GTM
GAMBAR TEKNIK MESIN
Penulis :
Aida Mahmudah
November 2000
Jl. Kanayakan No. 21, DAGO 40135, TromolPos 851, BANDUNG 40008 INDONESIA
Phone : 62 022 250024,1 Fax : 62 022 2502649 Homepage http ://www.polman.com, E-mail : polman@melsa.net.id
GAMBAR TEKNIK MESIN i
POLITEKNIK MANUFAKTUR
BANDUNG PENGANTAR
Bismillaahirrahmaanirrahiim..
Gambar teknik sebagai media komunikasi paling informatif yang digunakan oleh para teknisi, ahli
teknik dan praktisi teknik memerlukan keseragaman bahasa untuk menghindari kesalahan
pembacaan gambar yang akan berakibat fatal pada proses manufaktur. Revisi diktat Gambar
Teknik Mesin merupakan salah satu usaha untuk menyeragamkan bahasa gambar teknik.
Pemakaian standar penggambaran yang sama dapat membantu penyeragaman bahasa teknik
yang digunakan. Oleh karena itu penulis mengambil referensi utama dari ISO Standards
Handbook – Technical Drawings, yang sudah diakui secara internasional. Selain itu, penulis
mengambil pula referensi lain yaitu dari standar DIN (Deutsches Institut für Normung), VSM
(Verein Schweizerischer Maschinen), ASM (Arbeitsgeberverband Schweizerischer Maschinen)
dan diktat - diktat relevan yang digunakan di Politeknik Manufaktur Bandung.
Diktat Gambar Teknik Mesin ini adalah gambar teknik mesin dasar yang akan diterima oleh
mahasiswa tingkat 1 pada semester 1 dan awal semester 2. Pada setiap awal bab, penulis
mencantumkan TIK Tujuan Instruksional Khusus yang dapat dijadikan acuan bagi mahasiswa
(dan juga pengajar) dalam pencapaian materi. Diharapkan teori dan standar dasar yang dipelajari
dapat diterapkan dengan konsisten sehingga bahasa teknik yang digunakan benar-benar
seragam.
November, 2000
Penulis
GAMBAR TEKNIK MESIN ii
POLITEKNIK MANUFAKTUR
BANDUNG DAFTAR ISI
Pengantar i
Daftar Isi ii
VIII.4.3 Hubungan Antara Simbol Lama dengan Simbol Baru ............................... VIII – 7
VIII.5 KETENTUAN PENGGUNAAN HARGA KEKASARAN PADA GAMBAR ....... VIII – 9
VIII.5.1 Ketentuan Umum ...................................................................................... VIII – 8
VIII.5.2 Peletakkan Simbol .................................................................................... VIII – 8
VIII.5.3 Tanda Kekasaran Umum .......................................................................... VIII – 9
VIII.5.4 Tanda Kekasaran Umum dan Khusus....................................................... VIII – 9
VIII.5.5 Ketentuan Lain.......................................................................................... VIII – 10
VIII.6 PROPORSI DAN DIMENSI SIMBOL ............................................................... VIII – 10
VIII.6.1 Ketentuan Umum ...................................................................................... VIII – 10
VIII.6.2 Proporsi Simbol......................................................................................... VIII – 10
VIII.6.3 Dimensi Simbol ......................................................................................... VIII – 10
BAB IX GAMBAR KERJA.............................................................. IX – 1
IX.1 GAMBAR SUSUNAN....................................................................................... IX – 2
IX.2 GAMBAR BAGIAN .......................................................................................... IX – 2
IX.3 KEPALA GAMBAR/ETIKET ............................................................................ IX – 4
IX.3.1 Zona Identitas ........................................................................................... IX – 4
IX.3.2 Zona Informasi Tambahan ........................................................................ IX – 4
IX.4 DAFTAR BAGIAN ........................................................................................... IX – 12
IX.4.1 Isi Daftar Bagian ....................................................................................... IX – 12
IX.4.2 Memasukkan Data .................................................................................... IX – 12
BAB X TOLERANSI GEOMETRIK .................................................. X–1
X.1 GAMBARAN UMUM ....................................................................................... X–2
X.2 ELEMEN YANG DIBERI TOLERANSI............................................................. X–3
X.2.1 Simbol Karakteristik Bentukan yang Diberi Toleransi ............................... X–3
X.2.2 Ketentuan Penandaan Elemen Geometrik yang Diberi Toleransi pada
Gambar..................................................................................................... X–3
X.3 DAERAH TOLERANSI………………………………………………………………. X–4
X.4 DATUM (BIDANG PATOKAN)……………………………………………………… X–6
X.4.1 Ketentuan Pencantuman Datum .............................................................. X–6
X.4.2 Datum Target ........................................................................................... X–8
X.4.3 Sistem Tiga Bidang Datum ....................................................................... X–9
X.4.4 Kelompok Bentukan yang Dijadikan Datum .............................................. X–9
X.5 KOTAK TOLERANSI ………………………………………………………………... X – 10
GAMBAR TEKNIK MESIN
Standardisasi I-1
1. Menjelaskan fungsi dan manfaat gambar teknik sebagai bahasa komunikasi dalam
kegiatan manufaktur.
I.1.1 GAMBAR
I.1 Pengertian Umum TEKNIK MESIN
Untuk mempelajari gambar STT
teknik mesin, ada baiknya memahami dulu
pengertian dan fungsinya dalam dunia manufaktur. Secara umum gambar dapat
diartikan sebagai bahasa komunikasi yang digunakan untuk menyampaikan
ide/pemikiran menjadi bentuk yang dapat dibaca dan dimengerti. Sedangkan gambar
teknik adalah gambar yang digunakan untuk berkomunikasi di bidang keteknikan.
Sehingga secara lengkap gambar teknik mesin diartikan sebagai aturan/tata cara
pembuatan gambar-gambar keteknikan pada teknik mesin menurut standar yang
berlaku.
Gambar teknik harus dapat dimengerti dan dipahami oleh semua pelaku teknik
di seluruh dunia. Untuk memenuhi kebutuhan tersebut maka diperlukan bahasa atau
aturan baku/standar yang berlaku secara internasional. Sebuah organisasi
internasional yang bernama ISO (International Organization for Standardization) telah
membuat standar baku gambar teknik dengan bahasa keteknikan yang disepakati
pelaku teknik. Sehingga designer (perancang), drafter (juru gambar), dan operator
(pabrikan) harus dapat mengetahui dan mendalami standardisasi gambar teknik yang
berlaku internasional sehingga fungsi gambar sebgai bahasa komunikasi dapat
tercapai. Dan selanjutnya sedapat mungkin mengikuti perkembangan aturan-aturan
ISO, karena setiap kurun waktu tertentu mengalami perubahan yang disesuaikan
kebutuhan pelaku teknik.
I.2 Kertas
Referensi :
ISO 128 Technical Drawings – General Principles of Presentation
ISO 216 Writing Paper and Certain Classes of Printed Matter – Trimmed Sizes
– A and B series
ISO 3099/1 Technical Drawings – Lettering – Part 1 : Currently Used Character
GAMBAR TEKNIK MESIN
Standardisasi I-3
Gambar 1- 1
Dengan membagi 2 bagian sama besar kertas A0 pada sisi terpanjangnya, maka
akan menjadi ukuran kertas A1. Dan begitu seterusnya untuk mendapatkan ukuran
kertas A2, A3 dan A4
Pemilihan ukuran kertas gambar dapat dilihat pada tabel 1-1, 1-2 dan 1-3.
Keterangan tabel:
*) Sama dengan 2 kali A0 pada seri ISO-A
**) Untuk alasan praktis, ukuran ini ebaiknya jangan digunakan
Gambar asli harus dibuat pada kertas dengan ukuran sekecil mungkin,
sesuai dengan kebutuhan
Gambar 1- 6
Gambar 1- 8
Gambar 1- 13
Gambar 1- 14
Gambar 1- 15 Gambar 1- 16
I.2.3.2 Lipatan
I.2.3.2.1 Lipatan Tipe A
Lipatan Lipatan
Format Skema Lipatan
Memanjang Melintang
2A0
1189 x 1682
A0
841 x 1189
Tabel 1-4
GAMBAR TEKNIK MESIN
Standardisasi I - 10
A1
594 X 841
A2
420 X 594
A3
297 X 420
2A0
1189 x 1682
A0
841 x 1189
Tabel 1-5
GAMBAR TEKNIK MESIN
Standardisasi I - 11
A1
594 X 841
A2
420 X 594
A3
297 X 420
I.3 Tulisan
I.3.1 Bentuk Tulisan
Hal-hal yang harus diperhatikan pada bentuk tulisan yang dipakai pada gambar
teknik adalah kemudahan membacanya, keseragaman, kesesuaian untuk
dokumentasi dalam bentuk mikrofilm dan penggandaaan photographic lainnya serta
keseragaman tebal huruf, baik huruf kecil maupun huruf kapital.
I.3.1.1 Tulisan Tipe A Miring
Gambar 1- 20
GAMBAR TEKNIK MESIN
Standardisasi I - 12
I.1.1
I.3.1.2 Tulisan GAMBAR
Tipe A TegakTEKNIK MESIN
STT
Gambar 1- 21
Gambar 1- 22
Catatan : Jarak antara dua huruf a boleh dikurangi setengahnya, jika hal ini
memberikan efek visual yang lebih baik; seperti misalnya LA, TV, d.s.b.,
d.h.i.a. sama dengan tebal huruf d.
GAMBAR TEKNIK MESIN
Standardisasi I - 14
2,5 mm Toleransi
3,5 mm Penunjukan ukuran, tulisan-tulisan
Skala dari detail
Tanda pengerjaan
Daftar bagian-bagian (etiket)
Skala (etiket)
Digambar/diperiksa (etiket)
Perubahan, pemesan (etiket)
5 mm Potongan, pandangan , detail
Skala
Nama instansi/sekolah
7 mm Judul gambar (etiket)
Nomor bagian
Nomor gambar
Tabel 1-8
I.1.1
Ketinggian huruf GAMBAR
7 mm TEKNIK
(ketebalan MESIN
tulisan 0,7 mm)
STT
Gambar 1- 23
GAMBAR TEKNIK MESIN
Standardisasi I - 16
I.1.1
Ketinggian huruf GAMBAR
7 mm TEKNIK
(ketebalan MESIN
tulisan 0,7 mm)
STT
Gambar 1- 24
GAMBAR TEKNIK MESIN
Standardisasi I - 17
I.1.17 GAMBAR
Ketinggian angka TEKNIK
mm (ketebalan MESIN
tulisan 0,7 mm)
STT
Gambar 1- 25
Gambar 1- 26
0,5/0,25 0,7/0,35
Gambar 1- 27
Gambar 1- 28
GAMBAR TEKNIK MESIN
Standardisasi I - 20
I.1.1 GAMBAR
I.4.2 Teknik Tampilan Garis TEKNIK MESIN
I.4.2.1 Prioritas Tampilan Garis STT
Jika dua buah garis yang berbeda atau lebih tergambar berdempetan, urutan
prioritas tampilan garis yang harus diikuti (lihat gambar 1-28) :
1. Garis benda dan garis tepi terlihat (garis lurus tebal, tipe A).
2. Garis benda dan garis tepi terhalang (garis putus-putus, tipe E atau tipe F).
3. Garis pemotongan (garis strip titik tipis, tebal pada ujung dan belokan, tipe H).
4. Garis sumbu dan garis simetri (garis strip titik tipis, tipe G).
5. Garis titik berat (garis strip titik ganda, tipe K).
6. Garis proyeksi (garis tipis lurus, tipe B).
Gambar 1- 29
SALAH BENAR
Tabel 1-10
GAMBAR TEKNIK MESIN
Standardisasi I - 21
Garis Bayang
SALAH BENAR
Tabel 1-11
GAMBAR TEKNIK MESIN
Standardisasi I - 22
Garis Tebal
Tabel 1-12
GAMBAR TEKNIK MESIN
Standardisasi I - 23
Tabel 1-13
I.5.1 Definisi :
Skala : Rasio dimensi linier dari elemen suatu objek yang ditunjukkan dalam suatu
gambar terhadap dimensi linier sebenarnya pada elemen objek yang sama.
