Anda di halaman 1dari 36

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 LANDASAN TEORI

2.1.1 Konsep Kejadian Lesi Pra Kanker Leher Rahim

2.1.1.1 Pengertian

Kanker leher rahim merupakan suatu penyakit yang ditandai dengan

adanya pertumbuhan dan perkembangan sel secara abnormal pada organ

reproduksi wanita tepatnya pada organ leher rahim (Rasjidi, 2008). Kejadian Lesi

Pra Kanker Leher Rahim dengan hasil pemeriksaan IVA Positif merupakan

kejadian dimana ditemukannya bercak putih (acetowhite) pada ephitelium leher

rahim setelah dilakukannya pemeriksaan leher rahim secara visual menggunakan

asam cuka dengan mata telanjang. Kejadian tersebut mengindikasikan adanya

abnormalitas pada leher rahim, sehingga dapat memicu terjadinya prakanker leher

rahim.

Tahap prakanker leher rahim yang biasa disebut displasia terdiri dari

displasia ringan, sedang, berat dan KIS. Perkembangannya menjadi kanker invasif

dan perubahannya memerlukan waktu antara 10-20 tahun. Hal ini dikarenakan

periode laten dari fase prainvasif untuk menjadi invasif memakan waktu sekitar 10

tahun.

Hanya 9% wanita berusia kurang dari 35 tahun menunjukkan kanker leher

rahim yang invasif pada saat didiagnosis, sedangkan 53% dari KIS terdapat pada

wanita dibawah usia 35 tahun. Menurut Benson KL, 2% dari wanita yang berusia

40 tahun akan menderita kanker leher rahim dalam hidupnya. Hal ini

15
16

dimungkinkan karena perjalanan penyakit ini memerlukan waktu 7 sampai 10

tahun untuk terjadinya kanker invasif sehingga sebagian besar terjadinya atau

diketahuinya setelah berlanjut usia.

Kebanyakan wanita dengan karsinoma leher rahim mengalami periode

asimtomatik yang panjang sebelum penyakitnya menimbulkan gejala klinis.

Dengan demikian, temuan dini melalui skrining rutin dapat mencegah progresi

dari kondisi prainvasif menjadi invasif. Konsep regresi spontan serta lesi yang

persisten menyatakan bahwa tidak semua lesi prakanker akan berkembang

menjadi lesi invasive atau kanker leher rahim, sehingga diakui masih banyak

faktor yang mempengaruhi (Verawati, n.d.).

2.1.1.2 Epidemiologi

Angka kejadian dan angka kematian akibat kanker leher rahim atau kanker

leher rahim di dunia menempati urutan kedua setelah kanker payudara. Sedangkan

di negara berkembang masih menempati urutan teratas sebagai penyebab

kematian akibat kanker di usia produktif. Hampir 80% kasus berada di negara

berkembang. Di Indonesia, setiap hari ditemukan 41 kasus baru dan 20 kasus

meninggal dunia. Sebelum tahun 1930, kanker leher rahim merupakan penyebab

kematian utama pada wanita dan kasusnya menurun setelah diperkenalkan

skrining Papsmear. Namun, hingga saat ini program skrining belum

memasyarakat sehingga angka kejadian kanker leher rahim masih tetap tinggi

(Rasjidi, 2008).
17

2.1.1.3 Etiologi

Penyebab utama kanker leher rahim adalah infeksi Human Papilloma

Virus (HPV). Saat ini terdapat 138 jenis HPV yang sudah dapat teridentifikasi

yang 40 diantaranya dapat ditularkan melalui hubungan seksual. Beberapa tipe

HPV virus risiko rendah jarang menimbulkan kanker, sedangkan tipe lain yang

bersifat virus risiko tinggi. Baik tipe risiko tinggi maupun tipe risiko rendah dapat

menyebabkan pertumbuhan abnormal pada sel tetapi pada umumnya hanya HPV

tipe risiko tinggi yang dapat memicu kanker. Virus HPV risiko tinggi yang dapat

ditularkan melalui hubungan seksual adalah tipe 16, 18, 31, 33, 35, 39, 45, 51, 52,

56, 58, 59, 69 dan mungkin masih terdapat beberapa tipe yang lain. Beberapa

penelitian mengemukakan bahwa lebih dari 90% kanker leher rahim disebabkan

oleh tipe 16 dan 18. Dari kedua tipe ini HPV16 sendiri menyebabkan lebih dari

50% kanker leher rahim. Seseorang yang sudah terinfeksi HPV16 memiliki

kemungkinan terkena kanker leher rahim sebesar 5% (Rasjidi, 2008).

2.1.1.4 Patogenesis dan Patofisiologi

Kanker leher rahim merupakan kanker yang berkembang pada epitel leher

rahim dari sebuah sel yang mengalami perubahan kearah keganasan. Kanker ini

lebih sering ditemukan pada daerah anatomis yang khas yang dikenal sebagai

zona transisi antara epitel kolumnar (endoleher rahim) menjadi epitel berlapis

skuamosa tidak berkeratin (eksoleher rahim). Pembentukan zona transisi ini

terjadi akibat terpapar lingkungan asam vagina. Lapisan endoleher rahim yang

dilapisi oleh epitel kolumnar akan mengalami metaplasia menjadi epitel skuamosa

tanpa lapisan tanduk. Selama masa pubertas dan kehamilan, zona transisi pada
18

daerah ektoleher rahim meluas. Hal inilah yang memfasilitasi infeksi dari HPV.

90% dari kanker leher rahim merupakan keganasan yang berkembang dari epitel

kolumnar endoleher rahim. Epitel skuamosa bertingkat yang melapisi leher rahim

bertujuan untuk melindungi dari substansi-substansi berbahaya ataupun infeksi.

Pada keadaan normal, lapisan epitel ini tetap dipertahankan ketebalannya melalui

mekanisme apoptosis dan pengelupasan lapisan teratas dari epitel ini, sedangkan

lapisan basal akan membentuk lapisan baru. Namun bila terdapat infeksi HPV

yang menetap ditambah dengan kofaktor lain, maka sel skuamosa yang

mengalami metaplasia pada zona transformasi akan mengalami displasia menjadi

lesi prakanker. Sel-sel ini nantinya akan terus membelah secara tidak terkendali

(yang merupakan sifat dari kanker) dan menjadi kanker sel skuamosa (WHO,

2008).

Melihat dari perjalanan kanker ini, hampir 90% kasus berasal dari epitel

permukaan (epitel skuamosa). Pada epitel tersebut akan terlihat bakal kanker yaitu

prakanker. Keadaan tersebut dimulai dari yang bersifat ringan sampai karsinoma

in situ yang semuanya dapat didiagnosa dengan skrining atau penapisan. Dalam

proses perkembangannya, dapat terjadi perubahan atau perpindahan dari satu

tingkat ke tingkat yang lain. Untuk terjadinya perubahan, diperlukan waktu 10-20

tahun. Namun jika sudah menjadi kanker stadium awal, penyakit ini dapat

menyebar ke daerah disekitar mulut rahim (Bustan, 2002).

2.1.1.5 Gejala Klinis

Pada tahap prakanker sering tidak menimbulkan gejala. Bila ada gejala

biasanya berupa keputihan yang tidak khas, atau ada perubahan setitik yang bisa
19

hilang sendiri. Pada tahap selanjutnya (kanker) dapat timbul gejala berupa

keputihan atau keluar cairan kanker dari vagina yang biasanya berbau, perdarahan

diluar siklus haid, perdarahan setelah melakukan senggama, timbul kembali haid

setelah haid (menopause), nyeri daerah panggul, gangguan buang air kecil

(Depkes RI, 2007).

Kecepatan pertumbuhan kanker leher rahim tidak sama antara kasus yang

satu dengan kasus yang lain. Namun, pada penyakit yang pertumbuhannya sangat

lambat bila diabaikan sampai lama akan juga tidak mungkin terobati. Jika tumor

tumbuh berjalan dengan sangat cepat, bila dikenali sejak dini akan mendapatkan

hasil pengobatan yang lebih baik. Semakin dini penyakit tersebut dideteksi dan

dilakukan terapi yang adekuat semakin memberi hasil terapi yang sempurna

(Rasjidi, 2008).

