Anda di halaman 1dari 692

PROCEEDING

International Seminar on Character Education

Building
Nation Character
Through Education

Chairman Editor:
Ersis Warmansyah Abbas
Members:
Fatchul Mu’in
Melly Agustina Permatasari
Sirajuddin Kamal
Syaharuddin

Faculty of Teacher Training and Education


Lambung Mangkurat University
on May 24, 2014

Sampul Dalam
iii
PROCEEDING
International Seminar on Character Education
Building Nation Character Through Education

Copyright@2014, Ersis Warmansyah Abbas


Hak Cipta dilindungi undang-undang

Setting/Layout : Ersis Warmansyah Abbas


Desain Sampul : Ersis Warmansyah Abbas
Pemeriksa Aksara : Risna Warnidah
Cetakan Pertama : Juli 2014

Diterbitkan oleh:
FKIP_Unlam Press

ISBN: 978-602-96546-1-5

Sampul Dalam
iv
PROCEEDING
International Seminar on Character Education

Building
Nation Character
Through Education
Chairman Editor:
Ersis Warmansyah Abbas
Members:
Fatchul Mu’in
Melly Agustina Permatasari
Sirajuddin Kamal
Syaharuddin

Sampul Dalam
v
Sanksi Pelanggaran Pasal 72:
Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2002
tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1997
tentang Hak Cipta

1. Barang siapa dengan sengaja dan tanpa hak mengumumkan atau memperbanyak suatu ciptaan atau
memberi izin untuk itu, dipidana dengan pidana penjara masing-masing paling singkat 1 (satu bulan dan/
atau dengan paling sedikit Rp1.000.000.00 (satu juta rupiah) atau pidana penjara paling lama 7 (tujuh)
tahun dan/atau denda paling banyak Rp.5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah).

2. Barang siapa dengan sengaja menyiarkan, memamerkan, mengedarkan, atau menjual kepada umum suatu
ciptaan atau barang hasil pelanggaran Hak Cipta sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), dipidana dengan
pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan/atau dengan paling banyak Rp500.000.000,00 (lima ratus
juta rupiah).

Sampul Dalam
vi
PENGANTAR
Pertama dan utama sekali, puji dan syukur dipanjatkan kepada Allah SWT atas segala
rahmat dan hidayahNya sehingga, Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan (FKIP) Universitas
Lambung Mangkurat Banjarmasin, berhasil dan sukses menyelenggarakan Seminar
Internasional Pendidikan Karakter dengan tema “Membangun Karakter Bangsa Melalui
Pendidikan Karakter.” Tanpa rahmat dan hidayah Allah SWT manalah mungkin seminar
dimaksud terlaksana.
Seminar Internasional Pendidikan Karakter tersebut dilaksanakan, Sabtu 24 Mei 2014
dengan Pemakalah Utama Eran Williams, Ph.D (RELO USA), Christine Pheeney, MA (AVID
Australia), dan Prof. Dr. Jumadi, M.Pd. (Universitas Lambung Mangkurat Banjarmasin) dengan
50 lebih pemakalah pada pararel session dengan lima pilahan, yaitu: Pendidikan Karakter dan
Pendidikan Bahasa, Pendidikan Karakter dan Pendidikan IPA, Pendidikan Karakter dan
Pendidikan IPS, Pendidikan Karakter dan Pendidikan Olahraga, dan Pendidikan Karakter
Perspektif Ilmu Pendidikan. Pada acara pembukaan, Jumat, 23 Mei 2014, seminar dibuka oleh
Drs. Rudy Resnawan, Wakil Gubernur Kalimantan Selatan dan kemudian dengan paparan
Pembicara Kunci, Prof. Furqon, Ph.D., Kepala Badan Penelitian dan Pengembangan
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia.
Panitia seminar meminta Pemerintah Provinsi Kalimantan Selatan (Pemprov Kalsel)
dan Pemerintah Republik Indonesia (Kemendikbud) dengan maksud dapat memberikan picuan
bagi peserta seminar yang datang, baik dari Kalimantan Selatan dan daerah-daerah lain di
Indonesia, maupun mancanegara, dalam kerangka “melihat” permasalahan Pendidikan Karakter
dalam persepektif lokal, nasional, dan global. Lebih khusus, dalam menjawab kondisi obyektif
saat ini, dimana adanya fenomena berbagai perilaku anak bangsa yang menjauh dari nilai-nilai
luhur lokal, nasional, maupun universal dengan “perilaku menyimpang.” Pendidikan Karakter
diintroduksi sebagai satu dari sekian jawaban yang menjanjikan. Hal tersebut dimaksudkan,
dalam pembangun karakter (character building) sejatinya kita, terutama dalam konteks pendidikan
Indonesia, membangun karakter nasional (national and character building) dalam persepktif,
pembangunan pendidikan yang valid adalah yang berlandaskan nilai-nilai budaya lokal dan
nasional sehingga peserta didik tidak tercerabut dari akar budayanya.
Kalaulah ada hal paling disayangkan, pada pengantar prosiding ini, panitia tidak
mungkin menggambarkan kegairahan seminar dengan 600 peserta menyimak serius Makalah
Sambutan, Makalah Kunci, Makalah Utama, dan 50 Makalah Pilahan yang dibalut diskusi
menarik dan mendalam dengan argumentasi akademik, yang kalau disimpulkan dalam satu
kalimat: Pendidikan karakter hendaklah menjadi ruh Pendidikan nasional.

Pengantar
VII
Tentu saja, seminar hebat ini terselenggara atas atensi dan kontribusi, baik dari
pimpinan Kemendikbud, Pemprov Kalsel, Universitas Lambung Mangkurat Banjarmasin, dan
terutama FKIP Unlam Banjarmasin sehingga panitia dapat menunaikan tugas dengan baik.
Bahwa berbagai kekurangan terikut padanya sudah jelas dengan sendirinya. Untuk itu kami
mohon maaf kepada segala pihak atas segala kekurangan panitia.
Akhirulkalam, mohon maaf lahir batin.

Banjarmasin, 27 Juli 2014


Ketua Panitia:

Ersis Warmansyah Abbas

Pengantar
VIII
DAFTAR ISI
PENGANTAR ......................................................................................................... vii
DAFTAR ISI ........................................................................................................... ix

BAB I MAKALAH SAMBUTAN DAN MAKALAH UTAMA ........................ 1


Revitalisasi Pendidikan Karakter di Banua
Rudy Resnawan .......................................................................... 3
Menyiapkan Generasi Emas Indonesia yang Berkarakter melalui
Kurikulum 2013
Furqon ............................................................................................... 7
International Conference on Character Education: Cooperative Spirit
Christine Pheeney ................................................................................. 23
Shaping Character in The English Classroom
Eran Williams ............................................................................. 33
Mengembangkan Karakter Siswa dengan Menggunakan
Sastra Daerah
Jumadi ............................................................................................... 37

BAB II PENDIDIKAN KARAKTER DAN PENDIDIKAN BAHASA ............................. 47


Pembinaan Karakter Peduli melalui Pembelajaran Membaca
Cerita Anak
Akhmad, HB ........................................................................................... 49
Pendidikan Karakter dalam Pembelajaran Bahasa:
Membangun Karakter Siswa melalui Drama
Ali Harun & Armin Fani ........................................................................ 67
Membangun Karakter Siswa melalui Sastra Lisan dalam Pembelajaran
Bahasa Indonesia
Asna Ntelu ............................................................................................ 73
Metafora dalam Bahasa Gorontalo sebagai Salah Satu Basis
Pembentuk Karakter
Dakia N. Djou .......................................................................................... 81

Daftar Isi
ix
Cerminan Karakter Anak melalui Bahasa
Emma Rosana Febriyanti .......................................................... 87
Cross Cultural Perspective and Character Education in
The Television Commercial Breaks
Elvina Arapah .................................................................................... 97
Pembentukan Karakter Anak Sekolah Dasar melalui
Penggunaan Bahasa Indonesia yang Santun
Muslimin.............................................................................................. 113
Pre-Service English Teachers Perspectives on Character
Education: Commitmens and Constrains
Mutiara Bilqis .......................................................................... 121
Pembinaan Kesantunan Berbahasa (politeness) dalam
Pembelajaran Bahasa Inggris melalui Strategi Pembelajaran
Student Wheels di Sekolah Menengah Pertama (SMP)
Nanik Mariani Effendie .............................................................. 129
Character Education Implementation Performed by
The Student of Teaching PracticeI Course
at IAIN Antasari Banjarmasin
Raida Asfihana .................................................................................... 137
Pendidikan Karakter melalui Tradisi Lisan Balamut
Sainul Hermawan .................................................................................. 149
Memanfaatkan Peribahasa Banjar sebagai Sarana
Pembentukan Karakter
Tajuddin Noor Ganie ............................................................................. 163
Peer Feedback to Enhance Students Confidence
and Writing Performance, and Alleviate Students Anxiety
Titik Rahayu & Sunoko Setyawan ................................................ 173
English Presentation as a Character Education Program
in Building The Students Courage
Wan Yuliyanti ......................................................................................... 187

BAB III. PENDIDIKAN KARAKTER DAN PENDIDIKAN IPA ............................. 197


Endorsement of Character Education through Taxanomy
Education
Abdul Gafur ................................................................... 199
Pembelajaran Berbasis Karakter melalui Permasalahan Biologi
Aminuddin Prahatamaputra ..................... ......................................... 209

Daftar Isi
x
Building of Sceintific Attitude in The Childhood through
The Science Leaning
Arif Sholahuddin .................................................................................... 219
Membangun Pemahaman dan Karakter Diri Calon Guru
Maya Istyadji ........................................................................................ 231
The Honest Character in Statistic Learning
Muhammad Royani ............................................................................. 237
Strategy of Science Leaning Based on Character Education
Muhammad Zaini ................................................................................ 247
Profil Karakter Tenaga Kesehatan dalam Implementasi
Universal Precaution untuk Pencegahan HIV/AIDS
Nana Noviana ........................................................................................ 255
Perilaku Berkarakter melalui Pembelajaran Matriks
pada Perkuliahan Entomologi
St. Wahidah Arsyad dan Aulia Ajizah ..................................................... 267

BAB IV PENDIDIKAN KARAKTER DAN PENDIDIKAN IPS ............................. 279


Pengembangan Efikasi Diri Siswa melalui Pembelajaran
Kooperatif pada Mata Pelajaran IPS
Agus Suprijono ................................................................................. 281
Pengaruh Pendidikan di Lingkungan Keluarga dan Nilai Pancasila
pada Mata Pelajaran Pendidikan Kewarganegaraan
terhadap Pembentukan Karakter Bangsa
Ana Andriani ........................................................................................... 297
Pendidikan Multikultur sebagai Pendekatan Alternatif
dalam Pembelajaran IPS
Anwar Senen ..................................................................................... 313
Integrasi Pendidikan Karakter dalam Pendidikan IPS
di Perguruan Tinggi
Baseran Nor ...................................................................................... 321
Bentuk Pendidikan Keagamaan dalam Masyarakat Adat
(Kearifan Lokal dalam Pewarisan Nilai-Nilai Keagamaan oleh
Kuncen di Kampung Adat Dukuh Desa Cijambe, Kecamatan Garut,
Jawa Barat
Benny Wijarnako dan Yulia Tri Samiha ..................................... 333
Nilai-Nilai Keteladanan Sultan Babullah dalam Berjuang
Mengusir Portugis di Kawasan Maluku Utara

Daftar Isi
xi
Darmawijaya dan Jainul Yusup ......................................................... 347
Nilai Karakter pada Materi Geomorfologi
Deasy Arisanty ................................................................................... 357
Biografi Profetik Guru Sekumpul: Transformasi Nilai-Nilai
Budaya Banjar dalam Pendidikan karakter
Ersis Warmansyah Abbas ................................................................. 363
Peran Sekolah dalam Membina Peserta Didik Menjadi Warga
Negara Berkarakter Demokrasi
Fatimah ............................................................................................ 381
Kemampuan Berpikir Kritis dalam Pedagogi Sejarah sebagai
Upaya Membangun Karakter Peserta Didik
Heri Susanto ......................................................................................... 393
Museum sebagai Wahana Pendidikan Karakter di Kalimantan
Selatan
Herry Porda Nugroho Putro ................................................................ 407
Pengelolaan Kelas dengan Manajemen Diri yang Berkarakter
Pancasila
I Gusti Ketut Arya Sunu ........................................................................ 412
Pendidikan Karakter Berbasis Naskah Lontaraq Solusi terhadap
Problema Remaja
Irwan Abbas ......................................................................................... 433
Nilai Tradisi Budaya Katoba Berfungsi sebagai Dasar Pendidikan
Karakter Generasi Muda Masyarakat Etnik Muna
La Ode Monto Bauto ................................................................... 447
Peningkatan Karakter Melalui Metode Contextual Teaching
and Leaning pada Mata Kuliah Sejarah Pergerakan Nasional
Indonesia di Prodi Pendidikan Sejarah
Liza Husnita dan Kaksim ...................................................................... 469
Sejarah, Pendidikan Sejarah, dan Pendidikan Karakter
Dialog yang Tidak Pernah Dituntaskan
M.Z. Arifin Anis ................................................................................. 477
Membangun Karakter melalui Kemandirian Belajar Akuntansi
Mahasiswa Program Studi Pendidikan Ekonomi FKIP Unlam
Banjarmasin
Melly Agustina Permatasari .............................................................. 489
Taman Kota dan Pembentukan Karakter Generasi Muda
Muhaimin ................................................................................. 499

Daftar Isi
xii
Implementasi Blue Economy dalam Pengembangan SDM
Berkarakter Menuju Indonesia sebagai Negara Maritim
Muhammad Rahmattullah ............................................................... 505
Pendidikan IPS Berwawasan Multikultural sebagai Upaya
Membangun Karakter Bangsa
Rasimin ...................................................................................... 523
Pendidikan Budi Pekerti Ki Hadjar Dewanta dan Pendidikan
Pendidikan Karakter Thomas Lickona dalam Konteks
Kurikulum 2013
Rizali Hadi ......................................................................................... 527
Dari Wasaka Menuju Taluba: Konseptualisasi Nilai-Nilai Luhur
Suku Bangsa Banjar sebagai Sosok Karakter Harapan
Urang Banua Perspekif Etnopedagogi
Sarbaini ..................................................................................... 537
Implementasi Nilai Kewirausahaan di Sekolah Dasar Negeri Sungai
Besar 7 Banjarbaru
Sri Setiti ............................................................................................. 543
Integrasi Nilai-Nilai Kearifan Lokal Etnik Betawi sebagai
Impelementasi Pendidikan Berkarakter di Sekolah Dasar
Suswandari ........................................................................................ 551
Nilai-Nilai Sejarah Lokal (Banjar) dalam Pembelajaran IPS
(Studi pada Sejarah Lokal Kalimantan Selatan Periode Perang
Banjar 1859-1906)
Syaharuddin ...................................................................................... 563
Membentuk Karakter Siswa melalui Pembelajaran IPS-Sejarah
Zusmelia dan Zulfa ............................................................................ 581

BAB V PENDIDIKAN KARAKTER DAN PENDIDIKAN OLAH RAGA ..................... 589


Revitalisasi Pendidikan Karakter di Banua
Herita Warni ............................................................................... 591
Implementasi Pendidikan Karakter dalam Pendidikan Jasmani
Rahmadi ........................................................................................... 599

BAB VI PENDIDIKAN KARAKTER PERSPEKTIF ILMU PENDIDIKAN ..................... 609


Peran Ketauladanan Stakeholder yang Kompak Menjadi
Barometer Percepatan Pencapaian Keberhasilan
Pendidikan Karakter Unggul bagi Anak

Daftar Isi
xiii
Acep Supriadi .................................................................................... 611
Asesmen Portofolio dalam Pelajaran Berbasis Karakter
di sekolah Dasar
Darmiyati ......................................................................................... 623
Pendidikan Karakter Berbasis Akhlak Mulia melalui
Pengamalan terhadap Al-Qur’an
Fahmi ................................................................................................ 633
Insan Qur’ani sebagai Tujuan Konseling Perdekatan Qur’an
Karyono Ibnu Ahmad ....................................................................... 641
Optimalisasi Pelaksanaan Pendidikan Karakter di Sekolah
M. Saleh ...................................................................................... 649
Membangun Karakter Bangsa melalui Pendidikan
Wahyu .............................................................................................. 659

EDITORS .............................................................................................................. 673

Daftar Isi
xiv
BAB I
MAKALAH SAMBUTAN DAN
MAKALAH UTAMA

Bab I: Makalah Sambutan dan Makalah Utama


1
Bab I: Makalah Sambutan dan Makalah Utama
2
Makalah Sambutan
REVITALISASI PENDIDIKAN KARAKTER DI BANUA
Rudy Resnawan
Wakil Gubernur Kalimantan Selatan

Kalau kita menyimak sejarah praksis pendidikan di tanah air, kita segera dapat
menyimpulkan bahwa hingga tiga dasawarsa sejak Republik ini berdiri, generasi pendahulu
kita menyadari betapa pentingnya pendidikan karakter untuk para generasi penerus, misalnya
lihat dengan adanya mata pelajaran Budi Pekerti di sekolah. Mata pelajaran itu merupakan ruh
dari upaya pembentukan karakter siswa. Namun, dalam perkembangan mata pelajaran tersebut
keberadaannya terpinggirkan, sebab dianggap substansinya sudah ada pada mata pelajaran
Agama dan PPKn.
Dengan demikian, berarti ada suatu generasi yang dihasilkan oleh proses pendidikan
yang menganggap pendidikan karakter hanya sebagai sampingan. Padahal, generasi tersebut
hidup pada zaman globalisasi yang didukung oleh perkembangan teknologi informasi yang
begitu pesat. Implikasinya, tentu saja berdampak terhadap kehidupan, baik sebagai pribadi
maupun sebagai warga bangsa. Dampak tersebut antara lain akan mengaburkan sekat-sekat
daerah dan perbedaan sosio-kultural. Kalau tidak diantisipasi dengan baik, tentu bisa menggerus
identitas kebangsaan dan terjadinya berbagai degradasi moral. Di samping itu, bisa terjadi
munculnya persaingan bebas dari berbagai aktivitas yang muaranya pada keuntungan dari sisi
ekonomi.
Bila dicermati, ada kelompok masyarakat yang “tergila-gila” dengan konser artis-artis
Korea, tetapi merasa turun gengsinya jika menonton pergelaran mamanda, wayang gung, atau
madihin. Anak-anak kita sudah tidak kenal lagi cerita Warik wan Kukura, tetapi nanap dengan
Doraemon. Dari wujud degradasi moral, jangan-jangan apa yang disebut sebagai “dosa sosial”
oleh Mohandes K. Gandhi, telah terjadi. Menurut Gandhi ada tujuh dosa sosial, antara lain
politik tanpa prinsip, kekayaan tanpa kerja keras, perniagaan tanpa moralitas, kesenangan
tanpa nurani, pendidikan tanpa karakter, sains tanpa humanitas, dan kepribadian tanpa
pengorbanan (Latif, 2009).

Rudy Resnawan 3
Dengan demikian, tidak terelakkan lagi, revitalisasi pendidikan karakter di banua
dilakukan. Revitalisasi tersebut perlu dilakukan secara holistik sehingga pelaksanaannya perlu
didukung oleh berbagai pihak yang terkait.

PERAN KELUARGA, SEKOLAH, MASYARAKAT, DAN PEMERINTAH


Keluarga merupakan suatu tempat pertama-tama mendapatkan pendidikan bagi
seorang anak. Oleh karena itu, peran keluarga sangat penting dalam upaya merevitalisasi
pendidikan karakter anak. Para anggota keluarga seperti ayah dan ibu, kakek dan nenek, atau
yang lain mempunyai peran, yaitu:
a. Anggota keluarga berperan sebagai figur bagi anak-anak dalam membangun
karakternya. Kalau kita percaya dengan anggapan anak lahir bagaikan kertas
kosong, maka orang tua perlu menunjukkan sikap dan perilaku berkarakter positif
yang akan dicontoh oleh anak. Orang tua yang menunjukkan karakter religius,
tanggung jawab, kerja keras, jujur, dan karakter-karakter positif yang lain merupakan
figur ideal bagi anak.
b. Keluarga berperan sebagai monitor terhadap perkembangan karakter anak. Dalam
masa pertumbuhannya, anak tentunya tidak terlepas dari pengaruh dari dalam
maupun dari luar keluarga. Kadang-kadang dalam masa kini, anak belum bisa
membedakan mana pengaruh positif dan pengaruh yang negatif. Oleh karena itu,
orang tua harus memonitor perkembangan karakter anak. Karakter positif perlu
terus dipupuk, sementara karakter negatif perlu dieliminasi dengan cara-cara yang
bijak, yakni cara-cara yang membangun pemahaman dan kesadaran pada diri
anak mengapa karakter tersebut perlu dibuang.
Di samping keluarga, sekolah juga lembaga yang amat strategis berperan
membentuk karakter positif siswa. Bukankah sekolah merupakan lembaga yang secara
sengaja merancang pembelajaran untuk mengembangkan kognitif, afektif, dan psikomotor
siswa. Oleh karena itu, wajar bila sekolah merupakan lembaga yang strategis untuk
membentuk karakter siswa. Menurut Sudrajat (Zubaedi: 2002), dalam konteks pendidikan
karakter, paling tidak sekolah berperan sebagai berikut:
a. Sekolah berperan sebagai pemelihara sistem nilai yang merupakan sumber
norma kedewasaan.
b. Sekolah berperan sebagai pengembang sistem nilai ilmu pengetahuan.
c. Sekolah berperan sebagai penerus sistem-sistem nilai kepada peserta didik.
d. Sekolah berperan sebagai penerjemah sistem-sistem nilai melalui penjelmaan
dalam pribadinya dan perilakunya, dalam proses interaksi dengan siswa.
e. Sekolah berperan sebagai penyelenggaraan terciptanya proses pendidikan
yang dapat dipertanggungjawabkan, baik secara formal maupun secara moral.

Rudy Resnawan
4
Peran tersebut sebenarnya merupakan manifestasi dari tanggung jawab sekolah
sebagai lembaga yang bertugas menyiapkan siswa agar tumbuh menjadi generasi yang
berkarakter positif sehingga mampu menghadapi tantangan hidupnya secara kritis dan
kreatif. Berbagai peran tersebut menjadi berat lagi bila tidak didukung oleh peran
masyarakat. Sebagai lembaga pendidikan ketiga setelah keluarga dan sekolah, masyarakat
mempunyai peran penting dalam membangun karakter.
Peran utama masyarakat sebagai peneguh karakter positif. Masyarakat sebagai
kumpulan individu mempunyai pranata sosial tertentu. Berbagai pranata sosial yang
berkembang, mempunyai andil di dalam membangun karakter anak. Masyarakat di banua,
sangat menjunjung tinggi nilai kebersamaan, gotong royong, saling membantu. Jika ada
orang yang tidak mau membantu orang lain (pelit), mereka disindir dengan ungkapan
kada manitis banyu di ganggaman; kalau ada orang berperilaku semaunya, dia disindir
dengan ungkapan kada balampu. Di samping itu, masyarakat banua juga mempunyai
berbagai bentuk sanksi sosial yang bisa diberikan kepada seseorang yang melanggar
berbagai norma yang berlaku di masyarakat. Sekarang yang menjadi pertanyaan, berbagai
instrumen peneguh karakter positif itu apakah masih tumbuh di masyarakat banua? Itu
pertanyaan besar yang harus dijawab dalam rangka mengintensifkan peran masyarakat
sebagai peneguh karakter positif.
Peran berikutnya yang harus diemban masyarakat adalah sebagai pemantik (triger)
karakter positif. Sebagaimana dimaklumi bahwa berbagai gaya hidup, kebiasaan, perilaku di
masyarakat terus berkembang. Perkembangan ke arah positif akan bisa menjadi pemantik
munculnya karakter positif pada anak, demikian juga sebaliknya. Masyarakat yang
mempertontonkan perilaku korup, semakin sulit membangun karakter jujur pada anak-anak
kita; masyarakat yang menunjukkan perilaku memelihara hutan, sungai, gunung, dan kekayaan
alam yang dikandungnya dapat memantik karakter cinta lingkungan pada anak-anak kita;
masyarakat yang taat beragama dapat memantik karakter religius anak-anak kita.
Peran keluarga, sekolah, dan masyarakat dalam pembentukan karakter perlu
didukung oleh peran pemerintah. Minimal ada dua peran pemerintah, yakni menyusun
regulasi dan menegakkan regulasi tersebut dalam rangka mendukung terbentuknya
karakter positif anak. Misalnya, Perda Pengelolaan Limbah bisa mendukung pembentukan
karakter cinta lingkungan; Perda Infak dan Sedakah atau Perda Pajak Hotel dan Restoran
dapat mendukung terbentuknya karakter peduli sosial; Perda Iklim Usaha dapat mendukung
terbentuknya karakter kerja keras dan jujur; Perda Perlindungan Kekayaan Budaya dapat
mendukung terbentuknya karakter cinta tanah air atau menghargai prestasi.
Dalam realisasinya, peran di atas perlu dilanjutkan dengan peran menegakkan
regulasi dalam mendukung terbentuknya karakter. Dalam konteks ini, pemerintah provinsi
atau pun pemerintah kabupaten/kota perlu memberikan sanksi terhadap pelanggar
berbagai perda yang dibuat. Namun, kelemahan utama dalam hal ini adalah piawai
menyusun regulasi, tetapi lemah ketika menegakkannya. Dalam perkembangan ke depan,
berbagai kelemahan itu perlu dihilangkan sehingga berbagai regulasi itu bisa berfungsi
efektif dalam mendukung pembentukan karakter positif pada generasi penerus.

Rudy Resnawan 5
HARAPAN
Melakukan revitalisasi pendidikan karakter bukan persoalan sederhana. Banyak faktor
yang turut menentukan berhasil-tidaknya upaya tersebut. Oleh karena itu, upayanya perlu
dirancang secara holistik, yang secara simultan layak mengintensifkan peran keluarga, sekolah,
masyarakat, dan pemerintah. Kalau perlu dibuat gerakan bersama sehingga nuansanya tidak
tenggelam oleh “hiruk-pikuk” tawaran nilai-nilai baru yang tidak sesuai dengan karakter positif
yang akan kita bangun.
Dengan demikian, dengan diadakannya “Seminar Internasional Pendidikan Karakter”
ini, semoga urun rembug, tukar pendapat, diskusi konstruktif dan kontributif dalam upaya
mendayagunakan dan memanfaatgunakan Pendidikan Karakter menjadi fokus kegiatan ilmiah
yang diikuti peserta yang datang dari, bukan saja Kalimantan Selatan (Banua), tetapi juga dari
berbagai daerah Indonesia, dan mancanegara.
Selamat berseminar dalam upaya mendayung nation and character building.

Banjarmasin, 24 Mei 2014

Rudy Resnawan
Wakil Gubernur Kalimantan Selatan

Rudy Resnawan
6
Power Point Keynote Speaker
MENYIAPKAN GENERASI EMAS INDONESIA
YANG BERKARAKTER MELALUI KURIKULUM 2013

Furqon
Kepala Badan Penelitian dan Pengembangan
Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia

Disajikan dalam Seminar Internasional Pendidikan Karakter


Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan
Universitas Lambung Mangkurat
24 Mei 2014

Furqon
7
Furqon
8
3 modal utama pertumbuhan ekonomi
1. Sumberdaya alam
 Geothermal (largest reserve)
 Coal (no.2 in the world)
 Tin, Nickel (no. 2 and 4 in the world)
 Palm oil, Rubber, Cacao (no.1, 2, 2 in the world)
 Marine resources (largest teritory, mega biodiversity)
 Others
2. Pengalaman

P ov e rt y lev e l U ne m p loy m en t
18 1 6 .6
16 1 5 .4
1 4 .2 1 1 ,5 -
14 1 3 ,3 1 2 ,5
12
10 9 .1 8 .4 7 .9 7 .4
8 7
6
4
2
0
20 07 20 08 20 09 20 10 20 11

3. Sumberdaya manusia...

3,500
3 ,0 0 0
3,000
2 ,5 9 0
2,500
1 ,9 4 7
2,000
1,500
1,000
500
0
20 07 20 08 20 09 20 10 *

Furqon
9
Populasi Sejumlah Negara

• Jepan : 127,950,000
• China : 1,339,724,852
• South Korea : 48,988,833
• Taiwan : 23,200,000
• India : 1,210,193,422
• Hong Kong 7,097,600
• Thailand 67,041,000
• Indonesia 237,556,363
• Malaysia 27,565,821
• Singapore 5,076,700
• Filipina 94,013,200
• Pakistan 177,173,000
Sumber: Bahan Tim Ahli Paradigma Pendidikan BSN

Distribusi Penduduk Indonesia (Sumber: Tim Ahli Paradigma Pend BSNP)

Furqon
10
Sumberdaya Manusia

Angka kebergantungan akan terus berkurang dari 2010-2040: merupakan bonus


demografi untuk pembangunan ekonomi, asal pengembangan SDM bermutu, bila tidak justru
menjadi bencana demografi

Perbandingan Produktivitas Per Kapita


Labor Productivity (constant 2000 US$)
12000

Indonesia
10000
Malaysia
Philippines
8000 Thailand
Viet Nam

6000

4000

2000

0
1970-74 1975-79 1980-84 1985-89 1990-94 1995-99 2000-04

Furqon
11
Komposisi Tenaga Kerja Kita

4.60%
Universitas 3.20%
1.80% 2010

2.70% 2006
Diploma I,II,III 2.20%
1.60% 200
7.80% 1
SMK 6.20%
5.50%

14.60%
SMA 12.70%
10.30%

18.90%
SMP 20.20%
17.70%

51.50%
SD atau tidak tamat SD 55.50%
63.00%

0.00% 20.00% 40.00% 60.00% 80.00%

Status Pekerjaan Utama Penduduk Usia 15 Tahun Ke atas Menurut Jenjang


Pendidikan Terakhir, 2008 (persen)

PT 10,7 8,0 3,9 74,0 8,33,0

SM 19,5 14,1 4,4 47,2 10,2 10,4

SMP 22,2 17,5 3,2 28,1 15,1 18,9

SD/MI 21,4 25,0 2,3 16,2 15,6 19,9

Tdk/Blm Tamat SD 21,5 29,8 2,0 10,8 14,3 20,3

0% 20% 40% 60% 80% 100%


Berusaha sendiri
Berusaha dibantu buruh tidak tetap/brh tdk dibayar
Berusaha dibantu buruh tetap/brh dibayar
Buruh/karyawan/pegawai
Pekerja bebas
Pekerja tak dibayar

Furqon
12
Tujuan Pendidikan Nasional
(Pasal 3 UU No 20 Sisdiknas Tahun 2003)

Berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan
bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif,
mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab.

Spiritual beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa


Sikap Sosial berakhlak mulia, sehat, mandiri, demokratis,
bertanggung jawab
Pengetahuan berilmu
Keterampilan cakap dan kreatif

Target Pendidikan Manusia Utuh


• Keimanan, ketakwaan, dan keberagamaan  Hati, dan Otak
• Karakter (jujur, tangguh, santun, berfikir positif-syukur, cinta damai, suka menolong
dan memberi, dll)  Hati
• Kecerdasan dan dasar-dasar bagi penguasaan IPTEK dan keterampilan  Otak
(dan raga)
• Pola hidup sehat (kebiasaan yang baik, makan dan minum, OR, bersih, )  Raga
• Kemampuan apresiasi, menghargai  Rasa

Tujuan Pendidikan
Intelligence plus character – that is the goal of true education
(Martin Luther King, Jr.)

Apa Itu Karakter ?


• Character = Charassein (Yunani) … to engrave (mengukir)  (Jalal, 2011)
• An individuals pattern of behavior ... his moral constitution (Bohlin, Farmer, Ryan:
2001)
• Distinctive trait, distinctive quality, moral strength, the pattern of behavior found in
an individual or group (Webster)

Karakter (China)
• Kreatif
• Hemat (saving)
• Kerja keras (24-7)
• Disiplin

Furqon
13
Sepuluh Karakter
• Respect
• Responsibility
• Honesty
• Empathy
• Fairness
• Initiative
• Courage
• Perseverance
• Optimism
• Integrity

Indonesian Heritage Foundation


• Cinta Tuhan dan segenap ciptaan-Nya
• Kemandirian dan tanggung jawab
• Kejujuran/amanah, bijaksana
• Hormat dan santun
• Dermawan, suka menolong, & gotong royong
• Percaya diri, kreatif, & kerja keras
• Kepemimpinan dan keadilan
• Baik dan rendah hati, dan
• Toleransi, kedamaian, dan kesatuan

Empat Nilai Utama Karakter Bangsa


• Jujur
• Cerdas
• Tangguh
• Peduli

Mengembangkan Karakter
• Karakter manusia dibentuk melalui suatu proses pendidikan (dalam arti luas) yang
panjang dan kompleks.
• Pendidikan karakter adalah pendidikan semesta (keluarga, sekolah, dan masyarakat:
tempat bermain dan bekerja, pasar, pertokoan, jalan, transportasi, media masa, dll)

School of Character
masyarakat
Sekolah
/PT

Keluarga

kandungan

Furqon
14
School of Character
• Di dalam kandungan (gizi, kondisi ibu, du’a)
• Keluarga (asupan: gizi & halal, pola asuh, kebiasaan, hubungan antara anggota).
“Parents are the principal architects of a fairer society.” (Lexmond & Reeves, 2009)
• Lingkungan Pendidikan (kondisi fisik, kepemimpinan, school culture, disiplin, kepedulian)
• Lingkungan masyarakat (kebijakan, peraturan-perundangan, ormas, politik, ekonomi,
dunia usaha dan industri, media masa, dll)

Doktrin Pedagogik
• You can not teach what you want
• You can not teach what you know
• You can only teach what you are

Pembiasaan Berpikir Positif


• “I will be what I will to be” (Trine, n.d.)
• “Thought is the force underlying all… Your every act – every conscious act – is
preceded by a thought. Your dominating thought determine your dominating actions.”
(Trine, n.d.)
• Temuan Murakami tentang DNA/gen.
• Teori ABC (RET) dari Albert Ellis

Membangun Karakter Di Lembaga Pendidikan


• Character is more than a value system. Character building is to create a value system
based on virtues. (Values: shared beliefs & preferences; Virtues:moral absolutes –
standards of behavior that should be fixed and universally understood and accepted,
e.g. honesty, responsibility)
• Character building starts at the top. Building character cannot be delegated. It starts
at the top and must touch every person in an organization equally.
• Character building takes times Changing behaviors is a slow process, one that
requires constant reinforcement and practices. “It is about incremental improvement
rather than giant leaps. It is about living, loving, passion, fighting, cherishing, nurturing,
struggling, crying, laughing …”.
• Reward character building behavior organize and celebrate the kind of behavior you
expect.
• Hire for character, train for skills “Should we take the best people for positions that are
weak, or should we draft the best overall athletes and them to excel at one or more
positions?” … recruit and hire persons of high moral strength and character, then
train them the required skills.
• Character building is not a benevolent exercise. there are many other benefits that
can be observed: absenteeism, recruitment cost, etc

Furqon
15
Pengembangan Lingkungan Sekolah
• Lingkungan fisik yang bersih dan teratur
• Pembelajaran dg pendekatan saintifik dan berbasis aktivitas
• Penilaian yang objektif, fair, dan balikan yang segera dan membantu
• Budaya sekolah yang kondusif (respect, religius, high expectation, kerja keras, disiplin,
santun, cermat, dll)
• Layanan prima (tepat waktu, menyenangkan, helpful, dll)
• Keteladanan (pimpinan dan guru)

Keseimbangan antara Sikap, Keterampilan, dan Pengetahuan untuk


Membangun Soft Skills dan Hard Skills

PT
Pengetahuan

SMA/K
Keterampilan

SMP

SD Sikap

Sumber: Marzano (1985), Bruner (1960).

Pergeseran Paradigma Pembelajaran Abad 21

Ciri Abad 21 Model Pembelajaran


Pembelajaran diarahkan untuk mendorong
Informasi peserta didik mencari tahu dari berbagai
(tersedia dimana saja, kapan saja) sumber observasi, bukan diberi tahu

Pembelajaran diarahkan untuk mampu


Komputasi merumuskan masalah [menanya], bukan
(lebih cepat memakai mesin) hanya menyelesaikan masalah [menjawab]

Pembelajaran diarahkan untuk melatih


Otomasi berfikir analitis [pengambilan keputusan]
(menjangkau segala pekerjaan rutin) bukan berfikir mekanistis [rutin]

Pembelajaran menekankan pentingnya


Komunikasi kerjasama dan kolaborasi dalam
(dari mana saja, ke mana saja) menyelesaikan masalah

Furqon
16
Perubahan Pola Pikir
No Pola Pikir
1 Guru dan Buku Teks bukan satu-satunya sumber belajar
2 Kelas bukan satu-satunya tempat belajar
3 Belajar dengan beraktivitas
4 Pembelajaran Pengetahuan  Keterampilan  Sikap
Direct Indirect
5 Mengajak siswa mencari tahu, bukan diberi tahu
6 Membuat siswa suka bertanya, bukan guru yang sering
bertanya
7 Menekankan kolaborasi  melalui pengerjaan projek
8 Pentingnya proses : prosedural
9 Mendahulukan pemahaman Bahasa Indonesia
10 Siswa memiliki kekhasan masing-masing: normal, pengayaan,
remedial
11 Penekanan pada higher order thinking & mampu berasumsi
(realistis)
12 Pentingnya data (terkait pengamatan dll)

Penguatan Proses

Proses Karakteristik Penguatan


Menggunakan pendekatan saintifik melalui mengamati,
menanya, mencoba, menalar,....
Menggunakan ilmu pengetahuan sebagai penggerak
Pembelajara pembelajaran untuk semua mata pelajaran
n Menuntun siswa untuk mencari tahu, bukan diberi tahu
[discovery learning]
Menekankan kemampuan berbahasa sebagai alat komunikasi,
pembawa pengetahuan dan berfikir logis, sistematis, dan kreatif
Mengukur tingkat berfikir siswa mulai dari rendah sampai tinggi
Menekankan pada pertanyaan yang membutuhkan pemikiran
Penilaian mendalam [bukan sekedar hafalan]
Mengukur proses kerja siswa, bukan hanya hasil kerja siswa
Menggunakan portofolio pembelajaran siswa

Furqon
17
Pembelajaran Mendorong Siswa Aktif dan Kreatif

Elemen Perubahan
Elemen Deskripsi
SD SMP SMA SMK
Kompetensi • Mencakup kompetensi sikap, pengetahuan, dan keterampilan secara
Lulusan berimbang
Materi (ISI) • Adanya keseimbangan antara materi untuk mendukung kemampuan
sikap, keterampilan, dan pengetahuan
• Semua konten mendukung ketiga kompetensi diatas secara berimbang
Pendekatan Kompetensi dikembangkan melalui:
(ISI) • Tematik •Mata pelajaran •Mata pelajaran •Kompetensi
Integratif dalam IPA dan IPS wajib, keterampilan
semua mata masing- peminatan, lintas yang sesuai
pelajaran masingnya minat, dan dengan standar
adalah terpadu pendalaman industri
minat
• Standar Proses yang semula terfokus pada Eksplorasi, Elaborasi, dan
Konfirmasi dilengkapi dengan Mengamati, Menanya, Mengolah, Menalar,
Menyajikan, dan Mencipta.
Proses • Belajar tidak hanya terjadi di ruang kelas, tetapi juga di lingkungan
pembelajaran sekolah dan masyarakat
• Guru bukan satu-satunya sumber belajar.
• Sikap tidak hanya diajarkan secara verbal, tetapi melalui contoh dan
teladan

Furqon
18
Perbedaan Esensial Kurikulum SMP
KTSP 2006 Kurikulum 2013
Mata pelajaran tertentu Tiap mata pelajaran mendukung semua
mendukung kompetensi kompetensi [sikap, keterampilan, pengetahuan]
tertentu
Mata pelajaran dirancang Mata pelajaran dirancang terkait satu dengan
berdiri sendiri dan memiliki yang lain dan memiliki kompetensi dasar yang
kompetensi dasar sendiri diikat oleh kompetensi inti tiap kelas
Bahasa Indonesia sebagai Bahasa Indonesia sebagai alat komunikasi dan
pengetahuan carrier of knowledge
Tiap mata pelajaran diajarkan Semua mata pelajaran diajarkan dengan
dengan pendekatan yang pendekatan yang sama, yaitu pendekatan saintifik
berbeda melalui mengamati, menanya, mencoba,
menalar,....
Kurangnya penekanan pada Semua mata pelajaran menekankan pentingnya
kemampuan prosedural prosedur rinci dalam penyelesaian masalah
TIK adalah mata pelajaran TIK merupakan sarana pembelajaran,
sendiri dipergunakan sebagai media pembelajaran mata
pelajaran lain

Perbedaan Esensial Kurikulum SMA/K

KTSP 2006 Kurikulum 2013


Mata pelajaran tertentu Tiap mata pelajaran mendukung semua kompetensi [sikap,
mendukung kompetensi keterampilan, pengetahuan] dengan penekanan yang berbeda
tertentu
Mapel dirancang berdiri Mata pelajaran dirancang terkait satu dengan yang lain dan
sendiri dan memiliki memiliki kompetensi dasar yang diikat oleh kompetensi inti tiap
kompetensi dasar sendiri kelas
Bahasa Indonesia sebagai Bahasa Indonesia sebagai alat komunikasi dan carrier of
pengetahuan knowledge
Tiap mata pelajaran Semua mata pelajaran diajarkan dengan pendekatan yang
diajarkan dengan sama, yaitu pendekatan saintifik melalui mengamati, menanya,
pendekatan yang berbeda mencoba, menalar,....
Untuk SMA, ada Tidak ada penjurusan di SMA. Ada mata pelajaran wajib,
penjurusan sejak kelas XI peminatan, antar minat, dan pendalaman minat
SMA dan SMK tanpa SMA dan SMK memiliki mata pelajaran wajib yang sama terkait
kesamaan kompetensi dasar-dasar pengetahuan, keterampilan, dan sikap.
Penjurusan di SMK sangat Penjurusan di SMK tidak terlalu detil [sampai bidang studi],
detil [sampai keahlian] didalamnya terdapat pengelompokkan peminatan dan
pendalaman

Furqon
19
Konsep Umum Buku Kurikulum 2013
• Terdiri dari Buku Siswa dan Buku Guru
• Buku siswa ditulis berbasis aktivitas
• Buku Guru mencakup: ringkasan buku siswa, metode
pembelajaran, metode penilaian, materi pengayaan, materi
remedial, interaksi dengan orang tua
• Mengacu pada kompetensi inti yang telah dirumuskan untuk kelas
(dan kompetensi generik untuk kelompok peminatan dimana buku
tersebut ditulis)
• Menjelaskan pengetahuan sebagai input kepada siswa untuk
menghasilkan output berupa keterampilan siswa dan bermuara
pada pembentukan sikap siswa sebagai outcome pembelajaran
• Menggunakan pendekatan saintifik melalui mengamati, menanya,
mencoba, menalar, dan menyaji, termasuk pengumpulan dan
pengolahan data hasil pengamatan/percobaan
• Menekankan pentingnya data dalam melakukan analisis dan
evaluasi

• Mengajak siswa untuk menemukan konsep yang sedang dipelajari melalui


deduksi [discovery learning]. Siswa sebisa mungkin diajak untuk mencari
tahu, bukan langsung diberi tahu.
• Memuat penilaian capaian pembelajaran secara bertahap mulai review
[ulasan], exercise [latihan], problem solving [pemecahan masalah],
challenge [tantangan yang membutuhkan pemikiran mendalam], dan
project [kegiatan bersama dalam memecahkan permasalahan yang
membutuhkan dukungan sumber lainnya].
• Perlunya didahului dengan menuliskan rumusan masalahnya dengan jelas
sebelum mencari cara dan penyelesaiannya
• Menekankan pentingnya proses bukan hasil melalui perumusan prosedur
dalam pemecahan masalah. Untuk matematika, sampai menekankan
pentingnya algoritma pemecahan masalah
• Menekankan penggunaan bahasa yang jelas, logis, sistematis.
• Keterampilan tidak selalu dalam ranah abstrak, tetapi juga harus karya
konkret dan dalam bentuk tindakan nyata
• Menekankan pada high order thinking (melalui rekonstruksi permasalahan),
dibiasakan membuat asumsi (terkait dengan permasalahan dengan
informasi yang tidak lengkap)

Pembelajaran Bersifat Saintifik


Mengonstruksi ilmu pengetahuan melalui kemampuan:
• Mengobservasi/mengamati,
• Menanya,
• Mengumpulkan informasi/eksperimen
• Mengasosiasikan/mengolah informasi,
• Mengomunikasikan

Strategi Pembelajaran Dalam Buku Ajar


Kegiatan pembelajaran menggunakan prinsip:
• Berpusat pada peserta didik,
• Mengembangkan kreativitas peserta didik,
• Menciptakan kondisi menyenangkan dan menantang,
• Bermuatan nilai, etika, estetika, logika, dan kinestetika, dan
• Menyediakan pengalaman belajar yang beragam melalui penerapan berbagai
strategi dan metode pembelajaran yang menyenangkan, kontekstual, efektif, efisien,
dan bermakna.

Furqon
20
Strategi Pembelajaran Dalam Buku Ajar
Pembelajaran langsung dan proses pembelajaran tidak langsung:
• Proses pembelajaran langsung: peserta didik mengembangkan pengetahuan,
kemampuan berpikir, dan keterampilan melalui interaksi langsung dengan sumber
belajar yang dirancang dalam silabus dan RPP berupa kegiatan-kegiatan
pembelajaran
• Pembelajaran tidak langsung: proses pendidikan yang terjadi selama proses
pembelajaran langsung tetapi tidak dirancang dalam kegiatan khusus
• Pembelajaran langsung berkenaan dengan pembelajaran yang menyangkut KD
yang dikembangkan dari KI-3 dan KI-4. Keduanya dikembangkan secara bersamaan
dalam suatu proses pembelajaran dan menjadi wahana untuk mengembangkan
KD pada KI-1 dan KI-2
• Pembelajaran tidak langsung berkenaan dengan pembelajaran yang menyangkut
KD yang dikembangkan dari KI-1 dan KI-2

LANGKAH KEGIATAN BELAJAR KOMPETENSI YANG


PEMBELAJARAN DIKEMBANGKAN
Mengamati Membaca, mendengar, menyimak, Melatih kesungguhan,
melihat (tanpa atau dengan alat) ketelitian, mencari
informasi
Menanya Mengajukan pertanyaan tentang Mengembangkan
informasi yang tidak dipahami dari apa kreativitas, rasa ingin
yang diamati atau pertanyaan untuk tahu, kemampuan
mendapatkan informasi tambahan merumuskan pertanyaan
tentang apa yang diamati (dimulai dari untuk membentuk pikiran
pertanyaan faktual sampai ke kritis yang perlu untuk
pertanyaan yang bersifat hipotetik) hidup cerdas dan belajar
sepanjang hayat
Mengamati Membaca, mendengar, menyimak, Melatih kesungguhan,
melihat (tanpa atau dengan alat) ketelitian, mencari
informasi
Menanya Mengajukan pertanyaan tentang Mengembangkan
informasi yang tidak dipahami dari apa kreativitas, rasa ingin
yang diamati atau pertanyaan untuk tahu, kemampuan
mendapatkan informasi tambahan merumuskan pertanyaan
tentang apa yang diamati (dimulai dari untuk membentuk pikiran
pertanyaan faktual sampai ke kritis yang perlu untuk
pertanyaan yang bersifat hipotetik) hidup cerdas dan belajar
sepanjang hayat

Furqon
21
Strategi Pembelajaran Dalam Buku Ajar

LANGKAH KEGIATAN BELAJAR KOMPETENSI YANG


PEMBELAJARAN DIKEMBANGKAN
Mengasosiasikan mengolah informasi yang sudah Mengembangkan sikap
/mengolah dikumpulkan baik terbatas dari hasil jujur, teliti, disiplin, taat
informasi kegiatan mengumpulkan/eksperimen mau aturan, kerja keras,
pun hasil dari kegiatan mengamati dan kemampuan
kegiatan mengumpulkan informasi menerapkan prosedur
- Pengolahan informasi yang dikumpulkan dan kemampuan
dari yang bersifat menambah keluasan dan berpikir induktif serta
kedalaman sampai kepada pengolahan deduktif dalam
informasi yang bersifat mencari solusi dari menyimpulkan
berbagai sumber yang memiliki pendapat
yang berbeda sampai kepada yang
bertentangan

LANGKAH KEGIATAN BELAJAR KOMPETENSI YANG


PEMBELAJARAN DIKEMBANGKAN

Mengomunikasikan Menyampaikan hasil pengamatan, Mengembangkan sikap


kesimpulan berdasarkan hasil jujur, teliti, toleransi,
analisis secara lisan, tertulis, atau kemampuan berpikir
media lainnya sistematis, mengungkapkan
pendapat dengan singkat
dan jelas, dan
mengembangkan
kemampuan berbahasa
yang baik dan benar

Furqon
22
KONFERENSI INTERNASIONAL PENDIDIKAN KARAKTER
(INTERNATIONAL CONFERENCE ON CHARACTER EDUCATION)
COOPERATIVE SPIRIT – HIDUP BERGOTONG-ROYONG!
Christine Pheeney
Australian Volunteer for International Development (AVID)

OVERVIEW
In a globalised world we face many challenges and changes. However good character
which brings about cooperation needs to be valued, developed and pursued in order to live
together in harmony and sustainably. This is recognised formally by Indonesia’s education
system vision statement: Terselenggaranya Layanan Prima Pendidikan dan Kebudayaan
Nasional untuk Membentuk Insan Indonesia yang Cerdas dan Berkarakter Kuat.
This paper was written to discuss and respond to the conference theme of: ‘Membangun
Karakter Bangsa Melalui Pendidikan’ and conference goals of - demonstrating and discussing
models and strategies for positive character development.In this paper and during my talk I will
discuss and demonstrate a character education model, which integrates the Indonesian value
of ‘Bhinneka Tunggal Ika’ into the existing wisdom of the 2013 Indonesian Curriculum with the
goal of a ‘Cooperative Spirit’. As this is an international conference, discussion that forms the
foundation for the ‘Cooperative Spirit’ model initiates from international studies, and then
considers Indonesian activities. UNESCO resources are frequently cited, as they are considered
applicable and useful due to their collaborative origins. Tables and Figures included are in
Indonesian language as they are drawn directly from sources or developed to assist with ease
for general Indonesian public understanding and hopefully implementation. The ‘Cooperative
Spirit’ model presented is currently developing from and in my life learnings, experiences and
collaborations. This includes teaching in Australia and immersion in Indonesian communities
within educational roles over the last 10 years. I speak/write with a heart that has deep love for
both my native country and Indonesia, my adopted home, for this season and a head/mind that
has benefitted from analytical, creative and community learning and research in both contexts.

I. BACKGROUND
Comments within the ToR (Terms of Reference) for this conference state that ‘Pendidikan
yang ada saat ini belum sesuai dengan karater bangsa’ ((Our) Education (activities) currently is not
yet appropriate to national character). Indeed many challenges and opportunities, including the
influence of industrialisation, increased use of digital technology and rapid globalisation, bring about
change in social structures. Education systems are often lacking in attempts to respond and meet

Christine Pheeney 23
changing social needs and perceived needs. Recognising that economic and technological
advancement being faster than social and cultural development, The Asia Pacific Network for
International Education and Values Education (APNIEVE) members in 1998 produced this reflection:
“Education, which has a fundamental role to play in personal and social development,
has been used to create a more skilled work force, but often at the cost of the
development of the whole person. The long-term goals of human values and moral
principles tend to become less important when they have to compete with more
immediate economic considerations” (p.ii).
Regardless of challenges, opportunities must be seized to achieve and advance national
values. This necessitates a coming back to the values themselves, and using the values as the
basis of developing the national education character framework.
Indonesian national values have been encapsulated/summarised as ‘Bhinneka
Tunggal Ika’. Krishna (2010) states the literal meaning of ‘Bhinneka Tunggal Ika” as: “Appearing
as many, essentially one’. He asserts that “this implies: 1. We celebrate diversity and 2. The
focus is on underlying unity”. Subsequently, a focus of both diversity and unity is needed.
Diversity and Unity values will be discussed below, each recognised as important
within Education discussion. However, curriculum and pedagogy activities do not yet integrate
the foci of celebrating diversity, with the underlying focus on unity. Accordingly the discussion
will continue with a demonstration of the ‘Cooperative Spirit’ model. By integrating the celebration
of diversity with the underlying character of unity, the model has the potential to foster positive
identity development and facilitate innovation in problem solving within real life contexts, while
strengthening communities. It is considered that doing so would enable holistic Education that
is appropriate to the national Indonesian character.

II. FOCUS ON DIVERSITY


UNESCO promotes a valuing of diversity within their cultural department, under the convention
of ‘Intangible Heritages’. Activities focus on safeguarding intangible cultural heritages, which they
explain are community based and “have been passed from one generation to another, have evolved
in response to their environments and they contribute to giving us a sense of identity and continuity,
providing a link from our past, through the present, and into our future.” (UNESCO, 2005-2012)
Currently only a limited number of cultural heritages from around the world have been documented
as part of their safeguarding activities. From Indonesia these include the Saman Dance (from the
Gayo people located in Aceh Province), Indonesian Kris and Wayang Puppet Theatre.
UNESCO (2005-1012) describes that: “An understanding of the intangible cultural heritage
of different communities helps with intercultural dialogue, and encourages mutual respect for
other ways of life”. From my personal observation visiting the homelands of the Gayo people, this
has brought about cultural pride and strengthened the community.

Christine Pheeney
24
Further importance of cultural heritages is explained - “The importance of intangible
cultural heritage is not the cultural manifestation itself but rather the wealth of knowledge and skills
that is transmitted through it from one generation to the next.” (UNESCO, 2005-2012).
Continued activities to safeguard and document numerous other intangible heritages is
needed, along with a framework that facilitates inclusivity of heritages as well as integration for
continued learning/passing on and understanding. While UNESCO gradually continues this work
globally, they also propose that member countries prioritise national education focus to facilitate
community valuing of cultural heritages (UNESCO, 2002), which will bring about safeguarding,
community benefit and sustainability.
Alongside the importance attributed to safeguarding cultural heritages for community
benefit, Morrison discusses the necessity of cultural heritages for the development cultural identity
in individuals. Morrison (2012, p.85) states that ‘cultural identity development provides a framework
for positive change, in that it involves examination of one’s own cultural “roots” in order to gain the
self awareness that can enrich and clarify an individual’s sense of identity. She explains that ‘This
clarified identity can serve as an anchor in a multicultural world’ and empower social action.
In the Indonesian educational context, education law established new curriculum
frameworks, from a standardised national competency-based curriculum in 1994 - stipulating
standardised content, schedules, texts and assessment – to a school-based curriculum in 2006.
This new framework gave freedom to teachers to plan in accordance with the learning environment,
student conditions and the school’s location and community (Sari, Fitriana, & Susilowati, 2010).
Firman and Tola, in 2008, asserted that this shift conveyed the spirit of educational decentralisation
and that it was accompanied by reforms that changed education practices at the school level.
These practices recognise diverse cultures by incorporating regional language and cultural studies
lessons, and work towards partnership through school-based management, a school-level
curriculum and school-based teacher professional development.
The Indonesian National Education Department has recently produced the 2013
Kurikulum (Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, 2012). This curriculum reiterates and
revisits previous Education Law Number 20, from 2003, and directives from 2004 and 2010
mandating schools to implement competency-based curriculum, integrated to their context. In
introducing the new curriculum to the public in ‘Bahan Uji Publik’, problems of the 2006 curriculum
were overviewed as not adequately engaging local content. The document outlines that curriculum
planning at primary schools will develop learning that is thematic and integrated and appropriate
to local needs (Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, 2012).
Indonesia is one of the world’s most culturally diverse countries. Added to the numerous
cultures living in their traditional areas, the population is increasingly mobile, bringing students
of multiple cultures together in the classrooms, creating complexities and opportunities in
facilitating celebration of diversity. To date, teacher professional development activities are
inadequate in bringing about effective widespread implementation. The author’s research in
Aceh, Indonesia, identifies and documents teachers requesting more support and resources to
adequately facilitate local content learning activities and learning that is appropriate to the local
needs of globalised classrooms (Pheeney, 2013).

Christine Pheeney 25
III. FOCUS ON UNITY
Advocacy for education developing unity and peace culture has also been a high priority
for UNESCO. APNIEVE members from nine Asia-Pacific countries met in July 1996 to reflect on
and share their views as to what ‘learning to live together’ means and what values are required to
achieve it particularly in the Asia-Pacific context. These were their summaries:
Learning to live together in peace and harmony is a dynamic, holistic and lifelong
process through which mutual respect, understanding, caring and sharing, compassion, social
responsibility, solidarity, acceptance and tolerance of diversity among individuals and groups
(ethnic, social, cultural, religious, national and regional) are internalized and practised together
to solve problems and to work towards a just and free, peaceful and democratic society.
This process begins with the development of inner peace in the minds and hearts of
individuals engaged in the search for truth, knowledge and understanding of each other’s
cultures and the appreciation of shared common values to achieve a better future.
Learning to live together in peace and harmony requires that quality of relationships at
all levels is committed to peace, human rights, democracy and social justice in an ecologically
sustainable environment. (p.4)
Focus on unity or peace education has consequently been recognised within numerous
Education Policy and Curriculum documents in Asia Pacific region.
In the case of Indonesia, not much work has been done in developing a culture of
peace, despite the vision of Indonesia’s national Education highlighting the notions of peace
education (Kartadinata, 2013). Maftuh (2005), Ilfiandra (2009) and Kartadinata (2013)’s studies
record that some preliminary attempts have been made to promote peaceful and harmonious
life skills though conflict resolution, guidance services, pedagogical guidance and a counselling
model. These studies recommend a systematic and thorough effort to build the peace mindset
by means of formal education.

IV. CURRENT STATUS SUMMARY


It has been discussed that focus on diversity and ideals of unity or peace and
characteristics that contribute to unity or a peace culture, are each considered valuable and
recorded as goals and tasks to be undertaken within in overarching Education documents.
It has also been noted that the impacts of globalisation and industrialisation are
increasingly eroding community strength whereby the passing on of skills, attitudes and
knowledge transferred in engagement in cultural heritages is given less attention. Subsequently
a sense of urgency is needed to fulfil the task of holistic education, which integrates celebration
of diversity with underlying unity.

V OVERVIEW OF PROPOSED “COOPERATIVE SPIRIT MODEL (for Indonesian Character


Education based on ‘Unity in Diversity’)

Christine Pheeney
26
Key Concepts/Understandings/Elements, The model develops from the premise that
all people were created by God with the ability to choose to live in cooperation, thus the name
of the model being ‘Cooperative Spirit’. Concurrently, the proposed model integrates underlying
unity and celebration of diversity as ‘ethnopedagogy’ (as the ‘how to teach inter-cultural living’) within
the Indonesian 2013 Curriculum.
To work towards a ‘Cooperative Spirit’, consideration of the following two definitions of
cooperation assists in understanding that the concept of cooperation, the understanding of
cooperation, the learning of cooperation and practical life experiences which perpetuate and pass
on this character, emerge in intensity when fully embraced as individuals within communities and as
communities with other communities:
Cooperation: to work or act with another or other persons willingly and agreeably; to work or
act together or jointly for a common purpose or benefit. (Dictionary.com, 2011, para.2).
Cooperation is working together for the good of all. It is the willingness to stand side by
side and use the different gifts each of us has to offer. We seek common goals in service of a
unified vision. We blend our abilities to create something none of us could achieve alone.
Conflict and contention drain us. Cooperation can fuel our dreams. With cooperation, we can
help one another to share the load. We willingly do tasks that others ask of us. We look for ways
to be helpful and ask for help when we need it. We do not isolate or harbor our loneliness.
Together we accomplish greater things. (Popov, n.d., virtues reflection card)
Both definitions use the same fundamental key words/ideals of: ‘working together’,
‘willing’, ‘common goals/purpose’. The first definition is likely similar to what many would
describe when asked impromptu. The second definition provides further explanation, potentials
and context challenges. It also gives practical handles of actions/outcomes that can be realised
if potentials face the context challenges.
From these understandings of cooperation it is possible to celebrate daily and within
lifestyle cultural expressions/heritages and draw upon cultural wisdoms for meaning making,
identity formation, inter and intra personal and cultural relationships and problem solving. To
illustrate the interconnectedness and variety of cultural expressions and cooperative values,
a framework has been developed:

Christine Pheeney 27
Contoh
Kerangka

Figure 1: Example Framework for ‘Cooperative Spirit’ model – illustrating


interconnectedness of people, environment, cultural heritages and values
The framework aims to convey:
- God created people of all tribes and languages with the ability to choose to live
cooperatively with their Creator and each other (different tribes are represented
by different colours; when united produce a greater and complementing beauty).
- A sustainable lifestyle is enabled when people act in cooperation with each
other and their Creator, within their environment.
- Environmental factors – shown in the diagram within the green layer – vary
according to location and produce the variances in development of cultural
heritages – shown in the orange layer.
- In strong communities, cooperation and the values that contribute to a
‘Cooperative Spirit’, are evident and passed on through the cultural heritages.
The contributing values and core potential of a ‘Cooperative Spirit’ are illustrated
with the use of purple in both the centre and the outer layer. This signifies that
in a healthy community, these values permeate, guide interaction and activities,
and are the common ground between different cultural groups. As individuals
and as members of society, acting with a ‘Cooperative Spirit’ is to be encouraged
both within the cultural group and in relationships with individuals and other
cultural groups.

Christine Pheeney
28
- Education activities need to focus on the development of the human person as
both an individual and as a member of society, with cultural identity and the
choice and ability for a ‘Cooperative Spirit’.
- (Caution is recommended in considering inclusion of character values that contribute
to cooperation. The character values included in the model have been specifically
selected because they foster unity and cooperation. The author does not consider
‘tolerance’ should be included – while tolerance may be proposed by some,
‘celebration of diversity’ and ‘tolerance of diversity’ are extremely different, and will
manifest in society with dramatic and obviously different long term social outcomes.)
Looking at the ‘Cooperative Spirit’ framework and the thematic overview of the 2013
Indonesian Curriculum (in the table below) simultaneously, many common themes are found.

Table 1:
List of Themes for Primary School in the Indonesian 2013 Curriculum - Daftar Tema Setiap
Kelas Kurikulum 2013 (2013, page 132-133)

KELAS I KELAS II KELAS III KELAS IV KELAS V KELAS VI

1. Diri Sendiri 1.Hidup Rukun 1.Sayangi Hewan 1.Indahnya 1. Bermain degan 1.Selamatkan
dan Tumbuhan Kebersamaan Benda-benda makhluk hidup
di Sekitar di sekitar

2. Kegemaranku 2. Bermain di 2.Pengalaman yang 2.Selalu 2.Peristiwa 2.Persatuan


Lingkunganku Mengesankan Berhemat Energi dalam Kehidupan dalam perbedaan

3. Kegiatanku 3.Tugasku 3.Mengenal 3.Peduli terhadap 3. Hidup Rukun 3.Tokoh dan


Sehari-hari Cuaca dan Musim Makhluk Hidup Penemu

4. Keluargaku 4.Aku dan 4.Ringan Sama 4.Berbagai 4. Sehat itu Penting 4.Globalisasi
Sekolahku Dijinjing Pekerjaan
Berat Sama
Dipikul

5. Pengalamanku 5.Hidup Bersih 5.Mari Kita Bermain 5.Menghargai 5. Bangga Sebagai 5.Wirausaha
dan Sehat dan Berolahraga Jasa Pahlawan Bangsa Indonesia

6. Lingkungan 6.Air, Bumi, 6.Indahnya 6.Indahnya 6.Kesehatan


Bersih, Sehat, danMatahari Persahabatan Negeriku masyarakat
dan Asri

7. Benda, Binatang, 7.Merawat 7.Mari Kita 7.Cita-citaku


dan Tanaman Hewan Hemat Energi
di sekitarku dan Tumbuhan utk Masa Depan

8. Peristiwa Alam 8.Keselamatan 8.Berperilaku Baik 8.Daerah


di Rumah dalam Kehidupan TempatTinggalku
dan Perjalanan Sehari-hari

9.Menjaga 9.Makanan
Kelestarian Sehat dan Bergizi
Lingkungan

Christine Pheeney 29
In examination of currently available resources to support ‘Kurikulum 2013’ many
starting points for ethnopedagogy are present. For example in the Year 1 workbook below ONE
cultural game is explained. Students are asked how they felt after playing this traditional game/
play.

Figure 2 and 3: Excerpts from Peristiwa Alam – Buku Siswa SD/MI Kelas 1–Kurikulum 2013

Extension to facilitate celebration of cultural diversity could include students explaining


a traditional cultural game from each of their cultures, sharing with students in other locations;
and discussion not only feelings but also what unifying or cooperative skills were employed in
playing. Fostering and facilitating students in inquiry based learning about cultural heritages,
enacting, valuing and analysing of skills, attitudes and knowledge passed on and developed
within the various heritages will enable celebration of diversity and focus on unity.
It is considered that incorporating the premise of and the framework of the ‘Cooperative
Spirit’ model, to the 2013 Indonesian Curriculum will facilitate a starting point for communities
and education systems to work together to preserve and maximise the wealth and treasure of
cultural heritages, in order to developing national character. Further areas to develop include:
- Developing resources that document and promote active passing on of intangible
cultural heritages and making them widely accessible.
- Fostering development of student’s thinking skills to utilise cultural wisdom in
innovative ways to facilitate engaged collaborative communities enabled to address
problems and maximise opportunities.
- Facilitating a professional Cooperative Spirit between teachers to bring about
enthusiasm, ownership and ultimately implementation of national education values.
- Developing educator professional skills to collectively engage communities in
developing resources and perpetuation of a ‘Cooperative Spirit’
- Utilise opportunity of Facebook or social media for teacher peer mentoring

Christine Pheeney
30
- Recognise and support teacher peer mentoring as professional activity
- Development of authentic assessment related to ‘Celebrating diversity and underlying
unity’
- Incorporating and engaging teachers and education stakeholders from the
international education community to enable an exponential embrace of the
potential of social media in intercultural education, while making available provisions
to adequately develop cultural literacies of ethnically diverse local communities.

VI. CONCLUSION
In conclusion, further development and research into practical logistics are required
in order to negotiate the increasing complexities of globalisation in education and to ensure a
people-centred focus for teachers and students that benefits from the treasure of a ‘Cooperative
Spirit’ and ensures education that is appropriate to national culture.

REFERENCES
cooperate. (n.d.). Dictionary.com Unabridged. Retrieved September 09, 2011, from
Dictionary.com website: http://dictionary.reference.com/browse/cooperate.
Firman, H. & Tola, B. (2008). The Future of Schooling in Indonesia. Journal of International
Cooperation in Education, 11(1), 71-84. Retrieved from http://home.hiroshima-u.ac.jp/
cice/11-1Firman_Tola.pdf.
Ilfiandra. (2009). A Model of Conflict Resolution Counselling on the Basis of Comprehensive
Guidance for the Development of Students’ Peaceful and Harmonious Life Skills in
Potential Conflict Areas. Research Report. Bandung: UPI Research Centre.
Kartadinata, S. (2013). A Model of Pedagogical Guidance and Counselling Services for the
Development of Peace Mindset. Research Report. Bandung: UPI Research Centre.
Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan. (2012). Kurikulum 2013, Bahan Uji Publik
(Curriculum 2013, Public Test Materials). Retrieved from http://www.slideshare.net/
wdarminto/bahan-uji-publik-kurikulum-2013-15556710
Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan. (2013). Peraturan Menteri Pendidikan Dan
Kebudayaan Nomor 67 Tahun 2013 (Tentang Kerangka Dasar dan Struktur Kurikulum
Sekolah Dasar/Madrasah Ibtidaiyah. Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan.
Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan. (2013) Peristiwa Alam – Buku Siswa SD/MI Kelas I,
Jakarta, Hak Cipta: Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan.
Krishna, A., Jan 29, 2010. Little Bit More on Bhinneka Tunggal Ika. Retrieved from: http://
www.peacenext.org/group/oneearthoneskyonehumankind/forum/topics/little-bit-more-
on-bhinneka.

Christine Pheeney 31
Morrison, G. (2012) Rediscovering “Roots”: The Immersion Stage of Cultural Identity
Development, The International Journal of Environmental, Cultural, Economic and
Social Sustainability, Volume 3, Issue 1, pp.85-92.The Sustainability Collection.
Retrieved from http://ijs.cgpublisher.com/product/pub.41/prod.259
Maftuh, B. (2005). The implementation of conflict resolution learning model in High School
Civics Education. UPI School of Postgraduate Studies.
Pheeney, C., (2013). The Potential of Social Media to Support Teachers in Aceh, Indonesia, in
Professional Learning to Effectively Implement Local Content Initiatives, School of
Education and Professional Studies, Masters Thesis.
Popov, L., (n.d.). Virtues Reflection Cards. Virtues Project. Retrieved from http://
www.virtuesproject.com/uscart/browse.html.
Sari, D., Fitriana, J. & Susilowati, E. (2010). Kajian Kurikulum Fisika Sekolah Sejarah Kurikulum
Pendidikan Indonesia (Physics Curriculum Studies, The History of Education and
School Curriculum in Indonesia), Jurusan Pendidikan Fisika Fakultas Matematika
dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Negeri, Yogyakarta, Indonesia. Retrieved
from http://www.scribd.com/doc/47763444/sejarah-kurikulum-pendidikan-indonesia.
UNESCO Asia and Pacific Regional Bureau for Education. (2002). Learning to be: A holistic and
integrated approach to values education for human development: Core values and the
valuing process for developing innovative practices for values education toward
international understanding and a culture of peace. Bangkok: UNESCO Asia and Pacific
Regional Bureau for Education. Retrieved from http://unesdoc.unesco.org/images/
0012/001279/127914e.pdf.
UNESCO Asia and Pacific Regional Bureau for Education. (1998) Learning to live together in
peace and harmony; values education for peace, human rights, democracy and
sustainable development for the Asia-Pacific Region: a UNESCO-APNIEVE sourcebook
for teacher education and tertiary level education. Bangkok: UNESCO Asia and Pacific
Regional Bureau for Education.
UNESCO. (2005-2012). What is Intangible Cultural Heritage? Retrieved from: http://
www.unesco.org/culture/ich/index.php?lg=en&pg=00002.

Christine Pheeney
32
SHAPING CHARACTER IN THE ENGLISH CLASSROOM
Eran Williams
Regional English Language Office (RELO) U.S. Embassy, Jakarta.

First, Some Question


• Should teachers teach character? Why not ...
Family?
Friends?
Religion?
• eachers already have a big job: teaching their subject
Are all teachers being asked to teach character?
Is the school giving us extra time and resources to teach character?
How will students be evaluated? Teachers?
What Is Good Character ?
• Do we all agree on what character is?
• Do we know how to identify character?
• Do we know how to assess character?
• Are we fit to judge?
The 24 Character Strengths
Zest: approaching life with excitement and energy; feeling alive and activated. Grit:
finishing what one starts; completing something despite obstacles. Self-control: regulating
what one feels and does; being self-disciplined. Social intelligence being aware of motives
and feelings of other people and oneself. Gratitude: being aware of and thankful for the good
things that happen. Love: valuing close relationships with others; being close to people. Hope:
expecting the best in the future and working to achieve it. Humor: liking to laugh and tease;
bringing smiles to other people; seeing a light side. Creativity: coming up with new and
productive ways to think about and do things. Curiosity: taking an interest in experience for its
own sake; finding things fascinating. Open-mindedness: examining things from all sides and
not jumping to conclusions. Love of learning: mastering new skills and topics on one’s own
or in school. Wisdom: being able to provide good advice to others. Bravery: not running from
threat, challenge, or pain; speaking up for what’s right. Integrity: speaking the truth and
presenting oneself sincerely and genuinely. Kindness: doing favors and good deeds for others;

Eran Williams
33
helping them; taking care of them. Citizenship: working well as a member of a group or team;
being loyal to the group Fairness: treating all people the same; giving everyone a fair chance.
Leadership: encouraging a group of which one is a valued member to accomplish.
Forgiveness: forgiving those who’ve done wrong; accepting people’s shortcomings. Modesty:
letting one’s victories speak for themselves; not seeking the spotlights. Prudence/Discretion:
being careful about one’s choices; not taking undue risks. Appreciation of beauty: noticing
and appreciating all kinds of beauty and excellence. Spirituality: having beliefs about the
higher purpose and meaning of the universe

Are These Classroom Rules Universal ?

Eran Williams
34
Why Do We Want To Shape Character ?
• Individual success
It may be the case that character is a more important factor in academic and
workplace success than intelligence or skills delivered by schools.
• National success
Perhaps problems in society (corruption, war, lack of leadership…) are blamed
upon character problems that nations hope schools can solve.

Can We Teach Character ?


• “Children have never been very good at listening to their elders, but they have
never failed to imitate them.” James Baldwin
• Teaching character explicitly can be counter productive.
• Experiences form character
• Personal interactions form character
• Communities form character

Eran Williams
35
How To Teach Character ?
• Observe
Create opportunities for students to investigate character: dialog in the classroom;
examination of character through history, art, language.
• Practice
Model good character: Focus on the positive when interacting with students; respect
students; give students responsibility; do your job well.
• Do
Student councils, student newspapers Service learning: give students opportunity
to give

Service Learning ?
According to the National and Community Service Trust Act of 1993,
servicelearning:
• Is a method whereby students learn and develop through active participation in
thoughtfully organized service that is conducted in and meets the needs of
communities
• Is coordinated with an elementary school, secondary school, institution of higher
education, or community service program and the community
• Helps foster civic responsibility
• Is integrated into and enhances the academic curriculum of the students, or the
education components of the community service program in which the participants
are enrolled
• Provides structured time for students or participants to reflect on the service
experience

Foreign Language Teachers and Character?


English teachers in Indonesia have a special role in developing character.
• In teaching a foreign language we also introduce students to other parts of the
world. We expand their world and their appreciation of difference. Our work should
excite student curiosity and improve their sympathy with other people. Studying
foreign languages should make us less self-centered and more understanding.
• Often times in foreign language classes, the language acquisition is not as profound
as the cultural acquisition or the sympathy created for foreign cultures. Thus, our
role as teachers is just as much about character building as it is about linguistics
building.
• In the U.S., foreign language classes in high school are mostly ineffective, in terms
of language learning, but they do offer an opportunity for trying on another culture.
• As English teachers you are not just offering a language, you are offering a new
window to the world.

Eran Williams
36
MENGEMBANGKAN KARAKTER SISWA
DENGAN MENGGUNAKAN SASTRA DAERAH
Jumadi
Universitas Lambung Mangkurat

ABSTRAK
Gejala terjadinya degradasi moral tampaknya telah merambah ke semua situs kehidupan kita.
Untuk itu, dunia pendidikan layak melakukan upaya mengembangkan dan memperkokoh
karakter siswa agar mereka tumbuh menjadi generasi penerus yang sanggup menghadapi
masa depannya secara kritis dan kreatif. Banyak hal yang bisa dilakukan, salah satu di antaranya
adalah dengan memanfaatkan sastra daerah. Khazanah sastra daerah berupa pantun, legenda,
fabel, mite, peribahasa, pepatah, dan berbagai bentuk tradisi lisan kaya unsur yang dapat
digunakan untuk mengembangkan karakter siswa.

I. PENDAHULUAN
Dalam suatu seminar ada seorang profesor dengan semangat tinggi berusaha meyakinkan
peserta agar sekolah tidak memberikan bacaan sastra yang mengangkat tema-tema yang membuat
para siswa menjadi cengeng. Di sekolah perlu diberikan bacaan sastra yang membuat mereka
memiliki etos kerja yang tinggi. Mendengar paparan itu, Prof. Dr. Umar Kayam, seorang sosiolog dan
sekaligus sastrawan besar negeri ini, berucap lirih, “Lho, memangnya hidup ini hanya untuk bekerja,
kita kan perlu juga menangis, sedih, terenyuh, dan tertawa.”
Pada kesempatan ini saya tidak ingin mengomentari pendapat mana yang benar dari
pendapat kedua profesor tersebut. Yang bisa saya ambil gagasan dasarnya adalah kedua
profesor tersebut sepakat bahwa sastra bisa memberi pengaruh kepada pembacanya. Kalau
kita membuka-buka literatur, sebenarnya gagasan ini bukanlah gagasan baru. Sekian abad
yang lalu, seorang pujangga besar bernama Horace telah membuat tesis bahwa sastra itu
menyenangkan dan bermanfaat (dulce et utile). Hingga sekarang belum ada sastrawan, kritikus,
dan budayawan yang menolak tesis tersebut. Penulis juga sepakat jika sastra dianggap
menyenangkan karena sastra menyajikan sesuatu dengan bahasa dan piranti-piranti sastra
secara indah. Sementara itu, sastra juga bermanfaat karena sastra menyajikan hal-hal yang
dapat digunakan untuk berbagai tujuan mulia, yang salah satu di antaranya untuk
mengembangkan karakter siswa. Schiller (dalam Darmaningtyas, 2004:81) menyatakan bahwa
sastra bisa menjadi semacam permainan yang menyeimbangkan segenap kemampuan mental
manusia berhubung adanya kelebihan energi yang harus disalurkan. Dengan kesastraan,

Jumadi
37
seseorang diasah kreativitas, perasaan, kepekaan dan sensitivitas kemanusiaannya sehingga
terhindar dari tindakan-tindakan yang destruktif, sempit, kerdil, dan picik.
Terkait dengan hal di atas makalah ini menyajikan topik bagaimana memanfaatkan
sastra daerah untuk mengembangkan karakter siswa. Di tengah-tengah bangsa yang perlu
segera menata diri karena sebagian masyarakatnya mengalami degradasi moral, serta dalam
rangka menyongsong implementasi kurikulum baru yang sangat menekankan pada pendidikan
karakter, tampaknya topik ini perlu disajikan. Untuk itu, secara bertutur-turut makalah ini
menyajikan (a) perlunya mengembangkan karakter positif siswa, (b) mengapa sastra daerah,
dan (c) karakter apa yang bisa dikembangkan melalui sastra daerah.

II. PEMBAHASAN
2.1 Perlunya Mengembangkan Karakter Positif Siswa
Di media massa kita banyak disuguhi tayangan yang mengindikasikan terjadinya
kemerosotan moral. Peristiwa tawuran antarpelajar/antarsuporter/antarkampung/antarsuku
seolah menjadi hal yang lumrah; koruptor sudah banyak yang dihukum, tetapi jumlah koruptor
baru justru terus bertambah; remaja dengan sadisnya menghabisi ayah/ibu kandungnya gara-
gara sakit hati; untuk melampiaskan libido seksualnya, seorang ayah tega menghamili anak
kandungnya; seorang hakim konstitusi justru mengkhianati hukum demi rupiah; seorang ustad
seharusnya menjadi hamba Allah yang menabur kebaikan, tetapi justru bertindak sebagai
dukun yang merampok harta dan kehormatan pasiennya. Berbagai contoh tersebut
mengindikasikan bahwa degradasi moral telah terjadi pada semua situs kehidupan kita.
Dengan adanya berbagai peristiwa itu, kita yang bergerak dalam dunia pendidikan
perlu melakukan instrospeksi dan bertanya mungkinkah kegagalan dunia pendidikan menjadi
salah satu penyebab terjadinya degradasi moral tersebut? Pertanyaan semacam itu tentunya
sah-sah saja disampaikan mengingat dunia pendidikan merupakan “kawah candradimuka”
yang bertugas membangun intelektual, moral, dan keterampilan siswa sebagai calon warga
atau pun pemimpin-pemimpin bangsa. Terkait dengan ini, penulis setuju dengan Wibowo
(2013:1) yang menyatakan bahwa idealnya pendidikan merupakan sarana humanisasi bagi
siswa. Pendidikan memberikan ruang bagi pengajaran etika moral dan segenap aturan luhur
yang membimbing siswa mencapai humanisasi. Melalui proses pendidikan, siswa menjadi
terbimbing, tercerahkan, sementara tabir ketidaktahuannya terbuka lebar-lebar sehingga mereka
mampu mengikis bahkan meniadakan aspek-aspek yang mendorong ke arah dehumanisasi.
Uraian di atas mengisyaratkan bahwa kita perlu menegakkan moralitas dengan
mengembangkan karakter positif siswa. Namun, yang menjadi pertanyaan, apa sesungguhnya
karakter itu dan karakter apa saja yang perlu kita kembangkan. Banyak pakar yang mencoba
memberikan pengertian karakter. Menurut bapak pendidikan karakter Amerika Serikat, Lickona
(1991:51), karakter adalah a reliable inner disposition to respond situation in good away. Dari
pengertian ini tampak bahwa karakter merupakan pembawaan yang agung yang digunakan
untuk merespons situasi dengan cara yang baik.

Jumadi
38
Sebagai pembawaan yang agung, karakter tidak begitu saja dimiliki oleh seseorang.
Karakter terbentuk dari proses internalisasi terhadap unsur-unsur moral. Menurut Lickona
(1991:53-62) karakter dibangun oleh sejumlah moral. Paling tidak ada tiga unsur pembangun
karakter yang baik, yaitu pengetahuan tentang moral (moral knowing), perasaan tentang moral
(moral feeling), dan perbuatan yang bermoral (moral action).
Dalam realisasinya, ketiga unsur moral yang baik tersebut memiliki subunsur yang
tidak dapat dipisahkan dengan subunsur yang lain. Di samping itu, pemisahan ketiga unsur
karakter tersebut mengisyaratkan terjadinya tahapan proses internalisasi nilai moral itu sebelum
benar-benar menjadi amalan dalam kehidupan sehari-hari. Pada awalnya siswa perlu memiliki
pengetahuan tentang moral (moral knowing) dengan berbagai unsurnya, mulai dari kesadaran
moral (moral awareness) hingga pengetahuan diri (self-knowledge). Pengetahuan moral tersebut
akan memberikan pemahaman tentang karakteristik masing-masing moral. Pengetahuan
tentang moral tersebut merupakan prasyarat bagi terbentuknya perasaan moral (moral feeling)
dengan berbagai unsurnya, mulai dari kepemilikan hati nurani (conscience) hingga kerendahan
hati (humility) pada diri siswa. Pada ujung semua itu, setelah terjadi proses pemahaman dan
perasaan moral, akan terjadi tindakan moral (moral action) dalam kehidupan nyata. Ada tiga
unsur penopang terjadinya tindakan moral, yakni adanya kemampuan (competence) untuk
melaksanakan, adanya keinginan (will) untuk melaksanakan, dan adanya tindakan nyata yang
terus-menerus sehingga nilai moral menjadi kebiasaan (habit) dalam kehidupan sehari-hari.
Dalam perspektif yang sedikit berbeda, Borba (2001:6-7), membagi tujuh kecerdasan
moral dalam membangun karakter siswa. Kebaikan esensial dari ketujuh kecerdasan moral
yang perlu dikembangkan adalah empati (empaty), hati nurani (conscience), kontrol diri (self-
control), rasa hormat (respect), kebaikan hati (kindness), toleran (tolerant), dan kejujuran (fairness).
Empati merupakan inti perasaan moral dalam melibatkan siswa untuk memahami apa
yang dirasakan orang lain. Semua itu merupakan kebaikan yang menjadikan siswa lebih sensitif
terhadap keperluan dan perasaan orang lain. Hati nurani adalah sebuah suara dari dalam diri
siswa yang amat kuat yang membantunya membedakan antara yang salah dengan yang benar.
Kebaikan ini mempertahankan siswa menolak kekuatan yang menentang kebaikan dan
memungkinkannya berbuat kebaikan dalam berbagai wujud godaan. Kontrol diri membantu
siswa melatih kembali dorongan-dorongan dan pikiran sebelum dia melakukan tindakan yang
memungkinkan membuat pilihan yang kurang hati-hati yang berpotensi mendatangkan bahaya.
Rasa hormat memberikan harapan kepada siswa untuk memperlakukan siswa yang lain dengan
perhatian sebab dia menghargainya sebagai manfaat. Kebaikan hati membantu siswa
menunjukkan perhatiannya tentang kesejahteraan dan berbagi rasa sejahtera itu kepada orang
lain. Dengan mengembangkan kebaikan ini, siswa akan menjadi kurang mementingkan diri
sendiri dan lebih simpatik, dan dia akan lebih memahami bahwa memperlakukan orang lain
secara baik merupakan perbuatan yang mudah untuk dilakukan. Toleran membantu siswa untuk
menghargai kualitas siswa yang lain, selalu terbuka terhadap keyakinan dan perspektif yang baru,
dan menghormati yang lain tanpa memperhatikan suku, jenis kelamin, penampilan, budaya,
keyakinan, kemampuan, dan orientasi seksual. Kejujuran membimbing siswa untuk
memperlakukan orang lain dengan baik budi, tidak berat sebelah, dan dengan cara yang tepat

Jumadi
39
sehingga dia akan lebih mungkin menjalankan hukum, saling memberi/menerima, dan
mendengarkan secara terbuka untuk semua sisi sebelum mengambil keputusan.
Unsur-unsur moral sebagaimana dipaparkan di atas jika dipakai sebagai pedoman
dalam bertindak akan membangun karakter seseorang. Dalam proses pendidikan, karakter
mana yang perlu ditanamkan kepada diri siswa? Terkait dengan hal ini, para pakar juga
mempunyai pandangan yang beragam. Keragaman itu karena perbedaan orientasi dan sudut
pandang sehingga dalam implementasinya bisa saja saling melengkapi. Megawangi (dalam
Sauri, 2013:285) menyebutkan 9 pilar karakter yang perlu diinternalisasikan kepada siswa,
yaitu (a) cinta kepada Tuhan dan kebenaran, (b) bertanggung jawab dan disiplin, (c) amanah,
(d) hormat dan santun, (e) kasih sayang, peduli, dan kerja sama, (f) percaya diri, kreatif, dan
pantang menyerah, (g) keadilan dan kepemimpinan, (h) baik dan rendah hati, dan (i) toleran
dan cinta damai. Sementara itu, Hasan dkk. (2010:8) menyebutkan 18 karakter yang perlu
diinternalisasikan, yaitu (a) religius, (b) jujur, (c) toleransi, (d) disiplin, (e) kerja keras, (f) kreatif,
(g) mandiri, (h) demokratis, (i) rasa ingin tahu, (j) semangat kebangsaan, (k) cinta tanah air, (l)
menghargai prestasi, (m) bersahabat/komunikatif, (n) cinta damai, (o) gemar membaca, (p)
peduli lingkungan, (q) peduli sosial, dan (r) tanggung jawab.
2.2 Mengapa Sastra Daerah
Pertanyaan mendasar pada bagian ini adalah mungkinkah sastra daerah dapat
difungsikan untuk membangun karakter siswa? Jawabannya sangat mungkin sebab dilihat
dari substansi yang akan disampaikan kepada siswa, sastra daerah mengandung unsur-unsur
karakter secara melimpah. Boulton (dalam Aminuddin, 1984:9) menyatakan bahwa cipta sastra
selain menyajikan nilai-nilai keindahan serta paparan peristiwa yang mampu memberikan
kepuasan batin pembacanya, juga mengandung pandangan yang berhubungan dengan
renungan atau kontemplasi batin, baik berhubungan dengan masalah keagamaan, filsafat,
politik, maupun berbagai macam problema yang berhubungan dengan kompleksitas kehidupan
ini. Oleh karena itu, tidak berlebihan jika seorang kritikus Rusia abad ke-19, Lenin (dalam
Hartoko, 1984:25) menyatakan bahwa sastra harus berperan sebagai soko guru, harus
menjalankan fungsi didaktik. Sastra hendaknya tidak hanya membuka mata bagi kekurangan-
kekurangan di masyarakat, tetapi juga menunjukkan jalan ke luar.
Indonesia mempunyai khazanah sastra yang luar biasa kayanya, baik ditinjau dari
aspek kuantitas maupun kualitas. Ditinjau dari aspek kuantitas, masing-masing suku di
Indonesia, yang tersebar dari Sabang sampai Merauke, mempunyai kekayaan sastra sehingga
sudah bisa diperkirakan betapa melimpahnya khazanah sastra di Indonesia. Dalam konteks
kualitas sastra daerah, misalnya, Teeuw (1992) menyatakan bahwa dalam sastra daerah di
Indonesia terungkap kreativitas sastra yang luar biasa. Dalam hasil sastra itu manusia Indonesia
berusaha untuk mewujudkan hakikat dirinya sedemikian rupa sehingga sampai sekarang pun,
untuk manusia modern, ciptaan tersebut tetap mempunyai nilai dan fungsi — asal dia bersedia
berusaha merebut maknanya bagi dia sebagai manusia modern.
Kita sebagai manusia Indonesia modern, pewaris sah khazanah sastra daerah itu,
cenderung tidak peduli kalau tidak mau dikatakan memarjinalkan khazanah sastra itu dari

Jumadi
40
kehidupan kita. Kita terlalu bertumpu kepada indikator efektivitas dan efesiensi dalam mengukur
manfaat sesuatu sehingga bersastra dianggap pekerjaan yang sia-sia. Akibatnya, kita amat
piawai merencanakan dan menghitung proyek, tetapi sering “gagap” ketika
mempertanggungjawabkannya; kita piawai membicarakan multikultural, tetapi tidak mampu
mencegah perang antarsuku; kita secara lantang mewacanakan solidaritas, tetapi menjadi
penonton ketika saudara-saudara kita tertimpa bencana.
Sadar atau tidak, sebenarnya kita telah ramai-ramai mencampakkan instrumen
humanisme yang bernama sastra daerah dari kehidupan kita. Padahal, sastra itu mempunyai
fungsi amat penting. Jika dikaitkan dengan konteks pendidikan, paling tidak sastra dapat
difungsikan untuk: (a) melatih keterampilan menyimak, berbicara, membaca, dan menulis; (b)
menambah pengetahuan tentang pengalaman hidup, agama, kebudayaan; (c) membantu
pengembangan pribadi; (d) membantu pembentukan watak; (e) memberi kenyamanan,
keamanan, dan kepuasan; (f) memuaskan dimensi kehidupan dengan pengalaman-
pengalaman baru (lihat Norton, 1987; Moody, 1989).
Ada berbagai bentuk sastra daerah yang dapat kita manfaatkan untuk membangun
karakter siswa, di antaranya mite, legenda, fabel, pantun, peribahasa, pepatah, berbagai tradisi
lisan seperti lamut, mamanda, atau yang lain. Karena keterbatasan ruang untuk penyajian,
dalam paparan berikut dicontohkan hanya beberapa unsur khazanah sastra daerah Banjar
yang dapat digunakan membangun karakter siswa.
2.3 Karakter Apa yang Bisa Dikembangkan Melalui Sastra Daerah
Penulis yakin bahwa semua karakter positif sebagaimana dipaparkan pada butir 2.2
di atas dapat dibangun melalui khazanah sastra daerah. Misalnya, kita dapat memanfaatkan
sastra daerah untuk membangun karakter religius. Karakter religius banyak dijumpai dalam
sastra daerah Banjar, baik dalam bentuk cerita, pantun, peribahasa, atau yang lain. Berikut ini
contoh pantun (orang Banjar menyebutnya dindang) yang dipakai oleh orang Banjar ketika
menidurkan anak.
Guring-guring anakku guring
Kuguringakan dalam ayunan
Allah ya Allah malikul rahman
Kurniakan ya Allah kuatakan iman
Barakat syafaat rasul akhir zaman
Tarangakan hati anakku mambaca Al-Quran
(Marfuah, 2013:171).
Masyarakat Banjar pada masa lampau dan masih ada juga sebagian pada masa
sekarang, ketika menidurkan anak, mereka melantunkan dindang. Biasanya dindang yang
dilantunkan berisi doa, harapan, atau nasihat bagi si anak. Dindang di atas diucapkan ibu
ketika menidurkan anak dalam ayunan. Secara tekstual dindang tersebut berisi harapan atau
doa kepada si anak agar kelak menjadi orang yang dikuatkan iman dan diterangkan hati
ketika membaca Alquran. Dengan demikian, melalui dindang ibu tersebut membangun

Jumadi
41
karakter religius pada anaknya. Dia berharap buah hatinya tumbuh menjadi manusia yang kuat
iman dan diterangkan hatinya membaca Alquran sehingga bisa menggunakannya sebagai
pedoman hidup.
Di samping karakter religius, dindang juga bisa dipakai untuk mengembangkan karakter
peduli sosial atau kasih sayang. Mari kita perhatikan teks berikut ini.
Laaa ilaaahailllah
Muhammadur Rasulullah
Anakku guring disuruh guring
Matanya kalat bawa bapajam
Anakku pintar parajakian
Rajin baamal wan pambarian
Anakku pintar urang beriman
Matanya kalat disuruh guring
(Marfuah, 2013:50).
Dalam teks tersebut tampak bahwa ibu sedang mengembangkan karakter peduli
sosial atau kasih sayang pada anaknya. Setiap orang tua pasti mengharapkan anaknya hidup
berkecukupan sehingga dia mendoakan agar anaknya mudah mendapatkan rizki (parajekian).
Namun, doa itu dilanjutkan dengan nasihat agar setelah berkecukupan jangan lupa beramal
dan jadi orang yang suka memberi (pambarian). Jika nasihat itu bisa tertanam dan berhasil
membangun karakter, tentu saja anaknya akan tumbuh menjadi manusia yang peduli sosial,
kasih sayang, atau dermawan. Dia tidak akan bermewah-mewah sementara orang di
sekelilingnya masih serba kekurangan.
Selain dindang, masyarakat Banjar juga memiliki banyak ungkapan yang sarat dengan
nilai-nilai untuk mengembangkan karakter. Ungkapan ampun saurang disintak, ampun urang
dikair adalah ungkapan untuk memberi label orang yang curang, mau menang sendiri.
Ungkapan ini cocok digunakan untuk menyindir agar siswa memiliki karakter jujur. Sementara
itu, membangun karakter bekerja keras, tidak mudah patah semangat, orang Banjar
mempunyai ungkapan haram manyarah, waja sampai ka puting dan kada ingat burit kapala;
dan ungkapan mailung larut cocok digunakan untuk menyindir agar siswa memiliki karakter
percaya diri.
Khazanah legenda Banjar juga penuh dengan unsur-unsur yang dapat digunakan
untuk mengembangkan karakter siswa. Masyarakat Banjar mempunyai khazanah legenda
sangat melimpah, baik menyangkut legenda alam gaib, legenda perseorangan, maupun
legenda tempat. Legenda Datu Insat, misalnya, termasuk legenda agama yang dapat digunakan
mengembangkan karakter menghargai prestasi atau kemampuan orang lain.
Legenda ini menceriterakan perjalanan seseorang dalam mencari guru yang tepat.
Datu Jawa atau Datu Mastanian pergi ke Kalimantan untuk mencari guru yang tepat. Dia
bermaksud berguru kepada Datu Insat. Namun, sebelumnya Datu Insat dicoba dahulu tingkat
ilmunya. Dia berjanji akan mengakui Datu Insat sebagai guru jika kalah bertanding ilmu. Jika
sebaliknya, Datu Insat harus ikut ke Jawa.

Jumadi
42
Tema yang ada dalam legenda ini adalah memilih seorang guru haruslah selektif,
tidak sembarangan. Guru yang kita pilih harus memenuhi persyaratan tertentu, baik itu
persyaratan keagamaan, budi pekerti, ilmu, maupun keterampilan. Dalam legenda ini, seorang
guru ditentukan dari tingkat dan jenis ilmu yang dimilikinya persyaratan tingkat ilmu dapat
dilihat pada penggalan teks yang berikut.
“Assalamu’alaikum,” kata tamu yang baru datang.
“Wa’alaikum salam,” jawab Datu Insat. “Datang dari negeri manakah Anda?”
“Saya datang dari Jawa.”
“Apa sebab kapak beliung dan pisau melakukan pengrusakan di tempatku ini?”
kata Datu pula.
“Karena dia lapar,” jawab Datu tamunya tadi.
“Kalau begitu tidak apa. Saudara silakan masuk!”
“Tidak, saya tidak mau masuk sekarang,” jawab Datu Jawa. “Saya bermaksud
hendak mengaji.”
“Kalau begitu lebih baik kita bicara di dalam rumah.”
“Tidak, lebih baik mengadu kesaktian sekarang. Saya ingin mengetahui sampai di
mana tingginya kesaktianmu sebelum saya mengangkat sebagai guru.”
(LDI, hal. 27-28)
Dari kutipan di atas tampak bahwa Datu Jawa menghargai prestasi, penguasaan, dan
ketinggian ilmu. Dia akan menjadikan guru seseorang yang mempunyai prestasi dan
penguasaan ilmu yang melebihi dirinya. Secara keseluruhan, legenda ini cocok digunakan
untuk mengembangkan karakter menghargai prestasi.
Untuk mengembangkan karakter demokratis kita bisa menggunakan legenda Datu
Muhammad Tahir. Pada mulanya, Datu Muhammad Tahir berangkat menunaikan ibadah haji.
Ketika perahu yang ditumpanginya sampai di Laut Merah, tiba-tiba kapal itu berhenti, tak dapat
bergerak. Padahal, angin bertiup kencang dan perahu tidak rusak. Hal itu membuat orang
panik.
Berdasarkan firasat seorang ulama, salah seorang penumpang kapal itu, berhentinya
perahu itu karena diganggu oleh makhluk halus yang minta tebusan salah satu dari penumpang.
Berdasarkan hasil undian, penumpang yang dikorbankan adalah Datu Haji Muhammad Tahir.
Oleh karena itu, hasil suatu keputusan bersama, dia menerimanya. Kutipan berikut menunjukkan
hal itu.
Setelah diambil kata sepakat, dilaksanakan undian. Mereka memutuskan lebih baik
seorang yang jadi korban daripada seluruh penumpang mati kelaparan.
Undian pertama jatuh pada haji Muhammad Tahir. Penumpang kembali ribut karena
banyak yang kenal akan kealimannya. Mengapa seorang tuan guru yang harus mewakili seluruh
penumpang? Atas persetujuan, undian diulang. Hingga pada ulangan yang ketiga, ternyata
Datu Muhammad Tahir yang terpilih.
“Apa boleh buat,” kata beliau. Saya rela menjadi wakil dari seluruh penumpang.”

Jumadi
43
Setelah salat dua rakaat, beliau menceburkan diri ke laut. Pada saat itu kapal bergerak
dan maju ke arah tujuan semula.
Dari kutipan di atas tampak bahwa Datu Muhammad Tahir adalah tokoh yang
demokratis. Walaupun seorang datu, dia taat kepada suatu keputusan yang dibuat bersama.
Dia tidak membangkang, memprotes, atau pun menggunakan otoritasnya sebagai seorang
datu untuk memveto keputusan bersama. Perilaku ini merepresentasikan karakter demokratis.
Beberapa legenda datu yang dicontohkan di atas hanya sebagian dari sekian banyak
legenda keagamaan dalam sastra Banjar. Masih banyak legenda sejenis yang dapat digunakan
untuk mengembangkan karakter siswa. Misalnya, legenda Pangeran Suriansyah Membangun
Masjid dapat digunakan untuk membangun karakter gotong royong atau kerja sama; legenda
Datu Sanggul Berkawan dengan Syekh Muhammad Arsyad dapat digunakan untuk membangun
karakter persahabatan.
Selain legenda keagamaan, sastra Banjar juga memiliki legenda tempat, dan legenda
alam gaib. Khazanah legenda itu juga banyak mengandung unsur yang dapat digunakan untuk
mengembangkan karakter. Sementara itu, cerita binatang yang disebut fabel juga banyak
terdapat dalam sastra daerah Banjar. Misalnya, fabel yang berjudul Warik wan Kukura dapat
digunakan mengembangkan karakter jujur; fabel yang berjudul Pilanduk wan Buaya dapat
digunakan untuk mengembangkan karakter kreatif; dan masih banyak lagi fabel yang bisa
digunakan mengembangkan karakter siswa.

III. SIMPULAN
Pada dasarnya pendidikan adalah proses membekali siswa untuk bisa menghadapi
masa depannya secara kritis dan kreatif. Dalam rangka itu, proses pengembangan karakter
positif pada diri siswa merupakan suatu keniscayaan. Dengan adanya karakter positif yang
melekat pada dirinya, siswa akan mampu mengatasi berbagai persoalan kehidupannya yang
penuh dengan tantangan dan persaingan.
Banyak sarana yang dapat digunakan untuk mengembangkan karakter siswa, salah
satu di antaranya adalah sastra daerah. Sebagai warisan budaya luhur, sastra daerah penuh
dengan “mutiara” kebaikan yang dapat digunakan untuk pengembangan karakter positif siswa.
Nenek moyang kita telah mewariskan instrumen kehidupan berupa pantun, legenda, mite, fabel,
peribahasa, dan berbagai bentuk tradisi lisan yang melimpah. Namun, sayang kita cenderung
menyia-nyiakan dan membiarkannya menuju kepunahan. Kita lebih tertarik dengan hegemoni
media sosial yang mengusung budaya populer. Padahal, kalau tidak hati-hati memanfaatkannya,
berbagai media sosial itu bisa membuat kita tercerabut dari akar budaya kita.

Jumadi
44
DAFTAR PUSTAKA
Aminuddin. 1984. Pengantar Memahami Unsur-unsur dalam Karya Sastra. Malang: IKIP Malang.
Beach, Richard W. dan Marshall, James D. 1991. Teaching Literature in the Secondary Scholl.
San Deigo: Harcourt Brace Jovanovich, Publishers.
Borba, Michele. 2001. Building Moral Intelligence. Sanfrancisco: Josssey-Bass.
Effendi, Rustam dkk., 1994. Ungkapan dan Peribahasa Banjar. Banjarmasin: Proyek
Penelitian Bahasa dan Sastra Indonesia dan Daerah Kalimantan Selatan.
Hasan, Said Hamid, dkk. 2010. “Pendidikan Budaya dan Karakter Bangsa.” Bahan Pelatihan
Penggunaan Metodologi Pembelajaran Berdasarkan Nilai-nilai Budaya untuk
Membentuk Daya Saing dan Karakter Bangsa. Jakarta: Puskur Balitang Kemdiknas.
Hartoko, Dick. Pengantar Ilmu Sastra. Jakarta: Gramedia.
Ismail, Abdurahman. 1978. Cerita Rakyat Daerah Kalimantan Selatan. Banjarmasin: Proyek
Penelitian dan Pencatatan Kebudayaan Daerah.
Komalasari, Kokom. 2013. “Pendidikan Karakter di Persekolahan Kita. Dalam Dasim
Budimansyah, dan Kokom Komalasari (Eds). Pendidikan Karakter: Nilai Inti bagi
Upaya Pembinaan Kepribadian Bangsa. Bandung: Widya Aksara Press.
Lickona, Thomas. 1991. Educating for Character. New York: Bantam Books.
Marfuah. 2013. Dindang Sastra Lisan Banjar Hulu. (Tesis tidak diterbitkan). Banjarmasin:
Program Pascasarjana, Universitas Lambung Mangkurat.
Moody, H. L. B. 1989. The Teaching of Literature. London: Longman Group Ltd.
Norton, Donna E. 1987. Through the Eyes of Child: And Introduction to Children’s Literature.
Colombus: Merril Publishing Company.
Sauri, Sofyan. 2013. “Strategi dan Implementasi Pendidikan Karakter Bangsa. Dalam Dasim
Budimansyah dan Kokom Komalasari (Eds). Pendidikan Karakter: Nilai Inti bagi Upaya
Pembinaan Kepribadian Bangsa. Bandung: Widya Aksara Press.
Teeuw, A. 1982. Khazanah Sastra Indonesia. Jakarta: PN Balai Pustaka.
Wibowo, Agus. 2013. Pendidikan Karakter Berbasis Sastra. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Smith, Carrol B. 2002. Developing Character Through Literature. Bloomington: ERIC
Clearinghouse on Reading.

Jumadi
45
Jumadi
46
BAB II
PENDIDIKAN KARAKTER
DAN PENDIDIKAN BAHASA

Bab VI: Pendidikan Karakter Perspektif Ilmu Pendidikan


47
Bab VI: Pendidikan Karakter Perspektif Ilmu Pendidikan
48
PEMBINAAN KARAKTER PEDULI MELALUI PEMBELAJARAN
MEMBACA CERITA ANAK
Akhmad, HB.
STKIP PGRI Banjarmasin

ABSTRACT
The study has involved school principal, school committee, parents, and fifth grade students. The
main issue of the study is how to develop the caring character through the teaching of child story
reading in elementary school? It is further elaborated into the following research questions: (1) what
are school vision, missions, and work program to develop the caring or aware character by teaching
the child story reading?: (2) Has the teaching of child story reading been directed to enhance the
ability to respond child story scripts to develop the caring character?: (3) How is integration of four
language skills, listening, speaking, reading, and writing, could develop the caring character?: (4)
can the active involvement of student in selecting the story books develop and enhance the caring
character during reading?: and (5) Can the intensive teaching-student interaction during story book
reading with conference model develop the caring character? To answer those question, data in use
are connected with (1) the statement of school vision, missions, and work program to develop the
caring or aware character throught instructional activities; (2) the teaching of child story reading
directed to enhance the ability to respond child story scripts to develop the caring character; (3) the
integration of four language skill, listening, speaking, reading, and writing, in story reading instruction
to develop the caring character; (4) the active involvement of students in selecting the story books to
develop and enhance the caring character; and (5) the intensive teacher-student interaction during
story book reading with conference model that can develop the caring character. The data were
collected throught observation, interview, and documentary analysis. Data analysis was conducted
by applying a model developed by Miles and Huberman (1984) in the stages of data collection,
reduction, display, and conclusion. Data analysis revealed the following findings: (1) Vision and
Missions of Elementary School Antasan Besar 7 Banjarmasin have been elaborated into school
policies and contributed to the development of student character, including the caring character
when applied in the instructional activities; (2) Student have been able to recognize and identify
character values, caring charactering in particular, after reading book titles and book cover images
illustrating the caring character; (3) Students have been able to better recognize and rewrite the sorts
of explicit caring behaviors into their reading journal during conference session; (4) The development
of character values, caring character in particular, have greatly been influenced by student learning
activities and habits in school environment, such as putting rubbish in proper place, keeping school
clean and neat, helping friends in trouble, and respecting teacher, administrative staff, fellow students,
and other people; (5) Conference model of Indonesian language teaching adopted to teach child
story reading in three procedures, pre-reading, reading, post-reading, has contributed to the
development of student caring character.

Akhmad, HB
49
I. PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Masalah
Hakikat pendidikan terletak pada upaya sadar untuk mengubah seseorang peserta
didik dari suatu kondisi tertentu kepada kondisi yang lebih baik. Sebagai sebuah upaya,
pendidikan merupakan usaha sadar akan tugas dan tanggung jawab hidupnya untuk selalu
dinamis dan mengubah dirinya atau orang lain ke arah yang lebih baik. Pendidikan bukanlah
suatu tindakan yang bersifat netral, akan tetapi selalu berkaitan dan berisi nilai-nilai, baik nilai
yang bersumber dari agama maupun budaya. Pendidikan di Indonesia mengarahkan tujuannya
sesuai dengan nilai-nilai bangsa Indonesia yang berbudi luhur dan religius yang digambarkan
dalam tujuan pendidikan nasional berikut:
Pendidikan nasional berdasarkan Pancasila bertujuan untuk berkembangnya potensi
peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha
Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang
demokratis serta bertanggung jawab (Undang-Undang Nomor 20 tahun 2003 tentang Sistem
Pendidikan Nasional Bab II Pasal 3 Ayat [3]).
Dari tujuan pendidikan tersebut, tergambar bahwa pendidikan merupakan suatu usaha
yang sadar dan sistematis dalam mengembangkan potensi peserta didik, dan karakter adalah
watak, tabiat, akhlak, atau kepribadian seseorang yang terbentuk dari hasil internalisasi berbagai
kebajikan (virtues) yang diyakini dan digunakan sebagai landasan untuk cara pandang, berpikir,
bersikap dan bertindak. Kebajikan yang hendak diinternalisasikan terdiri atas sejumlah nilai,
moral, dan norma, seperti jujur, berani bertindak, dapat dipercaya, dan peduli kepada orang
lain. Nilai-nilai, moral dan norma tersebut diharapkan dapat menjadi karakter yang melekat
sebagai pengembangan jati diri bangsa yang unggul.
Ada hubungan yang sangat erat antara kehidupan masyarakat dan pendidikan karakter
individu. Oleh karena itu, pendidikan karakter harus kita mulai dari diri sendiri dan berkembang
seterusnya kekeluarga, lingkungan, masyarakat yang lebih luas, dan bangsa secara nasional.
Masing-masing komponen di atas harus mengambil inisiatif dan proaktif mengambil bagian
dalam membangun budaya berkarakter. Keluarga, sekolah dan masyarakat yang berkarakter
sehat akan sangat ditentukan oleh kesungguhan kita untuk berkomitmen pada pendidikan karakter.
Di sekolah, proses pengembangan nilai-nilai yang menjadi landasan dari karakter
tersebut menghendaki suatu proses yang berkelanjutan (never ending process), dilakukan
melalui berbagai mata pelajaran yang ada dalam kurikulum (kewarganegaraan, sejarah,
geografi, ekonomi, sosiologi, antropologi, Bahasa Indonesia, IPS, IPA, matematika, agama,
pendidikan jasmani dan olahraga, seni serta keterampilan). Dalam mengembangkan pendidikan
karakter bangsa kesadaran akan siapa dirinya dan bangsanya adalah bagian yang teramat
penting. Sartono Kartodirdjo secara tegas menyatakan bahwa kesadaran tersebut hanya dapat
terbangun dengan baik melalui pendidikan sejarah karena sejarah dapat memberikan
pencerahan dan penjelasan mengenai siapa dirinya dan bangsanya di masa lalu yang
menghasilkan dirinya dan bangsanya di masa kini. Selain itu, dalam pendidikan karakter bangsa
harus terbangun pula kesadaran, pengetahuan, wawasan dan nilai berkenaan dengan

Akhmad, HB
50
lingkungan dimana dirinya dan bangsanya hidup (geografi), nilai yang hidup di masyarakat
(antropologi), sistem sosial yang berlaku dan sedang berkembang (sosiologi), sistem
ketatanegaraan, pemerintahan, dan politik (ketatanegaraan/politik/ kewarganegaraan), bahasa
Indonesia dengan cara berpikirnya, kehidupan perekonomian, ilmu, teknologi, dan seni. Artinya,
perlu ada upaya terobosan terhadap kurikulum berupa pengembangan nilai-nilai yang menjadi
dasar bagi pendidikan budaya dan karakter bangsa. Dengan terobosan kurikulum yang demikian
maka nilai dan karakter yang dikembangkan pada diri peserta didik akan sangat kokoh dan
memiliki dampak nyata dalam kehidupan dirinya, masyarakat, bangsa dan bahkan umat manusia.
Dari kondisi yang ada, nampak jelas bahwa usaha-usaha untuk meningkatkan
pengetahuan dan keterampilan oleh guru sekolah dasar dalam hal ini secara spesifik Bahasa
Indonesia tidak boleh berhenti. Jika tidak dilakukan, maka imbas langsungnya adalah: siswa
tidak mendapatkan pengetahuan dan keterampilan yang seharusnya menjadi kompetensinya
karena terbatasnya penguasaan strategi pembelajaran yang mampu mengembangkan karakter
siswa oleh guru; siswa jadi tidak fokus dalam belajar, acuh-tak acuh, kehilangan kepedulian
dan sebagainya karena guru tidak mampu melakukan pengelolaan kelas.
Oleh karena itu, peranan pengajaran bahasa Indonesia, khususnya pengajaran
membaca di SD, menjadi sangat penting. Peran tersebut menurut Joni (1990: 10) semakin
penting bila dikaitkan dengan tuntutan pemilikan kemahirwacanaan dalam abad informasi.
Pengajaran bahasa Indonesia di SD yang bertumpu pada kemampuan dasar membaca dan
menulis juga perlu diarahkan pada tercapainya kemahirwacanaan.
Kemahirwacanaan dalam konteks ini sejalan dengan konsep kemahirwacanaan yang
dikemukakan oleh Wells (dalam Joni, 1990: 10), yakni kemahirwacanaan modus kritis dan
imajinatif. Kemahirwacanaan tersebut dapat pula diacukan pada literacy tingkat mahir dan
tingkat lanjut setelah tingkat permulaan, tingkat dasar dan tingkat menengah. Literacy tingkat
mahir ditandai oleh kemampuan memahami, meringkas, dan menjelaskan informasi dalam
teks, sedangkan literacy tingkat lanjut ditandai oleh kemampuan mensintesiskan dan
kemampuan belajar dari teks bacaan (Hasanah, 1998: 14).
Kemahirwacanaan yang mengacu pada keterampilan membaca bertujuan
meningkatkan kemampuan membaca dan memanfaatkannya dalam kehidupan sehari-hari
termasuk dalam menumbuhkembangkan karakter siswa, terutama karakter peduli. Kemampuan
menyerap isi cerita terkait dengan target pemilikan keterampilan membaca cerita. Oleh karena
itu, perlu dikembangkan pembelajaran membaca yang bertumpu pada modus pemikiran kritis
dan kreatif (kemahirwacanaan) (Joni, 1990: 11). Kemahirwacanaan perlu ditargetkan pada
siswa SD karena sesuai dengan taraf perkembangan sosial-emosional anak-anak usia SD.
Anak-anak usia SD menurut Greenspan (Dworetzky, 1990: 167), sudah memiliki potensi kreasi
emosional sejak usia tiga tahun dan berkembang ke kreasi imajinatif pada usia empat tahun.
Potensi berpikir kritis anak dapat dilihat pada usia 11-12 tahun (kelas 5 SD) saat anak
berada pada tahap operasi formal awal yang ditandai dengan kemampuan menempatkan hal-
hal yang konkret ke dalam gagasan abstrak. Potensi tersebut dapat dikembangkan melalui
kegiatan membaca cerita anak. Melalui membaca cerita anak memperoleh stimulus yang

Akhmad, HB
51
dapat mengaktifkan daya kritis mereka karena cerita anak berisikan unsur-unsur yang
merangsang kemampuan anak untuk merespons isi bacaan sesuai dengan kemampuannya.
Pencapaian tujuan pembelajaran membaca yang dikaitkan dengan kemahirwacanaan
modus kritis imajinatif dalam pembelajaran membaca dapat diarahkan pada aktivitas membaca
cerita anak. Pilihan cerita anak sebagai salah satu jenis sastra anak dapat diangkat sebagai
bahan pembelajaran membaca yang didasarkan pada (i) kesesuaian cerita anak dengan taraf
berpikir siswa kelas 5 SD yang sudah dalam taraf operasi konkret akhir/taraf operasi formal awal,
(ii) kekayaan imajinasi fiksional yang terdapat di dalam cerita anak, dan (iii) daya tarik teks cerita
anak yang memungkinkan untuk direspons secara kritis-imajinatif oleh siswa. Pilihan tersebut
sejalan dengan hasil penelitian Van Klinken (Purwo, 1991: 23) yang menunjukkan temuan bahwa
bahan bacaan yang disukai siswa SD adalah buku cerita atau bahan bacaan cerita.
KTSP yang berorientasi pada whole language disyaratkan pembelajaran membaca
yang terpadu dengan pembelajaran menyimak, berbicara, dan menulis. Oleh karena itu,
pembelajaran membaca cerita anak dapat dipadukan dengan pembelajaran ketiga
kemampuan tersebut. Perlunya pemaduan tersebut telah dibuktikan dengan sejumlah temuan
penelitian yang dilakukan oleh para ahli. Berbagai hasil penelitian tentang keterkaitan membaca
cerita anak dengan ketiga kemampuan berbahasa selain membaca dirangkum oleh Huck
(1987: 111).
Dalam kurun waktu beberapa tahun terakhir, skor prestasi membaca di Indonesia
mencapai angka 407 untuk siswa secara keseluruhan, skor 417 untuk siswa perempuan, dan
skor 398 untuk siswa pria (Hayat, 2010: 73). Artinya, Indonesia termasuk negara yang prestasi
membacanya berada di bawah rerata negara peserta PIRLS 2006 secara keseluruhan, yaitu
masing-masing 500, 510, dan 493. Tercatat 4 negara yang mencapai skor tertinggi, yaitu Rusia
(565), Hongkong (564), Kanada (560), dan Singapura (559). Sementara posisi Indonesia sendiri
berada pada posisi kelima dari urutan terbawah, atau sedikit lebih tinggi dari pada Qatar (356),
Quait (333), Maroko (326), dan Afrika Utara (304). Satu hal yang tidak membedakan antara
Indonesia dengan kecendrungan yang terjadi pada PIRLS 2006 adalah prestasi membaca
siswa perempuan lebih tinggi dari siswa pria, dan lebih tinggi juga dari pada prestasi membaca
siswa secara keseluruhan.
Salah satu model pembelajaran yang dapat memadukan pembelajaran membaca
dengan tiga kemampuan berbahasa yang lain adalah model konferensi yang ditawarkan oleh
Hornsby dkk. (1986). Model konferensi memiliki beberapa kelebihan dalam memadukan
pembelajaran membaca dengan pembelajaran menyimak, berbicara dan menulis. Aktivitas
menyimak dan berbicara dilakukan pada saat berlangsungnya aktivitas pemfokusan minat dan
perhatian siswa terhadap teks cerita anak, dan pada saat berkonferensi, serta pada aktivitas
berbagi pengalaman membaca. Aktivitas menulis dilakukan pada saat siswa membaca teks
dan menuliskan hasil pemahaman terhadap isi teks serta mencatat respon mereka terhadap
isi teks.
Dengan strategi pembelajaran membaca model konferensi, kemampuan siswa tidak
hanya diorientasikan pada pengembangan kemampuan memahami isi teks tetapi juga

Akhmad, HB
52
diorientasikan pada pengembangan kemampuan merespon isi teks. Kesempatan merespon,
diberikan baik pada saat membaca maupun pada saat konferensi antara guru dan siswa.
Dengan merespon, siswa memperoleh kesempatan berinteraksi dan bertransaksi dengan
teks sebagai inti kegiatan membaca. Kemampuan itu, lewat buku-buku cerita yang memuat
nilai-nilai karakter terutama karakter peduli, siswa menjadi memahami dan mencoba
mengaplikasikan karakter peduli dalam interaksinya dalam pembelajaran di kelas.
Sejalan dengan hal itu, Galda (1993: 21) menyatakan bahwa membaca dalam konsep
transaksional adalah kegiatan transaksi dengan teks untuk membentuk makna. Pembaca
membawa makna ke dalam teks untuk membentuk makna dari teks. Definisi di atas didasarkan
pada keyakinan bahwa pada saat membaca, berlangsung intersaksi resiprokal antara pembaca
dan teks. Membaca merupakan proses dinamis antara pembaca yang terlibat secara aktif
dengan teks untuk membentuk makna. Hasil akhirnya boleh jadi berupa informasi, pengetahuan,
dan kesenangan, sebagaimana yang direkonstruksikan dan dihayati, serta ditentukan oleh
pembaca. Dengan demikian, begitu berinteraksi dengan teks, pembaca membangun makna
sesuai dengan responsinya atas sistem tanda dalam teks. Responsi itu diarahkan oleh latar
pengalaman yang unik yang berperan membentuk makna individual ketika mereka terlibat
dengan teks. Lewat pemahaman makna teks inilah nilai karakter peduli mampu menjadi latar
pengalaman unik siswa.
Oleh karena itu, diperlukan model pembelajaran membaca yang dapat mewujudkan
aktivitas membaca dalam fenomena interaksi-dinamis yang sekaligus berfungsi
mengoptimalkan pembelajaran membaca cerita anak di SD yang berimplikasi pada
berkembangnya karakter peduli siswa. Salah satu alternatif model pembelajaran yang bisa
memenuhi harapan tersebut adalah pembelajaran membaca cerita anak dengan model
konferensi. Untuk mewujudkan model pembelajaran yang dimaksud perlu dilakukan penelitian
terhadap strategi pembelajaran membaca cerita anak di SD.
Secara teoretis pembelajaran membaca cerita anak dengan model konferensi di SD
dapat dimulai dari kelas-kelas awal. Tetapi penerapan model konferensi belum dilaksanakan
di SD Negeri Antasan Besar 7, maka penelitian ini diarahkan dengan memulainya dari kelas
tinggi. Semula dipilih kelas 6 tetapi karena siswa kelas 6 dipersiapkan untuk mengikuti UAS,
maka pilihan jatuh pada kelas 5. Berdasarkan pembelajaran membaca cerita anak di atas
maka pengembangan karater peduli bisa diintegrasikan melalui pembelajaran membaca
tersebut. Dalam teori pendidikan usaha sadar seorang guru untuk mengembangkan karakter
peduli melalui proses belajar mengajar yang mengembangkan nilai-nilai.
1.2 Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang penelitian yang dikemukakan di atas, maka dikemukakan
permasalahan utama pada penelitian ini yaitu: bagaimanakah pengembangan pembinaan
karakter peduli melalui pembelajaran membaca cerita anak? Berdasarkan hasil pengamatan
pada kegiatan belajar mengajar dan wawancara dengan guru dan siswa, maka dirumuskan
pertanyaan penelitian sebagai berikut:

Akhmad, HB
53
1. Bagaimana Rumusan Visi dan Misi serta Program Kerja SD Negeri Antasan Besar
7 Banjarmasin dalam mengembangkan Karakter Peduli melalui pembelajaran di
sekolah?
2. Bagaimana aktivitas pembelajaran membaca cerita anak diarahkan pada
kemampuan merespons teks cerita anak untuk membina karakter peduli?
3. Bagaimana perpaduan empat aspek keterampilan berbahasa, menyimak, berbicara,
membaca, menulis dalam pembelajaran membaca cerita anak dapat membina
karakter peduli?
4. Bagaimana melibatkan siswa secara aktif dalam pemilihan bahan bacaan anak
untuk mengembangkan dan membina karakter peduli?
5. Bagaimana terjalinnya interaksi yang intensif antara guru-siswa pada pembelajaran
membaca anak dalam model konferensi dapat membina karakter anak?

II. KAJIAN TEORI


2.1 Pengertian dan Ruang Lingkup Pembinaan
Pembinaan dapat ditinjau dari dua sudut pandang, yaitu berasal dari sudut pembaharuan
dan berasal dari sudut pengawasan. Pembinaan yang berasal dari sudut pembaharuan yaitu
mengubah sesuatu menjadi yang baru dan memiliki nilai-nilai lebih baik bagi kehidupan masa
yang akan datang. Sedangkan pembinaan yang berasal dari sudut pengawasan yaitu usaha
untuk membuat sesuatu lebih sesuai dengan kebutuhan yang telah direncanakan.
Pada suatu kegiatan pembinaan dalam pelaksanaannya mempunyai unsur-unsur
yang harus ada dan terealisasi. Menurut Sumantri (1986: 85) unsur-unsur tersebut secara
umum harus ada dalam setiap kegiatan pembinaan yang meliputi:
1. Pembinaan mempunyai tujuan untuk meningkatkan pengetahuan dan keterampilan.
2. Dalam pembinaan ada suatu proses memberikan bimbingan, pengarahan dan
tindakan kepada yang dibinanya.
3. Pembinaan mengandung tujuan yang ingin dicapai.
Jadi, pembinaan merupakan suatu kegiatan yang didalam pelaksanaannya harus
disertai tujuan, proses bimbingan dan hasil yang ingin dicapai baik secara langsung maupun
tidak langsung terhadap subyek yang dibina. Bimbingan pengarahan dan tujuan harus ada
dalam proses pembinaan karena tanpa adanya hal tersebut maka pembinaan tidak akan
dapat berjalan dengan baik sesuai dengan apa yang diharapkan.
2.2 Pengertian Karakter
Menurut Musfiroh (UNY, 2008), karakter mengacu kepada serangkaian sikap (attitudes),
perilaku (behaviors), motivasi (motivations), dan keterampilan (skills). Sementara itu, Wynne
(Megawangi, 2004: 80) menjelaskan mengenai istilah karakter yang diambil dari bahasa Yunani
yang berarti “to mark” atau menandai dan memfokuskan yang lebih terfokus pada melihat
tindakan atau tingkah laku. Wynne mengatakan bahwa ada dua pengertian tentang karakter,
pertama ialah menunjukkan bagaimana seseorang bertingkah laku. Apabila seseorang

Akhmad, HB
54
berprilaku tidak jujur, kejam dan rakus maka orang tersebut memanifestasikan karakter jelek.
Sebaliknya apabila seseorang berprilaku jujur dan suka menolong maka orang tersebut
memanifestasikan karakter mulia. Kedua, istilah karakter erat kaitannya dengan “personality”.
Seseorang disebut “orang yang berkarakter” (a person of character).
2.3 Pembelajaran Membaca Sastra
Allen (1985:39) mengatakan bahwa salah satu tujuan terpenting pendidikan di SD adalah
menjamin anak untuk menjadi percaya diri, berkompetensi, dan mampu membaca beragam
teks. Rasa percaya diri dapat terwujud jika guru-siswa melakukan aktivitas berikut: Guru
menunjukkan rasa percaya terhadap kemampuan siswa sehingga siswa senang belajar
membaca. Guru juga mengetahui tahap perkembangan setiap siswa sehingga siswa selalu ada
pada tingkat yang realistik dalam belajar membaca. Selain itu guru memberi informasi kepada
siswa tentang bagaimana cara mengembangkan diri dengan cara yang positif sehingga siswa
merasa bahwa mereka akan berhasil dalam belajar. Guru juga mendorong siswa untuk aktif dan
mandiri dalam mengembangkan strategi belajar, sedangkan siswa akan belajar secara aktif dan
mandiri jika bahan bacaan cukup tersedia dan relevan dengan budaya dan pengalaman siswa.
Sastra menurut Lukens (2003: 9) menawarkan dua hal utama, yaitu kesenangan dan
pemahaman. Sastra hadir kepada pembaca sebagai hiburan yang menyenangkan. Gambaran
kehidupan yang ada dalam satra dapat memberikan pemahaman kepada pembaca tentang
berbagai persoalan hidup. Melalui sastra, anak dapat memperoleh, mempelajari dan
menanggapi persoalan hidup dan kehidupan. Melalui sastra pula, anak mendapatkan
pengalaman cara mengatasi berbagai persoalan yang ada.
2.4 Teori Perkembangan Siswa SD
Perkembangan kognitif siswa kelas 5 SD dapat diamati secara lebih terinci pada
tahap-tahap perkembangan kognitif yang dijabarkan oleh Piaget (1951: 123) yang meliputi
periode sensori motor, praoperasional, operasi konkrit, dan operasi formal. Berikut ini uraian
setiap tahap yang dimaksud.
1.Periode sensorimotor (Usia 0-2 tahun):
a. aktivitas refleks,
b. penyediaan sendiri,
c. koordinasi dan penggapaian,
d. perilaku terarah,
e. eksperimentasi, dan
f. pemecahan masalah
2. Periode Praoperasional (Usia 2-7 Tahun).
Perbedaan utama di antara periode sensorimotor dan praoperasional adalah
tingkat perkembangan dan penggunaan citra internal dan simbol-simbol.
Perkembangan pikiran sebagaimana yang tersajikan dengan kemampuan
permanen objek juga menjadi ciri periode ini.

Akhmad, HB
55
Periode ini disebut praoperasional karena anak belum mencapai operasi
logis. Periode ini meliputi tahap prakonseptual dan tahap intuitif. Tahap
prakonseptual ditandai dengan kemampuan menyimbolkan lingkungan dan
menginteranalisasi objek dan peristiwa. Konsep yang dibangun anak
masih belum matang (prakonsep). Tahap intuitif ditandai dengan keyakinan
anak yang secara umum didasarkan pada “rasa” benar, bukan pada pikiran
logis atau rasional.
3. Periode Operasi Konkrit (Usia 7-11 Tahun)
Periode operasi konkrit ditandai dengan kemampuan menggunakan kaidah-
kaidah logika untuk memecahkan masalah. Selama periode ini proses berpikir
anak menjadi lebih kompeten, lebih fleksibel, dan lebih mampu dalam
memahami dan menerapkan bentuk-bentuk ukuran, kebalikan, urutan
kemampuan, urutan klasifikasi, dan penggunaan angka.
4. Periode Operasi Formal (Usia 11 Tahun +)
Periode operasi formal ditandai dengan kemampuan menempatkan hal-hal
yang kongkrit ke dalam gagasan-gagasan abstrak atau yang bersifat hipotetik.
Anak mampu memahami konsep keadilan, kepribadian, dan kebenaran.

III. HASIL DAN PEMBAHASAN


3.1 Aktivitas Pembelajaran Membaca Cerita Anak yang Diarahkan Pada
Kemampuan Merespons Teks Cerita Anak Untuk Membina Karakter Peduli
Temuan Pembinaan Pengembangan Karakter Peduli melalui strategi pembelajaran
membaca cerita anak dengan model konferensi pada tahap pramembaca yang dapat
mengembangkan skemata dan minat baca siswa ditandai aktivitas guru (1) menyiapkan
sejumlah buku, (2) memamerkan buku, (3) mengajukan pertanyaan pengarahan untuk
membangkitkan pengetahuan dan pengalaman tentang buku dan prediksi isi serta
pengembangan karakter peduli, (4) memberi model-model pertanyaan untuk memahami dan
merespon buku serta mengembangkan karakter peduli yang ada di dalam buku cerita tersebut,
(5) menjelaskan tujuan membaca, (6) menjelaskan cara mengisi jurnal membaca, dan (7)
memberi kesempatan memilih buku cerita yang disukai siswa.
Adapun kegiatan yang dilakukan oleh siswa adalah menyimak dan terlibat dengan
aktif dalam aktivitas pembelajaran yang dilaksanakan oleh guru. Kegiatan tersebut memperkuat
temuan van Klinken (Purwo, 1991) tentang minat siswa SD terhadap buku cerita karena bahan
bacaan cerita secara potensial berisikan pesan-pesan pendidikan dan persoalan yang
dikonkretkan melalui peran yang dibawakan tokoh-tokoh dalam cerita. Burke (1986) berpendapat
bahwa sastra membantu anak membangun jembatan antara konkret dan abstrak. Penyajian
pesan yang konkret lebih mudah dipahami oleh siswa kelas 5 SD, karena siswa dalam tarap
kognitif tahap operasi konkret sebagaimana pendapat Piaget (1951).

Akhmad, HB
56
Selain itu, sastra memiliki keunikan yang mampu memikat anak sebagaimana
dikatakan oleh Galda (1993) bahwa sastra berisi beragam struktur yang berguna untuk
mengisahkan cerita, mengekspresikan emosi, poetik, dan menyajikan informasi. Contoh
beragam sastra bermutu akan memahamkan anak terhadap teks-teks baru melalui skema
organisasional. Mereka akan memiliki keyakinan yang baik tentang struktur teks yang membantu
anak memahami teks dan mengorganisasikan tulisan secara efektif.
Berdasarkan data observasi diperoleh temuan tentang gambaran pengetahuan dan
pemahaman pada siklus I, II dan III dari setiap siswa yang diteliti tentang nilai-nilai yang terkandung
di dalam judul dan ilustrasi gambar sampul buku cerita terkait karakter peduli. Siswa yang pada
siklus I dan II memiliki pengetahuan dan pemahaman yang telah mulai berkembang tentang apa
itu nilai dan bagaimana seharusnya menunjukkan sikap peduli, setelah mereka melihat dan
mengamati judul dan ilustrasi gambar sampul buku cerita dan menanggapinya dalam kegiatan
model konfrensi pada siklus III menunjukkan penguasaan pengetahuan dan pemahaman yang
dibuktikan dengan sudah bisa menunjukkan bentuk-bentuk sikap karakter peduli yang tersirat
dalam teks cerita ketika diminta menyebutkannya oleh guru. Dari temuan tersebut tergambar
adanya penguasaan perubahan pengetahuan siswa tentang perilaku yang menunjukkan karakter
peduli yang tersirat dalam judul dan ilustrasi gambar sampul buku cerita.
Hasil belajar pada tahap pramembaca adalah berkembangnya skemata siswa terhadap
membaca cerita anak dan berkembangnya minat membaca cerita anak. Berkembangnya
skemata siswa terhadap buku yang ditandai dengan membuat prediksi, menceritakan gambar,
menyebutkan judul dan pengarangnya yang secara konstan sangat tinggi pada semua siswa
yang diteliti menunjukkan bahwa kegiatan pendahuluan yang dilakukan secara tepat dapat
mengembangkan skemata siswa terhadap buku yang sudah dimiliki siswa. Skemata siswa
tentang buku tidak akan berkembang jika guru tidak aktif menggali skemata siswa dan
memotivasi siswa untuk membaca buku agar skemata siswa berkembang. Temuan tersebut
membuktikan bahwa peran guru sebagai pembangkit minat atau motivasi (motivator)
sebagaimana yang dikatakan oleh Gagne (1977) sangat penting. Minat atau motivasi siswa
akan menurun jika guru tidak berupaya membangkitkan atau menguatkannya. Dalam studi
pendahuluan, ternyata terlihat beberapa orang siswa ditanya tentang pengalaman membaca
buku, mereka menyatakan suka pada cerita, tetapi jarang membaca buku cerita.
Berkembangnya skemata siswa terhadap buku yang tidak diimbangi dengan
berkembangnya minat baca buku semua siswa yang diteliti, dan dapat dipahami karena semua
jenis hasil belajar tersebut berlainan, walaupun saling berhubungan. Skemata dapat tumbuh dan
berkembang dalam jangka pendek. Begitu kegiatan membaca selesai, skemata siswa berkembang.
Adapun berkembangnya minat baca buku merupakan hasil belajar yang memerlukan
proses panjang. Kegemaran membaca siswa (minat baca) dapat tumbuh dan berkembang
jika ditopang oleh pajangan bacaan-bacaan yang merangsang minat anak untuk membacanya.
Penyediaan bacaan-bacaan yan sesuai dengan usia dan kemampuan siswa baik yang diberikan
oleh guru maupun oleh orang tua turut berpengaruh terhadap tumbuh dan berkembangnya
minat baca. Dalam kaitan ini terbukti bahwa peran guru sebagai penyedia kemudahan atau
fasilitator berpengaruh efektif dalam perkembangan minat baca siswa.

Akhmad, HB
57
Pengaruh tersebut tampak pada siswa terteliti kelompok tinggi, Yuli dan Sulaiman.
Kedua siswa tersebut memiliki tingkat minat baca yang berbeda. Yuli sangat gemar membaca,
sedangkan Sulaiman hanya membaca jika ditugasi guru. Sulaiman memiliki tingkat baca yang
cukup. Menurut keterangan Sulaiman dia tidak terlalu suka membaca, sekalipun dia cukup
dalam satu hari membaca untuk menyelesaikan satu buku, tetapi Sulaiman memerlukan waktu
dua hari untuk membaca. Dia membaca hanya ditugasi oleh guru.
Menurut guru kelasnya, Yuli memang gemar membaca. Kegemaran tersebut
tampaknya dipengaruhi oleh tersedianya bahan bacaan bagi Yuli di rumah. Berdasarkan hasil
wawancara dengan Yuli, diperoleh informasi bahwa sejak usia taman kanak-kanak (TK), orang
tua Yuli sudah berlangganan majalah Bobo, Anak Saleh, Ananda, Donald Bebek selain koran.
Setelah di kelas V SD, orang tua Yuli tetap berlangganan 5 majalah yaitu “Bobo, Anak Saleh,
Ananda, Donal Bebek” dan koran Banjarmasin post.
Demikan pula halnya dengan Benny, siswa terteliti kelompok sedang. Benny memiliki
tingkat kegemaran yang tinggi. Kegemaran membaca yang dimiliki benny tampaknya terbentuk
karena ditunjang faktor tersedianya bacaan di rumah. Orang tua Benny berlangganan koran.
Tingginya minat baca pada ketiga siswa tersebut, sedangkan minat baca tiga siswa yang
lain rendah, membuktikan bahwa perbedaan dalam memberikan perancah (skaffolding) oleh orang
tua dirumah berpengaruh terhadap perkembangan minat baca siswa. Pemberian perancah oleh
orang tua yang berupa penyediaan buku-buku bacaan (buku-buku cerita anak) secara terus menerus
dapat menumbuhkan dan mengembangkan minat baca siswa terhadap buku bacaan.
Kegiatan memilih dan meminjam buku yang berlainan yang dilakukan siswa secara
individu dimungkinkan karena tersedianya buku dalam jumlah yang cukup. Usaha guru
menyiapkan sejumlah buku di kelas memudahkan siswa dalam memilih buku yang sesuai
dengan keinginan mereka. Pemberian kesempatan memilih sendiri bacaan oleh siswa sejalan
dengan karakteristik pandangan “whole language” yang tersirat dalam pendekatan terpadu
sebagaimana yang disarankan dalam KTSP, yakni anak-anak mempunyai pilihan dalam
menyeleksi materi dan aktivitas.
Pemberian kesempatan memilih buku bacaan menyebabkan siswa senang
melakukan kegiatan membaca. Akan tetapi, untuk menyelesaikan membaca satu buku
diperlukan waktu yang panjang. Oleh karena itu, guru memberi kesempatan bagi siswa untuk
membawa pulang buku yang belum selesai membaca. Kegiatan membaca di rumah dapat
terlaksana jika siswa terbiasa membaca, sedangkan bagi siswa yang tidak terbiasa membaca,
kegiatan tersebut sulit terlaksana. Untuk mengatasi hal tersebut, guru memperpanjang waktu
membaca di kelas dengan pertemuan-pertemuan berikutnya.
3.2 Perpaduan Empat Aspek Keterampilan Berbahasa, Menyimak, Berbicara, Membaca,
Menulis dalam Pembelajaran Membaca Cerita Anak Dapat Membina Karakter Peduli
Temuan Pembinaan Karakter Peduli melalui strategi pembelajaran membaca cerita
anak dengan model konferensi pada tahap membaca yang dapat mengembangkan
kemampuan siswa dalam memahami karakter peduli melalui membaca cerita anak ditandai
dengn aktivitas-aktivitas guru (1) memberi kesempatan pada siswa untuk membaca buku dalam

Akhmad, HB
58
hati, (2) berpartisipasi dalam membaca buku, (3) memantau kegiatan membaca siswa, dan
(4) mengingatkan siswa untuk menyiapkan dan mengisi jurnal membaca.
Kegiatan membaca buku secara individual yang cukup efektif oleh siswa
dimungkinkan, karena guru memainkan perannya sebagai fasilitator, partisipasi, dan memantau
kegiatan belajar siswa. Selain itu guru memberi kebebasan memilih buku. Dalam kaitan ini,
guru mengembangkan lingkungan belajar yang dapat mendorong dan mengarahkan siswa
untuk belajar sendiri dapat terwujudkan dalam pembelajaran pembinaan karakter peduli melalui
membaca cerita anak.
Hasil pembelajaran membaca cerita anak dengan model konferensi pada tahap
membaca adalah berkembangnya kemampuan siswa dalam memahami isi buku yang ditandai
dengan menceritakan isi, mengidentifikasi tokoh utama, menggambarkan karakter tokoh,
memaparkan peristiwa penting, dan menceritakan latar. Kualifikasi tingkat kemampuan
memahami isi buku pada ketiga kelompok terteliti cukup tinggi. Tingkat kemampuan yang
dicapai pada kemampuan memahami isi buku sama dengan tingkat kemampuan merespon
isi buku (fokus dalam pascamembaca) pada setiap siswa. Jika kualifikasi kemampuan seorang
siswa dalam memahami tinggi, maka kemampuan siswa tersebut dalam merespon juga tinggi.
Temuan tersebut dapat dipahami dengan melihat keterkaitan antara kemampuan
memahami dan kemampuan merespon. Misalnya, dalam memahami karakter tokoh utama,
siswa berusaha mengidentifikasi siapa yang tergolong tokoh utama berikut karakter tokoh yang
dimaksud. Hasil identifikasi tersebut direspon oleh siswa secara subjektif. Respon siswa yang
berisi pernyataan rasa suka atau tidak suka terhadap tokoh tertentu perlu didukung oleh hasil
indentifikasi pada proses memahami. Dengan demikian kedua kemampuan tersebut dapat
dikembangkan secara bersamaan.
Dengan berkembangnya kemampuan memahami, berkembang pula kecerdasan
intelektual, sedangkan dengan berkembangnya kemampuan merespon, berkembang pula
kecerdasan emosional siswa. Jika kedua kecerdasan tersebut dikembangkan bersama-sama
akan membuat siswa memiliki keterampilan yang komprehensif dalam memecahkan masalah,
serta mengembangkan karakter peduli dalam kehidupan sehari-hari. Dimungkinkan mereka
akan lebih intelektual, mereka juga cerdas dalam mengatur diri. Misalnya, mereka menjadi
lebih tekun dan tidak mudah berputus asa serta peduli sesama dibandingkan siswa yang
hanya memiliki kecerdasan intelektual. Jadi, temuan penelitian di atas sejalan dengan pendapat
Elias (1989) yang mengklasifikasikan teori pendidikan karakter yang berkembang menjadi
tiga, yakni: pendekatan kognitif, pendekatan afektif, dan pendekatan perilaku.
Namun, temuan lain yang dapat dikaitkan dengan kemampuan memahami adalah
minat baca. Temuan menunjukkan bahwa kemampuan memahami isi buku yang tinggi belum
tentu memiliki minat baca yang tinggi pula. Temuan tersebut membuktikan kebenaran temuan
Martin (Hasanah, 1986) yang menujukkan bahwa kemampuan membaca pemahaman tidak
berkolerasi langsung dengan minat baca.

Akhmad, HB
59
3.3 Pelibatan Siswa Secara Aktif dalam Pemilihan Bahan Bacaan Anak Dapat
Mengembangkan dan Membina Karakter Peduli
Temuan Pembinaan Karakter Peduli melalui strategi pembelajaran membaca cerita
anak dengan model konferensi pada tahap pascamembaca yang dapat mengembangkan
kemampuan siswa dalam merespon buku dan daya sosialisasi siswa ditandai dengan aktivitas-
aktivitas guru: (1) menyiapkan jadwal konferensi dan buku catatan konferensi, (2) memanggil
siswa untuk berkonferensi sesuai jadwal secara fleksibel, (3) melayani berkonferensi dengan
berdiskusi dan bertanya jawab tentang respon siswa terhadap isi cerita, gambar dan tokoh
serta karakter tokoh dalam buku, (4) memberi kesempatan kepada siswa untuk membaca
keras buku yang disukainya, merencanakan kegiatan membaca lanjutan, (5) mencatat hasil
konferensi, kelebihan dan kelemahan siswa, serta asesmen umum yang berhubungan dengan
karakter peduli.
Kegiatan menjadwalkan siswa yang akan berkonferensi tidak menutup kemungkinan
bagi guru untuk melayani siswa yang ingin berkonferensi di luar jadwal. Penjadwalan siswa
untuk berkonferensi bertujuan agar guru secara teratur mengadakan kontak dengan siswa
untuk membantu siswa melalui pengarahan terhadap siswa selanjutnya, maka kontak guru-
siswa akan lebih sering dilakukan. Sehingga pemantauan terhadap prilaku karakter peduli
bagi siswa terteliti, serta siswa pada umumnya didapat dipantau secara berkesinambungan.
Hasil pembelajaran membaca cerita anak dengan model konferensi pada tahap
pascamembaca adalah berkembangnya kemampuan siswa merespon buku yang ditandai
dengan menyatakan kesan dan sikap serta empati terhadap tokoh utama, menghubungkan isi
buku dengan pengalaman diri, dan pembinaan karakter peduli, dapat diterapkan melalui
pernyataan kesannya terhadap ilustrasi cerita. Selain itu berkembang pula daya sosialisasi
yang ditandai dengan siswa datang ke konferensi membawa jurnal membaca, aktif berbicara
dalam konferensi, asyik menyimak orang lain berbicara, dan dapat menjawab pertanyaan
dalam konferensi.
Kualifikasi daya sosialisasi pada siswa yang diteliti rata-rata sangat tinggi. Hal tersebut
menunjukkan, bahwa pada dasarnya siswa senang bersosialisasi sejak usia 3 tahun mereka
sudah dapat berinteraksi secara emosional dengan orang lain. Potensi tersebut dapat
berkembang jika lingkungan memungkinkan terjadinya proses sosialisasi yang intensif. Peran
guru di sini sebagai pencipta lingkungan (fasilitator) yang kondusif, motivator, dan konseler
sehingga memungkinkan berlangsungnya proses sosialisasi melalui kegiatan berkonferensi
secara individual antara guru dan siswa berpengaruh positif terhadap perkembangan karakter
peduli serta daya sosialisasi siswa.
Pemanduan kegiatan membaca dengan berbicara dalam konferensi menyebabkan
siswa lebih memahami bahwa kegiatan membaca buku yang mereka lakukan bermakna.
Mereka beranggapan bahwa hasil membaca akan didiskusikan dan didengar atau
dikomunikasikan dengan orang lain. Dengan demikian, akan mendorong siswa untuk
meningkatkan kemampuan membacanya. Jika dikaitkan dengan fungsi bahasa sebagai alat
komunikasi, khususnya fungsi instrumental dan fungsi representasional, maka siswa akan

Akhmad, HB
60
menyadari bahwa kemampuan membaca penting untuk dimiliki. Dalam fungsinya sebagai
instrumen, kegiatan membaca dapat digunakan untuk memperoleh sesuatu dari buku,
sedangkan dalam fungsinya sebagai alat representasi. Hasil kegiatan membaca dapat
digunakan untuk mengkomunikasikan informasi yang diperoleh dari buku cerita mengenai
pembinaan pengembangan karakter peduli dalam kehidupan siswa.
3.4 Interaksi Intensif Antara Guru-Siswa pada Pembelajaran Membaca Anak
melalui Model Konferensi Dapat Membina Karakter Anak
Siswa kelas V SD yang diteliti memiliki karakteristik yang memungkinkan diterapkannya
model konferensi, yakni memiliki skemata tentang buku cerita anak, senang dengan buku
cerita, dan memiliki potensi daya sosialisasi dalam pengembangan karakter peduli. Selain itu,
SD yang diteliti juga memiliki kemudahan yang mendukung penerapan pembelajaran membaca
cerita anak dengan model tersebut. Kemudahan yang dimaksud adalah tersedianya buku
dalam jumlah yang cukup banyak di perpustakaan sekolah, dan dukungan yang diberikan
Kepala Sekolah dalam pemanfaatan buku di perpustakaan.
Penerapan model konferensi dalam pembelajaran membaca cerita anak sejalan
dengan Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan. Model konferensi yang berfokus pada
pengembangan karakter peduli kemampuan merespon isi buku berkaitan dengan tujuan
pembelajaran membaca cerita anak di kelas V, yakni mampu menyerap isi cerita serta dapat
memberikan tanggapan. Model tersebut juga merupakan perwujudan dari penggunaan sumber
belajar yang berupa buku-buku di perpustakaan.
Bila dihubungkan dengan pandangan “whole language” yang tersirat dalam KTSP,
model konferensi dapat memadukan pembelajaran membaca dengan pembelajaran
menyimak, berbicara, dan menulis. Dengan demikian rambu-rambu yang mengisyaratkan
digunakan pada pendekatan terpadu dalam pembelajaran bahasa dapat diwujudkan.
Strategi pembelajaran membaca cerita anak dengan model konferensi
memungkinkan siswa mengikuti kegiatan pembelajaran membaca sesuai dengan kondisi
belajar yang dinyatakan oleh Cambourne (Hasanah, 1994:24). Dalam model konferensi, siswa
dikondisikan untuk “terbenam” atau “tercelup” dalam kegiatan membaca cerita anak,
menunjukkan kemampuan membaca, berharap bahwa kegiatan membaca yang dilakukannya
berguna, untuk mengembangkan karakter peduli, dan bertanggung jawab dengan kegiatan
membaca buku secara individual, berkesempatan menggunakan hasil membaca,
memperkirakan perkembangan kemampuan membacanya, dan mendapat respon langsung
terhadap kegiatan dan kemampuan membacanya.
Temuan model tersebut dapat ditransfer ke kelas lain (kelas 4 dan 6) di SD terteliti dan
di SD lain. Transfer ke kelas 4 dimungkinkan dengan syarat siswa kelas 4 sudah lancar
membaca, sedangkan transfer ke SD lain dimungkinkan jika karakteristik siswa sama dengan
siswa di kelas 5 SD terteliti. Selain itu, disyaratkan pula SD tersebut memiliki sarana pendukung
berupa tersedianya buku bacaan dalam jumlah yang cukup banyak dan Kepala Sekolah SD
tersebut juga mendukung pemanfaatan buku yang ada diperpustakan dibawa ke kelas untuk
kepentingan pembelajaran.

Akhmad, HB
61
IV. SIMPULAN
Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilaksanakan di SD Negeri Antasan Besar 7
Banjarmasin diperoleh kesimpulan sebagai berikut:
1. Dalam rangka memberikan gambaran yang lebih operasional tentang arah
pengembangan kelembagaan Visi dan Misi yang sudah ditetapkan maka melalui
studi yang dilakukan diketahui serangkaian tujuan yang dikemukakan pada saat
wawancara dengan Kepala Sekolah, Guru, Komite Sekolah dan siswa sebagai
berikut: (1) menjabarkan visi dan misi Sekolah, (2) mengembangkan potensi yang
dimiliki sekolah, (3) menyusun strategi yang tepat untuk merealisasikan visi dan
misi sekolah, (4) menetapkan tahapan pelaksanaan kegiatan dari setiap strategi,
(5) menghimpun dukungan dan kontribusi dari pihak terkait, serta mengembangkan
nilai-nilai karakter dan meningkatkan pendayagunaan potensi sumber daya manusia
melalui program yang nyata baik jangka pendek maupun jangka panjang.
2. Pengembangan karakter peduli melalui strategi pembelajaran membaca cerita
anak dengan model konferensi pada tahap pramembaca yang dapat
mengembangkan skemata dan minat baca siswa, ditandai aktivitas guru: (1)
menyiapkan sejumlah buku, (2) mengajukan pertanyaan pengarahan untuk
membangkitkan pengetahuan dan pengalaman serta pengembangan karakter
peduli, (3) memberi model-model pertanyaan untuk memahami dan merespon
buku serta mengembangkan karakter peduli yang ada dalam buku cerita tersebut.
Siswa yang pada siklus I dan II memiliki pengetahuan dan pemahaman yang telah
mulai berkembang tentang apa itu nilai dan bagaimana seharusnya menunjukkan
sikap peduli, setelah mereka melihat dan mengamati judul dan ilustrasi gambar
sampul buku cerita dan menanggapinya dalam kegiatan model konferensi pada
siklus III menunjukkan penguasaan pengetahuan dan pemahaman yang dibuktikan
dengan sudah bisa menunjukkan bentuk-bentuk sikap karakter peduli yang tersirat
dalam teks cerita ketika diminta menyebutkannya oleh guru. Dari temuan tersebut
tergambar adanya penguasaan perubahan pengetahuan siswa tentang perilaku
yang menunjukkan karakter peduli yang tersirat dalam judul dan ilustrasi gambar
sampul buku cerita.
3. Strategi pembelajaran membaca cerita anak dengan model konferensi pada tahap
membaca yang dapat mengembangkan kemampuan siswa dalam memahami
buku cerita anak ditandai peran guru sebagai fasilitator, pemantau, dan partisipasi
dalam kegiatan belajar dengan melakukan aktivitas (1) memberi kesempatan
kepada siswa untuk membaca buku dalam hati, (2) berpartisipasi dalam membaca,
(3) memantau kegiatan membaca siswa, dan (4) mengingatkan siswa untuk
menyiapkan dan mengisi jurnal membaca. Hasil belajar pada tahap membaca
adalah berkembangnya kemampuan siswa dalam memahami isi buku yang ditandai
dengan menceritakan isi mengidentifikasi tokoh utama, menggambarkan watak
tokoh, memaparkan peristiwa penting, dan menceritakan latar. Kualifikasi tingkat

Akhmad, HB
62
kemampuan memahami isi buku pada ketiga kelompok terteliti cukup tinggi.
Kemudian, berdasarkan data observasi diperoleh temuan tentang gambaran
pengetahuan dan pemahaman dari setiap siswa yang diteliti tentang nilai-nilai
yang tersurat di dalam buku cerita terkait karakter peduli. Setiap sampel siswa yang
sebelum dilaksanakan proses pembelajaran pada tahap membaca belum mampu
mengidentifikasi dan menuliskan kembali tentang apa itu nilai dan bagaimana
seharusnya menunjukkan sikap peduli, setelah mereka membaca buku cerita dan
menanggapinya dalam kegiatan model konferensi mulai menunjukkan peningkatan
kemampuan mengidentifikasi dan menuliskan kembali bentuk-bentuk sikap
karakter peduli yang tersurat dalam teks cerita ketika diminta menuliskannya dalam
jurnal membaca oleh guru. Dari temuan tersebut tergambar adanya penguasaan
kemampuan mengidentifikasi dan menuliskan kembali bentuk-bentuk sikap
karakter peduli yang tersurat buku cerita.
4. Strategi pembelajaran membaca cerita anak model konferensi pada tahap
pascamembaca yang dapat mengembangkan kemampuan siswa dalam merespon
buku cerita anak dan daya sosialisasi siswa ditandai peran guru sebagai motivator
yaitu (1) menyiapkan jadwal konferensi dan buku catatan konferensi, (2) memanggil
siswa untuk berkonferensi sesuai jadwal secara fleksibel, (3) melayani siswa yang
berkonferensi dengan berdiskusi dan bertanya jawab tentang respons siswa
terhadap isi cerita, gambar dan tokoh dalam buku, (4) memberi kesempatan kepada
siswa untuk membaca keras buku yang disukainya dan merencanakan kegiatan
membaca lanjutan guru, (5) menunjukkan perhatian terhadap siswa yang
berkonferensi dengan mengamati, menunjukkan reaksi positif, memotivasi siswa,
dan (6) mencatat hasil konferensi, kelebihan dan kelemahan siswa, serta asesmen
umum. Dalam konteks pencapaian nilai-nilai karakter peduli, siswa telah
menunjukkan keterampilan dan kemampuan tentang penerapan nilai-nilai karakter
peduli dalam aktivitas partisipasi dan sosialisasi siswa baik pada saat pembelajaran
di kelas maupun di lingkungan sekolah secara lebih luas dengan baik. Ini ditunjukkan
dari: (1) siswa melaksanakan kegiatan konferensi dengan penuh antusias, (2) siswa
semakin terbuka bersosialisasi dengan sesama teman dan guru secara individual,
(3) Siswa yang siap berkonferensi menunjukkan aktivitas berbicara dan menjawab
pertanyaan-pertanyaan dengan baik. Selain itu, pada perilaku siswa dalam aktivitas
yang lebih luas, misalnya pada setiap kegiatan kebersihan semua siswa aktif untuk
turun langsung melaksanakannya dengan penuh kerelaaan dan semangat, bahkan
dihari-hari biasa perilaku peduli lingkungan itu terus terjaga, apalagi dengan adanya
semboyan dan gerakan “LISA” yang berarti “lihat sampah, ambil” yang merupakan
salah satu program sekolah. Di samping itu, rasa kepedulian siswa secara sosial
juga tinggi, terbukti dari pengamatan bahwa siswa diantaranya terlibat aktif dalam
program sekolah untuk membantu sesama yang dikenal dengan nama “Bumbung
Amal” dimana setiap siswa secara sukarela menyisihkan uang sakunya untuk
didermakan setiap hari Jum’at untuk kepentingan membantu sesama rekan siswa

Akhmad, HB
63
yang memerlukan atau tertimpa kemalangan. Di sini, terlihat jelas siswa semakin
menunjukkan sikap-sikap yang mencerminkan perilaku yang berkarakter, terutama
karakter peduli.
5. Hasil belajar pada tahap pascamembaca adalah berkembangnya kemampuan
siswa merespon buku yang ditandai dengan menyatakan kesan dan sikap serta
empati terhadap tokoh utama, menghubungkan isi buku dengan pengalaman diri,
dan menyatakan kesannya terhadap ilustrasi yang ditandai dengan siswa datang
ke konferensi membawa jurnal membaca, aktif berbicara dalam konferensi, aktif
menyimak orang lain berbicara, dan dapat menjawab pertanyaan dalam konferensi.
Kualifikasi kemampuan merespon dan daya sosialisasi pada siswa terteliti rata-
rata tinggi. Strategi pembelajaran membaca cerita anak yang dapat digunakan
sebagai model pembelajaran di kelas SD terteliti meliputi ketiga tahap tersebut
yakni tahap: (a) pramembaca: aktivitas pendahuluan, (b) membaca: membaca
individual, dan (c) pascamembaca: berkonferensi serta (d) dapat mengembangkan
karakter peduli dalam tingkah laku dan perbuatan, terutama siswa terteliti.

DAFTAR PUSTAKA
Abidin, D.Z. (2008). Al-Qur’an For Life Excelence: Tips-tips Cemerlang dari Al-Qur’an. Jakarta.
PT Mizan Publika.
Agustian AG. (2009). Bangkit dengan 7 Budi Utama. Jakarta. PT Arga Publishing.
Al-Hasyimi, A.M. (2006). Kepribadian Seorang Muslim. Riyadh: International Islamic Publishing
House (IIPH).
Alwasilah, A.C. 2008. Pokoknya Kualitatif. Jakarta: Pustaka Jaya.
Alwasilah Chaedar A. 2010. Pokoknya Action Research, Bandung: Kiblat.
Allen. D. Joan. 1985. Reading on. Melbourne: The Education Departement of Victoria.
Aminuddin. 1995. Pemahaman dan Penikmatan Bacaan Sastra Bagi Anak Usia Sekolah Dasar.
Malang: IKIP Malang.
Amirin Tatang M. Menyusun Rencana Penelitian. PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta.
Amril,M. 2005. Etika dan Pendidikan.Yogyakarta. Aditya Media, dan Pekanbaru: LSFK2P.
Bertens, K. 1994. Etika. Jakarta: Gramedia Pustaka Umum.
Borba, M. 2001. Building Moral Intelligence (The Seven Essensial Virtues That Teach Kids to Do
the Right Thing. Alih bahasa Lina Jusuf. 2008. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.
Budimansyah, D. 2010. Penguatan Pendidikan Kewarganegaraan Untuk Membangun Karakter
Bangsa. Bandung: Widya Aksara Press.
Dean B.L. 2000. Islam, Demorcraey And Social Studies Education; A Quest for Possibilities. A
thesis submitted to the Faculty of Graduate Studies and Research In partial fulfilment
of the requirement for the degree of Doctor of Philosophy Alberta of University
Denzen.N.K.1998. Handbook of Qualitative Research. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Akhmad, HB
64
Denzin, N.K. & Lincoln, Y.S. 1997. Handbook of Qualitative Research. Penerjemah Dariyatno
dkk. 2009. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Departemen Pendidikan Nasional. 2006. Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan.
Jakarta: Depdiknas.
Departemen Pendidikan Nasional. 2007. Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Republik
Indonesia No.41 Tahun 2007 tentang Standar Proses untuk Satuan Pendidikan
Dasar dan Menengah. Tersedia: http://www.bnsp-indonesia.org/ standar-
proses.php.
Departemen Pendidikan Nasional .2008. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta. Jakarta
Press.
Djahiri, Kosasih. 1996. Menelusuri Dunia Afektif untuk Moral dan Pendidikan Nilai Moral.
Bandung: LPPMP.
Dworetzky, John P. 1990. Introduction to Child Development. St. Paul: West Publishing Company.
Echols, John M. Dan Hasan Shadily. 1995. Kamus Inggris Indonesia. Gramedia, Jakarta.
Elias, J.J. 1989. Moral Education: Secular and religious. Florida: Robert E. Krieger Publishing
Co., Inc.
Ellis, Arthur. 1989. Elemertary Language Arts. New Jersey: Prentice Hall.
Elmubarok, Z. 2007. Membumikan Pendidikan Nilai. Bandung. Alfabeta.
Enoch Jusuf. 1992. Dasar-dasar Perencanaan Pendidikan. Bumi Aksara, Jakarta.
Gaffar, F. 2004. Membangun Pendidikan Nasional untuk Meningkatkan Kualitas Masyarakat
Bangsa Indonesia, Bandung: UPI Press
Galda, Lee dkk. 1993. Language, Literacy and Child. Florida. Harcourt Brace Jovanovich College
Publisher.
Gagne, R.M. 1977. The Condition of Learning. Holt, Rinehart and Winston, New York.
Hakam, A.K. 2000. Pendidikan Nilai. Bandung. MKDU Press.
Hasan dkk. 2010. Pengembangan Pendidikan Budaya dan Karakter Bangsa (Bahan Pelatihan
Penguatan Metodologi Pembelajaran Berdasarkan Nilai-nilai Budaya untuk Membentuk
Daya Saing Bangsa dan Karakter Bangsa). Jakarta. BPPPK Kemendiknas.
Hasanah. 1998. Strategi Pembelajaran Membaca Prosa Fiksi dengan Model Konferensi, PBSI
IKIP Malang.
Hayat. B., dkk. 2010. Benchmark Internasional. Mutu Pendidikan. Jakarta. PT. Bumi Aksara.
Holdawai, Don. 1980. Independence in Reading. Sidney: Ashton Scholastic.
Hornsby, David., dkk. 1986. Read on: A Conference Approach to Reading. Sidney: Horwitz
Grahame Books Pty. Ltd.
Huck, Charlotte. 1987. Children Literature in The Elementary School. Chicago: Rand McNally.
Hunt, Peter. 1995. Criticism, Theory and Childern’s. Cambridge, Massachusetts: Blackwell.

Akhmad, HB
65
Hurlock, B.E. 1998. Child Development (Perkembangan Anak). Alih Bahasa Tjandrasa dan
Zarkasih. Jakarta: Erlangga.
Kemendiknas. 2010. Bahan Pelatihan Penguatan Metode Pembelajaran Berdasarkan Nilai-
Nilai Budaya untuk Membentuk Daya Saing dan Karakter Bangsa. Puskur.
Izutsu, T. 1993. Konsep-Konsep Etika Religius dalam Qur’an (Ethico-Religious Concepts in the
Qur’an). Terjemahan Agus Fahri Husein. Yogyakarta: Tiara Wacana Yogya.
Joni, T. Raka. 1990. Pembentukan Nilai-Nilai Moral. Tantangan Bagi Pendidikan Dasar
Menyongsong Abad Informasi. Makalah disajikan dalam Seminar Nasional Pengajaran
Bahasa dan Sastra Indonesia IKIP Malang, Malang, 5 – 6 November 1990.
Kementerian Pendidikan Nasional. 2010. Bahan Pelatihan Penguatan Metodologi
Pembelajaran Berdasarkan Nilai-Nilai Budaya Untuk Membentuk Daya Saing Dan
Karakter Bangsa, Pusat Kurikulum. Jakarta.
Lickona, T. 1991. Educating for Character, New York: Bantam Books.
Lukens, Rebecca J. 2003. A Critical Handbook of Children’s Literature. New York: Longman.
Maleong Lexy J. 1988. Metodologi Penelitian Kualitatif. PT. Remaja Rosdakarya: Bandung.
Megawangi, Ratna. 2004. Pendidikan Karakter Solusi yang Tepat untuk Membangun Bangsa,
Jakarat: BPMIGAS.
Mulyana, R. 2004. Mengartikulasikan Pendidikan Nilai. Bandung: Alfabeta.
Musaba, Zulkifli. 2005. KTSP: Terampil Menulis dalam Bahasa Indonesia yang Benar. Penerbit
Sarjana Indonesia.
Norton, Donna E. dan Sandra Norton. 1994. Language Arts Activities for Children. New York:
MacMillan Publishing Company, Inc.
Nurgiantoro, Burhan. 2009. Teori Pengkajian Fiksi Gajah Mada Universiti Press Yogjakarta
Nurgiantoro, Burhan. 2010. Sastra Anak Pengantar Pemahaman Dunia Anak. Yogyakarta: Gajah
Mada Universiti Press.
Purwanto, N. 1995. Ilmu Pendidikan Teori dan Praktis. Bandung. PT Remaja Rosdakarya.
Purwo, Bambang Kaswanti. 1991. Pengajaran Bahasa Indonesia di Sekolah Dasar. Makalah
disajikan dalam Konfrensi Nasional ke Enam Masyarakat Linguistik Indonsia,
Semarang, 7 – 13 Juli.

Akhmad, HB
66
PENDIDIKAN KARAKTER DALAM PEMBELAJARAN BAHASA:
MEMBANGUN KARAKTER SISWA MELALUI DRAMA
Ali Harun dan Armin Fani
Universitas Negeri Malang

ABSTRAK
Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional dalam pasal 3
menyatakan bahwa “Pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan
membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan
kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia
yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu,
cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab.”
Dalam pasal tersebut terlihat jelas komitmen pemerintah tentang perlu adanya pendidikan
karakter pada semua lembaga pendidikan, namun pendidikan karakter itu sendiri harus
diajarkan secara terintegrasi dengan mata pelajaran yang telah ada. Sebagai contoh
pendidikan karakter harus diajarkan secara implisit dalam pengajaran bahasa. Pengintegrasian
pendidikan karakter dalam pembelajaran bahasa khususnya bahasa Inggris adalah
mengintegrasikan nilai-nilai karakter ke dalam kompetensi kebahasaan yang meliputi ranah
kognitif, afektif, dan psikomotorik. Kompetensi kebahasaan yang dicapai dari proses
pembelajaran bahasa Inggris adalah meliputi listening ‘keterampilan menyimak’, speaking
‘keterampilan bicara’, reading ‘keterampilan membaca’, dan writing ‘keterampilan menulis’.
Khusus untuk pengajaran speaking skill, ada banyak cara atau strategi untuk mengintegrasikan
pendidikan karakter kedalam pengajaran kompetensi tersebut diantaranya adalah debate,
role-play, drama, dan lain-lain. Paper ini bertujuan untuk menginformasikan bagaimana cara
membentuk karakter siswa melalui drama dan bagaimana cara penerapannya di kelas.
Berdasarkan penelitian dari Philips (1999) dan McCaslin (2000) menyatakan bahwa drama
bisa meningkatkan minat siswa, kepercayaan diri, tanggung jawab, kedisiplinan dan mengajak
siswa untuk berfikir kreatif.
Kata Kunci: pendidikan karakter, pembelajaran bahasa, integrasi, drama

I. PENDAHULUAN
Jika kita bercermin dengan peristiwa dan fenomena yang terjadi di masyarakat
sekarang ini banyak hal-hal yang memprihatinkan telah terjadi. Seperti halnya tawuran antar

Ali Harun & Armin Fani


67
pelajar dan atau aksi demo yang dilakukan oleh mahasiswa yang ujung-ujungnya bisa menjurus
kasar dan bahkan ada yang menelan korban jiwa.
Karena banyaknya hal negatif yang terjadi di masyarakat, itu menunjukkan bahwa
nilai-nilai karakter mulia di masyarakat sudah mulai hilang. Oleh karena itu salah satu cara
untuk menanamkan kembali nilai-nilai karakter mulia di masyarakat khususnya pada diri peserta
didik, pemerintah membuat kebijakan untuk mengintegrasikan pendidikan karakter dalam
setiap mata pelajaran di sekolah. Hal itu tercantum dalam pasal 3 Undang-Undang Nomor 20
Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional menyatakan bahwa “Pendidikan nasional
berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang
bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya
potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang
Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara
yang demokratis serta bertanggung jawab.”
Menurut Suyanto (2009) pembentukan karakter bertujuan untuk mengembangkan
potensi peserta didik untuk memiliki kecerdasan, kepribadian dan akhlak mulia. Selain itu
menurut Triyono (2012), pendidikan karakter dimaksudkan untuk mengembangkan
kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka
mencerdaskan kehidupan bangsa. Secara lebih khusus, pendidikan karakter memiliki tiga
fungsi utama, yaitu (1) pembentukan dan pengembangan potensi; (2) perbaikan dan penguatan;
dan (3) penyaring. Hal ini dimaksudkan untuk menyaring nilai-nilai budaya bangsa lain yang
positif untuk menjadi karakter manusia dan warga negara Indonesia agar menjadi bangsa
yang bermartabat (Nuh, 2011). Dalam pembelajaran bahasa asing, akan tampak jelas bahwa
mahasiswa di samping mempelajari bahasa, secara otomatis mereka akan mempelajari
budaya asing itu. Dengan demikian, fungsi penyaringan tersebut sangat diperlukan agar
mahasiswa dapat memiliki kepekaan terhadap nilai-nilai yang dianutnya dan tidak mudah
terpengaruh oleh budaya asing yang belum tentu cocok dengan budaya Indonesia. Karena
pendidikan karakter harus diintegrasikan dalam setiap mata pelajaran, paper ini bertujuan
untuk menginformasikan bagaimana cara membentuk karakter siswa dalam pembelajaran
bahasa khususnya bahasa Inggris melalui drama.

II. PEMBAHASAN
Pendidikan karakter sudah menjadi bahan atau subjek investigasi filosofis dan fisikologi
sejak Aristoteles, tiga teori dari pendidikan karakter adalah an ethics of fear, and ethics of
shame, and an ethics of wisdom (Kraut, 2001). Pengertian pendidikan karakter menurut Pusat
Bahasa Depdiknas adalah bawaan hati, jiwa, kepribadian, budi pekerti, perilaku, personalitas,
sifat, tabiat, temperamen, watak.
Badan Penelitian dan Pengembangan, Pusat Kurikulum Kementerian Pendidikan
Nasional (2011: 10) telah merumuskan materi pendidikan karakter yang mencakup aspek-
aspek sebagai berikut:

Ali Harun & Armin Fani


68
1. Religius: sikap dan perilaku yang patuh dalam melaksanakan ajaran agama yang
dianutnya, toleran terhadap pelaksanaan ibadah agama lain, serta hidup rukun
dengan pemeluk agama lain.
2. Jujur: perilaku yang didasarkan pada upaya menjadikan dirinya sebagai orang yang
selalu dapat dipercaya dalam perkataan, tindakan, dan pekerjaan.
3. Toleransi: sikap dan tindakan yang menghargai perbedaan agama, suku, etnis,
pendapat, sikap, dan tindakan orang lain yang berbeda dari dirinya.
4. Disiplin: tindakan yang menunjukkan perilaku tertib dan patuh pada berbagai
ketentuan dan peraturan.
5. Kerja Keras: tindakan yang menunjukkan upaya sungguh-sungguh dalam mengatasi
berbagai hambatan dan tugas, serta menyelesaikan tugas dengan sebaik-baiknya.
6. Kreatif: berpikir dan melakukan sesuatu untuk menghasilkan cara atau hasil baru
dari sesuatu yang telah dimiliki.
7. Mandiri: sikap dan perilaku yang tidak mudah tergantung pada orang lain dalam
menyelesaikan tugas-tugas.
8. Demokratis: cara berfikir, bersikap, dan bertindak yang menilai sama hak dan
kewajiban dirinya dan orang lain.
9. Rasa Ingin Tahu: sikap dan tindakan yang selalu berupaya untuk mengetahui lebih
mendalam dan meluas dari sesuatu yang dipelajarinya, dilihat, dan didengar.
10.Semangat Kebangsaan: cara berpikir, bertindak, dan berwawasan yang
menempatkan kepentingan bangsa dan negara di atas kepentingan diri dan
kelompoknya.
11.Cinta Tanah Air: cara berpikir, bersikap dan berbuat yang menunjukkan kesetiaan,
kepedulian, dan penghargaan yang tinggi terhadap bahasa, lingkungan fisik, sosial,
budaya ekonomi, dan politik bangsanya.
12.Menghargai Prestasi: sikap dan tindakan yang mendorong dirinya untuk
menghasilkan sesuatu yang berguna bagi masyarakat, dan mengakui, serta
menghormati keberhasilan orang lain.
13.Bersahabat/Komunikatif: tindakan yang memperlihatkan rasa senang berbicara,
bergaul, dan bekerjasama dengan orang lain.
14.Cinta Damai: sikap, perkataan, dan tindakan yang menyebabkan orang lain merasa
senang dan aman atas kehadirannya.
15.Gemar Membaca: kebiasaan menyediakan waktu untuk membaca berbagai
bacaan yang memberikan kebajikan bagi dirinya.
16.Peduli Lingkungan: sikap dan tindakan yang selalu berupaya mencegah kerusakan
pada lingkungan alam di sekitarnya, dan mengembangkan upaya-upaya untuk
memperbaiki kerusakan alam yang sudah terjadi.

Ali Harun & Armin Fani


69
17. Peduli Sosial: sikap dan tindakan yang selalu ingin memberi bantuan pada orang
lain dan masyarakat yang membutuhkan.
18. Tanggung Jawab: sikap dan perilaku seseorang untuk melaksanakan tugas dan
kewajibannya, yang seharusnya dia lakukan, terhadap diri sendiri, masyarakat,
lingkungan (alam, sosial dan budaya), negara dan Tuhan Yang Maha Esa.
Penilaian pendidikan karakter menurut Anderson (Mardapi, 2011) memiliki dua
metode. Pertama, dengan metode observasi dan kedua dengan menggunakan metode laporan.
Lewin (Mardapi, 2011) mengemukakan bahwa perilaku seseorang merupakan fungsi dari
watak yang terdiri atas kognitif, afektif, dan psikomotor, sedangkan karakteristik lingkungan saat
perilaku atau perbuatan ditampilkan. Jadi, tindakan atau perbuatan seseorang ditentukan watak
dirinya dan kondisi lingkungannya.

III. PEMBELAJARAN BAHASA INGGRIS


Dalam pembelajaran bahasa ada kompetensi kebahasaan yang harus dicapai atau
yang harus di kuasai. Kompetensi kebahasaan tersebut adalah listening, reading, speaking
dan writing. Dalam kompetensi membaca atau reading skill, para peserta didik atau siswa
dituntut untuk bisa memahami isi bacaan yang tertulis dalam bahasa Inggris. Selain itu peserta
didik juga dituntut untuk bisa menangkap makna yang tersurat maupun tersirat, serta mengetahui
specific information di dalam bacaan yang tertulis dalam bahasa Inggris. Menurut Goodman
(1993) mengemukakan bahwa membaca adalah suatu proses reseptif bahasa. Keterampilan
membaca adalah suatu proses psikolinguistik yang di dalamnya merupakan representasi unsur
permukaan linguistik yang dienkodekan oleh penulis dan berinteraksi dengan pembaca sehinga
dapat memahami hal-hal yang tertuang dalam tulisan tersebut.
Dalam kompetensi atau keterampilan berbicara, speaking skill, para siswa dituntut
untuk bisa menggunakan ungkapan yang baik dan benar pada saat berkomunikasi. Menurut
Savignon (Triyono, 2012) mengatakan bahwa berbicara merupakan proses komunikasi lisan.
Komunikasi akan terjadi jika terdapat kesepakatan mengenai makna dalam konteks bahasa
antara pembicara dan pendengar pesan yang disampaikan. Kesesuaian makna dalam konteks
bahasa itulah yang pada akhirnya menentukan efektif atau tidaknya informasi yang disampaikan
lewat sebuah komunikasi tersebut. Pembicara yang efektif tersebut dapat terjadi apabila pesan
yang disampaikan identik dengan pesan yang disampaikan (Hybel & Weaver, dalam Triyono,
2012). Hal-hal yang diukur dalam kompetensi berbicara adalah fluency and acuracy.

IV. PENDIDIKAN KARAKTER DALAM PEMBELAJARAN BAHASA MELALUI DRAMA


Untuk pengintegrasian pendidikan karakter dalam pembelajaran bahasa bisa dikaitkan
dengan kompetensi kebahasaan baik listening, reading, speaking dan writing. Di dalam paper
ini akan lebih fokus bagaimana mengintegrasikan pendidikan karakter siswa dalam
pembelajaran bahasa Inggris, khususnya keterampilan berbicara, speaking skill, melalui drama
atau metode bermain peran.

Ali Harun & Armin Fani


70
Drama atau bermain peran adalah salah satu bentuk permainan pendidikan yang
digunakan untuk menjelaskan perasaan sikap, tingkah-laku dan nilai, dengan tujuan untuk
menghayati perasaan, sudut pandangan dan cara berfikir orang lain. Menurut Pranowo (2013),
pembelajaran menggunakan metode ini akan membawa peserta didik untuk belajar
memecahkan masalah pribadi, dengan bantuan kelompok sosial yang anggotanya adalah
teman-temannya sendiri. Melalui drama, peserta didik mencoba mengeksploitasikan masalah-
masalah hubungan antar manusia dengan cara memperagakannya.
Tahapan pembelajaran drama meliputi: (1) Menghangatkan suasana dan memotivasi
peserta didik; (2) memilih peran; (3) menyusun tahap-tahap peran; (4) menyiapkan pengamat;
(5) tahap pemeranan; (6) diskusi dan evaluasi (Mulyasa, 2004). Melalui langkah-langkah
tersebut, siswa diharapkan dapat melakukan hal-hal seperti berikut:
- Melatih dirinya untuk memahami dan mengingat isi bahan yang akan diperankan.
Sebagai pemain, peserta didik dituntut untuk memahami, menghayati isi cerita
secara keseluruhan, terutama untuk materi yang harus diperankannya. Dengan
demikian, daya ingatan mereka harus tajam dan tahan lama.
- Berlatih untuk berinisiatif dan berkreatif. Pada waktu bermain peran, para pemain
dituntut untuk mengemukakan pendapatnya sesuai dengan waktu yang tersedia.
- Bakat mereka sehingga dimungkinkan akan muncul atau tumbuh bibit seni drama
dari dalam kelas.
- Menumbuhkan dan membina kerjasama antarpemain sebaik-baiknya.
- Membiasakan mereka untuk menerima dan membagi tanggung jawab
antarsesamanya.
- Membina dan mengembangkan bahasa lisan mereka menjadi lebih baik dan lebih
mudah memahami dan dipahami oleh orang lain.
Menurut Sumaryadi (2011), drama bisa membantu anak ke arah pembentukan
pribadinya yang erat hubungannya dengan pembentukan sikap sosial anak. Berkegiatan drama
secara rutin atau berkesinambungan bisa berdampak positif bagi anak-anak karena mereka
cenderung menjadi betah bergaul dengan orang lain tanpa memandang status sosial. Mereka
bisa saling menghormati pendapat orang lain, sabar mendengarkan pembicaraan orang lain.
Dalam kaitan pembelajaran bahasa khususnya speaking skill, drama bisa menjadi sebuah
strategi untuk mengajarkan pronounciation, intonation yang benar dalam berkomunikasi.
Berdasarkan penelitian dari Philips (1999) dan McCaslin (2000) menyatakan bahwa drama
bisa meningkatkan minat siswa, kepercayaan diri, tanggung jawab, kedisiplinan dan mengajak
siswa untuk berfikir kreatif. Selain itu berdasarkan penelitian para ahli, drama juga bisa:
- Practicing & acquiring vocabulary
- Lowering affective filter
- Overcoming language anxiety/reduce anxiety
- Impact on self-esteem
- Impact on oral language skill, etc.

Ali Harun & Armin Fani


71
V. SIMPULAN
Pendidikan karakter merupakan tugas dan tanggung jawab semua pihak, orang tua,
guru, dan lingkungan. Lembaga pendidikan formal mempunyai kewajiban membentuk karakter
siswa sesuai dengan peraturan pemerintah dengan cara mengintegrasikan pendidikan karakter
ke dalam setiap mata pelajaran.
Dalam pembelajaran bahasa, pendidikan karakter bisa diintegrasikan pada saat
pengajaran language skill, seperti listening, reading, speaking, and writing. Untuk pembelajaran
speaking skill, guru bisa mengintegrasikan pendidikan karakter ke dalamnya melalui drama.
Penerapan metode drama dalam pembelajaran bahasa khususnya speaking skill, selain
berdampak positif dari segi linguistik seperti practicing & acquiring vocabulary, lowering affective
filter, overcoming language anxiety/reduce anxiety, dalam kasus pendidikan karakter drama
juga bisa meningkatkan minat siswa, kepercayaan diri, tanggung jawab, kedisiplinan dan
mengajak siswa untuk berfikir kreatif, serta mengajarkan siswa untuk saling hormat-
menghormati. Hal ini sesuai dengan hasil penelitian dari Pranowo (2013).

DAFTAR PUSTAKA
Goodman, V. 1993. Simply Read: Helping Others Learn to Read. Canada: Reading Wings Inc.
Kraut, R. 2001. Aristotle’s ethics. In E. Zalta (Ed.), Stanford Encyclopedia of Philosophy. Stanford,
CA: The Metaphysics Research Lab, Stanford University. Retrieved April 2004, from
http://plato.stanford.edu/entries/aristotle-ethics/
Mardapi, D. 2011. Penilain Pendidikan Karakter. Dalam D. Zuchdi, Pendidikan Karakter dalam
Presfektif Teori dan Praktik . Yogyakarta: UNY Press.
Mulyasa, E. 2004. Implementasi Kurikulum 2004: Panduan Pembelajaran KBK. Bandung:
Remaja Rosdakarya.
Pranowo, D. J. 2013. Implementasi Pendidikan Karakter Kepedulian dan Kerja Sama pada
Mata Kuliah Keterampilan Berbicara Bahasa Prancis dengan Metode Bermain Peran.
Jurnal Pendidikan Karakter (III), 218-229.
Sumaryadi. 2011. Seni Drama dan Pendidikan Karakter. Seminar Nasional Jurusan Pendidikan
Sendratrasik Se-Indonesia. Yogyakarta: FBS UNY.
Suyanto. 2009. Urgensi Pendidikan Karakter. Jakarta: Direktorat Jenderal Manajemen
Pendidikan Dasar dan Menengah.
Triyono, S. 2012. Pengintegrasian Pendidikan Karakter dalam Pembelajaran Bahasa Jerman.
Jurnal Pendidikan Karakter (II), 269-279.

Ali Harun & Armin Fani


72
MEMBANGUN KARAKTER SISWA MELALUI SASTRA LISAN DALAM
PEMBELAJARAN BAHASA INDONESIA
Asna Ntelu
Universitas Negeri Gorontalo

ABSTRAK
Sastra lisan adalah sastra yang hidup dan berkembang di daerah Gorontalo yang hampir-
hampir tidak tersentuh oleh para pendidik di sekolah. Justru dalam sastra lisan tersebut begitu
banyak hal yang dapat diambil manfaatnya terutama bagi generasi muda pada umumnya dan
peserta didik pada khususnya. Sastra lisan di Gorontalo sesuai dengan hasil penelitian, terdapat
lima belas ragam. Kelima belas ragam tersebut, antara lain: paantungi (semacam lohidu,
dendang rakyat yang diucapkan dalam bahasa Melayu), lohidu (dendang rakyat dalam bahasa
Gorontalo), paa’iya lo hungo lopoli (berbalas pantun), piilu (dongeng), tahuli (sejenis puisi
yang diucapkan oleh seorang raja yang sedang memerintah kepada raja yang lain yang baru
memangku jabatan), tahuda (nasihat kepada raja yang baru dinobatkan, tuja’i (puisi adat),
leningo (kata-kata arif atau petuah yang diucapkan oleh orang tua yang pandai dan bijaksana).
Sastra lisan ini masih dipertahankan hidupnya oleh masyarakat Gorontalo karena memiliki
fungsi dan nilai yang berhubungan dengan hidup dan kehidupan masyarakatnya. Nilai-nilai
tersebut dapat disebutkan antara lain: nilai moral, nilai sosial, nilai didik, nilai religius. Semua
nilai ini merupakan sarana dalam pembentukan karakter bagi peserta didik melalui
pembelajaran bahasa di sekolah. Menurut hemat penulis, masalah ini belum banyak yang
mengangkat ke permukaan untuk diperbincangkan. Tidak terlepas dari masalah yang
dikemukakan di atas, maka tujuan penulisan makalah ini setidaknya dapat mengungkap
bagaimana peran sastra lisan tersebut dapat memberi pencerahan terhadap tumbuhnya
karakter seseorang setelah membaca dan mempelajari sastra tersebut.
Kata-kata kunci: karakter, sastra lisan, pembelajaran bahasa Indonesia

I. PENDAHULUAN
Indonesia yang terdiri atas beribu pulau dengan berbagai ragam bahasa, agama,
suku, dan budaya memiliki banyak ragam sastra lisan. Sastra lisan itu sendiri pada hakikatnya
telah dikenal oleh suatu komunitas masyarakat tertentu jauh sebelum mereka mengenal
aksara atau tulisan. Dalam perkembangannya, setiap daerah memiliki sastra lisan dengan
bentuknya masing-masing yang penyebarannya dilakukan dengan cara lisan atau dari mulut
ke mulut.

Asna Ntelu
73
Oleh karena itu, sastra lisan biasanya merupakan produk budaya yang berisi antara
lain berupa: puisi rakyat, cerita rakyat, tarian rakyat, nyanyian rakyat. Bentuk-bentuk sastra lisan
ini terdapat di berbagai daerah antara lain: Jawa, Aceh, Batak, Bali, Gorontalo yang diungkapkan
dengan bahasa daerah masing-masing. Sastra lisan di Indonesia mempunyai cakupan yang
luas dan banyak, lebih kurang sama banyaknya dengan bahasa daerah. Teeuw (1982:9-10)
mengemukakan bahwa kekayaan sastra lisan dari berbagai suku bangsa perlu direkam dan
diselamatkan dalam bentuk tulisan, karena ternyata baik secara kuantitas maupun kualitas
sastra lisan itu luar biasa kayanya dan aneka ragamnya.
Di Gorontalo khususnya, bentuk-bentuk sastra lisan tersebut banyak baik dalam bentuk
puisi maupun prosa. Sastra lisan dalam bentuk puisi menurut hasil penelitian Kasim dkk (1990:
x) terdapat 15 ragam puisi. Beberapa bentuk sastra lisan tersebut, masih tumbuh dan hidup di
tengah masyarakat, walaupun sudah banyak pula terancam punah. Kepunahan itu akan terjadi
jika masyarakatnya tidak menggunakannya lagi dalam kehidupan sosialnya.
Oleh karena itu, menurut hemat penulis bentuk-bentuk sastra lisan yang terdapat di
berbagai daerah perlu dijaga kelestariannya. Upaya pelestarian ini sangat penting dilakukan,
karena (a) sastra lisan tersebut sebagian besar hanya tersimpan pada orang-orang tertentu, (b)
sastra lisan itu sendiri memiliki fungsi dan nilai-nilai kemanusiaan yang dapat diteladani oleh
masyarakat terutama para siswa dalam kehidupan sosialnya, (c) melestarikan sastra lisan
daerah berarti melestarikan bahasa dan budaya daerah.
Salah satu bentuk upaya pelestarian yang dapat dilakukan adalah dengan menggali nilai-
nilai luhur yang terdapat dalam sastra lisan tersebut dan mengimplementasikannya melalui proses
pembelajaran (bahasa Indonesia). Dalam penerapannya, sastra lisan dapat digunakan sebagai
media dan sumber bahan dalam pembelajaran. Apalagi dalam penerapan Kurikulum 2013, proses
pembelajarannya berbasis teks. Teks antara lain dapat diambil dari cerita-cerita rakyat.

II. SASTRA LISAN DAN KARAKTER SISWA


Salah satu kegiatan yang dapat digunakan untuk membangun karakter siswa adalah
melalui sastra lisan yang dilaksanakan lewat proses pembelajaran (bahasa Indonesia). Ciri
penanda sastra lisan, yakni: (1) anonim, (2) materi cerita kolektif, tradisional, dan berfungsi
khas bagi masyarakatnya, (3) mempunyai bentuk tertentu dan varian, (4) berkaitan dengan
kepercayaan, dan (5) hidup pada masyarakat yang belum mengenal tulisan (Hutomo, 1986: 1).
Di daerah Gorontalo, bentuk-bentuk sastra lisan banyak jenis ragamnya. Menurut
(Kasim dkk, 1990:x) khusus jenis puisi lisan terdapat 15 ragam yakni: (a) tuja’i, (b) palebohu, (c)
tinilo, (d) mala-mala, (e) taleningo, (f) leningo, (g) lumadu, (h) bungga, (i) bunito, (j) lohidu, (k)
paantungi, (l) wumbungo, (m) tahuli, (n) pa’iya hungo lo poli, dan (o) tahuda. Selain berbentuk
puisi terdapat pula bentuk prosa, antara lain cerita rakyat Lahilote, tanggomo.
Bentuk-bentuk sastra lisan tersebut di atas, dapat dijadikan sumber/media untuk
membangun karakter siswa melalui pembelajaran bahasa Indonesia. Dalam Kurikulum 2013
materi pembelajaran bahasa Indonesia berbasis teks. Teks-teks itu dapat diupayakan oleh
guru melalui sastra lisan dengan cara: (a) melacak/mencari bentuk-bentuk sastra lisan tersebut

Asna Ntelu
74
baik dari baate ‘pemangku adat’, budayawan, masyarakat (tukang cerita), Kepala kelurahan,
(b) mentranskripsi/menyalin kembali isi dari bentuk-bentuk sastra lisan yang diperoleh, (c)
menerjemahkannya ke dalam bahasa Indonesia, (d) menggunakannya sebagai sumber dalam
pembelajaran bahasa Indonesia.
Hal tersebut di atas penting sekali memperoleh perhatian terutama dari kalangan
guru karena sastra lisan merupakan salah satu bentuk karya sastra yang memiliki nilai-nilai
kemanusiaan yang sangat potensial dapat membangun karakter siswa. Pentingnya sastra
lisan mendapat perhatian karena (a) minat dan perhatian generasi muda (siswa) saat ini terhadap
budaya daerahnya makin berkurang, (b) generasi muda terutama para siswa sulit memahami
cerita atau naskah yang berbahasa daerah.
Bentuk-bentuk sastra lisan tersebut di atas, terdapat pula pada daerah-daerah yang lain.
Namun, perlu diingat bahwa sastra lisan yang dimiliki oleh daerah yang satu dengan daerah yang
lain pasti berbeda bergantung pada budaya masyarakat itu sendiri. Jangankan untuk daerah yang
berbeda, sastra lisan yang terdapat dalam satu daerah pun untuk satu cerita sangat mungkin
memiliki berbagai versi. Misalnya di Gorontalo, terdapat satu cerita rakyat yakni “Lahilote” tetapi
versinya banyak. Versi pertama mengatakan bahwa tugas berat yang diberikan oleh ayah bidadari
hanya ada dua hal yakni (a) Lahilote disuruh menjemur padi di atas tanah. Kalau tiba hujan, padi
itu harus dikumpul kembali sebutir-sebutir. Tugas kedua, Lahilote disuruh menebang pohon
raksasa dengan kapak yang tumpul. Akan tetapi versi kedua mengatakan bahwa di samping dua
tugas berat tersebut, masih ada tugas berat lain yang dipersyaratkan oleh ayah bidadari yakni: (a)
menumbuk atau mengupas padi agar menjadi beras tetapi tidak boleh ada yang patah-patah, (b)
mengambil air dengan keranjang dari sumur atau dari sungai, (c) menggali sumur dengan
linggis atau sekop, (d) mencabut pohon yang besar dan tidak boleh ada cabang yang patah, (e)
membawa pohon yang telah ditebang ke rumah bidadari tetapi tidak boleh ada daun, cabang,
dan rantingnya yang jatuh dan patah, (f) menentukan kamar tidur bidadari di antara tujuh kamar
yang sama bentuknya. Contoh ini menunjukkan bahwa setiap daerah memiliki sastra lisan dengan
bentuk atau ragamnya yang berbeda-beda.
Ada empat unsur komunikasi yang harus hadir dalam penyajian sastra lisan (Sudardi,
2002:2). Keempat unsur tersebut ialah: (a) artist (artis/ seniman) adalah orang yang menyajikan
sastra lisan baik tunggal maupun berkelompok yang penyajiannya dapat dilengkapi dengan
gerakan, iringan; (b) story identik dengan cerita/pesan yang disampaikan. Sumbernya dapat
berupa cerita turun-menurun atau cerita yang berkembang di masyarakat, cerita karangan,
dan sebagainya; (c) performance (wujud nyata sastra lisan) berupa pertunjukan. Pencerita
dapat mengubah volume suara, peragaan dengan tangannya, mengubah nada suara, membuat
perumpamaan; (d) audience adalah penonton atau pendengar yang harus ada atau dipenuhi
sehingga tersajikannya sastra lisan.
Membangun karakter sedini mungkin bagi siswa berarti membangun jati diri bangsa
dimasa sekarang dan masa yang akan datang. Oleh sebab itu, menjadi tanggung jawab semua
pihak baik (pemerintah, guru, masyarakat, orang tua) untuk membina para siswa sebagai
generasi penerus bangsa. Pada zaman dahulu, para orang tua tidak ketinggalan menceritakan
dongeng kepada anaknya ketika menjelang tidur. Akan tetapi, pada zaman modern ini kebiasaan

Asna Ntelu
75
tersebut telah tergantikan dengan teknologi canggih (televisi, radio, tape recorder) dan lain-
lain. Pada hal melalui cerita dongeng, anak-anak memperoleh berbagai pesan moral yang
diyakini dapat menyentuh batin anak dan dapat mengembangkan potensi moral anak. Hal ini
secara tidak langsung dapat membangun karakter positif pada anak.
Baedhowi (dalam Anas Ahmadi) mengungkapkan bahwa pendidikan karakter secara
universal, antara lain (1) kedamaian (peace), (2) menghargai (respect), (3) kerja sama
(cooperation), (4) kebebasan (freedom), (5) kebahagiaan (happines), (6) jujur (honesty), (7)
kerendahan hati (huminity), (8) kasih sayang (love), (9) tanggung jawab (responsibility), dan
(10) kesederhanaan (simplicity), (11) toleransi (tolerance), dan (12) persatuan (unity) (http://
www.adjisaka.com yang diakses tanggal 15 Mei 2014). Pendidikan karakter ini banyak dijumpai
pula pada bentuk-bentuk sastra lisan Gorontalo. Jenis karakter dimaksud antara lain dapat
diuraikan berikut ini.
a. Lohidu (nyanyian rakyat)
Pendidikan karakter dapat dilihat pada salah satu bentuk sastra lisan “Lohidu” (nyanyian
rakyat). Lohidu adalah salah satu ragam puisi Gorontalo yang berbentuk nyanyian (Kasim
dkk.1990:199).
Contoh:
Lulutamu boli lulutamu (hapuskan dan hapuskanlah)
Woli maama ito o dusa (kepada ibu kita berdosa)
Wonu diila oluluta (bila tidak terhapus)
Odelowanto ode huta (akan terbawa ke liang kubur)
Bait ini merepresentasikan bahwa setiap anak manusia mengakui mempunyai dosa
terutama kepada orang tua (ibu). Oleh sebab itu, patutlah bagi setiap orang secara rendah hati
untuk memohon maaf atas segala dosa pada orang tua. Setiap orang haruslah senantiasa
mengabdi kepada orang tua terutama ibu, karena ibu yang mengandung, melahirkan, dan
membesarkan kita. Pendidikan karakter yang muncul dalam sastra lisan “lohidu” ini adalah
“rendah hati” bahwa setiap manusia dengan segala kerendahan hati mengakui mempunyai
dosa kepada orang tua. Untuk itu, kita harus banyak memohon maaf dan mengabdi terutama
kepada ibu agar segala dosa bisa terhapus. Jika kita tidak memohon maaf, maka dosa tidak
akan terhapus sampai terbawa mati. Dalan ajaran setiap agama selalu dianjurkan agar kita
wajib memohon maaf dan mengabdi kepada kedua orang tua terutama ibu. Pengabdian seorang
anak terhadap ibunya akan membawa keselamatan dunia dan akhirat bagi anak itu sendiri.
Fenomena yang ada sekarang ini, di antara para siswa sadar atau tidak sadar suka membentak
orang tua, suka berbohong, jika keinginannya tidak terpenuhi.
b. Palebohu
Pendidikan karakter “rendah hati” ini dapat dilihat pula pada bentuk sastra lisan yang
lain yakni “palebohu”. Menurut Daulima (2007:44) bahwa “palebohu” adalah puisi yang
diucapkan oleh pemangku adat atau wakil kerabat keluarga kepada kedua pengantin yang
ada di pelaminan.

Asna Ntelu
76
Diila potitiwanggango (jangan berlagak sombong)
Diila tumuhu tumango (tidak beroleh sahabat)
Wonu motiti wanggango (kalau berlagak sombong)
Tangoliyo moatango (tidak memperoleh kebaikan)
Hungoliyo motontango (tidak memperoleh rezeki)
Batangaliyo mohuwango (diri kita hidup sia-sia)
Bait ini merepresentasikan bahwa setiap anak manusia janganlah bersifat sombong.
Berlagak sombong di atas dunia adalah sifat yang tidak terpuji. Semua orang pasti tidak suka
pada orang yang memiliki sifat sombong. Orang yang memiliki sifat sombong akan jauh dari
sahabat, jauh dari kebaikan, dan jauh dari rezeki dan pada akhirnya hanya akan membuat
hidupnya akan sia-sia. Pendidikan karakter yang terdapat dalam sastra lisan “palebohu” ini
adalah bersifatlah rendah hati. Dengan rendah hati, kita dapat melakukan komunikasi dan
interaksi dengan siapa saja yang ada di lingkungan kita.
c. Paantungi ’pantun’
Pendidikan karakter dapat dilihat pada sastra lisan paantungi “pantun” (nyanyian
rakyat). Paantungi adalah nyanyian atau dendang rakyat yang disampaikan dengan
menggunakan bahasa Melayu atau campuran bahasa Melayu dengan bahasa Gorontalo.
Paantungi dilihat dari isinya terdiri atas: paantungi nasihat, sindiran, hiburan, dan percintaan
(Kasim dkk .1990:199).
Potalimai loyangi (belikan loyang)
Delowamai odiya (bawakan ke sini)
Eelayimu ti Pak Nani (ingatlah pak Nani)
Lopo’aamani duniya (yang mengamankan dunia)
Pendidikan karakter yang terdapat dalam paantungi ini adalah anjuran untuk senantiasa
mengingat jasa orang. Dalam penggalan paantungi ini, Pak Nani Wartabone dikenal sebagai
tokoh patriotik 23 Januari 1942 yang secara gigih telah berjuang merebut dan menyelamatkan
daerah Gorontalo dari penjajahan Belanda. Pendidikan karakter dalam paantungi ini memiliki
filosofi yang mendalam bahwa hendaknya kita selalu menghargai, mengingat, dan menghormati
jasa-jasa orang lain.
d. Lahilote ’cerita rakyat’
Dalam penggalan cerita Lahilote (cerita rakyat) Gorontalo di bawah ini terdapat empat
pendidikan karakter bagi siswa yakni: tanggung jawab, kasih sayang, usaha kerja keras, dan
tabah menghadapi ujian. Lahilote adalah jenis cerita rakyat jenis piilu yang mengisahkan tujuh
bidadari yang turun dari kayangan, dan salah satu di antara tujuh bidadari tersebut dipersunting
oleh Lahilote. Pencerita piilu disebut ta momiiluwa ’pencerita dongeng’. Pendidikan karakter
yang terdapat dalam cerita Lahilote ini dapat dilihat pada penggalan cerita berikut ini.Wuh...
ludah istriku ini, apa yang akan terjadi? Aku harus segera pulang. ... mana ibu anak-anaku/apa
yang terjadi pada si Boyilode itu bu? ... Lahilote keluar rumah. Dengan segala daya dan upaya ia

Asna Ntelu
77
mencari istrinya. Di suatu tempat ia bertemu dengan seorang kakek. Kakek itu bertanya, “Kemana
kau Lahilote?” Aku mencari istriku entah pergi kemana. Lahilote tidak mendapat jawaban. Tidak
berapa lama ia berjalan bertemu dengan rotan mala. Wuh, saya sedang menyusul istriku yang
telah pulang ke kayangan. Wah... jangan engkau susahkan hal itu Lahilote. Akan kutolong engkau,
kata rotan. Lahilote pun ditolong oleh rotan mala. Naiklah Lahilote ke atas rotan mala, lalu ia
dilentingkan oleh rotan itu ke kayangan. Sampailah Lahilote ke pintu langit. Di sana didapatinya
ada tujuh orang bidadari yang sama wajahnya, sehingga ia sulit untuk mengenali istrinya. Untunglah
ada kunang-kunang yang datang membantunya. Kata kunang-kunang: “Perhatikan aku”. Kalau
aku hinggap di konde salah seorang bidadari itu, maka itulah istrimu. Akhirnya Lahilote menemukan
istrinya. Lahilote memeluk bidadari (istrinya) itu.
Sebelum mereka menjadi satu kembali, Lahilote masih harus melakukan beberapa tugas
yang diberikan oleh ayah bidadari sebagai syarat. Tugas pertama, Lahilote disuruh menjemur
padi di atas tanah. Kalau tiba hujan, padi itu harus dikumpul kembali sebiji-sebiji. Tiba-tiba datang
semut membantunya. Tugas kedua, Lahilote disuruh menebang pohon raksasa dengan kapak
yang tumpul. Setiap kali Lahilote menebang pohon tersebut, kapak itu hanya melenting karena
tumpul. Manangislah Lahilote. Tiba-tiba beterbanglah burung-burung pelatuk ke pohon itu. Burung-
burung tersebut mematuk pohon itu, sehingga akhirnya pohon itu tumbang.
Setelah tugas berat itu selesai dilakukan, Lahilote sudah boleh hidup bersama istrinya.
Ia tinggal di kayangan berbahagia dengan istrinya. Suatu ketika, Lahilote minta dicarikan kutu
di kepalanya. Tiba-tiba terlihat oleh isrinya ada seutas rambut putih. Istrinya berkata: “Yih...
segeralah kau pulang, kami di sini tidak akan ada yang berambut putih”. Lahilote berkata
“Bagaimana caranya aku pulang? Kemana jalan yang harus kutempuh? Bidadari mencabut
rambutnya seutas demi seutas, lalu diikatkan pada ujungnya. Lahilote memegang ujung yang
diturunkan ke bumi. Ia memesankan: “Kalau aku sudah sampai ke bumi akan aku goyang
rambut ini. Segeralah engkau putuskan rambut ini”. Barulah separuh perjalanannya, tiba-tiba
datang angin kencang menerpanya sehingga rambut itu bergoyang keras. Akhirnya bidadari
segera memutuskan rambut itu, dan jatuhlah Lahilote. Terhempaslah ia ke bumi, kakinya yang
satu berada di desa Pohe dan yang satunya di Boalemo.
Dalam penggalan cerita di atas, Lahilote menunjukkan sosok yang memiliki tanggung
jawab, kasih sayang, usaha kerja keras, dan tabah menghadapi segala ujian yang diberikan
oleh ayah bidadari (istrinya). Apapun yang ditugaskan oleh ayah bidadari, ia lakukan dengan
segala daya dan setulus hati asalkan ia dapat bertemu kembali dengan istrinya.
e. Tuja’i pemakaman
Pendidikan karakter yang dapat diteladani oleh para siswa dalam tuja’i pemakaman
ini adalah “kebersamaan, persatuan, dan kekeluargaan”.
(1) Amiatia mongotiyombunto eeya (kami para kakenda tuanku)
(2) Maa yiloduudulamai (telah tiba rombongan adat)
(2) Maa yilodulohupamai (telah bermusyawarah)
(3 )Wolo mongowutatonto (dan saudara-saudara Anda)

Asna Ntelu
78
(4) Wolo mongotiyamanto (dan para ayahanda)
(5) Teeto teeya, teeya teeto (di sana di sini, di sini di sana)
Tuja;i pemakaman di atas mengandung nilai sosial karena berhubungan erat dengan
eksistensi hubungan manusia secara horisontal dengan manusia yang lain dalam menjalankan
aktivitas dan interaksi sosial dalam kehidupan kemasyarakatan (lihat Masinambow, 1997:100).
Ranjabar (2006:63) mengemukakan bahwa manusia demi kelangsungan hidupnya harus
mengadakan kerja sama dengan sesama manusia. Pengertian kemasyarakatan pada
hakikatnya merupakan pergaulan hidup manusia dalam kehidupan bermasyarakat yang
mengandung nilai-nilai kebersamaan, senasib sepenanggungan, solidaritas, gotong royong
yang merupakan unsur pemersatu kelompok sosial. Ranjabar (2006:158) mengemukakan
bahwa pangkal dari pranata gotong royong itu adalah konsep bahwa: (a) dalam alam masyarakat
ini, orang tidak hidup sendiri, karena itu (b) orang harus selalu memelihara hubungan baik
dengan sesamanya, dan (c) sedapat mungkin berusaha tidak menonjolkan diri.
Pendidikan karakter yang terdapat pada penggalan tuja’i tersebut adalah kebersamaan,
persatuan, dan kekeluargaan, hal ini ditandai pula dengan penggunaan kata amiyatia
mongotiyombunto, ‘kami para kakenda’, maa yiloduudulamai ‘telah tiba (rombongan adat)’,
maa yilodulohupamai ‘telah bermusyawarah‘, mongowutatonto’ saudara-saudara Anda’,
mongotiyamanto ‘para ayahanda’, teeto teeya, teeya teeto ‘di sana di sini, di sini di sana’.
Frasa maa yiloduudulamai dan maa yilodulohupamai mengandung unsur
kebersamaan dan persatuan yang dilaksanakan secara kekeluargaan yang merupakan
representasi dari masyarakat Gorontalo sebagai komunitas yang memiliki nilai solidaritas yang
tinggi. Ranjabar (2006:63) mengemukakan bahwa agama memiliki hubungan yang erat sekali
dengan nilai solidaritas, yang memuncak pada hari-hari dan kejadian-kejadian yang penting
dalam kehidupan suku, desa atau keluarga, seperti perkawinan, kematian dan sebagainya.
Dalam budaya Gorontalo hal ini dikenal dengan dulohupa ‘musyawarah’ dan huyula
(kerja sama, gotong royong, bantu membantu). Dulohupa dan huyula dapat dilihat baik dalam
kegiatan di lingkungan keluarga, di lingkungan masyarakat bahkan di lingkungan sesama
pembesar negeri pun dalam memecahkan persoalan selalu dimusyawarahkan secara
kekeluargaan. Selain itu, dalam melaksanakan suatu kegiatan sosial selalu bekerja sama
sehingga hubungan komunikasi dan interaksi menjadi baik, rukun, dan damai.
Demikian pula frasa mongowutatonto’ saudara-saudara Anda’, mongotiyamanto ‘para
ayahanda’, teeto teeya, teeya teeto ‘di sana di sini, di sini di sana ’mengandung pendidikan
karakter “kebersamaan dan persatuan” yang dilaksanakan secara kekeluargaan yang
merupakan representasi dari masyarakat Gorontalo sebagai komunitas yang memiliki
kehidupan solidaritas yang tinggi.

Asna Ntelu
79
III. SIMPULAN
Bertolak dari uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa dalam sastra lisan banyak
sekali pendidikan karakter yang dapat diteladani oleh para siswa untuk menghadapi dunia
yang semakin canggih dengan berbagai teknologi modern ini. Upaya pembentukan karakter
siswa itu antara lain dapat dilakukan melalui proses pembelajaran bahasa Indonesia.
Membangun karakter sedini mungkin bagi siswa berarti membangun jati diri bangsa di masa
sekarang maupun di masa yang akan datang.

DAFTAR PUSTAKA
Daulima, Farha. 2007. Mengenal Sastra Lisan Daerah Gorontalo. Gorontalo: Mbu’i Bungale.
Hutomo, S.S. 1986. “ Perkembangan Cerita Rakyat Sampai saat ini dan Usaha-usaha untuk
Menumbuhkannya”. Jurnal Media Pendidikan dan Ilmu Pengetahuan.
Kasim, M.M, Husain Yunus, Kartin Hasan, Kisman Soleman, Sayama Malabar.1990. Puisi
Sastra Lisan Daerah Gorontalo (Hasil penelitian). Proyek Penelitian Bahasa dan Sastra
Indonesia dan Daerah Sulawesi Utara.
Masinambow, E.K.M (ed). 1997. Koentjaraningrat dan Antropologi Di Indonesia. Jakarta:Yayasan
Obor Indonesia.
Ranjabar, Jacobus. 2006. Sistem Sosial Budaya Indonesia: Suatu Pengantar. Bogor: Ghalia
Indonesia.
Sudardi, Bani. 2002. Dasar-dasar Teoretis Pengkajian Sastra Lisan. Surakarta: FS-UNS
Teeuw. 1982. Khasanah Sastra Indonesia. Jakarta: PT. Gramedia.
Tuloli, Nani, Syarifuddin A, Dakia N. Djou, Asna Ntelu. 1999. Nilai Budaya Cerita Rakyat Lahilote
(Tinjauan Struktural Semiotik). Proyek Penelitian Bahasa dan Sastra Indonesia dan
Daerah Sulawesi Utara.

Asna Ntelu
80
METAFORA DALAM BAHASA GORONTALO SEBAGAI SALAH SATU
BASIS PEMBENTUK KARAKTER
Dakia N. Djou
Universitas Negeri Gorontalo

ABSTRAK
Masyarakat Gorontalo adalah masyarakat yang terkenal sebagai masyarakat yang santun
dalam bertutur dengan siapa saja. Kesantunan itu terlihat pada cara bertutur, baik dalam interaksi
sehari-hari maupun pada acara-acara peminangan. Khusus untuk acara peminangan, bahasa
yang dipakai sebagai media interaksi adalah bahasa Gorontalo. Wujud bahasa yang dipakai
pada acara peminangan jauh berbeda dengan bahasa sehari-hari. Bahasanya penuh dengan
bentuk ungkapan dan kiasan yang terungkap dalam bentuk metafora. Metafora dalam makalah
ini sangat menarik untuk dibicarakan, karena metafora yang digunakan oleh para pemangku
adat pada acara peminangan bukan saja memperindah dan memperhalus penyampaian pesan,
tetapi lebih daripada itu metafora dapat membentuk karakter seseorang karena di dalamnya
mengandung pesan-pesan budaya yang dapat diambil sebagai bahan pengetahuan, sekaligus
dapat dijadikan sebagai pedoman hidup pada masa yang akan datang. Bagaimana wujud dan
parameter metafora tersebut dapat membentuk karakter seseorang? Masalah inilah yang ingin
diungkap melalui makalah ini. Di sini para audiens yang hadir pada acara peminangan itu
dapat mengambil hikmah atas pesan budaya tersebut melalui pemberian makna. Pemaknaan
terhadap sebuah metafora itu senantiasa dikaitkan dengan reaksi audiens ketika mendengar
ungkapan kiasan itu dituturkan oleh pemangku adat dari kedua bekah pihak. Lebih daripada
itu, masalah yang tidak kalah pentingnya untuk dikaji dalam makalah ini adalah bagaimana
karakter seseorang dapat terbentuk melalui pengungkapan metafora oleh para pemangku
adat di Gorontalo.
Kata-kata kunci: metafora, bahasa Gorontalo, basis, pembentukan karakter.

I. PENDAHULUAN
Budaya tuturan lisan suatu masyarakat tidak hanya terbatas pada fungsinya sebagai
penyampai pesan kepada mitra bicara. Tetapi lebih daripada itu, terdapat tuturan-tuturan
tertentu yang dikondisikan oleh penutur untuk maksud dan tujuan tertentu pula. Tuturan
dimaksud, antara lain seperti yang terdapat pada acara peminangan. Acara peminangan di
Gorontalo adalah sebuah acara yang disakralkan oleh sanak saudara, bahasa tuturnya banyak
menyimpan pesan yang dapat dipedomani dalam hidup dan kehidupan bermasyarakat. Hal ini
merupakan bagian dari kebudayaan masyarakat Gorontalo yang perlu dipertahankan.
Pemertahanan ini diperlukan guna pelestarian pola-pola tingkah laku yang tercermin dalam
tuturan tersebut. Tuloli (2004:1) menyatakan bahwa kebudayaan suatu masyarakat dapat

Dakia N. Djou
81
mencerminkan berbagai aspek kehidupan masyarakat itu, yang tampak pada pola-pola tindakan
(action) dan kelakuan (behavior).
Masyarakat Gorontalo adalah suatu masyarakat etnis yang masih mempertahankan
kebudayaannya, walaupun di sana-sini telah terjadi perubahan akibat perkembangan pola
pikir masyarakatnya, atau pengaruh budaya lain. Di Gorontalo terdapat beberapa kegiatan
kebudayaan yang masih bertahan sampai saat ini, salah satu di antaranya adalah acara
pernikahan yang prosesinya masih tetap dilaksanakan secara adat-istiadat setempat, terutama
pada acara peminangan, yang di dalamnya terdapat dialog budaya. Dalam dialog itu ada hal
yang menarik dan perlu untuk dikaji, yakni ungkapan-ungkapan yang bersifat metaforis. Di sini
para pelaku dialog dalam hal ini pemangku adat yang menjadi juru bicara pada peminangan
itu secara leluasa menggunakan kata-kata yang mengundang para audiens untuk
menafsirkannya secara mendalam, karena akibat metaforis tadi.
Metafora dalam pengertian ini adalah gaya melukiskan suatu benda dengan
membandingkan langsung pada benda lain yang mempunyai sifat yang sama dengan benda
itu. Dalam pengertian lain bahwa metafora adalah bahasa kiasan yang motifnya tidak diberikan
secara eksplisit sehingga kita harus menyimpulkan sendiri makna perumpamaan itu
(Luxemburg, dalam Tuloli, 1990:213). Menurut Becker (dalam Pradopo, 1987:66), metafora
melihat sesuatu dengan perantaraan benda yang lain. Jadi, juru bicara yang menjadi utusan
dari kedua belah pihak pada acara peminangan tidak lepas dari belenggu pengungkapan
seperti itu.
Berbagai pesan yang terdapat dalam tuturan lisan sampai saat ini belum banyak yang
mengangkat ke permukaan untuk dibicarakan pada pertemuan ilmiah seperti ini. Pesan itu berupa:
pesan budaya, pesan moral, pesan pendidikan, pesan religius, dan sebagainya. Justru dalam
pesan-pesan tersebut banyak hal yang dapat kita ambil sebagai pedoman hidup sehari-hari.

II. METAFORA DAN PENDIDIKAN KARAKTER


Seperti dikatakan di atas bahwa metafora adalah bahasa kiasan yang motifnya tidak
diberikan secara eksplisit sehingga kita harus menyimpulkan sendiri makna perumpamaan
itu. Kalau dicermati secara mendalam sesungguhnya metafora itu sangat erat kaitannya dengan
diksi atau pilihan kata. Pada kondisi tertentu seseorang harus berusaha memilih kata yang
tepat untuk maksud tertentu, agar apa yang diharapkan segera tercapai, yakni terbentuknya
sebuah perumpamaan yang dapat digunakan untuk membangun karakter seseorang.
Karakter suatu masyarakat akan terbentuk melalui pembiasan oleh para leluhurnya,
yakni melalui pesan-pesan budaya. Gorontalo terkenal dengan daerah yang memiliki budaya,
sama dengan daerah-daerah lain di Indonesia. Oleh sebab, masyarakatnya memiliki cara
yang berbeda dalam membentuk karakter generasinya, misalnya ada yang dengan cara
membimbing dan mendidik langsung, ada yang melalui ungkapan-ungkapan budaya di kala
upacara adat sedang dilaksanakan.
Pembentukan karakter ini dilaksanakan sesuai dengan falsafah budaya yang dianutnya.
Di mana-mana falsafah budaya itu sama untuk setiap daerah atau suku di Indonesia, yakni

Dakia N. Djou
82
budaya bersendikan syarak, syarak bersendikan kitabullah. Falsafah ini yang menjadi pegangan
dalam membentuk karakter seseorang. Oleh sebab itu, pada setiap pelaksanaan adat di
Gorontalo, misalnya penobatan salah seorang pemimpin negeri, terdapat pesan budaya yang
disampaikan oleh para Baate (pemangku adat) yang harus dipegang teguh oleh pejabat yang
dinobatkan tersebut seperti berikut ini.
Huta, huta lo ito Eeya ‘Tanah tanah milik Tuan’
Taluhu, taluhu lo ito Eeya ‘Air air milik Tuan’
Tul,u tulu lo ito Eeya ‘Api api milik Tuan’
Dupoto, dupoto lo ito Eeya ‘Angin angin Tuan’
Tau, tau lo ito Eeya ‘Orang, orang milik Tuan’
Bo diila polulia to hilawo Eeyanggu ‘Tetapi jangan jadikan pemuas nafsu
Tuanku
Persyaratan amanah di atas mengandung dua pengakuan (Tuloli dkk, 2004:48) seperti
berikut:
1. Pengakuan dari para pemangku adat yang mewakili rakyat, bahwa segala yang ada
di wilayah adat ini diperuntukkan bagi pemimpin untuk diolah, diberdayakan, dan
dikembangkan.
2. Pengakuan yang diharapkan dari Eeyanggu ‘Tuanku’ (pejabat) agar ada komitmen
dan integrasi dari berbuat memberdayakan potensi dalam wilayah adat itu untuk
kepentingan rakyat dan bukan untuk kepentingan diri sendiri. Kalau dua pengakuan
ini dipertahankan oleh pemimpin, maka tentu saja tidak terjadi penyelewengan, berupa
korupsi, kolusi, dan nepotisme dalam kepemimpinan.
Apa yang dicontohkan di atas baru merupakan salah satu aspek pembentuk karakter
anak bangsa. Sibarani (2012:123) mengilustrsikan bahawa setiap bangsa atau suku bangsa
memiliki sumber yang berbeda dalam pembentukan karakter generasi bangsanya. Dikatakan
bahwa dalam pembangunan karakter bangsa, kearifan lokal menjadi sumber penting yang harus
dimiliki oleh generasi penerus bangsa. Selanjutnya pada halaman yang sama Sibarani mengatakan
bahwa karakter adalah sikap dan cara berpikir, berperilaku, dan berinteraksi sebagai ciri khas
seorang individu dalam hidup, bertindak, dan bekerja sama, baik dalam lingkup keluarga,
masyarakat maupun bangsa. Dalam pengertian lain disebutkan bahwa karakter adalah keseluruhan
nilai, pemikiran perkataan, dan perilaku atau perbuatan yang telah membentuk diri seseorang.
Karakter itu menjadi bagian identitas diri seseorang sehingga karakter dapat disebut jatidiri atau
kepribadian yang baik seseorang yang telah terbentuk dalam proses kehidupan melalui sejumlah
nilai etis yang dimilikinya, berupa pola pikir, sikap, dan perilakunya.
Istilah karakter sebenarnya bersifat “netral”, mungkin negatif, tapi mungkin juga positif;
mungkin jelek, tapi mungkin juga baik. Karakter yang dimaksud di sini adalah karakter yang
baik sehingga kalau kita menyebutkan pembangunan atau pendidikan karakter, itu berarti
pembangunan atau pendidikan karakter yang baik atau positif. Sejalan dengan pengertian
tersebut, berkarakter berarti berkarakter yang baik, berkepribadian yang baik, berprilaku positif

Dakia N. Djou
83
atau berjiwa membangun. Individu yang berkarakter baik adalah individu yang bisa membuat
dan siap mempertanggungjawabkan setiap akibat dari keputusan yang dia buat itu.
Berikut ini diuraikan beberapa jenis karakter yang terbentuk melalui perumpamaan budaya
yang dilakukan oleh para pemangku adat melalui kegiatan upacara kebudayaan Gorontalo.
1. Karakter Tidak Boleh Berlagak Sombong
Diila potitiwanggango ‘Jangan berlagak sombong’
Diila tumuhu tumango ‘Tidak beroleh sahabat’
Wonu motitiwanggango ‘Kalau berlagak sombong’
Tangolio mo’atango ‘Tidak memperoleh kebaikan’
Hungolio motontango ‘tidak memperoleh rezeki’
Batangalio mohuango ‘diri kita akan hidup si-sia’
Potitihutu humopoto ‘Berbuatlah seperti kencur’
Moonu lo’o-lo’opo ‘Harum semerbak’
Luntuwa lo wolipopo ‘Memperoleh kebaikan’
U mopio dumo’oto ‘Yang baik akan menetap’
Ungkapan ini sering dipesan oleh para leluhur kita di Gorontalo yang ditujukan kepada
audiens sasaran sesuai dengan jenis upacara adat yang dilaksanakan pada saat itu. Tentu saja
secara langsung audiens umum yang sempat hadir pada upacara adat tersebut pasti mendengar
nasihat semacam itu, sehingga dengan demikian, karakternya pun turut terbentuk karenanya.
Metafora, atau yang menjadi ibarat pada ungkapan di atas adalah sejenis tumbuhan.
Dalam ungkapan ini setiap orang dianjurkan berbuat atau mengambil sifat yang ada pada
tanaman kencur, yang selalu hidup merendah, dan tidak pernah tumbuh mencapai ketinggian
seperti pepohonan lainnya. Cara hidupnya tanaman kencur ibarat sedatar dengan tanah, tetapi
mengandung harum yang semerbak. Dalam hal ini ketika kencur itu digunakan harumnya
pasti menyebar ke mana-mana, sehingga siapa saja yang sempat mencium harum baunya
pasti menyukainya. Betapa tidak, jika seseorang berada ditengah-tengah masyarakat, kemudian
ia mampu membuat masyarakat itu menjadi tentram, ia menjadi panutan masyarakat setempat
karena selalu menonjolkan sifat rendah diri. Karakter inilah yang menjadi idaman kita semua.
2. Karakter Menghargai Waktu
Pada setiap aktivitas, masalah waktu tidak boleh hanya dibiarkan berlalu begitu saja.
Waktu harus dihargai keberadaannya. Pada acara dialog peminangan di Gorontalo, terdapat
ungkapan perumpamaan yang mengacu kepada pemanfaatan waktu secara efektif dan efisien.
Oleh sebab itu, muncul ungkapan seperti berikut ini.
wonu dipo:luwo, ‘kalau belum ada’ (yang ditunggu)
wonu delo buku tuladu ‘ibarat buku tulis’
de ma pohima toqu buqa-buqadu, ‘akan ditunggu dalam keadaan terbuka’
wonu delo ngadi kitabi ‘kalau mengaji kitab’
de ma pohima toqu ngadi-ngadi, ‘nanti ditunggu pada waktu mengaji’
wau woluwo ta mai to dalalo ‘dan ada yang masih dalam perjalanan’

Dakia N. Djou
84
timongolio penu didu maqo tomatangalo ‘mereka biar tidak ditunggu lagi’
bolo loqia debo ma moali ma tumulalo ‘pembicaraan sudah dapat dimulai’
insya Allah me:dungga mai ‘insya Allah setelah tiba’
de ma pohunggulialo ‘nanti akan diceritakan’
karena ito boti modaha ‘karena kita menjaga’
didi bolo ma peletaqalo. ‘hujan akan turun’
Ungkapan di atas mengisyaratkan bahwa apabila keluarga yang diundang belum hadir
atau terlambat datang, acara sudah boleh dimulai sambil menunggu tamu undangan lainnya,
agar kita tidak kemalaman di rumah orang. Jadi karakter yang muncul akibat ungkapan ini adalah
karakter tahu memanfaatkan waktu secara tepat dan efisien. Atau dengan kata lain ungkapan ini
berisi amanat bahwa tamu undangan yang datang terlambat, maka segala keputusan sebagai
hasil musyawarah pada saat itu nanti akan disampaikan kepada yang bersangkutan.
3. Karakter Menghormati Lawan Bicara
Ito olanto wolo mongowutatonto ‘Anda dengan Saudara anda’
hi huloqa hi duqota ‘duduk secara teratur’
odelo lale pilopota ‘seperti janur yang dipangkas
di:la hi labo-labota ‘tidak berlebih-lebih’ (sama rata)
wonu dequ hiapomota ‘kalau dihitung’
kaum bapak wopatota, ‘kaum bapak empat orang’
Ungkapan budaya ini berisi anjuran kepada kita agar dalam bertutur kata hendaknya
mengedepankan kesantunan berbahasa.
4. Karakter Menjaga Kehormatan Diri
hulawanto ngopata ‘emas sepotong’
wahu to bubalata ‘tersimpan di tempat tidur’
bilalu lo paramata ‘terbungkus dengan permata’
laqitio dunggilata ‘cahayanya mengkilat’
putungo bunga kanari ‘kuncup bunga kenari’
tua-tua to huwali ‘terisi di dalam kamar’
unti-unti to lamari ‘terkunci di lemari’
wonulio kaka-kakali ‘harumnya masih asli’
Yang dimaksud dengan hulawa ngopata, putungo bunga kanari dalam ungkapan ini
adalah sang gadis yang menjadi idaman sang lelaki yang dianggap masih suci-bersih, belum
ada orang lain yang menyentuh. Kata ngopata ‘hanya satu-satunya’. Maksudnya tidak ada
duanya. Jadi memperkuat makna, bahwa gadis itu tidak ada tolok bandingannya dari segi
kecantikan dan kesuciannya. Kecenderungan juru bicara menggunakan metafora dalam
acara peminangan dimaksudkan untuk memberi kesan yang indah bagi para pendengar yang
hadir pada saat itu. Di samping itu, juru bicara lebih memperindah dan memperhalus
pengungkapan maksud dan tujuan hati dari pihak keluarga.

Dakia N. Djou
85
5. Karakter Mempererat Tali Persaudaraan
Diila potiti’uda’a ‘ Jangan membanggakan diri’
Mo’oputu u ngaala’a ‘Memutuskan hubungan kekeluargaan’
Bo u ngaala’alo ‘Hanya keluargalah’
Ogaambangia hamaalo ‘Yang mudah dimintai pertolongan’
Mopodutu wau mohantalo ‘Mengadakan segala sesuatu yang dibutuhkan

Diila potitilanggato ‘Jangan meninggikan diri’


Mo’oputu u mohutatao ‘Memutuskan tali persaudaraan’
Bo u mohu-mohutatolo ‘Hanya Saudara-saudaralah’
Ogaambangi tiangolo ‘Yang mudah dimintai pertolongan’
To karaja mototolo ‘Pada pekerjaan yang serba sulit’

III. PENUTUP
Belum seluruhnya aspek pembentuk karakter dalam tradisi budaya Gorontalo diungkap
melalui makalah ini. Masih banyak yang perlu di angkat dan dibicarakan dalam forum ilmiah
seperti ini, antara lain: lohidu (nyanyian rakyat), paa’iya lo hungo lopoli (berbalas pantun),
lohidu (nyanyian rakyat). Yang diangkat dalam makalah ini baru salah satu ragam budaya
Gorontalo, yakni palebohu (nasihat) yang berlaku pada acara pernikahan. Itu pun baru terbatas
pada penggunaan metafora. Palebohu untuk penobatan, palebohu pemberian gelar adat,
palebohu pembaeatan, palebohu gunting rambut, belum diangkat dalam makalah ini.

DAFTAR PUSTAKA
Pradopo, Rachmat Djoko. 1987. Pengkajian Puisi. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press
Tuloli, Nani. 1990. Tanggomo Salah Satu Sastra Lisan Gorontalo. Depdikbud Jakarta (Seri
ILDEP): Intermasa.
Tuloli, Nani dan Nurdin Dama. 2004. Pranata dan Fungsinya dalam Masyarakat: Hasil
Penelitian. BALITBANG PEDALDA Provinsi Gorontalo.
Sibarani, Robert. 2012. Kearifan Lokal: Hakikat, Peran, dan Metode Tradisi Lisan. Jakarta Selatan:
Asosiasi Tradisi Lisan.

Dakia N. Djou
86
CERMINAN KARAKTER ANAK MELALUI BAHASA
Emma Rosana Febriyanti
Universitas Lambung Mangkurat

ABSTRAK
Bahasa merupakan salah satu sarana berkomunikasi antara satu dengan lainnya. Melalui
bahasa, kita dapat mengungkapkan apa yang kita rasakan, dan oleh karena itu, cerminan
karakter dari seseorang dapat terlihat dari bahasa yang digunakannya. Keluarga sebagai pilar
pendidikan pertama memegang peranan penting dalam tumbuh kembangnya karakter yang
baik dari seorang anak. Dikatakan bahwa seorang anak yang berasal dari keluarga baik-baik
maka akan tumbuh menjadi seorang yang baik pula dikemudian harinya, sedangkan anak
yang berasal dari keluarga “tidak baik” maka akan sebaliknya. Hal ini mungkin tidak benar
adanya. Tulisan ini hanya membahas tentang pentingnya peranan keluarga terutama orangtua
dalam pembangunan dan pembentukan nilai-nilai karakter anak semenjak dini melalui bahasa
yang digunakan sehari-hari, serta memuat rangkuman dari berbagai sumber tentang bagaimana
cara membangun komunikasi dengan anak agar tercipta kedekatan hubungan. Diharapkan
nantinya hasil tulisan ini akan menambah pengetahuan bagi para orangtua dan pendidik pada
umumnya tentang bagaimana penggunaan bahasa oleh orangtua dapat mempengaruhi
tumbuh kembang karakter seorang anak.
Kata Kunci: karakter, keluarga, bahasa, pendidikan, lingkungan

I. PENDAHULUAN
Petikan kata-kata diatas menunjukkan bahwa jika anak dibesarkan dengan cara yang
tidak baik, maka anak akan belajar dan tumbuh dengan cara yang sama. Sebaliknya, jika anak
dibesarkan dengan cara yang benar, maka ia akan belajar dan tumbuh menjadi anak yang
seperti impian semua orangtua. Dari kutipan itu pula terdapat banyak karakter baik yang kita
ingin tanamkan dalam diri anak-anak kita. Sekarang pertanyaannya adalah, bagaimana caranya
menanamkan karakter positif kedalam diri anak agar nantinya dia menjadi orang yang
berkarakter? Jawaban atas pertanyaan ini barangkali sulit akan tetapi bukan hal yang tidak
mungkin untuk bisa dilakukan. Perkembangan karakter pada setiap individu dipengaruhi oleh
faktor bawaan (nature) dan faktor lingkungan (nurture).
Tahun-tahun awal kehidupan seorang anak merupakan waktu yang sangat berharga
yang tidak boleh terlewatkan oleh setiap orangtua karena pada masa itulah seorang anak
mulai belajar, berkembang, dan tumbuh secara fisik, mental dan psikososialnya. Pada masa
ini orangtua menjadi teman terdekatnya, teman bermain dan bercerita, serta contoh terbaiknya.

Emma Rosana Febriyanti


87
Anak-anak menerima dan menyerap berbagai macam informasi tanpa melihat baik dan
buruknya. Selain memberikan contoh berupa perbuatan dan tingkah laku yang baik kepada
anak, orangtua juga harus memberikan teladan yang baik melalui kata-kata atau bahasa yang
baik pula. Bisa dikatakan, setiap perilaku, perbuatan atau bahasa yang digunakan oleh
orangtuanya merupakan sesuatu yang “direkam” dan kemudian ditiru oleh sang anak.
Maka, bila orangtua berhasil mengarahkan dan membina anaknya kepada karakter
yang baik pada masa ini sehingga menjadi kepribadian yang melekat selamanya pada diri
anak yang membedakan dia dengan anak-anak lainnya, kemungkinan besar anak tersebut
akan menjadi anak yang sukses berkarakter pula dimasa depannya. Dengan demikian, berhasil
tidaknya seorang anak dimasa depannya berhubungan dengan pola asuh orangtua sebagai
role model of good characters dan baik tidaknya hubungan komunikasi yang terjalin diantara
anggota keluarga. Hal ini terjadi dikarenakan orangtua adalah penanggung jawab utama dalam
pendidikan karakter anak-anaknya. Dari orangtua, seorang anak belajar memaknai hidupnya
dan mereka juga yang paling besar berpengaruh dalam menorehkan masa depan anak; apakah
sang anak akan menjadi orang yang berkarakter atau sebaliknya. Seseorang mengatakan
bahwa seorang anak bagaikan kertas putih bersih kosong dimana sang orangtua yang akan
memberikan warna dan tulisan ke dalam kertas tersebut. Hal ini boleh jadi benar, boleh jadi
tidak benar. Seorang anak lahir dengan membawa potensi dirinya sendiri. Tugas orangtua
adalah mengembangkan potensi tersebut kearah yang baik dan benar.
Bahasa merupakan alat komunikasi yang paling penting dan sebagai makhluk sosial,
manusia menggunakan bahasa untuk saling berinteraksi satu sama lain baik secara lisan
ataupun tulisan. Seorang anak mengenal bahasa pertama kali adalah dari keluarganya, dalam
hal ini orangtua. Dari lingkungan inilah awal pembentukan karakter anak, karena dari cara
anak tersebut berbahasa akan menunjukkan karakter diri dalam kesehariannya. Oleh karenanya
penting bagi orangtua untuk membelajarkan bahasa yang baik untuk pembentukan karakter
anak yang baik pula (Rakhma, 2012). Sebelum membahas tentang peranan bahasa dalam
pembentukan karakter anak, tulisan ini akan membahas lebih dulu tentang pendidikan karakter
itu sendiri dan peranan keluarga terutama orangtua dalam pendidikan karakter anak.

II. PENDIDIKAN KARAKTER


Karakter berasal dari bahasa Yunani charasseein yang berarti to engrave atau to mark
(Ryan & Bohlin, 1999:5 dalam Marzuki, 2013). Kata tersebut bisa diterjemahkan sebagai
“mengukir, melukis, memahat, menggoreskan”, yang juga bisa diartikan bahwa pembentukan
karakter baik dalam diri seseorang yang membedakan dirinya dengan orang lain dan karakter
ini tidak datang dengan dengan sendirinya, melainkan harus sengaja diciptakan terutama
melalui pendidikan. Megawangi (2003) dalam Latifah (2008) mengatakan bahwa seorang
anak dari lahir memiliki potensi untuk mencintai kebaikan, namun bila potensi ini tidak diikuti
dengan pendidikan, maka anak tersebut akan bisa berubah menjadi binatang, atau bahkan
lebih buruk lagi. Oleh karena itu, pendidikan yang baik harus dilakukan untuk bisa mengukir,
melukis, memahat dan menggoreskan kepribadian yang baik pula pada diri anak dan hal ini
pastilah dilakukan oleh orangtua, sekolah, lingkungan dan pihak-pihak terkait lainnya.
Emma Rosan a Febriyanti
88
Karakter menurut Pusat Bahasa Depdiknas (2008: 682) adalah “bawaan, hati, jiwa,
kepribadian, budi pekerti, perilaku, personalitas, sifat, tabiat, temperamen, watak”. Pengertian
ini senada dengan Kementerian Pendidikan Nasional Badan Penelitian dan Pengembangan
Pusat Kurikulum (2010:3), karakter adalah “watak, tabiat, akhlak, atau kepribadian seseorang
yang terbentuk dari hasil internalisasi berbagai kebajikan (virtues) yang diyakini dan digunakan
sebagai landasan untuk cara pandang, berpikir, bersikap, dan bertindak”. Orang berkarakter
adalah orang yang memiliki kepribadian, perilaku, sifat, tabiat, atau watak; karena hal-hal inilah
yang membedakan seseorang dari yang lainnya. Dengan kata lain pendidikan karakter dapat
dimaknai sebagai pendidikan nilai, pendidikan budi pekerti, pendidikan moral, pendidikan
watak, yang bertujuan mengembangkan kemampuan seseorang untuk memberikan keputusan
baik-buruk, memelihara apa yang baik, dan mewujudkan kebaikan itu dalam kehidupan sehari-
hari dengan sepenuh hati (Elkind dan Sweet, 2004).
Menurut Lickona (1991:51) dalam Latifah (2008) mengatakan bahwa karakter yang
baik adalah apabila seseorang mengetahui apa yang baik (knowing the good), mencintai
sesuatu yang baik (loving the good) dan melakukan sesuatu yang baik (doing the good). Ketiga
hal tersebut saling berkaitan satu dengan lainnya, yang artinya apabila seseorang mengetahui
kebaikan dan kemudian mencintai atau menyenangi kebaikan tersebut, maka dia akan
terdorong untuk selalu melakukan kebaikan tersebut. Artinya lagi, seseorang akan memiliki
karakter yang baik jika dari awal dia mengetahui bahwa sesuatu itu baik. Dan agar seseorang
mengetahui dan mengenal sesuatu yang baik, caranya adalah dengan mengenalkan dan
mengajarkan karakter yang baik kepada orang tersebut. Hal inilah yang seharusnya dilakukan
oleh orangtua kepada anaknya, memberi contoh dan mengajarkan hal-hal baik agar kelak
nantinya dia menyenangi dan selalu termotivasi untuk melakukan kebaikan.
Oleh karena itu, pendidikan karakter sebaiknya diterapkan semenjak usia dini, karena
pada usia inilah anak-anak mulai menumbuhkan dan mengembangkan potensi dirinya yang
semua kendali dipegang oleh orangtua. Bila orangtuanya mengarahkan anaknya kepada
karakter terpuji dan luhur, diharapkan anaknya menjadi orang yang berbudi bukan sebaliknya.
Sepadat-padatnya kegiatan orangtua, mereka harus bisa meluangkan waktu untuk berbincang-
bincang dan melakukan kegiatan bersama-sama dengan anak-anak mereka. Karena biasanya,
anak-anak yang digolongkan kedalam anak-anak nakal biasanya berasal dari keluarga “broken
home”, dimana orangtuanya terlalu sibuk bekerja dan tidak mempunyai waktu sedikitpun untuk
berkomunikasi serta membiarkan anak-anaknya tumbuh tanpa merasakan kasih sayang dari
orang-orang terdekat mereka. Maka dari itu, untuk menghindari masalah dikemudian harinya,
diharapkan orangtua menjadi lebih dekat dan mencoba mendekati anaknya dengan kasih
sayang dan kelembutan. Komunikasi dalam keluarga merupakan sesuatu yang harus dibina,
sehingga setiap anggota keluarga merasakan ikatan yang dalam serta saling membutuhkan.

III. PERAN ORANG TUA DALAM PENDIDIKAN KARAKTER


Zaman telah mulai berubah. Pergeseran norma dan nilai-nilai baik dalam masyarakat
sudah terjadi. Selain globalisasi, teknologi juga memainkan peran yang sangat besar terhadap
perkembangan karakter seorang anak. Sesuatu yang dulunya dianggap tabu dan tidak

Emma Rosana Febriyanti


89
diperbolehkan, sekarang menjadi hal yang sangat biasa dan bahkan anak-anak sudah terbiasa
dengan sesuatu tersebut. Anak-anak dan remaja bisa dengan bangga keluar rumah dengan
pakaian yang ketat dan terbuka, merokok, berkelahi, berpegangan tangan dengan lawan jenis
dan lain sebagainya. Para orangtua juga sepertinya memperbolehkan hal itu terjadi karena
juga menganggap semuanya adalah hal yang lumrah dan wajar dilakukan sebagai bagian dari
proses perkembangan anak dan mengikuti zaman. Akan tetapi sebagai orangtua yang baik,
adalah seharusnya memberitahukan, mengajarkan dan mencontohkan nilai-nilai yang baik
sebagai pegangan dan prinsip hidup bagi anak tersebut dikemudian harinya. Yang mana
nantinya anak tersebut akan mewariskan nilai-nilai yang baik pula kepada keturunannya kelak.
Agar seorang anak menjadi anak yang baik, berbudi luhur dan berhasil dalam kehidupan di
masyarakat bukan hanya dibutuhkan kepandaian dan ilmu yang tinggi, tetapi juga harus
diimbangi dengan pembentukan karakter anak yang baik. Pembentukan karakter inilah yang
sangat penting dilakukan pada saat anak masih berusia dini.
Menjadi orangtua bukanlah hal yang mudah, akan tetapi juga bukan hal yang sulit
untuk dilakukan. Pada masa sekarang, orangtua tidak bisa lagi menyuruh atau meminta anaknya
melakukan ini atau jangan melakukan itu dan mengharapkan anaknya patuh tanpa membantah
sedikitpun. Anak-anak sudah memiliki pemikiran mereka sendiri dan terkadang lebih
“mendengarkan orang lain” daripada orangtuanya sendiri. Akan tetapi, orangtua tidak bisa
sepenuhnya disalahkan terhadap apa yang terjadi pada anaknya. Sebagian besar orangtua
merasa sudah cukup membekali anak-anak mereka dengan kebaikan dan sebagian lagi
menyerahkan pendidikan anaknya kepada sekolah, namun entah kenapa anak-anak tersebut
tetap keluar dari jalur yang seharusnya. Tentunya, cara yang paling baik dilakukan oleh orangtua
adalah menjadi teman dan mengajak anaknya “berbicara” dari hati ke hati dan “mengajarkan”
nilai-nilai baik serta menjadi “guru” yang baik tanpa kesan menggurui.
Megawangi (2003) dalam Muthmainnah menerangkan bahwa ada tiga kebutuhan
dasar anak yang harus dipenuhi oleh orangtuanya untuk bisa mengembangkan karakter positif
anak, yaitu maternal bonding, rasa aman dan stimulasi fisik dan mental. Aspek yang pertama
yaitu maternal bonding, unsur kedekatan psikologis antara orangtua terutama ibu dengan
anaknya yang berperan penting dalam pembentukan dasar pembentukan moral anak. Aspek
yang kedua adalah rasa aman yang harus didapat dari keluarga dan lingkungannya yang
berdampak pada perkembangan emosi yang stabil dari anak tersebut. Bila anak tumbuh dalam
lingkungan keluarga tidak tentram dan hangat, anak akan terhambat pertumbuhan jiwanya
karena dia hidup dalam ketegangan dan ketakutan, yang berakibat buruk pada perkembangan
karakter anak. Aspek yang terakhir adalah stimulasi fisik dan mental dari orangtua agar anak
bisa tampil dengan lebih percaya diri. Dengan menjadi panutan yang baik dan nyata bagi anak,
orangtua dapat dengan mudah menanamkan dan mengembangkan karakter positif, karena
anak pertama kali lebih banyak belajar dari apa yang dilihatnya, kemudian dari apa yang
didengarnya. Oleh karena itu, orangtua harus lebih berhati-hati dalam segala tindak dan
ucapannya karena semuanya bisa saja langsung ditirukan oleh anak-anak mereka.
Beberapa studi yang dilakukan menyatakan bahwa ada hubungan antara pola asuh
anak dengan tingkat kenakalan remaja. Anak-anak yang dibesarkan dengan pola asuh yang

Emma Rosan a Febriyanti


90
tidak benar, cenderung mempunyai sikap berontak dan ingin menonjolkan diri dengan jalan
yang tidak benar pula. Ada tiga tipe pola asuh anak yang mungkin dilakukan oleh para orangtua
yang masing-masing mempunyai sisi positif dan negatif, yaitu pola asuh otoriter, permisif dan
demokratis. Pola asuh otoriter dimana orangtua sebagai penguasa mutlak dan anak tidak
diperbolehkan mempunyai pendapat sendiri, mempunyai kecenderungan menghasilkan anak
yang bermasalah karena mereka hanya bisa mengungkapkan pemberontakannya melalui
tindakan-tindakan yang anarkis. Pola asuh yang kedua adalah permisif, yaitu orangtua
memberikan kebebasan kepada anaknya untuk melakukan apa saja tanpa bimbingan yang
benar berpotensi membuat anak salah arah. Orangtua yang menerapkan pola asuh ini angkat
tangan, tidak peduli atau bahkan terlalu sayang dengan anaknya sehingga tidak memberikan
kontrol atau batas-batas yang seharusnya kepada mereka. Pola asuh yang terakhir adalah pola
asuh demokratis, yaitu memberikan kebebasan yang pantas kepada anaknya dan mereka
diperbolehkan mempunyai pendapat sendiri. Pola asuh ini membuat anak merasa disayangi,
dihargai dan didukung oleh orangtuanya sehingga mampu mendukung pembentukan
kepribadian yang pro-sosial, percaya diri dan mandiri serta peduli dengan lingkungannya.
Selain dengan pola asuh yang benar, karakter baik akan terbentuk sebagai hasil
pemahaman tiga hubungan (Eliasa, n.d), yaitu hubungan dengan diri sendiri, lingkungan dan
dengan Tuhan YME. Setiap hubungan tersebut menghasilkan pemahaman yang akhirnya
menjadi nilai dan keyakinan anak dan menentukan cara anak memandang dunianya.
Pemahaman yang salah akan berakibat fatal dan pemahaman yang benar akan membuat
anak bersifat positif dalam memperlakukan dunianya. Maka peran orangtua dalam
mengarahkan jalan mana yang harus ditempuh oleh anak sangatlah penting.

IV. PERANAN BAHASA ORANG TUA DALAM PEMBENTUKAN KARAKTER ANAK


Karakter dapat dipahami sebagai sikap, tingkah laku, dan perbuatan baik atau buruk
yang berhubungan dengan agama dan norma sosial yang berlaku di masyarakat. Oleh karena
berhubungan dengan masyarakat, karakter berkaitan dengan interaksi sosial dan interaksi
sosial tersebut dilakukan dengan menggunakan bahasa. Berdasarkan fungsinya, bahasa adalah
alat komunikasi dan alat pengidentifikasian diri manusia. Selain penampilan, bahasa yang
digunakan seseorang adalah salah satu standar penilaian kepribadian seseorang, karena
bahasa merupakan jendela pengungkapan perasaan dan akal budi yang “terlihat” dari luar.
Ada yang mengatakan cara seseorang berbicara adalah pencerminan dirinya sendiri. Artinya,
cara seseorang menggunakan bahasa dalam kesehariannya adalah cerminan karakter atau
kepribadian dari orang tersebut (Effendi, 2009:75 dalam Taqyuddin, 2010). Penggunaan bahasa
yang lemah lembut, sopan, santun, sistematis, teratur, jelas, dan lugas mencerminkan pribadi
penuturnya berbudi. Sebaliknya, melalui penggunaan bahasa yang menghujat, memaki,
memfitnah, mendiskreditkan, memprovokasi, mengejek, atau melecehkan, akan mencitrakan
pribadi yang tak berbudi (Junianto, 2012). Apabila cara berpikir seseorang itu teratur, bahasa
yang digunakannya pun teratur pula; dan apabila seseorang berbicara dengan kata-kata yang
kotor dan kasar, maka orang itu dianggap sebagai “bukan orang baik-baik.”

