Anda di halaman 1dari 19

LAPORAN PENDAHULUAN TUBERCULOSIS PARU

DI RUANG CENDANA RSUD Prof. Dr. MARGONO SOEKARDJO

STASE KEPERAWATAN MEDIKAL BEDAH

TUTI HARTINI
I4B019004

UNIVERSITAS JENDERAL SOEDIRMAN


FAKULTAS ILMU-ILMU KESEHATAN
PROGRAM PROFESI NERS
PURWOKERTO
2019
A. Latar Belakang
Penyakit TB Paru merupakan penyakit menahun/kronis (berlangsung
lama) dan menular. Penyakit ini dapat diderita oleh setiap orang, tetapi paling
sering menyerang orang-orang yang berusia antara 15 – 35 tahun, terutama
mereka yang bertubuh lemah, kurang gizi atau yang tinggal satu rumah dan
berdesak-desakan bersama penderita TBC. Lingkungan yang lembap, gelap
dan tidak memiliki ventilasi memberikan andil besar bagi seseorang terjangkit
TBC.
Penyakit Tuberkulosis dapat disembuhkan. Namun akibat dari
kurangnya informasi berkaitan cara pencegahan dan pengobatan TBC,
kematian akibat penyakit ini memiliki prevalensi yang besar. Indonesia berada
dalam peringkat ketiga terburuk di dunia untuk jumlah penderita TB. Setiap
tahun muncul 500 ribu kasus baru dan lebih dari 140 ribu lainnya meninggal

B. Pengertian
Tuberkulosis adalah suatu penyakit menular yang disebabkan oleh
kuman Mycobacterium tuberculosis. Terdapat beberapa spesies
Mycobacterium, antara lain: M. tuberculosis, M. africanum, M. bovis, M.
Leprae dsb. Yang juga dikenal sebagai Bakteri Tahan Asam (BTA). Kelompok
bakteri Mycobacterium selain Mycobacterium tuberculosis yang bisa
menimbulkan gangguan pada saluran nafas dikenal sebagai MOTT
(Mycobacterium Other Than Tuberculosis) yang terkadang bisa mengganggu
penegakan diagnosis dan pengobatan TBC. Sebagian besar kuman TB
menyerang paru, tetapi dapat juga mengenai organ tubuh lainnya (Kementerian
Kesehatan RI, 2018).

C. Etiologi
Tuberkulosis adalah penyakit menular langsung yang disebabkan oleh
kuman TB (Mycobacterium Tuberculosis). Sebagian besar kuman TB
menyerang paru, tetapi dapat juga mengenai organ tubuh lainnya.
Mycobacterium tuberkulosis merupakan jenis kuman berbentuk batang
berukuran panjang 1 – 4 mm dengan tebal 0,3 – 0,6 mm. Sebagian besar
komponen M. Tuberkulosis adalah berupa lemak / lipid sehingga kuman
mampu tahan terhadap asam serta sangat tahan terhadap zat kimia dan faktor
fisik. Mikroorganisme ini adalah bersifat aerob yakni menyukai daerah yang
banyak oksigen. Oleh karena itu, M. Tuberkulosis senang tinggal di daerah
apeks paru – paru yang kandungan oksigennya tinggi. Daerah tersebut menjadi
tempat yang kondusif untuk penyakit tuberkulosis.
• Cara penularan
- Sumber penularan adalah pasien TB BTA positif.
- Pada waktu batuk atau bersin, pasien menyebarkan kuman ke udara dalam
bentuk percikan dahak (droplet nuclei). Sekali batuk dapat menghasilkan
sekitar 3000 percikan dahak.
- Umumnya penularan terjadi dalam ruangan dimana percikan dahak berada
dalam waktu yang lama. Ventilasi dapat mengurangi jumlah percikan,
sementara sinar matahari langsung dapat membunuh kuman. Percikan
dapat bertahan selama beberapa jam dalam keadaan yang gelap dan
lembab.
- Daya penularan seorang pasien ditentukan oleh banyaknya kuman yang
dikeluarkan dari parunya. Makin tinggi derajat kepositifan hasil
pemeriksaan dahak, makin menular pasien tersebut.
- Faktor yang memungkinkan seseorang terpajan kuman TB ditentukan oleh
konsentrasi percikan dalam udara dan lamanya menghirup udara tersebut.
• Risiko penularan
- Risiko tertular tergantung dari tingkat pajanan dengan percikan dahak.
Pasien TB paru dengan BTA positif memberikan kemungkinan risiko
penularan lebih besar dari pasien TB paru dengan BTA negatif.
- Risiko penularan setiap tahunnya di tunjukkan dengan Annual Risk of
Tuberculosis Infection (ARTI) yaitu proporsi penduduk yang berisiko
terinfeksi TB selama satu tahun. ARTI sebesar 1%, berarti 10 (sepuluh)
orang diantara 1000 penduduk terinfeksi setiap tahun.
- Menurut WHO ARTI di Indonesia bervariasi antara 1-3%.
- Infeksi TB dibuktikan dengan perubahan reaksi tuberkulin negatif menjadi
positif.
 Risiko menjadi sakit TB
- Hanya sekitar 10% yang terinfeksi TB akan menjadi sakit TB.
- Dengan ARTI 1%, diperkirakan diantara 100.000 penduduk rata-rata
terjadi 1000 terinfeksi TB dan 10% diantaranya (100 orang) akan menjadi
sakit TB setiap tahun. Sekitar 50 diantaranya adalah pasien TB BTA
positif.
- Faktor yang mempengaruhi kemungkinan seseorang menjadi pasien TB
adalah daya tahan tubuh yang rendah, diantaranya infeksi HIV/AIDS dan
malnutrisi (gizi buruk).
- Infeksi HIV mengakibatkan kerusakan luas sistem daya tahan tubuh
seluler (cellular immunity) dan merupakan faktor risiko paling kuat bagi
yang terinfeksi TB untuk menjadi sakit TB (TB Aktif). Bila jumlah orang
terinfeksi HIV meningkat, maka jumlah pasien TB akan meningkat,
dengan demikian penularan TB di masyarakat akan meningkat pula.

