TE NTAN G
PEMBERLAKUAN PANDUAN PELAYANAN PASIEN TERMINAL
RUMAH SAKIT UMUM DAERAH DOKTER SOESELO
KABUPATEN TEGAL
1|Page
8. Peraturan Daerah Kabupaten Tegal Nomor 23 Tahun 2001 tentang
perubahan atas Peraturan Daerah Kabupaten Tegal Nomor 3 tahun
2001 tentang pembentukan organisasi lembaga teknis Daerah;
9. Keputusan Bupati Tegal Nomor 445/631/2008 tentang Penerapan
Pola Pengelolaan Keuangan Badan Layanan Umum Daerah (PPK-
BLUD) Penuh kepada Rumah Sakit Daerah Dokter Soeselo
Kabupaten Tegal.
MEMUTUSKAN
Menetapkan :
KETIGA : Segala biaya yang timbul sebagai akibat ditetapkannya Keputusan ini
dibebankan pada Anggaran RSUD Dokter Soeselo Slawi Kabupeten
Tegal;
Ditetapkan di : Slawi
Pada tanggal : 2015
2|Page
LAMPIRAN : Keputusan Direktur RSUD
Dokter Soeselo Kab. Tegal
Nomor : 445 / / 2015
Tanggal : 2015
TAHUN 2015
3|Page
DAFTAR ISI
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
4|Page
Meningkatnya jumlah pasien dengan penyakit yang belum dapat di sembuhkan baik pada
dewasa dan anak seperti penyakit kanker, penyakit degenerative, penyakit paru obstruktif
kronis, cystic fibrosis, stroke, Parkinson, gagal jantung/ heart failure, penyakit genetika dan
penyakit infeksi seperti HIV/AIDS yang memerlukan perawatan lebih lanjut, disamping
kegiatan promotif, preventif, kuratif, dan rehabilitatif.
Namun saat ini, pelayanan kesehatan di Indonesia belum menyentuh kebutuhan pasien
dengan penyakit yang sulit disembuhkan tersebut, terutama pada stadium lanjut dimana
prioritas pelayanan tidak hanya pada penyembuhan tetapi juga perawatan agar mencapai
kualitas hidup yang terbaik bagi pasien dan keluarganya.
Pada stadium lanjut, pasien dengan penyakit kronis tidak hanya mengalami berbagai
masalah fisik seperti nyeri, sesak nafas, penurunan berat badan, gangguan aktivitas, tetapi
juga mengalami gangguan psikologis dan spiritual yang mempengaruhi kualitas hidup
pasien dan keluarganya. Maka kebutuhan pasien pada stadium lanjut suatu penyakit tidak
hanya pemenuhan/ pengobatan gejala fisik, namun juga pentingnya dukungan terhadap
kebutuhan psikologis, social dan spiritual yang di lakukan dengan pendekatan interdisiplin.
Pada perawatan pasien dalam kondisi terminal menekankan pentingnya integrasi perawatan
lebih dini agar masalah fisik, psikososial dan spiritual dapat diatasi dengan baik.
B. Tujuan
Tujuan umum :
Sebagai arahan bagi perawatan pasien terminal di rumah sakit
Tujuan khusus :
1. Terlaksananya perawatan pasien terminal yang bermutu sesuai standar yang berlaku di
rumah sakit.
2. Tersusunnya panduan pasien terminal.
3. Tersedianya tenaga medis dan non medis yang terlatih.
4. Tersedianya sarana dan prasarana yang di perlukan.
C. Pengertian
1. Keadaan Terminal
Adalah suatu keadaan sakit dimana menurut akal sehat tidak ada harapan lagi bagi si
sakit untuk sembuh. Keadaan sakit itu dapat di sebabkan oleh suatu penyakit atau suatu
kecelakaan.
2. Kematian
5|Page
D. Masalah di Akhir Kehidupan
Masalah di akhir kehidupan beragam dari usaha memperpanjang hidup pasien yang sekarat
sampai teknologi eksperimental canggih seperti implantasi organ binatang, percobaan
mengakhiri hidup lebih awal melalui euthanasia dan bunuh diri secara medis. Di antara hal-
hal yang ekstrim tersebut ada banyak masalah seperti memulai atau menghentikan
perawatan yang dapat memperpanjang hidup, perawatan pasien dengan penyakit stadium
terminal serta kelayakan dan penggunaan peralatan bantuan hidup lanjut. Masalah yang
pantas mendapat perhatian khusus adalah euthanasia, bantuan bunuh diri dan transplantasi
organ.