2.1.2 Pemeriksaan Skrining

Skrining didefinisikan sebagau pelaksana prosedur sederhana dan cepat

untuk mengidentifikasi dan memisahkan orang yang nampaknya sehat, tetapi

kemungkinan beresiko terkena penyakit, dari mereka yang mungkin terkena

penyakit tersebut. Skrining dilakukan untuk mengidentifikasi mereka yang diduga

mengidap penyakit sehingga mereka dapat dikirim untuk menjalani pemeriksaan

medis dan studi diagnostik yang lebih pasti. Skrining terkadang dipertukarkan

maknanya dengan diagnosis, tetapi skrining itu sendiri merupakan prekursor

untuk diagnosis. Tes skrining, seperti tes penglihatan, pengukuran tekanan darah,

Papsmear, pemeriksaan darah dan x-rays dada dilakukan pada kelompok besar

atau populasi. Tes skrining memiliki titik potong yang digunakan untuk
20

menentukan nama orang yang berpenyakit dan nama yang tidak. Diagnosis

diberikan kepada pasien secara perorangan oleh dokter atau institusi perawatan

berkualitas lainnya. Diagnosis selain menggunakan hasil tes, juga melibatkan

evaluasi tanda dan gejala, dan mungkin melibatkan penilaian subyektif

berdasarkan pengalaman dokter. Diagnostik adalah hak prerogatif dokter. Tes

skrining dapat dilakukan oleh teknisi medis dibawah pengawasan dokter. Skrining

tidak ditujukan untuk menyaingi diagnosis, tetapi lebih sebagai proses yang

digunakan untuk mendeteksi kemungkinan suatu kondisi penyakit sehingga dapat

dirujuk untuk diagnosis. Diagnosis tidak hanya memperkuat atau menyanggah tes

skrining, tetapi juga dapat membantu menetapkan validitas, sensitivitas dan uji

spesifitas (Kemenkes RI, 2008).

Deteksi dini kanker leher rahim meliputi program skrining yang

terorganisasi dengan target pada kelompok usia yang tepat dan sstem rujukan

yang efektif di semua tingkat pelayanan kesehatan. Beberapa metode skrining

yang dapat digunakan adalah pemeriksaan sitologi berupa Pap tes konvensional

atau sering dikenal dengan Tes Pap dan pemeriksaan sitologi cairan (Liquid Base

Cytology/LBC), pemeriksaan DNA HPV, dan pemeriksaan visual berupa inspeksi

visual dengan asam asetat (IVA) serta inspeksi visual dengan lugol iodin (VILI)

(Marliana, 2011). Perbedaan metode skrining kanker leher rahim dapat dilihat

pada tabel berikut :

Tabel 2.1 Perbedaan metode skrining kanker leher rahim


Metode Prosedur Kelebihan Kekurangan Status
Sitologi Sampel 1. Metode telah 1. Hasil tes tidak Telah lama
konvensional diambel oleh lama dipakai didapat segera digunakan
(Tes Pap) tenaga 2. Diterima secara 2. Diperlukan dibanyak
kesehatan luas sistem yang Negara sejak
dan 3. Pencatatan hasil efektif untuk tahun 1950
21

diperiksa 4. pemeriksaan follow up


oleh permanen wanita yang
sititeknisi di 5. Training dan diperiksa
laboratorium mekanisme setelah ada
kontrol kualitas hasil
telah baku pemeriksaan
6. Investasi yang 3. Diperlukan
sederhana pada transport
program yang bahan sediaan
telah ada dapat dari tempat
meningkatkan pemeriksaan
pelayanan ke
7. Spesifisitas laboratorium
tinggi 4. Sensitifitas
sedang
Liquid Base Sampel 1. Jarang 1. Hasil tes tidak
Cytology diambil oleh diperlukan didapat segera
tenaga pengambilan 2. Fasilitas
kesehatan, sampel ulang laboratorium
dimasukkan bila bahan lebih mahal
dalam cairan sediaan tidak dan canggih
fiksasi dan adekuat
dikirim 2. Waktu untuk
untuk proses pembacaan
pemeriksaan hasil lebih
di singkat bila
laboratorium dilakukan oleh
sitoteknisi
berpengalaman
3. Sampel juga
dapat
digunakan
untuk tes
molekuler
(misalnya HPV
tes)
Tes DNA HPV Pengambilan 1. Pengambilan 1. Hasil tes tidak Digunakan
sampel dapat sampel lebih didapat segera secara komersial
dilakukan mudah 2. Biaya lebih di negara-negara
sendiri oleh 2. Proses mahal maju sebagai
wanita dan pembacaan 3. Fasilitas tambahan
dibawa ke otomatis oleh laboratorium pemeriksaan
laboratorium alat khusus lebih mahal sitologi
3. Dapat dan canggih
dikombinasi 4. Perlu reagen
dengan Tes Pap khusus
untuk 5. Spesifisitas
meningkatkan rendah pada
sensitivitas perempuan
4. Spesifisitas usia 35 tahun
tinggi terutama
pada
perempuan >35
tahun
Metode visual Pemulasan 1. Mudah dan 1. Spesifitas 1. Belum
22

(IVA dan leher rahim murah rendah, cukup data


VILI) dapat 2. Hasil didapat sehingga dan
dilakukan dengan segera berisiko penelitian
oleh tenaga 3. Sarana yang overtreatment yang
kesehatan dibutuhkan 2. Tidak ada mendukung,
yang terlatih sederhana dokumentasi terutama
(bidan, 4. Dapat hasil sehubungan
dokter dan kombinasi pemeriksaan dengan
perawat) dengan 3. Tidak cocok efeknya
tatalaksana untuk skrining terhadap
segera lainnya pada penurunan
yang cukup perempuan angka
dengan pasca kejadian dan
pendekatan menopause kematian
sekali 4. Belum ada kanker leher
kunjungan standarisasi rahim
(single visit 5. Seringkali 2. Saat ini
approach) perlu training hanya
ulang untuk direkomend
tenaga asikan pada
kesehatan daerah
proyek

Diantara metode di atas, Inspeksi Visual dengan Asam Asetat merupakan

pilihan metode skrining yang paling tepat digunakan di negara berkembang,

seperti Indonesia.

2.1.3 Pemeriksaan Inspeksi Visual Asam Asetat (IVA)

2.1.3.1 Pengertian IVA

Metode inspeksi visual dengan asam asetat (IVA) sudah dikenalkan sejak

1925 oleh Hans Hinselman dari Jerman, tetapi baru diterapkan sekitar tahun 2005.

Skrining dengan metode IVA dilakukan dengan cara sangat sederhana, murah,

nyaman, praktis, dan mudah. Sederhana, yaitu dengan hanya mengoleskan asam

asetat (cuka) 3-5% pada leher rahim lalu mengamati perubahannya, dimana lesi

prakanker dapat terdeteksi bila terlihat bercak putih pada leher rahim. Murah

biayanya, nyaman karena prosedurnya tidak rumit, tidak memerlukan persiapan,

dan tidak menyakitkan. Praktis, artinya dapat dilakukan dimana saja, tidak
23

memerlukan sarana khusus, cukup tempat tidur sederhana yang representatif,

spekulum dan lampu. Mudah, karena dapat dilakukan oleh bidan dan perawat

yang terlatih, juga memiliki keakuratan sangat tinggi dalam mendeteksi lesi atau

luka pra kanker, yaitu mencapai 90 persen. Beberapa karakteristik metode ini

sesuai dengan kondisi Indonesia yang memiliki keterbatasan ekonomi dan

keterbatasan sarana serta prasarana kesehatan. Karenanya pengkajian penggunaan

metode IVA sebagai cara skrining kanker leher rahim di daerah-daerah yang

memiliki sumber daya terbatas ini dilakukan sebagai salah satu masukan dalam

pembuatan kebijakan kesehatan nasional di Indonesia.

Laporan hasil konsultasi WHO menyebutkan bahwa IVA dapat

mendeteksi lesi tingkat pra kanker (high-grade precanceraus lesions) dengan

sensitivitas sekitar 66-69% dan spesifitas 64-98%. Sedangkan nilai prediksi positif

(positive predective value) dan nilai prediksi negatif (negative predective value)

masing-masing antara 10-20% dan 92-97% (Marliana, 2011).

2.1.3.2 Kelompok Sasaran Skrining IVA

Kelompok sasaran pemeriksaan skrining IVA adalah sebagai berikut :

1. Wanita berusia 25-64 tahun.

2. Wanita yang sudah pernah melakukan hubungan seksual.

3. Wanita yang tidak sedang menderita penyakit fisik berat.

4. Wanita yang tidak menderita gangguan komunikasi yang sangat berat.

5. Wanita yang tidak sedang hamil (walaupun bukan suatu hal yang rutin,

perempuan yang sedang hamil dapat menjalankan skrining dengan aman,


24

tetapi tidak boleh menjalani pengobatan krioterapi) atau sedang masa

menstruasi.