D. Patofisiologi
Paru merupakan port d’entrée lebih dari 98% kasus infeksi TB. Karena
ukurannya yang sangat kecil, kuman TB dalam percik renik (droplet nuclei)
yang terhirup, dapat mencapai alveolus. Masuknya kuman TB ini akan segera
diatasi oleh mekanisme imunologis non spesifik. Makrofag alveolus akan
menfagosit kuman TB dan biasanya sanggup menghancurkan sebagian besar
kuman TB. Akan tetapi, pada sebagian kecil kasus, makrofag tidak mampu
menghancurkan kuman TB dan kuman akan bereplikasi dalam makrofag.
Kuman TB dalam makrofag yang terus berkembang biak, akhirnya akan
membentuk koloni di tempat tersebut. Lokasi pertama koloni kuman TB di
jaringan paru disebut Fokus Primer GOHN.
Dari fokus primer, kuman TB menyebar melalui saluran limfe menuju
kelenjar limfe regional, yaitu kelenjar limfe yang mempunyai saluran limfe ke
lokasi fokus primer. Penyebaran ini menyebabkan terjadinya inflamasi di
saluran limfe (limfangitis) dan di kelenjar limfe (limfadenitis) yang terkena.
Jika fokus primer terletak di lobus paru bawah atau tengah, kelenjar limfe yang
akan terlibat adalah kelenjar limfe parahilus, sedangkan jika fokus primer
terletak di apeks paru, yang akan terlibat adalah kelenjar paratrakeal. Kompleks
primer merupakan gabungan antara fokus primer, kelenjar limfe regional yang
membesar (limfadenitis) dan saluran limfe yang meradang (limfangitis).
Waktu yang diperlukan sejak masuknya kuman TB hingga terbentuknya
kompleks primer secara lengkap disebut sebagai masa inkubasi TB. Hal ini
berbeda dengan pengertian masa inkubasi pada proses infeksi lain, yaitu waktu
yang diperlukan sejak masuknya kuman hingga timbulnya gejala penyakit.
Masa inkubasi TB biasanya berlangsung dalam waktu 4-8 minggu dengan
rentang waktu antara 2-12 minggu. Dalam masa inkubasi tersebut, kuman
tumbuh hingga mencapai jumlah 103-104, yaitu jumlah yang cukup untuk
merangsang respons imunitas seluler.
Selama berminggu-minggu awal proses infeksi, terjadi pertumbuhan
logaritmik kuman TB sehingga jaringan tubuh yang awalnya belum
tersensitisasi terhadap tuberculin, mengalami perkembangan sensitivitas. Pada
saat terbentuknya kompleks primer inilah, infeksi TB primer dinyatakan telah
terjadi. Hal tersebut ditandai oleh terbentuknya hipersensitivitas terhadap
tuberkuloprotein, yaitu timbulnya respons positif terhadap uji tuberculin.
Selama masa inkubasi, uji tuberculin masih negatif. Setelah kompleks primer
terbentuk, imunitas seluluer tubuh terhadap TB telah terbentuk. Pada sebagian
besar individu dengan sistem imun yang berfungsi baik, begitu sistem imun
seluler berkembang, proliferasi kuman TB terhenti. Namun, sejumlah kecil
kuman TB dapat tetap hidup dalam granuloma. Bila imunitas seluler telah
terbentuk, kuman TB baru yang masuk ke dalam alveoli akan segera
dimusnahkan.
Setelah imunitas seluler terbentuk, fokus primer di jaringan paru
biasanya mengalami resolusi secara sempurna membentuk fibrosis atau
kalsifikasi setelah mengalami nekrosis perkijuan dan enkapsulasi. Kelenjar
limfe regional juga akan mengalami fibrosis dan enkapsulasi, tetapi
penyembuhannya biasanya tidak sesempurna fokus primer di jaringan paru.
Kuman TB dapat tetap hidup dan menetap selama bertahun-tahun dalam
kelenjar ini.
Kompleks primer dapat juga mengalami komplikasi. Komplikasi yang
terjadi dapat disebabkan oleh focus paru atau di kelenjar limfe regional. Fokus
primer di paru dapat membesar dan menyebabkan pneumonitis atau pleuritis
fokal. Jika terjadi nekrosis perkijuan yang berat, bagian tengah lesi akan
mencair dan keluar melalui bronkus sehingga meninggalkan rongga di jaringan
paru (kavitas). Kelenjar limfe hilus atau paratrakea yang mulanya berukuran
normal saat awal infeksi, akan membesar karena reaksi inflamasi yang
berlanjut. Bronkus dapat terganggu. Obstruksi parsial pada bronkus akibat
tekanan eksternal dapat menyebabkan ateletaksis. Kelenjar yang mengalami
inflamasi dan nekrosis perkijuan dapat merusak dan menimbulkan erosi
dinding bronkus, sehingga menyebabkan TB endobronkial atau membentuk
fistula. Massa kiju dapat menimbulkan obstruksi komplit pada bronkus
sehingga menyebabkan gabungan pneumonitis dan ateletaksis, yang sering
