Anda di halaman 1dari 29

65

BAB V

PEMBAHASAN

Penelitian ini bertujuan untuk menggambarkan tingkat pengetahuan pada pasien

kanker nasofaring yang sedang menjalani radioterapi di RSUD Dr. Moewardi

Surakarta. Peneliti akan membahas hasil dari penelitian dan keterbatasan

penelitian pada bab ini.

A. Karakteristik Responden
1. Usia
Hasil penelitian didapatkan data bahwa usia responden yang

paling mendominasi dalam penelitian ini berada pada rentang usia 41-

60 tahun. Hasil penelitian tersebut sesuai dengan penelitian di wilayah

Semarang yang diketahui bahwa insiden kanker nasofaring mengalami

peningkatan setelah usia 20 tahun tetapi tidak ada peningkatan setelah

usia 60 tahun dan mencapai puncaknya pada rentang usia 41-60

tahun.59 Kemudian hasil penelitian Shih-Han Hung dkk (2014)

melaporkan bahwa lebih dari 50% penderita kanker nasofaring berusia

40-59 tahun.64
Kanker nasofaring seringkali dikaitkan dengan infeksi virus

Epsteinbar, mekanisme molekuler dan hubungan patofisiologis dari

karsinogenesis terkait virus Epsteinbar masih belum sepenuhnya jelas.

Namun diketahui agar terjadi kanker nasofaring mula-mula dibutuhkan

infeksi laten dan litik virus Epsteinbar yang diduga disokong oleh

perubahan genetik yang dapat diidentifikasi pada epitel nasofaring


66

premalignan. Setelah itu infeksi laten dan litik terjadi dan

menghasilkan produk-produk tertentu, barulah ekspansi klonal dan

transformasi sel epitel nasofaring premalignan menjadi sel kanker. 63

Pada infeksi laten, DNA dari virus Epsteinbar akan tetap ada didalam

sel yang diinfeksinya sebagai episom dalam waktu yang lama yaitu

sekitar 20-25 tahun tanpa menimbulkan gejala yang kemudian dapat

memicu poliferasi sel dan menyebabkan keganasan.53


Virus Epsteinbar bukan satu-satunya faktor penyebab terjadinya

kanker nasofaring, karena faktor lain seperti kebiasaan sering

mengkonsumsi makanan yang diasinkan atau diawetkan, asap rokok,

paparan formaldehid, faktor genetik, paparan asap kayu bakar dan

debu kayu, serta infeksi kronik Telinga-Hidung-Tenggorokan juga

merupakan faktor risiko untuk terjadinya kanker nasofaring.54 Dalam

proses terjadinya kanker nasofaring diperlukan waktu yang sangat

panjang antara paparan pertama terhadap bahan karsinogen atau faktor

risiko hingga timbulnya kanker, hal tersebut menjadi salah satu alasan

terjadinya peningkatan insiden kanker nasofaring di usia dewasa.60

Hasil penelitian terkait tingkat pengetahuan berdasarkan

karakteristik usia diperoleh bahwa sebagian besar responden dengan

pengetahuan baik adalah kelompok responden berusia 41-60 tahun.

Usia mempengaruhi pola pikir dan kemampuan seseorang dalam

memperoleh informasi. Semakin bertambah usia akan semakin

berkembang pula pola pikir dan kemampuan memperoleh

informasinya sehingga pengetahuan yang diperolehnya semakin


67

membaik.31 Sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh Tiya Yulia

(2012) yang menyebutkan bahwa seseorang yang berada pada rentang

usia 41-65 tahun cenderung memiliki pengetahuan yang luas,

kecakapannya cukup banyak, sehingga perkembangan individu sangat

pesat.68 Akan tetapi, meskipun pengetahuan dan kecakapan individu

tersebut sangat luas, seseorang tidak mungkin dapat menguasai segala

macam ilmu, sehingga pengetahuannya tetap terbatas. 69 Berbeda

dengan penelitian yang dilakukan oleh Ria Setiawati (2013) yang

melaporkan bahwa responden pada rentang usia 21-40 tahun memiliki

tingkat pengetahuan yang lebih baik, dimana tahap perkembangan

kognitif dalam rentang usia tersebut merupakan masa perkembangan

otak paling optimum.66

Pada usia dewasa menjelang lanjut usia kemampuan mengingat

dan menerima hal baru akan menurun sehingga menghambat seseorang

dalam memperoleh dan mengolah informasi dengan baik. Hal tersebut

berkaitan dengan masih adanya sejumlah pasien usia 41-60 tahun yang

memiliki pengetahuan tentang radioterapi yang buruk. Hasil penelitian

ini menunjukkan bahwa aspek usia tidak secara signifikan dapat

mempengaruhi pengetahuan seseorang. Sebuah penelitian yang

dilakukan di Ghana (2015) menyatakan bahwa usia pasien tidak secara

signifikan mempengaruhi pengetahuan, sikap, dan persepsi pasien

terutama mengenai efek samping radioterapi.73 Usia tidak menjadi

satu-satunya faktor yang menentukan baik buruknya tingkat


68

pengetahuan seseorang, karena jika dilihat dari penelitian ini antara

responden yang berpengetahuan baik dan buruk memiliki perbedaan

jumlah yang tidak begitu bermakna, masih ada responden kelompok

usia 20-40 tahun dengan pengetahuan yang buruk, dan masih ada juga

kelompok usia 41-60 tahun yang memiliki pengetahun yang baik,

begitu pula sebaliknya masih ada responden kelompok usia 20-40

tahun dengan pengetahuan yang baik, dan masih ada juga kelompok

usia 41-60 tahun yang memiliki pengetahun yang buruk.

2. Jenis Kelamin
Responden dengan jenis kelamin laki-laki memiliki proporsi yang

lebih tinggi dibandingkan dengan perempuan. Penelitian ini sesuai

dengan literatur, bahwa secara umum ditemukan insiden kanker

nasofaring lebih sering terjadi pada laki-laki daripada perempuan.

