Anda di halaman 1dari 19

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Diabetes Melitus


1. Definisi Diabetes Melitus
Diabetes Melitus adalah suatu penyakit yang ditandai dengan adanya
peningkatan kadar gula darah dalam tubuh. Diabetes Melitus merupakan penyakit
metabolik dengan adanya peningkatan gula darah (hiperglikemia) yang
disebabkan oleh kelainan sekresi insulin dan kerja insulin. Glukosa darah
bersirkulasi di dalam darah dalam jumlah 70-150 mg/dL. Diabetes Melitus
merupakan penyakit yang dapat terjadi karena kadar glukosa darah yang terlalu
tinggi (NIDDK, 2016). Diabetes adalah suatu keadaan komplek dan serius
sehingga dapat mempengaruhi seluruh tubuh manusia (Diabetes, 2015). Diabetes
Melitus ditandai dengan kadar glukosa dalam darah melebihi batas normal dan
gangguan metabolisme karbohidrat, lemak dan protein ditimbulkan karena kadar
insulin secara relatif (Hasdianah, 2012).
2. Klasifikasi Diabetes Melitus
Berdasarkan sebab yang mendasarkan timbulnya suatu penyakit, DM
dibagi menjadi beberapa golongan atau tipe, tipe-tipe tersebut adalah
a. Diabetes Melitus Tipe I
Pada tipe DM I penderita yang dapat bertahan hidup, bergantung pada
pemberian insulin dari luar. Pada waktu yang lalu, istilah yang sering dipakai
adalah Insulin Dependent Diabetes Mellitus (IDDM). Faktor penyebab terjadinya
DM Tipe I adalah infeksi virus atau rusaknya sistem kekebalan tubuh yang
disebabkan karena reaksi autoimun yang merusak sel-sel penghasil insulin yaitu
sel β pada pankreas, secara menyeluruh. Oleh sebab itu, pada tipe I, pankreas
tidak dapat memproduksi insulin. Penderita DM untuk bertahan hidup harus
diberikan insulin dengan cara disuntikan pada area tubuh penderita. Apabila
insulin tidak diberikan maka penderita akan tidak sadarkan diri, disebut juga
dengan koma ketoasidosis atau koma diabetik (Nurrahmani, 2012).
b. Diabetes Melitus Tipe II

8
Diabetes Melitus tipe II bisa juga disebut dengan diabetes lifestyle karena
faktor keturunan disebabkan juga gaya hidup yang tidak sehat. Diabetes Melitus
tipe II perkembangan penyakitnya sangat lambat, bisa sampai bertahun-tahun.
Penderita DM tidak mutlak memerlukan insulin karena pankreasnya masih bisa
memproduksi insulin (Lanywati, 2011).
c. Diabetes pada kehamilan (Diabetes Melitus Gestational)
Merupakan penyakit DM yang terjadi pada ibu hamil yang tidak
mempunyai riwayat diabetes sebelumnya tetapi mempunyai glukosa darah yang
tinggi selama kehamilan (ADA, 2016). Pada keadaaan ini plasenta mendukung
bayi untuk tetap tumbuh. Hormon yang terdapat dalam plasenta membantu bayi
dalam proses perkembangan tetapi hormon ini mencegah kinerja insulin di tubuh
ibunya (IDF, 2012). Diabetes Gestational mempengaruhi kondisi ibu diakhir
kehamilan, setelah terbentuknya tubuh bayi tetapi bayi tetap berkembang oleh
sebab itu diabetes gestational tidak menyebabkan bayi menjadi cacat lahir (ADA,
2016). Diabetes Gestational jika tidak dikontrol atau tidak dilakukan penanganan
dapat menyakiti bayi. Pankreas ibu bekerja ekstra untuk memproduksi insulin
tetapi insulin tidak dapat mengontrol glukosa darah, jadi glukosa darah yang
tinggi melewati plasenta dengan memberikan kadar glukosa darah tinggi kepada
bayi, hal ini dapat menyebabkan pankreas bayi bekerja ektra untuk memproduksi
insulin untuk menyingkirkan glukosa darah (ADA, 2016).
d. DM Tipe Lainnya
Diabetes tipe spesifik lain disebabkan karena gangguan genetik pada
fungsi sel β, gangguan genetik pada kerja insulin, penyakit eksokrin pankreas
(seperti cystic fibrosis), dan yang dipicu oleh obat atau bahan kimia (seperti dalam
pengobatan HIV/AIDS atau setelah transplantasi organ) (ADA, 2016).
3. Faktor Resiko Diabetes Melitus
a. Faktor Resiko yang dapat dirubah
1) Obesitas
Obesitas menjadi salah satu faktor resiko utama untuk terjadinya penyakit
DM. Obesitas dapat membuat sel tidak sensitif terhadap insulin (retensi
insulin). Semakin banyak jaringan lemak dalam tubuh semakin resisten