disebut sebagai lesi segmental kolaps-konsolidasi.
Selama masa inkubasi, sebelum terbentuknya imunitas seluler, dapat
terjadi penyebaran limfogen dan hematogen. Pada penyebaran limfogen,
kuman menyebar ke kelenjar limfe regional membentuk kompleks primer.
Sedangkan pada penyebaran hematogen, kuman TB masuk ke dalam sirkulasi
darah dan menyebar ke seluruh tubuh. Adanya penyebaran hematogen inilah
yang menyebabkan TB disebut sebagai penyakit sistemik.
Penyebaran hematogen yang paling sering terjadi adalah dalam bentuk
penyebaran hematogenik tersamar (occult hamatogenic spread). Melalui cara
ini, kuman TB menyebar secara sporadic dan sedikit demi sedikit sehingga
tidak menimbulkan gejala klinis. Kuman TB kemudian akan mencapai
berbagai organ di seluruh tubuh. Organ yang biasanya dituju adalah organ yang
mempunyai vaskularisasi baik, misalnya otak, tulang, ginjal, dan paru sendiri,
terutama apeks paru atau lobus atas paru. Di berbagai lokasi tersebut, kuman
TB akan bereplikasi dan membentuk koloni kuman sebelum terbentuk imunitas
seluler yang akan membatasi pertumbuhannya.
Di dalam koloni yang sempat terbentuk dan kemudian dibatasi
pertumbuhannya oleh imunitas seluler, kuman tetap hidup dalam bentuk
dormant. Fokus ini umumnya tidak langsung berlanjut menjadi penyakit, tetapi
berpotensi untuk menjadi fokus reaktivasi. Fokus potensial di apkes paru
disebut sebagai Fokus SIMON. Bertahuntahun kemudian, bila daya tahan
tubuh pejamu menurun, focus TB ini dapat mengalami reaktivasi dan menjadi
penyakit TB di organ terkait, misalnya meningitis, TB tulang, dan lain-lain.
Bentuk penyebaran hematogen yang lain adalah penyebaran
hematogenik generalisata akut (acute generalized hematogenic spread). Pada
bentuk ini, sejumlah besar kuman TB masuk dan beredar dalam darah menuju
ke seluruh tubuh. Hal ini dapat menyebabkan timbulnya manifestasi klinis
penyakit TB secara akut, yang disebut TB diseminata. TB diseminata ini
timbul dalam waktu 2-6 bulan setelah terjadi infeksi. Timbulnya penyakit
bergantung pada jumlah dan virulensi kuman TB yang beredar serta frekuensi
berulangnya penyebaran. Tuberkulosis diseminata terjadi karena tidak
adekuatnya sistem imun pejamu (host) dalam mengatasi infeksi TB, misalnya
pada balita.
Tuberkulosis milier merupakan hasil dari acute generalized
hematogenic spread dengan jumlah kuman yang besar. Semua tuberkel yang
dihasilkan melalui cara ini akan mempunyai ukuran yang lebih kurang sama.
Istilih milier berasal dari gambaran lesi diseminata yang menyerupai butur
padi-padian/jewawut (millet seed). Secara patologi anatomik, lesi ini berupa
nodul kuning berukuran 1-3 mm, yang secara histologi merupakan granuloma.
Bentuk penyebaran hematogen yang jarang terjadi adalah protracted
hematogenic spread. Bentuk penyebaran ini terjadi bila suatu focus perkijuan
menyebar ke saluran vascular di dekatnya, sehingga sejumlah kuman TB akan
masuk dan beredar di dalam darah. Secara klinis, sakit TB akibat penyebaran
tipe ini tidak dapat dibedakan dengan acute generalized hematogenic spread.
Hal ini dapat terjadi secara berulang.
Pada anak, 5 tahun pertama setelah infeksi (terutama 1 tahun pertama),
biasanya sering terjadi komplikasi. Menurut Wallgren, ada 3 bentuk dasar TB
paru pada anak, yaitu penyebaran limfohematogen, TB endobronkial, dan TB
paru kronik. Sebanyak 0.5-3% penyebaran limfohematogen akan menjadi TB
milier atau meningitis TB, hal ini biasanya terjadi 3-6 bulan setelah infeksi
primer. Tuberkulosis endobronkial (lesi segmental yang timbul akibat
pembesaran kelenjar regional) dapat terjadi dalam waktu yang lebih lama (3-9
bulan). Terjadinya TB paru kronik sangat bervariasi, bergantung pada usia
terjadinya infeksi primer. TB paru kronik biasanya terjadi akibat reaktivasi
kuman di dalam lesi yang tidak mengalami resolusi sempurna. Reaktivasi ini
jarang terjadi pada anak, tetapi sering pada remaja dan dewasa muda.
Tuberkulosis ekstrapulmonal dapat terjadi pada 25-30% anak yang
terinfeksi TB. TB tulang dan sendi terjadi pada 5-10% anak yang terinfeksi,
dan paling banyak terjadi dalam 1 tahun tetapi dapat juga 2-3 tahun kemudian.
TB ginjal biasanya terjadi 5-25 tahun setelah infeksi primer.