Emma Rosana Febriyanti


91
Rakhma (2012) mengatakan bahwa kepribadian seseorang mulai nampak saat mereka
berinteraksi dengan orang lain. Pada waktu usia balita, kepribadian seseorang belum terlihat,
akan tetapi benih kepribadian sudah mulai muncul dalam diri anak tersebut. Kepribadian
adalah ciri-ciri yang menonjol dari diri seseorang (Kamal, 2011). Sebagai contoh, ada anak
yang cenderung memiliki sifat tidak mau kalah, cepat dapat teman dan suka bicara, maka
anak ini berkemungkinan besar memiliki kepribadian yang kuat dan memiliki bahasa yang
bagus. Sedangkan bila ada anak-anak pendiam dan lebih suka menyendiri, maka mereka bisa
dikatakan memiliki kepribadian yang lemah dan kemampuan berbahasa yang lemah pula.
Papalia dan Old (1987) dalam Monica (2009) membagi masa kanak-kanak dalam
lima tahap, yaitu:
1. Masa Prenatal, yaitu diawali dari masa konsepsi sampai masa lahir.
2. Masa Bayi dan Tatih, yaitu saat usia 18 bulan pertama kehidupan merupakan masa
bayi, dan di atas usia 18 bulan sampai tiga tahun merupakan masa tatih. Saat tatih
inilah, anak-anak menuju pada penguasaan bahasa dan motorik serta kemandirian.
3. Masa kanak-kanak pertama, yaitu rentang usia 3-6 tahun, masa ini dikenal juga
dengan masa prasekolah.
4. Masa kanak-kanak kedua, yaitu usia 6-12 tahun, dikenal pula sebagai masa sekolah.
Anak-anak telah mampu menerima pendidikan formal dan menyerap berbagai hal
yang ada di lingkungannya.
5. Masa remaja, yaitu rentang usia 12-18 tahun. Saat anak mencari identitas dirinya
dan banyak menghabiskan waktunya dengan teman sebayanya.
Berdasarkan pembagian masa anak-anak diatas, anak-anak mulai berpikir kritis ketika
mereka berada pada masa tatih (diatas 18 bulan), yaitu menuju pada penguasaan bahasa,
motorik serta mulai berusaha mandiri. Pada masa ini, mereka mulai belajar mengucapkan,
meniru, serta menggunakan bahasa untuk memberitahukan kepada orang lain apa yang mereka
maui. Selain itu, mereka juga menggunakan bahasanya untuk bertanya kepada orang-orang
disekitarnya mengenai apa saja yang mereka lihat dan rasakan. Mereka mulai mengutarakan
pertanyaan kritis yang bahkan mungkin orangtuanya sendiri bingung mau memberi jawaban
apa dan bagaimana agar kata-kata atau bahasa yang dipakai untuk memberi jawaban sesuai
dengan pola pikir anak seusianya. Disinilah peran orangtua yang sebenarnya, apakah mereka
memberi jawaban yang sebenarnya atau berupa jawaban yang berupa karangan saja. Orangtua
dituntut untuk berbicara jujur namun harus dengan menggunakan bahasa yang dapat dipahami
oleh anak meskipun jawaban yang diberikan bersifat sensitif. Berawal dari pertanyaan-
pertanyaan dari seorang anak, orangtua dapat memulai menanamkan pendidikan mengenai
moral dan budi pekerti yang baik (Monica, 2009).
Meskipun kadang karakter seorang anak tidak selalu dapat diukur dengan bahasa
yang digunakannya, akan tetapi ada saat-saat dimana anak tersebut menggunakan bahasa
yang tidak seharusnya dikatakan untuk ukuran umurnya karena dia meniru apa yang diucapkan
oleh orangtua atau orang dewasa lainnya yang menjadi panutan atau idolanya. Dengan demikian,
orangtua jangan sampai salah langkah dalam mengajarkan segala sesuatunya pada masa ini.

Emma Rosan a Febriyanti


92
Ditakutkan dikemudian harinya, kata-kata tersebut akan dianggap sebagai hal yang wajar bagi
sang anak dan terlebih lagi jika banyak orang yang mengucapkannya dan tidak ada seorangpun
yang memperbaiki kekeliruan tersebut. Jika kata-kata yang dianggap tabu ini diucapkan terus
menerus oleh sang anak, maka akan berdampak secara psikologis dan dapat mempengaruhi
karakter dan kepribadiannya.
Misalnya saja seorang anak sering mendengar kata-kata “nyawa bungul” atau dalam
bahasa Indonesia berarti “kamu bodoh” dalam lingkungannya, besar kemungkinan anak tersebut
akan mengucapkannya juga bila dia marah dengan temannya atau orang lain atau mungkin ke
orangtuanya sendiri (Jika diartikan ke dalam bahasa Indonesia “nyawa bungul” artinya tidaklah
begitu ektrim, akan tetapi dalam bahasa Banjar, kata tersebut sangat-sangatlah tidak bagus
dan sopan). Yang tidak diinginkan adalah jika seorang anak sering menggunakan bahasa yang
negatif akan membentuk karakternya menjadi seorang yang agresif dan emosional. Karena
sudah pasti, anak itu adalah seorang anak yang pemarah jika dia sering mengucapkan kata
yang tidak sopan tersebut. Selain itu, seringkali kita mendengar orangtua menyebut anaknya
dengan kata-kata seperti “anak malas, “anak nakal”, “anak sial”, “anak bodoh”, atau kata-kata
lain yang bermakna negatif dan mereka tidak menyadari bahwa kata-kata tersebut dapat melukai
perasaan anak dan membunuh karakternya. Sang anak akan merasa kurang percaya diri,
tersingkirkan, tidak dihargai dan tidak disayangi oleh orangtuanya. Seperti yang Dorothy Law
Nolte (1998) katakan, jika anak dibesarkan dengan caci maki, permusuhan, ketakutan, iri hati,
malu dan celaan, dia akan belajar menjadi anak yang suka memaki, melawan, rendah diri,
gelisah, penuh kedengkian dan selalu merasa bersalah. Di sisi lain, jika anak dibesarkan
dengan dorongan, toleransi, pujian, penerimaan, dukungan, pengakuan, rasa berbagi, kejujuran
dan keterbukaan, kebaikan, penerimaan serta persahabatan, dia akan belajar memiliki tujuan,
kebenaran dan keadilan, dermawan, menghargai, menyenangi dirinya sendiri, memiliki iman
yang kuat serta belajar menemukan cinta dalam kehidupannya.
Ada banyak karakter positif yang bisa dimiliki anak apabila dia dibesarkan dengan
pola asuh yang positif pula. Selain itu, masih banyak nilai-nilai baik yang dimiliki seorang anak
antara lain adalah rasa percaya diri, memiliki motivasi dan bersedia bekerja keras, bertanggung
jawab, berinisiatif, tangguh, peduli, bisa bekerjasama dengan orang lain, mampu memecahkan
masalah, fokus dan menghargai orang lain (Rich, 2008). Sedangkan Megawangi (2003) dalam
Latifah (2008) menamakannya “9 Pilar Karakter”, yakni cinta Tuhan dan kebenaran; bertanggung
jawab, kedisiplinan, dan mandiri; mempunyai amanah; bersikap hormat dan santun; mempunyai
rasa kasih sayang, kepedulian, dan mampu kerja sama; percaya diri, kreatif, dan pantang
menyerah; mempunyai rasa keadilan dan sikap kepemimpinan; baik dan rendah hati;
mempunyai toleransi dan cinta damai, dan lain sebagainya. Semua karakter positif tersebut
bukanlah hal yang tidak mungkin untuk menjadi kepribadian seorang anak bila orangtua
menerapkan contoh perbuatan dan penggunaan bahasa yang baik dan benar dalam
kehidupannya sehari-hari.
Selain mengajarkan bahasa atau kata-kata yang mana yang dianggap baik dan tidak
baik, orangtua harus juga bisa membedakan bahasa apa yang bisa dipakai ketika berbicara
dengan anak dan bahasa apa yang mereka pakai ketika berbicara dengan orang dewasa

Emma Rosana Febriyanti


93
lainnya. Dengan demikian, anak-anak hanya akan mendengar kata-kata yang memang pantas
untuk usia mereka. Namun, orangtua tidak bisa membatasi kata-kata apa saja yang boleh dan
tidak boleh diketahui oleh anak, terutama ketika mereka sudah mulai bisa bergaul dengan
anak-anak lain. Dari teman-temannya, seorang anak lebih cepat belajar dan menguasai kata-
kata baru. Maka dari itu, orangtua harus menyadari dan memilih apapun bahasa yang mereka
dan orang lain pergunakan akan “direkam” oleh anak.
Apabila orangtua dan lingkungan sekitarnya menggunakan bahasa yang santun dan
sopan, diharapkan akan membentuk karakter anak yang baik pula. Penggunaan bahasa yang
baik dan sesuai dengan porsi usia anak akan menumbuhkan sifat-sifat terpuji dan melatihnya
berkepribadian yang baik. Ada kalanya orangtua harus melarang mereka untuk melakukan sesuatu
dan ada kalanya pula harus menegur mereka karena mereka bersalah. Tapi sayangnya, tidak
semua anak bisa menerima apa yang orangtua mereka katakan. Disaat seperti inilah komunikasi
yang baik yang terjalin antara orangtua dan anak sebagai bagian dari pembentukan karakter
berperan penting. Dengan bahasa yang penuh kasih orangtua dapat merangkul anaknya sehingga
anak tersadar dari perilaku buruk yang dilakukannya dan kemudian tidak dilakukannya lagi.
Ada beberapa hal yang bisa dilakukan orangtua untuk bisa menjalin komunikasi yang
baik dengan anak (dari berbagai sumber), antara lain:
1. Dorong mereka untuk terbuka
Setelah orangtua berhasil mendekati dan meraih kepercayaan anak, orangtua harus
selalu mendorong anaknya untuk terbuka dan selalu membicarakan segala sesuatu
yang mereka alami. Jangan memaksa, berilah kesempatan kepada anak untuk
berbicara lebih banyak meskipun kadang mereka berbicara melantur, orangtua masih
bisa memfokuskan tujuan dengan memberikan pertanyaan-pertanyaan yang mudah
dipahami oleh anak.
2. Mendongeng atau bercerita
Anak-anak suka mendengarkan cerita dan melalui cerita orangtua bisa memasukkan
hal-hal positif ke dalam pikiran mereka serta membangun kedekatan dengan anak.
Dengan menceritakan sesuatu yang disukai, anak-anak akan lebih mudah memahami
nilai-nilai moral yang ingin ditanamkan orangtua.
3. Menjaga ekpresi
Apabila anak melakukan kesalahan dan kita ingin mengajaknya bicara dengan
muka marah, maka anak akan ketakutan dan lebih memilih diam. Orangtua harus
menjaga ekpresi muka dan bahasa tubuhnya bila ingin membangun kedekatan
dengan anak. Akan tetapi bukan berarti orangtua tidak boleh marah kepada anaknya,
ketegasan dan kedisiplinan sangat diperlukan untuk hidup anak di masa depannya.
4. Pilih kata-kata yang bermakna positif
Orangtua tidak bisa selalu mengatakan “jangan” agar sang anak tidak melakukan
hal yang tidak baik atau membahayakan dirinya. Sering kita mendengar “jangan
main di lumpur, nanti kamu kotor dan sakit”, “jangan ini, jangan itu”, “kamu tidak

Emma Rosan a Febriyanti


94
boleh ini dan itu”, “kamu harus begini dan begitu”. Lalu, apakah sang anak akan
selalu mematuhinya? Tentu saja tidak. Menyalahkan bukan solusinya, tetapi
menjelaskan alasannya adalah hal yang terbaik.
5. Mendengarkan.
Menjadi teman anak bukan berarti harus selalu berbicara, ada saatnya
mendengarkan lebih baik dari seribu kata. Orangtua harus menjadi pendengar
yang baik bagi cerita-cerita anaknya, dengan begitu anak merasa dianggap orang
penting sehingga mereka mau terbuka. Manfaat lain adalah anak merasa dihargai
setiap pikiran dan perasaannya sehingga anak akan mengembangkan rasa percaya
terhadap dirinya sendiri dan dapat menghadapi tantangan-tantangan lain di
perjalanan hidupnya kelak.
Masih banyak lagi cara lain yang bisa ditempuh orangtua dalam menjalin komunikasi
dengan anak. Yang penting adalah orangtua menyadari setiap potensi yang dimiliki tiap anak
berbeda meskipun mereka diberikan pola asuh yang sama dan perbedaan itulah yang membuat
setiap anak unik. Bila orangtua menerima dan memahami hal ini, anak akan mempersilahkan
kita masuk ke dalam hatinya dan disaat inilah pesan, arahan dan masukan positif dengan bahasa
yang penuh cinta dan kasih untuk pembentukan karakter anak kedepannya dapat dilakukan
dengan mudah dan mengena.

V. PENUTUP
Ada pepatah mengatakan “buah jatuh tidak jauh dari pohonnya”, buah diibaratkan
anak dan pohon diibaratkan sebagai orang tuanya. Hal ini menjelaskan bahwa tingkah laku
dan perbuatan anak tidak lain adalah pencerminan dari orang tuanya.
Benar adanya perkataan seorang ulama bijak asal kota Banjarmasin, bahwa cirat (teko)
yang isinya kopi maka apabila dituang akan mengeluarkan kopi juga, tidak mungkin mengeluarkan
susu atau teh. Ini mencerminkan bahwasanya kepribadian dan karakter seseorang berasal dari
hati nurani, yang mana terbentuk dari ilmu dan hikmah yang didapatnya, yang pada akhirnya
tercermin pada tutur kata dan tutur bahasa yang keluar dari lisan pribadi tersebut.

DAFTAR PUSTAKA
Bohlin, Karen. E. 2005. Teaching Character Education through Literature: Awakening the Moral
Imagination in Secondary Classrooms. Oxon: Routledge Falmer.
Eliasa, Eva Imania. n.d. Pentingnya Kedekatan Orang Tua dalam Internal Working Model untuk
Pembentukan Karakter Anak (Kajian Berdasarkan Teori Kelekatan dari John Bowlby).
dalam Karakter sebagai Saripati Tumbuh Kembang Anak Usia Dini. Yogyakarta: Inti
Media Yogyakarta. Diakses dari http://staff.uny.ac.id/sites/default/files/132318571/
Microsoft Word-PENTINGNYA KELEKATAN ORANG TUA DALAM INTERNAL
WORKING MODEL UNTUK PEMBENTUKAN KARAKTER ANAK.pdf tanggal 26 April
2014.

Emma Rosana Febriyanti


95
Elkind, David H. dan Sweet, Freddy. 2004. How to Do Character Education. Diakses dari http://
www.goodcharacter.com/Article_4.html tanggal 26 April 2014.
Hasan, Said Hamid, dkk. 2010. “Pengembangan Pendidikan Budaya dan Karakter Bangsa.”
Bahan Pelatihan Penggunaan Metodologi Pembelajaran Berdasarkan NIlai-nilai
Budaya untuk Membentuk Daya Saing dan Karakter Bangsa. Jakarta: Puskur Balitang
Kemdiknas.
Junianto. 2012. Peran Bahasa dalam Pendidikan Karakter. Diakses dari http://
smalajunianto.blogspot.com/2012/02/makalah-peran-bahasa-dalam-pendidikan.html
tanggal 2 Mei 2014.
Kamal, Marconi. 2011. Bahasa dan Kepribadian. Diakses dari http://marcopangngewa.blogspot.com/
2011/11/bahasa-dan-kepribadian.html tanggal 27 April 2014.
Latifah, Melly. 2008. Peranan Keluarga Dalam Pendidikan Karakter. Diakses dari http://
www.tumbuh-kembang-anak.blogspot.com/2008/03/pendahuluan-saat-di-
layartelevisi-kita.html tanggal 26 April 2014.
Marzuki, M. 2013. Pengintegrasian Pendidikan Karakter dalam Pembelajaran di Sekolah.
Published Thesis. FIS Universitas Negeri Yogyakarta. Diakses dari http://staff.uny.ac.id/
sites/default/files/penelitian/Dr.Marzuki,M.Ag./Dr.Marzuki,M.Ag_.Pengintegrasian
Pendidikan Karakter dalam Pembelajaran di Sekolah.pdf tanggal 25 April 2014.
Monica. 2009. Peran Keluarga Terhadap Perkembangan Karakter Anak. Diakses dari http://
wimelimonica.wordpress.com/peran-keluarga-terhadap-perkembangan-karakter-
anak/ tanggal 2 Mei 2014.
Muthmainnah. Kontribusi Pola Asuh Orang Tua dalam Pendidikan Karakter. Diakses dari http:/
/staff.uny.ac.id/sites/default/files/penelitian/Muthmainnah/Kontribusi Orang Tua
DIKLUS.pdf tanggal 27 April 2014.
Nolte, Dorothy Law. 1998. Children Learn What They Live: Parenting to Inspire Values. Diakses
dari (http://www.goodreads.com/work/quotes/691301-children-learn-what-they-live)
tanggal 26 April 2014.
Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Nasional. 2008. Kamus Bahasa Indonesia.Jakarta: Pusat
Bahasa. Cet. I.
Rakhma, Naelu. 2012. Bahasa Membentuk Karakter Seseorang. Diakses dari http://
naelurakhma.wordpress.com/2012/03/10/bahasa-membentuk-karakter-seseorang/
tanggal 25 April 2014.
Rich, Dorothy. 2008. MegaSkills-Building Our Children’s Character and Achievement for School
and Life. Naperville, Illinois: Sourcebooks, Inc.
Taqyudin, Imam. 2010. Peran Bahasa dalam Membentuk Karakter Anak. Diakses dari http://
ahmad-aminudin.blogspot.com/2010/12/peran-bahasa-dalam-membentuk-
karakter.html tanggal 26 April 2014. http://pendidikankarakter.com

Emma Rosan a Febriyanti


96
CROSS CULTURAL PERSPECTIVE AND CHARACTER EDUCATION IN
THE TELEVISION COMMERCIAL BREAKS
Elvina Arapah
Universitas Lambung Mangkurat

ABSTRACT
As individuals who are involved in the English education, the students of English Department
should be consciously aware that they acquire the English culture as they learn and acquire the
language. This might bring to some extents that there are a lot of similarities and differences
regarding the cross cultural understanding. Many exposures might help in introducing and
reinforcing these concepts of cross culture view. The inputs are presented through books,
classroom lessons, movies, daily interactions and many other media that can facilitate the
students’ acquisition of the English cultures which are acceptable in Indonesia societies. Besides
those possible media, some of the television commercial breaks nowadays contains moral
message which can be analyzed in the cultural perspective. The adequate and appropriate
values of the cross cultural understandings in the television commercial breaks might be treated
as a form of character education since the role of television is already undoubtedly effective in
‘influencing’ the audience. This paper tries to discuss some character building points which
can be reflected in a few television commercial breaks and be understood as containing cross
cultural perspectives between English and Indonesian. The result might be considered as a
reference for the makers of commercial breaks that their work of art could be contributive for
building the character of the people. As for educators, especially English teachers, there should
be an endless effort in finding and creating any possible ways to help building the good character
of their students.
Keywords: commercial break, culture, character

I. INTRODUCTION
Educators have been trying to find ways in improving the morality and attitude of the
students. Character education has been booming in these recent years as one of the possible
solution dealing with the degradation of moral values in the communities. Character education,
in What is Character Education, might be defined as development of virtue of good human
qualities that are affirmed by cultures and religion around the world, meet the ethical criteria
and developed in schools where the virtues are modeled, expected, studied, reflected upon,
upheld, celebrated, and continually practiced in daily life.

Elvina Arapah
97
Foreign language learners should be sensitized to cultural diversity that they might
encounter through the language they learn. As individuals who are involved in the English education,
the students of English Department should be consciously aware that they acquire the English
culture as they learn and acquire the language. Whether they mean it or not, their new or foreign
language(s) might influence their first language or mother tongue. According to Tomasouw
(1986:1.11), a culture and the language used by it are inseparable. Most of the cultural attitudes
when a native speaker has built into him are reflected in his speech patterns. The native speaker
also brings with him to his language a background of knowledge that is culturally based.
In addition, the native cultural perspectives might also be altered by absorbing the
‘new’ culture. According to NiŸegorodcew (2011:9), the relationship between English as a
Lingua Franca (ELF) and culture can be seen from two perspectives. First, it is the
impoverishment of the national culture by the global language. The second one is the enrichment
of culture by ELF by encompassing diverse cultures and making them available to one another.
However, this might bring to the discussions of some extents that there are a lot of similarities
and differences regarding the cross cultural understanding.
Many exposures might help in introducing and reinforcing these concepts of cross culture
view. The inputs are presented through books, classroom lessons, movies, daily interactions and
many other media that can facilitate the students’ acquisition of the English cultures which are
acceptable in Indonesia societies. Besides those possible media, some of the television
commercial breaks nowadays contains moral message which can be analyzed in the cultural
perspective. The adequate and appropriate values of the cross cultural understandings in the
television commercial breaks might be treated as a form of character education since the role of
television is already undoubtedly effective in ‘influencing’ the audience.
This paper tries to discuss some character building points which can be reflected in a
few television commercial breaks and be understood as containing cross cultural perspectives
between American and Indonesian. As English is widely spoken in the United States, the cross
cultural discussion on the character is about to compare and contrast between Indonesian and
American. The study is conducted by exploring some possible commercial breaks that contain
or reflect the moral values that might be seen as characters taught or educated to the students.
The characters are the linked with the intercultural perspectives between American and
Indonesian in terms of the cultural similarities and differences. There are sixteen commercial
breaks which are steamed and downloaded from YouTube for the sake of this descriptive study.

II. DISCUSSION
Among several commercial breaks investigated, there are some values related to the
character education that can be explored. Some of the American characters which are
compared to the Indonesian ones are mostly taken from 101 Characteristics of Americans /
American Culture (retrieved from https://www.press.umich.edu/pdf/9780472033041-
101AmerCult.pdf). In fact, some characteristics of value are shared together by both cultures
regarding a few principal similarities and differences.

Ervina Arapah
98
2.1 Beliefs
The United States of America is known with the term of ‘a bowl of fruit salad’ which means
that the multicultural American people come in many colors, religion, origin and so forth. The
differences that exist actually enrich the cultures of the America. One thing that the American
people still strongly hold is their beliefs. Due to the various background, there are several religions
or beliefs in the United States, although most of the people are Christians. Islam, Hinduism,
Buddhism, Jewish and other beliefs with their own percentages also exist in the United States.
Similarly, in Indonesia, the people also hold on to their beliefs. The most followers of
Islam can be clearly seen dominating all over the country. Nevertheless, in some parts of
Indonesia, Christianity, Hinduism, Buddhism, and other beliefs are also present in this country.
The commercial break of Kuku Bima, an energy drink, was set in Kalimantan. It uses the
combination of local languages, Dayekese and Banjarese as shown in the transcript below:
Table 1. The Transcript of Kuku Bima Kalimantan Commercial Break

Lagu : Haa…mambesei ayu mambesei. Sukup simpan. Dinu Song : It’s raining there and
malauk manjala. mambesei akan danau mambesei. thick clod here. Whose
Indung-indung kepala lindung. hujan di udik di sini girl is wearing the veil?
mendung. Anak siapa pakai kerudung, Mata melirik The eyes glance, but
kaki kesandung. Laa haula wala kuwata. Mata melihat the legs stump. No
seperti buta. Tiada daya tiada upaya, melainkan Tuhan power no effort, but the
yang maha Esa. Mambese akan danau mambesei. Almighty God. It looks
Indung-indung kepala lindung. hujan di udik di sini like blind eyes although
mendung. Anak siapa pakai kerudung, Mata melirik it isn’t.
kaki kesandung. Laa haula wala kuwata. Mata melihat
seperti buta. Tiada daya tiada upaya, melainkan Tuhan
yang maha Esa. Laa haula wala kuwata. Mata melihat
seperti buta. Tiada daya tiada upaya, melainkan Tuhan
yang maha Esa. Kuku Bima Energi. Roso!

The background sound expresses the beliefs of the local people to the Almighty God.
The commercial break stresses on how the Almighty God always helps in every person’s life, in
his / her effort and action. All in all, in term of belief, most American and Indonesian share faith
that is they believe in the Almighty God, regardless whatever the religions are.
2.2 Freedom of Choice
The language content in the Window 8 commercial break is very interesting. It uses
many metaphors to express the comparisons made on what and how the I want to be at once. This
shows that English is very rich with figurative words or expressions by using as . as ... (See Table 2)
Table 2. The Transcript of Window 8 Commercial Break

Song: As warm as the sun, as silly as fun. As cool as a tree, as scary as the sea. As hot
as fire, cold as ice. Sweet as sugar and everything nice. As old as time, as
straight as a line. As royal as a queen, as buzzed as a bee. Stealth as a tiger,
smooth as a glide. Pure as a melody, pure as I wanna be. All I wanna be, all I
wanna be, oh. All I wanna be is everything, everything at once.

Elvina Arapah
99
Moreover, the message behind the words in the commercial break is that everybody
should have the freedom of choice in deciding what s/he wants to do for her/his life. However,
this point of view might be different between Indonesian and American because in Indonesia
such a freedom of choice is still limited by the environment in terms of tradition and the bravery
to take a decision that might be not in the same way with the regular customs. On the other
hand, Americans can easily take decisions about their lives because their cultures form them to
be brave to face differences when taking a choice.
2.3 Creativity
In Indonesian culture, being able to innovate and create something might be a rare
thing to be exposed at the early stage of education or even the higher one. As it can be seen that
the students at kindergarten, elementary, junior and senior high schools are subjected to be
uniformed in the sense that they go to school in the same school uniform, they take similar
subjects or courses at schools, they might always be expected to follow what their teachers say
and so forth. These circumstances does not secure the students to be able to maximally
develop their creativity since they are patterned to have the same things together. Meanwhile in
the US, the conditions that happen are the opposite of what might occur above. The system of
education is set to cater differences and stimulate the students to work independently and
activate equally their right and left brain. The students do not wear any uniform to schools and
they are ‘free’ to choose what subject that they want to explore more. This independence, in the
end, might result in students’ creativity.
Since making someone creative is neither easy nor very difficult, stimulus that might
come from the environment should be reinforced. The two commercial breaks from Procald
Gold are examples how actually a person brings the nature of creativity in himself or herself.
They show how to small kids utilize the things around them to create something which is so-
called fun for them. This might reflect that facilitating one with a lot of possible media is also
crucial, plus the strategy to stimulate one’s creativity. (See Table 3 and Table 4)
Table 3. The Transcript of TVC Procald Gold: Multiplaying Commercial Break

Narator : Procald Gold kini dengan formula Narator : Procald Gold is now with
baru yang disempurnakan. perfected formula.
Anak kecil : Hap hap (diiring music marching Anak kecil : Hap hap (marched herself with
band). Hmmm.. aha! (Membuka music). Hmmm.. aha! (Opening a
kaca lemari dan jalan ditempat mirror wardrobe and jalan
seolah-olah bersama ditempat seolah-olah bersama
barisannnya.) barisannnya.)
Narator : Procald Gold dengan New Wyeth Narator : Procald Gold with New Wyeth
Biofactor. Bantu wujudkan akal Biofactor help her with brilliant
pintarnya. ideas.
Anak kecil : Aha! Anak kecil : Aha!

Ervina Arapah
100
Table 4. The Transcript of S26 Procald Gold

Narator : S26 Procald Gold. Narrator : S26 Procald Gold.


Anak kecil : Aha! The kid : Aha!
Narator : Dukung si kecil wujudkan aksi Narrator : Support your little ones do
pintarnya. their brilliant ideas and actions
Anak kecil : (menata boneka dan mainannya The kid : (setting dolls and toys as if it in
menjadi seolah-olah di bulan) the space) Haha..
Haha.. Narrator : With Wyeth Bio-factor System
Narator : Dengan formula Wyeth Bio-factor formula which has been
System yang telah disempurnakan. enhanced, S26 Procald Gold.
S26 Procald Gold. Dari akal jadi From ideas into actions.
aksi pintar.

The two commercial breaks, TVC Procald Gold Multiplaying and S26 Procald Gold,
display the creativity of the kids. Both are broadcasted by television channels in Indonesia.
These two commercial breaks really teach that kids can be innovative, regardless whether the
scenarios are made up. The makers might have considered the psychological possibility of
kids when the commercial breaks’ ideas were chosen. So, something like what it is shown in
both commercial breaks are probable because each person –kids, teenagers, adults or elderly–
can bring creative ideas as long as the conditions are ‘secure.’ In other words, the culture or the
situation around should really trigger them to be creative people.
2.4 Hard work
Indonesia and the United State are different in terms of natural resources. Indonesia is very rich
with lots of assets given by the nature. This might form a view that the people are spoiled by the
resources where they live in any parts of Indonesia. The tendency is that there are people who
are lazy enough to explore themselves into hardworking attitude. Even the commercial break of
Kuku Bima which displays the beauty of Nusa Tenggara Timur, stresses on how Indonesia is so
much fertile that the people can always take the advantage of the nature.
Table 5.The Transcipt of Kuku Bima NTT: Kolam susu Commercial Break

Lagu : Bukan lautan tapi kolam susu. Bukan Song : It’s not a sea but a pool of milk. It’s
lautan tapi kolam susu. Kail dan jala not a sea but a pool of milk. Hooks
cukup menghidupimu. Tiada badai and nets are enough for your life.
tiada topan kau temui. Ikan dan No hurricane no storms that you
udang menghampiri dirimu. Bukan encountered. Fish and shrimp are
lautan tapi kolam susu. Kail dan jala over to you. It’s not a sea but a pool
cukup menghidupimu. Tiada badai of milk. Hooks and nets are enough
tiada topan kau temui. Ikan dan for your life. No hurricane no storms
udang menghampiri dirimu. Orang that you encountered. Fish and
bilang tanah kita tanah surga. shrimp are over to you. People say
Tongkat kayu dan batu jadi tanaman. we are the land of paradise. Sticks
Orang bilang tanah kita tanah surga. and stones can turn into plant.
Tongkat kayu dan batu jadi tanaman. People say we are the land of
2x paradise. Sticks and stones can
All : Kuku Bima! Roso! turn into plant. 2x

Elvina Arapah
101
The people of the United State, on the contrary, are conditioned to do more to achieve what
they would like to have. As it is known that the multicultural United States consist of immigrant people,
native Indian, Hispanics, middle eastern people and other races which try their fortune to make a
living in the US. This condition really require them to have a hard work for their lives because the
nature is not enough to spoil them. They have to make extra effort to achieve what they want.
However, nature does not always help and ease the Indonesian people. For those who
live in a remote areas of Indonesia, they really have to struggle for life. It is shown in the commercial
break of Gudang Garam: the Bridge to Future. It teaches us on how everybody should work hard to
achieve his / her goal. The nature does not all the time support the people in Indonesia. In other
words, they must also work hard to live their lives, is it is reflected in the commercial break.
Table 6. The Transcript of Gudang Garam: Jembatan Masa Depan Commercial Break

Lagu : (Tulisan: terinspirasi dari kisah nyata. Song : (Posts: inspired by a true story. A
Sebuah perjuangan menggapai cita-cita) struggle to reach goals)
Anak-anak laki-laki: (menyeberangi ke sungai Boys: (crossing the river by swimming,
dengan berenang membawa pakaian bringing their school clothes on top
sekolah mereka di atas kepala agar tidak of the head so as not to wet
basah) Boy 1: Dad says if I want to be a smart
Anak 1: Kata Bapak kalo aku mau jadi orang person, must be able to swim. If I
pintar, harus bisa berenang. Soalnya cannot swim, I cannot get into
kalau nggak bisa berenang, aku nggak school. Nevertheless, I should be
bisa sampai di sekolah. Tapi walau up at school, continue to learn
bagaimanapun, aku harus sampai together with my teacher and
disekolah, terus belajar sama Bu Guru friends. Teacher says the school's
dan teman-teman. Bu Guru bilang future bridges. if only there is a
sekolah itu jembatan masa depan. Coba bridge to school, I can get a faster
ke sekolah ada jembatan juga, aku bisa future.
sampai masa depan lebih cepat.

2.5 Independence
The commercial break of 3 Indie+ really reflects the modern life that might be thought
by the kids about their future life. They imagine on what they are going to do when they have
grown up. From the illustration of the future life in the commercial break, it seems that they are
longing to freedom on what they intend to do without being interfered by others.

Ervina Arapah
102
Table 6. The Transcript of 3 Indie+ Commercial Break

Anak 1 : Kalo aku dah gede, aku mau jadi Kid 1 : If I have grown up, I want to be an
x-mode. x-mode.
Anak 2 : Mau jadi bos. Kid 2 : I wanna be the boss.
Anak 3 : Hari-hari ngomong bahasa Kid 3 : Everyday talking in English.
Inggris. Kid 4 : Every Friday coming home from
Anak 4 : Tiap Jumat pulang kantor, office, hanging out with x-mode
nongkrong bareng sesama x- talking about big project to look
mode ngomongin proyek besar successful.
biar keliatan sukses. Kid 5 : Speaking with manly voice in order
Anak 5 : Suara agak digedein biar to be heard by the girl at the next
kedengaran cewek di meja table.
sebelah. Kid 6 : On weekend, having breakfast in a
Anak 6 : Kalo weekend sarapan di kafe café and getting busy with the
sambil sibuk laptopan pesen kopi laptop, ordering a cup of coffee
secangkir harga 40 ribuan priced Rp.40.000,-, drinking it
minumnya pelan pelan biar tahan slowly to make it last until afternoon
sampai siang demi wifi gratis. to enjoy the free wifi.
Anak 7 : Kalo tanggal tua pagi siang malam Kid 7 : At the end of each month, instant
makannya mi instan. noodle is served for breakfast,
Anak 8 : Kalo mau nelpon bisanya Cuma lunch and dinner.
miscall. Kid 8 : Calling means miscalling.
Anak 9 : Jadi orang gede menyenangkan Kid 9 : Becoming adults is fun, but difficult
tapi susah dijalanin to live
Narator : Pakai dulu baya kapan kamu suka Narrator : Use it and pay it anytime you like
indie+ layanan prabayar indie+. Pre-paid services for post-
kenyamanan pasca bayar paid services.

Independence is not really something which is easy to manage. The idea of


togetherness for Indonesian people is always making them depending a lot on each other.
Being able to manage lives independently is quite hard to do. Young adults mostly still depend
on their parent in their early twenties. It is different from the young people in the US. When those
young people are in their twenties, they manage to live separately with the parents and try to
support themselves.
2.6 Cleanliness
The commercial break of Lifebuoy: 5 Resep Dokter Kecil teaches the viewers on
clean life. Being hygienic for everyday can be started by doing small things like what has been
told in the commercial break. (See Table 7).

Elvina Arapah
103
Table 7. The Transcript of Lifebuoy: 5 Resep Dokter Kecil Commercial Break

Narator: Ayo teman jaga kesehatan, 5 resep Narrator: Dear friends. Let’s be health
dokter kecil lifebuoy, supaya bersih conscious. Here are five small lifebuoy
dari kuman, simak baik baik 1, prescription, to get clean from germs,
lifebuoy saat mandi, 2, 3, 4, cuci 1. lifebuoy bath, 2. 3. 4. washing your
tangan setiap sebelum makan pagi hands before eating breakfast every
siang malam 5, setelah buang air day and night 5, after using bathroom
kecil dan besar ingat 5 resep dokter and remember these five great recipes
kecil lifebuoy terbukti secara klinis of lifebuoy small physician have been
Indonesia ayo lebih sehat tidak clinically proven healthier. It is for
takuut. healthy and brave Indonesia.

The cross cultural perspectives of cleanliness are meant as the different habit of the
American and Indonesian people. Bathing might be considered enough for American to have it
once in a day. It happens in winter when the temperature is sometimes below 0° and people does
not sweat at all. Even in summer when the heat falls at its highest degree, sweating might not really
be a problem because it is not humid there and does not cause people sweating a lot. Unlike in the
United Stated, people in Indonesia really need bathing because of the high humidity level. The
tendency to sweat a lot happens in Indonesia because it is wet summer, not the dry one.
Related to hand-washing, all American restaurants provide the washbasin for the
customers to wash their hand, and they also prepare the hand soap. Nowadays, food courts in
Indonesia already provide their customer with those things too. It means that the habits already
turn into the good one. Restrooms in the US also provide those hand washing facilities. However
in Indonesia, only at good and big restaurant, such services are given. If people eat at small food
courts, some do have, but other don’t. This cleanliness issue reflects the cross cultural views on
keeping their hygiene or sanitation.
2.7 Extreme Informality
Discussing about formality and informality, Americans are extremely informal and call
most people by their first name or nickname. In Indonesia, this is possible regarding some
aspects like the relationship between the speakers, age, situation, and so forth. In the US,
students can always call their teacher by his or her name while in Indonesia, the term of address
is required. The kinship of Indonesian people shows that addressing someone with Bapak or
Ibu, Mas or Mbak, Adek, Nak, etc., is necessary to be polite. It is also normal for an American
teacher to sit on the desk where as in Indonesia it is considered impolite.
The commercial break of Kartu As is set in an Indonesian classroom where the student,
Arif, politely addresses his teacher by Ibu or Ma’am. In a setting like this as in Table 8, a student
is required to always respect the teacher and one form of showing respect is by addressing him
or her with Bapak (Sir) or Ibu (Ma’am). The teacher may always be able to address the student
by name directly without any terms of address. The use of any terms for addressing the students
in both American and Indonesian context might create distance between teacher and students
or enhance the level of formality.
Ervina Arapah
104
Table 8. The Transcipt of Kartu As Commercial Break

Ibu Guru : Telpon ditemukan?


Arif : Tahun 1876, Bu.
Ibu Guru : Setelah telpon ditemukan?
Siswi : Orang-orang pada nelpon.
Arif : Apalagi pakai Kartu As. Aktifnya, selamanya. Forever Kartu As. Forever sms an.Murah abis-abisan.
Ibu Guru : Arif! Thank you forever ya.
Arif : Forever asiknya. Kualitas nomor satu.
Ibu Guru : When was telephone invented?
Arif : In 1876, Ma’am.
Ibu Guru : After it was invented?
A student : People start to call.
Arif : It will be more if you use KartuA. Active forever. Forever Kartu As. Forever messaging. Extremely cheap.
Ibu Guru : Arif! Thank you forever ya.
Arif : Forever fun. Number one quality.

2.8 Queuing or Standing in line


A habit of Indonesian people which does not reflect any good character is grabbing or
taking someone else’s queue or line. This bad attitude is cynically illustrated in the commercial
break of Vidoran Smart versi Antrian. A girl is queuing for a train ticket. Suddenly a man took her
line although there is a sign Harap Antri on the wall. She positively thought that the man can’t
read Bahasa Indonesia and she reminds the man by using English. Funnily, the man can
actually speak Bahasa Indonesia. It seems that he did that because he is used to grabbing
someone else’s line. It is shameful that he is caught in the act by a little girl. How can adults
teach character education if they couldn’t implement it or give a good example of character?
Table 9 The Transcript of Vidoran Smart Versi Antrian Commercial Break

Ayah : Ayah beli Koran dulu ya Dad : I want to buy newspaper.


Anak : Iya. … beberapa saat kemudian … Girl : Yes ..after a while … Excuse me,
Excuse me, excuse me Sir. excuse me Sir.
Bapak2 : Apa sih Man : What is it?
Anak : Oh maaf, dikira Bapak ngga bisa Girl : Oh, sorry. I thought you cannot
bahasa Indonesia, itu (sambil speak Bahasa Indonesia. Look at
menunjuk tulisan ‘HARAP ANTRI’) that. (pointing at a sign “PLEASE
Narator : Tak hanya tambah cerdik tapi juga QUEUE”)
tangguh bersama Vidoran Smart, Narrator : It’s not only to make kid smart, but
Multi vitamin untuk membantu also strong with Vidoran Smart.
nutrisi jaringan otak dan Multi vitamin to help the brain tissue
mendukung daya tangkap anak nutrition and kid’s understanding.
anda. Man : Who do you learn English from?
Bapak2 : Belajar bahasa Inggris dari siapa? Girl : From my Dad.
Anak : Dari ayahku Narrator : Grow strong and smart, Vidoran
Narator : Tumbuh tangguh tambah cerdik, Smart.
Vidoran Smart

Elvina Arapah
105
On the contrary with what happens in Indonesia, American people is very discipline
about queuing. They always wait for their turn. Moreover, the standing distance always exist
between the persons. Americans don’t push or stand too close to anyone in line. They maintain
the distance of half meter when standing in line. It will be a great shame if someone cuts the line.
It seems like that person breaks the unwritten rules about manner. If only Indonesian is able to
think that being discipline in queues really reflect the character of an individual and the culture
of a nation, the problem of stealing other’s properties like corruption might not happen because
everybody is aware of each person’s right.
2.9 Dancing
The United States is famous for its dances such as Hula-Hula (Hawaii). The adopted
dances such as Salsa and Flamingos are also popular all over America. Similarly, Indonesia is
also rich with many traditional dances like Kecak dance, Saman, dance, etc. This cultural
tradition might apply differently between two countries. In the US, dances serves as part of a
party, yet in Indonesia it is carried out in a performance or ceremony. Therefore, there is always
meaning behind the dances. Since the dance is performed together, the sense of togetherness
is emotionally attached. The commercial break of Kuku Bima Energy set in Papua displays how
dance becomes part of togetherness within then community. Although the message of the
commercial break originally explores the beauty of Papua land, some scenes of it involves
people dancing together.
Table 10. The Transcipt of Kuku Bima Energy: Papua Commercial Break

Lagu: Papua, bumi yang penuh berkah. Inamgo mikim ye. pia sore, paisa sore ye ye.
Papua penuh potensi. Sajojo Sajojo. Yumanampo misa papa. Samuna muna
muna keke. Samuna muna muna keke. Kuserai, kusaserai rai rai rai rai. Inamgo
mikim ye. pia sore, paisa sore ye ye. Sajojo Sajojo. Yumanampo misa papa.
Samuna muna muna keke. Samuna muna muna keke. Kuserai, kusaserai rai rai
rai rai. Inamgo mikim ye. Pia sore, paisa sore ye ye. Inamgo mikim ye. Pia sore,
paisa sore ye ye. Indahnya negeriku. Indahnya Indonesia kebanggaanku. Kuku
Bima Energi Roso!

2.10 Responsibility
Indonesia and American parents teach responsibility in quite similar ways. Americans
speak to their children as adults and teach them how to be responsible for their actions. Some
Indonesian parents give examples on what to do and explicitly ask their children to imitate them.

Ervina Arapah
106
Table 11. The Transcript of Pepsodent: Ayah Adi& Dika versi Gantian Dong! Commercial

Ayah : Kamu ngga sikat gigi, kenapa sih Dad: You don’t brush your teeth. Why should
Ayah harus kasih tau kamu untuk have I always reminded you about
sikat gigi tiap malam? Sekarang brushing teeth every night? Now, let’s
gantian ah, nggak mau sikat gigi ah exchange roles. I don’t want to brush
Dika : Ayah kan tadi abis makan ayam tuh. my teeth.
Kalo nggak sikat gigi nanti Dika: Dad, you ate chicken. If you don’t
ayamnya nginap di situ, (menirukan brush your teeth, the chicken will stay
suara ayam berkokok). there. (imitating the sound of chicken
Ayah : Gimana? crowing).
Dika : Tekan Odolnya Dad: How to brush the teeth?
Ayah : Sikat giginya Dika: Press the toothbrush?
Dika : Muter muter, anak pinter. Dad: Brush the teeth.
Dika: Brush and brush. Good boy.

2.11 Table manner


Eating together at the dining table is one of American and Indonesian Cultures with
different variations between both. In America, breakfast and dinner are two important family
meal time. The members of the family gather to eat together with particular table manners.
Meanwhile in Indonesia, there is not strict meal time although breakfast and dinner are also
supposed to be eating together moments. Therefore, the culture of enjoying meal together at
one table for the members of the family exist in both American and Indonesian cultures. The
commercial break of Wall’s 3 in 1 Fruity Delight shows a family that enjoys their supper time by
having the ice cream. The culture of having another meal after dinner actually happens in both
the US and Indonesia with different regards to each family’s habit or tradition.

Table 12. The Transcript of Wall’s 3 In 1 Fruity Delight Commercial Break

Ibu : Taraaa! Waktunya es krim, mau pesan Mom : Taraaa! Ice cream time, what
apa nona nona? flavor would you like to order?
Anak 1 : Kelapa Girl 1 : Coconut essence
Anak 2 : Blueberry. Girl 2 : Blueberry.
Anak 3 : Mangga, Girl 3 : Mango,
Ayah : Ayah mau semua. Dad : I want all.
Narator : Baru Walls three in one dengan Narrator : It’s new Walls three in one with
perpaduan unik dari tiga rasa buah yang the mixture of three fruit essence
lezat, mangga, kelapa dan blueberry mango, coconut, and blueberry
Anak-anak: Yeay Girls : Yeay
Ayah : Uhmm Dad : Uhmm
Ibu : Ada pesanan lainnya Mom : Any other order?
Ayah + anak-anak: Besok lagi donk Dad + Girls: Give us again tomorrow
Narator : Serunya mengakhiri hari dengan Wall’s 3 Narrator : It’s fun to end the day with Wall’s
in 1 3 in 1

Elvina Arapah
107
What might become the concern of parents is that the culture of eating together at the
dining table or family meal time starts to become diminished. The excuse of being busy from
each member of the family is not appropriate as the reason of making the family time meal
disappear from the scene of every house.
2.12 Asking ‘why?’
Thinking critically is a part of learning and exposed during schools. At home, American
parents always encourage their children to question and always ask “Why?” This might be
different with the treatment of Indonesian parents. The exposure to critical thinking is sometimes
becoming the ignored part of education at home. Therefore, both American and Indonesian
people are in the same boat about the teaching and acquisition of good character that must be
accustomed at schools, at home, and the children’s nearest environment.
The scene from the commercial break of Frisian Versi Ini Teh Susu shows how the little
girl thinks critically by questioning why the boy mentioned teh for a glass of milk. She keeps
enquiring why the boy said “Ini teh susu.” even though it is only milk, not even a combination of
tea and milk. (See Table 13) Although in the end it is the girl’s misunderstanding because she
doesn’t know that in Sundanese teh is an insertion in an expression uttered, the scene teaches
the importance of critical thinking.
Table 13. The Transcript of Frisian Versi Ini Teh Susu Commercial Break

Anak laki-laki : Ini teh buat saya bu? Boy : Is this milk for me, Mom?
Ibu 1 : He eh. Mom 1 : Yes.
Anak perempuan : Bu bu, susu kok dibilang Girl : Mom, why he said milk as tea? That
teh? Itu susu kan? is milk, right?
Anak laki-laki : Iya, ini teh susu Boy : Yes, this is teh milk.
Anak perempuan : Mana teh nya? Girl : Where is the tea?
Anak laki-laki : Yee, ini teh susu. Boy : Yee, this is teh milk
this Ibu 2 : Oalah ga mudeng ini Bu. Mom 2 : Oalah she doesn’t understand,
Ibu 1 : Lucu nya. Neng geulis mau? Ma’am.
Anak perempuan : Mau tapi nggak pake teh Mom 1 : It’s so cute. Do you want some?
Narator : Selalu tersenyum dari Girl : Yes, but without the tea.
generasi ke generasi Narrator: Keep smiling from generation to
generation.

2. 13 Parenting and housework sharing


In most areas of Indonesia, the parenting and housework is the responsibility of the
wife. The husband usually has very small roles in the house. The stigma that father is responsible
for finding money and mother is for managing housework and taking care of the children, is
strongly attached to Indonesian people although nowadays there might a shift of the roles since
there are so many housewives who work outside the house. This phenomenon is even reflected
in the commercial break of Bebelac 3 Sing Along. The theme of the commercial break is that
mother is everything. She is the one who manages the house, take care of the children, and
even work at the office. The kids sing for their mothers.

Ervina Arapah
108
Kid 1 : My First
Kid 2 : My last
Kid 3 : My Everything
Kid 4 : And the answer to …
Kid 5 : All my dream
Kid 6 : You're my sun, my moon
Kid 7 : My guiding star
Kid 8 : My kind of wonderful,
Kid 9 : That's what you are
Kid 10 : My everything.

2.14 Loving and Care


Pet has important position in almost every American family. They like to have pet in their
house, and the best pet ever is dog. Sometimes, the family loves the pet more than anyone else.
Americans are carefully and patiently walking their dogs early in the morning in order that the
dogs have an opportunity to go outside the house. In Indonesia, although it is not in every family
and as popular as in the US, taking care pets is quite common nowadays. The pets vary from
dogs like Husky, cat like Persian cats, and even snakes. This loving and caring attitude must be
explored and applied to all creatures in the world as it can be seen from both commercial
breaks of Rinso and Oreo.
Table 15. The Transcript of Rinso Anti Noda Versi Kucing

Anak Kecil : Aku menolong kucing kucing ini. Girl : I help these kittens.
Ibunya : Terus baju kotormu gimana? Mom : How about your dirty clothes?
Narator : Rinso anti noda dengan Kristal x Narrator : Rinso Anti Noda with Blue Crystal x
biru mencuci sendiri can wash and clear up the stubborn
menghilangkan noda membandel stains like mud and blood by
seperti lumpur dan darah dengan rubbing it once using Rinso Anti
sekali kucek. Rinso anti noda Noda.

The little girl in this Rinso commercial break is taking a risk of dealing with her mother’s
anger because she make her clothes dirty in helping the homeless kittens. Nevertheless, the
mother should not scold her because of her loving and caring action by saving those poor
kittens. The little girl’s action is a good behavior and she deserves a compliment although she
makes her clothes stained. What has been taught by this commercial break is that being loving
and caring is not limited to human being only, it is also rewarding to help all creatures on the
earth in terms of feeling the self-satisfaction.
The next commercial break is another example of how loving and caring is even felt
and done by young kids. The boy in the Oreo commercial break is putting his attention to Afika,
his friend, by bringing her a sweater that can warm her in the cold weather. He also brings food

Elvina Arapah
109
to be eaten together. If this thing really happens in real life, there might be no dispute or students’
brawl or there might be not any violence happened among the people. Life might have been
filled with affection that will bring human life into peace.
Table 16. The Transcript of Oreo Rasa Orange Commercial Break

Anak laki-laki : Afika Boy : Afika


Afika : Iya? Afika : Yes?
Anak laki-laki :Ada yang baru nih. Boy : I have something new.
Afika : ih apa? Afika : What is that?
Anak laki-laki :Pakai ini dulu ya, udah siap? Boy : Put this on first, are you
Afika : Udah ready?
Anak laki-laki : Nanti dingin lho, ini dia Afika : Yes.
O reo……..rasa O range Boy : It will be cold later, here it is…
Afika : Hah, Jeruk? O reo with O range flavor
Narator : Ini O reo Ice C ream rasa Afika : What, O range?
O range, rasakan dinginnya Narrator : This is O reo Ice C ream with
Anak laki-laki : Diputar, dijilat, dicelupin O range flavor, feel the cold
Anak laki-laki + Afika: Brrrrrrrr, dingin dingin. Boy : Turn it around, lick it, soak it
Anak laki-laki : Hanya O reo Boy + Afika: Brrrrrrrr, it’s cold.
Boy : O nly O reo.

A loving and caring attention might have been missing among the people nowadays. A
family sometimes does not know who live next to them or the neighbor. Parents cannot spend
some time together with their children just because they have to work early in the morning and
return home at night. This lack of attention might also form community which ignores and
abandon each other. Starting to give a loving and caring treatment to everybody and everything
is probably a way to build a good character.

III. CONCLUSION
The result might be considered as a reference for the makers of commercial breaks
that their work of art could be contributive for building the character of the people. As for educators,
especially English teachers, there should be an endless effort in finding and creating any
possible ways to help building the good character of their students. Teacher always has the
main role in selecting and utilizing the materials that has cultural content.

REFERENCES
NiŸegorodcew, Anna. 2011. Understanding Culture Through a Lingua Franca in Aspects of
Culture in Second Language Acquisition and Foreign Language Learning. Eds. Janusz
Arabski and Adam Wojtaszek. London: Springer.
Tomasouw, Pauline, Dra. 1986. Buku Materi Pokok Cross Cultural Understanding. Jakarta:
Penerbit Karunika, Universitas Terbuka.
______ 101 Characteristics of Americans/American Culture retrieved from https:
www.press.umich. edu/ pdf/9780472033041-101AmerCult.pdf on May 14th 2014.

Ervina Arapah
110
______ Iklan Vidoran Smart Versi Antrian retrieved from http://www.youtube.com/
watch?v=mloOCENemAk on May 15th 2014.
______ Iklan Gudang Garam: jembatan masa depan retrieved from http://www.youtube.com/
watch?v=QIKfd8ujeKU on May 15th 2014.
______ Iklan rinso: anti noda versi kucing retrieved from http://www.youtube.com/
watch?v=7nWPJ6zOdIc on May 15th 2014.
______ Iklan lifebuoy: 5 resep dokter kecil retrieved from http://www.youtube.com
watch?v=bTtHzwlFUL4 on May 15th 2014.
______ Iklan pepsodent: Ayah Adi& Dika versi Gantian Dong! retrieved from http://
www.youtube.com/watch?v=6fvr4O8pzhs on May 15th 2014.
______ Iklan Frisian (versi ini the susu) retrieved from http://www.youtube.com/
watch?v=E_Ceh8To6mQ on May 15th 2014.
______ Iklan oreo rasa orange retrieved from http://www.youtube.com/watch?v=T8gYiZ7qeIo
on May 15th 2014.
______ Iklan Bebelac 3 sing along retrieved from http://www.youtube.com/watch?v=BKDr-
qRG6XQ on May 15th 2014.
______ Iklan s26 procald gold retrieved from http://www.youtube.com/watch?v=Bw8fB6ccIyM
on May 15th 2014.
______ Iklan tvc procald gold multiplaying retrieved from http://www.youtube.com
watch?v=OpwlJHgXQL8 on May 15th 2014.
______ Iklan Koleksi Iklan Iklan Wall’s 3 In 1 Fruity Delight retrieved from http://www.youtube.com/
watch?v=CDfvSFeIPg8 on May 15th 2014.
______ Iklan window 8 retrieved from http://www.youtube.com/watch?v=qUZMXfwDQ-0 on
May 15th 2014.
______ Iklan 3 indie+ retrieved from http://www.youtube.com/watch?v=klwyQBjgPWw on May
15th 2014.
______ Iklan kuku bima energy papua retrieved from http://www.youtube.com/watch?v= Cb0
QnnA-hNs on May 15th 2014.
______ klan kuku bima NTT, Kolam susu retrieved from http://www.youtube.com/
watch?v=j1Z7Mh6rZkA on May 15th 2014.
______ Iklan kuku bima Kalimantan retrieved from http://www.youtube.com/
watch?v=U77w0XYP7oo on May 15th 2014.

Elvina Arapah
111
Ervina Arapah
112
PEMBENTUKAN KARAKTER ANAK SEKOLAH DASAR MELALUI
PENGGUNAAN BAHASA INDONESIA YANG SANTUN
Muslimin
Universitas Negeri Gorontalo

ABSTRAK
Sekolah dasar merupakan jenjang pendidikan untuk usia anak antara 6-13 tahun yang memiliki
karakteristik selalu ingin tahu terhadap sesuatu, baik yang belum atau sudah pernah dilihat,
dirasakan atau dialami. Biasanya siswa sekolah dasar membutuhkan guru sebagai pembimbing
yang dapat dijadikan idolanya. Pada umumnya siswa SD mengidolakan gurunya yang
merupakan guru kelas. Guru kelas di SD memegang semua mata pelajaran, kecuali agama
dan olah raga. Setiap hari guru selalu berkomunikasi dengan siswa sebagai peserta didiknya
dengan menggunakan bahasa. Bahasa sebagai alat komunikasi dan pengantar dalam
melaksanakan pembelajaran di kelas, memegang peranan penting untuk membentuk karakter
siswa. Guru menjadi teladan bagi siswanya dalam melakukan segala sesuatu yang berkaitan
dengan pembelajaran melalui bahasa yang digunakannya (bahasa yang santun). Di era modern
ini, tidak dapat dipungkiri bahwa terjadinya masalah di kalangan masyarakat karena disebabkan
oleh kesalahpahaman dalam berkomunikasi/berbahasa atau penggunaan bahasa yang tidak
santun. Terkadang hal ini tidak disadari bahwa kita sering menghujat, memaki, memfitnah,
memprovokasi, mengejek atau melecehkan orang lain. Hal ini merupakan salah satu bentuk
prilaku kurang baik yang dapat menjerumuskan kita dan orang lain pada hal-hal yang negatif.
Pada dasarnya bahasa adalah perwujudan budaya bangsa Indonesia yang digunakan
masyarakat termasuk guru dalam berkomunikasi baik secara lisan maupun tulisan dengan
tujuan menyampaikan maksud atau tujuan kepada lawan bicara. Oleh karena itu, pembentukan
karakter siswa dapat dipadukan dengan penggunaan bahasa yang santun sebab antara karakter
dan budaya (termasuk bahasa di dalamnya) saling berkaitan dan saling mempengaruhi,
mengingat keduanya dapat dikaitkan melalui pembelajaran. Kesantunan berbahasa seorang
guru merupakan cermin kualitas kepribadian/teladan bagi siswanya sehingga berpotensi untuk
dikembangkan menjadi pembentuk karakter anak atau siswa.
Kata Kunci: karakter, anak, bahasa Indonesia

I. PENDAHULUAN
Anak usia di bawah 10 tahun sesungguhnya belum mempunyai fondasi yang kuat
dalam menjalani hidup, cara berpikir, dan tingkah laku. Jadi semua hal yang dilihat, didengar,
dan dirasakan selama masa pertumbuhan akan diserap melalui pikiran dan dijadikan sebagai
dasar atau modal bersikap dan bertingkah laku dalam hidupnya. Oleh karena itu, menjadi

Muslimin
113
tugas dan tanggung jawab orang tua untuk memilah, memilih, dan menentukan input yang
akan dimasukkan untuk membentuk karakter anak pada hal-hal yang baik/positif sehingga
tumbuh menjadi generasi masa depan yang membanggakan.
Di era globalisasi saat ini, perkembangan teknologi yang begitu cepat membuat
manusia dengan mudah mendapatkan informasi apa saja tanpa melalui proses filterisasi,
sehingga banyak informasi yang seharusnya tidak perlu diketahui, namun dapat diakses secara
bebas dan terbuka. Teknologi dan informasi sebenarnya tidak perlu disalahkan, yang salah
justru orangnya yang memanfaatkan teknologi tersebut. Beberapa fakta menunjukkan bahwa
negara kita tercinta Indonesia mengalami krisis multidimensi, terutama permasalahan yang
terkait dengan penyimpangan moral, seperti: seks bebas, tawuran pelajar, kebut-kebutan di
jalan, pengguna narkoba, minuman keras, perjudian, kasus korupsi, perampokan, bom bunuh
diri teroris, kasus video porno, dan prilaku sodomi pada anak-anak.
Nampak jelas bahwa begitu banyak permasalahan yang dialami negeri ini. Tentu kita
semua merasa sangat prihatin melihat kondisi ini, dan yang paling memprihatinkan adalah
adanya kasus pelecehan seksual pada anak-anak usia dini yang notabenenya adalah sebagai
calon generasi penerus dan pemimpin bangsa Indonesia di masa mendatang. Menurut
Warsono (2010) kondisi seperti ini tentu saja sangat memprihatinkan bagi kita semua. Di
tengah kondisi bangsa yang sedang terpuruk secara ekonomi, moralitas generasi muda kita
juga terpuruk. Keterpurukan moralitas generasi muda tentu saja sangat mengkawatirkan kita
semua, sebab merekalah yang akan menjadi pemimpin bangsa di masa mendatang. Kita
tidak bisa membayangkan seandainya di masa mendatang negara ini dipimpin oleh orang-
orang yang tidak bermoral, mungkin negara ini akan semakin kacau.
Oleh karena itu, salah satu solusi mengatasi permasalahan terkait dengan
pembentukan karakter anak adalah melalui pendidikan baik formal maupun nonformal.
Penguatan karakter anak melalui pendidikan diharapkan mampu melahirkan masyarakat yang
terdidik berakhlak mulia dan mampu meningkatkan kesadaran masyarakat untuk hidup secara
harmonis, toleran dalam kemajemukan, berwawasan kebangsaan yang demokrasi serta
berwawasan global. Hal ini relevan dengan tujuan pendidikan nasional sebagaimana tercantum
dalam UU Nomor 20 tahun 2003 tentang sistem Pendidikan Nasional pasal 3: Pendidikan
nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban
bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk
berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa
kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan
menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab.
Dari tujuan pendidikan nasional tersebut mempunyai makna bahwa potensi yang
perlu dikembangkan dari diri siswa bukan hanya aspek kognitif saja namun aspek afektif dan
aspek psikomotorik. Dengan kata lain pendidikan nasional juga bertujuan untuk membentuk
karakter siswa.
Berdasarkan uraian di atas, maka langkah strategis pembentukan karakter siswa sesuai
UU Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sisdiknas dapat dilakukan melalui penggunaan bahasa
yang santun sebab antara karakter dan budaya (termasuk bahasa di dalamnya) saling berkaitan
Muslimin
114
dan saling mempengaruhi, mengingat keduanya dapat dikaitkan melalui pembelajaran.
Kesantunan berbahasa seorang guru merupakan cermin kualitas kepribadian/teladan bagi
siswanya sehingga berpotensi untuk dikembangkan menjadi pembentuk karakter anak atau
siswa.
II. METODE PENELITIAN
Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah studi kasus. Menurut Bogdan
dan Bikien (1982) studi kasus merupakan pengujian secara rinci terhadap satu latar atau satu
orang subjek atau satu tempat penyimpanan dokumen atau satu peristiwa tertentu. Creswell
(1998) menjelaskan bahwa suatu penelitian dapat disebut sebagai penelitian studi kasus apabila
proses penelitiannya dilakukan secara mendalam dan menyeluruh tehadap kasus yang diteliti.
Berdasarkan pendapat tersebut, studi kasus yang digunakan adalah studi kasus
observasi dengan teknik pengumpulan datanya melalui observasi peran serta atau pelibatan
(participant observation), sedangkan fokus studinya pada suatu organisasi tertentu. Bagian-
bagian organisasi yang menjadi fokus studinya antara lain: (a) suatu tempat di dalam sekolah,
(b) satu kelompok siswa, (c) kegiatan sekolah.
Dengan mengacu pada pendapat di atas, studi kasus yang dilakukan adalah pada
siswa Kelas 1c, Sekolah Dasar Negeri No. 30 Kota Selatan, Kota Gorontalo. Penulis melakukan
pengamatan pada interaksi siswa saat berada di sekolah pada bulan April 2014. Langkah-
langkah pengumpulan dan analisis data meliputi: (a) pemilihan kasus, (b) pengumpulan data,
(c) analisis data, (d) perbaikan, dan (e) penulisan laporan.

III. PEMBAHASAN
Terjadinya masalah di kalangan masyarakat karena disebabkan oleh kasalahpahaman
dalam berkomunikasi/berbahasa atau penggunaan bahasa yang tidak santun. Terkadang hal
ini tidak disadari bahwa kita sering menghujat, memaki, memfitnah, memprovokasi, mengejek
atau melecehkan orang lain. Hal ini merupakan salah satu bentuk prilaku kurang baik yang
dapat menjerumuskan kita dan orang lain pada hal-hal yang negatif. Pada dasarnya bahasa
adalah perwujudan budaya bangsa Indonesia yang digunakan masyarakat termasuk guru dalam
berkomunikasi baik secara lisan maupun tulisan dengan tujuan menyampaikan maksud atau
tujuan kepada lawan bicara.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa pembentukan karakter anak sebenarnya dapat
dilakukan dengan mudah dan sederhana. Salah cara yang dapat dilakukan oleh orang tua
atau guru melalui penggunaan bahasa komunikasi positif dan efektif. Untuk itu, dari hasil
penelitian tersebut ada beberapa hal yang dapat dilakukan untuk mewujudkan upaya
pembentukan karakter anak bangsa agar menjadi generasi cemerlang dan generasi emas
yang unggul dan berbudi luhur sesuai dengan cita-cita dan harapan bangsa kedepan.

Muslimin
115
3.1 Strategi Membentuk Karakter Anak Sekolah Dasar
Strategi pembentukan karakter pada siswa SD dapat melalui beberapa cara antara
lain: (1) keteladanan, (2) penanaman disiplin, (3) pembiasaan, (4) menciptakan suasana
konduksif, (5) integrasi dan internalisasi (Furqon, 2011:4).
Untuk itu, ada beberapa poin yang dapat digunakan untuk membentuk karakter anak
agar menjadi anak yang baik, berkarakter, dan memiliki sikap sopan santun, sebagai berikut:
1. Dimulai sejak kecil. Anak harus diajarkan tentang sopan santun sedini mungkin.
Dari saat anak kita sudah dapat berbicara, ajarkan mereka tentang kata: “Terima
kasih” atau “Maaf”. Semakin dini kita memperkenalkan sopan santun kepada anak,
maka akan semakin baik pola dan tingkah laku anak untuk bersikap sopan kepada
siapa saja, sehingga tidak akan menjadi sebuah keterpaksaan.
2. Sebaiknya diajarkan sikap menghormati. Sopan santun perlu dimulai dari
orangtua memperlakukan anak sejak lahir. Tumbuhkan sikap sopan santun dimulai
dari rasa hormat kepada orang lain dan rasa hormat dimulai dari sikap terhadap
orang lain dan termasuk anak-anak teman sebayanya.
3. Tumbuhkan sikap keteladanan. Ketika anak berusia 2 tahun hingga 4 tahun
mereka kerap mengulang apa yang mereka dengar. Biarkan anak-anak kerap
mendengar kata-kata yang baik seperti “mohon maaf”, “minta tolong”, “terima kasih”,
“terima kasih kembali”, dan “permisi”. Walaupun kata-kata tersebut ditujukan pada
orang lain, anak-anak dapat belajar dari apa yang mereka dengar dan lihat dari
orang dewasa. Biarkan anak menangkap kesan dan situasi dari pembicaraan yang
sopan.
4. Biasanya anak berbicara dengan menyebut nama. Biasakan memanggil nama
anak ketika berinteraksi dengan mereka, sehingga mereka akan belajar sopan
santun dan mereka merasa dekat, misal, “Papa..! Noval boleh minta tolong....”, atau
anak yang berbicara: “Ibu, boleh Noval minta izin.....”.
5. Luangkan waktu untuk memberi perhatian pada anak. Ajaklah anak-anak
sesekali dalam kegiatan orang dewasa, terutama jika tak ada anak-anak lain ikut
serta. Ketika anak hanya berada di antara orang dewasa, mereka akan kerap
membuat masalah sebagai upaya mencari perhatian Anda. Bahkan anak yang
selama ini berperilaku baik sekalipun. Cobalah memperkenalkan dan menyertakan
kehadiran sang anak, ini akan mengajarkan keterampilan sosial pada anak.
Tetaplah terkoneksi dan pertimbangkan situasi anak yang dapat memperlihatkan
perilaku kurang menyenangkan. Selama aktivitas Anda bersama orang dewasa
lain, upayakan tetap dekat dengan anak paling kecil Anda. Jangan lupa tetap lakukan
kontak mata dan berbicara padanya. Bantulah anak merasa menjadi bagian dari
aktivitas sehingga dapat mengusir kebosanan dan keinginan membuat masalah.
6. Jangan melakukan tindakan paksaan saat mengajari sopan santun. Bahasa
adalah kemampuan yang sebaiknya mengalir, bukan dipaksakan. Boleh saja
sesekali Anda meminta anak mengatakan “minta tolong” atau “terima kasih”. Selalu

Muslimin
116
mengulang meminta anak mengatakan “kata ajaib” sebagai syarat memberikan
sesuatu, akan membuat anak merasa bosan dengan kata-kata sopan sebelum
mereka memahaminya. Jika Anda ingin meminta anak mengatakan “minta tolong”,
sebaiknya sekedar katakan saja dengan cara yang baik. Dan pastikan mereka
mendengar kalimat yang Anda utarakan. Kebiasaan ini akan lebih cepat ditangkap
jika Anda memberikan permintaan dengan kalimat-kalimat yang enak didengar
sembari senyum di wajah orangtua.
7. Koreksi secara sopan. Ketika anak membuat sebuah kebodohan atau kesalahan,
jaga intonasi dan suara tetap terkontrol. Tetap upayakan kontak mata dan letakkan
tangan di bahunya sembari menasihati. Gestur ini merefleksikan jika orangtua
mengoreksi anak karena kepeduliannya. Dan, bukan karena marah. Kesopanan
yang diperlihatkan pada anak akan menunjukkan betapa berharganya anak di
mata orangtua. Dan, orangtua ingin anak belajar dari kesalahannya serta selalu
mendengarkan nasihat orangtua. Kelak, anak juga akan menjadi orang dewasa
yang dapat menghormati dan menghargai orang lain.
8. Berikan contoh pada anak. Anak-anak belajar melalui apa yang mereka lihat.
Karena itu, tunjukkan anak Anda bagaimana cara bersikap yang baik. Anda juga
harus melakukan apa yang Anda suruh mereka lakukan, hal ini akan menjadi contoh
baik untuk anak Anda tiru nantinya.
9. Jangan biarkan ketika anak tidak berbuat sopan. Beberapa tata krama dan
sopan santun mau tak mau harus dilakukan oleh anak Anda. Seperti jangan
menggigit orang lain atau berteriak di tempat umum. Jangan biarkan anak berpikir
hal-hal tersebut boleh dilakukan. Ajarkan kepadanya bahwa hal-hal seperti berterima
kasih, kesopanan, menunggu giliran serta menyapa orang lain adalah hal yang
harus dilakukan. Berilah pengertian bahwa hak dan kewajiban saling berhubungan.
Jika ia ingin mendapatkan hak, maka ia harus melaksanakan kewajibannya.
3.2. Faktor-Faktor Penyebab Hilangnya Budaya Satun pada Anak Didik
terhadap Gurunya
Merosotnya budaya sopan santun peserta didik terhadap guru, orang tua atau orang
lain dipengaruhi banyak faktor, baik dari siswa sebagai faktor internal dan faktor eksternal
seperti guru, perkembangan teknologi informasi dan komunikasi atau ICT, pengaruh
moderenisasi kultur, pergaulan bebas, dan penyalahgunaan obat-obat terlarang juga mengambil
peranan dalam proses hilangnya sopan santun peserta didik terhadap guru atau orang tua/
orang lain.
Guru sebagai salah satu faktor eksternal di atas, ternyata memiliki pengaruh yang
sangat menonjol terhadap lunturnya budaya sopan santun peserta didik. Hal ini disebabkan
oleh beberapa alasan sebagai berikut:
1. Penampilan guru. Hal ini sangat penting karena peserta didik akan menilai rapi
atau tidaknya cara berpakaian guru, harum atau bau aroma tubuh guru tersebut,
panjang atau pendek rambut guru (khusus guru laki-laki).

Muslimin
117
2. Telat atau jarang masuk, dengan beban 24 jam pelajaran dan banyaknya adminitrasi
yang harus dibuat oleh seorang guru ditambah lagi ada side job untuk menambah
penghasilan. Akan berdampak pada performa guru tersebut sehingga sering telat
dan tidak masuk.
3. Pilih kasih, sifat ini yang sering tidak disadari oleh guru dan sering membanding-
bandingkan peserta didik yang satu dengan peserta didik yang lain.
4. PR dan tugas sering tidak dikoreksi, dengan mengoreksi dan memberikan nilai
merupakan reward bagi peserta didik sebagai bentuk penghargaan guru terhadap
hasil kerja keras peserta didik tersebut.
5. Berkata kasar, perkataan yang kasar akan membuat pandangan negatif peserta
didik terhadap guru.
3.3 Bahasa sebagai Wadah Pembentukan Karakter Anak
Bahasa sebagai alat komunikasi, merupakan saluran perumusan maksud pembicara
kepada pendengar atau penulis kepada pembaca untuk melahirkan perasaan dan
memungkinkan kedua belah pihak untuk menciptakan kerja sama satu sama lain.
Bahasa adalah jantung kebudayaan, karena itu merawat bahasa Indonesia merupakan
sebuah keharusan bangsa Indonesia. Jika tidak, kebudayaan akan lemah dan tak punya arah
yang jelas, sehingga menyebabkan kerapuhan pada mental anak. Disadari bahwa bahasa
Indonesia amat kaya dengan berbagai ungkapan dan petuah luhur yang tetap aktual serta
relevan dengan kondisi keindonesiaan. Bahasa Indonesia dapat berfungsi sebagai penunjang
perkembangan bahasa dan sastra Indonesia atau alat untuk menyampaikan gagasan yang
mendukung pembangunan Indonesia atau pengungkap pikiran, sikap, dan nilai-nilai yang
berada dalam bingkai keindonesiaan.
Dalam pengembangan pendidikan budaya (termasuk bahasa di dalamnya) dan
karakter bangsa yang digagas oleh Kemendikbud, terdapat 18 nilai yang patut dikembangkan
dan direalisasikan dalam kehidupan peserta didik di sekolah maupun di rumah atau lingkungan
masyarakat. Kedelapanbelas nilai dimaksud meliputi: religius, jujur, toleransi, disiplin, kerja
keras, kreatif, mandiri, demokratis, rasa ingin tahu, semangat kebangsaan, cinta tanah air,
menghargai prestasi, bersahabat/komunikatif, cinta damai, gemar membaca, peduli lingkungan,
peduli sosial, dan tanggung jawab.
Dengan mengacu pada nilai-nilai yang harus dicapai tersebut, maka tepat kiranya jika
pendidikan karakter bangsa saat ini menjadi suatu prioritas untuk membangun karakter bangsa
agar bisa menjadi negara yang kuat dan mandiri.
Sudah saatnya, bahasa Indonesia harus mampu mengembangkan peran sebagai
media membangun karakter bangsa demi meningkatkan martabat bangsa Indonesia dalam
pergaulan lintas bangsa di dunia yang semakin mengglobal. Dalam konteks pembangunan
karakter bangsa, posisi generasi muda sangat strategis karena mereka yang akan mengemban
estafet kepemimpinan bangsa pada masa kini dan masa depan.

Muslimin
118
IV. SIMPULAN
Setelah mencermati berbagai hal terkait dengan pembentukan karakter anak sekoah
dasar yang telah diuraikan di atas, maka ada beberapa poin penting yang dapat dijadikan
kesimpulan pada tulisan sederhana ini, yaitu:
1. Anak usia di bawah 10 tahun sesungguhnya belum mempunyai fondasi yang kuat
dalam menjalani hidup, cara berpikir, dan tingkah laku. Jadi semua hal yang dilihat,
didengar, dan dirasakan selama masa pertumbuhan akan diserap melalui pikirian
dan dijadikan sebagai dasar atau modal bersikap dan bertingkah laku dalam
hidupnya.
2. Pembentukan karakter anak melalui pendidikan baik formal maupun nonformal
merupakan langkah strategis agar melahirkan masyarakat yang terdidik berakhlak
mulia dan mampu meningkatkan kesadaran masyarakat untuk hidup secara
harmonis, toleran dalam kemajemukan, berwawasan kebangsaan yang demokrasi
serta berwawasan global.
3. Strategi pembentukan karakter pada siswa SD dapat melalui beberapa cara, antara
lain: (1) keteladanan, (2) penanaman disiplin, (3) pembiasaan, (4) menciptakan
suasana konduksif, (5) integrasi dan internalisasi.
4. Merosotnya budaya sopan santun peserta didik terhadap guru, orang tua atau orang
lain dipengaruhi banyak faktor, baik dari siswa sebagai faktor internal dan faktor
eksternal seperti guru, perkembangan teknologi informasi dan komunikasi atau
ICT, pengaruh moderenisasi kultur, pergaulan bebas, dan penyalahgunaan obat-
obat terlarang juga mengambil peranan dalam proses hilangnya sopan santun
peserta didik terhadap guru atau orang tua/orang lain.
5. Sudah saatnya, bahasa Indonesia harus mampu mengembangkan peran sebagai
media membangun karakter bangsa demi meningkatkan martabat bangsa
Indonesia dalam pergaulan lintas bangsa di dunia yang semakin mengglobal.

DAFTAR PUSTAKA
Bogdan dan Bikien. 1982. Qualitative Research For An Introduction The Teory And Method.
London.
Creswell, J. W. 1998. Qualitative inquiry and research design : choosing among five tradition.
London: Sage Publication.
Furqon Hidayatullah, M. 2011. Mengantar Calon Pendidik Berkarakter Dimasa Depan. Surakarta:
UNS Press.
UU No 20 tahun 2003 tetang Sistem Pendidikan Nasional. Jakarta: Dekdikbud.
Warsono. 2010. Model Pendidikan Karakter Melalui Pendidikan Kewarganegaraan,
Proceedings of The 4th International Conference on Teacher Education; Join
Conference UPI & UPSI Bandung, Indonesia, 8-10 November 2010.

Muslimin
119
Muslimin
120
PRE-SERVICE ENGLISH TEACHERS’ PERSPECTIVES ON CHARACTER EDUCATION:
COMMITMENTS AND CONSTRAINTS
Mutiara Bilqis
Universitas Negeri Malang

ABSTRACT
Concerning that education is misinterpreted as a medium to shape learners’ cognitive
advancement without truly paying attention to their affective development, inserting character
education in the recent curriculum is indeed a very big leap that the government has taken.
Character education provides a long-term solution to the depleting moral issue and deep
understanding on its application, ergo a long way to go. To prepare student teachers in promoting
character education in the future, a pre-service teacher of graduate study is expected to
understand the wisdom underlying character education itself without ignoring the details which
are written on the paper. In short, the graduate pre-service teachers’ perception on character
education will be influential. Thus, this project aims to find out the perspective of the graduate
pre-service English teachers in fostering character education. This research is an ethnographic
research. The data were collected through observation and interviews administered to 14
graduate students majoring in English. Afterwards, the data were analysed using ethnographic
account to provide descriptions on the pre-service teachers’ perspective and insight regarding
character education. The findings of the research are expected to provide insights for the
lecturers of education faculties about the facts happening inside and beyond the class.
Keywords: character education, pre-service teachers’ perspective

I. INTRODUCTION
1.1 Background
Education in Indonesia today faces enormous challenges in educating all of the young
people in its charge. Education bears the responsibility to educate people. ‘Educate’ means to
give intellectual, moral, and social instruction. Thus, ideally, education should embrace those
three aspects in every bit of its practice. Nevertheless, the education trend in Indonesia seems
to take a wrong turn. Rather than sharing these three aspects equally, the education in Indonesia
seems to proceed further in the intellectual side, leaving the other two aspects behind, abandoned.
Moral and social values, which originally should be blended in learning, are neglected. Ergo
education is blamed for moral value depletion, corruption, crimes, drug abuse, and other deviant
behaviours.
To find solution to that, you might want to refer to Martin Luther King Jr.’s speech at
Morehouse College in 1948. He mentioned, “We must remember that intelligence is not enough.
Intelligence plus character—that is the goal of true education.” Education should not solely be

Mutiara Bilqis
121
defined by how well knowledge is transferred to and absorbed by every individual’s mind.
Character plays an even more important role. It leads individuals to carefully and wisely make
use of all knowledge they have gathered to be useful not only for himself but also for others, to
make the world a better place to live in. Indeed, character is what decides how one sees himself
as one true being, places himself in the community, treasures his surroundings, values his
country, and appreciates the world. Generations with that kind of strong and noble characters
are worth to dream for.
Character refers to a much broader assemblage of attitudes, behaviours, motivations,
and skills (Battistich, 2011). It is more than simply forestalling complicity in any socially undesirable
behaviours. Character includes attitudes such as the desire to do one’s best and being concerned
about the welfare of others; intellectual capacities such as critical thinking and moral reasoning;
behaviours such as being honest and responsible, and standing up for moral principles in the
face of injustice; interpersonal and emotional skills that enable us to interact effectively with
others in a variety of circumstances; and the commitment to contribute to one’s community and
society. Stated simply, character is the realization of one’s positive development as a person—
intellectually, socially, emotionally, and ethically. To be a person of good character is to be the
best person that one can be. To have a generation with such people as the members of the
community requires character education.
What we need to understand about character education is that it does not solely cultivate
mind, it also nurtures hearts (Character Education Partnership, 2014: 151-152). Character
education is a nationalised undertaking to create schools that foster ethical, responsible and
caring young generation through emphasis on universal values that we all share. Character
education is a purposeful endeavour that includes all stakeholders in a school community to
instil in their students important core ethical values such as caring, honesty, fairness, responsibility
and respect for self and others. Although it may seem promising, character education is not a
“short cut” to the moral depletion in our country. Character education provides long-standing
answers to address moral, ethical and academic issues in our society. Besides, character
education also helps students to develop important human qualities such as self-discipline,
compassion, respect, and courage, and more importantly to understand why it is important to
live by them (Character Education Partnership, 2010: 1-2).
Indonesian government has taken the right move by infusing character education in its
latest curriculum, the 2013 Curriculum. Albeit the curriculum gains many criticism (Arsjad,
2013), it gives a strong emphasis on what character should be reinforced. It emphasizes the
instillation of 18 characters every student must have: religious, honest, tolerant, disciplined,
hard-working, creative, independent, democratic, curious, nationalistic, caring for his homeland,
appreciating others, amiable, promoting peace, fond of reading, caring for the environment,
caring for the society, and responsible (Supeksa, 2012).
Teachers are expected to instil in their students those characters through the teaching
learning process on a daily basis. Character infusing is not something we can do in a day time.
It needs patience and commitments to make it work. More importantly, it also requires a deep

Mutiara Bilqis
122
understanding of how character education should be put in practice and blended in the learning
process. Ergo, teachers needs to be knowledgeable and aware of this issue.
As seen from the 14 learning principles in the 2013 curriculum (Latief, 2013), the
demands for teachers to be proactive are emphasized. Teachers have to think of a way to
change the perspective from students being given the knowledge into students looking for
knowledge. They also need to alter their standpoint from teacher as the sole source of learning
into learning from various sources. Teachers have to set a condition where learning is not only
a process limited throughout the school ground. They have to set a viewpoint that learning can
take place anywhere. The responsibility does not stop at that point, teachers have to develop
and balance students’ hard-skills and soft-skills. Plus, the hardest of all is that teachers have to
be exemplary figures with all good quality preserved inside.
All those requirements apply to English teachers as well. Given such a big responsibility,
the English teachers should equip themselves with knowledge of how to infuse character in
language learning and put it into practise, especially when English is a foreign language in
Indonesia. Seen from a certain angle, English teachers benefit from the fact that English is a
foreign language. Teaching a language means teaching a culture. Being an English teacher
means teaching the culture of the countries where English is put into use. While teaching the
foreign culture, English teachers can also imply the characters students can learn from that
culture, like being disciplined, independent, and nationalistic. English teachers can also raise
the students’ awareness of and love for their homeland by comparing qualities other countries
might not have, such as being religious or by revealing great inventors from and beautiful places
in Indonesia.
Student teachers, educated as teachers to be, also share the same burden. They
need to prepare themselves to engage in the character education itself. To effectively implement
the character education well, a deep understanding is definite. The graduate pre-service
teachers, since graduating from a graduate program, are mostly expected to teach the student
teachers. To provide knowledge about the character education, the graduate pre-service English
teacher also bear the same burden.
The problem is whether the pre-service English teachers have conceived that they are
actually bearing such a huge load on their shoulders. Without a deep understanding of character
education and its implementation, it will be hard for the character education itself to take effect.
Ergo, a deep rooted conception of the implementation of character education is a definite
demand for all graduate pre-service English teachers. Nevertheless, what is more important
besides the conception is the pre-service English teachers’ perception concerning character
education as it decides how willing teachers will be in the implementation.
1.2 Research Questions
As the aforementioned background, this paper sought to answer two research questions:
1. What perspective do the pre-service English teachers have towards character
education?
2. How well are they committed to the character education?

Mutiara Bilqis
123
1.3 Research Objectives
The objective of this research is to investigate how English teachers view character
education and its implementation in English teaching. Furthermore, this research is also meant
to seek explanation in how well the pre-service English teachers commit themselves to instigate
the character education during the teaching and learning process.
1.4. Research significance
The findings of this research are expected to give insights to lecturers of education
faculties about the facts happening to the pre-service English teachers especially when they
need to educate the student teacher regarding how to induce character education in their
teaching and learning process.

II. METHODOLOGY
2.1 Research Designs
The design used in this research is qualitative design, precisely the ethnographic one
(Cohen, Manion, and Marrison, 2007: 167-169). The reason for picking up this design is to
describe the phenomenon of the pre-service English teachers’ perspective towards character
education in English instruction. This design is preferred to provide explanation on how the
phenomenon happens and what underlies the occurrence. To get a better picture of the event,
I use participant observation approach as I am part of the class member (Ritchie and Lewis,
2003: 35).
2.2 Research Subjects
The research subjects were 14 pre-service English teachers studying in a graduate
program in a university in East Java. All of them are in their second semester and had currently
taken Issues in English Language Instruction and English Syllabus and Classroom Instructional
Planning courses. Character education was chosen as a topic to discuss in Issues in English
Language Instruction course. Meanwhile, the lesson planning that concerns character education
was discussed in English Syllabus and Classroom Instructional Planning course.
2.3 Research Procedures
The observation was done during the two courses mentioned above for approximately 5
months to gather information about how the English teachers implemented character education
in their teaching learning process. Afterwards, a semi-structured interview was held. Due to the
distance and the limited time, the interview was done through Google and Facebook chat room.
2.4 Research Instruments
The instruments used in the research were observation notes and interview guideline.
The observation was done for the 5 months during the second semester. The observation
covers the research subjects’ behaviours during the class discussion. The interviews were
semi-structured interviews which were done through Google and Facebook chat room.
2.5 Data Analysis
The data analysis used ethnographic accounts in which I described the perspective
and insight of the pre-service teachers towards character education. The data from the
observation were combined with the data I got from the interview.

Mutiara Bilqis
124
2.6 Results and Discussion
Finding #1 General Concept of Character Education
When asked about their understanding of character education, all research subjects have their
own way in eliciting their conception. Some of them can explain precisely while some others
beat around the bush. Nonetheless, they perceive similarly concerning the issue. Albeit using
various kinds of terms and expression, the conceptions can be rounded up and summed up as
“character building induced in the learning process to ‘produce’ good-quality students both in
cognitive and in affective sides”. This means that none of the research subjects possess deviant
conception on character education. They all share similar thought about character education.
Finding #2 Deeper Knowledge of Character Education
When asked about whether the 2013 Curriculum is worth to take over the School
Based Curriculum, the pre-service teachers all agree. Some of them mention:
“Making character education explicit is important since it can increase students’ and
teachers’ awareness regarding the importance of character education itself.”
“The current curriculum is “richer” than any previously implemented curricula since
they merely take issue with academic matter.”
All of them are so positive that the 2013 Curriculum can provide answer to the
demoralization that our country is suffering from, or initiate the move, at least. They agree and
understand that character education will take a very long process before it show its effectiveness.
Yet, they said that it would be worth the wait.
Nonetheless, when the question about whether the government make the right move
by changing the curriculum is posed, only 7 agreed. The other 3 pre-service teachers disagreed
while the other 4 were indecisive. The positive side mentioned:
“Yes, I do. If not now, then when? 2030 is the time when the youth age of population is
big. If the students today, are not well prepared, they will become burden for the government later
on and now.” The negative side argu that the legitimation was done in a state of rush. Whereas,
the implication and the conception are still blurred. They mentioned that the procedures of the
implementation are unclear, and the assessment is confusing. The indecisive side prefer taking
the grey zone by not stating their agreement or disagreement:
“It depends on how we perceive it. If it is for the future plan, I think it’s right. From other
points of view in terms of implementation, I think the government should take it slowly.”
Here, we can see that these pre-service teachers show sufficient comprehension of
the philosophy underlying the legitimation of character education, the 2013 Curriculum. They
also exhibit keen observation about the issue. However, when it comes to the question about the
body of the curriculum, the pre-service teachers seem unenlightened. Out of 14 pre-service
teachers, only two give insightful answers. From these behaviours we may notice that the pre-
service teachers keep up to date about the pros and cons pertaining to character education.
However, when I try further digging up their knowledge about what is “written” in the curriculum,
they do not seem well-informed.

Mutiara Bilqis
125
This fact corresponds to their action during the class discussion. When the discussion
linger around the philosophy, the potentials, or the constraints of character education, it heats
up. Hitherto, when it comes to lesson plan making or assessment, they get quite confused.
Albeit showing a disheartening manner towards the practical issues, they flaunt their
adeptness in giving criticisms. When probed into whether the 2013 Curriculum possesses any
constraints, 10 said yes; 2 others said no, and the last two are indecisive. The pre-service
teachers who said yes complain that the 2013 Curriculum propose scientific approach which
is quite a mismatch to language learning. The other two constraints are mentioned earlier:
lesson planning and assessment. They argue that it is hard for them to decide the indicators
from the core competences that they thought is hard to make peace with. Apparently, others
mention the constraints after going through some self-observation. They say because what is
introduced to the teachers through workshops and others are the nitty-gritty which sounds too
complicated, teachers become demotivated and pessimistic towards character education.
Another constraint mentioned is that teachers had to be exemplary figures for their students.
They have to constrain themselves from any deviant manners, ergo one more burden.
Finding #3 Perspective on the Potential
The 14 pre-service English teachers in this research find no excuse that character
education is the solution to the moral degradation. They reckon that characters and education
are inseparable. They deem that education is no longer about merely transferring knowledge.
Its initial purpose is to strengthen good attitudes, instead.
When questioned about the potential of inducing character education in English
learning, 13 says that there is always potential for that. As language is not like any science-
subjects, it eases teachers in inserting the character education. Even some of the 18 characters
like being creative, appreciating, and communicative fit the nature of English learning. The pre-
service teachers also mention that learning a language means learning a culture. Learning
English means learning western cultures. Thus, teachers have the opportunity to compare the
cultures and values eastern and western through language learning and take the good side
from each and be proud of our own cultures.
Finding #4 Perspective on the Possibility in Practice
Nine pre-service English teachers perceive the implementation of character education
as possible but hard to do. Three mention that it is easy because character education, albeit not
explicitly mentioned, has already been implemented by some teachers. It will also be easy as
long as teachers spend more time preparing the materials that can elicit students working
together and encourage students in engaging with the characters. The rests say that it depends
on teachers’ motivation and who/what is in the students’ environment.
Notwithstanding the hardness of the implementation they have acknowledged, the
pre-service English teachers propose some activities they think will work in enhancing character
education. Four propose to insert character education through local value materials. They
contend that by continuously inserting values to the reading materials, students will
subconsciously perceive the moral values as their own. The others prefer employing project-
based and cooperative learning in which students learn to live together, and learn how to

Mutiara Bilqis
126
appreciate their peers, be amiable and promoting peace when facing a conflict in their group.
One of the pre-service teachers goes with inserting religious values every time. Meanwhile,
another chooses to be a role model for the students.
Even though most of them are not teaching in secondary schools or in formal institutions,
these pre-service teachers are committed to character education in their English class. They
mention that they give emphasis on the characters they are mostly concerned with like being
punctual, avoiding cheating, paying attention, discussing politeness issue, providing motivation
sessions, and promoting inquiry-based learning.

III. CONCLUSION AND SUGGESTION


The overall perspective of the pre-service teachers towards character education is
positive. They do have commitments on its implementation and are aware of its constraints.
However, what is more important to care for is their ignorance towards the knowledge about the
body of the 2013 curriculum. The curriculum is expected to provide long-term treatments to the
moral degradation. Apparently this curriculum will be used for quite some time. Ergo, these pre-
service teachers will share the responsibility to educate future undergraduates about the
curriculum and what are inside as nine out fourteen of the research subjects are the recipient
of the scholarship which demands the recipients to teach in universities throughout the country
once they graduate. Thus, it is highly suggested for lecturers to confirm that the graduate pre-
service teachers are well informed about the curriculum. A further study with bigger number of
research subjects and deeper analysis regarding the graduate pre-service teachers’ perceptions
on character education is kindly welcomed.

REFERENCES
Arsjad, S. 2013. Kritik Perubahan Kurikulum 2013. Retrieved from http://
edukasi.kompasiana.com/2013/02/19/kritik-perubahan-kurikulum-2013-530103.html
on May 18th, 2014.
Battistich, V. 2011. Character Education, Prevention, and Positive Youth Development. Retrieved
from http://www.character.org/wp-content/uploads/2011/12/White_Paper_Battistich.pdf
on April 30th, 2014.
Character Education Partnership. 2014. Character Education. Washington DC: Character
Education Partnership.
Character Education Partnership. 2014. 11 Principles of Effective Character Education.
Washington DC: Character Education Partnership.
Cohen, L., Marion, L., and Morrison, K. 2007. Research Methods in Education. New York:
Routledge.
Latief, H. 2013. 14 Prinsip Pembelajaran Kurikulum 2013. Retrieved from http://
www.slideshare.net/kyuuu/savedfiles?s_title=14-prinsip-pembelajaran-kurikulum-
2013&user_login=hilmanlatief on May 18th, 2014.
Ritchie, J., and Lewis, J. 2003. Qualitative research practice: A guide for social science students
and researcher. London: Sage Publications.

Mutiara Bilqis
127
Supeksa, K. 2012. 18 Kinds of Character in Education. Retrieved from http://
supeksa.wordpress.com/2012/07/30/18-kinds-of-character-in-education-18-jenis-
karakter-dalam-pendidikan/ on May 18th, 2014

Mutiara Bilqis
128
PEMBINAAN KESANTUNAN BERBAHASA (POLITENESS) DALAM
PEMBELAJARAN BAHASA INGGRIS MELALUI STRATEGI
PEMBELAJARAN STUDENT WHEELS
DI SEKOLAH MENENGAH PERTAMA (SMP)
Nanik Mariani Effendie
Universitas Lambung Mangkurat

ABSTRACT
English learning is presented at Junior High School (SMP) is more stressed on knowledge of
the four standards of competence or the four language skills, such as, Listening, Speaking,
Reading, and Writing, without considering the ethical values contained in that four language
skills. It means that the teaching and learning English, especially in speaking skills, should be
taught not only in the cognitive skills, but also in the affective skills as well. The education
regarding how language-speaking politely, considering the value of tolerance, sympathy, and
empathy. So the cognitive and affective skills must be balanced. For example, implementing
politeness in the process of teaching English speaking skills. Teaching and learning speaking
skills means the activity of teacher in giving knowledge and student’s activity in improving the
knowledge of making use of word in an ordinary voice. Students should try to avoid confusion in
the message due to faulty pronunciation, grammar or vocabulary and to observe the social and
cultural rules that apply in each communication situation (NCLRC: 2004). Politeness, courtesy,
or etiquette is a procedure, custom, or custom prevailing in the society. Politeness is the rules of
conduct established and agreed upon jointly by a particular community so that politeness as
well as be concluded by the prerequisite of social behavior. Therefore, this politeness is usually
called “manners”. To cultivate politeness in English speaking class, the English teachers at
Junior High Schools (SMP) can use the teaching strategy. Student wheels is one of the strategy
can be used. Student Wheels is adopted from Hadfield (in Sulistiyowati, 2009: 72-73) to get the
students more active in speaking class and accustomed in using polite language.
By using Student wheels strategy, all students can get their roles in speaking because they have
to interact each other by standing in two circles formed as wheels. In this strategy, all students
use the expressions of English speaking thought by the teacher and they can accustom by
themselves in implementing politeness in the classroom.
Keywords: Politeness, student wheels, English speaking class.

Nanik Mariani Effendie


129
I. PENDAHULUAN
Pendidikan merupakan salah satu faktor penting bagi pembangunan suatu bangsa.
Banyak ahli yang menyatakan bahwa keberhasilan pembangunan suatu negara didukung oleh
banyaknya masyarakat yang berpendidikan.
Demikian juga dengan bangsa Indonesia yang bercita-cita untuk menjadi negara
besar, kuat, disegani dan dihormati keberadaannya di tengah-tengah bangsa-bangsa di dunia
(Prayitno, 2010:1). Untuk mewujudkan cita-cita tersebut tentu dibutuhkan penduduk atau
masyarakat yang terdidik dan berkualitas serta memiliki karakter yang baik dan terpuji. Hal ini
menuntut bangsa Indonesia untuk juga memprioritaskan pembangunan pendidikan sebagai
program utama dalam program pembangunan nasionalnya. Karena negara Indonesia
memerlukan sumber daya manusia dalam jumlah dan mutu yang memadai sebagai pendukung
utama dalam pembangunan. Untuk memenuhi sumber daya manusia tersebut, pendidikan
memiliki peran yang sangat penting. Hal ini sesuai dengan UU No 20 tahun 2003 pasal 3
tentang Sistem Pendidikan Nasional, yang menyebutkan bahwa pendidikan nasional berfungsi
mengembangkan kemampuan dan membentuk karakter serta peradaban bangsa yang
bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa. Pendidikan nasional bertujuan
untuk mengembangkan potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa
kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan
menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab. Dan hal ini berkaitan juga
dengan pembentukan karakter peserta didik sehingga mereka mampu bersaing, beretika,
bermoral, sopan santun dan berinteraksi dengan masyarakat.
Undang Undang No. 20 tahun 2003 tentang sistem Pendidikan Nasional pada Pasal
13 ayat (1) dikemukakan bahwa jalur pendidikan terdiri atas pendidikan formal, non formal, dan
informal yang dapat saling melengkapi dan memperkaya. Dalam pendidikan formal, yakni
pendidikan yang dilakukan di sekolah, terdapat beberapa mata pelajaran yang disajikan dan
diajarkan pada siswa, misalnya: mata pelajaran matematika, IPA, IPS, Bahasa Indonesia, dan
bahasa asing. Bahasa Inggris merupakan salah satu mata pelajaran bahasa asing yang wajib
diajarkan di sekolah, baik di Sekolah Menengah Pertama (SMP), Sekolah Menengah Atas
(SMA), maupun di Perguruan Tinggi.
Mata pelajaran bahasa Inggris yang diajarkan di sekolah tersebut lebih difokuskan
pada empat standar kompetensi atau empat ketrampilan berbahasa, yaitu ketrampilan
Menyimak (Listening), Berbicara (Speaking), Membaca (Reading), dan Menulis (Writing), serta
didasari atas standar kompetensi yang akan dicapai. Artinya, pembelajaran hanya mengacu
pada kompetensi berbahasa dalam ketrampilan kognitif saja, sementara ketrampilan afektif,
yaitu nilai-nilai yang terkandung dalam kebahasaan itu sendiri belum mendapat perhatian atau
terabaikan. Misalnya, pada saat guru mengenalkan “Greetings”, tindak tutur sapaan dalam
bahasa Inggris, yakni “Good morning, Good afternoon, Good night”, “How are you, How’ve you
been”, atau “How do you do” dan sebagainya, baru diajarkan tentang kapan dan bagaimana
tindak tutur sapaan (Greetings) tersebut diungkapkan. Guru belum mengungkapkan nilai-nilai
kesantunan berbahasa yang terkandung dalam bahasa Inggris, misalnya: mengungkapkan

Nanik Mariani Effendie


130
rasa ketidak tahuan dengan menggunakan ungkapan “What” yang sebaiknya menggunakan
ungkapan “I beg your pardon”, “pardon me”, “Excuse me”, dan lain lain. Begitu juga ketika guru
meminta siswa menutup pintu dengan ungkapan: “Close the door!” yang sebaiknya diungkapkan
dengan: “Will you close the door”, atau “Would you please close the door” untuk membiasakan
siswa menggunakan ungkapan santun dalam bahasa Inggris dengan selalu memberi contoh
dalam percakapan sehari-hari. Jadi sebaiknya selain ketrampilan kognitif, guru juga
menanamkan ketrampilan afektif atau nilai-nilai yang terkandung dalam tindak tutur siswa
manakala siswa menggunakan bahasa Inggris, sehingga ketrampilan kognitif dan afektif
menjadi seimbang.
Dari contoh-contoh ungkapan bahasa Inggris di atas, dapat disimpulkan bahwa nilai-
nilai kesantunan dalam berbahasa Inggris juga perlu diajarkan dan ditanamkan pada siswa
sebagai pembinaan berbahasa santun dalam bahasa Inggris. Artinya, materi pembelajaran
yang berkaitan dengan norma atau nilai-nilai pada setiap mata pelajaran, khususnya bahasa
Inggris, perlu dikembangkan, dieksplisitkan, dikaitkan dengan konteks kehidupan sehari-hari.
Dengan demikian, pembelajaran nilai-nilai kesantunan tidak hanya pada tataran kognitif, tetapi
menyentuh pada internalisasi, dan pengamalan nyata dalam kehidupan siswa sehari-hari dalam
masyarakat.
Tujuan penelitian ini adalah mendeskripsikan pola pembelajaran bahasa yang
berbasis nilai. Dengan pola ini diharapkan pembelajaran bahasa, terutama pembelajaran
bahasa Inggris akan lebih bermakna. Belajar bahasa akan lebih memperhatikan kesantunan
berbahasanya.

II. PEMBAHASAN
2.1 Pengertian Kesantunan (Politeness)
Kesantunan (politiness), kesopansantunan, atau etiket adalah tatacara, adat, atau
kebiasaan yang berlaku dalam masyarakat. Kesantunan merupakan aturan perilaku yang
ditetapkan dan disepakati bersama oleh suatu masyarakat tertentu sehingga kesantunan
sekaligus menjadi prasyarat yang disepakati oleh perilaku sosial. Oleh karena itu, kesantunan
ini biasa disebut “tatakrama” (Muslich, 2006).
Berdasarkan pengertian tersebut, kesantunan dapat dilihat dari berbagai segi dalam
pergaulan sehari-hari. Kesantunan memperlihatkan sikap yang mengandung nilai sopan santun
atau etiket dalam pergaulan sehari-hari. Ketika orang dikatakan santun, maka dalam diri
seseorang itu tergambar nilai sopan santun atau nilai etiket yang berlaku secara baik di
masyarakat tempat seseorang itu mengambil bagian sebagai anggotanya.
Kesantunan berbahasa (bertutur) ini tercermin dalam tatacara berkomunikasi lewat
tanda verbal atau tatacara berbahasa. Ketika berkomunikasi, kita tunduk pada norma-norma
budaya, tidak hanya sekedar menyampaikan ide yang kita pikirkan. Tatacara berbahasa harus
sesuai dengan unsur-unsur budaya yang ada dalam masyarakat tempat hidup dan
dipergunakannya suatu bahasa dalam berkomunikasi. Apabila tatacara berbahasa seseorang
tidak sesuai dengan norma-norma budaya, maka ia akan mendapatkan nilai negatif, misalnya

Nanik Mariani Effendie


131
dituduh sebagai orang yang sombong, angkuh, acuh tak acuh, egois, tidak beradat, bahkan
tidak berbudaya.
2.2 Pembentukan Kesantunan Berbahasa
Sebagaimana disinggung sebelumnya bahwa kesantunan berbahasa
menggambarkan kesantunan atau kesopansantunan penuturnya. Kesantunan berbahasa
(Leech, 1986) pada hakikatnya harus memperhatikan empat prinsip: Pertama, penerapan prinsip
kesopanan (politeness principle) dalam berbahasa. Prinsip ini ditandai dengan memaksimalkan
kesenangan/kearifan, keuntungan, rasa salut atau rasa hormat, pujian, kecocokan, dan
kesimpatikan kepada orang lain, dan sekaligus meminimalkan hal-hal tersebut pada diri
sendiri. Dalam berkomunikasi, di samping menerapkan prinsip kerja sama (cooperative
principle) dengan keempat aturan tindak tutur atau maksimnya Grice, yaitu maksim kuantitas
(quantity), maksim kualitas (quality), maksim relevansi (relevance), dan maksim cara (manner);
juga menerapkan prinsip kesopanan (Leech, 1986) dengan keenam maksimnya, yaitu (1)
maksim kebijaksanaan (tact maxim), yang mengutamakan kearifan bahasa, (2) maksim
penerimaan (approbation maxim), yang mengutamakan keuntungan untuk orang lain dan
kerugian untuk diri sendiri, (3) maksim kemurahan (generosity maxim), yang mengutamakan
kesalutan/rasa hormat pada orang lain dan rasa kurang hormat pada diri sendiri, (4) maksim
kerendahan hati (modesty maxim), yang mengutamakan pujian pada orang lain dan rasa
rendah hati pada diri sendiri, (5) maksim kecocokan/kesepakatan (agreement maxim), yang
mengutamakan kecocokan pada orang lain, dan (6) maksim kesimpatisan (sympathy maxim),
yang mengutamakan rasa simpati pada orang lain. Dengan menerapkan prinsip kesopanan
ini, orang tidak lagi menggunakan ungkapan-ungkapan yang merendahkan orang lain sehingga
komunikasi akan berjalan dalam situasi yang kondusif. Kedua, penghindaran pemakaian kata
tabu (taboo). Ketiga, sehubungan dengan penghindaran kata tabu, penggunaan eufemisme,
yaitu ungkapan penghalus. Penggunaan eufemisme ini perlu diterapkan untuk menghindari
kesan negatif. Dan Keempat, penggunaan pilihan kata honorifik, yaitu ungkapan hormat untuk
berbicara dan menyapa orang lain.
2.3 Pembelajaran Speaking
Sebagaimana disebutkan sebelumnya bahwa pembelajaran bahasa Inggris di sekolah
meliputi empat ketrampilan berbahasa, yaitu: listening, speaking, reading, dan writing.
Berdasarkan pengalaman dan pengamatan penulis, ketrampilan berbicara (speaking)
merupakan ketrampilan berbahasa yang sangat sulit untuk di pelajari. Ditinjau dari faktor guru,
strategi pembelajaran yang diterapkan selama ini kurang tepat, penguasaan materi kurang
baik sehingga pembelajaran membosankan. Sedangkan ditinjau dari faktor siswa, mereka
merasa kesulitan akibat dari keterbatasan pengetahuan dalam komponen berbahasa dan
juga keterbatasan dalam pemahaman tentang kultur sosial budaya dari penutur asli dan konteks
sosial budaya bahasa asing tersebut sehingga membuat mereka takut berbicara karena
minimnya kosakata yang dikuasai, kurang memahami struktur kalimat, dan takut salah. Selain
itu guru sangat memdominasi percakapan di kelas dan jarang memberi kesempatan siswa
untuk berbicara.

Nanik Mariani Effendie


132
Pembelajaran speaking di SMP dimulai dari hal-hal yang termudah menuju hal yang
kompleks, hal ini supaya memudahkan siswa dalam perkembangan proses kemampuan
berbicaranya, apalagi dalam pembelajaran bahasa Inggris, karena bahasa Inggris adalah
bahasa asing bagi mereka yang pelafalan dan intonasinya berbeda dengan bahasa yang
sudah mereka ketahui sebelumnya. Sebagaimana dikatakan Brown (2001: 113) bahwa tujuan
pembelajaran speaking di kelas adalah agar para siswa dapat berpartisipasi dalam percakapan
singkat, memberi dan menjawab pertanyaan, menemukan cara untuk menyampaikan maksud,
mengumpulkan informasi dari yang lain. Berbicara (speaking) melibatkan interaksi dengan
satu atau lebih pelaku. Berbicara yang efektif juga meliputi pendengaran yang baik, sebuah
pemahaman tentang bagaimana perasaan pihak lain, dan sebuah pengetahuan tentang
bagaimana aturan untuk mengambil giliran atau membiarkan pihak lain untuk berbicara juga.
Sebagaimana paparan sebelumnya bahwa sekolah merupakan salah satu tempat
dimana siswa bisa mengembangkan karakter mereka, terutama berbahasa santun, dimana
guru bisa memberikan contoh berinteraksi positif antara guru-siswa dan siswa-siswa di dalam
kelas dengan menggunakan tuturan santun. Guru bisa menciptakan situasi kelas lebih kreatif,
aktif dan bermakna dengan menanamkan kebiasaan yang positif. Misalnya guru membiasakan
siswa untuk selalu mendengarkan orang lain berbicara atau berpendapat sebelum mengajukan
komentar atau opini pribadi, bekerja sama dengan baik, mempertimbangkan dan menghargai
pendapat orang lain/teman, dan mengajukan pendapat/opini dengan tuturan yang santun serta
selalu mampu memilih kosakata (diksi) yang baik sesuai dengan situasi percakapan. Untuk
mengembangkan ketrampilan berinteraksi secara santun, diperlukan kegiatan berkelompok
atau berpasangan, dimana guru bisa menggunakan model pembelajaran yang inovatif dan
variatif berdasarkan standar kompetensi, kompetensi dasar, indikator, dan tujuan pembelajaran.
Dalam belajar berbicara atau berkomunikasi tidak membutuhkan seratus persen benar,
baik dalam ucapan maupun tata bahasanya, cukup bisa dimengerti oleh orang lain, sehingga
tidak perlu dikoreksi satu per satu kesalahan siswa ketika sedang berbicara karena akan
mengganggu pengungkapan makna keseluruhan dari apa yang ia bicarakan. Ada waktu tertentu
untuk mengoreksi kesalahan siswa, dan itupun tidak dibenarkan terlalu menyalahkan siswa
(Halliwell, 1994: 18). Belajar berbicara bahasa asing, khususnya bahasa Inggris, tidak boleh
takut berbuat kesalahan. Bahasa adalah untuk berkomunikasi, jadi kesalahan adalah
pertimbangan yang kedua. Ketika kita berkomunikasi dan membuat kesalahan bahasa, maka
kita akan menggunakan kesalahan itu untuk memperbaiki ketrampilan berbicara (speaking).
Penggunaan strategi pembelajaran yang lain dari biasa atau membuat sesuatu yang
biasa menjadi sesuatu yang spesial bagi siswa, akan membuat siswa tidak merasa bosan
selama pembelajaran berlangsung
2.4 Strategi Pembelajaran Speaking
Student Wheels adalah salah suatu strategi pembelajaran yang diadopsi dari Jill Hadfield
dan Charles Hadfield (1999:12) untuk mengaktifkan siswa dalam pembelajaran Speaking. Strategi
ini cocok diterapkan dalam kelas yang jumlah siswanya lebih dari 20 orang. Semua siswa terlibat
dalam kegiatan speaking karena siswa saling berhadapan dengan pasangannya untuk bertanya
dan menjawab pertanyaan dari pasangannya. Formasi yang dibentuk dalam model ini terdiri dari
Nanik Mariani Effendie
133
masing-masing 20 orang siswa (untuk 1 formasi lingkaran), 10 berada di dalam lingkaran luar
dan 10 berada di lingkaran dalam. Jika jumlah siswa dalam satu kelas 40 siswa, maka formasi
lingkaran yang dibentuk adalah 2 lingkaran. Bentuk formasi dalam model ini adalah: gambar
lingkaran seperti roda, formasi tersebut dapat dilihat pada Picture 1 dibawah ini:

Dalam model Student Wheels ini masing-masing siswa mendapatkan pasangannya


sendiri untuk bercakap-cakap dalam bentuk formasi lingkaran dua lapis, kemudian masing-
masing bergeser satu langkah dan mendapatkan pasangan baru untuk bercakap-cakap lagi
dan mempresentasikan hasil percakapan mereka dalam lingkaran besar. Misalnya, siswa
yang berada di lingkaran luar mewawancarai pasangannya di lingkaran dalam. Setelah siswa
melakukan percakapan dengan pasangannya, mereka diminta untuk bergeser masing-masing
satu langkah ke kiri sehingga mereka mendapatkan pasangan yang berbeda dari wawancara
yang pertama tadi. Pada kegiatan ini giliran siswa yang berada di lingkaran dalam yang
mewawancarai pasangannya di lingkaran luar. Setelah wawancara selesai, siswa diminta
untuk mempresentasikan hasil wawancaranya di dalam lingkaran besar yang dibentuk oleh
seluruh jumlah siswa yang ada dan dikomentari oleh siswa lain. Tidak ada satu siswapun yang
tidak terlibat dalam kegiatan speaking ini.
Sebelum penerapan Student Wheels ini, tentu saja siswa sudah dibekali dengan cara-
cara membuat kalimat atau ungkapan-ungkapan yang sedang dipelajari, misalnya materi
pembelajaran “Offering and responding condolences” atau memberikan dan merespon ucapan
belasungkawa, yang materinya sudah diajarkan sebelumnya. Contoh ungkapannya dapat dilihat
pada tabel 1 berikut ini:
Tabel 1 Ungkapan “Offering and responding condolences”

Offeringcondolences Respondingcondolences

• I’msorrytohear about your father. • Thankyou


• Let me offer mycondolences. • That’sverykindof you.
• Let me tell youhowsorryI’mtohear about • There’snothingthat canbe done about it.
your grandma. • It’sGod’swill, I suppose ….
• I knowhowyoumust feel…. • GodgivethandGodtakethaway….
Nanik Mariani Effendie
134
Pada awal kegiatan, siswa diminta untuk membaca ungkapan-ungkapan, baik yang
memberi atau yang merespon ucapan belasungkawa tersebut. Kemudian mereka membentuk
lingkaran dua lapis, masing-masing lapisan terdiri dari 20 orang siswa. Siswa yang berada di
lingkaran luar mengucapakan ungkapan memberi ucapan belasungkawa (offering
condolences) dan siswa yang berada di lingkaran dalam merespon atau menjawab ucapan
belasungkawa (responding condolences) tersebut. Kemudian masing-masing siswa bergeser
ke kiri satu langkah dengan mengucapkan ungkapan sesuai perannya tetapi dengan pasangan
baru mereka. Setelah dua kali bergeser, siswa diminta untuk berganti peran yaitu siswa yang
berada di lingkaran dalam mengucapakan ungkapan memberi ucapan belasungkawa (offering
condolences) sementara siswa yang berada di lingkaran luar yang merespon atau menjawab
ucapan belasungkawa (responding condolences) tersebut. Guru diharapkan menambah daftar
ungkapan-ungkapan dengan mencari referensi lain dan mengatur jalannya tanya jawab dalam
student wheels.
Setelah semua siswa melakukan perannya masing-masing dalam permainan atau
strategi student wheels, siswa diminta kembali ke bangku masing-masing dan guru memberikan
model percakapan sesuai dengan topik atau materi yang diajarkan dan sudah dilatih dalam
permainan atau strategi student wheels. Contoh model sebagai berikut:

1. Dimas meets his friend, Mike after his father’s funeral.


Dimas : Mike, how are you?
Mike : Fine, thanks. And you?
Dimas : O.K. I’m sorry to hear about your father. It must be pretty hard on you.
Mike : Yeah, it is. We were pretty close. It’s harder on my mother, though
Dimas : I can imagine.
2. Two neighbors begin talking in their backyards.
Nancy: Mary. What’s the latest news on your brother?
Mary : He had his operation the other day, but the doctors say the cancer is too
faradvanced…
Nancy: I’m sorry to hear that.
Mary : It’s ok. Well, there’s nothing we can do. It’s God’s will.
Berdasarkan model percakapan di atas, siswa dibentuk kelompok untuk membuat
percakapan dengan menggunakan bahasa dan pengetahuan mereka sendiri. Setelah itu setiap
kelompok memperagakan hasil kerjanya dalam dialog di depan kelas.

Nanik Mariani Effendie


135
III. SIMPULAN
Dari pembahasan di atas dapat disimpulkan bahwa pembinaan kesantunan berbahasa
dalam bahasa Inggris dapat dilaksanakan dalam pembelajaran keterampilan berbicara
(speaking skill) melalui strategi pembelajaran student wheels dimana semua siswa mendapat
giliran untuk berbicara dan dapat menggunakan ungkapan-ungkapan bahasa Inggris
bermuatan kesantunan berbahasa (politeness) secara terus menerus sehingga siswa terbiasa
menggunakan ungkapan bahasa Inggris yang santun dalam berbicara atau dalam percakapan.
Selain dapat membina siswa dalam menggunakan ungkapan-ungkapan bahasa
Inggris yang santun, siswa juga terbina untuk selalu mendengarkan orang lain berbicara atau
berpendapat sebelum mengajukan komentar atau opini pribadi, bekerja sama dengan baik,
mempertimbangkan dan menghargai pendapat orang lain/teman, dan mengajukan pendapat/
opini dengan tuturan yang santun serta selalu mampu memilih kosakata (diksi) yang baik
sesuai dengan situasi percakapan.

DAFTAR PUSTAKA
Brown, Penelope dan Stephen C. Levinson. 1994. Politeness Some Universals in Language
Usage. Cambridge University Press.
Hadfield, Jill dan Charles Hadfield. 1999. Simple Speaking Activity. New York: Oxford University
Press.
Halliwell, Susan. 1994. Teaching English in The Primary Classroom. London and New York:
Longman.
Leech, N., Geoffrey. 1983. Principles of Pragmatics. London and New York: Longman Group
Ltd.
Lickona, Thomas. 1991. Educating for Character, How Our Schools can Teach Respect and
Responsibility. Bantam Books, New York.
Megawangi, Ratna. 2004. Pendidikan Karakter, Solusi yang Tepat untuk Membangun Bangsa.
Jakarta: BP. Migas.
Muslich, M. 2006. Kesantunan Berbahasa. Suatu Kajian Sosiolinguistik. Disertasi. Malang:
UM Press.
Sulistiyowati, Ari. 2009. “Peningkatan Kemampuan Speaking melalui Pembelajaran yang
Menyenangkan dengan Model Student Wheels pada Kelas VIIC SMP Negeri 2 Mirit
Tahun Pelajaran 2007/2008”. Kebumen Jawa Tengah: Jurnal Widyatama, Volume 6
Nomor 1, halaman 69 – 77, Maret 2009.

Nanik Mariani Effendie


136
CHARACTER EDUCATION IMPLEMENTATION PERFORMED BY THE
STUDENTS OF TEACHING PRACTICE COURSE AT IAIN ANTASARI
BANJARMASIN
Raida Asfihana
IAIN Antasari Banjarmasin

ABSTRACT
The issue of character education has become part of the discussions among teachers and
educational practitioners in recent years. This is the reason why the newest curriculum in
Indonesia, 2013 Curriculum, demands the integration of character or traits in developing the
syllabus as well as writing the lesson plan. Prior to conducting the teaching and learning
process, the teachers need to write the lesson plan to make an efficient and effective teaching
and learning process. The students majored in English Department of State Institute of Islamic
Studies IAIN Antasari Banjarmasin are managed to take teaching practice as their compulsory
course. This course provides them with the experience of conducting a real teaching and
learning activity starts from developing syllabus, writing lesson plans up to conducting a micro
teaching activities. This research is focused on describing the implementation of character
education in the lesson plans written by the students in a micro teaching activities and the
techniques or strategies that they used in developing material so that it is character-based. The
data collected through observation in the micro teaching class and in-depth interview to the
research subjects.The result shows that the students mostly used discussion and small group
presentation techniques. The traits that is reflected on their lesson plans are honesty and
trutworthiness, respect, and responsibility. It is expected that the result of this research may
increase teacher awareness of different possibilities in designing lesson materials which
integrate character education.
Key words: character education implementation, lesson plan, Teaching Practice I.

I. INTRODUCTION
The discourse about character education was formally brought up in National
Education Day in 2010. Since then, the government through Ministry of National Education has
conducted a series of seminars regarding the intention of including character education in the
national curriculum. The implementation is planned to be conducted gradually starting the
year 2011 in primary and secondary schools throughout provinces along with the implementation
of 2013 curriculum.

Raida Asfihana 137


The need of character education has its roots from the condition of the nation nowadays,
which suffers from multidimensional crisis. Many saddening cases are often heard in our society,
ranging from the destructive, anarchist and radical behaviors, such as riot, brawls, and vandalism
done by certain group of people, the decline of morals among teenagers, as seen in the case of
free sex and abortion (based on data from BKKBN, as cited in Munip, 2009), until the case of
cheating during the National Examination, and the most prevalent one today is the case of corruption
of legislative members. In addition, it seems that the nation has forgotten the motto “Bhinneka
Tunggal Ika” or unity in diversity, which could be seen from the phenomenon of the fading values
of unity leading to the breaking apart of the nation. Does all this mean that our national education
has failed to realize its objective?
As a matter of fact, National Education System Act (UU Sisdiknas) article 3 has mentioned
that “Pendidikan nasional berfungsi mengembangkan dan membentuk watak serta peradaban
bangsa yang bermartabat, dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk
berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada
Tuhan yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga
negara yang demokratis serta bertanggung jawab” (Kemendiknas, 2010).
In other words, the aim of national education is to develop and build the character of the
nation. This starts from developing the students’ character so that they will become intellectual,
devoted, and responsible persons.
Character education is considered an important part of Long Term Development Plan or
Rencana Pembangunan Jangka Panjang 2005 – 2025. President Susilo Bambang Yudhoyono in his
speech on National Education Day 2011 even has emphasized the importance of character education.
The Ministry of National Education also has taken action by conducting seminars, socialization/
dissemination, and providing guidelines for the implementation of character education. Based on
Permendiknas No.23/2006 about Standard Kompetensi Kelulusan (SKL), it can be seen that SKL
contains the substance of character education either implicitly or explicitly (source: Dikti, 2010).
Integrating character education in the curriculum has created a challenge for teachers
in designing the syllabus and materials. It is because Ministry of Education through the Curriculum
Center of the Research and Development Board only provides general guidelines on values or
traits to be included in character education and leaves to the teachers to develop the topics or
materials already outlined in the syllabus and standard competence of each school subject. For
teachers of schools subjects such as Religion, PPKN, or History, implementing character-based
lesson is perhaps easier as the subjects already contain some materials about values and moral
lessons. But how about other school subjects which are not directly related such as English?
To address the issue, the 58th TEFLIN conference in 2012 brought the theme of language
teaching and character building. The aim was to look into the English language curriculum and
its property to include character building, and to establish the consequences of the character
building in language teaching materials, techniques, and testing. In fact, English has a wide range
of topics and materials which aim to enhance the students’ communicative skills in listening,
speaking, reading, and writing, into which character education should be integrated.

138 Raida Asfihana


In Banjarmasin, it is not much known yet whether English teachers have understood
thoroughly how to implement character education in their teaching, whether they have attempted to
integrate character education into the teaching learning process, what classroom activities have
been designed in order to generate a character-based language lesson, what the outcomes are, and
how effective the implementation is. Furthermore, the students majored in English Department, and
also other departments of Faculty of Teachers Training and Education of IAIN Antasari Banjarmasin,
are managed to take Teaching Practice course. It is so since language teachers are expected not
only learn the theoretical knowledge such as grammar, linguistics, teaching methodology, curriculum,
or assessment but also the practical knowledge on how to apply those theories in teaching. Colleges
or universities which have teacher education programs usually include this compulsory course in
their curriculum, or in Indonesian term PPL or field experience practice. In a four-year undergraduate
study, this course is usually offered toward the end of the third year after the students have passed
several theoretical courses in the previous semesters.
Generally, the field practice or PPL is implemented for two semesters: PPL 1 (commonly
known as peer teaching or microteaching), which is conducted in campus, and PPL 2, which is
conducted at schools where they have to teach real class for a period of two and half months.
This research is focused on the lesson plan written by the students taking PPL 1 at IAIN Antasari
Banjarmasin. These students are prepared to perform a good English teaching and learning
process which is started from lesson plan writing to the teaching performance. They are asked
to integrate the characters or traits in writing the lesson plans to keep in touch with the demands
of 2013 Curriculum. Therefore, it is necessary to conduct a research which aims to investigate
and observe closely on what the student-teachers have done with the materials and what
techniques are being used in order to link it to character education.
1.1 Problem Formulation
The main question of this research is “how do the student-teachers implement character
education in the process of teaching and learning English?” The sub questions are:
1. What are the English students’ techniques or strategies in developing material so that it
is character-based?
2. To what extent is character education integrated into the lessons/classroom activities?
1.2 Operational Definition
1. Character education is the practice of improving student character through character-
based lessons as suggested by the Curriculum Board of Ministry of Education.
2. Implementation is the way teachers conduct classroom activities or how they design
a lesson in such a way that character education is included.
3. PPL 1 is a micro teaching activities conducted by small group of students (10 to 12
students) supervised by a lecturer. The time allocation for conducting a lesson is
about 10 to 15 minutes.
4. IAIN Antasari is one of the State Higher Education in Banjarmasin which has English
Department major in its Faculty of Teachers Training and Education.

Raida Asfihana 139


1.3 Research Purposes
1. To investigate the student-teachers’ efforts in developing the materials which integrate
character education.
2. To examine the extent to which character education is integrated into the lessons/
classroom activities.
1.4 Research Significance
The results of this research may bring benefits as follows:
1. It increases teacher awareness of different possibilities of designing lesson materials
which integrate character education.
2. It shares a plan of best practices needed so that teachers can be actively involved in
curriculum and material development.
3. It contributes to the development of syllabus especially for Curriculum and Material
Development subject at English Department Tarbiyah Faculty IAIN Antasari
Banjarmasin.
4. It informs the educators and policy makers of the challenges or issues concerning
character education implementation.

II. THEORETICAL FRAMEWORK


2.1 Definition of Character
From the material for character education training prepared by the Indonesian Ministry
of National Education, the definition of character is personality or behavior of a person which is
built as a result of internalization of various virtues which then are used as the base to think and
to act, or more precisely “watak, tabiat, akhlak, atau kepribadian seseorang yang terbentuk dari
hasil internalisasi berbagai kebajikan (virtues) yang diyakini dan digunakan sebagai landasan
untuk cara pandang, berpikir, bersikap, dan bertindak” (Kemendiknas, 2010, p. 30). In addition,
the interaction with other people will build the society character and the nation character.
Meanwhile, Mubarok (2010) and Anwar (2010) both agree that character is closely
related to good and bad behavior of a person which is based on certain norms in a society.
Mubarok (2010) stated that character is formed all the way through a person’s life, and that is
why it could change. A permanent character then will become a personality. Anwar (2010)
emphasized that as character is related to personality, a person could be assumed as having a
character of his or her conducts are suitable with moral norms. From all the definition above, it
can be concluded that in general character is an individual’s good behavior and conducts in
accordance to the social norms which is formed through habitual action and learned through
socialization and internalization process.
In Muslim perspective, Anwar (2010) quoted from Imam Ghazali who stated that
character is closer with akhlaq, that is the spontaneous act or behavior of a person, which is
already ingrained in a person so that it just emerges spontaneously. In addition, personality is

140 Raida Asfihana


the result of interaction among nafs, qalb, aqal, and bashirah. Personality could be inherited
from parents, and formed through upbringing and life-long process, as well as internalization
process of one’s knowledge and experience (Mubarok, 2010). In the life of a Muslim, having
good character means following the examples of Prophet Muhammad SAW as the character
traits of the Prophet consist of virtues that are desired and valued by most members of society.
Therefore, Muslim educators are encouraged to apply effective methods of instilling Islamic
values (Shalahuddin, 2009).
2.2 The Scope of Character Education
Character education has developed much earlier in several developed countries such
as the U.S. and Canada, and that is why various literature is available in the context of these
countries, ranging from the government document to research papers. Schools already have
programs, and various books for guidelines are already available. In Asia, Japan and Korea are
among countries which have already implemented character education.
In some literature, it is found that character education should be differentiated from
moral education. It is because moral education only teaches what is good and bad, whereas
character education is intended to develop human qualities and could provide an effective
solution to the academic and social problems (CEP, 2010). Winton (2007, as cited in Tuff,
2009) defined character education as “the explicit attempt by schools to teach values to students”.
Similarly, Character Education Partnership (CEP) which develops 11 principles for effective
character education in the U.S. defined character education as “the intentional effort to develop
in young people core ethical and performance values that are widely affirmed across all cultures”
(CEP, 2010, p. i). Character education is intended to minimize or prevent destructive behavior,
and lead the young generation to the have good conducts based on values.
In Indonesia, the Ministry of National Education through the Curriculum Center of the
Research and Development Board has prepared a guideline, in which character education is
combined with culture education. That is why, the scope of character education in Indonesia,
though quite similar with the definition above, is somewhat broader:
“pendidikan yang mengembangkan nilai-nilai budaya dan karakter bangsa pada diri
peserta didik sehingga mereka memiliki nilai dan karakter sebagai karakter dirinya,
menerapkan nilai-nilai tersebut dalam kehidupan dirinya, sebagai anggota masyarakat
dan warga Negara yang religious, nasionalis, produktif, dan kreatif “ (Kemendiknas,
2010, p. 4).
In other words, character education is the kind of education which develops cultural
values and nation character in the students so that they could apply those values in their daily
lives as a citizens who are religious, nationalist, productive, and creative.
The values which underlie character education in Indonesia should be developed
from four sources: religion, Pancasila, culture, and the objective of national education. From
these four sources, 18 character traits are generated. They are: 1) religious; 2) honest; 3)
tolerant; 4) disciplined; 5) hardworking; 6) creative; 7) independent, 8) democratic; 9) curiosity;
10) spirit of the nation; 11) patriotic; 12) appreciate achievement, 13) friendly/communicative;

Raida Asfihana 141


14) love peace; 15) like to read; 16) care to the environment, 17) care to the society, and 18)
responsible (Kemendiknas, 2010, p. 9-10).
This seems such a long list of values, however, it is suggested that in the implementation,
school and teacher do not need to take all of them. Instead, they may adapt those values
depending on the situation and condition of the school and what is needed in the local
community, as well as what is outlined in the standard competence of each school subject.
Five values which are compulsory to be implemented at schools are comfort, honesty, care,
smart, and tough/hardworking (Kemendiknas, 2010, p. 10).
2.3 The Strategy and Stages of Character Education Implementation
The Ministry of National Education has arranged a long term program regarding the
implementation of character education at schools. The strategy of implementing character
education include: 1). socialization, 2) regulation development, 3) capacity development, 4)
implementation and cooperation, and 5) monitoring and evaluation. This will involve the main
unit in the Ministry of National Education and supported by the bureau of education at the
provincial and municipal levels.
Meanwhile the grand design of character education is divided into several stages as follows:
1. Stage 1 (2010 – 2014) is the phase of consolidation and implementation.
2. Stage 2 (2015 – 2019) is the phase of strengthening the strategy and implementation.
3. Stage 3 (2020 – 2024) is the phase of continuous development from what has been
achieved at stage I and II. Priority will be given to monitoring and evaluation of stage
II (source: Dikti)
The implementation of character education at schools is expected to be continuous,
which means that character education is a long process, starting from year 1 of primary school
and continues until at least year 9 of secondary school. The implementation at senior high
school (year 10-12) is the continuation of the previous process.
Furthermore, the implementation of character education should be integrated in all
school subjects as well as through extracurricular activities. The values are not taught but
developed, meaning that they would not become a topic as commonly how school subjects are
taught, and teachers do not need to change the topics or materials already outlined in the
school syllabus. What teachers need to do is using those topics or materials to develop cultural
values and nation character (Kemendiknas, 2010 p. 12-13). From this guideline, it is clear that
teachers should take more active role in designing the materials.
Regarding the implementation, the officials of Ministry of National education claimed
that they have started the socialization of character education and request the teachers to
include character education in lesson plan or syllabus of all subjects at school starting the
academic year 2011/2012. However, many teachers and educational practitioners still think
that grand design of character education does not have clear direction yet, which makes
teachers are not certain how to implement it (Latif, 2011).

142 Raida Asfihana


2.4 Integrating Character Education in School Curriculum: Opportunity and
Challenges for Teachers
Compared to other countries, Indonesia actually has a huge potential to implement
character education successfully. This is based on two major factors: first, Indonesian
people already have distinct character traits and values inherited from our ancestors, and
have become the nation philosophy i.e. Pancasila; and second, Indonesia is a religious
country comprising Muslims as the majority. These factors should open up an opportunity
for successful character education.
As stated in the guidelines, religion is the first value from which the practice of
character education should be based on. It is because Indonesia is not a secular country;
instead, in Indonesia, the life of the citizens is closely related to the norms of religion, or in
other words, the acts of the people should based on the teaching of the religion
(Kemendiknas, 2010). This means religion becomes the priority and religious values
should be used in character education. Here, educational practitioners are given the
opportunity to develop the lesson materials so that it includes some religious values. The
fact that Islam is the majority, with nearly 90% of the Indonesian citizens are Muslims, also
gives the opportunity for the educators to apply the Islamic values and integrate them with
the character education at schools.
The challenge faced by teachers is the fact that Indonesian school curriculum
already overloaded. It would certainly require a hard work to design character-based lesson
materials, not to mention preparing the assessment and evaluation rubrics. Perhaps, a
solution which has been offered by Stiff-Williams (2010) to fuse the teaching of character
with the routine instruction of curriculum standards could be taken into consideration. The
suggested five steps for achieving the integration of character education are:
1. Identify the values and character emphasis that reflect community consensus.
2. Guide teachers in analyzing the standards to determine teaching targets and
identify character education emphasis that relate to the targets.
3. Provide training and planning time for teachers to design unit plans that meld
the curriculum standards and character education teaching.
4. Support teachers in the implementation of lesson activities that emphasize the
standards and character development learning experiences.
5. Promote the use of performance-based assessments, such as observation
instruments and scoring rubrics that can effectively evaluate aspects of
character development (Stiff-Williams, 2010, p.116).
Our educational practitioners might as well adopt these steps, and modify them in
accordance with Indonesian context. As a matter a fact, the first two steps regarding the
identification and guidance of character education have already been implemented. It is
the last three steps that still need to be developed.

Raida Asfihana 143


2.4 English Curriculum and The Character Traits To Be Embedded in Lesson
Plan Design
Curriculum is the overall rationale for the educational program of an institution. It must
include: the intentions of the planners, the procedures adopted for the implementation of those
intentions, and the actual experiences of the pupils resulting from teachers’ direct attempts to
carry out their or the planner’s intentions (Richards and Renandya, 2002, p. 70-71). The character
traits that can be embedded in English lesson are friendly, communicative, care to the society,
curiosity, democratic, honesty and trustworthy, independent, hardworking, disciplined, and like
to read.

III. RESEARCH METHODOLOGY


Setting
1. Research design
This research will apply a qualitative approach. Qualitative approach is a type of
educational research in which the researchers rely on the views of the participants, ask broad
questions, collect data consisting largely of words from participants, then describe and analyze
these words for themes (Creswell, 2008)
2. Location
This research takes place in a micro teaching class in English Department of IAIN
Antasari Banjarmasin. It has 6 intensive meetings in total which takes 4 hours per meeting.
3. Subject
There are 12 students get involved as the research participants. They are the sixth
semester students of English Department who are taking PPL 1 course this semester. As the
nature of qualitative research is to gain a vivid, detailed data from a small number of participants,
it is expected that the participants can reach between 8 - 12 students.
4. Object
The first object of this research is the implementation of character education, in terms of the
techniques or strategies being used, during the process of English teaching and learning performed
by the students during the micro teaching class. The second one is the lesson plan designed by
the students prior to their teaching practices.
5. Sources of Data
The primary source of data is English Department students at a micro teaching class. From
these representative students, the researcher can gather the data about the implementation of
character education using certain materials, techniques and strategies.
Technique of Data Collecting
a. In-depth interview
In-depth interview has been conducted to gain information about the students’
perception of character education and their background knowledge of character education.

144 Raida Asfihana


The interview is semi-structured, in which the researcher prepares a set of questions prior to the
interview. It consists of questions related to the implementation of character education in English
teaching and learning (see appendix).
b.Observation
Non-participant observation is conducted during the class. The researcher observes
the teaching and learning process using observation sheet (see appendix) and takes notes
during the observation. It is intended to examine student-teachers’ techniques or strategies in
integrating the character education into the teaching learning process, the types of classroom
activities which are designed to generate a character-based language lesson, and the outcomes
of the lesson plan as seen from the students’ active participation during the lesson.
c. Documents
Documents here include the syllabus, the teaching materials such as textbook,
supplementary text, and teaching aids, the teacher lesson plans (RPP) and the evaluation
rubric (if any). These documents are necessary to see the link between the designed material
and the implementation.
d.Data Analysis
The interview results are analyzed using descriptive analysis to determine whether
there are any trends or common themes among the responses. Meanwhile, the observation
results are also analyzed descriptively, to examine whether the materials, techniques, and
strategies used by the teacher in embedding character traits that students need to apply during
the English lesson are successful or not, and also to see whether the lesson objectives are
achieved as intended. Documents are examined to see whether character traits to be embedded
in the lesson are clear and relevant to the classroom activities.

IV. FINDINGS
The main data obtained from this study are dealing with the students’ techniques or
strategies in developing material and the traits that is embedded in their lesson plan
implementation. Based on the in-depth interview technique applied to the research subjects, it
is shown that the common traits usually applied by them is honesty, respect, and responsibility.
They usually asked the students in doing self-performance and working in a small group. In
their lesson plan, they gave a wide interest on having the students do group discussion and
prepare a small group presentation. On the interview, they said that this teaching techniques
were assumed to be able to boost the students’ responsibility on the task they were assigned.
They mentioned that by asking the students to work in small group, it will be easier to the
teachers to monitor their honesty, truthworthiness, and friendly/ communicative traits. The
research subjects also indicated that asking students to do presentation would be able to
improve their creativity as well as independent traits.
Talking about the techniques used in teaching language skills to the students, they
focused on specific activities suggested in the curriculum to teach particular character/ trait

Raida Asfihana 145


which is reflected on their lesson plan. This following table describes the language skill and
language activities which is related to several traits.

No Language Skill Classroom Activities/ Strategies Traits/ Character


1 Listening - Speaking  Storytelling Friendly, curiousity,
 Role play tolerant, responsible
 Class discussion on certain behaviour
2 Reading  Identifying specific traits of a character Honest, trustworthiness,
in a story/ text like to read, religious
 Understanding the moral of a story
3 Writing  Creating a story on a certain trait Creative, respect

Dealing with the teaching material, the researcher observed that the PPL 1 students tended
to develop their own teaching material which met the needs of the learners. They combined the local
substance to the English material. For example, there was a lesson plan of one research subject
talking about celebration. He put the text entitled “Baayun Mulud” which was closed to Banjarese
culture. In the interview, he mentioned that he chose this text, instead of the text available on published
textbooks, simply because he thought that this reading text would be understood by his students
easily. He also felt easy to integrate religious and respect traits through this text.
The researcher observed that the character being taught is apparent on the lesson plan
designed by the research subjects. They clearly mentioned the traits they want to explore to their
students and tried to make a relation with the teaching objectives suggested in the curriculum or
developed syllabus. In lesson plan implementation, it was quite successful in general which was
indicated by the students’ significant achivement in lesson exercise which achieved the minimum
score in rubric. They (the peers) also indicated a cheerful and curious teaching and learning
atmosphere of English as well as explore the characters taught by the teacher.

Recommendation
Since this research is conducted in a very small testing group, that is a Teaching
Practice 1 course, it is strongly suggested to do further research at school using real English
teachers and students as the research subject. It might show different result because the
research subject are practiced-students who have never been taught in a real classroom
setting. Another consideration is that the participants acted as the students in this Teaching
Practice course are sixth semester students who are in intermediate level of English. It will show
different result for the students in Junior or Senior high school level. Nevertheless, since this
research is aimed to find out the techniques in integrating character education in lesson plans
as well as its implementation, we may say that the objectives has been achieved as intended.

146 Raida Asfihana


REFERENCES
Anwar, Q. (2010). Nilai agama sebagai acuan membangun karakter bangsa. Retrieved 30 June
2011 from <http://www.kopertis3.or.id/html/2010/04/materi-sarasehan-nasional-pendidikan-
karakter/>.
Arthur, J. & Revell, L. (2010) Character formation in schools and teacher education. Canterbury
Christ Church University College. Reterieved 28 February 2012 from http://
www.citized.info/pdf/other/Character_Formation_Report.pdf.
Beachum, F. D., & McCray, C. R. (2006). Changes and transformations in the philosophy of
character education in the 20th century.
Character Education Partnership. (2010). 11 principles for effective character education. Retrieved
22 July 2011 from http://www.character.org/uploads/PDFs/
ElevenPrinciples_new2010.pdf.
Creswell, J. W. (2008). Educational research: Planning, conducting, and evaluating quantitative and
qualitative research (3rd ed.). Upper Saddle River, NJ: Pearson Education Inc.
Dikti. (2010). Arah Serta Tahapan dan Prioritas Pendidikan Karakter Bangsa Tahun 2010-2025.
Retrieved 19 February 2012 from http://pendikar.dikti.go.id/gdp/?p=1.
___________. Strategi Implementasi Pendidikan Karakter. Retrieved 19 February 2012 from http://
pendikar.dikti.go.id/gdp/?p=102.
Kemendiknas (2010). Bahan Pelatihan Penguatan Metodologi Pembelajaran Berdasarkan Nilai-
nilai Budaya untuk Membentuk Daya Saing dan Karakter Bangsa: Pengembangan
Pendidikan Budaya dan Karakter Bangsa. Jakarta: Badan Penelitian dan Pengembangan
Pusat Kurikulum.
Latif, M. (18 May 2011). Arah pendidikan karakter tidak jelas. Kompas. Retrieved 30 June 2011, from
<http://edukasi.kompas.com/read/2011/05/18/13574380/
Arah.Pendidikan.Karakter.Tidak.Jelas>.
Mubarok, A. (2010). Membangun Budaya Masyarakat yang Berkarakter. Paper presented at the
Sarasehan Nasional Pendidikan Karakter, Jakarta.
Munip, A. (2009). Reinventing nilai-nilai mengenai peranan guru dalam pendidikan karakter. Paper
presented at the Diskusi Forum Lingkar Hijau BEM Fakultas Ilmu Pendidikan Universitas
Negeri Yogyakarta. Retrieved 30 June 2011, from http://www.scribd.com/doc/12991475/
Guru-Dalam-Pendidikan-Karakter.
Percival, J. E., & Black, D. J. (2000). A true and continuing story: Developing a culturally sensitive,
integrated curriculum in college and elementary classrooms. The Social Studies, 91(5),
151-158.
Richards, J.C. & Renandya, W.A. (2002). Methodology in Language Teaching: An Anthology of Current
Practice. Cambridge: Cambridge University Press.
Shalahuddin, P. (2009). Principles and Characteristics of character education: An approach to
internalizing Islamic values. Paper presented at the 10th Annual ISNA Education Forum,
Chicago, USA.

Raida Asfihana 147


Stiff-Williams, H. R. (2010). Widening the lens to teach character education alongside standards
curriculum. The Clearing House (83), 115-120.
Tuff, L. (2009). Teacher perception of character education. Unpublished thesis. University of Lethbridge,
Alberta, Canada.
Wisnu, A. (22 May 2009). Character building: The missing link in Indonesia’s public school curriculum.
The Jakarta Post. Retrieved 7 August 2011, from http://www.thejakartapost.com/news/.

148 Raida Asfihana


PENDIDIKAN KARAKTER MELALUI TRADISI LISAN BALAMUT
Sainul Hermawan
Universitas Lambung Mangkurat

ABSTRAK
Tradisi lisan balamut merupakan tradisi menuturkan dan menyimak cerita Lamut dan kawan-
kawannya, sebagai panglima di Negeri Palinggam Cahaya. Cerita ini dituturkan oleh tukang
cerita yang disebut palamutan. Ia menuturkan cerita dengan iringan rebana yang disebut tarbang
Lamut. Ada dua kelompok masyarakat yang sering melakukan tradisi ini yaitu sebagain orang
Banjar dan Cina Banjar. Dalam penelitian ini, balamut tidak hanya dilihat sebagai sebuah cerita
yang oleh penelitian sebelumnya disebut sastra lisan, tetapi sebagai tradisi lisan yang tidak
melepaskan transkrip cerita dalam konteks penuturannya yang melibatkan penutur dan
penonton. Makalah ini ingin menunjukkan bagaimana ketiga bagian tersebut menjadi sistem
tradisi untuk menanamkan nilai-nilai yang sekarang popular disebut nilai-nilai pendidikan
karakter. Analisis didasarkan pada hasil observasi pertunjukan balamut M. Jamhar Akbar di
Rumah Dinas Wakil Bupati Tanah Bumbu pada 21 Juli 2011 dan interpretasi atas transkripsi
cerita Lamut yang mengisahkan pengembaraan Bujang Busur. Nilai-nilai karakter bangsa
tampat dari perilaku palamutan, penonton, dan perilaku tokoh dalam cerita yang dituturkan dan
disimak. Meskipun demikian, balamut tetaplah sebuah kesenian yang merepresentasikan
kehidupan sehingga ia tidak sepenuhnya berisi nilai-nilai kebaikan. Sifat adaptif tradisi ini
memungkinkannya untuk dilatihkan di sekolah-sekolah untuk melatih kecakapan komunikasi
primer: menyimak dan berbicara. Jika memang mungkin, maka nilai-nilai buruk itu perlu
disesuaikan dengan pendidikan karakter yang relatif lebih utuh.
Kata kunci: tradisi lisan balamut, pendidikan karakter, orang Banjar

I. PENDAHULUAN
Pendidikan karakter menjadi topik yang hangat sejak 2010. Dengan diterapkannya Kurikulum
2013 di beberapa sekolah, pemerintah semakin yakin bahwa fokus pendidikan kita di masa depan
harus mengedepankan pembinaan moral peserta didik. Kabar terbaru mengenai kebijakan pemerintah
dalam bidang pembangunan karakter bangsa adalah telah dilakukannya Program Perintisan
Implementasi Pendidikan Karakter, Kewirausahaan, dan Ekonomi Kreatif dengan pendekatan belajar
aktif yang dilakukan untuk mencapai RPJMN tahun 2010-2014 dan meningkatkan kualitas pendidikan
nasional yang mendukung penciptaan kreativitas dan kewirausahaan pada anak didik sedini mungkin

Sainul Hermawan
149
dan penerapan metodologi pendidikan yang tidak lagi berupa pengajaran demi kelulusan, namun
pendidikan menyeluruh yang memperhatikan kemampuan sosial. Sejak tahun 2010, Pusat Kurikulum
dan Perbukuan telah melakukan program satuan pendidikan rintisan implementasi pendidikan karakter,
kewirausahaan, ekonomi kreatif, dengan pendekatan belajar aktif untuk membangun daya saing dan
karakter bangsa di beberapa Kabupaten/Kota di seluruh provinsi di Indonesia yang meliputi PAUD, SD,
SMP, SMA, dan SMK. Pada tahun 2010 penerapan program sekolah rintisan kurikulum dan pendidikan
karakter dilakukan di 16 daerah. Kemudian pada tahun 2011 bertambah 17 daerah dan pada tahun
2012 ditambahkan sebanyak 11 daerah, sehingga total daerah yang dijadikan sekolah rintisan sebanyak
44 daerah di Indonesia.1 Satuan Pendidikan di Kalimantan Selatan yang menjadi sekolah rintisan
semuanya ada Kab. Banjar, yaitu TK Pembina Banjar, SDN Indra Sari Martapura, SD Negeri Cindai Alus
2 Martapura, SMP Negeri 4 Martapura, SMA Negeri 1 Martapura, SMK Negeri 1 Martapura, SMPLB
Fajar Harapan, PKBM Melati Raya Karang Intan.
Pada 21 Juli 2011 palamutan M. Jamhar Akbar diperkenalkan di SMA Negeri 1
Martapura. Saat itu waktunya sangat singkat sehingga tidak sempat mendiskusikan hubungan
pertunjukan perkenalan itu dengan pendidikan karakter. Oleh karena itu makalah ini ditulis
untuk menjelajahi nilai-nilai pendidikan karakter yang ada dalam tradisi balamut.
Di luar sekolah masyarakat Banjar komunitas balamut telah lama menempa nilai-nilai
karakter yang bagi mereka bukanlah barang baru yang ajaib. Makalah ini ingin menunjukan
bagaimana tradisi balamut mempraktikkan dan menanamkan nilai-nilai religius, jujur, toleransi,
disiplin, kerja keras, kreatif, mandiri, demokratis, rasa ingin tahu, semangat kebangsaan, cinta
tanah air, menghargai prestasi, bersahabat/komunikatif, cinta damai, peduli lingkungan, dan
tanggung jawab.

II. TRADISI LISAN BALAMUT


Ada dua sebab mengapa tradisi lisan balamut tetap bertahan di Kalimantan Selatan,
meskipun dalam posisi marjinal dan langka. Pertama, balamut masih dipandang sebagai
bagian dari budaya orang Banjar dalam merayakan pesta pernikahan, pesta panen, dan
menyambut kelahiran anak. Kedua, tradisi ini dipandang sebagai mediasi spiritual untuk
mengobati penyakit perut atau gangguan pikiran yang dikaitkan dengan nazar atau hajat balamut.
Dengan kata lain, tradisi ini di satu pihak bagian dari dunia profan dan pihak lain sebagai
bagian dari dunia yang sakral.
Tradisi lisan yang menjadi sumber penelitian ini adalah pertunjukan balamut hiburan
atau balamut karasmin yang dilakukan M. Jamhar Akbar di rumah dinas bupati Kabupaten
Tanah Bumbu pada 24 Juli 2011, di hadapan 46 penonton. Mereka adalah para guru TK, SD,
SMP, dan SMA di kabupaten itu. Pertunjukan dilakukan pada malam hari setelah waktu salat
Isya sampai sekitar pukul 1 dini hari. Palamutan Jamhar menceritakan episode pengembaraan
Bujang Busur. Dalam proses penceritaan, Jamhar mengombinasikan secara sistematis unsur
syair, pantun, mantra, prosa, dan dialog secara proporsional. Jamhar menuturkan ceritanya
dalam bahasa campuran Indonesia dan Banjar sambil memainkan rebana yang disebut tarbang
lamut. Dalam lamut hajat atau lamut tatamba, tarbang lamut memiliki makna magis tersendiri.

Sainul Hermawan
150
Santak atau pengencang kulit rebana tersebut dianggap punya kekuatan penyembuhan setelah
pertunjukan balamut selesai. Santak itulah yang dicelupkan ke air yang akan dijadikan air
minum, air masak, dan air mandi untuk si sakit.
Jamhar adalah salah satu palamutan yang masih ada di antara sekitar lima palamutan,
yang tersebar di Banjarmasin, Kabupaten Banjar, dan Kabupaten Hulu Sungai Selatan. Karena
perbedaan geografis, riwayat pewarisan, dan gaya individual, versi balamut sangat beragam.
Namun beberapa palamutan mengakui bahwa versi balamut Jamhar adalah versi yang paling
tua dan lebih mendekati bentuk asal-muasalnya.

Foto: Jamhar balamut di hadapan guru TK-SMA di Kabupaten Tanah Bumbu (24/7/2011)

III. METODE PENELITIAN


Penelitian ini bersifat deskriptif kualitatif dan interpretatif. Data penelitian bersumber
dari rekaman tuturan palamutan, wawancara, dan observasi pertunjukan. Karena data
tuturannya berupa rekaman audio dan video, penyajian kutipannya disajikan dalam bentuk
transkripsi yang dilengkapi dengan notasi waktu tuturan. Notasi tuturan tersebut menggunakan
perangkat lunak InqScribe versi 2.2. Dengan sarana ini, teks dari tuturan lisan bisa ditampilkan
dalam bentuk yang relatif lebih otentik daripada disajikan dalam bentuk transkripsi tanpa anotasi
waktu. Meskipun demikian, teknologi aksara punya banyak kelemahan untuk memvisualisasikan
seluruh aspek musikal dan suara yang menyertai pertujukan balamut. Sikap yang diamati dan
tuturan yang terdengar ditafsirkan dalam bingkai nilai-nilai pendidikan karakter yang ingin di
bangun dalam sistem pendidikan Indonesia saat ini.

Sainul Hermawan
151
IV. Sinopsis Cerita
Berikut ini adalah ringkasan cerita episode pengembaraan Bujang Busur. Cerita dimulai
dengan memperkenalkan garis besar keturunan keluarga negara Palinggam sampai kisah
perpisahan antara Lamut dan Bujang Maluala yang kehilangan Dandam Amas Saliau Kaca
yang diculik oleh Bangbang Teja Geni atau Begawan Aliyudin yang dihidupkan kembali oleh
Batara Narada. Bujang Maluala tidak pulang ke Palinggam. Ia masuk hutan, naik gunung,
berkelana mencari Dandam Amas. Sampailah ia di hutang Padang Rila Maringsing, singgah
di bawah sebuah mahligai yang dihuni oleh Putri Buangan.
Putri Buangan itu Raden Galuh Ambar Sekar, yang dibuang oleh kerajaan yang
menghajatkan anak laki-laki sebagai pengganti tahtanya. Ia dibuang oleh para panglima
kerajaan supaya ia tidak dibunuh karena penasihat spiritual kerajaan, putri itu akan
mendatangkan celaka bagi kerajaan jika tidak dibunuh. Untuk beberapa lama, Bujang Maluala
menikah dengan Putri Buangan. Saat istrinya hamil, ia berterus terang bahwa ia sedang mencari
Dandam Amas Saliau Kaca, ia minta izin pergi dan berpesan jika anaknya lahir agar diberi
nama Bujang Laut.
Dalam perjalanan, Bujang Maluwala menemukan mahligai lain di Sungai Telaga
Biru Padang Kemulan. Mahligai itu juga dihuni putri yang dibuang juga oleh kerajaan. Nama
putri itu adalah Ambar Biduri. Ia sepupu Ambar Sekar. Bujang Maluwala menikah lagi dengan
Ambar Biduri. Ambar Biduri memiliki kesaktian yang diwariskan oleh ramanya, yaitu bisa membuat
air bicara dan burung bercerita. Dalam keadaan antara bangun dan tidur, Bujang Maluwala
mendengarkan obrolan mereka yang mengisahkan tentang perjalanan hidup keluarga Palinggam
sampai membocorkan siapa yang telah mencuri Dandam Amas Saliau Kaca.
Bujang Maluwala kembali meninggalkan Ambar Biduri yang juga sedang hamil, Ia
meminjam gajah terbang milik Ambar Biduri untuk terbang ke Bendong Malimunan karena ia tak
bisa terbang. Bujang Maluwala berjanji akan kembali menjemputnya setelah mendapatkan Saliau
Kaca. Bangbang Teja Geni dengan mudah mengalahkannya. Semua bantuan dari Palinggam juga
tak ada gunanya, sampai Lamut bersama kedua putranya Simbar Laut, Simbar Sulangan datang
membantu mereka. Kedua putranya hanya diminta membebaskan keluarga Palinggam yang di
penjara, Lamut menghadapi Teja Geni. Teja Geni mati.
Bujang Maluwala membawa tiga istri dan tiga anak dari setiap istrinya. Ambar Sari
melahirkan Bujang Laut, Ambar Biduri melahirkan Bujang Sakti, dan Saliau Kaca melahirkan Bujang
Busur. Ketiga pasang istri-anak itu dibawa pulang ke Banua Palinggam. Bujang Maluwala diangkat
menjadi raja Palinggam, menggantikan Kasan Mandi. Melihat ketiga anaknya sudah besar dan
bermalas-malasan di kerajaan, Bujang Maluawala menyuruh mereka mencari ilmu, agar bertapa
di Gunung Cemara Bugam.
Sampai di gunung itu, Aji Narada menyuruh mereka pulang dan berguru kepada Lamut.
Lamut bersedia dengan syarat mereka masuk Islam. Mereka bersedia. Tanpa kerumitan. Lamut
mengislamkan ketiganya dan memberikan pelajaran pertama tentang memahami makna dua
kalimah syahadat.

Sainul Hermawan
152
Sejak peristiwa penculikan Saliau Kaca, Bujang Maluwala tak terlalu percaya kepada
Lamut. Dia tak yakin kalau ketiga putranya diajari ilmu oleh Lamut. Bujang Maluwala menyuruh
ketiganya kembali ke Gunung Cemara Bugam. Artinya, perintah itu melawan kehendak Dewa. Saat
mereka berangkat menuju gunung itu, Dewa murka dan menurunkan angin topan. Ketiganya
semburat dan terpisah satu dengan yang lain. Kemudian diceritakan Bujang Busur berjalan
masuk hutan dan setelah kelelahan tertidur di bawah pohon waringin sungsang, pohon yang
daunnya hanya empat lembar. Pohon itu berada di hutan banua Hewan. Raja di Banua Hewan
adalah Maharaja Caramin Alam. Ia punya dua anak, satu lelaki (Raden Kancing Jaya) dan satu
perempuan (Raden Galuh Kain Kasmiran).
Suatu malam Kain Kasmiran bermimpi kawin dengan Bujang Busur. Lamut berulah,
melukis wajah Bujang Busur di telapak tangan Kain Kasmiran. Kain Kasmiran tergila-gila dan
mau bunuh diri jika impiannya tak tercapai. Dia menyuruh dayangnya untuk mencarinya. Nama
dayangnya, dayang Nurlela. Dayang menghempas cincin cinderamusakti untuk memanggil
tujuh rajawali, meminta pertolongan mencari Bujang Busur.
Mereka menemukan Bujang Busur di waringin sungsang tadi. Melihat rajawali yang
hendak mematuknya, Bujung Busur melawan dengan panah sapu alam. Anak panah itu
disambar oleh rajawali dan dibawa terbang. Karena itu senjata kerajaan yang ia sayangi,
Bujang Busur mengejar, mengikuti arah terbang rajawali sambil tengadah. Karena tengadah
sambil berlari, ia terantuk mahligai Kain Kasmiran dan ditangkap oleh dayang. Begitu ketemu,
kain Kasmiran menceritakan mimpi dan keinginannya dan Bujang Busur tak menolak. Mereka
lalu baturai pantun, pantun yang menggambarkan berahi mereka dan berlanjut pada adegan
ranjang yang vulgar. Kakak Kain Kasmiran, Raden Kancing Jaya tak suka dengan kehadiran
Bujang Busur di mahligai adiknya. Kancing Jaya menantangnya berkelahi. Perkelahian terjadi
tapi Bujang Busur tak melawan karena sayang dengan Kain Kasmiran. Bujang Busur minta
perlindungan rama Kain Kasmiran dan ramanya menikahkan Bujang Busur dan Kain Kasmiran.
Sampai Kain Kasmiran hamil enam bulan, perkawinannya dengan Bujang Busur belum
diresmikan dengan pesta. Kancing Jaya tetap tidak suka dengan kehadiran Bujang Busur.
Kancing Jaya bersiasat untuk membunuh Bujang Busur. Ia bujuk ramanya untuk merayakan
perkawainan adiknya dengan pesta. Kancing Jaya menyuruh orang memasukkan racun dalam
makanan (tape) yang akan disuguhkan ke Bujang Busur. Bujung Busur tewas keracunan. Kain
Kasmiran tahu bahwa itu ulah kakaknya. Kain Kasmiran ingat wasiatnya saat masih hidup agar
kelak jika anaknya lahir laki-laki dinamai Ambung Sakti. Jenazah Bujang Busur dibuang ke
hutan.
Lalu cerita beralih pada Bujang Laut dan Bujang sakti yang mencari Bujang Busur.
Atas petunjuk burung putih, mereka mendapatkan mayat Bujang Busur. Melihat kakaknya mati,
Bujang Sakti menangis. Tetes air matanya masuk ke mulut Bujang Busur. Bujang Busur hidup
lagi dan menceritakan apa yang terjadi. Mendegar cerita Bujang Busur, mereka mengajak
Bujang Busur untuk balas dendam, tetapi Bujang Busur menahannya karena Banua Hewan itu
kerajaan yang sangat kecil. Kemudian mereka memutuskan untuk berpisah, berjalan sendiri
menuju tujuan masing-masing. Bujang Busur tersesat sampai ke Banua Pituria.

Sainul Hermawan
153
Banua ini dilanda musibah, diserang gagak surawijaya pematuk mata. Hampir semua
penduduk banua ini tewas dengan ciri yang sama, tanpa biji mata. Ada satu putri yang dijumpai
oleh Bujang Busur, yaitu Hidaran Bulan. Hidaran Bulan lebih cantik dari Kain Kasmiran. Bujang
Busur bertanya apa yang menjadi penyebab kematian massal itu. Setelah tahu, Bujang Busur
menantang burung itu. Dia menabuh gong di tengah paseban. Burung itu datang menyerang.
Dengan panah marimbun tulang, Bujang Busur mengalahkan gagak itu dengan mudah.
Perutnya belah dua dan berisi banyak mata. Bujang Busur mencari mata rajanya, Maharaja
Kertawijaya, dan dengan tapung tawar, raja dibangkitkan kembali. Karena itu Bujang Busur
dikawinkan dengan Hidaran Bulan.
Kabar kehebatan Bujang Busur mengalahkan burung gagak Surawijaya terdengar
sampai ke negara Belanda yang dipimpin oleh Nyonya Parlente dan didampingi kakak lelakinya,
Sinyo Hedler. Sinyo Hedler ingin menjajal kehebatan Bujang Busur. Untuk itu ia terbang menuju
Banua Pituria. Mereka bertarung seperti pertarungan antara Kasan Mandi dan Begawan Aliyudin.
Saat Sinyo Hedler melempar Bujang Busur terlalu keras sampai terlempar dan masuk ke
mahligai Nyonya Parlente di Banua Belanda.
Nyonya Parlente jatuh cinta pada Bujang Busur. Kesempatan itu dimanfaatkannya
untuk membongkar rahasia kesaktian Sinyo Hedler. Kata Nyonya Parlente, saudaranya itu sulit
ditaklukkan karena nyawanya disimpan dalam botol dan botol itu disimpan di mulut naga di
dalam laut. Untuk mematikan Sinyo Hedler, harus membunuh naga itu terlebih dahulu.
Bujang Busur tidak membunuh naga itu. Ia minta Nyonya Parlente mengambilkannya.
Karena cinta, Nyonya Parlente melakukannya dan memohon kepada Bujang Busur agar jangan
membunuh kakaknya tersebut. Bujung Busur berjanji hanya untuk menggertak saja. Setelah
menaklukkan Sinyo Hedler, Bujang Busur kawin dengan Nyonya Parlente di Belanda dan
menurunkan satu putra, Bujang Jaya.
Ketiga istri dan anak Bujang Busur dibawa ke Palinggam. Kain Kasmiran beranak
Ambung Sakti, Hidaran Bulan beranak Suriang Pati, dan Nyonya Parlente beranak Bujang
Jaya. Sampai di sini cerita berakhir. Bujang Sakti dan Bujang Laut belum diceritakan. Setelah
Bujang Busur, M. Jamhar menceritakan Kisah Bujang Jaya.

IV. NILAI PENDIDIKAN KARAKTER DARI PALAMUTAN


Palamutan atau penutur cerita lamut mempraktikkan sembilan nilai dari 18 nilai yang
ingin dikembangkan dalam pendidikan karakter di Indonesia, yaitu religius, disiplin, kerja keras,
kreatif, toleransi, komunikatif, peduli lingkungan, dan tanggung jawab.
Nilai religius mengendalikan perilaku palamutan dalam memilih tempat pertunjukan
dan menempatkan Allah Swt. sebagai satu-satu tempat berlindung. Jamhar berprinsip bahwa
balamut tak bisa dipertunjukkan di dalam lingkungan masjid. Dalam wawancara Jamhar juga
menyatakan agar selalu istigfar dalam hati ketika mengisahkan cerita Lamut agar terlindung
dari motivasi riya, gibah, atau sirik.

Sainul Hermawan
154
Nilai disiplin ditunjukkan oleh palamutan untuk selalu datang lebih awal ke tempat
pengundang, memulai dan mengakhiri pertunjukan tepat waktu sesuai kesepakatan, menjaga
keteraturan jeda segmen cerita jika pertunjukannya panjang (sekitar 6-7 jam). Kedisiplinan
juga terkait dengan nilai religiusitas, yaitu jika pertunjukan balamut di malam hari, pertunjukannya
dimulai setelah waktu salat Isya dan berhenti sebelum waktu salat Subuh. Jika pertunjukan
pada siang hari, palamutan harus berhenti pada waktu-waktu salat Dhuhur dan Ashar.
Di samping itu, nilai disiplin juga berhubungan dengan kepedulian lingkungan.
Palamutan dengan jeli mempertimbangkan siapa penontonnya dan memutuskan apa yang
perlu diceritakan, disyairkan, dan dipantunkan atau tidak. Kasus pertunjukan balamut di Batulicin
tahun 2011 menunjukkan, palamutan menahan ekspresi yang menyenangkan selera humor
laki-laki ketika masih ada penonton perempuan. Namun ketika semua penontonnya telah
homogen laki-laki, pantun-pantun bernuansa pornografis muncul. Tampak ada kesadaran etis
palamutan untuk melakukan self-censorship terhadap isi pertunjukan yang bisa mengganggu
kenyamanan penonton.
Nilai-nilai kerja keras terpancar dari kesungguhannya dalam menuturkan cerita tanpa
menunjukkan sikap lelah meskipun ia harus menjalaninya selama berjam-jam. Nilai ini terkait
dengan tanggung jawab. Dengan penuh tanggung jawab ia bekerja keras menjaga tradisinya,
untuk mengolah kreativitas. Nilai kreatif yang menjadi panduan pertunjukannya berhubungan
dengan sikapnya yang berdasar pada nilai komunikatif, toleransi, dan peduli lingkungan. Oleh
karena itu, setiap pertunjukan balamut selalu menjadi versi pertunjukan baru dalam pengertian
bahwa pertunjukan tersebut memuat unsur-unsur pengembangan dari kerangka cerita dasar
karena mempertimbangkan nilai-nilai terkait tersebut. Secara kreatif, palamutan
mengomunikasikan nasihat secara tidak langsung dan menggunakan beragam medium yang
menyenangkan seperti syair atau pantun. Kreativitas menjadi landasan palamutan untuk
melakukan toleransi pada beragam pengalaman yang berbeda. Kreativitas inilah yang membuat
seni tradisi lisan ini bertahan sekitra 4 abad jika dirunut pada tradisi balamut keluarga
Jamhar.

V. NILAI PENDIDIKAN KARAKTER DARI PENONTON


Nilai karakter yang menonjol dapat diamati dalam kasus pertunjukan balamut di
Batulicin dari penonton adalah nilai komunikasi dalam pengertian kesediaan mereka untuk
bersikap bersahabat dan mau menyimak pertunjukan dalam batas kemampuan mereka. Para
penonton perempuan yang sebagian besar adalah para guru PAUD tidak bisa menyimak cerita
sampai dini hari. Kesungguhan mereka menyimak antara lain juga tampak dari kemauan
mereka merespon dengan tertawa atau melontarkan kata-kata tertentu yang juga bisa direspon
oleh palamutan. Giliran komunikasi yang terjadi tampak teratur. Karena media tradisi ini hanya
dua yakni mulut dan telinga, maka tak ada pilihan lain bagi penonton untuk tidak menyimak jika
mereka ingin tampak bersahabat dan merawat hubungan sosial yang baik antara mereka
dengan penutur.

Sainul Hermawan
155
Momentum pertunjukan selalu menjadi ruang pengalaman baru. Penonton
memberikan reaksi yang ikut mengembangkan pola dasar cerita. Interaksi antara penonton
dan palamutan berlangsung tertib. Hanya pada saat-saat tertentu penonton bereaksi dalam
bentuk memberikan komentar singkat atau hanya ungkapan seru atau tertawa.

VI. NILAI PENDIDIKAN KARAKTER DARI CERITA


Cerita Bujang Busur ini dituturkan Jamhar dalam dua sesi pertunjukan. Sesi pertama
memakan waktu 2 jam 27 menit dan 17 detik. Sesi kedua 24 menit 37 detik. Karena sumber
datanya berupa rekaman dan transkrip hanya membantu untuk mengidentifikasi waktu
penuturan, perujukan mengacu pada kronologi waktu penuturan, tidak pada halaman transkripsi.
Analisis nilai pendidikan karakter dalam cerita hanya difokuskan pada sesi pertama karena di
samping cerita ini lebih panjang daripada cerita di sesi kedua, indikasi nilai pendidikan karakter
mudah ditemukan di dalamnya.
Sebagaimana telah dijelaskan bahwa balamut menampung beragam genre sastra
lisan Banjar, seperti syair, pantun, mantra, dan prosa. Syair selalu menjadi pembuka. Dalam
syair pembukaan berikut ini, nilai pendidikan karakter langsung tampak, yaitu nilai religius, nilai
komunikatif, nilai disiplin, dan nilai peduli lingkungan sosial.
[00:00:02.07] Rebana: mencari bunyi agung
[00:00:35.00] Perkenalan Diri:
[00:02:40.03] Rebana: mencari bunyi agung dan intro
[00:03:41.14] Syair: Ayangilah..../ Bismillah ini mula pang kubilang/ kertas pang dawat
jualan dagang/ kartasnya putih salain lapang
[00:04:03.22] Rebana:
[00:04:06.11] Syair: Tintanya titik di kartas lapang/ Pena pang manulis tangan
bargoyang/ Bukan badan ulun pandai mangarang/ hanya taringat di dalam badan.
[00:04:25.01] Rebana:
[00:04:28.01] Syair: hanyar pulang kurait/ diumpakan tali dadaian/ tagala gincil tagala
gincal/ jikalau pendek kupanjangakan/ jikalau tagumpal kubujarakan.
[00:04:45.23] Rebana:
[00:04:49.04] Syair: wahai saudara-saudari, ibu-ibu/ panonton sakalian/ tua dan muda
janda parawan/ jikalau ada malam ini tasama ngaran/ diharap jangan jadi pikiran
[00:05:08.27] Rebana:
[00:05:14.16] Syair: hanyar pulang kurait/ diumpakan tali dadaian/ sapuluh parkara
kusabutakan/ satu parsatu kupadahakan/ nanti maknanya kusabutakan.
[00:05:32.06] Rebana:

Sainul Hermawan
156
[00:05:33.20] Syair: satu pang tali, dua dadaian/ katiga pang tungkat, ampat ukuran/
kalima pang jarum, anam kulindan/ tujuh kumpas, dalapan paduman/ kasambilan
teuri pulitik/ numur sapuluh dengan aturan.
[00:05:54.02] Rebana:
[00:05:58.04] Syair: balamut ini dangan aturan/ di mana tadi awal pamulaan/ ini
maknanya kupacahakan/ satu tali tadi dua dadaian, katiga takzim-takzim yang
ditantukan/ malam ini balalamutan/ kisah bahari kubawaakan.
[00:06:25.18] Rebana
Nilai religius tampak pada menit ke-3:41. Seperti lazimnya syair, balamut dimulai
dengan menyebut nama Allah. Pada menit ke-4:49, nilai kepedulian sosial dan komunikasi
diungkapkan. Palamutan terlebih dahulu meminta maaf kepada semua penonton agar cerita
yang akan dituturkan dipandang sebagai cerita, persamaan nama dan peristiwa dalam cerita
dengan kenyataan diharap disikapi hanya sebagai kebetulan. Dalam prinsipnya, pertunjukan
balamut harus berusaha menghindarkan diri dari unsur menyakiti perasaan penontonnya. Nilai
relijius, komunikasi, dan kepedulian sosial tampaknya menjadi beberapa bagian dari apa yang
pada menit ke-5:58 disebut sebagai hukum atau aturan balamut. Dengan demikian, penegakan
aturan menjadi indikasi penting tentang adanya nilai disiplin dalam tradisi ini. Secara tersurat
dalam tuturan pertunjukan ini juga dijelaskan tentang disiplin berpantun. Dalam tradisi balamut
pantun asmara atau rayuan dilarang dipantun sembarangan. Pantun itu hanya dimungkinkan
pada bagian kisah tentang pertemuan dua tokoh yang sedang kasmaran. Penjelasan itu ada
pada menit ke-114.
[01:54:49.29] Narasi: Lama kalamaan Bujang Busur dalam mahligai. Lalu Bujang Busur
bapantun. Nah bapantun Bujang Busur nih. Nah hanyar ada pantun ulun. Lah kanapa
maka hanyar aja. Apabila palamutan, ampun maaf ulun nah. Ulun tadi 58 tahun jadi
palamutan. Apabila ada palamutan antara laki-laki lawan bini-bini balum ada partamuan,
ada pantun, itu Lamut itu kurang ajar ngarannya, kurang ajar. Ulun dipadahi kuitan, kada
bulih nyawa. Kacuali kena laki-laki lawan bini-bini, nang kaini nah, badapat, tadapat,
antara laki-laki, antara Kain Kasmiranlawan Bujang Busur. Bulih bapantun. Kalu kada
badapat kita dianggap urang mamantuni babinian nang di hadapan. Ini Lamut kurang
ajar jar arwah kuitan ni.[01:55:47.10]
Nilai pendidikan karakter dalam cerita Lamut juga tampak dalam bentuk tindakan
tokoh dan perkataan tokoh. Lamut selalu diletakkan sebagai tokoh cerdik dan pandai selain
sakti tanpa tanding. Dalam cuplikan cerita ini, tampak Lamut menasihati kawannya sesama
panglima kerajaan Palinggam, Labay.
[01:13:24.23] di mana kasalahan unda? Ujar Lamut di salam tadi bungul ai. Urang
itu mambari salam lawan nyawa tu assalamualaikum urang tuha. Itu tandanya urang
mahurmati nyawa. Han, urang mahurmati nyawa, urang kada wani lawan nyawa.
“O… jar Labay mintu kah. Naa apa jar Lamut, makanya nyawa ini mangaji Bai ai,
mangaji. Dipadahakan sudah ngalih Labay nih ngalih jar Lamut. Mulai lagi halus
artinya ditatambai panyakitnya ninih, mantri sudahnya, doktor mintu jua tatap nang

Sainul Hermawan
157
kaya itu jua panyakitnya. Kada sing warasan. Naik babaya jar Lamut akhlak dan
martabat tu ngarannya. Ujar Labay napa akhlak martabat nitu ha? unda handak
tau? jar Labay. Naa bagus jar Lamut mun nyawa handak tahu. Akhlak lawan martabat.
Akhlak itu adat, Adat. Martabat pang jar Labay? Martabat itu bungulai jar Lamut
kalakuan. Uuuhhh ujar Labay mintu kah. Haa adab itu napa tadi, naa akhlak tadih
adab, adab itu ilmu. Apalagi, ilmu tu iman bungulai jar Labay. Uma jar Lamut, unda
lah nang bungul. Naa ini jar, ujar Anglung bujur ja Bai ai. Akhlak dan martabat.
Akhlak itu adat. Istiadat urang bahari. Ilmu gugurnya. Adapun martabat itu kalakuan.
Apabila akhlaknya kada baik tantu kalakuannya kada baik jua. Na ini nya. Pabilanya
akhlaknya baik kalakuannya baik. Dimapa kabaikannya? Umpama ujar Lamut ujar
Anglung, Anglung mahalusi pulang. Ada urang lalu atau nyawa handak lalu ada
urang tuha, nyawa mambari salam, assalamualaikum kai umpat lalu ulun lah. Nah
itu ujar Anglung dinamakan akhlak dan martabat. Nah tu. Lalu ujar urang nini uma
anak siapa tadi ja halusnya baassalamualaikum, umpat lalu ulun kai lah ujar,
bagusnya lah anak siapa, bagus banar pimpinannnya nitu. Nah itu du’a ujar Anglung,
bangsatai. Naah ujar Anglung. Kada hi ih jar Labay aja, akhlak itu apa? Martabat itu
apa? Uuu jar Lamut akhlak itu bangsatai ilmu, ilmu itu iman. Apa jar Labay iman? Iman
itu ampat. Ampat apa jar Labay iman? “Tauhid, yakin, percaya, iman. Tauhid yakin,
percaya, iman. Itu anak ai akhlak tadi. Martabat kalakuan. Apabila urang kada baiman
urang kada bailmu anak ai, apabila urang kada bailmu urang kada baiman. Nyawa
tahu handaklah urang kada baiman? Handaklah tahu urang kada bailmu? “Apa jar
Labay? “Tu binatang. Diumpamakan binatang inya kada bailmu inya kada baiman,
artinya apabila iman ilmu, ilmu iman, apabila iman ada akal, ada pikir, sampurna
pamikirannya. Lamun inya urang kada baiman kada baakal, sarupa atau diumpamakan
jar Lamut saparti binatang. Binatang tu inya kada baiman, inya kada bailmu, kada
bapangatahuan. Apa gawiannya? Tahu makan, tahu guring, tahu makan, tahu guring,
tahu babini. Nah itu binatang. Maka jar Lamut, apabila urang kada baiman kada bailmu,
kada tahu supan, kada tahu dimalu he eh. Ni jar Lamut ampun maaf kada manyambat
di sini kada. Ini kesah. Lalu jar Lamut apabila urang kada baiman kada bailmu kada
tahu supan kada tahu malu, ya sama seperti binatang tadi. Bapacaran di tangah urang
banyak, bazina tangah urang banyak. Nah itu binatang sifatnya. “Uuu jar Labay itulah.
“Naa makanya itu ujar Lamut. “Jadi urang tadi assalamualaikum urang tuha, urang itu
bailmu, urang itu manuhaakan nyawa, mamparcayai nyawa, urang kada wani lawan
nyawa. [01:18:03.19]
Dalam cuplikan ini, Lamut sebagai sumber kebaikan dan kebijaksanaan menasihati
Labay yang telah dinilai salah karena bersikap kasar kepada orang lain. Lamut mengingatkan
pentingnya integritas moral yang dirumuskan dalam tiga konsep: iman, akhlak, dan ilmu. Ketiga
hal inilah yang menurut Lamut membedakan antara manusia dan hewan. Tanpa ketiganya orang
akan kehilangan rasa malu, mudah berdusta, hilang kepedulian sosial dan tanggung jawab.
Indikator paling sederhana dari penerapan nilai komunikasi, dalam pengertian memahami makna
ungkapan seseorang dan menyikapinya dengan tepat agar terhindar dari konflik. Nasihat seperti

Sainul Hermawan
158
ini tidak selalu muncul dalam pertunjukan balamut. Inilah aspek kontekstual dari pertunjukan itu.
Keprihatinan Jamhar melihat rusaknya alam Tanah Bumbu yang ia lewati berkontribusi pada
munculnya ungkapan ini. Demikianlah cara balamut memainkan polisemi tuturan. Meskipun
Jamhar mengatakan bahwa ia tidak sedang menasihati penonton, tetapi itu nasihat Lamut kepada
Labay, Jamhar membuka kemungkinan terbukanya kesadaran diri audiensnya. Karena pentingnya
ilmu, keturunan Palinggam menjadikannya sebagai syarat mencapai kesempurnaan hidup yang
harus dimiliki oleh setiap generasi penerusnya. Keturunan raja-raja Palinggam harus menjadikan
ilmu sebagai landasan untuk bisa menjalani hidup dengan kerja keras.
[01:05:03.24] Tacarita Bujang Busur lama-lama ganal. Naa umurnya dua puluh tahun
sudah Bujang Busur nanginih. Jadi nang kaka tadi dua puluh tiga dua puluh lima.
Ngaran batiga badinsanak, Bujang Laut, Bujang Sakti, Bujang Busur. Lama-lama tinggal
di banua Palinggam. Kasan Mandi maangkat urang manjadi raja. Siapa nang diangkat
jadi raja? Anaknya yaitu Bujang Maluwala. Nah Maluwala pulang mamarintah di banua
Palinggam karna raja buhul artinya Kasan Mandi sudah tuha lalu anak disuruh pulang.
Bujang Maluwala pulang mangganti manjadi raja di banua Palinggam. Maliat anak
pina ganalan, supan Bujang Maluwala. Artinya supannya tarhadap urang kampung
banua Palinggam. Supannya anak nang tiga nini bagaul ka masyarakat kada bisa,
tagur sapa sapamanderan artinya senyum kadada jua. Imbah makan guring, imbah
makan guring. Itu aja gaweannya nang batiga ninih. Ayangilah… “putraku,” ujar Bujang
Maluwala, manyambat Bujang Laut, Bujang Sakti, Bujang Busur. Ayu putraku kemari.
Inggih ujar Bujang Laut. Ujar Bujang Busur apa gerang sampean? Nah kemari nak ai
ikam nak batatiga. “Inggih pun apa kabar dan berita jang sinuhun. Memanggil pun
abdi dalang Bujang Laut, Bujang Sakti noleh Bujang Busur. Tuh liat tuh. “Naa ujar
artinya ujar Bujang Jaya nak ai ikam sudah ganal, sudah besar sudah. Umpama ayam
sudah betaji sadang saungan, dan diumpamakan kucing sudah bisa basasimban,
naa ikam kada malu lah lawan anak Kampung Bumi Putra urang di Banua Palinggam
lawan rakyat Palinggam. Pertama ikam anakku, anak raja jar urang. Liati jar rang anak
raja nyamannya makan guring aja, he eh. Bagawi kahada. Artinya turun bakakawalan,
tagur sapa pun kahada jua. Mantang-mantang anak raja. Na aku jar Bujang Maluwala
malu. Naa sekarang ujar Bujang Maluwala nang kaini, ikam kusuruh mambangun
tapa, ikam batapa anak ai. “Inggih, apa gerang tujuan batapa?” ujar Bujang Busur?
Ujar Bujang Maluwala, ikam mancari ilmu. Batapa itu mancari ilmu anak ai. “Inggih
ilmu apa kaulanun? “Nah itu nak ai ujar urang bahari mancari ilmu nang sampurna,
ilmu dunia akhirat. Artinya ilmu itu artinya untuk ikam, pakai ikam, supaya ikam tahu itu
ilmu menjadi kasampurnaan dunia akhirat lawan ikam putraku.” “Inggih, jadi di mana
gerangan ulun memuja brata memuja semidi atau betapa?” “Nah nang kaini aja ujar
Bujang Maluwala. Ini perintahku, ikam tuju di Gunung Cemara Bugam. Naa apabila
betapa mencari ilmu di Gunung Cemara Bugam, jaman dahulu kala ujar Bujang
Maluwala, urang mahabarakan, apabila betapa di Gunung Cemara Bugam jangan
setahun, sabulan, satangah bulan satangah hari, sajam, samenit ikam duduk di Gunung
Cemara Bugam, sudah diwarisi ilmu laduni oleh Sangiang Sukma Suara.[01:08:39.04]

Sainul Hermawan
159
Bujang Maluwala mendorong anaknya untuk bekerja atau mencari ilmu. Anak raja harus mandiri,
tidak boleh bergantung pada orang tua. Kerja keras dan ilmu adalah dua nilai penting. Orang
harus malu jika tidak memiliki dua hal penting itu: bekerja atau mencari ilmu. Kerja dan ilmu
itulah yang menjadikan manusia bermartabat.
Meskipun demikian, balamut Jamhar tetap berusaha merepresentasikan nilai yang relatif.
Misalnya, perilaku raja-raja Palinggam yang beristri empat, umpatan dalam peperangan atau
persahabatan. Dalam kisah Bujang Busur ditemukan kata-kata umpatan atau pisuhan bungul
(4 kali),2 bangsat (14 kali), dan binatang (14 kali). Sebagai ekspresi keakraban, kata pisuhan
bungul bisa bernilai komunikatif tetapi dalam konteks peperangan, bisa baik bagi kelompok
usia tertentu tetapi kurang baik bagi usia anak-anak.

VII. SIMPULAN
Tradisi lisan balamut menunjukkan terintegrasinya nilai-nilai pendidikan karakter dalam
tiga ranah: penutur, penonton, dan cerita. Di dalam penuturan cerita, nilai pendidikan karakter
tidak berdiri sendiri tetapi saling berhubungan. Di tengah masyarakatnya yang sedang dilanda
krisis budaya, seni ini bisa diandalkan sebagai sarana terapi sosial, terutama untuk menguatkan
kecakapan komunikasi: berbicara dan menyimak. Tidak adanya perguruan tinggi di Kalimantan
Selatan untuk menggali struktur dasar seni tradisi ini dan mengembangkannya sebagai model
pembelajaran turut berperan membiarkan seni tradisi ini menunggu kepunahannya. Sebagai
seni tradisi yang adaptif, balamut bisa dimodifikasi dengan tetap memprtimbangkan formula-
formula dasarnya, seperti keberadaan tokoh Lamut dan Negeri Palinggam. Misalnya, belum
ada upaya mengembangkan cerita Lamut versi anak. Tokoh-tokoh Lamut seperti kehilangan
masa kanak-kanaknya. Banyaknya kata-kata kasar seperti bangsat dan bungul membuat cerita
ini tidak baik diperkenalkan untuk pendidikan usia anak-anak. Di sinilah pentingnya upaya
mengadaptasi cerita balamut untuk pendengar anak-anak. Potensinya terletak pada unsur
fantasinya. Namun yang paling penting bahwa memperkenalkan seni tradisi di dalam sekolah
tidak boleh hanya terjebak pada aspek-aspek praktik berkesenian tetapi harus lebih dalam
memahami nilai-nilai pendidikan karakter yang ada di balik unsur-unsur kesenian. Tanpa itu,
maka pembelajaran seni tradisi apapun akan terjebak dalam aspek hiburan semata.

DAFTAR PUSTAKA
Bakhtiar Sanderta dan M. Thaha, 2000. Pantun, Madihin, Lamut. Banjarmasin; Dinas Pendidikan
dan Kebudayaan dan Dewan Kesenian Kalimantan Selatan.
Denzin, Norman K. and Lincoln, Yvonna S (eds.). 1994. Hanbook of Qualitative Research.
California: Sage Publications, Inc.
Ideham, M. Suriansyah, dkk. 2005. Urang Banjar dan Kebudayaannya. Cetakan Pertama.
Banjarmasin: Badan Penelitian dan Pengembangan Daerah Provinsi Kalimantan
Selatan.

Sainul Hermawan
160
Jarkasi, Djantera Kawi, dan Zainuddin Hanafi. 1997. Struktur Sastra Lisan Lamut. Jakarta:
Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, Departemen Pendidikan dan
Kebudayaan.
Kompas.com. “Pemerintah Canangkan Pendidikan Karakter” http://nasional.kompas.com/read/
2011/07/13/04580874/Pemerintah.Canangkan.Pendidikan.Karakter (diakses 1/5/
2014).
Mukhlis Maman. 2011. Lamut. Banjarbaru: Scripta Cendekia.
Nelly Rosita. 1989. “Lamut (Salah Satu Bentuk dari Sastra Lisan Banjar)”. Seminar Hasil
Penelitian dalam Rangka Program Pernaskahan I Kerjasama Indonesia-Belanda di
Fakultas Sastra Universitas Indonesia, Jakarta, 27-29 Juni 1989.
Ong, Walter J. 1982. Orality and Literacy. London and New York: Routledge.
Sabhan dan Suwarno Muriyat. 2011. Lamut dan Karungut: Seni Pertunjukan Tradisi Lisan
Kalimantan. Banjarbaru: Scripta Cendekia.
Silverman, David. 1993. Interpreting Qualitative Data: Methods for Analysing Talk, Text and
Interaction. London: Sage Publications.
Sjamsiar Seman. 1960. Bidang Sastera Bandjar. Manuskrip belum diterbitkan. Banjarmasin.
Syamsiar Seman. 2002. Kesenian Tradisional Banjar Lamut, Madihin, dan Pantun. Banjarmasin:
Lembaga Pengkajian dan Pelestarian Budaya Banjar Kalimantan Selatan.Sunarti dkk.
1978. Sastra Lisan Banjar. Jakarta: Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa,
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.
Sweeney, Amin. 1987. A Full Hearing: Orality and Literacy in the Malay World. London: University
of California Press.
Syarifuddin R. dkk. 2008. Kearifan Lokal Masyarakat Banjar yang Terefleksikan ke dalam Sastra
Lisan dan Teater Tutur Lamut. Banjarmasin: Dinas Kebudayaan dan Pariwisata,
Pemerintah Provinsi Kalimantan Selatan.

Sainul Hermawan
161
Sainul Hermawan
162
MEMANFAATKAN PERIBAHASA BANJAR SEBAGAI SARANA
PEMBENTUKAN KARAKTER
Tajuddin Noor Ganie
STKIP Banjarmasin

ABSTRAK
Konsep pendidikan karakter menurut Azeet (2011:12) sesungguhnya sudah ada sejak tahun
2003, dalam hal ini sudah dituangkan dalam Undang-undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang
Sistem Pendidikan Nasional (UU 20/2003 tentang SPN). Pendidikan karakter kepada anak
didik di sekolah atau kepada para mahasiswa di perguruan tinggi dilakukan melalui bahan ajar
atau bahan kuliah yang diresmikan dalam kurikulum. Kualitas pribadi yang akan dibentuk
melalui sistem pendidikan nasional adalah anak bangsa dengan kualitas pribadi sebagai
berikut. (1) beriman dan bertaqwa kepada Tuhan yang Maha Esa, (2) berakhlak mulia, (3)
sehat, (4) berilmu, (5) cakap, (6) kreatif, (7) mandiri, (8) demokratis, dan (9) bertanggung jawab.
Kekayaan budaya lokal etnis Banjar yang dapat dijadikan sebagai bahan ajar atau bahan
kuliah dalam konteks pembentukan karakter adalah peribahasa Banjar. Dalam hal ini peribahasa
Banjar yang dapat membentuk karakter anak bangsa dengan kualitas pribadi sebagaimana
yang dipaparkan di atas. Melalui peribahasa Banjar sebagai media komunikasinya, generasi
tua etnis Banjar dapat menyampaikan semua ajaran, informasi, nasihat, dan semua kearifan
lokal lainnya kepada generasi penerusnya, sehingga kearifan lokal dalam bentuk ungkapan
tradisional berbahasa Banjar ini tetap lestari dari generasi ke generasi. Selain itu, peribahasa
Banjar juga menampilkan gagasan, hayatan, ingatan, pandangan, pikiran dan renungan mereka
sebagai suku bangsa. Bahkan, peribahasa Banjar juga dapat dipandang sebagai wacana,
sekaligus juga inskripsi, yang merepresentasikan proses dialektika yang berkembang dalam
konteks konstruksi realitas budaya etnis Banjar. Berdasarkan karakteristik fungsinya, setidak-
tidaknya ada 4 fungsi peribahasa Banjar, yakni: (1) media pendidikan, pedoman tingkah laku,
dan pengatur aspek-aspek kehidupan bermasyarakat, (2) sumber hukum, pengesah pranata
sosial, pengawas dan pengukuh norma-norma sosial, (3) sistem proyeksi, lambang identitas
budaya, dan sumber informasi budaya, dan (4) sarana untuk bergurau, berolok-olok, mencela,
menghina, dan sebagai sarana retorika untuk mematahkan kata-kata lawan bicara (alat
pertahanan diri). Pendidikan karakter yang dapat ditanamkan secara tersurat dan tersirat melalui
peribahasa Banjar meliputi 4 katagori, yakni: (1) pendidikan karakter yang berkaitan dengan
Tuhan Yang Maha Esa, (2) pendidikan karakter yang berkaitan dengan diri sendiri, (3) pendidikan
karakter yang berkaitan dengan sesama manusia, dan (4) pendidikan karakter yang berkaitan
dengan lingkungan.

Tajuddin Noor Ganie


163
I. PENDIDIKAN FORMAL PERSEKOLAHAN DAN PERKULIAHAN SEKARANG INI CUMA
MELAHIRKAN GENERASI BANGSA YANG BERKARAKTER BURUK
Hingga saat ini pendidikan masih diyakini sebagai sarana yang mumpuni untuk
membangun kepribadian dan kecerdasan anak bangsa di tanah air kita. Segala sesuatu yang
bersentuhan dengan kepentingan pendidikan anak bangsa ini senantiasa dicermati, dibangun,
dan dikembangkan dengan tujuan agar dapat menghasilkan generasi penerus bangsa yang
berkarakter prima sekaligus juga cerdas secara intelektual.
Pada kurun waktu 5 tahun terakhir ini muncul gagasan untuk lebih menggalakkan lagi
pendidikan karakter di semua tingkatan pendidikan mulai dari tingkat sekolah dasar hingga
tingkat perguruan tinggi (sarjana strata 1). Gagasan ini mencuat ke permukaan dengan begitu
kuatnya karena dipicu oleh kekhawatiran banyak pihak yang melihat bahwa proses pendidikan
formal yang berlangsung di semua tingkatan persekolahan dan perguruan tinggi di tanah air
kita selama ini pada umumnya cuma melahirkan anak bangsa yang cerdas secara intelektual
saja, tetapi tidak bermental tangguh, dan berperilaku tidak sesuai dengan tujuan pendidikan
yang mulia.
Perilaku yang tidak sesuai dengan tujuan mulia pendidikan itu antara lain tergambar
dari semakin banyaknya pelaku korupsi di tanah air kita yang jika ditelisik dengan seksama
tidak lain adalah para pejabat aparatur negara yang berlatar belakang pendidikan tinggi alumni
PTN/PTS ternama di tanah air kita. Fakta ini baru saja diungkapkan dengan telak oleh Marzuki
Ali Ketua DPRRI. Para pihak yang merasa terusik dengan tudingan keras itu langsung bereaksi
dengan keras pula.
Tindakan anarkis yang kerap terjadi di jalan-jalan di berbagai kota besar, kota sedang, kota
kecil, atau bahkan di kota-kota sangat kecil di pelosok-pelosok negeri, seperti tawuran pelajar
atau demonstrasi yang pada mulanya berlangsung damai kemudian berubah menjadi
kerusuhan sosial berbau SARA, yang semakin kerap terjadi, merupakan petunjuk nyata bahwa
ada yang tidak beres dengan karakter anak bangsa di tanah air kita.
Situasinya menjadi semakin runyam, karena aparatur negara yang bertugas
memelihara stabilitas keamanan di tanah air kita cenderung menyederhanakan persoalan
yang sangat serius ini dengan cara berkelit dan dengan entengnya menuding para provokator
sebagai biang kerok atau kambing hitamnya. Mereka tidak pernah tertarik untuk mengurai
apalagi membabat habis akar permasalahan yang menjadi pemicu latennya, akibatnya kasus
anarkis semacam itu selalu berulang dan terus berulang dari rezim ke rezim.
Fakta lain adalah semakin maraknya kasus KTD (kehamilan yang tidak dikehendaki)
di tanah air kita. Angka kasusnya tidak tanggung-tanggung, yakni antara 150-200 ribu kasus per
tahun. Tendensinya tidak pernah menyusut dari tahun ke tahun, tetapi semakin membengkak.
Kasus KTD ini sangat memprihatinkan dan sangat menggiriskan hati karena pelakunya bukanlah
pasangan suami/isteri yang gagal ber-KB (keluarga berencana), tetapi adalah pasangan muda-
mudi yang sebagian besar di antaranya masih berstatus sebagai pelajar atau mahasiswa.
Mereka inilah yang tanpa rasa bersalah melakukan hubungan badan di luar nikah, perbuatan
asusila ini mereka lakukan karena karakter mental mereka yang lemah.

Tajuddin Noor Ganie


164
Fakta-fakta yang memiriskan dan menggiriskan hati ini harus segera dieliminir dengan
berbagai cara yang mungkin dilakukan, salah satu di antaranya adalah dengan menggalakkan
kembali pendidikan karakter (budi pekerti) terhadap segenap anak bangsa. Konsep pendidikan
karakter ini menurut Azeet (2011:12) sesungguhnya sudah ada sejak tahun 2003, dalam hal ini
sudah dituangkan dalam Undang-undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan
Nasional (selanjutnya ditulis UU 20/2003 tentang SPN).
Disebutkan bahwa pendidikan nasional berfungsi sebagai upaya resmi yang dilakukan negara
untuk mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang
bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya
potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertaqwa kepada Tuhan Yang
Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara
yang demokratis serta bertanggung jawab.

II. PERIBAHASA BANJAR SALAH SATU BAHAN AJAR ATAU BAHAN KULIAH PENDIDIKAN
KARAKTER ANAK BANGSA
Pendidikan karakter kepada anak didik di sekolah atau kepada para mahasiswa di
perguruan tinggi dilakukan melalui bahan ajar atau bahan kuliah yang diresmikan dalam
kurikulum. Salah satu bahan ajar atau bahan kuliah dimaksud adalah muatan lokal budaya
Banjar. Kekayaan budaya local etnis Banjar yang dapat dijadikan sebagai bahan ajar atau
bahan kuliah dalam konteks pembentukan karakter adalah peribahasa Banjar.
Merujuk kepada UU 20/2003 tentang SPN, maka kualitas pribadi yang akan dibentuk
melalui sistem pendidikan nasional adalah anak bangsa dengan kualitas pribadi sebagai
berikut.
1. Beriman dan bertaqwa kepada Tuhan yang Maha Esa
2. Berakhlak mulia
3. Sehat
4. Berilmu
5. Cakap
6. Kreatif
7. Mandiri
8. Demokratis, dan
9. Bertanggung jawab
Ini berarti peribahasa Banjar yang dapat dijadikan sebagai sarana pembentukan
karakter anak bangsa adalah peribahasa Banjar yang dapat membentuk karakter anak bangsa
dengan kualitas pribadi sebagaimana yang dipaparkan di atas.
Peribahasa Banjar ialah kalimat pendek dalam bahasa Banjar yang pola susunan
kata-katanya sudah tetap, bersifat formulatik (merujuk pada suatu formula bentuk tertentu), dan
sudah dikenal luas sebagai ungkapan tradisional yang menyatakan maksudnya secara samar-

Tajuddin Noor Ganie


165
samar, terselubung, dan berkias dengan gaya bahasa perbandingan, pertentangan, pertautan,
dan perulangan.
Dalam kedudukannya sebagai kekayaan budaya milik bersama, etnis Banjar dapat
mempergunakan peribahasa Banjar sebagai media untuk mengekspresikan atau
merepresentasikan konstruksi realitas nilai budaya yang khas suku bangsa mereka.
Melalui peribahasa Banjar sebagai media komunikasinya, generasi tua etnis Banjar
dapat menyampaikan semua ajaran, informasi, nasihat, dan semua kearifan lokal lainnya
kepada generasi penerusnya, sehingga kearifan lokal dalam bentuk ungkapan tradisional
berbahasa Banjar ini tetap lestari dari generasi ke generasi.
Selain itu, peribahasa Banjar juga menampilkan gagasan, hayatan, ingatan,
pandangan, pikiran dan renungan mereka sebagai suku bangsa. Bahkan, peribahasa Banjar
juga dapat dipandang sebagai wacana, sekaligus juga inskripsi, yang merepresentasikan proses
dialektika yang berkembang dalam konteks konstruksi realitas budaya etnis Banjar.
Berdasarkan karakteristik fungsinya, setidak-tidaknya ada 4 fungsi peribahasa Banjar,
yakni:
1. Media pendidikan, pedoman tingkah laku, dan pengatur aspek-aspek kehidupan
bermasyarakat. Ragam/jenis peribahasa Banjar yang identik dengan fungsi ini
adalah mamang papadah dan papadah.
2. Sumber hukum, pengesah pranata sosial, pengawas dan pengukuh norma-norma
sosial.
3. Sistem proyeksi, lambang identitas budaya, dan sumber informasi budaya.
4. Sarana untuk bergurau, berolok-olok, mencela, menghina, dan sebagai sarana
retorika untuk mematahkan kata-kata lawan bicara (alat pertahanan diri). Ragam/
jenis peribahasa Banjar yang identik dengan fungsi ini adalah pameo huhulutan
dan patatah-patitih.
Pendidikan karakter yang dapat ditanamkan secara tersurat dan tersirat melalui
peribahasa Banjar meliputi 4 katagori, yakni:
1. Pendidikan karakter yang berkaitan dengan Tuhan Yang Maha Esa.
2. Pendidikan karakter yang berkaitan dengan diri sendiri.
3. Pendidikan karakter yang berkaitan dengan sesama manusia.
4. Pendidikan karakter yang berkaitan dengan lingkungan.
2.1 Pendidikan Karakter Yang Berkaitan Dengan Tuhan Yang Maha Esa.
Pendidikan Karakter Yang Berkaitan Dengan Tuhan Yang Mahaesa meliputi: (1)
berkeyakinan (2) bersikap, (3) berkata-kata, dan (4) berperilaku, sesuai dengan ajaran agama yang
dianut.
Contoh
Allah Ta’ala batata haja (Ganie, 2007), Allah Ta’ala Zat Yang Maha Mengetahui Segalanya
akan menata segala sesuatunya dengan adil dan sempurna. Papadah ini merupakan nasihat

Tajuddin Noor Ganie


166
agar kita menyerahkan segala urusan kepada Allah SWT. Jangan berkecil hati, mintalah keadilan
kepada-Nya setiap kali kita dizalimi orang.
Bismillah dahulu hanyar makan (Ganie, 2007), bismillah dahulu baru makan, Papadah
ini merupakan nasihat agar sebelum makan kita terlebih dahulu memuji kebesaran Allh SWT.
Habis akal hanyar tawakal (Ganie, 2007), habis akal baru tawakal. Papadah ini
merupakan nasihat agar segala sesuatu dikerjakan dengan sungguh-sungguh dan jangan
lupa pula berserah diri meminta pertolongan sepenuhnya kepada Allah SWT (bertawakal).
Habis ihtiar habis tawakal (Ganie, 2007), habis ikhtiar, habis tawakal. Mamang Papadah
ini merupakan nasihat agar dalam mengerjakan suatu pekerjaan kita hendaknya mengerahkan
segala kemampuan yang ada pada kita. Selain itu juga dinasihatkan agar kita jangan lupa
berserah diri meminta pertolongan sepenuhnya kepada Allah SWT (bertawakal).
Habis ihtiar hanyar tawakal (Ganie, 2007), habis ikhtiar, baru tawakal. Papadah ini
merupakan nasihat agar dalam mengerjakan suatu pekerjaan kita hendaknya mengerahkan
segala kemampuan yang ada pada kita. Sehabis itu kita juga dinasihatkan agar jangan lupa
berserah diri meminta pertolongan sepenuhnya kepada Allah SWT (bertawakal).
2.2 Pendidikan Karakter yang Berkaitan dengan Diri Sendiri
Pendidikan karakter yang berkaitan dengan diri sendiri meliputi:
1. Bersikap jujur
Amun cacing bapadah cacing, amun naga bapadah naga. Amun miskin bapadah
miskin, amun baharta bapadah baharta (Ganie, 2007), jika cacing bilang cacing, jika naga
bilang naga. Jika miskin bilang miskin, jika kaya bilang kaya. Gurindam ini merupakan nasihat
agar kita berani berkata jujur tentang status sosial kita yang sebenarnya (miskin papa).
2. Bertanggung jawab
Jangan bauling, ingat tanduk nang batajakan di kapala (Ganie, 2007), jangan
menggeleng, ingat tanduk yang terpasang di kepala. Papadah ini merupakan nasihat agar kita
jangan menolak mengerjakan tugas-tugas sosial yang melekat pada status kita sebagai seorang
tokoh formal dan informal. Tanduk melambangkan status sosial tertentu.
Jangan bauling, ingat tupi dinas nang batajakan di kapala (Ganie, 2007), jangan
menggeleng, ingat topi dinas yang terpasang di kepala. Papadah ini merupakan nasihat agar
kita jangan menolak mengerjakan tugas-tugas dinas yang melekat pada jabatan kita sebagai
seorang pejabat pemerintah. Topi dinas melambangkan tanda jabatan tertentu.
3. Rasa percaya diri
Amun cangkal, banang kusut kawa haja diruhui (Ganie, 2007), jika ulet, benang kusut
akan dapat diuraikan dengan mudah. Papadah ini berisi nasihat bahwa kita harus mengerjakan
segala sesuatu dengan ulet, karena dengan modal keuletan itu, kita akan dapat menyelesaikan
suatu pekerjaan dengan mudah.
Banang kusut kawa diruhui, banang pagat kawa disambung (Ganie, 2007), benang
kusut dapat diurai, benang putus dapat disambung. Papadah ini berisi nasihat bahwa jika kita
mau maka segala masalah pasti dapat diatasi sebagaimana mestinya.

Tajuddin Noor Ganie


167
Hati waja urat kawat (Ganie, 2007), berhati baja, berurat kawat. Ibarat ini merupakan
pujian untuk seseorang yang sangat percaya diri karena didukung oleh fisik dan mental yang
sama kuat.
4. Berdisiplin
Bagawi jangan tangkap lapasan (Ganie, 2007), bekerja jangan tangkap lepasan.
Papadah ini merupakan nasihat agar kita mengerjakan suatu pekerjaan hingga tuntas. Tidak
menelantarkan pekerjaan itu di tengah jalan karena ingin mengerjakan pekerjaan lain yang
baru ditawarkan orang.
5. Bekerja keras
Amun handak mamakan sagu jangan kulir mambalah batang rumbia (Ganie, 2007),
jika mau memakan sagu, jangan malas membelah batang rumbia. Mamang papadah ini berisi
nasihat jika kita ingin hidup nyaman (makan enak) maka kita harus bekerja keras mencari
uang (membelah batang rumbia).
Bacari bahampas bapangkung (Ganie, 2007), mencari nafkah dengan cara
menghempas dan memukul tubuh. Paribasa ini merupakan pujian untuk seseorang yang suka
bekerja keras (pekerja keras), sekaligus juga berisi nasihat agar kita selalu bekerja keras agar
tidak kelaparan. Bahampas bapangkung (hempas dan pukul) melambangkan bagaimana
kerasnya orang bekerja mencari nafkah.
Canggih, cangkal wan gigih (Ganie, 2006), rajin dan gigih. Paribasa ini merupakan
pujian untuk seseorang yang memiliki etos kerja yang tinggi, yakni : rajin dan gigih.
Gagang pangayuh basah tarus (Ganie, 2007), gagang pengayuh senantiasa basah
karena sepanjang hari selalu difungsikan sebagaimana mestinya. Paribasa ini merupakan
pujian untuk seseorang yang ulet bekerja mencari nafkah untuk keluarganya.
6. Memiliki rasa ingin tahu yang tinggi
Contoh Cucubaan kaya maulah sambal (Ganie, 2007), coba-coba seperti orang
membuat sambal. Paumpamaan ini merupakan nasihat agar kita jangan takut mencoba hal-
hal yang baru bagi kita. Jangan takut berspekulasi karena jika gagal risikonya juga tidak terlalu
fatal.
2.3 Pendidikan Karakter yang Berkaitan dengan Sesama Manusia.
Pendidikan karakter yang berkaitan dengan sesama manusia, meliputi:
1.Membela hak dan memenuhi kewajiban diri sendiri
Contoh:
Baduduk sadang badiri sadang (Ganie, 2007), duduk cocok, berdiri cocok juga.
Mamang papadah ini berisi nasihat agar kita selalu pandai menyesuaikan diri dalam pergaulan
di tengah-tengah masyarakat. Lebih-lebih jika kita berstatus sebagai seorang pendatang atau
orang baru di lingkungan masyarakat tempat tinggal kita. Dalam hal ini bersikaplah arif, yakni
jangan terlalu meninggikan diri (berdiri terlalu tinggi) dan jangan pula terlalu merendahkan diri
(duduk terlalu rendah).

Tajuddin Noor Ganie


168
2. Menghormati hak dan kewajiban orang lain
Contoh Baduduk sama randah badiri sama tinggi (Ganie, 2007), duduk sama rendah
berdiri sama tinggi. Kiasan ini merupakan ungkapan untuk menggambarkan bahwa manusia
di muka bumi pada dasarnya setingkat sederajat, tidak ada yang lebih rendah dan tidak ada
yang lebih tinggi.
Hak mata (Ganie, 2007), hak mata. Paribasa ini merupakan ungkapan untuk
menggambarkan adanya hak orang lain yang menjadi saksi terjadinya jual beli. Paribasa ini
popuer di kalangan para makelar jual beli intan mentah di lokasi pendulangan intan (bahasa
Banjar : pambulantikan intan).
Hati-hati jangan sampai tamakan titik paluh kawan (Ganie, 2007), hati-hati jangan
sampai termakan titik keringat teman. Papadah ini merupakan nasihat agar kita selalu berhati-
hati jangan sampai mengambil untung dari hasil jerih-payah teman sekerja.
Jangan baigal di pahumaan urang (Ganie, 2007), jangan menari di sawah milik orang.
Papadah ini berisi nasihat agar kita jangan sampai berbuat aniaya atau berbuat zalim kepada
orang lain.
Jangan manajak bandira di kampung urang (Ganie, 2006), jangan memasang bendera
di kampung orang. Papadah ini merupakan nasihat agar kita jangan memaksakan diri menanam
kharisma kekuasaan di kampung orang. Bandira (bendera) melambangkan kekuasaan.
Jangan manajak las di kampung urang (Ganie, 2007), jangan memasang kartu truf di
kampung urang. Papadah ini merupakan nasihat agar kita jangan memaksakan diri menanam
kharisma kekuasaan di kampung orang.
3. Berguna bagi orang lain
Jangan jadi bilungka bungkuk, umpat kada manambahi, kada umpat kada mangurangi,
(Ganie, 2007), jangan menjadi mentimun bongkok, ikut tidak menambah, tidak ikut tidak
mengurang. Papadah ini merupakan nasihat agar kita jangan menjadi orang yang tidak
berguna.Tidak masuk hitungan karena memang tidak mempunyai keahlian apa-apa sehingga
tidak dapat dimanfaatkan sebagaimana mestinya.
4. Berkata-kata dan berperilaku santun terhadap orang lain
Ampar lapik tilam bagandir, apik-apik kalu bapandir (Ganie, 2007), hati-hati
menghampar alas tilam bersulam, hati-hati jika bicara mengulas kata bersulam. Gurindam ini
merupakan nasihat agar kita selalu berhati-hati dalam berbicara, karena salah bicara sangat
besar risikonya.
Amun bapandir jangan kada baapik (Ganie, 2007), jika berbicara harus hati-hati.
Papadah ini berisi nasihat agar kita selalu berhati-hati dalam berbicara. Jangan sampai
membuat orang lain tersinggung sehingga membuatnya marah.
Amun bapandir jangan kada balapik (Ganie, 2007), jika bicara jangan sampai tak
beralas. Papadah ini berisi nasihat agar kita hendaknya selalu berhati-hati dalam berkata-kata.
Sedapat mungkin hindari penggunaan kata-kata yang langsung menusuk perasaan orang,
gunakanlah kata-kata yang dengan halusnya dapat menyentuh perasaan orang.

Tajuddin Noor Ganie


169
Amun bapandir lamah limambut, batu gin lamah, apa lagi hati manusia (Ganie, 2007),
jika kita berbicara lemah lembut, jangan kata hati manusia, batu saja akan tersentuh
mendengarnya. Mamang papadah ini berisi nasihat agar kita selalu berbicara dengan lemah
lembut, karena gaya bicara seperti ini lebih mengena (komunikatif) dibandingkan dengan gaya
bicara yang meledak-ledak (emosional).
Jangan bapandir amun kada jadi baras (Ganie, 2007), jangan bicara jika tidak
menghasilkan beras. Papadah ini merupakan nasihat agar kita jangan mengerjakan perbuatan
yang sia-sia.
5. Patuh dan taat pada aturan sosial
Hadangan urang jangan dilamaki (Ganie, 2007), kerbau orang jangan dibuat gemuk.
Papadah ini merupakan nasihat untuk seseorang agar jangan mau capek-capek bekerja
(sebagai buruh pencari rumput), jika yang memetik hasilnya nanti bukan kita sendiri tetapi
justru orang lain (majikan pemilik kerbau). Tapi, bisa juga merupakan nasihat agar kita jangan
menjadi seseorang pria hidung belang yang berselingkuh dengan istri orang (apa lagi jika
perselingkuhan itu sampai membuat istri orang yang diselingkuhi menjadi hamil atau bertambah
gemuk karenanya).
Hati-hati jangan sampai tamakan sumpah (Ganie, 2007), hati-hati jangan sampai
termakan sumpah. Papadah ini merupakan nasihat agar kita jangan mengangkat sumpah
palsu atau melanggar sumpah yang telah kita ucapkan.
2.4. Pendidikan Karakter yang Berkaitan dengan Lingkungan.
Pendidikan karakter yang berkaitan dengan lingkungan adalah memiliki kepedulian
sosial.
Contoh:
Amun ada sama dimakan, amun kadada sama ditahan (Ganie, 2007), jika ada makanan,
kita makan bersama, jika tak ada makanan kita lapar bersama. Mamang papadah ini berisi
nasihat agar kita selau mengutamakan kesetia-kawanan, jangan serakah, jika keserakahan itu
membuat diri sendiri kekenyangan, tetapi orang lain menjadi kelaparan karenanya. Lapar
bersama-sama, lebih nikmat dari pada kenyang sendiri.
Amun manurutakan hati, mati. Amun manurutakan rasa, binasa (Ganie, 2007), jika
memperturutkan hati, mati. Jika memperturutkan rasa, binasa. Mamang papadah ini merupakan
nasihat agar kita jangan bersikap asosial atau terlalu memperturutkan keinginan pribadi (hati
dan rasa), bersikaplah toleran dengan kepentingan orang lain agar tidak terjadi konflik
kepentingan dengan mereka.
Dapat sama bahujung, lapas sama balucung (Ganie, 2007), dapat sama berlaba,
lepas sama merugi. Mamang papadah ini merupakan nasihat bahwa jika kita berkongsi maka
untung rugi harus dibagi rata.
Jangan buta tuli (Ganie, 2007), jangan buta tuli. Papadah ini merupakan nasihat agar
kita jang bersikap acuh tak acuh, tidak mau ambil peduli, atau tidak mau ambil pusing dengan

Tajuddin Noor Ganie


170
keadaan yang terjadi di sekeliling kita (karena secara sosial kita sudah seharusnya
mempedulikannya atau memperhatikannya).

DAFTAR PUSTAKA
Danandjaja, James. 1994. Folklor Indonesia. ilmu gosip, dongeng dan lain lain. Jakarta : Penerbit
Grafiti Pers. Cetakan I.
Effendi, Rustam; Hapip, Abdul Jebbar; dan Durasid, Durdje. 1994. Ungkapan dan Peribahasa
Banjar. Penerbit Proyek Penelitian Bahasa dan Sastra Indonesia dan Daerah
Kalimantan Selatan. Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa Departemen
Pendidikan dan Kebudayaan. Cetakan I
Hapip, Abdul Jebbar. 2001. Kamus Banjar Indonesia. Banjarmasin: Grafika Wangi Kalimantan.
Cetakan Ulang Edisi III.
Makkie, Ahmad dan Seman, Syamsiar. 1996. Peribahasa dan Ungkapan Tradisional Bahasa
Banjar. Jilid I A-J. Banjarmasin : Penerbit Dewan Kesenian Daerah Kalimantan Selatan.
Cetakan I.
Makkie, Ahmad dan Seman, Syamsiar. 1998. Peribahasa dan Ungkapan Tradisional Bahasa
Banjar. Jilid I K-W. Banjarmasin : Penerbit Dewan Kesenian Daerah Kalimantan
Selatan. Cetakan I.
Maswan dkk, Syukrani. 1984. Ungkapan Tradisional Sebagai Sumber Informasi Kebudayaan
Daerah Kalimantan Selatan. Jakarta : Proyek Inventarisasi dan Dokumentasi
Kebudayaan Daerah. Cetakan I.
Saleh, M. Idwar. 1984. Sejarah Daerah Kalimantan Selatan. Banjarmasin : Proyek Penelitian
dan Pencatatan Kebudayaan Daerah. Kanwil Depdikbud Kalsel. Cetakan I.
Sudikan, Setya Yuwana. 2001. Metode Penelitian Sastra Lisan. Surabaya : Citra Wacana. Cetakan
I.

Tajuddin Noor Ganie


171
Tajuddin Noor Ganie
172
PEER FEEDBACK TO ENHANCE STUDENTS’ CONFIDENCE AND
WRITING PERFORMANCE, AND ALLEVIATE STUDENTS’ ANXIETY
Titik Rahayu dan Sunoko Setyawan
Universitas Negeri Malang

ABSTRACT
The benefits of peer feedback technique for students’ writing achievement have been highly
acknowledged. It has been proven that peer feedback can significantly enhance students’
confidence, increase students’ motivation, and alleviate students’ anxiety in English writing.
The students of SMAN 2 Klaten class X C in 2012 academic year, based on the reconnaissance
study, conducted in 2012, had high level of anxiety and low level of confidence in English
writing, which affected their overall writing performance. They often experienced some problems
related to the content and organization of a text. Moreover, they felt mortified to ask for comments
or suggestions from either their teacher or their peers. This study was conducted to examine
how peer feedback teaching technique improved the confidence and English writing
performance of the students of SMAN 2 Klaten class X C in academic year of 2012. The
qualitative and quantitative data collected from observation checklist, interview guidelines, and
writing performance tasks seemed to suggest that peer feedback activity successfully enhanced
students’ confidence and motivation in English writing and alleviate students’ anxiety, which
then resulted in the improvement of their writing performance.
Keywords: Peer Feedback, confidence and motivation, students’ writing performance

A. INTRODUCTION
1.1 Background of the research
Teaching English as a foreign language is continuously researched and developed to
find the best way for successful learning. The objective is to improve students’ English
competence dealing with the English language skills (listening, speaking, reading, and writing),
and the English language components (vocabulary, structure or grammar, and pronunciation).
English writing, one of the English language skills, is very urgent for senior high school
students to master. Based on 2013 curriculum, it is mentioned that one of the purposes of
teaching-learning of English in senior high schools is to develop the communicative competency
in both the oral and written forms to gain the level of informational literacy. Therefore, expressing
minds through writing is a must for the students. Moreover, most senior high school graduates
are likely to continue their study to the university level, in which academic writing skill will play an
important role in the success of their study. Being university students, they will eventually be

Titik Rahayu dan Sunoko Setyawan


173
required to write journals, articles, and theses in which an excellent English writing proficiency
is indispensable. Thus, the academic writing skill will determine the success of their study in
the university level. Moreover, upon graduating from their study, they will also need their writing
skills to compose all necessary documents for applying a good job. Besides, the students also
need writing skill when doing personal communication such as e-mails, blogs, and chats.
Thus good writing proficiency is extremely essential for senior high school students.
Writing is one of the most authentic and interactive ways of transferring thoughts and
ideas to others. Graham and Perin (2007:3) assert that writing can be used as a predictor or
indicator of academic success. Writing is the way to express ideas in a legible form. If the
students are excellent at their writing proficiency, they most likely are academically successful.
Olson et al (1982:4) define writing as turning mind inside out. It means that thoughts and ideas
are put into words and the words are written onto paper. They also define writing as
communication that communicates thoughts and ideas to other people. The way of
communicating in writing is different from that in speaking because readers cannot see the
writer and cannot ask questions to clarify their understanding. The readers only see words on
the paper. Then, there are two probabilities in this case. If the writing is clear enough, the
readers will catch its message. Then, if the writing is confusing, the readers will not understand
the message. Those expert statements indicate the importance of English writing proficiency
for senior high school students.
However, though senior high school students technically have been learning English
for at least 5 years, which can be assumed as advanced learners, many of them still have poor
writing proficiency. Based on the preliminary study conducted earlier at SMAN 2 Klaten, the
students still had difficulties in developing and organizing their ideas. They often got stuck in the
middle of their writing process which was likely due to their lack of ideas. In addition, they often
made grammatical mistakes in their writing, such as subject-verb agreements, singular and
plural noun, and tenses. Those problems were most likely due to the fact that the students were
not adequately accustomed to English writing. They rarely spent their time for practicing or
doing writing activities, especially for academic writing. Besides, the students were not well
motivated to write. They often mentioned that writing was an activity requiring a lot of efforts,
finding the ideas, planning, drafting, editing, revising, and each step of writing required a lot of
thoughts and time. Moreover, the students also lacked of confidence in showing the final result
of their writings to the teachers or peers to get comments and suggestions. They often felt that
their writing still needed a lot of improvement, but at the same time they also felt reluctant to ask
for other people’s ideas. This situation made the writing activity less rewarding for the students,
which eventually lowered their motivation and confidence in writing. Richards and Renandya
(2002:303) consider writing as the most difficult skill for L2 learners to master because it involves
highly complex skills, such as generating and organizing the ideas, grammatical structure,
word choice, and punctuation. Therefore, English writing teachers should be able to find a
teaching technique which can enhance students’ confidence and motivation in writing, and
develop students’ English writing proficiency.

Titik Rahayu dan Sunoko Setyawan


174
Considering the problems the students of SMAN 2 Klaten encountered in writing, the
researcher proposes one of the teaching techniques that the English teachers can use in
English writing class, peer feedback. Richards and Renandya (2002:351) mention that there
are three kinds of feedback classified by the source of the feedback; self feedback, peer feedback,
and teacher feedback. Harmer (2004:99) states that feedback encompasses not only correcting
the students but also offering them an assessment of how well they have done, whether during
drilling activity or after a long period of exercise. He further mentions that peer feedback is any
comment or response from peers, and it is considered as an essential element in the writing
process.
Richards and Schmidt (2002:390) states that peer feedback is an activity in the revising
stage of writing in which students receive feedback about their writing from other students (their
peers). Keh (in Shing & Joe, 1993) states that there are some similar terms referring to peer
feedback, i.e. peer review, peer response, peer evaluation, and peer-editing. Brown (2001:353)
defines peer-editing as a true sharing process which happens in the two-way feedback that
makes students become not only better writers but also better readers. He further says that peer-
editing can take place in groups, in which each student reads their peers’ writing and gives
comments to one another. After that, they may revise their writing by considering some ideas
from their peers.
According to Nation (2009:143), peer feedback is an activity done in pairs or small
groups which involves learners to give helpful comments. This feedback allows students to
work collaboratively in order to edit and revise their writing. In addition, the students can get
feedback both from teachers and from their peers. This activity increases the number of people
who read and analyze their writing. Knowing that their pieces of writing are reviewed by many
people, including the teacher, is so rewarding for the student writers. It may then increase their
motivation and enhance positive attitudes toward writing in English. Moreover, peer feedback
can encourage students to work collaboratively that help them develop ideas (Harmer, 2004:
115). The collaborative work in peer feedback can increase students’ confidence in writing.
Besides, it also increases the interaction not only among students, but also between the teacher-
students. Those make writing activities interesting.
There are several reasons the researcher would like to conduct a research relating to
peer feedback activity and writing proficiency. Firstly, peer feedback can promote students’
autonomous or self-regulatory learning. Since the students are aware that the result of their
writing will be reviewed by both their peers and their teachers, the student writers will put more
efforts in producing the best writing as possible. Therefore, it may boost up their motivation and
trigger their monitor to work more intensively. The monitor is the part of the learners’ internal
system which is responsible for their conscious linguistic processing (Dulay et al., 1982:58).
The monitor processing will then make sure that the linguistic features, such as the sentence
structure, diction, and organization, of their writing will be paid much attention.
Secondly, peer feedback technique provides the students with the opportunity to be
able to review others’ writing work. This can train them to critically evaluate others’ works and

Titik Rahayu dan Sunoko Setyawan


175
develop their critical thinking skills. The skills of being able to critically evaluate someone’s
writing, the ability to look at a classmate’s writing and then to provide effective feedback, is a very
necessary skill for quality writing and academic success. Developing critical evaluation skill
may also help students effectively review texts and see logical gaps, problems with organization
and other defects that may weaken the arguments on the paper in a global level (Ferris, 2003).
Thirdly, many researchers found that peer feedback was effective to increase students’ writing
performance. Lundstorm et al. (2008) found that peer feedback can increase students’ critical
thinking skills which then improve their overall writing performance. Moreover, Kamimura (2006)
investigates the effect of peer feedback on the writing performance. His findings show that peer
feedback has a positive effect on students writing performance and it brings significant
improvements on the revisions produced by the students. .In addition, peer feedback has an
important role for students compared with teachers’ comment. In the research of Lin and Chin
(2009), most students agree peer feedback has its effectiveness and should be taken into
consideration when teachers design their curricula in writing courses. Kurt and Atay (2007), find
that students who did peer feedback have a lower level of anxiety than the students who did not.
Then, they benefited from the peer feedback process as their peers told the mistakes that they
were not aware of and gave them opinions and suggestions. They also felt free and confident in
discussing their point of view in peer feedback.
1.2 Problems of the research
Based on the background of the research, the problem to be discussed in this research
is formulated as follows:
a. How can peer feedback technique improve students’ writing proficiency?
b. How can peer feedback technique enhance students’ confidence and motivation
and alleviate students’ anxiety in English writing?
1.3 Objective of the research
Considering the problem of the research, this study aims at:
a. Improving the writing proficiency of the students of SMAN 2 Klaten through the
implementation of peer feedback technique.
b. Enhancing students’ confidence and motivation and alleviating their anxiety in English
writing.
1.4 Significance of the research
The results of this research are expected to give significant contributions to the following
persons.
a.The English teachers
The results of this research are expected to be useful for the English teacher as a
consideration to teach English writing in employing peer feedback technique in
order that the classroom activity becomes more interesting, challenging, and
motivating to improve the students’ writing performance.

Titik Rahayu dan Sunoko Setyawan


176
b. The students
The results of this research are expected to be useful for the students to improve
their writing performance through peer feedback activity.
c The future researchers
The results of this research may be useful for other researchers who are interested
in peer feedback technique. It can be used as a reference and source of information
to conduct a further research with the same or different research design in other
schools to develop the quality of the teaching learning process on different kinds of
writing genres, such as, a classroom action research to improve the students’
writing performance.

II. RESEARCH METHOD


2.1 Research design
The research employed classroom action research. “Action research is a form of
enquiry that enables practitioners everywhere to investigate and evaluate their work” (McNiff
and Whitehead, 2006:7). In action research, there is an action to solve a problem using strategic
plans, and then there is evaluation that is continued by reflection towards the research to gain a
better result.
2.2 Subjects of the study
This research took 36 students of class X C of SMA N 2 Klaten in the academic year of
2011/2012 as the research subjects. Generally, the students did not have high confidence and
high motivation in writing. Moreover, their writing skills were low especially in generating ideas,
using grammatical features, and organizing texts.
2.3 Instruments of the study
The instruments for collecting the data were questionnaires, observation checklists, interview
guidelines, and writing tasks. The data are in the forms of field notes, interview transcripts, and
students’ writing scores.
2.4 Data analysis
To know significances of the process mainly in the implementation of the action, the
researcher used qualitative data supported with quantitative data. To analyze qualitative data,
the researcher did three steps. They are data reduction, data display, and conclusion drawing
(Miles and Huberman, 1994: 10). Firstly, the researcher selected, focused, simplified and
transformed the data in the form of field notes, interview transcripts, observation checklists,
questionnaires and students’ work. Secondly, the researcher organized and compressed the
data to lead to conclusions. Thirdly, the researcher drew conclusions from the data display. In
addition, in the analysis of quantitative data, the researcher converted the students’ scores into
six interpretations: excellent, very good, good, fair, poor and very poor.

Titik Rahayu dan Sunoko Setyawan


177
2.5 Procedures of the study
As mentioned previously, this research has four stages as suggested by McNiff and
Whitehead (2002) that are reconnaissance, planning, action and observation, and reflection.
a. Thematic concern-reconnaissance
The researcher did the reconnaissance step to find the crucial factors and problems
related to students’ writing. To achieve the aim, the researcher did an observation,
administered questionnaires, and conducted interviews about the teaching and
learning process of writing in SMA N 2 Klaten. Based on the data found in the
reconnaissance, the researcher formulated the problems which existed in the
teaching-learning process of writing relating to developing ideas, grammatical
features, and organization as well as students’ confidence and motivation.
b. Planning
In this stage, the researcher found out a strategic plan, peer feedback, to solve the
problems related to students’ writing abilities that were found in the reconnaissance
step. The research was conducted in three cycles. In the first cycle, the researcher
used brainstorming, think-pair-share, free writing, group works, and peer feedback
to help students generate ideas and increase students’ confidence in writing. The
activity was conducted in two meetings. In the second cycle, the same activities
were employed for two meetings, but the focus was to solve students’ difficulties in
linguistic features. In the third cycle, there were two meetings and the aim was to
help students organize sentences into good paragraphs. To solve the focused
problem, students were given some tasks related to making organized paragraphs.
c. Action and observation
In this stage, the researcher conducted actions by implementing the strategic plans.
During the cycles, the researcher obtained data in the form of field notes, and
interview transcripts.
d. Reflection
In this stage, the researcher and the English teacher did reflection after implementing
each cycle of the actions. Reflection was done based on the data that were obtained
during the actions including interview transcripts, field notes, observation checklists,
and the students’ writing performance.
2.6 Findings and discussion
The following findings are based on the results of the qualitative data obtained from
interviews and observation, and the quantitative data, the students’ writing performance, obtained
from writing tasks. Based on the results of the observation, the researcher classified the results
into two main points comprised of improvement and weaknesses.
In Cycle 1, the improvement was in relation to students’ writing confidence and also
students’ motivation in participating in the teaching-learning process. By applying think-pair-

Titik Rahayu dan Sunoko Setyawan


178
share, free writing, and peer feedback activities, the students were more confident to write, as
indicated in the field note results.
Students were busy to revise their own draft. They looked very confident about their
writing.
Another improvement was on the students’ writing skill. By applying think-pair-share
and peer feedback activities, the students were assisted in generating their ideas. The
improvement in generating ideas can be seen from the following data.
R : “Trus tadi menulisnya ada kesuliatan apa nggak?”
(“Did you have any difficulty in writing your text?”)
Ss : “Tidak ada mbak. Tidak ada yang sulit. Lumayan terbantu tadi,
mengembangkan idenya juga gampang soalnya tadi ada kayak interview-interview
berpasangan juga.” (S33)
(“No. It is easy to develop ideas because there was a pair work for interviews.”)
However, the weaknesses were also found in Cycle 1. Those were related to the
grammatical features. It can be seen from the following interview transcript.
R :”Terus kalo tadi nulisnya ada kesulitan apa ngga?”
(“Then, did you have any difficulty when you wrote your text?”)
Ss : “Kalo nulisnya biasanya suka apa ya,,mmm penggunaan tensesnya, emang
susah, vocab juga masih suka buka kamus.” (S10)
(“If I write mmmm,,,,using tenses is difficult. I also open dictionary to check vocabulary.”)
Ss : “Kalo aku kadang tensesnya kebalik-balik.” (S12)
(“I am confused in using tenses.”)
Ss : “Tensesnya kurang, mbak.” (S21)
(“Tenses, Miss”.)

Figure 1 A sample of student’s writing

Titik Rahayu dan Sunoko Setyawan


179
The sample of student’s writing (Figure 1) shows that students could write a clear
identification of the topic followed with supporting details. For instances, in the second paragraph,
they described the physical features of their idol in four sentences and the personality of their
idol in four sentences. However, they made errors in language use and mechanics, such as
determiners and spelling. Furthermore, the description of the students’ writing performance in
Cycle 1 can be seen in the following chart which presents the mean score of five aspects in
writing that are content, organization, vocabulary, language use, and mechanics.
Figure 2 The mean scores of Cycle 1

The chart shows that the mean score of each aspect is 3.03 for content, 3.78 for
organization, 3.26 for vocabulary, 2.6 for language use, and 2.82 for mechanics. Because the
mean scores of language use and mechanics were under 3.00, therefore Cycle 2 was conducted
to improve those aspects.
In Cycle 2, the application of peer feedback increased students’ confidence in revising
their draft as well as students’ motivation in class participation. Moreover, the improvement was
in grammatical features. It can be seen on the following data.
R : “Peer feedback tadi membantu nggak?”
(“Did peer feedback help you?”)
Ss : “Membantu. Karena tau kesalahan grammarnya.”
(“Yes, because I knew about my grammatical mistakes.”)
R : “Trus kemampuan writing kamu ada peningkatan nggak?”
(“Then, does your writing skill improve?”)
Ss : “Ya bisa dibilang iya.”
(“Yes, of course.”)
R :”Di bagian apa?”
(“In which part?”)
Ss : “Grammarnya lumayan meningkat mbak, terus mechanics-nya juga.”
(“The grammatical features improve, and the mechanics, too.”)

Titik Rahayu dan Sunoko Setyawan


180
In this cycle, they did better on grammatical features than they did in Cycle 1. They
knew their errors in language use through peer feedback. This influences the quality of their
revisions in the revising stage shown by the decrease of grammatical errors. The students’
writing improvement can be seen in Figure 3.
Figure 3 A sample of student’s writing

However, they still had difficulties in text organization. The indication of the problem
was from the mean score of organization. In the previous meeting, the mean score of organization
was 3.77, but in the next meeting, the organization decreased in 3.16. Besides, another indication
can be seen from the following data.
R : “Kesulitannya apa saja?”
(“What’s your difficulty”)
Ss : “Cukup banyak. Di bagian organization, Miss.”
(“Quite a lot, especially in organization, Miss.”)
Furthermore, the complete mean scores of Cycle 2 can be seen in the following chart.

Titik Rahayu dan Sunoko Setyawan


181
Figure 4 The mean scores of Cycle 2

In Cycle 3, the findings show improvements on students’ writing skills in the aspects of
ideas generation, grammatical features mastery, and paragraph organization. From the sample
of students’ writing (Figure 5), it can be seen that students only had few errors on their writing
related to grammatical features. They could write the identification and also the description of
the object in three paragraphs.
Furthermore, the result of the students’ writing score is presented in the Figure 6. The
chart shows that the mean score of each aspect is 3.47 for content, 3.77 for organization, 3.86
for vocabulary, 2.97 for language use, and 3.39 for mechanics. As the result of the better
improvements of students in writing skills, the researcher decided to stop the cycle.
Figure 5 A sample of students’ writing

Titik Rahayu dan Sunoko Setyawan


182
Figure 6 The mean scores of Cycle 3

As the final reflection, the researcher concluded that using peer feedback in teaching
writing was an effective activity to improve students’ writing skills. Thus, the researcher decided
to stop the cycle since the result of the last cycle had shown a good improvement of students’
writing skills. It can be seen from the qualitative data and the quantitative data which are elaborated
below.
1. Qualitative Data
Qualitative data sources used by the researcher were observation in the form of field
notes, interview transcripts, and sample of students’ work. Those data sources gave the
significant results of this research.
Based on the observation and interviews in the reconnaissance step, the students
were not confident to write because they did not master vocabulary, ideas generation, and
grammatical features well. To solve the students’ problem, the teacher and the researcher
made a strategic plan. The plan was by applying activities using peer feedback and also
applying free writing by which they could experience the writing process in the classroom
including planning, drafting, editing, and a final draft. Eventually, after the actions, students were
confident to write.
Furthermore, before the actions were given, the students had difficulties in writing.
Their difficulties were in generating ideas, organizing sentences, vocabulary, grammatical
features, and mechanics. To solve the problems, the researcher and the English teacher made
a strategic plan by using peer feedback. After the actions, they got significant improvements in
those aspects. The improvements of students’ writing skills are supported by the quantitative
data.
2. Quantitative Data
The quantitative data were acquired from the gain score of the five aspects which are content,
organization, vocabulary, language use, and mechanics. The five aspects are converted into
six ranges that are “excellent”, “very good”, “good”, “fair”, “poor”, and “very poor”. The conversion
is presented on the table below.

Titik Rahayu dan Sunoko Setyawan


183
Table 2 The conversion table analysis of students’ scores

F req u en c y
No C las s In terv al C ateg o riz atio n
C y c le 1 C y c le 2 C y c le 3
1 17.5 – 19.9 e xce lle nt 5 7 23
2 15.0 – 17.4 ve ry good 21 26 12
3 12.5 – 14.9 good 10 3 0
4 10.0 – 12.4 fa ir 0 0 0
5 7.5 – 9.9 poor 0 0 0
6 5.0 – 7.4 ve ry poor 0 0 0

From the conversion table above, it can be interpreted that in Cycle 1, few students are
in the “excellent” categorization and some students are in the “good” categorization. Then,
most students are in the “very good” categorization. In Cycle 2, the frequency of categorization is
almost the same as that of Cycle 1 in which the number of students in the “excellent” categorization
increases to be seven, and in the “very good” categorization increases to be 26. Moreover, the
number of students in the “good” categorization decreases to be three. However, in Cycle 3, the
frequency shows significant improvements. There is no student in the “good” categorization.
Most of them are in the “excellent” categorization. There are only twelve students in the “good”
categorization.

III.CONCLUSION
Peer feedback plays a significant role in improving students’ writing in the aspects of
developing ideas, grammatical features, and organization. Besides, it also increases students’
confidence and motivation and alleviates students’ anxiety. Therefore, teachers, in writing
process, should employ peer feedback activity to improve students’ writing performance. In
order to succeed the role of peer feedback, teachers should monitor and control the throughout
activities intensively.

REFERENCES
Brown, H. D. 2001. Teaching by Principles: An interactive Approach to Language Pedagogy,
Second Edition. San Francisco: San Francisco University.
Dulay, H., Burt, M., and Krashen, S. 1982. Language Two. Oxford: Oxford University Press.
Ferris, R. D. (2003). Response to Student Writing: Implications for Second Language Students.
London: Lawrence Erlbaum Associates, Inc.
Graham, S. & Perin, D. 2007. Writing Next: Effective Strategies to Improve Writing of Adolescents
in Middle and High Schools: A Report to Carnegie Corporation of New York. Washington
DC: Alliance for Excellent Education.

Titik Rahayu dan Sunoko Setyawan


184
Harmer, Jeremy. (2004). How to Teach Writing. Harlow: Longman.
Kamimura, T. 2006. Effects of Peer Feedback on EFL Student Writers at Different levels of
English Proficiency: A Japanese Context. TESL Canada Journal, 2 (23), pp. 12-35.
Kurt, G. & Atay, D. 2007. The Effects of Peer Feedback on the Writing Anxiety of Prospective
Turkish Teachers of EFL. Journal of Theory and Practice in Education, 3 (1), pp. 12-
23.
Lin, G. & Chien, P. 2009. An Investigation into Effectiveness of Peer Feedback. Journal Applied
Foreign Language Institute of Technology, 3.
Lundstorm, K & Baker, W. 2008. To Give is Better than to Receive: The Benefits of Peer Review
to the Reviewer’s Own Writing. Journal of second language writing, 18, pp. 30-43.
McNiff, J. & Whitehead, J. 2002. Action Research: Principles and Practice (Second Edition).
London: Routledge Falmer.
Miles, M.B., and Huberman, A.M. 1994. An Expanded Sourcebook: Qualitative Data Analysis
(2nd Ed.). London: Sage Publications.
Olson, C. M., Kirby, R. D., & Hulme D. G. (1982). The Writing Process. Boston: Allyn and Bacon.
Richards, C. J., & Renandya, A. W. 2002. Methodology in Language Teaching: An Anthology of
Current Practice. Cambridge: Cambridge University Press.

Titik Rahayu dan Sunoko Setyawan


185
Titik Rahayu dan Sunoko Setyawan
186
ENGLISH PRESENTATION AS A CHARACTER EDUCATION PROGRAM
IN BUILDING THE STUDENTS’ COURAGE
Wan Yuliyanti
Politeknik Negeri Tanah Laut

ABSTRACT
Kompetensi Ekstra Course is a course which composed the students to have additional
competence in English based on the demand of the stakeholders. The objective of this study
was to develop the instructional materials for Kompetensi Ekstra Course, particularly presentation
in English for the students of National Tanah Laut Higher Vocational Education Institute (Politeknik
Negeri Tanah Laut), Indonesia as a vocational college based on the character education to
build the students’ courage. In this study, the Kompetensi Ekstra Course was still lack of
instructional materials, particularly in presentation. The instruments used in this study consisted
of observation, questionnaire, and guided interview which were distributed to the students,
lecturer, team-teaching as the expert of validation, and the stakeholders as the users of the
graduation students of Politeknik Negeri Tanah Laut. The result of the need analysis showed
that the students were in the need of instructional materials which consisted of Pronunciation,
PowerPoint, and the use of Technical Support relevant to this study and the students’ level of
English proficiency.
Keywords: Kompetensi Ekstra Course, Presentation, Character Education Program, Courage

I. INTRODUCTION
1.1 Background of The Study
Indonesia is one of the countries that apply character education in the curriculum for
all level of education, included university level, such as National State Politechnics of Tanah
Laut (Politeknik Negeri Tanah Laut).
Politeknik Negeri Tanah Laut, has been formed since 2009, is a vocational education
and the only higher educational institute in the district which has many stakeholders of the
industries and companies. These stakeholders require graduates that capable and courageous
in communication, particularly in English as communication skills.
The communication skills, particularly in English presentation, are important for the
students of Politeknik Negeri Tanah Laut. Related to this condition, Politeknik Negeri Tanah Laut
creates a specific course named Kompetensi Ektra, which consists all of the materials about
presentation, particularly in English. One of the main purposes of teaching English is to enable

Wan Yuliyanti
187
students to communicate in English. In other words, one of the fundamental objectives of teaching
English, especially in university level, is to develop the student’s courage of communication skills
through instructional materials which are compiled as a textbook. Whether the materials of
presentation consist of English pronunciation, apply PowerPoint while presentation, or using the
LCD Projector and wireless presenter/laser pointer in creating presentations. This is the reason,
which makes the lecturers of Kompetensi Ektra course should develop instructional materials as
a textbook for the students. Certainly, in developing the instructional materials the lecturers also
should imply the character education in learning process that suitable for the students.
The students who have courage to communicate, particularly in English, generally
have good communication skills. Somehow, they are in connection with the developing of
instructional materials and the way how the instructors deliver the knowledge itself.
The first thing that should be considered in developing the instructional materials is
the material selection. A significant feature of effective material is providing alternatives for
teachers and learners in term of learners-tasks, learning styles, presentation techniques, and
expected outcomes [4]. Instructional materials are created for students that contain a set of
learning resources which are arranged systematically and represent a whole of competences
that should be mastered in the learning process [3]. Materials should teach students to learn,
that they should be resource books for ideas and activities for instruction/learning, and that they
should give teachers rationales for what they do based on what they need [6].
The students’ needs can be found out by asking them the questions about themselves
and the language as the need of analysis or also called need assessment. Once identified, the
needs can be stated in term of goals and objectives which, in turn, can serve as the bases for
developing tests, materials, teaching activity and evaluation strategies. The purpose is to fill the
“gap” of what a language program “lacks” [1].
How to Build the Students’ Courage Based on Their Character?
According to explanation above and as the US Department of Education [9] made a list
of characteristics to be a responsible citizen: Compassion, Honesty and fairness, Good judgment,
Respect for others, Self-respect, Courage, Responsibility, Citizenship and patriotism, the lecturers
should imply all or one of the into their learning process. In this study, the writer selects courage
as the character education, although for a presentation in English needs more good character,
such as confidence, responsibility, respect, discipline, etc. Through courage, makes it easier
for the students creating and presenting their presentation in English and of course, they will be
more responsible, discipline, respect in doing their activities.
Character education is a learning process consists of the way how the teachers teach
the students about good traits that enable students and adults get along smoothly in their
community to understand, care about and act on core ethical values such as respect, justice,
civic virtue and citizenship and responsibility for self and others.
According to Remick (2013), Children are not born with manners just as they are not
born knowing what is right or wrong. It is the responsibility of influential people in their lives to

Wan Yuliyanti
188
teach them how to be respectful and responsible citizens that are can work with others, be
trusted, are fair and are kind [7].
One of the expectations, that the students should be mastered in building their good
character is their courage itself. When students have their courage, it will make them easier
creating and presenting any positive things in their collage activities. And one of them is creating
and presenting a presentation, even if it is in group, as Remick said “Allow opportunities for
students to work as a team” [7] or individually.
Furthermore, Sudrajat (2010) concluded character education as “the deliberate
use of all dimensions of school life to foster optimal character development” [8] and Good
character education is simply good education. It helps solve behavioral problems and improve
academic achievement [2].
As the collage members, the students need to be encouraged to be more courageous
in any ways, particularly in creating and presenting a presentation. In this case, the instructors
should concern on the students’ courage character and how to build their courage character to
be better than before.
1.2 Problem of the Study
From the general observation before the study is conducted, it is figured out the existing
instructional materials of English Presentation Practice for the students of Politeknik Negeri Tanah
Laut, still need to be developed, which is expected to fulfill the students’ needs and interest,
motivate, help, increase students’ competence and courage in presentation, particularly in English.
Based on the background of the study that has just mentioned previously, this study will
try to answer the problem as follows: How to develop the instructional materials based on the
character education and build the students’ courage in presentation, particularly in English?
1.3 Objective of the Study
Concerning to the problem stated above, the objective of this study is to develop the
instructional materials based on the character education and build the students’ courage in
presentation, particularly in English.
1.4 Significance of the Study
The result of the study can give some benefits as follows:
a. Theoretical Significance
The result of this study can give authentic information about how the writer develops
the instructional materials based on the character education and build the students’
courage in presentation, particularly in English for the students of Politeknik Negeri
Tanah Laut.
b. Practical Significance
1) The result of the study can be used as a reference for the English lecturer of
Politeknik Negeri Tanah Laut, who is going to teach Kompetensi Ekstra Course,
particularly presentation in English and build the students’ courage of character
education.

Wan Yuliyanti
189
2) The result of this study can be used as one of source of information for the
students of English Education Study Program who learnt about English materials
development of presentation in English and build the students’ courage of
character education, particularly for vocational college.
3) The result of this study can be used as a source of information for the stakeholders
who would hire the alumni of Politeknik Negeri Tanah Laut.

II. METHODS AND PROCEDURES


2.1 Methods
The data are collected through oral and written methods to find out information needed.
In order to get the sufficient data needed for the study, the instruments such as questionnaires
and interview. The data are classified into:
a. The data collected from the needs assessment,
b. The data given by the expert validation process, and
c. The data gathered during the try-out.
The methods in collecting data can be seen from the following table:
Table 1. Methods in Collecting Data
Types of Content Subject/Respondent
Instrument
data
Stakeholder demand The companies which
toward Kompetensi have signed the MoU
Ekstra teaching with Politeknik Negeri
Interview
material Tanah Laut,
South Kalimantan.

College demand The lecturer of


toward Kompetensi Kompetensi Ekstra
Need Interview
Ekstra teaching Course of Politeknik
Assessment
material Negeri Tanah Laut,
South Kalimantan.

Students’ needs The second year


toward Kompetensi students of Politeknik
Questionnaire
Ekstra teaching Negeri Tanah Laut,
materials South Kalimantan (68
Students)
Team Teaching of
Kompetensi Ekstra
Expert Evaluation
Questionnaire Course of Politeknik
Validation on the draft
Negeri Tanah Laut,
South Kalimantan.
The students and the
The applicability of
lecturer of Kompetensi
the developed
Ekstra Course in
Try-out Interview material from
Politeknik Negeri
students and lecturers
Tanah Laut, South
perceptions
Kalimantan.

Wan Yuliyanti
190
2.2 Procedures
Concerning to the purpose of this study, education research and development (R&D)
was considered as the appropriate design to be applied. Regarding some varieties of models in
developing materials using the R&D approach, the models were basically are the same in goal,
but different in the procedures, depending on such factors as educational system, condition of
lecturers and students, learning situation, etc. There are some stages of procedures in
developing English instructional material [5] as seen on following figure:

Figure 1. The Procedure of the English Presentation


Practice Instructional Material Development

Explanation:
• Needs assessment is conducted in order to obtain information about the target
situation hat was the students. In language program, the needs are the language
related [1].
• The theories about material development and relevant previous study is explores as
the basis for the development.
• The theories that have been studied in the previous stage and the information that
have been gathered would be used as the basis in developing materials.
• Expert validation was a process of evaluating and revision of the developed material.
It needs a person who is considered as an expert in the material development

Wan Yuliyanti
191
would give the evidence whether the developed materials has fulfill the required
criteria that have been set for the purpose of this study or not.
• The revision is done when the data was collected during the expert validation
indicates that the materials that was developed did not fulfill the criteria that was
reflected in the purpose of the study and the data that was collected from the try-out
of the revised materials still indicate difficulties or problem that could be experienced
by the students in their effort achieve the teaching learning objectives that was
stated in each unit of the materials.
• The try-out mainly intended to gather information of the applicability of the materials,
in terms of the level of difficulty, usefulness, effectiveness, and attractiveness of the
material. Thus, this called empirical validation.
• Revision is done on the result of validation and try-out. With such revision, the
instructional material is expected to become more appropriate and applicable for
the students.
• After going through several revisions and adjustments, the development of the
instructional materials in this study results in the final product.