9
terhadap kerja insulin, terutama bila lemak ubuh terkumpul di daerah
sentral atau perut (Fathmi, 2012). Makan - makanan yang berlebihan
dapat menyebabkan gula darah dan lemak mengalami penumpukan dan
menyebabkan kelenjar pankreas berkerja lebih ekstra memproduksi
insulin untuk mengolah gula darah yang masuk (Lanywati, 2011).
Seseorang yang mengalami obesitas apabila memiliki Indeks Massa
Tubuh (IMT) lebih dari 25, maka dapat meningkatkan resiko untuk
terkena DM. Jaringan lemak yang banyak menyebabkan jaringan tubuh
dan otot akan menjadi resisten terhadap kerja insulin, lemak tersebut akan
memblokir kerja insulin sehingga glukosa darah tidak dapat diangkut ke
dalam sel dan menumpuk dalam peredaran darah (Sustrani, 2010).
2) Gaya Hidup
Gaya hidup adalah perilaku seseorang yang ditujukkan dalam aktivitas
sehari-hari. Makanan cepat saji (junk food), kurangnya berolahraga dan
minum-minuman yang bersoda merupakan faktor pemicu terjadinya
diabetes melitus tipe 2 (Abdurrahman, 2014). Penderita DM diakibatkan
oleh pola makan yang tidak sehat dikarenakan pasien kurang pengetahuan
tentang bagaimanan pola makan yang baik dimana mereka mengkonsumsi
makanan yang mempunyai karbohidrat dan sumber glukosa secara
berlebihan, kemudian kadar glukosa darah menjadi naik sehingga perlu
pengaturan diet yang baik bagi pasien dalam mengkonsumsi makanan
yang bisa diterapkan dalam kehidupan sehari-harinya (Bertalina, 2016) .
b. Faktor resiko yang tidak dapat dirubah
1) Usia
Semakin bertambahnya usia maka semakin tinggi resiko terkena diabetes
melitus tipe 2 terjadi pada orang dewasa setengah baya, paling sering
setelah usia 45 tahun. Kategori usia menurut Hurlock (2005), usia dewasa
madya (dewasa setengah baya) antara usia 41-59 tahun dan usia dewasa
lanjut antara usia 60 tahun sampai akhir hayat. Meningkatnya resiko DM
seiring dengan bertambahnya usia dikaitkan dengan terjadinya penurunan
fungsi fisiologi tubuh (AHA, 2012).

10
2) Riwayat keluarga Diabetes Melitus
Ibu yang menderita DM tingkat resiko terkena DM sebesar 3,4 kali lipat
lebih tinggi dan 3,5 kali lipat lebih tinggi jika memiliki ayah penderita
DM. Apabila kedua menderita DM, maka akan memiliki resiko terkena
DM sebesar 6,1 kali lipat lebih tinggi.
3) Riwayat Diabetes pada kehamilan (Gestational)
Seorang ibu yang hamil akan menambah konsumsi makanannya, sehingga
berat badannya mengalami peningkatan 7-10 kg, saat makanan ibu
ditambah konsumsinya tetapi produksi insulin kurang mencukupi maka
akan terjadi DM (Lanywati, 2011). Memiliki riwayat diabetes gestational
pada ibu yang sedang hamil dapat meningkatkan resiko DM, diabetes
selama kehamilan atau melahirkan bayi lebih dari 4,5 kg dapat
meningkatkan resiko DM tipe II (Ehsa, 2010).
4. Patofisiologi Diabetes Melitus
Penyebab DM adalah tingginya gula darah dalam tubuh (hiperglikemia)
yang disebabkan oleh sekresi insulin, kerja dari insulin atau keduanya
(Ignatavicius, 2006).
a. Diabetes Melitus Tipe I
Sel-sel beta pada pankreas tidak dapat menghasilkan insulin karena telah
dihancurkan oleh proses imun. Keadaan tersebut merupakan penyakit autoimun
yang ditandai dengan insulin ditemukannya anti insulin atau antibodi sel dalam
darah. Seseorang yang mempunyai kecenderungan penyakit ini tampaknya
menerima faktor pemicu dari lingkungan. Contoh faktor pencetusnya antara lain
infeksi virus, pajanan terhadap obat atau toksin tertentu juga diduga dapat memicu
serangan autoimun ini. Proses penyakit DM tipe I terjadi dalam beberapa tahun,
sering kali tidak ada faktor pencetus yang pasti. Saat diagnosis DM tipe I
ditegakkan, ditemukan antibodi terhadap sel-sel langerhans pada sebagian besar
pasien (Corwin, 2007).
b. Diabetes Melitus Tipe II
Keadaan DM Tipe II ditandai dengan retensi insulin disertai defisiensi
insulin relatif. Individu yang mengalami DM Tipe II ini tetap memproduksi

11
insulin, tetapi sering terjadi keterlambatan dalam sekresi dan penurunan jumlah
total insulin yang dilepaskan. Hal ini dapat menyebabkan keparahan seiring
dengan pertambahan usia pasien dengan usia diatas 40 tahun. Namun dengan
meningkatnya insiden obesitas di negara barat dan onsetnya yang semakin dini,
saat ini pada dewasa muda dan anak-anak terjadi peningkatan frekuensi DM tipe
II (Grensstein, 2006).
5. Manifestasi Klinik Diabetes Melitus
Digolongkan menjadi gejala akut dan kronik (PERKENI, 2016).
a. Gejala Akut Diabetes Melitus
Gejala penyakit dari satu penderita ke penderita yang lain sangat
bervariasi, bahkan tidak memunculkan gejala sekalipun sampai saat tertentu,
gejala pemula yang muncul yaitu banyak makan (polyphagia), banyak minum
(polidipsi) dan banyak kencing (polyuria) (PERKENI, 2016). Rasa lelah, pusing,
keringat dingin, sulit berkonsentrasi disebabkan oleh menurunnya kadar gula
darah (Mahendra, Tobing, Krisnatuti, & Alting, 2008).
b. Gejala Kronik Diabetes Melitus
Pasien DM akan mengalami kesemutan, kulit terasa panas atau seperti
ditusuk-tusuk jarum, rasa tebal dikulit, kram, mudah mengantuk, mata kabur,
gatal disekitar kemaluan wanita kemampuan seksual mengalami penurunan atau
bayi lahir dengan berat lebih 4 kg (Soegondo, 2004). Gejala lain yang timbul
seperti kelelahan, gigi mudah goyah dan mudah lepas, kemampuan seksual pria
menurun bahkan pada pria bisa terjadi impotensi, pada ibu hamil sering terjadi
keguguran atau kematian janin dalam kandungan (Noor, 2015).
6. Komplikasi Diabetes Melitus
Komplikasi DM dapat terjadi karena beberapa faktor yaitu faktor genetik,
lingkungan, gaya hidup, dan faktor yang dapat menyebabkan terlambatnya
pengelolaan DM seperti tidak terdiagnosanya DM, Walaupun sudah terdiagnosa
tetapi tidak menjalani pengobatan secara teratur (Kusuma & Hidayati, 2013).
Penderita DM kemampuan tubuh dalam bereaksi terhadap insulin mengalami
penurunan atau pankreas menghentikan produksi insulin, kondisi ini dapat
menimbulkan hiperglikemia yang mengakibatkan komplikasi akut meliputi