Ukuran sebenarnya : Skala dengan rasio 1:1
Skala diperbesar : Skala yang rasionya lebih besar dari 1:1
Skala diperkecil : Skala yang rasionya lebih kecil dari 1:1
Catatan :
Jika dalam pemakaian khusus diperlukan skala perbesaran yang lebih besar atau skala
pengecilan yang lebih kecil dibandingkan dengan yang ditunjukkan pada tabel di atas,
range skal tersebut dapat menjadi lebih besar atau lebih kecil, asalkan skala yang
dikehendaki diperoleh dari skala pada tabel di atas dikali 10 (sepuluh). Dalam kasus yang
sangat khusus diamana untuk alasan-alasan fungsional skala pada tabel di atas tidak dapat
dipakai, skala pertengahan dapat pula dipakai
Skala gambar yang harus dipilih akan tergantung pada komplektisitas objek untuk
digambarkan dan maksud penggambaran. Pada umumnya, skala yang dipilih harus
cukup besar untuk kemudahan dan kejelasan penafsiran informasi yang ditampilkan.
Skala dan ukuran objek, pada akhirnya akan menentukan ukuran gambar.
Detail-detail gambar yang terlalu kecil untuk penunjukan ukuran yang lengkap
dalam gambar utama, harus ditampilkan berdekatan dengan gambar utama tersebut
GAMBAR TEKNIK MESIN
Standardisasi I - 25
I.1.1 GAMBAR
dalam pandangan detail yangTEKNIK MESIN
terpisah (potongan) dan digambarkan dengan skala
yang lebih besar. STT
Gambar 1- 33 Gambar 1- 34
Contoh Skala 1:1 Contoh Skala 1:5
Gambar 1- 35
Contoh Skala 2:1
GAMBAR TEKNIK MESIN
Standardisasi I - 26
I.1.1
I.6 Alat-Alat GAMBAR TEKNIK MESIN
Gambar
I.6.1 Pensil STT
I.6.1.1 Pensil Kayu
Untuk menarik garis dengan ketebalan merata (arti tebal tidak sama dengan
hitam), maka ujung pensil harus ditajarnkan. Ujung pensil dapat dibentuk menjadi baji
dan tirus/konus.
Gambar 1- 36 Gambar 1- 37
Gambar 1- 38 Gambar 1- 39
I.1.1Huruf
GAMBAR
Tipe TEKNIK MESIN
Mekanisme Deskripsi Gambar
Kalsifikasi
STT
F *) Pinsil mekanik yang menggunakan mekanisme 1
Tipe
dorongan untuk mengeluarkan lead yang
Dorong
L **) ditempatkan dalam barrel. 2
Tabel 1-15
Catatan : *) Pada urnumnya polymer lead mempunyai diameter nominal 0.35 sampai 1 mm
**) Pada urnumnya ceramic lead mempunyai diameter 2 mm (lihat ISO 9177-2)
I.6.1.2.1 Dimensi
• Diameter nominal
1.4 *) - - -
2 2 2 0.05
Tabel 1-16
Catatan : *) Pada saat ini, lead untuk menghasilkan garis setebal 0.25 mm belum tersedia.
**) Pada penggunaannya, label atau tanda pensil mekanik dan kotaknya 0,3 dan
0,9
GAMBAR TEKNIK MESIN
Standardisasi I - 28
Tabel 1-17
Tabel 1-18
I.1.1
Gaya tekan GAMBAR
vertikal yangTEKNIK MESIN
dibebankan pada lead besarnya 5 N untuk diameter
STT nominal 0.5 mm atau lebih.
nominal 0.35 mm, dan 8 N untuk diameter
3. Posisi lead relatif terhadap clearance spiral (pensil mekanik tipe ulir S)
a. Letakkan pensil mekanik secara vertikal.
b. Putar barrel sampai lead tersembul tidak kurang dari 2.5 mm. Kemudian,
dengan memutarkan pada arah yang berlawanan, tarik lead sampai lead
tersebut menonjol 1.3 mm. Gunakan gayat ekan vertikal sebesar 4 N terhadap
lead.
I.6.1.2.3 Kodefikasi
Kodefikas} pensil mekanik terdiri dari penjelasan elemen-elemen berikut :
a. "mechanical pencil";
b. nomor bagian ISO 9177 (contoh : ISO 9177-1);
c. huruf tipe klasifikasi (contoh : F, L atau S):
d. diameter nominal (dalam satuan mm).
Kodefikasi harus ditunjukkan jelas pada barrel pensil mekanik. Jika ruang untuk
menuliskan kode pensil mekanik tidak cukup, yang dicanturnkan hanya nomor bagian
ISO 9177.
Contoh kodefikasi:
Pensil mekanik, tipe dorong F, sesuai dengan tuntutan ISO 9117 dan mempunyai
diameter nominal 0.5 mm dideskripsikan sebagai berikut :
Mechanical pencil ISO 9177-1-F-0.5
Pensil mekanik, tipe dorong L, sesuai dengan tuntutan ISO 9117 dan mempunyai
diameter nominal 2 mm dideskripsikan sebagai berikut :
Mechanical pencil ISO 9177-1-L-2
Pensil mekanik, tipe ulir S, sesuai dengan tuntutan ISO 9117 dan mempunyai diameter
nominal 0.7 mm dideskripsikan sebagai berikut :
Mechanical pencil ISO 9177-1-S-0.7
GAMBAR TEKNIK MESIN
Standardisasi I - 30
I.1.1
I.6.1.2.4 Black GAMBAR
Lead TEKNIK
(ISO 9177-2 MESIN
: 1989 (E))
STT dan dimensi untuk lead hitam yang
ISO 9177-2 ini menentukan spesifikasi
digunakan pada pensil mekanik. Dua tipe lead hitam yang tersedia adalah :
- Polymer lead (dilambangkan dengan huruf "P")
- Ceramic lead (dilambangkan dengan huruf "C")
Definisi
Black lead : Material padat untukmenulis yang terdiri dari karbon (misalnya
graphite) dan bahan pengikat. Lead ini menghasilkan garis yang dapat dihapus.
Polymer lead : lead hitam yang bahan pengikatnya adalah polimer organik.
Ceramic lead : lead hitam yang bahan pengikatnya adalah tanah liat.
Derajat kekerasan : klasifikasi yang menunjukkan peningkatan kekerasan dari 6B
sampai 9H dan peningkatan kerapatan garis dari 9H sampai 6B. Derajat
kekerasan medium adalah HB.
Klasifikasi
Lead dikiasifikasikan berdasarkan derajat kekerasan.
Dimensi
Diameter
Data diameter black lead dapat dilihat pada tabel 1-16.
GAMBAR TEKNIK MESIN
Standardisasi I - 31
Catalan:
*) Digunakan untuk jangka.
Kodefikasi
Kodefikasi black-lead (timah hitam) terdiri dari penjelasan elemen-eleman berikut:
a. "Black lead" ;
b. nomor bagian dari ISO 9177 (contoh : ISO 91772-2);
c. huruf tipe klasifikasi (contoh : P atau C);
d. diameter nominal lead, dalam satuan milimeter;
e. panjang lead, dalam satuan milimeter.
Kodefikasi ditunjukkan dengan jelas pada kemasan lead dan jika memungkinkan,
pada lead itu sendiri (jika ruang untuk menuliskan deskripsi lead tidak mencukupi,
yang dicanturnkan hanya nomor bagian
Contoh Kodefikasi:
Polymer lead yang sesuai dengan tuntutan ISO 9177-2, mempunyai diameter nominal
0.5 mm dan panjangSO mm dideskripsikan sebagai benkut :
Black lead ISO 9177-2-P-0.5-60
Ceramic lead yang sesuai dengan tuntutan ISO 9177-2, mempunyai diameter nominal
2 mm dan panjang 130 mm dideskripsikan sebagai berikut:
Black lead ISO 9177-2-P-2-130
GAMBAR TEKNIK MESIN
Standardisasi I - 32
Gambar 1- 43
Dalam menggunakan jangka harus diusahakan kedua kakinya berdiri tegak lurus
terhadap kertas gambar dan tekanlah dengan tekanan konstan untuk mendapatkan
tebal garis yang sama (lihat gambar 1-44)
GAMBAR TEKNIK MESIN
Standardisasi I - 36
Gambar 1- 44
I.6.3 Pengaris
Penggaris digunakan sebagai alat bantu penggambaran garis lurus maupun garis
lengkung.
Gambar 1- 45 Gambar 1- 46
Mal Lengkung Penggarais Segitiga
Gambar 1- 47 Gambar 1- 48
Mistar Skala Mal Bentuk
GAMBAR TEKNIK MESIN
Standardisasi I - 37
I.1.1 GAMBAR
Mesin gambar TEKNIK
pita/lengan MESIN
adalah
STT
alat yang dapat menggantikan busur
derajat. penggaris-T, penggaris lurus,
dan penggaris segitiga.
Gambar 1- 49
Mesin Gambar Pita/Lengan
Gambar 1- 51
Dudukan Meja Gambar
GAMBAR TEKNIK MESIN I
Konstruksi Dasar II - 1
II.1.1 GAMBAR
TUJUAN INSTRUKSIONAL TEKNIK MESIN
KHUSUS
STT
Setelah mempelajari uraian materi yang diajarkan, peserta didik diharapkan dapat :
di D
5. Tarik garis dari A ke D. Garis AD adalah
garis yang tegak lusus garis g.
GAMBAR TEKNIK MESIN I
Konstruksi Dasar II - 3
R
dan E.
D E
2. Dari titik D dan E, buat busur lingkaran
r C B
berjari-jari R, yang saling berpotongan di
titik F. Gambar 2- 4
sudut BAD
4. Buat busur lingkaran dari titik C dengan radius r1 = CD, sehingga memotong
II.1.1 GAMBAR TEKNIK MESIN
sumbu horizontal di E.