1. Euthanasia
Adalah tahu dan secara sadar melakukan suatu tindakan yang jelas di maksudkan untuk
mengakhiri hidup orang lain dan juga termasuk elemen - elemen berikut subyek tersebut
adalah orang yang kompeten dan paham dengan penyakit yang tidak dapat di
sembuhkan yang secara sukarela meminta hidupnya diakhiri ; agen mengetahui tentang
kondisi pasien dan menginginkan kematian dan melakukan tindakan dengan niat utama
mengakhiri hidup orang tersebut dan tindakan dilakukan dengan belas kasihan dan tanpa
tujuan pribadi.
2. Bantuan Bunuh Diri
Berarti tahu dan secara sadar memberikan kepada seseorang pengetahuan atau alat atau
keduanya yang di perlukan untuk melakukan bunuh diri, termasuk konseling mengenai
obat dosis letal, meresepkan obat dosis letal, atau memberikanya. Euthanasia dan bunuh
diri dengan bantuan sering dianggap sama secara moral, walaupun dalam hal yuridiksi
legal. Euthanasia dan bunuh diri dengan bantuan secara definisi harus dibedakan dengan
menunda atau menghentikan perawatan medis yang diinginkan, sia - sia atau tidak tepat
atau ketentuan perawatan paliatif, bahkan jika tindakan - tindakan tersebut dapat
memperpendek hidup. Permintaan euthanasia dan bantuan bunuh diri muncul sebagai
akibat dari rasa sakit atau penderitaan yang dirasa pasien tidak tertahankan . Mereka
lebih memilih mati daripada meneruskan hidup dalam keadaan tersebut. Lebih jauh lagi,
banyak pasien menganggap mereka mempunyai hak untuk mati dan bahkan hak
memperoleh bantuan untuk mati. Dokter dianggap sebagai instrument kematian yang
paling tepat karena mereka mempunyai pengetahuan medis dan akses kepada obat-
obatan yang sesuai untuk mendapatkan kematian yang cepat dan tanpa rasa sakit.
Tentunya dokter akan merasa enggan memenuhi permintaan tersebut karena merupakan
tindakan yang illegal di sebagian besar negara dan di larang dalm sebagian besar kode
etik kedokteran. Larangan tersebut merupakan bagian dari sumpah Hippocrates dan
dinyatakan kembali oleh WMA dalam Declaration on Euthanasia . Euthanasia yang
6|Page
merupakan tindakan mengakhiri hidup seorang pasien dengan segera, tetaplah tidak etik
bahkan jika pasien sendiri atau keluarga dekatnya yang memintanya . Hal ini tetap saja
tidak mencegah dokter dari kewajibannya menghormati keinginan pasien untuk
membiarkan proses kematian alami dalam keadaan sakit tahap terminal. Penolakan
terhadap euthanasia dan bantuan bunuh diri tidak berarti dokter tidak dapat melakukan
apapun bagi pasien dengan penyakit yang mengancam jiwa pada stadium lanjut dan
dimana tindakan kuratif tidak tepat. Pada tahun- tahun terakhir telah terjadi kemajuan
yang besar dalam perawatan paliatif untuk mengurangi rasa sakit dan penderitaan serta
meningkatkan kualitas hidup. Pengobatan paliatif dapat diberikan pada pasien segala
usia, dari anak-anak dengan penyakit kanker sampai orang tua yang hamper meninggal.