12
syndrome hiperglikemia hiperosmoler nonketotik (HHNK), diabetes ketoidosis
dan jangka panjangnya dapat menyebabkan komplikasi mikrovaskuler yang
kronis dan komplikasi makrovaskuler yang mencakup infark miokard, stroke dan
penyakit vaskuler perifer (Hasdianah, 2012).
Hiperglikemia kronik pada DM berhubungan dengan disfungsi atau
kegagalan beberapa organ tubuh serta dapat menyebabkan arterioklerosis,
perubahan jaringan perifer sehingga akan mudah mengalami luka kaki diabetik.
Komplikasi yang sering terjadi adalah luka kaki diabetik (ulkus kaki diabetic)
(Tiara, Sukawana, & Suidrayasa, 2012).
a. Komplikasi Akut Diabetes
Komplikasi akut terdiri dari hipoglikemi, diabetes ketoidosis diabetikum,
sindrom hiperglikemia hyperosmolar non ketoik. Hipoglikemi terjadi
akibat pemberian insulin oral yang berlebihan, konsumsi makanan yang
sedikit dan aktivitas olahraga yang berat. Hipoglikemia adalah kadar
glukosa darah abnormal dibawah 50-60 mg/dL (Pakaryaningsih, 2002).
Diabetes Ketoidosis disebabkan karena tidak adanya insulin atau tidak
cukupnya insulin yang nyata. Keadaan ini dapat menimbulkan gangguan
pada metabolisme karbohidrat, protein dan lemak (Pakaryaningsih, 2002).
Syndrom Hiperglikemik Hiperosmolar Nonketotik (HNNK) yakni kondisi
dimana klien mengalami hiperosmolaris dan hiperglikemia disertai
perubahan tingkat kesadaran, gambaran klinis dari kondisi ini adalah
biasanya terdiri atas hipotensi dehidrasi berat, takikardi dan tanda-tanda
defisit neurologis (Black & Hawks, 2009).
b. Komplikasi Kronis Diabetes Melitus
Komplikasi DM jangka panjang dapat menyerang semua sistem dalam
tubuh manusia. Komplikasi kronis terdiri dari komplikasi makrovaskular
dan komplikasi mikrovaskular. Komplikasi makrovaskular adalah kondisi
arteriklerosis yang terjadi pada pembuluh darah besar yang dapat
menimbulkan penyakit coronary artery disease, penyakit
cerebrosvaskular, hipertensi penyakit vaskuler perifer dan infeksi,

13
sedangkan komplikasi mikrovaskuler kondisi yang terjadi akibat
penebalan membran basalis pembuluh darah (Black & Hawks, 2009).
7. Diagnosis Diabetes Melitus
Kriteria pemeriksaan penunjang untuk diagnosis diabetes melitus tipe 2
menurut ADA adalah sebagai berikut :
a. Fasting Plasma Glucose (FGP) atau kadar glukosa darah puasa ≥126
mg/dL (7.0 mmol/L). Dimana puasa diartikan sebagai tanpa asupan kalori
selama setidaknya 8 jam.
b. 2-Hour Plasma Glucose (2-hPG) atau kadar glukosa darah 2 jam post
prandial≥ 200 mg/dL (11.1 mmol/L). Tes harus dilakukan sesuai dengan
yang telah dideskripsikan oleh WHO, menggunakan cairan glukosa yang
setara dengan 75 gram glukosa dilarutkan dengan air.
c. HbA1C ≥ 6.5% (48 mmol/mol). Tes harus dilakukan sesuai dengan
metode yang distandardisasi oleh National Glycohaemoglobin
Standardization Program (NGSP) dan Diabetes Control and Complication
Trial (DCCT). HbA1c merupakan salah satu hemoglobin terglikasi dan
tersubfraksi yang dibentuk oleh pelekatan berbagai glukosa ke molekul
HbA (hemoglobin pada usia dewasa) yang akan meningkat dengan
konsentrasi glukosa dalam darah rata-rata. Kadar HbA1c stabil
berdasarkan rentang umur eritrosit sekitar 100 sampai 120 hari. Sehingga,
HbA1c mencerminkan kadar glukosa darah rata-rata selama 2 sampai 3
bulan terakhir. HbA1c merupakan pemeriksaan tunggal terbaik untuk
menilai risiko terhadap kerusakan jaringan yang disebabkan oleh tingginya
kadar gula darah. Kontrol glikemik yang optimal sangatlah penting untuk
mencegah komplikasi yang timbul pada pasien DM, namun di Indonesia
target pencapaian kontrol glikemik belum tercapai salah satunya adalah
HbA1c yang masih memiliki rata-rata 8%7. Sedangkan kadar HbA1c
normal adalah ≤ 7% dengan menggunakan metode yang terstandarisasi
oleh National Glycohaemoglobin Standarization Program (NGSP).
d. Random Plasma Glucose (RPG) atau kadar gula darah sewaktu ≥ 200
mg/dL (11.1 mmol/L).

