
sering menemui kendala karena banyak guru yang tidak mau datang kepada supervisor minta
untuk disupervisi. Oleh karena itu, menurut penulis “supervisi dengan pendekatan klinis”
merupakan suatu pola atau model supervisi yang bisa dilakukan. Supervisi semacam ini
sesungguhnya supervisi biasa tetapi pola atau modelnya mengikuti pola atau model supervisi
klinis dengan langkah-langkah sebagai berikut: (a) pertemuan awal, (b) observasi kelas, dan
(c) pertemuan balikan.
I. PENDAHULUAN
Pelaksanaan pendidikan karakter di sekolah merupakan amanat dari Undang-Undang
Sistem Pendidikan Nasional (UUSPN) tahun 2003. Pasal 3 menyebutkan bahwa, pendidikan
nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk karakter serta peradaban
bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa. Pendidikan
nasional bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang
beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap,
kreatif, mandiri dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab
Konsekuensi pelaksanaan pasal 3 UUSPN tersebut disusun pula beberapa peraturan
atau ketentuan yang terkait dengan pelaksanaan pendidikan karakter di sekolah, seperti termuat
dalam Permendiknas nomor 22 tahun 2006 tentang Standar Isi, Permendiknas 23 tahun 2006
tentang SKL, dan bahkan Inpres nomor 1 tahun 2010 tentang Percepatan Pelaksanaan Prioritas
Pembangunan Nasional Tahun 2010 juga menyiratkan hal yang sama. Bidang pendidikan
M. Saleh 649
Inpres tersebut khususnya yang berkenaan dengan penguatan metodologi dan kurikulum
menyatakan bahwa ...”terimplementasinya uji coba kurikulum dan metode pembelajaran aktif
berdasarkan nilai-nilai budaya bangsa untuk membentuk daya saing dan karakter bangsa”.
Secara operasional Kementerian Pendidikan Nasional (2010) telah pula menyusun
buku Penduan Pendidikan Karakter sebagai acuan pelaksanaan pendidikan karakter di sekolah.
Dalam buku panduan tersebut dinyatakan bahwa pelaksanaan pendidikan karakter di sekolah
terintegrasi/terpadu dalam pembelajaran, manajemen sekolah dan kegiatan pembinaan
kesiswaan. Integrasi pendidikan karakter di dalam proses pembelajaran dilaksanakan mulai
dari tahap perencanaan, pelaksanaan dan evaluasi pembelajaran pada semua mata pelajaran.
Sekalipun hal ini terlihat baru tetapi bagi guru-guru seharusnya bukanlah sesuatu yang asing
sebab Undang-Undang Guru dan Dosen tahun 2005 menyatakan bahwa tugas utama guru
adalah mendidik, mengajar, membimbing, mengarahkan, melatih, menilai dan mengevaluasi
peserta didik. Mendidik mengacu kepada upaya membina kepribadian dan karakter peserta
didik dengan nilai-nilai tertentu sehingga dengan nilai-nilai tersebut mewarnai kehidupannya
dalam bentuk perilaku dan pola hidup sebagai manusia yang berakhlak (Hermawan, 2012).
Kenyataan di lapangan banyak guru-guru yang mengalami kesulitan dalam
melaksanakan pendidikan karakter. Penerapan nilai-nilai utama dari pendidikan karakter
sebagaimana yang dikembangkan dari SKL dan mata pelajaran yang tercermin dari sikap dan
perilaku peserta didik masih jauh dari harapan, seperti nilai-nilai: jujur, bertanggung jawab,
disiplin, kerja keras, ingin tahu, dan cinta ilmu. Hal ini antara lain terlihat dari pelaksanaan ujian
nasional (UN). Permasalahan yang sama terjadi dan terulang hampir setiap tahun dimana
kunci jawaban beredar lewat SMS sesaat sebelum ujian dilaksanakan, dan banyak peserta
didik yang percaya akan kunci jawaban tersebut akibatnya persiapan mereka dalam
menghadapi ujian menjadi tidak maksimal.
Agar pendidikan karakter melalui pelaksanaan pembelajaran berjalan efektif dan
berhasil optimal, kepada guru-guru perlu diberikan bantuan, pembimbingan, atau pembinaan
(supervisi) baik melalui supervisi pengawas sekolah maupun supervisi kepala sekolah.
M. Saleh
650
Di samping harus diupayakan oleh guru yang bersangkutan, pemenuhan akan tuntutan
tersebut dapat pula dilakukan dengan meminta bantuan atau memanfaatkan layanan dan
bimbingan yang disediakan oleh para supervisor (kepala sekolah dan pengawas sekolah).
Namun demikian, bantuan tersebut hanya memfasilitasi agar terjadi pertumbuhan kerja yang
lebih terarah dan sistematis di kalangan guru-guru. Dengan demikian, bantuan atau layanan
dan bimbingan yang disediakan tersebut tidak akan mengurangi tanggung jawab guru dalam
mengupayakan peningkatan kemampuan profesionalnya.
Tujuan utama supervisi adalah memperbaiki pembelajaran, sebagaimana
dikemukakan oleh Neagley & Evans (1980) “The primary purpose of supervision is improving
instruction.” Hal senada juga dikemukakan oleh Oliva (1984) “Supervision is difined as a service
provided to teachers for the porpose of improving instruction”. Untuk mencapai tujuan supervisi
sebagaimana dikemukakan di atas, maka supervisi harus menaruh perhatian yang sungguh-
sungguh terhadap pelaksanaan tugas pokok guru yakni mengajar. Menurut Oliva (1984)
mengajar atau melakukan kegiatan pembelajaran itu dilihat dari prosesnya terdiri dari tiga
langkah yakni: (a) perencanaan pembelajaran, (b) pelaksanaan pembelajaran dan (c) penilaian
pembelajaran. Supervisi yang diarahkan/ ditujukan pada upaya memperbaiki dan meningkatkan
pembelajaran yang dilakukan guru disebut supervisi akademik (Depdiknas, 2009).
Dalam pelaksanaannya, supervisi akademik harus mendapat perhatian yang lebih
besar dari para supervisor dibandingkan dengan supervisi manajerial karena supervisi
akademiklah yang berkaitan langsung dengan perbaikan pembelajaran, namun demikian
supervisi manajerial harus pula diperhatikan dan dilaksanakan. Supervisi manajerial tidak
berkaitan langsung dengan perbaikan pembelajaran akan tetapi dapat mendukung
terlaksananya pembelajaran secara lebih baik. Supervisi manajerial dimaksud antara lain
seperti: supervisi terhadap pengelolaan pengajaran dan kurikulum, pengelolaan kesiswaan,
pengelolaan kepegawaian, pengelolaan keuangan dan lain-lain.
Untuk dapat membantu/membimbing (mensupervisi) guru-guru dalam melaksanakan
pembelajaran yang berkarakter, seorang supervisor harus mengetahui dan memahami apa itu
pendidikan karakter dan bagaimana implementasinya dalam pelaksanaan pembelajaran.
Karakter menurut Pusat Bahasa Depdiknas (2008) adalah “bawaan, hati, jiwa,
kepribadian, budi pekerti, perilaku, personalitas, sifat, tabiat, temperamen, watak”. Adapun
berkarakter adalah berkepribadian, berperilaku, bersifat, bertabiat, dan berwatak”. Individu yang
berkarakter baik atau unggul adalah seseorang yang berusaha melakukan hal-hal yang terbaik
terhadap Tuhan YME, dirinya, sesama, lingkungan, bangsa dan negara serta dunia internasional
pada umumnya dengan mengoptimalkan potensi (pengetahuan) dirinya dan disertai dengan
kesadaran, emosi dan motivasinya (perasaannya). Lebih lanjut Depdiknas (2010) menjelaskan
bahwa pendidikan karakter adalah segala sesuatu yang dilakukan guru, yang mampu
mempengaruhi karakter peserta didik. Guru membantu membentuk watak peserta didik. Hal
ini mencakup keteladanan bagaimana perilaku guru, cara guru berbicara atau menyampaikan
materi, bagaimana guru bertoleransi, dan berbagai hal terkait lainnya.
M. Saleh 651
Berdasarkan kajian nilai-nilai agama, norma-norma sosial, peraturan/hukum, etika
akademik, dan prinsip-prinsip HAM, telah teridentifikasi 80 butir nilai karakter yang
dikelompokkan menjadi lima, yaitu nilai-nilai perilaku manusia dalam hubungannya dengan
(1) Tuhan Yang Maha Esa, (2) diri sendiri, (3) sesama manusia, dan (4) lingkungan, serta (5)
kebangsaan. Namun demikian, penanaman kedelapanpuluh nilai tersebut merupakan hal
yang sangat sulit. Oleh karena itu, pada tingkat SMP dipilih 20 nilai karakter utama yang disarikan
dari butir-butir SKL SMP (Permen Diknas nomor 23 tahun 2006) dan SK/KD (Permen Diknas
nomor 22 tahun 2006). Berikut adalah daftar 20 nilai utama yang dimaksud dan diskripsi
ringkasnya.
1. Nilai karakter dalam hubungannya dengan Tuhan (Religius). Pikiran, perkataan,
dan tindakan seseorang yang diupayakan selalu berdasarkan pada nilai-nilai
Ketuhanan dan/atau ajaran agamanya.