2.1.3.3 Persiapan Pemeriksaan IVA

Menurut data Kemenkes RI (2016), untuk melaksanakan deteksi dini

dengan metode IVA, dibutuhkan tempat dan alat sebagai berikut :

1. Meja periksa ginekologi

2. Lampu sorot atau lampu pijar 100W

3. Sarung tangan

4. Masker

5. Spekulum vagina (S, M, L)

6. Kapas yang sudah dibasahi dengan NaCl atau aquadest

7. Larutan asam asetat 5%

8. Kapas lidi besar

9. Endocervical brush dan medium collection (Liquid PrepTM)

10. Larutan fisiologis atau larutan NaCl 0,9

11. Larutan klorin 0,5%

12. Perlak

13. Alkohol 70%

14. Biohazard bag

2.1.3.4 Langkah-langkah pemeriksaan IVA

1. Sosialisasi kepada responden yang akan menjalani pemeriksaan IVA.

2. Tindakan IVA. Dimulai dengan pengenalan pemeriksa kepada responden,

penilaian dan persiapan responden, pengambilan usap leher rahim,


25

tindakan IVA, pencatatan hasil dan diakhiri dengan konseling hasil

pemeriksaan.

1) Penilian Klien dan persiapan

Terdapat beberapa langkah untuk melakukan penilaian klien dan

persiapan tindakan IVA, yaitu :

a. Sebelum melakukan tes IVA, diskusikan tindakan dengan klien.

b. Pastikan semua peralatan dan bahan yang diperlukan tersedia,

termasuk spekulum steril atau yang telah di-DDT, kapas lidi dalam

wadah bersih, botol berisi larutan asam asetat dan sumber cahaya yang

memadai.

c. Bawa klien ke ruang pemeriksaan. Minta klien untuk buang air kecil

(BAK) jika belum dilakukan. Jika kemaluannya kurang bersih, minta

klien membersihkan dan membilas daerah kemaluan sampai bersih.

Minta klien untuk melepaskan pakaian (termasuk pakaian dalam)

sehingga dapat dilakukan pemeriksaan panggul dan tes IVA.

d. Bantu klien untuk memposisikan dirinya di meja ginekologi dan tutup

badan klien dengan kain, nyalakan lampu/senter dan arahkan ke

vagina klien.

e. Sebelum pemeriksaan, pemeriksa disarankan untuk memakai apron.

Cuci tangan secara merata dengan sabun dan air sampai benar-benar

bersih, kemudian keringkan. Lakukan palpasi abdomen, dan

perhatikan apabila ada kelainan. Periksa juga bagian lipat paha,

apakah ada benjolan atau ulkus (apakah terdapat ulkus terbuka,


26

pemeriksaan dilakukan dengan memakai sarung tangan). Cuci tangan

kembali.

f. Pakai sepasang sarung tangan periksa yang baru pada kedua tangan.

2) Tes IVA

Tes IVA dilakukan dengan langkah sebagai berikut :

a. Inspeksi/periksa genitalia eksternal dan lihat apakah terjadi discharge

pada mulut uretra.

b. Dengan hati-hati masukkan spekulum sepenuhnya atau sampai terasa

ada tahanan lalu secara perlahan buka bilah/daun spekulum untuk

melihat leher rahim. Atur spekulum sehingga seluruh leher rahim

dapat terlihat.

c. Bila leher rahim dapat terlihat seluruhnya, kunci spekulum dalam

posisi terbuka sehingga tetap berada di tempatnya saat melihat leher

rahim. Dengan cara ini petugas memiliki satu tangan yang bebas

bergerak.

d. Pindahkan sumber cahaya agar leher rahim dapat terlihat dengan jelas.

e. Amati leher rahim apakah ada infeksi (servisitis) seperti

discharge/cairan keputihan mucous ectopi (ectropion); kista nabothy

atau kista nabothian, nanah atau lesi “strawberry” (infeksi

trichormonas).

f. Identifikasi ostium servikalis dan SSK serta daerah di sekitarnya.

Adakah tanda kanker? Bila curiga kanker maka pemeriksaan tidak

dilanjutkan atau dilakukanlah proses rujukan.


27

g. Lakukan pengambilan usap leher rahim terlebih dahulu sebelum

pemeriksaan IVA

h. Setelah melakukan pengambilan usap leher rahim dilanjutkan dengan

pemeriksaan IVA. Basahi kapas lidi dengan larutan asam asetat dan

oleskan pada leher rahim. Bila perlu, gunakan kapas lidi bersih untuk

mengulang pengolesan asam asetat sampai seluruh permukaan leher

rahim benar-benar telah dioleskan asam asetat secara merata. Buang

kapas lidi yang telah dipakai.

i. Setelah leher rahim dioleskan larutan asam asetat, tunggu selama 1

menit agar diresap dan memunculkan reaksi acetowhite.

j. Periksa SSK dengan teliti. lihat apakah leher rahim mudah berdarah,

apakah ada bercak putih yang tebal atau epithel acetowhite yang

menandakan IVA positif.

k. Bila perlu, oleskan kembali asam asetat atau usap rahim dengan kapas

lidi bersih untuk menghilangkan mukosa, darah atau debris yang

terjadi saat pemeriksaan dan mungkin mengganggu pandangan. Buang

kapas lidi yang telah dipakai.

l. Bila pemeriksaan visual pada leher rahim telah selesai, gunakan kapas

lidi yang baru untuk menghilangkan sisa asam asetat dari leher rahim

dan vagina. Buang kapas lidi yang telah dipakai.

m. Lepaskan spekulum secara halus dan rendam di dalam larutan klorin

0,5% selama 10 menit untuk desinfeksi.


28

n. Jika hasil tes IV negatif, catat hasil temuan tes IVA bersamaan dengan

temuan lain seperti bukti adanya infeksi (servisitis); ectropion; kista

nabothian, ulkus atau ‘strawberry leher rahim’. Jika terjadi perubahan

acetowhite, yang merupakan ciri adanya lesi pra kanker, catat hasil

pemeriksaan leher rahim sebagai abnormal.

o. Diskusikan dengan klien hasil tes IVA dan pemeriksaan panggul

bersama klien. Jika hasil tes IVA negatif beritahu kapan klien harus

kembali untuk tes IVA.

p. Jika hasil tes IVA positif atau diduga ada kanker, katakan pada klien

langkah selanjutnya yang dianjurkan antara lain berobat sesegera

mungkin. Pada responden yang dirujuk ke RS untuk diagnosis lanjut,

aturlah waktu untuk melakukan kunjungan ke RS. Akan lebih baik

jika kepastian waktu rujukan dapat disampaikan pada waktu itu juga.

2.1.3.5 Kategori Klasifikasi Pemeriksaan IVA

Ada beberapa kategori yang dapat dipergunakan untuk pemeriksaan IVA

yaitu sebagai berikut :

Tabel 2.2 Kategori Klasifikasi Pemeriksaan IVA


KLASIFIKASI IVA KLASIFIKASI KLINIS
Tes Negatif Halus, berwarna merah muda, seragam, tidak
berfitur, ectropion, cervicitis, kista nabothy dan
lesi acetowhite tidak signifikan
Servisitis Gambaran inflamasi, hiperemis, multipel ovula
naboti, polypus servisitis
Tes Positif Bercak putih (acetowhite) epithelium sangat
meninggi, tidak mengkilap yang terhubung
Dicurigai kanker Pertumbuhan massa seperti kembang kol yang
mudah berdarah atau luka bernanah/encer
(Sumber : Kemenkes RI, 2016)
29

Menurut Bertiani (2009) dalam Nifa (2016), ada beberpa kategori yang

dapat dipergunakan, salah satu kategori yang dapat dipergunakan adalah :

Tabel 2.3 Kategori Temuan Pemeriksaan IVA


No Kategori Gejala
1. IVA negatif Menunjukkan leher rahim normal
2. IVA radang Leher rahim dengan radang (servisitis), atau
kelainan jinak lainnya (polip leher rahim)
3. IVA positif Ditemukan bercak putih (acetowhite epithelium).
Kelompok ini yang menjadi sasaran temuan
skrining kanker leher rahim dengan metode IVA
karena temuan ini mengarah pada diagnosis leher
rahim pra kanker (dispalsia ringan-sedang-berat
atau kanker leher rahim in situ)
4. IVA – Kanker Leher Pendarahan, pada tahap ini pun untuk upaya
rahim penurunan temuan stadium kanker leher rahim,
masih akan bermanfaat bagi penurunan kematian
akibat kanker leher rahim bila ditemukan masih
pada stadium invasif dini (stadium IB-IIA)

2.1.3.6 Penatalaksanaan IVA Positif

Bila ditemukan IVA positif, dilakukan krioterapi, elektrokauterisasi atau

eksisi LEEP (Lingkaran Electrosargical Eksisi Prosedur) / LLETZ (Large Loop

Excision of the Transformation Zone of the cervix).