14
Hasil tes tanpa adanya gejala hiperglikemia yang jelas harus dikonfirmasi
dengan pengulangan tes tersebut (ADA, 2017).
8. Penatalaksanaan Diet Diabetes Melitus
Penatalaksanaan DM dimulai dari diri pasien dengan cara menerapkan
pola hidup sehat (terapi nutrisi, medis dan aktivitas fisik) bersamaan dengan
intervensi farmakologis dengan obat anti hiperglikemia secara oral atau suntikan.
Penatalaksanaan diet DM dilakukan dengan cara sebagai berikut :
a. Perencanaan Diet
Kunci keberhasilan penatalaksanaan DM tipe II adalah keterlibatan secara
menyeluruh tenaga kesehatan seperti dokter, perawat, ahli gizi, pasien dan
keluarganya untuk mencapai sasaran terapi terapi nutrisi medis.
Penyandang DM perlu diberikan penekanan terkait dengan pentingnya
jadwal makan yang teratur, jenis dan jumlah kandungan kalori, terutama
bagi mereka yang mengkonsumsi obat yang meningkatkan sekresi insulin
atau terapi insulin (PERKENI, 2016). Komposisi makanan yang
dianjurkan terdiri dari:
1) Karbohidrat
Karbohidrat yang dianjurkan sebesar 45-65% total asupan energi.
Terutama karbohidrat yang berserat tinggi. Pembatasan karbohidrat
total < 130 gr/hari tidak dianjurkan. Pemanis alternatif dapat
digunakan sebagai penggganti glukosa, asal tidak melebihi batas aman
konsumsi harian. Penderita DM dianjurkan makan tiga kali sehari dan
perlu diberikan makanan selingan seperti buah atau makanan lain
sebagai bagian dari kebutuhan kalori sehari (PERKENI,2016).
2) Lemak
Asupan lemak dianjurkan sekitar 20-25% kebutuhan kalori dan tidak
dianjurkan melebihi 30% total asupan energi. Komposisi yang
dianjurkan yaitu untuk lemak jenuh < 7% kebutuhan kalori, lemak
tidak jenuh ganda < 10 %, selebihnya dari lemak tidak jenuh tunggal.
Bahan makanan yang perlu dibatasi adalah makanan yang banyak
mengandung lemak jenuh dan lemak trans seperti daging berlemak dan

15
susu fullcream, konsumsi kolesterol dianjurkan < 200mg/hari
(PERKENI, 2016).
3) Protein
Kebutuhan protein yang diperlukan pada pasien DM adalah sebesar
10-20% total asupan energi. Sumber protein yang baik diantaranya
meliputi ikan, udang, cumi-cumi, daging tanpa lemak, ayam tanpa
kulit, produk susu dengan rendah lemak, kacang–kacangan, tempe dan
tahu (PERKENI, 2016).
4) Natrium
Anjuran asupan natrium untuk penderita DM sama dengan orang yang
sehat yaitu < 2300 mg/hari. Penderita DM yang juga menderita
hipertensi perlu dilakukan pengurangan natrium secara individual.
Sumber natrium antara lain garam dapur, soda dan bahan pengawet
seperti natrium benzoate dan natrium nitrit (PERKENI, 2016).
5) Serat
Penderita DM dianjurkan mengkonsumsi serat dari kacang-kacangan,
buah dan sayuran serta sumber karbohidrat yang tinggi serat. Anjuran
konsumsi serat adalah 20-35 gr/hari yang berasal dari berbagai jenis
bahan makanan (PERKENI, 2016).
6) Kebutuhan kalori
Terdapat beberapa cara yang dapat dilakukan untuk menentukan
jumlah kalori yng dibutuhkan oleh penderita DM yaitu dengan cara
memperhitungkan kebutuhan kalori basal yang besarnya 25-30
kal/kgBB ideal. Jumlah kebutuhan tersebut dikurangi atau ditambah
bergantung oleh beberapa faktor yaitu jenis kelamin, umur aktivitas,
berat badan, dan lain-lain. Cara perhitungan berat badan ideal yaitu
sebagai berikut (PERKENI, 2016)
a) Penghitungan berat badan ideal menggunakan rumus broca yang
sudah dimodifikasi oleh PERKENI:
Berat badan ideal = 90% x (TB dalam cm - 100) x 1 kg.

16
Bagi pria dengan tinggi badan dibawah 160 cm dan wanita 150 cm
rumus dimodifikasi menjadi :
Berat Badan Ideal = (TB dalam cm - 100) x 1kg.
BB Normal : BB ideal ± 10%
Kurus : kurang dari BBI - 10%
Gemuk : lebih dari BBI +10%
b) Penghitungan berat badan ideal menurut Indeks Massa Tubuh
(IMT) dapat dihitung dengan rumus:
IMT = BB(kg) / TB(m²)
Tabel 2.1. Klasifikasi IMT
Berat badan IMT
Kurus < 18,5 kg/m2
Normal 18,5 – 23,5 kg/m2
Gemuk >23,5 – 30 kg/m2
Obesitas >30 kg/m2