Satu aspek dalam pengobatan paliatif yang memerlukan perhatian lebih adalah kontrol
rasa sakit. Semua dokter yang merawat pasien sekarat harus yakin bahwa mereka
mempunyai cukup ketrampilan dalam masalah ini, dan jika mungkin juga memiliki
akses terhadap bantuan yang sesuai dari ahli pengobatan paliatif. Dan diatas semuanya
itu, dokter tidak boleh membiarkan pasien sekarat namun tetap memberikan perawatan
dengan belas kasih bahkan jika sudah tidak mungkin disembuhkan. Pendekatan terhadap
kematian memunculkan berbagai tantangan etis kepada pasien, wakil pasien dalam
mengambil keputusan, dan juga dokter. Kemungkinan memperpanjang hidup dengan
memberikan obat-obatan, intervensi resusitasi, prosedur radiologi, dan perawatan
intensif memerlukan keputusan mengenai kapan memulai tindakan tersebut dan kapan
menghentikannya jika tidak berhasil. Seperti dibahas di atas, jika berhubungan dengan
komunikasi dan ijin, pasien yang kompeten mempunyai hak untuk menolak tindakan
medis apapun walaupun jika penolakan itu dapat ‘’menyebabkan kematian’’ dokter tidak
boleh membiarkan pasien sekarat namun tetap memberikan perawatan dengan belas
kasih bahkan jika sudah tidak mungkin disembuhkan. Setiap orang berbeda dalam
menanggapi kematian ; beberapa akan melakukan apapun untuk memperpanjang hidup
mereka, tak peduli seberapapun sakit dan menderitanya; sedang yang lain sangat ingin
mati sehingga menolak bahkan tindakan yang sederhana yang dapat membuat mereka
tetap hidup seperti antibiotik untuk pneumonia bakteri. Jika dokter telah melakukan
setiap usaha untuk memberitahukan kepada pasien semua informasi tentang perawatan
yang ada serta kemungkinan keberhasilannya, dokter harus tetap menghormati
keputusan pasien apakah akan memulai atau melnjutkan suatu terapi. Pengambilan
keputusan diakhir kehidupan untuk pasien yang tidak kompeten memunculkan kesulitan
yang lebih besar lagi. Jika pasien dengan jelas mengkapkan keinginannya sebelumnya
seperti menggunakan bantuan hidup lanjut, keputusan akan lebih mudah walaupun
bantuan seperti itu kadang sangat samar- samar dan harus diinterpelasikan berdasarkan
kondisi aktual pasien. Jika pasien tidak menyatakan keinginanya dengan jelas, wakil
pasien dalam pengambil keputusan harus menggunakan kriteri- criteria lain untuk
keputusan perawatan yaitu kepentingan terbaik pasien.
7|Page
3. DNR (Do Not Resucitation)
DNR atau do-not-resucitate adalah suatu perintah yang memberitahukan tenaga medis
untuk tidak melakukan CPR. Hal ini berarti bahwa dokter, perawat, tenaga emergensi
medis tidak akan melakukan usaha CPR emergensi bila pernapasan maupun jantung
pasien berhenti.
CPR atau cardiopulmonary resuscitation adalah suatu prosedur medis yang digunakan
untuk mengembalikan fungsi jantung (sirkulasi) dan pernapasan spontan pasien bila
seorang pasien mengalami kegagalan jantung maupun pernapasan. CPR melibatkan
ventilasi paru (resusitasi mulut ke mulut atau mulut ke hidung) dan kompresi dinding
dada untuk mempertahankan perfusi ke jaringan organ vital selama dilakukan upaya-
upaya untuk mengembalikan respirasi dan ritme jantung yang spontan. CPR lanjut
melibatkan DC shock, inters tube untuk membuka jalan napas, injeksi obat-obatan ke
jantung dan untuk kasus-kasus ekstrim pijat jantung langsung (melibatkan operasi bedah
toraks).
Perintah DNR untuk pasien harus tertulis baik di catatan medis pasien maupun di catatan
yang dibawa pasien sehari-hari, di rumah sakit atau keperawatan, atau untuk pasien di
rumah. Perintah DNR di rumah sakit memberitahukan kepada staf medis untuk tidak
berusaha menghidupkan pasien kembali sekalipun terjadi henti jantung. Bila kasusnya
terjadi di rumah, maka perintah DNR berarti bahwa staf medis dan tenaga emergensi
tidak boleh melakukan usaha resusitasi maupun mentransfer pasien ke rumah sakit untuk
CPR.
Pada fase ini, pasien tidak siap menerima keadaan yang sebenernya terjadi, dan
menunjukan reaksi menolak. Timbul pemikiran-pemikiran seperti:”Seharusnya tidak
terjadi dengan diriku, tidak salahkah keadaan ini?”.Beberapa orang bereaksi pada fase ini
dengan menunjukan keceriaan yang palsu (biasanya orang akan sedih mengalami keadaan
menjelang ajal).