1. Krioterapi dilakukan oleh dokter umum, dokter spesialis obstetri dan

ginekologi atau konsultan onkologi ginekologi

2. Elektrokauterisasi, LEEP/LLETZ dilakukan oleh dokter spesialis obstetri

dan ginekologi atau konsultan onkologi ginekologi


30

IVA Positif
(lesi <75%, lesi <2mm di luar batas krioprob
termasuk ujung prob, tidak ada perluasan dinding
vagina ke dalam kanal di luar jangkauan krioprob)

Tawarkan Tawarkan Tawarkan


pengobatan segera pengobatan setelah pengobatan waktu
konseling kunjungan berbeda
Ibu tidak pindah
ruang antara tes IVA Ibu meninggalkan Ibu mendapat janji
dan pengobatan. Dia ruang pemeriksaan untuk konseling dan
harus menerima dan mendapat pengobatan pada
konseling mengenai konseling di ruang hari lain atau di
pengobatan sebelum yang berbeda. tempat lain. Waktu
tes dimulai dan diberi Setelah konseling kunjungan harus
kesempatan untuk selesai, dia dapat spesifik. Petugas
bertanya atau kembali ke ruang harus mampu
memperkuat periksa / pengobatan menghubungi ibu
konseling di antara untuk mendapat jika ada perubahan
tes dan pengobatan. pengobatan. jadwal atau jika ibu
tidak datang.
(Sumber : Kemenkes RI, 2015)

Gambar 2.1 Penatalaksanaan IVA Positif

2.1.3.7 Kelebihan Pemeriksaan IVA

Beberapa kelebihan dari pemeriksaan dengan metode IVA yaitu :

1. Mudah, praktis dan sangat mampu laksana

2. Butuh bahan dan alat yang sederhana dan murah

3. Sensivitas dan spesifisitas cukup tinggi

4. Dapat dilakukan oleh bidan di setiap tempat pemeriksaan kesehatan ibu

atau dilakukan oleh semua tenaga medis terlatih

5. Alat-alat yang dibutuhkan dan teknik pemeriksaan sangat sederhana


31

6. Metode skrining IVA sesuai untuk pusat pelayanan sederhana

7. Kinerja tes sama dengan tes lain

8. Memberikan hasil segera sehingga dapat diambil keputusan mengenai

penatalaksanaannya (Marliana, 2011).

2.1.4 Faktor yang diduga berhubungan dengan Kejadian Lesi Pra Kanker

Leher Rahim

Beberapa hal yang menurut penelitian bisa meningkatkan risiko kejadian

lesi prakanker leher rahim adalah :

2.1.4.1 Usia

Umumnya kejadian lesi prakanker leher rahim dengan IVA positif

ditemukan pada usia 30-50 tahun, namun sebagian besar kejadian lesi prakanker

leher rahin dengan IVA positif meningkat pada usia ≥35 tahun (Wahyuningsih,

2014). Orang yang telah hidup lebih lama, terpajan agen penyebab kanker

(karsinogen) lebih lama pula. Penuaan menurunkan kemampuan tubuh untuk

melindungi diri dari karsinogen dan semakin melemahnya sistem kekebalan tubuh

(Lestari, 2016).

Umur responden pada penelitian ini adalah 20-68 tahun dengan rata-rata

umur responden adalah 39,23 tahun. Umur responden dikelompokkan menjadi

dua kategori, yaitu <35 tahun dan ≥35 tahun. Dasar pengelompokkan umur ini

adalah penelitian yang pernah dilakukan oleh (Setyarini, 2009) dan di perkuat

dengan teori yang menyatakan bahwa wanita yang berumur 35-50 tahun dan

masih aktif berhubungan seksual rawan terserang kanker leher rahim

(Wahyuningsih, 2014).
32

Infeksi HPV dipengaruhi faktor umur dan kondisi imunitas pasien, kedua

faktor ini juga mempengaruhi nilai positif palsu. Nilai positif palsu adalah tes

DNA HPV positif namun setelah melalui pengujian lain seperti kolposkopi, IVA

dan pap smear ternyata tidak ditemukan kelainan yang mengacu pada kanker leher

rahim. Nilai positif palsu menurun sampai tiga kali lipat untuk pasien yang

berumur di atas 30 tahun. Wanita berumur di bawah 30 tahun cenderung memiliki

sistem imunitas yang cukup untuk mengurangi infeksi HPV, sedangkan wanita

yang berumur di atas 30 tahun cenderung mengalami infeksi HPV yang peresisten

atau menetap. Risiko terjadinya kanker leher rahim meningkat 2 kali lipat pada

usia 35 hingga 60 tahun (Wahyuningsih, 2014).

2.1.4.2 Tingkat pendapatan

Kanker leher rahim banyak ditemukan pada golongan masyarakat

berpenghasilan rendah. Faktor pendapatan berkaitan dengan gizi dan imunitas.

Golongan pendapatan rendah umumnya memiliki kuantitas dan kualitas makanan

kurang dan hal ini mempengaruhi imunitas tubuh. Studi deskriptif dan analitik

memperlihatkan hubungan yang kuat antara kejadian kanker leher rahim dengan

tingkat sosial ekonomi yang rendah. Hal ini juga diperkuat dengan infeksi HPV

yang lebih tinggi di kalangan wanita berpendidikan dan berpenghasilan rendah.

Kelompok berpenghasilan rendah biasanya kurang terakses dengan pelayanan

kesehatan yang berkualitas termasuk pemeriksaan pap smear yang seharusnya

dilakukan para wanita berusia 35 tahun keatas. Wanita berpenghasilan rendah

biasanya tidak memperhatikan status gizi dan imunitas. Penghasilan sangat

berpengaruh terhadap kejadian kanker leher rahim. Para wanita berpenghasilan


33

rendah tidak mampu membeli pembalut wanita yang berkualitas tinggi atau sabun

pencuci vagina yang aman bagi kesehatan. Berdasarkan aspek kebersihan

individu, para ibu yang berpenghasilan rendah tersebut pasti sulit menerapkan

kebersihan individu yang aman (Syatriani, 2011).

Penelitian yang dilakukan oleh Aris W (2015) dalam Lestari & Fibriana

(2016), dalam penelitiannya menyatakan keadaan ekonomi yang kurang maka

kesehatan tidak menjadi prioritas utama. Keadaan sosial ekonomi memegang

peranan penting dalam meningkatkan status kesehatan keluarga. Hal ini juga

merupakan faktor risiko terjadinya lesi prakanker leher rahim dengan IVA positif

secara tidak langsung.

2.1.4.3 Jumlah kelahiran

Wanita yang memiliki anak lebih dari 3 mempunyai risiko menderita

kanker leher rahim dibandingkan dengan wanita yang memiliki anak dibawah 3.

Karena paritas merupakan faktor risiko kanker leher rahim. Dengan banyaknya

kehamilan sehingga dalam proses melahirkan anak mungkin saja memiliki efek

trauma ataupun juga karena efek penurunan imunitas tubuh sehingga

meningkatkan risiko infeksi HPV. Trauma pada jalan lahir tersebut apabila tidak

mendapatkan pengobatan dapat menjadi perlukaan yang menahun, yang dapat

menimbulkan infeksi alat genetalia bagian atas dan perlukaan yang tidak sembuh

dapat menjadi keganasan. Selain itu juga bisa karena pengaruh hormonal pada

saat kehamilan telah berpengaruh pada leher rahim yaitu pengaruh hormon

progesteron yang membuat kemungkinan infeksi oleh HPV semakin mudah

(Mayrita & Handayani, 2014).


34

Perempuan dengan paritas tinggi terkait dengan terjadinnya eversi epitel

kolumner leher rahim selama kehamilan yang menyebabkan dinamika baru epitel

metaplasik imatur yang dapat meningkatkan risiko transformasi sel serta trauma

pada leher rahim sehingga terjadi infeksi HPV persisten. Hal ini dibuktikan pada

suatu studi kohort dimana didapatkan bahwa infeksi HPV lebih mudah ditemukan

pada wanita hamil dibandingkan yang tidak hamil. Selain itu, pada kehamilan

terjadi penurunan kekebalan seluler (Hidayat, 2014).