Sumber : Menurut WHO tahun 2000

b. Latihan Jasmani
Latihan jasmani merupakan salah satu pilar dalam pengelolaan DM.
Kegiatan jasmani sehari-hari dan latihan jasmani dilakukan secara teratur
sebanyak 3-5 kali dalam seminggu, waktunya sekitar 30-45 menit, dengan total
waktu 150 menit per minggu. Dianjurkan untuk melakukan pemeriksaan kadar
glukosa darah sebelum latihan jasmani jika kadar glukosa darah <100 mg/dL
pasien harus mengkonsumsi karbohidrat terlebih dahulu dan bila kadar glukosa
darah >250 mg/dL dianjurkan untuk menunda latihan jasmani. Latihan jasmani
yang dianjurkan yaitu latihan jasmani yang bersifat aerobik dengan intensitas
sedang seperti jalan cepat, bersepeda santai, jogging dan berenang (PERKENI,
2016).
2.2. HbA1C
1. Definisi HbA1C

17
HbA1C merupakan glukosa stabil yang terikat pada sel darah merah
(hemoglobin) melalui suatu proses non enzimatis. American Diabetic Association
(ADA) memasukkan kadar HbA1C dalam kriteria diagnosis diabetes pada tahun
2010. Berkaitan dengan masa hidup eritrosit, HbA1C dianggap dapat
merepresentasikan kualitas kadar glukosa darah jangka panjang pasien yaitu
sekitar 2-3 bulan sebelumnya. Dengan kontribusi bulanan rata-rata kadar glukosa
darah terhadap HbA1C adalah 50% dari 30 hari terakhir, 25% dari 30-60 hari
sebelumnya dan 25% dari 60-120 hari sebelumnya. Pada keadaan normal, kadar
HbA1C berkisar 3-6%.Kadar HbA1C yang meningkat pada penderita diabetes
melitus dianggap sebagai tanda bahwa kadar gula darah pasien cenderung tidak
terkontrol dan hal itu tentu meningkatkan risiko terjadinya komplikasi dari DM.
Selain itu, pemeriksaan HbA1C juga memiliki beberapa keunggulan seperti dapat
dilakukan kapan saja tanpa puasa atau persiapan khusus, serta hasil tes yang
relatif tidak terpengaruh dengan keadaan akut. Namun, hasil tes tetap dapat
dipengaruhi kondisi tertentu seperti anemia, paska transfusi darah, konsumsi
alkohol dan penyakit ginjal (Paputungan dan Harsinen, 2014).
2. Metode Pemeriksaan HbA1C
Metode pemeriksaan HbA1C dapat dibedakan berdasarkan cara pemisahan
komponen hemoglobin glikosilasi dan non-glikosilasi, seperti :
a. Metode pemeriksaan berdasarkan perbedaan muatan
b. Metode pemeriksaan berdasarkan reaktivitas kimia
c. Metode pemeriksaan berdasarkan perbedaan struktural
Pada umumnya, hasil antar metode yang menggunakan prinsip berbeda
akan menunjukkan korelasi sangat baik dan belum ada data pasti mengenai
metode yang lebih unggul. Hasil HbA1C dapat bervariasi. Kurangnya
standardisasi internasional terkait pemeriksaan HbA1C mendorong beberapa
negara mengembangkan program harmonisasi sendiri. NGSP menetapkan High
Performance Liquid Chromatography (HPLC) sebagai metode utama dengan
prinsip dasar pertukaran molekul kation (Guptaet al, 2017). Metode lain yang
sering digunakan untuk pemeriksaan HbA1C adalah Turbidimetric Inhibition
Immunoassay (TINIA) dengan prinsip dasar terbentuknya struktur khas antara

18
antigen dengan antibodi HbA1C. Keduanya memiliki konkordasi hasil
pemeriksaan yang baik (Genset al, 2012).
Tidak ada persiapan khusus yang perlu dilakukan untuk pengambilan
sampel darah dalam pemeriksaan HbA1C. Jenis sampel darah yang digunakan
adalah whole blood. Diambil sebanyak 5.0 mL atau minimum 2.5 mL. Sampel
whole blood dimasukkan ke dalam tube denganpenggunaan
Ethylenediaminetetraacetic Acid (EDTA) sebagai antikoagulan. Kemudian tube
berisi sampel dibolak-balik hingga 8-10 kali sebelum dimasukkan ke alat
penghitung HbA1C.
3. Interpretasi Hasil Pemeriksaan HbA1C
Peningkatan atau penurunan konsentrasi HbA1C dianggap berkorelasi
positif dengan konsentrasi glukosa darah. WHO menentukan cut-off point
diagnosis diabetes melitus dengan kadar HbA1C ≥ 6.5% atau setara 48mmol/mol
(WHO, 2011). Sedangkan seseorang dengan kadar HbA1C 5.7-6.4% dianggap
memiliki resiko tinggi untuk menderita DM tipe 2 (ADA, 2011). Selain untuk
fungsi diagnosis, nilai HbA1c pada penderita DM merupakan indikator terkontrol
atau tidaknya kadar glukosa darah selama kira-kira 3 bulan terakhir. Interpretasi
kadar HbA1C pada penderita DM dapat dikelompokkan menjadi DM teratur baik
(< 7%) sesuai dengan target ADA, DM teratur sedang (7-8%), dan DM tidak
teratur (> 8%) (Kosasih, 2008).
4. Peran HbA1C dalam menggambarkan kadar gula darah puasa
Proses pembentukan HbA1C yaitu melalui reaksi glikasi glukosa dengan
asam amino eritrosit atau disebut sebagai Maillard reaction, menyebabkan kadar
HbA1C cenderung bersifat stabil dan tidak terpengaruh oleh keadaan akut glukosa
darah harian yang fluktuatif. HbA1C atau eritrosit yang telah terglikasi memiliki
masa hidup seperti eritrosit pada umumnya, yaitu sekitar 120 hari. Terkait dengan
masa hidup eritrosit, kadar HbA1C dianggap dapat menggambarkan KGD puasa
jangka panjang mencapai 3 bulan sebelum pemeriksaan HbA1C. HbA1C untuk
menggambarkan KGD puasa jangka panjang akan bermanfaat bagi penderita DM
tipe 2 dalam mengontrol KGD sehingga dapat menurunkan risiko terjadinya
berbagai komplikasi yang disebabkan oleh keadaan hiperglikemia kronis pada