2. Nilai karakter dalam hubungannya dengan diri sendiri.
a. Jujur: Perilaku yang didasarkan pada upaya menjadikan dirinya sebagai orang
yang selalu dapat dipercaya dalam perkataan, tindakan, dan pekerjaan, baik
terhadap diri dan pihak lain.
b. Bertanggung jawab: Sikap dan perilaku seseorang untuk melaksanakan tugas
dan kewajibannya sebagaimana yang seharusnya dia lakukan, terhadap diri
sendiri, masyarakat, lingkungan (alam, sosial dan budaya), negara dan Tuhan
YME.
c. Bergaya hidup sehat: Segala upaya untuk menerapkan kebiasaan yang baik
dalam menciptakan hidup yang sehat dan menghindarkan kebiasaan buruk
yang dapat mengganggu kesehatan.
d. Disiplin: Tindakan yang menunjukkan perilaku tertib dan patuh pada berbagai
ketentuan dan peraturan.
e. Kerja keras: Perilaku yang menunjukkan upaya sungguh-sungguh dalam
mengatasi berbagai hambatan guna menyelesaikan tugas (belajar/pekerjaan)
dengan sebaik-baiknya.
f. Percaya diri: Sikap yakin akan kemampuan diri sendiri terhadap pemenuhan
tercapainya setiap keinginan dan harapannya.
g. Berjiwa wirausaha: Sikap dan perilaku yang mandiri dan pandai atau berbakat
mengenali produk baru, menentukan cara produksi baru, menyusun operasi
untuk pengadaan produk baru, memasarkannya, serta mengatur permodalan
operasinya.
h. Berpikir logis, kritis, kreatif, dan inovatif: Berpikir dan melakukan sesuatu secara
kenyataan atau logika untuk menghasilkan cara atau hasil baru dan termutakhir
dari apa yang telah dimiliki.
i. Mandiri: Sikap dan perilaku yang tidak mudah tergantung pada orang lain dalam
menyelesaikan tugas-tugas.
M. Saleh
652
j. Ingin tahu: Sikap dan tindakan yang selalu berupaya untuk mengetahui lebih
mendalam dan meluas dari apa yang dipelajarinya, dilihat, dan didengar.
k. Cinta ilmu: Cara berpikir, bersikap dan berbuat yang menunjukkan kesetiaan,
kepedulian, dan penghargaan yang tinggi terhadap pengetahuan.
3. Nilai karakter dalam hubungannya dengan sesama
a. Sadar akan hak dan kewajiban diri dan orang lain: Sikap tahu dan mengerti serta
melaksanakan apa yang menjadi milik/hak diri sendiri dan orang lain serta tugas/
kewajiban diri sendiri serta orang lain.
b. Patuh pada aturan-aturan sosial: Sikap menurut dan taat terhadap aturan-aturan
berkenaan dengan masyarakat dan kepentingan umum.
c. Menghargai karya dan prestasi orang lain: Sikap dan tindakan yang mendorong
dirinya untuk menghasilkan sesuatu yang berguna bagi masyarakat, dan
mengakui dan menghormati keberhasilan orang lain.
d. Santun: Sifat yang halus dan baik dari sudut pandang tata bahasa maupun tata
perilakunya ke semua orang.
e. Demokratis: Cara berfikir, bersikap dan bertindak yang menilai sama hak dan
kewajiban dirinya dan orang lain.
4. Nilai karakter dalam hubungannya dengan lingkungan
Sikap dan tindakan yang selalu berupaya mencegah kerusakan pada lingkungan
alam di sekitarnya, dan mengembangkan upaya-upaya untuk memperbaiki
kerusakan alam yang sudah terjadi dan selalu ingin memberi bantuan bagi orang
lain dan masyarakat yang membutuhkan.
5. Nilai kebangsaan
Cara berpikir, bertindak, dan wawasan yang menempatkan kepentingan bangsa
dan negara di atas kepentingan diri dan kelompoknya.
a. Nasionalis: Cara berfikir, bersikap dan berbuat yang menunjukkan kesetiaan,
kepedulian, dan penghargaan yang tinggi terhadap bahasa, lingkungan fisik,
sosial, budaya, ekonomi, dan politik bangsanya.
b. Menghargai keberagaman: Sikap memberikan respek/hormat terhadap berbagai
macam hal baik yang berbentuk fisik, sifat, adat, budaya, suku, dan agama.
Ke 20 nilai karakter utama yang dikemukakan di atas harus terinternalisikan pada
sikap dan perilaku peserta didik melalui pembelajaran yang dilaksanakan guru-guru, baik di
dalam maupun di luar kelas.
M. Saleh 653
III. SUPERVISI KLINIS SEBAGAI SALAH SATU TEKNIK PEMBINAAN GURU DALAM
PELAKSANAAN PEMBELAJARAN YANG BERKARAKTER
Supervisi klinis adalah proses membantu guru memperkecil kesenjangan antara perilaku
mengajar yang nyata dengan perilaku mengajar yang ideal (Mantja, 2003). Klinis berhubungan
dan tidak bisa dipisahkan dengan kata “klinik” yang berarti tempat orang mengobati penyakit,
sedangkan klinis artinya pengobatan. Jika seseorang sakit dan ia tidak bisa mengobati sendiri
penyakitnya, biasanya ia akan mendatangi seorang dokter yang dianggap dapat menyembuhkan
penyakitnya. Demikian pula dengan seorang guru. Jika ia mengalami masalah dan ia sendiri
tidak mampu memecahkan masalahnya maka guru tersebut akan mencoba mendatangi dan
meminta bantuan kepada supervisornya, sehubungan dengan hal tersebut: (a) Guru
mengemukakan masalahnya kepada supervisor, (b) Supervisor bersama guru mencoba
mempelajari masalahnya dan menemukan faktor penyebabnya, (c) Supervisor bersama guru
mencoba memikirkan cara-cara yang mungkin ditempuh untuk mengatasi masalahnya, (d)
Supervisor bersama-sama guru mempelajari keunggulan dari masing-masing cara pemecahan
masalah tersebut, (e) Supervisor mempersilahkan kepada guru tersebut untuk memilih atau
menentukan sendiri salah satu cara yang paling mungkin dikerjakan untuk memecahkan
masalahnya, (f) Supervisor bersama-sama guru membuat suatu kesepakatan (kontrak).
Contoh di atas mengandung makna bahwa suasana pertemuan/supervisi bersifat
demokratis dan sangat manusiawi, tidak ada pemaksaan kehendak atau keinginan dari supervisor.
Hanya dengan cara-cara seperti itulah kesenjangan antara perilaku mengajar yang nyata dengan
perilaku mengajar yang ideal bisa dipersempit/diperkecil.
3.1 Ciri-Ciri Supervisi Klinis:
a. Pembimbingan bersifat membantu, bukan instruktif/direktif yang diimplementasikan
dalam bentuk hubungan tatap muka antara supervisor dan guru
b. Kegiatan supervisi terpusat pada apa yang menjadi perhatian/keluhan guru, bukan
atas dasar pandangan atau keinginan supervisor semata
c. Obyek supervisi berkenaan dengan penampilan/perilaku mengajar guru di kelas
dengan terlebih dahulu diadakan kesepakatan melalui pengkajian bersama antara
supervisor guru terutama menyangkut hal-hal berikut:
1. Instrumen observasi dikembangkan dan disepakati bersama antara supervisor-
guru sesuai dengan kontrak yang telah ditetapkan
2. Analisis dan interpretasi data hasil observasi dilakukan bersama antara supervisor
dan guru
3. Umpan balik dilakukan sesegera mungkin dan obyektif
4. Supervisi berlangsung dalam suasana profesional yang sehat, intim dan saling
keterbukaan
5. Dalam proses supervisi, supervisor lebih banyak mendengarkan dan bertanya
daripada memerintah atau memberi pengarahan
M. Saleh
654
3.2 Beberapa Faktor yang Mendorong Lahirnya Supervisi Klinis:
a. Supervisi umum dalam prakteknya seperti evaluasi karena itu sering tidak
disukai, bahkan ditolak
b. Kebanyakan diberikan berdasarkan selera dan keinginan supervisor sehingga
guru kurang merasakan manfaatnya
c. Pengamatan kelas sering terlalu umum sehingga pemberian balikan sukar
dan tidak terarah (Nurtain, 1989).
3.3 Prinsip-Prinsip Supervisi Klinis.
Prinsip supervisi adalah kaidah-kaidah pokok yang menjadi acuan dan harus
dipedomani oleh supervisor dalam melaksanakan kegiatan supervisi. Prinsip dimaksud adalah
sebagai berikut:
a. Hubungan supervisor dan guru adalah hubungan kolegial sederajat dan interaktif
(suasananya menyenangkan, intim, terbuka, penuh perhatian dan humanis)
b. Demokratis ketimbang otoritatif ( ke dua belah pihak bebas mengemukakan
pendapat, tidak mendominasi pembicaraan, memiliki sikap keterbukaan untuk
mengkaji semua persoalan yang berkembang, dan keputusan ditetapkan atas
persetujuan bersama)
c. Mengutamakan pra karsa dan tanggung jawab guru (sejak tahap perencanaan,
pengkajian balikan, bahkan pengambilan keputusan dan tindak lanjut)
d. Sasaran supervisi terpusat pada kebutuhan dan aspirasi guru (kebutuhan
mendapatkan pelayanan bersumber dan dirasakan manfaatnya oleh guru,
kebutuhan dan aspirasi guru ini tidak terlepas dari kawasan (ruang lingkup)
penampilan guru secara aktual di dalam kelas
e. Pengkajian balikan dilakukan berdasarkan data hasil observasi yang cermat,
didasarkan atas kontrak serta dilakukan dengan segera
f. Pusat perhatian pada waktu berlangsungnya supervisi dalam kegiatan pembelajaran
tertentu, hanya beberapa keterampilan mengajar atau aspek mengajar tertentu
saja.
3.4 Prosedur Supervisi Klinis
Dalam implementasinya, supervisi klinis tersebut ditempuh melalui suatu prosedur
yang terdiri dari langkah-langkah atau tahapan-tahapan kegiatan yang membentuk suatu siklus.