III. RESULT OF STUDY


Through conducting the stages of Methods and Procedures, the result of the
questionnaire for the students can be seen in following tables:
Table 2. Agreement to include the “English Presentation Practice”

Strongly agree Agree Doubtful Not agree Total

43.55 38.71 11.29 6.45 100.00

into Kompetensi Ekstra Course (%)

Table 3. Emphasis of the materials (%)

Item Strongly agree Agree Doubtful Not agree Total


Pronunciation 46.77 38.71 11.29 3.23 100.00
Structure of
Presentation 46.77 43.55 8.07 1.61 100.00
PowerPoint 40.32 51.61 8.07 0.00 100.00
Visual aids 54.84 41.94 3.22 0.00 100.00
Tips of
Presentation 72.58 27.42 0.00 0.00 100.00

Wan Yuliyanti
192
Based on the data above, the writers create a textbook for the students of Tanah Laut
Higher Vocational Education Institute (Politeknik Negeri Tanah Laut), Indonesia as guidance in
creating a presentation, particularly in English Presentation. Furthermore, the students should
do the try-out in creating a presentation and they are scored. The results of try-out are scored as
following table:

Table 4. Try-out Scoring Result (%)

Item (Score) Fair Good Excellent Total


Pronunciation
0.00 36.76 62.24 100
(0 – 20)
Structure of Presentation
11.76 42.65 45.59 100
(0 – 20)
PowerPoint
0.00 27.94 72.06 100
(0 – 20)
Visual aids
0.00 8.82 91.18 100
(0 – 20)
Tips of Presentation
14.70 47.06 38.24 100
(0 – 20)

Note: Fair: < 13; Good: 13 – 15; Excellent: 16 – 20

IV. CLOSING
4.1 Discussion
The purposes of the development of instructional material for the second year students
of Politeknik Negeri Tanah Laut are: (i) to provide activities as a character education that make
the students more courage, confidence and creative in presenting their presentations; (ii) to
build the students’ good character, particularly in courage; (iii) to provide the students with the
topics and tasks that enable them to develop more knowledge, competence and skills in English
presentation; and (iv) to give the students instructional materials which are needed for their
future, particularly after college in order to be hired by the companies which are located in
Tanah Laut regency, South Kalimantan.
As the first positive point of validation identified by the expert, the physical appearance
of the instructional materials was informative, attractive and invites the excitement of the students
to increase their courage. The second point of validation was related to the organization of the
material which organized attractively. The third positive point identified by the expert dealt with
the instructional objectives which were clear, stated clearly and also ordered appropriately.
Connect to the next positive point, which was the topics, which were inline with the students’
needs and interest. Besides, the topics had been relevant to the students’ subject content,
compiled of various kinds of quite up to date based on the character education.

Wan Yuliyanti
193
Dealt with the tasks points, the tasks were appropriate to the given context, communicative,
easier and can be done by the students and then encourage involvement of the students
individually and as a team. On instructions point, the expert of validation identified that the
instructions were clear, appropriate and can be understood by the students. The next point
dealt with coverage of materials which was relevant, appropriate to the students’ needs and
interests, and also represent the aspect of presentation practice skills and able to increase the
students’ courage. Related to content of materials, the content had been clear, appropriate,
logically ordered and relates directly to the objective of the instruction.
While the first negative point of the draft identified by the expert was connected to the
content of materials could hardly understood by the students. The second negative point of the
draft dealt with language identified by the expert was about the language. Some language
aspects on the draft were considered did not match to the students’ level and could hardly
understand by the students. In addition to the previous points, the expert and the team-teaching
as expert of validation also gave some notes and suggestion on the revision of the first draft. As
suggested by the expert, the students should be given more tasks or assignments in pronunciation
and should create more English presentation practice, individually or in a team. Thus, it is better
to make adaptation and addition on the tasks or assignments in order to increase the students’
good character, particularly the courage.
4.2 Conclusion
1. The material was developed based on the needs, interest, motivation and it is
considered to be appropriate and applicable for students of National Tanah Laut
Higher Vocational Education Institute (Politeknik Negeri Tanah Laut), Indonesia in
order to build their good character, particularly the courage.
2. The more the students have opportunity creating presentations and present them,
the more they are encouraged to build their courage as their good character.
4.3 Suggestion
1. Instructional materials of presentation in English should be developed by paying
attention on the result of the assessment of the students’ needs and combined with
the institutional goals and character education to build the students’ courage.
2. It is necessary for the lecturers to be creative in implementing the developed material
in the teaching and learning process through character education to build the
students’ courage.
3. The lecturers should be able to facilitate the students with the atmosphere that
encourage the students to be active in their learning, especially by giving more
practice in pronunciation, more attractive and creative in using PowerPoint and
more flexible in using the LCD Projector and wireless presenter/laser pointer in
creating presentations.
4. For further development of materials, it is also advisable to use it not only in
Kompetensi Ekstra Course but also on another course, particularly in Politeknik
Negeri Tanah Laut.

Wan Yuliyanti
194
5.The companies, who are as the stakeholders should give details criteria and specific
standard to the college about what kinds of presentation that their companies
generally needed in creating and presenting a presentation.

REFERENCES
Alharby, Majid. 2008. ESP Target Situation Needs Analysis: the ENGLISH Language Commu-
nicative needs as Perceived by Health Professionals in the Riyadh Area. A Disserta-
tion: The University of Georgia.
Character Education Partnership (CEP). 2011. What is Character Education? http://
www.character.org/key-topics/what-is-character-education/ (Accessed on 14th May
2014).
Departemen Pendidikan Nasional. 2008. Panduan Pengembangan Bahan Ajar Sekolah
Menengah Atas. Jakarta.
Dubin, Fraida., and Olshtain, Elite. 1986. Course Design. Developing Programs and Materials
for Language Learning. Cambridge: Cambridge University Press.
Hutchinson & Waters. 1991. English for Specific Purposes. A Learning-centered Approach.
New York: Cambridge University Press.
Kitao, Kenji and Kitao. 1997. Selecting and Developing Teaching/Learning Materials the
Internet TESL Journal, vol. IV. No. 4.
Remick, Diana. 2013. Character Education. http://blog.reallygoodstuff.com/character-
education/ (Accessed on 14th May 2014).
Sudrajat, Akhmad. 2010. Apa Pendidikan Karakter itu? http://akhmadsudrajat.wordpress.com/
2010/09/15/konsep-pendidikan-karakter/ (Accessed on 14th May 2014).
US Department of Education. List of Characteristics. http://talkingtreebooks.com/
list_of_characteristics.html (Accessed on 14th May 2014).

Wan Yuliyanti
195
Wan Yuliyanti
196
BAB III
PENDIDIKAN KARAKTER
DAN PENDIDIKAN IPA

Bab III: Pendidikan Karakter Perspektif Ilmu Pendidikan


197
Bab III: Pendidikan Karakter Perspektif Ilmu Pendidikan
198
ENDORSEMENT OF CHARACTER EDUCATION
THROUGH TAXONOMY EDUCATION
Abdul Gafur
Universitas Lambung Mangkurat

ABSTRACT
Taxonomy is a branch of biology that deals with the theory and practice of grouping of living
organisms. It covers different activities, namely the classification (formation of hierarchical
groups), naming of the groups, and identification (placing of individual organisms into existing
groups), with the underlying theories and philosophy. Taxonomy is not only the oldest branch of
biology, but also is the first science naturally learnt by human being in early childhood. Processes
in taxonomy employ objective and subjective thinking, inductive and deductive reasoning,
decision making based on data and speculation, that are carried out either in the laboratory or
in the field. There are values inherent in the taxonomic processes and, consequently, are
potentially endorsable to students through mimicking the works of practicing taxonomists. The
characters are, among others, those related to science, e.g. honesty and precision; moral, e.g.
tolerance and opennes; art and esthetic, e.g. creativity and innovation; and religion, e.g. faith
and gratitude to God. The main prerequisites of an effective taxonomy education are capable
teachers mastering principles of taxonomy as well as biology sylabus focusing more on mastery
of the principles rather than the products of taxonomy.
Keywords: taxonomy, classification, identification, character education

I. INTRODUCTION
On the 14th of January 2010 the Government of Indonesia through the Ministry of
National Education declared the National Movement of Cultural and Character Education. Ever
since, 18 values for cultural and character education have been identified (Hasan et al., 2010).
The instillment of the values are to be carried out by integrating into every course in the curriculum.
Therefore, the distribution of the values in various courses and years has also been released
(Hasan et al., 2010).
In Indonesia science is given as a single integrative subject in primary and secondary
schools (Year 1-9). Therefore, the study of living organisms is taught as a part of science course.
Only later, at senior highschools (Year 10-12) biology is given as a separate subject, beside
physics and chemistry. Then distribution of values in courses and years is given accordingly, under
the heading of science (for Year 1-9) and each of biology, physics, and chemistry (Year 9-12).

Abdul Gafur
199
Regarding the study of living organisms, either as a part of science or as a separate
course biology, one main component taught at schools is the survey of main groups and kinds
of plants, animals, and microbes. The subject is covered by a separate dicipline named biological
taxonomy, or taxonomy for short. As a branch of biology, taxonomy shows characteristics derived
from the characteristics of biology. Additionally, there are also unique characteristics of taxonomy,
which are are reflective of activities and processes involved in taxonomy: classification,
nomenclature, and identification. Inherent in the processes are values that can be instilled on
students as parts of character education through taxonomy.
The present paper attempts to elaborate what taxonomists do in classification,
nomenclature, and identification, and what values involved in each process. It is not meant to be
an exhaustive account of taxonomy. The focus is on the taxonomic processes that can be
carried out or simulated during the teaching-learning process, either in the classroom, laboratory,
or in the field at levels ranging from highschool to early undergraduate. In relation to the type of
taxonomy, emphasis is placed on alpha and beta taxonomy, while gamma taxonomy is only
slightly touched without further elaboration. Therefore, phylogenetics is purposefully passed
up. Details on controversial issues, such as the competing schools of taxonomy, is deliberately
avoided. In the end, with this approach, this paper does not only address the question of what
values can be contributed by taxonomy for character education, but also why.

II. CLASSIFICATION
Taxonomy is classically defined as the theoretical study of classification, including its
bases, principles, procedures, and rules (Simpson, 1961). A more straightforward definition is
that taxonomy is the theory and practice of classifying organisms (Mayr & Ashlock, 1991). So,
taxonomy is basically about the activity or process of classification and the theory underlying the
process. In biological taxonomy the things to be classified are organisms, either extant or
extinct.
Classification in general is the grouping of objects into classes owing to their shared possession
of attributes (Mayr & Ashlock, 1991). So, any ordering of objects into groups are called classification. In
biological taxonomy, biological classification is widely accepted as the grouping and ranking of organisms
based on similarities and/or differences (Simpson, 1961).
Mayr & Ashlock (1991) summarized general rules of classification as follows: (1) items
to be classified are brought together into classes made as homogeneous as possible; (2) an
individual item is included in a class whose members share the greatest number of attributes
with it; (3) if an item is too different to be included in any of the established classes, a new
separate class is assigned for it; and (4) classes of the same level are assembled into higher
level classes forming a hierarchy of nested sets. Correspondingly, regarding biological
classification, taxonomists work in four steps (Mayr, 1969): (1) sorting individuals into phena,
and phena into populations; (2) assigning populations to species; (3) grouping species into
higher taxa; and (4) ranking taxa in a hierarchy of categories.

Abdul Gafur
200
Stuessy (2006) offered five principles of biological classification as follows:
1. Life originated during the past 3.6 billion years;
2. due to evolutionary processes, life forms show natural patterns of relationship to one
another;
3. based on features of organisms, the patterns of relationship are determined, that are
assumed to reflect the evolutionary processes;
4. the patterns of relationship are used to make hierarchical classification; and
5. names are given to the classified groups.
As implementation of these principles, four human activities can be identified:
observations of various life forms, descriptions of the organismic features, ordering of organisms
based on the descriptions, and interpretation of the classification (Stuessy, 2009). From the
above descriptions of classification it is clear that classification is based on inductive reasoning.
As an inductive process, classification always starts with observations or inspections
on a sample of unclassified objects in order to find a pattern of similarities and/or differences
among them. Depending on the nature of the objects, the important features of the objects may
or may not be easily recognizable. Therefore, in doing observations one need to have keen sight
in finding a pattern among the unclassified objects. It is not uncommon that one has to design
or create a method or device to help him carrying out the observations, and this requires
innovation and creativity.
With the wide acceptance of the theory that evolution has occurred, taxonomists agree
that the basis for biological classification must be genealogical relationship among organisms,
that members of a group are similar in the sense that they share a common descent. However,
due to the nature of biological entities, classifications in the same form, with the same purposes,
and based on the same criteria or principles are not unique or uniform (Gilmour, 1951). The
same data and interpretation may lead to equally good classification that nevertheless differ
from person to person and from time to time (Simpson, 1961). In fact, there can not be one ideal
and absolute scheme of classification for any particular set of objects (Gilmour, 1951). Therefore,
“freedom of taxonomic thought and action” is highly regarded in taxonomy.
Taxonomy introduces two fascinating aspects of nature at once: its diversity and
uniqueness of its components on one hand; and the patterned diversity, revealing all sorts of
regularities, on the other hand. Although religion is not the domain of taxonomy, studying and
practicing classification open up opportunities for improving religiousity by raising awareness
of the two aspects of life, how and why they exist. By providing a vivid picture of the existing
organic diversity, taxonomy allow a greater appreciation on the value of biodiversity and, in turn,
the necessity of its conservation (McNeely, 2002). Moreover, since classification is an organized
information, studying and practicing classification allows greater comprehension on the value
of maintained systems and regulations.

Abdul Gafur
201
III. NOMENCLATURE
Classifications serves as the basis of generalizations and as an index to information
storage and retrieval systems (Mayr, 1981). The second function of classification necessitates
that each groups established in classification must be given a name.
Nomenclature is the application of distinctive names to each of the groups recognized in
classification. There are separate rules of nomenclature in zoology (Ride et al., 1999), in botany
(McNeill et al., 2012), and in microbiology (Lapage et al., 1992). Despite differences in various details,
all include the following elements: the binominal system (naming of species by two words treated as
Latin); a law of priority (the first validly published and validly binominal name for a given taxon is the
correct one); uniqueness (recognition that a valid binomen can apply to only one taxon); that if
taxonomic opinion about the status of a taxon is changed, the valid name can change also; and that
the exact sense in which a name is used be determined by reference to a type.
The separation of rules of nomenclature for animals, plants, and bacteria indicates
that no universal agreement currently exists regarding nomenclatural system. In fact, there will
never be a “perfect nomenclature” in biology, as a static, unidimensional system of taxa and
nomina will never be able to capture or represent the complexity of evolutionary phenomena
(Dubois, 2011). However, in case of nomenclatural problems, cases can be submitted to the
corresponding judicial body, e.g. International Commission on Zoological Nomenclature for
animals, for a decision that will be followed by a vast majority of practicing taxonomists worldwide.
Like many other sciences, taxonomy is basically a combination of a science and an art. However,
nomenclature is completely an art, not science (Dubois, 2011) because it is only a human
contrivance and corresponds with nothing in nature even though it is applied to scientific
interpretation of things existing in nature (Simpson, 1961). The author of a newly described
taxon can freely choose any two words to make a name for his taxon.

IV. IDENTIFICATION
A process closely related to, but fundametally different from classification is identification.
While classification orders a diversity of items into groups based on inductive reasoning,
identification is a deductive process of placing an unidentified object in one of these groups.
Needless to say, identification can not be made unless there is already classification of like objects
with which an unidentified object can be compared (Pankhurst, 1978). Because the groups
formed by classification are always given names, in biology, identification usually means finding
the names for a specimen of organism, and the specimen is usually assigned to a species.
Identification normally starts with descriptions of a given sets of groups (taxa) in hand.
The descriptions may be assembled into an identification scheme. The identification scheme
may be a dichotomic or polytomic key, which consists of a set of descriptions of the features of
each group covered and its subordinates. Whether or not the descriptions are organized into a
key, in carrying out identification, one is required to have a good understanding of all descriptions
of features of the groups and to carefully determine whether or not the investigated specimen fits
the descriptions character by character. When a specimen fits the descriptions of one existing

Abdul Gafur
202
group, it is decided that it belongs to the group, then it is concluded that the specimen has been
identified and its name has been found.
Unlike classification which deals with and evaluates a multitide of features (characters),
even ideally all of them, identification deals with only a few features (ideally one) (Mayr, 1969) that
can be observed with ease (Pankhurst, 1978). Therefore, although identification is a deductive
process, designing an identification scheme is, like classification, based on inductive reasoning.
Furthermore, in biology, identification keys and descriptions of taxa are always based only on
samples of the groups. Because biological samples may not cover the whole range of variation of
the group, there possibly be individual specimen that is not perfectly fit the description and the
identification key. Therefore, in performing identification, one also has to judiciously evaluate the
descriptions and the identification key. When the investigated specimen does not fit the descriptions
of groups or the key, either the specimen does not belong to any of the existing groups or else the
classification, the descriptions, or the identification key have to be revised.

V. CHARACTER EDUCATION THROUGH TAXONOMY


There may be a view that the inherent values in taxonomy do not need to be implanted
to students of taxonomy. In fact, currently practicing taxonomists have never been involved in
any sort of purposefully designed character education in taxonomy. The characters developed
during their training and their practicing of taxonomy.
However, it is only true in real taxonomic situation, during years of training for young
taxonomists. Real taxonomic training can only be be given to university students, ranging from
undergraduate to graduate and postgraduate levels. At schools, the real taxonomic situation
may not be possible. So, what can be done is only a simulation of what taxonomists do. Needless
to say, the best result may not be obtained. However, with carefully designed teaching learning
process optimal results may expectedly be prevailed.
AsdescribedbyMayrandAshlock(1991),therearetwodifferentaspectsoftheteachingofbiodiversity:
1. The teaching of taxonomy defined as teaching of proposed classifications of animals,
plants, and microorganisms; the reconstruction of phylogeny; and the methods of
identifying specimens;
2. The study of biological diversity in all its aspects.
Clearly, in Indonesian schools, and even universities, emphasis has usually been placed
on the description and survey of the major types of organisms. While this is not necessarily
unfortunate, the emphasis of teaching does not endorse character education through taxonomy.
As recognizable from above descriptions of classification, nomenclature, and
identification, there are values and virtuous characters inherent in the three processes of
taxonomy. These values and characters can only be transmitted to students by doing or simulating
the processes. Table 1 provides summary of characters involved in taxonomy, which are
potentially endorsable through the teaching of taxonomy at schools and undergrate levels.

Abdul Gafur
203
With the change in emphasis from description and survey to process, allowing instillment of
values and virtuous character, in addition to trainings in methods, the teaching of taxonomy becomes
taxonomy education. This requires a careful development of appropriate teaching plans, supported
by a proper curriculum. Further, this necessitates biology teachers with not only excellent pedagogical
skills, but also a good comprehension of principles of taxonomy. The change in emphasis and
requisites, in turn, must be reflected in the curriculum of biology teacher training.
The shift in emphasis does not mean that teaching of surveys and descriptions is not
needed anymore. In fact, a survey-based teaching allows appreciation of the high complexity
and diversity in life and, at the same time, allows recognition of the patterned and hierarchical
resemblances among the seemingly totally different organisms. This can be easily related to
religiousity which is also important in character education.

Process / Activity / Principle* Characters involved Remarks

Collect materials Hard working, diligent To collect representative sample


Creative To find good sampling method
Curious Towads any peculiarity
Independent
Care of environment Respect to biodiversity
Preserve materials Dicipline Follow standard procedure
Hard working, diligent
Creative Modify procedure if necessary
Responsible To keep materials intact
Independent
Observation and data Honest, objective In recording data
Recording Hard working, diligent
Creative To find and record as many feature as possible
Independent
Curious Towads any peculiarity
Love of reading What has been published before
Thorough, careful**
Sort materials Honest, objective Based on data
Tolerant There may be different opinion on how to sort
Hard working, diligent
Creative Find best way of sorting
Independent
Compare varying units for Tolerant Towards different opinion
similarities & differences Hard working, diligent
Creative
Independent
Friendly/Communicative
Love of reading What has been published before
Thorough, careful**

Abdul Gafur
204
Interpret relationship Honest, objective Based on data
Tolerant
Hard working, diligent
Creative
Independent
Love of reading
Assemble groups of Tolerant
various ranks Hard working, diligent
Creative
Independent
Democratic In making decision on grouping
Select names for groups Tolerant
Creative In finding new good names
Independent
Democratic In making decision on name
Respect to achievements From principle of priority in name publication
Love of reading
Make identification key Tolerant There may be different opinion on steps of key
Creative In finding best order of steps
Independent
Respect to achievements From principle of priority in publication
Responsible To make a good working key
Identify specimen Thorough, careful** In examining specimen
Critical thinking** In evaluating descriptions/key
Responsible To identify correctly
Freedom of taxonomic Tolerant
thought and action Democratic
Respect to achievements Respect what others have done
Love of peace
Love of reading See what others have done
Responsible
High complexity of nature Religious
Curious
Love of reading Reading descriptions and surveys of groups of
organisms
Care of environment
Responsible
Hirarchical/patterned Religious
Resemblances Curious
Love of reading Reading descriptions and surveys of groups of
organisms
Care of environment
Responsible

**

Abdul Gafur
205
*
Only processes or activities that can be carried out or simulated at schools and early
Tableundergraduate listedand
1. List of values herevirtuous characters in taxonomy potentially endorsable
** Not mentioned in 18 characters
throughlisttaxonomy
by Ministry education
of National Education (Hasan et al.,
2010)
VI. CONCLUSIONS
In Indonesian schools the study of biodiversity is always a major part of science and biology
courses. However, emphasis is always placed on descriptions and surveys of major, and some
minor, groups of organisms instead of the process of classification, nomenclature, and identification.
On the other hand, the three processes of taxonomy have inherent values and virtuous characters
that are potentially transmittable to students by simulation.
Therefore, a shift in emphasis is proposed in this paper. Emphasis should now be placed
on the process, instead of the product, of taxonomy. The shift will allow a greater contribution of
taxonomy in particular, and biology in general, to character education. However, this requires capable
science and biology teachers and demands support from appropriate school and teacher training
curricula.

REFERENCES
Dubois. (2011). The International Code of Zoological Nomenclature Must be Drastically Improved
before It Is Too Late. Bionomina 2: 1-104.
Gilmour GSL. (1951). The Development of Taxonomic Theory since 1851. Nature 168: 400-
402.
Hasan SH, Wahab AA, Mulyana Y, Hamka M, Kurniawan, Anas Z, Nurlaili L, Listiyanti M, Jarwadi,
Chatarina M, Waluyo H, Wirantho SA, Paresti S & Ismail AB. (2010). Pengembangan
Pendidikan Budaya dan Karakter Bangsa: Bahan Pelatihan Penguatan Metodologi
Pembelajaran Berdasarkan Nilai-Nilai Budaya untuk Membentuk Daya Saing dan
Karakter Bangsa. Kementerian Pendidikan Nasional, Badan Penelitian dan
Pengembangan, Pusat Kurikulum, Jakarta.
Lapage SP, Sneath PHA, Lessel EF, Skerman VBD, Seeliger HPR & Clark WA, Eds. 1992.
International Code of Nomenclature of Bacteria. Bacteriological Code, 1990 Revision.
ASM Press, Washington DC.
Mayr E. (1969). Principles of Systematic Zoology. Tata McGraw-Hill Publishing Co., New Delhi.
Mayr E. (1981). Biological Classification: Toward a Synthesis of Opposing Methodologies.
Science 214: 510-516.
Mayr E & Ashlock PD. (1991). Principles of Systematic Zoology.Second ed. McGraw-Hill, Inc.,
New York.

Abdul Gafur
206
McNeely JA. (2002). The Role of Taxonomy in Conserving Biodiversity. Journal for Nature
Conservation 10: 145-153.
McNeill J, Barrie FR, Buck WR, Demoulin V, Greuter W, Hawksworth DL, Herendeen PS, Knapp
S, Marhold K, Prado J, Prud’homme Van Reine WF, Smith GF, Wiersema JH & Turland
NJ, Eds. 2012. International Code of Nomenclature for algae, fungi, and plants
(Melbourne Code). Regnum Vegetabile 154. Koeltz Scientific Books.
Pankhurst RJ. (1978). Biological Identification: The Principles and Practice of Identification
Methods in Biology. University Park Press, Baltimore.
Ride WDL, Cogger HG, Dupuis C, Kraus O, Minelli A, Thompson FC & Tubbs PK, Eds. 1999.
International Code of Zoological Nomenclature. Fourth edition., London.
Simpson GG. (1961). Principles of Animal Taxonomy. Oxford & IBH Publishing Co., Calcutta.
Stuessy TF. (2006). Principles and Practice of Plant Taxonomy. Taxonomy and Plant
Conservation. E. Leadlay and S. Jury (Ed.). Cambridge University Press, Cambridge.
Stuessy TF. (2009). Paradigms in Biological Classification (1707-2007): Has Anything Really
Changed? Taxon 58 (1): 68-76.

Abdul Gafur
207
Abdul Gafur
208
PEMBELAJARAN BERBASIS KARAKTER
MELALUI PERMASALAHAN BIOLOGI
Aminuddin Prahatamaputra
Universitas Lambung Mangkurat

ABSTRACT
Character education is a cultivation system behavior values (characters) to the school community
which includes knowledge, awareness or volition, and actions to implement the values of both
the One and Only God, ourselves, others, the environment, or nationality to become man perfect
man (Pemerintah RI, 2010). According Kemendikbud (2012) in the Directorate General of
Secondary Education Strategic Plan 2010-2014 policies to address the problems faced by
middle-class learners concerning the characters, one of which is to instill character education
that integrates the charge of religion, morality, national pride, hygiene care, care for the
environment, and order matter in education. In the biology of learning, learners are encouraged
to learn through active engagement with the skills, concepts, and principles. Teachers
encourage students to gain experience by doing activities that enable them to discover concepts
and principles for themselves. Therefore, the biology should be studied in a way that allows
students to be able to implement the ability to be characterized in the resolution of real problems
encountered in everyday life. Application of biological material in the formation of character,
among others, can be done through the characters in relation to the Almighty God, the character
in relation to ourselves, in conjunction with other characters, the character in relation to the
environment, and character associated with nationality.
Keywords: learning, biology problem, and character.

I. PENDAHULUAN
Pada tahun-tahun terakhir masih banyak kasus pada anak dengan berbagai perilaku
yang menunjukkan kualitas karakter yang rendah seperti kebohongan, licik, egois, dan
melakukan kekerasan kepada teman yang lemah atau yang sekarang familiar dengan istilah
bullying (Zuriah, 2011). Anak-anak tumbuh dan berkembang dalam kehidupan yang diwarnai
oleh pelanggaran terhadap hak orang lain, kekerasan, pemaksaan, ketidakpedulian, kerancuan
antara benar dan salah, baik dan tidak baik, perilaku yang boleh dan tidak boleh dilakukan.
Rendahnya kualitas karakter anak akan membahayakan masa depan anak terutama dalam
era modernisasi sekarang ini, berkenaan dengan kecerdasan kecanggihan teknologi
(Budiningsih, 2008). Akhir-akhir ini, perilaku tidak etis yang dilakukan oleh anak-anak sudah
mengarah pada pornografi dan pornoaksi (Majid dan Andayani, 2011).

Aminuddin Prahatamaputra
209
Sementara itu, dalam arah dan kebijakan serta prioritas pendidikan karakter telah
diterbitkan Permendiknas Nomor 23 Tahun 2006 tentang Standar Kompetensi Lulusan (SKL).
Jika dicermati secara mendalam, sesungguhnya hampir pada setiap rumusan SKL tersebut
secara implisit maupun eksplisit, baik pada SKL SD/MI, SMP/MTs, SMA/MA dan SMK, memuat
substansi karakter atau moral.
Karakter adalah nilai-nilai yang melandasi perilaku manusia berdasarkan norma agama,
kebudayaan, hukum/konstitusi, adat istiadat, dan estetika. Sedangkan pendidikan karakter adalah
upaya yang terencana untuk menjadikan peserta didik mengenal, peduli dan menginternalisasi
nilai-nilai sehingga peserta didik berperilaku sebagai insan kamil. Maka pendidikan karakter
merupakan suatu sistem penanaman nilai-nilai perilaku (karakter) kepada warga sekolah yang
meliputi pengetahuan, kesadaran atau kemauan, dan tindakan untuk melaksanakan nilai-nilai,
baik terhadap Tuhan Yang Maha Esa, diri sendiri, sesama, lingkungan, maupun kebangsaan
sehingga menjadi manusia insan kamil (Pemerintah RI, 2010).
Dalam Renstra Ditjen Dikmen 2010-2014 (Kemendikbud, 2012) kebijakan untuk
menanggulangi berbagai masalah yang dihadapi peserta didik kelas menengah yang
menyangkut karakter, salah satunya adalah menanamkan pendidikan karakter yang
mengintegrasikan muatan agama, budi pekerti, kebanggaan warga negara, peduli kebersihan,
peduli lingkungan, dan peduli ketertiban dalam penyelenggaraan pendidikan. Juga dilakukan
penilaian prestasi keteladanan peserta didik yang mempertimbangkan aspek akhlak mulia
dan karakter berbangsa dan bernegara.
Di dalam pembelajaran biologi, peserta didik didorong untuk belajar melalui keterlibatan
aktif dengan keterampilan-keterampilan, konsep-konsep, dan prinsip-prinsip. Guru mendorong
peserta didik untuk mendapatkan pengalaman dengan melakukan kegiatan yang memungkinkan
mereka menemukan konsep dan prinsip-prinsip untuk diri mereka sendiri. Oleh karena itu, biologi
sebaiknya dipelajari dengan cara-cara sedemikian rupa sehingga memungkinkan bagi siswa
untuk dapat menerapkan kemampuannya secara berkarakter dalam penyelesaian masalah-
masalah nyata yang dijumpai dalam kehidupannya sehari-hari. Namun pada kenyataannya, masih
banyak kasus-kasus yang mengindikasikan rendahnya karakter siswa di negara ini.

II. PENTINGNYA PENDIDIKAN KARAKTER DALAM PEMBELAJARAN IPA-BIOLOGI


Menurut Zaini (2011), hasil survey opini publik tentang pelaksanaan ujian nasional di
Kota Banjarmasin pada bulan Juni tahun 2010 telah dilaksanakan oleh Dewan Riset Daerah
(DRD) Balitbangda Provinsi Kalimantan Selatan. Responden berasal dari berbagai kalangan
berjumlah 384 orang, berkaitan dengan perilaku berkarakter adalah adanya kesenjangan antara
harapan dan kenyataan meliputi:
1. Sekolah berkewajiban mengajarkan akhlak yang baik (SS, 73%), namun
kenyataannya hanya 25%.
2. Sekolah seharusnya mengajarkan kejujuran (SS, 68%) namun kenyataannya hanya 24%.
3. Kepala sekolah dan guru seharusnya menjadi teladan bagi murid-muridnya (SS,
65%) kenyataannya hanya 21%

210 Aminuddin Prahatamaputra


4. Pelaksanaan Ujian Nasional seharusnya dilaksanakan dengan jujur (SS, 59%)
kenyataannya hanya 44%.
Berdasarkan hasil survey di atas dapat dikatakan pendidik belum berbuat secara optimal
dalam menanamkan perilaku berkarakter kepada peserta didik terutama 1) mengajarkan akhlak
yang baik, 2) mengajarkan kejujuran, dan keteladanan, dan 3) kejujuran dalam melaksanakan
UN. Berdasarkan temuan ini perilaku berkarakter guru sendiri perlu mendapat perhatian.
Sementara itu kenyataan di sekolah-sekolah menunjukkan bahwa kegiatan pendidikan
karakter belum berjalan sesuai yang diharapkan. Sebagai gambaran bagaimana kondisi bangsa
yang mengabaikan pentingnya pendidikan karakter sehingga berdampak multi dimensi
ditunjukkan oleh Samani (2012) dalam Tabel 1.1.
Tabel 1.1. Potret Membangun Karakter yang Terabaikan

Rumah Sekolah Masyarakat


Meningkatnya
Pembijaksanaan
pendekatan ? Banyak yang apatis
Usia Tua
spiritual
Pemantapan Tidak saling menghargai
? !
Usia Dewasa Langkanya teladan
Pengembangan Tidak kondusif, orientasi pada
? !
Usia Remaja uang, materi dan duniawi
Banyak
Pembentukan
diserahkan pada ! Tidak kondusif
Usia Dini
pembantu
Negara 2000 2005 2010 2011
Indonesia (Sumber:
85 Samani, 2012).
107 110 111
Malaysia Dampak multi dimensi itu menyebabkan Indeks59Pembangunan Manusia, IPM (Human
50 63 57
Singapura Development27 25
Index, HDI) Indonesia 27 ini selalu27
akhir-akhir berkutat di sekitar 110 dan terendah di
Thailand 63 77 92 94
antara negara-negara pendiri ASEAN, seperti ditunjukkan pada Tabel 1.2.
Filiphina - 90 97 99
Vietnam* Tabel 1.2.
102Indeks Pembangunan
128 Indonesia
115 di antara
116negara ASEAN

*Bukan Negara pendiri ASEAN, walau termasuk anggota ASEAN


Sementara itu berdasarkan analisis hasil PISA 2009, menurut Kemendikbud (2013a)
ditemukan bahwa dari 6 (enam) level kemampuan yang dirumuskan di dalam studi PISA
(Programme for International Student Assessment) hampir semua peserta didik Indonesia hanya
mampu menguasai pelajaran sampai level 3 (tiga) saja, sementara negara lain yang terlibat di
dalam studi ini banyak yang mencapai level 4 (empat), 5 (lima), dan 6 (enam).
Analisis hasil TIMSS (Trends in International Mathematics and Science Study) Tahun
2011 di bidang IPA untuk peserta didik kelas 2 SMP menunjukkan bahwa lebih dari 95% peserta

Aminuddin Prahatamaputra
211
didik di Indonesia hanya mampu mencapai level menengah, sementara hampir 40% peserta
didik Taiwan mampu mencapai level tinggi dan lanjut (advanced). Dengan keyakinan bahwa
manusia diciptakan sama, interpretasi yang dapat disimpulkan dari hasil studi ini, hanya satu,
yaitu yang kita ajarkan berbeda dengan tuntutan zaman (Kemendikbud, 2013a).
Berdasarkan hal di atas, maka dalam proses belajar mengajar biologi hendaknya
guru/pengajar harus bisa membawa peserta didik untuk lebih mengenal tentang segala sifat
dan karakteristik makhluk hidup sebagai ciptaan Tuhan. Dengan demikian kita akan dapat
membangun jati diri kita sebagai guru untuk menerapkan pendidikan biologi berbasis karakter.
Namun bagaimana caranya pendidikan IPA-Biologi dapat diaplikasikan untuk membentuk
karakter siswa?
Pada Kurikulum 2013 mata pelajaran IPA kompetensi inti pertama tertulis “menghayati
dan mengamalkan ajaran agama yang dianutnya”. Pernyataan itu menunjukkan bahwa
pembelajaran IPA-Biologi, harus digunakan sebagai alat untuk menjamin pertumbuhan
keimanan dan ketaqwaan siswa pada Tuhan Yang Maha Esa. Kemudian pada Buku Guru IPA
Kelas VII SMP/MTs (Kemendikbud, 2013) menyatakan: “Sikap (KD pada KI I dan KI II)
dikembangkan melalui pembiasaan dalam pembelajaran IPA dan keteladanan. Sikap-sikap
seperti kejujuran, ketekunan, kemauan untuk bekerja sama, dan lain-lain dikembangkan melalui
pembelajaran IPA. Keteladanan ini merupakan perilaku, sikap guru, tenaga kependidikan, dan
peserta didik dalam memberikan contoh melalui tindakan-tindakan yang baik sehingga
diharapkan menjadi panutan bagi peserta didik lain.”

III. PILAR UTAMA DALAM PENDIDIKAN KARAKTER


1. Pilar keluarga

KARAKTER UTAMA INTERVENSI HABITUASI

Jujur,, Tujuan: Tujuan:


bertanggung-jawab Seluruh anggota keluarga memiliki persepsi, Terbiasanya perilaku yang berkarakter
sikap, dan pola tindak yang sama dalam dalam kehidupan sehari-hari.
pengembangan karakter.
Strategi: Strategi:
Cerdas Orangtua kepada anak: Strategi:Keteladanan orang tua
Penegakan tata tertib dan etika/budi pekerti Penguatan oleh keluarga
dalam keluarga Komunikasi antar anggota keluarga
Sehat dan bersih Penguatan perilaku berkarakter
Pembelajaran kepada anak
Sekolah kepada keluarga:
Peduli dan kreatif Pertemuan orang tua
Kunjungan ke rumah
Buku penghubung
Pelibatan orang tua dalam kegiatan sekolah
Pemerintah terhadap keluarga:
Fasilitasi pemerintah untuk keluarga

212 Aminuddin Prahatamaputra


2. Pilar Sekolah

KARAKTER UTAMA INTERVENSI HABITUASI

Jujur,, Tujuan: Tujuan:


bertanggung-jawab Terbentuknya karakter peserta didik melalui TujuanTerbiasanya perilaku yang
berbagai kegiatan sekolah berkarakter di sekolah
Strategi: Strategi:
Cerdas Sekolah terhadap siswa: Keteladanan KS, Pendidik, tenaga
Intra dan kokurikuler secara terintegrasi kependidikan
pada semua mata pelajaran. Budaya sekolah yang bersih, sehat,
Ekstrakurikuler melalui berbagai kegiatan tertib, disiplin, dan indah
Sehat dan bersih antara lain: KIR, pramuka, kesenian, Menggalakkan kembali berbagai tradisi
olah raga, dokter kecil, PMR. yang membangun karakter seperti: hari
Budaya sekolah dengan menciptakan besar, upacara, piket kelas, ibadah
suasana sekolah yang mencerminkan bersama, doa (perenungan), hormat
Peduli dan kreatif karakter orang tua, hormat guru, hormat bendera,
Pemerintah terhadap sekolah cerita kepahlawanan
Kebijakan
Pedoman
Penguatan
Pelatihan

3. Pilar Masyarakat

KARAKTER UTAMA INTERVENSI HABITUASI

Jujur,, Tujuan: Tujuan:


bertanggung-jawab Terbangunnya kerangka perencanaan, pelaksanaan Terciptanya suasana yang kondusif
dan penilaian pendidikan karakter secara nasional dalam masyarakat yang
Terciptanya suasana kondusif dalam masyarakat mencerminkan pembangunan
yang mencerminkan kepekaa kesadaran kemauan dan karakter secara nasional
Cerdas tanggungjawab untuk membangun karakter utama Tumbuhnya keteladanan dalam
Strategi: masyarakat
Dari pemerintah:
Pengembangan grand design pendidikan karakter Strategi:
Sehat dan bersih Pencanangan nasional pendidikan karakter Keteladan dan penguatan
Pengembangan perangkat pendukung pendidikan dalam kehidupan masyarakat
karakter, al: iklan layanan masyarakat, sajian
multimedia (poster, siaran tv, siaran radio)
Dalam masyarakat:
Pengembangan peranan komite sekolah dalam
pembangunan karakter melalui MBS
Peduli dan kreatif Perintisan berbagai kegiatan kemasyarakatan,
pengabdian kepada masyarakat yg melibatkan
peserta didik
Pelibatan semua komponen bangsa dalam
pendidikan karakter, al: media massa

Aminuddin Prahatamaputra
213
IV. PERMASALAHAN BIOLOGI DALAM PEMBENTUKAN KARAKTER
1. Karakter dalam hubungannya dengan Tuhan Yang Maha Kuasa.
Karakter tidak dapat dibentuk dengan cara mudah dan murah. Dengan mengalami
ujian dan penderitaan jiwa karakter dikuatkan, visi dijernihkan, dan sukses diraih. Suatu ketika
seorang anak laki-laki sedang memperhatikan sebuah kepompong, eh ternyata di dalamnya
ada kupu-kupu yang sedang berjuang untuk melepaskan diri dari dalam kepompong.
Kelihatannya begitu sulitnya, kemudian si anak laki-laki tersebut merasa kasihan pada kupu-
kupu itu dan berpikir cara untuk membantu si kupu-kupu agar bisa keluar dengan mudah.
Akhirnya si anak laki-laki tadi menemukan ide dan segera mengambil gunting dan membantu
memotong kepompong agar kupu-kupu bisa segera keluar dari sana. Alangkah senang dan
leganya si anak laki laki tersebut.Tetapi apa yang terjadi? Si kupu-kupu memang bisa keluar
dari sana. Tetapi kupu-kupu tersebut tidak dapat terbang, hanya dapat merayap. Apa sebabnya?
Ternyata bagi seekor kupu-kupu yang sedang berjuang dari kepompongnya tersebut,
di mana pada saat dia mengerahkan seluruh tenaganya, ada suatu cairan di dalam tubuhnya
yang mengalir dengan kuat ke seluruh tubuhnya yang membuat sayapnya bisa mengembang
sehingga ia dapat terbang, tetapi karena tidak ada lagi perjuangan tersebut maka sayapnya
tidak dapat mengembang sehingga jadilah ia seekor kupu-kupu yang hanya dapat merayap.
Begitu pula pohon pisang yang sedang berbuah misalnya, yang tadinya buahnya
berwarna hijau dan rasanya pahit tetapi lama kelamaan berwarna kuning dan rasanya berubah
menjadi manis. Padahal jika tanah itu digali, tidak ada zat pewarna dan tidak ada gula. Begitu
pun dengan buah mangga, durian, dan sebagainya yang aromanya sangat harum. Jika kita
belah pohonnya, kita tidak akan pernah menemukan buah dan zat pewangi di dalam batangnya.
Bagaimana dengan diri manusia? Rambut bisa bertambah panjang tetapi rambut alis
tidak. Kuku bisa bertambah panjang tetapi gigi manusia tidak bisa, padahal zatnya sama. Dan
tinggi badan manusia terbatas, seandainya tidak dibatasi oleh Allah SWT, maka setiap tahun
orang-orang akan sibuk mengubah pintu rumahnya. Bagaimana dengan lubang hidung dan
telinga kita, seandainya tidak dipelihara oleh Allah SWT, maka organisme kecil akan masuk ke
dalamnya. Begitu pun hewan ternak yang dikonsumsi oleh manusia seperti sapi, kambing atau
ayam. Setiap hari dipotong tidak bisa punah bahkan bertambah banyak jumlahnya. Namun
hewan yang tidak dibutuhkan oleh manusia seperti tikus dan anjing sepertinya tidak bertambah
banyak padahal populasinya berkembang lebih cepat dan lebih banyak.
Rasulullah SAW ketika dikejar oleh kaum kafir Qoraisy, beliau bersembunyi di dalam
gua, kemudian mulut gua itu ditutup oleh sarang laba-laba, seekor makhluk yang lemah. Allah
Swt., bisa saja mengutus malaikat-Nya untuk melindungi Nabi SAW tetapi Allah SWT ingin
menampakkan kepada kita bahwa makhluk yang tak kuasa sedikit pun juga dapat menjadi
asbab keselamatan. Begitu juga Raja Namrudz yang dibinasakan hanya dengan seekor nyamuk.
Memahami contoh di atas akan membangkitkan kesadaran pada diri kita bahwa apa yang
ditetapkan oleh Tuhan Yang Maha Esa adalah yang terbaik bagi kita. Maka amat benarlah
firman Allah:

214 Aminuddin Prahatamaputra


“Seandainya kayu-kayu yang ada di bumi dijadikan pena dan lautan di bumi, ditambah
tujuh lautan lagi, dijadikan tinta maka tidaklah habis ilmu Allah ditulis. Sungguh Allah
maha perkasa dan maha bijaksana” (Luqman: 27).
2. Karakter dalam hubungannya dengan diri sendiri
Antara lain: Jujur
§Tanggung jawab §Disiplin
§Kerja keras §Percaya diri
§Berfikir logis, kritis, kreatif, inovatif §Cinta ilmu
Cenderung lebih mudah dibentuk apabila pembelajaran Biologi menggunakan
pendekatan yang berpusat pada siswa (student centered) dibandingkan berpusat pada guru
(teacher centered). Beberapa pendekatan pembelajaran yang relatif sangat efektif untuk
mengembangkan karakter-karakter di atas adalah:
§Inquiry
§Problem solving
§Learning cycle
Upaya terencana dalam pembentukan karakter tersebut harus ditunjukkan dalam
silabus dan RPP untuk setiap topik dalam pembelajaran Biologi. Dalam silabus, karakter yang
akan dibentuk atau dikembangkan ditujukkan dalam kolom terakhir. Karakter kreatif, kerja
keras, dan tanggung jawab dapat dikembangkan melalui pemanfaatan TIK dalam pembelajaran.
Oleh karena dalam RPP sumber bahan ajar harus juga mencantumkan situs-situs dalam
internet yang perlu dikunjungi oleh siswa untuk memperluas pemahamannya terhadap suatu
topik yang di bahas di sekolah.
3. Karakter dalam hubungannya dengan sesama, antara lain:
§Menghargai karya dan prestasi orang lain
§Santun
§Demokratis
Karakter menghargai karya dan prestasi orang lain dapat dikembangkan melalui
beberapa aktifitas. Salah satunya adalah dalam pembuatan karya ilmiah. Dalam hal ini pada
siswa diajarkan bahwa apabila mengutip pendapat atau penemuan orang lain maka perlu
disebutkan sumbernya dengan jelas dan jujur.
Karakter santun dan demokratis dapat dikembangkan dalam pembelajaran yang
menggunakan pendekatan “cooperative learning”.
4. Karakter dalam hubungannya dengan lingkungan antara lain:
§Peduli sosial
§Peduli lingkungan
Karakter peduli sosial dan peduli lingkungan dapat dilakukan dengan berbagai cara,
misalnya:

Aminuddin Prahatamaputra
215
a. Pembelajaran IPA-Biologi di SMP dan MTs dilakukan secara terpadu, baik secara
connected, integrated maupun bentuk-bentuk keterpaduan yang lain.
b. Pembelajaran biologi, fisika, dan kimia di SMA dan MA selalu dikaitkan dengan
masalah lingkungan. Contoh: Dalam pembelajaran topik asam-basa perlu dikaitkan
dengan masalah hujan asam beserta dampaknya bagi lingkungan.
c. Ditambahkan topik-topik pencemaran lahan, perairan, dan udara pada pembelajaran
IPA-Biologi di SMP dan MTs serta pada pembelajaran kimia atau biologi di SMA
dan MA.
5. Karakter berkaitan dengan kebangsaan, antara lain:
Nasionalis dan menghargai keberagaman. Karakter nasionalis perlu dikembangkan
paling tidak berkaitan dengan adanya fakta bahwa banyak mahasiswa Indonesia yang kuliah di
luar negeri, khususnya yang mendapat beasiswa dari pemerintah RI, setelah lulus tidak mau
kembali ke Indonesia karena mereka mendapatkan pekerjaan yang lebih memenuhi dari segi
finansial dan pengembangan karir di luar negeri.
Karakter nasionalis dapat dikembangkan apabila pada siswa tertanam kesadaran
bahwa nilai hidup tidak boleh didasarkan pada finansial semata tetapi pada manfaat yang
dapat diberikan pada lingkungan yang ada. Hidup adalah berarti apabila kita dapat memberikan
banyak manfaat bagi negara kita, khususnya bagi lingkungan di sekitar kita.
Menghargai keberagaman merupakan karakter yang wajib dikembangkan mengingat
negara kita terdiri dari warga negara dengan bermacam-macam suku, bahasa, dan agama
yang berbeda. Karakter ini dapat dikembangkan dengan berbagai cara, misalnya menghormati
agama, adat-istiadat, dan budaya yang dimiliki oleh warga negara yang lain.
Menyikapi tentang aplikasi pendidikan karakter dalam pembelajaran biologi,
dibutuhkan suatu kemampuan guru yang sungguh-sungguh dalam melaksanakannya. Sikap
jujur, tekun, mau bekerja sama, dan lain-lain apabila dikembangkan melalui pembelajaran
IPA-Biologi tentu akan membentuk pula jatidiri guru biologi sehingga dapat menjadi teladan
bagi para siswanya.
Cara-cara berikut ini merupakan solusi yang dapat dilakukan oleh guru-guru biologi
dalam menyiapkan kegiatan pembelajaran untuk mengembangkan karakter siswa.
a. Banyak belajar baik materi pelajaran sesuai dengan bidang ilmunya maupun ilmu
agama.
b. Banyak belajar tentang pendekatan pembelajaran yang efektif untuk
mengembangkan karakter siswa serta mau menerapkan pendekatan pembelajaran
tersebut dalam kegiatan pembelajaran.
c. Mengerjakan semua perintah Tuhan dan menjauhi semua larangan Tuhan.
d Dapat menjadi teladan bagi siswanya.
e. Selalu melakukan yang terbaik dan tidak terpengaruh oleh contoh-contoh praktik
karakter buruk yang ada di sekitar kita.

216 Aminuddin Prahatamaputra


Dengan melaksanakan lima hal di atas Insya Allah kita telah berperan aktif dalam
menanamkan pembelajaran karakter melalui masalah-masalah biologi di sekolah.

VI. SIMPULAN
Menanamkan perilaku berkarakter kepada peserta didik perlu lebih ditingkatkan di
masa sekarang. Dalam proses belajar mengajar biologi hendaknya pengajar harus bisa
membawa peserta didik untuk lebih mengenalkan karakter dalam hubungannya dengan Tuhan
YME, diri sendiri, sesama, lingkungan, dan kebangsaan melalui pilar keluarga, sekolah, dan
masyarakat. Terutama dikembangkan melalui pembiasaan dan penyelesaian masalah dalam
pembelajaran biologi dan keteladanan.

DAFTAR PUSTAKA
Budiningsih, C. A. 2008. Pembelajaran Moral. Berpijak pada Karakteristik Siswa dan Budayanya.
Jakarta: PT. Rineka Cipta.
Depdiknas. 2006. Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Republik Indonesia Nomor 23 Tahun
2006 tentang Standar Kompetensi Lulusan. Jakarta: Badan Standar Nasional
Pendidikan, Departemen Pendidikan Nasional.
Effendy, 2011. “Aplikasi Pembelajaran IPA dalam Pembentukan Karakter Siswa.” PPt Seminar
Nasional Prodi Pendidikan Sains Unesa 11 Januari 2011.
Kemendikbud. 2012. Renstra Ditjen Dikmen 2010-2014.
Kemendikbud. 2013. Materi Pelatihan Guru Implementasi Kurikulum 2013. SMA/MA dan
SMK/MAK.
Majid, A. dan Andayani, D. 2011. Pendidikan Karakter Perpspektif Islam. Bandung: PT. Remaja
Rosdakarya.
Pemerintah RI. 2010. Kebijakan Nasional – Pembangunan Karakter Bangsa Tahun 2010-2025.
Samani, M. dan Hariyanto. 2012. Konsep dan Model Pendidikan Karakter. Bandung: PT. Remaja
Rosdakarya.
Zaini, Muhamad. 2011. “Presepsi Masyarakat Banjarmasin terhadap Ujian Nasional”. Laporan
Penelitian. Balitbangda Propinsi Kalsel.
Zuriah, N. 2011. Pendidikan Moral & Budi Pekerti dalam Perspektif Perubahan. Menggagas
Platform Pendidikan Budi Pekerti secara Konstektual dan Futuristik. Jakarta: PT. Bumi
Aksara.

Aminuddin Prahatamaputra
217
218 Aminuddin Prahatamaputra
BUILDING OF SCIENTIFIC ATTITUDE IN THE CHILDHOOD
THROUGH THE SCIENCE LEARNING
Arif Sholahuddin
Universitas Lambung Mangkurat

ABSTACT
Students need to be equipped with three scientific competencies comprising products,
processes and attitudes for futher learning and future live. Building of the scientific attitude can
be embedded effectively since the childhood through the science learning with a scientific
approach. The scientific attitude can raise from the nature of science as well as strategy
applied in science learning process. Learning strategy which involves a scientific approach
should be applied gradually from direct instruction, guided inquiry, to free inquiry appropriate to
cognitive development of students; and used integrated approach (integrated science at junior
high school or thematic at elementary school). Some scientific attitudes that can be build
through science learning as commitment, creativity, curiosity, diligent, fairness, flexibility,
imagination, innovation, integrity, openness, persistent, reflection, sensitivity, skepticism, and
thoughfullness.
Key words: scientific products, scientific processes and scientific attitudes, science

I. INTRODUCTION
Concerning to moral decadence symptoms such as difficulty finding the honesty in
many aspects around us like a national exam cheating, elections, corruption and others, became
stronger. Similarly, sense of responsibility, mutual respect, mutual care between individuals or
communities is almost cut off from our daily life. The behavior of student brawls and problem
resolution through violence have been occured in many regions of Indonesia.
That facts have been encouraged many parties to strengthen character education,
especially through formal education. Actually, the National Education Regulation and the National
Curriculum has explicitly declared the importance of character education, but it’s implementation
in education and learning process at various education levels have not been implemented
optimally yet. Character education through subjects such as Religious Education and Pancasila
Moral Education have taught since the student in elementary school. Nevertheless, they were
taught only as a knowledge, consequently good habits or ethical and moral rules can not build
the character. Lickona (2012) state that the virtues would form a character if they involve the
three dimensions including moral knowing, moral feeling such as self-perception, empathy,
love kindness, self-control and moral action.

Arif Sholahuddin
219
Actually, character education can be implemented directly as a separate subjects, or
indirectly integrated in every subject including Science. However, almost all subjects at various
levels of the education unit have not been able to explore the potency of this character educational
caused by the demands of knowledge mastery. So, it has been proven to reduce the meaning of
education. In addition, teachers’ limited competence in mastering the appropriate learning
strategies to achieve the learning objectives in various domains (cognitive, affective, and
psychomotor) also caused the lack of the character education.
As a discipline, natural science has three inegrated dimensions namely dimensions
of products, processes and scientific attitude (Carin, 1993). Dimension of product includes
information, ideas, concepts, facts, laws that was known as content knowledge. Dimensions of
science process skills is the skills used in science activities. When we teach students about the
science process skills, it means that we teach them the skills that will be used in their lives.
Dimensions of attitude and disposition of science, such as curiosity, imaginative, enthusiastic to
asking-questions and problem solving. Another scientific attitude is appreciated methods and
values of science, such as seek answers of questions using various evidences, realizes the
importance of examining data and understand that the rightness of theory or scientific knowledge
is temporary until the new theory was found. Social skills such as willingness to cooperate,
respect to others opinions, are classified as attitude dimension too. So science has three
learning objectives comprising cognitive (product and poses), affective (scientific attitude,
character behavior and social skills) and psychomotoric (measurement of data, designing
experiments).
According to science characteristics, learning science should provide opportunities
to students for developing all the aspects of learning simultaneously, especially building of
character. Learning strategies should be designed so that students not only understand the
science knowledge, but also have a variety of skills such as science process skills to solve
problems, critical thinking and creative skills as well as a variety of characters such as honest,
disciplined, responsible, respect for others as a result of learning science.
Based on the scientific literacy test conducted by PISA (the Program for International
Student Assessment) in 2009, showed that the scientific literacy of Indonesia students of 15
years old in the ranks of 60 from 65 OECD countries (Organisation for Economic Co-operation
and Development) and partners (OECD, 2010). Even, in 2012 (OECD, 2013) showed downgrade
to 64, with scores below the mean score of OECD scientific literacy. It can be an indicator of the
quality of science teaching in Indonesia, which still needs improvement.
Science literacy of the young to be a barometer for predicting the readiness of young
people to be involved in the development of society and participate in determining public policy
issues where science and technology affect their lives. Science literacy skills as related to the
scientific knowledge of individuals, and use that knowledge to identify questions, acquire new
knowledge, explain scientific phenomena and draw evidence based conclusions about science-
related issues; their understanding to the science characteristics as a form of human knowledge
and inquiry; their awareness of how science and technology shape the material, intellectual

220 Arif Sholahuddin


and cultural environment; and their willingness to engage in science-related, and with the ideas
of science as a reflective citizen.
Thus, in order that students can face the development of science and technology and
social changes very quickly, then learning may not only train students to memorize facts as
general science learning in Indonesia, but also must be able to facilitate students’ learning
outcomes in different dimensions. This paper will discuss how to build a scientific attitude of
students through science teaching.

II. LEARNING SCIENCE FOR BUILDING SCIENTIFIC


Science is the activity of questioning and exploring the universe and finding and
expressing its hidden order. Paulu and Martin point out that science can be describe as observing
what happen, trying to make sense of our observations, using our new knowledge to make
prediction about what migh happen in future, and testing predictions under controlled conditions
to see if they are correct (Carin, 1993). Even, science does not provide all the answers, it
requires us to be skeptical so that we can modify our models of the world or chage them
altogether as we make new discoveries.
The interrelationship between three element of science comprising scientific product,
processes and attitudes in investigating phenomena, is ilustrated in Figure 1. When the scientists
effort to clarify the marvelous mysteries of our universe, they use a variety of empirical and
analytical procedures which is called the process skills. Certain general attitudes or
predispositions tend to caharacterize their work.

SCIENTIFIC ATTITUDES
INVESTIGATION OF SCIENTIFIC
AND PROCESS;
PHENOMENA IN PRODUCTS
Attitudes: intense curiousity,
NATURE; objects, facts: concepts,
humility, skepticism,
events, relationships, generalizations,
determination, open-
etc. principles, theories,
mindedness, etc.
Processes: identifying laws.
problems, observing,
hypothesizing, analyzing,
inferring, extrapolating,
synthesizing, evaluating, etc.

Figure 1 Interrelationships of science elements

Arif Sholahuddin
221
Science learning should emphasize three important and interrelated learning goals
for all students studying science: learning about the nature of science and the work that scientists
do; learning to do science (i.e., developing the abilities to design and conduct scientific
investigations); and understanding scientific concepts and principles. Since all three of these
aspects of science learning can be facilitated by engaging students in inquiry learning, so
inquiry to be both science content and an exemplary method of teaching and learning science
(Trout et al. in Bret, 2008). Consequently, assessment of learning outcomes in science learning
not only meassuring the students understanding to content knowledge, but also affective
comptences and psychomotoric skills by using comprehension tests and authentic assessment
for assessing performance, presentation and discussion, investigation projects, and portfolios.
For promoting the goals, learning science must use approaches or strategies that fully
involve students in learning processes. It’s means that the student must learn to build their
knowledge (as facts, information generalization, concepts, principles, or rules and how to use
them, problem-solving skills and learning strategies) in his own mind. In this case, learning is
also as a process of assimilating and connecting experience or materials that have been
studied with the understanding constructed by student (Slavin, 2009; Suparno, 1997).
Constructivism learning theory emphasizes the active role of student. Students constantly
checking new information relevant to the old rules and will revise them if it does not suitable to
the new situation. The knowledge obtained by students as a result of active construction process
continuously through composing and arranging experiences, associate to their cognitive
structures then the cognitive structure is gradually modified and developed. In this process
teacher acts as a facilitator who helps students to discover the knowledges (facts, concepts, or
principles) not to give lectures or controlling all classroom activities.
Many learning strategies can be applied in order to fully engage students in the learning
process through the implementation of science and scientific attitude. For instant are inquiry,
discovery and problem-based learning strategy. These strategies are characterized by a problem-
based, emphasizing cognitive skills and knowledge; using small group discussions, active
learning, self-learning, and student-centered learning, teacher as facilitator, focusing skills
development learning outcomes, and lifelong learning (Hmelo-Silver and Barrow, 2006; Carin,
1993, and Llewellyn, 2005).
The cognitive abilities which is achieved by student through rote learning is only
effective in the short term as for routine tasks or taking a particular test, but they are not effective
to achieve in-depth understanding of concepts, long-term of retention and problem solving. In
other words, students may have the knowledge but not accessible (inert knowledge) for futher
learning or problem solving. Students need to interact with the ideas or real problems in order
to be sensitive to a task or a problem. Students must contruct their understanding through
dialogue and thinking processes internally or through interactions with others to achieve a deep
understanding to the text-based activities or problems solving (Jones, et al. 1997). This learning
activities is very rarely applied in our schools, especially at the elementary school level.

222 Arif Sholahuddin


Learning science through inquiry would provide an exelent means to foster the
development of student habits’ of mind. Costa and Kallick (Llewellyn, 2005) describe scientific
attitudes as habits of mind “having dispositions toward behaving intellectually when confronted
with problems, the answers to which are not immediately known”. The atrtributes of habits’ of
mind in science include the following: commitment, creativity, curiosity, diligent, fairness,
flexibility, imagination, innovation, integrity, openness, persistent, reflection, sensitivity,
skepticism, and thoughfullness.Carin (1993) discribe some important attitute for children
to learn and display in science include:
1. Being curious. Scientists are driven by curiosity, an urge to know and understand
the problems.
2. Insisting on evidence. Scientists insist on evidence to support conclution and
claims. Insisting on evidence means rigorous testing of ideas and respecting
the fact as they are accured.
3. Being skeptical. Scientists must remain skeptical of their own conclution and
those of others. A part of this attitude is recognition that authoritarian statments
can be tested but there is an appropriate time and place to question people’s
conclution. As evidence suggests difference explanations of objects or events,
scientists must be willing to change even their own original explanations.
4. Accepting ambiguity. Scientists must be able to accept ambiguity. Scientific
evidence seldom proves something finally. Alternative viewpoints should be
respected until shown to be incompatible with data.
5. Being cooperative. Generally scientific activity conducted in team. Being
cooperative in raising and answering question, investigating, analyzing data in
solving problems is another important attitude in scientific enterprise.
6. aking a positive approach to failure. Scientists must take a positive approach to
failure and treat setback as temporary. In elementary science teaching, the way
techers handle the mistkes and errors that come in minds-on/hands-on
investigation is crucial problem. Because, pupils who are told that their ideas
are wrong may be reluctant to participate in inquiry again.
As a investigating activities of nature, science apply a variety of process skills-the
skills used by scientists or students in solving problems (Howe and John, 1993) comprising
the basic process skills (observing, communicating, classifying, measuring, connecting
objects with space and time) and the advanced process skills (predicting, drawing
conclusion, controlling variables, formulating the operational definitions, and perform the
experiment). Implementation of this process skills will accustome students to the scientific
attitudes as presented in Table 1.

Arif Sholahuddin
223
No Process skills Scientific Attitudes To Be Trained
Basic process skills
1 Observing commitment, creativity, curiosity, diligent, fairness, flexibility,
integrity, openness, persistent, reflection, sensitivity,
skepticism, innovation and thoughfullness.
2 Classifying commitment, creativity, curiosity, diligent, fairness, innovation
and thoughfullness.
3 Meassuring commitment, creativity, curiosity, diligent, fairness
4 Relating object with time dan creativity, curiosity, diligent, fairness, and thoughfullness.
space
5 Predicting creativity, curiosity, diligent, fairness, flexibility, imagination,
innovation, integrity, openness, persistent, reflection, sensitivity,
skepticism, and thoughfullness.
6 Communicating commitment, creativity, curiosity, diligent, fairness, flexibility,
imagination, innovation, integrity, openness, persistent,
reflection, sensitivity, skepticism, and thoughfullness.
7 Inferring diligent, fairness, flexibility, imagination, innovation, integrity,
openness, persistent, reflection and thoughfullness.
Advance process skills
8 Conducting experiment commitment, creativity, curiosity, diligent, fairness, flexibility,
Identifying variables imagination, innovation, integrity, openness, persistent,
Formulating operational reflection, sensitivity, skepticism, and thoughfullness.
deffinition of variable
Collecting data
Communicating data
Interpreting data
Drawing conclusion

Table 1 Science process skills and scientific attitudes

III. LEARNING SCIENCE IN ELEMENTARY SCHOOL


According to Piaget, elementary students (6-11 years old) is placed to the concrete
operational stage of cognitive development (Slavin, 2009). Sholahuddin & Arsyad (2013) reported
that generally, the elementary school students of Banjarmasin have the concrete reasoning
abilities and few of them have transition and beginning of formal reasoning. Mean while, the
most of them have the field dependent cognitive style, although there is a significant number,
33% of field independent cognitive styles especially at the school with acreditation score of A.
Children are not think like adults. They are rooted deeply in their environment and have
difficulty with abstract thinking. As expressed by Allen and Marotz (2010), they able to construct
a concepts to see a relationships and even to solve a problems, if they involve a real object or
known situation.
One of the important development tasks of the children is seriation or arrange things in
a logical sequence, ie seriate objects from the smallest to the greatest or classify objects based
on certain criteria. When this capability has been achieved, then the children will acquire the
related ability as transitivity-the ability to infer the relationship between two objects based on
knowledge of the relationship of each with a third object. Even at the end of the concrete operational
stage the children can think about what would happen (predict) if the object is concrete or
visible.

224 Arif Sholahuddin


Children in this stage have evolved the ability from egocentric thinking to objective
thingking. This situation allows them to see that someone else may have a different perception.
It is to be provision in social interaction within their community. They are also able to learn that
the events may be governed by the laws of physics, for example gravity.
Therefore, learning process in elementary schools should emphasize to contextual
approach; interdisciplinary approach because they still think something as they observe in their
environment; facilitating students to practice the higher-order thinking and problem solving
especially to grade 5 to 6
According to the National Curriculum 2013 (Kemendikbud, 2013), learning in
elementary school have to implemented a thematic-integrated curricula. Although, the discipline
approach of learning is simpler than the interdiscipliner one, but it considered less appropriate
so getting some criticism from education experts with three reasons: (a) fast developing of
knowledge; (b) there is a mismatch between students’ holistic perception to the world with the
fragmentation of the subject matter presented; and (c) teachers are professionally separated if
they focus on curriculum planning independently. This coditions will not support to the
development of students, particulary their curiosity and interest in learning.
Thematic model of curricula uses theme as a central issue of learning which covere
several subjects combined. The thematic model called as webbed (Fogarty (2009). For example,
the theme of simple machines, can be studied in science, deals with reading and writing in the
language of discovery, design and build a model in the art, making the flow chart in the computer
technology class and drawing Rube Goldberg in mathematics. At the yunior and senior high
school, integrated curricula implemented in social studies and science-integrated in the
discipline comprising fragmented/ celluler, connected, and nested models. However, in practice
teachers in both subject areas have not been implemented integrated curricula model properly.
Thematic approach begins by determining the themes, sub-themes were developed
by observing the relation to subjects, then develope the learning activity. Webbed model is very
appropriate to be applied in elementary schools since most of the students tend to see everything
as a whole (holistic), their physical development can not be separated from the development of
mental, social, and emotional.
This model provides breadth and depth of implementation, offers the opportunity to the
students to bring a lot of dynamics in education. Thematic unit is the epitome of the whole
subject matter that facilitate students to learn productively in order to answer ther self-questions
and satisfy their curiosity to the world around them.
Thematic curriculum models according to Stanciak and Doll (Fogarty, 1997) has five
criteria, namely: (1) Relevance. Learning content related to student life, so that students show
an natural interest and have the intrinsic motivation (2) Richness. Learning unit displays
problematic situations that allow students to learn in a multidimensional or use various
intelligence and express what is known or what is being studied. (3) Relatedness. Between one
discipline to another discipline related by theme, for example between mathematics and science.
(4) Rigor. Learning should be challenging and teaching students to apply higher order thinking

Arif Sholahuddin
225
such as problem solving, process skills, decision making consciously, and creative ideas. (5)
Recursivness. The theme is said to have properties recursivness if it is encountered both in
school and in daily life. The theme give opportunities to the student for transfering skills and
concepts to the new situations.
Some factors should be paid attention in designing the thema are (1) the substance of
the material to be mixed into should be raised fron key concepts contained in the related
developmental aspects (2) between a key concept has associated meanings and functions in
a certain context (event, issue, problem or theme) as well as their original meaning (3) learning
activities should be designed in an integrated learning which includes child development aspects
as moral and religious values, language, physical and motor skills, and art (Indrawati, 2009).
Example of the webb theme ilustrated in Figur 2.

Science Mathematics

- The relationship
between - Collecting and
characteristics processing data
of living things - Fractional INDICATOR
to their arithmetic
environmrnt operations

CHANGES:
THEME
positive and
negative Changes

- Provideing
information and Natural
oral responses phenomena in
- Understanding Indonesia and the
text through surrounding
intensive and
brief reading

INDONESIA LANGUAGE SOCIAL SCIENCE

Figur 2 Theme “A change”

Implementation of an integrated thematic model in National Curriculum 2013,


using a scientific approach where learning process has to train the students with some
skills includes observing, questioning, associating, experimenting and networking as
illustrated in Figure 3. By this approach, learning process is expected able to train scientific
processes as well as the attitude to the students.
The scientific approach has the following characteristics (1) learning materials
based on facts or phenomena that can be explained by logic or particular reasoning (2)
teacher explanation, student response, and educative teacher-student interaction free

226 Arif Sholahuddin


from prejudice, subjective reasoning, or reasoning that deviate from the logic (3) encourage
and inspire students to think critically and analytically in identifying, understanding, problems
solving, and applying concepts (4) encourage and inspire students to think hypothetically
in looking at differences, similarities, and linking between learning material (5) encourage
and inspire students to understand, implement, and develop the thinking patterns rationally
and objectively in responding to the learning material (6) based on the accountable concept,
theory, and empirical facts and (7) the purpose of learning is formulated in simple and
clear form, but learning be presented attractively (8) learning objectives concerning three
domains comprising attitude (know why), psychomotoric skills (know how) and knowledge
(know what).

Figure 3 Sacientific approach

Inquiry learning generally indicates student participation in activities and thinking


processes similar to those employed by scientists. According to Sholahuddin & Arsyad (2013)
strategy most frequently used by teachers in teaching science is the conventional strategy
“explaining the concept, giving examples, asking-questions, giving exercise and evaluating
learning outcomes through cognitive tests to measure understanding of the concept”. Students
of elementary school are not accustomed working in cooperative group, discussing a concept
and presenting the results in front of the class.
Even, at yunior and senior high schools “inquiry-based” conducted by using traditional
teaching method in which there is a presentation of scientific principles followed by experiments
to verify those principles. The science courses are typically broken down into separate lecture
and laboratory components. In lecture mode, the instructor usually presents concepts to be
learned, while the students listen and take notes. Students may also ask a few questions, but the
participation of students in constructing scientific explanations is usually minimal. After a concept
has been presented in class, it is typically reinforced through a laboratory exercise. Traditionally,
students perform a “cookbook”-style procedure that has been selected by the instructor, record
data into their notebooks (or into empty spaces on a report form), and calculate values that

Arif Sholahuddin
227
confirm what the instructor has previously presented in the lecture. This method of laboratory
instruction does not provide students with opportunities to engage in the key inquiry activities of
proposing, evaluating, and communicating explanations for the science phenomena they
investigate in the laboratory. It also does little to deepen students’ understanding of the phenomena
under study.
Generally, elementary students were not accustomed yet to using basic skills of
inquiry process. Therefore, scientific approach should be implemented gradually according
to the stage of students’ cognitive development, started from direct instruction, guided
inquiry and fonely free inquiry.
The application of inquiry learning strategies for children at an early age require
many adaptations (Sholahuddin et al., 2012). At this stage children can form the concepts,
see the relationships and solve the problems as far as involving objects and situations
already known (Cakir, 2008; Slavin, 2009; Suyono and Hariyanto, 2011). Thus the problem
to be studied shoud be a contextual, and funny issues appropriate to their cognitive
development as well as providing more scaffolding activity.
Prividing the scaffolding properly along the learning process will support the
construction process of knowledge that will be used in a relevant context. Scaffolding aims
to make the learning can be followed by students because they reach their zone of proximal
development. Scaffolding realize in variety of kinds like training, structuring tasks, simplifying
tasks and giving cues but does not provide the final answer of the tasks. Scaffolding also
serves to direct the students’ attention to the important learning goal. Thus scaffolding not
only helps the students how to do the work, but also why the task must be done in a certain
way and whether learning has achieved its objectives.

IV. CONCLUSION
Based on the above discussion it can be concluded that (1) Building of the scientific
attitude can be embedded effectively since the childhood through the science learning with a
scientific approach. (2) The scientific attitude can raise from the nature of science as well as
strategy applied in science learning process. Learning strategy which involves a scientific
approach should be applied gradually from direct instruction, guided inquiry, to free inquiry
appropriate to cognitive development of students; and used integrated approach (integrated
science at junior high school or thematic at elementary school). (3) Some scientific attitudes
that can be build through science learning as commitment, creativity, curiosity, diligent, fairness,
flexibility, imagination, innovation, integrity, openness, persistent, reflection, sensitivity, skepticism,
and thoughfullness.

228 Arif Sholahuddin


REFERENCES
Allen, K. E. dan Marotz, L. R. 2010. Profil Perkembangan Anak, Prakelahiran hingga Usia 12
tahun (Terjemahan oleh Valentino). Jakarta: PT Indeks.
Bretz, S. L. 2008. Chemistry in the National Science Education Standards. Oxford: Miami
University Department of Chemistry & Biochemistry.
Cakir, M. 2008. Constructivist Approaches to Learning in Science and Their Implications for
Science Pedagogy: A Literature Review. International Journal of Environmental &
Science Education. 3(4): 193-206.
Carin, A. A. 1993. Teaching Through Discovery. 7th edition. New York: Macmillan.
Fogarty, R. 1997. Problem Base Learning and Other Curriculum Models For Multiple Intelligences
Clasroom. Illionis: IRI Skylight Training and Publishing, Inc.
Fogarty, R. 2009. How to Integrate the Curricula. California: A SAGE Company.
Hmelo-Silver, C. E dan Barrow, H. S. 2006. Goals and Strategies of a Problem-Based Learning
Facilitator. The Interdisciplinary Journal of Problem-Based Learning. 1(1): 21-39.
Howe, A.N. dan Jones, L. 1993.Engaging Children In Science. New York: Macmillan Publishing
Company.
Indrawati. 2009. Model Pembelajaran Terpadu di Sekolah Dasar. Jakarta: Pusat Pengembangan
dan Pemberdayaan Pendidik dan Tenaga Kependidikan Ilmu Pengetahuan Alam (PPPPTK
IPA) untuk Program BERMUTU.
Jones, B. F, Rasmussen, C. M. dan Moffitt, M.C. 1997. Real-Life Problem Solving A Collaborative
Approach to Interdisciplinary Learning. Wahington: American Psychological Association
Kemendikbud. 2013. “Kurikulum 2013 Kompetensi Dasar Sekolah Dasar (SD)/Madrasah
Ibtidaiyah (MI)”. Jakarta: Balitbang Kemendikbud.
Lickona, T. 2012. Educating for Character. Terjemahan oleh Juma Abdu Wamaungo. Bandung:
Remaja Rosdakarya.
Llewellyn, D. 2005. “Teaching High School Science Through Inquiry: A Case Study Approach”.
California: Corwin Press.
OECD. 2010, PISA 2009 at a Glance, OECD Publishing.http://dx.doi.org/ 10.1787/
9789264095298-en . Diakses tanggal 25 Januari 2012.
OECD. 2013. PISA 2012 Results In Focus What 15-Year-Olds Know And What They Can Do
With What They Know. www.oecd.org/pisa/keyfindings/pisa-2012 Diakses tanggal 2
Pebruari 2014.
Sholahuddin, A dan Arsyad, S. W. 2013. Pelaksanaan Pembelajaran IPA di SDN Kota Banjarmasin.
Laporan Penelitian. Banjarmasin: FKIP Unlam.
Sholahuddin, A, Yuanita, L dan Kardi, S. 2012. Menjadikan Model Problem Based Learning
Sesuai untuk Pembelajaran Sains di Sekolah Dasar. Prosiding Seminar Nasional
Pendidikan Sains 2013 PPS Unesa Surabaya, pp. 706-715.

Arif Sholahuddin
229
Slavin, R. I. 2009. Education Psycology. 9th edition. New Jersey: Pearson
Suparno, P. 1997. Filsafat Kontruktivisme dalam Pendidikan. Yogyakarta: Kanisius.
Suyono dan Hariyanto. 2011. Belajar dan Pembelajaran: Teori dan Konsep dasar. Bandung: P.T
Remaja Rosda Karya.

230 Arif Sholahuddin


MEMBANGUN PEMAHAMAN DAN KARAKTER DIRI CALON GURU
Maya Istyadji
Universitas Lambung Mangkurat

ABSTRAK
Pendidikan karakter adalah praktek yang berkembang di dunia pendidikan dan telah dipelajari
secara luas mulai tingkat sekolah dasar dan menengah. Makalah ini mengkaji bagaimana
calon guru memahami karakter dirinya sendiri sebagai calon pendidik karakter. Apa yang telah
ditunjukkan adalah kurangnya pelatihan calon guru tentang strategi spesifik pendidikan karakter.
Strategi questioning ditujukan kepada calon guru ketika membangun rencana pelajaran; strategi
perencanaan kolaboratif; strategi refleksi dalam praktek mengajar merupakan strategi yang
dapat diterapkan. Melalui strategi-strategi tersebut keterintegrasian pendidikan karakter ke
dalam kurikulum pendidikan guru dapat menstimulasi dan membangun karakter diri sebagai
calon pendidik karakter.

I. PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Pendidikan karakter bukanlah hal baru. Pendidikan karakter setua pendidikan itu sendiri,
turun melalui sejarah, pendidikan telah memiliki tujuan besar yakni untuk membantu kaum
muda menjadi cerdas dan menjadi baik. Ki Hajar Dewantara telah lama mendengungkan
pendidikan karakter, budaya dan moral guna membangun fisik, mental, dan spiritual yang
handal dan tangguh. Sekolah mengambil bagian dari pembentukan karakter individu (siswa)
selain lingkungan keluarga dan lingkungan sosial. Sekolah mengambil tanggung jawab untuk
membantu siswa memperoleh kompas moral. Sekolah harus memberikan “petunjuk” yang
akan membantu mengembangkan pekerjaan, keterampilan hidup, keterampilan inti untuk
sukses perjalanan seumur hidup siswa dan partisipasi dalam masyarakat. Bimbingan yang
akan membantu siswa mengembangkan moral etika, disiplin diri, dan harga diri. Tingkat
program pendidikan karakter tergantung pada frekuensi dari instruksi kelas dan komitmen
program untuk guru (Bowman & Potts, 2001).
Lingkungan sekolah, kini, telah menjadi tumpuan dalam peningkatan mutu pendidikan
karakter, budaya dan moral. Peran guru menjadi sangat esensial dalam perspektif
pengembangan pendidikan karakter, budaya, dan moral bagi semua peserta didik. Pernyataan
ini mengundang perhatian dan memunculkan pertanyaan bagaimana mempersiapkan para
mahasiswa calon guru sebagai calon pendidik karakter? Narvaes dan Lapsley (2008)

Maya Istyadji
231
menyatakan bahwa cara terbaik untuk mempersiapkan guru dalam pendidikan karakter adalah
memasukkan strategi pendidikan karakter dalam berbagai kegiatan perkuliahan sebelum calon
guru mengajar di ruang kelas sendiri. Calon guru tidak hanya perlu memiliki pengetahuan
dalam konten pendidikan karakter dan memiliki keterampilan pelaksanaan yang kuat, tetapi
harus memahami pentingnya pemodelan karakter yang baik bagi siswanya.
Penelitian telah menemukan bahwa program pendidikan guru lebih menekankan
pada metode pengajaran akademik dan keterampilan serta teori pengajaran dari pada
pendidikan karakter (Cummings., et al, 2001; Cummings., et al, 2003). Pelaksanaan perkuliahan
dalam mempersiapkan calon guru menunjukkan bahwa ada kesenjangan antara gagasan
menerapkan pendidikan karakter dalam program pendidikan dan apa yang sebenarnya telah
dilakukan atau kurangnya implementasi. Sebagian besar dosen atau pendidik calon guru
berpikir bahwa pendidikan karakter tidak hanya diperlukan tetapi juga diantisipasi dalam strategi
pendidikan karakter ke dalam diri calon guru (Revell dan Arthur, 2007). Tampaknya penting
untuk memiliki “praktek terbaik” yang diajarkan dalam program pendidikan guru. Namun,
kurangnya deskripsi dan praktek yang mendokumentasikan pendekatan yang efektif untuk
mengintegrasikan pendidikan karakter ke dalam program menjadikan perkembangan yang
landai dalam mempersiapkan pendidik karakter.
1.2 Rumusan Masalah
Makalah ini merumuskan masalah sebagai berikut: Bagaimanakah mempersiapkan
calon guru yang memahami karakter dirinya sendiri sebagai calon pendidik karakter?
1. 3 Tujuan Makalah:
Mengarahkan pemikiran pendidik calon guru untuk bagaimana calon guru memahami
kemampuan, membangun pengetahuan dan keterampilan berkaitan dengan pendidikan
karakter.

II. PEMBAHASAN
2.1 Pendidikan Karakter di Program Pendidikan Guru
Pembangunan karakter berada di jantung pelatihan calon guru. Salah satu unsur
yang paling umum diantara pendekatan untuk pendidikan karakter adalah peran penting guru.
Banyak usulan yang memanggil peran guru untuk melayani sebagai model peran positif,
menangkap peluang untuk merefleksikan masalah moral dalam konteks kurikulum,
menciptakan iklim moral kelas, dan memberikan siswa dengan kesempatan di luar kelas
untuk berlatih karakter baik melalui program tutor teman sebaya, sanggar seni, dan kelompok
belajar (DeRoche dan Williams, 2001).
Goodlad., et al, (1990) menemukan bahwa tidak ada program dasar yang diperlukan
untuk prospektif guru yang membahas dimensi moral dari pengajaran. Berkowitz (1998)
menyatakan bahwa hambatan untuk pelatihan guru dalam pendidikan karakter, seperti
perbedaan pendapat tentang makna pendidikan karakter, persepsi ruang terbatas di kurikulum
pendidikan guru untuk pelatihan karakter, dan kurangnya keahlian pendidikan karakter di

Maya Istyadji
232
lembaga pelatihan guru, telah mengakibatkan lemahnya dalam persiapan guru. Program
pendidikan guru mendukung gagasan instruksi dalam metode pendidikan moral, tetapi program
tidak langsung mengajarkan metode ini secara signifikan.
Metodologi spesifik yang efektif mengajarkan tentang pendidikan karakter dalam
pendidikan pre-service tidak diketahui. Strategi pengajaran yang efektif diidentifikasi untuk
mata pelajaran seperti matematika, sains, membaca, dll dan instruksi ini dapat dinilai jelas.
Namun, strategi pendidikan moral dan karakter kurang dikembangkan. Ada deskripsi terbatas
praktek yang menjanjikan dan terbatas didokumentasikan pendekatan yang efektif untuk
mengintegrasikan pendidikan karakter menjadi pendidikan guru (Munson, 2000). Milson (2002)
menyatakan ada berbagai kesiapan untuk mengajar pendidikan karakter. Melalui risetnya Milson
(2002) menyarankan kepada pendidik calon guru untuk melaksanakan tugasnya dengan
memberikan kesempatan untuk membaca dan diskusi yang membantu calon guru berpikir
tentang tantangan dan metode untuk menjangkau siswa yang kurang memiliki karakter yang
baik.
Munson (2000) membahas aspek kurikulum yang berbeda yang harus dipelajari dalam
program pendidikan karakter calon guru. Munson menyatakan pentingnya untuk mempelajari
sejarah pendidikan moral dan perubahan yang terus terjadi. Munson juga mementingkan bagi
pendidik calon guru untuk mengetahui filsafat pendidikan moral dan teori-teori perkembangan
dari Kohlberg dan Piaget. Munson (2000) mengidentifikasi topik untuk program pendidikan
karakter: (1) Menentukan satu sistem nilai; (2) Pengujian nilai; (3) Membuat pilihan yang
bijaksana; (4) Beratnya hak terhadap tanggung jawab; (5) Tekankan rasa hormat dan tanggung
jawab; (6) Mengalami layanan pembelajaran; (7) Belajar untuk mempraktekkan toleransi; (8)
Tenun pendidikan karakter ke dalam kurikulum; dan (9) Berurusan dengan pertemuan kelas/
resolusi konflik.
Milson (2002) menguraikan tugas untuk pendidik calon guru. Tugas tersebut adalah
untuk “membantu calon guru berpikir tentang tantangan dan mengeksplorasi metode
pembelajaran yang menjangkau para peserta didik yang kurang baik karakternya dan terlepas
dari karakter yang kurang baik”. Dengan mengatakan ini, penting untuk dicatat bahwa pendidik
karakter lebih mahir ketika memiliki persiapan yang diperlukan untuk menjadi pendidik karakter
tersebut.
2.2 Mengembangkan Pemahaman Calon Guru sebagai Pendidik Karakter
Calon guru perlu memiliki kesempatan dalam program pendidikannya untuk
memahami, mempersiapkan dan bahkan kegiatan yang berhubungan dengan isu-isu tentang
pendidikan karakter. Isu-isu tersebut termasuk populasi siswa yang lebih beragam dan
memahami aspek sosiologis dari para siswa yang akan membantunya berhasil di sekolah.
Beberapa karakteristik sosiologis adalah: erosi sistem keluarga, pelecehan anak, kemungkinan
berkurangnya pengaruh agama, masalah kekerasan di media, materialisme, dan kemiskinan
dan tunawisma (Lovat & Clement, 2008). Oleh karena itu, memfasilitasi pemahaman sebagai
pendidik karakter, kurikulum (perkuliahan) harus mencakup topik mendasar dalam diri calon
guru. Munson (2000) memberikan daftar karakter diri yang meliputi (1) membangun sistem

Maya Istyadji
233
nilai pribadi; (2) menjelaskan nilai layak; (3) membuat pilihan yang bijak; (4) menilai tanggung
jawab terhadap hak-hak; (5) mengalami layanan pembelajaran; (6) memastikan bagaimana
cara mempraktekkan toleransi; (7) berfokus pada tanggung jawab dan menghormati; (8)
penyelesaian konflik; dan (9) mengintegrasikan kurikulum pendidikan karakter ke dalam
kurikulum yang sudah ada sebelumnya.
Pengejawantahan karakter diri ke dalam kemampuan pedagogi calon guru dapat
berfokus pada topik pelajaran, pengelolaan kelas dan lingkungan belajar. Ketiganya
menyediakan komponen kunci untuk memerangi karakteristik sosiologis siswa. Pada tataran
perencanaan pelajaran, strategi questioning dapat digunakan oleh pendidik calon guru dengan
mengajukan pertanyaan, misalnya:
1. Bagaimanakah karakteristik sosiologis yang dihadapi siswa dalam lingkungan
masyarakatnya?
2. Apakah perencanaan pelajaran yang telah dipersiapkan mampu menciptakan
lingkungan belajar yang mengarah pada produktivitas, keberhasilan akademis,
dan pembelajaran?
3. Apakah perencanaan pelajaran dalam satu program semester menyediakan
kesempatan bagi siswa untuk mengembangkan diri dan membantu siswa untuk
mengontrol kehidupannya sendiri dan menghindari kontrol yang berlebihan oleh
orang lain?
Pertanyaan-pertanyaan ini akan menstimulasi konstruksi karakter diri sebagai calon
pendidik karakter. Calon guru membuat pilihan-pilihan tentang strategi-belajar-aktif untuk
memerangi karakter buruk maupun membangun karakter baik bagi siswanya.
Pada tataran praktek, pendidik calon guru menerapkan struktur khusus sehingga calon
guru memiliki kolaborasi perencanaan, waktu penilaian, refleksi, serta mengembangkan budaya
dimana nilai-nilai berbasis pengambilan keputusan didorong di antara semua peserta didik
dewasa. Calon guru berkesempatan untuk menilai kelemahan dan kekuatan kemampuan
pedagoginya, merevisi rencana pelajaran beserta instrumen/perangkat pembelajarannya.
Program latihan pembuatan kit pendidikan karakter yang mendukung koneksi antara
kegiatan siswa di kelas dengan kegiatan siswa di rumah perlu dikembangkan. Program
mencakup sumber daya orang tua dan pendidik yang mencontohkan pengembangan karakter
positif. Kegiatan dalam program ini meliputi kegiatan diskusi untuk menjadi sukses di sekolah,
membuat keputusan yang bertanggung jawab, peduli orang lain, kontribusi kepada masyarakat,
mengembangkan kecakapan personal dan sosial, menerima berbagai perspektif, menetapkan
dan mencapai tujuan, dan mengembangkan satu set nilai-nilai.

III. SIMPULAN
Pendiri dan pemimpin bangsa kita telah sangat jelas tentang perlunya demokrasi
untuk menyertakan warga aktif yang menghargai kebebasan pribadi, harga diri dan martabat.
Layanan pendidikan publik terus maju untuk tujuan tersebut. Berada di layanan untuk dimensi

Maya Istyadji
234
mempersiapkan calon guru--salah satu menyoroti kebutuhan akan pendidik karakter-- adalah
sebuah kunci.
Pendidikan karakter adalah teori dan praktek, bagian penting untuk menyeimbangkan
paparan dan keterampilan untuk kebutuhan sukses di masa depan. Pemikiran pengambilan
keputusan yang menyediakan kesempatan bagi peserta didik dewasa (calon guru) untuk
memahami dirinya sebagai calon pendidik karakter diwakili respon yang terintegrasi dalam
kurikulum program pendidikan guru. Praktek pendidik calon guru harus mencakup ukuran
disengaja membangun karakter diri calon guru dalam proses belajar mengajar.
Para calon guru akan bekerja dan bersaing dalam dunia yang terus berubah. Calon
guru perlu pemahaman dasar mengenai karakter, nilai-nilai dirinya dan untuk disalurkan serta
menjadi kontributor kunci bagi kemanusiaan. Fakultas keguruan adalah organisasi yang
signifikan dan diperlukan untuk mempersiapkan calon pendidik karakter. Ini adalah tanggung
jawab dari setiap profesional pendidik calon guru untuk melihat tahun fakultas sebagai waktu
yang optimal secara konsisten berbicara tentang, dan menciptakan pengalaman untuk,
kemampuan masing-masing calon guru untuk menginternalisasi karakter pribadi.

DAFTAR PUSTAKA
Berkowitz, M. W. 1998. Obstacles to Teacher Training in Character Education. Action in Teacher
Education, 20 (4), 1-10.
Bowman, M., & Potts, A. 2001. Master of Arts Action Research Project, Saint Xavier University
and Skylight Professional Development, The Building Blocks of Character Education:
Respect, Responsibility, Citizenship. (ERIC Document Reproduction Service No.
ED453112).
Cummings, R., Dyas, L., Maddux, C.D. & Kochman, A. 2001. Principled moral reasoning and
behavior of pre-service teacher education students, American Education Research
Journal, 38(1), 143-158.
Cummings, R., Wiest, L., Lamitina, D. & Maddux, C. 2003. Teacher Education Curricula and
Moral Reasoning, Academic Exchange Quarterly, 7(1), 163-168.
DeRoche, E. F. & Williams, M. M. 2001. (2nd ed.) Educating Hearts and Minds: A Comprehensive
Character Education Framework. Thousand Oaks, CA: Corwin Press.
Goodlad, J. I. 1990. The Occupation o f Teaching in Schools. In J. I. Goodlad, R. Soder, & K. A.
Sirotnik (Eds.). The Moral Dimensions o f Teaching. San Francisco: Jossey-Bass.
Lovat, T. & Clement, N. 2008. Quality teaching and values education: Coalescing for effective
learning. Journal of Moral Education, 37 (1), 116.
Milson, A. J., & Mehlig, L. M. 2002. Elementary School Teachers’ Sense of Efficacy for
Character Education. Journal o f Educational Research. 96(1), 47-53.

Maya Istyadji
235
Munson, B. R. 2000, February 26-29). A paper presented at the annual meeting of the American
Association o f Colleges o f Teacher Education, Character Education: The Missing
Ingredient o f Pre-service Teacher Education Programs. Chicago, IL. (ERIC Document
Reproduction Service No. ED440069).
Narvaez, D. & Lapsley, D.K. 2008. Teaching moral character: Two Strategies for Teacher
Education. The Teacher Educator, 43 (2), 156-72.
Revell, L. & Arthur, J. 2007. Character Education in Schools and The Education of Teachers.
Journal of Moral Education, 36(1), 79-92.

Maya Istyadji
236
THE HONEST CHARACTER IN STATISTIC LEARNING
Muhammad Royani
STKIP PGRI Banjarmasin

ABSTRACT
Philosophically, values education goal is to humanize humans, develop human resources and
created human being. Educational value must appear in every process of learning, including
learning of mathematics that is not only covering mastery of math-oriented course. Brameld
(1975) said that as the education of power that emphasizes the importance of education for the
development of value systems so that learners able to think, act. Conversely, when the focus of
mathematics learning material substance, then the learning process in favor of knowledge of
power. Learning of mathematics as it has the potential to bear the arrogance of science and
widened the gap between the intellectual and moral. Mathematics teachers should be held to
consider the characteristics of students who learn mathematics and the mathematics itself.
Learning math has been less attention to the both characteristics, and more inclined to the
same learning patterns, which describe in brief, give examples, exercises, and giving a
homework assignment. Ideally, the learning of statistic should develop the cognitive, affective
and psychomotor as an essential component. Development of values and ethics in mathematics
inappropriate if only positioned as a crucial component or the hidden curriculum (hidden
curriculum). Values, morals and ethics should be explicit translated and enriched in every topic
of learning. Through such learning, the balance between the ownership of knowledge,
technological competence, moral individual and an appreciation of social values and culture
can be improved. Conclusion: (1) currently Learning statistics is academic, but its has honest
value as it builds the honest character personality; (2) ideally statistic learning have to develop
cognitive, affective, and psycomotoric domains as essential components; (3) developing values,
moral, and ethic on statitistic learning unexactly whether crucial component, because values,
moral, and ethic expose and enrich to each learning.
Keyword: Honest Character, Statistic, Learning

I. PENDAHULUAN
Pembelajaran yang dilaksanakan oleh guru tentunya dalam kerangka suatu proses
pendidikan membentuk manusia yang diharapkan, yaitu “berkembangnya potensi peserta didik
agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak
mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis
serta bertanggung jawab.” Pembelajaran matematika di sekolah sangat kental dengan tujuan
kognitif yang menjadi target pembelajaran, hal ini terlihat dari formulasi tujuan dan evaluasi
yang dirancang oleh guru dalam RPP. Akibatnya suasana pembelajaran terarah pada aktivitas
pencapaian tujuan kognitif semata yang disebut instructional effect, tanpa memperhatikan

Muhammad Royani
237
tujuan afektif dan psikomotor yang disebut nurturent effect. Artinya pembelajaran matematika
selama ini hanya mampu pada mengembangkan potensi peserta didik agar menjadi manusia
yang berilmu saja. Pembelajaran idealnya mempunyai dampak terhadap pembentukan
kepribadian seseorang, apapun pelajarannya dan apapun bahan ajarnya. Melihat fakta di
sekolah ternyata pembelajaran yang berlangsung jauh dari harapan akan terbentuknya peserta
didik yang berkarakter. Yang ada adalah terciptanya peserta didik yang memberi peluang pada
kepemilikan kecerdasan intelektual.
Pembelajaran matematika memunculkan dua pertanyaan yang harus dijawab
oleh guru, yaitu materi matematika apa yang akan diajarkan dan bagaimana
mengajarkannya. Pertanyaan tersebut mengarahkan pada penentuan tujuan dan strategi
pembelajaran. Selama ini tujuan pembelajaran matematika pada umumnya termasuk
pembelajaran statistik mengacu pada sisi kognitif saja, belum menyentuh sisi afektif yang
menjadi fokus pendidikan nilai dan kurang memperhatikan dampak pemilihan strategi
terhadap pendidikan nilai yang masih merupakan hidden curriculum.
Menurut Alisah & Dharmawan (2007:3) bahwa salah satu sebab utama kesulitan
memahami matematika ialah karena sifatnya yang abstrak. Hal ini sangat kontras dengan
alam pikiran kebanyakan dari kita yang terbiasa berpikir tentang objek-objek yang kongkret.
Bahasa matematika adalah bahasa yang abstrak, bahasa yang dipenuhi dengan begitu
banyak pelambang. Karena sifatnya yang abstrak inilah, seringkali kebanyakan orang awam
mengira bahwa matematika itu tak ada hubungannya dengan dunia nyata yang kongkret.
Orang menyangka bahwa matematika itu berhubungan dengan dunia lain, dunia yang
sama sekali berbeda sifatnya dengan dunia kita yang nyata ini. Operasi perhitungan
matematika tertentu, seperti penjumlahan, pengurangan, perkalian, dan pembagian
memang berguna dalam kehidupan kita sehari-hari. Namun makna nilai dibalik simbolik
bahasa matematika hampir tidak terkuak dalam proses belajar matematika di sekolah.
Materi statistik sebagai bagian dari matematika juga dipahami seperti bagian-bagian lain
dari matematika, yaitu sebatas pengetahuan tanpa keterkaitan dengan pembentukan sikap
dan keterampilan dalam mencari, membaca, mengolah dan menyajikan data statistik.
Padahal dibalik proses mencari data, mengolah data, menyajikan data, membaca data
memiliki banyak makna nilai-nilai dari kehidupan manusia. Namun tidak terungkapkan
nilai-nilai kemanusiaan tersebut dalam proses pembelajaran, sehingga selalu bersifat
hidden.

II. PENDIDIKAN KARAKTER


Kata karakter berasal dari kata Yunani charassein, yang berarti mengukir sehingga
terbentuk sebuah pola (Bohlin dkk dalam Megawangi, 2004:25). Mempunyai akhlak mulia
adalah tidak secara otomatis dimiliki oleh setiap manusia begitu ia dilahirkan, tetapi memerlukan
proses panjang melalui pengasuhan dan pendidikan. Dalam istilah bahasa Arab karakter ini
mirip dengan akhlak (akar kata khuluk), yaitu tabiat atau kebiasaan melakukan hal yang baik. Al
Ghazali menggambarkan bahwa akhlak adalah tingkah laku seseorang yang berasal dari hati
yang baik. Oleh karena itu pendidikan karakter adalah usaha aktif untuk membentuk kebiasaan

Muhammad Royani
238
baik (habit), sehingga sifat anak sudah terukir sejak kecil. Tuhan menurunkan petunjuk melalui
para Nabi dan Rasul-Nya untuk manusia agar senantiasa berperilaku sesuai dengan yang
diinginkan Tuhan sebagai wakil Tuhan di muka bumi.
Berbagai pendapat dari banyak pakar pendidikan anak, dapat disimpulkan bahwa
terbentuknya karakter (kepribadian) manusia ditentukan oleh dua faktor, yaitu nature (alami
atau fitrah) dan nurture (sosialisasi dan pendidikan). Agama mengajarkan bahwa setiap manusia
mempunyai kecenderungan (fitrah) untuk mencintai kebaikan. Namun fitrah ini bersifat potensial,
atau belum termanifestasi ketika anak dilahirkan. Conficius (filsuf Cina abad V SM) menyatakan
bahwa walaupun manusia mempunyai fitrah kebaikan, namun tanpa diikuti dengan instruksi
(pendidikan dan sosialisasi), maka manusia dapat berubah menjadi binatang, bahkan lebih
buruk lagi (Brooks dkk dalam Megawangi, 2004:25).
Di dalam sebuah hadist Qudsi digambarkan bahwa manusia dilahirkan dalam keadaan
fitrah (suci), seperti yang diriwayatkan oleh Muslim, telah berfirman Allah SWT: “Sesungguhnya
aku telah menciptakan hamba-hamba-Ku dalam keadaan lurus, suci, dan bersih. Kemudian
datanglah setan-setan yang menggelincirkan mereka dan menyesatkan dari kebenaran agama
mereka. Dan setan-setan pun telah mengharamkan segala sesuatu bagi mereka apa-apa
yang telah aku halalkan”.
Fitrah manusia menurut perspektif agama adalah cenderung kepada kebaikan ini,
masih mengakui adanya pengaruh lingkungan yang dapat mengganggu proses tumbuhnya
fitrah. Hal ini memberikan pembenaran perlunya faktor nurture atau lingkungan budaya,
pendidikan, dan nilai-nilai yang perlu disosialisasikan kepada anak-anak. Oleh karena itu Tuhan
menurunkan para Nabi/Rasul atau orang-orang bijak untuk mendidik dan mengingatkan kembali
akan perlunya menjalankan prinsip-prinsip kebajikan agar manusia dapat memelihara fitrahnya
(Megawangi, 2004:26). Nilai-nilai dasar budaya (akal-pikiran) dan kebudayaan (Perilaku, nilai,
norma) diletakkan melalui proses sosialisasi, enkulturasi, dan internalisasi (Koentjaraningrat,
1990:227).

III. PEMBENTUKAN KARAKTER JUJUR MELALUI PEMBELAJARAN


Menurut Undang-Undang Republik Indonesia nomor 20 tahun 2003 tentang Sistem
Pendidikan Nasional pasal 1 ayat 1 bahwa pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk
mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif
mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian
diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya,
masyarakat, bangsa dan negara. Sedangkan pasal 1 ayat 2 mengemukakan bahwa pembelajaran
adalah proses interaksi peserta didik dengan pendidik dan sumber belajar pada suatu lingkungan
belajar.
Berdasarkan ayat 1 tersebut jelas sekali secara tersurat bahwa melalui pendidikan
diharapkan terbentuklah manusia Indonesia yang berakhlak mulia dengan spiritual keagamaan,
pengendalian diri, kepribadian, dan tidak semata-mata memiliki kecerdasan intelektual dan
keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan negara. Karakter jujur adalah
akhlak mulia. Begitu pentingnya karakter jujur dalam menata kehidupan, Sumaatmadja

Muhammad Royani
239
(2002:22) mengatakan bahwa melalui pendidikan sangat diharapkan terbinanya “tata kehidupan
yang penuh kesadaran, kesabaran, dan kejujuran”. Dengan kata lain dapat dikatakan bahwa
kejujuran merupakan kata kunci dalam menata kehidupan, karena jujur merupakan gambaran
manusia dalam berpikir, bersikap dan berperilaku dalam menjalani kehidupan dalam tatanan
sosial dan budaya yang terus mengalami perubahan menuju kearah yang lebih baik untuk
mendekati kesempurnaan dengan panduan agama.
Pendidikan adalah suatu usaha sadar dan sistematis dalam mengembangkan potensi
peserta didik. Sedangkan karakter adalah watak, tabiat, akhlak, atau kepribadian seseorang
yang terbentuk dari hasil internalisasi berbagai kebajikan (virtues) yang diyakini dan digunakan
sebagai landasan untuk cara pandang, berpikir, bersikap dan bertindak. Kebajikan terdiri atas
sejumlah nilai, moral, dan norma, seperti jujur, berani bertindak, dapat dipercaya, dan hormat
kepada orang lain. Menurut Lickona (1992) bahwa pendidikan karakter menekankan kepada
tiga kelompok karakter yang baik, yaitu moral knowing, moral feeling, moral action.
Sujono (1988:19-20) menyatakan bahwa dengan belajar matematika maka karakter
atau watak seseorang dapat dibina atau dikembangkan. Ini terjadi karena belajar matematika
dapat mengembangkan daya konsentrasi, meningkatkan kemampuan mengeluarkan pendapat
dengan singkat dan tepat, berpikir rasional, dan mengambil keputusan secara tepat. Unsur-
unsur kedisiplinan yang terdapat di dalam matematika ternyata merupakan sarana yang baik
untuk membina dan mengembangkan karakter. Kebenaran dan kejujuran dua hal yang
mendasar dalam matematika. Kejujuran dapat ditumbuhkan dengan membiasakan siswa
memeriksa kembali hasil kerjanya. Jika dari hasil pemeriksaan kembali ternyata hasilnya salah,
maka dengan tulus hati dan kejujuran siswa yakin bahwa ia berbuat salah. Kejujuran juga
ditanamkan melalui pelajaran matematika. Dalam pelajaran ini siswa dibiasakan menyebutkan
sifat, rumus, teorema yang digunakan. Ini berarti bahwa dalam diri siswa ditanamkan kebiasaan
untuk mengetahui dan menghargai bantuan orang lain. Matematika adalah bidang studi penuh
kebenaran dan kepastian. Bila seseorang mencintai maka ia mencintai kebenaran. Siswa
yang mempelajari matematika dengan sadar atau tidak ia mempraktekkan kebenaran.
Kebenaran dalam berpikir, bertutur kata, menulis dan bertindak merupakan kebaikan yang
diperoleh secara tidak langsung dari belajar matematika. Cinta akan kebenaran dan kejujuran,
dua nilai terpuji ini ditanamkan dalam jiwa siswa melalui pelajaran matematika.
Menurut Soedjadi (2000:66-67) bahwa pembelajaran matematika tidak hanya
mengandung nilai edukasi yang bersifat mencerdaskan siswa tetapi juga nilai edukasi yang
membantu membentuk pribadi siswa. Memang untuk dapat mengetahui apakah nilai edukasi
pembentuk pribadi siswa telah tercapai tidaklah mudah, lebih-lebih dalam waktu yang singkat.
Untuk itu diperlukan upaya terencana, kontinu dan pengamatan yang cukup lama. Selama ini
nilai-nilai yang terkandung dalam pembelajaran matematika diharapkan akan tercapai dengan
sendirinya. Melalui pembelajaran matematika diharapkan dengan sendirinya para siswa akan
cermat dalam melakukan pekerjaan, akan kritis dan konsisten dalam bersikap, akan jujur dan
lain sebagainya yang disebut pembelajaran by-chance. Akan tetapi sekarang kita lebih
memerlukan perencanaan pembelajaran matematika yang secara sengaja memasukkan
pembelajaran nilai-nilai tersebut yang disebut pembelajaran by-design. Dalam pembelajaran

Muhammad Royani
240
ini perlu dilengkapi dengan tujuan domain afektif maupun psikomotor yang memerlukan
instrumen pengukurnya.
Secara ideal, pembelajaran matematika semestinya mengembangkan kognisi, afeksi
dan psikomotor sebagai komponen esensial. Dalam pemahaman seperti itu, maka
pengembangan nilai dan etika dalam pembelajaran matematika tidak tepat lagi jika hanya
diposisikan sebagai komponen krusial atau kurikulum tersembunyi (hidden curriculum). Nilai,
moral dan etika harus secara eksplisit dijabarkan dan diperkaya dalam setiap topik
pembelajaran. Melalui pembelajaran seperti itu, keseimbangan antara kepemilikan
pengetahuan, kompetensi teknologi, moral individu dan apresiasi terhadap nilai-nilai sosial
dan budaya dapat ditingkatkan.
Pembelajaran matematika perlu juga diarahkan pada pencapaian tujuan pendidikan
yang berdiversifikasi. Beberapa tujuan yang harus dicapai dalam pendidikan matematika adalah
membangkitkan peserta didik agar memiliki dorongan untuk tahu dan paham, memiliki
kemampuan mengumpulkan data, menemukan makna, berpikir logis, memilih alternatif pilihan
beserta akibatnya, memahami manusia pada posisi manusiawi, dan menghargai perbedaan
pendapat.
Pembelajaran matematika yang disertai oleh pengembangan nilai, moral, dan etika
diyakini akan mampu menumbuhkan potensi peserta didik melebihi apa yang dicapai dalam
pembelajaran konvensional. Unesco (1993) mencatat bahwa pembelajaran matematika yang
dilakukan secara terpadu dengan kebutuhan pendidikan nilai akan mampu merubah makna
belajar dan meningkatkan kemampuan peserta didik dalam menghargai kontribusi iptek,
mengembangkan minat mereka dalam belajar, dan memiliki sikap ilmiah yang jelas. Karena
itu, materi pembelajaran yang dikembangkan harus sampai pada materi-materi esensial yang
terkandung di dalamnya. Materi esensial adalah pokok-pokok bahasan tentang matematika
yang di dalamnya terkandung nilai, moral, dan etika yang harus dimiliki oleh peserta didik dan
dianggap krusial andai kata hal tersebut tidak disampaikan dalam proses pembelajaran.
Pembelajaran matematika seperti telah dikemukakan di atas selain dapat memperluas
cakrawala berpikir peserta didik tentang matematika, juga dapat mengembangkan kesadaran tentang
nilai-nilai yang secara esensial yang terdapat didalamnya. Dengan cara demikian, maka penyelidikan
tentang substansi materi matematika tidak ditempatkan sebagai akhir proses pembelajaran. Cara
seperti itu sesuai apa yang dikatakan Brameld (1975) sebagai education of power yang menekankan
pentingnya pendidikan untuk pengembangan sistem nilai agar peserta didik mampu berpikir, bersikap,
dan bertindak lebih matang. Sebaliknya ketika pembelajaran matematika mengutamakan substansi
materi dengan tidak terlalu berurusan pada kesadaran nilai, maka proses pembelajaran berpihak
pada knowledge as power. Pembelajaran matematika seperti itu berpotensi untuk melahirkan arogansi
keilmuan dan memperlebar celah antara intelektual dan moral.
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (2008), jujur artinya lurus, hati tidak
berbohong, tidak curang, tulus, dan ikhlas. Sedangkan Al-Syahrastani (dalam Shubhi, 2001:
129) mendefenisikan jujur adalah mewartakan tentang suatu hal sesuai dengan faktanya,
sementara dusta adalah mengabarkan tentang suatu hal yang berbeda dengan faktanya. Jujur
dalam pandangan umum menurut Kesuma dkk (2011: 16) dimaknai adanya kesamaan antara

Muhammad Royani
241
realitas (kenyataan) dengan ucapan, dengan kata lain apa adanya. Jujur termasuk traits (sifat/
karakter) yang disenangi dari sudut pandang teori kepribadian. Traits merupakan dimensi
kepribadian yang berhubungan dengan respon yang bersifat relatif konsisten dan berfungsi
untuk mengintegrasikan kebiasaan, sikap dan keterampilan kepada pola-pola berpikir, merasa,
dan bertindak (Yusuf dan Nurihsan, 2008: 10).
Menurut Izutsu (1993:116) bahwa berbicara benar (jujur) dianggap sebagai kebajikan
yang utama diantara orang-orang Arab padang pasir pada masa Jahiliyah, ini juga berlaku bagi
semua bangsa. Kebajikan ini merupakan bentuk kebajikan yang dimiliki manusia yang paling
umum, dengan demikian tidak menimbulkan permasalahan yang sangat penting. Namun
demikian dalam Qur’an, kebajikan itu sangat istimewa, dan permasalahan ini akan dapat
dipahami apabila kita mendekati masalah ini dari sisi negatifnya, yakni dosa tentang
kebohongan. Kebenaran pada dasarnya merupakan hubungan sidq dan haqq, haqq
menggambarkan sisi objektif dari kebenaran, dan bahasa dapat menjadi “benar” hanya apabila
sesuai dengannya. Kebenaran sebagai persoalan subjektif, merupakan penggunaan bahasa
sedemikian rupa sehingga sesuai dengan haqq, realitas. Masalah bicara benar menyangkut
hubungan religius antara Tuhan dan manusia. Haqq dilawankan dengan batil yang artinya
segala sesuatu yang pada hakikatnya kebohongan atau kesia-siaan.
Menurut Kesuma dkk (2011:16) bahwa Jujur sebagai sebuah nilai merupakan
keputusan seseorang untuk mengungkapkan (dalam bentuk perasaan, kata-kata dan atau
perbuatan) bahwa realitas yang ada tidak dimanipulasi dengan cara berbohong atau menipu
orang lain untuk keuntungan dirinya. Dalam konteks pembangunan karakter di sekolah, kejujuran
menjadi amat penting untuk menjadi karakter anak-anak Indonesia saat ini. Karakter ini dapat
dilihat secara langsung dalam kehidupan di kelas, semisal ketika anak melaksanakan ujian.
Perbuatan mencontek merupakan perbuatan yang mencerminkan anak tidak berbuat jujur
kepada diri, teman, orang tua, dan gurunya. Agustian (2009: 2-3) menyatakan hasil penelitian
membuktikan bahwa ketika seseorang berbohong terjadi perubahan fisiologis pada tubuhnya.
Beberapa perubahan tersebut adalah pola pernapasan, tekanan darah, detak jantung yang
meningkat, perubahan elektrolit pada kulit yang menunjukkan adanya keringat atau tidak, serta
perubahan nada suara. Oleh karena itu “jadikanlah kebenaran sebagai tempat kembalimu,
kejujuran sebagai tempat keberangkatanmu”
Kejujuran menurut Berten (2007:142-145) merupakan suatu nilai moral, tapi kejujuran
itu sendiri kosong, bila tidak diterapkan pada nilai lain, seperti nilai ekonomis karena nilai moral
tidak terpisah dari nilai-nilai yang lain. Suseno (1987: 142-143) mengatakan bahwa dasar
setiap usaha untuk menjadi orang kuat secara moral adalah kejujuran. Tanpa kejujuran
keutamaan-keutamaan moral lainnya kehilangan nilai mereka. Bersikap jujur terhadap orang
lain berarti terbuka dan wajar (fair). Terbuka tidak dimaksudkan bahwa segala pertanyaan
orang lain harus kita jawab dengan selengkapnya. Wajar berarti memperlakukan orang lain
menurut standar-standar yang dipergunakan orang lain terhadap diri kita sendiri sesuai dengan
suara hati atau keyakinannya. Menurut Hartshorne and May (dalam Gagne, 1983:45-46) bahwa
“a child who has a strong attitude of honesty may steal a penny when she thinks no one will
notice”. Seorang anak yang kuat sikap kejujurannya mungkin saja mencuri satu sen ketika ia

Muhammad Royani
242
berpikir tak seorangpun yang memperhatikannya. Kejujuran menurut Sumaatmadja (2002:7)
merupakan keberanian menempatkan nilai-nilai akhlak dalam menyatakan dan menentukan
berani di tempat yang benar, serta kesalahan seperti apa adanya sebagai pelanggaran atas
kebenaran. Kejujuran dalam lingkup kehidupan pribadi sampai pada tatanan sosial, berarti
jujur terhadap diri sendiri, terhadap keluarga, terhadap masyarakat yang puncaknya terhadap
Al-Khalik Maha Kuasa.

IV. PEMBELAJARAN STATISTIK MEMBANGUN KARAKTER JUJUR


Berbicara statistik tentu membicarakan tentang data. Data yang diperoleh dari hasil
pengamatan melalui perhitungan atau pengukuran haruslah data yang valid atau tepat di
samping reliabel dan obyektif. Valid menunjukkan derajat ketepatan, yaitu ketepatan antara
data yang sesungguhnya terjadi pada obyek dengan data yang disampaikan/dikemukakan/
diungkapkan/disajikan/dikatakan. Disini nampak jelas sekali ingin mengungkapkan fakta atau
mengatakan kebenaran apa adanya (secara jujur), bukan rekayasa. Apabila data yang dikatakan
bukan yang sebenarnya, berarti telah terjadi kebohongan yang disampaikan, dengan kata lain
datanya tidak valid. Statistik jelas mengajarkan kejujuran, baik dalam berpikir, bersikap dan
bertindak/berperilaku atau menurut Lickona (1992) sebagai karakter yang baik, yaitu moral
knowing, moral feeling, moral action. Bagaimana kita berpikir secara jujur untuk menyampaikan
data, bersikap jujur untuk mengatakan data apa adanya, dan berperilaku jujur dalam
mengungkapkan data.
Mengajarkan materi atau bahan ajar tentang penyajian dan pengolahan data pada
siswa kelas VI sekolah dasar yang merupakan bagian dari pelajaran matematika tentu memiliki
tujuan sebagai bekal hidup terkait dengan penguasaan ilmu dan juga nilai-nilai yang terkandung
dalam materi tersebut. Menurut Na-Ayudhya (2008:41) hasil uji coba model pembelajaran
nilai-nilai kemanusiaan terpadu (terintegrasi) di tingkat sekolah dasar menunjukkan keefektivan
model dalam memunculkan nilai-nilai kemanusiaan pada diri siswa dan menyebabkan
timbulnya transformasi pada diri mereka. Materi statistik disajikan pada semester gasal dan
genap. Pada semester gasal mempelajari tentang:
a. Mengumpulkan dan membaca data;
b. Mengolah dan menyajikan data dalam bentuk tabel;
c. Menafsirkan sajian data.
Sedangkan pada semester genap mempelajari tentang:
a. Menyajikan data dalam bentuk tabel dan diagram gabar, batang, dan lingkaran;
b. Menentukan rata-rata dan modus dari suatu data;
c. Mengurutkan data dan menentukan nilai tertinggi dan terendah;
d. Menafsirkan hasil pengolahan data (Sumanto, dkk. 2008: vi)
Dengan mempelajari materi atau bahan ajar statistik tersebut diharapkan peserta didik
memiliki kompetensi dalam mengumpulkan, membaca, mengolah, menyajikan, dan
menafsirkan data dengan benar, baik sebagai instructional effect maupun nurturent effect.
Materi statistik yang diajarkan pada siswa SD ini juga memiliki makna-makna esensial
yang melekat dalam kehidupan masyarakat dan budaya manusia seperti yang dikemukakan

Muhammad Royani
243
oleh Phenix (1964: 8) yaitu symbolic, emperics, esthetics, synoethics, ethics, and synoptic.
Menurut Sumaatmadja (2002:109-110) Makna simbolik meliputi bahasa, matematika, termasuk
juga isyarat-isyarat, upacara-upacara, tanda-tanda kebesaran, dan sebangsanya. Makna
simbolik ini sangat berarti dalam kehidupan bermasyakat-berbudaya manusia. Makna empirik
mencakup ilmu kealaman, hayati, kemanusiaan. Makna emperik ini mengembangkan
kemampuan teoretik, konseptual, analitik, generalisasi berdasarkan fakta-fakta dan kenyataan
yang dapat diamati. Makna estitik meliputi berbagai seni seperti musik, karya seni, kesenian,
sastra dan sebangsanya. Kedalam kawasan makna estetik ini, termasuk hal-hal yang berkenaan
dengan keindahan dan kehalusan, keunikan menurut persepsi subyektif berjiwa seni. Makna
sinoetik berkenaan dengan perasaan, kesan, penghayatan, dan kesadaran yang mendalam.
Kedalam makna ini termasuk empati, simpati, dan sebangsanya. Makna etik berkenaan dengan
aspek-aspek moral, akhlak, perilaku yang luhur, tanggungjawab dan sebangsanya. Makna
sinoptik berkenaan dengan pengertian-pengertian yang terpadu dan mendalam seperti agama,
filsafat, sejarah, dan hal-hal yang bernuansa spiritual.
Materi statistik jelas sekali memiliki keenam makna seperti yang dikemukakan Phenix,
yaitu semua data statistik menggunakan simbolik angka maupun gambar dalam
merepresentasikan kebenaran atau kejujuran karena statistik adalah bagian dari matematika
yang merupakan bahasa simbol yang memiliki makna sesuai dengan konteks objek
pengamatan. Misalnya tiga puluh lima orang siswa sedang belajar matematika di kelas. Tiga
puluh lima disimbolkan dengan bilangan 35, bukan yang lain karena 35 disini simbol kejujuran
dari fakta yang ada. Makna emperik pada data statistik merupakan yang utama karena data
yang diungkapkan harus fakta agar deskripsi maupun penarikan kesimpulan tidak salah, kalau
faktanya 35 maka harus ditulis 35. Penyajian data-data statistik juga menggunakan tabel,
diagram grafik, dan gambar yang memiliki kesan seni keindahan dalam mendeskripsikan
tentang objek pengamatan atau memiliki makna estitik. Data yang digali atau diperoleh adalah
fenomena yang terjadi dilapangan terkait dengan konteks kehidupan, artinya data-data
menggambarkan atau memiliki makna kondisi objek pengamatan tentang berbagai hal seperti
perasaan, kesan, penghayatan. Misalnya, ada 300 pendaftar siswa baru di SDN Mawar 7
Banjarmasin pada tahun 2011 padahal daya tampung hanya 70 siswa. Bilangan 300 memberi
kesan bahwa animo atau keinginan (perasaan) masyarakat terhadap sekolah tersebut sangat
tinggi. Artinya data statistik tersebut memiliki makna sinoetik. Data statistik memiliki makna etik,
yakni data tersebut mengatakan apa adanya sesuai dengan keadaan objeknya, dengan kata
lain data statistik memiliki makna jujur sebagai etika moral, akhlak, dan perilaku yang luhur.
Data tidak pernah berbohong, hanya manusianya yang mungkin berbohong. Makna sinoptik
dari data statistik memiliki pengertian atau makna yang mendalam yang berbicara tentang
kebenaran fakta secara jujur, tunduk pada aturan yang maha kuasa.
Dengan demikian idealnya pembelajaran statistik dapat membangun karakter jujur
pada pribadi peserta didik sebagai suatu kepribadian yang melekat pada dirinya sebagai nurturent
effect, di samping memahami teori statistik sebagai instructional effect. Kenyataannya
berdasarkan hasil observasi terhadap lima orang guru yang sedang mengajar matematika di
lima sekolah dasar kota Banjarmasin, belum ada guru yang mencoba mengintegrasikan karakter

Muhammad Royani
244
atau nilai-nilai kehidupan seperti kejujuran dalam pembelajaran. Dua dari guru tersebut pada
saat observasi sedang mengajar statistik, namun belum mengintegrasikan pendidikan karakter
ke dalam pembelajaran, walaupun keduanya sudah mencantumkan karakter yang diharapkan
ke dalam Rencana Persiapan Pembelajaran (RPP). Dari hasil wawancara terhadap kedua
guru tersebut, ternyata keduanya sudah menerima sosialisasi tentang integrasi pendidikan
karakter ke dalam pembelajaran. Akan tetapi guru hanya menekankan pada pemahaman
materi statistik semata pada saat pembelajaran berlangsung, tanpa memperhatikan karakter
yang diharapkan. Pada saat penulis observasi di salah satu kelas matematika, guru mengadakan
simulasi pemilihan presiden, semua siswa diminta memilih satu dari tiga calon presiden. Pada
saat itu, ada 36 siswa sebagai pemilih, namun pada rekapitulasi yang ditampilkan totalnya 39
pemilih. Tetapi tidak ada siswa atau guru yang protes terhadap ketidakcocokkan data pemilih
tersebut. Padahal momen tersebut sangat tepat untuk validasi data atau membuat penyataan
bahwa kita harus jujur dalam mengemukakan fakta, guru seharusnya berkomentar terhadap
ketidakbenaran data yang diungkapkan. Ternyata guru tidak memanfaatkan momen penting
tersebut.

V. SIMPULAN
Berdasarkan uraian yang telah dikemukakan, dapat dikemukakan kesimpulan sebagai
berikut:
1. Statistik diajarkan selama ini hanya sebatas ilmu, padahal statistik memiliki makna
nilai kejujuran sebagai pembentuk pribadi dengan karakter jujur.
2. Secara ideal pembelajaran statistik semestinya mengembangkan kognisi, afeksi,
dan psikomotor sebagai komponen esensial.
3. Pengembangan nilai, moral dan etika dalam pembelajaran statistik tidak tepat lagi
jika hanya diposisikan sebagai komponen krusial, karena nilai, moral dan etika harus
secara eksplisit dijabarkan dan diperkaya dalam setiap pembelajaran.

DAFTAR PUSTAKA
Al-Hasyimi, M.A. 2006. Kepribadian Seorang Muslim. Riyadh: IIPH.
Alisah,E. & Dharmawan, P.E. 2007. Filsafat Dunia Matematika. Pengantar untuk Memahami
Konsep-konsep Matematika. Jakarta. Prestasi Pustaka.
Amril,M. 2005. Etika dan Pendidikan.Yogyakarta. Aditya Media, dan Pekanbaru:LSFK2P.
Bertens, K. 1994. Etika. Jakarta: Gramedia Pustaka Umum.
Departemen Pendidikan Nasional. 2006. Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan. Jakarta:
Depdiknas.
Departemen Pendidikan Nasional. 2007. Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Republik
Indonesia No.41 Tahun 2007 tentang Standar Proses untuk Satuan.
Pendidikan Dasar dan Menengah. Tersedia: http://www.bnsp-indonesia.org/ standar-proses.php.
Djahiri, Kosasih. 1996. Menelusuri Dunia Afektif untuk Moral dan Pendidikan Nilai Moral.
Bandung:LPPMP.
Eck, Marcel. 1970. Lies & Truth. New York: Macmillan.
Elias, J.J. 1989. Moral Education: Secular and religious. Florida: Robert E. Krieger
Publishing Co., Inc.

Muhammad Royani
245
Elmubarok, Z. 2007. Membumikan Pendidikan Nilai. Bandung: Alfabeta.
Furqon. 1999. Statistika Terapan untuk Penelitian. Bandung: Alfabeta.
Hudojo, H. 1988. Mengajar Belajar Matematika. Jakarta: Dirjen Dikti Depdibud.
Joyce, Bruce & Weil, Marsha. 1980. Models of Teaching. New Jersey: John Wiley.
Koentjaraningrat. 1990. Pengantar Ilmu Antropologi. Jakarta: Rineka Cipta.
Lickona, T. 1992. Educating for Character. New York: Bantam Books
Mason, J dkk. 1985. Thinking Mathematically. England: Pearson Education.
Megawangi. 2004. Pendidikan Karakter. Jakarta: BPMIGAS.
Muhsetyo, Gatot dkk. (2008). Pembelajaran Matematika SD. Jakarta: Universitas Terbuka.
Phenix. 1964. Realms of Meaning. New York: Mc Graw-Hill
Soedjadi, R. 2000. Kiat Pendidikan Matematika di Indonesia (Konstatasi Keadaan Masa Kini
Menuju Harapan Masa Depan). Jakarta. Dirjen Dikti Depdiknas.
Sugiyono. 2009. Statistika untuk Penelitian. Bandung: Alfabeta.
Sujono. 1988. Pengajaran Matematika untuk Sekolah Menengah. Jakarta: Ditjen Dikti.
Sumaatmadja, N. 200). Pendidikan Pemanusiaan Manusia Manusiawi. Bandung: CV Alfabeta.
Sumanto, dkk. 2008. Gemar Matematika 6: untuk Kelas VI SD/MI. Jakarta: Pusat.

Muhammad Royani
246
STRATEGY OF SCIENCE LEARNING BASED ON CHARACTER
EDUCATION
Muhammad Zaini
Universitas Lambung Mangkurat

ABSTRACT
This paper is entitled “Learning Strategy of Math and Science Education Based on Character
Education”. The paper provides reinforcement that science contains values that are relevant to
character education. This reinforcement is done by assessing the values that contained in the
science material. Thus, the essence of science learning is the bridge to infuse character
education to students. Therefore, empowering science learning should begin by exploring all
the values that contained in the science material.
Keywords: values, character, science learning.

I. PENDAHULUAN
Eksistensi suatu bangsa sangat ditentukan oleh karakter yang dimiliki. Hanya bangsa
yang memiliki karakter kuat yang mampu menjadikan dirinya sebagai bangsa yang bermartabat
dan disegani oleh bangsa-bangsa lain (Kemendiknas, 2010). Oleh karena itu, menjadi bangsa
yang berkarakter adalah keinginan kita semua.
Keinginan menjadi bangsa yang berkarakter sesungguhnya sudah lama tertanam pada
bangsa Indonesia. Para pendiri negara menuangkan keinginan itu dalam Pembukaan UUD 1945
alinea ke-2 dengan pernyataan yang tegas, ... mengantarkan rakyat Indonesia ke depan pintu
gerbang kemerdekaan negara Indonesia yang merdeka, bersatu, berdaulat, adil dan makmur. Para
pendiri negara menyadari bahwa hanya dengan menjadi bangsa yang merdeka, bersatu, berdaulat,
adil dan makmurlah bangsa Indonesia menjadi bermartabat dan dihormati bangsa-bangsa lain.
Bangsa kita ingin pula memiliki peradaban yang unggul dan mulia. Peradaban demikian
dapat kita capai apabila masyarakat kita juga merupakan masyarakat yang baik (good society).
Masyarakat idaman seperti ini dapat kita wujudkan manakala manusia-manusia Indonesia
merupakan manusia yang berakhlak baik, manusia yang bermoral, dan beretika baik, serta manusia
yang bertutur dan berperilaku baik pula. Pink (2005) mengemukakan kilas balik peradaban dunia
menjadi 4 masa yakni 1) masa agrikultur, 2) masa industrial (pekerja pabrik), 3) masa informasi
(pekerja pengetahuan), dan 4) masa konseptual (empati dan kreasi). Jika kita flash back pada drama
kehidupan selama 150 tahun ini, maka dapat dibagi menjadi tiga era/abad.

Muhammad Zaini 247


1. Abad Industrial. Abad ini dicirikan dengan industrial massif, tenaga kerja untuk
produksi massal dan kekuatan fisik serta keuletan.
2. Abad Informasi. Dunia berevolusi dengan cepat, produksi massal menjadi
landasannya, informasi dan pengetahuan menjadi penentu perkembangan
ekonomi. Siapa yang memiliki informasi lebih cepat, maka akan lebih progress
dari pada lainnya. Pekerja yang memiliki pengetahuan menjadi penting. Penentu
sukses abad ini yaitu kecepatan dan juga net working. Cara berpikir dengan
kendali otak kiri memiliki peran yang penting, hal ini didukung adanya segala
kebutuhan yang mudah dipenuhi karena semua orang menyediakannya.
3. Abad Konseptual. Ciri dari abad ini yaitu kreator dan empati, di mana kemampuan
ini dikendalikan oleh kerja otak kanan. Kehidupan abad konseptual menuntut
keseimbangan kerja otak kiri dan kanan. Proses pembelajaran wajib memberikan
peluang kreatifitas dan inovasi untuk berkembang dengan memasukkan unsur art
pada setiap proses. Design dan aplikasi yang mengedepankan ciri, watak, sifat,
dan karakter individu juga menjadi hal penting.
Ada enam matra pola pikir abad konseptual menurut Pink (2005) yakni 1) tidak hanya
fungsi tetapi juga desain, 2) bukan hanya argumen tetapi juga ceritera, 3) tidak hanya fokus tetapi
juga simfoni, 4) tidak hanya logika tetapi juga empati, 5) tidak hanya keseriusan tetapi juga bermain,
dan 6) bukan hanya akumulasi tetapi juga makna.
Keenam matra di atas lebih banyak melibatkan kemampuan otak kanan manusia. Sektor-
sektor yang bisa dikembangkan oleh negara-negara maju, yang sulit ditiru oleh negara-negara
lainnya, ini memerlukan kemampuan spesifik manusia yang melibatkan kreativitas, keahlian, dan
bakat. Sektor industri dan informasi, lebih banyak memerlukan kemampuan otak kiri (berpikir linier,
mekanistik, rutin/hafalan dan parsial). Hal ini berarti kualitas SDM yang diperlukan adalah manusia
yang berkarakter dan kreatif (Hermana, 2010).
Pendidikan merupakan wahana utama untuk menumbuhkembangkan karakter yang baik.
Di sinilah pentingnya pendidikan karakter. Salah satu cara yang mungkin dilakukan untuk membangun
karakter adalah melalui pendidikan sains, Oleh karena itu perlu dirancang strategi pembelajaran
yang tepat agar terjadi transformasi yang dapat menumbuhkembangkan karakter positif, serta
mengubah watak dari yang tidak baik menjadi baik.
Di dalam Rencana Pelaksanaan Pembelajaran (RPP), dapat dimuat perilaku berkarakter
seperti teliti, jujur, peduli, tanggung jawab, bekerja sama, terbuka dan menghargai pendapat teman.
Kemampuan keterampilan sosial seperti bertanya, menyumbang ide atau pendapat, menjadi
pendengar yang baik, dan komunikasi. Pendidikan karakter pada Kurikuum 2013 dipertegas lagi
dengan berorientasi vertikal dan horizontal yang diperoleh melalui muatan keilmuan.

II. BAGAIMANA MEMBANGUN KARAKTER?


Instruksi Presiden Republik Indonesia (Inpres) No. 1 Tahun 2010 tentang percepatan
pelaksanaan prioritas pembangunan nasional. Diantaranya dinyatakan penyempumaan
kurikulum dan metode pembelajaran aktif berdasarkan nilai-nilai budaya bangsa untuk

Muhammad Zaini
248
membentuk daya saing dan karakter bangsa. Hal ini sejalan dengan desain makro pendidikan
karakter dari Kemendiknas seperti gambar 1, sedangkan dalam konteks mikro seperti gambar
2. Ketika pembelajaran di kelas, membangun karakter para siswa telah difasilitasi melalui
perangkat RPP. Pengembangan karakter siswa merupakan bagian penting dalam proses
pendidikan, khususnya di tingkat sekolah dalam membangun karakter bangsa. Untuk itu integrasi
pendidikan karakter dalam pendidikan persekolah perlu lebih dieksplisitkan lebih jauh dalam
pembelajaran setiap mata pelajaran. Hal ini sudah dilaksanakan di dalam Kurikulum 2013
seperti telah dijelaskan di atas.

GRAND DESIGN PENDIDIKAN KARAKTER

Agama, Pancasila,
UUD 1945,
PROSES PEMBUDAYAAN DAN PEMBERDAYAAN
UU No. 20/2003 ttg
Sisdiknas INTERVENSI

MASYA-
Teori SATUAN KELUARGA RAKAT
Nilai-nilai Perilaku
Pendidikan,
Psikologi, Luhur PENDIDIKAN Berkarakter
Nilai, Sosial
Budaya

Pengalaman terbaik HABITUASI


(best practices)dan
praktik nyata

PERANGKAT PENDUKUNG
Kebijakan, Pedoman, Sumber Daya,
Lingkungan, Sarana dan Prasarana,
Kebersamaan, Komitmen pemangku
kepentingan.
13

Gambar 1: Pengembangan Karakter dalam Konteks Makro


Sumber:Rencana Induk Pengembangan Pendidikan Karakter Bangsa Kementerian
Pendidikan Nasional Republik Indonesia, 2008.

STRATEGI MIKRO DI SEKOLAH

Integrasi ke dalam KBM Pembiasaan dalam kehidupan


pada setiap Mapel keseharian di satuan pendidikan

BUDAYA SEKOLAH: KEGIATAN KEGIATAN


(KEGIATAN/KEHIDUPAN EKSTRA KESEHARIAN
KESEHARIAN DI KURIKULER DI RUMAH
SATUAN PENDIDIKAN)

Integrasi ke dalam kegiatan


Ektrakurikuler Pramuka,
Olahraga, Karya Tulis, Dsb. Penerapan pembiasaan
kehidupan keseharian di
rumah yang sama dengan
di satuan pendidikan 14

Gambar 2: Pendidikan Karakter dalam Konteks Mikro


Sumber:Rencana Induk Pengembangan Pendidikan Karakter Bangsa Kementerian
Pendidikan Nasional Republik Indonesia, 2008

Muhammad Zaini 249


Perangkat RPP menampilkan suatu alternatif pengemasan proses pembelajaran yang
memfasilitasi terjadinya pengalaman belajar siswa pada ranah kognitif, psikomotor dan afektif.
Hasil belajar kognitif terdiri dari produk dan proses, sedangkan hasil belajar afektif terdiri dari
perilaku berkarakter dan keterampilan sosial. Siswa dapat dituntut menunjukkan perilaku
berkarakter, meliputi: teliti, jujur, peduli, tanggung jawab, bekerja sama, terbuka dan
menghargai pendapat teman. Menunjukkan kemampuan keterampilan sosial, meliputi:
bertanya, menyumbang ide atau pendapat, menjadi pendengar yang baik, komunikasi.

III. BAGAIMANA KARAKTER GURU?


Seorang guru menjadi tanggung jawab utama dalam menanamkan pendidikan karakter
kepada siswa. Salah satu perilaku berkarakter yang ditanamkan kepada siswa adalah jujur. Dalam
kaitan ini perlu disimak laporan hasil survei opini publik tentang pelaksanaan ujian nasional di
Kota Banjarmasin yang dilaksanakan oleh Dewan Riset Daerah (DRD) Balitbangda Provinsi
Kalimantan Selatan pada bulan Juni tahun 2010. Salah satu tujuan survei adalah mendidik semua
komponen yang terlibat dalam UN berbuat jujur dan kerja keras. Responden berasal dari berbagai
kalangan berjumlah 384 orang. Usia responden (38-49 th) sebesar 66%. Latar belakang
pendidikan responden didominasi lulusan SMA dan S1 (67%). Pekerjaan responden yang
diasumsikan peduli pendidikan (guru dan PNS bukan guru) sebesar 52%. Hasil survei berkaitan
dengan perilaku berkarakter adalah adanya kesenjangan antara harapan dan kenyataan meliputi:
1. Sekolah berkewajiban mengajarkan akhlak yang baik (SS, 73%), namun kenyataannya
hanya 25%.
2. Sekolah seharusnya mengajarkan kejujuran (SS, 68%) namun kenyataannya hanya 24%.
3. Kepala sekolah dan guru seharusnya menjadi teladan bagi murid-muridnya (SS,
65%) kenyataannya hanya 21%
4. Pelaksanaan Ujian Nasional seharusnya dilaksanakan dengan jujur (SS, 59%)
kenyataannya hanya 44%.
Berdasarkan hasil survei di atas dapat dikatakan pendidik belum berbuat secara optimal
dalam menanamkan perilaku berkarakter kepada siswa terutama 1) mengajarkan akhlak yang baik,
2) mengajarkan kejujuran, dan keteladanan, dan 3) kejujuran dalam melaksanakan UN. Berdasarkan
temuan ini perilaku berkarakter guru sendiri perlu mendapat perhatian.
Apa yang dilakukan selanjutnya? Menurut Teachers as Educators of Character Professional
Development yang berfokus pada perubahan sistemik sekolah perlu disiapkan para pendidik dan
pemimpin sekolah untuk menciptakan rasa aman, sehat, sekolah berkinerja tinggi, sedangkan
siswa inspirasi untuk mencapai potensi penuh mereka sebagai siswa dan sebagai manusia (CEP,
2010). Selanjutnya untuk memenuhi kebutuhan sekolah dan masyarakat, mereka menekankan:
1. Memacu prestasi siswa, pertumbuhan etika, dan pengembangan keterampilan
sosial dan emosional.
2. Mengidentifikasi strategi pengajaran untuk karakter moral dan kinerja.
3. Mengintegrasikan pendidikan karakter di seluruh sekolah.

Muhammad Zaini
250
IV. BAGAIMANA MENILAI KARAKTER?
Menilai perilaku berkarakter dan perilaku keterampilan sosial dilakukan melalui proses
pembelajaran tertuang dalam RPP. Perilaku berkarakter dan perilaku keterampilan sosial
termasuk ranah sikap, selain ranah pengetahuan dan psikomotor. Menilai perilaku berkarakter
maupun keterampilan sosial bukan menilai ya atau tidak, akan tetapi berapa kadar yang muncul
dalam pembelajaran. Oleh karena itu diperlukan rubrik untuk menilainya. Salah satu rubrik
untuk menilai perilaku berkarakter dimuat dalam sebuah buku Young Person’s Character
Education Handbook (JIST, 2006). Misalnya karakter bertanggung jawab dipandu 6 buah
indikator yakni:
1. Mengakui saat kamu membuat kesalahan.
2. Jangan menyalahkan orang lain jika perbuatanmu menyebabkan masalah.
3. Jika kamu berkata untuk melakukan sesuatu, maka lakukanlah. Jika kamu tidak bisa
melakukannya karena alasan tertentu maka bertanggungjawablah akan hal itu.
4. Jika kamu mempertanggungjawabkan keuangan, bersikaplah secara jujur
bagaimana kamu akan membelanjakannya.
5. Jika kamu bertanggungjawab terhadap tindakan orang/makhluk lain misalnya
hewan, maka bertanggungjawablah terhadap akibatnya.
6. Jika tidak ada aturan ataupun hukum yang membuatmu tetap bertanggung jawab,
putuskanlah apa yang menurutmu seharusnya dilakukan berdasarkan hati nurani.
Apabila keenam indikator ini dijumpai dalam diri siswa ketika proses pembelajaran
berlangsung, ia diberi skor amat baik, bilamana kurang satu diberi skor memuaskan dan
seterusnya. Ada pertanyaan mendasar bagaimana teknik mengamati siswa di kelas? Bagi guru
kelas tentu lebih mudah dibanding guru bidang studi, yang memangku beberapa kelas. Guru
kesulitan mengenali siswa dengan jumlah besar, meminta pengamat masuk ke dalam kelas juga
tidak mudah, karena sama-sama melaksanakan tugas sebagai guru. Di sini mengindikasikan
penilaian perilaku berkarakter dan keterampilan sosial masih memunculkan nuansa subjetivitas.
Sebagai pendidik tentu diharapkan melakukan penilaian perilaku berkarakter terhadap
siswa. Di mana penilaian ini tertuang ketika membuat perangkat RPP. Bagi guru (pendidik)
gunakan refleksi diri untuk menilai karakter yang kita miliki. Baik pada akhir semester maupun
akhir tahun pelajaran. Hasil refleksi dapat diserahkan kepada pimpinan sekolah untuk dinilai,
sehingga diharapkan ada keselarasan antara penilaian guru dan penilaian kepala sekolah. Ini
dilakukan sebagai pertanggungjawaban kita dalam menyandang gelar sebagai seorang profesi.

V. PENDIDIKAN SAINS BERBASIS PENDIDIKAN KARAKTER


Sikap ilmiah (scientific attitude) merupakan kumpulan karakter positif yang dapat
membentuk kepribadian jujur, disiplin dan taat azas. Melalui desain pembelajaran sains yang
benar, karakter anak-anak negeri dapat dibentuk. Namun harus diakui bahwa mengembangkan
desain pembelajaran sains yang baik tidaklah mudah. Ada atmosfer yang belum cukup
mendukung bagi guru untuk mengembangkan desain pembelajaran seperti itu.

Muhammad Zaini 251


Secara normatif, sistem penilaian pembelajaran sains menuntut kita untuk menilai siswa
tidak hanya pada ranah kognitif saja, namun juga afektif dan psikomotorik. Namun dalam praktiknya
hal tersebut sangat sulit dilaksanakan. Hal ini karena beberapa alasan, di antaranya: 1) beban
kurikulum yang sangat berat, sehingga guru “dipaksa” untuk “ngebut” dalam menyajikan materi,
2) keberadaan UN yang hanya menguji aspek kognitif, sehingga guru kurang memberi perhatian
pada aspek afektif maupun psikomotorik, 3) beban administrasi yang harus diselesaikan oleh
guru untuk memenuhi standar proses pembelajaran (Sabarnurohman. 2012). Jika sains diajarkan
sebagaimana sains bekerja, maka berbagai sikap positif akan muncul dari para siswa.
Sebagaimana yang kita lihat, scientific attitude merupakan kumpulan karakter positif
yang dapat membentuk kepribadian jujur, disiplin dan taat azas. Melalui desain pembelajaran
sains yang benar, karakter anak-anak negeri dapat dibentuk. Di dalam Kurikulum 2013 pada
semua jenjang, karakter sudah diposisikan lebih baik yakni dicantumkan sebagai kompetensi
inti (KI) yang penggaliannya terintegrasi dengan substansi mata pelajaran. Namun harus diakui
bahwa mengembangkan desain pembelajaran sains yang baik tidaklah mudah. Di sinilah
peran perguruan tinggi harus menunjukkan jati dirinya sebagai instansi terdepan dalam
mengembangkan inovasi pendidikan.
Pola umum pembelajaran sains dalam menanamkan dan mengembangkan
pendidikan karakter/nilai melalui pemodelan (Yudianto, 2011). Hal ini dilakukan untuk
menyampaikan pesan-pesan tingkah laku budi pekerti dan akhlak kepada siswa, di samping
muatan keilmuan yang sudah dirancang dalam RPP. Contoh di bawah ini merupakan
implementasi pembelajaran sains (biologi) bermuatan karakter. Bagaimanakah orang tua
seharusnya menyiapkan generasi muda secara matang terjun ke dalam masyarakat adalah
seperti model tumbuhan bakau (Rhizophora) seperti gambar 3.

Gambar 3. Tumbuhan Bakau (Rhizophora) dalam Menyiapkan Generasi Mudanya.


Tumbuhan bakau ini hidup di daerah pantai yang penuh lumpur, ini menggambarkan
kehidupan manusia dengan penuh tantangan. Bagaimana tidak? Untuk menyokong tegaknya
pohon bakau ini dibantu oleh sistem perakaran akar tunjang, karena tempat hidupnya rawan
abrasi air laut dan lumpur. Tumbuhan bakau menghasilkan biji-biji dengan tumbuh akar lebih
dahulu sebelum jatuh ke lumpur (vivipar). Dengan demikian, apabila biji jauh ke lumpur maka

Muhammad Zaini
252
akan siap langsung tumbuh di lumpur itu. Tampaknya tumbuhan bakau ini menyiapkan generasi
mudanya secara matang atau siap pakai terjun di lingkungan hidupnya. Model pertumbuhan
dan perkembangan tumbuhan bakau tersebut memberi pelajaran kepada manusia tentang
program pendidikan yang lulusannya siap pakai di masyarakat.
Setiap orang pada dasarnya seorang pemimpin, karena setidaknya memimpin dirinya
sendiri. Tetapi ada pula orang yang memiliki kemampuan memimpin orang lain atau
sekelompok orang, bahkan memimpin bangsanya dan negaranya. Hanya saja tipe
kepemimpinan orang ini ada yang mudah menerima masukan dari orang yang dipimpinnya
(pemimpin demokrasi), dan ada pula tipe kepemimpinan yang tidak mudah menerima masukan
atau digantikan oleh orang lain (pemimpin autokrasi). Tipe kepemimpinan tersebut ditunjukkan
oleh model-model pertumbuhan suatu tumbuhan seperti gambar 4. Ada model percabangan
batang monopodial dan ada pula model percabangan batang simpodial.
Gambar 4. Model Pertumbuhan Batang Monopodial dan Simpodial.

Apabila kita perhatikan fungsi bagian-bagian tumbuhan, antara akar, batang,dan daun
dalam proses pengangkutan air dan zat hara yang larut di dalamnya terdapat saling gotong
royong seperti ditujukan pada gambar 5.

Gambar 5: Proses Penyerapan dan Transportasi Air dengan Zat Hara.

Muhammad Zaini 253


Penyerapan air tanah oleh tumbuhan bukan hanya adanya daya osmosis dan tekanan
akar, tetapi juga dibantu oleh daya kapileritas pembuluh kayu (xilem dan trakea) batang, dan
daya isap daun. Daya osmosis sel-sel akar dan tekanan akar hanya mampu menaikkan air
tanah setinggi kurang lebih dua meter saja. Bagaimana halnya tumbuhan yang tingginya lebih
dari dua meter? Di sinilah peranan dan fungsi batang melalui daya kapileritas pembuluh kayunya
mampu menaikkan air tanah sampai setinggi 50 meter. Bagaimanakah halnya dengan tumbuhan
yang tingginya lebih dari 50 meter untuk memperoleh air dan zat hara yang terlarut di dalamnya?
Itulah sebabnya adanya daya isap daun sangat membantu proses transportasi air dan zat-zat
hara yang dibutuhkan oleh tumbuhan yang tinggi.

VI. SIMPULAN
Dimensi pendidikan karakter berdasarkan uraian di atas sudah selayaknya
diintegrasikan ke dalam materi pelajaran dari jenjang pendidikan usia dini hingga perguruan.
Dengan mengambil contoh pembelajaran sains banyak elemen-elemen pendidikan karakter
yang dapat dibelajarkan kepada para siswa.

DAFTAR PUSTAKA
Character Education Partnershiphttp (2010) ttp://www.character.org/index.cfm). Diakses 2 Mei 2014.
Desain Induk Pendidikan Karakter Kementerian Pendidikan Nasional. m l . s c r i b d . c o m / . . . /
Desain-Induk-Pendidikan-Karakter-Diakses 2Mei 2014
Hermana, Firman. 2010. SDM Berkarakter http://ekonomi-kreatif.blogspot.com/ 2009/02/tahun-
indonesia-kreatif-sdm-berkarakter.html.
Instruksi Presiden Republik Indonesia (Inpres) No. 1 Tahun 2010 tentang P e r c e p a t a n
Pelaksanaan Prioritas Pembangunan Nasional.
JIST, 2006. Young Person’s Character Education Handbook. Otis Avenue: JIST
Publishing, Inc.
Kementerian Pendidikan Nasional Badan Penelitian dan Pengembangan Pusat Kurikulum
Jakarta. 2010. Visi Kementerian Pendidikan Nasional.
Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia Nomor 65 Tahun 20 13
tentang Standar Proses Pendidikan Dasar dan Menengah.
Pink, D. H. 2005. A Whole New Mind . Penguin Group. USA.
Sabarnurohman. 2012. Internalisasi Scientific Attitude: Upaya Implementasi Pendidikan Karakter
pada Pembelajaran Sains. Makalah disampaikan pada seminar Pendidikan Karakter
di Fakultas Saintek UIN Sunan Kalijaga, 26 Mei 2012.sabarnurohman.com/1314/
1314. Diakses 19 November 2013.
Yudianto, Suroso Adi. 2011. Dimensi Pendidikan Karakter/Nilai dalam Model Sains-Biologi untuk
Pembelajaran Manusia sebagai Upaya Mengatasi Krisis Nilai dan Moral Bangsa.
Pidato Pengukuhan sebagai Guru Besar dalam Bidang Ilmu Pendidikan Sosio Biologi
pada Fakultas Pendidikan Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas
Pendidikan Indonesia, 16 November 2011. Diakses tanggal 19 Nopember 2011.

Muhammad Zaini
254
PROFIL KARAKTER TENAGA KESEHATAN DALAM IMPLEMENTASI
UNIVERSAL PRECAUTION UNTUK PENCEGAHAN HIV/AIDS
Nana Noviana
Balitbangda Provinsi Kalimanatan Selatan

ABSTRAK
Fenomena peningkatan dan penyebaran kasus HIV/AIDS di Kalimantan Selatan ini menjadi
perhatian dalam upaya pencegahan dan penanganannya. Upaya pencegahan juga diarahkan
pada perubahan karakter dari tenaga kesehatan, diantaranya adalah perubahan persepsi dari
tenaga kesehatan dalam pelaksanaan Universal Precaution untuk pencegahan HIV/AIDS.
Penelitian ini dimaksudkan untuk menganalisa karakter persepsi perawat dalam pelaksanaan
Universal Precaution untuk pencegahan HIV/AIDS di ruang rawat inap RSU.Dr.H.M.Ansari Saleh
Banjarmasin tahun 2012 dengan pendekatan crossectional. Instrumen penelitian menggunakan
kuesioner. Sampel bivariat yang diperoleh dianalisis menggunakan uji statistic chi square dan
multivariate dengan menggunakan uji regresi logistik. Hasil menunjukkan sebagian besar
responden mempunyai tindakan Universal Precaution yang kurang baik, karakter persepsi
perawat terhadap kerentanan, keparahan, hambatan dan manfaat yang dirasa dalam
melaksanakan Universal Precaution untuk pencegahan HIV/AIDS dapat mempengaruhi tindakan
perawat tersebut dalam melaksanakan Universal precaution.Diperlukan upaya untuk
meningkatkan pelaksanaan Precaution Universal karena keyakinan yang rendah dari perawat
untuk pelaksanaan Kewaspadaan Universal dan perlu adanya punish dan reward dalam
pelaksanaan Precaution Universal, serta perlu disosialisasikan kembali tentang standar
Universal precaution agar tenaga kesehatan memiliki karakter yang sesuai dengan standar
pelaksanaan Universal Precaution sehingga dapat mencegah penyebaran HIV/AIDS.

I. PENDAHULUAN
Di Indonesia perkembangan kasus HIV /AIDS memperlihatkan peningkatan yang
semakin pesat dengan akselerasi yang semakin mengkhawatirkan (Hacker M,2001).
Peningkatan prevalensi HIV/AIDS meningkatkan risiko tenaga kesehatan yang bekerja di fasilitas
kesehatan akan terpapar oleh infeksi yang secara potensial dapat membahayakan jiwanya.
Pemerintah dan masyarakat perlu melaksanakan upaya untuk memelihara dan meningkatkan
derajat kesehatan masyarakat yang setinggi-tingginya secara optimal sesuai amanat dari
Undang-undang Kesehatan No 36 tahun 2009 (Kementrian Kesehatan RI, 2011). Di dalam
tujuan MDGs (Millenium Development Goals) pada poin ke 6 juga telah menyebutkan untuk
memerangi HIV/AIDS dengan target mengendalikan penyebaran HIV/AIDS dan mulai
menurunkan kasus baru pada 2015. Serta diamanatkan dalam Peraturan Presiden No.75

Nana Noviana
255
tahun 2006 bahwa perlunya peningkatan upaya penanggulangan HIV/AIDS (Aquired
Immunodeficiency Syndrome ) di seluruh Indonesia. Respons harus ditujukan untuk mengurangi
semaksimal mungkin peningkatan kasus baru dan kematian (Depkes RI, 2011). Tingginya
angka penyebaran infeksi HIV/AIDS memerlukan suatu tindakan universal precaution untuk
mencegah penyebaran infeksi. Sehingga tercapai tujuan pembangunan yaitu terwujudnya
derajat kesehatan yang optimal (Kementrian Kesehatan RI, 2011).
Tabel 1.1 Jumlah Kasus Baru HIV/AIDS dan Kematian di Indonesia

NO TAHUN HIV AIDS MATI


1 2009 9793 3863 331
2 2010 21591 5744 979
3 2011 21031 4162 597

Sumber : Direktorat Jendral Pengendalian Penyakit Menular & Penyehat Lingkungan,


9 Maret 2012
Tenaga kesehatan dalam memberikan asuhan keperawatan kepada pasien terjadi
kontak langsung dengan cairan tubuh atau darah pasien, sehingga dapat menjadi tempat
dimana agen infeksius dapat hidup dan berkembang biak yang kemudian menularkan dari
pasien satu ke pasien yang lainnya, khususnya bila kewaspadaan terhadap darah dan cairan
tubuh tidak dilaksanakan terhadap semua pasien (Etstathiou.G.PE, 2011).
Universal Precaution merupakan metode yang efektif untuk melindungi petugas
kesehatan dan pasien. Metode ini sebenarnya bukan hal khusus untuk mencegah infeksi
HIV , melainkan prosedur yang sama untuk mencegah infeksi penyakit lainnya. Penerapan
Universal precaution ini tidak lepas dari peran masing-masing pihak yang terlibat didalamnya
yaitu pimpinan termasuk staf administrasi, staf pelaksana pelayanan dan para pengguna
jasa yaitu pasien dan pengunjungnya.Untuk dapat bekerja secara maksimal, tenaga kesehatan
harus selalu mendapatkan perlindungan dari resiko tertular penyakit.
Dalam Centers for disease Control and Prevention CDC Atlanta merekomendasikan
bahwa seluruh petugas kesehatan harus melakukan tindakan pencegahan untuk mencegah
cidera yang disebabkan oleh jarum, pisau bedah, dan intrumen atau peralatan yang tajam.
Data dari CDC memperkirakan setiap tahun terjadi 385.000 kejadian luka akibat benda tajam
yang terkontaminasi darah pada tenaga kesehatan dirumah sakit di Amerika (Yusran M, 2008).
Dari hasil penelitian yang dilakukan di Rumah Sakit Karyadi Semarang menunjukkan
angka kepatuhan tenaga kesehatan untuk menerapkan penerapan beberapa elemen
Universal Precaution kurang dari 50%. Studi pendahuluan yang dilakukan di Rumah Sakit
Abdoel Muluk pada tahun 2006 menunjukkan 58 % tenaga kesehatan mengalami paparan
terhadap darah dan cairan tubuh (Yusran M, 2008). Dirumah sakit Dr.Soetomo dan rumah
sakit swasta di Surabaya, terdapat 16 kasus kecelakaan kerja pada petugas kesehatan dalam
2 tahun terakhir meskipun setelah dievaluasi dan ditindak lanjuti terbukti tidak terpapar HIV
(Nasronudin, 2007).

Nana Noviana
256
Tabel 1.2 Jumlah Kasus Baru HIV/AIDS dan Kematian di Kalimantan Selatan

NO TAHUN HIV AIDS KEMATIAN


1 2009 110 30 12
2 2010 63 63 5
3 2011 66 66 5

Sumber :Dinas KesehatanTingkat I Provinsi Kalimantan Selatan, 2012


Kasus HIV/AIDS Provinsi Kalimantan Selatan termasuk dalam urutan ke 27 dari 33 provinsi.
Kasus HIV/AIDS provinsi Kalimantan Selatan tersebar di beberapa kabupaten di Kalimantan Selatan
(Dinkes Prov Kalsel, 2011). Kota Banjarmasin yang merupakan ibukota provinsi Kalimantan Selatan
dan merupakan daerah yang paling tinggi kasus AIDS dari kota yang ada di Kalimantan Selatan.
Tabel 1.3 Jumlah Kasus Baru HIV/AIDS di Banjarmasin

NO TAHUN HIV AIDS


1 2010 21 18
2 2011 51 33
3 Feb 2012 52 33

Sumber :Dinas Kesehatan Tingkat I Provinsi Kalimantan Selatan, 2012


Berdasarkan SK Menkes no 760/menkes/SK/VI/2007 (Menkes RI, 2007) menetapkan
bahwa RSU.Dr.H.M.Ansari Saleh Banjarmasin merupakan salah satu rumah sakit rujukan HIV/
AIDS di Provinsi Kalimantan Selatan. Hal ini dipandang perlu dilakukan dalam rangka
penanganan, penanggulangan dan untuk memberikan pelayanan kesehatan yang bermutu
bagi ODHA (Orang dengan HIV AIDS ).
Tabel 1.4 Jumlah pasien HIV/AIDS di RSU.Dr.H.M.Ansari Saleh

NO TAHUN POLIVCT RAWAT INAP


1 2010 121 10
2 2011 151 30

Sumber :Dinas Kesehatan Tingkat I Provinsi Kalimantan Selatan, 2012


Berdasarkan pengamatan awal yang telah dilakukan oleh peneliti dengan paramedis
perawatan, pada tahun 2010 didapatkan data kejadian infeksi nosokomial sebesar 1,44% dan
hasil wawancara dengan 10 orang paramedis perawatan didapat hanya 2 orang yang benar-
benar menggunakan sarung tangan dalam setiap melakukan tindakan keperawatan. Dari hasil
pengamatan didapat bahwa SOP untuk protokol Universal Precaution tidak disosialisasikan
kepada para perawat, bahkan sebagian perawat tidak pernah tahu ada SOP tentang protokol
Universal Precaution dan tidak pernah ada sanksi maupun rewards bagi perawat yang selalu

Nana Noviana
257
melaksanakan maupun yang tidak melaksanakan Universal Precaution. Meski belum ada
data yang menyebutkan penularan HIV/AIDS pada paramedis, namun peningkatan resiko
paramedis yang tidak dibarengi dengan penerapan penatalaksanaan universal precaution
maka ada kemungkinan terpajan darah atau cairan tubuh pasien saat melakukan tindakan
(Depkes RI, 2010) . Dalam hal ini peran perawat sangatlah penting karena melakukan kontak
langsung dengan pasien dalam memberikan pelayanan (Andrew G, 2010).
Dari data tersebut diatas didapatkan bahwa kejadian HIV/AIDS terutama dikota
Banjarmasin yang merupakan ibukota provinsi Kalimantan Selatan telah mengalami
peningkatan, selain itu karena kota Banjarmasin merupakan ibukota provinsi dan merupakan
pusat perdagangan yang besar serta merupakan tempat transit maka akan memberikan
kontribusi terhadap peningkatan kejadian HIV/AIDS. Pada dasarnya perawat yang bekerja di
RSU.Dr.H.M.Ansari Saleh yang berada di kota Banjarmasin dimana merupakan rumah sakit
rujukan ODHA, kemungkinan besar terpajan darah atau cairan tubuh pasien ODHA saat
melakukan tindakan tidak perlu tertular HIV/AIDS apabila para perawat melakukan tindakan
Universal Precaution terhadap semua pasien (Yayasan Spiritia, 2009).
Tujuan dari kajian ini adalah untuk menganalisa faktor yang berpengaruh terhadap
tindakan perawat dalam pelaksanaan Universal Precaution untuk pencegahan HIV/AIDS di
RSU.Dr.H.M.Ansari Saleh Banjarmasin. Penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi
dan pertimbangan serta arah dalam membuat kebijakan untuk meningkatkan kepatuhan
paramedis perawatan terhadap standar pelayanan dan kewaspadaan universal sebagai upaya
pencegahan HIV/AIDS.

II. METODE PENELITIAN


Penelitian ini adalah penelitian Kuantitatif dengan pendekatan secara cross sectional
yaitu suatu penelitian untuk mempelajari dinamika korelasi antara variabel bebas dengan
variabel terikat. Populasi dalam penelitian ini adalah seluruh perawat PNS yang bekerja di
ruang rawat inap RSU.Dr.H.M.Ansari Saleh Banjarmasin sebanyak 107 orang. Sampel dalam
penelitian ini adalah total populasi yaitu sebanyak 107 orang. Penelitian ini dilaksanakan pada
bulan Mei - Juni 2012. Variabel bebas dalam penelitian ini adalah persepsi kerentanan, persepsi
keparahan, cues to action, persepsi manfaat dan persepsi hambatan. Variabel terikatnya adalah
tindakan perawat dalam pelaksanaan Universal Precaution. Data diperoleh dengan
menggunakan instrument kuesioner. Data bivariat dilakukan uji statistic chi square dengan
taraf signifikansi 5% dan multivariate dengan menggunakan uji regresi logistic.

III. HASIL DAN PEMBAHASAN


Pendidikan merupakan pembelajaran seumur hidup yang terjadi disetiap sendi
kehidupan. Dengan pendidikan merupakan bimbingan untuk mengeluarkan kemampuan yang
tersimpan dalam diri seseorang sehingga dapat mengembangkan diri semakin cerdas, dewasa
dan matang. Semakin tinggi pendidikan paramedis perawat diharapkan akan mampu
melaksanakan tindakan Universal Precaution dengan professional. Begitu juga dengan masa

Nana Noviana
258
kerja seorang paramedis perawat diharapkan dengan semakin lama dia bekerja akan semakin
baik dalam melaksanakan tindakan Universal Precaution. Gambaran karakteristik responden
dapat dilihat pada tabel 1 berikut .
Tabel 1. Karakteristik Responden ( n=107)

KARATERISTIK JUMALAH PROSENTASE


Pendidikan Tinggi 29 27,1
Menengah 77 72,0
Rendah 1 0,9
Lama Bekerja Baru 5 39 36.4
tahun
Lama 5 68 63,6
tahun

Sumber: Data primer diolah, 2012


Tindakan paramedis perawat dalam melaksanakan Universal Precaution secara
langsung tergantung dari keyakinanannya atau penilaiannya terhadap Universal Precaution
tersebut. Penilaian tentang resiko yang akan dirasakannya apabila melaksanakan Universal
Precaution, keyakinan akan pertimbangan terhadap keuntungan ataupun kerugian dalam
melaksanakan Universal Precaution, serta mempertimbangkan informasi yang didapat dari
orang lain maupun sumber lainnya. Faktor yang mempengaruhi perubahan prilaku untuk
melaksanakan tindakan Universal precaution dipengaruhi karakteristik individu, penilaian
individu terhadap Universal Precaution, interaksi dengan petugas kesehatan yang menawarkan
atau menyampaikan tindakan Universal Precaution serta pengalaman yang diperolehnya yang
mendorong untuk melaksanakan Universal Precaution. Untuk jelasnya dapat dilihat di tabel 2.
Tabel 2. Distribusi Frekuensi Variabel Penelitian ( n=107 )

VARIABEL PENELITIAN JUMALAH PERSENTASE


Tindakan Perawat Kurang Baik 59 55,1
Baik 48 44,9
Persepsi Rendah 52 48,6
Kerentanan yang dirasa Tinggi 55 51,4
Persepsi Rendah 44 41,1
Keparahan yang dirasa Tinggi 63 58,9
Perilaku bertindak Rendah 43 40,2
Tinggi 64 59,8
Persepsi Rendah 53 49,5
Manfaat yang dirasa Tinggi 54 50,5
Persepsi Rendah 42 39,3
Hambatan yang diras 65 60,7

Sumber: Data primer diolah,2012


Nana Noviana
259
Persepsi paramedis perawat menunjukkan keyakinannya terhadap penatalaksanaan tindakan
Universal Precaution untuk mencegah HIV/AIDS. Untuk lebih jelas dapat dilihat dalam tabel 3.
Tabel 3. Analisa pengaruh antara variabel Dependent
dengan tindakan perawat dalam pelaksanaan Universal Precaution
Variabel Tindakan total
Penelitian Baik Kurang
baik
N % N % JML %

Persepsi R 21 42,0 29 58,0 50 100


Kerentanan T 37 64,9 20 35,1 57 100

Persepsi R 16 36,466,7 28 63,6 44 100


Keparahan T 42 21 33,3 63 100

Cues To R 19 460,9 49 55,8 43 100


Action T 39 51 39,1 64 100

Persepsi R 18 34,0 35 66,0 53 100


Manfaat T 40 74,1 14 25,9 54 100

Persepsi R 14 33,3 28 66,7 42 100


Hambatan T 44 67,7 21 32,3 65 100

Sumber: Data primer diolah, 2012


Tabel 4. Ringkasan hasil Analisa Statistik Hubungan Variabel Bebas dan Terikat
menggunakan Uji Chi Square pada tingkat kesalahan (á) sebesar 5% (0,05).

No Variabel Bebas Variabel Terikat Nilai p

1Persepsi Kerentanan 0,029 Ada


Tindakan Hubungan
2Persepsi Keparahan Perawat 0,004 Ada
Hubungan
3 3.Prilaku untuk bertindak 0,132
/cues to action Tidak ada
Hubungan
4.Persepsi Manfaat 0,000 Ada
Hubungan
5.Persepsi Hambatan 0,001 Ada
Hubungan
Sumber: Data primer diolah, 2012

Nana Noviana
260
Tabel 5. Hasil Analisis Multivariat yang Berpengaruh terhadap Tindakan perawat
dalam Pelaksanaan Universal Precaution untuk Pencegahan HIV/AIDS di Ruang Rawat Inap
RSU.Dr.H.M.Ansari Saleh Banjarmasin tahun 2012.

Variables in the Equation


B S.E. Wald SSig.
df Exp(B) 95.0% C.I.for EXP(B)
Lower Upper

Step
2a Keparahan(1) 1.745.527 10.971 1 .001 5.728 2.039 16.091
Manfaat(1) 1.446.512 7.962 1 .005 4.246 1.555 11.591
Hambatan(1) 1.040.529 3.871 1 .049 2.830 1.004 7.979
Constant - .814 1.569 1 .210 .361
1.020
a. Variable(s) entered on step 1: Kerentanan,
Keparahan,
Manfaat, Hambatan.
Sumber: Data primer diolah,2012
Berdasarkan hasil analisis yang dilakukan dapat disimpulkan ada empat variabel
independent yang diduga yang secara signifikan berpengaruh yaitu persepsi keparahan yang
dirasa, persepsi manfaat yang dirasa, persepsi hambatan yang dirasa serta pengetahuan tentang
Universal Precaution. Selanjutnya dapat disimpulkan bahwa variabel persepsi keparahan yang
dirasa mempunyai pengaruh yang paling signifikan terhadap tindakan perawat dalam
pelaksanaan Universal Precaution untuk pencegahan HIV/AIDS.
3.1 Tindakan Perawat dalam Pelaksanaan Universal Precaution untuk
Pencegahan HIV/AIDS.
Dari hasil penelitian menunjukan bahwa responden termasuk dalam kategori tindakan
yang kurang baik terhadap pelaksanaan Universal Precaution yaitu 82,2% responden
berpersepsi meskipun mereka mempunyai luka basah tetap melakukan perawatan, 62,6%
responden berpersepsi resusitasi dapat dilakukan secara langsung tanpa menggunakan
resuscitation bag, 58,9% responden berpersepsi alat bekas pakai direndam dg klorin selama
20 menit seharusnya hanya 10 menit ,51,4% responden berpersepsi untuk menjamah darah
atau cairan tubuh pasien dapat dilakukan tanpa menggunakan sarung tangan, 51,4% responden
tanpa menggunakan masker saat melakukan perawatan untuk mencegah pajanan mukosa
dan mulut, 51,4% responden tidak mencuci tangan dengan sabun setelah melakukan
perawatan.
Meskipun responden yang memberikan jawaban kurang baik terhadap tindakan harus
tetap mendapat perhatian seperti membersihkan alat bekas pakai dengan menggunakan sarung
tangan biasa sangat berbahaya apabila terjadi kebocoran sehingga dapat menyebabkan
penularan penyakit, apalagi saat melakukan perawatan atau kontak dengan pasien hanya

Nana Noviana
261
menggunakan satu sarung tangan untuk lebih dari satu pasien sangat memudahkan untuk
menularkan penyakit seperti HIV/AIDS baik kepada pasien maupun petugas kesehatan, dan
setelah kontak dengan pasien tidak melakukan cuci tangan dengan benar seperti tidak
menggunakan sabun tidak membuat kuman mati hal itu dapat menularkan penyakit.
Jika dilihat dari hasil analisa bivariat dari penelitian ini, ada 5 variabel yang berhubungan
dengan tindakan perawat dalam pelaksanaan Universal Precaution untuk pencegahan HIV/
AIDS yaitu : Pengetahuan, persepsi kerentanan yang dirasa, persepsi keparahan yang dirasa,
persepsi manfaat yang dirasa dan persepsi hambatan yang dirasa. Dari teori HBM disebutkan
bahwa isyarat untuk bertindak (cues to action) sebagai keyakinan terhadap informasi dari luar
atau nasehat dari orang lain, pengalaman orang lain yang mengalami hal yang sama, berita
dari media dan sebagainya. Hal ini menguatkan keputusan untuk bertindak untuk menggerakkan
seseorang dari keinginan untuk membuat perubahan kesehatan. Sedangkan persepsi
kerentanan, persepsi keparahan, persepsi manfaat dan persepsi hambatan saling
mempengaruhi. Pada penilaian tentang ancaman yang dirasakan berdasarkan pada
kerentanan yang dirasakan dan keparahan yang diterima, asumsinya bahwa bila ancaman
yang dirasakan tersebut meningkat maka perilaku pencegahan juga meningkat. Manfaat yang
dirasakan menunjukkan keyakinan individu untuk berprilaku sedangkan hambatan yang
dirasakan mungkin bertindak sebagai penghambat untuk menjalankan prilaku yang
direkomendasikan dalam hal ini Universal Precaution. Tindakan pencegahan ini juga
dipengaruhi oleh demografi, sosiopsikologi dan pengetahuannya.
3.2 Persepsi Responden tentang Kerentanan yang Dirasa dalam Pelaksanaan
Universal Precaution untuk Pencegahan HIV/AIDS
Hasil penelitian menunjukkan bahwa responden yang melakukan tindakan Universal
Precaution kurang baik lebih banyak (58,0%) pada yang berpersepsi kerentanan yang rendah
dibandingkan yang berpersepsi kerentanan yang dirasa tinggi (35,1%). Berdasarkan hasil uji
statistik Chi Square diperoleh ñ value = 0,029 ( < 0,05 ). Hasil ini menunjukkan bahwa secara
statistik ada hubungan antara kerentanan yang dirasa tentang Universal Precaution dengan
Tindakan Perawat dalam pelaksanaan Universal Precaution untuk pencegahan HIV/AIDS.
Hasil penelitian menunjukan bahwa responden mempunyai persepsi kerentanan yang buruk
terhadap pelaksanaan Universal Precaution yaitu responden berpersepsi tidak akan terkena
HIV/AIDS walaupun tidak menggunakan sarung tangan yang sesuai (68,2%). Responden
berpersepsi tidak akan terkena HIV/AIDS walaupun tidak merawat pasien odha (67,3%).
3. 3 Persepsi Responden tentang Keparahan yang Dirasa dalam Pelaksanaan
Universal Precaution untuk Pencegahan HIV/AIDS
Hasil penelitian menunjukkan bahwa responden yang melakukan tindakan Universal
Precaution kurang baik lebih banyak (63,6%) pada yang berpersepsi keparahan rendah
dibanding dengan yang berpersepsi keparahan tinggi (33,3%). Responden yang melakukan
tindakan baik dan memiliki persepsi keparahan yang tinggi (72,4%) lebih tinggi dari responden
yang melakukan tindakan baik dan memiliki persepsi keparahan yang rendah (27,6%).
Berdasarkan hasil uji statistik Chi Square diperoleh ñ value = 0,004 (< 0,05). Hasil ini menunjukkan

Nana Noviana
262
bahwa secara statistik ada hubungan antara persepsi keparahan yang dirasa tentang Universal
Precaution dengan Tindakan Perawat dalam pelaksanaan Universal Precaution untuk
pencegahan HIV/AIDS. Hasil penelitian menunjukan bahwa responden mempunyai persepsi
keparahan yang buruk terhadap pelaksanaan Universal Precaution yaitu responden berpersepsi
HIV/AIDS adalah penyakit yang bisa disembuhkan (53,3%) , responden berpersepsi bahwa
HIV/AIDS tidak dapat ditularkan melalui percikan darah (30,8%).
3.4 Isyarat untuk Berprilaku/ Cues to Action dalam Pelaksanaan Universal
Precaution untuk Pencegahan HIV/AIDS
Hasil penelitian menunjukkan bahwa responden yang melakukan tindakan Universal
Precaution kurang baik lebih banyak (55,8%) pada yang cues to action rendah dibanding yang
cues to action tinggi (39,1%). Berdasarkan hasil uji statistic Chi Square diperoleh ñ value =
0,132 (> 0,05). Hasil ini menunjukkan bahwa secara statistic tidak ada hubungan antara
pendorong untuk berprilaku/ cues to action yang dirasa tentang Universal Precaution dengan
Tindakan Perawat dalam pelaksanaan Universal Precaution untuk pencegahan HIV/AIDS.
Jika dilihat dari variabel cues to action menunjukkan bahwa responden mempunyai persepsi
petunjuk untuk berprilaku/ cues to action yang masih buruk terhadap pelaksanaan Universal
Precaution yaitu, responden berpersepsi tidak mungkin tertular HIV/AIDS meskipun terluka saat
melakukan penjahitan luka pada pasien (55,2%), responden berpersepsi tidak mungkin tertular
HIV/AIDS hanya karena membersihkan alat medis tanpa menggunakan sarung tangan (47,7%)
, responden berpersepsi tidak perlu melakukan pencegahan agar tidak tertular HIV/AIDS bila
terluka saat melakukan pencucian alat (26,2%).
3.5 Persepsi Responden terhadap Manfaat yang Dirasa dalam Pelaksanaan
Universal Precaution untuk Pencegahan HIV/AIDS
Hasil penelitian menunjukkan bahwa responden yang melakukan tindakan Universal
Precaution kurang baik lebih banyak (66,0%) pada yang berpersepsi manfaat rendah dibanding
yang berpersepsi manfaat tinggi (25,9%). Berdasarkan hasil uji statistik Chi Square diperoleh ñ
value = 0,000 ( < 0,05 ). Hasil ini menunjukkan bahwa secara statistik ada hubungan antara
persepsi manfaat yang dirasa tentang Universal Precaution dengan Tindakan Perawat dalam
pelaksanaan Universal Precaution untuk pencegahan HIV/AIDS.
3.6 Persepsi Responden terhadap Hambatan yang dirasa dalam Pelaksanaan
Universal Precaution untuk Pencegahan HIV/AIDS di Ruang Rawat Inap
RSU.Dr.H.M.Ansari Saleh Banjarmasin.
Hasil penelitian menunjukkan responden yang melakukan tindakan Universal
Precaution kurang baik lebih banyak (66,7%) pada yang berpersepsi hambatan rendah dibanding
yang berpersepsi hambatan tinggi (32,3%). Berdasarkan hasil uji statistik Chi Square diperoleh
ñ value = 0,001 ( < 0,05 ). Hasil ini menunjukkan bahwa secara statistik ada hubungan antara
persepsi hambatan yang dirasa tentang Universal Precaution dengan Tindakan Perawat dalam
pelaksanaan Universal Precaution untuk pencegahan HIV/AIDS. Jika dilihat dari variabel dalam
penelitian menunjukan bahwa responden mempunyai persepsi hambatan yang buruk terhadap
pelaksanaan Universal Precaution yaitu responden berpersepsi bahwa peralatan yang telah

Nana Noviana
263
dipakai direndam selama 20 menit di larutan desinfektan yang seharusnya hanya 10 menit
(95,3%).
3.7 Analisis Multivariat Faktor yang Berpengaruh terhadap Tindakan Perawat
dalam Pelaksanaan Universal Precaution untuk Pencegahan HIV/AIDS di
Ruang Rawat Inap RSU dr. H. M. Ansari Saleh Banjarmasin
Dari hasil uji multivariat dapat diketahui bahwa Perawat yang mempunyai persepsi
keparahan yang dirasa tinggi berpeluang melaksanakan tindakan Universal Precaution 5,728
kali (95% CI : 2,039 – 16,091) dibandingkan perawat yang mempunyai persepsi keparahan
yang dirasa rendah. Perawat yang mempunyai persepsi manfaat yang dirasa tinggi berpeluang
melaksanakan tindakan Universal Precaution 4,246 kali (95% CI : 1,555 – 11,591) dibandingkan
perawat yang mempunyai persepsi keparahan yang dirasa rendah. Perawat yang mempunyai
persepsi hambatan yang dirasa rendah berpeluang melaksanakan tindakan Universal
Precaution 2,830 kali (95% CI : 1,004 – 7,979) dibandingkan perawat yang mempunyai persepsi
hambatan yang dirasa tinggi. Selanjutnya dapat disimpulkan bahwa variabel persepsi keparahan
yang dirasa mempunyai pengaruh yang paling signifikan terhadap tindakan perawat dalam
pelaksanaan Universal Precaution untuk pencegahan HIV/AIDS. Hal ini tentunya bila semua
faktor dapat diterapkan dengan baik dapat memaksimalkan tindakan Universal Precaution
untuk pencegahan HIV/AIDS di RSU dr. H.M. Ansari Saleh Banjarmasin. Oleh karena itu perlu
dilakukan berbagai upaya kegiatan dalam pelaksanaan Universal Precaution untuk pencegahan
HIV/AIDS sehingga dapat memaksimalkan tindakan Universal Precaution yang dapat
memberikan perlindungan yang baik bagi perawat dalam melaksanakan tugas dan fungsinya
agar terhindar dari HIV/AIDS.

IV. SIMPULAN DAN REKOMENDASI


4.1 Kesimpulan
Berdasarkan hasil penelitian dan analisa yang telah diuraikan diatas dapat diambil
kesimpulan bahwa perawat yang tidak menerapkan Universal Precaution sebesar 55,1% dan
perawat yang menerapkan Universal Precaution 44,9%. Variabel yang mempunyai hubungan
dengan tindakan perawat dalam pelaksanaan Universal Precaution adalah variabel persepsi
kerentanan yang dirasa, persepsi keparahan yang dirasa, persepsi manfaat yang dirasa, dan
persepsi hambatan yang dirasa dalam pelaksanaan Universal Precauiton. Adapun variabel
yang berpengaruh terhadap tindakan Universal Precaution adalah persepsi keparahan yang
dirasa dengan OR= 5,728. Persepsi manfaat yang dirasa terhadap Universal Precaution dengan
OR= 4,246. Persepsi hambatan dengan OR 2,830. Faktor yang paling dominan melaksanakan
tindakan Universal Precaution adalah persepsi perawat mungkin tertular HIV/AIDS karena tidak
menerapkan Universal Precaution ( Persepsi keparahan yang dirasa ).
4.2 Rekomendasi
Rekomendasi ditujukan kepada pemegang kebijakan di RSU.dr.H.M.Ansari Saleh
Banjarmasin berupa:

Nana Noviana
264
1. Kepada pemegang kebijakan di RSU.Dr.H.M.Ansari Saleh Banjarmasin diharapkan
dapat memberikan funish dan rewards dalam pelaksanaan Universal Precaution,
hal ini sehubungan dengan rendahnya persepsi responden terhadap keyakinan
dalam melakukan tindakan Universal Precaution merupakan ancaman dalam
pelaksanaan Universal Precaution yang dapat merugikan kesehatannya.
2. Kepada instansi pendidikan bidang kesehatan hendaknya lebih menguatkan
karakter peserta didiknya untuk menjadi tenaga kesehatan dalam upaya
mengimplementasikan Universal Precaution untuk pencegahan HIV/AIDS.
3. Sehubungan masih terdapatnya anggapan yang keliru tentang manfaat dalam
melaksanakan Universal Precaution untuk pencegahan HIV/AIDS serta tindakan
perawat yang masih kurang baik dalam melaksanakan Universal Precaution maka
perlu mengupayakan penyegaran informasi melalui cara mensosialisasikan kembali
tentang Universal Precaution dengan cara meletakkan protokol Universal Precaution
ditempat yang mudah dilihat perawat.
4. Rendahnya persepsi perawat yang menganggap sulit dalam melaksanakan protokol
Universal Precaution untuk pencegahan HIV/AIDS setiap melakukan perawatan
pada semua pasien sehingga perlu meningkatkan motivasi dari partner kerja untuk
selalu melaksanakan Universal Precaution.

DAFTAR PUSTAKA
Dahlan.S.2009. Statistik untuk Kedokteran dan Kesehatan. Jakarta:Salemba Medika.
Departemen Kesehatan RI.2010. Pedoman Pelaksanaan Kewaspadaan Universal di Pelayanan
Kesehatan. In: DepKes RI, editor. Jakarta.
Direktorat Pengawasan Kesehatan Kerja.2005. Pelayanan Kesehatan dan HIV/AIDS. In: ILO/
WHO Pb, editor. Jakarta.
Dinas Kesehatan Provinsi Kalimantan Selatan.2012. Laporan HIV/AIDS Kal-Sel. Banjarmasin
[cited 2012].
Efstathiou.G PE, Rafttopoulos V, Merkouris A.2011. Factors influencing nurses compliance with
standart precautions in order to avoid occupational to microorganisms: A focus group
study. BMC Nursing.
Katowa P.Mukwato CMN, M.Maimbolwa.2009. Compliance with infection prevention guidelines
by health care workers at ronald ross general hospital mufulira district Medical Journal
of Zambia;35. KPA Kalimantan Selatan.2011. Laporan KPA.
Menteri Kesehatan RI.2002. Keputusan Menteri Kesehatan no.200.
Naveed Z Janjua1, Mahreen Razaq1†, Subhash Chandir3†, Shafquat Rozi1 and Bushra
Mahmood4.2007. Poor knowledge – predictor of non adherence to universal
precautions for blood borne pathogens at first level care facilities in Pakistan. Research
article.

Nana Noviana
265
Nejad w, greenwood.2005. Comparison Health Belief Models and Theory Planned Behaviour.
Predicted of Dieting and Fasting Behaviour.
Ogden J.1996. Health Psychology. Jakarta.
Perreault.C CJ.1999. Universal Precaution and educational training for child care providers,
Colorado Departement Of Public Health & Environtment.
Riesch.T.A.2002.The Health Belief Model and Safer Sex; Implication For Women’s Health,
Brock Univercity.
Rosenstock IM.1997. Historical origins of the Health Belief Model.In: Becker MH (ed). The
Health Belief Model and Personal Behavior. Thorofare, NJ: Charlec B Slack.
RSU.DR.H.M.Ansari Saleh Banjarmasin.2010. Laporan Tahunan. In: Kesehatan, editor.
Banjarmasin.
Samny S.2009. Universal Precaution. Journal of clinical research best practice;5 no 7.
Yayasan Spiritia.2009. Sejarah pengendalian infeksi di rumah sakit. Jakarta; Available from:
http://spiritia.or.id/cst/dok/ku1.pdf.

Nana Noviana
266
PERILAKU BERKARAKTER MELALUI PEMBELAJARAN MATRIKS
PADA PERKULIAHAN ENTOMOLOGI
St. Wahidah Arsyad dan Aulia Ajizah
Universitas Lambung Mangkurat

ABSTRAK
Pada pembelajaran mata kuliah Entomologi mahasiswa dituntut agar memahami 26 ordo
serangga yang tertera dalam SAP perkuliahan. Sementara itu mata kuliah ini hanya berbobot 2
sks, dengan lama pembelajaran 100 menit per minggu, sehingga ini kurang memadai dengan
banyaknya materi yang harus diselesaikan. Oleh karena itu pengajar berusaha mencari cara
agar pembelajaran lebih efektif. Telah dilakukan penelitian yang bertujuan untuk meningkatkan
hasil dan proses belajar mahasiswa peserta mata kuliah Entomologi tahun 2014 melalui
pembelajaran Matriks. Pembelajaran dengan strategi matriks menekankan pada ketelitian
dalam mempelajari bahan ajar dan kerja keras mencari sumber informasi terkait dengan
materi ajar, dan menuangkannya ke dalam bentuk matriks. Penelitian ini menggunakan metode
deskriptif; mahasiswa ditugaskan membuat matriks masing-masing ordo serangga. Data yang
disajikan berupa hasil belajar dan proses belajar mahasiswa. Hasil belajar diperoleh melalui
hasil tes kognitif. Adapun hasil belajar proses dikumpulkan melalui aktifitas mahasiswa pada
saat mempelajari bahan ajar, menggaris-bawahi, membuat matriks, dan berdiskusi. Dalam
proses pembelajaran melibatkan beberapa perilaku berkarakter masing-masing mahasiswa;
antara lain kerja keras, disiplin, kerjasama, kreatifitas, dan percaya diri, dan rasa ingin tahu.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa hasil tes kognitif menjadi lebih baik pada akhir
pembelajaran dengan ketuntasan 100%. Kerja keras yang ditunjukkan rata-rata 65%;
kedisiplinan umumnya mencapai 100%. Kerjasama antar mahasiswa dalam kelompok maupun
antar kelompok sudah mencapai 90%. Kreatifitas dalam membuat matriks rata-rata mencapai
60%. Kepercayaan diri tampak pada saat kelompok melakukan presentasi di depan kelas rata-
rata mencapai 60%. Keingintahuan mencapai 70%.
Kata kunci: Pembelajaran Matriks, hasil belajar kognitif, hasil belajar proses, perilaku berkarakter,
kerja keras, disiplin, kerjasama, kreatifitas, percaya diri

I. PENDAHULUAN
Mata kuliah Entomologi pada Program Studi Pendidikan Biologi merupakan mata
kuliah pilihan dengan 2 sks, disajikan pada semester IV. Meskipun mata kuliah pilihan, namun
selama ini peminatnya selalu banyak, berkisar antara 60-100 orang. Kompetensi yang harus
dicapai oleh mahasiswa adalah memahami morfologi, anatomi, fisiologi, klasifikasi
serangga, dan hubungannya dengan manusia. Buku acuan yang dipakai adalah Entomologi

St. Wahidah Arsyad dan Aulia Ajizah


267
yang ditulis oleh Borror. Ada 26 Ordo yang dikaji dalam buku tersebut. Setiap kali pertemuan,
biasanya dikaji 2 ordo, dengan membandingkan ciri morfologi kedua ordo tersebut. Pola
penyajian perkuliahan mengikuti urutan materi kajian dan sesuai dengan satuan acuan
pembelajaran (SAP) Entomologi.
Selama ini perkuliahan Entomologi menggunakan metode penugasan dengan
membuat makalah per kelompok. Setiap kelompok membuat makalah untuk setiap bab yang
tercantum dalam buku acuan. Biasanya setiap kelompok membuat makalah dan ringkasan
dalam bentuk power point yang mencakup masing-masing 1 atau 2 ordo serangga, sehingga
jumlah kelompok seluruhnya adalah 13 atau 26 kelompok, sesuai dengan banyaknya ordo
yang akan dibahas lebih lajut.
Pendalaman makalah yang mereka buat, adalah sesuai dengan SAP (satuan acara
perkuliahan). Sistematika isi makalah juga mengikuti sistematika materi yang harus dianalisa
berdasakan SAP Entomologi. Setiap perkuliahan, setiap kelompok mempresentasikan
makalahnya disertai dengan menampilkan power point sesuai dengan urutan bab atau ordo
yang tersaji dalam Entomologi.
Akan tetapi dalam perkuliahan tersebut tampak masih terlihat kurangnya aktivitas
mahasiswa dalam berdiskusi. Diskusi umumnya berjalan pasif, hanya kelompok yang mendapat
tugas presentasi yang terlihat aktif; sementara peserta perkuliahan lainnya kurang bersemangat
dalam berdiskusi. Hal ini terindikasi dari kurangnya pertanyaan atau tanggapan dari kelompok
lainnya. Dengan demikian pendalaman materi perkuliahan yang diharapkan dapat terjadi melalui
presentasi kelompok tertentu dan dilanjutkan dengan diskusi kelas kurang berhasil.
Selain hal tersebut di atas, media yang digunakan kelompok dalam presentasinya
belum sesuai dengan tujuan perkuliahan. Power point yang digunakan seolah dibuat asal jadi;
misalnya konsep yang ditampilkan masih dalam bentuk kalimat yang panjang, yang memenuhi
1 slide, sehingga peserta perkuliahan masih harus benar-benar memperhatikan dan menyimak
dengan seksama. Hal ini akan berakibat waktu penyajian berlangsung lama, sekitar 50 sampai
60 menit, dan waktu untuk diskusi kelas hanya tersedia kurang lebih 40 menit. Dengan waktu
perkuliahan yang tersedia hanya 100 menit (2 sks), hal ini berdampak pada kurang fokusnya
pembahasan terhadap tujuan pembelajaran, padahal materi yang harus dikaji sesuai SAP
Entomologi meliputi 26 Ordo serangga.
Mata kuliah ini mencakup ciri-ciri morfologi dan anatomi setiap ordo serangga, habitat,
cara perkembangbiakan, klasifikasi, contoh yang familiar pada setiap ordo. Banyaknya materi
(jumlah ordo) yang dituntut dalam perkuliahan ini menimbulkan kendala bagi mahasiswa
dalam pembelajarannya, kesulitan dalam memahami karakteristik atau penanda ciri dari
masing-masing ordo atau family insekta, menghafal nama-nama ordo dan famili dalam suatu
ordo. Kendala-kendala tersebut diduga karena umumnya mahasiswa belum mengetahui strategi
belajar yang tepat. Mahasiswa masih mendapatkan kesulitan dalam mengorganisasi konsep-
konsep yang ada dalam buku Borror sebagai acuan utama perkuliahan mata kuliah Entomologi
dan menyelaraskannya dengan SAP Entomologi. Faktor inilah yang diduga berpengaruh negatif
pada hasil belajar mahasiswa, yang tergambar dengan masih banyaknya mahasiswa yang

St. Wahidah Arsyad dan Aulia Ajizah


268
memperoleh nilai C. Oleh karena itu diperlukan strategi pembelajaran yang lebih memudahkan
dalam mempelajari ciri-ciri serangga pada ordo tertentu dan cara mudah untuk mengingat
kembali ordo dan famili dalam kelas Insekta.
Menurut Slameto (2010) bila pebelajar menjadi partisipasi yang aktif, maka ia memiliki
ilmu/pengetahuan itu dengan baik. Hal ini mengindikasikan bahwa keaktifan mahasiswa dalam
proses pembelajaran akan berpengaruh positif terhadap hasil belajar mahasiswa.
Pembelajaran merupakan proses komunikasi dua arah, mengajar dilakukan oleh
pihak guru sebagai pendidik, sedangkan belajar dilakukan oleh peserta didik atau pebelajar.
Peranan pengajar bukan semata-mata memberikan informasi melainkan juga mengarahkan
dan memberi fasilitas belajar (fasilitator) agar proses belajar lebih efektif.
Salah satu strategi belajar yang diperkirakan dapat membantu memahami materi
perkuliahan Entomologi secara lebih efisien dan efektif adalah melalui Matriks. Arsyad (2007)
menggunakan pola mapping, matriks, dan elaborasi (M2E) dengan media Leaflet menunjukkan
bahwa secara kooperatif lebih efektif dalam mengatasi kesalahan konsep biologi. Hunafa
(2014) dengan menggunakan strategi yang sama di SMA PGRI 6 Banjarmasin mampu
mengaktifkan siswa dalam pembelajarannya dan meningkatkan hail belajarnya. Pembelajaran
dengan menggunakan matriks merupakan pembelajaran melalui penataan atau organisasi
konsep-konsep ke dalam tabel yang terdiri dari kolom dan baris yang memuat beberapa kriteria
konsep. Pada pembelajaran ini, mahasiswa diharapkan dapat membuat perbedaan setiap
ordo dalam Insekta berdasarkan kriteria-kriteria tertentu dari beberapa konsep. Kriteria tersebut
diperoleh berdasarkan ciri yang dimiliki dari setiap ordo dalam kelas Insekta. Ciri yang dimiliki
setiap ordo ini, biasanya disusun ke dalam tabel pembeda. Dengan cara demikian tampak
perbedaan yang jelas dari setiap ordo. Cara ini diasumsikan dapat memudahkan mahasiswa
untuk memahami perbedaan setiap ordo karena telah terorganisasi dengan baik dalam bentuk
matriks.
Menurut Barkley (2012) team Matriks sangat berguna pada tugas-tugas yang menuntut
pebelajar untuk memadukan atribut-atribut yang tidak lazim dan sama-sama dimiliki karena
mengharuskan untuk mengidentifikasi dan menunjukkan secara eksplisit perbedaan-perbedaan
penting dari konsep-konsep yang saling berhubungan erat. Kiewra (1989) dalam Nur (2011)
telah menyarankan penggunaan pembuatan matriks sebagai suatu cara pembuatan
perbandingan untuk informasi kompleks.
Matriks yang telah dibuat dapat dijadikan sebagai media pembelajaran atau alat bantu
pembelajaran dalam presentasi makalah Entomologi. Media pembelajaran dalam bentuk
matriks dapat pula sebagai penyampaian pesan (the carries of messages) dari beberapa sumber
saluran ke penerima pesan (the receiver of the messages). Selain itu matriks yang dipakai
untuk media pembelajaran juga berfungsi, antara lain: (1) bahan yang disajikan menjadi lebih
jelas, dan tidak bersifat verbalistik: (2) Metode pembelajaran lebih bervariasi: (3) pebelajar
akan memahami pembelajaran secara lebih bermakna, sehingga dimungkinkan lebih aktif
dalam melakukan beragam aktivitas seperti diskusi kelompok atau diskusi kelas: (4)
Pembelajaran lebih menarik: dan (5) Mengatasi keterbatasan ruang (Trianto, 2008).

St. Wahidah Arsyad dan Aulia Ajizah


269
Pengimplementasian pembelajaran matriks tersebut diyakini dapat menunjang
mahasiswa dalam mengembangkan perilaku berkarakter seperti disiplin, kerja keras, kreatif,
percaya diri/ mandiri, dan kerjasama (bersahabat/ komunikatif), sehingga strategi matriks ini
diaplikasikan terhadap perkuliahan Entomologi pada tahun 2014 ini. Keterlibatan mahasiswa
dalam mengimplementasikan pembelajaran matriks dalam perkuliahan Entomologi dapat
mendorong untuk menemukan dan mengkoordinasikan konsep-konsep dalam Entomologi,
sehingga dapat mengembangkan keterampilan proses belajarnya.
Implementasi strategi matriks ini bertujuan untuk: (1) Mendeskripsikan perilaku
berkarakter pada mahasiswa melalui implementasi pembelajaran matriks dalam perkuliahan
Entomologi; (2) Mendeskripsikan kendala yang dihadapi mahasiswa ketika
mengimplementasikan pembelajaran matriks dalam perkuliahan Entomologi; dan (3)
Mengetahui hasil belajar mahasiswa pada perkuliahan Entomologi melalui implementasi
pembelajaran matriks.

II. METODE PENELITIAN


Penelitian dilaksanakan pada semester genap tahun akademik 2013/2014 selama 4
bulan yaitu mulai bulan Januari sampai dengan bulan April 2014 terhadap mahasiswa peserta
matakuliah Entomologi Program Studi Pendidikan Biologi FKIP Unlam Banjarmasin tahun
ajaran 2013/2014 yang berjumlah 74 orang dengan mahasiswa laki-laki 11 orang dan
perempuan 62 orang. Mahasiswa dibagi menjadi 13 kelompok dan masing-masing kelompok
terdiri dari 5-6 orang mahasiswa.
Teknik dan instrumen pengumpulan data menggunakan penilaian pre-test dan post-
test, kuesioner dan wawancara, lembar observasi aktifitas di kelas, lembar instrumen penilaian
proses (penugasan pembuatan matriks dan diskusi kelas) tentang kegiatan perkuliahan
Entomologi melalui implementasi pembelajaran matriks yang telah dilakukan. Analisis data
dilakukan secara deskriptif kualitatif dan kualitatif secara persentase.

III. HASIL PENELITIAN


3.1 Perilaku Berkarakter pada Mahasiswa melalui Implementasi Pembelajaran
Matriks
Perilaku berkarakter pada mahasiswa melalui implementasi pembelajaran matriks
tergambar dari hasil analisis penilaian proses (penugasan pembuatan matriks dan diskusi
kelas) disajikan pada tabel berikut:

No. Perilaku Berkarakter Proses Pembelajaran Persentase (%)


1. Disiplin Penugasan 100
2. Kerja keras Penugasan 65
3. Kreatif Penugasan 60
4. Mandiri (Percaya diri) Diskusi 60
5. Bersahabat/komunikatif (kerjasama) Diskusi 90
6. Ingin tahu Diskusi 70

St. Wahidah Arsyad dan Aulia Ajizah


270
Penugasan merupakan cara penyajian bahan pelajaran dimana pengajar memberikan
tugas tertentu agar pebelajar melakukan kegiatan belajar, dan mempertanggungjawabkannya
pada pertemuan berikutnya agar terjadi proses belajar pada diri mahasiswa untuk mencapai
tujuan pembelajaran. Tugas yang dikerjakan mahasiswa berupa tugas rumah. Bentuk tugas
yang diberikan kepada mahasiswa dalam perkuliahan Entomologi adalah tugas pembuatan
matriks pembeda antara dua ordo. Tugas dikerjakan secara mandiri. Pada pertemuan
berikutnya tugas tersebut dikumpulkan dan akan dikoreksi saat diskusi kelas pada perkuliahan.
Dengan cara ini diharapkan mahasiswa belajar secara bermakna dan bertanggung jawab,
merangsang mahasiswa lebih giat belajar lagi, memupuk kerja keras, kreatifitas. Diskusi
dalam kelas perkuliahan Entomologi dapat memperkuat kemandirian atau percaya diri, dan
keingintahuan mahasiswa untuk menggali lebih dalam konsep-konsep yang masih meragukan
melalui pertanyaan atau mengemukakan pendapat dalam bentuk pemberian jawaban dalam
diskusi kelas. Hal ini akan mendorong kerjasama dalam kelompok untuk lebih aktif
berkomunikasi dan memperkuat hasil belajar. Selain itu menyadarkan mahasiswa untuk selalu
memanfaatkan waktu senggangnya untuk hal-hal yang menunjang belajar dengan mengisi
kegiatan-kegiatan yang positif.
Menurut Mundilarto (2014), disiplin merupakan tindakan yang menunjukkan perilaku
tertib dan patuh pada berbagai ketentuan dan peraturan. Kerja keras merupakan perilaku yang
menunjukkan upaya sungguh-sungguh dalam mengatasi berbagai hambatan belajar dan tugas,
serta menyelesaikan tugas dengan sebaik-baiknya. Sementara, kreatifitas, merupakan berpikir
dan melakukan sesuatu untuk menghasilkan cara atau hasil baru dari sesuatu yang telah
dimiliki.
Pada beberapa pertemuan awal perkuliahan Entomologi, mahasiswa dibimbing cara
membuat matriks antar dua ordo di dalam kelas. Pembuatan matriks secara mandiri dalam
kelompok masing-masing ternyata menghabiskan waktu minimal 20 menit. Setelah memahami
pembuatan matriks, untuk perkuliahan selanjutnya diberikan dalam bentuk tugas rumah dengan
membuat matriks pembeda antara dua ordo, untuk menghemat waktu kuliah. Tugas tersebut
dikerjakan setiap minggu dan dikumpulkan saat awal perkuliahan. Pemberian tugas tersebut
telah dibiasakan dalam perkuliahan Entomologi dan telah berjalan selama dua bulan.
Pembiasaan ini merupakan upaya pengajar untuk melatihkan beberapa perilaku berkarakter
melalui penugasan pembuatan matriks.
Menurut Zaini (2008) strategi matriks bertujuan diantaranya: (1) Meningkatkan
kecakapan menghafal; (2) Meningkatkan kemampuan membaca; (3) Meningkatkan kecakapan
belajar, strategi dan kebiasaan; (4) Mempelajari tema-tema dan fakta-fakta ilmu pengetahuan;
dan (5) Mempelajari konsep-konsep dan teori-teori ilmu pengetahuan.
Berdasarkan hasil analisis data, diperoleh perilaku karakter disiplin telah mencapai
100%. Hal ini terlihat pada semua mahasiswa yang telah mengikuti aturan pembuatan matriks
pembeda yang sesuai dengan SAP Entomologi dan mengumpul tugas sesuai dengan waktu
yang telah ditentukan. Walaupun demikian, tugas yang dikerjakan mahasiswa belum sepenuhnya
menunjukkan kerja keras yang optimal. Hal ini terlihat dari masih perlunya menambahkan
indikator pembeda yang lebih spesifik, seperti embelan-embelan pada bagian kepala serangga

St. Wahidah Arsyad dan Aulia Ajizah


271
sesuai ciri ordo yang dimiliki oleh species tertentu. Demikan pula gambar morfologi yang
diperlukan untuk melengkapi pemahaman ciri ordo belum diberikan secara lengkap, seperti
gambar tipe antena, tipe mulut, tipe kaki dan sebagainya untuk setiap ciri ordo yang dibedakan.
Selain itu hasil tugas matriks belum menunjukkan kreatifitas yang tinggi. Hal ini nampak pada
kurangnya variasi warna pada setiap baris matriks, dan warna-warna pada gambar morfologi
ciri ordo. Padahal dengan variasi warna pada bagian tersebut dapat lebih tegas dan jelas
menunjukkan perbedaan ciri untuk setiap ordo yang dibandingkan. Oleh karena itu, untuk
perilaku kerja keras baru mencapai 65%, dan kreatifitas sebesar 60%.
Penugasan dengan membuat matriks pembeda terutama ciri morfologi antara dua
ordo dalam matakuliah Entomologi telah terbukti dapat melatih perilaku berkarakter seperti
disiplin, bekerja keras, dan kreatif (Tabel 1).
Sementara itu proses perkuliahan melalui pembelajaran matriks dalam diskusi kelas
dapat melatih perilaku berkarakter seperti kemandirian/ percaya diri, kerjasama/ komunikatif,
dan rasa ingin tahu. Dalam diskusi kelas tersebut, mahasiswa membahas matriks yang telah
dikerjakan sebagai tugas rumah tersebut dengan dipandu oleh satu kelompok yang bertugas
mempresentasikan hasil matriks kelompoknya melalui power point (ppt). Mahasiswa dapat
mengajukan pendapatnya atau pertanyaan bila masih ada konsep yang kurang jelas dalam
matriks yang ditampilkan melalui ppt tersebut, atau ketidaksesuaian konsep yang telah dibuat
oleh kelompok penyaji dengan kelompok lainnya.
Pembelajaran Matriks yang diimplementasikan ini membuktikan bahwa dalam diskusi
ternyata dapat melatih perilaku berkarakter mahasiswa seperti mandiri/percaya diri (60%),
kerjasama/komunikatif (90%), dan rasa ingin tahu (70%). Menurut Mundilarto (2014), bahwa
sikap mandiri merupakan sikap dan perilaku yang tidak mudah tergantung pada orang lain
dalam menyelesaikan tugas-tugas. Rasa ingin tahu merupakan sikap atau tindakan yang selalu
berupaya untuk mengetahui lebih mendalam dan meluas dari sesuatu yang dipelajarinya,
dilihat atau didengar. Sementara komunikatif/ kerjasama adalah tindakan yang memperlihatkan
kolaborasi pendapat dengan rasa senang berbicara, bergaul dan bekerjasama dengan orang
lain.
3.2 Kendala yang dihadapi mahasiswa dalam perkuliahan Entomologi melalui
implementasi pembelajaran matriks
Implementasi pembelajaran matriks pada perkuliahan Entomologi dapat dikatakan
telah berhasil melatih pengembangan beberapa perilaku berkarakter seperti yang telah dibahas
sebelumnya. Namun demikian masih ditemukan beberapa kendala yang dihadapi mahasiswa
dalam mengimplementasikan pembelajaran matriks guna melatih perilaku berkarakter, antara
lain:
1. Kurangnya kesiapan kelompok penyaji/ presentasi, seperti: matriks yang ditampilkan
kurang lengkap, tidak disertai dengan gambar morfologi yang lengkap, kurang
jelas, dan kurang rinci ciri setiap ordo yang dibandingkan. Kelompok penyaji kurang
menguasai konsep atau ciri spesifik yang dibuat dalam matriks.

St. Wahidah Arsyad dan Aulia Ajizah


272
2. Kurangnya pembimbingan dalam diskusi kelompok, mengingat jumlah mahasiswa
dalam kelas besar. Ada 74 orang mahasiswa terbagi dalam 13 kelompok. Masing-
masing kelompok terdiri atas 5-6 orang. Sementara pengajar hanya ada dua orang.
3. Fasilitas masih kurang memadai, seperti ketersediaan alat pengeras suara, yang
kadang-kadang mengalami kerusakan saat digunakan dalam diskusi kelas,
sehingga informasi kurang terdengar oleh beberapa kelompok pada barisan
belakang.
4. Ruang perkuliahan yang tersedia kurang luas (Ruang 29) untuk membentuk
kelompok misalnya kelompok meja bundar. Sehingga harus mencari ruang yang
lebih luas seperti ruang aula.
3.3 Hasil belajar mahasiswa dalam perkuliahan Entomologi melalui
implementasi pembelajaran matriks.
Implementasi pembelajaran matriks, selain dapat melatih perilaku berkarakter, juga
dapat mendorong tercapainya hasil belajar mahasiswa yang lebih baik. Hasil belajar mahasiswa
pada beberapa pertemuan perkuliahan Entomologi disajikan pada tabel berikut:.

Pertemuan Materi Hasil Belajar (%) Keterangan


< 60 61-69 > 70
1 Ordo Hemiptera dan 51,5 39,4 9 Sebagian Tuntas
Homoptera
2 Ordo Tysanoptera dan 7 29,6 63,5 Sebagian besar
Neuroptera Tuntas
3 Ordo Coleoptera dan 0 3 97 Tuntas
Strepsiptera

Berdasarkan tabel di atas terlihat bahwa implementasi pembelajaran matriks pada


perkuliahan Entomologi dapat mendorong hasil belajar mahasiswa menjadi lebih baik. Fakta
ini telah menunjukkan bahwa telah terjadi proses belajar pada mahasiswa tersebut. Hal ini
sejalan dengan pendapat Trianto (2008), bahwa belajar hakikatnya adalah suatu proses yang
ditandai dengan adanya perubahan pada diri seseorang. Perubahan sebagai hasil dari proses
belajar dapat diindikasikan dalam berbagai bentuk seperti perubahan pengetahuan,
pemahaman, sikap dan tingkah laku, kecakapan, keterampilan dan kemampuan, serta
perubahan aspek-aspek yang lain yang ada pada individu yang belajar.
Lebih lanjut diuraikan oleh Sardiman (2011), bahwa belajar itu senantiasa merupakan
perubahan tingkah laku atau penampilan, dengan serangkaian kegiatan misalnya dengan
membaca, mengamati, meniru dan lain sebagainya. Jadi, belajar akan membawa suatu
perubahan pada individu-individu yang belajar. Perubahan tidak hanya berkaitan dengan
perubahan ilmu pengetahuan, tetapi juga berbentuk kecakapan, keterampilan, sikap,
pengertian, minat, watak/ perilaku dan penyesuaian diri.
William Burton dalam Hamalik (2013) menguraikan tentang prinsip-prinsip belajar.
Salah satu prinsip belajar tersebut adalah bahwa proses belajar seharusnya berlangsung secara

St. Wahidah Arsyad dan Aulia Ajizah


273
efektif melalui bimbingan, tanpa adanya tekanan dan paksaan. Proses belajarnya dapat diterima
oleh pebelajar bila pebelajar merasakan bahwa melalui belajar dapat terpenuhi keperluannya
serta bermakna baginya. Oleh sebab itu tugas seorang pengajar adalah berusaha memberikan
pengajaran dengan cara yang sesuai dengan kemampuan pebelajar agar dapat memberikan
pengaruh positif terhadap hasil belajar pebelajar melalui pencapaian tujuan pembelajaran
yang telah direncanakan.
Menurut Sudjana (2012) hasil belajar adalah kemampuan-kemampuan yang dimiliki
siswa setelah ia mengalami pengalaman belajarnya. Faktor motivasi dari dalam diri siswa
menjadi pendukung terjadinya peningkatan hasil belajar. Hasil ini sesuai dengan pendapat
Sanjaya (2013) bahwa Motivasi dapat diartikan sebagai dorongan yang memungkinkan siswa
untuk bertindak atau melakukan sesuatu. Dorongan itu hanya mungkin muncul dalam diri
siswa manakala siswa merasa membutuhkan (need). Siswa yang merasa butuh akan bergerak
dengan sendirinya untuk memenuhi kebutuhannya.
Beberapa kriteria yang bisa digunakan dalam menilai proses belajar mengajar menurut
Sudjana (2012) antara lain sebagai berikut :
a. Keterlaksanaannya oleh pebelajar dapat dilihat dalam hal memahami dan mengikuti
petunjuk yang diberikan pengajar, semua pebelajar turut serta mengikuti kegiatan
belajar mengajar, tugas-tugas belajar dapat diselesaikan sebagaimana mestinya,
memanfaatkan sumber belajar yang disediakan pengajar, dan menguasai tujuan-
tujuan pengajaran yang telah ditetapkan pengajar.
b. Motivasi belajar pebelajar dapat dilihat dalam hal minat dan perhatian belajar
terhadap pelajaran, semangat pebelajar melakukan tugas belajarnya, tanggung
jawab pebelajar dalam melaksanakan tugas belajarnya, reaksi yang ditunjukkan
pebelajar terhadap stimulus yang diberikan pengajar, rasa senang dan puas dalam
mengerjakan tugas yang diberikan.
c. Keaktifan para pebelajar dalam kegiatan belajar dilihat dalam hal turut serta dalam
melaksanakan tugas belajarnya, terlibat dalam pemecahan masalah, bertanya
kepada pebelajar lain atau kepada pengajar apabila tidak memahami persoalan
yang dihadapinya, berusaha mencari berbagai informasi yang diperlukan untuk
pemecahan masalah, melaksanakan diskusi kelompok sesuai dengan petunjuk
pengajar, menilai kemampuan dirinya dan hasil-hasil yang diperolehnya, melatih
diri dalam memecahkan soal atau masalah yang sejenis, kesempatan menggunakan
atau menerapkan apa yang telah diperolehnya dalam menyelesaikan tugas atau
persoalan yang dihadapinya.
d. Interaksi pengajar-pebelajar dapat dilihat dalam tanya jawab atau dialog antara
pengajar dengan pebelajar atau antara pebelajar dengan pebelajar lainnya, bantuan
pengajar terhadap pebelajar yang mengalami kesulitan belajar, baik secara
individual maupun kelompok, dapatnya pengajar dan pebelajar tertentu dijadikan
sumber belajar, senantiasa beradanya pengajar dalam situasi belajar mengajar
sebagai fasilitator belajar, tampilnya pengajar sebagai pemberi jalan keluar

St. Wahidah Arsyad dan Aulia Ajizah


274
manakala pebelajar menghadapi jalan buntu dalam menghadapi tugas belajarnya,
adanya kesempatan mendapat umpan balik secara berkesinambungan dari hasil
belajar yang diperoleh pebelajar.
e. Kualitas hasil belajar yang dicapai oleh pebelajar dapat dilihat dari perubahan
pengetahuan, sikap dan perilaku pebelajar setelah menyelesaikan pengalaman
belajarnya, kualitas dan kuantitas penguasaan tujuan intruksional oleh para
pebelajar, jumlah pebelajar yang dapat mencapai tujuan intruksional minimal 75
dari jumlah intruksional yang harus dicapai, hasil belajar tahan lama diingat dan
dapat digunakan sebagai dasar dalam mempelajari bahan berikutnya.
Menurut teori konstruktivis ini, satu prinsip yang paling penting dalam psikologi pendidikan
adalah bahwa pengajar tidak hanya sekadar memberikan pengetahuan kepada pebelajar. Pebelajar
harus membangun sendiri pengetahuan di dalam benaknya. Pengajar dapat memberikan
kemudahan untuk proses ini, dengan memberikan kesempatan pebelajar untuk menemukan atau
menerapkan ide-ide mereka sendiri, dan mengajar pebelajar menjadi sadar dan secara sadar
menggunakan strategi mereka sendiri untuk belajar (Nur (2002) dalam Trianto, 2008).
Teori Vygotsky ini, lebih menekankan pada aspek sosial dari pembelajaran. Menurut
Vygotsky bahwa proses pembelajaran akan terjadi jika pebelajar bekerja atau menangani
tugas-tugas yang belum dipelajari, namun tugas-tugas tersebut masih berada dalam jangkauan
mereka disebut dengan zone of proximal development, yakni daerah tingkat perkembangan
sedikit di atas daerah perkembangan seseorang saat ini. Vygotsky yakin bahwa fungsi mental
yang lebih tinggi pada umumnya muncul dalam percakapan dan kerjasama antara individu
sebelum fungsi mental yang lebih tinggi itu terserap ke dalam individu tersebut (Trianto, 2008).
Penafsiran terkini terhadap ide-ide Vygotsky adalah pebelajar seharusnya diberikan tugas-
tugas kompleks, sulit, dan realistik dan kemudian diberikan bantuan secukupnya untuk menyelesaikan
tugas-tugas itu. Hal ini bukan berarti bahwa diajar sedikit demi sedikit komponen-komponen suatu
tugas yang kompleks yang pada suatu hari diharapkan akan terwujud menjadi suatu kemampuan
untuk menyelesaikan tugas kompleks tersebut (Nur & Wikandari dalam Trianto, 2008).
Menurut Mulyasa (2011) proses pembelajaran aktif, kreatif, efektif dan menyenangkan
serta sarat makna yang disajikan pengajar diharapkan dapat meningkatkan kualitas hasil belajar
peserta didik. Semakin seseorang aktif menyampaikan atau aktif menuntut sebuah penjelasan
atas hal tertentu, maka semakin lama pula informasi yang terkait dengan hal itu akan ia ingat.
Menurut Amir (2010) orang yang menerima penjelasan harus berusaha memahami
dengan menyimak dan bertanya. Dengan cara seperti ini yang saling tukar tadi meningkatkan
efektivitas proses belajar.
Menurut Rusman (2013) melalui bertanya, pembelajaran akan lebih hidup, hal ini
akan mendorong proses dan hasil pembelajaran yang lebih luas dan mendalam, dan akan
banyak ditemukan unsur-unsur keterkaitan yang sebelumnya tidak terpikirkan, baik oleh pengajar
maupun oleh pebelajar. Oleh karena itu, cukup beralasan jika dengan pengembangan bertanya
produktivitas pembelajaran akan lebih tinggi, karena adanya bertanya maka : 1) dapat menggali
informasi, baik administrasi maupun akademik; 2) mengecek pemahaman pebelajar; 3)
membangkitkan respon pebelajar; 4) mengetahui sejauh mana keingintahuan pebelajar; 5)
St. Wahidah Arsyad dan Aulia Ajizah
275
mengetahui hal-hal yang diketahui pebelajar; 6) memfokuskan perhatian pebelajar; 7)
membangkitkan lebih banyak lagi pertanyaan dari pebelajar; dan menyegarkan kembali
pengetahuan yang telah dimiliki pebelajar.
Hasil belajar merupakan hasil yang dicapai seseorang setelah melakukan kegiatan
belajar. Hasil belajar merupakan penilaian yang dicapai seorang pebelajar untuk mengetahui
pemahaman tentang bahan pelajaran atau materi yang diajarkan sehingga dapat dipahami
pebelajar. Untuk dapat menentukan ketercapaian atau tidaknya tujuan pembelajaran dilakukan
usaha untuk menilai hasil belajar. Penilaian ini bertujuan untuk melihat kemajuan peserta didik
dalam menguasai materi yang telah dipelajari dan ditetapkan (Arikunto, 2011).
Secara sederhana, pembelajaran kooperatif dapat didefinisikan sebagai “pembentukan
kelompok kecil agar para pelajar dapat bekerja sama untuk memaksimalkan proses
pembelajaran satu sama lain” Smith dalam (Barkley, 2012).
Menurut Nur (2011) sejumlah besar informasi yang diberikan kepada pebelajar melalui
persentasi dan demontrasi pengajar. Pembuatan catatan membantu pengajar dalam
mempelajari informasi ini dengan secara singkat dan padat menyimpan informasi itu untuk
ulangan dan dihafal kelak. Bila dilakukan dengan benar, pembuatan catatan juga membantu
mengorganisasikan informasi sehingga informasi itu dapat diproses dan dikaitkan dengan
pengetahuan yang telah ada secara lebih efektif. Sementara itu, sama halnya dengan menggaris
bawahi, banyak siswa adalah pembuat catatan yang tidak efektif. Sejumlah pebelajar berusaha
untuk menulis segala sesuatu yang dikatakan guru, sementara pebelajar lain mengalami
kesulitan untuk mengidentifikasi ide-ide penting dan relevan. Di lain pihak, pembuat catatan
yang efektif, menangkap ide-ide pokok suatu presentasi dalam kata-kata mereka sendiri dalam
bentuk kerangka sedemikian rupa sehingga mereka lebih banyak menyisihkan waktu untuk
memahami persentasi dengan mensintesakan dan merangkumkan poin-poin dan ide-ide
penting. Selain itu, pembelajaran menggunakan matriks yang mengharapkan pebelajar dapat
membuat perbedaan berdasarkan kriteria-kriteria tertentu dari beberapa konsep, biasanya
menggunakan tabel pembeda diduga juga mampu memudahkan pebelajar untuk memahami
perbedaan setiap konsep karena telah terorganisasi dengan baik. Menurut Kiewra (1989)
dalam Nur (2011) telah menyarankan penggunaan pembuatan matriks sebagai suatu cara
pengelaborasian dan pembuatan perbandingan untuk informasi kompleks.
Menurut Zaini (2008) strategi matriks juga bisa dideskripsikan sebagai strategi yang
berbentuk matriks yang terdiri dari baris-baris dan kolom-kolom kosong atau satu kolom yang
telah diisi untuk mengevaluasi kekuatan daya ingat peserta didik akan materi pelajaran atau
perkuliahan yang penting dan berhubungan antar materi serta menilai kecakapan peserta
didik mengorganisir informasi ke dalam kategori-kategori tertentu.
Strategi Matriks merupakan salah satu bagian dalam strategi pembelajaran aktif,
berkaitan dengan hal tersebut maka aktifitas adalah kunci dalam pembelajaran ini. Dengan
beraktifitas maka pembelajaran diharapkan akan mampu menjadi kelas yang efektif. Dengan
beraktifitas pebelajar diharapkan mampu mengingat, menghafal dan memahami apa yang ia
dengar, ia lihat dan ia pertanyakan, kemudian ia pahami untuk kemudian mereka terapkan.

St. Wahidah Arsyad dan Aulia Ajizah


276
Menurut Zaini (2008) strategi matriks memiliki saran-saran diantaranya sebagai berikut:
1. Strategi ini sangat cocok untuk berpikir sederhana seperti mengingat dan menghafal
fakta-fakta, rukun-rukun dan syarat-syarat.
2. Strategi ini sangat cocok untuk menghafal definisi-definisi.
3. Strategi ini juga dapat dikerjakan secara berpasangan atau kelompok kecil.
4. Strategi ini sangat cocok untuk mengulangi materi pelajaran/ perkuliahan yang
bersifat faktual untuk keseluruhan materi pelajaran/ perkuliahan.

IV. SIMPULAN
Penelitian ini telah berhasil melatihkan perilaku berkarakter seperti disiplin,kerja keras,
kreatifitas, mandiri/ percaya diri, kerjasama dan rasa ingin tahu, serta berhasil mendorong hasil
belajar mahasiswa menjadi lebih baik, melalui implementasi pembelajaran matriks pada
matakuliah Entomologi. Namun beberapa kendala masih dijumpai pada pembelajaran tersebut,
seperti kekurangsiapan dan kekurangpahaman kelompok yang berpresentasi, keterbatasan
sarana dan prasarana penunjang pembelajaran.

DAFTAR PUSTAKA
Amir, M. Taufiq. 2010. Inovasi Pendidikan Melalui Problem Beased Learning: Bagaimana
Pendidikan Memberdayakan Pembelajaran di Era Pengetahuan. Jakarta: Kencana
Perdana Media Group.
Arikunto, Suharsimi. 2011. Penelitian Tindakan Untuk Kepala Sekolah dan Pengawas. Yogyakarta:
Adiyta Media.
Arsyad, St. Wahidah. 2007. Keefektifan Penggunaan Media Leaflet dengan Pola M2E (Mapping,
Matriks, Elaboration) dalam Mengatasi Kesalahan Konsep Biologi dan Meningkatkan
Retensi Siswa SMP 24 Banjarmasin.
Barkley, Elizabert E., K. Patricia Cross, Claire Howell Major. 2012. Collabotative Learning
Techniques: Teknik-Teknik Pembelajaran. Bandung: Nusa Media.
Hamalik, Oemar. 2013. Prose Belajar Mengajar. Jakarta: Bumi Aksara.
Hunafa, Inayah T, 2014. “Meningkatkan Akitivitas dan Hasil Belajar Siswa kelas XI IPA 2 SMA
PGRI 6 Banjarmasin pada Konsep Struktur dan Fungsi Jaringan Tumbuhan melalui
Strategi Mapping dan Elaboration tahun pelajaran 2013/2014”. Skripsi, FKIP Unlam
Banjarmasin, tidak dipublikasikan.
Nur, Mohamad. 2011. Strategi-Strategi Belajar. Surabaya: UNESA.
Mulyasa, H. E. 2011. Praktik Penelitian Tindakan Kelas Menciptakan Perbaikan
Berkesinambungan. Bandung: PT Remaja Rosdakarya.
Mundilarto. 2014. Membangun Karakter melalui Pembelajaran Sains. FMIPA Universitas Negeri
Yogyakarta.

St. Wahidah Arsyad dan Aulia Ajizah


277
Rusman. 2013. Model-model Pembelajaran Mengembangkan Profesionalisme Guru. Jakarta:
Rajawali Press.
Sanjaya, Wina. 2013. Strategi Pembelajaran Berorientasi Standar Proses Pendidikan. Jakarta:
Kencana Perdana Media Group.
Sardiman, A. M. 2011. Interaksi & Motivasi Balajar Mengajar. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada.
Slameto. 2010. Belajar & Faktor-Faktor yang Mempengaruhi. Jakarta: Rineka Cipta.
Sudjana, Nana. 2012. Penilaian Hasil dan Proses Belajar Mengajar. Bandung: PT Remaja
Rosdakarya.
Trianto. 2008. Mendesain Pembelajaran Kontekstual (Contextual Teaching And Learning) Di
Kelas. Jakarta: Cerdas Pustaka Publisher.
Zaini, Hisyam, Bermawy Munthe, Sekar Ayu Aryani. 2008. Strategi Pembelajaran Aktif. Yogyakarta:
CTSD.

St. Wahidah Arsyad dan Aulia Ajizah


278
BAB VI
PENDIDIKAN KARAKTER
DAN PENDIDIKAN IPS

Bab VI: Pendidikan Karakter dan Pendidikan IPS


279
Bab VI: Pendidikan Karakter dan Pendidikan IPS
280
PENGEMBANGAN EFIKASI DIRI SISWA MELALUI PEMBELAJARAN
KOOPERATIF PADA MATA PELAJARAN IPS
Agus Suprijono
Universitas Negeri Surabaya

ABSTRAK
Cooperative learning merupakan pembelajaran yang beraksentuasi pada arti penting proses
sosial asosiatif untuk mencapai tujuan belajar yang diharapkan. Cooperative learning sebagai
model pembelajaran berpengaruh terhadap aspek psiko-sosial siswa. Domain psiko-sosial
adalah kesadaran saling ketergantungan secara positif atau interdependensi sosial. Dalam
kondisi saling ketergantungan terjadi interaksi promotif dan group processing. Interaksi promotif
dan pemerosesan kelompok mendorong siswa melakukan regulasi diri, penilaian diri dan
antarteman sejawat. Kedua penilaian menumbuhkan motivasi siswa. Derajat motivasi siswa
berdampak pada efikasi diri atau keyakinan diri siswa mampu memecahkan masalah.
Kata kunci: Pembelajaran Kooperatif, Efikasi Diri

I. PENDAHULUAN
Huberman (Sa’ud, 2008: 4) mengemukakan “innovation is… the creative selection,
organization and utilization of human and material resources in new and unique ways which will
result in the attainment of a higher level of achievement for the defined goals and objectives”.
Inovasi adalah pilihan kreatif, pengorganisasian dan pemanfaatan sumber daya manusia, serta
materi dengan cara-cara baru dan unik untuk mencapai keberhasilan lebih tinggi berdasarkan
tujuan yang ditetapkan. Beberapa atribut penting inovasi adalah:
1. Pilihan kreatif.
2. Pengorganisasian dan pemanfaatan sumber daya manusia serta materi dengan
cara-cara baru dan unik.
3. Menghasilkan pencapaian keberhasilan pada tingkat yang lebih tinggi untuk tujuan
yang ditetapkan.
Pilihan kreatif pada pembelajaran IPS muncul dari kondisi pembelajaran IPS saat ini.
Berbagai kritik ditujukan kepada pembelajaran IPS. Dengan pendekatan ekspositori
pembelajaran IPS didominasi hafalan dengan banyak menekankan chalk and talk.
Pembelajaran IPS menekankan memorisasi dan mengabaikan kemampuan intelektual yang
lebih tinggi. Pada kajian Masalah Pendekatan Ekspositori dan Inkuiri dalam Mewujudkan Tujuan
Ilmu-Ilmu Sosial di Sekolah Menengah Atas, Somantri (2001: 39) mengemukakan ... Pendekatan

Agus Suprijono
281
ekspositori sangat menguasai keseluruhan proses belajar mengajar. Tingkat pengetahuan
sebagian besar siswa berada dalam kelompok peringkat 1 (fakta) dan peringkat 2 (konsep)
tidak memungkinkan siswa belajar aktif suatu pengalaman yang sangat diperlukan untuk
membiasakan dalam proses berpikir, bersikap dan bertindak sebagai anggota masyarakat
yang baik.
Realitas pembelajaran IPS di sekolah menunjukkan bahwa pengembangan
kompetensi pengetahuan adalah hal utama. Sementara kompetensi sikap dan keterampilan
belum mendapatkan perhatian yang optimum. Seharusnya pembelajaran IPS tidak hanya
bertujuan mengembangkan kompetensi pengetahuan, namun pembelajaran IPS juga
bertanggung-jawab pada pengembangan sikap dan keterampilan sebab tujuan pembelajaran
IPS adalah: (1) mengenal konsep-konsep yang berkaitan dengan kehidupan masyarakat dan
lingkungannya; (2) memiliki kemampuan dasar untuk berpikir logis dan kritis, rasa ingin tahu,
inkuiri, memecahkan masalah, dan keterampilan dalam kehidupan sosial; (3) memiliki
komitmen dan kesadaran terhadap nilai-nilai sosial dan kemanusiaan; (4) memiliki kemampuan
berkomunikasi, bekerjasama dan berkompetisi dalam masyarakat yang majemuk, di tingkat
lokal, nasional, dan global (Depdiknas, 2006).
Pilihan kreatif inovasi pembelajaran IPS adalah pengembangan keterampilan sosial.
Pilihan ini merupakan gagasan untuk keluar dari pemahaman sempit tentang intelegensi.
Banyak orang cukup lama percaya jika seseorang mempunyai IQ tinggi maka orang tersebut
akan sukses hidupnya. Pengukuran IQ sejak lama menjadi salah satu ukuran terpenting untuk
menentukan kemungkinan sukses seseorang. Kenyataannya kini bisa dilihat orang ber-IQ
tinggi belum tentu sukses dan hidup bahagia. IQ hanya menyumbang 20 % kesuksesan hidup,
selebihnya faktor lain. Tradisi pemikiran intelegensi yang berkembang selama ini berdampak
pada pembelajaran IPS. Matapelajaran IPS dibelajarkan layaknya matapelajaran IPA yakni
pembelajaran berfokus pada pengembangan matematis-logis.
Menurut Gardner (Suparno, 2004: 17) intelegensi adalah “kemampuan untuk
memecahkan persoalan, menghasilkan produk dalam suatu setting (latar) bermacam-macam,
dan situasi nyata. Termasuk dalam intelegensi itu adalah intelegensi intrapersonal dan
intelegensi interpersonal”. Intelegensi intrapersonal adalah kemampuan yang berkaitan dengan
pengetahuan akan diri sendiri dan kemampuan untuk bertindak secara adaptif berdasarkan
pengenalan diri. Intelegensi interpersonal adalah kemampuan untuk mengerti dan menjadi
peka terhadap perasaan, intensi, motivasi, watak, temperamen orang lain.
Termasuk dalam kemampuan intrapersonal adalah efikasi diri (self-efficacy). Tergolong
kemampuan interpersonal adalah keterampilan sosial. Kedua kemampuan itu berkaitan dengan
aspek kehidupan siswa secara emotif, psikis, dan sosial. Jika mata pelajaran IPS hanya
dibelajarkan dengan pendekatan ekspositori, maka kecakapan intrapersonal dan interpersonal
siswa tidak dapat berkembang optimum. Pembelajaran kooperatif sebagai pembelajaran sosial
yang menekankan belajar melalui proses interaksi sosial dan interdepensi sosial serta
melibatkan regulasi diri dan kognitif menjadi pilihan kreatif untuk memecahkan masalah
tersebut.

Agus Suprijono
282
Pembelajaran kooperatif merupakan pembelajaran berpusat pada siswa. Siswa adalah
subjek pembelajaran. Melalui pembelajaran kooperatif siswa terlibat secara aktif, dinamis,
dan mengkonstruksi pengetahuan dari tugas-tugas inkuiri yang diberikan kepada kelompok-
kelompok. Proses-proses sosial, regulasi kognitif, dan diri yang dialami siswa dalam
kelompoknya merupakan pengembangan efikasi diri dan keterampilan sosial.
Pembelajaran kooperatif berbeda dengan pembelajaran ekspositori. Pencapaian
keberhasilan belajar IPS dengan ekspositori cenderung kepada penguasaan fakta dan konsep
yang diukur melalui teknik tes. Bentuk tes yang umum digunakan adalah pilihan ganda dan
uraian. Tidak demikian halnya dengan pembelajaran kooperatif. Hasil belajar yang dicapainya
meliputi pengembangan akademis, sosial, dan psikologis oleh sebab itu penilaiannya meliputi
aspek belajar yang lebih luas dibandingkan dengan penilaian pembelajaran ekspositori.
Penilaian pembelajaran kooperatif dilakukan dengan teknik tes dan non tes. Teknik tes
mengukur pencapaian academic standard dan teknik non tes digunakan mengukur pencapaian
performance standard. Teknik non tes yang dikembangkan berupa penilaian kinerja, penilaian
kooperatif, dan penilaian efikasi diri. Dengan berbagai aspek belajar yang dikembangkan serta
keberagaman penilaian maka pembelajaran kooperatif dapat menghasilkan pencapaian
keberhasilan belajar lebih tinggi yakni tidak hanya pencapaian kecakapan pengetahuan dan
intelektual, tetapi keterampilan sosial dan kecakapan efikasi diri juga. Permasalahannya,
bagaimana rasionalitas pembelajaran kooperatif pada proses belajar mengajar IPS bisa untuk
mengembangkan efikasi diri siswa? Tujuannya adalah menemukan proposisi sebagai landasan
berpikir mengimplementasikan pembelajaran kooperatif pada mata pelajaran IPS. Manfaatnya
adalah mendapatkan pijakan rasional mengimplementasikan pembelajaran kooperatif.

II. PEMBAHASAN
2.1 Pembelajaran Kooperatif
Pembelajaran kooperatif merupakan bentuk learning community. Pijakan akademik
pembelajaran ini adalah pemikiran Vygotsky. Menurut Vygotsky (Suparno, 1997: 45) belajar adalah
perkembangan pengertian yang dibangun melalui hubungan dialektik antara individu dan
masyarakat. ”Pembelajaran berbasis sosial ini ada yang menyebutnya sebagai pembelajaran
kolaboratif. Panitz (Sagala, 2003: 34) membedakan antara pembelajaran kooperatif dan kolaboratif:
“Pembelajaran kolaboratif didefinisikan sebagai falsafah mengenai tanggung jawab pribadi dan
sikap menghormati sesama. Pembelajaran kooperatif adalah konsep yang lebih luas meliputi
semua jenis kerja kelompok termasuk bentuk-bentuk yang lebih dipimpin oleh guru atau diarahkan
oleh guru. Secara umum pembelajaran kooperatif dianggap lebih diarahkan oleh guru, dimana
guru menetapkan tugas dan pertanyaan-pertanyaan serta menyediakan bahan-bahan dan
informasi yang dirancang untuk membantu peserta didik menyelesaikan masalah yang dimaksud.”
Pandangan dikotomi tersebut di atas dianggap sebagai pernyataan berlebihan. Sebab,
praktiknya antara pembelajaran kolaboratif dan kooperatif adalah dua hal yang kontinum. Kata
“kooperatif” memiliki makna lebih luas yaitu menggambarkan keseluruhan proses sosial dalam
belajar dan mencakup pula pengertian kolaboratif.

Agus Suprijono
283
Cooperative learning atau pembelajaran kooperatif menurut Slavin (1985) adalah
“…as a structured, systematic instructional technique in which small groups work together to
achieve a common goal. Johnson, Johnson, dan Holubec (1990) berpendapat pembelajaran
kooperatif dikembangkan untuk “…to teach specific content, ensure active cognitive processing
of information during a lecture, and provide long-term support for academic progress”.
Pembelajaran kooperatif merupakan strategi pembelajaran membantu siswa
berinteraksi dengan orang lain secara bersama-sama. Tujuannya adalah agar siswa mencapai
tujuan pembelajaran, menghasilkan produk, dan mengembangkannya dalam berbagai situasi.
Sebagaimana pembelajaran kooperatif yang didefinisikan oleh Kagan (1989) “…an excellent
definition of cooperative learning by looking at general structures which can be applied to any
situation, …on the creation, analysis and systematic application of structures, or content-free
ways of organizing social interaction in the classroom.”
Terdapat lima unsur dasar pada pembelajaran kooperatif. Kelima unsur itu menurut
Johnson, Johnson, dan Smith (1991: 22) adalah “Positive Interdepende, Face-to-Face
Interaction, Individual Accountability, Social Skills, Group Processing”. Unsur pertama
pembelajaran kooperatif adalah saling ketergantungan positif. Unsur ini menunjukkan bahwa
dalam pembelajaran kooperatif ada dua pertanggungjawaban kelompok. Pertama, mempelajari
bahan yang ditugaskan kepada kelompok. Kedua, menjamin semua anggota kelompok secara
individu mempelajari bahan yang ditugaskan tersebut. Unsur kedua pembelajaran kooperatif
adalah tanggung jawab individual. Pertanggungjawaban ini muncul jika dilakukan pengukuran
terhadap keberhasilan kelompok. Unsur ketiga pembelajaran kooperatif adalah interaksi
promotif. Unsur ini penting karena dapat menghasilkan saling ketergantungan positif. Ciri-ciri
interaksi promotif menurut Suderajat (2004: 115) sebagai berikut: (1) Saling membantu secara
efektif dan efisien; (2) Saling memberi informasi dan sarana yang diperlukan; (3) Memproses
informasi bersama secara lebih efektif dan efisien; (4) Saling mengingatkan; (5) Saling
membantu dalam merumuskan dan mengembangkan argumentasi serta meningkatkan
kemampuan wawasan terhadap masalah yang dihadapi; (5) Saling percaya; (6) Saling
memotivasi untuk memperoleh keberhasilan bersama.
Unsur keempat pembelajaran kooperatif adalah keterampilan sosial. Untuk
mengkoordinasikan kegiatan siswa dalam pencapaian tujuan siswa harus saling mengenal dan
mempercayai; mampu berkomunikasi secara akurat dan tidak ambisius; saling menerima dan
saling mendukung; mampu menyelesaikan konflik secara konstruktif. Unsur kelima pembelajaran
kooperatif adalah pemrosesan kelompok. Pemerosesan mengandung arti menilai.
Tulisan David W. Johnson, Roger T. Johnson and Karl A. Smith berjudul Cooperative
Learning Return to College yang dipublikasikan dalam majalah Change (July-August 1998)
menyatakan bahwa pembelajaran kooperatif berakar secara akademik pada “(1) Social
interdependence theory; (2) Cognitive-developmental theory; (3) The behavioral learning theory.”
Teori interdependensi sosial mengasumsikan bahwa upaya kooperatif didasarkan pada motivasi
intrinsik yang dihasilkan oleh faktor-faktor interpersonal dan aspirasi bersama untuk mencapai
tujuan yang signifikan. Teori interdependensi sosial berfokus pada konsep-konsep relasional
yang berhubungan dengan apa yang terjadi antara individu-individu sedangkan perspektif

Agus Suprijono
284
perkembangan kognitif-berfokus pada apa yang terjadi dalam satu orang (misalnya,
ketidakseimbangan kognitif, reorganisasi). Teori belajar perilaku mengasumsikan bahwa usaha
kooperatif yang didukung oleh motivasi ekstrinsik untuk mencapai manfaat.
Belajar menurut Surya (2004: 7) adalah proses yang dilakukan oleh individu untuk
mendapatkan perubahan perilaku sebagai hasil pengalamannya berinteraksi dengan
lingkungan. Siswa mempelajari IPS berarti siswa terlibat dalam dinamika pemikiran, emotif,
dan intuitif mengenai lingkungan, orang lain, dan diri sendiri. Pembelajaran IPS
mengembangkan efikasi diri siswa.
2.2 Efikasi Diri
Efikasi diri mendorong seseorang memahami secara mendalam atas situasi yang
dapat menerangkan tentang mengapa seseorang ada yang mengalami kegagalan dan atau
yang berhasil. Dari pengalaman itu, seseorang akan mampu mengungkapkan efikasi diri.
Efikasi diri merupakan panduan untuk tindakan yang telah dikonstruksikan dalam perjalanan
pengalaman interaksi sepanjang hidup individu. Efikasi diri yang berasal dari pengalaman
akan digunakan untuk memprediksi perilaku orang lain dan memandu perilakunya sendiri.
Crick & Dodge (Kurniawan, 2004 : 6) menjelaskan efikasi diri sebagai berikut:
“Efikasi diri adalah representasi mental individu atas realitas, terbentuk oleh
pengalaman-pengalaman masa lalu dan masa kini, dan disimpan dalam memori
jangka panjang. Skema-skema spesifik, keyakinan-keyakinan, ekspektasi-ekspektasi
yang terintregrasi dalam sistem keyakinan akan mempengaruhi intrepretasi individu
terhadap situasi spesifik. Proses intrepretasi individu terhadap situasi spesifik ini pada
gilirannya diprediksi akan mempengaruhi perilaku seseorang.”
Menurut Ratna (2008) “efikasi diri merupakan cara pandang seseorang terhadap
kualitas dirinya sendiri, baik atau buruk, dan keyakinan diri tersebut dapat dibangun sesuai
karakteristik seseorang dan bersifat khusus”. Cara pandang individu dalam usaha memunculkan
keyakinan dalam diri dapat dipengaruhi oleh kepercayaan yang ada pada diri individu. Keyakinan
itu merupakan sebuah media tunggal yang memungkinkan bangkitnya kekuatan dari sumber
energi tanpa batas di dalam diri, dan mengendalikannya untuk dimanfaatkan demi kebaikan
manusia itu sendiri.
Efikasi diri merupakan himpunan kepercayaan atau bagaimana kita melihat diri kita
sendiri. Efikasi diri dipengaruhi oleh motivasi, sikap, dan tingkah laku seseorang. Menurut
Wicaksono (2008) efikasi diri adalah “sebuah unsur yang bisa mengubah getaran pemikiran
biasa; dari pikiran yang terbatas, menjadi suatu bentuk padanan yang masuk ke dalam koridor
spiritual; dan merupakan dasar dari semua “mukjizat”, serta misteri yang tidak bisa dianalisis
dengan cara-cara ilmu pengetahuan”.
Spears dan Jordon (Ferdyawati, 2007: 7) berpendapat efikasi diri adalah “keyakinan
seseorang bahwa dirinya akan mampu melaksanakan tingkah laku yang dibutuhkan dalam
suatu tugas. Pikiran individu terhadap efikasi diri menentukan seberapa besar usaha yang
akan dicurahkan dan seberapa lama individu akan tetap bertahan dalam menghadapi hambatan
atau pengalaman yang tidak menyenangkan.” Schunck (2006: 12) berpendapat bahwa “efikasi

Agus Suprijono
285
diri adalah penilaian mengenai sebaik apa individu dapat mengorganisasikan dan melakukan
serangkaian tingkah laku yang diperlukan dalam situasi yang abigius, tidak terduga dan
mengandung tekanan. Efikasi diri dapat didefinisikan sebagai kepercayaan diri yang dimiliki
seseorang agar dapat mengorganisasikan dan melakukan tindakan untuk mengatasi masalah
dan menyikapi perubahan dengan baik.
Berangkat dari berbagai definisi efikasi diri maka seseorang dengan efikasi diri dapat
mengarahkan tindakan-tindakan bukan hanya kepada orang lain tetapi juga dengan lingkungan
yang lebih luas. Efikasi diri memiliki fungsi adaptif yang memungkinkan individu memenuhi
persyaratan-persyaratan sosiokultural dan tuntutan kognitif. Efikasi diri memungkinkan individu
dapat mengorganisasikan dunianya dalam cara-cara yang konsisten secara psikologis,
melakukan prediksi, menemukan kesamaan, dan menghubungkan pengalaman-pengalaman
baru dengan pengalaman-pengalaman masa lalu, bahkan memunculkan kekuatan pikiran
yang dapat dibawa hingga kedalam alam bawah sadarnya. Efikasi diri diyakini dapat
mempengaruhi manusia untuk merasa, berpikir, dan memotivasi dirinya sendiri untuk bertindak.
Seseorang yang memiliki efikasi diri dapat menyelesaikan masalah dan merasa tertantang
untuk menyelesaikan masalah tersebut, mereka juga selalu berusaha untuk meraih kesuksesan
dan berkomitmen untuk mewujudkannya. Efikasi diri mempengaruhi tingkat ketahanan
seseorang terhadap tugas, pilihan terhadap tugasnya, dan peniruan perilaku.
2.3 Keterkaitan antara Pembelajaran Kooperatif dan Efikasi Diri
Cooperative learning merupakan pembelajaran yang beraksentuasi pada arti penting
proses sosial asosiatif dalam belajar untuk mencapai tujuan belajar yang diharapkan.
Cooperative learning merupakan proses belajar dalam kelompok-kelompok kecil yang
bekerjasama sebagai satu tim untuk memecahkan masalah. Unsur-unsur penting dalam
cooperative learning adalah (1) anggota kelompok harus merasakan sebagai bagian yang
tidak terpisah dari anggota yang lain; (2) anggota kelompok menyadari bahwa mereka memiliki
satu tujuan yang sama; (3) anggota kelompok menyadari bahwa masalah yang dihadapi adalah
masalah mereka bersama yang harus dipecahkan; (4) keberhasilan maupun kegagalan
merupakan hasil yang harus diterima sebagai hasil kerja tim bukan individual; (5) semua
anggota kolompok harus berbicara satu sama lain dan terlibat dalam diskusi untuk memecahkan
masalah.
Cooperative learning menekankan arti penting interaksi sosial dalam suatu kelompok
untuk mengkonstruksi suatu pengetahuan. Cooperative learning dapat meningkatkan
pemahaman siswa tentang isi materi IPS, memahami konsep-konsep serta mendorong siswa
aktif, partisipatif, dan konstruktif terlibat dalam proses pembelajaran. Melalui cooperative learning
siswa memperoleh kesempatan memunculkan pertanyaan, mendiskusikan tugas-tugas mereka
dan menyatakan opini mereka. Cooperative learning dapat mengintegrasikan berbagai gagasan
dan saling menguji berbagai konsep.
Cooperative learning adalah strategi pembelajaran untuk mengembangkan
keterampilan interpersonal sebagai keterampilan yang dibutuhkan siswa untuk berkomunikasi,
berpartisipasi, dan berefleksi di lingkungannya. Cooperative learning dirancang untuk

Agus Suprijono
286
melibatkan interaksi kelas sehingga dapat membantu siswa memperoleh keterampilan yang
dibutuhkan serta mampu menerapkan isi pengetahuan yang dipelajari dalam kehidupannya.
Pembelajaran kooperatif sebagai pembelajaran yang terjadi dalam lingkungan sosial
beraksentuasi pada interaksi sosial. Pembelajaran kooperatif menuntut kerjasama dan
interdependensi siswa dalam struktur tugas, struktur tujuan, dan struktur reward-nya. Dalam
perspektif sosiologis menurut (Soekanto, 2009: 57) berlangsungnya interdependensi sosial
didasarkan pada pelbagai faktor antara lain faktor imitasi, sugesti, identifikasi dan simpati.
Faktor imitasi mempunyai peranan penting yaitu imitasi dapat mendorong seseorang
mematuhi kaidah-kaidah dan nilai-nilai yang berlaku. Faktor sugesti berlangsung apabila
seseorang memberi pandangan sikap yang berasal dari dirinya yang kemungkinan diterima
oleh pihak lain. Proses ini sebenarnya hampir sama dengan imitasi, tetapi titik tolaknya berbeda.
Berlangsungnya sugesti terjadi karena pihak yang menerima dilanda oleh emosi, yang
menghambat daya berpikirnya secara rasional. Faktor identifikasi merupakan kecenderungan
dalam diri seseorang untuk menjadi sama dengan pihak lain. Identifikasi sifatnya lebih mendalam
daripada imitasi karena kepribadian seseorang dapat terbentuk atas dasar proses ini. Proses
identifikasi dapat terjadi dengan sendirinya maupun dengan disengaja karena seringkali
seseorang memerlukan tipe-tipe ideal tertentu di dalam proses kehidupannya. Walaupun dapat
berlangsung dengan sendirinya proses identifikasi berlangsung dalam suatu keadaan dimana
seseorang yang beridentifikasi benar-benar mengenal pihak lain sehingga pandangan sikap
maupun kaidah-kadiah yang berlaku pada pihak lain tadi dapat melembaga bahkan menjiwainya.
Berlangsungnya identifkasi mengakibatkan terjadinya pengaruh yang lebih mendalam daripada
proses imitasi dan sugesti walaupun ada kemungkinan bahwa pada mulanya proses identifkasi
diawali oleh imitasi dan atau sugesti. Faktor simpati sebenarnya merupakan proses dimana
seseorang tertarik pada pihak lain. Dalam proses ini perasaan memegang peranan yang sangat
penting walaupun dorongan utama pada simpati adalah keinginan untuk memahami pihak
lain dan bekerjasama dengannya.
Pembelajaran adalah proses yang dilakukan oleh individu untuk memperoleh suatu
perubahan perilaku yang baru secara keseluruhan sebagai hasil dari pengalaman individu itu
sendiri dalam interaksi dengan lingkungannya (Surya, 2004: 7). Ketika peserta didik terlibat
dalam pembelajaran kooperatif maka perubahan perilaku dalam sistem Bandura adalah
perubahan ekspektasi efikasi atau efikasi diri. Dengan kata lain, hasil pembelajaran yang terjadi
dalam lingkungan sosial (pembelajaran kooperatif) merupakan perubahan efikasi diri.
Efikasi diri adalah pertimbangan subyektif individu terhadap kemampuannya untuk
menyusun tindakan yang dibutuhkan dalam rangka menyelesaikan tugas-tugas khusus yang
dihadapi. Efikasi diri merupakan keyakinan individu bahwa ia mampu melakukan tindakan
spesifik yang diperlukan untuk menghasilkan outcome yang diinginkan dalam suatu situasi.
Efikasi diri merefleksikan keyakinan individu bahwa tindakan yang dilakukannya dapat
diselesaikan dengan baik.
Efikasi diri sebagai hasil belajar dari lingkungan sosial merupakan hasil dari proses
saling mempengaruhi antara pribadi, lingkungan, dan tingkah laku. Efikasi diri merupakan

Agus Suprijono
287
determinis resiprokal antara determinan kognitif, behavioral, dan lingkungan. Pribadi atau orang
menentukan/mempengaruhi tingkah lakunya dengan mengontrol kekuatan lingkungan, tetapi
orang juga dikontrol oleh kekuatan lingkungan itu. Konsep Bandura menempatkan manusia
sebagai pribadi yang dapat mengatur diri sendiri, mempengaruhi tingkah laku dengan cara
mengatur lingkungan, menciptakan dukungan kognitif, mengadakan konsekuensi bagi tingkah
lakunya sendiri. Dengan kata lain efikasi diri bukan terjadi secara mekanis. Efikasi diri bukan
suatu respons secara mekanis terhadap stimulus sebagaimana pandangan kaum behavioristik
melainkan dinamika proses kognitif dalam individu yang memegang peranan penting dalam
pembelajaran.
Dalam pembelajaran kooperatif yang dicirikan interdependensi sosial setiap individu
melakukan regulasi diri. Faktor-faktor internal dalam regulasi diri antara lain adalah observasi
diri. Observasi ini dilakukan berdasarkan faktor kualitas penampilan, kuantitas penampilan,
orisinalitas tingkah laku diri, dan seterusnya. Orang harus memonitor performansinya, walaupun
tidak sempurna karena orang cenderung memilih beberapa aspek dari tingkah lakunya dan
mengabaikan tingkah laku lainnya. Apa yang diobservasi seseorang tergantung kepada minat
dan konsep dirinya.
Selain melakukan observasi diri dalam pembelajaran kooperatif setiap individu
melakukan proses penilaian atau mengadili tingkah laku. Ini merupakan faktor internal kedua
dalam regulasi diri. Proses penilaian melihat kesesuaian tingkah laku dengan standar pribadi,
membandingkan tingkah laku dengan norma standar atau dengan tingkah laku orang lain,
menilai berdasarkan pentingnya suatu aktivitas dan memberi atribusi performansi.
Standar pribadi bersumber dari pengalaman mengamati orang-orang dalam satu
kelompok sebagai modelnya dan menginterpretasi balikan atau penguatan dari performansi
diri. Berdasarkan sumber model dan performansi yang mendapat penguatan, proses kognitif
menyusun ukuran-ukuran atau norma yang sifatnya sangat pribadi, karena ukuran itu tidak
selalu sinkron dengan kenyataan. Standar pribadi ini jumlahnya terbatas. Sebagian besar aktivitas
harus dinilai dengan membandingkannya dengan ukuran eksternal, bisa berupa norma standar,
perbandingan sosial, perbandingan dengan orang lain atau perbandingan kolektif. Orang juga
menilai suatu aktivitas berdasarkan arti penting dari aktivitas bagi dirinya. Akhirnya, orang juga
menilai seberapa besar dirinya menjadi penyebab dari suatu performansi, apakah kepada diri
sendiri dapat dikenai atribusi atau penyebab tercapainya performansi, yang baik atau sebaliknya
justru dikenai atribusi terjadinya kegagalan dan performansi yang buruk.
Berdasarkan pengamatan diri dan judgment-nya orang mengevaluasi diri sendiri positif
atau negatif dan kemudian menghadiahi atau menghukum diri sendiri. Dengan kata lain orang
melakukan self response. Bisa terjadi tidak muncul reaksi afektif karena fungsi kognitif membuat
keseimbangan yang mempengaruhi evaluasi positif atau negatif menjadi kurang bermakna
secara individual.
Selain faktor-faktor internal dalam regulasi diri tersebut di atas ada juga faktor-faktor
eksternal yang mempengaruhi regulasi diri. Faktor eksternal mempengaruhi regulasi diri
dengan dua cara yaitu faktor eksternal memberi standar untuk mengevaluasi tingkah laku.