STT
5. Buat busur lingkaran dari titik D dengan radius r2 = DE, segingga memotong
lingkaran di titik F.
6. Hubungkan garis D dan F. Maka DF (r2) adalah sisi dari segi lima sama sisi yang
dimaksud.
Gambar 2- 14 Gambar 2- 15
GAMBAR TEKNIK MESIN I
Konstruksi Dasar II - 8
Gambar 2- 21 Gambar 2- 22
GAMBAR TEKNIK MESIN I
Konstruksi Dasar II - 12
Gambar 2- 30
GAMBAR TEKNIK MESIN I
Konstruksi Dasar II - 15
Konstruksi Titik
II.1.1 GAMBAR TEKNIK MESIN
1. Bagi garis MB, MC, BA dan CD dalam
STT
jumlah bagian yang sama. Beri nomor
titik-titik bagi tersebut.
2. Hubungkan titik-titik bagi pada garis AB
dan CD dengan titik M.
3. Buat garis sejajar AB/CD pada titik-titik
bagi garis BC dan potongkan dengan
garis-garis sebelumnya (pada langkah
no.2) pada penomoran yang sama.
4. Beri nomor 1’, 2’, … pada titik
pertpotongan tersebut. Gambar 2- 31
II.5.2 Hiperbola
1. Tarik dua buah garis dari titik P yang sejajar
dengan sumbu X (garis S1) dan sumbu Y (garis
S2).
2. Buat garis dari titik M yang memotong garis S1 di
titik A1, B1 ; dan memotong garis S2 di titik A2, B2.
3. Tarik garis sejajar sumbu Y dari titik A1, B1 ; dan
garis sejajar sumbu X dari titik A2, B2 yang akan
saling berpotongan di titik Q dan R.
4. Hubungkan titik Pdengan titik-titik potong
tersebut (Q dan R) dengan mal lengkung. Maka Gambar 2- 32
II.5.4 Sikloida
1. Gambar sebuah lingkaran dengan titik pusat O.
2. Tarik garis singgung AB melalui titik A pada lingkaran tersebut. Panjang AB =
keliling lingkaran.
3. Bagi lingkaran O dan garis AB dalam bagian dan jumlah yang sama. Beri tanda
1,2,3, … pada lingkaran dan 1’,2’,3’, …. pada garis AB.
4. Tarik garis-garis yang sejajar dengan garis AB, melalui titik-titik 1,2,3, … dan
garis-garis tegak lurus AB melalui titik-titik 1’, 2;, 3’, ….
5. Pindahkan titik-titik 1’, 2;, 3’ ke garis OB’ ( titik-titik 1”, 2”, 3”, ….)
6. Gambar lingkaran dengan titik pusat pada titik-titik 1”, 2”, 3”, ….. Lingkaran-
lingkaran ini akan memotong garis-garis sejajar AB di titik 1’’’, 2’’’, 3’’’, …
7. Hubungkan titk-titik terakhir tersebut dengan mal lengkung. Maka lengkungan
yang terjadi akan membentuk kurva sikloida yang dimaksud.
Gambar 2- 34
GAMBAR TEKNIK MESIN I
Konstruksi Dasar II - 17
Gambar 2- 35
GAMBAR TEKNIK MESIN I
Konstruksi Dasar II - 18
II.5.6 Sinusoidal
II.1.1 GAMBAR TEKNIK MESIN
1. Buat lingkaran O dengan jari-jari yang telah ditentukan.
STT
2. Bagi lingkaran tersebut dengan besar sudut yang sama dan telah ditentukan
sebelumnya.
3. Pada sumbu X grafik sinusoidal yang akan dibuat, lakukan pembagian dengan
jumlah pembagian yang sama dan skala bagi yang telah ditentukan.
4. Tarik garis horizontal dari titik-titik bagi lingkaran.
5. Tarik garis vertikal dari titik-titik bagi sudut pada sumbu X yang akan berpotongan
dengan garis horizontal pada pada langkah 4.
6. Hubungkan titik-titik potong tersebut dengan mal lengkung. Maka lengkungan yang
terjadi akan membentuk kurva sinusoidal yang dimaksud.
Gambar 2- 36
II.5.7 Spiral
II.5.7.1 Cara Archimodes (gambar 2-37)
1. Bagi lingkaran dalam n bagian radial yang sama, kemudian beri nomor 1,2,3,…
2. Bagilah salah satu garis radian tersebut dengan jumlah pembagian yang sama
dengan lingkaran, kemudian beri nomor 1,2,3
3. Buat lingkaran-lingkaran yang melalui titik-titik bagi garis radial. Lingkaran 1 akan
memotong garis radial 1, lingkaran 2 memotong garis radial 2, demikian
seterusnya.
4. Hubungkan titik-titik potong tersebut dengan mal lengkung. Maka lengkungan yang
terjadi akan membentuk spiral yang dimaksud.
GAMBAR TEKNIK MESIN I
Konstruksi Dasar II - 19
Gambar 2- 37 Gambar 2- 38
GAMBAR TEKNIK MESIN I
Konstruksi Dasar II - 20
II.5.8 Uliran
II.1.1 GAMBAR TEKNIK MESIN
1. Buat pandangan atas dari batang berulir (pandangan atas berbentuk lingkaran).
STT
2. Bagi lingkaran tersebut menjadi 8 bagian yang sama besar. Beri nomor 1 s.d. 8.
3. Bentangkan lingkaran tersebut pada pandangan samping. Panjang bentangan =
keliling lingkaran = d.
4. Bagi bentangan tersebut dengan jumlah pembagian yang sama, dan beri nomor.
5. Dengan ketinggian h yang telah ditentukan, buat garis miring A1.
6. Buat garis vertikal A1’, kemudian pada titik 8, buat garis yang sejajar A1’ dan
memotong garis miring A1. Lakukan pada titik-titik bagi lainnya.
7. Tarik garis horizontal dari titik-titik potong tersebut, sehingga memotong batang
berulir.
8. Tarik garis vertikal dari titik-titik potong pada lingkaran, yang akan berpotongan
dengan garis horizontal pada titik 1’, 2’, 3’, dst.
9. Hubungkan titik-titik potong tersebut dengan mal lengkung. Maka garis
lengkungan tersebut akan membentuk kurva suatu uliran dengan kisar “h”.
Gambar 2- 39
GAMBAR TEKNIK MESIN III-1
POLITEKNIK MANUFAKTUR
BANDUNG BAB III PROYEKSI
5. Dapat membayangkan bentuk benda dua dimensi ke bentuk tiga dimensi dan sebaliknya.
GAMBAR TEKNIK MESIN III-2
POLITEKNIK MANUFAKTUR
BANDUNG BAB III PROYEKSI
Gambar 3- 1
Gambar 3-1
Gambar 3-2 menunjukan proyeksi
suatu benda dimana objek berada
didepan bidang proyeksi.
Gambar 3- 2
Gambar 3- 3
Referensi :
ISO 128 - 1982 Technical Drawings – General Principles of Presentation.
DIN 5 – 6 1986 Technische Zeichnungen; Projektion, Begriffe, Darstellungen
GAMBAR TEKNIK MESIN III-3
POLITEKNIK MANUFAKTUR
BANDUNG BAB III PROYEKSI
Gambar 3-7. Proyeksi sebuah objek dengan satu titik hilang Gambar 3-8. Gambaran ruang proyeksi sebuah objek dengan
satu titik hilang.
Gambar 3-9. Proyeksi sebuah objek dengan 2 titik hilang Gambar 3-10. Gambaran ruang proyeksi sebuah objek
dengan 2 titik hilang.
GAMBAR TEKNIK MESIN III-5
POLITEKNIK MANUFAKTUR
BANDUNG BAB III PROYEKSI
Gambar 3-11. Proyeksi sebuah objek dengan 3 titik hilang dan Gambar 3-12. Gambaran ruang proyeksi sebuah objek dengan
sudut miring bidang proyeksi ke arah pusat 3 titik hilang dan sudut miring bidang proyeksi ke
proyeksi. arah pusat proyeksi.
Gambar 3-13. Proyeksi sebuah objek dengan 3 titik hilang dan Gambar 3-14. Gambaran ruang proyeksi sebuah objek dengan
sudut miring bidang proyeksi berlawanan pusat 3 titik hilang dan sudut miring bidang proyeksi
proyeksi. berlawanan pusat proyeksi.
GAMBAR TEKNIK MESIN III-6
POLITEKNIK MANUFAKTUR
BANDUNG BAB III PROYEKSI
Proyeksi kavalir merupakan proyeksi paralel miring dimana garis proyeksinya membentuk
sudut 450 dengan bidang proyeksi (bidang YZ), sehingga objek pada ketiga arah koordinatnya
diproyeksikan dengan panjang sebenarnya. Objek terletak dengan pandangan utamanya
(umumnya bidang a) sejajar dengan bidang proyeksi (lihat Gambar 3-16, 3-17)
Gambar 3-16. Proyeksi Kavalir Gambar 3-17. Gambaran ruang proyeksi Kavalir
GAMBAR TEKNIK MESIN III-7
POLITEKNIK MANUFAKTUR
BANDUNG BAB III PROYEKSI
Gambar 3-20. Proyeksi planometri Gambar 3-21. Gambaran ruang proyeksi planometri
GAMBAR TEKNIK MESIN III-8
POLITEKNIK MANUFAKTUR
BANDUNG BAB III PROYEKSI
Menurut teorinya proyeksi aksonometri tegak merupakan bentuk proyeksi ortogonal dimana
objek diletakan sedemikian rupa sehingga tiga bidang objek tersebut terlihat dalam pengamatan.
Dalam hal ini tentu banyak sekali kemungkinan peletakan objek yang artinya juga banyak sekali
kemungkinan gambar yang berbeda-beda, yang dihasilkan pada bidang proyeksi. Karena alasan
banyaknya hasil gambar yang berbeda-beda maka ditetapkanlah beberapa kemungkinan
peletakan objek dalam proyeksi aksonometri tegak yang kemudian dikenal dengan : proyeksi
isometri, proyeksi dimetri, proyeksi trimetri.
Gambar 3-25. Proyeksi Isometri Gambar 3-26. Gambaran ruang proyeksi Isometri
Karena dalam penggambaran proyeksi isometri cukup sulit, terutama pada penggambaran sisi-
sisi objek yang mengecil sekitar 82%, maka untuk memudahkan penggambarannya sisi-sisi
objek tersebut digambar sesuai dengan panjang sebenarnya. Hal inilah yang biasa dilakukan
pada gambar isometri.
Pada gambar isometri, panjang garis pada sumbu-sumbu isometri menggambarkan panjang
yang sebenarnya (Gambar 3-27).