Hasil penelitian (Jasa, 2016) sejalan dengan teori Manuaba dkk (2009)

bahwa jumlah kelahiran dengan jarak pendek dan terlalu banyak merupakan

faktor resiko terkena kanker leher rahim. Menurut teori Arum (2015) dalam (Jasa,

2016) memiliki banyak anak juga bisa memicu terjadinya kanker leher rahim. Saat

dilahirkan, janin akan melewati leher rahim dan menimbulkan trauma pada leher

rahim. Jika hal ini terjadi terus-menerus, maka leher rahim akan terinfeksi dan

bisa menimbulkan kanker leher rahim. Bila memiliki banyak anak, makin sering

pula terjadi trauma pada leher rahim. Berdasarkan hasil penelitian dan teori di atas

maka wanita multipara cenderung beresiko terkena kanker leher rahim

dibandingkan dengan wanita yang primapara. Karena dengan seringnya seorang

wanita melahirkan, maka akan berdampak pada seringnya terjadi perlukaan di

organ reproduksinya yang akhirnya dampak dari luka tersebut akan memudahkan

timbulnya virus penyebab kanker leher rahim.

2.1.4.4 Paparan asap rokok

Hubungan paparan asap rokok dengan kejadian lesi prakanker leher rahim

(IVA positif) diuji menurut proporsi paparan asap rokok antara kelompok yang
35

lesi prakanker dengan tidak lesi prakanker leher rahim. Hasil yang didapatkan

bahwa paparan asap rokok dapat meningkatkan risiko terjadinya lesi prakanker

leher rahim sebesar 4,8 kali dibandingkan tidak terkena paparan asap rokok.

Hal ini sejalan dengan sebuah studi perempuan di Meksiko dimana

perempuan yang terpapar asap rokok berisiko lebih tinggi 3 kali untuk mengalami

kanker rahim dibandingkan perempuan yang tidak terpapar, dan dilaporkan pula

bahwa 6 juta perempuan Meksiko umur 12-65 tahun yang tidak pernah merokok

terpapar asap rokok. Para peneliti menanyakan secara langsung pada perempuan

tentang paparan asap rokok di rumah dan di tempat kerja. Penelitian ini juga

sejalan dengan hasil penelitian yang mengatakan merokok 20 batang setiap hari

memiliki risiko untuk terkena kanker tujuh kali dibanding tidak merokok atau

merokok 40 batang perhari, risiko terkena kanker menjadi 14 kali dibanding tidak

merokok.

Penelitian lain menyimpulkan semakin banyak dan lama merokok maka

semakin tinggi risiko untuk terkena kanker leher rahim. Hal ini kemungkinan

disebabkan oleh tembakau yang mengandung bahan karsinogen, baik yang dihisap

sebagai rokok atau dikunyah. Pada wanita perokok konsentraso nikotin pada getah

leher rahim 56 kali lebih tinggi dibanding dalam serum. Efek langsung bahan

tersebut pada leher rahim akan menurunkan status imun lokal, sehingga dapat

menjadi ko-karsinogen. Dalam penelitian ini paparan asap rokok didapat di rumah

dan tempat kerja dimana terkena paparan asap rokok dengan rata-rata 5,5

jam/hari. Kandungan nikotin dalam asap rokok masuk dalam lendir yang

menutupi leher rahim sehingga menurunkan ketahanan alami sel leher rahim
36

terhadap perubahan abnormal. Bahan kimia tersebut dapat merusak DNA pada

sel-sel leher rahim dan berkontribusi terhadap berkembangnya kanker leher rahim.

Selain itu merokok secara aktif ataupun pasif menurunkan sistem kekebalan

tubuh. Imun yang menurun akan mempercepat tumbuhnya HPV sebagai penyebab

lesi pra kanker leher rahim (Dewi, 2013).

2.1.4.5 Riwayat penyakit kelamin

Berdasarkan penelitian Aziz (2000) dalam Irmayani (2014) bahwa

proporsi kasus kanker leher rahim terbesar terjadi kelompok responden yang

pernah menderita infeksi kelamin (66,7%). Dari hasil uji chi square diperoleh nilai

0.000 (P, 0.05) artinya bahwa terdapat perbedaan yang signifikan antara

responden yang pernah mengalami infeksi kelamin dengan kejadian kanker. Telah

pada berbagai penelitian epidemiologi kanker leher rahim berhubungan kuat

dengan perilaku seksual seperti multiple mitra seks, dan usia saat melakukan

hubungan seks yang pertama. Resiko meningkat lebih dari 10 kali bila bermitra

seks 6 atau lebih. Resiko juga meningkat bila berhubungan dengan pria beresiko

tinggi, pria yang melakukan hubungan seks dengan multiple mitra seks atau yang

mengidap kondiloma akuminatum.

Riwayat penyakit kelamin seperti kutil genitalia. Wanita yang terkena

penyakit akibat hubungan seksual berisiko terkena virus HPV, karena virus HPV

diduga sebagai penyebab utama terjadinya kanker leher rahim sehingga wanita

yang mempunyai riwayat kelamin berisiko terkena kanker leher rahim (Setyarini,

2009).
37

IMS kemungkinan berperan sebagai ko-faktor infeksi virus papilloma pada

manusia. IMS kemungkinan menyebabkan terjadinya lesi pada leher rahim yang

selanjutnya mempermudah masuknya virus HPV ke basal membran leher rahim.

Selain itu IMS pada wanita kemungkinan juga mempengaruhi daya tahan tubuh

dan mempercepat berkembangnya infeksi virus HPV. Sistem imunitas yang

tertekan merupakan predisposisi infeksi virus onkogenik (Parwati, 2015).

Infeksi kelamin diduga sebagai faktor yang meningkatkan terjdinya IVA

positif. Dalam penelitian Melva (2008) menemukan keadaan yang tidak berbeda

secara statistik bahwa responden dengan riwayat penyakit kelamin memiliki

potensi yang kuat untuk terkena lesi prakanker leher rahim.

2.1.4.6 Riwayat lama penggunaan alat kontrasepsi

Wanita PUS yang menggunakan kontrasepsi hormonal ≥5 tahun memiliki

risiko 10,7 kali lebih tinggi mengalami lesi prakanker leher rahim dibandingkan

dengan yang tidak menggunakan kontrasepsi hormonal, dan penggunaan <5 tahun

meningkatkan risiko sebesar 3,0 kali lebih tinggi dibandingkan dengan wanita

PUS yang tidak menggunakan kontrasepsi hormonal. Secara biomedis, fenomena

ini kemungkinan karena kontrasepsi hormonal memicu terjadinya perubahan pada

epitel leher rahim yang terlihat setelah pemakaian pil kontrasepsi selama 5 tahun

berturut-turut. Hal ini diduga akibat estrogen menginduksi onkogenesis secara

langsung pada epitel leher rahim. Andrijono mengemukakan pendapat yang sama

bahwa penggunaan kontrasepsi hormonal meningkatkan resiko lesi prakanker

leher rahim. Kesimpulan tersebut diperoleh berdasarkan penelitian meta analisis

yaitu penggunaan selama 10 tahun dapat meningkatkan risiko sampai dua kali.
38

Sejalan dengan Harahap yang menyatakan mekanisme terjadinya kanker leher

rahim adalah pengaruh kontrasepsi hormonal terhadap perubahan epitel kolumnar

menjadi epitel skuamosa atau proses eversi (Parwati, 2015).

Kontrasepsi oral atau lebih dikenal dengan pil KB merupakan salah satu

faktor yang masih diduga berkaitan dengan terjadinya kanker leher rahim. Wanita

yang didagnosa positif HPV dan pernah menggunakan kontrasepsi oral >5 tahun

memiliki risiko 3 kali lebih tinggi dibandingkan dengan yang tidak pernah

menggunakan kontrasepsi oral. Selain itu, wanita yang menggunakan kontrasepsi

hormonal lebih mudah untuk terpajan HPV dibandingkan dengan yang

menggunakan kontrasepsi barrier (penghalang) atau yang tidak pernah

berhubungan seks. Hal tersebut dimungkinkan karena pengguna kontrasepsi

hormonal dapat mempengaruhi perubahan lendir leher rahim dan perubahan

respon imun sehingga meningkatkan kerentanan leher rahim terhadap infeksi HPV

(Kurniati, 2012).