Penelitian di Eks-Karesidenan Surakarta (2014) mendapati kasus

dengan proporsi tertinggi penderita karsinoma nasofaring dijumpai

pada laki- laki yaitu sebesar 72,5% sedangkan perempuan dijumpai

sebesar 27,5%.58
Laki-laki lebih banyak menderita kanker nasofaring dibanding

perempuan dengan beberapa kemungkinan yang mungkin

berhubungan dengan adanya faktor gaya hidup, pekerjaan, dan lain-

lain. Perbedaan gaya hidup antara laki-laki dengan perempuan, seperti

kebiasaan merokok dimana jumlah perokok pada laki-laki lebih tinggi

dibanding perempuan.70 Pada beberapa penelitian didapatkan

hubungan yang bermakna antara merokok dengan insiden kanker


69

nasofaring. Sebuah penelitian menemukan bukti tentang hubungan

antara risiko kanker nasofaring dan potensi paparan formaldehyde

yang lebih kuat pada perokok.60 Formaldehyde ini merupakan suatu

senyawa karsinogenik yang dapat menyebabkan keganasan pada

rongga hidung. Kemungkinan lain disebabkan karena laki-laki lebih

banyak beraktifitas di luar rumah dibandingkan perempuan. Akibatnya

laki-laki lebih sering mengalami stress yang menyebabkan penurunan

respon imun.70 Selain itu laki-laki relatif lebih sering kontak dengan

bahan-bahan karsinogenik di tempat bekerja seperti asap kayu bakar

dan debu kayu.60 Debu kayu dapat menyebabkan iritasi dan inflamasi

pada epitel nasofaring sehingga mengurangi kebersihan mukosiliar dan

perubahan sel epitel di nasofaring.70


Jenis kelamin laki-laki dan perempuan jelas sangat berbeda,

tidak hanya dari segi fisik namun dari cara berpikir dan bertindak serta

bagaimana menyikapi suatu masalah.69 Akan tetapi dalam penelitian

yang telah dilakukan, ditinjau dari aspek jenis kelamin, tingkat

pengetahuan antara responden laki-laki tidak jauh berbeda dengan

tingkat pengetahuan pada responden perempuan. Pendapat yang

dikemukakan oleh Notoatmojo menyebutkan bahwa apapun jenis

kelamin seseorang, apabila masih produktif, berpendidikan, atau

berpengalaman, maka ia akan cenderung mempunyai tingkat

pengetahuan yang lebih tinggi.29 Sama halnya dengan hasil penelitian

Lestari yang menegaskan bahwa tidak ada hubungan antara jenis


70

kelamin dengan tingkat pengetahuan, jenis kelamin bukan karakteristik

individu yang berhubungan secara langsung dengan pengetahuan.57


3. Pendidikan Terakhir
Dari penelitian ini diketahui bahwa tingkat pendidikan penderita

kanker nasofaring yang terbanyak adalah tingkat pendidikan rendah

yaitu Sekolah Dasar (SD). Serupa dengan penelitian oleh Wahyu

(2010) di Bandung yang melaporkan bahwa tingkat pendidikan

penderita kanker nasofaring terbanyak adalah Sekolah Dasar (SD).71

Pada umumnya semakin tinggi pendidikan seseorang akan semakin

baik pengetahuannya. Pendidikan merupakan suatu usaha untuk

mengembangkan kepribadian dan kemampuan di dalam dan di luar

sekolah yang berlangsung seumur hidup.55 Latar belakang pendidikan

responden dalam penelitian ini akan mempengaruhi bagaimana cara

berpikir dan mengolah informasi yang diterima.


Hubungan antara tingkat pendidikan dan kejadian kanker secara

tidak langsung juga berhubungan dengan tingkat intelektualitas dan

status sosial ekonomi yang rendah. Pada pasien dengan tingkat sosial

ekonomi yang rendah biasanya tinggal atau bekerja pada lingkungan

yang kurang baik, yaitu tempat yang terpapar bahan-bahan

karsinogenik seperti debu atau udara yang mengandung kromium,

nikel, arsen, asap dari pembakaran dupa, rumput, tembakau, candu,

kemenyan, kayu atau minyak tanah, serta obat nyamuk. 70,71 Selain itu

juga pasien dengan tingkat pendidikan dan sosial ekonomi yang rendah

tidak mengetahui bagaimana cara pencegahan dan deteksi dini pada

suatu penyakit.56
71

Pendidikan adalah suatu proses pengubahan sikap dan tatalaku

seseorang atau kelompok. Pendidikan dapat juga diartikan sebagai

usaha mendewasakan manusia melalui upaya pengajaran dan

pelatihan.29 Notoatmojo menerangkan bahwa konsep dasar pendidikan

adalah suatu proses yang berarti di dalam pendidikan itu terjadi proses

pertumbuhan, perkembangan, atau perubahan ke arah yang lebih

dewasa, lebih baik, dan lebih matang pada diri individu, kelompok

atau masyarakat.40 Dengan pendidikan yang tinggi maka seseorang

akan cenderung untuk mendapatkan informasi, baik dari orang lain

maupun dari media massa. Semakin banyak informasi yang masuk

maka semakin banyak pula pengetahuan yang didapatkan.


Hasil penelitian ini didapatkan bahwa responden dengan tingkat

pengetahuan yang baik cenderung banyak dimiliki oleh responden

dengan pendidikan SMA sementara responden dengan tingkat

pengetahuan yang buruk terbanyak terdapat pada golongan reponden

yang tidak sekolah. Pendidikan formal merupakan jalur yang sangat

penting untuk membangun dan mengembangkan pengetahuan, bakat,

kepribadian, sikap mental, kreativitas penalaran, dan kecerdasan

seseorang. Hal ini sesuai dengan penelitian oleh Kofi et al (2015)

menyebutkan bahwa pendidikan adalah salah satu faktor utama yang

membantu beberapa pasien untuk menunjukkan pengetahuan, sikap,

dan persepsi yang positif terhadap efek samping dan komplikasi dari

radioterapi serta manajemennya.73 Menurut Sondang (2004) dalam

bukunya menyatakan bahwa semakin tinggi pendidikan seseorang


72

maka akan semakin besar kemauannya untuk memanfaatkan

pengetahuan dan keterampilannya terhadap sesuatu.68


Jika tingkat pendidikan berbanding lurus dengan tingkat

pengetahuan, maka dapat dikatakan bahwa latar belakang pendidikan

yang rendah akan menghasilkan tingkat pengetahuan yang rendah

pula. Namun ada hal lain yang perlu dicermati, bahwa semakin sering

seseorang memperoleh informasi maka akan semakin luas wawasan

dan pengetahuam seseorang tentang sesuatu.


