Anda di halaman 1dari 18

TUGAS

PERLAKUAN PANAS DAN REKAYASA


PERMUKAAN

FENOMENA KEAUSAN

Disusun Oleh :

Yulianto Setyo Nugroho NIM 171910101063


Fachruzi Pradana NIM 171910101065
Ahmad Wahyu Sugito NIM 171910101067

FAKULTAS TEKNIK
TEKNIK MESIN UNIVERSITAS JEMBER
2019
BAB I. PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Jikalau dua benda bersentuhan sambil bergerak maka akan timbul gesekan.
Orang juga dengan mudah mengerti bahwa akibat yang ditimbulkan gesekan bisa
bermacam-macam misalnya bunyi mencicit, kenaikan suhu permukaan atau
ausnya permukaan. Aktifitas manusia sehari-harinya juga tak luput dari gesekan
ini, apalagi pada dunia industri. Mulai dari bangun tidur dengan menggeliat maka
sendi-sendi bergesekan, mandi dengan menggosok sabun, menyikat gigi, jalan
kaki, naik kendaraan, berputarnya roda, berputarnya bantalan dan masih banyak
lagi.
Tribologi ialah ilmu yang mempelajari gesekan, aus dan pelumasan. Dengan
tribologi pemborosan energi dapat dihemat. Seiring dengan peradaban manusia
yang makin meningkat maka perkembangan ilmu ini juga meningkat. Dimulai
dari bangsa Mesir sampai dengan peneliti-peneliti sekarang. Daerah pelumasan
dibagi menjadi 3 daerah, yaitu: (Elasto) Hydrodynamic Lubrication, Boundary
Lubrication, Mixed Lubrication. Secara prinsip, pelumasan berfungsi untuk
mencegah keausan yang disebabkan oleh gesekan antar benda yang bergerak
relatif. Disamping fungsi pelumas di atas, kegunaan yang lain adalah untuk
mengurangi gesekan, sebagai seal kompresi, mengurangi noise, sebagai media
pendingin komponen mesin, mengurangi karat, serta menjaga benda agar tetap
bersih.
Sebagai akibat dari hilangnya pelumas pada daerah boundary lubrication,
maka keausan menjadi suatu hal yang tidak bisa dihindari. Proses aus terjadi pada
Boundary lubrication. Keausan terdiri atas keausan adesif, keausan abrasif,
keausan lelah permukaan dan keausan kimiawi. Usaha yang dilakukan untuk
mengurangi aus diantaranya dengan pelumasan dan coating atau pelapisan logam
pada permukaan.

1.2. Tujuan Penulisan

Adapun tujuan yang ingin dicapai dalam penulisan makalah ini adalah :
1. Mengetahui ilmu tribologi.
2. Mengetahui daerah pelumasan.
3. Mengetahui keausan.
4. Mengetahui contoh permasalahan keausan.

1.3. Manfaat Penulisan

Adapun tujuan yang ingin dicapai dalam penulisan makalah ini adalah :
1. Memahami ilmu tribologi.
2. Memahami daerah pelumasan.
3. Memahamii keausan.
4. Memahami permasalahan keausan.
BAB II. ISI

2.1. Tribologi

Tribologi berasal dari bahasa Yunani, tribos yang artinya menggaruk


(rubbing) atau mendorong (sliding). Istilah ini dimunculkan oleh komite dari
Organisasi untuk Kerjasama Ekonomi dan Pengembangan (Organization for
Economic Cooperation and Development) di tahun 1967. Tribologi adalah ilmu
dan teknologi yang interdisipliner tentang interaksi permukaan dalam pergerakan
relatifnya. Dengan kata lain tribologi adalah pengetahuan tentang gesekan
(friction), pelumasan (lubrication) dan aus (wear). Definisi dan istilah ini tidak
terlalu mengikat dan baku, bahkan para ilmuwan Cina lebih senang memakai
istilah friction engineering daripada Tribologi. Sejarah tribologi berkembang terus
seiring dengan semakin pesatnya peradaban manusia. Pembuatan roda
kemungkinan berawal sekitar 6000 tahun yang lalu. Bangsa Inca yang telah maju
peradabannya pun belum menggunakan prinsip roda. Penggunaan tribologi yang
lain muncul dari permulaan sejarah manusia sejak penggunaan alat pemantik api
yang terbuat dari alat sejenis gerudi panah.

