Anda di halaman 1dari 6

Siti Nurkhasanah

11170130000029

Kajian Drama

Kamus Istilah

1. Drama Bebasari oleh Rustam Effendi (1926) = Bebasari merupakan drama yang dituis
oleh Rustam Effendi. Dialog dalam Bebasari disajikan dengan bentuk sajak sehingga H.B
Jassin (1967) menyebutnya sebagai drama bersajak. Naskah Bebasari pertama kali
dipentaskan pada saat murid-murid MULO di Padang hendak mementaskan sebuah
drama pada suatu pesta sekolah karena tidak ada naskah drama yang dipentaskan. Rustam
Effendi akhirnya menulis naskah Bebasari dalam bentuk sajak. Akan tetapi, drama itu
batal dipentaskan karena dilarang oleh Pemerintah Hindia Belanda. Bebasari pertama kali
terbit pada tahun 1926. Tahun 1953, penerbit Fasco, Jakarta menerbitkan kembali drama
Bebasari ini menjadi tiga babak.
Sumber: Ensiklopedia Sastra Indonesia.
2. Drama Kertajaya oleh Sanusi Pane (1932) = drama sanusi pane yang berjudul Kertajaya
merupakan tragedy yang mengingatkan kita pada cerita Romeo and Juliet karya pujangga
Inggris Shakespeare. Dalam kesusraan Jawa kita jumpai tragedy semaca itu pula yakni
cerita Pranacitra dan Rana Mendut, di Bali dapat kita jumpai cerita Jayaprana dan
Layonsari. Drama itu ditutup dengan matinya dua tokoh utama, Dadang Gendis
(Kertajaya) dan Dewi Amisani dengan cara bunuh diri. Suatu penyelesaian yang sangat
berbeda kalau kkita bandingkan dengan fakta sejarah. Memang, ada pula perbedaan fakta
yang dikemukakan oleh ahli sejarah tentang nasib Kertajaya sebagai raja Kediri.
Stutterheim, misalnya. Menyatakan bahwa Kertajaya mengasingkan diri sebagai petapa.
Lain halnya dengan Krom, dia mengatakan, setelah Kertajaya kalah dalam pertempuran
di Garner dia hilang, tidak jelas ke mana, mungkin mati atau melarikan diri.
Sumber: Catatan Sawali Tuhusetya, Sanusi Pane, kategori Sastra, dipublikasikan
Rabu, 6 Januari 2010.
3. Naskah Sadhyakalaning Majapahit oleh Sanusi Pane (1932) = “Sandyakala Ning
Majapahit” merupakan drama sejarah yang ditulis Sanusi Pane pada tahun 2930-an.
Drama itu pertama kali dimuat dalam majalah Timbul Nomor 1-6, tahun VII, 1932, dan
Nomor 3-4 Februari 1933. Setelah Sanusi Pane meninggal, di Jakarta, 2 Juni 1966 atas
inisiatif Ajip Rosidi, tahun 1971 drama Sandyakala NinG Majapahit” itu diterbitkan
kembali oleh Penerbit Pustaka Jaya, Jakarta, dalam bentuk buku. Untuk pertama kali,
buku ini dicetak sebanyak tiga eksemplar. Sandyakala Ning Majapahit ternyata mendapat
sambutan yang hangat di kalangan masyarakat serta Indonesia. Sebagai buktinya pada
tahun 1976 drama itu dicetak ulang dan dijadikan buku bacaan wajib bagi pelajar sekolah
menengah umum di Indonesia sehingga dicetak sebanak lima ribu eksemplar.
Sumber: Ensiklopedia Sastra Indonesia.
4. Ken Arok dan Ken Dedes oleh Mohammad Yamin (1934) =Ken Arok dan Ken Dedes
merupakan nama raja dan permaisuri di Kerajaan Singosari yang diterbitkan menjadi
sebuah buku oleh Penerbit Balai Pustaka, Jakarta, tahun 1951, dengan tiras sebanyak tiga
ribu eksemplar dan jumlah halaman sebanyak 68 lembar lengkap dengan halaman kata
pengantar. Diangkat menjadi judul drama Muhammad Yamin dan pertama kali
dipentaskan pada puncak acara Kongres Pemuda (Sumpah Pemuda), 28 Oktober 1928.
Enam tahun kemudian, drama tersebut dimuat dalam majalah Poedjangga Baroe (1934)
pimpinan Sutan Takdir Alisjahbana. Drama ini mengangkat masalah perjuangan dan
kehidupan Kerajaan Singosari yang pernah jaya pada masa lalu. Temanya adalah rasa
keadilan harus ditegakkan. Dalam drama itu, antara lain, diperlihatkan keadaan suatu
sidang kerajaan menanggapi situasi negeri. Pada suatu hari di Bangsal Witana, Kerajaan
Singasari, sedang digelar rapat pengangkatan seorang putra mahkota. Rajasa-nama lain
Ken Arok setelah menjadi Raja Singasari-bersikukuh hendak memilih Mahisa Wong
Ateleng untuk menjadi putra mahkota yang kelak akan menggantikan kedudukannya di
singgasana Kerajaan Singasari. Namun, para pembesar istana yang lain seperti
Mahamenteri Rakian Hino, Mahamenteri Sirikan, dan Mahamenteri Hulu lebih
cenderung memilih Anusapati Panji Anengah. Alasan para pembesar kerajaan itu hanya
Anusapatilah yang pantas menjadi putra mahkota karena anak sulung. Ken Arok tetap
memilih Mahisa Wong Ateleng, adik Anusapati, sebagai putra mahkota tanpa memerinci
lebih lanjut alasan yang menjadi dasar pemilihannya itu. Anusapati kecewa atas
keputusan ayahandanya itu. Suatu hari ketika Anusapati sedang merenungkan hal itu,
datanglah ibunya, Ken Dedes. Ken Dedes memberi tahu kepada Anusapati tentang siapa
sebenarnya dirinya itu dan siapa pula ayahnya itu. Atas pemberitahuan ibunya itu,
Anusapati baru mengetahui bahwa Ken Arok bukanlah ayah kandungnya. Ayah
kandungnya adalah Tunggul Ametung yang telah dibunuh oleh Ken Arok dengan sebilah
keris Empu Gandring. Akhirnya, Anusapati menuntut balas atas kematian ayahnya. Di
Bangsal Witana kembali digelar rapat penobatan putra mahkota yang akan segera
menggantikan Ken Arok. Dalam rapat itu terjadi perdebatan yang sengit dan tajam.
Brahmana Lohgawe, penasihat kerajaan, ikut serta dalam rapat penobatan putra mahkota
tersebut. Atas desakan Brahmana, akhirnya Ken Arok menyadari bahwa apa yang pernah
dilakukannya pada masa lampau merupakan kesalahan. Sebagai seorang ksatria, ia harus
berani mengakui semua kesalahan yang pernah diperbuatnya. Oleh karena itu, Ken Arok
pun berani mati di ujung keris Empu Gandring setelah Singasari berhasil dipersatukan.
Ken Arok menerima hukuman mati sesuai dengan kesalahan yang pernah diperbuatnya.
Namun, sebelum menjalani hukuman mati itu, Ken Arok lebih dahulu telah memikirkan
kelangsungan hidup negerinya. Hal itu terbukti dengan adanya pengangkatan putra
mahkota, Anusapati, menjadi Raja Singasari yang menggantikan dirinya. Sepeninggal
Ken Arok, Ken Dedes pun ikut bunuh diri sebagai tanda kesetiaan istri kepada suaminya.
Peneliti dan kritikus sastra menggolongkan drama ini sebagai karya Angkatan Pra-
Pujangga Baru. Buku Citra Manusia dalam Drama Indonesia Modern 1920-1960
(Santosa, 1993) dalam pokok bahasan "Hubungan Manusia dan Masyarakat" menyatakan
bahwa drama ini merupakan perwujudan citra manusia yang berusaha menegakkan
keadilan di tengah-tengah masyarakat.