Tahapan-tahapan dimaksud adalah sebagai berikut: (1) tahap pertemuan awal, (2) tahap
observasi di kelas, dan (3) tahap pertemuan akhir (Nurtain, 1989). Hal senada dikemukakan
pula oleh W.Mantja (2007), yakni; (1) tahap pertemuan perencanaan, (2) tahap observasi kelas,
dan (3) tahap pertemuan balikan.
a. Tahap Pertemuan Awal:
Pertemuan ini harusnya dilakukan atas permintaan guru (setelah ia menyusun
rencana pembelajarannya) dan sebelum kegiatan pembelajaran dilakukan. Pada tahap ini
ada beberapa kegiatan penting, yakni:
M. Saleh 655
1). Menciptakan suasana akrab, terbuka dan menyenangkan
2). Mengkaji rencana pembelajaran yang telah dibuat oleh guru
3). Mengkaji aspek/keterampilan pembelajaran yang akan dibina, terutama
indikatornya
4). Memilih/mengembangkan instrumen observasi yang akan dipergunakan untuk
merekam data mengenai penampilan mengajar guru (perilaku mengajar)
5). Mendiskusikan bersama yakni antara supervisor dan guru tentang instrumen yang
akan digunakan, termasuk cara menggunakan, data yang akan dijaring, cara
mengolah dan cara menginterpretasikannya dan lain-lain
6). Menegaskan kembali kesimpulan kajian untuk menjadi kesepakatan atau kontrak
b. Tahap Observasi Kelas
Pada tahap ini, guru berlatih atau melakukan pembelajaran berdasarkan komponen-
komponen keterampilan yang telah disepakati pada pertemuan awal, sementara supervisor
mengadakan observasi dengan menggunakan instrumen yang sudah disepakati.
Adapun hal-hal yang perlu mendapat perhatian supervisor pada saat melakukan
observasi ini adalah sebagai berikut:
1). Kelengkapan catatan
2). Fokus, pilih aspek keterampilan yang memang perlu dicatat
3). Kalau diperlukan, supervisor bisa saja mencatat komentarnya, namun harus
dipisahkan (misalnya mencatat di bagian tepi instrumen)
4). Pola perilaku tertentu yang dapat mengganggu sebisanya dihindari
5). Membuat guru tidak gelisah (merasa tidak enak)
c. Tahap Pertemuan Akhir/Pertemuan Balikan
Hal ini harus dilakukan sesegera mungkin. Supervisor mengadakan analisis pendahuluan
mengenai data hasil rekamannya. Di samping itu, ada beberapa hal yang perlu mendapat perhatian
dalam pertemuan ini:
1) Suasana Pertemuan
a) Harus akrab, terbuka, bebas dari suasana menilai atau mengadili guru yang
disupervisi
b) Dituntut untuk sabar sehingga tidak terjerumus untuk mengadili atau mendikte
guru
c) Demokratis dan dalam suasana kekeluargaan
2) Hal-Hal Penting Untuk Dilaksanakan
a) Menanyakan perasaan guru secara umum atau kesan umum tentang kegiatan
mengajar yang baru ia selesaikan, kemudian memberi penguatan
b) Mengkaji tujuan/indikator pembelajaran
M. Saleh
656
c) Mengkaji target keterampilan dan perhatian utama guru dalam kegiatan
pembelajarannya
d) Menanyakan perasaan guru tentang jalannya pembelajaran berdasarkan target dan
perhatian utamanya
e) Menunjukkan data hasil rekaman dan memberikan kesempatan kepada guru untuk
menganalisis serta menginterpretasikannya
f) Supervisor bersama guru menginterpretasikan data dan akhirnya hasil observasi
itu didiskusikan/dibahas antara supervisor dan guru
g) Menanyakan kembali perasaan guru setelah mengamati hasil rekaman dan
setelah mendiskusikan hasil analisis dan interpretasi data hasil observasi tadi
h) Menyimpulkan hasil dan mengkaji apa yang sebenarnya yang merupakan
keinginan atau target guru dan apa sebenarnya telah dicapai
i) Menetapkan tindak lanjut serta rencana kegiatan berikutnya
Konsep supervisi klinis sebagaimana dikemukakan di atas sesungguhnya sangat tepat
jika dipergunakan untuk membina guru-guru dalam rangka memperbaiki dan meningkatkan
pembelajaran yang mereka lakukan, namun demikian di lapangan sangat sulit untuk
diimplementasikan sebab tidak banyak guru yang mau datang kepada supervisor untuk meminta
bantuan (disupervisi) berkenaan dengan tugas pokoknya yakni melaksanakan pembelajaran.
Oleh karena itu penulis mengusulkan satu model pembinaan guru yang disebut dengan istilah
“supervisi dengan pendekatan klinis”. Hal ini cocok dipakai ketika supervisor melakukan kunjungan
kelas (supervisi kelas) dan kunjungan kelas merupakan keharusan bagi supervisor jika ingin
memperbaiki dan meningkatkan pelaksanaan pembelajaran yang dilakukan guru-guru.
Kunjungan kelas adalah kunjungan supervisor ke kelas pada saat guru sedang mengajar.
Dalam prosesnya, kunjungan kelas tersebut dilakukan melalui tiga tahapan, (1) persiapan
kunjungan, (2) pelaksanaan kunjungan dan, (3) follow up kunjungan. Ketiga tahapan tersebut
relevan dengan tahapan-tahapan dalam supervisi klinis, yakni: (1) pertemuan awal, (2) observasi
kelas, dan (3) pertemuan balikan. Jadi yang dimaksud dengan supervisi dengan pendekatan
klinis di sini sesungguhnya supervisi biasa tetapi pola atau modelnya menggunakan pola atau
model supervisi klinis
IV. SIMPULAN
Pendidikan karakter dilaksanakan terintegrasi dalam pembelajaran, manajemen sekolah
dan kegiatan pembinaan kesiswaan. Integrasi pendidkan karakter di dalam proses
pembelajaran dilaksanakan mulai dari tahap perencanaan, pelaksanaan dan evaluasi
pembelajaran pada semua mata pelajaran.
Di lapangan (Sekolah), banyak guru yang mengalami kesulitan dalam melaksanakan
pendidikan karakter tersebut, oleh karena itu diperlukan pembinaan (supervisi) dari para
supervisor (pengawas sekolah dan kepala sekolah). Salah satu teknik yang bisa dipergunakan
untuk membina guru-guru dalam melaksanakan pembelajaran adalah supervisi klinis. Namun
M. Saleh 657
demikian, dalam pelaksanaannya di lapangan supervisi klinis tersebut menemui kendala karena
tidak banyak guru yang mau datang kepada supervisor untuk meminta bantuan atau bimbingan
(disupervisi). Oleh karena itu, pendekatan supervisi klinis dianggap pola atau model yang tepat
dalam membina guru melaksanakan pembelajaran.
DAFTAR PUSTAKA
Depdiknas (2009). Bahan Belajar Mandiri-Dimensi Kompetensi Supervisi Akademik.Jakarta:
Depdiknas.
Hermawan, H. (2012). Filsafat Pendidikan Islam. Jakarta: Ditjen Pendidikan Islam.
Joni, T.R. (1991). “Pokok-Pokok Pikiran Mengenai Pendidikan Guru”. Mencari Strategi
Pengembangan Pendidikan Nasional Menjelang Abad XXI. Jakarta: PT Grasindo.
Kemdiknas. (2010). Buku Panduan Pendidikan Karakter di Sekolah Menengah Pertama. Jakarta.
Lipham, J. M., Rankin, R. E., Hoch, J. A. (1985). The principalship: Concepts, competencies, and
Cases. New York: Longman, Inc.
Mantja, W. ( 2007 ) Manajemen Pendidikan dan Supervisi Pendidikan. Malang : Elang Mas
Neagley, R. L., & Evans, N. D. (1980). Handbook for Effective Supervision of Instruction. Englewood
Cliffs, NJ: Prentice-Hall, Inc.
Nurtain (1989). Supervisi Pendidikan. Jakarta: Depdikbud.
Oliva, P. F. (1984). Supervision for Today’s Schools. New York: Thomas Y Crowell Company.
Permendiknas Nomor 22 Tahun 2006 tentang Standar Isi. Jakarta.
Permendiknas Nomor 23Tahun 2006 tentang Standar Kompetensi Lulusan. Jakarta.
Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Nasional. (2008). Kamus Bahasa Indonesia. Jakarta:
Pusat Bahasa. Cet. I.
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2003 Tentang Sistem Pendidikan
Nasional.
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 14 Tahun 2005 Tentang Guru Dan Dosen.
M. Saleh
658
MEMBANGUN KARAKTER BANGSA MELALUI PENDIDIKAN
Wahyu
Universitas Lambung Mangkurat
ABSTRACT
This republic is under the worse and worse conflict from day to day and there is no solution for
those problems. Our people are easily getting angry because of small problems. Generally, they
are in conflict because of not being patient in understanding the social life. School as the
educational institution so far is only able to produce the intellectual person who are poor of
emotional and spiritual values. They are each of having ethics. Finally, fighting among the
students from junior school, high school, and higher education often happens. Based on those
considerations, character education becomes the important and strategic step to reconstruct
the nation identity.