Gambar 2.1 Bangsa Mesir memindahkan Colossus pd tahun 1880 SM. Lukisan di
dalam sebuah gua di El Bersheh

Usaha pemindahan colossus pada Gambar 2.1, telah membawa bangsa


Mesir kepada perkembangan tribologi yang besar. Ilustrasi dalam bentuk ukiran
menggambarkan penggunaan rol dan alur untuk mengangkut bongkahan batu
besar dan patung Colossus. Dengan 172 orang yang sedang menarik patung besar
yang mempunyai berat kurang lebih 6 x 105 N di sepanjang laluan kayu. Patung
tersebut ditumpu oleh papan luncur. Kalau dilihat lebih teliti, gambar itu
menunjukkan seorang yang sedang berdiri di depan peluncur yang memberikan
semacam pelicin di atas tempat peluncur tersebut. Misalkan setiap orang menarik
dengan daya 800 N sekali geser, maka bisa dihitung koefisien geseknya adalah

𝑗𝑢𝑚𝑙𝑎ℎ 𝑜𝑟𝑎𝑛𝑔 × 𝑑𝑎𝑦𝑎 𝑝𝑒𝑟𝑜𝑟𝑎𝑛𝑔 172 × 800


𝜇= = = 0,23
𝑏𝑒𝑟𝑎𝑡 𝑝𝑎𝑡𝑢𝑛𝑔 6 × 105

Jadi monumen Colossus yang memiliki tinggi 59 kaki atau sekitar 21


meter ini adalah salah satu bukti sejarah tentang adanya tribologi pada masa
dahulu. Sebuah benang merah dalam akar sejarah tribologi adalah timbulnya
gesekan dari dua permukaan yang bersentuhan. Dari adanya gesekan ini timbullah
ide untuk melakukan pelumasan agar suatu benda bergerak lebih mudah.

2.2. Daerah Pelumasan


Pada awal permulaan abad ini perilaku gesekan dalam sistem tribo telah
diselidiki oleh para ahli, diantaranya Stribeck (1902), Hersey (1915), dan McKee
(1927). Biasanya gaya gesek dalam sistem pelumasan di tribologi digambarkan
sebagai fungsi dari satu atau lebih parameter operasional. Daerah pelumasan
terbagi dalam 3 bagian, yaitu:
1. (Elasto) Hydrodynamic Lubrication ((E)HL);
2. Boundary Lubrication (BL)
3. Mixed Lubriation (ML).
Uraian berikut ini akan membahas tentang ketiga daerah tersebut berdasar
hasil penemuan Stribeck dan pengembangan oleh peneliti lainnya.

2.2.1. (Elasto) Hydrodynamic Lubrication ((E)HL)


Di daerah ini tidak ada kontak antar permukaan. Beban yang ada ditahan
semuanya oleh lapisan pelumas diantara dua permkaan yang bersinggungan.
Koefisien gesek (μ) bernilai 0,01. Untuk kasus ini, penggunaan teori tentang
dinamika fluida bisa diterapkan, diantaranya dengan persamaan NavierStokes atau
persamaan Reynolds (1886) untuk menghitung tekanan dan ketebalan lapisan
pelumas. Banyak peneliti telah mengembangkan tentang pengujian algoritma
untuk memecahkan persamaan dalam semua model yang berhubungan dengan
masalah lapisan pelumas. Pelumasan hidrodinamik pada pelat dengan proses
pengerjaan dingin diselidiki oleh Cheng (1970), Atkins (1970), Wilson and
Walowit (1971) dan Lught (1992). Garis kontak dan titik kontak pada pelumasan
hidrodinamik diselidiki oleh Lubrecht (1987) dan Venner (1991). Bagaimanapun,
masih banyak masalah praktek di lapangan yang harus dilakukan dengan kontak
fisik secara eksperimental yang tidak dapat diselesaikan dengan teknik yang
berdasar pada pelumasan lapisan secara penuh (full film lubrication).

2.2.2. Boundary Lubrication (BL)


Pada daerah ini terjadi kontak fisik antara permukaan yang saling
berinteraksi. Beban yang ada ditanggung oleh puncak dari kekasaran permukaan
atau asperiti yang saling bersinggungan. Koefisien gesek di rejim BL dengan
besaran 0.1< μ <0.3. Pada daerah ini aus akan terjadi.

