Anda di halaman 1dari 31

BAB I

PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Pada umumnya gesekan merupakan suatu hal yang sangat sering kita jumpai
baik di kehidupan sehari-hari maupun dalam dunia industri. Paling sering gesekan
terdapat pada mesin-mesin produksi pada industri. Salah satu akibat yang paling
sering ditimbulkan dari gesekan adalah aus. Keausan ini terjadi akibat adanya
gesekan yang berlebihan yang terjadi pada komponen-komponen mesin. Dengan
terjadinya keausan ini akan menimbulkan kurang maksimalnya kinerja dari mesin
itu sendiri. Sehingga berujung pada kurang maksimal dalam memproduksi suatu
produk.
Maka daripada itu perlunya dipelajari untuk mengatasi permasalahan pada
gesekan dan keausan. Tribologi adalah ilmu yang digunakan untuk menganalisa
fenomena-fenomena diatas. Ilmu yang membahas tentang gesekan, keausan, serta
pelumasan pada permukaan dalam gerak relatif dua benda.
BAB II
PEMBAHASAN

A. Definisi Tribologi
Tribologi adalah ilmu yang membahas tentang gesekan, keausan, dan
pelumasan pada permukaan dalam gerak relatif benda. Berasal dari bahasa Yunani
yaitu tribo yang berarti menggesek atau menggores. Prinsip dari tribologi yaitu
adalah suatu jangkauan dari sebuah gesekan kering (dry sliding) untuk memenuhi
dua permukaan bidang yang bergerak dengan fluid-film lubrication, dan
menghasilkan deformasi elastis pada permukaan sehingga diperlukan
elastodydrodynamic lubrication (EHL).
Tribologi secara saintifik adalah ilmu tentang interaksi permukaan benda
padat yang bergerak dan implikasi yang muncul dari interaksi tersebut.
Permukaan benda yang bergerak terebut biasanya memiliki tekstur yang sengaja
maupun tidak sengaja dibuat setelah proses manufaktur. Karakteristik geometri
dari tekstur sebuah permukaan dapat berupa gelombang (waviness), lay atau
sebuah bentuk permukaan seperti crack yang akan mengelupas dan roughness
atau kekasaran
Dalam karakteristik geometric permukaan yang sangat berpengaruh
terhadap besarnya keausan salah satunya adalah roughness. Roughness adalah
suatu karateristik geometrik dari permukaan yang memiliki perbedaan ketinggiaan
antara permukaan yang puncak dengan permukaan lembahnya. Untuk menghitung
kekasaran dapat menggunakan alat ukur scanning electron micrograph of tie dies.

B. Sejarah Tribologi
Tribologi berasal dari bahasa Yunani, tribos yang artinya menggaruk
(rubbing) atau mendorong sliding). Istilah ini dimunculkan oleh komite dari
Organisasi untuk Kerjasama Ekonomi dan Pengembangan (Organization for
Economic Cooperation and Development) di tahun 1967 [3]. Tribologi adalah
ilmu dan teknologi yang interdisipliner tentang interaksi permukaan dalam

1
pergerakan relatifnya. Dengan kata lain tribology adalah pengetahuan tentang
gesekan (friction), pelumasan (lubrication) dan aus (wear) [3-5].
Definisi dan istilah ini tidak terlalu mengikat dan baku, bahkan para
ilmuwan Cina lebih senang memakai istilah friction engineering daripada
Tribologi [1]. Sejarah tribologi berkembang terus seiring dengan semakin
pesatnya peradaban manusia. Pembuatan roda kemungkinan berawal sekitar 6000
ahun yang lalu. Bangsa Inca yang telah maju peradabannya pun belum
menggunakan prinsip roda [5]. Penggunaan tribologi yang lain muncul dari
permulaan sejarah manusia sejak penggunaan alat pemantik api yang terbuat dari
alat sejenis gerudi panah.

Gambar 1. Bangsa Mesir memindahkan Colossus pd tahun


1880 SM. Lukisan di dalam sebuah gua di El Bersheh [5].

Usaha pemindahan colossus pada Gambar 1, telah membawa bangsa Mesir


kepada perkembangan tribologi yang besar. Ilustrasi dalam bentuk ukiran
menggambarkan penggunaan rol dan alur untuk mengangkut bongkahan batu
besar dan patung Colossus. Dengan 172 orang yang sedang menarik patung besar
yang mempunyai berat kurang lebih 6 x 105 N di sepanjang laluan kayu. Patung
tersebut ditumpu oleh papan luncur. Kalau dilihat lebih teliti, gambar itu
menunjukkan seorang yang sedang berdiri di depan peluncur yang memberikan
semacam pelicin di atas tempat peluncur tersebut. Misalkan setiap rang menarik
dengan daya 800 N sekali geser, maka bisa dihitung koefisien geseknya adalah

2
Jadi monumen Colossus yang memiliki tinggi 59 kaki atau sekitar 21
meter ini adalah salah satu bukti sejarah tentang adanya tribologi pada masa
dahulu. Sebuah benang merah dalam akar sejarah tribology adalah timbulnya
gesekan dari dua permukaan yang bersentuhan. Dari adanya gesekan ini timbullah
ide untuk melakukan pelumasan agar suatu benda bergerak lebih mudah.