Gambar 3-28. Proyeksi dimetri Gambar 3-29. Gambaran ruang proyeksi dimetri
Dari definisi ini maka terdapat banyak kemungkinan sudut peletakan objek dan ke arah koordinat
yang mana skala pemendekan proyeksi sisi-sisi objek tersebut. Beberapa literatur menjelaskan
beberapa kemungkinan peletakan objek dengan besarnya skala pemendekan sisi-sisinya. Tetapi
sayang tidak menjelaskan dasar-dasar perolehan nilai-nilai tersebut. Kemungkinan peletakan
dengan dua sudut yang sama yaitu sudu A = sudut B, sudut B = usdut C, sudut A = sudut C (lihat
Gambar 3-30)
Tabel sudut proyeksi dan skala pemendekan proyeksi dimetri.
Sudut proyeksi ( 0) Skala pemendekan (%)
Sumbu X Sumbu Y Sumbu Z
15 15 73 73 96
35 35 86 86 71
40 10 54 92 92
Gambar 3-30.
Dalam penerapannya proyeksi dimetri ini cukup sulit untuk
digambarkan terutama penentuan skala pemendekan sisi-sisi pada sumbu X , Y dan Z. Sehingga
pada penerapan praktis dilakukan perubahan dengan mengambil skala pemendekan yang
teratur, yang mudah untuk digambarkan. Cara-cara ini disebut dengan gambar dimetri. Pada
gambar dimetri diambil skala genap misalnya 1:1:1/2 (skala penuh sumbu Z : skala penuh sumbu
X : skala setengah sumbu Y). Untuk skala 1:1:1/2 maka diperoleh sudut = 7012’ dan = 41024’.
Sudut dapat dihitung dengan menggunakan rumus :
Cos = (2.S12.S22 + S24/(2.S1.S2))
S1 adalah salah satu dari skala yang sama.
S2 adalah skala yang ketiga.
Untuk kondisi ini maka haruslah sudut B = sudut C.(karena harus ada dua sumbu dengan skala
pemendekan yang sama). Sudut B = 900 + .
Sehingga sudut = (360 – sudut B – sudut C – 900)
= 2700 – 2.(900 + 41024’) = 7012’.
GAMBAR TEKNIK MESIN III-11
POLITEKNIK MANUFAKTUR
BANDUNG BAB III PROYEKSI
Sudut-sudut ini kemudian dibulatkan menjadi sudut = 70 dan = 420 seperti yang tertera pada
Gambar 3-28. Skala pertama yang diberikan dalam setiap ratio adalah untuk sumbu vertikal
(sumbu Z), yang kedua untu sumbu X dan yang ketiga untuk sumbu Y.
Dalam penggambaran dimetri dimungkinkan beberapa variasi pengambilan skala antara lain :
1 : 1 : ½ dengan = 7012’ dan = 41024’
½ : 1 :1 dengan = 41024’ dan = 41024’
1 : 1 : ¾ dengan = 16020’ dan = 36050’
¾ : 1 : 1 dengan = 36050’ dan = 36050’ dll.
Gambar proyeksi ortogonal disebut juga gambar pandangan majemuk karena proyeksi
ortogonal pada umumnya tidak memberikan gambaran lengkap dari benda hanya dengan satu
proyeksi saja. Oleh karena itu diambil beberapa bidang proyeksi. Biasanya diambil tiga bidang
tegak lurus, dan dapat ditambah dengan bidang bantu jika diperlukan.
Antara benda dan titik penglihatan di tak terhingga diletakkan sebuah bidang tembus
pandang, sejajar dengan bidang yang akan digambar. Jika benda dilihat dari depan, maka
gambar pada bidang tembus pandang ini disebut pandangan depan. Jika dilihat dari atas,
disebut pandangan atas. Dan jika dilihat sari samping kiri atau kanan, disebut pandangan
samping kiri (tampak kiri) atau pandangan samping kanan (tampak kanan).
Gambar 3-34
Bidang-bidang proyeksi yang paling banyak digunakan adalah bidang horizontal dan
bidang vertikal. Bidang-bidang utama ini membagi seluruh ruang dalam empat kuadran.
Bagian ruang di atas bidang horizontal dan di depan bidang vertikal disebut kuadran
pertama. Bagian ruang di atas bidang horizontal dan di belakang bidang vertikal disebut kuadran
kedua. Kuadran ketiga adalah bagian ruang yang terletak di bawah bidang horizontal dan di
belakang bidang vertikal, sedangkan kuadran keempat adalah bagian ruang yang terletak di
bawah bidang horizontal dan di depan bidang vertikal.
Gambar 3-35
GAMBAR TEKNIK MESIN III-14
POLITEKNIK MANUFAKTUR
BANDUNG BAB III PROYEKSI
Jika benda yang akan digambar diletakkan pada kuadran pertama, dan diproyeksikan pada
bidang-bidang proyeksi, maka metode proyeksi ini disebut “proyeksi kuadran pertama” atau
“metode proyeksi sudut pertama”. Jika bendanya diletakkan pada kuadran ketiga, maka metode
proyeksi tersebut disebut “proyeksi kuadran ketiga” atau “metode proyeksi sudut ketiga”.
Sebenarnya masih ada metode proyeksi lain, yaitu “proyeksi kuadran kedua” dan “proyeksi
kuadran keempat”, yang tidak dipakai dalam praktik.
Gambar 3-37
GAMBAR TEKNIK MESIN III-15
POLITEKNIK MANUFAKTUR
BANDUNG BAB III PROYEKSI
Negara-negara lain yang menggunakan metode proyeksi sudut ketiga diantaranya adalah
Jepang, Australia dan Kanada.
Benda diletakkan di depan bidang-bidang proyeksi, kemudian diproyeksikan pada bidang di
depannya menurut masing-masing arah penglihatan (Gambar 3-40). Misalnya menurut arah
peglihatan A, benda digambar pada bidang proyeksi depan, menurut arah B benda digambar
pada bidang proyeksi atas, menurut arah C pada bidang proyeksi sebelah kiri, dan seterusnya.
Gambar 3-40
GAMBAR TEKNIK MESIN III-16
POLITEKNIK MANUFAKTUR
BANDUNG BAB III PROYEKSI
Tampak / pandangan adalah merupakan gambar yang menjelaskan suatu benda yang dilihat
secara frontal.
Dalam Gambar Teknik, benda kerja hanya digambarkan dalam beberapa pandangan yang
diperlukan (jangan digambar dalam pandangan yang berlebihan).
Bila perlu Benda kerja digambarkan dalam beberapa padangan, karena tidak sedikit benda
kerja yang berbeda mempunyai pandangan yang sama.
Seperti contoh pada Gambar 3-41, benda 1 dan 2 mempunyai bentuk yang berbeda, tetapi
bila anda lihat dari pandangan depannya saja, kedua benda tersebut mempunyai padangan yang
sama.
Benda 1 Benda 2
1 2
Gambar 3-41
GAMBAR TEKNIK MESIN III-17
POLITEKNIK MANUFAKTUR
BANDUNG BAB III PROYEKSI
Bila benda 1 dan 2 tersebut, hanya digambarkan dalam pandangan depannya saja,
kemungkinan akan terjadi kekeliruan dalam pembacaan gambar.
Maka untuk menghindari kekeliruan pembacaan ini, benda tersebut harus digambarkan
padangan lainnya (misalnya pandangan samping atau atas). Dengan demikian kesalahan
pembacaan gambar akan terhindari.
a) b)
Gambar 3-42
Gambar 3-43
Gambar 3-44
GAMBAR TEKNIK MESIN III-18
POLITEKNIK MANUFAKTUR
BANDUNG BAB III PROYEKSI
PROYEKSI GARIS
Proyeksi garis untuk memperoleh pandangan lain dari yang telah ditetapkan mengikuti cara-cara
proyeksi titik. Karena garis menghubungkan dua titik atau lebih. Sehingga untuk memproyeksikan
garis maka cukuplah memproyeksikan titik-titik pada garis yang menentukan garis tersebut.
Gambar 3-xx menunjukan penyelesaian masalah untuk mendapatkan pandangan samping kanan
jika pandangan depan dan atas sudah diketahui.
PROYEKSI BIDANG
Seperti pada proyeksi garis yang diturunkan dari proyeksi titik, maka proyeksi bidangpun
mengikuti cara-cara teori proyeksi garis. Seperti diketahui bahwa bidang dibentuk oleh dua atau
lebih garis yang saling berpotongan, dalam hal ini bidang harus dibentuk dari garis-garis yang
berpotongan dan saling menutup, sehingga bidang tersebut mempunyai batas. Dengan
memproyeksikan garis-garis yang membentuk bidang tersebut, maka akan diperoleh hasil
proyeksi bidang tersebut.
Gambar 3-xx memperlihatkan bagaimana mencari pandangan samping kanan dari sebuah
bidang jika pandangan atas dan depan sudah diketahui.
PROYEKSI BANGUN
Dari teori proyeksi sebelumnya maka dapat dikembangkan lebih lanjut dengan proyeksi sebuah
bangun atau benda tiga dimensi. Dengan mengambil prinsip-prinsip yang sama, yaitu
memproyeksikan bidang-bidang atau garis-garis yang membentuk bangun tersebut maka akan
diperoleh proyeksi sebuah bangun. Perlu dicermati adalah titik-titik ujung atau sudut bangun
tersebut yang ketika diproyeksikan sangat mungkin akan berimpit dengan dengan titik sudut yang
berbeda, yang dapat mengecoh pembaca gambar.
Gambar 3-xx memperlihatkan bagaimana mencari pandangan samping kanan sebuah bangun
jika pandangan atas dan depan sudah diketahui.
GAMBAR TEKNIK MESIN IV-1
POLITEKNIK MANUFAKTUR
BANDUNG BAB IV POTONGAN
2. memahami jenis arsir dan cara/aturan mengarsir untuk berbagai bentuk dan kondisi gambar
serta bahan;
5. membuat gambar proyeksi dalam bentuk potongan dan gambar proyeksi dan dari model
sesuai dengan jenis bendanya.
GAMBAR TEKNIK MESIN IV-2
POLITEKNIK MANUFAKTUR
BANDUNG BAB IV POTONGAN
Bagian-bagian dan bentukan-bentukan penting pada benda kerja yang tidak terlihat secara
langsung, dapat digambar dengan garis putus-putus (garis tipe E atau tipe F). Tapi hal ini akan
mempersulit pembacaan dan pemahaman gambar. Dapat anda bayangkan berapa banyak garis
putus-putus yang harus digambarkan jika anda diminta untuk menggambar susunan sebuah
mesin atau tool dengan lengkap. Oleh karena itu, dibuat gambar dalam bentuk potongan.
Hasil pandangan dalam potongan itu akan mengubah garis bayangan/putus-putus menjadi
garis tebal karena dibuangnya bagian depan hingga bagian dalam yang kurang jelas tersebut
langsung tampak.
Perlu diketahui bahwa bagian yang telah dibuang itu hanya dalam gambar penampang
potongan saja, tidak untuk gambar pandangan-pandangan yang lain.