2.2.3. Mixed Lubrication (ML)


Daerah ML adalah daerah yang terletak antara BL dan (E)HL. Beban
kontak ditanggung sebagian oleh pelumas dan sebagian lagi oleh interaksi puncak
kekasaran permukaan. Besaran koefisien gesek yaitu 0,01 < μ <0,1. Di tahun 1988
Schipper telah membuat model berdasar daerah mixed lubrication. Kebanyakan
model adalah kombinasi dari dua daerah/rejim walaupun dalam kenyataannya
prediksi gesekan dari operasi yang bekerja di bawah kondisi ML masih perlu
penelitian lebih lanjut.

Gambar 2.2 Generalisasi kurva stribeck


2.3. Pengertian Keausan
2.3.1. Pengertian Keausan
Keausan adalah sebuah fenomena yang sering terjadi dalam bidang
engineering. Definisi paling umum dari keausan yang telah dikenal sekitar 50
tahun lebih yaituhilangnya bahan dari suatu permukaan atau perpindahan bahan
dari permukaannya kebagian yang lain atau bergeraknya bahan pada suatu
permukaan. Keausan didefinisikan oleh ASTM sebagai kerusakan permukaan
benda yang secara umum berhubungan dengan peningkatan hilangnya material
yang disebabkan oleh pergerakan relatif benda dan sebuah substansi kontak (Blau,
1997). Keausan yang terjadi pada suatu material disebabkan oleh
adanyabeberapamekanisme yang berbeda dan terbentuk oleh beberapa parameter
yang bervariasimeliputibahan, lingkungan, kondisioperasi, dan
geometripermukaanbenda yangterjadikeausan.

2.3.2. Klasifikasi Keausan dan Mekanismenya


Mekanisme aus terbagi menjadi dua kelompok, yaitu keausan karena
perilaku mekanis dan keausan karena perilaku kimiawi (Suh, 1986). Keausan
mekanis terbagi atas: (1) Sliding wear, (2) Fretting wear, (3) Abrasive wear, (4)
Erosive wear, dan (5) Fatigue wear. Sedangkan keausan karena adanya reaksi
kimia yaitu: (1) Solution wear, (2) Difusive wear, (3) Oxidative wear, dan (4)
Corrosive wear.
Beragam klasifkasi keausan dan mekanismenya telah menjadi kajian seputar
tribologi, diantaranya mild wear dan severe wear. Dalam logam, “severe” wear
berhubungan dengan partikel yang besar dari serpihan (debris) logam akibat
gerakan sliding, sedangkan “mild” wear adalah serpihan yang lebih halus dan
terbentuk dari partikel oksida (Adachi dkk., 1997). Untuk keramik, “severe” wear
dihubungkan dengan patah rapuh (brittle fracture), sedangkan “mild” wear
dihasilkan dari hilangnya permukaan benda karena sebuah reaksi hydrasi. Hsu dan
Shen (2005) membedakan mild dan severe wear berdasar koefisien gesek ().
Klasifikasi mekanisme keausan dari logam seperti ditunjukkan dalam Gambar 2.1.
Abrasive dan adhesive wear yang dihasilkan dari kontak sliding diklasifikasikan
ke dalam severe wear. Sedangkan Williams (1999), Pasaribu (2005), Adachi dkk.
(1997) dan Metselaar dkk. (2001) membedakan mild dan severe wear berdasar
laju keausan spesifik.

Gambar 2.3 Mekanisme keausan logam (Hsu dan Shen, 2005).

Untuk memastikan performa yang handal, perkontakan harus dirancang


untuk kondisi operasi pada daerah mild wear. Oleh karenanya, sangat penting
untuk memprediksi tahap keausan dalam proses perancangan. Dan jangan lupa
bahwa tujuan utama dari seluruh kajian tentang keausan, tidak lain adalah
bagaimana memperpanjang umur pakai sebuah rancangan, sehingga performa
rancangan dapat dikatakan handal dari sisi mekanis, kimiawi maupunekonomis.

2.3.3. Jenis-Jenis Keausan


a. Adhsesive Wear
Keausan adhesif adalah salah satu jenis keausan yang disebabkan oleh terikat
dan berpindahnya partikel dari suatu permukaan material yang lemah ke material
yang lebih keras. Pada Gambar 5 proses itu bermula ketika benda dengan
kekerasan yang lebih tinggi menyentuh permukaan yang lemah kemudian terjadi
pengikatan. Pengikatan ini terjadi secara spontan dan dapat terjadi dalam suhu
yang rendah atau moderat. Adhesive wear sering juga disebut galling, scoring,
scuffing, seizure, atau seizin.