Sumber:
http://ensiklopedia.kemdikbud.go.id/sastra/artikel/Ken_Arok_dan_Ken_Dedes |
Ensiklopedia Sastra Indonesia - Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa,
Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia.
5. Soekarno (menulis dan menyutradarai sandiwara di Bengkulu 1927) = Ada yang
menarik dalam berjudul Sandiwara Bung Karno karya Dosen Ilmu Sosial dan Politik,
Universitas Bengkulu, Agus Setyanto. Secara tegas penulis memancing sebuah
pertanyaan cukup menggelitik, mengapa hingga kini belum ada pelaku seni maupun
produser yang berminat mengadaptasi lakon-lakon yang pernah dipentaskan Bung Karno.
Jangan-jangan, memang belum ada yang tahu? Kepada Kompas.com, Agus Setyanto
menyebutkan, ada sekitar 17 naskah yang pernah dibuat Bung Karno semasa
pengasingannya baik di Bengkulu maupun di Ende. "Ada 12 naskah teater di Ende dan
lima di Bengkulu," kata Agus, Minggu (17/11/2013). Menurut dia, Bung Karno
merupakan tokoh yang tidak hanya sukses dalam memerdekakan Indonesia tetapi juga
dalam seni pertunjukan. Ia pernah sukses sebagai penulis naskah, sutradara, manajer, dan
sekaligus produser sandiwara tonil yang diberi nama “Monte Carlo” di Bengkulu.