E. Tanda dan Gejala


Gejala utama pasien TBC paru yaitu batuk berdahak selama 2 minggu atau
lebih. Batuk dapat diikuti dengan gejala tambahan yaitu dahak bercampur darah, batuk
darah, sesak nafas, badan lemas, nafsu makan menurun, berat badan menurun,
malaise, berkeringat malam hari tanpa kegiatan fisik, demam meriang lebih dari satu
bulan. Pada pasien dengan HIV positif, batuk sering kali bukan merupakan gejala
TBC yang khas, sehingga gejala batuk tidak harus selalu selama 2 minggu atau lebih
(Kementerian Kesehatan RI, 2018).
Gejala penyakit TBC dapat dibagi menjadi gejala umum dan gejala khusus
yang timbul sesuai dengan organ yang terlibat. Gambaran secara klinis tidak terlalu
khas terutama pada kasus baru, sehingga cukup sulit untuk menegakkan diagnosa
secara klinik.
Gejala sistemik/umum:
- Batuk-batuk selama lebih dari 3 minggu (dapat disertai dengan darah)
- Demam tidak terlalu tinggi yang berlangsung lama, biasanya dirasakan malam hari
disertai keringat malam. Kadang-kadang serangan demam seperti influenza dan
bersifat hilang timbul
- Penurunan nafsu makan dan berat badan
- Perasaan tidak enak (malaise), lemah
Gejala khusus:
- Tergantung dari organ tubuh mana yang terkena, bila terjadi sumbatan sebagian
bronkus (saluran yang menuju ke paru-paru) akibat penekanan kelenjar getah
bening yang membesar, akan menimbulkan suara “mengi”, suara nafas melemah
yang disertai sesak.
- Kalau ada cairan dirongga pleura (pembungkus paru-paru), dapat disertai dengan
keluhan sakit dada.
- Bila mengenai tulang, maka akan terjadi gejala seperti infeksi tulang yang pada
suatu saat dapat membentuk saluran dan bermuara pada kulit di atasnya, pada
muara ini akan keluar cairan nanah.
- Pada anak-anak dapat mengenai otak (lapisan pembungkus otak) dan disebut
sebagai meningitis (radang selaput otak), gejalanya adalah demam tinggi, adanya
penurunan kesadaran dan kejang-kejang.
Pada pasien anak yang tidak menimbulkan gejala, TBC dapat terdeteksi kalau
diketahui adanya kontak dengan pasien TBC dewasa. Kira-kira 30-50% anak yang
kontak dengan penderita TBC paru dewasa memberikan hasil uji tuberkulin positif.
Pada anak usia 3 bulan – 5 tahun yang tinggal serumah dengan penderita TBC paru
dewasa dengan BTA positif, dilaporkan 30% terinfeksi berdasarkan pemeriksaan
serologi/darah.