2. Marah / Anger
Kemarahan terjadi karena kondisi klien mengancam kehidupannya dengan segala hal yang
telah diperbuatnya sehingga menggagalkan cita-citanya. Timbul pemikiran pada diri klien,
seperti:”Mengapa hal ini terjadi dengan diriku kemarahan-kemarahan tersebut biasanya
8|Page
diekspresikan kepada obyek-obyek yang dekat dengan pasien, seperti:keluarga, teman dan
tenaga kesehatan yang merawatnya.
3. Menawar / Bargaining
Pada tahap ini kemarahan biasanya mereda dan pasien malahan dapat menimbulan kesan
sudah dapat menerima apa yang terjadi dengan dirinya. Pada pasien yang sedang dying,
keadaan demikian dapat terjadi, seringkali klien berkata:”Ya Tuhan, jangan dulu saya mati
dengan segera, sebelum anak saya lulus jadi sarjana”.
4. Kemurungan / Depresi
Selama tahap ini, pasien cenderung untuk tidak banyak bicara dan mungkin banyak
menangis. Ini saatnya bagi perawat untuk duduk dengan tenang disamping pasien yang
sedangkan melalui masa sedihnya sebelum meninggal.
5. Menerima / Pasrah / Acceptance
Pada fase ini terjadi penerimaan secara sadar oleh pasien dan keluarga tentang kondisi
yang terjadi dan hal-hal yang akan terjadi yaitu kematian. Fase ini sangat membantu
apabila pasien dapat menyatakan reaksi-reaksinya atau rencana-rencana yang terbaik bagi
dirinya menjelang ajal. Misalnya: ingin bertemu dengan keluarga terdekat, menulis surat
wasiat, dan sebagainya.
9|Page
b. Sianosis pada daerah ekstermitas.
c. Kulit dingin, pertama kali pada daerah kaki, kemudian tangan, telinga dan hidung.
3. Perubahan-perubahan dalam tanda-tanda vital
a. Nadi lambat dan lemah.
b. Tekanan darah turun.
c. Pernafasan cepat, cepat dangkal dan tidak teratur.
4. Gangguan Sensori
a. Penglihatan kabur.
b. Gangguan penciuman dan perabaan.
Pada situasi seperti ini, dokter biasanya memilih untuk tidak memberitahukan tentang
diagnosa dan prognosa kepada pasien dan keluarganya. Tetapi bagi perawat hal ini
sangat menyulitkan karena kontak perawat lebih dekat dan sering kepada pasien dan
keluarganya. Perawat sering kali dihadapkan dengan pertanyaan-pertanyaan langsung,
kapan sembuh, kapan pulang, dan sebagainya.
2. Matual Pretense/Kesadaran/Pengertian yang Ditutupi
Pada fase ini memberikan kesempatan kepada pasien untuk menentukan segala sesuatu
yang bersifat pribadi walaupun merupakan beban yang berat baginya.
10 | P a g e
3. Open Awareness/Sadar akan keadaan dan Terbuka
Pada situasi ini, pasien dan orang-orang disekitarnya mengetahui akan adanya ajal yang
menjelang dan menerima untuk mendiskusikannya, walaupun dirasakan getir. Keadaan
ini memberikan kesempatan kepada pasien untuk berpartisipasi dalam merencanakan
saat-saat akhirnya, tetapi tidak semua orang dapat melaksanakan hal tersebut.
Dokte /perawat perlu waspada terhadap isyarat pasien dengan denial dengan cara
menanyakan tentang kondisinya atau prognosisnya dan pasien dapat
mengeksperikan perasaan-perasaannya.
2) Pada Fase Marah
Pada fase ini dokter/perawat selalu hadir di dekatnya dan mendengarkan apa yang
dikeluhkan oleh pasien. Akan lebih baik jika berkomunikasi secara non verbal yaitu
dengan duduk tenang disampingnya dan mengamati reaksi-reaksi non verbal dari
pasien sehingga menumbuhkan rasa aman bagi pasien.
5) Pada Fase Penerimaan
Fase ini ditandai pasien dengan perasaan tenang, damai. Kepada keluarga dan
teman-temannya dibutuhkan bahwa pasien telah menerima kedaannya dan perlu
dilibatkan seoptimal mungkin dalam program pengobatan dan mampu untuk
monolong dirinya sendiri sebatas kemampuannya.