4. Pekerjaan
Dari hasil penelitian ini didapatkan bahwa petani merupakan

jenis pekerjaan dengan jumlah penderita karsinoma nasofaring

terbanyak, sebagian lainnya merupakan buruh, pegawai negeri,

pegawai swasta, tidak bekerja, dan pekerjaan lainnya. Melihat

gambaran distribusi responden menurut jenis pekerjaan, dapat

dikatakan bahwa sebagian besar penderita kanker nasofaring di

instalasi radioterapi RSUD Dr. Moewardi Surakarta mempunyai

tingkat sosioekonomi menengah ke bawah. Serupa dengan penelitian

yang dilakukan di Eks-Karesidenan Surakarta (2014) diketahui

gambaran yang tidak jauh berbeda dengan penelitian ini, dimana

sebesar 44,3% penderita kanker nasofaring bekerja sebagai petani

sementara penderita kanker nasofaring yang bekerja sebagai PNS

9,3%.58
Banyaknya kasus kanker nasofaring pada jenis pekerjaan petani

mungkin dikarenakan petani lebih sering terpapar bahan-bahan

karsinogenik sehari-hari, seperti insektisida, benzo pyrenen, benzo


73

anthracene, dan beberapa ekstrak tumbuhan sebagai faktor pemicu

terjadinya kanker nasofaring.65 Selain itu seperti kita ketahui bahwa

petani sering terkena radiasi sinar ultraviolet secara langsung dan dapat

terjadi setiap harinya.60 Selain petani paparan bahan-bahan

karsinogenik juga dapat mengancam pada pekerja sebagai buruh

terkait kejadian kanker nasofaring karena paparan paparan formaldehid

maupun paparan asap pada lingkungan tertentu dapat menjadi faktor

risiko terjadinya kanker nasofaring.60


Berdasarkan penelitian ini kejadian kanker nasofaring juga

terjadi pada kelompok responden dengan latar belakang PNS,

karyawan swasta, serta pekerjaan lainnya. Hal tersebut mungkin

berhubungan dengan faktor risiko terkait pola hidup responden seperti

konsumsi makanan yang diasinkan atau diawetkan, merokok, maupun

faktor genetik.
Pekerjaan merupakan aktivitas rutin yang bersifat ekonomis

karena mampu mengasilkan pendapatan.69 Pekerjaan mempunyai

makna yang sangat penting dalam kehidupan manusia karena

pekerjaan merupakan sumber penghasilan seseorang untuk memenuhi

kebutuhan hidup bagi dirinya dan keluarganya. Secara umum

pekerjaan berhubungan dengan sosial ekonomi seseorang yang akan

mempengaruhi seseorang dalam mencari pelayanan kesehatan.

Kenyataan yang sering ditemui dalam masyarakat yaitu, seseorang

dengan pekerjaan yang mapan dan tingkat ekonomi yang tinggi


74

cenderung memiliki kemampuan lebih cepat dalam menerima

informasi, sehingga pengetahuan mereka lebih luas.60


Berdasarkan karateristik pekerjaan, responden dengan

pengetahuan yang baik cenderung dimiliki oleh kelompok responden

yang tidak bekerja yang hampir seluruhnya merupakan ibu rumah

tangga, sementara responden dengan pengetahuan yang buruk lebih

banyak dimiliki kelompok responden dengan latar belakang pekerjaan

sebagai buruh. Pekerjaan memang tidak berhubungan secara langsung

dengan tingkat pengetahuan seseorang, namun interaksi yang terjadi

selama seseorang bekerja dapat berhubungan dengan tingkat

pengetahuan. Interaksi yang dilakukan seseorang dengan orang lain

selama melakukan pekerjaan, tidak hanya berkaitan dengan pekerjaan

tersebut, mungkin saja berhubungan dengan tema-tema lain misalnya

kehidupan rumah tangga dan masalah kesehatan. Seperti halnya pada

ibu rumah tangga, meskipun tidak bekerja secara formal namun dalam

kenyataannya ibu rumah tangga lebih banyak memiliki waktu untuk

berinteraksi dengan orang lain baik keluarga, tetangga, maupun orang

lain disekitarnya. Ketika interaksi yang dilakukan membahas topik

mengenai sebuah penyakit maka secara tidak disadari pengetahuan

seseorang tentang penyakit tersebut meningkat. Begitu pula yang

terjadi pada kelompok pekerjaan yang lainnya, hanya saja yang

membedakan adalah lingkungan dimana interaksi tersebut terjadi. Jika

interaksi terjadi pada lingkungan yang berisi orang-orang dengan latar

belakang pendidikan tinggi maka kemungkinan terjadinya peningkatan


75

pengetahuan akan lebih besar. Dari hasil penelitian ini dapat

dilaporkan bahwa pekerjaan tidak secara langsung berhubungan

dengan tingkat pengetahuan seseorang. Sesuai dengan penilitian oleh

Lestari yang menuliskan bahwa apapun jenis pekerjaan yang dimiliki

responden tidak membawa dampak pada tingkat pengetahuan

seseorang.60
5. Pengalaman Pendidikan Kesehatan
Pemberian pendidikan kesehatan secara teratur dan regular

dengan materi yang sederhana, metode yang tepat, pemberi materi

yang adekuat, dan waktu yang sesuai diharapkan dapat meningkatkan

pengetahuan seseorang secara bermakna terhadap sikap, dan

keterampilan seseorang dalam perawatan mandiri selama radioterapi.