F. Pemeriksaan Penunjang
1. Pemeriksaan Sputum
Pemeriksaan sputum ini penting karena dengan ditemukannya
kuman BTA pada sputum seseorang sudah dapat didiagnosa tuberkulosis
paru.Pemeriksaan sputum juga dapat mengevaluasi pengobatan yang sudah
diberikan. (Zulkifli Amin dan Asril Bahar,2009).
Pemeriksaan ini mudah dan murah, tapi kadang-kadang sulit untuk
mendapatkan sampel sputum. Apabila ditemui kesulitan dalam
mendapatkan sampel maka dapat dilakukan hal sebagai berikut :
- Pada pemeriksaan sputum pasien dianjurkan minum air sebanyak +2liter
dan dianjurkan melakukan reflek batuk.
- Memberi tambahan obat-obat mukolitik eks-pektoran atau dengan
inhalasi larutan garam hipertonik selama 20-30 menit. (Zulkifli Amin dan
Asril Bahar, 2009)
Sputum yang diperiksa terdiri dari 3 spesimen, yaitu :
- Dahak setempat pertama ketika pasien datang
- Dahak pagi hari berisi semua dahak yang terkumpul selama 1-2 jam
pertama
- Dahak setempat kedua ketika pasien kembali membawa dahak pagi hari
(Jhon Crofton, 2002).
Cara pemeriksaan sediaan sputum yang dilakukan adalah :
- Pemeriksaan sediaan langsung dengan mikroskop biasa
Dengan sediaan pulasan yang dipakai ialah menurut Wright-Giemza,
pulasan gram dan pulasan terhadap kuman tahan asam, yang penting
adalah Ziehl-Nesslen dan pulasan gram.Untuk pemeriksaan gram lebih
bermakna, sebaiknya sputum yang diperoleh dicuci beberapa kali dengan
larutan gram steril supaya kuman-kuman yang melekat hanya pada
unsur-unsur sputum dan yang tidak berasal dari bronkus menjadi
hanyut.Jika hendak memakai sputum yang dipekatkan terlebih dulu untuk
mencari bakteri tahan asam, carilah sebagian dari sputum ituyang berkeju
atau yang purulent untuk dijadikan sediaan yang lebih tipis. (Zulkifli
Amin dan Asril Bahar, 2009).
Pemeriksaan sediaan langsung dengan mikroskop fluoresense
dengan sinar ultraviolet.Walaupun sensitivitasnya tinggi sangat jarang
dilakukan karena pewarnaan yang dipakai (auraminro-damin) dicurigai
bersifat karsinogenik. (Zulkifli Amin dan Asril Bahar,2009).
- Pemeriksaan biakan
Setekah 4-6 minggu penanaman sputum dalam medium biakan koloni
kuman Tuberkulosis mulai tampak.Bila setelah 1 minggu pertumbuhan
koloni tidak juga tampak biakan dinyatakan negative.Sediaan yang
dipakai yaitu Lowenstein Jensen, kudoh atau ogawa. (Zulkifli Amin dan
Asril Bahar,2009). Saat ini sudah dikembangkan pemeriksaan biakan
sputum BTA dengan cara bactee (bactee 400 radio metric system)
dimana kuman sudah dapat dideteksi dalam 7-10 hari. Disamping itu
dengan teknik Polimerase Chain Rection (PCR) dapat dideteksi kuman
BTA lebih cepat. (Zulkifli Amin dan Asril Bahar,2009)
Hasil pemeriksaan dinyatakan positif apabila sedikitnya dua dari tiga
spesimen hasilnya positif. Bila hanya satu spesimen yang positif perlu
diadakan pemeriksaan lebih lanjut foto rontgen dada atau pemerisaan
sputum Sewaktu, Pagi, Sewaktu (SPS) diulang :
a. Kalau hasil rontgen mendukung tuberkulosis paru, maka penderita di
diagnosis sebagai penderita tuberkulosis paru BTA positif.
b. Kalau hasil rontgen tidak mendukung tuberkulosis paru maka
pemeriksaan dahak diulangi dengan SPS lagi.
Apabila fasilitas memungkinkan maka dapat dilakukan pemeriksaan
biakan. Bila 3 spesimen dahak hasilnya negative, diberikan antibiotic
spectrum luas (misal: contrimocsasol atau amoksisilin). Selama 1-2 minggu,
bila tidak ada perubahan, namun gejala klinis tetap mencurigakan
tuberkulosis paru, ulangi pemeriksaan dahak SPS.
a. Kalau hasil SPS positive, maka didiagnosis sebagai penderita