Referensi:
ISO 128-1982 Technical Drawings - General Principle of Presentation
DIN 6 T 2- 1993 Darstellung in Normalprojektion
Gambar 4 - 2 Gambar 4 - 3
Gambar 4 - 5
Gambar 4 - 6
Gambar 4 - 7
4. Kayu.
Gambar 4 - 8
Gambar 4 - 9
Gambar 4 - 10
Gambar 4 - 11
GAMBAR TEKNIK MESIN IV-4
POLITEKNIK MANUFAKTUR
BANDUNG BAB IV POTONGAN
4. Jika daerah pemotongan besar, arsir dapat digambar hanya pada daerah kontur benda kerja
yang dipotong (gambar 4-12).
5. Garis arsir dapat dipotong jika terdapat suatu petunjuk yang penempatannya tidak mungkin di
luar daerah yang diarsir (gambar 4-13).
6. Jika potongan dari benda kerja yang sama dalam bidang paralel ditunjukkan satu sisi per satu
sisi, garis arsir dibuat sama. Tetapi jika diperlukan kejelasan yang lebih jelas, garis arsir dapat
di-offset sepanjang garis pembagi potongan (gambar 4-14).
Gambar 4 - 12
Gambar 4 - 13 Gambar 4 - 14
7. Untuk benda-benda silinder seperti : poros, pena, baut, keling juga untuk sirip (urnumnya pada
benda tuangan) yang dipotong memanjang, tidak digambarkan dalam penampang potong
(tidak diarsir). Kecuali bila dipotong melintang atau disobek.
Gambar 4 - 15 Gambar 4 - 16
Gambar 4 - 17 Gambar 4 - 18
Gambar 4 - 20 Gambar 4 - 21
3. Pemotongan Khusus
Untuk benda-benda yang membutuhkan keterangan gambar yang lebih jelas, diperlukan
pemotongan khusus pada bagian tertentu. Bagian lain dari benda yang tidak penting tidak
perlu digambarkan (gambar 4-22).
4. Pemotongan benda yang mempunyai sumbu seperti pada gambar di samping, garis potong
melalui sumbu dan ukuran gambar pemotongannya merupakan ukuran proyeksi dari ukuran
benda sebenarnya (gambar 4-23).
Gambar 4 - 22 Gambar 4 - 23
5. Pemotongan Berurutan
Benda-benda silindris yang mempunyai sumbu eksentrik, pemotongan dilakukan pada
bagian yanq mempunvai sumbu berbeda denqan sumbu utamanya.
Setiap garis pemotongan harus disertai dengan huruf pemotongan, agar setiap pandangan
mempunyai keterangan yang jelas.
Gambar 4 - 24
GAMBAR TEKNIK MESIN IV-6
POLITEKNIK MANUFAKTUR
BANDUNG BAB IV POTONGAN
Gambar 4 - 25 Gambar 4 - 26
2. Untuk pemotongan memutar (A-A), pemotongan yang berbelok-belok (B-B, C-C), atau
pemotongan yang lebih dari satu bidang pemotongan pada satu benda (D-D, E-E), garis
dan huruf pemotongan harus selalu dicanturnkan.
Gambar 4 - 27
Gambar 4 - 28
Gambar 4 - 29 Gambar 4 - 30
4. Jika potongan tersebut dipindahkan, garis benda pada potongan digambar dengan garis
lurus tebal (tipe A).
Potongan yang dipindahkan dapat ditempatkan :
- dekat dengan pandangan utama dan dihubungkan dengan garis strip titik tipis (tipe G,
gambar 4-32),
- atau pada posisi yang berbeda dan diidentifikasikan dengan penamaan potongan
(gambar 4-33).
Gambar 4 - 32 Gambar 4 - 33
GAMBAR TEKNIK MESIN V-1
POLITEKNIK MANUFAKTUR
BANDUNG BAB V PENUNJUKAN KHUSUS
3. memahami penggambaran simbol penunjukan ulir dalam gambar teknik mesin (ulir dalam,
ulir luar dan ulir berpasangan).
GAMBAR TEKNIK MESIN V-2
POLITEKNIK MANUFAKTUR
BANDUNG BAB V PENUNJUKAN KHUSUS
Salah satu fungsi gambar adalah sebagai alat komunukasi. Oleh karena itu gambar harus
dapat dimengerti oleh seluruh pengguna gambar. Tetapi adakalanya gambar tidak dapat
digambar dengan 6 prinsip pandangan pada proyeksi. Untuk mengatasinya, benda dapat
digambar dengan metode penunjukan khusus yang juga dapat diterapkan untuk menghindari
penggunaan pandangan yang berlebihan.
Selain itu, metode penunjukan khusus dapat pula diterapkan untuk menyederhanakan
gambar yang sudah dapat dimengerti tanpa menggambar benda secara utuh atau dengan hanya
digambar satu pandangan saja.
Referensi :
ISO 128 – 1982 Technical Darwings – General Principle of Presentation
ISO 6410 – 1981 Technical Darwings – Conventional Representation of Threaded Parts
DIN 6 T 1 – 1993 Technische Zeichnungen – Darstellungen in Normal Projection
VSM 2.2 – 1997 Normen Auszug – Darstellung Prinzipien
Gambar 5- 1 Gambar 5- 2
Gambar 5- 3
Gambar 5- 8
Gambar 5- 9 Gambar 5- 10
Gambar 5- 11 Gambar 5- 12
Gambar 5- 16 Gambar 5- 17
Gambar 5- 19
GAMBAR TEKNIK MESIN V-5
POLITEKNIK MANUFAKTUR
BANDUNG BAB V PENUNJUKAN KHUSUS
Simbol grafik dan derajat ketirusan ditunjukkan dekat dengan bentukan ketirusan, dan garis
referensi dihubungkan terhadap garis benda dengan garis penunjuk seperti yang ditunjukkan
pada gambar 5-24 dan 5-25 . Garis referensi digambar sejajar dengan garis sumbu ketirusan
dan arah simbol grafik sama dengan arah ketirusan benda
Gambar 5- 24 Gambar 5- 25
Gambar 5- 26
GAMBAR TEKNIK MESIN V-6
POLITEKNIK MANUFAKTUR
BANDUNG BAB V PENUNJUKAN KHUSUS
Seperti hanya penunjukan simbol grafik pada bentukan ketirusan, simbol pendakian
ditunjukkan berdekatan dengan bentukan pendakian, dan garis referensi dihubungkan terhadap
garis benda dengan garis penunjuk, seperti yang digambarkan pada gambar 5-27. Garis
referensi digambar sejajar dengan sisi datar, dan arah simbol pendakian harus sama dengan
arah pendakian benda.
Gambar 5- 27 Gambar 5- 28
Gambar 5- 29 Gambar 5- 30
Gambar 5- 31 Gambar 5- 32
Jika kontur terluar benda dibentuk oleh pertemuan antara kemiringan dan radius, maka pada
pandangan lain kontur tersebut digambarkan dengan dimensi yang ditentukan oleh perpotongan
garis-garis singgung radius.
Gambar 5- 33 Gambar 5- 34
GAMBAR TEKNIK MESIN V-7
POLITEKNIK MANUFAKTUR
BANDUNG BAB V PENUNJUKAN KHUSUS
Gambar 5- 38 Gambar 5- 37
Gambar 5- 39 Gambar 5- 40
c. Pada pandangan samping, diameter luar digambarkan dengan garis lurus tebal (tipe A),
sedangkan diameter dalam digambarkan dengan garis lurus tipis (tipe B) dan hanya
digambarkan ¾ bagian lingkaran.
d. Untuk ulir yang digambarkan dalam keadaan terpotong, garis arsir digambarkan sampai
menyentuh garis tebal (diameter luar)
Gambar 5- 41 Gambar 5- 42
Gambar 5- 45 Gambar 5- 46
GAMBAR TEKNIK MESIN V-9
POLITEKNIK MANUFAKTUR
BANDUNG BAB V PENUNJUKAN KHUSUS
Gambar 5- 47
Gambar 5- 51
V.17.5 Arti Penunjukan Ulir
1. ULir Metrik
a. Ulir Normal
M 10
Diameter nominal ulir [mm]
Simbol Ulir Metrik
b. Ulir Halus
M 10 x 1.25
Jarak kisar/pitch ulir halus [mm]
Diameter nominal ulir [mm]
Simbol Ulir Metrik
GAMBAR TEKNIK MESIN V-10
POLITEKNIK MANUFAKTUR
BANDUNG BAB V PENUNJUKAN KHUSUS
c. Ulir Trapesium
Tr 30 x 16.P2
Kisar = 16; P = jarak gang 2 mm, maka
jumlah gang 16:2 = 8 gang
Diameter nominal ulir [mm]
Simbol Ulir Trapesium
d. Ulir Segiempat
Sq 30 x 6
Kisar = 6 mm
Diameter nominal ulir [mm]
Simbol Ulir Segiempat
2. Ulir Inchi
a. Ulir Normal
1/4 - 20 UNC
Unified National Course sebagai keterangan
untuk ulir inchi normal
Jumlah pitch atau kisar per panjang "L".
Diameter nominal ulir [inchi]
b. Ulir Halus
1/4 - 28 UNF
Unified National Fine sebagai keterangan
untuk ulir inchi normal halus
Jumlah pitch atau kisar per panjang "L"
Diameter nominal ulir [inchi]
c. Ulir Ekstra Halus
1/4 - 32 UNEF
Unified National Ekstra Fine sebagai keterangan
untuk ulir inchi normal sangat halus
Jumlah pitch atau kisar per panjang "L"
Diameter nominal ulir [inchi]
GAMBAR TEKNIK MESIN VI-1
POLITEKNIK MANUFAKTUR
BANDUNG BAB VI PENUNJUKAN UKURAN
4. mengetahui aturan khusus dalam pencantuman penunjukan ukuran, seperti untuk ulir,
ketirusan dan pendakian;
Gambar 6 - 4
GAMBAR TEKNIK MESIN VI-3
POLITEKNIK MANUFAKTUR
BANDUNG BAB VI PENUNJUKAN UKURAN
Gambar 6 - 5
Jadi hal yang paling penting dalam penunjukan ukuran kedudukan adalah menentukan
patokan. Patokan ini dapat berupa permukaan yang mempunyai hubungan, permukaan yang
sudah dikerjakan atau garis pusat suatu bentuk geometrik dasar. Penunjukan ukuran kedudukan
dapat dari pusat ke pusat, permukaan ke pusat atau permukaan ke permukaan. Dengan
ketelitian yang tinggi dan dengan metode pengerjaan yang benar, untuk menghasilkan suatu
hasil yang memuaskan, pemilihan bidang atau garis patokan yang tepat sangat menentukan.
Gambar 6 - 6
Gambar 6 - 13
Gambar 6 - 15
7. Garis benda dan garis sumbu tidak boleh digunakan sebagai garis dimensi, tetapi dapat
digunakan sebagai garis proyeksi.
Gambar 6 - 17 Gambar 6 - 16
Gambar 6 - 18
GAMBAR TEKNIK MESIN VI-5
POLITEKNIK MANUFAKTUR
BANDUNG BAB VI PENUNJUKAN UKURAN
2. Dalam satu gambar hanya diperbolehkan untuk menggunakan satu jenis anak panah. Tetapi
jika ruang untuk menggambarkan anak panah tidak mencukupi, boleh digantikan dengan garis
miring.