19
penderita DM tipe 2(Gupta et al, 2017; Paputungan dan Harsinen, 2014).
Penelitian sebelumnya yang dilakukan untuk melihat peran HbA1C dalam
menggambarkan KGD puasa menunjukkan bahwa kadar HbA1C memiliki
pengaruh sebesar 81% untuk menggambarkan KGD puasa 2 bulan sebelumnya
dan 76% untuk menggambarkan KGD puasa terakhir dan 1 bulan sebelumnya
(Barua, 2014).
2.3. Pengetahuan
Menurut Budiharto (2010) dalam Rahayu dkk (2014) mengemukakan
bahwa pengetahuan atau kognitif merupakan domain yang sangat penting untuk
terbentuknya perilaku. Kurangnya pengetahuan mengenai kesehatan gigi
merupakan faktor predisposisi dari perilaku kesehatan yang mengarah kepada
timbulnya penyakit. Perilaku yang didasari oleh pengetahuan, kesadaran dan sikap
positif lebih langgeng. Sebaliknya apabila perilaku tidak didasari pengetahuan dan
kesadaran maka perilaku tidak akan berlangsung lama.
Pengetahuan adalah hasil dari tahu dan ini terjadi setelah orang
melakukan penginderaan terhadap suatu objek tertentu. Penginderaan terjadi
melalui panca indra manusia yaitu penglihatan, pendengaran, penciuman, rasa dan
raba (Notoatmodjo, 2014). Pengetahuan yang dicakup dalam daerah kognitif
mempunyai 6 tingkatan.
a) Tahu (Know) adalah mengingat suatu materi yang telah dipelajari
sebelumnya. Untuk mengukur orang tahu tentang apa yang dipelajari
antara lain dengan menyebutkan, menguraikan, mendefinisikan,
menyatakan.
b) Memahami (comprehension) adalah kemampuan untuk memahami secara
benar tentang objek yang diketahui dan dapat menginterprestasikan materi
tersebut secara benar.
c) Aplikasi (Application) adalah kemampuan untuk menggunakan materi
yang telah dipelajari pada situasi dan kondisi yang sebenarnya.
d) Analisis (Analisys) adalah kemampuan untuk menjabarkan materi atau
objek kedalam komponen-komponen terapi masih di dalam suatu struktur
organisasi tersebut dan masih ada kaitannya satu sama lainnya.

20
e) Sintesis (Synthesis) adalah kemampuan untuk meletakkan atau
menghubungkan bagian-bagian di dalam suatu bentuk keseluruhan yang
baru.
f) Evaluasi (Evaluation) adalah kemampuan untuk melakukan justifikasi atau
penilaian terhadap suatu materi objek.
Menurut Wawan & Dewi (2010), beberapa faktor yang mempengaruhi
pengetahuan yaitu :
a. Faktor internal
1) Pendidikan
Pendidikan berarti bimbingan yang diberikan seseorang terhadap
perkembangan orang lain menuju kearah cita-cita tertentu yang
menentukan manusia untuk berbuat dan mengisi kehidupan untuk
mencapai keselamatan dan kebahagiaan. Pendidikan dapat
mempengaruhi seseorang termaksuk juga perilaku seseorang akan
pola hidup terutama dalam memotifasi untuk sikap berperan serta
dalam pembangunan. Pada umumnya makin tinggi pendidikan
seseorang makin mudah menerima informasi.
2) Pekerjaan
Pekerjaan dalam arti luas aktifitas utama yang dilakukan manusia
dalam arti sempit istilah pekerjaan di gunakan untuk suatu kerja
menghasilkan uang bagi seseorang dalam pembicaraan seharihari
istilah ini sering dianggap sininim dengan profesi. Jadi dapat
diartikan sebagai suatu yang dikeluarkan oleh seseorang sebagai
profesi sengaja dilakukan untuk mendapatkan penghasilan. Bekerja
umumnya merupakan kegiatan yang menyita waktu. Seorang
remaja yang dalam masa pendidikannya juga harus bekerja untuk
dapat membiayai studinya sehingga para remaja mempunyai
kesempatan yang lebih kecil untuk mendapatkan informasi yang
bermanfaat bagi derajat kesehatannya khususnya tentang
menstruasi. Hal ini dikarenakan waktu luang yang ada
dimanfaatkan untuk bekerja dan beristrahat.