tuberkulosis paru BTA positive
b. Kalau hasil SPS tetap negative, dilakukan pemeriksaan foto rontgen
dada, untuk mendukung diagnosis tuberkulosis paru
1) Bila hasil rontgen mendukung tuberkulosis paru, didiagnosis sebagai
penderita tuberkulosis paru BTA negative rontgen positive
2) Bila hasil rontgen tidak mendukung tuberkulosis paru, pendrita
tersebut bukan tuberkulosis paru
Untuk lebih jelasnya dapat dilihat alur prosedur diagnostik untuk
suspek tuberkulosis paru pada bagian berikut ini :
2. Tes Tuberkulin
Biasanya dipakai tes mantoux yakni dengan menyuntikan 0,1 cc
tuberculin P.P.D (puriviet protein derivative) intrakutan berkekuatan 5 T.U
(Intermediate Streng). Tes tuberculin hanya digunakan untuk menentukan
apakah seorang individu sedang atau pernah mengalami infeksi
M.Tuberculosa, M.bofis, vaksinasi BCG dan mycobacteria pathogen
lainnya.Dasar tes tuberculin ini adalah reaksi alergi tipe lambat. Pada
penularan dengan kuman pathogen baik yang virulen maupun tidak tubuh
manusia akan mengadakan reaksi imunologi dengan dibentuknya antibody
seluler pada permulaan dan kemudian diikuti oleh pembentukan antibody
humoral yang perannya akan menekan antibody seluler. (Zulkifli Amin dan
Asril Bahar, 2009).
Bila pembentukan antibody seluler cukup misalnya pada penularan
dengan kuman yang sngat virulen dan jumlah kuman yang sangat besar atau
pada keadaan dimana pembentukan antibody humoral amatlah berkurang
maka akan mudah terjadi penyakit sesudah penularan. (Zulkifli Amin dan
Asril Bahar, 2009).
Setelah 48-72 jam tuberculin disuntikkan, akan timbul reaksi berupa
indurasi kemerah-merahan yang terdiri dari infiltrasi limfosit yakni reaksi
persenyawaan antara antibody selular dan antigen tuberculin. Banyak
sedikitnya reaksi persenyawaan antibody seluler dan antigen tuberculin amat
dipengaruhi oleh antibody humoral, makin besar pengaruh antibody
humoral makin kecil indurasi yang dihasilkan. (Zulkifli Amin dan Asril
Bahar, 2009).
Klasifikasi tes mantoux intradermal reaksi tuberculin (tuberculin
dengan TU PDD) :
a. Indurasi >5mm diklasifikasikan positive dalam kelompok berikut ini :
 Orang dengan HIV positive
 Baru-baru ini kontak dengan orang yang menderita TB
 Orang dengan perubahan fibrotic pada radiografi dada yang sesuai
dengan gambaran TB lama yang sudah sembuh
 Pasien yang menjalani transplantasi organ dan pasien yang mengalami
penekanan imunitas (menerima setara dengan >15 mg/hari pretmisone
selama >1 bulan)
b. Indurasi >10mm diklasifikasikan positive dalam kelompok berikut ini :
 Baru tiba (<5 tahun) dari Negara yang berprevalensi tinggi
 Pemakaian obat-obatan yang disuntikkan
 Penduduk dan pekerja yang berkumpul pada lingkungan yang berisiko
tinggi (penjara, rumah-rumah perawatan, panti jompo, rumah sakit,
penampungan tunawisma)
 Pegawai laboratorium mikrobiologi
 Orang dengan keadaan klinis pada daerah mereka yang berisiko tinggi
 Anak dibawah usia 4 tahun atau anak-anak dan remaja yang terpanjan
orang dewasa kelompok berisiko tinggi
c. Indurasi >15mm, diklasifikasikan positive dalam kelompok berikut ini :
 Orang dengan faktor risiko TB yang tidak diketahui.
Biasanya hampir seluruh pasien tuberkulosis memberikan reaksi
mantoux yang positive (99,8%). Kelamahan tes ini juga terdapat positive
palsu yakni pada pemberian BCG atau terinfeksi dengan mycobacterium
lain. Negatif palsu lebih banyak ditemui daripada positive palsu.
Hal-hal yang memberikan reaksi tuberculin berkurang (negative
palsu) yakni :