Pengalaman pendidikan kesehatan merupakan informasi yang

dapat meningkatkan pengetahuan seseorang. Informasi tersebut dapat

memberikan pengaruh jangka pendek sehingga menghasilkan

perubahan atau peningkatan pengetahuan. Pengalaman dapat diperoleh

dari pengalaman sendiri maupun dari orang lain. Pengalaman yang

sudah diperoleh dapat memperluas pengetahuan seseorang.28 Meskipun

seseorang memiliki pendidikan yang rendah tetapi jika ia pernah

mendapatkan pengalaman pendidikan kesehatan, maka besar

kemungkinan hal tersebut dapat meningkatkan pengetahuan seseorang.


Dari penelitian ini diketahui bahwa sebagian besar responden

pernah mendapatkan pengalaman pendidikan kesehatan tentang

radioterapi dari dokter. Adanya kontrol rutin yang dilakukan dengan

dokter memberi peluang bagi pasien untuk memperoleh informasi


76

kesehatan tentang radioterapi. Hasil penelitian diperoleh responden

dengan tingkat pengetahuan yang baik sebagian besar terdapat pada

kelompok responden yang pernah mendapat pendidikan kesehatan. Hal

tersebut menunjukkan bahwa ada keterkaitan antara tingkat

pengetahuan dengan pengalaman pendidikan kesehatan. Sesuai dengan

penelitian yang dilakukan oleh Arta Winangsit (2014) yang

melaporkan adanya peningkatan pengetahuan pada kelompok yang

diberikan pendidikan kesehatan dibandingkan dengan kelompok

responden yang tidak mendapat pendidikan kesehatan.61


Pendidikan kesehatan tentang radioterapi yang dilakukan

sebelum pelaksanaan radioterapi tidak menjamin seseorang untuk

memiliki pengetahuan yang baik tentang radioterapi, karena terdapat

sejumlah responden yang pernah mendapatkan pendidikan kesehatan

tentang radioterapi masih memiliki pengetahuan yang buruk tentang

radioterapi. Hal ini dapat terjadi karena sebagian besar responden

merupakan responden pada kelompok usia dewasa menjelang lanjut

usia, dimana pada rentang usia tersebut kemampuan mengingat dan

menerima informasi baru akan menurun sehingga menghambat

seseorang dalam memperoleh dan mengolah informasi dengan baik.


6. Stadium dan Lamanya Terdiagnosa Kanker Nasofaring
Dilihat dari pola pengobatan yang didapatkan oleh pasien yang

berobat di Instalasi Radioterapi RSUD Dr. Moewardi Surakarta,

sebagian pasien yang melakukan radioterapi sebelumnya pernah

mendapat pengobatan kemoterapi. Hal tersebut mengindikasikan

bahwa pasien yang pernah menjalani kemoterapi sebelum melakukan


77

radioterapi berada pada kanker nasofaring stadium lanjut. Sebuah

penelitian melaporkan bahwa penggunaan radioterapi pada stadium I

memiliki respon lebih baik dengan presentasi kelangsungan hidup dan

ketahanan hidup sebesar 98%, sementara penderita kanker nasofaring

stadium II-IV direkomendasikan penggunaan radioterapi bersamaan

dengan kemoterapi.67
Dari hasil penelitian yang dilakukan didapatkan bahwa sebagian

responden telah terdiagnosa kanker nasofaring dalam rentang waktu 6

– 12 bulan. Penelitian di Rumah Sakit Dr. Margono Soekardjo (2012)

melaporkan bahwa sebagian besar pasien datang dalam kondisi

stadium lanjut (III dan IV). Menurut Susworo (2004) dalam penelitian

tersebut keterlambatan diagnosa dapat dikarenakan tidak adanya gejala

yang spesifik yang dijumpai pada pasien kanker nasofaring, terlebih

lagi pada stadium dini.67 Disisi lain diagnosa awal merupakan hal yang

sangat penting karena keberhasilan pengobatan sangat bergantung pada

tingkat keparahan penyakit.


Pengetahuan dijelaskan sebagai (Knowledge) merupakan proses

yang diketahui oleh manusia secara langsung dari kesadarannya

sendiri.55 Pernyataan tersebut menunjukkan bahwa pengetahuan

seseorang erat kaitannya dengan pengalaman belajar terhadap suatu

hal. Pengalaman belajar tersebut dapat diperoleh dari lamanya

seseorang mengalami suatu penyakit.


Berdasarkan lamanya pasien didiagnosa kanker nasofaring,

responden dengan tingkat pengetahuan yang baik cenderung dimiliki

oleh responden yang telah didiagnosa kanker nasofaring selama 6-12


78

bulan dan >12 bulan. Dilihat dari presentasinya, jumlah responden

dengan tingkat pengetahuan yang baik semakin bertambah pada

kelompok responden yang sudah lebih lama terdiagnosa. Artinya

semakin lama pasien terdiagnosa, maka akan mempengaruhi tingkat

pengetahuan pasien. Akan tetapi masih terdapat sejumlah responden

yang terdiagnosa kanker nasofaring selama 6-12 bulan dan > 12 bulan

yang memiliki pengetahuan yang buruk. Hal tersebut terjadi karena

hampir semua pasien baru mengetahui informasi mengenai radioterapi

hanya saat akan melakukan radioterapi sehingga paparan informasi

bermula saat pasien akan melakukan radioterapi bukan saat pasien

pertama kali didiagnosa kanker nasofaring.


7. Frekuensi Radioterapi

Berdasarkan hasil penelitian diketahui bahwa sebagian besar

responden telah melakukan radioterapi sebanyak 1-10 kali dan 21-30

kali. Radioterapi yang diberikan pada pasien kanker nasofaring di

Instalasi Radioterapi RSUD Dr. Moewardi rata-rata sebanyak 33 kali

dalam satu siklus, dilakukan sebanyak 5 kali dalam satu minggu dari

hari Senin hingga hari Jumat.