2.1.4.7 Usia pertama kali menikah

Berdasarkan hasil penelitian Lestari & Fibriana (2016) menunjukkan

bahwa usia pertama kali menikah berhubungan dengan lesi prakanker leher rahim

dengan IVA positif. Kontak seksual usia muda erat kaitannya dengan terjadinya

lesi prakanker leher rahim dengan IVA positif. Menurut Heru Priyanto S

(2011:19) dalam jurnal Lestari & Fibriana (2016), bahwa pada epitel atau lapisan

dinding vagina dan leher rahim pada wanita berusia <20 tahun belum terbentuk

secara sempurna akibat belum sempurnanya keseimbangan hormonal, sehingga

terluar dari lapisan epitel (epitel superfisialis) vagina belum terbentuk sempurna.
39

Bila terjadi lesi/luka mikro di vagina atau leher rahim, dapat terjadinya infeksi

oleh virus HPV.

Menikah dini mempunyai beberapa resiko lebih besar mengalami

perubahan sel leher rahim. Sel-sel leher rahim masih belum matang. Sel-sel

tersebut tidak rentan terhadap zat-zat kimia yang dibawa oleh sperma. Dan segala

macam perubahannya. Jika belum matang, ketika ada rangsangan sel yang tumbuh

tidak seimbang dengan sel yang mati. Dengan begitu maka kelebihan sel ini bisa

berubah menjadi sel kanker. Berdasarkan hasil penelitian dan teori di atas bahwa

perkawinan dalam usia muda yaitu <20 tahun sangat berpengaruh terhadap

kejadian kanker leher rahim (Jasa, 2016).

2.1.4.8 Riwayat keputihan

Ada dua macam keputihan yaitu normal dan yang tidak normal. Keputihan

yang normal bila lendir berwarna bening, tidak berbau dan tidak gatal. Bila salah

satu dari ketiga syarat tersebut tidak terpenuhi berarti keputihan.

Menurut arum (2015) dalam Jasa (2015) bahwa keputihan yang dibiarkan

terus menerus juga bisa menyebab timbulnya kanker leher rahim. Hampir setiap

wanita mengalami keputihan. Tetapi, keputihan tersebut ada yang normal dan ada

pula yang tidak normal. Dikatakan keputihan normal jika keputihan itu terjadi

pada masa subur, yaitu pada pertengahan siklus menstruasi. Keputihan normal

juga bisa terjadi saat menjelang dan sesudah menstruasi. Lendirnya berwarna

bening, encer, tidak berbau, dan tidak menimbulkan rasa gatal. Ketika keputihan

menimbulkan rasa gatal, berbau dan berwarna itu merupakan indikasi keputihan

yang harus diperhatikan. Keputihan yang menjadi faktor terbentuknya kanker


40

leher rahim adalah keputihan yang tidak normal yang dibiarkan terus menerus

tanpa diobati. Berdasarkan hasil penelitian dan teori tersebut dapat disimpulkan

bahwa keputihan yang terus menerus dan tidak diobati merupakan resiko

terjadinya kanker leher rahim.

2.1.4.9 Penggunaan antiseptik vagina

Kebiasaan mencuci vagina dengan menggunakan obat-obatan antiseptik

akan mengakibatkan iritasi di leher rahim yang merangsang terjadinya kanker.

Iritasi yang berlebihan dan terlalu sering akan merangsang terjadinya perubahan

sel, yang akhirnya menjadi kanker (Aris W, 2015) dalam jurnal (Lestari, 2016).

Pengunaan sabun apalagi rutin akan mengiritasi dan mengeringkan mukus

di sekitar vulva sehingga adanya iritasi menjadi tempat tumbuh HPV sedangkan

sabun antiseptik akan membunuh semua bakteri, bukan hanya yang berbahaya

(Dewi, 2013).

Kebiasaan mencuci vagina dengan antiseptik berupa obat cuci vagina dan

deodoran untuk menjaga kebersihan dan kesehatan vagina atau alasan lain dapat

menigkatkan risiko kanker leher rahim. Menurut hasil penelitian yang dilakukan

didapatkan bahwa 48% responden menggunakan sabun biasa dengan kadar pH

>4, bahkan ada yang menggunakan detergen untuk mencuci organ kewanitaan

mereka. Pemilihan cairan pembersih juga harus diperhatikan dengan memilih

pembersih khusus area kewanitaan yang kadar pH-nya 3-4 dan ada izin dari

Departemen Kesehatan. Hindari pembersih kewanitaan dengan kadar pH yang

tinggi karena akan mengakibatkan kulit kelamin menjadi keriput dan mematikan

bakteri yang mendiami vagina. Iritasi yang berlebihan dan terlalu sering dapat
41

merangsang perubahan sel yang berakhir dengan kejadian kanker. Pencucian

vagina menggunakan bahan kimia dengan kadar pH yang tidak cocok sebaiknya

tidak dilakukan secara rutin, kecuali jika ada indikasi misalnya infeksi yang

memerlukan pencucian dengan zat-zat kimia yang disarankan dokter. Pembersih

tersebut dapat membunuh kuman termasuk Bacillus doderlain di vagina yang

memproduksi asam laktat untuk mempertahankan pH vagina (Syatriani, 2011).

2.1.4.10 Jumlah Pasangan Seksual

Pasangan seksual lebih dari 1 orang akan meningkatkan risiko 6,19 kali

lebih besar untuk mengalami lesi pra kanker leher rahim dibandingkan dengan

responden yang memiliki pasangan seksual 1 orang saja. Pada prinsipnya setiap

pria memiliki protein spesifik berbeda pada spermanya. Protein tersebut dapat

menyebabkan kerusakan pada sel epitel serviks. Sel epitel serviks akan

mentoleransi dan mengenali protein tersebut tetapi jika wanita itu melakukan

hubungan dengan banyak pria maka akan banyak sperma dengan protein spesifik

berbeda yang akan menyebabkan kerusakan tanpa perbaikan dari sel serviks

sehingga akan menghasilkan luka. Adanya luka akan mempermudah infeksi HPV.

Risiko terkena kanker serviks menjadi 10 kali lipat lebih besar pada wanita yang

mempunyai pasangan seksual 6 orang atau lebih (Wahyuningsih, 2014).

Berganti-ganti pasangan juga berlaku pada pihak suami. Pasalnya, jika

suami suka berkencan, ia akan membawa pulang virus-virus akibat kontak

seksual. Dengan kata lain, sperma yang mengandung komplemen histone yang

dapat bereaksi dengan DNA sel serviks bisa juga menyebabkan serviks terinfeksi,

sehingga terjadi kanker. Cairan sperma (semen) pria bersifat alkalis juga dapat
42

menimbulkan perubahan pada sel-sel epitel serviks (neoplasma dan displasia) dan

mengakibatkan kanker leher rahim (Tira, 2008).

2.1.4.11 Vaksinasi HPV

Vaksinasi HPV merupakan upaya pencegahan primer yang diharapkan

akan menurunkan terjadinya infeksi HPV risiko tinggi, menurunkan kejadian

karsinogenesis kanker serviks dan pada akhirnya menurunkan kejadian kanker

serviks uterus. Infeksi HPV tipe 16 dan 18 ditemukan pada 70-80% penderita

kanker serviks, sehingga sejumlah itu pula yang diharapkan dapat menikmati

proteksi terhadap kanker serviks uteri. Pemberian vaksin dilaporkan memberi

proteksi sebesar 89%, karena vaksin tersebut dilaporkan mempunyai cross

protection dengan tipe lain. Vaksin yang mengandung vaksin HPV 16 dan 18

disebut sebagai vaksin bivalent, sedangkan vaksin HPV tipe 16, 18, 6 dan 11

disebut sebagai vaksin quadrivalent (Setiawati, 2014).

2.1.4.12 Tingkat Pendidikan

Tingkat pendidikan mempengaruhi proses belajar, semakin tinggi tingkat

pendidikan seseorang, semakin mudah pula orang tersebut untuk menerima

informasi. Tinggi rendahnya tingkat pendidikan berkaitan dengan sosio ekonomi,

kehidupan seks, dan kebersihan. Orang yang berpendidikan tinggi biasanya akan

memiliki banyak pengetahuan tentang kesehatan, sehingga orang tersebut

memiliki kesadaran untuk menjaga kesehatannya dan melakukan upaya-upaya

pencegahan agar terhindar dari penyakit khususnya kanker leher rahim

(Hestuningtyas & Sugiyanto, 2015).