3. Anak panah harus digambar dalam batas garis dimensi, tetapi jika ruang penggambaran yang
tersedia tidak mencukupi, anak panah boleh digambar diluar batas garis dimensi (gambar
6-23 dan 6-24).
4. Pada penunjukan ukuran bentuk radius, anak panah yang digambarkan hanya satu buah,
diletakkan di dalam atau diluar bentuk beradius gambar 6-25).
Metode 1
Angka ukuran ditempatkan diatas dan sejajar
dengan garis dimensi, dan biasanya ditulis di tengah-
tengah garis dimensi, kecuali ada ketentuan lain, seperti
penunjukan ukuran untuk benda terpotong atau ruang
untuk menuliskan angka ukuran tidak mencukupi.
Gambar 6 - 26
GAMBAR TEKNIK MESIN VI-6
POLITEKNIK MANUFAKTUR
BANDUNG BAB VI PENUNJUKAN UKURAN
Metode pertama ini digunakan agar angka ukuran dapat dibaca dari arah kanan dan bawah
kertas.
Metode 2
Berbeda halnya dengan metode pertama, metode kedua digunakan agar angka ukuran dapat
dibaca hanya dari arah bawah kertas. Garis dimensi non-horizontal dibuat terpatah (biasanya pada
tengah-tengah garis) sehingga angka ukuran dapat diletakkan diantaranya.
Catatan :
Angka ukuran yang tidak sesuai dengan ukuran
bentukan harus diberi garis bawah.
Biasanya hal ini terjadi jika terdapat modifikasi ukuran
pada gambar yang tidak dapat dirubah lagi.
Gambar 6 - 34
Gambar 6 - 35 Gambar 6 - 36
Gambar 6 - 48
Gambar 6 - 49
Gambar 6 - 50 Gambar 6 - 51
GAMBAR TEKNIK MESIN VI-9
POLITEKNIK MANUFAKTUR
BANDUNG BAB VI PENUNJUKAN UKURAN
Gambar 6 - 52 Gambar 6 - 53
Gambar 6 - 54 Gambar 6 - 55
Gambar 6 - 56
Gambar 6 - 57 Gambar 6 - 58
GAMBAR TEKNIK MESIN VI-10
POLITEKNIK MANUFAKTUR
BANDUNG BAB VI PENUNJUKAN UKURAN
VI.4.3 Ketirusan
Pemberian ukuran sebagai berikut digunakan dalam kombinasi yang berbeda-beda untuk
menentukan bentuk dan posisi dari ketirusan sebuah benda, sesuai dengan fungsinya atau
pengerjaannya.
- Ketirusan ditentukan dengan sudut atau perbandingan.
- Diameter ujung terbesar.
- Diameter ujung terkecil.
- Diameter pada potongan melintang pada jarak tertentu, potongan melintang ini mungkin
untuk tirus dalam atau tirus luar.
- Ukuran jarak letak potongan melintang pada diameter tertentu.
- Panjang dari ketirusan.
GAMBAR TEKNIK MESIN VI-11
POLITEKNIK MANUFAKTUR
BANDUNG BAB VI PENUNJUKAN UKURAN
Semua pemberian ukuran ini tidak pernah ditentukan sebagai ukuran fungsi. Tetapi untuk
mempermudah pengerjaan di bengkel ditambahkan ukuran-ukuran lainnya sebagai “ukuran
pembantu” dan diletakkan dalam tanda kurung.
Gambar 6 - 70
Gambar 6 - 71 Gambar 6 - 72
Gambar 6-73 sampai dengan 6-76 menunjukkan contoh-contoh kombinasi penunjukan ukuran
ketirusan.
Gambar 6 - 73 Gambar 6 - 74
Gambar 6 - 75 Gambar 6 - 76
GAMBAR TEKNIK MESIN VI-12
POLITEKNIK MANUFAKTUR
BANDUNG BAB VI PENUNJUKAN UKURAN
VI.4.4 Pendakian
Pemberian ukuran sebagai berikut digunakan dalam kombinasi yang berbeda-beda untuk
menentukan bentuk dan posisi dari bidang miringnya sesuai dengan fungsi/pengerjaan.
- Sudut pendakian
Hh
- Pendakian S tan
L
Hh
- Peningkatan pendakian S% 100%
L
Gambar 6 - 77
Gambar 6 - 78 Gambar 6 - 79
Gambar 6 - 80 Gambar 6 - 81
GAMBAR TEKNIK MESIN VI-13
POLITEKNIK MANUFAKTUR
BANDUNG BAB VI PENUNJUKAN UKURAN
Gambar 6 - 82 Gambar 6 - 83
Gambar 6 - 84
Gambar 6 - 85 Gambar 6 - 86
Gambar 6 - 88 Gambar 6 - 87
GAMBAR TEKNIK MESIN VI-14
POLITEKNIK MANUFAKTUR
BANDUNG BAB VI PENUNJUKAN UKURAN
Gambar 6 - 92
Gambar 6 - 93 Gambar 6 - 94
GAMBAR TEKNIK MESIN VI-15
POLITEKNIK MANUFAKTUR
BANDUNG BAB VI PENUNJUKAN UKURAN
Gambar 6 - 95
Gambar 6 - 96 Gambar 6 - 97
VII - 1
POLITEKNIK MANUFAKTUR GAMBAR TEKNIK MESIN
BANDUNG
BAB VII TOLERANSI UKURAN
3. Memahami penggunaan dari penerapan dalam penentuan toleransi pada benda kerja
sesuai fungsi dan konstruksi.
VII - 2
POLITEKNIK MANUFAKTUR GAMBAR TEKNIK MESIN
BANDUNG
BAB VII TOLERANSI UKURAN
penyimpangan bawah
penyimpangan bawah
penyimpangan bawah
penyimpangan atas
toleransi
toleransi
Ølubang maksimal
Ølubang minimal
Ønominal
Ønominal
Øporos maksimal
Øpoos minimal
gambar 7-1
lubang
+
Selanjutnya untuk mempermudah penggambaran,
garis nol gambar tersebut disederhanakan dengan diagram
pada gambar 2, dengan catatan sumbu komponen
selalu terletak dibawah. Pada diagram tersebut,
ukuran dasar
-
poros penyimpangan lubang adalah positif, dan
penyimpangan poros adalah negatif.
gambar 7-2
Perlu diingat, semakin teliti harga toleransi, maka semakin mahal biaya proses
pengerjaannya.
VII - 3
POLITEKNIK MANUFAKTUR GAMBAR TEKNIK MESIN
BANDUNG
BAB VII TOLERANSI UKURAN
Referensi
Ukuran Sebenarnya : Ukuran jadi, adalah ukuran yang didapat setelah benda
kerja selesai dibuat.
Dimensi nominal
0,5..3 >3..6 >6..30 >30..120 >120..315 >315..1000 >1000..2000
[mm]
0,1
Toleransi sedang 0,1 0,2 0,3 0,5 0,8 1,2
halus
0,2 0,5 1
sedang
kasar
0,4 1 2
sangat kasar
sangat kasar 3 2 2 0 30 ’ 0 20 ‘
[ mm ]
halus 0,05 0,05 0,1 0,15 0,2 0,3 0,5 - - -
sangat
kasar - 0,5 1 1,5 2 3 4 8 8 10
Satuan dalam mm
halus
0,2 0,5 1 2 4
sedang
kasar
0,4 1 2 4 8
sangat kasar
halus
1 30 ’ 20 ‘ 10 ‘ 1,7 0,9 0,6 0,3
sedang
sangat
3 2 2 30 ’ 5 3,5 1,7 0,9
kasar
Contoh pemakaian
R hx45°
Diketahui :
Panjang Ls = 200 mm ; toleransi kasar.
L R
L>Ls
Ls L ref
L
R
R
L Ls
L ref
R
0,4
L
L
Lubang Poros
30 H 7 30 g 6
gambar 7-4
VII - 8
POLITEKNIK MANUFAKTUR GAMBAR TEKNIK MESIN
BANDUNG
BAB VII TOLERANSI UKURAN
N8 N6
Tol. Sedang
4 1x45°
10°
BOLA R
20~25
2
Ø10h6
Ø16
Digerinda N6
7
10 20 30°
(30)
gambar 7-3
VII.4.2 PENULISAN TOLERANSI KHUSUS
Bagian yang mempunyai ukuran bertoleransi khusus ditulis dengan urutan sebagai
berikut :
1. Ukuran nominal.
2. Harga toleransi.
Ketentuan
1. Ukuran dengan penyimpangan
(deviasi). Bila salah satu batasan
ukuran toleransi adalah nol maka ditulis
angka “0”, tanpa tanda “+” atau “-“.
Simpangan besar ditulis dibagian atas,
dan simpangan kecil ditulis di bagian
bawah.
2. Ukuran dengan penyimpangan simetri.
Bila ukuran nominal memiliki harga
toleransi yang simetri (sama), maka
harga toleransi hanya ditulis satu kali
dengan dibubuhi tanda “±”.
3. Ukuran dengan Satu Batasan
“min” berarti ukuran paling kecil
yang diperbolehkan.
“max” berarti ukuran paling besar
yang boleh dicapai.
VII - 13
POLITEKNIK MANUFAKTUR GAMBAR TEKNIK MESIN
BANDUNG
BAB VII TOLERANSI UKURAN
Gambar 8 - 1
Referensi
ISO 1302-1978 Technical Drawing - Methode of Indicating Surface Texture on Drawings
y
n
Ra 1
n
Gambar 8 - 2
Gambar 8 - 3
Rz
R1 R3 R5 R7 R9 R 2 R 4 R 6 R8 R10
5
Gambar 8 - 4
Gambar 8 - 5
GAMBAR TEKNIK MESIN VIII-5
POLITEKNIK MANUFAKTUR
BANDUNG BAB VIII KEKASARAN PERMUKAAN
N 12
N 11
N 10
N9
N8
N7
N6
N5
N4
N3
N2
N1
Cara Pengerjaan Ra dalam mikrometer
0.025
0.012
12.5
0.05
200
100
6.3
3.2
1.6
0.8
0.4
0.2
0.1
50
25
5
Flame Cutting
Sawing
Abrasive Cutting
Shearing, fine blanking
Sand Blasting
Ball Blasting
Turning
Superfine Turning
Planning, Shapping
Drilling, Boring
Countersinking
Reaming
Face Milling
Peripheral Milling
Broaching
Scraping
Face Grinding
Peripheral Grinding
Plain Grinding
Honing
Superfinish
Plain Lapping
Round Lapping
Polishing
Spark Erosion
Tabel 8 - 3
Gambar 8 - 7
VIII.4.1.2 Pengertian
1. Tanda Kekasaran Permukaan
Gambar 8 - 10
Gambar 8 - 11
Gambar 8 - 12
Jika perlu untuk menunjukkan batas maksimal dan minimal harga kekasaran
permukaan, kedua harga tersebut dicantumkan seperti pada gambar 8-12.