Sebagian besar pasien yang melakukan radioterapi pernah

melakukan kemoterapi 2-4 bulan sebelum pelaksanaan radioterapi. Hal

tersebut berbeda dengan pola radioterapi yang dilakukan di Rumah

Sakit Ken Saras Kabupaten Semarang, dimana pasien yang melakukan

radioterapi, beberapa diantaranya melakukan kemoterapi pada waktu

yang bersamaan dengan radioterapi. Setelah diberikan radiasi, maka


79

dilakukan evaluasi berupa respon terhadap radiasi. Respon dinilai dari

pengecilan kelenjar getah bening leher dan pengecilan tumor primer di

nasofaring.10

Apabila tingkat pengetahuan pasien dilihat dari banyaknya

frekuensi radioterapi yang telah dilakukan, maka didapatkan jumlah

responden dengan tingkat pengetahuan yang baik paling banyak pada

kelompok responden yang telah melakukan radioterapi sebanyak 21-

30 kali sementara responden yang baru melakukan radioterapi

sebanyak 1-10 kali sebagian besar memiliki tingkat pengetahuan yang

buruk. hal tersebut berkaitan dengan pengalaman responden dalam

melakukan radioterapi. Pengalaman kehidupan dan lingkungan akan

sangat mempengaruhi cara berpikir seseorang. Pengalaman-

pengalaman hidup, kejadian-kejadian yang dialami juga sangat

berperan dalam menciptakan pemikiran seseorang, sehingga

membentuk suatu paradigma yang melekat didalam pikirannya.


Tingkat pengetahuan responden tentang pengobatan radioterapi

yang baik terpadat sebagian besar responden yang telah melakukan

radiaoterapi 21-30 kali. Hal tersebut berkaitan dengan pengalaman

responden, dimana responden yang sudah lebih banyak melakukan

radioterapi secara tidak disadari mereka mengikuti dan mempelajari

proses radioterapi yang dilakukan secara rutin 5 hari berturut-turut

dalam seminggu dan berlangsung lebih dari satu bulan, selain itu

pasien yang sudah banyak melakukan radioterapi sebagian besar

mengalami efek samping samping radioterapi dan telah beberapa kali


80

melakukan kontrol serta konsultasi medis dengan dokter sehingga

dalam hal ini pasien telah belajar dari proses radioterapi yang telah

dijalaninya. Hal ini sejalan dengan penelitian yang di lakukan oleh

Tiya Yulia yang melaporkan bahwa pasien yang pernah melakukan

kemoterapi menunjukkan tingkat pengetahuan yang lebih baik

mengenai pengobatan kemoterapi.69 Begitu pula dengan teori Green

dalam Ema (2015 ) yang menyatakan bahwa semakin lama seseorang

menderita penyakit, maka individu tersebut akan mempunyai

pengalaman yang lama tentang penyakitnya. Sehingga dengan

pengalaman penyakitnya, maka ia akan bisa mengevaluasi pengobatan

yang sudah dilakukannya.62


B. Gambaran Tingkat Pengetahuan Tentang Radioterapi Per Sub Skala
1. Gambaran Tingkat Pengetahuan Tentang Definisi Radioterapi

Berdasarkan hasil penelitian didapatkan sebagian besar pasien

memiliki tingkat pengetahuan tentang definisi radioterapi yang buruk.

Adanya tingkat pengetahuan responden tentang definisi radioterapi

yang buruk ini disebabkan karena sebagian besar responden tidak

dapat membedakan antara sifat radiasi dengan sinar laser. Hampir

seluruh pasien beranggapan bahwa radiasi dapat memancarkan sinar

seperti sinar laser. Sinar yang memancarkan cahaya sendiri sangat

jauh berbeda dengan sifat radiasi, karena radiasi tidak dapat dideteksi

oleh indera manusia sedangkan sinar jelas menghasilkan cahaya yang

tampak.72
81

Jawaban dari kuesioner yang diisi responden diketahui hampir

seluruh responden tahu mengenai definisi radioterapi bahwa

radioterapi merupakan pengobatan kanker dengan pemberian sinar

radiasi, namun diketahui sebagian besar pasien menjawab salah pada

pertanyaan yang menyatakan bahwa radioterapi merupakan

pengobatan kanker dengan pemberian sinar laser. Hal tersebut

menandakan bahwa sebagian besar pasien beranggapan bahwa

radioterapi memiliki sifat yang sama dengan sinar laser, padahal sinar

laser yang muncul saat proses pemberian radioterapi merupakan

kolimator yang berfungsi sebagai pemberi tanda pada area yang diberi

radiasi.72

Kurangnya pemahaman pasien terhadap pertanyaan yang

menyatakan bahwa radioterapi merupakan pengobatan kanker dengan

pemberian sinar laser dapat dikatakan suatu hal yang wajar karena

sifat radiasi tidak dapat dideteksi secara langsung oleh indera manusia

sehingga yang tampak saat pemberian radiasi adalah kolimator berupa

sinar laser. Sementara informasi yang diperoleh pasien hanya berupa

pengertian bahwa radioterapi merupakan pengobatan dengan

pemberian radiasi atau pasien lebih mengenal dengan sebutan terapi

sinar.

Pentingnya pengetahuan pasien tentang definisi radioterapi

berkaitan dengan penalaran. Penalaran dapat diartikan sebagai proses

berpikir yang bertolak dari pengamatan indera (pengamatan empirik)


82

yang menghasilkan sebuah konsep dan pengertian. Proses dari

penalaran sendiri diawali dengan penyerapan informasi, kemudian

menghubungkan informasi dengan pengetahuan yang telah dimiliki,

maka penalaran akan menghasilkan pengetahun.

2. Gambaran Tingkat Pengetahuan Tentang Dosis Radioterapi

Hasil penelitian menunjukkan bahwa pengetahuan pasien

tentang dosis radioterapi dapat dikatakan baik. Diketahui sebagian

besar pasien paham bahwa dosis radioterapi yang diberikan pada

pasien memiliki kadar yang berbeda tergantung pada stadiumnya dan

menyangkal bahwa pemberian radioterapi cukup dilakukan satu kali

pemberian. Meskipun pasien tidak dijelaskan mengenai dosis

radioterapi secara rinci, namun sebagian pasien paham bahwa dosis

radiasi yang diberikan memiliki kadar yang berbeda pada setiap

stadiumnya. Informasi tersebut cukup bagi pasien untuk diketahui

sehingga pasien paham bahwa dokter melakukan perencanaan

pemberian radioterapi disesuaikan pada kondisi dan kebutuhan pasien.