43

Pendidikan berarti bimbingan yang diberikan oleh seseorang terhadap

perkembangan orang lain menuju ke arah suatu cita-cita tertentu. Makin tinggi

tingkat pendidikan seseorang, maka makin mudah dalam memperoleh menerima

informasi, sehingga kemampuan ibu dalam berpikir lebih rasional. Tingkat

pendidikan ibu yang rendah mengakibatkan kurangnya pengetahuan ibu dalam

menghadapi masalah, sedangkan ibu-ibu yang mempunyai tingkat pendidikan

yang lebih tinggi umumnya terbuka menerima perubahan atau hal-hal baru guna

pemeliharaan kesehatannya. Suatu proses pertumbuhan dan perkembangan

manusia, usaha mengatur pengetahuan semula yang ada pada seorang individu

serta pendidikan juga menjadi tolak ukur yang penting dalam perubahan-

perubahan perilaku yang positif. Semakin tinggi tingkat pendidikan seseorang

maka semakin membutuhkan pusat-pusat pelayanan kesehatan sebagai tempat

berobat bagi dirinya dn keluarganya. Dengan pendidikan tinggi, maka wawasan

pengetahuan semakin bertambah dan semakin menyadari bahwa begitu

pentingnya kesehatan bagi kehidupan sehingga termotivasi untuk melakukan

kunjungan ke pusat pelayanan kesehatan yang lebih baik (Mayrita & Handayani,

2014).

2.1.4.13 Riwayat Keluarga Kanker Leher Rahim

Adanya anggota keluarga (ibu atau saudara perempuan) yang pernah

menderita kanker leher rahim membuat seseorang memiliki risiko kanker leher

rahim lebih besar 2-3 kali dibandingkan dengan orang yang tidak mempunyai

riwayat kanker leher rahim di keluarganya. Hal ini disebabkan adanya kondisi
44

kekurangmampuan melawan infeksi HPV yang diturunkan secara genetik

(Mannopo, 2016).

Kanker leher rahim bukan penyakit turun menurun, tetapi yang diturunkan

adalah faktor kerentanan terhadap infeksi HPV. Mempunyai riwayat keluarga

menderita kanker leher rahim merupakan salah satu faktor risiko kanker leher

rahim. Selain itu mempunyai riwayat keluarga kanker leher rahim berdampak

pada tingkat persepsi kerentanan (perceived of suscepbility) dan keparahan yang

dirasakan (perceived of severity) lebih tinggi terkait penyakit kanker leher rahim.

Persepsi kerentanan yang tinggi dan ketakutan akan tingkat keparahan penyakit

yang mungkin terjadi mendorong seseorang untuk melakukan upaya pencegahan,

dalam hal ini adalah dengan melakukan vaksinasi HPV (Sari & Syahrul, 2014).

2.1.4.14 Riwayat Abortus

Abortus merupakan kehamilan yang berakhir sebelum janin atau buah

kehamilan tersebut mampu hidup di luar kandungan, tanpa mempersoalkan

penyebabnya, selain itu biasanya abortus terjadi jika lama kehamilan <20 minggu

atau berat badan janin >500 gram (Wulandari, 2016).

Riwayat abortus merupakan salah satu faktor risiko kanker leher rahim.

Praktek-praktek abortus yang tidak steril memicu terjadinya infeksi sehingga

mudah memicu pertumbuhan sel-sel abnormal yang dapat mengakibatkan

terjadinya kanker. Wanita yang pernah melakukan abortus ≥ 1 kali berisiko 3,37

kali lebih besar untuk menderita kanker leher rahim dibandingkan wanita yang

tidak pernah melakukan abortus (Abbas 2003 dalam Tira 2008).


45

Riwayat abortus yaitu jumlah seluruh kejadian abortus yang pernah

dialami oleh seorang wanita selama hidupnya. Risiko tinggi jika pernah terjadi

abortus baik sengaja maupun tidak sengaja sebanyak lebih atau sama dengan satu

kali dan risiko rendah jika tidak pernah terjadi abortus. Berdasarkan hasil analisis

menunjukkan bahwa proporsi kejadian kanker leher rahim lebih banyak pada ibu

yang riwayat abortus ≥ 1 kali sebesar 84,5% dibandingkan dengan yang tidak

mempunyai riwayat abortus sebesar 15,5%. Usia kehamilan < 20 tahun dapat

memperbesar risiko ibu mengalami abortus, akibat dari ketidaksiapan mental dari

calon ibu. Abortus juga dapat disebabkan oleh suami yang mempunyai lebih dari

satu pasangan dimana wanita yang hamil diperhadapkan dengan problema sosial,

disamping itu kesempatan suami untuk terkena penyakit akibat hubungan seksual

dengan pasangan lainnya semakin besar. Penyakit akibat hubungan seksual

tersebut dapat menyebabkan janin yang ada di dalam kandungan akan mengalami

infeksi dan menyebabkan kematian. Abortus yang dilakukan secara sengaja atau

secara tradisional mempunyai risiko yang sangat tinggi karena keamanannya tidak

dapat dipertanggungjawabkan. Sisa jaringan, serta tindakan yang tidak steril serta

tidak aman secara medis akan berakibat timbulnya pendarahan dan sepsis. Bila

terjadi sepsis, kemungkinan virus tertentu (misalnya virus papilloma) untuk

menginfeksi akan semakin besar dan pada kondisi tersebut sel-sel epitel serviks

akan membelah menjadi kondisi yang tidak normal yang akan mengarah pada

keganasan (Tira, 2008).


46

2.1.4.15 Riwayat Obesitas

Kegemukan merupakan faktor penting lainnya pemicu kanker, seseorang

dapat menderita kanker apabila memiliki beragam gangguan nutrisi yang

disebabkan oleh faktor genetik, lingkungan, makanan dan gaya hidup. Cara

menanggulanginya bisa dengan mengubah diet, mengkonsumsi suplemen yang

dapat meningkatkan kekebalan tubuh. Peningkatan berat badan berhubungan

dengan proses homeostasis tubuh dalam menstabilkan hormon.

Ketidakseimbangan hormon progesteron dalam tubuh meangsang peningkatan

berat badan, sehingga diperlukan diet dan olahraga secara teratur. Peningkatan

dapat terjadi karena adanya kegagalan inhibiting pada sekresi hormon di hipofisis

yang mengakibatkan hormon pertumbuhan meningkat sehingga dapat

meningkatkan nafsu makan. Selain itu juga merangsang tubuh untuk mengubah

glikogen dalam bentuk TG (Triagliserol), lama penggunaan kontrasepsi juga

mempengaruhi peningkatan berat badan (Nugrahaningtyas, 2014).


47

Dewi, I. G. A. A. (2013). Laporan hasil penelitian Paparan asap rokok dan higiene

diri merupakan faktor risiko lesi prakanker leher rahim di Kota Denpasar

tahun 2012 Cigarette smoke exposure and personal hygiene as determinants

for cervical pre- cancer lession in Denpasar , 2012 P. Public Health and

Preventive Medicine Archive, 1(1), 84–91.

Hestuningtyas, N. S., & Sugiyanto, Z. (2015). FAKTOR RISIKO KEJADIAN

KANKER SERVIKS DI RSUD TUGUREJO KOTA SEMARANG TAHUN

2015.

Hidayat, E. (2014). Hubungan Kejadian Kanker Serviks Dengan Jumlah Paritas

Di RSUD DR. Moewardi, 128–136.

Irmayani. (2014). Faktor Risiko yang Berhubungan dengan Lesi Prakanker

Serviks Pada WPS tidak langsung di Wilayah Kerja Puskesmas Meninting.

Jurnal Kesehatan Prima, 8(2), 1279–1291.

Jasa, N. E. (2016). Determinan Yang Berhubungan Dengan Kejadian Kanker

Serviks Pada Wanita Di Poli Kebidanan RSUD DR. H. Abdul Moeloek

Provinsi Lampung. 446 Jurnal Kesehatan, VII, Nomor, 445–454.

Kurniati, K. (2012). Pengaruh Penggunaan Kontrasepsi Terhadap Kejadian Lesi


48

Pra Kanker Leher Rahim Pada Wanita Yang Melakukan Pemeriksaan

Inspeksi Visual Dengan Asam Asetat (IVA) di Tiga Puskesmas di jakarta

Timur.

Lestari, N. D. (2016). Kejadian IVA Positif Pada Wanita Berusia 30-50 Tahun.

Unnes Journal of Public Health, 1–12.

Mannopo, I. (2016). Hubungan paritas dan usia ibu dengan kanker serviks di rsu

prof. kandou manado tahun 2014. Jurnal Skolastik Keperawatan, 2(1), 46–

58.

