Anda di halaman 1dari 8

HOMO SOLOENSIS

Disusun Oleh:
 Muhammad Irfan Fadillah
 Rizka Aqila
 Shabrina
 Wilda Nabila
 Zulfahmi Syahputra Hrp
KATA PENGANTAR
Puji syukur kami panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah memberikan rahmat
serta karunia-Nya sehingga kelompok kamiberhasil menyelesaikan makalah ini.

Makalah ini berisikan tentang “Homo Soloensis.” Diharapkan makalah ini dapat
memberikan informasi kepada kita semua.

Kami menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari sempurna, oleh karena itu
kritik dan saran dari semua pihak yang bersifat membangun selalu kami harapkan demi
kesempurnaan makalah ini.

Akhir kata, kami sampaikan terimakasih kepada semua pihak yang telah
berperan serta dalam penyusunan makalah ini dari awal sampai akhir. Semoga Allah
SWT senantiasa meridhai segala usaha kita. Amin

Daftar Isi
KATA PENGANTAR ...................................................................................................... 2
BAB 1 ............................................................................................................................... 3
PENDAHULUAN ........................................................................................................... 3
1.1 LatarBelakang ................................................................................................. 3
1.2 Maksud Dan Tujuan ....................................................................................... 3
BAB 2 ............................................................................................................................... 3
PEMBAHASAN .............................................................................................................. 3
2.1 Sejarah Homo Soloensis ................................................................................... 3
2.2 Ciri Ciri Homo Soloensis ................................................................................ 4
2.3 Penemuan Fosil .................................................................................................. 5
2.4 Kebudayaan Dan Peradaban ......................................................................... 6
2.5 Sistem Kepercayaan ......................................................................................... 7
BAB 3................................................................................................................................. 8
PENUTUPAN ..................................................................................................................... 8
3.1 Kesimpulan .......................................................................................................... 8
DAFTAR PUSTAKA ....................................................................................................... 8
BAB 1
PENDAHULUAN

1.1 LatarBelakang
Fosil ataupun alat- alat beserta hasil kebudayaan dari manusia purba banyak
ditemukan di Indonesia, dan menjadi sesuatu yang penting dari para ahli untuk
meneliti dan mendapatkan informasi yang kongkrit terkait manusia purba. Fosil yang
ditemukan di Indonesia berasal kebanyakan dari masa Pleistosen, sehingga secara fisik
perkembangannya lebih ke bentuk manusia sekarang.

Sebelum membahas langsung tentang Homo Soloensis, mari kita simak pengertian
dari kata homo itu senidiri. Homo disini bermakna manusia purba yang mendekati
bentuk manusia sempurna atau lebih sempurna dibandingkan dengan jenis manusia
purba Meganthropus ataupun Pithecantropus.

Manusia purba jenis Homo ini mereka sehari-hari untuk memenuhi kebutuhan
hidupnya dengan berburu menggunakan peralatan dari batu yang berupa kapak, alat-
alat serpih, dan alat-alat lain yang terbuat dari tulang seperti peralatan ujung tombak,
dan alat pengorek ubi serta keladi.

1.2 Maksud Dan Tujuan


Maksud dan tujuan kami dari tulisan makalah ini adalah agar pembaca bisa
mengetahui pembaca dapat mengetahui pengertian Homo Soloensis, ciri ciri Homo
Soloensis, hasil budaya dari Homo Soloensis danSejarah Homo Soloensis.
Mengetahui sejarah Homo Soloensis dapat membuat kita mengetahui asal mula
manusia.

BAB 2
PEMBAHASAN
2.1 Sejarah Homo Soloensis
Homo erectus soloensis, atau Homo soloensis (sering pula disebut Manusia dari
Solo atau Solo Man) adalah hominid atau manusia purba yang diperkirakan hidup di
daerah Sungai Bengawan Solo purba pada Zaman Batu Tua atau Paleolitikum
Subspesies yang telah punah ini sempat diklasifikasikan sebagai Homo sapiens
soloensis, tetapi sekarang dimasukkan ke dalam spesies Homo erectus. Oleh sebagian
ahli, Homo soloensis dianggap segolongan dengan Homo neanderthalensis yang
merupakan manusia purba dari Asia, Eropa, dan Afrika.