C. Teori Gesekan
Leonardo Da Vinci (1452 - 1519) adalah orang pertama yang melakukan
studi kuantitatif pada masalah gesekan. Eksperimen yang dilakukan adalah
meletakkan balok pada bidang datar dan memberikan beban yang digantungkan
untuk membuat balok tersebut bergerak sliding seperti ditunjukkan pada gambar 2
berikut ini.

Gambar 2. Sketsa percobaan gesekan oleh Leonaro Da Vinci (a) balok (b) balok
pada bidang datar (c) balok pada bidang miring

Dengan metode ini, Da Vinci hanya mampu mengukur gesekan statis dan
kemungkinan besar dia tidak menyadari perbedaan antara gesekan statis dan
kinetik Da Vinci menemukan dua hukum gesekan, yaitu :
1. Gesekan yang ditimbulkan oleh beban yang sama akan memiliki nilai
resistansi yang sama pada awal balok bergerak walaupun balok memiliki
panjang dan lebar yang berbeda.
3
2. Gaya gesekan akan menjadi dua kali lipat apabila massa juga dibuat dua
kali lipat.
Da Vinci mendefinisikan koefisien gesekan sebagai rasio dari gaya
gesekan dibagi dengan gaya normal, yang dirumuskan :

Dimana F adalah gaya gesekan, μ adalah koefisien gesekan, dan N adalah


gaya normal. Hukum inilah yang menjadi dasar hukum gesekan hingga sekarang.
Koefisien gesekan tanpa pelumasan (dry friction) sebagai fungsi dari
beban normal tembaga (copper) pada aluminium yang tidak diberi pelumasan
ditunjukkan pada gambar 3.

Gambar 3. Efek gaya normal pada koefisien gesekan untuk tembaga sliding pada
aluminium

Pengujian juga dilakukan oleh Bin-Bin Jia, Tong-Sheng Li, Xu-Jun Liu,
Pei-Hong Cong untuk mendapatkan efek gaya normal pada koefisien gesekan
pada berbagai jenis polimer, yaitu Polyamide 66 (PA66), Polyphenylene Sulfide
(PPS), dan Polytetrafluoroethylene (PTFE) dengan pemberian pelumas dan tanpa
pelumas paraffin, hasilnya seperti diperlihatkan pada gambar 4.

4
Gambar 4. Koefisien gesekan sebagai fungsi gaya normal pada berbagai macam
jenis polimer
Diilhami oleh Da Vinci, hukum mengenai gesekan dirumuskan juga oleh
fisikawan Perancis yaitu Guillaume Amontons (1699) yang menyatakan bahwa
koefisien gesekan tidak bergantung pada luas proyeksi permukaan yang
bersentuhan.
Koefisien gesekan tanpa pelumas dari kayu (wood) sliding pada tembaga
seperti terlihat pada gambar 4, dimana area kontak bervariasi dan gaya normal
dibuat konstan, koefisien gesekan mendekati konstan, mendukung hukum gesekan
Amontons. Koefisien gesekan mungkin tidak mendekati konstan untuk material
lunak seperti polimer dan permukaan yang licin (dimana luasan sesungguhnya
kontak secara efektif sama dengan luasan kontak yang terjadi), sebagai contoh
koefisien gesekan pada roda ban mobil semakin meningkat dengan peningkatan
ukuran lebar dari ban.

Gambar 5. Efek luas proyeksi permukaan pada koefisien gesekan kayu


sliding pada tembaga dengan gaya normal konstan 0.3 N
5
Hukum gesekan yang ketiga dinyatakan oleh fisikawan Perancis C.A
Coulomb (1785) yaitu membedakan antara gaya gesek statis dan kinetis, dan gaya
gesek kinetis tidak berhubungan dengan kecepatan sliding permukaan. Akan
tetapi hukum ini dalam beberapa kasus tidak sesuai dengan hasil percobaan,
karena secara umum koefisien gesek kinetis sebagai fungsi kecepatan sliding
mempunyai tren kemiringan negatif (negative slope), seperti pada gambar 6.

Gambar 6. Koefisien gesekan sebagai fungsi kecepatan sliding untuk titanium


sliding pada titanium pada gaya normal 3N

Material memiliki nilai koefisien gesekan yang beraneka ragam seperti


yang ditunjukkan pada Gambar 7.

6
Gambar 7. Koefisien gesekan dari berbagai jenis material

Hukum Gesekan Amontons-Coulomb. Hukum ini sederhanadan berisi


empat butir postulat [1]:
1) Gaya gesekan pada permukaan yang bersentuhan berbanding lurus dengan gaya
tegak lurus pada permukaan tersebut.
2) Gaya gesekan tidak bergantung pada luas proyeksi permukaan yang
bersentuhan.
3) Gaya gesekan tidak berhubungan dengan kecepatan sliding permukaan.
4) Gaya gesekan statis lebih besar daripada gaya gesekan dinamis

Postulat 1 dan 2, terbukti melalui penelitian (emprically proved) akurat


untuk gesekan benda padat. Sementara itu, postulat 3 dan 4 dalam beberapa
kasus tidak sesuai dengan hasil percobaan. Selama lebih dari dua ratus tahun
hokum gesekan di atas (terutama hukum 1 dan 2) dipakai secara luas dan hampir

7
semua disain alat mekanik modern menerapkan hukum ini. Yang unik, Hukum
Amontons-Coulomb tidak memiliki pembuktian ilmiah yang akurat.
Kehebatan hukum ini terletak pada hasilnya yang sesuai dengan eksperimen
pada banyak kasus. Seolah-olah dua orang ilmuwan itu berkata, "Kami memang
tidak tahu apa yang sebenarnya terjadi. Tapi buktinya hukum ini sesuai
dengan percobaan".