Artikel ini telah tayang di Kompas.com dengan judul "Mengenal Jiwa Seni
Soekarno di Pengasingan ",
https://regional.kompas.com/read/2013/11/17/1555190/Mengenal.Jiwa.Seni.Soekarn
o.di.Pengasingan.?page=all.
Penulis : Kontributor Bengkulu, Firmansyah.
6. Krukut Bikutbi dan Dr Setan oleh Soekarno = Jika Anda sempat berkunjung ke
Bengkulu, dan menyinggahi rumah bekas pengasingan Bung Karno, Anda masih dapat
melihat eks properti (barang-barang) sandiwara tonil peninggalan Bung Karno. Ada
beberapa kostum, layar, spanduk, serta atribut sandiwaranya. Sayangnya, dari sekian
banyak naskah yang pernah ditulisnya, hanya tersisa empat buah naskah, yaitu: Dr.
Sjaitan; Chungking Djakarta; Koetkoetbi; dan Rainbow (Poteri Kentjana Boelan).
Bahkan, teks naskah Dr. Sjaitan sudah tidak lengkap–hanya ada dua bedrijf (babak) saja–
di mana semestinya terdiri atas enam babak (Lambert Giebels, 1999: 201).
Namun, melalui beberapa nara sumber lokal, kandungan cerita naskah Hantoe Goenoeng
Boengkoek, Dr. Sjaitan, maupun Si Ketjil (Klein’duimpje) dapat direkonstruksi. Dalam
hal penulisan naskah, Bung Karno rupanya tidak mau asal-asalan. Ia berusaha
mempelajari berbagai macam cabang ilmu pengetahuan, termasuk ilmu sejarah dan sastra
–bahasa. Referensi pengetahuan serta wawasan kebangsaan Bung Karno yang sangat luas
menjadi entitas yang tak terpisahkan dalam implementasi proses gagasan atau ide
kreatifnya. Tanpa hal tersebut, akan sulit bagi seorang Bung Karno dalam menciptakan
ide-ide kreatif, seperti menginterpretasi film Franskenstein yang amat populer pada saat
itu menjadi lakon Dr. Sjaitan dan Koetkoetbi.
Artikel ini telah tayang di Kompas.com dengan judul "Mengenal Jiwa Seni
Soekarno di Pengasingan ",
https://regional.kompas.com/read/2013/11/17/1555190/Mengenal.Jiwa.Seni.Soekarn
o.di.Pengasingan.?page=all.
Penulis : Kontributor Bengkulu, Firmansyah
7. Keris Empu Gandring oleh Imam Supardi = Lakon Bebasari merupakan sastra drama
yang menjadi pelopor semangat kebangsaan. Lakon ini menceritakan perjuangan tokoh
utama Bujangga, yang membebaskan puteri Bebasari dari niat jahat Rahwana. Penulis
lakon lainnya, yaitu Sanusi Pane menulis Kertajaya(1932) dan Sandyakalaning
Majapahit(1933) Muhammad Yamin menulis Ken Arok dan Ken Dedes(1934). Armijn
Pane mengolah roman Swasta Setahun di Bedahulukarangan I Gusti Nyoman Panji
Tisna menjadi naskah drama. Nur Sutan Iskandar menyadur karangan Molliere, dengan
judul Si Bachil.Imam Supardi menulis drama dengan judul Keris Mpu Gandring. Dr.
Satiman Wirjosandjojo menulis drama berjudul Nyai Blorong. Mr. Singgih menulis
drama berjudul Hantu.
Sumber: https://hayatalfalah.blogspot.com/2017/03/teater-indonesia-tahun-1920-
dan-1930-an.html.