Terkait dengan Homo Soloensis, tepatnya di tahun antara 1931-1934, seorang ahli
purbakala bernama G.H.R. Von Koeningswald, Oppenoorth, serta Ter Haar menemukan
fosil-fosil manusia purba di sebuah Lembah Sungai Bengawan Solo di dekat Desa
Ngadong, di sebuah daerah Blora dan Sragen, Jawa Tengah.Fosil yang ditemukan yaitu
berupa tengkorak , tulang rahang, dan gigi.

Berdasarkan penelitian yang sudah dilakukan, manusia purba ini memiliki


tingkatan yang lebih tinggi jika dibandingkan dengan Pithecanthropus Erectus. Dan
menurut perkiraan, homo soloensis ini merupakan evolusi dari Pithecanthropus
Mojokertensis.

Bahkan Oleh beberapa ahli mengtakan jika manusia purba ini termasuk Homo
Neanderthalensis yang merupakan manusia purba jenis Homo Sapiens dari Asia, Eropa,
dan Afrika. Fosil homo soloensis ditemukan pada lapisan Pleistosen bagian Atas. homo
soloensis diprediksi hidup sekitar 900.000 hingga 300.000 tahun silam.

2.2 Ciri Ciri Homo Soloensis


Berikut ciri-ciri homo soloensis Berdasarkan penelitian terhadap fosil-fosil yang
ditemukan:

• Volume otaknya antara 1000 hingga 1200 cc


• Otak kecil homo soloensis berukuran lebih besar daripada otak kecil pada
Pithecanthropus Erectus
• Tengkorak berukuran lebih besar jika dibandingkan dengan Pithecanthropus
Erectus
• Memiliki Tinggi badan sekitar 130 – 210 cm
• Otot pada tengkuk mengalami penyusutan
• Muka tidak menonjol ke depan
• Tonjolan pada kening agak terputus ditengah (tepatnya di atas hidung)
• Sudah Berdiri tegak serta berjalan lebihsempurna

2.3 Penemuan Fosil


Fosil-fosil Homo erectus soloensis ditemukan di Ngandong (Blora), Sangiran, dan
Kecamatan Sambungmacan (Stragen), Pulau Jawa,Indonesia, oleh Ter Haar,
Oppenoorth, dan G.H.R. Von Koeningswald antara tahun 1931 sampai 1933 di
lapisan Pleitosen Atas atau Pleistosen Akhir.
Di daerah tersebut, von Koenigswald banyak menemukan fosil-fosil dan artefak-
artefak prasejarah, antara lain tengkorak anak-anak, hewan menyusui, dan aneka
perkakas. Ia kemudian membagi lembah Kali Solo menjadi tiga lapisan:
 Lapisan Jetis (Pleistosen Bawah), tempat
ditemukannya Pithecanthropus robustus, Homo Mojokertensis Meganthropus
paleojavanicus
 Lapisan Trinil (Pleistosen Tengah), tempat
ditemukannya Pithecanthropus erectus
 Lapisan Ngandong (Pleistosen Atas), tempat ditemukannya Homo
soloensis, Homo wajakensis
Untuk Homo e. soloensis, von Koenigswald menemukan 11 fosil tengkorak.
Sebagian telah hancur, tetapi terdapat beberapa yang masih layak menjadi objek
penelitian lebih lanjut, meskipun tulang rahang dan gigi kesebelas tengkorak itu sudah
tidak ada.
Menurut von Koenigswald dan R. Weidenreich, manusia purba ini lebih tinggi
tingkatannya dibanding Pithecanthroous Electus. Bahkan, mereka telah layak disebut
sebagai homo (manusia). Diperkirakan, makhluk ini
merupakan evolusi dari Pithecanthropus mojokertensis atau Homo mojokertensis.
Karena alat-alat yang ditemukan di dekat tulang hominid ini dan banyaknya fitur
anatomi yang lebih rentan, para ahli pertama kali mengklasifikasikannya sebagai
subspesies Homo Sapiens (pernah juga disebut Javanthropus) dan dianggap sebagai
nenek moyang orang Aborigin di Australia. Namun, studi yang lebih akurat
menyimpulkan bahwa hal tersebut tidaklah terbukti.
Analisis terhadap belasan tengkorak dari Sangiran,Trinil, Sambungmacan, dan
Ngandong menunjukkan pengembangan kronologis dari Periode Bapang ke Periode
Ngandong. Pada 2011, para ahli memperkirakan H. e. soloensis sudah berusia antara
143.000 hingga 550.000 tahun.