Marliana, Y. (2011). AKURASI METODE INSPEKSI VISUAL DENGAN

ASAM ASETAT/IVA UNTUK DETEKSI DINI KANKER LEHER RAHIM

Yunita Marliana, 1336–1344.

Mayrita, S. N., & Handayani, N. (2014). Hubungan Antara Paritas Dengan

Kejadian Kanker Serviks Di Yayasan Kanker Wisnuwardhana Surabaya.

Journal of Health Sciences, 7(1). Retrieved from

http://journal.unusa.ac.id/index.php/jhs/article/view/22/23

Melva. (2008). Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Kejadian Kanker Leher

Rahim Pada Penderita Yang Datang Berobat Di Rsup H. Adam Malik Medan

Tahun 2008, 109.

Nugrahaningtyas, R. W. (2014). Hubungan Antara Penggunaan Kontrasepsi

Hormonal Dan Obesitas Dengan Kejadian Kanker Leher Rahim Di Rsud

Kabupaten Sukoharjo.
49

Parwati, N. M. (2015). Kontrasepsi Hormonal dan Riwayat Infeksi Menular

Seksual sebagai Faktor Risiko Lesi Pra-kanker Leher Rahim Hormonal

Contraceptive Use and History of Sexually Transmitted Infection as Risk

Factors of the Pre-Cancerous Cervical Lesions. Public Health and Preventive

Medicine Archive, 173(2), 173–178. Retrieved from

http://download.portalgaruda.org/article.php?article=411329&val=4933&titl

e=Hormonal Contraceptive Use and History of Sexually Transmitted

Infection as Risk Factors of the Pre-Cancerous Cervical Lesions

Sari, A. P., & Syahrul, F. (2014). Faktor yang Berhubungan dengan Tindakan

Vaksinasi HPV pada Wanita Usia Dewasa. Jurnal Berkala Epidemologi,

2(3), 321–330.

Setiawati, D. (2014). Human Papilloma Virus Dan Kanker Serviks, 450–459.

Setyarini, E. (2009). Faktor-Faktor Yang Berhubungan Dengan Kejadian Kanker

Leher Rahim Di RSUD Dr. Moewardi Surakarta. Keperawatan Maternitas,

1(1), 1–97. https://doi.org/J410040010

Syatriani, S. (2011). Faktor Risiko Kanker Serviks di Rumah Sakit Umum

Pemerintah Dr . Wahidin Sudirohusodo Makassar , Sulawesi Selatan. Jurnal

Kesehatan Masyarakat Nasional, 5(197), 283–288.

https://doi.org/10.21109/kesmas.v5i6.125

Tira, D. S. (2008). Risiko Jumlah Perkawinan, Riwayat Abortus, dan Pemakaian

Alat Kontrasepsi Hormonal Terhadap Kejadian Kanker Serviks di Rumah

Sakit Pelamonia Makassar Tahun 2006 - 2007. Mkm, 3(1).


50

Verawati, B. (n.d.). Lama Paparan Kontak Seksual Dengan Correlation Between

the Age of First Sexual Contact Abd Its Duration With Positive Via Test, 56,

1–10.

Wahyuningsih, T. (2014). Faktor Risiko Terjadinya Lesi Prakanker Serviks

Melalui Deteksi Dini dengan Metode Iva. Forum Ilmiah, 11, 192–209.

Wulandari, V. (2016). Hubungan Faktor Risiko Penggunaan Kontrasepsi Oral dan

Aktivitas Seksual dengan Kejadian Kanker Serviks. Jurnal Berkala

Epidemiologi, 4(3), 408–419. https://doi.org/10.20473/jbe.v4i3.

Anda mungkin juga menyukai

  • Orangutan Batang Toru
    Orangutan Batang Toru
    Dokumen3 halaman
    Orangutan Batang Toru
    Thityck Sugiarti
    Belum ada peringkat
  • SelProkEuk
    SelProkEuk
    Dokumen14 halaman
    SelProkEuk
    Thityck Sugiarti
    Belum ada peringkat
  • Bab 3
    Bab 3
    Dokumen7 halaman
    Bab 3
    Thityck Sugiarti
    Belum ada peringkat
  • Bab 2
    Bab 2
    Dokumen19 halaman
    Bab 2
    Thityck Sugiarti
    Belum ada peringkat
  • Bab I
    Bab I
    Dokumen3 halaman
    Bab I
    Thityck Sugiarti
    Belum ada peringkat
  • DietDMHbA1C
    DietDMHbA1C
    Dokumen7 halaman
    DietDMHbA1C
    Thityck Sugiarti
    Belum ada peringkat
  • Bab 1
    Bab 1
    Dokumen16 halaman
    Bab 1
    Thityck Sugiarti
    Belum ada peringkat
  • Tumbuhan Sebagai Bahan Baku Industri
    Tumbuhan Sebagai Bahan Baku Industri
    Dokumen24 halaman
    Tumbuhan Sebagai Bahan Baku Industri
    Thityck Sugiarti
    Belum ada peringkat
  • Bab 2
    Bab 2
    Dokumen19 halaman
    Bab 2
    Thityck Sugiarti
    Belum ada peringkat
  • Kerangka Teori
    Kerangka Teori
    Dokumen4 halaman
    Kerangka Teori
    Thityck Sugiarti
    Belum ada peringkat
  • Tumbuhan Sebagai Bahan Baku Industri
    Tumbuhan Sebagai Bahan Baku Industri
    Dokumen24 halaman
    Tumbuhan Sebagai Bahan Baku Industri
    Thityck Sugiarti
    Belum ada peringkat
  • Mitosis Pada Tumbuhan
    Mitosis Pada Tumbuhan
    Dokumen9 halaman
    Mitosis Pada Tumbuhan
    Thityck Sugiarti
    Belum ada peringkat
  • Surat Penetapan
    Surat Penetapan
    Dokumen1 halaman
    Surat Penetapan
    Siti rasidah
    Belum ada peringkat
  • Essay
    Essay
    Dokumen3 halaman
    Essay
    Thityck Sugiarti
    Belum ada peringkat
  • BAB IV Hasil Penelitian
    BAB IV Hasil Penelitian
    Dokumen24 halaman
    BAB IV Hasil Penelitian
    Thityck Sugiarti
    Belum ada peringkat
  • BAB VI Penutup
    BAB VI Penutup
    Dokumen2 halaman
    BAB VI Penutup
    Thityck Sugiarti
    Belum ada peringkat
  • KERANGKA
    KERANGKA
    Dokumen4 halaman
    KERANGKA
    Thityck Sugiarti
    Belum ada peringkat
  • Tata Laksana Terkini Demam Tifoid PDF
    Tata Laksana Terkini Demam Tifoid PDF
    Dokumen4 halaman
    Tata Laksana Terkini Demam Tifoid PDF
    Ary Nahdiyani Amalia
    100% (2)
  • Tugas Mikrobiologi
    Tugas Mikrobiologi
    Dokumen11 halaman
    Tugas Mikrobiologi
    Thityck Sugiarti
    Belum ada peringkat
  • Lembar Persetujuan
    Lembar Persetujuan
    Dokumen3 halaman
    Lembar Persetujuan
    Thityck Sugiarti
    Belum ada peringkat
  • Bab 1
    Bab 1
    Dokumen16 halaman
    Bab 1
    Thityck Sugiarti
    Belum ada peringkat
  • Cover
    Cover
    Dokumen1 halaman
    Cover
    Thityck Sugiarti
    Belum ada peringkat
  • Lembar Persetujuan Proposal Skripsi
    Lembar Persetujuan Proposal Skripsi
    Dokumen3 halaman
    Lembar Persetujuan Proposal Skripsi
    Thityck Sugiarti
    Belum ada peringkat
  • Skripsi
    Skripsi
    Dokumen6 halaman
    Skripsi
    Thityck Sugiarti
    Belum ada peringkat
  • Daftar Pustaka
    Daftar Pustaka
    Dokumen1 halaman
    Daftar Pustaka
    Thityck Sugiarti
    Belum ada peringkat
  • Halaman Akhr
    Halaman Akhr
    Dokumen13 halaman
    Halaman Akhr
    Thityck Sugiarti
    Belum ada peringkat
  • Bab Ii
    Bab Ii
    Dokumen8 halaman
    Bab Ii
    Thityck Sugiarti
    Belum ada peringkat
  • Bab Ii
    Bab Ii
    Dokumen23 halaman
    Bab Ii
    Thityck Sugiarti
    Belum ada peringkat
  • Bab 1
    Bab 1
    Dokumen6 halaman
    Bab 1
    Thityck Sugiarti
    Belum ada peringkat