Batas maksimum (a1) ditulis diatas batas minimum (a2).
Gambar 8 - 13
GAMBAR TEKNIK MESIN VIII-7
POLITEKNIK MANUFAKTUR
BANDUNG BAB VIII KEKASARAN PERMUKAAN
3. Panjang Pengerjaan
VIII.4.2 Hubungan antara Simbol Lama (VSM 10.320) dan Simbol Baru (ISO 1302-1978).
Simbol yang ditentukan VSM 10.320 masih banyak digunakan pada gambar-gambar kerja,
khususnya gambar-gambar dari perusahaan Jepang. Tabel 8-4 menunjukkan konversi simbol
tersebut dengan simbol yang ditentukan ISO 1302, dan diakui secara internasional.
Tabel 8 - 4
GAMBAR TEKNIK MESIN VIII-8
POLITEKNIK MANUFAKTUR
BANDUNG BAB VIII KEKASARAN PERMUKAAN
Gambar 8 - 18 Gambar 8 - 19
Gambar 8 - 20
GAMBAR TEKNIK MESIN VIII-9
POLITEKNIK MANUFAKTUR
BANDUNG BAB VIII KEKASARAN PERMUKAAN
Gambar 8 - 21
VIII.5.4 Tanda Kekasaran Umum dan Khusus
Jika sebuah benda memiliki harga kekasaran yang berbeda-beda, maka pencatumannya
dilakukan mengikuti ketentuan sebagai berikut :
1. Tanda kekasaran terbanyak dijadikan sebagai tanda kekasaran umum dan dicantumkan
seperti ketentuan tanda pengerjaan umum.
2. Tanda kekasaran tertentu yang sedikit, dijadikan kekasaran permukaan khusus dan
dicantumkan langsung pada permukaan yang diinginkan.
3. Sebagai informasi gambar, tanda kekasaran khusus juga dicantumkan mengikuti tanda
kekasaran umum.
Pencantuman tanda kekasaran khusus tersebut dapat dilakukan sebagai berikut :
a. Dalam tanda kurung di sebelah penulisan harga tanda kekasaran umum secara lengkap.
b. Simbol dasar dalam tanda kurung, jika tanda kekasaran khusus berjumlah banyak,
misalnya lebih dari dua.
c. Dengan menuliskan keterangan-keterangan “seluruhnya, kecuali ada keterangan lain”.
Gambar 8 - 25
GAMBAR TEKNIK MESIN VIII-10
POLITEKNIK MANUFAKTUR
BANDUNG BAB VIII KEKASARAN PERMUKAAN
Gambar 8 - 26
a b c d
Gambar 8 - 27
a b c d e f
Gambar 8 - 28
GAMBAR TEKNIK MESIN VIII-11
POLITEKNIK MANUFAKTUR
BANDUNG BAB VIII KEKASARAN PERMUKAAN
Tabel 8 - 5
Gambar 8 - 29
GAMBAR TEKNIK MESIN VIII-12
POLITEKNIK MANUFAKTUR
BANDUNG BAB VIII KEKASARAN PERMUKAAN
Ketentuan :
a. Untuk dimensi d’, dan h, lihat tabel 8-6.
b. Jika hanya satu harga kekasaran yang ditunjukkan, harga kekasaran ditempatkan pada
daerah a2.
c. Tinggi huruf untuk a1, a2, c, dan e harus sama dengan h.
d. Tulisan pada daerah b dapat berupa huruf kapital atau huruf kecil, atau keduanya, yang
tingginya dapat lebih besar dari h.
e. Harga kekasaran yang ditunjukkan pada daerah a2 penempatannya hampir sama tinngi
dengan panjang proses pengerjaan dalam daerah c.
Keterangan :
Tebal (d) harus sesuai dengan tipe huruf yang digunakan untuk penunjukan ukuran pada gambar, d = (1/14) h
untuk tulisan tipe A, atau d = (1/10) h untuk tulisan tipe B (ISO 3098/I).
Simbol dasar.
Harga kekasaran lain yang digunakan selain Ra, misalnya Rt = 0,4 m.
Tabel 8 - 9
Tabel 8 - 10
GAMBAR TEKNIK MESIN IX-1
POLITEKNIK MANUFAKTUR
BANDUNG BAB IX GAMBAR KERJA
2. membuat gambar kerja, lengkap dengan etiket dan daftar bagian yang sesuai dengan
standar.
GAMBAR TEKNIK MESIN IX-2
POLITEKNIK MANUFAKTUR
BANDUNG BAB IX GAMBAR KERJA
Setelah suatu ide konstruksi melalui proses perancangan, maka akhirnya akan dihasilkan
suatu gambar kerja yang terdiri dari : gambar susunan dan gambar bagian-bagiannya.
Berdasarkan gambar susunan dan gambar bagiannya inilah, dilakukan pemesanan material,
persiapan jadwal kerja maupun permesinan.
Referensi :
ISO 7200 : 1984 Technical Drawings – Title Blocks
ISO 7200 : 1984 Technical Drawings – Item List
DMK 1999 Dasar Manajemen Konstruksi
kertas A0, dapat dibuat 2 area gambar untuk A1 atau 4 area gambar untuk A2, dan
seterusnya.
Untuk informasi kepala gambar cukup dibuat satu buah dan untuk setiap area gambar
dilengkapi oleh kolom keterangan khusus.
Informasi-informasi yang biasanya terdapat pada gambar bagian, selain gambar komponen,
adalah :
1. Nomor Bagian
2. Catatan Umum, berupa :
a. Toleransi umum.
b. Harga kekasaran umum
c. Debured
d. Keterangan khusus atau tambahan
3. Kepala gambar, yaitu : berupa etiket yang berisikan data penggambar, pemeriksa, nomor
gambar, nama benda bagian dan lainnya yang diperlukan untuk dokumen pengarsipan.
Gambar 9 - 1 Gambar 9 - 2
Contoh gambar bagian tunggal Contoh gambar susunan
GAMBAR TEKNIK MESIN IX-4
POLITEKNIK MANUFAKTUR
BANDUNG BAB IX GAMBAR KERJA
Gambar 9 - 3 Gambar 9 - 4
Contoh gambar bagian tunggal Contoh gambar bagian tunggal
Contoh pengaturan letak informasi dasar diperlihatkan pada gambar halaman berikut. Ketiga
informasi dasar ini mutlak harus dicanturnkan.
Gambar 9 - 5
Keterangan :
1. Nomor registrasi atau nomor identitas gambar ditentukan oleh pemilik gambar, ditempatkan di
sudut kanan bawah zona identitas.
Adanya sub-kontrak dapat menyebabkan sebuah gambar mempunyai lebih dari satu nomor
identifikasi. Satu nomor diberikan oleh pemilik gambar dan yang lainnya oleh sub-kontraktor
atau perusahaan lain.
2. Judul gambar harus menggambarkan isi gambar secara fungsi.
3. Nama resmi pemilik gambar (firma, perusahaan,dll) dapat berupa nama resmi atau nama
dagang yang disingkat. Jika ruang untuk nama resmi pemilik gambar mencukupi, dapat
dimasukkan indikasi perlindungan hak milik. Jika tidak, indikasi ini harus dicantumkan di
tempat lain pada etiket atau daerah penggambaran lainnya, bahkan dapat pula
ditempatkan di luar garis tepi (contoh : pada filling margin).
d. tanggal dan deskripsi singkat mengenai perbaikan dengan mengacu kepada simbol
perubahan (dapat diposisikan di luar etiket, dalam tabel terpisah, atau di dokumen
terpisah);
e. Informasi administratif lainnya (contohnya tanda tangan dari orang yang bertanggung
jawab).
Contoh-contoh etiket :
Gambar 9 - 6
Gambar 9 - 7
GAMBAR TEKNIK MESIN IX-7
POLITEKNIK MANUFAKTUR
BANDUNG BAB IX GAMBAR KERJA
Gambar 9 - 8
Gambar 9 - 9
GAMBAR TEKNIK MESIN IX-8
POLITEKNIK MANUFAKTUR
BANDUNG BAB IX GAMBAR KERJA
Gambar 9 - 10
GAMBAR TEKNIK MESIN IX-9
POLITEKNIK MANUFAKTUR
BANDUNG BAB IX GAMBAR KERJA
Keterangan :
1. Nama benda.
Merupakan nama benda yang terdapat pada gambar. Nama ini tidak saja berfungsi sebagai
identifikasi benda tertentu, tetapi juga harus dapat memberikan gambaran atau bayangan
mengenai bentuk atau sifat benda tsb.
Nama benda sedapat mungkin netral, sesuai jenis dan atau bentuk geometrinya. Nama
benda hanya menurut fungsinya, bila kelak dapat digunakan tergabung dengan bagian lain
dengan fungsi yang sama. Nama benda harus selalu dalam bentuk tunggal, tidak tergantung
dari jumlahnya.
Untuk benda standar, namanya harus sesuai dengan standar yang berlaku.
Maximal 20 karakter, huruf kapital ISO tegak, tinggi huruf 5 mm, tebal 0,5 mm, singkatan dan
tanda umum diijinkan.
2. Nomor gambar / nomor benda
Merupakan nomor identifikasi benda atau gambar. Sesuai penggunaannya nomor benda dan
nomor gambar dapat berbeda.
Maximal 8 karakter, huruf kapital ISO tegak, tinggi huruf 5 mm, tebal 0.5 mm.
Synonim : Nomor identifikasi, nomor artikel, part no. , drawing no.
3. Jumlah lembar, dengan nomor gambar yang sama.
Kolom ini diisi dengan jumlah lembar gambar benda, seandainya benda tidak dapat
digambarkan dalam satu lembar kertas.
Huruf kapital ISO tegak, tinggi huruf 1.8 mm, tebal 0.18 mm.
4. Nomor lembar dari masing-masing lembar.
Kolom ini diisi dengan nomor lembar dari gambar tsb.
Huruf kapital ISO tegak, tinggi huruf 1.8 mm, tebal 0.18 mm.
5. Nomor order.
Diisi nomor order yang dikeluarkan oleh bagian Marketing.
Huruf kapital ISO tegak, tinggi huruf 3.5 mm, tebal 0.35 mm.
6. Pengganti dari.
Diisi nomor benda atau nomor gambar yang digantikan gambarnya.
Huruf kapital ISO tegak, tinggi huruf 1.8 mm, tebal 0.18 mm.
7. Diganti dengan.
Diisi nomor benda atau nomor gambar yang menggantikan benda atau gambar tsb. Huruf
kapital ISO tegak, tinggi huruf 1.8 mm, tebal 0.18 mm.
8. Tanggal dan nama yang menggambar.
Tanggal dapat diisi dengan tanggal selesai penggambaran. Format penulisan tanggal
XX.XX.XX , huruf ISO tegak, tinggi 2.5 mm, tebal 0.25 mm.