Key words: character, nation, and character education
I. LATAR BELAKANG
Persoalan yang dihadapi bangsa semakin rumit dan belum menemukan benang
penyelesaian. United Nations Development Programme (UNDP) memperlihatkan secara sangat
jelas bahwa Human Development Index (HDI) Indonesia cukup miris. Indonesia pada HDI
2013 meraih peringkat ke-121 dari 186 negara dan 8 negara-teritori. Seluruh negara
diklasifikasikan ke dalam empat kelas berdasarkan hasil akhir scoring di tiap parameter. Empat
kelas tersebut adalah Very high human development, High human development, Medium human
development, dan Low human development. Indonesia dengan peringkat 121 menempati kelas
Medium human development. Indonesia berada di bawah Singapura, Malaysia, Thailand,
Brunnei Darussalam, dan Filipina. Data kenyataan sosial tentang kemiskinan juga kian
menambah persoalan. Banyak orang yang jatuh miskin atau makin miskin. Badan Pusat Statistik
per September 2013 selanjutnya juga merilis bahwa 28,55 juta penduduk Indonesia hidup di
bawah standar garis kemiskinan. Negara kita semakin tak diperhitungkan diantara negara-
negara yang kompetitif. Kita masih diperhitungkan hanya karena memiliki jumlah penduduk
besar dan sumber daya alam yang berlimpah. Lebih dari itu pascakejatuhan Soeharto, Mei
1998, banyak peristiwa memiriskan budi kemanusiaan. Anak-anak manusia yang tidak memiliki
rasa benci sesamanya harus tewas terbakar atau kepalanya hancur, lehernya terpotong, akibat
berbagai konflik politik, etnik, dan agama. Bahkan, masyarakat kita, akhir-akhir ini, mudah
meledak karena sebab sepele, tidak sabar, agresif, mudah rusuh, konflik rumah tangga kian
banyak, hubungan interpersonal kian rapuh. Sebaliknya, banyak yang tampak lebih apatis, tak
Wahyu 659
mau tahu atau tak berdaya menghadapi masa depan, semangat kerja anjlok, sulit memutuskan
pikiran atau mengambil keputusan akurat. Belum lagi meningkatnya laporan bunuh diri. Dunia
pendidikan juga demikian yang sudah mengalami ketidakjujuran dalam banyak aspek baik di
tingkat maupun perguruan tinggi. Sebetulnya, apabila diuraikan pangkal persoalannya, maka
ada alasan yang sangat mendasar mengapa semua ini terjadi di Indonesia. Karakter bangsa
yang lemah dan karakter bangsa yang tidak kokoh adalah jawabannya. Padahal, bangsa yang
maju adalah bangsa berkarakter dengan masyarakat berkarakter kuat.
Karakter dan kepribadian yang kuat ditunjukkan melalui sikap tertib aturan, mandiri,
menghormati orang lain dengan hormat, perhatian dan kasih sayang, bertanggungjawab, adil,
berperan sebagai warga negara yang baik, dan mendahulukan kepentingan khalayak.
Mempertimbangkan berbagai kenyataan pahit yang kita hadapi seperti dikemukakan di atas,
pendidikan karakter merupakan langkah penting dan strategis dalam membangun kembali jati
diri bangsa. Terbentuknya karakter peserta didik yang kuat dan kokoh diyakini merupakan hal
penting dan mutlak dimiliki peserta didik untuk menghadapi tantangan hidup di masa-masa
akan datang. Pengembangan karakter yang diperoleh melalui pendidikan, baik pada tingkat
sekolah maupun perguruan tinggi dapat mendorong mereka menjadi anak-anak bangsa yang
memiliki kepribadian unggul seperti diharapkan dalam tujuan pendidikan nasional.
II. PEMBAHASAN
Akar kata “karakter” ini, jika kita lacak berasal dari kata dalam bahasa Latin, yaitu
“kharakter”, “kharassein”, dan “kharax”, yang bermakna “tools for marking”, “to engrave”, dan
“pointed stake”. Kata ini mulai banyak digunakan dalam bahasa Prancis sebagai “caractere”
pada abad ke-14. Ketika masuk ke dalam bahasa Inggris, kata “caractere” ini berubah menjadi
“character”. Selanjutnya dalam bahasa Indonesia kata “character” ini menjadi “Karakter” (Wibowo
dan Hamrin, 2012). Sementara menurut Poerwodarminta, karakter diartikan sebagai tabiat,
watak, sifat-sifat kejiwaan, dan akhlak atau budi pekerti yang membedakan seseorang dengan
yang lainnya.
Lickona (2012) kemudian mengatakan bahwa karakter itu merupakan sifat alami
seseorang dalam merespons situasi secara bermoral. Sifat alami itu dimanifestasikan dalam
tindakan nyata melalui tingkah laku yang baik, jujur, bertanggung jawab, menghormati dan
menghargai orang lain, dan karakter mulia lainnya. Winnie (Mu’in, 2011) kemudian
menambahkan bahwa istilah karakter memiliki dua pengertian. Pertama, ia menunjukkan
tingkah laku seseorang. Apabila seseorang berperilaku tidak jujur, kejam, atau rakus, tentulah
orang tersebut memanifestasikan perilaku buruk. Sebaliknya, apabila seseorang berperilaku
jujur, suka menolong, tentulah orang tersebut memanifestasikan karakter mulia. Kedua, istilah
karakter erat kaitannya dengan personality. Seseorang bisa disebut orang yang berkarakter (a
person of character) apabila tingkah lakunya sesuai kaidah moral. Kemendiknas (2010) sebagai
lembaga negara telah memberikan pijakan bahwa karakter adalah watak, tabiat, akhlak atau
kepribadian seseorang yang terbentuk dari hasil internalisasi berbagai kebajikan (virtues),
yang diyakini dan digunakan sebagai landasan untuk cara pandang, berpikir, bersikap dan
bertindak.
660 Wahyu
Oleh karenanya dengan berdasar beberapa definisi karakter yang telah diuraikan,
maka karakter sesungguhnya merupakan sifat alami seseorang dalam merespons situasi secara
bermoral. Karakter moral yang baik tentunya tidak serta merta dapat dimiliki oleh tiap individu
sebab memerlukan suatu upaya pendidikan karakter secara efektif. Menurut pendapat beberapa
pakar (Josephson, 2001; Muin, 2011; Lickona, 2012), sekurang-kurangnya ada enam karakter
mulia yang dapat diterapkan pada pendidikan karakter, yaitu sebagai berikut:
1. Trustworthiness (dapat dipercaya/kepercayaan);
2. Respect (menghormati, memperlakukan orang lain dengan terhormat);
3. Responsibility (tanggungjawab);
4. Fairness (kejujuran);
5. Caring (perhatian, kasih sayang, kepedulian);
6. Citizenship (berperan sebagai warga negara yang baik).
Sementara Badan Penelitian dan Pengembangan Kementerian Pendidikan dan
Kebudayaan (2014), menyebutkan ada 4 (empat) nilai utama Karakter Bangsa, yakni:
1. Jujur;
2. Cerdas;
3. Tangguh;
4. Peduli.
Melengkapi uraian di atas, Megawangi (2004), pencetus pendidikan karakter di
Indonesia telah menyusun sembilan pilar karakter mulia yang selayaknya dijadikan acuan
dalam pendidikan karakter, baik di sekolah maupun di luar sekolah yaitu sebagai berikut:
1. Cinta Allah dan kebenaran;
2. Tanggungjawab, disiplin dan mandiri;
3. Amanah;
4. Hormat dan santun;
5. Kasih sayang, peduli dan kerjasama;
6. Percaya diri, kreatif, dan pantang menyerah;
7. Adil dan berjiwa kepemimpinan;
8. Baik dan rendah diri;
9. Toleransi dan cinta damai.
2.1 Guru Berkarakter
Penyelenggaraan pendidikan berkarakter tidak pernah terlepas dan dilepaskan dari
kehadiran sosok seorang guru. Guru yang berkarakter dalam konteks ini adalah hal niscaya. Oleh
sebab itu, untuk mengefektifkan pendidikan karakter, selanjutnya diperlukan jalinan kerjasama
antara sekolah, orang tua, masyarakat dan pemerintah, baik dalam perencanaan, pelaksanaan,
maupun evaluasi dan pengawasannya. Menurut Kemendiknas (2010), ada beberapa nilai luhur
yang harus dimiliki dan dipraktikkan terlebih dahulu oleh guru sebelum diajarkan kepada anak
didik dalam kehidupan nyata. Nilai-nilai luhur tersebut adalah sebagai berikut:
Wahyu 661
1. Religius
Sikap dan perilaku yang patuh dalam melaksanakan ajaran agama yang dianutnya,
toleran terhadap pelaksanaan ibadah agama lain, dan hidup rukun dengan pemeluk
agama lain.
2. Jujur
Perilaku yang didasarkan pada upaya menjadikan dirinya sebagai orang yang selalu
dapat dipercaya dalam perkataan, tindakan, dan pekerjaan.
3. Toleransi
Sikap dan tindakan yang menghargai perbedaan agama, suku, etnis, pendapat,
sikap, dan tindakan orang lain yang berbeda dari dirinya.
4. Disiplin
Tindakan yang menunjukkan perilaku tertib dan patuh pada berbagai ketentuan
dan peraturan.
5. Kerja Keras
Tindakan yang menunjukkan perilaku tertib dan patuh pada berbagai ketentuan
dan peraturan.
6. Kreatif
Berpikir dan melakukan sesuatu untuk menghasilkan cara atau hasil baru dari
sesuatu yang telah dimiliki.
7. Mandiri
Sikap dan perilaku yang tidak mudah tergantung pada orang lain dalam
menyelesaikan tugas-tugas.
8. Demokratis
Cara berfikir, bersikap, dan bertindak yang menilai sama hak dan kewajiban dirinya
dan orang lain.
9. Rasa Ingin Tahu
Sikap dan tindakan yang selalu berupaya untuk mengetahui lebih mendalam dan
meluas dari sesuatu yang dipelajarinya, dilihat, dan didengar.
10. Semangat Kebangsaan
Cara berpikir, bertindak, dan berwawasan yang menempatkan kepentingan
bangsa dan negara di atas kepentingan diri dan kelompoknya.
11. Cinta Tanah Air
Cara berpikir, bertindak, dan berwawasan yang menempatkan kepentingan bangsa
dan negara di atas kepentingan diri dan kelompoknya.
662 Wahyu
12. Menghargai Prestasi
Sikap dan tindakan yang mendorong dirinya untuk menghasilkan sesuatu yang
berguna bagi masyarakat, dan mengakui, serta menghormati keberhasilan orang
lain.
13. Bersahabat/Komunikatif
Sikap dan tindakan yang mendorong dirinya untuk menghasilkan sesuatu yang
berguna bagi masyarakat, dan mengakui, serta menghormati keberhasilan orang
lain.