2.4 Kebudayaan Dan Peradaban


Dengan volume otak yang sudah mendekati manusia, Homo erectus
soloensis bersama dengan Homo wajakensis, diperkirakan mengawali
sistem budaya yang kemudian kita kenal dengan Kebudayaan Ngandong. Kebudayaan
ini dicirikan dengan penggunaan tulang binatang, duri ikan pari, dan batu-batuan
serpih (flakes). Bahan-bahan tersebut sudah berhasil diolah menjadi kapak, belati,
tombak, dan sebagainya.
Sebagian flakes bahkan terbuat dari batu-batuan yang indah, seperti kalsedon,
menandakan peradaban Homo e. soloensis telah mengenal citarasa seni. Alat-alat dari
tulang binatang diduga digunakan untuk mengorek ubi dan keladi dari dalam tanah.
Alat-alat seperti tombak yang bergerigi diduga dimanfaatkan layaknya harpun: untuk
menangkap ikan besar.
Masalahnya, semua perkakas dan senjata itu ditemukan di permukaan bumi,
sehingga sulit memastikan asal lapisannya. Melalui penelitian yang mendalam,
akhirnya diketahui benda-benda tersebut berasal dari Lapisan Trinil (Pleistosen
Tengah). Jadi, ada kemungkinan pemiliknya justru Pithencanthopus erectus.
Namun demikian, diyakini budaya menggunakan dan menciptakan alat semacam
ini hanya berkembang di suatu kaum yang minimal bergenus Homo. Jadi,
kemampuan Pithecanthropus erectus diragukan dalam hal ini. Apalagi makhluk-
makhluk kera-manusia dari Lapisan Pleistosen Bawah (semacam Meganthropus
paleojavanicus).
Permasalahan berikutnya, di antara semua penemuan dari zaman pleistosen di
Indonesia, belum pernah ditemukan alat-alat yang letaknya berdekatan dengan
fosil homo. Akibatnya, sulit menyimpulkan siapa pemilik sebenarnya dari alat-alat yang
dikemukakan di atas.
Petunjuk untuk memecahkan kebuntuan ini datang dari tanah seberang,
yaitu Peking, Cina. Di Goa Choukoutien, sejumlah fosil Sinanthropus pekinensis (sekelas
dengan Pithecanthropus erectus) ditemukan bersama perkakas bebatuan yang mirip
dengan alat-alat di Situs Pacitan maupun Situs Ngandong. Maka kesimpulan sejauh ini,
jika Sinanthropus pekinensis saja sudah memiliki budaya menggunakan dan
menciptakan alat, boleh jadi Pithecanthropus erectus pun telah berbudaya.
Kesimpulan selanjutnya, jika makhluk seperti Pithecanthropus saja berbudaya dan
mampu menciptakan Kebudayaan Pacitan lengkap dengan alat-alatnya, seharusnya
Kebudayaan Ngandong yang dipelopori kaum homo, dalam hal ini Homo erectus
soloensis, jauh lebih maju. Apalagi penelitian kemudian menunjukkan bahwa alat-alat
tersebut memang berasal dari Pleistosen Atas, hasil kebudayaan Homo
soloensis dan Homo wajakensis.
Dari berbagai peralatan tersebut, para ahli berkesimpulan bahwa cara hidup
masyarakat Homo erectus soloensis saat itu adalah berburu binatang, menangkap ikan,
memanen keladi, ubi, buah-buahan, dan mengumpulkan makanan lainnya. Namun,
alat-alat tersebut tampaknya tidak cocok untuk bercocok tanam. Sehingga, hidup
manusia paleolitikum itu diperkirakan masih menggunakan sistem nomaden, belum
menetap