Pada kenyataannya, sampai sekarang tak seorangpun yang


berhasil menguak misteri yang terjadi di lapisan molekul dua permukaan
yang bergesekan. Misalnya pada fenomena anomali kekasaran permukaan
(surface roughness) dan gaya gesekan. Secara sederhana kita akan
mengambil kesimpulan bahwa semakin kecil kekasaran permukaan, artinya
permukaan semakin licin, semakin kecil pula gaya gesekan yang timbul. Namun
ternyata, bila kekasaran permukaan dikurangi terus sampai lebih kecil dari nilai
kekasaran tertentu (kira-kira 0.5 micron,) gaya gesekan berbalik menjadi lebih
besar. Fenomena ini gagal dijelaskan oleh hukum Amontons- Coulomb.
Penggunaan pelumas sudah sejak lama, tetapi Newton merupakan orang pertama
yang mengkaji tentang hal ini. Di awal abad ke-19, Beauchamp Tower
(1899), Osborne Reynolds (1886), Stokes serta Petrof juga ikut berperan dalam
perkembangan tribologi. Hal ini tidak lain karena semakin maju peradaban
manusia dengan ditandainya perkembangan di dunia industri. Selain hokum
Amontons-Coulomb, teori modern tentang friksi dikembangkan oleh
Bowden dan Tabor dengan teorinya yang disebut Adhesive Friction Theory.
Teori ini menjelaskan secara ilmiah hukum 1 dan 2 dari teori Amontons-
Coulomb tetapi tetap saja gagal menjelaskan fenomena gesekan secara tuntas.
Hasilnya, gesekan yang merupakan system sangat sederhana (hanya melibatkan
dua permukaan) tetap menjadi misteri yang membuat peneliti terus
mengembangkan model- model yang telah dan akan diciptakan untuk
mengungkap misteri tersebut.

8
D. Rejim Pelumasan
Pada awal permulaan abad ini perilaku gesekan dalam sistem tribo
telah diselidiki oleh para ahli, diantaranya Stribeck (1902), Hersey
(1915), dan McKee (1927). Biasanya gaya gesek dalam sistem pelumasan di
tribologi digambarkan sebagai fungsi dari satu atau lebih parameter
operasional. Daerah pelumasan terbagi dalam 3 bagian. Yaitu:
1. (Elasto) Hydrodynamic Lubrication ((E)HL);
2. Boundary Lubrication (BL);
3. Mixed Lubriation (ML).
Uraian berikut ini akan membahas tentang ketiga tersebut berdasar
hasil penemuan Stribeck dan pengembangan oleh peneliti lainnya.

1. (Elasto) Hydrodynamic Lubrication ((E)HL)


Di daerah ini tidak ada kontak antar permukaan. Beban yang ada
ditahan semuanya oleh lapisan pelumas diantara dua permkaan yang
bersinggungan. Koefisien gesek () bernilai 0,01. Untuk kasus ini, penggunaan
teori tentang dinamika fluida bisa diterapkan, diantaranya dengan
persamaan Navier- Stokes atau persamaan Reynolds (1886) untuk
menghitung tekanan dan ketebalan lapisan pelumas. Banyak peneliti telah
mengembangkan tentang pengujian algoritma untuk memecahkan persamaan
dalam semua model yang berhubungan dengan masalah lapisan pelumas.
Pelumasan hidrodinamik pada pelat dengan proses pengerjaan dingin diselidiki
oleh Cheng (1970), Atkins (1970), Wilson and Walowit (1971) dan Lught
(1992). Garis kontak dan titik kontak pada pelumasan hidrodinamik diselidiki
oleh Lubrecht (1987) dan Venner (1991). Bagaimanapun, masih
banyak masalah praktek di lapangan yang harus dilakukan dengan kontak fisik
secara eksperimental yang tidak dapat diselesaikan dengan teknik yang berdasar
pada pelumasan lapisan secara penuh (full film lubrication).
2. Boundary Lubrication (BL)
Pada daerah ini terjadi kontak fisik antara permukaan yang saling
berinteraksi. Beban yang ada ditanggung oleh puncak dari kekasaran
9
permukaan atau asperiti yang saling bersinggungan. Koefisien gesek di rejim BL
dengan besaran 0.1< m <0.3. Pada daerah ini aus akan terjadi.