14. Cinta Damai
Sikap dan tindakan yang mendorong dirinya untuk menghasilkan sesuatu yang
berguna bagi masyarakat, dan mengakui, serta menghormati keberhasilan orang
lain.
15. Gemar Membaca
Kebiasaan menyediakan waktu untuk membaca berbagai bacaan yang memberikan
kebajikan bagi dirinya.
16. Peduli Lingkungan
Sikap dan tindakan yang selalu berupaya mencegah kerusakan pada lingkungan
alam di sekitarnya, dan mengembangkan upaya-upaya untuk memperbaiki
kerusakan alam yang sudah terjadi.
17. Peduli Sosial
Sikap dan tindakan yang selalu ingin memberi bantuan pada orang lain dan
masyarakat yang membutuhkan.
18. Tanggung Jawab
Sikap dan perilaku seseorang untuk melaksanakan tugas dan kewajibannya, yang
seharusnya dia lakukan, terhadap diri sendiri, masyarakat, lingkungan (alam, sosial
dan budaya), negara dan Tuhan Yang Maha Esa.
Berdasarkan pada beberapa poin di atas, maka guru merupakan aktor utama pembelajaran.
Guru yang berkarakter menjadi kunci dari sebuah penyelenggaraan pembelajaran serta pendidikan
yang konstruktif bagi kehidupan peserta didik. Dengan demikian, guru sangat menentukan berhasil
atau tidaknya proses pembelajaran. Jika dikaitkan dengan pendidikan karakter yang saat ini tengah
menjadi andalan pemerintah, maka peranan guru sangat penting. Pendek kata, peran guru dalam
keberhasilan internalisasi pendidikan karakter kepada peserta didik adalah kunci utama. Faktor lain
seperti kurikulum, budaya, kegiatan-kegiatan spontan, hanya merupakan pendukung bagi guru.
Dalam konteks ini, guru juga dituntut memiliki karakter-karakter mulia itu dalam dirinya sendiri,
mempraktikkan dalam keseharian baik di sekolah maupun di masyarakat, dan menjadikannya
sebagai bagian dari hidup. Menarik apa yang disampaikan oleh Hidayatullah Furqon (2010), guru
berkarakter menjadi penting agar yang bersangkutan bisa menyelenggarakan pendidikan,
pembelajaran, dan mampu membangun karakter anak didiknya. Oleh karenanya, menurut Wibowo
dan Hamrin (2012), karakter utama yang harus dimiliki seorang guru adalah sebagai berikut:
Wahyu 663
1. Komitmen
Komitmen sebagai seorang guru adalah tekad untuk melaksanakan tugas dan
tanggungjawabnya sebagai seorang pendidik. Jika seorang guru sudah memiliki komitmen
yang tinggi, maka yang bersangkutan akan memiliki ketajaman visi, rasa memiliki, dan
bertanggungjawab atas amanah yang diemban.
2. Kompeten
Kompeten artinya kemampuan guru melaksanakan pembelajaran, dan memecahkan
aneka masalah guna mencapai tujuan pendidikan. Seorang guru yang kompeten ini
ditandai dengan keahlian di bidangnya, menjiwai profesi yang dimiliki, memiliki
kompetensi pedagogik, kepribadian, sosial dan profesional.
3. Kerja Keras
Guru harus senantiasa bekerja keras dalam melaksanakan tugas-tugasnya, terutama
dalam internalisasi pendidikan karakter bagi anak didiknya. Diantara indikator
seorang guru yang berkerja keras itu adalah (a) bekerja ikhlas dan sungguh-
sungguh; (b) bekerja melebihi target, dan (c) produktif.
4. Konsisten
Konsisten adalah kemampuan melakukan sesuatu dengan istiqomah, ajeg, fokus,
sabar, dan ulet, serta melakukan perbaikan yang terus-menerus. Karakter
konsisten ini menjadi penanda jika guru telah menjiwai dan menghayati
profesinya. Konsistensi guru tidak hanya dalam kata saja, tetapi juga antara kata
dan perbuatan. Di antara indikator guru yang konsisten itu adalah (a) memiliki
prinsip atau istiqomah; (b) tekun dan rajin; (c) sabar dan ulet; (d) fokus.
5. Sederhana
Kesederhanaan hendaknya senantiasa ditunjukkan para guru. Kesederhanaan itu tidak
identik dengan kemiskinan. Seseorang yang berpenampilan sederhana, bukan berarti
yang bersangkutan tidak memiliki harta benda. Ketika guru berpenampilan sederhana, itu
bukan berarti guru yang bersangkutan miskin. Kesederhanaan seorang guru terpancar
dalam perilaku, dan di antara indikator tersebut adalah (a) bersahaja; (b) tidak bermewah-
mewah baik penampilan maupun model hidup; (c) tidak berlebihan dalam
mempergunakan apa saja, dan (d) tepat guna, artinya memanfaatkan segala sesuatu
secara tepat, dan memiliki kegunaan atau kontribusi positif.
6. Kemampuan berinteraksi
Berinteraksi yang dimaksud di sini adalah kemampuan berinteraksi secara dinamis dalam
jalinan emosional antara guru dan anak didik dalam rangka mencapai tujuan pembelajaran.
Seorang guru sudah selayaknya mampu berinteraksi secara baik dan efektif.
7. Melayani secara maksimal
664 Wahyu
Pelayanan maksimal dalam pendidikan untuk anak didik adalah sebuah hal niscaya
sehingga guru pun harus membantu, melayani dan memenuhi kebutuhan anak didik
agar potensinya dapat diberdayakan secara optimal.
8. Cerdas
Guru yang cerdas dalam membaca kehidupan pendidikan anak didik menjadi kata kunci agar
peserta didik kemudian mampu menjadi para pembelajar yang ikut cerdas. Oleh sebab itu,
indikator guru yang cerdas adalah (a) cepat mengerti dan memahami, tanggap, tajam dalam
menganalisa dan mampu mencari alternatif-alternatif solusi; dan (b) mampu memberikan
makna/nilai terhadap berbagai aktivitas yang dilakukan, sehingga hasilnya optimal.
Seorang pedagog Jerman FW Foerster (1869-1966) seorang pencetus pendidikan karakter
yang menekankan dimensi etis-spiritual dalam proses pembentukan pribadi mengatakan bahwa
tujuan pendidikan adalah membentuk karakter yang termanifestasikan dalam kesatuan esensial
subjek dengan perilaku dan sikap hidup yang dimilikinya. Ada empat ciri dasar dalam pendidikan
karakter sebagaimana yang disampaikannya:
1. Keteraturan interior dengan setiap tindakan diukur berdasar hierarki nilai. Nilai menjadi
pedoman normatif setiap tindakan. Dengan kata lain, apa yang menjadi prinsip dalam
hidupnya kemudian diwujudkan dalam tindakan. Tindakan yang diproduksi pun
selanjutnya memberikan nilai kebaikan bagi semua. Guru dalam konteks ini harus
mampu melakukan itu dengan cara memperhatikan prinsipnya dalam mengajar
dengan bagaimana memperlakukan para siswanya dengan penuh kasih sayang.
Kasih sayang yang diberikan pun membawa nilai pendidikan yang baik bagi semua;
2. Koherensi yang memberi keberanian membuat seseorang teguh pada prinsip dan
tidak mudah terombang ambing pada situasi baru atau takut resiko. Koherensi
merupakan dasar yang membangun rasa percaya satu sama lain. Seorang guru
dalam konteks ini sudah menetapkan diri sebagai seorang pengajar yang bukan
hanya mentransfer(kan) ilmu pengetahuannya an sich, namun lebih dari itu adalah
membentuk pribadi-pribadi yang baik. Ia tegas dalam membimbing anak-anak
didiknya. Setiap perkataan dan tindakan yang dijalankan untuk para anak didiknya
sudah dipikir secara matang. Guru bertindak dengan dipikirkan terlebih dahulu, apakah
baik ataukah tidak bagi pembentukan mentalitas anak didiknya.
3. Otonomi. Seorang guru sudah melakukan internalisasi aturan yang berasal dari luar
dan kemudian menjadi norma serta nilai dalam kehidupannya. Ketika guru
menyampaikan sesuatu kepada anak didiknya dan itu memang sudah dipandang
benar dan baik, siapa pun tidak boleh dan tidak berhak untuk mengintervensinya.
Guru sudah tahu mana yang harus dilakukan dan tidak. Guru sudah mengerti dan
memahami apa yang terbaik bagi pendidikan anak didiknya.
4. Keteguhan dan kesetiaan. Keteguhan menjadi daya tahan seseorang dalam mencapai
sesuatu yang dianggap paling baik dalam kehidupannya di masa depan sedangkan
kesetiaan adalah fondasi bagi penghormatan terhadap komitmen yang dipilihnya.
Ketika seseorang sudah menjatuhkan diri sebagai seorang guru, ia selanjutnya benar-
Wahyu 665
benar teguh untuk melahirkan para peserta didik yang baik. Kesetiaan seorang guru
atas pilihannya itu selanjutnya mendorong guru untuk terus bekerja keras dalam
mendidik para peserta didiknya dengan sedemikian sabar dan tekun.
2.2 Pendidikan Karakter di Rumah dan di Sekolah
Pilar pertama yang menjadi acuan bagi kerjasama antara sekolah dengan pihak luar
adalah orang tua. Orang tua merupakan salah satu pemangku kepentingan dalam sekolah karena
mereka berkepentingan agar anak-anak yang mereka percayakan kepada sekolah dapat bertumbuh
dan berkembang dengan baik. Kepercayaan dari orang tua ini perlu dijaga oleh pihak sekolah agar
kepentingan masing-masing pihak dihormati. Orang tua mempercayakan anak-anaknya agar dididik
oleh para guru, sedangkan sekolah, berdasarkan kepercayaan dari orang tua, memiliki tugas untuk
mendidik dan mendampingi siswa tersebut agar berkembang secara lebih dewasa sebagai individu.