Beberapa obat untuk mengurangi rasa sakit digunakan pada pasien sakit terminal,
seperti morphin, heroin, dan lainnya. Pemberian obat ini sesuai dengan tingkat
toleransi nyeri yang dirasakan pasien. Obat-obatan lebih baik diberika Intra Vena
dibandingkan melalui Intra Muskular/Subcutan, karena kondisi system sirkulasi
sudah menurun.
c. Membebaskan Jalan Nafas
Untuk pasien dengan kesadaran penuh, posisi fowler akan lebih baik dan
pengeluaran sekresi lendir perlu dilakukan untuk membebaskan jalan nafas,
sedangkan bagi pasien yang tidak sadar, posisi yang baik adalah dengan dipasang
drainase dari mulut dan pemberian oksigen.
d. Bergerak
Karena adanya penurunan atau kehilangan tonus otot dapat terjadi konstipasi,
inkontinensia urin dan feses. Obat laxant perlu diberikan untuk mencegah
konstipasi. Pasien dengan inkontinensia dapat diberikan urinal, pispot secara teratur
atau dipasang duk yang diganti setiap saat atau dipasang kateter. Harus dijaga
kebersihan pada daerah sekitar perineum, apabila terjadi lecet, harus diberi salep.
g. Perubahan Sensori
12 | P a g e
Pasien dengan dying, penglihatan menjadi kabur, pasien biasanya
menolak/menghadapkan kepala kearah lampu/tempat terang. Pasien masih dapat
mendengar, tetapi tidak dapat/mampu merespon, perawat dan keluarga harus bicara
dengan jelas dan tidak berbisik-bisik.
Pasien dengan dying akan ditempatkan diruang isolasi, dan untuk memenuhi kebutuhan
kontak sosialnya, perawat dapat melakukan:
a. Menanyakan siapa-siapa saja yang ingin didatangkan untuk bertemu dengan pasien
dan didiskusikan dengan keluarganya, misalnya: teman-teman dekat, atau anggota
keluarga lain.
b. Menggali perasaan-perasaan pasien sehubungan dengan sakitnya dan perlu
diisolasi.
c. Menjaga penampilan pasien pada saat-saat menerima kunjungan-kunjungan teman-
teman terdekatnya, yaitu dengan memberikan pasien untuk membersihkan diri dan
merapikan diri.
d. Meminta saudara/teman-temannya untuk sering mengunjungi dan mengajak orang
lain dan membawa buku-buku bacaan bagi pasien apabila pasien mampu
membacanya.
13 | P a g e
L. Kesimpulan
Kondisi Terminal adalah suatu kedaan dimana seseorang mengalami penyakit/sakit yang
tidak mempunyai harapan untuk sembuh sehingga sangat dekat dengan proses kematian.
Respon klien dalam kondisi terminal sangat individual tergantung kondisi fisik, psikologis,
sosial yang dialami, sehingga dampak yang ditimbulkan pada tiap individu juga berbeda.
Hal ini mempengaruhi tingkat kebutuhan dasar yang ditunjukan oleh pasien terminal. Orang
yang telah lama hidup sendiri, terisolasi akibat kondisi terminal dan menderita penyakit
kronis yang lama dapat memaknai kematian sebagai kondisi peredaan terhadap penderitaan.
Atau sebagian beranggapan bahwa kematian sebagai jalan menuju kehidupan kekal yang
akan mempersatukannya dengan orang-orang yang dicintai. Sedangkan yang lain
beranggapan takut dengan perpisahan, dikuncilkan, ditelantarkan, kesepian, atau mengalami
penderitaan sepanjang hidup.
Seseorang yang menghadapi kematian/kondisi terminal, dia akan menjalani hidup, merespon
terhadap berbagai kejadian dan orang disekitarnya sampai kematian itu terjadi. Perhatian
utama pasien terminal sering bukan pada kematian itu sendiri tetapi lebih pada kehilangan
kontrol terhadap fungsi tubuh, pengalaman nyeri yang menyakitkan atau tekanan psikologis
yang diakibatkan ketakutan akan perpisahan, kehilangan orang yang dicintai.
14 | P a g e
15 | P a g e