2.5 Sistem Kepercayaan


Ada keyakinan dari sebagian ahli bahwa perkembangan budaya
manusia diluvium sampai Homo sapiens diimbangi dengan perkembangan pemikiran
dan perasaannya. Termasuk perkembangan kerohaniannya yang membuat mereka
percaya bahwa ada sesuatu yang lebih besar dari dirinya.
Menurut Karen Armstrong, pada mulanya, manusia menciptakan satu Tuhan yang
merupakan penyebab pertama bagi segala sesuatu. Ia adalah penguasa langit dan
bumi. Ia tidak terwakili oleh gambaran apapun dan tidak
memiliki kuil atau pendeta yang mengabdi kepada-Nya. Ia terlalu luhur
untuk ibadah manusia yang tak memadai.
Wilhelm Schmidt, dalam buku The Origin of the Idea of God (1912-1954), juga
menulis tentang monoteisme primitif ini. Menurutnya, jauh sebelum menyembah
banyak dewa, manusia mengakui hanya satu Tuhan Tertinggi yang telah menciptakan
dunia dan menata segalanya dari kejauhan. Schmidt mencontohkan suku
pribumi Afrika yang meyakini keesaan Tuhan. Mereka mengungkapkan kerinduan
melalui doa, percaya bahwa Tuhan selalu mengawasi dan menghukum setiap dosa.
Namun Tuhan tidak hadir dalam kehidupan sehari-hari mereka, artinya tidak ada kultus
khusus untuk-Nya. Tuhan tidak pernah ditampilkan dalam gambar-gambar.
Ini terjadi sebelum Tuhan Tertinggi digantikan oleh tuhan-tuhan pagan dan
simbol-simbol keagamaan yang mewujud, misalnya dalam bentuk punden
berundak, menhir, lukisan goa, kuil pemujaan, dan sebagainya.
Jadi, ada kemungkinan masyarakat Homo erectus soloensis juga mengenal dan
membutuhkan kehadiran Tuhan. Sebab, sudah pasti setiap saat mereka berhadapan
dengan peristiwa-peristiwa alam yang sulit dipahami karena di luar kendali dan
nalarnya, wabah penyakit, binatang buas, fenomena-fenomena gaib, dan lain
sebagainya.
Ide tentang kehadiran Tuhan memang telah dan tetap hidup dari zaman dan
kebudayaan apapun sampai kapan pun. Sebagaimana yang diungkap dalam The New
Encyclopedia Britanica, bahwa sejauh penemuan para sarjana, tidak pernah ada orang,
di manapun dan kapan pun, yang sama sekali tidak religius.

BAB 3
PENUTUPAN
3.1 Kesimpulan
Manusia yang hidup pada zaman praaksara (prasejarah) disebut manusia purba.
Manusia purba adalah manusia penghuni bumi pada zaman prasejarah yaitu zaman
ketika manusia belum mengenal tulisan. Ditemukannya manusia purba karena adanya
fosil dan artefak. Jenis-jenis manusia purba dibedakan dari zamannya yaitu zaman
palaeolitikum, zaman mezolitikum, zaman neolitikum, zaman megalitikum, zaman
logam dibagi menjadi 2 zaman yaitu zaman perunggu dan zaman besi. Ada beberapa
jenis manusia purba yang ditemukan di wilayah Indonesia Meganthropus
Paleojavanicus yaitu manusia purba bertubuh besar tertua di Jawa dan
Pithecanthrophus adalah manusia kera yang berjalan tegak.

Homo Sapiens adalah jenis manusia purba yang memiliki bentuk tubuh yang sama
dengan manusia sekarang. Mereka telah memiliki sifat seperti manusia sekarang.
Kehidupan mereka sangat sederhana, dan hidupnya mengembara. Jenis kaum Homo
Sapiens yang ditemukan di Indonesia ada 2 yaitu Homo Soloensis dan Wajakensis.

DAFTAR PUSTAKA
3 https://satujam.com/homo-soloensis/
4 https://id.wikipedia.org/wiki/Homo_e._soloensis
5 https://brainly.co.id/tugas/6885876

Anda mungkin juga menyukai