Gambar 2.4 Proses perpindahan dari logam secara adhesi

b. Abrasive wear
Keausan abrasif disebabkan oleh hilangnya material dari permukaan
sebuah benda oleh material lain yang lebih keras. Ada dua kategori keausan ini,
yaitu :

1) Two body abrasion


Keausan ini disebabkan oleh hilangnya material karena proses rubbing
(penggarukan) oleh material lain yang lebih keras dibanding material yang lain.
Sehingga mateial yang lunak akan terabrasi. Contohnya pada proses permesinan,
antara lain cutting, atau turning seperti pada Gambar 2.5.

Gambar 2.5 Proses cutting

2) Three body abrasion


Aus yang disebabkan proses galling sehingga serpihan hasil gesekan yang
terbentuk (debris) mengeras serta ikut berperan dalam hilangnya material karena
proses gesekan yang terjadi secara berulang-ulang. Jadi pengertian “tiga benda”
disini adalah dua material yang saling bergesekan dan sebuah benda serpihan hasil
gesekan. Sedangkan pada keausan “dua benda”, debris atau serpihan hasil
gesekan tidak ada.

Gambar 2.6 Perpindahan material karena adhesive wear yang menghasilkan formasi
penggarukan sehingga menyebabkan abrasive wear

Debris berasal dari logam lembaran yang teradhesi pada permukaan alat
cetak, kemudian karena proses pembentukan yang terjadi, serpihan ini akan
menggaruk permukaan pelat, sehingga terjadilah keausan secara abrasif. Gambar
di atas adalah ilustrasi keausan jenis adhesif yang terjadi pada sheet metal forming
antara tool dan logam lembaran yang berlanjut dengan keausan abrasif.

c. Surface Fatigue Wear


Keausan lelah pada permukaan pada hakikatnya bisa terjadi baik secara
abrasif atau adhesif. Tetapi keausan jenis ini terjadi secara berulang-ulang dan
periodik. Hal ini akan berakibat pada meningkatnya tegangan geser. Pada Gambar
2.7 mengilustrasikan tentang pertumbuhan retak pada permukaan benda.
Ketidaksempurnaan dalam struktur material salah satu penyebabnya adalah lokasi
yang kosong yang ada dalam susunan butir pembentuk material.

Gambar 2.7 Ilustrasi dari proses subsurface pertumbuhan retak

Karena tekanan yang terjadi selama gesekan antara dua benda, maka lubang
yang ada akan melebar. Proses berikutnya adalah menyatunya lubang yang telah
melebar tadi menjadi alur retak sehingga perambatan retak yang terjadi akan
mengakibat terlepasnya permukaan menjadi debris.

d. Tribo chemical wear


Keausan kimiawi merupakan kombinasi antara proses mekanis dan proses
termal yang terjadi pada permukaan benda serta lingkungan sekitarnya.

Gambar 2.8 Model interaksi antara agen korosif dan permukaan yang rusak

Sebagai contoh, proses oksidasi yang sering terjadi pada sistem kontak
luncur (sliding contact) antar logam. Proses ini lama kelamaan akan menyebabkan
perambatan retak dan juga terjadi abrasi. Peningkatan suhu dan perubahan sifat
mekanis pada asperiti adalah akibat dari keausan kimiawi. Keausan jenis ini akan
menyebabkan korosi pada logam. Interaksi antara agen korosif dan permukaan
yang rusak seperti terlihat dalam Gambar 2.8. Korosi diawali dengan keausan
adhesif yang merusak lapisan film. Sliding yang terus menerus akan
menghilangkan lapisan. Karena adanya bahan yang reaktif maka korosi
berlangsung dengan cepat.

e. Flow wear
Keausan ini terjadi jika partikel permukaan yang lebih lunak mengalir
seperti meleleh dan tergeser plastis akibat kontak lain seperti gambar 2.9.

Gambar 2.9 Flow wear

2.3.4. Kurva Umur Pakai Komponen

Ketika dua permukaan mengalami kontak di bawah pembebanan dan


bergerak relatif terhadap yang lain, maka perubahan kondisi permukaan akan
terjadi. Terkadang perubahan ini terdeteksi seperti perubahan dalam gesekan.
Setelah keadaan awal ini berlangsung, gaya gesek akan mencapai sebuah kondisi
yang disebut dengan steady state (fase tunak), dimana berbagai pengaruh dalam
gesekan mencapai sebuah keseimbangan. Perubahan yang terjadi antara keadaan
saat awal perkontakan dengan steady state disebut running-in. Dalam istilah yang
lain disebut juga breaking-in atau wearing-in. Wearing-in adalah sebutan untuk
perubahan kekasaran antara kondisi awal dan steady state, yaitu berupa
tercapainya geometri yang konformal antara kedua buah permukaan yang saling
kontak (Blau, 1989).