Agus Suprijono
288
Faktor lingkungan berinteraksi dengan pengaruh-pengaruh pribadi, membentuk standar evaluasi
diri seseorang. Melalui guru dan anggota kelompok individu-individu belajar baik buruk, tingkah
laku yang dikehendaki dan tidak dikehendaki. Melalui pengalaman berinteraksi dengan
lingkungan yang lebih luas individu-individu kemudian mengembangkan standar yang dapat
dipakai untuk menilai prestasi diri.
Cara kedua faktor eksternal mempengaruhi regulasi diri dalam bentuk penguatan.
Hadiah intrinsik tidak selalu memberi kepuasan, orang membutuhkan insentif yang berasal
dari lingkungan eksternal. Standar tingkah laku dan penguatan biasanya bekerjasama; ketika
orang dapat mencapai standar tingkah laku tertentu, perlu penguatan agar tingkah laku
semacam itu menjadi pilihan untuk dilakukan lagi.
Secara singkat tabel di bawah ini menyajikan proses regulasi diri yang dipaparkan
tersebut di atas.
Tabel 1
Hubungan Lingkungan Sosial dan Regulasi Diri

F ak t o r E k s te rn a l F a k to r In t e rn al
S e lf-O b s erv a tio n J u d g m en ta l Se lf-R e sp o n s e
P ro c es s
St a n d a r D im en si St an d a r p rib ad i: R e a ks i e va lu a si
lin g ku n g a n s o sia l P erf o rm a n s i: -su m be r m od e l d iri:
(k elo m p o k , -ku alitas -sum b er p e n gu a t -po sitif
ko m u n ita s , -ke se rin g an P edom an -n e g atif
m a sy a rak a t) -d am p ak p e rfo rm a n s i: D a m p ak te rh a d a p
-Pe n gu a tan -pe n yim pa n ga n -n o rm a s ta n da r se lf:
-e tika -pe rba n din g a n so sia l -D ih a diah i
-p e rb an d in ga n -D ih u ku m
p e rso n al T an p a re s p o n s e lf
M en g h a rg a i
ak tiv ita s :
-s a n g a t d ih o rm at i
-n et ral
-d iren d a hka n
A trib u s i
p e rf o rm a n s i:
-L ok us p riba d i
-Lo ku s ek ste rna l
-

Menurut Slavin (1985) dan Kagan (1989) pembelajaran kooperatif bukan sekedar
bekerja bersama-sama, “cooperative learning is more than “working together”. It has been
described as “structuring positive interdependence. Sistem pembelajaran kooperatif merupakan
sistem pembelajaran yang memberi kesempatan kepada siswa untuk bekerjasama dengan
sesamanya dalam tugas-tugas yang terstruktur. Pembelajaran kooperatif dikenal dengan
pembelajaran secara berkelompok. Tetapi belajar kooperatif lebih dari sekedar belajar kelompok
atau kerja kelompok biasa karena dalam belajar kooperatif ada struktur dorongan atau tugas
yang bersifat kooperatif sehingga memungkinkan terjadinya interaksi secara terbuka dan

Agus Suprijono
289
hubungan yang bersifat interdepedensi efektif di antara anggota kelompok (Sugandi, 2002:
14). Hubungan kerja seperti itu memungkinkan timbulnya persepsi yang positif tentang apa
yang dapat dilakukan siswa untuk mencapai keberhasilan belajar berdasarkan kemampuan
dirinya secara individu dan andil dari anggota kelompok lain selama belajar bersama dalam
kelompok. Hubungan kerja seperti ini memberikan ruang bagi siswa saling menilai
kemampuannya masing-masing.
Pembagian tugas terstruktur yang harus dipikul oleh individu dan dukungan sosial
untuk menyelesaikan tugas tersebut dalam pembelajaran kooperatif merupakan hal terpenting
bagi pengembangan efikasi diri. Beban tugas mendorong individu untuk melakukan penilaian
diri atas kemampuannya menyelesaikan tugas dan melakukan proses judgment dengan
mengadakan perbandingan kemampuan yang dimiliki dirinya dengan kemampuan orang lain
(anggota kelompok lainnya). Hal ini merupakan pengembangan aspek dari efikasi diri yang
disebut sebagai magnitude.
Aspek magnitude berkaitan dengan kesulitan tugas. Apabila tugas-tugas yang
dibebankan pada individu disusun menurut tingkat kesulitannya, maka perbedaan efikasi diri
secara individual mungkin terbatas pada tugas-tugas yang sederhana, menengah atau tinggi.
Individu akan melakukan tindakan yang dirasakan mampu untuk dilaksanakannya dan akan
melakukan tindakan terhadap tugas-tugas yang diperkirakan di luar batas kemampuan yang
dimilikinya. Individu dengan efikasi diri rendah dalam mengerjakan tugas tertentu akan
cenderung menghindari tugas tertentu. Individu yang merasa sulit untuk memotivasi diri akan
mengurangi usahanya atau menyerah pada permulaan rintangan. Individu juga mempunyai
aspirasi dan komitmen lemah untuk tujuan hidup yang akan dipilih. Dalam memandang situasi
individu cenderung lebih memperhatikan kekurangannya, tugas yang berat dan akibat yang
tidak baik atau kegagalan.
Pembelajaran kooperatif menyediakan pembagian tugas dan tanggung jawab pada
semua siswa, menciptakan saling ketergantungan, dan mendorong kerjasama melalui
ketergantungan pada dialog. Tugas dan tanggung jawab yang dipikul oleh setiap individu
dalam kelompok dan terkait dengan sifat tugas yang berinterdependensi menuntut individu
dapat memenuhi dan menyesuaikan diri dengan berbagai tuntutan yang ada di lingkungan
sosial (kelompok). Ketidakmampuan untuk memenuhi harapan dan tuntutan di dalam kelompok
dapat mengakibatkan kecemasan. Hal ini karena ketidakseimbangan tuntutan kerja dengan
sumber daya atau kemampuan yang dimiliki individu untuk memenuhinya.
Sebagai upaya mengatasi kecemasan itu maka individu harus memiliki karakter
kepribadian yang sekiranya mampu dijadikan sebagai salah satu faktor mengatasi kecemasan
tersebut. Berkaitan dengan hal tersebut seseorang harus memiliki keyakinan bahwa dirinya
akan mampu melaksanakan tingkah laku yang dibutuhkan dalam suatu tugas. Keyakinan
tersebut menentukan seberapa besar usaha yang akan dicurahkan dan seberapa lama individu
akan tetap bertahan dalam menghadapi hambatan atau pengalaman yang tidak menyenangkan.
Apabila kesulitan dialami oleh individu-individu yang meragukan kemampuannya, maka usaha-

Agus Suprijono
290
usaha untuk mengatasinya akan mengendur atau bahkan dihentikan. Keyakinan itu yang
dikatakan sebagai efikasi diri.
Efikasi diri merupakan keyakinan seseorang bahwa dirinya akan mampu
melaksanakan tingkah laku yang dibutuhkan dalam suatu tugas. Efikasi diri merupakan prediktor
tingkah laku sebagai determinis resiprokal antara lingkungan, tingkah laku dan pribadi. Efikasi
diri merupakan variabel yang penting yang kalau digabung dengan tujuan-tujuan spesifik dan
pemahaman mengenai prestasi, akan menjadi penentu tingkah laku mendatang yang penting.
Setiap individu mempunyai efikasi yang berbeda-beda tergantung kepada (1) kemampuan
yang dituntut oleh situasi yang berbeda itu; (2) kehadiran orang lain, khususnya saingan dalam
situasi itu; (3) keadaan fisiologis dan emosional, kelelahan, kecemasan, apatis, murung.
Efikasi yang tinggi atau rendah, dikombinasikan dengan lingkungan yang responsif
atau tidak responsif akan menghasilkan empat kemungkinan prediksi tingkah laku. Keempat
tingkah laku sebagai hasil keterkaitan antara antara efikasi diri dan lingkungan digambarkan
pada tabel di bawah ini.

Tabel 2
Prediksi Tingkah Laku Hasil Keterkaitan antara Efikasi Diri dan Lingkungan

EFIKASI DIRI LINGKUNGAN PREDIKSI HASIL TINGKAH LAKU


Tinggi Responsif Sukses, melaksanakan tugas yang sesuai dengan
kemampuannya
Rendah Tidak Responsif Depresi, melihat orang lain sukses pada tugas
yang dianggapnya sulit
Tinggi Tidak Responsif Berusaha keras mengubah lingkungan menjadi
responsif, melakukan protes, aktivitas sosial,
bahkan memaksakan perubahan
Rendah Responsif Orang yang
Pembelajaran kooperatif menjadi apatis, pasrah,
beraksentuasi padamerasa tidak
interdependensi sosial dapat
mampu
memberi dukungan sosial kepada efikasi diri yang berbeda-beda yang dimiliki oleh individu-
individu dalam kelompok. Pembelajaran kooperatif merupakan lingkungan sosial yang dapat
memberi dukungan secara persuasif. Melalui pembelajaran kooperatif efikasi diri dapat
dipengaruhi oleh verbal persuasion (persuasi verbal) atau persuasi sosial dari anggota
kelompok. Persuasi ini merupakan informasi mengenai kemampuan seseorang yang dilakukan
secara verbal oleh orang yang berpengaruh. Persuasi verbal digunakan untuk meyakinkan
bahwa seseorang memiliki kemampuan yang memungkinkannya untuk melaksanakan tugas
tertentu. Keyakinan ini diharapkan bisa mendorong seseorang untuk melaksanakan tugas
sebaik mungkin. Namun, hal yang harus diperhatikan dalam pembelajaran kooperatif, efikasi
diri dapat menguat apabila individu yang diberi persuasi menaruh kepercayaan terhadap orang
yang memberi persuasi. Oleh karena itu pembelajaran kooperatif harus menciptakan rasa
saling percaya di antara anggota kelompok.

Agus Suprijono
291
Persuasi sosial sebagai dukungan sosial dalam efikasi diri merupakan informasi verbal
atau non-verbal, saran, bantuan yang nyata atau tingkah-laku yang diberikan oleh orang-orang
yang akrab dengan subjek di dalam lingkungan sosialnya atau yang berupa kehadiran dan hal-
hal yang dapat memberikan keuntungan emosional atau berpengaruh pada tingkah-laku
penerimanya. Orang yang merasa memperoleh dukungan sosial, secara emosional merasa
lega karena diperhatikan, mendapat saran atau kesan yang menyenangkan pada dirinya.
Dukungan sosial yang dirasakan individu dapat memprediksi efektivitas perilaku pemecahan
masalah serta penyesuaian terhadap situasi baru. Individu yang merasakan dukungan dari
kelompok akan melakukan penyesuaian-penyesuaian terhadap proses perubahan yang terjadi
dan melakukan langkah-langkah untuk menjaga performanya. Dukungan sosial dapat
menimbulkan penyesuaian yang baik dalam perkembangan kepribadian individu. Dukungan
sosial memberikan perasaan berguna pada individu karena individu merasa dirinya dicintai dan
diterima. Dukungan yang diterima akan memiliki arti bila dukungan itu bermanfaat dan sesuai
dengan situasi yang ada. Dukungan yang diberikan oleh anggota kelompok diharapkan membantu
individu mengatasi permasalahan yang dialami terkait tugas yang menjadi tanggung-jawabnya
secara individual sekaligus sosial. Dukungan dari anggota kelompok dirasakan oleh individu
dapat memperkuat komitmen secara afektif dan performansi melalui proses timbal balik. Dukungan
sosial dari orang lain (anggota kelompok) menjadi sangat berharga dan akan menambah
ketentraman individu. Dukungan sosial sangat diperlukan selama individu sendiri masih mampu
memahami makna dukungan sosial tersebut sebagai penyokong atau penopang kehidupannya.
Dukungan sosial diharapkan mampu menunjang seseorang melalui tindakan yang
bersifat membantu dengan melibatkan emosi, pemberian informasi, bantuan materi dan penilaian
positif pada individu atas usaha yang telah dilakukannya. Dukungan yang dirasakan individu dari
kelompok dapat digunakan sebagai sumber kebutuhan sosio-emosional dan keyakinan bagi
individu untuk mengatasi ketegangan atau kecemasan yang ditimbulkan karena perubahan situasi
di dalam kelompok. Dukungan sosial inilah yang diharapkan membantu individu agar tidak
mengalami kecemasan terhadap kemungkinan dalam menyelesaikan tugas-tugas secara
kooperatif.
Pembelajaran kooperatif sebagai strategi pembelajaran untuk meningkatkan efikasi diri
dapat memberi dukungan kepada individu-individu anggota kelompok berupa pengalaman
vikarius. Anggota kelompok merupakan model sosial. Efikasi diri akan meningkat ketika mengamati
keberhasilan orang lain (model sosial), sebaliknya efikasi akan menurun jika mengamati orang
yang kemampuannya kira-kira sama dengan dirinya ternyata gagal. Terkait dengan persoalan ini
maka agar pembelajaran kooperatif mempunyai dukungan terhadap pengembangan efikasi diri
lewat pengalaman vikarius maka pembentukan kelompok sebaiknya tidak homogen melainkan
heterogen. Heterogenitas yang dikembangkan dalam pembelajaran kooperatif sebaiknya sangat
bervariasi tidak hanya mendasarkan pada heterogenitas prestasi tetapi juga gaya pembelajar.
Mary E Lehman dalam artikelnya berjudul “Influence of Learning Style Heterogeneity on
Cooperative Learning” yang dipublikasikan pada NACTA Journal. Twin Falls: Dec
2007. Vol. 51, Edisi 4 mengatakan melalui” keragaman gaya pembelajar dalam kelompok
tugas-tugas dapat terdistribusikan secara efektif”.

Agus Suprijono
292
Gaya pembelajar (learning styles of student) sangat berpengaruh terhadap bagaimana
pembelajar mendekati tugas-tugas yang harus dipelajarinya. Keberagaman gaya pembelajar
dapat menghasilkan performa belajar dan kepuasan belajar yang lebih tinggi. Di sisi lain
keberagaman gaya pembelajar dalam suatu kelompok dapat menghasilkan kesepakatan
bagaimana menentukan pendekatan dalam rangka penyelesaian tugas. Pembelajaran
kooperatif yang beraksentuasi pada heterogenitas gaya pembelajar dalam kelompok
memberikan efek psikis pada masing-masing gaya pembelajar. Siswa merasa terpuaskan
dengan pekerjaan yang sesuai dengan gaya belajarnya dan terpuaskan secara keseluruhan
dengan gaya belajar yang tidak dimilikinya. Tentu saja mengamati orang lain melakukan sesuatu
tidak mesti berakibat belajar karena belajar melalui observasi memerlukan beberapa faktor
atau prakondisi. Ada empat proses yang penting agar belajar melalui observasi dapat terjadi
yakni (1) perhatian; (2) representasi; (3) peniruan; (4) motivasi dan penguatan.
Sebelum meniru orang lain, perhatian harus dicurahkan kepada orang tersebut.
Perhatian ini dipengaruhi oleh asosiasi pengamat dengan modelnya, sifatnya yang atraktif dan
arti penting tingkah laku yang diamati bagi si pengamat. Tingkah laku yang akan ditiru harus
disimbolisasikan dalam ingatan baik dalam bentuk verbal maupun dalam bentuk gambaran
atau imajinasi.
Representasi verbal memungkinkan orang mengevaluasi secara verbal tingkah laku
yang diamati dan menentukan mana yang dibuang dan mana yang akan dicoba dilakukan.
Representasi imajinasi memungkinkan dapat dilakukankannya latihan simbolik dalam pikiran
tanpa benar-benar melakukannya secara fisik. Sesudah mengamati dengan penuh perhatian
dan memasukkannya ke dalam ingatan, orang lalu bertingkahlaku.
Mengubah dari gambaran pikiran menjadi tingkahlaku menimbulkan kebutuhan
evaluasi. Berkaitan dengan kebenaran, hasil belajar melalui observasi terhadap lingkungan
sosial tidak dinilai berdasarkan kemiripan respons dengan tingkah laku yang ditiru, tetapi lebih
pada tujuan belajar dan efikasi dari si pembelajar. Belajar melalui pengamatan menjadi efektif
kalau si pembelajar memiliki motivasi yang tinggi untuk dapat melakukan tingkahlaku modelnya.
Observasi mungkin memudahkan orang untuk menguasai tingkah laku tertentu, tetapi kalau
motivasi untuk itu tidak ada, tidak bakal terjadi proses belajar. Imitasi lebih kuat terjadi pada
tingkah laku model yang diganjar daripada tingkah laku yang dihukum. Imitasi tetap terjadi
walaupun model tidak diganjar, sepanjang pengamat melihat model mendapat ciri-ciri positif
yang menjadi tanda dari gaya hidup yang berhasil sehingga diyakini model umumnya akan
diganjar.
Ringkasnya, hubungan antara pembelajaran kooperatif dan efikasi diri dapat
digambarkan sebagai berikut:

Agus Suprijono
293
Bagan 1

OBSERVASI, PENILAIAN, REGULASI DIRI/KOGNITIF

INTERDEPENDENSI SOSIAL
-Tugas terstruktur
PEMBELAJARAN EFIKASI DIRI:
KOOPERATIF: Keyakinan diri memiliki
Saling ketergantungan kemampuan melakukan
positif. tindakan yang
Tanggung jawab diharapkan
perseorangan.
Tatap muka.
Komunikasi antar
anggota.
. Evaluasi proses
kelompok

PENGALAMAN VIKARIUS DAN PERSUASI SOSIAL

OBSERVASI, PENILAIAN, DAN REGULASI DIRI/KOGNITIF

III. PENUTUP
Hubungan antara pembelajaran kooperatif dan pengembangan efikasi diri dapat
disimpulkan sebagai berikut:
1. Efikasi diri dapat dikembangkan melalui pembelajaran kooperatif.
2. Unsur terpenting pembelajaran kooperatif adalah interdepensi sosial.
3. Interdependensi sosial pada pembelajaran IPS dapat diciptakan melalui pemberian
tugas kelompok kepada siswa.
4. Tugas kelompok bersifat mengikat anggota kelompok. Keterikatan menunjukkan
rasa saling ketergantungan secara positif dan tanggung jawab individual.
5. Saling ketergantungan secara positif dan tanggung jawab individual melahirkan
regulasi diri, penilaian diri dan teman sejawat di antara angggota kelompok (group
processing).
6. Group processing memotivasi individu-individu anggota kelompok.
7. Motivasi berpengaruh terhadap efikasi diri.

Agus Suprijono
294
DAFTAR PUSTAKA
David W. Johnson, Roger T. Johnson and Karl A. Smith. Cooperative learning returns to
college”, Change 30.n4 (July-August 1998): p.p26.
Depdiknas. 2006. Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan, Jakarta: Depdiknas RI.
Ferdyawati, D. 2007. “Hubungan antara Efikasi Diri dan Efektivitas Kepemimpinan Dengan
Toleransi Terhadap Stres pada Guru SD di Donorejo Pacitan”. Skripsi, Universitas
Muhammdiyah Surakarta, tidak diterbitkan.
Johnson, D. W., R. T. Johnson, and E. Holubec. 1990. Circles of learning: Cooperation in the
classroom (revised edition). Edina, MN: Interaction Book Company.
Johnson, D. W., R. T. Johnson, and K. A. Smith. 1991. Cooperative learning: Increasing college
faculty instructional productivity. ASHE-ERIC Higher Education Report No. 4.
Washington, DC: George Washington University, School of Education and Human
Development
Kagan, S. 1989. Cooperative learning. San Juan Capistrano, CA: Resources for Teachers.
Kurniawan, I.H. 2004. “Hubungan Antara Keyakinan Orang Tua Atas Manajemen Konflik antar
Saudara, Jenis Kelamin Orang Tua dan Status Sosial, Ekonomi Orang Tua dan
Strategi Manajemen Konflik dalam Interaksi antar Saudara Kandung”. Tesis,
Universitas Gadjah MadaYogyakarta, tidak diterbitkan.
Ratna. 2008. Rasa Harga Diri dan Keyakinan Diri. http://ratnaz.multiply.com/journal/item/36,
diakses 1 Mei 2014.
Sa’ud, Saefudin Udin. 2008. Inovasi Pendidikan, Bandung: Alphabeta
Sagala, Syaiful, 2003, Konsep dan Makna Pembelajaran, Bandung: Alfabeta
Schunk, DH. 1986. Effect of Foundation Feed Back on Children Pecieved Self Efficacy
and Achievement, Jurnal Education Psychology Vol 74.
Slavin, R. E. 1985. An introduction to cooperative learning research. In Learning to
cooperate, cooperating to learn, edited by R. Slavin, S. Sharan, S. Kagan, R. Lazarowitz,
C. Webb, and R. Schmuck. New York: Plenum.
Soekanto, Soerjono. 2009. Sosiologi Suatu Pengantar, Jakarta: Rajawali Press.
Somantri, Nukman Muhammad, 2001, Menggagas Pembaharuan Pendidikan IPS, Bandung:
Remaja Rosdakarya.
Suderajadjat, Hari. 2004. Implementasi Kurikulum Berbasis Kompetensi, Bandung: Cipta Cekas
Grafika.
Sugandi, A.I. 2002. Pembelajaran Pemecahan Masalah Matematika Melalui Model Belajar
Kooperatif Tipe Jigsaw. (Studi Eksperimen terhadap Siswa Kelas Satu SMU Negeri di
Tasikmalaya). Tesis PPS UPI: Tidak diterbitkan.
Suparno Paul. 2004. Teori Intelegensi Ganda dan Aplikasinya di Sekolah, Yogyakarta: Kanisius.
Suparno, Paul. 1997. Filsafat Konstruktivisme Dalam Pendidikan. Yogyakarta: Kanisius.
Surya, Mohamad. 2004. Psikologi Pembelajaran dan Pengajaran, Bandung: Pustaka Bani
Quraisy.
Wicaksono. 2008. Pentingnya Sebuah Keyakinan Diri. http://aryowicaksonobp.blogspot.com/
2007/12, diakses 1 Mei 2014.

Agus Suprijono
295
Agus Suprijono
296
PENGARUH PENDIDIKAN DI LINGKUNGAN KELUARGA DAN NILAI
PANCASILA PADA MATA PELAJARAN PENDIDIKAN
KEWARGANEGARAAN TERHADAP PEMBENTUKAN KARAKTER BANGSA
Ana Andriani
STT KH. EZ Muttaqien Purwakarta

ABSTRACT
This paper is intended to investigate the influence of education in the family environment and
the influence of Pancasila values in Civics Education to build of national character. This research
was conducted to examine the extent to which the role of education in the family and the
Pancasila as part of the subject matter Civics Education, and the ideology of the nation is able
to shape the character of the nation’s students. Pancasila values of citizenship education on the
subject is expected to be a guideline in everyday life not only in the classroom but also outside
the classroom. For guidance in the life of society, nation, and state, Pancasila is able to shape
the character of the nation’s students.
Keywords: Family, Pancasila, Civics, Character Nation.

I. PENDAHULUAN
Pendidikan adalah untuk menuntun segala kekuatan kodrat yang ada pada anak-
anak itu, agar mereka sebagai manusia dan sebagai anggota masyarakat dapatlah mencapai
keselamatan dan kebahagiaan yang setinggi-tingginya. Keluarga sebagai lingkungan terkecil
dari masyarakat luas memiliki peran dalam pendidikan anak. Keluarga merupakan lingkungan
pembentukan dan pendidikan karakter pertama dan utama yang harus diberdayakan.
Sebagaimana disarankan Philips, keluarga hendaklah kembali menjadi school of love, sekolah
untuk kasih sayang (Philips, 2000) atau tempat belajar yang penuh cinta sejati dan kasih sayang
(keluarga yang sakinah, mawaddah, dan warrahmah). Sedangkan pendidikan karakter melalui
sekolah, tidak semata mata pembelajaran pengetahuan, tetapi lebih dari itu, yaitu penanaman
moral, nilai-nilai etika, estetika, budi pekerti yang luhur dan lain sebagainya.
Krisis multidimensional yang dihadapi Indonesia begitu besar, namun ironisnya anak
bangsa yang memiliki akses pada kekuasaan sebagai politisi, seperti tidak memiliki rasa
kepedulian (sense of crisis) terhadap permasalahan yang ada, akan tetapi dendam atas
kesempatan yang belum diraih sebelumnya, sehingga mengulang kisah lama, dan jika itu
yang terjadi, maka bangsa ini akan semakin terperosok ke dalam lubang yang semakin dalam.

Ana Andriani
297
Ada banyak kasus terjadi di lapangan terkait dengan degradasi moral, Kompas (3
Agustus 2010: 27) “Pengadilan Negeri Bogor memvonis 18 anggota DPRD Kota Bogor. Para
terdakwa tidak melaksanakan kewajibannya sesuai dengan pasal 26 PP No I/2001 Tentang
Pedoman Tata Tertib DPRD dan Pasal 26 PP No 105/2000 tentang Pengelolaan Keuangan
Dewan”. Sedangkan Kompas (15 November 2010: 1), menyoroti perilaku seorang oknum
petugas pajak yang melakukan penyalahgunaan pajak, dan sudah dilakukan penahanan
terhadapnya namun masih sempat dapat berlibur ke Bali dengan bantuan oknum-oknum pejabat
hukum lainnya. Masalah narkoba merupakan masalah yang tidak kunjung selesai, dimana
“Bisnis narkoba diatur dari Bui” (Kompas, 18 November 2010: 27) dapat dijadikan contoh
konkrit bahwa peredarannya masih terus berlangsung walau harus dalam penjara.
Peran pendidikan sangat diperlukan untuk mempertahankan nilai-nilai luhur agar tetap
menjadi landasan bagi masyarakat dalam hidup bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Melalui
proses pendidikan, manusia diharapkan akan tumbuh dan berkembang menjadi dewasa secara
spirituil, memiliki kepribadian yang luhur, bertakwa pada Tuhan Yang Maha Esa, dan mampu
menjadi warga negara yang bertanggung jawab. Semua ini merupakan harapan dan tujuan bagi
semua manusia, terutama orang tua, masyarakat, bangsa dan negara. Upaya pendidikan
mewujudkan manusia Indonesia seutuhnya, yang memiliki rasa dan semangat kebangsaan,
merupakan proses pendidikan nilai, yaitu pendidikan nilai kebangsaan yang menjadi pemahaman,
sikap, dan penghayatan warga negara Indonesia terhadap bangsa dan negaranya.
Fenomena pendidikan saat ini belum sesuai harapan, masih banyak terjadi perilaku
yang kontradiktif di lapangan. Hal ini menjadi indikasi bahwa tujuan pendidikan belum sepenuhnya
tercapai. Kehadiran masyarakat modern merupakan keniscayaan, namun tetap harus dibarengi
oleh nilai-nilai yang terkandung di masyarakat. Seperti dikatakan Djahiri, (2004), “Kita tidak berharap
kehadiran manusia/ masyarakat & kehidupan yang modern namun kufur dan dolim terhadap diri
sendiri, Nilai-Moral-Norma luhur serta warisan budaya (culture heritage) Indonesia.”
Dilihat dari segi kebutuhan, siswa SMA, selaku generasi muda membutuhkan
pendidikan nilai Pancasila dalam kaitannya dengan pembentukkan karakter bangsa,
sebagaimana diamanatkan dalam konstitusi dan peraturan perundangan yang ada. Hal ini
terkait erat dengan kedudukan strategis generasi muda. Rasa kebangsaan atau nasionalisme
harus ditumbuhkan, dalam diri siswa selaku generasi muda, terkait dengan peranannya di
masa yang akan datang, sehingga mampu memberi kontribusi bagi bangsa dan negara, dengan
potensi yang dimiliki, sehingga mampu membawa nama besar bangsa di dalam percaturan
Internasional.
Pada kenyataannya kehidupan masyarakat mengalami perubahan-perubahan.
Perubahan-perubahan yang terjadi dalam masyarakat tidak selalu ke arah kemajuan. Kemajuan
yang diperoleh dalam satu bidang akan menyebabkan kemunduran bagi bidang lainnya. Hal
tersebut merupakan sesuatu yang wajar dan yang perlu dipikirkan adalah minimalisasi
kemunduran tersebut. William Oghburn menyatakan bahwa perubahan sosial meliputi hal-hal
yang berkaitan dengan material dan immaterial. Perubahan sosial adalah proses di mana
terjadinya perubahan struktur dan fungsi suatu sistem sosial (Hanafi, 1981 : 16).

Ana Andriani
298
Ada beberapa faktor yang mempengaruhi perubahan sosial dan perubahan
kebudayaan. Faktor-faktor tersebut meliputi: Penduduk (kelahiran dan kematian), Penemuan-
penemuan baru (inovasi), Pengaruh kebudayaan lain (Soekanto, 1992 : 352). Dalam proses
perubahan sosial, jika ada salah satu yang berubah maka yang lain akan mengalami perubahan
juga. Berdirinya atau ditetapkannya organisasi kampus yang baru, mempengaruhi struktur
sosial universitas karena didefinisikannya seperangkat fungsi baru. Jika seseorang mulai
berfungsi dalam status tersebut, hal tersebut akan mempengaruhi fungsi universitas secara
keseluruhan.Contohnya, status guru sekolah menghendaki perilaku-perilaku tertentu bagi
seseorang yang menduduki posisi tersebut. Ada kemungkinan seseorang menyimpang dari
seperangkat tingkah laku yang diharapkan dan sudah terpola, tetapi statusnya berubah. Fungsi
sosial dan struktur sosial berhubungan sangat erat dan saling mempengaruhi satu sama lain.
Gambar 1.1 Kerangka Pemikiran

Berkaitan dengan upaya pembentukkan karakter bangsa, diperlukan pemahaman


konsep pendidikan di lingkungan keluarga, Pendidikan nilai Pancasila yang sudah tertera
dalam mata pelajaran PKn. Pendidikan ini diharapkan mampu memberi pengaruh yang kuat
terhadap pembentukkan karakter bangsa. Di samping itu tidak kalah pentingnya pendidikan di
masyarakat. Lingkungan masyarakat juga sangat mempengaruhi terhadap karakter dan watak
seseorang. Lingkungan masyarakat luas sangat mempengaruhi terhadap keberhasilan
penanaman nilai-nilai etika, estetika untuk pembentukan karakter.
1.1 Pendidikan di Lingkungan Keluarga
Pendidikan di lingkungan keluarga yang dimaksud di dalam penelitian ini adalah
pendidikan yang terjadi di dalam lingkungan keluarga inti, yang anggotanya terdiri dari ayah,
ibu dan anak. Pendidikan umumnya berarti daya upaya untuk memajukan bertumbuhnya budi
pekerti (kekuatan bathin, karakter), pikiran (intelek) dan tubuh anak (Dewantara, 1962:12).
Pendidikan yang ada di lingkungan keluarga diharapkan dapat membentuk perilaku dan sikap
anak serta tumbuh kembangnya intelektual dan tubuh yang baik untuk bekal di kemudian hari.
Maka pendidikan yang dimaksud di sini adalah pendidikan yang diberikan oleh kedua orang
tua si anak baik di dalam maupun di lingkungan keluarganya.

Ana Andriani
299
Pendidikan menurut Sanusi (1998: 267) adalah: “Proses mendidik atau membelajarkan
peserta didik yang diasumsikan mempunyai beberapa fungsi seperti antara lain mampu
menumbuhkan atau mentransformasikan nilai-nilai positif sambil memberdayakan serta
mengembangkan potensi-potensi kepribadian peserta didik.Keluarga merupakan lingkungan
terkecil dalam masyarakat”. Keluarga inti terdiri dari ayah, ibu dan anak. Semiawan dalam
bukunya Pendidikan Keluarga di Era global (2002), berpendapat bahwa:
Bila kehidupan keluarga disesuaikan kepada tuntutan masa depan, yang mengandung
kondisi persyaratan untuk mampu membawa perubahan pada masyarakat kita, dalam upaya
memperbaiki kondisi kehidupan sebagaimana menjadi tuntutan zaman, maka seyogyanya
ada wawasan untuk memiliki cita-cita sasaran-sasaran jangka panjang dan jangka pendek
untuk dicapai.
Hal ini dapat dimaknai bahwa keluarga berperan besar dalam membentuk anak agar
mampu menghadapi berbagai tantangan zaman yang semakin kompleks demi meningkatkan
kehidupan diri dan keluarganya, dengan syarat-syarat tertentu, maka dari itu perlu peningkatan
wawasan dan pengetahuan serta memiliki impian dan target yang akan dicapai suatu hari nanti.
Pendidikan di lingkungan keluarga merupakan hal yang mutlak diperlukan. Pemberian
teladan, pembiasaan serta pengajaran yang diberikan merupakan alat-alat pendidikan yang
harus dipersiapkan untuk perbaikan tingkat kehidupan itu. Seperti yang dikatakan oleh Ki Hadjar
Dewantara (1962: 107) menyusun alat-alat pendidikan, berupa: 1) pemberian contoh (teladan);
2) pembiasaan; 3) pengajaran; 4) perintah, paksaan, dan hukuman; 5) laku (zelf-beheersching,
self-discipline), dan 6) pengalaman lahir dan batin (nglakoni, ngrasa, beleaving).
Di dalam keluarga dapat dimulai dalam memberikan pemahaman nilai-nilai, baik-buruk,
benar-salah, dosa-hahal-haram, dan lain sebagainya, sehingga anak dapat memahami dan
memaknai nilai-nilai tersebut, dan mampu mewujudkannya dalam kehidupan sehari-hari dalam
berbagai aspek kehidupan. Dari pernyataan di atas, diharapkan pembelajaran selaras dengan
kehidupan berbangsa, sehingga siswa memiliki rasa kecintaan kepada tanah air dan bangsa,
serta tumbuh kepedulian secara lahir dan batin.
Tindakan pendidikan harus dilakukan dengan penuh keinsyafan, serta ditujukan ke arah
keselamatan dan kebahagiaan manusia. Maka setiap tindakan pendidikan senantiasa didasarkan
pada prinsip momong, among, dan ngemong, dimana pendidik diperbolehkan mencampuri
kehidupan anak, manakala dia berada di jalan yang salah, agar dapat tumbuh menurut kodratnya.
Bila anak melakukan tindakan yang salah, maka hukuman yang diberikan bertujuan untuk
menyadarkan kembali agar ia bertindak sesuai dengan acuan moral.
1.2 Pendidikan Kewarganegaraan
Mata pelajaran PKn mencakup dimensi pengetahuan (knowledge), keterampilan (skill),
dan nilai (values). Ide pokok mata pelajaran PKn adalah ingin membentuk warga negara yang
ideal yaitu warga negara yang memiliki keimanan dan ketakwaan kepada Tuhan Yang Maha
Esa, pengetahuan dan keterampilan, dan nilai-nilai sesuai dengan konsep dan prinsip
Kewarganegaraan. Pada gilirannya, warga negara yang baik tersebut diharapkan dapat
membantu terwujudnya masyarakat demokratis konstitusional.

Ana Andriani
300
Karakter bangsa mengandung makna: sifat kejiwaan, atau tabiat yang dimiliki oleh
kesatuan orang-orang yang bersamaan asal keturunan, adat, bahasa, dan sejarahnya, serta
pemerintahan sendiri, yakni berupa nilai-nilai luhur yang merupakan warisan nenek moyang
yang menjadi pedoman dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara.
Secara konseptual PKn memusatkan perhatian pada program pendidikan disiplin
ilmu politik, sebagai substansi induknya. Secara kurikuler PKn berorientasi kepada pengadaan
dan peningkatan kemampuan profesionalisme guru PKn. Sebagaimana lazimnya suatu sistem
keilmuan, PKn menurut Winataputra (2006: 5) seyogyanya dilihat dari dimensi-dimensi: “(1)
nomenklatuur atau terminologi yang digunakan, (2) Visi, misi, dan strategi akademik, (3) ontologi,
(4) epistimologi, dan (5) aksiologi”. Maka dalam kerangka berpikir seperti ini paradigma PKn
akan dibahas dari berbagai pemikiran teoritis dan praktisis PKn.
Menurut Winataputra (2006: 5), “Ada tiga terminologi yang banyak digunakan yakni
civics, civic education, dan citizenship education”. Adapun sejarah pembentukkan Civics
Education, yakni berawal dari Civics yang mengambil bagian dari Ilmu Politik, yaitu demokrasi
politik. Bahwasanya Civics sudah menjadi ilmu yang tersendiri, sudah diakui oleh para sarjana,
misalnya, Creshore meyebutkan Civics dengan “ the science of citizenship”. Karena konsep
tentang Civic Education di Indonesia tidak dapat dilepaskan dari perkembangan civics atau
Ilmu Kewarganegaraan di Amerika, sebagai negara asal civics dan civics education.
Secara paradigmatik, citizenship education memiliki visi sosio–pedagogis
mendidik warga negara yang demokratis dalam konteks yang lebih luas, yang mencakup
konteks pendidikan formal dan pendidikan non–formal, seperti yang secara konsisten
diterapkan di UK. Dalam konteks proses reformasi menuju Indonesia baru dengan konsepsi
“masyarakat madani” sebagai tatanan ideal sosio-kulturalnya, maka PKn mengemban
misi sosio-pedagogis, sosio-kultural, dan substantif akademik.
Dengan memperhatikan visi dan misi mata pelajaran PKn, yaitu membentuk warga
negara yang baik, maka selain mencakup dimensi pengetahuan, karakteristik mata pelajaran
PKn, ditandai dengan pemberian penekanan pada dimensi sikap dan keterampilan civics.
Seorang warga negara perlu memahami dan menguasai pengetahuan yang lengkap tentang
konsep dan prinsip-prinsip politik, hukum, dan moral civics. Kemudian warga negara diharapkan
memiliki sikap atau karakter sebagai warga negara yang baik, dengan memiliki keterampilan
dalam bentuk keterampilan berpartisipasi dalam kehidupan berbangsa, bernegara, serta
menentukan posisi diri, serta kecakapan hidup (life skill).
1.3 Tinjauan Filsafat Nilai Pancasila
Nilai Pancasila, dimaknai sebagai letak dari pesan, semangat, yang dijiwai oleh kelima
sila/ azas dalam Pancasila. Melalui nilai Pancasila, sebagai warisan budaya (culture heritage),
maka karakter bangsa Indonesia sungguh berbeda dengan bangsa lain. Posisi nilai Pancasila
menempatkannya dalam letak, tempat strategis, yang harus diaplikasikan dalam kehidupan
sehari-hari, dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara, oleh seluruh
masyarakat Indonesia tanpa kecuali.

Ana Andriani
301
Suatu bangsa membutuhkan ideologi sebagai perangkat prinsip pengarahan (guiding
principles), yang dijadikan dasar serta memberikan arah dan tujuan untuk dicapai dalam
melangsungkan dan mengembangkan hidup dan kehidupan nasional suatu bangsa dan negara.
Seperti yang dikatakan Wijaya (1986: 35) bahwa: “Suatu bangsa memerlukan landasan falsafah
bagi kelangsungan hidupnya sekaligus berfungsi sebagai dasar dan cita-cita atau tujuan nasional
yang hendak dicapai”.
Nilai Pancasila dimaknai sebagai pesan, semangat yang dijiwai oleh Pancasila. Nilai
Pancasila mempunyai karakter tersendiri yang berbeda dengan lainnya. Menurut Engkoswara
(2004: 38), “Nilai Pancasila ini dapat menjadi kebudayaan Pancasila, yaitu kebudayaan yang
dilandasi nilai-nilai luhur Pancasila dalam berbagai segi kehidupan”.
Nilai Pancasila harus dibina, dikembangkan/ ditingkatkan di tengah kehidupan yang
merupakan dampak sains secara global. Apabila terdapat kemandulan dan tumpulnya isi serta
potensi afektif yang diiringi peningkatan intelektual ilmiah rasional, akan mampu melahirkan
emosi NMNr (Nilai-Moral-Norma) dan dehumanisasi, seperti dikatakan Djahiri (1996: 55),
“…pada titik tertentu manusia demikian akan menjadi arogan, pongah, amat mengandalkan
dan mengagungkan otak dan kemampuannya dan bahkan bukan mustahil akan menyembah
hasil ciptaannya sendiri.”
1.4 Pembentukkan Karakter Bangsa
Pengertian kebangsaan (nasionalisme) menurut Gellner adalah suatu prinsip politik
yang beranggapan bahwa unit nasional dan politik seharusnya seimbang. Tepatnya Gellner
lebih menekankan nasionalisme dalam aspek politik. Yudohusodo dalam buku Semangat
Baru Nasionalisme (1996: 12-13), mengatakan tentang rasa kebangsaan, paham kebangsaan,
semangat kebangsaan dan wawasan kebangsaan.
Manifestasi wawasan kebangsaan ini, memenuhi seloka-seloka rumongso melu
handarbeni (sense of belonging), rumongso melu hangrungkebi (sense of participation), dan mulat
sariro hangroso wani (sense of responsibility). Pada kenyataannya nasionalisme memainkan tiga
fungsi yaitu: mengikat semua kelas, menyatukan mentalitas, dan membangun serta memperkokoh
pengaruh terhadap kebijakan yang ada. Nasionalisme ada dan dibutuhkan oleh setiap negara.
Namun setiap negara memiliki kekhasan dalam nasionalisme yang dikembangkan.
Membina bangsa dalam upaya serta memperjuangkan cita-cita bangsa yang bersatu,
harus digalakkan. Hal ini untuk mengantisipasi konflik yang kemungkinan terjadi di masyarakat.
Pencegahan munculnya konflik etnis, bukan semata merupakan tanggung jawab pemerintah
yaitu dengan mengeluarkan kebijakan-kebijakan pembangunan yang bersifat holistik dan
integratif, melainkan membutuhkan peran serta tanggung jawab dari seluruh lapisan masyarakat.
Karakter, menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (1988: 389), mempunyai makna,
sifat-sifat kejiwaan, akhlak atau budi pekerti yang membedakan seseorang dengan yang
lain; tabiat; watak. Sedangkan bangsa menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, (1988: 76),
mempunyai makna “Kesatuan orang- orang yang bersamaan asal keturunan, adat, bahasa
dan sejarahnya, serta pemerintahan sendiri.” Secara kodrati, manusia sebagai makhluk Tuhan,
memiliki fungsi sebagai makhluk individu dan makhluk sosial. Dengan identitas sebagai makhluk

Ana Andriani
302
sosial, manusia dihadapkan pada berbagai masalah. Kenyataan ini menimbulkan perlunya
wadah yang terejawantah dalam berbagai bentuk asosiasi.Pembentukkan karakter bangsa
melalui penanaman nilai Pancasila terhadap siswa merupakan suatu keharusan. Salah satu
mata pelajaran yang memuat pendidikan nilai adalah mata pelajaran PKn.
Bagaimana cara mengimplementasikan pendidikan karakter? Menurut Lickona dkk
(2007) terdapat 11 prinsip agar pendidikan karakter dapat berjalan efektif: (1) kembangkan
nilai-nilai etika inti dan nilai-nilai kinerja pendukungnya sebagai fondasi karakter yang baik, (2)
definisikan ‘karakter’ secara komprehensif yang mencakup pikiran, perasaan, dan perilaku, (3)
gunakan pendekatan yang komprehensif, disengaja, dan proaktif dalam pengembangan
karakter, (4)ciptakan komunitas sekolah yang penuh perhatian, (5) beri siswa kesempatan
untuk melakukan tindakan moral, (6)buat kurikulum akademik yang bermakna dan menantang
yang menghormati semua peserta didik, mengembangkan karakter, dan membantu siswa
untuk berhasil, (7) usahakan mendorong motivasi diri siswa, (8) libatkan staf sekolah sebagai
komunitas pembelajaran dan moral yang berbagi tanggung jawab dalam pendidikan karakter
dan upaya untuk mematuhi nilai-nilai inti yang sama yang membimbing pendidikan siswa, (9)
tumbuhkan kebersamaan dalam kepemimpinan moral dan dukungan jangka panjang bagi
inisiatif pendidikan karakter, (10) libatkan keluarga dan anggota masyarakat sebagai mitra
dalam upaya pembangunan karakter, (11) evaluasi karakter sekolah, fungsi staf sekolah sebagai
pendidik karakter, dan sejauh mana siswa memanifestasikan karakter yang baik.

II. KONTRIBUSI NILAI PANCASILA DALAM MEMPERKAYA MATERI PKN DALAM


PEMBENTUKKAN KARAKTER BANGSA
2.1 Muatan Nilai Pancasila dalam PKn
PKn merupakan bidang studi yang bersifat multifaset dengan konteks lintas bidang
keilmuan. PKn menurut Chreshore (dalam Winataputra dan Sapriya, 2003: 95) memiliki ontologi
pokok ilmu politik, khususnya konsep political democracy untuk aspek duty and rights of citizen.
Aspek instrumental PKn adalah sarana programatik kependidikan yang sengaja
dibangun dan dikembangkan untuk menjabarkan substansi aspek-aspek idiil. Yang termasuk
ke dalam aspek instrumental adalah kurikulum, bahan belajar, guru, media dan sumber belajar,
alat penilaian belajar, ruang belajar, dan lingkungan. Aspek praksis PKn adalah perwujudan
nyata dari sarana programatik kependidikan yang kasat mata, yang pada hakekatnya merupakan
penerapan konsep, prinsip, prosedur, nilai dalam PKn sebagai dimensi poietike (Carr dan
Kemis: 1986, Winataputra: 2006).
Sedangkan obyek pengembangan meliputi ranah sosial-psikologis. Ranah ini meliputi
keseluruhan potensi sosial-psikologis yang oleh Bloom dkk (1056, Kratswohl (1962)),
dikategorikan ke dalam ranah kognitif, afektif, dan psikomotorik, yang secara programatik
diupayakan untuk ditingkatkan kuantitas dan kualitasnya melalui kegiatan pendidikan
(Winataputra, 2006: 13).
Sejalan dengan pemikiran di atas, maka PKn menurut Winataputra (2006: 14) dapat
direkonseptualisasikan bahwa:

Ana Andriani
303
aspek kepribadian warga negara yang perlu dikembangkan adalah keimanan dan
ketakwaan kepada Tuhan Yang Maha Esa/kecerdasan ruhiyah, kecerdasan emosional
sebagai warga negara (a.l. kepekaan sosial, cinta tanah air, tertib, memiliki integritas,
partisipatif), keberadaban/akhlak mulia, kepercayaan diri, komitmen terhadap
kehidupan berdemokrasi (a.l. sadar akan kewajiban dan hak, menjunjung tinggi
hukum, menjunjung tinggi hak asasi manusia, dan terbuka) dan tanggung jawab
sebagai warga negara (socio-civic responsibility).
Maka PKn merupakan mata pelajaran yang memfokuskan pada pembentukkan diri
yang beragam dari segi agama, sosio-kultural, bahasa, usia, dan suku bangsa untuk menjadi
warga negara Indonesia yang cerdas, terampil, dan berkarakter yang diamanatkan oleh Pancasila
dan UUD 1945, serta mengemban misi nasional untuk mencerdaskan kehidupan bangsa.
Pancasila diposisikan sebagai ideologi negara dan sebagai filosofi negara, selain itu
nilai Pancasila juga dapat dioperasionalkan. Sikap warga negara yang baik mesti berbasis
pada konstitusi dan konstitusi tersebut harus dijabarkan sesuai aplikasi dan tidak perlu dijabarkan
dari Pancasila. Konstitusi tersebut materinya diambil dari konstitusi yang diturunkan kepada
perundangan yang berlaku dinegara ini. Materi PKn yaitu filsafat dan ideologi yang ada di SMA,
yang berisi mengenai kajian historis Pancasila. Pancasila sebagai ideologi tidak perlu
mengembangkan nilai Pancasila secara eksplisit. Nilai-nilai itu antara lain: ideologi, filosofi,
kenegaraan, nilai kebangsaan, nilai perjuangan.
Materi yang berbasis value (nilai), topiknya merupakan turunan yang dikembangkan
dalam PKn itu. Sedang Hak Asasi Manusia (HAM) dalam PKn diturunkan dalam basis nilai.
2.2 PKn di Masa Orde Baru
Di masa Orde Baru, Pendidikan Pancasila sudah ada, namun bersifat indoktrinatif.
Pelaksanaan P4 (Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila) sebagai salah satu
perwujudan dari pendidikan Pancasila pada waktu itu sebetulnya sudah cukup bagus, akan
tetapi metodologinya yang kurang tepat. Dalam pelaksanaan Demokrasi Pancasila dimasa
lalu, pada kenyataannya presiden lebih berkuasa atas semua pemerintahan. Semua
dilaksanakan atas kekuasaan presiden. Semenjak adanya demokrasi tersebut, golongan
masyarakat terbagi-bagi, ada anak emas, dan anak tiri sebagai pendukung. Namun jika
pendukung tersebut terlalu kritis maka akan ada Recalling.
Dianggap tidak tepat, maka P4 akhirnya pada tahun 1999 tidak diberlakukan lagi dan
dihapus saat negara dipimpin oleh Presiden Bacharudin Jusuf Habibie lewat sidang istimewa
MPR (Majelis Permusyawaratan Rakyat), termasuk diantaranya adalah penghapusan BP 7
(Badan Penasehat Presiden tentang Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila).
Demokrasi Pancasila yang dianggap tidak sehat, serta UUD 1945 yang dianggap
terlalu banyak memberikan kekuasaan pada presiden, menjadikan reformasi dilaksanakan
bukan hanya untuk menyingkirkan presiden dari kepemimpinan negara, akan tapi ingin adanya
berbagai perubahan. Salah satunya adalah perubahan UUD 1945. Maka UUD’45 tersebut
diamandemen menjadi amandemen UUD ’45 yang telah dilakukan selama empat kali.

Ana Andriani
304
Sejarah PKn pada masa Orde Baru, lebih diarahkan pada kepentingan negara. PKn
juga diarahkan pada koridor negara kesatuan secara kuat tanpa memikirkan unsur yang
berhubungan dengan keberagaman. Keperibadian bangsa semestinya dapat terwujud melalui
pelatihan dan pembentukan perilaku serta reposisi dengan meletakkan segala sesuatunya
ketempat yang benar.
2.3 PKn di Masa Reformasi
Saat ini bangsa Indonesia sedang dilanda krisis multidimensional disegenap aspek
kehidupan masyarakat dan bangsa, bahkan menurut beberapa pakar dan pemuka masyarakat,
krisis yang sangat serius adalah krisis moral, dimana masyarakat dan bangsa Indonesia sedang
mengalami demoralisasi.
Keadaan di atas sebenarnya dapat dihindari andaikan setiap anggota masyarakat,
terutama para penyelenggara pemerintahan beserta para elit politik, mampu melaksanakan
gerakan reformasi ini secara konsekuen, untuk mewujudkan masa depan bangsa Indonesia
agar bergerak ke arah yang lebih baik.
Pancasila yang diamanatkan dalam pembukaan UUD 1945, tidak saja mengandung
nilai budaya bangsa, melainkan juga sebagai sumber hukum dasar nasional, dan merupakan
perwujudan cita-cita luhur disegala aspek kehidupan bangsa. Maka nilai-nilai Pancasila harus
dijabarkan menjadi norma moral, norma pembangunan, norma hukum, dan etika kehidupan.
Dalam konteks proses reformasi menuju Indonesia baru dengan konsepsi
“masyarakat madani” sebagai tatanan ideal sosio-kulturalnya, maka PKn mengemban misi
sosio-pedagogis, sosio-kultural, dan substantif akademik. Selanjutnya Winataputra (2006: 9)
menjelaskan tentang misi tersebut sebagai berikut:
1. Misi sosio-pedagogis adalah mengembangkan potensi individu sebagai insan
Tuhan Yang Maha Esa dan makhluk sosial menjadi warga negara Indonesia yang
cerdas, demokratis, taat hukum, beradab, dan religius.
2. Misi sosio-kultural adalah memfasilitasi perwujudan cita-cita, sistem kepercayaan/
nilai, konsep. Prinsip, dan praksis demokrasi dalam konteks pembangunan
masyarakat madani Indonesia melalui pengembangan partisipasi warga negara
secara cerdas dan bertanggungjawab melalui berbagai kegiatan sosio-kultural
secara kreatif yang bermuara pada tumbuh dan kembangnya komitmen moral dan
sosial kewarganegaraan.
3. Misi substantif-akademik adalah mengembangkan struktur atau tubuh pengetahuan
atau spektrum konstelatif PKn, termasuk di dalamnya konsep, prinsip, dan
generalisasi mengenai dan yang berkenaan dengan civic virtue atau kebajikan
Kewarganegaraan dan civic culture atau budaya kewarganegaraan melalui kegiatan
penelitian dan pengembangan.
Secara konseptual-paradigmatik citizenship education, saat ini mengembangkan
strategi dasar learning democracy, in democracy, and for democracy (CIVITAS International:
1998; QCA: 1999; APCEC: 2000; Winataputra: 9). Selanjutnya strategi dasar ini oleh QCA (1999)

Ana Andriani
305
dikonsepsikan sebagai suatu kontinum education about citizenship-education through
citizenship-education for citizenship yang secara kualitatif bergerak dari titik minimal health
education (PSHE) di sekolah dasar UK, Life Orientation di Afrika Selatan dan Social Studies di
negara lainnya (Winataputra: 2006: 10-11). PKn dipandang sebagai mata pelajaran yang
mempunyai peranan penting dalam membentuk warga negara yang baik sesuai dengan falsafah
bangsa dan konstitusi negara Republik Indonesia.
Dengan memperhatikan visi dan misi mata pelajaran PKn, yaitu membentuk warga
negara yang baik, maka selain mencakup dimensi pengetahuan, karakteristik mata pelajaran
PKn, ditandai dengan pemberian penekanan pada dimensi sikap dan keterampilan civics.
Seorang warga negara perlu memahami dan menguasai pengetahuan yang lengkap tentang
konsep dan prinsip-prinsip politik, hukum, dan moral civics. Kemudian warga negara diharapkan
memiliki sikap atau karakter sebagai warga negara yang baik, dengan memiliki keterampilan
dalam bentuk keterampilan berpartisipasi dalam kehidupan berbangsa, bernegara, serta
menentukan posisi diri, serta kecakapan hidup (life skill).
Warga negara yang memahami dan menguasai pengetahuan kewarganegaraan (civics
knowledge) dan keterampilan Kewarganegaraan (civics skills), akan menjadi warga negara yang
kompeten. Warga negara yang memahami dan menguasai pengetahuan kewarganegaraan
(civics knowledge)) serta nilai-nilai Kewarganegaraan (civics values) akan menjadi seorang warga
negara yang memiliki rasa percaya diri, sedangkan warga negara yang telah memahami dan
menguasai keterampilan Kewarganegaraan (civics skill) serta nilai-nilai Kewarganegaraan (civics
values) akan menjadi warga negara yang memiliki komitmen kuat.
Warga negara yang memahami dan menguasai pengetahuan Kewarganegaraan (civics
knowledge), memahami dan menguasai keterampilan Kewarganegaraan (civics skills), serta
memahami dan menguasai nilai-nilai Kewarganegaraan (civics values) akan menjadi seorang
warga negara yang berpengetahuan, terampil, dan berkepribadian.
Kontribusi nilai Pancasila dalam memperkaya materi dalam pembentukan karakter
bangsa, terdapat dalam pokok pikiran sebagai fakta di lapangan. Adanya kontribusi nilai
Pancasila untuk meningkatkan rasa kebangsaan, dapat dilihat dari Kurikulum KBK (Kurikulum
Berbasis Kompetensi) 2004 dan standar isi PKn. Namun fenomena terkikisnya rasa kebangsaan
saat ini salah satu faktornya adalah nilai Pancasila sudah mulai dikurangi, tapi faktor lain
banyak sekali, seperti: otonomi daerah yang membuat setiap daerah merasa daerahnya lebih
hebat dari daerah lainnya, bahkan fenomena pejabat daerah harus dari daerah asal membuat
bangsa ini menjadi terkotak-kotak.
Dapat dikatakan jiwa bangsa Indonesia telah tercakup dalam sila ke-satu sampai sila
ke-lima Pancasila. PKn harus mengacu pada nilai Pancasila, maka nilai Pancasila
mendominasi pada mata pelajaran PKn, juga diarahkan pada warga negara yang memiliki
kebangsaan yang lebih besar dan cinta terhadap tanah airnya.
Fungsi PKn, selain menanamkan nilai luhur bangsa juga sebagai pendidikan politik,
seperti yang dikatakan Affandi (2001: 7), bahwa: “…Ilmu Kewarganegaraan-nya merupakan
aplikasi dari ilmu politik yang diperuntukkan di dunia persekolahan”. Maka PKn merupakan

Ana Andriani
306
pengajaran yang membina peserta didik agar melek politik, maka PKn dikenal memiliki fungsi
sebagai pendidikan nilai-moral dan sebagai pendidikan politik.
Dalam pernyataan Djahiri (1998: 3), dapat diketahui secara jelas bahwa fungsi PKn
sebagai pendidikan politik adalah sebagai berikut:
...membina peserta didik menjadi warga negara Indonesia yang baik yang melek politik serta
hukum, yakni warga negara yang memiliki kesadaran berbangsa dan bernegara, sadar akan
hak dan kewajiban diri-sesama-pemerintah dan negara, memahami, dan berkeinginan kuat
dan mampu membina serta menegakkan berbagai norma/hukum yang berlaku dalam
kehidupannya serta bertekad mewujudkan cita-cita bangsa dan bernegara.
Pernyataan ini menyebutkan bahwa pada dasarnya PKn sebagai pendidikan politik,
mengupayakan agar siswa menjadi warga negara yang melek politik serta hukum, sehingga
siswa sadar akan peranannya sebagai warga negara untuk kehidupan yang akan datang, serta
mampu menegakkan norma/ hukum yang berlaku di lingkungan masyarakatnya, guna
kelangsungan hidupnya.
2.4 Karakter Bangsa Indonesia
Sumber karakter adalah belief system yang telah terpatri dalam sanubari bangsa, dan
tantangan dari luar yang datang, sehingga akan membetuk sikap dan perilaku yang akan
mengantar bangsa mencapai kehidupan yang sukses. Bagi bangsa Indonesia belief system
adalah Pancasila yang di dalamnya mengandung konsep, prinsip, dan nilai yang merupakan
faktor endogen bangsa Indonesia dalam membetuk karakternya.Selain itu, kita harus secara
kontekstual belajar Pancasila dan mempelajari karakter yang bagus. Personifikasi bangsa
terdapat pada konstitusi. Pembelajaran berbasis Pancasila dan UUD 1945 adalah salah satu
wujud nyata untuk pembentukan karakter bangsa Indonesia.
Karakter, menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (1988: 389), mempunyai makna,
sifat-sifat kejiwaan, akhlak atau budi pekerti yang membedakan seseorang dengan yang
lain; tabiat; watak. Sedangkan bangsa menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, (1988: 76),
mempunyai makna “Kesatuan orang- orang yang bersamaan asal keturunan, adat, bahasa
dan sejarahnya, serta pemerintahan sendiri”. Secara kodrati, manusia sebagai makhluk Tuhan,
memiliki fungsi sebagai makhluk individu dan makhluk sosial. Dengan identitas sebagai makhluk
sosial, manusia dihadapkan pada berbagai masalah. Kenyataan ini menimbulkan perlunya
wadah yang terejawantah dalam berbagai bentuk asosiasi.
Budiyanto (2003: 1) mengatakan “dalam arti sosiologis, bangsa termasuk kelompok
paguyuban yang secara kodrati ditakdirkan untuk hidup bersama dan senasib sepenanggungan
di dalam suatu negara”. Dalam sebuah negara, rakyat harus tunduk dan patuh pada kekuasaan
negara. Berdasarkan hubungannya dengan daerah tertentu di dalam suatu negara, rakyat
dapat dibedakan menjadi penduduk dan bukan penduduk. Sedangkan berdasarkan
hubungannya dengan pemerintah negaranya, rakyat dapat dibedakan menjadi warga negara
dan bukan warga negara. Rakyat dalam jumlah besar merupakan kumpulan masyarakat yang
membentuk negara disebut bangsa.

Ana Andriani
307
Pembentukkan karakter bangsa melalui penanaman nilai Pancasila terhadap
siswa merupakan suatu keharusan. Salah satu mata pelajaran yang memuat pendidikan
nilai adalah mata pelajaran PKn. Sebagai salah satu mata pelajaran yang memuat
pendidikan nilai, PKn digunakan “sebagai wahana untuk mengembangkan dan
melestarikan nilai luhur dan moral yang berakar pada budaya bangsa Indonesia,
diharapkan dapat diwujudkan dalam bentuk perilaku dalam kehidupan sehari-hari
peserta didik, baik sebagai individu maupun sebagai anggota masyarakat dan makhluk
ciptaan Tuhan Yang Maha Esa” (Depdikbud 1994: 2).
Menurut Ernest Renan (dalam Budiyanto 2003: 2), bangsa terbentuk karena
adanya keinginan untuk hidup bersama (hasrat untuk bersatu) dengan perasaan
kesetiakawanan yang agung. Sedangkan menurut Ratzel, bangsa terbentuk karena
adanya hasrat bersatu. Hasrat itu timbul karena adanya rasa kesatuan antar manusia
dan tempat tinggalnya.
Hertz dalam bukunya Nationality in history and Politics (dalam Budiyanto, 2003:
5) mengemukakan bahwa ada empat unsur yang berpengaruh dalam terbentuknya suatu
negara, yaitu:
a. Keinginan untuk mencapai kesatuan nasional yang terdiri atas kesatuan
sosial, ekonomi, politik, agama, kebudayaan, komunikasi, dan solidaritas.
b.Keinginan untuk mencapai kemerdekaan dan kebebasan nasional
sepenuhnya, yaitu bebas dari dominasi dan campur tangan bangsa asing
terhadap urusan dalam negerinya.
c. Keinginan akan kemandirian, keunggulan, individualitas, keaslian, atau
kekhasan, contoh: menjunjung tinggi bahasa nasional yang mandiri.
d. Keinginan untuk menonjol (unggul) diantara bangsa-bangsa dalam mengejar
kehormatan, pengaruh dan prestise.
Dengan melihat pada unsur pembentukkan negara, maka terdapat karakter
bangsa yang unik. Di sini terkandung makna: sifat kejiwaan, atau tabiat yang dimiliki
oleh bangsa. Khususnya dengan bangsa Indonesia, terkandung sifat kejiwaan atau tabiat
yakni berupa nilai-nilai luhur yang merupakan warisan nenek moyang yang menjadi
pedoman dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara, sehingga bangsa
Indonesia mempunyai ciri yang khas yang berbeda dengan bangsa lainnya.
Fenomena globalisasi disamping memberi dampak positif, juga berdampak
negatif, yakni menimbulkan ancaman terhadap integritas bangsa, karena globalisasi
adalah dominasi dan intervensi dalam bentuk baru. Hegemoni kebudayaan akan terjadi,
karena kebudayaan asing akan masuk untuk menggantikan kebudayaan asli, sehingga
menimbulkan ancaman kebudayaan, yang pada akhirnya akan berdampak pada
kehidupan politik, serta terhadap kelangsungan hidup berbangsa dan bernegara.
Dampak negatif globalisasi yang paling dikhawatirkan adalah terkikisnya nilai-
nilai luhur bangsa yang menjadi pedoman dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa

Ana Andriani
308
dan bernegara, yang akhirnya digantikan dengan nilai-nilai baru yang bertentangan
dengan budaya bangsa. Salah satunya adalah karakter bangsa, yang mempunyai sifat-
sifat yang khas yang berbeda dengan bangsa lainnya.
Pendidikan dalam era globalisasi ini hendaknya tidak terkesan lapuk dan kaku,
serta tidak ketinggalan oleh dinamika perubahan, seperti yang diungkap oleh Al Muchtar
(2001: 57) bahwa:
Pendidikan ketinggalan oleh derap perubahan yang sangat cepat terlebih dalam
era globalisasi dewasa ini. Pendidikan dihadapkan pada tantangan yang sangat
terbuka sebetulnya untuk melakukan berbagai inovasi. Namun dilain pihak
pendidikan pada negara berkembang, seperti di negara kita, masih dihadapkan
kepada terbatasnya dana pendidikan.
Pihak yang dianggap rentan terhadap masuknya budaya asing ini adalah kaum muda,
khususnya siswa, dimana di usia yang masih mencari identitas diri, mereka akan menjadi
“mangsa empuk” globalisasi, seandainya mereka tidak dibentengi oleh iman serta kesadaran
dan komitmen terhadap budaya Indonesia.
Di era globalisasi, semua perkembangan pada prinsipnya akan dapat menembus,
mengabaikan, atau memperkecil makna batas-batas negara dan perbedaan antar negara,
mengembangkan kebersamaan dan tatanan baru yang lebih luas. Maka pelaksanaan
pendidikan dalam rangka pembentukkan karakter bangsa melalui pembinaan wawasan
kebangsaan, merupakan prioritas sasaran. Moeljarto (dalam Poespowardojo, 1994: 159),
mengemukakan adanya empat sasaran prioritas pendidikan wawasan kebangsaan, yaitu: “aktor
intelektual, media massa, keluarga, dan aparat pemerintahan. Keluarga menjadi salah satu
prioritas karena fungsi penting yang dimilikinya”. Termasuk sekolah sebagai substansi keluarga,
mempunyai peranan penting dalam pembentukan karakter bangsa.
Tantangan wawasan kebangsaan Indonesia sebagai akibat globalisasi juga tumbuh
suburnya sifat materialisme dan individualisme yang sangat membahayakan persatuan –
kesatuan serta kepribadian bangsa. Seperti diungkapkan oleh Suwito (dalam Suprayogi, 1997:
47), yang menyatakan: “…sikap individualisme dan materialisme kini makin menonjol. Bahkan,
pola hidup konsumtif kian merebak, serta semangat kebangsaan makin tipis, serta kadar
keimanan dan ketakwaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa semakin luntur”.
Begitu dahsyatnya pengaruh globalisasi yang melanda bangsa, hingga banyak
kalangan yang khawatir dengan tantangan ini sehingga harus disikapi dengan arif dan bijaksana.
Berkaitan dengan upaya bangsa Indonesia memelihara kelangsungan kehidupan bangsanya,
guna tetap mempunyai karakter bangsa Indoensia yang khas, dengan bersumber dari nilai-
nilai luhur bangsa yang termaktub dalam nilai Pancasila. Pegangan yang sangat diperlukan
bagi bangsa dalam kehidupan bangsanya agar tetap lestari tidak lain adalah cara pandang
yang sama, yang dilingkupi oleh rasa kebangsaannya, paham kebangsaannya, dan semangat
kebangsaannya dalam mewujudkan cita-cita nasionalnya.
Memperkokoh rasa kebangsaan, itulah kunci kesuksesan yang harus ditanamkan
pada anak bangsa, melalui pendidikan. Jika tidak, maka pembangunan tidak akan pernah
berhasil, dan kita akan tetap larut dalam putaran masalah, serta menjadi pecundang.
Ana Andriani
309
Kemenangan bukanlah berarti mengalahkan orang lain, namun kekalahan kita adalah
mengabaikan kemampuan dan kelebihan anugrah yang telah diberikan Allah SWT. kepada
kita. Memasuki era persaingan global dan keterbukaan dunia, kini dan esok, tak ada satu
bangsa-pun yang ingin ketinggalan atau kembali dibodohi oleh kekuatan baru. Republik
Indonesia dengan semangat kebangsaannya sejak Proklamasi 1945, setidaknya telah
menorehkan tujuan substansial hidup berbangsa dan bernegara sebagai upaya menjunjung
tinggi harkat dan martabat manusia.

III. SIMPULAN
Keluarga memiliki peranan penting dalam pendidikan anak/siswa dikarenakan di
sanalah madrasah (sekolah) pertama anak dalam mengenal lingkungan terkecilnya. Ayah
dan ibu adalah tauladan pertama yang akan ditiru oleh anak, baik dan buruk anak bergantung
pada pendidikan yang diberikan orang tuanya. Penanaman nilai-nilai kehidupan dimulai di
dalam keluarga, baik-buruk, benar-salah, orang tua yang memperkenalkan pertama kali.
Maka peran orang tua tidak dapat digantikan oleh siapapun. Seperti diungkap Al-Ghazali:
anak dilahirkan dengan membawa fitrah yang seimbang dan sehat. Kedua orang tua-nya lah
yang memberikan agama kepada mereka. Demikian pula anak dapat terpengaruh oleh
sifat-sifat yang buruk, dan ia mempelajarinya di lingkungan tempat tinggalnya.
Sekolah merupakan salah satu lingkungan anak setelah keluarga. Dimana sekolah
merupakan lembaga pendidikan formal yang secara sistematis melakukan program bimbingan,
pengajaran, dan latihan dalam rangka membantu siswa agar mampu mengembangkan
potensinya, baik yang menyangkut aspek moral-spiritual, intelektual, emosional, maupun sosial.
Peran pendidikan di sekolah harus memberi tempat terhadap permasalahan-permasalahan
ini, sebagaimana dikatakan Havighurst (1961: 5), “sekolah mempunyai peranan atau tanggung
jawab penting dalam membantu para siswa mencapai tugas perkembangannya”. Hal ini
berbeda dengan peran pendidikan di keluarga dan pendidikan di masyarakat. Perbedaan itu
terletak pada cara (mean). Adanya perbedaan ini dapat dipahami, mengingat struktur sosial
sekolah lebih komprehensif dibandingkan dengan struktur sosial dalam keluarga.
Mengenai peranan sekolah dalam mengembangkan kepribadian anak, Hurlock (dalam
Yusuf, 2005: 54), mengemukakan bahwa “sekolah merupakan faktor penentu bagi
perkembangan kepribadian anak (siswa), baik dalam cara berfikir, bersikap, maupun
berperilaku. Sekolah berperan sebagai substansi keluarga, dan guru substansi orang tua”. Ada
beberapa alasan, dimana sekolah memainkan peranan penting bagi perkembangan
kepribadian anak, diantaranya: a) para siswa harus hadir di sekolah; b) sekolah memberikan
pengaruh kepada anak secara dini, seiring dengan perkembangan konsep diri-nya; c) anak-
anak banyak menghabiskan waktu di sekolah daripada di tempat lain di luar rumah; d) sekolah
memberikan kesempatan kepada anak untuk meraih sukses; dan e) sekolah memberi
kesempatan pertama kepada anak untuk menilai dirinya, dan kemampuannya secara realistik.
Pancasila harus diajarkan secara keseluruhan, maka harus disusun program PKn
pertahun, dari tahun ke-satu, dua, dan seterusnya, agar terjadi kesinambungan dan keterlanjutan.

Ana Andriani
310
Dalam Pancasila sebagian boleh mengajarkan nilai kategorikal/esensial seperti Ketuhanan,
kemanusiaan, kesatuan, kerakyatan dan keadilan. Namun diharapkan kita lebih kreatif dengan
menggabungkan nilai kategorikal/esensial itu dengan nilai sehari-hari/instrumental seperti
hukum, politik, pengadilan, ekonomi, bisnis, olah raga, kesehatan, kesenian, HAM (Hak Asasi
Manusia) dan sebagainya.
Sehubungan dengan itu, maka pembentukan karakter bangsa perlu diupayakan
dalam masa ini. Agar pemahaman siswa sebagai generasi muda, tentang pentingnya
memahami nilai Pancasila, terutama pada mata pelajaran PKn dalam pembentukkan
karakter bangsa dapat lebih dini dikuasai. Sejalan dengan hal itu, Mahendra (1996:
223) mengatakan bahwa “Untuk dapat memainkan peranannya dalam upaya
demokratisasi dengan efektif, kita memerlukan generasi muda yang memiliki integritas
pribadi, mandiri, teguh kesetiaannya kepada Pancasila dan UUD 1945, berwawasan
kebangsaan, mempunyai kemampuan profesional yang tinggi dan dukungan serta
mampu memandang jauh ke depan”.
Kepeloporan generasi muda dalam pembentukkan karakter bangsa, harus diupayakan,
agar keberadaan bangsa dengan karakter yang unik tetap lestari. Mengenai kemampuan untuk
menjaring minat siswa, diharapkan seluruh peran masyarakat dan pemerintah untuk membantu
terlaksananya pendidikan ke arah yang lebih maju. Dalam membentuk sikap dan perilaku
dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara, dapat diwujudkan dalam waktu
dekat sehingga siswa mampu menjadi warga negara baik dan bertanggung jawab. Karakter
bangsa yang diharapkan adalah yang sesuai dengan nilai-nilai Pancasila.
Pembentukkan karakter bangsa melalui penanaman nilai Pancasila terhadap siswa
merupakan suatu keharusan. Dimulai dengan pembiasaan, maka kunci terpenting ada dalam
pendidikan. Keluarga sebagai unsur pertama yang dapat menjadi pondasi kuat bagi
pembentukkan karakter bangsa, dilanjutkan dengan sekolah sebagai institusi resmi pendidikan
yang mempunyai kontribusi besar dalam pembentukkan karakter bangsa, khususnya pelajaran
PKn dengan muatan nilai Pancasila sebagai dasar negara. Selain itu seluruh komponen sekolah
dari mulai pimpinan sampai penjaga sekolah harus memberikan teladan kepada siswa melalui
pembiasaan dalam kehidupan sehari-hari, agar senantiasa bersikap dan berperilaku sesuai
dengan nilai Pancasila.

DAFTAR PUSTAKA
Affandi, I. 1996. Kepeloporan Organisasi Kemasyarakatan Pemuda dalam Pendidikan
Politik, Disertasi Doktor pada PPS IKIP Bandung: tidak diterbitkan.
Al Muchtar, S. 2001. Pendidikan dan Masalah Sosial Budaya. Bandung: Gelar Pustaka Mandiri.
Djahiri, A. K. 2004). Esensi Pendidikan Nilai Moral di Era Globalisasi. Makalah pada Seminar
Pendidikan Umum UPI, Bandung.
————, A. K. 1992. Menelusuri Dunia Afektif-Nilai Moral dan Pendidikan Nilai Moral
Laboratorium Pengajaran PMP IKIP Bandung.

Ana Andriani
311
————, A. K. 1998. Beberapa Pemikiran ke Arah Revitalisasi Program Pengajaran PPKn-IPS
dan Tata Negara pada Persekolahan, Bandung: Laboratorium PPKN IKIP.
Engkoswara. 2004). Iman Ilmu Amaliah Indah: Upaya Mencegah Kerusuhan, Korupsi dan
Disintegrasi Bangsa serta Bekal Manusia Hidup di Dunia dan Akhirat. Bandung: Yayasan
Amal Keluarga.
Havighurst. 1961. Human Development & Education. New York: David Mckay Co.
Sanusi, A. 1998 Pendidikan Alternatif. Bandung: Grafindo Media Pratama.
Sukarto. 1994. Peningkatan Kualitas Pengamalan Wawasan Kebangsaan dalam PJP Kedua
(Himpunan Makalah Saresehan Nasional). Jakarta: Departemen Penbitmassmed DPP
Golkar.
Suyatno. 2001. Strategi Pendidikan Nasional, Jakarta: Uhamka Press Undang-Undang Dasar 1945.
Winataputra, U. S. 2001. “Jatidiri Pendidikan Kewarganegaraan sebagai Wahana Sistemik
Pendidikan Demokrasi (Suatu Kajian Konseptual dalam Konteks Pendidikan IPS)”
Disertasi, PPS UPI Bandung: tidak diterbitkan.
—————----------. 2006. “PKn (Pendidikan Kewarganegaraan) sebagai Pendidikan Disiplin
Ilmu: Tantangan Epistimologis, dan Implikasi Pedagogis”. Makalah, UPI Bandung.
Yodohusodo, S. 1996. Semangat Baru Nasionalisme Indonesia. Jakarta: Yayasan Pembangunan
Bangsa.

Ana Andriani
312
PENDIDIKAN MULTIKULTUR SEBAGAI PENDEKATAN ALTERNATIF
DALAM PEMBELAJARAN IPS
Anwar Senen
Universitas Negeri Yogyakarta

ABSTRAK
Indonesia adalah negara yang terdiri dari beraneka ragam budaya, ras, suku bangsa, agama,
bahasa, yang mendiami ribuan pulau yang bertebaran di wilayah nusantara. Sudah tepat di
dalam berbangsa dan bernegara Indonesia bersemboyan “Bhineka Tunggal Ika” berdasar
pada Pancasila. Kenyataan yang terjadi, untuk keberlangsungan hidup bangsa Indonesia yang
harmonis dan demokratis sampai saat sekarang ini kadang masih terjadi konflik yang
mengkhawatirkan di masyarakat dengan latar belakang suku, budaya, agama, golongan, dan
lain-lain. Pendidikan IPS memiliki peran penting ikut membangun kesadaran kepada siswa
(generasi muda) untuk dapat saling menghargai dan toleran agar bisa hidup berdampingan
secara harmonis di masyarakat dengan berbagai perbedaan yang ada dalam wadah NKRI
dengan dasar Pancasila.
Kata kunci: Pendidikan multikultur, Pembelajaran IPS

I. PENDAHULUAN
Bhinneka Tunggal Ika adalah semboyan dari Negara Indonesia dalam berbangsa dan
bernegara yang berarti berbeda-beda tapi tetap satu jua. Hal ini sudah jelas menandakan
bahwa Indonesia merupakan negara yang memiliki keragaman budaya, suku bangsa, agama,
bahasa, dan sebagainya. Kelompok suku dan budaya seperti Aceh, Batak, Minangkabau, Dayak,
Sunda, Jawa, Bugis, Papua dan lain-lain adalah contoh dari keragaman tersebut. Oleh sebab
itu pula, Negara Indonesia disebut sebagai negara multikultural.
Keragaman ini memang diakui telah memunculkan beberapa persoalan, misalnya
perkelahian antar suku, separatisme, dan hilangnya rasa kemanusiaan untuk menghormati
hak-hak orang lain. Untuk memecahkan masalah tersebut, maka dibutuhkan suatu solusi,
salah satunya adalah model pendidikan multikultur.
Pendidikan multikultur pada intinya adalah pendidikan yang memberikan penekanan
terhadap proses penanaman cara hidup yang saling menghormati, tulus, dan toleran terhadap
keanekaragaman budaya yang hidup di tengah-tengah masyarakat dengan tingkat pluralitas
yang tinggi. Dengan model pendidikan ini, diharapkan masyarakat Indonesia mampu menerima,

Anwar Senen
313
mentolerir, dan menghargai keragaman yang ada. Dalam pendidikan multikultur, seorang
pendidik diharapkan tidak saja profesional dalam bidang akademik, tetapi juga harus mampu
menanamkan nilai-nilai inti dari pendidikan multikultur itu yakni demokrasi, humanisme, dan
pluralisme. Pendidikan multikultur diharapkan mampu menjawab tantangan zaman di masa
globalisasi ini. Pendidikan merupakan salah satu tolak ukur dan standar mengenai seberapa
jauh suatu negara mampu bersaing di dunia internasional. Semakin baik mutu pendidikan
suatu negara, maka negara itu semakin siap dalam menghadapi persaingan global (Rohman,
2013: On Line).
Pada era reformasi sekarang ini, bangsa Indonesia ada kecenderungan mengalami
disintegrasi. Krisis moneter, ekonomi, dan politik yang bermula pada awal 1998, selanjutnya
mengakibatkan terjadinya krisis sosio-kultural di dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.
Gejala merosotnya penghargaan dan kepatuhan terhadap hukum, etika, moral, dan kesantunan
sosial sungguh tampak nyata dalam kehidupan berbangsa bernegara sekarang ini. Banyaknya
kasus hukum dengan latar belakang ekonomi, kriminal, politik, etnis, agama, dan lain-lain
telah membuktikan betapa orang atau kelompok sosial sudah mendahulukan kepentingan
pribadi atau kelompoknya dan tidak menghargai lagi kepentingan orang lain atau kelompok
lain dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.
Multikulturalisme sebagai paham yang menekankan pada kesederajatan dan
kesetaraan budaya-budaya lokal serta menerima atau mengakui eksistensi budaya yang lain.
Hal ini penting kita pahami bersama untuk dapat diterapkan dalam kehidupan bermasyarakat
yang multikultur seperti Negara kita Indonesia. Jika tidak dipahami maka dalam masyarakat
kita yang multikultur kemungkinan besar akan selalu terjadi konflik sosial akibat tidak saling
pengertian dan tidak saling menghargai terhadap realitas perbedaan yang ada di masyarakat.

II. MASYARAKAT MULTIKULTUR INDONESIA


Sukadi (2012: 86) menjelaskan, masyarakat dan bangsa Indonesia adalah masyarakat
yang pluralistik tetapi sekaligus adalah masyarakat yang monopluralistik dan monodualistik.
Masyarakat Indonesia adalah masyarakat yang monopluralistik dalam dimensi suku, agama,
ras, antar golongan, kebiasaan dan adat istiadat, bahasa daerah, kesenian, kebudayaannya,
dan mendiami ribuan pulau besar dan kecil tetapi menjadi satu kesatuan bangsa Indonesia
yang bernaung dalam wadah NKRI. Manusia dan masyarakat Indonesia juga adalah makhluk
monodualistik tersusun sebagai satu kesatuan dari susunan kodrat sebagai makhluk jasmaniah
dan rohaniah serta dari kedudukan kodrat sebagai makhluk individu dan sosial. Masyarakat
pluralistik yang hidup harmonis dalam kesatuan hidup berbangsa dan bernegara dalam wadah
NKRI ini digambarkan dalam semboyan negara “Bhineka Tunggal Ika”.
Sudah banyak wacana tentang model demokrasi yang cocok dengan kondisi
masyarakat Indonesia yang ber-”Bhinneka Tunggal Ika” dengan liku-liku pengalaman historis,
perkembangan ekonomi, serta interaksinya dengan kecenderungan globalisasi semakin banyak
dikembangkan. Diantara berbagai wacana yang menonjol adalah proses demokrasi yang
dikaitkan dengan konsep masyarakat madani, yang secara substantif menghargai

Anwar Senen
314
multikulturalisme. Untuk mewujudkannya diperlukan penghayatan yang utuh dan pengalaman
yang tulus serta dukungan prasarana sosial budaya (Madjid, dalam Republika 10 Agustus
1999). Menurut Winataputra (2008) perlu dikembangkan budaya kewarganegaraan Indonesia
yang multikultural, yang berintikan “civic virtue” atau kebajikan atau akhlak kewarganegaraan.
Kabajikan itu sepenuhnya harus terpancar dari nilai-nilai Pancasila yang secara substantif
mencakup keterlibatan aktif warga negara, hubungan kesejajaran/egaliter, saling percaya dan
toleran, kehidupan yang kooperatif, solidaritas, dan semangat kemasyarakatan multikultural.
Semua unsur akhlak kewarganegaraan itu diyakini akan saling memupuk dengan kehidupan
“civic community” atau “civil society” atau masyarakat madani untuk Indonesia yang berdasarkan
Pancasila.
Menyadari kondisi kehidupan masyarakat dan bangsa Indonesia yang pluralistik ini,
maka asas kerakyatan, hikmat kebijaksanaan, permusyawaratan, dan perwakilan menjadi dasar
utama kehidupan bersama. Prinsip-prinsip kehidupan berdemokrasi yang cerdas dan bijaksana,
yang satu tidak mendominasi yang lain, hidup toleran dan tenggang rasa, saling menghormati,
menghormati norma-norma hukum yang berlaku, menempatkan kepentingan bangsa dan
negara di atas kepentingan pribadi dan golongan, selalu bekerja sama secara harmonis,
pengambilan keputusan dilakukan dengan musyawarah dan mufakat, dan pemimpin
mengutamakan kepentingan rakyat adalah nilai-nilai karakter yang harus dimiliki generasi
muda. Dalam hal ini, pembelajaran IPS sangat tepat disajikan dalam bentuk pendekatan
multikultural guna memberikan apresiasi khususnya kemajemukan budaya, yang aplikasinya
guru perlu berwawasan demokratis dalam memahami para siswanya.
Pendidikan di Indonesia tampaknya masih merupakan pendidikan yang berorientasi
dan bertujuan mentransfer model ilmu pengetahuan barat yang sudah maju yang cenderung
rasionalistik-empirik-materialistik. Implikasinya, pendidikan di Indonesia tanpa jiwa, tanpa roh,
tanpa karakter serta nilai-nilai ideologis, moral, dan spiritual cenderung terabaikan (Sukadi,
2012: 82). Guru IPS harus bisa memberikan teladan bagaimana harus memanfaatkan modal
fisik, modal sosial, modal budaya, kekuatan moral, dan modal spiritual untuk mencapai tujuan
bersama yang lebih besar mencerdaskan kehidupan bangsa seperti yang diteladankan para
pendiri bangsa dalam merebut kemerdekaan untuk membangun bangsa dan negara Indonesia.
Menurut Swasono (2012: 5-6) terkait dengan tugas pendidikan guna “mencerdaskan
kehidupan bangsa”, memiliki konsepsi dan makna budaya dan bukan konsepsi biologis-
genetika semata. Dalam konsepsi seperti ini mencerdaskan kehidupan bangsa bukanlah hanya
bermakna mencerdaskan otak intelektual bangsa. Di sini bukan hanya mengatasi kebodohan
sosial, tetapi juga harus melawan keterbelakangan sosial. Dengan mencerdaskan kehidupan
bangsa berarti kita berupaya meningkatkan kualitas: ketakwaan, literasi sains, literasi sosial,
seni dan budaya, keberadaban, kesadaran sejarah, geografi dan spasial, ideologi, persatuan,
kebersamaan dan gotong royong (kerakyatan), solidaritas, penguasaan iptek, kedaulatan,
kemandirian, martabat, kesetaraan, modernisasi, keberanian dan kejujuran, serta humanisme.
Dari konsepsi tersebut jelaslah bahwa mencerdaskan kehidupan bangsa sebenarnya
tidak bisa dilepaskan dari konsep nation and character building, yaitu membangun karakter

Anwar Senen
315
dan peradaban kehidupan bangsa. Mambangun karakter kehidupan berbangsa jelas terkait
dengan nilai-nilai Pancasila sebagai jiwa dan kepribadian bangsa. Untuk ini pendidikan haruslah
mampu memberdayakan dan membudayakan generasi muda agar selalu berpikir, memiliki
orientasi nilai dan sikap, serta berperilaku sesuai dengan nilai-nilai Pancasila yang bisa dinamis
sepanjang masa. Sedangkan membangun peradaban kehidupan berbangsa adalah
mengaktualisasikan kepribadian bersama tersebut menjadi aktivitas sosial budaya yang akan
mewarnai keunggulan dan kemajuan kehidupan berbangsa di tengah-tengah globalisasi ini.

III. PENDIDIKAN MULTIKULTUR


Kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara Indonesia tidak bisa lepas dari
lingkungan masyarakat yang tumbuh dan berkembang dari berbagai macam etnis dengan
budaya yang beragam (multikultur). Dalam sejarah bangsa Indonesia, kita mengenal kerajaan
Majapahit yang memiliki pengaruh sangat luas di wilayah nusantara yang terkenal dengan
semboyan Bhineka Tunggal Ika. “Bhineka Tunggal Ika” adalah salah satu bentuk kearifan yang
dijadikan spirit berbangsa dan bernegara Indonesia di mana pada zaman Kerajaan Majapahit
telah digunakan untuk menyatukan wilayah nusantara.
Multikulturalisme adalah sebuah konsep di mana sebuah komunitas dalam konteks
kebangsaan dapat mengakui keberagaman, perbedaan, dan kemajemukan budaya, ras, suku,
etnis, agama, dan lain sebagainya. Sebuah konsep yang memberikan pemahaman bahwa
sebuah bangsa yang plural dan majemuk adalah bangsa yang dipenuhi dengan budaya-budaya
yang beragam (multikultural). Dan bangsa yang multikultural adalah bangsa yang kelompok-
kelompok etnik dan budayanya yang ada dapat hidup berdampingan secara damai dalam
prinsip co-existensi yang ditandai oleh kesediaan untuk menghormati budaya lain (Mahfud,
2011: xvii-xx).
Dalam kata ‘multikulturalisme’ mengandung makna adanya pengakuan akan martabat
manusia yang hidup berdampingan-rukun-harmonis dalam suatu komunitas yang memiliki
perbedaan budaya satu dengan yang lain. Kehidupan dalam masyarakat yang multikultur setiap
anggota masyarakat memiliki kewajiban menjaga keharmonisan dengan cara saling
menghormati dan saling menghargai di tengah adanya perbedaan.
Diungkapkan oleh Banks (1993: 1) seperti berikut:
“Multicultural education is an idea, an educational reform movement, and a process
whose major goal is to change the structure of educational institutions so that male and
female students, exceptional students, and students who are members of diverse racial,
ethnic, and cultural groups will have an equal chance to achieve academically in
school”.
Pengertiannya, pendidikan multikultur adalah ide, gerakan pembaharuan pendidikan
dan proses pendidikan yang tujuan utamanya adalah untuk mengubah struktur lembaga
pendidikan supaya peserta didik, baik pria maupun wanita, peserta didik berkebutuhan khusus,
dan peserta didik yang merupakan anggota dari kelompok ras, etnis, dan kultur yang bermacam-
macam itu akan memiliki kesempatan yang sama untuk mencapai prestasi akademik di sekolah.

Anwar Senen
316
Banks (1993: 3) menjelaskan bahwa pendidikan multikultural sebagai pendidikan untuk
masyarakat yang penuh dengan perbedaan (people of colour). Sementara, Mahfud (2011: 12)
mengatakan, pendidikan multikultural ingin mengeksplorasi perbedaan sebagai keniscayaan,
kemudian memberi apresiasi perbedaan itu dengan semangat egaliter dan toleran.
Menurut Banks (1993: 245) esensi pendidikan multikultural adalah perubahan sosial
dalam pendidikan. Perubahan ini mengacu pada pola pikir yang lebih mendalam dan kritis,
imajinatif dan komitmen terhadap masa depan termasuk kesejahteraan umat manusia serta
aspek-aspek lain yang mengarah pada keadilan dan demokrasi. Selain itu, ide esensial dari
pendekatan multikultural dalam pendidikan adalah penghargaan dan penilaian yang tinggi
terhadap kebudayaan serta individu-individu pendukungnya.
Wiriaatmadja (2002: 225) berpendapat bahwa tujuan utama pendidikan multikultural
adalah mempersiapkan anak didik dengan sejumlah pengetahuan, sikap, dan keterampilan
yang diperlukan dalam lingkungan budaya etnik mereka, budaya nasional dan antar budaya
etnik lainnya. Dengan pendidikan multikultural, masyarakat dapat memahami kehidupan yang
serba kompleks seperti era sekarang. Menurut Parekh, (2002: 268) gagasan tentang dialogical
consensus termasuk dialog antar-budaya (intercultural dialogue) dapat diwujudkan bila
didukung pendidikan multikultural yang memberikan pemahaman kepada masyarakat luas
tentang makna kehidupan yang sesungguhnya.
Pendidikan multikultural tidak berarti sebatas “berbicara kemajemukan” belaka.
Pendidikan multikultural lebih tepat diarahkan sebagai advokasi untuk menciptakan masyarakat
yang toleran dan bebas toleransi sehingga tidak akan terjadi adanya diskriminasi di masyarakat
dan agar dapat menghindarkan adanya superioritas kelompok tertentu pada kelompok lainnya.
Dalam konteks ini, pendidikan multikultural merupakan pendekatan progresif untuk melakukan
transformasi pendidikan dan budaya masyarakat secara menyeluruh, juga untuk memperbaiki
kekurangan dan kegagalan dalam praksis pendidikan yang bersifat diskriminatif. Hal ini sesuai
dengan prinsip penyelenggaraan pendidikan yang termaktub dalam UU Sisdiknas tahun 2003
pasal 4 ayat 1, bahwa pendidikan nasional diselenggarakan secara demokratis dan berkeadilan
serta tidak diskriminatif dengan menjunjung tinggi hak asasi manusia (HAM), nilai keagamaan,
nilai kultural, dan kemajemukan bangsa. Pendidikan multikultural hendaknya dapat memfasilitasi
proses belajar mengajar yang menghargai keragaman dan perbedaan, toleran, dan sikap
yang terbuka (inklusif).

IV. PENDIDIKAN MULTIKULTUR DALAM PEMBELAJARAN IPS


Menurut Lasmawan (2010: On Line) kelemahan yang selama ini terjadi pada konteks
pendidikan terkait dengan pendidikan multikultur adalah bahwa guru dalam membelajarkan
materi IPS, PKn, dan Agama masih menekankan pada upaya pencekokan materi disiplin
keilmuannya, dengan mengabaikan dimensi multikultur yang sebenarnya jauh lebih penting
bagi pembangunan integritas kebangsaan. Bangsa yang multikultur seperti Indonesia,
memerlukan “strategi dan model” pendidikan multikultur yang terintegrasi secara holistik dalam
beberapa mata pelajaran/disiplin ilmu, mulai dari jenjang pendidikan dasar sampai pendidikan

Anwar Senen
317
tinggi. Melalui pendidikan multikultur yang terintegrasi secara holistik dalam mata pelajaran,
disinyalir dapat meningkatkan pemahaman dan pelatihan keterampilan hidup dalam
keberagaman kepada peserta didik, sehingga pada saatnya nanti mereka mampu menjalankan
kehidupan bermasyarakat yang multikultur dalam wadah negara kesatuan..
Pendidikan IPS memungkinkan dapat membangun kesadaran multikultur, karena
lingkup pembelajaran IPS dalam aspek budaya para siswa dimungkinkan untuk diperkenalkan
berbagai macam etnik yang ada di Indonesia. Guru dalam hal ini dapat menyampaikan
pembelajaran dengan pendekatan multikultur yaitu menyajikan materi dengan cara
mengembangkan kesadaran untuk saling menghargai dan menghormati adanya aneka ragam
perbedaan suku-budaya, agama, bahasa, dan laian-lain.
Terkait dengan hal di atas, bila kita merefleksi dan memprediksi tantangan kehidupan
global dan pentingnya menjaga stabilitas serta integritas bangsa, maka ada sejumlah strategi
pendidikan yang harus dikembangkan seperti: peningkatan pendidikan moral dan budi pekerti,
penanaman pemahaman dan kesadaran (literasi) terhadap keberagaman kultur kebangsaan,
perbaikan kualitas proses dan produk pembelajaran, penyiapan perangkat instruksional yang
mendukung peningkatan mutu pendidikan, dan lain-lain yang mendukung bagi tercapainya
pembelajaran yang bersifat multikultur. Menurut Lasmawan (2010: On Line) pengembangan
model pendidikan multikultur harus diorientasikan pada: (1) penanaman pemahaman dan
kesadaran akan keberagaman dalam kesatuan, (2) pengintegrasian domain multikultur secara
holistik kedalam beberapa mata pelajaran, (3) pengembangan konsep dan generalisasi pokok
pendidikan multikultur, (4) model pengorganisasian materi pendidikan multikultur, dan (5)
pengembangan model penilaian kompetensi multikultur.
Filosofi pendidikan yang tercantum dalam Kurikulum 2013 mengatakan, bahwa
pendidikan berbasis pada nilai-nilai luhur, nilai akademik, kebutuhan peserta didik, dan
masyarakat berorientasi pada pengembangan kompetensi. Dijelaskan pula, bahwa
pembelajaran pada wujudnya adalah berbentuk transformasi nilai. Oleh sebab itu, harus
menunjukkan adanya perubahan proses pembelajaran yaitu dari siswa diberi tahu menjadi
siswa mencari tahu dan proses penilaian yaitu dari berfokus pada pengetahuan melalui penilaian
out put menjadi berbasis kemampuan melalui penilaian proses dan out put. Pada bidang ilmu
sosial, termasuk dalam hal ini pembelajaran IPS standar kompetensi lulusan pada ranah
afektif diharapkan agar peserta didik memiliki sikap toleransi, gotong royong, kerjasama, dan
musyawarah (Kurikulum 2013: On Line).
Hakekat IPS menurut Hasan (2000; 1) adalah studi integratif tentang kehidupan manusia
dalam berbagai dimensi ruang dan waktu dengan aktifitasnya. Pendidikan IPS merupakan
mata pelajaran yang disusun secara sistematis, komprehensip, dan terpadu dalam proses
pembelajaran menuju kedewasaan dan keberhasilan dalam kehidupan di masyarakat. Tujuan
pembelajaran IPS adalah: (1) mengembangkan pengetahuan dasar kesosiologian,
kegeografian, keekonomian, kesejarahan, dan kewarganegaraan; (2) mengembangkan
kemampuan berpikir kritis, keterampilan inkuiri, pemecahan masalah dan keterampilan sosial;
(3) membangun komitmen dan kesadaran terhadap nilai-nilai kemanusiaan, dan (4) memiliki

Anwar Senen
318
kemampuan berkomunikasi, berkompetisi dan bekerja sama dalam masyarakat yang majemuk,
baik dalam skala lokal, nasional, maupun internasional (Hasan, 1996: Maryani, 2011: 60).
Dalam menyampaikan pembelajaran IPS dengan berpijak pada pendidikan multikultur
guru perlu menggunakan pendekatan demokratis. Pada konteks ini, pendidik diharapkan
memiliki kompetensi multikultural. Elashmawi dan Haris (1994: 6-7) mengatakan ada enam
kompetensi multikultural pendidik, yaitu: (1) memiliki nilai dan hubungan sosial yang luas; (2)
terbuka dan fleksibel dalam mengelola keragaman peserta didik; (3) siap menerima perbedaan
disiplin ilmu, latar belakang, ras, dan gender; (4) memfasilitasi pendatang baru dan peserta
didik yang minoritas; (5) mau berkolaborasi dan koalisi dengan pihak manapun; dan (6)
berorientasi pada program dan masa depan.
Pada dasarnya belajar merupakan suatu proses, suatu kegiatan, dan bukan suatu
hasil atau tujuan. Belajar bukan hanya mengingat, menghafalkan materi, yang lebih penting
adalah mengalami, perubahan tingkah laku seseorang. Belajar adalah modifikasi atau
memperteguh kelakuan melalui pengalaman (learning is defined as the modification or
strengthening of behavior through experiencing). Berarti, jika seseorang melakukan belajar
tetapi tidak berubah tingkah lakunya, maka pada dasarnya orang itu gagal dalam proses
belajarnya (Hamalik, 2003: 27).
Beberapa hal yang penting untuk diketahui dalam proses pembelajaran, antara lain:
(1) Situasi belajar harus bertujuan dan tujuan-tujuan itu diterima baik oleh masyarakat; (2)
Tujuan dan maksud belajar timbul dari kehidupan anak sendiri; (3) Di dalam mencapai tujuan
itu, siswa senantiasa akan menemui rintangan, dan situasi-situasi yang tidak menyenangkan;
(4) Hasil belajar yang utama ialah pola tingkah laku yang bulat; (5) Proses belajar terutama
mengerjakan hal-hal yang sebenarnya; (6) Kegiatan-kegiatan dan hasil-hasil belajar
dipersatukan dan dihubungkan dengan tujuan dalam situasi belajar; (7) Siswa memberikan
reaksi secara keseluruhan; (8) Siswa mereaksi sesuatu aspek dari lingkungan yang bermakna
baginya; (9) Siswa diarahkan dan dibantu oleh orang-orang yang berada dalam lingkungan itu;
dan (10) Siswa dibawa/diarahkan ketujuan-tujuan lain, baik yang berhubungan maupun tidak
berhubungan dengan tujuan utama dalam situasi belajar (Hamalik, 2003: 28-29).
Nasruddin (On Line) menjelaskan bahwa rasional tentang pentingnya pembelajaran/
pendidikan multikultural, karena strategi pendidikan ini dipandang memiliki keutamaan-
keutamaan, terutama dalam: (1) Memberikan terobosan baru pembelajaran yang mampu
meningkatkan empati dan mengurangi prasangka siswa atau mahasiswa sehingga tercipta
manusia (warga negara) antarbudaya yang mampu menyelesaikan konflik dengan tanpa
kekerasan (nonviolent); (2) Menerapkan pendekatan dan strategi pembelajaran yang potensial
dalam mengedepankan proses interaksi sosial dan memiliki kandungan afeksi yang kuat; (3).
Model pembelajaran multikultural membantu guru dalam mengelola proses pembelajaran
menjadi lebih efisien dan efektif, terutama memberikan kemampuan peserta didik dalam
membangun kolaboratif dan memiliki komitmen nilai yang tinggi dalam kehidupan masyarakat
yang serba majemuk; (4). Memberikan kontribusi bagi bangsa Indonesia dalam penyelesaian
dan mengelola konflik yang bernuansa SARA yang timbul di masyarakat dengan cara

Anwar Senen
319
meningkatkan empati dan mengurangi prasangka. Melalui pembelajaran berbasis multikultural,
sikap dan mindset (pemikiran) siswa akan lebih terbuka untuk memahami dan menghargai
keberagaman. Hal ini penting sebab dapat menghapuskan diskriminasi.

V. SIMPULAN
Pendidikan multikultur sangat diperlukan untuk membangun kesadaran saling
menghormati, toleran dan tulus hidup berdampingan dalam masyarakat yang memiliki
perbedaan ras, agama, suku bangsa, budaya, bahasa, golongan, dan lain-lain seperti Indonesia.
Melalui pendidikan multikultur, diharapkan generasi muda Indonesia semakin dewasa dalam
memaknai aneka perbedaan yang ada di masyarakat sehingga mampu meredam potensi
konflik sosial yang sering terjadi setelah diberlakukannya kebijakan otonomi daerah selama
ini. Dalam hal ini, pendidikan IPS memiliki potensi yang cukup untuk berperan secara optimal
ikut membangun kesadaran saling menghormati dan toleran agar generasi muda dapat hidup
berdampingan secara harmonis dalam wadah NKRI. Para guru IPS perlu didayagunakan
untuk secara kreatif, inovatif, dan demokratis dapat menyajikan pembelajaran dengan
pendekatan pendidikan multikultur secara optimal.

DAFTAR PUSTAKA
Banks, J.A. 1993. Multicultural Education: Issues and Perspectives. Needham Height,
Massachusetts: Allyn and Bacon.
Banks, J.A. 1993. Multicultural Education: Its Effects on Studies Racial and Gender Role Attitude
In Handbook of Research on Social Teaching and Learning. New York: MacMillan.
Elashmawi, farid & Haris, Philip R. 1994. Multicultural Management: New Skill for Global Success.
Malaysia: S. Abdul Majeed & Co.
Hamalik, Oemar. 2003. Kurikulum dan Pembelajaran. Jakarta: Bumi Aksara.
Hasan, Hamid S. 1996. Pendidikan Ilmu-Ilmu Sosial Buku I. Bandung: Jurusan Sejarah FIPS
IKIP Bandung.
Hasan, Hamid S. 2000. “Multikulturalisme untuk Penyempurnaan Kurikulum Nasional”, Jurnal
Pendidikan dan Kebudayaaan.
Kurikulum 2013. http://www.scribd.com/doc/120652530/Kurikulum-2013 diakses 25/4/2014
Lasmawan. 2010. Pendidikan Multikultur dalam IPS. http://lasmawan.blogspot.com/2010/10/
pendidikan-multikultur-dalam-ips.html diakses 12/6/2013
Madjid N. 1999. “Masyarakat Madani dan Investasi Demokrasi”, Republika: 10 Agustus 1999.
Mahfud, Choirul. 2011. Pendidikan Multikultural. Yogyakarta: Pustaka Pelajar Offset.
Maryani, Enok. 2011. Pengembangan Program Pembelajaran IPS untuk Peningkatan
Keterampilan Sosial. Bandung: Alfabeta.

Anwar Senen
320
Nasruddin, Imam. Menggagas Pendidikan Multikultural (Opsi Legal Pendidikan Berbasis
Kearifan Lokal) http://sumsel.kemenag.go.id/file/dokumen menggagaspendidikan
multikultural.pdf di akses 12/6/2013
Parekh, Bikhu. 2002. Rethinking Multiculturalism: Cultural Diversity and Political Theory.
Cambridge: Harvard University Press.
Rohman, M. Mujibur. 2013. Pendidikan Multikultural Dan Problemnya Di Indonesia. http://sosio-
history.blogspot.com/2013/01/pendidikan-multikultural-dan-problemnya.html diakses
12/6/2013.
Sukadi. 2012. “Sosok Ideal Pendidik Untuk Menyiapkan Manusia Indonesia Berkarakter Unggul
Generasi 2045”. Makalah Utama KONAPSI VII 2012, diselenggarakan oleh UNY
Yogyakarta, 31 Oktober-3 November 2012.
Swasono, Sri Edi. 2012. “Revitalisasi Pendidikan IPS dalam Pembangunan Karakter Bangsa”.
Makalah. Disajikan pada Seminar Pembangunan Karakter Bangsa oleh HISPISI di
UNY Yogyakarta, 15 Januari 2012.
UU RI No. 20 th. 2003 Tentang Sistem Pendidikan Nasional. Jakarta: Cemerlang, 2003.
Winataputra, Udin S. 2008. “Multikulturalisme-Bhinneka Tunggal Ika dalam Perspektif
Pendidikan Kewarganegaraan sebagai Wahana Pembangunan Karakter Bangsa
Indonesia”, Makalah diskusi dalam Dialog Multikultural untuk Membina Kerukunan
Antarumat Beragama yang diselenggarakan oleh Program Studi Pendidikan
Kewarganegaraan, Sekolah Pascasarjana UPI dan Kedeputian Bidang Pendidikan,
Agama, dan Aparatur Negara, Kementerian Kordinator Bidang Kesejahteraan Rakyat,
Republik Indonesia, tanggal 12 Agustus 2008, di Auditorium JICA FMIPA UPI, Bandung.
Wiriaatmadja, Rochiati. 2002. Pendidikan Sejarah di Indonesia: Perspektif Lokal, Nasional,
dan Global. Bandung: Historika Utama Press.

Anwar Senen
321
Anwar Senen
322
INTEGRASI PENDIDIKAN KARAKTER DALAM PENDIDIKAN IPS
DI PERGURUAN TINGGI
Baseran Nor
Universitas Lambung Mangkurat

ABSTRAK
Pendidikan karakter diterapkan dalam dunia pendidikan guna menciptakan generasi muda
yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa dan bertujuan untuk menjadi
manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat,
berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung
jawab. Nilai pendidikan karakter yang harus dikembangkan di perguruan tinggi mencakup (1)
religius; (2) jujur; (3) toleransi; (4) disiplin; (5) kerja keras; (6) kreatif; (7) mandiri; (8) demokratis;
(9) rasa ingin tahu; (10) semangat kebangsaan; (11) cinta tanah air; (12) menghargai prestasi;
(13) bersahabat/komunikatif; (14) cinta damai; (15) gemar membaca; (16) peduli lingkungan;
(17) peduli sosial; dan (18) tanggung jawab. Pengintegrasian pendidikan karakter dalam
pembelajaran IPS di perguruan tinggi dapat dilakukan melalui (1) perencanaan pembelajaran,
meliputi (a) silabus, (b) Satuan Acara Perkuliahan (SAP), dan (c) bahan ajar; (2) pelaksanaan
pembelajaran, meliputi (a) kegiatan pendahuluan, (b) kegiatan inti, dan (c) penutup; (3) penilaian
pembelajaran.
Kata kunci: Pendidikan Karakter, IPS, dan Perguruan Tinggi

I. PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Masalah
Tujuan Pendidikan Nasional menurut Undang-Undang Nomor 20 tahun 2003 tentang
Sistem Pendidikan Nasional, Pasal 3 adalah mengembangkan potensi peserta didik agar
menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia,
sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta
bertanggung jawab. Dalam konteks ini, tujuan pendidikan merupakan seperangkat hasil
pendidikan yang dicapai oleh peserta didik setelah diselenggarakannya kegiatan pendidikan.
Tersirat dalam tujuan pendidikan nasional tersebut bahwa melalui pendidikan hendak
diwujudkan kecerdasan spiritual, emosional, sosial, intelektual maupun kecerdasan kinestetika.
Pendidikan nasional mempunyai tujuan mulia terhadap individu peserta didik, yakni
membangun pribadi yang memiliki ilmu pengetahuan, meningkatkan kemampuan teknis,
mengembangkan kepribadian yang kokoh dan membentuk karakter yang kuat. Tujuan

Baseran Nor 321


pendidikan akan tercapai bilamana dalam pelaksanaan pendidikan semua pihak yang terkait
saling berkerja sama.
Dewasa ini di kalangan pendidikan calon guru, banyak membicarakan terjadinya
krisis moral, gejala tersebut ditunjukkan dengan kenyataan berkurangnya perhatian mahasiswa
pada waktu pelajaran, aktivitas nongkrong, “ngeceng” dan keluyuran di mal, pesta narkoba,
seks bebas, mengunjungi bar dan diskotik, tawuran dan terorisme. Ini sesuai dengan hasil
pengamatan dan pengalaman peneliti di kampus menunjukkan bahwa sebagian besar
mahasiswa ketika perkuliahan baru dimulai tidak menghargai dosen yang memberikan materi
tetapi lebih disibukan dengan melakukan kegiatan sendiri seperti memainkan HP untuk
mengupdate status di facebook atau berbincang-bincang dengan teman. Atau membolos kuliah
lantaran tidak suka dengan dosennya dengan nongkrong di mal. Belum lagi “nyontek” ketika
ujian karena tidak menguasai materi, atau mengcopy paste pekerjaan teman.
Penyimpangan-penyimpangan tersebut disebabkan karena belum efektifnya
pendidikan karakter di perguruan tinggi yang disebabkan ketidaksiapan dan kekurangfahaman
dosen dalam menyisipkan pendidikan karakter ketika perkuliahan berlangsung. Selain itu juga
bisa dikarenakan dosen belum berkarakter. Pada dosen belum mampu menjadi figur tauladan
yang perilakunya bisa dijadikan model bagi mahasiswanya. Mereka lebih suka menunjukkan
kekerasan dan kebringasan di kelas, seperti anggapan dosen selalu benar sehingga ketika
ada mahasiswa yang protes langsung dikeluarkan dari kelas atau mahasiswa terlambat dimarahi
padahal dosennya sering terlambat masuk kuliah. Belum lagi proses penilaian yang cenderung
lebih bersifat kognitif saja tanpa melihat afektif dan psikomotorik mahasiswa. Orientasi yang
dilakukan hanyalah seberapa besar mahasiswa menguasai suatu mata kuliah yang diberikan
oleh dosen. Indeks Prestasi (IP) adalah faktor tunggal menentukan kelulusan seseorang.
1.2 Rumusan Masalah
1. Apa itu pendidikan karakter?
2. Bagaimana integrasi pendidikan karakter dalam pendidikan IPS di perguruan
tinggi?
1.3 Tujuan Penelitian
1. Untuk mengetahui pendidikan karakter.
2. Untuk mengetahui integrasi pendidikan karakter dalam pendidikan IPS di
perguruan tinggi.
1.4 Manfaat Penelitian
1. Agar mahasiswa dapat memahami lebih jauh tentang pentingnya pendidikan
karakter di perguruan tinggi.
2. Agar dosen dapat menentukan metode, dan model pembelajaran yang dapat
menumbuhkan pendidikan karakter.

Baseran Nor
322
II. PEMBAHASAN
2.1 Pengertian Pendidikan Karakter
Menurut Dani Setiawan (2010) dalam Agus Wibowo dan Sigit Purnama (2013: 33-34)
istilah karakter berasal dari kata dalam bahasa Latin, yaitu “kharakter”, “kharassein” dan “kharax”,
yang bermakna “tools for marking,” “to engrave” dan “pointed stake”. Kata ini mulai digunakan
dalam bahasa Prancis sebagai “caractere” pada abad ke-IV. Ketika masuk ke dalam bahasa
Inggris, katanya berubah menjadi “character” dan dirubah menjadi karakter dalam bahasa
Indonesia.
Menurut American Dictionary of the English Language (2001) dalam Agus Wibowo
dan Sigit Purnama (2013: 34) karakter merupakan istilah yang menunjuk kepada aplikasi nilai-
nilai kebaikan dalam bentuk tindakan atau tingkah laku. Sedangkan menurut Suyanto (2010),
karakter adalah cara berpikir dan berperilaku yang menjadi ciri khas tiap individu untuk hidup
dan bekerja sama, baik dalam lingkup keluarga, masyarakat, bangsa dan Negara. Berdasarkan
beberapa pengertian karakter menurut para ahli, maka dapat ditarik kesimpulan yang dimaksud
dengan karakter adalah cara berpikir atau berperilaku yang merupakan aplikasi dari nilai-nilai
kebaikan seseorang di lingkungannya.
Pendidikan merupakan upaya untuk mengembangkan ranah kognitif, afektif, dan
psikomotorik. Muara ranah kognitif adalah tumbuh dan berkembangnya kecerdasan dan
kemampuan intelektual akademik, ranah afektif bermuara pada terbentuknya karakter
kepribadian, dan ranah psikomotorik akan bermuara pada keterampilan vokasional dan perilaku.
Menurut Undang-Undang No. 20 Tahun 2003 tentang Sisdiknas menyebutkan bahwa
pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses
pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki
kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta
keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan negara. Berdasarkan pengertian
tersebut di atas terdapat tiga hal yang menjadi unsur dalam pendidikan yaitu:
1. Usaha sadar dan terencana.
Pendidikan sebagai usaha sadar dan terencana menunjukkan bahwa pendidikan
adalah sebuah proses yang disengaja dan dipikirkan secara matang. Oleh karena itu, di setiap
level manapun kegiatan pendidikan harus direncanakan terlebih dahulu, baik di tingkat nasional,
provinsi, kabupaten dan kota, maupun sekolah.
2. Mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik aktif
mengembangkan potensi dirinya. Pendidikan yang dikehendaki adalah pendidikan yang dapat
mewujudkan suasana belajar yang kondusif dan mendukung proses pembelajaran yang
menitikberatkan kepada keaktifan peserta didik untuk mengembangkan potensi diri yang dimiliki.
Artinya pendidikan tidak menuntut keberadaan pendidik sebagai satu-satunya sumber informasi
(teacher center) namun lebih berpusat kepada peserta didik (student center).
3. Memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan,
akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan negara.

Baseran Nor 323


Komponen ini merupakan bagian dari definisi pendidikan sekaligus menggambarkan
tujuan pendidikan nasional. Di sana tertera tujuan yang berdimensi ke-Tuhan-an, pribadi, dan
sosial. Artinya, pendidikan yang dikehendaki bukanlah pendidikan sekuler yang memisahkan
agama dengan kehidupan dunia tetapi lebih kepada pendidikan yang membentuk karakter
peserta didik yang beriman dan bertakwa. Adanya pendidikan pribadi (individual) yang mengatur
bagaimana pendidikan diselenggarakan berdasarkan perkembangan pribadi peserta didik,
dan pendidikan sosial yang membina peserta didik agar dapat bersosialisasi dan berperan
aktif sesuai dengan keterampilannya baik di lingkungan keluarga, sekolah, masyarakat maupun
negara (Baseran Nor, 2013: 15).
Terlihat sangat jelas bahwa pelaksanaan pendidikan adalah untuk membentuk sumber
daya manusia yang mempunyai karakter. Pembentukan karakter adalah upaya untuk membantu
perkembangan jiwa anak baik lahir dan batin yang mampu menumbuhkembangkan nilai-nilai
yang baik atau positif pada diri anak sesuai dengan etika moral yang berlaku. Anak tidak hanya
tahu apa yang seharusnya dilakukan, tetapi juga memahami mengapa hal tersebut dilakukan,
sehingga anak akan berperilaku seperti yang diharapkan. Pembentukan karakter dilakukan
secara terus menerus dan berkelanjutan dari anak usia dini sampai dengan ke perguruan
tinggi, agar terinternalisasi dengan baik dalam diri anak. Menurut Deni Damayanti (2014: 10)
pembentukan karakter melalui tahapan sebagai berikut:
1. Pada usia 5 sampai 8 tahun ditanamkan nilai-nilai yang bersifat global dan spontan.
2. Pada usia 9 sampai 12 tahun pendidikan karakter berupa nilai-nilai hakikat kebenaran
berupa baik atau buruk.
3. Pada usia 14 sampai 16 tahun anak mulai dilatihkan berbagai perilaku berupa
kebaikan betapapun beratnya.
4. Pada usia 17 sampai 20 tahun anak dibiasakan tidak hanya berbuat baik tetapi juga
menyadari maksud dan tujuan suatu sikap.
Adapun pengertian pendidikan karakter menurut Deni Damayanti (2014: 11-12) adalah
gerakan nasional menciptakan sekolah yang membina etika, bertanggung jawab dan merawat
orang-orang muda dengan permodelan dan mengajarkan karakter baik melalui penekanan
pada universal, nilai-nilai yang diyakini yang melibatkan aspek pengetahuan (cognitive), perasaan
(feeling), dan tindakan (action). Menurut Haryanto (2011: 4) pendidikan karakter adalah upaya
yang terencana untuk menjadikan peserta didik mengenal, peduli dan menginternalisasi
nilai-nilai sehingga peserta didik berperilaku sebagai insan kamil, dimana tujuan pendidikan
karakter adalah meningkatkan mutu penyelenggaraan dan hasil pendidikan di sekolah
melalui pembentukan karakter peserta didik secara utuh, terpadu, dan seimbang, sesuai
standar kompetensi lulusan. Adapun nilai-nilai yang perlu dihayati dan diamalkan oleh guru
saat mengajarkan mata pelajaran di sekolah adalah: religius, jujur, toleran, disiplin, kerja keras,
kerja cerdas, kreatif, mandiri, demokratis, rasa ingin tahu, semangat kebangsaan, cinta tanah
air, menghargai prestasi, bersahabat/komunikatif, cinta damai, senang membaca, peduli sosial,
peduli lingkungan, dan tanggung jawab. Berdasarkan pendapat beberapa ahli di atas dapat
disimpulkan bahwa yang dimaksud dengan pendidikan karakter adalah pendidikan yang

Baseran Nor
324
menanamkan, mengembangkan dan menerapkan karakter-karakter luhur kepada peserta didik
dalam segala aspek kehidupan.

III. Nilai-Nilai Karakter Bagi Dosen dan Mahasiswa


Menurut Pusat Kurikulum Kementerian Pendidikan dan Nasional (2011) dalam Agus
Wibowo dan Sigit Purnama (2013: 83-84) telah merumuskan materi pendidikan karakter yang
mencakup 18 aspek sebagai berikut:
1. Religius; sikap dan perilaku yang patuh dalam melaksanakan ajaran agama yang
dianutnya, toleran terhadap pelaksanaan ibadah agama lain, dan hidup rukun
dengan pemeluk agama lain.
2. Jujur; perilaku yang didasarkan pada upaya menjadikan dirinya sebagai orang yang
selalu dapat dipercaya dalam perkataan, tindakan, dan pekerjaan.
3. Toleransi; sikap dan tindakan yang menghargai perbedaan agama, suku, etnis,
pendapat, sikap, dan tindakan orang lain yang berbeda dari dirinya.
4. Disiplin; tindakan yang menunjukkan perilaku tertib dan patuh pada berbagai
ketentuan dan peraturan.
5. Kerja keras; perilaku yang menunjukkan upaya sungguh-sungguh dalam mengatasi
berbagai hambatan belajar dan tugas, serta menyelesaikan tugas dengan sebaik-
baiknya.
6. Kreatif; berpikir dan melakukan sesuatu untuk menghasilkan cara atau hasil-hasil
baru dari sesuatu yang telah dimiliki.
7. Mandiri; sikap dan perilaku yang tidak mudah tergantung pada orang lain dalam
menyelesaikan tugas-tugas.
8. Demokratis; cara berfikir, bersikap, dan bertindak yang menilai sama hak dan
kewajiban dirinya dan orang lain.
9. Rasa ingin tahu; sikap dan tindakan yang selalu berupaya untuk mengetahui lebih
mendalam dan meluas dari sesuatu yang dipelajarinya, dilihat, dan didengar.
10.Semangat kebangsaan; cara berpikir, bertindak, dan berwawasan yang
menempatkan kepentingan bangsa dan negara di atas kepentingan diri dan
kelompoknya.
11. Cinta tanah air; cara berpikir, bersikap, dan berbuat yang menunjukkan kesetiaan,
kepedulian, dan penghargaan yang tinggi terhadap bangsa, lingkungan fisik,
sosial, budaya, ekonomi, dan politik bangsa.
12.Menghargai prestasi; sikap dan tindakan yang mendorong dirinya untuk
menghasilkan sesuatu yang berguna bagi masyarakat, dan mengakui, serta
menghormati keberhasilan orang lain.
13. Bersahabat/komunikatif; tindakan yang memperlihatkan rasa senang berbicara,
bergaul, dan bekerja sama dengan orang lain

Baseran Nor 325


14. Cinta damai; sikap, perkataan, dan tindakan yang menyebabkan orang lain merasa
senang dan aman atas kehadiran dirinya.
15. Gemar membaca; kebiasaan menyediakan waktu untuk membaca berbagai
bacaan yang memberikan kebajikan bagi dirinya.
16. Peduli lingkungan; sikap dan tindakan yang selalu berupaya mencegah kerusakan
pada lingkungan alam di sekitarnya, dan mengembangkan upaya-upaya untuk
memperbaiki kerusakan alam yang sudah terjadi.
17. Peduli sosial; sikap dan tindakan yang selalu ingin memberi bantuan pada orang
lain dan masyarakat yang membutuhkan.
18.Tanggung jawab; sikap dan perilaku seseorang untuk melaksanakan tugas dan
kewajibannya, yang seharusnya dilakukannya, terhadap diri sendiri, masyarakat,
lingkungan (alam, sosial dan budaya), negara dan Tuhan Yang Maha Esa.

IV. INTEGRASI PENDIDIKAN KARAKTER DALAM PEMBELAJARAN IPS


DI PERGURUAN TINGGI
Ilmu Pengetahuan Sosial (IPS) sebagai salah satu jurusan program pendidikan dan
bidang pengetahuan di FKIP UNLAM, tidak hanya menyajikan pengetahuan sosial semata-
mata, melainkan harus pula membina mahasiswa menjadi warga masyarakat dan warga
negara yang memiliki tanggung jawab terhadap masyarakat, bangsa dan negara. Dengan
demikian, pokok bahasan yang disajikan tidak hanya terbatas pada materi yang bersifat
pengetahuan, melainkan juga meliputi nilai-nilai yang wajib melekat pada diri mahasiswa.
Pendidikan IPS adalah studi mengenai perpaduan antara ilmu-ilmu dalam rumpun ilmu sosial
dan humaniora untuk melahirkan pelaku-pelaku sosial yang dapat berpartisipasi dalam
memecahkan masalah-masalah sosio-kebangsaan. Pembelajaran IPS bertujuan untuk
mengajarkan mahasiswa menjadi warga negara Indonesia yang baik dan penuh kedamaian.
IPS diperlukan bagi keberhasilan transisi kehidupan masyarakat menuju karakter bangsa yang
sesuai dengan prinsip dan semangat nasional. Dengan demikian para mahasiswa dalam
pembelajaran IPS terlatih untuk menyelesaikan persoalan sosial dengan pendekatan secara
holistik dan terpadu dari berbagai sudut pandang.
Menurut Deni Damayanti (2014: 123-124) tujuan pembelajaran IPS adalah:
1. Peserta didik mampu memiliki kesadaran dan kepedulian terhadap masyarakat
atau lingkungannya, melalui pemahaman terhadap nilai-nilai sejarah dan
kebudayaan masyarakat.
2. Peserta didik mampu mengetahui dan memahami konsep dasar dan mampu
menggunakan metode yang diadaptasi dari ilmu-ilmu sosial yang kemudian dapat
digunakan untuk memecahkan masalah-masalah sosial.
3. Peserta didik mampu menggunakan model-model dan proses berpikir serta
membuat keputusan untuk menyelesaikan isu dan masalah yang berkembang di
masyarakat.

Baseran Nor
326
4. Peserta didik mampu menaruh perhatian terhadap isu-isu dan masalah-masalah
sosial, serta mampu membuat analisis yang kritis, selanjutnya mampu mengambil
tindakan yang tepat.
5. Peserta didik mampu mengembangkan berbagai potensi sehingga mampu
membangun diri sendiri agar survive yang kemudian bertanggung jawab
membangun masyarakat.
Pendidikan karakter sejalan dengan tujuan pendidikan IPS yaitu membina mahasiswa
menjadi warga negara yang baik, yang memiliki pengetahuan, keterampilan dan kepedulian
sosial yang berguna bagi dirinya sendiri serta bagi masyarakat dan bagi negara. Untuk
merealisasikan tujuan tersebut, proses perkuliahan tidak hanya terbatas pada aspek-aspek
pengetahuan (kognitif) dan keterampilan (psikomotor) saja, melainkan juga meliputi aspek
akhlak (afektif) serta bertanggung jawab sesuai yang terkandung dalam nilai-nilai Pancasila.
Pendidikan karakter di perguruan tinggi perlu melibatkan berbagai komponen terkait
yang didukung oleh proses pendidikan itu sendiri, yaitu kurikulum, proses pembelajaran dan
penilaian, kualitas hubungan warga kampus, pengelolaan perkuliahan, pengelolaan berbagai
kegiatan mahasiswa, pemberdayaan sarana dan prasarana, serta etos kerja seluruh warga
kampus. Pendidikan karakter di perguruan tinggi juga sangat terkait dengan manajemen atau
pengelolaan perguruan tinggi seperti bagaimana pendidikan karakter direncanakan,
dilaksanakan, dan dikendalikan dalam kegiatan-kegiatan pendidikan di perguruan tinggi.
Pengelolaan tersebut antara lain meliputi, nilai-nilai yang perlu ditanamkan, muatan kurikulum,
pembelajaran, penilaian, pendidik, dan tenaga kependidikan, dan komponen terkait lainnya.
Integrasi atau pengintegrasian adalah usaha sadar dan terencana (terprogram) dosen,
dengan tujuan memadukan pendidikan karakter ke dalam semua mata perkuliahan, dalam
proses pembelajaran sehingga terjadi internalisasi dan personalisasi (mempribadi) nilai-nilai
karakter bangsa untuk diketahui, dipahami, dihayati dan dilaksanakan (in action) secara tetap
(konsisten). Pengembangan karakter bangsa diintegrasikan dalam setiap standar kompetensi
dan kompetensi dasar. Nilai-nilai tersebut tercantum dalam silabus dan Satuan Acara
Perkuliahan (SAP). Pengintegrasian dilaksanakan mulai tahap perencanaan, pelaksanaan,
dan penilaian pembelajaran pada semua mata pelajaran. Menurut Supinah (2011) dalam Siti
Fatimah (2013: 369-373) cara pengintegrasian pendidikan karakter dalam pembelajaran adalah
sebagai berikut:
1. Perencanaan Pembelajaran
Perencanaan pembelajaran meliputi silabus, SAP, dan bahan ajar yang dirancang
agar muatan maupun kegiatan pembelajarannya memfasilitasi atau berwawasan pendidikan
karakter bangsa dengan mengadaptasi silabus, SAP, dan bahan ajar yang telah dibuat dengan
menambahkan kegiatan pelajaran yang bersifat memfasilitasi dikembangkannya nilai-nilai,
disadarinya pentingnya nilai-nilai, dan diinternalisasinya nilai-nilai karakter bangsa.
a. Silabus
Silabus membuat standar kompetensi, kompetensi dasar, materi pembelajaran,
kegiatan pembelajaran, indikator pencapaian, penilaian, alokasi waktu, dan sumber belajar.

Baseran Nor 327


Pembelajaran yang membantu mahasiswa mengembangkan karakter dilakukan perubahan
pada tiga komponen silabus yaitu berupa penambahan atau modifikasi (1) kegiatan perkuliahan,
sehingga ada kegiatan pembelajaran yang mengembangkan karakter, (2) indikator pencapaian,
sehingga ada indikator yang terkait dengan pencapaian peserta didik dalam hal karakter, dan
(3) teknik penilaian, sehingga ada teknik penilaian yang dapat mengembangkan atau mengukur
perkembangan karakter.
b. Satuan Acara Perkuliahan (SAP)
SAP disusun berdasarkan silabus yang telah dikembangkan oleh perguruan tinggi.
SAP memberi petunjuk bagi dosen dalam menciptakan karakter SAP yang perlu diadaptasi.
Adaptasi yang dimaksud adalah berupa perubahan pada komponen SAP yaitu penambahan
atau modifikasi pada (1) kegiatan perkuliahan, sehingga ada kegiatan pembelajaran yang
mengembangkan karakter, (2) indikator pencapaian, sehingga ada indikator yang terkait dengan
pencapaian mahasiswa dalam hal karakter, dan (3) teknik penilaian, sehingga ada teknik
penilaian yang dapat mengembangkan atau mengukur perkembangan karakter.
c. Bahan Ajar
Bahan ajar sejalan dengan apa yang telah dirancang dalam silabus dan SAP yang
berwawasan pendidikan karakter bangsa. Penyesuaian yang paling mungkin dilaksanakan
oleh dosen adalah dengan cara menambahkan kegiatan belajar yang sekaligus dapat
mengembangkan karakter. Kegiatan pembelajaran baik secara eksplisit maupun implisit
terbentuk atas komponen (1) tujuan, (2) input, (3) aktivitas, (4) pengaturan, (5) peran dosen, dan
(6) peran mahasiswa.
2. Pelaksanaan Pembelajaran
Kegiatan pelaksanaan dari tahapan kegiatan pendahuluan, inti, dan penutup, dipilih
dan dilaksanakan agar mahasiswa mempraktikkan nilai-nilai karakter yang ditargetkan.
a. Kegiatan Pendahuluan
Pendahuluan merupakan kegiatan awal dalam suatu pertemuan pembelajaran yang
ditujukan untuk membangkitkan motivasi dan memfokuskan perhatian mahasiswa untuk
berpartisipasi aktif dalam proses pembelajaran. Pada pelaksanaan pembelajaran dalam
kegiatan pendahuluan dosen (1) menyiapkan mahasiswa secara psikis dan fisik untuk mengikuti
proses pembelajaran, (2) mengajukan pertanyaan yang mengkaitkan pengetahuan sebelumnya
dengan materi yang akan dipelajari (apersepsi), (3) menjelaskan tujuan pembelajaran yang
akan dicapai, dan (4) menyampaikan cakupan materi dan penjelasan uraian kegiatan sesuai
silabus. Contoh yang dapat dilakukan untuk mengenal nilai, membangun kepedulian akan
nilai dan membantu internalisasi nilai karakter pada tahap pendahuluan (a) datang tepat waktu
(disiplin), (b) mengucapkan salam dengan ramah kepada mahasiswa ketika memasuki ruang
kelas (santun dan peduli), (c) berdoa sebelum membuka pelajaran (religius), (d) mengecek
kehadiran (disiplin), (e) memastikan bahwa setiap mahasiswa datang tepat waktu (disiplin), (f)
menegur mahasiswa yang terlambat dengan sopan (disiplin, santun, dan peduli), (g) mengaitkan
materi yang akan dipelajari dengan karakter, dan (g) dengan merujuk pada silabus, SAP,

Baseran Nor
328
bahan ajar, menyampaikan butir karakter yang hendak dikembangkan selain yang terkait dengan
standar kompetensi atau kompetensi dasar.
b. Kegiatan Inti
Kegiatan pembelajaran dilakukan secara interaktif, inspiratif, menyenangkan,
menantang, memotivasi mahasiswa untuk berpartisipasi aktif serta memberikan ruang yang
cukup bagi prakarsa, kreativitas dan kemandirian sesuai dengan bakat, minat, dan
perkembangan fisik serta psikologis. Contoh nilai yang ditanamkan dari proses pembelajaran
yang potensial dapat membantu mahasiswa menginternalisasi nilai-nilai karakter (a) melibatkan
mahasiswa mencari informasi yang luas dan dalam tentang topik yang akan dipelajari (mandiri,
berpikir, logis, kreatif, kerjasama), (b) melibatkan mahasiswa secara aktif dalam kegiatan
pembelajaran (rasa percaya diri, mandiri), (c) membiasakan mahasiswa membaca dan menulis
yang beragam melalui tugas (cinta ilmu, kreatif, logis), (d) memberi kesempatan untuk berpikir,
menganalisis, menyelesaikan masalah dan bertindak tanpa rasa takut (kreatif, percaya diri,
kritis), (e) memberikan umpan balik positif dan penguatan dalam bentuk lisan dan tulisan
terhadap keberhasilan mahasiswa (percaya diri, saling menghargai, santun, kritis, logis), (f)
memfasilitasi mahasiswa melakukan refleksi untuk memperoleh pengalaman belajar yang
bermakna (memahami kelebihan dan kekurangan diri sendiri).
c. Penutup
Penutup merupakan kegiatan untuk mengakhiri aktivitas pembelajaran dalam bentuk
rangkuman, penilaian (jujur, mengetahui kelebihan dan kekurangan), umpan balik (saling
menghargai, percaya diri, santun, kritis, logis), dan tindak lanjut (disiplin, berprestasi, tanggung
jawab, mandiri, kerja keras), menyampaikan rencana pembelajaran pada pertemuan berikutnya
(rasa ingin tahu, tanggung jawab).
3. Penilaian Pembelajaran
Penilaian hasil belajar adalah kegiatan ditujukan untuk mengetahui tercapai tidaknya
tujuan pembelajaran dari proses pembelajaran yang telah dilakukan. Teknik dan instrumen
yang dipilih dan dilaksanakan tidak hanya mengukur pencapaian kognitif tetapi juga
perkembangan kepribadian mahasiswa. Penilaian pencapaian pendidikan nilai karakter bangsa
didasarkan pada indikator nilai kejujuran. Penilaian dilakukan secara terus menerus.
Pembentukan karakter yang sesuai dengan budaya bangsa tidak hanya dilakukan
melalui serangkaian kegiatan belajar mengajar di kelas. Pembiasaan-pembiasaan dalam
kehidupan perlu dimulai dari lingkup terkecil, yaitu mulai dari keluarga sampai masyarakat.
Nilai-nilai tersebut tentunya perlu ditumbuhkembangkan yang pada akhirnya dapat membentuk
pribadi karakter peserta didik yang selanjutnya merupakan pencerminan hidup suatu bangsa
yang besar.
Menurut Zamroni (2011) dalam Agus Wibowo dan Sigit Purnama (2013: 144-145) ada
tujuh strategi pendidikan karakter yang dapat dilaksanakan dalam pendidikan tinggi, yaitu:
1. Tujuan, sasaran dan target yang dicapai harus jelas dan konkret

Baseran Nor 329


2. Pendidikan karakter akan lebih efektif dan efisien kalau dikerjakan tidak hanya oleh
perguruan tinggi, melainkan harus ada kerjasama antara perguruan tinggi dengan
orang tua/wali mahasiswa.
3. Menyadarkan pada semua dosen akan peran yang penting dan tanggung jawab
dalam keberhasilan melaksanakan dan mencapai tujuan pendidikan karakter.
4. Kesadaran dosen akan perlunya “hidden curriculum”, dan merupakan instrumen
yang amat penting dalam pengembangan karakter mahasiswa. Kurikulum
tersembunyi ini ada perilaku dosen, khususnya dalam berinteraksi dengan para
mahasiswa, yang disadari atau tidak akan berpengaruh besar pada para mahasiswa.
Oleh karena itu, para dosen perlu memanfaatkan kurikulum tersembunyi ini dengan
sadar dan terencana.
5. Dalam melaksanakan pembelajaran dosen hendaknya menekankan pada daya
kritis dan kreatif mahasiswa (critical and creative thinking), kemampuan bekerja
sama, dan keterampilan mengambil keputusan.
6. Kultur perguruan tinggi harus dimanfaatkan dalam pengembangan karakter
mahasiswa. Nilai-nilai, keyakinan-keyakinan, norma-norma, semboyan-semboyan
sampai kondisi fisik kampus yang perlu dipahami dan didesain sedemikian rupa
sehingga fungsional untuk mengembangkan karakter mahasiswa.
7. Pada hakekatnya salah satu fase pendidikan karakter adalah merupakan proses
pembiasaan dalam kehidupan sehari-hari, khususnya di kampus yang dapat
dimonitor dan dikontrol oleh dosen.

V. PENUTUP
5.1 Simpulan
Pendidikan karakter sangat penting diterapkan demi mengembalikan karakter generasi
muda bangsa Indonesia yang sudah mulai luntur. Dengan dilaksanakannya pendidikan karakter
di perguruan tinggi, diharapkan dapat menjadi solusi atas masalah-masalah sosial yang terjadi
di masyarakat. Individu yang berkarakter baik atau unggul adalah seseorang yang berusaha
melakukan hal-hal yang baik terhadap Tuhan Yang Maha Esa, dirinya, sesama lingkungan,
bangsa dan negara serta dunia internasional.
Perguruan tinggi mengemban tanggung jawab dan kewajiban yang besar dalam hal
kegiatan melahirkan sumber daya intelektual, yang diharapkan nantinya bisa memberikan
kontribusi bagi peningkatan kualitas Sumber Daya Manusia (SDM) bangsa Indonesia. Lulusan
perguruan tinggi diharapkan mampu menjalankan fungsinya sebagai agen pembaharuan
dalam masyarakat. Selain itu juga lulusan perguruan tinggi dapat membawa pencerahan dan
memberikan pengaruh positif bagi peningkatan taraf hidup dan kesejahteraan masyarakat.
Pendidikan karakter di perguruan tinggi hendaknya menjadi tanggung jawab semua
dosen. Dengan demikian tidak ada alasan bahwa kewajiban membentuk karakter lulusan
hanya dibebankan kepada dosen mata kuliah tertentu atau program studi tertentu pula. Setiap

Baseran Nor
330
dosen memiliki kewajiban tidak hanya membentuk kompetensi di bidang penguasaan akademik
maupun teknik, tetapi juga menyangkut kepribadian, sikap dan internalisasi nilai-nilai karakter.
5.2 Saran
1. Hendaknya mahasiswa membiasakan kehidupan berkarakter di lingkungan kampus
seperti mengikuti kegiatan mahasiswa seperti pramuka, olahraga, karya tulis,
kesenian dan lainnya.
2 .Dosen hendaknya menjadi teladan bagi penerapan pendidikan karakter di kampus,
memahami betul dan bisa menerapkan kurikulum tersembunyi yang harus ada di
setiap perkuliahan yang diampunya. Kebiasaan menggunakan model-model
pembelajaran yang mendukung terbinanya karakter yang baik di setiap
perkuliahannya.

DAFTAR PUSTAKA
Agus Wibowo dan Sigit Purnama. 2013. Pendidikan Karakter di Perguruan Tinggi. Yogyakarta:
Pustaka Pelajar.
Baseran Nor. 2013. Pengaruh Multimedia, Gaya Belajar dan Motivasi Belajar Terhadap
Peningkatan Prestasi Belajar Mikro Ekonomi Mahasiswa Pendidikan Ekonomi FKIP
UNLAM 2012/2013. Tesis. Universitas Negeri Sebelas Maret Surakarta.
Daryanto. 2011. Pendidikan Karakter Menurut Ki Hadjar Dewantara. Kurikulum dan Teknologi
Pendidikan FIP UNY. http://staff.uny.ac.id/sites/default/files/131656343/
PENDIDIKAN%20KARAKTER%20MENURUT%20KI%20HAJAR%20DEWANTORO.pdf.
Diunduh tanggal 17 Mei 2014.
Deni Damayanti. 2014. Panduan Implementasi Pendidikan Karakter di Sekolah. Yogyakarta:
Araska.
Siti Fatimah. 2013. “Pengintegrasian Pendidikan Budaya dan Karakter Bangsa dalam
Pembelajaran Ekonomi”. Jurnal Forum Sosial. Vol. VI Nomor 02 September 2013.

Baseran Nor 331


Baseran Nor
332
BENTUK PENDIDIKAN KEAGAMAAN DALAM MASYARAKAT ADAT
(Kearifan Lokal dalam Pewarisan Nilai-Nilai Keagamaan oleh
Kuncendi Kampung Adat Dukuh Desa Cijambe, Kecamatan Garut
Provinsi Jawa Barat)
Beny Wijarnako dan Yulia Tri Samiha
Universitas Siliwangi dan IAIN Raden Fatah

ABSTRACT
Kampung Dukuh is one that still has strong custom rules. Rules of the customs of Kampung
Dukuh much have been influenced by Islamic values which have become customary norms.
Islamic religious values that underlie the customary norms, have been working to organize and
set up the Islamic community as a harmonious social and natural environment, It is a form of
local genius. This local genius is inseparable from the role of customs as Kuncen. The process
of implementing of Islamic values involves kuncen as head of customs and other indigenous
leaders to maintain the existence and credibility in maintaining religious customs and rules that
have been set by their ancestors. Kuncen as the head of Customs is the leading guard in
keeping the custom of making a kuncen to be suriteladan for people in her everyday life. The
learning process of Islamic values in society of Kampung Dukuh is done early in a family
environment through the example indigenous people as well as parents, that is by conditioning,
solializing, and teaching various aspects, such as the simple life, maintenance of community,
environment and livelihoods, which reflect life in Islamic tradition. The learning process of
religious values is connected through the activities of ta’lim which that leader are routinely held
at the place and time specified. This learning activity is carried out by Customs as kuncen
assisted by other indigenous people.
Keywords: Religious education in the indigenous people of kampung Dukuh

I. PENDAHULUAN
Pengetahuan masyarakat adat memiliki keunggulan yang telah teruji ketangguhannya
secara lokalit, keberadaannya dipelihara dan dipertahankan oleh komunitasnya. Hal tersebut
sering disebut local genius yang mempunyai pengertian, pengetahuan dan kemampuan
masyarakat dalam mengatasi tantangan hidup dan memiliki kebenaran sehingga dipertahankan
dan diwariskan kepada generasi berikutnya. Kearifan lokal (local genius) merupakan kecerdasan
manusia yang dimiliki oleh kelompok etnis tertentu yang diperoleh melalui pengalaman

Beny Wijarnako & Yulia Tri Samiha


333
masyarakat. Artinya, kearifan lokal tersebut adalah hasil pengalaman masyarakat tertentu dan
belum tentu dialami oleh masyarakat yang lain. Nilai-nilai tersebut akan melekat sangat kuat
pada masyarakat dan nilai itu sudah melalui perjalanan waktu yang panjang, sepanjang
keberadaan masyarakat tersebut (Rahyono, 2009:7).
Local genius atau kearifan lokal sering dikonsepsikan sebagai kearifan masyarakat
adat (local wisdom) yang sering diartikan juga sebagai kearifan tradisional. Kearifan tersebut
merupakan bentuk pengetahuan, keyakinan, pemahaman, dan kebiasaan sebagai produk
budaya masa lalu yang memiliki keunggulan setempat sehingga melembaga secara tradisional
dan menjadi pedoman hidup masyarakat adat. Pengetahuan masyarakat adat tersebut bersifat
praktis dan pragmatis upaya mengatasi permasalahan dalam keberlangsungan kehidupannya.
Sistem pengetahuan dan teknologi yang terdapat dalam masyarakat adat adalah suatu
pengetahuan yang tumbuh dan berkembang secara lokal, serta merupakan bagian dari
keseluruhan tradisi masyarakat tersebut (Adimihardja, 2008:1-3).
Hal ini tidak lepas dari pedoman hidup yang mendasarinya berupa aturan adat yang
dipatuhi oleh masyarakat komunitasnya. Implementasi kearifan lokal berupa aturan-aturan
adat dipengaruhi oleh berbagai faktor yang berkembang di masyarakat adat. Termasuk
diantaranya adalah dipengaruhi oleh adanya nilai-nilai agama yang diyakini, keberadaan
pemimpin dalam menjaga, melestarikan, dan mengawasi pelaksanaan kearifan tersebut.
Brown dalam Koentjaraningrat (1987: 98) mengemukakan bahwa pada masyarakat
yang tidak mempunyai hukum formal (masyarakat adat), maka terdapat adat dan norma untuk
mengatur kelangsungan hidup dan menjaga ketertiban sosial di dalamnya. Warga masyarakat
mempunyai ketaatan yang otomatis terhadap tradisi pemimpin tersebut (automatic submission
to tradition). Warga masyarakat yang melanggar adat dan norma-norma itu dengan sendirinya
akan mendapat reaksi keras dari masyarakat itu sendiri.
Eksistensi local genius ini, tidak terlepas dari lingkungan alam, karena lingkungan
alam dapat memberikan daya dukung kehidupan dalam berbagai bentuk kemungkinan yang
dapat dipilih manusia untuk menentukan jalan hidupnya. Pengembangan pilihan itu sangat
tergantung pada potensi kebudayaan manusia yang menurut kenyataan sejarah dapat
berkembang secara pesat karena kemampuan akalnya. Dengan kelebihan akal budinya, maka
manusia memiliki mandat kultural, yang berkait dengan pengelolaan, pengaturan, dan
pemeliharaan lingkungan hidup dari kerusakan (Sasastrosupeno, 1984: 8).
Local genius diartikan juga sebagai sebuah sistem nilai masyarakat adat dalam
memperlakukan lingkungan. Sebagai sebuah tradisi, local genius memiliki tata nilai dan norma
sosial yang menjadi pedoman tata kelakuan masyarakat dalam persepsi, memperlakukan dan
memanfaatkan potensi lingkungan alam yang ada. Di dalam local genius ini, secara implisit
terdapat sistem kepercayaan, nilai-nilai, cara serta pola pikir masyarakat dalam interaksinya
dengan lingkungan sekitarnya (Garna,1996: 186).
Dalam pola interaksi antara manusia dengan alam, muncul bentuk interaksi yang
beragam. Namun demikian, fakta sosial menunjukkan bahwa di lingkungan masyarakat adat
pun terdapat sistem sosial yang memberikan panduan dalam memperlakukan alam sekitarnya.
Pada masyarakat adat umumnya sistem sosial yang dilandasi nilai-nilai keagamaan dan
Beny Wijarnako & Yulia Tri Samiha
334
kemudian menjadi aturan adat mengajarkan kepada masyarakatnya untuk menjalankan pola
hidup sederhana yang bersahaja dengan alam. Hal tersebut umumnya tertuang dalam aturan-
aturan adat yang berlangsung sejak lama dengan bentuk lisan maupun tulisan.
Local genius memiliki makna sebagai ide, nilai, sikap, dan pandangan yang bersifat
arif bijaksana, yang dimiliki masyarakat dan terinternalisasi pada setiap anggotanya. Terdapat
keberagaman bentuk kearifan lokal dalam masyarakat adat, yakni dapat berupa: nilai, norma,
etika, kepercayaan, keyakinan agama, adat istiadat, hukum adat, dan aturan-aturan khusus,
yang memiliki fungsi: 1) konservasi dan pelestarian sumber daya alam; 2) pengembangan
sumber daya manusia; 3) pengembangan kebudayaan dan ilmu pengetahuan; 4) petuah,
kepercayaan, sastra, dan pantangan; 5) bermakna sosial; 6) bermakna etika dan moral; dan 7)
bermakna politik (Sirtha: 2003 dalam Hayati; 2011: 13).
Keberadaan pemimpin yang memahami kondisi masyarakat akan mempunyai peran
yang penting dalam mengatasi setiap permasalahan yang muncul akibat situasi perubahan.
Suatu kebijakan pemimpin adat yang berlandas pada adat istiadat dan aturan-aturan yang
berlaku pada masyarakat adat, merupakan salah suatu bentuk local genius yang tujuannya
adalah untuk mengatur serta memanfaatkan potensi alam yang ada disekitarnya dalam menjaga
stabilitas kehidupan masyarakat baik dalam kehidupan ekonomi maupun sosial budaya.
Kepatuhan masyarakat pada pemimpin khususnya masyarakat adat, tidak terlepas
dari keyakinan masyarakat tersebut bahwa pemimpin mereka dipercaya mempunyai kekuatan
supranatural (kekuatan gaib) yang mampu berhubungan dengan alam gaib, keberadaannya
merupakan tokoh yang memegang otoritas dalam kehidupan sosial-religius sehingga pemimpin
adat sering dijadikan anutan dalam komunitas masyarakat tersebut.
Dalam lingkungan masyarakat adat faktor pemimpin merupakan faktor yang cukup
besar pengaruhnya dalam menjaga keharmonisan hubungan antar manusia dengan alam
ataupun hubungan manusia dengan manusia dan hubungan manusia dengan Tuhan-nya
pada masyarakat tersebut. Pimpinan tradisional dipercaya dapat mempertahankan dan
menegakkan norma dan nilai-nilai masyarakat adat yang hampir seluruh aspek kehidupan
masyarakat tersebut terorientasi pada nilai-nilai tradisi yang penuh dengan unsur-unsur
kepercayaan spiritual yang terikat oleh lingkungan alam sekelilingnya.
Lahirnya pemimpin dalam masyarkat adat tidak terlepas dari tradisi yang berlaku
secara turun-temurun. Sebagai pemimpin adat dalam menjalankan tugasnya terikat oleh norma
sosial yang berupa tradisi yang diwariskan dari leluhurnya, sehingga masyarakat adat yang
patuh terhadap kebijakan pemimpinnya cenderung dapat mempertahankan nilai-nilai dan
norma yang berlaku dalam masyarakat tersebut berupa adat istiadat yang berisi perintah,
larangan, upacara, serta organisasi sosial. Kewajiban seorang pimpinan adat bukan hanya
menjaga dan menjalankan aturan yang telah ditetapkan oleh leluhur, pimpinan adat juga
mempunyai kewajiban mewariskan aturan-aturan adat tersebut kepada generasi penerusnya
agar adat-istiadat tetap dapat dipertahankan.
Local genius pada warga kampung Dukuh dapat digambarkan dengan
mengidentifikasi tiga ranah (domain) tempat local genius itu berlaku. Ranah pertama adalah

Beny Wijarnako & Yulia Tri Samiha


335
diri, yaitu hubungan antara manusia dengan manusia; kedua, alam, yaitu hubungan manusia
dengan alam; dan ketiga Tuhan, hubungan manusia dengan Tuhan atau Sang Pencipta.
Dengan demikian manusia dituntut untuk menjaga dan melestarikan lingkungan tersebut,
guna tercapainya keseimbangan. Di kampung Dukuh upaya menjaga keseimbangan lingkungan
alam adalah dengan mematuhi ketentuan adat seperti, tidak memasuki leweung larangan
(hutan larangan), tidak menebang pohon-pohon tertentu, tidak boleh berburu binatang dan
lain-lain. Upaya menjaga keseimbangan sosial seperti, diadakan gotong-royong, tidak boleh
ada alat-alat elektronik atau barang-barang mewah dengan alasan akan menimbulkan
kecemburuan, harus hidup sederhana, dan lain-lain. Upaya warga kampung Dukuh menjaga
hubungan dengan Tuhannya melakukan ibadah baik yang bersifat habluminallah dan
habluminannas. Dengan kata lain manusia adalah bagian dari lingkungannya sendiri, baik
lingkungan alam maupun lingkungan sosial. Bahkan antara manusia dengan lingkungannya
terjalin hubungan timbal balik dan saling mempengaruhi (Bintaro, 1979: 22).
Tantangan hidup dan upaya memperjuangkan kelangsungan kehidupannya (survive),
masyarakat adat telah melahirkan unsur-unsur budaya. Unsur budaya yang memiliki nilai-nilai
kebaikan yang unggul bagi masyarakat setempat dilestarikan melalui pentradisian. Namun
demikian. Perubahan selalu terjadi pada setiap masa sehingga mempunyai dampak bagi
komunitas masyarakat tersebut. Kebudayaan dan masyarakat mengalami transformasi dalam
wujud perubahan sosial budaya yang dipengaruhi oleh faktor interaksi, inovasi, difusi, dan
adopsi, namun demikian perubahan itu, menjadi ancaman bagi lestarinya budaya lokal,
termasuk di dalamnya local genius pada masyarakat adat.

II. RUMUSAN MASALAH


Untuk memperoleh gambaran yang komprehensif tentang local genius dalam
pewarisan nilai-nilai keagamaan Kampung Adat Dukuh. Sehubungan dengan hal itu penulis
tertarik untuk melakukan penelitian mengenai bagaimana bentuk pendidikan dan pewarisan
nilai-nilai agama Islam dalam warga Kampung Adat Dukuh?

III. METODE PENELITIAN


Tempat dan sasaran penelitian ini dilaksanakan di Kampung Dukuh Desa Cijambe,
Kecamatan Cikelet, Kabupaten DT II Garut. Data di lapangan diperoleh melalui observasi-
partisipatif dan wawancara mendalam (in-depth) kepada seluruh informan. Untuk
mendapatkan informasi yang dapat mendukung pemahaman tentang fenomena tradisi
bentuk pendidikan dan pewarisan nilai-nilai agama dalam warga Kampung Adat Dukuh.
Sumber informasi sesuai dengan tujuan penelitian diperoleh dari pemimpin, tokoh dan warga
masyarakat Kampung Dukuh yang mempunyai peran atau pelaku serta memahami
keberadaan Kampung Dukuh.
Penelitian ini yang merupakan penelitian deskriptif naturalistik dengan pendekatan
kualitatif, peneliti akan mencoba untuk menerapkan, memahami serta membuat gambaran
menurut model, teori, dan konsep serta perspektif sosial budaya. Menurut Withney (dalam

Beny Wijarnako & Yulia Tri Samiha


336
Aminudin, 1999: 49), Penelitian deskriptif naturalistik adalah pencarian fakta dengan inspirasi
yang tepat dengan tujuan untuk membuat deskripsi atau lukisan secara sistematik, faktual, dan
akurat mengenai fakta, sifat, serta hubungan antara fenomena yang diselidiki. Rusidi (1992:
19) menegaskan bahwa sebenarnya penelitian deskriptif naturalistik itu tidak bermaksud menarik
kesimpulan, apalagi mengajukan saran-saran; sebab hanya bermaksud dan bertujuan untuk
“menggambar atau memperoleh gambar” fenomena setepat realita. Jika hendak sampai
kepada kesimpulan dan saran, deskripsi itu harus dikembangkan lebih lanjut: misalnya pada
komparasi, diagnostik atau evaluasi. Metode kualitatif menurut Garna (1999: 29),
“indikasinya” tampak dari membiarkan sesuatu masalah itu dipecahkan oleh jawaban yang
berasal dari alam itu sendiri. Pendekatan kualitatif dalam penelitian adalah mencari
kebenaran relatif. Suparlan (1997: 95) mengatakan bahwa pendekatan kualitatif sering juga
dinamakan pendekatan humanistik karena dalam pendekatan ini cara-cara hidup, selera
ataupun ungkapan-ungkapan emosi dan keyakinan dan warga masyarakat yang diteliti, juga
termasuk data yang dikumpulkan
Lofland (dalam Mulyana, 2001: 148) mengemukakan bahwa penelitian kualitatif
ditandai dengan jenis-jenis pertanyaan yang diajukan, yakni: Apakah yang berlangsung disini?
Bagaimana bentuk fenomena ini? Sejalan dengan itu, pertanyaan-pertanyaan penelitian yang
diajukan bukan hanya mencakup apa, siapa, di mana, kapan, bagaimana, tetapi yang penting
adalah pertanyaan mengapa?. Pertanyaan mengapa menuntut jawaban mengenai hakekat
yang ada dalam hubungan antara gejala dan konsep, sedangkan pertanyaan apa, siapa kapan
dan dimana menuntut jawaban identitas, dan pertanyaan bagaimana menuntut jawaban
mengenai prosesnya. Penelitian kualitatif sering dipersamakan dengan pendekatan deskriptif
naturalistik, karena dalam melakukan penelitiannya berdasarkan pada latar alamiah atau pada
konteks dari suatu (entity). Hal ini dilakukan, menurut Lincoln dan Guba (dalam Maleong,
1998:4) adalah karena ontologi menghendaki adanya kenyataan-kenyataan sebagai suatu
keutuhan yang tidak dapat dipahami jika dipisahkan dari kontek.
Chadwick (1988:235) menekankan bahwa penelitian kualitatif ini mengacu pada
strategi (teknik) penelitian observasi partisipasi dan wawancara mendalam (in-depth interview)
yang bertujuan untuk memahami aktivitas yang diselidiki. Teknik observasi-partisipasif adalah
teknik memainkan peranan sebagai peserta dalam suatu kebudayaan. Dasar dari teknik tersebut
adalah apa yang dinamakan “role-pretense”. Jadi observasi atau pengamatan dilakukan oleh
orang yang benar-benar ikut mengambil bagian dalam kegiatan yang dilakukan oleh para
subjek yang diobservasi (Vredenbregt, 1978: 73).
Adapun yang dimaksud dengan wawancara mendalam (in-depth interview) adalah
suatu percakapan yang diarahkan pada suatu masalah tertentu secara mendalam; yang di
dalamnya merupakan proses tanya jawab lisan. Dengan cara-cara itu memungkinkan peneliti
memperoleh informasi dari tangan pertama mengenai masalah sosial empirik yang hendak
dipecahkan. Melalui teknik penelitian ini memungkinkan peneliti mendekati data sehingga
mampu mengembangkan komponen-komponen keterangan yang analitis, konseptual, dan

Beny Wijarnako & Yulia Tri Samiha


337
katagori dari data itu sendiri. Dalam penelitian ini digunakan teknik yang peneliti masuk dengan
melibatkan diri dan membaur ke dalam aktivitas keseharian warga masyarakat melalui observasi
partisipasi dan wawancara. Dengan cara itu dapat diamati secara langsung berbagai fenomena
yang berkait dengan kepemimpinan pada warga Kampung Dukuh.

IV. KERANGKA PIKIRAN


Untuk mendapat gambaran suatu fenomena yang kompleks diperlukan pendekatan
multidimensional. Pendekatan ini menuntut penggunaan berbagai disiplin ilmu sosial terutama
sosiologi, antropologi, ekonomi dan ilmu politik, dalam menganalisis fenomena suatu komunitas
masyarakat diperlukan analisis ilmu-ilmu tersebut, sehingga mempunyai daya penjelas yang
lebih besar untuk mencari kondisi kausal suatu fenomena (Kartodirdjo, 1984: 25).
Kerangka pemikiran penelitian ini lebih ditekankan pada aspek sosial-budaya. Masalah
pokok dalam penelitian ini tentang bentuk pendidikan dan pewarisan nilai-nilai agama dalam
masyarakat kampung Dukuh. Dengan demikian akan dibahas mengenai sistem pendidikan
keagamaan. Pola, model, dan gaya pewarisan nilai-nilai agama Islam.
Eksistensi masyarakat adat tidak terlepas dari keberadaan pimpinan adat, secara umum
ada tiga faktor yang berkaitan dengan kepemimpinan. Pertama, pemimpin cenderung memiliki
keunggulan dalam kemampuan-kemampuan yang membantu kelompok mencapai tujuannya.
Dalam situasi tertentu kecerdasan, merupakan keunggulan individual yang erat kaitannya dengan
kepemimpinan. Dalam situasi lain, kepemimpinan dikaitkan dengan kecakapan politis, kekuatan
fisik atau keahlian yang relevan dengan aktivitas dan tujuan kelompok. Kedua, pemimpin cenderung
memiliki keterampilan untuk menjalin hubungan antar pribadi yang mendukung terbentuknya
interaksi yang berhasil. Pada umumnya sikap koperatif, teratur, pandai bicara, dan kepekaan
dalam hubungan antar pribadi akan merupakan potensi seseorang menjadi pimpinan sosial.
Ketiga, faktor motivasi, bahwa biasanya pemimpin ingin menonjol dan diakui lebih ambisius,
berorientasi pada prestasi dan mau memikul tanggung jawab (Sears, 1985: 123).
Dalam pandangan Weber (dalam Paul, 1986: 227), tipe otoritas tradisional adalah otoritas
yang berlandaskan pada kepercayaan yang mapan terhadap kekudusan tradisi-tradisi zaman
dulu serta legitimasi status mereka yang menggunakan otoritas yang dimilikinya. Jadi, alasan
penting orang taat pada struktur sosial tersebut adalah kepercayaan bahwa otoritas tersebut
sudah ada dan selalu ada. Mereka yang memiliki otoritas tersebut menggunakan otoritas sesuai
dengan norma dan aturan yang berlaku di lingkungan komunitasnya.
Teori kepemimpinan yang digunakan dalam penelitian ini adalah teori kepemimpinan
yang dikemukakan Weber, yang mengelompokan kepemimpinan menjadi tiga, yaitu: 1)
kepemimpinan tradisional; 2) kepemimpinan karismatik; dan 3) kepemimpinan legal rasional.
Kepemimpinan tradisional menurut pandangan Weber, yaitu kepemimpinan yang dilandaskan
pada adanya kepercayaan yang mapan dari nilai-nilai kekudusan yang dimiliki oleh tokoh
pemegang otoritas. Kepemimpinan kharismatik, yaitu otoritas yang didasarkan pada mutu
luarbiasa yang dimiliki oleh pemimpin sebagai pribadinya. Kepemimpinan legal-rasional yaitu
otoritas yang dilandaskan pada komitmen terhadap seperangkat peraturan yang diundangkan
secara resmi dan diatur secara impersonal (Paul, 1986: 229-231).

Beny Wijarnako & Yulia Tri Samiha


338
Munculnya seorang pemimpin sangat diperlukan, misalnya, dalam satu kondisi ketika
tujuan kelompok mengalami ancaman dari luar. Keadaan demikian agak sulit bagi warga
kelompok untuk menentukan langkah-langkah yang harus diambil untuk mengatasi kesulitan-
kesulitan yang dihadapi. Munculnya seorang pemimpin yang memiliki kemampuan menonjol
diharapkan akan menanggulangi segala kesulitan yang ada (Soekanto, 1988: 320).
Kepemimpinan seseorang itu bersifat kompleks. Pada kajian teoritik tertentu,
dikemukakan bahwa sifat atau karakter pemimpin memiliki peran yang signifikan dalam proses
pembentukan karakter kepemimpinan seseorang. Faktor inilah yang kemudian mendukung
pada pengembangan teori kepemimpinan. Keunggulan personal memberikan kualitas dari
kepemimpinannya dalam satu komunitas. Seorang yang mempunyai kedudukan dapat
menunjukan peranan dengan melaksanakan hak dan kewajibannya sesuai dengan tuntutan
yang dikandung dalam peranannya. Oleh karena itu individu yang menempati kedudukan
tertentu akan menimbulkan harapan tertentu bagi orang-orang disekitarnya. Berdasarkan
pemikiran itulah akan dibahas tentang kemunculan kuncen sebagai pimpinan tradisional di
Kampung Dukuh, perkembangan dan peranannya dalam menjalankan tugas-tugasnya,
termasuk diantaranya menanamkan nilai-nilai keagaamaan. Dalam pandangan Weber (dalam
Campbel, 1994: 213) mengenai otoritas tradisional yang dimiliki oleh pemimpin tradisional,
berupa loyalitas dari pengikutnya adalah, otoritas tradisional berupa loyalitas dari pengikutnya,
bentuk loyalitas ini seringkah berakar dalam sebuah kepercayaan terhadap peristiwa-peristiwa
suci dalam sejarah masa lalu. Otoritas tradisional model ini dibandingkan dengan otoritas
kharismatik tampak lebih stabil untuk bertahan dalam tatanan kehidupan masyarakat. Garna
(1993:49) menyebutnya sebagai sebuah bentuk otoritas yang bersifat rutin, karena diorientasikan
untuk mempertahankan garis batas yang terdapat dalam aturan-aturan yang sudah ada. Selain
rutin, kestabilan otoritas tradisional ini dapat juga disebabkan karena adanya nilai yang sudah
terinternalisasi, atau kuatnya proses sosialisasi nilai dari tokoh tradisional dalam menanamkan
nilai-nilai kesucian otoritasnya kepada masyarakat. Lebih lanjut (Weber dalam Garna, 1992:
30) mengatakan bahwa perubahan sosial; dapat dilihat dari sisi perubahan struktur suatu
masyarakat, sedangkan masyarakat terbentuk dan kokoh karena karena adanya legitimasi
kepemimpinan. Pendekatan kualitatif dalam mengungkap pewarisan nilai-nilai keagamaan
dianggap dapat memberikan gambaran yang saling berhubungan institusi dalam masyarakat
ditingkat individu ke kelompok atau organisasi sosial, dasar dari saling keterkaitan antar bagian
dalam masyarakat menurut perspektif deskriptif naturalistik mengisyaratkan bahwa dalam
suatu bagian akan mempunyai implikasi terhadap bagian masyarakat lainnya dan bahkan
masyarakat secara keseluruhan. Analisis pewarisan nilai-nilai agama akan barhubungan secara
kompleks satu dengan yang lainnya.
Kedudukan dan fungsi pemimpin, selain untuk integrasi, menselaraskan elemen
masyarakat (hubungan manusia dengan manusia yang lainnya), juga memiliki peran untuk
mengharmoniskan antara manusia dengan lingkungan alamnya. Bahkan, jika dipandang dari

Beny Wijarnako & Yulia Tri Samiha


339
teori perubahan sosial, elit sosial memiliki peran dalam proses transformasi sosial (Sztompka,
2004:305). Dalam konteks kepemimpinan, kuncen sebagai pemimpin adat memiliki otoritas
strategis dalam menjalankan tugasnya dalam memberikan kesetabilan, mentransformasikan
nilai dalam hubungannya manusia dengan lingkungan sosial budaya dan wewariskan nilai-
nilai adat dan agama pada generasi berikutnya.
V. PEMBAHASAN
Kampung Dukuh merupakan sebuah perkampungan masyarakat adat yang letaknya
di Desa Cijambe, Kecamatan Cikelet, Kabupaten Garut, Provinsi Jawa Barat. Kata dukuh,
berasal dari kata bahasa Sunda dukuh yang mempunyai arti pemukiman yang jauh dari kota
(Kamus Umum Bahasa Sunda, 1992: 115). Hal tersebut berkait dengan sejarah pendiri Kampung
Dukuh yaitu Syekh Abdul Jalil yang mengadakan uzlah (mengasingkan diri dari orang banyak
untuk memusatkan perhatian terhadap ibadah).
Sebagai suatu komunitas masyarakat adat, kampung Dukuh memiliki sistem yang
mengatur segala aspek kehidupan, berwujud dalam bentuk hubungan yang harmonis
masyarakat dengan lingkungan alamnya, hal tersebut tergambar dengan adanya konsep tata
guna lahan. Bentuk hubungan yang harmonis masyarakat dengan lingkungan sosialnya
tergambar dari pola pemukiman, cara warga Kampung Dukuh menghormati tamu dan aturan
adat yang mengajarkan kesederhanaan. Bentuk ketaatan warga Kampung Dukuh dengan
Tuhannya tampak dari infrastructure sarana peribadatan berupa masjid dan perlengkapan
peribadatan lainnya, bentuk ketaatan warga Kampung Dukuh dengan Tuhannya juga tampak
mendominasi perilaku dan aktivitas kehidupan masyarakat yang selalu terorientasi kepada
Tuhannya dengan menjalankan nilai-nilai agama.
Warga Kampung Dukuh masih mempertahankan adat istiadat warisan leluhur mereka.
Berupa kearifan lokal dalam pewarisan nilai-nilai keagamaan kampung adat Dukuh.
Sehubungan dengan hal itu penulis tertarik untuk melakukan penelitian mengenai bentuk
pendidikan keagamaan dalam warga kampung adat Dukuh dengan menggunakan pendekatan
naturalistik. Warga Kampung Dukuh beragama Islam beraliran Suni dengan majhab Syafe’i
serta mengikuti ajaran tasawuf, hal tersebut dapat dirasakan dalam pola hidup keseharian
masyarakat Kampung Dukuh yang sederhana. Namun demikian dalam melaksanakan tata
cara ibadah dan kepemimpinan terdapat unsur-unsur aliran Syiah. Pola hidup keseharian
warga Kampung Dukuh tidak ada yang berusaha mengungguli kehidupan tetangganya, tidak
mengejar kemewahan duniawi, ajaran agama yang menuntut untuk hidup sederhana, hal
tersebut direalisasikan dalam kehidupan sosialnya. Mereka lebih mengarah pada aliran kodariah
yang mengajarkan untuk berserah diri kepada Allah SWT dengan pasrah menerima nasib
hidup apa adanya. Ajaran tasawuf dalam warga Kampung Dukuh lebih menekankan kepada
kesederhanaan dalam kehidupan sehari-hari, tidak mengejar kehidupan duniawi dan tidak
bersifat mewah karena dengan hidup mewahan seseorang dapat menjadi hubbuddunia (cinta
terhadap dunia) yang dianggap sebagai alat perangkap setan untuk menjebak manusia kepada
kesengsaraan akhirat dalam kehidupan kelak.

Beny Wijarnako & Yulia Tri Samiha


340
Setiap warga Kampung Dukuh selalu berusaha mengikuti kegiatan ta’lim atau kegiatan
pengajian yang secara rutin diselenggarakan di tempat dan waktu yang telah ditentukan. Kegiatan
pengajian untuk anak-anak dilaksanakan setelah salat wajib yang diselenggarakan di masjid
atau tempat sesepuh Kampung Dukuh. Kegiatan pengajian untuk warga Kampung Dukuh, laki-
laki dewasa diselenggarakan setelah salat Jum’at bertempat di masjid dan pengajian untuk
perempuan dewasa diselenggarakan pada hari Jum’at pagi bertempat di rumah kuncen. Ta’lim
atau pengajian keagamaan diberikan oleh kuncen, lawang, sesepuh, dan habib Kampung Dukuh
yang memahami serta menguasai Al-Qur’an, hadist dan ilmu keislaman lainnya. Dapat membaca
Al-Qur’an sampai khatam merupakan suatu kewajiban bagi warga kampung Dukuh, hal tersebut
terbukti bahwa khatam merupakan salah satu syarat yang harus terpenuhi apabila akan
melangsungkan pernikahan. Dalam hal ini tidak heran di Kampung Dukuh banyak orang yang
telah hapal Al-Qur’an. Setiap laki-laki warga Kampung Dukuh selalu berusaha untuk melakukan
salat wajib bersama di masjid kecuali salat Dzuhur dan salat Ashar karena banyak diantara mereka
yang masih berada di ladang atau sawah, sehingga salat dilakukan secara munfarid (sendiri).
Mereka menganggap waktu tersebut merupakan waktu ikhtiar (waktu bekerja), namun demikian
pada waktu salat Magrib, Isya dan Subuh mereka melakukan salat secara berjama’ah di masjid
mereka menganggap bahwa waktu tersebut merupakan waktu fadilah yaitu waktu utama untuk
mengerjakan kegiatan keagamaan.
Waktu salat ditandai dengan memukul bedug dan kohkol (kentongan), isyarat tersebut
mempunyai urutan sebagai berikut: 1) kohkol di pukul berturut-turut disusul dengan pukulan
bedug yang menandakan telah datangnya waktu salat kemudian dikumandangkan adzan,
yang memberitahukan bahwa sudah datang waktu salat; 2) setelah adzan dikumandangkan,
kohkol yang kedua dipukul dibunyikan tidak menentu yang disesuaikan dengan panjangnya
waktu salat, salat Subuh dan Magrib mempunyai toleransi waktu sedikit hingga kohkol dibunyikan
+ 15 menit setelah azdan, tetapi dalam menghadapi salat Dzuhur, Asyar dan Isya yang mempunyai
toleransi waktu yang cukup panjang maka kentongan kedua dibunyikan + 30 menit setelah
adzan. Hal ini menandakan agar segera mensucikan diri dan bergegas pergi ke mesjid; 3) + 15
menit kemudian kohkol ketiga dibunyikan yang menandakan bahwa salat wajib akan segera
dimulai; dan 4) + 15 menit juga kohkol ke empat dibunyikan menandakan salat wajib dimulai.
Hari Jum’at merupakan hari yang dikhususkan untuk beribadah, hal ini dirasakan pada hari
Kamis malam atau malam Jum’at kegiatan kerohanian begitu meningkat, seperti ngaderes
(membaca) Al Qur’an sampai larut malam yang diteruskan dengan salat sunat Lail (salat sunat
malam), pada siang harinya ada pelaksanaan ta’lim (pengajian). Begitu juga dalam pelaksanaan
salat Jum’at sebelum adzan dikumandangkan, sesepuh Kampung Dukuh memberikan
wejangan mengenai keislaman dan setelah adzan dikumandangkan khotbah Jum’at dimulai
yang selalu dilakukan oleh kuncen yang dalam pelaksanaannya memakai bahasa Arab. Hal ini
dilakukan karena bahasa Arab dianggap sebagai bahasa yang paling sempurna dan bila
disampaikan dengan bahasa lain dikhawatirkan ada kesalahan dalam penterjemahannya.
Kohkol juga dibunyikan untuk memberitahukan bahwa waktu salat Lail sekitar jam 02.00 dinihari
telah tiba. Kohkol tidak hanya digunakan untuk memberitahu waktu datangnya salat berjama’ah
tetapi digunakan sebagai alat pemberitahuan kepada warga masyarakat adanya kematian,

Beny Wijarnako & Yulia Tri Samiha


341
kebakaran, kegiatan kebersihan, dan kegiatan lainnya. Dalam melaksanakan penandaan waktu
tersebut terdapat petugas yang ditunjuk.
Kedudukan kuncen merupakan jabatan sementara sambil menunggu kedatangan
imam mahdi yaitu ahlul bait yang merupakan keturunan Nabi Muhammad SAW (turut pipitu ti
putra Kiayi Syekh Abdulkosim …) sehingga keberadaan kepemimpinan tersebut telah
dialokasikan dengan bertempat di awisan Arab.
Kepemimpinan kuncen keberadaannya dipandangan sebagai pimpinan “sementara”
yang menunggu pemimpin sebenarnya. Kuncen mendapat amanat untuk menjaga, melindungi
dan menjalankan warisan leluhur. Namun demikian keberadaan kuncen sangat penting bagi
eksistensi masyarakat tersebut begitu pula keberadaannya memiliki nilai yang sakral.
Dalam pandangan Max Weber jenis kepemimpinan semacam ini dapat digolongkan
kedalam kepemipinan tradisional patrimoniasme. Otoritas kepemimpinan ini dipandang
sebagai sebuah bentuk otoritas yang bersifat rutin, karena diorientasikan untuk mempertahankan
garis batas yang terdapat dalam aturan-aturan yang sudah ada. Selain rutin, kestabilan otoritas
tradisional ini dapat juga disebabkan karena adanya nilai yang sudah terinternalisasi, atau
kuatnya proses sosialisasi nilai dari tokoh tradisional dalam menanamkan nilai-nilai kesucian
otoritasnya kepada masyarakat.
Dalam menjalankan roda kepemimpinannya kuncen beserta aparatnya berpedoman
kepada aturan-aturan adat yang berlaku turun temurun, aturan ini merupakan sebuah bentuk
kearifan tradisional yang diartikan sebagai pandangan, sikap dan tindakan-tindakan yang
dilakukan oleh pimpinan dan warga masyarakat tradisional. Masyarakat Kampung Dukuh
merupakan komunitas masyarakat adat yang teguh menjalankan aturan-aturan adat. Aturan-
aturan tersebut berorientasi kepada tujuan yang dikehendaki oleh leluhur yaitu hidup sederhana
guna tercapainya kebahagiaan dunia dan akhirat. Dalam mencapai tujuan tersebut terdapat
aturan-aturan yang telah ditetapkan oleh leluhur yang terdapat dalam ilmu dukuh, juga serta
adat istiadat yang berlaku. Aturan-aturan tersebut mengisyaratkan suatu bentuk “kearifan
tradisional” yang membentuk ketaatan manusia dengan Tuhannya, hubungan harmonis
manusia dengan lingkungan sosialnya, manusia dengan lingkungan alamnya, serta tindakan-
tindakan yang dilakukan dalam menyesuaikan diri dengan perubahan lingkungan, baik
perubahan lingkungan alam maupun perubahan lingkungan sosial.
Hakikat hidup adalah suatu amanat bahwa manusia hidup memiliki ikatan dengan alam
sebagai sumber kehidupannya, sehingga amanat tersebut tetap dipertahankan karena telah
berfungsi mempertahankan eksistensinya dalam lingkungan alam dan lingkungan sosial. Mereka
tidak fatalistik, melainkan menyadari adanya nasib, takdir, dan kekurangan serta keterbatasan,
baik yang dimiliki manusia maupun lingkungan. Hidup sederhana dan damai adalah adanya
keharmonisan dalam lingkungan sosial dan lingkungan alam. Ketaatan melaksanakan amanat
tersebut menunjukkan keteraturan hidup bermasyarakat yang merefleksikan nilai-nilai kearifan
lokal dalam kehidupan yang bersahaja, mengutamakan kedamaian, dan kebersamaan. Gotong
royong dan kebersamaan atau keguyuban merupakan hakikat kehidupan manusia yang saling
membutuhkan satu sama lain. Mereka sangat menyadari keterbatasan dapat diatasi dengan

Beny Wijarnako & Yulia Tri Samiha


342
kebersamaan. Ketaatan terhadap adat istiadat adalah wujud kepedulian terhadap para leluhur
yang telah menciptakannya, mempertahankan kebersamaan, mengutamakan kedamaian antar
warga, dan menghindari konflik internal. Gotong royong dan kebersamaan dalam kegiatan sosial
seperti mendirikan rumah, pelaksanaan upacara dalam berbagai aspek kehidupan menunjukkan
kebersamaan, mentaati tata tertib, dan kesamaan derajat atau status sebagai warga masyarakat
Kampung Dukuh. Pola pemukiman mengikuti garis kontur (ngais pasir), jumlah bangunan tetap
yang diperuntukan bagi rumah warga, masjid, bumi dan rumah kuncen.
Bangunan rumah didirikan secara berundak dengan membuat terasering menggunakan
batu kali tanpa semen, menanam tumbuhan di sekitar lereng untuk menjaga terjadinya longsor.
Pola pemukiman dan rumah dibangun mengikuti tata aturan. Dalam pembangunan pemukiman
selalu diawali dan diakhiri dengan upacara selamatan, sehingga memberikan ketenangan bagi
penghuninya. Warga kampung Dukuh percaya bahwa dari rumah semua datangnya pancaran
rasa, karsa, dan karya. Karena itu segala sesuatu yang berhubungan dengan rumah dianggap
sakral atau suci. Hal ini tercermin dengan jelas di dalam pola pembagian ruangan dalam rumah
dan kesatuannya dengan lingkungan alam (Suhanihardja dan Sariyun, 1991: 45).
Aturan-aturan adat yang menjadi tradisi warga Kampung Dukuh pada dasarnya
merupakan aturan-aturan yang disesuaikan dengan lingkungan alam serta lingkungan sosial
serta arah tujuan yang dicita-citakan oleh pendiri komunitas tersebut yaitu masyarakat yang
sederhana. Untuk melaksanakan aturan-aturan tersebut dibuat sanksi-sanksi atau tabu-tabu.
Salah satu aturan yang melarang masyarakat memasuki sembarangan waktu memasuki tanah
karomah adalah guna menjaga kesakralan tanah tersebut dengan kondisi tersebut masyarakat
tidak berani menebang atau mengganggu ekosistem dalam wilayah tersebut yang didalamnya
terdapat sumber mata air bagi penduduk setempat. Begitu juga kesakralan tetap dijaga karena
tempat tersebut terdapat makom (makam) leluhur warga Kampung Dukuh dimana segala
aktivitas kehidupan yang menjadi tradisi warga kampung ini terorientasi kepada makom tersebut.
Warga masyarakat Kampung Dukuh memiliki pola pikir dan perilaku sebagai hasil penyesuaian
(conformity) dan ketaatan terhadap nilai-nilai kearifan lokal. Kebersamaan warga masyarakat
tidak hanya berdasarkan nilai-nilai kearifan lokal, melainkan dipersatukan oleh kesamaan
leluhur dan kesatuan ruang hidup. Nilai-nilai kearifan lokal pada warga masyarakat Kampung
Dukuh menjadi pedoman hidup yang terwujudkan dalam perilaku warganya terhadap
lingkungan, baik lingkungan sosial budaya maupun lingkungan alam sebagai ekspresi hakikat
manusia sebagai mahluk Tuhan, mahluk sosial, dan mahluk yang merupakan bagian dari
alam semesta. Larangan dalam bidang perekonomian yang harus dipatuhi oleh warga
masyarakat Kampung Dukuh yaitu: tidak boleh menjadi pegawai negeri; tidak boleh menjadi
pedagang; tidak boleh menjual makanan yang sudah dimasak; pada hari Selasa dan Jum’at
tidak boleh bekerja di ladang, tidak boleh memelihara kambing, domba dan anjing; dan tidak
boleh memakan hasil panen sebelum menyerahkan sebagian kecil hasil pertanian mereka
kepada kuncen untuk diberkati.
Pola hidup sederhana dan kebersamaan adalah nilai-nilai agama yang menjadi local
genius yang menunjukkan kearifan sosial. Selain itu, karakter peduli lingkungan tersirat di
dalam nilai-nilai keagamaan, yakni: menghargai keseimbangan, menyadari keterbatasan, dan

Beny Wijarnako & Yulia Tri Samiha


343
melaksanakan kewajiban serta bertanggung jawab untuk memelihara lingkungan alam bagi
kepentingan masa kini dan masa depan. Nilai-nilai kearifan lokal warga masyarakat kampung
Dukuh menunjukkan kecerdasan intelektual, kecerdasan spiritual, kecerdasan emosional,
kecerdasan sosial, dan berkarya, sehingga mereka menunjukkan jati diri yang mandiri. Di
kampung Dukuh dalam setiap periode kepemimpinan kuncen selalu memiliki kebijakan-
kebijakan yang berbeda, sesuai dengan kondisi zamannya yang merupakan sebuah proses
adaptasi dari perubahan-perubahan yang terjadi. Dalam pemerintahan kampung Dukuh terjalin
hubungan yang harmonis antara, kuncen, sesepuh dan lawang. Kuncen sebagai pemimpin
eksekutif selalu meminta nasehat dalam mengambil keputusan kepada sesepuh (dewan
legislatif), begitu pula sesepuh sangat menaruh hormat kepada kuncen meskipun usianya
relatif muda. Keberadaan lawang sebagai pembantu kuncen juga berkedudukan sebagai
sesepuh sehingga terjalin hubungan yang dekat antara mereka. Tugas serta fungsi serta bentuk
yang harmonis pemerintahan di Kampung Dukuh tergambar dalam pola perkampungannya
yang menempatkan posisi sejajar, sesepuh sebagai (dewan penasehat) lebih dekat ke masjid
dan kuncen sebagai pelaksana adat lebih dekat ke makom karomah.
Kedatangan para habib ke Kampung Dukuh diterima dengan tangan terbuka, karena
kedatangannya sudah diramalkan dalam uga. Habib dipercaya sebagai keturunan Nabi
Muhammad SAW, berhubung dengan hal tersebut maka para habib mempunyai strata tertentu
pada masyarakat Kampung Dukuh, sehingga dalam pemerintahan Kampung Dukuh para habib
ditempatkan pada posisi penasehat dalam agama Islam. Proses pewarisan nilai-nilai adat dan
agama dilakukan oleh kuncen sebagai pimpinan adat, para lawang dan sesepuh untuk menjaga
eksistensi dan kredibilitasnya dalam menjaga aturan adat yang telah ditetapkan oleh leluhur.
Kuncen sebagai kepala adat merupakan garda terdepan dalam menjaga adat sehingga seorang
kuncen harus menjadikan dan suri teladan kepada masyarakatnya, baik dalam kegiatan sehari-
hari atau dalam pelaksanaan upacara adat.
Perilaku kuncen dan pengurus adat akan pembentukan watak dan kepribadian warga
masyarakat adat sesuai dengan norma-norma yang berlaku. Proses pendidikan dan pembelajaran.
Pendidikan formal dan adat istiadat merupakan sumber utama pengetahuan bagi masyarakat
Kampung Dukuh. Nilai-nilai keagamaan pada masyarakat Kampung Dukuh, terdiri atas pola
hidup sederhana dan damai, kebersamaan, hidup bersahaja dengan alam, totalitas dalam
menjalankan ibadah yang bersifat habluminallah dan habluminannas adalah hasil pendidikan
yang terintegrasi dan berkelanjutan (continous education). Integrasi pendidikan antara jalur
pendidikan informal, formal, dan nonformal secara berkelanjutan adalah sebagai wujud pendidikan
sepanjang hayat (life-long education). Begitu juga proses belajar nilai-nilai agama dilakukan
sejak dini dalam lingkungan keluarga melalui keteladanan tokoh-tokoh adat yang terdiri dari
kuncen, sesepuh, lawang, habib maupun orang tua, pembiasaan, dan ajakan. Proses belajar
tentang hidup sederhana dan damai, kebersamaan, dan cara bertani terefleksikan dalam cara
dan kebiasaan sebagai refleksi kehidupan masyarakat adat. Cara dan kebiasaan ditaati oleh
seluruh warga di dalam berbagai aspek kehidupan sehingga tidak menimbulkan gejolak sosial
yang dapat menimbulkan disintegrasi sosial. Kebersahajaan bukan tidak mampu atau miskin,
melainkan menunjukkan jati diri tidak sombong dihadapan orang lain. Dengan kata lain, mereka

Beny Wijarnako & Yulia Tri Samiha


344
sudah memahami hakikat nilai hidup dan kehidupan, menyadari adanya keterbatasan dan
kekurangan, sehingga adanya orang lain menjadi penting dalam kehidupannya. Hal ini
menunjukkan pendidikan kemandirian, hidup rukun, bersahaja, dan kerjasama.
Sesungguhnya local genius memiliki nilai-nilai universal yang tercermin dalam
kepribadian dan kemampuan berfikir global (think globally), bertindak lokal (act locally), dan
memiliki komitmen nasional (commit nasionally), sehingga membentuk identitas budaya (Sukadi,
2006: 147; Ayatrohaedi, 1986: 18).
Perubahan-perubahan pada warga masyarakat Kampung Dukuh disebabkan oleh: 1)
pada dasarnya setiap komunitas masyarakat akan mengalami perubahan baik bersifat evolusi
maupun yang bersifat revolusi; 2) hilangnya hak ulayat menyebabkan hilangnya otoritas adat
dalam mengatur lingkungan alam secara adat dan masyarakat kehilangan tanah garapan
sebagai sumber penghidupan; 3) hilangnya kepercayaan dan kesakralan pada aturan-aturan
adat, tabu, serta “makom karomah” sehingga banyak pelangaran yang dilakukan oleh anggota
masyarakat kampung itu sendiri; 4) berubahnya lingkungan alam; 5) bertambah jumlah
penduduk dan mobilitas; 6) interaksi dengan masyarakat luar dengan banyaknya para
pendatang baik yang akan berjiarah maupun untuk penelitian mengakibatkan intensitas interaksi
masyarakat dengan pendatang semakin kerap; 7) pendidikan adat istiadat disampaikan oleh
para orang tua lebih banyak bersifat terapan dalam kehidupan sehari-hari dan jarang yang
bersifat tertulis maupun lisan sehingga aturan-aturan banyak yang hilang karena tidak
tersampaikan; dan 8) berkurangnya kepercayaan warga masyarakat Kampung Dukuh kepada
kuncen sebagai pemimpin adat dan pimpinan agama.
Seseorang yang mempunyai kedudukan, dapat menunjukan peranannya dengan
melaksanakan hak dan kewajiban sesuai tuntutan yang dikandung dalam peranannya. Oleh
karena itu apabila individu menempati kedudukan tertentu, maka akan menimbulkan harapan
bagi orang disekitarnya. Apabila seseorang mempunyai kedudukan, maka ia akan diberi
sejumlah harapan untuk dapat melaksanakan peranannya sesuai dengan kedudukan yang
disandangnya. Peranan bukan hanya dikaitkan dengan posisi dalam suatu kedudukan atau
pekerjaan namun mencakup sikap, perilaku dan tanggung jawab pada masyarakat (Kandel
dalam Linton, 1956: 135).

VI. SIMPULAN
Warga masyarakat Kampung Dukuh merupakan masyarakat yang taat menjalankan
aturan-aturan agama yang telah menjadi ketentuan adat yang berfungsi mengatur dan menata
masyarakat agar dapat hidup harmonis lingkungan alamnya maupun lingkungan sosialnya,
hal tersebut sebagai bentuk local genius. Dalam wujudnya kearifan ini tidak terlepas dari
keberadaan kuncen sebagai pimpinan adat.
Proses pewarisan nilai-nilai agama melibatkan kuncen sebagai pimpinan adat, para
lawang, sesepuh maupun habib untuk menjaga eksistensi dan kredibilitasnya dalam menjaga
aturan adat yang telah ditetapkan oleh leluhur. Kuncen sebagai kepala adat merupakan garda

Beny Wijarnako & Yulia Tri Samiha


345
terdepan dalam menjaga adat sehingga seorang kuncen harus menjadi suri teladan kepada
masyarakatnya, baik dalam kegiatan sehari-hari atau dalam pelaksanaan upacara adat.
Proses belajar nilai-nilai agama dilakukan sejak dini dalam lingkungan keluarga melalui
keteladan tokoh-tokoh adat maupun orang tua, pembiasaan, dan ajakan. Proses belajar
tentang hidup sederhana dan damai, kebersamaan, dan cara bertani terefleksikan dalam
cara dan kebiasaan sebagai refleksi kehidupan masyarakat adat.
Proses belajar nilai-nilai agama juga melalui kegiatan ta’lim atau kegiatan pengajian
yang secara rutin diselenggarakan di tempat dan waktu yang telah ditentukan. Ta’lim atau
pengajian keagamaan diberikan oleh kuncen, lawang, sesepuh, dan habib Kampung Dukuh
yang memahami serta menguasai Al Qur’an, hadist dan ilmu keislaman lainnya, sehingga
dapat membaca Al Qur’an sampai khatam (tamat) merupakan suatu kewajiban bagi warga
kampung Dukuh,

DAFTAR PUSTAKA
Bintaro, R. 1979. Metode Analisa Geografi. Jakarta: LP3ES.
Campbel, Tom. 1994. Tujuh Teori Sosial. Skesta Penilaian dan Perbandingan. Jakarta: Gramedia.
Chadwick, Bruce. 1988. Social Science Research Method. (terjemahan) Bandung: Sumur.
Garna, Judistira K. 1999. Metode Pendekatan Kualitatif. Bandung: Primaco Akademika.
————————. 1996. Ilmu-Ilmu Sosial Dasar Konsep-konsep Posisi. Bandung: Program
Pascasarjana UNPAD.
————————. 1993. Tradisi Tranformasi Modernisasi dan Tantangan Masa Depan di
Nusantara. Bandung: Program Pascasarjana UNPAD.
————————. 1992. Teori-Teori Perubahan Sosial. Bandung: Program Pascasarjana UNPAD.
Kamus Umum Bahasa Sunda. 1992.
Kartodirdjo, Sartono. 1984. Pemimpin dalam Dimensi Sosial. Jakarta: LP3ES.
Koentjaraningrat. 1987. Metode-Metode Penelitian Masyarakat. Jakarta: Gramedia.
Maleong, Lexy. 1998. Metode Penelitian Kualitatif. Bandung: Remaja Rosdakarya.
Mulyana, Dedi. 2001. Metode Penelitian Kualitatif (Paradigma Baru Ilmu Komunikasi dan Ilmu
Sosial lainnya. Bandung: Rosdakarya.
Paul, Doyle Johnson. 1986. Teori Sosiologi: Klasik dan Modern. Diterjemahkan oleh Robert
M.Z Lawang. Jakarta: Gramedia.
Rahyono, 2009. Kearifan Budaya dalam Kata. Jakarta: Wedatama Widyasastra.
Rusidi. 1992. Dasar-Dasar Penelitian dalam Rangka Pengembangan Ilmu. Bandung: Program
Pascasarjana UNPAD.
Sasastrosupeno, Suprihadi. 1984. Manusia Alam dan Lingkungan. Jakarta: Departemen
Pendidikan dan Kebudayaan.
Sear, O David. 1985. Psikologi Sosial. Jakarta: Erlangga.
Soekanto, Soemardjono. 1988. Teori-teori Sosial tentang Perubahan Sosial. Jakarta: Galia
Indonesia. Beny Wijarnako & Yulia Tri Samiha
346
NILAI-NILAI KETELADANAN
SULTAN BABULLAH DALAM BERJUANG MENGUSIR PORTUGIS
DI KAWASAN MALUKU UTARA
Darmawijaya dan Jainul Yusup
Universitas Khairun

ABSTRAK
Sultan Babullah adalah putra Sultan Khairun yang berhasil mengusir bangsa Portugis dari
kawasan Moloku Kie Raha. Bangsa Portugis terusir dari kawasan Moloku Kie Raha karena
mereka telah membunuh Sultan Khairun secara licik pada tanggal 28 Pebruari 1570 di Benteng
Gamlamo Ternate. Tulisan ini bertujuan untuk mengungkapkan nilai-nilai keteladanan yang
dimiliki oleh Sultan Babullah dalam berjuang mengusir bangsa Portugis dari kawasan Maluku
Utara. Dengan menggunakan metode sejarah ditemukan fakta-fakta tentang nilai-nilai
keteladanan Sultan Babullah dalam berjuang mengusir bangsa Portugis dari kawasan Maluku
Utara. Dalam berjuang mengusir bangsa Portugis dari kawasan Maluku Utara, Sultan Babullah
mampu berpegang pada prinsip-prinsip kemanusiaan, tanpa mengedepankan prinsip-prinsip
balas dendam dan api permusuhan sehingga cara berjuang Sultan Babullah ini menjadi layak
untuk diteladani dalam membina kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.

I. PENDAHULUAN
Sebelum Portugis datang, Ternate merupakan sebuah Kesultanan Islam yang hidup
dari hasil perdagangan rempah-rempah. Pada awalnya, Ternate merupakan kerajaan tradisional
yang disebut dengan Kolano. Kolano Ternate yang pertama kali menerima seruan Islam adalah
Kolano Marhum, yang memerintah pada tahun 1465-1486. Kolano Marhum masuk Islam setelah
mendapat seruan dakwah dari pedagang asal Minangkabau yang juga murid Sunan Giri, yaitu
Datu Maulana Husein, yang datang di Ternate pada tahun 1465.3
Murid Sunan Giri ini adalah seorang muballigh besar pada masanya. Ia memiliki
pengetahuan Islam yang luas dan dalam, ahli dalam membaca ayat-ayat Al Quran dan mahir
dalam membuat kaligrafi Arab. Pada waktu senggang, terutama di malam hari, ia membaca Al
Quran dengan suara yang merdu sehingga menjadi daya tarik bagi penduduk setempat. Ia
juga lihai dalam membuat kaligrafi di atas potongan-potongan papan. Keahliannya dalam hal
agama, membaca ayat-ayat Al Quran dan keindahan dari kaligrafinya menjadi sarana
penyebaran syiar-syiar Islam di kawasan Ternate dan sekitarnya.4

Darmawijaya dan Jainul Yusup


347
Setelah Kolano Marhum wafat pada tahun 1486, ia digantikan oleh anaknya yang
bernama Sultan Zainal Abidin, yang memerintah pada tahun 1486-1500. Sultan Zainal Abidin
adalah murid dari Datu Maulana Husein. Sejak kecil Sultan Zainal Abidin telah dididik dengan
nilai-nilai Islam oleh Datu Maulana Husein. Setelah menjadi Sultan, ia sangat memperhatikan
pengembangan ajaran Islam di Kesultanan Ternate, sehingga nilai-nilai Islam sangat
berpengaruh bagi sultan-sultan Ternate yang berkuasa sesudahnya, yang salah satunya adalah
Sultan Babullah, yang memerintah pada tahun 1570-1583.

II. LATAR BELAKANG PERJUANGAN SULTAN BABULLAH


Perjuangan Sultan Babullah dalam mengusir Portugis dari kawasan Maluku Utara
bukanlah suatu hal yang terjadi secara tiba-tiba, akan tetapi perjuangannya memiliki latar
belakang yang kuat dan sangat berkaitan erat dengan nilai-nilai kemanusiaan. Portugis selaku
kaum kolonial dan dibarengi oleh semangat Perang Salib telah banyak melakukan pelanggaran
atas nilai-nilai kemanusiaan. Dibunuhnya Sultan Khairun secara licik oleh Portugis, merupakan
salah satu catatan dosa Portugis yang tak akan pernah terhapus dalam sejarah masyarakat
Maluku Utara.
Sultan Khairun yang dibunuh secara licik oleh Portugis di dalam benteng Nostra
Senhora De Rosario (Benteng Gamlamo) Ternate. Lopes de Masquita, Gubernur Portugis di
Ternate adalah orang yang paling bertanggungjawab atas kematian Sultan Khairun. Pada
tanggal 26 Pebruari 1570, Lopes de Masquita pura-pura mengundang Sultan Khairun untuk
berunding di benteng Gamlamo. Ide perundingan itu diterima baik oleh Sultan Khairun, karena
ia memang menginginkan perbaikan atas konflik antara Ternate dan Portugis selama ini.
Perundingan itu berjalan dengan lancar dan isi perundingan itu ditandatangani pada tanggal
27 Pebruari 1570 oleh Sultan Khairun dan Lopes de Masquita. Mereka sama-sama sepakat
untuk membangun kerjasama yang lebih baik demi kebaikan kedua belah pihak. Dalam rangka
menghilangkan keragu-raguan Sultan Khairun, perundingan itu ditandatangani melalui sumpah
sakral dengan menggunakan kitab suci masing-masing. Sultan Khairun disumpah dengan Al
Quran dan Lopes de Masquita disumpah dengan Kitab Injil. Kali ini, Sultan Khairun sudah
yakin dengan maksud baik Lopes de Masquita, karena Lopes de Masquita telah bersumpah
melalui Kitab Injil sebagai kitab sucinya.5
Setelah berhasil meyakinkan Sultan Khairun akan maksud baiknya, maka Lopes de
Masquita dengan berpura-pura mengundang Sultan Khairun untuk dapat menghadiri jamuan
makan malam pada tanggal 28 Pebruari 1570 di Benteng Gamlamo.6 Bagi Sultan Khairun,
undangan ini adalah undangan istimewa, ia yakin bahwa Lopes de Masquita memang betul-
betul ingin hidup berdampingan secara baik-baik. Undangan itu dipenuhi oleh Sultan Khairun.7
Sesuai rencana, Sultan Khairun, para bobato dan pengawalnya telah datang di Benteng
Gamlamo. Begitu sampai di lantai dua, mereka dicegat oleh para pengawal Portugis. Para
pengawal mengatakan bahwa yang boleh masuk hanyalah Sultan Khairun saja, karena yang
akan dimasuki ini adalah kamar pribadi Gubernur. Pengawal Portugis meminta para bobato

Darmawijaya dan Jainul Yusup


348
dan para pengawal untuk kembali ke istana dan akan diberitahu bila jamuan makam malam
telah berakhir.8
Rombongan Sultan Khairun nampaknya yakin dengan penjelasan para pengawal
Portugis tersebut. Sultan Khairun segera melangkah masuk, lalu pintu ditutup. Kemudian Sultan
Khairun melangkah terus menuju ruang audiensi Gubernur. Dalam keadaan berjalan menuju
ruang audiensi Gubernur, seorang tentara Portugis dengan pangkat sersan, yang bernama
Antonio Pimental, keponakan Lopes de Masquita sendiri, mendatangi Sultan Khairun yang
berjalan seorang diri tersebut dan kemudian menikam Sultan Khairun berkali-kali dengan
sebilah keris. Jiwanya tidak tertolong lagi, Beliau menemui kesyahidannya di dalam benteng
Gamlamo. Menurut sumber tradisional, setelah Sultan Khairun menemui syahidnya di jalan
yang lurus, mayat dicincang-cincang, kemudian digantung oleh orang Portugis untuk
dipertontonkan kepada khalayak ramai, digarami dan setelah itu dilemparkan ke tengah laut
oleh orang Portugis dengan menggunakan kapal.9
Sikap yang tidak berprikemanusiaan yang dipertontonkan oleh Portugis inilah yang
memantik Sultan Babullah selaku anak dari Sultan Khairun untuk berjuang menegakkan
keadilan di kawasan Maluku Utara. Dengan tegaknya keadilan, maka perilaku-perilaku kolonial
itu bisa dikubur. Apabila perilaku-perilaku kolonial itu bisa dikubur dalam-dalam, maka dalam
diri manusia akan lahir perilaku-perilaku yang manusiawi sebagai simbol dari manusia yang
beradab.

III. RIWAYAT PERJUANGAN SULTAN BABULLAH


Sultan Babullah adalah Sultan Ternate yang paling termasyhur. Ia adalah seorang
pejuang yang berani lagi bijaksana. Sebagai seorang pejuang ia mampu menegakkan keadilan
di kawasan Maluku Utara. Ia adalah anak tertua dari Sultan Khairun dari permaisurinya Boki
Tanjung, puteri tertua dari Sultan Alauddin I, Sultan Bacan. Dalam rangka mendidik Sultan
Babullah, Sultan Khairun pernah berencana mengirimkan Sultan Babullah untuk menempuh
pendidikan di Goa, India, namun dibatalkannya. Sultan Khairun memutuskan untuk mendidik
Sultan Babullah sendiri di rumah secara privat. Kemampuan Sultan Babullah sebagai seorang
pemimpin sudah terlihat sejak masih muda. Ia adalah seorang anak sultan yang pemberani
yang berjiwa prajurit. Atas kemampuannya itu, walaupun masih sangat muda, Sultan Babullah
telah diberi amanah menjadi Kapita Laut oleh ayahnya, Sultan Khairun. Padahal berdasarkan
struktur birokrasi kesultanan, jabatan Kapita Laut adalah jabatan tertinggi dari segi kemiliteran.
Jabatannya sebagai seorang Kapita Laut telah memberikan ilmu dan pengalaman yang sangat
berguna di kemudian hari, karena dengan jabatan itu, Sultan Babullah sudah terbiasa dalam
mengatur sebuah strategi penaklukan musuh. Inilah yang kemudian yang menjadi faktor
penentu mengapa nantinya Sultan Babullah berhasil berjuang mengusir Portugis dari kawasan
Maluku Utara.10
Sultan Babullah dilantik menjadi Sultan Ternate ke-8 pada tanggal 28 Pebruari 1570
untuk menggantikan ayahnya, Sultan Khairun, yang telah dibunuh secara licik oleh Portugis.
Dalam upacara pelantikan, Sultan Babullah menyentakkan pedang pusaka ayahnya seraya

Darmawijaya dan Jainul Yusup


349
bersumpah akan menegakkan keadilan dengan menuntut pertanggungjawaban Portugis atas
kematian ayahnya dan bertekad akan mengusir Portugis dari wilayah kawasan Maluku Utara.
Sultan Babullah meminta agar Portugis segera menyerahkan Lopes de Masquita, pembunuh
Sultan Khairun untuk diadili di Ternate. Jika tuntutan itu dipenuhi, maka Portugis dipersilahkan
kembali membuka hubungan dagang dengan Kesultanan Ternate. Pihak Portugis tidak
memenuhi permintaan Sultan Babullah, karena seorang Gubernur Portugis tidak bisa dihukum
atas perbuatan yang ia lakukan selama menjalankan jabatannya. Nampaknya, Gubernur Portugis
diberikan kebebasan untuk melakukan apa saja di wilayah ia ditugaskan demi menyukseskan
misi Portugis sebagai bangsa kolonial. Portugis memang tidak berniat untuk memenuhi
permintaan Babullah. Lopes de Masquita justru secara diam-diam diamankan ke Ambon
untuk dibawa ke Malaka.11
Melihat tidak adanya kerjasama dan ‘niat’ baik dari pihak Portugis untuk menyelesaikan
masalah kematian ayahnya, maka Sultan Babullah selaku Khairun Muda dengan dukungan
penuh dari rakyat Ternate yang telah lama hidup dibawah tekanan dan kesombongan orang
Portugis segera bersatu dibawah satu panji, yaitu berjuang bersama-sama guna mengusir
Portugis untuk keluar dari seluruh wilayah Maluku Utara. Perjuangan itu dilakukannya selama
lima tahun, yang dimulai sejak tahun 1570 hingga tahun 1575. Pada tahun 1575, Sultan Babullah
berhasil mengeluarkan orang-orang Portugis dari kawasan Maluku Utara. Dalam proses
perjuangan menegakkan keadilan inilah terdapat nilai-nilai kemanusiaan yang dimiliki oleh
Sultan Babullah selaku pemimpin yang perlu diungkapkan agar bisa dijadikan keteladanan
dalam menyelesaikan sebuah konflik dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan
bernegara. Dalam menyelesaikan konflik, Sultan Babullah mampu mengubur unsur-unsur
balas dendam dan api permusuhan dan berhasil mengedepankan nilai-nilai kemanusiaan,
sehingga konflik dapat terselesaikan dengan cara yang lebih manusiawi.

IV. NILAI-NILAI KETELADANAN DALAM PERJUANGAN SULTAN BABULLAH


Nilai-nilai keteladanan yang bisa dipetik dari perjuangan Sultan Babullah adalah
kemampuannya menjaga nilai-nilai kemanusiaan dalam perjuangannya meminta
pertanggungjawaban Portugis atas kematian ayahnya, Sultan Khairun. Nilai-nilai kemanusiaan
yang dikedepankan oleh Sultan Babullah dalam perjuangannya itu sangat sejalan dengan nilai
hak asasi manusia, yang mana nilai ini baru mulai ramai dibicarakan orang belakangan ini.
Berpegangnya Sultan Babullah pada nilai-nilai kemanusiaan dalam perjuangannya tentu tidak
dapat dilepaskan dari nilai-nilai ajaran Islam yang dianutnya sebagai seorang Sultan, karena
ajaran Islam adalah ajaran moral yang universal sangat membenci tindakan-tindakan yang
tidak berprikemanusiaan, walaupun terhadap musuh sekalipun. Islam adalah ajaran yang
menjadi rahmat bagi seluruh alam sebagaimana yang telah dicontohkan oleh Rasulullah
Shalallahu ’alaihi Wasallam.
Nilai-nilai kemanusiaan yang dipegang oleh Sultan Babullah dalam perjuangannya
menuntut keadilan pada Portugis yang telah membunuh ayahnya secara licik dapat dilihat dari
fakta-fakta perjuangannya. Pada awalnya, Sultan Babullah hanya meminta Gubernur Portugis

Darmawijaya dan Jainul Yusup


350
Lopes de Masquita dihukum secara adil, karena Lopes de Masquita telah membunuh ayahnya,
Sultan Khairun dengan cara yang sangat tidak manusiawi. Setelah tuntutan Sultan Babullah
tidak terkabul, maka Sultan Babullah meningkatkan perjuangannya untuk menuntut keadilan.
Perjuangan menuntut keadilan dilakukan oleh Sultan Babullah dengan melakukan
pengepungan terhadap Gamlamo, benteng Portugis di Ternate. Pengepungan ini dilakukan
selama lima tahun, yang dimulai sejak tahun 1570 hingga 1575. Secara kekuatan personil,
benteng Gamlamo hanya diperkuat oleh 400 serdadu Portugis dan di dalam benteng terdapat
sekitar 900 orang Portugis, misionaris dan beberapa orang Kristen Pribumi. Sementara itu,
Sultan Babullah sendiri memiliki 10.000 orang prajurit yang terdiri dari orang Jailolo, Gamkora,
Galela, Moti, Hiri, dan Makian.12
Dalam konteks ini, jika Sultan Babullah lebih mengedepankan teori balas dendam
dan api permusuhan, maka Sultan Babullah tidak perlu bersusah payah melakukan
pengepungan terhadap benteng Portugis selama 5 tahun agar Portugis mau menyerah secara
baik-baik dan demi menegakan keadilan atas kematian ayahnya, Sultan Khairun. Dengan
10.000 prajurit, Sultan Babullah akan mampu mengalahkan prajurit Portugis yang hanya terdiri
dari 400 orang. Setelah berhasil mengalahkan prajurit Portugis, tentu Sultan Babullah bisa
melakukan apa saja terhadap 900 orang Portugis yang ada di dalam benteng Gamlamo.
Namun, nilai-nilai Islam tidak mengajarkan seperti itu. Nilai-nilai Islam mengajarkan kepada
Sultan Babullah untuk berjuang secara profesional dengan mengedepankan nilai-nilai
kemanusiaan. Walaupun Sultan Babullah memiliki peluang untuk melakukan penyerbuan
secara militer (baca: dengan kekerasan), namun Sultan Babullah, bukanlah seorang Sultan
yang haus darah sebagaimana yang dipertontonkan oleh orang-orang Portugis. Nilai-nilai Islam
telah menginspirasi Sultan Babullah untuk berjuang secara kemanusiaan. Sebagai salah satu
bentuk rasa kemanusiaannya, Sultan Babullah tidak membiarkan orang-orang Portugis, para
misionaris dan orang-orang Kristen Pribumi yang ada di dalam benteng hidup dalam kelaparan.
Sultan Babullah berusaha memberikan bantuan makanan berupa beras, sagu, jagung, sayuran,
ikan, dan daging. Suplai bahan makanan ini didatangkan dari Moro, Tidore, Bacan dan Ternate
sendiri. Pada awal-awal pengepungan, Sultan Babullah tetap memberikan kesempatan kepada
orang-orang Kristen Pribumi untuk keluar pada siang hari untuk menambah bahan makanan
dan harus kembali pada sore harinya. Pada tahun kedua, waktu meninggalkan benteng mulai
dipersingkat dari 10 jam menjadi enam jam, pada tahun ketiga dipersingkat menjadi empat
jam, dan pada tahun keempat dipersingkat menjadi dua jam sehari. Pada tahun 1575, ijin
keluar dari benteng diberhentikan sama sekali, dengan harapan orang-orang Portugis mau
menyerahkan diri secara baik-baik, karena Sultan Babullah sendiri tidak ingin melakukan
penyerbuan. Sultan Babullah lebih mengedepan rasa kemanusiaan agar kesadaran untuk
menyerah itu lahir dari kalangan orang-orang Portugis sendiri.13
Sultan Babullah nanti terpaksa mengambil tindakan tegas dengan memberikan
ultimatum kepada orang-orang Portugis yang di dalam Benteng Gamlamo pada minggu
ketiga bulan Desember 1575, karena pada waktu itu, Sultan Babullah mendapat laporan bahwa
di sekitar Pulau Batang Dua ada tiga kapal Portugis yang sudah siap memasuki wilayah perairan
Ternate. Sultan Babullah mengira bahwa ketiga kapal Portugis itu datang adalah dalam rangka

Darmawijaya dan Jainul Yusup


351
membebaskan Benteng Gamlamo. Sultan Babullah mengutus pamannya, Kaicil Tolo, untuk
menemui Nuno Pareira de Lacerda, Gubernur Portugis yang ada di dalam benteng Gamlamo.
Lacerda sendiri berada dalam keadaan sakit dan kurus kering, karena kekurangan makanan.
Melalui pamannya, Sultan Babullah menyampaikan tiga pesan kepada Lacerda selaku pimpinan
Portugis di Ternate. Tiga pesan itu adalah sebagai berikut:
1. Penghuni benteng supaya menyerah tanpa syarat dalam waktu 24 jam, terhitung mulai
jam 12.00 siang nanti.
2. Semua penghuni benteng akan dideportasi ke Ambon dan Malaka, setelah terjadi
penyerahan.
3. Apabila tidak mau menyerah, pada pukul 06.00 besok pagi pasukan Babullah sebanyak
10.000 orang akan menyerbu.14
Jika diperhatikan secara seksama, apa yang dipesankan oleh Sultan Babullah sarat
dengan nilai-nilai kemanusiaan dan tentu nilai-nilai kemanusiaan yang dimiliki oleh Sultan
Babullah ini tidak lepas dari nilai-nilai kemanusiaan yang didasari oleh ajaran Islam sebagai
keyakinannya. Jika dipikir secara logis, sebenarnya, Sultan Babullah bisa melakukan apa saja
terhadap orang-orang Portugis yang ada di dalam benteng Gamlamo, karena mereka pada
saat itu sedang berada dalam keadaan lemah tak berdaya, yang tidak bisa melakukan
perlawanan terhadap pasukan Babullah yang jumlahnya sekitar kurang lebih 10.000 orang.
Bahkan Babullah, jika ia mau, maka ia pun bisa melakukan hal yang lebih kejam lagi, seperti
yang dilakukan oleh Lopes de Masquita terhadap ayahnya, Sultan Khairun. Sekali lagi, Islam
sebagai agama Sultan Babullah tidak mengajarkan teori balas dendam, apalagi ingin
memperlakukan manusia seperti binatang, sebagaimana yang dilakukan oleh Lopes de
Masquita. Dengan nilai-nilai Islami, Sultan Babullah tetap bisa memperlakukan musuhnya
secara manusiawi. Dari semula, sudah terlihat keinginan baik dari Sultan Babullah untuk
menyelesaikan masalah kematian ayahnya secara baik-baik, tapi Portugis Sang Kolonial
Imperialis yang berhati srigala memang tidak mengindahkan hal itu. Walaupun demikian,
Sultan Babullah dengan kearifan dan kecerdasannya mencoba melakukan penyadaran secara
halus, yaitu dengan melakukan pengepungan serta pemberian sangsi secara bertahap demi
menggugah kesadaran orang-orang Portugis untuk melihat masalah ini secara humanis.
Namun sekali lagi, orang-orang Portugis juga belum menyadarinya. Setelah melihat ada gelagat
yang kurang baik, karena adanya tiga kapal Portugis yang akan merapat ke Ternate, maka
barulah Sultan Babullah membuat perhitungan tegas. Sultan Babullah memberikan altenatif
yang baik, menyerah secara baik-baik atau ditundukkan dengan “jalan pedang”.
Setelah mendapat ultimatum dari Sultan Babullah, maka Lacerda tidak memiliki pilihan
lain, kecuali menyerah secara baik-baik kepada Sultan Babullah, karena memang itulah pilihan
yang terbaik, karena Sultan Babullah dengan kearifan dan kebijaksanaannya telah memberikan
solusi yang lebih manusiawi bagi orang-orang Portugis yang masih ada di dalam benteng
Gamlamo.
Pada tanggal 26 Desember 1575, tepat pada pukul 09.00 pagi, bertepatan dengan
Saints Stephen’s Day (Hari Suci Santo Stefanus), Lacerda selaku Gubernur Portugis berjalan

Darmawijaya dan Jainul Yusup


352
keluar dari benteng Gamlamo dalam keadaan tertatih-tatih, karena sedang sakit, serta diikuti
oleh penghuni benteng yang lainnya yang juga sementara mengalami nasib yang sama. Mereka
yang tersisa sekitar 400 orang. Sesuai kesepakatan, maka Gubernur Lacerda dan Sultan
Babullah melakukan tanda terima penyerahan. Setelah proses penyerahan, Sultan Babullah
mengumumkan dua kibijakan yang sangat arif dan manusiawi sekali. Dua kebijakan itu adalah:
1. Benteng Gamlamo diakui tetap menjadi milik Kerajaan Portugis dan Lacerda diminta
meninggalkan satu regu pasukannya di dalam benteng untuk menjaganya.
2. Orang-orang Portugis yang beristrikan pribumi Ternate atau Maluku lainnya, boleh
tetap tinggal di Ternate.15
Keesokan harinya, 28 Desember 1575, ketiga kapal Portugis yang diperkirakan
membawa pasukan itu berlabuh di Ternate. Ternyata tiga kapal itu tidak membawa pasukan
seperti yang diduga sebelumnya. Kapal itu hanyalah membawa para pedagang Portugis yang
hendak membeli cengkeh. Lagi-lagi Sultan Babullah memperlihatkan kearifannya. Seharusnya,
kalau logika balas dendam yang dipakai, maka semua orang Portugis yang tersisa dan para
pedagang Portugis yang ada dalam tiga kapal itu harus dihabiskan (baca: dibunuh) secara
kejam oleh Sultan Babullah, karena ingin memuaskan dan membalas rasa sakit hatinya atas
ulah gubernur Portugis yang tidak manusiawi selama diberi kebebasan untuk bermukim di
wilayah Ternate. Sultan Babullah justru menyambut kedatangan tiga kapal itu dengan baik dan
melayani keperluannnya, yaitu mengisi kapal mereka dengan cengkeh. Setelah selesai
melakukan transaksi dagang dan kapal sudah penuh dengan cengkeh, maka kapal itu juga
digunakan untuk membawa orang-orang Portugis yang tersisa untuk berlayar menuju Ambon
dalam keadaan aman dan damai, tanpa ada gangguan dari orang-orang Ternate. Tiga kapal
Portugis itu berlayar menuju Ambon pada pukul 18.00 dengan membawa cengkeh dan sekitar
400 orang Portugis.16

V. SIMPULAN
Demikian kisah yang merupakan serpihan fakta sejarah akan kearifan Sultan Babullah,
seorang pemimpin yang layak untuk ditiru dan diteladani dalam menyelesaikan sebuah konflik.
Selaku penguasa Islam, Sultan Babullah telah mampu memperlihatkan karakter yang sangat
arif terhadapnya musuh-musuhnya. Sultan Babullah tidak membenci orang Portugis, tetapi
yang dibenci oleh Sultan Babullah adalah jiwa-jiwa kolonial yang bersarang dalam dada-dada
orang Portugis. Kearifan Sultan Babullah telah membuatnya mampu berpegang pada nilai-
nilai kemanusiaan dalam menyikapi perilaku-perilaku kolonial yang dimainkan oleh orang
Portugis di Ternate. Hal itu bisa dilihat pada sikapnya untuk menahan diri dari sikap haus darah
atas orang-orang Portugis yang dikepungnya selama lima tahun di dalam Benteng Gamlamo.
Sultan Babullah berusaha sabar menunggu kesadaran dari pihak Portugis sebelum ia
mengambil tindakan tegas. Setelah orang-orang Portugis menyerah, maka Sultan Babullah
pun mampu memperlakukan mereka dengan cara-cara yang lebih manusiawi. Karakter
kemanusiaan Sultan Babullah bisa dilihat lagi ketika ia mampu memberikan pelayanan yang
baik pada tiga kapal Portugis datang pada 1575, karena tiga kapal itu datang dengan tujuan

Darmawijaya dan Jainul Yusup


353
berdagang, bukan dengan tujuan permusuhan. Sultan Babullah pun melayaninya dengan baik
dan memberikan segala kebutuhan yang diperlukan oleh para pedagang Portugis yang ada di
dalam kapal tersebut.
Sebagai penutup pada simpulan ini, kami haturkan sebuah pesan, semoga kearifan
dan karakter mulia Sultan Babullah ini bisa menginspirasi anak bangsa untuk bisa berpegang
teguh pada nilai-nilai kemanusiaan dalam membangun kehidupan bermasyarakat, berbangsa,
dan bernegara, sehingga kehidupan umat manusia di atas muka bumi ini bisa maju dalam
bingkai nilai-nilai kemanusiaan, yang jauh dari api permusuhan dan balas dendam, karena
karakter buruk tersebut tidak akan pernah menyelesaikan masalah, justru api permusuhan dan
balas dendam itu hanya akan melahirkan konflik yang tak berkesudahan, yang pada ujungnya
hanya akan merugikan diri kita sendiri.

DAFTAR PUSTAKA
Darmawijaya. 2010. Kesultanan Islam Nusantara. Jakarta: Pustaka Al Kautsar.
Darmawijaya dan Jainul Yusup. 2013. Sultan-Sultan Legendaris Dalam Sejarah Maluku Utara,
Ternate: Laporan Penelitian LPPM Unkhair.
Harun Nasution, dkk. 2002. Eksiklopedi Islam Indonesia. Jakarta: Djambatan.
Komaruddin Hidayat, dkk. 2006. Menjadi Indonesia: 13 Abad Eksistensi Islam di Bumi Nusantara.
Bandung: Mizan.
M. Adnan Amal. 2007. Kepulauan Rempah-Rempah Perjalanan Sejarah Maluku Utara 1250-
1950. Makassar: Gora Pustaka.
M. Adnan Amal. 2009. Tahun-Tahun yang Menentukan; Babullah Datu Syah Menamatkan
Kehadiran Portugis di Maluku. Makassar.
Mundzirin dkk. 2006. Sejarah Peradaban Islam di Indonesia. Yogyakarta: Pinus.
Rusli Andi Atjo. 2008. Peninggalan Sejarah di Pulau Ternate. Jakarta: Cikoro Trirasuandar.

Footnotes:
1
Darmawijaya, Pengajar Universitas Khairun Ternate
2
Jainul Yusup, Pengajar Universitas Khairun Ternate
3
Mundzirin dkk., Sejarah Peradaban Islam di Indonesia, (Yogyakarta: Pinus, 2006), hlm. 105.
Komaruddin Hidayat dkk, Menjadi Indonesia: 13 Abad Eksistensi Islam di Bumi Nusantara,
(Bandung: Mizan, 2006), hlm. 345.
4
M. Adnan Amal, Kepulauan Rempah-Rempah Perjalanan Sejarah Maluku Utara 1250-
1950, (Makassar: Gora Pustaka, 2007), hlm. 65. Harun Nasution dkk, Eksiklopedi Islam
Indonesia, (Jakarta: Djambatan, 2002), hlm. 700.
5
Ibid.

Darmawijaya dan Jainul Yusup


354
6
Benteng Gamlamo adalah benteng pertama yang didirikan Portugis di Maluku Utara. Nama
aslinya adalah Nostra Senora del Rosario. (Wanita cantik berkalung bunga mawar). Nama
lain benteng Gamlamo adalah benteng Kastela. Lihat: Rusli Andi Atjo, Peninggalan Sejarah
di Pulau Ternate, (Jakarta: Cikoro Trirasuandar, 2008), hlm. 18.
7
M. Adnan Amal, Tahun-Tahun yang Menentukan; Babullah Datu Syah Menamatkan Kehadiran
Portugis di Maluku, (Makassar: PUKAT, 2009), hlm. 9.
8
Ibid.
9
Ibid.
10
M. Adnan Amal, Tahun-Tahun, Op. Cit., hlm. 33.
11
Ibid., hlm. 13. Rusli Andi Atjo, Op. Cit., hlm. 24. Darmawijaya, Kesultanan Islam Nusantara,
(Jakarta: Pustaka Al Kautsar, 2010), hlm. 128.
12
M. Adnan Amal, Tahun-Tahun, hlm. 18. M. Adnan Amal, Kepulauan Rempah-Rempah,
hlm. 84.
13
Darmawijaya dan Jainul Yusup, Sultan-Sultan Legendaris Dalam Sejarah Maluku Utara,
(Ternate: Laporan Penelitian LPPM Unkhair, 2013), hlm. 34. M. Adnan Amal, Tahun-Tahun,
Op. Cit., hlm. 19
14 M. Adnan Amal, Tahun-Tahun..., Loc. Cit., hlm. 19.

15 Ibid., hlm. 20. M. Adnan Amal, Kepulauan Rempah-Rempah, Op. Cit., hlm. 85.

Darmawijaya, Op. Cit., hlm. 129. Rusli Andi Atjo, Op. Cit., hlm. 24. Harun Nasution, dkk., Op.
Cit., hlm. 141-142, Mundzirin dkk, Op. Cit., hlm. 108. Komaruddin Hidayat dkk, Op. Cit.,
hlm. 355.
16
M. Adnan Amal, Tahun-Tahun..., Op. Cit., hlm. 21. M. Adnan Amal, Kepulauan Rempah-
Rempah, Op. Cit., hlm. 85.

Darmawijaya dan Jainul Yusup


355
Darmawijaya dan Jainul Yusup
356
NILAI KARAKTER PADA MATERI GEOMORFOLOGI
Deasy Arisanty
Universitas Lambung Mangkurat

ABSTRAK
Geomorfologi merupakan salah satu disiplin ilmu dalam geografi dan menjadi matakuliah
wajib untuk mahasiswa geografi. Geomorfologi juga merupakan salah satu mata kuliah wajib
pada Program Studi Pendidikan Geografi FKIP UNLAM. Geomorfologi mempelajari bentuk
lahan dan proses yang bekerja pada bentuklahan tersebut. Bentuklahan merupakan konfigurasi
permukaan bumi yang dibentuk oleh tenaga endogen (tenaga dari dalam bumi) dan eksogen
(tenaga yang bekerja dipermukaan bumi). Bentuklahan di muka bumi terdiri atas bentuklahan
asal proses fluvial, marin, denudasional, solusional, struktural, vulkanik, eolin, dan organik.
Pemberian materi geomorfologi bukan hanya menciptakan mahasiswa yang tinggi
pengetahuannya mengenai proses dan hasil proses pada bentuklahan tetapi terkandung juga
nilai karakter didalamnya. Nilai karakter yang tercantum dalam materi geomorfologi antara lain
memahami ciptaan Tuhan bahwa alam diciptakan sedemikian rupa dengan proses yang
bekerja pada bentuklahan sangat dinamik dan kompleks; dan menghargai, menjaga, dan
melestarikan permukaan bumi sehingga proses yang terjadi pada bentuklahan yang sifatnya
merugikan seperti longsor, banjir, kekeringan dan sebagainya dapat terkendali.
Kata kunci: nilai karakter, geomorfologi, bentuklahan

I. PENDAHULUAN
Geomorfologi merupakan ilmu yang mempelajari bentuklahan dan proses yang bekerja
pada bentuklahan tersebut. Geomorfologi mempelajari dinamika bentuklahan. Dinamika
bentuklahan dapat terjadi karena tenaga endogen atau yang berasal dari dalam bumi dan
tenaga eksogen yang berasal dari permukaan bumi. Manusia merupakan salah satu komponen
penting dalam tenaga eksogen yang turut mempercepat perubahan penggunaan lahan, seperti
penggundulan hutan yang mempercepat proses erosi dan sedimentasi serta memicu terjadinya
banjir, pemotongan bukit untuk dibuat jalan atau lahan pertanian yang memicu terjadinya erosi
dan longsor, dan sebagainya.
Geomorfologi merupakan salah satu mata kuliah wajib yang diajarkan di Program Studi
Pendidikan Geografi. Materi geomorfologi yang diberikan di Program Studi pendidikan Geografi
diharapkan bukan hanya memberikan pemahaman kepada mahasiswa mengenai proses yang
bekerja pada bentuklahan tetapi juga mengandung nilai karakter didalamnya. Sesuai dengan
tujuan pendidikan karakter di perguruan tinggi yaitu meningkatkan mutu penyelenggaraan dan

Deasy Arisanty
357
hasil pendidikan yang mengarah pada pencapaian pembentukan karakter dan akhlak mulia
peserta didik secara utuh, terpadu, seimbang, sesuai dengan standar kompetensi lulusan.
Mahasiswa mampu menggunakan pengetahuannya dan juga dapat berintegrasi dengan
karakter yang baik yang dapat diterapkan dalam kehidupan mereka (Hasanah, 2013).
Mahasiswa mendapatkan materi geomorfologi tetapi diharapkan juga mampu menerapkan
ilmu tersebut dalam kehidupan sehari-hari.
Geomorfologi sebagai suatu ilmu juga banyak memberikan pemahaman mengenai
permasalahan lingkungan yang terjadi sekarang ini seperti banjir, tanah longsor,erosi,
sedimentasi dan sebagainya. Mahasiswa diberikan pemahaman mengenai proses yang
memicu terjadinya permasalahan lingkungan tersebut. Pemahaman mengenai proses tersebut
tidaklah cukup, perlu juga menerapkan nilai karakter didalamnya sehingga mahasiswa juga
dapat menjaga lingkungan hidupnya dalam kehidupan sehari-hari.

II. TINJAUAN PUSTAKA


2.1 Definisi Geografi
Geomorfologi merupakan bagian dari ilmu geografi. Pemahaman mengenai ilmu
geografi sangatlah penting. Geografi adalah ilmu yang mempelajari hubungan kausal gejala-
gejala muka bumi dan peristiwa-peristiwa yang terjadi di muka bumi baik yang fisikal maupun
yang menyangkut makhluk hidup beserta permasalahannya melalui pendekatan keruangan,
ekologikal, dan regional untuk kepentingan program, proses dan keberhasilan pembangunan
(Bintarto, 1981). Salah satu ciri yang membedakan geografi dengan ilmu-ilmu lain adalah
pendekatan spasial atau pendekatan keruangan (Bintarto,1988). Pendekatan keruangan banyak
berhubungan dengan beberapa unsur, yaitu:
1. Unsur jarak, baik jarak absolut maupun jarak relatif (sosial), yang dapat berpengaruh
terhadap keakraban, keseganan, rasa asing dan kesenjangan sosial (social gap);
2. Unsur pola atau pattern, misalnya saja adanya struktur geologi dan struktur morfologi
yang berpengaruh terhadap pola permukiman;
3. Unsur site dan situation, yang erat kaitannya dengan fungsi sebuah desa, kota atau
wilayah;
4. Unsur aksesibiltas, yang erat hubungannya dengan topografi dan teknologi suatu
wilayah tertentu;
5. Unsur keterkaitan, besar kecilnya keterkaitan banyak menentukan hubungan
fungsional antara beberapa tempat.
Objek kajian geografi adalah fenomena geosfer yang meliputi hidrosfer, litosfer, atmosfer,
antroposfer, pedosfer, dan biosfer. Sudut pandang dalam ilmu geografi adalah keruangan,
kelingkungan dan kewilayahan. Geografi adalah apa yang dikerjakan oleh seorang geograf (Sutikno,
2008).
Objek kajian dalam geografi adalah objek material dan objek formal. Objek material
adalah geosfer yang meliputi litosfer, atmosfer, hidrosfer, biosfer, pedosfer, anthroposfer, yang

Deasy Arisanty
358
kemudian dapat menimbulkan studi kekhususan. Objek formal adalah sudut pandang atau
cara memandang dan cara berfikir terhadap suatu gejala dimuka bumi, baik yang sifatnya fisik maupun
yang sosial, yaitu sudut pandang dari organisasi keruangan atau spatial setting (Bintarto, 1983).
2.2 Geomorfologi
Geomorfologi adalah ilmu yang mendeskripsikan bentuklahan dan proses-proses yang
mempengaruhi pembentukannya serta menyelidiki hubungan timbal balik antara bentuklahan serta
proses-proses tersebut dalam susunan keruangan (Van Zuidam dan Cancelado, 1979). Geomorfologi
adalah ilmu pengetahuan yang mempelajari dan interpretasi bentuklahan dan khususnya pada
penyebab yang membentuk bentuklahan dan mengubah bentuklahan (Panizza, 1996). Geomorfologi
merupakan ilmu pengetahuan empiris, yang didasarkan pada observasi dan pengalaman, penelitian
yang bersifat eksperimen pada berbagai proses dan bentuk dari bentuklahan (Panizza, 1996).
Kajian dalam geomorfologi adalah bentuklahan. Bentuklahan adalah kenampakan
medan yang dibentuk oleh proses-proses alami yang mempunyai karakteristik fisikal dan visual
dimanapun bentuklahan itu dijumpai (Way, dalam Van Zuidam dan Cancelado, 1979). Survei
geomorfologi adalah analisis, klasifikasi, dan pemetaan bentuklahan yang berpedoman pada
morfologi, genesis, kronologi, dan litologi (Van Zuidam dan Cancelado, 1979). Ada 4 aspek
yang penting dalam survei bentuklahan, sebagai tujuan umum dalam pemetaan geomorfologi
yaitu morfologi, morfogenesa, morfokronologi, dan morfoaransemen (Van Zuidam, 1983).
a. Morfologi
Morfologi terdiri dari morfografi dan morfometri. Morfografi merupakan aspek deskriptif
dari geomorfologi dalam suatu area, misalnya dataran, perbukitan, pegunungan dan dataran tinggi.
Morfometri merupakan aspek kuantitatif dari suatu area, misalnya kemiringan lereng, ketinggian.
b. Morfogenesa
Morfogenesa merupakan asal dan perkembangan dari bentuklahan dan proses yang
membentuk dan bekerja pada bentuklahan tersebut. Morfogenesa dapat berupa morfostruktur
aktif, morfostruktur pasif dan morfodinamik. Morfostruktur pasif merupakan litologi terdiri dari
tipe batuan dan struktur dari batuan yang mengalami proses denudasi, misalnya mesas, cuestas,
hogbacks, dan domes. Morfostruktur aktif merupakan proses endogen yang dinamik misalnya
volkanik, lipatan, dan patahan tektonik. Hasil dari tenaga endogen adalah gunungapi, perbukitan
antiklinal dan gawir sesar. Morfodinamik merupakan proses eksogen yang dinamis oleh tenaga
angin, air, es, dan gerakan massa, misalnya gumuk pasir, teras sungai, beting gisik, moraines,
dan lahan rusak.
c. Morfokronologi
Morfokronologi merupakan umur relatif dan absolut dari variasi bentuk lahan dan prosesnya,
contohnya adalah villafranchian untuk glacial berumur tua dan monasterian untuk teras marin yang
lebih muda.
d. Morfoaransemen
Morfoaransemen merupakan spasial aransemen dan hubungan antara variasi bentuk
lahan dan prosesnya.

Deasy Arisanty
359
2.3 Pendidikan Karakter
Pendidikan karakter mempunyai tujuan, yaitu : (1) mengembangkan potensi peserta
didik agar menjadi manusia berhati baik, berpikiran baik, dan berprilaku baik; (2) membangun
bangsa yang berkarakter Pancasila; (3) mengembangkan potensi warga negara agar memiliki
sikap percaya diri, bangga pada bangsa dan negaranya serta mencintai umat manusia. Pendidikan
karakter berfungsi (1) membangun kehidupan kebangsaan yang multikultural; (2) membangun
peradaban bangsa yang cerdas, berbudaya luhur, dan mampu berkontribusi terhadap
pengembangan kehidupan ummat manusia; mengembangkan potensi dasar agar berhati baik,
berpikiran baik, dan berperilaku baik serta keteladanan baik; (3) membangun sikap warga negara
yang cinta damai, kreatif, mandiri, dan mampu hidup berdampingan dengan bangsa lain dalam
suatu harmoni. Pendidikan karakter dilakukan melalui berbagai media yaitu keluarga, satuan
pendidikan, masyarakat, pemerintah, dunia usaha, dan media massa (Kemendiknas, 2011). Proses
pendidikan karakter didasarkan pada totalitas psikologis yang mencakup seluruh potensi individu
manusia (kognitif, afektif, psikomotorik) dan fungsi totalitas sosiokultural pada konteks interaksi
dalam keluarga, satuan pendidikan serta masyarakat (Kemendiknas, 2011).
Pendidikan karakter mempunyai nilai yang lebih tinggi daripada pendidikan moral
karena pada pendidikan karakter menanamkan kebiasaan tentang mana yang benar dan
mana yang salah. Pendidikan karakter terkait dengan kebiasaan (habit) yang terus menerus
dipraktikkan (Kemendiknas, 2010). Nilai pendidikan karakter pada lingkup universitas perlu
dikembangkan kedalam kurikulum dan silabus yang sudah ada. Pendidikan karakter yang
berlaku di universitas merupakan penguatan dan pemantapan dari pendidikan karakter yang
diperoleh di SMA sederajat (Kemendiknas, 2010).
Terdapat 18 nilai karakter yang bersumber dari agama, pancasila, budaya, dan tujuan
pendidikan nasional, yaitu (1) Religius, (2) Jujur, (3) Toleransi, (4) Disiplin, (5) Kerja keras, (6)
Kreatif, (7) Mandiri, (8) Demokratis, (9) Rasa Ingin Tahu, (10) Semangat Kebangsaan, (11)
Cinta Tanah Air, (12) Menghargai Prestasi, (13) Bersahabat/Komunikatif, (14) Cinta Damai,
(15) Gemar Membaca, (16) Peduli Lingkungan, (17) Peduli Sosial, (18) Tanggung Jawab
(Pusat Kurikulum. Pengembangan dan Pendidikan Budaya dan Karakter Bangsa: Pedoman
Sekolah. 2009:9-10 dalam Kemendiknas, 2011).

III. NILAI KARAKTER YANG TERKANDUNG DALAM MATERI GEOMORFOLOGI


Permasalahan lingkungan yang terjadi sekarang ini seperti banjir, tanah longsor,
kekeringan, erosi, dan pendangkalan sungai, erat kaitannya dengan lemahnya penerapan
pendidikan karakter di lingkungan universitas khususnya dan lingkungan masyarakat pada
umumnya. Mahasiswa sebenarnya mendapatkan materi kuliah geomorfologi yang banyak
membahas mengenai permasalahan lingkungan tetapi nilai karakter didalamnya masih belum
diterapkan dengan baik dalam kehidupan mereka sehari-hari.
Geomorfologi merupakan salah satu ilmu yang diajarkan pada Program Studi
Pendidikan Geografi FKIP UNLAM. Geomorfologi mempelajari bentuklahan dan proses yang
bekerja pada bentuklahan tersebut. Bentuklahan merupakan kenampakan pada permukaan
bumi yang dibentuk oleh tenaga alami. Beberapa bentuklahan yang berkembang pada
permukaan bumi adalah bentuklahan asal proses fluvial, bentuklahan asal proses
Deasymarin,
Arisbentuk
anty
360
lahan asal proses denudasional, bentuklahan asal proses struktural, bentuklahan asal proses
denudasional, bentuklahan asal proses eolin, bentuklahan asal proses vulkanik, bentuk lahan
asal proses solusional, bentuklahan asal proses organik. Bentuklahan tersebut mengalami
dinamika dan perubahan baik secara alami maupun dipercepat.
Manusia merupakan salah satu agen perubahan yang dapat mempercepat proses yang
bekerja pada bentuklahan tersebut. Perubahan penggunaan lahan misalnya dari perubahan dari
hutan menjadi lahan kosong (terjadi penggundulan hutan) pada daerah hulu akan mempercepat
proses erosi dan terjadi sedimentasi besar-besaran pada daerah hilir. Selain terjadi sedimentasi,
dapat terjadi banjir juga di daerah hilir pada musim penghujan. Permasalahan-permasalahan
lingkungan tersebut merupakan salah satu kajian dalam geomorfologi.
Geomorfologi memberikan pengetahuan kepada mahasiswa mengenai dinamika
proses yang bekerja pada suatu bentuklahan. Selain itu, mahasiswa Program Studi Pendidikan
Geografi FKIP UNLAM yang mendapatkan materi geomorfologi dapat mengambil beberapa
nilai karakter yang terdapat pada materi matakuliah tersebut, antara lain:
1. Alam diciptakan sedemikian rupa oleh Tuhan, proses yang bekerja pada suatu
bentuklahan sangat dinamik dan kompleks;
2. Menghargai, menjaga, dan melestarikan permukaan bumi sehingga proses yang
terjadi pada bentuklahan yang sifatnya merugikan seperti longsor, banjir, kekeringan
dan sebagainya dapat terkendali.
Nilai karakter pada matakuliah geomorfologi memberikan manfaat kepada mahasiswa
agar dapat menjaga lingkungan hidup mereka sehingga permasalahan-permasalahan
lingkungan yang terjadi di lingkungan sekitar mereka dapat dikurangi dampaknya. Harapan
lebih lanjut adalah dapat mensosialisasikan ke masyarakat akan pentingnya menjaga
lingkungan hidup mereka.

IV. SIMPULAN
Geomorfologi merupakan ilmu yang mempelajari proses yang bekerja pada bentuk
lahan. Permasalahan lingkungan yang terjadi pada bentuk lahan banyak disebabkan oleh
perubahan pada permukaan bumi yang dilakukan oleh manusia. Materi geomorfologi
seharusnya disampaikan kepada mahasiswa bukan hanya menambah pengetahuan
mahasiswa saja tetapi mahasiswa mendapatkan nilai karakter didalamnya agar mahasiswa
dapat lebih menghargai lingkungan hidup mereka.

DAFTAR PUSTAKA
Bintarto. 1981. “Suatu Tinjauan Filsafat Geografi”. Seminar Peningkatan Relevansi Metode
Pendidikan Geografi. Fakultas Geografi. Universitas Gadjah Mada. Yogyakarta.
Bintarto. 1983. Ruang Lingkup dan Konsep Geografi Sebagai Satu Disiplin Keilmuan. Lokakarya
Pengembangan di Sekolah dalam Pengajaran di Sekolah. Departemen Pendidikan
dan Kebudayaan. Institut Keguruan dan Ilmu Pendidikan. Yogyakarta.

Deasy Arisanty
361
Bintarto. 1988. Geografi, Ilmu dan Aplikasinya: Sebuah Informasi. Majalah Geografi Indonesia.
Th. 1, No 2.,September 1988. Hal 63-68.
Hasanah.2013. Implementasi Nilai-Nilai Karakter Inti di Perguruan Tinggi. Jurnal Pendidikan
Karakter tahun III, Nomor 2, Juni 2013.
Kemendiknas. 2010. Desain Induk Pendidikan Karakter Kementerian Pendidikan Nasional,
Jakarta.
Kemendiknas.2011. Panduan Pelaksanaan Pendidikan Karakter, Jakarta.
Panizza,M. 1996. Enviromental Geomorphology. Dipartimento di science della Terra, Universita
degli Studi Modena. Italy.
Sutikno.2008. Geografi dan Kompetensinya dalam Kajian Geografi Fisik. Materi Sarasehan
Keilmuan Geografi. Fakultas Geografi. Universitas Gadjah Mada. Yogyakarta.
Van Zuidam, R.A. dan F.I. Cancelado. 1979. Terrain Analysis And Classification Using Aerial
Photograph. International Institute for Aerial Survey and Earth Science. The
Netherlands.
Van Zuidam, R.A. 1983. Guide to Geomorphologic Aerial Photographic Interpretation and
Mapping. International Institute for Aerial Survey and Earth Science. The Netherlands.

Deasy Arisanty
362
BIOGRAFI PROPETIK GURU SEKUMPUL
(Transformasi Nilai-Nilai Budaya Banjar Dalam Pendidikan Karakter)
Ersis Warmansyah Abbas
Universitas Lambung Mangkurat

ABSTRACT
At present time, a number of complaints on moral problems such as corruption, collusion, and nepotism,
conflict, drug abuse, fights between villages, terorisme action up to security forces fighting their power to each
other. The good news, in the context of South Kalimantan, it is only in the form of ripples. Society and culture of
Banjar have grown and evolved with the values of Islam as their basic principle where the role of the clergy is
very great. K.H. Muhammad Zaini Abdul Ghani (1942-2005), popularly called Guru Sekumpul, where his
congregation did not only come from the regions of South Kalimantan, but also from various regions of
Indonesia, even from abroad, raises the question: What, why and how prophetic education of Guru Sekumpul
so as to transform the cultural values of Banjaresse Culture? The purpose of this study is to describe: 1.
Prophetic Biography of Guru Sekumpul, 2. transformation of cultural values through religious speech at Sekumpul,
3. Transformation of Banjarese cultural values through the teachings and methods of Guru Sekumpul, 4.
Transformation of Banjarese cultural values through prophetic education of Guru Sekumpul. Using qualitative
research methods supported by Biography and History methods, it can be concluded that, the development of
society and culture of Banjar has been constructed based on local or traditional values) and then based on the
Islamic spirit of Indonesian nationalism . As the person who was born and grown in a Banjarese society and
culture, Guru Sekumpul had been educated in a family -based life of the Prophet Muhammad; in which it had
built characters and attitudes: siddiq, amanah, tabligh, and fathanah that had made children obedient, respectful,
disciplined, patient, and sincere and as ghirah, himah, mujahadah, and unyielding learners strengthened by
halaqa, rihlah, siyahah, khalwat, and suluk as attitudes or personality to internalize the Prophet Muhammad’s
characters in implementing: siddiq, amanah, tabligh, and fathanah performed purification of the soul and
sincere, and made his preaching istiqamah. As the muslem who had learned and internalized the teachings
of Islam by seriously using the Prophet ‘s life as the guidance, Guru Sekumpul conducted proselytizing based
on shahadat in building knowledge and morals on three powerful pillars : tauhid, fiqih and tasawuf. Therefore,
the congregation of Dakwah Sekumpul have been motivated and conditioned in order to continually strengthen
their faith, increase their piety, and to implement the Prophet Muhammad’s charaters. In this relation, every Muslem
have to continually be aware of mistakes, and conduct a repent, and improve themselves in terms of cleaning up the
heart in order to live a sincere life, and through which they build Muslem brotherhood. In practice of preaching, Guru
Sekumpul conducted his da’wah in combination of bil –lisan, bil-hal, and bit - tadwin in the appropriate blend of
knowledge, words, and actions, kaji (review) and gawi (do). This method is ordained as Methodof Guru Sekumpul.
The method of Guru Sekumpul is the Prophetic Character Education Method in character education.
Keywords: biography, prophetic education, cultural transformation, and Methods of GuruSekumpul.