21
3) Umur
Usia adalah umur individu yang terhitung mulai saat dilahirkan
sampai berulang tahun. Menurut Hucklock (2014) semakin cukup
umur, tingkat kematangan dan kekuatan seseorang akan lebih
matangnya umur seorang remaja semakin matang pula
pemikirannya soal kesehatan reproduksinya khususnya tentang
menstruasi (Nursalam, 2013).
b. Faktor Eksternal
1) Faktor lingkungan
Lingkungan merupakan seluruh kondisi yang ada di sekitar,
manusia dan pengaruhnya yang dapat mempengaruhi
perkembangan dan perilaku orang atau kelompok. Lingkungan bisa
membuat pola pikir remaja tentang menstruasi menjadi sesuatu
yang menakutkan, tergantung bagaimana lingkungan
memperlakukan remaja tersebut.
2) Sosial Budaya
Sistem sosial budaya yang ada pada masyarakat dapat
mempengaruhi dari sikap dalam menerima kelompok.
Ilmu pengetahuan mengalami beberapa periode perkembangan dari
waktu ke waktu sepanjang kehidupan manusia dipermukaan bumi ini. Proses yang
terjadi mengikuti kemajuan peradaban manusia dari zaman batu sampai zaman
modern dan sering disebut sebagai “The ways Of Thinking”. Proses tahapan yaitu :
a) Periode trial and error. Manusia melihat dan mendengar sesuatu, lalu
mulai berpikir dan timbul keinginan untuk mencoba, tetapi gagal,
kemudian mencoba lagi berkali-kali dan akhirnya berhasil.
b) Periode authority and tradition. Semua pemikiran dan pendapat dijadikan
norma-norma dan tradisi yang harus dilaksanakan oleh setiap orang. Bila
seseorang melanggarnya, akan dikenakkan sanksi hukuman, baik moral
maupun fisik.
c) Periode speculation and argumentation. Setiap pemikiran dan pendapat
mulai dibahas kebenarannya melalui spekulasi dan adu argumentasi.

22
d) Periode hyphothesis and experimentation. Semua pemikiran dan pendapat
harus dianalisa, diteliti, serta uji kebenarannya secara ilmiah (Chandra,
2012).
Pengukuran pengetahuan dapat dilakukan dengan cara wawancara atau
angket yang menanyakan tentang isi materi yang akan diukur dari subyek
penelitian atau responden. Kedalaman pengetahuan yang ingin kita ketahui atau
kita ukur dapat kita sesuaikan dengan tingkatan-tingkatan di atas (Nursalam,
2013).
 Tingkatan Pengetahuan baik bila skor > 75%-100%
 Tingkat Pengetahuan cukup bila skor 56%-75%
 Tingkat Pengetahuan kurang bila skor <56%
2.4. Hubungan Tingkat Pengetahuan Terapi Diet DM Dengan Kadar HbA1C
Gula Darah Puasa Pada Penderita DM
Ketidakpahaman pasien terhadap terapi yang sedang dijalaninya akan
menyebabkan kegagalan terapi. Faktor tersebut diakibatkan kurangnya informasi
dan komunikasi antara tenaga kesehatan dengan pasien. Biasanya karena
kurangnya informasi mengenai hal-hal di atas, maka pasien melakukan self-
regulation terhadap terapi obat yang diterimanya. Beberapa pengetahuan yang
diperlukan bagi penderita DM adalah pengetahuan mengenai penyakit itu sendiri,
diet, aktivitas fisik, pemberian insulin, dan pengukuran kadar glukosa darah
mandiri. Pengetahuan lain juga diperlukan seperti faktor pencetus terjadi diabetes,
tanda dan gejala diabetes, dan tatalaksana awal.
Perilaku pada DM seperti kepatuhan minum obat dan hal-hal yang
dianjurkan pemeriksa. Pola diet yang baik dapat mengontrol kadar glukosa darah,
diet yang dapat dilakukan pada penderita diabetes seperti mengurangi konsumsi
gula, karbohidrat, memperbanyak serat. Aktivitas fisik dilakukan untuk membantu
metabolisme tubuh, sehingga sistem fisiologis tubuh dapat berfungsi dengan baik
dan menurunkan kemungkinan timbul komplikasi diabetes. Penelitian di
Indonesia menyebutkan bahwa terdapat hubungan bermakna antara tingkat
pengetahuan dengan kepatuhan diet pasien DM. Berdasarkan hasil analisis yang
telah dilakukan didapatkan data bahwa pasien DM dengan tingkat pengetahuan

23
yang tinggi berpeluang 1,6 kali untuk mematuhi diet DM dibandingkan dengan
pasien DM tipe 2 yang mempunyai tingkat pengetahuan sedang dan rendah.
Penelitian di Bangladesh menyatakan bahwa pengetahuan dan tindakan
yang tepat mengenai diabetes dianggap sebagai suatu alat yang dapat mengontrol
diabetes. Pemberian edukasi yang efektif dapat meningkatkan pengetahuan,
tindakan yang tepat, dan kemampuan untuk mengontrol diabetes yang diharapkan
dapat meningkatkan manajemen dan perawatan diabetes. Namun, jika
pengetahuan kurang dan tingkat kewaspadaan rendah dapat meningkat risiko
terjadi komplikasi dan meningkatkan harga pembiayaan diabetes.
Menurut penelitian yang dilakukan Faiszal dkk (2017) menyatakan bahwa
ada hubungan antara tingkat pengetahuan diet diabetes melitus terhadap kadar
gula darah pada penderita diabetes melitus tipe 2 di Desa Morodemak dengan
nilai p 0,000 (<0,05). Hal ini diperkuat dengan penelitian Putro (2012) yang
menyatakan bahwa diet tepat jumlah memiliki hubungan yang kuat dengan kadar
gula darah puasa (p=0,000).

24
2.5. Kerangka Teori

Pendidikan Status Gizi

Edukasi Pengetahuan Asupan Zat Gizi

Diet DM Kadar Gula

HbA1C

Gambar 2.1. Kerangka Teori

Sumber : Modifikasi Parkeni (2016) dan Notoatmodjo (2014)

25
2.6. Kerangka Konsep

Menurut Notoatmodjo (2010) kerangka konsep adalah merupakan


formulasi atau simplikasi dari kerangka teori atau teori-teori yang mendukung
penelitian tersebut.