 Pasien yang baru 2-10 minggu terpajan tuberkulosis
 Anergi, penyakit sistemik berat (sarkoidosis, LE)
 Penyakit exsantematous dengan panas yang akut : morbilli, cacar air,
poliomyelitis
 Reaksi hipersensitivitas menurun pada penyakit limforetikuler (Hodgkin)
 Pemberian kortikosteroid yang lama, pemberian obat-obatan
imunosupresi lainnya
 Usia tua, malnutrisi, uremia, penyakit keganasan.
Untuk pasien dengan HIV positive, tes mantoux kurang lebih 5 mm,
dinilai positive.
3. Pemeriksaan Sinar X (Radiologis)
Gambaran rontgen yang memberikan kesan kuat tentang adanya
tuberkulosis adalah :
a. Bagian atas paru menunjukkan bayangan berupa bercak atau bernoduler
b. Kavitas (lubang)
c. Bayangan dengan perkapuran dapat menyebabkan kesulitan dalam
diagnosis. Dapat terjadi pneumonia tau tumor paru di tepat-tepat yang
dulunya terdapat tuberkulosis yang sudah sembuh lalu mengapur.
Bayangan-bayangan lain yang mungkin berkaitan dengan
tuberkulosis adalah:
a. Bayangan bentuk oval atau bundar soliter (tuberkuloma)
b. Kelanainan pada hillus dan mediastinum disebabkan oleh pembesaran
kelenjar limfe (complex primer yang bertahan)
c. Bayangan titik-titik kecil yang tersebar (tuberkulosis millier). (Jhon
Crofton,2002)
4. Pemeriksaan Darah
Pemeriksaan ini kurang mendapatkan perhatian karena hasilnya
kadang-kadang meragukan, hasilnya tidak sensitive dan tidak spesifik.Pada
saat tuberkulosis paru mulai aktifakan mendapatkan jumlah leukosit yang
sedikit meninggi dengan hitung jenis pergeseran ke kiri.Jumlah limfosit
masih dibawah normal.Laju endap darah mulai meningkat.Bila penyakit
mulai sembuh jumlah leukosit kembali normal dan jumlah limfosit masih
meninggi.Laju endap darah mulai turun kea rah normal lagi. (Zulkifli Amin
dan Asril Bahar,2009).
Hasil pemeriksaan darah lain didapatkan juga :
1. Anemia ringan dengan gambaran normokrom dan normositer.
2. Gama globulin meningkat
3. Kadar natrium darah menurun.
Pemeriksaan tersebut juga tidak spesifik. (Zulkifli Amin dan Asril
Bahar,2009).
Pemeriksaa serologis yang pernah dipakai adalah reaksi takahashi.
Pemeriksaan ini dapat menunjukkan proses tuberkulosis masih aktif atau
tidak. Dengan hasil positive pada titer 1/28.Pemeriksaan ini juga kurang
mendapatkan perhatian karena angka-angka positive palsu dan negative
palsunya masih besar. (Zulkifli Amin dan Asril Bahar,2009).
Belakangan ini juga dipakai pemeriksaan serologis yakni PAP-TB
(Perosidase Anti Peroksida).Prinsip pemeriksaan ini adalah menentukan
adanya antibody IgG yang spesifik tergadap antigen M.tuberculosa.sebagai
antigen dipakai polimer sitoplasma m.tuberkulin van bovis BCG yang
dihancurkan secara ultrasonil dan dipsahkan secara ultrasentrifus. Hasil uji
PAP-TB dinyatakan patologis bila pada titer 1:10.000 didapatkan hasil uji
PAP-TB positive.Hasil positive palsu kadang-kadang masih didapatkan
pada pasien reumatik, kehamilan dan masa 3 bulan revaksinasi BCG.Uji ini
dapat membantu mengakkan diagnosis TB aktif serta memantau hasil terapi
dan dapat mendeteksi adanya kekambuhan, juga dapat mengidentifikasi TB
aktif baik diluar paru maupun diparu. (Zulkifli Amin dan Asril Bahar,2009).
Uji serologis lainnya adalah uji mycodot.disini dipakai antigen LAM
(Lipoarabinomanan) yang dilekatkan pada uatu alat yang bebentuk sisir
plastic.Sisir iini dicelupkan kedalam serum pasien. Antibody spesifik anti
LAM dalam serum akan terdeteksi sebagai perubahan warna pada sisir yang
intensitasnya sesuai dengan jumlah antibody. (Zulkifli Amin dan Asril
Bahar,2009).