8. Adaptasi L’Avarice oleh Moliere oleh Nur Sutan Iskandar = Armijn Pane mengolah
roman Swasta Setahun di Bedahulukarangan I Gusti Nyoman Panji Tisna menjadi
naskah drama. Nur Sutan Iskandar menyadur karangan Molliere, dengan judul Si
Bachil.Imam Supardi menulis drama dengan judul Keris Mpu Gandring. Dr. Satiman
Wirjosandjojo menulis drama berjudul Nyai Blorong. Mr. Singgih menulis drama
berjudul Hantu.
Sumber: https://hayatalfalah.blogspot.com/2017/03/teater-indonesia-tahun-1920-
dan-1930-an.html.
9. Sandiwara Pancawarna menampilkan banyak drama yang ditulis oleh Armijn Pane =
Pada masa pendudukan Jepang, kelompok rombongan sandiwara yang berkembang
adalah rombongan sandiwara profesional. Dalam kurun waktu ini, semua bentuk seni
hiburan yang berbau Belanda lenyap karena pemerintah penjajahan Jepang anti budaya
Barat. Rombongan sandiwara keliling komersial, seperti Bintang Surabaya, Dewi Mada,
Mis Ribut, Mis Tjitjih, Tjahaya Asia, Warna Sari, Mata Hari, Pancawarna, dan lain-lain
kembali berkembang dengan mementaskan cerita dalam bahasa Indonesia, Jawa, dan
Sunda. Rombongan sandiwara Bintang Surabaya tampil dengan aktor dan aktris
kenamaan, antara lain Astaman, Tan Ceng Bok (Si Item), Ali Yugo, Fifi Young, Dahlia,
dan sebagainya. Pengarang Nyoo Cheong Seng, yang dikenal dengan nama samarannya
Mon Siour D’amour ini dalam rombongan sandiwara Bintang Surabaya menulis lakon
antara lain, Kris Bali, Bengawan Solo, Air Mata Ibu (sudah difilmkan), Sija, R.A
Murdiati, dan Rombongan sandiwara Bintang Surabaya menyuguhkan pementasan-
pementasan dramanya dengan cara lama, yaitu di antara satu dan lain babak diselingi oleh
tarian-tarian, nyanyian, dan lawak. Secara istimewa selingannya kemudian ditambah
dengan mode show dengan peragawati gadisgadis Indo-Belanda yang cantik-cantik.
Sumber: https://ruangsekolahku.blogspot.com/2016/12/sejarah-teater-indonesia-
tahun-1940-an.html
10. Jinak-jinak Merpati (adaptasi dari Nora karya Henrik Ibsen) = Armijn juga banyak
menulis drama pada masa sebelum perang. Armijn banyak mengambil latar belakang
kenyataan hidup zamannya. Berdasarkan cerpennya "Barang Tiada Berharga" ia
membuat drama "Lukisan Masa". Drama yang ditulisnya pada masa Jepang dibukukan
dalam Djinak-Djinak Merpati, berdasarkan roman I Gusti Nyoman Pandji Tisna, ia
menghasilkan drama "I Swasta Setahun di Bedahulu", dan berdasarkan cerita M.A.
Salmun dalam bahasa Sunda ia menghasilkan drama "Nyai Lenggang Kencana" yang
mengambil cerita masa silam. Drama "Antara Bumi dan Langit" ditulis sesudah
proklamasi kemerdekaan yang mempermasalahkan kedudukan kaum Indo di alam
Indonesia merdeka.

Sumber: http://ensiklopedia.kemdikbud.go.id/sastra/artikel/Armijn_Pane |
Ensiklopedia Sastra Indonesia - Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa,
Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia.

Anda mungkin juga menyukai