3. Mixed Lubrication (ML)


Rejim ML adalah daerah yang terletak antara BL dan (E)HL. Beban kontak
ditanggung sebagian oleh pelumas dan sebagian lagi oleh interaksi puncak
kekasaran permukaan. Besaran koefisien gesek yaitu 0,01 < m <0,1. Di tahun
1988 Schipper telah membuat model berdasar daerah mixed lubrication.
Kebanyakan model adalah kombinasi dari dua daerah/rejim walaupun dalam
kenyataannya prediksi gesekan dari operasi yang bekerja di bawah kondisi
ML masih perlu penelitian lebih lanjut [6].

Gambar 8. Generalisasi kurva stribeck [6].

Pada penyelidikan Stribeck (1902) tentang koefisien gesek dalam


kecepatan poros pada bantalan, kurva yang dihasilkan terkenal dengan sebutan
“Kurva Stribeck”. Dalam kurva ini hubungan antara m dan kecepatan poros
seperti terlihat dalam Gambar 2.
Peneliti berikutnya yaitu Schipper membuat model yang dibangun
berdasar koefisien gesek sebagai fungsi dari kombinasi dari
parameter

Dimana H diturunkan dari bilangan


yang sebelumnya telah diperkenalkan pertama kali oleh Harsey (1915) dalam
penelitiannya tentang bantalan jurnal. Di sini Z adalah viskositas dari pelumas
10
dalam cP (centi Poise), n adalah besaran putaran poros tiap menit dan pproj
adalah beban per unit pada daerah proyeksi dalam lbs/inch2.
Schipper juga memperkenalkan bilangan
Dengan bilangan L ini, efek kontak pelumasan dari kekasaran permukaan dalam
aspek tribologi bisa tercakup. Penggunaan dari L sebagai penggantian H
dihasilkan dalam “generalisasi” kurva Stribeck. Pada Gambar 2 generalisasi kurva
tersebut dapat dilihat tiga rejim. Rejim batas (boundary regime) adalah keadaan di
bagian sebelah kiri kurva. Koefisien gesek di sini disebut mBL. Di sebelah kanan
dari kurva adalah bagian (elasto) hydrodynamic. Daerah diantara kedua rejim
tersebut adalah daerah campuran (mixed regime). Dalam daerah ini koefisien
gesek tergantung pada besarnya bilangan L. Pada gambar tersebut garis titik-titik
merupakan transisi antara rejim pelumasan, masing-masing adalah transisi
BL/ML pada LBL dan transisi ML/(E)HL pada LEHL.

Gambar 9. Model dari mixed lubrication [3].

Model dari ML seperti terlihat dalam Gambar 9. Pada keadaan ini


ketebalan lapisan film lebih kecil dibandingkan dengan (E)HL. Pengurangan
ketebalan ini seiring dengan berkurangnya beban dan tekanan kontak. Profil
tekanan film dalam (E)HL memilki bentuk runcing yang disebabkan oleh
benturan kontak antar asperiti. Jika dilihat secara detail maka kontak terjadi secara
intermolekul. Bentuk gambaran kasar asperiti yang berada dalam ketiga rejim
seperti terlihat pada Gambar 10.

11
Gambar 10. Bentuk asperiti pada ketiga rejim pelumasan [2].

E. Istilah Dalam Pelumasan


Mengetahui istilah-istilah yang ada pada pelumas, maka kita akan tahu
persis baik tidaknya atau tepat tidaknya penggunaan suatu pelumas:

1. Viscosity
Viscosity adalah kekentalan suatu minyak pelumas yang merupakan
ukuran kecepatan bergerak atau daya tolak suatu pelumas untuk mengalir. Pada
temperatur normal, pelumas dengan viscosity rendah akan cepat mengalir
dibandingkan pelumas dengan viscosity tinggi. Biasanya untuk kondisi operasi
yang ringan, pelumas dengan viscosity rendah yang diajurkan untuk digunakan,
sedangkan pada kondisi operasi tinggi dianjurkan menggunakan pelumas dengan
viscosity tinggi.

Gambar 11. Viskositas Pelumas SAE

12
2. Viscosity Index (Indeks viskositas)
Merupakan kecepatan perubahan kekentalan suatu pelumas ddikarenakan
adanay perubahan temperatur. Makin tinggi VI suatu pelumas, maka akan
semakin kecil terjadinya perubahan kekentalan minyak pelumas meskinpun terjadi
perubahan temperatur. Pelumas biasa dapat memiliki VI sekitar 100, sedang yang
premium dapat mencapai 130, untuk sithetis dapat mencapai 250.

3. Flash point/titik nyala suatu pelumas


Flash point/titik nyala suatu pelumas adalah menunjukkan temperatur
kerja suatu pelumas dimana pada kondisi temperatur tsb akan dikeluarkan uap air
yang cukup untuk membentuk campuran yang mudah terbakar dengan udara.

4. Fire point
Fire point adalah menunjukkan pada titik temperatur dimana pelumas akan
dan terus menyala sekurang-kurangnya selama 5 detik.

5. Pour point
Pour point merupakan titik tempratur dimana suatu pelumas akan berhenti
engalir dengan leluasa.

6. Cloud point
Cloud point keadaan dimana pada temperatur tertentu maka lilin yang larut
didalam minyak pelumas akan mulai membeku..