Ersis Warmansyah Abbas


363
I. PENDAHULUAN
Mencermati fenomena kehidupan bangsa dimana berbagai keluhan dari berbagai
pihak telah menjadi keprihatinan sehari-hari. Bukan saja praktik korupsi, kolusi, dan nepotisme
dalam berbagai penampakkan, tetapi tidak kalah pentingnya perilaku menyimpang yang semakin
marak. Mulai dari tawuran sampai penyalahgunaan narkoba, dari perkelahian antar kampung
sampai kerusuhan sosial, dan atau aksi terorisme yang menghentak sendi-sendi berbangsa
dan bernegara. Bahkan, aparat keamanan pun ada yang saling “adu kekuatan”.
Padahal, kemajuan pembangunan Indonesia dalam rangka mencapai cita-cita
nasional, masyarakat sejahtera, haruslah dibangun dalam bingkai perubahan, perubahan
dalam kerangka change in progress. Masyarakat atau bangsa yang tidak mampu merespon
perubahan akan mengalami involusi. Apalagi dalam eksplosi perkembangan ilmu dan teknologi,
khususnya bidang teknologi komunikasi dan informasi (TIK) yang berkembang pesat bermuara
kepada globalisasi. Globalisasi meniadakan batas-batas geografis (borderless) yang pada sisi
negatifnya tidak kalah mencemaskan, sebab bangsa maju cenderung mengeksploitasi bangsa
kurang maju. Hirst dan Thompson menggugat (1996: 3): “Globalisasi seperti dikemukakan
oleh penganut ekstrim teori globalisasi tidak lain tidak bukan adalah mitos belaka.”
Globalisasi yang didukung teknologi informasi, membawa dampak terhadap ideologi,
agama, budaya, dan nilai-nilai yang dianut masyarakat Indonesia, sebagaimana ditulis (Anon,
2010: 29) pada aspek sosial ekonomi, telah mengakibatkan tumbuhnya jumlah kemiskinan
dan pengangguran, bidang sosial budaya berpengaruh terhadap nilai-nilai solidaritas sosial,
seperti sikap individualistik, materialistik, hedonistik, dan sebaliknya memudarnya rasa
kebersamaan, gotong royong, melemahnya toleransi antar agama, menipisnya solidaritas antar
sesama, dan pada akhirnya terkikisnya rasa nasionalisme. Pengaruh negatifnya, bagi sebagian
generasi muda bangsa, nilai-nilai budaya bangsa, tidak lagi menjadi acuan utama dan dengan
mengagung-agungkan apa yang datang dari luar. Sebagai bangsa multikultural, Pancasila
adalah pengikat kebangsaan dan pedoman dalam character and national building. Implikasinya,
diperlukan penggalian dan pengembangan nilai-nilai sosial budaya daerah (budaya lokal).
Mengembangkan nilai-nilai budaya dilakukan dalam masyarakat sehingga kebudayaan terus
berlangsung dari generasi ke generasi dalam perkembangan ke arah kemajuan. Proses tersebut
(Koentjaraningrat, 2009: 170) dinamakan proses belajar kebudayaan.
Dalam alur berpikir demikian, masyarakat dan kebudayaan Banjar, sebagai bagian
integral masyarakat dan kebudayaan Indonesia tentu tidak terlepas dari arus globalisasi. Karena
itu, kata kuncinya, masyarakat Banjar harus siap dan menyiapkan diri dalam bingkai ke-
Indonesia-an. Globalisasi merupakan tantangan untuk memperkuat jatidiri dengan
menginternalisasikan nilai-nilai budaya.
Masyarakat Banjar mendiami wilayah provinsi Kalimantan Selatan disebut Urang Banjar.
Identitas etnisitas Urang Banjar sebagai penutur bahasa Banjar berpilinpadu dengan agama
Islam sebagai dasar keyakinan. Terbentuknya Urang Banjar melalui proses pembauran antara
komunitas Melayu dan suku Dayak —Maanyan, Lawangan, Bukit Meratus dan Ngaju— selama
berabad-abad. Kelompok etnik lain yang hidup di Tanah Banjar melakukan pembanjaran, yaitu
proses menjadi Urang Banjar.
Ersis Warmansyah Abbas
364
Kesultanan Banjar melalui sistem pemerintahan berlandaskan Islam menjadi ‘penjaga’
nilai-nilai sosial dan budaya Banjar. Pemimpin agama menjadi imam di masjid atau langgar,
menjadi khatib, dan mengajar agama (Daud, 1977: 61). Ulama (Tuan Guru) merupakan kunci
transformasi nilai-nilai budaya masyarakat Banjar. Dalam konteks kekinian, K.H. Muhammad
Zaini Abdul Ghani (1942-2005) menanamkan nilai-nilai budaya Banjar dalam pembentukan
karakter berdasarkan nilai-nilai budaya lokal dalam konteks character and national building
melalui proses belajar kebudayaan dengan nilai-nilai Islam sebagai dasarnya.
1.1 Masalah Penelitian
Dari latar belakang tersebut fokus penelitian dirumuskan untuk menjawab pertanya
an pokok: Apa, mengapa dan bagaimana pendidikan propetik Guru Sekumpul sehingga mampu
mentransformasikan nilai-nilai budaya Banjar? Masalah penelitian dirumuskan:
1. Bagaimana gambaran biografi propetik Guru Sekumpul?
2. Bagaimana nilai-nilai budaya Banjar dalam Pengajian Sekumpul dalam proses
belajar budaya Banjar?
3. Bagaimana transformasi nilai-nilai budaya Banjar melalui ajaran dan Metode Guru
Sekumpul dalam proses Belajar budaya Banjar?
4. Bagaimana transformasi nilai-nilai budaya Banjar melalui pendidikan propetik Guru
Sekumpul?
1.2 Tujuan Penelitian
Dengan demikian, tujuan penelitian untuk:
1. Mendeskripsikan biografi propetik Guru Sekumpul.
2. Mendeskripsikan nilai-nilai budaya Banjar melalui pengajian Sekumpul dalam proses
belajar budaya Banjar.
3. Mendeskripsikan transformasi nilai-nilai budaya Banjar melalui ajaran dan Metode
Guru Sekumpul dalam proses belajar budaya Banjar.
4. Mendeskripsikan transformasi nilai-nilai budaya Banjar melalui pendidikan propetik
Guru Sekumpul.
1.3 Kajian Teoritik
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (2008: 197) biografi berarti riwayat hidup
(seseorang) yang ditulis oleh orang lain. Echols dan Sadhaly (205: 65) mendefinisikan: riwayat
hidup seseorang. Menurut Smith (Denzin and Lincoln, 1996: 286) biografi adalah “the written
history of a person’s life” atau “A written record of the life of an individual”. Kata life dapat dilihat dari
dua sisi: (1) Person dan individual. Person memiliki argumentasi kuat sebagai konsep
kemanusiaan, sedangkan individual memiliki pengertian dan kategorisasi yang luas, dan (2)
Argumentasi yang kuat juga membedakan antara record dengan history. Record menunjuk pada
pemberian informasi yang bersifat lisan dari proses wawancara yang bersifat informal, sedangkan
history menampilkan keadaan yang lebih formal, memiliki perspektif yang luas dan beragam.
Written dibatasi sebagai laporan lisan sehingga berada di luar kebiasaan kegiatan ilmiah.

Ersis Warmansyah Abbas


365
Dalam kaitan kata transformasi dalam penelitian, kata transformasi diambil dari kata
bahasa Inggris transformation dari kata bahasa Latin tranformare. Menurut Oxford Learner’s Pocket
Dictionary (1995) transform sebagai kata kerja adalah “change completely the appearance or the
character of” yang berarti perubahan bentuk penampilan atau karakter secara total dari kata dasar
trans dan form. Trans berarti melintasi dari satu sisi ke sisi lainnya (across), atau melampaui
(beyond); dan form berarti bentuk. Menurut KBBI (1988), transformasi adalah kata benda yang
berarti perubahan rupa, bentuk (sifat, dsb). Dalam bentuk kata kerja menjadi mentransformasikan,
yang berarti mengubah rupa, bentuk (sifat, fungsi, dsb) dan juga berarti mengalihkan.
Menurut Koentowidjoyo (1999: 18) transformasi merupakan konsep ilmiah atau alat
analisis untuk memahami dunia dan Koentjaraningrat (2009: 17) menulis bahwa proses
transformasi kebudayaan sebagai proses belajar sesungguhnya adalah ulangan dari reaksi
suatu organisme dari luar dirinya, yang terjadi sedemikian rupa sehingga salah satu kebutuhan
naluri dari organisme dapat dipenuhi. Proses transformasi nilai-nilai budaya adalah proses
belajar kebudayaaan, sehingga proses transformasi nilai-nilai budaya adalah proses
pembudayaan. Proses pewarisan nilai-nilai budaya dari satu generasi ke generasi berikutnya
dilakukan melalui proses internalisasi, sosialisasi dan enkulturasi.
Nilai budaya sebagai rujukan berperilaku dapat dianalisis lebih ke hulu dengan dasar
pandangan yang melandasinya. Klukchohn (Koentjaraningrat, 2009: 154) masalah dasar dalam
kehidupan manusia yang menjadi landasan bagi kerangka variasi sistem nilai budaya adalah:
1. Masalah hakikat dari hidup manusia (MH).
2. Masalah hakikat dari karya manusia (MK).
3. Masalah hakikat dari kedudukan manusia dalam ruang waktu (MW).
4. Masalah hakikat dari hubungan manusia dengan alam sekitarnya (MA).
5. Masalah hakikat dari hubungan manusia dengan sesamanya (MM).
Dalam kontek K.H. Muhammad Zaini Abdul Ghani ini berarti aktivitas dakwah.
Menurut Aziz (1977: 8) “Islam adalah agama dakwah”. Kata dakwah (KBBI, 2008: 288) berarti
penyiaran agama dan pengembangannya di kalangan masyarakat; seruan untuk memeluk,
mempelajari, dan mengamalkan ajaran agama. Arti kata dakwah menurut KBBI tersebut
sesuai dengan firman Allah SWT (An-Nahl: 125):
“Serulah (manusia) kepada jalan Tuhanmu dengan hikmah dan pelajaran yang baik
dan bantahlah mereka dengan cara yang baik. Sesungguhnya Tuhanmu Dialah yang
lebih mengetahui tentang siapa yang tersesat dari jalan-Nya dan Dialah yang lebih
mengetahui orang-orang yang mendapat petunjuk.”
Dalam kaitan dengan pendidikan karakter, Guru Sekumpul mengajarkan murid-murid
dan jamaah dengan tujuan mengokohkan iman, meningkatkan ketaqwaan kepada Allah SWT
dengan meneladani Rasulullah. Dengan fokus pengajian mengokohkan iman dan
meningkatkan ketakwaan dengan meneladani akhlak Rasulullah, berarti Guru Sekumpul
melakukan pendidikan akhlak sebagai basis pembentukan karakter dalam menimba ilmu
untuk beribadah dengan mengamalkan kaji dan gawi (Irsyad Zein, 2012: 19).

Ersis Warmansyah Abbas


366
Guru Sekumpul dalam praktik pengajiannya menyampaikan ajaran dan pesan-pesan
moral dengan sangat memikat. Pengajian dimulai dengan salat berjamaah. Salat berjamaah
mengkonsentrasikan pikiran, perasaan, pensucian roh, jiwa dan raga, membebaskan diri dari
belenggu-belenggu hawa nafsu dan menutup pintu setan. Hal ini sesuai dengan tuntunan
dalam Islam bahwa menuntut ilmu itu fardu ‘ain. Amal yang diterima Allah SWT adalah amal
yang berdasarkan pengetahuan (ilmu) sebagaimana tuntutan al-Qur’an dan Hadis, dan melalui
pemikiran ulama atau pun hasil ijtihad.
Dengan kata lain, Guru Sekumpul ‘membentuk’ karakter, menanamkan kepribadian
akhlakul kharimah, membangun manusia berkarakter Islami. Dalam pandangan Islam
pendidikan karakter sepadan dengan pendidikan akhlak atau pendidikan moral. Aqib dan Sujak
(2011: 7-8) mendeskripsikan nilai-nilai utama pendidikan karakter dalam lima kategori:
1. Nilai karakter dalam hubungannya dengan Tuhan,
2. Nilai karakter dalam hubungannya dengan dirinya sendiri,
3. Nilai karakter dalam hubungannya dengan sesama,
4. Nilai karakter dalam hubungannya dengan lingkungan,
5. Nilai kebangsaan.
Membangun watak melalui pendidik akhlak, berarti membangun akhlak dengan
meneladani Rasulullah. Akhlak Rasulullah sebagai rujukan pendidikan karakter yaitu: sidiq,
amanah, tabligh, dan fathanah. Kata kunci dalam pendidikan karakter adalah memahami
karakter Rasulullah sebagaimana dipraktikkan dalam kehidupan Rasulullah untuk dijadikan
teladan dan dipraktikkan dalam kehidupan. Hal ini sangat mendasar dalam pandangan Islam
di mana Rasulullah diutus untuk memperbaiki akhlak manusia dalam katup rahmatan lilalamin.
Menurut Zubaidi (2011: 29) pendidikan karakter berkaitan dengan konsep moral (moral
knowing), sikap moral (moral feeling), dan perilaku moral (moral behavior). Berdasarkan ketiga
komponen tersebut karakter yang baik didukung oleh pengetahuan tentang kebaikan, keinginan
untuk berbuat baik, dan melakukan perbuatan kebaikan. Lickona (2012: 69) mengemukakan
dalam program pendidikan moral yang berdasarkan pada dasar hukum moral dapat dilaksanakan
dalam dua nilai moral yang utama, yaitu sikap hormat dan bertanggung jawab. Menurut (Lickona,
2012: 74) nilai-nilai khusus tersebut merupakan bentuk dari rasa hormat atau tanggung jawab
atau pun sebagai media pendukung untuk bersikap hormat dan tanggung jawab.
Seseorang yang berkarakter adalah mereka yang selalu berusaha melakukan sesuatu
dengan baik berdasarkan hal-hal terbaik untuk dirinya, lingkungan, masyarakat, bangsa, dan
dalam hubungan dengan Allah SWT. Dalam kerangka pendidikan, berarti seorang guru
menanamkan dan membantu peserta didik mengembangkan potensi dirinya dengan
keteladanan. Pendidikan karakter memiliki esensi yang sama dengan pendidikan akhlak
dengan kata kunci keteladanan. Hakikat pendidikan karakter adalah pendidikan nilai sebagai
the golden rule di mana alam nilai-nilai dikembangkan berdasarkan al-Qur’an dan Hadis
Rasulullah dan dipraktikkan dalam kehidupan sebagai teladan.

Ersis Warmansyah Abbas


367
II. Biografi Profetik Guru Sekumpul
2.1 Pendidikan Kenabian Guru Sekumpul
K.H. Muhammad Zaini Abdul Ghani (1942-2005) yang populer dipanggil Guru
Sekumpul ulama paling terkenal Kalimantan Selatan dalam dua abad terakhir. Lahir di desa
Tunggul Irang, Martapura, 27 Muharram 1361 H. atau 11 Februari 1942 M (Zein, 2003: 144).
K.H. Muhammad Zaini Abdul Ghani merupakan genersi kedelapan dari Syekh Muhammad
Arsyad Al-Banjary. Semasa kecil dipanggil nama pemberian setelah lahir yaitu: Qusyairi. Setelah
masuk pesantren Darussalam Martapura namanya diganti menjadi Muhammad Zaini, ketika
menjadi guru di Pesantren Darussalam Martapura dipanggil Guru Zaini (Guru Ijai) dan setelah
‘hijrah’ dari pengajian di kawasan Keraton Martapura ke Sekumpul dipanggil Guru Sekumpul.
Panggilan umum Urang Banjar adalah Abah Guru.
Masa kecil Qusyairi dijalani bersama adiknya, Ahmad Ghazali. Bapaknya, Abdul Ghani
berprofesi sebagai petani dan penggosok intan. Sebagai zuriat Syekh Muhammad Arsyad Al-
Banjary, Abdul Ghani mendidik anak-anaknya dengan pendidikan keislaman. Praktik pendidikan
agama Abdul Ghani sangat ketat. Nenek Qusyairi, Salabiah, menceritakan kisah-kisah hikmah,
sirah Rasulullah.
Qusyairi sangat menyukai mendengar orang membaca al-Qur’an dan mampu
menirukan bacaan (lantunan) tersebut dan bacaan Qusyairi ditunjang suaranya yang nyaman
didengar. Qusyairi belajar kepada Guru Hasan di Pasayangan Martapura. Karena lantunan
bacaannya sangat bagus, Qusyairi sering diundang membacakan al-Qur’an pada peringatan
hari-hari besar Islam dan pembacaan al-Qur’an di Radio Republik Indonesia (RRI) Nusantara
III Banjarmasin setiap malam Jumat. Semenjak kecil (Tim Basma, 2011: 264) “Qusyairi sudah
digembleng kedua orangtuanya serta sang nenek untuk bersungguh-sungguh memperhatikan
ilmu pengetahuan. Dalam pendidikan itu, mereka menanamkan pendidikan tauhid, akhlak,
serta belajar al-Qur’an. Intinya menanamkan kedisiplinan dalam pendidikan.”
Pada tahun 1949, Qusyairi masuk Pesantren Darussalam Martapura belajar di
Madrasah Ibtidaiyah dan tahun 1955 melanjutkan ke Madrasah Tsanawiyah. Qusyairi juga
belajar secara halaqah (Mirhan, 2012: 131), kepada ulama-ulama terkenal tentang hadis,
tafsir, nahwu dan saraf, ilmu falak dan faraid. Qusyairi mendatangi guru-guru yang membuka
halaqah. Kepada Guru Husein Dahlan, Muhammad Zaini belajar ilmu nahwu dan sharaf dan
mengikuti halaqah Guru Semman Mulya, yang sangat populer di Kalimantan Selatan. Kepada
Guru Husein Abu Bakar dan Guru Nashrun Thaher, Muhammad Zaini belajar lantunan bacaan
al-Qur’an.
Tidak sulit bagi Muhammad Zaini memahami pelajarannya. Guru Abdul Hamid di
Kampung Murung Keraton, wali kelasnya adalah guru privat yang dikaguminya.Guru Mahalli
Abdul Qadhir yang ahli di bidang al-Qur’an dan bacaan al-Qur’an yang setiap menjelang
salat Jum’at suaranya mengalun dari radio masjid Al-Karomah Martapura, ‘ditiru’
Muhammad Zaini. Kepada Guru Muhammad Zein, Muhammad Zaini belajar kitab-kitab
dan sangat menyukai kalimat beliau: “Siapa yang bersungguh-sungguh pasti dapat.” Guru

Ersis Warmansyah Abbas


368
Muhammad Rafli’i tempat Muhammad Zaini belajar nahwu dan sharaf dan Kitab Kuning
dan belajar tawadhu kepada Guru Muhammad Husein Dahlan.
Pada usia 12 tahun, Muhammad Zaini suka berjalan-jalan ke hutan sembari
melantunkan qasidah-qasidah memuji Rasulullah melakukan siyahah. Aktivitas yang tidak
berhubungan dengan belajar dijauhinya. Keistiqamahan belajar, kemampuan bahasa Arab
yang baik membuatnya mampu membaca Kitab Kuning. Ketika menjadi santri, Muhammad
Zaini menjadi muqri bagi teman-temannya.
Di Pondok Pesantren Darussalam terkenal ulama ahli dan penghapal hadits, Guru Sya’rani’Arif
yang dikenal sebagai Muhaddis wa Mufassir: Ulama yang memiliki ilmu seluas samudera,
namanya melegenda di kalangan tholabah di Martapura dan sekitarnya (Tim Al-Zahra, 2006:
126) sebagaimana dikisahkan H. Sibawahi, putra Guru Sya’rani’Arif, melalui istikharah Guru
Sya’rani’Arif memilih Muhammad Zaini sebagai murid khususnya. Kepada Guru Salman Yusuf,
Muhammad Zaini belajar kepada Guru Husein Qadri tentang Tarikh dan Tashaznzuuf dan
belajar kesufian ke Guru Muhammad Semman Mulya dan belajar mantiq kepada Guru H. Salim
Ma’ruf. Kepada Guru H. Salman Djalil, Muhamad Zaini belajar ilmu falak dan belajar qiraat
kepada Guru Nashrun Thaher.
Karena prestasinya bagus, setelah menamatkan pendidikan pada tahun 1961
sebagai peringkat pertama, Dewan Guru Pesantren Darussalam meminta Muhammad
Zaini untuk menjadi pengajar. Karena menguasai bidangnya, rupanya yang tampan, suara
yang bagus, humor konteksualnya dan contoh dari kisah-kisah hikmah yang mudah dimengerti,
menjadikan Guru Zaini disukai santrinya. Bidang yang diajarkannya ilmu akhlak.
Kepopuleran Guru Zaini menjadi buah bibir pada waktu itu. Para santri mulai ‘berburu’
tempat di mana Guru Zaini mengajar. Popularitas Guru Zaini semakin hari semakin meningkat
dan ternyata popularitas juga membawa dampak kurang baik. Untuk itu Guru Zaini fokus
beribadah, konsentrasi dengan mendekatkan diri kepada Allah SWT dengan khalwat. Makan
dikurangi, nasi putih dan tempe, tidak memakan makanan bernyawa. Malam hari salat tahajjud,
bermunajah kepada Allah SWT.
Guru Zaini selalu ingin meluaskan wawasan dan memperdalam pengetahuan
keagamaannya. Rihlah fi thalab al-’ilm pertama dilakukan ke kota Rantau, untuk belajar
tentang Nur Muhammad dan asal muasal kejadian alam kepada Guru Muhammad Gadung.
Lalu, ke Barabai, untuk memperdalam tarikat. Untuk memperdalam bacaan al-Qur’an
mendatangi Guru Muhammad Aini di Kandangan. Setelah hampir semua Guru di Martapura
didatangi, kemudian ulama-ulama terkenal di Kalimantan Selatan, Muhammad Zaini
melakukan rihlah fi thalab al-’ilm ke luar pulau Kalimantan.
Menjelang akhir tahun 1964, bersama Guru Semman Mulya, Guru Husein Wali, Guru
Badruddin, dan Guru Zaini Mursyid, Muhammad Zaini mendatangi ulama-ulama terkenal di
pulau Jawa. Berziarah ke makam Sunan Ampel, mendatangi Habib Muhammad bin Husein al-
Aydrus dan mendalami qasidah kepada Habib Muhammad bin Abu Bakar Assegaf. Mengunjungi
Kyai Hamid, menemui Guru Syarwani Abdan, ke tempat Habib Sholeh bin Muhsin di Tanggul,
Jember. Selanjutnya mengunjungi Habib Abu Bakar bin Muhammad as-Segaf Gresik dan ke

Ersis Warmansyah Abbas


369
makam Sunan Gresik. Perjalanan dilanjutkan menuju Jakarta menemui Habib Ali Kwitang dan
Habib Husein bin Abu Bakar Luar Batang, Jakarta Utara.
Setelah di Jakarta, dilanjutkan ke Bogor, ke tempat Kiai Tubagus Muhammad Falak
bin Tubagus Abbas (Kiai Falak) untuk belajar tarikat. Keseriusan Muhammad Zaini menuntut
ilmu kepada Kiyai Falak dibuktikan dengan mendatanginya beberapa kali untuk melakukan
suluk dan Kiai Falak memberikan 27 ijazah kepada Muhammad Zaini dan mendatangi Guru
Bangil, ulama yang sangat dihormati oleh Urang Banjar dan dijadikan rujukan untuk hal-hal
pelik yang terjadi di masyarakat untuk mencari solusinya.
Saat menunaikan rukun haji tahun 1971 Guru Sekumpul menuntut ilmu kepada Sayyid
Muhammad bin Amin al-Kutbi al-Makki. Ketika menunaikan rukun Islam untuk keduakalinya
(1980), Guru Sekumpul berguru dan mendapat banyak ijazah dari Habib Abu Bakar al-
Atthas al-Habsyi, Sayyid Hasan bin Muhammad, Sayyid ‘Ahnri bin Abbas al-Maliki, Syeikh
Yasin al-Fadani, Syeikh Ismail Yamani, Syeikh Zakaria bin Abdullah Bila al Makki dan
ketika penyakit ginjal sangat serius, tahun 2002, Guru Sekumpul melaksanakan umrah
membawa keluarga bermaksud membawa anak-anak sebagai bagian pendidikan.
Setelah memfokuskan aktivitasnya dengan khalwat, Guru Zaini membuka pengajian di
daerah Keraton Martapura pada tahun 1962 yang berkembang sangat pesat. Guru Zaini membacakan
Maulid al-Habsyi sebelum membaca kitab-kitab. Dalam pada itu, Guru Semman Mulya membawa
Guru Zaini untuk memperdalam pengetahuannya kepada Guru Syarwani Abdan Bangil (Guru
Bangil) tahun 1966. Setiba di Bangil, Guru Bangil meminta agar Guru Zaini mendatangi Kiai
Hamid Pasuruan, tetapi Kiai Hamid justru meminta agar Guru Bangil yang melakukannya dan
Guru Bangil mengajari Guru Zaini mempelajari kitab-kitab tentang Suluk dan tarikat.
Sepulang dari Bangil, Guru Zaini memilih mengajar para santri di rumahnya,
sistim halaqah agar tidak mengganggu, khalawat untuk ittiba’ sunnah Rasul. Semakin
populernya pengajian Guru Zaini berkembang isu bahwa pengajian tersebut sesat dan
menyesatkan. Beredarnya isu tersebut membuat Guru Semman Mulya, yang pengajiannya
populer di Martapura, meminta Guru Zaini memberikan pengajian di rumahnya pada malam
Senin dari malam Kamis menggantikannya karena Guru Semman Mulya akan ke Pulau Jawa
mengunjungi Guru Bangil. Sekembali Guru Semman Mulya dari Bangil, beliau meminta Guru
Zaini ke Bangil bersama ulama Martapura, Guru Badruddin, Guru Muhammad Rosyad, Guru
Abdul Qadhir Hasan, Guru Husein Qadri, dan Guru Salman. Ketika sampai di Bangil, Guru
Bangil menanyakan tentang isu yang menerpa Guru Zaini. Setelah mendengar penjelasan
Guru Zaini, Guru Bangil mengatakan bahwa apa yang diajarkan Guru Zaini tidak sesat.
Tidak disukai atau difitnah dalam berdakwah, menyebarkan ilmu yang dipelajari dengan
susah payah dan sungguh-sungguh oleh Guru Zaini, tidak mematahkan semangatnya untuk
menjadi pewaris Rasulullah. Pengajian malam Senin di rumah Guru Zaini didatangi banyak
jamaah sebagaimana pula di musala Darul Aman. Musala Darul Aman, jalan-jalan disekitar
musala Darul Aman, bahkan rumah penduduk di sekitarnya dipenuhi jamaah yang datang dari
berbagai daerah. Hal tersebut membuat Guru Zaini tidak nyaman, apalagi kemacetan terjadi
di sekitar daerah pengajian yang jalan-jalannya tidak terlalu lebar. Untuk mengatasinya, dengan

Ersis Warmansyah Abbas


370
mencari daerah baru untuk lokasi pengajian. Akhirnya, Guru Zaini memutuskan hijrah ke
Sekumpul yang pada waktu masih daerah kosong tanpa penghuni.
Guru Zaini seorang yang total berdakwah dan rupanya yang tampan, zuriat Muhammad
Arsyad Al-Banjary, ulama terkenal, umurnya telah mendekati 30 tahun, tetapi beum menikah. Ketika
diundang ke rumah Sulaiman untuk menghadiri acara Maulud Nabi SAW, Guru Zaini bertemu
dengan gadis yang ‘menggetarkan’ hatinya, Siti Juwairiah, putri Sulaiman. Setelah mendapat
restu dari Guru Bangil dan Kiai Hamid, dilakukan akad nikah pada bulan April 1975. Setelah
13 (tiga belas tahun) menikah, Guru Zaini belum dikurniai anak. Guru Zaini memperistri
enam wanita, yaitu Siti Juwairiyah, Nurlaila Hayati, Sofia (dicerai), Zaenab (dicerai), Huda, dan
Noor Jannah dan berpoligami untuk mendapatkan anak untuk melanjutkan perjuangannya. Ketika
berumur 50, pada 6 Januari 1995 lahir putra pertamanya dari Nurlaila Hayati, Muhammad
Amin Badaly dan pada tanggal 19 Maret 1996 lahir putra kedua, Ahmad Hafi Badaly.
Guru Sekumpul bukan hanya menyayangi keluarganya, tetapi semua murid-muridnya;
guru yang hanya memberikan ilmu melalui pengajian, juga tempat untuk mengadu, meminta
solusi bagi permasalahan kehidupan pribadi dan sosial. Orang biasa, tukang becak, atau pejabat
datang kepada Guru Sekumpul untuk mengadukan hal-hal tertentu guna dicarikan solusinya.
Guru Sekumpul adalah pemimpin dan panutan masyarakat yang sangat terkenal dengan
kelemahlembutannya. Demikian ketika melakukan pengajian begitu pula ketika menyambut
tamu yang diselingi dengan lelucon konteksual.
Penegakkan kebenaran dalam keluarga, menjaga keharmonisan keluarga,
dikembangkan dalam hubungan bertetangga, orang sekampung dan seterusnya. Manakala di
keluarga atau di masyarakat terdapat perbedaan, perbedaan bukan dikembangkan menjadi
pertengkaran atau permusuhan, tetapi diselesaikan dengan mencari solusi yang tepat agar
ketentraman masyarakat terjamin. Jika ingin memperbaiki masyarakat (umat) dan negara ini,
perbaiki dulu kehidupan keluarga. Keluarga adalah bangun dasar masyarakat.
Karena itu, sangat logis pejabat pemerintahan tingkat Kalimantan Selatan mendatangi
Guru Sekumpul, ketika memulai dan mengakhiri masa jabatan atau memohon petunjuk. Hal
serupa dilakukan tokoh-tokoh masyarakat. Tokoh-tokoh nasional, seperti Megawati
Soekarnoputri, Hamzah Haz, Abdurrahman Wahid, dan sangat banyak lagi kalau dituliskan.
Abdullah Ahmad Badawi, perdana menteri Malaysia, juga berkunjung ke Sekumpul untuk
bersilaturahim, juga dari kalangan artis. Tercatat pula, Syeikh Ismail Yamani (Yaman), Syeikh
Yasin al-Fadani (Mekah), Habib Ahmad Assegaf (Yaman), Habib Salim asy-Syatiri, Habib Abdullah
Baharun (Yaman), Imam Masjidil Aqsha, Muadzin Masjidil Haram, dan banyak lagi yang bersilaturahim
dengan Guru Sekumpul.
Pikiran, ucapan, dan tindakan Guru Sekumpul yang ‘melebihi’ manusia kebanyakan
sebagai manifestasi ke-tawadhu-’annya, ke-zuhud-anya sampai ke tingkat wara’. Pada tahun
1987, Guru Sekumpul merasakan sakit yang berasal dari usus. Setelah dilakukan operasi usus
buntu, kesehatan beliau membaik. Akan tetapi, pada awal tahun 2000, perutnya dirasakan
sakit, kembung, dan terkadang mencret dan setelah melakukan general check up ditemukan
kelainan fungsi ginjal. Pada bulan September 2000 dirasakan sakit lebih serius. Ginjal Guru

Ersis Warmansyah Abbas


371
Sekumpul sudah tertutup oleh kiste dan dibawa ke RS dr. Soetomo Surabaya. Setelah dirawat
selama dua minggu, fungsi ginjal Guru Sekumpul membaik.
Pada awal tahun 2001 dilakukan pemeriksaan di RS Budi Mulia Surabaya dan harus
melakukan cuci darah (hemodialisis). Sekalipun tidak sehat, Guru Sekumpul tetap melakukan
pengajian sambil berbaring di tempat tidur dan rutin menjalani cuci darah. Kesehatan Guru
Sekumpul semakin memburuk dan pada awal tahun 2004 beliau menjalani rawat inap di RSU
Ulin Banjarmasin dan sejak tahun 2005 pengajian dihentikan. Pada 29 Juli 2005 dibawa ke
rumah sakit Mount Elizabeth Singapura. Pada 8 Agustus 2005, Guru Sekumpul mengalami
sesak napas, tensi darah beliau menurun drastis dan 9 Agustus 2005 dibawa ke Tanah Air.
Begitu mendarat di Bandara Syamsudin Noor Banjarbaru pukul 21.00 Wita dan langsung dibawa
ke Kompleks Sekumpul dengan kondisi sangat lemah. Allahu Akbar. Allah SWT, penentu segala
sesuatu. Pada dini hari, Selasa 9 Agustus 2005, pukul 04.40 WITA Allah SWT memanggil K.H.
Muhanmad Zaini Ghani bin Abdul Ghani ke rumahNya, Inna lillahi wa Innailaihi Rajiun. Lantunan
ayat-ayat al-Qur’an, surah Yasin, dan doa-doa dipanjatkan ke haribaan Sang Khalik.
Berita tersebut menyebar ke seantero Kalimantan Selatan dan ke daerah lainnya.
Keluarga, murid-murid, jamaah, dan masyarakat umum menghentikan aktivitas untuk tafakur
dan berdoa. Sebagian besar instansi pemerintah, kantor-kantor swasta dan sekolah libur tanpa
diperintah dan diberi izin. Para pedagang menghentikan aktivitas, tukang becak memarkir
becak dalam wajah-wajah kesedihan. Tanpa dikomando, mereka menuju Sekumpul. Kota
Martapura, khususnya Kompleks Sekumpul, menjadi lautan manusia. Jalan-jalan penuh sesak,
macet di mana-mana. Mobil pribadi, sepeda motor, angkutan umum merayap. Pesawat udara
dari luar Kalimantan Selatan pun penuh sesak. Semua menuju Sekumpul.
Guru Sekumpul telah tiada, kembali ke haribaan Sang Pencipta. Guru Sekumpul
mengajak dan mengajarkan: “Setiap orang harus mengenal siapa dirinya, datang dari
mana, sedang dimana dan melakukan apa, dan hendak kemana?” Beliau lebih dahulu
menjawab pertanyaan hendak kemana, menemui Sang Maha Pencipta.
Sekalipun Guru Sekumpul telah menemui asal-muasal manusia, Sang Khalik,
ajaran Guru Sekumpul, agar mengenal diri dalam bingkai, memperkokoh keimanan,
meningkatkan ketakwaan dengan meneladani Rasulullah dalam mendekatkan diri dan
mencari keridhaan Allah SWT telah melekat pada batin murid-murid dan jamaah pengajian
Sekumpul. Hikmah-hikmah dakwah Guru Sekumpul berbuah kerinduan yang diwujudkan
dengan menziarahi makam Guru Sekumpul. Pada setiap hari, apalagi pada hari-hari libur,
peziarah penuh sesak berdoa dan berzikir. Damailah, diberkahi, dan selamat bertemu dengan
kekasih sejati, wahai guru kami, Guru Sekumpul.
2.2 Biografi Propetik Guru Sekumpul dan Transformasi Nilai-Nilai Budaya Banjar
Guru Sekumpul dididik dalam keluarga dengan mengutamakan ketaatan beribadah
dan akhlak dengan meneladani Rasulullah SAW. Sirah Rasulullah merupakan sarana untuk
mentransformasikan sifat-sifat Rasulullah; sidiq, amanah, tabligh, dan fathanah yang
diinternalisasikan yang menjadikan sikap belajar; patuh, hormat, disiplin, sabar dan ikhlas
sebagai kewajiban fardu ‘ain yang untuk memahami hakikatnya dan diinternalisasikan sehingga

Ersis Warmansyah Abbas


372
menjadi dasar dalam membangun kepribadian dengan memahami posisi diri; “datang dari
mana, sedang dimana dan melakukan apa, dan hendak kemana”.
Hal tersebut menimbulkan ghirah, himmah dan mujahadah; bersemangat belajar;
disiplin, amanah dan sabar, dan pantang menyerah dan mengembangkan potensi diri dengan
mengikuti halaqah, siyahah, dan rihlah. Belajar bukan sekadar untuk mengetahui, tetapi untuk
dipahami untuk diinternalisasikan dengan khalwat dan suluk, bermunajat kepada Allah SWT.
Belajar tentang Ilmu Allah melalui ciptaan-Nya dan memposisikan diri sebagai pembelajar
seumur hidup (long life education) untuk ‘kesucian jiwa’ yang melahirkan keikhlasan dalam
kehidupan dan dalam berdakwah, istiqamah berdakwah.
Pendidikan keluarga menanamkan pentingnya ibadah dengan meneladani Rasulullah
SAW yang menjadikan Guru Sekumpul menanamkan sifat-sifat Rasulullah SAW; sidiq, amanah,
tablig, dan fathanah yang menjadikan Guru Sekumpul seorang yang patuh dan hormat kepada
orang tua, disiplin, sabar dan ikhlas. Sifat-sifat tersebut dikembangkan melalui halaqah, rihlah,
siyahah, khalwat, dan suluk sehingga Guru Sekumpul bersentuhan dengan tasawuf yang
melahirkan sifat dan sikap kehidupan zuhud, tawadhu’, wara’, sidiq, dan istiqamah yang
diaplikasikan dalam sikap husnudzon, pemaaf, santun, perhatian, suka bersilaturahmi, dan

Ersis Warmansyah Abbas


373
pemberi. Nilai-nilai membelajarkan diri tiada henti dan menjadi pengajar berdasarkan
keikhlasan. Secara diagramatis terlihat sebagai berikut:
Guru Sekumpul dididik dalam pendidikan keluarga berlandaskan Islam dengan
mengutamakan ketaatan beribadah dalam membangun sifat qonaah dan tahammul. Mempelajari
ilmu melalui dua jalan, yaitu: ilmu awraq yang tertulis dalam kitab atau catatan-catatan dengan
mempelajarinya atau belajar kepada ulama dan ilmu azwaq sebagai buah ketakwaan dengan
mengamalkan ilmu-ilmu syariat, yaitu ilmu laduni yang langsung diturunkan Allah SWT.
Dalam kerangka pembelajaran nilai-nilai budaya, nilai-nilai biografi Guru Sekumpul
sangat powerful dijadikan rujukan. Bagaimana Guru Sekumpul dididik dalam pendidikan
keluarga Islamis, meneladani kehidupan Rasulullah berdasarkan sifat-sifatnya mulia, mendidik
dirinya sebagai manusia pembelajar, mentransformasikan nilai-nilai Islam (budaya Banjar)
dan diinternalisasikan dan diaplikasikan dalam kehidupan yang menjadikan Guru Sekumpul
sebagai penyalin sifat-sifat Rasulullah adalah tauladan dalam pengembangan potensi.
Nilai-nilai perjuangan dan keteladanan Guru Sekumpul dalam memperoleh
pendidikan merupakan tauladan sangat positif, bahwa memahami belajar sebagai kewajiban
fardu ‘ain mampu menghadapi kendala-kendala untuk terus belajar, belajar, dan belajar;
belajar tiada henti. Dari belajar tiada henti, dengan menyalin sifat-sifat Rasulullah, Guru
Sekumpul mewakafkan diri dan kehidupannya untuk menjadi guru (pendakwah) dengan
keikhlasan. Keikhlasan berdakwah menjadikan dakwah Guru Sekumpul powerful.
2.3 Pengajian Sekumpul dan Transformasi Nilai-Nilai Budaya Banjar
Pengajian Sekumpul berlandaskan syahadat sebagai ikrar yang bukan sekadar untuk
diucapkan, tetapi untuk dipraktikkan dalam kehidupan berbasis pengetahuan (ilmu) dan akhlak
yang dibangun dari tiga hal pokok: tauhid, fikih, dan tasawuf. Tauhid dimaksudkan untuk
memantapkan keimanan yang dalam implementasinya bersandarkan pemahaman tentang
fikih dan dimantapkan dengan tasawuf untuk mendekatkan diri kepada Allah SWT. Pengajian
Sekumpul dibangun dalam kerangka memotivasi belajar sebagai kewajiban fardu ‘ain dalam
memahami hakikat syahadat, syariat dan makrifat untuk memperkokoh keimanan dan
meningkatkan ketakwaan kepada Allah SWT dengan meneladani Rasulullah SWT.
Untuk itu, setiap orang harus melakukan introspeksi, menyadari diri, menyadari
kesalahan dengan bertobat, memperbaiki diri dengan pembersihan kalbu. Bermodalkan kalbu
yang bersih dalam fitrah keimanan, berserah diri dan meminta ampun kepada Allah SWT,
ikhlas belajar. Nilai-nilai yang dibangun merupakan pembelajaran bermakna yang
membangkitkan semangat para jamaah (pembelajaran) untuk belajar, belajar, dan belajar.
Belajar dipahami sebagai kebutuhan masing-masing untuk memperbaiki diri, bukan dengan
tujuan untuk mendapatkan pengakuan atau ijazah, tetapi sebagai kebutuhan jamaah.
Pengajian dimaknai dalam memotivasi belajar sebagai kewajiban fardu ‘ain. Dengan
belajarlah dimungkinkan memperkokoh iman, meningkatkan ketaqwaan kepada Allah SWT
dengan meneladani Rasulullah. Guru Sekumpul tidak mencela kesalahan siapa pun, sebab
yang terpenting bagaimana menyadari kesalahan dengan bertobat dengan memperbaiki diri.
Nilai-nilai tersebut menjadi landasan pengajian Sekumpul sehingga pengajian Sekumpul

Ersis Warmansyah Abbas


374
menarik minat para jamaah untuk belajar karena dirasakan sangat bermakna. Transformasi
nilai-nilai budaya Banjar dalam pengajian Sekumpul seperti pada diagram berikut:

Pengajian Sekumpul dengan tujuan untuk memperkokoh keimanan dan meningkatkan


ketakwaan kepada Allah SWT dengan meneladani Rasulullah SAW. Belajar (memperbaiki diri)
sebagai kewajiban fardu ‘ain merupakan aktivitas individual. Untuk itu pemahaman syahadat
sebagai dasar dimana pengembangan pemahaman tentang ajaran Islam akan membentuk
akhlak Islamis. Cara terbaik dengan berserah diri kepada Allah SWT, ikhlas dalam belajar
untuk memperbaiki.
Keikhlasan merupakan wahana kalbu dalam menangkap hikmah-hikmah yang
kemudian diinternalisasikan untuk dipraktikkan dengan adab (akhlak) Islam. Pengetahuan
tentang Islam dengan tiga tema besar, tauhid, fikih, dan tasawuf dipandang sebagai rujukan
untuk dipahami dan diinternalisasikan akan menjelma menjadi perbuatan yang Islamis. Model
transformasi nilai-nilai tersebut adalah model penyadaran diri. Pembelajar yang menatap dirinya,
melakukan introspeksi, membersihkan penyakit hati, dan membangun dirinya dengan nilai-
nilai Islam. Ukhuwah Islamiyah akan memacu perbuatan baik dimana sesama Muslim saling
berlomba dalam kebaikan. Ikhlas dan keikhlasan yang berdimensi vertikal dan horizontal.

Ersis Warmansyah Abbas


375
Transformasi nilai-nilai Islam dilakukan dengan pengetahuan yang apabila dipahami
jamaah akan memotivasi untuk memperbaiki diri. Dengan model transformasi demikian, Guru
Sekumpul berhasil memotivasi jamaah untuk memperbaiki diri dengan keikhlasan sehingga
terbangun ukhuwah Islamiyah.
2.4 Metode Guru Sekumpul dan Transformasi Nilai-Nilai Budaya Banjar
Dalam pengajian Sekumpul, Guru Sekumpul memadukan metode dakwah bil-lisan,
dakwah bil-hal, dan dakwah bit-tadwin yang penulis tasbihkan sebagai Metode Guru Sekumpul.
Metode Guru Sekumpul berbasis keluasan dan kedalaman pengetahuan Islam dan umum,
memahami budaya dan psikologis jamaah. Allah SWT membuka pintu taubat dan super kaya
dengan maaf, kasih sayang, rahmat dan hidayah-Nya. Belajar sebagai totalitas, bukan hanya
pada ranah kognitif, tetapi dengan mengaktifkan ranah afektif dan psikomotorik.
Pengajian dimulai dengan salat berjamaah dan wiridan, dan diakhiri dengan Maulud
Habsyi dan Salawat Burdah dalam dakwah bil-lisan dengan contoh konteksual, sehingga
bermakna, memberi penyadaran, dan menyenangkan. Prinsip kaji dan gawi dalam dakwah bil-
hal merupakan paduan yang dipelajari yang diperkuat dengan berbagi dan memantapkannya
dengan menuliskan materi ajaran (kitab, kaset, dan CD ROM) sebagai aktualisasi dakwah bit-
tadwin. Berdakwah merupakan kewajiban setiap muslim sehingga jamaah yang telah
memahami hakikat, syahadat, syariat, dan makrifat membagikan kepada keluarga, tetangga,
dan masyarakat yang penulis mengistilahkan sebagai Dakwah Berantai.
Prinsip-prinsip Metode Guru Sekumpul, sekalipun Guru Sekumpul tidak mempelajari
secara akademis prinsip-prinsip belajar dan mengajar, tidak bertentangan dengan prinsip-
prinsip belajar-mengajar pendidikan umum yang dalam koteks pembelajaran, prinsip-prinsip
dan nilai-nilai Metode Guru Sekumpul tersebut dapat diadopsi sebagai nilai-nilai budaya dalam
pendidikan karakter menjadi powerful.
Dalam transformasi nilai-nilai budaya Banjar yang berbasis nilai-nilai Islam,
sebagaimana dikembangkan Guru Sekumpul, kata kuncinya adalah, meneladani Rasulullah.
Alur pikirannya dapat dilihat pada diagram berikut:

Ersis Warmansyah Abbas


376
Metode Guru Sekumpul sangat powerful diadopsi dalam pendidikan karakter.
Pengetahuan (ilmu) yang memadai, baik pengetahuan Islam maupun pengetahuan umum,
memahami kebutuhan (kondisi psikologis) jamaah, dilakukan dengan metode mengajar
(pengajian) yang tepat, dan didasari keikhlasan, berdakwah lillahi ‘taala.
2.5 Trasformasi Nilai-Nilai Budaya Banjar melalui Ajaran dan Metode Guru
Sekumpul sebagai Pedidikan Karakter
Nilai-nilai budaya Banjar merupakan inti pengajian Sekumpul dalam arti, budaya Banjar
dibangun berdasarkan nilai-nilai Islam. Transformasi nilai-nilai Islam dikembangkan
berdasarkan al-Qur’an dan Hadis dengan meneladani sifat-sifat Rasulullah SAW dengan
menekankan materi ajaran pada tauhid, fikih, dan tasawuf. Pembelajaran tauhid untuk
memperkokoh keimanan untuk memahami hakikat Allah SWT melalui Sifat Dua Puluh.
Pembelajaran fikih menyangkut kewajiban muslim dalam beribadah dan muamalah
berdasarkan al-Qur’an, Hadis, ijma’ maupun ijtihad. Untuk memantapkannya Guru Sekumpul
mengajarkan tasawuf Sammaniyah untuk memahami hakikat Allah SWT, hakikat manusia,
dan penyerahan diri secara total kepada Allah SWT.
Transformasi nilai-nilai budaya Banjar dilakukan melalui ajaran Metode Guru
Sekumpul dengan menggabung metode bil-lisan, metode bil-hal, dan metode bit-tadwin dengan
prinsip kaji dan gawi. Nilai-nilai Islam dan nasionalisme teraplikasi dalam cara berpikir, bertindak,
dan berbuat berdasarkan kepentingan bangsa dan falsafah Pancasila berkesesuaian dengan
ajaran Islam. Dengan demikian, ajaran dan Metode Guru Sekumpul sebagai metode pendidikan
nilai dapat diadopsi dalam pendidikan karakter yang powerful.
Transformasi nilai-nilai budaya Banjar dalam ajaran dan Metode Guru Sekumpul
dalam kerangka pendidikan karakter secara diagramatis dapat dilihat pada tabel berikut:

Ersis Warmansyah Abbas


377
Guru Sekumpul menyampaikan pengetahuan (ilmu) untuk dipahami, diinternalisasikan
dan dipraktikkan atau kaji dan gawi dalam pembelajaran sepanjang hayat untuk memperkokoh
keimanan dan meningkatkan ketaqwaan kepada Allah SWT yang diringkas sebagai berikut:
1. Nilai-nilai penyadaran sebagai muslim dan kebangsaan (nasionalisme).
2. Nilai-nilai pembelajaran sepanjang hayat (long life education).
3. Nilai-nilai keimanan dan ketaqwaan kepada Allah SWT dengan meneladani
Rasulullah SAW.
4. Nilai-nilai kewajiban memperbaiki diri (introspeksi) dan keikhlasan.
5. Nilai-nilai pembelajaran powerful.
Karakter Islamis yang nasionalistik berbasis akhlak (Islam), tidak bertentangan dengan
nilai-nilai kebangsaan, justru dengan berkarakter Islam anak bangsa akan menjadi pejuang-
pejuang kebangsaan. Dengan kata lain, akhlakul kharimah bersifat universal. Dengan demikian
pendidikan karakter ekuivalen dengan pendidikan akhlak. Kewajiban kewarganegaraan dalam
pandangan Islam sepadan dengan pendidikan akhlak atau pendidikan moral.

III. SIMPULAN
Dalam pendidikan karakter, materi pembelajaran masyarakat dan kebudayaan Banjar
belum memadai sehingga peserta didik tidak dibekali pengetahuan memadai tentang masyarakat
dan kebudayaan Banjar yang berakibat peserta didik belum cakap dalam kehidupan sosialnya,
bahkan cenderung tercerabut dari akar budayanya. Untuk memaksimalkan pencapaian pendidikan
karakter, pendidikan karakter hendaklah bermuatan nilai-nilai budaya Banjar yang memiliki daya
dukung dalam pencapaian tujuan pendidikan karakter, dan konstruktif dan kontributif. Masyarakat
dan kebudayaan Banjar powerful sebagai sumber pendidikan karakter sehingga peserta didik
cakap berkehidupan dalam kehidupan sosialnya sebagai anggota masyarakat (lokal), warga
negara Indonesia (nasional), dan bagian masyarakat dunia (global).
Kesimpulan penelitian ini diformulasikan sebagai berikut:
Pertama, kehidupan Guru Sekumpul adalah keteladanan dari pendidikan keluarga
dengan mengamalkan perintah Allah SWT, iqra’, iqra’, iqra’ dan menginternalisasikan sifat
Rasulullah (siddiq, amanah, tabligh dan fathanah) sebagai aplikasi transformasi nilai-nilai
budaya yang membentuk sikap patuh, hormat, disiplin, sabar dan ikhlas yang menimbulkan
ghirah, himmah, mujahadah dan pantang menyerah dimatangkan dengan halaqah, rihlah,
siyahah, khalwat dan suluk sehingga sesuai antara pengetahuan, perkataan, dan perbuatan,
dan menjadikan Guru Sekumpul sebagai pembelajar seumur hidup dalam paduan belajar
dan ‘pensucian jiwa’, menyatukan kaji dan gawi yang membuahkan keikhlasan dalam kehidupan
sehingga istiqamah berdakwah, lillaahi ta’ala.
Kedua, proses transformasi nilai-nilai melalui pengajian Sekumpul berdasarkan
pemahaman syahadat dalam membangun akhlak Islamis berdasarkan tauhid, fikih, dan tasawuf
untuk memperkokoh keimanan, meningkatkan ketakwaan dengan meneladani Rasulullah
dalam penyadaran diri, bertobat, dan memperbaiki diri untuk pembersihan kalbu dalam

Ersis Warmansyah Abbas


378
membangun sikap ikhlas sebagai kewajiban fardu ‘ain, dengan prinsip belajar introspeksi;
datang dari mana, sedang dimana dan melakukan apa, hendak kemana, sebagai teknik
pembersihan kalbu untuk mencapai keikhlasan dalam menunaikan tugas hablumminallah
dan hablumminannaash dalam ukhuwah Islamiyah.
Ketiga, Metode Guru Sekumpul dalam transformasi budaya Banjar merupakan paduan
metode dakwah bil-lisan, dakwah bil-hal, dan dakwah bit-tadwin sebagai paduan serasi antara
ceramah yang hebat dengan contoh-contoh konteksual, bermakna, menimbulkan penyadaran,
menyenangkan dengan kesesuaian antara pengetahuan, apa yang diucapkan dengan apa
yang dilakukan, diperkuat dengan karya tulis sehingga prinsip kaji dan gawi dalam tindak berbagi
dipadukan dengan karya buku, kaset, dan CD ROM sehingga powerful.
Keempat, transformasi nilai-nilai budaya Banjar melalui ajaran dan Metode Guru Sekumpul
sangat powerful dijadikan sumber pendidikan karakter bermuatan nilai-nilai budaya Banjar (Islam)
dan nilai-nilai kebangsaan (nasionalisme), nilai-nilai pembelajaran sepanjang hayat (long life
education), nilai-nilai keimanan dan ketaqwaan kepada Allah SWT dengan meneladani Rasulullah
SAW, nilai-nilai kewajiban memperbaiki diri (introspeksi) dan keikhlasan dalam membangun
kewajiban individual, dalam hablumminannash maupun dalam habulumminallah.

DAFTAR PUSTAKA
Abbas, E. W. 2000. Banjarbaru. Banjarbaru: Lembaga Pengkajian Kebudayaan dan Pembangunan
Kalimantan Selatan.
Abbas, E. W. 2000. Sejarah Perjuangan Rakyat Kabupaten Banjar Dalam Revolusi Fisik 1945-1949.
Banjarbaru: Lembaga Pengkajian Kebudayaan dan Pembangunan Kalimantan Selatan.
Abbas, E. W., dan Bambang S. 2005. Syekh Muhammad Arsyad Al-Banjary. Banjarmasin: Universitas
Lambung Mangkurat.
Anonim. t.th. Al’Allamah Syekh Muhammad Zaini Sekumpul Martapura, Martapura:Percetakan Putra
Sahara. Comp.
Anonim. 2010. Pembangunan Karakter Bangsa Tahun 2010-2025 (Desain Induk). Jakarta: Pemerintah
RI.
Aqib, Z., dan Sujak. 2011. Panduan dan Aplikasi Pendidikan Karakter. Bandung: Yrama Widya.
Bogdan, R. C. N. and Sari K. B. 1982. Qualitative Research for Education; Introduction to Theory and
Methods. Boston: Allyn and Bacon.
Bungin. 2007. Penelitian Kualitatif Komunikasi, Ekonomi, Kebijakan Publik, dan Ilmu Sosial lainnya,
Jakarta: Kencana Prenada Media Group.
Creswell, J. W. 1998. Qualitative Inquiry and Research Design, Choosing Among Five Traditions. Thousand
Oaks: Sage Publications.
Daud, A. 1997. Islam dan Masyarakat Banjar Deskripsi dan Analisa Kebudayaan Banjar. Jakarta: PT.
Raja Grafindo Persada.
Daudi, A. 1996. Muhammad Arsyad Al-Banjari. Martapura: Sekretariat Madrasah Sullamul ‘Ulum.
Departemen Pendidikan Nasional Indonesia. 2008. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta: Gramedia.
Denzin, N. K. and Yvonna S. L. 2009. Handbook of Qualitative Research, Terjemahan Dariyanto dkk.,
Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Ersis Warmansyah Abbas


379
Echols, J. dan Hassan S. 2005. Kamus Inggris Indonesia. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.
Elmubarok, Z. 2008. Membumikan Pendidikan Nilai. Bandung: Alfabeta.
Halidi, Y. 1980. Ulama Besar Kalimantan Syekh Muhammad Arsyad Al-Banjari, Banjarmasin: Aulia.
Hirst, P., and Grahame T. 1996. Globalisasi Adalah Mitos. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.
Ideham, S. M. 2005. Urang Banjar dan Kebudayaannya. Banjarmasin: Badan Penelitian dan Pengembangan
Daerah Provinsi Kalimantan Selatan dan Pustaka Banua.
Koentjaraningrat. 2009. Pengantar Ilmu Antropologi. Jakarta: Rineka Cipta.
Kuntowijoyo. 1994. Metodologi Sejarah, Yogyakarta: Tiara Wacana Yogyakarta.
Lari, S. M. M. 2005. Menumpas Penyakit Hati. Jakarta : Lentera.
Leirissa, R.Z. 2005. Pemikiran Biografi dan Kesejarahan. Jakarta: Depdiknas, Direktorat Sejarah dan Nilai
Tradisional.
Lickona, T. 1992. Educating for Character, How Our Schools Can teach Respect and responsibility. New.
York: Bantam Books.
Megawangi, R. 2007. Membangun SDM Indonesia melalui Pendidikan Holistik Berbasis Karakter, dalam
Kamal Abdul Hakam. 2007. Bunga Rampai Pendidikan Nilai. Bandung: UPI.
Mirhan AM. 2012. K.H. Muhammad Zaini Abdul Ghani di Martapura Kalimantan Selatan (1942-2005):
Telaah terhadap Karisma dan Peran Sosial.Program Pascasarjana UIN Alauddin Makasar:
Tidak diterbitkan.
Mubarok, A. 2008. Psikologi Dakwah. Jakarta: Pustaka Firdaus.
Moleong, L. J. 2009. Metodologi Penelitian Kualitatif, Bandung: PT. Remaja Rosdakarya.
Mulyana, R. 2004. Mengartikulasikan Pendidikan Nilai. Bandung: Alfabeta.
Nasution. 1988. Metode Naturalistik Kualitatif. Bandung: Tarsito.
Pemerintah Provinsi Kalimantan Selatan. 2005. Urang Banjar dan Kebudayaannya. Banjarmasin, Badan
Peneliti dan Pengembangan Daerah Provinsi Kalimantan Selatan.
Ras, J.J. 1968. Hikajat Bandjar: A Study in Malay Historiography, The Hague: Nijhoff (Koninklijk Insitituut
voor Taal-, Land- en Volkenkunde).
Saleh, I. 2007. Urang Banjar dan Kebudayaannya. Banjarmasin: Badan Penelitian dan Pengembangan
Daerah Provinsi Kalimantan Selatan dan Pustaka Banua.
Sulfan, N. 2010. Pendidikan Berbasis Karakter. Surabaya: Jepe Pres Media Utama.
Suparta, M. dan Harjani H. 2003. Metode Dakwah. Jakarta: Kencana.
Tim Al-Zahra. 2006. Guru Sekumpul: Biografi Tuan Guru Muhammad Zaini bin Abdul Ghani. Martapura:
PT Mandiri.
Tim Pustaka Basma 2011. 12 Ulama Kharismatik di Indonesia. Surabaya: Cahaya Ilmu Publisher.
Zuhri, S. 1982. Unsur Politik dalam Dakwah, Bandung: PT Al Ma’arif.
Zulkarnain. 2008. Transformasi Nilai-nilai Pendidikan Islam. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Zubaidi. 2011. Desain Pendidikan Karakter. Jakarta: Prenada Media Group.
Zein, I. 2012. Al’Alimul ‘Allamah Al’Arif Billah As-Syekh H. Muhammad Zaini Abdul Ghani, Martapura:
Yayasan Pendidikan Dalam Pagar.
Zein, I. 2012. Manaqib Guru Sekumpul. Martapura: Yayasan Pendidikan Dalam Pagar.

Ersis Warmansyah Abbas


380
PERAN SEKOLAH DALAM MEMBINA PESERTA DIDIK MENJADI
WARGA NEGARA BERKARAKTER DEMOKRATIS
Fatimah
Universitas Lambung Mangkurat

ABSTRAK
Terwujudnya pribadi warga negara demokratis tidak bisa lepas dari pendidikan, karena di
ranah pendidikanlah manusia ditumbuhkembangkan dan dibina potensinya agar menjadi
manusia sebagaimana diharapkan oleh tujuan pendidikan. Namun demikian hendaknya diingat
bahwa pribadi peserta didik yang dikehendaki tergantung juga dengan corak pendidikan yang
diyakini dan dilaksanakan. Pribadi warga negara demokratis tentunya akan mewujud melalui
pendidikan demokratis yang diselenggarakan oleh sekolah demokratis. Jadi dapat dikemukakan
bahwa pendidikan demokratis sebenarnya tidak hanya terbatas pada praktik-praktik dan
instrumen-instrumen pendidikan tetapi juga meliputi proses, yang menjadi alat penentu dan
alat kontrol terhadap “spirit” serta suasana yang terjadi dalam pendidikan demokratis. Pendidikan
demokratis eksistensinya ditentukan oleh sekolah yang menjadi wahana dari pendidikan itu
berlangsung. Jika sekolah yang menjadi wahana pendidikan selaras dengan pendidikan
demokratis, maka proses, praktik dan instrumen demokratis akan berjalan sejajar
menumbuhkembangkan dan membina pribadi warga negara demokratis. Kalau tidak, maka
apa yang diharapkan dalam tujuan pendidikan nasional, yakni salah satunya adalah karakter
warga negara demokratis akan mengalami kendala dalam merealisirnya, atau tidak sesuai
seperti yang diharapkan. Karena itu, implementasi dari sekolah “demokratis” akan membawa
implikasi-implikasi terhadap peran-peran dan perilaku para pengelola dan para guru di
dalamnya. Selain itu dalam sekolah demokratis para peserta didik akan bersama-sama dalam
menentukan lingkungan, proses dan muatan belajar mereka sendiri.

I. PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Masalah
Lahirnya pendidikan karakter berbasis nilai akhir-akhir ini di Indonesia sendiri dibidani
oleh kegagalan pola pendidikan modern yang tidak membawa kedamaian dan perbaikan
terhadap peradaban manusia. Hegemoni peradaban Barat yang didominasi oleh pandangan
hidup saintifik (scientific world view) selain mengakibatkan dampak positif (di bidang sain dan
teknologi), juga mengakibatkan dampak negatif terhadap manusia. Dampak negatif tersebut

Fatimah
381
menjalar juga terhadap bidang ilmiah dengan hebat, khususnya dalam bidang epistemologi.
Hal itu berawal dari para pemikir raksasa yang mencoba mengubah peradaban manusia.
Salah satunya, Rene Descartes (1650 M) sebagai icon Barat, yang menyandang gelar “bapak
filsafat modern” dengan prinsip “Aku berfikir, maka Aku ada” (cogito ergo sum), berhasil
menggiring peradaban manusia sebagai ‘pemuja’ rasio.
Pendidikan era modern tersebut, yang lebih menitikberatkan pada pendidikan bebas
nilai (value free) telah memporak-porandakan nilai-nilai luhur kemanusiaan. Perubahan masyarakat
akibat perkembangan IPTEK membawa dampak yang besar pada budaya, nilai dan agama
(Susanto, 1998). Derasnya gelombang globalisasi mengakibatkan terjadinya pergeseran nilai
dan terjadinya degradasi moral pada peserta didik. Keluarga dan sekolah akhir-akhir ini kebanyakan
tidak dapat berperan sepenuhnya dalam pembinaan moral, sehingga pembinaan moral saat ini
(di lembaga formal nonformal, dan informal) merupakan sesuatu yang tidak bisa ditawar-tawar
lagi. Jika pun pendidikan dikatakan sudah tidak bebas nilai, dan sudah menganut nilai tertentu,
maka nilai yang menjadi orientasi utama dalam pendidikan adalah nilai ekonomis dan
pragmatisme, karena diarahkan pada ajang pemenuhan tuntutan pasar semata, karena hal itu
sebenarnya merupakan tuntutan kalangan kapitalis yang sarat dengan nilai pragmatisme dan
ekonomis sehingga dalam dunia pendidikan dan masyarakat terjadi:
1. Pergeseran sistem pendidikan Indonesia yang cenderung berorientasi pada
pemenuhan kepentingan kalangan kapitalis, mengejar target indikator dengan
standar keberhasilan pendidikan hanya menggunakan ukuran-ukuran formal yang
bertumpu pada nilai akademik (UAN), rating sekolah dan fasilitas fisik berbasis
teknologi (SBI, SSN). Semua tenaga dan waktu yang dimiliki sekolah dialokasikan
hanya untuk memacu kemampuan kognitif siswa. Akibatnya fungsi-fungsi normatif
pendidikan sebagai arena pembelajaran dan penyadaran siswa sebagai sosok
pribadi manusia cenderung terabaikan. Sekolah sebagai institusi yang semestinya
menanamkan nilai-nilai moral seperti kepatuhan, rasa toleransi, kebersamaan dan
musyawarah kian memudar, berganti menjadi ajang kompetisi individualistis, bahkan
menunjukkan ketidakpatuhan pada norma-norma yang menjadi akar pendidikan,
yaitu nilai-nilai agama dan budaya.
2. Perubahan sosial di masyarakat telah terjadi pergeseran nilai atau orientasi, serta format
relasi, bahkan ditenggarai anomi. Hal ini tampak pada merasuknya teknologi yang
mendorong masyarakat cenderung berpikir instan dan pragmatis, secara struktural
telah mempengaruhi pola interaksi seseorang, termasuk peserta didik. Visualisasi media
sebagai pentas realitas dan ekspresi identitas, terjerembab sebagai instrumen
pengganda kultur kekerasan dan kebebasan untuk melanggar norma-norma luhur,
yakni nilai-nilai agama dan budaya. Media yang terlalu banyak menampilkan tayangan-
tayangan menjadi inspirasi dan tuntunan bagi remaja untuk mendapatkan citranya
sebagai yang “tak terkalahkan”dan “boleh melanggar” norma apa saja.
Sekarang ini sudah menggejala di kalangan anak muda, bahkan orang tua yang
menunjukkan bahwa mereka mengabaikan nilai-nilai moral, bahkan tidak mematuhi tata krama
pergaulan, yang sangat diperlukan dalam suatu masyarakat yang beradab. Dalam era reformasi

Fatimah
382
sekarang ini seolah-olah orang bebas berbuat apa saja sesuai dengan kehendaknya. Misalnya,
perkelahian massal, penjarahan, pemerkosaan, pembajakan kendaraan umum, penghujatan,
perusakan tempat ibadah, lembaga pendidikan, kantor-kantor pemerintahan dan sebagainya,
yang menimbulkan keresahan pada masyarakat. Permasalahan karakter tidak lagi semata
hanya tanggung jawab yang dibebankan kepada keluarga, tetapi sekarang sudah menjadi
tanggung jawab juga bagi sekolah untuk menjadi tempat kondusif bagi pembinaan dan
pengembangan karakter generasi muda.
Sekolah harus kembali kepada fungsi utamanya (Dardjidarmodihardjo, 1981:19) yakni
fungsi psikologis dan fungsi sosial, membimbing perkembangan kondisi sosiologis dan
membantu mempersiapkan peserta didik sebagai anggota masyarakat sekaligus menjadi
pribadi mandiri. Sekolah mempersiapkan manusia, dalam arti mengembangkan kualitas pribadi,
termasuk penanaman nilai-nilai dan norma-norma (Kay, 1975: 204-205), dan berorientasi pada
norma-norma tertentu (Breckrenridge, 1966: 146).
1.2 Perumusan Masalah
Berdasarkan uraian di atas, maka masalahnya dirumuskan adalah:”Bagaimanakah
sekolah melakukan pembinaan karakter terhadap peserta didiknya, sehingga menjadi warga
negara yang demokratis. Rumusan masalah tersebut di atas dirinci sebagai berikut:
1. Apakah karakter dan pendidikan karakter itu?
2. Apa yang dimaksud dengan warga negara demokratis?
3. Bagaimanakah sekolah melakukan pembinaan karakter warga negara yang
demokratis?

II. PEMBAHASAN
2.1 Karakter dan Pendidikan Karakter
Istilah karakter (character) atau dalam bahasa Indonesia diterjemahkan dengan watak,
adalah sifat-sifat hakiki seseorang atau suatu kelompok atau bangsa yang sangat menonjol
sehingga dapat dikenali dalam berbagai situasi atau merupakan trade mark atau ciri khas
orang tersebut (Tilaar, 2008). Karakter adalah perangkat individual dari karakteristik psikologis
yang mempengaruhi kemampuan dan kecenderungan seseorang untuk berfungsi secara moral.
Karakter adalah terdiri dari karakteristik-karakteristik yang mengarahkan seseorang untuk
melakukan sesuatu yang benar atau tidak melakukan sesuatu yang benar (Berkowitz, 2002). Lickona
(Martadi, 2010) merujuk pada konsep good character yang dikemukakan oleh Aristoteles “... the life
of right conduct-right conduct in relation to other persons and in relation to one self (karakter dapat
dimaknai sebagai kehidupan berperilaku baik/penuh kebajikan, yakni berperilaku baik terhadap
pihak lain (Tuhan YME, manusia, dan alam semesta) dan terhadap diri sendiri). Karakter (Berkowitz,
2002) memerlukan kapasitas untuk berpikir mengenai benar dan salah, pengalaman emosi-emosi
moral ( bersalah, empati, keharuan/kasihan), terlibat dalam perilaku-perilaku moral (berbagi bersama,
menyumbang untuk amal, menceritakan kebenaran), yakin terhadap kebaikan-kebaikan moral
(memperlihatkan kecenderungan menetap untuk bertindak dengan jujur, altruisme (mementingkan
orang lain), tanggung jawab, dan karakteristik-karakteristik yang mendukung fungsi moral. Hanya

Fatimah
383
Howard Gardner yang mendefinisikan kembali kecerdasan sebagai karakteristik-karakteristik
psikologis yang kompleks dalam teorinya tentang kecerdasan majemuk.
Pendidikan karakter mengandung dua makna. Dalam pengertian yang luas, pendidikan
karakter mengacu pada hampir semua hal yang mungkin sekolah coba lakukan untuk
memberikan hal-hal di luar kegiatan akademik, khususnya ketika tujuannya untuk membantu
anak-anak bertumbuh-kembang menjadi orang yang baik. Dalam pengertian yang sempit
merupakan gaya tertentu dari pelatihan moral yang mencerminkan nilai-nilai tertentu seperti
asumsi-asumsi khusus tentang sifat dan bagaimana anak-anak belajar.
Pengertian pendidikan karakter dapat diamati dari beberapa definisi berikut :
a. Proses pemberian tuntunan peserta/anak didik agar menjadi manusia seutuhnya
yang berkarakter dalam dimensi hati, rasa, pikir, karsa, raga dan karya. Peserta
didik diharapkan memiliki karakter yang baik meliputi kejujuran, tanggung jawab,
cerdas, bersih dan sehat, peduli, dan kreatif. Karakter tersebut diharapkan menjadi
kepribadian utuh yang mencerminkan keselarasan dan keharmonisan dari olah
HATI, PIKIR, RAGA, serta RASA dan KARSA.
b. Sebagai pendidikan nilai, pendidikan budi pekerti, pendidikan moral, pendidikan
watak, yang bertujuan mengembangkan kemampuan peserta didik untuk
memberikan keputusan baik-buruk, memelihara apa yang baik, dan mewujudkan
kebaikan itu dalam kehidupan sehari-hari dengan sepenuh hati.
2.2 Warga Negara Demokratis
a. Demokrasi dan Warga Negara Demokratis
Menurut Hamrick (2008. http://findarticles.com/p/articles), demokrasi adalah “lebih
dari sekedar bentuk pemerintahan”, demokrasi utamanya adalah sebagai cara bergaul dalam
kehidupan. Dalam demokrasi, para individu melakukan beberapa perhitungan untuk
menentukan dirinya dalam suatu masyarakat yang mungkin akan membatasi, atau barangkali
mempertinggi kondisi yang baik bagi individu melalui kondisi yang baik masyarakat. Demokrasi
adalah mengatur diri sendiri. Dengan kondisi demikian, dalam demokrasi dikehendaki otonomi
warga negara untuk mengatur dirinya sendiri sebagai cara bergaul dalam kehidupan. Namun
demikian konotasi untuk mengatur diri (self-manage) tidaklah berorientasi pada kebebasan
semata, tetapi harus memperhitungkan diri (self-account) terhadap dirinya, orang lain dan
masyarakat. Secara implisit hal demikian menghendaki adanya nilai, moral, dan norma yang
mengatur standar-standar pengaturan (self-kontrol) dan perhitungan diri (self account) sehingga
dalam kehidupan demokrasi berjalan sesuai dengan harapan.
b. Konseptual Warga Negara Demokratis
Secara umum Winataputra (2006:18) mengemukakan bahwa warga negara
demokratis memiliki ciri kualitatif yang merujuk pada tuntutan normatif atau tuntutan yang
diturunkan dari ketentuan perundang-undangan serta ketentuan normatif lainnya yang bersifat
Fatimah
384
sosial-kultur yang koheren dengan tuntutan norma yang berlaku. Kriteria warga negara
demokratis di sini berbasis ciri kualitatif normatif sesuai ketentuan juridis dan koheren dengan
tuntutan norma sosial-kultur yang berlaku.
c. Karakteristik Warga Negara Demokratis
Tidak ada definisi yang dibuat untuk menyusun daftar atribut-atribut yang diharapkan
dari sosok para warga negara demokratis dan mendukung bentuk-bentuk beragam dari
demokrasi yang mungkin menekankan kebajikan-kebajikan yang berbeda juga. Meskipun
demikian literatur dari pendidikan kewarganegaraan mengidentifikasi sejumlah karakteristik-
karakteristik personal warga negara demokratis (Green,2004:108), seperti perasaan
bertanggungjawab, peduli terhadap keadilan, kapasitas untuk penilaian kritis, hormat terhadap
pemikiran, hormat terhadap kebenaran, menerima terhadap keragaman, kerja-sama, keadilan,
kebebasan, persamaan, peduli untuk kesejahteraan terhadap orang lain dan resolusi damai
terhadap konflik, empati, kata-hati, kontrol-diri, respek, kebaikan, toleransi, dan kewajaran.
Lickona (1991:45) mengemukakan karakteristik personal warga negara demokratis,
sebagai contoh, sebagian besar orang Amerika sepakat bahwa “honesty, fairness, tolerance,
prudence, self-discipline, helpfulness, compassion, co-operation, courage and a host of
democratic values” (kejujuran, kewajaran, toleransi, kebijaksanaan, disiplin-diri, dermawan,
pengasih, kerjasama, keteguhan hati dan banyak lagi dari nilai-nilai demokratis) adalah inti
dari kehidupan moral dalam demokrasi.
Karakteristik-karakteristik personal warga negara demokratis yang dikemukakan dalam
beberapa literatur secara jelas mengacu tidak hanya pada karakteristik-karakteristik moral,
tetapi juga pada karakteristik kognitif. Warga negara demokratis yang ideal (Green, 2004: 108),
adalah seseorang yang memiliki nilai-nilai moral dari demokrasi dan nilai-nilai moral itu berakar
pada kebajikan-kebajikan, bersama dengan kebajikan-kebajikan kognitif yang memungkinkan
pertimbangan secara rasional dan tindakan yang betul-betul dipertimbangkan. Sehingga
diusulkan bahwa peserta didik sebaiknya dididik untuk mengenal penindasan dan ketidakadilan
dan pentingnya membantu berpikir kritis, dan kreatif. Hal ini merupakan wujud pemeliharaan
terhadap kebajikan-kebajikan demokratis pada anak-anak dan orang muda.
Pribadi warga negara demokratis beserta karakteristik personalnya yang akan terwujud
jika peserta didik ditumbuh-kembangkan, ditingkatkan dan dibina dalam kegiatan pendidikan
demokratis dan di sekolah demokratis. Karena melalui sosialisasi, internalisasi dan personalisasi
karakter nilai-nilai dan kebajikan warga negara demokratis, yang dilaksanakan dengan praktek-
praktek pendidikan demokratis di sekolah demokratis, pribadi warga negara demokratis yang
diharapkan dapat direalisir.
2.3 Sekolah dan Pembinaan Karakter Warga Negara Demokratis
a. Sekolah sebagai Sumber Karakter
Sumber-sumber dari pembentuk karakter adalah keluarga ( khususnya para orang
tua) adalah secara khusus dianggap memberikan pengaruh yang utama terhadap pembentukan
karakter anak. Selain itu sekolah, teman-teman sebaya, masyarakat (termasuk media), religi,
dan biologi merupakan para kontributor. Sekolah-sekolah dapat mempengaruhi konsep diri

Fatimah
385
anak (termasuk harga diri), keterampilan-keterampilan sosial (khususnya keterampilan-
keterampilan sosial teman-teman sebaya), nilai-nilai, kematangan penalaran moral, perilaku
dan kecenderungan-kecendrungan prososial, pengetahuan tentang moralitas, nilai-nilai, dan
lain-lain.
Dilihat dari kacamata moral, maka lingkungan terdiri atas nilai moral, norma, prinsip
dan perilaku (Kay, 1975: 196). Lingkungan sekolah, termasuk lingkungan kelas tidaklah berada
dalam keadaan kosong nilai, tetapi sarat dengan muatan nilai-moral dan norma. Lingkungan
sekolah yang sarat dengan muatan nilai-moral-norma berpengaruh pada situasi sekolah dan
membentuk suasana nilai-moral-norma iklim sekolah atau iklim sekolah. Jadi sekolah dalam
bentuk lingkungan mengandung muatan nilai-moral-norma karena merupakan tempat
bertemunya nilai-moral-norma kehidupan yang lahir secara pribadi dan ditampilkan dalam
bentuk pikiran, ucapan, tindakan perorangan, yang muncul secara spontan dalam berbagai
kekhasan pribadi setiap orang (Mulyana, 2004: 29).
Situasi pendidikan di lingkungan sekolah yang suasananya dihayati oleh guru dan
peserta didik dan mereka merasakan terlibat di dalamnya sebut iklim sekolah. Iklim sekolah
(Gallay dan Pong, 2004: 2-3) adalah bagian dari lingkungan sekolah yang dihubungkan dengan
dimensi-dimensi moral, sikap, afeksi dan sistem keyakinan dari sekolah yang mempengaruhi
perkembangan kognitif, sosial dan psikologis moral anak-anak. melalui interaksi sosial di dalam
dan di luar kelas. Iklim adalah mengandung semacam muatan, nuansa dan warna kehidupan,
sehingga memberikan atau menciptakan kondisi bagi lahirnya tingkah laku moral tertentu
pada mereka yang ada di dalamnya (Soelaeman, 1985 : 157; 1994: 48). Untuk itu untuk
kepentingan pendidikan maupun pembinaan karakter warga negara demokratis bagi peserta
didik, maka situasi pendidikan, khususnya iklim sekolah perlu dilakukan penataan.
Menurut Soelaeman (1994: 51) dalam upaya penataan situasi pendidikan, maka dalam
penataannya hendaknya bersifat padu menjadi satu kesatuan dan tak dapat dipilah-pilah. Mungkin
hanya prioritasnya saja yang membedakan tekanan pada penataannya, kepada salah satu momen
atau dimensi dari situasi atau iklim sekolah. Dalam menata situasi pendidikan termasuk iklim
sekolah yang dapat menumbuhkan, membina dan mengembangkan karakter warga negara
demokratis bagi peserta didik, maka dalam penataannya memperhatikan tiga momen, yaitu:
momen fisik, momen psikologi dan momen sosiokultural (Soelaeman, 1985: 157).
Penataan suasana momen fisik meliputi penataan lingkungan ruang atau fisik
menyangkut keadaan fisik sekolah, antara lain bangunan, kelas, ruang guru, ruang kepala
sekolah, halaman, kantin, dan kantor. Suasana lingkungan fisik dapat menyajikan suasana dan
iklim yang diharapkan benar-benar dihayati oleh guru dan peserta didik dalam pembinaan dan
pengembangan warga negara demokratis.
Penataan momen psikologi adalah penataan hal-hal yang berhubungan dengan
suasana psikologis yang dapat menunjang pada tumbuhnya situasi dan sikap demokratis ,
antara lain keteladanan, keterbukaan, keramahtamahan, suasana hangat, egalitarian dari
pimpinan sekolah dan guru. Penataan suasana psikologis juga melibatkan penataan emosional
dan suasana kejiwaan yang memberikan nuansa tertentu pada suasana psikologis di
lingkungan sekolah.
Fatimah
386
Penataan sosiokultural adalah berkaitan dengan penataan suasana pola hubungan antara
guru dengan peserta didik, di antara sesama peserta didik, peserta didik dengan staf sekolah, dan
cara bergaul di dalam dan di luar kelas. Karenanya pola hubungan, cara bergaul di lingkungan
sekolah memberikan suasana untuk lahirnya karakter demokratis yang diinginkan sekolah.
b. Sekolah dan Pendidikan Karakter Warga Negara Demokratis
Terwujudnya pribadi warga negara demokratis tidak bisa lepas dari pendidikan, karena
di ranah pendidikanlah manusia ditumbuhkembangkan dan dibina potensinya agar mewujud
menjadi manusia sebagaimana diharapkan oleh tujuan pendidikan. Namun demikian
hendaknya diingat bahwa pribadi peserta didik yang dikehendaki tergantung juga dengan
corak pendidikan yang diyakini dan dilaksanakan. Pribadi warga negara demokratis tentunya
akan mewujud melalui pendidikan demokratis yang diselenggarakan oleh sekolah demokratis.
Jadi dapat dikemukakan pendidikan demokratis sebenarnya tidak hanya pada terbatas pada
praktek-praktek dan instrumen-instrumen pendidikan tetapi juga meliputi proses, dan proses
menjadi alat penentu dan alat kontrol terhadap “spirit” serta suasana yang terjadi dalam
pendidikan demokratis. Pendidikan demokratis eksistensinya ditentukan oleh sekolah yang
menjadi wahana dari pendidikan itu berlangsung. Jika sekolah yang menjadi wahana pendidikan
selaras dengan pendidikan demokratis, maka proses, praktek dan instrumen demokratis akan
berjalan sejajar menumbuhkembangkan dan membina pribadi warga negara demokratis.
Kalau tidak, maka apa yang diharapkan dalam tujuan pendidikan nasional, yakni salah satunya
adalah karakter warga negara demokratis akan mengalami kendala dalam merealisirnya, atau
tidak sesuai seperti yang diharapkan.
Menurut Dworkin, Saha dan Hill (2003:109) sekolah “demokratis” adalah bersumber
pada tulisan-tulisan Dewey. Sekolah adalah mikrokosmos dari tipe masyarakat yang diharapkan.
Jadi untuk mencapai masyarakat demokratis, termasuk warga negara demokratis, adalah
melalui sekolah demokratis. Karena itu, implementasi dari sekolah “demokratis” akan membawa
implikasi-implikasi terhadap peran-peran dan perilaku para pengelola dan para guru di
dalamnya. Selain itu dalam sekolah demokratis para peserta didik akan bersama-sama dalam
menentukan lingkungan, proses dan muatan belajar mereka sendiri. Dengan demikian sekolah
adalah mikrokosmos dari tipe masyarakat yang diharapkan, maka untuk mencapai masyarakat
demokratis, termasuk warga negara demokratis, adalah melalui sekolah demokratis. Karena
itu, implementasi dari sekolah “demokratis” diharapkan berpengaruh pada proses-proses,
praktek-praktek dan instrumen-instrumen yang bersuasana demokratis dalam belajar, mengajar,
dan pengelolaan antara para peserta didik, guru dan pegawai menuju kepada terwujudnya
warga negara yang demokratis.
c. Prinsip-prinsip dan Praktek Pendidikan Karakter Demokratis di Sekolah
Dalam pelaksanaan pendidikan karakter demokratis, terutama pembinaan dan
pengembangan warga negara demokratis beberapa prinsip hendaknya dapat menjadi
perhatian bagi warga sekolah, yakni :
Pendidikan karakter demokratis berbasis nilai demokratis adalah bagian penting dari
seluruh lini pendidikan di sekolah-sekolah. Ia bukan menjadi pendidikan bebas nilai atau

Fatimah
387
netral nilai. Sekolah-sekolah harus melengkapi pendidikan karakter demokratis berbasis nilai
demokratis yang diberikan di rumah, khususnya ketika rumah-rumah kondisi pendidikan karakter
demokratis tidak utuh.
Membangun karakter demokratis adalah berakar pada tegaknya nilai-nilai demokratis.
Tanpa pendidikan karakter demokratis, hanya mengetahui apa yang benar adalah tidak
menjamin bahwa kita akan melakukannya dan menggabungkan beberapa nilai dalam
kehidupan. Penting untuk mengembangkan karakter demokratis adalah dua kecakapan yaitu
disiplin-diri dan empati. Disiplin-diri adalah diwajibkan, karena tanpa itu para individu tidak
dapat mengontrol gerak-gerak hati mereka dan akan tumbuh menjadi tidak beradab, tidak
beretika, dan tidak berguna. Kontrol-kontrol eksternal dibutuhkan untuk menumbuhkan, tetapi
jika diperkuat melampaui hal itu, ia merusak penanaman disiplin-diri. Empati adalah kapasitas
untuk merasakan perasaan orang lain, adalah juga penting. Ia adalah landasan dari banyak
nilai-nilai, dan tanpanya orang yang mempunyai disiplin-diri mungkin melakukan diri mereka
sendiri untuk tujuan-tujuan yang jahat.
d. Praktek Empiris Memajukan Perkembangan Karakter Demokratis
Soloman, Watson, dan Battistich (2001) menghimpun review yang luas dari studi-studi
penelitian spesifik tentang program-program dan praktek-praktek khusus dalam melaksanakan
pendidikan karakter. Mereka menyimpulkan terdapat beberapa praktek yang memiliki dukungan
empiris yang kuat dalam memajukan perkembangan karakter, yaitu; memajukan otonomi peserta
didik melalui partisipasi, diskusi, dan kolaborasi; melatih dan membantu keterampilan-
keterampilan sosial; perilaku pelayanan sosial; dan atmosfer (suasana) moral.
Untuk pelaksanaan pendidikan karakter yang efektif, termasuk pembinaan dan
pengembangan karakter warga negara demokratis, maka terdapat tujuh peraturan yang
hendaknya dipertimbangkan dalam pelaksanaannya di sekolah, yaitu :
1) Bagaimana sekolah memperlakukan anak. Ketika sekolah-sekolah fokus pada
nasihat (pengumuman-pengumuman, poster-poster, ceramah-ceramah pada pertemuan-
pertemuan khusus) atau didaktik-didaktik (kurikulum) sebagaimana secara khusus sekolah
mengatur apa yang dilakukan, sekolah telah kehilangan kualitas. Untuk melakukan pendidikan
karakter yang efektif di sekolah, juga harus fokus pada bagaimana sekolah (khususnya hal-hal
yang sebagian besar signifikan terhadap anak, tetapi tidak hanya itu) memperlakukan anak.
Apa yang dialami anak dalam penggunaan hari-harinya di sekolah? Apakah anak diperlakukan
secara penuh kebaikan dan dengan hormat, atau digertak atau diabaikan? Apakah anak merasa
sekolah dan kelas sebagai tempat pengasuhan, tempat-tempat yang mendukung atau
mengandung racun secara psikologis dan fisik? Hubungan-hubungan adalah penting untuk
perkembangan karakter, jadi pendidikan karakter harus fokus pada kualitas hubungan-hubungan
di sekolah. Hal ini termasuk hubungan-hubungan guru dengan anak dan anak dengan anak-
anak. Hubungan-hubungan itu butuh untuk menjadi kebaikan (pengasuhan, mendukung), asli
(jujur, terbuka), penuh penghargaan (memadukan, menghargai suara-suara siswa), dan
konsisten (dapat diperkirakan, stabil).

Fatimah
388
2) Bagaimana orang-orang lain memperlakukan orang lain dalam kehadiran
anak. “The Students Are Watching”. Anak-anak memantau dan banyak menyimpan dari apa
yang mereka amati terhadap para guru dalam kegiatan di sekolah, dan mencerminkan secara
beragam perilaku keluarga di kelas. Dalam kasus-kasus perilaku yang diamati dan refleksi
perilaku keluarga oleh siswa sering suatu teladan-teladan orang dewasa tidak mencapai apa
yang diharapkan secara moral ideal. Para siswa sungguh-sungguh memperhatikan. Apa yang
buruk juga mereka tiru. Jika ingin tahu apakah bentuk moralitas guru di sekolah, perhatikan
saja para siswa yang bermain di sekolah. Keteladanan, seperti mementingkan orang lain dan
empati mengarahkan kepada perilaku itu kepada anak-anak. Keteladanan dari perilaku-perilaku
yang tidak diharapkan seperti kekerasan dan ketidakjujuran serupa mengarah pada
meningkatnya perilaku-perilaku itu. Tidak ada artinya mengharapkan anak-anak memberikan
respek dan bertanggung jawab. Jika banyak para pendidik menyatakan bahwa mereka bukan
para pendidik karakter dan sering bahwa mereka tidak melakukan hal itu. Jika telah bekerja
sebagai pendidik, dengan atau di sekeliling anak-anak, kita tidak dapat tidak telah menjadi pendidik
karakter. Perilaku kita akan mempengaruhi perkembangan karakter anak, baik atau buruk.
3) Sekolah-sekolah mengharapkan karakter yang baik untuk semua warga
sekolah. Sekolah menuntut karakter yang baik dan dapat dicapai, dan menjadi pendukung
yang memberikan kesempatan bagi para siswa dan para warga sekolah untuk memenuhi
harapan-harapan itu. Harapan-harapan itu dapat datang dari beragam sumber, tetapi secara
ideal mereka datang dari sepenuhnya komunitas sekolah dan stakeholder.
Nasehat-nasehat bukan cara-cara utama untuk mempengaruhi perkembangan karakter.
Namun tempat yang mendukung karakter positif memenuhi dua fungsi. Pertama, memperkuat
apa yang anak-anak pelajari dan berkembang dari memperhatikan dan perlakuan secara positif
oleh orang-orang lain. Kedua, menjernihkan pesan-pesan yang sering tidak jelas dari perilaku.
Perilaku pengasuhan moral orang tua yang sangat kuat disebut kerja-kerja prabawa (induction)
yang begitu luas, sebab ia memerlukan penjelasan-penjelasan dari perilaku orang tua yang
mengevaluasi (memuji, menghukum untuk kebaikan). Kita butuh tidak hanya mempraktekkan
apa yang kita menasihati, tetapi juga butuh penjelasan agar nasihat juga kita kerjakan.
Anak-anak juga butuh kesempatan-kesempatan untuk mempraktekkan karakter yang
baik. Mereka butuh sekolah-sekolah yang mendukung otonomi siswa dan mempengaruhinya.
Mereka butuh kesempatan untuk membangun keterampilan-keterampilan seperti
menempatkan pandangan, berpikir kritis, dan memecahkan konflik, memerlukan untuk
keberadaan seseorang untuk karakter. Mereka juga butuh kesempatan-kesempatan untuk
melakukan hal yang baik. Sekolah-sekolah secara meningkat mendorong aktivitas-aktivitas
pelayanan dalam berbagai bentuk. Media teman sebaya, pengaturan diri siswa secara
organisasi (student self-governance), dan aktivitas-aktivitas dermawan adalah contoh-contoh
dari peluang-peluang itu.
Untuk memelihara perkembangan dari kapasitas-kapasitas berpikir moral, para siswa
butuh kesempatan-kesempatan untuk pertimbangan yang sehat tentang sesuatu, membahas,
dan memikirkan isu-isu moral. Termasuk kesempatan-kesempatan untuk menerima
pandangan-pandangan orang lain, khususnya ketika pandangan-pandangan itu berbeda

Fatimah
389
dengan dirinya. Hal ini dapat dilakukan dengan kurikulum, seperti dalam pelajaran-pelajaran
dan metode-metode yang memajukan diskusi teman sebaya siswa tentang isu-isu moral yang
ditambahkan dalam IPS dan Bahasa, atau studi-studi kasus dalam IPA. Dapat juga dilakukan
dalam kelas-kelas dan program-program yang berdiri sendiri dengan fokus pada isu-isu tentang
karakter dan moral. Kuncinya adalah membuat bentuk atmosfer, sehingga siswa melibatkan
teman-teman sebaya mereka untuk mendiskusikan isu-isu itu dan mereka secara sosial aman
untuk melakukannya secara jujur dan terus terang. Para pendidik sering dikehendaki membantu
dalam menghasilkan atmosfer itu, tetapi adalah esensial untuk sekolah-sekolah untuk
memajukan secara efektif perkembangan karakter dari para peserta didik.
Akhirnya, lebih baik jika para orang tua dilibatkan secara aktif dan positif dalam upaya-
upaya pendidikan karakter sekolah. Para orang tua akan selalu merupakan pengaruh utama
dari perkembangan karakter anak-anak. Pendidikan karakter adalah lebih efektif ketika sekolah-
sekolah dan para orang tua bekerja dalam persaudaraan dan kebersamaan.

III. SIMPULAN DAN SARAN


3.1 Simpulan
1. Karakter adalah sifat-sifat hakiki seseorang, kelompok, bangsa yang sangat
menonjol sebagai ciri khas berupa perangkat karakteristik psikologis yang
memberikan kapasitas kecerdasan yang mempengaruhi kemampuan,
kecenderungan dan mengarahkan seseorang berfungsi secara moral, untuk
berpikir mengenai benar dan salah, melakukan sesuatu yang benar atau tidak
benar, pengalaman emosi-emosi moral (bersalah, empati, keharuan/kasihan),
terlibat dalam perilaku-perilaku moral (berbagi bersama, menyumbang untuk
amal, menceritakan kebenaran), yakin terhadap kebaikan-kebaikan moral
(memperlihatkan kecenderungan menetap untuk bertindak dengan jujur,
altruisme (mementingkan orang lain), tanggung jawab, dan karakteristik-
karakteristik yang mendukung fungsi moral.
Pendidikan karakter mengandung dua makna. Dalam pengertian yang luas,
pendidikan karakter mengacu pada hampir semua hal yang mungkin sekolah
coba lakukan untuk memberikan hal-hal di luar kegiatan akademik, khususnya
ketika tujuannya untuk membantu anak-anak tumbuh-kembang menjadi orang
yang baik. Dalam pengertian yang sempit merupakan gaya tertentu dari pelatihan
moral yang mencerminkan nilai-nilai tertentu seperti asumsi-asumsi khusus
tentang sifat dan bagaimana anak-anak belajar. Pendidikan karakter demokratis
di sekolah mengacu pada hampir semua hal yang dilakukan dengan tujuannya
untuk membantu, membina peserta didik tumbuh-kembang menjadi warga
negara demokratis.
2. Pribadi warga negara demokratis dengan karakteristik personalnya yang akan
terwujud jika peserta didik ditumbuh-kembangkan, ditingkatkan dan dibina dalam
kegiatan pendidikan demokratis dan di sekolah demokratis. Karena melalui

Fatimah
390
sosialisasi, internalisasi dan personalisasi karakter nilai-nilai dan kebajikan warga
negara demokratis, yang dilaksanakan dengan praktik-praktik pendidikan
demokratis di sekolah demokratis, pribadi warga negara demokratis yang
diharapkan dapat direalisasikan.
3. Sekolah adalah salah satu sumber dan kontributor pembentuk karakter demokratis
peserta didik, karena lingkungan sekolah merupakan lingkungan yang sarat
dengan nilai-moral-norma yang berperan menumbuh-kembangkan karakter
demoraktis guru dan khususnya peserta didik, melalui penataan suasana fisik,
psikologi, dan sosial kultural melalui penerapan prinsip, praktek dan interaksi
sosial yang terjadi dalam lingkungan sekolah, sehingga mengarah kepada
pembinaan warga negara demokratis.
3.2 Saran-saran
1. Perlu penelitian kontribusi peran pengawas, kepala sekolah dan guru dalam
pengintegrasian nilai pendidikan karakter dalam mata pelajaran PKn di sekolah.
2. Perlu sosialisasi nilai-nilai pendidikan karakter ke sekolah-sekolah Dasar, dan
Menengah.

DAFTAR PUSTAKA
Barr, Jason.J. 2007. A Nationwide Studi How Democracy is Implemented in Schools.
Journal of Education and Human Development. ISSN 1934-7200. Volume 1, Issue
2.2007. (Online). Tersedia: www.scientificjournal.org.pdf. Diakses 18 Mei 2014.
Dayton, John. 1994. Democratic Value Inculcation in Public Schools: The Roe of the Constitution
and the Courts. Paper presenter at the Annual Meeting of the American Educational
Research Asosociation. New Orleana, LA, April 4-8, 1994. (Online). Tersedia:
www.eric.gov. Diakses 20 Mei 2014.
Dworkin, Anthony Gari,. Saha, Lawrence J,. Hill, Antwanette. 2003. Teacher Burnout and Perception
of a Democratic School Enviroment. International Education Journal Vol. 4 .2. 2003.
(Online). Tersedia: http://iej.cjb/. Diakses 20 Mei 2014.
Gallay, Les and Pong, Suet-ling. 2004. School Climate and Student Intervention Strategies. (Online).
Tersedia: www.pop.psy.edu. Diakses 7 Mei 2014.
Hamrick, Florence A. 2008. “Democratic Citizenship and Student Activism”, Journal of College
Student Development. Oct. 27, 2008. (Online). Tersedia: http://findarticles.com/p/articles/
mi_qa3752/is_199809/ai_n8809841. Diakses 14Mei 2014.
Kay, William.(1975). Moral Education; A Sociological Study of the Influence of Society,
Home and School. London: George Allen and Unwin.
Mulyana, Rohmat. 2004. Mengartikulasikan Pendidikan Nilai. Bandung: Alfabeta.
Soelaeman, M.I. (1985). “Suatu Upaya Pendekatan terhadap Situasi Kehidupan dan Pendidikan
dalam Keluarga dan Sekolah”. Disertasi, FPS IKIP Bandung.

Fatimah
391
______. 1994. Pendidikan dalam Keluarga. Bandung: Alfabeta.

Fatimah
392
KEMAMPUAN BERPIKIR KRITIS DALAM PEDAGOGI SEJARAH
SEBAGAI UPAYA MEMBANGUN KARAKTER PESERTA DIDIK
Heri Susanto
Universitas Lambung Mangkurat

ABSTRAK
Pembelajaran sejarah merupakan pembelajaran nilai yang berbasis pada human activity di
masa lalu. Diantara berbagai tujuan pembelajaran sejarah, satu diantaranya adalah terbentuknya
kebiasaan berfikir kritis peserta didik terhadap proses kehidupan dalam lingkup berbangsa
dan bernegara. Kemampuan berfikir kritis pada akhirnya akan bermuara pada terbentuknya
karakter peserta didik. Untuk mencapai hal tersebut diperlukan adanya strategi pedagogi sejarah
yang tepat. Sebagai upaya mengembangkan pedagogi sejarah yang berorientasi pada
pendidikan karakter, perlu kiranya terlebih dahulu dilakukan identifikasi terhadap berbagai
permasalahan yang terjadi dalam pembelajaran sejarah. Beberapa permasalahan terkait
pedagogi sejarah sebagai upaya pendidikan karakter antara lain, masalah orientasi
pembelajaran, strategi pembelajaran, termasuk di dalamnya kecenderungan perilaku belajar
dalam pembelajaran sejarah. Pedagogi sejarah selayaknya lebih diarahkan pada upaya
pendidikan karakter melalui pengembangan aspek berfikir kritis. Untuk membentuk kebiasaan
berfikir kritis maka diperlukan setidaknya dua langkah penting. Pertama, materi sejarah yang
disajikan adalah materi yang berorientasi pada nilai sehingga peserta didik dapat
menjadikannya sebagai panduan dalam bersikap, sebagai bahan analisis untuk berfikir cerdas
dan sebagai dasar tindakan dalam kehidupan sehari-hari. Kedua, dalam mengajarkan materi
sejarah diperlukan strategi yang mengedepankan empat atribut berfikir kritis sebagai proses,
yaitu; adanya proses analisis terhadap berbagai fakta, konsep atau peristiwa, perhatian terhadap
gejala-gejala dalam peristiwa sejarah, kesadaran sejarah dan pada akhirnya peserta didik
mampu merumuskan independent judgement terhadap tema yang mereka pelajari.
Kata kunci: berfikir kritis, pedagogi sejarah, karakter

I. PENDAHULUAN
Meteri pembelajaran sejarah mencakup berbagai aspek dalam kehidupan manusia.
Aspek-aspek tersebut antara lain aspek politik, sosial dan ekonomi. Tujuan pembelajaran
sejarah diantaranya adalah pembelajaran kehidupan yang mendewasakan, pembelajaran
yang mampu membimbing peserta didik untuk berfikir visioner dengan mengembangkan cara
berfikir kritis. Penjelasan sejarah mampu menjadi ukuran bertindak dalam kehidupan, seperti
dijelaskan oleh Dilthey; life only takes on a measure of transparency in the light of historical
reason (Sartono Kartodirdjo, 1959:60). Berbagai perubahan dan keberlanjutan yang disajikan

Heri Susanto
393
dalam penjelasan sejarah akan memberikan gambaran tentang kehidupan dan menunjukkan
nilai-nilai penting yang selayaknya menjadi ukuran dalam bertindak.
Selain itu mempelajari sejarah juga sangat relevan untuk mengembangkan cara berfikir
kritis peserta didik, mempelajari berbagai fakta kehidupan akan mengarahkan peserta didik
untuk memiliki wawasan yang luas. Dengan wawasan yang luas ini peserta didik akan mampu
melihat permasalahan dari berbagai aspek kehidupan. Sintesa dari kecenderungan ini adalah
terbentuknya cara berfikir kritis dikalangan peserta didik. Cara berfikir ini menjadi sangat penting
untuk dikembangkan, karena cara berfikir kritis merupakan aspek karakter. Dengan demikian
mendorong peserta didik untuk berfikir kritis berarti berupaya membentuk karakter peserta didik.
Untuk mencapai tujuan tersebut strategi pembelajaran yang digunakan hendaklah
tidak mematikan kreatifitas dan memaksa peserta didik hanya untuk menghafal fakta dalam
buku teks. Sejarah sudah saatnya diajarkan dengan cara yang berbeda, kebekuan pembelajaran
yang terjadi seringkali dikarenakan rendahnya kreatifitas dalam pembelajaran sejarah. Sebagai
akibatnya kejenuhan seringkali menjadi faktor utama yang dihadapi pengajar dalam
mengajarkan sejarah dan peserta didik dalam belajar sejarah.
Diperlukan strategi khusus agar tujuan pembelajaran sejarah dapat tercapai dan
pembelajaran yang dilakukan menjadi lebih membentuk karakter peserta didik. Pemilihan
strategi dalam pembelajaran sejarah ini harus disesuaikan dengan cakupan materi dan tujuan/
dampak instruksional yang diinginkan dari pembelajaran sejarah. Strategi pembelajaran erat
kaitannya dengan memilih model pembelajaran yang sesuai. Materi sejarah sangat banyak
menyajikan peristiwa kontroversial yang sangat menarik untuk ditinjau secara kritis. Materi ini
dapat dikembangkan untuk mengembangkan cara berfikir kritis peserta didik.

II. PEMBAHASAN
2.1 Masalah Pembelajaran Sejarah
Pembelajaran sejarah sering diidentikkan dengan pembelajaran yang bersifat hapalan,
tekstual dan terbatas pada aspek kognitif tingkat rendah. Anggapan ini bukan tanpa alasan,
pada kenyataannya pembelajaran yang dilakukan memang cenderung pada ketiga hal tersebut.
Dalam proses tersebut, peran guru sejarah menjadi sangat penting dalam mengarahkan peserta
didik untuk memahami sejarah dan mengambil nilai-nilai positif dari peristiwa sejarah. Peran
guru yang strategis ini dapat dilihat dari bagaimana seorang guru mampu menjadi peletak
dasar pemahaman terhadap berbagai ide dan gagasan dalam berbagai bidang ilmu. Lebih
jauh lagi guru merupakan ujung tombak pembentuk generasi penerus bangsa dimasa yang
akan datang, dalam perspektif ini guru mempunyai peran langsung dalam menentukan
keberlanjutan suatu bangsa di masa akan datang melalui pembelajaran yang disampaikan.
Peran tersebut menunjukkan bahwa guru mempunyai posisi strategis untuk ikut
menetukan arah perjalanan suatu bangsa. Bagi guru sejarah tugas terberat adalah bagaimana
memberikan penyadaran terhadap siswa tentang pentingnya perjuangan, persatuan, dan
nasionalisme. Kenyataan di lapangan seringkali menempatkan pelajaran sejarah sebagai
pelajaran yang kurang penting, sehingga kedudukan guru sejarahpun seringkali dianggap

Heri Susanto
394
tidak terlalu penting. Hal ini terlihat misalnya dalam banyak kasus, mata pelajaran sejarah
diajarkan oleh guru yang tidak mempunyai latar belakang pendidikan sejarah, sehingga sudah
barang tentu tidak memiliki kompetensi yang memadai untuk menanamkan nilai-nilai tersebut
di atas.
Masalah lainnya adalah masih terdapat guru sejarah yang mempunyai latar belakang
pendidikan sejarah juga tidak memahami pentingnya pembelajaran sejarah berbasis nilai.
Taufik Abdullah memberi penilaian bahwa pembelajaran sejarah saat ini masih bersifat chronicle
(Magdalia, 2007). Sejarah seringkali dipandang hanya sebuah cerita yang kering dari makna,
tidak terkecuali materi sejarah yang sebenarnya potensial untuk menanamkan sikap kritis bagi
peserta didik.
Sebagian pembelajaran sejarah yang disampaikan guru belum merupakan
pembelajaran inspiratif yang mampu menumbuhkan inspirasi siswa dalam memaknai setiap
materi pembelajaran yang dilakukan. Keadaan tersebut menyebabkan pembelajaran sejarah
yang dilakukan belum menjadi media dalam mengembangkan cara berfikir kritis. Secara
substantif mengembangkan cara berfikir kritis merupakan sasaran utama dalam pembelajaran
sejarah, meskipun dalam kenyataannya belum semua pembelajaran sejarah diarahkan pada
substansi tersebut. Kecenderungan ini dapat dilihat, misalnya bagaimana desain pembelajaran
yang dibuat lebih banyak menonjolkan sisi kognitif, sehingga tuntutan untuk menjejalkan materi
sebanyak-banyaknya pada peserta didik masih menjadi target utama. Pembelajaran dianggap
tuntas apabila siswa telah menerima semua materi ajar tanpa melihat apakah siswa memahami
nilai dan makna dari setiap peristiwa yang mereka pelajari. Kecenderungan tersebut dapat
dgiambakran
dalam
bagan
berikut:

Heri Susanto
395
Kelemahan dalam pembelajaran sejarah inilah yang menyebabkan pelajaran sejarah
belum berfungsi sebagaimana mestinya yaitu mengembangkan cara berfikir kritis yang
bermuara pada terbentuknya karakter peserta didik yang direfleksikan oleh kesadaran akan
pentingnya persatuan, perjuangan, patriotisme dan nasionalisme dalam kehidupan berbangsa
dan bernegara. Untuk mencapai tujuan tersebut maka pembelajaran yang dilakukan harus
memperhatikan keseimbangan antara kedua fungsi memori, sehingga aktivitas belajar tidak
terbatas pada aspek kognitif tingkat rendah, tetapi juga afektif, psikomotor dan kognitif pada
tingkat yang lebih tinggi. Kemampuan ini menurut Barry Gordon (2003) dapat terlihat pada
bagan dibawah ini:

(adaptasi dari Barry Gordon, 2003)

Konsep tersebut berarti pembelajaran sejarah bukan sekedar mengenalkan nama,


tanggal, fakta dan peristiwa, akan tetapi juga diarahkan untuk memahami nilai dan arti dari
setiap peristiwa yang dipelajari. Dengan demikian diharapkan pembelajaran sejarah bukan
hanya bersifat chronicle akan tetapi menjadi lebih bermakna (meaningfull).

III. BERFIKIR KRITIS DAN PENDIDIKAN KARAKTER DALAM PEDAGOGI SEJARAH


3.1 Pedagogi Sejarah
Secara umum istilah pedagogik (pedagogi) dapat diberi makna sebagai ilmu dan
seni mengajar anak-anak. Sedangkan ilmu mengajar untuk orang dewasa ialah andragogi.
Dengan pengertian itu maka pedagogik adalah sebuah pendekatan pendidikan berdasarkan
tinjauan psikologis anak. Pendekatan pedagogik muaranya adalah membantu siswa melakukan
kegiatan belajar. Dalam perkembangannya, pelaksanaan pembelajaran itu dapat menggunakan
pendekatan kontinum, yaitu dimulai dari pendekatan pedagogi yang diikuti oleh pendekatan
andragogi, atau sebaliknya yaitu dimulai dari pendekatan andragogi yang diikuti pedagogi,
demikian pula daur selanjutnya; andragogi-pedagogi-andragogi, dan seterusnya (Ahmad
Sudrajat, 2012).

Heri Susanto
396
Berdasarkan pengertian seperti tersebut di atas maka yang dimaksud dengan pedagogi
adalah ilmu tentang pendidikan anak yang ruang lingkupnya terbatas pada interaksi edukatif
antara pendidik dengan siswa. Sedangkan kompetensi pedagogi adalah sejumlah kemampuan
guru yang berkaitan dengan ilmu dan seni mengajar siswa.
Untuk memahami pedagogi sejarah, terlebih dahulu perlu diperhatikan karakteristik
pembelajaran sejarah. Setiap disiplin ilmu memiliki karakteristiknya sendiri, begitu juga pedagogi
sejarah. Dengan demikian dalam pembelajaran pun memiliki karakteristik yang berbeda.
Karakteristik pembelajaran sejarah adalah:
a. Pembelajaran sejarah mengajarkan tentang kesinambungan dan perubahan
Menurut Wineburg (2006:17-18), ‘berpikir sejarah mengharuskan kita mempertemukan
dua pandangan yang saling bertentangan; pertama, cara berpikir yang kita gunakan sekarang ini
adalah warisan yang tidak dapat disingkirkan, dan, kedua jika kita tidak berusaha menyingkirkan
warisan itu mau tidak mau kita harus menggunakan “presentisme”, yaitu melihat masa lalu dengan
kacamata masa kini’. Dengan demikian kita harus memahami bahwa ada kesinambungan masa
lalu yang membentuk masa kini, dan adanya perubahan unsur-unsur, nilai dan tatanan masyarakat
sebagai bentuk dari reinterpretasi terhadap perubahan zaman.
Setiap perubahan terjadi dalam waktu. Hidup manusia senantiasa dikuasai oleh
waktu. Keberadaan manusia di dunia senantiasa memiliki saat awal dan saat akhir. Dalam
jangka waktu antara awal dan akhir keberadaannya itulah manusia mengarungi masa hidupnya
dengan menyejarah (Daliman, 2012: 41). Dalam proses menyejarah itulah terjadi proses
dialektika antara perubahan dan keberlanjutan. Selanjutnya Daliman (2012) juga menjelaskan
bahwa, ‘konsep perubahan merupakan konsep yang paradoksal’. Perubahan pada dasarnya
memadukan pengertian mengenai suatu perbedaan dan sesuatu yang tetap sama.
Mempertemukan keduanya akan mampu membangkitkan kesadaran akan waktu, dan
menghadirkannya dalam pembelajaran sejarah akan dapat menjadi refleksi bagi tindakan kita
di masa yang akan datang.
b. Pembelajaran sejarah mengajarkan tentang jiwa zaman
Mempelajari sejarah secara tidak langsung berarti berusaha memahami bagaimana
pola dan tindakan manusia sesuai dengan cara pandang dan tata nilai bermasyarakat manusia
pada masa lalu. Dengan demikian mempelajari sejarah berarti juga mempelajari bagaimana
semangat, ide dan semangat jiwa manusia pada masanya.
c. Pembelajaran sejarah bersifat kronologis
Materi sejarah tidak lepas dari periodesasi dan kronologi, periodesasi diciptakan sesuai
kronologi peristiwa. Pembelajaran kronologis ini mengajarkan siswa untuk berfikir sistematis,
runut dan memahami hukum kausalitas.
Menurut Kochhar (2008), pembelajaran kronologi adalah salah satu tujuan yang
penting dalam pembelajaran sejarah karena urutan peristiwa menjadi kunci pokok dalam
memahami masa lampau dan masa sekarang. Sejarah sebagai mata pelajaran yang diajarkan
di sekolah membantu siswa dalam perkembangan konsep yang matang tentang waktu dan
kronologi.

Heri Susanto
397
d. Pembelajaran sejarah pada hakekatnya adalah mengajarkan tentang
bagaimana perilaku manusia
Menurut Renier (1997:205), ahli sejarah menyampaikan suatu ceritera mengenai
kolektivitas manusia yang menembus pengalaman-pengalaman aktif dan pasif, dan
menyampaikan pula suatu ceritera mengenai individu-individu yang hidup dalam masyarakat
mempengaruhi dan dipengaruhi oleh masyarakat.
Sejarah bercerita tentang manusia, tentang masyarakat pada suatu bangsa. Gerak
sejarah ditentukan oleh bagaimana manusia memberikan respon terhadap tantangan hidup
yang dia alami dalam bentuk perilaku. Memahami dan menghayati perilaku manusia ini akan
membuat kita mampu mengambil nilai-nilai positif dan menerapkannya dalam kehidupan kita.
e. Kulminasi dari pembelajaran sejarah adalah memberikan pemahaman akan
hukum-hukum sejarah
Menurut Renier (1997) hukum-hukum tersebut adalah; (a) hukum keadaan yang
terulang, (b) proses kehidupan adalah wajar (bagaimanapun bentuknya), (c) hukum perubahan,
(d) waktu yang ditetapkan (takdir sejarah), (e) kelompok/kelas sosial dan revolusi, (f) adanya
manusia luar biasa dalam sejarah.
Karekteristik tersebut berarti bahwa pedagogi sejarah harus sesuai dengan sasaran
pembelajaran sejarah dan karakteristik serta perkembangan peserta didik. Ketiga komponen
tersebut harus menjadi pertimbangan bagi pengajar sejarah.
3.2 Pendidikan Karakter dalam Pembelajaran Sejarah
Pendidikan sebagaimana kita pahami merupakan proses internalisasi gagasan, nilai,
dan seperangkat pengetahuan dari satu generasi ke generasi berikutnya. Dengan demikian
pendidikan pada dasarnya adalah proses pembudayaan. Melalui pendidikan terjadi proses
penanaman nilai yang akan menentukan bentuk dan tatanan masyarakat pada masa yang
akan datang. Dalam pengertian teoritis secara sederhana dan umum, pendidikan bermakna
sebagai usaha untuk menumbuhkan dan mengembangkan potensi-potensi bawaan, baik
jasmani maupun rohani, sesuai dengan nilai-nilai yang ada dalam masyarakat dan kebudayaan
(Choirul Mahfud, 2011: 32).
Terkait karakter, setiap proses pendidikan adalah pendidikan karakter. Pendidikan
karakter terjadi dengan lebih alamiah ketika dilaksanakan secara natural dan informal. Oleh
karena itu, tidak perlu ada mata pelajaran khusus tentang pendidikan karakter. Demikian juga,
tidak perlu ada usaha-usaha terprogram untuk mengembangkan pendidikan karakter yang
nantinya malah terjatuh pada formalisme, atau lebih parah lagi jatuh pada indoktrinasi (Doni
Koesoema, 2012: 9).
Pandangan tersebut memberikan petunjuk bahwa pendidikan karakter dapat terjadi
di dalam maupun di luar kelas. Pendidikan karakter di dalam kelas sudah tentu melibatkan
guru sebagai tokoh sentral pembelajaran. Dalam hal ini kemampuan guru untuk merancang
pembelajaran dan manajemen materi pembelajaran menjadi sangat penting. Meskipun
pendidikan karakter selayaknya bebas dari proses indoktrinasi, akan tetapi kemampuan guru

Heri Susanto
398
dalam merancang materi pembelajaran akan sangat menentukan apakah siswa akan memiliki
karakter yang diinginkan sebagai hasil proses pendidikan.
Thomas Lickona (2006) menyebutkan ada tiga hal penting dalam pendidikan karakter,
yaitu; unsur pengetahuan tentang yang baik (knowing the good), tindakan yang baik (doing the
good), dan unsur motivasi internal dalam melakukan yang baik (loving the good). Jika ingin
disimbolkan secara otomatis, ketiga hal tersebut ingin mengatakan sebagai berikut. Pertama,
pendidikan karakter mesti mengembangkan otak manusia sebagai salah satu cara untuk
mengolah informasi, memahami, dan memaknai realitas di dalam diri dan di luar dirinya.
Kedua, pendidikan karakter mesti memaksimalkan fungsi tangan dan kaki sebagai sebuah
tindakan bermakna. Ketiga, pendidikan karakter mesti menumbuhkan rasa indah, nyaman,
mantap dalam hati karena ia tahu bahwa apa yang dilakukannya itu bermakna dan membuatnya
bahagia (Doni Koesoema, 2012: 157). Dengan demikian domain pendidikan karakter menurut
Lickona menyangkut otak, tangan dan hati.
Pendidikan sebagai proses pembudayaan terus mengalami perkembangan, baik dari
segi sistem, pola, materi maupun strategi pedagogik pembelajaran. Dalam perkembangan tersebut
seringkali terdapat banyak pengaruh dari berbagai tren yang berkembang di masyarakat, bangsa
dan Negara. Dalam konteks ini pendidikan adalah proses pembudayaan yang sangat dinamis
dan selalu menyesuaikan diri dengan jiwa zamannya.
Fenomena pendidikan yang berkembang selalu mendapat banyak pengaruh.Sejarah
dalam ilmu pendidikan adalah serangkaian peristiwa yang perlu dipahami, bahwa upaya
mendidik masyarakat adalah suatu peristiwa sejarah yang penting. Sejarah masyarakat adalah
sejarah kemanusiaan yang panjang, yang terjadi atas prakarsa manusia untuk memperbaiki
kualitas kehidupan mereka. Teori-teori sejarah akan menggambarkan banyak sekali fenomena
pendidikan yang telah terjadi di masa lampau, lembaga-lembaga pendidikan yang ada dan
berusaha mencari titik acuan guna memperbaiki perilaku di masa depan bagi peradaban
manusia (Agus Salim, 2007: 18).
Jika kita amati dari perjalanan sejarah pendidikan bangsa-bangsa di dunia sebenarnya
kita dapat mengetahui bahwa kebijakan dan praksis pendidikan yang dilakukan selalu berperan
besar dalam membentuk karakter bangsa tersebut. Kita dapat mengetahui bagaimana pola
pendidikan yang diterapkan pada masyarakat Sparta telah membentuk karakter militer dalam
diri pemudanya dan mengantarkan Negara Kota tersebut menjadi sangat ditakuti. Kita juga
dapat mengetahui bagaimana pola pendidikan yang diterapkan di Athena dapat membentuk
para filsuf dan ilmuan terkemuka sehingga Negara Kota tersebut menjadi sangat disegani.
Sehingga tidak berlebihan kiranya apabila Mc Clelan mengemukakan bahwa pendidikan dapat
membawa kemajuan peradaban dengan lebih cepat.
Pergulatan pokok yang dihadapi oleh setiap kebudayaan tentang eksistensinya adalah
berperang melawan risiko untuk dilupakan, hilang dalam sejarah, dan tidak diingat lagi. Cara
paling tradisional untuk memberantas serangan atas ‘lupa’ ini adalah dengan bercerita. Melalui
cerita, masyarakat meneruskan cita-cita, idealisme, nilai-nilai, adat istiadat, perilaku, tata cara,
dan lain lain, yang menjadi kekayaan budaya suatu masyarakat kepada generasi yang lebih
muda (Doni Koesoema, 2010: 10-11).
Heri Susanto
399
Dimanakah pendidikan sejarah berperan? Pendidikan sejarah berusaha menjadi
jembatan antara masa lalu yang tak mungkin diamati secara langsung dengan masa kini yang
melingkupi kehidupan manusia, sehingga dengan demikian serangan ‘lupa’ tersebut dapat
diminimalisir. Mempelajari sejarah berarti menghidupkan kembali nilai-nilai tersebut, dan
dengan menghidupkan nilai tersebut juga berarti membentuk karakter bangsa.
Dengan mempelajari sejarah didapat suatu konstruksi berpikir yang realities-empirik,
sesuai dengan fenomena sejarah yang ada. Dengan memahami sejarah setidaknya akan
mendorong menjadi pribadi yang terbuka (open-minded person) dan memiliki hati yang bersih
dari berbagai prasangka dan penghakiman dini (early judgment) (Agus Salim, 2007: 18).
Pendidikan sejarah yang baik akan sangat menentukan apakah masyarakat yang akan datang
memiliki karakter yang lebih baik dari masyarakat yang ada sekarang dan di masa lalu, ataukah
sebaliknya. Dengan demikian terdapat hubungan yang sangat kuat antara pendidikan karakter
dengan pendidikan sejarah.
Pendidikan sebagai sebuah sistem membutuhkan langkah operasional untuk mencapai
tujuan, dalam hal ini karakter bangsa. Langkah operasional dalam hal ini adalah praksis
pendidikan dan lebih spesifik lagi pembelajaran. Pembelajaran menjadi jantung pendidikan,
keberhasilan pembelajaran sangat menentukan kualitas pendidikan, dan proses pembelajaran
yang dilakukan akan menentukan apakah peserta didik memperoleh nilai dan makna dari
rangkaian proses pendidikan yang dialami.
Sartono Kartodirdjo (1988) berpendapat; bahwa dalam rangka pembangunan bangsa,
pengajaran sejarah tidak semata-mata berfungsi untuk memberikan pengetahuan sejarah sebagai
kumpulan informasi fakta sejarah tetapi juga bertujuan menyadarkan anak didik atau
membangkitkan kesadaran sejarahnya. Untuk mencapai tujuan tersebut maka sejarah yang
diajarkan haruslah sejarah yang mengedepankan nilai-nilai kehidupan, bukan sejarah hafalan
yang hanya menyuguhkan nama, tempat, angka tahun dan peristiwa. Kendatipun unsur-unsur
tersebut tidak dapat ditinggalkan dari pembelajaran sejarah, akan tetapi bukan berarti pembelajaran
yang dilakukan hanya memfokuskan pada hal-hal tersebut, yang akan menjadikan pembelajaran
sejarah menjadi kering dari makna dan tidak memberikan penyadaran terhadap individu
pembelajar.
Lebih luas lagi Hamid Hasan (2011: 3) dalam tinjauannya menjelaskan:
Pertama, pendidikan sejarah merupakan materi pendidikan yang teramat penting untuk
memberikan materi pendidikan yang mendasar bagi siswa secara mendalam dan berdasarkan
pengalaman nyata bangsa dimasa lalu untuk membangun kesadaran dan pemahaman tentang
diri dan bangsanya.
Kedua, materi pendidikan sejarah merupakan materi pendidikan yang khas dalam
membangun kemampuan berpikir logis, kritis, analitis, dan kreatif karena berkenaan dengan
sesuatu yang sudah pasti dalam kehidupan bangsa dimasa lampau dan selalu berkenaan
dengan perilaku manusia yang dikendalikan oleh cara berpikir logis, kritis, analitis dan kreatif
yang sesuai dengan tantangan kehidupan yang dihadapi pada masanya.
Ketiga, pendidikan sejarah menyajikan materi dan contoh keteladanan, kepemimpinan,

Heri Susanto
400
kepeloporan, sikap dan tindakan manusia dalam kelompoknya yang menyebabkan terjadinya
perubahan-perubahan dalam kehidupan manusia tersebut. Keempat, kehidupan manusia
selalu terkait dengan masa lampau karena walau pun hasil tundakan dalam menjawab tantangan
bersifat final tetapi hasil dari tindakan tersebut selalu memiliki pengaruh yang tidak berhenti hanya
untuk masanya tetapi berpengaruh terhadap masyarakat tadi dalam menjalankan kehidupan
barunya, dan oleh karenanya peristiwa sejarah menjadi “bank of examples” untuk digunakan dan
disesuaikan sebagai tindakan dalam menghadapi tantangan kehidupan masa kini.
Terkait dengan hal tersebut, I Gde Widja (1989), mengungkapkan bahwa bertolak dari
pikiran tiga dimensi sejarah maka proses pendidikan, khususnya pengajaran sejarah, ibarat
mengajak peserta didik menengok ke belakang dengan tujuan melihat ke depan. Makna yang
tertuang dari pendapat ahli tersebut adalah dengan mempelajari nilai-nilai kehidupan
masyarakat di masa lampau, diharapkan peserta didik mencari atau mengadakan seleksi
terhadap nilai-nilai itu, mana yang relevan atau dapat dikembangkan dalam menghadapi
tantangan zaman yang kompleks di masa kini maupun yang akan datang. Proses mencari atau
proses seleksi jelas menekankan pada pendekatan proses, serta menuntut untuk lebih
diciptakan aktivitas fisik-mental dan kreativitas siswa dalam belajar sejarah (I Gde Widja dalam
Ahmad Turmuzi, 2011).
Pembelajaran sejarah yang baik akan membentuk pemahaman sejarah. Pemahaman
sejarah merupakan kecenderungan berfikir yang merefleksikan nilai-nilai positif dari peristiwa
sejarah dalam kehidupan sehari-hari, sehingga kita menjadi lebih bijak dalam melihat dan
memberikan respon terhadap berbagai masalah kehidupan. Pemahaman sejarah memberi
petunjuk kepada kita untuk melihat serangkaian peristiwa masa lalu sebagai sistem tindakan
masa lalu sesuai dengan jiwa jamannya, akan tetapi memiliki sekumpulan nilai edukatif
terhadap kehidupan sekarang dan akan datang.
Sehubungan dengan pendidikan karakter maka pembelajaran sejarah harus diarahkan
untuk memahami dan menghayati nilai-nilai karakter yang tercermin dalam setiap cerita sejarah.
Bukankah “membentuk watak” seperti yang telah dipaparkan dalam berbagai fakta historis di
atas merupakan karakter yang terbentuk di dalam dinamika sejarah bangsa Indonesia (Susanto
Zuhdi, 2010: 409). Dengan demikian pada dasarnya perjalanan sejarah itu sendiri adalah
perjalanan membentuk karakter bangsa, sehingga pendidikan yang dilakukan haruslah
memperhatikan nilai-nilai karakter dalam sejarah bangsa.
Menurut Hamid Hasan (2012: 89-90) materi pendidikan sejarah sangat potensial
bahkan esensial untuk mengembangkan pendidikan karakter bangsa. Untuk itu materi
pendidikan sejarah harus berubah dari materi yang kaya fakta tapi kering nilai menjadi materi
yang mencakup materi yang dapat menjelaskan kenyataan kehidupan masa kini, arah
perubahan yang sedang terjadi, tradisi, nilai, moral, semangat perjuangan yang hidup di
masyarakat ketika suatu peristiwa sejarah terjadi dan masih diwariskan hingga masa kini.
Inovasi pembelajaran sejarah sangat diperlukan untuk menjadikan mata pelajaran
sejarah sebagai media yang efektif dalam membentuk karakter peserta didik. Inovasi harus

Heri Susanto
401
dilakukan secara menyeluruh dan terpadu, dimulai dari perencanaan, strategi pembelajaran,
dan evaluasi pembelajaran. Inovasi tersebut dapat dijelaskan sebagai berikut:
a. Pada tahap perencanaan, pengorganisasian materi harus lebih ditekankan untuk
penanaman nilai-nilai karakter sesuai dengan Kompetensi Inti dan Kompetensi Dasar.
Pemilahan materi ini akan menentukan seberapa banyak peserta didik memperoleh
informasi. Sesuai dengan semangat Kurikulum 2013, guru mempunyai kebebasan
untuk mengatur materi ajar yang diperlukan sepanjang tidak bertentangan dengan
standar kurikulum. Dengan demikian guru dapat memodifikasi materi dengan
memasukkan unsur-unsur lokal dan nasional dalam sejarah yang mempunyai nilai
karakter. Guru sebaiknya mengurangi keterpakuan pada buku pelajaran yang dijual di
pasaran. Seringkali buku yang dijual luas di pasaran hanya menyajikan informasi faktual
yang kering nilai.
b. Dalam strategi pembelajaran, sesuai dengan semangat Kurikulum 2013 yang dijiwai
oleh filsafat konstruktivisme, maka pembelajaran sebaiknya lebih diarahkan untuk
rekonstruksi nilai-nilai karakter melalui cerita sejarah. Dalam kegiatan pembelajaran
fokus utama kegiatan pembelajaran bukanlah ekspositori oleh guru akan tetapi
sebisa mungkin lebih ditekankan untuk inquiri. Peserta didik harus diarahkan untuk
menemukan nilai-nilai karakter, dan selanjutnya mengaplikasikannya dalam konteks
kekinian.
c. Evaluasi pembelajaran sejarah menurut Aman (2012: 132-133) menekankan pada
penilaian proses dan hasil belajar siswa. Hasil pembelajaran mencakup kecakapan
akademik, kesadaran sejarah, dan nasionalisme. Dengan demikian evaluasi tidak
hanya mencakup aspek kognitif, akan tetapi juga afektif.
Cara tersebut diharapkan menjadikan pembelajaran sejarah dapat lebih memberikan
makna dan kesan bagi peserta didik. Dengan demikian pembelajaran yang dilakukan dapat
berperan optimal sebagai upaya penyadaran terhadap jatidiri bangsa dan pada akhirnya
membentuk karakter peserta didik.
3.3 Aspek Berfikir Kritis dalam Pedagogi Sejarah
Gunawan (2003:177-178) menyatakan bahwa keterampilan berpikir kritis adalah
kemampuan untuk berpikir pada level yang kompleks dan menggunakan proses analisis dan
evaluasi. Berpikir kritis melibatkan keahlian berpikir induktif seperti mengenali hubungan,
manganalisis masalah yang bersifat terbuka, menentukan sebab dan akibat, membuat
kesimpulan dan memperhitungkan data yang relevan. Sedang keahlian berpikir deduktif
melibatkan kemampuan memecahkan masalah yang bersifat spasial, logis silogisme dan
membedakan fakta dan opini. Keahlian berpikir kritis lainnya adalah kemampuan mendeteksi
bias, melakukan evaluasi, membandingkan dan mempertentangkan.
Robert Harris seperti dikutip Hamid Hasan (2012: 130) mengemukakan bahwa berfikir
kritis adalah “a habit of cautious evaluation, an analytic mindset aimed at discovering componen
parts of ideas and philosophies, eager to weigh the merits of arguments and reason in order to
become a good judge of them”. Pernyataan tersebut menggambarkan bahwa berfikir kritis

Heri Susanto
402
adalah suatu kebiasaan. Sebagai suatu kebiasaan maka proses pendidikan melalui kegiatan
pembelajaran memegang peranan penting untuk membiasakan peserta didik.
Menurut Ruland (2003:1-3) berpikir kritis harus selalu mengacu dan berdasar kepada
suatu standar yang disebut universal intelektual standar. Universal intelektual standar adalah
standardisasi yang harus diaplikasikan dalam berpikir yang digunakan untuk mengecek kualitas
pemikiran dalam merumuskan permasalahan, isu-isu, atau situasi-situasi tertentu. Universal
intelektual standar meliputi: kejelasan (clarity), keakuratan, ketelitian, kesaksamaan (accuracy),
ketepatan (precision), relevansi, keterkaitan (relevance), kedalaman (depth).
Terkait hal tersebut menurut Santrock (2010: 155-156), terdapat dikotomi gaya belajar
dan berfikir yang paling banyak dikemukakan, yaitu gaya impulsif/reflektif dan mendalam/dangkal.
Gaya impulsif membawa kecenderungan peserta didik untuk merespon cepat dan impulsif,
sedangkan gaya reflektif memungkinkan peserta didik untuk merenungkan akurasi dari suatu
jawaban. Riset membuktikan bahwa murid yang impulsif cenderung lebih banyak melakukan
kesalahan ketimbang yang reflektif. Jika berfikir kritis diartikan sebagai kecenderungan berfikir
dengan mempertimbangkan berbagai variabel dalam mengambil keputusan, maka berfikir
kritis pada dasarnya adalah gaya berfikir reflektif.
Sehubungan dengan kemampuan berfikir, menurut Barry Gordon (2003) terdapat “two
basic kinds of memory”, keduanya adalah; ordinary memory dan intelligent memory. Ordinary
memory merupakan kemampuan berfikir yang bersifat episodic, terbatas pada ingatan jangka
pendek. Sedangkan intelligent memory merupakan memori prosedural yang bersifat jangka
panjang. Dalam konteks pembelajaran, pembelajaran yang dilakukan dengan berbasis pada
pengembangan intelligent memory pada akhirnya akan melahirkan kemampuan berfikir kritis.
Berfikir kritis adalah suatu konsep. Setiap konsep memiliki atribut dan satu konsep
dibedakan dari konsep lainnya berdasarkan atribut yang dimiliki dan struktur atribut tersebut.
Menurut Harris kemampuan berfikir kritis memiliki empat atribut. Seseorang baru dapat dikatakan
memiliki kemampuan berfikir kritis apabila menguasai atau memiliki kemampuan keempat
atribut tersebut. Keempatnya adalah analisis, perhatian (attention), kesadaran (awareness),
dan pemberian pertimbangan yang independen (Hamid Hasan, 2012: 131).
Berfikir kritis merupakan komponen karakter. Berpikir kritis adalah sintesa dari
pengetahuan moral. Menurut Lickona (2012: 85-86), pengetahuan moral terdiri dari kesadaran
moral, nilai moral, perspektif, pemikiran moral, pengambilan keputusan dan pengetahuan
perspektif. Dengan konsep tersebut berarti pembelajaran yang dilakukan seharusnya tidak
hanya menyangkut aspek kognitif praktis, akan tetapi lebih diarahkan pada pencarian nilai
(value) dan arti (meaning).
Pembelajaran sejarah sebagai pembelajaran yang berbasis pada “human activity”
sudah sewajarnya diarahkan untuk memahami bagaimana proses kehidupan melalui proses
pencarian nilai (value) dan arti (meaning) dari setiap peristiwa. Dengan demikian pembelajaran
sejarah akan membawa pengaruh bagi ketiga aspek belajar secara maksimal, yaitu; panduan
bersikap (afektif), berfikir cerdas (kognitif), dan dasar tindakan (psikomotor). Hubung-kait
berbagai konsep tersebut dalam pembelajaran sejarah dapat dilihat pada bagan berikut:

Heri Susanto
403
Bagan tersebut menggambarkan bahwa untuk membentuk kebiasaan berfikir kritis
maka diperlukan setidaknya dua langkah penting. Pertama, materi sejarah yang disajikan adalah

materi yang berorientasi pada nilai sehingga peserta didik dapat menjadikannya sebagai
panduan dalam bersikap, sebagai bahan analisis untuk berfikir cerdas dan sebagai dasar
tindakan dalam kehidupan sehari-hari. Kedua, dalam mengajarkan materi sejarah diperlukan
strategi yang mengedepankan empat atribut berfikir kritis sebagai proses, yaitu adanya proses
analisis terhadap berbagai fakta, konsep atau peristiwa, perhatian terhadap gejala-gejala dalam
peristiwa sejarah, kesadaran sejarah dan pada akhirnya peserta didik mampu merumuskan
independent judgement terhadap tema yang mereka pelajari.
Tahapan tersebut mengharuskan guru untuk membuat desain pembelajaran sejarah
yang bukan hanya mengedepankan aspek kognitif, akan tetapi juga afektif dan psikomotor.
Sementara siswa dalam proses pembelajaran diajak untuk melakukan aktivitas belajar yang
melibatkan kemampuan memori jangka panjang melalui proses mempertanyakan, menalar,
mencoba membuat asosiasi dan menyampaikan independent judgement.

III. SIMPULAN
Sebagai sebuah proses pendidikan, pembelajaran sejarah pada hakekatnya adalah
upaya dalam membentuk karakter peserta didik. Untuk memaksimalkan hal tersebut
pembelajaran sejarah sudah sewajarnya tidak hanya diarahkan untuk mengembangkah aspek
kognitif siswa akan tetapi lebih penting lagi juga pengembangan aspek afektif dan psikomotor.
Upaya tersebut akan berhasil apabila dalam proses pembelajaran guru dapat mengembangkan
aktivitas belajar yang membawa siswa pada kebiasaan berfikir kritis.
Kejelian dalam proses merencanakan atau membuat desain pembelajaran,
pelaksanaan pembelajaran dan evaluasi sebagai sarana refleksi pembelajaran mutlak

Heri Susanto
404
diperlukan. Rangkaian kegiatan tersebut sewajarnya dilakukan dengan memperhatikan struktur
dan konsep pedagoggi sejarah, sehingga tujuan akhir pembelajaran sejarah dapat tercapai.

DAFTAR PUSTAKA
Agus Salim. 2007. Indonesia Belajarlah! Membangun Pendidikan Indonesia. Yogyakarta: Tiara
Wacana.
Ahmad Sudrajat. 2012. 4 Kompetensi Guru. dalam http://ahmad_sudrajat.guru-indonesia.net/
artikel_detail-18438.html (diakses pada 12 April 2013).
Ahmad Turmuzi. 2011. Peranan Pembelajaran Sejarah dalam Pembangunan Bangsa.dalam
http://komunitaspendidikan.com/index.php/forum/peranan-pembelajaran-sejarah-
dalam-pembangunan-bangsa/146 (diakses pada Kamis, 21 Juni 2011).
Aman. 2011. Model Evaluasi Pembelajaran Sejarah. Yogyakarta: Ombak.
Choirul Mahfud. 2011. Pendidikan Multikultural. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Daliman. 2012. Manusia dan Sejarah. Yogyakarta: Ombak.
Doni Koesoema. 2010. Pendidikan Karakter: Strategi Mendidik Anak di Zaman Global. Jakarta:
Grasindo.
Gordon, Berry. 2003. Intelligent Memory: A Prescription for Improving Your Memory. New York:
Penguin Books.
Gunawan, Adi W. 2003. Genius Learning Strategy Petunjuk Praktis untuk Menerapkan Accelarated
Learning. Jakarta. Gramedia Pustaka Utama.
Hamid Hasan. 2011. “Pendidikan Sejarah: Orientasi dan Strategi Pedagogis”. Makalah pada.
Konferensi Nasional Sejarah IX. Jakarta: 5-7 Juli 2011.
Hamid Hasan. 2012. Pendidikan Sejarah Indonesia, Isu dalam Ide dan Pembelajaran. Bandung:
Rizqi Press.
I Gde Widja. 1989. Dasar-Dasar Pengembangan Strategi Serta Metode Pengajaran Sejarah.
Jakarta: Debdikbud.
Kochar, S.K. 2008. Pembelajaran Sejarah. Jakarta: Grasindo.
Lickona, Thomas. 2012. Mendidik Untuk Membentuk Karakter: Bagaimana Sekolah Dapat
Memberikan Pendidikan tentang Sikap Hormat dan Bertanggung Jawab/penerjemah,
Juma Abdu Wamaungo; editor, Uyu Wahyudin dan Suryani. Jakarta: Bumi Aksara.
Magdalia Alfian. 2007. “Pendidikan Sejarah dan Permasalahan yang Dihadapi”. Makalah
disampaikan dalam Seminar Nasional Ikatan Himpunan Mahasiswa Sejarah Se-
Indonesia (IKAHIMSI). Universitas Negeri Semarang, Semarang, 16 April 2007.
Renier, G.J. 1997. Metode dan Manfaat Ilmu Sejarah. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Ruland, Judith P. 2003. Critical Thinking Standards University of Central Florida. Faculty Centre.
Santrock, John W. 2010. Psikologi Pendidikan. Jakarta: Kencana Prenada Media Group.

Heri Susanto
405
Sartono Kartodirdjo. 1959. The Philosophy of History in Our Time. New York: Anchor Book
Company.
________________. 1988. Fungsi Pengajaran Sejarah dalam Pembangunan Nasional. Artikel
dalam Harian Kompas, 26 September 1988.
Susanto Zuhdi. 2010. “Identitas Bangsa, Sejarah, dan Pendidikan Sejarah di Indonesia”. dalam
Endang Sri Hardiati dan Rr. Triwulan (Peny.). Pentas Ilmu di Ranah Budaya, Sembilan
Windu Prof. Dr. Edi Sedyawati. Denpasar: Pustaka Larasan.
Wineburg, Sam. 2006. Berpikir Historis: Memetakan Masa Depan, Mengajarkan Masa Lalu.
Jakarta: Yayasan Obor.

Heri Susanto
406
MUSEUM SEBAGAI WAHANA PENDIDIKAN KARAKTER
DI KALIMANTAN SELATAN
Herry Porda Nugroho Putro
Universitas Lambung Mangkurat

ABSTRAK
Museum banyak kita jumpai diberbagai daerah, bahkan di berbagai negara. Koleksi yang
dimiliki museum beraneka ragam, sesuai dengan fungsi museum. Pada dasarnya museum
sebagai tempat menyimpan memori suatu masyakat atau bangsa, sehingga merupakan tempat
belajar dan pengingat jati diri serta identitas bangsa. Kalimantan Selatan memiliki dua museum
ternama, yaitu: Museum Lambung Mangkurat dan Museum Waja Sampai Kaputing. Museum
Lambung Mangkurat menyimpan koleksi dan gambaran perjalanan semua aspek kehidupan
masyarakat bangsa, Museum Waja Sampai Kaputing menyimpan koleksi dan gambaran
perjuangan masyarakat Kalimantan Selatan pada waktu mempertahankan kemerdekaan. Dua
museum tersebut selama ini telah menjadi pusat studi, dan selalu dikunjungi oleh para pelajar
dan mahasiswa. Berpijak pada hakekat museum dan dan koleksi dua museum tersebut, maka
Museum Lambung Mangkurat dan Museum Waja Sampai Kaputing memiliki peran penting
dalam pendidikan karakter khususnya karakter bangsa.
Kata kunci: museum, Kalimantan Selatan, karakter

I. LATAR BELAKANG MASALAH


Perjalanan suatu bangsa dan masyarakatnya penting dipahami dan dipelajari secara
terus menerus, sehingga jati diri dan karakter menjadi semakin tebal-tidak tergerus
perkembangan iptek dan informasi yang semakin pesat. Pewarisan telah dilakukan melalui
berbagai saluran informasi, lembaga dan jenjang pendidikan, tetapi lebih dominan dengan
cara verbal cerita turun temurun yang terkadang membingungkan dan membosankan.
Perilaku mengkhawatirkan sebagian anak bangsa dan masyarakat sering terlihat di
media massa, marak dengan perkelahian, kelompok-kelompok yang meresahkan masyarakat,
meniru mode-mode yang bertentangan dengan budaya dan norma. Perilaku ini
memperlihatkan adanya indikasi mulai tergerusnya jati diri sebagai bangsa dan warga
masyarakat Indonesia.
Perjalanan dan perjuangan masyarakat dalam bentuk berbagai aktivitas kehidupan
menunjukkan adanya perkembangan budaya masyarakat yang di dalamnya mengandung aspek
sosial, politik, budaya, ekonomi, seni, dan iptek. Gambaran visual dan bukti-bukti perjalanan

Herry Porda Nugroho Putro


407
aktivitas manusia dapat menggugah dan menjadi landasan perkembangan. Kita dapat belajar
dari negara-negara maju, semua aspek aktivitas dan produksi memiliki karakter dan identitas,
sehingga dapat dibedakan dengan negara-negara lain.
Kekayaan budaya sebagai hasil cipta, rasa, karsa di Kalimantan Selatan telah dikelola
dengan baik, seperti pada setiap jenjang pendidikan yang mencoba memasukkan aspek-
aspek budaya dalam muatan lokal dan keunggulan lokal, media massa (cetak dan elektronik),
festival tahunan budaya Banjar, dan lomba-lomba kesenian. Sangat disayangkan kegiatan
budaya Banjar tersebut hanya berpengaruh pada saat itu saja setelah siswa mendapat nilai,
waktu terbatas, dan terbatas pada siapa yang membaca.
Tempat studi budaya secara terus menerus dalam waktu lama dan aman serta dalam
bentuk tiga dimensi adalah museum. Kekayaan bangsa dan masyarakat di museum dapat
dipelajari setiap waktu, dapat disaksikan secara lansung dan nyata. Hal ini sesuai dengan
fungsi museum sebagai tempat studi, rekrasi, dan budaya.
Kalimantan Selatan mempunyai dua museum yang sangat dikenal oleh masyarakat,
yakni Museum Lambung Mangkurat dan Museum Waja Sampai Kaputing. Museum tersebut
merupakan kebanggaan masyarakat Kalimantan Selatan, karena memiliki peran fundamental
dalam pengembangan dan penumbuhan jati diri bangsa khususnya masyarakat Kalimantan
Selatan. Bukti-bukti perjalanan aktivitas masyarakat Kalimantan Selatan tertata secara kronologis
dan tematis dalam ruang pameran.

II. PEMBAHASAN
2.1 Hakekat dan Fungsi Museum
Hampir kebanyakan orang sering mendengar kata museum, ironisnya sering dikaitkan
dengan tempat menyimpan benda-benda lama dan tidak bermanfaat. Sering kita mendengar
metafora terhadap benda yang lama dengan kata-kata “dimuseumkan saja”. Metafora dan
pemahaman keliru ini berakibat pada persepsi keliru juga terhadap peran fundamental museum.
Koleksi yang dikumpulkan, dirawat dan dipamerkan bertujuan untuk kepentingan studi
atau pendidikan dan rekreasi. Dinamika dari museum terlihat dari tugas pokok museum, yaitu:
mengumpulkan, menyimpan, memelihara dan merawat serta memamerkan. Aktivitas ini
diharapkan dapat mengkomunikasikan dengan masyarakat dan lingkungannya. Jelas bahwa
museum bukan tempat yang statis, koleksi di dalamnya dapat memberikan gambaran tentang
ide-ide dan sistem nilai berkaitan dengan suatu masyarakat. Fungsi museum dijelaskan oleh
Candrasasmita (Seraya, 1983: 76): pusat dokumentasi dan ilmiah, pusat penyaluran ilmu untuk
umum, pusat kenikmatan kesenian, pusat perkenalan kebudayaan antara daerah dan bangsa,
obyek wisata, media pembinaan pendidikan kesenian dan ilmu pengetahuan, suaka alam
suaka budaya, sebagai cermin alam dan kebudayaan, dan media untuk bertakwa dan bersyukur
kepada Tuhan Yang Maha Esa.
Koleksi yang dikumpulkan sebagai pembuktian manusia dan lingkungannya, dapat
ditemukan dalam ragam museum berdasarkan koleksinya: museum geologi, museum zoologi,

408 Herry Porda Nugroho Putro


museum etno-botani, museum etnografi, museum sejarah. Selain itu masih banyak lagi ragam
museum yang terdapat di berbagai daerah seperti: Museum Pers di Surakarta, Museum Sono
Budoyo Yogyakarta, Museum Satria Mandala Jakarta, Museum Batik, Museum Rokok di Kudus,
Museum Kereta Api di Ambarawa dan sebagainya.
Museum terdapat di berbagai tempat, namun sedikit yang mengetahui kontribusi
museum bagi kehidupan dan kelanjutan suatu masyarakat (bangsa). Museum sering diartikan
sebagai tempat menyimpan barang kuno (tanpa suatu penjelasan lebih lanjut). Padahal bila
dikaji lebih dalam, museum merupakan tempat menyimpan memori masyarakat dan jiwa
bangsa, tempat menyimpan budi daya bangsa dari masa prasejarah hingga saat ini. Tanpa
museum suatu bangsa akan kehilangan identitasnya sebagai bangsa.
Berpijak pada pengertian dan fungsi museum sudah selayaknya masyarakat (umum
dan ilmiah) memanfaatkan museum sebagai sumber aktivitas (pendidikan dan rekreasi).
Demikian juga koleksi museum secara periodik harus dipamerkan, sehingga dapat
mendekatkan museum dengan masyarakat. Pada dasarnya koleksi museum bersifat
multidimensional, berbagai bidang ilmu, misalnya: antropologi, sosiologi, sejarah, politik,
ekonomi, biologi, kedokteran, geologi dan sebagainya.
Museum sangat mengharapkan partisipasi masyarakat, sesuai dengan fungsinya.
Sebaliknya masyarakat juga mengharapkan partisipasi dari museum. Informasi dari museum
dapat berupa lisan maupun tulisan (buku petunjuk museum, folder, penerbitan, brosur).
Museum dalam era perkembangan iptek yang pesat dan globalisasi saat ini memiliki
peran strategis. Lewat informasi berkelanjutan museum dapat menjadi memori masyarakat
akan kekayaan iptek yang dimiliki, sehingga masyarakat dapat terus berproduksi tidak terjebak
pada pola hidup konsumtif. Demikian juga museum dapat memanfaatkan perkembangan
iptek sebagai media komunikasi dan informasi, dengan memiliki situs atau web site dan
memanfaatkan perkembangan multi media.
Pelestarian warisan budaya merupakan fungsi utama dari museum, aspek dinamis
dari museum adalah menjaga, melindungi, dan mengembangkan. Fungsi penting dari museum
adalah sebagai pusat pendidikan (penelitian, sumber belajar). Koleksi museum berguna sebagai
data untuk penelitian (tugas akhir, skripsi, tesis, dan disertasi). Fungsi edukatif dapat kita temukan
dari jenjang SD hinggga perguruan tinggi menggunakan museum secara bersama-sama
maupun individu untuk menyusun tugas.
Sebagai sumber pengetahuan, para pengelola museum dituntut terus
mengembangkan informasi, seperti brosur, kalender, buku, audio visual dan lain-lain. Edi
Sedyawati (2008) menyarankan agar museum terus mengembangkan diri, sehingga dapat
menjadi kebanggaan masyarakat dan pusat budaya. Berbagai kegiatan dalam konteks
kebudayaan dapat diadakan di museum, seperti pameran khusus dengan disertai kegiatan
khusus seperti: demonstrasi, lomba, permainan, talk show, pameran khusus, festival, basar,
kontes.
Edi Sedyawati (2008) menyampaikan gagasan museum sebagai tujuan wisata, karena
tujuan wisata selalu dikaitkan dengan kunjungan ke museum. Untuk itu museum harus dapat

Herry Porda Nugroho Putro


409
memberikan kepuasan dan kesan yang mendalam, dari keunikan koleksi atau keunggulan
mutu dari benda-benda yang dipamerkan. Hal ini dapat dilakukan melalui suasana museum
yang nyaman, kemasan-kemasan informasi pendamping, dan kegiatan penunjang. Bagi
pengunjung adalah mendapatkan pengetahuan dan kenangan. Daya tarik museum sangat
tergantung kepada daya imajinasi para pengelolanya (termasuk kurator).
2.2 Museum sebagai Wahana Pendidikan Karakter
Museum dapat untuk menumbuhkan pada diri anak-anak keterampilan berpikir melalui
pengamatan terhadap benda-benda budaya dan benda-benda bersejarah, mereka berdiskusi
saling bertanya dan menjelaskan, sehingga mereka dapat memahami konsep tentang
perubahan dan kontinuitas. Penting bagi museum mengadakan kegiatan khusus bagi para
pelajar, dan mengadakan demonstrasi berkaitan dengan pengembangan nilai-nilai. “Many
museums have planned activities or reading list to assist the teacher in preparing for the visit.
They may also provide spesial guides or program for student groups.” (Sunal dan Has, 2005:
193)
Stopsky, Lee, dan Tamashiro (1994: 407) mengatakan “Museums are
changing...Museums not only contain our cultural heritage but also are sources of materials that
relate to current event topics.” Stopsky (1994: 408) menambahkan bahwa museum sangat
membantu anak-anak perception games, sensory explorations, improvisations, inquiry,
simulations. Beberapa museum memiliki mobil keliling dengan berbagai informasi mengunjungi
sekolah dan masyarakat. Kunjungan ke museum dapat menjadi pengalaman bagi siswa,
sehingga mereka dapat bercerita, mengarang, dan menggambar.
Museum berguna dalam penyampaian nilai-nilai dalam rangka proses sosialisasi
siswa. Selain itu museum dapat membangun keterampilan berpikir anak-anak tentang
lingkungan hidup dan kebudayaan secara rasional. Museum juga dapat untuk pengembangan
penghargaan terhadap nilai-nilai kemanusiaan. Sehingga museum dalam konteks tujuan
pendidikan merupakan pusat perkenalan kebudayaan antar daerah dan bangsa, pusat media
pendidikan dan ilmu pengetahuan, suaka alam dan suaka kebudayaan, cermin alam dan
kebudayaan.
Gambaran berupa model, miniatur, dan koleksi benda-benda dalam museum bila
dikaji secara mendalam merupakan kekayaan intelektual suatu masyarakat, di dalamnya
terdapat indigenous knowledge (pengetahuan asli) sebagai bagian dari kebudayaan untuk
mengelola dan memelihara lingkungannya. Museum dapat memberikan ilustrasi bahwa
lingkungan dengan kekayaan alamnya telah melahirkan indigeneous knowledge berupa
kekayaan pengetahuan sains dan sosial budaya.
Kekhasan budaya Kalimantan Selatan misalnya terlihat dari cultural universal yang
menjadi jati diri masyarakatnya. Wujud material budaya Kalimantan Selatan dapat disaksikan
di Museum Lambung Mangkurat Kalimantan Selatan, misalnya: perahu tradisional, rumah
tradisional Banjar, alat kegiatan hidup (pakaian, perikanan, pertanian, berburu). Koleksi material
budaya tersebut sarat dengan indigenous knowledge masyarakat berupa: keterampilan,
ekonomi, sains, dan nilai-nilai yang bermanfaat bagi kehidupan.

410 Herry Porda Nugroho Putro


Aspek edukatif dari museum adalah peranan strategis dalam memelihara dan
mewariskan kebudayaan pada masyarakat pendukungnya. Pewarisan nilai diturunkan dari
satu generasi ke generasi berikutnya dengan tujuan agar setiap individu menjadi bagian dan
dapat menyesuaikan diri dalam kehidupan masyarakatnya. Sejak dini setiap individu secara
terus-menerus mendapatkan pendidikan, latihan-latihan untuk memahami dan mematuhi
aturan-aturan yang berlaku serta menyesuaikan dirinya dengan lingkungan sekitarnya. Museum
sebagai wahana pendidikan juga dituntut mempersiapkan masyarakat dalam era global, suatu
era yang ditandai dengan percepatan iptek dan informasi (Micklethwait, 2000: 36). Komunikasi
dan informasi tanpa batas yang berkembang pesat telah menimbulkan nilai-nilai baru yang
berpengaruh terhadap cara hidup masyarakat. Lewat aktivitas penggalian, pemeliharaan,
informasi koleksi budaya dan lingkungan, museum dapat memberikan kontribusi agar
masyarakat dapat terlibat aktif dan trampil. Museum memiliki peranan strategis agar masyarakat
mampu bersikap dan siap pada abad ke-21 (Kennedy, 2002: 506).
2.3 Museum dan Pengembangan Pembelajaran
Peran fundamental museum sebagai basis utama pewarisan budaya sejalan dengan
Kurikulum 2013. Filosofi yang mendasari kurikulum ini adalah budaya Indonesia dengan
keunggulan lokalnya. Kurikulum dilaksanakan dengan menggunakan pendekatan multistrategi
dan multimedia, sumber belajar, teknologi yang memadai, dan memanfaatkan lingkungan
sekitar sebagai sumber belajar, dengan prinsip pembangunan karakter bangsa.
Peran strategis museum dan tuntutan Kurikulum 2013 telah memberikan titik terang
terhadap pengembalian fungsi lingkungan dan budaya bagi masyarakat. Temuan di lapangan
mengindikasikan bahwa materi (subject matter) di sekolah kurang memberi muatan budaya
dan lingkungan sekitar siswa. Pokok bahasan berkisar pada gambaran yang jauh dari
lingkungan dan budaya siswa. Pembelajaran cenderung konvensional, tidak mengajak siswa
memanfaatkan lingkungan dan budayanya sebagai sumber belajar. Kondisi ini dapat berakibat
buruk bagi sikap siswa terhadap lingkungan dan budayanya, siswa dapat merasa asing dengan
lingkungan dan budayanya. Pemahaman konsep-konsep pada materi pelajaran kurang
diarahkan pada penggunaan contoh yang ada di sekitar siswa. Hal ini berakibat sulitnya
pertumbuhan dan perkembangan keterampilan berpikir pada diri siswa.
Museum sebagai sumber belajar sudah saatnya diintegrasikan dalam setiap jenjang
pendidikan. Sekolah tidak hanya mentransferkan konsep-konsep dari luar siswa. Contoh-contoh
dan bukti kekuatan sains masyarakat (indigenous knowledge) yang dibuktikan dalam koleksi
museum penting diwariskan pada siswa, sehingga siswa sebagai penerus masyarakatnya
dapat memelihara dan mengelola lingkungannya dengan tepat.
Museum bukan hanya menyediakan material warisan budaya tetapi juga merupakan
sumber tentang topik-topik peristiwa. Museum dapat menstimulus keterampilan berpikir dan
ide-ide. Hal ini terintegrasi dengan pengalaman belajar siswa (Stopsky, Lee, dan Tamashiro,
1994: 489). Woyach dan Benny (1989: 13) mengatakan: “Local interest group often demand
that content or materials about their particular ethnic group or issues be included in the world
studies curriculum.”

Herry Porda Nugroho Putro


411
Integrasi museum dalam pembelajaran dapat menumbuhkan kompetensi sosial
budaya yang berujung pada kecintaan pada lingkungan dan budayanya serta memiliki
keterampilan berpikir dalam memelihara dan mengelola lingkungan. Pemanfaatan museum
sebagai sumber belajar sejalan dengan pendapat Sunnal dan Haas (2005: 207) ...students
investigate and explore their social environment to understand it and develop skills for future
understanding, which may promote active civic participation. Such investigation and exploration
involve an attitude of respect for others and the environment and willingnes to care appropriately
for people and the environment.
Pentingnya museum dalam pendidikan mneurut Trilling, B., & Fadel, C. (2009, 150):
As we move further into the 21st century, more and more countries will put more and
more emphasis on learning. They will embed learning experiences into all aspects of
life and culture and become leaning societies that put a high-quality education for all
their citizens at the top of the list of their nation’s priorities.
Melalui museum siswa dapat memiliki pengalaman tentang semua aspek kehidupan dan
budaya. Cary, J. L (2013) juga menekankan “…I have suggested in the past that it is important to begin
with social and educational discourses that frame subject positions, because the ‘the big picture’ is
often left out. Understanding the way we know the world is vital.” Museum dapat menyadarkan siswa
sehingga memiliki perspektif tentang hakekat budaya yang juga dimiliki oleh berbagai suku bangsa
atau berbagai bangsa seperti yang dikatakan Waterworth, P. (2013):
Multicultural perspectives in Social Studies (1) The integrity of all cultures across eras, (2) The
equivalence of cultures, (3) The celebration of Cultures, (4) The selection of cultural heroes, (5) The
inclusion of children’s cultural values. …Multicultural perspectives may become a powerful element
in the school curriculum to help to create cultural harmony in societies which are culturally diverse.
2.4 Museum Lambung Mangkurat
Keberadaan Museum Lambung Mangkurat tidak dapat dipisahkan dari seorang tokoh
Kalimantan Selatan Idwar Saleh, beliau pernah menjadi Kepala Museum Lambung Mangkurat
selama tiga periode yaitu tahun 1979 -1984. Beliau termasuk perintis dan juga desainer Museum
Lambung Mangkurat. Pemikiran beliau terutama tentang Perang Banjar diaplikasikan dalam
bentuk lukisan, model, dan dokumen. Gagasan tentang Perang Banjar dalam Museum
Lambung Mangkurat ternyata dapat menggugah semangat juang pengunjung museum. Koleksi
Perang Banjar tersebut telah menjadi obyek studi menarik bagi pelajar, mahasiswa dan
masyarakat Banjar.
Keberadaan Museum Lambung Mangkurat di Kota Banjarbaru dapat
memperkenalkan, menambah dan mengembangkan wawasan tentang karakteristik masyarakat,
budaya, di Kalimantan Selatan, sehingga sangat membantu siapa saja yang datang ke
Kalimantan Selatan maupun masyarakat. Para turis yang datang ke Kalimantan Selatan, selalu
menjadikan Museum Lambung Mangkurat obyek awal dan kewajiban pertama sebelum
melakukan studi di lokasi lain di Kalimantan Selatan. Pelajar dan mahasiswa lewat musum
ternyata tertarik terhadap semua sisi dari Kalimantan Selatan, mereka dapat menguak kekayaan
iptek dan budaya masyarakat Kalimantan Selatan. Pijakan awal pada museum tersebut dapat

412 Herry Porda Nugroho Putro


membangun pemikiran melakukan studi selanjutnya dan mengenal lebih jauh kondisi
Kalimantan Selatan. Pengunjung pada umumnya memiliki kesan merasa senang dan kagum
terhadap masyarakat, budaya, iptek Kalimantan Selatan.
Ulasan di atas dapat memberikan gambaran bahwa Museum Lambung Mangkurat
dalam perjalanan sejarahnya telah mampu memberikan kontribusi bagi pengembangan iptek
dan jati diri bangsa (masyarakat Kalsel), melalui Museum Lambung Mangkurat masyarakat di
Kalimantan Selatan dapat belajar dan bertumpu sehingga gerakan ke depan selalu berdasarkan
identitas dan ide-ide seperti pendahulu-pendahulunya. Demikian pula masyarakat dari luar
dapat mengenal lebih jauh tentang masyarakat dan budaya Kalimantan Selatan.
Aspek budaya selalu melekat dari peranan museum, bila menengok Museum Lambung
Mangkurat akan terlihat bahwa budaya dan unsur-unsurnya (agama, kesenian, bahasa, mata
pencaharian, iptek, aktivitas masyarakat) akan terlihat jelas dan utuh. Berarti studi berbagai
disiplin ilmu dapat dilakukan di Museum Lambung Mangkurat.
Koleksi dan ruang pameran Museum Lambung Mangkurat memperlihatkan aspek
multidimensional dari masyarakat Kalsel. Koleksi meliputi prasejarah, arkeologi, numismatika/
heraldika, keramik asing, sejarah, seni rupa, seni kriya, kerajinan kontemporer, peta, kosmologi/
astronomi, geologi, palaentologi/antropologi, botani, zoologi, herbarium, etnografika. Koleksi-
koleksi tersebut bila ditelusuri akan terlihat: pengolahan lampit dari rotan, peralatan tenun,
ukiran kayu/rumah Banjar, gamelan keraton, gamelan rakyat, kain-kain, peta perkembangan
kota Banjarmasin, mata uang kerajaan Banjar, replika benda-benda pusaka Kerajaan Banjar,
lukisan benteng Kesultanan Banjar dan perlawanan rakyat Banjar, mata uang kerajaan Banjar,
replika rumah Banjar, gambaran kelompok etnis, diorama dapur masyarakat Banjar, perahu
Banjar, peralatan menangkap unggas, peralatan mengolah gula aren, peralatan pertanian,
peralatan menangkap ikan dan sebagainya.
Berbagai aktivitas telah dilaksanakan Museum Lambung Mangkurat sebagai wujud
perannya mengemban pelestarian budaya dan iptek. Pameran dengan berbagai tema seperti:
tenun nasional, senjata tradisional, sejarah, peralatan tradisional dan sebagainya. Buku Dasa
Warsa Museum Lambung Mangkurat (1988/1989) telah mencatat bahwa telah dilakukan
berbagai pameran di Museum Lambung Mangkurat seperti: ukiran tradisional Kalimantan
Selatan, anyaman tradisional Kalimantan Selatan, Perang Banjar 1859-1865, transportasi
tradisional Kalimantan Selatan, Perahu Tradisional, rumah tradisional. Pagelaran kesenian
tradisional juga sudah pernah dilaksanakan seperti: wayang kulit (Banjar), lamut, madihin,
bagandut (tari dan nyanyi), mamanda, sinoman hadrah, musik painting, kuda kepang dan
sebagainya. Baayun Maulid sebagai tradisi masyarakat Banjar setiap tahun selalu
diselenggarakan di Museum Lambung Mangkurat.
Museum Lambung Mangkurat sebagai tempat studi dan rekreasi budaya memiliki
halaman cukup luas di atas tanah seluas 1,5 ha (satu setengah hektar). Halaman Museum
Lambung Mangkurat bila terus dimanfaatkan merupakan bagian dinamis dari museum, karena
di halaman ini sering dilaksanakan kegiatan-kegiatan edukatif dan tradisi. Halaman museum
ini juga merupakan lahan menarik terutama bagi anak-anak, karena mereka sebelum masuk

Herry Porda Nugroho Putro


413
ruang pameran dan sesudah masuk ruang pameran terlihat berlari-lari dan berkejar-kejaran.
Demikian juga bagi para siswa setiap jenjang pendidikan, halaman museum dapat menjadi
tempat koordinasi mempersiapkan bahan-bahan sebelum masuk ruang pameran, dan menjadi
ruang beristirahat melepas lelah setelah melewati ruang demi ruang pameran. Kadang-kadang
kita menemukan kelompok-kelompok siswa berdiskusi di halaman museum.
Museum Lambung Mangkurat dilengkapi juga dengan perpustakaan, kita dapat
membaca buku-buku terbitan museum, buku-buku kebudayaan, maupun buku-buku lama
tentang Kalimantan Selatan. Tetapi perpustakaan ini terkesan jarang dikunjungi, kebanyakan
yang mengunjungi perpustakaan para mahasiswa atau peneliti yang ingin mendapatkan
informasi tentang kebudayaan Kalimantan Selatan. Pengunjung lebih tertarik berkeliling di
ruang koleksi, padahal bila kita perhatikan di beberapa museum di Jakarta perpustakaan
merupakan bagian tak terpisahkan dari ruang pameran yang memiliki peran penting sebagai
ruang edukasi.
2.5. Peran Museum dalam Pendidikan Karakter di Kalimantan Selatan
Museum dalam hal ini Museum Lambung Mangkurat dan Museum Waja Sampai
Kaputing menyimpan nilai dan karakter. Karakter adalah watak, tabiat, akhlak, atau kepribadian
seseorang yang terbentuk dari hasil internalisasi berbagai kebajikan (virtues) yang diyakininya
dan digunakannya sebagai landasan untuk cara pandang, berpikir, bersikap, dan bertindak
(Muhsinatun, 2013).
Koleksi dan tata ruang (pameran) serta kegiatan tahunan yang telah dilakukan oleh
Museum Lambung Mangkurat menunjukkan bahwa Museum Lambung Mangkurat telah
berusaha melakukan fungsinya sesuai dengan tujuan dari museum. Benda-benda koleksi
terlihat bertambah (sejak penulis datang tahun 1988), meskipun bangunan utama terkesan
masih seperti yang dulu.
Koleksi dan kegiatan yang diselenggarakan oleh Museum Lambung Mangkurat
sebenarnya bukan hanya untuk para pelajar, tetapi juga para pegawai, guru, dan masyarakat.
Para pelajar termasuk mahasiswa merupakan pengunjung rutin museum, para pegawai dan
para guru terkesan kurang. Masyarakat biasanya ramai berkunjung bila ada pameran atau
pagelaran.
Koleksi Museum Lambung Mangkurat memperlihatkan bahwa Kalimantan Selatan
memiliki kebudayaan yang maju, memiliki kekayaan lingkungan, dan memiliki aneka ragam
flora dan fauna. Obyek studi berbagai disiplin ilmu dapat dilakukan di Museum Lambung
Mangkurat. Studi tentang ornamen dan berbagai bentuk rumah Banjar misalnya dapat dilakukan
oleh Teknik Arsitektur, perkembangan masyarakat dan budaya dapat dilakukan oleh sejarah-
sosiologi dan antropologi, teknik dan transportasi dapat melakukan studi tentang perahu
tradisional, ekonomi dapat melakukan studi tentang mata pencaharian dan perlengkapan
hidup masyarakat.
Koleksi museum dapat dijadikan inspirasi dalam pembangunan berbagai bidang,
sehingga identitas dan karakter masyarakat setempat dapat terus melekat meskipun arus
informasi berkembang deras. Kearifan lokal dapat terlihat dari koleksi museum yang

414 Herry Porda Nugroho Putro


berhubungan dengan pengolahan alam (intan, batubara, rotan), juga tata ruang dan bentuk
bangunan. Etos kerja, semangat juang yang tinggi terlihat dari tampilan koleksi di museum. Hal
ini dapat menyadarkan dan memberi karakter pada masyarakat masa kini untuk terus berjuang
di tengah-tengah kehidupan yang serba instan. Koleksi museum telah memperlihatkan karakter
masyarakat seperti kerja keras, gotong royong, mencintai lingkungan, memiliki cipta-rasa-
karsa sehingga terciptalah keharmonisan dalam masyarakat maupun dengan alam; bahkan
dapat menyadarkan masyarakat terhadap kebijakan yang tidak sesuai dengan nilai-nilai di
tempatnya berpijak. Tema-tema sosial, politik, budaya, ekonomi, seni, agama dapat dijadikan
fokus studi melalui koleksi yang di museum.
Kurikulum mulai jenjang Taman Kanak-Kanak hingga Perguruan Tinggi menuntut
aspek lokal dalam hal ini keunggulan lokal terintegrasi dalam pembelajaran. Pendidikan pada
dasarnya mempersiapkan peserta didik untuk siap mandiri dan hidup di tengah masyarakat,
untuk itu aspek lokal diperlukan agar peserta didik dapat siap dan bermanfaat bagi
masyarakatnya. Semua aspek lokal dalam suatu masyarakat telah ditampilkan secara rapi,
apik dan nyata di Museum Lambung Mangkurat, untuk itu Museum Lambung Mangkurat sangat
bermanfaat bagi setiap jenjang pendidikan. Museum Lambung Mangkurat telah berperan aktif
mendekati lembaga pendidikan. Peran aktif dari museum dapat berupa mengedarkan brosur
tentang koleksi-koleksi, buku-buku yang pernah diterbitkan, brosur-brosur pameran yang pernah
diselenggarakan. Museum Lambung Mangkurat telah menerbitkan beberapa buku yang selalu
menjadi referensi para peneliti, seperti: perahu tradisional, kain tenun, senjata tradisional
Kalimantan. Brosur-brosur pameran yang dibagikan kepada para pengunjung dapat menjadi
referensi menarik bila dibagikan juga ke sekolah-sekolah.
Penyelenggaraan tahunan seni tradisional, tradisi (misal Baayun Maulid), pameran-
pameran bertemakan dari masa ke masa tentang masyarakat dan perlengkapan hidupnya
telah berhasil menarik perhatian masyarakat. Museum merupakan tempat yang strategis dan
sesuai dengan fungsinya dalam menggelar kegiatan tradisi. Penyelenggaraan pameran dan
pagelaran ini penting sehingga museum selalu dekat dengan masyarakat, pada gilirannya
masyarakat dapat selalu mendapat inspirasi dan menyadari akan jati dirinya (Budaya Banjar).
Iptek dan budaya yang tidak sesuai dengan iptek dan budaya setempat tidak akan bertahan
lama, masyarakat akan berbalik pada iptek dan budayanya. Benturan antar peradaban dapat
terjadi bila suatu masyarakat tidak memperhatikan kebudayaannya sendiri. Berangkat dari
pendapat tersebut, museum akan selalu mendapat tempat di masyarakat. Hal ini terlihat dari
tidak pernah sepinya Museum Lambung Mangkurat dari kunjungan, terutama pada hari-hari
libur, dan selalu menjadi pusat studi pelajar maupun mahasiswa.
2.6 Tantangan Museum Lambung Mangkurat
Musum Lambung Mangkurat dari waktu ke waktu sudah terlihat perannya, hampir
semua lapisan masyarakat Kalimantan Selatan mengenal Museum Lambung Mangkurat. Setiap

Herry Porda Nugroho Putro


415
sekolah memiliki agenda kunjungan ke Museum Lambung Mangkurat, masyarakat yang akan
ke Banjarmasin sering singgah dahulu ke museum, demikian juga yang akan menuju Hulu
Sungai. Penataan perlu dilaksanakan secara sitemik dan holistik, selain selalu tetap
memperhatikan aspek utama ruang pameran, aspek lainnya juga berperan penting sehingga
museum menjadi nyaman dan menyenangkan. Taman bermain dapat menjadi daya tarik bagi
orangtua dan anak-anak, untuk itu Museum Lambung Mangkurat dapat lebih memperhatikan
keberadaan taman-taman yang sudah ada agar dapat lebih menarik lagi. Kegiatan anak-anak
yang telah dilakukan seperti lomba melukis koleksi-koleksi museum dapat terus diselenggarakan
menjadi kalender tahunan, bekerjasama dengan instansi terkait atau kelompok-kelompok
remaja dan swasta.
Koleksi yang terus bertambah harus menjadi perhatian museum, untuk itu diperlukan
penataan ulang untuk menimbulkan kesan rapi dan menarik. Dinamika masyarakat Kalimantan
Selatan telah terlihat di dalam Museum Lambung Mangkurat, peristiwa aktual yang menunjukkan
dinamika masyarakat Kalimantan Selatan sebaiknya berada di ruang pameran, seperti PILKADA,
peristiwa Mei 1998, perkembangan media massa di Kalimantan Selatan (surat kabar, radio).
Era informasi dengan teknologi informasi berupa internet dapat dijadikan media
menarik bagi pencapaian tujuan museum. Museum Lambung Mangkurat dapat memanfaatkan
internet sebagai medium pendekatan pada masyarakat dengan menampilkan koleksi-koleksi
yang terdapat di museum. Penyelenggaraan kegiatan ditampilkan dalam internet dalam bentuk
gambar maupun video. Demikian juga komunikasi dapat dijalin dengan lembaga-lembaga
pendidikan, pemerintah, maupun swasta.
Kota Banjarbaru sebagai kota dan kota pemerintahan Provinsi Kalimantan Selatan
dapat menjadi tantangan bagi Museum Lambung Mangkurat. Museum Lambung Mangkurat
akan menjadi lokasi kunjungan lapisan masyarakat dan menjadi perhatian berbagai kalangan,
karena masyarakat akan mencari tempat rekreasi sambil belajar untuk anak-anak mereka,
berbagai kalangan akan menjadikan museum sebagai tempat studi dan agenda kunjungan
para tamu untuk mengenalkan kebudayaan dan iptek setempat.
2.7 Museum Waja Sampai Kaputing
Museum Waja Sampai Kaputing berada di jantung kota Banjarmasin, tepatnya di
bawah jembatan 17 Mei, Kelurahan Sungai Jingah Banjarmasin Utara. Nama Waja Sampai
Kaputing diambil dari semangat Pahlawan Nasional Pangeran Antasari dari Kalimantan Selatan,
kepanjangannya adalah “Haram Manyarah, Waja Sampai Kaputing”. Museum ini memiliki arti
penting bagi masyarakat Kalimantan Selatan, khususnya para generasi muda. Selain bentuk
Rumah Banjar Bumbungan Tinggi, museum ini menyimpan koleksi dan dokumen perjuangan
rakyat Kalimantan Selatan pada waktu mempertahankan kemerdekaan.
Museum Waja Sampai Kaputing diresmikan pada tanggal 9 November 1991 oleh
Gubernur H.M. Said. Tanggal peresmiannya memiliki makna perjuangan rakyat Kalimantan
Selatan di Kota Banjarmasin dalam mengusir Belanda. Untuk mengenang dan menghargai
perjuangan 9 November 1945 telah didirikan monumen yang letaknya tidak jauh dari museum.
Pada tanggal 9 November 1945 rakyat Kalimantan Selatan dipimpin oleh Hassan Basry

416 Herry Porda Nugroho Putro


(sekarang pahlawan nasional) berjuang dengan gigih mempertahankan Kalimantan Selatan
dari serangan Belanda. Sama seperti daerah-daerah lain di tanah air seperti Yogyakarta,
Surabaya, Semarang, Medan rakyatnya berjuang menentang kembalinya Belanda ke Indonesia.
Bila Surabaya mempunyai tanggal 10 November sebagai tanggal penting, maka rakyat
Kalimantan Selatan mempunyai tanggal 9 Nopember sebagai tanggal untuk mengingatkan
perjuangan rakyat Kalimantan Selatan, khususnya di Banjarmasin.
Koleksi museum tersusun secara kronologis, pada pintu masuk tertera tulisan besar
“Rakyat Kalimantan Selatan dalam Dimensi Perjuangan Bangsa.” Selanjutnya dapat dilihat
secara kronologis gambar para Gubernur Kalimantan Selatan, lambang-lambang dari semua
kabupaten di Kalimantan Selatan. Perjuangan Rakyat Kalimantan Selatan Menegakkan
Kemerdekaan tahun 1945-1949 digambarkan secara kronologis disertai benda-benda
perjuangan mulai dari senjata (meriam kecil), pedang, tombak, pakaian, jimat-jimat, mesin
ketik, serta dalam bentuk dokumen dan beberapa replika dari struktur organisasi perjuangan.
Koleksi dan bentuk cara penataan telah dapat memberikan gambaran dari perjuangan
rakyat Kalimantan Selatan dalam mempertahankan kemerdekaan. Terdapat beberapa hal
yang perlu mendapat perhatian tentang koleksi, penataan dan ruangan. Museum Lambung
Mangkurat Banjarbaru dapat dijadikan contoh dalam penanganan koleksi misalnya
pemeliharaan, penataan dan suasana ruang pameran sehingga terkesan menarik. Pada
Museum Waja Sampai Kaputing mulai dari pintu masuk diperlukan penataan, teras terkesan
kurang menarik. Penambahan vas bunga, lukisan perjuangan atau motto dapat sedikit
memberikan daya tarik.
2.8 Tantangan Museum Waja Sampai Kaputing
Teras tersebut pada siang hari sering digunakan untuk tiduran. Koleksi terkesan kurang
terpelihara, ruangan museum terlihat tidak dirancang sebagai ruang museum, sehingga dapat
berpengaruh terhadap benda-benda koleksi. Penjelasan pada setiap koleksi perlu di perbarui
dan dalam bentuk yang menarik dan aman. Gambar-gambar lama dan dokumen perlu tempat
yang aman, sehingga dapat tahan lama dan menarik. Ruangan tempat koleksi terkesan kurang
lebar dan panas, siswa-siswa SD terlihat berdesakan, sehingga mereka hanya mengamati
sepintas saja, sulit untuk berdiskusi. Koleksi terkesan tidak ada penambahan, padahal para
pejuang dan keluarganya masih ada yang memelihara benda-benda bersejarah, demikian
juga beberapa temuan dari Balai Arkeologi.
Pengembangan ruangan dan koleksi museum tersebut berkaitan dengan fungsi museum
sebagai pusat budaya, ilmu pengetahuan, dan sumber belajar. Sekitar museum Waja Sampai
Kaputing telah ditata cukup menarik, bagian dalam pagar museum suasananya sejuk karena adanya
pepohonan, pada bagian yang lain terlihat jembatan tradisional dan halaman yang luas.
Keamanan lokasi dalam pagar museum perlu mendapat perhatian, karena lokasi di
bawah museum sering dijadikan tempat pertemuan muda-mudi, sehingga dapat menimbulkan
kesan kurang baik tentang keberadaan museum.
Pengembangan Museum Waja Sampai Kaputing terus dilakukan, harapannya dapat
menjadi tempat belajar dan rekreasi masyarakat. Hal yang perlu diperhatikan adalah kebersihan

Herry Porda Nugroho Putro


417
dan pemeliharaan. Bangunan tradisional Banjar yang menghadap langsung ke Sungai
Martapura terlihat menarik dan indah. Pengembangan, pemeliharaan, dan kebersihan
bangunan tersebut sangat diperlukan. Bangunan tersebut dapat dimanfaatkan sebagai tempat
pariwisata air dan kuliner. Penataan dan pemanfaatan yang tepat bangunan di depan museum
tersebut dapat menjadikan Museum Waja Sampai Kaputing menjadi pusat pariwisata di Kota
Banjarmasin. Hal ini didukung dengan letak museum, yaitu: dibawah jembatan besar (jalan
utama), tepi Sungai Martapura, perumahan pendududuk di tepi sungai (dapat dijadikan sasaran
wisata), pertumbuhan pusat pertokoan, pendidikan di sekitar museum (dua PT, SD, SMP),
pusat olah raga, banyaknya masakan khas Banjar di sekitar museum. Disekitar museum juga
telah dibangun ruang terbuka hijau, kios-kios, dan panggung.
Fasilitas pendukung tersebut harus menjadi perhatian penting bagi pengembangan
Museum Waja Sampai Kaputing bila ditata dan difungsikan, dalam bentuk kegiatan ilmiah,
budaya, rekreasi (Museum Waja Sampai Kaputing akan menjadi bagian penting kunjungan
wisata, budaya, dan ilmu pengetahuan). Sebaliknya bila pemeliharaan dan penataan tidak
diperhatikan, lokasi ini akan menjadi kotor, dan merusak citra dan keberadaan Museum Waja
Sampai Kaputing.

III. SIMPULAN
Pendidikan karakter dapat dilakukan melalui studi di museum, karena museum dalam
hal ini Museum Lambung Mangkurat dan Museum Waja Sampai Kaputing di Kalimantan
Selatan menyimpan memori dan gambaran perjuangan masyarakat dalam berbagai aktivitas
sejak jaman prasejarah hingga kini.
Pemanfaatan museum sebagai media pendidikan karakter, dapat dilakukan melalui
pendekatan sainstifik. Siswa diajak menyelesaikan masalah masyarakat dan bangsanya melalui
model discovery learning, problem based learning, project learning, dan Inquiry learning. Koleksi
di museum dapat dijadikan tema permasalahan tentang perjuangan bangsa, dan dapat menjadi
sumber nyata perjalanan bangsa dari waktu ke waktu.
Museum Lambung Mangkurat dan Museum Waja Sampai Kaputing di Kalimantan
Selatan dapat digunakan sebagai pembelajaran sainstifik, siswa dapat diajak menggali
permasalahan yang ada di masyarakat dan dapat menemukan jati diri bangsa melalui benda-
benda koleksi museum.
Museum Lambung Mangkurat dan Museum Waja Sampai Kaputing telah melangkah
dan mengisi kehidupan masyarakat Kalimantan Selatan. Koleksi-koleksi di dalamnya
menyimpan kekayaan budaya dan iptek yang terus bertambah setiap tahunnya. Penataan
kembali agar lebih menarik dan terkesan menyenangkan perlu mendapat dukungan semua
pihak, karena keberadaan museum yang sudah begitu lama telah menjadi milik masyarakat,
demikian pula keberadaan museum sebagai pusat studi, budaya, dan wisata telah dirasakan
manfaatnya.
Penataan yang sistemik dan holistik sangat diperlukan, seperti ruangan, taman,
halaman, dan unsur pelaksana. Taman dan halaman yang nyaman akan dapat menarik

418 Herry Porda Nugroho Putro


pengunjung untuk selalu mengunjungi museum, pada gilirannya museum akan menjadi tempat
menyenangkan bagi orang tua dan anak-anak. Para pelajar akan menjadikan sebagai tempat
belajar yang nyaman. Teknologi informatika dapat menjadi media yang menarik untuk
memperkenalkan museum pada masyarakat.

DAFTAR PUSTAKA
Cary, J. L. 2013. Strengthening the Social Studies for the 21st Century. Paper.International Seminar
on Strengthening Social Studies for the Twenty First Century. November 14, 2013.
Bandung: Organized By Social Studies Program School of Post-Graduate Studies
Indonesia University of Education.
Edi Sedyawati. 2008. KeIndonesian dam Budaya. Jakarta: Wedatama Wdya Sastra.
Kennedy, P. (1995). Menyiapkan Diri Menghadapi Abad ke- 21. Jakarta: Yayasan Obor.
Micklethwait, J. 2000. A Future Perfect. New York: Crown Publisher.
Muhsinatun, S. M. 2013. Pengembangan Pendidikan Budaya dan Karakter Bangsa. Makalah.
Seminar Nasional Pendidikan IPS. 11 September 2013. Banjarmasin: Program Studi
Magister Pendidikan IPS Pascasarjana UNLAM.
Seraya, M. 1983. Langkah-Langkah Museum Bali dalam Rangka Memupuk Apresiasi dan
Membina Cinta Budaya, Generasi Muda. Denpasar.
Stopsky, F., Lee, S. S., Tamashiro, S. (1994). Social Study in a Global Society. New York: Delmar
Publisher Inc.
Sunal, C. S., Haas, M. E. 2005. Social Studies for the Elementary and Middle Class. Boston:
Pearson.
Trilling, B., & Fadel, C. 2009. 21 ST Century Skills: Learning For Life in Our Times. San Fransisco:
John Willeys & Sons.
Waterworth, P. 2013. Enchancing Multicultural Competencies through Social Studies. Paper.
International Seminar on Strengthening Social Studies for The Twenty First Century.
November 14, 2013. Bandung: Organized By Social Studies Program School of Post-
Graduate Studies Indonesia University of Education.
Woyach, R. B., Benny, R. C. 1989. Approach to World Studies: A Handbook for Curriculum
Planners. London: Allyn and Bacon.

Herry Porda Nugroho Putro


419
420 Herry Porda Nugroho Putro
PENGELOLAAN KELAS DENGAN MANAJEMEN DIRI
YANG BERKARAKTER PANCASILA
I Gusti Ketut Arya Sunu
Universitas Pendidikan Ganesha

ABSTRAK
Manajemen diri menjadi hal yang sangat penting karena manajemen diri yang baik dapat
.
meningkatkan pengelolaan kelas yang efisien dan efektif. Para pendidik akan mampu mengelola
kelas mereka jika mereka mampu mengelola diri mereka. Pengertian pembelajaran dalam
Sisdiknas pasal 1 angka 20 diartikan sebagai proses interaksi peserta didik dengan pendidik
dan sumber belajar pada suatu lingkungan belajar. Pengertian tersebut mengandung
komponen pendidik dan peserta didik sehingga dapat dikatakan pembelajaran adalah interaksi
belajar mengajar dalam suasana interaktif yang terarah pada tujuan pembelajaran yang telah
ditentukan yang dilakukan oleh pendidik kepada peserta didik. Disinilah diperlukan seorang
pendidik sebagai desainer pendidikan yang mampu mengelola kelasnya dengan karakter
yang kuat yang berdasarkan nilai–nilai Pancasila sehingga bisa diteladani oleh anak didiknya.
Dalam konteks itu para pendidik haruslah merupakan orang–orang yang memiliki
keseimbangan dan karakter yang baik di dalam kehidupan pribadinya maupun di dunia kerjanya.
Dengan kemampuan mengelola aspek-aspek yang terdapat dalam manajemen diri, seperti
visi dalam hidup dan pekerjaannya, pendekatan dalam bekerjanya, tujuan bekerjanya, emosi,
waktu dan motivasinya, maka diharapkan pendidik mampu meningkatkan efektivitas dalam
mengelola kelasnya, sehingga akan melahirkan insan–insan Indonesia yang memiliki
kecerdasan komprehensif yang meliputi kecerdasan spiritual, kecerdasan emosional dan sosial,
kecerdasan intelektual, kecerdasan kinestetik serta kompetitif untuk mampu bersaing dalam
persaingan global.
Kata Kunci : Pengelolaan kelas, Manajemen diri, Karakter Pancasila

I. PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Manajemen diri (self-management) merupakan istilah yang sangat populer saat ini
karena memang diperlukan bagi mereka yang berada di lingkungan profesional maupun dalam
kegiatan sosial kemasyarakatan yang salah satunya adalah manajemen diri bagi pendidik atau
guru dalam mengelola kelasnya. Menurut Gede Prama (2012), “manajemen diri merupakan
pengendalian diri terhadap pikiran, ucapan dan perbuatan yang dilakukan, sehingga mendorong
pada penghindaran diri terhadap hal-hal yang tidak baik dan peningkatan perbuatan yang baik
dan benar.” Sedangkan Udo Yamin Efendi Majdi (2012) mendefinisikan “manajemen diri sebagai

I Gusti Ketut Arya Sunu


421
sebuah proses merubah “totalitas diri” – intelektual, emosional, spiritual, dan fisik kita, agar
apa yang kita inginkan (sasaran) tercapai”. Sedangkan Nani Rahmani (2012), secara sederhana
menjelaskan bahwa “manajemen diri dapat diartikan sebagai suatu upaya mengelola diri
sendiri ke arah yang lebih baik sehingga dapat menjalankan misi yang diemban dalam rangka
mencapai tujuan.” Buchel (1992: 7) mendefinisikan manajemen diri sebagai suatu keberhasilan
dimana si pengelola melakukan berbagai hal yang dapat membantu mencapai tujuan kerjanya.
Pengertian ini hanya berlaku di dalam dunia kerja pendidik. Harus tetap diingat, bahwa dunia
di luar pekerjaan seseorang juga sangat berhubungan erat dengan dunia kerjanya dan dari
itulah batasan definisi ini perlu diperluas lagi.
Manajemen diri bisa diperluas dengan mencakup pula usaha pendidik dalam
memperoleh penghidupan dan mencapai tujuan kerjanya. Ini merupakan penekanan yang
penting, karena sebisa mungkin hidup semestinya merupakan satu kesatuan utuh yang
bermakna, dimana dunia kerja (baca : pekerjaan sebagai pendidik) mesti diintegrasikan dengan
kehidupan kita sebagai satu kesatuan. Hal ini sangatlah penting khususnya bagi para pendidik,
yang tugasnya tidak hanya mengajar pelajaran di sekolah bagi generasi selanjutnya, tetapi
juga menunjukkan kepada para peserta didik bagaimana cara meraih kehidupan yang
bermakna. Karena itu para pendidik haruslah merupakan orang–orang yang memiliki karakter
dan keseimbangan yang baik. Jika kita ingin meraih kehidupan yang utuh, visi kita dalam
segala bidang kehidupan harus terintegrasi (terhubung) dengan pandangan dan pola pikir kita
yang baik akan kehidupan. Meskipun definisi dari Buchel terkait hanya dengan dunia kerja,
tetapi dia juga menyadari bahwa kehidupan di luar dunia kerja sangatlah penting pengaruhnya
bagi dunia pekerjaan seseorang (1992: 6). Menurutnya, sangatlah jelas bahwa pribadi, keluarga
dan tujuan hidup merupakan aspek penting dari manajemen diri, karena tujuan pribadi
mempengaruhi cara pandang kita terhadap diri kita sendiri, perkembangan diri kita, apa yang
kita ingin capai dalam hidup dan begitu pula tujuan kerja dan kinerja kita.
Pengertian diatas mengindikasikan bahwa manajemen diri diperlukan bagi seseorang
pendidik agar mampu menjadikan dirinya sebagai manusia yang berkualitas dan bermanfaat
dalam menjalankan tugasnya sebagai seorang desainer dalam pengelolaan kelas dimana
dia harus menjadi seseorang yang profesional dan berkarakter yang kuat yang akan menjadi
panutan bagi peserta didiknya. Manajemen diri harus membuat seorang pendidik mampu
mengarahkan setiap tindakannya kepada hal-hal positif.
1.2 Rumusan Masalah
Dalam hubungannya dengan mengelola kelas yang efektif, manajemen diri menjadi
hal yang sangat penting karena manajemen diri yang baik seharusnya meningkatkan
pengelolaan kelas yang efisien. Para pendidik hanya akan mampu mengelola kelas mereka
jika mereka mampu mengelola diri mereka sendiri, karena dari sinilah pengelolaan itu berawal.
Karena ini merupakan hal yang sangat penting untuk dipertimbangkan, maka dapat dirumuskan
permasalahan dari manajemen diri dalam pengelolaan kelas sebagai berikut:

I Gusti Ketut Arya Sunu


422
1. Bagaimanakah seharusnya pendidik mengelola visi dalam hidup dan pekerjaannya,
pendekatan dalam bekerjanya, tujuan bekerjanya yang berkarakter Pancasila dalam
mengelola kelas?
2. Bagaimanakah seharusnya pendidik mengelola emosi, waktu, serta motivasi
hidupnya yang berkarakter Pancasila dalam mengelola kelas?
1.3 Tujuan
1. Untuk memahami peran pendidik dalam mengelola visi dalam hidup dan
pekerjaannya, pendekatan dalam bekerjanya, tujuan bekerjanya yang berkarakter
Pancasila dalam mengelola kelas.
2. Untuk memahami peran pendidik dalam mengelola emosi, waktu, serta motivasi
hidupnya yang berkarakter Pancasila dalam mengelola kelas.
1.4 Manfaat
Bagi para pendidik studi ini dapat diaplikasikan dalam mengelola kelas di sekolah
masing-masing dan bisa dijadikan bahan pertimbangan bagi kepala sekolah dalam rangka
mendesain pembelajaran yang berkarakter Pancasila untuk meningkatkan kualitas proses
belajar mengajar di sekolah yang pada akhirnya dapat meningkatkan kualitas peserta didik
menjadi cerdas komprehensif dan kompetitif.

II. PEMBAHASAN
Dalam naskah akademik pendidikan karakter di Perguruan Tinggi yang dikeluarkan
oleh Kementrian Pendidikan Nasional Tahun 2011 dinyatakan bahwa arah pembangunan
Nasional adalah terwujudnya masyarakat Indonesia yang beriman dan bertakwa serta berakhlak
mulia, bermoral, beretika, berbudaya, dan beradab yang dijabarkan menjadi dua sub-arah
sebagai berikut: (1) Terwujudnya karakter bangsa yang tangguh, kompetitif, berakhlak mulia,
dan bermoral berdasarkan falsafah Pancasila yang dicirikan dengan watak dan perilaku manusia
dan masyarakat Indonesia yang beriman dan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berbudi
luhur, bertoleran, bergotong royong, berjiwa patriotik, berkembang dinamis, dan berorientasi
iptek serta menjunjung tinggi keberagaman dalam makna Bhinneka Tunggal Ika; (2) Makin
mantapnya peradaban dan budaya bangsa yang tercermin dalam meningkatnya harkat dan
martabat manusia Indonesia; dan menguatnya jati diri, kepribadian dan peradaban bangsa.
Menurut Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional No.20 tahun 2003, pasal 1
angka 1 pendidikan diartikan sebagai “usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana
belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi
dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian,
kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa
dan Negara. Sedangkan dalam pasal 1 angka 20 pembelajaran diartikan sebagai “proses
interaksi peserta didik dengan pendidik dan sumber belajar pada suatu lingkungan belajar”.
Dalam konteks pengertian tersebut pembelajaran mengandung 4 (empat) komponen,
yaitu peserta didik, pendidik, sumber dan lingkungan pembelajaran. Atau dapat dikatakan secara

I Gusti Ketut Arya Sunu


423
lain, yakni pembelajaran adalah interaksi belajar mengajar dalam suasana interaktif yang
terarah pada tujuan pembelajaran yang telah ditentukan. Disinilah diperlukan seorang pendidik
sebagai desainer pendidikan yang mampu mengelola kelasnya dengan karakter yang kuat
yang berdasarkan nilai–nilai Pancasila sehingga bisa diteladani oleh anak didiknya. Penjelasan
mengenai mengelola kelas dengan manajemen diri berkarakter Pancasila dapat dijabarkan
seperti berikut :
2.1 Mengelola visi dalam hidup dan pekerjaan sebagai pendidik
Menurut Coetzee (2002: 154-155) pendekatan menyeluruh akan keunggulan hidup
membutuhkan keseimbangan seseorang dalam segala dimensi baik dalam kehidupan pribadi
maupun pekerjaannya. Sesungguhnya, seluruh hidup kita berpengaruh pada bagaimana
pendekatan kita terhadap pekerjaan sebagai seorang pendidik. Bagaimana cara kita dalam
mengatur hidup akan mempengaruhi cara kita dalam mengelola kelas. Berjuanglah untuk
mengatur hidup dengan baik, karena seorang pendidik juga memiliki tanggung jawab diluar
mengajar, yaitu memberi contoh kepada peserta didiknya bagaimana mengatur hidup mereka
sendiri. Contoh yang diberikan di dalam kelas akan menjadi pedoman yang bernilai bagi
peserta didik dalam mengelola dirinya. Jika kita mengelola diri kita dan kelas dengan baik,
maka mereka juga cenderung akan mengelola pola belajar mereka dengan baik. Hal ini tentu
berkenaan dengan bagaimana pendidik menentukan visi dalam hidup baik dalam kehidupan
pribadinya maupun dalam dunia pekerjaannya. Oleh karena itu, sangatlah penting bagi pendidik
untuk menyediakan waktu dalam menentukan visi, karena visi:
- Menghasilkan energi (kekuatan/ semangat)
- Memusatkan energi (kekuatan/ semangat)
- Menciptakan keteraturan
- Menciptakan suatu skala prioritas
- Memberikan tujuan dan maksud yang jelas
Menciptakan visi juga berhubungan dengan masyarakat dalam konteks yang lebih
luas, dimana menjadi seorang pendidik membuat kita terlibat untuk memberikan konstribusi
yang bernilai (bermakna) bagi masyarakat. Visi yang selaras, berpasangan dengan manajemen
diri yang baik, akan mengantarkan pendidik pada pemahaman diri dan keteraturan dunia kerja
sehingga mampu memberikan sumbangsih bagi masyarakat.
2.2 Mengelola pendekatan dalam bekerja sebagai pendidik
Wheeler (2005: 24-25) menyatakan bahwa manajemen diri merupakan pendekatan
terhadap dunia kerja yang diistilahkan sebagai berikut: ‘jadilah diri sendiri untuk hidup di dalam
pekerjaan’. Konsep inilah yang berujung pada tiga dasar penting. Dasar yang pertama
berhubungan dengan individu, yaitu diri kita. Ini berhubungan dengan aktualisasi diri,
perkembangan yang optimal, keberhasilan dan hal–hal apa yang disukai dan pada bidang apa
seorang individu itu memiliki potensi. Langkah awalnya adalah dengan mengidentifikasi aspek
pendidikan tersebut yang paling disukai, kita mampu pada bidang itu dan memperjuangkannya
sebagai langkah awal dalam mengembangkan karir kita sebagai seorang pendidik.

I Gusti Ketut Arya Sunu


424
Dasar penting yang kedua berhubungan dengan pemberian konstribusi yang
bermakna bagi dunia melalui pekerjaan yang dimiliki seseorang. Para pendidik biasanya tidak
susah memahami hal ini, karena sebagian besar dari mereka memilih profesi kependidikan
sebenarnya karena alasan ini, sebut saja sebagai pelayanan terhadap masyarakat. Memberikan
pelayanan memberikan makna yang lebih tinggi bagi seseorang, karena hal tersebut
memberikan kepuasan yang berhubungan dengan pemberian konstribusi yang penting.
Dasar ketiga berhubungan dengan uang yang dihasilkan yang diberikan kepada
seseorang dan keluarganya dengan penambahan nilai, berani dan inovatif. Dengan menjadi
diri sendiri untuk hidup di dalam pekerjaan adalah merupakan sebuah kombinasi dari ketiga
dasar penting ini.
Wheeler (2005: 25) menggambarkan keberhasilan menjadi diri sendiri untuk hidup di
dalam pekerjaan sebagai berikut: “Ini merupakan tiga lapisan proses yang berkaitan: pertama–
tama kenali diri kita sendiri, baik kita di luar pekerjaan maupun kita di dalam pekerjaan; yang
kedua lihat kecenderungannya, kebutuhan dan celahnya menurut konteks kita, organisasi dan
lingkungan kita yang lebih luas; dan yang ketiga adalah menyesuaikan satu sama lainnya”.
Manajemen diri dalam pendidikan bisa ditingkatkan jika para pendidik juga mencatat
tiga point penting dan menerapkan langkah–langkah bagaimana ‘menjadi diri sendiri untuk
hidup di dalam pekerjaan’. Hal ini meliputi tehnik manajemen diri yang baik dan cara yang
sehat menata pendekatan kerja kita, karena pada dasarnya hal ini mengkombinasikan antara
mendapatkan penghasilan dengan menjadi diri sendiri dan memberikan pelayanan kepada
masyarakat.
2.3 Mengelola tujuan bekerja sebagai seorang pendidik
Mengatur tujuan kerja kita sendiri sangatlah penting karena ini berhubungan langsung
dengan prestasi di dunia kerja. Hal ini memberikan tuntunan, dan memberikan kepastian akan
hal apa yang perlu kita kerjakan, membantu pendidik untuk fokus pada hal–hal yang penting,
memberikan keyakinan kalau tujuan akhir bisa tercapai dan membantu kita mengontrol dan
mengevaluasi pekerjaan (Steyn & Van Niekerk 2002: 9). Sangatlah penting kalau tujuan kerja
secara langsung dihubungkan dengan visi dalam pekerjaan. Tujuan–tujuan kerja akan
memecah visi menjadi tujuan–tujuan yang lebih spesifik (mengkhusus) yang tergambarkan
secara akurat dan memungkinkan untuk dicapai. Ini bisa dilakukan dengan memformulasikan
tujuan yang SMART (cerdas), dimana:
S : Spesific (tujuan kita harus spesifik dan tergambarkan dengan jelas)
M : Measureable/ bisa diukur (dalam hal uang, waktu, angka, dll.)
A : Achievable/ bisa dicapai (di dalam lingkungan kerja).
R : Realistic/ realistis (kita harus mampu mencapai tujuan dan harus rasional).
T : Time limited/ batasan waktu (haruslah ada batasan waktu yang pasti dan waktu
tenggangnya) (Steyn & Van Niekerk 2002: 122; De Kock 2004: 125-127)
Kita berhasil mencapai tujuan yang penting bagi diri kita, menurut De Kock (2004:
125) jika kita dapat memberikan penghargaan terhadap diri sendiri dan meningkatkan
kebahagiaan diri dan memulai siklus positif dari penghargaan diri yang lebih tinggi, lebih

I Gusti Ketut Arya Sunu


425
bahagia, merasa nyaman dengan diri sendiri, memiliki kepercayaan diri yang lebih akan
kemampuan kita dalam meraih tujuan yang kita miliki. Untuk itu, jika kita ingin menjadi
seorang pendidik yang profesional, lakukanlah peran kita dalam mencapai tujuan tersebut.
De Kock (2004: 124) dalam resep kebahagiaannya. De Kock juga menggambarkan
kebahagiaan dalam pencapaian tujuan, sebagai berikut:
Pendidikan seharusnyalah memberikan ruang yang cukup bagi para pendidik untuk
memformulasikan visi dan tujuan mereka yang akan terus berkembang seiring waktu dan
menantang kemampuan dan bakat mereka. Dengan memformulasikan tujuan kita dengan
baik, kita dapat meningkatkan kemampuan kita dalam mengelola kelas.
2.4 Mengelola emosi
Mengajar bukanlah pekerjaan yang mudah, pendidik mestinyalah orang yang berpikir
dewasa yang mampu mengendalikan perasaan dalam mengajar para peserta didik dengan
cara yang cerdas. Kita harus mampu mengendalikan perasaan kita terhadap rekan-rekan di
sekolah maupun pada peserta didik, begitu pula perasaan kita terhadap diri sendiri setiap
harinya. Megajar itu merupakan panggilan hati (panggilan berdasarkan keinginan diri sendiri),
yang membuat kegiatan mengajar menjadi sesuatu yang sangat membanggakan,
menyenangkan dan juga menantang. Hanya orang yang merasa cocok secara emosional bisa
mengajar. Seorang pendidik dikatakan cerdas secara emosional apabila:
- Mengerti tentang perasaannya sendiri
- Mampu mengelola perasaannya dengan lebih efektif
- Memahami dan mudah berinteraksi dengan orang lain
- Mampu membangun hubungan dengan orang lain (dengan peserta didik, atasan,
rekan kerja begitu juga dengan orang tua siswa) (Minnaar & De Kock 2003: 6; cf
Weisinger 1998: 27)
Dari pengertian di atas sangatlah jelas bahwa kecerdasan emosional merupakan
keterampilan yang mendasar dalam mengelola kelas yang lebih efektif, namun hal ini juga
merupakan bagian penting dari manajemen diri. Seseorang mampu menata dirinya secara
optimal jika dia mampu mengendalikan emosi/perasaan-perasaan yang timbul di kesehariannya
dengan cara yang cerdas. Seorang pendidik yang sehat secara emosional juga akan memiliki
hubungan yang lebih menyenangkan dengan para peserta didiknya, rekan kerjanya, atasannya
(pengelola termasuk kepala sekolah) dan juga orang tua. Di dalam kelas, ketidakpahaman
dalam mengelola emosi akan mengarah pada:
- Pada saat mengambil keputusan sering tidak tepat
- Suasana kelas yang tidak menyenangkan
- Terlalu lambat atau cepatnya tempo kerja
- Kurang disiplin atau terlalu disiplin
- Gaya kepemimpinan yang kurang tepat
- Kurangnya motivasi
- Depresi
- Suasana persaingan yang tidak sehat

I Gusti Ketut Arya Sunu


426
- Kurang adanya kerjasama
- Ketidakpatuhan peserta didik pada gurunya
Pendidik yang cerdas secara emosional merupakan aset yang sangat berharga bagi
dunia pendidikan. Kecerdasan emosional sangatlah penting dalam kepemimpinan, karena
kepemimpinan berujung pada mempengaruhi orang lain dan para pendidik adalah orang
yang memimpin para peserta didik di kelas. Karenanya kecerdasan emosional sangatlah penting
dalam manajemen diri.
Tekanan dan amarah merupakan dua hambatan dalam prilaku kecerdasan emosional
dan ini dapat mengganggu pendidik seperti misalnya tekanan tingkat tinggi (Pretoria News,
2002: 1). Didalam mengelola stres (tekanan) kita terlebih dahulu harus mengetahui tingkat
stres dan peran dari stres (tekanan) tersebut di dalam diri kita. Kita harus mampu menentukan
penyebab stres tersebut sehingga kita mampu untuk menentukan teknik apa yang kita gunakan
untuk mengatasi stres (tekanan) tersebut agar tidak merusak kesehatan kita sendiri.
Joseph (2000: 141) mengidentifikasi penyebab stres (tekanan) tersebut seperti:
manajemen yang buruk, kondisi kerja, kurangnya pengetahuan, kelebihan beban kerja, SDM
yang tidak memadai, kurangnya dukungan dari orang tua, kurangnya komunikasi, kurang disiplin,
sopan santun kurang, manajemen yang tidak berkualitas, kurangnya pengakuan.
Akibat dari stres (tekanan) ini banyak sekali seperti: fisik, psikologis, prilaku dan
organisasi. Ada beberapa strategi untuk mengatasi stres (tekanan) ini seperti: berpikir positif,
belajar bersikap tegas, merencanakan waktu dengan tepat, banyak mencari teman, mencoba
untuk membuka hati dan perasaan, mencoba untuk berkata tidak kalau tidak sesuai dengan
pendapat kita, mencoba berdamai pada diri sendiri, mampu mendelegasikan pekerjaan,
bersenang-senanglah dengan keluarga, terlibat dalam kegiatan yang positif, dll.
Menurut Minnaar & De Cock (2002: 84) didalam mengelola emosi ada beberapa cara
negatif yang bisa digunakan di dalam kelas saat kita mengajar tetapi hal ini akan membuat
hubungan kita dengan orang lain / peserta didik tidak akan harmonis dan cara ini pula tidak
bisa memecahkan masalah. Adapun contohnya adalah sebagai berikut:
- Memberikan hukuman fisik kepada anak didik
- Memarahi, memberikan ceramah, dan menyalahkan peserta didik
- Menjadi pendendam
- Mengkritik dan menyalahkan peserta didik, tetapi tidak mengakui kesalahan kita
sendiri
- Mengutuk dan mengejek anak didik
- Membuat komentar sinis
- Menekan perasaan peserta didik
- Berulah/mencari gara-gara
- Mudah tersinggung
- Berpikiran negatif

I Gusti Ketut Arya Sunu


427
Kita perlu mempertimbangkan untuk merubah sikap kita apabila ada yang memicu /
membuat kita marah, mengidentifikasi sesuatu yang negatif, yang tidak masuk akal dan
menggantikannya dengan sesuatu yang benar dan masuk akal. Contoh: kita seorang pendidik
mempunyai pikiran bahwa anak didik kita malas, bodoh, gaduh dan suka menggagu. Dengan
jujur ubahlah pemikiran kita bahwa sebagian besar dari mereka/anak didik kita mau bekerja
keras, mau diajak bekerja sama di bawah bimbingan dan tuntunan yang benar. Dengan cara
ini kita bisa merubah pola pikir kita menjadi lebih positif dan benar. Manajemen diri akan lebih
meningkat apabila kita bisa mengelola emosi dengan lebih efektif dan produktif maka suasana
kelas akan lebih nyaman.
2.5 Mengelola waktu
Mengelola waktu yang baik akan memberikan perasaan yang terkendali dan akan
mendapatkan waktu yang lebih tenang. Cara yang efektif untuk meningkatkan pengelolaan
waktu adalah mengidentifikasi terlebih dahulu waktu yang akan kita gunakan, karena
manajemen diri dan manajemen kelas dapat ditingkatkan dengan cara memanfaatkan waktu
yang baik. Berikut ini adalah panduan menggunakan waktu dengan optimal. Ini juga akan
membantu kita dalam merumuskan strategi/tehnik untuk mengelola waktu yang efektif dan
bermanfaat seperti:
- Manfaatkan waktu yang benar
- Merencanakan kegiatan dengan benar
- Menerapkan manajemen diri
- Melakukan pekerjaan pada saat yang tepat
- Mendelegasikan pekerjaan pada orang yang tepat.
- Kita harus menyadari kelemahan kita
- Membatasi waktu saat melakukan sesuatu
- Peserta didik kita harus tahu apa yang harus mereka kerjakan
- Memotivasi peserta didik sehingga mereka tidak merasa putus asa (Kruger & Van
Schalkwyk 1997: 158-160)
2.6 Memotivasi diri sendiri
Seorang pendidik harus mampu untuk mengendalikan diri dan ini akan membantu
untuk memotivasi dirinya sendiri. Untuk dapat mengelola dirinya sendiri secara efektif di kelas,
mereka harus mempunyai prinsip mampu menolak budaya untuk menyalahkan orang lain,
menyalahkan sistem yang digunakan atau lingkungan disekitarnya (organisasi atau instansi
sekolah tempat bekerja).
Ada tiga hal dasar yang memotivasi orang (Amos 1999: 15-17) yaitu: mereka ingin
dihargai, mereka ingin menjadi bagian dan mereka ingin mempengaruhi semua orang yang
ada di dalam lingkungan kerjanya. Sedangkan Menurut Al Falaq Arsendatama (2009) ada
beberapa tips untuk bisa termotivasi kapanpun dan dimanapun:
a. Selalu konsisten
Kemudahan timbul dari kebiasaan. Motivasi pun sama. Ia memerlukan kedisiplinan
sehingga kita terbiasa hidup dengan motivasi. Ada ungkapan bagus yang mengatakan, “Sesuatu

I Gusti Ketut Arya Sunu


428
yang kita ulangi tiap hari selama 21 hari akan menjadi kebiasaan”. Misalnya mulai dengan hal
yang sederhana seperti tersenyum dihadapan cermin, mengatakan “Yes” sebelum bekerja,
dan banyak lagi.
b. Bertanggung jawab
Kita perlu seseorang yang bersedia mengingatkan untuk tetap berada ditujuan. Ia
bertugas memberikan dukungan dan menjadi mitra bertukar pikiran bagi ide dan gagasan
yang kita punya. Dari sini kita akan merasa bertanggung jawab untuk memberikan yang terbaik
baginya. Proses mencapai tujuan menjadi lebih mudah dengan hadirnya seseorang yang
menjadi cermin diri kita.
c. Berada diantara orang-orang yang memiliki visi yang sama
Kalau kita ingin mendapatkan motivasi yang positif, kita sebaiknya mencari dukungan
dari orang-orang yang memiliki visi yang sama dengan kita. Apa yang kita rasakan sebagai
rintangan ketika bekerja sendiri bisa teratasi dengan bantuan dan dukungan teman-teman
yang bervisi sama.
d. Fokus pada proses bukan tujuan
Ini yang sangat penting. Seringkali kita turun mental ketika dihadapkan pada kesulitan
mencapai tujuan. Fokuslah pada proses. Setiap proses memerlukan waktu. Entah cepat,
entah lambat. Tujuan kita sudah jelas, namun perjalanan menuju kesana bisa berliku dan naik
turun. Dengan fokus pada proses kita terhindar dari beban mental karena sekarang kita
memegang kendali atas proses itu sendiri, bukan dikendalikan oleh target untuk mencapai
tujuan.
Mengelola kelas dengan baik seperti yang dipaparkan di atas, merupakan aspek
yang sangat penting bagi seorang pendidik untuk memotivasi diri dengan positif. Untuk
melakukan hal tersebut, seorang pendidik harus mampu berbicara dan berfikir positif, tidak
negatif dan tidak meratapi kegagalan sebelumnya dan selalu menatap masa depan dengan
optimis serta menjadi panutan bagi seluruh anak didiknya. Cara–cara mengelola kelas dengan
manajemen diri tersebut sejalan dengan ruang lingkup pendidikan dan pembelajaran seperti
yang dikemukakan oleh Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional No.20 tahun 2003, dan
seirama dengan konsep pendidikan Ki Hajar Dewantara yang dinamakan Ing Ngarsa Sun
Tuladha; Ing Madya Mangun Karsa: Tut Wuri Handayani. Pendidik harus bisa menempatkan
diri dengan baik. Di depan harus memberikan teladan yang baik (Ing Ngarsa Sun Tuladha),
ketika berada di tengah-tengah (Ing Madya Mangun Karsa) pendidik harus bisa menggugah
semangat anak didiknya, dan ketika di belakang pendidik harus menjadi motivator/pendorong
semangat anak didiknya (Tut Wuri Handayani). Konsep Trilogi dalam pendidikan dan
pembelajaran ini pada dasarnya memaknai pendidikan sebagai upaya sistimatis dan sistemik
mendidik anak-anak agar menjadi manusia yang merdeka batinnya, merdeka pikirannya dan
merdeka tenaganya.
Berikut ini adalah diagram dari manajemen diri berkarakter Pancasila bagi seorang
pendidik dalam mengelola kelas:

I Gusti Ketut Arya Sunu


429
IIII. PENUTUP
Manajemen diri sangat penting bagi seorang pendidik, karena dengan manajemen
diri yang baik akan meningkatkan efektivitas pendidik dalam mengelola kelas. Hal ini sangatlah
penting khususnya bagi para pendidik, yang tugasnya tidak hanya mengajar pelajaran di kelas
bagi generasi selanjutnya, tetapi juga menunjukkan kepada para peserta didik bagaimana
cara meraih kehidupan yang bermakna yang dilandasi oleh karakter yang kuat sesuai dengan
nilai–nilai yang terkandung dalam filosofi bangsa yaitu Pancasila. Karena itu para pendidik
haruslah merupakan orang – orang yang memiliki keseimbangan dan karakter yang baik di
dalam kehidupan pribadinya maupun di dunia kerjanya. Dengan kemampuan mengelola aspek-
aspek yang terdapat dalam manajemen diri, seperti visi dalam hidup dan pekerjaan, pendekatan
dalam bekerja, tujuan bekerja, emosi, waktu dan motivasi, maka diharapkan pendidik mampu
meningkatkan efektivitas dalam mengelola kelasnya, sehingga akan melahirkan insan – insan
Indonesia yang memiliki kecerdasan komprehensif yang meliputi kecerdasan spiritual,
kecerdasan emosional dan sosial, kecerdasan intelektual, kecerdasan kinestetik serta kompetitif
untuk mampu bersaing dalam persaingan global.

I Gusti Ketut Arya Sunu


430
DAFTAR PUSTAKA
Arsendatama, Al Falaq, “Motivasi Diri – Tips Berguna Untuk Meraih Sukses.” 28 Juli 2009,
http://www.pengembangandiri.com/articles/78/1/page1.html, 16 November 2012.
Amos, J. 1999. Self-Management and Personal Effectiveness: How to Achieve your Personal
Goals in Life and at Work. Oxford, UK: How ToBooks.
Buchel, A.J. 1992. Practical School Management: Course 2. Pretoria: Acacia.
Coetzee, M. 2002. Self-management for life excellence. In: Steenkamp, R. & Van Schoor, A.
(Eds), The Quest for Quality of Work Life. Lansdowne: Juta, pp 147–165.
De Kock, R. 2004. Emotional Intelligence, Module 2. Improving Self-esteem. Minnaar &
Associates. De Reuck v Director of Public Prosecutions, Witwatersrand Local Division
and Others 2003 (3) SA 389 (W).
Joseph, R. 2000. Stress-free Teaching: A Practical Guide to Tackling Stress in Teaching, Lecturing
and Tutoring. London: Kogan Page.
Kruger, A.G. & Van Schalkwyk, O.J. 1997. Classroom Management, Revised edition. Pretoria:
Van Schaik.
Minnaar, G. & De Kock, R. 2003. Emotional Intelligence, Module 1. Self-awareness. Minnaar &
Associates.
_______2011. Naskah Akademik Pendidikan Karakter di Perguruan Tinggi yang dikeluarkan
oleh Kementrian Pendidikan Nasional.
Prama, Gede, “ Manajemen Diri (self management).” 9 Juli 2009, klinikotak.blogspot.com., 16
Nopember 2012.
Pretoria News, 2 December 2002, p 1.
Rahmani, Nani, “Manajemen Diri.” 30 Desember 2010, file:///E:/Teori-teori manajemen
diri.html, 16 Nopember 2012.
Steyn, G.M. & Van Niekerk, E.J. 2002. Human Resource Management in Education. Pretoria:
UNISA.
UU. RI. No. 20 Tahun (2003). Sistem Pendidikan Nasional. Jakarta: Asokadikta dan Durat
Bahagia.
Wheeler, R. 2005. Be yourself for a living at work. HR Future, Feb: 24–26.

I Gusti Ketut Arya Sunu


431
I Gusti Ketut Arya Sunu
432
PENDIDIKAN KARAKTER BERBASIS NASKAH LONTARAQ
SOLUSI TERHADAP PROBLEMA REMAJA
Irwan Abbas
Universitas Khairun

ABSTRAK
Tulisan ini berangkat dari kegelisahan penulis melihat maraknya berbagai perilaku yang
ditampakkan oleh generasi muda khususnya pada remaja dan pemuda Bugis Makassar yang
sudah semakin jauh dari akar dan nilai-nilai kulturalnya yang bersumber dari berbagai kearifan
yang pernah ditampilkan oleh para leluhurnya. Berbagai tindakan penyimpangan sosial, sebagai
imbas negatif dari era globalisasi dan modernisasi, tampak di depan mata pada generasi
muda di seluruh tanah air, termasuk di tanah Bugis Makassar. Kondisi ini diduga diantaranya
diakibatkan oleh kegagalan dunia pendidikan yang saat ini kurang memperhatikan pendidikan
karakter bangsa, khususnya yang berbasis kearifan lokal. Melihat kondisi tersebut, sudah saatnya
pendidikan karakter pada keluarga dan penanaman nilai-nilai budi pekerti di dunia persekolahan
mendapatkan perhatian yang serius. Salah satu bentuk upaya perbaikan tersebut adalah kembali
menggali nilai-nilai kearifan budaya masyarakat Bugis Makassar yang terdapat dalam lontaraq.
Kata Kunci: Pendidikan Karakter, Lontaraq, Problema Remaja.

I. PENDAHULUAN
Istilah Globalisasi digunakan untuk menggambarkan situasi hilangnya berbagai
penghalang dari pergerakan barang dan jasa antarnegara di dunia atau disebut juga sebagai
liberalisasi ekonomi. Globalisasi tidak hanya mengundang masuknya barang dan jasa, tetapi
juga alih teknologi, pola konsumsi, budaya, nilai-nilai dan pendidikan. Hal itu akan memberikan
berbagai implikasi dalam berbagai aspek (Handayani, 2008: 155-156). Menurut Buchori (1995:
143)
“… dalam era globalisasi ini kehidupan umat manusia ditandai oleh saling
ketergantungan antara bangsa yang satu dengan bangsa yang lain. Dan saling
ketergantungan ini makin lama makin besar dan makin terasa dalam kehidupan sehari-
hari. Di samping itu persaingan antarbangsa menjadi makin lama makin ketat. Dan
daerah persaingan pun makin lama makin luas…Salah satu konsekuensi dari kenyataan
ini ialah bahwa kita harus mengenal masyarakat dunia dengan cukup baik, kalau kita
tidak ingin ditinggalkan serta dirugikan oleh bangsa-bangsa lain …”

Irwan Abbas
433
Tidak diragukan lagi bahwa dinamika globalisasi memberikan manfaat bagi banyak
orang, meningkatkan kesejahteraan, dan menimbulkan peluang-peluang baru. Akan tetapi,
globalisasi juga mempunyai konsekuensi merugikan bagi yang lainnya (Surya, 2004: 98).
Perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi yang begitu cepat pada era globalisasi
mengakibatkan interaksi budaya akan berjalan dengan semakin intensif dan terbuka, sehingga
berdampak pada terjadinya perubahan budaya yang amat fundamental. Globalisasi budaya
akan menyebabkan terjadinya perubahan pola dan gaya hidup, bahkan nilai-nilai dan tatanan
kehidupan manusia di dunia, termasuk di Indonesia (Syarief, 1997: 257). Gelombang globalisasi
telah menghapuskan batas-batas ruang ditopang oleh teknologi informasi yang menghancurkan
batas-batas waktu, telah mengubah tata pergaulan umat manusia (Tilaar, 2002: 87). Huntington
(1996) dalam The Clash of Civilizations and the Remaking of World Order meramalkan hilangnya
negara-negara dan akan munculnya kelompok-kelompok budaya yang besar.
Dalam proses globalisasi tidak selalu dapat dicapai suatu perolehan yang adil bagi
semua pihak, karena akan ada pihak yang lebih diuntungkan dan sebaliknya, ada pihak yang
lebih dirugikan. Sebagai suatu unit yang terkait dalam proses transfer nilai-nilai budaya dan
pengetahuan, maka bidang pendidikan di berbagai belahan dunia juga mengalami perubahan
yang sangat mendasar. Banyak kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi yang bisa dinikmati
umat manusia, namun sebaliknya, kemajuan tersebut juga beriringan dengan kesengsaraan
banyak anak manusia. Sebagai suatu kekuatan dominan, globalisasi telah membentuk
lingkungan budaya dan peradaban, baik secara positif maupun negatif. Dibalik berbagai
pendapat yang masih pro dan kontra berkaitan dengan peran globalisasi, fenomena tersebut
telah membawa berbagai dampak besar dalam dunia pendidikan, termasuk di Indonesia
(Handayani, 2008: 156).
Sebagai contoh, kehadiran internet merupakan produk ilmu pengetahuan dan teknologi
yang tak dapat terelakkan berkat kemajuan jaman, memberikan informasi tanpa batas dan
dapat diakses oleh siapa saja. Apalagi bagi anak muda internet sudah menjadi sahabat mereka
keseharian. Sebenarnya, jika digunakan secara semestinya tentu akan memperoleh manfaat
yang positif. Akan tetapi fakta di lapangan banyak pelajar yang menggunakan tidak semestinya,
seperti untuk mengakses pornografi (baca: membuka situs-situs porno). Dengan mudah mereka
dapat mengaksesnya, bukan hanya melalui warnet saja, melainkan juga dengan menggunakan
telepon seluler. Hal yang lain, yakni hilangnya rasa sosial terhadap masyarakat menjadi tidak
ada karena mereka lebih memilih sibuk dengan menggunakan handphone, i-pad, notebook,
dan sarana teknologi lainnya.
Arus modernisasi telah banyak memberi perubahan dalam kehidupan masyarakat.
Hal yang menyedihkan, perubahan yang terjadi justru cenderung mengarah pada krisis moral
dan akhlak. Penyakit krisis moral tengah menjalar dan menjangkiti bangsa ini. Sementara itu,
merebaknya sikap hidup pragmatik, melembaganya budaya kekerasan, disadari atau tidak,
telah ikut melemahkan karakter anak-anak bangsa sehingga nilai-nilai luhur baku dan kearifan
sikap hidup menjadi mandul. Anak-anak sekarang ini, mudah sekali melontarkan bahasa oral
dan bahasa tubuh yang cenderung tereduksi oleh gaya ungkap yang kasar dan vulgar. Nilai-
nilai etika telah terkikis oleh gaya hidup instan dan pragmatik (Noor, 2011: 42-43).

Irwan Abbas
434
“Bangsa Indonesia telah gagal dalam proses pendidikan pada lima hal, yaitu: (1)
gagal mengajarkan sejarah sehingga masyarakat tidak lagi menghargai jasa-jasa para
pahlawan; (2) gagal mengajarkan bahasa sehingga muncul sarkasme (kekerasan bahasa) di
mana-mana. Orang Jawa, Orang Sunda, tidak lagi bisa membaca dan menulis tulisan asli
nenek moyangnya dan sebagainya; (3) gagal mengajarkan filsafat sehingga banyak orang
tidak bijaksana dalam mengambil keputusan; (4) gagal mengajarkan matematika sehingga
pikiran masyarakat condong kepada mistis dan takhayul; (5) gagal mengajarkan moral sehingga
banyak sekali kejahatan, anarkisme, terorisme di Indonesia” (Fitri, 2012: 14).
Dewasa ini, problem remaja, terutama pelajar dan mahasiswa, sangat mudah
meluapkan emosi dan gampang terprovokasi yang tidak terkendali sehingga berujung pada
tawuran antarpelajar atau tawuran antarmahasiswa seperti yang seringkali diberitakan di
berbagai media cetak dan layar kaca televisi. Frekuensi tawuran atau perkelahian pelajar dari
tahun ke tahun terus meningkat (Rifa’i, 2011: 190).
Tawuran antarpelajar sering terjadi dan seakan menjadi problem pendidikan Indonesia
yang sulit untuk dicari jalan keluarnya. Fakta berbicara bahwa tawuran antarpelajar dan
mahasiswa yang terjadi di Indonesia tidak hanya terjadi di Jakarta atau Makassar saja. Bahkan
beberapa kota besar lainnya, seperti Surabaya, Medan, dan kota-kota yang lain juga kerap
terjadi. Kasus ini seakan menjadi rutinitas yang bermuatan dendam yang tiada ujung pangkalnya.
Sungguh sebuah problema yang harus segera dicarikan solusinya. Kompas.com (11 November
2012) menyebutkan:
Data dari tahun 1992 tercatat 157 kasus perkelahian pelajar. Tahun 1994 meningkat
menjadi 183 kasus dengan menewaskan 10 pelajar, tahun 1995 terdapat 194 kasus dengan
korban meninggal 13 pelajar dan dua anggota masyarakat lain. Tahun 1998 ada 230 kasus
yang menewaskan 15 pelajar serta dua anggota Polri, dan tahun berikutnya korban meningkat
dengan 37 korban tewas. Pada 2010, setidaknya terjadi 128 kasus tawuran antarpelajar. Pada
2011, terdapat 330 kasus tawuran yang menewaskan 82 pelajar. Kemudian pada Januari-Juni
2012, telah terjadi 139 tawuran yang menewaskan 12 pelajar.
Di Makassar, hampir setiap tahunnya terjadi tawuran antarpelajar, begitu juga
antarmahasiswa baik yang terjadi antara perguruan tinggi lain, maupun satu perguruan tinggi
tetapi beda fakultas dan beda jurusan. Adalah suatu kondisi realitas yang mencerminkan begitu
buram dan rapuhnya pendidikan di kota ini.
Berbagai kebiasaan dan perilaku buruk yang disebutkan di atas, awalnya hanya
dilakukan oleh orang per orang saja, namun lama kelamaan dilakukan oleh banyak orang dan
dengan area yang semakin meluas di negeri ini, dan sebagian orang menganggapnya sebuah
hal yang wajar saja. Akhirnya kebiasaan buruk itu dianggap sebagai budaya. Kalau penyakit ini
dibiarkan, maka kebiasaan buruk tersebut akan mengkristal dan menjadi pseudo karakter
bangsa (Azis, 2011: 60-61).
Melihat berbagai fenomena yang dipaparkan di atas adalah suatu hal yang bertolak
belakang dengan rekam jejak yang pernah ada pada masyarakat Bugis Makassar di masa
lampau.

Irwan Abbas
435
... (Dahulu), jika para orang tua yang hendak melepas anaknya merantau berpegang
teguh pada dua uala sappo (dua yang dijadikan pagar), yaitu unganna panasae lempu (tunas
nangka yang disebut lempu), dan belona kanukue pacci (hiasan pewarna kuku yang disebut
pacci. Kata lempuq adalah metafora untuk hidup lurus dan jujur, pacci adalah metafora untuk
hidup bersih. Dalam kehidupan masyarakat Bugis (Makassar) kejujuran dan hidup bersih adalah
pagar yang harus selalu dibangun untuk mengelilingi dirinya, di mana pun ia hidup dan mencari
nafkah (Samani & Hariyanto, 2012: 77-78).
Kutipan di atas menunjukkan penanaman nilai yang ditanamkan oleh para orang tua
Bugis Makassar di masa lalu kepada seorang anak yang akan merantau ke negeri seberang.
Timbul pertanyaan, diantaranya mengapa kondisi karakter generasi Bugis Makassar di masa
kini berbeda/mengalami pergeseran nilai?, Adakah nilai-nilai pendidikan karakter yang terdapat
dalam naskah lontaraq? Jawaban pertanyaan di atas akan diuraikan dalam pembahasan
berikut.

II. PEMBAHASAN
2.1 Kondisi Realitas Anak Bangsa
Buah pendidikan diharapkan lahirnya anak bangsa yang tak hanya cerdas, tetapi juga
berakhlak mulia. Adalah suatu fakta, kondisi real yang ada di lapangan masih ditemukannya
beberapa lembaga pendidikan yang hanya berpacu untuk meningkatkan nilai kecerdasan
otak, namun mengabaikan kecerdasan hati, jiwa, dan perilaku, pendidikan tampaknya
mengalami kepincangan dalam mencapai tujuannya yang hakiki (Aunillah, 2011: 13).
Dalam kehidupan sehari-hari banyak terdengar ungkapan tentang orang-orang yang
dikategorikan pintar dengan penampilan perilaku yang cerdas, tetapi perilakunya yang pintar
itu justru menyalahi kaidah-kaidah karakter itu sendiri; atau penampilannya berkarakter tetapi
tampak kurang cerdas. Seringkali terdengar ungkapan: pintar, tetapi beringas; pintar, tetapi
kurang bijak; pintar, tetapi pecundang, pintar tetapi korupsi; pintar, tetapi nyontek, pintar, tetapi
menganiaya, dan lain-lain (Prayitno & Manullang, 2011: 5).
Didapatkan seorang di bangku sekolah ternyata tidak berdampak terhadap perubahan
perilaku. Bahkan yang terlihat adalah begitu banyaknya manusia Indonesia yang tidak konsisten,
lain yang dibicarakan, lain pula tindakannya. Ada yang berpandangan bahwa kondisi demikian
diduga berawal dari apa yang dihasilkan oleh dunia pendidikan (Zubaedi, 2011: 2).
Mengukur keberhasilan peserta didik memang tidak bisa dilakukan hanya dengan
mengandalkan perolehan nilai pelajaran yang diujikan. Meskipun hal itu juga penting sebagai
salah satu barometer dalam melihat keberhasilan peserta didik, akan tetapi yang tidak boleh
dilupakan adalah realisasi dari prestasi nilai-nilai pelajaran yang diperoleh yang terwujud dalam
perilaku sehari-hari (Aunillah, 2011: 158).
Di tengah-tengah pusaran globalisasi, pendidikan harus dikelola secara strategis. Hal
ini dilakukan untuk mempersiapkan anak-anak bangsa menjadi manusia yang berkualitas
dengan kepribadian yang benar-benar cocok dengan dinamika di era modern. Selama ini
pendidikan nasional kita sangat sentralistis. Orientasinya sangat nasional, dan ini dibayar mahal

Irwan Abbas
436
dengan terabaikannya potensi-potensi lokal (Alwasilah, 2008: 116). Tidak dapat dipungkiri
bahwa diantara permasalahan bangsa saat ini, adalah bergesernya nilai-nilai etika dalam
kehidupan berbangsa dan bernegara.
“Pembangunan nasional dalam segala bidang yang telah dilaksanakan selama ini
memang mengalami berbagai kemajuan. Namun di tengah-tengah kemajuan tersebut terdapat
dampak negatif, yaitu terjadinya pergeseran terhadap nilai-nilai etika dalam kehidupan
berbangsa dan bernegara. Pergeseran sistem nilai ini sangat tampak dalam kehidupan
masyarakat dewasa ini, seperti penghargaan terhadap nilai budaya dan bahasa, nilai solidaritas
sosial, musyawarah mufakat, kekeluargaan, sopan santun, kejujuran, rasa malu, dan cinta
tanah air dirasakan semakin memudar” (Desain Induk Pembangunan Karakter Bangsa Tahun
2010-2025, 2010).
Keterpurukan bangsa saat ini bukan semata-mata disebabkan oleh faktor eksternal
seperti pengaruh ekonomi global, politik, dan hukum, tetapi faktor yang cukup dominan adalah
faktor internal, yakni manusia Indonesia sendiri kurang memperhatikan masalah pembangunan
karakter. Sementara pembangunan karakter harus dilakukan secara berkesinambungan
(character building is a never ending process) (Idjo, 2007: 105). Selain itu juga disebabkan oleh
termarjinalkannya institusi lokal dan tergerusnya nilai dan norma yang selama ini dijunjung
tinggi (Idjo, 2007: 109).
Kemajuan bangsa Jepang, Korea Selatan, Inggris, dan Vietnam tidak disebabkan
oleh kekayaan tetapi karena dorongan semangat dan karakter bangsanya untuk menjadi bangsa
yang maju dan jaya. Hilangnya jatidiri bangsa, jika dibiarkan menyebabkan rusaknya karakter
bangsa yang bukan mustahil menyebabkan sirnanya bangsa Indonesia. Karena itu, setiap
elemen bangsa harus kembali menemukan jatidirinya, membangun jatidirinya untuk kembali
membangun karakternya dan secara bottom up membangun karakter keluarga, lingkungan,
dan bermuara pada karakter bangsa (Idjo, 2007: 105-106).
Mencermati pemaparan di atas, maka dibutuhkan suatu pembangunan berbasis
budaya yang bertumpu pada penempatan manusia sebagai tujuan dan pelaku utama
pembangunan serta menempatkan nilai, norma, dan kearifan lokal sebagai pilar utama (Idjo,
2007: 106). Tentunya pembangunan yang dimaksud di sini adalah pada bidang pendidikan.
Membangun pendidikan seringkali gagal karena visi terlampau melangit, melupakan potensi-
potensi lokal, atau karena tidak terkomunikasikan dengan baik (Alwasilah, 2008: 116).
Selama ini, menurut Tilaar (2004: 191-192), di dalam proses pendidikan nasional
cenderung memisahkan praksis pendidikan dari nilai-nilai kebudayaan. Proses pemiskinan
kebudayaan terjadi karena pendekatan reduksionisme telah terjadi di dalam proses pendidikan
nasional dewasa ini. Belum lagi apabila berbicara mengenai kebhinnekaan budaya Indonesia
yang mengandung nilai-nilai yang sarat akan nilai-nilai moral, etis, estetika, dan nilai-nilai
lainnya. Kebudayaan lokal (tradisional) mulai dilupakan dan kebudayaan nasional tersingkirkan,
maka yang tersisa hanyalah nilai-nilai budaya yang dapat dikomersialkan.
Masyarakat dan bangsa Indonesia di dalam kenyataannya merupakan masyarakat
yang bhinneka (atau dengan kata lain masyarakat multikultural). Nilai-nilai budaya yang konkret

Irwan Abbas
437
adalah nilai-nilai yang terdapat dalam kebudayaan lokal (tradisional). Oleh sebab itu, pengakuan
terhadap kebudayaan lokal berarti pengakuan terhadap nilai-nilai yang mendasari tingkah laku
dan tindakan manusia Indonesia (Tilaar, 2004: 214).
Pendidikan merupakan proses yang berlangsung dalam suatu budaya tertentu. Banyak
nilai budaya dan orientasinya yang bisa menghambat dan sebaliknya, bisa mendorong
pendidikan. Juga banyak pula nilai-nilai budaya yang dapat dimanfaatkan secara sadar dalam
proses pendidikan (Zamroni, 2000: 88). Pendidikan yang tetap memperhatikan nilai-nilai kearifan
lokal (tradisional), akan diharapkan mampu membawa anak bangsa ini untuk senantiasa tetap
berdiri di atas kaki sendiri.
2.2 Naskah Kuno sebagai Sumber Rujukan Pendidikan Karakter
Naskah menurut Manyambeang (1989: 19), semua bahan tulisan yang berisi berbagai
sumbangan pikiran dan perasaan; atau segala peristiwa yang terjadi di sekitar manusia sebagai
hasil budaya bangsa masa lampau. Adapun yang dimaksud naskah lama atau kuno adalah
sebuah karya tulisan produk masa lampau. Naskah kuno merupakan peninggalan tertulis nenek
moyang yang ditulis pada kertas, rotan, lontar, dan kulit kayu (Hafid & Hadrawi, 1998: 43).
Secara umum di Indonesia, naskah ditemukan di berbagai daerah, menggunakan
berbagai bahasa dan aksara, berasal dari berbagai masa, dan mengandung berbagai embaran
(informasi). Tulisan-tulisan pada daun lontar pada umumnya menggunakan tulisan daerah/lokal
atau Arab. Tulisan ini berasal sejak abad ke-8 hingga akhir abad ke-19 Masehi (Ayatrohaedi,
2005: 194). Naskah kuno merupakan salah satu sumber informasi kebudayaan daerah masa
lampau yang sangat penting. Jika ditinjau dari segi lahir atau wujudnya dapat dilihat, dan diraba.
Naskah kuno adalah benda yang berupa hasil karangan dalam bentuk tulisan tangan maupun
ketikan (Munawar & Noegraha, 1996: 7).
Menurut Massoweang, dkk. (2010: 11), naskah-naskah kuno merupakan dokumen yang
pada hakikatnya adalah suatu sistem simbol yang berisi pikiran, perasaan, informasi, fakta,
pengetahuan, dan lambang realitas historis dari suatu bangsa yang melahirkan naskah-naskah
tersebut. Dari perspektif keberadaannya, naskah kuno itu merupakan penggambaran atau rekaman
dari perjalanan suatu bangsa atau suatu etnis dalam kurun waktu tertentu, dan sekaligus
penggambaran tingkat peradabannya. Dari perspektif kandungan isinya, naskah-naskah kuno
merupakan wujud refleksi dari realitas kehidupan nyata masyarakat pada zamannya.
Menurut Gani (1986: 23), naskah lama/kuno sebagai hasil rekaman kebudayaan
masyarakat lama berisi hampir seluruh bidang dan kegiatan yang pernah ada dalam kehidupan
masyarakat lama, olehnya itu tidaklah mengherankan jika naskah lama itu berisi berbagai masalah
dan sumber ilmu pengetahuan.Tidak banyak suku bangsa Indonesia yang memiliki tradisi tulis
dan aksara yang dituangkan ke dalam sebuah naskah seperti yang dimiliki suku Bugis Makassar.
Mereka beruntung memiliki tradisi tulis yang dikenal dengan istilah lontaraq (PaEni, dkk., 2003: v).
Naskah lontaraq sebagaimana naskah kuno lainnya memiliki kandungan isi yang sangat
beragam diantaranya adalah sebagai berikut (Gani, 1990: 8): lontaraq yang berisi mengenai adat
istiadat; sejarah dan silsilah; politik dan ketatanegaraan; pemerintahan; hukum dan undang-
undang; pendidikan; pertanian; jenis-jenis penyakit; obat-obatan; perbintangan/ilmu falak; catatan

Irwan Abbas
438
harian; berbagai teknik; ajaran kepercayaan. Demikian juga terdapat lontaraq yang berisi mengenai
kebahagiaan berumah tangga; petuah, nasihat, wasiat, dan sebagainya.
2.3 Pendidikan Karakter dalam Naskah Lontaraq
Ketika terjadi fenomena kemerosotan moral, maka pendidikan adalah kambing
hitamnya. Sebagian orang kemudian melirik kembali pentingnya pendidikan karakter. Hal ini
sangat menggembirakan. Setidaknya mulai ada kesadaran bahwa pendidikan karakter
merupakan hal yang penting. Pendidikan dalam rangka pendidikan karakter bertugas
menumbuhkan dan membina karakter bangsa. Kongkretnya, pendidikan harus mampu
menanamkan nilai-nilai luhur yang dijunjung tinggi oleh bangsa yang bersangkutan (Ruhuddin,
2010: 156).
Naskah lontaraq yang merupakan warisan budaya manusia Bugis Makassar merekam
dengan baik berbagai ajaran leluhur manusia Bugis Makassar yang sarat dengan ajaran yang
mengandung nilai-nilai karakter. Kandungan lontaraq kaya akan nilai-nilai budaya dan norma-
norma sosial, juga mengandung nilai-nilai etika dan moral termasuk di dalamnya nilai-nilai
agama, kepemimpinan dan etos kerja dari masyarakat pendukungnya (Saleh, 1999: 2). Untuk
lebih detilnya, berikut akan dipaparkan nilai-nilai karakter dalam lontaraq.
Lontaraq 1:
Têllui puangênna decengnge ri linoe: Pisangkaiengngi alena maggauq majaq;
pisangkaengngi alena makkêda ada majaq; pisangkaienngi nawa-nawanna mannawa-nawa
majaq (Gani, 1990: 52)
Ada tiga sebab sehingga kebaikan dunia dapat diperoleh: Mencegah dirinya berbuat
jahat; mencegah dirinya berbicara buruk; mencegah dirinya berpikir buruk.
Penjelasan:
Kebahagiaan hidup di dunia dapat diperoleh dengan cara: selalu berupaya
mengendalikan diri dari perbuatan yang dapat merugikan orang lain, menahan diri dari
mengatakan hal-hal yang tidak baik dan “berbau dusta”, serta senantiasa mengontrol diri dari
pikiran-pikiran negatif.
Lontaraq 2:
Nakanatong Matinroa ri Kananna: “Antu gauq bawanga siagang jekkonga nigaukang,
punna ta kacinikang ri kalenta anjoreng pi seng ri anatta. Napunna ta kacinikanga ri anatta,
anjoreng pi seng ri cucunta. Taena sikali-kali allaq takodia apana tau maqgauq bawanga
(Matthes, 1985: 108).
Berkata pula Matinroa ri Kananna: “Perbuatan jahat dan kecurangan yang kita lakukan
pasti ada balasannya. Kalau bukan kita yang merasakannya pasti anak cucu kita, demikian
seterusnya.”
Penjelasan:
Seorang yang gemar melakukan perbuatan tidak terpuji suatu saat akan mendapatkan
getahnya dan akan berdampak pada dirinya sendiri. Agar hal tersebut tidak terjadi maka
seyogianya setiap seseorang dapat menjaga dirinya dari perilaku tercela tersebut. Jika hal itu

Irwan Abbas
439
dapat dilakukan maka akan terjaga dan terpelihara diri sampai anak keturunannya (baca: anak
cucunya).
Lontaraq 3:
Taroi têllêng linoe ,têllaing pêsonaku ri massagalae (Machmud, tt: 55).Walau pun
dunia tenggelam, tak akan berubah keyakinanku kepada Tuhan.
Penjelasan:
Sikap konsisten (istiqomah) adalah sikap yang hendaknya tertanam pada setiap pribadi.
Orang yang istiqomah, tidak akan mudah dipengaruhi oleh orang lain karena memiliki prinsip
hidup sendiri. Hidupnya tidak mudah diombang ambingkan oleh keadaan yang terjadi di
sekelilingnya.
Lontaraq 4:
Ajaq nasalaio tongêng sibawa nyamêkkininnawa; têppasilaingengngi seajinna rilalêng
nakamasêang, nassaparêng deceng tênnaelorêng majaq. Metauq-i ri Dewata seuwae (Sikki,
1998: 56).
Jangan pernah ditinggalkan oleh kebaikan dan kesenangan, tidak membeda-bedakan
sanak keluarganya dalam membagi kasih. Senatiasa mencari kebaikan tanpa menghendaki
keburukannya, dan takut kepada Dewata (Allah Ta’ala).
Penjelasan:
Ajakan untuk bersikap adil dalam membagi kasih sayang terhadap semua anggota
keluarga. Gemar melakukan kebaikan dan hendaknya didasari dengan niat yang tulus/ikhlas,
semata-mata mencari ridho serta mengharap rahmat dari Yang Maha Kuasa.
Lontaraq 5:
Naiya tanranna acilakangnge duampungêng: Ajaq muempuruiwi tau maupêq-e, ajaq
to muêcawa-cawai êloq dêwata. Apaq iya narêkko muempuru toi to maupêq-e langiq muempurui.
Rêkko mucawa-cawai eloq dewata, dçwataê mucawa-cawai (Sikki, 1998, 57).
Adapun tanda-tanda orang celaka ada dua: Jangan dengki kepada orang mujur, jangan
pula mengolok-olok ciptaan Tuhan. Cemburu terhadap orang yang mujur berarti engkau
cemburu kepada langit. Kalau mengolok-olok ciptaan Tuhan berarti engkau mengolok-olok
Tuhan.
Penjelasan:
Untuk merasakan kebahagiaan hidup, dibutuhkan sikap legowo (lapang dada), senang
melihat orang lain mendapat kebaikan, menghindari sifat iri hati/hasad terhadap sesama, dan
tidak mencari keburukan orang lain, serta tidak menjelek-jelekkan ciptaan-Nya. Pada hakikatnya
jika memandang buruk ciptaan Allah berarti menghina dan meremehkan yang menciptakannya.
Lontaraq 6:
Kapanrakanna tau toaya ammelaq-melaka sambayang.
Kapanrakanna tau loloa ammelaq-melaka adaq.
Naia kapanrakanna bainea ampelakai siriqna.

Irwan Abbas
440
Naia kapanrakanna pakkereka ampelakai saqbaraka.
Naia kapanrakanna tupanritaya ampelakai amalaka.
Naia kapanrakanna tumaqgauka ampelakai lambusuka (Matthes, 1985: 114).

Alangkah celakanya orang yang sudah tua lalu menyia-nyiakan sembahyang. Alangkah
celakanya orang yang masih muda kemudian meninggalkan adat istiadat.
Alangkah celakanya perempuan yang tidak mempunyai rasa malu.
Kebinasaan bagi orang miskin apabila telah hilang kesabarannya.
Kebinasaan bagi ulama apabila ia membuang-buang amalnya.
Kebinasaan seorang raja apabila telah meninggalkan kejujurannya.