Variabel Bebas Variabel Terikat

Kadar HbA1C
Tingkat Pengetahuan
Kadar Gula

Gambar 2.6. Kerangka Konsep Penelitian

2.7. Hipotesis
Pada penelitian ini, hipotesis yang bisa diambil yaitu ada hubungan antara
tingkat pengetahuan terapi diet diabetes melitus dengan kadar HbA1C gula darah
puasa pada penderita diabetes melitus di RSUD Kardinah Kota Tegal.

26

Anda mungkin juga menyukai

  • Orangutan Batang Toru
    Orangutan Batang Toru
    Dokumen3 halaman
    Orangutan Batang Toru
    Thityck Sugiarti
    Belum ada peringkat
  • SelProkEuk
    SelProkEuk
    Dokumen14 halaman
    SelProkEuk
    Thityck Sugiarti
    Belum ada peringkat
  • Bab 3
    Bab 3
    Dokumen7 halaman
    Bab 3
    Thityck Sugiarti
    Belum ada peringkat
  • Bab 2
    Bab 2
    Dokumen19 halaman
    Bab 2
    Thityck Sugiarti
    Belum ada peringkat
  • Bab I
    Bab I
    Dokumen3 halaman
    Bab I
    Thityck Sugiarti
    Belum ada peringkat
  • Mitosis Pada Tumbuhan
    Mitosis Pada Tumbuhan
    Dokumen9 halaman
    Mitosis Pada Tumbuhan
    Thityck Sugiarti
    Belum ada peringkat
  • KERANGKA
    KERANGKA
    Dokumen4 halaman
    KERANGKA
    Thityck Sugiarti
    Belum ada peringkat
  • Essay
    Essay
    Dokumen3 halaman
    Essay
    Thityck Sugiarti
    Belum ada peringkat
  • DietDMHbA1C
    DietDMHbA1C
    Dokumen7 halaman
    DietDMHbA1C
    Thityck Sugiarti
    Belum ada peringkat
  • BAB II Tinjauan Pustaka
    BAB II Tinjauan Pustaka
    Dokumen36 halaman
    BAB II Tinjauan Pustaka
    Thityck Sugiarti
    Belum ada peringkat
  • Tumbuhan Sebagai Bahan Baku Industri
    Tumbuhan Sebagai Bahan Baku Industri
    Dokumen24 halaman
    Tumbuhan Sebagai Bahan Baku Industri
    Thityck Sugiarti
    Belum ada peringkat
  • Tumbuhan Sebagai Bahan Baku Industri
    Tumbuhan Sebagai Bahan Baku Industri
    Dokumen24 halaman
    Tumbuhan Sebagai Bahan Baku Industri
    Thityck Sugiarti
    Belum ada peringkat
  • Surat Penetapan
    Surat Penetapan
    Dokumen1 halaman
    Surat Penetapan
    Siti rasidah
    Belum ada peringkat
  • Bab 1
    Bab 1
    Dokumen16 halaman
    Bab 1
    Thityck Sugiarti
    Belum ada peringkat
  • BAB VI Penutup
    BAB VI Penutup
    Dokumen2 halaman
    BAB VI Penutup
    Thityck Sugiarti
    Belum ada peringkat
  • Kerangka Teori
    Kerangka Teori
    Dokumen4 halaman
    Kerangka Teori
    Thityck Sugiarti
    Belum ada peringkat
  • BAB IV Hasil Penelitian
    BAB IV Hasil Penelitian
    Dokumen24 halaman
    BAB IV Hasil Penelitian
    Thityck Sugiarti
    Belum ada peringkat
  • Tata Laksana Terkini Demam Tifoid PDF
    Tata Laksana Terkini Demam Tifoid PDF
    Dokumen4 halaman
    Tata Laksana Terkini Demam Tifoid PDF
    Ary Nahdiyani Amalia
    100% (2)
  • Tugas Mikrobiologi
    Tugas Mikrobiologi
    Dokumen11 halaman
    Tugas Mikrobiologi
    Thityck Sugiarti
    Belum ada peringkat
  • Lembar Persetujuan
    Lembar Persetujuan
    Dokumen3 halaman
    Lembar Persetujuan
    Thityck Sugiarti
    Belum ada peringkat
  • Bab 1
    Bab 1
    Dokumen16 halaman
    Bab 1
    Thityck Sugiarti
    Belum ada peringkat
  • Cover
    Cover
    Dokumen1 halaman
    Cover
    Thityck Sugiarti
    Belum ada peringkat
  • Lembar Persetujuan Proposal Skripsi
    Lembar Persetujuan Proposal Skripsi
    Dokumen3 halaman
    Lembar Persetujuan Proposal Skripsi
    Thityck Sugiarti
    Belum ada peringkat
  • Skripsi
    Skripsi
    Dokumen6 halaman
    Skripsi
    Thityck Sugiarti
    Belum ada peringkat
  • Daftar Pustaka
    Daftar Pustaka
    Dokumen1 halaman
    Daftar Pustaka
    Thityck Sugiarti
    Belum ada peringkat
  • Halaman Akhr
    Halaman Akhr
    Dokumen13 halaman
    Halaman Akhr
    Thityck Sugiarti
    Belum ada peringkat
  • Bab Ii
    Bab Ii
    Dokumen8 halaman
    Bab Ii
    Thityck Sugiarti
    Belum ada peringkat
  • Bab Ii
    Bab Ii
    Dokumen23 halaman
    Bab Ii
    Thityck Sugiarti
    Belum ada peringkat
  • Bab 1
    Bab 1
    Dokumen6 halaman
    Bab 1
    Thityck Sugiarti
    Belum ada peringkat