7. Aniline point
Aniline point merupakan pentunjuk bahwa minyak pelumas tertentu sesuai
sifat-sifatnya dengan sifat-sifat karet yang digunakan sebagai seal dan slang. Hal
ini ditetapkan sebagai temperatur dimana volume yang sama atau seimbang dari
minyak pelumas adan aniline dapat dicampur.

8. Neutralisation Number or Acidity


Neutralisation Number or Acidity merupakan ukuran dari alkali yang
diperlukan untuk menetralisir suatu minyak Makin tinggi angka netralissasi maka
13
akan semakin banyak asam yang ada. Minyak yang masih baru tidak mengandung
asam bebas dan acidity numbernya dapat kurang atau sama dengan 0,1.
Sedangkan pelumas bekas, akan mengandung acidity number yang lebih tinggi.

9. Ash
Apabila pelumas habis terbakar maka akan terbentuk abu (ash) atau abu
sulfat. Hal ini berhubungan dengan pengukuran kemurnian suatu peluma

F. Keausan Beserta Klasifikasinya


Keausan adalah sebuah fenomena yang sering terjadi dalam bidang
engineering. Keausan didefinisikan oleh ASTM adalah sebagai kerusakan
permukaan benda yang secara umum berhubungan dengan peningkatan hilangnya
material yang disebabkan oleh pergerakan relatif benda dan sebuah substansi
kontak (Blau, 1997). Keausan bukan merupakan sifat dasar material, melainkan
respon material terhadap sistem luar (kontak permukaan). Material apapun dapat
mengalami keausan disebabkan oleh mekanisme yang beragam. Akibat negatif
yang ditimbulkan adalah ketahanan (durability) dan kehandalan (reliability) dari
mesin berkurang saat mengalami keausan. Dengan mengetahui volume keausan,
kekasaran permukaan, dan bentuk partikel memberikan informasi penting tentang
keausan.
Pada umumnya, keausan dievaluasi dengan jumlah kehilangan dan
keadaan permukaan yang aus. Derajat keausan dinyatakan dengan wear rate,
specific wear rate , atau wear coefficient. Wear rate didefinisikan sebagai volume
keausan persatuan jarak. Specific wear rate didefinisikan sebagai volume keausan
persatuan jarak dan persatuan beban. Wear coefficient adalah hasil dari specific
wear rate dengan kekerasan (hardness) dari material yang aus.
Pada gambar 2.7 ditunjukkan specific wear rate berbagai materlal logam
dengan berbagai kondisi pelumasan yang menunjukkan distribusi antara range
10-15 hingga 10-1 mm3

14
Distribution of specific wear rate of metallic materials in sliding contact
under different lubrication conditions. (Data from Archard, 1953; Bhansali, 1980;
Hirst, 957; Hokkirigawa, 1997; Holm, 1946; Lancaster, 1978; Rabinowicz, 1980).

Gambar 12. Specific wear rate pada material logam dengan berbagai kondisi
pelumasan

Berikut ini adalah penjelasan dari beberapa mekanisme keausan :

1. Keausan adesif (adhesive wear)

Keausan adesif terjadi bila kontak permukaan dari material atau lebih
mengakibatkan adanya perlekatan (adhesive) anatara satu sama lain, seta
deformasi plastis dan pada akhirnya terjadi pengikatan (bonding) permukaan
material yang satu oleh yang lain, seperti ditunjukkan pada gambar 13 dan
mekanismenya pada gambar 14.
Faktor yang menyebabkan terjadinya keausan adesif antara lain
kontaminasi permikaan dan terjadinya ikatan (bonding) antar molekul pada
material, yaitu ikatan ion, kovalen, ikatan logam, atau ikatan van der wall dari
material yg bergesekan.

15
Gambar 13. Pengamatan micrographs keausan adesif

Gambar 14. Mekanisme keausan adesif

Gambar 15 berikut adalah gambar hipotesis model permukaan partikel dua


material yang sedang mengalami gesekan pada saat sliding.

Gambar 15 Hipotesis model partikel setengah bola yang bergesekan pada


saat sliding

Jika diasumsikan titik kontak n dan total jumlah titik kontak konstan
selama sliding, dengan asumsi radius partikel a seperti pada gambar 15, maka
volume keausan dari partikel yang berbentuk setengah bola adalah :

(2.2)
Berdasarkan asumsi diatas, volume keausan V untuk n titik kontak setelah
menempuh sliding distance L, maka dapat dirumuskan :

16
(2.3)
Karena tekanan kontak dalam kondisi deformasi plastis sama dengan nilai
kekerasan (hardness) H dari material yang aus dan beban normal F diberikan pada
material, maka luasan total kontak dapat dinyatakan :

(2.4)
Dengan mensubstitusi persamaan (2.3) pada persamaan (2.4) akan
diperoleh :

(2.5)

Persamaan (2.5) menunjukkan bahwa volume keausan adesif proporsional dengan


beban normal dan sliding distance, tetapi tidak proporsional dengan kekerasan
dari material.
Untuk mengakomodasi semua variabel, parameter Kad diperkenalkan
sebagai pengubah, sehingga volume keausan menjadi :