Penjelasan:
Pesan ini mengingatkan bahwa seseorang akan mengalami kehidupan yang sia-sia
dan tidak mendapat kebahagiaan: jika sudah memasuki usia tua tetapi masih gemar
meninggalkan salat, anak muda yang meremehkan dan tidak memperhatikan adat istiadat
yang berlaku di masyarakat sekelilingnya, perempuan yang tidak memiliki rasa malu (siriq).
Orang miskin yang tidak bersabar dengan kondisinya, seorang alim ulama yang tidak
mengamalkan ilmu yang dimilikinya.
Di akhir pesan lontaraq di atas juga menegaskan bahwa seorang raja/pemimpin yang
tidak jujur akan menyebabkan binasa kepemimpinannya atau dengan kata lain runtuh
kekuasaannya. Seorang pemimpin yang tidak jujur tentu tidak akan langgeng kekuasaannya
karena rakyat atau orang banyak yang dipimpinnya tidak lagi memberikan dukungan dan
kepercayaan atas kepemimpinannya. Jadi kejujuran adalah sifat mutlak dan utama yang harus
dimiliki oleh seorang pemimpin.
Lontaraq 7:
Sabbinna lempuq-e limai: Narekko salai nangauwi asalanna; narekko rionroi sala
naddampêngêngngi tau ripasalanna; narekko risanrekiwi deq napabelleang; Narekko
rirênnuangngi deq napacekoang; Narekko majjanciwi narupaiwi jancinna (Mattalitti, 1986: 89).
Bukti dari kejujuran ada lima: jika bersalah maka ia mengakui kesalahannya; Kalau
ditempati bersalah ia memaafkan orang yang bersalah; jika dijadikan sandaran maka ia tidak
mengecewakan; jika dipercaya maka ia tidak khianat; jika berjanji maka ia menepati janji.
Penjelasan:
Dikatakan seseorang memiliki sifat kejujuran, jika orang tersebut berani mengakui
kekeliruannya, mudah memaafkan orang lain, jika diberikan amanah kepadanya, ia tidak
mengkhianatinya, dan tidak membuat orang yang memberikan kepercayaan kepadanya
menjadi kecewa, serta senantiasa berupaya memenuhi setiap janji yang pernah diikrarkannya.
Lontaraq 8:

Irwan Abbas
441
Makkêdai tau matowae, narêkko memmanaqno, palêmpuri sênnaq-i alêmu, apaq iatu
riasêngnge gauq majaq namanaq-i tau rimunrimmu narekko majaq kia gauqmu,
mupaccappurênni pappangajaq anaqmu, naia mua sa napogauq gauq majaq-e pura makkuni
tu naelorêngnge Allah Taala ri anaqmu (Gani, 1990: 39).
Orang-orang tua berkata: “Jika engkau telah beranak-pinak, tingkatkanlah kejujuranmu,
sebab perbuatan jahat itu akan diwarisi oleh anak cucumu bilamana engkau berperilaku
jahat. Sempurnakanlah nasihatmu kepada anak-anakmu. Namun, bila ia masih juga berbuat
jahat, itulah takdir yang sudah ditentukan oleh Allah untuk anak-anakmu.”
Penjelasan:
Orang tua adalah teladan bagi anak-keturunannya, maka hendaklah ia dapat
memberikan panutan yang baik kepada generasinya. Diantara sifat yang harus ditanamkan
adalah sifat kejujuran. Jika setiap orang tua dapat menghiasi diri mereka dengan sifat-sifat
yang utama, maka tentunya akan memberikan keteladanan kepada anak-anaknya. Begitu juga
sebaliknya. Hendaknya setiap orang tua tidak pernah jenuh dalam mendidik dan mengarahkan
anak-anaknya.
Lontaraq 9:
êppaq paramata mattappaq ri taue: lêmpuq; ada tongêng sibawa tikkêq; siriq-e sibawa
gêttêng; akkalêng sibawa nyamêng (Mattalitti, 1986: 52).
Empat permata bercahaya pada manusia: kejujuran; berkata benar serta waspada;
rasa malu (siriq) dan keteguhan; akal dan baik hati.
Penjelasan:
Di antara sifat utama yang sebaiknya dimiliki oleh seseorang adalah kejujuran, memiliki
sifat malu (siriq), mampu menggunakan akalnya dengan baik (sebelum melakukan suatu
tindakan hendaknya dipikirkan dan ditimbang dengan seksama maslahat dan mudharat-nya),
serta senang berbuat kebaikan pada orang lain. Sebaik-baik orang adalah yang bermanfaat
kepada orang lain.
Lontaraq 10:
Nakana Karaenta Tumenanga ri Bonto Biraeng panngajarinna ri anakna: “Teako
maqballe-ballei ka punna maqballe-balle assengi sallang na taniaqja kamma kanannu iaka
tulusuq ta nipatappaq-muko” (Matthes, 1985: 109).
Karaenta Tumenanga di Bonto Biraeng berwasiat kepada anaknya. “Janganlah kamu
berdusta sebab nanti pada suatu saat engkau mengatakan sesuatu yang benar, namun engkau
tidak dipercaya lagi karena sudah sering berkata demikian.”
Penjelasan:
Nasihat Karaeng Tumenanga Bonto Biraeng untuk menjaga lisan dengan tidak
berkata-kata kecuali yang benar adalah modal utama yang harus dimiliki seseorang. Berkata
benar atau lebih baik diam jika yang akan disampaikan suatu hal yang tidak betul dan tidak
bermanfaat (kontra produktif). Seseorang dihargai, dihormati dan disegani serta mendapat

Irwan Abbas
442
kepercayaan dari orang lain tentunya karena sifat-sifat utama yang dimilikinya, diantara sifat
utama tersebut adalah kejujuran.
Lontaraq 11:
Makkêdai tau matoaê: “Narêkko êngka muelorêng napogauq taue, rapangngi lopi.
Maeloq po tonangiwi mupatonangiangngi taue. Iana ro riasêng malêmpuq makkuaê” (Enre,
1985: 10).
Berkata orang dahulu: “Sekiranya ada sesuatu yang engkau kehendaki dilakukan
oleh orang lain, ibaratkan hal itu sebagai perahu. Jika engkau sendiri bersedia menumpanginya
barulah engkau menyuruh orang lain menumpanginya, yang demikian itulah yang disebut
jujur.”
Penjelasan:
Hendaknya kejujuran itu dimulai dari diri sendiri. Jika sifat jujur telah tertanam pada
diri seseorang, maka tidak sulit untuk mengajak dan mendidik orang lain agar juga bersikap
demikian. Intinya, mewariskan sifat kejujuran kepada orang lain sebaiknya dimulai dari diri
sendiri adalah sikap yang terpuji.
Lontaraq 12:
Naiya ponna lêmpuq-e têllu mpuwangêngngi. Seuwana, iyapa napoadai kadopi molai;
maduwanna, iyapa napogauq-i kadopi luruwi, ri munripi taue; matêlluna, tênnaenreki
waramparang ripaloloq, tênnassakkarêngngi ada-ada maddiolona (Sikki, 1998: 23).
Yang menjadi pangkal kejujuran ada tiga macam: (1) nanti diucapkan bilamana ia
sanggup melaksanakannya; (2) Dia akan melakukan bila mampu menanggung risikonya, rasa
takut itu belakangan; (3) tidak menerima barang sogokan, tidak menyangkal terhadap kata-
kata yang pernah diucapkan.
Penjelasan:
Seseorang dikatakan memiliki sifat kejujuran, jika apa yang diucapkannya dapat
dibuktikannya dalam perilakunya sehari-hari, selain itu ia juga mampu
mempertanggungjawabkan setiap apa yang dikatakannya, dan konsisten terhadap prinsipnya/
tidak mudah dipengaruhi oleh orang lain.
Apa yang dipaparkan di atas adalah sebagian kecil dari wasiat-wasiat atau pesan-
pesan yang pernah disampaikan oleh leluhur Bugis Makassar yang sangat kaya dengan nilai-
nilai pendidikan karakter yang terdapat dalam naskah kuno lontaraq. Nilai-nilai tersebut jika
ditanamkan melalui pendidikan pada seorang anak akan menjadi tameng/pelindung yang
dapat dijadikan perisai bagi generasi muda Bugis Makassar dari berbagai dampak negatif
modernisasi.

Irwan Abbas
443
III. SIMPULAN
Jika ditelusuri kandungan dalam naskah lontaraq maka akan didapatkan berbagai
nilai karakter utama yang merupakan warisan budaya yang berisi wasiat para leluhur Bugis
Makassar. Jika nilai-nilai karakter utama yang terdapat dalam naskah lontaraq dapat tertanam
dengan baik pada generasi muda Bugis Makassar maka tentu kondisi realitas yang ada akan
berbeda kondisinya dengan seperti yang terjadi pada saat ini. Sayangnya pendidikan karakter
berbasis budaya yang sarat dengan nilai-nilai luhur yang terdapat dalam lontaraq, saat ini
menjadi pemandangan langkah atau dengan kata lain tidak dijumpai lagi di tengah-tengah
masyarakat karena tidak diajarkan, baik di lingkungan sekolah, rumah, dan komunitas Bugis
Makassar modern.
Adalah suatu fakta yang menarik dicermati diaspora yang dilakukan oleh manusia
Bugis Makassar sejak dahulu, mereka mampu beradaptasi dan dapat “hidup” di tengah
komunitas masyarakat suku lain yang berbeda kulturnya dengan baik dan tidak sedikit yang
mencapai kesuksesan di perantauan. Boleh jadi disebabkan oleh penanaman nilai karakter
yang senantiasa diajarkan dan diwariskan oleh para leluhur manusia Bugis Makassar.
Jika hal itu betul adanya, mengapa tidak? untuk kembali ditanamkan nilai-nilai karakter
utama yang terekam dan tersimpan dengan baik pada naskah lontaraq yang merupakan warisan
budaya leluhur manusia Bugis Makassar. Merupakan suatu tantangan kepada para pendidik
baik guru, orang tua, maupun tokoh masyarakat untuk kembali menggali nilai-nilai luhur yang
terdapat dalam naskah lontaraq untuk diajarkan ke dalam ruang-ruang kelas persekolahan,
begitu juga dalam lingkungan keluarga serta masyarakat. Berbagai nilai pendidikan karakter
yang terdapat dalam naskah lontaraq masih sangat relevan untuk ditanamkan dan diajarkan
kembali pada generasi muda Bugis Makassar sebagai solusi terhadap berbagai problema
remaja yang terjadi di masa kini khususnya di kota Makassar.

DAFTAR PUSTAKA
Abidin. A. Z. 1999. Capita Selecta Kebudayaan Sulawesi Selatan. Ujung Pandang: Hasanuddin
University Press.
Alwasilah, A. C. 2008. Pokoknya BHMN Ayat-Ayat Pendidikan Tinggi. Bandung: Lubuk Agung.
Aunillah, N I. 2011. Panduan Menerapkan Pendidikan Karakter di Sekolah. Yogyakarta: Laksana.
Ayatrohaedi. 2005. “Naskah dan Sejarah.” Dalam Ekadjati, E. S. Polemik Naskah Pangeran
Wangsakerta. Jakarta: PT. Dunia Pustaka Jaya.
Aziz, H. A. 2011. Pendidikan Karakter Berpusat pada Hati Akhlak Mulia Pondasi Membangun
Karakter Bangsa. Jakarta: Al Mawardi Prima.
Buchori, M. 1995. Transformasi Pendidikan. Jakarta: IKIP Muhammadiyah – Jakarta Press.
Ekadjati, E. S. 2005. Polemik Naskah Pangeran Wangsakerta. Jakarta: PT. Dunia Pustaka Jaya.
Enre, F. A., dkk. 1985. Pappasenna To Maccae ri Luwuq sibawa Kajao Laliqdong ri Bone. Ujung
Pandang: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Proyek Penelitian dan Pengkajian
Kebudayaan Sulawesi Selatan LaGaligo.

Irwan Abbas
444
Fitri, A. Z. 2012. Pendidikan Karakter Berbasis Nilai dan Etika di Sekolah. Yogyakarta: Ar Ruzz
Media.
Gani, A. 1986. “Usaha Pelestarian dan Pengolahan Naskah Lama.” Dalam Bingkisan Budaya
Sulawesi Selatan No. II. Ujung Pandang: Yayasan Kebudayaan Sulawesi Selatan.
Gani, A., dkk. (1990). Wasiat-Wasiat dalam Lontarak Bugis. Jakarta: Departemen Pendidikan
dan Kebudayaan.
Hafid, M. Y., & Hadrawi, M. 1998. “Naskah Kuno Bugis dan Makassar.” Dalam Laporan Penelitian
Sejarah dan Nilai Tradisional Sul Sel. Ujung Pandang: Depdikbud Dirjen Kebudayaan
BKSNT.
Handayani, T. 2008. Dinamika Pendidikan dalam Konteks Globalisasi dan Desentralisasi dalam
Tjiptoherijanto, Prijono dan Laila Nagib, Pengembangan Sumber Daya Manusia di
antara Peluang dan Tantangan. Jakarta: LIPI.
Idjo, A. K. 2007. “Revitalisasi Nilai Budaya Kesultanan/Kerajaan Gowa-Tallo: Menemukan
Kembali Jatidiri untuk Memperkuat Kepastian Bangsa.” Dalam Istiasih, dkk. Gelar
Budaya Komunitas Adat di Makassar. Jakarta: Dirjen Nilai Budaya dan Film
Depdikbudpar.
Istiasih, dkk. 2007. Gelar Budaya Komunitas Adat di Makassar. Jakarta: Dirjen Nilai Budaya dan
Film Depdikbudpar.
Machmud, A. H. (tt). Silasa Kumpulan Petuah Bugis-Makassar. Ujung Pandang: Bhakti Centra
Baru.
Manyambeang, K. 1996. Lontaraq Riwayaqna Tuanta Salamaka ri Gowa: Suatu Analisis
Linguistik Filologis. Disertasi Doktor pada PPs Unhas Ujung Pandang: Tidak
diterbitkan.
Massoweang, A. K., dkk. (2010). Pemetaan dan Inventarisasi Naskah Klasik. Jakarta: GP Press.
Mattalitti, M. A. 1986. Pappaseng To Riolota Wasiat Orang Dahulu. Jakarta: Departemen
Pendidikan dan Kebudayaan Proyek Penerbitan Buku Sastra Indonesia dan Daerah.
Matthes, B. F. 1985. Beberapa Etika dalam Sastra Makassar. Jakarta: Departemen Pendidikan
dan Kebudayaan Proyek Penerbitan Buku Sastra dan Daerah.
Munawar, T., & Noegraha, N. 1996. Khasanah Naskah Nusantara Simposium Tradisi Tulis
Indonesia. Jakarta: Yayasan Lontar – Perpustakaan Nasional RI – Fakultas Sastra
Universitas Indonesia.
Noor, R. M. 2011. Pendidikan Karakter Berbasis Sastra Solusi Pendidikan Moral Yang Efektif.
Yogyakarta: Ar Ruzz Media.
Paeni, M., dkk. 2003. Katalog Induk Naskah-Naskah Nusantara Sulawesi Selatan. Jakarta:
ANRI kerjasama The Ford Foundation – Unhas – Gadjah Mada University Press.
Prayitno & Manullang, B. 2011. Pendidikan Karakter dalam Pembangunan Bangsa. Jakarta: PT.
Grasindo.
Rifa’i, M. 2011. Sosiologi Pendidikan Struktur dan Interaksi Sosial di dalam Institusi Pendidikan.
Yogyakarta: Ar Ruzz Media.
Ruhuddin. 2010. “Pendidikan Karakter Merupakan Suatu Kebutuhan” dalam Prosoding Seminar
Aktualisasi Pendidikan Karakter Bangsa. Bandung: Widya Aksara Press kerjasama
dengan UPI.

Irwan Abbas
445
Saifuddin, A. F., & Karim, M. 2008. Refleksi Karakter Bangsa. Jakarta: Kementerian Negara
Pemuda dan Olahraga RI & Ikatan Alumni UI – Forum Kajian Antropologi Indonesia.
Saleh, N. 1999. Ungkapan Tradisional Suku Bugis tentang Agama, Kepemimpinan, dan Etos
Kerja di Daerah Kabupaten Bone. Ujung Pandang: Depdikbud Ditjen Kebudayaaan
BKSNT.
Samani, M., & Hariyanto. 2012. Konsep dan Model Pendidikan Karakter. Bandung: PT. Remaja
Rosdakarya.
Sikki, M. dkk. 1998. Nilai dan Manfaat Pappaseng dalam Sastra Bugis. Jakarta: Pusat Pembinaan
dan Pengembangan Bahasa Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.
Sikki, M., dkk. 1991. Nilai-Nilai Budaya dalam Susastra Daerah Sulawesi Selatan. Jakarta:
Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa Departemen Pendidikan dan
Kebudayaan.
Surya, M. 2004. Bunga Rampai Guru dan Pendidikan. Jakarta : Balai Pustaka.
Syarief, H. 1997. Peningkatan Kualitas Sumberdaya Manusia Menyongsong Era Globalisasi:
Membangun Sistem Pendidikan yang Berbudaya, dalam Rahardjo, Keluar dari Kemelut
Pendidikan Nasional. Jakarta: Intermasa.
Tilaar, H. A. R. 2002. Pendidikan, Kebudayaan, dan Masyarakat Madani Indonesia Strategi
Reformasi Pendidikan Nasional. Bandung: CV. Remaja Rosdakarya.
Tilaar, H. A. R. 2004. Paradigma Baru Pendidikan Nasional. Jakarta: Rineka Cipta.
Tilaar, H. A. R. dkk, 2008. “Karakter Bangsa dalam Perpektif Pedagogik Kontemporer.” Dalam
Saifuddin, A. F., & Karim, M. Refleksi Karakter Bangsa. Jakarta: Kementerian Negara
Pemuda dan Olahraga RI & Ikatan Alumni UI – Forum Kajian Antropologi Indonesia.
Tjiptoherijanto, P. dan Nagib, L. 2008. Pengembangan Sumber Daya Manusia di antara Peluang
dan Tantangan. Jakarta : LIPI.
Zamroni. 2000. Paradigma Pendidikan Masa Depan. Yogyakarta: Bigraf Publishing.
Zubaedi. 2011. Desain Pendidikan Karakter Konsepsi dan Aplikasinya dalam Lembaga
Pendidikan. Jakarta: Kencana Prenada Media Group.

Irwan Abbas
446
NILAI TRADISI BUDAYA KATOBA BERFUNGSI SEBAGAI DASAR
PENDIDIKAN KARAKTER GENERASI MUDA MASYARAKAT ETNIK MUNA
La Ode Monto Bauto
Universitas Haluoleo

ABSTRACT
This study focuses on the study of various phenomena that occur in the younger generation of
ethnic communities in Southeast Sulawesi, Muna where appropriate real-shows the patterns of
behavior and their actions have been far aberrant and contrary to the values of the culture of his
ancestors. This research aims to search and study the socio-cultural values and religion in a
cultural tradition as the Foundation of character education katoba. This study used ethnographic
methods and approaches of phenomenology. Data collection using the study library/study papers
and study of documentation. The analysis of data used in the analysis are the structural functional
domains, and the symbolic interaction. The study is concluded that in the tradition of cultural
values are katoba social culture and religion as the basis for character education is still relevant
to be taught and passed on, it is still very functional and instrumental in setting up, managing
and overseeing the actions and behavior patterns of ethnic community life Muna.
Keywords: Function Values of The Culture of The Young Generation of Character-Katoba.

I. PENDAHULUAN
Fenomena globalisasi selain membawa pengaruh positif, juga tidak sedikit membawa
pengaruh negatif yang ditandai dengan tergerus atau tergradasinya nilai-nilai kearifan lokal,
termasuk nilai-nilai tradisi budaya katoba. Selain itu, juga disebabkan oleh pengaruh yang
datang dari para pemukim atau para pendatang baru, dimana mereka mempertahankan nilai
yang dibawa dan dianutnya tanpa mau memperkaya diri dengan nilai lokal di tempat mereka
hidup sekarang. Mereka menganggap bahwa tempat yang didiaminya sekarang bukanlah
tanah tumpah darahnya, tetapi hanya sebagai tempat menumpang hidup. Akibatnya, mereka
tidak perduli dengan kondisi sekitar yang dipentingkan hanyalah diri dan kelompoknya. Padahal
leluhur kita telah mewariskan sebuah nilai yang universal, yaitu “…di mana bumi dipijak, maka
di situ langit dijunjung”. Ungkapan tersebut sangatlah sederhana, tetapi mengandung makna
yang sangat prinsip dan mendalam dimana orang yang “bubuara” di tanah orang harus mampu
menghormati dan menghargai serta menjadikan nilai tradisional setempat sebagai pedoman
hidupnya. Jika berhasil mengimplementasikan pepatah tersebut pastilah dia akan memperoleh
suatu keberhasilan dalam mencapai tujuan merantau di negeri orang (Naisbitt (1995: 133).

La Ode Monto Bauto


447
Kompleksitas permasalahan yang berkaitan dengan karakter atau moralitas anak
bangsa ini telah menjadi pemikiran sekaligus perhatian bersama semua komponen bangsa.
Krisis karakter atau moralitas ini ditandai oleh meningkatnya kejahatan tindak kekerasan,
penyalahgunaan obat terlarang (narkoba), pornografi dan pornoaksi, serta pergaulan bebas
(seks bebas) yang sudah menjadi masalah yang dikenal dengan patologi sosial dalam
masyarakat. Banyaknya permasalahan dan krisis yang terjadi pada masa remaja ini menjadikan
banyak ahli dalam bidang psikologi perkembangan menyebutnya sebagai masa krisis identitas.
Dimana pada masa ini terjadi perubahan sangat drastis pada diri remaja yang mengakibatkan
terjadinya kondisi serba tidak menentu dan diwarnai oleh kondisi psikis yang belum mapan.
Selain itu, periode ini pun dinilai sangat penting bahkan Erik Erikson (1998: 134) mengatakan
bahwa seluruh masa depan individu sangat tergantung pada penyelesaian krisis pada masa kini.
Fenomena pergaulan para remaja sekarang semakin akrab dengan persoalan perilaku
menyimpang yang ditandai dengan kekerasan, obat-obatan terlarang, dan problem psikologis.
Perilaku seks remaja modern semakin bebas dan permisif. Hal ini, sesuai dengan hasil penelitian
dari Majalah Gatra beberapa tahun lalu memperlihatkan bahwa 22% remaja menganggap
wajar cium pipi, cium bibir, dan 1,3% menganggap wajar hubungan intim dengan pacarnya.
Angka ini secara kuantitatif memang relatif kecil, tetapi beberapa hasil penelitian lain
menunjukkan angka yang lebih tinggi. Sebagai contoh, 10% dari 600 pelajar SMU yang disurvey
di Jawa Tengah mengaku sudah pernah melakukan hubungan intim layaknya hubungan suami
istri. Bahkan, beberapa hasil penelitian sebelumnya juga memperlihatkan angka yang cukup
tinggi. Kondisi ini sangat memprihatinkan betapa rusaknya moral sebagian besar generasi muda.
Kemudian, kasus beberapa remaja di Semarang pernah tertangkap basah oleh aparat
dan warga karena melakukan pesta seks dan mabuk-mabukan. Sementara kasus lain yang
terjadi di Raha-Muna Sulawesi Tenggara, Makassar Sulawesi Selatan meninggal dunia di
mobil setelah melakukan hal yang sama. Sebenarnya banyak dari mereka melakukan ini semua,
bukan karena adanya desakan ekonomi, melainkan untuk mencari kepuasan semata. Perilaku
seks bebas remaja-remaja di pedesaan ternyata juga tidak terlalu jauh berbeda dengan perilaku
rekan-rekan mereka di perkotaan. Kenyataan ini, tentu tidak sebesar dan seserius yang terjadi
di Eropa dan Amerika Serikat, tetapi ada indikasi bahwa kebebasan seksual semakin gencar
masuk ke Indonesia bersamaan dengan menguat dan tersebarnya budaya global. Hal ini,
didukung ketersediaan media massa dan elektronik yang banyak mengandung unsur pornografi,
budaya seks dan kekerasan. Begitu pula, komik-komik, gambar-gambar dan foto-foto porno
dengan sangat mudah diakses oleh para remaja. Kondisi sekarang, anak-anak kelas IV hingga
VI Sekolah Dasar (SD) sudah mengajukan pertanyaan-pertanyaan yang sangat dewasa tentang
seks, seperti “Apakah sex swalayan itu?” dan “Bagaimana cara melakukan seks?”. Sementara
itu, beberapa remaja puteri usia SMU merasa tak segan difoto payudara, atau malah tubuh
telanjangnya, dengan handphone, semata-mata karena bangga dengan keindahan tubuhnya
sendiri (Gatra, 2010).
Selain itu, angka kekerasan, konsumsi rokok dan obat-obatan terlarang dari tahun
ketahun semakin meningkat di kalangan remaja Indonesia, termasuk remaja atau generasi
muda masyarakat etnik Muna. Selain itu, data tentang tawuran di Jakarta pada paruh pertama

La Ode Monto Bauto


448
tahun 1999, sebagaimana diberitakan oleh Media Indonesia, memperlihatkan bahwa rata-rata
dua anak tewas setiap bulannya karena tawuran atau perkelahian antar pelajar. Pada tahun
yang sama, salah satu hasil penelitian tentang narkoba menunjukkan, bahwa paling tidak 60-
80% murid SMP di Yogyakarta pernah terlibat mengkonsumsi narkotika, sementara di wilayah-
wilayah pemukiman setidaknya 10 anak baru gede (ABG) di setiap RT pernah menggunakan
dan merasakan narkotika. Angka ini juga cukup tinggi di Jakarta dan kota-kota besar lainnya.
Bahkan narkotika dalam bentuk permen pernah beredar di Jakarta Timur dengan target sasaran
konsumennya adalah anak-anak Sekolah Dasar (SD).
Karakteristik remaja modern sebagai generasi muda telah menjadi suatu kelompok
usia terpisah yang membedakan diri dari kelompok usia anak-anak dan dewasa. Gejolak
psikologis yang mereka alami terekspresikan keluar dalam berbagai bentuk dekadensi moral.
Dimana mereka jadi sulit diatur dan sering bentrok dengan orang tua. Guru dan pihak sekolah
pun kesulitan untuk mengontrol mereka. Remaja-remaja ini berkumpul dengan teman-teman
seusia mereka dan menciptakan budaya teman sebaya (peer culture). Mereka merasa lebih
dekat dengan teman-teman seusianya yang memiliki karakteristik sama dengan mereka. Mereka
juga kurang mau mendengar dari orang-orang dewasa yang semakin jarang berinteraksi dengan
mereka dan tidak selalu memahami gejolak perasaan mereka. Kondisi remaja yang labil
seringkali mendorong terjadinya tekanan teman sebaya (peer pressure) yang cenderung
menjatuhkan mereka ke berbagai hal yang negatif, seperti rokok, narkotika, kekerasan, dan
seks bebas. Orang-orang dewasa di sekitar mereka, termasuk orang tua dan guru, mungkin
semakin galau dan pusing bagaimana seharusnya menyikapi anak-anak remaja. Kita sikapi
sebagai orang dewasa, mereka ternyata belum terlalu matang dan masih banyak membutuhkan
bimbingan. Kita sikapi sebagai anak kecil, lebih tidak mungkin lagi mengingat perkembangan
fisik mereka yang mulai menunjukkan ciri-ciri orang dewasa. Akibatnya, kelompok usia remaja
menjadi semakin terasing dari dunia orang dewasa yang idealnya bisa membimbing mereka
menuju kematangan dan kemandirian pribadi.
Fakta kehidupan masyarakat yang terjadi saat ini, sangat jauh berbeda dengan kondisi
yang diharapkan. Dimana terjadi kecenderungan degradasi nilai-nilai budaya di masyarakat.
Kasus korupsi kolusi dan nepotisme (KKN) marak terjadi di berbagai aspek bidang kehidupan
masyarakat. Hal ini, ditandai dengan tingkat kriminalitas seperti; (perkosaan, perampokan,
pembunuhan, mutilasi, terorisme, pergaulan bebas, geng motor, balap liar dan penyalahgunaan
obat (drug abuse) yang tinggi. Selain itu, beberapa kasus berindikasikan SARA (suku, ras dan
antar agama) yang berujung pada disintegrasi bangsa, nampak menghiasi kehidupan
masyarakat sehari-hari. Bahkan lembaga peradilan dan kepolisian yang bertugas menegakkan
hukum dan peraturan pun dipenuhi dengan oknum-oknum yang melakukan skandal suap dan
mafia peradilan. Selain itu, data dari Badan Narkotika Nasional (BNN) menyebutkan jumlah
pengguna narkoba di lingkungan pelajar SD, SMP, dan SMA pada tahun 2006 mencapai
15.662 anak. Dengan rincian, untuk tingkat Sekolah Dasar (SD) sebanyak 1.793 anak, SMP
sebanyak 3.543 anak, dan SMA sebanyak 10.326 anak. Dari data tersebut, yang paling
mencengangkan adalah peningkatan jumlah pelajar SD pengguna narkoba. Pada tahun 2003,
jumlahnya baru mencapai 949 anak, namun tiga tahun kemudian atau tahun 2006, jumlah

La Ode Monto Bauto


449
tersebut cenderung meningkat tajam menjadi 1.793 anak (www.pikiran-rakyat.com). Selain itu,
kalangan pelajar juga rentan tertular penyebaran penyakit HIV/AIDS. Salah satu kasus yang
terjadi di kota Madiun Jawa Timur, dimana data terakhir yang dilansir Yayasan Bambu Nusantara
Cabang Madiun, organisasi yang konsen terhadap masalah HIV/AIDS, menyebutkan kasus
Infeksi Seksual Menular (IMS) yang beresiko tertular HIV/AIDS menurut kategori pendidikan
sampai akhir Oktober 2007 didominasi pelajar SMA/SMK sebanyak 51%, pelajar SMP sebesar
26%, mahasiswa sebesar 12% dan SD/MI sebesar 11% (news.okezone.com). Apa yang
ditegaskan oleh Alwasilah (2009: 63) mengatakan bahwa bangsa ini kini sedang menderita
sejumlah penyakit sosial, yaitu: Korupsi, Kolusi, Nepotisme (KKN), ijazah palsu, kekerasan dan
tawuran pelajar, lemahnya nasionalisme, dan sejumlah pelanggaran lainnya (Pikiran Rakyat,
5/1/09).

II. PEMBAHASAN
Tradisi budaya katoba mengandung nilai-nilai kearifan lokal yang berperan dan
berfungsi sangat urgen bagi kehidupan masyarakat etnik Muna. Adapun peran dan fungsi
kearifan lokal budaya katoba adalah: (1) untuk konservasi dan pelestarian sumber daya alam,
(2) pengembangan sumber daya manusia, (3) pengembangan kebudayaan dan ilmu
pengetahuan, (4) sebagai sumber petuah/kepercayaan/sastra dan pantangan, (5) sebagai
sarana membentuk dan membangun integrasi komunal, (6) sebagai landasaan etika dan
moral, dan (7) fungsi politik (Sartini, 2006 : 62). Namun demikian, dalam mengelola nilai-nilai
tradisi lokal perlu daya kreativitas yang tinggi, sehingga nilai-nilai tersebut dapat diaplikasikan
secara efektif dalam dunia pendidikan khususnya dan masyarakat umumnya. Dalam perspektif
ini perlu adanya rekonstruksi dan transformasi nilai-nilai budaya lokal untuk menjaga agar
globalisasi tidak merusak nilai-nilai budaya lokal sebagai identitas kepribadian bangsa. Dengan
demikian, perlu adanya pemikiran yang cerdas, kritis, kreatif, dan inovatif dalam proses
pengaplikasiannya, sehingga proses transformasi nilai tersebut tidak menghilangkan dan
melemahkan budaya lokal sebagai bagian dari kekayaan dan kebanggaan masyarakat dan
bangsa (Wuryandari, 2010: 82). Dalam upaya mengapresiasi nilai budaya, globalisasi dapat
dimanfaatkan sebagai salah satu sumber rujukan. Dengan adanya globalisasi, maka masyarakat
dapat mengembangkan atau mengadopsi pola berpikir yang baik seperti etos kerja yang tinggi,
disiplin serta pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi dari bangsa lain yang sudah
maju untuk meningkatkan kemajuan bangsa yang pada akhirnya dapat memajukan suatu
bangsa (Wuryandani, 2010 : 65).
Sehubungan dengan hal tersebut di atas, maka tradisi budaya katoba yang ada pada
masyarakat etnik Muna Sulawesi Tenggara dapat disandingkan dengan nilai-nilai positif yang
dibawa oleh arus globalisasi. Nilai-nilai kearifan lokal tersebut bukanlah nilai usang yang harus
dimatikan, tetapi dapat bersinergi dengan nilai-nilai universal dan nilai-nilai modern yang dibawa
globalisasi. Pembangunan budaya yang berkarakter pada penguatan jati diri manusia
mempunyai karakter dan sifat interdepensi atau memiliki keterkaitan lintas sektoral, spasial,
struktural multidimensi, interdisipliner, dan bertumpu pada masyarakat sebagai kekuatan dasar

La Ode Monto Bauto


450
dengan memanfaatkan potensi sumber daya pemerataan yang tinggi. Karakter pembangunan
budaya tersebut secara efektif merangkul dan menggerakkan seluruh elemen dalam
menghadapi era globalisasi yang membuka proses lintas budaya (trans-cultural) dan silang
budaya (cross cultural) yang secara berkelanjutan akan mempertemukan nilai-nilai budaya
satu dengan lainnya (Judistira, 2007 : 54-55).
2.1 Pengertian Filosofi dan Prosesi Tradisi Budaya Katoba Serta Nilai-Nilai
yang Terkandung Didalamnya
Masyarakat etnik Muna merupakan salah satu etnik di Sulawesi Tenggara (selain
Buton, Tolaki, Wawonii) yang memiliki tradisi unik turun temurun yang bernilai tinggi, mengadopsi
dan berlandaskan pada ajaran nilai agama Islam menjadi pedoman hidup. Ajaran Islam tersebut
dicoba untuk diaplikasikan sejak awal, dari semenjak masih anak-anak agar ajaran Islam
mampu meresap dan menjadi pegangan dalam melaksanakan berbagai kegiatan sehari-hari.
Mengingat pentingnya budaya katoba untuk diwariskan dan ditrasformasikan kepada generasi
muda, karena memiliki beberapa nilai antara lain sebagai berikut:
1. Nilai tradisi budaya katoba mengandung pembentukan karakter dasar kemanusiaan
bagi seorang anak yang berusia 6-12 tahun.
2. Nilai tradisi katoba bersifat universal, religius untuk membentuk moralitas bagi anak
khususnya anak laki-laki.
3. Nilai-nilai ajaran katoba sudah mengalami degradasi.
4. Perlu revitalisasi kembali tradisi budaya katoba untuk ditransformasikan pada konteks
generasi muda masa kini dalam kehidupan sosial kemasyarakatan (Malik, 2011 : 5-7).
Bagi masyarakat Muna, ritual katoba merupakan daur hidup (life-cycle), dan sebagai
perubahan status dari kanak-kanak menjadi remaja. Katoba dilaksanakan pada anak laki-laki
dan perempuan pada usia sekitar 6-12 tahun, usia yang dianggap relatif cukup matang bagi
masyarakat Muna untuk menanamkan nilai-nilai moral agama dan adat. Oleh sebab itu, ritual ini
merupakan rite de passage atau ritual ambang/peralihan (threshold) yang merayakan hadirnya
status keremajaan pada diri seorang anak yang disebut juga dengan coming of age ritual.
Ritual katoba umumnya dilaksanakan sesudah upacara sirkumsisi yang disebut dengan
kangkilo. Katoba adalah upacara yang dilaksanakan oleh orang tua sebagai salah satu kewajiban
dan tanggung jawab yang harus ditunaikannya selain menikahkan anak karena itulah ritual ini
bagi masyarakat Muna umumnya dianggap sebagai sesuatu yang wajib. Pentingnya ritual ini
ditandai salah satunya dengan justifikasi alasan bagi anak yang bertingkah laku buruk dan
tidak sopan dalam berperilaku sebagai akibat tidak dilaksanakanya ritual katoba atau
melaksanakan ritual tersebut tetapi tidak menghayati maknanya dalam kehidupan sehari-hari.
Dalam ungkapan sehari-hari, masyarakat melabelkan kondisi tersebut dengan anahi amaitu
miina namangkae wambano toba artinya anak tersebut tidak mengikuti petuah yang diajarkan
dalam tradisi budaya katoba (Zainal, 2011 : 35-37).
Masyarakat Muna memiliki tiga rangkaian ritual peralihan status, yaitu (1) ritual kangkilo
(purifikasi), (2) ritual katoba (pertobatan), dan (3) ritual karia (upacara kedewasaan bagi anak

La Ode Monto Bauto


451
perempuan). Ritual katoba umumnya dilaksanakan sesudah upacara sirkumsisi (kangkilo).
Kangkilo sendiri adalah proses penyucian diri (purifikasi) yang tidak hanya berisi sunat/khitan
(sirkumsisi), akan tetapi juga pengajaran tentang wudhu, istinja’ dan hal-hal yang menyangkut
penyucian diri lainnya, sedangkan karia merupakan rangkaian dari dua ritual sebelumnya (kangkilo
dan katoba) dan umumnya merupakan ritual persiapan memasuki usia dewasa dan persiapan
pernikahan bagi anak perempuan. Jika kangkilo bisa dilakukan secara individu, maka ritual katoba
adalah ritual publik yang dilakukan secara komunal dengan melibatkan beberapa anggota keluarga
dan sanak famili. Karena dia merupakan ritual publik, maka ritual ini tidak hanya melibatkan anak
secara individu akan tetapi juga anggota keluarga batih (bapak, ibu, kakak, dan adik) sebagai
audiens sekaligus peserta ritual, bahkan seluruh masyarakat yang mendatangi ritual sebagai
upaya penyadaran kembali peran sosial masing-masing untuk menguatkan dan menegaskan
kembali status dan tanggung jawabnya secara sosial (Bardia, 2008 : 20-21).
Tiga rangkaian ritual ini saling keterkaitan dan membentuk satu kesatuan rite de passage
yang terpadu dalam konteks perubahan status seorang anak. Ritual katoba menarik untuk diteliti
dan menjadi fokus utama salah satunya disebabkan oleh adaptasi dan pemahamannya terhadap
ajaran Islam dan menjadi jembatan diantara tiga rangkaian ritual kangkilo dan karia. Dengan kata
lain, pada umumnya masyarakat Muna menganggap kangkilo saja tidak cukup bagi seorang
anak harus menjalani ritual katoba dan ritual tersebut dilaksanakan sesudah atau bersamaan
seorang anak perempuan menjalani prosesi adat karia. Sedangkan secara bahasa, konsep
katoba lahir dari tambahan prefix ka terhadap akar kata toba yang merupakan proses nominalisasi.
Melihat akar katanya nampaknya istilah ini merupakan adaptasi dari pengaruh agama Islam
dengan konsep taubat yang dalam bahasa Muna disederhanakan menjadi toba karena kesulitan
bagi lidah mereka mengucapkan kata “taubat”. Dengan demikian, katoba secara bahasa berarti
pertobatan atau proses seseorang menjadi bertobat. Sebagaimana artinya secara bahasa, maka
salah satu tujuan dilaksanakannya katoba pada anak adalah menyadarkan status mereka sebagai
muslim dan bertanggung jawab atas status tersebut. Oleh sebab itu status dan tanggung jawab
tersebut, anak yang sudah menjalani ritual katoba memiliki hak dan kewajiban untuk mempelajari
secara serius nilai-nilai agama dan ajaran-ajaran adat istiadatnya. Bahkan pada awalnya
masyarakat Muna menganggap bahwa seorang anak yang belum menjalani katoba tidak
diperkenankan mempelajari hal-hal tentang pengsucian diri (kangkilo), membaca Al-Qur’an
maupun pelajaran tentang agama dan tradisi lainnya (Zainal,2011 : 39-42).
Ritual katoba merupakan ritual wajib sebagai salah satu tanggung jawab orang tua
kepada anak, disamping menikahkan anak ketika dewasa. Jika ada yang tidak melaksanakan
katoba, maka dia dianggap bukan orang Muna; atau melaksanakan tetapi dalam kehidupannya
berperilaku buruk maka seseorang akan dicemooh oleh lingkungan sosialnya, sebab dianggap
tidak melaksanakan dan menghayati pesan-pesan atau nasihat tobat (wambano toba). Katoba
dapat dilaksanakan secara individual jika orang tua mampu secara ekonomi dan bisa pula
dilaksanakan secara bersama-sama antara kaluarga besar atau satu desa/kampung, dimana
satu orang sebagai penanggung jawab, biasanya memiliki kemampuan lebih secara ekonomi
dan menanggung biaya yang lebih besar dari para orang tua lainnya (puuno/pohonnya).
Pelaksanaan ritual ditentukan berdasarkan perhitungan waktu yang dianggap baik dalam

La Ode Monto Bauto


452
kepercayaan masyarakat Muna dan dalam prakteknya bisa dilangsungkan satu sampai tiga
hari (La Fariki, 2010 : 7-8).
Bagian yang paling penting dari katoba adalah pernyataan bertaubat yang diajarkan
oleh imam pada akhir ritual. Dengan ibu jari tangan yang diikatkan pada selembar kain putih,
anak mendengarkan, mengikuti, dan mengiyakan tuntunan bertobat dengan didampingi orang
tua dan sanak keluarga lain. Tuntunan tersebut berupa permohonan ampun pada Allah, syahadat,
petuah-petuah tobat (wambano toba), kepatuhan dan penghormatan kepada ayah, ibu, dan
kakak serta menyayangi adik, menjaga hak-hak manusia dan alam, serta perbuatan dan hal-
hal yang tidak boleh dilakukan setelah menjalani katoba (La Fariki, 2010 : 4-5).
Pemaknaan katoba bagi masyarakat Muna dewasa ini mengalami perubahan karena
adanya berbagai macam pengertian, pemahaman, pemaknaan, dan respon terhadap ritual.
Pengaruh agama Islam dalam pemaknaan katoba merubah pengertian penting dan tidaknya
ritual tersebut dilaksanakan pada anak. Pada awalnya ritual katoba menjadi sesuatu yang
wajib, akan tetapi ada pula yang menganggapnya sesuatu yang tidak perlu dan menganggap
cukup mengajarkan agama di rumah. Alasan lain adalah masih terdapat unsur-unsur pra-
Islam, misalnya dengan hadirnya berbagai macam makanan tradisional untuk sesajen dan
kemenyan dalam prosesi ritual. Sementara itu, menurut mereka dalam Islam tidak boleh ada
unsur-unsur tersebut karena dianggap bid’ah (Zainal, 2011 : 39-42).
Katoba dari hari kehari mengalami kontestasi ketika diperhadapkan dengan Islam
dan modernisasi. Hal ini terjadi salah satunya dalam kasus tidak diakuinya cara khitan yang
dilakukan oleh seorang anak laki-laki ketika seseorang masuk salah satu pondok pesantren di
Indonesia. Sang Kyai meminta anak tersebut untuk dikhitan ulang dengan cara Islam sebab
menganggap khitan cara adat yang sudah dilakukan sebelumnya tidak sah.
Kasus yang lain adalah diperdebatkanya personalisasi Tuhan dalam diri seorang
ayah dan dijadikan sebagai pengganti/wakil Tuhan. Petuah ini diberikan pada anak ketika
menjalani prosesi katoba. Petuah ini sebetulnya menyebut hampir seluruh anggota keluarga
dalam prosesi katoba; ibu sebagai pengganti/wakil Nabi Muhammad SAW, kakak sebagai
pengganti/wakil malaikat; dan adik sebagai pengganti/wakil kaum muslim seluruhnya.
Konsep keterwakilan secara personal sosok ayah, ibu, kakak, dan adik dalam katoba
ditandai dengan kata lansaringino yang artinya ibarat atau keterwakilan, maka ayah adalah
ibarat atau keterwakilan Tuhan di bumi (Bardia, 2009 : 36-39). Prosesi katoba didahului dengan
tahap penyunatan (kangkilo) atau pengkhitanan. Menurut konsepsi adat Muna, penyunatan
(kangkilo) yang dirangkaikan dengan katoba adalah wajib bagi setiap anak yang menjelang
dewasa. Setelah melalui prosesi ini barulah dinyatakan sah memeluk agama Islam terutama
belajar membaca kitab suci Al-Qur’an dan belajar melaksanakan salat wajib serta belajar adat
terutama diawali dengan mendengarkan nasehat atau ajaran dari kedua orang tua. Yang
terpenting pada upacara ini adalah bagaimana seorang anak dapat mengerti dan memahami
dan menerapkan ajaran/tuturan katoba dalam kehidupannya sehingga menjadi anak yang
berguna minimal untuk dirinya sendiri terlebih bagi keluarga, masyarakat, agama, serta bangsa
dan negara. Seperti upacara-upacara adat yang lain (misalnya karia) pada masyarakat Muna,
upacara adat katoba dapat dilaksanakan oleh sebuah rumah tangga dan dapat pula dilaksanakan
La Ode Monto Bauto
453
secara kolektif (antarkeluarga dalam satu rumpun), tergantung hasil kesepakatan dan
kemampuan ekonomi orang tua atau rumpun keluarga tersebut (Bardia, 2009 : 30-32).
Menurut pandangan tokoh-tokoh agama dan tokoh adat Muna, sejauh mana
keberhasilan seorang anak memahami nilai-nilai katoba dapat diketahui melalui tingkah laku,
tindakan, perbuatan, dan tutur kata keseharian anak itu setelah menunjukkan usia dewasa.
Pada usia yang sudah dewasa tersebut, ternyata dia memperlihatkan sopan-santun yang baik,
perbuatan terpuji, bertutur kata yang baik yang berwujud pada taat menjalankan ajaran agama
Islam, sifat takut kepada orang yang memiliki kelebihan dan tidak mengambil hak milik orang
lain, maka tokoh-tokoh agama dan para tokoh adat akan mengatakan bahwa anak atau orang
tersebut yang memahami makna tuturan katobanya. Akan tetapi, apabila anak itu memperlihatkan
sifat yang tidak terpuji, tutur kata dan perbuatan yang tidak baik, seperti memperlihatkan sifat
tidak takut kepada orang yang lebih tua, tidak memelihara hati orang sesama usianya, tidak
menyayangi orang yang lebih muda usianya, iri kepada orang yang memiliki kelebihan dan sering
merampas hak miliki orang lain, maka para tokoh agama dan tokoh adat akan mengatakan
bahwa orang itu tidak memahami lagi makna tuturan katobanya (Sidu, 2008 : 24-25).
Falsafah katoba dibangun di atas pemikiran bahwa masyarakat dalam kehidupannya
mengharapkan keteraturan. Katoba disusun dari serangkaian norma-norma, doktrin-doktrin
dan aturan hukum-hukum oleh para tokoh adat dan agama secara turun-temurun untuk
mengatur pola-pola interaksi kehidupan masyarakat dalam segala keputusan, tindakan, cita-
cita, perilaku dan perbuatan. Oleh karena itu, dalam prosesi upacara tradisi katoba terdapat
suatu bentuk ajaran moral keagamaan (etika mutlak) yang memberikan peran yang sangat
besar terhadap pembentukan karakter, pola pikir, pola sikap, dan pola tindakan manusia dalam
menempuh kehidupannya. Katoba mempengaruhi kepercayaan masyarakat Muna supaya
mengakui bahwa tiada Tuhan yang disembah selain Allah SWT dan Muhammad SAW adalah
utusan-Nya, saling menghargai dan menghormati antar sesama manusia (terlebih kepada
ayah, ibu dan saudara kandung), dan tidak mengambil tanpa izin atau mencuri barang orang
lain (La Fariki, 2010 : 24). Dapat dikemukakan bahwa sumber dari nilai dalam tuturan katoba
bersifat kultural, familiar dan personal. Artinya, pendukung kebudayaan ini cenderung
beranggapan bahwa nilai-nilai itu akan berlaku di setiap lini kehidupan, selaku tempat dimana
individu dibesarkan. Jadi ada semacam sikap kolektif (collective attitude) yang menjadi ciri
khas (stereotype) sikap kelompok budaya masyarakat pendukungnya. Sebagian besar dari
sikap itu berlangsung dari generasi ke generasi di dalam struktur keluarga, akan tetapi beberapa
dari tingkah laku individu juga berkembang selaku orang dewasa berdasarkan pengalaman
individu itu sendiri dalam merespon gerak sosial masyarakat. Intinya dalam tradisi katoba
adalah dengan sistem nilai yang ada di dalamnya, individu akan menentukan perilaku mana
yang harus dilakukan dan mana yang harus dihindarkan. Hal ini akan tampak dalam sikap dan
perilaku nyata di lapangan sebagai perwujudan dari sistem nilai dan moral yang mendasarinya
(Insawan, 2010 : 12-15).
Muatan ungkapan tradisi budaya katoba sebenarnya merupakan sesuatu yang menjadi
ukuran dan penilaian pantas atau tidaknya suatu keinginan dan kebutuhan dilakukan. Singkatnya,
tuturan katoba dapat disebut sebagai instrumen kehidupan masyarakat Muna. Nilai ini

La Ode Monto Bauto


454
memperlihatkan sejauh mana posisi seorang individu dalam masyarakat mengikat diri dalam
kelompoknya. Harus disadari bahwa berbagai kepentingan yang berbeda dalam kehidupan
masyarakat akan menimbulkan tata hubungan yang beragam pula. Keragaman tata hubungan
tersebut jelas memerlukan norma, kaidah dan peraturan yang secara hakiki dapat menjamin
keseimbangan agar hubungan-hubungan individu atau kelompok berjalan wajar, harmonis
dan optimal. Ini berarti bahwa upacara adat katoba sebagai proses pewarisan kebudayaan
merupakan interaksi langsung (berupa pendidikan) dari generasi tua kepada generasi muda
(anak-anak) berdasarkan nilai dan norma yang berlaku. Proses pendidikan (tuturan katoba)
sebagai proses sosialisasi, semenjak anak memahami jati dirinya, anak belajar tingkah laku
kelompok dengan tetangga dan di sekolah. Anak menyesuaikan diri dengan nilai dan norma
yang berlaku dalam masyarakat dan sebagainya (Niampe, 2004 : 37-40).
Pelaksanaan upacara tradisi budaya katoba secara konsisten dan berkelanjutan akan
memberikan dampak pada pembentukan karakter manusia seutuhnya. Prototipe manusia binaan
katoba merupakan dampak dari pemahaman dan pengamalan nilai-nilai katoba secara
berkesinambungan. Ajaran-ajaran seperti pengakuan adanya Tuhan, yakni Allah SWT, mengakui
utusan-Nya Nabi Muhammad SAW, menyayangi sesama, jaga hati, dan tidak mengambil hak
milik orang lain merupakan sesuatu yang riil dibutuhkan dalam kehidupan bermasyarakat,
berbangsa, dan bernegara di era globalisasi seperti yang terjadi sekarang, sedangkan Katoba,
ditinjau dari struktur, isi, dan makna tuturan yang mendasarinya merupakan satu kesatuan yang
tersusun secara teratur dan sistematis. Dalam hal ini, antara bagian yang satu dengan bagian
yang lain saling mengikat dan tidak bisa saling mendahului antar bagian-bagian itu. Penyampaian
tuturan katoba secara acak atau mengurangi salah satu bagiannya maka akan mempengaruhi
bahkan mengurangi pula makna dan nilai yang dikandungnya. Jika ditelusuri secara sistematis
struktur dan isi tuturan katoba dimaksud maka disitu terdapat makna yang sangat mendalam
mengenai ajaran agama (Islam) dan ajaran adat yang menyertainya (Hardin, 2010 : 12-14).
Secara umum, struktur dan isi tuturan katoba yang teratur dan sistematis menurut
masyarakat Muna adalah sebagai berikut:
1. Pembukaan (Dialog pengantar/dofetapa antara imam dengan segenap hadirin dan
anak-anak yang akan ditoba).
2. Syarat-syarat toba; a) Saratino toba popa;Totolu nemie, seise ne Kakawasa (Syarat
toba yang empat; tiga kepada sesama manusia dan satu kepada Tuhan), b)
Popanimotehi (Empat yang harus ditakuti), dan c) Haku nahasi (Larangan untuk
tidak mengambil barang orang lain/tidak mencuri).
3. Isi/inti toba; Istighfar, Djoa toba (Doa toba)dan sahadja (ucapan dua kalimat syahadat).
4. Penutup; Oe sumaha be oe patasumaha (Air yang sah dan tidak sah untuk dipakai
berwudhu) dan ajaran tentang nasihat-nasihat agama dan nasihat-nasihat adat
(Hardin, 2009 : 22-24).
Dalam tradisi budaya katoba masyarakat etnik Muna, masa akil baligh adalah masa
paling kritis dalam kehidupan seorang anak remaja. Oleh sebab itu, seorang anak yang
memasuki zona rawan tersebut harus diperlakukan dengan hati-hati dan kepadanya diberikan

La Ode Monto Bauto


455
bekal pengetahuan dan mental yang cukup kuat. Hal ini dimaksudkan agar anak memiliki
pendirian yang kuat dan tidak mudah terpengaruh oleh potensi-potensi negatif atau hal-hal di
luar dirinya dan dari dalam dirinya (faktor eksternal-internal) yang dapat membawanya pada
penyimpangan nilai dan norma umum yang berlaku di masyarakat. Prosesi budaya katoba
adalah persiapan mental seorang anak yang akan memasuki usia menjelang dewasa.
Kepadanya diberikan bekal pengetahuan bagaimana memperlakukan orang tua dan saudara-
saudaranya sebagai manifestasi dari pengamalan ajaran agama. Menurut riwayatnya, tradisi
ini telah dimulai sejak zaman pemerintahan raja Muna ke-17 bernama La Ode Abdul Rahman
bergelar Sangia Latugho (1671-1718 M). Diperkirakan La Ode Abdul Rahman menerima tradisi
ini dari salah seorang sufi keturunan Arab bernama Syarif Muhammad yang biasa dikenal pula
dengan nama Saidhi Raba (Bardia, 2006 : 23-25).
Prosesi ritual katoba didahului dengan tahap penyunatan (kangkilo) atau pengkhitanan.
Menurut pandangan adat Muna, penyunatan (kangkilo) yang dirangkaikan dengan katoba adalah
wajib bagi setiap anak yang menjelang dewasa. Setelah melalui prosesi ini barulah dinyatakan
sah memeluk agama Islam terutama belajar membaca kitab suci Al-Qur’an dan belajar
melaksanakan salat wajib serta belajar adat terutama diawali dengan mendengarkan nasihat
atau ajaran dari kedua orang tua. Yang terpenting pada upacara ini adalah bagaimana seorang
anak dapat memahami dan menerapkan ajaran/tuturan katoba dalam kehidupannya sehingga
menjadi anak yang berguna minimal untuk dirinya sendiri terlebih bagi keluarga, masyarakat,
agama, serta bangsa dan negaranya (Niampe, 2008: 10-11). Dapat dikemukakan bahwa sumber
dari nilai dalam tuturan katoba bersifat kultural, familiar, dan personal. Artinya, pendukung
kebudayaan ini cenderung beranggapan bahwa nilai-nilai itu akan berlaku disetiap lini
kehidupan, selaku tempat dimana individu dibesarkan. Jadi ada semacam sikap kolektif
(collective attitude) yang menjadi ciri khas (stereotype) sikap kelompok budaya masyarakat
pendukungnya. Sebagian besar dari sikap itu berlangsung dari generasi ke generasi di dalam
struktur keluarga, akan tetapi beberapa dari tingkah laku individu juga berkembang selaku
orang dewasa berdasarkan pengalaman individu itu sendiri dalam merespon gerak sosial
masyarakat. Intinya dalam katoba adalah dengan sistem nilai yang ada di dalamnya, individu
akan menentukan perilaku mana yang harus dilakukan dan mana yang harus dihindarkan. Hal
ini akan tampak dalam sikap dan perilaku nyata dalam pergaulan masyarakat sebagai
perwujudan dari sistem nilai dan moral yang mendasarinya (Insawan, 2011: 18). Terdapat
beberapa aspek pokok yang saling berhubungan mengenai keseimbangan kehidupan
bermasyarakat dalam konsep katoba pada masyarakat Muna. Hal ini merupakan sesuatu hal
yang jika terpenuhi maka seseorang dapat dikatakan sebagai manusia yang sempurna
dipandang dari implementasi ajaran agama yang dianutnya, serta cara berperilaku dengan
masyarakat di sekelilingnya dipandang dari nilai adat yang diakuinya. Hal yang paling
mendasarinya adalah sebagai berikut:
a. Pengakuan ucapan dua kalimat syahadat “Asyhadu Allah ilaaha Ilallah wa asyhadu
anna Muhammadar Rasulullah”yang berarti bahwa masyarakat Muna mengakui
bahwa tidak ada Tuhan yang disembah selain Allah SWT dan mengakui pula
bahwa Muhammad SAW adalah utusan Allah SWT

La Ode Monto Bauto


456
b. Melaksanakan segala perintah-perintah Allah SWT dan menjauhi segala larangan-Nya.
c. Pomoa moasigho (saling menyayangi), poangka-angkata (saling menghormati),
poadha adhati (saling menghargai) dan pobini-binikuli (saling menjaga perasaan)
yang sesuai dengan falsafah hidup masyarakat Muna. Tidak mengambil hak milik
orang lain atau tidak mencuri (La Fariki, 2010 : 8-9).
Pelaksanaan ritual tradisi budaya katoba di Kota Raha-Muna melalui prosedur atau
rangkaian kegiatan tertentu yang harus diikuti. Setiap rangkaian kegiatan mengandung nilai-
nilai religius, sosial, ekonomi, atau pun sejarah. Norman (1997: 27-39), mengemukakan bahwa,
berkaitan dengan rangkaian kegiatan tradisi budaya katoba pada masyarakat etnik Muna
sebagai berikut: “Ketentuan-ketentuan yang harus diikuti dalam pelaksanaan upacara katoba
itu adalah seperti yang ada pada tahapan-tahapan upacara katoba. Tahapan upacara tersebut
meliputi empat rangkaian kegiatan, yakni (1) pembukaan atau pengantar, (2) syarat-syarat
toba); (3) inti/isi toba, dan (4) penutup.”
2.2 Fungsi Tradisi Budaya Katoba dalam Masyarakat Etnik Muna
Fungsi adalah kegunaan suatu hal bagi kehidupan suatu masyarakat. Fungsi membahas
tentang kaitan antara institusi-institusi yang memberikan keutuhan dari suatu masyarakat dalam
kehidupan sebagai suatu komunitas yang memiliki hak dan kewajiban (Brown dalam Kaplan dan
Manners, 1999: 77). Tradisi budaya katoba berperan dan berfungsi sebagai sumber pembentukan
karakter atau kepribadian anak-anak masyarakat etnik Muna. Untuk menjaga agar fungsinya
tetap eksis, maka bentuk tradisi serta nilai-nilai yang terkandung di dalamnya perlu diintegrasikan
dan terinternalisasi dalam konteks kehidupan masyarakat etnik Muna.
Secara umum nilai memiliki beberapa fungsi yang sangat penting dalam kehidupan
manusia (Adisubroto, 2000) adalah sebagai berikut:
a. Nilai berfungsi sebagai standar kehidupan, artinya standar yang menunjukkan tingkah
laku dari berbagai cara, yaitu:
1. Membawa individu untuk mengambil posisi khususnya dalam masalah sosial.
2. Mempengaruhi individu dalam memilih ideologi politik atau agama.
3. Menunjukkan gambaran-gambaran diri (self) terhadap orang lain.
4. Menilai dan menentukan kebenaran dan kesalahan atas diri sendiri dan orang lain.
5. Merupakan pusat pengkajian tentang proses-proses perbandingan untuk
menentukan individu bermoral dan kompeten.
6. Nilai digunakan untuk mempengaruhi orang lain atau mengubahnya.
7. Nilai sebagai standar dalam proses rasionalisasi yang dapat terjadi pada setiap
tindakan yang kurang dapat diterima oleh pribadi atau masyarakat dan
meningkatkan self-esteem.
b. Nilai berfungsi sebagai rencana umum (general plan) dalam menyelesaikan
konflik dan pengambilan keputusan.
c. Nilai berfungsi sebagai motivasional, Artinya nilai memiliki komponen motivasional
yang kuat seperti halnya komponen kognitif, afektif, dan behavioral.

La Ode Monto Bauto


457
d. Nilai berfungsi penyesuaian, dimana isi nilai tertentu diarahkan secara langsung
pada cara bertingkah laku serta tujuan akhir yang berorientasi pada
penyesuaian.
Selain itu, nilai yang berorientasi penyesuaian (adaptasi) sebenarnya merupakan
nilai semu karena nilai tersebut diperlukan oleh individu sebagai cara untuk
menyesuaikan diri dari tekanan kelompok. Dalam proses penyesuaiannya pertama-
tama individu mengubah nilai secara kognitif ke dalam nilai yang dapat dipertahankan
secara sosial maupun personal, dan nilai yang demikian pasti akan mudah untuk
penyesuaian diri dengan nilai yang berbeda.
e. Nilai berfungsi sebagai ego defensive. Di dalam prosesnya nilai ini mewakili konsep-
konsep yang telah tersedia sehingga lancar dan mudah serta dapat mengurangi
ketegangan.
f. Nilai berfungsi sebagai pengetahuan dan aktualisasi diri. Artinya nilai sebagai modal
tingkah laku atau cara bertindak secara eksplisit maupun implisit melibatkan fungsi
aktualisasi diri. Fungsi pengetahuan budaya berarti pencarian arti kebutuhan untuk
mengerti, kecenderungan terhadap kesatuan persepsi dan keyakinan yang lebih
baik untuk melengkapi kejelasan dan konsepsi.
Analisis fungsi tradisi budaya katoba adalah upaya penafsiran terhadap penggunaan
simbol-simbol bahasa, sehingga teks katoba menjadi struktur yang komunikatif. Analisis fungsi
tradisi budaya katoba tidak hanya menafsirkan ungkapan bahasa yang menjadi medianya,
tetapi sampai pada gejala-gejala yang transendental. Tradisi budaya katoba dan religi sebagai
bagian dari kehidupan masyarakat etnik Muna yang diilhami dan diadopsi dari nilai-nilai dan
norma ajaran agama Islam. Tradisi budaya katoba menggunakan bahasa Muna dalam
penuturannya sekaligus berfungsi sebagai alat komunikasi sehari-hari secara efektif
menyampaikan nilai-nilai pendidikan karakter yang berimplikasi pada pembentukan sikap dan
perilaku masyarakat pendukungnya.
Selain itu, fungsi tradisi budaya katoba dan religi dikaji dan dianalisis berdasarkan
informasi yang diberikan oleh para informan, dan selanjutnya dikaitkan dengan teks dan
konteksnya. Adapun fungsi-fungsi yang ditemukan dalam tradisi ini, yaitu: (1) fungsi sosial budaya,
dan (2) fungsi religius.
2.3 Fungsi Sosial dalam Tradisi Budaya Katoba
Keberfungsian sosial budaya berkembang apabila individu-individu pada dasarnya
puas dengan dirinya sendiri, artinya puas akan peran-peran dalam kehidupannya, dan puas
akan hubungannya dengan orang lain. Dalam pernyataan tersebut nampak bahwa fungsi sosial
tidak pernah terlepas dengan lingkungannya. Artinya, tidak akan pernah terjadi suatu fungsi
sosial berdiri sendiri, atau tidak berkaitan dengan fungsi-fungsi lainnya dalam kehidupan
masyarakat. Keberfungsian sosial ada tiga, yaitu; keberfungsian sosial adaptif, masyarakat
rawan keberfungsian sosial, dan keberfungsian sosial maladaptif. Keberfungsian sosial adaptif
berarti, dalam konteks sistem sosial, adalah kemampuan memanfaatkan sumber-sumber
personal, interpersonal, dan kelembagaan ketika menghadapi permasalahan, isu, dan

La Ode Monto Bauto


458
kebutuhan. Apalagi sumber-sumber tersebut relatif tersedia dan mudah diperoleh atau
terjangkau oleh sistem dalam struktur sosial. Suatu sistem dapat dikatakan adaptif apabila
cukup fungsional untuk memahami permasalahan dan melakukan langkah-langkah yang
diperlukan untuk mengatasi masalah tersebut.
Kaplan dan Manners (1999: 76) mengungkapkan bahwa fungsi harus mengeksplorasi
ciri sistemik budaya. Artinya, kita harus mengetahui bagaimana keterkaitan antara institusi atau
lembaga dan struktur-struktur dari suatu masyarakat sehingga membentuk suatu sistem yang
utuh. Dengan kata lain, keterkaitan antara lembaga-lembaga dapat memberikan keutuhan
dari suatu masyarakat dalam kehidupan sebagai suatu komunitas yang memiliki hak dan
kewajiban. Selanjutnya, Radicliffe-Brown dalam Kaplan dan Manners (1999: 77) menganggap
bahwa fungsi dari unsur-unsur kebudayaan dipergunakan untuk memelihara keutuhan dan
sistemik struktur sosial.
Adapun fungsi nilai sosial yang ditemukan dalam tradisi budaya katoba adalah sebagai
berikut:
Amanto dotehie felo kabolosino Allah Taala, artinya ‘(Bapak kandung ditakuti, anggap
sebagai pengganti Allah SWT)’.
Inanto dotehie felo kabolosino nabi Muhamadi, artinya ‘(Ibu kandung ditakuti, anggap
sebagai pengganti Nabi Muhammad)’.
Isanto dotehie felomo kabolosino Malaekati, artinya ‘(Kakak kandung harus ditakuti,
dihormati karena dianggap sebagai pengganti malaikat Jibril)’.
Ainto beano doasiane, dopiarae felomodua kabolosino mu,minin, artinya ‘(Adik
kandung disayangi, dipelihara, anggap saja sebagai pengganti kaum mukminin)”.
Ada beberapa fungsi sosial budaya dalam tradisi budaya katoba, yaitu:
Pertama, fungsi didaktis yang terdapat pada ungkapan/ tuturan “amando dotehie”(bapak
kandung ditakuti)’. Pernyataan ini mengajarkan kepada anak untuk menghargai kedudukan
orang tua laki-laki atau ayah kandung sebagai pemimpin dan penguasa tertinggi dalam rumah
tangga. Oleh karena itu, sebagai seorang anak sepantasnya takut kepada setiap larangannya,
patuh dan tunduk terhadap segala perintahnya, dan wajib menghormatinya. Kebiasaan patuh
dan taat pada kedua orang tua dalam lingkungan keluarga dan selanjutnya wajib bagi sang
anak untuk dipraktikan dalam kehidupan bermasyarakat, bukan saja bapak kandung yang
harus ditakuti atau dihormati, tetapi berlaku bagi semua laki-laki yang telah berstatus sebagai
orang tua. Hal ini dapat dilihat pada potongan ungkapan berikut ini:
“Taaka nimotehi maitu suano kaawu amando koanaghanda
Mahingga amando segahaano dokamokula kaawu itu dokonaemokamokula
Dopototo itu be amando”
Terjemahannya: Tetapi yang ditakuti itu bukan saja bapak kandung, biar juga laki-laki
yang lain asal sudah tua itulah orang tua, yang sama kedudukannya dengan bapak kandung
kita sendiri.

La Ode Monto Bauto


459
Kedua, fungsi sosial budaya dalam tradisi budaya katoba terdapat pada ungkapan
“inando dotehie ‘ibu kandung ditakuti’. Ungkapan ini mengajarkan kepada anak untuk
menghargai, patuh dan tunduk kepada setiap perintah ibunya yang mengarahkan sang anak
kepada hal-hal yang baik. Dalam tradisi budaya katoba peran dan fungsi tokoh agama atau
imam menasihatkan kepada anak bahwa ibu kandung itu statusnya sama dengan Nabi
Muhammad. Kita sebagai umat Nabi Muhammad SAW, hendak mencari wujudnya di dunia ini
tidak mungkin akan ditemukan dan ibu kandunglah sebagai penggantinya.
Pengandaian orang tua perempuan atau ibu kita sebagai pengganti Nabi Muhammad
SAW. terdapat dalam kalimat motehie inamu lansaringino nabi Muhammadji. Artinya takutilah
atau hormati ibumu karena merupakan perumpamaan Nabi Muhammad SAW. Sejak dini
seorang anak telah diajarkan untuk menghormati ibunya. Seorang anak wajib mengikuti perintah
dan nasihat ibunya sejauh itu tidak menjerumuskannya ke jalan yang tidak benar. Sikap inilah
yang dianut sang anak sampai dewasa bahkan sampai mati. Nilai penghargaan anak terhadap
ibunya telah terpatri dalam pemikirannya, dan ini dianggapnya sebagai kodratnya sebagai
manusia di muka bumi ini. Untuk itu, seorang anak tidak berani membantah ibunya, karena
dianggap sebagai anak yang tidak tahu diri, yang tidak tahu berterima kasih, bahkan dapat
dikatakan tidak tahu adat. Jika hal ini terjadi maka apabila seorang anak menyadarinya maka
akan merasa bersalah selama hidupnya. Dalam ajaran agama Islam pun diajarkan untuk tidak
membantah kedua orang tuanya karena mendapat ganjaran dosa dari Tuhan Yang Maha Esa.
Kepatuhan menjalankan segala perintah ibu kandung itu sebagai pertanda kepatuhan
dalam menjalankan petunjuk dan perintah Nabi Muhammad. Sebagaimana hidup dalam
lingkungan keluarga, dalam kehidupan lingkungan masyarakat pun kedudukan para ibu yang
lain harus disamakan statusnya dengan ibu kandung kita sendiri. Mereka juga wajib dipatuhi
perintahnya, disegani, dihormati, dan dihargai sebagaimana yang diperlakukan kepada ibu
kandung sendiri. Pernyataan tersebut diperkuat oleh ungkapan katoba berikut ini:
“Pedamo dua inando. Suano kaawu inando koanaghanda. Dokonaekaawu kamokula
inandomo dua itu. Dopototomo itu kabolosino nabi Muhamadi rampano nopototomo
bekamokulakoanaghanda”
Terjemahan:
Ibu kandung yang dimaksud di sini bukan saja ibu yang melahirkan kita, akan tetapi
kalau sudah berstatus orang tua juga sudah berarti ibu. Sosok ibu kandung personifikasi
pengganti Nabi Muhammad SAW, karena sama saja dengan orang tua yang melahirkan.
Dalam posisinya sebagai mahluk Allah di muka bumi ini, manusia selalu dituntut untuk
menegakkan budi pekerti, sopan santun, dan ahlak mulia dalam kehidupan. Hal ini dipertegas
dalam surat Al-Ahqaaf (Q.S: 15) yang artinya: “Dan kami wasiatkan kepada manusia supaya kepada
kedua Ibu-Bapaknya hendaklah dia berbuat baik” Ayat tersebut ditafsirkan oleh Hamka (1982: 24)
bahwa sifat manusia di atas merupakan perintah utama kedua setelah kepada Allah sebagai
modal sosial dalam kehidupan. Di sini terkandung pengertian atau pemahaman bahwa kalau
manusia hendak menegakkan budi pekerti atau akhlak yang baik dalam kehidupan di dunia ini

La Ode Monto Bauto


460
setelah menyembah dan berbakti kepada Allah SWT., kemudian seorang anak harus berbakti
dan menghormati kedua orang tuannya, ayah-ibunda atau ibu-bapak.
Ketiga, fungsi sosial didaktis dalam tradisi budaya katoba terdapat pada ungkapan
atau tuturan berikut: “isanto dotehie ‘kakak kandung harus ditakuti’. Makna ungkapan ini
mengajarkan kepada anak untuk mematuhi segala perintahnya, hormat, dan taat dalam
menjalankan kebaikan yang disampaikannya. Dalam lingkungan masyarakat Muna,
pemahaman terhadap kakak tidak harus kakak kandung sendiri. Siapa saja yang lebih tua
umurnya dari kita, itulah yang disebut kakak. Mereka itu dianggap sebagai malaikat yang selalu
menyampaikan kebaikan. Oleh karena itu, wajib dipatuhi segala perintahnya, serta
menghormatinya sebagaimana menghormati kakak kandung sendiri. Pernyataan ini didukung
oleh tuturan berikut ini:
Pedamo dua opoisaha.Tabea opoisaha kakutano ghule gara maka opoisaha. Opoisaha
kaawu itu sano foliu dadi opoisahamo itu.
Terjemahan:
Begitu pula yang disebut kakak. Apakah harus kakak yang berasal dari satu kandungan
baru layak disebut kakak? Yang namanya kakak itu asal melebihi usia kita sudah itulah yang
disebut kakak.
Keempat, fungsi sosial budaya dalam tradisi budaya katoba terdapat pada ungkapan
berikut: ainto doasiane, dopiarae. Artinya ‘adik kandung disayangi dan dipelihara’. Ungkapan
ini mengajarkan agar antara seorang kakak dan seorang adik dapat hidup saling menyayangi,
saling menghormati, saling mematuhi, dan saling menghargai sehingga terwujud suasana
interaksi sosial yang harmonis. Karena yang adik itu sama statusnya dengan kaum mukmin. Di
mana sikap dan perilaku menghargai yang adik berarti telah memberi kasih sayang dan
memelihara harga diri kaum mukmin. Seorang kakak harus mampu memberikan suri teladan
yang baik kepada mereka. Artinya seorang adik tentu akan menyadari dirinya apabila dihadapan
kakaknya diperlakukan sebagai adik yang baik. Hal ini sebagaimana dinasihatkan melalui
tuturan katoba berikut:
“Pedamo dua aindo. Opoaiha kaawu doasianemo dopiaraemo. Soano kaawu
pokakutamu ghulea nagha… mina. Soo dadi hintuumu, soo feisa hintuumu be andoa
aitumu nikonando poaiha. Ghondo-ghondoe omuumini itu opoaiha neano. Doasiane
maitu. Sadopandehaane aindo miinamo daokado dofopisaki. Samiina damandehaane
itu mahingga lahae pae da otehikoa”.
Terjemahan :
Begitu juga adik. Yang namanya adik itu harus disayangi, dan dipelihara. Maksudnya
bukan hanya adik kandung itu atau tidak. Tetapi kalau ada orang yang lebih tua dari kalian atau
lebih dahulu kalian lahir dengan mereka itulah adik. Lihat-lihat, mukmin itu dianggap adik
namanya, itu harus disayangi. Setelah diketahui sebagai adik jangan dipandang enteng, apalagi
tidak diketahui dan jangan ditakut-takuti.

La Ode Monto Bauto


461
Sebagai hamba, manusia wajib menjalankan perintah dan percaya kepada Allah SWT.
sebagai landasan utama dalam kehidupan, dengan tindakan selalu berbuat baik kepada
kakaknya. Hal ini sebagaimana yang ditegaskan Hamka (1988: 25) menyatakan bahwa pada
prinsipnya setiap manusia harus mampu menjalankan setiap perintah Allah SWT. dalam
kehidupan sehari-hari. Di samping itu, tradisi budaya katoba dapat berfungsi sebagai kontrol
sosial kehidupan masyarakat.
2.4 Fungsi Religi dalam Tradisi Budaya Katoba
Mangunwijaya (1988: 17) mengatakan bahwa religius adalah ketaatan pada sesuatu yang
dihayati, keramat, suci, kudus, dan adi kodrati. Tradisi budaya katoba sebagai salah satu bentuk
ritual budaya masyarakat Muna yang diilhami ajaran Islam memiliki fungsi religius di samping
fungsi-fungsi lainnya. Bagi masyarakat etnik Muna, tradisi budaya katoba merupakan pintu awal bagi
seorang anak memasuki dunia dewasa. Pada masyarakat Muna baik anak laki-laki maupun anak
perempuan belum diwajibkan melaksanakan ibadah salat sebelum dekangkilo (sunat). Karena
anak-anak yang belum ditoba dianggap belum dewasa dan belum suci secara lahiriah maupun
secara batiniah. Setelah ditoba, seorang anak diwajibkan berbuat dan mempraktekkan hal-hal yang
baik di dalam lingkungan keluarga, masyarakat termasuk melaksanakan kewajibannya sebagai
hamba Allah atau umat Nabi Muhammad SAW. yaitu melaksanakan perintah ibadah salat untuk
kepentingan di dunia maupun kepentingan di akhirat kelak.
Melalui tradisi budaya katoba, anak-anak dinasehati agar mengetahui perbuatan apa
yang disenangi dan yang tidak disenangi oleh Allah SWT, Nabi Muhammad SAW, orang tua,
kakak, sesama umur, maupun dibawah umur kita. Perbuatan baik harus dilaksanakan, perbuatan
jahat harus ditinggalkan yang tua dihormati, yang sesama dihargai, dan yang adik disayangi
serta dipelihara.
Nilai pendidikan religius khususnya pendidikan agama Islam dalam tradisi budaya
katoba tidak sama dengan yang diajarkan dalam lembaga pendidikan formal seperti belajar
mengetahui isi ajaran Islam misalnya, tentang tata cara salat, memahami rukun Islam, rukun
salat, tetapi yang diajarkan dalam tradisi budaya katoba adalah bagaimana seseorang
memahami persyaratan dirinya agar sah menjadi seorang muslim.
Adapun fungsi religius yang ada dalam tuturan katoba sebagai berikut:
Dosahadha be debasa dhoa ‘(mengucapkan dua kalimat syahadat dan membaca
doa)’ Oe mosahano be oe pata mosahano ‘(hal air suci/air yang sah dan air yang tidak
suci/tidak sah)’ Saratino toba (‘syarat tobat)’
Selain itu, tradisi budaya katoba memiliki beberapa fungsi sebagai berikut:
Pertama, fungsi religius yang berkaitan dengan pengikraran atau pengambilan sumpah
yaitu, mengucapkan dua kalimat syahadat dalam lafaz bahasa Arab dan lafaz bahasa Muna,
berturut-turut sebanyak tiga kali.
Lafaz dalam bahasa Arab sebagai berikut:
‘Asyahadu an lailaha ilallah wa asyhadu ana Muhammad rasulullah’ 3x
Lafaz dalam bahasa Muna sebagai berikut:

La Ode Monto Bauto


462
‘Aini dasumakusiimo. Miina be ompu nisomba sokati Allah Taala. Maka dasumakusiimo
tora. Anabi Muhammadi katuduno Allah Taala’ 3x
Artinya: Saya bersaksi tidak ada Tuhan yang patut disembah selain Allah SWT. Dan
saya bersaksi pula bahwa Nabi Muhhammad SAW. itu adalah utusan Allah SWT.
Setelah anak membaca dua kalimat syahadat, dilanjutkan kembali dengan nasihat-
nasihat seperti yang telah diuraikan pada sub-bagian fungsi sosial sebelumnya. Setelah selesai
pemberian nasihat dilanjutkan lagi dengan pembacaan doa dengan lafaz dalam bahasa Arab
seperti ungkapan dibawah ini:
Auzubillahi minasyaitoanirrajim
Bismillahirrahmanirrahim
Alhamdulillahirrabilaalamiyn
Arrahmanirrahim
Malikiyaumiddiyn
Iyakana’budu waiyakanasta’iyn
Ihdinasshiratal mustaqim
Shiratallazinyna an’amta’alaiyhim

Ghairil maghdhubi alaiyhim


Walaadhooliyn
Astaghfirullahul azim 3x
Astaghfirullahul azim lazi
Laa ilaha ilahul kayum
Waatubu illaihi
Minkulizanbi aza naftahu amadan auhatan an asyaran alaa niatan au syaghiratan au
kabiratan innaka anta ghinub syatarul ghuyub kasyaful ghulub waatubuillaika. Mina
zunubillazi la a’lam waanta alamul ghuyub wala haula wala quwata illabillahi aziul
azim birrahmatika ya arrahmarrahim. Washallahu ala syaidina Muhammadin waali
washabihi wassalam walhamdulillaahi rrabil a ‘lamiyn.
Dalam pandangan budaya etnik Muna versi tradisi budaya katoba, tampaknya
ada sahadha khusus untuk anak perempuan yang dipakai untuk melubangi telinganya.
Adapun lafaznya sebagai berikut:
Astaghfirullahul adzim 3x
Asyhadu anta Faatima
Asyughuri binti asyaidatin
Syaiaoma qiyyamati rasulullah
Wa asyhadu anna Mohammadi rasulullah

La Ode Monto Bauto


463
Syahadat tersebut di atas bukanlah syahadat sebagai tanda pengakuan akan adanya
Allah SWT dan Nabi Muhammad sebagai rasulnya, seperti yang diikrarkan dalam dua kalimat
syahadat, akan tetapi syahadat atau doa itu digunakan untuk melubangi telinga bagi anak-anak
perempuan.
Kedua, fungsi religius yang berhubungan dengan air yang digunakan untuk bersuci.
Yang dimaksud dengan air suci disini bukanlah air untuk kebutuhan mengambil air wudhu,
tetapi air yang digunakan untuk membersihkan badan baik dari kotoran besar (hadast besar)
maupun kotoran kecil (hadast kecil).
Jenis air yang dimaksud dapat dilihat melalui ungkapan/ tuturan berikut ini:
‘Pada anagha doforatoandamo oe sumahano sonimongkilogho be oe pata sumahano
nimongkilogho. Oeno akuluti pata sumahano. Sumahano oeno laa, oeno tehi, oeno
ghuse, oe balano. Oe pata sumahano oeno laa pata matano seue, sekonisi,
taweghaghehi maitu, mina naembali tadongkiloghoomo do tambue beano. Pedamo
dua oe tumuampeno ne roo sau maitu dokonae oe akulukuti tawa ne roo kuni bahi ne
kaeo. Patudhumu minaho naongkiloa gara nowolomo. Anaghae pata kasahahano’
Terjemahan:
Kemudian anak diberitahukan tentang jenis air yang syah untuk bersuci dan jenis air
yang tidak sah untuk bersuci. Air yang tidak sah untuk bersuci disebut air akulukuti. Sedangkan
air yang sah adalah air kali, air laut, air hujan, dan air ledeng. Air yang tidak sah adalah air kali
yang ukurannya tidak cukup satu urat, satu kuku, air yang hanya sampai ditelapak kaki, tidak
boleh dipakai bersuci karena tidak dapat ditimba. Seperti juga air yang tertinggal di dedaunan
itu disebut juga air akulukuti, air yang terdapat di daun kunyit, atau di daun lain. Air tersebut
semua tidak boleh dipakai untuk bersuci karena belum bersih air tersebut sudah habis, sehingga
dikatakan tidak sah untuk dipakai bersuci.
Ungkapan tersebut di atas, menjelaskan bahwa jenis air yang digunakan untuk bersuci,
ada yang tergolong syah dan ada juga yang tergolong tidak syah. Air yang syah dipakai untuk
bersuci adalah air yang jumlah atau volumenya banyak. Air yang dimaksud adalah air kali, air
laut, air danau. Air yang tidak syah adalah air akulukuti, yaitu air yang tertinggal di daun-daun. Air
lain yang tidak syah untuk dipakai bersuci adalah air yang volumenya sedikit karena air ini tidak
bisa diambil dengan menggunakan timba.
Fungsi religius yang diharapkan dan disampaikan melalui tradisi budaya katoba adalah
menuntun sekaligus memberikan peringatan kepada anak-anak yang sedang ditoba untuk
selalu jujur pada dirinya sendiri. Mereka diingatkan untuk tidak mengambil barang orang lain
yang bukan miliknya, mereka harus selalu berusaha sedapat mungkin untuk mengembalikan
barang tersebut pada pemiliknya atau pada keluarganya. Anak-anak yang sedang ditoba selalu
diingatkan untuk menjaga lisan atau perkataanya dari segala perkataan yang buruk/kotor atau
perkataan yang tidak bermanfaat, baik pada guru, kedua orang tua, kakak, serta pada adiknya.
Mereka diingatkan seperti ini, karena segala perbuatan kita di dunia yang fana ini kelak setelah
kita kembali pada sang pencipta (khalik) manusia akan dimintai pertanggungjawaban amalan
apa yang pernah manusia perbuat selama hidup di dunia ini.

La Ode Monto Bauto


464
Hal ini didukung oleh potongan ungkapan/tuturan berikut:
“Deala oferebuaha balano obulawa, ointa manikamu, deala ferebuaha mendaino
atawa sesau karoo, seghea bhea, mina napohala keseno hakunaasi. Maanano
totoluno, bhabhano ososo, ofekakodoho/ofokomiina bhari-bharie halano wamba ne
gurundo, ne kamokulando koruduahando, ne isando bhe ne aindo”.
Terjemahannya:
“Mengambil barang berharga seperti; emas, intan, berlian atau mengambil barang yang
tidak berharga seperti sepotong jarum, sebatang sirih, seiris pinang hukumnya sama itu semua
termasuk barang haram, ini untuk sesama manusia”. Sedangkan pada Allah Ta’ala yang pertama
menyesal, kedua menjauhi serta meniadakan ucapan-ucapan yang tidak bermanfaat baik
pada guru, kedua orang tua, pada kakak serta pada adik-adik kita.

III. SIMPULAN
Tradisi budaya katoba sebagai salah satu potensi kearifan lokal budaya masyarakat
etnik Muna memiliki beberapa nilai sosial budaya dan religi yang berhubungan dengan fungsi
pendidikan, fungsi sosial budaya, dan fungsi religi serta maknanya. Sehubungan dengan analisis
fungsi, penulis menemukan beberapa fungsi yang bermanfaat bagi generasi muda masyarakat
etnik Muna. Fungsi-fungsi tersebut apabila diapresiasikan dan direfleksikan dalam kehidupan
sehari-hari sangat bermanfaat bagi harmonisasi kehidupan bermasyarakat. Adapun fungsi-
fungsi tersebut meliputi fungsi sosial budaya dan fungsi religi.
Tradisi budaya katoba berperan dan berfungsi sebagai sumber dan dasar pembentukan
karakter atau kepribadian anak-anak masyarakat etnik Muna. Selain itu, juga tradisi budaya
katoba berfungsi sebagai kontrol sosial. Untuk menjaga agar fungsinya tetap eksis, maka bentuk
tradisi serta nilai-nilai yang terkandung di dalamnya perlu diintegrasikan dan terinternalisasi
dalam konteks kehidupan masyarakat etnik Muna.
Untuk memantapkan posisi atau kedudukan tradisi budaya katoba dalam masyarakat
etnik Muna sebagai dasar pendidikan pembentukan karakter generasi muda, maka dilakukan
pengkajian terhadap nilai-nilai dan makna yang dikandungnya. Penelusuran makna merujuk
pada makna harfiah dan berdasarkan makna simbol, yakni makna yang berhubungan dengan
konteks atau tema budaya, sehingga hasilnya diharapkan dapat berfungsi secara maksimal
dalam kehidupan masyarakat etnik Muna. Melalui langkah-langkah kajian tersebut dapat
disimpulkan bahwa ungkapan dalam tradisi budaya katoba sebagai sebuah tradisi lisan memiliki
unsur-unsur etika, sosial, moral, dan religius sebagai basis atau dasar pendidikan karakter
yang berfungsi dan bermanfaat bagi kehidupan masyarakat, dimana masing-masing unsur
memiliki keterkaitan antara satu sama lain yang membentuk kepribadian manusia seutuhnya.

La Ode Monto Bauto


465
DAFTAR PUSTAKA
Abdullah, Irwan. 2006. Konstruksi dan Reproduksi Kebudayaan.Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Abdurrahmat, F. 2006. Antropologi Sosial Budaya. Jakarta: Rineka Cipta.
Adimihardja, Kusnaka. 2008. Dinamika Budaya Lokal. Bandung: CV. Indra Prahasta bersama
Pusat Kajian LBPB.
Adisusilo, Sutarjo,J.R. 2012. Pembelajaran Nilai-Nilai Karakter. Jakarta: PT. Raja Grafindo
Persada.
Aqib, Zainal & Sujak. 2011. Panduan dan Aplikasi Pendidikan Karakter. Bandung: Yrama Widya.
Ahmadi, Abu. 2007. Sosiologi Pendidikan. Jakarta: Rineka Cipta.
Akhmad, M.A. 2011. Urgensi Pendidikan Karakter di Indonesia.Yogyakarta: Ar-Ruzz Media.
Al-Lamri Ichas Hamid dan Tuti Istianti Ichas,(2006). Pengembangan Pendidikan Nilai dalam
Pembelajaran Pengetahuan Sosial di Sekolah Dasar. Jakarta : Departemen Pendidikan
Nasional.
Algesindo, Alma, Buchari. 2010. Pembelajaran Studi Sosial. Bandung: Alfabeta.
Al-Qur’an dan Terjemahannya. 2006. Departemen Agama RI.
Alwasilah, A. Chaedar. 2002. Pokoknya Kualitatif Dasar-Dasar Merancang dan Melakukan
Penelitian Kualitatif. Bandung: Pustaka Jaya.
Alwasilah, A. Chaedar. 2009. Etnopedagogi (Landasan Praktek Pendidikan dan Pendidikan
Guru), UPI, Bandung.
Alwasilah, A.C. 2012. Kearifan Lokal dan Karakter Bangsa. “Pikiran Rakyat”, 3 Mei 2012.
Aunillah, N I. 2011. Panduan Menerapkan Pendidikan Karakter di Sekolah, Yogyakarta: Laksana.
Ayatrohaedi. 1986. Kepribadian Budaya Bangsa (Local Genius). Jakarta: Pustaka Jaya.
Alqadrie, Syarif Ibrahim. 2008.”Identitas Budaya, Identitas Etnis dan Keagamaan, Kesadaran
Etnis, dan Hipotesis Kekerasan 2020 an di Kalimantan Barat. “Makalah disampaikan
dalam Kongres Kebudayaan Indonesia. Bogor, 10-12 Desember 2008.
Armstrong, Karen. 2005. A Short History of Myth. London: Canon Gate Book.
Ardana, I Ketut. 2004. “Kesadaran Kolektif Lokal dan Identitas Nasional dalam Proses Globalisasi”
dalam I Wayan Ardika dan Darma Putra (ed). Politik Kebudayaan dan Identitas Etnik.
Bali: Fakultas Sastra Universitas Udayana dan Balimangsi Press.
Ar-Riza, I., H.Dj. Noor dan N. Fauziaty. 2007. Kearifan Lokal dalam Budidaya Padi di Lahan
Rawa Lebak. Dalam Kearifan Budaya Lokal Lahan Rawa. Balai Besar Sumber Daya
Lahan Pertanian.Banjarbaru/Bogor.
Astra, I Gde Semadi. 2004. “Revitalisasi Kearifan Lokal dalam Upaya Memperkokoh Jati Diri
Bangsa” dalam I Wayan Ardika dan Darma Putra(ed). Politik Kebudayaan dan Identitas
Etnik. Bali: Fakultas Sastra Universitas Udayana dan Balimangsi Press.

La Ode Monto Bauto


466
Atmodjo, M.M.S.K. 1986. “ Pengertian Kearifan Lokal dan Relevansinya dalam Modernisasi”
dalam Ayatrohaedi penyunting (1986). Kepribadian Budaya Bangsa (Local Genius).
Jakarta: Dunia Pustaka Jaya.
Aziz, H.A. 2011. Pendidikan Karakter Berpusat pada Hati Akhlak Mulia Fondasi Membangun
Karakter Bangsa, Jakarta: Al Mawardi Prima.
Bandura, A. 1977. Social Learning Theory Englewood Cliffs, NJ: Prentice-Hall.
Bailey, Kanneth D. 1982. Methods of Social Research. New York: A Division of Macmillan
Publishing Co. Inc,.
Bardia, La Ode. 2009. “Kantola di Kabupaten Muna dalam Prespektif Linguistik Kebudayaan”.
Denpasar: Tesis Program Magister PPs Unud. Denpasar;Tidak diterbitkan.
Barker, Chris. 2009. Cultural Studies: Teori dan Praktek. (Nurhadi, Pentj).Yogyakarta: Kreasi
Wacana.
Barthes, Roland. 2007. Membedah Mitos-Mitos Budaya Massa: Semiotika atau Sosiologi Tanda,
Simbol, dan Representasi. (Ikramullah Mahyuddin, Pentj). Yogyakarta: Jalasutra.
Berg, Rene van den dan La Ode Sidu M. (Edisi I). 1996. Kamus Muna-Indonesia,.Kendari:
Bertrand Russell,(1938),Power: A New Social Analysis. Edition: 2. W.W.Norton & company.
Burhanuddin, B. 1987. Dampak Modernisasi dalam Hubungan Kekerabatan di Sulawesi
Tenggara, Kendari.
Bungin, Burhan. 2003. Analisis Data Penelitian Kualitatif: Pemahaman Filosofis dan Metodologis
ke Arah Penguasaan Model Aplikasi. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada.
Bunyamin. 2004. “Penilaian Terhadap Pelatihan Keterampilan Budaya Para Siswa”,Tesis pada
Program Magister, Progam Studi Kajian Budaya, PPS. Universitas Udayana, Bali.
Bloom, D.E. 2004. Globalization and Education: An Economic Perspective In Globalization
Culture and Education in the New Millennium (edited) by Surez-Orozco and Desiree
Baolian Qin-Hilliard, California: University of California Press Berkeley and Los
Angeles, California.
Campbell, Tom. 1994. Tujuh Teori Sosial: Sketsa, Penilaian, Perbandingan. (penterjemah: F.
Budi Hardiman, dari Seven Theories of Human Society). Jakarta: Kanisius.
Cholisin, Djihad,H.(ed). 2006. Reorientasi dan Pengembangan Ilmu Pengetahuan Sosial di
Era Indonesia Baru, Yogyakarta, Efisiensi Press.
Crow & Crow. 1973. Educational Psychology, New York: Little Field Adam.
Jamal Ma’Mur A. 2012. Pendidikan Berbasis Keunggulan Lokal, Yogyakarta, Diva Press.
Kimi Batoa, L. 1991. Sejarah Kerajaan Daerah Muna, Astri, Raha-Muna
Kluckhohn, C. 1962. Values and Values Orientation In The Theory Of Action. Dalam Parson.et.al
(ed), Toward A General Theory of Action, New York: Harper & Row.
La Fariki. 2010. Tradisi Katoba Dalam Masyarakat Muna, Depdikbud,Bidang Kebudayaan,
Raha, Muna.

La Ode Monto Bauto


467
La Kadir, dkk. 2011. Nilai-Nilai Budaya dan Sejarah Daerah Kabupaten Muna, Diknasbud,
Raha.
La Tanampe. 2011. Katoba Kajian Nilai-nilai Budaya dan Pembentukan Karakter Anak Pada
Suku Muna, Tesis tidak dipublikasikan, Kendari FKIP, Uho.
Machmud, Hadi. 2011. “Urgensi Pendidikan Karakter Pada Anak-Anak Berbasis Multkutural”.
Jurnal Shautut Tarbiyah. Ed. Th. XVII, November 2011.
Malik, Muh. Lutfi. 1997. Islam dalam Budaya Muna; Suatu Ikhtiar Menatap Masa Depan.Ujung
Pandang: Uniform Ukhuwah Grafika.
Nazili, S.A. 2010. Pendidikan dan Masyarakat, Yogyakarta: Sabda Media.
Oetomo, Hasan. 2012. Pedoman Dasar Pendidikan Budi Pekerti, Jakarta: PT.Prestasi
Pustakaraya.
Piliang, Yasraf Amir. 2005a. “Menciptakan Keunggulan Lokal untuk Merebut Peluang Global:
Sebuah Pendekatan Kultural”. Makalah disampaikan dalam Seminar Membedah
Keunggulan Lokal dalam Konteks Global diselenggarakan oleh ISI Denpasar, 26 Juli
2005.
Permana, R. Cecep Eka. 2010. Kearifan Lokal Masyarakat Baduy dalam Mitigasi Bencana.
Jakarta: Wedetama Widya Sastra.
Prayitno & Manullang, B. 2011. Pendidikan Karakter dalam Pembangunan Bangsa, Jakarta:
PT. Grasindo.
Rifa,I, M. 2011. Sosiologi Pendidikan Struktur dan Interaksi Sosial di dalam Institusi Pendidikan,
Yogyakarta: Ar Ruzz Media.
Samani, M., & Hariyanto. 2012. Konsep dan Model Pendidikan Karakter, Bandung: PT.
Remaja Rosdakarya.
Sauri, S. 2006. Membangun Komunikasi dalam Keluarga (Kajian Nilai Religi, Sosial, dan
Budaya), Bandung: PT. Grafindo.
Syafa’at. Rachmad, dkk. 2008. Negara, Masyarakat Adat dan Kearifan Lokal. Surabaya: In-
Trans Publishig.
Spradley, James P. 1972a. Culture and Cognition: Rules, Maps and Plans., ed. San Francisco,
Chandler.
Spradley, James P.& David W. McCurdy. 1972. The Cultural Experience, Chicago Science
Research Associates.
UNESCO. 1993. Education For All: Status and Trend., UNESCO.
Uzey. 2009. “Macam-macam Nilai”. Dalam http://uzey.blogspot.com/2009/09/.
Waruwu, Fidelis.E. 2010. Membangun Budaya Berbasis Nilai, Yogyakarta: Kanisius.
Zamroni. 2000. Paradigma Pendidikan Masa Depan, Yogyakarta: Bigraf Publishing.
Zubaedi. 2011. Desain Pendidikan Karakter Konsepsi dan Aplikasinya dalam Lembaga,
Pendidikan, Jakarta: Kencana Prenada Media Group.

La Ode Monto Bauto


468
PENINGKATAN KARAKTER MELALUI METODE CONTEXTUAL TEACHING
AND LEARNING PADA MATA KULIAH SEJARAH PERGERAKAN NASIONAL
INDONESIA DI PRODI PENDIDIKAN SEJARAH
Liza Husnita dan Kaksim
STKIP PGRI Sumatera Barat Padang

ABSTRAK
Contextual Teaching And Learning (CTL) adalah salah satu bentuk model pembelajaran yang
akan diterapkan pada mata kuliah Sejarah Pergerakan Nasional Indonesia. Penelitian ini
dilakukan untuk melihat peningkatan pemahaman karakter Melalui metode contextual teaching
and learning pada mata kuliah Sejarah Pergerakan Nasional Indonesia di Prodi Pendidikan
Sejarah STKIP PGRI Sumatera Barat. Peningkatan karakter melalui metode contextual teaching
and learning dalam mata kuliah Sejarah Pergerakan Nasional Indonesia ini dilakukan dengan
metode penelitian tindakan kelas. Prosedur penelitian ini dilakukan dengan dua siklus. Hasil
penelitian ini menunjukkan bahwa pemahaman mahasiswa dilihat dari kemampuan bertanya,
menjawab pertanyaan, dan menyimpulkan topik yang dibahas melalui metode contextual
teaching and learning pada mata kuliah Sejarah Pergerakan Nasional Indonesia di prodi
Pendidikan Sejarah STKIP PGRI Sumatera Barat, meningkat cukup tinggi. Namun pada
kemampuan mengemukakan pendapat peningkatannya berada pada kategori sedang. Temuan
penelitian ini adalah dengan menggunakan CTL pada mata kuliah Sejarah Pergerakan Nasional
Indonesia dengan selalu menghubungkan kebudayaan yang ada di Indonesia pada masa
sekarang sehingga mahasiswa dapat meningkatkan pemahaman tentang karakter sehingga
nasionalisme mahasiswa menjadi meningkat dengan kondisi yang terkini yang terjadi di
Indonesia sekarang. Penerapan model pembelajaran CTL dapat menjadikan mahasiswa
berproses belajar mandiri sehingga secara tidak langsung mahasiswa menyadari betapa
pentingnya. Pembelajaran ini dapat menumbuhkan pemahaman pada karakter sebagai bagian
dari peningkatan nasionalisme dapat lebih menghargai para pahlawan, sehingga mahasiswa
memahami makna dan arti nasionalisme nasional.
Keyword: peningkatan karakter dan contextual teaching and learning, nasionalisme

I. LATAR BELAKANG
Mahasiswa sejarah sebagai calon guru dituntut memiliki kompetensi sebagai pendidik.
Mahasiswa difasilitasi kurikulum pendidikan yang dapat membantunya mencapai kompetensi
di atas secara umum. Kompetensi sosial, mahasiswa dibekali dengan beberapa mata kuliah
yang salah satunya adalah mata kuliah Sejarah Pergerakan Nasional Indonesia.

Liza Husnita dan Kaksim


469
Berdasarkan tinjauan awal tiga kali pertemuan pertama tatap muka perkuliahan pada
mahasiswa sejarah STKIP PGRI Sumatera Barat semester 3 tahun akademik 2013/2014
mahasiswa rata-rata tidak memahami Sejarah Pergerakan Nasional Indonesia. Mahasiswa
tidak bisa menyebutkan beberapa bentuk organisasi pergerakan yang ada di Indonesia.
Perkuliahan ini berbentuk diskusi aktif menjawab pertanyaan dan mengemukakan pendapat,
tetapi umumnya memahami Sejarah Pergerakan Nasional Indonesia sebagai mata kuliah
tanpa dapat mengaplikasi ke dalam pendidikan karakter. Dengan demikian dapat dipahami
bahwa mahasiswa yang terlibat aktif dalam mata kuliah Sejarah Pergerakan Nasional Indonesia
tidak dapat memahami tanpa melihat konteks kekinian. Setiap mahasiswa dituntut menguasai
kompetensi sebagai calon guru pembimbing harus mampu mengaplikasikan untuk masa
sekarang sehingga mahasiswa mampu memahami Sejarah Pergerakan Nasional Indonesia
merupakan bagian dari pembentukan karakter mahasiswa.
Materi pembelajaran Pergerakan Nasional Indonesia selama ini selalu identik dengan
pandangan sejarah sebagai pengetahuan yang harus dihafal. Pembelajaran tidak hanya
difokuskan pada pemberian pembekalan kemampuan pengetahuan yang bersifat teoritis saja,
tetapi pemahaman mahasiswa tentang budaya daerah sebagai bagian yang tidak terpisahkan
dari Sejarah nasional.
Hal inilah yang membuat kami menggunakan CTL (Contextual learning) untuk
mahasiswa sejarah pada mata kuliah Sejarah Pergerakan Nasional Indonesia. Selama ini
proses perkuliahan hanya menggunakan metode ceramah dan diskusi. Metode ini membuat
mahasiswa menjadi jenuh dan monoton sehingga pengetahuan mahasiswa masih kurang
dan mahasiswa tidak mampu mengkonstruksi pengetahuan mahasiswa.
Seharusnya mahasiswa dapat belajar dari permasalahan-permasalahan aktual yang
terjadi di lingkungannya. Model pembelajaran Contextual Teaching And Learning (CTL) adalah
keterkaitan setiap materi atau topik pembelajaran dengan kehidupan sekarang. Untuk
mengkaitkannya bisa dilakukan berbagai cara, selain karena memang materi yang dipelajari
secara langsung terkait dengan kondisi faktual, juga bisa disiasati dengan memberikan contoh
atau ilustrasi, sumber belajar, media dan lain sebagainya, yang memang baik secara langsung
maupun tidak diupayakan terkait atau ada hubungan dengan pengalaman hidup nyata. Dengan
demikian, pembelajaran selain akan lebih menarik, juga akan dirasakan sangat dibutuhkan
oleh setiap mahasiswa karena apa yang dipelajari dirasakan langsung manfaatnya.
Pembelajaran di kampus tidak hanya difokuskan pada pemberian pembekalan
kemampuan pengetahuan yang bersifat teoritis saja, akan tetapi bagaimana agar pengalaman
belajar yang dimiliki mahasiswa senantiasa terkait dengan permasalahan-permasalahan aktual
yang terjadi di lingkungannya. Dengan demikian inti dari pendekatan CTL adalah keterkaitan
setiap materi atau topik pembelajaran dengan kehidupan nyata. Untuk mengaitkannya bisa
dilakukan berbagai cara, selain karena memang materi yang dipelajari secara langsung terkait
dengan kondisi faktual, juga bisa disiasati dengan pemberian ilustrasi atau contoh, sumber
belajar, media dan lain sebagainya, yang memang baik secara langsung maupun tidak
diupayakan terkait atau ada hubungan dengan pengalaman hidup nyata. Dengan demikian,

Liza Husnita dan Kaksim


470
pembelajaran selain akan lebih menarik, juga akan dirasakan sangat dibutuhkan oleh setiap
mahasiswa karena apa yang dipelajari dirasakan langsung manfaatnya.
Ketika memberikan pengalaman belajar yang berorientasikan pada pengalaman dan
kemampuan aplikatif yang lebih bersifat praktis, tidak diartikan pemberian pengalaman teoritis
konseptual tidak penting. Sebab dikuasainya pengetahuan teoritis secara baik oleh para
mahasiswa akan memfasilitasi kemampuan aplikatif lebih baik pula. Demikian juga halnya
bagi dosen, kemampuan melaksanakan proses pembelajaran melalui CTL yang baik
didasarkan pada pengusaan konsep apa, mengapa, dan bagaimana CTL itu. Melalui metode
CTL ini maka mahasiswa mampu memahami konsep yang benar dan mendalam terhadap
CTL itu sendiri, akan membekali kemampuan para dosen menerapkannya secara lebih luas,
tegas dan penuh keyakinan, karena memang telah didasari oleh kemampuan konsep teori
yang kuat.
Melihat kondisi di atas sebagai dosen pengampu mata kuliah Sejarah Pergerakan
Nasional Indonesia merasa perlu melakukan berbagai upaya dalam rangka mencari solusi
menyikapi keadaan yang ada. Salah satu upaya penulis lakukan adalah dengan mencoba
menggunakan metode CTL dalam proses perkuliahan Sejarah Pergerakan Nasional Indonesia.
Peningkatan Pemahaman karakter Melalui Metode Contextual Teaching And Learning Pada
mata Kuliah Sejarah Pergerakan Nasional Indonesia di Prodi Sejarah STKIP Sumatera Barat
diharapkan dapat memahami melalui metode CTL yang dapat meningkatkan pemahaman
mahasiswa tentang Pergerakan Nasional Indonesia sebagai bagian dari pemahaman karakter
mahasiswa.
Permasalahan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut: Bagaimanakah
peningkatan karakter melalui metode contextual teaching and learning pada mata kuliah Sejarah
Pergerakan Nasional Indonesia di Program Studi Pendidikan Sejarah STIKIP PGRI Sumatera
Barat?

II. PERMASALAHAN
Berdasarkan latar belakang masalah di atas, maka masalah dalam penelitian ini di
identifikasi sebagai berikut:
1. Mahasiswa Sejarah belum maksimal memanfaatkan kesempatan untuk melatih
pemahaman dalam proses pembelajaran sejarah Pergerakan Nasional Indonesia.
2. Mahasiswa masih takut untuk bertanya dalam proses pembelajaran sejarah
Pergerakan Nasional Indonesia ini dengan melihat kondisi karakter mahasiswa
seperti sekarang.
3. Mahasiswa mempelajari sejarah Pergerakan Nasional Indonesia hanya sebagai
bagian dari mata kuliah saja tanpa mampu memahami kebudayaan sekarang
secara kontekstual.
4. Mahasiswa melihat sejarah Pergerakan Nasional Indonesia hanya sebagai mata
kuliah yang dihafal tanpa dapat memahami nilai-nilai karakter dalam materi
Pergerakan Nasional Indonesia.

Liza Husnita dan Kaksim


471
III. TUJUAN PENELITIAN
Tujuan penelitian ini adalah sebagai berikut:
1. Mendeskripsikan pemahaman karakter Metode Contextual Teaching And Learning
pada Mata Kuliah Sejarah Pergerakan Nasional Indonesia Di Prodi Sejarah STKIP
Sumatera Barat Padang.
2. Mendiskripsikan menjawab pertanyaan melalui metode Contextual Teaching and
Learning pada mata kuliah Sejarah Pergerakan Nasional Indonesia di Prodi Sejarah
STKIP Sumatera Barat Padang.
3. Mendiskripsikan dalam mengemukakan pendapat melalui metode Contextual
Teaching and Learning pada mata kuliah Sejarah Pergerakan Nasional Indonesia
di Prodi Sejarah STKIP Sumatera Barat Padang.
4. Mendiskripsikan topik yang dibahas melalui metode Contextual Teaching and
Learning pada mata kuliah Sejarah Pergerakan Nasional Indonesia di Prodi Sejarah
STKIP Sumatera Barat Padang.

IV. KONSEP CTL (CONTEXTUAL TEACHING AND LEARNING)


Contextual Teaching and Learning atau CTL merupakan suatu konsepsi yang
membantu dosen mengaitkan konten mata kuliah dengan situasi dunia nyata dan memotivasi
mahasiswa membuat hubungan antara pengetahuan dan penerapannya dalam kehidupan
mereka sebagai warga negara (U.S. Department of Education and the National School-to-Work
Of dikutip Blanchard, 2001) dalam Lufri, 2007: 57).
CTL menekankan pada berfikir tingkat tinggi, transfer pengetahuan lintas disiplin
akademik dan pengumpulan, penganalisisan, pensintesan informasi dari data dari berbagai
sumber titik pandang (viewpoints) (University of Washington College of Education, 2001).
a. Pembelajaran kontekstual merupakan pembelajaran yang terkait erat dengan
pengalaman nyata
b. Pembelajaran kontekstual berakar pada pendekatan konstruktivis
c. Pada pembelajaran kontekstual mahasiswa benar-benar diawali dengan
pengetahuan, pengalaman dan konteks keseharian yang mereka miliki yang
dikaitkan dengan konsep Sejarah Kebudayaan yang dipelajari di kelas dan
selanjutnya diimplementasikan dalam kehidupan keseharian mahasiswa.
Pembelajaran kontekstual mempunyai ciri-ciri sebagai berikut:
a. Menekankan pada problem solving
b. Mengenal bahwa pengajaran dan pembelajaran perlu terjadi pada berbagai konteks
c. Membantu mahasiswa dalam belajar yang teratur (self-regulated learners)
d. Mengaitkan pembelajaran didalam berbagai konteks kehidupan siswa
e. Mendorong para mahasiswa belajar satu sama lainnya

Liza Husnita dan Kaksim


472
f. Menggunakan penilaian autentik
g. Elemen kunci CTL menurut University of Washington 2001
h. Pembelajaran bermakna
i. Penerapan pengetahuan
j. Berfikir tingkat tinggi
k. Kurikulum berdasarkan standar
l. Responsif terhadap budaya
m. Penilaian autentik

V. METODE PENELITIAN
a. Waktu dan Tempat Penelitian
Penelitian ini dilaksanakan di STKIP PGRI Sumatera Barat Prodi Sejarah pada semester
ganjil tahun akademik 2013-2014. Pelaksanaan penelitian ini dilakukan sendiri sebagai dosen
mata kuliah Sejarah Pendidikan di STKIP tersebut.
b. Populasi dan Sampel Penelitian
Populasi penelitian ini adalah mahasiswa Program Studi Sejarah STKIP PGRI
Sumatera Barat di empat sesi mulai dari kelas A, B, C dan D berjumlah 143 orang yang terdiri
dari 103 orang perempuan 40 laki-laki dengan kemampuan heterogen. Sedangkan sampel
penelitian ini adalah mahasiswa Program Studi Sejarah STKIP PGRI Sumatera Barat Angkatan
2012 sesi A berjumlah 36 orang.
c. Prosedur Penelitian
Penelitian ini merupakan Penelitian Tindakan Kelas (PTK). PTK adalah penelitian
tindakan (Action Research) yang dilakukan dengan tujuan memperbaiki kualitas proses dan
hasil belajar peserta didik. PTK dilakukan untuk memperbaiki kualitas proses dan hasil belajar
mahasiswa program studi Sejarah STKIP PGRI Sumatera Barat Angkatan 2012 sesi A pada
mata kuliah Sejarah Kebudayaan.
Prosedur penelitian yang dilakukan terbagi pada siklus kegiatan mengacu pada model
yang diadopsi dari Hopkins (1993:48), siklus ini terdiri dari empat kegiatan pokok: perencanaan,
tindakan pelaksanaan, observasi dan refleksi. Empat kegiatan ini berlangsung secara simultan
yang urutannya dapat mengalami modifikasi.

VI. HASIL PENELITIAN


Penelitian yang telah dilakukan hingga siklus kedua ini dibantu oleh seorang dosen
rekan sejawat yang bertindak sebagai observer dan berfungsi sebagai teman diskusi dalam
tahap refleksi. Adapun hasilnya adalah sebagai berikut:

Liza Husnita dan Kaksim


473
Tabel 1
Hasil PTK Siklus I dan II

No Aspek Penelitian (Pemahaman Siklus I Siklus II


Budaya Mahasiswa) F % F %
(36 orang) (36 orang)
1. Bertanya 15 41 28 78
2. Menjawab pertanyaan 9 25 21 58
3. Mengemukakan pendapat 11 30 17 47
4. Menyimpulkan topik yang dibahas 9 25 20 56

Sumber: Pengolahan Data sendiri

Berdasarkan tabel di atas dapat dipahami bahwa:


1. Siklus I, mahasiswa yang terlibat bertanya dalam proses perkuliahan berjumlah 15
orang (41%), menjawab pertanyaan 9 orang (25%), mengemukakan pendapat 11
orang (30%) dan menyimpulkan topik yang dibahas 9 orang (25%) dari jumlah
mahasiswa yang hadir sebanyak 36 orang.
2. Pada siklus II, mahasiswa yang terlibat bertanya dalam proses perkuliahan berjumlah
28 orang (78%) menjawab pertanyaan 21 orang (58%), mengemukakan pendapat
17 orang (47%) dan menyimpulkan topik yang dibahas 20 orang (56%) dari jumlah
mahasiswa yang hadir sebanyak 36 orang.
3. Terjadi peningkatan pemahaman karakter mahasiswa pada siklus ke II pada semua
aspek yang diteliti. Pemahaman karakter mahasiswa dari 38% menjadi 74%,
kemampuan menjawab pertanyaan dari 23% menjadi 55% kemampuan
mengemukakan pendapat meningkat dari 28% menjadi 45% dan kemampuan
memahami dan menyimpulkan topik yang dibahas meningkat 23% menjadi 53%.

VII. PEMBAHASAN
Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa kemampuan mahasiswa dilihat dari
pemahaman tentang karakter, menjawab pertanyaan dan menyimpulkan topik yang dibahas
melalui model CTL pada mata kuliah Sejarah Pergerakan Nasional Indonesia di Program
Studi Sejarah STKIP PGRI Sumatera Barat, meningkat cukup tinggi. Pada kemampuan
mengemukakan pendapat tetap terjadi peningkatan, namun peningkatannya berada pada
kategori rendah.
Pada siklus I, mahasiswa dikondisikan dalam kelompok diskusi terlebih dahulu
kemudian diminta untuk mendiskusikan topik yang menjadi tanggung jawab kelompok masing-
masing anggota kelompok. Kondisi ini membuat anggota kelompok inti menuntut anggota
kelompok inti yang lainnya untuk mampu menginformasikan topik yang menjadi tanggung
jawabnya sehingga mahasiswa akan bertanggung jawab dengan sub topik masing-masing.

Liza Husnita dan Kaksim


474
Pada sisklus II, mahasiswa dikelompokkan sesuai dengan kelompok inti pada siklus
I. Pada siklus ke II, mahasiswa diminta mendiskusikan tugas terkait dengan film bernuansa
sejarah pergerakan nasional yang diputarkan untuk mahasiswa. Berdasarkan dosen pembina
mata kuliah mahasiswa bekerja dalam team work, membagi tugas yang menjadi tanggung
jawab masing-masing kelompok dalam wisata budaya dan Kuliah Lapangan Terpadu (KLT).
Mahasiswa diberi kebebasan membuat tugas tentang Sejarah Pergerakan Nasional Indonesia
dimulai dari tahun 1908.
Peningkatan pemahaman mahasiswa tentang daerah masing-masing dilihat dari
kemampuan mahasiswa bertanya, menjawab dan menyimpulkan tugas makalah yang dibahas
melalui model pembelajaran CTL pada mata kuliah Sejarah Pergerakan Nasional Indonesia
di Program Studi Sejarah Kebudayaan STKIP PGRI Sumatera Barat, menunjukkan bahwa: 1.
Mahasiswa telah memanfaatkan waktunya dengan baik. 2. Mahasiswa mulai dapat menguasai
diri dan percaya diri dalam proses perkuliahan. 3. Mahasiswa terdorong untuk bertanggung
jawab terhadap kesuksesan kelompoknya. 4. Mahasiswa mengembangkan kemampuan
menerima informasi yang didapat, mengolah informasi tersebut dan menyimpulkan serta
kemudian berusaha membagi informasi yang telah didapat kepada orang lain.

VIII. SIMPULAN
PTK tentang peningkatan pemahaman budaya daerah melalui metode CTL pada
mata kuliah Sejarah Pergerakan Nasional Indonesia di Program Studi Sejarah STKIP PGRI
Sumatera Barat, menghasilkan kesimpulan sebagai berikut:
1. Kemampuan peningkatan pemahaman karakter mahasiswa dilihat dari kemampuan
bertanya melalui metode CTL pada mata kuliah Sejarah Kebudayaan di Program
Studi Sejarah STKIP PGRI Sumatera Barat, meningkat cukup tinggi.
2. Kemampuan peningkatan pemahaman karakter mahasiswa dilihat dari kemampuan
menjawab pertanyaan melalui model CTL pada mata kuliah Sejarah Kebudayaan
di Program Studi Sejarah STKIP PGRI Sumatera Barat, meningkat cukup tinggi.
3. Kemampuan peningkatan pemahaman karakter mahasiswa mampu menyimpulkan
topik yang dibahas melalui model CTL pada mata kuliah Sejarah Pergerakan
Nasional Indonesia di Program Studi Sejarah STKIP PGRI Sumatera Barat, kategori
sedang meningkat.
4. Kemampuan peningkatan pemahaman karakter mahasiswa dilihat dari kemampuan
menyimpulkan topik yang dibahas melalui model CTL pada mata kuliah Sejarah
Pergerakan Nasional Indonesia di Program Studi Sejarah STKIP PGRI Sumatera
Barat, meningkat cukup tinggi.

Liza Husnita dan Kaksim


475
DAFTAR PUSTAKA
Arikunto, Suharsimi. 2005. Dasar-Dasar Evaluasi Pendidikan (Edisi Revisi). Jakarta: Rieka Cipta.
Arikunto, Suharsimi, Dkk. 2006. Penelitian Tindakan Kelas. Jakarta: Bumi Aksara.
Budiningsih, C Asri. 2004. Belajar dan Pembelajaran. Yogyakarta: Rineka Cipta.
Copyright www.m-edukasi.web.id Media Pendidikan Indonesia.
Darhim. 2004. “Pengaruh Pembelajaran Matematika Kontekstual terhadap Hasil Belajar dan
Sikap Siswa Sekolah Dasar Kelas Awal dalam Matematika”. Disertasi pada PPs UPI:
tidak diterbitkan.
Depdiknas. 2002. Pembelajaran dan Pembelajaran Kontekstual. Dirjen Dikdasmen Jakarta.
Darmansyah. 2009. Penelitian Tindakan Kelas: Pedoman Praktis Bagi Guru dan Dosen. Padang:
UNP Press.
Fauzan, Ahmad. 2002. “Applying Realistic: Mathematics Education in Teaching Geometry in
Indonesian Primary School. Disertasi. University of Twente.
Fauzan, Ahmad. 2003. Upaya Peningkatan Kualitas Pembelajaran Matematikan Topik Perkalian
dan Pembagian di Kelas 4 SD Melalui Pendekatan Realistik Matematic Education
(RME). Padang: Laporan Penelitian Hibah Penelitian. Universitas Negeri Padang.Lie
Anita. 2004. Cooperativee Learning: Mempratikkan Cooperativee Learning di Ruang-
Ruang Kelas. Jakarta: Gramedia Widyasarana
HTTP://WWW.M-EDUKASI.WEB.ID/2011/12/PENGERTIAN-PEMBELAJARAN-
KONTEKSTUAL-CTL.HTML
Hamalik, Omar. 2009. Proses Belajar Mengajar Jakarta: Bumi Aksara.
Joko Susilo, Muhammad 2007. Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan. Yogyakarta: Pustaka
Pelajar.
Marlina, dkk. CTL Pada Mata Kuliah Tata Dasar Rias. Volume 12, 1 April 2011, Bandung: Portal
Jurnal Universitas Pendidikan Bandung.
Slavin, Robert E. 2009. Cooperative Learning. Bandung: Nusa Media.
Suyanto. 2004. Inovasi Pembelajaran, disampaikan pada Simposium Nasional Guru SMP ke
VII di Bogor.
Trianto. 2009. Mendesain Model Pembelajaran Inovatif Progresif. Jakarta: Kencana.
Wina Sanjaya. 2009. Strategi Pembelajaran Berorientasi Standar Proses Pendidikan. Jakarta:
Prenada Media Group.

Liza Husnita dan Kaksim


476
SEJARAH, PENDIDIKAN SEJARAH, DAN PENDIDIKAN KARAKTER
DIALOG YANG TIDAK PERNAH DITUNTASKAN
M. Z. Arifin Anis
Universitas Lambung Mangkurat

I. PENDAHULUAN
“Jangan menangis Indonesia, Janganlah bersedih Indonesia. Kami berdiri menjagamu
Pertiwi.” Syair di atas merupakan kutipan lagu karya Harry Roesly yang juga merupakan cucu
dari pujangga Marah Roesly. Lagu “Jangan Menangis Indonesia” sering dinyanyikan oleh
mahasiswa Bandung pada pertengahan tahun 70-an dan masa pergumulan menuju era
reformasi pada akhir tahun 90an. Syair lagu ini memang bukan karya sejarah, tetapi apabila
dicermati, syair lagu merupakan refleksi sosial berdasarkan realitas yang ditangkap oleh batinnya
Harry Roesly, dan tentunya dapat dijadikan informasi sejarah. Dasar dari pandangan ini bermuara
dari pendapat R.G Collingwood (1985: Xiii) Peristiwa sejarah merupakan sesuatu yang diketahui
oleh sejarawan, tidak pada peristiwanya, melainkan melaluinya untuk mengetahui pikiran yang
terkandung di dalamnya”. Merujuk pada pandangan Coolingwood, maka syair lagu memberikan
informasi kegelisahan rakyat Indonesia yang akhirnya memunculkan peristiwa gerakan
mahasiswa ’78 dan 20 tahun kemudian berlanjut pada tragedi Trisakti, ketika para mahasiswa
berhasil memaksa mundur rezim Orde Baru yang kemudian menghasilkan era reformasi.
Tulisan ini bukan membahas Harry Roesly, melainkan akan membahas tentang karakter
bangsa yang membuat negara kita hampir menangis, bersedih, walaupun masih ada
keoptimisan untuk menjaganya. Menjaga dalam konteks ini adalah melakukan dialog terus
menerus sebagai tesis adalah sejarah sedangkan antithesisnya adalah pendidikan sejarah
lantas sintesisnya adalah karakter bangsa. Karakter bangsa adalah nama lain dari kepribadian
bangsa.
Persoalannya muncul kenapa kepribadian bangsa yang seharusnya menjadi identitas
sebuah bangsa membuat Indonesia menjadi “menangis”. Padahal karakter bangsa dibangun
oleh sejarah. Bahkan sejarah Indonesia juga mencatat betapa pentingnya membangun karakter
bangsa yang dilakukan oleh dua orang presiden Indonesia. Katakan saja, ketika era Soekarno
menjadi presiden, keduanya mengedepankan pembangunan politik dengan jargonnya
“kepribadian bangsa”, sedangkan era Soeharto dengan pembangunan ekonomi Orde Barunya,
jargon yang ditonjolkannya adalah “ jatidiri bangsa“ ( Zuhdi, 2008: 78). Jika dicermati kepribadian
dan jatidiri punya arti yang sama, pembedanya hanya orientasi bernegaranya, Soekarno lebih
mengutamakan pembangunan nonfisik, sedangkan Soeharto prioritas utamanya adalah

M.Z. Arifin Anis


477
pembangunan fisik, ketika masing-masing menjadi presiden. Hasilnya, kedua presiden
diturunkan secara tidak terhormat.
Masa mendekati lengsernya Soeharto sebagai presiden, gemuruh dan semangat
membangun Indonesia agar tidak menangis dengan semangat melakukan perubahan begitu
membahana. Dua alternatif dalam cara perubahan menjadi pilihan, yaitu revolusi atau reformasi.
Reformasi sebagai alternatif terakhir dipilih. Secara historis reformasi merupakan sebutan
pada gerakan protes terhadap dominasi gereja pada abad pertengahan di Eropa. Dalam arti
lain, reformasi merupakan gerakan penataan terhadap gereja bukan penataan terhadap negara.
Penataan dipilih oleh masyarakat untuk memperbaiki tatanan di tingkat lembaga negara,
hukum, konstitusi dan paradigma pembangunan dengan asa agar Indonesia tidak menangis.
Asa tinggal asa, karena realitas berbanding terbalik dengan harapan. Reformasi
sampai saat ini malah membuat masyarakat mulai kehilangan kepercayaan terhadap lembaga-
lambaga negara yang pada masa sebelumnya disakralkan, korupsi dan penanganannya masih
tersendat, politik dipolitisasi, nasionalisme yang dipertanyakan, perselingkuhan dan pamer
kekayaan, budaya pasar yang juga merasuk ke ranah pendidikan, intoleransi, demonstrasi
digunakan untuk memaksakan kehendak, perkelahian antar kampung, siswa, narkoba dan
segudang masalah yang mendominasi, padahal pada masa sebelumnya tidak pernah muncul.
Fenomena sejarah ini memberikan informasi, bahwa kepribadian, jatidiri dan moralitas bangsa
sedang terpuruk.
Runtuhnya moralitas bangsa kita, menghiasi pewartaan media massa dan elektronik
membuat benak sebagian masyarakat dan pemerintah berpikir banyak untuk mencari jalan
keluar dari persoalan ini. Sebab fenomena ini menyangkut persoalan karakter bangsa yang
isunya selalu hangat untuk dibincangkan, menjadi wajib didiskusikan dan direfleksikan agar
dapat menjadi sikap bangsa.
Pertanyaan yang tidak mengasyikan muncul dalam benak, lantas bagaimana dengan
pemahaman tentang pengetahuan sejarah yang banyak memberikan nilai untuk cinta tanah
air, toleransi, bijaksana yang diajarkan oleh pendidik sejarah telah gagal, karena dianggap
tidak mampu membangun anak bangsa. Dalam tulisan ini menawarkan dialog yang diharapkan
dapat memberikan pencerahan tentang pemahaman terhadap sejarah dan pendidikan sejarah
yang pada dasarnya memiliki perbedaan walaupun ada kesamaan. Jangan sampai dialog ini
diintervensi oleh kekuasaan yang menjauhi tentang kebenaran sebuah ilmu dan pada akhirnya
melahirkan karakter yang tidak diharapkan.

II. MEMPOSISIKAN KEMBALI PEMAHAMAN SEJARAH


Politik selalu intervensi dalam membentuk konstruksi sejarah, begitulah ucap Heather
Sutherland (Nordholt, Purwanto dan Saptari, 2008: 42). Pandangan Sutherland ini tentunya
dapat diiyakan sebagai pertanda menyetujuinya. Tengok karya sejarah “tradisional”
(historiography tradisional) yang biasa disebut dengan nama hikayat atau babad buah karya
dari kaum pujangga istana, narasinya walaupun bersifat magis religius dan primordial, isinya
selalu melegatimasi sang penguasa di istana. Dapat dikatakan, hikayat atau babat merupakan

M.Z. Arifin Anis


478
pesanan kaum istana sebagai pelanggeng kekuasaannya. Melalui hikayat dan babad sang
penguasa membangun memori kolektif tentang kehebatannya sang penguasa. Keberulangan
dalam sejarah pun terjadi, ketika era Orde Baru memaparkan keajegan kekuasaannya dengan
segala akses dimilikinya memproduksi buku Sejarah Nasional Indonesia (SNI) yang
kontroversial. Terbitnya SNI berdampak menjadi terbelahnya kaum sejarawan. Ada sejarawan
yang berkiblat kepada pemerintah, sebagian lagi berkiblat kepada keilmuannya, yang disebut
sebagai sejarawan marginal. Karya sejarah marginal banyak bertebaran di kalangan terbatas,
misalnya skripsi, tesis, disertasi dan hasil-hasil penelitian yang didanai oleh pemerintah ataupun
swasta di lingkungan perguruan tinggi. Karya-karya ini oleh banyak orang diberi lebel sebagai
karya menara gading.
Ketika Orde Baru bubar, gugatan terhadap SNI menyeruak karena dianggap sebagai
karya pendukung pemerintah. SNI sebagai buku pelajaran sejarah hasil produk Orde Baru
yang kebenarannya datang dari pemerintah bukan sebuah dokumen sejarah. Realitasnya, SNI
menjadi bagian yang tidak terpisahkan dalam proses pembelajaran yang dibangun oleh
pemerintah untuk melegatimasi kekuasaannya dan posisinya berada pada jenjang kedua
setelah guru. Kelemahan SNI sebagai buku cetak pelajaran sejarah tidak membuka peluang
bagi interprestasi sub teks (Wineburg, 2006:100).
Pandangan Wineburg di atas secara emperik terjadi di negeri kita dan bahkan menjadi
suatu persoalan yang menyangkut bahan atau materi pengajaran sejarah. Menurut Asvi Warman
Adam (2006:x), pengajaran sejarah diuraikan dalam bentuk bulir-bulir kurikulum yang sekarang
disebut standar kompetensi. Penjelasan standar kompetensinya dibuat berdasarkan buku babon
Sejarah Nasional Indonesia (SNI) yang sampai saat ini masih bermasalah.
Permasalahan itu muncul dan menjadi kontroversi, terdapat pada SNI sebagai sejarah
resmi yang dibuat oleh pemerintah. Dalam materi SNI diantaranya tentang peristiwa Gerakan
30 September (G 30 S). Pada Kurikulum 2004 yang pertama kali menerapkan Kurikulum
Berbasis Kompetensi (KBK). Dalam KBK memuat hasil-hasil penelitian sejarawan marginal
yang menafsirkan, bahwa arsitek peristiwa G.30 S bukan hanya PKI, tetapi beragam.
Keberagaman pendapat arsitek G30 S secara akademis dapat dipertanggungjawabkan, karena
hasil penelitian yang tentunya secara ketat sudah mengikuti metode. Hasil penelitian itu memang
berbeda tafsiran, ada versi tentang keterlibatan militer, Soekarno, Soeharto, CIA, Anggota PKI
yang tidak sabar dan terakhir kudeta yang merangkak. Keberagaman tafsir tentang peristiwa
G30S, membuat KBK tidak mencantumkan nama PKI pada peristiwa G30S itu, yang sebelum
tertulis G30S/PKI.
Masalah muncul, ketika KBK tidak diterima oleh masyarakat yang menginginkan tetap
menuliskan G30S dengan garis miring PKI. Reaksi masyarakat terhadap KBK oleh pemerintah
diakomodasi dan akhirnya mencabut kurikulum mata pelajaran sejarah. Tidak hanya itu, buku-
buku mata pelajaran sejarah yang tidak mencantumkan garis miring PKI, oleh kejaksaan
dianggap melanggar hukum, akhirnya disita, bahkan dibakar (Mulyana, dalam Hasan, 2012:
vii).

M.Z. Arifin Anis


479
Reaksi keras terhadap beragam tafsir dalam KBK tentang peristiwa G30S,
menginformasikan keberhasilan pemerintah membangun memori kolektif formal (collective
memory) dalam ingatan masyarakat. Dapat dikatakan, bahwa SNI merupakan mono tapsir
yang dilakukan oleh pemerintah sebagai alat pelegitimasiannya yang dirumuskan dalam
kurikulum sejarah. SNI jika kita merujuk pandangan Henk Schulte Nordholt (2008: 24-31)
dapat dikategorikan merupakan karya sejarah yang mampu membangun narasi formal dan
meniadakan narasi pinggiran.
Intervensi pemerintah dalam membuat buku pelajaran sejarah formal tampaknya sudah
mengakar dalam memori masyarakat. Sampai saat ini dalam benak masyarakat masih rekat,
bahwa Indonesia dijajah oleh Belanda 350 tahun padahal menurut narasi pinggiran itu hanya
sebuah mitos. Sumpah Pemuda 28 Oktober yang selalu dirayakan secara nasional, menurut
Sartono Kartodirdjo Manifesto politik 1925 yang disuarakan oleh Perhimpun Indonesia di negeri
Belanda lebih merupakan tonggak sejarah yang lebih penting dari Sumpah pemuda.
Jika sejarah diyakini dapat menyadarkan tentang perbedaan dan mengajarkan toleransi
dan kebebasan maka buku pelajaran sejarah sebagai subyek sejarah harus dibuat oleh
pemerintah bukan sebagai sebuah babad yang melegitimasi penguasa, melainkan berisikan
alternatif berbeda dari buah tafsir intelektualitas. Selain itu ditambahkan pula buku bacaan
tambahan sebagai pemerkaya wacana, sumber pembelajaran yang terprogram, referensi
umum seperti ensiklopedia, surat kabar, atlas, dan pamplet (Kochhar, 2008: 160-161).
Dikotomi karya sejarawan pro pemerintah dengan sejarawan marginal pada dasarnya
persoalan interpretasi fakta sejarah. Interpretasi pertaliannya erat sekali dengan subyektivitas.
Subyektivitas muncul karena realitas sejarah sebagai aktualitas atau obyektivitas sejarah tidak
dapat dicermati pada masa peristiwa itu terjadi (events), ia hanya meninggalkan fakta (fact)
sejarah. Obyektivitas sejarah bisa hadir, ketika para sejarawan merekonstruksinya dengan
menggunakan metode sejarah dan metodologinya. Rekonstruksi dibangun melalui sintesa
fakta-fakta, yang diperoleh bukti-bukti yang diperoleh dalam sumber, baik tertulis maupun lisan.
Katakan saja, pekerjaan yang susah adalah rekonstruksi sejarah, dimulai dengan unsur kronikal,
siapa, apa, dimana, dan kapan, bagaimana adalah urusan menceritakan proses, lalu kata
kenapa adalah bentuk penjelasan analisa. Ditambah lagi dengan pendekatan ilmu-ilmu sosial
yang oleh Sartono Kartordirjo disebut pendekatan multidimensional untuk memperjelasnya.
Ketika merekonstruksi, sejarawan mencoba memahami tinggalan sejarah di kalangan
akademisi humaniora dengan sebutan versthehen, understanding atau emik. Dalam konteks
ini, C. Behan Mc. Cullagh (2010: 26) memberi saran kepada sejarawan agar mencoba untuk
menjelaskan pandangan hidup dari penulis teks atau dokumen dan meninggalkan pandangan
kekinian untuk memahami isi teks. Hasil dari tahapan itu, sejarawan memasuki tahapan akhir,
yaitu historiography, yang oleh Joko Suryo (2009: 56) disebut dengan sebutan rekayasa tertulis.
Rekayasa tertulis atau historiograpahy akan memunculkan etiknya si sejarawan sesuai dengan
paradigma yang dianutnya. Jadi karya sejarah yang sampai ke kita bukan aktualisasi sejarah
atau sejarah dalam pengertian obyektif melainkan sejarah subyektivitas yang telah berupaya
mencapai obyektivitas dalam pengertian ilmiah (Suryo, 2009: 57).

M.Z. Arifin Anis


480
Lantas bagaimana memposisikan pemahaman sejarah pada masa kekinian. Baik
saya akan memulai lagi, mengajukan alternatif yang ditawarkan oleh sejarawan akademis.
Begini muasalnya, “Hidup dilalui ke depan, tetapi dipahami ke belakang” begitulah eloknya
ujaran dari seorang filosof eksistensialis bernama Kierkegaard yang saya kutip dari bukunya
Taufik Abdulah (2001: 27). Pandangan elok dari Kierkegard pada dasarnya adalah
membincangkan persoalan kesadaran tentang waktu, kesinambungan (continuity) dan
perubahan (change) dalam dinamika kelampauan (past), kekinian (present), dan ke masa
yang akan datang ( future) yang menjadi pokok kajian ilmu sejarah, seperti yang diucapkan
oleh Djoko Suryo (2009: 28). Berdasarkan pandangan ini, Djoko Suryo mengajukan pendekatan
visionaris untuk memahami dan menyeimbangi pandangan sejarah yang awal selalu berhenti
pada masa lampau.
Pandangan Djoko Suryo memberikan pencerahan tentang label, bahwa sejarah tidak
hanya berurusan dengan masa lampau. Maksud saya, bahwa realitas sejarah memang hanya
terjadi pada masa lampau dan hanya satu kali, sedangkan sejarah yang kita fahami pada
dasarnya adalah produk dari rekonstruksi intelektual sejarawan dengan paradigma yang
dianutnya.
Tafsiran sejarawan tentang realita masa lalu direnungkan dan dicari nilai-nilai sehingga
dapat bertatap muka dan bersapaan sebagai bagian dari interaksi dengan masa kekinian.
Dapat dikatakan, bahwa masa kekinian tidak langsung menjadi, melainkan hasil dari proses
masa lampau. Bahasa lainnya, historiography atau karya sejarah dengan jiwa zamannya
berperan sebagai penghubung dengan masa kekinian.
Masa lalu dan masa kini merupakan kapital untuk beradaptasi agar tidak terlibas oleh
masa yang akan datang. Cara ini mengisyaratkan, bahwa menggapai masa depan tidak
dibangun oleh mitos masa lalu yang membuat kita selalu dibuai oleh perasaan romantis tanpa
berbuat apa-apa, melainkan dengan kesadaran tentang ketaqwaan kepada Allah, sabar,
musyawarah, sehingga melahirkan rasa percaya diri tanpa ada rasa ingin merebut hak Tuhan
untuk menatap masa depan.
Narasi di atas memberikan informasi, bahwa sejarah adalah pemikiran dan, aktivitas
manusia dalam waktu yang di dalamnya termasuk mensiasati persoalan, baik sebagai obyek
maupun sebagai subyek ketika merengkuh masa depannya. Jika kita jujur mau membaca
sejarah pemikiran “tradisional“ pandangan sejarah seperti ini sudah dikemukakan oleh Jayabaya
jauh sebelum kedatangan pengaruh Barat ke Nusantara. Pandangan Jayabaya dikenal dengan
sebutan ramalan Jayabaya yang oleh Rafles disebut sebagai prophetie chronology. Dalam
ramalannya ditemui konsepsi tentang masa depan. Menurut mendiang Sartono Kartordirdjo
(1982; 178) guru para sejarawan di Indonesia, unsur yang terdapat dalam ramalan Jayabaya
meliputi; mitologis, kronologis, mesianistis dan eskatologis. Sesuai dengan jiwa zaman, ramalan
Jayabaya sangat kental dengan aroma magis-religius dengan simbol-simbol aksara, sehingga
diperlukan kemampuan interpretasi. Katakan saja, ketika Jayabaya meramal, bahwa Jawa
akan dirasuki oleh pengaruh asing yang berasal dari Asia maupun dari Barat baik secara politik
maupun secara budaya. Gejala-gejala pengaruh “modern” yang merebak ke masyarakat Jawa

M.Z. Arifin Anis


481
disimbolkan dengan : (1) kereta berjalan tanpa kuda; (2) setiap jengkal tanah dikenakan pajak,
tanah Jawa berkalung besi; (3) anak kecil sudah mengerti gunanya uang; (4) tiada lagi tanah
keramat; (5) Banyak umat menyiarkan ilmu secara tular menular; (6) ada pemimpin angkatan
rakyat, bupati bukan keturunan orang berpangkat; (7) Orang mondar mandir karena bingung,
agama diabaikan, sopan santun tidak diindahkan, orang mengabdi pada nafsu (cantrik Mataram
dalam Kartodirdjo, 1982;184).
Ramalan Jayabaya di atas menjadi kontekstual dengan realitas masa kini. Ramalan
ini memberikan informasi, bahwa pada saat ini di Jawa, jalan raya dipenuhi oleh mobil dan
sepeda motor. Jawa, dipenuhi oleh rel-rel kereta api sebagai sarana transportasi darat dan
alternatif pencegahan kemacetan lalu lintas, tanah-tanah keramat dan ulayat menjadi
perkebunan-perkebunan, pertokoan dan ditukar guling. Dalam pendidikan, siswa membuat
tugas dengan cara meng-copypaste, tatakrama tidak diindahkan dan agama yang dianut
hanya sebagai ... (silahkan anda isi sendiri titik itu). Hal ini bisa juga ditafsirkan, bahwa modern
telah mengotakngatik nilai tradisional yang dianggap sebagai penghalang kemajuan.
Kemajuan adalah mengekor apa yang dilakukan oleh Barat, untuk itu nilai tradisional harus
ditinggalkan. Dalam konteks ini, ramalan Jayabaya sangat menarasikan tentang perubahan
budaya yang bernuansakan sejarah.
Jayabaya juga meramalkan, ketika masyarakat menghadapi kegalauan, atau bahasa
lainnya mengalami depresi relatif, ia harus keluar dari kemelut dengan mengasakan kedatangan
sang mesias (Ratu Adil) yang akan membawa dan memimpin ke masa harapannya. Harapan
ini juga dapat diartikan, bahwa perkembangan manusia tidak melulu ditentukan oleh stuktur
sosial melainkan agen-agen perubahan yang memiliki kapasitas sebagai pemimpin yang perduli
terhadap kepentingan rakyat dan bertanggung jawab terhadap Tuhan dan rakyat. Pandangan
visioner Jayabaya tidak hanya sebatas persoalan dunia, tetapi juga berpikir hidup sesudah mati
yang sangat transedental (eskatologis).
Pandangan visionaris yang paling banyak dirujuk dan mewakili dunia modern, di
antaranya adalah Aguste Comte yang diklaim sebagai bapak sosiologi dan positivisme, serta
nabinya agama kemanusiaan. Banyak para akhli berpendapat, bahwa bapaknya sosiologi
justru Ibnu Khaldun yang hidupnya jauh sebelum Comte. Comte dengan dedikasi keilmuan
sangat diwarnai oleh semangat melakukan sintesis untuk menyempurkan ilmu pengetahuan
yang diasakan dapat menjadi petunjuk atau kompas dalam memerintah masyarakat.
Pandangan visionaris Comte jika didekati oleh pendekatan sejarah, ia telah merumuskan
perjalanan manusia bergerak melalui tiga pola zaman. Pola pertama adalah zaman teologi,
yaitu zaman ketika manusia mencari jawaban tentang pertanyaan muasalnya fenomena.
Jawaban pertanyaan itu ditautkan kepada kepercayaan fetishisme (animisme), polytheisme
dan monotheisme. Pola kedua bergerak ke zaman metafisis, ketika manusia mulai menjawab
fenomena dengan filsafat yang abstrak dan universal. Pola ke tiga adalah zaman positivis, yang
meninggalkan pandangan spekulasi ke obyektivitas ilmu pengetahuan yang didasari oleh
rasional, emperik dan obeservasi dengan penalaran eksakta. Begitulah yang saya kutip dari
Jean FranQuis Dortier (Cabin& Dortier. eds., 2009: 8-10).

M.Z. Arifin Anis


482
Proses perjalanan masa yang penuh dinamika dalam menggapai tujuannya dari
ideanya kita dikatakan sebagai proses sejarah. Perkembangan manusia dengan lingkungan
fisik dan lingkungan sosialnya dirumuskan oleh Karl Marx (Giddens, 1986:29-42) melalui lima
tahapan, yaitu bermuasal (1) masyarakat pra kelas; (2) masyarakat kuno dengan munculnya
peradaban kota yang ditandai dengan munculnya perbudakan; (3) masyarakat feodal pada
abad pertengahan yang banyak mengadopsi unsur-unsur warisan Roma tentang pengurusan
dan penataan area-area oleh kepemimpinan militer yang mereka kuasai menjadi sebuah
sistem kerajaan dengan basis ekonominya pertanian dalam skala kecil; (4) masyarakat kapitalis,
dengan ditandai menjamurnya kota-kota yang diiringi dengan pembentukan modal dagang,
sistem moneter yang digunakan untuk perdagang dan riba; dan (5) munculnya masyarakat
sosialis/komunisme, yang intinya pembubrahan terhadap kapitalisme.
Menarik juga dicermati pandangan Antony Giddens yang pesimis melihat keadaan
buana kekinian. Ia membayangkan dunia kekinian seperti truk besar yang sarat muatan
(juggernaut) sedang turun meluncur tanpa kendali. Dalam benak Giddens (2000: ix), bahwa
dunia kekinian merupakan hasil dari empat institusi, yaitu; kapitalisme, industrialisme,
pengawasan dan kekuatan militer. Hemat Giddens (2000:xvii) era ini baru mencapai apa yag
disebut post traditional society, era yang manusia baru sebatas membangun narativ sangat
jauh seperti yang dibayangkan oleh kaum posmois.
Pemikir-pemikir visionaris lainnya, seperti A. Toynbee, Daniel Bell, Naisbitt, Rostow,
Huntington, Fukuyama hemat Djoko Suryo (2009: 16-23) pada dasarnya merupakan sejarah
pergumulan ideologi-politik. Katakan saja ramalan Huntington, memprediksi terjadi pertegangan
pemikiran/dengan peradaban antara Barat dan Timur, Islam-Konfusius versus Barat-Kristen
yang diakhiri dengan kemenangan Kapitalisme dan Demokrasi Barat seperti yang diramalkan
oleh Fukuyama telah disinggung oleh Djoko Suryo. Bahkan karya Widjoyo Nitisastro, Population
Trends in Indonesia merupakan karya sejarah visioner di Indonesia. Penduduk sesuai dengan
judulnya, buku ini membahas perkembangan penduduk dari masa pemerintah kolonial sampai
kemerdekaan, dan analisa kecenderungan penduduk di masa yang akan datang yang
berpengaruh terhadap pertumbuhan perekonomian di Indonesia, begitulah informasi yang
diberikan Djoko Suryo (2009:23) tentang pendekatan sejarah visioner.
Narasi di atas memberikan informasi, bahwa sejarah bukan seonggok fakta berhala
yang dibangun oleh kekuasaan, yang kebenaran sejarahnya hanya dibuat, seharusnya dicari,
seperti yang terjadi selama ini. Memposisikan kembali sejarah, membuat kita kembali bertanya
sampai ke radiks, mengapa harus belajar sejarah? Setelah mampu menjawabnya, maka saya
kutip pandangan dari orang yang lebih bijak dari kita, bahwa berpikir sejarah dapat memetakan
masa depan dengan mengajarkan masa lalu.

III. PENDIDIKAN SEJARAH DAN PENDIDIKAN KARAKTER


Sejarah sebagai ilmu dipelajari karena memiliki dua kegunaan, yaitu kegunaan intrinsik
dan ekstrinksik (Kuntowijoyo 1995:24). Guna sejarah secara instrinsik secara formal ia diajarkan
pada jurusan sejarah dipelajari di jurusan sejarah yang terdapat di Fakultas Ilmu Kebudayaan,

M.Z. Arifin Anis


483
sedangkan ekstrinsik dipelajari di jurusan Pendidikan Sejarah. Tampak perbedaannya sangat
tegas, ilmu sejarah bergerak di ranah keilmuan, sedangkan pendidikan sejarah memanfaatkan
ilmu sejarah yang diformulasikan untuk tujuan yang di antaranya, yaitu nation and character
building (Abbas, 2013: 32). Produk Pendidikan Sejarah kelak menjadi guru sejarah. Melalui
para guru sejarah pelajaran sejarah yang mengandung pesan-pesan moral didiskusikan kepada
para siswa.
Lantas apa hubungannya antara pendidikan sejarah dengan pendidikan karakter?
Menjawab pertanyaan ini, harus dikembalikan kepada tujuan belajar sejarah yang diantaranya
adalah nation and character building. Karakter nama lain dari personality, watak atau jati diri.
Karakter individu menjadi kajian para psikolog, sedangkan karakter sebuah bangsa menjadi
kajian antropologi. Menurut Lickona (Hawadi dalam Saifuddin, 2008: 121) pendidikan karakter
merupakan pendidikan budi pekerti yang melibatkan aspek pengetahuan (cognitiv), perasaan
(feeling) dan tindakan (action). Hemat Hamid Hasan (2012: 63) bila dihubungkan antara
pendidikan sejarah dengan pendidikan karakter, maka dalam kemampuan berkomunikasi,
dan mengembangkan kemampuan mencari, mengolah, mengemas dan mengkomunikasikan
informasi.
Kegagalan pendidikan karakter selama ini, agak sukar saya menjawabnya, tetapi saya
kutip pendapat sejarawan dari UI bernama Susanto Zuhdi (Saefuddin & Karim, 2008: 78-79),
eranya Soekarno jargon-jargon yang dibuatnya tampaknya bertekuk lutut tanda tidak mampu
menyelesaikan masalah perekonomian yang mendera bangsa. Sejarah pun berulang, ketika
era Suharto menerima bantuan IMF untuk keluar dari kemelut krisis monoter yang penuh birahi
akhirnya membuat Indonesia tidak berdaya. Padahal jika kita cermati, era Soekarno dan Suharto
selalu, mendengung-dengungkan akan kebesaran bangsa kita, sehingga kita merasa menjadi
megalomania. Realitasnya, ternyata kita tidak mampu keluar dari persoalan-persoalan yang
menghampiri kita pada masa itu. Bahkan jargon, bahwa bangsa kita besar ternyata negara
tidak mampu membantu rakyat, ketika harga cabai, kedelai, dan terakhir hadiah awal tahun
dari pertamina dengan menaikan harga gas elpiji dengan harga yang membumbung tinggi. Ini
pertanda pendidikan karakter yang dibangun oleh Soekarno, Soeharto dan presiden-presiden
penggantinya hanya dalam batas angan-angan, dekat sekali dengan mitos, tidak diemperiskan
menjadi sebuah fakta sejarah. Mungkin saya juga terlalu gegabah untuk mengeksekusi, bahwa
sebagian dari dunia akademis terlalu lahap menyantap teori-teori modern yang mengedepankan
tentang pencairan batas-batas kebangsaan, termasuk di dalamnya batas geografis dan
kebudayaan tanpa adanya dialog keilmuan dan menjadi ‘modern’ suatu keharusan, tradisi
ditinggalkan karena dianggap kampungan. Padahal dalam fakta sejarah, perubahan bukan
sesuatu yang tabu. Jika mau belajar dari fakta sejarah tentang perubahan, maka betapa eloknya
bangsa kita pada masa lampau melakukan dialog budaya yang dibawa oleh unsur luar yaitu,
India, Arab Cina dan Eropa. Dalam bahasa lain, bahwa budaya tidak diwariskan melainkan
dinegosiasikan.
Sejarah sebagai sebuah proses maka kita dapat mengatakan, bahwa karakter bangsa
dapat dibentuk oleh sejarah bangsanya. Patut dicermati pandangan almarhum Kuntowijoyo
(1995: 3-5), yang berujar, bahwa mengajarkan Sejarah Indonesia agar tidak membosankan

M.Z. Arifin Anis


484
seharusnya menggunakan pendekatan berbeda, yaitu pendekatan estetis, etis, kritis dan
akademis. Katakan saja mengembangkan sikap kebangsaan dapat diajarkan sejak SD dengan
pendekatan estetis melalui memperkenalkan perjuangan para pahlawan yang ada di daerahnya
atau pahlawan primordial kemudian diluaskan ke pahlawan-pahlawan nasional. Agar mereka
memahami, bahwa Antasari, Hasan Basery bukan saja pahlawan untuk orang Banjar, melainkan
juga pahlawan bagi masyarakat Indonesia lainnya, begitu juga kebalikannya. Pada tataran
SLTP, hendaknya menggunakan pendekatan etis yang menekankan tentang kehidupan
bersama yang plural dan kebudayaan yang berbeda dari dulu sampai kini. Dalam konteks ini,
masyarakat Indonesia terdiri dari beragam etnis, bahkan ras yang diikat oleh sebuah ideologi
tentang kebangsaan. Setamat SD dan SLTP mereka diharapkan mencintai perjuangan,
pahlawan, bangsa dan tanah air, serta tidak gagap ketika berinteraksi dalam masyarakat yang
semakin plural. Pada tataran SLTA sesuai dengan perkembangan wacananya maka
pembelajaran sejarah dianjurkan menggunakan pendekatan kritis, yaitu kenapa peristiwa itu
terjadi, apa yang sebenarnya terjadi dan kemana tujuan dari beragam peristiwa itu. Di tingkat
perguruan tinggi, diajarkan tentang sejarah perubahan masyarakat dengan tujuan dapat
mengantispasi perubahan yang bersifat kemunduran dan dapat melihat perkembangan ke
depannya.
Bagaimana sejarah diajarkan, agar melaluinya tertanam cinta akan tanah air, bagi anak
murid. Mengajarkan sejarah diperlukan suatu proses belajar. Pembelajaran sejarah yang baik
adalah bagaimana dapat mengkonstruk suatu pengetahuan sejarah. Konstruksi pengetahuan
sejarah pada dasarnya bermuara kepada filsafat konstruktivisme yang dasarnya berpijak pada
pandangan Jean Piagiet (Crain, 2007: 208), bahwa belajar yang sesungguhnya bukan sesuatu
yang diturunkan oleh guru, melainkan sesuatu yang berasal dari dalam diri anak. Dalam artian
anak yang membangun pengetahuannya sendiri sesuai dengan wacana yang ada dibenaknya.
Secara umum tujuan utama belajar sejarah di sekolah seperti yang tertera di Kurikulum 2013
adalah untuk mempersiapkan peserta didik untuk kesadaran peserta didik tentang pentingnya
konsep waktu dan tempat/ruang dalam rangka memahami perubahan dan keberlanjutan dalam
kehidupan bermasyarakat dan berbangsa di Indonesia. Menumbuhkan pemahaman peserta
didik terhadap diri sendiri, masyarakat, dan proses terbentuknya Bangsa Indonesia melalui sejarah
yang panjang dan masih berproses hingga masa kini dan masa yang akan datang.
Apabila dicermati tujuan pembelajaran sejarah di atas maka guru sejarah harus
memahami filsafat konstruksionisme yang berpijak bagaimana siswa membangun pengalaman
belajarnya dan proses keaktifan dalam proses pembelajaran. Proses belajar yang diinginkan
oleh konstruktivisme mengharuskan, guru memposisikan dirinya sejajar dengan siswa sehingga
terjalin dinamika pembelajaran di kelas.
Harapan mengajar sejarah sesuai dengan tujuan belajar sejarah tampaknya masih
berupa asa, karena pengajaran sejarah masih dalam sorotan. Soroton itu meliputi cara guru
sejarah mengajar, materi pelajaran sejarah, sikap dan minat siswa kepada pelajaran sejarah
(Porda, 1995: 6). Pandangan ini diperkuat oleh Djoko Suryo (2009:10), yang menyatakan ada
pihak lain beranggapan, bahwa belajar sejarah tidak lagi menarik, membosankan dan tidak lagi
mempunyai kemanfaatan, sehingga memberikan pertanda seolah-olah sejarah mengalami

M.Z. Arifin Anis


485
kemorosotan kepercayaan publik. Padahal bila seseorang tidak mengenal sejarahnya, ia seperti
kehilangan memorinya, menjadi pikun sehingga kehilangan kepribadiannya (Kartodirdjo, 1992:
8). Dalam skala yang lebih makro, jika suatu bangsa meninggalkan sejarahnya maka ia menjadi
bangsa yang pikun karena kehilangan jati dirinya rasa kebangsaannya.
Menurunnya minat belajar sejarah di kalangan siswa, menurut pencermatan Partinton
(Porda, 1995: 6), karena ada kecenderungan dari guru sejarah yang mengajar sejarah lebih
menekankan dari sisi hafalan. Hapalan yang harus diingat oleh siswa berisikan sederatan
nama-nama tokoh dan angka tanggal serta tahun sebuah peristiwa monumental yang mungkin
tidak berarti apa-apa bagi siswa, sehingga kemampuannya hanya sebatas itu. Tidak jarang
karena belajarnya kurang serius, tanggal, tahun bahkan nama tokoh sejarah pun yang dihapal
mudah lupa. Siswa mudah lupa nama tokoh sejarah, tanggal dan tahun disebakan karena
tidak dilihat dalam konteks peristiwanya.
Asvi Warman Adam (Wineburg, 2006: x) menyatakan, guru sejarah lebih suka membuat
ujian dengan dengan menggunakan soal multiple choice dibandingkan menyuruh siswa untuk
membuat karya tulis. Model pengajaran sejarah seperti ini tanpa disadari oleh guru, bahwa ia
sudah mendangkalkan makna pembelajaran sejarah, sehinga sejarah yang diajarkan
dikesankan hanya berisikan peristiwa besar dan orang-orang besar. Padahal sejarah berisikan
aktivitas manusia yang tidak mengenal kelas dan status dalam menggapai harapannya, toleransi,
dan membuat masyarakat mampu mengevaluasi nilai-nilai yang pernah dicapai oleh
generasinya, dan mengajarkan sikap intelektual.
Orientasi mengajar guru bersifat teacher centered, sehingga mengesampingkan
kreativitas siswa yang tentunya berimbas kepada siswa yang hanya terpaku sebagai pendengar,
bahkan cenderung terkantuk-kantuk. Orientasi mengajar dengan model seperti ini sebenarnya
bertentangan pembelajaran yang orientasinya berpusat kepada siswa dengan tekanan kepada
pembelajaran pada proses. Hasil pembelajaran sejarah akan berbeda jika guru melibatkan
siswa untuk terlibat aktiv dalam diskusi untuk memperoleh makna dari peristwa dan mencoba
untuk meneropong masa depan dari peristiwa itu.
Pembelajaran yang menekankan pada proses sebenarnya sudah tersurat pada Kurikulum
Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP). Dalam KTSP secara tersurat dan tegas, bahwa pendidikan
merupakan usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses
pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki
kekuatan spiritual, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan
yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan negara.
Narasi di atas sebenarnya menyiratkan, agar siswa menyadari, bahwa sebagai subyek,
ia juga menyandang label sebagai agen perubahan. Ia juga harus menyadari, bahwa bukan
orang besar saja yang menjadi agen sejarah, melainkan seluruh manusia jika memiliki kesadaran
untuk menjadi agen sejarah. Kesadaran, bahwa setiap manusia dapat menjadi agen sejarah
untuk itu ia dapat mengembangkan potensi dirinya, sebagai manusia yang yakin terhadap
keberadaan Tuhannya, amanah dan mau mengejar ketertinggalannya.

M.Z. Arifin Anis


486
IV. PENUTUP
Sejarah pada dasarnya merupakan ilmu yang mempelajari dinamika manusia yang
diikat oleh ruang dan waktu. Konsep waktu dalam konteks ini jangan diartikan kita hidup untuk
masa lalu, tetapi belajar dari masa lalu sebagai suatu ikhtiar untuk bekal menggapai masa
depan. Pendekatan ini yang disebut dengan pendekatan sejarah visionaris. Sebagai ilmu ia
harus mencari kebenaran. Dinamika manusia sebagai motor pengerak sejarah melahirkan
nilai-nilai transenden yang erat pertaliannya dengan pendidikan karakter yang berhubungan
dengan budi pekerti. Dalam konteks ini, sejarah bukan warisan melainkan negosiasi-negosiasi
manusia dengan zamannya. Pendidikan karakter memerlukan fakta sejarah bukan bualan-
bualan yang meninabobokan anak bangsa, sehingga menjadi manusia romantik dan penghayal
yang tidak bisa berbuat apa-apa. Pada sisi ini diperlukan strategi mengajar sejarah yang visionaris
dan jauh dari kepalsuan politisasi para penguasa.
Disadari pembentukan karakter tidak bisa hanya dibangun dari ruang-ruang diskusi,
kelas dan ruang-ruang tertutup lainnya. Karakter adalah persoalan watak, kepribadian ataupun
personality yang mengejewantah dalam sikap dalam bertata laku, baik secara individu,
kelompok dan yang lebih besar adalah masyarakat yang dapat juga diartikan sebagai sebuah
bangsa. Karakter sendirinya menjelma menjadi identitas yang membedakan “dia” dan “kita.
Beriringan dengan persoalan tatalaku maka karakter berada ruang roh (spirit) yang dekat sekali
dengan persoalan ide. Dalam konteks ini terlihat, bahwa tatalaku sangat dipengaruhi oleh ide
yang berada dalam raga individu ataupun masyarakat yang selalu dilatih dalam dunia pendidikan
sejarah, melalui contoh sejarah baik secara lisan maupun tulisan. Semoga dan berharap.

KEPUSTAKAAN
Abbas, Ersis Warmansyah (eds.). 2013. Mewacanakan Pendidikan Ilmu Pengetahuan Sosial.
Bandung: Wahana Jaya Abadi.
Abdullah, Taufik.2001, Nasionalisme & Sejarah. Bandung: Satya Historika.
Adam, Asvi Warman. 2007. Seabad Kontroversi Sejarah. Yogyakarta: Ombak.
Cabin, Philippe & Jean Franqois Dortier (ed.). 2009. Sosiologi Sejarah dan Berbagai
Pemikirannya. Yogyakarta: Kreasi Wacana.
Collingwood.R.G, 1985. Idea Sejarah. Kuala Lumpur: Percetakan Dewan Bahasa dan Pustaka.
Crain, William. 2007. Teori Perkembangan Konsep dan Aplikasinya. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Giddens, Anthony. 1986. Kapitalisme dan Teori Sosial Modern.,. Penerjemah: Soeheba
Kramadibrata. Jakarta: UI-Press.
Giddens, Anthony. 2000. The Third Way. Jalan Ketiga Pembaharuan Demokrasi Sosial. Jakarta:
Gremedia.
Hasan, Hamid. 2012. Pendidikan Sejarah Indonesia Isu dalam Ide dan Pembelajaran. Bandung:
Rizqi.
Kartodirdjo, Sartono. 1982. Pemikiran dan Perkembangan Historiografi Indonesia Suatu
Alternatif. Jakarta: Gramedia.

M.Z. Arifin Anis


487
Kochhar.S.K. 2008. Teaching Of History. Jakarta: Grasindo.
Nordholt Schulte Henk, Bambang Purwanto dan Ratna Saptari. 2008. Perspektif Baru Penulisan
Sejarah Indonesia. Jakarta: Yayasan Obor.
Putro, Herry Porda Nugroho. 1995. “Kontribusi Pemahaman Makna Sejarah Indonesia Abad
XIX dan Kesadaran Sejarah terhadap Sikap Kepemimpinan Mahasiswa Pendidikan
Sejarah”. Tesis, Program Pasca Sarjana Institut Keguruan dan Ilmu Pendidikan Jakarta.
Suryo, Djoko. 2009. Transformasi Masyarakat Indonesia Dalam Historiografi Indonesia Modern.
Yogyakarta: Jurusan Sejarah FIB UGM dan Sekolah.
Saifuddin Fedyani, Achmad & Mulyawan Karim (Penyunting).2008. Refleksi Karakter Bangsa.
Jakarta: Kementerian Negara Pemuda dan Olah Raga RI & Ikatan Alumni Universitas
Indonesia Forum Kajian Antropologi Indonesia.
Wineburg, Sam. 2006. Berpikir Historis Memetakan Masa Depan Mengajarkan Masa Lalu.
Jakarta: Yayasan Obor.

M.Z. Arifin Anis


488
MEMBANGUN KARAKTER MELALUI KEMANDIRIAN BELAJAR
AKUNTANSI MAHASISWA PROGRAM STUDI PENDIDIKAN EKONOMI
FKIP UNLAM BANJARMASIN
Melly Agustina Permatasari
Uniiversitas Lambung Mangkurat

ABSTRAK
Pendidikan karakter merupakan pembentukan diri manusia secara utuh yang dilakukan oleh
pendidik terhadap peserta didiknya, pembentukan diri tersebut akan menjadi tabiat atau
kebiasaan yang tertanam pada diri seseorang. Dalam hal ini dosen menanamkan karakter
baik kepada setiap mahasiswa. Kemandirian mahasiswa dalam belajar Akuntansi merupakan
hal yang sangat penting, dimana mahasiswa dalam belajar tidak tergantung pada orang lain,
memiliki kepercayaan diri, berperilaku disiplin, memiliki rasa tanggung jawab, berperilaku
berdasarkan inisiatif sendiri, dan mampu melakukan kontrol diri. Karakter dapat ditanamkan
salah satunya melalui kemandirian belajar. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui
gambaran kemandirian belajar Akuntansi mahasiswa Program Studi Pendidikan Ekonomi FKIP
UNLAM Banjarmasin dan cara membangun karakter melalui kemandirian belajar Akuntansi
mahasiswa program studi Pendidikan Ekonomi FKIP UNLAM Banjarmasin. Desain penelitian
ini adalah deskriptif kuantitatif. Teknik pengumpulan data menggunakan angket. Populasi dalam
penelitian ini adalah seluruh mahasiswa Program Studi Pendidikan Ekonomi FKIP Unlam
Banjarmasin. Teknik penarikan sampel menggunakan purposive sampling yaitu mahasiswa
Program Studi Pendidikan Ekonomi angkatan 2013 yang mengikuti perkuliahan Pengantar
Akuntansi I sebanyak 78 orang. Hasil penelitian menunjukkan kemandirian belajar Akuntansi
mahasiswa Pendidikan Ekonomi yaitu tidak tergantung pada orang lain, memiliki kepercayaan
diri, berperilaku disiplin, memiliki rasa tanggung jawab, berperilaku berdasarkan inisiatif sendiri,
dan mampu melakukan kontrol diri; secara keseluruhan hasilnya adalah baik. Melalui
kemandirian belajar Akuntansi dapat terbangun karakter percaya diri, disiplin, tanggung jawab,
dan mandiri.
Kata kunci: karakter, kemandirian belajar Akuntansi

I. PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Pendidikan dapat diartikan sebagai sebuah kegiatan yang dilakukan dengan sengaja dan
terencana yang dilaksanakan oleh orang dewasa yang memiliki ilmu dan keterampilan kepada anak
didik, demi terciptanya manusia sempurna yang berkarakter atau manusia yang insan kamil (Wibowo,
2012: 18).

Melly Agustina Permatasari


489
Fenomena yang terjadi pada program studi Pendidikan Ekonomi, dalam proses
pembelajaran menunjukkan mahasiswa dalam mengerjakan tugas masih tergantung pada
teman, kurang percaya diri, kurang disiplin dalam mengerjakan dan mengumpulkan tugas
kuliah, kurang bertanggung jawab terhadap tugas yang diberikan dosen, tidak memiliki inisiatif
sendiri, dan kurang mampu mengontrol diri dalam belajar. Hal ini menunjukkan kemandirian
belajar mahasiswa yang masih belum maksimal. Selain itu juga kurangnya penanaman karakter
mandiri, disiplin dan tanggung jawab. Sehingga diperlukan cara menanamkan karakter baik
pada setiap diri peserta didik melalui pendidikan karakter yang terintegrasi dalam kurikulum
dan perkuliahan.
Saat ini pendidikan nasional berupaya menyiapkan kualitas sumber daya manusia
yang bukan hanya produktif melainkan juga berperilaku baik. Sehingga manusia tidak hanya
dibekali dengan kemampuan dalam menguasai bidang-bidang keahlian dan keterampilan
dalam IPTEK tetapi juga dibekali dengan berbagai nilai dan sikap sebagai panduan bagi
perilakunya. Berbagai tata nilai yang menjadi pedoman bagi kelakuan manusia tersebut
bersumber dari pendidikan karakter.
Pendidikan karakter adalah pendidikan untuk membentuk kepribadian seseorang melalui
pendidikan budi pekerti yang hasilnya dapat dilihat dalam tindakan nyata seseorang yaitu jujur,
bertanggung jawab, disiplin, kerja keras, kreatif, mandiri, menghormati orang lain peduli lingkungan,
peduli sosial, tanggung jawab dan sebagainya. Pendidikan karakter ini akan mengatur berbagai
perilaku manusia dalam berbagai bidang kehidupan sosial manusia yang berpengaruh pada
sikap mental setiap manusia dalam melakukan aktivitasnya sehari-hari.
Perguruan tinggi adalah satuan pendidikan penyelenggara pendidikan tinggi yang
berkewajiban untuk ikut andil dalam pembentukan karakter bangsa. Tenaga pendidik perguruan
tinggi secara profesional memiliki fungsi sebagai pengajar, pendidik, dan pelatih sehingga
dapat mengembangkan aspek kognitif, afektif, dan psikomotorik peserta didik. Hal tersebut
menjadi pintu masuk bagi pendidikan karakter untuk dapat diimplemetasikan di tingkat perguruan
tinggi (Hasanah, 2013: 187).
Dari uraian di atas, penulis merasa perlu untuk meneliti mengenai membangun karakter
melalui kemandirian belajar Akuntansi mahasiswa Program Studi Pendidikan Ekonomi FKIP
UNLAM Banjarmasin.
1.2 Permasalahan
Permasalah yang dirumuskan dalam penelitian ini adalah “Bagaimana kemandirian
belajar Akuntansi mahasiswa program studi pendidikan ekonomi FKIP UNLAM Banjarmasin?
dan cara membangun karakter melalui kemandirian belajar Akuntansi mahasiswa program
studi Pendidikan Ekonomi FKIP UNLAM Banjarmasin?”
1.3 Tujuan Penelitian
Tujuan penelitian ini untuk mendeskripsikan kemandirian belajar Akuntansi mahasiswa
Program Studi Pendidikan Ekonomi FKIP UNLAM Banjarmasin dan cara membangun karakter
melalui kemandirian belajar Akuntansi mahasiswa program studi Pendidikan Ekonomi FKIP
UNLAM Banjarmasin.

490 Melly Agustina Permatasari


1.4 Manfaat Penelitian
Hasil Penelitian ini bagi mahasiswa diharapkan dapat memberikan informasi bagi
mahasiswa mengenai kemandirian belajar mahasiswa pada mata kuliah Pengantar Akuntansi
I. Bagi dosen diharapkan dapat memberikan informasi penting kepada para dosen di program
studi pendidikan ekonomi mengenai kemandirian belajar mahasiswa sehingga dosen dapat
membantu mahasiswa dalam menumbuhkan dan meningkatkan kemandirian belajar
mahasiswa khususnya pada mata kuliah Pengantar Akuntansi I. Bagi program studi Pendidikan
Ekonomi diharapkan dapat memberikan informasi kepada program studi Pendidikan Ekonomi
mengenai kemandirian belajar Akuntansi mahasiswa program studi Pendidikan Ekonomi dan
prodi dapat mengembangkan model-model pembelajaran yang dapat menumbuhkan
kemandirian belajar mahasiswa.

II. TINJAUAN PUSTAKA


2.1 Kemandirian Belajar
Kemandirian belajar merupakan kesiapan dari individu yang mau dan mampu untuk
belajar dengan inisiatif sendiri, dengan atau tanpa bantuan pihak lain dalam menentukan
tujuan belajar, metode belajar, dan evaluasi hasil belajar. Sugilar (2000) dalam Tahar dan
Enceng (2006: 92) karakteristik individu yang memiliki kesiapan belajar mandiri dicirikan oleh:
(1) kecintaan terhadap belajar, (2) kepercayaan diri sebagai mahasiswa, (3) keterbukaan
terhadap tantangan belajar, (4) sifat ingin tahu, (5) pemahaman diri dalam hal belajar, dan (6)
menerima tanggung jawab untuk kegiatan belajarnya.
Dalam pengertiannya yang lebih luas, kemandirian belajar mendeskripsikan sebuah
proses dimana individu mengambil inisiatif sendiri, dengan atau tanpa bantuan orang lain,
untuk mendiagnosis kebutuhan belajar, memformulasikan tujuan belajar, mengidentifikasi
sumber belajar, memilih dan menentukan pendekatan strategi belajar, dan melakukan evaluasi
hasil belajar yang dicapai (Tahar dan Enceng, 2006: 92).
Menurut Suyati kemandirian belajar merupakan kemampuan mahasiswa untuk
mencukupi kebutuhan belajarnya sendiri, mengerjakan tugas rutin secara mandiri,
bertanggungjawab atas tindakannya, percaya diri, mempunyai kemampuan inisiatif, mengatasi
masalah sendiri, dapat mengambil keputusan sendiri.
Sutisna (2010) dalam Maulana (2013: 2) bahwa kemandirian merupakan salah satu
aspek kepribadian yang sangat penting bagi individu. Seseorang dalam menjalani kehidupannya
tidak pernah lepas dari cobaan dan tantangan. Individu yang memiliki kemandirian tinggi relatif
mampu menghadapi segala permasalahan karena individu yang mandiri tidak tergantung
pada orang lain, selalu berusaha menghadapi dan memecahkan masalah yang ada.
Hiemstra menyatakan tentang kemandirian belajar sebagai bentuk belajar yang memiliki
tanggung jawab utama untuk merencanakan, melaksanakan, dan mengevaluasi usahanya. Hal senada
juga dikemukakan Haryono (2001) bahwa kemandirian belajar perlu diberikan kepada peserta ajar
supaya mereka mempunyai tanggung jawab dalam mengatur dan mendisiplinkan dirinya dalam
mengembangkan kemampuan belajar atas kemauan sendiri (Tahar dan Enceng, 2006: 91-92).

Melly Agustina Permatasari


491
Menurut Tahar dan Enceng (2006: 92) individu yang menerapkan kemandirian belajar
akan mengalami perubahan dalam kebiasaan belajar yaitu dengan cara mengatur dan
mengorganisasikan dirinya sedemikian rupa sehingga dapat menentukan tujuan belajar,
kebutuhan belajar, dan strategi yang digunakan dalam belajar yang mengarah kepada
tercapainya tujuan belajar yang telah dirumuskan. Kemandirian belajar adalah aktivitas belajar
yang dilakukan oleh individu dengan kebebasannya dalam menentukan dan mengelola sendiri
bahan ajar, waktu, tempat, dan memanfaatkan berbagai sumber belajar yang diperlukan. Dengan
kebebasan tersebut, individu memiliki kemampuan dalam mengelola cara belajar, memiliki
rasa tanggung jawab yang tinggi, dan terampil memanfaatkan sumber belajar.
Dalam sintesis kemandirian belajar terdapat tiga dimensi (Tahar dan Enceng, 2006:
94), sebagai berikut:
1. Dimensi pengelolaan belajar berarti peserta ajar harus mampu mengatur strategi,
waktu, dan tempat untuk melakukan aktivitas belajarnya seperti membaca, meringkas,
membuat catatan dan mendengarkan materi dari audio. Pengelolaan belajar itu
sangat penting. Peserta ajarlah yang secara otonom menentukan strategi belajar
yang digunakan, kapan ia menggunakan waktu belajarnya, dan di mana ia melakukan
proses pembelajarannya tanpa diperintah oleh orang lain. Kemampuan mengelola
proses pembelajaran dapat membantu peserta ajar untuk berhasil dalam belajar.
2. Dimensi tanggung jawab berarti peserta ajar mampu menilai aktivitas, mengatasi
kesulitan, dan mengukur kemampuan yang diperoleh dari belajar. Dalam belajar
mandiri peserta ajar dituntut untuk memiliki kesiapan, keuletan, dan daya tahan.
Sehingga diperlukan motivasi belajar yang tinggi. Kesulitan yang dialami dalam
belajar harus mereka atasi sendiri dengan mendiskusikan sesama peserta ajar
dengan memanfaatkan sumber belajar yang terkait dengan bahan ajar dan
memperbanyak latihan soal yang dapat meningkatkan pemahaman peserta ajar.
Disamping itu, peserta ajar harus mengukur kemampuan yang diperoleh dari hasil
belajar bila hasil belajarnya tidak memuaskan dengan memperbaiki cara belajar
dan secara rutin mengerjakan latihan soal.
3. Dimensi pemanfaatan berbagai sumber belajar berarti peserta ajar dapat
menggunakan berbagai sumber belajar seperti modul, majalah, kaset audio, VCD,
Computer Assested Instructional (CAI), internet, dan tutor. Peserta ajar secara
leluasa menentukan pilihan sumber belajar yang diinginkan.
Menurut Robert Ronger (1990) yang dikutip Hidayati dan Endang, seseorang dikatakan mandiri
jika: (1) Dapat bekerja sendiri secara fisik, (2) Dapat berpikir sendiri, (3) Dapat menyusun ekspresi atau
gagasan yang dimengerti orang lain, dan (4) Kegiatan yang dilakukan disahkan sendiri secara emosional.
Sedangkan menurut Goodman and Smart (1999) dalam Hidayati dan Endang, menyatakan bahwa
kemandirian mencakup tiga aspek yaitu: (1) Independent (ketidak tergantungan) yang didefinisikan
sebagai perilaku yang aktivitasnya diarahkan pada diri sendiri, tidak mengharapkan pengarahan orang
lain, bahkan mencoba serta menyelesaikan masalahnya sendiri tanpa minta bantuan orang lain, (2)
Autonomi (menetapkan hak mengurus sendiri) atau kecenderungan berperilaku bebas dan original,
dan (3) Sefl Reliance, perilaku yang didasarkan pada kepercayaan diri sendiri.

492 Melly Agustina Permatasari


Menurut Hidayati dan Endang ada enam indikator kemandirian belajar mahasiswa yaitu: (1)
Ketidaktergantungan terhadap orang lain, (2) Memiliki kepercayaan diri, (3) Berperilaku disiplin, (4) Memiliki
rasa tanggung jawab, (5) Berperilaku berdasarkan inisiatif sendiri, dan (6) Melakukan kontrol diri.
Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa kemandirian adalah kemampuan
seseorang dalam mewujudkan kehendak atau keinginannya secara nyata dengan tidak
bergantung pada orang lain. Dengan kemandirian belajar seseorang akan mengalami
perubahan perilaku dalam bentuk pengetahuan, keterampilan nilai, dan sikap tertentu.
Perubahan perilaku yang terjadi merupakan akibat dari proses pembelajaran pada diri
seseorang dalam mencapai tujuan pembelajaran.
2.2 Kemandirian Belajar Akuntansi
Kemandirian mahasiswa dalam belajar Akuntansi yaitu ketidaktergantungan terhadap
orang lain, memiliki kepercayaan diri, berperilaku disiplin, memiliki rasa tanggung jawab,
berperilaku berdasarkan inisiatif sendiri, dan mampu melakukan kontrol diri.
2.3 Karakter
Fakry Gaffar dalam Kesuma, dkk (2011: 5) menyatakan bahwa pendidikan karakter
merupakan “sebuah proses transformasi nilai-nilai kehidupan untuk ditumbuhkembangkan
dalam kepribadian seseorang sehingga menjadi satu dalam perilaku kehidupan orang itu”.
Definisi tersebut memuat tiga ide pikiran penting yaitu: (1) proses transformasi nilai-nilai, (2)
ditumbuhkembangkan dalam kepribadian, dan (3) menjadi satu dalam perilaku.
Lichona (1992) dalam Elmubarok (2009: 110) menekankan pentingnya karakter yang
baik yaitu moral knowing atau pengetahuan tentang moral, moral feeling atau perasaan tentang
moral, dan moral action atau perbuatan bermoral.
Tujuan pendidikan karakter pada dasarnya adalah mendorong lahirnya manusia yang
baik, yang memiliki kepribadian menarik, beretika, bersahaja, jujur, cerdas, peduli, dan tangguh.
Tumbuh dan berkembangnya karakter yang baik akan mendorong peserta didik melakukan
berbagai hal yang terbaik dan melakukan segalanya dengan benar dan memiliki tujuan hidup.
Individu yang berkarakter baik dan tangguh adalah seseorang yang berusaha melakukan hal-hal
yang terbaik terhadap Tuhan YME, dirinya, sesama, lingkungan, bangsa, negara, serta dunia
internasional pada umumnya dengan mengoptimalkan potensi dirinya dan disertai dengan
kesadaran, emosi, dan motivasi. Sehingga pendidikan tidak hanya sebatas mentransfer ilmu
pengetahuan saja, namun lebih dari itu, yakni bagaimana dapat membentuk karakter dan watak
seseorang agar menjadi lebih baik, mempunyai skill yang mumpuni, lebih sopan dalam tataran
etika dan estetika serta perilaku dalam kehidupan sehari-hari (Hasanah, 2013: 187-188).
Ada 18 nilai-nilai dalam pengembangan pendidikan budaya dan karakter bangsa
yang dibuat oleh Departemen Pendidikan Nasional. Seluruh tingkat pendidikan di Indonesia
harus menyisipkan pendidikan berkarakter tersebut dalam proses pendidikannya. Ke-18 nilai
dalam pendidikan karakter yaitu: Religius, Jujur, Toleransi, Disiplin, Kerja Keras, Kreatif, Mandiri,
Demokratis, Rasa Ingin Tahu, Semangat Kebangsaan, Cinta Tanah Air, Menghargai Prestasi,
Bersahabat atau Komunikatif, Cinta Damai, Gemar Membaca, Peduli Lingkungan, Peduli Sosial,
dan Tanggung Jawab (Departemen Pendidikan Nasional, 2010).

Melly Agustina Permatasari


493
III. METODE PENELITIAN
3.1 Desain Penelitian
Metode penelitian merupakan cara ilmiah untuk mendapatkan informasi dengan tujuan
dan kegunaan tertentu. Penelitian ini dilaksanakan menggunakan metode deskriptif kuantitatif.
Dimana dalam penelitian ini akan digambarkan kemandirian belajar Akuntansi mahasiswa
program studi pendidikan ekomomi dengan membuat kualifikasi dan persentase.
3.2 Populasi dan Sampel
Populasi dalam penelitian ini adalah semua mahasiswa Program Studi Pendidikan
Ekonomi Jurusan Pendidikan IPS FKIP UNLAM Banjarmasin. Sedangkan sampel penelitian
ini adalah mahasiswa Program Studi Pendidikan Ekonomi yang memprogram Mata Kuliah
Pengantar Akuntansi I pada semester Ganjil Tahun 2013/2014 untuk kelas A sebanyak 38
orang dan kelas B sebanyak 40 orang, total sampelnya adalah 78 orang.
3.3 Teknik Pengumpulan Data
Pengumpulan data dilakukan dengan menggunakan angket atau kuesioner. Teknik
ini digunakan untuk memperoleh informasi tentang keterampilan sosial mahasiswa. Angket
yang digunakan adalah angket tertutup. Skala pengukuran dalam penelitian ini adalah skala
interval dengan menggunakan skala Likert dengan lima alternatif jawaban yaitu sangat setuju
(SS), setuju (S), kurang setuju (KS), tidak setuju (TS) dan sangat tidak setuju (STS).
3.4 Teknik Analisis Data
Teknik analisis data menggunakan analisis deskriptif persentase untuk mengetahui
kemandirian belajar Akuntansi mahasiwa program studi Pendidikan Ekonomi. Untuk keperluan
analisis statistik semua perhitungan dan uji statistik menggunakan Statistical Product and Service
Solution (SPSS) 20 for Windows.

IV. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN


4.1 Kemandirian Belajar Akuntansi
Berikut ini akan dideskripsikan secara rinci variabel kemandirian belajar Akuntansi
terbagi dalam enam indikator, yaitu ketidaktergantungan terhadap orang lain, memiliki
kepercayaan diri, berperilaku disiplin, memiliki rasa tanggung jawab, berperilaku berdasarkan
inisiatif sendiri, dan mampu melakukan kontrol diri. Berdasarkan hasil perhitungan analisis
deskriptif persentase variabel kemandirian belajar Akuntansi per indikator diperoleh hasil sebagai
berikut:

494 Melly Agustina Permatasari


Tabel Perhitungan Analisis Deskriptif Persentase Indikator
Kemandirian Belajar Akuntansi

INDIKATOR PERSENTASE KRITERIA


Ketidaktergantunagn pada orang lain 87,38 Sangat Tinggi
Memiliki kepercayaan diri 61,45 Tinggi
Berperilaku disiplin 46,41 Sedang
Memiliki rasa tanggung jawab 66,83 Tinggi
Berperilaku berdasarkan inisiatif sendiri 69,96 Timggi
Mampu melakukan kontrol diri 68,33 Tinggi

Sumber: Hasil Penelitian (Diolah) 2013

Berikut ini presentase kemandirian belajar Akuntansi per indikator yang dapat dilihat
pada gambar berikut:

100 87.38
66.83 69 .96 68.33
80 61.45 1
46.41 2
60
3
40 4
5
20
6
0
1 2 3 4 5 6

Gambar Kemandirian Belajar Akuntansi

Berdasarkan tabel dan gambar di atas dapat diketahui bahwa indikator kemandirian
belajar Akuntansi yang memiliki persentase sangat tinggi yaitu ketidaktergantungan terhadap
orang lain sebesar 87,38%. Hal ini menunjukkan bahwa mahasiswa Pendidikan Ekonomi
sangat baik dalam belajar karena tidak tergantung pada orang lain. Kemandirian belajar tersebut
tentu harus dipertahankan. Kemudian inidikator kemandirian belajar Akuntansi yang memiliki
persentase tinggi yaitu memiliki kepercayaan diri (61,45%), memiliki rasa tanggung jawab
(66,83%), berperilaku berdasarkan inisiatif sendiri (69,96%), dan mampu melakukan kontrol
diri (68,33%). Hal ini menunjukkan bahwa mahasiswa Pendidikan Ekonomi sudah baik dalam
memiliki kepercayaan diri, memiliki rasa tanggung jawab, berperilaku berdasarkan inisiatif
sendiri, dan mampu melakukan kontrol diri. Kemandirian belajar tersebut tentu harus
dipertahankan dan lebih ditingkatkan lagi. Sedangkan indikator kemandirian belajar akuntansi

Melly Agustina Permatasari


495
yang memiliki persentase terendah yaitu berperilaku disiplin dengan persentase 46,41%. Hal ini
menunjukkan bahwa mahasiswa Pendidikan Ekonomi berperilaku disiplin yang baik namun
sebaiknya lebih ditingkatkan lagi seperti membuat perencanaan kegiatan belajar, berusaha hadir
kuliah tepat waktu, mengumpulkan tugas-tugas perkuliahan tepat waktu, setiap ada tugas dari
Bapak/Ibu dosen langsung dikerjakan pada hari itu juga, mengumpulkan tugas yang diberikan
oleh Bapak/Ibu dosen tepat waktu, dan belajar secara teratur tidak hanya akan ujian saja.
Kesimpulan dari variabel kemandirian belajar akuntansi mahasiswa Pendidikan
Ekonomi dapat dilihat pada tabel berikut:
Tabel Variabel Mahasiswa Pendidikan Ekonomi

VARIABEL PERSENTASE KRITERIA


Kemandirian Belajar Akuntasi 64,35 Tinggi

Sumber: Hasil Penelitian (Diolah) 2013

Berdasarkan tabel 2 dapat diketahui bahwa dari perhitungan deskriptif persentase


diperoleh hasil untuk variabel kemandirian belajar Akuntansi adalah 64,35% termasuk kategori
tinggi. Secara keseluruhan kemandirian belajar Akuntansi mahasiswa Pendidikan Ekonomi
adalah baik.
4.2 Karakter
Beberapa karakter yang dapat dibangun melalui kemandirian belajar yaitu:
1. Mandiri
Karakter mandiri dapat dilihat dari indikator ketidaktergantungan terhadap orang lain
seperti mahasiswa memilih sendiri strategi belajarnya, menyelesaikan tugas-tugas perkuliahan
sesuai dengan kemampuan, belajar sendiri tanpa diperintah orang tua, apabila ada soal-soal
atau tugas yang sulit, selalu berusaha untuk memecahkan sendiri tanpa meminta bantuan
orang lain. Karakter mandiri dapat dilihat dari indikator berperilaku berdasarkan inisiatif sendiri
seperti berpendapat secara sadar atas keinginan sendiri, bertindak secara sadar atas kehendak
sendiri, mengerjakan soal-soal latihan meskipun bukan tugas perkuliahan, apabila ada soal-
soal yang salah yang belum bisa dijawab selalu berusaha untuk membetulkannya, sesudah
tes/ujian mencoba mengulang kembali untuk menjawab tes/ujian tersebut di rumah.
2. Disiplin
Karakter disiplin dapat dilihat dari indikator berperilaku disiplin seperti mahasiswa
senantiasa membuat perencanaan atas kegiatan belajarnya, berusaha hadir kuliah tepat waktu,
senantiasa mengumpulkan tugas-tugas perkuliahan tepat waktu, setiap ada tugas dari dosen
langsung dikerjakan pada hari itu juga, mengumpulkan tugas yang diberikan oleh dosen tepat
waktu, belajar secara teratur tidak hanya akan ulangan saja.

496 Melly Agustina Permatasari


3. Tanggung jawab
Karakter disiplin dapat dilihat dari indikator memiliki rasa tanggung jawab seperti
mahasiswa belajar sesuai dengan jadwal yang dibuat, memacu diri untuk terus semangat
dalam belajar, mampu memfokuskan perhatian dalam kegiatan perkuliahan, berusaha
melaksanakan kegiatan belajar sebaik mungkin.

V. SIMPULAN DAN SARAN


5.1 Simpulan
Berdasarkan hasil penelitian dapat disimpulkan bahwa kemandirian belajar Akuntansi
mahasiswa program studi Pendidikan Ekonomi seperti ketidaktergantungan terhadap orang
lain, memiliki kepercayaan diri, berperilaku disiplin, memiliki rasa tanggung jawab, berperilaku
berdasarkan inisiatif sendiri, dan mampu melakukan kontrol diri. Secara keseluruhan
kemandirian belajar mahasiswa dalam mata kuliah pengantar akuntansi adalah baik.
Melalui kemandirian belajar dapat dibangun beberapa karakter seperti mandiri, disiplin dan
tanggung jawab.
5.2 Saran
Dari hasil penelitian ini, maka saran yang dapat diberikan adalah sebagai berikut:
1. Mahasiswa seharusnya lebih meningkatkan dan mengembangkan kemandirian
belajarnya meliputi ketidaktergantungan terhadap orang lain, memiliki kepercayaan
diri, berperilaku disiplin, memiliki rasa tanggung jawab, berperilaku berdasarkan
inisiatif sendiri, dan mampu melakukan kontrol diri. Secara keseluruhan
kemandirian belajar mahasiswa dalam mata kuliah Pengantar Akuntansi adalah
baik.
2. Dosen dapat menerapkan berbagai strategi/pendekatan, model, dan metode dalam
proses pembelajaran Akuntansi untuk lebih meningkatkan kemandirian belajar
mahasiswa.
3. Untuk Program Studi Pendidikan Ekonomi harusnya mempertahankan dan lebih
meningkatkan kemandirian belajar mahasiswa Pendidikan Ekonomi dan
membangun karakter melalui perkuliahan dan mengintegrasikannya dalam
kurikulum.
4. Penelitian ini hanya meneliti mengenai kemandirian belajar mahasiswa pada mata
kuliah Pengantar Akuntansi. Maka dari itu bagi para peneliti lain yang juga ingin
meneliti tentang kemandirian belajar dan karakter dapat meneliti faktor-faktor lain
yang dapat mempengaruhi kemandirian belajar dan karakter mahasiswa.

Melly Agustina Permatasari


497
DAFTAR PUSTAKA
Departemen Pendidikan Nasional. 2010. Bahan Pelatihan Penguatan Metodologi Pembelajaran
Berdasarkan Nilai-nilai Budaya untuk Membentuk Daya Saing dan Karakter Bangsa.
Pusat Kurikulum Departemen Pendidikan Nasional.
Elmubarok, Zaim. 2009. Membumikan Pendidikan Nilai. Mengumpulkan yang Terserak,
Menyambung yang Terputus, dan Menyatukan yang Tercerai. Bandung: Alfabeta.
Hasanah. 2013. Implementasi Nilai-nilai Karakter Inti di Perguruan Tinggi. pdf. Jurnal Pendidikan
Karakter, Tahun III, Nomor 2.
Hidayati, Kana and Endang Listyani. (Tanpa tahun). Improving Instruments Of Students’ Self-
Regulated Learning. pdf. Journal. FMIPA UNY Mathematics Education Department.
Kesuma, Dharma dkk. 2011. Pendidikan Karakter, Kajian Teori dan Praktik di Sekolah. Bandung:
Rosda Karya.
Maulana. 2013. Kemandirian Belajar Guru Sekolah Dasar (Studi Deskriptif terhadap Guru SD
dari Enam Kabupaten di Jawa Barat). pdf. Jurnal Pendidikan Dasar, edisi bulan Februari
2013. Pendidikan Guru Sekolah Dasar Universitas Pendidikan Indonesia Kampus
Sumedang.
Tahar, Irzan dan Enceng. 2006. Hubungan Kemandirian Belajar dan Hasil Belajar Pada
Pendidikan Jarak Jauh. pdf . Jurnal Pendidikan Terbuka dan Jarak Jauh, Volume. 7,
Nomor 2, September 2006, 91-101.
Wibowo, Agus. 2012. Pendidikan Karakter, Strategi Membangun Karakter Bangsa Berperadaban.
Yogyakarta: Pustaka Belajar.

498 Melly Agustina Permatasari


TAMAN KOTA DAN PEMBENTUKAN KARAKTER GENERASI MUDA
Muhaimin
STAI Syaichona Kholil

ABSTRAK
Konsep diri anak muda Surabaya dalam memandang taman sudah berubah dan sangat
mempengaruhi pola perilaku dan paradigma mereka dalam memandang eksistensi diri, taman,
dan kotanya secara keseluruhan. Perubahan positif inilah yang kita harapkan bersama dengan
partisipasi aktif anak muda secara nyata dalam menjaga dan melestarikan, tidak hanya taman
kotanya tetapi lingkungan hidup secara keseluruhan. Menjadikan taman sebagai pilihan utama
mereka beraktivitas di luar mal, akan memberikan dampak positif bagi mentalitas anak muda
secara keseluruhan. Banyak perilaku dan karakter positif yang dapat dibentuk dan ditumbuhkan
dari taman kota kepada anak muda.
Kata Kunci: taman kota, karakter, anak muda

I. PENDAHULUAN
Hasil survei Deteksi Jawa Pos (22-26/2/2014) tentang tempat nongkrong favorit anak
muda Surabaya selain mal adalah taman kota (29,1%) merupakan sesuatu yang mengejutkan.
Hanya Surabaya yang menjadikan taman kotanya sebagai tempat alternatif bagi anak mudanya,
dibandingkan dengan kota lain seperti Jakarta, Bandung, Yogyakarta, dan Denpasar yang
menganggap kafe, resto, dan pantai sebagai tempat yang paling nge-hype. Surabaya juga
merupakan kota yang anak mudanya tidak mall minded (36,3%) (Jawa Pos, 26/2), sebagaimana
anak muda Jakarta (52,2%), Bandung (40,4%), dan Yogyakarta (40,4%) yang menganggap mal
sebagai bagian dari gaya hidup utama mereka.
Perubahan perilaku dan gaya hidup anak muda Surabaya dari sudut pandang psikologi,
pendidikan, dan sosial sangat menarik dikaji, ditengah perilaku hedonis anak muda yang
menjadikan tempat hiburan seperti: café, resto, dan tongkrongan anak gaul lainnya sebagaimana
tempat favorit rekan-rekan mereka di Jakarta, Bandung, dan Yogyakarta. Konsep diri anak
muda Surabaya dalam memandang taman sudah berubah dan sangat mempengaruhi pola
perilaku dan paradigma mereka dalam memandang eksistensi diri, taman, dan kotanya secara
keseluruhan. Perubahan positif inilah yang kita harapkan bersama dengan partisipasi aktif
anak muda secara nyata dalam menjaga dan melestarikan, tidak hanya taman kotanya tetapi
lingkungan hidup secara keseluruhan.

Muhaimin
499
II. TAMAN KOTA DAN KONTRIBUSI DALAM PEMBENTUKAN KARAKTER ANAK MUDA SURABAYA
Taman kota dipandang secara komprehensif meliputi dimensi fisik, sosial, budaya,
ekonomi, dan institusi kota dengan ekosistem yang melingkupi serta mendukung kehidupan
warga kota. Taman kota juga terkait dengan pemenuhan hak warga akan ruang publik yang
sangat menentukan kualitas hidup di perkotaan, karena mempengaruhi secara psikologis
terhadap warganya.
Revitalisasi dan penataan taman di berbagai sudut kota Surabaya, tidak hanya
dilakukan sebagai pendekatan dalam proses perencanaan kota yang diterapkan untuk menata
kembali suatu kawasan di dalam kota dengan tujuan untuk memperindah dan mempercantik
kota, tetapi juga mendapatkan nilai tambah yang lebih memadai dari kawasan kota tersebut
sesuai dengan potensi ekonomi, sosial, dan budaya yang dimiliki.
Taman kota Surabaya, berkontribusi positif dalam membentuk karakter dan konsep diri
anak muda Surabaya sekarang ini. Fenomena taman kota yang banyak dipenuhi anak muda
dengan berbagai aktivitas seperti: membaca, ngobrol, nongkrong, berolahraga, bermain musik,
dan interaksi sosial lainnya marak dijumpai di Surabaya. Hal-hal inilah yang dapat membentuk
karakter positif anak muda Surabaya. Dari konsep inilah pendidikan karakter tidak hanya dibentuk
dalam konteks pendidikan formal, tetapi juga melalui taman kota dan komunitas masyarakatnya.
Dengan konsep dalam memandang taman yang demikian, fonemena “sick city, sick
people, sick world”, akan dapat ditekan. Fenomena tersebut muncul di kota-kota besar telah
menjadi sumber ketegangan, konflik, dan stres, dan sebagai sumber penyakit yang diakibatkan
berbagai problem fisik dan psikologis masyarakat perkotaan, termasuk kalangan remajanya.
Tidak heran jika, fenomena kenakalan remaja seperti: genk motor, narkoba, tawuran anak
muda, di Surabaya relatif tidak semarak seperti di kota-kota besar lainnya, seperti: Jakarta,
Yogyakarta, dan Bandung. Mereka punya konsep diri yang positif tentang taman, sehingga
dapat mereduksi perilaku-perilaku negatif yang menjadi penyakit anak muda.
Beberapa karakter dominan dari taman kota Surabaya dalam yang menumbuhkan
dan membentuk karakter anak muda Surabaya adalah sebagai berikut:
2.1 Karakter Peduli Lingkungan
Hal yang paling menonjol dalam kontribusi taman kota dalam pembentukan karakter
anak muda adalah kepedulian terhadap lingkungan hidup. Kepedulian lingkungan di Indonesia
merupakan salah satu nilai yang dikembangkan dalam pendidikan budaya dan karakter bangsa.
Kepedulian lingkungan dideskripsikan oleh sikap dan tindakan yang selalu berupaya mencegah
kerusakan pada lingkungan alam di sekitarnya, dan mengembangkan upaya-upaya untuk
memperbaiki kerusakan alam yang sudah terjadi (Hasan, 2010:10).
Untuk itulah anak muda Surabaya melalui taman kotanya dikembangkan nilai-nilai moral
yang dapat membentuk karakter peduli lingkungan yang pada akhirnya membentuk kompetensi
ekologis siswa. Usaha untuk membentuk dan menumbuhkan kepedulian terhadap lingkungan
hidup dapat dibentuk melalui pendidikan formal dan informal dalam konteks masyarakat, yang
salah satunya adalah dengan media taman kota dan segenap komponennya yang bisa dijadikan
media dan sumber pembelajaran yang berkenaan dengan lingkungan hidup.

Muhaimin
500
Lickona (1992:53) dalam bukunya Educating for Character mengacu pada pemikiran
filosofi Michael Novak yang berpendapat bahwa watak seseorang dibentuk melalui tiga aspek
yaitu, pengetahuan moral (moral knowing), sikap moral (moral feeling), dan prilaku moral (moral
action). Dengan demikian, hasil pembentukan sikap karakter anak pun dapat dilihat dari tiga
aspek, yaitu konsep moral, sikap moral, dan perilaku moral. Taman bisa diimplementasikan
dalam berbagai pembentukan karakter dalam konsep Lickona dalam bentuk pengetahuan,
sikap, dan moral tentang lingkungan hidup. Bagaimana anak muda mengenal taman dan
fungsinya, mengenal berbagai jenis tanaman dan segala instrumen pendukungnya, bagaimana
taman dapat membentuk sikap dan pandangan yang positif terhadap anak muda, dan kemudian
membentuk perilaku yang selaras dengan pelestarian taman kota tersebut.
Mencintai lingkungan perlu ditanamkan sejak usia muda. Kebiasaan kita adalah
menggunakan berbagai sumber daya alam, tanpa berpikir bagaimana melestarikannya. Hal
ini dilakukan terutama akibat eksploitasi lingkungan oleh berbagai pihak yang membentuk
mainstream siswa dalam berperilaku terhadap lingkungan. Proses imitasi inilah yang juga
menyebabkan krisis moral ekologis bagi generasi muda khususnya pelajar. Proses
pengembangan nilai-nilai yang menjadi landasan dari karakter itu menghendaki suatu proses
yang berkelanjutan, dilakukan melalui berbagai hal yang mendukung pembentukan karakter
ekologis, termasuk melalui keberadaan taman kota.
Taman kota dapat membentuk siswa dengan memiliki kepedulian serta perhatian
tentang saling keterkaitan antara ekonomi, sosial, politik, dan ekologi di wilayahnya, memberikan
kesempatan kepada setiap orang untuk mengembangkan pengetahuan, nilai, sikap, komitmen,
dan kemampuan yang dibutuhkan untuk melindungi dan memperbaiki lingkungan dan
menciptakan pola perilaku yang baru pada individu, kelompok, dan masyarakat sebagai suatu
keseluruhan terhadap lingkungan (Gyallay, 2001: 409).
Taman kota sebagai suatu lambang komunitas bersama dapat membentuk
pembiasaan (habit formation) bersama masyarakat kotanya. Membentuk sikap, perilaku, dan
partisipasi yang berwawasan lingkungan memerlukan pembiasaan. Pembiasaan itu antara
lain: menanam pohon, menjaga kebersihan lingkungan, tidak membuang sampah
sembarangan, tidak merusak lingkungan, memanfaatkan alam secara seimbang, penghijauan
lingkungan dan sebagainya. Budaya-budaya yang dikembangkan dengan pembiasaan dapat
membentuk mentalitas ekologis anak muda ke arah yang lebih baik.
2.2 Karakter Peduli Sosial
Taman kota Surabaya didefinisikan oleh anak muda Surabaya tidak hanya sebatas
ruang publik, tetapi juga tempat mereka beraktivitas dan berinteraksi dengan teman dan
berbagai lapisan sosial lainnya. Kondisi ini memberikan kenyamanan bagi anak muda Surabaya
baik secara fisik dan psikologis. Bagi anak muda, taman kota yang tersebar di berbagai sudut
Surabaya, merupakan tempat bagi mereka beraktivitas dan mengekspresikan secara bebas
berbagai hal dalam kehidupannya.
Karakter peduli sosial dapat dibentuk melalui taman kota, yang dijadikan tempat
berkumpul dan beraktivitas dalam segala lapisan masyarakat Surabaya. Anak muda dapat

Muhaimin
501
belajar berinteraksi dengan berbagai lapisan masyarakat melalui taman kota.Keterampilan
sosial juga dibangun dengan menjadikan taman kota sebagai tempat nongkrong anak muda.
Satu sama lain dapat membangun kepedulian, meningkatkan solidaritas sosial, dan tindakan
yang saling membantu dalam banyak hal. Peduli sosial ini dapat dibangun dengan sikap dan
tindakan yang selalu ingin memberi bantuan pada orang lain dan masyarakat yang
membutuhkan (Hasan, 2010:9).
Dengan menjadikan taman sebagai tempat nongkrong favorit dapat membangun
kecerdasan sosial anak muda Surabaya. Mereka juga mengenal berbagai struktur masyarakat
kota yang sangat heterogen dari berbagai sudut pandang. Tua dan muda berkumpul melahirkan
interaksi yang positif. Taman kota di Surabaya yang merupakan tempat berkumpul
masyarakatnya pada dasarnya merupakan pengejawantahan budaya, dengan beraneka ragam
karakter, sifat, kekhasan, keunikan, kepribadian. Hal ini merupakan melting pot pluralisme
dalam konteks yang sesungguhnya meliputi berbagai aspek seperti: sosial, budaya, ekonomi,
pendidikan, dan sebagainya. Dari sinilah mereka melihat realitas kotanya yang menumbuh
sinergi untuk bersama-sama mewujudkan kualitas kota yang lebih baik.
Taman dapat melatih dan menumbuhkan berbagai keterampilan dan kecerdasan
sosial anak muda seperti: menghargai perbedaan, memupuk tanggungjawab sebagai warga
kota, kepedulian, memupuk simpati dan empati, kemampuan berkomunikasi, bekerja sama
dengan orang lain, membentuk jaringan, membentuk moral ekologis, dan sebagainya. Taman
kota berimplikasi dengan meningkatnya mobilitas dan interaksi anak muda di Surabaya. Penataan
tata ruang taman yang efektif, sarana prasarana yang memadai, apalagi dilengkapi dengan
fasilitas wifi di berbagai taman kota Surabaya, dapat meningkatkan mobilitas dan intensitas
anak muda untuk pergi ke taman dengan berbagai tujuan yang positif.
2.3 Karakter Tanggungjawab
Memelihara dan melestarikan taman bukanlah hanya sekedar masalah sosial, tetapi
juga masalah ekonomi, budaya, politik, estetika, dan lain sebagainya. Jauh lebih dari itu, masalah
memelihara dan melestarikan taman merupakan masalah moral, sehingga menuntut suatu
pertanggungjawaban moral. Kalau disebut sebagai masalah moral berarti mengandung suatu
kewajiban dasar dan mengikat bagi warganya, untuk memperlakukan taman, memelihara dan
melestarikan taman secara baik dan penuh tanggung jawab.
Karakter tanggungjawab mencerminkan sikap dan perilaku seseorang untuk
melaksanakan tugas dan kewajibannya, yang seharusnya dia lakukan, terhadap diri sendiri,
masyarakat, dan lingkungannya. Dari taman kota inilah menuntut anak muda Surabaya untuk
ikut bertanggungjawab menjaga dan melestarikannya. Disiplin dalam merawat, seperti: tidak
membuang sampah sembarangan, tidak merusak taman, merawat, berkontribusi terhadap
kelestarian taman, dan sebagainya.
Tanggungjawab dalam bentuk partisipasi masyarakat khususnya anak muda dalam
pemanfaatan dan pendayagunaan taman kota dengan pengendalian berbagai hal yang
merusak, merasa memiliki dan bertanggung jawab dalam menjaga kualitas ruang yang nyaman
dan serasi serta berguna untuk kelanjutan pembangunan (Ibrahim, 2004:4).

Muhaimin
502
Karakter adalah watak, tabiat, akhlak, atau kepribadian seseorang yang terbentuk dari
hasil internalisasi berbagai kebajikan (virtues) yang diyakini dan digunakan sebagai landasan
untuk cara pandang, berpikir, bersikap, dan bertindak. Kebajikan terdiri atas sejumlah nilai,
moral, dan norma, seperti jujur, berani bertindak, dapat dipercaya, dan hormat kepada orang
lain. Interaksi seseorang dengan orang lain menumbuhkan karakter masyarakat dan karakter
bangsa. Oleh karena itu, pengembangan karakter bangsa hanya dapat dilakukan melalui
pengembangan karakter individu seseorang. Akan tetapi, karena manusia hidup dalam
lingkungan sosial dan budaya tertentu, maka pengembangan karakter individu seseorang hanya
dapat dilakukan dalam lingkungan sosial dan budaya yang bersangkutan. Artinya,
pengembangan budaya dan karakter bangsa hanya dapat dilakukan dalam suatu proses
pendidikan yang tidak melepaskan peserta didik dari lingkungan sosial, budaya masyarakat,
dan budaya bangsa (Hasan, 2010: 3-4).

III. TAMAN KOTA: IDENTITAS DAN KEBANGGAAN ANAK MUDA SURABAYA


Surabaya merupakan kota dengan taman terbaik di Indonesia yang diganjar dengan
berbagai penghargaan baik nasional maupun internasional, berhasil mengubah wajah lama
Surabaya yang kering dan gersang. Hal ini tentunya memberikan kebanggaan bagi warga kota,
termasuk di kalangan anak mudanya. Konsep diri mereka tentang taman berubah dengan
menimbulkan kebanggaan akan kotanya. Hal ini timbul dari pengakuan masyarakat kota lain
dan berbagai penghargaan yang membanggakan tersebut. Dari taman melahirkan simbol
identitas baru bagi anak muda Surabaya, bahwa taman di kota mereka menjadikan kota mereka
berbeda dengan kota-kota lain di Indonesia, menjadikan contoh untuk kota-kota lain dalam
membuat taman beserta pengelolaannya.
Dalam konsep diri anak muda Surabaya, taman kotanya saat ini dianggap sebagai
ikon baru Surabaya yang semakin melengkapi ikon-ikon lain yang selama ini melekat dengan
Surabaya. Deretan ini semakin menambah brand Surabaya di samping sebagai kota pahlawan
adalah kota dengan taman terbaik. Dari kebanggaan inilah melahirkan tanggungjawab dan
peran serta anak muda meningkat dalam partisipasi menjaga dan melestarikan taman. Rasa
memiliki dengan menganggap bahwa partisipasi anak muda dalam menjaga dan
memanfaatkan taman sudah menjadi kepentingan bersama (common interest), tidak hanya
dalam konteks keindahan kota, tetapi bagian yang melekat dari identitas dirinya sebagai warga
kota dan kota kebanggaannya.
Anak muda Surabaya menganggap bahwa taman itu adalah peneguhan identitas kota
dalam membentuk identitas Surabaya baru dalam satu dasawarsa terakhir ini dengan membentuk
harga diri dan jati diri masyarakatnya. Dari inilah dapat membangkitkan identitas diri yang secara
kolektif mampu menumbuhkan percaya diri penduduk dan kotanya. Selain itu juga meningkatkan rasa
memiliki masyarakat (sense of belonging) terhadap taman dengan terakomodasinya aspirasi mereka
akan taman kotanya.
Taman kota memberikan kontribusi yang positif dalam membangkitkan kesadaran
kaum muda untuk memiliki moral ekologis. Membentuk pola pikir dan mentalitas ekologis
dengan menjaga dan melestarikan lingkungan, terutama dengan keberlangsungan taman
Muhaimin
503
kota harus dilakukan bersama-sama sebagai wujud tanggung jawab untuk masa depan bersama
(our common future). Moral ekologis dalam diri anak muda di Indonesia masih sangat rendah.
Bagaimana membentuk pengetahuan, sikap, keterampilan, dan membangun partisipasi
ekologis generasi muda merupakan tanggungjawab bersama dari semua pihak yang
berkompeten. Melalui taman kota inilah moral ekologis anak muda dapat dibentuk dan
dikembangkan secara lebih positif.

IV. PENUTUP
Menjadikan taman sebagai pilihan utama mereka beraktivitas di luar mal, akan
memberikan dampak positif bagi mentalitas anak muda secara keseluruhan. Taman kota
membangun konsep diri yang positif. Mereka menjadi lebih tahu apa dan bagaimana hal itu
berwujud positif dan negatif. Perilaku mereka lebih terkontrol, karena mereka berada di ruang
publik. Berperilaku di ruang publik berbeda dengan berperilaku di café dan resto atau tempat
nongkrong anak muda lainnya. Pengendalian diri mereka lebih tersistematis karena dilandasi
oleh etika dan nilai-nilai masyarakat sebagai “pengawas” mereka di ruang publik. Banyak perilaku
dan karakter positif yang dapat dibentuk dan ditumbuhkan dari taman kota kepada anak muda.

DAFTAR PUSTAKA
Dirjen Penataan Ruang Depkimpraswil, Menata Ulang Kebijakan Penataan Ruang Kawasan
Perkotaan dalam Rangka Mewujudkan Good Urban Governance, Makalah pada
Seminar tentang Kebijakan Pengelolaan Pembangunan Perkotaan dalam Rangka
Perwujudan Good Urban Governance, Pusat Pengkajian Kebijakan Teknologi
Pembangunan Wilayah, BPPT, Jakarta, 16 Oktober 2002.
Deteksi Jawa Pos. Survey Tempat Nongkrong Anak Muda di Kota Besar. 22-26/Pebruari/2014.
Koesoema, Doni. 2010. Pendidikan Karakter: Strategi Mendidik Anak di Zaman Global. Jakarta:
Grasindo.
Gyallay, Peter. 2001. Environment: PAP-ETAP Reference Guide Book, Chapter 13. (http//
www.un.org.kh/fae/pdfs/ section4/chapterxxx3/33 .pdf).
Hasan, S. H, dkk. 2010. Pengembangan dan Pendidikan Budaya Karakter Bangsa. Jakarta:
Badan Penelitian dan Pengembangan Pusat Kurikulum Kemendiknas.
Ibrahim, Syahrul. 2004. Paradigma Baru Peran serta Masyarakat dalam Penataan Ruang.
Available from http://www.bktrn.org.
Lickona, T.1992. Educating for character: How our schools can teach respect and
responsibility. New York: Bantam Books.
Keraf, Sony. 2002. Etika Lingkungan. Jakarta: Penerbit Buku Kompas.
Muslich, M. 2011. Pendidikan Karakter: Menjawab Tantangan Krisis Multidimensional.
Jakarta: Bumi Aksara.
Suyanto. 2009. Urgensi Pendidikan Karakter. Diunduh dari: http://www.mandikdasmen.
depdiknas.go.id/web/pages/urgensi.html., pada tanggal 26 juni 2011.

Muhaimin
504
IMPLEMENTASI BLUE ECONOMY DALAM PENGEMBANGAN SDM
BERKARAKTER MENUJU INDONESIA SEBAGAI NEGARA MARITIM
Muhammad Rahmatullah
Universitas Lambung Mangkurat

ABSTRAK
Pengembangan Indonesia menuju negara maritim yang tangguh memiliki prospek yang sangat
besar untuk segera diwujudkan. Besarnya potensi kelautan yang dimiliki Indonesia saat ini
menjadi modal penting dalam perwujudan cita-cita tersebut. Tantangan yang muncul adalah
perlunya penyiapan SDM yang mampu mengelola berbagai potensi kelautan yang ada. Konsep
Blue Economy merupakan salah satu langkah strategis yang mengarahkan pada
pengembangan SDM yang berkualitas dan berkarakter untuk kebutuhan pencapaian tujuan
Indonesia menjadi negara maritim. Konsep ini dapat diwujudkan melalui jalur pendidikan
khususnya di perguruan tinggi dengan fokus pada implementasi melalui jalur Tri Dharma
perguruan tinggi.
Kata Kunci: Blue Economy, Negara Maritim, SDM Berkarakter, Tri Dharma Perguruan Tinggi

I. PENDAHULUAN
Sebagai salah satu bentuk pengembangan dari konsepsi ketahanan nasional, gagasan
pengembangan Indonesia sebagai Negara Maritim menjadi hal yang cukup penting untuk
digaungkan kembali di negara ini. Pengembangan konsepsi negara maritim Indonesia sejalan
dengan upaya peningkatan kemampuan bangsa kita menjadi bangsa yang modern dan mandiri
dalam teknologi kelautan dan kedirgantaraan bagi kesejahteraan bangsa dan negara dengan
tetap berlandaskan Pancasila dan UUD 1945 serta Wawasan Nusantara dan Ketahanan
Nasional sebagai landasan konsepsionalnya.
Pengembangan negara maritim sendiri dapat dilihat dari konteks kekuatan laut yang
tangguh (sea power), dimana parameternya mengarah pada tiga elemen operasional yaitu
unsur kekuatan militer (fighting instruments), penggerak roda perekonomian di laut (merchant
shipping) dan pangkalan atau pelabuhan (bases) (http://pusjianmar-seskoal.tnial.mil.id).
Mengarah pada konsep ini, tidak bisa disangkal bahwa Indonesia berpotensi besar untuk
segera berkembang menjadi negara maritim yang tangguh. Hal ini didasarkan pada sejumlah
fakta yang cukup mencengangkan. Sebagaimana dikutip dari Renstra KKP 2010-2014,
Indonesia adalah negara kepulauan terbesar di dunia karena memiliki luas laut dan jumlah
pulau yang besar. Panjang pantai Indonesia mencapai 104.000 km (Bakosurtanal, 2006) dengan

Muhammad Rahmatullah
505
luas wilayah laut berdasarkan UNCLOS 1982 mencapai 284.210,9 km2 laut teritorial, 2.981.211
km2 ZEEI, dan 279.322 km2 laut 12 mil. Potensi tersebut menempatkan Indonesia sebagai
negara yang dikaruniai sumber daya kelautan yang besar termasuk kekayaan keanekaragaman
hayati dan non hayati kelautan terbesar.
Dari potensi sumber daya kelautan yang besar tersebut, terdapat potensi
pengembangan untuk (a) perikanan tangkap di laut sebesar 6,5 juta ton dan di perairan umum
seluas 54 juta hektar dengan potensi produksi 0,9 juta ton/tahun, (b) budidaya laut seluas 8,3
juta ha terdiri dari budidaya ikan (20%), budidaya kekerangan (10%), budidaya rumput laut
(60%) dan lainnya (10%), (c) potensi budidaya air payau (tambak) seluas 1,3 juta ha, (d) budidaya
air tawar terdiri dari kolam seluas 526,40 ribu ha, perairan umum (danau, waduk, sungai dan
rawa) seluas 158,2 ribu ha, sawah untuk mina padi seluas 1,55 juta ha, serta (e) bioteknologi
kelautan untuk pengembangan industri bioteknologi kelautan seperti industri bahan baku untuk
makanan, industri bahan pakan alami, benih ikan dan udang, industri bahan pangan serta non
pangan yang memiliki nilai ekonomi tinggi seperti untuk industri kesehatan dan kosmetika
(farmasetika laut). Potensi ekonomi sumber daya kelautan dan perikanan yang berada di bawah
lingkup tugas KKP dan dapat dimanfaatkan untuk mendorong pemulihan ekonomi yang
diperkirakan sebesar US$ 82 miliar per tahun (KKP 2012).
Widyasari (2013) menjelaskan bahwa berdasarkan data Badan Penelitian dan
Pengembangan Kementerian Kelautan dan Perikanan (Balitbang KKP) 2013, estimasi nilai
ekonomi kelautan dari bidang-bidang maritim utama adalah: Perikanan, termasuk perikanan
tangkap, budidaya, dan pengolahan US$47 miliar/tahun; pariwisata bahari mencapai US$29
miliar/tahun, tersebar di 241 kabupaten/kota. Selanjutnya, energi terbaharukan US$80 miliar/
thn, antara lain terdiri dari energi arus laut, pasang surut, gelombang, biofuel alga, panas laut,
dll. Biofarmasetika laut US$330 miliar/tahun, didukung oleh tingginya kelimpahan dan
keanekaragaman hayati laut Indonesia untuk pengembangan industri bioteknologi bahan
pangan, obat-obatan, kosmetika, bioremediasi, dll. Transportasi laut US$90 miliar/tahun,
didukung oleh potensi jaringan transportasi laut nasional dan internasional, posisi strategis
Indonesia dan ALKI. Minyak bumi dan gas offshore US$68 miliar. Sebanyak 70 persen dari
produksi minyak dan gas bumi berasal dari pesisir, dimana 40 dari 60 cekungan potensial
mengandung migas terdapat di lepas pantai, 14 di pesisir dan hanya 6 di daratan. Kemudian,
seabed mineral mencapai US$256 miliar/tahun; industri dan jasa maritim mencapai US$72
miliar/tahun; dan garam industri mencapai US$28 miliar/tahun.

II. PEMBAHASAN
Besarnya potensi yang dimiliki Indonesia untuk memfokuskan pembangunan pada
sektor kelautan telah membawa angin segar dengan mulai diterapkannya konsep blue economy
sebagai langkah strategis di dalam percepatan industrialisasi kelautan dan perikanan mulai
tahun 2013. Blue Economy telah diusulkan sebagai Rencana Pembangunan Jangka Menengah
(RPJM) sektor kelautan dan perikanan 2013-2025. Ada lima poin penting yang telah disepakati
di dalam pengembangan blue economy di Indonesia. Pertama, pemerintah akan

Muhammad Rahmatullah
506
mengindentifikasi peluang-peluang investasi di sektor kelautan dan perikanan yang dapat
dikembangankan berbasis blue economy. Kedua, pengembangan usaha dan investasi berbasis
model blue economy. Ketiga, pengembangan sumber daya manusia di bidang kelautan dan
perikanan. Keempat, pengembangan dokumentasi dan materi Blue Economy untuk publik.
Terakhir upaya untuk mempromosikan penyelenggaraan dan partisipasi bersama di dalam
pertemuan internasional (http://www.kkp.go.id).
Terkait dengan pengembangan Sumber Daya Manusia (SDM) di bidang kelautan dan
perikanan, ternyata hal ini masih menjadi salah satu permasalahan mendasar yang dialami di
Indonesia. Indonesia masih berkutat pada beragam permasalahan di bidang pendidikan dari
jenjang dasar hingga pendidikan tinggi. Beberapa fakta yang terjadi antara lain rendahnya kualitas
lulusan perguruan tinggi di Indonesia untuk bisa berdaya guna di dunia nyata. Berdasarkan data
dari Organization for Economic Co-operation Development (OECD), Indonesia akan menjadi
negara dengan jumlah sarjana terbanyak kelima di dunia pada tahun 2020 mendatang. Data
tersebut merupakan proyeksi dari upaya Indonesia untuk meningkatkan jumlah lulusan perguruan
tinggi setiap tahunnya. Di sisi lain, penyerapan lulusan sarjana di Indonesia tergolong lambat.
Berdasarkan data dari Badan Pusat Statistik, jumlah pengangguran sarjana pada Februari 2013
mencapai 360 ribu orang, atau 5,04% dari total pengangguran yang mencapai 7,17 juta orang
(http://www.unpad.ac.id). Hal ini tentunya perlu mendapat perhatian serius karena SDM merupakan
salah satu faktor sentral dalam pengembangan perekonomian suatu negara.
Fenomena yang menarik bahwa jumlah penduduk usia produktif 15-40 tahun yang
sangat besar di Indonesia berdampak pada kebutuhan sekolah, lapangan kerja, ketersediaan
pangan, sandang dan berbagai kebutuhan pokok lainnya. Seluruh penduduk usia produktif
tersebut akan membutuhkan layanan pendidikan yang adil, merata, dan bermutu untuk
meningkatkan ilmu pengetahuan dan keterampilannya. Modal pendidikan menjadi penting
dalam meningkatkan kualitas sumber daya manusia (Anonim, 2012). Betapa strategisnya peran
usia produktif terlihat pada perkembangan komposisi tenaga kerja saat ini dan proyeksinya di
masa depan, sebagaimana terlihat pada gambar berikut:
Gambar 1 Perkembangan Komposisi Tenaga Kerja Indonesia.

Sumber: Renstra Ditjen Dikmen, 2012

Muhammad Rahmatullah
507
Dari penduduk yang bekerja pada 2001 hampir 100 juta, lebih dari 60 persen
berpendidikan Sekolah Dasar (SD) atau tidak tamat SD. Bahkan, hampir sepuluh tahun
kemudian pada 2010 tenaga kerja Indonesia masih didominasi mereka yang berpendidikan
SD. Namun, komposisi tenaga kerja Indonesia pada 2025 akan berubah dan lebih didominasi
oleh lulusan Sekolah Menengah Atas (SMA) dan Sekolah Menengah Kejuruan (SMK) sebanyak
50 persen. Diproyeksikan pada tahun 2025, lebih dari seratus juta penduduk yang bekerja dan
memiliki pendidikan lebih baik (hanya 25 persen tenaga kerja yang berpendidikan SD dan
Sekolah Menengah Pertama) akan menjadi solusi bagi usaha untuk mengentaskan kemiskinan
yang masih banyak di Indonesia. Tenaga kerja yang berpendidikan menengah ini juga dapat
menjadi solusi bagi pengangguran yang justru banyak terjadi di Pulau Jawa. Dominasi pekerja
yang berlatar belakang pendidikan menengah (SMA dan SMK) tidak terelakkan mengingat
sebagian besar lulusan pendidikan menengah masuk dunia kerja dan sebagian kecil
melanjutkan pendidikan ke perguruan tinggi. Selain keterbatasan biaya, keterbatasan daya
tampung perguruan tinggi menjadi kendala bagi lulusan pendidikan menengah untuk meraih
mimpi menjadi sarjana.
Dalam Renstra Ditjen Dikmen 2013 disebutkan bahwa terkait upaya mendukung
pembangunan ekonomi, pendidikan yang relevan dan berkualitas tinggi memainkan peran
penting untuk meningkatkan daya saing regional. Hal ini menuntut pendidikan agar mampu
melengkapi lulusannya untuk memiliki keterampilan teknis (hard skill), dan kemampuan untuk
berpikir analitis, berkomunikasi, serta bekerjasama dalam tim yang dirangkum sebagai
keterampilan lunak (soft skill). Pendidikan memiliki korelasi tinggi terhadap pertumbuhan
ekonomi suatu negara. Negara dengan industri yang maju dan ekonominya berkembang karena
ditunjang tingkat pendidikan tinggi masyarakatnya. Peran pendidikan dalam pertumbuhan
ekonomi akan terlihat ketika penambahan tenaga kerja memiliki produktifitas tinggi. Tenaga
kerja produktif hasil pendidikan yang baik akan melahirkan peningkatan keluaran atau output.
Bahkan, pengaruh pendidikan terhadap pertumbuhan ekonomi juga muncul secara tidak
langsung. Pendidikan memiliki efek pengali terhadap pertumbuhan ekonomi yang besar.
Gambar 2. Peran Pendidikan dalam Pertumbuhan Ekonomi

Sumber: Renstra Ditjen Dikmen, 2012

Muhammad Rahmatullah
508
2.1 Tantangan Pendidikan Ekonomi dalam Penyiapan SDM Berkualitas ke Arah
Pengembangan Blue Economy di Indonesia
Dalam Nattasya (2012) dijelaskan bahwa pencetus istilah Blue Economy,   Gunter
Paulli menilai bahwa Blue Economy yang digulirkan oleh dunia kelautan dan perikanan
merupakan aspek yang terpisah dari green economy. Conathan dan Kroh (2012) menjelaskan
bahwa Blue Economy merupakan konsep yang mengarah pada “great financial benefit from
these natural resources without compromising their beauty, health, or vitality”. Meskipun tujuannya
sama, untuk lingkungan, penerapan Blue Economy sendiri bertujuan untuk menciptakan industri
kelautan dan perikanan meningkat dari segi pendapatan dan kontribusi bagi negara namun
juga tetap memperhatikan bagaimana keberlanjutan sumberdaya alam kelautan dan perikanan.
Menteri Kelautan dan Perikanan RI, Sharif C Sutardjo mengutarakan bahwa Blue
Economy bukan sekedar penerapan Green Economy di laut, namun ada aspek penting lainnya
yakni seperti aspek alam dan manusia itu sendiri. Jadi, industri kelautan dan perikanan ke
depannya harus memperhatikan keramahan pada lingkungan dan bagaimana manusia
“kelautan dan perikanan sendiri” dalam hal ini nelayan maupun pelaku usaha bisa meningkat
dengan sejahtera. “Blue Economy juga tidak membutuhkan biaya tambahan seperti yang selama
ini terjadi dalam Green Economy. Industri membutuhkan biaya tambahan lagi untuk bisa
memproduksi produk yang “green”. Sedangkan dalam Blue Economy sendiri tidak sekedar
memotong biaya, tetapi bagaimana kita meningkatkan lebih banyak pendapatan dan nilai,”
tuturnya. Jadi intinya, Blue Economy sendiri adalah bagaimana mulai mengubah habit
(kebiasaan) industrial untuk lebih memperhatikan lingkungan baik SDA maupun SDM (Nattasya,
2012).
Lebih lanjut dalam Nattasya (2012) diuraikan bahwa kata kunci dalam pelaksanaan
blue economy adalah kepedulian sosial (sosial inclusiveness), efesiensi sumber daya alam,
dan sistem produksi tanpa menyisakan limbah. Sehingga konsep ini bisa menawarkan platform
yang luas dari ide-ide inovatif yang telah diimplementasikan di dunia dan dapat menginspirasi
kaum muda dan mendorong kemauan untuk, berwirausaha disetiap sektor bisnis kelautan dan
perikanan melalui pemanfaatan sumber daya yang tersedia secara berkelanjutan. Aspek inovasi
teknologi menjadi penting peranannya dalam perubahan ini. Dengan adanya konsepsi ini,
Indonesia harus merubah dan mengganti setiap industri kelautan dan perikanannya
menjadi zero waste (nol limbah)  dan itu tentu  saja  membutuhkan  inovasi teknologi kelautan
dan perikanan yang maju. Sehingga blue economy yang dikembangkan sebagai subjek
pendidikan dan pelatihan akan membuat generasi muda yang akan mengisi pembangunan
kelautan dan perikanan di masa depan mampu mengembangkan inovasi dan kreativitas serta
teknologi yang ramah lingkungan.
Sektor pendidikan sangat sentral tidak hanya dalam konteks membangun sumber daya
manusia berkualitas, tetapi sekaligus ikut serta dalam di pembangunan inclusive development.
Kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi merupakan hal yang penting bagi kemajuan bangsa,
sehingga pengembangan dan pengkayaan ilmu pengetahuan perlu mengadopsi cara pandang
baru yakni education for sustainable development within blue economy. Perguruan tinggi sebagai
center of excellence memiliki kepakaran dalam dunia riset dan pengembangan teknologi.
Muhammad Rahmatullah
509
Dunia riset dan teknologi harus dekat dengan dunia usaha. Kolaborasi dan integrasi antara
dunia pendidikan atau riset, pemerintah dan swasta berperan penting dan strategis di dalam
implementasi blue economy. “Penelitian, riset dan inovasi dapat membantu pemerintah dalam
memberikan alternatif penyelesaian yang riil untuk mengoptimalkan sumber daya kelautan dan
perikanan dengan mengolah sisa hasil perikanan dari satu produk menjadi bahan baku bagi produk
lain sehingga mampu menghasilkan lebih banyak produk turunan. Didalam penerapan konsep
blue  economy membutuhkan dukungan pengetahuan dan teknologi  (cutting-edge innovations),
yang tidak hanya mampu memanfaatkan sumber daya alam secara berkelanjutan, tetapi lebih
konkrit, inovasi dalam sistem produksi bersih tanpa limbah. “Berbagai tantangan dan masalahnya
yang sedemikian kompleks masih membayangi pengembangan blue economy, sehingga
diperlukan sebuah usaha dan pemikiran yang menyeluruh. Ide-ide baru dan inovasi baru justru
banyak dan timbul dari hasil pemikiran dari kalangan akademis (Syarif dalam Nattasya, 2012).
Mengacu pada Renstra Dikti 2010-2014, salah satu tujuan yang ingin dicapai adalah
ketersediaan pendidikan tinggi Indonesia yang bermutu dan relevan. Dalam kaitannya dengan
hal ini, ada beberapa poin penting yang dapat dilakukan sekaligus menjadi tantangan bagi
Pendidikan Ekonomi terkait dengan pengembangan Blue Economy di Indonesia yakni:
a. Mendorong Proses Pendidikan dan Pembelajaran yang Kondusif untuk
Menghasilkan Lulusan yang Cerdas, Terampil, dan Berkarakter
Proses pendidikan direncanakan senantiasa untuk memenuhi kompetensi secara
menyeluruh dan seimbang, ilmu, keterampilan dan soft skills. Untuk menghasilkan lulusan
yang cerdas, terampil dan berkarakter diperlukan upaya menyeluruh (holistic) dari berbagai
pihak dan melibatkan seluruh jenjang pendidikan. Perlu dikembangkan inovasi pembelajaran
yang memungkinkan dikembangkannya atribut lulusan dimaksud khususnya untuk Pendidikan
Ekonomi. Inovasi dimaksud meliputi baik dalam kaitan dengan muatan kurikulum maupun di
luar kurikulum yang secara keseluruhan menciptakan suasana akademik yang kondusif untuk
terbentuknya lulusan yang unggul dan kompetitif.
b. Meningkatkan Kewirausahaan Lulusan
Lulusan Pendidikan Ekonomi juga diharapkan mampu menggerakkan perekonomian
serta meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Tingginya persentase sarjana yang menganggur
harus diatasi antara lain dengan meningkatkan kemampuan lulusan perguruan tinggi khususnya
Program Studi Pendidikan Ekonomi untuk menciptakan lapangan kerja melalui peningkatan
kreativitas, daya juang, dan kewirausahaan.
c. Pengembangan Penelitian dan Pengabdian yang Relevan dengan Tuntutan
Dunia Riil
Pendidikan Ekonomi harus berperan dalam melakukan riset dan berbagai pengabdian
yang mengarah pada pengembangan Blue Economy di Indonesia. Salah satu upaya riil adalah
dengan kembali menegaskan arah Pendidikan Ekonomi dengan mengacu pada KKNI yang
telah dicanangkan Pemerintah sebagai bagian dari upaya peningkatan mutu dan relevansi
Pendidikan Tinggi di Indonesia. Bagan dari pengembangan KKNI sebagai acuan terlihat pada
gambar berikut:

Muhammad Rahmatullah
510
Gambar 2 Struktur Kerja KKNI pada Jenjang Perguruan TinggiGambar

Sumber: Renstra Dikti, 2012

III. SIMPULAN
Melalui pengembangan berbagai aspek terkait Tri Dharma Perguruan Tinggi
khususnya di Pendidikan Ekonomi dengan mengacu pada KKNI, diharapkan mampu menjadi
salah satu penjawab bagi penyediaan SDM yang handal dalam rangka penguatan pilar
pelaksanaan Blue Economy di Indonesia. Ketika penguatan pada sektor ini bisa dilaksanakan,
pada kelanjutannya akan mendorong terlaksananya Blue Economy secara optimal yang pada
akhirnya mampu mewujudkan cita-cita bangsa untuk mengembalikan kembali kekuatan laut
(sea power) di Indonesia sebagai aplikasi riil pengembangan kembali Indonesia sebagai Negara
Maritim yang disegani di mata dunia.

DAFTAR PUSTAKA
Anonim. 2013. Masih Lambat, Penyerapan Lulusan Sarjana di Indonesia. Diunduh darihttp://
www.unpad.ac.id/2013/09/masih-lambat-penyerapan-lulusan-sarjana-di-indonesia/
pada 2 Desember 2013.
Anonim. 2012. Rencana Strategis Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi 2010-2014. Dirjen
Dikti Kemdikbud: Jakarta.
Anonim. 2012. Rencana Strategis Kementerian Kelautan dan Perikanan Tahun 2010-2014.
Kementerian Kelautan dan Perikanan: Jakarta.
Anonim. 2012. Revisi Rencana Strategis Direktorat Jenderal Pendidikan Menengah (Renstra
Ditjen Dikmen) 2010- 2014. Dirjen Dikmen Kemdikbud: Jakarta.

Muhammad Rahmatullah
511
Anonim. 2012. Tahun 2013 Blue Economy Mulai Diterapkan. Diunduh dari http://www.kkp.go.id/
index.php/arsip/c/8377/TAHUN-2013-BLUE-ECONOMY-MULAI-DITERAPKAN/ pada
2 Desember 2013.
Anonim. 2011. Kerangka Kualifikasi Nasional Indonesia, Indonesian Qualification Framework.
Direktorat Belmawa Dirjen Dikti Kemdikbud: Jakarta. Diunduh dari http://www.dikti.go.id/
files/atur/KKNI/Penyusunan-LO-Prodi.pdf pada 29 November 2013.
Conathan, Michael and Kroh, Kiley. 2012. The Foundations of a Blue Economy CAP Launches
New Project Promoting Sustainable Ocean Industries. Center for American Progress:
USA.
Nattasya, Gesha. 2012. Blue Economy Bukan Sekedar Green Economy di Laut. Diunduh dari
http://regional.kompasiana.com/2012/12/12/blue-economy-bukan-sekedar-green-
economy-di-laut-510382.html pada 29 November 2013.
Pusjianmar, tanpa tahun. Konsep Negara Maritim dan Ketahanan Nasional. Diunduh dari http:/
/pusjianmar-seskoal.tnial.mil.id/Portals/0/Konsep%20Negara%20Maritim
%20Dan%20Ketahanan%20Nasional..pdf pada 29 November 2013.
Widyasari. 2013. Potensi Maritim Indonesia Besar. Diunduh dari http://www.jurnas.com/news/
110647/Potensi_Maritim_Indonesia_Besar/1/Ekonomi/Ekonomi pada 2 Desember
2013.

Muhammad Rahmatullah
512
PENDIDIKAN IPS BERWAWASAN MULTIKULTUR:
SEBAGAI UPAYA MEMBANGUN KARAKTER BANGSA
Rasimin
STAIN Salatiga

ABSTRAK
Artikel ini lebih dalam mengupas tentang makna pendidikan IPS yang berwawasan multikultur
dalam membentuk karakter bangsa. Ilmu pengetahuan sosial merupakan kehidupan sosial
manusia di masyarakat. Aspek kehidupan sosial apapun yang dipelajari, baik yang berhubungan
dengan sosial, ekonomi, budaya, kejiwaan, sejarah, geografi, dan politik, semuanya bersumber
dari masyarakat. Oleh sebab itu masyarakat bisa dikatakan sebagai laboratorium demokrasi
bagi pembelajaran ilmu pengetahuan sosial. Beragam kehidupan sosial yang kita pelajari,
tidak akan lepas dari kehidupan masyarakat atau bersumber dari mayarakat. Secara sederhana
dapat dikatakan bahwa fungsi ilmu pengetahuan sosial sebagai pendidikan adalah membina
siswa menjadi warga negara yang baik yang memiliki pengetahuan keterampilan dan kepedulian
sosial yang berguna bagi dirinya sendiri serta bagi masyarakat dan negara. Pendidikan sebagai
sarana untuk membina dan meningkatkan jati diri bangsa untuk mengembangkan seseorang
sehingga sanggup mengembangkan potensi yang berasal dari fitrah insani, dari Allah SWT.
Pembinaan jati diri akan mendorong seseorang memiliki karakter yang tangguh yang tercermin
pada sikap dan perilakunya.
Kata Kunci: Pendidikan IPS, Multikultural dan Karakter Bangsa.

I. PENDAHULUAN
Dalam pembahasan yang lebih jauh bahwa secara praktis disadari atau tidak, ilmu
pengetahuan sosial merupakan sesuatu yang tidak asing bagi setiap orang. Dalam
perkembangan hidup manusia sejak lahir sampai dewasa tidak terlepas dari kehidupan
bermasyarakat. Proses kehidupan manusia selalu berhubungan dengan sesama manusia
dan mahkluk hidup lainnya. Hal ini disebabkan karena manusia pada hakekatnya sebagai
makluk sosial. Sejak kanak-kanak, pada prinsipnya mereka telah melakukan hubungan dengan
orang lain, misalnya dengan ibu maupun anggota keluarga yang lain. Oleh sebab itu dapat
dikatakan bahwa ilmu pengetahuan sosial merupakan pengalaman hidup manusia yang
dialaminya sejak lahir. Hubungan manusia sejak lahir yang merupakan hubungan sosial itu
telah terjadi sejak dalam keluarga, walaupun hubungan tersebut terjadi secara sepihak. Tanpa
adanya hubungan sosial seorang bayi sulit mengalami perkembangan menjadi manusia

Rasimin
513
dewasa secara sempurna.
Berkaitan dengan pertumbuhan jasmani dan ruhani sejalan dengan bertambahnya
umur manusia, pengenalan dan pengalaman manusia terhadap kehidupan masyarakat yang
ada disekitarnya juga semakin berkembang dan meluas. Pengenalan dan pengalaman
manusia diluar dirinya tidak hanya terbatas pada orang-orang yang ada dalam keluarga saja,
tetapi juga meliputi orang-orang yang berada dilingkungannya, seperti teman sepermainan,
tetangga, warga masyarakat, dan seterusnya. Pengenalan dan pengalaman manusia dengan
lingkungannya itulah dinamakan hubungan sosial, yang dialaminya secara berangsur-angsur,
semakin mendalam dan meluas. Berawal dari pengenalan dan pengalaman hidup, hubungan
sosial akan menumbuhkan pengetahuan tentang seluk-beluk hidup bermasyarakat. Dari
sinilah kebutuhan hidup tertentu, sifat-sifat manusia, tempat yang pernah dikunjungi, hal-hal
yang baik maupun buruk, hal-hal yang salah maupun yang benar, yang semuanya terdapat
dalam kehidupan bermasyarakat akan dapat ditentukan oleh manusia selaku makluk sosial.
Pengetahuan yang telah melekat dalam diri seseorang, maupun yang melekat pada diri kita
masing-masing dalam pengenalan dan pengalaman hidup di masyarakat itulah yang kita
kenal dengan sebutan ilmu pengetahuan sosial.
Hadirnya kita sebagai umat manusia yang diikuti adanya hubungan, pergaulan,
pemenuhan kebutuhan, dan sebagainya yang ada dalam lingkungan hidup bermasyarakat,
telah membentuk ilmu pengetahuan sosial pada diri setiap individu. Sehingga dapat dikatakan
bahwa apa yang kita alami dalam kehidupan masyarakat, baik yang dilakukan secara sadar
maupun tidak sadar, akan membentuk ilmu pengetahuan yang secara konseptual disebut
dengan istilah ilmu pengetahuan sosial.
Walaupun secara prinsip ilmu pengetahuan sosial telah dialami manusia sejak lahir,
namun seringkali kita baru menyadari bahwa ilmu pengetahuan sosial tersebut baru dapat
diketahui dan dipahami secara jelas setelah secara formal menuntut ilmu di bangku sekolah
atau melalui belajar secara mandiri. Secara praktis dapat dikatakan bahwa pengetahuan
yang melekat pada diri seseorang maupun orang lain dapat terangkum dalam ilmu
pengetahuan sosial. Ini mengandung pengertian bahwa segala peristiwa yang dialami manusia
di masyarakat telah membentuk ilmu pengetahuan yang lebih kita kenal dengan sebutan ilmu
pengetahuan sosial. Secara umum dapat dikatakan bahwa kehidupan sosial manusia di
masyarakat dapat berakibat secara majemuk, yang meliputi berbagai aspek kehidupan,
misalnya hubungan sosial, ekonomi, sosial, budaya, politik, psikologi, sejarah, dan geografi
serta berbagai aspek lain yang berhubungan dengan kehidupan manusia dalam masyarakat.
Karena manusia dalam kehidupan sosialnya beraspek majemuk, berarti kehidupan sosial
terdiri dari berbagai segi yang berkaitan satu dengan yang lain. Oleh sebab itu secara rasional,
empiris, dan sistematis dapat menjadi bukti bahwa manusia bersifat multi aspek, sehingga
manusia dalam kehidupan sosial merupakan hubungan aspek-aspek ekonomi berupa
sandang, papan, dan pangan.
Beragamnya masyarakat Indonesia yang tinggal di wilayah pulau-pulau yang tersebar
berjauhan menunjukan kemajemukan masyarakat indonesia. Indonesia merupakan negara
kepulauan yang masyarakat mendiami setiap pulau dan memiliki ciri khas yang berbeda-

Rasimin
514
beda. Banyaknya etnis suku bangsa di Indonesia karena itu merupakan hal wajar. Menerima
kenyataan perbedaan inilah yang perlu dipahami bersama. Karena itu, usaha memerlakukan
dan membentuk keseragaman bukanlah hal yang dapat dibenarkan. Meski demikian, semua
perbedaan haruslah diikat oleh kesatuan sebagai bangsa yang satu bangsa Indonesia.
Semangat Bhineka Tunggal Ika yang sering dimaknai sebagai berbeda-beda tetapai tetap satu
juga sesungguhnya memberi ruang semua perbedaan itu. Kesadaran untuk satu sebagai
bangsa Indonesia tetap menjadi muara segala perbedaan tersebut. Konsep ini haruslah menjadi
dasar pijak pendidikan nasional. Pendidikan nasional dikembangkan dengan prinsip
menghargai dan memberi ruang perbedaan-perbedaan di masing-masing daerah dan lembaga
pendidikan. Meski demikian, segala perbedaan budaya lembaga pendidikan haruslah diikat
oleh pembentukan pola pikir, tindakan, dan karakter yang mencerminkan manusia Indonesia.
Kondisi tersebut di atas dilengkapi pula dengan sistem pemerintahan yang kurang
memperhatikan pembangunan kemanusiaan para era terdahulu, kebijakan Negara Indonesia
didominasi oleh kepentingan ekonomi dan stabilitas nasional. Sektor pendidikan politik dan
pembinaan bangsa kurang mendapat perhatian. Pada saat itu, masyarakat takut berbeda
pandangan, sebab kemerdekaan mengeluarkan pendapat tidak mendapat tempat; kebebasan
berpikir ikut terpasung’ pembinaan kehidupan dalam keragaman nyaris berada pada titik nadir.
Tiba-tiba sejak dengan adanya Otonomi Daerah “semangat kedaerahan” menjadi mengemuka
daripada “semangat untuk bersatu”. Ikatan berdampingan antaretnis dan agama
dikesampingkan, hanya untuk melepas akumulasi kecemburuan sosial. Perbedaan suku,
agama, RAS, dan antargolongan (SARA) sebagai kondisi nyata yang diwarisi turun temurun,
yang merupakan unsur-unsur kekayaan yang mewarnai khasanah budaya bangsa, menjadi
momok yang menakutkan, sekaligus ancaman potensial bagi eksistensi bangsa dan menipisnya
rasa nasionalisme.
Karakter bangsa Indonesia diyakini memang betul-betul ada, karena itu banyak yang
berkata terjadi kemerosotan karakter bangsa. Kalau memang benar sudah ada, kenapa para
pembicara mulai dari guru sekolah dasar sampai menteri berkata tentang pembentukan karakter
bangsa? Jika memang benar sedang atau masih perlu dibentuk berarti dalam realitasnya
karakter bangsa tidak pernah ada atau belum terbentuk. Jika memang benar sudah terbentuk,
apa wujudnya, dari nilai-nilai apa dia dibentuk, apakah Pancasila ataukah nilai agama-agama.
Jika dari nilai Pancasila, kapan dia dibentuk, siapa yang membentuk, dimana dibentuk, dan
bagaimana mereka membentuk. Jika sumbernya dari nilai agama-agama, lalu agama mana
yang dominan, kapan dan oleh siapa nilai agama-agama digunakan untuk membentuk karakter
bangsa. Apa wujud karakter bangsa yang terbentuk oleh nilai agama-agama, tentu tidak cukup
hanya berkata latah: “Kita bangsa Indonesia menjunjung tinggi nilai-nilai ketimuran”.
Baik Pancasila maupun agama-agama, keduanya mewariskan sejarah yang kelam,
sehingga tak masuk akal jika dikatakan telah menjadi pembentuk karakter bangsa. Pancasila
dalam realitasnya dianggap belum sempurna, sehingga sejak awal kemerdekaan sampai
sekarang eksistensinya selalu dirongrong oleh kelompok Islam politik garis keras untuk
digantikan dengan Syariat Islam. Demikian pula agama-agama, tak satu pun ada yang mau
mengalah, agama-agama langit menganggap lebih tinggi dan lebih mulia daripada agama-

Rasimin
515
agama bumi. Sesama agama langit bahkan berperang untuk memperebutkan pengaruh
hegemoni dunia. Agama-agama bumi hanya menjadi penonton dan sekaligus objek rebutan
karena dianggap memuja setan.
Jika Pancasila dan agama-agama tidak pernah membentuk karakter bangsa, jangan-
jangan memang benar karakter bangsa Indonesia belum terbentuk. Tampaknya memang
benar demikian adanya. Jika tak percaya, cobalah berdiri di sebuah trafiic light dalam keadaan
listrik mati. Lalu lihat apa yang terjadi? Apakah bangsa yang berkarakter adiluhung namanya
jika lalu lintas berubah bagai hutan belantara. Kendaraan bermesin lari kencang tak menoleh
kiri kanan, hanya berhenti sesaat manakala terjadi tabrakan, dan setelah upacara seremonial
(berkelahi atau berdamai dengan polisi), kondisi hiruk pikuk kembali seperti semula. Atau
kalau kurang puas, coba berdiri di garis zebra cross, sampai kaki kesemutan pun tak akan ada
pengendara yang mau berhenti dan mempersilahan Anda lewat. Bisa jadi Anda bahkan jadi
korban tabrak lari.