Tahapan keausan dalam hubungannya dengan waktu pakai terdiri atas tiga
tahap (Jamari, 2006). Tahap pertama adalah tahap running-in. Pada tahap ini,
keausan meningkat secara signifikan tetapi laju keausan berkurang seiring dengan
bertambahnya waktu ataupun rolling maupun jarak sliding (lihat Gambar 2.9).

Gambar 2.10 Tiga tahap keausan dan perilakunya (Jamari, 2006).

Tahap kedua adalah steady state dimana keausan masih meningkat tetapi
tidak sebesar saat tahap pertama. Laju keausan (wear rate) telah mengalami
kestabilan linear atau konstan dan tidak berubah dengan berjalannya waktu
ataupun jarak sliding. Keadaan ini berakhir ketika telah terjadi fatigue wear.
Sedangkan tahapselanjutnya adalah wear-out, dimana keausan dan laju aus
mengalami peningkatantajam, sampai akhirnya sebuah permukaan tersebut rusak.
Pada tahap inilah kegagalan lelah mulai berawal.

2.3.5. Pengurangan Keausan


Untuk mengurangi keausan yang terjadi, ada berbagai konsep yang
diterapkan para ahli tribologi selain dengan pemberian cairan pelumas pada
permukaan yang bergesekan. Dalam poses pembentukan lembaran logam, galling
yang terjadi bisa diminimalisasi dengan perlakuan pada pelat ataupun pada alat
pembentuknya.
Gambar 2.11 Skematis galling dalam SMF dan tiga konsep yang digunakan untuk
mengurangi galling
Gambar 2.10 menunjukkan tiga konsep yang berbeda untuk tujuan tersebut.
Gambar (a) adalah ilustrasi galling; (b) adalah pemberian cairan pelumas pada
permukaan pelat; (c) dry lubricant dengan proses pelapisan tipis pada pelat
dengan logam paduan lain; dan (d) pelapisan pada alat pembentuk atau tool.
Pelapisan ini bisa dengan metode physical vapor deposition (PVD) atau
dengan cara chemical vapor deposition (CVD).
2.4. Permasalahan Keausan : Keausan Pada Dinding Silinder

Silinder adalah bagian dari ruang bakar yang digunakan untuk proses
pembakaran campuran bahan bakar dan udara. Pada saat kompresi dan
pembakaran akan menghasilkan tekanan gas yang tinggi, maka diusahakan tidak
terjadi kebocoran pada ruang bakar tersebut, sehingga dapat menghasilkan tenaga
gerak mesin yang optimal. Bila mesin digunakan dalam jangka waktu yang cukup
lama, dinding silinder sedikit demi sedikit akan mengalami keausan.
Gerakan naik turunnya suatu piston pada dinding silinder sebuah motor
bakar lama-kelamaan menjadi lebih longgar yang mengakibatkan kemampuan
mesin menurun, perubahan ukuran dimensi akibat gesekan disebut keausan.
Keausan dalam motor bakar adalah bagian ruang bakar mesin motor bakar yang
penting karena silinder merupakan tempat terjadinya pembakaran bahan bakar
dengan udara dan juga alur gerak bolak, baik piston. Akibat gerakan tersebut akan
terjadi gesekan antara silinder dan cincin piston yang menyebabkan keausan pada
dinding silinder. Keausan tersebut mengatibatkan ukuran silinder menjadi besar
sehingga penyekatan ruang bakar menjadi kurangiahkan menjadi bocor. Adapun
yang menyebabkan keausan tersebut adalah karena gesekan, panas dan tekanan.
Agar keausan silinder tidak terlalu banyak maka diupayakan bahan yang
digunakan tahanan aus dan juga tahan terhadap panas. Juga diusahakan perawatan
yang teratur menyangkut pelumasan dan pendinginan menggunakan media yang
sesuai.
2.4.1. Proses Terjadinya Keausan
Proses pembakaran pada motor bakar terjadi akibat pemampatan bahan
bakar di dalam silinder sehingga menaikkan suhu bahan bakar tekan dalam ruang
bakar, kemudian disemprotkan bahan bakar ke dalam silinder yang bertekanan
tinggi dan udara panas. Setelah bahan bakar bersentuhan dengan udara udara
panas atau loncatan bunga api maka terjadilah proses pembakaran. Proses
pembakaran bahan bakar ini menimbulkan temperature dan tekanan di dalam
silinder menjadi sangat tinggi dan gas pembakaran mampu mendorong piston
dengan tenaga yang besar sehingga tedadi gesekan pada dinding silinder oleh
cincin pada piston. Pemasangan cincin piston pada silinder harus selalu menekan
dinding silinder dengan gaya pegasnya. Hal ini menambah besarnya gaya gesek
cincin terhadap dinding silinder. Peningkatan temperatur yang terjadi pada ruang
bakar menyebabkan terjadinya pemuaian material cincin - piston dan lebih lanjut
mengadakan tekanan ke dinding silinder. Hal ini juga menyumbang besarnya gaya
gesek terhadap dinding silinder. Kekasaran permukaan bidang kontak antara
dinding piston dengan silinder dan dengan adanya gaya gesek yang besar,
menyebabkan keausan pada dinding silinder semakin mudah. Material silinder
memiliki sifat getas, lunak dan tidak tahan panas akan mudah keausan dinding
silinder. Pemilihan bahan silinder sangat diawasi karena silinder memegang
peranan penting lancarnya gerakan piston.