(2.6)
Persamaan (2.5) biasa disebut sebagai persamaan archard, dimana Kad
disebut koefisien keausan untuk keausan adesif, secara fisik Kad adalah fraksi
volume keausan pada daerah kontak plastis. Untuk material logam, koefisien
gesekan Kad bervariasi diantara 10-7 hingga 10-2 tergantung kondisi operasional
dan properties material (Archard,1953; Hirst, 1957).
Dalam text book “Friction, wear, Lubrication” oleh Kenneth C Ludema
persamaan Archard dapat juga dituliskan sebagai berikut :

(2.7)

17
Ψ adalah time rate of wear atau wear rate dengan satuan m3/s, W adalah
beban dengan satuan N, v adalah sliding speed dengan satuan m/s, H adalah
hardness material dengan satuan Pa, sedangkan k adalah wear coefficient tanpa
satuan.

2. Keausan abrasif (abrasive wear)

Terjadi bila suatu partikel keras dari material tertentu meluncur pada
permukaan material lain yang lebih lunak sehingga terjadi penetrasi atau
pemotongan material yang lebih lunak, seperti diperlihatkan pada gambar 16 dan
mekanismenya pada gambar 17.

Gambar 16. Pengamatan micrographs keausan abrasive

Gambar 17. Mekanisme keausan abrasif

Untuk mengetahui volume keausan material yang ditimbulkan oleh


keausan abrasif, diasumsikan sebuah model kontak berbentuk kerucut bersudut θ
dan kedalaman identasi abrasif d seperti ditunjukkan pada gambar 18 dibawah.

18
Gambar 18 Model keausan abrasif oleh identor berbentuk kerucut

Berdasarkan model, volume keausan V yang disebabkan identor setelah


menempuh sliding distance sejauh L adalah :
(2.8)

Karena tekanan normal kontak pada kondisi plastis diasumsikan nilai


hardness H dari material yang aus dan luasan kontak π.(d.tan θ)2/2 dapat
dinyatakan sebagai berikut :

(2.9)
Substitusi persamaan (2.9) kedalam persamaan (2.8) diperoleh volume
keausan V sebagai berikut :

(2.10)

Untuk mengakomodasi semua variabel, parameter Kab diperkenalkan


sebagai pengubah, sehingga volume keausan menjadi :

(2.11)
Keausan abrasif untuk logam bervariasi antara 10-4 dan 10-1 (Rabinowicz,
1980) tergantung kondisi kontak dan properties material.
Ada dua kategori keausan ini, yaitu:
1. Two body abrasion
Keausan ini disebabkan oleh hilangnya material karena proses rubbing
(penggarukan) oleh material lain yang lebih keras dibanding material yang lain.
Sehingga mateial yang lunak akan terabrasi.
19
2. Three body abrasion
Aus yang disebabkan proses galling sehingga serpihan hasil gesekan
yang terbentuk (debris) mengeras serta ikut berperan dalam hilangnya material
karena proses gesekan yang terjadi secara berulang- ulang. Jadi pengertian “tiga
benda” disini adalah dua material yang saling bergesekan dan sebuah benda
serpihan hasil gesekan. Sedangkan pada keausan “dua benda”, debris atau
serpihan hasil gesekan tidak ada.

Gambar 18. Perpindahan material karena adhesive wear yang


menghasilkan formasi penggarukan sehingga menyebabkan abrasife wear [4].

Debris berasal dari logam lembaran yang teradhesi pada permukaan alat
cetak, kemudian karena proses pembentukan yang terjadi, serpihan ini akan
menggaruk permukaan pelat, sehingga terjadilah keausan secara abrasif. Gambar 9
di atas adalah ilustrasi keausan jenis adhesif yang terjadi pada sheet metal forming
antara tool dan logam lembaran yang berlanjut dengan keausan abrasif.

3. Keausan Lelah (fatigue wear)


Keausan lelah merupakan mekanisme yang relatif berbeda dibandingkan
dengan dua mekanisme sebelumnya, yaitu dalam hal interaksi permukaan. Baik
keausan adesif maupun abrasif melibatkan hanya satu interaksi, sementara pada
keausan lelah dibutuhkan multi interaksi.
Keausan ini terjadi akibat interaksi permukaan dimana permukaan yang
mengalami beban berulang akan mengarah pada pembentukan retak-retak mikro.
Retak-retak mikro tersebut pada akhirnya menyatu dan menghasilkan
pengelupasan material. Jadi, volume material yang hilang oleh keausan lelah
bukanlah parameter yang terlalu penting, tetapi yang lebih penting adalah umur

20
material setelah mengalami revolusi putaran atau waktu sebelum keausan lelah
muncul. Gambar 19 menunjukkan kegagalan lelah yang terjadi pada ball bearing
dan Gambar 20 menunjukkan mekanisme keausan lelah

Gambar 19 Keausan Lelah pada ball bearing

Gambar 20 Mekanisme keausan lelah

4. Keausan Korosif (corrosive wear)


Proses kerusakan dimulai dengan adanya perubahan kimiawi material di
permukaan oleh factor lingkungan. Kontak dengan lingkungan ini menghasilkan
pembentukan lapisan pada permukaan dengan sifat yang berbeda dengan material
induk. Sebagai konsekuensinya, material akan mengarah kepada perpatahan
interface antara lapisan permukaan dan material induk dan akhirnya seluruh
lapisan permukaan itu akan tercabut. Gambar 21

Gambar 21. Keausan korosif pada baja


21
Gambar 22. Mekanisme keausan korosif

Berikut merupakan diagram alir yang menunjukkan berbagai macam


mekanisme keausan yang timbul akibat efek kontak permukaan.