Dengan demikian pasien akan menganggap radioterapi sebagai

kebutuhan bagi dirinya karena radioterapi merupakan pengobatan

yang harus dijalani oleh pasien kanker nasofaring.

Dosis radiasi adalah kuantisasi dari proses yang ditinjau sebagai

akibat radiasi mengenai materi. Dalam hal ini yang perlu diperhatikan,

apabila zat radioaktif sebagai sumber radiasi masuk ke dalam tubuh,

maka pola distribusi dan proses metabolisme yang terjadi di dalam


83

tubuh sangat perlu diperhatikan.72 Oleh karena itu dosis radiasi total

yang ditetapkan umumnya diberikan dengan sistem fraksinasi. Dengan

pemberian secara fraksinasi diharapkan therapeutic ratio yang optimal

dapat dicapai, sehingga prinsip dalam radioterapi untuk mematikan

sebanyak mungkin sel tumor/kanker dapat dicapai dengan tetap

melindungi semaksimal mungkin jaringan sehat disekitarnya. 72

Informasi tersebut penting bagi pasien sehingga pasien memahami

ketika pasien dihadapkan dengan prosedur radioterapi yang sangat

rumit dan waktu yang lama.

3. Gambaran Tingkat Pengetahuan Tentang Tujuan Radioterapi


Hasil penelitian ini menunjukkan lebih dari setengah jumlah

responden memiliki tingkat pengetahuan tentang tujuan radioterapi

yang buruk. Hal tersebut terjadi karena sebagian besar pasien terjebak

pada pertanyaan yang menyatakan bahwa radioterapi bertujuan untuk

mengatasi kelemahan pada stadium III dan tidak dapat menyembuhkan

kanker stadium IV. Hal tersebut berkaitan dengan pengetahuan pasien

mengenai pembagian stadium karena pada saat pengambilan data

banyak pasien yang kurang pemahamannya terkait stadium kanker.


Walaupun tingkat pengetahuan tentang tujuan radioterapi

responden secara keseluruhan menunjukan hasil yang buruk, tetapi

seluruh pasien paham bahwa radioterapi dilakukan untuk mematikan

sel kanker dan sebagian besar tahu bahwa radioterapi juga dapat

mencegah penyebaran sel kanker serta mengurangi keluhan akibat

penyebaran sel kanker. Pemahaman pasien terkait pertanyaan-


84

pertanyaan mengenai tujuan radioterapi yang baik dapat terjadi karena

pasien telah diberi penjelasan oleh dokter mengenai tujuan radioterapi

sebelum pelaksanaan radioterapi dimulai.


Adanya pemahaman pasien terkait tujuan radioterapi yang baik

secara tidak disadari dapat menumbuhkan kepercayaan pasien akan

manfaat dari radioterapi. Sehingga memberi harapan kepada pasien

untuk sembuh dari penyakitnya dan kemungkinan yang akan terjadi

adalah adanya peningkatan motivasi pasien dalam melakukan

pengobatan radioterapi. Akan tetapi lebih dari setengah jumlah

responden memiliki persepsi bahwa radioterapi dapat menyembuhkan

kanker nasofaring stadium IV. Dalam kenyataannya radioterapi pada

pasien kanker nasofaring stadium IV berfungsi sebagai pengobatan

paliatif. Dimana radioterapi yang dilakukan bertujuan untuk

mengurangi tanda dan gejala yang muncul akibat pembesaran tumor.

Ketidakpahaman pasien terkait hal ini dapat menjadi harapan kosong

terutama bagi pasien kanker nasofaring stadium IV. Disisi lain

penyampaian informasi bahwa radioterapi tidak menyembuhkan

kanker nasofaring stadium IV dapat berdampak pada penurunan

motivasi pasien dalam melakukan pengobatan radioterapi.


Tujuan pemberian radioterapi tidak lain adalah sebuah

pengobatan, karena radioterapi dapat menghambat dan membunuh sel

sel kanker.11 Dalam beberapa kasus radioterapi diberikan sebagai

penatalaksanaan penyakit kanker kanker baik sebagai pengobatan

kuratif, peliatif, maupun definitif.7 Terapi radiasi ini akan mematikan


85

sel-sel kanker jika mencapai dosis tertentu. Sel-sel kanker yang mati

akan hancur, dibawa oleh darah dan diekskresi keluar dari tubuh.

Sebagian besar sel-sel sehat akan bisa pulih kembali dari pengaruh

radiasi.72
Pengetahuan merupakan salah satu faktor internal dalam

motivasi. Apabila pasien memiliki pengetahuan yang baik mengenai

radioterapi dan efek sampingnya, diharapkan pasien juga memiliki

motivasi yang tinggi dalam menjalani proses radioterapi. Pasien

dengan pengetahuan yang baik akan menganggap radioterapi sebagai

kebutuhan bagi dirinya karena radioterapi merupakan pengobatan yang

harus dijalani oleh pasien kanker nasofaring.


4. Gambaran Tingkat Pengetahuan Tentang Jadwal Pelaksanaan

Radioterapi

Pada kebanyakan tipe kanker, radiasi biasanya diberikan dalam

dosis yang terbagi menjadi 5 hari berturut-turut (Senin - Jumat),

dilakukan sekali dalam sehari selama kurang lebih selama 6-7 minggu.

Besaran dosis total yang diberikan tergantung dari tujuan radiasi

(kuratif atau paliatif) dan jenis histopatologinya. 46 Dalam penelitian

sendiri semua responden mendapatkan radiasi sebanyak 33 kali yang

terbagi menjadi 5 hari berturut-turut (Senin – Jumat) setiap

minggunya dan melakukan kontrol setelah radioterapi ke 20 kali.

Berdasarkan penelitian didapatkan lebih dari 50% responden

memiliki tingkat pengetahuan tentang jadwal radioterapi yang baik.