2.4.2. Pemilihan Bahan Silinder


Keausan silinder liner diperparah oleh pemakaian material bermutu rendah
yaitu jumlah komposisi material tersebut yang memiliki ketahanan aus rendah
sangat besar. besi (Fe : 92,95%o), silicon (Si : 2,339yo), karbon (C : 3,108o/o)dan
mangan (Mn : 0,938%) yang merupakan unsure utama pada besi tuang kelabu.
Penambahan silicon pada besi cor akan memperoleh sifat encer (fluidity) dan
sedikit getas. Mangan yang dipadukan akan menambahakan sifat kekuatan pada
besi cor. Besi cor ini memiliki kelebihan agak getas, kekuatan tarik rendah,
kekuatan tekan tinggi dan mempunyai mampu cor sangat baik serta murah dan
paling banyak dipergunakan untuk benda - benda coran. Apabila bahan silinder
terbuat dari bahan dibawah persyaratan yang ditentukan untuk pemakaian ruang
bakar, maka kemungkinan cepat aus besar sekali.
BAB III. KESIMPULAN

Setelah melihat studi beberapa pustaka pada bagian sub-bab sebelumnya,


beberapa catatan penting ini adalah:

1. Keausan didefinisikan sebagai kerusakan permukaan benda yang secara umum


berhubungan dengan peningkatan hilangnya material yang disebabkan oleh
pergerakan relatif benda dan sebuah substansi kontak.
2. Keausan mekanis terbagi atas: (1) Sliding wear, (2) Fretting wear, (3) Abrasive
wear, (4) Erosive wear, dan (5) Fatigue wear. Sedangkan keausan karena adanya
reaksi kimia yaitu: (1) Solution wear, (2) Difusive wear, (3) Oxidative wear, dan
(4) Corrosive wear.
3. Steady state (fase tunak) adalah sebuah tahap lanjutan pasca running-in ketika
dua permukaan mengalami kontak di bawah pembebanan dan bergerak relatif
terhadap yang lain. Dalam tahap ini, koefisien gesek dan laju keausan telah stabil
dan konstan serta tidak berubah dengan berjalannya waktu ataupun jarak sliding.
Dalam kondisi ini juga telah terjadi penyesuaian tekanan kontak, kekasaran
permukaan, permukaan layer, konformalitas permukaan dan pelapisan pelumas
yang efektif pada permukaan.
DAFTAR PUSTAKA
1. I. Syafa’at. 2008. Tribologi, Daerah Pelumasan dan Keausan [publikasi
ilmiah]. Semarang (ID): Universitas Wahid Hasyim.
2. Muhammad Hasry, Yusuf Kaelani. 2014. Studi Eksperimental Keausan
Permukaan Material Akibat Adanya Multi-Directional Contact Friction.
Jurnal Teknik Pomits. 3(1).
3. Hironaka, S. (1984). “Boundary lubrication and lubricants”. Three bond
technical news. (9), 1-6.
4. Gowinda Azhar, Yurianto. (2009) Pengaruh Tempering Terhadap Keausan
Dan Kekerasan Chain Pin Conveyor. Perpustakaan Jurusan Teknik Mesin FT-
UNDIP.

Anda mungkin juga menyukai