Gambar 23. Berbagai macam mekanisme keausan yang timbul karena efek kontak
permukaan
Beragam klasifikasi keausan beserta mekanismenya telah menjadi kajian
seputar Tribologi, diantaranya pula mild wear dan severe wear. Dalam logam,
“severe” wear berhubungan dengan material yang besar dari serpihan (debris)
logam akibat proses sliding, sedangkan “mild” wear adalah serpihan yang lebih
halus dan terbentuk dari partikel oksida (Adachi, 1997). Untuk keramik, “severe”
wear dihubungkan dengan patah rapuh (brittle fracture), sedangkan “mild” wear
dihasilkan dari hilangnya permukaan benda dari sebuah reaksi hydrasi.

22
5. Tribo chemical wear
Keausan kimiawi merupakan kombinasi antara proses mekanis dan proses
termal yang terjadi pada permukaan benda serta lingkungan sekitarnya.

Gambar 25. Model interaksi antara agen korosif dan permukaan yang rusak [3].

Sebagai contoh, proses oksidasi yang sering terjadi pada sistem kontak
luncur (sliding contact) antar logam. Proses ini lama kelamaan akan menyebabkan
perambatan retak dan juga terjadi abrasi. Peningkatan suhu dan perubahan sifat
mekanis pada asperiti adalah akibat dari keausan kimiawi. Keausan jenis ini akan
menyebabkan korosi pada logam. Interaksi antara agen korosif dan permukaan
yang rusak seperti terlihat dalam Gambar 11. Korosi diawali dengan keausan
adhesif yang merusak lapisan film. Sliding yang terus menerus akan
menghilangkan lapisan. Karena adanya bahan yang reaktif maka korosi
berlangsung dengan cepat.

G. Pengurangan Keausan
Untuk mengurangi keausan yang terjadi, ada berbagai konsep yang diterapkan
para ahli tribology bisa diminimalisasi dengan perlakuan pada pelat ataupun
pada alat pembentuknya.

23
Gambar 26. Skematis galling dalam SMF dan tiga konsep yang digunakan untuk
mengurangi galling [4].

Gambar 26 menunjukkan tiga konsep yang berbeda untuk tujuan tersebut.


Gambar (a) adalah ilustrasi galling; (b) adalah pemberian cairan pelumas pada
permukaan pelat; (c) dry lubricant dengan proses pelapisan tipis pada pelat
dengan logam paduan lain; dan (d) pelapisan pada alat pembentuk atau tool.
Pelapisan ini bisa dengan metode physical vapor deposition (PVD) atau dengan
cara chemical vapor deposition (CVD).

H. Pengujian Keausan Material

Berbagai macam alat uji keausan yamg digunakan untuk menguji keausan
antara lain terdapat pada gambar 27.

24
Gambar 27 Berbagai macam alat uji keausan (a) pin-on-disk (b) pin-on-flat (c)
pin-on-cylinder (d) thrust washer (e) pin-into-bushing (f) rectangular flats on
rotating cylinder, (g) crossed cylinder (h) four ball

Berikut ini adalah penjelasan singkat mengenai macam – macam


tribometer seperti yang disebutkan pada gambar 27.
1. Pin-on-Disk
Pada pin-on-disk tribometer, pin ditahan diam dan disk berotasi. Pin dapat
berupa bola yang tidak berotasi, ujung pon berupa setengah bola, atau
ujung berbentuk flat atau datar, seperti ditunjukkan pada gambar (27a) Tes
ini paling sering diaplikasikan utuk pengembangan material pada aplikasi
tribologi.

25
2. Pin-on-Flat Reciprocating
Pada pengujian ini, plat bergerak translasi bolak - balik dan pin ditahan
diam, atau sebaliknya pin plat yang diam dan pin bergerak bolak - balik,
seperi yang ditunjukkan pada gambar (27b) Pin dapat berupa sebuah bola,
ujung setengah bola, atau silinder dengan ujung flat atau datar.
3. Pin-on-cylinder ( Edge Loaded )
Pengujian ini sama dengan pengujian pin-on-disk, kecuali beban pada pin
bergesekan dengan permukaan yang melingkar pada disk seperti yang
ditunjukkan pada gambar (27c). Pin dapat berupa silinder dengan ujung
datar atau setengah bola.
4. Thrust Washer ( Face Loaded )
Pada tes ini permukaan datar silinder atau ring (washer) berotasi diatas
permukaan datar ring yang diam, dan beban diberikan pada permukaan
datar ring yang diam, seperti yang ditunjukkan pada gambar (27d). ring
dapat berupa silinder pejal atau silinder berlubang di bagian tengahnya.
Tes ini biasanya digunakan untuk menguji material yang tegangannya
rendah, seperti jurnal bearing.
5. Pin-into-Bushing ( Edge Loaded )
Pada pengujian ini, gaya axial diberikan untuk menekan tabung seperti
ditunjukkan pada gambar (27e).
6. Rectangular Flats on Rotating Cylinder ( Edge Loaded )Pada pengujian
ini, dua balok mengapit silinder yang berputar, dimana satu balok diam
dan balok yang lainnya diberi beban seperti ditunjukkan pada gambar
(27f).
7. Crossed Cylinder
Pengujian ini terdiri dua silinder yang tengahnya berlubang atau dua
silinder pejal, salah stu diam dan silinder yang lain berotasi dengan sudut
90o seperti ditunjukkan pada gambar (27g).