II. PENDIDIKAN IPS BERWAWASAN MULTIKULTURAL DAN PERILAKU BANGSA


Ilmu Pengetahuan Sosial selain mempunyai tujuan membentuk warga negara yang
baik, dengan memiliki kemampuan untuk menyesuaikan diri dengan lingkungan kehidupan di
masyarakat, juga memiliki fungsi aplikatif. Fungsi yang dimaksud adalah ilmu pengetahuan
sosial sebagai Pendidikan. Fungsi ilmu pengetahuan sosial sebagai pendidikan, selain
memberikan bekal pengetahuan dan keterampilan sosial dalam kehidupan sehari-hari. Yang
dimaksud keterampilan sosial, yaitu keterampilan melakukan sesuatu yang berhubungan
dengan kepentingan hidup bermasyarakat, seperti bekerja sama, gotong royong, tolong-
menolong sesama umat manusia, dan melakukan tindakan dalam memecahkan persoalan
sosial di masyarakat.
Sedangkan keterampilan intelektual dalam ilmu pengetahuan sosial adalah
keterampilan berpikir, kecepatan dalam memanfaatkan pikiran, cepat tanggap dalam
menghadapi permasalahan sosial di masyarakat. Fungsi ilmu pengetahuan sosial sebagai
program pendidikan menurut Sumaatmadja (2007) adalah mengembangkan perhatian dan
kepedulian sosial siswa terhadap kehidupan di masyarakat dan bermasyarakat. Lebih lanjut
dikatakan bahwa dengan keterampilan tersebut diharapkan dapat terbinanya sumber daya
manusia Indonesia yang berpengetahuan, terampil, cendikia dan mempunyai tanggung jawab
sosial, yang memiliki kemampuan merealisasikan tujuan nasional, yakni menciptakan
masyarakat adil dan makmur yang berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945.
Secara sederhana dapat dikatakan bahwa fungsi ilmu pengetahuan sosial sebagai
pendidikan adalah membina siswa menjadi warga negara yang baik yang memiliki pengetahuan
keterampilan dan kepedulian sosial yang berguna bagi dirinya sendiri serta bagi masyarakat
dan Negara. Mengingat bahwa kehidupan di masyarakat dan bermasyarakat berkembang
secara terus-menerus, maka landasan pengembangan ilmu pengetahuan sosial sebagai
program pendidikan harus disesuaikan dengan tuntutan dan perubahan sekaligus kemajuan
masyarakat.

Rasimin
516
lmu pengetahuan sosial yang memiliki fungsi membina siswa menjadi warga negara
yang baik dan memiliki pengetahuan, keterampilan dan kepedulian sosial, handaknya harus
disesuaikan dengan tata nilai moral yang berlaku di masyarakat. Islam menghendaki tata nilai
-moral masyarakat lebih teratur dan harmonis dengan menghargai keadilan.
Pendidikan ilmu pengetahuan sosial berfungsi untuk mewariskan nilai-moral dalam
masyarakat agar dapat menjunjung tinggi kemuliaan harkat dan derajat manusia. Suatu
masyarakat yang melanggar aturan agama dan hak-hak asasi manusia akan menanggung
akibat yang telah diperbuatnya. Inilah yang menjadi tugas utama guru ilmu pengetahuan sosial
di tengah masyarakat. Oleh sebab itu, mengajar ilmu pengetahuan sosial dengan ikhlas juga
dapat dikatakan sebagai dakwah Islamiyah, karena di dalamnya terkandung cara-cara
menyampaikan nilai moral agama Islam. Dalam pembelajaran ilmu pengetahuan sosial, nilai
moral siswa sebagai peserta didik dapat dilihat dalam perilaku kesehariannya. Siswa berbuat
jujur dan menghargai sesama temannya, yang dibarengi dengan pemahaman. Kesadaran
terhadap hal itu dapat menanamkan nilai moral dalam dirinya.
Perilaku bangsa merupakan soft skill, yaitu seperangkat kemampuan yang
mempengaruhi individu dalam berinteraksi dengan orang lain. Soft skill perlu dipelajari dan
dilatihkan yang dalam proses sosiologi disebut proses sosialisasi, sehingga menjadi bagian
dari kepribadian bangsa. Karakter dan jatidiri bangsa sangat penting disosialisasikan pada
peserta didik sejak dini untuk membentuk perilaku bangsa. Ada sebuah ungkapan “jumlah
anak-anak hanya dua puluh lima persen dari total penduduk suatu bangsa, tetapi mereka telah
dapat menentukan seratus persen masa depan bangsa.” Hal itu bermakna bahwa maju
mundurnya suatu bangsa sangat bergantung pada kualitas generasi muda sebagai penerus
kelangsungan bangsa. Dengan demikan adalah hal yang sangat penting merintis implementasi
pendidikan multikultural di sekolah dalam membangun perilaku bangsa agar pada masa yang
akan datang generasi penerus memiliki perilaku yang mampu dan cerdas dalam menyikapi
kemajemukan yang mereka dapatkan dalam kehidupan negara Indonesia yang multikultural.
Nieto (2000: 140) mengungkapkan penting untuk menguji bagaimana budaya dapat
mempengaruhi belajar dan prestasi di sekolah. Karena setiap individu dibesarkan dalam
lingkungan budayanya masing-masing, yang mungkin saja membuat mereka berbeda dalam
cara berpikir, minat, tingkah laku, bahasa, maupun kemampuan akademik. Perbedaan-
perbedaan ini bila tidak dikelola dengan baik dapat menjadi hambatan psikologis maupun
sosiologis pada warga sekolah dan tidak jarang dapat menimbulkan konflik dan praktek
diskriminasi di sekolah, baik oleh pengurus sekolah, guru maupun para siswa. Warga sekolah
dapat saja berpandangan sempit ataupun luas dalam menghadapi perbedaan, hal ini banyak
bergantung dari iklim dan kultur sekolah yang ada dalam menyikapi keragaman.
Dalam konteks kehidupan yang multikultural, pemahaman yang berdimensi
multikultural harus dihadirkan untuk memperluas wacana pemikiran manusia yang selama ini
masih mempertahankan “egoisme” kebudayaan, agama, kelompok. Memelihara pluralitas
kebudayaan atau keragaman budaya merupakan interaksi sosial dan politik antara orang-orang
yang berbeda cara hidup dan berpikirnya dalam suatu masyarakat. Secara ideal, pluralisme

Rasimin
517
kebudayaan atau multikulturalisme berarti penolakan terhadap kefanatikan, purbasangka,
rasisme, tribalisme, dan menerima secara inklusif keanekaragaman yang ada.
Sikap saling menerima, menghargai nilai, budaya, keyakinan yang berbeda tidak
otomatis akan berkembang sendiri. Apalagi karena dalam diri seseorang ada kecenderungan
untuk mengharapkan orang lain menjadi seperti dirinya (Ruslan Ibrahim, 2008: 117). Sikap
saling menerima dan menghargai akan cepat berkembang bila dilatihkan dan dididikkan pada
generasi muda (siswa) dalam sistem pendidikan. Melalui pendidikan, sikap penghargaan
terhadap perbedaan direncanakan dengan baik, generasi muda dilatih dan disadarkan akan
pentingnya penghargaan pada orang lain dan budaya lain, bahkan dilatihkan dalam hidup,
sehingga sewaktu mereka dewasa sudah punya sikap dan perilaku itu. Oleh sebab itu, sangat
penting nilai-nilai dan pendidikan multikultural mewarnai proses belajar di kelas.
Hal terpenting yang perlu dicatat dalam pendidikan multikultural adalah seorang guru
tidak hanya dituntut menguasai dan mampu secara profesional mengajar mata pelajaran atau
mata kuliah yang diajarkan. Lebih dari itu, seorang pendidik juga harus mampu menanamkan
nilai-nilai dari pendidikan multikultural seperti demokrasi, humanisme, keadilan gender,
kemampuan berbeda pendapat, dan pluralisme budaya. Dasar psikologi pendidikan multikultural
menekankan pada perkembangan pemahaman diri yang lebih besar, konsep diri yang lebih
positif dan kebanggaan pada identitas pribadi. Siswa merasa baik tentang dirinya karena terbuka
dan reseptif (menerima) dalam berinteraksi dengan orang lain dan menghormati budaya dan
identitasnya. Bennet (1990) berpendapat ada hubungan timbal balik antara konsep diri, prestasi
akademik, identitas individu, etnis, dan budaya.
Adapun Howard (1993) berpendapat bahwa pendidikan multikultural memberi
kompetensi multikultural. Pada masa awal kehidupan siswa, waktu banyak dilalui di daerah
etnis dan kulturnya masing-masing. Kesalahan dalam mentransformasi nilai, aspirasi, etiket
dari budaya tertentu, sering berdampak pada primordialisme kesukuan, agama, dan golongan
yang berlebihan. Melalui pendidikan multikultural sejak dini diharapkan anak mampu menerima
dan memahami perbedaan budaya yang berdampak pada perbedaan usage, folkways, mores,
dan costums. Dengan pendidikan multikultural peserta didik mampu menerima perbedaan,
kritik, dan memiliki rasa empati, toleransi pada sesama tanpa memandang golongan, status
sosial, agama, dan kemampuan akademik (Farida Hanum, 2005). Hal senada juga ditekankan
oleh Musa Asya’rie (2004) bahwa pendidikan multikultural bermakna sebagai proses pendidikan
cara hidup menghormati, tulus, toleran terhadap keragaman budaya.

III. FENOMENA MULTIKULTURAL


Dalam suara yang serempak beberapa cendekiawan atau pengamat berpendapat
bahwa satu sisi multibudaya menjadi sumber perekat keragaman etnis, tetapi secara bersamaan
keberagaman ini juga merupakan potensi konflik yang sewaktu-waktu manifest saat semangat
primordialisme tidak mampu dikelola dan dikendalikan secara bijaksana. Dalam lintasan
sejarahnya, konflik yang ditimbulkan karena kondisi faktual multibudaya selalu beragam antar
satu daerah dengan daerah lain dan dapat merembes kedalam proses politik Indonesia(contoh

Rasimin
518
pilkada dibeberapa daerah). Akan tetapi, bersamaan dengan terjadinya kerusuhan di berbagai
daerah di nusantara, tingkat migrasi ke daerah yang relatif aman menjadi semakin tinggi,
sehingga sangat beralasan bila fenomena ini perlu diantisipasi secara positif. Pada titik inilah
diperlukan strategi pemberdayaan masyarakat dalam dinamika multikultural.
Satu alasan yang sering dikemukakan sehubungan dengan ketiadaan konflik horizontal
yang diakibatkan oleh multibudaya adalah kadar toleransi yang tinggi yang dianut oleh
masyarakat. Di samping itu, adanya ikatan adat yang begitu kuat, sehingga konflik horisontal
bisa diantisipasi sedini mungkin. Bila ditelusuri lebih jauh jawaban ini, maka akan didapatkan
jawaban tentang mengapa kadar toleransi orang dalam etnis tertentu begitu kuat?
Spiritualitas yang dianut masyarakat etnis tertentu mengakomodasikan perbedaan
dan berbarengan dengan itu menciptakan visi kesejahteraan umat manusia secara bersama.
Akar pandangan ini terdapat dalam semangat toleransi yang tinggi secara implisit dalam perilaku
beragama, terutama tentang hubungan manusia dengan Tuhan. Radhakrishnan dalam buku
Indian Philosophy menyebutkan bahwa terdapat keselarasan yang seimbang antara Tuhan
dan manusia dan manusia adalah ciptaan Tuhan. Dunia seluruhnya tercipta karena
pengorbanan Tuhan. Di dalam uraian itu seluruh dunia digambarkan sebagai ada yang tunggal
dengan keleluasaan dan keagungan tak terbandingkan, dihidupkan oleh satu roh dan segala
bentuk kehidupan terangkul dalam substansinya. Dengan nada dasar yang sama Harold Coward
mengajukan postulat yang bersifat historik dan metafisik dalam menujukkan fenomena pluralisme.
Paham spiritualitas merupakan perkembangan lebih lanjut dari perkembangan multi
budaya di Indonesia. Spiritualitas mengalami integrasi di saat masuknya kebudayaan lain sejak
zaman Majapahit. Pada periode inilah bisa dikatakan mengalami peralihan dari masyarakat
monokultur menjadi multikultur. Artinya integrasi yang menjadikan multibudaya adalah terjadinya
integrasi yang berada pada wilayah paling dasar dalam diri manusia yaitu spiritualitas.
Fenomena multikultural di Indonesia telah cukup memberikan gambaran bahwa untuk
merumuskan sebuah pola tindakan dan pendidikan multikultural. Perlu kesadaran untuk
memandang dan memperlakukan orang lain seperti layaknya memperlakukan diri sendiri.
Malahan dalam paham Advaita Vedanta (monisme) diterangkan bahwa manusia secara esensial
sama, bukan secara fenomena sama. Artinya, Advaita Vedanta sangat menyadari akan adanya
perbedaan dan pluralisme. Karena itu perlu adanya kemauan bersama sebagai bagian dari
komunitas multikultural untuk mengaktualisasikannya dalam bentuk praksis dan tindakan nyata.
Jika masyarakat telah memiliki kemauan, kesadaran, dan kesungguhan untuk hidup bersama
sebagai bagian dari komunitas multikultural, maka haruslah kita berpikir bahwa dengan
komunitas multikultural kita akan menggapai pembaharuan.

IV. PENDIDIKAN IPS DAN MASYARAKAT MULTIKULTURAL


Pengembangan masyarakat multikultural yang demokratis menjadi kebutuhan bagi bangsa
Indonesia yang ditandai oleh kemajemukan (pluralitas) dan keanekaragaman (heterogenitas), karena
multikultural pada dasarnya menekankan pada kesederajatan kebudayaan yang ada dalam sebuah
masyarakat, dan mengusung semangat untuk hidup berdampingan secara damai (peaceful

Rasimin
519
coexistence) dalam perbedaan kultur yang ada, baik secara individual maupun secara kelompok
dalam sebuah masyarakat. Masyarakat multikultural yang demokratis di Indonesia yang sehat tidak
bisa dibangun secara taken for granted atau trial and error, sebaliknya harus diupayakan secara
sistematis, programatis, integrated dan berkesinambungan. Salah satu strategi dan wadahnya adalah
melalui pendidikan kewarganegaraan. Pendidikan Kewarganegaraan yang dimaksudkan di sini
adalah Pendidikan Kewarganegaraan dalam arti luas (citizenship education) yang memiliki perspektif
kewarganegaraan dunia abad ke-21 yang terkenal dengan sebutan kewarganegaraan multidimensi
yang salah satu cirinya memiliki karakteristik multikultural (Cogan, 1998:116).
Menurut Winataputra (2008: 30), Indonesia dikonsepsikan dan dibangun sebagai
multicultural nation-state dalam konteks negara kebangsaan Indonesia modern, bukan sebagai
monocultural nation state. Hal itu dapat dicermati dari dinamika praksis kehidupan bernegara Indonesia
sejak Proklamasi Kemerdekaan Indonesia 17 Agustus 1945 sampai saat ini dengan mengacu pada
konstitusi yang pernah dan sedang berlaku, yakni UUD 1945, Konstitusi RIS 1949, dan UUDS
1950, serta praksis kehidupan bernegara dan pada setiap jamannya itu.
Lebih lanjut menurut Winataputra (2008:31) pendidikan ilmu pengetahuan sosial untuk
Indonesia, secara filosofik dan substantif-pedagogis andragogis, merupakan pendidikan untuk
memfasilitasi perkembangan pribadi peserta didik agar menjadi warga negara Indonesia yang
religius, berkeadaban, berjiwa persatuan Indonesia, demokratis dan bertanggung jawab, dan
berkeadilan, serta mampu hidup secara harmonis dalam konteks multikulturalisme-Bhinneka
Tunggal Ika. Dalam konteks yang demikian, Pendidikan IPS memiliki peranan yang sangat
penting dalam upaya mengembangkan masyarakat multikultural.
Namun demikian kenyataan praksis di lapangan Pendidikan IPS yang merupakan ujung
tombak dan bagian dari proses membangun cara hidup multikultural untuk memperkuat wawasan
kebangsaan dan penghargaan akan keragaman justru belum menggembirakan, mulai kehilangan
dimensi multikulturalnya, bahkan kehilangan aktualisasinya karena terjebak pada penguasaan
pengetahuan (knowledge) belaka dengan membiarkan aspek afeksi (attitude) pendidikannya.
Pembelajaran IPS umumnya dilakukan secara parsial dan tidak mengakomodir nilai-nilai
multikulturalisme dan kearifan lokal masyarakat setempat. Padahal seharusnya IPS sebagai wahana
pendidikan multikultural dapat mengembangkannya secara lebih sistematis dan komprehensif.
Sementara itu, kearifan lokal merupakan bagian dari konstruksi budaya. Haba, (2007: 330)
mengatakan bahwa kearifan lokal mengacu pada berbagai kekayaan budaya yang tumbuh
dan berkembang dalam sebuah masyarakat yang dikenal, dipercayai dan diakui sebagai
elemen-elemen penting yang mampu mempertebal kohesi sosial diantara warga masyarakat.
Berdasarkan inventarisasi Haba (2007: 334-335) setidaknya ada enam signifikansi
serta fungsi kearifan lokal jika hendak dimanfaatkan sebagai salah satu bentuk pendekatan
dalam menyelesaikan sebuah konflik. Pertama, sebagai penanda identitas sebuah komunitas.
Kedua, elemen perekat (aspek kohesif) lintas warga, lintas agama dan kepercayaan. Ketiga,
kearifan lokal tidak bersifat memaksa atau dari atas (top down), tetapi sebuah unsur kultural
yang ada dan hidup dalam masyarakat. Karena itu, daya ikatnya lebih mengena dan bertahan.
Keempat, kearifan lokal memberikan warna kebersamaan bagi sebuah komunitas. Kelima,

Rasimin
520
local wisdom akan mengubah pola pikir, dan hubungan timbal balik individu dan kelompok,
dengan meletakkannya di atas commond ground/kebudayaan yang dimiliki. Keenam, kearifan
lokal dapat berfungsi mendorong terbangunnya kebersamaan, apresiasi sekaligus sebuah
mekanisme bersama untuk menepis berbagai kemungkinan yang meredusir, bahkan merusak,
solidaritas komunal, yang dipercayai berasal dan tumbuh di atas kesadaran bersama, dari
sebuah komunitas terintegrasi.
Keenam fungsi kearifan lokal yang diuraikan di atas, menegaskan pentingnya
pendekatan yang berbasis pada nilai-nilai atau kearifan lokal (local wisdom), dimana sumber-
sumber budaya menjadi penanda identitas bagi kelangsungan hidup sebuah kelompok maupun
aliran kepercayaan. Konflik multikultural yang menyertainya pun juga akan mampu dikelola
secara arif dan tidak selalu melibatkan politik kekuasaan sebagaimana yang selama ini
dipraktikkan melalui hubungan agama dan negara di Indonesia. Menurut Abdullah (2003: 8)
dalam konteks ini perlu adanya transformasi ruang dari pendekatan “dari luar” (global) ke
pendekatan “dari dalam” (lokal) dimana dinamika konflik antara agama dan kepercayaan
serupa, dengan menyadarkan pada nilai-nilai lokal (local values).
Motto Bhineka Tunggal Ika sebenarnya mengakomodasi atas keragaman dalam
masyarakat bangsa Indonesia dalam suku, ras, bahasa, adat istiadat, dan agama. Ironisnnya
keragaman dalam kesatuan budaya bangsa dalam perjalanan kemerdekaan negara dan bangsa
lebih ditekankan pada aspek kesamaan untuk membentuk solidaritas bangsa. Implikasinya,
budaya lokal yang kaya dengan perbedaan banyak mengalami erosi atau pengikisan baik
secara kuantitas maupun kualitas terutama penggunaan bahasa daerah mengalami
kemunduran maupun kehilangan daya gunanya secara pragmatik (Wiriaatmadja, 2002: 221).
Pengembangan nilai-nilai budaya lokal dan primordial seperti stereotipe, etnosentrisme
dan sebagainya, memang dapat menimbulkan perpecahan yang berbahaya. Tetapi konsep
primordialisme itu sendiri memerlukan kajian yang lebih proporsional. Adanya ikatan “lokal-tradisional”,
sering dirasakan sebagai suatu realitas sosial-kultural itu diperlukan sebagai pengisi identitas diri
dan kelompoknya yang terasa hampa, memerlukan keakraban karena lebih bersifat naturalistik dan
bukan rekayasa. Apalagi akibat proses globalisasi, kita sering terasa “sepi” dan memerlukan ikatan
komunitas lama yang akrab (Abdullah, 1999: 19).
Setiap komunitas (etnis, agama, daerah) pasti memiliki nilai-nilai luhur tertentu yang
dipandang baik serta dijadikan aturan dan norma sosial. Nilai-nilai ini selanjutnya mengikat masyarakat
dalam sebuah komunitas dan menjamin mereka untuk hidup dengan damai, harmonis, bersahabat,
saling menghargai dan menghormati, saling membantu satu sama lain. Kenyataan ini mesti disadari
sebagai salah satu kekuatan alamiah yang tumbuh dari dan untuk masyarakat itu sendiri. Karenanya,
kekuatan ini sangat baik dan penting untuk diperkuat kembali posisinya dalam rangka mewujudkan
kedamaian dalam hubungan sosial, di samping penegakan hukum positif dan manajemen
penyelenggaraan pemerintahan nasional.
Mengingat begitu penting dan strategisnya nilai kearifan lokal dalam pembangunan
bangsa, maka sangat wajar apabila dalam pendidikan IPS sebagai wahana pendidikan
multikultural difokuskan pada penggalian nilai-nilai kearifan lokal yang hidup di dalam
masyarakat dan budaya Indonesia yang ber-Bhinneka Tunggal Ika.
Rasimin
521
Dilihat dari segi Pendidikan IPS, tantangan tersebut belum dapat dijawab dengan
kurikulum yang ada. Modus dan isi pembelajaran pendidikan IPS selama ini menunjukkan
fenomena yang kurang menghargai dan mengeksplorasi nilai-nilai multikultural berbasis
kearifan lokal yang merupakan esensi kultur demokrasi di ruang-ruang kuliah dan di masyarakat
secara sinergis. Modus Pendidikan IPS selama ini kecenderungannya hanya terjadi di kelas,
sedangkan di masyarakat cenderung bertentangan atau bersifat paradoks. Isi Pendidikan IPS
juga hanya bersifat hafalan saja, kurang mengeksplor aspek afektif dan psikomotorik. Padahal
Pendidikan IPS sebagai bagian dari pendidikan nilai dan pendidikan karakter bangsa isinya
bukan untuk dihapalkan tetapi untuk dipahami dan dilaksanakan.
Dalam pembinaan moral dan karakter bangsa sangat terkait erat dengan peningkatan
kualitas pembangunan pendidikan dan peningkatan kesejahteraan masyarakat. Dalam kaitan
dengan penyelenggaraan pendidikan, maka pemerintah telah bertekad untuk menjadikan
pendidikan menjadi landasan utama dalam pembinaan dan penumbuhkembangkan karakter
positif bangsa. Untuk itu maka pemerintah telah menetapkan bahwa pembangunan pendidikan
harus diarahkan pada tiga hal pokok, yaitu: Pertama, pendidikan sebagai sarana untuk membina
dan meningkatkan jatidiri bangsa untuk mengembangkan seseorang sehingga sanggup
mengembangkan potensi yang berasal dari fitrah insani, dari Allah SWT. Pembinaan jatidiri
akan mendorong seseorang memiliki karakter yang tangguh yang tercermin pada sikap dan
perilakunya. Tanpa adanya jatidiri, suatu bangsa akan mudah terombang-ambing dan
kehilangan arah dari terpaan tantangan globalisasi yang bergerak cepat dewasa ini. Kedua,
pendidikan sebagai media utama untuk menumbuhkembangkan kembali karakter bangsa
Indonesia, yang selama ini dikenal sebagai bangsa yang ramah tamah, bergotong-royong,
tangguh, dan santun. Sehingga apabila karakter ini dapat kita bangun kembali, kita perkuat,
maka Insya Allah, kita akan mampu menghadapi setiap krisis dan tantangan masa depan.
Ketiga, pendidikan sebagai tempat pembentukan wawasan kebangsaan, yaitu perubahan
pola pikir warga bangsa yang semula berorientasi pada kesukuan menjadi pola pikir
kebangsaan yang utuh. Melalui wawasan kebangsaan dapat dibangun masyarakat yang
saling mencintai, saling menghormati, saling mempercayai, dan bahkan saling melengkapi
satu sama lain, dalam menyelesaikan berbagai masalah pembangunan. Merujuk apa yang
dikemukakan Parekh (1997), multikulturalisme meliputi tiga hal. Pertama, multikulturalisme
berkenaan dengan budaya; kedua, merujuk pada keragaman yang ada; dan ketiga, berkenaan
dengan tindakan spesifik pada respon terhadap keragaman tersebut. Akhiran “isme”
menandakan suatu doktrin normatif yang diharapkan bekerja pada setiap orang dalam konteks
masyarakat dengan beragam budaya. Proses dan cara bagaimana multikulturalisme sebagai
doktrin normatif menjadi ada dan implementasi gagasan-gagasan multikultural yang telah
dilakukan melalui kebijakan-kebijakan politis, dalam hal ini kebijakan-kebijakan pendidikan.
Lingkungan pendidikan adalah sebuah sistem yang terdiri dari banyak faktor dan
variabel utama, seperti kultur sekolah, kebijakan sekolah, politik, serta formalisasi kurikulum
dan bidang studi. Bila dalam hal tersebut terjadi perubahan maka hendaklah perubahan itu
fokusnya untuk menciptakan dan memelihara lingkungan sekolah dalam kondisi multikultural
yang efektif. Setiap anak seyogianya harus beradaptasi diri dengan lingkungan sekolah yang

Rasimin
522
multikultural. Tujuan utama dari pendidikan multikultural adalah mengubah pendekatan
pelajaran dan pembelajaran ke arah memberi peluang yang sama pada setiap anak. Jadi tidak
ada yang dikorbankan demi persatuan. Untuk itu, kelompok-kelompok harus damai, saling
memahami, mengakhiri perbedaan tetapi tetap menekankan pada tujuan umum untuk
mencapai persatuan. Siswa ditanamkan pemikiran lateral, keanekaragaman, dan keunikan itu
dihargai. Ini berarti harus ada perubahan sikap, perilaku, dan nilai-nilai khususnya civitas
akademika sekolah. Ketika siswa berada diantara sesamanya yang berlatar belakang berbeda
mereka harus belajar satu sama lain, berinteraksi dan berkomunikasi, sehingga dapat menerima
perbedaan di antara mereka sebagai sesuatu yang memperkaya mereka. Banks (dalam Sutarno,
2007), menyatakan bahwa pendidikan multikultural adalah ide, gerakan pembaharuan
pendidikan dan proses pendidikan yang tujuan utamanya untuk mengubah struktur lembaga
pendidikan supaya siswa baik pria maupun wanita, siswa berkebutuhan khusus, dan siswa
yang merupakan anggota kelompok ras, etnis, dan kultur yang bermacam-macam itu akan
memiliki kesempatan yang sama untuk mencapai prestasi akademik di sekolah.
Perbedaan-perbedaan pada diri anak didik yang harus diakui dalam pendidikan
multikultural, antara lain mencakup penduduk minoritas etnis dan ras, kelompok pemeluk
agama, perbedaan agama, perbedaan jenis kelamin, kondisi ekonomi, daerah/asal-usul,
ketidakmampuan fisik dan mental, kelompok umur, dan lain-lain (Baker, 1994: 11).
Melalui pendidikan multikultural ini anak didik diberi kesempatan dan pilihan
untuk mendukung dan memperhatikan satu atau beberapa budaya, misalnya sistem nilai,
gaya hidup, atau bahasa. Pendidikan multikultural paling tidak menyangkut tiga hal, yaitu: (1)
ide dan kesadaran akan nilai penting keragaman budaya, (2) gerakan pembaharuan pendidikan,
dan (3) proses.
a) Kesadaran Nilai Penting Keragaman Budaya
Kiranya perlu peningkatan kesadaran bahwa semua siswa memiliki karakteristik
khusus karena usia, agama, gender, kelas sosial, etnis, ras, atau karakteristik budaya tertentu
yang melekat pada diri masing-masing. Pendidikan multikultural berkaitan dengan ide bahwa
semua siswa tanpa memandang karakteristik budayanya itu seharusnya memiliki kesempatan
yang sama untuk belajar di sekolah. Perbedaan yang ada itu merupakan keniscayaan atau
kepastian adanya namun perbedaan itu harus diterima secara wajar dan bukan untuk
membedakan. Artinya, perbedaan itu perlu diterima sebagai suatu kewajaran dan perlu sikap
toleransi agar masing-masing dapat hidup berdampingan secara damai tanpa melihat unsur
yang berbeda itu membeda-bedakan.
b) Gerakan Pembaharuan Pendidikan
Ide penting yang lain dalam pendidikan multikultural adalah sebagian siswa karena
karakateristiknya, ternyata ada yang memiliki kesempatan yang lebih baik untuk belajar di
sekolah favorit tertentu, sedang siswa dengan karakteristik budaya yang berbeda tidak memiliki
kesempatan itu.
Beberapa karakteristik institusional dari sekolah secara sistematis menolak kelompok
untuk mendapat pendidikan yang sama, walaupun itu dilakukan secara halus, dalam arti

Rasimin
523
dibungkus dalam bentuk aturan yang hanya bisa dipenuhi oleh segolongan tertentu dan tidak
bida dipenuhi oleh golongan yang lain. Ada kesenjangan ketika muncul fenomena sekolah
favorit yang didomimasi oleh golongan orang kaya karena ada kebijakan lembaga yang
mengharuskan untuk membayar uang pangkal yang mahal untuk bisa masuk dalam kelompok
sekolah favorit itu.
Pendidikan multikultural bisa muncul berbentuk bidang studi, program dan praktik yang
direncanakan lembaga pendidikan untuk merespon tuntutan, kebutuhan, dan aspirasi berbagai
kelompok. Sebagaimana ditunjukkan oleh Grant dan Seleeten (dalam Sutarno, 2007), pendidikan
multikultural bukan sekedar merupakan praktik aktual atau bidang studi atau program pendidikan
semata, namun mencakup seluruh aspek-aspek pendidikan.
c) Proses Pendidikan
Pendidikan multikultural yang juga merupakan proses pendidikan yang tujuannya tidak
akan pernah terealisasikan secara penuh. Pendidikan multikultural adalah proses menjadi,
proses yang berlangsung terus-menerus dan bukan sebagai sesuatu yang langsung tercapai.
Tujuan pendidikan multikultural adalah untuk memperbaiki prestasi secara untuk bukan sekadar
meningkatkan skor.
Persamaan pendidikan, seperti halnya kebebasan dan keadilan, merupakan ide yang
harus dicapai melalui perjuangan keras. Perbedaan ras, gender, dan diskriminasi terhadap
orang yang berkebutuhan akan tetap ada, sekalipun telah ada upaya keras untuk menghilangkan
masalah ini. Jika prasangka dan diskriminasi dikurangi pada suatu kelompok, biasanya keduanya
terarah pada kelompok lain atau mengambil bentuk yang lain. Karena tujuan pendidikan
seharusnya bekerja secara kontinyu meningkatkan persamaan pendidikan untuk semua siswa.
Pemikiran-pemikiran tentang pendidikan multikultural, saat ini telah mengalami
perubahan jika dibandingkan konsep awal yang muncul pada tahun 1960-an. Beberapa di
antaranya membahas pendidikan multikultural sebagai suatu perubahan kurikulum, mungkin
dengan menambah materi dan perspektif baru. Yang lain berbicara tentang isu iklim kelas dan
gaya mengajar yang dipergunakan kelompok tertentu. Yang lain berfokus pada isu sistem dan
kelembagaan seperti jurusan, tes baku, atau ketidakcocokan pendanaan antara golongan
tertentu yang mendapat jatah lebih, sementara yang lain kurang mendapat perhatian. Sekalipun
banyak perbedaan konsep pendidikan multikultural, ada sejumlah ide yang dimiliki bersama
dari semua pemikiran dan merupakan dasar bagi pemahaman pendidikan multikultural, yaitu
sebagai berikut. (1) Penyiapan pelajar untuk berpartisipasi penuh dalam masyarakat antar-budaya.
(2) Persiapan pengajar agar memudahkan belajar bagi siswa secara efektif, tanpa
memperhatikan perbedaan atau persamaan budaya dengan dirinya. (3) Partisipasi sekolah
dalam menghilangkan kekurangpedulian dalam segala bentuknya. Pertama-tama dengan
menghilangkan kekurangpedulian di sekolahnya sendiri, kemudian menghasilkan lulusan yang
sadar dan aktif secara sosial dan kritis.

Rasimin
524
V. SIMPULAN
Ruang lingkup ilmu pengetahuan sosial adalah kehidupan sosial manusia di
masyarakat. Oleh karena itu, masyarakat inilah yang menjadi sumber utama dalam
pembelajaran ilmu pengetahuan sosial. Aspek kehidupan sosial apapun yang kita pelajari,
baik yang berhubungan dengan sosial, ekonomi, budaya, kejiwaan, sejarah, geografi, dan
politik, semuanya bersumber dari masyarakat. Oleh sebab itu masyarakat bisa dikatakan
sebagai laboratorium demokrasi bagi pembelajaran ilmu pengetahuan sosial. Beragam
kehidupan sosial yang kita pelajari, tidak akan lepas dari kehidupan masyarakat atau bersumber
dari mayarakat. Dengan demikian, materi ilmu pengetahuan sosial yang dapat dipelajari dan
menjadi sumber pembelajaran, tidak hanya sebatas pada kehidupan nyata sesaat di masyarakat,
melainkan juga cerita-cerita, novel, kisah-kisah tokoh terkenal juga dapat dijadikan sebagai
sumber belajar. Secara sederhana bahan bacaan berupa buku, surat kabar, majalah dan
makalah dapat dijadikan sebagai sumber materi pembelajaran ilmu pengetahuan sosial.
Sumber materi ilmu pengetahuan sosial dan sumber pembelajaran ilmu pengetahuan
sosial yang berharga serta memiliki nilai praktis dalam membina kepribadian bagi siswa.
Berita dan pemberitaan, baik yang berkaitan dengan kehidupan sosial setempat (lokal) maupun
pada tingkat daerah (regional), merupakan bahan pengetahuan yang juga dapat dipelajari
dalam ilmu pengetahuan sosial. Surat kabar, radio dan TV, merupakan sumber berita serta
pemberian yang sekaligus juga sebagai sumber materi dan sumber pemberitaan ilmu
pengetahuan sosial. Peristiwa kehidupan sosial ditempat lain yang tidak dapat secara langsung
kita saksikan dan amati, melalui sumber tadi, dapat kita ketahui, bahkan lebih jauh dari itu,
dapat pula kita analisis sebagai sumber materi ilmu pengetahuan sosial.
Di Indonesia pendidikan multikultural relatif masih belum dikenal sebagian besar
guru-guru (Farida Hanum dan Setya Raharja, 2006). Oleh sebab itu, sosialisasi tentang
pendidikan multikultural penting untuk terus dilakukan baik yang berbentuk seminar, penataan,
workshop, curah pendapat maupun penyediaan buku-buku penunjang. Masyarakat Indonesia
yang sangat beragam, sangat tepat dikelola dengan pendekatan nilai-nilai multikultural agar
interaksi dan integrasi dapat berjalan dengan damai, sehingga dapat menumbuhkan sikap
kebersamaan, toleransi, humanis, dan demokratis sesuai dengan cita-cita negara Pancasila.

DAFTAR PUSTAKA
Abdullah, H.M. Amin. 2003. Agama dan Pluralitas Budaya Lokal, Surakarta: Muhammadiyah
University Press.
Bennet, C. 1995. Comprehensive Multicultural Education: Theory and Practice. Boston: Allyn
and Bacon.
Baker G.C. 1994. Planning dan Organizing for Multicultural Instruction. (2nd). California:
Addison-Elsey Publishing Company.
Bhiku Parekh. 1996. The Concept of Multicultural Education in Sohen Modgil, et.al.(ed)
Multicultural Education the Intermitable Debate. London: The Falmer Press.

Rasimin
525
Farida Hanum. 2005. Fenomena Pendidikan Multikural pada Mahasiswa Aktivis UNY. Laporan
Penelitian. Lemlit UNY.
Hasyim Djalal. 2007. Jati Diri Bangsa dalam Ancaman Globalisasi, Pokok-Pokok Pikiran Guru
Besar Indonesia. Surabaya: Airlangga University Press.
Habba, John. 2007. Analisis SWOT Revitalisasi Kearifan Lokal dalam Resolusi Konflik dalam
Ammirachman, Alpha. Revitatalisasi Kearifan Lokal Studi Resolusi Konflik di
Kalimantan Barat, Maluku dan Poso, Jakarta: ICIP.
Haviland, William A. 1998. Antropologi 2. Terj. Jakarta: AirlanggaBanks, James A. 1993. An
Introduction to Multicultural Education. Boston: Allyn and Bacon.
Ross, Mac Howard. 1993. the Culture of Conflict: Interpretation and Interest in Comparative
Perspective. Connecticut: Yale University Press.
Ruslan Ibrahim. 2008. “Pendidikan Multikultural: Upaya Meminimalisir Konflik Dalam Era
Pluralitas Agama”. Jurnal Pendidikan Islam El-Carbawi, No. 1 vol. 1.
Sutarno. 2007. Pendidikan Multikultural. Jakarta: Ditjen Dikti.
Setya Raharja. 2006. “Pengembangan Model dan Modul Pendidikan Multikultural di SD”.
(Sebagai suplemen Mata Pelajaran IPS). Laporan Penelitian Hibah Bersaing. Lemlit
UNY.
Sumaatmadja, Nursid. 2008. Konsep Dasar IPS. Jakarta: Universitas Terbuka.
Somantri, Muhammad Numan. 2001. Menggagas Pembaharuan Pendidikan IPS. Bandung:
Rosda Karya.
Multikultural di SD. (Sebagai suplemen Mata Pelajaran IPS). Laporan Penelitian Hibah Bersaing
Tahun Kedua. Lemlit UNY.
Nietu, S. 2000. Affirming Disversity: The Sociopolitical Context of Multicultural Education. New
York: Addison Wesley Longman, Inc.
Winataputra. U.S. 2008. Multikulturalisme-Bhinneka Tunggal Ika dalam perspektif Pendidikan
Kewarganegaraan sebagai Wahana Pembangunan Karakter Bangsa Indonesia dalam
Dialog Multikultural. Bandung: Sekolah Pascasarjana UPI.
Wiriaatmadja, Rochiati 2002. Pendidikan Sejarah di Indonesia: Perspektif Lokal, Nasional, dan
Global, Bandung: Historia Utama Press.

Rasimin
526
PENDIDIKAN BUDI PEKERTI KI HADJAR DEWANTARA
DAN PENDIDIKAN KARAKTER THOMAS LICKONA
DALAM KONTEKS KURIKULUM 2013
Rizali Hadi
Universitas Lambung Mangkurat

ABSTRAK
Banyak yang mempertanyakan apakah budipekerti yang dicanangkan oleh Ki Hadjar Dewantara,
sama atau berbeda dengan karakter yang ditulis oleh Lickona. Apa yang menjadi sumbangan
keduanya dalam Kurikulum 2013. Dari kajian literatur ternyata bahwa keduanya adalah sama. Ki
Hadjar Dewantara mendefinisikan budipekerti sebagai upaya memberi tenaga (pekerti) kepada
budi (fikiran, perasaan dan kemauan), agar budi tidak sebatas angan-angan saja, agar nampak
konkret menjadi kenyataan. Ki Hadjar Dewantara banyak terpengaruh pada teori convergensi,
memandang anak sebagai selembar kertas yang telah ditulis penuh, namun tulisannya masih
suram. Tugas pendidik untuk menebalkan tulisan yang bernilai baik agar dapat mudah dibaca.
Membiarkan tulisan yang bernilai negatif tetap samar dalam keadaan semula. Ki Hadjar Dewantara
pemikirannya lebih mengarah kepada theosofi, padahal dalam perkembangannya arah
pendidikan lebih dekat kepada religius. Kenyataannya sekolah-sekolah yang pendidikan
karakternya berbasis agama lebih diterima oleh masyarakat, misalnya sekolah-sekolah
Muhammadiyah. Buku “babon” tentang karakter sekarang umumnya bersumber dari Thomas
Lickona, yang memilah karakter menjadi moral knowing, moral feeling dan moral action. Pemikiran
Lickona hampir seluruhnya berbasis sains, terutama psikologi pendidikan. Jauh sebelum kita
mengenal pendapat Lickona tersebut, Ki Hadjar Dewantara telah mengenalkan Tri Nga, yaitu
Ngerti, Ngerasa dan Ngelakoni, dan beberapa istilah lain yang kental untuk masyarakat Jawa.
Sekarang ini Kurikulum 2013 yang memuat pendidikan karakter berbasis agama (religius) dan
sikap sosial (attitude) seperti yang termuat dalam Kompetensi Inti (KI-1 dan KI-2). KI-1 adalah
kompetensi Inti tentang Sikap Religius, dan KI-2 adalah kompetensi tentang sikap sosial.
Diperlukan pemikiran bijak untuk menerima perubahan kurikulum untuk kemajuan.
Kata kunci: Budipekerti, karakter. Kurikulum 2013.

I. LATAR BELAKANG
Kita harus menyambut gembira upaya pemerintah yang kembali memperhatikan
pendidikan karakter, sikap, atau attitude sejak dari SD sampai PT. Pendidikan karakter telah
mendapat porsi yang memadai, dengan porsi yang banyak pada waktu di SD dan terus mengecil
atau dikurangi pada waktu di SMP, SMA/SMK dan PT. Dahulu (era Ki Hadjar Dewantara) dalam
rapor murid di SR (Sekolah Rakyat) terdapat satu nilai yaitu “Budipekerti”. Kemudian nilai

Rizali Hadi
527
tentang Budipekerti menghilang dari rapor siswa. Diperdebatkan tentang bagaimana cara
penilaiannya, karena ada yang berpendapat bahwa mengenai hal-hal yang bersifat afektif
(sikap) tidak dapat dinilai atau dituangkan dalam rapor. Masyarakat pendidikan telah menyadari
pendidikan karakter itu diperlukan sebagai penangkal perbuatan negatif.
Sekarang dalam Kurikulum 2013 kembali memasukkan pendidikan karakter serta
terdapat ratio pembelajaran antara sikap, keterampilan dan pengetahuan, pada masing-masing
tingkatan pendidikan (SD, SMP, SMA, PT) yang digambarkan sebagai berikut:
Gambar 1: Ratio Pembelajaran Pengetahuan, Keterampilan dan Sikap

PT
Pengetahuan

SMA/K
Keterampilan

SMP

SD Sikap

Sumber: Marzano (1985), Bruner (1960).

Terlihat bahwa pendidikan karakter (attitude) lebih banyak porsinya diberikan pada
waktu di SD, yang berangsur berkurang sampai ke Perguruan Tinggi. Sebaliknya Pengetahuan
(knowledge) dan Keterampilan (skill), sedikit diberikan pada waktu SD dan seterusnya makin
ditambah secara berangsur-angsur pula sampai ke Perguruan Tinggi. Keadaan ini
mengisyaratkan bahwa guru-guru harus memiliki kemampuan dalam menanamkan karakter
kepada siswa melalui mata pelajaran yang diasuhnya.
Pihak yang ikut menanamkan pendidikan karakter di sekolah bukan hanya guru mata
pelajaran. Semua yang ada di sekolah mulai dari Kepala Sekolah dan jajarannya, guru agama,
guru PKn, BP/BK, wali kelas, wali murid, secara bersama-sama. Semua pihak harus
melaksanakan fungsinya masing-masing, agar pendidikan karakter dimaksud dapat berjalan
sebagaimana yang diharapkan.

II. PERMASALAHAN
Selama ini guru-guru telah terpusat perhatiannya untuk mencari cara menyampaikan
materi pelajaran (knowledge dan skill) sesuai dengan tuntutan kurikulum dan silabi mata pelajaran
yang diasuhnya. Oleh sebab itu tidaklah heran kalau yang paling banyak bertanya adalah guru-
guru bersangkutan, tentang: pertama, bagaimana menanamkan nilai melalui mata pelajaran
yang menjadi tanggung jawabnya. Kedua dipertanyakan pula, apakah pendidikan karakter
sekarang ini sama dengan pendidikan budipekerti seperti yang dilakukan oleh Ki Hadjar Dewantara,

Rizali Hadi
528
ataukah mengacu kepada pendidikan karakter yang banyak dikemukakan oleh Thomas Lickona,
yang sangat populer sekarang ini. Ketiga, dipertanyakan pula tentang karakter apa saja yang
diajarkan kepada para siswa sesuai dengan jenjang pendidikannya.

III. TUJUAN dan MANFAAT STUDI


Tulisan atau kajian ini bertujuan untuk memperjelas pengertian budipekerti dan
pendidikan karakter, dengan membandingkan pemikiran Ki Hadjar Dewantara tentang budipekerti
dan pendidikan karakter yang digagas Thomas Lickona. Pendidikan budipekerti memberikan
kesan tentang ketimuran dan bersifat nasional, sedangkan pendidikan karakter memberikan
kesan universal. Apakah pendapat keduanya telah terakomodir dalam Kurikulum 2013.
Diharapkan studi ini dapat bermanfaat untuk memperluas wawasan pemikiran tentang
budipekerti dan karakter. Tidak terdapat keraguan tentang apa yang harus dilakukan oleh guru
dalam menyampaikan pelajaran karena mereka juga berperan mengintegrasikan pendidikan
karakter dalam mata pelajaran yang diasuhnya. Sekarang pendidikan karakter telah dijadikan
bagian dalam kurikulum, sehingga guru-guru sudah mendapatkan acuan yang jelas tentang
perannya untuk melaksanakan pendidikan karakter dimaksud. Sedikit demi sedikit menghapus
keraguan tentang apakah terus mempersoalkan perbedaan antara pendidikan budipekerti
pada era Ki Hadjar Dewantara dan pendidikan karakter sekarang ini.

IV. PEMBAHASAN
4.1. Pemikiran Ki Hadjar Dewantara
Ki Hadjar Dewantara, dikenal sebagai Bapak Pendidikan Indonesia yang telah
memperjuangkan pendidikan bagi pribumi melalui Pendidikan Taman Siswa, memperjuangkan
pendidikan bagi penduduk pribumi, kemudian menyusun dasar-dasar pendidikan bagi bangsa
Indonesia yang baru merdeka. Untuk dapat menangkap dan memahami apa itu budipekerti
menurut Ki Hadjar Dewantara, dalam buku kumpulan Karja Ki Hadjar Dewantara (1962:25)
yang ditulis beliau tahun 1936 dan 1937 sebagai berikut:
Jang dinamakan budipekerti atau “watak” jaitu bulatnja djiwa manusia, yang dalam
bahasa asing disebut “karakter” sebagai djiwa jang sudah berazas hukum kebatinan. Orang
yang telah mempunjai ketjerdasan budipekerti senantiasa memikir-mikirkan dan merasa-
rasakan selalu memakai ukuran, timbangan dan dasar-dasar jang pasti dan tetap. Itulah
sebabnja tiap-tiap orang itu dapat kita kenal wataknja dengan pasti; jaitu karena watak atau
budipekerti itu memang bersifat tetap dan pasti buat satu-satunja manusia sehingga dapat
dibedakan orang jang satu daripada jang lain.
Budipekerti, watak atau karakter, itulah bersatunja gerak, fikiran, perasaan dan
kehendak atau kemauan jang lalu menimbulkan tenaga. Ketahuilah bahwa “ budi” itu “fikiran
– perasaan – kemauan” dan “pekerti” itu artinja tenaga. Djadi “budipekerti itu sifatnja djiwa
manusia, mulai angan-angan, hingga terdjelma sebagai tenaga.

Rizali Hadi
529
Senada dengan itu Balitbang Dikbud (1995) menjelaskan bahwa budipekerti secara
konsepsional adalah budi yang dipekertikan (dioperasionalkan, diaktualisasikan atau
dilaksanakan) dalam kehidupan sehari-hari dalam kehidupan pribadi, sekolah, masyarakat,
bangsa dan negara (http://answers.yahoo.com).
Terdapat beberapa hal yang terkandung dalam pemikiran Ki Hadjar Dewantara
tersebut yaitu: (1) budipekerti berazas hukum kebatinan, (2) kecerdasan budipekerti, (3) memikir-
mikirkan dan merasa-rasakan selalu memakai ukuran dan timbangan. Kalau ditelusuri lebih
lanjut yang dimaksudkan kebatinan, tentulah sesuai dengan ukuran kebatinan ketimuran. Pasti
ada perbedaan hukum kebatinan yang dimaksudkan oleh Ki Hadjar Dewantara dengan hukum
kebatinan yang diajarkan oleh penulis-penulis barat, walaupun pemikiran beliau juga
dipengaruhi oleh pemikiran barat juga. Memikir-mikirkan dan merasa-rasakan yang selalu
memakai ukuran dan timbangan, tentulah ukuran dan timbangannya tidak sama antara ukuran
ketimuran dan ukuran orang barat. Suatu contoh, ukuran orang timur dalam menghormati
orang tua di lingkungan keluarga, atau guru di lingkungan sekolah berbeda dengan ukuran
orang barat. Sebagai penghormatan kepada orang tua atau guru dalam suasana budipekerti
ketimuran adalah bersalaman, cium tangan, dan membungkukan badan. Dalam suasana
barat mungkin hanya say hallo saja, sudah dianggap sebagai suatu penghormatan, walalupun
dilakukan sambil berjalan dan berlalu. Dengan contoh tersebut pendidikan budipekerti lebih
mengarah kepada tatakrama dan sopan santun yang disepakati dalam pergaulan antar manusia
dan sudah merupakan bagian dari kehidupan manusia.
Dalam tulisan beliau tersebut dapat ditangkap bahwa yang dimaksudkan dengan
budipekerti itu adalah karakter, yaitu budi pekerti yang bukan hanya ada di alam pikiran atau
angan-angan, melainkan yang sudah bertenaga yang artinya bukan hanya angan-angan lagi,
melainkan yang sudah menjadi sesuatu yang konkrit dan dapat dilaksanakan. Penulis berusaha
untuk memahami dan menggambarkan pemikiran Ki Hajar Dewantara sebagai berikut:
Gambar 2: Gambaran Budipekerti “Ki Hadjar Dewantara”

Selanjutnya Ki Hadjar Dewantara berkesimpulan bahwa dengan adanya budi pekerti


tiap-tiap manusia berdiri sebagai manusia merdeka (berpribadi), yang dapat memerintah atau
menguasai diri sendiri (mandiri, zelfbeheersching). Inilah manusia yang beradab dan itulah

Rizali Hadi
530
maksud dan tujuan pendidikan dalam garis besarnya. Ki Hadjar Dewantara. Beliau juga
menyinggung tentang teori tabula rasa (empirisme) dan teori nativisme. Sesuai dengan teori
tabularasa Ki Hadjar Dewantara mencontohkan anak sebagai kertas yang belum ditulis. Teori
nativisme atau aliran negatif, anak dianggap sebagai kertas yang telah ditulisi sepenuhnya.
Dalam memperbaiki budipekerti rupanya Ki Hadjar Dewantara dipengaruhi oleh convergentie-
theorie, yaitu menganggap kertas itu sudah ada tulisannya, tetapi masih kabur dan suram,
sehingga perlu menebalkan tulisan yang baiknya agar kelak nampak sebagai budi pekerti.
Tulisan yang mengandung arti jahat hendaknya dibiarkan jangan sampai menjadi tebal.
Kesimpulannya, ada yang bisa dilakukan perbaikan dan ada yang sudah tidak bisa diperbaiki.
Budipekerti yang berhubungan dengan watak manusia dibagi dua bagian. Pertama
dinamakan bagian intelligibel yang dapat berubah karena adanya pendidikan dan keadaan.
Kedua bagian yang biologis yang berhubungan dasar-hidup manusia yang tidak akan berubah
lagi selama hidup.
Intelligibel dapat berubah karena pengaruh, misalnya kelemahan pikiran, kebodohan,
kurang baiknya pemandangan, kurang cepatnya berpikir, dsbnya, pendek kata keadaan pikiran,
serta pula kecakapan untuk menimbang-nimbang atau merasa-rasakan dan kuat lemahnya
kemauan.
Bagian biologis yang tak dapat berubah ialah bagian-bagian jiwa yang mengenai
perasaan yang berjenis-jenis dalam jiwa manusia, misalnya rasa takut, malu, kecewa, egoisme,
rasa-diri, rasa-sosial, rasa-agama, rasa-berani dsbnya. Rasa-rasa yang disebut ini tetap ada di
dalam jiwa manusia, dari anak kecil sampai dewasa. Kalaupun bagian biologis ini berubah,
maka perubahannya itu hanyalah sementara hanya karena tertutup (neutralisecren). Tidak
dapat berubah karena telah menyatu dengan jiwa.
Untuk memberikan pekerti dimaksud, Ki Hadjar Dewantara membuat suatu semboyan
untuk Taman Siswa yaitu: Ing ngarso sung tulada, ing madya mangun karso, tut wuri handayani.
Semboyan Taman Siswa ini kemudian diadopsi menjadi semboyan untuk pendidikan di
Indonesia yang tertulis dalam lambang atau logo Departemen Pendidikan sampai sekarang,
yang sering pula disebut sebagai Trilogi Pendidikan. Selain itu dalam jabaran tentang budipekerti
Ki Hadjar Dewantara juga memperkenalkan apa yang disebutnya Tri-Nga, yaitu Ngerti–Ngerasa
–Nglakoni, yaitu mengerti, merasakan dan melaksanakannya. Untuk menanamkan suatu
pemahaman Ki Hadjar Dewantara (1962:86) pada tahun 1930 menyerukan dalam kongres
Taman Siswa apa yang disebutnya sebagai Neng, Ning dan Nong. Neng berasal dari kata
meneng yang berarti diam, untuk mendapatkan wening yang berarti kesucian, dan dari kesucian
itu akan didapatkan anung yang merupakan kekuatan. Diharapkan dengan adanya kekuatan
ini “kemenangan” atau keberhasilan akan datang dengan sendirinya.
Pemikiran-pemikiran Ki Hadjar Dewantara ini sangat bernilai dan berarti dalam
dunia pendidikan di Indonesia umumnya dan dalam pendidikan budipekerti khususnya,
namun Buya Hamka dan Bung Karno mempunyai pandangan sendiri tentang pemikiran
Taman Siswa. Pemikiran yang diperkenalkan Ki Hadjar Dewantara hampir tidak bersentuhan
dengan agama.

Rizali Hadi
531
Dalam buku “Perkembangan Kebatinan di Indonesia” (1992), Allahyarham Buya Hamka
menyatakan bahwa Taman Siswa adalah gerakan abangan, klenik, dan primbon Jawa, yang
menjalankan ritual salat daim. Dalam kepercayaan kebatinan, salat di sini bukan bermakna
ritual seperti yang dijalankan umat Islam, tetapi salat dalam pengertian kebatinan, yaitu
menjalankan kebaikan terus menerus. Inilah yang dimaksud dengan salat daim. Sedangkan
Bung Karno menyebut apa yang dilakukan oleh Ki Hadjar Dewantara adalah berangkat dari
panggilan mistik.
Dalam ajaran agama budipekerti dan karakter itu tidak lain adalah akhlak. Mengenai
akhlak sudah ada tuntunannya dalam agama sehingga mudah diterima oleh masyarakat yang
religius.
4.2 Pemikiran Thomas Lickona mengenai karakter
Lickona nampaknya tidak mempersoalkan apakah karakter itu bisa berubah atau
tidak seperti yang dikemukakan oleh Ki Hadjar Dewantara, namun Lickona lebih
mengetengahkan bahwa dalam pendidikan karakter itu memiliki tiga domain yang disebutnya
sebagai components of good character yaitu:
1. Moral Knowing, yang terdiri dari: moral awareness, knowing moral values perspektive
taking, moral reasioning, decision-making and self knowlegde. decision-making
and self knowledge.
2. Moral Feeling, yang terdiri dari self esteem, emphaty, loving the god, self control,
humanity.
3. Moral Action, yang terdiri dari: competence, will dan habit.
Lickona (2012:100) menjelaskan bahwa karakter tidak berfungsi dalam ruang hampa,
karakter berfungsi dalam lingkungan sosial. Seringkali lingkungan tersebut menindas perhatian
moral. Kadang-kadang karakter itu bersifat sedemikian rupa, sehingga banyak orang atau
sebagian besar orang merasa bodoh dengan melakukan “hal yang bermoral”
Gambar 3: Komponen Karakter Yang Baik

(Sumber Lickona, 1991, terjemahan Wamaungo, 2012:84)

Rizali Hadi
532
Sebagai ilustrasi diberikan contoh tentang apa yang seharusnya anda lakukan kalau
menemukan dompet di sebuah pasar, apakah mencari pemiliknya atau mengumumkannya,
atau menyerahkannya kepada polisi. Seorang kasir memberikan kembalian yang lebih, apa
yang dilakukan, apakah diam saja, dan menerima uangnya. Mungkin meskipun tahu apa yang
seharusnya dilakukan, bisa jadi karena pengaruh lingkungan anda tidak melakukannya, masa
bodoh dengan karakter. Sikap yang masa bodoh dengan karakter merupakan penghambat
moral knowledge dan moral feeling menjadi moral action. Masa bodoh merupakan penghambat
upaya mengaktualkan kompetensi moral, mewujudkan keinginan, apalagi akan menjadi
kebiasaan.
Dalam rangkaian gambar di atas nampak bahwa tujuan akhir dari pendidikan karakter
adalah menjadikannya sebagai tindakan moral. Namun apabila contoh dalam ilustrasi diatas
masih banyak dilakukan, mungkin karakter hanya sebatas pengetahuan dan perasaan saja.
Dalam moral knowing dimulai dengan kesadaran akan moral, yang biasanya dimulai
dengan suatu pertanyaan”Apa itu benar?” Diperlukan pengetahuan untuk menerjemahkan
nilai-nilai abstrak ke dalam hubungan personal. Kemudian dilanjutkan dengan penentuan
perspektif, yaitu kemampuan mengambil sudut pandang orang lain untuk membayangkan
bagaimana bereaksi dan merasakan masalah yang ada. Kemudian pasti akan terpikirkan
“mengapa kita harus bermoral”. Selanjutnya diperlukan kemampuan memikirkan cara
pengambilan keputusan secara reflektif dengan memilih pendekatan yang dipakai. Semua itu
harus didasari dengan upaya mengevaluasi perilaku diri sendiri, yang berhubungan dengan
kekuatan serta kelemahan karakter individual.
Dalam moral feeling yaitu bisa menilai sendiri tentang perbuatan salah atau perbuatan
benar yang telah dilakukannya. Penilaian ini dimulai dengan merasakan hati nurani, serta bisa
menempatkan harga diri sesuai kepantasan, bukan harga diri yang berlebihan. Diperlukan
perasaan empati, bisa merasakan apa yang dirasakan orang lain terhadap masalah yang
membelitnya, bisa berupa musibah, korban kekerasan. Bagi yang kena musibah atau sebaliknya
mencapai suatu keberhasilan tidak perlu mengekspresikannya secara berlebihan. Diperlukan
kemampuan mengendalikan diri dari sikap arogan, sombong, bangga, atau meremehkan orang.
Dalam moral action ditekankan adanya kemampuan bertindak yang lebih efektif dalam
memecahkan masalah secara adil dan proporsional. Pertimbangan tindakan dihubungkan
dengan keinginan menjadi kebiasaan baik yang sedapat mungkin diulangi terus menerus, dan
bermanfaat terutama bagi diri sendiri.
4.3 Benarkah Ki Hadjar Dewantara Memadukan Pemikiran Karakter Barat
dengan Budaya Jawa
Dari ringkasan pemikiran Lickona tersebut di atas dapat diketahui bahwa uraiannya
lebih luas dari Tri-Nga yang dikemukakan Ki Hadjar Dewantara. Memang dapat dipahami
bahwa menjelaskan sesuatu yang abstrak seperti pikiran, perasaan dan kemauan itu
memerlukan kemampuan kebatinan. Keluasan pemahaman tentang pikiran, perasaan dan
kemauan itu bisa membuat orang berimprovisasi secara bebas. Nampaknya Ki Hadjar
Dewantara dalam hal ini membatasi diri dan tidak ingin membicarakannya lebih banyak. Ki

Rizali Hadi
533
Hadjar Dewantara mempunyai pengetahuan yang luas mengenai pendidikan. Beliau banyak
belajar, berkenalan dengan ahli-ahli pendidikan barat, apalagi semasa beliau diasingkan ke
Belanda. Namun demikian sangat besar keinginannya untuk memadukan pendapat ahli
pendidikan di Eropah dengan pemikiran pendidikan di Indonesia, terutama di Pulau Jawa,
yang dikenal masih kental dengan budaya “kejawen”- nya seperti abangan, primbon, dan klenik.
Pada Conference Philosophy, Education & Humanity Development, di Universiti Malaya,
Kuala Lumpur (5 dan 6 Agustus 2010) yang salah seorang pembicaranya (pembentang) adalah
Prof. Dr. Djohar, MS Rektor Universitas Sarjanawiyata Taman Siswa Yogyakarta, dalam
makalahnya selain memperkenalkan Tut Wuri Handayani, banyak memperkenalkan istilah-
istilah yang biasa dipakai oleh Ki Hadjar Dewantara, misalnya:
1. Tetep, Mantep and Antep (consistent, powerfull and relating to the quality of a person
in addressing all issues.
2. Ngadel, Kandel and Bandel (belief, strong, resistent) that describes the attitude
and the way of people working to solve the problem in reponse all.
3. Neng, Ning, Nung. Neng which depicts a person gaint strength from sobriety.
4. Ngerti, Ngroso, Nglakoni. (cognitive, affective, psycomotorics) which describes how
to respond to all sorts of meaningfull understanding in the life.
5. Nonton, Niteni, Niroke, and Nambahi (recognizing, noticing, imitating, and developing.
Istilah-istilah tersebut mungkin sangat familiar di lingkungan masyarakat Jawa di awal-
awal perkembangan Taman Siswa. Pemikiran atau ajaran Ki Hadjar Dewantara ini menjadi
gerakan pendidikan nasional menjelang kemerdekaan dan pada saat setelah Indonesia
merdeka, apalagi beliau sebagai Menteri Pendidikan Pengetahuan dan Kebudayaan pada
saat itu. Tut Wuri Handayani menjadi “slogan” pada Departemen PPK sampai sekarang walaupun
nama departemennya berganti-ganti. Sejalan dengan perkembangan pendidikan di Indonesia
yang harus mengakomodasi seluruh pemikiran tentang pendidikan untuk bangsa yang sangat
beranekaragam, nampaknya pemikiran Ki Hadjar Dewantara ini memang mudah diterima di
Jawa, tetapi bagi masyarakat lainnya tidak demikian. Ada pilihan lain corak pendidikan yang
juga mudah dan cocok diikuti, misalnya sekolah-sekolah Muhammadiyah, yang dasarnya
keagamaan. Sekarang ini sekolah-sekolah Taman Siswa dengan pemikiran (ajaran) Ki Hadjar
Dewantara yang berbasis abangan, klenik, primbon, nampaknya kalah bersaing dengan
sekolah-sekolah yang berbasis agama (religius). Ada alasan tersendiri yang sulit untuk
diungkapkan kenapa pendidikan budi pekerti di sekolah-sekolah kemudian berangsur-angsur
dilupakan, karena masyarakat umumnya lebih menerima istilah akhlak, beriman, bertaqwa
yang bersifat religius. Karena itulah dapat dipahami mengapa dalam Kurikulum 2013 juga
tidak menyebut istilah budi pekerti, tetapi menyebutnya pendidikan karakter yang kedengarannya
lebih netral.

Rizali Hadi
534
4.4 Pendidikan Karakter dalam Kurikulum 2013
Kurikulum 2013 memiliki Standar Kompetensi Lulusan (SKL) yang pada dasarnya
memiliki (1) kompetensi sikap, (2) kompetensi keterampilan dan (3) kompetensi pengetahuan,
dengan penjelasan sebagai berikut:
Tabel 1: Standar Kompetensi dalam Kurikulum 2013

STANDAR KO MPE TE NSI


Sikap - Memiliki perilaku yang mencerminkan sikap
- O rang yang beriman, berakhlak mulia, percaya diri dan
bertanggungjawab dalam berinteraksi dengan
lingkungan sosial dan alam.
Keterampilan - Memiliki kemampuan pikir dan tindak yang efektif dan
kreatif dalam ranah abstrak dan konkret.
- Terkait dengan pengembangan dari yang dipelajarinyadi
sekolah sesuai dengan bakat, minat, dan
kemampuannya.
Pengetahuan - Memiliki pengetahuan prosedural dan metakognitif
dalam ilmu pengetahuan, teknologi, seni
budaya,humaniora, dengan wawasan kebangsaan,
kenegaraan dan peradaban.
- Terkait penyebab fenomena dan kejadian yang
tampakmata yang mencakup penyebab, alternatif
solusi, kendala dan solusi akhir.

Sumber: Draf KTSP dalam Kurikulum 2013.


Dalam Kurikulum 2013 memilah Kompetensi Inti (KI) menjadi empat yaitu KI-1 tentang
Sikap Religius, dan KI-2 tentang Sikap Sosial. KI-3 yaitu Kompetensi Inti tentang pengetahuan
(knowledge), serta KI-4 yaitu Kompetensi keterampilan (skill). KI-1 memperjelas bahwa pada
umumnya masyarakat pendidikan menghendaki adanya basis agama dalam pembelajaran.
Basis agama yang berkaitan dengan agama adalah akhlak, yang berkaitan dengan kepercayaan
yang dianut. Karena itulah Kurikulum 2013 merupakan upaya mengakomodasi kehendak
masyarakat. KI-2 yang berhubungan dengan sikap sosial, meliputi sikap inovatif, aktif, kreatif,
kerja keras, gemar membaca, rasa ingin tahu, menghargai prestasi, peduli lingkungan, tanggung
jawab, disiplin, cinta tanah air, peduli sosial, semangat kebangsaan, rajin, jujur, dsbnya yang
sangat berhubungan erat dengan budipekerti, etika dan filsafat. Budipekerti yang diajarkan
oleh Ki Hadjar Dewantara nampaknya lebih banyak mengarah kepada KI-2 karena pandangan
beliau lebih banyak berbasis theosofi.
Cara berpikir manusia umumnya memiliki tiga cara, yaitu (a) triadik, (b) diadik, dan (c)
monodik. Triadik kalau menggabungkan agama, filsafat dan sain, diadik, kalau

Rizali Hadi
535
menggabungkan filsafat dan sains, atau filsafat dan agama, atau sains dan agama. Monodik
adalah apabila cara berpikirnya hanya satu, yaitu, agama saja, filsafat saja, atau sains saja.
Dalam menyusun Kurikulum 2013 nampaknya telah mengadopsi cara berpikir tiadik, yaitu
mengombinasikan cara berpikir menurut ajaran agama, filsafat dan sains.

V. SIMPULAN DAN SARAN


5.1 Penutup
Membandingkan pemikiran Ki Hadjar Dewantara, Thomas Lickona dalam konteks
Kurikulum 2013 bukan bermaksud untuk menunjukkan mana pemikiran yang benar atau mana
yang salah, melainkan hanya kajian tentang dasar-dasar pemikiran mereka. Pemikiran Ki
Hadjar Dewantara banyak dipengaruhi oleh theosofi kebatinan seperti kritik Hamka, dan bersifat
Kejawen, seperti yang dijelaskan oleh Bung Karno. Thomas Lickona umumnya mendasari
pemikirannya berdasarkan sains, atau lebih condong kepada psikologi pendidikan. Kurikulum
2013 nampaknya mengakomodasi pendidikan agama, filsafat dan sains yang dijabarkan dalam
KI-1, KI-2, KI-3 dan KI-4.
5.2 Saran
Dengan memahami dasar berpikir bagaimana sejarah perkembangan pendidikan di
Indonesia ini sejak zaman kerajaan, zaman penjajahan, sampai masa kemerdekaan ini
diharapkan bisa menerimanya secara bijaksana, bahwa bukanlah suatu pekerjaan mudah
meletakkan dasar-dasar dalam mengembangkan pendidikan di Indonesia ini. Dinamika
pemikiran dan kehendak silih berganti dalam upaya mencari bentuknya yang paling bisa
diterima. Kurikulum kita sering berganti menyesuaikan dinamika itu, namun pada dasarnya
adalah suatu tindakan maju yang mengarahkan kepada perbaikan sistem pendidikan.

DAFTAR PUSTAKA
Djohar. 2010. Educational Philosophy of Ki Hadjar Dewantara on Adrressing Golbal Education,
Makalah dalam Persidangan Falsafah, Pendidikan & Pembangunan Insaniah,
University Malaya.
Draf Dokumen KTSP dan Kurikulum 2013, http://fokus news.viva.co.id/new/read/371744-
kurikulum pendidikan 2013 (diakses 23-11-2013).
Hamka. 1992. Perkembangan Kebatinan di Indonesia. Jakarta: Bulan Bintang.
Lickona, Thomas. 1981.. Educating For Charakter, How Our Schools Can Teach Respect and
Responsibility terjemahan Juma Abdu Wamaungo (2012)
Madjelis Luhur Persatuan Taman Siswa. 1962. Karja Ki Hadjar Dewantara. Yogyakarta: Taman
Siswa.

Rizali Hadi
536
DARI WASAKA MENUJU TALUBA: KONSEPTUALISASI NILAI-NILAI
LUHUR SUKU BANJAR SEBAGAI SOSOK KARAKTER HARAPAN
‘URANG BANUA’ PERSPEKTIF ETNOPEDAGOGI
Sarbaini
Universitas Lambung Mangkurat

ABSTRAK
Globalisasi telah memaksa kita untuk mematuhi tuntutannya, sehingga kebudayaan di dunia
menjadi seragam, westernisasi, pembaratan, dan bahkan Amerikanisasi, dalam pola berpikir,
berperilaku dan material. Kondisi demikian melahirkan reaksi dari masyarakat dunia, khususnya
dari Indonesia, dalam hal ini dunia pendidikan, muncul kelompok yang menggali pendidikan
dari khasanah literasi pemikir Islam, dan kearifan lokal. Khasanah kearifan lokal dalam
masyarakat Banjar dapat dikaji dalam konteks pendidikan dan karakter (etnopedagogi).
Etnopedagogi dapat dipandang sebagai suatu pesan terkait dengan istilah budaya-karakter
(aspek etno), dan pendidikan keguruan (aspek pedagogi). Etnopedagogi menaruh perhatian
khusus terhadap local genius dan local wisdom dengan mengungkap nilai-nilai budaya lokal
sebagai model awal. Salah satu produk budaya, (peradaban) dari suku Banjar dapat kita temukan
pada pola pikir berupa gagasan atau konsep filosofis sebagai sistem keyakinan atau basis
dalam menempuh kehidupan, etos atau watak, misalnya Waja Sampai Kaputing (Wasaka) dan
Baiman, Bauntung dan Batuah (Taluba). Kedua konsep ini dibahas dalam perspektif pendidikan
dan karakter (etnopedagogi), sebagai kajian awal untuk merekonstruksi pemikiran yang ada di
masyarakat menjadi rumusan konseptual sistematis menjadi konsepsi pendidikan “urang
Banjar”.
Kata Kunci: Kearifan lokal, karakter, etnopedagogi

I. PENDAHULUAN
Dalam kehidupan manusia, tidak bisa lepas dari nilai-nilai. Dimana ada kehidupan
manusia, di situ sarat dengan muatan nilai-nilai. Nilai-nilai dapat dilihat dari perspektif sosiologis,
antropologis, politis dan ekonomis. Pada setiap bangsa, masyarakat, suku dan keluarga ditemui
beragam nilai-moral-norma. Lazim setiap nilai-nilai bersumber pada agama, budaya, hukum,
ilmu, dan metafisis yang bersumber dari bangsa, masyarakat, suku dan keluarga yang
bersangkutan. Karena itu, untuk Indonesia khususnya, dalam kehidupan manusianya, eksistensi
nilai-nilai yang dianut dan diyakini, tidak selalu berpijak pada nilai-nilai melulu hanya pada
rasionalitas, yang mengacu kepada prinsip-prinsip logika, ilmu dan ilmiah. Tetapi pada
masyarakat tertentu, nilai-nilai juga bersumber pada agama, budaya, hukum dan metafisis
masih dominan dianut. Idealnya basis nilai-nilai dalam hidup adalah agama, berikut kebudayaan,
hukum dan ilmu serta metafisis.
Sarbaini
537
Pada suatu bangsa maupun suku, selalu terdapat nilai-nilai luhur yang menjadi acuan
dan harapan demi terbentuknya sosok manusia ideal. Nilai-nilai luhur tersebut dapat digali dalam
budaya suatu suku. Untuk suku Banjar, atau urang Banua di Kalsel sudah mafhum dengan istilah
WASAKA, Waja Sampai Kaputing, yang menjadi motto Pemerintah Provinsi Kalsel dan UNLAM,
namun dalam pemikiran kami, motto WASAKA, sebagai nilai-nilai hanya menggambarkan proses
bekerja dalam mencapai tujuan, pantang menyerah, keras, dalas hangit, atau mengutip perkataan
Pangeran Antarasari, “Haram Manyarah, Waja Sampai Kaputing”. Jika di era Pangeran Antasari,
maka makna WASAKA berarti menuju kemerdekaan sebagai manusia baik secara individu,
kemasyarakatan, kebudayaan dan kenegaraan. Tapi WASAKA dalam konteks pendidikan,
kemasyaratan dan kebudayaan, menuju ke sosok Urang Banua yang bagaimana?
Di dalam kehidupan masyarakat Banjar, terutama di daerah perdesaan yang masih
kental budaya Banjar, pada saat ditanyakan kepada orang tua dari suku Banjar, doa apakah
yang dipanjatkan kepada Allah SWT, oleh orang tua kepada anaknya, maka doa yang
dipanjatkan biasanya adalah “Mudahan anakku menjadi orang yang Baiman, Bauntung dan
Batuah, panjang umur, murah rezeki, hidup beserta iman dan mati beserta iman”. Doa tersebut,
biasanya muncul pada saat seorang ibu, mendoakan kepada anak-anaknya, atau seorang nini
(nenek) kepada cucunya.
Doa dengan ucapan “ Mudahan Baiman, Bauntung dan Batuah” selama ini hanya
terbatas sebagai doa yang meluncur dari hati seorang ibu kepada anaknya, atau nenek
mendoakan kepada cucunya, saat mendendangkan untuk tidur di ayunan, maupun
meninabobokan di tempat tidur. Kosa kata “Baiman, Bauntung dan Batuah” (Taluba, Tiga Ba)
jika digali lebih dalam merupakan salah bentuk dari kearifan lokal dalam pendidikan anak.
Dalam ilmu pendidikan sekarang lebih dikenal dengan etnopedagogi.
Makalah ini mencoba melakukan kajian awal dari perspektif etnopedagogi dan
melakukan konseptualisasi terhadap makna dari WASAKA dan TALUBA sebagai khasanah
kearifan lokal masyarakat, khususnya orang tua suku Banjar dalam mendidik karakter anak
menjadi sosok manusia harapan di masa depan.

II. PEMBAHASAN
2.1 Etnopedagogi
Krisis multidimensi di Indonesia satu dekade terakhir yang memerlukan pemecahan
berbasis bukti (evidence-based) terutama dari disiplin ilmu humaniora, termasuk pendidikan dan
pengajaran, melatarbelakangi muculnya ide Etnopedagogi. Ide tentang etnopedagogi di Indonesia
muncul di kampus UPI melalui pemikiran Alwasilah,et.al (2009) dan Kartadinata (2010). Istilah
etnopedagogi di UPI menurut Suratno (2010) dapat dipandang sebagai suatu pesan terkait dengan
dengan istilah budaya-karakter (aspek etno), dan pendidikan keguruan (aspek pedagogi).
Alwasilah, et.al (2009) mengemukakan dalam konteks budaya secara umum,
etnopedagogi menaruh perhatian khusus terhadap local genius dan local wisdom dengan
mengungkap nilai-nilai budaya Sunda sebagai model awal. Dalam perspektif hakikat
pendidikan, baik Alwasilah et al. (2009) maupun Sunaryo (2010) memandang bahwa pendidikan

Sarbaini
538
tidak terlepas dari aspek sosial dan kultural. Pendidikan bersifat deliberatif dalam arti masyarakat
mentransmisikan dan mengabadikan gagasan kehidupan yang baik yang berasal dari
kepercayaan masyarakat yang fundamental mengenai hakikat dunia, pengetahuan dan tata
nilai (Alwasilah et al., 2009, p16). Oleh karena itu, diperlukan reorientasi landasan ilmiah
mengenai pendidikan yang hirau terhadap nilai-nilai kemanusiaan, sesuatu yang selama ini
luput dari perhatian dikarenakan kurangnya studi tentang landasan budaya pendidikan.
Keutamaan pendidikan hendaknya jangan sampai tereduksi menjadi hal-hal yang superficial,
sebagaimana terjadi kini pada rezim standarisasi, sehingga mengabaikan tujuan luhur dari
pendidikan itu sendiri, yaitu pendidikan yang membudayakan (Suratno, 2010).
Berdasarkan analisis terhadap dimensi budaya dan pendidikan, Alwasilah et al. (2009,
Suratno, 2010) memandang Etnopedagogi sebagai praktik pendidikan berbasis kearifan lokal
dalam berbagai ranah serta menekankan pengetahuan atau kearifan lokal sebagai sumber inovasi
dan keterampilan yang dapat diberdayakan demi kesejahteraan masyarakat, yakni kearifan lokal
tersebut terkait dengan bagaimana pengetahuan dihasilkan, disimpan, diterapkan, dikelola dan
diwariskan. Dalam hal ini, kearifan lokal memiliki ciri (Suratno, 2010); berdasarkan pengalaman;
2) teruji setelah digunakan berabad-abad; 3) dapat diadaptasikan dengan kultur kini; 4) padu
dengan praktik keseharian masyarakat dan lembaga; 5) lazim dilakukan oleh individu maupun
masyarakat; 6) bersifat dinamis; dan 7) sangat terkait dengan sistem kepercayaan.
2.2 WASAKA (Waja Sampai Kaputing)
Waja Sampai Kaputing (Wasaka) adalah Motto dari Universitas Lambung Mangkurat,
bahkan digunakan juga sebagai Motto dari Kalimantan Selatan. Motto ini merupakan semboyan
dan pesan-pesan yang pernah dikemukakan oleh Pangeran Antasari dalam perjuangannya
melawan penjajah. Berikut semboyan dan pesan-pesan yang disampaikan oleh Pangeran Antasari.
Pesan-Pesan Pangeran Antasari
Haram Manyarah Waja Sampai Kaputing

Lamun Tanah Banyu Kita


Kahada Handak Dilincai Urang
Jangan Bacakut Papadaan Kita
Lamun Handak Tulak Manyarang Walanda
Baikat Hati Ditali Sindad
Jangan Sampai Mati Parahatan Bukah
Matilah Kita Di jalan Allah
Siapa Babaik-baik Lawan Walanda
Tujuh Turunan Kahada Aku Sapa
Lamun Kita Sudah Sapakat
Handak Mahinyik Walanda
Jangan Walanda Dibari Muha
Badalas Pagat Urat Gulu
Lamun Manyarah Kahada
Haram Dijamah Walanda
Haram Diriku Dipenjara
Haram Negri Dijajah
Haram Manyarah Waja Sampai Kaputing
Sarbaini
539
Waja Sampai Kaputing berarti usaha sampai akhir (Volharding). Makna lain dari Wasaka
adalah terbuat dari baja mulai pangkal sampai ke ujungnya, maksudnya perjuangan yang tak
pernah berhenti hingga tetes darah penghabisan, atau hingga perjuangan tercapai. Waja Sampai
Kaputing mengandung maksud apabila memulai suatu pekerjaan, harus sampai selesai
pelaksanaannya. Setiap orang bertanggung jawab untuk menuntaskan pekerjaannya jangan
sampai menggantung. Semboyan Wasaka ini merupakan lambang bahwa penduduk
Kalimantan Selatan selalu tekun dalam bekerja, melaksanakan segala sesuatu dengan penuh
ikhlas, rasa kesanggupan dan konsekuen tanpa berhenti di tengah jalan, harus sampai pada
tujuan yang ingin dicapai. Oleh karena itu selalu dilandasi oleh tekad yang kuat dan tangguh,
bagaikan baja (waja) dari titik awal (ujung) sampai ke titik tujuan (kaputing), dan haram berhenti
di tengah jalan (haram manyarah).
Semboyan dan pesan-pesan Waja Sampai Kaputing dari Pangeran Antasari hendaknya
menjadi nilai inti (core value) ataupun “ruh” dari pendidikan karakter Universitas Lambung
Mangkurat, yang tidak akan berhenti sampai tujuan tercapai, dengan dilandasi oleh nilai ikhlas,
kerja keras, bekerja sampai tuntas, semangat kebangsaan, cinta tanah air dan memperoleh
yang memuaskan bagi untuk diri pribadi maupun masyarakat.
Nilai-nilai sasaran yang menjadi target dari pendidikan karakter Wasaka adalah
bersumber pada nilai-nilai yang terdapat dalam Wasaka itu sendiri dan nilai minimal yang
hendaknya diterapkan menurut Desain Inti Pendidikan Karakter. Adapun nilai-nilai yang terdapat
dalam motto Waja Sampai Kaputing, antara lain adalah nilai-nilai religius, ikhlas, kerja keras,
tangguh, tekun, bertanggung jawab, dan konsekuen. Sementara nilai-nilai minimal yang
hendaknya ditanamkan dalam pendidikan karakter adalah tangguh, jujur, cerdas dan peduli.
Di samping itu dari Seminar dan Lokakarya Pendidikan Karakter yang dilaksanakan Universitas
Lambung Mangkurat (Sarbaini, dkk: 2012), maka diperoleh beberapa nilai yang layak dijadikan
nilai-nilai target pendidikan karakter, berdasarkan frekuensi yang kemunculan pilihan yang
disampaikan peserta seminar dan lokakarya diperoleh nilai-nilai jujur, transparan, disiplin,
cerdas, mandiri, peduli, profesional, tangguh, taat/patuh, kerja keras dan tekun.
Dari nilai-nilai Waja Sampai Kaputing, Nilai Minimal dari Desain Inti Pendidikan Karakter
dan hasil Seminar dan Lokakarya Pendidikan Karakter Universitas Lambung Mangkurat
dipilihnya 13 nilai-nilai sasaran yang akan menjadi target pendidikan karakter Wasaka Universitas
Lambung Mangkurat (Sarbaini, dkk: 2012):
Nilai-nilai sasaran yang menjadi target Pendidikan Karakter Wasaka sebagaimana
pada tabel berikut:

Sarbaini
540
NILAI-NILAI DESKRIPSI
TARGET
1. Religius Sikap dan perilaku yang patuh dalam melaksanakan ajaran agama yang
dianutnya, toleran terhadap pelaksanaan ibadah agama lain, dan hidup rukun
dengan pemeluk agama lain
2. Ikhlas Sikap dan perilaku yang memulai segala pekerjaan dimulai dengan atas nama
Allah, Tuhan Yang Maha Esa, segala rezeki, karunia, rahmat adalah atas ijin
Allah, Tuhan Yang Maha Esa. Kerjakan tugas dan kewajiban, serahkan semua
urusan kepada Allah, Tuhan Yang Maha Esa
3. Kerja Keras Sikap dan perilaku yang menunjukkan upaya sungguh-sungguh dalam
mengatasi berbagai hambatan belajar dan tugas, serta menyelesaikan tugas
dengan sebaik-baiknya sampai ke batas optimal, jika mampu ke batas maksimal
dari target yang telah ditentukan, baik waktu maupun kualitas pekerjaan.
4. Tangguh Sikap dan perilaku yang menunjukkan upaya sungguh-sungguh dalam
mengatasi berbagai hambatan belajar dan tugas serta menyelesaikan tugas
dengan sebaik-baiknya
5. Jujur Sikap dan perilaku yang didasarkan upaya menjadikan dirinya sebagai orang
(Transparan) yang selalu dapat dipercaya dalam perkataan, tindakan, dan pekerjaan
6. Tekun Sikap dan perilaku yang menunjukkan kerajinan, kesungguhan dan terus
menerus dalam belajar dan mengerjakan tugas.

2.3 TALUBA (Baiman, Bauntung dan Batuah)


Istilah Baiman, Bauntung dan Batuah merupakan gambaran tentang nilai-nilai luhur tentang
karakter manusia yang diharapkan oleh masyarakat Banjar dan tentang bagaimana hendaknya praktik
pendidikan dilakukan berbasis kearifan lokal. Konsepsi dan praktik pendidikan terhadap anak merupakan
khasanah nilai-nilai luhur masyarakat Banjar sebagai manifestasi pengetahuan yang dihasilkan,
disimpan, diterapkan, dikelola dan diwariskan oleh leluhur masyarakat Banjar kepada keturunannya.
a. Baiman
Baiman maknanya adalah orang beriman. Orang beriman berarti harus paling tidak
mengetahui apa rukun iman dan dasar-dasar ketauhidan. Iman menjadi fondasi bagi kehidupan
orang Banjar. Untuk menjadi orang yang beriman, maka setiap orang tua mendidik anak-anaknya
agar belajar membaca al-Qur’an, belajar bacaan salat, belajar salat, belajar membaca doa-doa,
sedikitnya hapal doa selamat (doa mohon keselamatan), belajar membaca syair-syair Maulud
[Sarafal Anam, Barzanji, atau Habsyi, dan Burdah. Jika tidak diajari oleh orangtuanya, maka orang tua
memasukkan anak-anaknya ke pondok-pondok pesantren, sekolah diniyah (waktu sore setelah
sekolah di SD), dan TPA, maupun belajar dengan Guru Mengaji di rumah dan di langgar. Di rumah
urang Banjar bahari selalu terdapat Kitab Parukunan, Kitab Surah Yasin, dan Al Qur,an, hiasan
kaligrafi Allah dan Muhammad, dan Ayat Kursi. Cita-cita terakhir dalam kehidupan orang Banjar
adalah naik haji ke tanah suci Mekkah. Dengan fondasi baiman, diharapkan dalam kehidupan si
anak dapat menjadi manusia yang bauntung.
b. Bauntung
Bauntung maknanya adalah bermanfaat atau berguna, bukan hanya sekedar untung
saja. Untung dalam bahasa Banjar berarti bernasib baik. Dengan berbasis pada iman, dan dibekali
ilmu keagamaan, maka insyaallah kehidupannya akan membawa manfaat dan berguna bagi dirinya
sendiri, orang lain, masyarakat, dan lingkungan. Jika asas manfaat dan berguna ini dengan landasan
iman dan digunakan menurut proses keilmuan, maka kehidupannya insyaallah akan bernasib baik.
Jadi nasib baik, bukan karena keberuntungan semata, tetapi berbasis keimanan dan berada dalam
koridor nilai-nilai keagamaan yang menjadi acuan dari proses keilmuan untuk pemanfaatan dirinya,
Sarbaini
541
untuk masyarakat dan lingkungannya, menuju keberuntungan dalam perspektif dunia-material dan
akhirat-spiritual.
c. Batuah
Batuah maknanya adalah menjadi manusia yang mempunyai harkat dan martabat,
bahkan dalam taraf tertentu bisa menjadi karamah. Namun secara awam manusia yang
diharapkan paling tidak memiliki martabat yang mulia baik di dunia maupun di akhirat. Tahap
ketiga ini memadukan antara kebermanfaatan manusia dalam konteks amaliah dunia dan amaliah
akhirat berbasis iman yang kuat dan keilmuan yang mumpuni. Jika dapat disodorkan sosok yang
demikian, dapat dijadikan referensi untuk sosok Urang Banua adalah Muhammad Arsyad al
Banjari yang diberi gelar Datu Kalampayan.

III. SIMPULAN
Waja Sampai Kaputing memberikan fondasi untuk bekerja keras dalam proses mencapai
tujuan yang diharapkan, sementara Baiman, Bauntung dan Batuah merupakan sosok karakter
manusia yang diharapkan. Dengan semangat Waja Sampai Kaputing, kita wujudkan sosok ideal
Urang Banua, yakni Manusia nang Baiman, Bauntung dan Batuah. Konsep WASAKA dan TALUBA
layak menjadi kajian dalam perspektif etnopedagogi, karena menggambarkan etos, konsepsi
dan praktek pendidikan yang telah sekian lama dilakukan oleh masyarakat Banjar yang
mengidamkan sosok manusia yang berbasis iman dan keilmuan yang bersumber pada nilai
agama dan adat budaya Banjar sebagai manifestasi dari kearifan lokal dalam mendidik anak.

DAFTAR PUSTAKA
Alwasilah, A. C., Suryadi, K., Tri Karyono. 2009. Etnopedagogi: Landasan Praktik Pendidikan
dan Pendidikan Guru. Bandung: Kiblat Buku Utama.
Hapip, A. D. 1997. Kamus Bahasa Banjar-Indonesia. Edisi III. Banjarmasin: PT Grafika Wangi
Kalimantan-Banjarmasin.
Kartadinata, S. (2010). Etnopedagogik: Sebuah Resureksi Ilmu Pendidikan (pedagogik).
Makalah disajikan pada 2nd International Seminar 2010 ‘Practice Pedagogic in Globa
Education Perspective’. PGSD UPI, Bandung, 17 May, 2010.
Nawawi, R., dkk. 1984/1985. Tata Kelakuan di Lingkungan Pergaulan Keluarga dan Masyarakat
Daerah Kalimantan Selatan. Jakarta: Proyek Inventarisasi dan Dokumentasi Kebudayaan
Daerah, Direktorat Sejarah dan Nilai Tradisional, Ditjen Kebudayaan Depdikbud.
Sarbaini. 2012. Pendidikan Karakter WASAKA (Waja Sampai Kaputing) UNLAM. Banjarmasin;
UPT MKU (MPK-MBB) UNLAM.
Suratno, T. 2010. Memaknai Etnopedagogi sebagai Landasan Pendidikan Guru di Universitas
Pendidikan Indonesia. Bandung: Proceedings of The 4th International Conference on
Teacher Education; Join Conference UPI & UPSI Bandung, Indonesia, 8-10 November
2010.

Sarbaini
542
IMPLEMENTASI NILAI KEWIRAUSAHAAN
DI SEKOLAH DASAR NEGERI SUNGAI BESAR 7 BANJARBARU
Sri Setiti
Universitas Lambung Mangkurat

ABSTRAK
Pendidikan kewirusahaan di sekolah dimaksudkan agar anak didik mampu menjawab
tantangan-tantangan dan memanfaatkan peluang-peluang yang ada. Dengan menanamkan
nilai-nilai kewirausahaan di Sekolah Dasar diharapkan peserta didik memiliki jiwa wirausaha
sehingga mampu mengubah pola pikir untuk memiliki kebebasan dalam bekerja dan tidak
tergantung pada orang lain. Tujuan penelitian ini adalah untuk menganalisis implementasi
nilai kewirausahaan di Sekolah Dasar dan nilai yang dapat ditanamkan kepada siswa. Melalui
observasi dan wawancara diperoleh hasil bahwa implementasi nilai kewirausahaan melalui
kegiatan ekstrakurikuler, pengembangan diri dan budaya sekolah. Guru masih sulit dalam
menyusun rencana pembelajaran yang memuat nilai yang akan dikembangkan. Nilai yang
dapat ditanamkan seperti kemandirian, tanggung jawab, disiplin, kerja keras, motivasi kuat,
komunikatif, kreatif, kepemimpinan, kerjasama dan rasa ingin tahu. Nilai kejujuran, berani
menanggung resiko dan inovatif belum terlihat. Disarankan program hijau kelasku tidak hanya
terbatas pada siswa secara mandiri memelihara tanaman sendiri tetapi dapat dijual kepada
masyarakat melalui koperasi sekolah. Diperlukan pelatihan yang intensif kepada guru agar
dapat menyusun rencana pembelajaran yang dapat mengembangkan nilai kewirausahaan.
Penelitian lanjutan sangat diperlukan dengan eksperimen untuk menginternalisasi nilai-nilai
kewirausahaan di Sekolah Dasar.
Kata Kunci: Implementasi, Nilai Kewirausahaan, Sekolah Dasar

I. PENDAHULUAN
UU No 20 Tahun 2003 Tentang Sistem Pendidikan Nasional Pasal 3, menyatakan
bahwa pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak
serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdasan kehidupan bangsa
bertujuan untuk mengembangkan potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman
dan bertakwa kepada Tuhan YME, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan
menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab. Berdasarkan undang-undang
tersebut maka guru berkewajiban untuk mengembangkan potensi anak didik antara lain melalui
pembelajaran dan kegiatan di sekolah baik melalui pembelajaran di kelas, kegiatan ekstrakurikuler
maupun kegiatan lainnya.

SriSetiti
543
Kecenderungan yang terjadi ketika seseorang telah lulus sekolah mereka lebih
menginginkan pekerjaan yang mapan, mendapatkan gaji yang jelas meskipun kecil. Mereka
tidak mau mengawali kehidupan setelah lulus dengan memulai suatu usaha. Untuk mencapai
hal tersebut bekal apa yang perlu diberikan kepada peserta didik agar mampu menjadi
wirausaha yang tangguh dan siap bekerja sehingga mampu menghidupi dirinya. Selain hal
tersebut pendidikan kewirausahaan di Indonesia masih kurang memperoleh perhatian yang
cukup memadai, baik oleh dunia pendidikan maupun masyarakat. Banyak pendidik yang kurang
memperhatikan penumbuhan sikap, minat dan perilaku wirausaha peserta didik. Orientasi
mereka, pada umumnya hanya pada menyiapkan tenaga kerja. Untuk itu, perlu dicari
penyelesaiannya, bagaimana pendidikan dapat berperan untuk mengubah manusia menjadi
manusia wirausaha. Untuk mencapai hal tersebut bekal apa yang perlu diberikan kepada
peserta didik agar mampu menjadi wirausaha yang tangguh dan siap bekerja sehingga mampu
menghidupi dirinya. Padahal suatu bangsa akan maju bilamana bangsa tersebut memiliki
jumlah wirausaha minimal 2% dari jumlah penduduk. Untuk mengubah pola pikir siswa maka
pendidikan kewirausahaan sejak dini perlu ditanamkan di Sekolah Dasar.
Pendidikan kewirusahaan diperlukan agar anak didik mampu menjawab tantangan-
tantangan dan memanfaatkan peluang-peluang yang ada dengan memiliki nilai-nilai dalam
kewirausahaan, siap menghadapi tantangan yang akan mereka hadapi. Seseorang yang
memiliki karakter wirausaha selalu tidak puas dengan apa yang telah dicapainya. Wirausaha
adalah orang-orang yang memiliki karakter dan mengaplikasikan hakikat kewirausahaan dalam
hidupnya. Dengan kata lain, wirausaha adalah orang-orang yang memiliki jiwa kreativitas dan
inovatif yang tinggi dalam hidupnya. Kenyataan yang ada, pendidikan kewirausahaan masih
kurang memperoleh perhatian yang memadai. Salah satu cara untuk mengurangi angka
pengangguran adalah perlu dikembangkan semangat entrepreneurship sedini mungkin
(Kemendiknas, 2010: 1-2). Pembelajaran yang mendidik harus dapat membangun hard skill
dan soft skill sebagai keutuhan (Kartadinata: 2009: 3).
Pendidikan kewirausahaan bertujuan untuk membentuk manusia secara utuh sebagai
insan yang memiliki karakter, pemahaman dan keterampilan sebagai wirausaha. Pada dasarnya,
pendidikan kewirausahaan dapat diimplementasikan secara terpadu dengan kegiatan-kegiatan
pendidikan di sekolah. Pelaksanaan pendidikan kewirausahaan dilakukan oleh kepala sekolah,
guru, tenaga kependidikan (konselor), peserta didik secara bersama-sama sebagai suatu
komunitas pendidikan. Pendidikan kewirausahaan diterapkan ke dalam kurikulum dengan
cara mengidentifikasi jenis-jenis kegiatan di sekolah yang dapat merealisasikan pendidikan
kewirausahaan dan direalisasikan peserta didik dalam kehidupan sehari-hari. Dalam hal ini,
program pendidikan kewirausahaan di sekolah dapat diinternalisasikan melalui berbagai aspek
(http://akhmadsudrajat.wordpress.com/2011/06/29/konsep-kewirausahaan-dan-pendidikan-
kewirausahaan).
Untuk pendidikan kewirausahaan di Sekolah Dasar tidak menjadi satu mata pelajaran
tersendiri, melainkan nilai-nilai kewirausahaan diintegrasikan pada mata pelajaran, kegiatan
ekstrakurikuler, pengembangan diri, kultur sekolah maupun muatan lokal. Upaya Pemerintah
untuk menanggulangi masalah ini terutama masalah yang terkait dengan kewirausahaan antara

SriSetiti
544
lain dapat dilakukan dengan cara: (a) menanamkan pendidikan kewirausahaan ke dalam
semua mata pelajaran, bahan ajar, ekstrakurikuler, maupun pengembangan diri, (b)
mengembangkan kurikulum pendidikan yang memberikan muatan pendidikan kewirausahaan
yang mampu meningkatkan pemahaman tentang kewirausahaan, menumbuhkan karakter
dan keterampilan/skill berwirausaha,(c) menumbuhkan budaya berwirausaha di lingkungan
sekolah (Kemendiknas, 2010: 58-64).
Sekolah Dasar Negeri Sungai Besar 7 Banjarbaru merupakan sekolah yang menjadi
pelopor dalam kebersihan, kesehatan gigi dan lingkungan bahkan pernah menjadi Juara I
Unit Kesehatan Sekolah se-kota Banjarbaru sehingga mendapat penghargaan dari Kota
Banjarbaru. Oleh karena itu Sekolah Dasar ini menarik untuk dijadikan obyek penelitian,
karena tanpa kerja keras prestasi sulit didapatkan. Kerja keras merupakan nilai yang paling
dominan dalam kewirausahaan.

II. IMPLEMENTASI NILAI-NILAI KEWIRAUSAHAAN DI SDN SUNGAI BESAR 7 BANJARBARU


Implementasi nilai-nilai kewirausahaan di Sekolah Dasar Sungai Besar 7 tidak terlepas
dari visi dan misi sekolah, sehingga implementasi nilai-nilai kewirausahaan melalui kegiatan
ekstrakurikuler, pengembangan diri, keterampilan yang dilakukan oleh siswa dan budaya
sekolah. Nilai-nilai kewirausahaan dalam Kemendiknas (2010:10-11) meliputi: mandiri, kreatif,
berani menanggung resiko, orientasi pada tindakan, kepemimpinan, kerja keras, jujur, disiplin,
inovatif, tanggungjawab, kerjasama, komitmen, realistis, rasa ingin tahu, komunikatif dan
motivasi untuk sukses.
2.1 Implementasi Nilai Kewirausahaan Melalui Kegiatan Ekstakurikuler
Kegiatan ekstrakurikuler dilakukan yang mendukung kompetensi akademik dan
ektrakurikuler yang mendukung pengembangan minat dan bakat siswa. Kegiatan
ekstrakurikuler yang mendukung kompetensi akademik yang dilakukan oleh SD Negeri Sungai
Besar 7 adalah pembelajaran untuk persiapan ujian dan memanfaatkan perpustakaan sekolah.
Kegiatan ekstrakurikuler yang mendukung pengembangan bakat dan minat melalui
kegiatan olahraga, pramuka, kesenian, taman, tanaman obat dan melukis. Sekolah sering
mengadakan lomba dan mengikuti lomba baik di tingkat kota, provinsi maupun nasional. Bahkan
untuk karate mengikuti lomba tingkat internasional yang dilaksanakan di Kuala Lumpur. Anak
yang berbakat biasanya dukungan orang tua sangat dominan, sehingga guru lebih mudah
memotivasi siswa untuk maju. Setiap ada pertandingan/perlombaan guru ikut mendampingi,
bilamana siswa menang dalam lomba maka siswa dibuatkan tropi duplikat sedangkan yang
asli disimpan di sekolah. Hal tersebut dilakukan untuk memotivasi siswa lain agar berprestasi.
Kegiatan ekstrakurikuler tersebut siswa akan mandiri, kerja keras agar hasilnya baik,
orientasi pada tindakan, kepemimpinan, disiplin, tanggungjawab, komitmen, komunikatif dan
motivasi untuk sukses.

SriSetiti
545
2.2 Implementasi Nilai Kewirausahaan Melalui Budaya Sekolah
Sekolah Dasar Negeri Sungai Besar 7 mempunyai budaya yang disepakati bersama
dan dilakukan oleh siswa, guru maupun pegawai sekolah. Budaya sekolah yang disepakati
baik tertulis maupun tidak tertulis adalah sebagai berikut:
a. Komunikasi siswa dengan guru maupun dengan masyarakat.
Siswa dibiasakan memberi salam dan mencium tangan guru ketika mau masuk
kelas. Pembiasaan memberi salam dan mencium tangan dilakukan oleh siswa
setiap ketemu guru, kepala sekolah, pegawai sekolah bahkan setiap ketemu
orang yang lebih dewasa yang masuk di lingkungan kelas. Guru memberi tahu,
memberi contoh kepada siswa bagaimana berkomunikasi dengan orang yang
lebih tua.
b. Pengajian di halaman sekolah pada setiap hari Jum’at pagi dengan membaca
Surat Yasin, salawat nabi bersama yang dipimpin oleh guru agama atau
mengundang ustadz, yang dilanjutkan dengan tausiah. Selanjutnya dilanjutan
dengan tadarus, fiqih sesuai dengan jadwal. Seluruh siswa, guru dan pegawai
sekolah baik yang muslim maupun yang bukan muslim berkumpul bersama di
halaman sekolah. Mereka harus berpartisipasi kegiatan pengajian. Selesai
pengajian dihalaman sekolah dilanjutkan dengan kegiatan amal yang dilakukan
oleh guru, pegawai dan siswa dengan cara memasukkan sumbangan sukarela
ke celengan yang disediakan sekolah. Celengan sekolah dipergunakan untuk
membantu siswa yang terkena musibah, sakit atau untuk membantu masyarakat
sekitar sekolah.
Pada kegiatan pengajian di halaman, siswa secara bergiliran mendapatkan tugas
untuk mempersiapkan karpet dan menggulung kembali setelah selesai kegiatan.
Mereka melakukan secara berkelompok. Membaca solawat juga dilakukan oleh
siswa secara bergiliran.
c. Program hijau kelasku dengan tanaman hias.
Program ini dirancang agar setiap kelas memiliki tanaman hias. Setiap siswa
wajib memelihara satu pot tanaman hias sehingga sebelum masuk kelas siswa
melihat tanaman yang menjadi tanggungjawabnya. Wali kelas memberi contoh
bagaimana merawat tanaman. Tanaman dibawa oleh siswa sendiri dan ditaruh
dalam pot yang telah disediakan oleh sekolah. Tanaman tersebut ditaruh di depan
kelas.
d. Perilaku tertib dan disiplin
Perilaku ini ditunjukkan dengan siswa menaruh sepatu, sepeda dan membuang
sampah pada tempat yang telah disediakan. Duduk tertib dengan membuat
kelompok per kelas, ketika mengikuti pengajian dan mendengarkan ceramah di
halaman sekolah. Tidak boleh saling mendorong ketika berbaris memasuki kelas.
Kepala sekolah, guru selalu mengingatkan untuk disiplin pada setiap pertemuan.

SriSetiti
546
e. Kegiatan Upacara
Upacara bendera dilakukan setiap hari Senin dan diisi dengan arahan oleh kepala
sekolah. Dalam arahan kepala sekolah mengingatkan bagaimana disiplin, kerja
keras, tanggungjawab, mandiri dan pesan moral lainnya yang harus dimiliki
oleh siswa. Setiap siswa yang berprentasi selalu diumumkan pada saat upacara.
f. Slogan yang berisi pesan moral.
Slogan tentang disiplin, tanggung jawab, kerja keras digantung di setiap lorong
sekolah. Misalnya, disiplin adalah harga diri yang paling tinggi, kerja adalah ibadah,
amanah dan kehormatan. Slogan dibuat oleh sekolah dan setiap siswa dapat
melihat dan membaca.
g. Kegiatan rutin lainnya.
Siswa membuat kliping tentang lingkungan, kisah pahlawan, gambar pahlawan
dan topik-topik lainnya yang disesuaikan dengan materi pembelajaran yang masing-
masing kelas membuat dan dilaminating kemudian ditempel di diding kelas bagian
dalam dan luar sehingga kelihatan semarak karena ditata dengan rapi. Setiap
kelas berlomba menyusun kelas agar indah dan tidak membosankan. Kebiasaan
ini dilakukan terus menerus yang dipandu oleh wali kelas, sehingga kelas selalu
bersih, rapi dan formasi duduk selalu berubah. Melakukan kebersihan lingkungan
sekolah secara rutin oleh siswa dan guru. Tugas kebersihan kelas dilakukan secara
bergilir. Siswa diajak guru untuk membantu kebersihan masyarakat sekitar sekolah
dan membantu masyarakat yang terkena musibah.
Dengan kegiatan ini siswa memiliki nilai sikap mandiri, kreatif, orientasi pada tindakan,
kepemimpinan, kerja keras, disiplin, tanggung jawab, kerjasama, komitmen, realistis,
komunikatif dan motivasi untuk berhasil dan peduli sesama.
2.3 Implementasi Nilai Kewirausahaan Melalui Pengembangan Diri
Pengembangan diri dilakukan dengan tujuan agar siswa memiliki rasa percaya diri,
berani melakukan kegiatan yang menantang, menumbuhkan rasa bahwa dirinya berharga.
Sehingga melahirkan konsep diri yang baik karena akan selalu optimis, berani mencoba hal-
hal baru, berani sukses, berani gagal, percaya diri, antusias dan berani memimpin.
Pengembangan diri dilakukan oleh wali kelas kepada siswa dengan mengetahui bakat dan
minat setiap siswa. Kegiatan ini dilakukan dengan bekerjasama dengan orang tua siswa dan
pihak yang terkait dengan bakat siswa. Dana untuk pengembangan diri ini dibantu oleh
Paguyuban Orang Tua Siswa.
Dari kegiatan ini tampak siswa lebih percaya diri, disiplin, bertanggungjawab, kerjasama,
kerja keras, komunikatif dan termotivasi untuk berhasil.
2.4 Implementasi Nilai Kewirausahaan melalui Pembelajaran di Kelas
Guru mengalami kesulitan dalam menyusun Rencana Pembelajaran yang
mencantumkan karakter, meskipun sudah mulai mencantumkan karakter yang dapat
ditanamkan pada anak didik setelah pembelajaran. Meskipun demikian bahan ajar yang sudah

SriSetiti
547
mengintegrasikan nilai kewirausahaan dan guru selalu mengamati karakter siswa secara
individual.

III. PEMBAHASAN
Penanaman nilai kewirausahaan di sekolah menuntut guru maupun kepala sekolah
lebih kreatif. Menurut Knowles (1984: 117), menyatakan guru berperan sebagai konsultan, fasilitator
dan berperan menciptakan iklim yang kondusif, menciptakan mekanisme yang saling
menguntungkan dan mengungkap kebutuhan pembelajar. Guru harus memahami nilai-nilai
moral bagi anak didiknya untuk membentuk karakter agar tercermin dalam akhlak kehidupan
sehari-hari. Hal ini menuntut kreativitas dan pengayaan program pengajaran melalui berbagai
kegiatan yang aplikatif dan tepat sasaran dalam menuntun akhlak sehari-hari peserta didik.
Sekolah Dasar Negeri Sungai Besar 7 Banjarbaru dalam mengimplementasikan nilai-
nilai kwirausahaan menggunakan beberapa cara antara lain:
3.1 Kegiatan Ekstrakurikuler
Kegiatan ekstrakurikuler yang merupakan kegiatan diluar pelajaran digunakan untuk
kegiatan mengembangkan olah raga berupa karate, menyanyi, menari. Kegiatan tersebut untuk
mengembangkan bakat dan potensi siswa. Untuk mengembangkan bakat dan minat tersebut
dibina oleh orang yang profesional sesuai dengan bidangnya maka siswa terpacu untuk
bertanggung jawab akan kegiatan yang dilakukan, disiplin, kerja keras, motivasi kuat untuk
setiap lomba agar menang, komunikasi terjalin antara pelatih/instruktur dengan siswa. Misi
kegiatan ekstrakurikuler adalah: (1). menyelenggarakan kegiatan yang dapat dipilih oleh siswa
sesuai dengan kebutuhan, potensi, bakat dan minat mereka, (2). Menyelenggarakan kegiatan
yang memberi kesempatan kepada siswa mengekpresikan diri secara bebas melalui kegiatan
sendiri atau kelompok (Kemendiknas, 2010: 61). Menurut Suherman (2008: 121), bahwa
kegiatan ektrakurikuler kewirausahaan dapat berperan sebagai kawah candradimuka bagi
business entrepreneur sejati. Kegiatan ini tentunya setelah menyusun studi kelayakan yang
feasible dapat dilaksanakan. Bagi peserta didik yang belum mampu membuat studi kelayakan
dapat bergabung dengan kelompok yang feasibility study-nya dianggap layak. Kegiatan ini
akan membangun learning community.
Dalam kaitannya dengan strategi yang digunakan maka sekolah menggunakan strategi
pemanduan karena dipandu oleh pelatih, pujian dan hadiah bagi pemenang ketika mengikuti
lomba. Menurut Muchlas Samani (2012: 144), strategi ini umum dilakukan oleh negara barat
dalam menanamkan karakter yaitu dengan pemanduan (cheerleading), pujian dan hadiah
(praise and reward)
3.2 Budaya Sekolah
Sekolah melakukan kebiasaan rutin yang dilakukan oleh siswa pada setiap ketemu
guru, pegawai dengan memberi salam dan mencium tangan, baik ketika mau masuk kelas
maupun ketemu di lingkungan sekolah. Pengembangan nilai-nilai kewirausahaan dalam budaya
sekolah mencakup kegiatan yang dilakukan oleh kepala sekolah, guru, tenaga administrasi

SriSetiti
548
ketika berkomunikasi dengan peserta didik dan menggunakan fasilitas sekolah seperti kejujuran,
tanggungjawab, disiplin, komitmen dan budaya berwirausaha di lingkungan sekolah
(Kemendiknas, 2010: 64). Strategi ini merupakan strategi forced formality yang menegakkan
disiplin dan melakukan pembiasaan (habituasi) kepada siswa untuk secara rutin melakukan
kegiatan yang bernilai moral (Muchlas Samani, 2012: 145). Transformasi pendidikan karakter
melalui budaya sekolah lebih efektif dari pada mengubah kurikulum dengan menambah mata
pelajaran. Kegiatan rutin dengan memberikan infak secara sukarela akan melatih siswa untuk
untuk berfikir realistis bahwa diluar dirinya masih banyak orang yang memerlukan bantuan.
Budaya sekolah merupakan suatu pola asumsi-asumsi dasar, nilai-nilai, keyakinan-keyakinan,
dan kebiasaan-kebiasaan yang dipegang bersama oleh seluruh warga sekolah, yang diyakini
dan telah terbukti dapat dipergunakan untuk menghadapi berbagai problem dalam beradaptasi
dengan lingkungan yang baru dan melakukan integrasi internal, sehingga pola nilai dan asumsi
tersebut dapat diajarkan kepada anggota dan generasi baru agar mereka memiliki pandangan
yang tepat bagaimana seharusnya mereka memahami, berpikir, merasakan dan bertindak
menghadapi berbagai situasi dan lingkungan yang ada (Zamroni, 2011: 297 ).
3.3 Pengembangan Diri
Pengembangan diri yang dlakukan oleh SD Negeri Sungai Besar 7 yang disesuaikan
dengan bakat dan minat siswa merupakan cara guru untuk mengembangkan kemampuan
individual siswa. Siswa perlu didorong untuk mengembangkan diri secara positif menyadarkan
siswa akan kelebihan dan kelemahannya. Pengembangan diri dengan mengembangkan
kelebihan yang dimiliki sisws akan meningkatkan rasa percaya diri. Seorang wirausaha perlu
memiliki watak percaya diri yang menurut Geofry Meredith (2004: 40), merupakan salah satu ciri
seorang wirausaha. Dengan percaya diri maka siswa akan mampu bekerja mandiri tidak
tergantung pada orang lain dan memiliki keyakinan untuk dapat berhasil.
Pengembangan diri tersebut kiranya perlu setiap peserta didik mengetahui potensi diri. Potensi
diri ini sebagai langkah awal bagi seorang wirausaha untuk dapat mengenali perilaku, sikap,
sistem nilai yang membentuk kepribadian (Yuyus, 2010: 66). Penilaian diri ini dapat melahirkan
kesadaran untuk berinterospeksi diri, dapat mengukur diri dan upaya memperbaiki diri dan
keinginan untuk berprestasi.
3.4 Pembelajaran di Kelas
Guru selalu mengamati anak didik di kelas tetapi kesulitan dalam merancang
pembelajaran.

IV. PENUTUP
Nilai-nilai kewirausahaan diimplementasikan di Sekolah Dasar Negeri Sungai Besar
7 melalui kegiatan ekstrakurikuler yang mendukung pengembangan bakat dan minat dengan
kegiatan olahraga, pramuka, kesenian, taman, tanaman obat dan melukis. Budaya sekolah
yang mendukung penanaman nilai kewirausahaan meliputi tata tertib sekolah dalam menaruh
barang, komunikasi dengan warga sekolah maupun masyarakat, penghijauan setiap kelas,

SriSetiti
549
slogan, kegiatan yang rutin dilakukan siswa yang mampu menumbuhkan nilai kreatif dan
inovatif. Implementasi nilai melalui pengembangan diri dilakukan dengan bekerjasama dengan
orang tua siswa.

DAFTAR PUSTAKA
Gavin Kalam Utama. Nilai Budaya Untuk Membentuk Daya Saing dan Karakter Bangsa
Pengembangan Pendidikan kewirausahaan. Jakarta.
Geoffrey G., Meredith. 2004. The Practice of Entrepreneurship, International Labour
Organisation. Terjemahan LPPM. PT. Pustaka Binaman Pressindo.
http://akhmadsudrajat.wordpress.com/2011/06/29/konsep-kewirausahaan-dan-pendidikan-
kewirausahaan/Januari, 2014
Kartadinata, Sunaryo. 2010. Isu-Isu Pendidikan Antara Harapan dan Kenyataan,
Bandung: UPI PRESS.
Kneller, G.F. 1971. Introduction to The Philosophy of Education, Second ed. New York: John
Wiley & Sons, Inc.
Lambing,P.,K. 2000. Entrepreneurship. New Yersey: Prentice Hall.
Pusat Kurikulum. 2010. Bahan Pelatihan Penguatan Pembelajaran Berdasarkan Nilai
Suherman. 2008. Desain Pembelajaran Kewirausahaan Pedoman Praktis bagi Dosen, Guru,
Ustads, Instruktur, Pelatih, Fasilitator, Pembimbing, Pembina, Pemateri dan Penceramah
dalam Membangun dan Membentuk Komunikasi Business Entrepreneur Melalui
Implementasi EMANE. Bandung: Alfabeta.
Samani, Muchlas, Hariyanto. 2012. Konsep dan Model Pendidikan Karakter. Bandung.
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2003 Tentang Sistem Pendidikan
Nasional. Bandung: Citra Umbara.
Yuyus, Suryana. 2010. Kewirausahaan Pendekatan Karakteristik Wirausaha Sukses, Jakarta:
Kencana Prenada Media Group.
Zamroni. 2011. Dinamika Peningkatan Mutu. Yogyakarta.

SriSetiti
550
INTEGRASI NILAI–NILAI KEARIFAN LOKAL ETNIK BETAWI SEBAGAI
IMPLEMENTASI PENDIDIKAN BERKARAKTER DI SEKOLAH DASAR
Suswandari
UHAMKA Jakarta

I. PENDAHULUAN
Pendidikan secara umum diketahui sebagai alat untuk perubahan (agent of social
change). Tujuan pendidikan, walaupun sudah digubah dan diubah bahasan intinya bermuara
pada upaya mendidik warga negara yang baik, yaitu warga negara yang mempunyai
pengetahuan, keterampilan dan sikap baik sebagai warga negara (Azmi, 2003). Pendidikan
berkarakter dapat dipahami sebagai pendidikan budi pekerti plus yang melibatkan aspek kognitif,
afektif dan psikomotor secara holistik. Harapan yang ingin diraih dalam konteks pendidikan
karakter ini adalah lahirnya sumber daya manusia dengan kualitas lahir dan batin yang “kuat,
tanggap dan memiliki kemampuan beradaptasi baik dimanapun ia berada.
Pendidikan berkarakter dalam analisis Mudji Sutrisno (2014) dinyatakan dalam
penjabaran etika dan nilai yang selalu mewarnai interaksi sosial yang terbangun. Kawasan
etika mengkaji persoalan pemahaman, kesadaran batin dan “budi” yang pantas dan tidak
pantas dalam relasi antar manusia. Kawasan nilai mengkaji apa yang dipandang dihargai dan
berusaha dihayati sebagai kebenaran, kebaikan, keindahan dan yang suci dalam kehidupan
ini (Mudji Sutrisno, 2014). Namun demikian, hasrat berkuasa dan ambisi manusia sering kali
menjadi penyebab munculnya ketidakharmonisan hidup yang berujung pada konflik dengan
korban sesama manusia. Perubahan demi perubahan terus mengisi dan mewarnai kehidupan
manusia seiring dengan perkembangan zaman.
Era global dan globalisasi menjadi bagian dari proses evolutif dan revolutif yang tengah
dirasakan oleh sebagian besar umat manusia di dunia ini, kecuali negara/ wilayah yang sengaja
mengasingkan diri atau terkendala oleh hambatan geografis tertentu. Di era global saat ini, setiap
manusia tidak mungkin eksis tanpa sentuhan teknologi global yang semakin mempermudah interaksi
sosial dan memperpendek jarak panjang serta membuka sekat yang tertutup karena batas-batas
politik, sosial, ekonomi dan budaya. Percepatan tekhnologi yang ditandai dengan konteks speed,
flexibility, integration and innovation telah melewati batas keinginan manusia (Ashkenas, 2002).
Kondisi ini membawa perubahan pada karakter dan identitas bangsa yang diubah dengan
gaya Barat sebagai gaya hidup baru atas nama modernisasi. Siapapun sepakat dengan arti
modernisasi sebagai perubahan untuk menuju kehidupan yang lebih baik, kehidupan yang lebih
manusiawi dan menjunjung harkat dan martabat manusia. Akan tetapi tidak jarang modernisasi

Suswandari
551
justru membawa komunitas bangsa pada arus modernitas yang membawa kesengsaraan karena
ketidaksiapan sumberdaya manusia. Budaya dan nilai-nilai lokal dengan karakter khasnya, tidak
lagi menjadi acuan dalam penyelesaian persoalan hidup dan kehidupan. Budaya dan nilai-nilai
lokal menjadi bagian dari cerita lama yang tidak lagi mendasari aktivitas kehidupan yang ada.
Sumberdaya manusia berkualitas adalah sumber daya yang mampu beradaptasi dengan
baik pada lingkungannya. Solusi penyiapan sumber daya manusia berkualitas dilakukan dengan
penyelengggaraan pendidikan yang juga berkualitas. Artinya suatu proses pendidikan yang mampu
memprediksi kebutuhan yang akan datang secara baik. Bertolak dari kuatnya pengaruh budaya
global yang disinyalir telah mereduksi karakter dan identitas bangsa, pendidikan karakter berbasis
nilai-nilai kearifan lokal dapat menjadi salah satu alternatif solusi dalam permasalahan ini. Kearifan
lokal dapat dipahami sebagai ungkapan budaya khas suatu komunitas tertentu di wilayah tertentu
yang didalamnya terkandung tata nilai, etika, norma dan aturan untuk menjaga keberlanjutan
hidup. Di Indonesia, ditemukan ribuan nilai kearifan lokal yang selama ini dijadikan sebagai
decision making dalam penyelesaian masalah di masyarakat. Di antara sekian banyak kearifan
lokal yang ada, salah satunya adalah kearifan lokal etnik Betawi di Jakarta.
Makalah ini mencoba untuk mengupas nilai-nilai kearifan lokal etnik Betawi yang
dapat diintegrasikan dalam proses pembelajaran sebagai bagian dari pelaksanaan
pembelajaran berkarakter khususnya di sekolah dasar, khususnya kearifan lokal permainan
tradisional. Pembahasan dimulai dengan mengupas pendidikan berkarakter, etnik Betawi,
kearifan lokal etnik Betawi dan integrasinya dalam pembelajaran di sekolah dasar.

II. PENDIDIKAN BERKARAKTER


Salah seorang pengusaha ternama Indonesia, dalam salah satu perbincangannya di
televisi swasta2 menyatakan cepatnya perubahan global yang diikuti dengan kecanggihan
tekhnologi, sangat membutuhkan kesiapan sumberdaya manusia berkualitas untuk dapat
menjawab tantangan ini dan pendidikan berkualitaslah yang akan mampu menyelesaikannya.
Dicontohkan Korea Selatan yang memiliki kebijakan pendidikan sangat baik dan kemudian
menjadikan negara tersebut sebagai salah satu negara yang pantas diperhitungkan di kawasan
Asia. Pendidikan menjadi kata kunci bagi setiap bangsa yang ingin mengejar ketertinggalan,
bangun dari keterpurukan dan bangkit dalam pembangunan. Beberapa negara di kawasan
Asia Tenggara seperti Vietnam, Kamboja, Laos sampai dengan tahun 1980an masih terguncang
karena konflik saat ini mulai bangkit melalui pembangunan pendidikan yang terus dilakukan.
Sebagai bagian dari kawasan Asia Tenggara, Indonesia boleh dikatakan sebagai
negara yang paling kaya dengan sumber daya alam, kaya sumber daya manusia dan juga
keanekaragaman budaya yang sangat mengagumkan. Dalam konteks pembangunan bidang
pendidikan Indonesia juga tidak kalah dengan beberapa negara tentangga di sekitarnya. Hanya
saja, masih memerlukan banyak pembenahan secara berkelanjutan untuk dapat menghasilkan
sumber daya manusia unggul dan berkualitas. Hal ini senada dengan apa yang diungkapkan
oleh Zamroni bahwa “persoalan pendidikan kita yang paling mendasar adalah bagaimana
melakukan peningkatan mutu dalam kerangka reformasi pendidikan sesuai dengan kebutuhan

Suswandari
552
zamannya, yaitu era globalisasi dengan segala kecepatan perubahan. Misalnya, ahli ekonomi
kita belum berhasil menata ekonomi dengan baik, ketimpangan kehidupan antara kelompok
the have dengan the have not semakin tajam. Ahli pertanian belum berhasil meningkatkan
produksi pertanian dan belum berhasil bersaing dengan produk pertanian asing, bahkan terjadi
peningkatan produk asing dalam berbagai jenis hasil pertanian yang seharusnya bisa diproduksi
lokal seperci cabe, bawang merah, pisang dan sebagainya. Ironisnya produk asing menjadi
simbol bagi modernitas masyarakat Indonesia saat ini.
Selanjutnya, ahli teknik belum berhasil menghasilkan produk teknik yang baik dan
dapat dijual di pasaran global. Pada tataran ini masih tergambar ketergantungan masyarakat
kita pada impor dengan segala akibat sosialnya. Para ahli Ilmu Sosial bersilang pendapat
dalam merumuskan pemecahan masalah sosial yang semakin rumit. Para politisi selalu
melupakan sejarah bangsanya dan berjuang untuk kelompoknya atas nama bangsa, bertindak
korup dan tidak memberikan contoh baik dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Lembaga
pendidikan belum mampu mendidik karakter bangsa dan belum mampu menjadi agent of
change, kecuali bagi kesejahteraan perorangan. Hilangnya kepedulian sosial dan meningkatnya
egoisme pribadi telah menyebabkan orang tidak peduli pada orang lain. Gambaran kondisi
tersebut di atas, telah membelalakkan kita semua tentang persoalan pendidikan di Indonesia.
Untuk itu, Menteri Pendidikan Nasional dalam suatu forum internasional “The Sixth
E.9 Ministerial Review Meeting” yang berlangsung di Meksiko tanggal 13 sampai dengan 15
Februari 2006 menjelaskan bahwa: “... dalam 25 tahun ke depan sistem pendidikan nasional
Indonesia akan menghasilkan manusia Indonesia yang memiliki kecerdasan menyeluruh
meliputi rohani, intelektual, sosial, emosional, estetika dan kecerdasan kinestik”.
Oleh karenanya, pendidikan merupakan proses yang kompleks dan berjangka panjang.
Proses pendidikan bertujuan mempersiapkan manusia untuk dapat hidup layak di masa depan,
suatu masa yang tidak mesti sama, bahkan cenderung berbeda dengan masa kini. Proses
pendidikan bersifat kompleks dikarenakan interaksi diantara berbagai aspek seperti: guru,
bahan ajar, fasilitas, kondisi siswa, kondisi lingkungan, metode mengajar dan sebagainya yang
tidak selamanya memiliki sifat dan bentuk yang konsisten dan dapat dikendalikan. Pendidikan
berkarakter adalah sistem pendidikan yang di dalamnya diikuti dengan penanaman nilai-nilai
karakter yang mencakup pengetahuan, kesadaran dan tindakan untuk melakukan nilai-nilai
baik dan tidak melalukan nilai-nilai yang tidak baik dalam kehidupan nyata. Menurut David
Elkind & Freddy Sweet Ph.D. (2004) dalam Akhmad Sudrajat, 2010), pendidikan karakter dimaknai
sebagai berikut:
“character education is the deliberate effort to help people understand, care about, and
act upon core ethical values. When we think about the kind of character we want for our
children, it is clear that we want them to be able to judge what is right, care deeply about
what is right, and then do what they believe to be right, even in the face of pressure from
without and temptation from within.”
Adapun tujuan pendidikan berkarakter adalah pembentukan pribadi individu menjadi
manusia baik, sesuai dengan karakter budaya yang melingkupinya. Hakikat pendidikan karakter

Suswandari
553
di Indonesia dapat juga dinyatakan dengan pendidikan nilai yang bersumber dari budaya sendiri.
Oleh karenanya pendidikan nilai/ pendidikan berkarakter ini dimulai dari pendidikan dalam
keluarga dan dalam lingkup yang lebih formal dilakukan di sekolah yang melibatkan seluruh
komponen sekolah.
Karakter baik sering kali disebut dengan karakter mulia, hal ini berarti individu memiliki
pengetahuan tentang potensi dirinya, yang ditandai dengan nilai-nilai seperti reflektif, percaya
diri, rasional, logis, kritis, analitis, kreatif dan inovatif, mandiri, hidup sehat, bertanggung jawab,
cinta ilmu, sabar, berhati-hati, rela berkorban, pemberani, dapat dipercaya, jujur, menepati
janji, adil, rendah hati, malu berbuat salah, pemaaf, berhati lembut, setia, bekerja keras, tekun,
ulet/gigih, teliti, berinisiatif, berpikir positif, disiplin, antisipatif, inisiatif, visioner, bersahaja,
bersemangat, dinamis, hemat/efisien, menghargai waktu, pengabdian/dedikatif, pengendalian
diri, produktif, ramah, cinta keindahan (estetis), sportif, tabah, terbuka, tertib dan sebagainya
(Akhmad Sudrajad, 2010). Setiap individu memiliki kesadaran untuk berbuat yang terbaik dan
juga mampu bertindak sesuai potensi dan kesadarannya tersebut. Pendidikan berkarakter
difokuskan pada upaya bagaimana mengaplikasikan nilai-nilai baik itu dalam bentuk tindakan
atau tingkah laku bagi setiap individu, sehingga individu yang tidak percaya diri, tidak jujur, dan
tidak yang lainnya dari beberapa kriterai nilai baik karakter akan disebut sebagai orang yang
berkarakter tidak baik. Pendidikan di lingkup keluarga dan sekolah memiliki tanggung jawab
bersama dalam proses pembentukan karakter ini.
Keberhasilan pendidikan berkarakter di sekolah dilakukan dengan melibatkan semua
komponen yang ada di sekolah sebagai aktor utama. Untuk pendidikan di tingkat sekolah
dasar guru memegang perang yang sangat penting. Di sisi lain, pendidikan berkarakter di
sekolah perlu didukung oleh kesiapan kurikulum yang ada, proses pembelajaran yang
dilakukan, sistem penilaian yang objektif, pengelolaan mata pelajaran yang kontekstual dan
sarat dengan nilai-nilai budaya sebagai materi, pengelolaan sekolah yang bersih dan demokratis,
pelaksanaan kegiatan ko kurikuler yang berkesetaraan, pemberdayaan sarana dan prasarana
pembelajaran yang berkualitas, etos kerja seluruh komponen sekolah yang harmonis, peserta
didik yang terwadahi aspirasinya dan sebagainya.
Implementasi pendidikan berkarakter di sekolah menuntut adanya sistem tata kelola
sekolah yang terbuka dan mampu menghargai semua pihak dengan memperhatikan asas
keadilan dan budaya saling menghargai penuh dengan harmonisasi yang terus ditegakkan. Di
samping itu, pendidikan berkarakter sebagai bagian dari pendidikan nilai, hendaknya ditopang
dengan pengembangan nilai-nilai kearifan lokal di tempat proses pembelajaran itu
dilaksanakan.

III. ETNIK BETAWI


Etnik3 Betawi dalam beberapa kajian antropologi disebutkan sebagai etnik terakhir
dalam struktur sejarah etnik yang ada di Indonesia. Etnik Betawi menjadi etnik asli penduduk
Jakarta. Dalam pandangan Barth (1998: 1) kelompok etnik diartikan sebagai populasi yang
secara biologis mampu berkembang biak dan bertahan, mempunyai nilai-nilai budaya yang

Suswandari
554
sama dan sadar akan kebersamaan dalam suatu bentuk budaya, membentuk jaringan
komunikasi dan interaksi tersendiri, menentukan sendiri ciri kelompoknya dan dapat dibedakan
dari kelompok populasi lain. Sementara itu, Daniel Bell (1975) menjelaskan etnik memiliki
identitas yang lebih menonjol karena mampu memadukan kepentingan dengan satu ikatan
efektif dalam bahasa, makanan, musik, nama, adat kebiasaan, perilaku keseharian, pola
interaksi, konflik dan upaya penyelesaiannya dan sebagainya.
Pendapat tersebut memperkuat deskripsi tentang etnik Betawi yang sesungguhnya.
Mereka merupakan kelompok yang mampu eksis dengan identitas budaya yang khas dan
berbeda dengan komunitas plural lainnya di Jakarta. Etnik Betawi menjadi ikon etnik asli
Jakarta dengan budaya khas yang disebut dengan budaya Betawi dengan kekayaan kearifan
lokal dan nilai-nilainya yang pantas untuk dijaga dan digali dalam upaya pembentukan karakter
di tengah kuatnya pengaruh negatif budaya global.
Secara historis terbentuknya etnik Betawi dari perkawinan campur berbagai kelompok
etnik lain yang sudah terlebih dahulu ada di Batavia4 (Suswandari, 2008), misalnya Ambon,
Arab, Bali, Banda, Bali, Bima, Bugis,Buton, Flores, Jawa, Makasar, Melayu, Sunda, Sumbawa,
Eropa, Cina, India dan sebagainya. Antropolog Univeristas Indonesia, Yasmine Zaki Shahab
(2000) menyatakan bahwa etnik Betawi baru terbentuk antara tahun 1815-1893. Pengakuan
terhadap adanya orang Betawi sebagai sebuah kelompok etnis dan sebagai satuan sosial dan
politik dalam lingkup yang lebih luas baru muncul pada tahun 1923, pada saat Moh Husni
Thamrin tokoh masyarakat Betawi mendirikan Perkoempoelan Kaoem Betawi. Pada tahun
1961, etnik Betawi berjumlah kurang lebih 22,9 persen dari antara 2,9 juta penduduk Jakarta.
Mereka semakin terdesak ke pinggiran, bahkan ramai-ramai digusur dan tergusur ke luar
Jakarta atas nama pembangunan (Suswandari, 2008). Walaupun demikian, ciri kebudayaan
mereka tetap menonjol. Populasi Etnik Betawi saat ini menempati posisi ketiga dalam komposisi
penduduk Jakarta. Lebih jelasnya dapat dilihat pada tabel di bawah ini.

Tabel 2.1.
Populasi Kepala Keluarga Menurut Etnis di DKI Jakarta

Jawa Sunda Betawi Batak Minang Keturunan Cina


Jaksel 185.992 60.317 136.383 14.139 18.181 3.286
Jaktim 243.090 92.266 152.873 32.750 25.627 6.755
Jakpus 74.477 43.600 69.113 6.831 9.983 15.201
Jakbar 161.413 83.442 130.630 14.527 10.991 69.226
Jakut 152.928 72.144 62.840 13.001 6.920 32.614
Jumlah 817.900 351.770 551.839 81.248 71.702 127.082

Sumber : Diolah dari Sensus Penduduk 2000, BPS Provinsi DKI Jakarta

Suswandari
555
Di kalangan masyarakat Betawi sendiri terdapat pemisahan, yakni Betawi Tengah
(kota) dan Betawi Pinggiran, yang tidak hanya dirujuk pada posisi geografis namun pada kelas
sosial. Betawi Tengah adalah masyarakat Betawi yang tinggal di tengah kota, dekat dengan
pusat-pusat pemerintahan, niaga, pendidikan, hiburan dan akses-akses penting lainnya.
Sedangkan Betawi Pinggiran tinggal di pinggir atau bahkan di luar Jakarta seperti Bogor,
Tangerang, Depok, Bekasi dan sebagainya. Masyarakat Betawi Tengah umumnya sudah maju,
kesadaran akan pendidikan sangat tinggi, pergaulannya luas, bahkan banyak diantaranya yang
menguasai banyak bahasa. Secara ekonomi kelompok ini cukup mapan. Sementara Betawi
Pinggiran lekat dengan negatif profiling (Parsudi Suparlan, 1989) khas Betawi, seperti tidak
berpendidikan, rendah kebudayaan dan sebagainya. Kehidupan khas etnik Betawi dapat
dicermati dalam Sinetron Si Doel Anak Sekolah yang masih ditayangkan salah satu televisi
swasta kita saat ini.
Karakter khas perilaku budaya etnik Betawi dapat dilihat dari tampilan mereka yang
riang gembira, kocak, mereka memiliki jiwa religius yang tinggi khususnya Islam, memiliki jiwa
sosial yang tinggi dan tidak membeda-bedakan, terbuka, jauh dari struktur pengekalasan
masyarakat, menghargai keberagaman dan sangat menghormati budaya yang mereka miliki.
Selain itu, karakter khas kuliner etnik Betawi dapat dicontohkan seperti Soto Betawi, Ketoprak,
Kerak Telur, Pecak Ikan Gabus, Roti Buaya, Dodol Betawi dan sebagainya. Masih banyak
dijumpai berbagai wujud budaya masyarakat etnik Betawi dengan nilai-nilai kearifan yang sangat
baik sebagai tuntunan moral generasi muda.

IV. KEARIFAN LOKAL


Istilah kearifan lokal (local wisdom) dalam kajian budaya sering disebut juga
pengetahuan setempat (local knowledge) ataupun kecerdasan setempat (local genius). Menurut
Keraf (2002), kearifan lokal adalah semua bentuk pengetahuan, keyakinan, pemahaman, atau
wawasan serta adat kebiasaan atau etika yang menuntun perilaku manusia dalam kehidupannya.
Naritoom (dalam Wagiran, 2010) merumuskan local wisdom sebagai “ ...is the knowledge that
discovered or acquiredby lokal people through the accumulation of experiences in trials and
integrated with the understanding of surrounding nature and culture. Local wisdom is dynamic
by function of created local wisdom and connected to the global situation.”
Definisi kearifan lokal tersebut, paling tidak menyiratkan beberapa konsep, yaitu: (1)
kearifan lokal adalah sebuah pengalaman panjang, yang diendapkan sebagai petunjuk perilaku
seseorang; (2) kearifan lokal tidak lepas dari lingkungan pemiliknya; dan (3) kearifan lokal itu
bersifat dinamis, lentur, terbuka, dan senantiasa menyesuaikan dengan zamannya. Konsep
demikian juga sekaligus memberikan gambaran bahwa kearifan lokal selalu terkait dengan
kehidupan manusia dan lingkungannya. Kearifan lokal muncul sebagai penjaga atau filter iklim
global yang melanda kehidupan manusia (Wagiran, 2010).
Pendapat lain tentang kearifan lokal juga diungkapkan oleh Magdalia Alfian (2013)
yang menyatakan bahwa kearifan lokal sebagai pandangan hidup dan pengetahuan masyarakat
serta berbagai strategi kehidupan yang berwujud aktivitas masyarakat lokal dalam menjawab

Suswandari
556
berbagai masalah untuk memenuhi kebutuhan hidup mereka. Dalam konteks kebudayaan,
kearifan lokal memiliki makna positif, diangkat dan dihargai sebagai salah satu acuan nilai dan
norma untuk mengatasi berbagai persoalan yang dialami masyarakat pendukungnya. Kearifan
lokal merupakan modal pembentukan karakter yang akan menjadi jatidiri suatu bangsa. Dalam
rangka menghadapi derasnya arus budaya global perlu ditanamkan nilai-nilai luhur yang terdapat
dalam kearifan lokal sebagai filter transformasi budaya global.
Secara umum, kearifan lokal dapat berupa adat istiadat, institusi, kata-kata bijak,
pepatah, dan pada masyarakat Jawa dapat berupa pari’an, paribasan, bebasan, saloka. Fungsi
kearifan lokal sebagai berikut: 1). Sebagai penanda identitas sebuah komunitas, 2). Sebagai
elemen perekat lintas warga, lintas agama, dan kepercayaan, 3). Tidak bersifat memaksa
tetapi sebuah unsur kultural yang ada dan hidup dalam masyarakat sebagai daya ikat yang
lebih mengena 4). Memberikan warna kebersamaan bagi seluruh komunitas, 5). Menambah
pola pikir dan hubungan timbal balik antara individu dengan kelompok, 6). Sebagai pendorong
terbangunnya kebersamaan.
Nilai-nilai luhur kebudayaan menjadi sumber daya kearifan lokal yang berkaitan dengan
tata nilai, inspirasi, strategi memenuhi kebutuhan hidup, strategi mempertahankan hidup
termasuk didalamnya upaya-upaya untuk memperoleh kesejahteraan dalam hidup yang damai
dan harmoni. Namun demikian, terkait dengan perkembangan global, nilai-nilai luhur dalam
kearifan lokal mulai meredup, memudar dan kehilangan makna. Oleh karena itu diperlukan
upaya dan strategi tersendiri untuk tetap menghidupkan nilai kearifan lokal agar dapat membumi
menjadi rujukan masyarakat pendukungnya dalam memfilter benturan antara budaya lokal
dan tuntutan perubahan global, diantaranya melalui proses pembelajaran di sekolah.

IV. INTEGRASI NILAI KEARIFAN LOKAL ETNIK BETAWI DALAM PEMBELAJARAN


DI SEKOLAH DASAR
Proses pendidikan yang didalamnya terdapat proses pembelajaran di sekolah menjadi
salah satu unsur penting dalam upaya pembentukan karakter bangsa. Proses pembentukan
karakter bangsa tidak lepas dari upaya penguatan jati diri melalui suatu proses pembelajaran
untuk dapat mengolah sesuatu yang plural menjadi identitas nasional terkait dengan nilai-nilai
luhur dan budi pekerti yang dimiliki. Budi pekerti ditumbuhkan dari masa kanak-kanak yang
lambat laun akan menjadi suatu ciri yang menetap dan konsisten dan akan menjadi suatu
karakter. Misalnya kejujuran, kesetiaan, keberanian (Magdalia Alfian, 2013) dan sebagainya.
Sedangkan jati diri adalah ciri khas berdasarkan sifat atau tingkah laku baik secara perorangan
ataupun kelompok. Misalnya ramah, pemaaf, sopan, saling membantu, mengerti dan
menghargai perasaan orang lain dan sebagainya. Budi pekerti dan jatidiri bila diolah secara
bersama-sama akan menjadi karakter dan diperoleh melalui proses masukan yang diterima
dari lingkungan keluarga, sekolah, pertemanan, tempat kerja dan sebagainya.
Penjelasan sebelumnya menggariskan bahwa pembentukan karakter sangat terkait
dengan nilai budaya dan kearifan lokal masyarakat pendukungnya. Keragaman etnik / budaya
di Jakarta dan nilai-nilai kearifan lokal yang selama ini menjadi sumber nilai dan penguatan

Suswandari
557
karakter semakin memudar karena pengaruh global. Selain itu, kondisi plural dan multikultur di
Jakarta menjadi alasan yang sangat kuat bagaimana nilai-nilai luhur budaya dan kearifan lokal
etnik Betawi dapat dipahami dan menjadi sumber nilai bagi masyarakat yang tinggal di Jakarta.
Harapan besarnya agar setiap individu yang ada di Jakarta menjadi bagian yang juga dapat
memiliki budaya etnik Betawi sebagai bagian dari budaya yang sudah dimiliki sebelumnya.
Terkait dengan upaya integrasi nilai-nilai kearifan lokal etnik Betawi dalam
pembelajaran di sekolah dasar, dalam tulisan ini difokuskan pada nilai kearifan lokal yang ada
pada bentuk-bentuk permainan tradisional etnik Betawi. Mengapa permainan tradisional? hal
ini tidak lain suasana pembelajaran sambil bermain menjadi model yang tepat untuk siswa
sekolah dasar. Pendapat ini ditegaskan oleh Tuti Tarwiyah (2014) yang menyatakan bahwa
bermain tidak bisa lepas dari kehidupan anak, peningkatan kecerdasan dapat dilakukan melalui
permainan. Bermain merupakan kegiatan yang dapat membuat anak belajar how to develop
intellectually and society. Selain itu, dalam Montesori (yang dikutip Tuti Tarwiyah, 2014)
dinyatakan bahwa bermain adalah berbicara mengenai anak tentang how to be human. Terdapat
tiga kelompok permainan tradisional, yaitu: 1) rekreatif untuk mengisi waktu luang, 2) kompetitif
untuk melatih semangat berkompetisi, 3) edukatif yang terdapat unsur pendidikan.
Dalam budaya etnik Betawi terdapat berbagai jenis permainan tradisional dalam tiga
bentuk yang telah disebutkan dan dapat dijadikan sebagai salah satu sumber belajar dalam
rangka menyajikan proses pembelajaran berkarakter berbasis kearifan lokal kreatif dan inovatif.
Permainan tradisinal yang dimaksud adalah bentuk permainan anak-anak yang dikembangkan
secara lisan, berbentuk tradisional dan diwariskan secara turun temurun. Ciri khas permainan
tradisional antara lain berusia tua, tidak diketahui asal usulnya, tidak diketahui siapa penciptanya.
James Dananjaya (1987) menyatakan manfaat permainan tradisional antara lain: melatih
kreativitas, mengembangkan kecerdasan sosial, mengembangkan kecerdasan, emosional,
mendekatkan pada alam, menanamkan pembelajaran nilai, mengembangkan kemampuan
motorik dan meningkatkan kemampuan untuk konsentrasi. Berdasarkan pendapat tersebut
dapat dinyatakan bahwa aktivitas bermain anak tetap menempatkan anak pada kehidupan
sosial yang sesungguhnya. Mereka berinteraksi, saling berkomunikasi yang akan
mengembangkan kemampuan berbahasanya, mereka bertenggang rasa, mereka berkompetisi
secara nyata dan sebagainya. Hal ini sangat berbeda dengan dunia gadget saat ini yang telah
menempatkan individu ramai dalam kesendirian/ kesunyian. Metoda bermain mengasah
keterampilan pengetahuan, sikap dan motorik secara langsung.
Abdul Chaer (2012) menyebutkan jenis-jenis permainan tradisional etnik Betawi seperti
: gelelio, protokan, kuda-kudaan, pletokan, jepretan, sumpitan, gelindingan, gangsing, adu

Suswandari
558
kembang rumput, adu jangkrik, main bunyi-bunyian, main gundu, main karet gelang dan
sebagainya. Sementara itu Ridwan Saidi (2000) membagi permainan berdasar jenis kelamin
dan waktu dimainkannya siang atau malam seperti tabel di bawah ini:

Jenis Kelamin Waktu Dimainkan Permainan

Laki-Laku Siang out door Dampu, tok kadal, galah asin, petak lari, adu dengkul
Malam out door Galah asin, tarti, badomba, jaelangkung
Perempuan Siang in door Main bekel, main karet,ndeng-ndengan, ci-ci puteri,
pong-pong balong, main anak-anakkan, main rumah rumahan,
tepok nyamik, lompat tali, ayunan, tok-tok ubi.

Pembedaan permainan tradisional berdasarkan jenis kelamin terkait dengan nilai


budaya lokal etnik Betawi pada masa itu sebagaimana budaya di daerah lain di Indonesia
tentang posisi perempuan dalam kehidupan sosial. Berbagai jenis permainan tradisional etnik
Betawi tersebut berkembang dari masyarakat untuk masyarakat yang dikembangkan dari satu
generasi ke generasi kemudian menyebar dan menjadi milik kolektif yang tertanam pada
masyarakat pendukungnya. Namun demikian dalam kenyataannya permainan tradisional
tersebut sudah jarang ditemukan karena berbagai faktor seperti: 1) lahan permainan yang
semakin hilang karena dibangun pusat-pusat industri dan pemukiman modern, 2) waktu
bermain semakin sedikit karena anak-anak asyik dengan aktivitas sekolah ataupun aktivitas
ekonomi, 3) perkembangan teknologi permainan yang semakin canggih seperti televisi, gadget,
game station dan sebagainya. Dalam upaya menguatkan karakter siswa sekolah dasar di
tengah gempuran budaya global perlu dilakukan penggalian kembali nilai kearifan lokal dari
permainan tradisional untuk pembelajaran.
Aneka permainan yang telah disebutkan dapat dijadikan sumber belajar pada mata
pelajaran yang diberikan di sekolah dasar sebagai contoh-contoh yang kontekstual. Misalnya
dengan bermain karet, bekel, gundu siswa dijelaskan tentang asal usul permainan itu sebagai
permainan tradisional etnik Betawi dalam belajar matematika, IPS, Pkn, bahasa dan sebagainya.
Proses integrasi dalam pembelajaran dilakukan berdasarkan tema-tema pembelajaran yang
akan disampaikan. Dalam hal ini guru yang memahami kearifan lokal etnik Betawi menjadi
keharusan utama. Di sisi lain, guru hendaknya dapat memberikan layanan pembelajaran yang
baik untuk membelajarkan siswa tentang ilmu, pengetahuan, teknologi, nilai-nilai, sikap, etika,
estetika, yang akan menghindarkan siswa dari kegersangan teknologi dan kehidupan yang
semakin individualis di Jakarta melalui aneka bentuk permainan dalam pembelajaran. Nilai-
nilai inti dalam permainan tradisional etnik Betawi ini yang dijadikan sebagai inspirasi dalam
mengemas bahan ajar sesuai dengan tema yang dikembangkan saat itu. Melalui pendekatan
teknik bermain diharapkan proses pembelajaran akan memunculkan sikap keceriaan,
kegembiraan, semangat, keyakinan dan optimisme serta percaya diri (Rochiati, 2003).
Pembelajaran dengan pendekatan permainan tradisional etnik Betawi dipilih
berdasarkan tema yang dibahas. Sebagai contoh pada Kurikulum 2013 pembelajaran kelas
rendah sekolah dasar diberikan secara terpadu untuk semua aspek mata pelajaran. Dapat

Suswandari
559
diambil salah satu contoh bentuk permainan tradisional yang cocok dengan tema yang diangkat.
Kondisikan suasana pembelajaran terpusat pada siswa dan guru sebagai fasilitator yang sudah
siap dengan perangkat pembelajarannya. Lakukan pembelajaran yang interaktif, aktif, berbasis
tim dan kooperatif dengan pendekatan saintifik. Bila aktivitas pembelajaran model ini dapat
dilakukan dengan baik maka dapat dipastikan bila upaya pengembangan karakter berupa
keterampilan hidup, pemecahan masalah, pemikiran kritis, komunikatif, kesadaran diri,
menghindari stress, membuat keputusan, berfikir kreatif, hubungan interpersonal, kemampuan
vokasional disertai sikap positif dapat menjadi bagian dari proses pembelajaran berkarakter
untuk dapat melahirkan sumber daya yang berkualitas dan mencintai negerinya sendiri.
Pembelajaran berkarakter berbasis kearifan lokal etnik Betawi di sekolah dasar Jakarta seiring
dengan tujuan kurikulum nasional tahun 2013.

V. PENUTUP
Pembelajaran berkarakter menjadi kebutuhan mutlak di tengah gempuran arus budaya
global saat ini. Sebagai negara berkembang kebutuhan akan sumber daya berkualitas dengan
jatidiri kuat dan karakter serta identitas kebangsaan yang hebat menjadi kebutuhan utama
untuk keberlanjutannya. Kekayaan budaya dan nilai-nilai kearifan lokal yang ada sangat sarat
dengan muatan moral, nilai sosial, anjuran, larangan, adalah acuan dalam proses pembinaan,
dan penguatan karakter bangsa. Etnik Betawi dengan keragaman budaya dan nilai kearifan
lokalnya dapat dijadikan inspirasi bagi para guru untuk dapat mengintegrasikannya dalam
proses pembelajaran berkarakter yang menjadi ciri khas proses pembelajaran di ibu kota.

DAFTAR PUSTAKA
Azmi. 2003. “Reposisi Pelajaran Ilmu Sosial di Pendidikan Dasar dan Menengah”. Makalah
Seminar dan Konggres HISPISI ke XI. Palembang: Universitas Sriwijaya.
Ashkenas, Ron.(et.al). 2002. The Boundaryless Organization: Breaking The Chains of
Organizational Structure. San Francisco: Jossey Bass.
Barth, Fredrik. 1988. “Ethnic Groups and Boundaries”. Alih Bahasa: Nining L Susilo. Kelompok
Kelompok Etnik dan Batasannya. Jakarta: Universitas Indonesia Press.
Chaer, Abdul. 2012. Folklor Betawi: Kebudayaan Dan Kehidupan Orang Betawi. Jakarta: Masup.
Habib, Ahmad. 2009. Konflik Antar Etnik di Pedesaan : Pasang Surut Hubungan Cina –Jawa.
Yogyakarta: LKiS.
James, Danandjaja. 1984. Folklore Indonesia. Jakarta : Grafiti Press.
Lickona, Thomas.(2012. “Educating For Character : How Our Schools Can Teach Respect and
Responsibility”. Alih bahasa. Juma Abdu Wamaungo. Mendidik Untuk Membentuk
Karakter; Bagaimana Sekolah Dapat Memberikan Pendidikan Tentang Sikap Hormat
dan Tanggung Jawab. Jakarta: Bumi Aksara.
Magdalia, Alfian. 2013. “Potensi Kearifan Lokal dalam Pembentukan Jatidiri dan Karakter
Bangsa”. Prosiding International Cofference on Indonesian Studies.Yogyakarta:CSIS.

Suswandari
560
Mickletwait, John and Adrian Wooldridge. 2000. The Challenge and Hidden Promise of
Globalization. New York: Crown Publishers, Ramdon House. Inc.
Martorella, Peter H. 1985. Elementary Social Studies. Little Brown Toronto.
Mudji Sutrisno. 2014. “Sesama”. Koran Sindo, Senin 28 April.
Nathan, Glazer and Daniel P Moynihan. 1981. Ethnicity Theory and Experience. Harvard University
Press.
Rochiati Wiriaatmadja. 2003. Pembelajaran IPS pada Tingkat Sekolah Dasar. JPIPS nomor 20
Tahun Xi Januari-Juni.
Suparlan, Parsudi. 1989. Interaksi Antar Etnik di Beberapa Provinsi di Indonesia. Departemen
Pendidikan dan Kebudayaan Direktorat Jendral Kebudayaan.
Suswandari. 2009. Adaptasi dan Emansipasi Kaum Perempuan Betawi dalam Merespon
Perubahan Sosial: Potret Kehidupan Perempuan Kampung Gedong. Jakarta: UHAMKA.
Press.
Suswandari. 2014. Ragam Kearifan Lokal Nusantara Sebagai Sumber Penanaman Nilai Karakter
Bangsa Indonesia. Disampaikan Dalam Seminar Studi Objek Historis Mahasiswa
Prodi Pendidikan Sejarah Universitas Muhammadiyah Prof. Dr. HAMKA di Prodi
Pendidikan Sejarah Universitas Negeri Semarang, tanggal 11- 13 Feberuari 2014.
Sebagian dari makalah ini menjadi bahan ajar untuk BPJJ PGSD tahun 2007.
Suswandari dan Toto Hastiarto. 2014. Modul Inovasi Pembelajaran IPS di Sekolah Dasar.
UHAMKA Press.
Tuti, Tarwiyah (download 2014). Pelestarian Budaya Betawi Permainan Anak Cici Putri dan
Ulubang: Kajian Kandungan Kecerdasan Anak.
Wagiran.2012. Pengembangan Karakter Berbasis Keariifan Lokal Hamemayu Hayuning Bawono.
Jurnal Pendidikan Karakter. Tahun 2 nomor 1 Oktober . UNY.
Yasmin, Zaki Shahab. 1994. The Creation of Ethnic Tradition The Betawi Of Jakarta. Thesis
Submitted for The Degree of Doctor of Philosopy to The University of London.

Footnotes
1
Disampaikan dalam Seminar Internasional di Universitas Lambung Mangkurat Banjarmasin
Kalimantan Selatan, 24 Mei 2014
2
Dalam sessi acara Economic Challengges dengan nara sumber salah satunya pengusaha
Mochtar Riadi dengan Host Suryopratomo tanggal 28 April 2014 , pukul 21.30. WIB
3
Terdapat istilah etnis dan etnik dalam kajian antropologi. Dalam tulisan ini digunakan istilah
etnik Betawi karena mengarah pada suatu kelompok populasi tertentu dengan karakter khas
yang dimilikinya. Istilah etnis mengacu pada orang-orang atau individu yang ada di dalamnya.
4
Batavia, nama sebelum Jakarta. Nama ini digunakan oleh kolonial Belanda pada masa
menduduki wilayah yang sekarang disebut Jakarta. Batavia menjadi pusat kekuasaan Belanda
di wilayah Timur pada masa VOC. Masih banyak peninggalan Belanda di Jakarta yang
sekarang menjadi situs bersejarah masa kolonial. Contoh Kota Tua dan sekitarnya.
Suswandari
561
Suswandari
562
NILAI-NILAI SEJARAH LOKAL (BANJAR) DALAM PEMBELAJARAN IPS
(STUDI PADA SEJARAH LOKAL KALIMANTAN SELATAN PERIODE
PERANG BANJAR, 1859-1906)
Syaharuddin
Universitas Lambung Mangkurat

ABSTRAK
Ketidakmampuan generasi muda bangsa (Indonesia) dalam memahami sejarah perjuangan
bangsanya, khususnya sejarah daerahnya, berdampak terhadap karakter masyarakatnya yang
cenderung destruktif dan mengarah kepada sikap disintegrasi bangsa. Padahal, pembelajaran
sejarah (lokal) di sekolah merupakan salah satu upaya untuk mencapai tujuan pendidikan
nasional, yakni agar siswa dapat mengembangkan rasa tanggung jawab kemasyarakatan dan
kebangsaan. Ada banyak nilai-nilai kelokalan yang dapat ditanamkan melalui pembelajaran
IPS. Nilai-nilai tersebut adalah bagian dari nilai-nilai yang sedang dikembangkan dalam
pendidikan IPS yang disebut soft-skill oriented, seperti karakter kerja keras, pantang menyerah,
pemberani, kemampuan membangun hubungan kerjasama, kemampuan mengembangkan
sikap toleransi dan cinta tanah air. Penggambaran karakter tokoh-tokoh lokal dalam sejarah
lokal Kalimantan Selatan, pada periode Perang Banjar (1859-1906) secara baik tentu memiliki
pengaruh yang cukup besar dalam proses pembentukan nilai-nilai kejuangan. Namun, peraihan
nilai-nilai kejuangan tersebut, dapat tercapai jika internalisasi nilai-nilai sejarah lokal itu dilakukan
melalui pendekatan, model dan strategi yang tepat selama proses belajar mengajar
pembelajaran IPS di sekolah oleh guru, seperti model pembelajaran group investigation, role
play dan inquiry.
Kata Kunci: nilai-nilai sejarah lokal, pembelajaran IPS, model pembelajaran

I. PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Masalah
Karakter masyarakat Indonesia hari ini cenderung bersifat destruktif yang dicirikan
dengan beberapa sikap, seperti terjadinya penurunan hubungan sosial, yang ditandai dengan
munculnya pribadi manusia yang tampil dengan penuh pamrih, suka menghujat, pemarah,
pendendam, individualis, dan tidak toleran terhadap kelompok lain. Bahkan, perilaku jujur
sudah tidak menjadi orientasi hidup yang tandai oleh maraknya korupsi.
Dalam konsep pembelajaran IPS ada banyak nilai-nilai yang dapat ditanamkan melalui
materi sejarah lokal, seperti nilai-nilai karakter kejujuran, kerja keras, pemberani, pantang

Syaharuddin
563
mundur, tidak kenal menyerah, kemampuan membangun kerjasama, sikap menghargai orang
(kelompok) lain (toleransi) dan cinta tanah air. Nilai-nilai tersebut adalah bagian dari nilai-nilai
yang sedang dikembangkan dalam pendidikan IPS yang disebut soft-skill oriented dan sebaliknya
meninggalkan hard-skill oriented (Sudarma, 2007: 23).
Tidak dapat dipungkiri, bahwa sampai hari ini, pembelajaran sejarah (lokal) di sekolah
baru pada lingkup transfer of knowledge, belum menyentuh pada ranah afektif dan bahkan
psikomotorik. Padahal, laiknya pembelajaran sejarah itu harus peka terhadap perkembangan
masyarakatnya dan tidak lepas dari konteks dan situasi nyata lingkungan sosial peserta didik.
Keterangan tersebut mengingatkan kita bahwa sejarah itu juga kontekstual, yakni menjadikan
masa lalu untuk dijadikan pedoman hidup masa kini, bahkan masa akan datang (Mars, 2008),
atau dalam bahasa Kochhar (2008:5) sejarah merupakan dialog antara peristiwa masa lampau
dan perkembangan ke masa depan.
Hasil Musyawarah Kerja Nasional (Mukernas) tentang Pembelajaran Sejarah pada
tanggal 11 s.d. 13 Juli 2006 di Surabaya, terdapat dua dari empat keputusan yang berkaitan
dengan sejarah lokal, yaitu pertama, materi sejarah harus mengembangkan materi sejarah
lokal. Materi sejarah lokal dapat bersumber dari peristiwa-peristiwa lokal yang terjadi di suatu
daerah. Eksplorasi materi sejarah lokal dapat bersumber dari peninggalan-peninggalan sejarah
yang ada di daerah tersebut, penulisannya berdasarkan tema-tema tertentu; Kedua, materi
pembelajaran sejarah harus memiliki misi pembentukan karakter bangsa (nation building).
Hal ini dilakukan dengan tujuan agar materi sejarah mampu membangun jati diri bangsa.
Nilai-nilai yang dikembangkan dari peristiwa sejarah harus dapat tertanam dalam diri siswa
(Mustakim, 2012).
Ada dua hal penting yang perlu digarisbawahi dari uraian di atas yakni, pentingnya
pembelajaran sejarah lokal dan misi sejarah lokal dalam membentuk karakter peserta didik.
Perang Banjar (1859-1906) adalah sebuah peristiwa lokal yang di dalamnya terdapat nilai-nilai
kejuangan (karakter) penting untuk ditransformasikan kepada peserta didik melalui pembelajaran
IPS agar mereka memiliki kemampuan dalam memecahkan berbagai persoalan hidupnya.
Berdasarkan latar belakang masalah tersebut, maka penulis akan mengkaji tentang
sejauhmana nilai-nilai sejarah lokal Banjar seperti karakter kerja keras, pemberani, pantang
menyerah, kemampuan membangun kerjasama, bersikap toleransi, dan cinta tanah air
terimplementasikan melalui pembelajaran IPS di persekolahan.

II. KAJIAN TEORITIK


2.1 Sejarah Lokal
Menurut Taufik Abdullah (2005: 15) sejarah lokal didefinisikan sebagai “sejarah dari
suatu tempat”, suatu lokality yang batasannya ditentukan oleh perjanjian penulis sejarah. Penulis
mempunyai kebebasan menentukan batasan penulisannya, apakah dengan wilayah kajian
geografis, etnis, yang luas atau sempit. Sejarah lokal bersifat elastis, bisa berbicara mulai
hanya mengenai suatu desa, kecamatan, kabupaten, tempat tinggal suatu etnis, suku bangsa
yang ada dalam satu daerah atau beberapa daerah. Dalam konteks makalah ini, maka sejarah

Syaharuddin
564
lokal yang dimaksud adalah tempat tinggal suatu etnis, yakni etnis Banjar atau urang Banjar
atau masyarakat Banjar. Atau bisa juga suku bangsa yang ada dalam satu daerah, yakni suku
bangsa Banjar di Kalimantan Selatan.
Penulisan sejarah lokal mempunyai makna penting baik untuk kepentingan akademis
maupun pembangunan masyarakat, terutama kepentingan masyarakat dalam mempelajari
pengalaman masa lalu nenek moyangnya. Hal ini sejalan dengan yang diungkapkan Allan J
Ligthman (1978:169 dalam Supardi, 2006: 124):
“... lokal history conducted for their own sake, lokal history conduct to test hypotheses
about broader jurisdictions, usually nation states, and lokal history that focus on
understanding the process by which communi-ties grow and develop. Although
analytically distinct, in actual practise these lines frequently crisscross and run together.”
Pengalaman masa lalu sejarah lokal Banjar memiliki potensi membentuk karakter
kejuangan atau yang saya sebut sebagai nilai-nilai sejarah lokal, seperti nilai karakter kerja
keras, pantang mundur, pemberani, kemampuan membangun kerjasama, membangun sikap
toleransi dan cinta tanah air sebagaimana yang tercermin dari para tokoh-tokoh lokal pada
periode 1859-1906.
Dalam seminar Sejarah Lokal 17-20 September 1984 di Medan, telah dikemukakan
lima tema pokok sebagai acuan penulisan sejarah lokal seperti yang dikutip Kuntowijoyo
(1994:121), yakni: (1) Dinamika masyarakat pedesaan; (2) Pendidikan sebagai faktor dinamisasi
dan interaksi sosial; (3) Interaksi antar suku bangsa dalam masyarakat majemuk; (4) Revolusi
nasional di tingkat lokal; dan (5) Biografi tokoh lokal. Hal yang terakhir ini, adalah bagian tema
utama kajian ini, yaitu kajian biografi tokoh lokal, seperti: Pangeran Hidayatullah, Pangeran
Antasari, Demang Lehman, Temenggung Surapati, Gusti Muhamad Said, Gusti Muhamad
Seman, dan Panglima Wangkang. Penekanan penulisan makalah ini lebih pada kronologis
peristiwa dan tema yang sarat dengan karakter dan peran tokoh-tokoh lokal Banjar.
Pembelajaran sejarah lokal yang berkisah di lingkungan terdekat siswa yang berkaitan
dengan kehidupan sehari-hari, mendorong misi pembelajaran sejarah tersebut mudah dihayati
dan dimiliki oleh siswa karena dapat membawa siswa ke situasi riil. Penanaman kesadaran
sejarah lokal (Banjar) tentu akan lebih mudah diaplikasikan ketika materi itu lebih dekat dengan
lingkungan peserta didik, yakni informasi tentang tokoh-tokoh lokal yang sudah pernah
didengarnya, namun belum dipahami secara baik untuk kemudian diteladani ketokohan dan
nilai-nilai kejuangannya (Supardan, 2009: 18).
2.2 Pendidikan Nilai
Kajian ini mencoba mengkaitkan antara materi sejarah lokal dengan (pendidikan)
nilai. Karena memang sejarah (lokal) itu sarat dengan nilai itu sendiri. Menurut Linda (1995:
28-29 dalam Rachman, 2007: 62) nilai dibagi menjadi dua kelompok, yakni nilai-nilai nurani
(values of being) dan nilai-nilai memberi (values of giving). Nilai-nilai nurani (values of being)
adalah nilai yang ada dalam diri manusia kemudian berkembang menjadi perilaku serta cara
kita memperlakukan orang lain, seperti: kejujuran, keberanian, cinta damai, keandalan diri,
potensi, disiplin, tahu batas, kemurnian, dan kesesuaian. Sedangkan nilai-nilai memberi (values

Syaharuddin
565
of giving) yaitu nilai yang perlu dipraktikkan atau diberikan yang kemudian akan diterima sebanyak
yang diberikan, seperti: setia, dapat dipercaya, hormat, cinta, kasih sayang, peka, tidak egois,
baik hati, ramah, adil, dan murah hati.
Persoalan utama tentang nilai di sini ini adalah bagaimana cara mengajarkannya
agar peserta didik terbiasa berperilaku sesuai dengan nilai-nilai yang telah diuraikan. Maka
tulisan ini adalah sebuah upaya menggali nilai-nilai sejarah lokal yang tercermin pada
keteladanan para tokoh pejuang. Beberapa nilai karakter itu seperti: kemampuan bekerja sama,
perilaku kerja keras, pantang menyerah, pemberani, sikap toleransi dan cinta tanah air. Nilai-
nilai sejarah lokal yang penulis maksud itu dalam makalah ini adalah identik dengan
pembentukan karakter bangsa model Indonesia Heritage Foundation, yakni membangun
karakter kejuangan seperti kerja keras, pantang menyerah, kemampuan membangun hubungan
kerjasama, kemampuan mengembangkan sikap toleransi dan persatuan (Megawati dalam
Hakam, 2007: 39).
Kajian tentang nilai berarti sama dengan membincang sesuatu yang ideal tentang hal
yang merupakan cita-cita, harapan dambaan dan keharusan. Atau, berbicara tentang nilai
berarti membincang tentang das sollen, bukan das sein, yang berarti pula mengkaji bidang
kerokhanian, normatif, dan sebaliknya bukan kognitif, masuk ke ranah dunia ideal bukan riil.
Meskipun demikian kedua hal tersebut tetap saja berkaitan, yakni antara das sollen dan das
sein, antara makna normatif dan kognotif, antara dunia ideal dan riil. Hubungan itu yakni das
sollen itu harus menjelma menjadi das sein, yang ideal harus menjadi real, yang bermakna
normatif harus direalisasikan dalam perbuatan sehari-hari yang merupakan fakta (Kodhi, 1989:
21, dalam Budiyono, 2007: 70).
Penjelasan konsep nilai di atas dalam kaitannya dengan kajian ini maka nilai-nilai
sejarah lokal Banjar yang dapat dikategorikan sebagai sesuatu yang bersifat das sollen, normatif,
ideal tentu tidak berhenti sampai di situ, namun bagaimana nilai-nilai tersebut mampu
direalisasikan dalam sebuah perbuatan sehari-hari yang kemudian disebut fakta.
Hal lain tentang nilai kaitannya dengan perilaku seorang tokoh, maka dapat dijelaskan
bahwa sesungguhnya nilai sangat penting untuk mempelajari perilaku individu dan bahkan
organisasi. Perilaku individu perlu dipelajari dengan alasan bahwa individulah sebagai sumber
nilai pertama kali yang dibawa sejak lahir (Budiyono, 2007: 71). Kajian sejarah lokal, sarat
dengan kajian tokoh. Tokoh yang memiliki karakter yang patut diteladani. Uraian tentang karakter
tokoh-tokoh Perang Banjar (1859-1906) dapat memberikan gambaran tentang peran mereka
dalam menghadapi kolonialisme Belanda adalah sebuah gambaran kepahlawanan yang
didalamnya sarat dengan berbagai sikap yang patut dipahami dan diteladani oleh masyarakat,
khususnya peserta didik. Sikap kepahlawanan atau kejuangan, seperti kepribadian yang kuat
atau integritas kepribadian yang handal mengandung makna bahwa mereka memiliki nilai-
nilai terminal atau instrinsik. Nilai-nilai terminal atau instrinsik yaitu keadaan akhir eksistensi
yang sangat diinginkan selama “hayat” (hidup). Sedangkan nilai instrumental merupakan modus-
modus perilaku yang lebih diinginkan atau cara-cara mencapai nilai terminal tersebut (Robbins,
1996 dalam Budiyono, 2007: 73). Nilai instrumental ialah sebuah nilai yang dapat diukur dan

Syaharuddin
566
diarahkan. Bila nilai ini berkaitan dengan tingkah laku manusia dalam kehidupan sehari-hari
maka hal itu merupakan suatu norma moral (Budiyono, 2007: 72). Pada level nasional, salah
seorang pahlawan yang telah menunjukkan perilaku kepahlawanan sebagai pemimpin yang
berhasil sekaligus memiliki kepribadian yang kuat dan handal adalah Jenderal Sudirman.
Pada tingkat lokal mungkin tepat tergambar melalui ketokohan Sultan Mat Seman
yang berjuang melawan imprealisme Belanda hingga mencapai 46 tahun lamanya (1859-
1905). Dapat dikatakan, hampir seluruh hidupnya digunakan untuk melawan Belanda.
Keterlibatannya dalam menentang Belanda sudah terjadi sejak ia berumur 24 tahun, tepatnya
ketika saat itu pecahnya Perang Banjarmasin 1859. Ia ikut membantu ayahnya, Antasari dalam
melakukan perlawanan terhadap penjajah Belanda. Ketika ayahnya meninggal tahun 1862,
perjuangan Mat Seman dilanjutkan bersama dengan saudaranya Panembahan Muhammad
Said. Perjuangan dengan kakaknya yang kemudian membentuk jaringan “pagustian”
berlangsung selama 13 tahun, yakni sampai kakaknya meninggal pada tahun 1875. Perjuangan
berhenti, sampai tahun 1905. Perjuangan selama 46 tahun, tentu bukanlah waktu yang singkat
untuk sebuah perjuangan. Dalam bahasa yang agak metaforis, maka plot hidup Sultan Muhammad
Seman diisi oleh campuran antara romantis, ironi dan tragedi (Sjamsuddin, 2011: 47).

III. PEMBAHASAN
3.1 Kalimantan Selatan pada Periode Pra Perang Banjar (1859)
Bermula dari intervensi pemerintah Kolonial Belanda terhadap kehidupan sosial politik
Kerajaan Banjar, yang kemudian mengangkat Sultan Tamjidillah menjadi pengganti raja Banjar
yang seharusnya dibebankan ke Pangeran Hidayatullah, maka gerakan sosial pun muncul
yang dipelopori oleh Aling.
Pada tahun 1858, terdengar berita tentang akan adanya sebuah ‘pemberontakan’, oleh
kalangan orang Banjar, khususnya di daerah Kotawaringin, Sampit dan bahkan juga di Sintang
(Kalimantan Barat). Isu ini dikuatkan oleh seorang pejabat Belanda di Tanah Laut (Kalimantan
Selatan) bernama Meijer sebagaimana tertulis dalam laporan memoirnya. Berbeda pula dengan
Residen von Bentheim yang tidak percaya akan isu itu. Ia justru yakin jika isu itu bukan ditujukan
kepada pemerintahan Belanda tapi terhadap Sultan Banjar (Sjamsuddin, 2001: 130).
Pada tanggal 22 Maret 1859, pemerintah Hindia Belanda menerima laporan dari
seorang mandor Jawa, bahwa di Muning telah tampil seorang yang menyebut dirinya “nabi”
yang bernama Aling. Tujuan kehadiran Aling adalah untuk mengembalikan kebesaran
kesultanan Banjarmasin (Sjamsuddin, 2001: 131). Kemunculan tokoh Aling diduga karena
kondisi sosial politik yang yang tidak menentu di Kerajaan Banjar. Yakni konflik berkepanjangan
antara Sultan Tamjidilllah dan Mangkubumi Hidayatullah yang memperebutkan tahta kerajaan.
Aling tidak sendiri, ia pun menggandeng Pangeran Antasari yang sebelumnya sudah lama
tersingkir dari keluarga kerajaan, bahkan ia pun sempat tidak popular bahkan namanya
tenggelam dalam masyarakat Banjar (Abar, 2002: 92).
Kelicikan Sultan Tamjidillah tampak ketika ia memerintahkan Kiai Gangga Suta dan Kiai
Karta Wedana yang waktu itu berkuasa di Muning agar membuat makar dan menghasut agar

Syaharuddin
567
pergolakan itu seakan-akan digerakan oleh Mangkubumi Hidayatullah (Sjamsuddin, 2001: 131).
Keterangan ini dapat dipahami bahwa telah terjadi intrik kerajaan. Sultan Tamjidillah sebagai
penguasa kerajaan yang tidak legitimate melakukan berbagai upaya untuk melanggengkan
kekuasaannya. Ia lakukan itu dengan berbagai cara, termasuk memfitnah Mangkubumi Hidayatullah.
Kondisi inilah yang kemudian membuat gerah masyarakat, dan muncullah gerakan sosial Aling
untuk mempromosikan Pangeran Antasari sebagai orang yang berhak menjadi Sultan Banjar.
Pada tanggal 26 Maret 1859, sesuatu yang cukup mengejutkan, karena berdasarkan
laporan dari administrator tambang batubara Pengaron, Tuan Jansen, bahwa sekitar 4000
orang sedang berkumpul di Muning dan Gunung Pamaton untuk memilih seorang sultan baru,
yakni Antasari. Antasari adalah orang yang pantas menjadi sultan disebabkan ia merupakan
pewaris dinasti kerajaan Banjar. Dalam catatan pemerintah Belanda, nama Antasari diperoleh
dari catatan Residen Van der Ven. Pangeran ini adalah salah seorang yang tercantum dalam
daftar anggota keluarga Sultan Adam yang mendapat apanase kerajaan di Mangkauk, yang
terletak pada perbatasan Banua Ampat (Sjamsuddin, 2001: 139).
Menurut Andersen, ada beberapa karakter Pangeran Antasari yang cukup
mengagumkan. Ia menggambarkan bahwa Antasari adalah bukanlah seorang yang “gila”
jabatan. Karena itu, ia tidak begitu berupaya merebut tahtanya. Ia adalah sosok yang sederhana,
dan berpenghasilan sebesar fl. 300 sampai fl. 400 per tahun. Ia juga tetap berbuat baik dengan
Tamjidillah dan juga dengan ayahnya (Abdul Rahman) serta kakeknya (Sultan Adam)” (van
Hengst, 1857-1860: 104, dalam Sjamsuddin, 2001: 139).
Penggambaran karakter Antasari oleh seorang asing (Belanda) tersebut tentu dapat
dipandang obyektif, mengingat umumnya penjajah lebih selalu memandang negatif para tokoh
pejuang lokal yang kadang ia sebut sebagai “pemberontak”. Beberapa karakter yang ditunjukkan
pada diri Pangeran Antasari yakni, (1) tidak haus akan kekuasaan; (2) patuh pada aturan yang
telah ditetapkan oleh kerajaan Banjar; (3) cermin hidup sederhana; (4) pekerja keras, sebagai
pemasok kayu untuk tambang di Pengaron; (5) menghargai orang lain, walaupun orang itu
membencinya, yakni Tamjidillah.
Diantara upaya Antasari membangun persekutuan dengan Gerakan Sosial Muning
yakni melalui ‘perkawinan politik’ antara keluarga Antasari dan keluarga Aling, yakni Gusti
Muhammad Said dengan Saranti yang diberi gelar Putri Junjung Buih. Hal ini tentu penting
dilakukan untuk menguatkan hubungan kedua belah pihak dalam menghadapi Kolonial
Belanda. Namun, pascapertemuan Antasari dengan Aling, Tamjidillah semakin ‘gerah’, dan
memerintahkan Antasari agar segera menjelaskan hasil pertemuannya dengan Aling. Tamjidillah
bahkan mengancam jika Antasari tidak datang ke Martapura menghadap Tamjidillah, maka
ibu Antasari, istri-istri, dan anak-anaknya yang masih ada di Martapura akan ditahan dan akan
dimasukkan ke dalam penjara (kurungan) serta akan dipertontonkan. Tidak hanya itu, ia juga
akan memenggal kepala Antasari (Sjamsuddin, 2001: 140-141). Hidayatullah sebagai
mangkubumi dan bawahan Tamjidillah tentu kesulitan menjalankan perintah itu. Selain Antasari
masih kerabatnya, secara psikologis ia juga berbeda pendapat tentang beberapa hal dengan
Tamjidillah. Karena itu, ia memerintahkan bawahannya agar perintah itu tidak usah dilaksanakan.
Tentu hal ini menambah keruh hubungan antara Hidayatullah dengan Tamjidillah.

Syaharuddin
568
Menurut Hidayatullah, perintah Tamjidillah terlalu berlebihan. Pertimbangannya adalah
bahwa Antasari masih dianggap seorang yang berasal dari keturunan tinggi dan diperlukan
sebagai seorang tokoh yang disegani dan dihormati. Karena itu, tidak ada satu orang pun di
Martapura berani ‘menyentuhnya’. Namun begitu, keluarga Antasari di Martapura tetap mencari
perlindungan untuk menghindari sikap keras Tamjidillah. Disamping itu, Antasari tetap menjawab
permintaan Tamjidillah, namun ia tak akan datang karena dipaksa, tapi ia akan datang atas
kemauannya sendiri. Adapun pertemuannya dengan Aling, dia katakan hanya pertemuan biasa
(Sjamsuddin, 2001: 141-142).
Keterangan di atas memberikan sebuah gambaran watak seorang Antasari, yakni
seorang yang mempunyai karakter kepemimpinan. Hal ini tampak ketika ia tidak akan
menghadap sultan karena paksaan, namun ia akan menghadap karena kemauannya sendiri.
Sikap seperti ini sangat diperlukan untuk tetap memiliki jatidiri. Sikap itu pun justru membuat
Antasari semakin diakui oleh pengikutnya karena keberaniannya. Sikap berani (karena benar),
berani memperjuangkan haknya, berani melawan kekeliruan penguasa adalah beberapa sikap
Antasari yang patut dikedepankan dalam sejarah sebagai bentuk karakter yang harus ditiru
oleh generasi muda saat ini.
Rencana perkawinan ‘politik’ antara putri Aling dengan putra Antasari semakin dekat,
namun putra Antasari Gusti Muhamad Said meminta satu hal, agar Aling membuktikan janjinya
yakni menyingkirkan Tamjidillah, “mudah untuk dilakukan tapi tolong lebih dahulu ayah saya”,
demikian ucapan Gusti Muhamad Said waktu itu (Sjamsuddin, 2001:142). Pemandangan ini
menunjukkan bahwa Gusti Muhamad Said adalah seorang anak yang berbakti kepada orang
tua dan cinta kepada masyarakat dan tanah airnya (tanah Banjar).
Setelah pertemuan dengan Aling di Tambai Mekkah, Antasari mulai membangun
jaringan sosial dengan cara melakukan silaturahmi dengan para pemimpin yang ada di Banua
Lima, seperti Temengung Jalil di Amuntai; Temenggung Surapati di Tanah Dusun (komunitas
Dayak); Pangeran Kusuma, seorang Sultan Pasir.
Aktivitas Antasari semakin hari semakin memperlihatkan kekuatannya, sebaliknya
Tamjidillah merasakan ancaman semakin dekat. Ia pun memohon kepada Residen untuk
memberikan bantuan militer. Tamjidillah pun memerintahkan agar keraton dibentengi dengan
batang-batang nibum dan diperkuat dengan meriam-meriam. Ia juga memerintahkan seluruh
rakyat di Martapura untuk melindungi keraton dari serangan Antasari yang bersekutu dengan
Aling. Namun, ekspektasi Tamjidilah tidak sesuai dengan kenyataan, karena ia hanya mendapat
dukungan rakyat sekitar 500-600 orang. Ia menuduh jika orang-orang Martapura telah
bersekongkol dengan orang-orang Muning (Sjamsuddin, 2001: 144).
Informasi tersebut dapat dipahami bahwa telah terjadi penurunan kepercayaan kepada
seorang Tamjidillah. Dan, justru berbalik dengan Antasari, mendapat dukungan penuh. Apa
yang dicontohkan Antasari sejak ia disingkirkan dari keraton, sampai kembali membangun
kekuatan baru bersama Aling adalah sebuah gambaran positif bahwa membangun trust tidak
bisa instant, namun melalui proses yang cukup panjang dan memerlukan pengorbanan.

Syaharuddin
569
Akhirnya, Tamjidillah secara diam-diam “melarikan diri” ke Banjarmasin atas saran
Residen dengan meninggalkan istri-istri dan anak-anaknya. Kepergiannya ke Banjarmasin
justru memperkeruh suasana di Martapura. Masyarakat mulai berfikir yang ‘aneh-aneh’.
Misalnya, adanya ramalan bahwa setelah sultan ke-12 sejak Sultan Suriansyah akan ada
penggantian sultan dari dinasti lain. Kebetulan sultan ke-13 itu adalah Sultan Tamjidillah.
Rakyat juga membicarakan tentang kutukan dari Sultan Adam mulai terbukti atas diri Sultan
Tamjidillah yang telah mengusurpasi hak-hak Hidayatullah (Sjamsuddin, 2001: 145).
Sementara itu, pengaruh Panembahan Aling semakin bertambah. Bahkan Tambai
Mekkah, wilayah kekuasaan Aling seakan semacam ziarah tempat suci bagi para simpatisannya,
mulai dari para pekerja intan sampai para perampok. Pengaruh Aling pun sampai ke berbagai
daerah seperti di Tanah Laut dan Sungai Kapuas Murung. Dukungan juga diperoleh dari
Pembakal Ali Akhbar dari Sungkai, Pembakal Bakim dan Pengaron. Kedua orang ini awalnya
mendapat perintah dari Tamjidillah untuk menangkap Aling sekeluarga, namun diurungkan
(Sjamsuddin, 2001: 49). Penggambaran ini menunjukkan bahwa Antasari cukup mendapat
tempat di hati masyarakat Banjar waktu itu. Hal itu pula yang mendorong pembakal Ali Akhbar
dan Pembakal Bakim mengurungkan niatnya melakukan penangkapan terhadap Antasari
dengan keluarganya. Dan sebaliknya, popularitas Tamjidillah semakin menurun.
Pada intinya, gerakan sosial Aling adalah gerakan sosial yang mendukung kelompok
keluarga keraton yang tersingkir dari Kerajaan Banjar, dan gerakan sosial ini walaupun tidak
berhasil sebagaimana gerakan sosial Patih Masih, tetapi gerakan ini terus hidup dan
berpengaruh terhadap perlawanan selanjutnya oleh bubuhan Antasari dan bubuhan Surapati
(Abar, 2002: 96).
3.2 Kalimantan Selatan Pada Periode Perang Banjar (1859-1860)
Terjalinnya hubungan dan kerjasama yang baik antara Antasari dan Surapati adalah
sebuah simbol hilangnya batas-batasnya etnisitas, khususnya Banjar dan Dayak. Fakta ini
perlu dijelaskan kaitannya dengan tujuan dan hakekat pembelajaran IPS, bahwa diantara ciri
warga negara yang baik adalah orang yang dapat menghargai perbedaan, baik itu agama,
suku dan berbagai bentuk perbedaan lainnya.
Peran Hidayatullah selama menghadapi dan menjalani Perang Banjar, cukup sulit
dipahami. Ia kadang melemah kepada Kolonial Belanda, namun kadang tegas. Karena itu,
mungkin tidak berlebihan jika ia penulis sebut sebagai “sang fenomenal”.
Ada tiga alasan mengapa Hidayatullah dikatakan seorang yang sangat fenomenal,
pertama, pada fase pertama perang Banjar, Hidayatullah bersikap ambivalen; kedua,
Hidayatullah memimpin Perang Banjar; dan ketiga, pada fase ketiga ia ‘menyerah’.Pada fase
pertama, Hidayatullah memperlihatkan sikap yang mendua (ambivalen). Satu sisi ia mendukung
perlawanan rakyat Banjar, namun disisi lain ia juga membocorkan berita penyerangan Aling
kepada para pejabat Belanda, seperti: Von Benthem, Andresen dan Neiuwenhuizen. Ia juga
memberikan perlindungan kepada keluarga-keluarga Eropa yang masih hidup, ketika terjadi
pembunuhan atas orang-orang Eropa di Kalangan. Ia juga telah mendahului mencegah Antasari
dan Aminullah untuk menyerang Banjarmasin sebelum bantuan pasukan Belanda tiba dari

Syaharuddin
570
Jawa. Namun, ia kemudian melarikan diri dari Martapura dan bergabung bersama pasukan
Antasari di Hulu Sungai (Benua Lima). Selama bergabung dengan pasukan Antasari di Hulu
Sungai, ia masih tetap berkorespondensi dengan Andresen dan Nieuwwenhuijzen. Menurut
Sjamsudin, Hidayatullah masih berharap akan terjadinya rekonsiliasi, namun justru yang terjadi
sebaliknya, ia justru mendapat ultimatum. Akhirnya, ia pun memutuskan untuk bergabung dengan
rakyatnya dan berada di tengah-tengah pasukan sebagai seorang pemimpin perang
(Sjamsuddin, 2001: -188-189, Abar, 2002: 100).
Fase kedua, pascapemberian ultimatum oleh Residen Neiuwwenhuijzen, maka
Hidayatullah mengambil langkah pasti yakni memimpin perlawanan bersama-sama dengan
Antasari. Walau demikian, posisi Hidayatullah menurut Sjamsuddin (2001: 189) tidak lebih dari
sebuah simbol perjuangan daripada seorang yang aktif dalam pertempuran. Namanya
dipergunakan sebagai sebuah titik tumpu untuk mendapatkan lebih banyak pengikut. Karena
itu, dapat dikatakan bahwa perlawanan dari Antasari, Demang Lehman, Aminullah dan beberapa
tokoh lainnya yang menggerakkan Perang Banjar adalah sebuah perjuangan untuk Hidayatullah,
sebagai orang yang berhak atas kesultanan Banjar yang telah direbut oleh Tamjidillah atas
bantuan Pemerintah Belanda. Karena itu, Hidayatullah menjadi target kedua setelah Antasari,
dengan memasang harga atas kepalanya sebesar fl. 10.000, sebagaimana juga harga yang
sama yang ditujukan kepada Antasari sebelumnya. Sedangkan Demang Lehman dihargai f.
2.000 (Ideham, 2004: 213).
Selama perang gerilya berlangsung, Hidayatullah dan keluarganya selalu berpindah-
pindah. Antara bulan Maret 1860-sampai Desember 1861, ia harus berpindah antara Banua
Lima dan Tanah Laut yang berjarak kira-kira 300 km. Ia juga pernah berada di perbatasan-
perbatasan Kusan, Cantong, Bangkalan, dan Pasir –kerajaan–kerajaan kecil di Pantai Timur
Kalimantan. Beberapa laporan juga diperoleh kalau ia pernah bersama-sama dengan Pangeran
Aminullah, dan Demang Lehman. Penjelasan ini adalah sebuah gambaran ketabahan, keuletan
dan kesabaran seorang Hidayatullah,walau pada akhirnya ia harus menyerah. Dan ini pula
yang mengganjalnya meraih sebagai pahlawan nasional. Fase ketiga adalah fase ‘menyerah’.
Beberapa latar belakang pada fase ini adalah karena Demang Lehman menyerah lebih awal.
Padahal, ia diibaratkan ‘jenderalnya’ Hidayatullah. Hal ini diperparah ketika penyerahan ini
diikuti oleh beberapa pemimpin perlawanan lainnya pada tanggal 2 Oktober 1861. Demang
Lehman adalah seorang pengikut Hidayatullah yang sangat setia. Sebelum perang, ia diangkat
oleh Hidayatullah sebagai Lalawangan (kepala) daerah Sungai Riam Kanan dengan gelar Kiai
Demang. Hidayatullah juga telah menganugerahkan kepadanya sebuah tombak berlilit dan
keris untuk tanda jabatannya itu. Sebelum menyerah, ia telah membuktikan dirinya sebagai
seorang pemimpin perlawanan yang amat berani. Sumber lain juga menjelaskan bahwa berkat
pemberian tombak dan keris dari Hidayatullah, ia tampak sebagai seorang pahlawan yang
perkasa dan kuat. Namun, karena kekurangan bahan makanan yang secara massif, maka
Demang Lehman pun menyerah (Sjamsuddin, 2001: 190-191, Bondan, 1953: 62). Menyerahnya
Demang Lehman merupakan langkah awal untuk mengakhiri Perang Banjar, setidaknya
demikian apa yang ada dipikiran Mayor Verspijk. Sebelum Hidayatullah menyerah, Demang
Lehman sempat menjanjikan kepada Verspijck untuk membujuk Hidayatullah untuk

Syaharuddin
571
berkapitulasi. Tepat pukul 17.00 tanggal 28 Januari 1862 Hidayatullah menyerahkan diri
bersama dengan seluruh pengikutnya di Martapura (Sjamsuddin, 2001: 191).
Tertangkapnya Hidayatullah berdampak terhadap menurunnya semangat
pemberontakan, dan sebaliknya tekanan Belanda semakin kuat. Karena itu, semakin jelas kiranya
bahwa Hidayatullah adalah sebuah simbol perlawanan Perang Banjar (Abar, 2002: 100).
Keterangan ini dapat dimaknai lebih dalam tentang penyerahan Hidayatullah yang
sampai hari ini menjadi kontroversial oleh para sejarawan dan masyarakat Kalimantan Selatan.
Korespondensi yang cukup intens melalui kurir Demang Lehman dengan Hidayatullah cukup
memberi andil mengapa kemudian Hidayatullah menyerah. Keputusan Hidayatullah ‘menyerah’
kepada Belanda, tentu dengan berbagai pertimbangan, termasuk juga ‘pengaruh’ Demang
Lehman melalui koresponden yang ia lakukan. Artinya bahwa, menyerahnya Hidayatullah banyak
faktor yang mendahuluinya, disamping berbagai ancaman dari Belanda untuk dirinya dan
khususnya keluarganya, pengaruh korespondensi Demang Lehman untuk menyerah juga
menjadi bagian penting drama penyerahan diri Hidayatullah. Namun demikian, rasanya terlalu
naif jika hanya karena adanya kata ‘menyerah’ yang disematkan kepada dirinya lalu ia dianggap
(oleh sebagian masyarakat Banjar saat ini) sebagai pengecut dan bukan pahlawan. Karena itu
pula, saya berfikir bahwa ia juga berhak memeroleh predikat sebagai pahlawan nasional
disamping Antasari. Apalagi, ia adalah simbol perlawanan masyarakat Banjar saat itu.
Hidayatullah sang fenomenal dikuatkan oleh keterangan Andresen. Ia memberikan
gambaran karakter tokoh ini, menurutnya pribadi Hidayatullah sejak muda adalah seorang yang
cepat marah, keras kepala, dan suka membangkang. Ia juga seorang yang cepat tersinggung
dan angkuh, ditemani oleh seorang kepercayaannya, ia acapkali tinggal di hutan beberapa hari
apabila ia menganggap ia disalahkan oleh ayahnya atau berselisih pendapat. Namun, pada
waktu tertentu kemudian, ia lebih lunak dan lemah lembut. Ia mempunyai perasaan simpati dan
murah hati kepada orang-orang yang mengabdi kepadanya, ia juga dicintai dan dihormati oleh
mereka yang kebetulan berhubungan dengannya. Ia tidak mengutamakan kekayaan, ia murah
hati kepada bawahannya atau anggota-anggota keluarga raja yang kurang penting, ia acapkali
memberikan apa yang dimilikinya, dan lebih dari sekali ia membayarkan utang-utang orang lain
meskipun untuk itu ia harus mengeluarkan banyak uang (Sjamsuddin, 2001: 110).
Agak berbeda dengan van Ress tentang sosok Hidayatullah, menurutnya, ia adalah
seorang yang taat beragama (godsdienstpligen), pencinta tanah air (vaderlandsliefde) yang
menyala-nyala, dalam hal tanah air Banjar, suka memberi pertolongan, seorang yang berbudi.
Karena akhlak itu, maka ia pun dihormati orang termasuk kakeknya, Sultan Adam (H. G. Mayur,
1979: 10 dalam Subiyakto, 2010: 36-36).
Tanggal 18 Juni 1859, Pengaron, tempat bermulanya Perang Banjar dikuasai kembali
oleh Belanda. Antasari, keluarganya dan tentu juga para pengikutnya mundur ke pedalaman,
yakni ke Banua Lima (Amuntai) dan selanjutnya ke Tanah Dusun. Di Tanah Dusun ia bertemu
dengan kerabatnya, Temenggung Surapati, yang menjadi Kepala Suku utama Dayak Siang-
Murung. Hubungan kekerabatan kedua tokoh ini bersumber dari hubungan perkawinan antara
Antasari dengan Nyai Fatimah. Yang mana Nyai Fatimah memiliki hubungan darah dengan
Surapati. Selain menjalin persekutuan dengan Surapati, Antasari juga menjalin hubungan
Syaharuddin
572
dengan Temenggung Aryapati, kepala suku Dayak Anga di Teweh. Sedangkan di daerah Buntok-
kecil (sekitar 40 km di udik Muara Teweh), Sultan Muhamad Seman menjalin hubungan dengan
Panglima Batur. Ia adalah seorang Dayak yang telah menganut Islam (Ideham, 2004: 276).
Berdasarkan informasi dari Verspijck, Antasari pun memiliki hubungan kekerabatan
dengan Aryapati. Bagaimana hubungan kekerabatan itu, tidak begitu jelas. Yang pasti, kakek
Antasari Pangeran Amir telah membentuk suatu jaringan kekerabatan dengan orang-orang
Dayak ketika melakukan perlawanan terhadap Belanda di Tanah Dusun pada abad ke-18.
Mengetahui bahwa Antasari memiliki hubungan kerabat dan bahkan akan bersekutu dengan
Surapati, Belanda pun ‘memutar’ otak untuk mengatasi hal itu. Jika ini benar-benar terjadi,
maka perang dapat dipastikan akan berkepanjangan, demikian pemikiran Belanda saat itu.
Strategi yang ia lakukan kemudian adalah dengan melakukan perundingan dengan Surapati
melalui Haji Muhammad Taib sebagai penerjemah. Bengert, seorang komandan dan pejabat
sipil Belanda di Marabahan dan Tanah Dusun mencoba mengisolasi Surapati dan juga para
pemimpin Dayak lainnya di Tanah Dusun. Ia begitu yakin dapat melakukan itu, karena ia cukup
kenal dan bahkan berteman dengan Surapati sebelumnya. Dengan modal (sosial) itu, ia pun
yakin jika persekutuan Antasari dan Surapati tidak terjadi (Sjamsuddin, 2001: 199). Rupanya,
modal sosial (social capital) yang dimiliki oleh Bengert tidak cukup untuk memengaruhi Surapati.
Sebaliknya, Surapati memperlihatkan dukungannya terhadap perjuangan Antasari, sebagai
bukti bahwa modal sosial Antasari yang telah dibangun dan dipelihara itu terbukti ampuh.
Pada tanggal 19 November 1859, kapal api Onrust di bawah komando Letnan J.C.H.
Van de Velde membawa Bengert dan Haji Taib berlayar ke Hulu Sungai dengan pengawalan
20 orang serdadu. Tujuannya adalah untuk membujuk Surapati agar tidak bersekutu dengan
Antasari. Namun, dalam perjalanan ini, pihak Belanda belum dapat bertemu dengan Surapati.
Selama perjalanan menuju Hulu Sungai Barito, tidak tampak ketegangan dan suasana rencana
peperangan. Hal itu dapat dilihat dari pemandangan yang disaksikan oleh Belanda di Muara
Sungai Teweh, yakni keadaan masyarakat tenang, bahkan masyarakat menghampiri kapal
seraya menawarkan buah-buahan dan daging segar. Informasi penting yang diperoleh oleh
Van de Velde selama perjalanan itu adalah bahwa Antasari telah membujuk Surapati untuk
mengambil peranan bahkan aktif dalam perlawanan. Akan tetapi, Surapati menolak dan bahkan
memerintahkan untuk menangkap Antasari. Mendengar berita tersebut, Letnan R.L. de Haes
merasa senang. Namun, ia belum puas, ia pun merencanakan akan berupaya menemui lagi
Surapati pada bulan Desember 1859 untuk membujuk Surapati dengan beberapa tawaran.
Tawaran itu adalah adanya sejumlah uang jika berhasil menyerahkan Antasari dan
kedua akan melantik Surapati sebagai Pangeran. Kedua tawaran ini, ternyata sebuah
boomerang., karena tawaran itu tidak masuk akal, malah justru memperkuat semangat Surapati
untuk “menghabisi” Belanda. Kecerobohan itu adalah menjanjikan Surapati sebagai pangeran
kelak. Padahal, tradisi pengangkatan pangeran dalam kesultanan Banjar hanya dapat dilakukan
berdasarkan garis keturunan atau penguasa pribumi. Pada tanggal 14 Desember 1859, kapal
Onrust meninggalkan Banjarmasin menuju Marabahan dengan awak kapal yang terdiri dari
enam orang perwira, 25 orang Eropa, 20 orang serdadu pribumi. Di Marabahan, Onrust singgah
mengambil Bengert dan Haji Taib bersama dengan pelayan-pelayannya Talib dan Takol.

Syaharuddin
573
Setelah sampai di Lontontuor, 19 Desember 1959, proses negoisasi pun berlangsung. Baru
setelah tanggal 23 Desember terdengar kabar jika Surapati dan kepala suku Dayak lainnya
akan datang menemui para pemimpin Belanda di kapal Onrust (Sjamsuddin, 2001: 201).
Pada tanggal 27 Desember 1959, Surapati beserta 15 orang pengikutnya termasuk
mantra-mantrinya, dan dua orang putranya, Temenggung Kornel dan Temenggung Lada, dan
menantunya, Burakhman (Kiai Karsa Muda), dalam sebuah perahu besar (Onrust), menemui
Bangert dan Van de Velde untuk berunding. Sementara yang lain mengikuti dalam perahu-
perahu kecil di belakang. Saat itu, Haji Taib melihat jika ada gelagat kurang baik dari pihak
Surapati. Namun, Bangert dan Van de Velde tidak melihat dan tidak percaya jika akan terjadi
penyerangan. Dan, tiba begitu lama, penyerangan pun terjadi. Kapal Perang Onrust
ditenggelamkan, dan membunuh semua isi kapal (Sjamsuddin, 2001: 202-204).

3.3 Kalimantan Selatan Pascaperang Banjar (1862-1906)


Pada tanggal 11 Oktober 1862, Pangeran Antasari meninggal di Bayan Bengok, Teweh
Hulu. Namun, perlawanan terus berlanjut dibawah kepemimpinan dua keluarga yang telah
merajut hubungan sejak lama, yakni keluarga Antasari dan Surapati. Keluarga Antasari
dilanjutkan oleh kedua anaknya Panembahan Muhammad Said (1862-1875) dan Sultan
Muhammad Seman (1862-1905). Sedangkan dari keluarga Surapati diwakili oleh putra-
putranya, yaitu Temenggung Lada (1875-1883), dan Temenggung Ajidan (1875-1899).
Perlawanan ini dilanjutkan lagi masing-masing oleh cucu-cucu kedua keluarga besar itu.
Karena itu, menurut perlawanan ini menjadi ‘sejarah keluarga’ dari kedua bubuhan (keluarga)
itu. Mereka dapat dikatakan mewakili elite-elite Banjar dan Dayak untuk mempertahankan
tradisi-tradisi lama dari kesultanan Banjarmasin terhadap gelombang perubahan politik yang
dipaksakan oleh Belanda. Selanjutnya, Sultan Muhamad Seman menjadi figur sentral dari
seluruh perlawanan sampai tahun 1905 setelah wafatnya saudaranya, Panembahan Muhamad
Said pada tahun 1875. Pusat perlawanan kedua bubuhan ini selanjutnya adalah Dusun Hulu di
Kalimantan Tengah dengan cara bergerilya dan sporadik. Karena itu, perlawanan selalu
berpindah-pindah, yakni dari Tanah Dusun, ke Banjarmasin, ke daerah Amuntai (Hulu Sungai),
dan Tanah Dayak (Kahayan Hulu dan Kapuas Hulu). Sedangkan kerajaan-kerajaan Kutai,
Pasir, dan Tanah Bumbu (Cinggal dan Sampanahan) di Pantai Timur Kalimantan merupakan
periferi dari perlawanan itu (Sjamsuddin, 2001: 235-236).
Beberapa nilai sejarah lokal Banjar yang dapat dipelajari berdasarkan keterangan di
atas yakni bahwa karakter pantang menyerah sangat tampak pada episode ini. Hal ini dapat
dilihat ketika Sultan Muhamad Seman terus melakukan perlawanan hingga tahun 1905. Sikap
pantang menyerah ini, diperkuat ketika ia terus saja melanjutkan perlawanan walau saudaranya
Panembahan Muhamad Said pergi menyusul ayahnya, Antasari tahun 1875.
Pada bagian berikut akan diinformasikan tentang perlawanan dan pemberontakan
antara Kolonial Belanda dengan bubuhan Pagustian (Antasari) dan bubuhan Temenggung
(Surapati) dengan fokus uraian Perang Wangkang (1870), khususnya pertempuran di
Banjarmasin tanggal 25 November 1870.

Syaharuddin
574
Perang di Benteng Wangkang dekat Sungai Bedandan, 27 Desember 1870 dengan
latar belakang:
1. Dendam pribadi Wangkang atas perilaku Belanda yang telah menghukum ayahnya
dengan digantung di Benteng Tatas Banjarmasin;
2. Pembakaran desa, ladang dan rakit secara massif yang dilakukan oleh Belanda
pada tahun 1860 di bagian atas Mengkatip, termasuk milik Wangkang;
3. Adanya ancaman dari Residen Tromp, bahwa jika Wangkang tidak mau datang
(menghadap Residen) dalam waktu lima belas menit, maka serdadu-serdadu
diperintahkan untuk menangkap Wangkang. Respons Wangkang mendengar hal
itu cukup keras, dan menentang balik. Residen tidak terima atas jawaban Wangkang
yang menantang.
Dalam perang tersebut, keluarga Antasari dan Surapati memberikan pengakuan
terhadap Wangkang sebagai pemimpin dari sebuah laskar yang terdiri dari 50 orang dan diberi
gelar sebagai Kiai Mas Demang. Hal tersebut berdasarkan perlawanan dan keterlibatan
Wangkang seperti:
1. Ikut serta mempertahankan Benteng Lahei dari serangan Belanda pada tahun
1860.
3. Ikut menyerang benteng-benteng Belanda di Barabai, Hampukong dan Tabalong.
4. Ikut serta dalam pertempuran Gunung Tongka (8 November 1861).
5. Memimpin laskarnya pada setiap ada operasi atas perintah Antasari atau Surapati.
6. Mempertahankan Benteng Wangkang tanggal 27 Desember 1870, atas penyerangan
Belanda di Simpang Durakhman dekat Sungai Bedandan Marabahan.
7. Pemberontakan di Banjarmasin tanggal 25 November 1870.
Dalam perang tersebut terlibat:
1. Wangkang, putra pemberontak Pembakal Kendet yang dihukum gantung di Benteng
Tatas Banjarmasin, tahun 1825,
2. Temenggung Ajidan (bubuhan Surapati),
3. Temenggung Kornel (bubuhan Surapati),
4. Burakhman (bubuhan Surapati),
5. Syarif Hasyim (utusan Residen),
6. Ronggo (utusan Residen),
7. Residen Tromp,
8. Residen Schultze,
9. Residen Van Ham, dan
10. Suta Ono (Kepala Distrik Timur, Dayak Siong di Paju Apat).
Adapun karakter Wangkang:

Syaharuddin
575
1. Menurut Kielstra: Wangkang seorang yang cerdas, memiliki kamauan yang keras.
Bahkan ia digambarkan seperti manusia setengah dewa yang memiliki kekuatan
yang luar biasa.
2. Menurut Schoemaker: seorang yang licik, khianat, tidak bisa dipercaya dan
pendendam.
3. Menurut Haji Ibrahim (penulis Syair Perang Wangkang): seorang bandit sosial, anti
kolonial.
4. Menurut Helius Sjamsuddin: Pemberontakan Wangkang didalangi oleh keluarga
Antasari dan Surapati, dan Wangkang adalah ujung tombaknya. Dalam hal ini
Wangkang ibarat “kuda troya”, yakni seorang panglima perang yang gagah berani
dan selalu berada paling depan.
Dampak Perang Wangkang: (Pertempuran di Banjarmasin, 25 November 1870:)
1. Terdapat 5 pemberontak yang tewas dari pihak Wangkang.
2. Sebanyak 4 orang dipapah dari pihak Wangkang.
3. Informasi lain dari Tromp adalah 60 orang tewas dari pihak Wangkang, empat
orang serdadu Belanda tewas, dua opsir Eropa dan seorang serdadu luka-luka.
4. Penduduk Banjarmasin panik, karena Wangkang mengancam akan mendatangkan
1000 pengikutnya untuk melakukan penyerangan, namun sebenarnya itu hanya
ancaman dan strategi Wangkang agar Belanda tidak mengejarnya.
Akibat pertempuran tersebut Wangkang tewas dan beberapa pengikutnya melarikan
diri, ada yang menyerah, ada yang ditangkap, sebagian digantung dan sebagian lagi diasingkan.
(Sjamsuddin, 2001: 283-318).
Nilai sejarah lokal Banjar yang dapat dipetik dari peristiwa Perang Wangkang, yakni:
(a) Ketaatan pada pemimpin. Hal ini tampak ketika Panglima Wangkang selalu patuh
menjalankan perintah atasannya, yakni Antasari dan Temenggung; (b) Keberanian. “Kuda Troya”
adalah sebuah kesimpulan Sjamsuddin (2001) yang disematkan kepada Panglima Wangkang.
Hal ini dapat dipahami bahwa ia adalah seorang yang gagah berani, terbukti, hampir semua
pertempuran diikutinya. Ia adalah sebuah gambaran tokoh yang penuh keberanian. Tewasnya
Panglima Wangkang pada pertempuran di Benteng Wangkang dekat Sungai Bedandan,
Marabahan, 27 Desember 1870 adalah sebuah penegas bahwa ia adalah seorang pemimpin
yang sangat berani, bahkan nyawanya pun ia korbankan.
3.4 Nilai-Nilai Sejarah Lokal (Banjar) dalam Pembelajaran IPS
Kajian tentang nilai-nilai sejarah lokal atau dalam kata lain fenomena sejarah dan
juga kearifan lokal menurut sebagian pendapat penting dilakukan dalam rangka menjawab
persoalan kekinian (Margana, 2010: 5). Menurut penulis, persoalan kekinian itu sangatlah
luas, masalah sosial misalnya, mulai dari persoalan tawuran remaja, kriminalitas, kemiskinan,
lingkungan. Begitu pula dengan menurunnya kohesi sosial, yang ditandai dengan munculnya
pribadi manusia yang tampil dengan penuh pamrih, suka menghujat, pemarah, pendendam,
individualis, dan tidak toleran terhadap kelompok lain. Bahkan, isu yang tidak kalah pentingnya

Syaharuddin
576
adalah fenomena korupsi. Semua itu adalah adalah persoalan-persoalan sosial kekinian bangsa
ini yang menjadi bagian utama kajian IPS. Karena itu, bagaimana nilai-nilai sejarah lokal
diajarkan melalui pembelajaran IPS menjadi penting dirumuskan dalam rangka memenuhi
tujuan pembelajaran IPS, khusus kemampuan peserta didik dalam berkomunikasi, bekerjasama
dan berkompetisi dalam masyarakat yang majemuk (Maryani, 2011: 60).
Jika dicermati tujuan pendidikan IPS tersebut, maka kaitannya dengan pembelajaran
nilai-nilai sejarah lokal tentu memiliki hubungan yang signifikan, yakni bagaimana nilai-nilai sejarah
lokal melalui peran para tokoh-tokoh lokal dalam mempertahankan wilayahnya dari penjajahan.
Peran para tokoh, seperti: Hidayatullah, Antasari, Demang Lehman, Tumenggung, Panglima
Wangkang, Panembahan Muhammad Said, dan Sultan Muhammad Seman telah memberikan
nilai-nilai yang patut diteladani, seperti nilai-nilai keberanian, pantang menyerah, kemampuan
berkomunikasi dan kerjasama, menjunjung tinggi sikap toleransi, dan cinta tanah air.
Tentu sikap-sikap ini menjadi penting dimunculkan pada setiap pembelajaran IPS
berlangsung dalam kelas. Kemampuan guru memahami nilai-nilai sejarah lokal, yang kemudian
dilanjutkan dalam bentuk rencana pembelajaran tentu akan berdampak terhadap hasil belajar
peserta didik, yakni pembelajaran yang meaningfull, sarat dengan makna melalui sikap yang
ditunjukkan oleh para tokoh-tokoh pejuang lokal tersebut.
Untuk memperkuat internalisasi nilai-nilai sejarah lokal, maka tidak cukup hanya melalui
pembelajaran dengan menggunakan pendekatan, model dan metode tertentu, akan tetapi,
keteladanan seorang guru, dan orang-orang di lingkungan sekolah (Kepala Sekolah, staf sekolah,
dll), orang tua dan keluarga di rumah serta elite masyarakat dan masyarakat umum di masyarakat
juga ikut berpengaruh terhadap pembentukan sikap peserta didik (Rachman, 2007: 62).
Nilai-nilai sejarah lokal seperti karakter kerjasama, kerja keras, berani, sikap toleransi
dan cinta akan tanah air, yang diperoleh dari sikap yang ditunjukkan oleh para pelaku tokoh
lokal tersebut, dalam menghadapi imprealisme kolonialisme Belanda adalah sesuatu yang
masih bersifat das sollen, normatif, dan ideal. Bagaimana nilai-nilai itu mampu menjadi sebuah
yang das sein, riil, dan mampu teraktualisasikan dalam pengalaman belajar serta kehidupan
peserta didik? Diantara strategi yang dilakukan adalah optimalisasi pendekatan, model, metode
dan strategi dalam pembelajaran IPS.
Paling tidak beberapa karakteristik pendekatan, model dan strategi itu yakni proses
pembelajaran yang diselenggarakan haruslah secara interaktif, inspiratif, menyenangkan,
menantang, memotivasi peserta didik untuk berpartisipasi aktif, serta memberikan ruang yang
cukup bagi prakarsa, kreativitas dan kemandirian sesuai dengan bakat, minat dan
perkembangan fisik serta psikologis peserta didik (PPRI, Nomor 19 Tahun 2005). Beberapa
model yang ditawarkan oleh Joice, dkk. (2009), untuk pembelajaran sosial, dan berpotensi
membentuk karakter, seperti group investigation dan role play. Pakar lain menawarkan inquiry.
Selama proses implementasi inquiry, group investigation dan role play dalam pembelajaran di
kelas, maka potensi pembentukan karakter kerjasama, membangun sikap toleransi, menghargai
orang lain, sikap toleransi, dan kemampuan membangun kepercayaan diri akan semakin baik
(Joyce, dkk., 2009: 302).

Syaharuddin
577
Gambaran tersebut, memberikan penekanan bahwa peran guru dalam penanaman
nilai-nilai cukup penting. Peran guru tidak berhenti hanya pada transfer of knowledge, tapi
seharusnya sampai pada transfer of values (Amin, 1990, dalam Al Muchtar, 1991: 68). Hal ini
diperkuat oleh Matcalf (1971, dalam Al Muchtar, 1991: 68) bahwa analisis nilai (value analysis)
yang merupakan pendekatan dalam pendidikan moral dapat diaplikasikan dalam pendidikan
IPS, bahkan sejalan dan menunjang terhadap pengembangan kemampuan berfikir,
sebagaimana juga ditegaskan oleh Crobelt (1983, dalam Al Muchtar, 1991: 69)”……should be
to develop in individual the ability to make rationally defensible moral judgments”.
Keterangan tersebut memberi penegasan bahwa sejarah lokal (Banjar) yang sarat
dengan nilai-nilai yang dapat dibaca melalui peran para tokoh-tokoh pejuangnya, penting
ditransfer secara baik oleh guru. Indikasi selama ini, guru tidak lebih hanya berfungsi sebagai
transfer of knowledge terhadap peserta didik, hal ini diperparah ketika metode yang digunakan
kurang bervariatif, yakni didominasi oleh metode ceramah dan sumber belajar terbatas pada
buku teks (text book) sehingga terkesan pembelajaran IPS, khususnya pelajaran sejarah adalah
pelajaran yang gampang, mudah dihafal (karena hanya terdiri dari fakta-fakta), bisa diajarkan
oleh siapa saja dan tidak begitu penting bagi bekal peserta didik dalam kehidupannya. Jika
dikaitkan dengan tujuan pendidikan IPS, diantaranya peserta didik memiliki kemampuan
berkomunikasi, bekerjasama dan berkompetisi dalam masyarakat yang majemuk (Maryani,
2011: 60), tentu sangat kontradiktif, karena ternyata permasalahan sosial yang muncul selama
ini, paling tidak selama Orde Baru dan periode pascareformasi yakni ketidakmampuan
masyarakat dalam berkomunikasi sehingga terjadi miskonsepsi, miskomunikasi dan akhirnya
konflik pun menjadi. Ketidakmampuan berkomunikasi berlanjut ketidakmampuan bekerjasama.
Hal ini tentu berdampak terhadap munculnya pribadi-pribadi yang individualistis (egois) yang
kadang tidak dapat menghargai perbedaan. Sementara secara faktual, Indonesia adalah sebuah
negara yang sangat majemuk. Majemuk dari segi suku, bahasa, agama, dan kelompok lainnya.

IV. SIMPULAN
Sejarah lokal memiliki kemampuan memberikan sumbangan berupa kesadaran
sebagai bangsa yang multibudaya, ditunjukkan dengan pengakuan akan kelemahan masing-
masing dengan membangun kesederajatan diantara kebhinekaan. Pada akhirnya, kesadaran
sejarah (lokal) sangat berpotensi dalam membentuk nilai-nilai kejuangan seperti karakter kerja
keras, pantang menyerah, pemberani, mampu menjalin kerjasama, memiliki sikap toleransi
dan cinta tanah air.
Penggambaran karakter tokoh-tokoh lokal dalam Sejarah Lokal Kalimantan Selatan
secara baik, seperti: Pangeran Hidayatullah, Pangeran Antasari, Demang Lehman, Temenggung
Surapati, Gusti Muhamad Said, Gusti Muhamad Seman, dan Panglima Wangkang,
sebagaimana telah diuraikan memiliki pengaruh yang cukup besar dalam proses pembentukan
nilai-nilai kejuangan. Peraihan nilai-nilai kejuangan seperti karakter kerjasama, kerja keras,
berani, sikap toleransi dan cinta akan tanah airnya, sebagaimana yang tergambar dari para
tokoh-tokoh lokal Kalimantan Selatan selama periode Perang Banjar (1859-1906) tersebut

Syaharuddin
578
hanya akan terjadi jika internalisasi nilai-nilai sejarah lokal itu dilakukan dengan pendekatan,
model dan strategi yang tepat, seperti group investigation, role play dan inquiry selama proses
belajar mengajar di sekolah oleh guru melalui pembelajaran IPS, serta keteladanan para guru
(dan lingkungan sekolah: Kepala Sekolah, Staf TU, dll.), orang tua (dan keluarga terdekat) dan
lingkungan masyarakat (terutama para elitenya).

DAFTAR PUATAKA
Abar, Husni. 2002. Panembahan Muda Aling Datu Muning: Sebuah Studi Kasus tentang
Kekuasaan dalam Masyarakat Banjar. Tapin: Pemda Tapin Kalimantan Selatan.
Abdullah, Taufik. 2005. Sejarah Lokal di Indonesia. Yogyakarta: Gadjah Mada.
Al Muchtar, Suwarma. 1991. “Pengembangan Kemampuan Berfikir dan Nilai dalam
Pendidikan IPS”. Disertasi, Pascasarjana UPI, tidak diterbitkan.
Bondan, Amir Hasan Kiai. 1953. Suluh Sejarah Kalimantan. Bandjarmasin: Fadjar.
Budiyono, Kabul. 2007. Nilai-nilai Kepribadian dan Kejuangan Bangsa Indonesia. Bandung:
Alfabeta.
Ideham, Suriansyah, dkk. 2004. Sejarah Banjar. Banjarmasin: Balitbangda Provinsi
Kalimantan Selatan.
Ideham, Suriansyah, dkk. 2007. Urang Banjar dan Kebudayaannya. Banjarmasin: Badan
Penelitian dan Pengembangan Daerah Provinsi Kalimantan Selatan dan Pustaka
Banua.
Joyce, dkk. 2009. Models of Teaching. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Kochhar, S.K. 2008.Teaching of History. Jakarta: Grasindo.
Kuntowijoyo. 1994. Metodologi Sejarah. Yogyakarta: Tiara Wacana.
Maman Rachman. 2007. Reposisi, Re-Evaluasi, dan Redefinisi Pendidikan Nilai dalam
Kamal Abdul Hakam. 2007. Bunga Rampai Pendidikan Nilai. Supervisor: Prof. Dr. H.
Endang Sumantri, M.Ed. Bandung: UPI.
Marsh, Colin. 2008. Studies of Society and Environment (SOSE): Exploring The Teaching
Possibilities. Australia: Pearson Education Australia.
Maryani, Enok. 2011. Pengembangan Program Pembelajaran IPS untuk Peningkatan
Keterampilan Sosial. Bandung: Alfabeta.
Mustakim, “Sejarah Lokal dan Ketahanan Daerah” (online), http://www.psb-psma.org/content/
blog/sejarah-lokal-dan-ketahanan-daerah, diakses tanggal 14 Mei 2012.
Megawati, Ratna. 2007. Membangun SDM Indonesia melalui Pendidikan Holistik Berbasis
Karakter, dalam Kamal Abdul Hakam. 2007. Bunga Rampai Pendidikan Nilai.
Supervisor: Prof. Dr. H. Endang Sumantri, M.Ed. Bandung: UPI.
Margana, Sri. 2010. Sejarah Indonesia: Perspektif Lokal dan Global. Yogyakarta: Ombak.

Syaharuddin
579
Peraturan Pemerintah Republik Indonesia (PPRI), Nomor 19 Tahun 2005 tentang Standar
Nasional Pendidikan, pasal 19.
Sjamsuddin, Helius. 2011. “Sultan Muhammad (Mat) Seman: Raja Air Barito (1835-1905)”.
Jurnal Kandil, Edisi 21, tahun VIII, Apriil-Juni 2011.
Subiyakto, Bambang, “Perjuangan Hidayatullah Ditinjau dari Aspek Sejarah”, Jurnal KANDIL,
Edisi 18, Tahun VII, Januari-Februari 2010.
Sudarma, Momon. 2007. “Revitalisasi Ilmu Pengetahuan Sosial Dalam Perspektif Global”,
makalah pada Seminar Nasional UPI – Bandung, diakses tanggal 17 Mei 2012.
Supardan, Dadang. 2009. (online), “Pembelajaran Sejarah Berbasis Pendekatan
Multikultural dan Perspektif Sejarah Lokal, Nasional, Global, dalam Integrasi
Bangsa: Studi Kuasi Eksperimental terhadap Siswa Sekolah Menengah Atas di Kota
Bandung”, http://file.upi.edu/Direktori/FPIPS/JUR._PEND._SEJARAH/
195704081984031.DADANG_SUPARDAN/
ARTIKEL_JURNAL_INTERNASIONAL.pdf, diakses tanggal 18 Mei 2012.
Sjamsuddin, Helius. 2001. Pegustian dan Temenggung: Akar Sosial, Politik, Etnis, dan
Dinasti (Perlawanan di Kalimantan Selatan dan Kalimantan Tengah, 1859-1906).
Jakarta: Balai Pustaka.

Syaharuddin
580
MEMBENTUK KARAKTER SISWA
MELALUI PEMBELAJARAN IPS-SEJARAH
Zusmelia dan Zulfa
STKIP PGRI Sumatera Barat Padang

ABSTRAK
Persoalan karakter pada generasi muda sekarang sudah pada tahap yang memprihatinkan.
Hal ini terbukti seringnya terjadi perkelahian antar pelajar dan kekerasan pada pelajar SLTP
maupun siswa SMA. Untuk itulah pentingnya pendidikan karakter dalam pembelajaran IPS
terutama pada pembelajaran Sejarah. Mata pelajaran Sejarah dapat membangkitkan rasa
cinta pada tanah air dan membangkitkkan karakter pelajar sehingga muncul sifat rela menolong
dan tabah dalam menghadapi berbagai persoalan dalam diri si pelajar. Pendidikan karakter
pelajar dalam mata pelajaran IPS terutama pembelajaran Sejarah sangat penting karena hal
ini dapat mendidik generasi muda lebih cinta pada sesama dan membangkitkan rasa rela
menolong dan selalu sabar dalam menghadapi persoalan yang lagi marak seperti sekarang
ini. Sebenarnya ini merupakan salah satu akibat dari pengaruh globalisasi dan informasi yang
sudah semakin tinggi dan tanpa sekat. Namun yang paling terpenting untuk masa sekarang
adalah membangun karakter generasi muda dengan pembelajaran IPS terutama pada mata
pelajaran Sejarah. Dengan mempelajari Sejarah maka akan terbentuk karakter pelajar menjadi
generasi muda yang lebih demokratis, dan bertanggung jawab, serta warga dunia yang cinta
damai. Dengan demikian diharapkan pembelajaran IPS terutama mata pelajaran sejarah dapat
berkontribusi terhadap pembangunan karakter bangsa Indonesia yang berbudaya dan
berkepribadian sesuai dengan yang digariskan tujuan pendidikan nasional.
Kata kunci : Pembentukan karakter, Pembelajaran Sejarah

I. PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Masalah
Maraknya perkelahian antar pelajar menjadikan persoalan besar dalam dunia
pendidikan di Indonesia. Hal ini dapat dilihat dari berbagai fakta adanya pelajar-pelajar SMA
bahkan SMP yang melakukan tindak kekerasan pada penumpang angkot di Jakarta, dengan
tindakan menyiramkan air keras ke penumpang angkot tersebut (Kompas online).
Persoalan ini membuat bertambah carut marutnya sistem pendidikan di Indonesia
ini. Padahal Indonesia terkenal dengan keramah tamahan dan bahasa sopan santun dengan
kekayaan budaya terkenal di seluruh dunia. Persoalan ini tidak saja terjadi di kota besar Jakarta,
tetapi juga beberapa daerah seperti di wilayah kota kecamatan bahkan kota kecil sekalipun.Ini

Zusmelia dan Zulfa


581
merupakan tanggung jawab dari semua pihak mulai dari keluarga, guru dan dosen sebagai
tenaga profesional pendidik generasi muda bangsa. Sebenarnya pendidikan karakter sudah
terdapat dalam pelajaran IPS-Sejarah di sekolah terutama untuk materi sejarah.
1.2 Permasalahan
Dari latar belakang masalah yang telah penulis bahas diatas, maka permasalahan
yang paling urgen sekarang adalah bagaimanakah membentuk karakter pelajar dalam
pembelajaran IPS-Sejarah?
1.3 Tujuan dan Manfaat Penulisan
Tujuan penulisan ini adalah agar dapat membentuk karakter pelajar dalam
pembelajaran IPS-Sejarah sedangkan manfaat penulisan ini adalah sebagai bahan
perbandingan pembentukan karakter pelajar di sekolah.

II. PEMBAHASAN
2.1 IPS-Sejarah
Tujuan utama Ilmu Pengetahuan Sosial ialah untuk mengembangkan potensi peserta
didik agar peka terhadap masalah sosial yang terjadi di masyarakat, memiliki sikap mental
positif terhadap perbaikan segala ketimpangan yang terjadi, dan terampil mengatasi setiap
masalah yang terjadi sehari-hari baik yang menimpa dirinya sendiri maupun yang menimpa
masyarakat. Sedangkan IPS dalam sejarah dapat membentuk karakter pelajar menumbuhkan
rasa nasionalisme, rasa solidaritas, menumbuhkan sikap demokratasi, dan rasa membela
dan sabar serta tabah dalam menghadapi berbagai tantangan kehidupan masa depan.
Tujuan tersebut dapat dilihat dalam program-program pembelajaran IPS terutama
Sejarah di sekolah harus diorganisasikan secara baik. Dari rumusan tujuan tersebut dapat
dirinci sebagai berikut (Awan Mutakin, 1998):
1. Memiliki kesadaran dan kepedulian terhadap masyarakat atau lingkungannya,
melalui pemahaman terhadap nilai-nilai sejarah dan kebudayaan masyarakat.
2. Mengetahui dan memahami konsep dasar dan mampu menggunakan metode
yang diadaptasi dari ilmu-ilmu sosial yang kemudian dapat digunakan untuk
memecahkan masalah-masalah sosial.
3. Mampu menggunakan model-model dan proses berpikir serta membuat keputusan
untuk menyelesaikan isu dan masalah yang berkembang di masyarakat.
4. Menaruh perhatian terhadap isu-isu dan masalah-masalah sosial, serta mampu
membuat analisis yang kritis, selanjutnya mampu mengambil tindakan yang tepat.
5. Mampu mengembangkan berbagai potensi sehingga mampu membangun diri
sendiri agar survive yang kemudian bertanggung jawab membangun masyarakat
dan pengembangan keterampilan pembuatan keputusan.
6. Memotivasi seseorang untuk bertindak berdasarkan moral.
7. Fasilitator di dalam suatu lingkungan yang terbuka dan tidak bersifat menghakimi.

Zusmelia dan Zulfa


582
8. Mempersiapkan siswa menjadi warga negara yang baik dalam kehidupannya “to
prepare students to be well-functioning citizens in a democratic society’ dan
mengembangkan kemampuan siswa mengunakan penalaran dalam mengambil
keputusan pada setiap persoalan yang dihadapinya.
9. Menekankan perasaan, emosi, dan derajat penerimaan atau penolakan siswa
terhadap materi Pembelajaran IPS yang diberikan.
Hal-hal inilah yang dapat membentuk karakter siswa dalam pembelajaran IPS di
sekolah.
2.2 Pendidikan Karakter
Menurut Sigmund Freud (Syaifudin dan Karim, 2008: 48), menyebutkan character is
striving sistem with underly behaviour. Karakter merupakan kumpulan tata nilai yang terwujud
dalam suatu sistem daya dorong yang melandasi pemikiran, sikap dan perilaku yang dapat
ditampilkan secara mantap. Ini dilihat dari fungsi pendidikan nasional sebagaimana dimuat di
dalam UU Sisdiknas No. 20 Tahun 2003, yang menyatakan bahwa: Pendidikan nasional
berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa
yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk
berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertaqwa
kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan
menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggungjawab.
Menurut Wahab (20l0) salah satu kebijakan penting dalam pembangunan pendidlkan
nasional jangka menengah adalah adanya penekanan pendidikan karakter. Pendidikan karakter
dapat menjadikan individu “smart and good”. Menurutnya pendidikan karakter bukanlah suatu
proses yang linier, melainkan suatu proses dinamis. Pendidikan karakter membutuhkan suatu
lingkungan yang aman, positif dan teratur. Demikian pula membutuhkan “condusive school
ond home climate”, (HISPISI: 2010). Dari uraian di atas jelaslah bahwa pendidikan merupakan
upaya yang dapat ditempuh untuk mewujudkan karakter bangsa yang berbudaya dan
berkarakter.
2.3 Sejarah dalam Membentuk Karakter Siswa
IPS adalah singkatan dari IImu Pengetahuan Sosial, selain IPS ada istilah lain yang
berdekatan, Istilah IPS dalam sistem pendidikan di Indonesia digunakan sebagai nama mata
pelajaran pada kurikulum Sekolah Dasar (SD)/Madrasah Ibtidaiyah (MI) dan pada kurikulum
SMP yang merupakan model pemisahan “separated curriculum” dari mata pelajaran sejarah.
Tujuan ilmu sejarah adalah menempatkan peristiwa masa lalu yang disusun secara
kronologis, sistematis sehingga dapat menjadi cerminan untuk masa sekarang dan pedoman
bagi masa yang akan datang. Sejarah dapat mendidik siswa dalam pendidikan
kewarganegaraan, yakni pengembangan “civic responsibility and active civic participation”
sebagai salah satu esensinya. Esensi yang lainnya adalah pengembangan kemampuan sosial
yang berkenaan dengan visi tentang pengalaman hidupnya, pemahaman kritis terhadap ilmu-
ilmu sosial. Pemahaman manusia dalam konteks persatuan dalam perbedaan, dan analisis
kritis terhadap keadaan kehidupan manusia. Secara esensial, pengertian social studies menurut

Zusmelia dan Zulfa


583
Ness (1994) mengandung visi, misi, dan strategi pendidikan social studies yang akan mewarnai
pemikiran dan praksis pendidikan social studies di Amerika dan negara lainnya, termasuk
pemikiran mengenai pendidikan IPS Indonesia pada abad ke-21 ini.
2.4 Pembelajaran IPS-Sejarah yang Inovatif
Pembelajaran diartikan sebagai suatu usaha yang sengaja melibatkan dan
menggunakan pengetahuan profesional yang dimiliki pengajar untuk mencapai tujuan
kurikulum. Pembelajaran dimaknai sebagai proses interaksi antara peserta didik dengan
pendidik dan sumber belajar pada suatu lingkungan belajar. Kegiatan profesional untuk
memberikan kemungkinan dan/atau kemudahan orang lain untuk belajar dengan sengaja,
terarah dan terkendali, serta adanya intervensi dengan tujuan terjadinya.
Gagne & Briggs (1979:3) mengartikan “pembelajaran adalah suatu sistem yang
bertujuan untuk membantu proses belajar peserta didik, yang berisi serangkaian peristiwa
yang dirancang, disusun sedemikian rupa untuk mempengaruhi dan mendukung terjadinya
proses belajar peserta didik yang bersifat internal”. Dalam pembelajaran kondisi atau situasi
yang memungkinkan terjadinya proses belajar harus dirancang dan dipertimbangkan terlebih
dahulu oleh pengajar. Menurut Gredler proses perubahan sikap dan tingkah laku siswa pada
dasarnya terjadi dalam satu lingkungan buatan dan sangat sedikit bergantung pada situasi
alami, ini artinya agar proses belajar siswa berlangsung optimal guru perlu menciptakan
lingkungan belajar yang kondusif. Proses menciptakan lingkungan belajar yang kondusif ini
disebut pembelajaran. Jika dikaitkan dengan kurikulum, pembelajaran mempunyai kaitan yang
erat dengan kurikulum, sebab betapa bagusnya suatu kurikulum tidak akan ada artinya sama
sekali tanpa diimplementasikan, hal ini dikarenakan pembelajaran tidak lain merupakan
kurikulum dalam arti aktual (actual curriculum). Oleh karenanya pembelajaran Pengetahuan
Sosial terutama untuk sejarah memerlukan multi pendekatan, diantaranya adalah:
a. Menerapkan Integrated Learning
Integrated learning atau pembelajaran terpadu merupakan pendekatan belajar
mengajar yang memperhatikan dan menyesuaikan dengan tingkat perkembangan siswa
(Developmentally Appropriate Practical). Pendekatan ini dari teori pembelajaran yang menolak
drill-system sebagai dasar pembentukan pengetahuan dan struktur intelektual anak.
Pembelajaran IPS-Sejarah cocok menggunakan pendekatan ini sebab dalam pembelajaran
terintegrasi banyak menekankan pada peningkatan daya krltis peserta didik, dalam hal ini
meningkatkan pertanyaan, jawaban dan aksi spesifik pada tiap sub proses.
Konsep ini juga memungkinkan terciptanya hasil akhir pembelajaran yang bermanfaat.
Konsep Pembelajaran Terintegrasi atau dikenal juga dengan pembelajaran terpadu dapat
dilihat dari berbagai sudut pandang. Tirta (2007) menyebutkan: “pembelajaran terintegrasi
merupakan pengintegrasian aspek-aspek pembelajaran (hard dan soft skill, kognitif dan
psikomotorik dan afektif) dalam rangka menghasilkan lulusan berkualitas secara utuh,
pengintegrasian dalam pembelajaran, jika diperlukan terintegrasi dengan kemampuan bahasa
Inggris. Langkah awal dalam melaksanakan pembelajaran terpadu diawali dengan pemilihan/
pengembangan topik atau tema.

Zusmelia dan Zulfa


584
Sesuai dengan hakekat Pengetahuan Sosial terutama Sejarah, maka dalam
pembelajarannya menggunakan “Pendekatan Pembelajaran Terpadu” (integrated/
muitidisciplinary approach), yaitu keseluruhan komponen, substansi, prosedur, dan proses
yang dirancang dengan sengaja, sadar, dan untuk dilaksanakan dalam upaya agar subjek
didik dapat belajar. Sumber dan sekaligus tumpuan persoalan pembelajaran Pengetahuan
Sosial adalah permasalahan perikehidupan dan perilaku sosial yang berkaitan dengan siswa,
sehingga pembelajaran terpadu harus dimulai dari lingkungan terdekat (berbasis lingkungan)
yang diperluas sesuai dengan daya tanggap dan tangkap siswa disebut pendekatan spiral atau
broad field approach (Tjipto Sumadi & M Jafar: 1999). Hal inilah yang dapat membentuk
karakter siswa sehingga sikap, rasa toleransi, rela menolong dan tabah dalam menghadapi
apapun di lingkungan siswa.
b. Pembelajaran Pengetahuan Sosial-Sejarah yang Berbasis Lingkungan
Pembelajaran Pengetahuan Sosial terutama dalam mata pelajaran Sejarah yang
berbasis lingkungan tersebut membawa konsekuensi bahwa seluruh komponen pembelajaran
harus bersifat kontekstual maka Pembelajaran Pengetahuan Sosial-Sejarah juga menggunakan
pendekatan pembelajaran kontekstual (Contextual Teaching and Learning disingkat CTl). CTI
merupakan konsep belajar yang membantu guru mengaitkan antara materi yang diajarkan
dengan situasi dunia nyata siswa dan mendorong siswa membuat hubungan antara
pengetahuan yang dimilikinya dengan penerapannya dalam kehidupan mereka sebagai
anggota keluarga dan masyarakat. Dengan konsep itu, hasil pembelajaran diharapkan lebih
bermakna bagi siswa.
Proses pembelajaran berlangsung alamiah dalam bentuk kegiatan siswa bekerja
dan mengalami, bukan mentransfer pengetahuan dari guru ke siswa. Dalam hal ini strategi
pembelajaran lebih dipentingkan daripada hasil. Hal ini merupakan suatu proses pendidikan
yang holistik dan bertujuan memotivasi siswa untuk memahami makna materi pelajaran sejarah
yang dipelajari dengan mengkaitkan materi tersebut dengan konteks kehidupan mereka sehari-
hari (konteks pribadi, sosial, dan kultural) sehingga siswa memiliki pengetahuan keterampilan
dan rasa cinta pada daerah secara fleksibel dapat diterapkan sehingga siswa memiliki
pengetahuan/keterampilan yang secara fleksibel dapat diterapkan (ditransfer) dari satu
permasalahan/konteks ke permasalahan/konteks yang terjadi sekarang ini. Dengan
pembelajaran kontekstual diharapkan siswa dapat memaknai materi IPS untuk Sejarah yang
dipelajari, berpikir kritis dan logis, serta menerapkan hasil belajar dalam kehidupan sehari-
hari. Hal ini karakter yang terbentuk adalah memahami materi nilai-nilai kepahlawanan dapat
ditiru oleh siswa dan dapat diterapkan dalam kehidupan sehari-hari. Sehingga karakter yang
diharapkan adalah memunculkan rasa cinta pada daerah dan bangsa serta bangga menjadi
generasi muda Indonesia.
c. Cooperative Learning (Pembelajaran Kooperatif)
Model Cooperative Learning merupakan salah satu model pembelajaran yang
mendukung pembelajaran kontekstual. Cooperative Learning adalah suatu strategi belajar
mengajar yang menekankan pada sikap atau perilaku bersama dalam bekerja atau membantu

Zusmelia dan Zulfa


585
diantara sesama dalam struktur kerjasama yang teratur dalam kelompok, yang terdiri dari dua
orang atau lebih. Dalam pembelajaran kooperatif terdapat saling ketergantungan positif di
antara siswa untuk mencapai tujuan pembelajaran.
Setiap siswa mempunyai kesempatan yang sama untuk sukses. Aktivitas belajar
berpusat pada siswa dalam bentuk diskusi, mengerjakan tugas bersama, saling membantu,
saling mendukung dalam memecahkan masalah. Melalui interaksi belajar yang efektif siswa
lebih termotivasi, percaya diri, mampu menggunakan strategi berpikir tingkat tinggi, serta mampu
membangun hubungan interpersonal. Model pembelajaran kooperatif memungkinkan semua
siswa dapat menguasai materi; pada tingkat penguasaan yang relatif sama atau sejajar. Terlepas
dari kelemahannya, model pembelajaran kooperatif mempunyai nilai karakter dalam
mengembangkan softskills siswa seperti, kemampuan berkomunikasi, berfikir kritis, bertanggung
jawab, serta bekerja sama. Jika kelemahan dapat diminimalkan, maka kekuatan model ini
akan membuahkan proses dan hasil belajar yang dapat memacu peningkatan potensi siswa
secara optimal. Oleh karenanya model pembelajaran ini sangat sesuai dengan karakteristik
dan tujuan IPS-Sejarah, sebab model ini dapat membentuk karakter siswa dalam kebersamaan
saling membantu dan saling mendukung dalam memecahkan masalah benar dapat
menumbuhkan kerjasama dan rasa kebersamaan di kalangan siswa.
d. Learning by Doing
Melaksanakan program best practice pada mata pelajaran IPS yang menerapkan
pembelajaran learning by doing, anak didik saat belajar juga melakukan praktek langsung.
Misalnya saat mempelajari sejarah proklamasi kemerdekaan Indonesia, siswa diminta
memerankan tokoh yang ada dalam sejarah, dan melakukan seperti apa yang para tokoh itu
lakukan saat memproklamirkan kemerdekaan. Melalui metode pembelajaran ini, siswa lebih
mudah menyerap pelajaran. Selain itu, metodenya dapat membentuk karakter dan kepribadian
siswa menjadi lebih baik. Rasa cinta pada tokoh proklamator seperti Soekarno dan Hatta
menjadi semakin tinggi karena bangsa yang besar adalah bangsa yang menghargai jasa para
pahlawannya.

III. SIMPULAN
Persoalan karakter pada generasi muda sekarang dapat diatasi dengan pendidikan
karakter melalui pembelajaran IPS terutama pada pembelajaran Sejarah. Mata pelajaran
Sejarah dapat membangkitkan rasa cinta pada tanah air dan membangkitkkan karakter pelajar
sehingga muncul sifat rela menolong dan tabah dalam menghadapi berbagai persoalan dalam
diri si pelajar. Pendidikan karakter pelajar dalam mata pelajaran IPS terutama pembelajaran
Sejarah sangat penting karena hal ini dapat mendidik generasi muda lebih cinta pada sesama
dan membangkitkan rasa rela menolong dan selalu sabar dalam menghadapi persoalan yang
lagi marak seperti sekarang ini, yang juga merupakan akibat lain dari globalisasi dan teknologi
informasi.
Pendidikan karakter generasi muda dapat dibangun melalui pembelajaran IPS
terutama pada mata pelajaran Sejarah. Dengan mempelajari Sejarah maka akan terbentuk

Zusmelia dan Zulfa


586
karakter pelajar menjadi generasi muda yang lebih demokratis, dan bertanggung jawab, serta
warga dunia yang cinta damai. Dengan demikian diharapkan pembelajaran IPS terutama
mata pelajaran Sejarah dapat berkontribusi terhadap pembangunan karakter bangsa Indonesia
yang berbudaya dan berkarakter.

DAFTAR PUSTAKA
AI Muchtar, Suwarma. 2001. Epistemologi Pendidikan IImu Pengetahuan Sosial. Bandung:
Gelar Pustaka Mandiri.
——————. 2001. Pendidikan dan Masalah Sosial Budaya. Bandung: Gelar Pustaka Mandiri.
Aziz Wahab, Abdul. 2007. Metode dan Model-Model Mengajar IImu Pengetahuan Sosial (IPS).
Bandung: Alfabeta.
Barr, R. Barth, J.T, Shermis, S.S. 1977. The Nature of The Social Studies. ETC
Publications, California: Palm Springs.
Depdiknas. 2003. Pendekatan Kontekstual (Contextual Teaching and Learning/CTL). Jakarta:
Ditjen Dikdasmen Direktorat Pendidikan Lanjutan Pertama.
Fedyani, Syaifudin & Karim, Mu!yawan. 2008. Refleksi Karakter Bangsa. Jakarta : Kerjasama
Kementrian Pemuda dan Olahraga Republik Indonesia, Ikatan Alumni Universitas
Indonesia & Penerbit Forum Kajian Antropologi Indonesia.
http://www.kemdiknas.go.id/media—publik/pidato-menteri/sambutan-menteri-pendidikan-
nasional-pada-peringatan-hari-pendidikan-nasional-tahun-2010-minggu,-2-mei 2009.aspx
Muktadir, Abdul. 2001. Penerapan Model Pembelajaran Terpadu Pada Mata Pelajaran PPKn
pada Sekolah Dasar Kelas Rendah di SD Negeri 69 Bengkulu.
National Council for the Social Studies (NCSS). 1989. In search of a Scope and Sequence for
Social Studies. Report of the National Council for the Social Studies: Task Force on
Scope and Sequence.
—————1994. Curriculum Standards for Social Studies. Washington: NCSS.
Peraturan Menteri Pendidikan Nasional No. 22 Tahun 2006 tanggal 23 Mei 2006.
Prabowo. 2000. Pembelajaran Terpadu. http://anwarholil.blogspot,com/2008/04/
pengertian-pembelajaran terpadu.html. diakses hari Senin, 28 Juni 2010.
Somantri, Nu’man. 2001. Menggagas Pembaharuan Pendidikan IPS. (Editor Dedi Supriadi
dan Rochmat Mulyana), Bandung: Remaja Rosdakarya.
Sumaatmadja, Nursid. 1984. Metodologi Pengajaran IImu Pengetahuan Sosial (IPS). Bandung:
Alumni.
Tirta, I Made. (2007). “Pembelajaran Terintegrasi”. http://muhlis.files.wordpress.com. diakses
hari Senin, 28 Juni 2010.
Undang-Undang Republik Indonesia No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional.

Zusmelia dan Zulfa


587
Zusmelia dan Zulfa
588
BAB V
PENDIDIKAN KARAKTER DAN
PENDIDIKAN OLAHRAGA

Bab V: Pendidikan Karakter dan Pendidikan Olahraga


589
Bab V: Pendidikan Karakter dan Pendidikan Olahraga
590
KEDISIPLINAN SEBAGAI PEMBENTUK KARAKTER TANGGUH
DALAM PENDIDIKAN JASMANI DAN OLAHRAGA
Herita Warni
Universitas Lambung Mangkurat

ABSTRAK
Salah satu unsur yang menentukan dalam meraih keberhasilan atau prestasi adalah disiplin. Kualitas
seseorang dapat dilihat dari kedisiplinannya. Kedisiplinan seseorang dapat terbentuk melalui aktivitas
olahraga yang ditekuni. Hal ini disebabkan oleh situasi kondisi yang memang mengharuskan
seseorang mentaati aturan-aturan yang berlaku dalam sebuah aktivitas jika menginginkan
keberhasilan. Ketidakdisiplinan dapat merusak sebuah sistem yang sudah tertata, dan juga sangat
berpotensi untuk untuk menimbulkan kekacauan. Disiplin mengandung ketaatan atau kepatuhan
terhadap ketentuan dan nilai-nilai berlaku. Disiplin yang ditunjukkan dalam ketaatan memenuhi nilai
yang berlaku seperti kesadaran disiplin diri sendiri atau yang disebut self-discipline karena mengandung
pemahaman atau kesadaran yang erat kaitannya dengan kemampuan dalam mengendalikan diri
atau self-control. Ketangguhan seseorang dapat dilihat dari kedisiplinanya, karena didalam
kedisiplinan mengandung nilai ketaatan dan kepatuhan, tanggung jawab, rasa hormat, nilai komitmen
dan kesetiaan. Nilai-nilai tersebut saling memiliki keterikatan dan harmonisasi menjadi bingkai
kedisiplinan dalam prilaku maupun aktifitas khususnya perilaku dan olahraga. Jadi dapat
dikemukakan bahwa kedisiplinan merupakan nilai pembentuk karakter tangguh yang dapat
ditransformasikan dalam proses pembinaan olahraga prestasi.

I. PENDAHULUAN
Kedisiplinan dapat dikatakan sebagai salah satu faktor utama dalam meraih
keberhasilan dari data hasil penelitian menunjukkan bahwa rata-rata atlet yang memiliki prestasi
memiliki kedisiplinan yang tinggi. Oleh sebab itu, kedisiplinan dapat dijadikan salah satu poin
yang diintegrasikan dalam pelatihan. Bagaimana kedisiplinan tersebut benar-benar diajarkan,
dan disampaikan dampak baik buruknya apabila mengabaikan masalah kedisiplinan.
Penanaman hal tersebut semestinya sejak dini dilakukan. Individu berprilaku disiplin dapat
saja disebabkan oleh karena ingin mendapatkan ganjaran berupa penghargaan, atau berprilaku
disiplin oleh karena takut dengan hukuman, atau justru oleh karena muncul atas kesadaran diri
sendiri. Kesadaran dari diri sendiri inilah yang semestinya dimiliki oleh semua individu, apalagi
jika individu tersebut adalah seorang atlet. Kedisiplinan juga muncul oleh karena kebiasaan
untuk mentaati peraturan. Kedisiplinan mengandung nilai ketaatan, karena disiplin selalu
merujuk pada peraturan.