Dilihat dari distribusi jawaban responden pada setiap item pertanyaan


86

diketahu sebagian besar responden paham bahwa radioterapi

dilakukan sebanyak 20-35 kali selama 4-6 minggu dan hampir seluruh

responden paham bahwa radioterapi dilakukan 5 kali dalam seminggu

tanpa jeda. Pemahaman responden yang baik tersebut berkaitan

dengan informasi mengenai jadwal pelaksanaan radioterapi yang telah

dipaparkan oleh dokter sebelum pelaksanaan radioterapi. Menurut

Notoatmodjo, informasi akan memberikan pengaruh pada

pengetahuan seseorang, meskipun seseorang memiliki pendidikan

yang rendah tetapi jika ia mendapat informasi yang baik maka hal

tersebut dapat meningkatkan pengetahuan seseorang.28

5. Gambaran Tingkat Pengetahuan Tentang Efek Samping Radioterapi


Hasil penelitian menunjukkan sebagian besar responden

memiliki tingkat pengetahuan tentang efek samping radioterapi yang

baik. Ditinjau dari jawaban responden pada setiap item pertanyaan

diketahui hampir seluruh responden tahu bahwa radioterapi dapat

menyebabkan terjadinya gangguan fungsi pengecapan, mukositis,

xerostomia, nyeri saat menelan, serta kerusakan pada gigi dan mulut.

Pemahaman pasien terkait efek samping radioterapi yang baik dapat

terjadi karena pasien kanker yang menjalani radioterapi sering

mengalami efek samping baik yang ringan hingga efek samping yang

parah.
Berbagai efek samping dapat timbul saat pasien kanker

nasofaring menjalani proses radioterapi. Pada umumnya efek samping

dari radioterapi akan hilang dengan sendirinya setelah pengobatan


87

dihentikan, tetapi pada beberapa kasus yang jarang akan terjadi efek

samping yang berkepanjangan.27 Efek samping radioterapi yang paling

sering muncul pada penderita kanker nasofaring yaitu mukositis dan

xerostomia. Keberadaan mukositis tersebut biasanya menimbulkan

keluhan rasa sakit pada mulut yang dapat mempengaruhi asupan

nutrisi secara oral dan menyebabkan penurunan berat badan, serta

penurunan daya tahan tubuh.45 Sementara kejadian xerostomia

menyebabkan berkurangnya laju aliran saliva juga dapat

menimbulkan sensasi terbakar pada mulut, gangguan indera

pengecapan, kesulitan menelan, perubahan pada jaringan lunak,

bahkan terjadinya karies gigi.46


Meskipun sebagian besar pasien memiliki tingkat pengetahuan

tentang efek samping radioterapi yang baik, namun masih terdapat

sejumlah pasien yang menjawab salah pada pertanyaan-pertanyaan

terkait efek samping radioterapi. Hal tersebut dapat disebabkan karena

kebanyakan pasien mulai mengeluh munculnya efek samping

radioterapi pada minggu kedua sejak terapi dimulai. Sehingga dapat

dipastikan bahwa pasien yang baru beberapa kali melakukan

radioterapi belum merasakan efek samping radioterapi dan akan

cenderung memiliki pengalaman yang berbeda dengan pasien yang

sudah lebih lama melakukan radioterapi. Sesuai dengan pendapat

Notoatmodjo bahwa sebagian besar pengetahuan dipengaruhi oleh

pengalaman yang didapat dari diri sendiri maupun orang lain.


88

Pengalaman yang sudah diperoleh dapat memperluas pengetahuan

seseorang.28
6. Gambaran Tingkat Pengetahuan Pencegahan Efek Samping

Radioterapi
Berdasarkan penelitian lebih dari setengah jumlah responden

menunjukkan tingkat pengetahuan tentang pencegahan efek samping

radioterapi yang baik. Diketahui sebagian besar pasien paham bahwa

terdapat beberapa hal yang harus dipersiapkan sebelum melakukan

radioterapi untuk mencegah terjadinya efek samping yang parah

selama pelaksanaan radioterapi. Hampir seluruh responden mengerti

bahwa pencegahan efek samping radioterapi dapat dilakukan dengan

melakukan pemeriksaan laboratorium darah sebelum melakukan

radioterapi. Sebagian besar responden juga paham bahwa radioterapi

harus ditunda jika pasien mengalami anemia dan kelemahan.


Banyaknya pasien yang paham terkait pencegahan efek samping

radioterapi ini karena adanya informasi yang diperoleh dari dokter dan

pengalaman pasien sebelum melakukan radioterapi, dimana setiap

pasien yang akan melakukan radioterapi akan dianjurkan oleh dokter

untuk melakukan pemeriksaan-pemeriksaan tertentu yang terdiri atas

pemeriksaan laboratorium darah, pemeriksaan status gizi pasien, serta

pemeriksaan gigi dan mulut. Selain menganjurkan pasien untuk

melakukan pemeriksaan sebelum radioterapi, dokter juga memberikan

pesan terkait hal-hal yang boleh dilakukan dan hal-hal yang harus

dihindari pasien selama pelaksanaan radioterapi. Pengetahuan tidak

hanya dapat diperoleh dari bangku pendidikan, akan tetapi dapat juga
89

diperoleh dari pengalaman langsung seperti informasi yang diterima

dari pelayanan kesehatan, dan informasi tidak langsung seperti

informasi yang diperoleh dari media massa.28


Diketahui dalam penelitian ini tidak semua pasien memiliki

pengetahuan yang baik mengenai pencegahan efek samping

radioterapi karena terdapat sejumlah responden yang memiliki

pemahaman bahwa pemberian radioterapi ditunda jika pasien

mengalami kerontokkan rambut. Meskipun belum ada kejadian yang

melaporkan adanya pasien yang drop out radioterapi karena

mengalami kerontokkan rambut, akan tetapi bukan hal yang tidak

mungkin apabila ada pasien yang memilih untuk menunda

pengobatannya karena mengalami kerontokkan rambut.