26
8. Four Ball
Pengujian ini terdiri empat bola yang dibentuk tetrahedral. Bola yang
paling atas berotasi dan menggosok tiga bola dibawahnya yang ditahan
diam pada posisinya, seperti ditunjukkan pada gambar (27h)

Alat uji keausan yang digunakan untuk pegujian keausan polimer yang
dilakukan oleh Bin-Bin Jia, Tong-Sheng Li, Xu-Jun Liu, Pei-Hong Cong seperti
pada gambar 2.20 adalah tribometer dengan tipe kontak pin-on-disk.

Gambar 28. Eksperimental alat uji keausan type pin on disk oleh Bin-Bin Jia,
Tong-Sheng Li, Xu-Jun Liu, Pei-Hong Cong

Specimen yang diujikan adalah berupa tiga macam specimen polimer pin
di gesekkan pada specimen polimer disc yang sama, yaitu polytetrafluoroethylene
(PTFE), polyamide 66 (PA66) dan polyphenylene sulfide (PPS).
Parameter tribologi yang diperoleh dari hasil eksperimen diatas berupa
specific wear rate K, dari persamaan Archard dirumuskan :

(2.12)

Perubahan massa Δm dibagi dengan massa jenis ρ adalah perubahan


volume ΔV, sehingga persmaan (2.12) dapat dituliskan sebagai berikut :

(2.13)

27
Pengujian dilakukan dengan load dan sliding speed yang bervariasi
dengan kondisi tanpa pelumas dan dengan pelumasan, akan dihasilkan grafik
seperti pada gambar 29.

Gambar 29 Efek variasi load (grafik kiri) dan efek variasi sliding speed (grafik
kanan) terhadap specific wear rate material polimer (a) PTFE (b) PA66

28
BAB III
Penutup
Tribologi berasal dari bahasa Yunani yang berarti menggaruk atau
mendorong. Tribologi ialah ilmu yang mempelajari gesekan, aus dan pelumasan.
Dengan tribologi pemborosan energi dapat dihemat. Seiring dengan peradaban
manusia yang makin meningkat maka perkembangan ilmu ini juga meningkat.
Dimulai dari bangsa Mesir, Leonardo da Vinci, Stribeck sampai dengan
peneliti-peneliti sekarang. Daerah pelumasan dibagi menjadi 3 rejim, yaitu:
(Elasto) Hydrodynamic Lubrication, Boundary Lubrication, Mixed Lubrication.
Proses aus terjadi pada Boundary lubrication. Keausan terdiri atas keausan adesif,
keausan abrasif, keausan lelah permukaan dan keausan kimiawi. Usaha yang
dilakukan untuk mengurangi aus diantaranya dengan pelumasan dan coating atau
pelapisan logam pada permukaan.

29
DAFTAR PUSTAKA

Bhushan, Bharat, Principles and Applications of Tribology, John Wiley & Sons
Inc., 1999
K.C. Ludema, Friction, Wear, Lubrication : A Textbook in Tribology, CRC Press
Inc., 1996
Khousary, Michael. Applied of Tribology. John Wiley & Sons Inc., 1999
T. A. Stolarski. Tribology in Machine Design, Butterworth-Heinemann, 2000
[1]http://www.fisikanet.lipi.go.id/utama.cgi?
artikel&1181306819&7, 21/05/2008.
[2]Hironaka, S. (1984). “Boundary lubrication and
lubricants”. Three bond technical news. (9), 1-
6.

[3]Stachowiak, G.W. and A.W. Batchelor. (2000), Engineering Tribology 2nd


Ed., Butterworth- Heinemann.
[4]Carlsson, P. (2005). “Surface engineering in sheet metal forming”. Digital
comprehensive summaries of Uppsala dissertations from the faculty of
science and technology 7, Uppsala Universitet, Uppsala, Sweden.
[5]Halling, J. (1997). “Pengenalan tribologi”.
Penerbit Universiti Teknologi Malaysia.
[6]Ter Haar, R. (1996). “Friction in sheet metal forming, the influence of (local)
contact conditions and deformation”. Ph.D. thesis,
University of Twente, Enschede, the
Netherlands.
[7]Lindvall, F.W. (2007). “Development of test method for measuring
galling resistance”. Master thesis, Karlstads Universitet, Sweden.

30

Anda mungkin juga menyukai