Herita Warni
591
II. PEMBAHASAN
Nilai-nilai universal yang hadir di bumi bersumber dari agama, budaya, dan juga
ajaran-ajaran dari berbagai tokoh. Nilai menghampiri semua sendi kehidupan dan dimiliki
oleh setiap orang. Seperti yang dikemukakan oleh Lutan (2001) “Nilai merupakan rujukan
prilaku, sesuatu yang dianggap luhur dan menjadi pedoman hidup manusia dalam
kehidupan bermasyarakat.” Dapat disepakati bahwa nilai itu ada dan dimiliki oleh setiap
orang, dan juga merupakan rujukan prilaku, baik disadari atau tidak disadari.
Nilai dapat dikelompokan dengan melihat hubungannya dengan empat olah yaitu
olah hati, olah pikir, olah raga dan olah rasa dan karsa (Samani dan Hariyanto, 2012). Sekaitan
dengan olahraga, kita dapat memilah nilai-nilai yang dapat dikembangkan kemudian dicari
turunannya yang sesuai. Apabila dalam olahraga terkenal dengan nilai inti yaitu sportif dan
fair play, masih memungkinkan dicari nilai-nilai lain yang erat kaitanya dengan olahraga,
dan bahkan dapat dicari turunan-turunan nilai tersebut hingga bukan pada hanya tataran
konsep saja, tetapi benar-benar dapat dipahami dan diimplementasikan pada kehidupan.
Kedisiplinan merupakan nilai yang tidak dapat diabaikan dalam olahraga, sebab
tidak mungkin atlit dapat meraih prestasi tanpa memiliki sikap disiplin. Disiplin dapat
dimaknai sebagai sikap prilaku yang muncul sebagai akibat dari pelatihan atau kebiasaan
mentaati peraturan (Samani dan Hariyanto, 2012), atau juga sebagai “upaya mengendalikan
diri dan sikap mental individu dalam mengembangkan kepatuhan dan ketaatan terhadap
peraturan dan tata tertib berdasarkan dorongan dan kesadaran yang muncul dari dalam
hati”. Hurlock (1980), membagi disiplin dalam tiga hal yang menjadi esensi hidup, yaitu :
“konsistensi, ganjaran, dan hukuman”., seperti yang dikemukakan oleh Crow dan Crow
(1980) sebagai berikut:
“Discipline are the presence of rules, regulations, standars, or conduct the
determiners, and the control of impulsive overt expressions of personal the desire,
interest, or ambition in accordance with appropriate and acceptable societal
standard.”
Kedisiplinan selalu merujuk kepada peraturan atau patokan-patokan yang menjadi
pengontrol tingkah laku agar sesuai dengan patokan-patokan yang berlaku atau diterima di
masyarakat. Kedisiplinan dapat memotivasi orang lain, karena merupakan contoh atau tauladan
sikap yang baik. Disiplin memperlihatkan kualitas seseorang, kedisiplinan akan melahirkan
kedisiplinan yang lain, dan ketidakdisiplinan akan merusak sistem (Sadewo, 2011).
Sikap disiplin ini merupakan salah satu dari tiga nilai pembentuk karakter dasar
yang menjadi inti dalam karakter pokok, disamping dua nilai lainnya yaitu jujur dan tidak
egois (Sudewo, 2011:15). Dengan memiliki karakter dasar yang mencakup disiplin, jujur
dan tidak egois ini orang sudah mampu mengontrol dirinya agar berprilaku baik. Orang
yang tidak disiplin akan mengakibatkan rentetan keterlambatan yang merusak sistem
(Sudewo, 2011). Pemahaman tentang merusak sistem ini rupanya telah secara tidak
langsung telah tertanam pada diri atlet seperti yang telah dikemukakan oleh salah satu
atlet bahwa “bila ada salah satu atlet datang telat, sesuai komitmen awal dengan pelatih,

592 Herita Warni


maka akibatnya akan ditanggung oleh atlet yang lain dengan cara membatalkan latihan
individu menjadi latihan bersama”. Dengan ketentuan atau aturan yang sudah disepakati
sebagai konsekuensi sebagai atlet seperti itu membuat atlet menjadi patuh dengan aturan.
Dengan demikian apa yang dilakukan di lapangan telah menanamkan pengertian bahwa
ketidakdisiplinan akan mengakibatkan serentetan akibat yang tidak baik bagi diri sendiri
dan orang lain. Kedisiplinan seseorang dapat terbentuk melalui aktivitas olahraga yang
ditekuni. Hal ini disebabkan oleh situasi kondisi yang memang mengharuskan seseorang
mentaati aturan-aturan yang berlaku dalam sebuah aktivitas jika menginginkan
keberhasilan. Hal tersebut dilakukan terus menerus hingga terbentuk pada diri atlet. Tidak
akan ada keberhasilan tanpa dibarengi sikap disiplin. Hal yang dilakukan secara terus
menerus menjadi kebiasaan, seperti yang dikemukakan oleh Jhon (1995), “... kebiasaan
bisa membentuk karakter nyata dan utama atau sifat dasar seseorang.
2.1 Nilai Ketaatan dan Kepatuhan
Disiplin mengandung ketaatan atau kepatuhan terhadap ketentuan dan nilai-nilai
berlaku. Disiplin yang ditunjukkan dalam ketaatan memenuhi nilai yang berlaku seperti
merupakan kesadaran disiplin diri sendiri (self-discipline), karena mengandung
pemahaman atau kesadaran yang erat kaitannya dengan kemampuan mengendalikan
(self-control). Perilaku disiplin tidak akan muncul apabila dalam diri seseorang tidak
tertanam nilai ketaatan pada segala aturan. Walau demikian terkadang juga dijumpai
disiplin semu, yaitu disiplin ketika ada keinginan lain dan saat terawasi. Tetapi di dalam
olahraga jika ingin meraih prestasi tinggi, kedisiplinan semu tidak akan dapat dilakukan
karena akan berdampak pada penampilan fisik atau unjuk kerja seseorang.
2.2 Tanggung Jawab
Prilaku disiplin akan muncul bila seseorang memiliki perasan tanggung jawab
atas apa yang harus dikerjakannya. Setiap tindakan diperlukan unsur pengetahuan untuk
apa hal tersebut dilakukan. Jika telah mengetahui maka ada perasaan menyukai, dan
selanjutnya kesiapan untuk melakukan tindakan. Hal ini seiring dengan teori Krech dkk.
(1962); dan Sears dkk. (1991), bahwa tindakan lebih banyak diatur oleh sikapnya, dan itu
terkait dengan pemahamam (kognisi), perasaan (afeksi), dan kesiapan untuk melakukan
atau bertindak (Konasi). Hal ini juga terkait dengan teori Lickona (1992) tentang
pengembangan watak yang baik harus didasari oleh tiga komponen yaitu pengetahuan
moral (moral knowing), perasaan moral (moral feeling), dan tindakan moral (moral action).
Kedisiplinan atlit oleh karena yang bersangkutan sadar atau tidak sadar memiliki rasa
tanggung jawab hingga tanpa paksaan pun tetap melakukan aktivitas latihan. Tanggung
jawab, secara literal berarti “kemampuan untuk merespon atau menjawab.” Itu artinya,
tanggung jawab berorientasi terhadap orang lain, memberikan bentuk perhatian, dan
secara aktif memberikan respons terhadap apa yang mereka inginkan. Tanggung jawab
menekankan pada kewajiban positif untuk saling melindungi satu sama lain. Tanggung
jawab juga merupakan sikap saling membutuhkan, tidak mengabaikan orang lain yang
sedang dalam keadaan sulit. Kita menolong orang-orang dengan memegang komitmen
yang telah kita buat, dan apabila kita tidak menolong mereka, artinya kita membuat sebuah

Herita Warni
593
kesulitan baru bagi mereka. Pada dasarnya, sikap tanggung jawab ditekankan pada
mengutamakan hal-hal yang hari ini dianggap penting sebagai suatu perbaikan di masa
yang akan datang dengan didasari ‘hak-hak’. Jadi dapat dikemukakan bahwa nilai
tanggung jawab merupakan nilai penyokong kedisiplinan. Seorang atlet tidak mungkin
akan disiplin apabila pada dirinya tidak memiliki rasa tanggung jawab. Tanggung jawab
sebagai konsekuensi menyandang predikat sebagai atlet. Oleh karena itu seorang atlet
yang ingin berhasil tidak mungkin tidak memiliki kedisiplinan diri yang tinggi yang
disebabkan rasa tanggung jawab.
Nilai tanggung jawab disamping nilai rasa hormat termasuk pada dua nilai moral
yang utama Lickona (1992). Nilai-nilai ini diperlukan untuk;
a. Pengembangan jiwa yang sehat
b. Kepedulian akan hubungan interpersonal
c. Sebuah masyarakat yang humanis dan demokratis
d. Dunia yang adil dan damai
2.3 Nilai Hormat
Rasa Hormat. Rasa hormat berarti menunjukkan penghargaan kita terhadap harga
diri orang lain ataupun hal lain selain diri kita. Terdapat tiga hal yang menjadi pokok:
penghormatan terhadap diri sendiri, penghormatan terhadap orang lain, dan penghormatan
terhadap semua bentuk kehidupan dan lingkungan yang saling menjaga satu sama lain.
Penghormatan diri mengharuskan kita untuk memperlakukan apa yang ada pada hidup
kita sebagai manusia yang memiliki nilai secara alami. Penghormatan terhadap orang
lain mengharuskan kita untuk memperlakukan semua orang bahkan orang-orang yang
kita benci sebagai manusia yang memiliki nilai tinggi dan memiliki hak yang sama dengan
kita sebagai individu. Hal tersebut merupakan intisari dari Golden Rule (“Perlakukanlah
orang lain sebagaimana engkau memperlakukan dirimu sendiri”).
2.4 Komitmen dan Kesetiaan
Disiplin mengandung nilai komitmen dan kesetiaan. Secara literlak, komitmen
mengandung makna “secara emosional, secara fisik, dan secara intelektual merasa terikat
kepada suatu kewajiban dan atau panggilan jiwa yang kuat untuk melaksanakannya”
(Samani dan Hariyanto, 2012). Orang yang disiplin pasti memiliki komitmen yang tinggi.
Kualitas seseorang bisa dilihat dari kedisiplinan dan komitmennya terhadap sesuatu.
Komitmen juga termasuk salah satu kemampuan pengelolaan kapasitas diri (Sudewo,
2012). Kerelaan orang untuk berbuat sesuatu tidak akan terjadi apa bila seseorang tidak
memiliki rasa keterikatan dan kewajiban sebagai sebuah panggilan jiwa untuk
melakukannya sebagai sebuah komitmen. Jika seorang atlet tidak memiliki komitmen
yang tinggi untuk mencapai keberhasilan tidak akan atlet tersebut berprilaku disiplin untuk
mentaati segala aturan yang berlaku di olahraga yang ditekuni.
Kita lihat kasus Diego Michiels pesepak bola Timnas, adalah sebuah contoh
prilaku yang tidak disiplin. Kedisiplinan yang diharapkan adalah disiplin yang melekat dan

594 Herita Warni


menjadi prilaku atlet baik di dalam lapangan maupun di luar lapangan pertandingan.
Sekali lagi, bukan disiplin semu, dan diterjemahkan dilakukan ketika orang lain melihat.
Disiplin yang diharapkan dalam olahraga adalah sebuah disiplin totalitas diri seseorang.
Kedisiplinan mengandung pula nilai kepatuhan dan kesetiaan. Orang yang tidak patuh
sudah pasti tidak disiplin, karena kapatuhan merupakan kesiapan untuk melakukan
sesuatu, dan sudah tentu berusaha mendisiplinkan diri terhadap ketentuan-ketentuan yang
berlaku. Kesiapan untuk melakukan sesuatu dan berupaya sepenuh hati merupakan sifat
kesetiaan yang ditunjukan yang juga mengandung nilai kepatuhan karena merasa
bertanggung jawab terhadap apa yang akan dilakukan.
Telah dikemukakan oleh Mahathir Muhamad, “Bangsa yang tidak disiplin, jangan
bercita-cita bisa maju” Sadewo (2011). Hal yang dikemukakan oleh Mahathir Muhamad
memang betul, karena sikap tidak disiplin juga merupakan tanda kemalasan. Bagaimana
mungkin bisa maju apabila sifat malas dipelihara dalam diri. Untuk mencapai diperlukan
kegigihan dan keuletan sebagai tanda perjuangan dengan sungguh-sungguh. Seorang
olahragawan sejati tidak mungkin memiliki sifat malas, jika tidak mana mungkin yang
bersangkutan dapat berhasil menjadi olahragawan. Jika semua individu memiliki sikap
seperti seorang olahragawan yang disiplin, rajin, pantang menyerah, dan berbagai sikap
positif yang menjadi rujukan para atlet atau olahragawan, maka pendapat Mochtar Lubis
(2008) yang mengatakan bahwa orang Indonesia memiliki beberapa ciri negatif dapat
ditepis, dengan menunjukan kedisiplinan diri. Kita boleh merasa sakit dengan pendapat
Mochtar Lubis tersebut, dan mengatakan itu tidak sepenuhnya benar, karena masih banyak
sisi positif seperti sikap toleransi beragama, menghormati orang lain dan berbagai hal
lainnya. Banyak hal yang dapat kita lakukan agar dapat menepis pendapat negatif tentang
bangsa kita yang memang dalam kenyataannya sekarang ini telah terpuruk terutama dalam
hal karakter. Salah satu yang dapat dilakukan selain melakukan pendidikan yang bermuatan
karakter juga menggalakkan pendidikan jasmani, pembinaan olahraga baik olahraga
prestasi maupun olahraga masyarakat. Hal ini diyakini karena di dalam olahraga
mengandung nilai-nilai luhur, nilai-nilai kebersamaan, menawarkan kedamaian, kejujuran,
keuletan, tanggung jawab, kemandirian, kepercayaan diri yang tinggi, dan kepedulian.
Tetapi tentu saja itu tidak serta merta dapat dilakukan, perlu waktu dan penanaman,
pemahaman, pembiasaan dari berbagai sisi.

III. SIMPULAN
Sikap kedisiplinan telah melekat pada diri atlet sebagai sebuah kesadaran dan
menjadi bagian dari perilaku sehari-hari. Hal ini muncul disebabkan oleh kebiasaan-
kebiasaan mentaati peraturan, perintah, dan hukuman-hukuman yang berlaku.
Ketangguhan seseorang dapat dilihat dari kedisiplinannya, karena didalam kedisiplinan
mengandung nilai-nilai komitmen, ketaatan, kepatuhan, tanggung jawab, rasa hormat,
dan kesetiaan. Jadi dapat disimpulkan bahwa kedisiplinan juga merupakan nilai
pembentuk karakter tangguh yang dapat ditransformasikan dalam proses pembinaan
olahraga prestasi.

Herita Warni
595
DAFTAR PUSTAKA
Abduljabar, B. 2010. Landasan Ilmiah Pendidikan Intelektual Dalam Pendidikan Jasmani. Cetakan
pertama. Bandung: Rizqi Press.
Allport,G, W. 1961. Pattern and Growth in Personality, New York: Holts, Renehart and Winston.
Anshel. M.H.1990. Sport Psychologi From Theory to Practice. Scotsdale Gorsuch Scarispirck
Character Count Coalisi. 2013. (A Project of The Joaseph Institut of Ethic). Browsing tanggal 19
Januari 2013.
Coakley, J.J. 1986. Sport in Society: Issues and Controversies. St Louis. Times Mirror/ Mosby
Depdiknasi. 2010. Grand Design Pendidikan Karakter Naskah Revisi Millenium: Garuda Jogya.
Djahiri,A.K. 1992. Menelusuri Dunia Afektif. Bandung: Lab PMP IKIP Bandung.
Djahiri,A.K, Ahmad dan Wahab A.Azis. 1996. Dasar dan Konsep Pendidikan Moral. Jakarta:
Depdikbud. Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi. PPTA.
Goleman, D. 1997. Emotional Intelligence. Terjemahan. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.
Gunarsa, S. 1996. Psikologi Olahraga: Teori dan Praktek. Jakarta BPK Gunung Mulya.
Hidayatullah, F. M. 2009. Guru sejati: Membangun Insan Berkarakter Kuat & Cerdas. Surakarta:
Griya Suryo.
Herita, W. 2013. “Transformasi Karakter Tangguh dalam Proses Pembinaan Olahraga Prestasi”.
Disertasi SPs UPI Bandung.
IOC. 2003. Olympic Charter. Published by the International Olympic Committee, Printed in
Switzerland
John, A. (1995). Membangun Karakter Tangguh: Mempersiapkan Generasi Anti Kecurangan.
Surabaya: Portico Publishing.
Lickona, T. (1992). Educating for Character, How Our schools can Teach Respect and
responsibility. New York: Bantam Books.
…… , 2004. Character Matters; How to Help Our Children Develop Good Judgment, Integrity,
and Other Essential Virtues. New York: A Touchstone Book.
Lutan, R. 2003. Olahraga Kebijakan dan Politik; Sebuah Analisis. Proyek Pengembangan &
Keserian Kebijakan Olahraga. Dirjen Olahraga Departemen Pendidikan Nasional.
........, 2001. Olahraga dan Etika Fair Play; Menelusuri Makna Olahraga. Jakarta: Direktorat
Pemberdayaan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi Olahraga Direktorat Jenderal
Olahraga Departemen Pendidikan Nasional.
……., 2000. Memantapkan Ketahanan Nasional: Analisis dari perspektif Kemajemukan Budaya
daerah Indonesia, Jakarta: Kursus Singkat Angkatan (KSA) VIII, Lemhanas 2000.
........, 1991. Manusia dan Olahraga. ITB dan FPOK/IKIP Bandung.
Lutan dan Mutohir. 2001. Olahraga dan Transformasi Nilai dalam Lutan, R.(ed) (2001) Olahraga
dan Etika Fair Play Jakarta: Direktorat Pemberdayaan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi
Olahraga Direktorat Jenderal Olahraga Departemen Pendidikan Nasional.

596 Herita Warni


Lutan. R. 2001. Keniscayaan Pluralitas Budaya Daerah. Analisis dampak Sistem Nilai Budaya
Terhadap Eksistensi Bangsa. Bandung: Angkasa.
Maslow, A. H. 1970. Motivation and Personality, sari terjemahan (1984). Jakarta: Garmedia..
Miles, M.B., dan A.M. Huberman. 1994. Qualitative Data Analysis. Second Edition. London:
Sage.
Munandar, A. 1997. Pemantapan Potensi Keolahragaan Nasional dan Implikasinya Terhadap
Manajemen Keolahragaan di Daerah. Konferensi Internasional, Bandung.
Mutohir, C M. dan Maksum A. 2007. Sport Development Index; Alternatif Baru Mengukur Kemajuan
Bidang Olahraga. Jakarta: PT. Indeks.
McLelland, D.C. 1997. Memacu Masyarakat Berprestasi: Mempercepat Laju Pertumbuhan
Ekonomi Melalui Peningkatan Motif Berprestasi.Terjemahan. Jakarta: Intermedia.
Megawangi, R. 2004. Pendidikan Karakter; Solusi yang Tepat Untuk Membangun Karakter
Bangsa. Start Energy (Kakap) Ltd.
Samani M dan Hariyanto. 2012. Pendidikan Karakter: Konsep dan Model. Bandung: Remaja
Rosdakarya.
Sapriya. 2007. Perspektif Pemikiran Pakar Tentang Pendidikan Kewarganegaraan Dalam
Pembangunan Karakter Bangsa. Disertasi:Sekolah Pasca sarjana UPI Bandung
Setiawan, B. 2008. Refleksi Karakter Bangsa: Sambutan Deputi Pengembangan Kepemimpinan
Pemuda. Cetakan ke -1. Jakarta: Kerjasama Kementerian Pemuda dan Olahraga RI &
Ikatan Alumni Universitas Indonesia Penerbit Forum kajian Antropologi Indonesia.
Soedarman, S. 1997. Peranan Pendidikan Jasmani dan Olahraga Dalam Pembinaan Disiplin
Nasional. Pengarahan Pembukaan Konferensi Nasional Pendidikan Jasmani dan
Olahraga, Bandung 1997.
Soedarsono. 2009. Karakter Mengantar Bangsa Dari Gelap Menuju Terang. Jakarta: Gramedia.
Sukarno. 1965. Di Bawah Bendera Revolusi. Jilid kedua, Cetakan ke-2. Jakarta: Di Bawah
Bendera Revolusi.
Soekarno. 1930. Indonesia Menggugat: Pidato Pembelaan Bung Karno Dimuka Hakim Kolonial
Tahun 1930. Jakarta: Departemen Penerangan RI.
Sudewo. 2012. Character Building Menuju Indonesia Baik. Jakarta: Gramedia.
Suherman, A. 2011. Realitas Kurikulum Pendidikan Jasmani: Upaya Menuju Kurikulum Berbasis
Penelitian. Cetakan Pertama. Bandung: RIZQI Press.
Sumaatmadja, N. 2005. Manusia Dalam Konteks Sosial, Budaya dan Lingkungan Hidup.
Bandung: CV. Alfabeta.
Undang-Undang Republik Indonesia no. 20. Tahun 2003. Tentang Sistem Pendidikan Nasional.
Jakarta: Depdiknas Ditjen Dikdasmen.

Herita Warni
597
598 Herita Warni
IMPLEMENTASI PENDIDIKAN KARAKTER
DALAM PENDIDIKAN JASMANI
Rahmadi
Universitas Lambung Mangkurat

ABSTRAK
Successful education is an education that achieves the emotional psychomotor is learning
objectives with the highest level of both cognitive and affective it is meant to relize the educational
objectives of the Indonesian nation devoted to the human nature, and character, as well as
intelligence and quality. The efforts to create students to be the such person have been conducted
including physical education. Based on the survey on the implementation of character education
through physical education the result was not as expected. The low level of implementation of
character building can be seen from the communication that has not been effective and efficient
especially the interactions that occur between teachers and learners in the learning process.
Therefore, it is necessary to improve communication skills is a physical education teacher in
the context of education.
Keywords: affective domain, character education, physical education, effective and efficient
communication.

I. PENDAHULUAN
Pendidikan adalah usaha sadar yang dilakukan untuk memberikan pengalaman bagi
setiap orang yang terlibat dalam kegiatan belajar mengajar. Pengalaman tersebut diberikan
secara umum ke dalam tiga domain yaitu kognitif, afektif, dan psikomotorik. UNESCO dalam
Internasional Charter of Psycologi Education of Sport, dalam Abdulkadir Ateng (1975) menyatakan:
“Pendidikan jasmani adalah suatu proses pendidikan seseorang sebagai individu maupun
sebagai anggota masyarakat yang dilakukan secara sadar dan sistematik melalui berbagai
kegiatan jasmani dalam rangka memperoleh peningkatan kemampuan dan keterampilan
jasmani, pertumbuhan kecerdasan dan pembentukan watak” (Kementerian Pendidikan
Nasional 2011: 42).
Kata pendidikan jasmani diambil dari terjemahan bahasa asing, yakni physical
education. Adapun physical education menurut Barrow dan McGee (1979: 6) bahwa “physical
education may be defined as an education through the physical where many of educational
objectives are achieved by means of big muscle-play activities”. Jadi menurut Barrow dan
McGee pendidikan jasmani itu adalah pendidikan yang proses pembelajarannya lewat aktivitas

Rahmadi
599
fisik dan di dalamnya juga terdapat aspek sosial dan mental yang sama pentingnya dengan
aspek fisik. Menurut Nixon dan Jewett (1980) dalam Vendien dan Nixon (1985: 15) physical
education adalah:
“…the art and science of voluntary, purposeful human movement. It focuses on selective
aspects of the realm of experiences in voluntary, purposeful human movements. The
physical educator basically is interested in all human movements, but because this
(term) is so encompassing, formal studies and program of physical education today
are generally concentrated in movement designated by such terms as sport, dance,
gymnastics, aquatics, and exercise”.
Menurut Nixon dan Jewett, pendidikan jasmani adalah sumbangan dari seni dan ilmu
pengetahuan yang dimaksudkan yaitu gerak manusia. Guru pendidikan jasmani pada dasarnya
tertarik tentang seluruh gerak manusia seperti olahraga, dansa, senam, olahraga di air, dan
latihan. Dengan kata lain, pendidikan terjadi melalui aktivitas kejasmanian yaitu bergerak atau
gerakan. Gerakan yang mengandung pembelajaran adalah gerakan yang direncanakan secara
sistematis dalam upaya mencapai tujuan tertentu. Melalui gerakan dalam pendidikan jasmani
guru dapat mengembangkan tujuan untuk meningkatkan kepercayaan diri, sosialisasi yang
positif, dan pendidikan karakter (Gallahue, 1996: 7).
Menurut Stilwell (1997: 24) pendidikan jasmani dan olahraga merupakan hak asasi
seseorang, kebebasan untuk mengembangkan kejasmanian, mental, moral, dan dijamin dalam
sistem pendidikan serta berbagai aspek kehidupan sosial. Bahkan UNESCO pada konferensi
di Paris pada tanggal 21 November 1978 telah terlebih dahulu melahirkan International Character
of Physical Education and Sport yang salah satu rekomendasinya menyebutkan bahwa
pendidikan jasmani dan olahraga merupakan hak asasi bagi setiap manusia dan menjamin
kesejahteraan bagi pelakunya.
R.M Soeryadi Soeryaningrat (Ki Hadjar Dewantara) berpendapat bahwa Pendidikan
merupakan daya upaya untuk memajukan bertumbuhnya budi pekerti (kekuatan batin, karakter),
pikiran (intellect), dan tubuh peserta didik (Kementerian Pendidikan Nasional 2011: 7). Lebih
ditegaskan lagi oleh Ratna Megawangi (2004: 78) bahwa sebuah pendidikan yang berhasil
adalah yang dapat membentuk manusia-manusia berkarakter yang sangat diperlukan dalam
mewujudkan sebuah negara kebangsaan yang terhormat. Seperti halnya yang diinginkan oleh
Socrates 2400 tahun lalu tentang hakekat tujuan pendidikan, yaitu untuk membuat seseorang
menjadi good and smart. Manusia terdidik seharusnya menjadi orang yang cerdas dan bijak,
yaitu dapat menggunakan ilmunya untuk berbuat kebajikan, dan dapat hidup selaras dengan
lingkungannya. Ki Hadjar Dewantara dalam Haryanto (2010: 6) mengatakan bahwa “Pendidikan
ialah usaha kebudayaan yang bermaksud memberi bimbingan dalam hidup tumbuhnya jiwa
raga anak agar dalam kodrat pribadinya serta pengaruh lingkungannya, mereka memperoleh
kemajuan lahir batin menuju ke arah adab kemanusiaan. Sedang yang dimaksud adab
kemanusiaan adalah tingkatan tertinggi yang dapat dicapai oleh manusia yang berkembang
selama hidupnya yaitu dalam upaya mencapai kepribadian.
Pembentukan watak adalah bagian dari pengembangan afektif mempunyai tujuan
dan berpusat pada individu dan kelompok, termasuk di dalamnya tentang sikap dan nilai sebagai
Rahmadi
600
anggota masyarakat. Dalam bahasa atau istilah yang digunakan sekarang ini adalah
pembentukan karakter. Penanaman nilai-nilai karakter diimplementasikan dalam semua
aktivitas di sekolah. Salah satu aktivitas di sekolah adalah belajar melalui pendidikan jasmani
olahraga dan kesehatan (PJOK). Aktivitas pendidikan jasmani merupakan suatu usaha yang
unik untuk pengembangan karakter, karena pendidikan jasmani adalah suatu proses
pembelajaran yang belajarnya ketika “melakukan”, sehingga karakter setiap peserta didik lewat
perilakunya akan sangat tampak.
Istilah karakter secara harfiah berasal dari bahasa Latin “charakter”, yang antara lain
berarti: watak, tabiat, sifat-sifat kejiwaan, budi pekerti, kepribadian atau akhlak. Sedangkan
secara istilah, karakter diartikan sebagai sifat manusia pada umumnya dimana manusia
mempunyai banyak sifat yang tergantung dari faktor kehidupannya sendiri. Karakter merupakan
nilai-nilai perilaku manusia yang berhubungan dengan Tuhan Yang Maha Esa, diri sendiri,
sesama manusia, lingkungan, dan kebangsaan yang terwujud dalam pikiran, sikap, perasaan,
perkataan, dan perbuatan berdasarkan norma-norma agama, hukum, tata krama, budaya, dan
adat istiadat. Karakter dapat juga diartikan sama dengan akhlak dan budi pekerti, sehingga
karakter bangsa identik dengan akhlak bangsa atau budi pekerti bangsa. Bangsa yang berkarakter
adalah bangsa yang berakhlak dan berbudi pekerti, sebaliknya bangsa yang tidak berkarakter
adalah bangsa yang tidak atau kurang berakhlak atau tidak memiliki standar norma dan perilaku
yang baik.
Menurut Kamus Lengkap Bahasa Indonesia, karakter adalah sifat-sifat kejiwaan, akhlak
atau budi pekerti yang membedakan seseorang dari yang lain, tabiat, watak. Berkarakter
artinya mempunyai watak, mempunyai kepribadian. Dali Gulo dalam karya tulis Krisnawan S.R
(2010:3) menyatakan bahwa karakter adalah kepribadian ditinjau dari titik tolak etis atau moral,
misalnya kejujuran seseorang; biasanya mempunyai kaitan dengan sifat-sifat relatif tetap. M.
Furqon (2009) dalam Krisnawan S.R (2010:3) juga menyatakan bahwa karakter adalah kualitas
atau kekuatan mental atau moral, akhlak atau budi pekerti individu yang merupakan kepribadian
khusus yang membedakan dengan individu lain.
Pendidikan karakter dapat didefinisikan sebagai segala usaha yang dapat dilakukan
untuk mempengaruhi karakter peserta didik. Tetapi untuk mengetahui pengertian yang tepat,
dapat dikemukakan di sini definisi pendidikan karakter yang disampaikan oleh Thomas Lickona.
Menurut Lickona pengertian pendidikan karakter adalah suatu usaha yang disengaja untuk
membantu seseorang sehingga ia dapat memahami, memperhatikan, dan melakukan nilai-
nilai etika yang inti. Wanda Chrisiana (2005: 84) menyebutkan karakter yang menjadi acuan
seperti yang terdapat dalam The Six Pillars of Character yang dikeluarkan oleh Character Counts
Coalition ( a project of The Joseph Institute of Ethics) yaitu:
a. Trustworthiness, bentuk karakter yang membuat seseorang menjadi: berintegritas,
jujur, dan loyal.
b. Fairness, bentuk karakter yang membuat seseorang memiliki pemikiran terbuka
serta tidak suka memanfaatkan orang lain.

Rahmadi
601
c. Caring, bentuk karakter yang membuat seseorang memiliki sikap peduli dan
perhatian terhadap orang lain maupun kondisi sosial lingkungan sekitar.
d. Respect, bentuk karakter yang membuat seseorang selalu menghargai dan
menghormati orang lain.
e. Citizenship, bentuk karakter yang membuat seseorang sadar hukum dan peraturan
serta peduli terhadap lingkungan alam.
f. Responsibility, bentuk karakter yang membuat seseorang bertanggung jawab, disiplin,
dan selalu melakukan sesuatu dengan sebaik mungkin.

II. PERMASALAHAN
Fenomena yang terjadi dalam pendidikan jasmani adalah kurangnya penekanan
dalam mengimplementasikan pendidikan sikap dan perilaku peserta didik (domain afektif:
karakter) dalam pembelajaran, sehingga internalisasi penanaman karakter dan perilaku peserta
didik yang diharapkan dalam pembelajaran pendidikan jasmani olahraga dan kesehatan masih
belum sesuai harapan.

III. PEMBAHASAN
Kita sadar bahwa berkembangnya karakter peserta didik memerlukan dorongan dan
arahan pendidik, sebagai pendidik tentu kita akan terus berupaya menjadi motivator yang baik.
Sebab dengan dorongan dan arahan pendidik maka karakter peserta didik akan terbentuk.
Karakter peserta didik akan tumbuh dan berkembang seiring dengan bertambahnya usia.
Walaupun karakter pada dasarnya adalah bawaan sejak lahir, namun karakter juga dipengaruhi
oleh lingkungan dimana ia tinggal. Salah satunya yaitu sekolah, itulah mengapa sangat penting
ditanamkan pendidikan karakter di sekolah.
Dalam melaksanakan tugasnya guru dituntut untuk melakukan persiapan-persiapan
sebelum mengajar, salah satunya adalah persiapan untuk membuat skenario pembelajaran,
dalam hal ini guru pendidikan jasmani, olahraga dan kesehatan harus memiliki kemampuan
merencanakan, dan mengatur jalannya pembelajaran yang sesuai rencana agar pencapaian
tujuan belajar lebih terarah, terukur, efektif, dan efisien, karena pendidikan jasmani olahraga
dan kesehatan pada dasarnya berpotensi membangun karakter yang baik, namun juga
sebaliknya. Hal ini yang patut diwaspadai oleh pendidik seperti halnya yang dikemukakan oleh
Herita Warni (2013: 2) bahwa olahraga mempunyai potensi untuk membangun karakter baik,
tetapi disisi lain juga banyak sisi negatif yang menjadi kekhawatiran. Nilai kompetitif dalam
olahraga cenderung membuat orang melupakan perilaku baik, dan yang lebih mengkhawatirkan
adalah sisi negatif ini yang lebih muncul kepermukaan sehingga ada pendapat bahwa olahraga
cenderung menciptakan kekerasan.
Kemampuan pengajar dalam merencanakan dan mengelola proses pembelajaran
yang baik dan berkarakter akan menimbulkan dampak positif dalam proses pembelajaran.
Kegiatan belajar-mengajar akan berjalan lancar, peserta didik bersungguh-sungguh dan
termotivasi untuk mengikuti pembelajaran dan tidak kalah pentingnya sedikit demi sedikit karakter
Rahmadi
602
peserta didik akan terbentuk. Untuk mencapai tujuan yang telah dicanangkan dalam rencana
pembelajaran maka semua itu harus disampaikan dengan jelas dan tidak berbelit-belit melalui
komunikasi yang tuntas dan jelas sehingga peserta didik dapat mengerti, memahami, dan
menerapkan dalam keadaan tertentu atau dalam kehidupan sehari-hari.
Beberapa kemungkinan akibat penjelasan guru yaitu:
• Peserta didik mengerti, faham, dan mampu menerapkan dalam kehidupan sehari-
hari, hal ini terjadi bila pengajar mampu menjelaskan dan menyampaikan materi
dengan baik.
• Peserta didik mengerti dan faham namun tidak dapat menerapkan dalam kehidupan
sehari-harinya, hal ini terjadi bila pengajar kurang mampu menjelaskan dan
menyampaikan materi dengan baik.
• Peserta didik tidak mengerti, tidak faham dan tidak dapat menerapkan dalam
kehidupan sehari-hari, hal ini terjadi bila pengajar tidak mampu menjelaskan materi
dengan baik.
• Adapun hal-hal yang ditemukan berdasarkan hasil penelitian Anjas Rubianti (2013:
34-36) dapat dilihat sebagai berikut:

Nama Nama Guru KD (KTSP) Indikator Implementasi Keterangan


Sekolah Afektif (RPP) Pembelajaran

SMPN 13 Ahmad Kerjasama Kerjasama Tidak Indikator afektif (RPP) yang dibuat
Syarif, S.Pd Toleransi Toleransi dilaksanakan guru mengambil sikap kerjasama,
Memecahkan Keberanian (tidak ada toleransi, dan keberanian dari
masalah Tanggung penekanan kompetensi dasar (KTSP), guru juga
Menghargai jawab indikator menambahkan sikap tanggung jawab
teman Tekun afektif) dan tekun yang ingin dicapai dalam
Keberanian Disiplin indikator afektif (RPP). Guru tidak
menekankan sikap afektif yang ingin
dicapai dalam RPP.

SMPN 09 Hadi Kerjasama Kerjasama Percaya diri Indikator afektif yang dibuat dalam
Banjarbaru Saputera Toleransi Toleransi dan bentuk RPP oleh guru sesuai
S.Pd. Percaya diri Percaya diri menghargai dengan kompetensi dasar yang
Keberanian Keberanian lawan. ada di KTSP. Dalam pelaksanaan-
Menghargai Menghargai nya yang ditekankan oleh guru
lawan lawan adalah sikap percaya diri dan
Bersedia Bersedia menghargai lawan.
berbagi tempat berbagi tempat
dan peralatan. dan peralatan.

Muzin Disiplin Bekerjasama Disiplin, Disiplin, semangat, dan percaya diri


Muhtadi, Semangat dengan teman semangat, telah ditekankan (terlaksana) oleh
S.Pd Sportifitas satu kelompok. dan guru tetapi bukan karena dikondisikan
Percaya diri percaya diri. dan direncanakan dalam RPP karena
Dan kejujuran. Indikator afektif yang direncanakan
dengan kompetensi dasar dalam
KTSP tidak sama/sesuai.

Rahmadi
603
Suhaimi, Kerjasama Kerjasama Tidak Indikator afektif yang dibuat guru
S.Pd. Toleransi Toleransi dilaksanakan dalam bentuk RPP sesuai dengan
Percaya diri Percaya diri) (Tidak ada kompetensi dasar dalam KTSP,
Keberanian Keberanian penekanan guru menambahkan sikap disiplin
Menghargai Menghargai sikap afektif). tekun, dan ketelitian yang ingin
lawan lawan dicapai dalam indikator afektif RPP.
Bersedia Bersedia Dalm pelaksanaanya guru tidak
berbagi tempat berbagi tempat menekankan indikator afektif yang ingin
dan peralatan. dan peralatan dicapai.
Disiplin
Tekun
Ketelitian.

SMPN 01 Budi Toleransi Kerjasama Tidak Indikator afektif yang dibuat guru dalam
Banjarbaru Rahmat, Percaya diri Toleransi dilaksanakan bentuk RPP sesuai dengan kompetensi
S.Pd Keberanian Percayadiri (tidak ada dasar dalam KTSP, guru menambahkan
Menghargai Keberanian penekanan sikap disiplin, tekun, tanggung jawab
lawab Disiplin sikap afektif) dan ketelitian yang ingin dicapai dalam
Bersedia Tekun indikator afektif RPP. Dalam
berbagi tempat Tanggungjawab pelaksanaanya guru tidak menekankan
dan peralatan. Ketelitian dan melaksanakan afektif yang ingin
dicapai.
Anik Kerjasama Kerjasama Tidak Indikator afektif yang dibuat guru dalam
Lestari, Toleransi Toleransi dilaksanakan bentuk RPP sesuai dengan kompetensi
S.Pd Percaya diri Percaya diri (tidak ada dasar dalam KTSP. Dalam
Keberanian Keberanian penekanan pelaksanaanya Guru tidak
Menghargai lawan Menghargai sikap afektif) menekankandan melaksanakan sikap
Bersedia lawan afektif yang ingin dicapai di RPP.
berbagi tempat Bersedia
dan peralatan. berbagi tempat
dan peralatan.

Taufik Disiplin Disiplin Tidak Indikator afektif yang dibuat dalam


Hidayat, Tanggung jawab. Tanggung jawab dilaksanankan bentuk RPP oleh guru sesuai dengan
S.Pd Kerjasama (tidak ada kompetensi dasar yang ada di KTSP.
Percaya diri penekanan Guru juga menambahkan sikap
Keberanian. sikap afektif). kerjasama,percaya diri, dan
keberanian yang ingin dicapai dalam
idikator afektif RPP.Dalam
pelaksanaanya guru tidak
menekankan sikap afektif yang
direncanakan di RPP.

Berdasarkan data hasil survey tersebut, nilai-nilai afektif dalam rencana pelaksanaan
pembelajaran (RPP) poin indikator afektif yang dibuat guru secara garis besar sama dengan
yang diharapkan oleh kurikulum sebagaimana tertuang dalam Kompetensi Dasar (KD) Kurikulum
Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP). Adapun nilai-nilai yang ingin dicapai yaitu: nilai disiplin,
tekun, ketelitian, semangat, sportifitas, kejujuran, tanggung jawab, kerjasama, toleransi, percaya
diri, keberanian, menghargai lawan/ teman, bersedia berbagi tempat dan peralatan.
Domain afektif atau nilai moral atau yang biasa kita sebut nilai karakter adalah sifat
atau perilaku manusia pada umumnya dimana manusia mempunyai banyak sifat yang
tergantung dari faktor kehidupannya sendiri, baik berhubungan dengan Tuhannya, diri sendiri,

Rahmadi
604
sesama manusia, lingkungan, dan kebangsaan yang terwujud dalam pikiran, perkataan,
perasaan dan perbuatan/ sikap berdasarkan norma-norma agama, hukum, tata karma, budaya,
dan adat istiadat setempat.
Sekolah perlu bersungguh-sungguh dalam mengembangkan karakter yaitu: a. Karena
pendidikan karakter di lingkungan keluarga di rumah seringkali diabaikan oleh orang tua. b.
Sekolah tidak hanya bertujuan membentuk anak yang cerdas tetapi juga baik. c. Kecerdasan
anak hanya bermakna manakala dilandasi dengan kebaikan. d. Karena membentuk karakter
anak didik agar berkarakter tangguh bukan sekedar tugas tambahan bagi guru, melainkan
tanggung jawab yang melekat pada perannya sebagai seorang guru (Saptono 2011: 24).
Pendidikan karakter adalah upaya yang dilakukan dengan sengaja untuk
mengembangkan karakter baik (good character) berlandaskan kebajikan-kebajikan inti (core
virtues) yang secara objektif baik bagi individu maupun masyarakat (Saptono 2011: 23). Adapun
pendidikan karakter atau belajar membangun karakter dapat dilakukan melalui berbagai media
yang mencakup keluarga, satuan pendidikan, dan masyarakat. Begitu penting peran pendidikan
dalam pembentukan karakter.
Nuh (2011) dalam Kementerian Pendidikan Nasional (2011: 15) mengatakan:
Pendidikan karakter mempunyai makna lebih tinggi dari pendidikan moral, karena bukan sekedar
mengajarkan mana yang salah, lebih dari itu pendidikan karakter menanamkan kebiasaan
(habituation) tentang hal baik, sehingga peserta didik menjadi faham (Domain kognitif) nilai
yang baik dan salah, mampu merasakan (Domain afektif) nilai yang baik dan biasa
melakukannya (Domain perilaku). Jadi pendidikan berkarakter terkait erat dengan kebiasaan
(habit) yang terus menerus dipraktikkan atau dilakukan.
Hasil penelitian Anjas Rubianti (2013: 34-36) menunjukkan bahwa guru pendidikan
jasmani olahraga dan kesehatan belum mengimplementasikan dan menginternalisasikan
nilai-nilai afektif dengan baik. Pendidikan jasmani olahraga dan kesehatan adalah suatu mata
pelajaran wajib di setiap jenjang pendidikan. Melalui PJOK ini bukan hanya nilai disiplin saja
yang dapat diinternalisasikan tetapi semua nilai-nilai afektif positif yang dikehendaki oleh agama,
budaya maupun adat istiadat. Pembangunan karakter peserta didik sejak dini sangat penting
karena akan berpengaruh terhadap pribadinya dimasa akan datang sebagaimana yang
diungkapkan oleh Ratna Megawangi (2004: 21) bahwa karakter yang berkualitas perlu dibentuk
dan dibina sejak usia dini, usia ini merupakan masa kritis bagi pembentukan karakter seseorang.
Kegagalan penanaman karakter pada seseorang sejak usia dini akan membentuk pribadi
yang bermasalah dimasa dewasanya kelak.
Kemampuan seorang pendidik dalam merencanakan dan melaksanakan proses
pembelajaran yang baik akan menimbulkan dampak positif dalam proses pembelajaran.
Kegiatan belajar-mengajar akan berjalan dengan lancar, peserta didik bersungguh-sungguh
dan termotivasi untuk mengikuti pembelajaran dan tidak kalah pentingnya sedikit demi sedikit
karakter peserta didik akan terbentuk. Untuk mencapai semua tujuan tersebut tentunya
pelaksanaan pembelajaran harus disampaikan dengan jelas dan tidak berbelit-belit sehingga
peserta didik dapat mengerti, memahami, dan menerapkan dalam keadaan tertentu atau dalam
kehidupan sehari-hari.
Rahmadi
605
Berdasarkan data hasil pengamatan tersebut kebanyakan dari guru tidak secara
langsung menyampaikan poin-poin dari nilai-nilai karakter yang ingin dicapai. Dalam pendidikan
jasmani olahraga dan kesehatan guru cenderung berkomunikasi secara non-verbal seperti
menggunakan tepukan tangan atau bahkan hanya menggunakan peluit. Padahal komunikasi
adalah hal paling mendasar dalam menginternalisasikan nilai-nilai karakter.

IV. SIMPULAN
Implementasi pendidikan karakter untuk menyampaikan nilai-nilai afektif dalam
pendidikan jasmani olahraga dan kesehatan masih belum menggunakan komunikasi yang
jelas dan tuntas sehingga kemungkinan peserta didik mengerti dan faham serta dapat
menerapkan dalam kehidupan sehari-hari masih sangat rendah. Peserta didik memang
mengikuti dan melaksanakan tugas pembelajaran dari guru namun belum tentu semua peserta
didik mengerti dan faham apa yang ingin dicapai dari aktivitas belajar tersebut, karena komunikasi
yang tidak tuntas. Oleh sebab itu seharusnya guru mampu mengaplikasikan hal-hal yang
menjadi tujuan indikator afektif dan pandai berkomunikasi dengan baik sehingga peserta didik
memahami dan mengerti pembelajaran yang dilakukan. Hal ini juga harus dilakukan secara
berulang-ulang agar menimbulkan kebiasaan baik dalam diri peserta didik.

DAFTAR PUSTAKA
Anjas, Rubianti. 2013. Penerapan Pendidikan Berkarakter Lewat Pendidikan Jasmani Olahraga
Dan Kesehatan Di Sekolah Menengah Pertama Negeri Kota Banjarbaru. Banjarbaru:
Program Studi Pendidikan Jasmani Kesehatan dan Rekreasi FKIP Unlam.
Barrow, M Harold and McGee, Rosemary. 1979. A Practical Approach to Measurement in Physical
Education. (Philadelphia: Lea & Febiger, 1979), h.6.
David L. Gallahue, Developmental Physical Education for Today’s Children, 3nd ed (Dubuque,
IA: Brown and Benchmark, 1996), h. 7.
Haryanto. 2010. Pendidikan Karakter menurut Ki Hadjar Dewantara.

Jim, Stilwell, Carl E. Willgose, The Physical Education Curriculum, 5th ed (Illinois : Waveland
Press, 1997), h. 24.
Kementerian Pendidikan Nasioanal. 2011. Pendidikan Karakter pada Pendidikan Jasmani,
Olahraga dan Kesehatan. Jakarta: Direktorat Jenderal Pendidikan Dasar.
Krisnawan SR. 2010. Penerapan Metode Lesson Study dalam Pembentukan Pendidikan yang
Berkarakter. Surakarta: FKIP UNS.
Megawangi, Ratna. 2004. Pendidikan Karakter Solusi Yang Tepat Untuk Membangun Bangsa.
Start Energy (kakap) Ltd: Jakarta.

Rahmadi
606
Warni, Herita. 2013. “Transformasi Karakter Tangguh dalam Proses Pembinaan Olahraga
Prestasi”. Disertasi SPs Program Studi Umum Sekolah Pasca Sarjana Universitas
Pendidikan Indonesia Bandung.
UNESCO Charter of Physical Education and Sport (Paris: General Conference, 21 Nopember
1978), h. 1.
Vendien, C Lynn and Nixon, John E. (1985). Physical Education Teacher Education: Guidelines
for Sport Pedagogy. (Canada: John Wiley & Sons, Inc., 1985), h. 15.
Wanda Chrisiana. 2005. Upaya Penerapan Pendidikan Karakter Bagi Mahapeserta didik (Studi
Kasus di Jurusan Tehnik Industri PK Petra). Surabaya: Jurusan Tehnik Industri Fakultas
Tehnologi Industri UNiversitas Kristen Petra Surabaya.

Rahmadi
607
Rahmadi
608
BAB VI
PENDIDIKAN KARAKTER
PERSPEKTIF ILMU
PENDIDIKAN

Bab VI: Pendidikan Karakter Perspektif Ilmu Pendidikan


609
Bab VI: Pendidikan Karakter Perspektif Ilmu Pendidikan
610
PERAN KETAULADANAN STAKEHOLDERS YANG KOMPAK MENJADI
BAROMETER PERCEPATAN PENCAPAIAN KEBERHASILAN
PENDIDIKAN KARAKTER UNGGUL BAGI ANAK
Acep Supriadi
Universitas Lambung Mangkurat

ABSTRAK
Percepatan pencapaian keberhasilan pendidikan karakter tidak semata diajarkan di sekolah,
tetapi lebih banyak dibina, dikembangkan, dipelajari/dikaji, diarahkan, dan dicontohkan secara
nyata. Tanggung jawab pembelajaran tidak hanya diberikan kepada guru atau pihak tertentu
saja seperti pihak sekolah, orang tua (keluarga), anggota masyarakat, dan atau profesi-profesi
tertentu. Keberhasilan pendidikan karakter di sekolah pada dasarnya sangat ditunjang oleh
keterkaitan peran tauladan semua komponen masyarakat sekolah secara integratif sebagai
bagian dari lingkup masyarakat umum. Semua komponen sekolah seperti peran kepala sekolah,
guru, staf sekolah, siswa, orang tua dan masyarakat, serta seluruh instansi terkait (stakeholders)
turut andil dalam menunjang percepatan pencapaian keberhasilan itu. Kesadaran untuk
bersinergi yang harmonis antar semua pihak yang bertanggung jawab sangat diperlukan, tidak
ada lagi saling menekan, menumpukkan, menyalahkan, menuding, dan membiarkan satu
sama lain. Tulisan ini membahas tentang pentingnya peran seluruh komponen masyarakat
sekolah dan luar sekolah secara bersamaan. Diharapkan hasil tulisan ini memberikan manfaat
kepada selain guru dan seluruh stakeholders tentang pentingnya peran ketauladanan semua
pihak untuk percepatan pencapaian keberhasilan pendidikan karakter unggul bagi anak.
Kata Kunci: peran, ketauladanan, stakeholders, percepatan, keberhasilan, pendidikan, karakter.

I. PENDAHULUAN
Pendidikan bukan saja merupakan aset berharga yang dimiliki seseorang sebagai
individu, tetapi sebenarnya merupakan modal kekayaan bangsa yang utama. Bangsa ini tidak
akan maju pesat dan gemilang tanpa ditunjang dengan kekayaan individu sebagai sumber
daya manusia yang berkarakter khas bangsanya sendiri sebagai jatidiri. Karakter merupakan
permasalahan muatan inti dalam visi idealisme pendidikan yang mendasar yang semestinya
dijadikan pedoman bagi semua guru di sekolah. Karakter ideal adalah nilai unggul yang dicita-
citakan bangsa ini sudah digambarkan secara eksplisit dan jelas didalam Undang-Undang
Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (sisdiknas), pasal 3 menyebutkan
fungsi pendidikan bahwa: “Mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta
peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan bangsa; berkembangnya

Acep Supriadi
611
potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertaqwa kepada Tuhan Yang
Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara
yang demokratis, serta bertanggung jawab.” Esensi dari harapan ini merupakan mimpi besar
(big dream) yang semestinya menjadi roh semua jenjang pendidikan di sekolah Indonesia,
terutama dalam proses pembelajaran di kelas oleh guru yang bersangkutan. Praktiknya sangat
kompleks dan tidak semudah membalik telapak tangan. Keterlibatan banyak pihak, sifat
keterbukaan, kreatifitas, kemandirian, dan penentuan pendekatan yang tepat sangat dibutuhkan,
terutama dalam upaya percepatan pencapaian keberhasilan pendidikan karakter.
Penggunaan istilah karakter dalam kehidupan sehari-hari manusia banyak digunakan
dalam berbagai konteks. Pada konteks penerbitan surat kabar, karakter berhubungan dengan
huruf dalam kalimat. Konteks bidang seni akting, karakter berhubungan dengan peran pemain.
Dikaitkan dengan konteks kejiwaan manusia (innerself), karakter merupakan bagian yang sangat
penting dari keseluruhan sosok seorang manusia. Karakter itu melekat dan dibawa menyatu
dalam diri setiap manusia kemanapun yang bersangkutan berada. Jika manusia kehilangan
karakter maka orang tersebut akan kehilangan jatidiri kekhasannya, tidak mempunyai
kehormatan, harga diri, dan nilai unggul dan tidak menjadi manusia mulia lagi. Asal muasal
kata karakter diambil dari bahasa Yunani, berarti menandai (to mark) yaitu menandai tingkah
laku seseorang. Istilah dalam bahasa Prancis menjadi caratere, selanjutnya pada abad ke-14
mulai dipakai istilah dalam bahasa Inggris yaitu character. Akhirnya di Indonesia ditulis menjadi
karakter. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (2005) karakter diartikan sebagai sifat-sifat
kejiwaan, akhlak atau budi pekerti yang menjadi ciri khas seseorang.
Karakter menurut Encyclopedia of Pcychology didefinisikan bahwa: “Character as the
habitual mode of bringing into harmony the tasks presented by internal demands and by the
external world, it is necessarily a function of the constant, organized, and integrating part of the
personality which is called ego”. Hernowo (2004) memaknai karakter adalah watak, sifat, atau
hal-hal sangat mendasar yang terdapat pada diri seseorang sebagai tabiat, akhlak, atau budi
pekerti yang dapat membedakan seseorang dengan yang lain dan menjadi ciri khas perilaku
keseharian. Al-Ghazali (2002) mengartikan akhlak merupakan sifat yang tertanam dalam jiwa
yang melahirkan berbagai macam perbuatan dengan mudah tanpa memerlukan pemikiran
dan pertimbangan. Anis Matta (2006) menjelaskan, akhlak adalah nilai yang telah menjadi
sikap mental yang mengakar pada jiwa, lalu tampak dalam bentuk tindakan dan perilaku yang
bersifat tetap, natural, dan refleks. Kata lain, bahwa karakter merupakan sifat bawaan alamiah
seseorang yang pembentukannya sangat dipengaruhi oleh lingkungan dan pengaruh orang-
orang disekitar secara berulang, baik disadari atau tidak sehingga menjadi kebiasaan nyata.
Permasalahan pendidikan karakter di sekolah-sekolah kita nampaknya tidak jelas
bahkan tidak nyambung dengan cita-cita besar bangsa ini. Tujuan pendidikan nasional dengan
misi pembelajaran oleh guru di kelas seolah terputus tidak ada kesesuaian. Pendidikan kita
nampaknya sudah kehilangan jati diri bangsa yang luhur, tidak bermartabat, dan tidak religius
lagi. Fenomena ini dapat dilihat dari maraknya kejadian dekadensi moral di masyarakat seperti
perkelahian/tawuran, pemerkosaan, pembunuhan, saling hujat, fitnah, narkoba, korup, dan
lain-lain perilaku negatif yang pelakunya adalah para pelajar dan mahasiswa bahkan orang

Acep Supriadi
612
dewasa. Permasalahan ini dipertajam lagi dengan kondisi kebingungan mereka menyikapi
suatu pilihan terbaik dan tepat untuk dijadikan panutan hati, baik di sekolah maupun di luar
sekolah yang serba kacau (chaos) saling menuding, menekan, menjatuhkan, dan menyalahkan
satu sama lain. Kenyataan di sekolah, masalah pembentukan karakter seolah menjadi tanggung
jawab guru semata dan selama ini guru satu-satunya sosok yang dipaksakan untuk digugu dan
ditiru. Akhirnya berdampak pada kegagalan dalam percepatan pencapaian keberhasilan
pembentukan karakter itu sendiri, dan pengaruhnya terhadap anak menjadi kelimpungan,
teler, dan frustrasi karena kepanikan dan kehilangan figur yang semestinya banyak dicontoh/
ditauladani oleh mereka.

II. MASALAH
Kenyataan di masyarakat pendidikan karakter di sekolah belum sepenuhnya mengacu
pada karakter yang diharapkan dalam tujuan pendidikan nasional dan guru nampaknya belum
sepenuhnya mampu memahami, memaknai, dan mengimplementasikan cita-cita besar bangsa
ini ke dalam butir-butir pembelajaran di kelas secara nyata, kreatif, mandiri, profesional, dan
bertanggung jawab. Pandangan lain, dinyatakan salah bahwa guru merupakan satu-satunya
orang yang dianggap paling bertanggung jawab terhadap pembentukan karakter anak di sekolah
secara terpisah (sparated). Selama ini guru sudah mengajarkan pendidikan karakter namun
kebanyakan masih seputar tataran teori dan konsep, belum sampai ke ranah metodologi dan
aplikasinya dalam kehidupan. Idealnya dalam setiap proses pembelajaran mencakup aspek
konsep (hakikat), teori (syariat), metode (tarikat), dan aplikasi (makrifat). Kurikulum pendidikan
karakter di sekolah belum disampaikan oleh guru secara komprehensif dan masih menekankan
pada mata pelajaran tertentu seperti PPKn dan agama, sehingga belum bermakna, efektif, dan
menyentuh. Selama ini pendidikan karakter yang diberikan di sekolah menjadi sia-sia belaka
dan tidak bermakna bagi anak.
Semua pihak yang semestinya memerankan diri sebagai pendukung dalam
keberhasilan penyelenggaraan pendidikan karakter ternyata belum sepenuhnya menyadari,
terlibat, dan melibatkan diri secara optimal. Mereka ini seyogianya memiliki tanggung jawab
dan peran yang besar untuk menggerakkan, mengarahkan, membimbing, melindungi,
membina, memotivasi, membantu, dan memberikan ketauladanan dibidang profesinya masing-
masing. Di sekolah, orang yang bertanggung jawab tentang hal ini adalah kepala sekolah
dengan kemampuan manajerial yang mumpuni; di kelas, orang bertanggung jawab adalah
guru yang profesional dan cerdas (smart) termasuk staf administrasi; di rumah, orang yang
bertanggung jawab adalah orang tua dan keluarga yang bijak dan demokratis; dan di mayarakat,
orang yang bertanggung jawab adalah seluruh stakeholders, para tokoh masyarakat, pemuka
agama, pejabat, pengusaha, dan profesi lain.
Masalah pendidikan karakter yang diterapkan di sekolah selama ini masih belum
efektif dan efisien, terbukti masih banyak terdapat kelemahan, kesalahpahaman, dan
kebingungan pandangan para ahli tentang pengimplementasian pendekatan yang baik dan
tepat terutama ditinjau dari sudut pandang pengelolaan pendidikan. Diantara mereka saling

Acep Supriadi
613
melimpahkan maupun melemparkan tanggung jawab bahkan terkesan ingin “cuci tangan”
belaka, terutama pada saat terjadi kegagalan dalam misi pembentukan karakter di sekolah
sebagai lingkup masyarakat kecil. Permasalahan pokok dalam pembahasan ini adalah
“Bagaimana caranya agar pendidikan karakter dapat mewujudkan percepatan pencapaian
karakter unggul pada anak di sekolah dan masyarakat?”

III. PEMBAHASAN
Pada hakikatnya setiap anak adalah baik dan disiplin. Hal ini terbukti dengan peristiwa
anak Indonesia yang berada di luar negeri pada umumnya mereka hidup sangat teratur dan
disiplin. Perbedaan perilaku itu tentu akan berbeda pada saat kita melihat karakter mereka saat
berada di lingkungan asal keseharian yang pertama membentuknya seperti di Indonesia. Akar
permasalahan terletak pada lingkungan sekitar mereka yang membentuknya sudah baik dan
serempak sudah mempunyai pola pikir berkesadaran yang sama, tidak terkecuali semua
kompak mempunyai tanggung jawab secara mandiri. Pada setiap orang dan terutama pada
anak, peniruan itu merupakan awal pembentukan karakter mereka dengan mencontoh. Secara
langsung mereka melihat, memilih, dan menentukan pilihan sesuai dengan selera melalui
simbol-simbol yang dapat mereka tangkap seperti warna yang mencolok, suara keras, dan
perbedaan lain yang tampak secara nyata. Pada masa anak secara teoritis menurut Insyirah
(2011) terutama diusia dini 0-6 tahun adalah fase paling berharga dan kritis bagi anak. Fase ini
disebut sebagai usia emas yang harus mendapatkan pengasuhan, perawatan, dan pendidikan
yang baik, tepat, dan menyeluruh sehingga anak akan lebih berkarakter kritis lagi dan cepat
tumbuh kembangnya.
Bila dipahami Renstra (Rencana Strategis) Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan
Tahun 2010-2014 telah mencanangkan penerapan pendidikan karakter untuk seluruh jenjang
pendidikan di Indonesia mulai tingkat Pendidikan Anak Usia dini (PAUD) sampai dengan
Perguruan Tinggi (PT) dalam sistem pendidikan di Indonesia. Berkaitan dengan pelaksanaan
Renstra pendidikan karakter tersebut maka sangat diperlukan kerja keras semua pihak, terutama
terhadap program-program yang memiliki kontribusi besar terhadap peradaban bangsa harus
benar-benar dioptimalkan sebagai pembentukan karakter (character building) dan pendidikan
karakter (character education). Ketauladanan semua pihak sangat menentukan percepatan
pencapaian karakter unggul anak secara mutlak dan universal.
Fenomena di masyarakat, pendidikan karakter seolah cukup dilimpahkan kepada
gurunya di sekolah dengan segala keterbatasan mereka. Menurut Listyarti (2012)
mengemukakan selama ini para guru sudah mengajarkan pendidikan karakter namun
kebanyakan masih seputar teori dan konsep, belum sampai keranah metodologi dan
implementasi dalam kehidupan nyata. Idealnya dalam setiap proses pembelajaran mencakup
aspek konsep (hakikat), teori (syariat), metode (tarikat), dan aplikasi (makrifat). Jika para guru
sudah mengajarkan kurikulum secara komprehensif seperti itu dalam setiap mata pelajaran
dan pendidikan karakter sudah terimplementasikan didalamnya, maka pendidikan karakter
akan lebih bermakna, efektif, dan menyentuh. Selama ini pendidikan karakter yang diberikan di

Acep Supriadi
614
sekolah-sekolah menjadi sia-sia belaka dan tidak maknawi bagi anak. Guru merasa kewalahan
dan memikul beban tanggung jawab yang berat, secara moral selama ini hanya pada guru
yang bersangkutan.
Muhammad Djakfar (2008) menjelaskan unsur-unsur yang terkandung dalam akhlak,
yaitu: (1) nilai yang telah tertanam dalam jiwa seseorang yang kemudian menjadi bagian dari
kepribadiannya; (2) perbuatan reflektif yang muncul secara otomatis; (3) perbuatan yang muncul
dari dalam diri seseorang tanpa ada tekanan atau paksaan; (4) perbuatan akhlak dilakukan
secara konsisten dan penuh komitmen, dan (5) perbuatan akhlak itu dilakukan secara ikhlas.
Membahas masalah karakter merupakan kajian strategis yang semestinya dipahami oleh guru
dan semua orang sebagai fokus perhatian, selanjutnya hasil dari kajian tersebut diterapkan
dalam proses pembinaan dan pengembangan moral didunia pendidikan terutama di sekolah.
Pemahaman karakter bukan semata berbicara tentang tabiat, akhlak, budi pekerti, dan nilai-
nilai baik semata, tetapi lebih dari permasalahan itu sesungguhnya karakter merupakan sifat
dasar kecerdasan etika yang dimiliki oleh setiap manusia melalui berbagai nilai ketaudanan.
Sifat dasar ini kemudian berkembang semakin pesat manakala seseorang
berkomunikasi, bergaul, dan bermasyarakat dalam hubungan kompleks keseharian dengan
seluruh komunitas di masyarakat tersebut. Secara lebih terkonsentrasi lagi karakter lebih banyak
berhubungan dengan masalah moral dan perilaku nyata yang menampak kepermukaan dimiliki
setiap orang sebagai ciri khas ketauladanan yang membedakan seseorang dengan orang lain
sebagai hasil proses bermasyarakat selama bergaul dengan lingkungannya masing-masing.
Kata lain, karakter akhirnya dapat dijadikan barometer gambaran kualitas moral seseorang di
masyarakat, seperti kualitas cerdas, demokratis, disiplin, sopan santun, religius, terdidik, disiplin,
dan lain-lain. Pembinaan kualitas moral individu dan masyarakat akan berkembang dengan
baik manakala ditunjang oleh tauladan semua pihak secara kompak dan terpadu yang diikuti
dengan nilai disiplin yang tinggi ditunjang dengan adanya kejelasan semua peraturan dan
ketentuan yang berlaku untuk ditaati dan diindahkan. Pengembangan pendidikan karakter
diperlukan prinsip-prinsip dasar yang dapat dijadikan landasan dan pijakan pemikiran dalam
menyelenggarakan pendidikan karakter agar berjalan efektif dan efisien. Prinsip dasar ini
memberikan arah kemana dan bagaimana seharusnya pendidikan karakter dilaksanakan di
sekolah-sekolah terutama untuk pendidikan dasar.
Sebelas prinsip pendidikan karakter ini kemudian oleh Bambang dan Adang (2008)
diurai menjadi 5 prinsip pendidikan karakter yaitu: (1) manusia adalah makhluk yang dipengaruhi
oleh dua aspek, pada dirinya memiliki sumber kebenaran dan dari luar dirinya ada juga dorongan
atau kondisi yang mempengaruhi kesadaran; (2) menganggap bahwa perilaku yang dibimbing
oleh nilai-nilai utama sebagai bukti dari karakter. Pendidikan karakter tidak meyakini adanya
pemisahan antara roh, jiwa, dan badan (perkataan, keyakinan, dan tindakan); (3) pendidikan
karakter mengutamakan munculnya kesadaran pribadi peserta didik untuk secara ikhlas
mengutamakan karakter positif; (4) pendidikan karakter mengarahkan peserta didik untuk
menjadi manusia ulul albab yang dapat diandalkan dari segala aspek, baik aspek intelektual,
afektif, maupun spiritual, dan (5) karakter seseorang ditentukan oleh apa yang dilakukan
berdasarkan pilihannya.

Acep Supriadi
615
Koesoema (2007) menyarankan enam prinsip pendidikan karakter di sekolah yang
dapat dijadikan sebagai pedoman agar mudah dimengerti dan dipahami oleh siswa dan setiap
individu yang bekerja dalam lingkungan pendidikan sekolah. Prinsip-prinsip tersebut adalah:
(1) karakter ditentukan oleh apa yang kamu lakukan, bukan apa yang kamu katakan atau kamu
yakini; (2) setiap keputusan yang diambil menentukan akan menjadi orang macam apa dirimu;
(3) karakter yang baik dilakukan dengan cara-cara yang baik; (4) jangan mengambil perilaku
buruk yang dilakukan oleh orang lain sebagai patokan, pilihlah patokan yang lebih baik dari
mereka; (5) apa yang kamu lakukan memiliki makna dan transformatif; dan (6) imbalan bagi
mereka yang memiliki karakter baik adalah kamu menjadi pribadi yang lebih baik.
Bertolak pada pandangan di atas, dikembangkan dari pendapat Fatah (2010) maka
pengelolaan pendidikan karakter di sekolah akan lebih baik, terarah, efektif, dan efisien dalam
penyelenggaraannya bila berpedoman pada prinsip-prinsip berikut:
Pertama, pendidikan karakter mempromosikan nilai etika yang baik (akhlak ul-karimah)
sebagai model karakter dasar yang akan ditanamkan pada anak melalui ketauladanan,
kepedulian, kejujuran, keadilan, tanggung jawab dan penghargaan terhadap diri dan lain-lain
yang perlu segera diajarkan untuk membentuk karakter anak yang baik.
Kedua, karakter harus didefinisikan secara komprehensif yang mencakup penalaran,
perasaan dan perilaku. Program pendidikan karakter yang efektif mencakup aspek kognitif,
emosional, dan psikomotor yang bertujuan untuk menumbuhkan pengertian, kepedulian, dan
tindakan berdasarkan nilai kebajikan atau akhlakul karimah.
Ketiga, pendidikan karakter yang efektif memerlukan pendekatan proaktif dan
komprehensif yang mempromosikan nilai-nilai inti dalam semua fase kehidupan sekolah.
Program pengembangan pendidikan karakter di sekolah harus didesain dan direncanakan
untuk mempengaruhi karakter siswa dengan langkah-langkah yang operasional, yang
komprehensif yang melibatkan seluruh aspek persekolahan, seperti ketauladanan, kedisiplinan
guru dan pegawai, kebijakan sekolah, kurikulum, metode pengajaran, hubungan dengan orang
tua, dan seterusnya.
Keempat, sekolah harus menjadi komunitas yang peduli pada tumbuhnya kebajikan.
Pengembangan pendidikan karakter, penciptaan lingkungan yang kondusif untuk tumbuhnya
nilai kepedulian dari semua warga sekolah, mulai kepala sekolah, guru, pegawai tata usaha,
dan staf keamanan dan kebersihan harus diciptakan, sehingga terjalin hubungan yang harmonis
diantara komunitas sekolah yang disemangati oleh rasa kepedulian, persaudaraan, dan
ketauladanan yang tinggi.
Kelima, untuk mengembangkan karakter siswa membutuhkan kesempatan untuk
melakukan tindakan moral. Sistem belajar paling baik bagi anak adalah memberikan banyak
kesempatan kepada mereka menerapkan nilai-nilai kebajikan dalam berinteraksi sehari-hari.
Sedapat mungkin mereka dilibatkan dan diikutsertakan dalam kehidupan nyata yang dapat
mengalihkan perhatian dan fokus pada aktivitas ketauladanan positif di sekolah. Pengembangan
pemahaman praktis tentang keadilan, kerjasama, dan rasa hormat merupakan bagian karakter

Acep Supriadi
616
unggul. Pemberian kesempatan yang berulang-ulang untuk melakukan tindakan moral tadi
akan menjadi kebiasaan yang membentuk karakter anak.
Keenam, pendidikan karakter yang efektif memberikan kebermaknaan dan menantang
kurikulum akademis yang menghormati semua pelajar dan membantu mereka berhasil.
Pendidikan karakter dan pembelajaran akademis tidak boleh dipahami sebagai bidang yang
terpisah, melainkan harus dipandang sebagai suatu hubungan yang kuat dan saling
mendukung. Suasana kelas yang terjalin hubungan penuh perhatian dan ketauladanan guru.
Siswa merasa senang dan dihormati oleh para guru dan sesama teman, siswa lebih cenderung
untuk bekerja keras untuk mencapai tujuan yang diharapkan. Setiap suasana dan peristiwa
yang terjadi menciptakan pola interaksi yang melahirkan timbal balik yang bermakna untuk
tumbuhnya kepedulian dan penghargaan terhadap setiap orang, yang memiliki beragam
perbedaan dan disampaikan pembelajaran kooperatif, pendekatan pemecahan masalah,
proyek-proyek berbasis pengalaman, dan sejenisnya merupakan salah satu cara yang paling
otentik untuk menghormati cara mereka belajar.
Ketujuh, pendidikan karakter harus berusaha mengembangkan motivasi intrinsik siswa.
Model pengembangan karakter yang baik adalah mengembangkan komitmen intrinsik siswa
untuk melakukan perilaku yang bermoral berdasarkan nilai-nilai keislaman. Mereka harus
berusaha mengurangi ketergantungan yang bersifat ekstrinsik, seperti motivasi untuk mendapat
imbalan dan takut mendapat hukuman. Pengembangan kurikulum akademik, motivasi intrinsik
semestinya dipelihara dalam setiap cara dan kesempatan. Hal ini dapat dilakukan dengan
membantu siswa dalam menghadapi tantangan dan memahami materi pelajaran, keinginan
untuk bekerjasama dengan siswa lain di sekolah atau komunitas mereka dengan kemasan
situasi yang menyenangkan.
Kedelapan, semua staf sekolah harus menjadi komunitas moral, semua memiliki
tanggung jawab untuk pengembangan pendidikan karakter. Ada tiga hal yang perlu diperhatikan,
yaitu: (1) semua staf sekolah, guru, administrator, konselor, dan pelatih ekstrakurikuler harus
terlibat aktif dalam mempelajari, berdiskusi dan mengambil berbagai upaya untuk
pengembangan pendidikan karakter, (2) nilai-nilai keislaman yang mengatur kehidupan siswa
harus mengatur juga kehidupan semua warga sekolah, dan (3) sekolah memberikan waktu
kepada staf untuk merefleksi tentang masalah-masalah moral melalui rapat staf dan kelompok-
kelompok pendukung yang lebih kecil.
Kesembilan, pendidikan karakter memerlukan kepemimpinan sekolah dan siswa yang
bermoral. Pengembangan pendidikan karakter dibutuhkan pemimpin yang mempunyai moral
yang baik dan bertanggung jawab dalam perencanaan, pelaksanaan, dan evaluasi program.
Siswa dilibatkan dalam peran kepemimpinan diantara mereka dalam pelaksanaan program
seperti pemantau karakter mandiri, evaluator mandiri, dan lain-lain.
Kesepuluh, sekolah melibatkan orang tua dan masyarakat sebagai mitra dalam upaya
pembentukan karakter anak. Orang tua adalah pihak pertama dan paling penting dalam
pendidikan karakter anak-anak mereka. Pihak sekolah berusaha membangun komunikasi
dengan orang tua untuk merumuskan visi, misi, dan tujuan yang menyangkut pengembangan
karakter, dan bagaimana keluarga dapat mendukung program tersebut.
Acep Supriadi
617
Kesebelas, evaluasi pendidikan karakter harus menilai karakter sekolah, fungsi semua
komponen sekolah sebagai pendidik karakter, dan sejauh mana siswa memanifestasikan
karakter yang baik. Pendidikan karakter yang efektif melakukan evaluasi untuk menilai kemajuan
dalam tiga hal yaitu: (1) karakter sekolah; sampai sejauhmana sekolah menjadi komunitas
yang lebih peduli dalam mengimplementasikan pendidikan karakter kepada anak; (2) semua
komponen sekolah sebagai pendidik karakter; sampai sejauhmana memiliki guru, staf, pegawai,
dan administrator memiliki pemahaman tentang apa yang dapat mereka lakukan untuk
mendorong pengembangan karakter; dan (3) karakter siswa, sejauhmana pemahaman,
komitmen, dan tindakan atas nilai-nilai kebaikan.
Keduabelas, tidak saja masalah keterlibatan semua komponen secara menyelurh,
tetapi lebih dari itu di masyarakat memerlukan kekompakan dalam menyikapi ketauladanan
semua permasalahan pendidikan karakter mempunyai kesadaran yang bulat untuk
berkomitmen secara penuh tanggung jawab. Efektivitas pelaksanaan sangat ditunjang oleh
berbagai peraturan hukum dengan sanksi yang jelas, tegas, dan berwibawa para pelaksananya.
Semua pihak berpegang pada peraturan dan ketentuan yang berlaku, tidak ada perlakuan
diskriminatif, dan berjalan tanpa harus diawasi seperti hubungan antara penjajah dengan
orang yang terjajah. Saling jujur/tidak korup, peduli, menghormati, dan menghargai satu sama
lain merupakan modal diri yang utama, semestinya dilakukan dengan tekad yang seksama
oleh setiap pribadi dan individu masing-masing.
Ketigabelas, pendidikan ketauladanan terutama bagi peserta didik di sekolah dasar
sangat efektif dalam upaya mengembangkan dan mengelola pendidikan karakter. Hakikat
pendidikan tauladan sebenarnya adalah pendidikan karakter yang paling ampuh dibinakan di
sekolah terutama untuk pendidikan dasar seperti SD atau pendidikan pra-sekolah seperti
Kelompok Bermain/TK/PAUD bahkan kalau mau jujur sejak di dalam kandungan ibu sudah
dibina. Guru adalah sosok ideal yang dijadikan ikon idola mereka, maka guru berperan sebagai
model pembelajaran langsung dimata peserta didik, semua mereka tiru dan mereka gugu.
Idealnya hampir jangan ada salah sedikit pun saat membelajarkan di depan mereka.
Karakter dasar anak yang perlu dikembangkan sejak usia dini adalah karakter yang
mempunyai nilai permanen dan tahan lama, yang diyakini berlaku bagi manusia secara universal
dan bersifat absolut (bukan bersifat relatif), yang bersumber dari agama-agama di dunia.
Keterkaitan dengan nilai moral absolut ini, Lickona menyebutnya sebagai “the golden role”.
Contoh “the golden role” adalah jujur, adil, mempunyai integritas, cinta sesama, empati, disiplin,
tanggung jawab, peduli, kasih sayang, dan rendah hati. Karakter dasar merupakan sifat fitrah
manusia yang diyakini dapat dibentuk dan dikembangkan melalui metode-metode pendidikan
tertentu, seperti pendidikan karakter. Konteks pengembangan pendidikan karakter,
penyelenggara pendidikan bisa saja merumuskan karakter dasar yang akan dikembangkan
disesuaikan dengan nilai-nilai bangsa atau agama tertentu, sehingga antara rumusan karakter
dasar yang satu dengan yang lain terjadi perbedaan. Hal ini sangat tergantung dari fokus nilai-
nilai yang menjadi prioritasnya dan latar belakang pendidikan, budaya, agama orang yang
memiliki komitmen pengembangan pendidikan karakter. Sehingga, nilai-nilai tersebut tidak
akan bertentangan apalagi melecehkan nilai-nilai yang dikembangkan orang lain.

Acep Supriadi
618
Karakter dasar yang telah dikembangkan oleh Megawangi (2007) melalui Indonesian
Heritage Foundation (IHF) didasarkan pada sembilan karakter dasar yang dijadikan tujuan
pendidikan karakter. Sembilan karakter dasar tersebut adalah: (1) cinta kepada Allah dan semesta
beserta isinya; (2) tanggung jawab, disiplin, dan mandiri; (3) jujur; (4) hormat dan santun; (5)
kasih sayang, peduli dan kerjasama; (6) percaya diri, kreatif, kerja keras, dan pantang menyerah;
(7) keadilan dan kepemimpinan; (8) baik dan rendah hati; dan (9) toleransi, cinta damai dan
persatuan. Living Values: An Education Program (LVEP) yang didukung oleh UNESCO dan
disponsori oleh Spanish Committee dari UNICEF, Planet Society, dan Brahma Kumaris, dengan
bimbingan dari Education Cluster dari UNICEF merumuskan konsep karakter dasar anak yang
harus dikembangkan. Karakter dasar tersebut ada dua belas, yaitu: kedamaian, penghargaan,
cinta, tanggung jawab, kebahagiaan, kerjasama, kejujuran, kerendahan hati, toleransi,
kesederhanaan, kebebasan, dan persatuan. Sedangkan Lickona menyebutkan karakter dasar
yang dikembangkan melalui pendidikan karakter ada sepuluh karakter yang disebut dengan
“Ten Essential Firtues”. Sepuluh kebajikan terpenting tersebut adalah: wisdom, justice, fortitude,
self-control, love, positive attitude, hard work, integrity, gratitude, dan humanity. Dalam konteks
pendidikan Islam, karakter atau akhlak yang ditanamkan kepada anak harus berlandaskan
pada dua dimensi kehidupan manusia yaitu dimensi ke-Tuhanan dan dimensi kemanusiaan.
Kedua dimensi itu dikembangkan untuk menumbuhkan karakter atau akhlak anak agar memiliki
rasa ketakwaan kepada Allah SWT dan rasa kemanusiaan sesama manusia.

IV. SIMPULAN DAN SARAN


4.1 Simpulan
Pendidikan karakter tidak semata diajarkan di sekolah, tetapi lebih banyak dibina,
dikembangkan, dipelajari/dikaji, diarahkan, dan dicontohkan secara nyata dalam semua aspek
kehidupan keseharian secara bersamaan dan harmonis oleh semua komponen pendidikan.
Tanggung jawab pengelolaan tidak hanya diberikan kepada orang-orang atau pihak tertentu
saja seperti pihak sekolah, orang tua (keluarga), anggota masyarakat, dan atau profesi-profesi
tertentu. Keberhasilan pendidikan karakter di sekolah pada dasarnya sangat ditunjang oleh
keterkaitan semua peran komponen masyarakat sekolah secara integratif sebagai bagian dari
lingkup masyarakat umum. Semua komponen sekolah seperti peran tauladan kepala sekolah,
guru, staf sekolah, siswa, orang tua dan masyarakat, serta seluruh instansi terkait (stakeholders)
turut andil dalam menunjang percepatan pencapaian keberhasilan itu. Kesadaran untuk
bersinergi yang harmonis antar peran tauladan semua pihak yang bertanggung jawab sangat
diperlukan, tidak ada lagi saling menekan, menumpukkan, menyalahkan, menuding, dan
membiarkan satu sama lain. Pendidikan karakter di sekolah merupakan tanggung jawab semua
peran tauladan secara bersama sebagai fenomena percontohan nyata yang dapat dilihat peserta
didik secara langsung, sehingga harus dipikirkan dan dikelola secara bersama, demokratis,
profesional, cerdas, dan melibatkan semua pihak. Contoh-contoh tauladan dari semua pihak,
baik dari orang tua (keluarga), guru, masyarakat, tokoh, pejabat, dan semua pihak merupakan
akar permasalahan percepatan keberhasilan pendidikan karakter tersebut.

Acep Supriadi
619
2. Saran
Pendidikan karakter akan berhasil diterapkan di sekolah, bila semua komponen
pendidikan saling bersinergi dan menyadari peran tauladan dan tanggung jawab dibidangnya
masing-masing.
Bagi peserta didik, mereka dimasa emas ini seyogianya hanya menginginkan sosok-
sosok panutan yang dapat ditauladani dalam hidup keseharian bagi setiap orang di bidangnya
masing-masing dan itu lebih bermakna.
Bagi guru, mereka adalah peran miniatur seseorang yang semestinya digugu dan
ditiru oleh semua peserta didik dan masyarakat. Seyogianya peran guru di kelas merupakan
sesuatu yang melambangkan ikon pencitraan nilai-nilai pendidikan yang semestinya diidolakan
oleh peserta didik sebagai tauladan dalam keseharian.
Bagi sekolah (kepala sekolah), seorang pemimpin yang mumpuni dalam
penyelengaraan pendidikan di sekolah. Seyogianya menunjukkan figur tauladan yang
bertanggung jawab secara manajerial dan mampu menghubungkan semua komponen
masyarakat sekolah secara utuh, memiliki komitmen yang tinggi, terutama dalam upayanya
mempengaruhi, menggerakkan, memberdayakan, dan mengendalikan semua.
Bagi staf sekolah, mereka merupakan bagian penting yang ikut menentukan tujuan
visi-misi sekolah. Upaya melaksanakan tugas adminstratif di sekolah seyogianya dilakukan
secara profesional, cepat, dan jujur. Pelayanan administrasi yang baik, cepat, dan tepat akan
memberikan kenyamanan dan kepuasan bagi peserta didik dan guru-guru.
Bagi orang tua (keluarga), dilihat secara siklus rantai dan tanggung jawab pendidikan
mereka merupakan salah satu bagian penting yang sangat dominan memberikan warna-
warni penanaman nilai-nilai pendidikan karakter kepada peserta didik di rumah (keluarga)
sebagai kelanjutan di sekolah. Seyogianya tingkat intensitas ketauladanan pemanfaatan waktu
orang tua dalam menanamkan nilai-nilai karakter peserta didik di rumah sangat tinggi
kontribusinya dan tidak terbatas ruang dan waktu. Praktik bahasa-bahasa cinta yang
menyejukkan sangat meneladani anak yang bersangkutan.
Bagi pemerintah, seyogianya semua komponen pejabat pemerintahan menunjukkan
dengan perilaku-perilaku jujur dan tidak korup dalam upaya mengemban tugas mulia mereka,
ditunjang dengan berbagai aturan yang mendukung dan jelas ke arah itu, amanah, dan akhlakul
karimah.
Bagi masyarakat (stakeholders), saling menyadari tanggung jawab dan fungsi perannya
masing-masing, bahwa keberadaan mereka bukan sekedar pelengkap tetapi justru penentu
keberhasilan pendidikan karakter bagi peserta didik di sekolah. Seyogianya seluruh komponen
masyarakat mampu memberikan kontribusi yang sangat berarti melalui berbagai contoh praktik
kehidupan dibidang keahlian masing-masing. Tauladan dan contoh-contoh praktik kehidupan
positif dan baik dari para tokoh, pemuka masyarakat, pejabat-pejabat yang bertanggung jawab,
dan lain-lain merupakan kunci keberhasilan pendidikan karakter di sekolah yang selama ini
diidamkan oleh semua masyarakat termasuk masyarakat akademik.

Acep Supriadi
620
DAFTAR PUSTAKA
Al-Ghozali, Imam. 2002. Ihya’Ulum al-Din, Juz III. Beirut: Dar al-Fikr.
Bambang, Q. dan Adang Hambali. 2008. Pendidikan Karakter Berbasis Al-Qur’an. Bandung:
Simbiosa Rekatama Media.
Djakfar, Muhammad. 2008. Etika Bisnis Islami; Tataran Teoritis dan Praktis. Malang: UIN Press.
Fattah, Nanang. 2006. Landasan Manajemen Pendidikan. Bandung: Remaja Rosdakarya.
Hernowo. 2004. Self Digesting: Alat Menjelajahi dan Mengurai Diri. Bandng: Mizan Media
Utama.
Insyirah. 2011. Permainan Tradisional Sebagai Media Sosialisasi Anak PAUD-NI Bagi
Keharmonisan Lingkungan. Jurnal Pendidikan Non Formal dan Informal 6, Edisi: Juni
2011:
Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan RI. 2010. Rencana Strategis (Renstra) Tahun 2010-
2014. Jakarta: Kemdikbud RI.
Koesoema, Doni. 2007. Pendidikan Karakter; Strategi Mendidik Anak di Zaman Global. Jakarta:
PT. Grasindo.
Listyarti, Retno. 2012. Pendidikan Karakter Dalam Metode Aktif, Inovatif, dan Kreatif. Jakarta:
Erlangga Group.
Lickona, Thomas. 2003. The Fourth And Fifth RS, volume 10. Corthland: School of Education.
Lickona, Thomas, et al. 2003. CEP’s Eleven Principles of Effective Character Education.
Washington: Character Education Partnership. Madjid, Nurcholis. 2000. Masyarakat
Religius: Membumikan Nilai-nilai Islam di Dalam Kehidupan Masyarakat. Jakarta:
Paramadina.
Matta. M. Anis. 2006. Membentuk Karakter Cara Islam. Jakarta: Al-I’tishom Cahaya Umat.
Megawangi, Ratna. 2007. Semua Berakar pada Karakter: Isu-isu Permasalahan Bangsa. Jakarta:
FE-UI.
Megawangi, Ratna. 2007. Character Parenting Space: Menjadi Orang Tua Cerdas Untuk
Membangun Karakter Anak. Bandung: Publishing House.
Undang-Undang RI Nomor 20 Tahun 2003 Tentang Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas).
Bandung: Citra Umbara.

Acep Supriadi
621
Acep Supriadi
622
ASESMEN PORTOFOLIO DALAM PEMBELAJARAN BERBASIS
KARAKTER DI SEKOLAH DASAR
Darmiyati
Universitas Lambung Mangkurat

ABSTRAK
Peningkatan mutu pendidikan tidak terlepas dari kemampuan guru dalam mengelola kegiatan
pembelajaran mulai dari merencanakan, melaksanakan dan memberikan penilaian. Karena
kalau ingin meningkatkan kualitas pendidikan harus diawali dengan perbaikan strategi
pembelajaran yang ditunjang dengan penilaian autentik (kelas) yang baik. Asesmen atau
penilaian merupakan kegiatan yang dapat dilaksanakan dalam proses pembelajaran yang
berupa tes dan non tes. Salah satu asesmen yang dapat dilaksanakan di kelas selain tes
adalah asesmen portofolio. Dikarenakan asesmen ini lebih mengutamakan penilaian proses
tidak hanya menilai hasil belajar siswa dalam pelaksanaan kegiatan pembelajaran. Asesmen
portofolio yang merupakan pengumpulan tugas-tugas yang berkaitan dengan dunia nyata agar
melatih keterampilan berpikir secara sungguh-sungguh, dan mendorong kerjasama yang baik
antara guru dengan siswa dan antara siswa dengan siswa. Asesmen ini dilaksanakan terintegrasi
dalam proses pembelajaran, dimana dalam melaksanakan kegiatan pembelajaran guru
hendaknya memasukkan nilai-nilai karakter dalam kegiatan pembelajaran sehingga dapat
mendidik siswa menjadi manusia yang memiliki kecerdasan juga membangun kepribadian
yang berakhlaq mulia untuk mencapai tujuan pendidikan nasional.
Kata Kunci : asesmen, portofolio, karakter

I. PENDAHULUAN
Pendidikan dasar merupakan salah satu faktor penentu utama keberhasilan pendidikan
nasional sehingga pendidikan dasar merupakan peletak dasar untuk memasuki jenjang
pendidikan berikutnya, dan juga merupakan basis yang sangat menentukan dalam pembentukan
sikap, pengetahuan dan keterampilan, serta kepribadian siswa. Atas dasar itulah upaya
meningkatkan mutu pendidikan dasar merupakan salah satu faktor penentu keberhasilan upaya
peningkatan mutu pendidikan nasional.
Peningkatkan mutu pendidikan tidak terlepas dari kualitas dan kemampuan guru dalam
mengelola kegiatan pembelajaran mulai merencanakan, melaksanakan, dan memberikan
penilaian. Karena kalau kita mau meningkatkan kualitas pendidikan berarti harus diawali dengan
perbaikan pembelajaran, perbaikan kegiatan pembelajaran dapat ditunjang dengan penilaian

Darmiyati
623
kelas yang baik. Pendidikan bukan hanya mendidik siswa menjadi manusia yang cerdas tetapi
juga membangun kepribadian yang berakhlak mulia. Pendidikan karakter merupakan salah
satu tujuan yang ingin dicapai dalam pendidikan nasional. Diantara tujuan pendidikan nasional
adalah mengembangkan potensi peserta didik untuk memiliki kecerdasan, kepribadian dan
akhlak mulia (Sisdiknas, 2009: 64).
Guru sebagai tenaga profesional, sebagai pengajar, sebagai pendidik, pembimbing,
sebagai fasilitator dalam kegiatan pembelajaran yang berhadapan langsung dengan siswa
yang mentransper ilmu pengetahuan dan teknologi sekaligus mendidik, memberikan nilai
positif melalui bimbingan, membentuk karakter siswa dengan baik dan membantu dalam
mengembangkan kepribadian baik dalam kegiatan pembelajaran maupun masalah yang ada
dalam kehidupannya. Untuk mencapai semua itu diperlukan adanya kurikulum.
Perubahan dan perkembangan kurikulum pendidikan di Indonesia mengalami
beberapa kali perubahan dari waktu ke waktu yang disebabkan karena kebutuhan masyarakat
yang selalu berkembang dan berubah. Kurikulum pendidikan yang saat ini terus disosialisasikan
adalah Kurikulum 2013 sebagai penyempurnaan dari kurikulum sebelumnya (KTSP 2006).
Perubahan dan perkembangan Kurikulum 2013 ini terdapat adanya kesenjangan
kurikulum dalam komponen penilaian, dimana pada saat ini penilaian lebih menekankan
pada aspek kognitif saja dan kurang bermuatan pada pendidikan karakter, dan tes merupakan
cara penilaian sering digunakan oleh guru, sedangkan penilaian non tes masih belum
terlaksana, khususnya penilaian portofolio. Idealnya penilaian itu harus memuat ketiga aspek
secara proporsional meliputi, kognitif, afektif, dan psikomotor, dimana penilaian tes dan portofolio
itu saling melengkapi.
Berdasarkan hasil pengamatan dan wawancara dengan guru di sekolah dasar yang
melaksanakan kurikulum baik KTSP maupun Kurikulum 2013, mereka menemui kesulitan,
kebingungan, dan malah malas melaksanakan penilaian non tes atau penilaian proses.
Walaupun pemerintah sudah memprogramkan berbagai pelatihan tentang penilaian,
memberikan tunjangan sertifikasi kepada guru-guru. Supaya guru-guru lebih terlihat aktif, kreatif
dan inovatif dalam melaksanakan kegiatan pembelajaran.
Adanya perubahan kurikulum memiliki konsekuensi kepada guru, karena guru
merupakan salah satu penentu keberhasilan dalam kegiatan pembelajaran. Konsekuensi itu
bukan hanya dalam kegiatan pembelajaran namun guru juga dituntut untuk merubah kebiasaan
melaksanakan kegiatan pembelajaran baik pendekatan, strategi, dan metode pembelajaran
serta cara penilaian yang dilaksanakan dari pelajaran yang terpisah-pisah. Kurikulum 2013
mengacu kepada perubahan pendekatan tematik terpadu berdasarkan pendekatan saintifik
melalui pengalaman belajar mengamati, menanya, mencoba, menalar, dan menyajikan.
Pelaksanaan penilaian hasil belajar siswa melalui 5 cara yaitu, (a) penilaian berbasis
kompetensi, (b) pergeseran dari penilaian tes (hasil saja), menuju penilaian otentik (mengukur
semua kompetensi sikap, keterampilan, dan pengetahuan berdasarkan hasil), (c) memperkuat
PAP (Penilaian Acuan Patokan) yaitu pencapaian hasil belajar didasarkan pada posisi skor

Darmiyati
624
yang diperolehnya terhadap skor ideal (maksimal), (d) penilaian tidak hanya pada level KD,
tetapi juga kompetensi inti dan SKL, dan (e) mendorong pemanfaatan portofolio yang dibuat
siswa sebagai instrumen utama penilaian (Kemdikbud, 2013).
Penilaian pembelajaran yang dilaksanakan di sekolah lebih dominan mengutamakan
aspek kognitif dan kurang bermuatan pendidikan karakter, sedangkan aspek sikap dan
keterampilan masih terabaikan. Guru lebih cenderung menggunakan tes sedangkan dalam
menggunakan penilaian lain berupa penilaian non tes. Dengan penilaian ini siswa langsung
dapat dipantau kegiatannya selama proses pembelajaran. Dimana penilaian tes dan
pemanfaatan penilaian portofolio dapat saling melengkapi.

II. PEMBAHASAN
2.1 Hakekat Asesmen Portofolio
Asesmen merupakan suatu alat penilaian yang dapat digunakan oleh guru untuk
membantu siswa mencapai tujuan kurikulum (Wele dan Coxfort,1993: 1). Aiken mengartikan
asesmen merupakan karakteristik seseorang dengan mengakses tingkah laku manusia dan
proses mental dapat dilakukan dengan cara observasi, interview, skala rating, check list, teknik
proyektif dan tes (Aiken, 1997: 454).
Lebih konkret lagi Nitko menyatakan bahwa asesmen merupakan proses pengumpulan
informasi yang dapat digunakan untuk membuat keputusan tentang siswa, kurikulum dan
program serta kebijakan dalam pendidikan, meliputi pengelolaan kelas, penempatan,
pemberian bimbingan dalam meningkatkan kemampuan belajar anak (Nitko, 1996: 4).
Pendapat lain dinyatakan oleh Bonnie memberikan pengertian bahwa asesmen
sebagai proses pengumpulan data, pencatatan dokumen penting dari perkembangan belajar
anak melalui penilaian autentik dengan berbagai pengukuran dalam konteks yang bervariasi
(Bonnie and Ruptic, 1994: 8).
Penilaian autentik sangat tepat dilaksanakan dalam kegiatan pembelajaran berbasis
karakter, menggunakan pendekatan tematik terpadu selain pemberian test dan ini sesuai dengan
tuntutan kurikulum 2013 khususnya di Sekolah Dasar. Mengingat pentingnya penilaian ini
dilaksanakan dalam kegiatan pembelajaran maka Majid menegaskan bahwa penilaian autentik
adalah proses pengumpulan informasi oleh guru tentang perkembangan dan pencapaian
pembelajaran yang dilakukan siswa melalui berbagai teknik yang mampu mengungkapkan,
membuktikan atau menunjukkan secara tepat bahwa tujuan pembelajaran dan kompetensi
telah benar-benar dikuasai dan dicapai (Majid, 2006: 186).
Penilaian autentik diindentikan dengan penilaian di kelas dan sangat erat
hubungannya dengan kegiatan pelaksanaan pembelajaran dimana penilaian dapat
dilaksanakan dengan melihat langsung terhadap apa yang dilaksanakan oleh siswa atau apa
yang dikerjakan oleh siswa. Tahap-tahap pelaksanaan penilaian autentik/ penilaian kelas
menurut (Stiggins & Chappuis, 2012) meliputi, (1) tentukan tujuan penilaian, (2) jabarkan target

Darmiyati
625
capaian dalam kurikulum, (3) rancangan pendekatan pembelajaran dan penilaian yang baik,
dan (4) pilih model mengkomunikasikan hasil yang tepat.
Penilaian autentik atau penilaian kelas sebagai salah satu penilaian yang
dikembangkan pada Kurikulum 2013 selain penilaian tes, penilaian ini dapat dilaksanakan
dalam proses kegiatan pembelajaran dengan berbagai teknik seperti penilaian unjuk kerja,
sikap, tertulis, proyek, portofolio, dan penilaian diri (Poerwanti, 2009: 1.13). Lebih tegas lagi
(Hardeng and Smith 1996: 112) menyatakan portofolio dalam hubungannya dengan penilaian
berbasis kelas merupakan salah satu teknik penilaian yang bersifat open ended, berupa kumpulan
data yang menggambarkan kinerja dan prestasi siswa.
Lebih tegas lagi (Tierney, 1991: 41) menyatakan bahwa portofolio merupakan koleksi
sistematis yang dibuat oleh siswa dan guru untuk menilai kegiatan proses, prestasi yang dapat
dipertanggung jawabkan.
Penilaian portofolio merupakan salah satu penilaian yang dapat digunakan oleh guru
dalam melaksanakan proses pembelajaran di kelas. Portofolio merupakan kumpulan hasil kerja
siswa yang menunjukkan, perkembangan dan kemampuan mereka dalam berbagai mata
pelajaran, meliputi partisipasi, seleksi, kriteria penilaian dan bukti refleksi diri (Paulson, 1991: 60).

2.2 Karakteristik Asesmen Portofolio


Portofolio sebagai kumpulan hasil karya siswa yang didokumentasikan dengan baik
memiliki karakteristik (Bloom, 1979: 18) meliputi (1) adanya kejelasan domain apa yang dinilai
, (2) tugas yang diberikan berhubungan dengan dunia nyata, (3) adanya kerja sama siswa dengan
guru secara kolaboratif, (4) dapat menilai siswa belajar secara multidimension, (5) memotivasi
siswa merefleksi diri, dan (6) penilaian ini bersifat integrated dalam proses pembelajaran.
Berdasarkan pendapat di atas sebelum kita melaksanakan penilaian terlebih dahulu
kita menentukan aspek yang akan kita nilai sesuai dengan pengetahuan, pemahaman, aplikasi
penerapan, analisis, sintesis dan evaluasi. Dilaksanakan melalui berbagai pertanyaan dalam
bentuk tugas-tugas yang menjadi pembeda dari teknik yang lainnya dan perlu adanya keterlibatan
siswa berkolaborasi dalam pelaksanaan pembelajaran.
Asesmen portofolio digunakan dengan memberikan tugas-tugas yang berkaitan
dengan kehidupan nyata. Hal ini dapat melatih keterampilan bepikir, dengan sunguh-sungguh,
sehingga dapat mengungkapkan dan menghubungkan pengalaman dan pengetahuannya.
Disamping itu asesmen portofolio dapat mendorong kerjasama secara kolaboratif antara siswa
dan guru. Hasil yang dinilai oleh guru selain individual, hasil kerja sama kelompok.
Asesmen portofolio tidak hanya menilai kemampuan siswa dalam menguasai isi
pengetahuan, lebih mengutamakan menilai proses belajar siswa dan menilai kemajuan belajar
siswa. Asesmen portofolio dapat melakukan refleksi diri terutama yang menunjukan kemapuan
berpikir kritis terhadap hasil karya, dimana guru membantu siswa mengoreksi kekurangan
dalam melaksakan tugas-tugas berupa tes maupun laporan dari praktikum.
Asesmen portofolio bersifat integreted dalam sistem pembelajaran dimana asesmen tidak
dapat dipisahkan dari sistem pembelajaran mulai dari merumuskan rancangan pembelajaran,

Darmiyati
626
penilaian proses dan hasil kinerja dan hasil pembelajaran siswa. Dengan adanya penilaian asesmen
ini dapat memberikan informasi balikan yang bermakna dalam meningkatkan hasil belajar siswa.
2.3 Prinsip Penilaian Portofolio
Prinsip-prinsip penilaian portofolio, yaitu (a) saling percaya, (2) keterbukaan, (3)
kerahasiaan, (4) milik bersama, (5) kepuasan dan kesesuaian, (6) budaya pembelajaran, (7)
refleksi, dan (8) berorientasi pada proses dan hasil (Sanjaya, 366.2008).
Secara sederhana, prinsip penilaian dapat dijelaskan sebagai berikut :
Saling percaya menunjukkan hubungan baik antara guru yang mengevaluasi dengan
siswa yang dievaluasi. Siswa harus memiliki rasa percaya terhadap penilaian yang dilakukan
kepadanya dengan tujuan melihat perkembangan dan pencapaian hasil belajar serta upaya
meningkatkan hasil belajar namun tidak meninggalkan proses belajar siswa.
Keterbukaan yang dimaksud adalah suasana/iklim belajar yang menyenangkan bagi
siswa dan guru sebagai pelaksana evaluasi tidak hanya memberi kritik atau nilai saja, akan
tetapi member pemahaman mengenai kritik dan nilai melalui argumentasi yang sesuai dengan
perkembangan siswa.
Kerahasiaan merupakan prinsip saling menjaga satu sama lain, antara guru dengan
siswa mengenai komentar terhadap hasil kerja siswa. Secara sederhana berupa guru
memberikan komentar kepada siswa dan tidak menginformasikan penilaian tersebut kepada
orang lain. Hal ini bertujuan untuk menjaga agar siswa tidak merasa pesimis karena nilainya
yang tidak baik dan tidak merasa bangga terhadap nilai terbaik yang siswa peroleh.
Milik bersama merupakan tanggungjawab antara siswa dengan guru mengenai
hasil dari portofolio sehingga baik guru maupun siswa harus menjaga hasil penilaian portofolio
secara baik. Karena ada suatu saat nanti hasil penilaian tersebut dapat berguna baik bagi guru
maupun bagi siswa.
Kepuasan dan kesesuaian merupakan suatu kondisi yang seimbang antara hasil
belajar siswa dengan penilaian yang diberikan terhadap hasil kerja siswa yang disesuaikan
dengan capaian kompetensi.
Budaya pembelajaran dapat diciptakan melalui kebiasan dalam belajar antara guru
dengan siswa dalam rangka meningkatkan hasil belajar siswa. Kebiasaan ini dilakukan tidak
hanya melihat hasil belajar siswa, melainkan juga melihat proses belajar siswa. Dalam budaya
pembelajaran, meningkatkan taraf pembelajaran dari taraf rendah menjadi taraf pembelajaran
yang lebih tinggi.
Refleksi secara prinsip pada penilaian portofolio merupakan penilaian yang memberi
kesempatan secara terbuka kepada siswa untuk mengingat kembali proses pembelajaran
yang telah dilakukan dengan tujuan siswa dapat mengetahui capaian perkembangan serta
kemampuan dan kelemahan siswa.
Berorientasi pada proses dan hasil merupakan penilaian portofolio yang pada
dasarnya adalah penilaian yang beracuan pada aspek perkembangan siswa, cara belajar,
motivasi, sikap dan minat sehingga penilaian portofolio tidak hanya pada hasil belajar tetapi
juga pada proses belajar.
Darmiyati
627
2.4 Jenis-Jenis Penilaian Portofolio
Portofolio sebagai kumpulan hasil kerja berupa tugas-tugas yang diberikan kepada
siswa secara individual yang disusun secara sistematis dan teratur dalam kegiatan
pembelajaran yang dilaksanakan dalam rangka melihat kemampuan dan kemajuan
perkembangan siswa baik aspek kognitif, afektif dan psikomotor. Menurut Muslich (2007 : 219)
portofolio dapat dibedakan menjadi tiga jenis, meliputi: portopolio perkembangan, portofolio
pamer dan portofolio komprehensif.
Portofolio perkembangan merupakan portofolio yang berisi koleksi atau kumpulan
hasil karya siswa yang memperlihatkan pertumbuhan dan perkembangan siswa dalam aspek
yang dipilih sesuai dengan materi yang diberikan, misalnya dalam menulis karangan, membuat
laporan praktikum dan lain sebagainya.
Portofolio pamer merupakan portofolio yang berisi kumpulan atau koleksi berupa hasil
karya siswa yang terbaik dalam proses pembelajaran untuk menilai pencapaian kompentensi
siswa. Hasil karya ini berupa karya nyata yang dibuat oleh siswa dan kemudian dipamerkan.
Misalnya dalam membuat kerajinan, melukis, dan lain-lain.
Portofolio komprehensif merupakan portofolio yang berisi kumpulan atau koleksi
seluruh hasil karya siswa yang dikumpulkan dan dipamerkan tanpa memandang hasil karya
yang terbaik atau tidak.
2.5 Langkah-Langkah Penilaian Portofolio
Ada beberapa langkah atau tahapan yang dilakukan dalam melaksanakan penilaian
portofolio, yaitu :
Tahap Persiapan yang difokuskan pada menentukan tujuan dari portofolio. Dengan
tujuan yang sudah ditentukan, maka proses pembelajaran akan fokus dan terarah sehingga guru
akan lebih mudah mengelola kegiatan pembelajaran. Dalam tahapan ini juga guru menentukan
isi dari portofolio yang disesuaikan dengan tujuan dari penilaian portofolio yang sudah ditentukan.
Selanjutnya adalah menentukan format dan kriteria penilaian bagi hasil kerja siswa.
Tahap Pelaksanaan ini guru memberikan contoh hasil kerja siswa yang harus dikerjakan
dan dilaksanakan dalam pembelajaran dengan memasukan pendidikan karakter dalam penilaian
portofolio meliputi cinta kepada Allah dan semesta beserta isinya, bertanggung jawab, disiplin
dan mandiri, percaya diri, keratif, kerja keras dan pantang menyerah, kerjasama, toleransi dan
menghargai karya orang lain. Harapannya dari pendidikan karakter akan lahir bangsa yang
bermartabat dan mampu bersaing, bersanding, serta bertanding dengan bangsa lain di era
globalisasi.
Selanjutnya guru mengumpulkan hasil kerja siswa dan melakukan pengelompokkan
dari hasil kerja siswa berdasarkan tujuan dan isi dari portofolio yang sesuai dengan tujuan dari
mata pelajaran yang sudah ditentukan. Guru tidak hanya mengumpulkan hasil kerja siswa,
melainkan mengontrol dan memantau perkembangan, kemajuan dan hasil belajar siswa serta
melakukan perbaikan terhadap berbagai kekurangan yang ada.

Darmiyati
628
Tahap Evaluasi merupakan tahapan yang sangat penting dimana guru memberikan
penilaian terhadap hasil kerja siswa yang disesuaikan penilaian portofolio meliputi : tujuan
pembelajaran, karakteristik perkembangan siswa, proses pembelajaran dan hasil belajar siswa.
Dengan format dan kriteria penilaian yang telah ditentukan sebelumnya. Dalam penilaian
portofolio kriteria yang ditentukan berdasarkan pada penilaian terhadap proses pembelajaran
dan penilaian terhadap hasil belajar siswa.
Penskalaan aspek yang dinilai sangat erat hubungannya dengan pemberian nilai
terhadap hasil kerja siswa. Dalam penilaian portofolio, penskalaan dilakukan dengan rubrik
yang ditentukan oleh guru berdasarkan tujuan pembelajaran dan disesuaikan keperluan
penilaian.
Tahap Presentasi merupakan tahap akhir yang dilakukan dalam penilaian portofolio.
Pada tahapan ini siswa bersama dengan guru memamerkan atau memperlihatkan hasil kerja
siswa.
2.6 Manfaat Asesmen Portofolio
Portofolio dapat bermanfaat bagi siswa, guru dan orang tua. Manfaat portofolio bagi
siswa antara lain siswa dapat melihat kembali perkembangan kemampuannya dalam proses
pembelajaran dan dapat merefleksi segala sesuatu yang telah siswa laksanakan dan yang
belum dilaksanakan serta kekurangan dan kelebihan hasil karya siswa, dan dapat
merencanakan perbaikan terhadap hasil karya siswa. Penilaian portofolio juga dapat
meningkatkan motivasi belajar siswa dengan melihat hasil karya yang dibuat oleh siswa lainnya
untuk mendapatkan hasil karya yang lebih baik.
Bagi guru, penilaian portofolio dan pelaporan terintegrasi dalam pelaksanaan kegiatan
pembelajaran, dimana guru dapat memberikan contoh tugas yang dapat dilakukan oleh siswa
sesuai dengan indikator yang ditentukan. Penilaian ini juga dapat mengetahui kekuatan dan
kelemahan siswa dalam pembelajaran serta menentukan perbaikan terhadap hasil belajar
siswa sehingga akan terlihat pencapaian kemajuan belajar siswa. Di sisi lain, dalam
pelaksanaan penilaian ini guru hendaknya memberikan komentar dan saran terhadap setiap
hasil kerja siswa
Sedangkan bagi orang tua, penilaian portofolio bermanfaat dalam mengetahui
tingkatan perkembangan dan kemampuan yang telah dicapai siswa dalam kegiatan
pembelajaran melalui hasil kerja siswa. Orang tua dapat terlibat secara aktif dalam mengontrol
dan memantau proses belajar siswa serta memberikan komentar terhadap hasil kerja siswa.
2.7 Keuntungan dan Kelemahan Portofolio
Keuntungan/Keunggulan yang dapat dirasakan dalam menggunakan portofolio
menurut Groundlund (Poerwanti, 2009: 5.32 – 5.33) antara lain sebagai berikut, (1) kemajuan
belajar siswa dapat terlihat dengan jelas, (2) penekanan pada hasil pekerjaan terbaik siswa
memberikan pengaruh positif dalam belajar, (3) membandingkan pekerjaan sekarang dengan
yang lalu memberikan motivasi yang lebih besar dari pada membandingkan dengan milik
orang lain, (4) keterampilan asesmen sendiri dikembangkan mengarah pada seleksi contoh
pekerjaan dan menentukan pilihan terbaik, (5) memberikan kesempatan siswa bekerja sesuai

Darmiyati
629
dengan perbedaan individu, dan (6) dapat menjadi alat komunikasi yang jelas tentang kemajuan
belajar siswa bagi siswa itu sendiri, orang tua dll.
Portofolio sebagai model penilaian yang bersifat integratif dalam proses pembelajaran
dapat mengakses semua kegiatan siswa, secara terus menerus dalam menentukan kualitas
program berbagai kegiatan pembelajaran berupa hasil karya yang dapat dikumpulkan
sehingga akan terlihat perkembangan siswa dalam waktu tertentu. Portofolio ini juga dapat di
pamerkan yang dapat dilihat oleh orang tua sewaktu pertemuan di sekolah dari semua hasil
karya siswa. Dalam melaksanakan penilaian portofolio ada beberapa hal yang perlu diperhatikan
sebagai pedoman dalam menggunakan penilaian portofolio antara lain: Karya siswa, saling
percaya antara guru dan siswa, kerahasiaan bersama antara guru dan siswa, milik bersama,
kepuasan, kesesuaian, penilaian proses dan hasil dan penilaian pembelajaran (Poerwanti,
2009: 534).
Kelemahan Penilaian Portofolio menurut Sanjaya (2011, 370) yaitu : (1) memerlukan
waktu dan kerja keras, (2) memerlukan perubahan cara pandang, (3) memerlukan perubahan
gaya belajar dan (4) memerlukan perubahan sistem pembelajaran. Kelemahan penilaian
portofolio dapat dijabarkan sebagai berikut ini:
1) memerlukan waktu dan kerja keras, dikarenakan guru dituntut untuk memperhatikan
proses belajar siswa secara menyeluruh mulai dari memantau perkembangan
siswa, memotivasi belajar siswa serta memberi penilaian dan berbagai aktivitas
lainnya.
2) memerlukan perubahan cara pandang, kebiasaan guru yang hanya memberikan
pelajaran melalui mencatat, mengingat dan menghafal akan terasa sulit dengan
pembelajaran memalui penilaian portofolio yang menuntut siswa untuk lebih banyak
beraktivitas dalam proses pembelajaran demi tercapainya kompetensi
pembelajaran.
3) memerlukan perubahan gaya belajar, perubahan gaya belajar yang dimaksud adalah
gaya belajar yang awalnya guru sebagai sumber belajar menjadi belajar mandiri,
yang awalnya berbasis teacher center menjadi student center. Perubahan ini terasa
sangat sulit dikarenakan faktor kebiasaan yang biasa dilakukan dalam
pembelajaran.
4) memerlukan perubahan sistem pembelajaran, hal ini berupa perubahan yang
dilakukan pada sistem pembelajaran yang selama ini dilakukan di Indonesia berupa
pembelajaran klasikal, artinya semua siswa dimasukkan ke dalam kelas yang sama,
diberi pelajaran yang sama dan digeneralkan hasil dari pembelajaran tersebut.
Padahal capaian perkembangan siswa berbeda-beda dan hasil belajar siswa pun
tidak selalu sama. Sehingga perubahan sistem ini menjadi sangat sulit.

Darmiyati
630
III. SIMPULAN
Penilaian portofolio dapat diartikan sebagai penilaian yang melihat dari hasil kerja
siswa dan didukung oleh pantauan proses belajar berdasarkan tujuan dan kriteria yang
ditentukan melalui karya nyata yang didokumentasikan secara sistematis. Pada prinsipnya,
penilaian portofolio didasari pada saling percaya, keterbukaan, kerahasiaan, rasa milik
bersama, hubungan kepuasan dan kesesuaian, budaya pembelajaran, refleksi dan orientasi
pada proses dan hasil belajar. Berdasarkan jenisnya, penilaian portofolio dibagi atas tiga jenis,
yaitu portofolio perkembangan, portofolio pamer dan portofolio komprehensif.
Penilaian portofolio ada beberapa tahapan yang seharusnya dilakukan, yakni persiapan,
pelaksanaan, evaluasi atau penilaian dan yang terakhir adalah presentasi. Berbagai tahapan
ini dilakukan berdasarkan tujuan dari pembelajaran yang dilaksanakan.
Keuntungan pelaksanaan penilaian portofolio ini antara lain: (1) kemajuan belajar
siswa dapat terlihat dengan jelas, (2) penekanan pada hasil pekerjaan terbaik siswa
memberikan pengaruh positif dalam belajar,(3) membandingkan pekerjaan sekarang dengan
yang lalu memberikan motivasi yang lebih besar dari pada membandingkan dengan milik
orang lain, (4) keterampilan asesmen sendiri dikembangkan mengarah pada seleksi contoh
pekerjaan dan menentukan pilihan terbaik, (5) memberikan kesempatan siswa bekerja sesuai
dengan perbedaan individu, dan (6) dapat menjadi alat komunikasi yang jelas tentang kemajuan
belajar siswa bagi siswa itu sendiri, orang tua dll.
Namun secara khusus penilaian portofolio erat kaitannya dengan pembentukan
karakter dalam membentuk siswa menjadi manusia yang cerdas dan berakhlak mulia, cinta
kepada Allah dan semesta beserta isinya, bertanggung jawab, disiplin dan mandiri, percaya
diri, kreatif, kerja keras dan pantang menyerah, toleransi dan menghargai karya orang lain.
Dikarenakan dalam penilaian ini tidak hanya terfokus pada penilaian kognitif, melainkan juga
penilaian terhadap afektif dan psikomotor atau penilaian tidak hanya pada hasil belajar siswa
tetapi juga pada proses belajar siswa.

DAFTAR PUSTAKA
Atken, Lewis R. 1997. Psychological Testing and Assesment. London: A Viacom Company.
Bloom, Benjamin S., 1979. Taxonomy of Educational Objectives: Book I Cognitive Domain.
London: Longman INC.
Harding. Jackie & Liz Meldon Smith. 1996. How to Make Observation and Assessments.
London : Hodder & Staoughton.
Hill. Bonnie Campbell & Ruptic, Cynthia A., 1994. Practical Aspects of Authentic Assessment.
USA:. Gordon Chistopher Inc.
Kementerian Pendidikan Nasional dan Kebudayaan. 2013. Pengembangan Kurikulum 2013.
Jakarta: Kemdikbud 2013.
Majid, Abdul. 2006. Perencanaan Pembelajaran. Bandung: PT Remaja Rosdakarya.

Darmiyati
631
Muslich, Masnur. 2007. KTSP Pembelajaran Berbasis Kompetensi dan Kontekstual. Jakarta :
Bumi Aksara.
Nitko Antony J. 1996. Educational Assesmen of Student. New Years: Prentice Hall Inc.
Poerwanti, Endang, dkk. 2009. Asesmen Pembelajaran SD. Direktorat Jenderal Pendidikan
Tinggi Departemen Pendidikan Nasional.
Sanjaya, Wina. 2011. Kurikulum dan Pembelajaran : Teori dan Praktik Pengembangan Kurikulum
Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP). Jakarta: Kencana.
Stiggins, R. J., & Chappuis, J. 2012. An Introduction to Student-Involved Assesment For Learning
(sixth edition). Boston, MA: Pearson.
Tierney, Robert, et. al. 1991. Portofolio Assesssment in the Reading and Writing in the Classroom,.
Gordon.

Darmiyati
632
PENDIDIKAN KARAKTER BERBASIS AKHLAK MULIA MELALUI
PENGAMALAN TERHADAP AL-QUR’AN
Fahmi
Universitas Lambung Mangkurat

ABSTRAK
Kemerosotan suatu bangsa tidak lepas dari sistem yang diterapkan di masyarakatnya, satu
diantaranya, sistem pendidikannya yang berdampak terhadap kehidupan, terutama generasi
mudanya. Pada kondisi obyektif Indonesia, khusus kehidupan remaja, saat ini tengah dibalut
berbagai problematika. Badan Narkoba Nasional (BNN), bahwa pada Februari 2009 terdapat
123.810 pelajar di Indonesia menggunakan narkotika, obat psikotropika, dan zat adiktif lainnya.
Hal tersebut menggambarkan kehancuran moral generasi muda Indonesia. Padahal,
pendidikan karakter dengan berbagai teori yang mendasarinya yang telah lama diterapkan
belum menunjukan hasil yang memuaskan. Untuk itu, tulisan ini berusaha pendidikan karakter
yang dalam pandangan Islam sebagai akhlak yang terbukti memberikan kontribusi significance
dalam menunjang kejayaan Islam.
Kata kunci : Karakter, akhlak mulia, pengamalan Al-Qur’an

I. PENDAHULUAN
Lickona (1991) mengungkapkan bahwa ada sepuluh tanda-tanda jaman yang harus
diwaspadai, karena jika tanda-tanda itu sudah ada, maka itu berarti sebuah bangsa sedang
menuju jurang kehancuran. Tanda-tanda yang dimaksud adalah: (1) meningkatnya kekerasan
di kalangan remaja, (2) penggunaan bahasa dan kata-kata yang memburuk, (3) pengaruh
peer-group yang kuat dalam tindak kekerasan, (4) meningkatnya perilaku merusak diri, seperti
penggunaan narkoba, alkohol, dan seks bebas, (5) semakin kaburnya pedoman moral baik
dan buruk, (6) menurunnya etos kerja, (7) semakin rendahnya rasa hormat kepada orang tua
dan guru, (8) rendahnya rasa tanggung jawab individu dan warga negara, (9) membudayanya
ketidakjujuran, dan (10) adanya rasa saling curiga dan kebencian diantara sesama.
Kesepuluh tanda yang dikemukakan oleh Lickona di atas nampaknya telah terjadi di
negeri kita. Sebagai contoh, menurut Badan Narkoba Nasional (BNN) pada Februari 2009
terdapat 123.810 pelajar di Indonesia menggunakan narkotika, obat psikotropika, dan zat adiktif
lainnya. Ironisnya 12.848 di antaranya siswa sekolah dasar. Demikian pula perilaku seks bebas
juga sudah sedemikian mengkhawatirkan. Mengutip keterangan kepala BKKBN Pusat Sugiri
Syarief Sumarsana menyebutkan, sekitar 30 % remaja kita pernah melakukan hubungan seks
pranikah dan 22,6 % remaja adalah penganut seks bebas (BKKBN: 2010).

Fahmi 633
Sebagai upaya untuk menjawab tantangan zaman di atas maka pada peringatan Hari
Pendidikan Nasional tepatnya tanggal 2 Mei 2010 Presiden Republik Indonesia telah
mencanangkan pentingnya pendidikan karakter. Menurut Menteri Pendidikan dan Kebudyaan
Republik Indonesia, Mohammad Nuh, pendidikan karakter sebagai bagian dari upaya
membangun karakter bangsa, karakter yang dijiwai nilai-nilai luhur bangsa. Mengapa
pendidikan karakter menjadi demikian urgen?
Hal ini tak lepas dari kondisi karakter bangsa Indonesia makin lemah; makin banyak
gejala penyalahgunaan kewenangan, kekuasaan, kecurangan, kebohongan, ketidakjujuran,
ketidakadilan, ketidakpercayaan, mudah ditipu dan diprovokasi, kenakalan remaja, broken
home dan sebagainya.
Dalam konteks regulasi pendidikan karakter adalah amanat dari UU No. 20 Tahun
2003 tentang Sisdiknas. Pada pasal 3 disebutkan: Pendidikan nasional berfungsi
mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang
bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya
potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang
Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara
yang demokratis serta bertanggung jawab.
Pada pasal ini 5 dari 8 potensi peserta didik yang ingin dikembangkan lebih dekat
dengan karakter. Apa yang dimaksud dengan karakter? Menurut Herminarto Sofyan, Pembantu
Rektor III UNY, karakter mempunyai banyak arti, diantaranya, kemampuan untuk mengatasi
secara efektif situasi sulit, tak enak/tidak nyaman, atau berbahaya. Dengan pengertian tersebut
karakter menuntut kecerdasan otak, kepekaan nurani, kepekaan diri dan lingkungan,
kecerdasan merespons, dan kesehatan, kekuatan, dan kebugaran jasmani. Indikator
kecerdasan otak antara lain, berilmu, berfikir logis dan kritis. Kepekaan nurani ditandai dengan
adil, jujur, kasih sayang, empatik, ikhlas, berintegritas, santun, terpercaya, hormat, suka menolong
dan dapat mengendalikan diri. Kepekaan diri dan lingkungan berarti peduli pada diri dan
lingkungannya. Sedangkan kecerdasan merespons ditandai dengan sifat-sifat berani, rajin,
disiplin, inisiatif, waspada dan motivasi. Sedangkan kesehatan, kekuatan dan kebugaran
jasmani diperlukan pola hidup.

II. PERMASALAHAN
Masalah–masalah yang terjadi di atas telah didiskusikan dalam berbagai forum ilmiah,
seminar, pelatihan, namun sampai sekarang masih dalam ranah yang parsial. Sehingga hampir
tidak pernah ada solusi konkret yang mampu menyelesaikan berbagai permasalahan yang
terjadi. Ilmuan, akademisi, dan pendidik seolah terjebak pada ruang lingkup kecil. Mereka
banyak terjebak pada rutinitas akademisnya yang telah ia kaji dan pelajari, sehingga
menyebabkan mereka susah keluar dan tidak bisa memberikan solusi konkret untuk
menyelesaikan berbagai permasalahan yang terus berkembang hingga sekarang.
Banyak pakar yang terjebak tanpa memahami paradigma keilmuan yang khas
kemudian memunculkan sebuah konsep baru yang terus dikembangkan yang menjadi dasar

634 Fahmi
terbentuknya pendidikan karakter. Menurut para pencetus ide ini masalah fundamental negeri
ini adalah masalah moral. Untuk itulah maka perlu dilakukan perbaikan moral. Dalam Rencana
Induk Pengembangan Pendidikan Karakter Bangsa yang dikeluarkan Kementerian Pendidikan
Nasional Republik Indonesia bahkan dikutip hadis Rasulullah SAW: innama bu’itstu li utammima
makaarima al akhlaq (sesungguhnya aku diutus untuk menyempurnakan akhlak) berangkat
dari asumsi inilah maka dicetuskanlah program pendidikan karakter yang sejatinya hal ini
merupakan asumsi yang keliru.
Persoalan moral adalah satu persoalan bangsa, tetapi bukan satu-satunya masalah.
Persoalan bangsa sedemikian komplek dan sistemik. Tetapi, yang menjadi inti dari sumber
masalah adalah sekulerisme yang berasaskan fashlu ad din ‘an al hayah atau pemisahan
agama (din al Islam) dari persoalan kehidupan. Hal ini nampak baik dalam aspek perundang-
undangan maupun dalam hal impelementasinya.
Hal ini dapat dibuktikan antara lain pada UU Sisdiknas No. 20 tahun 2003 Bab VI
tentang jalur, jenjang dan jenis pendidikan bagian kesatu (umum) pasal 15 yang berbunyi:
Jenis pendidikan mencakup pendidikan umum, kejuruan, akademik, profesi, advokasi,
keagamaan, dan khusus. Dari pasal ini tampak jelas adanya dikotomi pendidikan, yaitu pendidikan
agama dan pendidikan umum.Sistem pendidikan dikotomis semacam ini terbukti telah gagal
melahirkan manusia saleh yang berkepribadian Islam sekaligus mampu menjawab tantangan
perkembangan melalui penguasaan sains dan teknologi.
Secara kelembagaan, sekularisasi pendidikan tampak pada pendidikan agama
melalui madrasah, institut agama, dan pesantren yang dikelola oleh Departemen Agama;
sementara pendidikan umum melalui sekolah dasar, sekolah menengah, kejuruan serta
perguruan tinggi umum dikelola oleh Departemen Pendidikan Nasional.Terdapat kesan yang
sangat kuat bahwa pengembangan ilmu-ilmu kehidupan (iptek) dilakukan oleh Depdiknas dan
dipandang sebagai tidak berhubungan dengan agama. Pembentukan karakter siswa yang
merupakan bagian terpenting dari proses pendidikan justru kurang tergarap secara serius.
Agama ditempatkan sekadar sebagai salah satu aspek yang perannya sangat minimal, bukan
menjadi landasan dari seluruh aspek kehidupan.
Hal ini juga tampak pada BAB X pasal 37 UU Sisdiknas tentang ketentuan kurikulum
pendidikan dasar dan menengah yang mewajibkan memuat sepuluh bidang mata pelajaran
dengan pendidikan agama yang tidak proposional dan tidak dijadikan landasan bagi bidang
pelajaran yang lainnya.
Hingga saat ini apa definisi karakter, apa saja yang menjadi aspek karakter dan tolak
ukur karakter masih kabur. Dalam Rencana Induk (grand design) Pengembangan Pendidikan
Karakter Bangsa kementerian Pendidikan RI disebutkan bahwa tiga aspek pembentuk karakter
luhur adalah:
1. Agama, Pancasila, UUD 1945 dan UU Sisdiknas
2. Teori pendidikan, Psikologi, nilai dan sosial budaya
3. Pengalaman terbaik dan praktik nyata

Fahmi 635
Kenyataannya ketiga aspek atau patokan karakter luhur ini sangat bias.Misalnya dalam
UU Sisdiknas menjadi warga negara yang demokratis dimasukan sebagai karakter yang baik.
Padahal kenyataan demokrasi adalah sistem kufur yang mengebiri hak Allah SWT sebagai al
hakim (penetap hukum).
Demikian pula teori psikologi dan pendidikan, maka yang dipakai teori yang mana?
Karena kenyataannya satu teori kadang bertentangan dengan teori yang lain. Hal ini diperparah
dengan landasan epistemologi teori-teori dalam ilmu pendidikan yang rancu. Sebagai contoh
teori klasik Ivan Paplov yang dibangun berdasarkan penelitiannya terhadap anjing. Padahal
fakta anjing dengan manusia tidaklah sama. Sebagian peneliti lain menjadikan kelinci dan
tikus sebagai obyek penelitian, kemudian hasil penelitian tersebut diterapkan pada manusia.
Mengenai nilai sosial dan budaya ini juga sangatlah kabur dan tidak sedikit terjadi
pertentangan antara satu tempat dengan tempat yang lain. Apa arti dari semua ini? Ternyata
berbagai upaya yang telah dilakukan hingga sekarang tidaklah mampu menyelesaikan seluruh
permasalahan yang terjadi. Bahkan fakta yang terjadi malah semakin lama, permasalahan
karakter/akhlak menjadi semakin rumit dan semakin rumit seakan–akan masyarakat telah
berada pada jurang.

III. PEMBAHASAN
Salah satu hal paling penting yang menyebabkan terjadinya berbagai permasalahan
dan kemerosotan karakter diberbagai bidang adalah karena kelemahan pemahaman tentang
Islam yang menyebabkan pencarian solusi akhirnya bukan pada sumber penyelesaian yang
pasti. Akibatnya tujuan yang menjadi dasar dan ingin dicapai hanya sebatas rumusan akan
tetapi tidak ada perealisasian. Sehingga perlu adanya sebuah perubahan mendasar untuk
memajukan martabat dan karakter bangsa ini dengan perubahan pada sistem yang mampu
menciptakan perubahan besar bagi akhlak manusia sesuai dengan tuntunan Al-Qur’an.
Padahal Islam memecahkan problematika hidup manusia secara keseluruhan dan
memfokuskan perhatiannya pada umat manusia secara integral, tidak terbagi-bagi (untuk umat
tertentu). Islam memecahkan problematika manusia dengan metoda yang sama. Peraturan
Islam dibangun atas asas ruhiah, yakni (berdasarkan) akidah. Jadi, aspek kerohanian dijadikan
sebagai asas peradabannya, asas negara dan asas syariat Islam.
Syariat Islam telah merinci sistem peraturannya. Ada peraturan ibadah, mu’amalat
dan uqubat. Akan tetapi syariat Islam tidak menjadikan akhlak atau karakter sebagai bagian
khusus yang terpisah. Meskipun demikian syariat Islam telah mengatur hukum-hukum akhlak
berdasarkan suatu anggapan bahwa akhlak adalah perintah dan larangan Allah SWT, tanpa
melihat lagi apakah akhlak mesti diberi perhatian khusus yang dapat melebihi hukum-hukum
atau ajaran Islam lainnya. Akhlak adalah bagian dari rincian hukum-hukum atau aturan–aturan
dalam Islam. Sehingga Akhlak yang baik atau Akhlak yang mulia dalam Islam adalah perbuatan
yang sesuai dengan perintah dan larangan Allah SWT.
Allah SWT berfirman dalam surat Al-Furqan:

636 Fahmi
“Dan hamba-hamba Tuhan yang Maha Penyayang itu (ialah) orang-orang yang berjalan
di atas bumi dengan rendah hati dan apabila orang-orang jahil menyapa mereka,
mereka mengucapkan kata-kata (yang mengandung) keselamatan. Dan orang yang
melalui malam hari dengan bersujud dan berdiri untuk Tuhan mereka. Dan orang-
orang yang berkata: “Ya Tuhan kami, jauhkan azab Jahannam dari kami, Sesungguhnya
azabnya itu adalah kebinasaan yang kekal” (QS. Al-Furqan [25]: 63-76).
Dalam ayat ini Allah SWT menjelaskan betapa pentingnya akhlak atau karakter dalam
kehidupan sehingga Allah SWT menyatakan orang yang berakhlak mulia adalah hamba-hamba
Allah yang taat dan takut akan siksa Allah SWT.
Dalam sebuah hadist shahih Rasulullah SAW juga bersabda :
“Sesungguhnya aku diutus untuk menyempurnakan akhlak yang mulia” (HR. Al Bazzaar)
Akhlak mempunyai posisi penting sebagai batasan atau standar baik atau tidaknya
kualitas seseorang, kualitas suatu wilayah, karakter bangsa dan negara, dan banyak hal lainnya.
Karena kemajuan tidak berarti hanya baik dan tinggi secara IPTEK, ekonomi, dan sebagainya.
Tapi juga yang terpenting pula adalah dari tatanan sosial kemasyarakatnya. Sebab, untuk apa
ekonomi maju, iftek yang terus berkembang tapi akhlaknya terus mengalami kemerosotan.
Akibatnya akan terjadi banyak tindakan kejahatan, kriminalitas, KKN, penyimpangan–
penyimpangan sosial, tingkat bunuh diri yang tinggi seperti misalnya di Jepang, AS dan Negara–
negara Barat lainnya. Allah SWT berfirman:
“Jikalau sekiranya penduduk negeri-negeri beriman dan bertakwa, pastilah Kami akan
melimpahkan kepada mereka berkah dari langit dan bumi, tetapi mereka mendustakan
(ayat-ayat Kami) itu, maka Kami siksa mereka disebabkan perbuatannya”. (Q.S Al-
A’raf: 96)
Allah juga memberi peringatan kepada manusia yang tidak taat pada aturanNya. Allah
SWT berfirman dalam Al-Qur’an:
“Telah nampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan karena perbuatan tangan
manusia, supaya Allah merasakan kepada mereka sebahagian dari (akibat) perbuatan
mereka, agar mereka kembali (ke jalan yang benar)”.(Q.S Ar-Ruum: 41)
Dalam dua ayat di atas Allah menegaskan kepada manusia jika ingin selamat dan
berkah harus dengan taat pada aturan-Nya, serta ancaman bagi yang melanggarnya. Hal ini
berlaku umum termasuk pada proses penyelenggaraan pendidikan. Kemudian, apa
hubungannya dengan Al-Qur’an, akhlak mulia terhadap karakter bangsa? Ada beberapa hal
yang harus kita pahami.
3.1 Pengamalan Terhadap Al-Qur’an Membentuk Akhlak/Karakter Mulia
Seseorang yang mengamalkan Al-Qur’an akan senantiasa memelihara dirinya dari
berbuat kerusakan, dan Allah akan memberikan petunjuk kepada orang yang mengamalkan
Al-Qur’an. Allah SWT berfirman:
“Dan orang-orang yang mendapat petunjuk, Allah menambahkan petunjuk kepada
mereka dan menganugerahkan kepada mereka ketakwaannya” (QS Muhammad:17).

Fahmi 637
Akhlak mulia adalah produk dari keyakinan dan tercipta disebabkan sistem dan
lingkungan.Orang yang mempunyai keyakinan mendalam pada Al-Qur’an, maka
pengaplikasiannya adalah dalam bentuk ketaatan dan akhlak yang mulia (akhlakul karimah).
Bunda Aisyah r.a pernah ditanya tentang akhlak Rasulullah Saw, maka dia menjawab, “Akhlaknya
(Rosulullah) adalah Al Qur’an” (HR. Abu Dawud dan Muslim).
Dalam hadis tersebut Rasulullah SAW menggambarkan bahwa akhlak adalah aplikasi
dari keimanan, dan keimanan akan terbentuk sempurna tentunya dengan pengamalan terhadap
Al-Qur’an.
3.2 Akhlak Mulia Membentuk Karakter Suatu Bangsa
Aplikasi dari akhlak adalah terbentuknya individu–individu yang baik, jika dalam suatu
wilayah atau bangsa misalnya bangsa Indonesia adanya kesadaran dan kepedulian serta
masyarakatnya yang baik, tentu bangsa Indonesia akan menjadi bangsa yang berkarakter dan
maju serta menjadi panutan. Tatanan masyarakat akan aman tentram, kesejahteraan terpenuhi,
tingkat kriminalitas akan menjadi sangat kecil. Penyalahgunaan wewenang juga akan mampu
diatasi.
Mengapa demikian? Hal ini terjadi karena bangsa Indonesia melakukan perubahan
mendasar pada tatanan sistem dan pengaplikasian akhlak. Sehingga standar perbutan akan
jelas, dan pengawasan akan lebih mudah tentu tanpa mengurangi tingkat kewaspadaan. Hal
ini dikarenakan masyarakatnya bertindak tidak hanya berdasarkan hukum manusia di negri ini,
tapi hukum Allah pada tatanan pengelolaan, dan azab neraka yang Allah janjikan bagi pembuat
kerusakan.
3.3 Bentuk Pendidikan Karakter di Indonesia yang Berbasis Akhlak Mulia
Sejak berabad silam para ahli dan pemikir telah menuangkan ide-ide mereka
bagaimana mendidik manusia agar menjadi manusia yang sebenarnya, yaitu manusia yang
baik. Barat mengembangkan nilai-nilai moral dan karakter yang berasal dari Yunani, sedangkan
Islam mengajarkan manusia berakhlak mulia berdasarkan petunjuk wahyu, Al-Quran dan As-
Sunnah. Akhlak atau karakter Islam terbentuk atas dasar prinsip “ketundukan, kepasrahan, dan
kedamaian” sesuai dengan makna dasar dari kata Islam.
Islam bukan hanya teori, tapi ada contoh. Nabi Muhammad SAW menjadi contoh
(uswah hasanah). Kata ‘Aisyah r.a, akhlak Rasulullah SAW adalah al-Qur’an.
Para pemikir muslim sejak awal telah mengemukakan pentingnya pendidikan karakter.
Ibn Miskawaih (320-421H/932-1030 M), adalah ulama klasik yang mendalami filsafat etika
sehingga dikenal sebagai Bapak Etika Islam. Dalam bukunya yang berjudul Tahdzib al-Akhlaq
Ibn Miskawaih mengemukakan pentingnya dalam diri manusia menanamkan kualitas-kualitas
akhlak dan melaksanakannya dalam tindakan-tindakan utama secara spontan. Menurutnya,
akhlak adalah “keadaan jiwa yang menyebabkan seseorang bertindak tanpa dipikirkan terlebih
dahulu”. Ia menyebutkan adanya dua sifat yang menonjol dalam jiwa manusia, yaitu sifat buruk
dari jiwa yang pengecut, sombong, dan penipu, dan sifat jiwa yang cerdas yaitu adil, pemberani,

638 Fahmi
pemurah, sabar, benar, tawakal, dan kerja keras (Ibn Miskawaih, Tahdzib al-Akhlak, Beirut: Dar
el Kutb al-Taymiyyah, 1405H/1985M).
Inilah yang digambarkan dalam konsep pendidikan karakter sehingga wajar jika
bangsa lain meniru peradaban Islam ini. Bisa dilihat dari istilah karakter yang berasal dari
bahasa Yunani, charassein, yang berarti to engrave atau mengukir. Membentuk karakter
diibaratkan seperti mengukir di atas batu permata atau permukaan besi yang keras. Dari sanalah
kemudian berkembang pengertian karakter yang diartikan sebagai tanda khusus atau pola
perilaku ... an individual’s pattern of behavior … his moral contitution (Karen E. Bohlin, Deborah
Farmer, Kevin Ryan, 2001: 1).
Karena itu, sungguh menjadi kewajaran manakala pada kondisi sekarang pendidikan
karakter yang berbasis akhlak mulia berdasarkan Al-Qur’an sangat diperlukan untuk
menyelesaikan berbagai masalah terutama krisis moral yang terjadi pada bangsa ini. Akan
tetapi sampai sekarang penerapannya sulit. Dikarenakan sifatnya yang parsial, tidak
keseluruhan. Agar penerapannya bisa sesuai dengan yang diharapkan, maka perlu sebuah
sistem mutlak yang menjadi pondasi dasarnya yaitu Islam.

IV. SIMPULAN
Diperlukan usaha yang serius untuk meninjau kembali antara teori pendidikan moral
dan karakter yang ada sekarang dengan penyebab utama masalah itu terjadi. Dengan
memahami posisi akhlak dalam sudut pandang Al-Qur’an dan fungsinya sebagai pembentuk
karakter bangsa yang kuat maka dapat diambil tiga simpulan:
1. Al-Qur’an menjadi landasan hidup sehingga aplikasinya adalah berupa
pembentukan sistem yang baik pada tataran negara dan akhlak yang baik pada
tataran individu.
2. Akhlak mulia menjadi bentuk sikap masyarakat sehingga terwujud lah keharmonisan
dan kekokohan persatuan bangsa dan negara Indonesia.
3. Karakter bangsa sebagai bangsa yang maju akan terbentuk jika pengaplikasian Al-
Qur’an dan akhlak mulia pada setiap lini kehidupan.

DAFTAR PUSTAKA
An Nabahani, Taqiyyuddin. 2006. Peraturan Hidup dalam Islam. Jakarta: Pustaka Thariqul
Izzah.
An Nabahani, Taqiyyuddin. 2008. Pilar–Pilar Pengokoh Nafsiyah Islam. Beriut : Darul Ummah
BPS (2012): Indikator Pendidikan Indonesia. http://bps.go.id/tab_sub/
view.phpkat=1&tabel=1&daftar=1&id_subyek=28&notab=1.
Cambridge University Press Schwartz. M. J. (2008). Effective Character Education Guidebook
for Future Educators. New York: McGraw-Hill Companies.
Ibnul Qayyim al Jauziyah., Tahzdibu Sunan Abi Dawud wa Idlaahi musykilatihi. II/191).

Fahmi 639
Muhammad Ali ash Shabuni. Tafsir Ayat al Ahkam., I/421; Muhammad Ali as Sais.,Tafsir Ayat
Ahkam hlm. 162; Tafsir at Thabari I/388; Tafsir al Qurthubi I/348
Imam An Nawawi. Sahih Muslim Tafsir Ibnu Katsir.
Tafsir at-Thabari.
http://bkkbn.go.id/Webs/DetailBerita.php?MyID=119Badan Narkotika Nasional (BNN). 123 ribu
lebih pelajar pengguna narkoba. Diakses pada tanggal 8 Juli 2010 dari
http://www.fahmiamhar.com/2013/12/my-jicmi-paper-closing-session.html/ diakses 3 Mei 2014
http://insistnet.com/perlukah-pendidikan-berkarakter/diakses 17 Mei 2014
http://wahyudiibnuyusuf.blogspot.com/2011/04/telaah-kritis-pendidikan-karakter-di.html/ diakses
22 Mei 2014

640 Fahmi
INSAN QUR’ANI SEBAGAI
TUJUAN KONSELING PENDEKATAN QUR’ANI
Karyono Ibnu Ahmad
Universitas Lambung Mangkurat

I. Pengertian Konseling dalam Perspektif Umum


Secara etimologis, istilah konseling, menurut Prayitno dan Erman Amti (1999) berasal
dari bahasa Latin, yaitu Consilium yang berarti dengan atau bersama yang dirangkai dengan
menerima atau memahami. Sedangkan dalam bahasa Anglo Saxon, istilah konseling berasal
dari Sellan yang berarti menyerahkan atau menyampaikan. Mereka yang berperan secara
profesional dalam proses konseling disebut sebagai Konselor, sedangkan mereka yang meminta
bantuan dalam konseling dikenal Konseli. Ada pula yang menyebut konseli dengan sebutan
klien, akan tetapi istilah konseli terasa lebih dekat dan khas dengan konseling dibanding klien
yang maknanya tumpang-tindih dengan peristilahan profesi lain.
Secara istilah konseling menurut Jeanette Murad Lesmana (2005: 3) dengan mengutip
pandangan Gladding ialah aplikasi dari prinsip-prinsip kesehatan mental, psikologi, atau
perkembangan manusia melalui intervensi kognitif, perkembangan manusia melalui intervensi
kognitif, afektif, behavioral atau sistemik, strategi memperhatikan kesejahteraan (wellness),
pertumbuhan pribadi, atau pengembangan karier tetapi juga patologi.
Konseling merupakan bagian yang integratif dari bimbingan dan konseling karena
dua terminologi tersebut merupakan satu kesatuan utuh layanan ahli dalam hal mana konseling
adalah teknik bantuan yang secara langsung memfasilitasi konseli dalam mengatasi masalah
dan mengambil keputusan secara konstruktif, sementara bimbingan mengandung ragam teknik
yang lebih bersifat pedagogis untuk memfasilitasi perkembangan konseli yang umumnya adalah
peserta didik. Penggunaan istilah bimbingan tetap dipertahankan sebagai kekuatan jatidiri
layanan ahli bimbingan dan konseling sebagai upaya pedogogis yang diampu oleh pendidik
profesional yang disebut konselor (Sunaryo Kartadinata, 2011: 23-24).
Penjelasan yang dikemukakan pada artikel ini bukan berarti untuk menunjukkan
keunggulan konseling dari bimbingan atau memberi makna pemisahan antara bimbingan
dan konseling khususnya konseling pendekatan qur’ani tetapi memberi deskripsi utuh tentang
apa dan bagaimana tujuan yang hendak dicapai konseling pendekatan qur’ani.

Karyono Ibnu Ahmad


641
II. Kebutuhan Manusia Menghadapi Gegap-gempita Kehidupan
Persoalan-persoalan yang dihadapi itu adalah persoalan umum manusia pada kehidupan
sehari-hari. Perkembangan konseli tidak lepas dari pengaruh lingkungan, baik fisik, psikis maupun
sosial. Sifat yang melekat pada lingkungan adalah perubahan. Perubahan yang terjadi dalam
lingkungan dapat mempengaruhi gaya hidup (life style) warga masyarakat. Apabila perubahan
yang terjadi itu sulit diprediksi, atau di luar jangkauan kemampuan, maka akan melahirkan
kesenjangan perkembangan perilaku konseli, seperti terjadinya stagnasi (kemandegan)
perkembangan, masalah-masalah pribadi atau penyimpangan perilaku. Perubahan lingkungan
yang diduga mempengaruhi gaya hidup, dan kesenjangan perkembangan tersebut, diantaranya:
pertumbuhan jumlah penduduk yang cepat, pertumbuhan kota-kota, kesenjangan tingkat sosial
ekonomi masyarakat, revolusi teknologi informasi, pergeseran fungsi atau struktur keluarga, dan
perubahan struktur masyarakat dari agraris ke industri (Direktorat Jenderal Peningkatan Mutu
Pendidikan dan Tenaga Kependidikan Kemendikbud, 2008).
Oleh karena itu, penyelenggaraan bimbingan dan konseling menuntut kemampuan
seorang guru bimbingan dan konseling (konselor) untuk mampu menjalin hubungan dengan
siswa atau konseli dalam proses penyelenggaraan bimbingan dan konseling. Sebagaimana
yang dinyatakan oleh Anne Stokes (dalam Sally Aldridge & Sally Rigby, 2004: 133) bahwa setiap
siswa atau konseli memiliki sejumlah pertimbangan untuk mencari seorang konselor yang
menurut konseli layak sebagai tempat untuk dapat berbicara tentang pemahaman atau
wawasan tentang dirinya dan lingkungannya, juga pengalaman dalam menentukan arah
kehidupannya, salah satu pertimbangan konseli adalah kemampuan konselor menjalankan
proses konseling melalui penggunaan keterampilan konseling.
Apa yang dikemukakan di atas ternyata sejalan pula dengan rumusan Ikatan Konselor
Indonesia (2008) dengan menunjuk pendapat Prayitno (2008) sebagai objek praktis spesifik
yang menjadi fokus pelayanan konseling yakni Kehidupan Efektif Sehari-hari (KES). Dinamika
Kehidupan Efektif Sehari-hari (KES) dapat diwujudkan oleh individu (manusia) setiap saat,
sembarang tempat dan pada berbagai kondisi dalam kehidupan individu (manusia). Kehidupan
efektif sehari-hari diselenggarakan dalam suasana yang efektif pula dalam lingkup moral,
sosial-spritual/religius. Apabila kehidupan efektif sehari-hari terganggu manusia akan
mengalami kondisi yang tidak menguntungkan.

III. Tujuan Konseling yang Sesungguhnya


Permasalahan yang dihadapi manusia dewasa ini bukan hanya menuntut pada
penyelesaian masalah sudah cukup terentas, tetapi bagaimana tujuan proses konseling itu mampu
membangun karakter manusia agar dapat berdaya saing sehat. Pandangan ini mengemukakan
dalam uraian tujuan konseling (goals in counseling) dalam berbagai pendapat para ahli.
Apa sebenarnya tujuan konseling (goals in counseling)? Amat sulit untuk bersikap adil
dalam menyikapi keselarasan apa yang mau dicapai dalam proses konseling, Gerald Corey
(2005: 318-319) menyatakan,”....terdapat masalah keanekaragaman tujuan bisa
disederhanakan dengan memandang persoalan dari sudut tingkat generalitas dan spesifik

Karyono Ibnu Ahmad


642
tujuan-tujuan. Tujuan-tujuan bisa dilihat berada pada suatu kontinum dari tujuan-tujuan yang
umum, global, dan jangka panjang kepada tujuan-tujuan yang spesifik, konkret, dan jangka
panjang kepada tujuan-tujuan yang spesifik, konkret dan jangka pendek.” Pandangan ini diamini
oleh Andi Mappiare A.T. (2006: 69).
Sebagai contoh tujuan proses konseling menurut Robert R. Carkhuff (2008), terdiri
dari dua unsur utama yaitu proses pengolahan (processing) dan pembelajaran (learning),
karena itu Robert R. Carkhuff (2008) menarik garis bahwa setiap phase (tahap) tidak lebih
merupakan upaya menarik respons terhadap konseli (helpee). Tahapan dalam proses
pengolahan (processing) adalah siklus yang bersifat berulang. Saat konselor bersama konseli
mengimplementasikan tahap-tahap tersebut terhadap program yang telah dibuat, maka konselor
dan konseli tidak dapat mengabaikan peranan umpan balik (feedback) dari lingkungan dalam
bertindak dari lingkungan.
Gerard Egan (2010: 7-10) menganggap proses konseling memiliki tiga sasaran utama
yang dicapai sebagai tujuan pelaksanaan konseling, tujuan itu adalah pertama,
meningkatkan pemaknaan arti hidup. Membantu konseli mengelola masalah mereka dalam
hidup yang lebih efektif dan mengembangkan potensi yang tidak dimanfaatkan sebagai
peluang. Konselor yang berhasil adalah mereka yang melalui interaksi intensif dan mampu
melihat kebutuhan untuk mengelola situasi masalah tertentu untuk mengembangkan potensi.
Kedua, mencapai kemandirian konseli menjadi lebih baik dalam memanajemen masalah,
identifikasi peluang penyelesaian dan pengembangan solusi, pembuatan keputusan yang
masuk akal, melatih keterampilan interpersonal yang berkaitan serta sebagai agen yang
bertanggung jawab lebih dari perubahan dalam kehidupan mereka sendiri. Ketiga,
mengembangkan tindakan preventif untuk menghadapi kondisi yang sama di masa mendatang
berupa kemampuan mengembangkan ketahanan diri dan kemampuan mengkompromikannya.
Permasalahannya adalah proses konseling selama ini belum berhasil melahirkan
penyelesaian komprehensif konseli khususnya siswa di sekolah menengah karena selama ini,
terlepas dari permasalahan profesionalitas dan kuantitas pelayanan bimbingan dan konseling.
Banyak guru BK atau bahkan konselor sekolah hanya berorientasi pada apa yang kongkret
pada diri konseli hadapi.
Pendekatan filosofis bahkan asumsi dibangun oleh konseling hanya berkutat pada hal-
hal tersebut itu saja sementara kita lupa membangun karakter religius, sebab apapun yang
terjadi pada masa dan setting sekarang maupun yang akan datang akan dihadapkan dengan
mental yang tidak sehat, individualistik, nafsu eksploratif, borjuistik, materialistik, dan hedonistik
yang menjadi pemicu munculnya malapetaka kehidupan di muka bumi ini, maka sebagai
tandingan perlu dibangun karakteristik akhlak qur’ani seperti sakinah, mawaddah, rahmah dan
ukhuwwah (Syamsu Yusuf LN dalam Suherman & Nandang Budiman, 2011: 239).
Dalam konteks pengembangan kemandirian, tujuan bimbingan dan konseling tidak
sebatas sebagai proses pemecahan masalah yang bersifat kekinian, melainkan terarah kepada
penyiapan individu untuk dapat menghadapi persoalan-persoalan masa depan menjalani
kehidupan sebagai anggota masyarakat maupun sebagai makhluk Allah Yang Maha Kuasa
(Sunaryo Kartadinata, 2011: 54).
Karyono Ibnu Ahmad
643
Formula yang dimaksud di ataslah yang menjadi maksud tujuan kami merekontruksi
pendekatan konseling qur’ani sebagai proses interaksi konselor dengan konseli, untuk
mengembangkan fitrah kesadaran konseli melalui keterampilan konseling dan media konseling
tertentu. Agar dalam proses konseling, konseli dapat menjalani hidup sesuai dengan keridhaan
Allah sehingga ia secara mandiri melewati cobaan hidup berdasarkan petunjuk Al Qur’an dan
As Sunah (Karyono Ibnu Ahmad & Muhammad Andri Setiawan, 2013:19).

IV. KARAKTER INSAN QUR’ANI


Sebagai upaya membangun dan merekonstruksikan tujuan dari proses konseling
maka akan terlihat pada pentahapan proses konseling itu sendiri. Inilah yang membuat
konseling pendekatan qur’ani menjadikan cerminan karakter insan qur’ani yang dibangun
melalui proses yang betul-betul qur’ani pula. Ini tercermin dalam tahap dan langkah konseling
individual di bawah ini:
Tahapan dan langkah konseling individual berkesesuaian dengan surah-surah yang
ada di permulaan Juz ke-30 yaitu Juz Amma. Ternyata apabila nama surah dan ayat-ayat tertentu
mencerminkan kondisional tahap dan langkah konseling individual, apabila dihubungkan secara
berurutan sesuai dengan urutan surah. Secara apresiasi simbolik surah yang berkenaan dengan
tahap dan langkah konseling individual dimulai dari surah ke-78 An Nabaa’ hingga surah ke-86 At
Thaariq, yang total keseluruhannya ada 9 (sembilan) surah. Adapun konseling individual dibagi ke
dalam tiga (3) tahap dan 9 (sembilan) langkah konseling, yaitu sebagai berikut:
4.1 Tahap Awal
Tahap awal ialah konseling individual yang dimulai dari datangnya konseli, hingga
berakhir pada upaya melihat gambaran kehendak yang diinginkan oleh konseli dalam proses
konseling. Dalam tahap awal dibagi pada 3 (tiga) langkah mendasar yaitu sebagai berikut:
Pertama, Langkah An Nabaa’
Tentang apakah mereka saling bertanya-tanya? Tentang berita yang besar, yang
mereka perselisihkan tentang ini (QS. An Nabaa’ [78]:1-3)
Langkah An Nabaa’ dalam Al Qur’an adalah surah ke-78, An Nabaa’ sendiri berarti
berita besar. An Nabaa’ ialah langkah dimana konselor menemukan konseli yang sedang
mengalami masalah akibat datangnya cobaan sehingga datang ke konselor. Kondisional nyata
yang terlihat adalah penampakan fenomena cobaan. Konseli pada dasarnya datang dengan
kondisi psikis yang tidak menguntungkan, membingungkan atau dengan skala yang lebih
kecil paling tidak bertanya-tanya tentang cobaan yang dialaminya.
Kedua, Langkah An Naazi’aat
Demi (malaikat-malaikat) yang mencabut (nyawa) dengan keras, dan (malaikat-
malaikat) yang mencabut (nyawa) dengan lemah-lembut, dan (malaikat-malaikat)
yang turun dari langit dengan cepat, dan (malaikat-malaikat) yang mendahului
dengan kencang, dan (malaikat-malaikat) yang mengatur urusan (dunia) (QS. An
Naazi’aat [79]:1-5)

Karyono Ibnu Ahmad


644
An Naazi’aat dalam Al Qur’an adalah surah ke-79, An Naazi’aat sendiri berarti malaikat-
malaikat yang mencabut. Langkah An Naazi’aat apabila didefinisikan berarti langkah seorang
konselor mulai menyimak tema cobaan yang dialami oleh seorang konseli. Ini memungkinkan
seorang konselor sudah mulai menggunakan berbagai keterampilan konseling terhadap konseli
untuk mendapatkan respons baliknya. Konselor dalam menggunakan keterampilan konseling
dapat bersifat keras, lemah lembut, cepat, mendahului bahkan seperti mendominasi
pembicaraan konseli dalam menggali tema cobaan yang dirasakan, namun dalam batas
sewajarnya saja.
Pada umumnya, ada 2 (dua) respons yang ditunjukkan konseli yakni sebagai berikut:
1. Respons Meluapkan Diri
Adapun orang yang melampaui batas, dan lebih mengutamakan kehidupan dunia. (QS.
An Naazi’aat [79]:37-38). Konseli yang labil akan menunjukkan respons meluapkan diri. Kondisional
konseli yang meluapkan diri umumnya adalah mereka yang terlalu mengutamakan kehidupan
sekarang (kehidupan dunia).
2. Respons Menahan Diri
Dan adapun orang-orang yang takut kepada kebesaran Tuhannya dan menahan diri
dari keinginan hawa nafsunya (QS. An Naazi’aat [79]:37-38). Konseli yang memiliki respons
menahan diri ialah konseli yang memiliki karakter spiritualitas yang kuat. Konseli ini adalah
manusia yang memiliki kesabaran dan muatan diri positif.
Ketiga, Langkah Abasa
Dia (Muhammad) bermuka masam dan berpaling (QS. ‘Abasa [80]:1)
Abasa dalam Al Qur’an adalah surah ke-80, Abasa sendiri berarti ia bermuka masam.
Langkah Abasa apabila didefinisikan berarti langkah dimana konselor menemukan konseli
yang menunjukkan ekspresinya (pembahasan tentang ekspresi manusia dapat dilihat dari
permulaan bagian ini). Pada langkah Abasa, konselor sudah dapat dikatakan menemukan
sebagian daripada tema cobaan konseli untuk dapat dirumuskan.
Tahukah kamu barangkali ia ingin membersihkan dirinya (dari dosa), atau Dia
(ingin) mendapatkan pengajaran, lalu pengajaran itu memberi manfaat kepadanya? (QS.
‘Abasa [80]:3-4).
Pada langkah ini konselor akan menemukan isyarat motif konseli yang mengikuti pertemuan
konseling. Isyarat motif konseli bervariasi, namun pada umumnya ada dua yaitu sebagai berikut:
1. Motif ingin sadar dan bertaubat.
2. Motif ingin mendapat solusi penyelesaian.
4. 2 Tahap Pertengahan
Tahapan pertengahan adalah tahapan konseling individual yang dimulai dari
menganalisis tema cobaan, mendiagnosis konseli sampai terakhir pada menelan
keseimbangan psikis konseling bersangkutan. Tahapan pertengahan juga dibagi ke dalam 3
(tiga) langkah mendasar, yaitu:

Karyono Ibnu Ahmad


645
Pertama, Langkah At Takwiir
Al Qur’an itu tiada lain hanyalah peringatan bagi semesta alam, (yaitu) bagi siapa di
antara kamu yang mau menempuh jalan yang lurus (QS. At Takwir [81]:27-28)
At Takwiir dalam Al Qur’an adalah surah ke-81, At Takwiir sendiri berarti menggulung.
Langkah At Takwiir apabila didefinisikan berarti langkah seorang konselor untuk menganalisis
apa yang disampaikan konseli sampai pada kesimpulan. Untuk itu, konselor menggulung
tema cobaan yang dikemukakan konseli.
Kedua, Langkah Al Infithaar
Maka tiap-tiap jiwa akan mengetahui apa yang telah dikerjakan dan yang dilalaikannya
(QS. Al Infithaar [82]:5).
Al Infithaar dalam Al Qur’an adalah surah ke-82, Al Infithaar sendiri berarti terbelah.
Langkah Al Infithaar apabila didefinisikan berarti langkah seorang konselor melakukan
pembedahan atau pembelahan yang mencakup pada pengkajian dan interpretasi atas latar
belakang konseli mendapat cobaan. Selain itu pula, langkah Al Infithaar berfungsi memberi
gambaran kepada konseli untuk mengetahui kondisional dan langkah potensi dirinya.
Ketiga, Langkah Al Muthaffiffii
Al Muthaffiffii dalam Al Qur’an adalah surah ke-83, Al Muthaffiffii sendiri berarti orang-
orang yang curang. Kecelakaan besarlah bagi orang-orang yang curang (QS. Al
Muthaffiffii [83]:1).
Langkah Al Muthaffiffii apabila didefinisikan berarti langkah seorang konselor untuk
menelaah kesalahan perspektif konseli terhadap perspektif konseli, karena konseli terkadang
tidak memandang secara adil dan berimbang cobaan yang tengah dialaminya.
Sekali-kali tidak (demikian), sebenarnya apa yang selalu mereka usahakan itu
menutup hati mereka (QS. Al Muthaffiffii [83]:14).
Akibat lanjutan dari hal tersebut di atas, mereka tertutupi oleh ketidakmampuan mereka
menyimak cobaan yang tengah dihadapi.
4.3 Tahap Akhir
Tahap akhir adalah tahap konseling individual yang dimulai dari memprognosis apa
yang diungkapkan konseli hingga mengevaluasi proses konseling. Tahap akhir dibagi ke dalam
3 (tiga) langkah, yaitu:
Pertama, Langkah Al Insyiqaq
Hai manusia, sesungguhnya kamu telah bekerja dengan sungguh-sungguh menuju
Tuhanmu, maka pasti kamu akan menemui-Nya (QS. Al Insyiqaaq [84]:6).
Al Insyiqaq dalam Al Qur’an adalah surah ke-84, Al Insyiqaq sendiri berarti terbelah.
Langkah Al Insyiqaq merupakan langkah memprognosis, menurut Andi Mappiare AT (2006)
prognosis mengacu pada suatu upaya prediksi hasil konseling bagi seorang klien (konseli) atau
prediksi perkembangan masa mendatang suatu masalah atau kerisauan yang sedang dikelola.

Karyono Ibnu Ahmad


646
Dalam proses prognosis seorang konselor berupaya membantu konseling untuk sungguh-sungguh
meningkatkan ketakwaan dan berpaling kepada Allah sebagai pemberi solusi.
Kedua, Langkah Al Buruuj
Al Buruuj dalam Al Qur’an adalah surah ke-85, Al Buruuj sendiri berarti gugusan
bintang. Langkah Al Buruuj apabila didefinisikan berarti langkah dimana konselor memberi
alternatif solusi penyelesaian dan dengan menentukan pilihan media konseling yang tepat.
Karena pada tahap ini konseli mulai menemukan titik terang cobaan yang dihadapinya.
Sesungguhnya Dia-lah yang menciptakan (makhluk) dari permulaan dan
menghidupkannya (kembali). Dia-lah Yang Maha Pengampun lagi Maha Pengasih,
yang mempunyai Arasy lagi Maha Mulia, Maha Kuasa berbuat apa yang
dikehendaki-Nya (QS. Al Buruuj [85]:13-16).
Alternatif solusi penyelesaian itu dipilih dan ditentukan oleh konseli sendiri. Sembari
diberi alternatif solusi, konseli juga diminta menjalankan media konseling yang telah ditentukan
dan disepakati bersama konselor. Dengan menjalankan media konseling diharapkan konseli
bangkit kesadarannya untuk meyakini eksistensi Allah yang telah menciptakan, membangkitkan,
mengasihi dan berkuasa atas manusia dan makhluk pada umumnya.
Ketiga, Langkah Ath Thaariq
Pada hari dinampakkan segala rahasia (QS. Ath Thaariq [86]:9).
Ath Thaariq dalam Al Qur’an adalah surah ke-86, Ath Thaariq sendiri berarti yang
dapat di malam hari. Langkah Ath Thaariq maknanya sama dengan evaluasi berkenaan
dengan keefektifan proses konseling. Ini dimaksudkan bahwa proses konseling belum tentu
berjalan dengan baik sebab ada segi-segi tertentu pada diri konseli yang belum jelas.
Tidak ada suatu jiwapun (diri) melainkan ada penjaganya (QS. Ath Thaariq [86]:4).
Proses konseling individual ini akan bersinergis dengan pembentukan karakter
insan qur’ani yang diharapkan sebagaimana dikemukakan dalam ayat berikut ini
Alif laam miin. Kitab (Al Quran) ini tidak ada keraguan padanya; petunjuk bagi mereka
yang bertaqwa, (yaitu) mereka yang beriman kepada yang ghaib, yang mendirikan
shalat, dan menafkahkan sebahagian rezeki yang Kami anugerahkan kepada mereka.
Dan mereka yang beriman kepada kitab (Al Quran) yang telah diturunkan kepadamu
dan Kitab-Kitab yang telah diturunkan sebelummu, serta mereka yakin akan adanya
(kehidupan) akhirat. Mereka Itulah yang tetap mendapat petunjuk dari Tuhan mereka,
dan merekalah orang-orang yang beruntung (QS. Al Baqarah [2]:1-5).
Sebagaimana yang diketahui bahwa manusia (konseli) itu berbeda antara satu dengan
yang lainnya, begitu pula dengan keberhasilan melewati proses konseling atau minimal
selangkah kemajuan yang dibuat. Dengan berkesesuaian rukun Islam dan rukun iman serta
pencapaian perilaku ihsan, maka keberhasilan seorang konseli ditandai sebagai berikut:
1. Keimanan yang ghaib dan implementasi praktek.
2. Mampu mendirikan salat secara optimal.
3. Menafkahkan sebagian materi kepada yang berhak.

Karyono Ibnu Ahmad


647
4. Beriman dan melaksanakan pedoman Al Qur’an dan As Sunnah.
5. Meyakini hari kemudian serta pembalasan serta pembalasan yang akan diterima.
Aspek untuk menjalankan karakter insan qur’ani ini tercermin pada beberapa bentuk
karakter qur’ani di bawah ini:
1. Bentuk Al Mu’minun I (QS. Al Mu’minuun [23]: 1-9)
2. Bentuk Al Mu’minun II (QS. Al Mu’minuun [23]: 57-61)
3. Bentuk Al Furqaan (QS. Al Furqaan [25]: 63-74)
4. Bentuk Al Ma’aarij (QS. Al Ma’aarij [70]: 22-34)

DAFTAR PUSTAKA
Ahmad, Karyono Ibnu & Setiawan, Muhammad Andri. (2013). Bimbingan dan Konseling
Pendekatan Qur’ani (Alternatif Pendekatan Lapangan): Jilid Kedua Bimbingan.
Bandung: CV. Nurani Pendidikan.
Carkhuff, Robert R. (2008). The Art of Helping. Ninth Edition. Amherst, MA: Possibilities
Publishing, Inc.
Corey, Gerald. (2005). Teori dan Praktek: Konseling dan Psikoterapi. Terjemahan E. Koeswara.
Bandung: Refika Aditama.
Direktorat Jenderal Peningkatan Mutu Pendidikan dan Tenaga Kependidikan. (2007). Rambu-
rambu Penyelenggaraan Bimbingan dan Konseling dalam Jalur Pendidikan Formal.
Jakarta: Kemendikbud.
Egan, Gerard. (2010). The Skilled Helper a Problem-Management and Opportunity-Development
Approach to Helping. Ninth Edition. Belmont, CA: Brooks/Cole.
IKI Divisi ABKIN. (2008) Arah Pemikiran Pengembangan Profesi Konselor. Padang: IKI Divisi
ABKIN.
Kartadinata, Sunaryo. (2011). Menguak Tabir Bimbingan dan Konseling sebagai Upaya
Pedagogis: Kiat Mendidik sebagai Landasan Profesional Tindakan Konselor. Bandung:
UPI Press.
Lemana, Jeanette Murad. (2005). Dasar-dasar Konseling. Jakarta: UI Press.
Prayitno dan Erman Amti. (1999). Dasar-dasar Bimbingan dan Konseling. Jakarta: Rineka Cipta.
Stokes, Anne. (2004). “Settings”, dalam Aldridge, Sally & Rigby, Sally (Eds.). Counselling Skills in
Context. London: The British Association for Counselling and Psychotherapy (BACP).
Suherman & Budiman, Nandang. (2011). Pendidikan dalam Perspektif Bimbingan dan Konseling.
Bandung: UPI Press.

Karyono Ibnu Ahmad


648
OPTIMALISASI PELAKSANAAN PENDIDIKAN KARAKTER
DI SEKOLAH
M. Saleh
Universitas Lambung Mangkurat

ABSTRAK
Pendidikan karakter harus dilaksanakan pada setiap sekolah karena hal itu merupakan amanah
undang-undang. Dalam pelaksanaannya di sekolah pendidikan karakter tersebut terintegrasi/
terpadu dalam pembelajaran, manajemen sekolah dan kegiatan pembinaan kesiswaan.
Integrasi pendidkan karakter di dalam proses pembelajaran dilaksanakan mulai dari tahap
perencanaan, pelaksanaan dan evaluasi pembelajaran pada semua mata pelajaran. Di
lapangan, banyak guru yang mengalami kesulitan/masalah dalam melaksanakan pendidikan
karakter oleh karena itu perlu pembinaan dari para supervisor (pengawas sekolah dan kepala
sekolah). Supervisi klinis merupakan salah satu teknik supervisi yang bisa dipergunakan dalam
membina guru-guru melaksanakan pembelajaran yang berkarakter, namun dalam prakteknya
sering menemui kendala karena banyak guru yang tidak mau datang kepada supervisor minta
untuk disupervisi. Oleh karena itu, menurut penulis “supervisi dengan pendekatan klinis”
merupakan suatu pola atau model supervisi yang bisa dilakukan. Supervisi semacam ini
sesungguhnya supervisi biasa tetapi pola atau modelnya mengikuti pola atau model supervisi
klinis dengan langkah-langkah sebagai berikut: (a) pertemuan awal, (b) observasi kelas, dan
(c) pertemuan balikan.

I. PENDAHULUAN
Pelaksanaan pendidikan karakter di sekolah merupakan amanat dari Undang-Undang
Sistem Pendidikan Nasional (UUSPN) tahun 2003. Pasal 3 menyebutkan bahwa, pendidikan
nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk karakter serta peradaban
bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa. Pendidikan
nasional bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang
beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap,
kreatif, mandiri dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab
Konsekuensi pelaksanaan pasal 3 UUSPN tersebut disusun pula beberapa peraturan
atau ketentuan yang terkait dengan pelaksanaan pendidikan karakter di sekolah, seperti termuat
dalam Permendiknas nomor 22 tahun 2006 tentang Standar Isi, Permendiknas 23 tahun 2006
tentang SKL, dan bahkan Inpres nomor 1 tahun 2010 tentang Percepatan Pelaksanaan Prioritas
Pembangunan Nasional Tahun 2010 juga menyiratkan hal yang sama. Bidang pendidikan

M. Saleh 649
Inpres tersebut khususnya yang berkenaan dengan penguatan metodologi dan kurikulum
menyatakan bahwa ...”terimplementasinya uji coba kurikulum dan metode pembelajaran aktif
berdasarkan nilai-nilai budaya bangsa untuk membentuk daya saing dan karakter bangsa”.
Secara operasional Kementerian Pendidikan Nasional (2010) telah pula menyusun
buku Penduan Pendidikan Karakter sebagai acuan pelaksanaan pendidikan karakter di sekolah.
Dalam buku panduan tersebut dinyatakan bahwa pelaksanaan pendidikan karakter di sekolah
terintegrasi/terpadu dalam pembelajaran, manajemen sekolah dan kegiatan pembinaan
kesiswaan. Integrasi pendidikan karakter di dalam proses pembelajaran dilaksanakan mulai
dari tahap perencanaan, pelaksanaan dan evaluasi pembelajaran pada semua mata pelajaran.
Sekalipun hal ini terlihat baru tetapi bagi guru-guru seharusnya bukanlah sesuatu yang asing
sebab Undang-Undang Guru dan Dosen tahun 2005 menyatakan bahwa tugas utama guru
adalah mendidik, mengajar, membimbing, mengarahkan, melatih, menilai dan mengevaluasi
peserta didik. Mendidik mengacu kepada upaya membina kepribadian dan karakter peserta
didik dengan nilai-nilai tertentu sehingga dengan nilai-nilai tersebut mewarnai kehidupannya
dalam bentuk perilaku dan pola hidup sebagai manusia yang berakhlak (Hermawan, 2012).
Kenyataan di lapangan banyak guru-guru yang mengalami kesulitan dalam
melaksanakan pendidikan karakter. Penerapan nilai-nilai utama dari pendidikan karakter
sebagaimana yang dikembangkan dari SKL dan mata pelajaran yang tercermin dari sikap dan
perilaku peserta didik masih jauh dari harapan, seperti nilai-nilai: jujur, bertanggung jawab,
disiplin, kerja keras, ingin tahu, dan cinta ilmu. Hal ini antara lain terlihat dari pelaksanaan ujian
nasional (UN). Permasalahan yang sama terjadi dan terulang hampir setiap tahun dimana
kunci jawaban beredar lewat SMS sesaat sebelum ujian dilaksanakan, dan banyak peserta
didik yang percaya akan kunci jawaban tersebut akibatnya persiapan mereka dalam
menghadapi ujian menjadi tidak maksimal.
Agar pendidikan karakter melalui pelaksanaan pembelajaran berjalan efektif dan
berhasil optimal, kepada guru-guru perlu diberikan bantuan, pembimbingan, atau pembinaan
(supervisi) baik melalui supervisi pengawas sekolah maupun supervisi kepala sekolah.

II. SUPERVISI DAN PENDIDIKAN KARAKTER


Supervisi berasal dari kata supervision yang mengandung makna “pembinaan”.
Supervisi tersebut dalam pelaksanaannya di sekolah bisa ditujukan kepada guru-guru, kepala
sekolah, dan pegawai (TU). Namun demikian, sasaran utama kegiatan supervisi tersebut adalah
guru-guru, karena itu supervisi sering pula disebut pembinaan guru.
Guru adalah suatu profesi/jabatan profesional. Oleh karena itu, meskipun guru-guru
tersebut telah dipersiapkan dan dibekali dengan sejumlah kompetensi profesional untuk dapat
melaksanakan tugas-tugas kependidikan, namun dalam penunaian tugasnya mereka dituntut
untuk terus-menerus meningkatkan kompetensi atau kemampuannya. Tuntutan tersebut
memang menjadi salah satu hakekat guru sebab seorang guru bertanggung jawab secara
profesional untuk terus-menerus meningkatkan kemampuannya (Joni, 1981, Lipham, rankin,
& Hoch, 1985).

M. Saleh
650
Di samping harus diupayakan oleh guru yang bersangkutan, pemenuhan akan tuntutan
tersebut dapat pula dilakukan dengan meminta bantuan atau memanfaatkan layanan dan
bimbingan yang disediakan oleh para supervisor (kepala sekolah dan pengawas sekolah).
Namun demikian, bantuan tersebut hanya memfasilitasi agar terjadi pertumbuhan kerja yang
lebih terarah dan sistematis di kalangan guru-guru. Dengan demikian, bantuan atau layanan
dan bimbingan yang disediakan tersebut tidak akan mengurangi tanggung jawab guru dalam
mengupayakan peningkatan kemampuan profesionalnya.
Tujuan utama supervisi adalah memperbaiki pembelajaran, sebagaimana
dikemukakan oleh Neagley & Evans (1980) “The primary purpose of supervision is improving
instruction.” Hal senada juga dikemukakan oleh Oliva (1984) “Supervision is difined as a service
provided to teachers for the porpose of improving instruction”. Untuk mencapai tujuan supervisi
sebagaimana dikemukakan di atas, maka supervisi harus menaruh perhatian yang sungguh-
sungguh terhadap pelaksanaan tugas pokok guru yakni mengajar. Menurut Oliva (1984)
mengajar atau melakukan kegiatan pembelajaran itu dilihat dari prosesnya terdiri dari tiga
langkah yakni: (a) perencanaan pembelajaran, (b) pelaksanaan pembelajaran dan (c) penilaian
pembelajaran. Supervisi yang diarahkan/ ditujukan pada upaya memperbaiki dan meningkatkan
pembelajaran yang dilakukan guru disebut supervisi akademik (Depdiknas, 2009).
Dalam pelaksanaannya, supervisi akademik harus mendapat perhatian yang lebih
besar dari para supervisor dibandingkan dengan supervisi manajerial karena supervisi
akademiklah yang berkaitan langsung dengan perbaikan pembelajaran, namun demikian
supervisi manajerial harus pula diperhatikan dan dilaksanakan. Supervisi manajerial tidak
berkaitan langsung dengan perbaikan pembelajaran akan tetapi dapat mendukung
terlaksananya pembelajaran secara lebih baik. Supervisi manajerial dimaksud antara lain
seperti: supervisi terhadap pengelolaan pengajaran dan kurikulum, pengelolaan kesiswaan,
pengelolaan kepegawaian, pengelolaan keuangan dan lain-lain.
Untuk dapat membantu/membimbing (mensupervisi) guru-guru dalam melaksanakan
pembelajaran yang berkarakter, seorang supervisor harus mengetahui dan memahami apa itu
pendidikan karakter dan bagaimana implementasinya dalam pelaksanaan pembelajaran.
Karakter menurut Pusat Bahasa Depdiknas (2008) adalah “bawaan, hati, jiwa,
kepribadian, budi pekerti, perilaku, personalitas, sifat, tabiat, temperamen, watak”. Adapun
berkarakter adalah berkepribadian, berperilaku, bersifat, bertabiat, dan berwatak”. Individu yang
berkarakter baik atau unggul adalah seseorang yang berusaha melakukan hal-hal yang terbaik
terhadap Tuhan YME, dirinya, sesama, lingkungan, bangsa dan negara serta dunia internasional
pada umumnya dengan mengoptimalkan potensi (pengetahuan) dirinya dan disertai dengan
kesadaran, emosi dan motivasinya (perasaannya). Lebih lanjut Depdiknas (2010) menjelaskan
bahwa pendidikan karakter adalah segala sesuatu yang dilakukan guru, yang mampu
mempengaruhi karakter peserta didik. Guru membantu membentuk watak peserta didik. Hal
ini mencakup keteladanan bagaimana perilaku guru, cara guru berbicara atau menyampaikan
materi, bagaimana guru bertoleransi, dan berbagai hal terkait lainnya.

M. Saleh 651
Berdasarkan kajian nilai-nilai agama, norma-norma sosial, peraturan/hukum, etika
akademik, dan prinsip-prinsip HAM, telah teridentifikasi 80 butir nilai karakter yang
dikelompokkan menjadi lima, yaitu nilai-nilai perilaku manusia dalam hubungannya dengan
(1) Tuhan Yang Maha Esa, (2) diri sendiri, (3) sesama manusia, dan (4) lingkungan, serta (5)
kebangsaan. Namun demikian, penanaman kedelapanpuluh nilai tersebut merupakan hal
yang sangat sulit. Oleh karena itu, pada tingkat SMP dipilih 20 nilai karakter utama yang disarikan
dari butir-butir SKL SMP (Permen Diknas nomor 23 tahun 2006) dan SK/KD (Permen Diknas
nomor 22 tahun 2006). Berikut adalah daftar 20 nilai utama yang dimaksud dan diskripsi
ringkasnya.
1. Nilai karakter dalam hubungannya dengan Tuhan (Religius). Pikiran, perkataan,
dan tindakan seseorang yang diupayakan selalu berdasarkan pada nilai-nilai
Ketuhanan dan/atau ajaran agamanya.
2. Nilai karakter dalam hubungannya dengan diri sendiri.
a. Jujur: Perilaku yang didasarkan pada upaya menjadikan dirinya sebagai orang
yang selalu dapat dipercaya dalam perkataan, tindakan, dan pekerjaan, baik
terhadap diri dan pihak lain.
b. Bertanggung jawab: Sikap dan perilaku seseorang untuk melaksanakan tugas
dan kewajibannya sebagaimana yang seharusnya dia lakukan, terhadap diri
sendiri, masyarakat, lingkungan (alam, sosial dan budaya), negara dan Tuhan
YME.
c. Bergaya hidup sehat: Segala upaya untuk menerapkan kebiasaan yang baik
dalam menciptakan hidup yang sehat dan menghindarkan kebiasaan buruk
yang dapat mengganggu kesehatan.
d. Disiplin: Tindakan yang menunjukkan perilaku tertib dan patuh pada berbagai
ketentuan dan peraturan.
e. Kerja keras: Perilaku yang menunjukkan upaya sungguh-sungguh dalam
mengatasi berbagai hambatan guna menyelesaikan tugas (belajar/pekerjaan)
dengan sebaik-baiknya.
f. Percaya diri: Sikap yakin akan kemampuan diri sendiri terhadap pemenuhan
tercapainya setiap keinginan dan harapannya.
g. Berjiwa wirausaha: Sikap dan perilaku yang mandiri dan pandai atau berbakat
mengenali produk baru, menentukan cara produksi baru, menyusun operasi
untuk pengadaan produk baru, memasarkannya, serta mengatur permodalan
operasinya.
h. Berpikir logis, kritis, kreatif, dan inovatif: Berpikir dan melakukan sesuatu secara
kenyataan atau logika untuk menghasilkan cara atau hasil baru dan termutakhir
dari apa yang telah dimiliki.
i. Mandiri: Sikap dan perilaku yang tidak mudah tergantung pada orang lain dalam
menyelesaikan tugas-tugas.

M. Saleh
652
j. Ingin tahu: Sikap dan tindakan yang selalu berupaya untuk mengetahui lebih
mendalam dan meluas dari apa yang dipelajarinya, dilihat, dan didengar.
k. Cinta ilmu: Cara berpikir, bersikap dan berbuat yang menunjukkan kesetiaan,
kepedulian, dan penghargaan yang tinggi terhadap pengetahuan.
3. Nilai karakter dalam hubungannya dengan sesama
a. Sadar akan hak dan kewajiban diri dan orang lain: Sikap tahu dan mengerti serta
melaksanakan apa yang menjadi milik/hak diri sendiri dan orang lain serta tugas/
kewajiban diri sendiri serta orang lain.
b. Patuh pada aturan-aturan sosial: Sikap menurut dan taat terhadap aturan-aturan
berkenaan dengan masyarakat dan kepentingan umum.
c. Menghargai karya dan prestasi orang lain: Sikap dan tindakan yang mendorong
dirinya untuk menghasilkan sesuatu yang berguna bagi masyarakat, dan
mengakui dan menghormati keberhasilan orang lain.
d. Santun: Sifat yang halus dan baik dari sudut pandang tata bahasa maupun tata
perilakunya ke semua orang.
e. Demokratis: Cara berfikir, bersikap dan bertindak yang menilai sama hak dan
kewajiban dirinya dan orang lain.
4. Nilai karakter dalam hubungannya dengan lingkungan
Sikap dan tindakan yang selalu berupaya mencegah kerusakan pada lingkungan
alam di sekitarnya, dan mengembangkan upaya-upaya untuk memperbaiki
kerusakan alam yang sudah terjadi dan selalu ingin memberi bantuan bagi orang
lain dan masyarakat yang membutuhkan.
5. Nilai kebangsaan
Cara berpikir, bertindak, dan wawasan yang menempatkan kepentingan bangsa
dan negara di atas kepentingan diri dan kelompoknya.
a. Nasionalis: Cara berfikir, bersikap dan berbuat yang menunjukkan kesetiaan,
kepedulian, dan penghargaan yang tinggi terhadap bahasa, lingkungan fisik,
sosial, budaya, ekonomi, dan politik bangsanya.
b. Menghargai keberagaman: Sikap memberikan respek/hormat terhadap berbagai
macam hal baik yang berbentuk fisik, sifat, adat, budaya, suku, dan agama.
Ke 20 nilai karakter utama yang dikemukakan di atas harus terinternalisikan pada
sikap dan perilaku peserta didik melalui pembelajaran yang dilaksanakan guru-guru, baik di
dalam maupun di luar kelas.

M. Saleh 653
III. SUPERVISI KLINIS SEBAGAI SALAH SATU TEKNIK PEMBINAAN GURU DALAM
PELAKSANAAN PEMBELAJARAN YANG BERKARAKTER
Supervisi klinis adalah proses membantu guru memperkecil kesenjangan antara perilaku
mengajar yang nyata dengan perilaku mengajar yang ideal (Mantja, 2003). Klinis berhubungan
dan tidak bisa dipisahkan dengan kata “klinik” yang berarti tempat orang mengobati penyakit,
sedangkan klinis artinya pengobatan. Jika seseorang sakit dan ia tidak bisa mengobati sendiri
penyakitnya, biasanya ia akan mendatangi seorang dokter yang dianggap dapat menyembuhkan
penyakitnya. Demikian pula dengan seorang guru. Jika ia mengalami masalah dan ia sendiri
tidak mampu memecahkan masalahnya maka guru tersebut akan mencoba mendatangi dan
meminta bantuan kepada supervisornya, sehubungan dengan hal tersebut: (a) Guru
mengemukakan masalahnya kepada supervisor, (b) Supervisor bersama guru mencoba
mempelajari masalahnya dan menemukan faktor penyebabnya, (c) Supervisor bersama guru
mencoba memikirkan cara-cara yang mungkin ditempuh untuk mengatasi masalahnya, (d)
Supervisor bersama-sama guru mempelajari keunggulan dari masing-masing cara pemecahan
masalah tersebut, (e) Supervisor mempersilahkan kepada guru tersebut untuk memilih atau
menentukan sendiri salah satu cara yang paling mungkin dikerjakan untuk memecahkan
masalahnya, (f) Supervisor bersama-sama guru membuat suatu kesepakatan (kontrak).
Contoh di atas mengandung makna bahwa suasana pertemuan/supervisi bersifat
demokratis dan sangat manusiawi, tidak ada pemaksaan kehendak atau keinginan dari supervisor.
Hanya dengan cara-cara seperti itulah kesenjangan antara perilaku mengajar yang nyata dengan
perilaku mengajar yang ideal bisa dipersempit/diperkecil.
3.1 Ciri-Ciri Supervisi Klinis:
a. Pembimbingan bersifat membantu, bukan instruktif/direktif yang diimplementasikan
dalam bentuk hubungan tatap muka antara supervisor dan guru
b. Kegiatan supervisi terpusat pada apa yang menjadi perhatian/keluhan guru, bukan
atas dasar pandangan atau keinginan supervisor semata
c. Obyek supervisi berkenaan dengan penampilan/perilaku mengajar guru di kelas
dengan terlebih dahulu diadakan kesepakatan melalui pengkajian bersama antara
supervisor guru terutama menyangkut hal-hal berikut:
1. Instrumen observasi dikembangkan dan disepakati bersama antara supervisor-
guru sesuai dengan kontrak yang telah ditetapkan
2. Analisis dan interpretasi data hasil observasi dilakukan bersama antara supervisor
dan guru
3. Umpan balik dilakukan sesegera mungkin dan obyektif
4. Supervisi berlangsung dalam suasana profesional yang sehat, intim dan saling
keterbukaan
5. Dalam proses supervisi, supervisor lebih banyak mendengarkan dan bertanya
daripada memerintah atau memberi pengarahan

M. Saleh
654
3.2 Beberapa Faktor yang Mendorong Lahirnya Supervisi Klinis:
a. Supervisi umum dalam prakteknya seperti evaluasi karena itu sering tidak
disukai, bahkan ditolak
b. Kebanyakan diberikan berdasarkan selera dan keinginan supervisor sehingga
guru kurang merasakan manfaatnya
c. Pengamatan kelas sering terlalu umum sehingga pemberian balikan sukar
dan tidak terarah (Nurtain, 1989).
3.3 Prinsip-Prinsip Supervisi Klinis.
Prinsip supervisi adalah kaidah-kaidah pokok yang menjadi acuan dan harus
dipedomani oleh supervisor dalam melaksanakan kegiatan supervisi. Prinsip dimaksud adalah
sebagai berikut:
a. Hubungan supervisor dan guru adalah hubungan kolegial sederajat dan interaktif
(suasananya menyenangkan, intim, terbuka, penuh perhatian dan humanis)
b. Demokratis ketimbang otoritatif ( ke dua belah pihak bebas mengemukakan
pendapat, tidak mendominasi pembicaraan, memiliki sikap keterbukaan untuk
mengkaji semua persoalan yang berkembang, dan keputusan ditetapkan atas
persetujuan bersama)
c. Mengutamakan pra karsa dan tanggung jawab guru (sejak tahap perencanaan,
pengkajian balikan, bahkan pengambilan keputusan dan tindak lanjut)
d. Sasaran supervisi terpusat pada kebutuhan dan aspirasi guru (kebutuhan
mendapatkan pelayanan bersumber dan dirasakan manfaatnya oleh guru,
kebutuhan dan aspirasi guru ini tidak terlepas dari kawasan (ruang lingkup)
penampilan guru secara aktual di dalam kelas
e. Pengkajian balikan dilakukan berdasarkan data hasil observasi yang cermat,
didasarkan atas kontrak serta dilakukan dengan segera
f. Pusat perhatian pada waktu berlangsungnya supervisi dalam kegiatan pembelajaran
tertentu, hanya beberapa keterampilan mengajar atau aspek mengajar tertentu
saja.
3.4 Prosedur Supervisi Klinis
Dalam implementasinya, supervisi klinis tersebut ditempuh melalui suatu prosedur
yang terdiri dari langkah-langkah atau tahapan-tahapan kegiatan yang membentuk suatu siklus.
Tahapan-tahapan dimaksud adalah sebagai berikut: (1) tahap pertemuan awal, (2) tahap
observasi di kelas, dan (3) tahap pertemuan akhir (Nurtain, 1989). Hal senada dikemukakan
pula oleh W.Mantja (2007), yakni; (1) tahap pertemuan perencanaan, (2) tahap observasi kelas,
dan (3) tahap pertemuan balikan.
a. Tahap Pertemuan Awal:
Pertemuan ini harusnya dilakukan atas permintaan guru (setelah ia menyusun
rencana pembelajarannya) dan sebelum kegiatan pembelajaran dilakukan. Pada tahap ini
ada beberapa kegiatan penting, yakni:

M. Saleh 655
1). Menciptakan suasana akrab, terbuka dan menyenangkan
2). Mengkaji rencana pembelajaran yang telah dibuat oleh guru
3). Mengkaji aspek/keterampilan pembelajaran yang akan dibina, terutama
indikatornya
4). Memilih/mengembangkan instrumen observasi yang akan dipergunakan untuk
merekam data mengenai penampilan mengajar guru (perilaku mengajar)
5). Mendiskusikan bersama yakni antara supervisor dan guru tentang instrumen yang
akan digunakan, termasuk cara menggunakan, data yang akan dijaring, cara
mengolah dan cara menginterpretasikannya dan lain-lain
6). Menegaskan kembali kesimpulan kajian untuk menjadi kesepakatan atau kontrak
b. Tahap Observasi Kelas
Pada tahap ini, guru berlatih atau melakukan pembelajaran berdasarkan komponen-
komponen keterampilan yang telah disepakati pada pertemuan awal, sementara supervisor
mengadakan observasi dengan menggunakan instrumen yang sudah disepakati.
Adapun hal-hal yang perlu mendapat perhatian supervisor pada saat melakukan
observasi ini adalah sebagai berikut:
1). Kelengkapan catatan
2). Fokus, pilih aspek keterampilan yang memang perlu dicatat
3). Kalau diperlukan, supervisor bisa saja mencatat komentarnya, namun harus
dipisahkan (misalnya mencatat di bagian tepi instrumen)
4). Pola perilaku tertentu yang dapat mengganggu sebisanya dihindari
5). Membuat guru tidak gelisah (merasa tidak enak)
c. Tahap Pertemuan Akhir/Pertemuan Balikan
Hal ini harus dilakukan sesegera mungkin. Supervisor mengadakan analisis pendahuluan
mengenai data hasil rekamannya. Di samping itu, ada beberapa hal yang perlu mendapat perhatian
dalam pertemuan ini:
1) Suasana Pertemuan
a) Harus akrab, terbuka, bebas dari suasana menilai atau mengadili guru yang
disupervisi
b) Dituntut untuk sabar sehingga tidak terjerumus untuk mengadili atau mendikte
guru
c) Demokratis dan dalam suasana kekeluargaan
2) Hal-Hal Penting Untuk Dilaksanakan
a) Menanyakan perasaan guru secara umum atau kesan umum tentang kegiatan
mengajar yang baru ia selesaikan, kemudian memberi penguatan
b) Mengkaji tujuan/indikator pembelajaran

M. Saleh
656
c) Mengkaji target keterampilan dan perhatian utama guru dalam kegiatan
pembelajarannya
d) Menanyakan perasaan guru tentang jalannya pembelajaran berdasarkan target dan
perhatian utamanya
e) Menunjukkan data hasil rekaman dan memberikan kesempatan kepada guru untuk
menganalisis serta menginterpretasikannya
f) Supervisor bersama guru menginterpretasikan data dan akhirnya hasil observasi
itu didiskusikan/dibahas antara supervisor dan guru
g) Menanyakan kembali perasaan guru setelah mengamati hasil rekaman dan
setelah mendiskusikan hasil analisis dan interpretasi data hasil observasi tadi
h) Menyimpulkan hasil dan mengkaji apa yang sebenarnya yang merupakan
keinginan atau target guru dan apa sebenarnya telah dicapai
i) Menetapkan tindak lanjut serta rencana kegiatan berikutnya
Konsep supervisi klinis sebagaimana dikemukakan di atas sesungguhnya sangat tepat
jika dipergunakan untuk membina guru-guru dalam rangka memperbaiki dan meningkatkan
pembelajaran yang mereka lakukan, namun demikian di lapangan sangat sulit untuk
diimplementasikan sebab tidak banyak guru yang mau datang kepada supervisor untuk meminta
bantuan (disupervisi) berkenaan dengan tugas pokoknya yakni melaksanakan pembelajaran.
Oleh karena itu penulis mengusulkan satu model pembinaan guru yang disebut dengan istilah
“supervisi dengan pendekatan klinis”. Hal ini cocok dipakai ketika supervisor melakukan kunjungan
kelas (supervisi kelas) dan kunjungan kelas merupakan keharusan bagi supervisor jika ingin
memperbaiki dan meningkatkan pelaksanaan pembelajaran yang dilakukan guru-guru.
Kunjungan kelas adalah kunjungan supervisor ke kelas pada saat guru sedang mengajar.
Dalam prosesnya, kunjungan kelas tersebut dilakukan melalui tiga tahapan, (1) persiapan
kunjungan, (2) pelaksanaan kunjungan dan, (3) follow up kunjungan. Ketiga tahapan tersebut
relevan dengan tahapan-tahapan dalam supervisi klinis, yakni: (1) pertemuan awal, (2) observasi
kelas, dan (3) pertemuan balikan. Jadi yang dimaksud dengan supervisi dengan pendekatan
klinis di sini sesungguhnya supervisi biasa tetapi pola atau modelnya menggunakan pola atau
model supervisi klinis

IV. SIMPULAN
Pendidikan karakter dilaksanakan terintegrasi dalam pembelajaran, manajemen sekolah
dan kegiatan pembinaan kesiswaan. Integrasi pendidkan karakter di dalam proses
pembelajaran dilaksanakan mulai dari tahap perencanaan, pelaksanaan dan evaluasi
pembelajaran pada semua mata pelajaran.
Di lapangan (Sekolah), banyak guru yang mengalami kesulitan dalam melaksanakan
pendidikan karakter tersebut, oleh karena itu diperlukan pembinaan (supervisi) dari para
supervisor (pengawas sekolah dan kepala sekolah). Salah satu teknik yang bisa dipergunakan
untuk membina guru-guru dalam melaksanakan pembelajaran adalah supervisi klinis. Namun

M. Saleh 657
demikian, dalam pelaksanaannya di lapangan supervisi klinis tersebut menemui kendala karena
tidak banyak guru yang mau datang kepada supervisor untuk meminta bantuan atau bimbingan
(disupervisi). Oleh karena itu, pendekatan supervisi klinis dianggap pola atau model yang tepat
dalam membina guru melaksanakan pembelajaran.

DAFTAR PUSTAKA
Depdiknas (2009). Bahan Belajar Mandiri-Dimensi Kompetensi Supervisi Akademik.Jakarta:
Depdiknas.
Hermawan, H. (2012). Filsafat Pendidikan Islam. Jakarta: Ditjen Pendidikan Islam.
Joni, T.R. (1991). “Pokok-Pokok Pikiran Mengenai Pendidikan Guru”. Mencari Strategi
Pengembangan Pendidikan Nasional Menjelang Abad XXI. Jakarta: PT Grasindo.
Kemdiknas. (2010). Buku Panduan Pendidikan Karakter di Sekolah Menengah Pertama. Jakarta.
Lipham, J. M., Rankin, R. E., Hoch, J. A. (1985). The principalship: Concepts, competencies, and
Cases. New York: Longman, Inc.
Mantja, W. ( 2007 ) Manajemen Pendidikan dan Supervisi Pendidikan. Malang : Elang Mas
Neagley, R. L., & Evans, N. D. (1980). Handbook for Effective Supervision of Instruction. Englewood
Cliffs, NJ: Prentice-Hall, Inc.
Nurtain (1989). Supervisi Pendidikan. Jakarta: Depdikbud.
Oliva, P. F. (1984). Supervision for Today’s Schools. New York: Thomas Y Crowell Company.
Permendiknas Nomor 22 Tahun 2006 tentang Standar Isi. Jakarta.
Permendiknas Nomor 23Tahun 2006 tentang Standar Kompetensi Lulusan. Jakarta.
Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Nasional. (2008). Kamus Bahasa Indonesia. Jakarta:
Pusat Bahasa. Cet. I.
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2003 Tentang Sistem Pendidikan
Nasional.
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 14 Tahun 2005 Tentang Guru Dan Dosen.

M. Saleh
658
MEMBANGUN KARAKTER BANGSA MELALUI PENDIDIKAN
Wahyu
Universitas Lambung Mangkurat

ABSTRACT
This republic is under the worse and worse conflict from day to day and there is no solution for
those problems. Our people are easily getting angry because of small problems. Generally, they
are in conflict because of not being patient in understanding the social life. School as the
educational institution so far is only able to produce the intellectual person who are poor of
emotional and spiritual values. They are each of having ethics. Finally, fighting among the
students from junior school, high school, and higher education often happens. Based on those
considerations, character education becomes the important and strategic step to reconstruct
the nation identity.
Key words: character, nation, and character education

I. LATAR BELAKANG
Persoalan yang dihadapi bangsa semakin rumit dan belum menemukan benang
penyelesaian. United Nations Development Programme (UNDP) memperlihatkan secara sangat
jelas bahwa Human Development Index (HDI) Indonesia cukup miris. Indonesia pada HDI
2013 meraih peringkat ke-121 dari 186 negara dan 8 negara-teritori. Seluruh negara
diklasifikasikan ke dalam empat kelas berdasarkan hasil akhir scoring di tiap parameter. Empat
kelas tersebut adalah Very high human development, High human development, Medium human
development, dan Low human development. Indonesia dengan peringkat 121 menempati kelas
Medium human development. Indonesia berada di bawah Singapura, Malaysia, Thailand,
Brunnei Darussalam, dan Filipina. Data kenyataan sosial tentang kemiskinan juga kian
menambah persoalan. Banyak orang yang jatuh miskin atau makin miskin. Badan Pusat Statistik
per September 2013 selanjutnya juga merilis bahwa 28,55 juta penduduk Indonesia hidup di
bawah standar garis kemiskinan. Negara kita semakin tak diperhitungkan diantara negara-
negara yang kompetitif. Kita masih diperhitungkan hanya karena memiliki jumlah penduduk
besar dan sumber daya alam yang berlimpah. Lebih dari itu pascakejatuhan Soeharto, Mei
1998, banyak peristiwa memiriskan budi kemanusiaan. Anak-anak manusia yang tidak memiliki
rasa benci sesamanya harus tewas terbakar atau kepalanya hancur, lehernya terpotong, akibat
berbagai konflik politik, etnik, dan agama. Bahkan, masyarakat kita, akhir-akhir ini, mudah
meledak karena sebab sepele, tidak sabar, agresif, mudah rusuh, konflik rumah tangga kian
banyak, hubungan interpersonal kian rapuh. Sebaliknya, banyak yang tampak lebih apatis, tak

Wahyu 659
mau tahu atau tak berdaya menghadapi masa depan, semangat kerja anjlok, sulit memutuskan
pikiran atau mengambil keputusan akurat. Belum lagi meningkatnya laporan bunuh diri. Dunia
pendidikan juga demikian yang sudah mengalami ketidakjujuran dalam banyak aspek baik di
tingkat maupun perguruan tinggi. Sebetulnya, apabila diuraikan pangkal persoalannya, maka
ada alasan yang sangat mendasar mengapa semua ini terjadi di Indonesia. Karakter bangsa
yang lemah dan karakter bangsa yang tidak kokoh adalah jawabannya. Padahal, bangsa yang
maju adalah bangsa berkarakter dengan masyarakat berkarakter kuat.
Karakter dan kepribadian yang kuat ditunjukkan melalui sikap tertib aturan, mandiri,
menghormati orang lain dengan hormat, perhatian dan kasih sayang, bertanggungjawab, adil,
berperan sebagai warga negara yang baik, dan mendahulukan kepentingan khalayak.
Mempertimbangkan berbagai kenyataan pahit yang kita hadapi seperti dikemukakan di atas,
pendidikan karakter merupakan langkah penting dan strategis dalam membangun kembali jati
diri bangsa. Terbentuknya karakter peserta didik yang kuat dan kokoh diyakini merupakan hal
penting dan mutlak dimiliki peserta didik untuk menghadapi tantangan hidup di masa-masa
akan datang. Pengembangan karakter yang diperoleh melalui pendidikan, baik pada tingkat
sekolah maupun perguruan tinggi dapat mendorong mereka menjadi anak-anak bangsa yang
memiliki kepribadian unggul seperti diharapkan dalam tujuan pendidikan nasional.

II. PEMBAHASAN
Akar kata “karakter” ini, jika kita lacak berasal dari kata dalam bahasa Latin, yaitu
“kharakter”, “kharassein”, dan “kharax”, yang bermakna “tools for marking”, “to engrave”, dan
“pointed stake”. Kata ini mulai banyak digunakan dalam bahasa Prancis sebagai “caractere”
pada abad ke-14. Ketika masuk ke dalam bahasa Inggris, kata “caractere” ini berubah menjadi
“character”. Selanjutnya dalam bahasa Indonesia kata “character” ini menjadi “Karakter” (Wibowo
dan Hamrin, 2012). Sementara menurut Poerwodarminta, karakter diartikan sebagai tabiat,
watak, sifat-sifat kejiwaan, dan akhlak atau budi pekerti yang membedakan seseorang dengan
yang lainnya.
Lickona (2012) kemudian mengatakan bahwa karakter itu merupakan sifat alami
seseorang dalam merespons situasi secara bermoral. Sifat alami itu dimanifestasikan dalam
tindakan nyata melalui tingkah laku yang baik, jujur, bertanggung jawab, menghormati dan
menghargai orang lain, dan karakter mulia lainnya. Winnie (Mu’in, 2011) kemudian
menambahkan bahwa istilah karakter memiliki dua pengertian. Pertama, ia menunjukkan
tingkah laku seseorang. Apabila seseorang berperilaku tidak jujur, kejam, atau rakus, tentulah
orang tersebut memanifestasikan perilaku buruk. Sebaliknya, apabila seseorang berperilaku
jujur, suka menolong, tentulah orang tersebut memanifestasikan karakter mulia. Kedua, istilah
karakter erat kaitannya dengan personality. Seseorang bisa disebut orang yang berkarakter (a
person of character) apabila tingkah lakunya sesuai kaidah moral. Kemendiknas (2010) sebagai
lembaga negara telah memberikan pijakan bahwa karakter adalah watak, tabiat, akhlak atau
kepribadian seseorang yang terbentuk dari hasil internalisasi berbagai kebajikan (virtues),
yang diyakini dan digunakan sebagai landasan untuk cara pandang, berpikir, bersikap dan
bertindak.

660 Wahyu
Oleh karenanya dengan berdasar beberapa definisi karakter yang telah diuraikan,
maka karakter sesungguhnya merupakan sifat alami seseorang dalam merespons situasi secara
bermoral. Karakter moral yang baik tentunya tidak serta merta dapat dimiliki oleh tiap individu
sebab memerlukan suatu upaya pendidikan karakter secara efektif. Menurut pendapat beberapa
pakar (Josephson, 2001; Muin, 2011; Lickona, 2012), sekurang-kurangnya ada enam karakter
mulia yang dapat diterapkan pada pendidikan karakter, yaitu sebagai berikut:
1. Trustworthiness (dapat dipercaya/kepercayaan);
2. Respect (menghormati, memperlakukan orang lain dengan terhormat);
3. Responsibility (tanggungjawab);
4. Fairness (kejujuran);
5. Caring (perhatian, kasih sayang, kepedulian);
6. Citizenship (berperan sebagai warga negara yang baik).
Sementara Badan Penelitian dan Pengembangan Kementerian Pendidikan dan
Kebudayaan (2014), menyebutkan ada 4 (empat) nilai utama Karakter Bangsa, yakni:
1. Jujur;
2. Cerdas;
3. Tangguh;
4. Peduli.
Melengkapi uraian di atas, Megawangi (2004), pencetus pendidikan karakter di
Indonesia telah menyusun sembilan pilar karakter mulia yang selayaknya dijadikan acuan
dalam pendidikan karakter, baik di sekolah maupun di luar sekolah yaitu sebagai berikut:
1. Cinta Allah dan kebenaran;
2. Tanggungjawab, disiplin dan mandiri;
3. Amanah;
4. Hormat dan santun;
5. Kasih sayang, peduli dan kerjasama;
6. Percaya diri, kreatif, dan pantang menyerah;
7. Adil dan berjiwa kepemimpinan;
8. Baik dan rendah diri;
9. Toleransi dan cinta damai.
2.1 Guru Berkarakter
Penyelenggaraan pendidikan berkarakter tidak pernah terlepas dan dilepaskan dari
kehadiran sosok seorang guru. Guru yang berkarakter dalam konteks ini adalah hal niscaya. Oleh
sebab itu, untuk mengefektifkan pendidikan karakter, selanjutnya diperlukan jalinan kerjasama
antara sekolah, orang tua, masyarakat dan pemerintah, baik dalam perencanaan, pelaksanaan,
maupun evaluasi dan pengawasannya. Menurut Kemendiknas (2010), ada beberapa nilai luhur
yang harus dimiliki dan dipraktikkan terlebih dahulu oleh guru sebelum diajarkan kepada anak
didik dalam kehidupan nyata. Nilai-nilai luhur tersebut adalah sebagai berikut:

Wahyu 661
1. Religius
Sikap dan perilaku yang patuh dalam melaksanakan ajaran agama yang dianutnya,
toleran terhadap pelaksanaan ibadah agama lain, dan hidup rukun dengan pemeluk
agama lain.
2. Jujur
Perilaku yang didasarkan pada upaya menjadikan dirinya sebagai orang yang selalu
dapat dipercaya dalam perkataan, tindakan, dan pekerjaan.
3. Toleransi
Sikap dan tindakan yang menghargai perbedaan agama, suku, etnis, pendapat,
sikap, dan tindakan orang lain yang berbeda dari dirinya.
4. Disiplin
Tindakan yang menunjukkan perilaku tertib dan patuh pada berbagai ketentuan
dan peraturan.
5. Kerja Keras
Tindakan yang menunjukkan perilaku tertib dan patuh pada berbagai ketentuan
dan peraturan.
6. Kreatif
Berpikir dan melakukan sesuatu untuk menghasilkan cara atau hasil baru dari
sesuatu yang telah dimiliki.
7. Mandiri
Sikap dan perilaku yang tidak mudah tergantung pada orang lain dalam
menyelesaikan tugas-tugas.
8. Demokratis
Cara berfikir, bersikap, dan bertindak yang menilai sama hak dan kewajiban dirinya
dan orang lain.
9. Rasa Ingin Tahu
Sikap dan tindakan yang selalu berupaya untuk mengetahui lebih mendalam dan
meluas dari sesuatu yang dipelajarinya, dilihat, dan didengar.
10. Semangat Kebangsaan
Cara berpikir, bertindak, dan berwawasan yang menempatkan kepentingan
bangsa dan negara di atas kepentingan diri dan kelompoknya.
11. Cinta Tanah Air
Cara berpikir, bertindak, dan berwawasan yang menempatkan kepentingan bangsa
dan negara di atas kepentingan diri dan kelompoknya.

662 Wahyu
12. Menghargai Prestasi
Sikap dan tindakan yang mendorong dirinya untuk menghasilkan sesuatu yang
berguna bagi masyarakat, dan mengakui, serta menghormati keberhasilan orang
lain.
13. Bersahabat/Komunikatif
Sikap dan tindakan yang mendorong dirinya untuk menghasilkan sesuatu yang
berguna bagi masyarakat, dan mengakui, serta menghormati keberhasilan orang
lain.
14. Cinta Damai
Sikap dan tindakan yang mendorong dirinya untuk menghasilkan sesuatu yang
berguna bagi masyarakat, dan mengakui, serta menghormati keberhasilan orang
lain.
15. Gemar Membaca
Kebiasaan menyediakan waktu untuk membaca berbagai bacaan yang memberikan
kebajikan bagi dirinya.
16. Peduli Lingkungan
Sikap dan tindakan yang selalu berupaya mencegah kerusakan pada lingkungan
alam di sekitarnya, dan mengembangkan upaya-upaya untuk memperbaiki
kerusakan alam yang sudah terjadi.
17. Peduli Sosial
Sikap dan tindakan yang selalu ingin memberi bantuan pada orang lain dan
masyarakat yang membutuhkan.
18. Tanggung Jawab
Sikap dan perilaku seseorang untuk melaksanakan tugas dan kewajibannya, yang
seharusnya dia lakukan, terhadap diri sendiri, masyarakat, lingkungan (alam, sosial
dan budaya), negara dan Tuhan Yang Maha Esa.
Berdasarkan pada beberapa poin di atas, maka guru merupakan aktor utama pembelajaran.
Guru yang berkarakter menjadi kunci dari sebuah penyelenggaraan pembelajaran serta pendidikan
yang konstruktif bagi kehidupan peserta didik. Dengan demikian, guru sangat menentukan berhasil
atau tidaknya proses pembelajaran. Jika dikaitkan dengan pendidikan karakter yang saat ini tengah
menjadi andalan pemerintah, maka peranan guru sangat penting. Pendek kata, peran guru dalam
keberhasilan internalisasi pendidikan karakter kepada peserta didik adalah kunci utama. Faktor lain
seperti kurikulum, budaya, kegiatan-kegiatan spontan, hanya merupakan pendukung bagi guru.
Dalam konteks ini, guru juga dituntut memiliki karakter-karakter mulia itu dalam dirinya sendiri,
mempraktikkan dalam keseharian baik di sekolah maupun di masyarakat, dan menjadikannya
sebagai bagian dari hidup. Menarik apa yang disampaikan oleh Hidayatullah Furqon (2010), guru
berkarakter menjadi penting agar yang bersangkutan bisa menyelenggarakan pendidikan,
pembelajaran, dan mampu membangun karakter anak didiknya. Oleh karenanya, menurut Wibowo
dan Hamrin (2012), karakter utama yang harus dimiliki seorang guru adalah sebagai berikut:

Wahyu 663
1. Komitmen
Komitmen sebagai seorang guru adalah tekad untuk melaksanakan tugas dan
tanggungjawabnya sebagai seorang pendidik. Jika seorang guru sudah memiliki komitmen
yang tinggi, maka yang bersangkutan akan memiliki ketajaman visi, rasa memiliki, dan
bertanggungjawab atas amanah yang diemban.
2. Kompeten
Kompeten artinya kemampuan guru melaksanakan pembelajaran, dan memecahkan
aneka masalah guna mencapai tujuan pendidikan. Seorang guru yang kompeten ini
ditandai dengan keahlian di bidangnya, menjiwai profesi yang dimiliki, memiliki
kompetensi pedagogik, kepribadian, sosial dan profesional.
3. Kerja Keras
Guru harus senantiasa bekerja keras dalam melaksanakan tugas-tugasnya, terutama
dalam internalisasi pendidikan karakter bagi anak didiknya. Diantara indikator
seorang guru yang berkerja keras itu adalah (a) bekerja ikhlas dan sungguh-
sungguh; (b) bekerja melebihi target, dan (c) produktif.
4. Konsisten
Konsisten adalah kemampuan melakukan sesuatu dengan istiqomah, ajeg, fokus,
sabar, dan ulet, serta melakukan perbaikan yang terus-menerus. Karakter
konsisten ini menjadi penanda jika guru telah menjiwai dan menghayati
profesinya. Konsistensi guru tidak hanya dalam kata saja, tetapi juga antara kata
dan perbuatan. Di antara indikator guru yang konsisten itu adalah (a) memiliki
prinsip atau istiqomah; (b) tekun dan rajin; (c) sabar dan ulet; (d) fokus.
5. Sederhana
Kesederhanaan hendaknya senantiasa ditunjukkan para guru. Kesederhanaan itu tidak
identik dengan kemiskinan. Seseorang yang berpenampilan sederhana, bukan berarti
yang bersangkutan tidak memiliki harta benda. Ketika guru berpenampilan sederhana, itu
bukan berarti guru yang bersangkutan miskin. Kesederhanaan seorang guru terpancar
dalam perilaku, dan di antara indikator tersebut adalah (a) bersahaja; (b) tidak bermewah-
mewah baik penampilan maupun model hidup; (c) tidak berlebihan dalam
mempergunakan apa saja, dan (d) tepat guna, artinya memanfaatkan segala sesuatu
secara tepat, dan memiliki kegunaan atau kontribusi positif.
6. Kemampuan berinteraksi
Berinteraksi yang dimaksud di sini adalah kemampuan berinteraksi secara dinamis dalam
jalinan emosional antara guru dan anak didik dalam rangka mencapai tujuan pembelajaran.
Seorang guru sudah selayaknya mampu berinteraksi secara baik dan efektif.
7. Melayani secara maksimal

664 Wahyu
Pelayanan maksimal dalam pendidikan untuk anak didik adalah sebuah hal niscaya
sehingga guru pun harus membantu, melayani dan memenuhi kebutuhan anak didik
agar potensinya dapat diberdayakan secara optimal.
8. Cerdas
Guru yang cerdas dalam membaca kehidupan pendidikan anak didik menjadi kata kunci agar
peserta didik kemudian mampu menjadi para pembelajar yang ikut cerdas. Oleh sebab itu,
indikator guru yang cerdas adalah (a) cepat mengerti dan memahami, tanggap, tajam dalam
menganalisa dan mampu mencari alternatif-alternatif solusi; dan (b) mampu memberikan
makna/nilai terhadap berbagai aktivitas yang dilakukan, sehingga hasilnya optimal.
Seorang pedagog Jerman FW Foerster (1869-1966) seorang pencetus pendidikan karakter
yang menekankan dimensi etis-spiritual dalam proses pembentukan pribadi mengatakan bahwa
tujuan pendidikan adalah membentuk karakter yang termanifestasikan dalam kesatuan esensial
subjek dengan perilaku dan sikap hidup yang dimilikinya. Ada empat ciri dasar dalam pendidikan
karakter sebagaimana yang disampaikannya:
1. Keteraturan interior dengan setiap tindakan diukur berdasar hierarki nilai. Nilai menjadi
pedoman normatif setiap tindakan. Dengan kata lain, apa yang menjadi prinsip dalam
hidupnya kemudian diwujudkan dalam tindakan. Tindakan yang diproduksi pun
selanjutnya memberikan nilai kebaikan bagi semua. Guru dalam konteks ini harus
mampu melakukan itu dengan cara memperhatikan prinsipnya dalam mengajar
dengan bagaimana memperlakukan para siswanya dengan penuh kasih sayang.
Kasih sayang yang diberikan pun membawa nilai pendidikan yang baik bagi semua;
2. Koherensi yang memberi keberanian membuat seseorang teguh pada prinsip dan
tidak mudah terombang ambing pada situasi baru atau takut resiko. Koherensi
merupakan dasar yang membangun rasa percaya satu sama lain. Seorang guru
dalam konteks ini sudah menetapkan diri sebagai seorang pengajar yang bukan
hanya mentransfer(kan) ilmu pengetahuannya an sich, namun lebih dari itu adalah
membentuk pribadi-pribadi yang baik. Ia tegas dalam membimbing anak-anak
didiknya. Setiap perkataan dan tindakan yang dijalankan untuk para anak didiknya
sudah dipikir secara matang. Guru bertindak dengan dipikirkan terlebih dahulu, apakah
baik ataukah tidak bagi pembentukan mentalitas anak didiknya.
3. Otonomi. Seorang guru sudah melakukan internalisasi aturan yang berasal dari luar
dan kemudian menjadi norma serta nilai dalam kehidupannya. Ketika guru
menyampaikan sesuatu kepada anak didiknya dan itu memang sudah dipandang
benar dan baik, siapa pun tidak boleh dan tidak berhak untuk mengintervensinya.
Guru sudah tahu mana yang harus dilakukan dan tidak. Guru sudah mengerti dan
memahami apa yang terbaik bagi pendidikan anak didiknya.
4. Keteguhan dan kesetiaan. Keteguhan menjadi daya tahan seseorang dalam mencapai
sesuatu yang dianggap paling baik dalam kehidupannya di masa depan sedangkan
kesetiaan adalah fondasi bagi penghormatan terhadap komitmen yang dipilihnya.
Ketika seseorang sudah menjatuhkan diri sebagai seorang guru, ia selanjutnya benar-

Wahyu 665
benar teguh untuk melahirkan para peserta didik yang baik. Kesetiaan seorang guru
atas pilihannya itu selanjutnya mendorong guru untuk terus bekerja keras dalam
mendidik para peserta didiknya dengan sedemikian sabar dan tekun.
2.2 Pendidikan Karakter di Rumah dan di Sekolah
Pilar pertama yang menjadi acuan bagi kerjasama antara sekolah dengan pihak luar
adalah orang tua. Orang tua merupakan salah satu pemangku kepentingan dalam sekolah karena
mereka berkepentingan agar anak-anak yang mereka percayakan kepada sekolah dapat bertumbuh
dan berkembang dengan baik. Kepercayaan dari orang tua ini perlu dijaga oleh pihak sekolah agar
kepentingan masing-masing pihak dihormati. Orang tua mempercayakan anak-anaknya agar dididik
oleh para guru, sedangkan sekolah, berdasarkan kepercayaan dari orang tua, memiliki tugas untuk
mendidik dan mendampingi siswa tersebut agar berkembang secara lebih dewasa sebagai individu.
Untuk itu, kerjasama antara pihak sekolah dengan orang tua sangatlah penting agar terdapat
kesinambungan antara proses pendidikan di sekolah dengan di rumah.
Ada beberapa langkah penting yang dapat dilakukan dalam rangka menanamkan
pendidikan karakter baik di rumah maupun sekolah:
1. Di Rumah
a. Membiasakan gosok gigi sebelum tidur
Kebiasaan ini bagi anak terkadang agak mudah dan susah. Pada intinya, tujuannya
adalah dalam rangka membiasakan diri untuk bersih.
b. Makan dan minum sambil duduk
Kebiasaan ini pula kadang terlupakan terhadap anak, akan tetapi bisa dilakukan
dari kecil, dan kita terangkan mengapa harus duduk dan juga membiasakan doa
sebelum dan setelah makan.
c. Matikan televisi, nyalakan semangat baca buku
Dengan membiasakan mematikan televisi di rumah kita berawal dari kita sebagai
orang tua yang harus konsisten untuk tidak menyalakan TV atau kalaupun belum
bisa, kita beri waktu seminggu sekali (Sabtu-Minggu). Kalau kita bisa membiasakan
Sabtu-Minggu, anak kita ajak bermain keluar ataupun bersilaturahmi ke saudara.
Kegiatan untuk kesehariannya, kita bisa alihkan dengan bermain buku, cerita buku,
baca buku, dan lain sejenisnya.
d. Memisahkan tidur anak dengan orang tua
Dengan membiasakan memisahkan tidur anak dan kita, terkadang bisa terlaksana
hanya beberapa saat, tapi kita coba dengan penuh tega, dengan penuh konsistensi.
Dengan secara tegas, kita beri pengertian buat anak, pasti bisa, anak berani bisa
tidur sendiri.
e. Luangkan waktu bermain
Sebanyak apapun beban pekerjaan kantor, luangkan sebagian waktu untuk sekadar
bersenda gurau atau menanyakan PR hari ini. Kehangatan dan keakraban yang

666 Wahyu
terus terjalin dalam interaksi antara anak dan orang tua akan menumbuhkan rasa
nyaman di hati si kecil.
f. Menjadi pendengar yang baik
Anak yang aktif senang berbagi cerita yang baru dialaminya. Sebaiknya, dia juga
senang mendengarkan apa saja yang diceritakan oleh orang tuanya. Jadilah
pendengar yang baik dan berikanlah apresiasi terhadap setiap kisah yang ia
ceritakan dengan penuh perhatian.
g. Lakukan pengawasan
Anak akan merasa nyaman bila mengetahui orang tua memberi perhatian penuh
kepadanya. Tanyakan aktivitas apa saja yang dia lakukan sepanjang hari. Bila ada
yang kurang baik, beri pengarahan dengan cara persuasif dan menyenangkan.
h. Hadiah dan hukuman
Hadiah berarti apa saja yang disenangi oleh si kecil sepanjang itu baik dan tidak
membahayakan, termasuk pujian, senyum dan tepuk tangan. Sementara hukuman
jangan diartikan sebagai bentakan, amarah, apalagi pukulan fisik. Berdiam diri
dengan memasang muka masam ke anak sudah cukup menjadi peringatan baginya
bahwa apa yang baru ia lakukan salah dan tidak berkenan di hati Bunda. Biasakan
memberi hadiah dan hukuman secara proporsional agar si kecil selalu termotivasi
untuk berbuat baik dan belajar dari kesalahan.
i. Tidak sering mengamati pembantu
Pembantu atau baby sitter memegang peranan penting ketika orang tua absen dari
rumah. Selain berfungsi menjaga dan melayani kebutuhan anak, pembantu juga
berperan dalam meningkatkan kemampuan sosial anak. Bila anak sudah akrab
dengan satu orang pertahankan selama mungkin, dan upayakan untuk tidak terlalu
sering mengganti pembantu.
j. Beri kesempatan memilih
Anak yang terbiasa berhadapan dengan situasi atau hal-hal yang sudah ditentukan
oleh orang lain, akan malas untuk melakukan pilihan sendiri. Sebaliknya bila ia
terbiasa dihadapkan pada beberapa pilihan, ia akan terlatih untuk membuat
keputusan sendiri bagi dirinya. Misalnya, sebelum menentukan menu di hari itu,
ibu memberi alternatif masakan yang dapat dipilih anak untuk makan siangnya.
Demikian pula dalam memilih pakaian yang akan dipakai untuk pergi ke pesta
ulang tahun temannya, misalnya. Kebiasaan untuk membuat keputusan-keputusan
sendiri dalam lingkup kecil sejak dini akan memudahkan untuk kelak menentukan
serta memutuskan sendiri hal-hal dalam kehidupannya.
k. Hargailah usahanya
Hargailah sekecil apapun usaha yang diperlihatkan anak untuk mengatasi sendiri
kesulitan yang ia hadapi. Orang tua biasanya tidak sabar menghadapi anak yang
membutuhkan waktu lama untuk membuka sendiri kaleng permennya. Terutama

Wahyu 667
bila saat itu ibu sedang sibuk di dapur, misalnya. Untuk itu sebaiknya orang tua
memberi kesempatan padanya untuk mencoba dan tidak langsung turun tangan
untuk membantu membukakannya. Jelaskan juga padanya bahwa untuk membuka
kaleng akan lebih mudah kalau menggunakan ujung sendok, misalnya.
Kesempatan yang anda berikan ini akan dirasakan anak sebagai penghargaan
atas usahanya, sehingga akan mendorong untuk melakukan sendiri hal-hal kecil
seperti itu.
l. Hindari banyak bertanya
Pertanyaan-pertanyaan yang diajukan orang tua, yang sebenarnya dimaksudkan
untuk menunjukkan perhatian pada si anak, dapat diartikan sebagai sikap yang
terlalu banyak mau tahu. Karena itu hindari kesan cerewet. Misalnya, anak yang
baru kembali dari sekolah, akan kesal bila diserang dengan pertanyaan-pertanyaan
seperti, “Belajar apa saja di sekolah?”, dan “Kenapa seragamnya kotor? Pasti kamu
berkelahi lagi di sekolah!” dan seterusnya. Sebaliknya, anak akan senang dan
merasa diterima apabila disambut dengan kalimat pendek: “Halo anak ibu sudah
pulang sekolah!” Sehingga kalaupun ada hal-hal yang ingin ia ceritakan, dengan
sendirinya anak akan menceritakan pada orang tua, tanpa harus didorong-dorong.
m. Jangan langsung menjawab pertanyaan
Meskipun salah satu tugas orang tua adalah memberi informasi serta pengetahuan
yang benar kepada anak, namun sebaliknya orang tua tidak langsung menjawab
pertanyaan-pertanyaan yang diajukan. Sebaliknya, berikan kesempatan padanya
untuk menjawab pertanyaan tersebut. Tugas andalah untuk mengkoreksinya apabila
salah menjawab atau memberi penghargaan kalau ia benar. Kesempatan ini akan
melatihnya untuk mencari alternatif-alternatif dari suatu pemecahan masalah.
Misalnya, “Bu, kenapa sih, kita harus mandi dua kali sehari?” Biarkan anak memberi
beberapa jawaban sesuai dengan apa yang ia ketahui. Dengan demikian pun anak
terlatih untuk tidak begitu saja menerima jawaban orang tua, yang akan diterima
mereka sebagai satu jawaban yang baku.
n. Dorong untuk melihat altenatif
Sebaiknya anak pun tahu bahwa untuk mengatasi suatu masalah, orang tua
bukanlah satu-satunya tempat untuk bertanya. Masih banyak sumber-sumber lain
di luar rumah yang dapat membantu untuk mengatasi masalah yang dihadapi.
Untuk itu, cara yang dapat dilakukan orang tua adalah dengan memberitahu sumber
lain yang tepat untuk dimintakan tolong, untuk mengatasi suatu masalah tertentu.
Dengan demikian anak tidak akan hanya tergantung pada orang tua, yang bukan
tidak mungkin kelak justru akan menyulitkan dirinya sendiri. Misalnya, ketika si
anak datang pada orang tua dan mengeluh bahwa sepedanya mengeluarkan bunyi
bila dikendarainya. Anda dapat memberi jawaban: “Coba, ya, nanti kita periksa ke
bengkel sepeda”.
o. Jangan patahkan semangatnya

668 Wahyu
Tak jarang orang tua ingin menghindarkan anak dari rasa kecewa dengan
mengatakan “mustahil” terhadap apa yang sedang diupayakan anak. Sebenarnya
apabila anak sudah mau memperlihatkan keinginan untuk mandiri, dorong ia untuk
terus melakukannya. Jangan sekali-kali anda membuatnya kehilangan motivasi
atau harapannya mengenai sesuatu yang ingin dicapainya. Jika anak minta ijin
anda, “Bu, Andi mau pulang sekolah ikut mobil antar jemput, bolehkan?” Tindakan
untuk menjawab: “Wah, kalau Andi mau naik mobil antar jemput, kan Andi harus
bangun pagi dan sampai di rumah lebih siang. Lebih baik tidak usah deh, ya”
seperti itu tentunya akan membuat anak kehilangan motivasi untuk mandiri.
2. Di Sekolah
Dalam kondisi kehidupan bangsa yang amat berat sekarang ini, pendidikan harus
bangkit membangun pendidikan karakter/watak (akhlak, moral). Semua kebobrokan yang kita
rasakan kini lahir dari tidak adanya pendidikan karakter/watak yang cukup kokoh pada diri kita
bersama. Watak manusia Indonesia rapuh atau mudah goyah. Pendidikan watak di sekolah
seharusnya membawa anak terhadap pengenalan nilai secara kognitif, penghayatan nilai
secara afektif, akhirnya ke pengalaman nilai secara nyata.
Mengingat siswa sudah dianggap anak dalam pengertian keluarga, maka dalam
pendidikan karakter ini, guru melakukannya dengan kasih sayang, ikhlas, jujur, keagamaan,
dan kekeluargaan. Konsep tersebut oleh Supriyoko (2003) disebutnya Roh Pendidikan.
Pendidikan karakter tersebut merupakan nafas kehidupan di tiap lini, lorong dan sudut pendidikan.
Dengan demikian, untuk membangun pendidikan karakter di sekolah-sekolah dan
lembaga pendidikan yang paling penting bukanlah mendirikan gedung-gedung sekolah yang
megah, tetapi proses pendidikan yang berlangsung menyenangkan, mengasyikkan, sekaligus
mencerdaskan. Jadi, pendidikan karakter bisa dilakukan jika sekolah-sekolah dan lembaga
pendidikan itu tumbuh dan berkembang di atas basis masyarakat, agama, tradisi, dan akar
sosial budaya Indonesia. Seperti apa proses belajar mengajar yang menyenangkan atau
mengasyikan itu? Di bawah ini langkah belajar mengajar yang menyenangkan.
1. Mereka harus belajar dalam suasana tenang
Berikan pengertian bahwa suasana belajar dan mengajar yang tenang akan
membantu guru untuk dapat mengajar dengan baik dan murid mengerti pelajaran
yang diajarkan.
2. Murid boleh berbicara, bicara dengan volume suara kecil, tidak mengganggu proses
belajar mengajar. Berikan pengertian bahwa di saat guru menerangkan, murid
hendaknya mendengarkan. Namun apabila keadaan mendesak dan murid harus
berbicara dengan teman sebelahnya, sebaiknya dilakukan dengan berbicara pelan.
3. Bagi murid yang sudah mengerjakan tugasnya, sibukkan mereka dengan membaca
buku. Ketika murid sudah selesai mengerjakan tugas kelasnya, berikan tugas lain
kepada mereka seperti membaca buku. Dengan demikian mereka tidak akan
mengganggu murid lain yang belum selesai.

Wahyu 669
4. Pergunakan suasana di luar kelas untuk menghindari kebosanan murid di dalam
kelas.
Kegiatan ini dapat dilakukan sekali-kali agar kegiatan belajar menjadi tidak monoton.
Caranya ajak sebagian murid keluar kelas dan ajarlah mereka di udara terbuka
sedangkan sebagian murid lainnya tetap ada di kelas. Setelah beberapa saat
lakukan hal ini bergantian dengan kelompok yang ada di dalam kelas. Cara ini
sebaiknya dibantu dengan asisten pengajar sehingga murid tetap terkontrol.
5. Manfaatkan belajar kelompok
Buatlah beberapa kelompok yang terdiri dari 5 sampai 8 murid. Tunjuk seorang
ketua dalam masing-masing kelompok untuk bertanggung jawab atas kelompoknya.
Dengan demikian dapat membantu guru memonitor situasi belajar mengajar.
2.3 Pendidikan Karakter di Masyarakat
Lembaga pendidikan hadir tidak terlepas dari masyarakat di mana mereka tinggal.
Masyarakat tersebut kemudian bisa berbentuk asosiasi/perkumpulan berdasarkan persamaan
minat, yayasan, organisasi yang memiliki visi dan misi khas: lembaga sosial, lembaga bisnis,
media massa. Masyarakat inilah yang pada akhirnya akan menerima keuntungan tentang
kehadiran anak-anak didik yang telah dididik secara kompeten, profesional, dan baik. Oleh
karena itu, selama masa pendidikan, sangat diperlukan aneka kerjasama dengan berbagai
masyarakat.
Kerjasama dengan masyarakat, apapun bentuknya, sangatlah diperlukan agar
lembaga pendidikan tidak merasa berjuang sendiri. Kehadiran mereka pun sesungguhnya
disebabkan oleh keinginan untuk memenuhi harapan dan tuntutan masyarakat akan kehadiran
anggota-anggota masyarakat yang sedang menempa gemblengan pendidikan dan
perkembangan kepribadian dalam lembaga pendidikan. Oleh sebab itu, pendidikan karakter
berbasis masyarakat berusaha mendesain berbagai macam corak kerjasama dan keterlibatan
antara lembaga pendidikan dengan masyarakat. Hal itu dimaksudkan agar kehadiran lembaga
pendidikan semakin bermakna dan bermutu, mampu menjawab aspirasi setiap anggota
masyarakat tentang harapan mereka, fungsi, dan peran lembaga pendidikan dalam kehidupan
berbangsa dan bernegara.

III. SIMPULAN
Guru merupakan aktor utama pembelajaran. Karena itu, guru menentukan berhasil
atau tidaknya proses pembelajaran. Ketika dikaitkan dengan pendidikan karakter, peran guru
sangat penting. Seorang guru, selain harus memiliki pemahaman, ketrampilan dan kompetensi
mengenai karakter, juga dituntut memiliki karakter-karakter mulia itu dalam dirinya sendiri,
melaksanakannya dan menjadikan sebagai bagian dari hidupnya. Karakter mulia itu antara
lain seperti berperilaku baik, jujur, suka menolong. Di samping itu, karakter utama yang harus
dimiliki guru adalah komitmen, kompeten, kerja keras, konsisten, sederhana, kemampuan
berinteraksi, melayani secara maksimal dan cerdas.

670 Wahyu
Dengan demikian, menjadi guru yang mampu meleburkan diri dengan kehidupan anak
didiknya adalah sebuah hal niscaya sebab guru yang sesungguhnya adalah ketika ia mampu
memberikan pelayanan terbaik bagi kehidupan anak didik. Guru menjadi panutan bagi anak-
anak didiknya. Setiap langkah yang dilakoni anak didik kemana arahnya menjadi bagian dari
didikan sang guru. Setiap apa yang dipikirkan dan dikerjakan anak didiknya merupakan duplikasi
dari kehidupan sang guru. Guru dalam konteks ini bukan hanya mentransfer ilmu pengetahuan,
namun juga nilai-nilai kehidupan dalam ilmu pengetahuan. Gurulah yang mengenalkan anak
didik kepada dunia yang lebih luas dan lebar sehingga ia setidaknya ibarat sang pemandu
yang akan membawa para anak didiknya untuk mengenal dan mengetahui banyak hal. Tentunya,
guru yang berkarakter kemudian harus mampu menjawab kepentingan pendidikan masa depan.

DAFTAR PUSTAKA
Agung, Iskandar. 2012. Menghasilkan Guru Kompetensi dan Profesional. Jakarta: Bee Media
Indonesia.
Astuti, Palupi Panca. 2006. Tanpa Guru, Murid Tak Bermutu. Kompas, 2 Maret 2006, hal. 4.
Aziz, Hamka A. 2012. Karakter Guru Profesional. Jakarta: Al-Mawardi Prima.
Badan Penelitian dan Pengembangan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan. 2014.
Menyiapkan Generasi Emas Indonesia yang Berkarakter. Jakarta: Balitbang.
Budimansyah, Dasim dan Kokom Komalasari. 2011. Pendidikan Karakter. Bandung: Widya
Aksara Press.
Cahyono, Rachmat H. 2004. Sang Guru. Kompas, 26 Maret 2004, hal 5.
Daryanto. 2013. Guru Profesional. Yogyakarta: Gava Media.
Departemen Pendidikan Nasional, 2001. KBBI. Jakarta: Balai Pustaka.
Departemen Pendidikan Nasional, 2003. UU RI, No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan
Nasional. Jakarta: Departemen Pendidikan Nasional.
Fathurrohman, Pupuh dan Aa Suryana, 2012. Guru Profesional. Bandung: PT Refika Aditama.
Hidayatullah, Furqon M. 2010. Pendidikan Karakter, Makalah pada Seminar Nasional
Pembangunan Karakter Bangsa. Banjarmasin, 7 November 2010.
Izzan, Ahmad, dkk. 2012. Membangun Guru Berkarakter. Bandung: Humaniora.
Kemdiknas. 2010. Desain Induk Pembangunan Karakter Bangsa. Jakarta: Kemdiknas.
Koesoema A, Doni, 2012. Pendidikan Karakter Utuh dan Menyeluruh. Yogyakarta: Kanisius.
Lickona, Thomas. 2012. Educating for Character, Penerjemah Juma Abdu Wamaungo.
Bandung: Remaja Rosdakarya.
Mahmud. 2012. Sosiologi Pendidikan. Bandung: CV Pustaka Setia.
Megawangi, Ratna. 2004. Pendidikan Karakter Solusi yang Tepat untuk Membangun Bangsa.
Jakarta: BP Migas dan Star Energy.

Wahyu 671
Muin, Fatchul. 2011. Pendidikan Karakter: Konstruksi Teoritik dan Praktik. Yogyakarta: Ar-Ruzz
Media.

672 Wahyu
EDITORS

Ersis Warmansyah Abbas (BA, Drs. M.Pd., Dr.) dosen pada FKIP
Unlam Banjarmasin. Lahir di Muaralabuh, Solok Selatan, 15 November
1957. Doktor Pedidikan (IPS) UPI Bandung (2013), Magister
Pendidikan (Pengembangan Kurikulum) IKIP Bandung (1995), Sarjana
Pendidikan (Sejarah) IKIP Yogyakarta (1980), Sarjana Muda
Pendidikan Sejarah IKIP Padang (1978). Tamatan PGAN 6 Tahun
Padang, PGAN 4 Tahun Muaralabuh dan SDN 1 Muaralabuh. Pernah
kuliah di FK Filsafat UGM (1982), dan alumnus Pendidikan (Kursus)
Teori, Metodologi dan Aplikasi Antropologi UGM (1993).
Tulisannya dimuat beberapa jurnal, dan atau, dipresentasikan pada berbagai seminar,
baik di dalam maupun di luar negeri, misalnya pada 5th UPSI-UPI Conference on Education,
Selangor Malaysia (2012). Untuk mendukung dan mengembangan keprofesionalannya,
Presiden Lembaga Pengkajian Kebudayaan dan Pembangunan Kalimantan (LPKPK),
Lembaga Pengkajian dan Pengembangan Pendidikan Kalimantan Selatan (LPPPKS), dan
Pusat Studi Sejarah dan Nilai Budaya Kalimantan Selatan (PSNBKS), mengikuti berbagai
seminar dan workhsop dalam berbagai bidang dan melakukan kerja sama penelitian dengan
Asia Foundation, PT Djarum Kudus, Pemkab, Pemko dan Pemprov Kalimantan Selatan serta
instansi lainnya.
Ratusan tulisannya dimuat berbagai media cetak, antara lain HU Kompas, Sinar
Harapan, Suara Pembaharuan, Kedaulatan Rakyat, Berita Nasional, Jayakarta, Pelita, Bandung
Pos, Haluan, Radar Banjarmasin, Dinamika Berita, Banjarmasin Pos, Bandjarbaroe Post, Sinar
Kalimantan dan media cetak lainnya.
Pemimpin Umum Bandjarbaroe Post dan majalah GAGAH mengusung prinsip: Tulis
apa yang ada di pikiran bukan memikirkan apa yang akan ditulis. Tulis apa yang hendak
ditulis, pasti jadi tulisan. Publikasi harian tulisannya dapat diikuti melalui www. ersisweb.com
dan facebook Ersis Warmansyah Abbas.
Sebagai penyaluran kehendak menulis dan memotivasi berbagai kalangan untuk
menulis, Ersis mendirikan dan mengembangkan Gerakan Persahabatan Menulis (GPM)
berbasis dunia maya yang cabang daratnya berkembang di kota-kota Indonesia dengan pelibat
di Singapura, Taiwan, Hongkong, Mesir, dan berbagai Negara lainnya. GPM wilayah melakukan
kegiatan menulis dan telah menerbitkan puluhan buku dan untuk itulah sering bepergian ke
berbagai kota dalam lakon sharing menulis atau pelatihan menulis.

Editors
673
Ersis Warmansyah Abbas menerbitkan beragam buku dengan berbagai tema:
I. TENTANG MENULIS
1. Menulis Sangat Mudah. 2007. Yogyakarta: Mata Khatulistiwa.
2 Menulis Mari Menulis. 2007. Yogyakarta: Mata Khatulistiwa.
3. Menulis dengan Gembira. 2008. Yogyakarta: Gama Media.
4. Menulis Berbunga-Bunga. 2008. Yogyakarta: Gama Media.
5. Virus Menulis Zikir Menulis. 2008: Yogyakarta: Gama Media.
6. Menulis Mudah: Dari Babu Sampai Pak Dosen. 2008: Yogyakarta: Gama Media.
7. Menulis Tanpa Berguru. 2009. Yogyakarta: Gama Media.
8. Menulis Membangun Peradaban. 2009. Yogyakarta: Gama Media.
9. ‘Jatuh Cinta’ Menulis. 2011: Bandung: Wahana Jaya Abadi.
10. Indonesia Menulis. 2011: Bandung: Wahana Jaya Abadi.
11. Suer, Menulis Itu Mudah. 2012: Jakarta: Elex Media Komputindo, KK Gramedia.
12. Percaya Ngak Percaya, Menulis Itu Mudah. 2012. Bandung: Wahana Jaya Abadi.
13. Nyaman Membaca Mudah Menulis. 2013. Bandung: Wahana Jaya Abadi.
14. Mudah Menulis Memudahkan Menerbitkan Buku. 2012. Bandung: Wahana Jaya Abadi.
15. Menulis Menyenangkan. 2012. Bandung: Wahana Jaya Abadi.
16. Menulis Mudah Memudahkan Menulis, Wahana Jaya Abadi, Bandung, 2013
17. Indonesia Menulis: Perjalanan Spiritual, Wahana Jaya Abadi, Bandung, 2013

II. FIKSI
1. Surat Buat Kekasih, antologi Puisi, Gama Media, Yogyakarta, 2006.
2. Garunum, antologi puisi bersama, Gama Media, Yogyakarta, 2006
3. Taman Banjarbaru, antologi puisi bersama, Gama Media, Yogyakarta, 2006
4. Kolaborasi Nusantara, Antologi Puisi Bersama, Gama Media, Yogyakarta, 2006.
5. Tajuk Bunga, antologi puisi bersama, Gama Media, Yogyakarta, 2006
6. ASAP (Novel), Wahana Jaya Abadi, Bandung, 2010
7. Menjaring Cakrawala, Wahana Jaya Abadi, Bandung, 2011.
8. Zikir Rindu, Wahana Jaya Abadi, Bandung, 2011
9. Deru Awang-Awang, Wahana Jaya Abadi, Bandung, 2012.
10. Senyawa Kata Kita, antologi puisi bersama, Wahana Jaya Abadi, Bandung, 2012.
11. Astagfirullah, Antologi Cerpen (bersama), Wahana Jaya Abadi, Bandung, 2012.
12. Bogor Kasohor, Antologi Puisi (bersama), Wahana Jaya Abadi, Bandung, 2012.

III. MOTIVASIONAL SPIRITUAL


1. Nyaman Memahami ESQ. 2005. Yogyakarta: Gama Media.
2. Sabar, Ikhlas, dan Bersyukur: Melejitkan Potensi Diri. 2013. Bandung: Wahana Jaya
Abadi.

Editors
674
IV BUKU AJAR, PEMIKIRAN, DAN PENELITIAN
1. Pemuda dan Kepahlawanan .1988. Bandung: Materpamur.
2. Bab-Bab Antropologi. 1996. Penyunting tulisan Fudiat Suryadikara. Banjarmasin: EWA
Book Company.
3. Memahami Sejarah. 1997. Banjarmasin: EWA Book Company.
4. Pembangunan Kalimantan. 1998. Penyunting tulisan Ismet Ahmad. Banjarmasin: EWA
Book Company.
5. Perjuangan Rakyat Kabupaten Banjar dalam Revolusi Fisik 1945-1949. 2000.
Martapaura: Pemkab Banjar dan LPKPK.
6. Tanah Laut: Sejarah dan Potensi. 2000. Pelaihari: Pemkab Tanah Laut dan LPKPK.
7. Data Dasar Banjarbaru: Banjarbaru Menuju Metropolitan2002. Banjarbaru Pemko
Banjarbaru dan LPKPK.
8. Banjarbaru. 2002. Banjarbaru: Pemko Banjarbaru dan LPKPK.
9. Menguak Atmosfir Akademik. 2004. Penyunting bersama Sutarto Hadi. Banjarmasin: FKIP
Unlam.
10. Menggugat Kepedulian Pendidikan Kalimantan Selatan. 2005. Banjarbaru: LPKPK.
11. Nyaman Memahami ESQ. 2005. Yogyakarta: Gama Media.
12. Sejarah Kotabaru. 2010. Bandung: Rekayasa Sains.
13. PDAM Bandarmasih: Primadona Kota Air. 2010. Bandung: Rekayasa Sains.
14. Mewacanakan Pendidikan IPS. 2013. Penyunting. Bandung: Wahana Jaya Abadi, dan
FKIP-Unlam Press.
15. Pendidikan Karakter. 2014. Penyunting. Bandung: Niaga Sarana Mandiri dan FKIP-Unlam
Press.

V. BIOGRAFI
1. Buku Kenangan Purna Tugas M.P. Lambut. 2003. (Editor Bersama). Banjarmasin: FKIP
Unlam.
2. Rudy Resnawan: Untukmu Banjarbaru. 2010. Bandung: Rekayasa Sains.
3. Guru Sekumpul: Biografi Pendidikan Profetik. 2014. Bandung: Wahana Jaya Abadi.
4. Guru Sekumpul. 2014. Bandung: Wahana Jaya Abadi.

VI TEMA BEBAS
1. Masa Kecil Yang Tak Terlupakan (Bersama). 2011. Malang: Bintang Sejahtera.
2. Cinta Pertama: Kisah-Kisah Cinta Berhikmah. 2012. Bandung: Wahana Jaya Abadi.

IV. PROSES TERBIT


Beberapa bukunya dalam proses penerbitan.

Editors
675
V. SEMINAR, SHARING, TALKSHOW, DAN PELATIHAN MENULIS
Universitas Lambung Mangkurat Banjarmasin, KAMMI Kalsel, Radio MQFM Bandung,
Tahajud Call Bandung, Masjid Salman ITB Bandung, UIN Malang, Malang Post Malang,
Universitas Pakuan Bogor, IAIN Sunan Ampel Surabaya, Universitas Brawijaya Malang, Institut
Keislaman Hasyim As’ari Jombang, Pesantren Darul Ilmi Banjarbaru, Pesantren Sidogiri
Pasuruan, Pesantren Banyuanyar Pamekasan, SMA/MA, dan berbagai insitusi dan instansi.

Fatchul Mu’in was born on March 4, 1961 in Blitar, Jawa Timur. He


completed his Elementary School at Sekolah Dasar Islam Wahid
Hasyim Tanjungsari, Blitar in 1974, and Junior High School at
Pendidikan Guru Agama Negeri (PGAN) 4 Tahun Bendo, Blitar in
1979, and Senior High School at Madrasah Aliyah Negeri Tlogo
Kanigoro, Blitar in 1981. In 1982, he was registered as the student of
English Department, Faculty of Letters, Diponegoro University,
Semarang and completed his study on October 2, 1987. Since 1989
he has been a teaching staff at English Department, Faculty of
Teacher Training and Education, Lambung Mangkurat University, Banjarmasin, Kalimantan
Selatan. In 1998, he was registered as the student of Magister Program, Gadjah Mada University,
Yogyakarta and completed his study on September 14, 2001; his thesis entitiled “Richard Wright’s
Native Son: A Study of White Domination and Its Effects on African-Americans”.

Melly Agustina Permatasari, M. Pd. lahir di Banjarmasin, 11


Agustus 1985. Menempuh pendidikan di SDN Sungai Bilu 2
Banjarmasin (1999), SMPN 6 Banjarmasin (2001), SMAN 7 Plus
Banjarmasin (2004), S1 Pendidikan Ekonomi FKIP UNLAM
Banjarmasin (2008), dan S2 Pendidikan IPS UPI Bandung (2013).

Syaharuddin, S.Pd., M.A. Lahir di Santan Ilir (Kutai Kartanegara), 1


Maret 1974. Menempuh pendidikan SD hingga SLTA di Kota
Bontang. S1 Pendidikan Sejarah FKIP Unlam (lulus 2008), S2 Ilmu
Sejarah Fakultas Ilmu Budaya UGM, dan saat ini sedang
menyelesaikan disertasi pd jurusan Pendidikan IPS (Social Studies
Education) SPs UPI Bandung. Telah menerbitkan sekitar 5 buku,
diantaranya: "Orang Banjar Menjadi Indonesia: Dinamima
Organisasi Islam di Kalimantan Selatan, 1912 -1942 (2009)".

Editors
676
Sirajuddin Kamal, S.S, M.Ed. Lahir di Ujung Pandang, Sulawesi
Selatan. Sarjana Sastra Inggris diperolehnya pada tahun 1995 di
Universitas Hasanuddin, Makassar. Kemudian menyelesaikan
pendidikan Masternya di Monash University, Victoria, Australia pada
tahun 2005. Memulai karir sebagai dosen di FKIP, Unlam
Banjarmasin pada tahun 1999. Selain sebagai dosen juga aktif
dalam penulisan artikel dalam jurnal pendidikan berskala lokal dan
nasional. Dia juga terlibat dalam berbagai seminar nasional dan
internasional di wilayah Kalimantan Selatan dan Nasional baik
sebagai peserta maupun sebagai panitia. Beberapa penelitian dan
pengabdian masyarakat juga pernah terlibat baik yang didanai oleh DIKTI maupun oleh FKIP.
Karir sebagai sekretaris di Program Studi pendidikan Bahasa Inggris dimulai tahun 2007 sampai
sekarang. Mulai tahun 2013 juga menjabat sebagai sekretaris pada Jurnal Vidya Karya, FKIP
Unlam.

Editors
677
Editors
678

Anda mungkin juga menyukai