Untuk itu, kerjasama antara pihak sekolah dengan orang tua sangatlah penting agar terdapat
kesinambungan antara proses pendidikan di sekolah dengan di rumah.
Ada beberapa langkah penting yang dapat dilakukan dalam rangka menanamkan
pendidikan karakter baik di rumah maupun sekolah:
1. Di Rumah
a. Membiasakan gosok gigi sebelum tidur
Kebiasaan ini bagi anak terkadang agak mudah dan susah. Pada intinya, tujuannya
adalah dalam rangka membiasakan diri untuk bersih.
b. Makan dan minum sambil duduk
Kebiasaan ini pula kadang terlupakan terhadap anak, akan tetapi bisa dilakukan
dari kecil, dan kita terangkan mengapa harus duduk dan juga membiasakan doa
sebelum dan setelah makan.
c. Matikan televisi, nyalakan semangat baca buku
Dengan membiasakan mematikan televisi di rumah kita berawal dari kita sebagai
orang tua yang harus konsisten untuk tidak menyalakan TV atau kalaupun belum
bisa, kita beri waktu seminggu sekali (Sabtu-Minggu). Kalau kita bisa membiasakan
Sabtu-Minggu, anak kita ajak bermain keluar ataupun bersilaturahmi ke saudara.
Kegiatan untuk kesehariannya, kita bisa alihkan dengan bermain buku, cerita buku,
baca buku, dan lain sejenisnya.
d. Memisahkan tidur anak dengan orang tua
Dengan membiasakan memisahkan tidur anak dan kita, terkadang bisa terlaksana
hanya beberapa saat, tapi kita coba dengan penuh tega, dengan penuh konsistensi.
Dengan secara tegas, kita beri pengertian buat anak, pasti bisa, anak berani bisa
tidur sendiri.
e. Luangkan waktu bermain
Sebanyak apapun beban pekerjaan kantor, luangkan sebagian waktu untuk sekadar
bersenda gurau atau menanyakan PR hari ini. Kehangatan dan keakraban yang
666 Wahyu
terus terjalin dalam interaksi antara anak dan orang tua akan menumbuhkan rasa
nyaman di hati si kecil.
f. Menjadi pendengar yang baik
Anak yang aktif senang berbagi cerita yang baru dialaminya. Sebaiknya, dia juga
senang mendengarkan apa saja yang diceritakan oleh orang tuanya. Jadilah
pendengar yang baik dan berikanlah apresiasi terhadap setiap kisah yang ia
ceritakan dengan penuh perhatian.
g. Lakukan pengawasan
Anak akan merasa nyaman bila mengetahui orang tua memberi perhatian penuh
kepadanya. Tanyakan aktivitas apa saja yang dia lakukan sepanjang hari. Bila ada
yang kurang baik, beri pengarahan dengan cara persuasif dan menyenangkan.
h. Hadiah dan hukuman
Hadiah berarti apa saja yang disenangi oleh si kecil sepanjang itu baik dan tidak
membahayakan, termasuk pujian, senyum dan tepuk tangan. Sementara hukuman
jangan diartikan sebagai bentakan, amarah, apalagi pukulan fisik. Berdiam diri
dengan memasang muka masam ke anak sudah cukup menjadi peringatan baginya
bahwa apa yang baru ia lakukan salah dan tidak berkenan di hati Bunda. Biasakan
memberi hadiah dan hukuman secara proporsional agar si kecil selalu termotivasi
untuk berbuat baik dan belajar dari kesalahan.
i. Tidak sering mengamati pembantu
Pembantu atau baby sitter memegang peranan penting ketika orang tua absen dari
rumah. Selain berfungsi menjaga dan melayani kebutuhan anak, pembantu juga
berperan dalam meningkatkan kemampuan sosial anak. Bila anak sudah akrab
dengan satu orang pertahankan selama mungkin, dan upayakan untuk tidak terlalu
sering mengganti pembantu.
j. Beri kesempatan memilih
Anak yang terbiasa berhadapan dengan situasi atau hal-hal yang sudah ditentukan
oleh orang lain, akan malas untuk melakukan pilihan sendiri. Sebaliknya bila ia
terbiasa dihadapkan pada beberapa pilihan, ia akan terlatih untuk membuat
keputusan sendiri bagi dirinya. Misalnya, sebelum menentukan menu di hari itu,
ibu memberi alternatif masakan yang dapat dipilih anak untuk makan siangnya.
Demikian pula dalam memilih pakaian yang akan dipakai untuk pergi ke pesta
ulang tahun temannya, misalnya. Kebiasaan untuk membuat keputusan-keputusan
sendiri dalam lingkup kecil sejak dini akan memudahkan untuk kelak menentukan
serta memutuskan sendiri hal-hal dalam kehidupannya.
k. Hargailah usahanya
Hargailah sekecil apapun usaha yang diperlihatkan anak untuk mengatasi sendiri
kesulitan yang ia hadapi. Orang tua biasanya tidak sabar menghadapi anak yang
membutuhkan waktu lama untuk membuka sendiri kaleng permennya. Terutama
Wahyu 667
bila saat itu ibu sedang sibuk di dapur, misalnya. Untuk itu sebaiknya orang tua
memberi kesempatan padanya untuk mencoba dan tidak langsung turun tangan
untuk membantu membukakannya. Jelaskan juga padanya bahwa untuk membuka
kaleng akan lebih mudah kalau menggunakan ujung sendok, misalnya.
Kesempatan yang anda berikan ini akan dirasakan anak sebagai penghargaan
atas usahanya, sehingga akan mendorong untuk melakukan sendiri hal-hal kecil
seperti itu.
l. Hindari banyak bertanya
Pertanyaan-pertanyaan yang diajukan orang tua, yang sebenarnya dimaksudkan
untuk menunjukkan perhatian pada si anak, dapat diartikan sebagai sikap yang
terlalu banyak mau tahu. Karena itu hindari kesan cerewet. Misalnya, anak yang
baru kembali dari sekolah, akan kesal bila diserang dengan pertanyaan-pertanyaan
seperti, “Belajar apa saja di sekolah?”, dan “Kenapa seragamnya kotor? Pasti kamu
berkelahi lagi di sekolah!” dan seterusnya. Sebaliknya, anak akan senang dan
merasa diterima apabila disambut dengan kalimat pendek: “Halo anak ibu sudah
pulang sekolah!” Sehingga kalaupun ada hal-hal yang ingin ia ceritakan, dengan
sendirinya anak akan menceritakan pada orang tua, tanpa harus didorong-dorong.
m. Jangan langsung menjawab pertanyaan
Meskipun salah satu tugas orang tua adalah memberi informasi serta pengetahuan
yang benar kepada anak, namun sebaliknya orang tua tidak langsung menjawab
pertanyaan-pertanyaan yang diajukan. Sebaliknya, berikan kesempatan padanya
untuk menjawab pertanyaan tersebut. Tugas andalah untuk mengkoreksinya apabila
salah menjawab atau memberi penghargaan kalau ia benar. Kesempatan ini akan
melatihnya untuk mencari alternatif-alternatif dari suatu pemecahan masalah.
Misalnya, “Bu, kenapa sih, kita harus mandi dua kali sehari?” Biarkan anak memberi
beberapa jawaban sesuai dengan apa yang ia ketahui. Dengan demikian pun anak
terlatih untuk tidak begitu saja menerima jawaban orang tua, yang akan diterima
mereka sebagai satu jawaban yang baku.
n. Dorong untuk melihat altenatif
Sebaiknya anak pun tahu bahwa untuk mengatasi suatu masalah, orang tua
bukanlah satu-satunya tempat untuk bertanya. Masih banyak sumber-sumber lain
di luar rumah yang dapat membantu untuk mengatasi masalah yang dihadapi.
Untuk itu, cara yang dapat dilakukan orang tua adalah dengan memberitahu sumber
lain yang tepat untuk dimintakan tolong, untuk mengatasi suatu masalah tertentu.
Dengan demikian anak tidak akan hanya tergantung pada orang tua, yang bukan
tidak mungkin kelak justru akan menyulitkan dirinya sendiri. Misalnya, ketika si
anak datang pada orang tua dan mengeluh bahwa sepedanya mengeluarkan bunyi
bila dikendarainya. Anda dapat memberi jawaban: “Coba, ya, nanti kita periksa ke
bengkel sepeda”.
o. Jangan patahkan semangatnya
668 Wahyu
Tak jarang orang tua ingin menghindarkan anak dari rasa kecewa dengan
mengatakan “mustahil” terhadap apa yang sedang diupayakan anak. Sebenarnya
apabila anak sudah mau memperlihatkan keinginan untuk mandiri, dorong ia untuk
terus melakukannya. Jangan sekali-kali anda membuatnya kehilangan motivasi
atau harapannya mengenai sesuatu yang ingin dicapainya. Jika anak minta ijin
anda, “Bu, Andi mau pulang sekolah ikut mobil antar jemput, bolehkan?” Tindakan
untuk menjawab: “Wah, kalau Andi mau naik mobil antar jemput, kan Andi harus
bangun pagi dan sampai di rumah lebih siang. Lebih baik tidak usah deh, ya”
seperti itu tentunya akan membuat anak kehilangan motivasi untuk mandiri.
2. Di Sekolah
Dalam kondisi kehidupan bangsa yang amat berat sekarang ini, pendidikan harus
bangkit membangun pendidikan karakter/watak (akhlak, moral). Semua kebobrokan yang kita
rasakan kini lahir dari tidak adanya pendidikan karakter/watak yang cukup kokoh pada diri kita
bersama. Watak manusia Indonesia rapuh atau mudah goyah. Pendidikan watak di sekolah
seharusnya membawa anak terhadap pengenalan nilai secara kognitif, penghayatan nilai
secara afektif, akhirnya ke pengalaman nilai secara nyata.