Hasil terapi radiasi yang optimal yang diharapkan adalah

mematikan sel tumor sebanyak mungkin dengan efek pada jaringan

normal yang sekecil-kecilnya.25 Oleh karena itu pasien perlu diberi

penjelasan terkait pencegahan efek samping radioterapi agar efek

samping yang ditimbulkan tidak menambah keparahan penyakit

pasien.
7. Gambaran Tingkat Pengetahuan Tentang Manajemen Efek Samping

Radioterapi
Berdasarkan penelitian diketahui lebih dari setengah jumlah

responden menunjukkan tingkat pengetahuan tentang manajemen efek

samping radioterapi yang baik. Ditinjau dari jawaban responden pada

setiap item pertanyaan menunjukkan bahwa hampir semua pasien

paham bahwa menjaga kebersihan mulut dapat dilakukan dengan


90

menggosok gigi 3-4 kali sehari menggunakan sikat gigi yang lembut

dan pasta gigi yang mengandung fluoride untuk mencegah terjadinya

infeksi pada mulut, dan makan dengan porsi sedikit namun sering

apabila pasien mengalami penurunan nafsu makan. Seluruh pasien

paham bahwa dalam penanganan stress, pasien dapat bertanya kepada

dokter maupun perawat terkait penanganan stress atau berbagi

pengalaman dengan pasien lain untuk menurunkan tingkat stres. Selain

itu lebih dari 50% pasien mengerti bahwa selama radioterapi pasien

dianjurkan untuk mengkonsumsi makanan yang mengandung tinggi

kalori dan tinggi protein serta makanan atau minuman dengan

kandungan vitamin C yang tinggi.


Adanya pengetahuan yang baik terkait manajemen efek samping

radioterapi ini karena setiap pasien dijadwalkan untuk melakukan

konsultasi medis dengan dokter setiap 2 minggu sekali sehingga pasien

memiliki kesempatan untuk menyampaikan keluhan yang

dirasakannya dan bertanya mengenai penanganan untuk keluhan yang

dirasakannya. Namun sayangnya tidak semua pasien menyadari bahwa

keluhan yang dirasakan tersebut merupakan akibat dari radioterapi

sehingga pasien lebih memilih diam daripada bertanya kepada dokter

terkait keluhan yang dirasakannya.


Terdapat sejumlah pasien yang masih memiliki pengetahuan

yang buruk mengenai manajemen efek samping radioterapi seperti

pada pertanyaan yang menyatakan bahwa menjaga kebersihan mulut

dan berkumur menggunakan air rebusan daun sirih dapat pencegahan


91

terjadinya infeksi pada mulut. Kurangnya pengetahuan pasien terkait

pertanyaan tersebut akan mempengaruhi oral hygiene pasien.

Observasi yang dilakukan peneliti selama pengambilan data diketahui

terdapat sejumlah pasien tampak menutup hidung dan mulutnya

menggunakan masker dengan keluhan bau mulut dan nyeri saat

berbicara sehingga pasien merasa kurang percaya diri untuk

berinteraksi dengan orang lain. Selain itu masih rendahnya

pengetahuan pasien mengenai manajemen efek samping radioterapi

dapat terjadi karena kurangnya pemanfaatan sumber informasi yang

tersedia seperti media massa dan media sosial, dimana sebagian besar

responden merupakan masyarakat dengan tingkat sosial ekonomi

menengah ke bawah dan memiliki latar belakang pendidikan yang

rendah sehingga tidak memahami teknologi informasi yang

berkembang saat ini.


Kurangnya pengetahuan pasien mengenai manajemen efek

samping radioterapi juga ditunjukkan pada pertanyaan yang

menyatakan bahwa pasien tidak dianjurkan untuk mengkonsumsi

makanan yang mengandung tinggi kalori dan tinggi protein. Padahal

pasien yang menjalani radioterapi sangat dianjurkan untuk

mengkonsumsi makanan tinggi kalori dan tinggi protein untuk

menjaga agar status gizi tetap baik sehingga radioterapi dapat berlanjut

hingga selesai. Adanya sejumlah responden yang menjawab salah

terkait pertanyaan tersebut disebabkan karena sebagian responden

memiliki persepsi bahwa mengkonsumsi makanan terutama yang


92

mengandung tinggi protein dapat mengakibatkan ukuran kanker

menjadi semakin cepat tumbuh menjadi besar.


Harapan dari pemberian terapi adalah untuk mencapai

kesembuhan atau meningkatkan kualitas hidup pasien. Setiap pasien

menginginkan jenis terapi yang memberikan kesembuhan namun

dengan efek samping yang seminimal mungkin. Dalam realitanya efek

samping akibat radioterapi tidak dapat dihindari sepenuhnya, namun

dapat dikontrol sehingga perlu adanya manajemen efek samping

radioterapi agar efek samping yang muncul tidak menimbulkan

penderitaan pasien yang lebih parah.


C. Keterbatasan Penelitian
Jumlah responden yang sangat terbatas merupakan kendala dalam

pelaksanaan penelitian ini, dimana jumlah rata-rata pasien yang melakukan

radioterapi secara keseluruhan tidak lebih dari seratus pasien dalam

sebulan, padahal kanker nasofaring sendiri merupakan pasien kanker yang

paling sering dalam pelaksanaan radioterapi yaitu sepertiga dari jumlah

pasien kanker secara keseluruhan yang menjalani radioterapi. Hal tersebut

karena pengobatan radioterapi dilakukan dalam waktu yang lama dan

keterbatasan alat radioterapi yang tersedia menyebabkan banyak pasien

yang akan melakukan radioterapi harus mengantri dan menunggu selama

beberapa bulan untuk dapat melakukan radioterapi. Minimnya jumlah

responden dalam penelitian ini menyebabkan hasil penelitian menjadi

lemah dan kurang menggambarkan pengetahuan pada populasi secara

mendalam oleh karena itu untuk penelitian selanjutnya dapat mengambil

lebih dari satu Rumah Sakit sebagai tempat pengambilan sampel


93

penelitian, sehingga hasil penelitian yang diperoleh bisa lebih detail dalam

menggambarkan tingkat pengetahuan responden dan dapat lebih

mempresentasikan kondisi pasien kanker nasofaring secara general.

Anda mungkin juga menyukai