Pembuat gambar diisi dengan nama jelas (bukan paraf atau tanda tangan) maximal 5
karakter, huruf kapital ISO tegak, tinggi 2.5 mm, tebal 0.25 mm.
9. Pemeriksa gambar.
Diisi oleh orang yang berhak memeriksa gambar. Pengisian dapat berbentuk tanda tangan
atau paraf resmi atau nama jelas yang mudah dibaca.
Huruf, tinggi, ketebalan bebas.
10. Pengesah gambar.
Diisi oleh orang yang berhak mensahkan gambar. Pengisian dapat berbentuk tanda tangan
atau paraf resmi atau nama jelas yang mudah dibaca.
Huruf, tinggi, ketebalan bebas.
GAMBAR TEKNIK MESIN IX-10
POLITEKNIK MANUFAKTUR
BANDUNG BAB IX GAMBAR KERJA
1. Memahami elemen geometrik yang diberi toleransi dan menerapkan ketentuan penandaan
elemen geometrik tersebut pada gambar;
4. mengetahui dan memahami ukuran teoritis dan daerah toleransi yang diproyeksikan;
Gambar 10 - 1
Sebenarnya, toleransi ukuran juga membatasi beberapa kesalahan bentuk dan posisi
elemen geometrik. Dengan demikian, komponen yang dikerjakan boleh menyimpang dari kondisi
geometrik tertentu dengan catatan bahwa penyimpangan tersebut masih dalam daerah toleransi
ukuran.
Toleransi bentuk dan posisi dapat diperbesar dengan harga yang sesuai dengan selisih
antara batas ukuran maksimum material dengan ukuran sebenarnya dari elemen yang diberi
toleransi. Penambahan harga toleransi ini dapat diterapkan dengan menggunakan prinsip
material maksimum dan tetap memperhatikan segi fungsional dari elemen yang diberi toleransi.
Referensi :
ISO 1101 : 1983 Technical Drawings - Geometrical Tolerancing Tolerancing of Form,
Orientation, Location and Run-out - Generalities, Definitions, Symbols,
Indications on Drawings.
ISO 7083 : 1983 Technical Drawings - Symbol for Geometrical Tolerancing - Proportions and
Dimensions.
ISO 2692 : 1988 Technical Drawings - Geometrical Tolerancing – Maximum Material
Principle.
ISO 5458 : 1987 Technical Drawings - Geometrical Tolerancing – Positional Tolerancing.
ISO 5459 : 1981 Technical Drawings - Geometrical Tolerancing - Datums and Datums-
5: 1985 Systems for Geometrical Tolerances.
ISO 8015 : 1985 Technical Drawings - Fundamental Tolerancing Principle
GAMBAR TEKNIK MESIN X -3
POLITEKNIK MANUFAKTUR
BANDUNG BAB X TOLERANSI GEOMETRIK
Gambar 10 - 2 Gambar 10 - 3
Bentukan-bentukan Posisi
yang berhubungan Toleransi
Posisi Konsentrisitas dan Koaksialitas
Kesimetrisan
Toleransi Putaran Tunggal
Putar Putaran Total
Tabel 10-1
X.2.2 Ketentuan Penandaan Elemen Geometrik yang Diberi Toleransi pada Gambar
1. Elemen geometrik yang diberi toleransi ditunjukkan oleh anak panah yang terhubung dengan
kotak toleransi oleh sebuah garis penunjuk dengan ketentuan sebagai berikut:
a. Diletakkan pada garis benda atau perpanjangan garis benda (tetapi harus dipisahkan
dengan jelas dari garis dimensi), jika toleransi diterapkan pada garis atau permukaan itu
sendiri.
Gambar 10 - 4 Gambar 10 - 5
GAMBAR TEKNIK MESIN X -4
POLITEKNIK MANUFAKTUR
BANDUNG BAB X TOLERANSI GEOMETRIK
b. Diletakkan pada perpanjangan garis dimensi, jika toleransi diterapkan pada garis sumbu
atau bidang tengah elemen yang diberi ukuran.
c. Diletakkan pada sumbu, jika toleransi mengacu pada sumbu atau bidang tengah dari
semua elemen-elemen yang mempunyai sumbu dan bidang tengah yang sama.
3. Jika diterapkan lebih dari satu buah toleransi dengan jenis daerah
toleransi yang sama tetapi nilai toleransi lebih kecil dalam panjang
tertentu, maka dicantumkan seperti pada gambar 10-13.
Gambar 10 - 13
4. Jika toleransi diterapkan hanya pada bagian tertentu dari suatu bentukan, bagian tersebut
diberi ukuran, seperti contoh di bawah ini.
Gambar 10 - 14
Tabel 10-2
GAMBAR TEKNIK MESIN X -5
POLITEKNIK MANUFAKTUR
BANDUNG BAB X TOLERANSI GEOMETRIK
Lebar daerah toleransi adalah dalam arah anak panah pada garis penunjuk yang
menghubungkan kotak toleransi dengan elemen geometrik yang diberi toleansi, kecuali jika
daerah toleransi didahului dengan tanda Ø (gambar 10-15).
Gambar 10 - 15
Gambar 10 - 16
Pada umumnya, arah lebar daerah toleransi adalah tegak lurus terhadap elemen geometrik
yang diberi toleransi (gambar 10-17). Tetapi jika daerah toleransi dikehendaki tidak tegak lurus,
maka arah daerah toleransi harus dicantumkan pada gambar (gambar 10-18).
Gambar 10 - 17
GAMBAR TEKNIK MESIN X -6
POLITEKNIK MANUFAKTUR
BANDUNG BAB X TOLERANSI GEOMETRIK
Gambar 10 - 18
Jika daerah toleransi pada beberapa bentukan terpisah mempunyai nilai toleransi yang
sama, penunjukannya dapat dilakukan seperti yang dicontohkan pada gambar 10-19 atau 10-20.
Gambar 10 - 19 Gambar 10 - 20
Jika daerah toleransi pada beberapa bentukan terpisah sama, maka ditambahkan kata
“daerah toleransi bersama” (atau kata padanan lainnya) di atas kotak toleransi (lihat gambar
10-21 atau 10-22).
Gambar 10 - 21 Gambar 10 - 22
Gambar 10 - 23 Gambar 10 - 24
b. Diletakkan pada perpanjangan garis dimensi, jika elemen patokan adalah garis sumbu atau
bidang tengah elemen yang diberi ukuran.
Gambar 10 - 29
3. Jika kotak toleransi dapat dihubungkan secara langsung dengan bentukan datum oleh garis
penunjuk, huruf datum dapat dihilangkan.
Gambar 10 - 30 Gambar 10 - 31
4. Pencantuman datum pada kotak toleransi dilakukan dengan ketentuan sebagai berikut :
a. Datum tunggal ditunjukan dengan sebuah huruf datum (gambar 10-32).
b. Datum yang dibentuk oleh dua elemen datum ditunjukkan dengan dua huruf datum yang
dipisahkan oleh sebuah tanda penghubung (gambar 10-33).
c. Jika urutan dari dua buah bentukan datum atau lebih tersebut penting, maka huruf datum
ditempatkan dalam ruang berbeda dimana urutan dari kiri ke kanan menunjukkan tingkatan
prioritas (gambar 10-34).
d. Jika urutan dari dua buah bentukan datum atau lebih tersebut tidak penting, maka huruf
datum ditempatkan dalam ruang yang sama (gambar 10-35).
5. Jika datum diterapkan hanya pada bagian tertentu dari suatu bentukan, bagian tersebut diberi
ukuran, seperti contoh di bawah ini.
Gambar 10 - 36
6. Jika ruang yang tersedia tidak cukup untuk dua buah anak panah, salah satu dari anak panah
tersebut dapat digantikan dengan segitiga datum ( lihat gambar 10-27 dan 10-28).
.
GAMBAR TEKNIK MESIN X -8
POLITEKNIK MANUFAKTUR
BANDUNG BAB X TOLERANSI GEOMETRIK
a. Berupa titik
b. Berupa garis
Tabel 10-3
Datum target ditunjukkan pada lingkaran datum target, seperti yang ditunjukkan pada gambar
berikut ini.
Contoh penunjukan :
Gambar 10 - 41
GAMBAR TEKNIK MESIN X -9
POLITEKNIK MANUFAKTUR
BANDUNG BAB X TOLERANSI GEOMETRIK
Gambar 10 - 42
Gambar 10 - 43
GAMBAR TEKNIK MESIN X -10
POLITEKNIK MANUFAKTUR
BANDUNG BAB X TOLERANSI GEOMETRIK
Gambar 10 - 47
2. Jika perlu untuk menuliskan persyaratan bentuk daerah toleransi, persyaratan tersebut
dituliskan dekat dengan daerah toleransi dan dapat pula dihubungkan dengan garis penunjuk.
Gambar 10 - 48
3. Jika penunjukan karakteristik suatu elemen geometrik lebih
dari satu, maka karakteristik tersebut dituliskan dalam kotak
toleransi terpisah dan berurut ke bawah.
Gambar 10 - 49
Gambar 10 - 50 Gambar 10 - 51
Gambar 10 - 52
GAMBAR TEKNIK MESIN X -11
POLITEKNIK MANUFAKTUR
BANDUNG BAB X TOLERANSI GEOMETRIK
Karakteristik Dimensi
Tinggi kotak (H) * 7 10 14 20 28 40
Tinggi karakter (h) 3,5 5 7 10 14 20
Diameter (D) 11 20 28 40 56 80
Ketebalan garis (d) 0.25 0.35 0.5 0.7 1 1.4
Tabel 10-4 Untuk Tulisan Tipe A
Karakteristik Dimensi
Tinggi kotak (H) * 5 7 10 14 20 28 40
Tinggi karakter (h) 2.5 3,5 5 7 10 14 20
Diameter (D) 10 11 20 28 40 56 80
Ketebalan garis (d) 0.25 0.25 0.35 0.5 0.7 1 1.4
Tabel 10-5 Untuk Tulisan Tipe B
Keterangan :
* Jika penunjukan karakteristik suatu bentukan lebih dari satu (lihat gambar 10-13), tinggi kotak disesuaikan
dengan jumlah penunjukan karakteristik tersebut.
* Lebar kotak yang disarankan :
- ruang pertama, sama dengan tinggi kotak (H);
- ruang kedua, disesuaikan dengan persyaratan toleransi yang dituliskan;
- ruang ketiga dan seterusnya, jika diperlukan, disesuaikan dengan lebar huruf bidang patokan.
* Jarak antara garis pembagian vertikal dengan simbol toleransi geometrik tidak kurang dari dua kali ketebalan
garis.
DESKRIPSI SIMBOL
Langsung
Bentukan yang diberi
toleransi
Dengan Huruf
Langsung
Datum
Dengan Huruf
Datum target
Ukuran teoritis
Tabel 10-6
GAMBAR TEKNIK MESIN X -12
POLITEKNIK MANUFAKTUR
BANDUNG BAB X TOLERANSI GEOMETRIK
Gambar 10 - 53
Gambar 10 - 54