Mengingat siswa sudah dianggap anak dalam pengertian keluarga, maka dalam
pendidikan karakter ini, guru melakukannya dengan kasih sayang, ikhlas, jujur, keagamaan,
dan kekeluargaan. Konsep tersebut oleh Supriyoko (2003) disebutnya Roh Pendidikan.
Pendidikan karakter tersebut merupakan nafas kehidupan di tiap lini, lorong dan sudut pendidikan.
Dengan demikian, untuk membangun pendidikan karakter di sekolah-sekolah dan
lembaga pendidikan yang paling penting bukanlah mendirikan gedung-gedung sekolah yang
megah, tetapi proses pendidikan yang berlangsung menyenangkan, mengasyikkan, sekaligus
mencerdaskan. Jadi, pendidikan karakter bisa dilakukan jika sekolah-sekolah dan lembaga
pendidikan itu tumbuh dan berkembang di atas basis masyarakat, agama, tradisi, dan akar
sosial budaya Indonesia. Seperti apa proses belajar mengajar yang menyenangkan atau
mengasyikan itu? Di bawah ini langkah belajar mengajar yang menyenangkan.
1. Mereka harus belajar dalam suasana tenang
Berikan pengertian bahwa suasana belajar dan mengajar yang tenang akan
membantu guru untuk dapat mengajar dengan baik dan murid mengerti pelajaran
yang diajarkan.
2. Murid boleh berbicara, bicara dengan volume suara kecil, tidak mengganggu proses
belajar mengajar. Berikan pengertian bahwa di saat guru menerangkan, murid
hendaknya mendengarkan. Namun apabila keadaan mendesak dan murid harus
berbicara dengan teman sebelahnya, sebaiknya dilakukan dengan berbicara pelan.
3. Bagi murid yang sudah mengerjakan tugasnya, sibukkan mereka dengan membaca
buku. Ketika murid sudah selesai mengerjakan tugas kelasnya, berikan tugas lain
kepada mereka seperti membaca buku. Dengan demikian mereka tidak akan
mengganggu murid lain yang belum selesai.
Wahyu 669
4. Pergunakan suasana di luar kelas untuk menghindari kebosanan murid di dalam
kelas.
Kegiatan ini dapat dilakukan sekali-kali agar kegiatan belajar menjadi tidak monoton.
Caranya ajak sebagian murid keluar kelas dan ajarlah mereka di udara terbuka
sedangkan sebagian murid lainnya tetap ada di kelas. Setelah beberapa saat
lakukan hal ini bergantian dengan kelompok yang ada di dalam kelas. Cara ini
sebaiknya dibantu dengan asisten pengajar sehingga murid tetap terkontrol.
5. Manfaatkan belajar kelompok
Buatlah beberapa kelompok yang terdiri dari 5 sampai 8 murid. Tunjuk seorang
ketua dalam masing-masing kelompok untuk bertanggung jawab atas kelompoknya.
Dengan demikian dapat membantu guru memonitor situasi belajar mengajar.
2.3 Pendidikan Karakter di Masyarakat
Lembaga pendidikan hadir tidak terlepas dari masyarakat di mana mereka tinggal.
Masyarakat tersebut kemudian bisa berbentuk asosiasi/perkumpulan berdasarkan persamaan
minat, yayasan, organisasi yang memiliki visi dan misi khas: lembaga sosial, lembaga bisnis,
media massa. Masyarakat inilah yang pada akhirnya akan menerima keuntungan tentang
kehadiran anak-anak didik yang telah dididik secara kompeten, profesional, dan baik. Oleh
karena itu, selama masa pendidikan, sangat diperlukan aneka kerjasama dengan berbagai
masyarakat.
Kerjasama dengan masyarakat, apapun bentuknya, sangatlah diperlukan agar
lembaga pendidikan tidak merasa berjuang sendiri. Kehadiran mereka pun sesungguhnya
disebabkan oleh keinginan untuk memenuhi harapan dan tuntutan masyarakat akan kehadiran
anggota-anggota masyarakat yang sedang menempa gemblengan pendidikan dan
perkembangan kepribadian dalam lembaga pendidikan. Oleh sebab itu, pendidikan karakter
berbasis masyarakat berusaha mendesain berbagai macam corak kerjasama dan keterlibatan
antara lembaga pendidikan dengan masyarakat. Hal itu dimaksudkan agar kehadiran lembaga
pendidikan semakin bermakna dan bermutu, mampu menjawab aspirasi setiap anggota
masyarakat tentang harapan mereka, fungsi, dan peran lembaga pendidikan dalam kehidupan
berbangsa dan bernegara.
III. SIMPULAN
Guru merupakan aktor utama pembelajaran. Karena itu, guru menentukan berhasil
atau tidaknya proses pembelajaran. Ketika dikaitkan dengan pendidikan karakter, peran guru
sangat penting. Seorang guru, selain harus memiliki pemahaman, ketrampilan dan kompetensi
mengenai karakter, juga dituntut memiliki karakter-karakter mulia itu dalam dirinya sendiri,
melaksanakannya dan menjadikan sebagai bagian dari hidupnya. Karakter mulia itu antara
lain seperti berperilaku baik, jujur, suka menolong. Di samping itu, karakter utama yang harus
dimiliki guru adalah komitmen, kompeten, kerja keras, konsisten, sederhana, kemampuan
berinteraksi, melayani secara maksimal dan cerdas.
670 Wahyu
Dengan demikian, menjadi guru yang mampu meleburkan diri dengan kehidupan anak
didiknya adalah sebuah hal niscaya sebab guru yang sesungguhnya adalah ketika ia mampu
memberikan pelayanan terbaik bagi kehidupan anak didik. Guru menjadi panutan bagi anak-
anak didiknya. Setiap langkah yang dilakoni anak didik kemana arahnya menjadi bagian dari
didikan sang guru. Setiap apa yang dipikirkan dan dikerjakan anak didiknya merupakan duplikasi
dari kehidupan sang guru. Guru dalam konteks ini bukan hanya mentransfer ilmu pengetahuan,
namun juga nilai-nilai kehidupan dalam ilmu pengetahuan. Gurulah yang mengenalkan anak
didik kepada dunia yang lebih luas dan lebar sehingga ia setidaknya ibarat sang pemandu
yang akan membawa para anak didiknya untuk mengenal dan mengetahui banyak hal. Tentunya,
guru yang berkarakter kemudian harus mampu menjawab kepentingan pendidikan masa depan.
DAFTAR PUSTAKA
Agung, Iskandar. 2012. Menghasilkan Guru Kompetensi dan Profesional. Jakarta: Bee Media
Indonesia.
Astuti, Palupi Panca. 2006. Tanpa Guru, Murid Tak Bermutu. Kompas, 2 Maret 2006, hal. 4.
Aziz, Hamka A. 2012. Karakter Guru Profesional. Jakarta: Al-Mawardi Prima.
Badan Penelitian dan Pengembangan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan. 2014.
Menyiapkan Generasi Emas Indonesia yang Berkarakter. Jakarta: Balitbang.
Budimansyah, Dasim dan Kokom Komalasari. 2011. Pendidikan Karakter. Bandung: Widya
Aksara Press.
Cahyono, Rachmat H. 2004. Sang Guru. Kompas, 26 Maret 2004, hal 5.
Daryanto. 2013. Guru Profesional. Yogyakarta: Gava Media.
Departemen Pendidikan Nasional, 2001. KBBI. Jakarta: Balai Pustaka.
Departemen Pendidikan Nasional, 2003. UU RI, No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan
Nasional. Jakarta: Departemen Pendidikan Nasional.
Fathurrohman, Pupuh dan Aa Suryana, 2012. Guru Profesional. Bandung: PT Refika Aditama.
Hidayatullah, Furqon M. 2010. Pendidikan Karakter, Makalah pada Seminar Nasional
Pembangunan Karakter Bangsa. Banjarmasin, 7 November 2010.
Izzan, Ahmad, dkk. 2012. Membangun Guru Berkarakter. Bandung: Humaniora.
Kemdiknas. 2010. Desain Induk Pembangunan Karakter Bangsa. Jakarta: Kemdiknas.
Koesoema A, Doni, 2012. Pendidikan Karakter Utuh dan Menyeluruh. Yogyakarta: Kanisius.
Lickona, Thomas. 2012. Educating for Character, Penerjemah Juma Abdu Wamaungo.
Bandung: Remaja Rosdakarya.
Mahmud. 2012. Sosiologi Pendidikan. Bandung: CV Pustaka Setia.
Megawangi, Ratna. 2004. Pendidikan Karakter Solusi yang Tepat untuk Membangun Bangsa.
Jakarta: BP Migas dan Star Energy.
Wahyu 671
Muin, Fatchul. 2011. Pendidikan Karakter: Konstruksi Teoritik dan Praktik. Yogyakarta: Ar-Ruzz
Media.
672 Wahyu
EDITORS
Ersis Warmansyah Abbas (BA, Drs. M.Pd., Dr.) dosen pada FKIP
Unlam Banjarmasin. Lahir di Muaralabuh, Solok Selatan, 15 November
1957. Doktor Pedidikan (IPS) UPI Bandung (2013), Magister
Pendidikan (Pengembangan Kurikulum) IKIP Bandung (1995), Sarjana
Pendidikan (Sejarah) IKIP Yogyakarta (1980), Sarjana Muda
Pendidikan Sejarah IKIP Padang (1978). Tamatan PGAN 6 Tahun
Padang, PGAN 4 Tahun Muaralabuh dan SDN 1 Muaralabuh. Pernah
kuliah di FK Filsafat UGM (1982), dan alumnus Pendidikan (Kursus)
Teori, Metodologi dan Aplikasi Antropologi UGM (1993).