G. Pathway
Invasi bakteri tuberculosis
sembuh
Infeksi primer

Sembuh dengan focus ghon


Infeksi pasca primer
(reaktivitas)fibrotic Bakteri dorman

Bakteri muncul berapa sembuh dengan


tahun kemudian fibrotik
Reaksi infeksi/inflamsi, kavitas
dan merusak parenkim paru

Produksi secret Reaksi sistematis Ansietas

Batuk produktif Kurang tidur


Anoreksia, mual, BB Lemah Tidak bisa tidur

Ketidakefektifan
bersihan jalan nafas Ketidakseimbangan Intoleransi Gangguan
nutrisi kurang dari aktifitas pola tidur
kebutuhan

H. Pengkajian
a. Pola aktivitas dan istirahat
Fatigue, aktivitas berat timbul sesak (nafas pendek), sulit tidur, berkeringat
pada malam hari
b. Pola Nutrisi
Anorexia, mual, tidak enak diperut, BB menurun
c. Respirasi
Batuk produktif (pada tahap lanjut), sesak nafas, nyeri dada.
d. Riwayat Keluarga
Biasanya keluarga penderita ada yang mempunyai kesulitan yang sama
(penyakit yang sama)
e. Riwayat lingkungan
Lingkungan kurang sehat (polusi, limbah), pemukiman padat, ventilasi
rumah yang kurang, jumlah anggauta keluarga yang banyak.
f. Aspek Psikososial
- Merasa dikucilkan
- Tidak dapat berkomunikasi dengan bebas, menarik diri.
- Biasanya pada keluarga yang kurang mampu.
- Masalah berhubungan dengan kondisi ekonomi, untuk sembuh perlu
waktu yang lama dan biaya yang bayak.
- Masalah tentang masa depan/pekerjaan pasien.
- Tidak bersemangat, putus harapan.
g. Riwayat Penyakit sebelumnya
- Pernah sakit batuk yang lama dan tidak sembuh sembuh.
- Pernah berobat, tetapi tidak sembuh.
- Pernah berobat tetapi tidak teratur (drop out).

I. Diagnosa Keperawatan
1. Resiko tinggi infeksi dan penyebaran infeksi berhubungan dengan :
- Daya tahan tubuh menurun, fungsi silia menurun, sekret yang menetap.
- Kerusakan jaringan akibat infeksi yang menyebar.
- Daya tahan/ resistensi terhadap infeksi rendah
- Malnutrisi
- Terkontaminasi oleh lingkungan.
- Kurang pengetahuan tentang infeksi kuman.
2. Bersihan jalan nafas tak efektif berhubungan dengan :
- Sekresi yang kental, lengket dan berdarah
- Lelah dan usaha batuk yang kurang
- Edema trachea/laring.
3. Gangguan pertukaran gas berhubungan dengan adanya faktor resiko:
- Berkurangnya keefektifan permukaan paru, atelektasis.
- Kerusakan membran alveolar kapiler.
- Sekret yang kental
- Edema Bronkial.
4. Perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan:
- Kelemahan
- Batuk yang sering, adanya produksi sputum,
- Dispnea
- Anorexia
- Penurunan finansial /biaya.
5. Kurangnya pengetahuan (kebutuhan Hygiene), tentang kondisi, pengobatan,
pencegahan, berhubungan dengan :
Tidak ada yang menerangkan, interpretasi yang salah, terbatas
pengetahuan/kognitif, tidak akurat, tidak lengkap imformasi yang didapat.

J. Fokus Intervensi
Prinsip pengobatan TBC adalah harus kombinasi, tidak boleh terputus-
putus dan jangka waktu yang lama. Di samping itu maka perkembangan
ekonomi tersebut dikenal 2 (dua) macam alternatif pengobatan.
• Paduan obat jangka panjang dengan lama pengobatan 18 – 24 bulan, obat
relatif murah.
- Pengobatan intensif : setiap hari 1 – 3 bulan INH +, Rifampicin +
Streptomicyn dan diteruskan dengan.
- Pengobatan intermitten dua kali seminggu sampai satu tahun : INH +
Rifampicin atau Ethambutol.
• Paduan obat jangka pendek dengan lama pengobatan 6 – 9 bulan obat relatif
murah.
- Pengobtan intensif: tiap hari selama 1 – 2 bulan INH + Rifampicin +
Streptomicyn atau Pirazinamid, dan diteruskan dengan
- Pengobatan intermitten 2 – 3 kali seminggu selama 4 – 7 bulan : INH +
Rifampicin atau Ethambutol atau Streptomycin.
DAFTAR PUSTAKA

Anda mungkin juga menyukai