Tulisannya dimuat beberapa jurnal, dan atau, dipresentasikan pada berbagai seminar,
baik di dalam maupun di luar negeri, misalnya pada 5th UPSI-UPI Conference on Education,
Selangor Malaysia (2012). Untuk mendukung dan mengembangan keprofesionalannya,
Presiden Lembaga Pengkajian Kebudayaan dan Pembangunan Kalimantan (LPKPK),
Lembaga Pengkajian dan Pengembangan Pendidikan Kalimantan Selatan (LPPPKS), dan
Pusat Studi Sejarah dan Nilai Budaya Kalimantan Selatan (PSNBKS), mengikuti berbagai
seminar dan workhsop dalam berbagai bidang dan melakukan kerja sama penelitian dengan
Asia Foundation, PT Djarum Kudus, Pemkab, Pemko dan Pemprov Kalimantan Selatan serta
instansi lainnya.
Ratusan tulisannya dimuat berbagai media cetak, antara lain HU Kompas, Sinar
Harapan, Suara Pembaharuan, Kedaulatan Rakyat, Berita Nasional, Jayakarta, Pelita, Bandung
Pos, Haluan, Radar Banjarmasin, Dinamika Berita, Banjarmasin Pos, Bandjarbaroe Post, Sinar
Kalimantan dan media cetak lainnya.
Pemimpin Umum Bandjarbaroe Post dan majalah GAGAH mengusung prinsip: Tulis
apa yang ada di pikiran bukan memikirkan apa yang akan ditulis. Tulis apa yang hendak
ditulis, pasti jadi tulisan. Publikasi harian tulisannya dapat diikuti melalui www. ersisweb.com
dan facebook Ersis Warmansyah Abbas.
Sebagai penyaluran kehendak menulis dan memotivasi berbagai kalangan untuk
menulis, Ersis mendirikan dan mengembangkan Gerakan Persahabatan Menulis (GPM)
berbasis dunia maya yang cabang daratnya berkembang di kota-kota Indonesia dengan pelibat
di Singapura, Taiwan, Hongkong, Mesir, dan berbagai Negara lainnya. GPM wilayah melakukan
kegiatan menulis dan telah menerbitkan puluhan buku dan untuk itulah sering bepergian ke
berbagai kota dalam lakon sharing menulis atau pelatihan menulis.
Editors
673
Ersis Warmansyah Abbas menerbitkan beragam buku dengan berbagai tema:
I. TENTANG MENULIS
1. Menulis Sangat Mudah. 2007. Yogyakarta: Mata Khatulistiwa.
2 Menulis Mari Menulis. 2007. Yogyakarta: Mata Khatulistiwa.
3. Menulis dengan Gembira. 2008. Yogyakarta: Gama Media.
4. Menulis Berbunga-Bunga. 2008. Yogyakarta: Gama Media.
5. Virus Menulis Zikir Menulis. 2008: Yogyakarta: Gama Media.
6. Menulis Mudah: Dari Babu Sampai Pak Dosen. 2008: Yogyakarta: Gama Media.
7. Menulis Tanpa Berguru. 2009. Yogyakarta: Gama Media.
8. Menulis Membangun Peradaban. 2009. Yogyakarta: Gama Media.
9. ‘Jatuh Cinta’ Menulis. 2011: Bandung: Wahana Jaya Abadi.
10. Indonesia Menulis. 2011: Bandung: Wahana Jaya Abadi.
11. Suer, Menulis Itu Mudah. 2012: Jakarta: Elex Media Komputindo, KK Gramedia.
12. Percaya Ngak Percaya, Menulis Itu Mudah. 2012. Bandung: Wahana Jaya Abadi.
13. Nyaman Membaca Mudah Menulis. 2013. Bandung: Wahana Jaya Abadi.
14. Mudah Menulis Memudahkan Menerbitkan Buku. 2012. Bandung: Wahana Jaya Abadi.
15. Menulis Menyenangkan. 2012. Bandung: Wahana Jaya Abadi.
16. Menulis Mudah Memudahkan Menulis, Wahana Jaya Abadi, Bandung, 2013
17. Indonesia Menulis: Perjalanan Spiritual, Wahana Jaya Abadi, Bandung, 2013
II. FIKSI
1. Surat Buat Kekasih, antologi Puisi, Gama Media, Yogyakarta, 2006.
2. Garunum, antologi puisi bersama, Gama Media, Yogyakarta, 2006
3. Taman Banjarbaru, antologi puisi bersama, Gama Media, Yogyakarta, 2006
4. Kolaborasi Nusantara, Antologi Puisi Bersama, Gama Media, Yogyakarta, 2006.
5. Tajuk Bunga, antologi puisi bersama, Gama Media, Yogyakarta, 2006
6. ASAP (Novel), Wahana Jaya Abadi, Bandung, 2010
7. Menjaring Cakrawala, Wahana Jaya Abadi, Bandung, 2011.
8. Zikir Rindu, Wahana Jaya Abadi, Bandung, 2011
9. Deru Awang-Awang, Wahana Jaya Abadi, Bandung, 2012.
10. Senyawa Kata Kita, antologi puisi bersama, Wahana Jaya Abadi, Bandung, 2012.
11. Astagfirullah, Antologi Cerpen (bersama), Wahana Jaya Abadi, Bandung, 2012.
12. Bogor Kasohor, Antologi Puisi (bersama), Wahana Jaya Abadi, Bandung, 2012.
Editors
674
IV BUKU AJAR, PEMIKIRAN, DAN PENELITIAN
1. Pemuda dan Kepahlawanan .1988. Bandung: Materpamur.
2. Bab-Bab Antropologi. 1996. Penyunting tulisan Fudiat Suryadikara. Banjarmasin: EWA
Book Company.
3. Memahami Sejarah. 1997. Banjarmasin: EWA Book Company.
4. Pembangunan Kalimantan. 1998. Penyunting tulisan Ismet Ahmad. Banjarmasin: EWA
Book Company.
5. Perjuangan Rakyat Kabupaten Banjar dalam Revolusi Fisik 1945-1949. 2000.
Martapaura: Pemkab Banjar dan LPKPK.
6. Tanah Laut: Sejarah dan Potensi. 2000. Pelaihari: Pemkab Tanah Laut dan LPKPK.
7. Data Dasar Banjarbaru: Banjarbaru Menuju Metropolitan2002. Banjarbaru Pemko
Banjarbaru dan LPKPK.
8. Banjarbaru. 2002. Banjarbaru: Pemko Banjarbaru dan LPKPK.
9. Menguak Atmosfir Akademik. 2004. Penyunting bersama Sutarto Hadi. Banjarmasin: FKIP
Unlam.
10. Menggugat Kepedulian Pendidikan Kalimantan Selatan. 2005. Banjarbaru: LPKPK.
11. Nyaman Memahami ESQ. 2005. Yogyakarta: Gama Media.
12. Sejarah Kotabaru. 2010. Bandung: Rekayasa Sains.
13. PDAM Bandarmasih: Primadona Kota Air. 2010. Bandung: Rekayasa Sains.
14. Mewacanakan Pendidikan IPS. 2013. Penyunting. Bandung: Wahana Jaya Abadi, dan
FKIP-Unlam Press.
15. Pendidikan Karakter. 2014. Penyunting. Bandung: Niaga Sarana Mandiri dan FKIP-Unlam
Press.
V. BIOGRAFI
1. Buku Kenangan Purna Tugas M.P. Lambut. 2003. (Editor Bersama). Banjarmasin: FKIP
Unlam.
2. Rudy Resnawan: Untukmu Banjarbaru. 2010. Bandung: Rekayasa Sains.
3. Guru Sekumpul: Biografi Pendidikan Profetik. 2014. Bandung: Wahana Jaya Abadi.
4. Guru Sekumpul. 2014. Bandung: Wahana Jaya Abadi.
VI TEMA BEBAS
1. Masa Kecil Yang Tak Terlupakan (Bersama). 2011. Malang: Bintang Sejahtera.
2. Cinta Pertama: Kisah-Kisah Cinta Berhikmah. 2012. Bandung: Wahana Jaya Abadi.
Editors
675
V. SEMINAR, SHARING, TALKSHOW, DAN PELATIHAN MENULIS
Universitas Lambung Mangkurat Banjarmasin, KAMMI Kalsel, Radio MQFM Bandung,
Tahajud Call Bandung, Masjid Salman ITB Bandung, UIN Malang, Malang Post Malang,
Universitas Pakuan Bogor, IAIN Sunan Ampel Surabaya, Universitas Brawijaya Malang, Institut
Keislaman Hasyim As’ari Jombang, Pesantren Darul Ilmi Banjarbaru, Pesantren Sidogiri
Pasuruan, Pesantren Banyuanyar Pamekasan, SMA/MA, dan berbagai insitusi dan instansi.
Editors
676
Sirajuddin Kamal, S.S, M.Ed. Lahir di Ujung Pandang, Sulawesi
Selatan. Sarjana Sastra Inggris diperolehnya pada tahun 1995 di
Universitas Hasanuddin, Makassar. Kemudian menyelesaikan
pendidikan Masternya di Monash University, Victoria, Australia pada
tahun 2005. Memulai karir sebagai dosen di FKIP, Unlam
Banjarmasin pada tahun 1999. Selain sebagai dosen juga aktif
dalam penulisan artikel dalam jurnal pendidikan berskala lokal dan
nasional. Dia juga terlibat dalam berbagai seminar nasional dan
internasional di wilayah Kalimantan Selatan dan Nasional baik
sebagai peserta maupun sebagai panitia. Beberapa penelitian dan
pengabdian masyarakat juga pernah terlibat baik yang didanai oleh DIKTI maupun oleh FKIP.
Karir sebagai sekretaris di Program Studi pendidikan Bahasa Inggris dimulai tahun 2007 sampai
sekarang. Mulai tahun 2013 juga menjabat sebagai sekretaris pada Jurnal Vidya Karya, FKIP
Unlam.
Editors
677
Editors
678